Orang-orang itu memandangnya, ada yang melongo bodoh ada yang kecewa
karena permainan dihentikan. Akan tetapi, nenek yang agaknya menjadi
pemimpin mereka dan yang agaknya lebih cerdik daripada mereka atau lebih
tepat tidak begitu goblok, berkata, Permainan apa?
Yang jenderal berada di tengah dan....
Apa jenderal? semua bertanya, termasuk nenek-nenek berkalung.
Jenderal....
ya jenderal! Goblok kamu! Maya membentak dan orang-orang itu
menyeringai, tertawa-tawa dan agaknya bangga dan senang dikatakan
goblok! Melihat ini Maya menjadi kasihan sendiri dan melanjutkan, Yang
jadi jenderal mengeluarkan perintah yang harus cepatcepat kalian turut.
Siapa yang paling lambat menurut perintah, dialah yang harus
menggantikan aku jadi jenderal. Kalau aku bilang tertawa kalian harus
cepat tertawa, kalau bilang menangis kalian cepat menangis. Mengerti?
Ada
di antara mereka yang belum mengerti, sehingga ramailah mereka saling
bertanya-tanya. Akhirnya mereka tertawa-tawa dan bersorak tanda bahwa
mereka telah mengerti dan suka akan permainan baru itu. Melihat ini,
lega hati Maya dan dia pun ikut pula merasa gembira, lupa akan
kemengkalan dan kemuakan karena orang-orang itu baunya.... ledis dan
apek sekali, tanda tak pernah mengenal air rupanya!
Nah, bersiaplah! kata Maya sambil bertolak pinggang. Tiba-tiba ia membentak.
Berjongkok....!
Semua
orang terperanjat, ada yang tertawa ada yang menangis, karena mengira
bahwa Maya akan memerintahkan itu. Kemudian berturut-turut mereka
menjatuhkan diri berjongkok sampai ada yang terjengkang dan terbukalah
penutup tubuh mereka. Maya tertawa terpingkal-pingkal dan dalam keadaan
kacau-balau itu sukar dilihat siapa yang paling terlambat melakukan
perintah. Mereka juga tertawa-tawa gembira sekali.
Wah, tidak beres!
kata Maya. Kalian jangan tergesa-gesa, harus mendengarkan perintahku
baik-baik, baru berlomba menanti perintah. Yang paling lambat menjadi
jenderal. Mengerti? Mereka semua mengangguk sambil terkekeh-kekeh.
Awas,
ya sekarang? Maya bertolak plnggang lagi, kemudian tiba-tiba ia
membentak, sengaja menghentikan perintahnya atau menahannya di
tengah-tengah.
Ber....
Baru saja bilang ber.... semua orang sudah terpelanting karena berlomba untuk berjongkok.
....lari....!
Maya melanjutkan perintahnya. Tentu saja orang-orang yang, tadinya
berlomba jongkok itu kini menjadi kacau-balau, meloncat dan lari saling
bertubrukan sambil tertawa-tawa, Maya sendiri terpingkal-pingkal
menyaksikan solah-tingkah mereka itu.
Maya mengajarkan bermacam
permainan kanak-kanak kepada mereka sehingga orang-orang itu menjadi
amat girang dan menganggap Maya sebagai anggauta keluarga mereka
sendiri. Mereka bermain-main di tempat itu sampai malam tiba, kemudian
mereka itu mengajak Maya untuk pulang.
Pulang? Pulang ke mana? Maya bertanya.
Wanita
tua berkalung menggandeng tangannya, Mari, ikutlah. Kita pulang dan
makan! Setelah berkata demikian, nenek ini lalu menggerakkan kedua
kakinya berlari, diikuti oleh semua anak buahnya. Maya hampir menjerit
saking kagetnya ketika tubuhnya seperti dibawa terbang saja. Luar biasa
sekali cepatnya lari mereka itu. Mereka membawanya ke lereng sebuah
bukit yang berbatu-batu, kemudian mereka memasuki guha yang amat dalam,
merupakan terowongan batu. Kiranya di sebelah dalam amat luas dan
orang-orang aneh ini tinggal di dalam perut gunung!
Jumlah mereka ada
tiga puluh orang lebih dan pemimpinnya adalah nenek itulah. Sederhana
sekali kehidupan mereka, namun mereka itu setiap saat selalu bergembira
dan bermain-main. Ketika tiba di depan guha, serombongan anjing srigala
menyambut dengan liar dan menggonggong berisik. Tadinya Maya sudah
siap-siap untuk menjaga diri karena gerombolan binatang itu bukanlah
anjing-anjing jinak, melainkan srigala-srigala yang liar dan buas. Akan
tetapi, sekali saja nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menyalak
seperti anjing, gerombolan srigala itu mendekam ketakutan, kemudian
seorang anak-anak berusia sepuluh tahun menggiring mereka dengan cambuk
ranting pohon. Gerombolan srigala itu pergi dengan patuhnya, seperti
sekumpulan anjing yang terlatih baik!
Di dalam ruangan yang luas di
perut gunung itu. Maya diajak makan minum oleh mereka. Yang mereka makan
adalah buah-buahan dan daging dipanggang begitu saja, entah daging apa,
akan tetapi rasanya enak. Minumnya air biasa. Karena perutnya amat
lapar dan tubuhnya lelah, Maya makan dengan lahap dan nikmatnya sehingga
perutnya menjadi penuh dan dia tertidur di tempat makan itu.
Demikianlah,
puteri Raja Khitan yang biasanya hidup penuh kemuliaan dan kemewahan
itu kini diterima menjadi anggauta keluarga atau teman segerombolan
manusia liar yang belum mengenal peradaban! Mereka merupakan sekumpulan
anak-anak yang sudah tua, karena hanya tubuhnya saja yang sudah dewasa
dan tua, namun watak dan jalan pikiran mereka masih seperti kanak-kanak
di bawah sepuluh tahun! Maya terpaksa tinggal bersama mereka karena di
tempat itulah yang ia anggap paling aman, karena dia masih khawatir
kalau-kalau dua orang manusia iblis India itu masih mencarinya,
Selama
beberapa hari tinggal dan bermain-main dengan mereka, Maya
memperhatikan mereka itu dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu
rata-rata, dari yang kecil sampai yang tua sekali, memilikl keringanan
tubuh dan kecepatan gerak yang amat luar biasa, tidak lumrah manusia
biasa. Akan tetapi, biarpun tenaga mereka kuat-kuat berkat cara hidup
yang liar itu, namun mereka tidak pandai ilmu silat! Dia benar-benar
merasa heran sekali dan pada suatu pagi, ketika anak-anak berloncatan
mengambil buah-buah yang tergantung tinggi di pohon dengan cara meloncat
dan menyambar buah-buah itu dengan tangan, ia bertanya kepada seorang
anak-anak, anak perempuan yang sebaya dengannya.
Dari mana kalian mempelajari gerakan yang demikian ringan dan cepat?
Mula-mula
anak perempuan itu tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Maya, akan
tetapi ketika Maya mengajaknya meloncat-loncat dan ternyata loncatan
Maya jauh kalah tinggi, anak perempuan itu kelihatan takut-takut. Maya
mendesak dan anak itu menoleh ke kanan kiri, kemudian menggandeng tangan
Maya dan ditariknya Maya lari pergi dari dalam perut gunung.
Eh-eh,
perlahan dulu.... wah, bisa jatuh aku....! Maya terengah-engah karena
temannya itu berlari cepat sekali melalui terowongan yang amat curam,
tebing yang berada di punggung guha itu dan yang agaknya tidak bisa
didatangi manusia kecuali dari jalan terowongan dalam tubuh gunung itu.
Makan
itu! Anak itu berkata sambil menudingkan telunjuknya ke arah sebatang
pohon yang tumbuh di lereng tebing yang curam tadi. Setelah berkata
demikian, anak itu lari meninggalkan Maya sambil berkata, Aku takut!
Takut! dan sebentar saja dia sudah lenyap, lari pergi melalui terowongan
tadi, agaknya hendak kembali.
Jantung Maya berdebar tegang. Takut
apakah? Apa ada bahaya di situ? Ia memandang dan ternyata sunyi saja di
situ, sunyi yang aneh sekali karena agaknya tidak terdapat mahluk hidup
di tebing itu. Bahkan tidak tampak burung terbang seekor pun. Tempat
apakah ini?Ia memandang ke arah pohon yang ditunjuk oleh anak tadi.
Pohon apakah itu? Daunnya lebat hijau kebiruan, batangnya tinggi sekali
seperti pohon raksasa. Disuruh makan itu? Apa maksudnya anak tadi?
Apanya yang dimakan? Maya termenung dan memutar otaknya, berusaha
menyelami kata-kata dan pikiran anak yang ia tahu amat sederhana jalan
pikirannya itu. Tadi ia bertanya tentang gin-kang mereka, kemudian anak
itu kelihatan takut-takut, menoleh ke sana-sini. Hal ini tentu berarti
bahwa anak itu takut untuk bicara tentang ginkang mereka, atau mungkin
sekali bahwa kepandaian mereka yang khas itu merupakan rahasia mereka,
agaknya mereka mengerti bahwa keringanan tubuh dan kecepatan gerakan
mereka itu amat berguna dan penting bagi mereka, untuk mengejar binatang
buruan, atau untuk melarikan diri dari bahaya. Kemudian anak itu
mengajaknya ke tempat aneh ini yang belum pernah ia kunjungi, menunjuk
ke arah pohon menyuruh dia makan itu lalu melarikan diri karena takut!
Hemm, kiranya tidak salah lagi. Gerakan gin-kang mereka tidak mengandung
dasar ilmu silat, melainkan keringanan tubuh sewajarnya yang timbul
dalam tubuh mereka. Tentu pohon itulah yang menjadi rahasianya. Makan
apanya? Tentu buahnya ataukah daunnya? Dan anak itu lari ketakutan
karena mungkin pohon itu merupakan rahasia besar keluarganya, maka dia
yang telah membawa Maya ke situ tentu saja takut kalau mendapat hukuman.
Maya
mulai mempelajari keadaan tebing. Pohon itu jauh di bawah, sedikitnya
ada lima ratus kaki jauhnya dari pinggir tebing. Dia mencari-cari jalan
turun, akan tetapi tidak ada sama sekali. Kalau dia hendak pergi ke
pohon itu, dia harus merayap turun! Padahal tebing itu curam bukan main,
dasarnya tidak tampak jauh di bawah pohon itu, curam dan licin, rata,
hanya ada lobang-lobang di permukaan batu yang menjadi dinding tebing,
mana mungkin memanjat turun? Sekali terpeleset dan terpelanting ke
bawah, sama halnya jatuh dari langitl
Maya bergidik ngeri. Betapa
mengerikan! Mengerikan? Masa menghadapi yang begini saja mengerikan?
Setelah semua yang pernah ia alami, dipaksa mengikuti gerombolan manusia
iblis yang dipimpin Bhutan, menyaksikan perkosaan dan pembunuhan sambil
menghadapi bahaya maut berkali-kali, setelah terkubur di bawah tumpukan
mayat-mayat manusia, mandi darah mereka, setelah ia terancam maut
secara mengerikan dalam tangan sepasang manusia iblis dari India, apa
artinya menuruni tebing macam itu? Tidak seberapa!
Kenangan akan
segala bahaya yang pernah ia alaminya, semua kengerian yang dihadapinya,
hati Maya mengeras dan ketika ia kembali memandang ke bawah tebing, dia
tidak merasa ngeri lagi! Keberaniannya timbul kembali, semangatnya
bangkit. Kalau benar pohon itu mendatangkan gin-kang sehebat yang
dimiliki orang-orang itu, dia harus mendatanginya. Bahaya terpeleset
yang dihadapinya akan sepadan dengan pahala yang akan diperolehnya kalau
dia berhasil! Soalnya hanya mati atau hidup! Dan mati atau hidup bukan
dia yang menentukan! Asal dia berhati-hati, kalau sampai gagal dan mati
pun tidak akan penasaran lagi!
Dengan hati-hati sekali mulailah Maya
menuruni tebing itu. Ia merayap seperti seekor kera, sedikit demi
sedikit turun ke bawah, kakinya yang meraba-raba mencari injakan,
disusul tangannya yang mencari pegangan. Memang sukar dan amat
berbahaya. Di sana-sini terdapat akar-akar atau batu menonjol yang dapat
dipergunakan sebagai injakan kaki dan pegangan tangan, akan tetapi ia
harus berhati-hati dan menguji lebih dulu kekuatan akar atau batu itu
sebelum dipergunakan untuk menahan tubuhnya karena sekali akar putus
atau terlepas, dia akan melayang ke bawah, hancur lebur di dasar yang
tak tampak dari situ saking dalamnya! Begitu hati-hati dan lambat Maya
merangkak menuruni tebing itu sehingga jarak yang hanya lima ratus kaki
itu ditempuhnya dalam waktu lebih dari dua jam! Akan tetapi akhirnya ia
dapat sampai juga ke pohon besar dengan napas terengah-engah dan tubuh
penuh keringat, kaki tangan menggigil gemetar saking lelahnya. Namun
wajahnya berseri-seri ketika memandang ke atas pohon karena tampak
olehnya buah-buah berbentuk bulat lonjong yang berwarna merah!
Setelah
mengatur napasnya dan kaki tangannya tidak gemetaran lagi, Maya lalu
memanjat pohon itu. Jantungnya berdebar ketika tangannya meraba
buah-buah merah. Dipetiknya lima butir buah yang paling besar dan paling
merah, lalu ia membawa buah-buah itu turun ke bawah pohon. Tanah di
bawah. pohon itu terjepit batu-batu dan luasnya ada tiga empat meter
sehingga tempat ini merupakan tempat yang paling aman. Tanpa
mempedulikan lagi akibatnya, dia lalu mulai makan sebutir buah. Bukankah
anak perempuan itu mengatakan makan itu? Rasa buah itu manis-manis
masam dan mengandung rasa keras seperti arak. Akan tetapi amat lezat
bagi Maya yang sudah haus dan lapar itu, apalagi disertai harapan bahwa
buah ini mengandung khasiat yang luar biasa untuk meningkatkan
gin-kangnya.Habislah lima butir buah itu dan Maya merasa kenyang sekali.
Tiba-tiba ia mengerutkan alisnya, menekan-nekan perutnya karena
perutnya terasa mulas sekali, makan lama makin hebat, melilit-lilit
seperti diremas-remas. Maya merintih-rintih ketika perutnya mengeluarkan
bunyi. Tak tertahan lagi rasa nyeri perutnya, cepat Maya menggunakan
kedua lengannya yang gemetar untuk membukai pakaiannya. Sambil
merintih-rintih dan setengah sadar, dia menguras perutnya sampai
tubuhnya terasa lemas dan habis kekuatannya. Setelah isi perutnya
terkuras keluar semua, agak reda rasa nyeri di perutnya, akan tetapi
kini tulang-tulang di tubuhnya mulai terasa nyeri dan kuku-kuku jari,
sambungan-sambungan tulangnya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Sakitnya
bukan main dan akhirnya, dalam keadaan setengah telanjang. Maya roboh
pingsan di bawah pohon!
Dia tidak tahu berapa lamanya ia pingsan.
Ketika sadar, ia segera mencuci tubuh dan pakaiannya yang kotor dengan
air yang mengucur keluar dari celah-celah batu dekat pohon. Tubuhnya
terasa sehat akan tetapi lemas sekali, dan perutnya berbunyi terus minta
diisi, lapar bukan main. Setelah tubuh dan pakaiannya tercuci bersih,
Maya kembali memanjat pohon. Dia berlaku nekat. Kalau buah pohon itu
benar-benar mempunyai khasiat dan mendatangkan keuntungan bagi dirinya,
syukurlah. Kalau sebaliknya akan meracuni tubuhnya, biarlah! Apa pun
akibatnya, dia harus makan buah pohon itu karena di situ tidak ada benda
lain yang boleh dimakan, sedangkan perutnya amat lapar, tenaganya habis
sehingga tanpa dipulihkan tenaganya, tidak mungkin ia kembali memanjat
ke atas. Baru turunnya saja sudah begitu sukar, apalagi kakinya dan
tubuhnya begitu lemah pula.
Kenekatan hati Maya ini ternyata amat
menguntungkannya. Kalau dia jerih setelah menderita hebat akibat makan
buah itu sehingga tidak berani makan lagi, tentu dia akan kehabisan
tenaga di tempat itu dan tidak dapat naik lagi. Setelah kini ia makan
buah itu lagi dengan hati-hati, hanya menghabiskan sebutir, perutnya
kenyang dan tubuhnya terasa enak sekali, nyaman dan ringan, ringan! Ia
mencoba berloncatan. Benar-benar ringan! Bukan main! Dia dapat meloncat
dua kali leblh tinggi daripada biasa!
Bukan main girangnya hati Maya.
Selama tiga malam dia berada di bawah pohon itu, setiap hari hanya
makan buah merah dan minum air pancuran. Pada hari ke empat, ia mulai
merasa khawatir. Betapapun bodoh orang-orang itu, kalau akhirnya mereka
melihatnya di pohon yang mereka rahasiakan, dia bisa celaka. Dia harus
naik dan kembali kepada mereka. Maya mengambil lima butir buah merah,
mengantunginya kemudian ia mencoba untuk memanjat naik. Hampir ia
berteriak saking girangnya karena sekarang pekerjaan ini dapat ia
lakukan dengan amat mudahnya! Bahkan ia dapat setengah berlari memanjat
naik, berpegang kepada lobang-lobang dan akar-akar di permukaan dinding
tebing, Hal ini adalah karena beberapa hal, Pertama memang khasiat
buah-buah yang dimakannya selama tiga hari itu membuat gerakannya ringan
dan gesit, dan kedua, kakinya di dalam pendakian, naik lebih mudah
daripada turun. Kalau turun, selain harus melihat ke bawah yang
menimbulkan rasa ngeri, juga yang mencari jalan adalah kaki, maka tentu
saja amat sukar. Sebaliknya, kalau naik, mata kita mudah saja mencari
pegangan batu dan kita tidak terganggu oleh pemandangan yang mengerikan
di bawah.
Kini dalam waktu beberapa menit saja Maya telah tiba di
atas! Ia membalik dan tersenyum-senyum memandang pohon yang tumbuh jauh
di bawah itu. Ingin ia menari-nari saking girangnya, akan tetapi begitu
teringat kepada orang-orang aneh yang ,berada di dalam perut bukit,
lenyap kegembiraannya, terganti kekhawatiran. Bagaimana sikap mereka
nanti kalau melihat dia kembali setelah menghilang selama tiga hari?
Maya
memasuki terowongan dan, berlari cepat sekali Setelah tiba di ruangan
luas dalam bukit, di situ sunyi sekali, tidak tampak seorang pun, Tentu
mereka sedang bermain-main di luar, pikirnya dan karena perutnya lapar
sekali, makan buah mentah terus-menerus selama tiga hari tidak dapat
mengenyangkan perutnya lagi, maka dia lalu menyerbu sisa makanan yang
berada di ruangan itu. Daging panggang yang masih hangat, dan
buah-buahan lain yang mengenyangkan perut. Setelah kenyang, barulah ia
berlari melalui terowongan yang menuju ke luar.
Benar saja seperti
dugaannya, tiga puluh lima orang itu semua berkumpul di depan guha dan
bermain-main, bahkan kini rombongan srigala yang dua puluh ekor lebih
jumlahnya ikut pula bermain-main di situ, dipimpin oleh seorang anak
lakl-lakl memegang ranting pohon. Masih heran hati Maya menyaksikan
betapa binatang-binatang srigala yang buas dan yang di dunia ramai
merupakan binatang paling sukar dijanjikan kini lebih jinak daripada
anjing-anjing pilihan di bawah ancaman sebatang ranting di tangan
seorang kanak-kanak! 999
Akan tetapi ketika ia memandang ke arah
orang-orang tua yang berkumpul di sebelah kanan, Ia terkejut bukan main,
memandang terbelalak dan menahan napas. Di antara mereka itu ada yang
sedang menari-nari berjingkrakan seperti biasa, akan tetapi ada pula
yang sibuk menyayat-nyayat daging dan memanggang daging itu. Kalau yang
disayat-sayat dagingnya itu bangkai seekor, binatang buruan tentu Maya
tidak akan melongo. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa yang
disayat-sayat dan diambil dagingnya yang dipanggang itu adalah.... mayat
manusia! Dan tak jauh dari situ tampak seekor kuda yang dicancang.
Celaka! Mereka agaknya membunuh manusia dan kini memanggang dagingnya!
Maya bergidik dan perutnya terasa mual hendak muntah. Cepat ia berlari
ke arah mereka dan bertanya kepada nenek pemimpin mereka.
Apa ini? Mengapa kalian membunuh orang?
Nenek
itu memandang kepadanya, berteriak girang. Heeiii, Maya telah kembali!
Semua orang bersorak-sorak girang dan menari-nari mengelilingi Maya,
akan tetapi gadis cilik ini membanting kaki dan membentak.
Kenapa
kalian membunuh orang ini? Dia menuding ke arah mayat yang sudah tak
karuan macamnya karena daging pada lengan, dada, pinggul, paha dan betis
telah diambil dan dipanggang!
Dia membunuh, kami pun membunuh. Sama!
Nenek itu menerangkan sambil menunjuk ke arah bangkai seekor srigala.
Mengertilah kini Maya. Kiranya orang asing ini, yang datang menunggang
kuda, telah membunuh seekor di antara srigala-srigala peliharaan mereka,
maka orang-orang aneh itu lalu mengeroyok dan membunuhnya, bahkan mulai
memanggang dagingnya!
Wah, tidak boleh! Tidak boleh makan
dagingnya....! Tiba-tiba sebutir buah merah meloncat keluar dari
kantungnya ketika ia membanting kaki. Buah itu menggelinding ke dekat
kaki nenek pemimpin yang seketika berteriak kaget, mengambil buah itu,
mengangkatnya tinggi-tinggi dan ia menjerit-jerit penuh kemarahan,
jeritan yang tidak dimengerti artinya oleh Maya.
Semua orang lari
berdatangan, cepat sekali dan makin ramailah mereka berteriak-teriak,
ada yang seperti menangis sehingga Maya menjadi bingung sekali.
