Rabu, 15 Mei 2013

Istana Pulau Es [2]

Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi pemimpin mereka dan yang agaknya lebih cerdik daripada mereka atau lebih tepat tidak begitu goblok, berkata, Permainan apa?
Yang jenderal berada di tengah dan....
Apa jenderal? semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.
Jenderal.... ya jenderal! Goblok kamu! Maya membentak dan orang-orang itu menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, Yang jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepatcepat kalian turut. Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?
Ada di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini, lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya.... ledis dan apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
Nah, bersiaplah! kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
Berjongkok....!
Semua orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira bahwa Maya akan memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
Wah, tidak beres! kata Maya. Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku baik-baik, baru berlomba menanti perintah. Yang paling lambat menjadi jenderal. Mengerti? Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
Awas, ya sekarang? Maya bertolak plnggang lagi, kemudian tiba-tiba ia membentak, sengaja menghentikan perintahnya atau menahannya di tengah-tengah.
Ber....
Baru saja bilang ber.... semua orang sudah terpelanting karena berlomba untuk berjongkok.
....lari....! Maya melanjutkan perintahnya. Tentu saja orang-orang yang, tadinya berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling bertubrukan sambil tertawa-tawa, Maya sendiri terpingkal-pingkal menyaksikan solah-tingkah mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi amat girang dan menganggap Maya sebagai anggauta keluarga mereka sendiri. Mereka bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian mereka itu mengajak Maya untuk pulang.
Pulang? Pulang ke mana? Maya bertanya.
Wanita tua berkalung menggandeng tangannya, Mari, ikutlah. Kita pulang dan makan! Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua kakinya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya. Maya hampir menjerit saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki guha yang amat dalam, merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana sekali kehidupan mereka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira dan bermain-main. Ketika tiba di depan guha, serombongan anjing srigala menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan binatang itu bukanlah anjing-anjing jinak, melainkan srigala-srigala yang liar dan buas. Akan tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menyalak seperti anjing, gerombolan srigala itu mendekam ketakutan, kemudian seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk ranting pohon. Gerombolan srigala itu pergi dengan patuhnya, seperti sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan adalah buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa, akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah, puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan itu kini diterima menjadi anggauta keluarga atau teman segerombolan manusia liar yang belum mengenal peradaban! Mereka merupakan sekumpulan anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa dan tua, namun watak dan jalan pikiran mereka masih seperti kanak-kanak di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya memperhatikan mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali, memilikl keringanan tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia biasa. Akan tetapi, biarpun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara hidup yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat! Dia benar-benar merasa heran sekali dan pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat dan menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.
Dari mana kalian mempelajari gerakan yang demikian ringan dan cepat?
Mula-mula anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan tetapi ketika Maya mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.
Eh-eh, perlahan dulu.... wah, bisa jatuh aku....! Maya terengah-engah karena temannya itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam, tebing yang berada di punggung guha itu dan yang agaknya tidak bisa didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
Makan itu! Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang pohon yang tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata, Aku takut! Takut! dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat apakah ini?Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi. Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali seperti pohon raksasa. Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi? Apanya yang dimakan? Maya termenung dan memutar otaknya, berusaha menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat sederhana jalan pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang gin-kang mereka, kemudian anak itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka, atau mungkin sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka, agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan mereka itu amat berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya. Kemudian anak itu mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk ke arah pohon menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut! Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan gin-kang mereka tidak mengandung dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan apanya? Tentu buahnya ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya, maka dia yang telah membawa Maya ke situ tentu saja takut kalau mendapat hukuman.
Maya mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main, dasarnya tidak tampak jauh di bawah pohon itu, curam dan licin, rata, hanya ada lobang-lobang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing, mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke bawah, sama halnya jatuh dari langitl
Maya bergidik ngeri. Betapa mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan? Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut secara mengerikan dalam tangan sepasang manusia iblis dari India, apa artinya menuruni tebing macam itu? Tidak seberapa!
Kenangan akan segala bahaya yang pernah ia alaminya, semua kengerian yang dihadapinya, hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan gin-kang sehebat yang dimiliki orang-orang itu, dia harus mendatanginya. Bahaya terpeleset yang dihadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi sedikit turun ke bawah, kakinya yang meraba-raba mencari injakan, disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia harus berhati-hati dan menguji lebih dulu kekuatan akar atau batu itu sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya karena sekali akar putus atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam! Akan tetapi akhirnya ia dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh penuh keringat, kaki tangan menggigil gemetar saking lelahnya. Namun wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di bawah. pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling aman. Tanpa mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah anak perempuan itu mengatakan makan itu? Rasa buah itu manis-manis masam dan mengandung rasa keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apalagi disertai harapan bahwa buah ini mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan gin-kangnya.Habislah lima butir buah itu dan Maya merasa kenyang sekali. Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena perutnya terasa mulas sekali, makan lama makin hebat, melilit-lilit seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya, cepat Maya menggunakan kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya. Setelah isi perutnya terkuras keluar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi kini tulang-tulang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari, sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh pingsan di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan. Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan air yang mengucur keluar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaiannya tercuci bersih, Maya kembali memanjat pohon. Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya, syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun akibatnya, dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya amat lapar, tenaganya habis sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apalagi kakinya dan tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat menguntungkannya. Kalau dia jerih setelah menderita hebat akibat makan buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan buah itu lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia mencoba berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat dua kali leblh tinggi daripada biasa!
Bukan main girangnya hati Maya. Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai merasa khawatir. Betapapun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus naik dan kembali kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah, mengantunginya kemudian ia mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan ini dapat ia lakukan dengan amat mudahnya! Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat naik, berpegang kepada lobang-lobang dan akar-akar di permukaan dinding tebing, Hal ini adalah karena beberapa hal, Pertama memang khasiat buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah daripada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu saja amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu teringat kepada orang-orang aneh yang ,berada di dalam perut bukit, lenyap kegembiraannya, terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?
Maya memasuki terowongan dan, berlari cepat sekali Setelah tiba di ruangan luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun, Tentu mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya dan karena perutnya lapar sekali, makan buah mentah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat mengenyangkan perutnya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang berada di ruangan itu. Daging panggang yang masih hangat, dan buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan guha dan bermain-main, bahkan kini rombongan srigala yang dua puluh ekor lebih jumlahnya ikut pula bermain-main di situ, dipimpin oleh seorang anak lakl-lakl memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan betapa binatang-binatang srigala yang buas dan yang di dunia ramai merupakan binatang paling sukar dijanjikan kini lebih jinak daripada anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan seorang kanak-kanak! 999
Akan tetapi ketika ia memandang ke arah orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut bukan main, memandang terbelalak dan menahan napas. Di antara mereka itu ada yang sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor, binatang buruan tentu Maya tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah.... mayat manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang. Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya! Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?
Nenek itu memandang kepadanya, berteriak girang. Heeiii, Maya telah kembali! Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya, akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan membentak.
Kenapa kalian membunuh orang ini? Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis telah diambil dan dipanggang!
Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama! Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala. Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang kuda, telah membunuh seekor di antara srigala-srigala peliharaan mereka, maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai memanggang dagingnya!
Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan dagingnya....! Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu, mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan, jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak, ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali. Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan gonggongan meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki guha, meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas. Agaknya semua orang itu berlomba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan marah. Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari. Sambil menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri, meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu membalapkan kuda itu. Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling. Maya cepat mendahului meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan srigala itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan srigala itu berpesta memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan larl menjauh melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari samping bukit muncul serombongan srigala lain, dan dari belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanyalah batu-batu karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara batu karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.
Brett! Ujung bajunya robek digigit seekor srigala dari belakang!
Wekkk! Celana di lutut kanan juga robek.
Setan!! Maya menjadi marah, membalikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang sudah menyambar batu itu bergerak.
Prakk! Kainggg.... kaingggg....! Srigala ke dua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir remuk. Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke dalam guha kecil kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha kecil! Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit, akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu srigala-srigala itu dapat membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat. Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut memasuki lobang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar menantang dan memancing penghuni lobang untuk keluar. Mungkin binatang ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan menyambut mereka di dalam lobang yang gelap.
Akhirnya terowongan kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan di situ sunyi sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah mereka? Tiba-tiba Maya mendapet pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka umtuk melihat bagaimana keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengambil keputusan untuk menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia tidak suka kepada mereka, apalagi setelah melihat mereka membunuh dan makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain kecuali berbalik dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
Kraaaakkkk....!
Seketika wajah Maya menjadi pucat. Celaka! serunya ketika melihat dari atas betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya, napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan. Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang orang itu merasa khawatir kalau-kalau ia akan menghabiskan buah itu! Betapa bodohnya! Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali, lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang masih pentil! Akibatnya, karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, pohon itu tumbang, jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh ketika dia dikejar-kejar gerombolan srigala.
***
Berpikir demikian teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di dalam perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua. Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya, sudah melupakannya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan srigala yang menanti di luar guha?
Maya adalah seorang anak yang pada dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apalagi semenjak ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal dan tidak mudah dia keluar dari kota raja Khitan dan mengalami hal-hal yang amat menderita, berputus asa menghadapi rintangan apapun juga. Setelah memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama ia tinggal di situ, ia teringat bahwa srigala-srigala itu paling takut berdekatan dengan api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu sampai bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari keluar, menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba di pintu guha depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan srigala. Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu srigala-srigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya. Srigala-srigala itu melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini, dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu. Rombongan srigala hanya dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mengurahkan perhatiannya kepada kemajuan gin-kangnya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari secepat mugkin. Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya kembali mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya!
Dengan dada lapang Maya lari, rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda!

