Jumat, 31 Mei 2013

pedang kayu harum [ 34 ]

yang kasar, dibuat pakaian secara kasar pula. Warna kuning adalah warna kesukaannya.
Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si
guru makin lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-
ong kini melihatnya tentu akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya
kurus kering dan hanya sepasang matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh
semangat, itupun hanya kalau dia sedang melatih muridnya.

Pada hari itu, sinar matahari telah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu
pedang. Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera menerima
sinar matahari pagi yang mengandung daya kekuatan muzijat untuk meningkatkan tenaga
sinkang di tubuhnya. Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia
duduk.

"Keng Hong.....!"
Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang akan menyadarkan Keng Hong setiap saat,
karena selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Ia
cepat sadar dari latihannya dan membuka mata, memandang gurunya.

Hati pemuda remaja ini berdebar. Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya, sungguhpun
wajah itu masih membayangkan seri dan gembira, namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu
pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya berdebar, wajah gurunya hari ini
seperti matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan cahayanya.
"Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?"

Sin-jiu Kiam-ong tersenyum dan mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika
dia menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara
denganmu.”

Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya inipun tidak seperti biasanya. Tentu ada
sesuatu yang amat penting. Ia cepat bangkit dan menghampiri suhunya, lalu duduk bersila di
depan suhunya. Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya
dalam keadaan tidak sedang berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang
penuh perhatian dan kini ternyatalah olehnya betapa suhunya amat kurus, tinggal kulit
membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan yang luar biasa saja suhunya dapat
bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhunya menderita luka-luka parah di
sebelah dalam tubuh yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu beberapa bulan
saja. Namun suhunya dapat bertahan sampai lima tahun!

"Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi melihat banyaknya perubahan musim, tentu
kurang lebih lima tahun.”

"Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah banyak kau belajar dariku. Sayang
waktunya amat tergesa-gesa sehingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan
Iweekang kepadamu. Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai
landasan dan aku tidak khawatir kau akan mudah terkalahkan orang lain. Akan tetapi ilmu
silatmu..... ah, tidak ada waktu bagi kita sehingga hanya dasar-dasarnya saja kaukuasai.
Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu
silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong yang sederhana dan juga
ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang
memberatkan hatiku, karena kalau engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan
orang tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apalagi bertemu dengan Bu-tek
su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan.”
Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa
hubungannya kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu belajar
ilmu kepada suhu untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri

pedang kayu harum [ 33 ]

punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke
seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan. Akan tetapi dia mematuhi perintah
suhunya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, sambil menekankan
keyakinan bahwa hawa sesungguhnya tidaklah sedingin yang dianggapnya semula. Memang
tadinya agak sukar, akan tetapi makin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa
memang dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas
sampai mulailah keluar peluh di lehernya!

"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Kalau kuat batin kita, kita akan dapat menguasai
alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Engkau harus berlatih
seperti ini, memperkuat kemauan sehingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat
kepadamu. Kalau hatimu bilang panas, kalau menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa
dingin pula.” Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama.

Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun,
si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih
tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak
batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena
dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya. Ia
mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat
menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum
kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia
sudah dapat turun dari batu pedang untuk mencari bahan makanan menggantikan pekerjaan
gurunya.

Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya dengan cara yang luar biasa, segala pengertian
dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan
tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan mengatur
pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi
sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di
punggung muridnya.

Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat
cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi
sebaliknya, kalau Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu
Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat. Makin sering kakek ini terbatuk-batuk,
kadang-kadang batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini menderita luka di sebelah dalam
tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan kini karena terlampau
rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah. Namun hal ini tidak
mengurangi semangatnya dan terus melatih muridnya secara teliti dan tekun karena dia
merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir dalam hidupnya yang tidak berapa
lama lagi itu.

Sang waktu lewat dengan amat cepatnya. Memang tidak keliru kalau dikatakan oleh penyair
kuno bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, namun lambatnya mengalahkan kelambatan
seekor keong. Setahun terasa seperti sehari kalau diperhatikan, sebaliknya kalau diperhatikan
dan ditunggu, sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak
tampak dan tak terasa lagi, seolah-olah berhenti, padahal segala sesuatu terseret dan hanyut
dalam perputarannya, dilahap dan ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan
lagi.

Tanpa terasa, apalagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng hong
hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas
tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit
yang segar dan putih kemerahan membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan muzijat
tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya sederhana, hanya kain polos berwarna kuning

pedang kayu harum [ 32 ]

oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut
pautnya dengan Kun-lun-pai, maka di kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada
hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap dipersilahkan menempati Kiam-kok-san karena
Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi kelak, kalau Taihiap tidak lagi
berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong berada di wilayah kami.
Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan
berkahNya.” Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan setelah menjura ke
arah Sin-jiu Kiam-ong lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi
laporan kepada Thian seng Cinjin.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong diajak mendaki puncak Kiam-
kok-san sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu
adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan....!
Segala peraturan yang dibuat manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat
kaki tangannya sendiri. Eh, namamu memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang
kita berjodoh....auggghhh....!" Kakek itu memegangi dadanya dan kakinya terhuyung.
"Eh...kenapa? Suhu..... Suhu terluka...?"
Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ah, tidak seberapa hebat.
Tahukah engkau bahwa ketika engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa seolah-
olah engkau ini cucuku sendiri? Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah,
bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih tepat menjadi muridku. Hemmm...., akan kuberikan
seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Mari kita naik ke
Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak banyak. Aku...setan
laknat tiga iblis itu.... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah di punahkan Siang-bhok-
kiam, akan tetapi...ah, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-
mudahan tidak terlambat...."

Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhunya, namun dengan patuh dia lalu
mengikuti suhunya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-
ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia
menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka
memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir
menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan
gigi bawah namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali. Ketika suhunya
melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada
di puncak batu pedang, dan bahwa puncaknya tidak meruncing seperti tampaknya dari bawah
dan halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawah. Puncak
itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu lebar berbentuk segi
empat seolah-olah tadinya puncak itu meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima
puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi
rumput dan lumut hijau muda.

Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian
dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan
tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking
dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya!

Keng Hong sadar di dekat api unggun, ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya
bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.
"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang
panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak
panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau.”

Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak
terasa sama sekali olehnya. Kalau tidak ada telapak tangan gurunya menempel di

pedang kayu harum [ 31 ]

"Bukan! aku bukan murid Kun-lun-pai! memang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai,
akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali tidak pernah mempelajari
ilmu silat di Kun-lun-pai!”

"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh
kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran.
"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak
mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai hanya mengatakan bahwa dia
adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah
dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan
pinto dapat menyelamatkannya dan membawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak
menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru. Belum
lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai
haruslah seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu,
maka sampai kini dia berada di Kun-lun-pai selama dua tahun dan bekerja sebagai pembantu.
Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri.”

"Hemmm, begitukah? kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung! tiada
halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Eh, Kiang-toyu, apakah engkau
berkeberatan kalau dia kuambil murid?”

"Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah sendiri. Keng
Hong, pinto telah menyelamatkanmu daripada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat
budi dan hendak meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-
jiu Kiam-ong?”

Keng Hong bangkit berdiri, setelah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis
dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin
terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang
budiman. Ia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu berkata.
"Totiang, sampai matipun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang telah menolong nyawa
saya dan sampai matipun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang
itu. Akan tetapi, apakah budi yang totiang lepas itu mengandung pamrih agar selama hidup
saya harus ikut dan menurut segala kehendak Totiang? Apakah totiang hendak merampas
kebebasan saya? Totiang, pernah saya membaca ujar-ujar dalam kitab kuno bahwa budi
disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, melainkan pemberian hutang yang harus di
bayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya!?”
"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus
kepala anak itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu,
maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau hendak
bilang apa lagi, Toyu?”

Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sesungguhnya
tidak ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha
memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia
tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini
semata-mata tinmbul karena rasa sayang kepada Keng Hong. Dia mengenal orang macam apa
adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang semenjak mudanya hanya mengandalkan kepandaian
malang melintang, seorang petualang yang tidak segan-segan melakukan segala macam
kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Ia ingin melihat Keng Hong menjadi
seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu
akan mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata,
"Siancai....hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya
ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi
murid Taihiap. Hanya ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama

Kamis, 30 Mei 2013

pedang kayu harum [ 30 ]

akan menganggap kalian bagaimana."

Kiang Tojin memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan dan
dia berkata, suaranya penuh wibawa dan keren. "Di antara cu-wi (tuan sekalian) terdapat
tokoh-tokoh partai persilatan besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan tuan rumah. Cu-wi
datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini berarti pelanggaran kedaulatan dan tidak
memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak dapat dikatakan keterlaluan kalau
terpaksa mengusir cu-wi.”

Sikap Kiang Tojin amat keren dan sembilan orang itu cukup mengenal siapa tosu ini, maklum
bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga saudara-saudara Kiang Tojin yang
berjumlah tiga puluh orang dan mengurung tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin
dilawan mereka yang sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua
Kun-lun-pai sendiri yang datang! maka dengan menjura dan menggumamkan kata-kata maaf,
lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu. Karena mereka adalah orang-
orang pandai, gerakan-gerakan mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat
itu menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak lagi.

Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata kepada Kiang Tojin yang sudah menyimpan kembali
pedangnya ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri menjauh karena mereka itu
kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang menghormati si raja pedang yang pernah melepas
budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai diserbu
oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga
Kun-lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.
Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, terdesak dan hanya setelah Sin-jiu
Kiam-ong yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini lalu datang membantu, maka
pihak musuh dapat dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian
Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan
menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap keramat oleh golongan Kun-lun-
pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka.

"Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian seng Cinjin guru kalian bahwa aku minta
perkenannya untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi,
atau lebih jelas sampai matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk
menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong meraba kepala Keng Hong yang sudah
berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-saudaranya muncul tadi.

Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang dan terdengar seruan-seruan kaget dan heran.
"Siancai....sungguh luar biasa sekali nasib anak ini.....! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena..... karena anak ini adalah orang Kun-lun-
pai....!”

Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama
hidupnya dia selalu membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang
lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa kalau
memang anak ini seorang murid Kun-lun-pai, amat tidak baik kalau dia memaksa dan
mengambilnya sebagai murid, betapapun sukanya dia terhadap anak ini. Ia lalu menunduk dan
bertanya kepada Keng Hong.

"Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?” Keng Hong
tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia
diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun,
perasaan yang aneh sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di
hatinya bahwa dia harus menjadi murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai untuk
menghadapi manusia-manusia jahat, terutama sekali manusia-manusia munafik yang banyak
terdapat memenuhi jagat ini. Kini mendengar prcakapan antara tosu penolongnya dan Sin-jiu
Kiam-ong, dia cepat berkata.

pedang kayu harum [ 29 ]

perjalanan jauh, bahkan yang hampir saja membuat mereka binasa di tangan Bu-tek Sam-kwi.
“Bocah bermulut lancang, kau tahu apa? Hayo minggat dari sini!” Hek-how Tan Kai Sek
piauwsu tua itu melangkah maju hendak menyeret dan mendorong pergi Keng Hong, akan
tetapi tiba-tiba dia terhuyung mundur karena ada tenaga hebat mendorongnya. Kiranya Sin-jiu
Kiam-ong kini sudah bangkit dan berdiri di dekat Keng Hong. Wajah kakek ini masih pucat,
akan tetapi sinar matanya berseri dan mulutnya yang masih merah karena darah tersenyum.

“Tak seorangpun boleh mengganggu Cia Keng Hong! Dia ini muridku, dan dialah ahli
warisku. Perkenalkan, hei, para pendekar! Pandanglah baik-baik. Inilah dia muridku, orang
yang akan mewarisi semua milikku termasuk pedang Siang-bhok-kiam. Ha-ha-ha!”

Sembilan orang itu tercengang! Mereka bersusah payah, mengandalkan dendam mereka untuk
berusaha mendapatkan pedang pusaka dan warisan kitab-kitab dan ilmu si raja pedang, kini
begitu saja si raja pedang mengangkat murid dan hendak mewariskan Siang-bhok-kiam
kepada seorang bocah penggembala kerbau!

