Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [9]

begitu? Kiranya dari sejak mula, Raja Kubakan sudah mengirim orangnya untuk menggunakan kesempatan ini membunuh
Salinga dan Tayami! Salinga tewas dalam perang, tinggal Puteri Tayami. Namun pembunuh itu tidak mendapatkan
kesempatan melaksanakan tugasnya yang jahat dan berat, karena tentu saja selain hendak mentaati perintah raja
dan mengharapkan hadiahnya, ia pun ingin menyelamatkan diri sendiri sehingga tugas itu dapat ia lakukan tanpa
membahayakan nyawanya sendiri. puteri Tayami adalah seorang wanita kosen, tidak mudah dibunuh begitu saja.
Selain itu, apabila ketahuan para panglima bahwa dia membunuh Tayami, tentu ia pun tidak akan selamat! Maka
kini melihat puteri itu mengamuk, ia pun lalu masuk ke dalam pasukan yang mengikuti jejak puteri perkasa ini.
Dalam keadaan kacau-balau karena terjebak dan dihujani anak panah inilah, ia mendapat kesempatan baik sekali.
Teman-temannya dalam pasukan juga membalas musuh dengan anak panah. Melihat betapa Puteri Tayami melindungi
diri sendiri dan puterinya dengan memutar pedang bersinar kuning di depannya, pembunuh ini lalu menarik gendewa
dan mengirim pula anak panahnya, bukan kepada musuh melainkan tepat ke arah Puteri Tayami! Tak seorang pun
mengetahui bahwa dialah yang menewaskan Puteri Tayami. Semua mengira bahwa Sang Puteri menjadi korban anak
panah musuh!



Robohnya Tayami ini tak dapat disangkal lagi malah menyelamatkan nyawa puteri dalam gendongannya. Setelah ia
roboh, puteri memeluk puterinya, melindunginya dengan tubuh dan dengan Pedang Besi Kuning. Robohnya puteri ini
mengagetkan pasukan Khitan, apalagi karena selain Sang Puteri, banyak pula anggota pasukan roboh terkena anak
panah. Mereka menjadi agak panik dan kacau, sungguhpun mereka tidak takut. Melihat musuh bergerak kacau-balau,
Jenderal Kam Si Ek memberi aba-aba dan menyerbulah barisannya dari depan dan kanan kiri. Terjadilah perang
mati-matian dan Jenderal Kam Si Ek yang sejak tadi memperhatikan dari tempat tinggi dan kagum melihat gerakan
Puteri Tayami yang disangkanya seorang perajurit wanita biasa, lalu mengeprak kudanya, memainkan goloknya ikut
menyerbu musuh. Ia mengerahkan kudanya ke tengah lapangan mendekati tempat perajurit wanita tadi roboh.



Alangkah kaget, kagum dan terharunya ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita menggeletak miring dalam
keadaan tak bernyawa lagi, akan tetapi tangan kanannya masih erat-erat memegang sebatang pedang bersinar kuning
dan tangan kiri memeluk seorang anak perempuan kecil yang menangis sesenggukan! Ia merasa heran sekali mengapa
seorang perajurit wanita ikut perang membawa anaknya, namun kekaguman dan keharuan hatinya membuat ia
cepat-cepat meloncat turun dari atas kuda dan mengambil pula pedang bersinar kuning yang berada di tangan kanan
mayat si wanita. Tak pernah ia mimpi bahwa yang ditolongnya adalah puteri keturunan aseli Raja Khitan, dan
bahwa perajurit wanita itu adalah Puteri Mahkota!



Karena siasat dan kecerdikan Jenderal Kam Si Ek, sebentar saja pasukan Khitan yang menyerbu Shan-si dapat
dipukul hancur dan sisanya lari cerai-berai kembali ke Khitan. Jenderal Kam Si Ek membuat laporan ke atasan,
mengirim pula Pedang Besi Kuning sebagai barang rampasan, akan tetapi ia merahasiakan soal anak kecil itu dan
dibawanya anak itu pulang.



Isterinya girang sekali menyambutnya dan terheran-heran melihat suaminya pulang perang membawa seorang anak
perempuan kecil yang cantik mungil! Kam Si Ek menceritakan keadaan anak itu dan terharulah hati isterinya.



"Biar kita pelihara dia. Dia pantas menjadi adik Sian Eng." Kata isterinya sambil menimang-nimang anak itu.
anak itu memang lincah dan tertawa-tawa manis. "Siapakah namamu, anak manis?" Berkali-kali Nyonya Kam bertanya.
Anak itu adalah anak Khitan, tidak pandai bahasa asing ini, akan tetapi ia agaknya cerdik dan mengerti maksud
orang, buktinya ia menuding dadanya sendiri dan berkata sambil tertawa-tawa, "Lin Lin..., Lin Lin...!"



"Ah, agaknya ia bernama Lin!" kata Nyonya kam gembira. "nak baik, mulai sekarangkau adalah anak kami dan
bernama Kam Lin!"



Seperti telah direncanakannya semula, Kam Si Ek yang melihat gelagat tidak baik dengan sikap Gubernur Li yang
agaknya hendak mendirikan kerajaan sendiri, lalu mengajukan permohonan berhenti. Mengingat jasa-jasanya, maka
permohonannya dikabulkan dan berangkatlah Kam Si Ek dengan isteri dan tiga orang anaknya, termasuk Kam Lin, ke
dusun Ting-chun di kaki bukit Cin-ling-san. Di lembah Sungai Han yang tanahnya subur ini, ia hidup bertani
dengan aman dan tentram.



Ayah, biarkan aku ikut denganmu. Kalau Ayah hendak mencari musuh-musuh yang telah membunuh ibu dan membasmi
keluarga ibu, sudah menjadi tugasku pula untuk membantumu, ayah!" Dengan suara merengek Kwee Eng membujuk
ayahnya. Mereka duduk di bawah pohon besar, tak jauh dari pondok mereka.



"Tidak bisa, Eng-ji (Anak Eng). Musuh-musuh itu terlalu sakti, aku sendiri belum tentu dapat melawan dan
menangkan mereka, apalagi engkau. membawamu berarti membiarkan engkau terancam bahaya maut."



"Aku tidak takut! Bukankah Ayah sering menyatakan bahwa bagi seorang gagah, maut bukanlah apa-apa? Nama baik
lebih penting daripada maut!"



Kwee Seng atau Kim-mo Taisu mengelus rambut anaknya. "Betul sekali dan karena itulah maka aku harus pergi
menunaikan tugas, sedangkan engkau harus berada di sini. Engkau sudah dewasa dan untuk menjaga nama baik
keluarga kita, terutama nama baikmu, engkau harus berumah tangga."



"Ayah...!!" Tiba-tiba sepasang pipi gadis itu menjadi merah sekali dan sepasang matanya terbelalak seperti mata
seekor kelinci berhadapan dengan harimau.



Kim-mo Taisu dan menepuk puncak anaknya. "Mengapa kau merasa ngeri? Sudah semestinya seorang gadis menghadapi
pernikahan. Bu Song seorang anak yang baik, dan aku yakin kau akan hidup bahagia sebagai isterinya."



Tiba-tiba Eng Eng menundukkan mukanya yang menjadi makin merah, tidak berani ia menentang pandang mata ayahnya.
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.



"Inilah sebabnya mengapa aku hendak menyuruh Bu Song mengikuti ujian di kota raja. Dia anak baik dan soal
perjodohan ini sudah kubicarakan dengannya. Kau tahu, Eng Eng. Bu Song sejak dahulu tidak suka belajar ilmu
silat sungguhpun aku belum pernah bertemu orang yang memiliki bakat dan tulang lebih baik daripadanya untuk
menjadi pendekar. Dia lebih tekun dan suka belajar sastra. Dan dipikir-pikir memang betul dia. Buktinya
ahli-ahli silat selalu hanya terlibat dengan permusuhan dan pertempuran belaka, seperti aku ini. Karena itu,
dia harus menempuh ujian dan mencari kedudukan yang sesuai dengan kepintarannya. Setelah itu, baru kalian
menikah dan kalau sudah begitu, hatiku tenteram dan kelak aku akan dapat mati meram."



"Ayah...!" Kembali Eng Eng memandang ayahnya, kali ini wajahnya agak pucat.



"Ha-ha mengapa kaget? Orang hidup ke mana lagi akhirnya kalau tidak mati? Kepergianku kali ini tidak akan lama,
Eng Eng. Ayahmu hanya akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Akan kuselidiki lebih dulu bagaimana keadaan
kota raja sekarang ini dan bagaimana pula keadaan mereka yang menempuh ujian. Setelah aku kembali, baru Bu Song
kusuruh berangkat. Selama Ayah pergi, kau hati-hatilah di sini bersama Bu Song."



"Ahhh, aku... aku malu, Ayah..." "Malu? Malu kepada siapa?" "...Siapa lagi? Malu kepada... dia tentu. Habis,
Ayah tidak ada... dan kami... hanya berdua..."



"Ha-ha-ha, anak aneh! Sudah sejak dahulu kau seringkali berdua dengan Bu Song, mengapa malu?"



"Dulu lain lagi, sekarang tidak sama, Ayah. Habis.." "Sstttt!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu mendorong tubuh anaknya
ke samping dan tubuhnya sendiri melesat ke depan. Sesosok bayangan manusia berkelebat dan di depannya telah
berdiri Kong Lo Sengjin yang tertawa lebar.



"Kau...? belum pergikah engkau? Mau apa kau datang lagi ke sini, Kong Lo Sengjin?" Suara Kim-mo Taisu jelas
membayangkan ketidaksenangan hatinya. Sebetulnya ia memang membenci kakek ini yang ia tahu memiliki watak aneh
dan tidak baik, sungguhpun harus diakui bahwa kakek lumpuh ini seorang yang setia lahir batin kepada Kerajaan
Tang.



"Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Siapa yang sepatutnya bertanya? Akulah yang semestinya bertanya mengapa engkau belum
juga pergi! Ha-ha-ha, orang seperti engkau ini memang tiada gunanya hidup. Mempunyai cita-cita apa lagi! Baru
berniat hendak menuntut balas saja masih ragu-ragu dan berlambat-lambatan. Heh-heh, Kim-mo Taisu, ingatlah.
Sejak dahulu apakah artinya hidupmu? Kau mengaku sebagai seorang pendekar, sejak kecil engkau mengejar ilmu.
Setelah kini menjadi orang pandai, kau hanya menyembunyikan diri, menjadi korban perasaanmu sendiri. apakah
engkau lupa bagaimana kewajiban seorang satria, seorang pendekar? Berbakti kepada negara tak pernah! Semenjak
muda hanya menjadi korban perasaan dan nafsu, patah hati dan bermain dengan wanita. Ha-ha-ha! Manusia hidup
menanti mati, selagi masih hidup tidak mengisi hidup dengan perbuatan-perbuatan berarti, untuk apa hidup lebih
lama lagi? Hanya memenuhi dunia belaka!"



Pucat wajah Kwee Seng. Melihat ini, Eng Eng memegang lengan ayahnya dan dengan kedua pipi basah air mata ia
berkata kepada kakek itu, "Kong-kong (kakek), mengapa kau terus mengganggu Ayah? Kau tahu betapa hancur hati
Ayah karena kematian ibu, akan tetapi engkau malah terus mengganggunya. Kong-kong, harap kau pergi meninggalkan
kami!"



"Ha-ha-ha, Eng Eng! Ibumulah wanita yang patut dikasihani. Ibumu adalah keponakanku dan keluarga ibumu
seluruhnya habis musnah. Bahkan ibumu sendiri menjadi korban keganasan musuh. Akan tetapi Ibumu tertipu oleh
laki-laki yang kini menjadi ayahmu ini, yang sama sekali tidak dapat membela nama baiknya. Ibumu adalah seorang
berdarah Kerajaan Tang yang jaya!"



"Kong Lo Sengjin!" Kim-mo Taisu membentak marah. "Pergilah! Bukankah sudah kujanjikan bahwa aku akan mencari
musuh-musuh keluarga isteriku dan takkan berhenti sebelum membasmi mereka? Pergilah, aku takkan melanggar
janji. Mengapa kau masih datang untuk menyakiti hati kami Ayah dan Anak?"



Kong Lo Sengjin tertawa bergelak dan tiba-tiba pada saat itu terdengar suara melengking tinggi. Lengking tinggi
yang aneh dan mirip orang tertawa, akan tetapi juga seperti suara tangisan. Bukan seperti suara seorang
manusia, patutnya lolong srigala, akan tetapi suara itu mengandung daya yang luar biasa. Tubuh Eng Eng
menggigil. Kim-mo Taisu cepat memegang pundak puterinya dan mengerahkan sin-kang untuk memperkuat daya tahan
puterinya. Kong Lo Sengjin tampak kaget dan berdiri di atas sepasang tongkatnya dengan kepala dimiringkan,
wajahnya tegang.



Suara melengking itu terhenti, dan terganti suara orang ketawa terkekeh-kekeh. Kim-mo Taisu cepat mendorong
tubuh anaknya sambil berbisik, "Bersembunyilah di sana!" Eng Eng kaget dan mentaati permintaan ayahnya, ia lari
bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintai. Dilihatnya betapa ayahnya berdiri tenang akan tetapi
keningnya berkerut, kedua kakinya terpentang lebar dan kedua tangannya bersedekap, matanya mengerling ke arah
datangnya suara ketawa. Adapun Kong Lo Sengjin juga kelihatan tegang. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat
mengukur kelihaian orang yang akan muncul ini dari suaranya saja. Lengking macam itu hanya dapat dikeluarkan
oleh orang yang amat tinggi ilmunya dan karena mereka belum tahu siapa yang datang, kawan atau lawan, sambil
menduga-duga mereka menanti dengan hati tegang.



"Heh-heh-heh-heh, Kong Lo Sengjin kakek buntung, hayo berikan kepadaku suling emas itu...!" Terdengar suara
yang seakan-akan bergema dan seperti diucapkan dari tempat amat jauh.



Kong Lo Sengjin kaget, akan tetapi untuk menutupi kekagetan hatinya ia tertawa. Sambil mengerahkan khikangnya
ia pun berseru nyaring, "Tak peduli siluman atau manusia, siapa takut kepadamu? Keluarlah, jangan main sembunyi
dan menggertak seperti anak kecil!"