***
Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu bangsa-bangsa Naiman dan Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat kedudukannya itu terus mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah ditundukkan oleh bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali sehingga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol yang dibantu bangsa Naiman dan Kerait hanya memusatkan diri di utara, menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang memperebutkan tanah subur. Karena itu, perjalanan yang ditempuh Puteri Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan perang-perangan kecil sampai perang berakhir dan hutan itu penuh mayat bergelimpangan. Kalau sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya berani turun dari pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha yang lembab dan dingin kotor sampai berhari-hari.
Pada suatu senja. Maya yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah Pegunungan Go-bi yang penuh dengan selingan padang pasir luas, merasa bingung ketika melihat dari sebuah lereng bukit ke arah padang pasir yang membentang luas di kaki bukit. Entah berapa luasnya padang pasir itu karena tidak tampak tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan permukaan padang pasir sehingga berombak seperti laut! Ia merasa takut dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus menyeberangi padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengarnya dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh padang pasir itu. Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang yang kehabisan air dan persediaan makan yang kelaparan dan terutama sekali kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-pimpah akan tetapi apabila didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman tinggal di tempat itu dan setiap saat siluman-siluman itu mengganggu manusia!
Maka Maya tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan membelok ke barat melalui pegunungan yang biarpun amat sukar ditempuh, namun setidaknya sudah dikenalnya. Sejak kecil ia sudah biasa berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini dikenalnya, tidak seperti padang pasir, yang gundul dan mengerikan itu. Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat yang tinggi ini tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat tinggal manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah ia ke barat. Siapa kira, perjalanan menuruni bukit ini amat sukarnya, melalui jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga sampai matahari naik tinggi, belum juga ia sampai ke tempat yang diduganya tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangannya dari puncak bukit.Ia menjadi girang ketika melihat sebuah bangunan tak jauh didepan. Biarpun dia sudah lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher, namun melihat bangunan itu, Maya melupakan kelelahannya dan berjalan lagi menuruni lereng. Tentu di situlah dusun yang dilihatnya semalam dari puncak. Akan tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi kini sudah rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biarpun demikian, lumayan untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.
Tiba-tiba Maya cepat memasuki bangunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah sebuah meja batu bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca. Jantungnya berdebar tegang karena hampir saja ia kurang cepat bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan main. Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang seorang berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar gerakannya, akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk lonjong menjulur ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak menyenangkan! Maya tidak berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena ia dapat menduga bahwa kedua orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda, tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka berbisik-bisik.
Benarkah dia sedang mendatangi ke sini?
Tidak salah, jawab yang berpakaian perwira Yucen. Seperti biasa, dia naik kuda seorang diri. Sudah dua kali aku dan kawan-kawan dahulu menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lolos.
Akan tetapi yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya? Pemuda muka kuda kembali bertanya, mendesak menuntut keyakinan.
Betul dia! Memang dia pandai menyamar dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik sehingga tidak pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku yakin bahwa dialah orangnya.
Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah yang akan menangkapnya! pemuda muka kuda berbisik. Si Perwira Yucen mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan menjulur ke jalan depan kuil.
Biarpun Maya hanya dapat mengintai melalui lobang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca, dan tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya seekor kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung gadis cilik ini berdebar tegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat, sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua orang itu dan siapa pula pendatang yang mereka anggap sebagai utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya! Apakah artinya semua itu?Setelah derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil, tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik keras dan terdengar suara hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding Maya menggunakan keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat persembunyian di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan mengintai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang memakai topi lebar itu gagah dan gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya, mendapat kenyataan, bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil mundur-mundur, memutar pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok melengkung ditangan pemuda itu
Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau menyerangku?
Namun pemuda muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi sehingga laki-laki bertopi lebar itu makin terdesak. Engkau.... engkau mengkhianati kerajaan....? Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya, akan tetapi pada saat itu, tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan kosong karena goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak tangan ke depan.
Blukk! Aiihhhh....! Laki-laki bertopi lebar itu terpukul dadanya dan muntahkan darah segar, akan tetapi masih berusaha membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh, goloknya menyambar ke depan dari samping.
Crokk! Terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas siku!
Maya menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan seperti itu saja, dahulu ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan, setiap hari dilihatnya, bahkan yang lebih dari itu pun! Akan tetapi yang mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup, menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak memasukkan amplop ke mulutnya.
Crass! Kembali golok menyambar dan lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan disambar oleh tangan kanan Si Muka Kuda.
Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah, Siangkoan Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!
Terpaksa Maya membuang muka ketika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah maju, mengayun golok dan.... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah muncul sambil berkata, Bawa kepalanya!
Perwira Yucen ini dengan muka berseri girang menyambar rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, memuji. Sungguh hebat bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!
Aku hanya menjalankan tugas. Marilah! kata pemuda muka kuda yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, bekas pelayan murid dan juga pembantu Panglima Suma Kiat.Dua orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan Lee membawa sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa kepala yang masih meneteskan darah itu. Entah mengapa, hati Maya tertarik sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang yang disebut Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa laki-laki bertopi lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya, tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat dan bernama Siangkoan Lee, dan kagum menyaksikan betapa laki-laki bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih hendak melindungi Khu-ciangkun dan bahkan hendak memusnahkan sampul suratnya! Dia tidak mengerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa tidak suka bahkan membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada Panglima Khu yang belum pernah dilihatnya. Karena itu, melihat dua orang itu melangkah pergi, diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam bahaya, entah bahaya apa, maka dia ingin melihat perkembangannya dan kalau mungkin dia akan memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya
belakang Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui, Siangkoan Lee adalah bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma Kiat. Setelah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota raja dan minggat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan Lee ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dan kini tanpa ragu-ragu lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak berunding dan mengatur siasat dalam, menghadapi musuh-musuhnya.
Peristiwa yang terjadi mengenai keluarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut campur, menambah rasa dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apalagi karena urusan itu mengakibatkan puteranya patah hati dan pergi. Dia bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluarga Raja Khitan! Kini dia mulai mengintai dan ingin sekali menjungkalkan orang yang paling dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong! Akhirnya berkat kelicinannya dan penyelidikan mata-matanya yang berani main sogok untuk membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa kepergian seorang panglima pembantu Menteri Kam Liong yang bernama Panglima Khu Tek San, bukanlah ditugaskan menjaga tapal batas sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya oleh Pemerintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata di Yucen, bekerja demi kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi, dia bekerja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu menaruh kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!
Demikianlah, Suma Kiat lalu menugaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan agar supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati! Terjadinya hal itu tentu akan memperuncing hubungan antara Yucen dan Sung dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan sekutunya, yaitu para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar mereka dan sudah siap-siap untuk memberontak jika ada kesempatan.
Biarpun usianya masih muda, namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan baik sekali. Dia tidak mau begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu yang di Yucen amat dihormati sebagai seorang panglima gagah perkasa yang selalu ikut berperang membela Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu bekerja sebagai mata-mata di Yucen, tentu ada satu cara dari panglima itu untuk mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya. Menteri Kam Liong. Akhirnya, setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah ia mengetahui bahwa memang ada seorang kurir yang menghubungkan guru dan murid itu. Dengan petunjuk seorang perwira Yucen, akhirnya Siangkoan Lee berhasil membunuh kurir, memenggal kepalanya dan merampas suratnya, kemudian dengan bekal dua tanda bukti ini berangkatlah dia ke perkemahan Raja Yucen yang kebetulan berada di tempat itu dalam operasi pembersihan. Raja Yucen disertai para panglima, di antaranya Panglima Khu yang dipercaya!
Akan tetapi, sungguh Siangkoan Lee tidak pernah mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan masak dan dilakukan dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan berusia sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah menyaksikan semua perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka sudah tiba di perkemahan di waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap melalui perkemahan.
Maya menjadi bingung. Bagaimana dia harus menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang manakah Panglima itu dan di mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani menanggung bahayanya. Dengan langkah lebar ia menghampiri beberapa orang tentara yang menjaga. Tiga orang tentara itu tercengang keheranan ketika tiba-tiba dari tempat gelap muncul seorang anak perempuan yang begitu cantik dan bersikap begitu tabah dan berani.
Eh, kau siapakah?
Aku adalah keponakan dari Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku kepada Khu-ciangkun nanti kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk kalian.
Tiga orang anggauta tentara Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-heran dan ragu-ragu. Panglima Khu adalah seorang di antara para panglima Yucen yang gagah perkasa dan dipercaya oleh Raja. Memang semua orang tahu bahwa itu panglima berdarah Han, akan tetapi sepak terjangnya sudah membuktikan kesetiaannya terhadap Kerajaan Yucen. Kini tiba-tiba muncul seorang anak perempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka menolak dan mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa anak ini betul keponakan panglima gagah itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan tetapi, kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andaikata anak itu membohong, tentu anak ini yang akan dicambuk! Mereka tidak percaya bahwa di dalam hutan pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang keponakan dari Panglima Khu, akan tetapi segera mereka berkata,
Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi kalau engkau membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!
Apa boleh buat, pikir Maya. Dia beriktikad baik, menolong Panglima Khu. Tidak mungkin kalau pamrih baik dibalas hukuman mati! Baik, antar aku kepada Khu-ciangkun!
Tiga orang tentara itu membawa Maya ke sebuah kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga. Mereka menceritakan bahwa anak ini mengaku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar menghadap.
Hemm, kalian mencari penyakit, kata dua orang penjaga. Akan tetapi, masuklah, Ciangkun sedang duduk sendiri, kalau kalian dimaki jangan bersambat kepada kami.
Maya diajak masuk dan ketika Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat puluhan tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah Panglima Khu. Maka ia lalu berlari ke depan menjatuhkan diri dan berlutut dan berkata, Paman Khu.... saya mohon bicara empat mata dengan Paman mengenai surat bersampul kuning dan laki-laki bertopi lebar!
Mula-mula panglima itu terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang perajurit memasuki kemahnya membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi ketika ia mendengar ucapan gadis itu, berubahlah sikapnya. Pergilah! katanya kepada tiga orang perajurit sambil melempar beberapa mata uang ke arah, mereka. Dan terima kasih sudah mengantar keponakanku ke sini!Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran panglima itu. Setelah tiga orang perajurit yang kegirangan tadi menerima hadiah dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu sambil bertanya, Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan
anak baik engkau siapakah dan apa artinya kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar Khu-ciangkun. Perwira itu memegang tangan Maya dan menariknya duduk di atas bangku di dekatnya sambil memandang wajah jelita itu penuh selidik. Bukan anak sembarangan, pikirnya.
Ketahuilah, kalau engkau seorang Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu malah lebih senang melihat engkau mampus! Akan tetapi karena engkau panglima palsu dan tentu engkau memusuhi Yucen, aku bersedia menolongmu.
Terbelalak mata panglima itu. Apa maksudmu? Ia berbisik dan menoleh keluar kemah. Bicara perlahan.
Maya juga cerdik dan tahu bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak boleh didengar orang lain, maka ia lalu berkata, Aku adalah Puteri Maya puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah hancur oleh bangsa Yucen! Dan engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang bertopi lebar yang membawa sampul kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan sampul suratnya dibawa oleh seorang yang bernama Siangkoan Lee. Kau akan dilaporkan....
Cepat! Kita harus pergi dari sini, sekarang juga! Panglima itu dengan gerakan cepat dan kuat telah menyambar tubuh Maya dan dipondongnya.
Engkau pergilah, aku.... biar aku lari sendiri!
Tidak, Paduka. harus saya selamatkan! Harus! Panglima itu berkata dengan hati penuh keharuan dan ketegangan. Sungguh mimpi pun tidak dia akan bertemu dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja Khitan adalah adik tiri gurunya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan gurunya sendiri yang harus dia selamatkan! Rahasianya sudah diketahui orang, entah secara bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang bernama Siangkoan Lee itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak perempuan ini adalah puteri Kerajaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar. Mendengar ini, wajah panglima itu berubah. Terlambat....! Paduka.... jangan mengaku sebagai Puteri Khitan, tetap mengaku keponakan.... keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir. Mengerti?
Maya membelalakkan mata akan tetapi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan berterima kasih. Keputusan hatinya untuk menolong panglima ini ternyata tidak sia-sia! Panglima ini seorang yang gagah perkasa, yang dalam saat berbahaya itu lebih mementingkan keselamatannya daripada keselamatan sendiri!
Dengan langkah tenang sambil menggandeng tangan Maya, Panglima Khu berjalan keluar dan menuju ke perkemahan besar di mana semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi terompet tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran, panglima dan perwira. Dengan sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang siap dengan senjata mereka, juga pasukan anak buahnya sendiri sehingga diam-diam ia mengerti bahwa keadaan amat berbahaya dan agaknya Raja yang telah mengetahui rahasianya telah siap menangkapnya. Biarlah ia berkorban nyawa untuk negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang digandengnya, dia menjadi bingung!