"Omitohud...! Kehendak Tuhan terjadi penuh mujisat!" Thian Ti Hwesio mengeluh panjang.
"Sin-jiu Kiam-ong! Engkau melanggar janji...!" bentak Sin-to Gi-hiap. Sin-jiu Kiam-ong
tertawa,

"Siapa melanggar janji? Bukankah kukatakan bahwa aku tidak akan melawan kalau kalian
hendak membunuhku di sin? Bukankah akupun tidak pernah melawan kalian tadi dan tidak
menghalangi kalau kalian hendak merampas pedang Siang-bhok-kiam? Bukankah kukatakan
sebulan yang lalu bahwa yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam adalah orang yang berjodoh
dengannya? Nah, bocah inilah yang berjodoh dengan aku dan dengan pedang ini. Dan
ketahuilah, setelah aku mengangkat murid, tentu saja aku tidak mau mati sekarang. Aku ingin
hidup lebih lama lagi untuk mendidiknya, sesuai dengan tugas kewajiban seorang guru!
Pergilah kalian, pergilah....!”

Sembilan orang itu ragu-ragu dan mereka kecewa serta menyesal sekali. Biarpun Sin-jiu
Kiam-ong telah terluka, namun ilmu kepandaiannya yang hebat amat sukar dilawan. Selain
itu, mereka sendiripun telah terluka dan kehilangan senjata. Mereka ini adalah orang-orang
cerdik. Mereka tahu bahwa Sin-jiu Kiam-ong sudah amat tua, apalagi menderita luka hebat.
Kiranya takkan lama lagi usianya. Dan bocah itu jelas belum mengenal ilmu silat sama sekali.
Digembleng bagaimana hebatpun, hanya dalam beberapa tahun apa artinya? Akhirnya mereka
tentu akan dapat merampas pedang dan kitab-kitab itu, bukan dari tangan Sin-jiu Kiam-ong,
melainkan dari tangan ahli warisnya ini!

Pada saat itu, bersilir angin halus dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang tosu yang
berwajah gagah penuh wibawa. Dia ini bukan lain adalah Kiang Tojin, tokoh Kun-lun-pai
yang berilmu tinggi itu. Ketika semua orang yang memandang, ternyata bukan hanya Kiang
Tojin yang datang, melainkan banyak sekali tosu-tosu Kun-lun-pai, sedikitnya ada tiga puluh
orang, semuanya memegang pedang seperti Kiang Tojin, dan gerakan mereka begitu rapi,
tangkas dan ringan sehingga tahu-tahu tempat itu telah dikepung!

Kiang Tojin sejenak memandang kepada Keng Hong dengan heran, kemudian dia menjura
penuh hormat kepada Sian-jiu Kiam-ong dan berkata, "Mohon maaf kepada Sie-taihiap
(pendekar besar she Sie) kalau pinto dan saudara-saudara mengganggu. Akan tetapi,
kehadiran banyak sahabat Kang-ouw di Kun-lun-pai masih dapat kami biarkan mengingat
bahwa mereka itu adalah tamu-tamu Taihiap, hanya kehadiran tiga Bu-tek Sam-kwi benar-
benar tak dapat kami biarkan saja. Tokoh-tokoh datuk hitam macam mereka tidak berhak
mengotorkan bumi Kun-lun! Harap Taihiap maklum dan maafkan pinto yang hanya
memenuhi perintah suhu."

Sin-jiu Kiam-ong tertawa, dan menarik napas panjang. "Thian Seng Cinjin bersikap amat
sabar, sungguh patut dipuji." Kemudian dia menoleh ke arah sembilan orang tokoh yang
mengganggunya dan berkata, "Kalau kalian sembilan orang masih tidak hendak lekas pergi,
aku tidak akan menganggap kalian sebagai tamu lagi dan terserah kepada pihak Kun-lun-pai

pedang kayu harum [ 28 ]

tangguh...nah, ambillah siapa yang berjodoh...! Ia menancapkan pedang kayu itu di depannya
di atas tanah.

Sembilan orang itu tidak ada yang berani bergerak. Mereka percaya bahwa kakek itu tidak
akan melarang kalau mereka mengambil pedang, juga maklum bahwa kakek itu sudah lemah
sekali. Akan tetapi mereka tidak ada yang berani bergerak karena tahu pula bahwa jika ada
yang berani mengambil pedang, tentu akan dihalangi oleh yang lain! Hal ini yang membuat
mereka menjadi ragu-ragu.

"Tahan...! Tahan....kalian orang-orang tua yang tak mengenal malu!" Tiba-tiba terdengar
teriakan marah dan Keng Hong yang sudah keluar dari tempat sembunyinya itu kini
menghampiri Sin-jiu Kiam-ong dan memeluk leher kakek itu dari belakang sambil
memandang sembilan orang itu dengan pandang mata penuh kemarahan.
Sembilan orang yang mengenal anak ini sebagai bocah yang tadi telah meniup suling
mangacau Bu-tek Sam-kwi, memandang heran. Tadi mereka seperti lupa kepada bocah yang
amat berani itu karena mereka terlalu bernafsu untuk mendapatkan pedang. Kini baru mereka
teringat dan mereka menduga-duga apakah hubungan anak ini dengan Sin-jiu Kiam-ong.
"Heh, bocah lancang! Saipakah engkau dan mau apa?" bentak kiu-bwe Toanio dengan
pandang mata marah.

Namun Keng Hong tidak mempedulikan nenek itu, melainkan bertanya kepada Sin-jiu Kiam-
ong, "Kong-kong (kakek), engkau terluka? Ah, mereka ini orang-orang yang tak mengenal
budi!"

Sin-jiu Kiam-ong membuka matanya dan memandang bocah itu dengan pandang mata penuh
kekaguman dan keharuan. Anehnya, ada dua butir air mata menitik turun dari kedua mata
kakek itu! Sin-jiu Kiam-ong terkenal sebgai seorang petualang di dunia persilatan yang selalu
hidup gembira, tak pernah berduka, apalagi menangis! Bahkan ratusan kali menghadapi
ancaman maut sekalipun tak pernah memperlihatkan kedukaan. Akan tetapi sekarang dia
menitikkan air mata! Setelah menarik nafas panjang, Sin-jiu Kiam-ong kembali memejamkan
matanya.

Keng Hong melepaskan rangkulannya pada kakek itu, meloncat di depan Sin-jiu Kiam-ong
seolah-olah hendak melindunginya, lalu berkata kepada sembilan orang itu.
"Kalian ini orang-orang gagah macam apa. Tidak mengenal budi, berhati kejam! Siapa tidak
tahu bahwa kalau tidak ada kakek ini, kalian sudah mati semua di tangan tiga iblis tadi?
Kakek ini yang menolong kalian mengusir tiga iblis dna mengorbankan diri sampai terluka,
dan kini kalian tanpa malu-malu hendak membunuhnya! Sungguh pengecut, curang dan
kalian ini lebih jahat daripada si tiga iblis! Mereka iut sudah terang orang-orang jahat dan
menggunakan nama iblis, mereka sedikitnya lebih jujur daripada kalian. Sebaiknya kalian,
tadi kudengar menggunakan nama sebagai golongan bersih, sebagai pendekar-pendekar
perkasa namun kenyataannya kalian ini orang-orang munafik yang hanya pada lahirnya saja
bersih namun di sebelah dalam lebih busuk daripada yang busuk! Aku Cia Keng Hong
walaupun tidak ada hubungan dengan kakek ini, namun aku sebagai manusia tidak rela
menyaksikan kejahatan yang melewati batas. Kalau kalian hendak membunuh penolong
kalian ini yang terluka parah, jangan melakukan kekejaman kepalang tanggung, bunuhlah aku
terlebih dahulu!"

Wajah kesembilan orang itu menjadi merah sekali. Ucapan yang keluar dari mulut anak kecil
ini tajam dan runcing melebihi pedang yang langsung menghujam ke ulu hati mereka. Akan
tetapi urusan yang mereka hadapi jauh lebih besar. Apa artinya maki-makian seorang anak
kecil penggembala kerbau? Tadi ketika memasuki hutan, mereka sudah melihat Keng Hong
menyuling di atas kerbaunya. Di balik perbuatan mereka terhadap Sin-jiu Kiam-ong yang
keliahatan kejam, tersembunyi persoalan-persoalan dendam yang besar dan kiranya tidak
perlu diperdebatkan dengan seorang bocah! Tak mungkin kalau hanya karena maki-makian
bocah ini mereka harus membatalkan niat yang sudah dikandung di hati, dibela dengan

pedang kayu harum [27 ]

nyanyiannya yang nyaring. Bocah ini memang memiliki suara yang nyaring dan cukup
merdu. Akan tetapi karena dia ingin mangejek orang-orang yang mengganggu kakek tua itu,
dia teringat akan bunyi ujar-ujar dalam kitab-kitab kuno yang dibacanya, yang dia lupa lagi
entah dari kitab mana, kemudian dia menyanyikan ujar-ujar itu dengan lagu yang dikarangnya
sendiri sejadi-jadinya:

"Mengerti akan orang lain adalah bijaksana pikirannya, mengerti akan diri pribadi adalah
waspada batinnya!
Menaklukkan orang lain adalah perkasa tubuhnya, Menaklukkan diri pribadi adalah kokoh
kuat batinnya!
Merasa puas dengan keadaannya berarti kaya raya, memaksakan kehendak kepada orang
lain berarti nekat!
Tahan tanpa derita berarti terus berlangsung, mati tapi tidak musnah berarti panjang usia!"
Karena banyak membaca kitab-kitab kuno tanpa mengerti betul maknanya,

bocah ini lupa
bahwa yang dinyanyikannya adalah ujar-ujar dalam kitab Totik-khing yang menjadi pegangan
penganut Agama To dan tidak tahu bahwa ujar-ujar itu mengandung makna yang amat dalam.
Akan tetapi sebagian daripada kata-kata itu kena betul dan mengejek mereka semua yang
berada di situ, tidak hanya tiga orang manusia iblis, bahkan juga sembilan orang sakti yang
kini sudah tidak lagi terpengaruh suara-suara tiga iblis yang dikacau oleh Keng Hong dan
yang mendengarkan dengan mata terbelalak.

Mereka ini, sembilan orang gagah tokoh kang-ouw, mengerti bahwa Sin-jiu Kiam-ong
tertolong nyawanya. Tadinya, setelah tiga orang iblis itu menambah penyerangan mereka
dengan suara-suara menekan, kakek itu sudah terdesak hebat sekali dan sewaktu-waktu pasti
akan roboh binasa. Kini, karena suara itu diganggu, Sin-jiu Kiam-ong kembali dapat menekan
mereka tiga orang lawannya.

Tiga orang iblis itu marah sekali. Mereka menghentikan suara mereka dan sambil berseru
marah mereka itu lalu meloncat ke depan, menubruk Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini dalam
keadaan masih bersila, juga mengeluarkan seruan panjang, tubuhnya mencelat ke atas
menyambut terjangan ke orang lawan. Pertemuan hebat terjadi di udara dan terdengar suara
nyaring bertemunya senjata disusul jeritan kesakitan tiga orang manusia iblis itu yang
terpelanting ke kanan kiri. Kakek itu pun melayang turun lagi dan berdiri tegak dengna
pedang Siang-bhok-kiam di tangan. Tiga orang manusia iblis itu pucat wajahnya, kulit leher
mereka bertiga lecet dan terluka oleh guratan Siang-bhok-kiam. Setelah memandang sejenak,
mereka itu membalikkan tubuh dan dengan hanya beberapa kali loncatan saja ketiganya sudah
lenyap dari tempat itu.

Kiranya mereka kini menjadi jerih jarena maklum bahwa mereka
bertiga tidak akan dapat menenangkan Sin-jiu Kiam-ong sungguhpun selisihnya hanya sedikit
saja. Mereka menyesal mengapa tidak mengundang Lam-hai Sin-ni (Wanita Sakti Laut
Selatan) yang menjadi orang keempat dari Bu-tek Su-kwi!
Setelah tiga orang manusia iblis itu lenyap dari tempat itu, Sin-jiu Kiam-ong menarik nafas
panjang dan tiba-tiba dia terhuyung-huyung lalu roboh! Dengan gerakan lemah kakek ini lalu
bangkit dan duduk bersila, wajahnya pucat, nafasnya terengah-engah dan tiba-tiba dari
mulutnya menetes-netes darah segar!