Tiba-tiba nenek itu mengeluarkan suara menggereng dan menggonggong yang
aneh sekali. Dan segerombolan srigala itu membalas dengan gonggongan
meraung-raung kemudian lari mendatangi. Nenek itu menuding ke arah Maya
dan.... srigala-srigala itu langsung saja menyerang Maya!
Maya
terkejut, cepat melompat menghindar. Orang-orang itu sejenak
memandangnya, kemudian berserabutan mereka lari memasuki guha,
meninggalkan Maya yang diserbu oleh gerombolan srigala buas. Agaknya
semua orang itu berlomba memasuki guha dan sikap mereka cemas dan marah.
Maya yang kembali diserbu srigala-srigala buas itu, cepat menendang
seekor srigala terdepan, kemudian ia membalikkan tubuh dan lari. Sambil
menyalak-nyalak, dua puluh ekor srigala mengejarnya. Maya teringat akan
kuda yang berada tak jauh dari situ, maka cepat ia lari menghampiri,
meloncat ke punggung kuda, merenggut kendali yang dicancang, lalu
membalapkan kuda itu. Akan tetapi, rombongan srigala itu tetap mengejar
dengan kecepatan luar biasa. Kuda meringkik-ringkik ketakutan, berusaha
lari cepat, akan tetapi sebentar saja dapat disusul dan diserang kedua
kaki belakangnya. Kuda terpekik dan terguling. Maya cepat mendahului
meloncat dan ia bergidik ngeri ketika melihat betapa gerombolan srigala
itu kini menerkam tubuh kuda seperti serombongan semut mengeroyok seekor
jangkerik. Memperoleh kesempatan selagi gerombolan srigala itu berpesta
memperebutkan bangkai kuda, Maya lalu lari lagi, bukan larl menjauh
melainkan, kembali ke bukit karena lari ke depan yang merupakan padang
rumput amatlah berbahaya, tidak ada tempat sembunyi.
Ia berlari
cepat, akan tetapi tiba-tiba, dari samping bukit muncul serombongan
srigala lain, dan dari belakang pun srigala-srigala yang tadi sudah
mengejar lagi. Celaka, pikirnya. Mengapa aku begini bodoh? Kalau tadi
meloncat ke atas pohon, tentu selamat. Kini ia telah terjepit dari depan
dan belakang, tidak ada pohon di situ, yang ada hanyalah batu-batu
karang bertumpuk-tumpuk. Tiba-tiba ia melihat celah-celah di antara batu
karang, yang merupakan sebuah guha kecil. Hanya itulah tempat ia dapat
sembunyi, maka tanpa berpikir panjang lagi Maya lalu berlutut dan
merangkak hendak memasuki guha yang amat kecil.
Brett! Ujung bajunya robek digigit seekor srigala dari belakang!
Wekkk! Celana di lutut kanan juga robek.
Setan!!
Maya menjadi marah, membalikkan tubuh, menendang srigala yang menggigit
celananya sehingga binatang itu terlempar, kemudian tangannya yang
sudah menyambar batu itu bergerak.
Prakk! Kainggg.... kaingggg....!
Srigala ke dua memekik-mekik dan berkelojotan dengan kepala hampir
remuk. Segera dia diserbu kawan-kawannya sendiri yang haus darah itu.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Maya untuk menyusupkan tubuhnya ke
dalam guha kecil kemudian tumit kakinya menendang-nendang batu yang
menonjol di atas sehingga batu akhirnya terlepas dan jatuh menutup guha
kecil! Maya terus merangkak maju, makin lama makin gelap dan sempit,
akan tetapi ia tidak mau berhenti. Siapa tahu srigala-srigala itu dapat
membuka penutup guha dan tentu saja mereka dapat merangkak lebih cepat.
Kalau sampai dia tersusul di tempat sempit ini, apa yang dapat ia
lakukan? Membalikkan tubuh tidak bisa, bagaimana mungkin melawan
binatang-binatang itu dengan dua tumit kaki? Tentu kakinya akan habis
digerogoti, lalu sepasang daging pinggulnya! Bulu tengkuknya meremang
dan ia bergidik membayangkan semua itu.
Akan tetapi tidak ada srigala
yang mengejarnya. Maya tidak tahu bahwa sebangsa srigala paling takut
memasuki lobang yang tidak dikenalnya, hanya menyalak-nyalak dari luar
menantang dan memancing penghuni lobang untuk keluar. Mungkin binatang
ini takut kalau-kalau ada bahaya, misalnya serangan ular, yang akan
menyambut mereka di dalam lobang yang gelap.
Akhirnya terowongan
kecil itu membawa Maya ke dalam terowongan besar yang menuju ke ruangan
tempat tinggal orang-orang aneh. Akan tetapi, keadaan di situ sunyi
sekali. Maya terheran-heran dan cepat ia berdiri melalui terowongan itu
ke dalam ruangan besar. Tak seorang pun nampak di situ. Ke manakah
mereka? Tiba-tiba Maya mendapet pikiran bahwa mungkin sekali mereka itu
beramai-ramai menuju ke pohon rahasia mereka umtuk melihat bagaimana
keadaan pohon itu setelah diketemukan Maya. Karena di luar menanti
bahaya berupa anjing-anjing srigala. Maya lalu mengambil keputusan untuk
menyusul orang-orang itu. Setelah mereka melihat bahwa dia tidak
mengganggu pohon, tentu mereka tidak akan marah lagi, pikirnya. Dia
tidak suka kepada mereka, apalagi setelah melihat mereka membunuh dan
makan daging manusia. Akan tetapi pada saat itu, tidak ada jalan lain
kecuali berbalik dengan mereka dan kelak mencari kesempatan untuk
meninggalkan mereka.
Maya mendengar sorak-sorai mereka, maka ia
mempercepat larinya dan akhirnya ia tiba di tebing yang curam. Tak
tampak seorang pun di situ, akan tetapi suara mereka datang dari bawah
tebing! Ia terheran-heran dan cepat menghamplrl tebing dan memandang ke
bawah. Kiranya tiga puluh lima orang itu semua berada di sana, di pohon
itu! Dan hebatnya, besar kecil tua muda semua memanjat pohon dan
beramai-ramai mengambil buah sambil bersorak-sorak!
Kraaaakkkk....!
Seketika
wajah Maya menjadi pucat. Celaka! serunya ketika melihat dari atas
betapa pohon itu tumbang berikut akar-akarnya, kemudian melayang kebawah
membawa tiga puluh lima orang yang masih bersorak-sorak, agaknya tidak
sadar bahwa maut mengerikan menanti mereka jauh di bawah, di dasar yang
tidak tampak!
Maya memandang dengan wajah pucat sampai pohon yang
melayang-layang turun itu tidak kelihatan lagi. Ia memejamkan matanya,
napasnya memburu. Pemandangan tadi terlampau hebat, terlalu mengerikan.
Kemudian ia termenung di pinggir tebing, dan mengenangkan semua
peristiwa itu. Dia kini mengerti bahwa agaknya, setelah pohon yang
mempunyai khasiat luar biasa itu dia ketahui, orang orang itu merasa
khawatir kalau-kalau ia akan menghabiskan buah itu! Betapa bodohnya!
Karena kekhawatiran itulah agaknya maka mereka semua, tanpa kecuali,
lalu mendatangi pohon untuk mengambil semua buahnya, baik yang merah
maupun yang masih hijau, yang besar maupun yang masih pentil! Akibatnya,
karena tidak kuat menahan tubuh tiga puluh orang yang semua memanjat
dan mengenjot-ngenjot dahan sambil bersorak-sorak, pohon itu tumbang,
jebol berikut akar-akarnya yang tidak dapat mencengkeram tanah terlalu
kuat karena terhalang batu-batu karang! Maka habislah riwayat
orang-orang aneh itu, dan habis pula riwayat pohon yang mempunyai
khasiat begitu luar biasa. Teringat ini, Maya meraba kantungnya. Ia
merasa menyesal sekali bahwa dari lima butir buah yang dibawanya, kini
tinggal sebutir lagi, yang empat entah lenyap di mana. Tentu terjatuh
ketika dia dikejar-kejar gerombolan srigala.
***
Berpikir demikian
teringatlah ia akan srigala-srigala yang masih menantinya di luar! Akan
tetapi dia harus keluar! Dia tidak sudi lagi tinggal lebih lama di
dalam perut bukit ini, apalagi setelah sekarang penghuninya mati semua.
Dia harus pergi meninggalkan daerah yang menyeramkan itu. Sudah lama dia
berada di situ, tentu sepasang iblis India itu tidak lagi mencarinya,
sudah melupakannya. Akan tetapi bagaimana ia harus melewati gerombolan
srigala yang menanti di luar guha?
Maya adalah seorang anak yang pada
dasarnya amat cerdik dan memiliki keberanian luar biasa. Apalagi
semenjak ia berkali-kali menghadapi maut, keberaniannya makin menebal
dan tidak mudah dia keluar dari kota raja Khitan dan mengalami hal-hal
yang amat menderita, berputus asa menghadapi rintangan apapun juga.
Setelah memikir-mikir, ia mendapatkan akal. Selama ia tinggal di situ,
ia teringat bahwa srigala-srigala itu paling takut berdekatan dengan
api. Hemm, Inilah, pikirnya. Aku harus minta bantuan api! Mulailah dia
mengumpulkan kulit-kulit binatang yang kering, dipasang pada ujung
sebuah tongkat dahan pohon, diikatnya kuat-kuat, kemudian ia membuat api
dan membakar ujung tongkat yang sudah dibelit-belit kulit itu sampai
bernyala.
Dengan tongkat berapi inilah Maya lalu berlari keluar,
menjaga jangan sampai apinya padam. Kulit binatang itu mengandung lemak
kering, maka tentu saja dapat bertahan lama nyala apinya. Ketika ia tiba
di pintu guha depan, sudah terdengarlah gerengan-gerengan srigala.
Namun Maya tidak menjadi gentar. Ia terus melangkah keluar dan begitu
srigala-srigala itu lari menyerbu, ia memutar-mutar tongkatnya yang
ujungnya bernyala. Tepat seperti yang diharapkan dan diduganya.
Srigala-srigala itu melengking-lengking ketakutan melihat api dan dengan
memutar-mutar tongkat yang baginya menjadi tongkat wasiat keramat ini,
dengan enak saja Maya meninggalkan tempat itu. Rombongan srigala hanya
dapat mengikutinya dari jauh sambil melolong-lolong kecewa, akhirnya
mereka pun berhenti mengejar dan Maya lalu melarikan diri secepatnya
menuju ke selatan setelah membuang tongkatnya karena apinya pun sudah
padam. Lega hatinya dan kini ia dapat mengurahkan perhatiannya kepada
kemajuan gin-kangnya. Ia sengaja mengerahkan seluruh tenaga dan berlari
secepat mugkin. Tubuhnya melesat seperti sebatang anak panah dan Maya
kembali mencela kebodohan dirinya sendiri. Setelah ia memiliki kecepatan
seperti itu, perlu apa dia melarikan diri menunggang kuda dan perlu apa
dia minta bantuan api? Kalau dia lari seperti sekarang ini, gerombolan
srigala buas itu pasti takkan mampu menyusulnya!
Dengan dada lapang Maya lari, rambutnya berkibar-kibar, wajahnya berseri, larinya cepat sekali seperti seekor kijang muda!
***
Karena di utara bangsa Yucen terdesak oleh bangsa Nomad lain, yaitu
terutama sekali bangsa Mongol yang dibantu bangsa-bangsa Naiman dan
Kerait, maka suku bangsa Yucen yang makin kuat kedudukannya itu terus
mendesak ke selatan. Bangsa Yucen ini asal mulanya adalah sebuah suku
bangsa yang tinggal di sebelah utara Shan-si dan pernah ditundukkan oleh
bangsa Khitan. Akan tetapi kini bangsa Yucen menjadi kuat sekali
sehingga setelah menangkan perang terhadap Khitan, mereka mendirikan
kerajaan yang mereka sebut Kerajaan Wangsa Cin!
Dengan terjalinnya
persahabatan dan persekutuan antara kerajaan baru Cin dan Kerajaan Sung
yang terus terdesak makin ke selatan, maka untuk sementara bangsa Mongol
yang dibantu bangsa Naiman dan Kerait hanya memusatkan diri di utara,
menguasai daerah yang luas sekali, dari Danau Baikal sampai ke tapal
batas Mongolia luar, Siberia dan Mancuria!
Perang antar suku-suku
kecil masih terus terjadi, bukan lagi perang antara kerajaan yang
memperebutkan wilayah, melainkan antar suku-suku kecil yang
memperebutkan tanah subur. Karena itu, perjalanan yang ditempuh Puteri
Maya amatlah berbahaya dan beberapa kali dia harus bersembunyi di atas
pohon-pohon besar, dari mana dia menyaksikan perang-perangan kecil
sampai perang berakhir dan hutan itu penuh mayat bergelimpangan. Kalau
sudah selesai perang dan keadaan sunyi barulah Maya berani turun dari
pohon itu, dan adakalanya dia harus bersembunyi di dalam guha yang
lembab dan dingin kotor sampai berhari-hari.
Pada suatu senja. Maya
yang kini dalam perjalanannya tanpa tujuan telah tiba di daerah
Pegunungan Go-bi yang penuh dengan selingan padang pasir luas, merasa
bingung ketika melihat dari sebuah lereng bukit ke arah padang pasir
yang membentang luas di kaki bukit. Entah berapa luasnya padang pasir
itu karena tidak tampak tepinya dan angin senja menggerak-gerakkan
permukaan padang pasir sehingga berombak seperti laut! Ia merasa takut
dan bingung harus mengambil jalan mana. Kalau dia harus menyeberangi
padang pasir itu, dia tidak berani. Sudah banyak dongeng didengarnya
dahulu dari ayah bundanya akan bahaya padang pasir yang kadang-kadang
mengamuk atau diamuk badai dan sudah banyak manusia ditelan lenyap oleh
padang pasir itu. Bahkan pernah ia mendengar betapa orang-orang yang
kehabisan air dan persediaan makan yang kelaparan dan terutama sekali
kehausan, tiba-tiba melihat air melimpah-pimpah akan tetapi apabila
didekati, air itu akan lenyap! Benar-benar banyak siluman tinggal di
tempat itu dan setiap saat siluman-siluman itu mengganggu manusia!
Maka
Maya tidak berani ke selatan melalui padang pasir itu, melainkan
membelok ke barat melalui pegunungan yang biarpun amat sukar ditempuh,
namun setidaknya sudah dikenalnya. Sejak kecil ia sudah biasa
berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, maka daerah seperti ini
dikenalnya, tidak seperti padang pasir, yang gundul dan mengerikan itu.
Malam itu ia bermalam di sebuah hutan di puncak bukit dan dari tempat
yang tinggi ini tampaklah olehnya di kaki bukit sebelah barat terdapat
sinar-sinar api yang berarti bahwa di sana tentulah terdapat tempat
tinggal manusia. Maka hatinya menjadi girang dan pada keesokan harinya,
berangkatlah ia ke barat. Siapa kira, perjalanan menuruni bukit ini amat
sukarnya, melalui jurang-jurang dan anak-anak bukit sehingga sampai
matahari naik tinggi, belum juga ia sampai ke tempat yang diduganya
tentu sebuah dusun yang semalam tampak penerangannya dari puncak
bukit.Ia menjadi girang ketika melihat sebuah bangunan tak jauh didepan.
Biarpun dia sudah lelah sekali dan peluhnya membasahi muka dan leher,
namun melihat bangunan itu, Maya melupakan kelelahannya dan berjalan
lagi menuruni lereng. Tentu di situlah dusun yang dilihatnya semalam
dari puncak. Akan tetapi, betapa kecewa hatinya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa kuil yang dahulunya tentu besar, akan tetapi kini sudah
rusak akibat perang lalu ditinggal terlantar. Sebagian atapnya sudah
runtuh, lantainya berlumut dan dindingnya menjamur. Biarpun demikian,
lumayan untuk tempat mengaso di terik panas membakar seperti itu.
Tiba-tiba
Maya cepat memasuki bangunan, menyelinap dan bersembunyi di bawah
sebuah meja batu bobrok yang depannya tertutup oleh hancuran bekas arca.
Jantungnya berdebar tegang karena hampir saja ia kurang cepat
bersembunyi karena berkelebatnya bayangan yang datang itu cepat bukan
main. Ternyata mereka adalah dua orang laki-laki, yang seorang
berpakaian sebagai seorang perwira bangsa Yucen, adapun yang seorang
lagi adalah seorang Han yang usianya dua puluh lebih, berpakaian seperti
pembesar, seorang pemuda yang mempunyai sepasang mata aneh dan liar
gerakannya, akan tetapi yang bicaranya halus dan mukanya berbentuk
lonjong menjulur ke muka seperti muka kuda. Muka yang buruk dan tidak
menyenangkan! Maya tidak berani bergerak bahkan mengatur napasnya karena
ia dapat menduga bahwa kedua orang itu, terutama Si Pemuda muka kuda,
tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka berbisik-bisik.
Benarkah dia sedang mendatangi ke sini?
Tidak
salah, jawab yang berpakaian perwira Yucen. Seperti biasa, dia naik
kuda seorang diri. Sudah dua kali aku dan kawan-kawan dahulu
menyergapnya, namun dia lihai dan selalu berhasil lolos.
Akan tetapi
yakin benarkah engkau bahwa dia itulah kurir (utusan) yang menghubungkan
Panglima Khu dengan gurunya? Pemuda muka kuda kembali bertanya,
mendesak menuntut keyakinan.
Betul dia! Memang dia pandai menyamar
dan selalu dapat menghubungi Panglima Khu dengan cara yang cerdik
sehingga tidak pernah meninggalkan bekas, akan tetapi aku yakin bahwa
dialah orangnya.
Stt, itu dia datang. Serahkan saja kepadaku. Akulah
yang akan menangkapnya! pemuda muka kuda berbisik. Si Perwira Yucen
mengangguk dan bersembunyi di belakang dinding, sedangkan pemuda muka
kuda dengan gerakan yang ringan seperti burung terbang, telah melesat ke
atas atap yang masih ada, di atas dinding yang tidak berapa tinggi dan
menjulur ke jalan depan kuil.
Biarpun Maya hanya dapat mengintai
melalui lobang atau celah-celah kecil di antara reruntuhan arca, dan
tidak dapat melihat jelas ke jalan, namun ia juga mendengar datangnya
seekor kuda dari derap kakinya yang makin lama makin nyata. Jantung
gadis cilik ini berdebar tegang. Ia maklum bahwa tentu akan terjadi
sesuatu yang hebat, sungguhpun ia sama sekali tidak tahu siapakah dua
orang itu dan siapa pula pendatang yang mereka anggap sebagai utusan
yang menghubungkan Panglima Khu dengan gurunya! Apakah artinya semua
itu?Setelah derap kaki kuda dekat benar dan tiba di depan kuil,
tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik keras dan terdengar suara
hiruk-pikuk beradunya senjata, suara orang bertanding Maya menggunakan
keringanan tubuhnya, menyelinap keluar dan mencari tempat persembunyian
di sebelah luar, yaitu di belakang segerombolan pohon kembang dan
mengintai. Tampak olehnya seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian
sederhana dan bersikap gagah, agaknya tentu orang berkuda itu, sedang
bertanding melawan pemuda muka kuda. Laki-laki yang memakai topi lebar
itu gagah dan gerakannya lihai sekali, akan tetapi dengan heran Maya,
mendapat kenyataan, bahwa Si Pemuda muka kuda itu lebih hebat lagi
sehingga laki-laki bertopi lebar terdesak dan hanya menangkis sambil
mundur-mundur, memutar pedangnya yang selalu menangkis sebatang golok
melengkung ditangan pemuda itu
Bukankah engkau ini Siangkoan-sicu yang membantu di gedung Suma-kongcu? mengapa engkau menyerangku?
Namun
pemuda muka kuda itu tidak menjawab dan menyerang lebih hebat lagi
sehingga laki-laki bertopi lebar itu makin terdesak. Engkau.... engkau
mengkhianati kerajaan....? Laki-laki bertopi lebar berseru, mencoba
untuk menangkis golok yang menyambar kepalanya, akan tetapi pada saat
itu, tangan kanan pemuda bermuka kuda yang bertangan kosong karena
goloknya dipegang di tangan kiri, sudah memukul dengan telapak tangan ke
depan.
Blukk! Aiihhhh....! Laki-laki bertopi lebar itu terpukul
dadanya dan muntahkan darah segar, akan tetapi masih berusaha
membacokkan pedangnya ke arah lawan. Si Muka Kuda miringkan tubuh,
goloknya menyambar ke depan dari samping.
Crokk! Terdengar jerit mengerikan karena lengan kanan laki-laki bertopi lebar itu terbabat putus sebatas siku!
Maya
menyaksikan semua itu tanpa berkedip. Kalau hanya pemandangan seperti
itu saja, dahulu ketika ia menjadi tawanan gerombolan Bhutan, setiap
hari dilihatnya, bahkan yang lebih dari itu pun! Akan tetapi yang
mengherankan hati Maya, laki-laki bertopi lebar itu masih hidup,
menggunakan lengan kirinya mengeluarkan sebuah amplop dan hendak
memasukkan amplop ke mulutnya.
Crass! Kembali golok menyambar dan
lengan kiri ini pun buntung sampai surat itu melayang dan disambar oleh
tangan kanan Si Muka Kuda.
Laki-laki bertopi lebar itu mengeluh dan
masih dapat mengeluarkan kata-kata terakhir sambil terengah-engah,
Siangkoan Lee.... bunuh aku tapi.... jangan ganggu.... Khu-ciangkun....!
Terpaksa
Maya membuang muka ketika melihat laki-laki bermuka kuda itu melangkah
maju, mengayun golok dan.... memenggal leher laki-laki bertopi lebar. Ia
menoleh ke arah perwira Yucen yang sudah muncul sambil berkata, Bawa
kepalanya!
Perwira Yucen ini dengan muka berseri girang menyambar
rambut kepala yang sudah terpisah dari tubuhnya, memuji. Sungguh hebat
bukan main kepandaianmu, Siangkoan-taihiap! Masih begini muda sudah
memiliki kepandaian yang luar biasa! Raja kami tentu akan senang sekali
mendengar pembongkaran rahasia Panglima Khu yang palsu ini!
