Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [11]

pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit,
ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia
mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.



Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang
berbisik-bisik hampir tak terdengar. "Diamlah... Koko, diamlah... kausanggulkan rambutku... biar rapi..."



Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia
menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil
juga ia menyanggul rambut gadis itu.



"Koko... aku... aku ingin..." Ia berhenti sukar sekali melanjutkan kata-katanya. Bu Song menempelkan telinga di
dekat bibir yang sudah pucat itu. "Apa, Moi-moi kau ingin apa?"



"Ah, aku... aku malu... hik..." Bu Song memeluknya. "Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi..."



"...hemmm...? ... aku... aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku
ingin... mati sebagai istrimu..."



"Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya. "Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?"



Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya.
Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya.



"Mari kita bersumpah, Koko, marilah..."



Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut
sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu
Bu Song berkata keras-keras,



"Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup
semati...!"




Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu dan ketika Bu Song menolehnya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh
bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang
meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali,
ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi.



"Eng-moi...!!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng.



Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya, membuat
pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua,
wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak. Ketika ia mendengar cerita Bu
Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia
lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh
bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan
bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan
pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.



Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang
mata layu, kemudian bertanya.



"Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kaumiliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu.
Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan malapetaka dan kau
berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Di sana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda
yang pandai. Setelah sampi di kota raja, kaucarilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai
pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kauberikan suratku ini dan
selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."



Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki
gurunya dan menangis. "Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu
membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..."



Kim-mo Taisu menghela napas panjang. "Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu
silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."



Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin
terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan
miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan
diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata.



"Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan.
Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."



Terbelalak kakek itu memandang benda ini. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya penuh keheranan.



Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda
ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata, "Benar-benar kehendak Thian!
Sungguh aneh dan luar biasa? Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku
sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau
mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau
mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa
lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun
mengganggumu."



"Teecu serahkan kepada Suhu..." "Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kausimpanlah
dan turut nasihatku, kaumakan semua sampai habis!"



Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih
dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya
yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi. Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song
menggendong bantalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat
di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan
dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.



Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan,
alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya
suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda
bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang.
Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak mengecawakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti
ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjujung tinggi nama suhunya dan
hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.



Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu
mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan. Teringat akan semua yang baru saja ia
alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas. Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan
dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw.
Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang
kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan
dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih
mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.



"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua
dan jalan hidup kita bersimpang jauh."



"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan
tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki
yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau
memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"



Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi..."



Lu Sian menahan isak. "Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi
semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang
kucinta!" Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas
dipan bambu.



"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"



"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.



Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan
seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat
manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.



"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku.
Malah kini ia akan menjadi mantuku."



Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya.
Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya. "Ceritakan..." dia berbisik, "ceritakan tentang dia..."



Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya,
kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.



"Anakmu itu aneh, dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak
mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu yang amat jahat."



"Hee...? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"



"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak
kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu
setuju, bukan, demi kebagaiaan puteramu?"



Lu Sian menundukkan mukanya. "Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku..."



"Dia tidak membenci siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."



"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia
meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!"
Aku Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.



"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi. Diam-diam ia menarik napas
panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi
menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita itu merasa kehilangan
segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya
sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?



Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan
keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu
keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di
dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan!



Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak
terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang
terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sesempurnanya. Hanya karena semua itu
menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia
kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil. Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya
kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah daripada semua
perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka.
Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang
pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua? Memang sudah
semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling
menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap,
yang menderita karena panas atau dingin! Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap,
karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri
dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!



Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan
kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah
atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya. Manusia bijaksana dan
sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan maupun merugikan dirinya.
Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan.
Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan,
membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia.



Kim-mo Taisu bukanlah seorang bodoh, akan tetapi ia seorang yang lemah. Peristiwa-peristiwa yang menimpa
dirinya diterimanya dengan perasaan hancur dan menyebabkan ia menanam bibit kebencian dan dendam yang mendalam
terhadap musuh-musuh keluarga isterinya. Kematian isterinya dan puterinya membuat pendekar ini hanya mempunyai
satu cita-cita di dalam hatinya, yaitu membalas dendam dan membasmi musuh-musuh keluarga isterinya. Mulailah ia
merantau dan mulai saat itu, nama Kim-mo Taisu menjadi terkenal sebagai seorang yang sepak terjangnya
menakutkan. Para tokoh yang merasa pernah bermusuhan dengan Kerajaan Tang, yang pernah bermusuhan dengan Kong
Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong diam-diam menyembunyikan diri, takut bertemu dengan Kim-mo Taisu yang amat
hebat ilmu kepandaiannya itu



Bu Song juga terpukul hatinya oleh peristiwa kematian Eng Eng. Akan tetapi ia seorang muda yang kuat menderita.
Agaknya karena banyak menderita semenjak kecil, membuat hatinya menjadi kuat dan kebal. Tidak mudah ia runtuh
semangat. Agaknya karena tubuh sehat batin kuat inilah yang membuat Bu Song dapat melakukan perjalanan cepat
dengan penuh gairah hidup. Matanya yang tadinya redup sayu mulai bersinar-sinar lagi, kedua kakinya melangkah
lebar.



Berhari-hari ia melakukan perjalanan naik turun gunung. Ia mentaati pesan gurunya dan mulailah ia makan sarang
burung rajawali hitam. Enak rasanya, gurih dan harum. Juga setiap kali makan perutnya terasa kenyang dan tahan
sampai sehari tidak makan. Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa benda yang dimakannya adalah obat kuat yang
amat langka didapat, obat yang membuat darahnya menjadi bersih dan tulang-tulangnya menjadi kuat. Setelah
melakukan perjalanan lima belas hari, habislah bekal sarang burung itu dan mulailah ia mencari buah-buahan di
sepanjang jalan dan ada kalanya ia membeli masakan di warung sebuah dusun yang dilaluinya. Bekal yang diberikan
gurunya cukup banyak.



Pada suatu hari ketika ia melalui sebuah lereng gunung yang terjal, ia mendengar suara orang bertempur. Suara
itu datangnya dari bawah lereng dan yang membikin Bu Song tertarik dan kaget adalah suara melengking tinggi
yang aneh, seperti orang tertawa akan tetapi juga seperti suara wanita menangis. Ia lalu mempercepat langkahnya
menuju ke arah suara itu.



Benar saja, di sebuah tikungan, ia melihat seorang wanita cantik sedang bertanding melayani dua orang laki-laki
tua. Akan tetapi pertandingan itu amat aneh. Si wanita duduk bersila di bawah pohon, sedangkan dua orang
laki-laki itu berdiri di depannya. Yang seorang adalah kakek berkepala gundul bersenjata toya sedangkan yang ke
dua seorang kakek tinggi kurus berambut panjang dan berpedang yang berkilauan cahayanya.



Anehnya, kedua orang kakek itu hanya mengancam dengan senjata mereka sedangkan Si Wanita hanya tertawa-tawa
mengejek, sama sekali tidak bergerak dari tempat ia bersila. Pada saat Bu Song tiba di tempat itu dan mengintai
dari balik sebuah batu besar, wanita itu berkata, suaranya merdu akan tetapi dingin menyeramkan.



"Sekali lagi kuperingatkan kalian. Jangan ganggu aku dan pergilah. Aku tidak memusuhi Siauw-lim-pai, juga tidak
memusuhi Kong-thong-pai. Adalah partai kalian yang selalu memusuhi aku. Aku sudah bosan bertempur, bosan
membunuh. Pergilah dan jangan ganggu aku!"



"Siluman betina, dendam di antara kita sedalam lautan. Harus ditebus dengan nyawa!" seru kakek itu sambil
menggerakkan pedangnya membacok.



"Omitohud, Tok-siauw-kwi, pinceng juga bukan tukang berkelahi, akan tetapi dosamu terhadap Siauw-lim-pai sudah
terlalu banyak. Kewajiban pinceng untuk menghukummu!" kata Si Hwesio pula sambil melangkah maju.



Tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara lengking tinggi dan rambutnya yang panjang itu bergerak ke depan,
berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar dahsyat. Dua orang kakek itu terkejut sekali. sia-sia saja
mereka menggerakkan senjata untuk membebaskan diri karena senjata mereka itu tahu-tahu telah terlibat rambut
dan tanpa dapat mereka cegah lagi, senjata toya dan pedang itu sudah terbang pergi dari tangan mereka dan
terlempar ke dalam jurang!



"Kalian bukan lawanku. Pergilah, aku beri ampun kalian!" Wanita itu berkata lagi, tetap masih duduk bersila,
bahkan kini meramkan mata seperti orang hendak samadhi.



Akan tetapi dua orang kakek itu kelihatan menjadi makin marah. "Tok-siauw-kwi siluman jahat! Kami tidak takut
mati. Engkau atau kami yang harus mati saat ini juga!"



Hwesio itu menyambar sepotong ranting pohon dan mempergunakannya sebagai tombak yang ia lontarkan sepenuh
tenaga ke arah wanita itu. adapun kakek dari Kong-thong-pai itupun mengeluarkan batang senjata piauw yang ia
sambitkan sekuat tenaga ke arah tiga bagian tubuh yang berbahaya. Melihat ini diam-diam Bu Song merasa ngeri.
Jarak antara kedua orang itu dan Si Wanita cantik yang duduk bersila meramkan mata di bawah pohon tidaklah
jauh, sedangkan serangan itu luar biasa cepat dan kuatnya. Ia membayangkan betapa wanita itu akan tewas dalam
keadaan mengerikan dan ada juga rasa penasaran di dalam hatinya yang menganggap perbuatan dua orang laki-laki
itu sama sekali tidak dapat dipuji. Jelas bahwa wanita itu sudah mengalah, akan tetapi dua orang itu nekat
saja, bahkan melakukan penyerangan yang amat curang.



Akan tetapi tiba-tiba mata Bu Song menjadi silau melihat cahaya terang keluar dari kedua tangan wanita itu.
Entah apa yang terjadi ia tidak dapat mengikuti dengan jelas, akan tetapi tahu-tahu kedua orang kakek itu
menjerit keras dan... dada Si Hwesio sudah tertusuk ranting yang ia lontarkan tadi, adapun Si Kakek mendekap
dadanya yang dimakan oleh tiga batang piauwnya sendiri. hebat sekali luka mereka, dengan mata terbelalak mereka
berputaran lalu roboh berkelojotan dan tak lama kemudian tewaslah kedua orang itu.



Wanita itu mengeluarkan suara melengking keras seperti orang menangis. Ketika Bu Song memandang lagi, ternyata
wanita itu sudah lenyap, tidak ada lagi di tempat tadi. Berdebar jantung Bu Song. Peristiwa yang amat hebat dan
mengerikan terjadi di depan matanya. Peristiwa pembunuhan, lagi-lagi dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
ilmu tinggi. Ia keluar dari tempat sembunyinya, melangkah lebar menghampiri dua orang yang sudah menjadi mayat
itu, lalu menarik napas panjang. Dengan hati rasa penasaran ia berdongak dan berkata dengan suara keras.



"Dendam! Pembunuhan! Bunuh-membunuh! Apakah hanya untuk ini manusia dilahirkan di dunia?"



Kemudian Bu Song turun tangan, menggulung lengan baju dan membongkar batu-batu di bawah pohon, menggali lubang
yang cukup lebar untuk mengubur dua jenazah kakek yang tidak dikenalnya itu. Sambil mengerjakan ini, wajah
wanita itu terbayang di depan matanya dan berulang kali Bu Song menarik napas panjang. Wanita yang patut
dikasihani, pikirnya. Hidup bergelimang dalam gelombang permusuhan yang tak dapat disingkiri dan yang agaknya
mengejar-ngejarnya terus. Kali ia menang. Apakah lain kali akan dapat menang terus? Kepandaian tidak ada
batasnya dan sekali waktu tentu wanita itu yang menjadi korban, tewas mengerikan seperti keadaan dua orang
kakek ini. Masih baik kedua orang kakek ini tewas di depannya sehingga masih ada yang mengubur jenazah mereka!



Setelah selesai mengubur dua mayat itu, Bu Song mengebut-ngebutkan pakaiannya dari debu, menyandangkan
bungkusan pakaian yang tadi ia turunkan, lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu. matahari sudah condong
ke barat dan dengan ujung lengan bajunya Bu Song menghapus peluhnya. Tiba-tiba ia berhenti dan memandang penuh
perhatian ke depan. Tadi melihat bayangan berkelebat dan kini tahu-tahu didepannya telah berdiri Si Wanita
cantik berambut panjang yang tadi membunuh dua orang kakek itu! Bu Song memandang jantungnya berdebar. Dilihat
sepintas lalu, wanita ini tidak menakutkan sama sekali. Bahkan amat menarik dan cantik, akan tetapi pandang
matanya dingin dan kerut pada mulutnya membayangkan sesuatu yang mengerikan.



"Mengapa engkau mengubur mereka?" Wanita itu bertanya, matanya tajam memandang penuh selidik



Bu Song menengok ke belakang, ke arah kuburan kedua orang kakek itu, lalu ia balas memandang dan menarik napas
panjang. Sedikit pun ia tidak takut kepada wanita ini dan teguran wanita itu bahkan mendatangkan rasa penasaran
di dalam hatinya. Ia maklum bahwa wanita ini menderita batinnya dan berusaha menutupi penderitaan batinnya
dengan sikap yang dingin dan keras.



"Bibi, pertanyaanmu itu tidak pada tempatnya. Sepatutnya akulah yang bertanya mengapa Bibi membunuh mereka?"



Wanita itu tercengang, agaknya sama sekali tidak menduga akan mendapat jawaban begini. "He, orang muda, jawab
pertanyaanku. Jangan engkau main-main. Mengapa engkau mengubur mereka? Apamukah mereka itu?"



"Bukan apa-apa, hanya sesama manusia. Melihat dua orang manusia terbunuh dan menjadi mayat di jalan, sudah
menjadi kewajibanku untuk mengubur mereka. Aku dan juga Bibi sendiri pun kelak kalau mati membutuhkan bantuan
orang lain untuk mengubur mayat kita."



"Apa kau bilang? Orang muda, jaga baik-baik mulutmu. Tahukah kau bahwa sekali aku turun tangan kau takkan hidup
lagi?"



Alangkah herannya hati wanita yang ditakuti di dunia kang-ouw itu ketika melihat Si Pemuda tertawa geli
mendengar ucapannya. "Bibi hanya membikin lelucon yang tidak lucu!"



"Apa..., apa maksudmu?" tanyanya, saking herannya sampai memandang dengan mata terbelalak.



"Bibi ini siapakah sampai dapat menguasai hidup matinya orang lain? Bibi tidak merasa memberi hidup kepadaku,
bagaimana Bibi dapat menguasai hidup dan matiku?"



"Apa? Kau menantang?" Tok-siauw-kwi lebih heran daripada marah. "Tidak ada yang menantang. Aku hanya mau
katakan bahwa kalau DIA yang memberiku hidup menghendaki aku mati, tanpa Bibi turun tangan pun aku akan mati.
Akan tetapi kalau DIA tidak menghendaki aku mati, biar ada seribu orang seperti Bibi turun tangan, aku tidak
akan mati! Mati hidup berada di tangan Tuhan. Bibi ini siapakah hendak mengalahkan kekuasaan Tuhan? Padahal
mati hidup Bibi sendiri berada di tangan-Nya! Dapatkah Bibi melawan maut apabila Tuhan menghendaki nyawa Bibi
kembali ke asalnya?"



Seketika pucat wajah Tok-siauw-kwi. matanya terbelalak dan ia meraba pipinya tanpa ia sadari. "Aku... aku tidak
akan mati...!"



Bu Song menggeleng-geleng kepalanya, lalu ia melangkahkan kaki pergi dari situ sambil berkata, "Bibi seorang
yang patut dikasihani...!"



Angin menyambar keras tahu-tahu wanita itu sudah berdiri menghadang di depannya. "Eh, bocah lancang. Kau bilang
apa tadi?"



