Rabu, 15 Mei 2013

Istana Pulau Es [3]

busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini, dan seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar, sudah menghadang ke depan dan melintangkan tombaknya memandang panglima tinggikurus itu.
Eh, eh, mau apa engkau? Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah maju mendekat. Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan semua orang memandang terbelalak ketika tiba tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi tubi mengirim tendangan dan pukulan.
Buk buk....! Pukulan pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki tangan itu? Biarpun pukulan pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yocen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit memandang panglima berdiri dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
Beginikah caranya menerma utusan kerajaan calon besan?
Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tiba tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap dipertahankan.
Kaisar mengangguk.
Cu wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang diajukan oleh Te i ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan.
Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin malu kerajaan? Tiba tiba Suma Kiat berkata marah.
Pertanyaan yang tepat! Panglima Besar Yucen berseru. Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun kepada Hong siang!
Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengar robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari perut panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah! Maya, segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu semua panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti akan tatasusila istana, dermikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
Siauw Bwee.... ! Khu Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.
Siapakah mereka ini?
Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak anak yang tidak tahu apa apa. Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.
Kaisar mengangguk angguk. Pantas,pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong! Sambil tertawa Kaisar berkata.
Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini! Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali, Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah appel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar pendekar wanita yang hebat! Kaisar berkata. Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini.
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguhpun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biarpun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapapun juga, telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata matai kami!
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. Tuduhan Tai ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadl panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan mengirim penyelidik penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga, dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula penyelidik penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai mata mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.
Panglima Besar Yucen tertawa. Kiranya Kam taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan terus, seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi? Panglima Yucen itu mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kamtaijin juga akan menyelidiki bola besiku ini! Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong! Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sin kang Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah t1dak berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sin kang seperti itu hanya merupakan permainan kanakkanak bagi gurunya.
Memang dermiklanlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, Tai ciangkun. Bola besi ini memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini sesungguhnya!
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong potong pisau tajam dan kini delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sin kang yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini maka dia lalu berkata.
Hebat sekali kepandaian Kam taijin. Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belurm dibicarakan selesai. Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa amat khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya Itu. Kalau ia, pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa yang terjadi akhir akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall. Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina. Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak berani berterang.

***

Susiok couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana....? Dalam perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
Aihhh! Kau benar benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kausebut Susiok couw? Benar benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu! Maya mencela.
Habis bagaimana? Siauw Bwee membantah, Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku menyebutnya Susiok couw! Atau Susiok kong?
Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki! Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum. Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.
Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko. Maya berseru girang.
Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami? Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir....
Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?
Maya mengangguk. Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, Engkau tahu apa?
Maya tersenyum. Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. Maya! Dari mana kautahu?? Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar jendela kamar! Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan keluar yang Menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?
Han Ki terbelalak. Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!
Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguhpun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku.... eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu daripada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran heran akan tetapi harus ia akui bahwa nasihat Maya itu cocok benar dengan isi hatinya! Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.
Maya bertolak pinggang. Koko engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan omonganku, mengapa pakai pura pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu sebelum terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kautemani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri, bukan, Adik Siauw Bwee?
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar! Setelah berkata demikian, Han Ki cepat cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
Awas dia! Kalau bertemu lagi denganku! Maya membanting banting kaki dengan gemas.
Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya? Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.
Hebat apanya, manusia sombong itu! Maya mendengus marah. Mari kita pergi, Siauw Bwee.
Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak.
Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka melihat seorang laki laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah sekali, akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu Negara, Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah olah dia tidak mengenal kakek ltu. Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata,
Anak anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama kami!
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul gerakan Mayaq mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.
Buk! Bukk! Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena larmbung dan perut yang mereka pukul, itu seperti bola karet yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang menuju ke sungai yang armat dalam. Akan tetapi, tiba tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan telah menanti dua orang laki laki diatas perahu. Mereka inilah yang menyambar tubuh mereka.
Bawa mereka pergi sekarang juga! terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa bengcu yang berulang tahun. Haha ha!
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat melihat muka. dua orang laki laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi, barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang laki laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.
Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?
Dua orang laki laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,
Kami hanyalah pelaksana pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami harus menaati perintah atasan.
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan berkata. Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen? la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus dengan kata kata, Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang orang Han? Mengapa kini mermbantu kerajaan asing?
Kau anak kecil tahu apa!! Tiba tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya tadi.
Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang lalim. Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi permerintah Sung? Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah meMalukan di dunia kang ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.
Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau kalau kami akan membunuh kalian?
Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata katanya lebih runcing daripada pedang dan lebih tajam daripada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki laki itu.
Bocah, engkau benar benar bermulut lancang! bentak yang bermuka kuning.
Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami? tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. Terima kasih, kata Maya. Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin karmi dapat menang.
Kami pun tidak suka, membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!
Maya mengangguk angguk. Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kaubawa ke manakah?
Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan, kata Si Tahi Lalat. Entah apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal hal yang amat tidak menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan sumbangan sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan surmbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po hai.
Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik? Maya mendesak terus.
Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana kata Si Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.
Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?
Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata, Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kallan berdua tidak akan lancang menawan kami, biarpun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.
Dua orang laki laki itu kini memandang penuh perhatian. Siapakah kalian ini?
Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan! Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat.
Kami hanya melakukan perintah! Dengan kata kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu, kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu tamu penting karena mereka adalah tokoh tokoh kang ouw dan liok lim. Tokoh tokoh golongan putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu. Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita keadaannya. Coa bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang ada tokoh kang ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh tokoh di seluruh dunia kang ouw dan liok lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa bengcu amat suka kepada orang orang muda, baik laki laki maupun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik cantik, untuk dididik menjadi murid murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im yang kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biarpun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im yang-kauw terbasmi kocar kacir dan lenyaplah perkumpulan Im yang kauw, yang hanya namanya saja perkumpulan yang menentang permerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im yang kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur, untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang orang sakti sehingga kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak sehingga akhinya terkenallah sebutannya Coa bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa bengcu ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im vang kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po hai, terdapat sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai halaman yang armat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat tinggal Coa bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang tahun Coa bengcu.
Tuan rumah Coa bengcu sendiri, telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau wakil berbagai partai, juga para tokoh kang ouw dan liok lim yang datang sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan sumbangan. Isteri Bengoi, seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun, cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu ini pun bukan orang sembarangan melainkan seorang murid Hoasan pai, duduk di samping suaminya sambil tersenyum senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua golongan itu. Adapun putera tunggal Coabengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu, yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang barang sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi kursi yang telah disediakan, menerima hidangan yang dilayani oleh anak anak buah Coa bengcu, pemuda pemuda dan pemudipemudi yang tampan tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan vang cekatan sekali.
Biarpun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok lim, golongan bajak, perampok dan orang orang yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayan pelayan wanita yang cantik cantik itu karena sermua orang maklum belaka bahwa pelayan pelayan itu adalah anak buah atau murid murid Coabengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong terbuat dari batu batu kermala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada pula senjata senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang orang yang menyumbangkan benda benda luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru dengan suara nyaring,
Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada Coa bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu menerimanya!
Coa bengcu memandang orang itu lalu tertawa. Ha ha ha, Tho te kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.
Kiang Bu yang berjuluk Tho tee kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya, kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
Apa.... apa maksudmu ini? Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba tiba Coa bengcu tertawa girang,Ha ha ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho tee kong. Aku telah mengenal kepala Bhe ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing anjing agar digerogoti habis!
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar benar amat berharga karena Si Malalkat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa bengcu! Perwira She Bhe yang berkuasa di pantai Po hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah olah melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa bengcu, memberi hormat dan berkata,
Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, Mereka menanti jawaban!
Barulah Coa bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada. Ha ha ha,sungguh Pek mau Seng jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan apakah yang dikirim Pek mau Seng jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?
Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan inilah! Kata Si Tahi Lalat. Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua. orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih besar ini bermama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khtan, sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!
Terdengar seruan seruan kaget di sana sini, dan wajah Coa bengcu yang tadinya memang sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. Sungguh merupakan hadiah yang tak termilai harganya! katanya kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, Puteri Raja Khitan....? Puteri Panglima Khu....?
Tiba tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San ayahnya! Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang ho perbatasan Propinsi Shan tung.
Puteri Khitan itu patut dibunuh! Tiba tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka di kalangan kamil Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya. Akan tetapi dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat jiu Sin kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin kauw ini adalah murid dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai lek Kauw ong, seorang di antara lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula! teriak yang lain.
Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya! teriak yang lain.
Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredap terdengarlah suaranya lantang, Aku mengerti apa yang terkandung di hati Saudara saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda benda yang amat berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan sayembara! Memang Coa bengcu ini orangnya cerdik sekali. Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia harus menganadalkan bantuan orang orang pandai ini, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang manapun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para tamunya. Kalau dia, berikan begitu saja, selain dia, merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian, masih ada harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara? Beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa bengcu tertawa. Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang orang pandai seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu wi sekalian?
Setuju! Akur! Tepat sekali! Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan Siauw Bwee. Adapun tokoh tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan mereka yang menaruh dendam kepada nenek moyang anak anak itu.
Kembali Coa bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam, tiba tiba terdengar Maya berkata.
Kalian ini orang orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku, tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Beginikah sikap orang orang gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang t1dak mengenal prikemanusiaan?
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa bengcu berkatat Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan, tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita sermua menerima sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat syarat yang berat lebih dulu. Hanya mereka yang memenuhi syarat syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa bengcu membisikkan perintah kepada murid muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa. Pemuda-pemuda itu adalah orang orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata sambil tersenyum. Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan menguii mereka, sungguhpun aku benar benar meragukan kebiasaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka yang benar tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apabila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang! Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa bengcu yang pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu, menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan.... ia telah berhasil mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalarm beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang amat kuat itu.
Cu wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini, adapun syarat ke dua adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit itui Setelah berkata dermikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.
Cuat cuat cuat....! Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi! Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku paku itu lalu ia turun kembali, kakinya, menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah mendemonstrasikan ilmu gin kang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
Sekarang kami mempersilakan Cuwi mencoba, kata Coa bengcu sambil melangkah kermbali ke tempat duduknya.
Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat melarikan diri, setelab dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi malah kini mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa bengcui Kalau tidak bisa lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu malu dan tanpa permisi Maya menyarmbar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang orang yang menyaksikan sikap Maya ini, diam diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut turut mencoba untuk mengangkat singa besi. Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati pundak. Yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengelurkan suara ah ah uh uh dan menarik narik singa besi itu sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan ermpat orang berturut turut empat orang yang kelihatan kuat sekali hati, para tamu menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu sedikit banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang orang yang memang memiliki kepandaian tinggi!
Hemm? biarkan aku mencobanya, Terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang ho yang dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi Itu sampai ke atas pundaknya, kermudian cepatia melepaskannya kembali singa besi jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biarpun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena, dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya. Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa bengcu, harap kau jangan khawatir.
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hmpir saja ia gagal kalau tidak cepat cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri seri, mulutnya, tersenyum senyum penuh aksi, apalagi kalau dia memandang ke arah gadis gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tarmu dan kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat buat, berlenggang lenggok meniru langkah seekor harimau supaya kellhatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tubuhnya gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
Heh heh heh, maafkan....! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi, karena sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai lek Siauw hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).
Melihat sermua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya, kemudian ia membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja,menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
Uhhh.... brooooottt!!
Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkal pingkal dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos keluar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar!
Biarpun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti seorang iagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke arah paku paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui dinding seperti seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi tinggi!
Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk angguk. Si Gendut itu biarpun tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin gin kangnya tidak setinggi Coa bengcu, namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal ini menandakan bahwa sin kang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada dinding seperti telapak kaki cecak!
Aihh, aku suka kalau dia yang menang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut, bisik Siauw Bwee yang masih tertawa tawa ditahan.
Hussh, siapa sudi? Jangan jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa keluar! jawab Maya.
Ihhh....! Jijik....! Keduanya tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan. Dua orang anak perempuan yang masih kecil dalam keadaan seperti itu menjadi tawanan, bahkan dijadikan barang sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, masih enak enak makan minum dan tertawa tawa melihat kelucuan Thai lek Siauw hud Ngo Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak anak lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah mati!
Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat jiu Sin kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan hanya Pat jiu Sin kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcut kemmudian menurunkan semua paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian melontarkan paku paku lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para tokoh partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedang kan tokoh tokoh kaum sesat tidak mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!
Kini terkumpul sepuluh orang bersama Coa bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka dan berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan dengan Coa bengcu bagaimana pibu akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melainkan berjalan pelahan ke pintu.