Sembilan orang tokoh sakti yang melihat keadaan kakek ini, maklum bahwa Sin-jiu Kiam-ong
sudah terluka parah dan mereka melihat kesempatan yang amat baik untuk merampas pedang
Siang-bhok-kiam yang masih berada di dalam genggaman Sin-jiu Kiam-ong. Agaknya
mereka itu sudah dapat menerka isi hati masing-masing, karena seperti mendapat komando,
sembilan orang itu lalu bergerak maju menghampiri Sin-jiu Kiam-ong. Terdengar kakek itu
tertawa di balik batu, lalu berkata.

"Ha-ha-ha..., kalian hendak mengambil Siang-bhok-kiam? Sudah kukatakan, aku tidak akan
melawan, apalagi dalam keadaan seperti ini...uh-huh...Bu-tek Sam-kwi benar-benar

pedang kayu harum [ 26 ]

tiada hentinya, sambung-menyambung dan mengandung getaran hebat. Segera dua suara ini
disusul pula dengan suara duk-creng-duk-creng seperti tambur dan gembreng. Kiranya suara
ini keluar dari sebuah tambur kecil yang pinggirannya dipasangi kelenengan. Dengan tangan
kirinya Pat-jiu Sian-ong memegang tambur ini, sedangkan tangan kanan masih didorong-
dorongkan ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Tambur itu oleh kakek pendek ini dipukul-pukulkan
kepada paha dan lututnya, sekali pukul pada kulit tambur kemudian pada lingkaran sehingga
menimbulkan suara duk-creng-duk-creng nyaring sekali.

Sembilan orang itu tiba-tiba duduk bersila dan memejamkan mata. Keng-Hong menjadi
heran sekali dan lebih kagetlah dia ketika tiba-tiba kedua kakinya gemetar dan dia pun jatuh
terduduk. Jantungnya berdebar aneh dan telinganya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Ia melihat
betapa Sin-jiu Kiam-ong menjadi pucat wajahnya, tubuhnya menggigil, dahinya penuh
keringat dan tubuh kakek yang bersila itu pun mulai gemetar, kedua lengan yang dilonjorkan
ke depan bergoyang-goyang! Dia tidak mengerti dan sama sekali tidak tahu bahwa suara-
suara yang dikeluarkan oleh tiga orang manusia iblis itu adalah suara mujijat yang
mengandung tenaga getaran hebat yang dapat melumpuhkan, bahkan membinasakan lawan!

Untung bahwa Keng Hong belum pernah mempelajari Iweekang karena kalau dia sudah
mempelajarinya dan mengerti akan pengaruh suara ini, tentu dia sudah roboh binasa. Memang
suara-suara mujijat tidaklah begitu hebat pengaruhnya terhadap mereka yang tidak mengerti
sama sekali, hanya menimbulkan suara tidak enak yang menusuk-nusuk telinga, dan getaran
itu hanya membuat kaki menggigil dan lemas.

"Dasar manusia-manusia iblis!" Keng Hong menjadi marah karena rasa tidak enak pada
telinganya hampir tak tertahankan olehnya. Ia teringat akan sulingnya maka dengna gemas
dan marah dia lalu meniup sulingnya. Suara-suara itu begitu bising dan tak enak didengar,
pikirnya. Lebih baik aku memperdengarkan suara suling yang merdu untuk mengusir suara
tidak enak! Pendapat secara ngawur ini segera dilaksanakan dan tak lama kemudian, suara-
suara bising tidak enak itu bercampur dengan suara tiupan sulingnya.

Bocah ini memang seorang ahli meniup suling yang berbakat. Karena tidak ada yang
membimbing, maka dia merupakan peniup murid alam! Ia dapat menirukan suara-suara yang
didengarnya. Kalau hatinya senang, tiupannya mengandung suara yagn gembira ria dan tentu
terasa oleh siapapun juga yang mendengarnya. Kalau dia berduka atau marah, suara sulingnya
tentu membawa getaran perasaannyaini tanpa disadarinya. Kini dia sedang marah, maka suara
sulingnya juga penuh kemarahan, bergelora dan membubung tinggi, melengking-lengking
seperti bocah rewel menangis. Akan tetapi karena terpengaruh oleh suara lain, kepandaiannya
yang timbul dari bakatnya membuat dia meniru suara-suara itu sehingga terdengarlah suara
suling yang amat aneh. Kadang-kadang meniru suara berkeritik kuku-kuku Ang-bin Kui-bo
kadang-kadang seperti menggerengnya tenggorokan Pak-san Kwi-ong dan sering kali
mengarah suara tambur di tangan Pat-jiu Sian-ong! Hiruk-pikuk tidak karuan, namun justru
kekacauan inilah yang mengacau pula daya tekun dan daya serang rangkaian tiga suara yang
dikeluarkan oleh Bu-tek Sam-kwi!

Setelah meniup sulingnya untuk menyatakan kemarahannya terhadap suara-suara bising yang
tak sedap didengar itu Keng Hong merasa kekuatannya pulih kembali. Ia mengangkat muka
memandang dan melihat betapa kakek tua renta yang duduk bersila itu kini tidak lagi
menggigil sungguhpun wajahnya masih pucat. Sepasang mata kakek itu ditujukan kepadanya,
hanya sekilas pandang, namun Keng Hong dapat merasa betapa pandang mata kepadanya itu
penuh kagum, rasa syukur dan gembira! Hal ini menimbulkan kegembiraan di dalam hatinya.
Keng Hong bukan seorang anak bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia amat cerdik dan biarpun
dia tidak mengerti mengapa demikian, namun dia dapat menduga bahwa suara sulingnya telah
membantu kakek ini! Kegembiraannya membuat dia bertekad untuk mengacau terus suara-
suara bising yang keluar dari tiga orang manusia iblis itu. Setelah meniup sulingnya makin
keras dan makin kacau dia menghentikan tiupan sulingnya untuk diganti dengan suara

pedang kayu harum [ 25 ]

Kiam-ong terhuyung ke belakang, akan tetapi tiga orang lawannya juga mencelat sampai tiga
tombak jauhnya.

Mereka kini berdiri saling pandang, tak bergerak. Tiga orang iblis itu terengah-engah,
pandang mata mereka beringas, mulut menyeringai. Tiga orang iblis ini diam-diam merasa
girang sekali. Sin-jiu Kiam-ong telah terkena luka beracun. Racun-racun di kuku Ang-bin
Kwi-bo amat hebatnya, dan racun di tengkorak Pak-san Kwi-ong juga tak kalah ampuhnya.
Kalau mereka bertanding lagi, amatlah sukar mengalahkan kakek itu yang benar-benar patut
berjuluk Raja Pedang karena permainan pedangnya memang hebat di samping pedang itu
sendiri amat ampuh. Akan tetapi kalau mereka mengadu sinkang pengerahan tenaga sakti
akan membuat racun itu menjalar hebat dan akan membunuh Sin-jiu Kiam-ong! Dada mereka
terkena tusukan ujung pedang Siang-bhok-kiam, namun karena tubuh mereka kebal dan luka
itu tidak terlalu dalam, juga tidak mengandung racun, mereka tidak khawatir untuk
mengerahkan seluruh sinkang di tubuh mereka.

"Sin-jiu Kiam-ong, bersiaplah untuk mampus!" bentak Pak-san Kwi-ong, yang sudah
menekuk kedua lututnya, berdiri setengah jongkok,kemudian setelah dia melibatkan senjata
rantai di pinggangnya raksasa hitam ini mendorongkan kedua lengan sambil mengerahkan
tenaga sinkang. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandalkan Iweekang yang sudah
sempurna, dikendalikan oleh sinkang(hawa sakti) untuk memukul lawan dari jarak jauh. Pada
saat yang bersamaan, Ang-bin Kwi-bo yang tadi memutar-mutar kedua lengannya hingga
terdengar suara berkerotokan, kedua lengannya menggigil kini mendorong lengan kanan ke
depan sedangkan lengan kirinya diangkat lurus ke atas dengan telapak tangan menghadap ke
atas. Pat-jiu Sian-ong sudah menancapkan hudtimnya di pinggang, kemudian kedua
tangannya bergerak-gerak mendorong ke depan. Berbeda dengan kedua kawannya yang
mendorong dan mengerahkan sinkang tanpa menggerakkan lengan, kakek kate ini terus-
menerus menggerak-gerakkan kedua lengan dengan telapak tangan menghadap ke arah Sin-
jiu Kiam-ong dan melakukan gerakan-gerakan memukul dengan telapak tangan. Terdengar
bunyi "wut-wut-wut" dari kedua telapak tangan itu.

Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum. Ia maklum bahwa lawan-lawannya hendak mengadu
sinkang. Dia berjuluk Sin-jiu(Tangan Sakti) di samping Kiam-ong(Raja Pedang). Ia maklum
bahwa lukanya yang mengandung racun itu merugikannya dalam mengadu sinkang , namun
karena tiga orang lawannya sudah siap menantang, dia sebagai seorang yang berjuluk Sin-jiu,
bagaimana mungkin akan menolak? Penolakan mengadu singkang berarti memperlihatkan
rasa jerih, maka sambil tersenyum dia pun lalu duduk bersila dan begitu tiga orang lawan itu
menggerakkan lengan, dia pun lalu mendorong ke depan dengan kedua lengannya,

menghadapi lawan. Segera terasa olehnya tenaga gabungan lawan menyerangnya. Ia
mengerahkan sinkang, disalurkan ke dalam kedua lengannya, berkumpul di kedua telapak
tangannya dan ketika dia mendorong, serangkum tenaga dahsyat menerjang ke depan dan
menahan angin pukulan tiga orang lawannya.

Kalau sembilan orang tokoh kang-ouw itu memandang dengan hati penuh ketegangan, Keng
Hong memandang dengan melongo dan hati penuh keheranan. Apakah yang mereka lakukan,
pikirnya. Sungguh lucu. Mengapa mereka itu diam tak bergerak seperti patung dengan lengan
diluruskan ke arah lawan, hanya kakek kate itu saja yang menggerak-gerakkan kedua lengan,
mendorong-dorong angin kosong? Apakah mereka itu sedang bermain-main? Ataukah mereka
sudi sedemikian tuanya sehingga menjadi pikun atau kehabisan tenaga setelah pertandingan
yang serba cepat tadi?

Tiba-tiba terdengar suara "trik-trik-trik!" terus-menerus, makin lama makin nyaring. Kiranya
suara itu keluar dari kuku-kuku jari tangan Ang-bin Kwi-bo yang sengaja sambil mendorong
menyentil-nyentil antara kuku-kukunya sendiri. Sehingga mengeluarkan bunyi seperti itu.
Beberapa detik kemudian suara itu disusul oleh suara menggereng keras yang keluar dari
kerongkongan mulut Pat-san Kwi-ong yang terbuka. Suara gerengan yang rendah, namun

pedang kayu harum [24 ]

menyerahkan nyawa, tidak hendak melakukan perlawanan. Mengapa sekarang engkau
menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan kegagahanmu dan hendak melakukan
perlawanan. Mengapa sekarang engkau menentang kami? Apakah engkau sudah melupakan
kegagahanmu dan hendak mampus sebagai seorang pengecut rendah yang menarik kembali
ucapannya yang masih terdengar gemanya?"

Sin-jiu Kiam-ong tertawa, kemudian menjawab, "Hemmm, kalian Bu-tek Sam-kwi dengarlah
baik-baik! Aku sama sekali tidak pernah berjanji kepada kalian bertiga! Aku berjanji kepada
sembilan orang yang mewakili partai-partai yang pernah ku ganggu. Aku berhutang kepada
mereka, maka kini aku bersedia membayar dengan nyawaku. Pedang Siang-bhok-kiam ini
sama harganya dengan nyawaku, maka kalau kalian bertiga datang hendak memperoleh
Siang-bhok-kiam, harus lebih dulu dapat merampas nyawaku!"

"Bagus! Sin-jiu Kiam-ong manusia sombong yang sudah hampir mampus! Kami masih suka
bicara denganmu karena mengingat bahwa engkau setingkat dengan kami. Jangan sekali-kali
mengira bahwa kami takut kepadamu!" bentak Ang-bin Kwi-bo marah.