"Aku bilang kau patut dikasihani sampai-sampai tidak mau mengakui kekuasaan Tuhan, dan mengingkari kenyataan
bahwa semua manusia mesti mati. Bibi takut mati, itu berarti Bibi kehilangan pegangan dalam hidup, bahwa Bibi
kehilangan keperibadian, bahwa Bibi menganggap hidup ini dapat kaupegang dan kaukuasai. Itulah sebabnya Bibi
terlalu mudah membunuh orang mengira bahwa nyawa Bibi berada di tangan orang lain yang memusuhi Bibi. Ah,
betapa sengsara hidup seperti Bibi ini."



Makin pucat muka wanita itu. "Kau bohong! Aku tidak takut siapapun juga! kaulihat sendiri tadi. Mereka berdua
memusuhiku akan tetapi tidak dapat melawanku. Siapa memusuhiku akan mati!"



"Betulkah itu, Bibi? Mengalahkan orang lain bukan hal aneh, mengalahkan nafsu pribadi barulah perbuatan mulia!
Makin banyak Bibi membunuh orang, makin banyak pula menanam bibit permusuhan dan makin sengsaralah hidup.
Manusia hidup untuk saling bantu, saling tolong, bukan saling bermusuhan dan saling bunuh."



"Habis, kalau dua orang keparat tadi memaksaku, apakah aku harus menyerahkan diri dibunuh begitu saja?"



"Ah, Bibi kurang akal. Bibi sakti, apa sukarnya menjauhkan diri dari mereka yang memusuhi Bibi? Akan tetapi
Bibi memang haus darah, suka membunuh, sungguh keji...!"



Wanita itu marah sekali. Ia mengeluarkan lengking tinggi dan tangannya. Sudah diangkat ke atas. Dari tangan
kanan itu keluar hawa yang amat panas, sedangkan bunyi melengking hebat itu sudah hampir merobohkan Bu Song
yang tiba-tiba merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk. "Keparat bermulut lancang! Siapa kau? Aku takkan membunuh
orang tak bernama!"



Bu Song tenang-tenang saja. Memang ia sendiri memandang hidup ini hampa dan penuh derita kecewa setelah
kematian Eng Eng. Sama sekali ia tidak takut akan kematian yang mengancamnya. "Kalau Tuhan menghendaki aku mati
dan Bibi berhasil membunuhku, berarti Bibi hanya membebaskan aku daripada belenggu hidup. Aku tidak akan rugi
apa-apa, akan tetapi kau sendiri yang menambahi mata rantai yang membelenggu kehidupanmu, Bibi. Namaku Bu
Song."



"Bu Song...??" Mata itu terbelalak lebar dan muka yang cantik itu makin pucat. "Kau... kau... murid Kim-mo
Taisu...?"



"Beliau adalah guruku, akan tetapi aku tidak akan menggunakan nama Guruku untuk perisai nyawaku. Guruku sendiri
tidak menguasai nyawaku, hanya Tuhan yang berhak akan mati hidupku!"



"Plakkk!" Tangan itu menampar turun, akan tetapi yang ditampar bukan muka Bu Song, melainkan mukanya sendiri!
wanita itu jatuh terguling, lalu menangis dan akhirnya melompat pergi cepat sekali. Hanya lengking tangisnya
masih terdengar oleh Bu Song yang berdiri bengong, lalu menggeleng-geleng kepalanya. Kasihan, pikirnya. Wanita
itu terlalu banyak dosa, terlalu banyak membunuh orang sehingga pikirannya tidak waras lagi! Ia lalu
membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya menuruni lereng itu dengan langkah lebar.



Tentu saja Bu Song sama sekali tidak pernah menduga bahwa wanita itu bukan lain adalah ibu kandungnya sendiri!
Wanita itu adalah Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian! Sikap pemuda lemah yang begitu berani menasihati dan menegurnya
sudah membuat wanita ini terheran-heran, kemudian, menimbulkan kemarahannya yang luar biasa. Akan tetapi begitu
ia mendengar bahwa pemuda itu adalah Bu Song, putera kandungnya sendiri, ia merasa seakan-akan mukanya ditampar
oleh tangannya sendiri. Hampir saja ia tadi membunuh anak kandungnya sendiri! Anaknya begitu tampan dan gagah.
Ingin ia memeluknya, mendekap kepala itu di dadanya. Akan tetapi betapa ia dapat melakukan hal itu setelah
anaknya mengubur dua orang yang dibunuhnya? Ibu yang tersesat, seorang manusia iblis yang oleh anak itu sendiri
disebut haus darah, suka membunuh dan keji! Alangkah akan jijik dan bencinya anak itu kepadanya!



Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian menangis sambil berlari cepat seperti terbang meninggalkan tempat itu. Kemudian ia
menjatuhkan diri di bawah pohon besar dalam sebuah tempat ia bertemu anaknya tadi. Ia menangis menjambak-jambak
rambutnya, membentur-benturkan kepalanya pada batang pohon di depannya. Lu Sian menjadi seperti gila dan pada
saat itu ia hanya ingin mati! Tangisnya menjadi-jadi kalau ia teringat kepada Kwee Seng yang sudah memberi tahu
bahwa puteranya itu selain menjadi muridnya juga akan menjadi mantunya. Bagaimana ia sebagai seorang ibu
kandung dapat membiarkan putera tunggalnya menikah tanpa memberi restu dan tanpa menyaksikannya? Akan tetapi
setelah pertemuan ini, betapa ia dapat menjumpai pemuda itu dan mengaku sebagai ibunya?



Tiba-tiba Lu Sian berhenti menangis dan dengan kaget ia mengangkat muka mendengarkan. Suara yang-khim yang amat
merdu bergema di dalam hutan itu. sejenak ia tertegun, timbul kemarahannya. Siapakah berani mengganggu
keasyikannya berduka? Dia sedang berduka, sedang menangis, eh, orang itu berani membunyikan musik. Bukankah
suara yang-khim tanda orang bersuka dan seakan-akan mengejeknya yang sedang berduka? Sama artinya dengan
mentertawakan orang sedang menangis. Tok-siauw-kwi menjadi beringas dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah
melesat ke arah suara, cepat laksana burung terbang.



Pemain yang-khim itu seorang kakek tua renta yang rambutnya sudah putih semua. Kakek itu duduk bersila memangku
sebuah alat musik yang-khim, jari-jari kedua tangannya bergerak-gerak perlahan memainkan tali-tali yang-khim,
mulutnya tersenyum dan pandang matanya melayang jauh ke depan dan agaknya seperti hendak menjenguk rahasia di
balik awan.



Melihat cara kakek ini mainkan yang-khim, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi
dan tak salah lagi tentulah seorang di antara tokoh-tokoh kang-ouw yang selama ini mengejar-ngejar dan
memusuhinya. Lebih baik turun tangan lebih dulu sebelum kakek itu sempat menyerangnya, ia pikir. Karena ingin
sekali pukul beres, Lu Sian sudah mengeluarkan jarum-jarum merah Sian-tok-ciam dan dengan pengerahan tenaga
sin-kang ia melemparkan jarum-jarum itu ke arah kakek tua renta yang masih enak-enak main yang-khim. Dengan
jelas Lu Sian melihat betapa tujuh batang jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat dan lenyap memasuki
tubuh kakek itu melalui jalan darah yang diarahnya. Akan tetapi ia terbelalak heran melihat betapa kakek itu
masih saja enak-enak mainkan yang-khim, hanya kedua matanya kini dipejamkan dan napasnya tertahan. Tak lama
kemudian, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepalanya yang sudah berambut putih, disusul dengan uap putih yang
keluar dari mulut dan hidungnya ketika kakek itu membuang napas dan... dari dalam mulut kakek itu keluarlah
tujuh batang jarum merahnya, runtuh dan jatuh berhamburan di dekat yang-khim!



Lu Sian tak pernah dapat percaya kalau tidak menyaksikan sendiri hal aneh ini. Ilmu apakah yang dimiliki kakek
itu? Tadi ia melihat jelas betapa jarum-jarumnya mengenai sasaran dengan tepat! Lu Sian menjadi kaget dan juga
gelisah. Kalau kakek ini seorang musuh, berarti ia kini bertemu dengan seorang yang memiliki kesaktian luar
biasa! Dan teringatlah ia akan peringatan yang keluar dari mulut puteranya tadi! Agaknya kali ini ia takkan
menang, dan benarkah maut akan menjemput nyawanya melalui tangan kakek yang bermain yang-khim ini? Tidak, ia
tidak boleh menerima kalah begitu saja! Dengan penuh kegeraman hati Lu Sian melompat dekat dan kini ia
menggunakan kedua tangannya berbareng melakukan pukulan maut ke arah kedua pundak kakek tua renta itu. Pukulan
ini akan menghanguskan jantung dan menghancurkan isi dada dan untuk melakukan ini, kedua tangan Lu Sian
mengeluarkan asap hitam dan seakan-akan membara saking panasnya.



Dua pukulan yang dahsyat itu tepat mengenai sasarannya, di kedua pundak dekat leher kakek tua renta. Akan
tetapi kakek itu masih tetap enak-enak duduk mainkan yang-khim sedangkan Lu Sian terhuyung-huyung ke belakang
seperti orang mabok. Kedua tangannya tadi jelas mengenai sasaran, akan tetapi semua tenaganya seperti disedot
ke dalam samudra yang tak berdasar, membuat ia kehilangan keseimbangan, bahkan akibatnya ia merasa dirinya
kosong sama sekali! ia bengong memandang kakek itu yang jelas mulai tampak terkena akibat pukulannya. Kulit
kakek itu dari pundak terus sampai ke leher dan mukanya berubah hitam sekali, penuh hawa beracun dari
pukulannya tadi. Akan tetapi mulut itu masih tersenyum dan kini sepasang mata yang bening seperti mata
kanak-kanak memandangnya penuh perasaan iba! Kemudian terdengarlah nyanyian kakek itu diiringi suara yang-khim.



"Kejahatan yang dilakukan terhadap

seorang tak berdosa

akan berbalik menimpa si dungu

yang melakukannya,

bagaikan menebarkan debu

melawan arah angin

yang akan menimpa dirinya sendiri!"




Lu Sian masih berdiri bengong memandang kakek itu dan mengira bahwa sebentar lagi kakek itu tentu akan roboh
dan tewas akibat hawa pukulannya. Akan tetapi anehnya, kakek itu masih tersenyum dan warna menghitam itu bahkan
perlahan-lahan lenyap dari kulit muka dan lehernya. Bagaikan dalam mimpi Lu Sian jatuh terduduk dan
mendengarkan nyanyian wejangan kakek itu yang serasa meremas-remas jantungnya.



"Engkau bagaikan setangkai daun yang mengering layu

urusan kematian telah mendekatimu.

Engkau berdiri di ambang pintu kematian

apakah persiapanmu untuk bekal di perjalanan!

Buatlah pulau perlindungan bagimu,

berjuanglah segera penuh bijaksana.

Apabila engkau bersih dari noda dan bebas dari dosa

engkau akan mencapi sorga, alam para Ariya!

Berapa lama hidup ini?

Tanpa terasa engkau sudah menghampiri Raja Kematian.

Tiada akan ada tempat untuk istirahat di perjalanan

dan engkau belum menyiapkan suatu perbekalan!"




Suara itu merayu dan seperti menghimpit perasaan Lu Sian. Tidak kuat ia menahan lebih lama lagi, maka sambil
berlutut di depan kakek itu ia berteriak.



"Orang tua... aku mengaku kalah. Kau bunuhlah aku, tak perlu menyiksaku dengan kata-kata....!" Lu Sian lalu
menangis tersedu-sedu. Nyanyian kakek itu seakan-akan mendengungkan semua teguran dan peringatan yang keluar
dari mulut puteranya tadi dan karenanya membuat hatinya makin hancur. Teringatlah ia akan kesesatan hidupnya
dan sadarlah ia betapa rindu ia akan kehidupan yang wajar dari manusia biasa dalam sebuah keluarga bahagia,
selama ini.



Suara yang-khim terhenti. Dengan gerakan tenang kakek itu menyandangkan alat musiknya di pundak lalu berkata,



"Terasa tersiksa karena sadar akan dosa-dosanya adalah baik. Yang sudah lalu sudahlah, biarlah perbuatan jahat
tidak diulangi lagi. Biasakan diri tidak menyenangi perbuatan jahat. Penderitaan dalam hidup adalah buah
daripada perbuatan jahat yang menjadi pohon tanaman kita sendiri. Orang yang bersengsara, bukankah engkau yang
disebut Tok-siauw-kwi? Tiada permusuhan di antara kita, mengapa kau datang-datang menyerangku dan kini minta
kubunuh?"



Lu Sian mengangkat muka memandang, akan tetapi tidak kuat ia menentang pandang mata kakek itu lama-lama, maka
ia menunduk lagi dan tetap berlutut, "Semua orang di dunia kang-ouw memusuhiku, mengapa kau tidak? Sudahlah,
tak perlu bermain-main denganku, orang tua. Kau terlalu sakti bagiku, aku mengaku kalah. Lekas kauturunkan
tangan maut menghabisi riwayatku, aku pun sudah bosan hidup!"



Akan tetapi kakek itu tertawa perlahan. "Mengatasi kemarahan dengan kesabaran, mengatasi kebencian dengan kasih
sayang, mengatasi kesombongan dengan kerendahan hati, mengatasi kebohongan dengan kebenaran, mengatasi
kejahatan dengan kebajikan. Ah, Tok-siauw-kwi, penyesalan menyesak dadamu, itu tandanya kesadaran sudah mulai
muncul. Tumpahkanlah penyesalanmu dalam pengakuan agar tidak menyesak dada dan menjadi lapang untuk kau
bertobat."



Kini Lu Sian memandang penuh perhatian kepada kakek itu dan naiklah sedu sedan di kerongkongannya ketika timbul
dugaan hatinya. "Kau... kau... Bu Kek Siansu...?"



Kakek itu tersenyum dan mengangguk. "Kau tahu bahwa aku bukan musuhmu, bukan musuh siapapun juga. Anak baik,
bersediakah kau kembali ke jalan terang?"



Suara ini demikian tenang dan penuh rasa kasih sayang, seakan-akan suara seorang ayah sendiri yang penuh
perasaan iba, Lu Sian menjadi terharu lalu menubruk kaki orang tua itu dan menangis.



Kemudian berceritalah Lu Sian, menceritakan semua pengalamannya yang membuat ia dimusuhi semua orang kang-ouw,
semua perbuatannya dalam mengabdi kepada nafsu-nafsunya. Tanpa malu-malu dan secara terang-terangan ia bukakan
semua isi hatinya kepada kakek ini. Ia bercerita tentang Kwee Seng, tentang Tan Hui, dan tentang partai-partai
persilatan besar yang pernah ia datangi. Ia mengaku telah mencuri kitab-kitab di Siauw-lim-pai, di Go-bi-pai,
mencuri pedang di Hoa-san-pai.



Lu Sian bercerita penuh perasaan sesal sambil menangis dan pada akhir ceritanya ia muntah darah dan roboh
pingsan di depan kaki Bu Kek Siansu yang mendengarkan penuh kesabaran dan pengertian. Kemudian Lu Sian merasa
seakan-akan ia dituntun ke tempat terang, keluar dari tempat yang amat gelap. Dalam keadaan seperti mimpi ia
merasa seperti terbang di antara awan yang menyelubunginya, dan terngianglah di telinganya suara Bu Kek Siansu
yang tenang dan sabar.



"Jauhi segala permusuhan. Jangan layani mereka yang memusuhimu. Bertobat berarti menghentikan semua perbuatan
yang keliru. Kampung halaman merupakan tempat yang paling aman."



Ketika Lu Sian sadar kembali, ia mendapatkan dirinya di tempat tadi, akan tetapi Bu Kek Siansu sudah tidak ada
di situ. Hanya suara kakek itu masih terus bergema di telinganya. Teringat akan ayahnya, akan Beng-kauw dan
kota raja Nan-cao, teringat ketika ia masih kecil ikut ayahnya merantau. Terbayanglah ia akan istana di bawah
tanah yang menjadi tempat rahasia Beng-kauw. Tempat itukah yang disindirkan oleh Bu Kek Siansu dalam
nasihatnya? Lu Sian bangkit berdiri, tubuhnya terasa lemah dan dengan terhuyung-huyung wanita yang selama
bertahun-tahun ini menimbulkan banyak geger di dunia kang-ouw, kini pergi dengan hati perih dan pikiran hampa.