Baru saja ucapan Kong Lo Sengjin ini terhenti, terdengar suara ketawa dan tiba-tiba muncul di situ seorang
kakek cebol sekali. Bentuk tubuhnya seperti kanak-kanak belasan tahun, akan tetapi kepalanya besar dengan
rambut riap-riapan dan cambang-bauk menutupi mulut dan dagu. Kakinya telanjang tak bersepatu, pakaiannya
sederhana dan pada pundaknya hinggap seekor burung hantu yang matanya seperti mata harimau, berwarna merah,
sedangkan paruhnya runcing kuat seperti emas warnanya. Baik Kong Lo Sengjin maupun Kim-mo Taisu tidak melihat
bagaimana kakek aneh ini datang, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa tingkat ilmu kepandaian kakek cebol ini
amatlah tingginya.



Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Ia segera mengenal kakek cebol ini yang bukan lain adalah Bu Tek Lojin yang
pernah ia jumpai di waktu ia berkelana sampai di Khitan! Akan tetapi Kong Lo Sengjin tidak mengenalnya, bahkan
belum pernah mendengar tentang seorang tokoh kang-ouw seperti kakek cebol ini. Maka ia hanya dapat memandang
dengan heran dan bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan kakek cebol ini dan mengapa datang-datang menuduhnya
mengambil suling emas! Kalau tadi Bu Tek Lojin, menegur Kong Lo Sengjin, kini setelah melihat Kim-mo Taisu ia
tertawa bergelak dan menudingkan telunjuknya kepada Kim-mo Taisu sambil memegangi jenggotnya yang panjang,
"Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Apakah kau sudah sembuh dari penyakit gilamu? Apakah kau sekarang bukan jembel lagi,
Kim-mo Taisu?"



Kim-mo Taisu menjura dan menjawab, "Locianpwe salah duga. Dahulu itu saya waras dan sekarang inilah saya
benar-benar gila."



"Huah-hah-hah! Betul...., betul sekali....! Eh, bukankah kau terkenal sekali dengan permainanmu sepasang
senjata, kipas dan suling? Aha? Kalau begitu tentu kakek buntung ini merampas suling emas untuk diberikan
kepadamu!"



Kim-mo Taisu tak sempat menjawab karena ia merasa terheran-heran. Adalah Kong Lo Sengjin yang dibiarkan dan
seakan-akan tidak dipedulikan itu, tak dapat menahan lagi kemendongkolan hatinya. Ia menghentakkan tongkat
kirinya ke atas batu sambil berteriak, "Tua bangka cebol! Apakah otakmu tidak miring? Kau datang-datang
menuntut kembalinya suling emas dariku? Hemmm, kalau suling emas berada padaku, apa kaukira aku masih tinggal
di tempat ini?"



"Kong Lo Sengjin! Dahulu ketika engkau masih menjadi Sin-jiu Couw Pa Ong, memang kau sudah terkenal jahat. Kini
engkau masih sama saja! Tiada hentinya mengumbar nafsu, haus akan kedudukan dan kemuliaan. Siapa tidak tahu
bahwa engkau telah membunuh sastrawan Ciu Bun? Nah, suling emas berada di tangannya, kalau dia terbunuh olehmu,
bukankah itu berarti sulingnya berada di tanganmu? Hayo kembalikan kepadaku kalau kau masih ingin hidup
beberapa tahun lagi!"



"Sombong!" Kembali Kong Lo Sengjin membanting ujung tongkatnya, "Kau berani bicara macam ini di depanku?"



"Ha-ha-ha-ha, mengapa tidak berani? Macammu ini apa sih? Pangeran atau Raja Muda yang sudah dipensiun! Pelarian
yang tiada harganya! Pecundang yang sudah berkali-kali kalah dan keok dalam memperebutkan kerajaan. Kau mau
tahu siapa aku? Namaku Bu Tek Lojin, orang tua tiada taranya! Hayo berikan kepadaku suling emas!"



"Orang gila! Suling emas tidak ada padaku!" jawab Kong Lo Sengjin dengan sebal dan marah.



"Ho-ho-ha-ha! Orang lain boleh kau bohongi, akan tetapi aku tidak! Aku tahu bahwa engkaulah orangnya yang
membunuh Sastrawan Ciu Bun."



"Betul aku membunuhnya. Siapa takut mengaku? Akan tetapi suling emas tidak ada padaku, juga tidak ada padanya."



"Wah-wah engkau bohong! Menjual kentut busuk!" Bu Tek Lojin mencak-mencak dan marah.



Kim-mo Taisu yang sudah tahu bahwa kakek cebol itu amat sakti, akan tetapi juga amat aneh wataknya, segera
berkata, "Bu Tek Lojin, aku cukup mengenal watak Kong Lo Sengjin. Dia tidak pernah mau menyangkal perbuatannya,
kalau dia mengambil suling emas, tentu dia akan mengaku."



"Ah, kalian bersekongkol! Mungkin tua bangka ini memberikan suling itu kepadamu. Hayo kalian lekas keluarkan
suling itu sebelum aku habis sabar dan maksa..."



"Setan keparat! Siapa takut padamu?" Tiba-tiba Kong Lo Sengjin sudah menyambar datang, tongkat kirinya terayun
mengemplang kepala kakek cebol itu. Hebat serangan ini, mendatangkan angin keras. Kim-mo Taisu hendak mencegah,
tapi tidak keburu.



Namun kakek cebol itu memang amat tinggi tingkat kepandaiannya. Sekali tubuhnya menggelinding, tongkat itu
menyambar angin dan tahu-tahu perut Kong Lo Sengjin telah diserangnya dengan serudukan kepalanya yang besar!



"Celaka...!" Kong Lo Sengjin berseru kaget, cepat mengerahkan tenaga menekan tongkat dan tubuhnya mencelat ke
atas. Ia berjungkir balik dan dapat turun kembali ke atas tanah, akan tetapi mukanya pucat sekali dan napasnya
terengah, perutnya terasa panas biarpun hanya terkena sambaran hawa serangan yang keluar dari kepala kakek
tadi. Ia tahu betul bahwa andaikata ia tadi kurang cepat dan perutnya sempat dibentur kepala Si Cebol, tentu
nyawanya takkan tertolong lagi!



"Ho-ho-ha-ha! Kong Lo Sengjin kiranya bukan apa-apa, hanya namanya saja yang besar. Hayo kalian maju berdua!"
Setelah berkata demikian, kakek cebol itu sudah menerjang Kim-mo Taisu yang terdekat. Kedua tangannya
melancarkan serangan dengan pengerahan tenaga sakti sehingga sebelum kepalan tiba, angin pukulannya sudah
terasa, amat hebatnya.



Kim-mo Taisu tidak bermusuhan dengan kakek cebol ini, akan tetapi karena diserang, terpaksa ia melayani. Pula,
ia tahu bahwa Kong Lo Sengjin pasti tidak mengambil suling emas seperti yang dituduhkan, maka dalam hal ini
kalau terjadi pertempuran, ia harus membela pihak yang tidak bersalah. Melihat datangnya pukulan yang amat
ampuh, Kim-mo Taisu yang merasa sudah kuat sekarang hawa saktinya, sengaja menangkis sambil mengerahkan
tenaganya ke arah tangan.



"Dukkkk!!!" Dua tangan yang penuh terisi tenaga sakti itu bertemu. Kuda-kuda kaki Kim-mo Taisu tergempur
sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi tubuh kakek cebol itu melayang bagaikan sebuah
layangan putus talinya. Namun jangan disangka bahwa kakek ini terlempar karena kalah tenaga. Sama sekali bukan.
Namun kakek sakti ini jauh lebih cerdik dan lebih berpengalaman daripada Kim-mo Taisu. Melihat Kim-mo Taisu
berani menangkis dan menghadapi pukulannya secara keras lawan keras, kakek ini sudah menduga bahwa Kim-mo Taisu
memiliki tenaga sakti yang ampuh pula. Apalagi dahulu ia pernah pula melihat sepak terjang Kim-mo Taisu. Maka
ia mempergunakan kecerdikannya. Di samping menggunakan tangkisan untuk mengadu tenaga, ia pun meminjam tenaga
gempuran itu untuk membuat tubuhnya melayang. Melayang bukan sekedar melayang, melainkan melayang ke arah...
Kong Lo Sengjin yang dipukulnya selagi tubuhnya melayang itu!



Kong Lo Sengjin terkejut. Akan tetapi ia pun seorang yang sakti dan berpengalaman. Maklum bahwa pukulan dari
udara ini amat berbahaya, tidak kalah bahayanya oleh serudukan kepalanya ke perut tadi, kakek lumpuh ini lalu
mengangkat tongkat kanannya dan menyapu tubuh kakek cebol itu dengan tongkat sambil mengerahkan tenaga.



"Aiiihhh!" Si Kakek Cebol berseru dan tubuhnya yang masih melayang di udara itu tiba-tiba dapat mengelak dan
seperti seekor burung saja tubuhnya sudah menyambar turun menghantam tubuh Kong Lo Sengjin bagian kiri. Tentu
saja hal ini membuat Kong Lo Sengjin menjadi sibuk sekali. Kedua kakinya sudah lumpuh dan diganti dengan dua
tongkat yang di pegangnya. Kini tongkat kanannya masih terangkat untuk menyerang tadi sehingga keadaannya
seakan-akan seperti orang menendang dengan kaki kanan. Maka kini diserang bagian tubuh kiri, ia tentu saja
menjadi repot. Namun dasar ia lihai sekali. Secepat kilat tongkat kanannya menyambar turun dan memukul tanah.
Tenaga pukulan ini membuat tubuhnya dapat melompat sambil menggerakkan tongkat kiri menangkis. Namun karena
agak terlambat dan kalah dulu, tangkisannya kurang kuat sehingga begitu tongkatnya terbentur lengan Bu Tek
Lojin, tubuh kakek lumpuh ini mencelat dan terhuyung-huyung hampir roboh terguling.



"Hua-ha-ha-ha, bagus..., bagus....!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak, tertawa-tawa dan menepuk-nepuk kedua pahanya
dengan girang sekali, sikapnya jelas mengejek Si Kakek Lumpuh. Kemudian tiba-tiba ia sudah meloncat lagi
menyerang Kim-mo Taisu yang sudah sempat memperbaiki kedudukannya. Serangan ini merupakan serangan jurus yang
amat aneh dan cepat, kelihatannya kedua lengannya itu tidak mengandung tenaga ketika bergerak, seperti orang
menari saja, akan tetapi begitu dekat dengan tubuh lawan, terasa betapa gerakan itu mengandung tenaga pukulan
yang dahsyat. Ternyata kakek cebol ini menggunakan Ilmu Khong-in yang sakti, yaitu ilmu pukulan yang kelihatan
kosong, akan tetapi kekuatannya dapat merobohkan gunung, maka disebut Khong-in-liu-san.



Biarpun Kim-mo taisu juga seorang yang berilmu tinggi, namun belum pernah ia menghadapi ilmu seperti ini, maka
ia terjebak dan mengira Si Kakek Cebol hanya main-maian dan tidak menyerang sungguh-sungguh. Maka ia pun hanya
menggunakan kegesitannya mengelak dan siap pula menangkis kalau ada susulan pukulan yang berat. Sama sekali tak
pernah disangkanya bahwa begitu pukulan kakek itu mendekati tubuhnya, ia merasa dorongan yang hebat ke arah
dada. Cepat ia mengerahkan tenaga pula dan hendak menangkis akan tetapi tubuh lawannya tiba-tiba miring seperti
orang jatuh dan dari pinggirlah datangnya pukulan yang sesungguhnya! Kim-mo Taisu terkejut dan cepat meloncat,
namun tidak keburu atau kurang cepat, terdengar suara "bretttt!" dan ujung bajunya telah robek dan hancur kena
sambaran pukulan sakti Si Kakek Cebol.



"He-he-ha-ha!" Bu Tek Lojin bersorak-sorak dan bertepuk-tepuk tangan saking girangnya karena dalam dua jurus
berturut-turut ia telah memperoleh kemenangan terhadap kedua orang lawannya.



Mendongkolah hati Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin. Kakek cebol ini selain lihai juga cerdik, sengaja melayani
mereka berdua secara bergantian dan mengirim serangan-serangan yang tak terduga-duga. Maka kedua orang itu
sekarang melangkah maju dan mengurung Bu Tek Lojin yang masih terkekeh-kekeh dan enak-enak saja. Ia melihat
betapa sinar mata Kong Lo Sengjin mengeluarkan sinar maut, sedangkan Kim-mo Taisu sudah mengeluarkan sebuah
kipas. Sedangkan untuk mengganti pedang atau suling, Kim-mo Taisu mengeluarkan sebuah guci arak yang selalu
tergantung di punggungnya. Jangan dipandang remeh sepasang senjata yang menjadi lambang sastrawan pemabokan
ini, karena dengan sepasang senjata aneh ini, Kim-mo Taisu jarang menemui tanding! Akan tetapi Si Kakek Cebol
masih enak-enak tertawa ha-ha-he-he, malah kini mengelus-ngelus kepala burung hantu yang sejak tadi masih saja
duduk di pundaknya, seakan-akan tidak tahu menahu akan pertempuran itu.



"Bu Tek Lojin, kau memang lihai sekali. Akan tetapi di antara kita tidak ada permusuhan, mengapa engkau
memancing pertempuran?" Kim-mo Taisu masih menahan kemarahannya dan memberi peringatan. "Harap kau orang tua
suka pergi meninggalkan kami dan jangan melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya ini."



"Heh-heh, siapa bilang tidak ada permusuhan? Kalau kalian tidak mengembalikan suling emas, aku tidak mau sudah!
Eh, Kim-mo Taisu, apakah kau takut? Heh-heh-heh!"



Mendongkol rasa hati Kim-mo Taisu. Kakek cebol ini boleh jadi lihai sekali, akan tetapi sama sekali dia tidak
takut! "Siapa takut? Aku hanya mengingatkan kepadamu bahwa pertandingan ini tidak ada gunanya. Aku tidak tahu
menahu tentang suling emas yang kautanyakan, juga aku berani tanggung bahwa Kong Lo Sengjin tidak
menyimpannya..."



"Ah, mengapa banyak cakap? Kakek cebol ini terlalu sombong dan sudah bosan hidup!" Berkata demikian Kong Lo
Sengjin sudah menerjang maju lagi, kini selain menerjang hebat, juga mengarahkan tongkatnya pada bagian
berbahaya. Pendeknya, serangannya kini adalah serangan maut yang amat dahsyat. Kembali tubuh Si Kakek Cebol
meyelinap dan menyambar lewat tongkat, mendekati Kim-mo Taisu dan mengirim tendangan ke arah Kim-mo Taisu.
Terpaksa Kim-mo Taisu menggerakkan kipasnya dan dengan menutup kipas ia menyambut tendangan itu dengan sebuah
totokan. Namun Bu Tek Lojin yang lincah gerakannya itu telah menarik kembali kakinya, tertawa-tawa dan
tiba-tiba tubuhnya membalik dan kini ia ganti menerjang Kong Lo Sengjin dengan pukulan jarak jauh yang
dilakukan secara mendadak! Angin menyambar hebat dan biarpun kakek lumpuh ini sudah bersiap-siap menahan
serangan itu, tidak urung tubuhnya bergoyang-goyang seperti pohon besar tertiup angin.