Aku hanya
menjalankan tugas. Marilah! kata pemuda muka kuda yang bukan lain
adalah Siangkoan Lee, bekas pelayan murid dan juga pembantu Panglima
Suma Kiat.Dua orang itu lalu berjalan pergi, Siangkoan Lee membawa
sampul surat yang dirampasnya, sedangkan perwira Yucen itu membawa
kepala yang masih meneteskan darah itu. Entah mengapa, hati Maya
tertarik sekali dan perasaannya condong untuk membantu orang yang
disebut Panglima Khu. Dia tidak tahu urusannya, hanya tahu bahwa
laki-laki bertopi lebar tadi adalah utusan yang menghubungkan Panglima
Khu dengan gurunya, tahu pula bahwa Si Muka Kuda itu disebut pengkhianat
dan bernama Siangkoan Lee, dan kagum menyaksikan betapa laki-laki
bertopi lebar itu dalam saat terakhir masih hendak melindungi
Khu-ciangkun dan bahkan hendak memusnahkan sampul suratnya! Dia tidak
mengerti apa artinya semua itu, namun sekali pandang saja dia merasa
tidak suka bahkan membenci pemuda muka kuda dan bersimpati kepada
Panglima Khu yang belum pernah dilihatnya. Karena itu, melihat dua orang
itu melangkah pergi, diam-diam Maya mengikuti mereka dari jauh. Dia
dapat menduga bahwa Panglima Khu terancam bahaya, entah bahaya apa, maka
dia ingin melihat perkembangannya dan kalau mungkin dia akan
memperingatkan Panglima Khu itu agar terlepas dari bahaya
belakang
Mengapa Siangkoan Lee berada di tempat itu? Seperti kita ketahui,
Siangkoan Lee adalah bekas pelayan yang menjadi murid Panglima Suma
Kiat. Setelah putera tunggal Panglima itu, Suma Hoat, meninggalkan kota
raja dan minggat karena patah hati, maka Siangkoan Lee merupakan
satu-satunya murid yang amat dipercaya oleh Suma Kiat. Bahkan Siangkoan
Lee ternyata memiliki kecerdikan luar biasa dan kini tanpa ragu-ragu
lagi Suma Kiat menarik murid ini sebagai pembantunya dan diajak
berunding dan mengatur siasat dalam, menghadapi musuh-musuhnya.
Peristiwa
yang terjadi mengenai keluarga Thio di mana Menteri Kam Liong ikut
campur, menambah rasa dendam dan tidak suka di hati Suma Kiat, apalagi
karena urusan itu mengakibatkan puteranya patah hati dan pergi. Dia
bersama sekutu-sekutunya dan dengan bantuan bangsa Yucen telah berhasil
menghancurkan musuhnya yang nomor satu, yaitu keluarga Raja Khitan! Kini
dia mulai mengintai dan ingin sekali menjungkalkan orang yang paling
dibencinya akan tetapi juga paling ditakuti, yaitu Menteri Kam Liong!
Akhirnya berkat kelicinannya dan penyelidikan mata-matanya yang berani
main sogok untuk membongkar rahasia, Suma Kiat dapat mendengar bahwa
kepergian seorang panglima pembantu Menteri Kam Liong yang bernama
Panglima Khu Tek San, bukanlah ditugaskan menjaga tapal batas
sebagaimana dikabarkan, melainkan diselundupkan memasuki istana Yucen
dan memegang jabatan di sana sebagai orang yang dipercaya oleh
Pemerintah Yucen. Padahal Khu-ciangkun ini melakukan pekerjaan mata-mata
di Yucen, bekerja demi kepentingan Kerajaan Sung atau lebih tepat lagi,
dia bekerja atas perintah gurunya, Menteri Kam Liong yang selalu
menaruh kecurigaan atas pergerakan bangsa Yucen!
Demikianlah, Suma
Kiat lalu menugaskan muridnya untuk menyelidiki hal itu dan mengusahakan
agar supaya murid Menteri Kam Liong itu ketahuan dan dihukum mati!
Terjadinya hal itu tentu akan memperuncing hubungan antara Yucen dan
Sung dan memang inilah yang dikehendaki Suma Kiat dan sekutunya, yaitu
para bangsawan dan panglima yang tidak senang kepada kaisar mereka dan
sudah siap-siap untuk memberontak jika ada kesempatan.
Biarpun
usianya masih muda, namun Siangkoan Lee ternyata dapat bekerja dengan
baik sekali. Dia tidak mau begitu saja secara kasar menuduh Panglima Khu
yang di Yucen amat dihormati sebagai seorang panglima gagah perkasa
yang selalu ikut berperang membela Yucen. Dia harus dapat memperlihatkan
bukti kepada Raja Yucen. Dia tahu bahwa kalau Panglima Khu bekerja
sebagai mata-mata di Yucen, tentu ada satu cara dari panglima itu untuk
mengirim berita tentang penyelidikannya itu kepada gurunya. Menteri Kam
Liong. Akhirnya, setelah melakukan penyelidikan secara tekun, dapatlah
ia mengetahui bahwa memang ada seorang kurir yang menghubungkan guru dan
murid itu. Dengan petunjuk seorang perwira Yucen, akhirnya Siangkoan
Lee berhasil membunuh kurir, memenggal kepalanya dan merampas suratnya,
kemudian dengan bekal dua tanda bukti ini berangkatlah dia ke perkemahan
Raja Yucen yang kebetulan berada di tempat itu dalam operasi
pembersihan. Raja Yucen disertai para panglima, di antaranya Panglima
Khu yang dipercaya!
Akan tetapi, sungguh Siangkoan Lee tidak pernah
mengira bahwa rencananya yang sudah diatur dengan masak dan dilakukan
dengan sempurna itu terbentur karang berupa seorang anak perempuan
berusia sepuluh tahun yang sama sekali tak diketahuinya telah
menyaksikan semua perbuatannya! Bahkan dia tidak tahu ketika mereka
sudah tiba di perkemahan di waktu malam gelap itu, Maya telah menyelinap
melalui perkemahan.
Maya menjadi bingung. Bagaimana dia harus
menyampaikan bahaya itu kepada Panglima Khu? Yang manakah Panglima itu
dan di mana kemahnya? Apa boleh buat, dia harus berani menanggung
bahayanya. Dengan langkah lebar ia menghampiri beberapa orang tentara
yang menjaga. Tiga orang tentara itu tercengang keheranan ketika
tiba-tiba dari tempat gelap muncul seorang anak perempuan yang begitu
cantik dan bersikap begitu tabah dan berani.
Eh, kau siapakah?
Aku
adalah keponakan dari Khu-ciangkun. Harap kalian sudi mengantar aku
kepada Khu-ciangkun nanti kumintakan hadiah dari Paman Khu untuk kalian.
Tiga
orang anggauta tentara Yucen itu saling pandang. Mereka terheran-heran
dan ragu-ragu. Panglima Khu adalah seorang di antara para panglima Yucen
yang gagah perkasa dan dipercaya oleh Raja. Memang semua orang tahu
bahwa itu panglima berdarah Han, akan tetapi sepak terjangnya sudah
membuktikan kesetiaannya terhadap Kerajaan Yucen. Kini tiba-tiba muncul
seorang anak perempuan mengaku keponakannya! Kalau mereka menolak dan
mengusir bocah ini, bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa anak ini
betul keponakan panglima gagah itiu? Tentu mereka akan celaka! Akan
tetapi, kalau membawa anak ini menghadap Panglima Khu, andaikata anak
itu membohong, tentu anak ini yang akan dicambuk! Mereka tidak percaya
bahwa di dalam hutan pegunungan itu tiba-tiba saja muncul seorang
keponakan dari Panglima Khu, akan tetapi segera mereka berkata,
Baiklah, Nona kecil. Akan tetapi kalau engkau membohong, jangan bertanya tentang dosa lagi. Engkau akan dihukum mati!
Apa
boleh buat, pikir Maya. Dia beriktikad baik, menolong Panglima Khu.
Tidak mungkin kalau pamrih baik dibalas hukuman mati! Baik, antar aku
kepada Khu-ciangkun!
Tiga orang tentara itu membawa Maya ke sebuah
kemah yang besar di mana terdapat dua orang penjaga. Mereka menceritakan
bahwa anak ini mengaku keponakan Khu-ciangkun dan minta diantar
menghadap.
Hemm, kalian mencari penyakit, kata dua orang penjaga.
Akan tetapi, masuklah, Ciangkun sedang duduk sendiri, kalau kalian
dimaki jangan bersambat kepada kami.
Maya diajak masuk dan ketika
Maya melihat seorang laki-laki berpakaian panglima yang berusia empat
puluhan tahun, bersikap gagah sekali, dia tidak meragu lagi pasti itulah
Panglima Khu. Maka ia lalu berlari ke depan menjatuhkan diri dan
berlutut dan berkata, Paman Khu.... saya mohon bicara empat mata dengan
Paman mengenai surat bersampul kuning dan laki-laki bertopi lebar!
Mula-mula
panglima itu terkejut dan mengerutkan alis melihat tiga orang perajurit
memasuki kemahnya membawa seorang dara kecil yang cantik, akan tetapi
ketika ia mendengar ucapan gadis itu, berubahlah sikapnya. Pergilah!
katanya kepada tiga orang perajurit sambil melempar beberapa mata uang
ke arah, mereka. Dan terima kasih sudah mengantar keponakanku ke
sini!Diam-diam Maya kagum sekali atas kecepatan jalan pikiran panglima
itu. Setelah tiga orang perajurit yang kegirangan tadi menerima hadiah
dan pergi, Maya lalu bangkit berdiri dan menghampiri panglima itu sambil
bertanya, Engkau tentu Khu-ciangkun, bukan
anak baik engkau siapakah
dan apa artinya kata-katamu tadi? Duduklah. Aku memang benar
Khu-ciangkun. Perwira itu memegang tangan Maya dan menariknya duduk di
atas bangku di dekatnya sambil memandang wajah jelita itu penuh selidik.
Bukan anak sembarangan, pikirnya.
Ketahuilah, kalau engkau seorang
Panglima Yucen benar-benar, aku tidak akan sudi menolongmu malah lebih
senang melihat engkau mampus! Akan tetapi karena engkau panglima palsu
dan tentu engkau memusuhi Yucen, aku bersedia menolongmu.
Terbelalak mata panglima itu. Apa maksudmu? Ia berbisik dan menoleh keluar kemah. Bicara perlahan.
Maya
juga cerdik dan tahu bahwa percakapan mereka ini sama sekali tidak
boleh didengar orang lain, maka ia lalu berkata, Aku adalah Puteri Maya
puteri Raja dan Ratu Khitan yang sudah hancur oleh bangsa Yucen! Dan
engkau adalah panglima palsu, utusanmu orang bertopi lebar yang membawa
sampul kuning itu telah terbunuh, kepalanya dan sampul suratnya dibawa
oleh seorang yang bernama Siangkoan Lee. Kau akan dilaporkan....
Cepat!
Kita harus pergi dari sini, sekarang juga! Panglima itu dengan gerakan
cepat dan kuat telah menyambar tubuh Maya dan dipondongnya.
Engkau pergilah, aku.... biar aku lari sendiri!
Tidak,
Paduka. harus saya selamatkan! Harus! Panglima itu berkata dengan hati
penuh keharuan dan ketegangan. Sungguh mimpi pun tidak dia akan bertemu
dengan puteri Raja Khitan seperti itu! Raja Khitan adalah adik tiri
gurunya, jadi anak perempuan ini adalah keponakan gurunya sendiri yang
harus dia selamatkan! Rahasianya sudah diketahui orang, entah secara
bagaimana karena dia tidak mengenal siapa yang bernama Siangkoan Lee
itu. Akan tetapi, lebih hebat lagi kalau mereka tahu bahwa anak
perempuan ini adalah puteri Kerajaan Khitan! Tentu akan celaka sekali.
Pada
saat itu, tiba-tiba terdengar bunyi terompet tanduk ditiup gencar.
Mendengar ini, wajah panglima itu berubah. Terlambat....! Paduka....
jangan mengaku sebagai Puteri Khitan, tetap mengaku keponakan....
keponakan seorang wanita Khitan yang kuambil selir. Mengerti?
Maya
membelalakkan mata akan tetapi mengangguk-angguk. Diam-diam ia kagum dan
berterima kasih. Keputusan hatinya untuk menolong panglima ini ternyata
tidak sia-sia! Panglima ini seorang yang gagah perkasa, yang dalam saat
berbahaya itu lebih mementingkan keselamatannya daripada keselamatan
sendiri!
Dengan langkah tenang sambil menggandeng tangan Maya,
Panglima Khu berjalan keluar dan menuju ke perkemahan besar di mana
semua panglima sudah hadir menghadap Raja Yucen karena bunyi terompet
tanduk tadi adalah tanda panggilan mendadak oleh Raja kepada pangeran,
panglima dan perwira. Dengan sudut matanya Khu-ciangkun melihat betapa
tempat itu sudah dikurung oleh pasukan besar yang siap dengan senjata
mereka, juga pasukan anak buahnya sendiri sehingga diam-diam ia mengerti
bahwa keadaan amat berbahaya dan agaknya Raja yang telah mengetahui
rahasianya telah siap menangkapnya. Biarlah ia berkorban nyawa untuk
negara, akan tetapi kalau memikirkan Maya yang digandengnya, dia menjadi
bingung!
Para panglima telah siap semua berkumpul di depan kemah Sri
Baginda, menanti Sang Raja keluar. Dan mereka itu memandang heran
kepada Khu-ciangkun yang datang menggandeng seorang anak perempuan
cantik.
Keponakan.... selirku! jawab panglima ini pendek ketika rekan-rekannya bertanya sehingga di sana-sini terdengar suara ketawa.
Akan
tetapi, mereka semua menjadi diam dan bersikap menghormat ketika
terdengar suara terompet dari dalam kemah, tanda bahwa Raja akan keluar
dan persidangan darurat dimulai. Tempat di depan kemah itu telah menjadi
terang-benderang oleh obor-obor yang di nyalakan para perajurit
pengawal. Raja keluar dari kemah dengan.... menunggang kuda! Memang Raja
Yucen lebih suka duduk di atas kuda kalau menghadapi para panglimanya
den bangsa Yucen merupakan bangsa yang paling ahli berperang di atas
kuda.
Di belakang Raja tampak seorang laki-laki bermuka kuda, membawa sebuah bungkusan.
Khu-ciangkun....! Tiba-tiba Raja berseru keras memanggil.
Hamba
siap! Khu-ciangkun melangkah maju dan berlutut dengan sebelah kakinya
dengan sikap gagah dan hormat. Maya terpaksa ditinggalkannya di belakang
dan anak itu memandang dengan hati tegang.
Khu-ciangkun! Selama ini
aku percaya kepadamu sebagai seorang panglima yang setia. Siapa kira,
ternyata engkau adalah seorang mata-mata dari Kerajaan Sung!
Semua
panglima saling pandang dan terdengar suara mereka berisik sekali,
karena tuduhan ini benar-benar amat hebat! Ampun, Tuanku, akan tetapi
tuduhan yang tidak ada buktinya merupakan fitnah keji! Khu-ciangkun
menjawab dengan suara tenang.
Fitnah, ya? Raja membentak dan memberi
tanda kepada pemuda bermuka kuda itu yang segera membuka kantung dan
melemparkan sebuah benda diatas tanah. Benda itu adalah kepala orang!
Semua orang memandang dengan muka berubah dan hati tegang, dan Raja
berkata lagi, Orang she Khu! Kau tentu mengenal orang ini, kurir yang
menghubungkan engkau dengan gurumu di Kerajaan Sung! Engkau adalah murid
dari Menteri Kam Liong. Hayo mengaku!
Khu-ciangkun tetap tenang.
Yang penting adalah bukti, Tuanku. Bisa saja ditunjukkan bahwa orang
yang mempunyai kepala ini adalah utusan hamba, akan tetapi apakah
buktinya, Tuanku?
Bukti lagi? Lihat ini! Surat Menteri Kam Liong
untukmu, keparat! Raja itu mengeluarkan sebuah sampul kuning dari
sakunya, mengangkatnya tinggi-tinggi agar semua orang dapat melihatnya.
Akan
tetapi, dalam suasana yang amat tegang itu, tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda dan muncullah pasukan Yucen yang dipimpin oleh empat orang
panglima gagah berkuda dan mereka ini menyeret tubuh dua orang anak yang
meronta-ronta!
Apakah yang telah terjadi? Siapakah dua orang bocah
yang ditawan oleh pasukan Yucen itu? Mereka itu bukan lain adalah Can Ji
Kun dan Ok Yan Hwa, dua orang murid Mutiara Hitam dan suaminya.
Bagaimanakah mereka dapat tertawan pasukan Yucen?
Seperti telah
dituturkan di bagian depan, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan dan suaminya,
Pek-kong-to Tang Hauw Lam, bersama kedua orang muridnya itu, setelah
mendengar akan kehancuran Khitan dan tewasnya raja dan ratu lalu
bermaksud mengejar pasukan yang mengunnakan Maya ke Go-bi-san.
Karena
pengejaran itu dimaksudkan untuk melindungi keselamatan Puteri Maya,
dan karena mereka tidak tahu jalan mana yang diambil oleh pasukan yang
sudah pergi lebih dulu sebulan lebih, maka mereka melakukan perjalanan
lambat sambil bertanya-tanya tentang jejak mereka.
Can Ji Kun dan Ok
Yan Hwa tidak sabar menyaksikan perjalanan lambat kedua orang guru
mereka, maka seringkali kedua orang murid ini mendahului guru-guru
mereka yang melakukan penyelidikan setelah memberi tahu bahwa mereka
berdua akan mendahului ke atas bukit di depan atau padang rumput di
depan.
Pada sore hati itu, kembali dua orang anak itu mendahului
guru-guru mereka berlari-lari di padang rumput yang luas. Tiba-tiba,
muncullah pasukan Yucen yang mengurung mereka sambil tertawa-tawa. Dua
orang bocah itu berpakaian seperti orang Han dan tentu saja bangsa Yucen
yang di dalam hatinya memusuhi orang-orang selatan, ingin mempermainkan
dua orang anak ini.Heh-heh-heh, dua ekor anjing cilik, berlututlah
kalian dan minta ampun kepada tuan-tuan besarmu, baru kami akan
melepaskan kalian! berkata seorang di antara para panglima Yucen yang
menunggang kuda.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah anak-anak yang
sejak kecil sudah menerima gemblengan ilmu silat tinggi. Selain berani
dan berkepandaian, juga mereka ini mengandalkan nama besar kedua orang
gurunya, terutama sekali nama besar ibu gurunya. Siapa berani mengganggu
mereka?
Kalian ini berandal dari mana berani mengganggu kami?
Pergilah sebelum kami berdua turun tangan tidak memberi ampun lagi!
bentak Can Ji Kun sambil bertolak pinggang. Juga Ok Yan Hwa bertolak
pinggang sambil membentak.
Sungguh tak tahu diri, berani mengganggu anak naga dan harimau!
Dua
orang anggauta pasukan itu tertawa-tawa dan menghampiri Can Ji Kun dan
Ok Yan Hwa. Ha-ha-ha, engkau anak naga, ya? Heh-heh, apakah kalian ini
sudah gila? Seorang di antara mereka menghampiri Can Ji Kun.
Wah,
yang ini biarpun masih belum dewasa, sudah cantik sekali! Tentara ke dua
menghampiri Ok Yan Hwa, tertawa-tawa dan hendak mencolek pipi gadis
cilik itu.
Tiba-tiba dua orang anak itu menerjang ke depan, terdengar
teriakan-teriakan keras dan dua orang anggauta pasukan itu roboh sambil
mengaduh-aduh karena dada mereka seperti pecah rasanya, dihantam oleh
dua orang anak-anak itu!
Terkejutlah semua pasukan, terkejut dan
marah. Mereka sudah akan turun tangan mengeroyok dan membunuh, akan
tetapi empat orang panglima berseru, Jangan bunuh! Biarkan kami
menangkap harimau-harimau cilik ini dan menyeret mereka ke hadapan Sri
Baginda. Siapa tahu mereka ini ada gunanya kelak!
Setelah berkata
demikian, empat orang itu mengeluarkan tali panjang yang
melingkar-lingkar di lengan kiri mereka. Ujung tali itu dibuat semacam
lasso dan kini mereka berempat yang menunggang kuda mengurung Ji Kun dan
Yan Hwa, tali mereka makin lama makin panjang tetap diputar-putar. Dua
orang anak itu siap menghadapi lawan, akan tetapi mereka bingung ketika
dikurung empat ekor kuda dan memandang tali berujung lasso yang
diputar-putar. Tiba-tiba sebuah lasso menyambar ke arah kepala Yan Hwa.
Dara cilik ini cepat mengelak dan ketika lasso itu mengejarnya, ia
menggulingkan tubuh ke atas tanah. Luput! Para pasukan bersorak memuji.
Juga Ji Kun dapat menghindarkan diri dengan gerakan gesit sekali ketika
ada tali lasso menyambar. Bahkan sampai berkali-kali tali-tali lasso
beterbangan menyambar ke arah mereka, namun dengan lincah sekali dua
orang anak itu tetap dapat mengelak.
Empat orang Panglima Yucen ini
menjadi penasaran sekali. Mereka lalu berpencar menjadi dua rombongan
dan mengeroyok setiap anak dengan lasso mereka. Kini repotlah dua orang
anak kecil itu dan tak lama kemudian tubuh mereka telah terikat dan
tertangkap! Dua orang panglima memegangi lengan setiap anak dan
mengangkat tubuh anak itu di antara kuda mereka yang dilarikan sehingga
tergantunglah tubuh Ji Kun dan Yan Hwa, dibawa membalap pergi! Mereka
tidak sudi berteriak minta tolong, hanya memaki-maki dan meronta-ronta.
Sikap
dua orang anak inilah yang menolong mereka sendiri. Kalau saja mereka
berdua tidak memperlihatkan sikap yang berani luar biasa, tentu mereka
dianggap anak-anak biasa dan sudah dibunuh. Kini para panglima itu
menjadi curiga, maka mereka tidak membunuh kedua orang anak itu dan
merasa perlu menghadapkan kedua orang anak luar biasa itu kepada raja
yang kebetulan berada di perkemahan.Sementara itu, Khu Tek San yang
melihat bahwa bukti bagi kesalahannya sudah cukup dan bahwa dia tidak
dapat menyelamatkan diri lagi, bersikap tenang dan mengambil keputusan
untuk mengorbankan dirinya dan tidak menyeret orang lain dalam
pekerjaannya memata-matai Yucen.