"Kek, apa maksudmu dengan jatuh ke atas?"



"Mereka itu orang-orang yang telah naik menempati kedudukan, akan tetapi makin tinggi kedudukan mereka, makin
jahatlah sepak terjang mereka. Yang kuat mempergunakan kekuatannya untuk menindas yang lemah. Yang pintar
mempergunakan kepintarannya untuk menipu yang bodoh. Yang bodoh dan lemah memang jatuh ke bawah akan tetapi
yang kuat dan pintar itu bukankah berarti jatuh ke atas? Ada dua macam kejahatan, akan tetapi
secelaka-celakanya jatuh ke bawah, lebih sialan lagi yang jatuh ke atas, ha-ha-ha!"



Bu Song sejak kecil dijejali filsafat, maka ia dapat menangkap arti kata-kata sulit kakek itu. "Kek, jadi
menurut keyakinanmu, tidak perlu kita menempuh ujian dan menduduki pangkat?"



"Kalau kau ikut-ikut jatuh ke atas...." "Kau keliru sama sekali, Kek. Kalau semua orang terpelajar seperti
engkau ini pendiriannya, hanya mengeluh dan menangis, menyanyikan sajak-sajak kosong, meratapi nasib rakyat dan
memaki-maki kelaliman para pembesar, apakah akan jadinya? Keadaan takkan berubah baik, bahkan makin memburuk.
Kita harus bergerak. Kita harus bekerja dan berusaha memberantas semua yang buruk, mempergunakan kekuasaan dan
kebisaan kita masing-masing! Bahkan dengan kepandaian kita, kita harus dapat menempati kedudukan yang
memungkinkan kita menggunakan kekuasaan kita merubah segala hal yang tidak patut. Kek, apakah artinya menghafal
sepuluh ribu ujar-ujar baik tanpa melakukannya dalam hidup? Lebih baik mengetahui satu saja akan tetapi
betul-betul dijalankan dalam hidup."



Tiba-tiba kakek itu memandang dengan mata terbelalak. Maboknya seperti hilang seketika dan ia memegang pundak
Bu Song sambil bertanya, "Kau... kau siapa...?"



"Sudah kukatakan tadi, Kek, namaku Liu Bu Song." Pemuda ini tidak mau menggunakan she ayahnya, karena nama Kam
Si Ek terlampau terkenal di kota raja, maka ia sengaja menggunakan she ibunya.



"Kau... lain daripada yang lain. Kau masih muda, semangatmu besar. Kau... murid siapakah?"



"Guruku yang terhormat, yang memberi bimbingan kepada saya sejak kecil adalah Kim-mo Taisu."



"Ahhh...! Kiranya dia gurumu! Kalau begitu pantas saja kau bicara besar, kiranya kau seorang ahli silat pula
yang dapat mengandalkan kepandaian kasar itu utuk mencari kedudukan!"



"Harap kau orang tua jangan salah duga. Suhu hanya mengajarkan ilmu sastera kepadaku, sama sekali aku tidak
pernah mempelajari ilmu silat. Aku benci ilmu itu yang hanya dipergunakan untuk saling bunuh."



Sejenak kakek itu memandang penuh keheranan, kemudian ia merangkul pundak Bu Song. "Bagus! Kalau begitu kaulah
orangnya yang patut mewarisi suling emas!"



"Apa, Kek? Apa maksudmu?" "Orang muda, pernahkah kau mendengar nama sastrawan Ciu Bun?" Bu Song menggeleng
kepala.



"Kalau nama kakakku Ciu Bun yang amat terkenal saja kau tidak pernah dengar apalagi namaku. Aku adalah Ciu Gwan
Liong, adiknya. Akan tetapi biarpun nama kami berdua kau tak pernah dengar, tentu kau sudah mendengar nama
besar Bu Kek Siansu."



Bu Song mengangguk. "Aku pernah mendengar Suhu menyebut-nyebut nama kakek sakti itu."



"Tentu saja. Gurumu mana bisa menjadi begitu lihai kalau tidak bertemu dengan Bu Kek Siansu? Ketika itu di
puncak Thai-san, secara kebetulan gurumu dan kami berdua menerima anugerah dari Bu Kek Siuansu. Gurumu menerima
petunjuk ilmu silat, sedangkan kami orang-orang sastrawan yang lemah, menerima kitab sajak ini dan suling emas.
Kitabnya diberikan kepadaku ini dan suling emasnya berada di tangan kakakku Ciu Bun. Akan tetapi terpaksa kami
berdua pisah. Kerajaan jatuh bangun, para sastrawan tidak mendapat penghargaan sama sekali. Selain itu juga
ternyata suling emas dan kitab ini tidak hanya berguna bagi para sastrawan menghibur diri dan menenangkan hati,
malah dijadikan perebutan para tokoh kang-ouw! Kami dikejar-kejar terutama sekali kakakku sehingga terpaksa
kakak Ciu bun melarikan diri dan bersembunyi di pulau kosong di Lam-hai. Kami berdua sudah bersepakat untuk
mempertahankan kitab dan suling, dan telah bersepakat pula kelak memberikan kepada orang yang kami pandang
tepat. Nah, pilihanku jatuh kepadamu, orang muda. Tidak salah lagi, apalagi engkau murid Kim-mo Taisu. Ah,
Thian agaknya sengaja mengirim kau ke sini untuk membebaskan aku daripada tugas menyimpan kitab ini.
Kausimpanlah kitab ini baik-baik, dan kelak, kaucarilah kakakku di Pek-coa-to di Lam-hai, kau perlihatkan kitab
ini tentu suling emasnya akan diberikan kepadamu. Kau minta petunjuk dari padanya, kedua benda pusaka itu kelak
amat berguna bagimu. Lekas simpanlah...!" Kakek itu memasukkan kitab kecil di tangan cepat-cepat ke dalam saku
baju Bu Song sebelah dalam. "Lindungi kitab ini dengan taruhan nyawamu...!" Tergesa-gesa kakek itu memberi
pesan ini dan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda. Kiranya tujuh orang berkuda tadi sudah kembali lagi dan kini
mereka meloncat turun dari atas kuda, lalu langsung menghampiri sastrawan tua Ciu Gwan Liong dan Bu Song.
Sastrawan itu masih duduk bersila akan tetapi Bu Song sudah bangkit berdiri melihat tujuh orang itu datang
dengan sikap mengancam. Si Komandan bermuka hitam lalu langsung menyerbu Ciu Gwan Liong dan menangkap leher
bajunya, ditariknya ke atas dengan amat mudah sehingga tubuh kakek sastrawan itu tergantung.



"Ah, kiranya kau tua bangka pengemis inilah sastrawan Ciu Gwan Liong! Hayo mengakulah, bukankah kau Ciu Gwan
Liong?"



"Aku benar she Ciu bernama Gwan Liong," jawab kakek itu dengan suara angkuh biarpun keadannya amat terhina
seperti itu. "Kalian ini anjing-anjing peliharaan yang hanya mengandalkan sisa makanan pembesar negeri, mengapa
bersikap begini kasar dan tidak sopan terhadap orang tak bersalah?"



"Wah, mulut besar! Hayo ikut kami menghadap Taijin!" Si Muka Hitam lalu melemparkan tubuh kakek itu kepada anak
buahnya yang menerima tubuh kakek itu sambil tertawa-tawa. Di lain saat tubuh kakek itu sudah direbahkan
tertelungkup melintang di atas punggung kuda seperti segulung tikar.



"Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap
orang secara sewenang-wenang?"



"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam
marah sekali.



Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras, "Justeru karena kalian
alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan
alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan
dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang
tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian
akan dipecat dan dihukum!"



Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang
berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu
Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.



"Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri,
tolol!"



Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri,
maka ia sudah cepat bangun kembali.



"Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula. Si Muka Hitam tertawa dan
juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini
masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?



"Kau menentang?" bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song. Pemuda
ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan
kiri yang menyusul.



"Dessss!" Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras
telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras. Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan
tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat,
seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia
menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi,
kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa
jerih juga terhadap pemuda aneh itu.



Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah
menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan
ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya. Darah mengucur dari leher mereka
seperti sekawanan lembu dipotong lehernya.



Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan
menolongnya turun dari atas punggung kuda. Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan
lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.



"Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus
anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."



Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat. "Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini
dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."



"Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."



"Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja!
Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa
kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"



Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin, "Kami
hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua) kami."



"Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan
memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu
terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang
Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti
Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah
melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"



Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat
pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan
tua itu cepat-cepat berkata, "He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil
mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu.
Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"



Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi
kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini
diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata, "Orang tua, kalau begitu biarlah
kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik." Kemudian ia melempar pandang penuh teguran
kepada dua orang hwesio itu dan membalikan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.



Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan
menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.



"Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!" "Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku
mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan
tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"



"Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar
dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Sebuah benda bersinar terang
menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan
tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya! Akan tetapi karena ia tidak
pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat
itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur
hui-to (golok terbang) itu.



"Cringg!" Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja.



Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua
kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila. Bu Song tentu saja
mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun
ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui
bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.



"Kong-lo Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum
lama ini seorang saudara kami kaubujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kaubiarkan ia tewas di tangan Kim-mo
Taisu!"



"Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!" "Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak
menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan
sekarang apalagi yang hendak kaulakukan kepada kami?"



"Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian
membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas
menggelinding pergi dari sini!"



"Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"



Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok
terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian
yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan
mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat
karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi. Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri
karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat
menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya. Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi
seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo
Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan
hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan
roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil!



Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti
yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum
bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong
belaka. Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini
diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.



Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar
berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara
nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan
semacam musik yang aneh.



Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti
melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan. Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin
pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili
kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi
beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan
tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.



Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan
tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu
gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat
kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.



"Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh
dengan golok terbang!"



Kong Lo Sengjin tertawa. "Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau di sini
yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!"



Bu Song kaget sekali. "Apa... apa maksud Locianpwe...?" Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak,
mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan
tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya
dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!



"Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin. Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak
dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak
suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa
dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga
saktinya untuk memaksa dan mendorongnya.



Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil tidak berhasil
merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu
kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu
saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan!



Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya.
Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main
hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar
kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.



"Ha-ha-ha, kalian hendak lari ke mana?" Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari
leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa
kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik, "Hayo cepat kejar mereka, tolol!" Akan tetapi Bu Song
yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang
memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja.



Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan
kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua
serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik
oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan
susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.



"Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song. Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan
berdiri tegak.



"Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?"



"Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi.



Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru. "Celaka, Kakek itu menggantung
diri!"



Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang
ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan
dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya.



"Tua bangka sialan!" Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah
megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya. Akan
tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua
pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru,



"Di mana kitab itu? Hayo katakan, di mana kitab itu?" Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.



"Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..."



"Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, di mana kitab itu kausembunyikan? Demi iblis, kalau tidak
mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"



"Locianpwe..." Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan
kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.



"Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..." Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika
Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.



"Biarkan aku mengubur jenazahnya..." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang
mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan mayat mereka juga..." tambahnya.



"Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada di sini?"



"Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan
gunung untuk membalas dendam kematian Subo."



Kong Lo Sengjin termenung sejenak. "Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera pergi
dari sini!"



Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih
dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan
sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan
tubuhnya, ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu.



"Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu
akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada
siapapun juga. Awas kalau, kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghacurkan kepalamu, mengerti?"



"Mengerti, Locianpwe."



Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu
Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur
mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi. Matahari telah terbenam ke langit barat
ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan
perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.



Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia
melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang
berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang
gedung-gedung besar itu. Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di
ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kotaraja sebelah barat. Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar,
dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua. Karena hari sudah menjelang gelap,
Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan
itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak
banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya
tentang seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu.



"Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini.
Apakah Kongcu hendak menemuinya?"



"Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya ke sana."



Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya.
Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat
losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya.



Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya
biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata,



"Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu
yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada
laki-laki berjenggot itu.



Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat
dan wajahnya berubah penuh hormat. "Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silakan
duduk, silakan..."



Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu
Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat
surat dan menyimpannya dalam saku baju. "In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian
dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin
menolongmu, Hiante."



Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata, "Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk."



Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang. "Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan
kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah
aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja.
Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap
dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu
beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan
dilewatkan begitu saja."



"Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."



"Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan
budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami
serumah tangga sudah binasa semua!" Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan
penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi
gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai
sekarang.



Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang
semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui.
Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian.



Memang benar apa yang diceritakan Ciu Tang kepada Bu Song. Pada waktu itu, yang menjadi kepala bagian ujian
adalah Pangeran Suma Kong, seorang pangeran yang menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan besar bagi
dirinya sendiri. karena dia masih terhitung warga dengan keluarga Raja Cou Muda, maka kekuasaannya besar juga
dan biarpun tindakannya yang korup ini bukan rahasia lagi, namun tidak ada yang berani mengganggunya. Karena ia
hanya memperhatikan para pelajar pengikut ujian yang sanggup memberi sogokan besar, maka hasil ujian itu tentu
saja bukan didasarkan atas baik buruknya tulisan atau pandai tidaknya si pengikut, melainkan didasarkan atas
besar kecilnya uang sogokan! Tentu saja Pangeran Suma Kong bukan seorang sembrono. Dia tentu lebih senang kalau
mendapatkan penyogok yang memang pintar, karena meluluskan seorang pengikut yang terlalu bodoh juga merupakan
hal yang mendatangkan resiko besar baginya. Maka setiap diadakan ujian, dia sendiri selalu memeriksa hasil para
pengikut.



Kurang lebih sebulan setelah Bu Song tiba di kota raja, ujian diadakan. Dengan hati berdebar Bu Song mengikuti
ujian dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat kenyataan betapa mudah pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
dalam kertan ujias, dan betapa mudah judul-judul yang harus ia buat dalam karangan. Pada masa itu, ujian
didasarkan kepada pengetahuan filsafat-filsafat dan ujar-ujar dari kitab-kitab kuno. Karena Bu Song memang
menggemari hal ini, tentu saja hampir semua telah hafal olehnya dan dengan mudah saja ia memenuhi syarat dan
dapat menjawab dengan memuaskan dalam bentuk tulisan yang indah. Ciu Tang bukanlah seorang kaya raya. Memang ia
pun memberi uang sogokan untuk membela Bu Song, akan tetapi dibandingkan dengan penyogok-penyogok lain,
jumlahnya terlalu kecil. Akan tetapi karena Ciu Tang seringkali menjadi "perantara" bagi para penyogok yang
tiap tahun membanjiri kota raja, dia sudah dikenal oleh pangeran Suma Kong dan inilah yang memberi harapan
kepadanya karena dalam suratnya ia mengaku bahwa Liu Bu Song adalah seorang keponakannya sendiri!



Seperti biasa terjadi tiap tahun, hasil ujian itu menghancurkan harapan puluhan, bahkan ratusan pelajar yang
semula datang ke kota raja penuh harapan. Mereka dinyatakan gagal dalam ujian! Bertahun-tahun waktu terbuang
sia-sia mempelajari puluhan ribu huruf, menghafal ratusan sajak, menelan ribuan bait ujar-ujar kuno! Hanya
beberapa puluh orang yang dinyatakan lulus, yaitu mereka yang membawa bekal cukup tebal. Di antara mereka yang
dinyatakan tidak lulus termasuk nama Liu Bu Song!



"Luar biasa!" Bu Song berseru heran dan menyesal ketika mendengar pengumuman itu. "Semua pertanyaan dapat saya
jawab dan semua sajak dan karangan saya tulis sebaiknya dalam waktu paling cepat!"