"Heh-heh-heh, Kwi-bo, dahulu, setengah abad yang lalu, engkau cantik jelita dan memiliki
kesukaan yang sama dengan aku, yaitu berenang dalam lautan asmara. Akan tetapi sekarang,
heh-heh-heh, engkau buruk sekali.......!"

"Gila....!" Ang-bin Kwi-bo menerjang dengan kedua tangannya dan sepuluh buah kuku
runcing mengandung racun dahsyat itu sudah mencakar ke arah Sin-jiu Kiam-ong. Kakek ini
menggoyang pergelangan tangannya, sinar hijau berkelebat dan si nenek memekik keras dan
cepat menarik kembali kedua tangannya yang dari kedudukan menyerang berbalik terancam
dibabat buntung oleh Siang-bhok-kiam! Dua orang kawannya tidak tinggal diam. Mereka
sudah menerjang maju dan terjadilah pertempuran yang lebih dahsyat lagi dari pada tadi.
Sembilan orang sakti yang menonton, hampir berbarengan mengeluarkan seruan-seruan
kagum. Mereka adalah orang-orang sakti maka dengan pandang mata mereka yang terlatih ,
mereka dapat menikmati dan mengagumi permainan pedang Sin-jiu Kiam-ong yang benar-
benar belum pernah mereka saksikan keduanya di dunia ini. Juga mereka merasa ngeri karena
setelah kini mereka dapat mengikuti sepak terjang tiga orang iblis itu yang benar-benar luar
biasa dan amat berbahaya.

Bagi Keng Hong, tentu saja penglihatan pada saat itu lain lagi. Ia tidak melihat lagi Sin-jiu
Kiam-ong dan tiga orang iblis. Bayangan mereka sudah lenyap. Yang tampak olehnya
hanyalah segulung sinar hijau se3perti seekor naga bermain-main diantar mega-mega yang
beraneka warna, ada mega hitam, ada yang putih dan ada yang kemerahan. Pandang matanya
berkunang dan kepalanya menjadi pening sehingga Keng Hong terpaksa harus memejamkan
matanya. Kalau dia membuka matanya, dia menjadi silau dan berkunang lagi.

Terpaksa dia meramkan terus matanya, dan hanya mendengarkan dengan telinganya. Yang
terdengar hanya lengking dan suara bercuitan, tidak tahu dia bagaimana jalannya
pertandingan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah.

Jangankan bagi mata Keng Hong yang tidak terlatih, bahkan sembilan orang sakti yang sudah
tinggi tingkat kepandaiannya itu pun menjadi silau dan pening. Makin lama gerakan Sin-jiu
Kiam-ong dan tiga orang lawannya, terutama sekali gerakan Raja Dewa Lengan Delapan,
makin cepat sehingga sukar diikuti pandangan mata lagi. Sinar pedang Siang-bhok-kiam yang
hijau itu mendadak menjadi lebar sekali ketika terdengar Sin-jiu Kiam-ong membentak, dan
tampaklah sinar hijau mencuat ke tiga jurusan seperti bercabang, disusul pekik kesakitan tiga
orang iblis. Namun tampak jelas oleh sembilan orang itu betapa ujung pedang Siang-bhok-
kiam berhasil melukai dada ketiga orang iblis, dan sebaliknya, pipi kanan Sin-jiu Kiam-ong
terkena guratan kuku tangna Ang-bin Kwi-bo dan punggungnya terkena gebukan sebuah
tengkorak yang terbang membalik dan seolah-olah mencium punggung kakek itu. Sin-jiu

pedang kayu harum [ 23 ]

robek, pundak Sin-to Gi-hiap berdarah.

Napas kedua Hoa-san Siang-sin-kiam terengah-engah dan tangan mereka yang memegang
pedang menggigil, juga Kok Cin Cu berdiri sambil memejamkan mata dan mengatur
pernafasan untuk memulihkan tenaga dan mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya,
sepasang suami-isteri piauwsu itu pun memandang pedang mereka yang tinggal sepotong,
sedangkan kantong-kantong senjata rahasia mereka sudah kosong karena isinya hanya habis
dihamburkan dengan sia-sia.

"Hi-hi-hik! Kalian berani menentang Bu-tek Sam-kwi (Tiga Iblis Tanpa Tanding)?" kata Ang-
bin Kwi-bo.

"Kelancangan kalian harus ditebus dengan nyawa!" kata Pak-san Kwi-ong sambil tertawa.

"Bersembahyanglah lebih dahulu sebelum menemui Giam-lo-ong (Raja Maut)!"

Kini untuk pertama kalinya terdengar suara Pat-jiu Sian-ong, dan ternyata suara halus dan
seperti suara orang yang penuh kasih sayang!

Sembilan orang itu sudah siap-siap. Mereka itu kesemuanya telah menderita luka, dan yang
tidak terluka telah mengorbankan senjatanya menjadi rusak.
Namun karena maklum bahwa nyawa mereka terancam maut, mereka siap-siaga untuk
melawan sampai detik terakhir.

Keng Hong biarpun tidak tahu akan ilmu silat, apalagi ilmu silat tinggi yang dimainkan
mereka, dari percakapan itu maklum pula bahwa tiga orang manusia iblis itu siap untuk
membunuh sembilan orang tokoh pendekar itu, maka dia membelalakan mata sambil
memandang penuh ketegangan. Suling bambu di tangannya dia pegang erat-erat, seolah-olah
dia pun bersiap-siap menerima terjangan maut.

Setelah tertawa lagi, tiga orang manusia iblis itu bergerak. Berbarengan dengan gerakan
mereka, masing-masing mengarah tiga orang lawan terdekat. Rambut kepala Ang-bin Kwi-bo
menyambar ke depan, berlumba cepat dengan rantai tengkorak dan hudtim di tangan kedua
orang kawannya. Sembilan orang yang sudah lemah itu maklum bahwa kali ini nyawa mereka
tidak berdaya menghadapi kehebatan tiga orang lawan ini, apalagi sekarang setelah mereka
terluka dan lemah. Betapapun juga mereka terluka dan lemah. Betapapun juga mereka
menggerakkan tangan untuk mempertahankan diri.

Tiba-tiba terdengar suara mencicit keras dan nyaring sekali, berbarengan berkelebat sinar
hijau yang panjang dan tebal, disusul bunyi "Cring-cring-tranggg....!" dan tiga orang manusia
iblis itu mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangkisan sinar hijau tadi
membuat sebagian rambut kepala Ang-bin Kwi-ong rontok, kedua tengkorak Pak-san Kwi-
ong berputaran dan kebutan hudtim di tangan Pat-jiu Sian-ong bodol tiga helai!

Peristiwa ini
bagi tiga orang manusia iblis merupakan hal yang amat hebatnya, karena tak pernah mereka
mengira ada orang yang mampu sekali tangkis menolak mundur mereka. Karena kaget dan
heran mereka mencelat mundur dan kini mereka memandang denga mata terbelalak penuh
dengan kemarahan. Kiranya di depan mereka telah berdiri Sin-jiu Kiam-ong yang tersenyum-
senyum dan pedang Siang-bhok-kiam yang diperebutkan itu berada di tangan
kanannya.

Kakek ini tenang-tenang saja menoleh ke belakang dan berkata kepada sembilan
orang tokoh kang-ouw yang memandang dengan mata terbelalak kagum.
"Harap Kiu-wi (kalian sembilan orang) suka mundur. Biarlah aku menghadapi mereka karena
tiga iblis ini adalah tandinganku!"

Biarpun angkuh dan menjunjung kegagahan, sembilan orang ini pun merupakan orang-orang
yang mengenal keadaan. Maka sambil menghela napas panjang mereka lalu melangkah
mundur dan hanya menonton dari pinggiran.

"Sin-jiu Kiam-ong!" Kini Pak-san Kwi-ong membentak dan menudingkan telunjuk kirinya ke
arah muka kakek tua renta itu. "Kabarnya engkau telah mengundurkan diri dan tidak mau
mencampuri urusan dunia ramai. Bahkan tadi kami mendengar bahwa engkau telah

Sabtu, 25 Mei 2013

pedang kayu harum [22 ]

menyerangnya dengan senjata yang amat luar biasa, yaitu.....rambutnya! Rambut yang gimbal
kasar panjang ini bagaikan ratusan ekor ular menerjangnya, mengeluarkan suara seperti anak
panah menyambar dan didahului bau amis seperti ular beracun. Cepat Sin-to Gi-hiap memutar
goloknya untuk menjaga diri, namun sebagian daripada rambut itu mengulung goloknya dan
sebagian lagi terus menyambar ke arah lehernya!

Pada saat itu terdengar seruan keras, "Omitohud!" dan kedua orang Siauw-lim-pai yaitu Thian
Ti Hwesio dan Thian Kek Hwesio telah menerjang secara berbarengan. Thian Ti Hwesio
menggunakan Liong-cu-pang menghantam kepala nenek itu, sedangkan Thian Kek Hwesio
menggerakkan jubahnya menangkis ke arah rambut yang mengancam nyawa Sin-to Gi-hiap!
Sambil terkekeh aneh Ang-bin Kwi-bo menarik kembali rambutnya dan melangkah mundur
kemudian ia mengulur kedua lengan, lengan kiri menyampok Liong-cu-pang sehingga hampir
saja terlepas dari pegangan Thian Ti Hwesio, sedangkan lengan kanannya melingkar di depan
dada.

Kini sepuluh buah kuku jari tangan nenek itu sudah berubah makin menghitam dan jari-jari
tangan itu bergerak-gerak aneh, amat mengerikan. Betapapun juga, dua orang tokoh Siauw-
lim-pai bersama Sin-to Gi-hiap tidak menjadi gentar dan siap-siap mengurungnya.
Pendekar-pendekar tua yang lain tidak tinggal diam. Sungguhpun tidak ada yang memimpin
dan tidak ada komando, mereka sudah menerjang maju. Kiu-bwe Toa-nio bersama dua orang
tokoh Hoa-san-pai sudah maju mengurung Pak-san Kwi-ong. Kiu-bwe Toanio menggerak-
gerakkan cambuk berekor sembilan yang mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil,
sedangkan kedua orang tokoh Hoa-san-pai itu sudah menyatukan pedang mereka.

Adapun sepasang suami istri piauw-su, yaitu Hek-houw Tan Kai Sek dan isterinya, bersama
Kok Cin Cu tokoh lihai Kong-thong-pai, telah mengurung Pat-jiu Sian-ong yang tampak
tenang-tenang saja. Si kate kepala besar ini hanya mengebut-ngebutkan hudtim di tangannya
seperti orang mengusir lalat, namun hudtim yang dikebut-kebutkan perlahan-lahan itu
mengeluarkan suara bersiuatan seolah-olah datagn angin topan yang dahsyat! Suara ini
diimbangi oleh suara menderu yang keluar dari rantai yang ujungnya ada sepasang
tengkoraknya, yaitu senjata yang kini diayun-ayun oleh Pak-san Kwi-ong.

Keng Hong menonton dengan jantung berdebar-debar. Sungguh keadaan telah berubah amat
mengherankan. Sembilan orang yang tadinya saling bertanding dan lenyap bayangannya
terganti oleh sinar-sinar berkelebatan, kini bersatu padu menghadapi tiga orang manusia iblis
yang mengerikan. Biarpun mereka itu belum saling serang, namun keadaan sudah amat
menegangkan. Ketika Keng Hong melirik ke arah kakek tua renta yang duduk bersila, dia
melihat betapa Sin-jiu Kiam-ong masih duduk diam tak bergerak, namun senyum mengejek di
bibirnya kini tidak tampak lagi dan kedua mata yang tadinya dipejamkan kini terbuka. Keng
Hong terkejut karena sepasang mata kakek tua renta itu mengeluarkan sinar yang berkilat!
Akan tetapi perhatian Keng Hong segera tertarik oleh pertandingan yang sudah dimulai.
Begitu dia mengalihkan pandang matanya, dia menjadi pening.