Para panglima telah siap semua berkumpul di depan kemah Sri Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan mereka itu memandang heran kepada Khu-ciangkun yang datang menggandeng seorang anak perempuan cantik.
Keponakan.... selirku! jawab panglima ini pendek ketika rekan-rekannya bertanya sehingga di sana-sini terdengar suara ketawa.
Akan tetapi, mereka semua menjadi diam dan bersikap menghormat ketika terdengar suara terompet dari dalam kemah, tanda bahwa Raja akan keluar dan persidangan darurat dimulai. Tempat di depan kemah itu telah menjadi terang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan para perajurit pengawal. Raja keluar dari kemah dengan.... menunggang kuda! Memang Raja Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau menghadapi para panglimanya den bangsa Yucen merupakan bangsa yang paling ahli berperang di atas kuda.
Di belakang Raja tampak seorang laki-laki bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.
Khu-ciangkun....! Tiba-tiba Raja berseru keras memanggil.
Hamba siap! Khu-ciangkun melangkah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya dengan sikap gagah dan hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di belakang dan anak itu memandang dengan hati tegang.
Khu-ciangkun! Selama ini aku percaya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira, ternyata engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!
Semua panglima saling pandang dan terdengar suara mereka berisik sekali, karena tuduhan ini benar-benar amat hebat! Ampun, Tuanku, akan tetapi tuduhan yang tidak ada buktinya merupakan fitnah keji! Khu-ciangkun menjawab dengan suara tenang.
Fitnah, ya? Raja membentak dan memberi tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera membuka kantung dan melemparkan sebuah benda diatas tanah. Benda itu adalah kepala orang! Semua orang memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja berkata lagi, Orang she Khu! Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang menghubungkan engkau dengan gurumu di Kerajaan Sung! Engkau adalah murid dari Menteri Kam Liong. Hayo mengaku!
Khu-ciangkun tetap tenang. Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang yang mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah buktinya, Tuanku?
Bukti lagi? Lihat ini! Surat Menteri Kam Liong untukmu, keparat! Raja itu mengeluarkan sebuah sampul kuning dari sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
Akan tetapi, dalam suasana yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan Yucen yang dipimpin oleh empat orang panglima gagah berkuda dan mereka ini menyeret tubuh dua orang anak yang meronta-ronta!
Apakah yang telah terjadi? Siapakah dua orang bocah yang ditawan oleh pasukan Yucen itu? Mereka itu bukan lain adalah Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya. Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen?
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya, Pek-kong-to Tang Hauw Lam, bersama kedua orang muridnya itu, setelah mendengar akan kehancuran Khitan dan tewasnya raja dan ratu lalu bermaksud mengejar pasukan yang mengunnakan Maya ke Go-bi-san.
Karena pengejaran itu dimaksudkan untuk melindungi keselamatan Puteri Maya, dan karena mereka tidak tahu jalan mana yang diambil oleh pasukan yang sudah pergi lebih dulu sebulan lebih, maka mereka melakukan perjalanan lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru mereka, maka seringkali kedua orang murid ini mendahului guru-guru mereka yang melakukan penyelidikan setelah memberi tahu bahwa mereka berdua akan mendahului ke atas bukit di depan atau padang rumput di depan.
Pada sore hati itu, kembali dua orang anak itu mendahului guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput yang luas. Tiba-tiba, muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil tertawa-tawa. Dua orang bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja bangsa Yucen yang di dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan, ingin mempermainkan dua orang anak ini.Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik, berlututlah kalian dan minta ampun kepada tuan-tuan besarmu, baru kami akan melepaskan kalian! berkata seorang di antara para panglima Yucen yang menunggang kuda.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak yang sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Selain berani dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua orang gurunya, terutama sekali nama besar ibu gurunya. Siapa berani mengganggu mereka?
Kalian ini berandal dari mana berani mengganggu kami? Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak memberi ampun lagi! bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang. Juga Ok Yan Hwa bertolak pinggang sambil membentak.
Sungguh tak tahu diri, berani mengganggu anak naga dan harimau!
Dua orang anggauta pasukan itu tertawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Ha-ha-ha, engkau anak naga, ya? Heh-heh, apakah kalian ini sudah gila? Seorang di antara mereka menghampiri Can Ji Kun.
Wah, yang ini biarpun masih belum dewasa, sudah cantik sekali! Tentara ke dua menghampiri Ok Yan Hwa, tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis cilik itu.
Tiba-tiba dua orang anak itu menerjang ke depan, terdengar teriakan-teriakan keras dan dua orang anggauta pasukan itu roboh sambil mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah rasanya, dihantam oleh dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah semua pasukan, terkejut dan marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan membunuh, akan tetapi empat orang panglima berseru, Jangan bunuh! Biarkan kami menangkap harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri Baginda. Siapa tahu mereka ini ada gunanya kelak!
Setelah berkata demikian, empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang melingkar-lingkar di lengan kiri mereka. Ujung tali itu dibuat semacam lasso dan kini mereka berempat yang menunggang kuda mengurung Ji Kun dan Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang tetap diputar-putar. Dua orang anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi mereka bingung ketika dikurung empat ekor kuda dan memandang tali berujung lasso yang diputar-putar. Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa. Dara cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso itu mengejarnya, ia menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji. Juga Ji Kun dapat menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika ada tali lasso menyambar. Bahkan sampai berkali-kali tali-tali lasso beterbangan menyambar ke arah mereka, namun dengan lincah sekali dua orang anak itu tetap dapat mengelak.
Empat orang Panglima Yucen ini menjadi penasaran sekali. Mereka lalu berpencar menjadi dua rombongan dan mengeroyok setiap anak dengan lasso mereka. Kini repotlah dua orang anak kecil itu dan tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan tertangkap! Dua orang panglima memegangi lengan setiap anak dan mengangkat tubuh anak itu di antara kuda mereka yang dilarikan sehingga tergantunglah tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa membalap pergi! Mereka tidak sudi berteriak minta tolong, hanya memaki-maki dan meronta-ronta.
Sikap dua orang anak inilah yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka berdua tidak memperlihatkan sikap yang berani luar biasa, tentu mereka dianggap anak-anak biasa dan sudah dibunuh. Kini para panglima itu menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh kedua orang anak itu dan merasa perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa itu kepada raja yang kebetulan berada di perkemahan.Sementara itu, Khu Tek San yang melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia tidak dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan untuk mengorbankan dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam pekerjaannya memata-matai Yucen.
Yang terpenting sekarang adalah berusaha menyelamatkan diri Puteri Maya dan menyuruh puteri Kerajaan Khitan itu pergi ke selatan menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan berita tentang kematiannya. Maka ketika melihat keributan dengan datangnya panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, dia cepat berbisik kepada Maya,
Engkau larilah sekarang, cepat!
Akan tetapi Maya menggeleng kepala. Aku hanya mau lari kalau bersama engkau!
Panglima she Khu itu memandang penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri Raja Khitan, cucu Suling Emas, pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal apa artinya budi dan kegagahan!
Tiba-tiba Panglima Khu dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu. Yang perempuan berkata galak.
Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan mampus!
Guru kami, pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok Sinar Putih, tentu akan membalas dendam! kata anak laki-laki, sikap mereka berdua sedikit pun tidak takut dihadapkan pada Raja Yucen.
Tentu saja Khu Tek San terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu. Bagaimana bisa terjadi hal yang begini kebetulan secara berturut-turut? Pekerjaan rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya, dan kini tahu-tahu muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam! Mutiara Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik tirl suhunya pula, karena itu, bukan hanya Maya yang harus diselamatkan, melainkan juga dua orang bocah itu!
Apa pun yang terjadi, aku harus berusaha menyelamatkan mereka, bisik Khu Tek San kepada Maya. Kaularilah dalam keributan ini! Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu. Cepat bagaikan seekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang panglima muda yang memegangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut, tahu akan kelihaian Khu-ciangkun, maka mereka mundur dan mencabut senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar tangan Can Ji Kun, anak laki-laki itu. Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa, terdengar bocah itu membentak.
Budak cilik! Aku tidak butuh pertolonganmu! Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah berada di situ pula, tadi menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik mendekatinya. Ia merasa makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak melarikan diri dalam keributan seperti yang dipesankannya, malah menyusulnya meloncat ke depan untuk menolong dua orang murid Mutiara Hitam!
Keadaan menjadi geger. Kurung....! Tangkap....! Raja Yucen berteriak marah sekali dan Tek San bersama tiga orang anak itu dikurung rapat oleh pasukan panglima yang telah menghunus senjata. Tek San menjadi khawatir sekali. Bagi dia tidak takut mati di tangan musuh-musuh ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak itu?
Sri Baginda Yucen....! Ia berteriak lantang. Aku Khu Tek San sebagai seorang laki-laki sejati, telah mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata terbuka! Akan tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biarpun kami berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret nyawa beberapa orang pengawalmu!
Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali membentak. Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si Pengkhianat ini dan tiga orang anak iblis itu!
Tek San yang mengambil keputusan untuk melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap menghadapi pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali dan tak dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu pun telah bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh, membelakanginya sehingga mereka berempat beradu punggung menghadap ke empat penjuru! Bukan main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan keturunan Suling Emas benar-benar merupakan anak-anak yang telah memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil itu, menghadapi bahaya maut tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan hendak membela diri dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan sekali. Pengurungan makin ketat dan sudah dapat dibayangkan bahwa betapapun gagahnya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu banyaknya panglima, perwira dan perajurit Yucen, tentu dia takkan menang.
Tahannnn....! tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.
Lengking nyaring ini disusul berkelebatnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat saking cepatnya. Hanya terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan menyambar ke atas kuda yang diduduki Raja Yucen dan bayangan ke dua menyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang berada di sebelah kanan raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan suara ah-uh-ah-uh disusul melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang panglima tinggi itu ke atas batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja semua pasukan menjadi terkejut dan mengalihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga orang bocah itu.
Suhu....! Ji Kun berteriak girang.
Subo....! Yan Hwa juga bersorak.
Ketika obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas batu besar itu telah berdiri seorang wanita gagah perkasa dan cantik jelita yang menelikung dengan Raja ke belakang tubuh dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk. Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepala itu, sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh! Wanita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu membentak.
Ha-ha-ha, kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan Raja, wah, berabe juga! Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata sambil tertawa. Dan penukaran ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian. Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak perempuannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami tukar dengan dua puluh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!
Raja Yucen dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi, mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam itu bicara tidak karuan, dia mendongkol juga. Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang, mana yang dua puluh orang lagi?
Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua puluh adalah panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk sementara, kami titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-masing sambil menanti penukaran ini! jawab Pek-kong-to Tang Hauw Lam seenaknya.
Bebaskan mereka. Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.
Ji-kun! Yang Hwa! Naik ke sini! Mutiara Hitam berteriak. Dua orang muridnya lalu meloncat dan dengan gerakan indah serta ringan mereka melayang ke atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang lebih cepat lagi!
Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam? Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh kagum. Mutiara Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran menyaksikan bocah perempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan kedua orang muridnya.
Siapa engkau? Dan siapakah orang gagah di bawah itu?
Tek San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat. Teecu Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima kasih atas pertolongan Ji-wi.
Ahhh....! Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki perkasa yang tadi berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya sendiri! Dan bocah ini....?
Dia adalah keponakan Sukouw sendiri, Puteri Maya....!
Aihhh....! Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya meraih kepala Maya dan dipeluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan kirinya masih menelikung Raja Yucen.
Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan kami! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?
Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.
Akan tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San, maka ia menggeleng kepala dan berkata,
Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!
Mutiara Hitam menghela napas panjang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirobah lagi, dan sekali mendengar keputusan keponakannya, tidak banyak berbantah lagi. Hatinya masih tetap keras dan angkuh.
Baiklah, Maya. Engkau ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu) Kam Liong pun sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami yang tanggung bahwa orang-orang Yucen tidak akan mengganggu perjalanan kalian.
Khu Tek San memberi hormat, kemudian menggandeng tangan Maya sambil berkata,
Marilah kita pergi! Keduanya melompat turun dari batu besar itu dan berlari pergi. Tidak ada seorang pun yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda muka kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya bernama Siangkoan Lee dan yang membunuh kurirnya.
Setelah menanti agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya sudah pergi jauh, Mutiara Hitam melepaskan dengan Raja Yucen, juga suaminya melepaskan pundak kedua orang panglima tinggi yang sama sekali tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya tadi. Mutiara Hitam menjura kepada raja itu dan berkata,
Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian....
Ahhhh, tuduhan keji itu! Raja Yucen membentak marah. Raja Khitan dan kami pada saat terakhir berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa Mongol sampai Raja Khitan gugur! Bukan kami yang membunuhnya!
Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam berkata,
Siapapun yang membunuhnya, kakakku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam permusuhan dengan siapa juga, dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri Baginda tidak melanjutkan sikap memusuhi kami dan memerintahkan kepada anak buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami!
Raja itu bersungut-sungut. Musuh kami hanya negara lain, bukan perorangan. Apa untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam? Asal engkau tidak mengganggu keamanan di wilayah kami, perlu apa kami memusuhimu?
Bagus, dengan demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda dan maaf sekali lagi! Mutiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan suaminya menggandeng tangan Ji Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam.
Sialan! Raja Yucen membanting-banting kaki. Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada penyelesaian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung! Raja itu mencak-mencak dan marah-marah.