"Tidak aneh... sama sekali tidak aneh!" kata Ciu Tang sambil menggerak-gerakkan tangan. "Kita tidak punya
banyak emas, itulah sebabnya kau tidak lulus, Hiante. Saya menyesal sekali, dan merasa malu hati terhadap
inkong Kim-mo Taisu, akan tetapi apa mau dikata, saya bukanlah orang kaya..."



"Harap Paman Ciu Tang jangan sesalkan hal itu!" Cepat Bu Song berkata menghibur. "Suhu sendiri sudah tahu akan
hal ini dan sama sekali bukan kesalahan Paman. Saya yakin bahwa Paman sudah cukup memperjuangkan dan biarpun
saya tidak lulus, tetap saja saya takkan melupakan budi kebaikan Paman. Hanya saya merasa penasaran dan heran,
mengapa orang-orang terpelajar seperti mereka yang duduk di atas itu sampai hati melakukan hal-hal yang
demikian memalukan? Tadinya saya kira hanya ilmu kepandaian bu (silat) saja yang dapat dipergunakan orang untuk
kejahatan, siapa orangnya tidak akan merasa heran dan bingung memikirkan betapa orang-orang yang mempelajari
segala macam keindahan seni seperti melukis dan membuat sajak, menulis halus, dapat melakukan hal-hal yang
hanya patut dilakukan seorang penjahat!"



"Sekarang bagaimana, Hiante? Kemana Hiante hendak pergi? Apakah hendak kembali kepada inkong Kim-mo Taisu?"



Bu Song termenung. Ke mana? Gurunya pergi entah ke mana dan entah bila kembalinya. Dan untuk apa kembali ke
puncak gunung? Tidak ada siapa-siapa di sana, yang ada hanya kuburan Eng Eng! Yang ada hanya kenangan penuh
duka. Mencari ibunya! Ya, dia akan mencari ibunya, akan merantau ke mana saja. "Saya akan pergi, Paman. Besok
saya pergi, entah kemana belum dapat saya katakan..."



Ciu Tang merasa kasihan kepada pemuda ini. "Liu-hiante, kalau kau suka tinggal di sini, biarlah kau membantu
perusahaanku. Bukan pekerjaan yang layak untuk seorang pelajar seperti engkau, akan tetapi lumayanlah sambil
menanti kesempatan diadakan ujian lain tahun."



Akan tetapi sama sekali Bu Song tidak tertarik lagi. Ia menggeleng kepala dan menjawab, "Terima kasih, Paman.
Akan tetapi saya lebih suka merantau..."



Pada keesokan harinya, pagi sekali Bu Song sudah siap hendak berangkat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
berhenti di depan rumah Ciu Tang dan seorang laki-laki berpakaian gagah turun dari kuda, menghampiri pintu dan
langsung bertanya kepada Bu Song yang duduk di luar bersama Ciu Tang.



"Apakah di sini tinggal seorang pelajar bernama Liu Bu Song?" Bu Song cepat bangkit berdiri dan menjura. "Saya
sendiri bernama Liu Bu Song."



Orang itu memandangi Bu Song penuh perhatian, lalu balas menjura. "Saya di utus sama Suma-ongya menyerahkan
sepucuk surat." Ia mengeluarkan surat itu yang terbungkus sebuah sampul yang gagah tulisannya.



"Ah, kiranya dari Suma-ongya...! Liu-hiante lekas sambut surat ongya dengan penghormatan selayaknya!" Berkata
demikian, Ciu Tang menarik tangan Bu Song untuk menjatuhkan diri berlutut di depan utusan itu dan menerima
surat sambil berlutut!



"Silakan Tuan mengambil tempat duduk dan minum sedikit arak kami yang hangat," Ciu Tang menawarkan.



Orang itu memberi hormat dan berkata, "Terima kasih, saya ada keperluan lain. Hanya saya mendengar pesan Ong-ya
tadi bahwa orang muda ini amat diharapkan kedatangannya menghadap secepatnya!" Ia menjura lagi lalu keluar dan
meloncat ke atas kudanya. Terdengar derap kaki kuda menjauhi rumah itu.



Ciu Tang menarik tangan Bu Song berdiri. Pemuda itu masih bengong karena ia merasa kurang senang harus menerima
surat secara itu, seperti menerima maklumat raja saja!



"Lekas buka dan baca, Hiante. Siapa tahu engkau mendapatkan keistimewaan, karena surat dari Suma-ongya tentu
hanya ada hubungannya dengan hasil ujianmu. Lekas buka dan baca!" Suara Ciu Tang gemetar penuh ketegangan.



Akan tetapi Bu Song tenang-tenang saja. Jari-jarinya tidak gemetar ketika ia membuka sampul surat itu dan
mencabut keluar sehelai kertas tipis halus yang penuh tulisan indah.



"Pangeran Suma Kong tertarik akan tulisan pengikut ujian Liu Bu Song dan memerintahkan kepadanya datang
menghadap secepatnya ke istana untuk diberi tugas pekerjaan."



"Wah, kionghi..., kionghi... (selamat..., selamat), Liu-hiante!" seru Ciu Tang kegirangan.



Akan tetapi Bu Song tidaklah segembira Ciu Tang. Sesungguhnya bukan pangkat dan kedudukan yang ia harapkan dari
hasil ikut ujian ini, apalagi kalau kedudukan itu ia dapatkan seperti seorang pengemis menerima sedekah! Apa
sesungguhnya yang menjadi tujuannya mengikuti ujian, dia sendiri pun tidak tahu. Semenjak kecil dahulu, ia
mempelajari ilmu kesusasteraan adalah karena memang ia suka membaca dan menulis, suka membaca sajak-sajak dan
kitab-kitab kuno tentang filsafat hidup. Dan kini ia mengikuti ujian hanya untuk mentaati perintah suhunya. Di
samping ini, memang ia pun tahu bahwa semua orang mengejar ilmu kepandaian bun akhirnya untuk mengikuti ujian
dan mendapat gelar siucai, sungguhpun ia sendiri tidak pernah mengerti apakah artinya mendapatkan gelar itu.
Agaknya oleh karena ia tidak suka mempelajari ilmu silat itulah yang membuat ia lebih condong memperdalam ilmu
sastera.



"Paman Ciu, mengapa Paman memberi selamat kepadaku? Bagiku sendiri, aku belum tentu suka menerima penawaran
ini."



"Hah? Bagaimana ini, Liu-hiante? Diberi tugas pekerjaan oleh Suma-ongya, hal ini merupakan penghormatan yang
amat tinggi! Belum tentu ada seorang di antara seratus yang memiliki nasib sebaik ini. Apalagi kalau diingat
bahwa kau dinyatakan tidak lulus ujian!"



"Justeru itulah, Paman, yang membuat hatiku menjadi dingin. Kalau aku dinyatakan tidak lulus, mengapa diberi
pekerjaan? Kalau Pangeran itu tertarik akan tulisanku, mengapa pula aku tidak lulus?"



"Ah, engkau masih saja belum dapat melihat kenyataan, Liu-hiante. Suma-ongya tertarik hatinya melihat tulisanmu
yang indah lalu ingin memberi pekerjaan, itu berarti jodoh dan memang bintangmu sedang terang. Adapun tentang
tidak lulusmu dalam ujian, itu adalah karena kurang syaratnya. Mengapa hal seperti itu masih diherankan pula?"



Bu Song mengangguk. "Sungguh, Paman. Aku sudah dapat melihat kenyataan, kenyataan yang amat pahit, kenyataan
menyedihkan yang membuat aku enggan bekerja pada seorang pembesar yang demikian tidak adilnya. Aku akan pergi
saja sekarang juga, Paman."



Ciu Tang melompat bangun dan memegangi lengan pemuda itu, mukanya berubah pucat. "Liu-hiante... memang saya
tidak berhak memaksamu..., akan tetapi apakah kau hendak merusak apa yang pernah dilindungi Suhumu?"



"Apa maksudmu, Paman?"



"Keselamatan keluargaku pernah satu kali diselamatkan Suhumu dan untuk itu aku selamanya takkan melupakan budi
Suhumu. Akan tetapi kalau sekarang engkau pergi, berarti keselamatan keluargaku akan hancur. Suma-ongya tentu
takkan mau menerima penolakanmu begitu saja. Penolakanmu akan dianggap sebagai penghinaan dan karena aku sudah
mengakuimu sebagai keponakanku sendiri, tentu saja kemarahannya akan ditimpakan kepada diriku sekeluarga."



"Ah, begitukah...?" Bu Song menjatuhkan diri duduk di atas bangku dengan tubuh lemas. Tentu saja ia tidak
menghendaki hal itu terjadi.



"Kalau Hiante suka memenuhi undangan dan perintah Suma-ongya, berarti kau telah mengulang perbuatan mulia
Suhumu dan telah menolong kami sekeluarga, karena sedikit banyak diterimanya engkau di sana memberi muka terang
kepadaku. Untuk itu sebelumnya saya menghaturkan banyak terima kasih!" Setelah berkata demikian, Ciu Tang
menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.



Bu Song cepat-cepat dan sibuk mengangkat bangun tuan rumah itu dan ia berkata, "Harap Paman jangan bersikap
seperti ini. Baiklah, saya akan pergi menghadap Suma-ongya sekarang juga dan marilah Paman menemaniku."



"Tentu saja! Tentu saya antar! Tunggu saya berganti pakaian, dan kau pun harus mengenakan pakaian yang paling
rapi, Hiante?" Seperti seorang anak kecil menerima hadiah Ciu Tang berlari-lari memasuki ramahnya dengan wajah
amat gembira.



Bu Song menarik napas panjang, termenung sejenak, lalu mengangkat kedua pundaknya dan membuka bungkusan untuk
berganti dengan pakaiannya yang bersih. Tak lama kemudian keduanya telah berangkat menuju ke istana Pangeran
Suma Kong. Di sepanjang jalan, Ciu Tang mengangkat dadanya tinggi-tinggi dan setiap kali ada seorang kenalan
bertanya, ia menjawab dengan suara dikeraskan, "Pergi mengantar keponakanku yang diterima menjadi pembatu
Suma-ongya!"



Bu Song yang dapat melihat dan mengenal watak manusia dari pelajaran di kitab-kitabnya, hanya tersenyum dan
diam-diam ia merasa kasihan kepada orang baik yang berwatak lemah ini.



Betapapun juga, ia merasa amat kagum ketika ia diterima oleh penjaga dan dibawa masuk ke ruangan depan istana
yang megah itu. Semua perabot serba indah dan mewah, juga bersih mengkilap. Pada dinding bergantungan
lukisan-lukisan yang amat luar biasa, dihias tulisan-tulisan yang luar biasa indahnya pula. Bukan main, pikir
Bu Song. Samar-samar ia masih teringat bahwa ketika kecil dahulupun rumah ayahnya merupakan sebuah gedung
besar, namun tidaklah sehebat ini. Istana ini penuh dengan benda-benda seni yang menggetarkan hati setiap orang
sastrawan yang suka akan hasil karya yang indah-indah seperti itu.



Mereka disuruh menanti di ruangan depan, yaitu ruangan tamu, karena menurut penjaga, Sang Pangeran masih belum
bangun dari tidurnya! Akan tetapi, agaknya maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang diundang oleh Pangeran,
maka tak lama kemudian seorang pelayan keluar membawa teh wangi yang hangat!



Bu Song tak dapat diam di atas bangku. Ia menoleh ke sana ke mari mengagumi dan membaca sajak-sajak pasangan
yang menghias dinding, juga kadang-kadang menengok keluar untuk menikmati keindahan taman bunga yang
mengelilingi istana itu. Jauh di samping, agak ke belakang, melalui sebuah pintu berbentuk bulan, ia dapat
melihat kolam ikan dengan air mancur tinggi. Air itu memecah di atas dan karena matahari pagi sudah mulai
bersinar, tampaklah air itu menjadi beraneka warna seperti pelangi. Bukan main!



Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh langkah seorang dari luar dan ternyata dia adalah seorang pemuda yang
berpakaian indah dan berwajah tampan, berusia dua puluh tahun lebih, pakaiannya seperti sastrawan pula, akan
tetapi begitu bertemu pandang, Bu Song di dalam hatinya mendapat kesan tak menyenangkan. Pada pandang mata itu,
dan bentuk hidung itu, membayangkan sesuatu yang tidak baik. Ia tidak tahu siapa adanya pemuda berpakaian mewah
ini, maka ia duduk saja dengan tenang.



Tidak demikian dengan Ciu Tang. Melihat pemuda ini, segera ia bangkit berdiri menyambut maju dan begitu pemuda
itu memasuki ruangan, ia segera menjura dengan dalam sehingga tubunya terlipat dua, mulutnya berkata penuh
hormat. "Suma-kongcu, selamat pagi....! Harap kongcu selalu dalam sehat gembira!"



Pemuda itu berhenti dan membalas penghormatan yang berlebihan itu dengan anggukan kepalanya. "Ah, bukankah kau
Paman Ciu Tang yang membuka pegadaian di dekat losmen Liok-an? Ada apa pagi-pagi ke sini, dan siapakah Saudara
ini?"



Biarpun kata-katanya ramah, namun mengandung ketinggian hati. Ciu Tang menengok dan berkedip kepada Bu Song,
memberi isyarat supaya pemuda itu bangkit berdiri lalu memperkenalkan, "Begini, Kongcu. Keponakan hamba ini,
Liu Bu Song, mengikuti ujian dan agaknya menarik perhatian Suma-ongya maka kini dipanggil menghadap."



Terpaksa Bu Song mengangkat kedua tangan dan memberi hormat selayaknya menurut kesopanan. Pemuda itupun hanya
mengangguk, akan tetapi matanya memandang Bu Song penuh perhatian. Ia melihat pemuda sederhana itu tubuhnya
tinggi besar dan membayangkan tenaga kuat, namun sikapnya sederhana dan sewajarnya, sama sekali tidak
memperlihatkan sikap congkak seperti biasa seorang terpelajar, juga tidak membayangkan sikap menjilat seperti
orang-orang macam Ciu Tang. Diam-diam putera pangeran ini tertarik dan senang hatinya. Ia benci melihat
pemuda-pemuda yang tinggi hati, akan tetapi lebih benci lagi melihat mereka yang suka menjilat.



Pemuda ini adalah putera Pangeran Suma Kong. Namanya Suma Boan dan dia bukanlah seorang pemuda yang tidak
terkenal. Mungkin lebih terkenal daripada ayahnya, karena pemuda ini selain suka bergaul dengan rakyat, juga ia
terkenal seorang pemuda yang pandai ilmu silat. Kesukaannya memang mempelajari ilmu silat dan entah berapa
banyaknya guru silat yang pernah mengajarnya dan juga pernah ia robohkan. Setiap ia mendengar ada seorang guru
silat baru, ia tentu mendatanginya dan mengajaknya pibu. Kalau ia kalah, dia memberi hadiah banyak dan minta
diajar ilmu yang telah mengalahkannya, akan tetapi kalau guru silat itu kalah, jangan harap guru silat itu
dapat membuka perguruannya. Wataknya peramah dan pandai bergaul, akan tetapi sayang sekali, pemuda bangsawan
ini pun seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita cantik mengandalkan kedudukan dan kepandaiannya.
Akhir-akhir ini kepandaiannya melonjak cepat sekali. ia menemukan seorang guru yang benar-benar hebat, yaitu
Pouw-kai-ong yang sudah kita kenal! Raja Pengemis she Pouw itu menjadi guru Suma Boan sehingga pemuda bangsawan
ini memiliki ilmu silat tinggi dan ia bahkan di dunia kang-ouw mendapat julukan Lui-kong-sian (Dewa Geledek),
sebuah julukan yang diberikan orang untuk mengangungkannya dengan maksud menjilat!



"Saudara Liu, apakah kau selain pandai bun juga pernah mempelajari silat?" dengan sikap seperti seorang kenalan
lama Suma Boan bertanya, matanya mengincar tajam.



Bu Song menggeleng kepalanya. "Tidak pernah, Kongcu. Seorang terpelajar yang tahu bahwa penggunaan kekerasan
adalah tidak baik, untuk apa belajar silat? Saya tidak pernah mempelajarinya."