Dengan rasa penasaran Kim-mo Taisu dan Kong Lo Sengjin lalu menerjang dari depan dan belakang. Kakek cebol itu
tubuhnya melesat ke sana ke mari, menyelinap di antara sinar senjata lawan, burung hantu itu mengeluarkan suara
keras dan menyambar-nyambar bergantian berusaha mematuk mata kedua orang yang mengeroyok majikannya!



Kong Lo Sengjin mengeluarkan suara menggereng seperti harimau. Hatinya geram dan penasaran sekali. Dia adalah
seorang tokoh yang terkenal, ditakuti di dunia kang-ouw dan dalam perang mempertahankan dan membela Dinasti
Tang, kakek ini hanya kalah kalau menghadapi pengeroyokan banyak tokoh sakti. Akan tetapi sekarang, menghadapi
seorang kakek cebol, masih dibantu Kim-mo Taisu yang dalam hal ilmu kepandaian belum tentu kalah olehnya, masih
tidak mampu merobohkan setelah menerjang terus sampai belasan jurus! Di lain pihak, Kim-mo Taisu juga merasa
penasaran. Akan tetapi pendekar ini tidaklah begitu bernafsu untuk membunuh kakek cebol ini karena sesungguhnya
di antara mereka tidaklah terdapat permusuhan. Pula, ia memang telah maklum bahwa kakek ini adalah seorang
sakti yang luar biasa.



Selagi tiga orang sakti ini sibuk bertanding, tak mau saling mengalah, tiba-tiba terdengar suara
tang-ting-tang-ting yang amat merdu. Suara itu tak salah lagi adalah suara musik yang-khim (semacam siter) yang
suaranya nyaring dan iramanya tenang, lagunya merdu. Akan tetapi pengaruhnya benar-benar luar biasa sekali.
Seketika tiga orang yang sedang bertempur dengan hati panas itu seperti disiram air dingin. Yang hebat adalah
kakek cebol itu. matanya terbelalak, berputar-putar, mukanya menoleh ke kanan kiri seperti orang ketakutan,
kemudian ia melompat dan melarikan diri, diikuti burung hantunya setelah berkata gemetar, "Dia datang....!
Benar-benar datang... Bu Kek Siansu...!"



Mendengar disebutnya nama ini, seketika wajah Kong Lo Sengjin berubah. Di dunia ini tidak ada orang yang ia
takuti, akan tetapi mendengar nama Bu Kek Siansu, ia merasa tidak enak. Sudah terlalu banyak ia mendengar akan
nama kakek yang dikabarkan setengah dewa ini dan ia merasa betapa sepak terjangnya selama ini merupakan modal
yang amat tidak menyenangkan untuk dibawa berjumpa dengan Bu Kek Siansu. Apalagi melihat betapa seorang
sedemikian lihainya seperti kakek cebol itu saja lari ketakutan, hatinya makin jerih dan tanpa berkata apa-apa
kakek lumpuh ini lalu melompat dan sebentar saja lenyap dari tempat itu.



Eng Eng yang melihat dua orang itu telah pergi meninggalkan ayahnya, lalu melompat keluar dari tempat
sembunyinya dan memeluk ayahnya. Kim-mo Taisu menyimpan kembali kipas dan guci araknya. "Benar-benar berbahaya
sekali..." katanya sambil menarik napas panjang, kemudian ia pun celingukan memandang ke kanan kiri, pandang
matanya mencari-cari.



Suara crang-cring-crang-cring itu masih terdengar terus, makin lama makin jelas, Eng Eng yang mendengar ini
membelalakkan matanya dan memegang lengan ayahnya makin erat. "Ayah, kau dengarkah itu? suara yang-khim di
tengah hutan! Siapa gerangan..."



"Sssstt, diamlah, Eng Eng. Agaknya kita mendapat anugerah dan kehormatan berjumpa dengan seorang suci. Mari
kita menyongsong beliau."



Dengan perasaan heran dan takut-takut Eng Eng mengikuti ayahnya menuju ke arah suara yang-khim, tanpa
melepaskan lengan ayahnya yang ia ganduli. Tak lama kemudian tibalah mereka di tempat terbuka di hutan itu dan
tampaklah seorang kakek duduk di atas batu, duduk bersila dan memangku sebuah yang-khim yang ditabuhnya dengan
cara memetik senar-senar itu dengan jari-jari tangan. Kakek itu duduk membelakangi mereka dan ketika mendengar
kakek itu kini mulai bernyanyi sambil asyik memetik yang-khim, Kim-mo Taisu tidak berani menegur, bahkan lalu
berdiri tegak bersedekap dan mendengarkan dengan teliti. Eng Eng juga ikut pula mendengarkan. Suara yang-khim
itu sungguh merdu dan sedap didengar, kini mengiringi suara kakek yang bernyanyi perlahan, suaranya lembut
seperti orang membaca doa.



"Bahagialah kita sesungguhnya,tidak membenci mereka yang membenci kita!

Bahagialah kita sesungguhnya,

bebas daripada penyakit ini di antara mereka yang sakit!

Bahagialah kita sesungguhnya,

bebas daripada tamak di antara mereka yang tamak!

Bahagialah kita sesungguhnya,

biarpun kita tidak memiliki apa-apa!

Kemenangan mengakibatkan kebencian,

karena yang dikalahkan takkan senang.

Bahagialah dia sesungguhnya,

yang telah dapat membuang kemenangan dan kekalahan!"




Kim-mo Taisu yang mendengarkan nyanyian ini gemetar tubuhnya. Eng Eng kurang mengerti akan isi nyanyian, maka
ia sebentar-sebentar memandang ayahnya, sebentar-sebentar menoleh ke arah kakek yang hanya tampak punggungnya
saja itu.



Kakek tua yang rambutnya sudah putih semua itu bernyanyi lagi, lagu dan iramanya berbeda daripada tadi, akan
tetapi suaranya masih tetap halus merdu seperti orang berdoa.



"Penyelesaian kebencian besar

yang masih meninggalkan sisa dendam

bagaimanakah dapat dianggap memuaskan?





Itulah sebabnya seorang bijaksana

memegang teguh perjanjian

tapi tidak menagih orang yang berhutang.





Maka seorang budiman memilih persetujuan,

seorang sesat menuntut dengan paksaan.





Jalan langit tidak memandang bulu

namun orang baik selalu dibantu!"




Kim-mo Taisu mengenal kata-kata yang dinyanyikan itu. Yang pertama adalah pelajaran dalam kitab Agama Buddha,
adapun yang terakhir adalah pelajaran dalam kitab Agama To. Yang membuat perasaan Kim-mo Taisu terguncang
adalah isi pelajaran itu yang seakan-akan menamparnya karena cocok sekali dengan keadaan dirinya sehingga ia
merasa tersindir.



Cepat ia melangkah maju, menjura dan berani mengeluarkan suara setelah suara yang-khim terhenti. "Terima kasih
atas nasihat-nasihat Siansu, dan selanjutnya saya mohon petunjuk!"



Hening sejenak, tubuh yang duduk di atas batu itu tidak bergerak. Kemudian batu yang diduduki itu terputar,
tubuh yang duduk di atasnya ikut pula terputar dan kakek itu telah berhadapan muka dengan Kim-mo Taisu. Melihat
ini Eng Eng menjadi heran sekali, heran dan kagum. Ia adalah seorang gadis yang semenjak kecil menerima
gemblengan ilmu silat tinggi, tahu pula akan tenaga-tenaga mujijat dalam tubuh manusia, sudah melatih diri
dengan sin-kang, lwee-kang, khi-kang, dan gin-kang. Akan tetapi melihat kakek yang bersila di atas batu besar
itu tanpa bergerak dapat memutar batu yang didudukinya, benar-benar ia merasa seperti berhadapan dengan ilmu
sihir!



Sejenak kakek tua renta yang wajahnya membayangkan ketenangan luar biasa dan sinar matanya yang lembut itu
seakan-akan telah waspada akan segala hal di sekelilingnya itu memandang Kim-mo Taisu, kemudian melirik ke arah
Eng Eng dan alis matanya yang putih bergerak-gerak. Kemudian terdengar ia menarik napas panjang dan berkata
perlahan,



"Segala sesuatupun terjadilah sesuai dengan kehendak-Mu! Namun kewajiban manusia untuk berusaha...." Setelah
berkat demikian, matanya bersinar wajahnya berseri ketika ia menatap muka Kim-mo Taisu dan dengan tenanga tapi
ramah menegur,



"Kwee-sicu (Orang Gagah she Kwee), puluhan tahun tak bertemu, kiranya Sicu telah dimatangkan oleh pengalaman
hidup. Aku mendengar pula bahwa Sicu telah menggunakan nama Kim-mo Taisu. Bagus sekali, dengan demikian berarti
Sicu menempatkan diri sebagai orang yang telah sadar daripada segala ikatan karma."



Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya dengan muka sedih, lalu berkata, "Siansu, dalam pertemuan kita pertama
dahulu, Siansu telah memberi petunjuk dan saya telah berhutang budi kepada Siansu. Sekarang pun, Siansu telah
menunjukkan jalan yang terang, akan tetapi terpaksa sekali saya harus mengecewakan hati Siansu dengan memilih
jalan gelap."



Muka yang tua akan tetapi masih tampak bercahaya dan segar berseri di balik keriput dan jenggot putih itu
tersenyum lebar. "Yang tidak mengharapkan takkan kecewa, Sicu. Aku tidak mengharapkan apa-apa maka tidak
mengenal rasa kecewa. Aku tidak merasa melepas budi maka tidak pernah menghutangkan. Jalan terang atau gelap
hanyalah tergantung anggapan si pemandang dan si pelaku. Sicu masih menganggapnya gelap, apakah gerangan yang
mendorong Sicu?"



Kim-mo Taisu menjawab, "Bu Kek Siansu yang mulia, sungguh saya malu untuk mengaku. Akan tetapi sesungguhnya
saya merasa sebagai seorang manusia yang selalu diperhamba nafsu, hidup yang lalu hanya semata untuk diperhamba
nafsu dan mementingkan diri pribadi. Oleh karena itulah, Siansu, sisa hidup saya akan saya isi dengn
pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai seorang yang telah mempelajari ilmu. Banyak orang pandai telah
mengkhianati negara, membantu pemberontak-pemberontak sehingga raja-raja jatuh bangun silih berganti.
Orang-orang pandai itulah yang mengacaukan negara, dosa mereka telah bertumpuk-tumpuk dan perlu dibasmi. Sudah
menjadi kewajiban saya untuk menghadapi mereka, karena bukankah tugas seorang gagah untuk membela negara?"



Bu Kek Siansu mengangguk-angguk dan tertawa. "Wi-bin-wi-kok, hiap-ci-tai-cia (Bekerja untuk rakyat dan negara,
itulah paling mulia)! Memang kebenaran ini bagi seorang gagah tak dapat disangkal pula, Sicu. Akan tetapi
rakyat yang mana? Negara yang mana? Semenjak Kerajaan Tang roboh, diganti Kerajaan Liang Muda, Tang Muda, Cin
Muda, dan sekarang Han Muda, apakah rakyatnya berganti? Raja-raja yang memegang tahta kerajaan semenjak
jatuhnya Kerajaan Tang, apakah juga berganti bangsa? Kemudian muncul Kerajaan-kerajaan Hou-han, Wu-yue,
Nan-cao, Shu, Nan-han, Min dan lain-lain, apakah rajanya dan rakyatnya juga bangsa lain? Siapakah yang benar di
antara orang-orang gagah? Mereka yang membela Tang lama, ataukah yang membela Hou-han, Wu-yue dan lain-lain?
Semua itu juga berdasarkan bekerja untuk rakyat dan raja. Kebetulan Sicu hendak membela Kerajaan Tang lama,
karena Sicu merasa sebagai warga Dinasti Tang, dan karena Sicu ada hubungan keluarga dengan Kerajaan Tang!"



Kim-mo Taisu terkejut. Seperti dibuka matanya, dan ia menjadi bingung. Perang dan permusuhan tiada hentinya,
kerajaan-kerajaan mucul, mereka semua berperang dengan dalih membela kebenaran. Siapakah yang sesungguhnya
benar?



"Siansu, mohon petunjuk...!" Kim-mo Taisu menjatuhkan diri berlutut dan Eng Eng ikut pula berlutut. Gadis ini
bingung dan sama sekali tidak mengerti jelas apa yang dibicarakan ayahnya dan kakek tua itu, hanya merasa tak
senang karena agaknya Si Kakek ini hendak mencela ayahnya yang hendak membela Kerajaan Tang yang sudah roboh.



Bu Kek Siansu tersenyum. Sekali lagi ia menatap tajam ke arah wajah Eng Eng dan Kim-mo Taisu, kemudian ia
menghela napas panjang. "Kewajiban manusia untuk berusaha namun Tuhan berkuasa menentukan. Kewajiban manusia
untuk memenuhi tugas tanpa melibatkan diri pribadi dalam tugas yang dilaksanakannya, ini berarti memenuhi
perintah Tuhan dengan setulus hati. Sekali melibatkan diri dalam tugas, berarti bekerja untuk nafsu dirinya dan
pekerjaan itu menjadi kotor ternoda nafsu-nafsu mementingkan diri pribadi. Manusia hidup di dunia sudah
mempunyai tugas kewajiban masing-masing. Penuhilah kewajibanmu dengan tulus ikhlas, lakukanlah apa yang menjadi
kewajibanmu masing-masing dan segala apa akan berjalan beres lancar dan baik. Jangan sekali-kali meninggalkan
tugasnya sendiri lalu hendak melakukan tugas orang lain, hal ini tentu akan menimbulkan kekacauan dan
kerusakan. Tugas guru ialah mengajar, tugas murid belajar, tugas tentara berperang membela negara, tugas orang
tua mendidik, tugas anak berbakti, tugas pemimpin ialah memimpin. Masing-masing mempunyai tempat sendiri dan
kalau masing-masing memenuhi tugasnya dengan baik dan sempurna tanpa ditunggangi nafsu mementingkan diri
pribadi, alangkah akan baiknya keadaan dunia ini. Akan tetapi sekali orang meninggalkan tugas sendiri
mencampuri tugas orang lain, rusaklah!"



Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan, Siansu."