***

Karena sudah bertemu dengan keponakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta murid-murid tidak melanjutkan perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu kembali ke puncak Gunung Yin-san di mana terdapat sebuah guha besar yang pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi di mana-mana.
Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Mutiara Hitam ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya tiba di depan guha di puncak Yin-san, dan melihat seorang kakek dan nenek hidung mancung telah menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum mengejek.
Kalian siapakah? Mau apa di sini? Mutiara Hitam membentak sambil memandang tajam. Karena sekali pandang saja ia dapat mengenal laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang itu tertawa. Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!
Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru,
Wah-wah-wah, bukankah kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita di Himalaya, bukan?
Mutiara Hitam teringat dan dia bertukar pandang dengan suaminya, mata mereka sejenak berseri dan Mutiara Hitam berkata, Aihh, kebetulan sekali!
Heh-heh-heh! Nenek India yang bernama Nila Dewi terkekeh. Memang kebetulan bagi kami akan tetapi tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!
Mutiara Hitam mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berkata, Kami sudah mengenal guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama kalian?
Aku Nila Dewi dan dia ini Mahendra, jawab Si Nenek India.
Maksud kedatangan kalian?
Melihat sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu berkata, Wah, kami melihat sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan main! Makin tua Mutiara Hitam makin hebat saja, benarbenar seperti mutiara tulen, makin tua makin mengkilap!
Mahendra, tidak perlu banyak menjilat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat kami?
Mahendra tertawa, akan tetapi ketawanya ini agak dipaksakan, untuk menutupi rasa gentarnya terhadap wanita sakti itu. Mutiara Hitam, di depan Raja Yucen, suamimu mengatakan bahwa kehilangan murid mudah mencari gantinya. Memang benarkah begitu. Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti guha di puncak ini!
Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan plintat-plintut direntang panjang itu. Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan kehendak kalian!
Mutiara Hitam, kami mencontoh perbuatanmu terhadap Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan.... Dua orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa!
Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak tingkah! Mutiara Hitam membentak.
Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari gantinya dan....
Wah-wah-wah, Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara sekarang! Eh, Hitam Jangkung! Kaukatakan, kalau kami tidak mau memberikan murid-murid kami, lalu bagaimana? Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.
Kami pun tidak memberikan tempat ini! jawab Mahendra dan bernama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan guha.
Mutiara Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang dilakukan orang-orang segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan jiwa anak-anak yang bertulang baik seperti dua orang murid mereka itu. Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya masih bersabar dan setelah saling pandang dan bermufakat dalam sinar mata mereka, Mutiara Hitam lalu berkata,
Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Nah, coba kalian kalahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan merintangi murid-murid kami kalian bawa.
Bagus! Ini namanya ucapan orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu, kata Mahendra. Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan tempat ini kepadamu dan pergi tanpa banyak ribut lagi.
Enak saja kau bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan, membersihkan dan membetulkan. Kalau kami kalah kami mempertaruhkan murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian juga harus mengorbankan sesuatu.
Apa? Nila Dewi menjerit. Kau menghendaki nyawa kami?
Bodoh! Kami tidak haus darah seperti kalian. Kalau kalian kalah, kalian harus membuatkan sepasang pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami, karena tukang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak sanggup.
Mahendra tertawa. Wah, hebat logam itu, makin menarik! Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagaimana pertandingan ini diatur?
Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang tinggi, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak ingin menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan tenaga mereka.
Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku sendiri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian dengan tangan kosong!
Mahendra dan Nila Dewl saling pandang. Mereka maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan tangan kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu mencabut sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan sambil meloncat maju.
Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan kosong?
Seorang gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapimu dengan tangan kosong, Mahendra. Nah, bersiaplah engkau! Mutiara Hitam meloncat maju ke atas batu di depan guha dan mereka berhadapan. Orang India yang bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lututnya, merendahkan diri dan kedua tangannya dipentang lebar, pisau belati digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap keluar, ketika ia menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa permukaan pisau itu menyorot ke depan menyilaukan mata.
Sepasang senjata yang bagus! Mutiara Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan pukulan dahsyat. Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh, pisau kirinya menangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia dengan mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua orang muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi dia menonton dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju dan menentang untuk menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka tahulah ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus mengaku kalah jauh terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan Mahendra dengan melukainya! Padahal, isteri nya sudah lama sekali merasa penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu membuatnya menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke timur. Mereka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke timur menyusuri pantai Sungai Brahma Putera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki lagi sisa kaki Pegunungan Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah suara menggelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya cepat menuju ke tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak, mengeluarkan asap dan hawa panas!
Agaknya itulah yang disebut batu bintang! kata Mutiara Hitam.
Jatuh begitu saja dari langit? Sungguh luar biasa! Tang Hauw Lam berkata dan keduanya tidak berani sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan sinar itu. Baru pada keesokan harinya, berindap mereka menghampiri tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah logam berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi girang dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika mereka, sudah berada di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk membuatkan sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua ahli pedang tidak sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya dibakar masih tetap keras saja!
Inilah sebabnya mengapa munculnya dua orang murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli pedang yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam itu untuk mereka.

Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh, cepat gerakan sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar bergulung-gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan setiap serangannya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Namun, Mutiara Hitam menghadapinya dengan ketenangan yang mengagumkan. Bermacam ilmu silat tangan kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan. Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Harum) untuk mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan seorang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka sama sekali Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melindungi tubuhnya dari sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi dia terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya untuk mengelak. Yang menjadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.

Tiba-tiba pendekar wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung lawan, suara melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu khi-kang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.