Suma Boan tersenyum mengejek dan pandangannya kini merendahkan. "Memang jarang ada Bun-bu-coan-jai (pandai
silat dan sastera) sekarang ini!" Ia berjalan keluar lalu berhenti dekat sebuah arca singa barong. "Kalian
lihat, apakah kepandaian seperti ini tidak ada gunanya?" Tangannya menangkap leher arca itu dan sekali ia
berseru, singa-singaan itu terlontar ke atas, lebih tiga meter tingginya, kemudian ia sambut lagi kini terletak
di atas telapak tangannya! Lengan dan tubuhnya tergetar tanda bahwa ia mengerahkan tenaganya, kemudian sekali
ia menggerakkan tangan, arca itu terlempar ke depan dan roboh terguling di atas tanah. "Hebat... sungguh luar
biasa kekuatan Suma-kongcu...!" Ciu Tang bersorak, bukan hanya terdorong sikapnya suka merendah dan menjilat,
akan tetapi betul-betul ia kagum. Singa-singaan dari batu sebesar itu tentulah amat berat.



"Bagaimana, Saudara Liu?" Suma Boan bertanya, tidak pedulikan pujian Ciu Tang.



"Tenaga Suma-kongcu benar-benar luar biasa. Saya kagum sekali."



Agaknya putera bagsawan itu cukup merasa puas mendengar ini. Bu Song memang seorang pemuda yang pandai membawa
diri. Tanpa menjilat pun ia sanggup untuk menyesuaikan diri dan menyenangkan hati orang lain. Suma Boan lalu
berteriak memanggil beberapa orang penjaga yang menjaga di gerbang pintu luar. Empat orang penjaga berlarian
datang, siap menangkap atau memukul siapa saja atas perintah putera majikan mereka. Akan tetapi kali ini tidak
ada pekerjaan pukul-memukul bagi mereka.



"Kalian angkat singa-singaan ini dan kembalikan di tempatnya semula!" kata Suma Boan, kemudian sambil
menepuk-nepuk telapak tangan menghilangkan debu ia melangkah lebar memasuki taman di samping istana dan lenyap
ke dalam pintu berbentuk bulan.



Empat orang penjaga itu saling pandang. "Bagaimana bisa pindah ke sini?" Seorang diantara mereka mengomel.



Ciu Tang tertawa dan memberi keterangan. "Baru saja Suma-kongcu mempermainkannya dan melontarkan ke atas
seperti sebuah singa kertas saja."



Empat orang itu menggoyang-goyang kepala dan seorang di antara mereka mengomel perlahan, "Ah, kenapa tidak
dikembalikan sekalian ke tempat semula?" Biarpun mengomel, mereka lalu menghampiri singa-singaan batu itu dan
berempat mereka mengerahkan tenaga. Singa barong dari batu hanya bergoyang-goyang saja, akan tetapi tidak dapat
terangkat oleh mereka!



Ciu Tang meleletkan lidahnya saking kagum. "Empat orang tak mampu mengangkatnya, tapi Suma-kongcu dapat
memainkannya dengan sebelah tangan. Benar-benar seperti dewa!"



"Apa anehnya? Beliau memang Lui-kong-sian, tentu saja kami berempat tidak boleh dibandingkan dengan sebelah
lengannya! Hayo kita mencari beberapa orang kawan lagi untuk membantu!" Empat orang itu lalu berlarian keluar.



"Hebat...!" Ciu Tang lalu memasuki kembali ruangan tamu. Akan tetapi Bu Song sejenak memandang singa-singaan
batu. Baginya sukar untuk dipercaya bahwa sebuah benda yang tidak kuat diangkat empat orang, dapat dimainkan
dengan sebuah tangan saja. Memang ia sudah terlalu sering menyaksikan kesaktian-kesaktian tinggi seperti
gurunya dan juga orang-orang seperti Kong Lo Sengjin. Dibandingkan dengan kesaktian yang diperlihatkan gurunya,
permainan Suma-kongcu itu hanyalah permainan kanak-kanak. Akan tetapi ia tidak percaya kalau kongcu itu
benar-benar sedemikian kuatnya. Dengan hati ingin tahu ia lalu menghampiri singa-singaan batu itu, mengulurkan
tangan kanan menangkap leher singa-singaan batu lalu menggerakkan tangan sambil mengerahkan tenaga. Singa
barong batu itu tergeser dan terlempar sejauh dua meter!



Bu Song tersenyum, lalu ia mengikuti Ciu Toan masuk ke dalam ruangan tamu. Ternyata empat orang penjaga tadi
hanya main-main, mungkin untuk menyenangkan hati Suma-kongcu, pikirnya. Kalau para penjaga itu mau, jangankan
empat orang, satu orang tentu sanggup mengembalikan singa-singaan itu di tempat asalnya. Bu Song sama sekali
tidak tahu bahwa di dalam dirinya terdapat tenaga yang luar biasa pula, tenaga yang terhimpun oleh
latihan-latihan samadhi dan pernapasan. Akan tetapi ia tidak tahu akan hal ini dan tidak pandai mempergunakan
tenaga sakti yang terhimpun ini. Hanya kadang-kadang secara kebetulan saja, seperti tadi tenaga sakti itu
memperlihatkan diri tanpa ia sengaja. Ketika ia tadi mengerahkan tenaga, secara kebetulan saja jalan darahnya
terbuka sehingga tenaga sakti dapat menerobos dalam lengannya, maka mudah saja baginya untuk melemparkan
singa-singaan itu. Andaikata tidak secara kebetulan tenaga sakti itu dapat menerobos ke dalam lengannya, tentu
ia tidak akan mampu menggerakkan singa-singaan batu yang beratnya lebih dari limar ratus kati itu!



Pada saat itu, seorang pelayan mucul dan mereka dipanggil menghadap ke ruangan samping di mana Pangeran Suma
Kong akan menerima mereka. Mereka mengikuti si pelayan dengan hati berdebar. Masih terdengar oleh Bu Song
teriakan-teriakan kaget dan di luar, "Eh, kenapa singa-singaan ini sudah pindah lagi lebih jauh? Tadi tidak di
sini!" Ia tersenyum menganggap para penjaga yang kini datang delapan orang itu seperti badut-badut yang melawak
untuk menyenangkan hati majikan, atau seperti anjing yang merunduk-runduk dan menggoyang-goyang ekor di depan
majikan.



Menghadapi seorang pembesar yang berpakaian serba indah dan bermuka keren, Bu Song bersikap hormat. Di antara
pelajaran-pelajaran dalam kitab, orang harus menghormat pembesar dan ini merupakan kewajiban seorang bijaksana.
Pembesar mewakili pemerintah, maka harus dihormati selayaknya. Maka ia pun ikut berlutut ketika melihat Ciu
Tang menjatuhkan diri berlutut ketika pembesar itu mucul diikuti oleh dua orang pengawal.



Agaknya Pangeran Suma Kong juga senang hatinya melihat Bu Song, maka ia lalu mengumumkan bahwa Bu Song diterima
bekerja membantunya, sebagai seorang yang mengurus semua surat-surat, membuatkan surat-surat pengumuman,
mencatatkan harta yang masuk dan keluar, juga membantu pangeran itu mengurus perpustakaan negara yang menjadi
salah satu tugas Pangeran Suma Kong.



Bu Song demikian menarik hati pangeran itu sehingga ia malah diperintahkan tinggal di dalam istana, mendapatkan
sebuah kamar di sebelah belakang, yaitu di bagian kamar-kamar pelayan dan pegawai. Bu Song menerima dengan
ucapan terima kasih, kemudian ia diperbolehkan mengantar pulang Ciu Tang yang menjadi girang bukan main.



Demikianlah, mulai saat itu Bu Song menjadi pegawai Pangeran Suma Kong. Ia bekerja dengan giat dan rajin
sehingga Pangeran Suma Kong merasa suka kepadanya. Setelah pemuda ini membantunya, segala pembukuan dan catatan
beres, bahkan ia mulai mendapat pujian dari rekan-rekannya tentang kerapian surat-surat yang terkirim dari
Pangeran Suma. Selain rajin, juga Bu Song pandai membawa diri, ke atas tidak menjilat, ke bawah tidak menekan.
Semua pelayan suka belaka kepadanya, bahkan Suma-kongcu yang terkenal galak itupun suka kepada Bu Song dan
seringkali di waktu malam kalau Bu Song menganggur, Suma Boan suka mengajaknya mengobrol di taman, bermain
catur atau membuat syair. Dalam dua hal ini, Suma Boan boleh berguru kepada Bu Song, akan tetapi Bu Song selalu
bersikap merendah, dalam bermain catur sengaja membuat permainan menjadi seru dan banyak ia mengalah. Hal ini
ia lakukan bukan sekali-kali untuk menjilat, melainkan untuk mencegah putera majikan itu menjadi tak senang
hati.



Agaknya masa depan Bu Song sudah dapat dipastikan baik dan sesuai dengan cita-cita gurunya kalau saja tidak
terjadi beberapa hal yang tak terduga-duga. Setelah hampir dua tahun Bu Song bekerja di situ, dengan hati kecut
ia mendapat kenyataan betapa pangeran itu seorang yang amat korup. Mengumpulkan harta kekayaan untuk diri
sendiri dengan cara yang amat tercela. Tidak hanya dengan cara menerima sogokan dalam ujian, namun ia masih
menggelapkan uang yang seharusnya masuk ke istana raja. Belum lagi sogokan-sogokan dari para pembesar rendahan
jika menghendaki sesuatu yang memerlukan kewibawaan dan kekuasaan Pangeran Suma. Ini semua masih ditambah
pajak-pajak paksa dipungut dari petani-petani di luar kota raja, yaitu mereka yang mengerjakan sawah pangeran
itu yang luasnya sukar diukur!



Malam itu terang bulan. Bulan purnama terapung di langit biru yang bersih dari awan. Indah sekali sinar
menyinari jagad, dan lebih indah lagi di taman bunga di istana Pangeran Suma Kong. Suasana seperti ini amat
romantis dan tentu akan mendatangkan rasa gembira dalam hati semua orang, terutama orang muda. Akan tetapi
tidak demikian dengan Bu Song. Semenjak tadi ia duduk termenung di dalam taman bunga yang sunyi. Di sudut taman
itu, di bagian yang sunyi dan jauh. Terdapat sebuah pondok yang disebut Pondok Merah karena dicat merah. Sebuah
pondok kecil di bawah lambaian daun-daun pohon berbunga. Ia termenung dengan hati duka. Ia mulai merasa bosan
dengan kehidupan di istana Pangeran Suma. Apalagi kalau ia ingat akan semua keadaan di situ, akan sifat dari
majikan yang amat korup. Tak dapat disangkal bahwa ia amat disayang oleh majikannya, disayang sebagai seorang
pegawai yang cakap, disuka oleh para pelayan sebagai seorang teman kerja yang rendah hati dan peramah. Akan
tetapi keadaan itu sungguh berlawanan dengan hatinya. Biarpun bukan dia yang makan semua uang tidak halal itu,
akan tetapi ia merasa seakan-akan membantu orang berbuat jahat. Andaikata Pangeran Suma seorang perampok atau
maling, maka dialah menjadi anak buah atau kaki tangannya! Alangkah rendahnya! Dan semua itu ia lakukan hanya
untuk makan enak dan pakaian bagus? Atau untuk hari depan yang gemilang?



Dalam duka Bu Song teringat kepada Eng Eng. Tak terasa lagi dua butir air mata menitik turun dari sepasang
matanya yang terasa panas. Kalau Eng Eng tidak mati, tentu ia pulang kepada Eng Eng. Lebih baik hidup sebagai
petani di gunung di samping Eng Eng tersayang. Dan kenangannya berlarut-larut sehingga ia lupa keadaan.
Diambilnya sebuah suling yang belum lama ini dibuatnya, suling bambu yang jarang ia tiup. Karena malam itu
sudah larut dan suasana di istana pangeran sudah amat sunyi, ia mulai meniup sulingnya.



Getaran suara suling keluar dari getaran hatinya. Teringat ia akan Eng Eng,maka otomatis ia lalu meniup suling
itu mainkan lagu kesukaan Eng Eng. Lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu tentang keluh-kesah dan tangis
setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh dan meratap menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti
tetesnya air embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Berkali-kali lagu ini ia mainkan dan suasana malam
indah itu berubah mengharukan. Suara jengkerik di bawah rumput dan katak di empang seketika berhenti,
seakan-akan mereka ini pun terpesona oleh suara suling yang merayu-rayu. Bulan purnama seakan-akan
bergoyang-goyang di angkasa, seakan-akan ikut merana dan rindu kekasih, mencari dan mulai bergerak mengejar
kekasihnya yang tak kunjug tiba, kadang-kadang menangis menyembunyikan muka di balik segumpal awan hitam.



Sambil bersuling itu Bu Song menatap bulan yang bergerak di antara awan, dan menjelang berakhirnya lagu, ia
mendengar suara berkeresek di depan, maka ia mengalihkan pandang ke depan. Suara sulingnya perlahan-lahan
melambat dan akhirnya terhenti, matanya bengong memandang ke depan, serasa mimpi. Mimpikah dia? Ataukah
benar-benar Eng Eng yang datang itu, turun melalui sinar bulan purnama, berpakaian seperti seorang dewi
kahyangan? Wanita yang kini melangkah demikian ringan, demikian lembut seakan-akan tidak menginjak tanah,
seakan-akan melayang dibawa sinar bulan mendekatinya, memiliki wajah lembut seperti Eng Eng. Matanya yang lebar
bersinar lembut, hidungnya yang kecil mancung di atas mulut yang kecil mungil, muka yang manis dengan dagu
meruncing. Itulah wajah Eng Eng! Akan tetapi pakaian itu! begitu indah, begitu mewah. Hanya seorang dewi
kahyangan saja berpakaian seperti itu. atau seorang puteri istana. Lihat rambutnya! Alangkah indahnya sanggul
rambut itu. dihias dengan hiasan rambut emas permata yang berkilauan terkena sinar bulan. Puteri istana!



Berdebar jantung Bu Song dan teringat akan ini cepat-cepat ia bangkit berdiri. Tak salah lagi. Tentu dia itu
puteri majikannya. Sudah hampir dua tahun dia bekerja di situ, dan sudah terlalu sering ia mendengar dari para
pelayan bahwa Pangeran Suma Kong mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Suma Boan yang selama ini
bersikap cukup baik kepadanya, bahkan seperti menjadi sahabatnya sungguhpun di dalam hati ia tidak suka kepada
pemuda bangsawan itu karena ia cukup mendengar tentang sepak-terjangnya yang memuakkan, yaitu mengganggu anak
bini orang! Adapun anak ke dua Pangeran Suma adalah seorang gadis yang menurut para pelayan cantik seperti
bidadari, terpelajar dan halus budi pekertinya, dihormati dan dikasihi semua pelayan, seorang gadis yang sopan
santun dan karenanya tak pernah melanggar peraturan dan belum pernah pula selama itu berjumpa dengan dia.
Seorang gadis yang katanya bernama Suma Ceng. Agaknya tidak salah lagi. Inilah gadis itu! raut wajahnya memang
mirip Eng Eng, akan tetapi Eng Eng sudah mati, tak mungkin hidup kembali.



Dengan langkah lemah gemulai, sikap tenang sekali dan mata selalu tertuju kepada Bu Song, gadis itu kini
menaiki tangga pondok dan menghampiri Bu Song yang sudah duduk kembali dengan tubuh lemas dan dada berdebar.
"Kau... yang bernama Liu Bu Song, pegawai ayah yang baru...?"



Suara itu! Merdu dan bening seperti suara Eng Eng pula! Bu Song menjadi panik dan ia memaksa kedua kakinya yang
lemas untuk berdiri lagi, menghadapi gadis itu lalu menjura dengan hormat. Akan tetapi mulutnya tak mampu
mengeluarkan kata-kata, hanya matanya yang menatap tajam. Dua pasang mata bertemu pandang, saling mengikat dan
saling menjenguk isi hati masing-masing. Lama sekali mereka hanya berdiri berhadapan dan bengong saling
pandang, disaksikan dan ditertawai oleh bulan purnama yang geli melihat kecanggungan kedua orang muda itu.
Sinar bulan purnama memang penuh racun asmara dan begitu pandang mata kedua orang muda ini bersilang,
bertautlah kedua hati mereka yang membuat keduanya berdebar jantungnya, gemetar tubuhnya dan menggigil kakinya.