Pertandingan sekali ini
ternyata lebih hebat dan cepat daripada tadi. Bayangan-bayangan manusia berkelebatan, sukar
dia kenal bayangan siapa, berkelebatan cepat di antara sinar-sinar terang dan gulungan-
gulunga uap hitam, dan terdengar suara bermacam-macam yang menusuk-nusuk telinga,
selain itu tercium bau yang amis dan keras memuakkan. Namun, pertandingan itu berjalan
sebentar saja. Terdengar kekeh tawa Ang-bin Kwi-bo diseling gelak tawa Pak-san Kwi-ong,
disusul suara senjata-senjata patah dan tubuh sembilan orang pengeroyok itu terpelanting lagi
ke kanan kiri, namun sekali ini agak keras, bahkan terbanting ke tanah.

Ketika sinar-sinar itu lenyap, Keng Hong melihat betapa sembilan orang itu ada yang
terbanting roboh, ada yang terhuyung-huyung ke belakang. Mereka ini menyeringai kesakitan
dan bangkit bangun lagi dengan wajah pucat.

Pecut sembilan ekor di tangan Kiu-bwe Toanio kini tinggal lima ekornya, Liong-cu-pang di
tangan Thian Ti Hwesio semplak bagian ujung yang bulat, jubah di tangan Thian Kek Hwesio

pedang kayu harum [ 21 ]

Adapun orang ke tiga, sungguhpun tidak tinggi besar menyeramkan, namun cukup
mengerikan karena bentuknya yang tidak lumrah. Tubuhnya kecil kate, akan tetapi kepalanya
besar sekali berbentuk lonjong seperti buah labu, mukanya sempit dengan sepasang mata yang
hanya merupakan dua buah garis kecil, sikapnya pendiam dan alim. Tangan kanannya
memegang sebatang hudtim (kebutan dewa) yang gagangnya hitam namun bulu kebutannya
putih. Kedua lengannya bersedakap dan bibirnya selalu bergerak-gerak seperti orang
membaca doa!

Yang tertawa-tawa adalah nenek dan kakek tinggi besar itu. Kini pun kakek tinggi besar
masih tertawa sehingga dua buah tengkorak kecil yang tergantung di pinggangnya bergerak-
gerak dan saling beradu menimbulkan suara seolah-olah dua buah tengkorak itu ikut pula
tertawa. Sembilan oran tokoh kang-ouw, yang tadinya terpelanting ke kanan kiri, setelah
dapat memandang tiga orang ini, tampak kaget sekali, tercengang dan gentar. Tiga orang
manusia iblis ini memang jarang muncul di dunia ramai, namun mereka sebagai tokoh-tokoh
kang-ouw kenamaan tentu saja mengenal siapa adanya tiga datuk persilatan, raja-raja dari
golongan sesat ini. Nenek itu bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo (Nenek Iblis Muka Merah)
yang seolah-olah merajai kaum sesat di sepanjang pantai laut timur. Kakek tinggi besar
berkulit hitam dengan senjata dua buah tengkorak itu adalah Pak-san Kwi-ong (Raja Setan
Gunung Utara) yang merajai kaum sesat di sepanjang tembok besar di utara, bahkan terkenal
sekali dan ditakuti oleh bangsa-bangsa Mongol, Mancu dan lain-lain. Orang ketiga yang kate
dan bersikap seperti dewa itu dikenal dengan nama julukan Pat-jiu Sian-ong (Raja Dewa
Lengan Delapan), karena Pat-jiu Sian-ong ini selalu merantau ke barat dan tidak pernah ada
tokoh yang dapat menandinginya. Inilah tiga orang di antara empat datuk kaum sesat yang
pada masaitu merupakan tokoh-tokoh tertinggi ilmunya dan yang tersebar merajai empat
penjuru.

"Ha-ha-ha!” Pak-san Kwi-ong tertawa mengejek dan menyapu sembilan orang itu dengan
pandang mata. Biji matanya yang putih itu bergerak-gerak lliar ke kanan kiri, amat
menyeramkan. "Kiranya tikus-tikus ini pun kepingin mendapatkan Siang-bhok-kiam! Ha-ha-
ha! Memang benar sekali, sebelum berhak mendapatkan pedang pusaka, harus menjadi
pemenang lebih dulu. Kalian ini tikus-tikus pelbagai golongan, setelah kami bertiga datang,
tidak lekas menggelinding pergi, apakah ingin kami turun tangan menjadikan kalian sebagai
setan-setan tanpa kepala?"

"Kwi-ong, usir saja anjing-anjing itu. Kalau dibunuh, teman-temannya akan mengonggong,
kelak akan membikin repot saja!" kata Ang-bin Kwi-bo sambil menyeringai.

Sembilan orang itu adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw golongan bersih. Sungguhpun pada
saat itu mereka saling bertentangan dalam memperebutkan Siang-bhok-kiam, namun mereka
tetap merasa diri mereka bersih. Kini menghadapi tiga orang tokoh yang menjadi datuk kaum
sesat, tentu saja mereka merasa bertemu dengan lawan dan otomatis mereka itu melupakan
pertentangan sendiri, di dalam hati telah bersatu untuk menghadapi tiga lawan yang mereka
tahu memiliki kesaktian hebat itu. Namun sebagai tokoh-tokoh besar dunia persilatan, mereka
tidak menjadi gentar.

"Bagus! kalau kami tidak salah kira kalian bertiga ini tentulah tiga orang di antara Bu-tek Su-
kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding)! Memang, siapa yang paling kuat di antara kami berhak
memiliki Siang-bhok-kiam, akan tetapi kalian ini iblis-iblis berwajah manusia tidak masuk
hitungan, dan sudah menjadi kewajiban kami semua pendekar golongan bersih untuk
membasmi iblis-iblis kaum sesat macam kalian bertiga!"

Terdengar suara kekeh ketawa melengking tinggi dan Ang-bin Kwi-bo sudah menerjang maju
menyerang Sin-to Gihiap yang bicara tadi. Pendekar ahli golok yang sudah berusia delapan
puluh tahun, sudah banyak pengalamannya bertanding dan pada masa itu sukar dicari
tandingannya dalam permainan golok, menjadi kaget bukan main karena nenek itu

pedang kayu harum [ 20 ]

pertandingan dan hatinya terpingkal-pingkal, akan tetapi juga mata hatinya terbuka lebar.
Beginilah watak manusia di seluruh jagat, pikirnya. Pertempuran antara tokoh besar ini
mencerminkan keadaan di dunia, mencerminkan watak manusia yang amat bodoh dan lucu,
seolah-olah manusia di dunia ini memainkan peran badut yang menggelikan! Manusia di
dunia ini selalu saling hantam, saling memperebutkan demi pemuasan nafsu pribadi yang
mereka sebut cita-cita. Padahal, hakekatnya mereka itu hanya memperebutkan kedudukan,
atau nama, atau harta, atau pemuasan nafsu. Untuk mencapai "cita-cita" ini, mereka tidak
segan-segan untuk saling menjatuhkan fitnah, saling mengejek, saling menyalahkan, saling
menipu, saling merugikan dan kalau perlu saling membunuh! Yang besar melahap yang kecil,
yang kecil mencaplok yang lebih kecil lagi sedangkan yang besar dilalap yang lebih besar
lagi! Kedudukan, kemuliaan, nama besar, harta benda, benda-benda indah, wanita cantik
diperebutkan secara tak kenal malu seolah-olah kesemuanya itu akan mendatangkan bahagia
dalam hidup masing-masing. Padahal, dan ini sudah dialami oleh Sin-jiu Kiam-ong selama
petualangannya puluhan tahun, kesemuanya itu kosong belaka. Kesemuanya itu akan musnah
kenikmatannya setelah didapatkannya, bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan terlalu
sering sekali mendatangkan kepahitan malah. Karena yang menang akan mabuk dan diintai
mata dan hati si kala yang penuh iri dan dendam, yang kala akan mabuk oleh dendam dan
penasaran sehingga mencari segala daya upaya untuk menjatuhkan kembali yang menang!

Kakek ini seolah-olah dapat melihat betapa yang akhirnya mendapatkan pedang Siang-bhok-
kiam selalu akan dirundung malang, selalu dimusuhi, dikejar-kejar. Ingin dia tertawa kalau
memikirkan hal ini!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa tergelak-gelak. Suara ketawa yang memekakkan telinga,
yang membuat Keng Hong tiba-tiba roboh berlutut karena kedua kakinya menggigil. Tampak
berkelebat tiga bayangan hitam dan pertandingan yang tadinya kacau balau itu tiba-tiba
berhenti karena sembilan orang itu terpelanting ke kanan kiri. Kini mereka bersembilan
berdiri siap siaga dengan wajah penuh peluh, mata liar mengganas memandang ke arah tiga
orang yang tiba-tiba muncul dan yang sekaligus membuat mereka yang sembilan orang itu
tokoh-tokoh kenamaan yang berilmu tinggi, terpelanting ke kanan kiri.

Keng Hong kini dapat berdiri kembali dan dia pun mengintai, memandang ke arah tiga orang
itu. Jantungnya berdebar keras dan mulutnya melongo, matanya terbelalak hatinya diliputi
kengerian. Tentu bukan manusia yang muncul ini, melainkan tiga iblis penghuni hutan. Belum
pernah Keng Hong melihat orang-orang yang memiliki wajah dan tubuh demikian
mengerikan.

Orang pertama adalah seorang nenek yang rambutnya kemerahan, rambut gimbal
yang kasar dan riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Muka itu sendiri seperti udang
direbus, mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi yang besar-besar dan panjang-panjang
sehingga bibirnya tidak dapat tertutup dan selalu menyeringai. Pakaiannya dari sutera hitam
berkembang merah dengan potongan ketat sehingga melekat di kulit tubuhnya, mencetak
tubuhnya seperti telanjang bulat dan tampak betapa sepasang buah dadanya besar-besar
seperti buah semangka. Nenek ini tidak memegang senjata, akan tetapi sepuluh buah kuku jari
tangannya panjang-panjang dan meruncing seperti sepuluh batang pisau yang hitam
kemerahan, amat mengerikan!

Orang ke dua adalah seorang kakek yang usianya sebaya dengan nenek itu, kurang lebih
delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, sedikitnya tentu ada dua meter,
besar dan kulitnya hitam arang penuh bulu. Kalau tidak pakai pakaian dia tentu lebih patut
disebut orang hutan. Pakaiannya juga dari sutera berwarna berkembang. Karena kulit
mukanya juga hitam seperti arang, maka tampaklah biji matanya putih lebar menyeramkan.
Kedua telinganya seperti telinga gajah, lebar. Yang mengerikan adalah sepasang tengkorak
kecil, agaknya tengkorak anak-anak, yang tergantung di kedua rantai baja, dua buah
tengkorak yang sudah menghitam dan agaknya mengeras seperti besi karena kedua tengkorak
itu telah direndam racun sampai puluhan tahun lamanya

pedang kayu harum [ 19 ]

itu.
Akhirnya Kok Cin Cu, orang termuda dari Kong-thong Ngo-lojin, menghela napas panjang
dan berkata, suaranya seperti biasa halus namun penuh wibawa.
"Mencapai cita-cita tinggi tidaklah mudah, mendapatkan Siang-bhok-kiam benda pusaka tentu
saja amat sukar. Memang patut ditempuh dengan mempertaruhkan nyawa. Baiklah, mari kita
semua membuktikan, siapa di antara kita yang paling tepat dan berjodoh memiliki Siang-
bhok-kiam." Setelah berkata demikian, Kok Cin Cu meraba pinggangnya dan "singgg!"

terdengar suara nyaring ketika tosu tua ini melolos sabuknya yang ternyata merupakan sabuk
baja yang tipis dan halus. Kiranya sabuk ini merupakan senjata istimewa tosu itu, dimainkan
seperti orang memegang sebuah pecut yang tajam. Sabuk ini mengeluarkan suara berdesing
dan tampak sinarnya berkelebatan menyilaukan. Sambil memutar sabuk itu diatas kepala,
lengan kiri tosu lihai ini mengeluarkan bunyi berkerotokan, terisi oleh Ilmu Ang-liong-jiauw-
kang yang agaknya lebih mengerikan dan lihai daripada sabuk baja itu sendiri!