"Sicu bukan tentara, jangan mencampuri urusan tentara! Kalau Sicu ingin melakukan tugas tentara, masuklah dulu
menjadi tentara. Setelah masuk sekalipun, bukan tugas Sicu untuk bertindak menurut kehendak sendiri karena
tugas seorang tentara mentaati perintah pimpinan! Kalau Sicu merasa menjadi pendekar silat, tugas Sicu sudah
jelas, menegakkan kebenaran dan keadilan, membela si lemah tertindas menentang si kuat yang jahat. Kalau Sicu
merasa diri sebagai seorang pendeta, tugas Sicu sudah jelas pula, memberi penerangan kepada yang gelap, memberi
tuntunan bagi mereka yang sesat. Karena itu, kalau boleh aku memberi nasihat, marilah Sicu ikut dengan saya,
memperdalam ilmu kebatinan agar dalam menjalankan tugas kelak, Sicu takkan sesat jalan. Pengertian tentang ini
amat penting karena banyak orang yang menyeleweng daripada tugas hidupnya tanpa ia sadari!"



Kim-mo Taisu mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Maaf, Siansu. Betapapun juga, saya harus melaksanakan
kehendak hati saya lebih dulu. Orang-orang seperti Ban-pi Lo-cia dan kawan-kawannya terlalu jahat untuk
dibiarkan saja merajalela. Setelah saya melaksanakan tugas ini, barulah saya akan menghadap Siansu."



Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala, menarik napas panjang. "Sicu banyak menderita, isteri dan semua
keluarga isteri terbunuh, kebencian berakar di hati, berdaun dendam, berbunga sakit hati dan berbuah saling
bunuh! Sekali lagi, Sicu, bawalah puterimu pergi dari tempat ini dan mari ikut dengan aku ke tempat terang..."



"Sekali lagi maaf, Siansu. Biarlah kelak saya akan mencari dan menghadap Siansu...."



Bu Kek Siansu berdiri, memanggul yang-khim, dan tertawa sambil menengadahkan muka ke atas. "Seorang manusia
kecil macam aku ini, apa artinya dibanding dengan kekuasaan Tuhan? Segala kehendak-Mu pasti terjadi, tiada
kekuasaan di dunia maupun akhirat yang mampu merubahnya...." Kakek itu lalu bernyanyi dan turun dari batu
karang, berjalan perlahan meninggalkan tempat itu. suara nyanyiannya terdengar makin perlahan dan akhirnya
lenyap. Setelah suara kakek itu tak terdengar lagi, barulah Kim-mo Taisu bangkit berdiri sambil menarik tangan
puterinya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya membayangkan penyesalan dan kekecewaan hebat. "Sayang sekali
bahwa aku tidak dapat menaati nasihatnya dan pergi ikut dengannya, Eng Eng...."



"Siapakah dia, Ayah?" "Dia seorang yang bahagia, Anakku, seorang yang sudah dapat membabaskan diri dari
segala-galanya, dia disebut orang Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa."



"Akan tetapi dia begitu peramah dan halus sikapnya, mengapa Kakek cebol dan Kong-kong yang sakti lari
ketakutan?"



Kim-mo Taisu tersenyum. "Bicara tentang kesaktian, Bu Kek Siansu sukar dicari keduanya, dan sukar diukur sampai
di mana tingkatnya. Akan tetapi yang membuat ia disegani semua tokoh bukan hanya kesaktiannya, terutama sekali
karena sikapnya. Ia tidak pernah melawan, tidak pernah mendendam, tidak pernah membenci, dan selalu mengulurkan
tangan kepada siapapun juga, tidak peduli orang baik maupun jahat. Inilah yang membuat Bu Kek Siansu menjadi
manusia sakti yang ditakuti. Orang-orang yang merasa telah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya,
segan dan malu berjumpa dengannya."



"Ayah, tadi Bu Kek Siansu menganjurkan Ayah supaya mengundurkan diri dan tidak melibatkan diri dengan urusan
perang. Bukankah begitu? Kalau Ayah menganggap dia seorang yang amat mulia dan sakti patut diturut nasihatnya,
mengapa Ayah masih melanjutkan niat Ayah mencari dan membasmi musuh?"



Kim-mo Taisu menarik napas panjang sebelum menjawab, lalu memegang lengan puterinya, diajak kembali ke pondok
sambil berkata, "Engkau tentu tahu akan semua penderitaan ibumu. Sesungguhnyalah, tadinya tidak sedikit pun
hatiku tertarik akan persoalan perang, akan tetapi mengingat betapa ibumu menderita, mengingat pula akan
harapan ibumu, maka aku harus membalaskan semua penderitaan itu kepada mereka yang menjadi sebabnya. Hanya
dengan jalan ini sajalah aku dapat membalas budi ibumu, Eng Eng, seperti telah kukatakan tadi sebelum datang
gangguan, aku akan pergi mencarikan tempat untuk Bu Song. Kau baik-baiklah di sini bersama Bu Song. Paling lama
dua tiga bulan aku tentu datang kembali."



Maka berangkatlah pendekar ini meninggalkan puncak Min-san. Niatnya hendak lebih dulu mengunjungi Shan-si
dimana kini telah berdiri Kerajaan Hou-han. Selain hendak menyelidiki tentang kerajaan baru ini dan tentang
kemungkinan masa depan yang baik bagi calon mantunya, juga ia hendak menemui Tok-siauw-kwi yang oleh Kong Lo
Sengjin di sebut-sebut sebagai seorang diantara musuh-musuh mereka! Dari Hou-han ia akan mengunjungi
kerajaan-kerajaan lain, mencarikan tempat untuk calon mantunya menempuh ujian dan mendapatkan kedudukan.



Sementara itu, Eng Eng yang ditinggal ayahnya dan kini sudah tahu bahwa dia ditunangkan dengan Bu Song, menanti
pulangnya pemuda itu dengan hati berdebar-debar. Ia merasa malu, bingung dan takut bertemu muka dengan pemuda
itu, pemuda yang biasanya menjadi kawan bermain sejak kecil, yang ia anggap seperti saudara atau kakak sendiri.
Kalau ia teringat betapa beberapa hari yang lalu Bu Song pernah menciumnya dan membuatnya tersipu-sipu sejenak
biarpun bukan hal aneh kalau Bu Song menciumnya, seperti sering dilakukannya sejak mereka masih kanak-kanak.
Dan Bu Song agaknya telah tahu akan perjodohan mereka ketika menciumnya kemarin dulu! Teringat akan ini,
gemetar tubuh Eng Eng dan membuatnya gelisah ketika menanti pulangnya Bu Song. Entah sudah berapa kali ia
meneliti bayangannya di cermin, akan tetapi selalu ia masih khawatir kalau-kalau ada sesuatu yang tidak beres
pada rambut atau pakaiannya.



Lu Sian duduk termenung di dalam kamarnya dalam istana Kerajaan Hou-han yang indah dan mewah. Keadaan mewah,
kehidupan yang serba cukup, berenang dalam lautan kemewahan dan kedudukan tinggi mulia yang diperoleh semenjak
ia tinggal di dalam istana ini, mulai membosankannya. Kini hatinya risau. Ternyata pemuasan nafsu-nafsunya
selama ini, memilih pangeran dan orang-orang muda sesuka hatinya, hanya merupakan kesenangan lahir yang
sementara saja. Ia tetap merasa kurang puas, tetap belum dapat merasakan kebahagiaan hidup. Kesenangan tak
pernah dapat puas, makin dikejar makin hauslah ia, dan akhirnya malah menimbulkan rasa muak dan jemu. Kebosanan
menggerogoti hatinya setiap malam sunyi kalau ia sudah tidak ada hasrat pula memilih teman.



Memang tiada kesenangan di dunia ini yang akan dapat mendatangkan bahagia. Kesenangan lahir hanya akan
dinikmati oleh tubuh dalam waktu singkat saja. Kesenangan lahir hanya indah apabila dikejar dan belum dapat
diperoleh. Namun, sekali berada di tangan, kesenangan itu bukan kesenangan lagi, menimbulkan bosan.



Lu Sian duduk menghadapi meja, memandang lilin yang bernyala tenang karena terlindung dari gangguan angin. Ia
merenung memikirkan keadaan dirinya. Dalam keadaan seperti itu, rindu yang hebat menggoda hatinya, rindu kepada
puteranya! Belasan tahun sudah ia meninggalkan puteranya. Kini usianya sudah empat puluh tahun lebih. Puteranya
tentu telah menjadi seorang pemuda dewasa. Alangkah rindu hatinya untuk dapat berjumpa dengan puteranya, dengan
Bu Song! Seringkali air matanya bertitik turun apabila ia mengenangkan puteranya dan peyesalan menusuk-nusuk
hatinya.



Di dalam istana ia selalu dilayani amat baik oleh Coa Kim Bwee, sahabat dan muridnya yang setia. Banyak sudah
ilmu ia turunkan kepada wanita selir raja itu dan sekarang Kim Bwee telah menjadi seorang wanita yang berilmu
tinggi pula. Namun Kim Bwee selalu bersikap hormat dan manis kepadanya.



"Aku harus pergi dari sini," keluhnya dalam hati. Ia sudah bosan! Ingin ia bebas lagi, terbang melayang tanpa
tujuan. Alangkah nikmatnya hidup bebas.



Kasihan Liu Lu Sian. Ia dipermainkan nafsunya sendiri. ia tidak tahu bahwa kebebasan liar seperti itupun hanya
indah dan nikmat dalam khayalan belaka. Kenyataannya tentu akan jauh berbeda dengan khayalan. Ia kini merasa
rindu kepada puteranya, ingin ia mencari puteranya dan hidup di samping puteranya. Ia kini maklum bahwa usia
tua akan menelannya, perlahan akan tetapi tentu ia akan diseret ke jurang kematian yang tak dapat dielakkan
lagi. Biarpun ia dapat mempertahankan wajah dan tubuhnya sehingga tetap kelihatan muda, namun ia tahu bahwa ia
tidak akan dapat mempertahankan usia mudanya.



"Bu Song...!" ia mengeluh lagi, teringat betapa kini namanya sudah menjadi buah bibir orang. Betapa sebagian
besar orang kang-ouw memmusuhinya. Dia tidak takut. Apalagi selama berada dalam istana ini, ia berada di tempat
yang aman dan kuat. Sukar bagi musuh-musuhnya untuk mencapainya. Jangankan di dalam istana dimana ia mempunyai
banyak teman dan pembela, bahkan andaikata ia berada di luar sekalipun ia tidak akan gentar menghadapi
musuh-musuhnya. Akan tetapi kalau ia teringat akan puteranya, mau tak mau ia menjadi menyesal sekali. Bagaimana
perasaan puteranya kalau tahu bahwa ibunya adalah seorang wanita yang dianggap iblis betina? Seorang wanita
gila laki-laki dan suka mencari musuh? Padahal ia dapat menduga bahwa Bu Song tentu terdidik sebagai seorang
laki-laki yang baik oleh ayahnya, Kam Si Ek! Ia teringat akan bekas suaminya ini, seorang laki-laki gagah
perkasa yang menjujung tinggi kebajikan dan kesetiaan. Seorang laki-laki yang anti seratus prosen akan
perbuatan maksiat!



Tiba-tiba Lu Sian tersentak kaget dan sadar daripada lamunannya yang menggores perasaan. Suara gaduh jauh di
luar menyatakan bahwa di sana terjadi pertempuran. Agaknya perusuh-perusuh itu datang lagi. Ia menarik napas
panajng. Sudah banyak ia membunuh orang-orang yang menyerang istana. Sesungguhnya sama sekali tidak ada
permusuhan antara dia dan penyerbu-penyerbu itu, karena mereka itu menyerbu dengan dasar permusuhan pengikut
kerajan-kerajaan. Sudah banyak ia membunuh mata-mata dari Cin, kemudian Kerajaan Han Muda. Banyak pula
pengikut-pengikut yang ia tahu adalah kaki tangan Kong Lo Sengjin, orang-orang yang menamakan dirinya pengikut
setia Kerajaan Tang. Ia tidak senang melakukan pembunuhan ini, karena sesungguhnya ia hanya turun tangan untuk
membela Kerajaan Hou-han. Padahal ia sama sekali tidak menempatkan dirinya sebagai pembela Kerajaan Hou-han.
Akan tetapi ia tinggal di istana Hou-han, menerima kebaikan dari raja sendiri berikut keluarganya. Bagaimana ia
dapat tinggal diam saja?



Suara di luar makin gaduh. Lu Sian tetap duduk tenang. Mudah-mudahan saja para pengawal akan dapat mengatasi
perusuh-perusuh itu. atau andaikata para pengawal itu kalah, di sana masih ada Coa Kim Bwee yang ia tahu
memiliki kepandaian tinggi. Ia mengharap agar malam ini ia tidak terganggu, tidak usah turun tangan menghadapi
perusuh yang hendak mengacau istana Hou-han.



Sebetulnya, baginya sendiri, ia tidak peduli aka keselamatan Raja Hou-han sekeluarga. Akan tetapi, ia ingat aka
kebaikan Coa Kim Bwee dan karenanya merasa tidak enak hati kalau tidak membantu. Maka biarpun suara gaduh itu
jelas membayangkan betapa para pengawal agaknya kewalahan menghadapi perusuh yang datang, ia tidak ambil peduli
dan tetap tenang-tenang saja di dalam kamarnya. Akan tetapi kini ia tidak dapat melanjutkan lamunannya seperti
tadi lagi.



Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Coa Kim Bwee masuk terhuyung-huyung, rambutnya riap-riapan,
mukanya pucat dan kakinya terpincang-pincang. "Cici... tolonglah dia amat lihai...!" katanya terengah-engah.



Lu Sian mengerutkan keningnya. Dari cermin di sudut ia dapat melihat betapa Kim Bwee terluka kakinya, berdarah
paha kirinya. Melihat rambut Kim Bwee yang awut-awutan itu, ia tahu bahwa selir raja ini telah mempergunakan
ilmu mainkan rambut yang sudah lihai. Akan tetapi kalau sampai kalah padahal terang bahwa selir ini dibantu
para pengawal yang cukup kuat pula, hal ini membuktikan betapa lihainya lawan yang datang menyerbu. Ia menjadi
marah. Bukan marah karena musuh menyerbu istana dan melukai Kim Bwee melainkan marah karena penyerbuan musuh
itu mengganggunya dari lamunan. Tanpa menjawab tubuhnya berkelebat keluar dari kamarnya setelah menyambar
pedang dan menyelipkan pedang di punggung. Dengan ilmunya yang hebat, sebentar saja Lu Sian tiba di tempat
pertempuran. Ia mengira bahwa yang datang tentulah musuh dalam jumlah banyak. Akan tetapi alangkah kaget dan
herannya ketika ia melihat bahwa di tempat pertempuran itu, para pengawal mengeroyok seorang lawan saja! Lawan
itu seorang laki-laki bertubuh sedang, wajahnya tidak begitu jelas karena gerakannya sangat gesit dan keadaan
di situ pun tidak terang, hanya remang-remang. Akan tetapi melihat laki-laki itu menghadapi lawan hanya
mempergunakan sebatang kipas yang kadang-kadang terbuka kadang-kadang tertutup, hati Lu Sian berdebar keras.
Mungkinkah? Mungkinkah orang mati dapat hidup kembali? Mungkinkah orang terjungkal ke dalam jurang yang tak
tampak dasarnya tidak mati? Mungkinkah Kwee Seng hidup kembali? Senjata kipas sehebat itu hanya Kwee Seng
seorang yang dapat memainkannya, dan bentuk tubuhnya pun ia dapat mengenal.