"Maaf... maafkan saya, Siocia (Nona)... memang betul saya Liu Bu Song seorang pegawai rendah biasa saja..."



Bagaikan baru sadar dari mimpi gadis itu tersenyum. Gigi putih tersinar bulan berkilat menyambar jantung Bu
Song membuat pemuda ini sedetik memejamkan matanya, tak kuat menyaksikan segala keindahan ini. Gadis itu memang
benar Suma Ceng. Seperti juga Bu Song, sudah lama ia mendengar tentang diri Bu Song yang selalu dipuji-puji
oleh para pelayan. Dipuji ketampanannya, dipuji keramahan dan kelembutannya, dipuji kepandaiannya. Dan tadi,
mendengar tiupan suling, membuat ia seperti mimpi turun dan keluar dari kamarnya, memasuki taman dan memaksa
kedua kakinya melangkah ke arah suara suling. Hikmat sang bulan dan sang malam indah membuat ia seperti mabok.



"Benar sekali cerita mereka...." "Apa maksud Siocia...?" Akan tetapi Suma Ceng menoleh ke arah bulan sehingga
mukanya tersinar penuh, dan gadis ini berbisik seperti kepada bulan, "Benar sekali... sopan, halus, rendah
hati..." "Maaf, Siocia. Bolehkah saya mengetahui..." "Aku adalah Suma Ceng atau... Ayah, Ibu dan Kakakku
menyebutku Ceng Ceng begitu saja. Liu Bu Song Twako, hebat benar kepandaianmu menyuling. Seperti lagu dari
sorga..."



Akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang berdiri di depannya adalah puteri majikannya, Bu Song sudah
menjura dengan dalam dan berkata, "Kiranya Suma-siocia. Maafkan kalau saya berlaku kurang hormat dan berani
mengganggu Siocia dengan suara sulingku yang buruk..."



"Ah, jangan terlalu merendah. Selama hidupku belum pernah aku mendengar suara suling seperti tadi. Twako,
maukah kau memainkan lagu tadi lagi untukku...?"



"Siocia..., mana saya berani...? Siocia, tidak pantas bagi saya berada di sini... saya... saya..."



"Tidak mengapa. Siapa yang akan menyalahkanmu? Aku yang datang karena tertarik oleh suara sulingmu. Liu-twako,
lagu apakah yang kaumainkan tadi?"



"Lagu.... Setangkai Kembang Kekeringan..." "Ahhhh...! Pantas begitu mengharukan. Twako, mengapa kau berduka dan
menyanyikan lagi seperti itu? Tadi aku sampai meruntuhkan air mata mendengarnya..."



"Siocia..." Mereka kembali berpandangan dan keduanya tak dapat mengeluarkan kata-kata dan kembali dalam pandang
mata itu mereka seakan-akan sudah mengenal masing-masing. Seakan-akan dalam pandang mata itu mereka sudah
mengikrarkan janji, saling bertukar hati, bertukar kasih. Suma Ceng menundukkan muka lebih dulu. Mukanya
menjadi merah sekali, giginya yang kecil-kecil menggigit bibir bawah, ujung matanya yang tajam meruncing itu
melempar kerling ke arah Bu Song, lalu naik sedu-sedan setengah tawa dari kerongkongannya dan gadis itu
membalikkan tubuh, terus berlari kecil meninggalkan pondok, berlari-lari cepat sekali kini dan sebentar saja
lenyap di balik pintu bulan.



Bu Song bengong. Peristiwa tadi seperti mimpi. Ia menjambak-jambak rambutnya dan diam-diam menyumpahi hatinya.
Mengapa hatinya begitu tertarik? Mengapa hatinya begitu penuh cinta birahi? Gadis itu adalah puteri majikannya!
Dan dia hanyalah seorang juru tulis, seorang pegawai biasa! Dan gadis itu selain cantik jelita, puteri
bangsawan yang kaya raya, pandai, dan juga melihat caranya berlari cepat itu tentulah seorang gadis yang juga
memiliki ilmu kepandaian tinggi! Seperti seekor kumbang merindukan bulan! Dengan langkah lemas Bu Song lalu
menyeret kedua kakinya, kembali ke kamarnya yang berada jauh dari pondok kecil taman bunga itu. Semalam suntuk
ia tidak dapat tidur, gelisah dan resah, rindu dan risau sehingga pada keesokan harinya ia bekerja dengan muka
pucat dan baru pada hari itu ia merasa betapa pekerjaannya berat dan tidak lancar.



Semenjak terjadi pertemuan di malam itu, dua orang muda itu merasa tersiksa hidupnya. Bu Song mengerahkan
kekuatan batinnya dan menonjolkan akal sehatnya, memaksa hati mengakui bahwa tak mungkin dia mencinta seorang
gadis seperti Suma Ceng. Persamaan wajah gadis itu dengan Eng Eng sama sekali bukanlah alasan untuk ia membuta.
Kenyataan memisahkan mereka jauh, sejauh bumi dan langit. Suma Ceng adalah puteri seorang pembesar tinggi yang
tinggal dalam istana, berkedudukan tinggi dan seorang bangsawan terhormat, masih keluarga raja! Dan dia? Dahulu
memang ayahnya jenderal. Akan tetapi sekarang? Dia hanya seorang yang hidup sebatang kara, seorang pelajar yang
tidak lulus, seorang yang menerima budi Pangeran Suma Kong seperti seorang pengemis kelaparan menerima
sumbangan seorang kaya. Seorang pegawai rendahan, seorang pegawai biasa. Tidak mungkin terjadi! Andaikata gadis
bangsawan itu tertarik oleh suara sulingnya, tak mungkin sudi merendahkan diri bergaul dengan seorang pegawai
rendah seperti dia. Belum lagi kalau ketahuan Sang Pangeran, tentu dia akan dihukum berat.



Juga Suma Ceng semalam itu dan malam-malam berikutnya tak dapat tidur nyenyak. Wajah pemuda bersuling itu
terbayang terus, suaranya yang halus dan sopan itu mengiang terus di telinganya, sepasang mata lebar tajam yang
terhias alis berbentuk golok itu seakan-akan terus membayanginya. Namun gadis ini pun mengerti bahwa tak
mungkin ia dapat membiarkan dirinya bergaul dengan seorang pegawai ayahnya! Tak mungkin berjodoh dengan seorang
pekerja biasa. Ayahnya tentu akan marah sekali, juga kakaknya. Kadang-kadang Suma Ceng menangis kalau teringat
akan hal ini, kalau teringat betapa kelak ia tentu akan dijodohkan dengan seorang laki-laki bangsawan yang
belum tentu dicintanya, bahkan yang mungkin dibencinya.



Namun, cinta adalah perasaan yang aneh, yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya. Cinta kasih mengalahkan
segala macam perasaan lain, bahkan mengalahkan akal budi dan kesadaran, membuat orang seakan menjadi buta dan
nekat, siap untuk menyerbu lautan api. Cinta merupakan api yang menyala indah, menari-nari dan meliuk-liuk
menimbulkan warna yang cerah dan indah, membelai-belai dan melambai-lambaikan tangan kepada orang-orang yang
sudah terkena hikmatnya sehingga mereka itu melangkahkan kaki makin mendekati tanpa menyadari bahwa bahaya
mengancam mereka. Baru akan terbuka mata mereka, baru akan sadar pesona mereka, setelah terlambat dan hanya
penyesalan yang tinggal, penyesalan dan luka hangus terbakar.



Akan tetapi, seperti juga api, cinta dapat mendatangkan kesenangan dan kebahagiaan hidup, mendatangkan
kehangatan dan mendorong semangat, menimbulkan keindahan dan kenikmatan hidup. Asal orang pandai
menggunakannya. Asal orang dapat menguasainya. Cinta itu indah. Cinta itu nikmat. Cinta itu anugerah. Bagi
mereka yang dapat menguasainya. Akan tetapi cinta itu pangkal malapetaka. Cinta itu pangkal sengsara dan
pangkal derita. Bagi mereka yang mabok dan lemah, yang menjadi permainan cinta. Cinta antara pria dan wanita
memang memiliki dua sifat yang bertentangan seperti juga segala benda di dunia ini. Namun manusia tetap lebih
kuat, asal pandai membawa diri, pandai dan kuat menguasai nafsu liar ganas seperti kuda hutan. Bahagialah orang
muda yang pandai menguasainya, sebaliknya kasihanlah mereka yang menjadi permainannya. Asal ingat saja bahwa
CINTA KASIH dan NAFSU BIRAHI adalah dua sifat yang jauh berbeda akan tetapi bermuka kembar! Bermuka sama
sehingga sukar bagi orang muda untuk memperbedakannya. Karena keliru mengenal inilah yang suka membawa
malapetaka. Nafsu birahi disangka cinta, maka terseretlah ia ke jurang kehancuran.



Demikianlah pula dengan Bu Song dan Suma Ceng. Keduanya mabok oleh gelora cinta sehingga semua pengertian
tentang perbedaan tempat mereka, pengertian tentang tidak adanya kemungkinan bagi mereka untuk berjodoh, hancur
lebur dan terlupa sama sekali. Hanya tujuh hari mereka dapat bertahan. Malam ke delapan, lewat tengah malam, Bu
Song tak dapat menahan dirinya dan ia sudah berada di dalam pondok kecil di ujung taman, meniup sulingnya.



Seakan-akan suara suling itu dapat menembusi kamarnya yang amat rapat, Suma Ceng yang juga tidak dapat menahan
dirinya lagi sudah menyelinap keluar dan berlari-lari memasuki taman, terus menuju ke ujung taman, ke pondok
dari mana kini terdengar jelas alunan suara suling. Terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan karena
debar jantung yang menggelora, Suma Ceng tiba di depan pondok. Suara suling terhenti karena Bu Song sudah
mendengar kedatangannya. Pemuda itu berlari keluar, mereka berhadapan dan seperti tak kuat menghadapi daya
tarik besi sembrani yang memancar dari keduanya, mereka saling tubruk dan saling rangkul!



"Aku tahu kau akan datang..." "Aku pun tahu kau menanti di sini..."



Hanya itu ucapan mereka sebagai pengganti pernyatan bahwa masing-masing tahu hati masing-masing, tahu bahwa
mereka saling mencinta. Sambil bergandeng tangan mereka memasuki pondok merah, duduk di atas bangku di mana
tadi Bu Song termenung dan menyuling.



Bu Song merasa seakan-akan Eng Eng hidup kembali. Ia takut akan kehilangan lagi, seperti seorang kanak-kanak
pernah kehilangan benda mainan tersayang kini takut kalau yang telah ketemu akan hilang lagi, didekapnya
erat-erat. Suma Ceng sebaliknya juga masih sadar bahwa sekali waktu ia akan kehilangan pemuda yang telah
merampas hatinya ini, pemuda yang sudah merenggut kasih sayangnya. Kesadaran inilah yang membuat gadis itu
nekat, menyerahkan diri dengan tulus ikhlas kepada pemuda yang takkan mungkin menjadi miliknya ini. Keduanya
mabok lupa, dan tanpa mereka sadari mereka menyerahkan diri kepada nafsu berahi. Nafsu birahi seperti pusingan
air yang amat kuat. Sekali orang terseret, akan dibawa berpusing dan tenggelam, makin lama makin dalam dan
takkan timbul kembali, sebelum... mati!



Hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap sunyi yang mengetahui. Hanya pondok merah di ujung taman menjadi
saksi bisu akan pertemuan-pertemuan dua orang muda yang mabok nafsu dibuai gelora cinta kasih. Nafsu saudara
loba, dituruti makin menjadi, diberi sedikit ingin banyak, diikuti sehasta ingin sedepa. Pertemuan dan hubungan
dilanjutkan. Mesra.



Akhirnya tiba saatnya yang membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidaklah kekal adanya. Bahwa
kesenangan di dunia ini tiada lain hanyalah keindahan-keindahan yang dibentuk sekelompok awan di angkasa raya.
Sewaktu-waktu akan buyar kehilangan bentuk oleh tiupan angin. Bahkan banyak kalanya buyar dan berubah menjadi
awan menghitam yang buruk menakutkan!



Malam itulah terjadinya. Malam yang takkan terlupa oleh Bu Song maupun oleh Suma Ceng. Malam yang gelap tiada
bulan tiada bintang, atau lebih tepat, malam yang terselimut awan. Malam yang dingin. Namun di dalam pondok
merah itu yang ada hanyalah terang dalam dua hati yang berpadu kasih, yang ada hanyalah panas dalam dua tubuh
yang dicekam nafsu birahi!



Sesosok bayangan berkelebat di depa pondok. Gerakannya cepat dan gesit sekali. bayangan itu mendekam di ujung
pondok, menanti. Seperti biasa, Bu Song menggandeng tangan kekasihnya dan berdua mereka bergandengan tangan
menuju ke pintu bulan. Sampai di situlah Bu Song megantar kekasihnya. Kemudian sejenak saling rangkul, saling
cium sebagai salam perpisahan malam itu.



Tiba-tiba bayangan yang sejak tadi mengikuti mereka, meloncat dan memukul muka Bu Song. Bu Song terhuyung dan
roboh. Suma Ceng menjerit tertahan Suma Boan sudah berdiri di depan mereka dengan mata melotot!



"Lekas kembali ke kamarmu!" bentak Suma Boan kepada adiknya yang berlari sambil terisak menangis.



Bu Song merangkak bangun, akan tetapi ia roboh kembali ketika kaki Suma Boan menendang dadanya. Kemudian putera
pangeran itu mencengkeram rambutnya dan menyeretnya ke belakang istana, seperti seorang jagal menyeret seekor
domba dibawa ke penjagalan.



"Bedebah! Anjing tak kenal budi!" Suma Boan memaki bekas sahabatnya.



Bu Song diam saja. Pikirannya mengakui kesalahannya, akan tetapi hatinya memberontak. Hatinya tidak mau
mengakui salah. Ia dan Ceng Ceng saling mencinta. Apa salahnya?



Di belakang istana, Suma Boan memanggil seorang pengawal. Ia mendorong tubuh Bu Song sampai terkapar di atas
tanah. "Ikat dia pada pohon itu!" perintahnya.



Pelayan itu menyeringai. Ia mengenal Bu Song dan ia tidak tahu mengapa majikannya marah-marah kepada pegawai
muda ini. Akan tetapi Bu Song bukanlah sahabat para pengawal. Pengawal-pengawal adalah orang-orang yang
mengutamakan kekerasan dan kekuatan. Seorang pemuda lemah tukang pegang pena dan kertas tentu saja bukan
golongan mereka dan mereka menganggapnya rendah. Dengan kasar ia menarik lengan Bu Song, menelikungnya ke
belakang lalu medorong pemuda itu ke arah pohon. Kemudian mengikat kedua tangan Bu Song ke belakang pohon itu
dengan sehelai tambang yang besar dan kuat. Hampir patah rasanya tulang lengan Bu Song. Ia merasa betapa
sambungan tulang pundaknya sakit-sakit dan hampir terlepas. Namun sedikit pun tidak pernah terdengar keluhan
dari mulutnya. Dia seorang pemuda yang tahan derita, daya tahannya luar biasa berkat gemblengan yang tak
diketahuinya sendiri dari suhunya, Kim-mo Taisu.



"Hayo, sekarang kau mau bicara apa? Keparat kurang ajar!" Suma Boan melangkah maju dan "plak-plak-plak!" kedua
pipi Bu Song ditampar sekerasnya sampai kepala Bu Song bergoyang-goyang ke kanan kiri.



"Suma-kongcu, bicara apa lagi? Aku dan dia saling mencinta, kalau itu kau anggap bersalah, bunuhlah, aku tidak
takut mati."