Selagi lawannya terkejut dan mengerahkan sin-kang untuk melawan gerakan suara mujijat ini, Mutiara Hitam sudah menerjangnya dan mainkan ilmu silat yang memiliki gaya tidak lumrah dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun tiga belas jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di antara semua ilmu silat tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!
Mahendra mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung, kacau-balau gerakannya ketika angin menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan Mutiara Hitam. Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan Kilat). Tubuhnya berkelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari putaran tubuhnya itu, kedua tangan dan kakinya kadang-kadang menyambar secara tak terduga-duga!
Ciaaatttt! Mutiara Hitam berseru, tangan kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam pisaunya hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu mengandung tenaga sin-kang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja dan ada bahayanya pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke atas. Mutiara Hitam tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak namun telambat. Dia tadi telah kena dipancing sehingga menekuk tengannya melindungi pisau, akan tetapi kiranya jari tangan Mutiara Hitam telah menotok sambungan sikunya sehingga seketika lengan kirinya menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana terjadinya, pisau kirinya telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang cepat menyambar dan merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
***
Bagus! Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah! Mahendra membentak dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanannya. Mutiara Hitam melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau itu dan memeriksanya penuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam yang aneh dan amat kuat pula.
Mahendra, bersiaplah engkau untuk mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk membayar taruhanmu! Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu menerjang lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar bingung. Tubuh wanita itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih seperti awan yang bermain-main, namun mengandung angin berpusingan yang membuat tubuh Mahendra ikut pula berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi. Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Rontokkan Bunga) dari ketigabelas jurus ilmu silat sakti! Mahendra berusaha untuk mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak dapat dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula, lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!
Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam! kata kakek hitam itu penuh kagum.
Juga Nila Dewi yang mengikuti jalannya pertandingan dengan seksama mengerti bahwa dia pun bukanlah tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah maju dan berkata, Kami tidak mendapat kesenangan memperoleh anak bertulang baik, tidak pula dapat menikmati kemenangan pertandingan, biarlah kita menikmati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh. Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlomba membuatkan pedang terbagus untukmu.
Tang Hauw Lam mengeluarkan dua butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan memeriksa logam itu, mereka terbelalak dan membuat gerakan seperti orang menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra berkata lirih, Ya, Tuhan...., ini.... besi bintang putih....!
Nila Dewi juga terbelalak, mukanya agak pucat dan ia berkata, Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat kehormatan membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!
Mutiara Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemudian ia berkata, Apakah kalian hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat sepasang pedang dari buah benda bola logam ini?
Bisa? Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu kami membuat pedang! kata Nila Dewi.
Benar. Mahendra mengangguk-angguk. Kami minta tempat terpisah dan tidak mau diganggu. Betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi dalam pembuatan po-kiam, apalagi menggunakan bahan keramat seperti ini, engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangan mencampuri pekerjaan kami.
Mutiara Hitam mengangguk-angguk. Baik, aku percaya kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya harus seperti ini! Mutiara Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas tanah dan menerangkan modelnya, ukurannya dan lain-lain, diperlihatkan oleh dua orang India itu yang mengangguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang berpengalaman, sekali pandang saja tahulah mereka pedang macam apa yang harus mereka bikin.
Kalian boleh menggunakan dua buah guha di kiri sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu, akan tetapi kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan pedang itu?
Mahendra dan Nila Dewi berpikir-pikir, mengerutkan alis dan menghitung-hitung. Untuk mempersiapkan tempat pembakaran dan penempaan sih cukup beberapa hari saja. kata Mahendra.
Hemm, yang harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat ditempa dan dibentuk! Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam bundar di tangannya.
Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu kata pula Mahendra, kemudian ia menoleh kepada Mutiara Hitam. Kami minta waktu tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam waktu seratus hari pedang ini belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.
Mutiara Hitam menghela napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang aneh dan ia percaya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya. Dia tidak tahu cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua batu logam aneh itu, akan tetapi diam-diam, ia pun mengharapkan agar mereka akan dapat berhasil membuat sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua buah benda putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak sendiri. Ada tenaga mujijat dalam kedua benda itu, pada satu ujungnya mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya tolak atau saling mendorong!
Sepasang guha yang dipergunakan oleh Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari guha yang ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang melihat cahaya api dari dalam guha-guha itu. Kadang-kadang sampai berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang itu telah pergi meninggalkan guha tanpa pamit.
Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat? Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.
Benar, aku pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah logam keramat itu! Ok Yan Hwa juga berkata.
Mutiara Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur, Camkanlah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan putih maupun hitam, golongan bersih maupun sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah daripada tidak-memenuhi janji!
Dua orang murid itu mundur dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin anehlah keadaan di sepasang guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu malam, terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang guha itu.
Keparat! Tang Hauw Lam yang biasanya bersikap gembira dan tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi Mereka menculik anakanak!
Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah jeritan-jeritan itu tidak didengarnya. Eh, masa kita harus mendiamkan saja mereka menggangu anak-anak? Mungkin membunuhnya!
Mutiara Hitam menghela napas. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?
Memang tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau mereka membunuh anak-anak, tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi! Tang Hauw Lam yang biasanya bergembira itu sudah bangkit berdiri dan membawa goloknya, siap untuk mandatangi sepasang guha itu dan menyerbu.
Nanti dulu, Suamiku! Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan.
Apakah engkau mau melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?
Siapa mau mencampuri? Apa hubungannya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang? Tang Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya, penasaran.
Apakah engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang hanya dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?
Tang Hauw Lam sejenak memandang isterinya dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya berubah pucat. Kau.... kaumaksudkan.... anak-anak itu....?
Mutiara Hitam mengangguk. Mereka itu biarpun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh melakukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku.
Wajah Hauw Lam makin pucat. Kalau begitu.... pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!
Mutiara Hitam mengangguk. Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka kita harus lebih waspada lagi menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminys sendiri agar tidak menimbulkan malapetaka!
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang guha itu dari jauh dan berteriak.
Mahendra! Aku tidak akan mencampuri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!
Sunyi saja sepasang guha itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaannya, terdengar suara Mahendra mengomel. Keparat! Dengan mengganggu samadhiku, engkau membikin aku ketinggalan sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!
Hanya tentang jeritan suara anak-anak semalam....
Pek-kong-to! Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa kuanggap bahwa engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh engkau! Di dalam guha manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang tidak terdapat pada tubuh mahluk lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah logam ini dapat dicarikan! Apa lagi?
Tang Hauw Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil. Sudah cukup! katanya dan ia lari kembali ke guha di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.
Benar sekali! Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.
Sungguh tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang sudah dibuat, sepasang pedang yang sifatnya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita harus membasmi pedang-pedang itu!
Benar, kita hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi.
Mulai hari itu, setiap hari terdengarlah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang guha, tanda bahwa dua orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua orang ini memang aneh. Mereka sesungguhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlomba tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlomba membuatkan pedang untuk Mutiara Hitam, pedang yang sama bahannya, sama bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlomba untuk membuatkan pedang yang sebagus-bagusnya!
Memang cara mereka membuat pedang dari logam putih itu amat menyeramkan. Setelah beberapa hari gagal membikin logam itu mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra menculik seorang anak perempuan sedangkan Nila Dewi menculik seorang anak lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak perempuan dan Nila Dewl menculik anak laki-laki? Sebetulnya keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang betina dengan menggunakan darah dan tubuh serorang anak perempuan. Demikian pula dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu akan membuat sebatang pedang jantan maka dia lalu membuat pedang jantan untuk mengalahkan saingannya itu! Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang betina sedangkan Nila Dewi membuat sepasang pedang jantan!
Anak yang mereka culik itu, mereka gantung dengan kepala di bawah, kemudian mereka mengerat urat nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam itu dicuci dan direndam, kemudian tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kwali besar untuk direbus bersama-sama logam putih! Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini, logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih tiga bulan kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut mendengar suara beradunya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali. Mereka cepat meloncat keluar menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang mereka lihat? Mahendra dan Nila Dewi sedang bertanding mati-matian mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambar-nyambar. Dari jauh saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu merasai adanya getaran pengaruh mujijat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat indah buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Mahendra agak kecil sedikit.
Aihhh.... mengapa kalian? Jangan berkelahi....! Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai, akan tetapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya dengan kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat ke belakang.
Jangan mencampuri! Mahendra membentak. Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!
Manusia sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu yang sombong! Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.
Cring-sing-tranggg....! Bunga api berhamburan menyilaukan mata dan kedua pedang itu terpental setiap kali bertemu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
Celaka...., tahan....! Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.
Trang-trangggg.... aiihhh....! Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika goloknya tertangkis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetok oleh dua tenaga bertentangan yang amat kuat.