"Omitohud! Terpaksa kita melanggar pantangan membunuh, Sute!" kata Thian Ti Hwesio
yang beralis putih kepada sutenya sambil memutar tongkat yang dibawanya. Bukan tongkat
sembarangan tongkat, karena tongkat itu adalah sebatang tongkat senjata yang disebut Liong-
cu-pang (Tongkat Mustika Naga), tongkat yang ujungnya besar bulat seperti bola baja, dan
beratnya tidak akan kurang dari dua ratus kati! Sutenya, si tinggi besar berkulit hitam Thian
Kek Hweiso sudah mengeluarkan suara gerengan dan begitu dia menggerakkan tangan kanan
terdengar suara "Wuuuuttt....!" dan angin keras menyambar. Kiranya dia telah melolos jubah
yang dipakainya tadi dan kini jubah itu telah dia pegang ujungnya. Jangan dianggap ringan
senjata jubah ini, karena berada di tangan hwesio tinggi besar itu, jubah ini bisa berubah
menjadi senjata yang kerasnya melebihi baja, lemasnya melebihi sutera dan tajamnya
menandingi pedang!

Keng Hong memandang dengan mata terbelalak dan dada berdebar. Ia melihat betapa kakek
tua renta yang duduk bersila itu sama sekali tidak bergerak, masih memejamkan mata akan
tetapi senyum di mulutnya jelas mengandung ejekan, seolah-olah kakek itu menahan rasa geli
dan memaksa diri tidak tertawa bergelak. Dia sendiri pun merasa geli dan ingin tertawa
menyaksikan tingkah laku sembilan orang itu yang dianggapnya seperti badut-badut tak tahu
malu atau seperti segerombolan anjing hendak memperebutkan tulang. Dari tempat dia
sembunyi, pedang di depan kakek tua itu memang seperti sepotong tulang saja. Akan tetapi
mana mungkin dia bisa tertawa menyaksikan sembilan orang itu kini telah mengeluarkan
senjata semua?

Di lain saat, pandang Keng Hong menjadi silau dan kabur, telinganya seperti tuli ketika
terdengar suara desing senjata yang hiruk pikuk, matanya melihat sinar-sinar berkelebatan.
Dia ternganga keheranan dan hampir tak dapat mempercayai pandang matanya sendiri sembilan orang-orang tua itu telah lenyap tubuhnya dan yang tampak kini hanya bayangan-bayangan berkelebatan dibungkus sinar bermacam- macam, ada merah, putih, hijau dan kuning. Suaranya juga bising sekali, ada suara meledak- ledak seperti halilintar, suara mendesis seperti ular marah, suara bersuitan seperti angin badai, berkerosokan seperti angin mengamuk dan berdentangan, seperti disitu terdapat banyak pandai besi bekerja! Di tengah-tengah semua hiruk pikuk dan sinar berkelebatan itu, jelas tampak kakek tua renta masih duduk bersila dengan mulut tersenyum lebar. Pedang kayu itu
masih menggeletak mati di depan kakinya.

Pertempuran yang kacau-balau itu amat serunya dan terutama sekali perhatian masing-masing
ditujukan untuk mencegah lain orang merampas pedang maka sampai lama tidak ada korban
yang jatuh, apalagi karena mereka itu terdiri dari orang-orang yang telah mencapai tingkat
tinggi dalam ilmu silat. Tanpa mereka sadari , mereka itu saling bantu dalam pertempuran
kacau-balau itu.

Biarpun kedua matanya dipejamkan, telinga Sin-jiu Kiam-ong dapat menangkap jalannya

pedang kayu harum [18 ]

tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapapun
juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui
pedang ini. Akan tetapi kalian harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki
pedang ini, maka kurasa siapapun di antara kalian tidak akan mudah membunuhku
sungguhpun aku berjanji takkan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap,
siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!"

Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya diatas
tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum iklas, sama iklasnya
dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.
"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar
teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang disusul bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali. Sinar-
sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang mempunyai kaitan-kaitan itu
telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.
"Trang-trang-trang....!" Bunga api berpijar dan kesembilan "ekor" cambuk terpental.

"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah, matanya
mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang telah maju menangkis cambuknya.
"Hemmm, bukan engkau saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, KIu-bwe Toanio,
kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai
dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan
pedang mereka menjadi sebuah sinar panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam
dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat
bergerak.

"Trang-trang...!!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental karena ditankis oleh banyak
senjata.

"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh.........!" Thian
Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.

Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu
mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang
mengatakan bahwa siapapun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biarpun si
kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapat menduga lebih dulu bahwa di antara
sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!

Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya
meniup suling diatas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup
sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan
sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar dan
dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan
terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia menonton dan mendengarkan seluruh
percakapan.

Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang
duduk bersila, apalagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seolah-olah telah menyerahkan
nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu. Dan pada saat yang sama
timbul rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang
budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang menjunjung tinggi
kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok
seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik
dan hina!

Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak
seorangpun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, namun pandang mata mereka sudah
menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang,
siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang amat mereka inginkan

pedang kayu harum [ 17 ]

duduk diatas punggung seekor kerbau besar, begitu penuh kedamaian dan ketenangan, sejenak
Sin-jiu Kiam-ong tercengang kagum. Kemudian dia menghela napas panjang dan berbisik.
"Engkau telah menjadi pikun, terlalu tua! Dimana bisa terdapat orang begitu bersih hatinya
sehingga tercermin pada tiupan sulingnya? Hanya seorang bocah yang akan sanggup meniup
suling seperti itu. Di dunia ini mana terdapat orang yang hatinya bersih melebihi hati seorang
bocah?" Ia lalu melangkah masuk ke dalam hutan mawar kembali sambil menggeleng-geleng
kepala dan mencela kebodohan sendiri. Tak lama kemudian dia sudah susuk bersila lagi, akan
tetapi sekali ini dia tidak bersamadhi, melainkan memasang pendengarannya menikmati
alunan lagu yang terhembus keluar dari lubang-lubang suling.

Kakek ini tahu bahwa berturut-turut telah datang sembilan orang sakti yang sebulan yang lalu
telah mengunjunginya di Kiam-kok-san, akan tetapi dia tidak perduli, bahkan pura-pura tidak
tahu dan masih menikmati alunan suara suling yang terdengar sayup sampai. Ia seperti orang
terpesona dan tenggelam dalam hikmat suara itu, yang membawanya melayang-layang
kemblai kepada masa mudanya dan diam-diam dia menyesali diri sendiri. Sungguh dia harus
merasa malu bahwa diambang kematiannya, karena memang dia telah mangambil keputusan
untk menyerahkan nyawanya tanpa melawan kepada sembilan orang ini, belum pernah dia
melakukan jasa sedikit pun selama hidupnya. Bahkan sebaliknya, dia selalu hidup mengejar
kesenangan, bergelimang dalam cinta kasihnya dengan banyak waita yang dibalasnya hanya
karena dorongan nafsu berahi. Belum pernah selama hidupnya dia menjatuhkan hati, mencinta
seorang wanita dengan murni. Betapa dia hidup secara berandalan, tidak mau membedakan
antara baik dan buruk, ugal-ugalan, merampas kitab-kitab dan benda-benda pusaka,
mendatangi jagaoan-jagoan hanya untuk memuaskan nafsunya ingin menang, menyerbu
partai-partai persilatan untuk mengalahkan ketua-ketuanya.

Sungguhpun dia semenjak dahulu selalu tidak mempunyai niat menjahati orang lain, namun wataknya yang ugal-ugalan tanpa dia sadari telah menyakitkan hati banyak orang. Kini datanglah penyesalan dan makin dia perhatikan suara suling yang mengalun merdu itu makin terharulah haitnya. Perlahan-lahan suara suling itu makin melemah, kemudian terhenti seolah-olah peniupnya sudah merasa bosan dan lelah, seperti dia yang merasa bosan untuk hidup lebih lama lagi, sudah lelah untuk berurusan dengan dunia yang lebih banyak deritanya daripada senangnya.
Setelah suara suling terhenti, Sin-jiu Kiam-ong mengangkat mukanya. Pandang matanya
menyapu para pengunjung yang sudah berdiri berjajar di depannya dalam keadaan siap siaga,
dengan senjata di tangan masing-masing karena mereka itu kini datang untuk bertindak,
bukan untuk bicara lagi. Semua mata sembilan orang itu ditujukan ke arah Siang-bhok-kiam
yang menjadi pusat perhatian dan yang sesungguhnya merupakan sebab utama kunjungan
mereka.

"Ahhh, kalian sudah datang? Nah, aku pun sudah siap. Sekarang aku tidak akan melawan , kalau hendak bunuh aku, lakukanlah cepat-cepat. Akan tetapi, karena yang membunuhku
berhak memiliki Siang-bhok-kiam maka lebih dahulu hendak kujelaskan kegunaan pedang
ini." Kakek itu mengambil pedang kayu dari depannya. Pedang ini terbuat dari kayu yang
jarang terdapat di dunia ini, karena kayu itu adalah kayu harum yang terdapat di dekat Puncak
Pegunungan Himalaya di dunia barat. Dalam perantauannya, Sin-jiu Kiam-ong mandapatkan
pedang itu sebagai anugerah dari seorang pertapa India yang sudah mendekati saat terakhir.
Kayu dari sebatang pohon yang mungkin hanya ada beberapa batang saja di seluruh puncak
Himalaya. Kayu yang amat harum baunya, dan keras laksana baja. Akan tetapi selain harum
juga kayu ini merupakan obat penolak segala pengaruh racun. Barang beracun apa saja apabila
tersentuh kayu ini seolah-olah terhisap racunnya dan tidak berbahaya lagi.

"Siang-bhok-kiam ini adalah sahabatku selama puluhan tahun," ia berkata sambil menarik
napas panjang dan mencium pedang itu dengan ujung hidungnya. "Bukan hanya merupakan
pedang wasiat yang amat keramat, juga pemilik pedang ini akan dapat membuka rahasia
tempat penyimpanan seluruh milikku, dari kitab-kitab pusaka berisi pelajaran ilmu-ilmu yang

pedang kayu harum [16 ]

tersembunyi watak pendekar yang patut dipuji. Kita orang-orang Kun-lun-pai bukan
merupakan golongan yang tak kenal budi. Sie-taihiap pernah menanam budi kepada kita maka
kita membolehkan dia bertapa di Kiam-kok-san yang merupakan tempat suci bagi kita karena
dahulu sucouw(Kakek guru) kita memilih tempat itu sebagai tempat bertapa sampai musnah
dari dunia. Kini Sie-taihiap mengundang keributan, biarlah kita tidak mencampurinya. Pinto
melarang seorang pun murid Kun-lun-pai untuk ikut campur tangan dan biarlah Sie-taihiap
menyelesaikan urusannya sebagaimana yag dia kehendaki."

Mendengar percakapan mereka tentang Sin-jiu Kiam-ong yang berwatak aneh, Keng Hong
menjadi tertarik sekali. Sudah banyak dia membaca tentang keanehan para pendekar. biarpun
Kun-lun-pai merupakan pusat pendekar-pendekar sakti dan dia pun maklum bahwa Kiang
Tojin penolongnya adalah seorang berilmu tinggi, apalagi guru penolongnya itu tentu seorang
yang sakti, namun mereka tak memperlihatkan kepandaian mereka dan hidup sebagai pertapa-
pertapa dan petani-petani biasa. Maka kini mendengar akan Sin-jiu Kiam-ong yang hendak
menghadapi lawan-lawan sakti di kaki gunung sebelah selatan, di dalam hutan mawar, dia
menjadi ingin sekali menonton.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan sebulan sesudah pertemuan di puncak yang disebut
puncak Lembah Pedang, Keng Hong menggembala kerbaunya di luar hutan mawar. Biasanya
kalau dia menggembala kerbau yang enam ekor banyaknya itu. Akan tetapi sekali ini dia
sengaja menggiring kerbaunya turun ke selatan dan membiarkan kerbaunya itu makan rumput
hijau gemuk di luar hutan mawar. Agar tidak kelihatan bahwa dia sengaja datang ke tempat
itu untuk menonton pertemuan orang-orang sakti seperti yang dia ketahui dari percakapan
ketua Kun-lun-pai dan murid-muridnya, dia berbaring menelungkup di atas punggung kerbau
yang terbesar sambil meniup-niup suling bambu yang dibawanya. Keng-Hong memiliki
kepandaian istimewa dalam meniup suling, bahkan sejak kecil dia bermain suling, pandai
meniup suling menirukan suara ayam dan burung-burung. Juga dengan tiupan sulingnya dia
dapat merangkai suara-suara indah dan menciptakan lagu-lagu yang sungguhpun dirangkai
sejadinya namun amat sedap didengar.