***
He. ke mana kalian mau lari? Tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan mendengar ini, Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan murid-muridnya, juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap! Mereka mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perempuan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak-teriak. Akan tetapi, dua orang anak perempuan itu berlari di kanan kiri Si Kakek yang rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, kesemuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tubuh belakang kakek itu, tepat sekali, dan anehnya, tidak sebatang pun mengenai punggung Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata rahasia yang dilontarkan dengan tenaga sinkang dan yang tepat mengenai tubuh belakang Si kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya, semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran, menjadi gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian besar mengandung racun. Namun, tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak sebuah pun senjata rahasia melukai punggungnya. Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling pandang dengan mata terbelalak.
Siancai....! Kiranya di dunia ini hanya satu orang saja yang memiliki kepandaian seperti itu....! Seorang tosu yang menjadi tamu berkata lirih.
Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.
Suling Emaskah....?
Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu, beliau adalah.... Bu Kek Siansu....
Aihhh....! Mana mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih percaya kalau dia tadi adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!
Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan berdepan. Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya memang benar dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu....
Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis sayembara ditiadakan. Betapapun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?
Maya dan Siauw Bwee masih terheran-heran dan mereka melongo menmandang wajah kakek berambut panjang putih yang menggandeng tangan mereka. Tadi, ketika mereka ketahuan dan dikejar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik keluar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih telah mendengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya? Mereka berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah? Ataukah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada sekumpulan manusia sesat tadi!
Kong-kong (Kakek), engkau siapakah? tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang ke depan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang.
Maya menjadi curiga dan tidak sabar. Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami, mengapa engkau membawa kami lari dari mereka?
Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.
Enci Maya, jangan-jangan dia tuli! Siauw Bwee berkata tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.
Hemm, kalau hanya tuli masih untung! jangan-jangan dia ini malah lebih jahat daripada Bengcu dan kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia Iblis! kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.
Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah kepada tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu.
Ohhh....! Siauw Bwee melongo.
Ahhh....! Maya juga berseru dengan mata terbelalak! Kedua orang anak perempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing, akan seorang manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa, bernama Bu Kek Siansu yang muncul dan lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari, bersumber daripada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut. Mereka mentaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika para peronda itu, perhatian mereka terpecah dan kesempatan itu dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar keras dan ia tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain, bahkan di halaman tamu istana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati dia menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat. Hebat bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata Maya, biarpun dia itu masih belum dewasa. Kalalu memang Hong Kwi mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa!
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar, dia melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dangan hiasan rambut terbuat dari permata, terhias mutiara, yang membuat kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehingga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat ini, teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki! Dia mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu dan berkasihkasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu!
Han Ki-koko....! Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pelayan yang paling dikasihi dan setia kepada nona majikannya, berlutut dan mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis sedemikian sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. Dewi pujaan hatiku.... kekasihku....,
Hong Kwi....!
Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan, ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada di dekat didepannya, matanya yang basah terbelalak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Kemudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. Koko.... ah, Koko....! Aku.... aku telah....
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya, dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata mengalir deras sambil berbisik.
Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini....
Aduh, Koko.... bagaimana dengan nasibku....? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta, saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana....? IA tersedu kembali.
Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!
Aihhh....! Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh selidik, Kaumaksudkan.... minggat?
Mengapa tidak? Bukankah kita saling mencinta?' Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. Kita pergi bersama, takkan saling berpisah lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu sebagai suami yang mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, , Hong Kwi....!
Tidak! Tidak bisa begitu, Koko....! Aku lebih baik mati. Lebih baik kaubunuh saja aku sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi....? Koko, kaubunuhlah aku....!
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya adalah seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hon Kwi kekasihku?
Ada jalan yang lebih baik Koko! Tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan, merah jambon berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya, berseri-seri aneh. Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh siapapun juga. Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini, Koko... ambillah tubuhku.... barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau tubuhku dimiliki orang lain, secara paksa!
Han Ki meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya memandang wajah gadis yang dicintanya itu.
Bagaimana, Koko....? Apakah.... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku terakhir ini? Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul pinggangnya sehingga tubuh mereka merapat.
Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku.... ah...., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji dan kotor! Lebih baik aku mati daripada mengotori dirimu yang murni! Tidak, betapapun besar hasrat hatiku, betapa darahku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan sepenuhnya, betapa nafsu berahiku terhadapmu! sudah hampir menggelapkan mataku, namun.... aku.... aku tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi!
Kalau begitu, bagaimana baiknya.... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita.... Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup bersama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Adapun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang lakl-laki hinadina, setelah melakukan pelanggaran suslia, menikmati pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apalagi terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didunia ini!