Mutiara Hitam juga menerjang maju, kini pedang Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga ketika ia menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan tetapi, kembali sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mujijat dan kerja sama yang mengherankan.
Trak-trakkk! Juga Mutiara Hitam menghadapi kenyataan mujijat karena pedangnya yang jarang menemui tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang yang sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya, Kalau mereka sudah gila untuk saling bunuh, biarkanlah!
Dan memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau dibiarkan, saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau tidak dipisahkan, mereka berdua membalik dan mengeroyok lawan yang mengganggu mereka! Tentu saja Mutiara Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk menghentikan pertandingan mereka!
Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini memandang pertandingan dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu. Selama ini kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara guru mereka tentang sepasang pedang yang sedang dibuat secara aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali memiliki pedang yang luar biasa itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang itu jadi, melihat sinar pedang seperti kilat, mereka makin kagum.
Pertandingan Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang berbahaya sekali. Mutiara Hitam dan suaminya maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan roboh terluka, akan tetapi karena mereka tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis berkerut.
Cringggg! sepasang pedang itu bertemu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan.... Blesss....! Blesss....! pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya pedang wanita itu menembus dada Mahendra. Keduanya terhuyung, melepaskan pedang masing-masing yang sudah menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke kanan kiri!
Gila! Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.
Mahendra memandang Mutiara Hitam dan tertawa! Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah rampung, Mutiara Hitam! Sepasang Pedang Iblis! Disempurnakan dengan rendaman darah kami sendiri. Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!
Nila Dewi terbelalak dan juga tertawa. Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam sepasang pedang ini. Sepasang Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu bersaing.... ha-ha!
Biarpun Mutiara Hitam dan Pek-kong-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak hal-hal aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada pedang jantan yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan kepada pedang betina yang menancap di dada Nila Dewi.
Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu? Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan perasaan jijik. Tak enak rasanya memegang kedua pedang itu.
Mutiara Hitam mengangkat muka memandang suaminya. Apa? Engkau.... takut?
Suaminya tersenyum. Takut sih tidak, hanya.... hemm, ngeri! Ia memandang kepada dua mayat itu. Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!
Tidak baik begitu! Mutiara Hitam mencela. Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?
Apa....? Kau sebatang dan aku sebatang? Jangan-jangan setelah kita berdua masing-masing menyimpan sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka. Hauw Lam menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyang tangan.
Tahyul! Mutiara Hitam mencela.Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan. Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya. Mutiara Hitam lalu mencabut! sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.
Benar-benar Sepasang Pedang Iblis yang suka minum darah.... ! Tang Hauw Lam berseru dengan muka pucat. Ternyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan dada yang terluka dan ditembus podang itu pun tidak berdarah, seolah-olah semua darahnya habis dihisap oleh kedua pedang itu!
Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan harus disingkirkan! Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba ia membentak dua orang murid yang datang mandekat, Ho, kalian mau apa?
Subo, berikan pedang betina kepada taecu! kata Ok Yan Hwa.
Dan yang Jantan untuk teecu, Subo! kata pula Can Ji Kun.
Dua orang suami isteri itu saling pandang. Hemm, untuk apa pedang bagi kalian? Kemudian Mutiara Hitam berkata untuk membantah sendiri ketahyulannya terhadap sifat sepasang pedang itu. Karena baru saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lobang-lobang dan hawa panas oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya menghisap. Betapapun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan halus, bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang berbeda sedikit besarnya. Ia mempertemukan ujung pedang yang runcing dan.... kedua pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba-tiba ada kekuatan aneh yang membuat gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.
Hemm, mengandung sembrani yang kuat.... katanya perlahan. Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa kematian dua orang India itu.
Tang Hauw Lam yang amat bijaksana dan amat mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya berubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan. Isterinya sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali termenung-menung dan melihat matanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu secara sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada suatu hari, selagi mereka beristirahat di atas lereng dan mereka membiarkan dua orang murid bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk mendampingi isterinya dan berkata lirih.
Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapakah?
Kwi Lan yang seperti orang termenung itu, menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, Tidak apa-apa.
Hauw Lam menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih. Kita telah menjadi suami isteri selama belasan tahun, setiap harl kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tubuhku sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu. Engkau membiarkan Nila Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen, melainkan bangsa Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak kembarmu, bukan? Kedukaan yang membuat engkau menjadi dingin, tak pedulian, kejam....
Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan menangis tersedu-sedu. Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko....? Aihh.... l
Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan isterinya menangis sepuasnya untuk memberi jalan keluar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.
Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bukan?
Kembali Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak sepasang matanya memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia melihat betapa suaminya memandang kepadanya penuh pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.
Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa men
jadl gila dikejar-kejar dendaml Aku..., aku harus membalas dendam lnl, aku harus membunuh Raja Mongoll
Tang Hauw Lam menarik napas, kemudian berkata suaranya penuh kedukaan. Aku mengerti, Isteriku. Biarpun keputusan hatimu Ini sebenarnya jeliru, namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu betul apa yang terjadi dalam hatimu.
Mutiara Hitam merangkul suaminya. Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau begini penuh pengertian terhadap aku, penuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh, lam-ko... akan tetapi, kalau aku tldak membalas dendam kematlan kakakku, agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu dlgoda bayangan Kakak Talibu yang menuntut dlbalaskan kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa selama beberapa malam ini... didatangi bayangan Kakak Talibu.... Mutiara Hitam menangls lagi terisak-isak.
Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali.
Dia mengerti bahwa' memang ikatan batin dan lkatan getaran yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka Ia mengeraskan hatinya dan bertanya.
Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang katakanlah terus terang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang selama ini kautahan-tahan dan kautekan-tekan?
Mutiara Hitam menyusut air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini seperti biasa, tenang dan penuh kesungguhan. Lam-ko, aku lngin pergi ke Mongol dan membunuh Raja Mongoll
Biarpun jantung Hauw Lam berdebar karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh diri, namun ia mengangguk dan berkata, Balk sekali! Kapan kita berangkat, aku siap, Isteriku.
Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang. kepadamu, Lamko. Aku harus pergi sendiri!
Berkerut sepasang alls Tang Hauw Lam ketika la memandang tajam wajah lsterlnya. Mengapa demikian, . Lan-mo1?
Ucusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan apI!
Tang Hauw Lam tertawa bergelak. Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitaml Apa kauklra aku lnl orang yang takut matl?
Jangan berkelakar. Lam-ko. Dalam urusan laln, tentu saja aku leblh suka sehldup semati dl sampingmu. Akan tetapi urusan Ini lain lagi, lnl merupakan urusan pclbadi bagiku dan aku tidak mau menarlk dirlmu menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku ' juga menjadi korban dalam urusan ini. Selain Itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap engkau suka memenuhi permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku aku akan berterima kasih sekali kepadam u.
Kwi Lan.... ! Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya tidak
main-main dan sudah mengambil keputusan tetap yang takkan dapat dirubah lagi. .
Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang. Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagl aku
akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak dl sebelah utara kota raja Khitan, kaulngat tempat yang dlsediakan untuk menjadi tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas? Nah, kautunggulah aku dI sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kltabku, juga Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesal tugasku di Mongol dan aku dapat keluar dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., andaikata aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kaupimpin balk-baik kedua orang murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat, Suamiku.
Lan-mol.... i Sekali Ini . Hauw Lam yang mencucurkan alr mata. Semalam ltu suaml lsteri ini mencurahkan kasih sayang sepenuhnya karena mereka merase di dalam hati bahwa mungkin sekali
mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan kali!
..Pada keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu menlnggalkan pesan.
Aku mau pergi, mungkin lama sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati semua perintah suhu - kalian, belajar dengan tekun dan rajin sehingga kelak dapat menjadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jangan membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian, kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan kalau aku sudah mati, arwahku yang akan menghukum kalian. Mengerti?
Dua orang murid itu menganggukangguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah mendengar bahwa
subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembalil Setelah berpelukan untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata hanya sinar mata . mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan hidup ataupun matti mereka pastl akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!
Tang Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang tercinta itu. Merantau ke negeri jauh berdua, menghadapi bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka selalu berdua dan bersatu hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang amat berbahaya! Lemah seluruh tubuhnya dan kalau di situ tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini akan menangis menggerunggerung.
Dia lalu mengajak kedua muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju ke Bukit Merak di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam. Matahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia tidak pernah mengeluh di depan kedua orang muridnya. Setelah tiba di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun, akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang malam akan kembalinya Mutiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang ke jauh, kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus sekali dan wajahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu benar-benar merupakan siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah? Masih hidupkah isterinya? Ataukah sudah tewas?
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka ini adalah seorang yang gembira selalu, tidak pernah marah, maka mereka itu amat manja terhadap suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari Hauw Lam mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima kegembiraan, adapun dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan tekanan agar rajin dan mengenal disiplin. Kini setelah Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biarpun mereka masih tekun belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka.
Hal ini adalah karena Tang Hauw Lam Juga sudah seperti sebuah arca, kehilangan semangatnya sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu silat.
Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan melakukan tugas yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharap-harapkan.