Sementara semenjak pagi Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong telah duduk bersila di antara
sekelompok bunga mawar, dan seperti ketika dia bersila di bawah batu pedang, kini pedang
Siang-bhok-kiam juga terletak di depan kedua lututnya. Ia duduk bersila tak bergerak, dengan
kedua mata dipejamkan, hening tenggelam ke dalam samadhi.

Tiba-tiba daun telinga kiri kakek ini bergerak dan perlahan-lahan dia mengejapkan matanya.
Ia mengerutkan keningnya ketika mencurahkan perhatian dengan pendengarannya. Kakek ini
mempunyai kebiasaan yang aneh, yaitu apabila mendengar sesuatu yang mengesankan, daun
telinga kirinya dapat bergerak seperti telinga kelinci!

Kalau dia sedang samadhi,biarpun ada suara halilintar menyambar diatas kepalanya, dia tidak akan terkejut atau mempedulikan, akan tetap tenang dalam siulannya. Akan tetapi sekali ini, dia sadar dari siulannya (samadhi) karena mendengar tiupan suling yang amat merdu! Suara yang mengandung getaran mengharukan, yang amat halus seolah-olah hembusan angin pada ujung daun-daun bambu. Karena Sin-jiu Kiam-ong memang amat suka mendengar suara suling, maka suara suling penuh getaraan halus ini lebih kuat pengaruhnya daripada ledakan halilintar, menggugahnya dari samadhi dan membuat kakek ini ingin sekali mengetahui siapa gerangan yang dapat meniup suling seindah
itu! Jantungnya berdebar. Kalau peniup suling ini seorang di antara lawan yang hari ini akan
mendatanginya, berarti dia akan berhadapan dengan seorang yang amat sakti. Hanya orang
sakti yang sudah tinggi tingkat kebatinannya saja yang akan mampu meniup seindah dan
sebersih itu, dengan getaran-getaran aseli dari watak yang belum dikotori segala macam nafsu
duniawi.

Saking tertariknya, kakek ini bangkit berdiri, menyambar pedang kayunya lalu
seringan burung terbang tubuhnya melayang ke arah luar hutan dari mana tiupan suling
datang.

Ketika tiba di luar hutan dan melihat bahwa yang meniup suling adalah seorang bocah yang

pedang kayu harum [ 15 ]

dan keluarga Cia ini terbasmi habis ketika gerombolan perampok yang muncul di waktu
perang saudara ini menyerbu dan merampok serta membasmi seluruh penduduk Kwi-bun.
Karena lurah dusun ini melakukan perlawanan, maka semua keluarganya terbasmi habis.
Keng Hong yang kebetulan pada saat itu ikut menggembala kerbau bersama seorang pelayan
di luar dusun, selamat terbebas daripada bencana maut. Dalam keributan ini muncullah Kiang
Tojin, tosu yang menjadi murid kepala Thian Seng Cinjin. Tosu ini sedang melakukan
perjalanan merantau dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar dan penyebar
Agama To. Melihat perbuatan keji para perampok di dusun Kwi-bun, dia cepat menggunakan
kepandaiannya menolong penduduk dan berhasil mengusir para perampok. Kemudian oleh
Kiang Tojin yang amat tertarik melihat Keng Hong, anak itu diajak ke Kun-lun-san dan disitu
Keng Hong bekerja sebagai seorang kacung. Sebetulnya, Keng Hong hendak dijadikan murid
Kun-lun-pai, akan tetapi bocah ini tidak mau menjadi tokong (calon tosu). Pada waktu itu,
murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon yang memegang keras peraturan, yaitu setiap orang
murid Kun-lun-pai haruslah seorang calon tosu.

Karena penolakannya ini, Keng Hong yang sudah tidak mempunyai keluarga itu bekerja
sebagai seorang kacung. Dia rajin sekali, semua pekerjaan dia pegang, apa saja yang
diperlukan, tanpa diperintah dia kerjakan. Mengisi tempat air, membersihkan kuil, menyapu
lantai dan kebun, merawat bunga, bahkan menggembala kerbau milik kuil yang dipergunakn
untuk meluku sawah, semua dia kerjakan dengan tekun dan rajin. Di malam hari, karena para
tosu yang sayang kepadanya membolehkannya, dia memasuki kamar perpustakaan dan
membaca kitab-kitab. Semenjak kecil, di rumah ayahnya dahulu, Keng Hong telah
mempelajari ilmu kesusasteraan sesuai dengan kehendak ayahnya yang ingin melihat dia
kelak menjadi seorang terpelajar agar dapat memperoleh kedudukan tinggi. Kitab-kitab
tentang filsafat kebatinan, pelajaran-pelajaran Tao, juga kitab-kitab pelajaran dasar ilmu silat
Kun-lun, semua dia baca. Tentu saja karena tidak ada gurunya, dia hanya bisa membaca tanpa
dapat menangkap jelas inti sarinya.

Kerajinannya dan sifatnya yang pendiam membuat para tosu suka kepadanya. Bahkan Thian
Seng Cinjin sendiri yang melihat sifat-sifat baik anak ini, memujinya dan diam-diam merasa
kecewa mengapa anak yang berbakat baik ini tidak suka menjadi calon tosu. Di lain fihak,
Keng Hong paling segan dan takut melihat Thian Seng Cinjin. Ia melihat sesuatu yang aneh
dan penuh wibawa pada diri tosu tua ini, baik gerak-geriknya, dari suaranya dan terutama
sekali dari pandang matanya yang tenang penuh kesabaran dan seolah-olah dapat menjenguk
isi hatinya itu.

Dia sedang membersihkan daun-daun pintu dan jendela yang terkena debu ketika Thian Seng
Cinjin dan anak muridnya berkumpul di ruangan belajar. Karena dia tidak diusir dan memang
dia bekerja tanpa mengeluarkan suara, maka Keng Hong dapat melihat dan mendengar semua.
Suasana di ruangan belajar itu amat hening dan para murid mendengarkan wejangan guru
mereka dengan penuh hormat dan kesungguhan, membuat Keng Hong makin hati-hati agar
tidak mengganggu, namun dia kadang-kadang sampai lupa akan pekerjaannya karena
mendengar hal-hal yang amat menarik hatinya. Ia mendengarkan terus.

"Suhu, di puncak Kiam-kok-san telah terjadi keributan," demikian Kiang Tojin, penolongnya
dan merupakan tosu yang paling dihormati dan dicintai Keng Hong, berkata melapor.
"Agaknya Sin-jiu Kiam-ong sudah kumat lagi watak mudanya yang suka akan keributan.
Menurut pelaporan para murid Suhu, ada sembilan orang tokoh kang-ouw, termasuk dua
orang hwesio Siauw-lim-pai, dua orang tokoh Hoa-san-pai dan seorang tosu Kong-thong-pai,
mendatanginya untuk minta pedang Siang-bhok-kiam. Mereka dilayani oleh Sin-jiu Kiam-ong
yang berjanji sebulan lagi akan menanti mereka di hutan mawar sebelah selatan di kaki
gunung. Mohon keputusan Suhu karena keributan ini terjadi di wilayah kita."

"Siancai..., siancai....! Sie-taihiap (pendekar besar she sie) semenjak dahulu selalu mengejar
kesenangan dan ketegangan. Namun harus diakui bahwa di balik kebiasaannya yang buruk itu

pedang kayu harum [14]

mengakibatkan perpecahan dan keributan. Juga di dunia persilatan terjadi perpecahan sebagai
akibat daripada pendapat yang berlawanan terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan
Beng yang baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda Yung Lo), ada pula yang pro selatan
(Kaisar Hui To) maka diantara mereka terjadilah perang sendiri.

Akan tetapi banyak pula golongan tokoh persilatan yang mengundurkan diri, tidak mau
mencampuri segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai
yang dipimpin oleh tosu-tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara
saudara sebangsa. Thian Seng Cinjin, tosu tua berusia seratus tahun yang pada waktu ini
menjadi ketua Kun-lun-pai, mengeluarkan larangan keras bagi semua anak murid Kun-lun-pai
untuk melibatkan diri dalam perang saudara itu. Bahkan ketua ini memanggil semua tokoh-
tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari
perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan samadhi sebagai latihan dan sebagai
keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka tentang
pelajaran dalam Agama To (Taoism).

"Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," demikian antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil
memandang murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan
seperti sekarang ini, camkanlah pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini
bersenandung membaca isi pelajaran yang mengandung makna dalam sekali.
"Dengan keadilan negara dapat diatur dengan siasat peperangan dapat dilakukan, namun
hanya dengan mengekang diri (tak bertindak) dunia dapat dimenangkan.

Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu?

Karena ini:
Makin banyak larangan orang makin menderita, makin banyak dipergunakan senjata, makin
banyak timbul kekacauan, makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-
aneh, makin banyak hukum diundangkan, makin banyak terjadi pelanggaran.
Maka Orang Bijaksana berkata: Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah
kebaikan, kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai. Kami tidak bertindak,
rakyat hidup makmur, kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.
Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Thian Seng Cinjin memberi wejangan kepada
murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut To dan murid Kun-lun-pai
yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada
kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan
menanggulangi keadaan sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu
ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan
yang tidak menyangkut diri pribadi. Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin
melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara, karena sekali mereka turun tangan,
mereka akan makin mengeruhkan suasana dan memperbesar penyembelihan antara saudara
sebangsa.

Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruangan belajar yang luas itu didengarkan
penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-
jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas
tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak
ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang
terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan luas dan penuh
pengertian.

Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Cia Keng Hong,
dan sudah dua tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena
keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang
saudara mulai pecah. Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun

Rabu, 22 Mei 2013

pedang kayu harum [ 13 ]

yang berani boleh naik!"

Sembilan orang itu saling pandang dan tak seorang pun berani naik. Bagi mereka yang
berilmu tinggi, kiranya tidaklah amat sukar untuk mendaki batu pedang itu ke atas, akan tetapi
batu pedang itu tidak dapat didaki oleh mereka bersama-sama, harus seorang demi seorang.
Dan kalau mereka mendaki seorang demi seorang, sama saja dengan menyerahkan nyawa
kepada kakek itu!

Kembali terdengar suara ketawa dari atas. "Ha..ha..ha! Jangan kira aku amat pelit untuk
menyerahkan nyawa dalam tubuh tua ini dan menyerahkan Siang-bhok-kiam. Kuminta waktu
sebulan lamanya untuk menikmati tempat ini. Setelah sebulan, kalau kalian masih
menghendaki nyawaku, datanglah ke kaki gunung, sebelah selatan, di dalam hutan mawar,
disana aku menanti kalian bersama Siang-bhok-kiam!"

Setelah terdengar suara ini, keadaan menjadi sunyi. Mereka menanti-nanti namun tidak ada
suara lagi. Karena merasa tidak akan ada gunanya menanti, apalagi mencoba untuk mengejar
kakek sakti itu ke atas puncak batu pedang yang ujungnya lenyap di balik halimun tebal,
akhirnya sembilan orang gagah itu meninggalkan Kiam-kok-san dan berjanji dalam hati untuk
mencari hutan mawar yang dimaksudkan si kakek sakti sebulan kemudian.

                                                                  ***

Pada masa itu, kerajaan Beng (1368-1644) mengalami perpecahan dan perang saudara.
Kerajaan Beng didirikan oleh Ciu Goan Ciang, yang berhasil mengusir pemerintah penjajah
Goan (Mongol) dan kemudian menjadi Kaisar Kerajaan Beng pertama dengan julukan Kaisar
Thai Cu (1368-1398). Peking (ibu kota utara) yang tadinya menjadi kota raja Kerajaan
Mongol, oleh Kaisar Kerajaan Beng ini tidak dijadikan pusat kerajaan. Sebagai ibu kota
dipilihnya Nan-king (ibu kota selatan) yang letaknya di lembah Sungai Yang-ce-kiang, di
daerah yang lebih subur tanahnya. Namun Peking yang merupakan daerah pergolakan dan
pangkalan penting untuk mempertahankan ancaman serangan balasan bangsa Mongol di utara
yang telah diusir dari pedalaman, tetap dipertahankan dan di bekas kota raja Mongol ini
diperkuat oleh bala tentara besar dan dipimpin oleh putera Kaisar Thai Cu sendiri, yaitu Yung
Lo yang terkenal gagah perkasa dan pandai berperang.