"Setan...!" Suma Boan marah sekali, tangan kanannya memukul dada dan tangan kiri menghantam ke arah perut. Bu
Song maklum akan hebatnya pukulan yang melayang datang. Ia tidak takut mati, akan tetapi ngeri juga
membayangkan rasa nyeri dipukul maka otomatis hawa sakti di tubuhnya berkumpul ke arah dada dan perut.



"Dukk! Duukk!" Dua pukulan hebat itu tentu akan menghabiskan nyawa orang. Akan tetapi alangkah kaget dan
herannya hati Suma Boan ketika pukulannya bertemu dengan kulit yang keras sehingga pukulan-pukulan itu
membalik. Namun Bu Song menjadi sesak napasnya dan terengah-engah.



"Jaga dia di sini sampai pagi, kalau banyak cakap boleh pukul mukanya tapi jangan dibunuh!" akhirnya Suma Boan
meludahi muka Bu Song dan pergi dari tempat itu. Pengawal itu tertawa ha-ha-hi-hi lalu duduk bersandar batu
karang hiasan di belakang istana.



Kiranya Suma Boan melaporkan kepada ayahnya tentang peristiwa semalam. Tentu saja Pangeran Suma Kong menjadi
kaget bukan main dan marah sekali. "Keparat, anak setan tidak mengenal budi orang! Bunuh saja dia! Siksa biar
tahu rasa!" Kemudian pangeran ini melangkah lebar menuju ke kamar anaknya, Suma Ceng.



Waktu itu matahari telah bersinar terang. Suma Boan menuju ke belakang istana dan makin gemas hatinya melihat
Bu Song terikat di pohon itu. Alangkah tenang wajah pemuda itu, pikirnya. Sedikitpun tidak memperlihatkan
ketakutan. Si Pengawal cepat bangkit berdiri ketika melihat majikannya muncul.



"A Piauw, urusan dengan bedebah ini adalah urusan antara dia dan aku. Hanya engkau yang menjadi saksi. Tak
perlu kaubicarakan dengan orang lain. Kalau ada yang tanya, bilang saja bahwa kau tidak tahu. Mengerti?" "Baik,
Kongcu."



Bu Song mengangkat mukanya memandang Suma Boan, lalu berkata, "Suma-kongcu, kau benar, urusan ini adalah urusan
antara engkau dan aku. Seperti kukatakan malam tadi, kalau kau menganggap aku telah melakukan sesuatu yang
salah dan kau akan menghukumku, lakukanlah. Aku bersedia kaubunuh, akan tetapi jangan kaupersalahkan dia."



"Tutup mulut!" bentak Suma Boan yang mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. "A Piauw, kau ambil
secawan arak!"



Pengawal itu tadinya bingung. Untuk menghukum seorang lawan, mengapa harus mengambil secawan arak? Akan tetapi
ia tidak berani membantah, berlari cepat meninggalkan tempat itu dan kembali lagi membawa sebuah cawan yang
terisi arak setengah lebih. Suma Boan membuka bungkusannya, menuangkan sedikit bubuk hitam ke dalam cawan. Arak
yang tadinya berwarna merah itu lalu berubah menjadi hitam dan mengeluarkan uap! Tahulah Si Pengawal bahwa arak
itu diberi racun. Ia menyeringai heran. Untuk membunuh lawan, mengapa tidak sekali pukul atau bacok saja dengan
senjata? Mengapa harus menggunakan arak beracun?



"Bu Song, alangkah inginku menggunakan tanganku sendiri untuk memukulimu sampai pecah kepala dan dadamu, atau
menggunakan sebatang golok mencincang hancur tubuhmu. Akan tetapi mengingat bahwa engkau pernah melayani aku,
pernah menjadi seorang yang kuanggap orangku dan sahabatku, biarlah kau menebus dosamu dengan minum racun. Akan
tetapi jangan kira bahwa kau akan cepat terbebas dari racun ini. Tidak! Racun ini akan menggerogoti ususmu
sedikit demi sedikit, dan kau akan mati dalam keadaan menderita, biar kau mendapat kesempatan untuk menyesali
dosa-dosamu! A Piauw, minumkan arak itu padanya!"



A Piauw yang ingin menyenangkan hati majikannya, mengejek, "Heh-heh, orang muda. Silakan minum anggur
pengantin..."



"A Piauw tutup mulutmu! Apa kau minta kupecahkan kepalamu!" A Piauw kaget sekali, tidak mengerti mengapa
majikannya begitu marah. Adapun Bu Song tersenyum pahit mendengar ejekan itu, ejekan yang amat tepat. Ia tidak
minum anggur pengantin bersama Suma Ceng, melainkan minum arak beracun untuk menemui maut! Ia menengadah dan
membuka mulutnya. Akan tetapi A Piauw yang mendongkol oleh bentakan majikannya, menjambak rambut Bu Song dengan
tangan kiri, menarik kepala itu ke belakang, lalu dengan tangan kanan ia menuangkan arak beracun itu ke dalam
mulut Bu Song.



Bu Song merasa kerongkongannya seperti dibakar dan kepalanya pening karena bau arak itu menyengat hidung. Akan
tetapi tanpa takut ia menelan arak itu ke dalam perutnya. Kemudian dengan menundukkan mukanya ia menanti
datangnya rasa nyeri yang akan mengerogoti ususnya seperti yang dikatakan Suma Boan tadi. Aneh, sama sekali
tidak ada rasa nyeri itu sungguhpun di dalam perutnya mulai bergerak-gerak seperti banyak hawa di situ dan
terdengar suara tiada hentinya seperti air mendidih.



Suma Boan yang merasa amat benci mengingat perbuatan Bu Song dengan adiknya, menanti pemuda itu menderita nyeri
yang luar biasa. Akan tetapi ia heran. Bu Song sama sekali tidak mengeluh, sama sekali tidak menahan nyeri yang
hebat, bahkan kelihatan tenang-tenang saja. Pangkal lengannya yang di telikung ke belakang dan semalam terasa
nyeri seakan-akan terlepas sambungannya, kini malah sudah membaal dan tidak terasa apa-apa lagi. Suma Boan
menanti sampai lama, sampai matahari naik tinggi dan Bu Song kelihatan lemah oleh lelah, lapar dan haus. Namun
sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa racun itu bekerja dan mengamuk di dalam perut Bu Song. Suma Boan merasa
penasaran dan menyuruh pembantunya menelanjangi tubuh atas Bu Song agar pemuda itu tersiksa oleh terik panas
matahari. Memang niatnya ini berhasil dan Bu Song menggeliat-geliat disengat sinar matahari. Namun pemuda itu
tetap saja membungkam, tak pernah mengeluh, tak pernah minta ampun dan tidak pernah minta minum.



Menurut perhitungan Suma Boan, orang yang minum racun tadi, tentu umurnya takkan lewat setengah hari. Namun
sampai matahari condong ke barat. Bu Song masih segar bugar biarpun amat menderita. Hal ini membuat Suma Boan
menjadi penasaran dan marah sekali. Ia mengeluarkan sebatang cambuk dan mulailah ia mencambuki tubuh atas yang
tak berbaju itu. Dada, leher, dan muka Bu Song sampai penuh jalur-jalur merah dan biru dan darah mulai
bercucuran keluar. Namun tetap saja Suma Boan sendiri yang kehabisan tenaga saking lelahnya. Ia telah
mencambuki sampai seratus kali dan kini Bu Song tampak menggantung pada pohon itu, agaknya pingsan.



"Kaujaga dia malam ini. Hendak kulihat apakah besok pagi dia masih dapat bertahan hidup. Kalau malam nanti dia
mampus, tetap jaga dia. Besok pagi bawa pergi mayatnya," kata Suma Boan kepada pembantunya.



Setelah melepaskan pandang untuk terakhir kalinya dengan senyum mengejek, Suma Boan lalu memasuki istana
ayahnya. Kebetulan sekali seorang pengawal mencarinya karena ayahnya memanggil. Setelah ayah dan anak ini
bertemu, mereka berunding.



"Aku sudah matangkan perjodohan adikmu dengan Perwira Muda Kiang. Sekarang baiknya perjodohan itu dipercepat.
Besok kau pergilah kepada keluarga Kiang dan menyampaikan surat desakanku agar pernikahan dapat dilangsungkan
dalam bulan ini atau selambatnya bulan depan. Aahhh, sungguh menggelisahkan hati benar anak perempuan itu!
Kalau tidak ingat bahwa hanya dia seorang anakku perempuan, lebih baik melihat dia mati di depanku!"



"Ayah, sudah ada jalan terbaik mengapa berpikir demikian? Moi-moi masih terlalu muda dan harus diakui bahwa Bu
Song memang tampan dan sikapnya menarik hati. Yang berdosa besar adalah Bu Song. Tentu dia yang memikat Moi-moi
sehingga terjerumus...."



"Bagaimana dia? Bagaimana keparat jahanam itu? sudah kaubikin mampus?" Suma Boan mengangguk. "Malam nanti tentu
dia mati. Aku membiarkan dia mati dalam keadaan menderita untuk menebus dosanya!"



Malam itu gelap gulita. Apalagi di bagian belakang istana, karena malam itu semua pelayan atau pengawal
dilarang memasuki kebun itu. Keluarga Suma tentu saja ingin menyimpan peristiwa itu, tidak ingin membiarkan
orang luar tahu akan hubungan yang terjadi antara puteri Suma dengan seorang pegawai rendahan!



A Piauw si pengawal itu makan dan minum arak di bawah pohon. Ia dikirim oleh seorang pengawal lain atas
perintah Suma Boan. Sambil minum arak A Piauw memandang ke arah tubuh yang masih lemas tergantung pada batang
pohon. Diam-diam ia merasa amat kagum pada pemuda lemah itu. Seorang pemuda sastrawan yang tentu saja bertubuh
lemah, akan tetapi sedikit pun tidak mengeluarkan rintihan atau keluhan, padahal ia telah diberi minum racun
yang merusak usus dan dicambuki sampai seratus kali oleh Suma-kongcu yang terkenal mempunyai tangan yang kuat
sekali! A Piauw menggeleng-geleng kepala. Kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu ia tidak akan
sudi percaya. Mana ada seorang pemuda lemah dapat menahan segala derita tanpa mengeluh satu kalipun?



Angin malam bertiup dan daun-daun pohon bergoyang. A Piauw menarik leher bajunya ke atas. Entah mengapa, ia
merasa bergidik. Sudah matikah pemuda itu? Berpikir demikian, ia bangkit berdiri dan menghampiri tubuh Bu Song.
Muka itu masih tunduk, akan tetapi ketika ia mendekat, Bu Song mengangkat muka. Sepasang matanya masih bersinar
tajam. A Piauw mundur lagi dan makin serem. Pemuda ini bukan orang sembarangan, pikirnya. Bagaimana kalau
sampai besok pagi belum mati? Ah, terserah Kongcu saja pikirnya. Tugasnya hanya menjaga dan apa sukarnya
menjaga seorang yang sudah setengah mati dan terikat pada pohon?



Kembali angin membuat daun-daun pohon bergoyang. Akan tetapi pohon di mana Bu Song terikat, terlampau keras
goyangnya. Keadaan amat gelap dan lampu gantung yang berada di atas kepala A Piauw, tergantung pada batu
karang. A Piauw menjadi curiga dan mendekati Bu Song. Akan tetapi matanya terbelalak ketika melihat Bu Song
sudah terlepas dari ikatan, dan seorang kakek merangkul pundaknya.



"Heee...! Apa... siapa..." Hanya sekian saja A Piauw mampu mengeluarkan kata-kata karena tubuhya seolah-olah
menjadi lumpuh seketika dan ia roboh seperti kain basah jatuh dari sampiran. Ia tak mampu bergerak maupun
mengeluarkan suara, hanya matanya melotot menyaksikan betapa kakek itu berkelebat pergi sambil mengempit tubuh
Bu Song.



Penolong Bu Song itu bukan lain adalah Kim-mo Taisu. Kakek ini bermaksud mencari dan mengunjungi muridnya.
Siang tadi ia mendengar dari Ciu Tiang akan nasib baik Bu Song yang di terima menjadi pegawai Pangeran Suma
Kong. Diam-diam Kim-mo Taisu menjadi tidak senang hatinya. Ia sudah mendengar siapa adanya Pangeran Suma Kong,
seorang bangsawan tinggi tukang korup. Ia khawatir kalau-kalau Bu Song akan menjadi rusak setelah menjadi kaki
tangan pembesar koruptor itu. Maka sengaja malam itu ia pergi menyelidiki dan memasuki kompleks istana Pangeran
Suma Kong melalui tembok belakang. Dan kebetulan sekali ia melihat betapa muridnya terikat pada pohon dengan
tubuh bekas siksaan, maka ia cepat menolongnya dan membawanya pergi keluar dari tembok kebun istana.



Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Ciu Tang ketika Kim-mo Taisu datang lagi membawa tubuh Bu Song yang
lemah dan masih pingsan. Cepat ia membantu dan setelah tubuh pemuda itu dibaringkan, Kim-mo Taisu segera
memeriksanya. Lega hati kakek ini ketika mendapat kenyataan bahwa muridnya tidak menderita luka hebat, hanya
luka di kulit saja. Akan tetapi melihat keadaannya, hatinya menjadi panas. Siksaan itu keterlaluan sekali dan
kalau saja muridnya tidak memiliki hawa sakti dalam tubuh dan memiliki daya tahan yang luar biasa, tentu Bu
Song sudah mati. Kakek ini sama sekali tidak tahu bahwa Bu Song malah telah diberi racun minum racun hebat yang
untung sekali tidak membunuhnya karena tubuh Bu Song sudah kebal setelah pemuda ini menghabiskan obat sarang
burung rajawali hitam.



Setelah diberi minum obat penguat, dalam waktu satu jam saja Bu Song sudah siuman. Ia membuka matanya dan
memang tadi ketika tertolong, ia dalam keadaan sadar. Cepat ia turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri
berlutut di depan Kim-mo Taisu yang menjaganya di situ. Kakek ini memberi isyarat kepada Ciu Tang untuk keluar
dari kamar, kemudian ia menutup daun pintu dan menyuruh muridnya duduk kembali di pembaringan. "Ceritakan apa
yang terjadi padamu," kata guru ini dengan pandang mata tajam.



Bu Song menjadi rikuh sekali, merasa malu dan tidak enak hati. Gurunya ini juga bekas calon mertuanya.
Bagaimana hatinya akan merasa enak kalau bercerita bahwa dia mengadakan hubungan dengan puteri Pangeran Suma,
ketahuan dan dihajar seperti itu? Bukankah gurunya akan menganggapnya seorang laki-laki hina dan rendah, bahkan
mungkin dianggapnya dia seorang pemuda hidung belang atau mata keranjang? Akan tetapi, untuk berbohong terhadap
suhunya ia tidak mau, maka sambil menundukkan mukanya ia berkata.



"Suhu, murid selayaknya menerima kematian. Agaknya Suhu telah membuang tenaga sia-sia dengan menolong murid
yang murtad dan berdosa. Teecu (murid) akan menceritakan segalanya secara terus terang dan andaikata Suhu
menjadi marah dan lalu menghukum atau membunuh teecu, teecu akan menerima dengan hati rela." Kemudian ia
menceritakan semua pengalamannya, semenjak ia turun gunung pergi ke kota raja, tentang pertemuannya dengan
Kakek Kong Lo Sengjin, tentang ujian dan kemungkinan tentang peristiwa antara dia dan Suma Ceng.



"Suhu, teecu telah berdosa. Teecu telah kehilangan kekuatan batin, tidak kuasa menghindarkan diri daripada
perbudakan nafsu seperti yang diajarkan Suhu. Teecu tidak berdaya, bertemu dengan Suma Ceng membuat teecu ingat
kepada Eng Eng dan segala sesuatu tidak dapat teecu hindarkan lagi. Teecu menerima salah dan terserah kepada
hukuman Suhu." Bu Song menutup ceritanya sambil menundukkan muka.