Yang terpenting sekarang adalah
berusaha menyelamatkan diri Puteri Maya dan menyuruh puteri Kerajaan
Khitan itu pergi ke selatan menghadap Menteri Kam Liong dan menyampaikan
berita tentang kematiannya. Maka ketika melihat keributan dengan
datangnya panglima-panglima yang menyeret dua orang anak itu, dia cepat
berbisik kepada Maya,
Engkau larilah sekarang, cepat!
Akan tetapi Maya menggeleng kepala. Aku hanya mau lari kalau bersama engkau!
Panglima
she Khu itu memandang penuh kagum. Benar-benar patut menjadi puteri
Raja Khitan, cucu Suling Emas, pikirnya. Masih begini kecil sudah kenal
apa artinya budi dan kegagahan!
Tiba-tiba Panglima Khu dikejutkan oleh suara dua orang anak kecil yang diseret itu. Yang perempuan berkata galak.
Tidak peduli engkau ini Raja Yucen atau Raja Akhirat, kalau tidak segera membebaskan kami, tentu akan mampus!
Guru
kami, pendekar wanita sakti Mutiara Hitam dan suaminya, pendekar Golok
Sinar Putih, tentu akan membalas dendam! kata anak laki-laki, sikap
mereka berdua sedikit pun tidak takut dihadapkan pada Raja Yucen.
Tentu
saja Khu Tek San terbelalak memandang ke arah dua orang anak itu.
Bagaimana bisa terjadi hal yang begini kebetulan secara berturut-turut?
Pekerjaan rahasianya terbongkar, muncul Puteri Maya, dan kini tahu-tahu
muncul pula dua orang anak yang mengaku murid Mutiara Hitam! Mutiara
Hitam adalah adik kembar Raja Khitan, jadi adik tirl suhunya pula,
karena itu, bukan hanya Maya yang harus diselamatkan, melainkan juga dua
orang bocah itu!
Apa pun yang terjadi, aku harus berusaha
menyelamatkan mereka, bisik Khu Tek San kepada Maya. Kaularilah dalam
keributan ini! Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba Panglima Khu ini
menggerakkan tubuhnya, melayang ke depan, ke arah dua orang anak itu.
Cepat bagaikan seekor garuda menyambar, dia menerjang empat orang
panglima muda yang memegangi dua orang bocah itu. Mereka ini terkejut,
tahu akan kelihaian Khu-ciangkun, maka mereka mundur dan mencabut
senjata. Kesempatan itu dipergunakan oleh Tek San untuk menyambar tangan
Can Ji Kun, anak laki-laki itu. Ketika ia hendak menolong Ok Yan Hwa,
terdengar bocah itu membentak.
Budak cilik! Aku tidak butuh
pertolonganmu! Tek San cepat menengok dan melihat betapa Maya sudah
berada di situ pula, tadi menyambar tangan Yan Hwa dan ditarik
mendekatinya. Ia merasa makin kagum. Kiranya Puteri Khitan ini tidak
melarikan diri dalam keributan seperti yang dipesankannya, malah
menyusulnya meloncat ke depan untuk menolong dua orang murid Mutiara
Hitam!
Keadaan menjadi geger. Kurung....! Tangkap....! Raja Yucen
berteriak marah sekali dan Tek San bersama tiga orang anak itu dikurung
rapat oleh pasukan panglima yang telah menghunus senjata. Tek San
menjadi khawatir sekali. Bagi dia tidak takut mati di tangan musuh-musuh
ini, akan tetapi bagaimana ia dapat menyelamatkan tiga orang anak itu?
Sri
Baginda Yucen....! Ia berteriak lantang. Aku Khu Tek San sebagai
seorang laki-laki sejati, telah mengaku kedosaanku terhadap Kerajaan
Yucen dan aku siap menerima hukuman mati dengan mata terbuka! Akan
tetapi, tiga orang anak kecil ini tidak mempunyai dosa, kuharap sukalah
Paduka membebaskannya! Kalau tidak, terpaksa aku memberontak dan biarpun
kami berempat akan mati, namun kami pun akan menyeret nyawa beberapa
orang pengawalmu!
Raja Yucen yang sudah marah sekali kembali
membentak. Tangkap dia hidup-hidup! Tangkap Si Pengkhianat ini dan tiga
orang anak iblis itu!
Tek San yang mengambil keputusan untuk
melindungi tiga orang anak itu dengan nyawanya, mulai siap menghadapi
pengeroyokan para panglima yang mengurungnya. Ia menjadi kagum sekali
dan tak dapat menahan senyumnya ketika melihat bahwa tiga orang anak itu
pun telah bersiap-siap dengan pasangan kuda-kuda yang tangguh,
membelakanginya sehingga mereka berempat beradu punggung menghadap ke
empat penjuru! Bukan main, pikirnya penuh kagum. Murid-murid dan
keturunan Suling Emas benar-benar merupakan anak-anak yang telah
memiliki kegagahan luar biasa. Masih sekecil itu, menghadapi bahaya maut
tidak menjadi gentar dan putus asa, melainkan hendak membela diri
dengan gagah dan mati-matian!
Keadaan sudah menegangkan sekali.
Pengurungan makin ketat dan sudah dapat dibayangkan bahwa betapapun
gagahnya Khu Tek San murid menteri Kam Liong, namun menghadapi begitu
banyaknya panglima, perwira dan perajurit Yucen, tentu dia takkan
menang.
Tahannnn....! tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan semua orang.
Lengking
nyaring ini disusul berkelebatnya dua sosok bayangan yang sukar dilihat
saking cepatnya. Hanya terdengar ribut-ribut ketika sesosok bayangan
menyambar ke atas kuda yang diduduki Raja Yucen dan bayangan ke dua
menyambar ke arah dua orang panglima tinggi yang berada di sebelah kanan
raja. Hanya terdengar suara gedebukan dan suara ah-uh-ah-uh disusul
melayangnya tubuh Raja Yucen dan dua orang panglima tinggi itu ke atas
batu besar yang berada di dekat kemah! Tentu saja semua pasukan menjadi
terkejut dan mengalihkan perhatiannya dari Tek San dan tiga orang bocah
itu.
Suhu....! Ji Kun berteriak girang.
Subo....! Yan Hwa juga bersorak.
Ketika
obor-obor diangkat tinggi dan semua orang memandang, ternyata di atas
batu besar itu telah berdiri seorang wanita gagah perkasa dan cantik
jelita yang menelikung dengan Raja ke belakang tubuh dengan tangan kiri,
sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka mengancam tengkuk.
Di sampingnya, seorang laki-laki gagah mencengkeram pundak dua orang
panglima tinggi itu, siap untuk membenturkan dua buah kepala itu,
sikapnya tenang dan laki-laki ini tersenyum-senyum lebar.
Bebaskan dua orang murid kami, kalau tidak, Raja Yucen kubunuh! Wanita yang bukan lain adalah Mutiara Hitam itu membentak.
Ha-ha-ha,
kehilangan murid masih mudah mencari gantinya. Kalau kalian kehilangan
Raja, wah, berabe juga! Laki-laki di samping Mutiara Hitam itu berkata
sambil tertawa. Dan penukaran ini sudah cukup menguntungkan bagi kalian.
Coba saja, dua orang murid kami ditambah orang gagah dan anak
perempuannya yang berusaha menolong, baru empat jiwa. Kami tukar dengan
dua puluh tiga jiwa! Wah, kami sudah banyak mengalah!
Raja Yucen
dapat menduga bahwa dia terjatuh ke tangan pendekar wanita sakti Mutiara
Hitam yang terkenal, maka dia tidak berani main-main. Akan tetapi,
mendengar laki-laki yang agaknya suami Mutiara Hitam itu bicara tidak
karuan, dia mendongkol juga. Hemm, kalian hanya menawan kami tiga orang,
mana yang dua puluh orang lagi?
Ha-ha-ha, Sri Baginda. Yang dua
puluh adalah panglima-panglima Sri Baginda yang tentu akan tewas di
tangan kami kalau penukaran ini tidak berhasil. Sekarang untuk
sementara, kami titipkan nyawa mereka kepada tubuh masing-masing sambil
menanti penukaran ini! jawab Pek-kong-to Tang Hauw Lam seenaknya.
Bebaskan mereka. Raja Yucen menghardik dengan muka merah saking marahnya.
Mereka yang tadinya mengurung Tek San dan tiga orang anak itu mundur dengan kecewa.
Ji-kun!
Yang Hwa! Naik ke sini! Mutiara Hitam berteriak. Dua orang muridnya
lalu meloncat dan dengan gerakan indah serta ringan mereka melayang ke
atas batu besar. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika melihat
bahwa Maya telah mendahului mereka dengan loncatan yang lebih cepat
lagi!
Apakah engkau Bibi Kam Kwi Lan yang berjuluk Mutiara Hitam?
Maya bertanya kepada Mutiara Hitam sambil memandang penuh kagum. Mutiara
Hitam yang masih menodong Raja Yucen, juga terheran-heran menyaksikan
bocah perempuan yang memiliki gerakan demikian ringannya, mengalahkan
kedua orang muridnya.
Siapa engkau? Dan siapakah orang gagah di bawah itu?
Tek
San juga melompat ke atas batu besar lalu menjura dengan hormat. Teecu
Khu Tek San murid Suhu Kam Liong memberi hormat kepada Sukouw (Bibi
Guru) dan Paman Guru berdua dan berterima kasih atas pertolongan Ji-wi.
Ahhh....!
Mutiara Hitam tercengang dan juga girang mendengar bahwa laki-laki
perkasa yang tadi berusaha menolong murid-muridnya adalah murid kakaknya
sendiri! Dan bocah ini....?
Dia adalah keponakan Sukouw sendiri, Puteri Maya....!
Aihhh....!
Seruan Mutiara Hitam ini mengandung isak tertahan dan tangan kanannya
meraih kepala Maya dan dipeluknya anak itu sejenak, sedangkan tangan
kirinya masih menelikung Raja Yucen.
Heeiii! Mutiara Hitam, lepaskan kami! Bukankah kami sudah membebaskan Khu-ciangkun dan tiga orang bocah itu?
Nanti dulu, Sri Baginda. Kami belum aman. Anakku, Maya, marilah engkau ikut bersama bibimu.
Akan
tetapi Maya berpendirian lain. Begitu bertemu dengan dua orang murid
bibinya, dia merasa tidak suka. Mereka itu berwatak angkuh! Dan dia
sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Khu Tek San, maka ia
menggeleng kepala dan berkata,
Terima kasih, Bibi. Akan tetapi aku ingin pergi bersama Khu-ciangkun!
Mutiara
Hitam menghela napas panjang. Dia adalah seorang wanita gagah perkasa
yang tidak suka cerewet. Sekali mengambil keputusan tidak dirobah lagi,
dan sekali mendengar keputusan keponakannya, tidak banyak berbantah
lagi. Hatinya masih tetap keras dan angkuh.
Baiklah, Maya. Engkau
ikut dengan Khu-ciangkun dan menghadap Pek-humu (Uwamu) Kam Liong pun
sama saja. Nah, Khu-ciangkun, pergilah dulu bawa Maya ke selatan. Kami
yang tanggung bahwa orang-orang Yucen tidak akan mengganggu perjalanan
kalian.
Khu Tek San memberi hormat, kemudian menggandeng tangan Maya sambil berkata,
Marilah
kita pergi! Keduanya melompat turun dari batu besar itu dan berlari
pergi. Tidak ada seorang pun yang berani menghalang. Akan tetapi Khu Tek
San yang mencari-cari dengan matanya, tidak melihat adanya pemuda muka
kuda yang tadi muncul bersama Raja Yucen, pemuda yang menurut Maya
bernama Siangkoan Lee dan yang membunuh kurirnya.
Setelah menanti
agak lama sehingga ia merasa yakin betul bahwa Khu Tek San dan Maya
sudah pergi jauh, Mutiara Hitam melepaskan dengan Raja Yucen, juga
suaminya melepaskan pundak kedua orang panglima tinggi yang sama sekali
tak mampu bergerak ketika dicengkeramannya tadi. Mutiara Hitam menjura
kepada raja itu dan berkata,
Harap Sri Baginda maafkan kami. Kalau
menurutkan nafsu hati, agaknya Paduka sudah kami bunuh mengingat akan
tewasnya kakakku Raja Khitan di tangan kalian....
Ahhhh, tuduhan keji
itu! Raja Yucen membentak marah. Raja Khitan dan kami pada saat
terakhir berjuang bahu-membahu menghadapi gelombang serbuan bangsa
Mongol sampai Raja Khitan gugur! Bukan kami yang membunuhnya!
Mutiara Hitam dan suaminya saling pandang, kemudian Mutiara Hitam berkata,
Siapapun
yang membunuhnya, kakakku ini gugur dalam perang maka saya pun tidak
akan menyalahkan siapa-siapa. Akan tetapi, kami tidak menanam permusuhan
dengan siapa juga, dengan Raja Yucen pun tidak, maka harap saja Sri
Baginda tidak melanjutkan sikap memusuhi kami dan memerintahkan kepada
anak buah Paduka agar kelak tidak lagi mengganggu kami!
Raja itu
bersungut-sungut. Musuh kami hanya negara lain, bukan perorangan. Apa
untungnya bermusuhan dengan Mutiara Hitam? Asal engkau tidak mengganggu
keamanan di wilayah kami, perlu apa kami memusuhimu?
Bagus, dengan
demikian kita sudah saling mengerti. Nah, selamat tinggal, Sri baginda
dan maaf sekali lagi! Mutiara Hitam menyambar tangan Yan Hwa sedangkan
suaminya menggandeng tangan Ji Kun, kemudian mereka berkelebat lenyap
ditelan kegelapan malam.
Sialan! Raja Yucen membanting-banting kaki.
Turunkan aku....! Goblok kalian semua begini banyak orang tak berguna
menghadapi dua orang saja! Aku harus menegur Raja Sung! Tidak patut
memata-matai kerajaan sahabat sendiri! Apa-apaan ini? Kalau tidak ada
penyelesaian yang memuaskan, kugempur wilayah Sung! Raja itu
mencak-mencak dan marah-marah.
***
Karena sudah bertemu
dengan keponakannya, Puteri Maya, maka Mutiara Hitam dan suami serta
murid-murid tidak melanjutkan perjalanan ke Go-bi-san dan mereka lalu
kembali ke puncak Gunung Yin-san di mana terdapat sebuah guha besar yang
pernah mereka pergunakan sebagai tempat tinggal. Melihat betapa
pergolakan dan perang antara suku-suku di utara masih terjadi di
mana-mana.
Mutiara Hitam ingin mengasingkan diri saja di Yin-san agar dia dan murid-muridnya tidak terlibat.
Akan
tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marah hati Mutiara Hitam
ketika ia dan suaminya bersama dua orang muridnya tiba di depan guha di
puncak Yin-san, dan melihat seorang kakek dan nenek hidung mancung telah
menempati guha itu dan kini menyambut kedatangan mereka dengan senyum
mengejek.
Kalian siapakah? Mau apa di sini? Mutiara Hitam membentak
sambil memandang tajam. Karena sekali pandang saja ia dapat mengenal
laki-laki dan perempuan itu sebagai bangsa India atau Nepal, maka dia
menegur dalam bahasa India.
Kakek tinggi kurus berkulit hitam arang
itu tertawa. Ha-ha-ha, selamat datang, Mutiara Hitam! Beberapa tahun
yang lalu, pernah kita saling jumpa di pondok guru kami!
Tang Hauw Lam menepuk dahinya, memandang kepada isterinya dan berseru,
Wah-wah-wah,
bukankah kalian ini murid tukang membuat senjata yang berkaki pincang
itu? Kalian murid-murid pertapa Naragita di Himalaya, bukan?
Mutiara
Hitam teringat dan dia bertukar pandang dengan suaminya, mata mereka
sejenak berseri dan Mutiara Hitam berkata, Aihh, kebetulan sekali!
Heh-heh-heh!
Nenek India yang bernama Nila Dewi terkekeh. Memang kebetulan bagi kami
akan tetapi tidak kebetulan bagimu, Mutiara Hitam!
Mutiara Hitam
mengerutkan alisnya, wajahnya berubah dingin dan dia berkata, Kami sudah
mengenal guru kalian, akan tetapi tidak tahu siapa nama kalian?
Aku Nila Dewi dan dia ini Mahendra, jawab Si Nenek India.
Maksud kedatangan kalian?
Melihat
sikap dingin penuh ancaman dari Mutiara Hitam ini, kakek India itu lalu
berkata, Wah, kami melihat sepak terjangmu ketika engkau membuat Raja
Yucen tidak berdaya, Mutiara Hitam. Kami kagum bukan main! Makin tua
Mutiara Hitam makin hebat saja, benarbenar seperti mutiara tulen, makin
tua makin mengkilap!
Mahendra, tidak perlu banyak menjilat. Katakan saja terus terang, mau apa kalian datang dan agaknya mengambil tempat kami?
Mahendra
tertawa, akan tetapi ketawanya ini agak dipaksakan, untuk menutupi rasa
gentarnya terhadap wanita sakti itu. Mutiara Hitam, di depan Raja
Yucen, suamimu mengatakan bahwa kehilangan murid mudah mencari gantinya.
Memang benarkah begitu. Banyak sekali calon-calon murid baik di dunia
ini, akan tetapi selain jarang ada pengganti raja, juga jarang bisa
mendapatkan tempat tinggal begini nyaman dan enak seperti guha di puncak
ini!
Mutiara Hitam mengerutkan sepasang alisnya lalu
digerak-gerakkan. Tidak suka ia mendengar ucapan plintat-plintut
direntang panjang itu. Mahendra, jangan seperti penjual obat, katakan
kehendak kalian!
Mutiara Hitam, kami mencontoh perbuatanmu terhadap
Raja Yucen. Kami mendahului kalian menduduki tempat ini dan hanya akan
kami kembalikan kepadamu kalau kalian suka menukar tempat ini dengan....
Dua orang India itu tertawa-tawa dan memandang kepada Can Ji Kun dan Ok
Yan Hwa!
Tukar apa? Hayo katakan jangan banyak tingkah! Mutiara Hitam membentak.
Ditukar dengan dua orang muridmu. Bukankah suamimu bilang bahwa kehilangan murid mudah dicari gantinya dan....
Wah-wah-wah,
Mahendra benar-benar pandai membadut dan pandai bicara sekarang! Eh,
Hitam Jangkung! Kaukatakan, kalau kami tidak mau memberikan murid-murid
kami, lalu bagaimana? Tang Hauw Lam bertanya sambil tertawa.
Kami pun tidak memberikan tempat ini! jawab Mahendra dan bernama Nila Dewi dia lalu siap menjaga di depan guha.
Mutiara
Hitam dan suaminya pernah mendengar akan praktek-praktek keji yang
dilakukan orang-orang segolongan pertapa Himalaya yang bernama Naragita
itu, yaitu penghayatan ilmu hitam yang membutuhkan pengorbanan darah dan
jiwa anak-anak yang bertulang baik seperti dua orang murid mereka itu.
Akan tetapi Mutiara Hitam dan suaminya masih bersabar dan setelah saling
pandang dan bermufakat dalam sinar mata mereka, Mutiara Hitam lalu
berkata,
Nila Dewi dan Mahendra, orang-orang macam kita tidak
menyelesaikan urusan dengan kata-kata, melainkan dengan perbuatan. Nah,
coba kalian kalahkan kami. Kalau kami kalah, biarlah kami tidak akan
merintangi murid-murid kami kalian bawa.
Bagus! Ini namanya ucapan
orang gagah! Mutiara Hitam, kami makin kagum saja kepadamu, kata
Mahendra. Dan kami berjanji, kalau kami kalah, kami akan mengembalikan
tempat ini kepadamu dan pergi tanpa banyak ribut lagi.
Enak saja kau
bicara, Mahendra. Tempat ini memang tempat kami, kami yang menemukan,
membersihkan dan membetulkan. Kalau kami kalah kami mempertaruhkan
murid, akan tetapi kalau kalian kalah, kalian juga harus mengorbankan
sesuatu.
Apa? Nila Dewi menjerit. Kau menghendaki nyawa kami?
Bodoh!
Kami tidak haus darah seperti kalian. Kalau kalian kalah, kalian harus
membuatkan sepasang pedang untuk kami, sepasang pedang dari logam yang
kutemukan di gunung dalam perjalanan dari barat dahulu. Hanya kalian
saja yang agaknya dapat membuatkan pedang dari logam itu untuk kami,
karena tukang-tukang pandai besi yang kami temui semua menyatakan tidak
sanggup.
Mahendra tertawa. Wah, hebat logam itu, makin menarik!
Baiklah, taruhan itu malah menyenangkan kami. Nah, bagaimana
pertandingan ini diatur?
Mutiara Hitam tersenyum. Dia tahu bahwa dua
orang ini lihai sekali dan biarpun suaminya memiliki ilmu yang tinggi,
akan tetapi ia khawatir kalau-kalau suaminya akan salah tangan melukai
atau membunuh lawan. Hal ini tidak ia kehendaki karena selain tidak
ingin menanam permusuhan dengan orang India ini, juga dia membutuhkan
tenaga mereka.
Kita tidak saling bermusuhan dan pertandingan ini
merupakan pertandingan yang ada taruhannya, maka harus satu kali
berhasil menentukan siapa kalah siapa menang. Dari pihak kami, aku
sendiri yang akan maju menjadi jago, dan aku akan menghadapi jago kalian
dengan tangan kosong!
Mahendra dan Nila Dewl saling pandang. Mereka
maklum akan kelihaian Mutiara Hitam, akan tetapi kalau hanya maju dengan
tangan kosong. Mahendra berkedip kepada Nila Dewi, lalu mencabut
sepasang pisau belati melengkung yang mengeluarkan sinar gemerlapan
sambil meloncat maju.
Akulah jago pihak kami, Mutiara Hitam! Berani engkau menghadapi sepasang senjataku dengan tangan kosong?