Aduhhh, Koko.... bagaimana baiknya....?
Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapapun murni cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita.... ah, Hong Kwi.... Dua orang yang dimabok cinta dan kedukaan itu, seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
Aduhhh.... Sri Baginda datang.... Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pelukannya.
Koko....! Cepat.... Bersembunyi.... Hong Kwi berseru lirih.
Di mana....? Lebih baik aku pergi saja....
Jangan! Kau bisa ketahuan dan.... dan kita celaka! Lekas.... kolam itu, kaumasuklah dan bersembunyi di bawah daun teratai....
Karena kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluarkan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman.... eh, kau.... habis menangis? Kaisar menegur puterinya dengan suara keren dan marah. Memang Kaisar tahu bahwa puterinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan penasaran. Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang pengganggu kesusilaan!
Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
Apakah ada orang luar masuk ke sini malam ini? Kembali Sri Baginda bertanya dengan suara keren.
Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.
Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi? Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.
Ham.... hamba ti.... tidak melihatnya.... Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di atas tanah di depannya.
Periksa semua tempat di sekitar sini! Kaisar memerintahkan para pengawalnya yang segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat gelap dengan lampu-lampu yang mereka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
Mulai saat ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar. Mengerti? Kaisar membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk. Para pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus dan meninggalkan taman itu diiringkan para pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani bangkit berdiri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri dengan muka, rambut dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.
Hong Kwi....! Ia berkata lalu meloncat keluar.
Koko.... ahhh...., hampir saja....! Aku harus segera masuk. Han Ki-koko, selamat berpisah, selamat tinggal.... sampai jumpa pula di akherat kelak.... puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayannya yang juga menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
Hong Kwi.... ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung sepasukan pengawal Istana yang dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi istana!
Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu aku pula karena biarpun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlututlah engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!
Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri, karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang hanya satu kali itu, Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menjawab.
Goanswe, perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi, biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga, apalagi namamu!
Wajah Suma Kiat menjadi merah saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belasan tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat berat yaitu berani menyelundup ke dalam taman istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen Pula, saat ini dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa pemuda itu benar-benar berada di taman sehingga menangkap atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.
Kam Han Ki manusia berdosa! Setelah engkau melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling, apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara? Kembali Suma Kiat membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah tertangkap basah ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam telinganya.
Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat pun.
Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta, dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah, Karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak bersalah karena itu dia tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan Istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia meloncat hendak lari, mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.
Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau maling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki Hong-siang agar menerima hukuman! Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia melakukan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma, tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam? Dia akan mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa membunuh orang.
Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe! katanya gagah sambil mencabut pedangnya juga.
Apa? Kau hendak melawan? Serbu! Suma Kiat berseru dan mendahului kawan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher. Ilmu kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu membuat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang sedangkan totokan jari tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan berbahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!
Cringgg....! Dukkk! Han Ki yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya sehingga dua pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya bertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang amat kuat. Namun ia berseru keras dan menyerang lagi, dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua senjata para pengeroyok terpukul mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun, pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuhnya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata. Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman serangan ke arah kepala para pengeroyoknya. Demikian ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang. Kesempatan yang amat baik, pikir Han Ki dan sekali ia mengenjot tubuhnya sambil menangkis serangan susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
Penjahat cabul hendak lari ke mana? Terdengar bentakan keras dan sebatang tombak menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
Cringg.... tranggg.... wuuuttt! Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi, terbukti dari serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati Istana karena untuk lari ke pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya.Siuuttt! Kembali Han Ki harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya kuningan yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak ke kanan kiri dan mengerahkan tenaga lalu membabat dari samping.
Tranggg! Bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya terguling lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu, Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya, telah mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki dikurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok karena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapapun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokah begitu banyak orang lihai sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia memang menerima gemblengan seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu sllat yang amat tinggi, bahkan telah mempelajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran, apalagi dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai!
Namun, harus dipuji keuletan pemuda ini. Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-kadang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang menggunakannya dengan pengerahan sin-kang untuk mendorong pengeroyok sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya, merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin
pengeroyokan ini, berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pasukan pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu membekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada belasan orang anak buah pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalukan!
Panggil semua panglima yang berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana! bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han KI masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi, kering kembali melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata lawan dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
Habis aku sekali ini.... keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai malam terganti pagi! Telapak tangannya yang memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana! Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan tetapi kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat membatasi jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau setidaknya bersembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dikabarkan ada orang sakti mengacau istana hanya untuk menyikat hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di dapur sampai berpekan-pekan?
Dia harus dapat menyelinap ke Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang berloncatan ke sana sini seperti orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya.
Awas senjata rahasia! bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup! Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki istana. Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlomba memasuki istana, ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh tubuhnya berdenyut-denyut saking lelahnya dan setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata lawan. Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang menge jarnya. Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
Kita harus mengepung seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa menghilang seperti setan! Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali. Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wanita yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri dengan mata terbelalak.
Jahgan menjerit! Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon perlindungan....
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu. Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?
Benar, hambalah orang itu!
Siapa namamu?
Hamba Kam Han Ki....
She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?
Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba....
Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembuny di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus, Siapa di luar?
Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam! terdengar jawaban dari luar.
Masuklah, daun pintu tidak dikunci, jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya? tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata, Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar. Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.
Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya! kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan kini, di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!
Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu! Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
Rrrrtt.... cring-cring....! Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga. Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung. Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkangnya saja maka tulang lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu enak bagi Han Ki yang dibencinya! Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apalagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya yang tentu dianggap mengacau Istana dan dianggap berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat mematikan rasa sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apapun juga.

***

Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan.

Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak, mereka berpisah. Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan Istana bersama Maya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
Apa....? Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok! Panglima ini berkata dengan suara keras. Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi, malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul, karena waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.
Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di Istana, tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan muka gelisah.
Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?
Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu....
Apa....? Menteri tua itu menjadi terkejut.
Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok, akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap Suhu mohon petunjuk.
Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya berkata lirih, .... mengapa.... mengapa....? dan ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan.
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata, Harap Suhu tunggu saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan.
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan.

Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, Aku harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku....
Suhu....! Tek San berseru kaget.
Menteri Kam Liong memandang muridnya yang setia. Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu saja aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee. Kaupulanglah!
Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.
Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakan besok. S i Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga, Han Ki tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama dia menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Adapun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda.
Tek San kaget sekali. Akan tetapi.... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?
Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir pada malam hari itu.
Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!
Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini, mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.
Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.

***
Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apalagi melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.
Akan tetapi.... keluargamu?
Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.
Tapi.... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai....
Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima daripada seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk mengatur siasat malam nanti.
Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya, dengan isterinya yang berwajah pucat dan mata merah, karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehingga apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
Gu Toan, kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.
Hamba mengerti, Taijin.
Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau boleh cepatcepat memberi kabar ke Go-bi-san, kaucarilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?
Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala. Nah, kau berkemaslah, kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat keluar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka dan kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian bahu, dengan dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan tetapi mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.
Maaf.... hamba.... hamba tidak tahu.... Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami! kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
Bu.... buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh.... Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet? Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....
Bukalah! kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada suara Khu-ciangkun. Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.
Mendengar ini, penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh pulas di tempatnya.
Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget.
Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
Plak! Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.
Tek San! Cepat, kaupondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar! Menteri Kam yang biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar pintu kamar tahanan.
Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri! Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana. Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!
Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!
Tek San, ikuti aku! Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.
Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri! Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata dan di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan mata.
Trangggg, tringg.... cringggg....! Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.
Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang! Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling emasnya menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.
Karena maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan kalau mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota taja tentu mereka terancam bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar deri kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pesukan, juga memerintahkan agar pasuken-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan keluar dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.
Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi! bentaknya berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh bernyawa! Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.
Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kaubebaskan! Teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan ketat.
Tek San! Lari....! Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
Wirrr.... wirrr....! Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.
Namun, pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan diri keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi, dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca! Kam Liong berkata kepada muridnya. Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan! Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
Suhu....! Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
Hemm, bicaralah! Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
Cet-cet cettt....! Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
Keparat! Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka termakan piauw mereka sendiri.
Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
Jangan cerewet! Cepat lari! Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
Kejar....
Tangkap....!
Bunuh mereka semua....! Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
Tring-tranggg....!
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat! Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
Cringgg....! Dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!
Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau! Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
Tranggg....!
Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya
Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca! Kam Liong berkata kepada muridnya. Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan! Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
Suhu....! Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
Hemm, bicaralah! Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
Cet-cet cettt....! Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
Keparat! Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas genteng itu, dahi mereka termakan piauw mereka sendiri.
Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
Jangan cerewet! Cepat lari! Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
Kejar....
Tangkap....!
Bunuh mereka semua....! Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
Tring-tranggg....!
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat! Tek San membentak marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
Cringgg....! Dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biarpun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku. Berlututlah!
Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau! Khu Tek San berseru marah dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
Tranggg....!
Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
Cett! Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
Keparat, hendak lari ke mana kau! Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglimuntuk menggunakan pedang menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
Cett! Darahnya muncrat keluar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
Keparat, hendak lari ke mana kau! Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!
Trik-trik! Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
Suhu, awas.... Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini, membantu muridnya.
Tek San, lari....! Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.
Biarpun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu gerbang ini!
Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!
Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima lalu memasuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang perajurit pengawal, akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua pedang akan tetapi daun kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan tercuci darah puluhan orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai. Akan tetapi, karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi, muridnya belum begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi, yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya berkunang. Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apalagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka di beberapa tempat dan,seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut. Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak ada artinya baagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi, Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang, hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.
Tek, San awas anak panah....! Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya. Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil, menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!
Suhu....! Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.
Ayahhhh....! Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
Pek-hu....! Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan, tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.
Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....! Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan pergelangan tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang mendorong mereka mundur. Dengan tenang, kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, berkata lirih.
Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi? Sungguh mengherankan, dua orang perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.
Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua renta itu mengangguk-angguk. Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga mereka,
Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata,
Hamba mohon petunjuk.
Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang sekali dan membuka semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa dalam saat yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah pekuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan, dan sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya besar, namun sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat merobohkannya!
Dengan langkah tenang, Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka. Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat tahanan.
Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee dan dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat.
Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan, purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus.
Han Ki....
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya den Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
Suhu....! Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.
Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu? Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi tanggunganmu. Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan. Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha batu karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.
Pulau Es....? Han Ki berdebar tegang.
Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri.... kakek itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.
Suhu hendak ke manakah? tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee.
Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya? Maya berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.
Bertanyalah selagi ada kesempetan, Maya. .
Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?
Kakek itu tersenyum den memandang kepada Han Ki. Jawabannya boleh kaudengar dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal dapat kautanyakan kepada Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.
Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.
Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.
Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku, terutama terhadap.... Cinta....! Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah tebing!
Suhu....! Han Ki berteriak kaget
Suhu....! Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan di atas tanah saja, terus ketimur.
Suhu....! Mereka berteriak.
Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.
Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu.
Maya dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, Suheng.... Suhu pergi ke manakah?
Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?
Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya. Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee. Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata,Suheng, aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!
Han Ki terseayum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa kelak akan sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.
Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan bere s, katanya perlahan.
Engkau adalah suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi Khusumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku sucinya.
Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu. Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus melindunginya.
Tentu saja! jawab Maya cepat, Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.
Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?
Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua.
Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, Siauw Bwee sumoi, bagaimana pendapatmu?
Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.
Mendengar ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya. Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluarganya berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.
Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita berlomba! Maya berkata dan menantang Siauw Bee.
Baik, marilah, Suci! Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin. Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil memperhatikan cara mereka berlari cepat.

***

Ke dua orang gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak lelah, Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.
Wah, kalau kalian beriari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng tangan kalian, Sumoi! Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan ginkangnya dan beriari cepat sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka tadi.
Suheng, larimu cepat sekali! Maya berseru kagum.
Seperti Suhu ketika mermbawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini? Siauw Bwee juga berkata.
Inilah yang disebut Cio-siang-hui! jawab Han Ki.
Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku! Maya berseru dengan kagum karena ilmu terbang di atas rumput ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.
Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua. Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri. Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak seperti tadi, hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadinya mentaati pesan suhengnya dan memejamkan mata. Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.
Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!
Melihat betapa kedua orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhunya untuk mengambil
murid dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapapun pandai seseorang dalam ilmu silat, kalau dia tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.
Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di, depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!
Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi sehingga biarpun menggandeng dua orang sumoinya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara guha-guha ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil namun cukup untuk tempat berteduh dari terik matahari.
Ini perahu Suhu! Han Ki berseru girang. Marilah!
Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan mendorongnya ke atas air laut.
Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali. Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.
Han Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk. Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menyelidiki ke kota raja kelak, akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.
Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!
Kim Haa Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. Hemmm.... orang tuamu gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?
Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!
Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan tiga negara,. bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam perang! Diam-diam ia merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoinya yang seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apalagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan saudara sepupunya pula, maka ia hanya berkata tenang, Cita-citamu itu. amat sukar dilaksanakan, akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi.
Dan engkau sendiri, bagaimana urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen itu, Suheng? Tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apalagi yang menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan sucinya, ketika sucinya memandang, ia berkedip dan menggerakkan muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanyaannya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, mengangkat sedikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya mendayung, mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menyanyikan sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengarkan dengan kagum karena suara Maya memang merdu sekali, apalagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan, dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu. Han Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba tadi, ketika mendengar nyanyian ini, merasa makin nelangsa, pikirannya melayang-layang dan teringatlah ia akan segala yang terjadi semenjak mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya. Teringatlah dia akan nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan menyadarkannya sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya membuat ia terkejut dan terpukul, terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas oleh orang lain!
Hong Kwi....! Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian selamanya jangan menyebut-nyebut lagi namanya....
Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu.
Baik, Suheng, jawabnya.
Baik, Suheng, kata pule Siauw Bwee.
Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan , maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air laut mengumandangkan nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoinya, karena kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan. Kini Han Ki dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda dan berdarah panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat neenahan diri dan akan menimbuikan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain, dan dia harus dapat melupakanya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
Hei....! Ikan banyak sekali....! Tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki memandang dan memang benar. Di dalam air, tersinar bagai matahari, tampak banyak ikan sebesar paha berenang ke sana ke mari banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati dan ketiganya tidak menggerakkan dayung membuat perahu terhenti dan mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Karena matahari sudah naik tinggi dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah mempesonakan.
Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini; kata Siauw Bwee.
Itu ada perahu datang! Han Ki berkata. Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali. Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang laki-lakiyang berkepala gundul.
Seperti seorang hwesio! kata Siauw Bwee. Bukan, bantah Maya. Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio tidak berjubah?Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. Bukan hwesio. Akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya kecil melintang.
Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik.
Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang, perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sampai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk dl luar bibir perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya, muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
Wah, dia gila....! Maya berseru.
Dia bisa celaka....! Siauw Bwee berkata penuh keheranan.
Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?
Pertanyaein Han Ki itu segera mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali. Tiba-tiba air bergelombang dan.... dari dari dalam air tadi meloncatlah orang yang tadi ke dalam perahunya, tangannya memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia meloncat ke air, Han Ki berkata.
Bukan main! Selama, hidupku, mendengarpun belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan dia! Han Ki berseru dan mendayung perahu mendekat.
Pada saat itu, air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke bawah, Lihat....!
Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi dan ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar daripada tubuhnya dan dua kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat. Suheng, bantulah dia....! Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.
Tidak perlu, Sumoi. Lihat!
Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas perahunya, mengempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu melempar ikan besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.
Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali! Han Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya didepan dada memberi hormat. Akan tetapi orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han.
Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus? Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
Celaka! Orangnya sombong seperti setan! Maya memaki marah. Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?
Lopek, awas....! Ikan hiu....! Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.
Suheng....dia bisa celaka....! Siauw Bwee berseru.
Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa! Maya juga berseru.
Seekor Ikan hiu yang ganas dan liar, sebesar manusia, menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan mencengkerem sirip ikan, kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan kedua tangan, membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.
Lopek, naiklah ke perahu banyak ikan hiu....! Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang. Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air, mereka berdatangan seperti beriumba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang beear-besar. Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee menjerit ngeri menyaksikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri,agaknya ia girang melihat orang sombong itu terancem bahaya.
Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.
Desss! Pukulan itu hebat dan biarpun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
Pukulan Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya? Han Ki makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak ada yang depat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas , dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang lain yanag menerjang dari kanan kir! Orang gundul itu berhasil memukul dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang. Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
Kau.... kau siapa? Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan diri! Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai ini dan di mana tampat tinggal lopek?
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata, Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.
Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu. Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya? Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada, hubungannya antara mereka dengan Suhu, Han Ki berkata lirih.
Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku! Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki. Melihat ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang curam.
Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, Ia berkata, Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku! Ia mengikat mulut tiga ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat. Han Ki memuji. Kalian berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya. Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju. Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan mode bagi mereka!
Ketika mereka melihat Han KI dan dua orang sumoinya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.
Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita, demikian Si Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?
Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini, jawab Si Nelayan Gundul.
Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.
Orang-orang yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, Kami sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?
Han Ki terheran-heran. Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun temurun terus berada di sini?
Si Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala botak. Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!
Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belumpernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerakan aseli dari jurus itu adalah menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
Srattt! Tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil berseru. Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam! Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang



bersambung 4.........

0 komentar:

Posting Komentar