Karena penasaran, ia melompat dekat. Beberapa orang pengawal yang melihat munculnya Lu Sian, menjadi girang dan
cepat berseru, "Minggir! Sian-toanio sudah tiba!"



Mendengar seruan ini, para pengawal yang jumlahnya dua puluh orang lebih dan ramai-ramai mengeroyok seorang
laki-laki berpakaian putih itu, mundur dengan girang. Sudah terlalu banyak teman mereka terluka oleh pemegang
kipas yang lihai ini dan mereka tadi pun mengeroyok dari jarak jauh saja karena gentar. Cepat mereka
mengundurkan diri, memberi jalan kepada Lu Sian yang cepat melangkah maju.



Mereka berdiri berhadapan, tak bergerak seperti arca, saling pandang dengan sinar mata penuh perasaan bercampur
aduk. Karena jarak antara mereka kini hanya empat meter dan kebetulan sinar obor dan lampu terarah ke muka
mereka, Lu Sian dapat mengenal laki-laki ini. Memang Kwee Seng! Sudah agak tampak tua, akan tetapi masih sama
dengan dahulu! Malah lebih matang dan sinar matanya langsung menembus hati. Kwee Seng? Terdapat dorongan di
hati Lu Sian untuk lari menubruk dan memeluknya! Begitu berhadapan, terjadi keanehan di dalam hati Lu Sian.
Seakan-akan seorang yang sudah lama merantau jauh dan merindukan kampung halaman kini bertemu dengan sahabat
baik sekampung halaman. Seakan-akan ia menemukan sesuatu yang sudah lama terhilang dari dalam hatinya. Terasa
kegembiraan mendalam yang belum pernah ia rasai.



Di lain pihak, Kim-mo Taisu bengong terlongong karena terheran-heran. Benarkah wanita jelita yang berdiri
dengan sikap penuh wibawa di depannya ini adalah Liu Lu Sian, gadis lincah jenaka dan yang pernah menawan
hatinya kemudian menghancurkan hatinya itu? Memang ia sudah mengharapkan bertemu dengan Lu Sian di dalam istana
ini karena ia sudah mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa Tok-siauw-kwi adalah Lu Sian. Akan tetapi kalau benar
wanita ini Lu Sian, mengapa masih begini muda dan sama sekali tidak berubah sejak hampir dua puluh tahun yang
lalu? Kalau wanita ini Lu Sian, tentu sudah berusia empat puluh tahun, akan tetapi mengapa masih tampak seperti
baru dua puluh tahun usianya?



Para pengawal merasa heran pula karena kedua orang sakti itu tidak lekas-lekas bertanding mengadu ilmu,
melainkan hanya berdiri saling pandang tanap bergerak. Ada di antara mereka mengira bahwa kedua orang ini tentu
sedang mengadu ilmu melalui pandangan mata!



Tiba-tiba tubuh Lu Sian melesat cepat sekali menyambar ke arah Kim-mo Taisu, akan tetapi mereka tidak saling
serang, dan bagaikan seekor burung terbang, tubuh Lu Sian mencelat lagi ke atas langsung melompat ke atas
genteng istana dan di lain detik tubuh musuh aneh itupun melesat lenyap mengejar. Karena cepatnya gerakan
mereka berdua, para pengawal itu tidak tahu bahwa tadi Lu Sian membisikkan kata-kata kepada Kim-mo Taisu.
Memang hal ini disengaja oleh Lu Sian. Dengan kepandaiannya, ia tadi berbisik ketika tubuhnya menyambar,
"Kwee-twako, kau ikutlah aku!"



Kedatangan Kwee Seng atau Kim-mo Taisu ke istana ini memang dengan niat menjumpai Tok-siauw-kwi yang menurut
penuturan Kong Lo Sengjin adalah seorang di antara musuh-musuh isterinya, bahkan yang mengirim pembunuh itu ke
Min-san. Maka kini mendengar bisikan Lu Sian, ia cepat mengejar. Memang lebih baik lagi kalau ia dapat bicara
dengan wanita itu tanpa terganggu orang lain. Namun ia merasa kaget dan kagum juga melihat gerakan Lu Sian.
Bukan main hebatnya ilmu meringankan tubuh itu! sama sekali tidak boleh dikatakan kalah atau di bawah
tingkatnya. Tentu saja ia tidak tahu bahwa Lu Sian sekarang bukanlah Lu Sian dua puluh tahun lebih yang lalu!
Lu Sian sekarang telah mewarisi ilmu gin-kang yang tiada keduanya dari Hui-kiam-eng Tan Hui.



Agaknya Lu Sian juga ingin memamerkan kepandaiannya, maka wanita ini menggunakan ilmu lari cepat sambil
mengerahkan ilmunya. Larinya cepat sekali seperti terbang. Namun ia sama sekali tidak merasa heran melihat
kenyataan bahwa Kim-mo Taisu dapat mengejar dan mengimbangi kecepatannya. Memang ia sudah tahu betul bahwa Kwee
Seng memiliki kepandaian yang amat tinggi. Hanya ia tidak tahu bahwa untuk dapat mengimbangi kecepatannya,
Kim-mo Taisu juga telah mempergunakan seluruh kepandaiannya!



Karena kecepatan yang luar biasa ini, sebentar mereka telah berada jauh di luar kota raja, di luar sebuah hutan
yang sunyi dan jauh dari perkampungan. Kembali mereka berdiri saling berhadapan, di bawah sinar bulan yang
muncul lewat tengah malam. Berdiri saling pandang tanpa bergerak maupun bicara sampai lama sekali.



"Kwee-twako...!" Akhirnya Lu Sian mengeluarkan suara, setengah menjerit setengah mengeluh, lari menubruk dan
merangkul leher Kim-mo Taisu lalu menangis terisak-isak di dadanya. Semua rindu dendamnya akan kebahagiaan,
rindu terhadap puteranya, semua ia tumpahkan di dada laki-laki itu. Semua kekecewaan hidupnya selama ini, ia
carikan hiburan di atas dada yang lapang itu. semua rasa kasih sayang yang bebas daripada nafsu, ia rasakan
kini bergelora dalam hatinya terhadap laki-laki ini. Selama ini, ia menganggap semua laki-laki sebagai hiburan
dan permainannya sehingga ia merasa muak dan bosan. Ia haus dan rindu akan kasih sayang mulus dan murni di
samping perlindungan seorang pria. Dan kini ia sadar bahwa andaikata dahulu ia menjadi isteri Kwee Seng,
kiranya hidupnya tidak akan serusak sekarang ini. Dan kini ia telah bertemu Kwee Seng yang disangkanya telah
mati. Belum terlambatkah dia? Masih terbukakah pintu kebahagiaan baginya, setelah terombang-ambing gelombang
permainan nafsu selama ini? Sudah terlalu banyak dosa-dosanya, penyelewengannya. Kalau saja Kwee Seng tahu akan
semua sepak terjangnya, tentu... tentu...! Tiba-tiba ia sadar betapa hanya seketika tadi saja jari-jari tangan
Kwee Seng membelai rambutnya, kini laki-laki itu sama sekali tidak membelai rambutnya, bahkan urat-urat tubuh
itu menegang, kaku dan dingin.



Tiba-tiba teringatlah Lu Sian bahwa kedatangan Kwee Seng malam hari itu adalah untuk mengacau istana. Padahal
semua orang tahu bahwa Tok-siauw-kwi berada di dalam istana itu! jadi kedatangan Kwee Seng adalah untuk
memusuhinya! Seketika ia merenggutkan diri meloncat ke belakang, lalu bertanya dengan suara ketus.



"Kwee-twako! Dengan maksud apakah kau menyerbu istana Hou-han?"



Sikap dan pandang mata Kim-mo Taisu dingin ketika menjawab, "Dengan maksud mencarimu, Tok-siauw-kwi."



"Kwee-twako! Kau sudah tahu bahwa Tok-siauw-kwi adalah aku. Apakah kau juga seperti mereka, memusuhi aku dan
menyebutku Tok-siauw-kwi? lupakah engkau bahwa aku ini Liu Lu Sian?"



Sejenak jantung Kim-mo Taisu terguncang keras. Memang inilah Lu Sian, satu-satunya wanita yang pernah merampas
cinta kasihnya secara mendalam! Akan tetapi ia mengeraskan hati dan dengan suara dingin ia menjawab, "Tidak ada
Lu Sian lagi di dunia ini, dia sudah mati...."



"Kwee Seng...!!"



"Juga Kwee Seng sudah mati, yang ada sekarang Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."



Watak Lu Sian memang keras. Biarpun ia sudah bukan orang muda lagi, namun kekerasan wataknya tak pernah hilang.
Kini pandang matanya tajam, alisnya berdiri. Dibandingkan dengan Kwee Seng, ia dahulu bukan apa-apanya dan sama
sekali bukan tandingannya, akan tetapi sekarang ia tidak takut. Bahkan ada keinginan hatinya untuk menguji
kepandaiannya yang telah maju dengan hebat selama dua puluh tahun lebih ini.



"Hemmm, begitukah? Jadi selama ini engkau mendendam kepadaku karena peristiwa dua puluh tahun yang lalu itu?
Dan sekarang engkau mencariku untuk membikin beres perhitungan lama?"



"Sudah kukatakan, tidak ada lagi urusan dahulu. Yang ada hanya urusan antara Tok-siauw-kwi dan Kim-mo Taisu."



"Bagus!" kata Lu Sian dengan suara mendongkol. "Aku Tok-siauw-kwi, selamanya baru sekarang ini bertemu dengan
Kim-mo Taisu. Apakah kehendakmu mencariku?"



"Tok-siauw-kwi, apakah engkau bersekutu dengan musuh-musuh keluarga Kerajaan Tang lama?" "Siapakah mereka?" "Di
antaranya ada orang-orang Khitan, juga Ma Thai Kun, Pouw Kee Lui, dan terutama sekali Ban-pi Lo-cia."



"Cih! Mengapa aku harus bersekutu dengan orang-orang macam itu? Kim-mo Taisu, tuduhanmu ini sama sekali tidak
masuk akal!"



"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau memusuhi Kong Lo Sengjin?" Lu Sian mengerutkan kening dan memandang tajam,
kemudian tersenyum lebar dan diam-diam Kim-mo Taisu terheran-heran melihat deretan gigi putih di balik bibir
merah itu. Benar-benar tidak ada perubahan sedikitpun juga pada diri Lu Sian, pikirnya. "Hik! Kakek lumpuh
menjemukan itu? Heh, Kim-mo Taisu, aku tidak tahu hubungan apa adanya antara engkau dengan kakek lumpuh itu,
dan aku tidak tahu pula mengapa engkau memeriksaku seperti seorang hakim memeriksa pesakitan. Akan tetapi
dengarlah baik-baik. Secara pribadi aku tidak mempunyai permusuhan dengan Kong Lo Sengjin si kakek lumpuh. Akan
tetapi karena aku tinggal di istana Hou-han dan dia datang menyerbu istana, tentu saja aku menghadapinya! Kalau
kakek lumpuh itu tidak kuat menghadapi aku lalu minta bantuanmu, benar-benar lucu dan tak tahu malu!"



"Tok-siauw-kwi, mengapa engkau mengirim seorang pembunuh ke Min-san untuk membunuh keponakan perempuan Kong Lo
Sengjin?" Kim-mo Taisu bertanya memancing.



Lu Sian bangkit kemarahannya. Ia membanting-banting kakinya ke tanah, dan diam-diam Kim-mo Taisu merasa
terharu. Benar-benar tidak ada perubahan pada diri Lu Sian. Kebiasaan membanting kaki kalau marah-marah pun
masih sama dengan dulu!



"Kim-mo Taisu! Apakah engkau ini seorang gila? Kalau aku memang menghendaki nyawa seseorang, perlu apa aku
menyuruh orang lain? Kalau aku ingin membunuh keponakan Kong Lo Sengjin, biarpun ada seratus orang keponakannya
itu, apa kau kira aku tidak bisa melakukannya sendiri? Entah macam apa siluman betina itu sehingga engkau
sampai bersusah payah mencari pembunuhnya dan menuduh aku pula."



"Siluman betina itu adalah isteriku..." "Ohhh...?!?" Mata Lu Sian terbelalak kaget dan sejenak ia hanya
memandang wajah Kim-mo Taisu yang suram muram itu. rasa terharu mengusap perasaan Lu Sian, kemudian rasa
gembira timbul, dan tak tertahankan lagi ia tertawa. Mula-mula tertawa lirih, terkekeh-kekeh sampai menutupkan
punggung tangan kanan di depan mulut sambil menundukkan muka, kemudian kakinya bergerak maju dan di lain saat
ia telah merangkul pinggang Kim-mo Taisu dan menyembunyikan muka di dadanya seperti tadi lagi. Hanya kalau tadi
ia menangis terisak-isak, kini ia tertawa terkekeh-kekeh, tubuhnya berguncang-guncang menahan ketawa.



Kim-mo Taisu berdiri tegak, mengerutkan keningnya. Ia amat mengkhawatirkan ini. Menghadapi lawan yang bagaimana
berat dan lihai pun ia tidak gentar. Akan tetapi menghadapi Lu Sian, melihat wajah yang masih cantik jelita,
pandang mata yang bersinar-sinar, mulut yang amat manis, mencium bau harum yang aneh dan khas dari tubuh wanita
ini, benar-benar merupakan hal yang amat berat baginya. Ia bukan seorang yang mudah tergila-gila kepada wanita,
akan tetapi tak disangkalnya pula bahwa hatinya lemah apabila berhadapan dengan Lu Sian, wanita yang pernah
merampas cinta kasihnya. Akan tetapi, ia teringat akan isterinya, maka ia mengeraskan hati dan meramkan mata.