Seorang
gagah tidak akan menarik kembali janjinya. Aku akan menghadapimu dengan
tangan kosong, Mahendra. Nah, bersiaplah engkau! Mutiara Hitam meloncat
maju ke atas batu di depan guha dan mereka berhadapan. Orang India yang
bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam itu menekuk kedua lututnya,
merendahkan diri dan kedua tangannya dipentang lebar, pisau belati
digenggam erat-erat dengan mata pisau menghadap keluar, ketika ia
menggoyang kedua pisaunya, sinar matahari yang menimpa permukaan pisau
itu menyorot ke depan menyilaukan mata.
Sepasang senjata yang bagus!
Mutiara Hitam memuji akan tetapi ia sudah menerjang ke depan dengan
pukulan dahsyat. Mahendra cepat mengelak dan sambil miringkan tubuh,
pisau kirinya menangkis lengan lawan dan pisau kanannya menyambar
tengkuk! Akan tetapi gerakan Mutiara Hitam yang gesit itu membuat ia
dengan mudahnya mengelak.
Nila Dewi berdiri menonton penuh perhatian
dengan alis berkerut. Tang Hauw Lam menggandeng tangan kedua orang
muridnya untuk mencegah mereka pergi dan tertangkap lawan, akan tetapi
dia menonton dengan wajah tenang-tenang saja karena hatinya mempunyai
kepercayaan sepenuhnya akan kelihaian isterinya. Ketika isterinya maju
dan menentang untuk menghadapi lawan dengan tangan kosong, maka tahulah
ia bahwa isterinya ingin mengalahkan lawan tanpa melukainya. Dan memang
ini tepat sekali karena dalam hal ilmu silat tangan kosong, ia harus
mengaku kalah jauh terhadap isterinya. Kalau dia yang maju dan
menggunakan goloknya, tentu dia hanya akan mampu mengalahkan Mahendra
dengan melukainya! Padahal, isteri nya sudah lama sekali merasa
penasaran mengapa logam yang berbentuk dua buah bola putih itu, yang
mereka dapatkan di puncak gunung barat, sampai kini belum ada yang mampu
membuatnya menjadi pedang!
Hal ini terjadi beberapa tahun yang lalu
ketika dia berdua isterinya melakukan perjalanan dari barat ke timur.
Mereka baru saja menuruni lereng puncak Gunung Yolmu-lungma, yaitu
puncak tertinggi dari Pegunungan Himalaya, turun ke sebelah selatan
tapal batas Nepal dan India, kemudian terus ke timur menyusuri pantai
Sungai Brahma Putera. Ketika tiba di perbatasan Yunan dan mulai mendaki
lagi sisa kaki Pegunungan Himalaya di waktu malam, mereka tiba-tiba
melihat sinar kehijauan jatuh dari langit dan terdengarlah suara
menggelegar tak jauh di depan.
Mutiara Hitam dan suaminya cepat
menuju ke tempat itu dan dari jauh mereka sudah melihat sinar putih di
atas tanah sawah dan tanah dari mana sinar putih itu tampak,
mengeluarkan asap dan hawa panas!
Agaknya itulah yang disebut batu bintang! kata Mutiara Hitam.
Jatuh
begitu saja dari langit? Sungguh luar biasa! Tang Hauw Lam berkata dan
keduanya tidak berani sembarangan menghampiri tanah yang mengeluarkan
sinar itu. Baru pada keesokan harinya, berindap mereka menghampiri
tempat yang sunyi itu dan di situlah mereka menemukan dua buah logam
berbentuk bulat berwarna putih dan masih hangat. Mereka menjadi girang
dan menyimpan dua buah batu logam itu, dan ketika mereka, sudah berada
di Tiong-goan, mereka menemui ahli-ahli pedang dengan maksud untuk
membuatkan sepasang pedang dari batu logam itu. Akan tetapi, semua ahli
pedang tidak sanggup mengolah dua batu logam itu. Sudah sebulan lamanya
dibakar masih tetap keras saja!
Inilah sebabnya mengapa munculnya dua
orang murid pendeta Naragita menggirangkan hati Mutiara Hitam dan
suaminya. Dua orang India itu adalah murid seorang di antara ahli-ahli
pedang yang sakti dan agaknya hanya orang-orang seperti mereka inilah
yang akan sanggup membuatkan sepasang pedang dari dua buah batu logam
itu untuk mereka.
Pertandingan antara Mutiara Hitam dan Mahendra
masih berlangsung dengan seru. Ilmu silat Mahendra amat aneh, cepat
gerakan sepasang pisaunya sehingga tampak dua gulungan sinar
bergulung-gulung seperti ombak hendak menelan tubuh Mutiara Hitam dan
setiap serangannya mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Namun,
Mutiara Hitam menghadapinya dengan ketenangan yang mengagumkan. Bermacam
ilmu silat tangan kosong yang lihai-lihai dan tinggi-tinggi ia mainkan.
Mula-mula ia mainkan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Harum) untuk
mendesak kakek India itu, akan tetapi tokoh India ini ternyata merupakan
seorang yang ahli terhadap pukulan-pukulan beracun maka sama sekali
Mutiara Hitam merubah lagi ilmu silatnya. Untuk melindungi tubuhnya dari
sepasang pisau lawan, baginya amat mudah. Gerakan lawannya bagi dia
terlalu canggung dan lambat, maka dengan kegesitannya, mudah baginya
untuk mengelak. Yang menjadi soal adalah bagaimana dia harus mengalahkan
lawan ini dengan ilmu silat tangan kosong.
Tiba-tiba pendekar
wanita sakti ini mengeluarkan pekik melengking yang menggetarkan jantung
lawan, suara melengking seperti suling nada tinggi dan inilah ilmu
khi-kang Kim-kong-sim-im yang diwarisi dari ayahnya Suling Emas.
Selagi
lawannya terkejut dan mengerahkan sin-kang untuk melawan gerakan suara
mujijat ini, Mutiara Hitam sudah menerjangnya dan mainkan ilmu silat
yang memiliki gaya tidak lumrah dahsyatnya! Dia telah mainkan ilmu silat
tangan kosong yang didapatkannya dari ibunya, yaitu Ratu Yalina. Ilmu
ini adalah Ilmu Silat Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Ilmu Silat
Sakti) yang hanya merupakan tiga belas jurus saja, namun tiga belas
jurus ini merupakan jurus-jurus pilihan di antara semua ilmu silat
tangan kosong dan merupakan jurus-jurus maut yang sukar dilawan!
Mahendra
mulai menggereng-gereng dan menjadi bingung, kacau-balau gerakannya
ketika angin menyambar-nyambar secara hebat dari tubuh dan tangan
Mutiara Hitam. Pendekar wanita itu baru mainkan sejurus saja, yaitu
jurus yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Berpusing Mengeluarkan
Kilat). Tubuhnya berkelebatan dan berputaran seperti gasing dan dari
putaran tubuhnya itu, kedua tangan dan kakinya kadang-kadang menyambar
secara tak terduga-duga!
Ciaaatttt! Mutiara Hitam berseru, tangan
kirinya dengan dua jari terpentang menyambar untuk menjepit pisau kiri
Mahendra. Tokoh India ini kaget sekali. Biarpun yang mengancam pisaunya
hanya dua buah jari, namun ia maklum bahwa jari-jari kecil mungil itu
mengandung tenaga sin-kang yang membuat cepitannya sekuat cepitan baja
dan ada bahayanya pisaunya terampas. Cepat ia mengangkat tangannya ke
atas. Mutiara Hitam tertawa dan Mahendra terkejut, cepat hendak mengelak
namun telambat. Dia tadi telah kena dipancing sehingga menekuk
tengannya melindungi pisau, akan tetapi kiranya jari tangan Mutiara
Hitam telah menotok sambungan sikunya sehingga seketika lengan kirinya
menjadi lumpuh dan sebelum dia tahu bagaimana terjadinya, pisau kirinya
telah berpindah ke tangan kanan Mutiara Hitam yang cepat menyambar dan
merampasnya pada detik lengannya lumpuh tertotok tadi.
***
Bagus!
Hebat kau Mutiara Hitam, akan tetapi aku masih belum kalah! Mahendra
membentak dan kini menerjang makin hebat dengan pisau kanannya. Mutiara
Hitam melemparkan pisau rampasannya kepada suaminya yang menerima pisau
itu dan memeriksanya penuh kagum karena pisau itu terbuat dari logam
yang aneh dan amat kuat pula.
Mahendra, bersiaplah engkau untuk
mengakui keunggulan Mutiara Hitam dan membuatkan sepasang pedang untuk
membayar taruhanmu! Mutiara Hitam berseru dan kini wanita sakti itu
menerjang lawannya dengan gerakan yang membuat Mahendra benar-benar
bingung. Tubuh wanita itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih
seperti awan yang bermain-main, namun mengandung angin berpusingan yang
membuat tubuh Mahendra ikut pula berputaran tanpa dapat dicegahnya lagi.
Itulah jurus Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Rontokkan Bunga) dari
ketigabelas jurus ilmu silat sakti! Mahendra berusaha untuk
mempertahankan diri, namun tubuhnya berputar makin cepat dan tak dapat
dikuasainya pula dan tahu-tahu pisau kanannya telah terampas pula,
lututnya tertendang sehingga ia jatuh berlutut di depan Mutiara Hitam!
Aku mengaku kalah, Mutiara Hitam! kata kakek hitam itu penuh kagum.
Juga
Nila Dewi yang mengikuti jalannya pertandingan dengan seksama mengerti
bahwa dia pun bukanlah tandingan Mutiara Hitam, maka ia lalu melangkah
maju dan berkata, Kami tidak mendapat kesenangan memperoleh anak
bertulang baik, tidak pula dapat menikmati kemenangan pertandingan,
biarlah kita menikmati pembuatan pedang dengan bahan yang aneh.
Keluarkanlah logammu itu, Mutiara Hitam, kami akan saling berlomba
membuatkan pedang terbagus untukmu.
Tang Hauw Lam mengeluarkan dua
butir bola logam putih dari bungkusan dan menyerahkan dua buah logam itu
kepada Nila Dewi dan Mahendra. Ketika dua orang itu menerima dan
memeriksa logam itu, mereka terbelalak dan membuat gerakan seperti orang
menyembah dengan hormat. Mulut Mahendra berkata lirih, Ya, Tuhan....,
ini.... besi bintang putih....!
Nila Dewi juga terbelalak, mukanya
agak pucat dan ia berkata, Luar biasa.... dan kita.... yang mendapat
kehormatan membuatkan pedang.... dari logam mulia dan keramat ini....!
Mutiara
Hitam sejak tadi memandang penuh perhatian dan kekaguman, kemudian ia
berkata, Apakah kalian hendak mengatakan bahwa kalian bisa membuat
sepasang pedang dari buah benda bola logam ini?
Bisa? Tentu saja bisa! Akan tetapi kami minta agar kalian tidak mencampuri dan mengganggu kami membuat pedang! kata Nila Dewi.
Benar.
Mahendra mengangguk-angguk. Kami minta tempat terpisah dan tidak mau
diganggu. Betapapun tinggi ilmu kepandaianmu, Mutiara Hitam, akan tetapi
dalam pembuatan po-kiam, apalagi menggunakan bahan keramat seperti ini,
engkau tentu tidak tahu apa-apa. Karena itu, jangan mencampuri
pekerjaan kami.
Mutiara Hitam mengangguk-angguk. Baik, aku percaya
kepada kalian. Akan tetapi contoh pedangnya harus seperti ini! Mutiara
Hitam menggunakan jari telunjuknya menggambar sebatang pedang di atas
tanah dan menerangkan modelnya, ukurannya dan lain-lain, diperlihatkan
oleh dua orang India itu yang mengangguk-angguk. Sebagai ahli-ahli yang
berpengalaman, sekali pandang saja tahulah mereka pedang macam apa yang
harus mereka bikin.
Kalian boleh menggunakan dua buah guha di kiri
sana itu, di sana bersih dan sunyi. Kami takkan mengganggu, akan tetapi
kalian harus memberi waktu, berapa lama kalian sanggup menyelesaikan
pedang itu?
Mahendra dan Nila Dewi berpikir-pikir, mengerutkan alis
dan menghitung-hitung. Untuk mempersiapkan tempat pembakaran dan
penempaan sih cukup beberapa hari saja. kata Mahendra.
Hemm, yang
harus dipikirkan adalah cara membakar logam ini agar melunak dan dapat
ditempa dan dibentuk! Nila Dewi berkata sambil menimang-nimang logam
bundar di tangannya.
Hal ini perlu kita selidiki lebih dulu kata pula
Mahendra, kemudian ia menoleh kepada Mutiara Hitam. Kami minta waktu
tiga bulan atau seratus hari! Kalau dalam waktu seratus hari pedang ini
belum jadi, berarti kami tidak sanggup lagi.
Mutiara Hitam menghela
napas dan mengangguk. Dua orang pembuat pedang itu adalah orang-orang
aneh dan ia percaya bahwa sekali mereka berjanji tentu akan dipenuhinya.
Dia tidak tahu cara bagaimana mereka akan membuat pedang dari dua batu
logam aneh itu, akan tetapi diam-diam, ia pun mengharapkan agar mereka
akan dapat berhasil membuat sepasang pedang yang ia idam-idamkan. Dua
buah benda putih itu amatlah anehnya, kalau dilekatkan dapat bergerak
sendiri. Ada tenaga mujijat dalam kedua benda itu, pada satu ujungnya
mereka itu dapat saling menarik dan ujung yang lain mengeluarkan daya
tolak atau saling mendorong!
Sepasang guha yang dipergunakan oleh
Mahendra dan Nila Dewi untuk membuat pedang itu agak jauh dari guha yang
ditinggali Mutiara Hitam dan suami serta dua orang muridnya sehingga
mereka tidak dapat melihat apa yang dikerjakan dua orang India yang
membuat pedang itu. Mereka hanya mendengar kadang-kadang suara
klang-kling-klang seperti dua buah benda keras beradu, kadang-kadang
melihat cahaya api dari dalam guha-guha itu. Kadang-kadang sampai
berhari-hari sunyi saja seolah-olah dua orang itu telah pergi
meninggalkan guha tanpa pamit.
Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat? Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.
Benar,
aku pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang
dari dua buah logam keramat itu! Ok Yan Hwa juga berkata.
Mutiara
Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian
ia berkata menegur, Camkanlah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang
gagah, baik pada golongan putih maupun hitam, golongan bersih maupun
sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban
nyawa sekalipun. Aku percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi
seorang gagah, tidak ada sifat yang lebih rendah daripada tidak-memenuhi
janji!
Dua orang murid itu mundur dengan takut dan tidak berani
bertanya lagi. Akan tetapi, makin lama makin anehlah keadaan di sepasang
guha itu didengar dari tempat mereka. Pada suatu malam, terdengarlah
jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang guha
itu.
Keparat! Tang Hauw Lam yang biasanya bersikap gembira dan
tenang, kini agaknya tak dapat menahan kesabarannya lebih lama lagi
Mereka menculik anakanak!
Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk
bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah
jeritan-jeritan itu tidak didengarnya. Eh, masa kita harus mendiamkan
saja mereka menggangu anak-anak? Mungkin membunuhnya!
Mutiara Hitam menghela napas. Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?
Memang
tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau mereka
membunuh anak-anak, tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh
membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung Pek-kong-to? Hemm,
sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi! Tang Hauw Lam yang biasanya
bergembira itu sudah bangkit berdiri dan membawa goloknya, siap untuk
mandatangi sepasang guha itu dan menyerbu.
Nanti dulu, Suamiku! Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan.
Apakah engkau mau melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?
Siapa
mau mencampuri? Apa hubungannya penculikan anak-anak itu dengan
pembuatan pedang? Tang Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya,
penasaran.
Apakah engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar
di dunia barat tentang logam mulia yang hanya dapat dibikin cair dan
lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?
Tang Hauw Lam sejenak
memandang isterinya dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya berubah
pucat. Kau.... kaumaksudkan.... anak-anak itu....?
Mutiara Hitam
mengangguk. Mereka itu biarpun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk
meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat
kita. Kalau mereka toh melakukannya juga, tentu ada hubungannya dengan
pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok boleh kau bertanya, kiranya
takkan meleset dugaanku.
Wajah Hauw Lam makin pucat. Kalau begitu.... pedang-pedang itu.... akan menjadi Sepasang Pedang Iblis....!
Mutiara
Hitam mengangguk. Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka kita harus
lebih waspada lagi menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke
tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu menjadi Pedang Iblis,
kita berkewajiban untuk membasminys sendiri agar tidak menimbulkan
malapetaka!
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua
orang muridnya agar tidur karena mereka itu masih mendengarkan
percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada keesokan
harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang guha
itu dari jauh dan berteriak.
Mahendra! Aku tidak akan mencampuri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!
Sunyi
saja sepasang guha itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaannya,
terdengar suara Mahendra mengomel. Keparat! Dengan mengganggu
samadhiku, engkau membikin aku ketinggalan sehari oleh Dewi,
Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!
Hanya tentang jeritan suara anak-anak semalam....
Pek-kong-to!
Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa
kuanggap bahwa engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau
melanggar janji! Bodoh engkau! Di dalam guha manusia yang sudah
dicairkan terdapat semacam zat yang tidak terdapat pada tubuh mahluk
lain. Dan itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah
logam ini dapat dicarikan! Apa lagi?
Tang Hauw Lam merasa betapa
kedua kakinya menggigil. Sudah cukup! katanya dan ia lari kembali ke
guha di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.
Benar sekali! Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.
Sungguh
tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang sudah
dibuat, sepasang pedang yang sifatnya jahat sekali, sebelum dibentuk pun
sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita harus membasmi
pedang-pedang itu!
Benar, kita hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi.
Mulai
hari itu, setiap hari terdengarlah bunyi besi ditempa nyaring di dalam
sepasang guha, tanda bahwa dua orang India itu sibuk sekali membuat
pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua orang ini memang aneh. Mereka
sesungguhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlomba
tidak mau kalah. Apalagi kini mereka berdua berlomba membuatkan pedang
untuk Mutiara Hitam, pedang yang sama bahannya, sama bentuknya pula.
Tentu saja mereka mulai berlomba untuk membuatkan pedang yang
sebagus-bagusnya!
Memang cara mereka membuat pedang dari logam putih
itu amat menyeramkan. Setelah beberapa hari gagal membikin logam itu
mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik
anak-anak dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra
menculik seorang anak perempuan sedangkan Nila Dewi menculik seorang
anak lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak perempuan
dan Nila Dewl menculik anak laki-laki? Sebetulnya keduanya salah
mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu
Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik
seorang anak perempuan dan mulai membuat sebatang pedang betina dengan
menggunakan darah dan tubuh serorang anak perempuan. Demikian pula
dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah, dia mengira bahwa Mahendra tentu
akan membuat sebatang pedang jantan maka dia lalu membuat pedang jantan
untuk mengalahkan saingannya itu! Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh
nafsu tidak mau kalah masing-masing. Mahendra membuat pedang betina
sedangkan Nila Dewi membuat sepasang pedang jantan!
Anak yang mereka
culik itu, mereka gantung dengan kepala di bawah, kemudian mereka
mengerat urat nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah
logam itu dicuci dan direndam, kemudian tubuh yang masih hidup itu
dimasukkan ke dalam kwali besar untuk direbus bersama-sama logam putih!
Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap
hawa tubuh manusia dan terkena darah anak-anak ini, logam putih itu
dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih tiga bulan kemudian,
pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut mendengar suara
beradunya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali.
Mereka cepat meloncat keluar menuju ke sepasang guha itu dan apakah yang
mereka lihat? Mahendra dan Nila Dewi sedang bertanding mati-matian
mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat
menyambar-nyambar. Dari jauh saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah
banyak pengalaman itu merasai adanya getaran pengaruh mujijat yang
keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat indah
buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara
Hitam tiga bulan yang lalu, hanya pedang di tangan Mahendra agak kecil
sedikit.
Aihhh.... mengapa kalian? Jangan berkelahi....! Mutiara
Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai, akan tetapi tiba-tiba
sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya dengan
kecepatan luar biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat
ke belakang.
Jangan mencampuri! Mahendra membentak. Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!
Manusia
sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut
kepalamu yang sombong! Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan
hebatnya.
Cring-sing-tranggg....! Bunga api berhamburan menyilaukan
mata dan kedua pedang itu terpental setiap kali bertemu, lalu kedua
orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
Celaka...., tahan....! Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.
Trang-trangggg....
aiihhh....! Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena
ketika goloknya tertangkis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah
dibetok oleh dua tenaga bertentangan yang amat kuat.
Mutiara Hitam
juga menerjang maju, kini pedang Siang-bhok-kiam di tangannya sehingga
ketika ia menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar
pedangnya yang hijau, akan tetapi, kembali sepasang pedang yang tadinya
saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan
menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mujijat dan kerja sama
yang mengherankan.
Trak-trakkk! Juga Mutiara Hitam menghadapi
kenyataan mujijat karena pedangnya yang jarang menemui tanding itu kini
tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang
yang sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya, Kalau mereka sudah gila untuk saling bunuh, biarkanlah!
Dan
memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua
orang itu seperti gila, kalau dibiarkan, saling menyerang seperti hendak
saling bunuh! Akan tetapi kalau tidak dipisahkan, mereka berdua
membalik dan mengeroyok lawan yang mengganggu mereka! Tentu saja Mutiara
Hitam dan suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk menghentikan
pertandingan mereka!
Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di
tempat itu dan dua orang anak ini memandang pertandingan dengan pandang
mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu. Selama ini
kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara guru
mereka tentang sepasang pedang yang sedang dibuat secara aneh oleh Nila
Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak ini ingin sekali
memiliki pedang yang luar biasa itu. Apalagi setelah kini pedang-pedang
itu jadi, melihat sinar pedang seperti kilat, mereka makin kagum.
Pertandingan
Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang berbahaya
sekali. Mutiara Hitam dan suaminya maklum bahwa seorang di antara mereka
tentu akan roboh terluka, akan tetapi karena mereka tidak dapat berbuat
apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis berkerut.