***

Mengapa Paduka tidak suka ikut bersama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan ikut beliau, Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat tinggi yang dimiliki pendekar sakti Mutiara Hitam? Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.
Maya menarik napas panjang. Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya, aku bukanlah puteri Khitan aseli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Mereka tidak mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah, maka aku tidak suka ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman Khu.
Khu Tek San mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi, anak sendiri ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.
Baiklah, Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai keponakanku. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu, adalah benteng bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri. Setelah bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat menunggang kuda.
Berangkatlah mereka berdua dan karena biarpun baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian lumayan, apalagi setelah ia makan buah-buah merah yang biarpun kini khasiatnya sudah banyak berkurang namun telah mempertinggi gin-kangnya, maka perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara, dan agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu ketahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!
Mereka melewatkan malam di lereng bukit dan pada keesokan harinya, sebelum tengah hari mereka telah tiba di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia mengajak Maya untuk mempercepat jalannya. Gembira hatinya akan bertemu dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi rekan-rekannya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat penjagaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa orang panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap keren, bahkan seorang panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.
Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat! Panglima itu lalu memberi perintah kepada anak buahnya. Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!
Apa artinya ini....? Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri!
Hemmm, Khu Tek San! Apakah engkau hendak memberontak pula, melawan pasukan negara? tanya panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka melakukan tugas ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap, dengan wajah murung.
Aku tidak akan melawan. Silakan! Khu Tek San memberikan kedua lengannya yang segera dibelenggu dengan belenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San dengan mata terbelalak tidak melawan ketika kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm, agaknya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San. Kemudian ia memandang kepada tiga orang panglima itu dan berkata lantang.
Ong Ki Bu! Cong Hai dan engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal sepak terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?
Sejenak tiga orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi besar itu, berkata, Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaat perintah atasan! Engkau dituduh telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena itu, kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!
Apa....? Khu Tek San membentak marah. Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apapun juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang panglima baru akan menjalani hukuman setelah diperiksa di pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?
Kembali tiga orang panglima itu kelihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara serak dan terpaksa. Ong Ki Bu berkata, Semua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San, melainkan atas perintah.
Atas perintah siapa? Apakah Hong Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah dari Kaisar!
Kaisar tidak mengurus hal-hal ketentaraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San? jawab Ong Ki Bu yang agaknya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar segera selasai. Kalau engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah! Panglima tinggi besar itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan membaca dengan suara lantang.
Karena sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhianatan terhadap negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal batas, untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia ditangkap!
Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun tidak kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan penasaran dan amarah. Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini, Ong-ciangkun?
Perintah atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah untuk menjalani hukuman gantung, Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buahnya dan menunjuk ke depan. Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon bahkan telah tersedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan, tetapi ia mengenal betul tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang gagah dan taat sehingga tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mencelakakan dirinya. Yang benar tentulah yang menjatuhkan perintah ini!
Paman, kurasa ini pun hasil perbuatan manusia bernama Siangkoan Lee itu.... Tiba-tiba Maya berbisik. Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.
Benar....! Kau benar....! Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di antara rantai belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara lantang.
Aku Khu Tek San, sebagai, seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan bunyi perintah dan karena tidak diadakan pengadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri. Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas rekan yang baik, sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam Liong!
Permintaanmu kuterima, Khu Tek San! Terdengar Ong-ciangkun mengguntur. Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!
Khu Tek San tersenyum dan wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu. Terima kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong, juga terima kasih karena sikapmu ini membuktikan bahwa Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!
Khu Tek San melangkah maju menghampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak, bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!
Seorang perajurit yang menerima perintah, sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk menarik ujung tali dari belakang batang pohon bersama tiga orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka lebar, siap menerima datangnya maut.
Siaaappp! terdengar aba-aba, lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lobang gantungan akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
Krekkk! Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San! Semua orang terheran lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi, Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali melihat betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di situ terdapat banyak orang pandai!
Melihat, pemuda itu jelas datang hendak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang, karena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan melawan perintah atasan, Maka ia berseru.
Hei, Enghiong muda yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan. ketentaraan! Aku Khu Tek San dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan mencampurinya?
Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan biarpun menghadapi pasukan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang saja.
Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi, yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, melainkan hukum rimba! Di mana ada aturannya seorang panglima yang sudah banyak jasanya seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung di dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang melakukan tugas rendah ini?
Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukuman ini. Engkau siapa?
Pemuda itu melayang turun, gerakannya ringan dan indah ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan tersenyum tenag!. Aku bernama Kam Han Ki....
Ohhh....! Khu Tek San tak dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja ia mendengar dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang semenjak kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang tahu-taru muncul dl situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani menentang pasukan bala tentara Sung!
Kami melaksanakan hukuman atas perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani mengatakan hukum rimba? Ong Ki Bu membentak marah.
Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima adalah orang-orang gagah perkasa seperti Khu-ciangkun, yang setia akan tugas dan melaksanakan perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kauperlihatkan, atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu-ciangkun? Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!
Semua orang terkejut dan dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak mempercayai dirinya. Ong Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan membukanya di depan orang banyak sambil berseru keras.
Yang menjatuhkan perintah adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah masih tidak dipercaya lagi?
Hemm, hemm.... surat bisa dipalsukan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun? Han Ki bertanya.
Ong-ciangkun melotot kepada Han Ki dan membentak. Orang muda, sudah puluhan tahun aku menjadi panglima! Apa kaukira aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat perintah tulen atau palsu? Surat ini tulen, apalagi yang membawa ke sini adalah murid dan pembantu Suma-goanswe sendiri!
Di mana dia? Harap engkau suka memanggilnya! Han Ki mendesak.
Panglima itu menyuruh anak buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada. Wah, dia.... dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh! Ong-ciangkun berkata heran.
Kam Han Ki lalu berkata, Ong-ciangkun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah. Aku adalah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun adalah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari Menteri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi daripada Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintahnya! Han Ki mengeluarkan segulung surat pula.
Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu menerima dan membaca surat perintah itu yang berbunyi :Menteri Kam Liong mengutus petugas Kam Han Ki untuk menjemput dan memanggil pulang Panglima Khu Tek San ke kota raja.
Wajah panglima tinggi besar itu berseri-seri dan ia tertawa bergelak. Ha-ha-ha! Lega hatiku sekarang! Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah perintah beliau? Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma, tidak ada yang akan menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nyawamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu betapa tak senang hati kami semua melaksanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?
Aku mengerti, Sahabat Ong, dan terima kasih, kata Khu Tek San dan setelah dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kam Han Ki sambil berkata,
Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!
Kam Han Ki cepat mengangkat bangun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu. Khu-ciangkun harap jangan berlaku sungkan. Mari kuantar ke kota raja bersama anak yang kautolong itu. Maya namanya, bukan?
Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San.
Paman Khu, dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak layak, membikin dia besar kepala dan sombong saja!
Hushh, Maya, jangan berkata demikian! Dia itu paman guruku! kata Khu Tek San cepat-cepat.
Hemm, aku berani bertaruh, kepandaiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?
Khu Tek San merasa tidak enak sekali, dan Kam Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan mata marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa-apa, hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja yang memaki, Bocah nakal cerewet kau!
Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San dan para panglima, dia tidak mau cekcok dengan seorang anak perempuan! Maka untuk menutupi kemendongkolan hatinya ia berkata, Khu-ciangkun, harap engkau suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan yang jauh ke kota raja.
Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan dengan suka hati para rekannya lalu mempersiapkan pakaian sipil untuk Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka. Setelah berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San, Kam Han Ki dan Maya menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan.
Di sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa dia diutus oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian setelah menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.
Aku mendengar cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya. Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu! kata Han Ki. Karena mendengar bahwa engkau telah pergi ke selatan, maka aku cepat menyusul dan untung bahwa Kam-taijin telah waspada dan membekali segulung surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan memaksa mereka melepaskanmu!
Memang telah terjadi hal-hal yang amat aneh. kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya, betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang bernama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong Mutiara Hitam.
Hebatnya, orang yang bernama Siangkoan Lee itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk mencelakakanku! Akan tetapi.... hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia adalah murid dan pembantu Suma-goanswe.... Khu Tek San mengakhiri ceritanya sambil mengangguk-angguk.
Kenapakah, Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe musuhmu? Han Ki bertanya.
Tek San menggeleng kepala. Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka memukul aku untuk melukai Suhu.
Ah, begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam? Mengapa?
Kembali Tek San menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hal itu adalah urusan keluarga, aku tidak berhak mencampuri. Susiok tentu dapat bertanya kepada Suhu.
Keluarga Suma adalah keluarga Iblis! Tentu saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman, Khu! Maya yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka, tiba-tiba berkata gemas.
Kam Han Ki yang masih marah kepada gadis cilik, memandang dan berkata dengan suara dingin, Huh, kau bocah tahu apa?
Maya membalas pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya, Kalau aku bocah, apakah engkau ini seorang kakek? Sombongnya, merasa diri sendiri paling tua dan paling pandai!
Eh, Maya, jangan bersikap begitu kurang ajarl Khu Tek San cepat mencela bekas puteri Khitan itu. Kam-susiok ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti masih saudara misan dari mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf.
Maya duduk di atas punggung kudanya, menoleh ke arah Han Ki dan mencibirkan bibirnya! Akan tetapi karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya dengan mata terbelalak marah, Ia lalu berkata, Dia bukan pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja seperti kakek-kakek!
Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini? Khu Tek San membentak dengan muka merah.
Paman Khu, aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apalagi terhadap seorang yang sombong seperti dia,
Maya! Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke arah Han Ki.
Sudahlah Khu-ciangkun. bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah rusak karena terlalu dimanja, Han Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi sebenarnya pemuda ini merasa betapa perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia menempiling kepala gadis cilik yang menggemaskan itu.
Kedua pipi Maya menjadi merah saking marahnya dan ia membusungkan dada menegakkan kepala ketika memandang Han Ki sambil berkata, Aku sudah rusak karena dimanja, ya? Dan kau sudah bobrok karena sombong!
Maya! Khu Tek San membentak marah. Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah seperti ini? Engkau amat sopan dan hormat kepadaku, mengapa kepada Kamsusiok....
Karena engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini.... hemm....
Dia pamanmu sendiri! Khu Tek San memperingatkan.
Paman apa? Aku tidak mempunyai paman seperti dia!
Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!
Maya mencibirkan bibirnya. Aku pun bukan puteri Raja Khitan....
Apa....? Khu Tek San berseru heran, bahkan Han Ki juga menoleh, memandang anak perempuan itu dengan alis berkerut. Memang pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang terlalu cantik jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
Sesungguhnyalah, Paman Khu. Tadinya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku sebenarnya bukan Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanyalah seorang keponakan luar saja yang diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah anak angkat saja!
Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata, Biarpun demikian, berarti engkau adalah puteri Raja Khitan. Maya! Dan karena itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia adalah adik misan Raja Khitan! Selain itu, kalau tidak ada Kam-susiok ini, apakah, kaukira kita dapat selamat?
Cukuplah, Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat di daerah sunyi ini, kata Han Ki.
Baiklah, Susiok. Khu Tek San lalu mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan kudanya. Maya menurut dengan mulut cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepada Han Ki semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh, yang dianggapnya tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu menyapu lewat begitu saja seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada harganya untuk dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!
Khu Tek San diam-diam merasa kagum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa benar-benar terdapat serombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi susioknya itu. Hal ini saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya!
Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di atas sebuah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah serombongan piauwsu yang mengawal barang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi huruf Gin-to Piauw-kiok (Perusahaan Pengawal Golok Perak).
Melihat datangnya tiga orang penungang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik. Panglima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu Golok Perak, maka ia cepat menjura dan berkata,
Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?
Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa, sedangkan Kam Han Ki biarpun membawa pedang di punggungnya namun kelihatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggauta perampok, apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,
Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke manakah?
Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama Istana kaisar untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersanyum dan berkata, Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana Kaisar. Ha-ha-ha!
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan, seorang yang mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya.
Maafkan kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?