"... ah, nasib kita sama... hi-hik, tidak bahagia dalam pernikahan..." Suara Lu Sian ini membuat Kim-mo Taisu
membuka matanya. Pada saat itu Lu Sian yang masih tertawa-tawa kecil mengangkat muka dan ternyata dari kedua
mata wanita itu bercucuran air mata. Lu Sian yang terdengar ketawa terkekeh-kekeh itu mengucurkan air mata
seperti orang menangis!



Mereka saling pandang, muka mereka berdekatan. Sedetik timbul hasrat dalam hati Kim-mo Taisu untuk mendekap
wajah yang pernah ia rindukan ini, untuk mencium kering air mata yang membasahi sepasang pipi itu. Akan tetapi
kembali kematian isterinya terbayang di depan mata. Air mata di kedua pipi Lu Sian seakan-akan berubah menjadi
merah terkena sinar bulan, semerah darah isterinya yang bercucuran. Dengan kasar ia lalu merenggut kedua pundak
Lu Sian, didorongnya menjauhi dirinya.



Seketika terhenti tawa atau tangis Lu Sian. Sinar matanya tajam dan dingin kembali. Lalu ia bertanya, sikapnya
menantang. "Kim-mo Taisu, andaikata benar aku yang menyuruh bunuh isterimu, habis kau mau apa?" Dengan suara
sama dinginnya Kim-mo Taisu menjawab, "Kau pun akan kubunuh!"



Lu Sian mencelat mundur lalu tertawa. Kim-mo Taisu bergidik. Benar-benar seperti setan kalau Lu Sian sudah
tertawa seperti itu. "Hi-hi-hi-hik! Kim-mo Taisu! Apakah engkau masih menganggap aku seperti Lu Sian dua puluh
tahun yang lalu, yang merengek-rengek minta kauajari ilmu silat?"



Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Tidak. Aku tahu bahwa engkau sekarang telah menjadi seorang yang berilmu
tinggi. Sudah banyak aku mendengar tentang Tok-siauw-kwi yang menggegerkan dunia persilatan. Akan tetapi aku
tidak takut."



"Aku pun tidak takut!" Lu Sian membentak, sambil mencabut pedangnya, pedang Toa-hong-kiam dan sekali tubunya
berkelebat ia telah mengirim serangan kilat ke arah leher Kim-mo Taisu.



Cepat dan kuat sekali serangan ini, tak boleh dipandang ringan. Kim-mo Taisu cepat melompat ke kanan untuk
menghindari serangan kilat ini, sambil berkata, "Kalau kau yang menyuruh orang membunuh isteriku, baru aku akan
memusuhimu, Tok-siauw-kwi."



"Tidak peduli! Membunuh atau tidak, engkau harus menahan seranganku, jangan kira aku takut!" Lu Sian membentak,
kemarahannya sudah memuncak dan kembali pedangnya berkelebat. Demikian hebatnya gerakannya sehingga tubuhnya
lenyap terbungkus gulungan sinar pedangnya. Terdengar bunyi angin menderu dan gulungan pedang itu merupakan
segumpal awan yang melayang-layang.



Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah. Cepat ia pun mengeluarkan kipasnya, lalu bergerak mengimbangi
serangan Lu Sian. Ketika ia memperhatikan gerakan-gerakan Lu Sian, diam-diam ia terkejut dan kagum sekali.
Hebat memang kemajuan wanita ini, sedemikian hebatnya sehingga hampir menyusul dan melampauinya! Yang jelas,
dalam hal gin-kang, Lu Sian sudah tidak kalah olehnya, dan gerakan pedangnya luar biasa sekali.



Ia sudah mendengar akan sepak terjang Tok-siauw-kwi yang menggemparkan partai-partai besar karena perbuatannya
mencuri kitab-kitab pusaka. Kini menyaksikan gerakannya, ia maklum bahwa tidak percuma Lu Sian mencuri
kitab-kitab itu, tentu telah dipelajarinya dan digabungkannya dengan amat baik. Karena itu, Kim-mo Taisu lalu
mengerahkan tenaga dan mainkan Cap-jit-seng-kiam digabung dengan Lo-hai-san-hoat untuk menghadapi serangan
pedang Lu Sian yang dahsyat itu. gerakannya tenang dan kokoh kuat, tidak saja ia dapat membendung datangnya
serangan yang dahsyat seperti air bah itu, namun juga ia masih mendapat kesempatan untuk balas menyerang tidak
kalah dahsyatnya.



Lu Sian menjadi penasaran dan menjadi penasaran dan mengeluh di dalam hati. Banyak sudah ia menghadapi lawan
tangguh, akan tetapi baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Kim-mo Taisu benar-benar hebat sekali. Kwee Seng
yang dahulu itu ternyata masih tetap kuat, bahkan lebih lihai lagi. Pedangnya yang sukar menemui tanding itu
kini seakan-akan menghadapi tembok baja yang sukar ditembus. Bahkan ujung gagang kipas itu masih sempat
membagi-bagi totokan yang amat berbahaya.



Berjam-jam mereka bertanding dengan hebat. Kadang-kadang mereka bergerak cepat sehingga bayangan mereka menjadi
satu, sinar senjata mereka saling belit. Kadang-kadang gerakan mereka lambat dan dalam jurus-jurus ini mereka
bertanding mengandalkan tenaga dalam yang juga seimbang. Matahari pagi sudah muncul mengusir kabut pagi, dan
mereka masih terus bertanding seru. Keduanya sudah lelah. Keringat mulai membasahi muka dan leher. Namun belum
juga ada yang mengalah.



Tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara melengking tinggi, suaranya penuh getaran dan pada detik berikutnya,
rambutnya yang hitam panjang itu telah terlepas dari sanggulnya dan tahu-tahu telah menyambar ke arah Kim-mo
Taisu bagaikan sehelai jaring yang aneh! Kim-mo Taisu terkejut bukan main. Lengking tadi saja sudah mengandung
tenaga yang luar biasa. Itulah Ilmu Sakti Coan-im-I-hun-to (Suara Sakti Merampas Semangat), biarpun belum
sempurna benar namun sudah amat kuat dan suara itu saja sudah cukup merobohkan seorang lawan yang kurang kuat
sin-kangnya! Apalagi serangan rambut itu. hanya seorang yang sin-kangnya sudah luar biasa hebatnya saja mampu
mempergunakannya sekuat ini. Tadi ia melihat wanita cantik berambut panjang riap-riapan di istana juga
mempergunakan rambut melawannya, akan tetapi dibandingkan dengan penggunaan rambut oleh Lu Sian ini benar-benar
amat jauh bedanya. Karena ia tidak menyangka-nyangka bahwa Lu Sian akan menyerangnya secara ini, Kim-mo Taisu
menjadi agak bingung. Namun ia cepat mengerahkan tenaganya dan membuka kipas serta mengebut ke arah jaring
hitam itu. Buyarlah sebagian rambut yang menyerang, namun masih ada segumpal rambut yang berhasil melibat
pergelangan tangan kanan yang memegang kipas dan pada saat Kim-mo Taisu mengerahkan tenaga untuk melepaskan
diri, ujung pedang Toa-hong-kiam sudah menyambar ke arah tenggorokan!



Hebat bukan main serangkaian serangan Lu Sian ini, tidak saja cepat seperti kilat, dan sama sekali tidak
terduga-duga, juga mengandung tenaga dalam yang dahsyat. Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut dan maklum bahwa
nyawanya dalam bahaya maut. Namun sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak gentar dan cepat tangan kirinya
mencengkeram ke arah pedang lebih baik mempertaruhkan lengannya daripada membiarkan tenggorokannya tertusuk.
Akan tetapi pedang itu sudah lebih cepat gerakannya dan..."reettt" pedang itu menyambar ke kiri dan bukan
tenggorokannya yang terobek, melainkan leher bajunya! Kim-mo Taisu melompat ke belakang karena pada saat itu
gumpalan rambut yang membelit lengannya juga sudah terlepas dan terdengar Lu Sian tertawa lirih. "Hi-hi-hik!
Kim-mo Taisu apakah kau masih mau membunuhku?"



Panas hati Kim-mo Taisu. Memang dalam gebrakan terakhir tadi, ia telah menderita kekalahan. Akan tetapi
kekalahannya tadi hanya dapat terjadi karena ia terlena. Ia telah dikalahkan dan telah diampuni pula! Dengan
muka agak merah tapi suaranya tetap dingin ia menjawab, "Tok-siauw-kwi, kalau kau yang menyuruh bunuh isteriku,
kau tetap akan kubunuh!" Setelah berkata demikian, ia mengeluarkan guci arak dari punggung, menuangkan arak ke
dalam mulut dan menggelogoknya, kemudian ia melangkah maju.



"Hemm, kau masih belum mau mengaku kalah?"



"Sebelum kau bersumpah bahwa kau tidak menyuruh bunuh isteriku, aku akan menyerangmu terus dan tidak akan
mengaku kalah sebelum tewas di depan kakimu. Nah, kaujaga ini!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu menerjang maju,
gerakannya hebat sekali. Ia merasa penasaran dan juga malu bahwa dia tadi dapat dikalahkan oleh Liu Lu Sian,
maka kini pendekar ini mengerahkan seluruh tenaga dan mainkan semua kepandaiannya. Hebat bukan main,
gerakan-gerakannya kini setelah ia mainkan dua macam senjata. Kini guci arak itu ia mainkan dengan gerakan Ilmu
Pedang Pat-sian Kiam-hoat, sedangkan kipasnya tetap mainkan Lo-hai San-hoat. Dua macam senjata dan dua macam
ilmu silat ini dapat ia mainkan menjadi perpaduan yang amat serasi dan saling bantu, benar-benar amat hebat.
Inilah ilmu kepandaian inti dari Kim-mo Taisu sejak dua puluh tahun yang lalu. Hanya kini ilmunya ini jauh
lebih masak karena telah disempurnakan dengan ilmu-ilmu yang ia dapat di dalam Neraka Bumi.



Lu Sian juga merasa penasaran. Ia telah sengaja melepaskan laki-laki ini daripada bahaya maut. Mengapa masih
begini nekat? Akan tetapi, ia pun kini merasa terkejut menyaksikan kehebatan serangan lawannya. Cepat ia
menggerakkan pedang dan rambutnya menjaga diri dan balas menyerang, namun alangkah kagetnya ketika rambutnya
selalu terbang membalik karena kipas di tangan Kim-mo Taisu mengeluarkan kebutan yang luar biasa sekali.
Sedikit pun ia tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang lagi setelah Kim-mo Taisu menggerakkan kedua
senjatanya yang aneh. Betapapun ia berusaha dan mengeluarkan pelbagai ilmu silat termasuk ilmu tendangan dan
ilmu-ilmu lain dari kitab-kitab yang ia curi, tetap saja semua itu berantakan menghadapi perpaduan Pat-sian
Kiam-hoat dan Lo-hai san-hoat! Betapapun ia berusaha, tetap saja ia selalu harus mempertahankan diri daripada
menggelora datangnya. Dengan gemas Lu Sian lalu mengerahkan tenaga pada rambutnya, mengeluarkan pekik
melengking lagi seperti tadi, malah lebih hebat lagi sekarang, kemudian rambutnya menyambar menjadi puluhan
gumpal menuju ke arah semua jalan darah lawan.



"Bagus!" seru Kim-mo Taisu. Memang serangan pembalasan ini luar biasa sekali. Rambut yang halus tebal itu
terpecah menjadi banyak gumpalan dan setiap gumpalnya kini menotok jalan darah dengan kuat dan cepat!



Kim-mo Taisu juga mengeluarkan suara melengking panjang yang mengatasi lengking suara Lu Sian, kemudian
tubuhnya bergerak-gerak cepat dan kipasnya dikebutkan. Timbullah angin menderu-deru yang berpusing-pusing di
sekitar mereka sehingga gumpalan-gumpalan rambut Lu Sian menjadi kacau balau gerakannya, tersapu angin yang
kuat ini, bahkan ada yang membalik dan menyerang Lu Sian sendiri!



Lu Sian kaget dan marah sekali. Cepat ia menggerakkan pedangnya yang menyambar ke arah kipas yang
mengebut-ngebut keras itu, dengan maksud untuk merusak kipas yang ampuh dari lawan ini. Akan tetapi begitu
pedangnya menempel kipas, Kim-mo Taisu membuat gerakan memutar sehingga pedangnya ikut pula terputar-putar dan
akhirnya tanpa dapat dicegah pula, pedang itu terpaksa ia lepaskan karena kalau tidak, tangannya bisa terluka
hebat atau salah urat. Pedang terlepas dari tangan dan menancap ke atas tanah sedangkan kipas dan guci arak
sudah menyambar ke arah dada dan kepala! Lu Sian dapat menghindarkan totokan kipas, akan tetapi agaknya tidak
mungkin lagi menghindarkan hantaman guci arak yang menuju kepalanya, terpaksa ia meramkan mata menanti
kematian. Akan tetapi hantaman tak kunjung tiba!



Lu Sian membuka matanya dan melihat bahwa guci arak itu kini berada di depan mulut Kim-mo Taisu yang sedang
menenggaknya. Suara arak menggelogok memasuki kerongkongannya. Adapun pedangnya masih menancap di atas tanah
dan juga kipas lawannya menggeletak di dekat pedang. Muka Lu Sian menjadi merah sekali. Jelas bahwa dalam jurus
terakhir tadi, ia telah kalah. Pedangnya dirampas dan nyawanya terancam. Jelas pula bahwa Kim-mo Taisu sengaja
membebaskannya. Kekalahan dan pembebasan ini merupakan penghinaan yang memalukan bagi Lu Sian. Tak biasa ia
menelan kekalahan.



"Kim-mo Taisu jangan sombong! Aku belum kalah! Kita masih seri, baru satu-satu! Mari kita mencari keunggulan
tanpa mengandalkan senjata kalau kau berani!" Dengan mata berapi-api Lu Sian menyanggul rambutnya, sedangkan
Kim-mo Taisu sudah melempar guci araknya ke dekat pedang dan kipas, lalu tertawa mengejek.



"Ada ubi ada talas, ada budi ada balas! Tadi kau menghutangkan, kini aku membayar. Akan tetapi engkau hutang
nyawa isteriku, belum kau balas. Kali ini aku tidak akan mengampuni engkau lagi, Tok-siauw-kwi!"



Lu Sian mencibirkan bibirnya. "Siapa mengharapkan pengampunanmu? Kaukira pasti akan dapat menang? Sombong!
Kauterima ini!" Wanita itu menerjang maju dengan cepat, kedua tangannya terkepal dan pukulan-pukulannya
bertubi-tubi, sangat cepat namun mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa kuatnya.