Cringggg!
sepasang pedang itu bertemu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba
dan.... Blesss....! Blesss....! pedang di tangan Mahendra menembus dada
Nila Dewi, sebaliknya pedang wanita itu menembus dada Mahendra. Keduanya
terhuyung, melepaskan pedang masing-masing yang sudah menancap di dada
lawan, kemudian roboh terguling ke kanan kiri!
Gila! Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.
Mahendra
memandang Mutiara Hitam dan tertawa! Ha-ha-ha, sepasang pedang
pesananmu telah rampung, Mutiara Hitam! Sepasang Pedang Iblis!
Disempurnakan dengan rendaman darah kami sendiri. Sepasang Pedang Iblis,
kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!
Nila Dewi
terbelalak dan juga tertawa. Mahendra, kita berdua akan hidup terus,
dalam sepasang pedang ini. Sepasang Pedang Iblis.... hi-hik, kita akan
selalu haus darah, akan selalu bersaing.... ha-ha!
Biarpun Mutiara
Hitam dan Pek-kong-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami
banyak hal-hal aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua
orang itu berkelojotan dan tewas dengan ucapan-ucapan seperti itu,
keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada
pedang jantan yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya
minum darah manusia, dan kepada pedang betina yang menancap di dada Nila
Dewi.
Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu? Tang Hauw Lam
bertanya kepada isterinya dengan perasaan jijik. Tak enak rasanya
memegang kedua pedang itu.
Mutiara Hitam mengangkat muka memandang suaminya. Apa? Engkau.... takut?
Suaminya
tersenyum. Takut sih tidak, hanya.... hemm, ngeri! Ia memandang kepada
dua mayat itu. Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua
pedangnya!
Tidak baik begitu! Mutiara Hitam mencela. Pedang ini
tercipta karena kita, maka harus berada di tangan kita. Kalau dikubur
kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?
Apa....? Kau
sebatang dan aku sebatang? Jangan-jangan setelah kita berdua
masing-masing menyimpan sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling
menyerang seperti mereka. Hauw Lam menggeleng-geleng kepala dan
menggoyang-goyang tangan.
Tahyul! Mutiara Hitam mencela.Memang mereka
ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaingan. Akan tetapi,
biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya. Mutiara Hitam lalu
mencabut! sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua
pedang dan ke arah dada kedua buah mayat itu.
Benar-benar Sepasang
Pedang Iblis yang suka minum darah.... ! Tang Hauw Lam berseru dengan
muka pucat. Ternyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih
bersih tidak ada darahnya, bahkan dada yang terluka dan ditembus podang
itu pun tidak berdarah, seolah-olah semua darahnya habis dihisap oleh
kedua pedang itu!
Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan harus
disingkirkan! Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba ia membentak
dua orang murid yang datang mandekat, Ho, kalian mau apa?
Subo, berikan pedang betina kepada taecu! kata Ok Yan Hwa.
Dan yang Jantan untuk teecu, Subo! kata pula Can Ji Kun.
Dua
orang suami isteri itu saling pandang. Hemm, untuk apa pedang bagi
kalian? Kemudian Mutiara Hitam berkata untuk membantah sendiri
ketahyulannya terhadap sifat sepasang pedang itu. Karena baru saja jadi,
agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lobang-lobang dan hawa panas
oleh api yang membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya
menghisap. Betapapun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti
sepasang pedang itu penuh perhatian. Buatannya amat indah dan halus,
bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh pedang yang
berbeda sedikit besarnya. Ia mempertemukan ujung pedang yang runcing
dan.... kedua pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung
dan tiba-tiba ada kekuatan aneh yang membuat gagang kedua pedang itu
saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat
kenyataan bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling menolak, akan
tetapi ujung di gagang saling menarik.
Hemm, mengandung sembrani yang
kuat.... katanya perlahan. Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan
Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk merantau ke tempat lain
karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi
peristiwa kematian dua orang India itu.
Tang Hauw Lam yang amat
bijaksana dan amat mencinta isterinya, maklum sepenuhnya betapa sikap
isterinya berubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja
Khitan. Isterinya sekarang pemarah sekali, bahkan kedua orang muridnya
menjadi takut karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali
termenung-menung dan melihat matanya yang membengkak, tahulah dia bahwa
sering kali isterinya itu secara sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada
suatu hari, selagi mereka beristirahat di atas lereng dan mereka
membiarkan dua orang murid bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam
tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk mendampingi isterinya
dan berkata lirih.
Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapakah?
Kwi Lan yang seperti orang termenung itu, menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, Tidak apa-apa.
Hauw
Lam menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih. Kita telah
menjadi suami isteri selama belasan tahun, setiap harl kita berkumpul
sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tubuhku sendiri, Kwi Lan.
Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu. Engkau membiarkan Nila
Dewi dan Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian saling bunuh
sendiri. Engkau hampir saja membunuh Raja Yucen, kulihat dari getaran
tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau mendengar bahwa
pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen, melainkan bangsa
Mongol. Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian
kakak kembarmu, bukan? Kedukaan yang membuat engkau menjadi dingin, tak
pedulian, kejam....
Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang
hatinya sekeras baja itu, menubruk suaminya, merangkul dan menangis
tersedu-sedu. Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko....?
Aihh.... l
Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan
membiarkan isterinya menangis sepuasnya untuk memberi jalan keluar
pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata.
Isteriku, kalau tidak salah dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bukan?
Kembali
Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak
sepasang matanya memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia melihat
betapa suaminya memandang kepadanya penuh pengertian, ia tersedu dan
menundukkan mukanya.
Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi. Aku bisa men
jadl gila dikejar-kejar dendaml Aku..., aku harus membalas dendam lnl, aku harus membunuh Raja Mongoll
Tang
Hauw Lam menarik napas, kemudian berkata suaranya penuh kedukaan. Aku
mengerti, Isteriku. Biarpun keputusan hatimu Ini sebenarnya jeliru,
namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu betul apa yang terjadi
dalam hatimu.
Mutiara Hitam merangkul suaminya. Aihhh, Lam-ko...
selamanya engkau begini penuh pengertian terhadap aku, penuh kasih
sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh,
lam-ko... akan tetapi, kalau aku tldak membalas dendam kematlan kakakku,
agaknya aku akan menjadi gila! Aku akan mati dalam hidup merana dan
selalu dlgoda bayangan Kakak Talibu yang menuntut dlbalaskan
kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa selama beberapa malam ini...
didatangi bayangan Kakak Talibu.... Mutiara Hitam menangls lagi
terisak-isak.
Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali.
Dia mengerti
bahwa' memang ikatan batin dan lkatan getaran yang lebih halus dan lebih
dekat antara saudara kembar. Maka Ia mengeraskan hatinya dan bertanya.
Janganlah
engkau merasa bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku.
Sekarang katakanlah terus terang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang
selama ini kautahan-tahan dan kautekan-tekan?
Mutiara Hitam menyusut
air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini
seperti biasa, tenang dan penuh kesungguhan. Lam-ko, aku lngin pergi ke
Mongol dan membunuh Raja Mongoll
Biarpun jantung Hauw Lam berdebar
karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh diri,
namun ia mengangguk dan berkata, Balk sekali! Kapan kita berangkat, aku
siap, Isteriku.
Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat
aku selama ini tidak dapat berterus terang. kepadamu, Lamko. Aku harus
pergi sendiri!
Berkerut sepasang alls Tang Hauw Lam ketika la memandang tajam wajah lsterlnya. Mengapa demikian, . Lan-mo1?
Ucusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan apI!
Tang Hauw Lam tertawa bergelak. Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitaml Apa kauklra aku lnl orang yang takut matl?
Jangan
berkelakar. Lam-ko. Dalam urusan laln, tentu saja aku leblh suka
sehldup semati dl sampingmu. Akan tetapi urusan Ini lain lagi, lnl
merupakan urusan pclbadi bagiku dan aku tidak mau menarlk dirlmu
menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku ' juga menjadi
korban dalam urusan ini. Selain Itu, kalau kita pergi berdua, bagaimana
dengan murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap engkau suka memenuhi
permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku aku akan berterima kasih
sekali kepadam u.
Kwi Lan.... ! Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya tidak
main-main dan sudah mengambil keputusan tetap yang takkan dapat dirubah lagi. .
Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang. Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok pagl aku
akan
pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak dl
sebelah utara kota raja Khitan, kaulngat tempat yang dlsediakan untuk
menjadi tempat pekuburan keluarga Ayahku Sullng Emas? Nah, kautunggulah
aku dI sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kltabku, juga
Sepasang Pedang Iblis. Kalau selesal tugasku di Mongol dan aku dapat
keluar dengan selamat, aku akan menyusulmu ke sana. Kalau tidak...,
andaikata aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kaupimpin balk-baik
kedua orang murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan
setia di pintu gerbang akhirat, Suamiku.
Lan-mol.... i Sekali Ini .
Hauw Lam yang mencucurkan alr mata. Semalam ltu suaml lsteri ini
mencurahkan kasih sayang sepenuhnya karena mereka merase di dalam hati
bahwa mungkin sekali
mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan kali!
..Pada
keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya
yang kelihatan muram dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan
Hwa lalu menlnggalkan pesan.
Aku mau pergi, mungkin lama sekali.
Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus mentaati
semua perintah suhu - kalian, belajar dengan tekun dan rajin sehingga
kelak dapat menjadi pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran
dan keadilan. Jangan membikin malu nama guru-guru kalian. Mutiara Hitam
dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati
kalian, kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih
hidup, aku sendiri yang akan menghukum kalian dan kalau aku sudah mati,
arwahku yang akan menghukum kalian. Mengerti?
Dua orang murid itu menganggukangguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah mendengar bahwa
subo
mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembalil Setelah berpelukan
untuk terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata hanya sinar mata
. mereka saja yang melepas seribu janji bahwa dalam keadaan hidup
ataupun matti mereka pastl akan saling berkumpul kembali, Mutiara Hitam
lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!
Tang
Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak menikah
dengan Mutiara Hitam, ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang
tercinta itu. Merantau ke negeri jauh berdua, menghadapi bahaya-bahaya
maut berdua, dalam keadaan suka maupun duka selalu berdua dan bersatu
hati. Kini, tiba-tiba isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang
amat berbahaya! Lemah seluruh tubuhnya dan kalau di situ tidak ada dua
orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini
akan menangis menggerunggerung.
Dia lalu mengajak kedua muridnya,
mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang Pedang
Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi
menuju ke Bukit Merak di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi
bagi Hauw Lam. Matahari seolah-olah kehilangan sinarnya, bunga-bunga
kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa kehilangan
keindahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia
tidak pernah mengeluh di depan kedua orang muridnya. Setelah tiba di
Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan
tekun, akan tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang malam
akan kembalinya Mutiara Hitam. Dia hanya makan sedikit sekali dan hampir
tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang ke jauh,
kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya
pulang! Tubuhnya menjadi kurus sekali dan wajahnya menjadi pucat.
Menanti dalam keadaan tidak menentu itu benar-benar merupakan siksaan
yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia tahu bagaimana hasil
pembalasan dendam isterinya! Berhasilkah? Masih hidupkah isterinya?
Ataukah sudah tewas?
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak
yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka ini adalah seorang yang
gembira selalu, tidak pernah marah, maka mereka itu amat manja terhadap
suhunya. Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua
orang murid ini amat takut kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami
isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang baik karena dari
Hauw Lam mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan
menerima kegembiraan, adapun dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan
tekanan agar rajin dan mengenal disiplin. Kini setelah Mutiara Hitam
pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biarpun mereka masih tekun
belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali
bermain-main sendiri dan tidak mempedulikan guru mereka.
Hal ini
adalah karena Tang Hauw Lam Juga sudah seperti sebuah arca, kehilangan
semangatnya sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam
hal pelajaran ilmu silat.
Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo
mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan melakukan tugas yang
berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang
ini selain belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti
kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharap-harapkan.
***
Mengapa
Paduka tidak suka ikut bersama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah
dengan ikut beliau, Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak
dapat mempelajari ilmu silat tinggi yang dimiliki pendekar sakti
Mutiara Hitam? Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk
beristirahat di bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.
Maya
menarik napas panjang. Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku.
Sesungguhnya, aku bukanlah puteri Khitan aseli, dan aku hanyalah anak
pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Mereka tidak mempunyai keturunan dan
aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah, maka aku tidak suka
ikut dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan
keponakannya sesungguhnya. Aku orang biasa, Paman Khu.
Khu Tek San
mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan
tetapi, anak sendiri ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah
puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan kepada gurunya.
Baiklah,
Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuaku sebagai
keponakanku. Marilah kita melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat
bukit itu, adalah benteng bertahanan barisan Sung, kawan-kawan sendiri.
Setelah bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita
dapat menunggang kuda.
Berangkatlah mereka berdua dan karena biarpun
baru berusia sepuluh tahun Maya telah memiliki kepandaian lumayan,
apalagi setelah ia makan buah-buah merah yang biarpun kini khasiatnya
sudah banyak berkurang namun telah mempertinggi gin-kangnya, maka
perjalanan itu dapat dilakukan cepat. Baru sekarang Maya tahu bahwa
khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara, dan
agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas
saja ketika pohon buah itu ketahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut
kalau buahnya dihabiskan!
Mereka melewatkan malam di lereng bukit dan
pada keesokan harinya, sebelum tengah hari mereka telah tiba di daerah
penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia
mengajak Maya untuk mempercepat jalannya. Gembira hatinya akan bertemu
dengan anak buah pasukan negaranya dan panglima-panglima yang menjadi
rekan-rekannya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan
penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di tempat penjagaan,
ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa
orang panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap keren, bahkan
seorang panglima yang bertubuh tinggi besar dan penuh wibawa membentak
nyaring.
Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai
seorang pengkhianat! Panglima itu lalu memberi perintah kepada anak
buahnya. Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!
Apa artinya ini....? Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri!
Hemmm,
Khu Tek San! Apakah engkau hendak memberontak pula, melawan pasukan
negara? tanya panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya
muram, agaknya dia tidak suka melakukan tugas ini, juga dua orang
panglima lain memandang tanpa banyak cakap, dengan wajah murung.
Aku
tidak akan melawan. Silakan! Khu Tek San memberikan kedua lengannya yang
segera dibelenggu dengan belenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya
dapat memandang Khu Tek San dengan mata terbelalak tidak melawan ketika
kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm,
agaknya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek
San. Kemudian ia memandang kepada tiga orang panglima itu dan berkata
lantang.
Ong Ki Bu! Cong Hai dan engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian
bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian adalah
rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal sepak
terjangku! Mengapa kini kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?
Sejenak
tiga orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong
Ki Bu, panglima tinggi besar itu, berkata, Khu Tek San, engkau tahu
bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaat perintah atasan! Engkau
dituduh telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan
bangsa Yucen, bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan.
Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan Sung, dan karena itu,
kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!
Apa....?
Khu Tek San membentak marah. Aku bukannya orang yang takut menghadapi
hukuman apapun juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang panglima
baru akan menjalani hukuman setelah diperiksa di pengadilan tinggi di
kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan
pengadilan?
Kembali tiga orang panglima itu kelihatan tidak enak
sekali, muka mereka berubah merah dan dengan suara serak dan terpaksa.
Ong Ki Bu berkata, Semua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San, melainkan
atas perintah.
Atas perintah siapa? Apakah Hong Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah dari Kaisar!
Kaisar
tidak mengurus hal-hal ketentaraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek
San? jawab Ong Ki Bu yang agaknya benar-benar tidak enak hatinya
menghadapi urusan ini dan ingin agar segera selasai. Kalau engkau hendak
mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah! Panglima tinggi besar
itu lalu mengeluarkan segulung kertas dan membaca dengan suara lantang.
Karena
sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhianatan
terhadap negara dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami
memerintahkan kepada semua panglima yang menjaga di tepi tapal batas,
untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia
ditangkap!
Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun tidak
kelihatan ia gentar sungguhpun matanya membayangkan penasaran dan
amarah. Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini,
Ong-ciangkun?
Perintah atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu
kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah untuk menjalani hukuman
gantung, Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buahnya dan menunjuk
ke depan. Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon
bahkan telah tersedia tali gantungan untuknya! Benar-benar hukuman yang
telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan, tetapi ia mengenal
betul tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang gagah dan
taat sehingga tidak mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mencelakakan
dirinya. Yang benar tentulah yang menjatuhkan perintah ini!
Paman,
kurasa ini pun hasil perbuatan manusia bernama Siangkoan Lee itu....
Tiba-tiba Maya berbisik. Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat
betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan digantung, bahkan mungkin
mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.
Benar....!
Kau benar....! Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya
di antara rantai belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang
sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan berkata dengan suara
lantang.
Aku Khu Tek San, sebagai, seorang panglima yang selalu siap
mengorbankan nyawa untuk negara, taat akan bunyi perintah dan karena
tidak diadakan pengadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri.
Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak
mengganggu keponakanku ini karena di dalam surat perintah itu tidak
disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu sebagai bekas
rekan yang baik, sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam
Liong!
Permintaanmu kuterima, Khu Tek San! Terdengar Ong-ciangkun
mengguntur. Dan kalau aku Ong Ki Bu sudah menerima, tidak ada seekor
setan pun akan boleh mengganggu anak itu!
Khu Tek San tersenyum dan
wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu. Terima
kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini,
rekanku Ong, juga terima kasih karena sikapmu ini membuktikan bahwa
Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang jantan dan
gagah perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!
Khu Tek San melangkah
maju menghampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak,
bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa
ini!
Seorang perajurit yang menerima perintah, sudah maju dan
menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke leher Khu Tek San, kemudian ia
mundur untuk menarik ujung tali dari belakang batang pohon bersama tiga
orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka
lebar, siap menerima datangnya maut.
Siaaappp! terdengar aba-aba,
lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lobang gantungan
akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
Krekkk!
Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali
gantungan itu yang tiba-tiba putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San!
Semua orang terheran lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika
melihat seorang pemuda tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas
dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi, Ong Ki Bu dan para
panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali melihat
betapa pemuda itu dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di
situ terdapat banyak orang pandai!
Melihat, pemuda itu jelas datang
hendak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak senang,
karena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak
dan melawan perintah atasan, Maka ia berseru.
Hei, Enghiong muda
yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan. ketentaraan! Aku Khu Tek
San dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan
mencampurinya?
Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang heran.
Dia masih muda sekali, paling banyak dua puluh satu tahun umurnya,
wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan
biarpun menghadapi pasukan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang
saja.
Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut
dipuji dan dikagumi semua orang. Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi,
yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, melainkan hukum rimba!
Di mana ada aturannya seorang panglima yang sudah banyak jasanya
seperti Khu-ciangkun, tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung
di dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang melakukan tugas rendah
ini?
Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah
Ong Ki Bu yang bertanggung jawab atas pelaksanaan hukuman ini. Engkau
siapa?
Pemuda itu melayang turun, gerakannya ringan dan indah ia
sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan tersenyum tenag!. Aku bernama
Kam Han Ki....
Ohhh....! Khu Tek San tak dapat menyembunyikan
kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak. Tentu saja ia mendengar
dari suhunya bahwa suhunya mempunyai seorang adik misan yang semenjak
kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang
tahu-taru muncul dl situ sebagai seorang pemuda tampan gagah yang berani
menentang pasukan bala tentara Sung!
Kami melaksanakan hukuman atas
perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau berani
mengatakan hukum rimba? Ong Ki Bu membentak marah.
Sabarlah,
Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu
bahwa para panglima adalah orang-orang gagah perkasa seperti
Khu-ciangkun, yang setia akan tugas dan melaksanakan perintah atasan
tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kauperlihatkan,
atasan yang manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu-ciangkun?
Ketahuilah bahwa aku pun datang sebagai utusan dari kota raja!
Semua
orang terkejut dan dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak
mempercayai dirinya. Ong Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan
membukanya di depan orang banyak sambil berseru keras.
Yang menjatuhkan perintah adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah masih tidak dipercaya lagi?
Hemm, hemm.... surat bisa dipalsukan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun? Han Ki bertanya.
Ong-ciangkun
melotot kepada Han Ki dan membentak. Orang muda, sudah puluhan tahun
aku menjadi panglima! Apa kaukira aku begitu sembrono untuk tidak
meneliti surat perintah tulen atau palsu? Surat ini tulen, apalagi yang
membawa ke sini adalah murid dan pembantu Suma-goanswe sendiri!
Di mana dia? Harap engkau suka memanggilnya! Han Ki mendesak.
Panglima
itu menyuruh anak buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat
itu tidak ada. Wah, dia.... dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!
Ong-ciangkun berkata heran.
Kam Han Ki lalu berkata, Ong-ciangkun,
Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini. Dengarlah. Aku
adalah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa
Khu-ciangkun adalah murid dari Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat
perintah dari Menteri Kam Liong yang memiliki kedudukan lebih tinggi
daripada Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintahnya! Han
Ki mengeluarkan segulung surat pula.
Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu
menerima dan membaca surat perintah itu yang berbunyi :Menteri Kam Liong
mengutus petugas Kam Han Ki untuk menjemput dan memanggil pulang
Panglima Khu Tek San ke kota raja.
Wajah panglima tinggi besar itu
berseri-seri dan ia tertawa bergelak. Ha-ha-ha! Lega hatiku sekarang!
Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani
membantah perintah beliau? Dan dengan adanya perintah Menteri Kam Liong,
terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma, tidak ada yang akan
menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu
dilindungi Thian! Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nyawamu,
ha-ha-ha! Engkau tentu tahu betapa tak senang hati kami semua
melaksanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang
kedudukannya lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?
Aku
mengerti, Sahabat Ong, dan terima kasih, kata Khu Tek San dan setelah
dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan Kam Han Ki sambil berkata,
Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih atas bantuan Susiok (Paman Guru)!
Kam
Han Ki cepat mengangkat bangun orang yang lebih tua akan tetapi karena
menjadi murid kakak misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu.
Khu-ciangkun harap jangan berlaku sungkan. Mari kuantar ke kota raja
bersama anak yang kautolong itu. Maya namanya, bukan?
Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San.
Paman
Khu, dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya?