Perpecahan dalam kerajaan Beng yang baru ini terjadi setelah kaisar pertamanya meninggal.
Kaisar Thai Cu meninggal dalam tahun 1398 dan karena putera sulung kaisar ini sudah
meninggal dunia, maka sebelum meninggal Kaisar Thai Cu telah menunjuk keturunan dari
putera sulungnya, jadi cucunya yang amat dikasihinya, untuk menggantikannya dan naik
tahtah pada tahun berikutnya. Cucu ini yang merupakan kaisar ke dua dari kerajaan Beng
bernama Hui Ti. Peristiwa inilah yang mengakibatkan perang saudara.

Pangeran Yung Lo atau lebih tepat Raja Muda Yung Lo yang menguasai daerah pertahanan di Peking, tidak mau menerima pengangkatan keponakannya menjadi kaisar pengganti ayahnya. Dia merasa lebih berhak dan lebih berjasa. Oleh karena itu, Yung Lo membawa bala tentara dan menyerbu ke
selatan, ke Nan-king. Terjadilah perang saudara. Perang saudara selalu mengerikan, dimana
terjadi bunuh-membunuh antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri.

Rakyat pun terpecah- pecah dan saling hantam. Semua ini terjadi hanya karena ulah tingkah atasan yang memperebutkan kedudukan. Untuk mencapai cita-cita pribadi, rakyat dijadikan umpan,
kedok, perisai dan senjata. Padahal kalau cita-cita sudah tercapai dan pribadinya dimabuk
kemuliaan, kemewahan dan kesenangan, biasanya rakyat dilupakan begitu saja!
Di bagian manapun di dunia ini, setiap kali terjadi perang, rakyat jelatalah yang menderita
paling hebat.

Di dalam masa yang keruh ini, bermunculan oknum-oknum yang mempergunakan kesempatan melampiaskan nafsu-nafsu jahatnya. Perampokan-perampokan, penculikan dan fitnah yang diakhiri pelaksanaan hukum rimba bermunculan dimana-mana. Sudah lazim bahwa dalam setiap menghadapi sebuah peristiwa, bermacam-macamlah pendapat orang. Karena setiap buah kepala orang mengandung pendapat berlainan, bahkan celakanya berlawanan, maka inilah yang menjadi sebab timbulnya pertentangan yang

pedang kayu harum [ 12 ]

suaminya cepat menyambung, "Sin-jiu Kiam-ong, dahulu kami mempunyai perusahaan
pengawal barang kiriman. Lupakah engkau kepada Hek-houw-piauwkiok (Perusahaan
Pengawal Macan Hitam)?"

"Aha, sekarang aku ingat! Bukankah engkau orang she Tan yang menjadi kepala piauwkiok
itu? Dan isterimu yang dahulu amat galak dan amat pandai menggunakan am-gi (senjata
rahasia)? Hemmm, aku pernah merampas beberapa benda perhiasan indah yang kau kawal,
perhiasan kiriman milik menteri keuangan kerajaan, bukan? Malah puterinya, ah masih ingat
benar aku akan puteri menteri yang amat cantik manis itu, ia berkenan menemaniku di dalam
hutan sampai dua hari dua malam! Aha, pengalaman yang takkan terlupakan olehku! Puteri
yang cantik manis, dan dia memberikan tusuk konde dan tanda mata kepadaku. Tusuk konde
dan perhiasan-perhiasan yang kurampas itu masih berada dalam kumpulan simpananku. Eh,
Tan-piauwsu, kini engkau dan isterimu datang mau apakah?"

"Sin-jiu Kiam-ong, di waktu muda, engkau melakukan segala macam kejahatan. Merampok
barang milik pembesar tinggi, malah menodai puterinya, mencelakakan kami yang mengawal
barang dan puteri. Masih hendak tanya mengapa kami datang? Rasakan pembalasan kami!"
Piauwsu (pengawal barang) tua ini bersama isterinya menutup kata-katanya dengan gerakan
tangan. Cepat sekali gerakan tangan mereka dan tampaklah benda-benda kecil menyambar ke
depan dan tahu-tahu suami -isteri itu menyerang Sin-jiu Kiam-ong dengan senjata-senjata
rahasia mereka. Piauwsu itu menggunakan dua macam senjata rahasia, yaitu piauw (pisau
sambit) dan Toat-beng-cui (Bor Pencabut Nyawa), adapun isterinya mempergunakan Ngo-
tok-ciam (Jarum Lima Racun) yang jauh lebih cepat dan lebih berbahaya daripada kedua
macam am-gi (senjata gelap) suaminya. Belasan buah senjata rahasia itu menyambar ke
bagian tubuh yang lemah, bahkan jarum-jarum halus itu mengarah jalan-jalan darah yang
mematikan!

Namun kakek tua renta itu sama sekali tidak menjadi gugup, hanya mengangkat kedua
tangannya dan sepuluh batang jari tangannya bergerak-gerak seperti sepuluh ekor ular hidup,
namun kuku-kuku jari tangan itu merupakan perisai yang tidak hanya menangkis semua
senjata rahasia, bahkan dengan sentilan aneh dapat mengirim kembali senjata-senjata kecil itu
ke arah penyerang-penyerangnya! Terjadilah hujan senjata rahasia dari kedua fihak, yang
menyerang dan yang mengembalikan!

"Sahabat-sahabat yang sealiran! Kalau hari ini kita tidak melenyapkan seorang oknum busuk,
mau tunggu sampai kapan lagi? Mari kita basmi dia bersama-sama!" teriak Tan Kai Sek,
piauw tua itu sambil terus menyerang dengan senjata rahasianya.

Tujuh orang gagah yang lain setuju dengan ajakan ini. Mereka semua menaruh dendam
kepada Sin-jiu Kiam-ong dan sudah jelas ternyata tadi bahwa kalau mereka hanya
mengandalkan kepandaian sendiri, tidak akan mungkin dapat mengalahkan kakek sakti itu.
Sambil menyatakan setuju mereka semua mencabut senjata dan menerjang maju!

Akan tetapi
tiba-tiba tampak bayangan kakek itu berkelebat ke atas dan ketika mereka memandang, kakek
sakti itu bersama Siang-bhok-kiam telah lenyap. Kiranya kakek itu meloncat ke atas dan
dengan amat cepatnya merayap naik ke atas batu pedang dan telah lenyap ke dalam awan atau
halimun tebal yang menutup bagian atas batu pedang. Dari atas terdengar suaranya tertawa
tergelak, seolah-olah suara ini datangnya dari langit karena tidak tampak orangnya yang
tertutup oleh halimun tebal.

"Ha..ha..ha, sembilan orang gagah yang berada di bawah! kalau aku tadi menghendaki, apa
susahnya membunuh kalian dengan Siang-bhok-kiam? Dan kalau aku menyerahkan nyawa,
alangkah mudahnya bagi kalian untuk membunuhku. Akan tetapi aku belum mau mati, karena
dalam hari-hari terakhir ini aku masih ingin menikmati tamasya alam yang amat indahnya di
Kiam-kok-san! Aku tidak mau membunuh kalian karena aku tidak ingin mengotori tempat
seindah ini dengan darah kalian, dan aku belum mau mati karena aku masih ingin menikmati
keindahan alam disini. Kalau kalian masih belum terima dan merasa penasaran, hayo siapa

pedang kayu harum [ 11 ]

lima orang murid Kong-thong-pai dengan tangan kosong, sudah semestinya kalau kini pinto
juga menghadapimu dengan tangan kosong. Kalau pinto kalah, biar lain kali kami dari Kong-
thong-pai kembali lagi, kalau engkau yang kalah, pinto akan membawa pergi Siang-bhok-
kiam sebagai tebusan dosa!"

“Ha..ha..ha, selalu tersembunyi pamrih dalam setiap perbuatan, di mana-mana manusia sama,
menjadi hamba nafsu pribadi. Silakan."

Tosu itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala, lalu kedua tangan yang dibuka jari-
jarinya itu mengeluarkan suara berkerotokan, tergetar hebat dan kedua tangan itu kini
bentuknya seperti cakar naga dan kulit tangan itu berubah menjadi kemerahan! Inilah Ilmu
Ang-liong-jiauw-kang (Ilmu Cakar Naga Merah) dari Kong-thong-pai yang sudah amat
terkenal kedahsyatannya! Kabarnya, ilmu ini kalau sudah mencapai tingkat tinggi, menjadi
amat hebat sehingga tangan berubah seperti baja panas. Tidak saja kuat untuk melawan
senjata tajam lawan, juga kalau mengenai tubuh lawan menimbulkan luka-luka terbakar yang
tak terobati lagi! Dengan beberapa langkah, tosu tua itu sudah berada di depan Sin-jiu Kiam-
ong, kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka digerakkan ke depan, mengarah kepala
dan dada kakek yang duduk bersila dengan tenangnya itu.

"Bergeraklah! Lawanlah! Pinto bukan seorang pengecut yang menyerang orang yang tak mau
melawan!" Kok Cin Cu berkata, suaranya nyaring dan kedua tangannya sudah menggetar-
getar amat hebatnya.

Sin-jiu Kiam-ong tersenyum. "Kiranya Kong-thong Ngo-lo-jin masih ingat akan watak
pendekar. Sungguh menyenangkan sekali. Akan tetapi, sayang masih dikotori rasa tamak.
Biarlah kusambut Ang-liong-jiauw-kang, karena inilah nama ilmumu, bukan?" Sambil
berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong segera mengulur kedua lengannya dan sebelum tosu tua
itu sempat bergerak, dia telah menempelkan kedua telapak tangan tosu yang kemerahan itu.

"Wesssss....!" Sungguh luar biasa sekali. Begitu kedua telapak itu bertemu, terdengar suara
seperti api membara bertemu benda basah dan tampak asap mengepul dari kedua pasang
telapak tangan yang saling bertemu. Tosu tua itu merendahkan tubuh dan mengerahkan tenaga
sinkang untuk memperkuat daya serang Ang-liong-jiauw-kang, namun sia-sia belaka karena
kedua telapak tangannya yang tadinya panas itu makin lama menjadi makin dingin, bahkan
rasa dingin seperti salju mulai menerobos masuk melalui kedua telapak tangannya, menjalar
dari telapak tangan ke atas! Wajah tosu itu mulai berpeluh, matanya merah mulutnya terbuka
karena nafasnya menjadi terengah-engah.

Di lain pihak, Sin-jiu Kiam-ong masih tersenyum
saja dan sama sekali tidak kelihatan lelah. Tahulah Kok Cin Cu bahwa kalau dilanjutkan adu
tenaga sinkang ini, dia akan roboh binasa. Terpaksa tosu tua ini lalu menarik kembali kedua
tangannya dan pada saat yang bersamaan, Sin-jiu Kiam-ong yang tidak ingin membunuh
orang juga menarik kedua tangannya. Kok Cin Cu melangkah mundur di tempat semula,
tubuhnya menggigil dan sampai lama barulah dia dapat memulihkan keadaannya, lalu
menjura dan membungkuk dan berkata dengan suara lemah.
"Sungguh hebat kepandaian Sin-jiu Kiam-ong, terpaksa pinto mengaku kalah dan lain kali
pinto akan datang kembali bersama para suheng."

Melihat kekalahan tosu tua Kong-thong-pai, kini suami istri tua yang sejak tadi hanya
menonton, melangkah maju. Mereka itu berusia tujuh puluh tahunan, dan si suami segera
menudingkan telujuknya.
"Sin-jiu Kiam-ong, masih ingatkah engkau kepada kami suami isteri yang pernah mengalami
penghinaan darimu?"

Kakek itu memandang kepada mereka, terutama kepada wanita tua yang berdiri tegak
disamping suaminya, kemudian menjawab, "Pernah aku berjumpa dengan kalian, akan tetapi
aku lupa lagi entah dimana. Yang sudah pasti, aku tidak pernah menganggu wanita itu, karena
kalau hal itu terjadi, sampai kini pun aku tentu akan ingat dan mengenalnya."
Merah wajah wanita itu dan kini ia mendamprat, "Tua bangka berhati cabul!" Akan tetapi