Kim-mo Taisu cepat mengelak dan mengangkat lengan menangkis. Yang membuat pendekar ini diam-diam mengeluh
adalah bau harum yang makin hebat semerbak keluar dari tubuh dan rambut Lu Sian setelah wanita ini lelah dan
berpeluh. Keharuman ini yang selalu menggelitik hatinya, mengingatkannya bahwa yang ia hadapi sebagai musuh
sekarang ini adalah wanita satu-satunya yang pernah merampas cintanya. Selain keharuman yang khas ini, ia pun
harus mengakui bahwa ilmu kepandaian Lu Sian kini meningkat secara luar biasa sekali, sudah setingkat dan
seimbang dengannya. Kinipun dalam ilmu silat tangan kosong, ia sama sekali tidak boleh memandang rendah,
apalagi setelah merasa betapa dari kedua tangan Lu Sian keluar hawa yang amat panas dan kedua kepalan tangan
kecil itu mengeluarkan uap, seakan-akan menggenggam api! Ketika ia sengaja menangkis, tangan dan lengan wanita
itu benar-benar amat panas. Kim-mo Taisu terkejut dan cepat ia mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan
Kapas Sakti) yang ia mainkan dengan pengerahan tenaga Im-kang untuk melawan hawa panas yang keluar dari tangan
Lu Sian.



Biarpun kini mereka melanjutkan pertandingan tanpa senjata, namun ternyata malah jauh lebih seru daripada tadi.
Pukulan-pukulan mereka adalah pukulan-pukulan yang mengandung tenaga dalam. Gerakan mereka kadang-kadang amat
cepatnya, berkelebatan dan bayangan mereka bergumul menjadi satu, kadang-kadang mereka bergerak amat lambat
dalam mengadu tenaga sin-kang. Karena kini mereka hanya mengandalkan kaki tangan, tentu saja tenaga yang mereka
pergunakan lebih besar dan lebih banyak sehingga mereka berdua makin lelah. Memang hebat kini ilmu kepandaian
Lu Sian. Tidak mudah bagi Kim-mo Taisu untuk mengalahkannya, sungguhpun diam-diam Lu Sian harus mengakui bahwa
dalam banyak hal, lawannya ini sudah mengalah terhadapnya.



Matahari sudah naik tinggi dan kedua orang ini masih saja berkelahi mati-matian. Akhirnya setelah jelas bagi Lu
Sian bahwa betapapun juga ia takkan berhasil mengalahkan Kim-mo Taisu, timbul rasa jemu di dalam hatinya.
Mereka sudah bertanding sejak tengah malam sampai matahari naik tinggi masih belum ada yang betul-betul kalah
atau menang. Ia sudah merasa lelah sekali. Akan tetapi bukanlah watak Lu Sian untuk mengaku kalah. Maka ia lalu
mengerahkan semua tenaga dalamnya dan menerjang dengan pukulan maut yang dilakukan dengan kedua tangan terbuka
didorongkan ke depan.



Mendengar deru angin pukulan dan merasai hawa panas yang hebat, Kim-mo Taisu terkejut. Karena ia pun sudah amat
lelah, gerakannya kurang lincah lagi dan ia tahu bahwa pukulan ini tak mungkin dapat ia elakkan, maka ia cepat
mengangkat pula kedua tangannya, menerima pukulan itu dengan pengerahan tenaga sakti.



"Plakkkk...!" Dua pasang telapak tangan bertemu dan melekat. Karena keduanya mempergunakan tenaga sakti, maka
kedua tenaga yang hampir sama kuatnya itu saling membuyarkan. Kini karena kelelahan, mereka tidak mengadu
tenaga sakti lagi dan kedua tangan mereka saling menempel itu terdorong oleh kelelahan mereka, seakan-akan
dengan begitu mereka dapat beristirahat, karena dengan kedua telapak tangan menempel, mereka untuk sementara
tidak dapat saling menyerang lagi. Peluh sudah membasahi seluruh tubuh.



"Kwee Seng aku... aku lelah..." Lu Sian terengah-engah, kedua tangannya yang bertempelan dengan kedua tangan
Kim-mo Taisu itu seakan-akan bergantung.



"Aku pun lelah kau hebat sekali..." kata Kim-mo Taisu itu perlahan dan sejujurnya.



Mereka saling pandang. Kelelahan hebat membuat mereka mengantuk. Untuk sejenak agaknya mereka lupa bahwa mereka
saling berusaha mengalahkan bahkan saling membunuh. Kini mereka bicara berbisik-bisik seperti sepasang kekasih
yang kelelahan dan mabok buaian asmara!



"Kwee Seng... aku sudah jemu, tak dapat mengalahkanmu, lebih baik kita hentikan saja..."



"Mana bisa kuhentikan kalau kau memang telah menyuruh bunuh isteriku?"



"Kwee Seng..." Lu Sian terdiam dan mengatur napas, tangannya masih menempel pada telapak tangan Kim-mo Taisu.



"Hemm...??" Juga Kim-mo Taisu mengatur napas untuk memulihkan tenaganya.



"Cantik sekalikah isterimu?" "Tidak secantik engkau... akan tetapi bagiku dia itu penuh cinta kasih, penuh
kesetiaan dan luhur budi pekertinya...."



"Uuhhh...!" Lu Sian merajuk dan marah. Jawaban ini baginya merupakan tamparan, seakan-akan ia dimaki bahwa dia
tidak tahu akan cinta kasih, tidak setia dan rendah budinya. Ia mengerahkan tenaga dan mendorong sekuatnya
sehingga lekatan tangan mereka terlepas dan keduanya terdorong mundur karena Kim-mo Taisu juga cepat mengimbagi
dorongan lawan.



Sambil memekik marah Lu Sian kembali menyerang, seakan-akan lupa bahwa ia sudah amat lelah. Kim-mo Taisu juga
mempertahankan diri dan balas menyerang. Sebuah tendangan Kim-mo Taisu menyerempet lutut membuat Lu Sian
terguling roboh. Ia tidak mempertahankan diri saking lelahnya dan begitu punggung dan kepalanya mencium tanah,
terus saja ia berbaring, malas untuk bangun lagi karena rasa kantuk hampir tak tertahankan lagi!



"Hayo katakan sesungguhnya! Siapakah yang menyuruh bunuh isteriku?" Kim-mo Taisu membentak, siap mengirim
pukulan terakhir.



"Kalau aku yang menyuruh kau mau apa? Andaikata isterimu masih hidup, akan kubunuh juga dia?" jawaban ini
terdorong hati gemas, akan tetapi juga amat menggemaskan hati Kim-mo Taisu yang menubruk sambil mengirim
pukulan ke arah kepala Lu Sian. Wanita ini cepat menggulingkan tubuhnya, lalu meloncat dan mengirim tendangan
kilat ke dada Kim-mo Taisu. Kagum sekali Kim-mo Taisu. Gerakan bergulingan lalu meloncat dan menendang ini
selain lihai juga amat indah. Namun ia cepat dapat mengelak dan mereka bertanding lagi dengan seru.



Kembali Lu Sian mengirim serangan mati-matian dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan ilmunya Tangan
Api. Kim-mo Taisu menyambutnya dengan gempuran tangan pula sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dahsyat
di udara. Hebat sekali pertemuan tenaga ini dan Lu Sian terhuyung-huyung, mukanya pucat sekali. Ternyata ia
kalah tenaga dan karenanya ia menderita luka dalam. Namun ia tidak mengeluh, dan setelah terhuyung-huyung ia
roboh miring. Kim-mo Taisu yang sudah mabok perkelahian ini dengan tubuh lemas menubruk maju pula dan mengirim
pukulan dengan kedua tangan pula. Siapa kira, Lu Sian masih sempat mengangkat kedua tangan menyambut dan
kembali kedua pasang tangan mereka bertemu dan melekat seperti tadi. Hanya bedanya, Lu Sian berbaring dan
Kim-mo Taisu berlutut!



"Kwee Seng..." suaranya berbisik terengah-engah. "...aku ...aku belum mau mati... aku tidak ingin mati sebelum
bertemu anakku... Bu Song..."



Tergetar hati Kim-mo Taisu dan teringatlah ia akan kesemuanya itu. wanita ini bukan hanya bekas kekasihnya,
bekas wanita yang paling ia cinta di dunia ini, bukan hanya itu saja, melainkan ibu dari muridnya, ibu dari Bu
Song calon mantunya! Bagaimana ia dapat membunuh bekas kekasihnya yang kini menjadi calon besannya.



"Lu Sian, apakah kau yang menyuruh bunuh isteriku?" tanyanya berdesis di antara katupan giginya.



Lu Sian tersenyum mendengar nama kecilnya disebut. "Kalau tadi-tadi engkau bertanya begini, tentu aku akan
bicara terus terang," jawabnya lirih. "Aku tidak tahu bahwa kau masih hidup, tidak tahu bahwa kau punya isteri,
bagaimana bisa menyuruh orang membunuh isterimu? Tidak, aku tidak menyuruh bunuh siapapun juga. Kalau ada yang
hendak kubunuh, tentu kugunakan tanganku sendiri, mengapa menyuruh orang?"



Kim-mo Taisu melepaskan tangannya dan melompat ke belakang. "Mengapa tidak kaukatakan demikian sejak malam
tadi?" Ia mengomel sambil menghapus peluh yang memenuhi mukanya.



Lu Sian tertawa. "Aku ingin melihat sampai bagaimana jauh aku dapat melayanimu. Ternyata kau... kau makin
hebat..." Tiba-tiba wanita ini terhuyung-huyung dan tentu sudah roboh kalau tidak cepat-cepat disambar
lengannya oleh Kim-mo Taisu. Sekali melihat tahulah Kim-mo Taisu bahwa Lu Sian menderita luka di dalam yang
cukup parah, maka cepat-cepat ia menarik wanita itu duduk bersila di atas rumput.



"Kau terluka. Biar kubantu kau memulihkan tenaga dan mengobati luka dalam," katanya lirih sambil duduk bersila
meramkan mata mengatur pernapasan yang sesak. Kim-mo Taisu memusatkan semangat dan mengerahkan tenaga sakti,
menempelkan telapak tangan pada punggung Lu Sian sehingga hawa sakti dari tubuhnya menjalar melalui tangan
memasuki tubuh Lu Sian.



Ketika Lu Sian merasa betap hawa yang hangat memasuki tubuh melalui telapak tangan yang menempel di
punggungnya, ia tersenyum puas dan wajahnya berseri, akan tetapi ia tidak membuka mata dan tetap mengatur
pernapasan. Kedua orang yang setengah malam dan setengah hari saling gempur mati-matian itu kini duduk bersila,
diam seperti arca. Setelah hampir dua jam, Lu Sian tidak merasakan lagi sesak dan nyeri di dadanya. Bahkan rasa
lelah hampir lenyap.



"Cukup, Kwee-twako.." katanya lirih. Kim-mo Taisu melepaskan tangannya. Lu Sian memutar tubuh dan kini mereka
duduk bersila, berhadapan. Mereka masih mengaso memulihkan tenaga sambil bercakap-cakap perlahan.



"Kwee-twako, sungguh mati aku tidak mengira bahwa kau masih hidup di dunia ini. Kusangka telah tewas ketika
terjerumus ke dalam jurang. Siapa kira, kau hidup, malah sudah beristeri. Bagaimanakah isterimu sampai mati
terbunuh orang dan kau menyangka aku yang menyuruhnya?"



Sejenak Kim-mo Taisu tak dapat menjawab. Terbayang kembali semua peristiwa sejak terjerumus ke dalam jurang dan
hanyut sampai ke Neraka Bumi. Seakan-akan baru terjadi kemarin. "Panjang ceritanya..." ia berkata setengah
mengeluh. Tak suka ia menceritakan semua peristiwa itu kepada Lu Sian, oleh karena sesungguhnya Lu Sian inilah
yang menjadi sebab daripada semua pengalamannya itu. ia sudah menerima keadaan, tidak mendendam kepada wanita
ini, maka ia lalu bertanya. "Dan engkau sendiri... bagaimana sampai menjadi penghuni istana Hou-han? Banyak
sudah aku mendengar tentang dirimu, tentang Tok-siauw-kwi. mengapa kau yang kabarnya menjadi isteri Jenderal
Kam Si Ek, meninggalkan suamimu dan merantau seorang diri?"



Lu Sian menarik napas panjang dan tak terasa lagi dua titik air mata meloncat keluar dari pelupuk matanya. Baru
saat ini, setelah ia duduk berhadapan dengan Kwee Seng, bercakap-cakap seperti kepada orang dalam, kepada orang
yang dipercaya sepenuhnya, baru sekarang ia merasa menyesal akan semua sepak terjangnya. Ia merasa betapa kini
ia amat haus dan rindu akan rumah tangga bahagia, akan hidup tenteram di samping suami yang mencinta dan putera
yang berbakti. Ia kehilangan kesemuanya itu. Teringat akan puteranya, ia tak dapat menahan air matanya, lalu
menggigit bibir dan menggeleng kepala. "Panjang ceritanya..." Ia pun segan menceritakan semua pengalamannya
kepada pria yang pernah mencintainya ini.



Tiba-tiba keduanya terdiam. Ada suara mencurigakan dan mereka waspada. Benar saja, tak lama kemudian terdengar
suara bentakan-bentakan keras. "Tok-siauw-kwi, hendak lari ke mana kau sekarang?"



Berturut-turut muncullah belasan orang dari sekeliling tempat itu. ada yang berpakaian seperti hwesio, ada pula
sebagai tosu, dan rata-rata mereka adalah orang-orang yang berusia lanjut dan gerakan-gerakan mereka
membayangkan kepandaian yang tinggi. Kim-mo Taisu diam-diam juga terkejut melihat bahwa di antara belasan orang
itu ia mengenal dua orang tokoh hwesio Go-bi-pai, dan beberapa orang tosu Kong-thong-pai dan Hoa-san-pai.
Mereka semua adalah rokoh-tokoh yang berilmu tinggi!



Adapun Lu Sian setelah melihat bahwa yang bermunculan ini adalah para musuh-musuhnya yang selama ini selalu
mencari kesempatan untuk menyerangnya dan selama ini hanya tertahan oleh kekuatan penjagaan istana Hou-han
tidak membuang waktu lagi. Menghadapi mereka ini, kata-kata tidak ada gunanya, maka ia lalu meloncat, menyambar
pedangnya yang menancap di atas tanah kemudian menantang dengan pedang melintang di depan dada. "Tikus-tikus
busuk! Aku berada di sini, siapa bosan hidup boleh maju!"