Sungguh tidak layak, membikin dia besar kepala dan sombong saja!
Hushh, Maya, jangan berkata demikian! Dia itu paman guruku! kata Khu Tek San cepat-cepat.
Hemm, aku berani bertaruh, kepandaiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?
Khu
Tek San merasa tidak enak sekali, dan Kam Han Ki memandang Maya dengan
alis berkerut dan mata marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa-apa,
hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja yang memaki, Bocah
nakal cerewet kau!
Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San dan
para panglima, dia tidak mau cekcok dengan seorang anak perempuan! Maka
untuk menutupi kemendongkolan hatinya ia berkata, Khu-ciangkun, harap
engkau suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa
agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjalanan
yang jauh ke kota raja.
Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan
dengan suka hati para rekannya lalu mempersiapkan pakaian sipil untuk
Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka.
Setelah berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San,
Kam Han Ki dan Maya menunggang tiga ekor kuda menuju ke selatan.
Di
sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki
bercerita bahwa dia diutus oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki
keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian setelah menyelidiki ke
Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.
Aku
mendengar cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara
Hitam dan suaminya. Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu! kata Han
Ki. Karena mendengar bahwa engkau telah pergi ke selatan, maka aku cepat
menyusul dan untung bahwa Kam-taijin telah waspada dan membekali
segulung surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku harus
meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam dan memaksa mereka melepaskanmu!
Memang
telah terjadi hal-hal yang amat aneh. kata Khu Tek San yang
menceritakan pengalamannya, betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang
bernama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa rahasianya
di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong
Mutiara Hitam.
Hebatnya, orang yang bernama Siangkoan Lee itu agaknya
masih melanjutkan usahanya untuk mencelakakanku! Akan tetapi....
hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia adalah
murid dan pembantu Suma-goanswe.... Khu Tek San mengakhiri ceritanya
sambil mengangguk-angguk.
Kenapakah, Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe musuhmu? Han Ki bertanya.
Tek San menggeleng kepala. Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka memukul aku untuk melukai Suhu.
Ah, begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam? Mengapa?
Kembali
Tek San menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Hal itu adalah
urusan keluarga, aku tidak berhak mencampuri. Susiok tentu dapat
bertanya kepada Suhu.
Keluarga Suma adalah keluarga Iblis! Tentu saja
mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman, Khu! Maya yang
sejak tadi mendengarkan percakapan mereka, tiba-tiba berkata gemas.
Kam Han Ki yang masih marah kepada gadis cilik, memandang dan berkata dengan suara dingin, Huh, kau bocah tahu apa?
Maya
membalas pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah
dinginnya, Kalau aku bocah, apakah engkau ini seorang kakek? Sombongnya,
merasa diri sendiri paling tua dan paling pandai!
Eh, Maya, jangan
bersikap begitu kurang ajarl Khu Tek San cepat mencela bekas puteri
Khitan itu. Kam-susiok ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian
berarti masih saudara misan dari mendiang ayahmu, Raja Khitan. Dia ini
adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf.
Maya
duduk di atas punggung kudanya, menoleh ke arah Han Ki dan mencibirkan
bibirnya! Akan tetapi karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya
dengan mata terbelalak marah, Ia lalu berkata, Dia bukan pamanku!
Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja
seperti kakek-kakek!
Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini? Khu Tek San membentak dengan muka merah.
Paman Khu, aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apalagi terhadap seorang yang sombong seperti dia,
Maya! Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke arah Han Ki.
Sudahlah
Khu-ciangkun. bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini
sudah rusak karena terlalu dimanja, Han Ki berkata dengan sikap tenang,
akan tetapi sebenarnya pemuda ini merasa betapa perutnya menjadi panas
dan ingin sekali dia menempiling kepala gadis cilik yang menggemaskan
itu.
Kedua pipi Maya menjadi merah saking marahnya dan ia
membusungkan dada menegakkan kepala ketika memandang Han Ki sambil
berkata, Aku sudah rusak karena dimanja, ya? Dan kau sudah bobrok karena
sombong!
Maya! Khu Tek San membentak marah. Kenapa sikapmu tiba-tiba
berubah seperti ini? Engkau amat sopan dan hormat kepadaku, mengapa
kepada Kamsusiok....
Karena engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini.... hemm....
Dia pamanmu sendiri! Khu Tek San memperingatkan.
Paman apa? Aku tidak mempunyai paman seperti dia!
Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!
Maya mencibirkan bibirnya. Aku pun bukan puteri Raja Khitan....
Apa....?
Khu Tek San berseru heran, bahkan Han Ki juga menoleh, memandang anak
perempuan itu dengan alis berkerut. Memang pemuda ini merasa
terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang terlalu cantik
jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu galak!
Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
Sesungguhnyalah, Paman Khu.
Tadinya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk
membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan
bahwa aku sebenarnya bukan Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanyalah
seorang keponakan luar saja yang diambil anak sejak kecil. Aku hanyalah
anak angkat saja!
Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata, Biarpun
demikian, berarti engkau adalah puteri Raja Khitan. Maya! Dan karena
itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia
adalah adik misan Raja Khitan! Selain itu, kalau tidak ada Kam-susiok
ini, apakah, kaukira kita dapat selamat?
Cukuplah, Khu-ciangkun. Di
sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan
dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat
di daerah sunyi ini, kata Han Ki.
Baiklah, Susiok. Khu Tek San lalu
mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan kudanya. Maya
menurut dengan mulut cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang
kepada Han Ki semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya
sombong dan angkuh, yang dianggapnya tidak menaruh perhatian sama sekali
terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu menyapu lewat begitu saja
seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada harganya untuk
dipandang dengan perhatian. Pemuda itu sama sekali tidak
memperhatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!
Khu Tek San
diam-diam merasa kagum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa
benar-benar terdapat serombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan
ketajaman mata dan telinga pemuda yang menjadi susioknya itu. Hal ini
saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian
yang luar biasa tingginya!
Mereka bertiga menahan kuda ketika
melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang terpasang di
atas sebuah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu
adalah serombongan piauwsu yang mengawal barang-barang dalam kereta itu.
Mereka terdiri dari tujuh orang yang bersikap gagah dan bendera yang
berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan sulaman
benang perak, di bawah golok ditulisi huruf Gin-to Piauw-kiok
(Perusahaan Pengawal Golok Perak).
Melihat datangnya tiga orang
penungang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada
sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh
selidik. Panglima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para
piauwsu Golok Perak, maka ia cepat menjura dan berkata,
Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?
Kecurigaan
tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San
yang ramah dan sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa, sedangkan
Kam Han Ki biarpun membawa pedang di punggungnya namun kelihatan halus
sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggauta perampok,
apalagi Maya, gadis cilik itu. Pemimpin mereka, seorang yang dahinya
lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,
Kami tujuh
orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja,
mengantar barang-barang sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu
siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak, pergi ke manakah?
Khu Tak
San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama Istana kaisar
untuk menggertak kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka
ia tersanyum dan berkata, Harap Cu-wi tidak usah khawatir. Aku orang
she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama
istana Kaisar. Ha-ha-ha!
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat
berkata dengan suara tegas, Kami harap Khu-sicu tidak mentertawakan kami
karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang
sumbangan dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.
Tertariklah
hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan, seorang yang
mempunyai kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri
Kam, maka cepat dia bertanya.
Maafkan kalau tadi aku salah duga.
Akan tetapi ada terjadi urusan apakah dikota raja maka para pedagang dan
pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?
***
Aihhh!
Agaknya Sam wi telah lama meninggalkan selatan!" Pimpinan piauwsui itu
berseru heran. "Kota raja telah ramai dan dalam keadaan pesta pora
karena Kaisar akan merayakan permikahan seorang di antara puteri puteri
istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan
puteri tercantik, kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja
YucenT
Ouhhh....!
Susiok....! Kau..... kau.... kenapakah.....
Tiba
tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda
yang diduduki Han Ki karena tiba tiba saja pemuda itu duduk miring di
atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak dikuasai
Han Ki.
Ahhh...., tidak apa apa.... Han Ki berkata, ia sudah dapat
menguasai kembali hatinya yang terguncang hebat mendengar keterangan
piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya
berkeringat. Mari.... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!
Khu
Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba tiba menjadi
pucat dan muram wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan
mendengar ajakan Han Kit dia berkata,
Rombongan piauwsu ini mengawal
barang barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk
membantu mereka menyelamatkan barang barang ini sampai ke istana.
Sebaliknya kita melakukan perjalanan bersama mereka.
Alasan itu kuat
sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya, mengangguk.
Tujuh orang piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuaan Khu
Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima Sung dan hendak memperkuat
pengawalan atas barang barang yang hendak disumbangkan kepada Kaisar.
Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di
sepanjang perjalanan, Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan
besar sekali atas diri Han Ki. Dia membenci pemuda yang dianggapnya
sombong itu, akan tetapi entah mengapap dia selalu memperhatikan Han Ki.
Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang
dibencinya itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain
seolah olah tidak tampak lagi olehnya! Karena selalu menaruh perhatian
secara diam diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat perubahan hebat
atas diri Han Ki. Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga
melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu tidak lagi mau
bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat,
duduk menjauh lalu termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang
sekali mau makan kalau tidak didesak desak olehh Tek San yang juga
merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak
kalau ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak permah
tidur, duduk melamun menggigit kuku jari tangan atau menggigiti sebatang
rumput yang dicabutnya dari dekat kaki. Bahkan sering kali Maya
mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang
mengandung rintihan seolah olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa
duka yang ditahan tahan dan hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang
kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung tangannya ke depan
mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis
sungguhpun tak permah ia dapat melihat air matanya.Memang amat berat
penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan
piauwsu tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah olah
ada petir menyambar kepalanya, langsung memasuki jantung Menghanguskan
hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi, kekasihnya itu, akan
dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu satunya di dunia
ini yang dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain
membuat Han Ki merasa tertusuk perasaannya dan ia seolah olah kehilangan
gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu
dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama mencinta, tentu dia akan
dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia.
Akan tetapi, Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja
sudah merupakan hal yang langka, meminangnya akan merupakan hal yang
amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri Kam. Kini,
Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang
melainkan Raja Yucen sendiri! Bagaimana mungkin! ia akan dapat berdaya
memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak mungkin! Habis, apa yang
akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan
dia makin gelisah berduka dan putus harapan.
Keadaan Han Ki yang
makin pucat dan makin berduka, wajahnya selalu murung itu mendatangkan
perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini, melihat keadaan pemuda itu,
lenyap sama sekali rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi
perasaan iba dan khawatir! Ia seakan akan terseret ke dalam lembah duka,
terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali kali secara
berbisik bisik ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun
tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda itu kelihatan begituu bersedih
den untuk bertanya, dia tidak berani. Sebagai seorang yang
berpengalarman, Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han
Ki, kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekall pun tidak
akan membuka rahasianya itu, dan kalau ditanya, tentu akan menimbulkan
ketidaksenangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir, diam diam
mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu
kepada gurunya kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam
sebuah hutan yang bcsar karena hujan turun sebelum mereka dapat keluar
dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu
terdapat pegunungan karang yang banyak guhanya sehingga mereka dapat
berteduh di dalam guha sambil mengobrol di dekat api unggun. Beberapa
orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan
telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu
mulai makan. Seperti biasa, Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari
mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan, malah keluar dari
guha dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun
di bawah sinar bulan yang mulai muncul setdah awan habis menimpa bumi
menjadi air hujan dan angkasa menjadi bersih memburu. Hawa udara malam
itu amat dingin, sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang
duduk dekat api unggun di dalam guha. Namun, Han Ki duduk termenung
tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan kedinginan. Hal ini
adalah karena Han Ki telah memiliki sin kang yang amat kuat di tubuhnya
sehingga dia dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin
dari luar tubuh.
Blarpun sedang melamun dan semangatnya seperti
melayang layang jauh, namun panca indranya yang terlatih itu membuat Han
Ki sadar bahwa ada orang melangkah dekat dari belakangnya. Langkah yang
ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biarpun
seluruh urat syaraf di tubuhnya, seperti biasa, siap menghadapi segala
bahaya.
Paman Han Ki....
Alis Han Ki berkerut makin dalam
sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang
datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang
mengkal. Selama dalam perjalanan semenjak percekcokan mereka dahulu,
gadis cantik itu tidak permah menegurnya, bahkan tidak permah mau
memandang langsung dan cepat cepat membuang pandang matanya kalau
kebetulan pandang mata mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak
dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba tiba datang dan memanggilnya
paman!
Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau? Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu, menunduk.
Memang
kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang
membawa makanan untukmu. Makanlah!Han Ki terkejut dan terheran sehingga
di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik ini
benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak
kecantikannya. Wajah yang tertimpa sinar bulan itu demikian cantik
seperti bukan wajah manusia.
. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya
berdiri menunduk, memandangnya dengan sikap seorang ibu terhadap,
seorang puteranya, dengan sikap hendak menghibur! Panas rasa perut Han
Ki dan ia menjawab ketus.
Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin
makan, masa aku menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah
dan bawa makanan itu, kaumakan sendiri!
Han Ki merasa pasti bahwa
jawaban ini tentu akan memarahkan gadis cilik yang galak itu dan memang
demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu
dia yang sedang melamun. Akan tetapi sungguh mengherankan. Maya tidak
menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di situ memegang
mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
Han Ki, engkau
selalu berduka, tidak makan tidak tidur, wajahmu pucat tubuhmu kurus dan
engkau selalu muram dan layu. Mengapakah?
Han Ki merasa makin
jengkel. Bocah ini benar benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini
berani bertanya tanya tentang urusan yang, menjadi rahasia hatinya!
Kalau dia ingat bahwa anak perempuan yang berdiri di depannya ini adalah
puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
Engkau cerewet benar!
Pergilah dan jangan tanya tanya hal yang tiada sangkut pautnya dengan
dirimu! la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang orang lain
di dalam guha.
Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh!
Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang memaksa kita harus bersuka
atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi peristiwa yang sudah
terjadi merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah
lagi, seperti lewatnya matahari dari timur kemudian lenyap di barat.
Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau
diterima dengan duka, atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak
akan mempengaruhi atau merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa
berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Daripada menangis,
lebih baik tertawa! Daripada berduka, lebih baik bersuka kalau keduanya
tidak merubah nasib!
Han Ki meloncat bangun seolah olah kepalanya
disiram air es! la memandang gadis cilik itu dengan mata terbelalak dan
mulut termganga, hampir tidak percaya bahwa kata kata yang keluar tadi
adalah ucapan Maya.
Kau.... kau.... sekecil ini.... sudah berpendapat sedalam itu??
Maya
tersenyum, girang mellhat betapa ucapannya scolah olah menyadarkan Han
Ki dari alam duka. Aku hanya mendengar wejangan mendiang Ayah.... eh,
Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi peganganku ketika
aku dilanda malapetaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan
Ratu Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi
ayah bunda kandungku sendiri yang tak permah kukenal, telah gugur semua.
Kerajaan Khitan hancur, semua milikku, semua keluargaku, terbasmi
habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat daripada yang kualami? Namun
aku tidak terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku
berpegang kepada wejangan Raja Khitan tadi. Biar aku menangis dengan air
mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku takkan hidup
lagi. Maka, perlu apa menangis?
Sejenak Han Ki memejamkan matanya
dan teringatlah ia akan semua nasihat dan wejangan Bu Kek Siansu,
gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia
benar benar telah bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba
tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua tangan, mengangkat tinggi
tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
Ha ha ha ha! Seorang
paman baru sadar setelah mendengar nasihat keponakannya! Betapa lucunya!
Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang nendang marah. Turunkan aku! Aku bukan anak kecil!
Han
Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar benar anak ini luar biasa
sekali. Sikapnya aneh, kadang kadang bersikap seperti orang dewasa!
Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik! Nah, makanlah!
Han
Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan
dengan lahapnya. Maya pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan
lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki. Pemuda itu baru
sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat
membutuhkan makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang
disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh kekenyangan, dia
merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya
duduk di dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu
betapa Maya membuat api unggun tidak jauh dari situ sebelum
meninggalkannya, masuk ke dalam guha untuk tidur ditemani Khu Tek San.
Semenjak
malam itu, Han K! dapat menguasai dirinva lagi. Dia makan dan tidur
seperti biasa sesuai dengan kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan
semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga pulih. Kini
hubungannya dengan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali
mereka duduk bercakap cakap dan Han Ki menceritakan pengalaman
pengalamannya yang luar biasa di dunia kang ouw, atau kadang-kadang
memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi, tak
mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang
Sung Hong Kwi yang akan dikawinkan dengan Raja Yucen. Kalau teringat
kepada kekasihnya, Mau tidak mau Han Ki termenung. Hanya kelincahan Maya
saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan kegembiraan
di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh
dan pada suatu hari mereka memasuki sebuah hutan besar disebelah utara
tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah yang
berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok
ganas yang menghadang perjalanan yang menghubungkan kota raja dengan
daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini segera memperingatkan
para piauwsu. Para piauwsu itu tertawa dan berkata, Setelah kami
ditemani oleh Khu ciangkun, masa perlu takut menghadapi gangguan
perampok? Nama Gin to Piauw kiok bukan tidak terkenal di antara kaum
liok lim dan kang ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dengan
Ciangkun, pertemuan yang menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat
bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang kawalan kami, dan
keselamatan dua orang keluarga Ciangkun, dapat sama sama kita lindungi!
Mendengar
ini, Khu Tek San hanya mengangguk angguk, di hatinya merasa geli karena
ia tahu bahwa para piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang
dianggapnya sebagai orang yang patut dilindungi! Han Ki yang berada agak
jauh dari mereka, dengan pendengarannya yang tajam sekali, juga
mendengar kata kata permimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan
melanjutkan percakapannya dengan Maya sambil menjalankan kuda perlahan
lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah
tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkingan lengkingan panjang
dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan
kereta kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum
bahwa suara itu adalah tanda-tanda yang dikeluarkan oleh para perampok.
Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah sekali.
Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar
matahari. Tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang golok
melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri agak
melebar mata mereka bergerak gerak mengerling ke kanan kiri penuh
kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek
San juga. meloncat turun dan menggiring semua kuda mereka ke pinggir,
mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah
membawa kudanya ke kanan. meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah
pohon, menunduk. Maya memandang tegang kepada para piauwsu gadis cilik
ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi serbuan para perampok, maka dia
juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di pohon,
kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki, jantungnya berdebar karena
dia ingin sekali melihat bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki.
Akan tetapi, dia kecewa rmelihat Han Ki sama sekali tidak ambil peduli,
bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara
suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh
orang lebih yang dipimpin oleh seorang laki laki berjubah berwarna
merah, mukanya brewok dan matanya lebar dan liar seperti mata singa!
Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain
dikerudungkan di atas kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri
tidak bertopi, rambutnya yang panjang diikat ke belakang dan kalau
semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si
Pemimpin ini bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek
San yang melihat dandanan para perampok, segera dapat menduga bahwa
mereka bukanlah perampok perampok biasa, melainkan pasukan yang
terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam. Dia tidak tahu dan tidak
dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah
menjadi gerombolan perampok. Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka
sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam kalau sudah
berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang
kini telah berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan
Kerait yang terpukul hancur oleh pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai
berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi
gerombolan perampok yang ganas.
Ha ha ha ha! Segerobak benda benda
berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin to
Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara
menggembirakan, juga akan mendapat hadiah segerobak harta! Kakek Brewok
berjubah merah itu tertawa bergelak.
Permimpin piauwsu melangkah
maju, menjura dan berkata. Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu piauwsu Gin
to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat sobat dari
liok lim. Karena kami tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan
lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka memaafkan dan suka
memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku
yang mermimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.
Si Brewok
itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu,
tangan kirinya bertolak pinggang. la mengangguk angguk dan berkata
dengan suara nyaring, matanya yang lebar melirik lirik ke arah kereta,
kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang. 1
Bagus!Bagus! Gin to
Plauw kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan
orang-orang yang tak tahu Kebaikan orang, maka kami tidak akan
mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta dan gadis itu untuk
kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati
dan seorang gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi
kalian,bukan?
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja
mencari perkara, maka Chi Kan, permimpin piauwsu itu menjadi merah
mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, Hemm, agaknya kalian hendak
memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu
sebelum kami mengambil keputusan atas permintaanmu tadi.
Si Brewok
kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. Ha-ha ha! Pantas
kalau kalian belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merobah
kami menjadi begini! Aku adalah bekas perwira pasukan Kerait dan mereka
ini adalah anak buahku!
Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai
seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung, tidak boleh
engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa
barang-barang ini adalah barang sumbangan dari pedagang dan pembesar
setempat untuk pernikahan puteri Kaisar dengan Raja Yucen! kata Chi Kan
yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan
orang orang Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi, permimpin
rombongan piauwski ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa
bergelak mendengar ucapannya dan menjawab. Kebetulan sekali kalau
begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami, dan Kerajaan Sung bukanlah
sahabat kami. Serahkan saja gerobak itu dan gadis cilik itu, dan kalian
boleh pergi dengan aman!
Perampok busuk! Chi Kan menjadi marah
sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya menyambar ke
arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.
Kakek
bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya
bergerak cepat menangkis ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
Krekkk!!
Chi
Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke
belakang, memandang golok peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid
kepala dari Gin to Piauw kiok, akan tetapi dalam segebrakan saja orang
Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan
kosong! Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu
berani maju dengan tangan kosong, kiranya tangannya itu memiliki
keampuhan melebihi golok atau pedang!
Ha ha ha, bangsa piauwsu
rendahan berani membantah perintahku? orang brewok itu berkata sambil
tertawa. Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu
tanding!
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja
tidak akan menyerahkan gerobak yang mereka kawal dan akan melindunginya
dengan nyawa mereka. Adapun Khu Tek San yang menyaksikan kelihaian orang
Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia
karena ketika ia menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar narma
ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan tenaga yang luar biasa.
la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat
itu, maka ia meloncat maju dan membentak
Manusia sombong, akulah
lawanmu! Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya yang
ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja
ia mewarisi ilmu silat yang ampuh ini.