Kim-mo Taisu mendengarkan semua penuturan muridnya dengan termenung. Terbayanglah segala pengalamannya dengan
wanita. Dia pun banyak mengalami malapetaka dan penderitaan karena cinta. Dalam cinta kasih, ia selalu
mengalami kegagalan dan kesialan! Mengapa hal yang buruk itu agaknya menurun kepada muridnya? Akan tetapi, ada
hal yang membuat ia penasaran dan marah sekali ketika mendengar cerita muridnya. Yaitu tentang Kong Lo Sengjin
tentang percakapan antara Kong Lo Sengjin dan tokoh-tokoh Hui-to-pang. Kiranya yang menyuruh bunuh isterinya
adalah Kong Lo Sengjin, paman isterinya sendiri! Kiranya pamannya yang terlalu besar nafsunya akan kedudukan
dan kemuliaan dunia itu telah sengaja membangkitkan amarah dalam hatinya dengan jalan menyuruh bunuh isterinya
dan melakukan fitnah bahwa yang menyuruh bunuh adalah musuh-musuhnya!



"Bu Song, setelah engkau mengalami banyak penghinaan dari orang-orang yang memiliki kepandaian silat, apakah
engkau masih menganggap bahwa ilmu silat adalah rendah dan tidak patut dipelajari oleh orang budiman?"



Bu Song diam saja, tidak dapat menjawab. Memang banyak sudah kenyataan menimpa dirinya hanya karena ia seorang
lemah.



"Andaikata engkau dahulu belajar ilmu silat dariku, apa kaukira Suma Boan berani menyiksamu? Bahkan mungkin
Suma Ceng dapat menjadi jodohmu karena tidak ada orang berani melarangmu! Ilmu adalah ilmu, baik itu ilmu silat
(bu) ataukah ilmu surat (bun). Ilmu tetap ilmu, titik. Tidak bisa dibilang baik maupun buruk. Semua benda di
dunia ini tidak punya sifat baik atau pun buruk. Yang ada hanya wajar, sudah semestinya begitu, tidak baik
tidak buruk. Baik buruknya tergantung kepada si manusia yang memanfaatkannya. Karena sesungguhnya, istilah baik
dan buruk adalah ciptaan manusia sendiri. Baik buruknya tergantung dari manusia, kalau dipergunakan untuk
kebaikan maka itulah ilmu yang baik. Kalau dipergunakan untuk kejahatan, maka buruklah ilmu itu! Seperti halnya
semua anggota tubuh, misalnya mulut. Mulut tetap mulut, tidak baik tidak buruk. Kalau dipergunakannya hanya
untuk menjadi jalan masuknya makan minum yang enak-enak dan menjadi jalan keluarnya maki-makian, ucapan kurang
ajar, fitnah dan tipu, maka buruklah mulut itu! Akan tetapi kalau dipergunakan menjadi jalan masuk minum yang
sehat dan jalan keluar omongan yang baik-baik bagi manusia lain, maka baiklah mulut itu!"



Kim-mo Taisu bicara penuh semangat dan Bu Song mendengarkan sambil menundukkan mukanya, namun dengan penuh
perhatian.



"Kau dahulu menganggap silat itu ilmu kasar untuk berkelahi dan membunuh orang atau melukainya, maka kau
membencinya. Apakah ilmunya yang berkelahi, melukai atau membunuh orang? Bukan! Melainkan orangnya! Biarpun tak
pandai silat, apakah tak dapat berkelahi atau membunuh orang? Sebaliknya kalau dipergunakan baik, maka ilmu
silat amat berguna. Misalnya, untuk menjaga diri daripada hinaan orang-orang yang merasa dapat berbuat semaunya
karena kekuatannya, untuk menolong orang-orang yang mengalami penindasan dari orang-orang jahat, dan masih
banyak sekali hal-hal baik yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh orang-orang yang pandai ilmu silat.
Sekarang kita meninjau ilmu bun (sastra). Kau melihat sendiri keadaan di kota raja. Siapakah yang duduk di
istana, menjadi pembesar-pembesar yang berkekuasaan dan berpengaruh besar? Mereka ini tergolog orang pandai
sastra, orang-orang pintar dan terpelajar. Akan tetapi, apakah mereka menggunakan kepandaiannya itu untuk
kebaikan? Memang ada, akan tetapi hanya beberapa gelintir manusia saja! Yang terbanyak, kepandaiannya itu hanya
untuk melakukan kejahatan yang lebih kejam daripada membunuh orang dengan bacokan pedang! Kepintarannya
dipergunakan untuk "memintari" orang lain yang bodoh. Kaulihat, kalau ilmu bun dipergunakan untuk kejahatan,
apakah boleh kausebut bahwa ilmu bun itu jahat dan buruk?"



Bu Song mengangguk-angguk. "Dahulu pun teecu sudah pernah Suhu beri wejangan seperti sekarang ini sehingga di
dalam lubuk hati teecu sudah ada pengertian seperti itu. Namun teecu tidak percaya oleh karena tadinya teecu
mengira bahwa orang terpelajar yang mempelajari filsafat hidup dari kitab-kitab kuno tentulah menjalani hidup
menurut jejak seorang kuncu (bijaksana/budiman). Maka teecu lebih condong mempelajari bun daripada bu. Akan
tetapi siapa kira, setelah teecu berada di sini, teecu muak! Semua kata-kata Suhu benar belaka."



"Jadi, sekarang kau mau menjadi muridku, murid ilmu silat?"



Bu Song menjatuhkan diri berlutut. "Kalau Suhu masih percaya kepada teecu, kalau Suhu mau memberi pelajaran
ilmu silat, berarti teecu menerima anugerah yang tiada bandingannya. Tentu saja teecu akan merasa berterima
kasih sekali."



"Ha-ha-ha-ha-ha!" Baru kali ini semenjak bertahun-tahun Kim-mo Taisu dapat tertawa lagi. "Alangkah lucunya!
Padahal di dalam dirimu telah terkumpul segala dasar ilmu silat yang hebat! Berlatih setahun kau akan
memperoleh hasil sepuluh tahun, berlatih dua tahun akan memperoleh hasil dua puluh tahun! Sekarang mari kita
berangkat ke istana Pangeran Suma. Kalau mereka memandang rendah kepadamu, kita bawa kekasihmu itu dengan
kekerasan dan kalau perlu, kita bunuh Suma Kong dan puteranya, Suma Boan yang sudah menyiksamu!
Pembesar-pembesar korup yang seperti lintah darat, yang telah menghisap darah rakyat sampai perutnya gendut,
sudah sepatutnya dibunuh!"



Bu Song menubruk kaki suhunya. "Tidak..., jangan, Suhu... ampunkan teecu , jangan Suhu lakukan hal itu...!"



"Hemm... !" Suara Kim-mo Taisu menjadi dingin sekali. "Kalau kau masih selemah ini, mana patut menjadi
pendekar? Seorang pendekar harus berani mengambil tindakan, harus berani berbuat apa saja, kalau perlu
kekerasan, asal semua tindakannya itu beralaskan kebenaran dan keadilan!"



"Bukan sekali-kali teecu berlemah hati. Tidak, Suhu. Hanya... teecu menghormat dan menghargai rasa cinta kasih
teecu dan Ceng Ceng. Tidak mau teecu memaksakan cinta secara itu, apalagi membawa lari seorang gadis, puteri
pangeran pula. Akan ke mana larinya nama baik Suma Ceng? Teecu amat mencintanya, tak mungkin teecu berani
melakukan hal itu, mencemarkan nama baiknya selama hidup. Juga tentang ayah dan kakaknya, kalau kita membunuh
mereka, bagaimana jadinya dengan nasibnya? Teecu teringat kepada Subo..."



Lemaslah seluruh tubuh Kim-mo Taisu mendengar ini. Muridnya mengingatkan ia akan nasib Khu Gin Lin, puteri
bangsawan yang menjadi isterinya. Seperti juga kekasih muridnya ini, mendiang isterinya itu adalah puteri
pangeran yang sekeluarganya terbasmi dan terbunuh. Ia menarik napas panjang.



"Sesukamulah. Agaknya kau seperti aku, siap menderita karena cinta..." "Teecu bersumpah takkan menjatuhkan hati
cinta kepada wanita lagi, Suhu." "Ha-ha-ha-ha! Patah hati? Begitu pula aku dahulu, tapi nyatanya..." "Tidak
teecu betul-betul bersumpah, selama hidup teecu tidak akan mencin..." "Hushhh! Tak perlu bersumpah. Tidak ada
yang melarang manusia untuk bercinta muridku. Bahkan Tuhan sendiri pun tidak. Cinta itu anugerah, bahkan hidup
ini baru berarti kalau diisi dengan cinta. Akan tetapi, bukan cinta yang digelapkan oleh nafsu. Kelak engkau
akan mengerti sendiri!" Kakek itu menarik napas panjang karena teringat akan pengalamannya sendiri di waktu
muda. Sampai kini pun ia merasa bahwa cinta kasihnya yang sejati adalah pada diri Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian,
ibu muridnya ini. Mungkin karena inilah maka ia menganggap Bu Song seperti puteranya sendiri, dan ada perasaan
sayang amat besar dalam hatinya terhadap pemuda ini.



Mereka tidak lama berada di rumah Ciu Tang. Malam itu juga, menjelang fajar, Kim-mo Taisu mengajak muridnya
pergi dan keluar dari kota raja. Kim-mo Taisu maklum bahwa kalau terlalu lama mereka berada di situ, sudah
tentu Ciu Tang akan ikut menderita celaka.



Semenjak saat itu, mulailah Bu Song diajar ilmu silat. Seperti ketika ia mempelajari ilmu surat, pemuda ini
amat tekun dan penuh perhatian. Dan baru terbukalah matanya bahwa sesungguhnya di dalam dirinya selama ini ia
telah memiliki tenaga sakti yang hebat! Beberapa hari kemudian di dalam sebuah hutan, ia duduk bersila di depan
suhunya yang juga duduk bersila. Ia disuruh mengatur napas dan mengumpulkan semangat seperti yang ia latih
sejak kecil. Dan seperti biasa, kalau sudah begitu ia akan merasa ada hawa panas berkumpul di pusar.



"Tarik napas dalam-dalam dan tekan hawa panas itu agar naik ke dadamu." Terdengar suara gurunya.



Bu Song yang memejamkan mata menurut kata-kata gurunya ini, namun hawa panas yang berkumpul di sekitar bawah
pusar itu sukar sekali ditekan naik. Tiba-tiba ia merasa betapa tangan suhunya menempel pada pusarnya dan dari
telapak tangan suhunya itu keluar getaran hawa yang luar biasa kuatnya. Meminjam tenaga ini ia berusaha lagi
dan kali ini berhasil. Hawa panas yang merupakan segumpal tenaga itu bergerak naik ke dada, membuat dadanya
sesak dan ia terengah-engah hendak muntah.



"Bernapas pula perlahan akan tetapi gunakan perhatian agar hawa jangan turun kembali. Setelah itu, dorong hawa
itu ke arah pundak kanan."



Demikianlah, sedikit demi sedikit Kim-mo Taisu melatih muridnya sehingga akhirnya, dalam waktu beberapa hari
saja, Bu Song sudah berhasil menggunakan kekuatan untuk mendorong hawa panas itu mengitari tubuhnya, ke mana
pun ia kehendaki. Dengan totokan-totokan yang tepat Kim-mo Taisu "membuka" jalan darah tubuh muridnya, kemudian
mulailah ia mengajarkan langkah, kuda-kuda, dan pukulan.



Memang betul apa yang diucapkan Kim-mo Taisu. Dalam diri Bu Song sudah terdapat tenaga sin-kang yang amat kuat
serta semua dasar ilmu silat tinggi memang sudah ia pelajari melalui huruf-huruf yang membentuk sajak-sajak dan
ujar-ujar yang sengaja dahulu diselip-selipkan oleh Kim-mo Taisu dalam pelajaran ilmu sastera. Kini setelah
dilatih prakteknya, tentu saja Bu Song cepat sekali dapat menangkap serta didorong bakatnya yang luar biasa,
sebentar saja ia dapat menguasai setiap gerakan yang betapa sulit pun.



Dalam waktu setahun saja, dengan petunjuk suhunya, ia mampu sekali dorong merobohkan sebatang pohon sebesar
manusia! Dalam waktu enam bulan, gin-kangnya sudah sedemikian hebat sehingga ia mampu mengikuti suhunya
berloncatan di atas pohon seperti seekor tupai, dan merobohkan pohon sebesar manusia dapat ia lakukan dari
jarak satu meter tanpa menyentuhnya! Guru dan murid ini tidak pernah berhenti berlatih silat. Siang dan malam
berlatih terus dan beristirahat pun merupakan latihan samadhi mengumpulkan tenaga sakti. Kadang-kadang di waktu
malam gelap, mereka berdua sudah berlatih saling serang bagaikan dua setan hutan yang berkelebatan di antara
pohon-pohon. Kim-mo Taisu menggembleng muridnya dan menurunkan seluruh ilmu-ilmunya, tidak ada yang ia sisakan.



Pada waktu itu yang memegang kekuasaan adalah Kerajaan Cou, kerajaan terakhir dari jaman Lima Kerajaan. Seperti
kerajaan-kerajaan yang terdahulu, juga Kerajaan Cou ini tidak lama menguasai pemerintahan (951-960). Setelah
sembilan tahun berdiri, pada tahun 959, raja Cou jatuh sakit berat. Kekuasaannya ia serahkan kepada putera
mahkota yang pada waktu itu baru berusia sebelas tahun! Sebagai walinya tentu saja adalah ibu ratu. Semenjak
inilah maka Kerajaan Cou menjadi lemah, karena para panglimanya banyak yang merasa tak senang melihat bahwa
yang mereka bela hanyalah seorang anak yang manja serta seorang ibu yang ingin berkuasa saja.



Kerajaan Cou mempunyai seorang panglima tinggi yang amat dipercaya dan disayangi oleh Raja Cou. Panglima ini
bernama Cao Kuang Yin, seorang ahli perang yang memang keturunan orang-orang terkenal. Nenek moyangnya adalah
orang-orang yang menduduki jabatan tinggi, menjadi panglima semenjak jaman Kerajaan Tang dan berturut-turut
dalam jaman Lima Kerajaan itu, nenek moyang Cao selalu menjadi orang-orang penting dalam pemerintahan, terutama
dalam ketentaraan.



Seperti juga para panglima dan bangsawan lainnya, diam-diam Cao Kuang Yin tidak senang akan penggantian raja
dengan seorang kanak-kanak didampingi ibunya yang tamak itu. bakan ketika raja kecil atas desakan ibu suri
menjatuhkan hukuman kepada seorang pejabat tinggi yang membantah peraturan baru tentang pemungutan pajak yang
diperberat, Panglima Cao sendiri menghadap ke istana dan dengan sejujurnya menyampaikan protes!



Peristiwa ini diikuti dengan hati tegang oleh para pembesar. Perbuatan Cao ini dapat dianggap sebagai sikap
memberontak dan sekali raja kecil yang dipengaruhi ibunya itu menjatuhkan hukuman mati, panglima itu tentu
takkan tertolong lagi. Namun, agaknya ibu suri juga dapat melihat bahwa panglima besar ini tidak boleh
dipandang ringan. Di belakangnya banyak terdapat pasukan besar yang mencintanya. Maka untuk meredakan
ketegangan, ibu suri menerima protes itu dan membebaskan kembali petugas atau pejabat tinggi yang terkenal
setia itu.



Namun perisitwa itu tidak berhenti sampai di situ saja. Pada waktu itu, musuh utama Kerajaan Cou, yaitu bangsa
Khitan, selalu membuat kacau di daerah utara dan seringkali menyerbu kota-kota di utara. Dengan alasan menindas
kerusuhan yang dilakukan oleh musuh itu, raja kecil atas desakan ibu suri lalu menjatuhkan surat perintah
kepada Panglima Cao Kuang Yin untuk memimpin barisannya ke utara dan memerangi bangsa Khitan.


bersambung ..................12

0 komentar:

Posting Komentar