Agaknya dendam yang sudah bertahun-tahun disimpan di hati membuat belasan orang itupun tidak suka bicara
banyak. Mereka terdiri dari tujuh belas orang dan kini serentak mereka menyerbu dan mengurung Lu Sian dengan
bermacam-macam senjata di tangan. Segera terjadi pertempuran hiruk pikuk yang kacau balau dan sebentar saja Lu
Sian sudah terkurung dan terdesak hebat sehingga wanita ini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi
tubuhnya.



Kim-mo Taisu maklum bahwa biarpun para pengeroyok itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun mereka itu
masih belum mampu menandingi Lu Sian yang luar biasa lihainya. Akan tetapi, pada saat itu Lu Sian baru saja
sembuh daripada luka dalam, tenaganya belum pulih semua dan juga masih amat lelah, maka pengeroyokan banyak
tokoh ternama itu tentu saja merupakan bahaya besar. Bukan ini saja yang mengkhawatirkan hati Kim-mo Taisu.
Selain bahaya besar di pihak Lu Sian, juga bahaya maut mengancam keadaan para pengeroyok itu. ia maklum bahwa
andaikata akhirnya Lu Sian kalah karena lelah dan masih lemah, namun tentu akan banyak sekali di antara lawan
yang tewas di ujung pedang Lu Sian sebelum wanita itu roboh.



Benar saja apa yang dikhawatirkan Kim-mo Taisu. Dalam waktu beberapa menit kemudian, tiga orang pengeroyok
telah roboh mandi darah oleh ujung pedang Lu Sian, akan tetapi wajah Lu Sian menjadi makin pucat, napasnya
terengah-engah dan langkah kakinya mulai terhuyung-huyung. Para pengeroyok mendesak makin kuat dan mereka sudah
merasa girang bahwa biarpun kembali mereka mengorbankan nyawa beberapa saudara, agaknya kali ini Tok-siauw-kwi
musuh besar yang mereka benci itu takkan dapat meloloskan diri.



Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika tiba-tiba ada angin bertiup keras dan senjata mereka terpental ke
belakang oleh tiupan angin itu. Ketika mereka memandang ternyata Lu Sian yang mereka keroyok itu telah duduk
bersila meramkan mata, dan sebagai penggantinya, seorang laki-laki perkasa yang tadi duduk bersila telah
berdiri dengan tangan kiri memegang sebuah kipas dan tangan kanan sebuah guci arak! Di antara mereka ada yang
mengenal pria ini, maka dengan suara penasaran, seorang hwesio Siauw-lim-pai menegur, "Bukankah Sicu ini Kim-mo
Taisu? Mengapa mencampuri urusan kami?"



"Kim-mo Taisu! Kau terkenal sebagai seorang pendekar yang menjujung tinggi kebenaran. Apakah sekarang kau
hendak membela seorang iblis betina macam Tok-siauw-kwi? Pinto menerima perintah Suhu ketua Kong-thong-pai
untuk membunuh siluman ini, apakah kau hendak merintangi Kong-thong-pai?" kata seorang tosu.



"Kami dari Hoa-san-pai kehilangan lima orang murid yang tewas oleh siluman ini!" kata pula seorang tosu lain.



Kim-mo Taisu sudah mendengar akan sepak terjang Lu Sian yang hebat dan menggemparkan dunia kang-ouw dan di
dalam hatinya tentu saja ia tidak dapat memebenarkan tindakan Lu Sian. Bahkan sudah sewajarnya kalau
orang-orang gagah sedunia memusuhinya dan berusaha membinasakannya. Akan tetapi, mana mungkin hatinya tega
melihat bekas kekasihnya yang ia tahu menderita batin ini dikeroyok dan dibunuh di depan matanya?



Dengan sikap tenang wibawa ia berkata sambil menyapu mereka semua dengan pandang matanya, lalu berkata, "Cu-wi
(Saudara Sekalian) sudah tahu bahwa aku selalu menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Adalah tidak benar
belasan orang mengeroyok seorang saja terjadi pertandingan yang tak berimbang. Di manakah sifat kegagahan
kalian?"



Seorang hwesio Siauw-lim-pai meloncat ke depan, melintangkan toya di tangannya. "Biarkan pinceng (aku) maju
sendiri melawannya! Pinceng rela berkorban untuk membalaskan kematian empat orang saudaraku!" "Benar! Pinto pun
berani melawannya seorang diri!" kata seorang tosu.



"Kim-mo Taisu menganggap keroyokan tidak adil, biarlah kita maju seorang demi seorang melawan iblis betina itu!
Dia harus mati atau kita siap untuk mati seorang demi seorang!" kata yang lain.



Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terjadi pertandingan satu lawan satu semua orang ini tentu akan tewas, tak
seorang pun di antara mereka yang akan sanggup menandingi kehebatan Lu Sian. Akan tetapi ia pun tidak
menghendaki hal ini terjadi, maka katanya.



"Pertandingan mencari kemenangan karena urusan pribadi harus dilakukan seadil-adilnya. Pada saat ini,
Tok-siaw-kwi telah terluka olehku. Dalam pertandingan antara orang-orang gagah, hal ini adalah tidak adil sama
sekali. Karena itu, kuharap kalian suka tinggalkan kami dan lain kali kalian boleh menemuinya kalau dia sudah
sembuh dari lukanya."



Semua orang itu menjadi marah sekali. Hwesio Siauw-lim-pai yang bermuka merah itu meloncat maju dengan toya
melintang, telunjuk kirinya menuding ke arah Kim-mo Taisu sambil membentak, "Kim-mo Taisu! Bicaramu sungguh
menyimpang daripada kebenaran! Sungguh mengherankan sekali seorang terkenal seperti Kim-mo Taisu hendak
melindungi seorang siluman betina!"



Kim-mo Taisu mendengus melalui hidungnya. "Hemm, setiap orang mempunyai kebenarannya sendiri!"



"Akan tetapi kebenaranmu sendiri itu menyeleweng daripada kebenaran umum. Kami bertindak atas dasar kebenaran
umum. Tok-siauw-kwi jahat sekali, dia berhutang nyawa kepada kami, kalau kami kini datang membalas, bukankah
itu sudah benar?" bantah Si Hwesio Siuw-lim-pai, dan semua temannya membenarkan, sikap mereka mengancam.



Kim-mo Taisu menggeleng kepalanya. "Aku sama sekali tidak melindungi Tok-siauw-kwi, juga tidak hendak
mengatakan bahwa dia benar dalam urusannya menghadapi kalian. Akan tetapi pendirianku ini sama sekali tiada
sangkut-pautnya dengan urusan antara dia dan kalian. Pendirianku ini mengenai saat sekarang, dan aku tetap
menyatakan tidak benar kalau kalian sebagai orang-orang gagah menantang yang sedang terluka!"



"Tidak peduli! Dia jahat, kalau dilepas, bila dapat mencarinya lagi?" bentak mereka.



"Oho, begitukah? Kalian tidak memandang mukaku? Dengarlah, kalian boleh saja melakukan segala perbuatan
pengecut dan curang terhadap siapa saja, akan tetapi di luar tahuku. Jika masih ada aku di sini, jangan harap
kalian dapat melakukan kecurangan, menyerang seorang yang sedang terluka. Nah, aku punya peraturan sendiri,
punya kebenaran sendiri, dan aku sudah bicara!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu berdiri tegak lalu
menenggak araknya tanpa mempedulikan mereka.



"Heh-heh-heh! Kim-mo Taisu bicara seperti pokrol bamboo! Saudara-saudara hendak membasmi siluman, masih menanti
apalagi? Kim-mo Taisu membela penjahat, dia menyeleweng juga. Kita ganyang saja dia lebih dulu, biar kami
bantu!" Suara ini keluar dari seorang di antara tiga kakek pengemis yang tahu-tahu muncul di tempat itu. kim-mo
Taisu tidak mengenal mereka, akan tetapi melihat cara mereka memegang dan menggerakkan tongkat merah di tangan,
ia dapat menduga bahwa mereka itu tentulah tokoh-tokoh pengemis yang lihai. Ia teringat akan Pouw Kee Lui yang
amat terkenal di dunia pengemis dan dijuluki Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis, maka sambil tersenyum mengejek ia
berkata. "Apakah kalian ini anak buah Si Raja Pengemis Pouw?"



Tiga orang pengemis itu tidak menjawab, melainkan menggerakkan tongkat mereka menerjang maju. Hebat memang
gerakan mereka dan cepat-cepat Kim-mo Taisu mengibaskan kipas di tangannya menangkis sambi membuat gerakan
memutar sehingga terbebas daripada lingkungan sinar merah tongkat-tongkat mereka. Akan tetapi tokoh-tokoh lain
yang terpengaruh oleh kata-kata si pengemis tua, sudah maju pula mengeroyoknya, bahkan ada sebagian yang
langsung menerjang Lu Sian yang masih duduk bersila meramkan mata!



Kim-mo Taisu marah sekali. Ia mengeluarkan pekik menggetarkan dan tubuhnya lalu menyambar-nyambar laksana
seekor burung garuda menerjang sekelompok babi hutan. Pertama-tama dia menerjang mereka yang mengancam
keselamatan Lu Sian dan sekali terjang tiga orang pengeroyok roboh bergulingan seperti dilanda angin taufan.
Setelah berhasil menghalau mereka yang mengancam Lu Sian, Kim-mo Taisu lalu melindungi wanita ini dan memutar
kedua senjatanya yang berubah menjadi gulungan sinar melindungi tubuh mereka berdua.



Hebat sekali pertandingan ini, jauh lebih hebat daripada tadi ketika mereka mengeroyok Lu Sian. Amukan Kim-mo
Taisu benar-benar menggiriskan hati. Beberapa orang telah roboh lagi oleh sambaran angin kebutan kipas. Selama
satu jam lebih belum juga para pengeroyok mampu merobohkan Kim-mo Taisu, juga tidak ada yang mampu menyentuh
tubuh Lu Sian yang masih duduk bersila memulihkan tenaga. Namun keadaan Kim-mo Taisu makin lama makin payah.
Pendekar ini sudah terlalu lama tadi mengerahkan tenaga melawan Lu Sian. Ia amat lelah dan tenaganya sudah
banyak berkurang, bahkan kini ia merasa dadanya sesak karena terlampau banyak mengerahkan tenaga sakti, jauh
melampaui daya tahan tubuhnya. Namun ia bertekad melawan terus sampai napas terakhir untuk melindungi Lu Sian,
mempertahankan kebenaran. Ia maklum bahwa Lu Sian telah menyeleweng dan telah berdosa kepada mereka ini, akan
tetapi ia pun tidak senang menyaksikan kecurangan mereka hendak mengeroyok yang telah terluka. Apalagi setelah
perjumpaannya dengan Lu Sian ini, ia tidak tega untuk membiarkan bekas kekasihnya dibunuh orang begitu saja di
depan matanya.



Para pengeroyok itu terdiri dari orang-orang pilihan dalam partai-partai persilatan besar, dan tiga orang kakek
pengemis itupun lihai sekali. Andaikata Kim-mo Taisu tidak sudah kehabisan tenaga dalam menghadapi Lu Sian
selama itu, agaknya pendekar besar ini masih sanggup mengalahkan mereka. Akan tetapi kini biarpun ia masih
berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, namun ia sendiri makin parah keadaannya, tenaganya makin habis
dan dadanya terasa makin sesak dan sakit.



Dua jam kemudian, dengan gerakan terakhir yang amat dahsyat, Kim-mo Taisu yang marah kepada tiga orang pengemis
itu, berhasil merobohkan dua orang pengemis dengan hantaman kipas dan guci araknya. Seorang pengemis, yang
bicara tadi, roboh dan tewas seketika tertotok jalan darah maut oleh ujung kipas, sedangkan orang ke dua patah
tulang iganya terpukul guci arak. Akan tetapi pada saat itu juga Kim-mo Taisu menerima sodokan toya baja yang
ditusukkan oleh hwesio Siauw-lim-pai. Hebat bukan main sodokan yang mengenai lambungnya ini. Andaikata orang
lain yang terkena agaknya tentu akan pecah lambungnya, akan tetapi Kim-mo Taisu yang sudah mengerahkan
lweekangnya ke arah lambung, hanya terlempar saja dan pendekar ini merasa betapa lambungnya sakit sekali.
Betapapun juga, ia masih mampu melompat berdiri dan sambil menggigit bibirnya, ia menerjang maju lagi dan
merobohkan beberapa orang pengeroyok.



Pada saat itu, Lu Sian sudah dapat memulihkan tenaga. Ia membuka mata dan melihat betapa Kim-mo Taisu terdesak
hebat dan gerakan bekas kekasihnya ini mulai lambat dan lemah, Lu Sian mengeluarkan suara melengking dahsyat
dan tubuhnya mencelat ke udara. Sekali ia menggerakkan kepala, rambutnya merupakan selimut hitam menyambar ke
depan dan sekaligus rambutnya telah merampas empat buah senjata para pengeroyok memekik ngeri dan roboh dengan
baju di bagian dada hangus, kulit dadanya pun terdapat tanda tapak tangan menghitam dan dua orang itu roboh
tewas seketika. Kacaulah para pengeroyok kini. Mereka terdesak mundur, kemudian terdengar hwesio Siauw-lim-pai
berteriak keras dan mereka semua menyambar tubuh teman-teman yang tewas atau terluka, lalu meloncat dan
melarikan diri dari tempat itu.



Kim-mo Taisu masih berdiri tegak dengan kipas dan guci arak di tangan sedangkan Lu Sian berdiri di sebelahnya,
rambutnya terurai dan pedang Toa-hong-kiam di tangan. Sunyi sekali di situ, hanya tampak bekas-bekas darah
membasahi rumput-rumput yang rebah terinjak-injak dan daun-daun yang rontok dari pohon karena sambaran
angin-angin pukulan dahsyat tadi.



Lu Sian menengok ke arah Kim-mo Taisu dan seketika wanita ini melompat mendekati, cepat menerima tubuh Kim-mo
Taisu yang tiba-tiba terhuyung dan roboh pingsan dalam pelukan Lu Sian! Kiranya pendekar ini telah menderita
luka hebat di lambungnya, dan tadi ia masih mampu bergerak melawan adalah bukti daripada keuletannya yang luar
biasa. Lu Sian memeluk dan mendukung tubuh Kim-mo Taisu seperti seorang ibu mendukung anaknya. Setelah
mengumpulkan kipas, guci arak dan pedangnya, ia lalu memanggul tubuh Kim-mo Taisu dan dibawanya lari memasuki
hutan yang lebat. Air matanya bercucuran di sepanjang pipinya, akan tetapi mulutnya tersenyum-senyum dan
wajahnya berseri.

bersambung.........10

0 komentar:

Posting Komentar