***

Aihhh! Agaknya Sam wi telah lama meninggalkan selatan!" Pimpinan piauwsui itu berseru heran. "Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta pora karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang di antara puteri puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja YucenT
Ouhhh....!
Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah.....
Tiba tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena tiba tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai Han Ki.
Ahhh...., tidak apa apa.... Han Ki berkata, ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya berkeringat. Mari.... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba tiba menjadi pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata,
Rombongan piauwsu ini mengawal barang barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu mereka menyelamatkan barang barang ini sampai ke istana. Sebaliknya kita melakukan perjalanan bersama mereka.
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk. Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuaan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di sepanjang perjalanan, Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapap dia selalu memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang dibencinya itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat atas diri Han Ki. Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak desak olehh Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki. Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang mengandung rintihan seolah olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguhpun tak permah ia dapat melihat air matanya.Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah olah ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung Menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu, akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu satunya di dunia ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia. Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini, Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin! ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia makin gelisah berduka dan putus harapan.
Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka, wajahnya selalu murung itu mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini, melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan akan terseret ke dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali kali secara berbisik bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begituu bersedih den untuk bertanya, dia tidak berani. Sebagai seorang yang berpengalarman, Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidaksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang bcsar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari guha dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah sinar bulan yang mulai muncul setdah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih memburu. Hawa udara malam itu amat dingin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api unggun di dalam guha. Namun, Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sin kang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Blarpun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Langkah yang ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biarpun seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala bahaya.
Paman Han Ki....
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak percekcokan mereka dahulu, gadis cantik itu tidak permah menegurnya, bahkan tidak permah mau memandang langsung dan cepat cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba tiba datang dan memanggilnya paman!
Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau? Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.
Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa makanan untukmu. Makanlah!Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia.
. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya berdiri menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap, seorang puteranya, dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus.
Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kaumakan sendiri!
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan. Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur, wajahmu pucat tubuhmu kurus dan engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanya tanya tentang urusan yang, menjadi rahasia hatinya! Kalau dia ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya tanya hal yang tiada sangkut pautnya dengan dirimu! la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang orang lain di dalam guha.
Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau diterima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada menangis, lebih baik tertawa! Daripada berduka, lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah nasib!
Han Ki meloncat bangun seolah olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan mulut termganga, hampir tidak percaya bahwa kata kata yang keluar tadi adalah ucapan Maya.
Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah berpendapat sedalam itu??
Maya tersenyum, girang mellhat betapa ucapannya scolah olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah.... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang tak permah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur, semua milikku, semua keluargaku, terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat daripada yang kualami? Namun aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?
Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
Ha ha ha ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya! Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang nendang marah. Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!
Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh, kadang kadang bersikap seperti orang dewasa!
Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dengan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam guha untuk tidur ditemani Khu Tek San.
Semenjak malam itu, Han K! dapat menguasai dirinva lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dengan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini hubungannya dengan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakap cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman pengalamannya yang luar biasa di dunia kang ouw, atau kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi, tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, Mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar disebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dengan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan para piauwsu. Para piauwsu itu tertawa dan berkata, Setelah kami ditemani oleh Khu ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan perampok? Nama Gin to Piauw kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok lim dan kang ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dengan Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami, dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun, dapat sama sama kita lindungi!
Mendengar ini, Khu Tek San hanya mengangguk angguk, di hatinya merasa geli karena ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi! Han Ki yang berada agak jauh dari mereka, dengan pendengarannya yang tajam sekali, juga mendengar kata kata permimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya dengan Maya sambil menjalankan kuda perlahan lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan lengkingan panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari. Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak melebar mata mereka bergerak gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga. meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa kudanya ke kanan. meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon, menunduk. Maya memandang tegang kepada para piauwsu gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki, jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi, dia kecewa rmelihat Han Ki sama sekali tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki laki berjubah berwarna merah, mukanya brewok dan matanya lebar dan liar seperti mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi, rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok, segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah perampok perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi gerombolan perampok. Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi gerombolan perampok yang ganas.
Ha ha ha ha! Segerobak benda benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin to Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta! Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak.
Permimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu piauwsu Gin to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat sobat dari liok lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku yang mermimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya bertolak pinggang. la mengangguk angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik lirik ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang. 1
Bagus!Bagus! Gin to Plauw kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang yang tak tahu Kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian,bukan?
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, permimpin piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, Hemm, agaknya kalian hendak memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. Ha-ha ha! Pantas kalau kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merobah kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!
Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar dengan Raja Yucen! kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan orang orang Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi, permimpin rombongan piauwski ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak mendengar ucapannya dan menjawab. Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak itu dan gadis cilik itu, dan kalian boleh pergi dengan aman!
Perampok busuk! Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.
Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
Krekkk!!
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin to Piauw kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!
Ha ha ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku? orang brewok itu berkata sambil tertawa. Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Adapun Khu Tek San yang menyaksikan kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar narma ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat itu, maka ia meloncat maju dan membentak
Manusia sombong, akulah lawanmu! Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat sian Kiam sut (1lmu Pedang Delapan Dewa) dan Ilmu Silat Lo hai San hoat (11mu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat hebat dan sukar dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San hoat.
Ilmu silat Lo hai San hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biarpun hanya dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya daripada senjata tajam yang bagaimanapun juga. Gagang dan batang batang kipas itu merupakan alat alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka maupun tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang maupun penangkis yang ampuh, apalagi kalau dimmainkan oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget dan sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan. Gerakannya cepat dan mantap tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar. Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang. Khu Tek San berlaku hati hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan permutaran pergelangan tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.
Dukkk! Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan kanannya dengan lengan kir lawan. Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sin kang bertemu, membuat keduanya terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San mermandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sin kangnya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil terjadi dengan ramainya, senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan teriakan dan maki makian saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya armat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
Eh, kenapa engkau malah melamun saja? Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan mengguncang pundaknya. Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu, seorang anggauta perampok yang agaknya ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang, kena di,sambar dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih rintih.
Khu Ciangkun tidak akan kalah! kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti batang rumput. Memang di dalam hatinya, pemuda ini merasa enggan untuk membantu para Piauwsu menghadapi perampok pcrampok itu. Yang akan dirampok adalah benda benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan.... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu, dia tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundaknya. Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian daripada anak buah perampok ada yang mendekati gerobak berisi barang barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, Mari kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!
Kini lima orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat! Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya. itu roboh berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh aduh karena pasir pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya. Teriakan teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir. Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam diam menjadi terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat lagi daripada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat melihat lowongan dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
Krekk! Tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur! Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh aduh dan bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok golok perak mereka untuk membunuh.
Cring cring cring.... ! Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok golok mereka telah tertangkis oleh kerikil kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
Para piauwsu harap jangan melakukan permbunuhan! Barang barang telah diselamatkan, lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan malapetaka kepada orang lain,
Han Ki menggeleng kepala. Belum tentu, Chi piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang barang berharga ke kota raja dan masih banyak kalau kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata,
Cu wi Piauwsu harap jangan banyak membentak lagi. Kalau tadi Siauw susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!'
Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biarpun mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar besaran! Namun, keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk tusuk pedang. Hiasan hiasan indah dengan bunga bunga dan kertas kertas berwarna warna! itu seolah olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih rombongan piauwsu memisahkan diri, Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
Suhu..... ! Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya. Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki laki tua yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India kakinya digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang mendongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inilah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?
Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini.... siapakah dia? Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak mengenal Maya. Apalagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Adapun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.
Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya. Aiihhh....! Kasihan sekali engkau Anakku....! Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. Aku adalah uwamu sendiri, Maya. .
Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini!
Tidak, aku tidak mempunyai uwa tidak mempunyai saudara atau keluarga., Keluargaku habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk menghiburku.
Maya....! Khu Tek San menegur kaget dan marah. Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara saudaranya di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biarpun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena mermiliki watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tirinya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main dengan anak teecu Siauw Bwee.
Menteri Kam Liong mengangguk angguk. Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwakmu?
Aku ingin tinggal bersama Paman Khu jawab Maya tegas.
Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.
Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya, menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan scorang anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
Ayahhh....! Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun daripada Maya itu dengan sikap manja lari menghampiri ayahnya. Tek San tertawa, disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi tinggi lalu dipeluk dan dicium pipinya.
Ha ha ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan penuh kemesraan yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
Maya, inilah bibimu! kata Tek San yang melanjutkan. Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.
Aihhh....! Isteri Khu ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya. Anak ini menahan nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya Raja Khitan, amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia, tidak punya siapa siapa! Setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya, dia menjadi makin terharu.
Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cicimu, Maya.
Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya. Enci Maya....!
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka seKali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata,
Adik Siauw Bwee....!
Enci Maya, mari kita main main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol keluar di atas selalu memandang langit! Dua orang anak perempuan itu tertawa tawa dan berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman dan tanpa berkata kata. Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan jalan memasuki kamar.
Tak lama kemudian, Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian. Menteri Kam berkata setelah muridnya duduk. Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!
Khu Tek San mengangguk angguk. Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu, hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?
Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam diam dia telah bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar benar menjengkelkan dan membahayakan.
Siasat apalagi, Suhu? tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir. Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di antara para thaikam dan menteri menteri yang tidak setia.
Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen! Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.
Hal itu apa sangkut pautnya dengan kita, Suhu?
Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawan lawan dan musuh musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah marah karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi matamata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yuceng kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu. Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang.
Karenaengkau merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya, hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!
Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan keluarga dengan Suhu? tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. Memang begitulah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bermama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang keluarga Suma memang selalu memusuhi keluarga Kami Sungguh menyedihkan kalau diingat.
Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?
Menteri itu menggerakkan pundaknya. bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian bagi ketulusan sikap orang orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik, setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunnyai iktikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku.
Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya, Han Ki merasa makin berduka, Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin!
Enci Maya, aku sudah minta perkenan Ayah,akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang orang besar saja. Anak anak mana boleh turut? Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak perempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan bahwa dia memiliki kecerdikan, sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya. Berkat ketajaman otaknya, biarpun masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya tidak rasa kecewa hatinya ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri puterinya juga ingin sekali melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri puteri istana yang kabarnya cantik cantik seperti bidadari.
Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik daripada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang gadis yang cantik! Siauw Bwee berkata sungguh sungguh sambil memandang wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.
Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja, maka sekarang, melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin menonton keramaian sungguh sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan....hemm, kaudengar baik baik....! Maya lalu berbisik bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya terbelalak. Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?
Dengan ibu jari tangah kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. Akulah yang akan bertanggung jawab,jangan engkau khawatir!
Sambil tertawa terkekeh kekeh, kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.
Apa yang menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada Muridnya memang tepat. Peristiwa yangg menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata-mata kemudian tertangkapnya oleh rekan rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas. Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.
Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan, demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.
Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan? Kaisar bertanya.
Pertama, puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang Junjungan yang dihormati di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Ke dua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi daripada Raja Yucen. Kemudian ke tiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.
Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam melalui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali, ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apalagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diartikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh musuhnya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah, untuk menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan yang memang di istana diatur dengan bangku bangku kecil tanpa tempat duduk karena biasa mereka itu makan minum sambil duduk di lantai menghadapi bangku kecil terdapat makanan. Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk berjajar-jajar menghadapi bangku masing masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri menteri yang berkedudukan tinggi, hadir dalam perjamuan itu, di antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki pengawal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi, hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan menonton pesta orang orang besar di ruangan dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu maupun dari pihak tuan rumah berkali kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing-masing pihak, di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan, terjadi sedikit keributan. Enam orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah marah dan memaki maki.
Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku, adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian ingin dipecat dan dihukum? Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin pengawal menjadi gugup akan tetapi berusaha membantah, Maaf, Ciangkun, akan tetapi hamba.... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun?
Goblok! Mana mungkin kallan dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda tanda pangkatnya yang kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!
Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut menyambut tamu tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian mereka berbisik bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng limu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini setelah ditutup pakaian Khu Tek San berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali, wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabuhi penjagaan terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu tamunya! Para panglima yang melihat munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka, menjadi heran dan ada yang menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan ditempatkan di sini. Apakah Cu wi Ciangkun berkeberatan?
Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat berdiplomasi dan menggunakan kata kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada scorang pun di antara mereka berani menyatakan keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apalagi keponakan Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum senyum gembira karena dua orang bocah itu biarpun masih keeil, merupakan pemandangan yang menarik dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar, bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung, bahkan sering kali berbisik bisik, kelihatannya akrab sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca, akan tetapi sinar matanya kadang kadang layu kadang kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang.
Tiba tiba panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, bercambang bauk, matanya tajam dan sikapnya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah, mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ke arah Kaisar, suaranya terdengar garang dan keren,
Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama, akibat perbuatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen, sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah-olah lebih berkuasa daripada kaisarnya sendiri!
Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimaksudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang tenang saja.
***

Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya terasa berat. Tiba tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, "Tai ciangkun dari Yucen benar benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.
Ha ha ha, Suma goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami maksudkan adalah Menteri Kam Liong, yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata mata! Bukankah perbuatan itu amat



bersambung 3...........

0 komentar:

Posting Komentar