Di antara keturunan Suling
Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri
Kam Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat sian Kiam sut (1lmu Pedang
Delapan Dewa) dan Ilmu Silat Lo hai San hoat (11mu Kipas Pengacau
Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat hebat dan sukar
dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja
sehingga dia menjadi seorang ahli ilmu silat kipas Lohai San hoat.
Ilmu
silat Lo hai San hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biarpun hanya
dimainkan dengan sebuah kipas, namun kipas itu lebih berbahaya daripada
senjata tajam yang bagaimanapun juga. Gagang dan batang batang kipas itu
merupakan alat alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya,
sedangkan kain kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin
yang mengacaukan lawan. Terbuka maupun tertutup kipas itu dapat menjadi
alat penyerang maupun penangkis yang ampuh, apalagi kalau dimmainkan
oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian
hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru
kaget dan sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun sudah mengerti akan
kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak
berani menangkis hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang
kiri menangkis lengan lawan yang memegang kipas karena dia tidak berani
menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan.
Gerakannya cepat dan mantap tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan
tenaganya besar. Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang. Khu
Tek San berlaku hati hati. Dia maklum bahwa lawannya memang benar benar
hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan permutaran pergelangan
tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si
Brewok, sedangkan lengan kirinya sengaja ia gerakkan menangkis
cengkeraman tangan kanan Ganya.
Dukkk! Ganya dapat menyelamatkan
tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu lengan
kanannya dengan lengan kir lawan. Dua buah lengan yang sama kuat dan
mengandung getaran tenaga sin kang bertemu, membuat keduanya terhuyung
ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek
San mermandang kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sin
kangnya, akan tetapi lawan ini agaknya tidak kalah kuat olehnya. Maka
ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru
antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah
bertanding anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu, disambut
oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya.
Perang kecil terjadi dengan ramainya, senjata tajam berdencingan bertemu
lawan, teriakan teriakan dan maki makian saling susul menyeling suara
berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya
berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang
penolongnya itu, permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya armat
kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran melihat betapa Kam Han
Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini
pemuda itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk
menggigiti batang rumput sambil termenung dengan alis berkerut. Memang
saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin sering
diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
Eh, kenapa engkau
malah melamun saja? Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki,
menegur dan mengguncang pundaknya. Lihat, Paman Khu Tek San melawan
seorang yang lihai sekali sedangkan para piauwsu dikeroyok banyak
perarmpok!
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia
hanya menoleh ke kanan memandang pertandingan antara Khu Tek San dan
Ganya. Pada saat itu, seorang anggauta perampok yang agaknya ingin
membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang, kena di,sambar
dadanya oleh ujung batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke
belakang, roboh dan merintih rintih.
Khu Ciangkun tidak akan kalah!
kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk menggigiti
batang rumput. Memang di dalam hatinya, pemuda ini merasa enggan untuk
membantu para Piauwsu menghadapi perampok pcrampok itu. Yang akan
dirampok adalah benda benda yang akan dijadikan barang sumbangan atas
menikahnya Raja Yucen dan.... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu, dia
tidak peduli. Kalau mau dirampas para perampok barang barang yang
menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundaknya. Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!
Han
Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian daripada anak buah perampok
ada yang mendekati gerobak berisi barang barang berharga, bahkan di
antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, Mari kita naikkan gadis
itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!
Kini lima orang
perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri
Maya yang berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han
Ki menggerakkan tangan ke bawah, menggenggam pasir kasar dan mengayun
tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat! Lima orang perampok
yang sudah mendekati Maya. itu roboh berpelantingan ke kanan kiri,
mengaduh aduh karena pasir pasir kasar itu menembus kulit dan menancap
di dalam daging lengan lengan mereka! Perih pedih panas gatal rasanya.
Teriakan teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok
yang berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang
menggenggam pasir. Han Ki telah berhasil membuat dua belas orang
perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak.
Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman
menyambar dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki
dan perampok perampok itu sudah roboh! Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han
Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan
pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka
secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi gentar dan marah.
Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya
terpecah ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya
banyak anak buahnya tanpa melakukan pertandingan. Sebagai seorang ahli
yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam diam menjadi
terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki
kepandaian yang lebih dahsyat lagi daripada orang gagah yang dilawannya.
Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek San dapat
melihat lowongan dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke
arah leher lawan. Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
Krekk! Tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat
mundur sambil bersuit keras memberi tanda kepada anak buahnya untuk
mundur! Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang
masih bertempur itu segera melompat ke belakang dan melarikan diri,
meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh aduh dan
bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali
karena para perampok pergi dan di antara mereka hanya ada dua orang yang
terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan itu,
mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok golok perak mereka untuk
membunuh.
Cring cring cring.... ! Para piauwsu terkejut dan
berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok golok mereka telah
tertangkis oleh kerikil kerikil kecil yang disambitkan secara tepat
mengenai golok mereka dan dengan tenaga yang amat kuat sehingga golok
mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi
mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
Para piauwsu
harap jangan melakukan permbunuhan! Barang barang telah diselamatkan,
lebih baik melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?
Mendengar
teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. Akan tetapi penjahat ini tadinya
hendak merampok gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua.
Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh? Orang orang jahat seperti
mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan malapetaka
kepada orang lain,
Han Ki menggeleng kepala. Belum tentu, Chi
piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya bukan
perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja
pasukan mereka tidak dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi
seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung tidak menikahkan
puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang barang berharga ke
kota raja dan masih banyak kalau kalau lagi, kiranya mereka ini tidak
menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan mereka, karenanya aku pula
yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata,
Cu
wi Piauwsu harap jangan banyak membentak lagi. Kalau tadi Siauw susiok
tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa kalian akan hilang? Mari
kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!'
Para
piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biarpun
mereka masih penasaran karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki
yang merobohkan dua belas orang perampok itu, tidak banyak bicara lagi
dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu
memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama
sekali Maya menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah
rumah besar dan kota yang dihias indah itu. Jelas bahwa kota raja
menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar besaran! Namun, keadaan
kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk
tusuk pedang. Hiasan hiasan indah dengan bunga bunga dan kertas kertas
berwarna warna! itu seolah olah mengejeknya, mengejek atas kepatahan
hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih rombongan piauwsu memisahkan
diri, Khu Tek San mengajak Maya dan Han Ki langsung menghadap Menteri
Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima kedatangan mereka
bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
Suhu..... ! Khu Tek San
berlutut memberi hormat kepada gurunya. Han Ki berdiri lesu dan Maya
juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki laki tua
yang berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran
namun pandang matanya tajam penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini!
Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India kakinya digantung
di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor
ayam, kakek itulah yang mendongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya?
Dan kakek inilah saudara tua Raja Khitan, ayah angkatnya?
Bagus
sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah
melakukan tugasmu dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan
ini.... siapakah dia? Menteri Kam Liong memang tidak ingat lagi akan
anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini
tidak mengenal Maya. Apalagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang
digantung itu dari jauh dan mengira anak dusun biasa.
Maaf, Suhu.
Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak
tertolong oleh Susiok yang amat lihai. Adapun anak ini bukan lain adalah
puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.
Menteri Kam Liong
terbelalak memandang Maya. Aiihhh....! Kasihan sekali engkau Anakku....!
Kam Liong turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan
dirangkulnya anak itu. Aku adalah uwamu sendiri, Maya. .
Akan tetapi
Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini
timbullah rasa tidak senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua
ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian tinggi dan kedudukan tinggi
berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi
keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini!
Tidak, aku
tidak mempunyai uwa tidak mempunyai saudara atau keluarga., Keluargaku
habis terbasmi di Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan hanya
anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku keluarga hanya untuk
menghiburku.
Maya....! Khu Tek San menegur kaget dan marah. Akan
tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam
dan dapat menyelami hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa
hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudara saudaranya di Khitan.
Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya,
melangkah mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu.
Dia memandang kagum. Biarpun dia tahu bahwa bocah ini memang bukan
puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi
puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena mermiliki
watak yang khas dimiliki wanita gagah perkasa Mutiara Hitam, adik
tirinya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya
terhadap gurunya. Dia cepat berkata, Kalau Suhu memperbolehkan, biarlah
Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main
dengan anak teecu Siauw Bwee.
Menteri Kam Liong mengangguk angguk.
Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di rumah Tek San,
Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwakmu?
Aku ingin tinggal bersama Paman Khu jawab Maya tegas.
Kalau
begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu.
Akan tetapi engkau segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang
ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki
Khu Tek San memberi
hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya
sendiri. Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang
cukup mewah. Maya mendapat kenyataan pula bahwa penolongnya ini bukan
sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal ini
bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan
juga terbukti dari sikap para perwira yang bertemu di jalan. Semua
menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman itu.
Para
pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu
Tek San yang sudah tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak
isterinya, menggandeng tangan Maya dan setengah berlari memasuki gedung.
Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan scorang
anak gadis cilik yang cantik jelita pula.
Ayahhh....! Anak
perempuan yang usianya lebih muda dua tahun daripada Maya itu dengan
sikap manja lari menghampiri ayahnya. Tek San tertawa, disambarnya anak
itu dan diangkatnya tinggi tinggi lalu dipeluk dan dicium pipinya.
Ha
ha ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang Kemudian suami
ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan penuh kemesraan
yang tak dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu.
Hanya pandang mata mereka yang saling melekat mesra mewakili tubuh
mereka.
Maya, inilah bibimu! kata Tek San yang melanjutkan. Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang Raja dan Ratu Khitan.
Aihhh....!
Isteri Khu ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya. Anak
ini menahan nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat
betapa Siauw Bwee disambut mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat
akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya Raja Khitan, amat cinta
kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia, tidak punya siapa siapa! Setelah
tangan halus bibinya mengusap rambutnya, dia menjadi makin terharu.
Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee, inilah Cicimu, Maya.
Siauw
Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis
dan ramah kepada Maya, menghampirinya dan memegang tangannya. Enci
Maya....!
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka seKali
kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan kedukaannya, merangkul pundak Siauw
Bwee dan berkata,
Adik Siauw Bwee....!
Enci Maya, mari kita
main main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali,
sisiknya seperti emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya
seperti katak dan kedua matanya membengkak dan menjendol keluar di atas
selalu memandang langit! Dua orang anak perempuan itu tertawa tawa dan
berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi,
barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini
dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman
dan tanpa berkata kata. Tek San melingkarkan lengan kanan di pinggang
yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan jalan memasuki kamar.
Tak
lama kemudian, Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang
duduk berdua dengan Han Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi,
wajahnya pucat dan matanya sayu.
Aku sudah mendengar penuturan Han
ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian. Menteri Kam
berkata setelah muridnya duduk. Memang semua itu telah diatur oleh...
hemmm, Suma Kiat!
Khu Tek San mengangguk angguk. Suhu, kalau tidak
salah dugaan teecu, semua perbuatan yang dilakukan oleh Siangkoan Lee
terhadap teecu, hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?
Menteri itu
menghela napas panjang dan mengangguk. Benar demikian. Orang itu sampai
kini masih saja belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang
meracuni hidupnya sendiri. Diam diam dia telah bersekongkol dengan
pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar
dengan bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap
percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma Kiat masih belum puas juga dan
siasatnya yang terakhir ini benar benar menjengkelkan dan membahayakan.
Siasat
apalagi, Suhu? tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati
khawatir. Mempunyai seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar benar
amat berbahaya karena selain ia tahu betapa tinggi ilmu kepandaian
jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai
pengaruh di antara para thaikam dan menteri menteri yang tidak setia.
Dia
berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja
Yucen! Menteri tua itu menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki
yang menundukkan muka.
Hal itu apa sangkut pautnya dengan kita, Suhu?
Ah,
kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur
siasat untuk merobohkan lawan lawan dan musuh musuhnya. Ketika usaha
muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk menangkap dan
membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah marah
karena dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar
mengapa seorang Panglima Sung diselundupkan untuk menjadi matamata di
Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan jasa jasa baiknya
untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha
menjatuhkan aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yuceng
kemudian membujuk Kaisar agar menyerahkan puteri selirnya yang tercantik
untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia mengusulkan agar
Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!
Khu Tek San mendengar tarikan
napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu.
Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali.
Sudah lama ia melihat sikap Han Ki yang penuh duka, dan kini ia menjadi
makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang.
Karenaengkau
merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi
rahasianya. Ketahuilah, Tek San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan
dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin minta
aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah
didahului Suma Kiat karena aku yakin benar mengapa dia justeru
mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen. Agaknya,
hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan
diketahui Suma Kiat, maka kembali dia melakukan hal itu untuk memukul
Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah aku sendiri
karena Han Ki adalah saudara sepupuku!
Hemm, sungguh mengherankan
sekali sikap Suma goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan
keluarga dengan Suhu? tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus
jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga
memandangnya dengan sinar mata penuh pertanyaan. Memang begitulah,
antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian keluarga. Ibunya bermama Kam
Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki
ini. Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti
Suling Emas. Memang ada hubungan keluarga, dan dia itu masih misanku
sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang keluarga Suma memang selalu
memusuhi keluarga Kami Sungguh menyedihkan kalau diingat.
Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?
Menteri
itu menggerakkan pundaknya. bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat
saja bagaimana perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta
karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan besok akan tiba utusan
dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri,
yaitu utusan untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula,
Tek San, untuk memperlihatkan kepada Kaisar bahwa engkau benar benar
berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan ujian
bagi ketulusan sikap orang orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki
hubungan baik, setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak
akan berani bicara lagi tentang penyelundupan di Yucen. Kalau terjadi
sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunnyai
iktikad baik terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam
perjamuan menyambut para tamu agung itu, Han Ki, sebagai pengawalku.
Tek
San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya,
Han Ki merasa makin berduka, Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut
utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah lagi dia pun harus pula
ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin!
Enci
Maya, aku sudah minta perkenan Ayah,akan tetapi tetap tidak boleh!
Katanya keramaian yang diadakan di istana untuk menyambut dan
menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar sendiri dan para
menteri, para thaikam dan orang orang besar saja. Anak anak mana boleh
turut? Khu Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa kepada Maya yang
membujuknya agar dia minta perkenan ayahnya diperbolehkan ikut menonton
keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek
San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang anak perempuan
yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali
menandakan bahwa dia memiliki kecerdikan, sikapnya tidak manja karena
memang ayah bundanya pandai mendidik. Seperti juga Maya, sejak kecil
Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya.
Berkat ketajaman otaknya, biarpun masih kecil, belum sepuluh tahun
usianya, Siauw Bwee telah memiliki ketabahan dan kepandaian silat yang
membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya tidak rasa kecewa hatinya
ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. Ahh, sayang sekali. Aku ingin
melihat bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri puterinya juga
ingin sekali melihat utusan Yucen. Terutama sekali melihat puteri puteri
istana yang kabarnya cantik cantik seperti bidadari.
Ihhhh, seperti
apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih
cantik daripada engkau, Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang
gadis yang cantik! Siauw Bwee berkata sungguh sungguh sambil memandang
wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.
Aihhh, sudahlah jangan
menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa
saja, maka sekarang, melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin
menonton keramaian sungguh sungguh aku merasa penasaran sekali. Apa sih
buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal baik, Moi
moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan....hemm,
kaudengar baik baik....! Maya lalu berbisik bisik di dekat telinga Siauw
Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya terbelalak. Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?
Dengan ibu jari tangah kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. Akulah yang akan bertanggung jawab,jangan engkau khawatir!
Sambil
tertawa terkekeh kekeh, kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar
mereka dan mengunci pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa,
entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.
Apa yang menjadi dugaan
Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada Muridnya memang tepat.
Peristiwa yangg menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya
rahasianya sebagai mata-mata kemudian tertangkapnya oleh rekan rekannya
sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang
memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini
tidak pernah dapat melupakan sakit hatinya dan kebenciannya terhadap
keturunan Suling Emas. Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee
betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara Hitam, kemudian oleh
Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah
siasat baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk
Kaisar agar mengambil hati Raja Yucen dengan menyerahkan seorang di
antara puteri selirnya.
Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai
bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen. Kalau Paduka
menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga
keuntungan, demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang
didukung oleh para thaikam.
Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan? Kaisar bertanya.
Pertama,
puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang Junjungan yang dihormati
di Yucen dan mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan
sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat menjadi permaisuri. Ke
dua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah
karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka mengangkat
kedudukan Paduka jauh lebih tinggi daripada Raja Yucen. Kemudian ke
tiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi
Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.
Tentu saja
Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau
perjodohan itu dilakukan, terutama sekali karena ia ingin menghancurkan
hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya mempunyai hubungan
cinta kasih dengan puteri itu dan karenanya ingin pula ia menghantam
Menteri Kam melalui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali, ikatan
jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan
perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa apa hanya ikut merasa
germbira bahwa Kaisar hendak mantu, apalagi yang akan mempersunting
Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini dapat diartikan
bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh
musuhnya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan
meriah, bahkan malamnya istana mengadakan perjamuan meriah, untuk
menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen, maka ruangan
yang memang di istana diatur dengan bangku bangku kecil tanpa tempat
duduk karena biasa mereka itu makan minum sambil duduk di lantai
menghadapi bangku kecil terdapat makanan. Mereka terdiri dari dua puluh
orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk
berjajar-jajar menghadapi bangku masing masing merupakan barisan
keliling yang saling berhadapan. Juga Kaisar sendiri bersama menteri
menteri yang berkedudukan tinggi, hadir dalam perjamuan itu, di
antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki
pengawal pribadi Menteri Kam, Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar
penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang lebih
tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima panglima yang
pangkatnya belum cukup tinggi, hanya dipersilakan duduk di ruangan
sebelah, di atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya.
Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut makan minum, ikut
mendengarkan percakapan dan menonton pesta orang orang besar di ruangan
dalam, akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi
perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu maupun dari
pihak tuan rumah berkali kali diadakan penghormatan dengan mengisi cawan
arak dan minum demi keselamatan masing-masing pihak, di sebelah luar,
di pintu ruangan para panglima rendahan, terjadi sedikit keributan. Enam
orang pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang
berpakaian panglima yang bertubuh tinggi kurus berwajah tampan sekali.
Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka menolaknya
untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah marah dan memaki
maki.
Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang
panglima? Aku, adalah seorang panglima kerajaan, masa tidak boleh
menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian
ingin dipecat dan dihukum? Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin
pengawal menjadi gugup akan tetapi berusaha membantah, Maaf, Ciangkun,
akan tetapi hamba.... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah
melihat Ciangkun?
Goblok! Mana mungkin kallan dapat mengenal semua
panglima yang amat banyaknya dan yang banyak bertugas di luar kota?
Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda tanda pangkatnya yang
kupakai! Awas, aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!
Mendengar
disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa
mempersilakan panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi
para panglima rendahan yang tidak diundang ke ruangan dalam ikut
menyambut tamu tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang,
kemudian mereka berbisik bisik, membicarakan panglima muda itu dengan
hati heran. Panglima yang masih begitu muda yang tampan sekali, bertubuh
jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu berani
mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah
beberapa kali lipat melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi
dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang
lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus
Maya membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat
penjagaan dengan menyamar sebagai seorang panglima, menggunakan pakaian
Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng limu
silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi mereka untuk
penyamaran itu. Maya berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh
mereka yang bersambung ini setelah ditutup pakaian Khu Tek San berubah
menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan
sekali, wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabuhi penjagaan terakhir
di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali. Pakaian luar
panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang
anak perempuan yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di
bagian paling depan sehingga mereka dapat menonton ke ruangan dalam di
mana Kaisar sedang menjamu tamu tamunya! Para panglima yang melihat
munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka, menjadi heran dan ada yang
menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah.
Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir di situ, dan aku adalah
keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka
dan ditempatkan di sini. Apakah Cu wi Ciangkun berkeberatan?
Memang
hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat
berdiplomasi dan menggunakan kata kata yang menyudutkan para panglima
itu. Tentu saja tidak ada scorang pun di antara mereka berani menyatakan
keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apalagi keponakan
Menteri Kam! Bahkan mereka tersenyum senyum gembira karena dua orang
bocah itu biarpun masih keeil, merupakan pemandangan yang menarik dan
memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen
sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan mulai
lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar,
bersikap tenang saja dan beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma
Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara Yucen. Sejak tadi
Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang
tamu agung, bahkan sering kali berbisik bisik, kelihatannya akrab
sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam sebagai pengawal
tidak bergerak seperti arca, akan tetapi sinar matanya kadang kadang
layu kadang kadang berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja
Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan tenang.
Tiba tiba panglima
besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, bercambang bauk,
matanya tajam dan sikapnya gagah sekali, berpakaian perang yang megah
mewah, mengangkat tangan ke atas dan memberi hormat dengan berlutut
sebelah kaki ke arah Kaisar, suaranya terdengar garang dan keren,
Perkenankan
hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak
menteri dan jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba
rasa kegembiraan malam ini takkan kita rasakan bersama, akibat perbuatan
seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen. Hamba
sebagai utusan Sri Baginda di Yucen, sama sekali tidak menyalahkan
Kerajaan Sung, karena hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi
hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolah-olah lebih
berkuasa daripada kaisarnya sendiri!
Semua yang hadir menahan napas,
menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung berdebar
karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa
yang dimaksudkan oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek
San saling pandang sejenak, akan tetapi keduanya masih bersikap tenang
tenang saja.
***
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya
mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab, lidahnya
terasa berat. Tiba tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata,
"Tai ciangkun dari Yucen benar benar seorang yang jujur dan berhati
polos! Setelah Tai ciangkun tidak menyinggung atau menyalahkan Kaisar,
sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak
membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.
Ha ha ha,
Suma goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang
kami maksudkan adalah Menteri Kam Liong, yang telah melakukan perbuatan
tidak patut sekali, mengirim muridnya dan menyelundupkannya menjadi
panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata mata! Bukankah
perbuatan itu amat
bersambung 3...........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar