busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak,
bukankah perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk
mencetuskan perang?
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan
hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda sendiri, yang
tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu ciangkun ke Yucen, kini
hanya dapat memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang
menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki
ruangan itu dan terdengar suaranya nyaring. Rombongan utusan Yucen ini
datang membawa perdamaian ataukah mencari pertentangan? Menghina seorang
menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!
Semua orang terkejut
sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak
terkenal ini, dan seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di
belakang Sri Panglima Besar, sudah menghadang ke depan dan melintangkan
tombaknya memandang panglima tinggikurus itu.
Eh, eh, mau apa engkau?
Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah
maju mendekat. Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan
menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan tombaknya menodong. Tiba
tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan
semua orang memandang terbelalak ketika tiba tiba bagian perut panglima
kurus itu bergerak ke depan seperti kaki tangan yang bertubi tubi
mengirim tendangan dan pukulan.
Buk buk....! Pukulan pukulan aneh
yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama sekali
tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa
bergerak seperti kaki tangan itu? Biarpun pukulan pukulan itu tidak
keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking kagetnya dan tombaknya
terlepas!
Panglima besar Yocen dan guru negara marah sekali. Mereka
sudah bangkit memandang panglima berdiri dan Koksu (Guru Negara) Yucen
yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
Beginikah caranya menerma utusan kerajaan calon besan?
Semua
orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung
menyaksikan munculnya panglima tinggi kurus yang aneh itu sehingga
mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah membuat
gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu
ketika Menteri Kam tiba tiba meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di
depan Kaisar.
Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar perdamaian tetap dipertahankan.
Kaisar mengangguk.
Cu
wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini
hanyalah seorang anak kecil yang bertindak menurutkan perasaan dan sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan kerajaan. Mengenai urusan yang
diajukan oleh Te i ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi
penjelasan.
Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula
seorang panglima yang bersikap begitu lancang dan membikin malu
kerajaan? Tiba tiba Suma Kiat berkata marah.
Pertanyaan yang tepat!
Panglima Besar Yucen berseru. Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia
ini masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk
menyelamatkan diri!
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu
bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri tegak itu,
tangannya meraih dan mulutnya menegur, Maya, jangan kurang ajar, hayo
cepat minta ampun kepada Hong siang!
Panglima kurus itu mencoba
menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh
tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengar robeknya jubah,
tampaklah penglihatan yang aneh dan membuat semua orang menjadi geli.
Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak perempuan, yang
seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari perut
panglima itu keluar kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah! Maya,
segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi, sewaktu semua
panglima menonton tegang, dia dan Siauw Bwee diam diam telah melakukan
penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya yang ingin menolong
Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya
mengerti akan tatasusila istana, dermikian pula Siauw Bwee yang menjadi
puteri seorang panglima terkenal. Mereka berdua lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han
Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar
sendiri pun tertawa disusul oleh para pembesar yang hadir di situ.
Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat lancang kurang ajar
itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
Siauw Bwee.... ! Khu
Tek San menegur dan biarpun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw
Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya
dengan muka pucat. Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, Mohon Paman
Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak menyalahkan adik Siauw Bwee
atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!
Bukan
main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak
sembarangan, pikirnya dan kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya.
Siapakah mereka ini?
Ampunkan
mereka, karena mereka itu adalah anak anak yang tidak tahu apa apa.
Hamba bersedia menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan
hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah puteri Khu Tek San.
Kaisar
mengangguk angguk. Pantas,pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam
Liong, adalah seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas,
tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah cantik itu. Dan gadis cilik
yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang
terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia,
berkepandaian tinggi karena panglima itu adalah murid Menteri Kam Liong!
Sambil tertawa Kaisar berkata.
Dua orang bocah yang bersemangat,
tabah dan lucu sekali. Kami memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian
terimalah ini! Kaisar menyambar dua butir buah appel merah dan
menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee dan Maya. Bukan
sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali,
Siauw Bwee dan Maya berhasil menangkap buah appel yang menyambar ke arah
mereka. Kemudian mereka menghaturkan terima kasih.
Bagus! Mereka ini
kelak akan menjadi pendekar pendekar wanita yang hebat! Kaisar berkata.
Akan tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak anak
kecil hadir dalam pertermuan yang penting ini.
Bukan main gembiranya
hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian
mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang
bocah itu pergi meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram dan
kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguhpun para panglima di
ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang
tadi kena diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biarpun pihak
Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya
para utusan Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapapun juga,
telah disaksikan semua orang betapa seorang pengawal Yucen dengan mudah
dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga Suma Kiat
menjadi tidak senang, maka diam diam ia memberi tanda kedipan mata
kepada Panglima Besar Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan
suara lantang.
Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum
menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan kami bukanlah anak anak
kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan
tetapi, kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang
gagah! Tadi kami mendengar akan kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan
membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh pembesar Yucen
merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan
kami dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata matai
kami!
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab.
Tuduhan Tai ciangkun dari Kerajaan Yucen tidak dapat disangkal dan
memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus murid saya
dan Panglima Sung yang bermama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen
dan menjadl panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan
mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal kerajaan itu. Akan tetapi,
bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu
akan mengirim penyelidik penyelidik untuk mengetahui keadaan negara
tetangga, dan biarpun secara bersembunyi, saya tahu bahwa banyak pula
penyelidik penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai
mata mata di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen,
dan tidak menimbulkan kerugian, hanya memang benar dia menyelidiki
keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal
sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain
terhadap kerajaan kami? Sekianlah jawaban saya.
Panglima Besar Yucen
tertawa. Kiranya Kam taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu, semua
orang tahu siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa
mesti diselidiki dengan cara menyelundupkan seorang panglima! Keadaan di
Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan pemerintahannya berjalan
terus, seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi? Panglima Yucen itu
mengeluarkan sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung.
Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi yang sudah ada beratus tahun
yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kamtaijin juga akan
menyelidiki bola besiku ini! Sambil tertawa Panglima Yucen itu
melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget, heran
dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan
menyambar ke kanan kiri seperti dikendalikan, kemudian menyambar ke arah
Menteri Kam Liong! Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu
membuktikan betapa kuatnya tenaga sin kang Panglima Besar Yucen ini dan
semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri
Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah t1dak
berubah karena panglima gagah ini yakin bahwa permainan sin kang seperti
itu hanya merupakan permainan kanakkanak bagi gurunya.
Memang
dermiklanlah Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah
tampak mermegang sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan
mengebut, bola besi itu berputaran di atas kepalanya, dekat dengan kipas
yang dikebut kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolah
olah ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola
besi ikut terputar putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai
bola besi, Kam Liong berkata, Tai ciangkun. Bola besi ini memang sebuah
bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa
memeriksanya lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa
ataukah lain dengan keadaan luarnya? Saya kira Ciangkun sendiri tak
dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa melihat
dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini
sesungguhnya!
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri
Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga kali ke arah bola besi.
Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat
malang melintang tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti
sebuah jeruk dipotong potong pisau tajam dan kini delapan potong besi
itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu
meletakkan potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima
besar dari Yucen!
Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama
seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan Yucen, bukan?
Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang
telah kami lakukan dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.
Wajah
Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah
Jenderal Suma Kiat menjadi pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam
tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sin kang yang hebat
dan keampuhan kipas pusaka yang keramat! Koksu Negara Yucen maklum akan
hal ini maka dia lalu berkata.
Hebat sekali kepandaian Kam taijin.
Dan keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu
memperpanjang urusan kecil itu selagi urusan besar masih belurm
dibicarakan selesai. Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan
perundingan untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil
diseling makan minum dan hiburan tari nyanyi oleh seniwati seniwati
istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut
utusan Yucen itu berlangsung dengan tenteram dan lancar. Menteri Kam
sendiri, kelihatan lega akan tetapi di dalarm hatinya, dia merasa amat
khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu
dengan Sung Hong Kwi, dan ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati
adik sepupunya Itu. Kalau ia, pikir-pikir dan kenangkan segala peristiwa
yang terjadi akhir akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekall.
Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali
mengalami nasib buruk, kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu
sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya mengendur dan
timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya
pergi saja mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja bahkan
sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas yang bertapa dengan ibu
tirinya, bekas Ratu Yalina. Makin menyesal lagi kalau ia memandang
kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan gembira melayani
para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat
dengannya. Tidak hanya keluarga. karena terikat hubungan antara ayahnya,
Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam Sian Eng yang menjadi adik
Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan
dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma
Boan, ayah Suma Kiat. Dia dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun
Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya, sungguhpun tidak
berani berterang.
***
Susiok couw (Paman Kakek Guru),
apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana....? Dalam
perjalanan pulang bersama Maya diantar oleh Han Ki, Siauw Bwee bertanya
kepada pemuda itu.
Aihhh! Kau benar benar terlalu sekali, Siauw Bwee!
Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakak kita, kausebut Susiok
couw? Benar benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu! Maya mencela.
Habis
bagaimana? Siauw Bwee membantah, Memang dia itu paman guru ayahku,
tentu saja aku menyebutnya Susiok couw! Atau Susiok kong?
Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki! Maya berkata lagi.
Mau
tidak mau Han Ki tersenyum. Kalian berdua ini seperti langit dengan
bumi, jauh bedanya akan tetapi sama anehnya! Maya terhitung masih
keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada seorang
kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku
disebut kakek guru! Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak,
biarlah kalian menyebut kakak saja.
Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko. Maya berseru girang.
Koko,
engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya
tadi tertalu hebat sehingga engkau khawatir kalau kalau ayahku dan
Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami? Siauw Bwee
mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki
menggeleng kepalanya. Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah
seorang yang dapat dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak
khawatir....
Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah dugaanku, Enci Maya?
Maya mengangguk. Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping keping dan luka parah bermandi darah, siapa yang tidak tahu!
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, Engkau tahu apa?
Maya tersenyum. Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan dipetik orang lain!
Han
Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. Maya! Dari
mana kautahu?? Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih
belum mengerti betul apa yang diartikan oleh Maya dan mengapa Han Ki
kelihatan kaget dan marah.
Dari mana aku tahu tidak menjadi soal
penting Jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia mendengar
tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia
dengar dari luar jendela kamar! Yang penting adalah sikapmu menghadapi
urusan ini. Kenapa kau begini bodoh, menghadapi peristiwa ini dengan
berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan
keluar yang Menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?
Han Ki terbelalak. Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan mempermainkan aku!
Siapa
mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian
tinggi, Koko, sungguhpun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau
engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk pergi mengunjungi
kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku....
eh, kuduga, tentu dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu daripada
menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen yang liar!
Han Ki
memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran heran akan tetapi harus
ia akui bahwa nasihat Maya itu cocok benar dengan isi hatinya! Sudahlah
jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar pulang cepat cepat karena
aku masih mempunyai banyak urusan lain.
Maya bertolak pinggang. Koko
engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju dengan
omonganku, mengapa pakai pura pura segala? Kau langsung pergilah menemui
kekasihmu sebelum terlambat. Adapun kami berdua, kami bukanlah anak
anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri. Tadi pun kami pergi berdua,
masa untuk pulang harus kautemani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri,
bukan, Adik Siauw Bwee?
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas
panjang. Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi harus langsung
pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu
menuruti permintaan Maya. Bocah ini memang liar! Setelah berkata
demikian, Han Ki cepat cepat meloncat pergi, tidak memberi kesempatan
kepada Maya untuk membalas makiannya.
Awas dia! Kalau bertemu lagi denganku! Maya membanting banting kaki dengan gemas.
Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya? Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan Han Ki.
Hebat apanya, manusia sombong itu! Maya mendengus marah. Mari kita pergi, Siauw Bwee.
Malam
telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah
menutup daun pintu dan sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur
nyenyak.
Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang panjang
menyeberangi air sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran
besar ke selatan, mereka melihat seorang laki laki tua di tengah
jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah seorang anak yang tabah
sekali, akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang
menghadang itu, mereka menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek
berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu Koksu
Negara, Kerajaan Yucen!
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan
berjalan terus tanpa memandang seolah olah dia tidak mengenal kakek ltu.
Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata,
Anak anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama kami!
Maya
sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik,
maka begitu kakek itu melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan
mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee juga memiliki reaksi
yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat
cepat menyusul gerakan Mayaq mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.
Buk!
Bukk! Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang
anak perempuan itu memukulnya. Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena
larmbung dan perut yang mereka pukul, itu seperti bola karet yang
membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek
itu telah mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas.
Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil tertawa melemparkan tubuh Maya dan
Siauw Bwee melalui langkan jerbatan melemparkannya ke sungai! Maya dan
Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan
kini melayang menuju ke sungai yang armat dalam. Akan tetapi, tiba tiba
tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan kiranya di bawah jermbatan
telah menanti dua orang laki laki diatas perahu. Mereka inilah yang
menyambar tubuh mereka.
Bawa mereka pergi sekarang juga! terdengar
Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua orang itu. Dia
merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa bengcu yang berulang tahun. Haha
ha!
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira
bahwa mereka tertolong, menjadi makin marah karena kini mereka tahu
bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu itu! Malam
gelap, perahu gelap dan mereka, tidak dapat melihat muka. dua orang laki
laki itu. Perahu digerakkan, meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee
dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah mereka terbebas dari totokan,
mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas
perahu dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi,
barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang
laki laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu
dan menurut penglihatannya, dua orang itu bukanlah orang jahat, maka
timbullah harapannya.
Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik
baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa kalian mau
membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang
tidak berdosa?
Dua orang laki laki itu berusia kurang lebih empat
puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung di punggung
mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang
di antara mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata,
Kami
hanyalah pelaksana pelaksana tugas yang dibebankan kepada kami. Kami
tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami
harus menaati perintah atasan.
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi
dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa tidak
senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia
menjadi makin berani dan berkata. Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi
anak buah Yucen? la berhenti sebentar, lalu mengirim serangan halus
dengan kata kata, Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang orang
Han? Mengapa kini mermbantu kerajaan asing?
Kau anak kecil tahu apa!!
Tiba tiba orang ke dua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama
benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan
tetapi sekali ini ia menangkap rasa sakit hati di balik kata kata itu,
rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya ucapannya
tadi.
Biarpun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang
gagah selalu mengutamakan kegagahan, membela negara dan menentang yang
lalim. Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata Hemm, kulihat
engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami berdua telah
dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga
keluarga kami terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi
permerintah Sung? Pula, kami menjadi anak buah dari Koksu Negara Yucen
yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah meMalukan di
dunia kang ouw karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang
jarang ada bandingannya.
Biarpun tubuhnya masih terbelenggu dan ia
rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata mengejek Hemm... bicara
tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya
berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk
mengatakan kalian ini orang gagah macam apa, menawan dua orang anak
perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah kalau kami
tidak dibelenggu kalian takut kalau kalau kami akan membunuh kalian?
Maya
memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata katanya lebih runcing
daripada pedang dan lebih tajam daripada golok, secara tepat menusuk
perasaan dan kegagahan dua orang laki laki itu.
Bocah, engkau benar benar bermulut lancang! bentak yang bermuka kuning.
Aku
tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau
berani membebaskan belenggu kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak
takut kepada kami.
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang
berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki tangan Maya dan
Siauw Bwee menjadi putus. Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang
kami? tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan
menggosok gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri. Terima kasih,
kata Maya. Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin karmi dapat
menang.
Kami pun tidak suka, membelenggu kalian dua orang anak
perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan kami keras sekali. Kalau
sampai kami tidak berhasil rmengantar kalian sampai di tempat yang
ditentukan, tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa karmi. Itulah
sebabnya kami membelenggu kalian, tidak ada maksud lain!
Maya
mengangguk angguk. Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang
orang gagah yang terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang
kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami akan kaubawa ke
manakah?
Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan, kata
Si Tahi Lalat. Entah apa sebabnya sampai kaliah dimusuhi oleh Koksu,
akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal hal yang amat tidak
menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami
untuk membawa kalian pergi. Akan tetapi, kalian sekarang merupakan
sumbangan sumbangan yang amat berharga karena kalian dijadikan
surmbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal
sakti dan berpengaruh di pantai Lautan Po hai.
Sungguh lucu! Mengapa
menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa maksudmu
mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan
sebagai sumbangan begitu saja merupakan nasib baik? Maya mendesak terus.
Sudahlah,
kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana kata Si
Tahi Lalat yang sikapnya segan menceritakan keadaan bengcu itu. Hanya
aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh dan bahkan akan
hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan
kalian mencoba untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami
berdua menggunakan kekerasan, hal itu sesungguhnya bukan kehendak kami.
Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw Bwee?
Siaw
Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan
Maya itu berkata, Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau
tahu, kukira kallan berdua tidak akan lancang menawan kami, biarpun
kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.
Dua orang laki laki itu kini memandang penuh perhatian. Siapakah kalian ini?
Aku
sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan
tetapi enciku ini adalah Puteri Khitan, puteri Raja Khitan! Siauw Bwee
berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang hendak
mencegahnya. Dua orang itu kelihatan kaget, sekali, saling pandang dan
berkatalah Si Tahi Lalat.
Kami hanya melakukan perintah! Dengan kata
kata itu agaknya dia hendak membela diri, dan semenjak saat itu, kedua
orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat
gerakan dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar
dari Terusan Besar, membelok ke kiri, yaitu ke timur memasuki sungai
yang mengalir ke arah Lautan Po hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan
Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki sebuah
hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar,
tibalah mereka di sebuah pedusunan besar yang pada waktu itu sedang
menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu tamu penting karena
mereka adalah tokoh tokoh kang ouw dan liok lim. Tokoh tokoh golongan
putih dan hitam, atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat
berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu kesemuanya menghormati
ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun
itu. Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa bengcu
(Pemimpin she Coa), tokoh yang sudah lama dikenal sebagai seorang
pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan alasan bahwa
Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin
menderita keadaannya. Coa bengcu ini amat terkenal dan biarpun jarang
ada tokoh kang ouw yang pernah menyaksikannya sendiri, namun menurut
berita, ilmu kepandaian Coa bengcu ini hebat sekali, baik kepandaian
ilmu silatnya. maupun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk
membela rakyat membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar
setempat tidak berani mengganggunya, bahkan tokoh tokoh di seluruh dunia
kang ouw dan liok lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini
merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokoh
tokoh golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat
dan memberi selamat, bahkan Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan
mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan dua orang gadis
cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa bengcu amat suka kepada orang
orang muda, baik laki laki maupun perempuan, terutama yang tampan-tampan
dan yang cantik cantik, untuk dididik menjadi murid murid atau seperti
dikatakannya sendiri, sebagai anak anak angkatnya!
Siapakah
sebenarnya Coa bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im
yang kauw yang dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan
oleh pemerintah. Biarpun mengadakan perlawanan gigih, para tokoh Im
yang-kauw terbasmi kocar kacir dan lenyaplah perkumpulan Im yang kauw,
yang hanya namanya saja perkumpulan yang menentang permerintah pada
waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im yang
kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari ke timur, untuk belasan
tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang orang sakti sehingga
kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya
meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai dengan gerakannya memimpin rakyat
yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan memeras
rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak sehingga
akhinya terkenallah sebutannya Coa bengcu sampai ke seluruh pelosok.
Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coa bengcu ini sebagai Coa Sin
Cu yang dulu menjadi tokoh Im vang kauw.
Di tengah dusun yang
terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po hai, terdapat
sebuah bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan
besar sekali. Mempunyai halaman yang armat luas dan yang terkurung
dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan! Inilah tempat
tinggal Coa bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian
merayakan hari ulang tahun Coa bengcu.
Tuan rumah Coa bengcu sendiri,
telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau
wakil berbagai partai, juga para tokoh kang ouw dan liok lim yang datang
sendiri untuk memberi selamat dan sumbangan sumbangan. Isteri Bengoi,
seorang wanita yang usianya setengah dari usia suaminya, kurang lebih
tiga puluh tahun, cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu
ini pun bukan orang sembarangan melainkan seorang murid Hoasan pai,
duduk di samping suaminya sambil tersenyum senyum bangga menyaksikan
pengaruh suaminya yang menarik datangnya semua orang gagah dari dua
golongan itu. Adapun putera tunggal Coabengcu yang bermama Coa Kiong,
seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, anak tiri nyonya Bengcu,
yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang barang
sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut
ruangan. Tidak kurang dari lima puluh orang utusan pelbagai partai telah
hadir dan duduk di atas kursi kursi yang telah disediakan, menerima
hidangan yang dilayani oleh anak anak buah Coa bengcu, pemuda pemuda dan
pemudipemudi yang tampan tampan dan cantik-cantik serta memiliki
gerakan vang cekatan sekali.
Biarpun di antara para tamu itu terdapat
banyak tokoh liok lim, golongan bajak, perampok dan orang orang yang
biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang
ajar terhadap pelayan pelayan wanita yang cantik cantik itu karena
sermua orang maklum belaka bahwa pelayan pelayan itu adalah anak buah
atau murid murid Coabengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba
indah, perhiasan perhiasan emas dan perak, ukiran naga dan burung hong
terbuat dari batu batu kermala, sutera-sutera yang indah sekali
warnanya, bahkan ada pula senjata senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi
semua itu masih belum mengherankan karena ada pula orang orang yang
menyumbangkan benda benda luar biasa anehnya. Seorang tamu yang baru
tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru
dengan suara nyaring,
Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu
selain ucapan selamat kepada Coa bengeu, tidak dapat menyumbangkan
benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah Bengcu
menerimanya!
Coa bengcu memandang orang itu lalu tertawa. Ha ha ha,
Tho te kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku sungkan sekali. Terima kasih
atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap menyerahkan
sumbangan itu kepada Puteraku.
Kiang Bu yang berjuluk Tho tee kong
segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan kepada Coa Kiong
putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
Karena
sumbanganku ini tidak berharga dan lain daripada yang lain, harap Siauw
enghiong suka membukanya agar semua tamu dapat melihatnya, kata pula
Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk
tanda setuju, barulah Coa Kiong berani membuka bungkusan kain itu. Tiba
tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi dengan
marah, juga banyak tamu yang melihat isi bungkusan, mengeluarkan seruan
tertahan. Siapa yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan
itu terisi sebuah kepala manusia yang masih belepotan darah?
Apa....
apa maksudmu ini? Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah
meraba gagang pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang
kini terletak di atas meja.
Tiba tiba Coa bengcu tertawa girang,Ha ha
ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan sumbangan yang tak
ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho tee kong. Aku telah mengenal
kepala Bhe ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam
dan penindas laknat itu kehilangan kepalanya! Kiong ji, suruh pelayan
membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing anjing agar digerogoti
habis!
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa
sumbangan itu benar benar amat berharga karena Si Malalkat Bumi telah
membunuh orang yang dibenci Coa bengcu! Perwira She Bhe yang berkuasa di
pantai Po hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah olah
melampaui kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di
daerah pantai Po hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee
tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap Coa bengcu, memberi
hormat dan berkata,
Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen
untuk menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan
sumbangannya.
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua
orang itu, akan tetapi pandang matanya segera terarah kepada Maya dan
Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa
kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik,
Mereka menanti jawaban!
Barulah Coa bengcu sadar dan ia tertawa
bergelak sambil merangkap kedua tangan didepan dada. Ha ha ha,sungguh
Pek mau Seng jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami!
Seorang koksu negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya
seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan antara Permerintah Yucen
dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan
apakah yang dikirim Pek mau Seng jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan
membuat kami sekeluarga bahagia bukan main?
Sumbangan atau hadiah
yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan
inilah! Kata Si Tahi Lalat. Semua tamu kembali menjadi terheran dan
keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa sumbangan ini sama
sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua
orang utusan itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat
menyambung keterangan temannya.
Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa
dua. orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan. Yang lebih
besar ini bermama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khtan,
sedangkan yang lebih kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San
seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!
Terdengar seruan
seruan kaget di sana sini, dan wajah Coa bengcu yang tadinya memang
sudah berseri gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. Sungguh
merupakan hadiah yang tak termilai harganya! katanya kemudian seperti
kepada diri sendiri ia berkata, Puteri Raja Khitan....? Puteri Panglima
Khu....?
Tiba tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras.
Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya boleh membunuh bocah she Khu itu
untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek San
ayahnya! Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di
Lembah Huang ho perbatasan Propinsi Shan tung.
Puteri Khitan itu
patut dibunuh! Tiba tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring
memandang ke arah Maya dengan mata terbelalak marah.
Kalau dia puteri
Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak
menimbulkan malapetaka di kalangan kamil Yang bicara kali ini adalah
seorang pendeta berambut panjang yang usianya kurang lebih lima puluh
tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya. Akan tetapi dia
adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja,
yaitu Pat jiu Sin kauw (Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal
dan ditakuti karena Pat-jiu Sin kauw ini adalah murid dari seorang datuk
hitam yang amat terkenal, yaitu Thai lek Kauw ong, seorang di antara
lima datuk besar golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
Benar!
Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam
Liong dan siapakah menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!
teriak yang lain.
Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya! teriak yang lain.
Ributlah
keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang
ingin mendapatkan dua orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui
bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan Siauw Bwee adalah cucu
murid pendekar sakti itu.
Coa bengcu bangkit berdiri dan mengangkat
kedua lengannya, ke atas untuk minta para tamunya agar jangan membuat
gaduh. Setelah suasana meredap terdengarlah suaranya lantang, Aku
mengerti apa yang terkandung di hati Saudara saudara yang menaruh
dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan ini adalah sumbangan dari
Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada
orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh melainkan aku
harus menghormat kepada Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja
dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang menaruh penghargaan?
Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda benda yang amat
berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat
berharga, diadakan sayembara! Memang Coa bengcu ini orangnya cerdik
sekali. Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia
tahu bahwa kalau terjadi bentrokan antara dia dengan pemerintah, dia
harus menganadalkan bantuan orang orang pandai ini, baik dari golongan
putih maupun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua
orang gadis cilik yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau
dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang manapun juga. Kalau
dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang
kepada para tamunya. Kalau dia, berikan begitu saja, selain dia, merasa
tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang sekali. Maka dia
mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian, masih ada
harapan baginya untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan
rasa tidak suka di hati orang lain.
Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara? Beberapa suara terdengar dan semua orang menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa
bengcu tertawa. Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan
orang orang golongan kita kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang
terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua orang anak
ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan
jalan beradu menguji kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak
sembarangan, melainkan keturunan orang orang pandai seperti Menteri Kam
Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua
orang bocah ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat
menghadapi mereka? Setujukah Cu wi sekalian?
Setuju! Akur! Tepat
sekali! Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan
Maya dan Siauw Bwee. Adapun tokoh tokoh wakil partai-partai yang
termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena mereka ini tidak
ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin
mencampuri urusan mereka yang menaruh dendam kepada nenek moyang anak
anak itu.
Kembali Coa bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua
orang tidak berteriak teriak membuat berisik. Setelah semua orang diam,
tiba tiba terdengar Maya berkata.
Kalian ini orang orang gagah macam
apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan adikku,
tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami
adalah dua orang manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai
benda mati? Beginikah sikap orang orang gagah? Ataukah kalian ini semua
bangsa penjahat yang t1dak mengenal prikemanusiaan?
Semua orang
menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan
teriakan memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan
dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa bengcu berkatat
Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai tawanan, tentu
saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita sermua menerima
sebagai pemberian hadiah Koksu Yucen! Cu wi sekalian. Karena jumlah kita
terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu dan mempermudah jalannya
pibu kami akan mengadakan syarat syarat yang berat lebih dulu. Hanya
mereka yang memenuhi syarat syarat itu barulah dapat memasuki pibu.
Syaratnya dua macam dan akan kulakukan untuk memberi contoh.Setelah
semua orang menyatakan setuju, Coa bengcu membisikkan perintah kepada
murid muridnya. Tak lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas
orang murid laki laki yang muda-muda dan bertubuh kuat memikul sebuah
arca besi berupa seekor singa. Pemuda-pemuda itu adalah orang orang yang
kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang untuk menggotong
arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa
besi itu diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar
sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja sudah ngeri dan di
dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai
itu tentu hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon
pengikut sayembara memperebutkan dua orang gadis cilik.
Memang benar
dugaan para tamu itu. Coa bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu
lalu berkata sambil tersenyum. Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di
seluruh dunia juga puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali
bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia kang
ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin
sekali dapat bertemu dan menguii mereka, sungguhpun aku benar benar
meragukan kebiasaan sendiri untuk menandingi mereka. Kini secara
kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan.
Maka, hanya mereka yang benar tenar pandai saja yang dapat diharapkan
akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan keturunannya apabila kelak
keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon
pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini
sampai ke atas pundak seperti yang akan kulakukan sekarang! Setelah
berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa bengcu yang
pada hari itu tepat berusia enam puluh tahun itu, menggulung lengan baju
lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki depan dan belakang
kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan.... ia telah berhasil
mengangkat singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai
ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar, kedua kakinya menggigil
sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan
singa besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu
jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak ke bawah sedalarm beberapa
senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang
amat kuat itu.
Cu wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup
mengangkat singa besi ini, adapun syarat ke dua adalah mengambil
sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga
langit-langit itui Setelah berkata dermikian, tangan kakek itu merogoh
saku dan bergerak.
Cuat cuat cuat....! Sinar hitam tampak
berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang amat
tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi!
Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang
ke atas dan tangannya mencabut sebatang di antara paku paku itu lalu ia
turun kembali, kakinya, menginjak lantai tanpa mengeluarkan sedikit pun
suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu
telah mendemonstrasikan ilmu gin kang yang amat tinggi. Balok melintang
di atas itu amat tinggi sehingga seorang yang tidak memiliki kepandaian
tinggi, Tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
Sekarang kami mempersilakan Cuwi mencoba, kata Coa bengcu sambil melangkah kermbali ke tempat duduknya.
Maya
membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia
tidak akan dapat melarikan diri, setelab dilepas ia lalu menarik tangan
Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi malah kini mengajak Siauw Bwee
duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa bengcui Kalau tidak bisa
lari dan terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan
mengaso di atas kursi demikian Maya menghibur diri sendiri. Bahkan
ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu malu dan tanpa
permisi Maya menyarmbar dua potong roti juga memberikan sebuah kepada
Siauw Bwee lalu makan roti, juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
Orang
orang yang menyaksikan sikap Maya ini, diam diam menjadi kagum dan di
dalam hati memuji ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda
dengan anak anak biasa. Akan tetapi para tamu itu lebih tertarik untuk
melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa
besi dan meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh rendah
menyambut kegagalan empat orang yang berturut turut mencoba untuk
mengangkat singa besi. Akan tetapi jangankan sampai terangkat melewati
pundak. Yang dua orang hanya dapat mengangkat singa besi itu setinggi
lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengelurkan suara
ah ah uh uh dan menarik narik singa besi itu sedikit pun tak dapat
menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan ermpat orang berturut turut
empat orang yang kelihatan kuat sekali hati, para tamu menjadi keder dan
banyak yang tidak berani mencoba khawatir gagal dan hal itu sedikit
banyak akan menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang
dikehendaki oleh Coa bengcu, Yaitu agar pibu dapat diselesaikan dengan
singkat dan mudah di antara sedikit orang orang yang memang memiliki
kepandaian tinggi!
Hemm? biarkan aku mencobanya, Terdengar suara
keras dan ketika bayangan orang itu berhenti bergerak di dekat singa
besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang ho yang
dahulu gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San. Kepala rampok ini
bertubuh tinggi kurus, kini dia sudah membungkuk memegang singa besi
dengan kedua tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi
Itu sampai ke atas pundaknya, kermudian cepatia melepaskannya kembali
singa besi jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biarpun
demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama
karena, dia telah berhasil mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk
sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki sayembara itu dan
Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah
mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini
sampai menang dan dia terjatuh ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.
Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, Dia memang kuat, akan
tetapi tidak sekuat Coa bengcu, harap kau jangan khawatir.
Kini
kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi
akan tetapi hmpir saja ia gagal kalau tidak cepat cepat mengulur tangan
dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit dan mencabut
sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.
Setelah
kepala perampok ini, maju seorang laki laki gendut pendek yang melangkah
penuh gaya. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri
seri, mulutnya, tersenyum senyum penuh aksi, apalagi kalau dia memandang
ke arah gadis gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tarmu dan
kini menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa
langkahnya dibuat buat, berlenggang lenggok meniru langkah seekor
harimau supaya kellhatan gagah menyeramkan. Akan tetapi, karena tubuhnya
gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan
melainkan mendatangkan pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah
harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
Heh heh heh,
maafkan....! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi,
karena sayembara ini memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang
nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya menahan hasrat hati
saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit
kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu wi tidak
mentertawakan saya. Nama saya Ngo Kee, julukan saya. adalah Tai lek
Siauw hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).
Melihat sermua tamu
tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti
seorang badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang,
mengerling ke arah Maya dan Siauw Bwee dengan lagak memikat, membasahi
bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu tampaknya,
kemudian ia membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian
mengerahkan tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong
karena singa besi itu telah dapat diangkatnya! Semua orang tercengang
dan bertepuk Tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la
mengerahkan seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ
saja,menahan napas dan mendorongkan kedua lengannya ke atas!
Uhhh.... brooooottt!!
Si
Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu
tertawa geli. Para pelayan murid Bengcu menutupi mulut dengan tangan
agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkal pingkal dan
Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya
makin terpingkal-pingkal. Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga
sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu menerobos keluar melalui
pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut
besar!
Biarpun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee
ini tertawa tawa dan menyoja ke kanan kiri sebagai tanda terima kasih
atas pujian semua orang dengan agak merendah seperti seorang iagoan
keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke
arah paku paku yang menancap di balok melintang. la lalu melepas
sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap naik melalui
dinding seperti seekor cecak! Ia menggunakan kedua telapak kaki
telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian
dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah
tercabut, Si Gendut ini bukan merayap turun kembali, melainkan
melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu! Semua orang
terkejut sekali menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk.
Akan tetapi sungguh aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh
itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting keras, bahkan
kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi tinggi!
Para
tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk angguk. Si Gendut
itu biarpun tingkahnya seperti badut, namun memiliki tenaga kuat dan
kepandaian tinggi. Mungkin gin kangnya tidak setinggi Coa bengcu, namun
dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal
ini menandakan bahwa sin kang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia
dapat menggunakan telapak kaki tangannya, untuk melekat pada dinding
seperti telapak kaki cecak!
Aihh, aku suka kalau dia yang menang Enci
Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut, bisik Siauw Bwee yang
masih tertawa tawa ditahan.
Hussh, siapa sudi? Jangan jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa keluar! jawab Maya.
Ihhh....!
Jijik....! Keduanya tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat
mengherankan. Dua orang anak perempuan yang masih kecil dalam keadaan
seperti itu menjadi tawanan, bahkan dijadikan barang sumbangan dan kini
dijadikan hadiah perebutan sayembara, masih enak enak makan minum dan
tertawa tawa melihat kelucuan Thai lek Siauw hud Ngo Kee! Sedikit pun
mereka tidak kelihatan takut atau putus asa, padahal kalau anak anak
lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan setengah
mati!
Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala
rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang berhasil hanya tujuh orang lagi
saja, termasuk Pat jiu Sin kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu.
Dan hanya Pat jiu Sin kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi
semudah yang dilakukan Bengcut kemmudian menurunkan semua paku dengan
kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang kemudian
melontarkan paku paku lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan
bajunya! Ternyata lihai sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang
masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat
melakukan dua syarat itu tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak
mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para tokoh partai memang tidak
mau mencampuri urusan mereka, sedang kan tokoh tokoh kaum sesat tidak
mau ikut karena tidak tertarik kepada hadiahnya!
Kini terkumpul
sepuluh orang bersama Coa bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu
kepandaian untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka
dan berhak memiliki dua orang gadis cilik. Mereka itu telah berkumpul di
tengah dan hendak merundingkan dengan Coa bengcu bagaimana pibu akan
diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan
Siauw Bwee, sekali ini tidak lari melainkan berjalan pelahan ke pintu.
***
He.
ke mana kalian mau lari? Tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru dan
mendengar ini, Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu.
Coa-bengcu, puteranya dan murid-muridnya, juga tamu-tamu yang lulus
ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati mereka
ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap! Mereka
mengejar keluar dan tampaklah dua orang anak perempuan itu berjalan
pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya kelihatan tubuh
belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan
berteriak-teriak. Akan tetapi, dua orang anak perempuan itu berlari di
kanan kiri Si Kakek yang rambutnya panjang dan sudah putih semua, sama
sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa
dan membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk
meremang) adalah kenyataan bahwa betapapun cepat mereka mengejar sambil
mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat menyusul kakek dan
kedua orang anak perempuan itu! Mereka mulai penasaran dan marah,
mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata rahasia
bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau
terbang, kesemuanya menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek
rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai tubuh belakang kakek
itu, tepat sekali, dan anehnya, tidak sebatang pun mengenai punggung
Maya dan Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata rahasia yang
dilontarkan dengan tenaga sinkang dan yang tepat mengenai tubuh belakang
Si kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya,
semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran, menjadi
gentar dan ngeri. Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli
senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian besar
mengandung racun. Namun, tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul
kakek itu, dan tak sebuah pun senjata rahasia melukai punggungnya. Kini
para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling pandang dengan mata
terbelalak.
Siancai....! Kiranya di dunia ini hanya satu orang saja
yang memiliki kepandaian seperti itu....! Seorang tosu yang menjadi tamu
berkata lirih.
Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga siapa gerangan tokoh itu.
Suling Emaskah....?
Tosu
itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. Kalau tidak
salah dugaan pinto, hanyalah manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian
sehebat itu, beliau adalah.... Bu Kek Siansu....
Aihhh....! Mana
mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup?
Aku lebih percaya kalau dia tadi adalah Bu Beng Lojin, julukan Suling
Emas setelah mengasingkan diri!
Akan tetapi, biasanya pendekar itu
bergerak secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan berdepan.
Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya
memang benar dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu....
Demikianlah,
para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu
saja otomatis sayembara ditiadakan. Betapapun juga, tidak ada yang
merasa penasaran karena kalau memang benar bahwa yang membawa pergi dua
orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka duga,
tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia
ini yang akan mampu menandingi manusia dewa itu?
Maya dan Siauw Bwee
masih terheran-heran dan mereka melongo menmandang wajah kakek berambut
panjang putih yang menggandeng tangan mereka. Tadi, ketika mereka
ketahuan dan dikejar, mereka tiba di pintu dan tahu-tahu tubuh mereka
seperti ditarik keluar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang
kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu
saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan
telinga mereka yang terlatih telah mendengar menyambarnya banyak senjata
rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu masih enak-enak
saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh
mereka meluncur ke depan seperti angin cepatnya? Mereka berdua adalah
anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar
akan orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka
tertolong oleh seorang kakek yang sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu
orang macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baik-baikkah?
Ataukah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat daripada
sekumpulan manusia sesat tadi!
Kong-kong (Kakek), engkau siapakah?
tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang amat cepat
meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan
tetapi kakek itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan
ini. Masih melangkah satu-satu dan wajahnya tegak memandang ke depan,
kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan Maya. Kedua orang anak
perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang.
Maya
menjadi curiga dan tidak sabar. Kakek yang aneh, kalau engkau tidak
suka bicara dengan kami, mengapa engkau membawa kami lari dari mereka?
Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.
Enci
Maya, jangan-jangan dia tuli! Siauw Bwee berkata tak lama kemudian
setelah dinanti-nanti tetap tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.
Hemm,
kalau hanya tuli masih untung! jangan-jangan dia ini malah lebih jahat
daripada Bengcu dan kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan
manusia Iblis! kata Maya, suaranya mulai ketus karena marah.
Anak-anak,
kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah
kepada tanganku. Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang
tua Bu Kek Siansu.
Ohhh....! Siauw Bwee melongo.
Ahhh....! Maya
juga berseru dengan mata terbelalak! Kedua orang anak perempuan ini
sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing, akan seorang manusia
dewa yang kesaktiannya luar biasa, bernama Bu Kek Siansu yang muncul dan
lenyap tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat
keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang pernah mereka pelajari,
bersumber daripada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati
mereka menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut. Mereka
mentaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak
bertanya-tanya lagi! Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi
jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya kepada kakek itu dan
ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening,
dua orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.
Dengan ilmu
kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga
di istana, melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing
perhatian para peronda dengan melemparkan batu ke sebelah barat. Ketika
para peronda itu, perhatian mereka terpecah dan kesempatan itu
dipergunakan Han Ki melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah
pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya berdebar keras dan ia tahu
bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat. Puteri Sung Hong
Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain, bahkan
di halaman tamu istana Kaisar sendiri sedang menjamu urusan-urusan Raja
Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi, dengan nekat dan berani mati
dia menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti
biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang
membesarkan semangat. Hebat bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil
tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan Hong Kwi. Benar kata
Maya, biarpun dia itu masih belum dewasa. Kalalu memang Hong Kwi
mencintainya, mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua? Urusan
perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia dapat dipaksa!
Jantungnya
berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang
pohon besar, dia melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah
sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera berwarna-warni, dangan
hiasan rambut terbuat dari permata, terhias mutiara, yang membuat
kekasihnya nampak makin cantik gilang-gemilang sehingga mendatangkan
keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas
bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan bunga teratai putih.
Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat
ini, teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih
sayang, penuh kemesraan dengan pemuda idamannya, Kam Han Ki! Dia
mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat
berbahaya. Kekasihnya belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan
kepada Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya. Teringat akan ini, dan
melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang
bercumbu dan berkasihkasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri
Sung Hong Kwi menutup mukanya dengan ujung lengan bajunya yang panjang,
menangis tersedu-sedu!
Han Ki-koko....! Gadis bangsawan itu menjerit
lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat ditangkap oleh
telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas
pipi pemuda itu. Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal
satu-satunya pelayan yang paling dikasihi dan setia kepada nona
majikannya, berlutut dan mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil
ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan
hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya menangis sedemikian
sedihnya. Ia meloncat keluar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi.
Dewi pujaan hatiku.... kekasihku....,
Hong Kwi....!
Pelayan itu
cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih
basah air mata dan dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat
mukanya perlahan, ketika ia memandang wajah Han Ki yang berada di dekat
didepannya, matanya yang basah terbelalak, ia takut kalau-kalau
pertemuan ini hanya terjadi dalam alam mimpi. Kemudian ia menjerit lirih
dan menubruk, merangkul leher pemuda itu. Koko.... ah, Koko....!
Aku.... aku telah....
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan
memangkunya, sambil duduk di atas bangku Hong Kwi menyandarkan pipinya
di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya,
dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air
mata mengalir deras sambil berbisik.
Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang mengunjungimu malam ini....
Aduh,
Koko.... bagaimana dengan nasibku....? Bagaimana cinta kasih kita? Kita
sudah saling mencinta, saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar
bulan purnama! Bagaimana....? IA tersedu kembali.
Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!
Aihhh....!
Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang
wajah kekasihnya penuh selidik, Kaumaksudkan.... minggat?
Mengapa
tidak? Bukankah kita saling mencinta?' Han Ki teringat akan ucapan Maya,
seolah-olah bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu.
Kita pergi bersama, takkan saling berpisah lagi selamanya. Kita pergi
jauh dari sini dan aku akan melindungimu sebagai suami yang mencintamu
dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, , Hong Kwi....!
Tidak! Tidak
bisa begitu, Koko....! Aku lebih baik mati. Lebih baik kaubunuh saja aku
sekarang ini. Aahhh, untuk apa aku hidup lebih lama lagi....? Koko,
kaubunuhlah aku....!
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadi
bingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya adalah
seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja
karena hal ini selain akan menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga
akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin malu kerajaan!
Hong
Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini
menjauhi segala kesusahan ini. Apakah engkau melihat jalan lain yang
lebih baik, Hon Kwi kekasihku?
Ada jalan yang lebih baik Koko!
Tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat dan biarpun kedua
pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan,
merah jambon berbeda sekali, dengan bibirnya yang merah segar, dan
matanya, berseri-seri aneh. Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau
seorang, mencinta dengan seluruh, jiwa ragaku. Jiwa dan hatiku
selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh siapapun juga.
Akan tetapi tubuh ini... ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku
dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko! Aku
menyerahkan tubuhku kepadamu, ahhh.... kalau tak terhimpit seperti ini,
sampai mati pun aku tidak akan dapat bicara seperti ini, Koko...
ambillah tubuhku.... barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau tubuhku
dimiliki orang lain, secara paksa!
Han Ki meloncat turun dari bangku
dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu
tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak, dapat berkata apa-apa hanya
memandang wajah gadis yang dicintanya itu.
Bagaimana, Koko....?
Apakah.... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaanku
terakhir ini? Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki,
merangkul pinggangnya sehingga tubuh mereka merapat.
Tidak, Hong Kwi!
Tidak mungkin itu! Aku.... ah...., janganlah mengajak aku menjadi
seorang pria yang keji dan kotor! Lebih baik aku mati daripada mengotori
dirimu yang murni! Tidak, betapapun besar hasrat hatiku, betapa darahku
telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan
sepenuhnya, betapa nafsu berahiku terhadapmu! sudah hampir menggelapkan
mataku, namun.... aku.... aku tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi!
Kalau
begitu, bagaimana baiknya.... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin
putus asa dan menderita.... Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil
berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus
hitam dan harum itu. Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh buruk,
hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan
kesadaran kita. Kalau engkau suka pergi denganku, biarpun hal ini
merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup bersama
menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat.
Adapun kalau menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang lakl-laki
hinadina, setelah melakukan pelanggaran suslia, menikmati pelanggaran,
mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau
yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apalagi
terhadap engkau satu-satunya wanita yang kucinta didunia ini!
Aduhhh, Koko.... bagaimana baiknya....?
Hong
Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak
dapat diatur oleh manusia karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan
sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki kita menjadi
suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapapun murni
cinta kasih yang terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita.... ah,
Hong Kwi.... Dua orang yang dimabok cinta dan kedukaan itu, seperti
tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan
perasaan penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
Aduhhh....
Sri Baginda datang.... Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu
membuat sepasang orang muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu
terkejut sekali dan saling melepaskan pelukannya.
Koko....! Cepat.... Bersembunyi.... Hong Kwi berseru lirih.
Di mana....? Lebih baik aku pergi saja....
Jangan! Kau bisa ketahuan dan.... dan kita celaka! Lekas.... kolam itu, kaumasuklah dan bersembunyi di bawah daun teratai....
Karena
kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman
membawa lampu, Han Ki tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air
muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah permukaan air yang
dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun
teratai yang lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluarkan hidungnya
saja di bawah daun teratai agar dapat bernapas sedangkan matanya
kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
Hong
Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman.... eh,
kau.... habis menangis? Kaisar menegur puterinya dengan suara keren dan
marah. Memang Kaisar tahu bahwa puterinya ini tidak suka dijodohkan
dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar menjadi mengkal dan penasaran.
Apalagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang
mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan
Sang Puteri harus dijaga karena ada kemungkinan masuknya seorang
pengganggu kesusilaan!
Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
Apakah ada orang luar masuk ke sini malam ini? Kembali Sri Baginda bertanya dengan suara keren.
Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.
Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi? Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di belakang nonanya.
Ham.... hamba ti.... tidak melihatnya.... Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di atas tanah di depannya.
Periksa
semua tempat di sekitar sini! Kaisar memerintahkan para pengawalnya
yang segera berpencar ke segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat
gelap dengan lampu-lampu yang mereka bawa. Jantung Sung Hong Kwi dan
pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
Mulai saat ini,
engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar.
Mengerti? Kaisar membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk. Para
pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di
dalam taman itu. Dengan uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar
lalu mendengus dan meninggalkan taman itu diiringkan para pengawalnya.
Setelah
rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan
pelayannya berani bangkit berdiri. Han Ki yang juga melihat semua
kejadian itu dari dalam air, berdiri dengan muka, rambut dan seluruh
pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik
lehernya. Ditangkapnya ikan emas yang berenang di leher bajunya dan
dilepaskannya kembali ke air.
Hong Kwi....! Ia berkata lalu meloncat keluar.
Koko....
ahhh...., hampir saja....! Aku harus segera masuk. Han Ki-koko, selamat
berpisah, selamat tinggal.... sampai jumpa pula di akherat kelak....
puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayannya yang juga menangis,
meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan
basah kuyup dan tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
Hong Kwi....
ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan.... kiranya dia terkurung
sepasukan pengawal Istana yang dipimpin oleh.... Jenderal Suma Kiat
sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan masih banyak panglima tinggi
istana!
Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu
keluargamu saja! Membikin malu aku pula karena biarpun jauh engkau
terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlututlah engkau
menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!
Han Ki pernah
jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri,
karena ibu Suma Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan
tetapi dalam perjumpaan yang hanya satu kali itu, Suma Kiat bersikap
dingin kepadanya, maka kini ia menjawab.
Goanswe, perbuatanku tidak
ada sangkut-pautnya dengan siapapun juga. Ini adalah urusan pribadi,
biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan
menyeret nama keluarga, apalagi namamu!
Wajah Suma Kiat menjadi merah
saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena maklum
akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak
takut menghadapi Han Ki. Biarpun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap
selama belasan tahun itu kini kabarnya telah memiliki kepandaian tinggi,
akan tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya
dijadikan pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat
berat yaitu berani menyelundup ke dalam taman istana dan melakukan
hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen Pula, saat
ini dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa pemuda itu
benar-benar berada di taman sehingga menangkap atau membunuhnya bukan
merupakan kesalahan lagi.
Kam Han Ki manusia berdosa! Setelah engkau
melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling, apakah kau tidak
lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara? Kembali Suma
Kiat membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini,
semua anak buah pasukan dan para panglima juga mencabut senjata
masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum
bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah tertangkap basah ini,
yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia
tidak akan menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu
pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu Kek Siansu yang pada saat itu
bergema di dalam telinganya.
Jika engkau dengan pertimbangan hati
nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah, engkau harus
mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin
benar bahwa engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan
kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat pun.
Kini Han Ki tidak
merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling
mencinta, dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah, Karena hendak
memberangus kemerdekaan hati puterinya sendiri! Tidak, dia tidak
bersalah karena itu dia tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan
diri dan tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan
dekat dengan Istana! Berpikir demikian, Han Ki lalu membalikkan tubuh
dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru
keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan
Suma-goanswe karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak
pengawal dan tadi ketika ia meloncat hendak lari, mereka telah melepas
anak panah ke arah tubuhnya.
Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau maling
cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan kaki
Hong-siang agar menerima hukuman! Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati
pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak
sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia melakukan perlawanan, mengamuk
sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma, tentu
Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal
Menteri Kam? Dia akan mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia
mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar tanpa
membunuh orang.
Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe! katanya gagah sambil mencabut pedangnya juga.
Apa?
Kau hendak melawan? Serbu! Suma Kiat berseru dan mendahului
kawan-kawannya menerjang maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke
arah pusar Han Ki sedangkan tangan kirinya sudah mengirim totokan maut
yang amat berbahaya ke arah pangkal leher. Ilmu kepandaian Suma Kiat
amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi
dan aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri
Suling Emas yang pernah menjadi tokoh yang menggemparkan para datuk
golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila, membuat
sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat
menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut.
Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya itu membuat lingkaran
melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang sedangkan totokan
jari tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu
menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai yang amat lihai dan berbahaya,
yaitu Im-yang Tiam-hoat!
Cringgg....! Dukkk! Han Ki yang sudah
mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga
sendiri ini, sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula
totokannya sehingga dua pedang dan dua lengan bertemu susul-menyusul.
Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya
bertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sin-kang yang
amat kuat. Namun ia berseru keras dan menyerang lagi, dibantu para
panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung rapat
dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa
memutar pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang
menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua
senjata para pengeroyok terpukul mundur oleh sinar pedangnya yang
berkilauan. Namun, pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya karena
sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan
tubuhnya akan menjadi sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan
lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan
membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas
dengan ancaman serangan ke arah kepala para pengeroyoknya. Demikian
ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya
menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat
ke belakang. Kesempatan yang amat baik, pikir Han Ki dan sekali ia
mengenjot tubuhnya sambil menangkis serangan susulan pedang Suma Kiat
dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke
atas wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali
mengadakan pertemuan rahasia dengan Sung Hong Kwi.
Penjahat cabul
hendak lari ke mana? Terdengar bentakan keras dan sebatang tombak
menusuknya dari kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri
menyambar sehelai cambuk besi.
Cringg.... tranggg.... wuuuttt! Han Ki
terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan
pedang serta mengelak dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu
telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya cukup tinggi,
terbukti dari serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia
melempar diri ke bawah, berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah,
makin ke tengah mendekati Istana karena untuk lari ke pagar tembok
tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya.Siuuttt! Kembali Han Ki
harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat
kuat, yang tadi datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur
sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga seorang panglima
pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya kuningan
yang berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang
diputar menimbulkan angin bersuitan. Han Ki mengelak ke kanan kiri dan
mengerahkan tenaga lalu membabat dari samping.
Tranggg! Bunga api
berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget, tubuhnya
terguling lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak
jauh, memandang ujung toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di
tangan Han Ki tadi! Sementara itu, Suma Kiat, Siangkoan Lee dan para
panglima yang tadi mengeroyoknya, telah mengejar sampai di situ dan
kembali Han Ki dikurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak
jumlah pengeroyok karena tanda bahaya telah dipukul sehingga panglima
dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapapun tinggi
ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokah begitu banyak
orang lihai sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan,
tentu saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia memang menerima gemblengan
seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu
sllat yang amat tinggi, bahkan telah mempelajarl inti sari ilmu silat
sehingga segala macam ilmu silat yang dimainkan lawan dapat ia kenal
sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini
waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak
pengalaman dalam pertempuran, apalagi dikeroyok begini banyak panglima
dan pengawal yang pandai!
Namun, harus dipuji keuletan pemuda ini.
Biarpun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap penjuru, ia
masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan
lincah ke sana ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya
kadang-kadang untuk menyampok senjata lawan dan kadang-kadang
menggunakannya dengan pengerahan sin-kang untuk mendorong pengeroyok
sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang
pengeroyok yang ia robohkan dengan tendangan kedua kakinya, merobohkan
mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki dan mengakibatkan
luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin
pengeroyokan
ini, berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia dibantu oleh pasukan
pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu
memiliki kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari
lima puluh orang, masih belum mampu membekuk pemuda itu setelah
mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada belasan orang anak buah
pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu!
Benar-benar amat memalukan!
Panggil semua panglima yang berada di
luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana! bentak Suma
Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han KI
masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu
bahwa tidak mungkin dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup,
bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi, kering kembali
melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan
lemas, juga amat panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang
membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak pukulan dan bacokan senjata
lawan dan biarpun sin-kangnya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka
itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
Habis
aku sekali ini.... keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan
masih terus melawan sampai malam terganti pagi! Telapak tangannya yang
memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi
satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui
pagar tembok, pikirnya. Pagar tembok itu tentu telah terkepung ketat.
Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana! Kalau berada
di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan tetapi
kalau dia main kucing-kucingan di dalam istana yang banyak
kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat
membatasi jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan
melarikan diri, atau setidaknya bersembunyi di dalam istana yang amat
besar itu. Bukankah dahulu pernah dikabarkan ada orang sakti mengacau
istana hanya untuk menyikat hidangan Kaisar dan orang itu dapat
bersembunyi di dapur sampai berpekan-pekan?
Dia harus dapat
menyelinap ke Istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya dan
dengan penuh semangat Han Ki memutar pedang berloncatan ke sana sini
seperti orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi, Han Ki selalu melindungi
dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan
tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh
Suma Kiat dan kawan-kawannya. Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan
pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk dan membunuh,
maka para pengepungnya menjadi kaget dan jerih, otomatis meloncat
mundur. Han Ki membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya
menyambar segenggam pasir dan sambil berseru keras ia menyambitkan pasir
itu ke depan, ke arah para pengepungnya.
Awas senjata rahasia!
bentaknya, Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat
menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip, akan tetapi
pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai, menjadi kaget dan cepat
membuang diri ke bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan
karena biarpun hanya butiran-butiran pasir kalau dapat menembus kulit
mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang
memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han
Ki telah meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang
menuju ke kompleks bangunan istana dengan merobohkan dua orang penjaga
pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan kiri
sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
Kejar! Tangkap dia,
mati atau hidup! Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo
penuh rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang
benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok begitu banyak orang pandai sampai
setengah malam, masih belum dapat ditangkap bahkan kini berani memasuki
istana. Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlomba memasuki istana,
ada yang menerobos dari pintu-pintu belakang, ada pula yang meloncat
naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap pemuda itu
karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan
Kaisar dan keluarganya dapat diancam bahaya!
Bala bantuan dari luar
Istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal dipimpin sendiri
oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari
Han Ki yang lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil
menerobos memasuki Istana, terus berlari melalui lorong-lorong di antara
kamar-kamar dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia
tidak mengenal jalan, hanya lari ke arah yang sunyi tidak ada orangnya.
Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh
tubuhnya berdenyut-denyut saking lelahnya dan setelah tidak bertempur
lagi, terasa betapa perihnya luka-luka bekas gebukan-gebukan senjata
lawan. Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap
di balik jendela. Ia mendengar suara wanita berliam-keng (berdoa),
membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak
olehnya seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadap
seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi tegang hatinya. Ia tahu bahwa
nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah
keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri
bersembunyi di dalam kamarnya siang malam dan kerjanya hanya membaca
kitab-kitab suci.
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba
ia mendengar suara para pengawal yang menge jarnya. Ada serombongan
pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk
lari ke kiri, akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara
pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
Kita harus mengepung
seluruh jalan dalam Istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia
bisa menghilang seperti setan! Suara itu adalah suara Suma Kiat yang
sudah datang dekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak
mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya diketahui mereka.
Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas
menerobos langit-langit, ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena
para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di atas sehingga begitu
dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali. Tiba-tiba
ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke
dalam, menutup daun jendela dan menggunakan saputangan yang tadi dipakai
mengusap peluh menutupi bagian bawah mukanya agar Ibu suri tidak
mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang
asyik membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi, pelayan wanita
yang berlutut di depannya, tentu saja dapat melihat Han Ki yang muncul
dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri
dengan mata terbelalak.
Jahgan menjerit! Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!
Pucatlah
muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak
terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca
kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang
pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di
belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran
lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. Engkau siapakah dan apa
artinya perbuatanmu ini?
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap
tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak,
tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama
sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan
sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han
Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, Hamba dikejar-kejar pengawal
dan mohon perlindungan....
Sejenak nenek itu menunduk, memandang
wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu. Hemm, apakah engkau yang
diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan
mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?
Benar, hambalah orang itu!
Siapa namamu?
Hamba Kam Han Ki....
She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?
Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba....
Hemmm....!
Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat
perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak
menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang
hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk
ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?
Han
Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu
sekali. Memang, apakah tujuannya bersembuny di kamar nenek ini?
Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang
nenek yang begitu luhur budinya!
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk
dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan
masih memegangi kitabnya, menegur halus, Siapa di luar?
Hamba
Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka
suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam! terdengar jawaban dari luar.
Masuklah, daun pintu tidak dikunci, jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun
pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia,
melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu.
Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek,
melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong
dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali
tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini
agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan
menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma
Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah
Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong
oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
Kam
Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita
yang tak berdaya? tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan
pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang
panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu
terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok
ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri
dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu
berkata, Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam
kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi
jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja
kalau orang ini sudah keluar kamar. Suara nenek itu halus akan tetapi
mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua
orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata
marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
Orang
muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat
perbuatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang
gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada
bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang
pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam
kehidupan seorang jantan.
Terima kasih dan hamba mohon maaf
sebanyaknya! kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek
itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos
jendela kamar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang
pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi dalam beberapa
gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah
pertama sebagai akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka
sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi, pedangnya dikerjakan dan
biarpun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat
agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh
lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di
mana Suma Kiat dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini
dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan belasan orang panglima
pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima
itu ada yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu
Tek San. Mereka itu hanya melaksanakan tugas, dan pada saat itu, Han Ki
tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai seorang buronan
yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar maka harus ditangkap
atau dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi
sinar yang bergulung-gulung, seperti seekor naga sakti bermain di
angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan
menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini, para
pengeroyoknya adalah orang-orang yang pandai, yang hanya kalah dua tiga
tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang
penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah
malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai, dan
kini, di ruangan terbatas, ia dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai,
tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapapun juga, ucapan nenek di
dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
Aku tidak bersalah! Aku
datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa
aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau
kalian tidak mau mundur, terpaksa aku mengadu nyawa!
Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu! Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
Rrrrtt....
cring-cring....! Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan
kirinya menggunakan pukulan ke samping secara aneh dan tak terdaga-duga.
Biarpun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai
tubuh lawan, namun angin pukulan yang mengandung sin-kang kuat itu
membuat dua orang pengeroyok terlempar ke belakang dan terbanting pada
dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening dan semua
pengeroyok diam-diam merasa kagum lalu mengeroyok lebih hati-hati.
Mereka semua maklum bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali
kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya
robek-robek termakan senjata tajam para pangerayoknya. Darahnya mulai
mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri
membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya, dia hanya
terluka dan belum tertangkap, sebaliknya ia telah merobohkan empat orang
pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak mampu mengeroyok
lagi, dan melukai ringan tubuh orang lain! Di antara yang terluka ringan
adalah Siangkoan Lee murid Suma Kiat yang tergores pedang dadanya
sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah
dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung.
Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil
mengemplang pergelangan tangan yang memegang pedang. Pukulan yang keras
sekali dan hanya berkat sinkangnya saja maka tulang lengan itu tidak
remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain
merupakan hujan pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat
tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak berkutik lagi, pingsan!
Suma
Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan
sekali-kali karena rasa sayang terhadap anggauta keluarga, bahkan
sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki
dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman
gantung atau penggal leher disaksikan orang banyak sehingga puaslah
hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu enak bagi
Han Ki yang dibencinya! Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan
dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang Istana, dijaga kuat oleh
pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat
Han Ki tewas secara enak, juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain,
dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan pelanggaran sehingga
ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam
keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke
atas pembaringan batu dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu
beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar kamar tahanan
dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari
pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan
maklum bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa
bagi seorang gagah, apalagi kalau ia teringat akan Hong Kwi, kematian
hanya merupakan kebebasan daripada penderitaan batin akibat kasih tak
sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia
teringat akan Menteri Kam Liong, kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa
semua perbuatannya yang tentu dianggap mengacau Istana dan dianggap
berdosa besar, pasti akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap
Menteri Kam padahal ini sungguh tidak ia kehendaki dan ia merasa
menyesal sekali. Betapapun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga
tubuhnya dapat rebah telentang, matanya memandang langit-langit kamar
tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan
kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat mematikan rasa sehingga tubuhnya
tidaklah terlalu menderlita. Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan
siap menerima datangnya maut dalam bentuk apapun juga.
***
Dugaan
Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu
membawa akibat yang amat jauh dan hebat, dia pun tidak tahu nasib apa
yang menimpa Maya dan Siauw Bwee, yang ia tinggalkan di tengah jalan.
Ketika
Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan
Istana yang mengakhiri pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam,
membuat hati guru dan murid ini lega karena semenjak munculnya Maya dan
Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak, mereka berpisah.
Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin
segera sampai di rumah dsn menegur puterinya yang telah berbuat lancang
menggegerkan Istana bersama Maya.
Akan tetapi, dapat dibayangkan
betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah, dia disambut teguran
isterinya mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang!
Apa....?
Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok! Panglima
ini berkata dengan suara keras. Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima
itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar mencari puterinya
dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguhpun ia tidak usah
merasa khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar
oleh susioknya itu, namun peristiwa yang terjadi di istana sebagai
akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak.
Apalagi karena urusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap
bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi, malam itu ternyata terjadi
hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susul-menyusul,
karena waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya
dan Maya, ia dikejutkan oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman
istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia terkejut sekali,
akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal
itu ada hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan
Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu
apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang anak perempuan itu
belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang
terjadi dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.
Seperti
telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di Istana,
tentu mendapat pelaporan dari anak buah yang setia, dan kini Menteri
yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San dengan
muka gelisah.
Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki,
bukan? Aku sudah mendengar semua dan.... ah, betapapun juga, dia seorang
pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta
terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?
Bukan hanya urusan
Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang
pagi begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak
itu....
Apa....? Menteri tua itu menjadi terkejut.
Seperti Suhu
ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok,
akan tetapi ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu
dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok mengamuk di taman Istana. Teecu
bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang menghadap
Suhu mohon petunjuk.
Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan
menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar gurunya
berkata lirih, .... mengapa.... mengapa....? dan ia tidak mengerti apa
yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam
Liong sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya mengapa
keturunan keluarga Suling Emas selalu ditimpa kemalangan?
Kita harus
bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah
besok aku menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar
aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya tentang dua orang anak itu. Aku
harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap, sebaiknya
sekarang juga aku melihat keadaan.
Khu Tek San mengerti betapa
gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata, Harap Suhu tunggu
saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi
salah paham, disangka Suhu akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu
saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan.
Menteri Kam Liong
mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung
sekali menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak membantu Han Ki tidak
mungkin karena di antara semua keluarganya, hanya Han Ki seorang yang
paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya bermusuhan
dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara,
Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan itu. Dia tidak berani turun
tangan membantu, dan setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan
dan dijebloskan kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam
untuk membuat laporan.
Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya
yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, Aku harus
menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan
diriku....
Suhu....! Tek San berseru kaget.
Menteri Kam Liong
memandang muridnya yang setia. Tek San, engkau muridku yang amat baik,
seperti keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia.
Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan, dan keturunan ayahku yang
laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan
dan Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya
menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua dan tidak mempunyai anak.
Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku
harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu saja
aku akan mempergunakan jalan halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han
Ki, akan tetapi apabila tidak berhasil, aku akan mempergunakan kekerasan
membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar
lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan
demi Tuhan, sekali ini aku tidak akan segan-segan untuk memukul pecah
kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan Siauw Bwee.
Kaupulanglah!
Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal
yang amat tidak enak menimpa secara bertubi-tubi, Tek San lalu
mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya
menghadapi kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya
menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga
hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya yang disuruh
menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han
Ki yang berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia
berpisah dengan dua orang anak itu yang pulang berdua, sedangkan dia
langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya
memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat.
Betapa hebat penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.
Tek
San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan
hukuman mati untuk Han Ki yang dilaksanakan besok. S i Bedebah Suma
Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga, Han Ki tak dapat
diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah
perbuatan Han Ki yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah
mengambil keputusan, muridku. Malam ini, menjelang pagi, aku harus turun
tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama
dia menyusul ayahku di Go-bi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku
ini tentu akan menggegerkan, akan tetapi tidak ada keluargaku yang
menderita akibatnya. Adapun tentang dirimu sebaiknya engkau mengundurkan
diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda.
Tek San kaget sekali. Akan tetapi.... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?
Aku
sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia
tidak mencampuri urusan lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya
kepadanya. Kurasa, orang-orang Yucen mengambil bagian, bahkan mungkin
pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin
mereka hendak membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di
dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil menyelamatkan Han Ki, aku sendiri
yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang hadir
pada malam hari itu.
Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!
Kam
Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh
keberanian. Ia tidak ragu-ragu akan keberanian dan kegagahan muridnya,
akan tetapi sekali ini, mereka bukan melakukan tugas demi kepentingan
negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan
melakukan urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.
Jangan, Tek
San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin
melihat engkau terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena
keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga kalau gagal, tidak
mengorbankan pula keselamatanmu.
***
Maaf, Suhu. Mengapa
Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan
semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat
pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di perbatasan, kalau tidak muncul
Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok
membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apalagi
melihat Suhu terjun ke dalam bahaya, masa teecu harus diam menonton
saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu. Dengan tenaga
dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.
Akan tetapi.... keluargamu?
Siauw
Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri
teecu. Hari ini juga teecu akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu
untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam dari kota raja.
Hal itu mudah dilakukan.
Tapi.... ah, tugas malam nanti amat
berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi
pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai....
Justeru karena
itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biarpun kekuasaan Suhu
lebih besar daripada teecu, karena memang pangkat Suhu lebih tinggi,
akan tetapi sebagai seorang panglima, agaknya teecu dapat mempengaruhi
para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima daripada
seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur
kepergian isteri teecu keluar kota raja dan menentukan tempat yang akan
dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk
mengatur siasat malam nanti.
Karena maklum akan kekerasan hati
muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin dilarang tentu
makin penasaran, apalagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San,
akhimya Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San
menjadi girang dan cepat ia pulang ke gedungnya, berbisik-bisik mengatur
kepergian isterinya, dengan isterinya yang berwajah pucat dan mata
merah, karena terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri
mereka. Hari itu juga, menjelang senja, nyonya Khu menyamar sebagai
seorang wanita biasa, dikawal oleh dua orang pengawal kepercayaan Khu
Tek San, keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu
akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
Malam
itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam, dan
Menteri Kam memanggil pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat
disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun mempelajari ilmu
silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam, mengajar Tek San. Pelayan
ini bernama Gu Toan, semenjak kecil sudah cacat, tubuhnya, yaitu
punggungnya bongkok dan wajahnya buruk. Akan tetapi dia mempunyai
kesetiaan yang amat luar biasa, dan pendiam namun cerdik sekali sehingga
apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap
perintah majikannya selalu dilakukan penuh ketaatan sehingga setiap
perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
Gu Toan, kata
Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum
bahwa majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu
sedang menderita tekanan batin karena urusan yang amat hebat itu. Engkau
sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi aku akan
melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk
menyimpan peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya
engkau seorang yang kupercaya untuk menyelamatkan benda-benda pusaka itu
agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir sekali
kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan
jahat.
Hamba mengerti, Taijin.
Dan sepergiku, engkau tidak boleh
berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang sebelah
selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan
membawa benda-benda pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki,
tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan engkau boleh
pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti
aku gagal dan kau boleh cepatcepat memberi kabar ke Go-bi-san,
kaucarilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan ceritakan semua
peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?
Pelayan setia itu
mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia
menggerakkan kepala. Nah, kau berkemaslah, kata Menteri Kam, diam-diam
berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia mempunyai seorang pelayan
demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah
makan minum, mereka berdua hanya duduk bersamadhi, mengumpulkan tenaga
sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah
malam dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah
banyak yang tertidur dan sisanya tentu sudah mengantuk berjaga sampai
hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan
keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan orang berkelebat keluar dari
gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam
Liong sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa
bungkusan besar di punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu. Setelah
memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan
memisahkan diri, membelok ke selatan dan terus berlari menuju pintu
gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu gerbang
pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah
Menteri Kam kepada penjaga yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia
lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok ini keluar pintu
gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di
sebelah selatan, menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong
dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan
sehingga di malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka dan kalau
kebetulan ada yang melihat tentu tidak menduga bahwa berkelebatnya dua
sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan pakaian
ringkas sungguhpun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka. Menteri Kam
Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju
lebar akan tetapi kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang
sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya. Kepalanya diikat dengan
kain pembungkus kepala ringkas sehingga biarpun pakaiannya adalah
pakaian menteri, namun karena ringkas sederhana ia tampak sebagai
seorang tokoh kang-ouw! Adapun Khu Tek San memakai pakaian panglima,
bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit tebal di bagian
bahu, dengan dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang
tergantung di pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke
atas dengan sehelai sutera pengikat rambut. Panglima dengan kumisnya
yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka
berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu
amat tinggi dan agaknya Khu Tek San takkan mampu melompatinya, apalagi
dengan pakaiannya yang berat itu kalau gurunya tidak membantunya dengan
dorongan kuat dari bawah. Keduanya berhasil meloncat turun ke sebelah
dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di
belakang istana yang terjaga ketat.
Tepat seperti yang diduga dan
diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur
pulas. Sebagian lagi melenggut saking mengantuk, dan hanya ada belasan
orang saja yang dapat bertahan, menjaga sannbil main kartu. Melihat
munculnya dua orang dari dalam gelap, mereka terkejut, akan tetapi
mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa
yang muncul adalah Panglima Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka
yang tidak tidur atau mengantuk, cepat-cepat bangkit berdiri dan memberi
hormat kepada dua orang berpangkat itu.
Maaf.... hamba.... hamba
tidak tahu.... Kepala pengawal berkata gugup, karena munculnya dua orang
itu, terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami! kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
Bu....
buka pintu.... tapi.... hamba tak boleh.... Kepala pengawal menjadi
bingung memandang kepada pintu besi yang terkunci dengan gembok kuat
sekali itu.
Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang
ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani banyak cerewet? Panglima
Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
Maaf.... hamba tidak membantah, Ciangkun.... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....
Bukalah!
kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap daripada
suara Khu-ciangkun. Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang
bertanggung jawab.
Mendengar ini, penjaga itu tidak berani rewel lagi
dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang menghubungkan tempat
penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling
memberi tanda dengan kedipan mata, tubuh mereka bergerak seperti terbang
menerjang para penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga
itu telah terpelanting roboh karena tertotok sehingga dipandang sepintas
lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru
dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu
dengan serombongan penjaga di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh
orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja. Tanpa
banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga
lupa memberi hormat, tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan
tiga orang penjaga itu pun roboh pulas di tempatnya.
Setelah
melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba
di depan kamar tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan
di atas pembaringan batu dalam keadaan kaki tangan terbelenggu dan
pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari
tidak diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak
peduli akan keselamatannya itu pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan
ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan
karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat.
Begitu melihat munculnya Menteri Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang
itu meloncat kaget.
Seorang di antara mereka memutar golok menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
Plak!
Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu
terbanting roboh dan pedangnya patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu
yang melihat panglima ke dua lari ke sudut ruangan dan menarik sebuah
tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia
merobohkan panglima itu. Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang
ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan terdengarlah bunyi
berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi
kentung tanda bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka
berteriak-teriak dan membunyikan tanda bahaya pula.
Tek San! Cepat,
kaupondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar! Menteri Kam yang
biasanya amat halus gerak-geriknya, kini dengan sikapnya meloncat ke
depan, sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu,
mendorong daun pintu dan meloncat ke dalam kamar tahanan diikuti oleh
muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya
yang. kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan.
Dengan cepat Khu Tek San lalu memondong tubuh Han Ki yang lemas dan pada
saat itu, terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar di luar
pintu kamar tahanan.
Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak
tahu diri! Menteri Kam Liong membentak marah ketika melihat bahwa yang
memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar
ke situ bersama pasukan panglima pilihan dari istana. Kiranya Jenderal
ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana
yang diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa
menjaga tempat tahanan, sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima
pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam ruangan tersembunyi
yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia
menempatkan dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar
tahanan dan begitu ada bahaya, mereka disuruh menarik tali itu. Di
ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan
penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat
rahasia berbunyi, mereka semua dibangunkan dan menyerbu ke tempat
tahanan!
Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau
menjadi pemberontak juga!, Kalian terjebak seperti tiga ekor tikus,
ha-ha-ha!
Tek San, ikuti aku! Kam Liong membentak sambil mencabut
sepasang senjatanya yang ampuh dan menggiriskan hati semua lawannya,
yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat Kam
Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang
memanggul tubuh Han Ki dengan lengan kirinya sedangkan tangan kanannya
sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki dan dirinya sendiri.
Setibanya
di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang
dilancarkan oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas
satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini, makin gemas hati Kam
Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan
bahwa pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!
Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah
orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, hanya sedikit saja
di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan mereka
bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar
yang gemilang menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata
dan di antara tujuh buah senjata lawan yang mengeroyoknya, sebatang
pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya! Kam Liong
membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka.
Kebutan ini mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh
orang pengeroyok. Saking hebatnya sambaran angin kipas, tujuh orang itu
cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh mereka ketika
kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang
menyilaukan mata.
Trangggg, tringg.... cringggg....! Kembali para
pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja
yang mampu mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka,
sedangkan para panglima pengawal lainnya terhuyung ke belakang.
Tek
San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang! Menteri Kam Liong berteriak
sambil memutar suling emasnya menangkis datangnya sinar bekeredepan
dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para pengawal.
Karena
maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya dan
kalau mereka tidak cepat-cepat dapat keluar dari kota taja tentu mereka
terancam bahaya hebat, Khu Tek San mengerti akan maksud suhunya, maka ia
pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang
dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak.
Hal ini amat merugikan, karena Tek San mengerti benar bahwa apabila
pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat
sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar deri
kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati
para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi berlaku sungkan karena dia
maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia
mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman
mati dan yang lebih menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama
keluarganya sebagai pemberontak, demi keselamatan Han Ki, karena kalau
kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan
keluarga ayahnya. Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan
hebat menghadang para pengeroyok yang hendak mengejar Khu Tek San yang
menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa
orang-orang yang dibencinya dapat lolos keluar dari penjara, bahkan kini
telah menyerbu keluar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah
sekali dan menambah jumlah pesukan, juga memerintahkan agar
pasuken-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan keluar
dari kota raja! Sementara itu, dia sendiri memimpin para panglima yang
makin banyak jumlahnya, tetap mengeroyok Kam Liong yang mengamuk
bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, mengamuk sehingga
kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan
gulungan sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini
Kam Liong benar-benar meangamuk, bahkan hanya untuk membela diri namun
terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk
menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para
pengeroyok tanpa mengenal ampun lagi.
Suma Kiat! Jika kau tidak ingin
melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi! bentaknya
berulang-ulang sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini
tidak senang harus membunuhi para pengawal. Hal ini amat berlawanan
dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
Pengkhianat
dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja
dengan tubuh bernyawa! Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas
lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus
menjadi seorang pengkhianat dan pemberontak rendah, akan tetapi dia siap
mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk menyelamatkan keturunan
terakhir dan keluarganya.
Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal
Han Ki kaubebaskan! Teriaknya pula. Akan tetapi, baik Suma Kiat maupun
temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan
jujur yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya
dengan ketat.
Tek San! Lari....! Kam Liong berteriak, mencurahkan
tenaganya menerjang Suma Kiat. Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan
menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi korban kalau
saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan
senjata mereka. Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan
terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu dengan sinar kuning emas
yang amat kuat itu. Kesemuanya ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat
ke dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok
muridnya sehingga Tek San dapat melarikan diri. Menteri tua yang sakti
itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
Wirrr....
wirrr....! Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang,
kanan dan kiri ke arah tiga orang pelarian itu.
Namun, pedang di
tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan
semua anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak
panah terlempar dan menyeleweng ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis
sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud melarikan
diri keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Akan
tetapi, dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong
muncul pasukan-pasukan yang menghujankan anak panah dan mengeroyok,
seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua orang guru dan
murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
Kita
harus dapat keluar sebelum terang cuaca! Kam Liong berkata kepada
muridnya. Larilah cepat, biar aku yang menghadapi semua rintangan! Kam
Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung garuda menyambar
di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang
pengeroyok dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
Suhu....! Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
Hemm,
bicaralah! Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago
tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di
dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
Cet-cet cettt....! Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
Keparat!
Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil
menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas
digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir
jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari
atas genteng itu, dahi mereka termakan piauw mereka sendiri.
Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!
Kam
Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar
seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya.
Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan
nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau
tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
Jangan
cerewet! Cepat lari! Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia
membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga
sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal,
gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka
ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang
pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat
tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong
tubuh Han Ki yang pingsan.
Kejar....
Tangkap....!
Bunuh mereka
semua....! Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang
meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San
sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata
dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan
pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
Tring-tranggg....!
Khu
Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar
hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
Suma
Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat! Tek San membentak
marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan
tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan
memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan
kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
Cringgg....! Dua batang
pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong
tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok,
biarpun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat
kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma
Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan
aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat
menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa
mengejek.
Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan
daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku.
Berlututlah!
Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut
dan menyerah kepada saorang seperti engkau! Khu Tek San berseru marah
dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan
pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat.
Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi
bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang.
Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek
San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti
bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan
diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek
San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika
pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di
belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
Tranggg....!
Pedang
Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah
kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali.
Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini
tidak ada kesempatan lagi baginya
Kita harus dapat keluar sebelum
terang cuaca! Kam Liong berkata kepada muridnya. Larilah cepat, biar aku
yang menghadapi semua rintangan! Kam Liong bicara sambil melakukan
gerakan, seperti burung garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya,
dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok dan membuka jalan bagi
murid-muridnya.
Suhu....! Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
Hemm,
bicaralah! Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago
tua yang banyak pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di
dalam suara muridnya yang amat dikenalnya itu.
Cet-cet cettt....! Belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
Keparat!
Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil
menangkap atau menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas
digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas genteng rumah di pinggir
jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari
atas genteng itu, dahi mereka termakan piauw mereka sendiri.
Suhu.... kalau sampai gagal.... harap Suhu maafkan teecu....!
Kam
Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar
seorang jantan yang mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya.
Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak mengkhawatirkan keselamatan
nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau
tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
Jangan
cerewet! Cepat lari! Kam Liong membentak, akan tetapi biarpun dia
membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga
sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal,
gurunya tidak akan menyalahkan dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka
ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang
pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat
tinggi melampaui kepala para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong
tubuh Han Ki yang pingsan.
Kejar....
Tangkap....!
Bunuh mereka
semua....! Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang
meninggalkan Kam Liong dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San
sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata
dari sebelah belakang. Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan
pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh belakang.
Tring-tranggg....!
Khu
Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar
hebat. Cepat ia membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
Suma
Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormat! Tek San membentak
marah dan memutar pedangnya. Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan
tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci dan
memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan
kali ini pun sesungguhnya adalah Suma Kiat.
Cringgg....! Dua batang
pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.Jangankan sedang memondong
tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok,
biarpun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat
kepandaian Khu Tek San tentu saja tidak dapat menandingi tingkat Suma
Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang hebat dan
aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat
menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa
mengejek.
Khu. Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan
daripada mampus dan menjadi setan penasaran di ujung pedangku.
Berlututlah!
Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati daripada berlutut
dan menyerah kepada saorang seperti engkau! Khu Tek San berseru marah
dan menyerang. Sembil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan
pedangnya dan dalam beberapa jurus saja Tek San sudah terdesak hebat.
Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi
bingung sekali, terpaksa selalu menangkis tanpa dapat balas menyerang.
Memang Suma Kiat amat cerdtk. Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek
San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana, hal ini berarti
bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan
diri mereka sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu
menyelamatkan Han Ki. Maka, kini dia menyerang Han Ki yang dipondong Tek
San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika
pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di
belakang pundak kanan Tek San, panglima ini cepat menagkis.
Tranggg....!
Pedang
Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah
kaki Han Ki yang tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali.
Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri yang terpental maka kini
tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis,
sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan
tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia dapat
menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih menyerempet
pahanya sendiri yang kanan.
Cett! Darahnya muncrat keluar dari luka
di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah membarengi
dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat mengelak dengan
loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San sudah
meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan
tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua
orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San berlari terus.
Keparat,
hendak lari ke mana kau! Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua
sinar merah meluncur ke arah Tek San. Panglimuntuk menggunakan pedang
menangkis, sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat
menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang lewat menyambar ke bawah. Dia
dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih
menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
Cett! Darahnya muncrat keluar
dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah
membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat. Ketika Suma Kiat
mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya
sekali, Tek San sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima
menghadangnya, akan tetapi sekali menggerakkan pedang menjadi gulungan
sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh terluka. Tek San
berlari terus.
Keparat, hendak lari ke mana kau! Suma Kiat
menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur ke arah Tek San.
Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua
batang jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia
maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari ibunya. Jarum-jarum
ini kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat,
meluncur cepat tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan
menyusup-nyusup dan racunnya akan terbawa oleh darah sehingga seketika
korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka dan
sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!
Trik-trik! Dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
Suhu,
awas.... Siangkoan Lee berseru dan Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke
belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee memperingatkan
gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang
menolong Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan
pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan oleh Siangkoan Lee dan para
panglima, menghadang menteri sakti ini, membantu muridnya.
Tek San,
lari....! Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi
sambil lari terus ke selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil
melindungi muridnya itu.
Biarpun dihadang, dikepung dan dihujani
senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang banyaknya, guru
dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak
sekali pengawal dan panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah
kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak jumlahnya. Ketika
para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam
Liong dan Panglima Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi
ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diam-diam sebagian besar
dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan
disegani rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada
Menteri Kam Liong, merasa berduka dan gelisah sekali. Mereka bersimpati
kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi
pemberontak dan melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri?
Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka besar akan menimpa
keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika
akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil bertempur itu
mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orapg
perajurit, bahkan Suma Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima
telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat penjagaan di pintu
gerbang ini!
Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita
mati atau selamat di sini! Terowongan pintu gerbang itu sempit, tidak
akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita
membuka jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus
langsung mendobrak dan membuka pintu, aku yang mempertahankan kejaran
mereka dari belakang. Cepat!
Tek San terpincang-pincang, paha
kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak pengeroyok,
akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia
memutar pedangnya, membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima
lalu memasuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah
terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang
panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan
orang perajurit pengawal, akan tetapi pundak kirinya kena totokan golok,
dan kipasnya ketika menangkis lima pedang sekaligus, mematahkan semua
pedang akan tetapi daun kipasnya terobek. Biarpun demikian menteri tua
putera pendekar sakti Suling Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk
terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling emas di
tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan tercuci darah puluhan
orang lawan yang dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu
seolah-olah menjadi makin lihai. Akan tetapi, karena kini ia bergerak di
depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi pengeroyokan yang
amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam
hatinya, Menteri Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan
mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang itu sampai napas terakhir
untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki. Dia sudah tua, tidak
ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga
tidak akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi, muridnya belum
begitu tua mempunyai anak isteri pula, sedangkan Han Ki masih seorang
pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan
nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga
orang penjaga lagi, yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu
gerbang, Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang.
Tenaganya sudah hampir habis dan darah yang mengucur dari luka di
pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya
berkunang. Adapun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak
orang, tidak sempat memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan
tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah daging sehingga
melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus
menerus semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan. Apalagi
setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang
merupakan pengepungan paling hebat ini, biarpun ia telah berhasil
melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya, merobohkan
Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling,
membinasakan banyak sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini
sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak, membuat ia terluka
di beberapa tempat dan,seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya
terengah-engah dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan
terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia
mempergunakan tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa
kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak dapat dibukanya. Palang
pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut.
Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang
penjaga. Akan tetapi apa artinya bagi Khu Tek San benda seberat itu?
Biasanya, kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa. Agaknya
tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas
karena kehilangan darah dan kelelahan membuat dia hampir pingsan. Hanya
berkat semangatnya yang tak kunjung padam sajalah yang membuat orang
gagah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak
pernah putus asa, apalagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang.
Sekali lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk
melarikan diri. Dengan ilmu lari cepat mereka, hanya ada beberapa orang
saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja
tidak ada artinya baagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran
selama setengah malam dan dapat tiba di pintu gerbang, hati guru dan
murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati
mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi, Kam
Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biarpun
sudah terluka dan merasa jerih untuk ikut mengeroyok kakak misannya
yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat masih memimpin pengepungan
dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang,
hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan
bahwa kalau sampai mereka berdua itu berhasil keluar tembok kota raja,
akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu. Maka diam-diam
ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik
ke atas pintu gerbang, di bawah pimpinannya sendiri Suma Kiat menanti
saat baik, selagi Khu Tek San berkutetan membuka palang pintu, dia
memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke tubuh Han Ki dan Khu Tek San.
Tek,
San awas anak panah....! Kam Liong yang sudah mulai payah saking
lelahnya itu masih sempat memperingatkan muridnya. Tek San terkejut
sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena
seluruh perhatian dan tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu
gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar pedang dan berhasil,
menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.
Akan
tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan
terengah-engah menghentikan gerakan pedangnya, tiba-tiba sebatang anak
panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara saking
cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu
Tek San. Itulah anak panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat
oleh tangan Suma Kiat sendiri!
Suhu....! Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan
maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti
itu menengok dan seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke
depan, ia pun memandang penuh keheranan karena tiba-tiba pintu gerbang
yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah
terpentallebar dan tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat
aneh. Puluhan orang perajurit penjaga seperti telah berubah menjadi
arca, ada yang berdiri ada yang rebah, akan tetapi kesemuanya tidak
bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta
yang berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak
perempuan di kedua tangannya. Dua orang anak itu adalah Maya dan Khu
Siauw Bwee!
Pada saat itu, Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba
sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan maut yang dilakukan tepat
sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam
Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang
terpanah lehernya, juga menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat
aneh itu.
Ayahhhh....! Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si
Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya yang sudah terjungkal sehingga
tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
Pek-hu....! Maya menjerit
ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak
menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan, tetapi guru dan
murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat
Maya dah Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian
hampir berbareng, guru dan murid ini menghembuskan napas terakhir,
ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan pengawal
yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek
tua renta itu, kini sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak
menyerang.
Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini....! Tiba-tiba kakek
tua renta itu berkata halus dan tubuhnya seolah-olah digerakkan angin
melayang ke depan, ke dua tangannya dikembangkan dan pergelangan
tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua
tangan itu menyambar angin halus yang amat kuat sehingga semua panglima
dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke kanan kiri, ada
pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mujijat yang
mendorong mereka mundur. Dengan tenang, kakek itu menghampiri Maya dan
Siauw Bwee, berkata lirih.
Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah
wajar dan semestinya, mengapa ditangisi? Sungguh mengherankan, dua orang
perempuan itu yang dilanda duka, terutama sekali Siauw Bwee yang
melihat ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit
berdiri, memandang kakek itu dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk,
mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.
Pada saat itu
terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu
gerbang masuklah seorang laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat
jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan lain adalah Gu
Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua
renta itu mengangguk-angguk. Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan
seperti engkau. Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus
jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya di kuburan keluarga
mereka,
Gu Toan menengok dan begitu pandang matanya bertemu dengan
pandang mata kakek itu ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki
kakek tua renta sambil berkata,
Hamba mohon petunjuk.
Kakek itu
tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu
Toan. Pelayan Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin
panas memasuki kepalanya, terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebagai
seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti
Kam Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang
memiliki sinar pandang mata yang luar biasa seolah-olah menyinarkan
sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang
memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya. Tentu saja ia menjadi girang
sekali dan membuka semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan
sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan
merasa betapa dadanya hangat dan nyaman, dan ketika ia menghaturkan
terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan penuh
semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi, maklum bahwa dalam saat
yang penuh mujijat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak,
cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian
melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di
pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula,
diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu
Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di tanah
pekuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu
sampai menjadi kakek-kakek dengan penuh kesetiaan, dan sementara itu,
ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam Liong ikut
pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga
sakti yang diberikan kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang
amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman
atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat mempunyai kesetiaan seperti
itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya besar, namun
sesungguhnya, yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja,
sedangkan keadaan batinnya amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek
tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat
datang di situ bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian
depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang dijadikan perebutan di dalam
pesta Coa-bengcu, telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek
ini bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka
oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau
juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek itu
adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah
ada semenjak puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi memang
sesungguhnyalah. Kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti Bu Kek
Siansu yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa
banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang kabarnya bertempat tinggal di Pulau
Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka
yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata karena memang kakek itu tidak pernah bertempur, akan
tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti pun dapat
merobohkannya!
Dengan langkah tenang, Bu Kek Siansu yang memanggul
tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki, menggandeng tangan Maya dan Siauw
Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah terjadi
sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi,
tidak mampu bergerak dan yang dapat bergerak pun tidak berani berkutik
karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat luar
biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka. Setelah kakek bersama
dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan
menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan
mencak-mencak. Kalau saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh
besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin hukuman berat dari
Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari
tempat tahanan.
Biarpun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena
kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa dia tidak mempunyai
penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek
Siansu dan dua orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki,
kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri. Apalagi karena semenjak
melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat, tidak pernah mengabarkan
diri lagi. Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada
muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan Lee dan dalam keadaan berduka,
ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling
cantik dan yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu
Ci Goat.
Betapapun juga, Suma Kiat tidak dapat melupakan kenyataan
bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan
dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum
kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling
utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama Han Ki, Maya dan
Siauw Baee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa
indahnya, yaitu munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak
sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan, purnama, sedikit
demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan
tetapi makin lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air
laut. Makin tinggi matahari muncul, makin terang sinarnya, mula-mula
sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya
membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar
itu menyilaukan mata dan mata manusia tidak dapat pula memandang
matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri
seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia
seperti terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas
panjang dan berkata halus.
Han Ki....
Pemuda itu memandang kakek
itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal
watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam
suara itu ia merasakan semacam getaran yang aneh dan mengharukan,
seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda dari
biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu, cepat
kesehatannya pulih kembali dan ia melakukan perjalanan bersama Maya den
Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini, dan setelah
berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi,
kini tiba-tiba memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
Suhu....!
Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan
kaki Bu Kek Siansu, dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee. Kedua orang anak
perempuan ini selama melakukan perjalanan bersama Bu Kek Siansu, tidak
berani banyak bertanya. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap
kakek itu yang membuat mereka tidak berani banyak bicara, karena ada
wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan
Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek
itu berubah menjadi pendiam dan tidak banyak bicara.
Han Ki, dengarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar pesanku.
Suhu....! Apa.... apa maksud Suhu? Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek
itu menoleh dan menunduk, tersenyum. Lepaskan kegelisahan dari hatimu.
Saat ini sudah kunanti-nanti selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat
ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena aku akan terbebas!
Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han
Ki, hanya ada satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu
memperingatkan kepadamu bahwa engkau memikul tanggung jawab dan tugas
yang amat berat. Dua oranag anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi
tanggunganmu. Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan.... engkau
hati-hatilah karena bukan hal yang ringan kauhadapi. Kulihat hal-hal
yang amat meresahkan, akan tetapi.... biarlah Tuhan yang akan
mengaturnya dan semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu
kujelaskan lagi karena aku tidak dapat menerangkan lebih jeias. Yang
penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau
Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoimu ini. Yaaa,
mereka adalah sumoimu, Han Ki, karena aku mengangkat mereka sebagai
murid pula, dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk mereka. Juga
engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan.
Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, di dalam guha batu
karang di tebing laut, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat. Bawalah
kedua sumoimu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau Es.
Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari
terbit, engkau akan tiba di Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut
sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau mendayung
kuat-kuat dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.
Pulau Es....? Han Ki berdebar tegang.
Pulau
tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir.
Istana Pulau Es itu kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah
engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula terhadap
orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian
sudah berhasil tiba di sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan
sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum cukup masak.
Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka
kalian harus hati-hati menghadapi mereka. Akan tetapi.... yang paling
berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri.... kakek itu berhenti
bicara dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw Bwee.
Suhu
hendak ke manakah? tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah
mendengar bahwa dia dan Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. Kuberi tahu juga tidak mengerti engkau, Siauw Bwee.
Suhu,
setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya? Maya
berkata, suaranya nyaring, matanya yang seperti bintang itu
bersinar-sinar memandang gurunya.
Bertanyalah selagi ada kesempetan, Maya. .
Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?
Kakek
itu tersenyum den memandang kepada Han Ki. Jawabannya boleh kaudengar
dari Suhengmu dan mulai saat ini, segala hal dapat kautanyakan kepada
Suhengmu, karena dialah yang mewakili aku mengajar kalian berdua. Han
Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.
Dengan suara tenang dan tetap Han
Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu. Sumoi, yang
dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya
membutuhkan tenaga kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya
melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki nafsu-nafsu yang amat
kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan
penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan
dengan ilmu silat atau dengan tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran
dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan agar kita selalu
waspada terhadap diri sendiri.
Pelajaran ini adalah pelajaran
kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan
Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah
mengerti kitab-kitab yang diharuskan mereka baca ketika mereka
mempelajari kesusastraan, maka biarpun belum jelas benar, Maya dapat
menangkap maksudnya dan ia terdiam.
Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya,
mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah
pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasihat
dan pesanan Suheng kalian yang mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya
sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah, semoga
Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki,
hati-hatilah muridku, terutama terhadap.... Cinta....! Kakek itu tidak
melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke.... laut di bawah
tebing!
Suhu....! Han Ki berteriak kaget
Suhu....! Maya dan Siauw
Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing
dengan hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang
dengan mata terbelalak menyaksikan hal yang amat luar biasa. Mereka
melihat kakek itu.... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah
berjalan di atas tanah saja, terus ketimur.
Suhu....! Mereka berteriak.
Bu
Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang
tampak oleh tiga orang anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat
mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak, gelombang mulai
berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu
tertutup ombak. Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han
Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya yang terdengar menggetar.
Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu.
Maya
dan Siauw Bwee mengangguk lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang
menengok ke arah laut di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee
memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, Suheng.... Suhu pergi ke
manakah?
Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata,
suaranya agak ketus. Sumoi, mengapa engkau bertanya yang bukan-bukan?
Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?
Siauw Bwee
tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan
di sebelah kirinya. Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang
bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diam-diam Han Ki
merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan
Maya itu seperti ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee. Akan
tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata,Suheng,
aku bukan anak kecil yang harus digandeng-gandeng!
Han Ki terseayum
dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul
kekhawatiran bahwa kelak akan sampai terjadi hal-hal yang memusingkan,
tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak yang aneh dan keras,
berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.
Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan bere s, katanya perlahan.
Engkau
adalah suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu,
Suheng. Akan tetapi Khusumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku
karena aku sucinya.
Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti
mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah Siauw Bwee, ia
melihat sumoinya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak
membayangkan sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran
akan sikap Maya yang sukar diselami itu. Sumoi, seorang saudara tua
tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus
melindunginya.
Tentu saja! jawab Maya cepat, Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah semestinya.
Hemm...., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?
Melindungi
dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku.
Kalau ada orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu
saja masih ada Suheng yang melindungi kami berdua.
Han Ki
mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh
Siauw Bwee karena merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan
bertanya, Siauw Bwee sumoi, bagaimana pendapatmu?
Siauw Bwee menoleh
dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil
hitam, kemudian memandang Maya dan menjawab halus, Aku adalah seorang
saudara muda, sudah tentu dalam segala hal aku akan mendengar dan taat
akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa petunjuk dari Suci
terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.
Mendengar
ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari
jawaban itu dia dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus,
suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali, dapat
mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan!
Mulailah hati pemuda ini tertarik sekali kepada dua orang sumoinya.
Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa.
Maya adalah puteri Khitan, anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu
Raja Talibu putera supeknya, Suling Emas. Adapun Siauw Bwee juga bukan
anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas
mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau
tidak mau timbul perasaan kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han
Ki kepada Siauw Bwee. Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal
pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluarganya berantakan. Bukankah
semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus
membalas semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau
perlu menyediakan nyawa untuk membela dan melindungi Siauw Bwee seperti
telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
Kalian berdua benar. Memang
kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak
beradik yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita
mempercepat perjalanan agar dapat menemukan perahu itu. Kalian harus
tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau rahasia
yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua
Sumoiku yang baik, mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita
sehingga dapat menemukan Pulau Es yang dimaksudkan Suhu.
Mari kita lari cepat. Sumoi mari kita berlomba! Maya berkata dan menantang Siauw Bee.
Baik,
marilah, Suci! Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis
cilik itu di sepanjang pantai laut ke utara, secepat mungkin. Melihat
ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu
masih seperti anak-anak, pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa
perlumbaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati kedua orang
gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan
banyak keruwetan dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat
mengejar, membayangi kedua orang sumoinya dari belakang sambil
memperhatikan cara mereka berlari cepat.
***
Ke dua
orang gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka
berimbang. Han Ki yang memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar
ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu ilmu lari cepat
Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih
terlatih dan agaknya bekas Puteri Khitan itu memang sering kali
mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee mulai tampak
lelah, Maya masih dapat beriari dengan seenaknya. Han Ki melihat betapa
Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi
kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi
Siauw Bwee tentu akan kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu
mempercepat gerakan kakinya, melampaui mereka dan berkata tertawa.
Wah,
kalau kalian beriari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan
perahu itu? Mari kugandeng tangan kalian, Sumoi! Han Ki menyambar tangan
Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya, kemudian mengerahkan
ginkangnya dan beriari cepat sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum
bukan main dan mereka melupakan perlumbaan mereka tadi.
Suheng, larimu cepat sekali! Maya berseru kagum.
Seperti Suhu ketika mermbawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini? Siauw Bwee juga berkata.
Inilah yang disebut Cio-siang-hui! jawab Han Ki.
Suheng,
kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku! Maya berseru dengan kagum karena
ilmu terbang di atas rumput ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini
dia melihatnya.
Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak
ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian berdua. Sekarang diamlah
dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri. Setelah berkata demikian,
tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena
tidak seperti tadi, hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat
jauh ke depan sehingga larinya menjadi cepat bukan main. Maya dan Siauw
Bwee tadinya mentaati pesan suhengnya dan memejamkan mata. Mereka
mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh
mereka terangkat sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan
kadang-kadang hanya menyentuh tanah sedikit saja. Rasa ingin tahu
membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka
membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak
girang.
Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!
Melihat betapa kedua
orang sumoinya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan
kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan
suhunya untuk mengambil
murid dua orang anak perempuan ini
benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan
lebih-lebih lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat
terpenting bagi seorang calon ahli silat. Ketabahan mendatangkan
ketenangan dan betapapun pandai seseorang dalam ilmu silat, kalau dia
tidak memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang, berarti dia
sudah kehilangan setengah ilmunya.
Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di, depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita mencari perahu itu!
Ucapan
ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu
menuruni tebing yang terjal dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua
orang sumoinya karena menuruni tebing itu merupakan pekerjaan yang cukup
berbahaya. Namun, gin-kang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat
tinggi sehingga biarpun menggandeng dua orang sumoinya, ia dapat
mengajak mereka turun dengan cepat sampai tak lama kemudian mereka tiba
di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak guha yang
tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di
sebuah di antara guha-guha ini, tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek
Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang kuat, bentuknya
meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil
namun cukup untuk tempat berteduh dari terik matahari.
Ini perahu Suhu! Han Ki berseru girang. Marilah!
Maya
dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka
membantu Han Ki melepaskan ikatan perahu pada batu karang, kemudian
melihat Han Ki menarik keluar perahu dari dalam guha dan mendorongnya ke
atas air laut.
Setelah kedua orang sumoinya naik ke atas perahu dan
duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai mendayung perahunya, mengambil
arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali.
Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu,
sedikit pun tidak terguncang, hanya meluncur cepat ke depan seperti
terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung
perahu. Mereka minta belajar dan tak lama kemudian, dua orang gadis
cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan
oleh Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.
Han
Ki memandang sumoinya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini
selalu memikirkan ibunya. Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi
kerinduannya. Ia mengangguk. Tentu saja, Sumoi. Dan aku akan membantumu
mencari sampai dapat. Kurasa kalau kita menyelidiki ke kota raja kelak,
akan ada kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana
Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.
Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!
Kim
Haa Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. Hemmm.... orang tuamu
gugur dalam perang. Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?
Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!
Diam-diam
Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada
kerajaan-karajaan tiga negara,. bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara
membalasnya hanya satu, yaitu dalam perang! Diam-diam ia merasa ngeri,
akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoinya yang
seorang ini amat keras hati dan mudah tersinggung, apalagi dalam urusan
membalas dendam. Karena ayah puteri ini merupakan saudara sepupunya
pula, maka ia hanya berkata tenang, Cita-citamu itu. amat sukar
dilaksanakan, akan tetapi kaubelajarlah yang tekun, Sumoi.
Dan engkau
sendiri, bagaimana urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin
dengan Raja Yucen itu, Suheng? Tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki
tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak
disangkanya bahwa sumoinya tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa
berita-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apalagi yang menimpa diri
puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena
setiap mulut suka membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh
tangan sucinya, ketika sucinya memandang, ia berkedip dan menggerakkan
muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa
pertanyaannya tadi menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi,
mengangkat sedikit pundaknya kemudian melanjutkan gerakan tangannya
mendayung, mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menyanyikan sebuah
lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengarkan dengan
kagum karena suara Maya memang merdu sekali, apalagi menyanyikan sebuah
lagu asing yang terdengar makin aneh mempesonakan, dinyanyikan di atas
perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu. Han
Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan tiba-tiba
tadi, ketika mendengar nyanyian ini, merasa makin nelangsa, pikirannya
melayang-layang dan teringatlah ia akan segala yang terjadi semenjak
mengadakan pertemuan dengan Supg Hong Kwi sampai dia ketahuan,
dikeroyok, ditangkap dan akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh
Kam Liong dan Khu Tek San kemudian dibawa pergi suhunya. Teringatlah
dia akan nasihat dan wejangan suhunya yang membuka matanya dan
menyadarkannya sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati
tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanyaan tiba-tiba dari Maya
membuat ia terkejut dan terpukul, terbayang wajah Sung Hong Kwi yang
dicintanya, timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di
hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas oleh orang lain!
Hong
Kwi....! Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara
dingin seperti suara yang keluar dari balik kubur, sama sekali tidak
mengandung semangat kehidupan. Maya dan Siauw Bwee, kuminta kalian
selamanya jangan menyebut-nyebut lagi namanya....
Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang Puteri Sung Hong Kai itu.
Baik, Suheng, jawabnya.
Baik, Suheng, kata pule Siauw Bwee.
Dengan
kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan
hatinya yang tertekan , maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan
cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air laut mengumandangkan
nasihat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya
mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoinya, karena kalau
dia muncul di dunia ramai, tentu akan teringat terus akan peristiwa di
Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan. Kini Han Ki
dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasihat itu. Dia masih muda dan
berdarah panas, mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi
dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat neenahan diri dan akan
menimbuikan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran
yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi
milik orang lain, dan dia harus dapat melupakanya. Satu-satunya jalan
untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang terasing dan
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
Hei....! Ikan
banyak sekali....! Tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw
Bwee dan Han Ki memandang dan memang benar. Di dalam air, tersinar bagai
matahari, tampak banyak ikan sebesar paha berenang ke sana ke mari
banyak sekali. Pemandangan ini amat menarik hati dan ketiganya tidak
menggerakkan dayung membuat perahu terhenti dan mereka menikmati
pemandangan yang memang indah itu. Karena matahari sudah naik tinggi
dengan sinar cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan
dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar perahu amatlah
mempesonakan.
Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini; kata Siauw Bwee.
Itu
ada perahu datang! Han Ki berkata. Mereka memandang dan dari jauh
tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali. Setelah
dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang
laki-lakiyang berkepala gundul.
Seperti seorang hwesio! kata Siauw
Bwee. Bukan, bantah Maya. Lihat, biarpun gundul, dia tidak memakai baju!
Mana ada hwesio tidak berjubah?Han Ki sudah berdiri di atas papan
perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. Bukan hwesio. Akan tetapi
dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya
kecil melintang.
Heran, orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu
perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia bukan orang
sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang
baik-baik.
Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada
di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka, melainkan memandang ke air
di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang,
perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan
tali panjang. Kemudian, setelah memandang ke air penuh perhatian sampai
tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk dl luar bibir perahu,
tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air
hanya, muncrat sedikit saja dan tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
Wah, dia gila....! Maya berseru.
Dia bisa celaka....! Siauw Bwee berkata penuh keheranan.
Hemm,
kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli
dalam air dan loncatannya tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang dicarinya di
dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?
Pertanyaein
Han Ki itu segera mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh
sekali. Tiba-tiba air bergelombang dan.... dari dari dalam air tadi
meloncatlah orang yang tadi ke dalam perahunya, tangannya memondong
seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam
perahu, menggelepar-gelepar dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah
meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia meloncat ke
perahu membawa seekor ikan besar dan ketika untuk ketiga kalinya ia
meloncat ke air, Han Ki berkata.
Bukan main! Selama, hidupku,
mendengarpun belum apalagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan
secara itu! Dia benar-benar hebat luar biasa. Mari kita dekati, aku
ingin berkenalan dengan dia! Han Ki berseru dan mendayung perahu
mendekat.
Pada saat itu, air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke bawah, Lihat....!
Mereka
terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi
tenggelam lagi dan ternyata bahwa orang aneh itu sedang bergumul melawan
seekor ikan yang besar, lebih besar daripada tubuhnya dan dua kali
lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya
dan Siauw Bwee memandang penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat
dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak karena
kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat. Suheng, bantulah dia....!
Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh
kekhawatiran akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton
dengan amat tertarik sampai berdiri membungkuk di pinggir perahu.
Tidak perlu, Sumoi. Lihat!
Ketika
Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah
meloncat ke atas perahunya, mengempit kepala ikan besar itu yang
memukul-mukul dengan ekornya. Begitu melempar ikan besar ke perahu,
orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti
memukul-mukul dengan ekornya menggelepar lemah.
Lopek, kepandaianmu
mengagumkan sekali! Han Ki berseru ke arah orang gundul itu dan ketika
orang gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan
kedua tangannya didepan dada memberi hormat. Akan tetapi orang itu tidak
membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat
asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan
bahasa Han.
Kepandaian begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak
mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari mampus?
Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
Celaka!
Orangnya sombong seperti setan! Maya memaki marah. Hayo kita pergi
saja, Suheng. Buat apa berkenalan dengan orang macam itu?
Lopek,
awas....! Ikan hiu....! Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang
masih berenang dan agaknya sedang mencari-cari dan memandang ke dalam
air itu.
Suheng....dia bisa celaka....! Siauw Bwee berseru.
Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa! Maya juga berseru.
Seekor
Ikan hiu yang ganas dan liar, sebesar manusia, menyambar dari belakang
orang gundul itu. Dia ini cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah
telah membuang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar itu luput.
Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan mencengkerem sirip ikan,
kemudian memutar dengan kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu
membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan kedua tangan,
membetot dan.... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu
berkelojotan sekarat, air di sekitarnya merah oleh darahnya.
Lopek,
naiklah ke perahu banyak ikan hiu....! Han Ki berteriak lagi ketika
melihat banyak sekali sirip atas ikan hiu meluncur datang. Ikan-ikan hiu
amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air,
mereka berdatangan seperti beriumba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan
hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang beear-besar. Sebagian
ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang
menyerang Si Gundul!
Siauw Bwee menjerit ngeri menyaksikan bangkai
ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena tubuh orang
gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu.
Sedangkan Maya memandang dengan wajah berseri,agaknya ia girang melihat
orang sombong itu terancem bahaya.
Akan tetapi orang gundul itu
benar-benar amat lihai. Biarpun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia
tidak mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah
tidak keburu lagi. Dengan gerakan tangkas ia memukul ikan terdekat.
Desss!
Pukulan itu hebat dan biarpun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak
remuk dan ikannya tidak mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
Pukulan
Pek-lek-sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya? Han
Ki makin terheran-heran ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan
sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak
ada yang depat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya
maut yang mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak
tewas , dan sudah berbalik menerjang didahului oleh dua ekor ikan yang
lain yanag menerjang dari kanan kir! Orang gundul itu berhasil memukul
dua ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat
ia hindarkan. Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking,
tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya menyambar lengan orang
gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang.
Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai
landasan, Han Ki berhasil melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya,
sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya meloncat ke perahu
terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan
mata terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
Kau.... kau siapa? Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar mata penuh heran dan kagum.
Han
Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si
Gundul sambil memperkenalkan diri! Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah
dua orang sumoiku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah Lopek yang pandai
ini dan di mana tampat tinggal lopek?
Laki-laki tua yang usianya
sudah ada lima puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak kuat itu
memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang
dan berkata, Sungguh tak kusangka di dunla ini ada seorang pemuda yang
begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong nyawaku, maka sudah
sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah
seorang nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku
berhasil menangkap tiga ekor ikan yang besar dan lezat dagingnya. Kalau
engkau dan dua orang sumoimu suka, aku undang kalian untuk mengunjungi
pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.
Baiklah dan
terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.
Han Ki amat tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena
tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu memiliki ilmu pukulan yang ia
kenal sebagai ilmu pukulan gurunya. Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya
melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat perahu Si
Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena
perbuatan pemuda itu membuktikan kepandaian yang tinggi.
Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya? Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
Sumoi,
dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku
ingin sekali mengetahui keadaan keluarganya. Tentu ada, hubungannya
antara mereka dengan Suhu, Han Ki berkata lirih.
Orang muda she Kam!
Marilah ikut perahuku! Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia
sudah mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang
mengerahkan tenaganya dan agaknya dia hendak menguji Han Ki. Melihat
ini, Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga
pula mengejar perahu Si Nelayan itu menuju ke utara dan kurang lebih dua
jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah pulau kecil yang ditumbuhi
pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang
curam.
Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika
ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan
mengikatkan perahu, Ia berkata, Engkau memang orang muda hebat dan
pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku! Ia mengikat mulut tiga ekor
ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
Benar-benar
seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat. Han Ki memuji. Kalian
berpeganglah pada tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya. Han Ki
menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya
dan Siauw Bwee, kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan
dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya mendaki tebing
mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki
tebing sambil memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika
tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu
disambut oleh dua puluh orang lebih terdiri dari laki-laki dan wanita
yang kesemuanya berpakaian sederhana, yang laki-laki sebagian besar
bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju.
Sedangkan yang wanita memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit
ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang laki-laki semua
botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan mode bagi
mereka!
Ketika mereka melihat Han KI dan dua orang sumoinya, mereka
menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda ini, memandang seperti
sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apalagi ketika
nelayan gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, orang-orang itu makin tertarik
dan memuji-muji.
Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia
kuundang untuk berpesta bersama kita, demikian Si Nelayan Gundul
menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoinya
menjadi barang tontonan beberapa lama sambil memperhatikan orang-orang
itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata,
Siapakah di antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?
Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini, jawab Si Nelayan Gundul.
Kumakaudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku dan ingin bicara.
Orang-orang
yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, Kami
sekeluarga tidak mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami
masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?
Han Ki terheran-heran. Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun temurun terus berada di sini?
Si
Nelayan Gundul mengangkat pundak kemudian menuding ke arah seorang
laki-laki tua yang berkepala botak. Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.
Laki-laki
berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang
menghampiri Han Ki. Tiba-tiba tongkatnya membuat beberapa gerakan
berputar dan tongkat lenyap berubah menjadi gulungan sinar yang
mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena
penyerangan yang tak disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal
bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan ilmu pedang yang
amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan
ilmu pedang yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia
mengelak dan berseru.
Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!
Akan
tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga diantara dua puluh orang
lebih itu tidak ada yang menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu
belumpernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat kakek itu
meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak
Han Ki! Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar
telah menguasai Thian-te It-kiam dengan sempurna dan bahwa kakek itu
hanya ingin mengujinya karena gerakan aseli dari jurus itu adalah
menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi
oleh kakek itu diubah menjadi gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul
kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
Srattt! Tampak sinar
berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya
sambil berseru. Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu
Pedang Thian-te It-kiam! Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang
bersambung 4.........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar