Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suhengnya dan berbisik,
“Suheng, aku bersedia menjadi pengganti Hong Kwi...., aku...., Suheng,
bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu....?”
Kali ini
benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk
tubuh itu penuh dendam rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima
tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang tengadah itu dekat sekali
dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh
pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki
melepaskannya, bangkit berdiri dan membalikkan tubuh membelakangi Maya,
memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya mengusir gairah nafsu
yang menyesakkan dada.
“Suheng....!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
“Maya-sumoi,
jangan....!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul
pinggang itu, melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh
menghadapi sumoinya. Kini ia telah menguasai nafsunya dan matanya
memancarkan pandang mata penuh teguran.
“Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”
“Suheng....! Aku.... cinta padamu, Suheng....”
“Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
Maya
memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang
ketakutan, napasnya terengah dan naiklah sedu-sedan dari dadanya,
kemudian membalik dan lari keluar sambil terisak.
Han Ki memejamkan
mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan
kemudian ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biarpun
Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan sikap dengan terang-terangan,
namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia? Ah,
cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa
mungkin ia jatuh cinta lagi? Namun ahhh...., dia bergidik kalau teringat
tadi betapa nafsu berahi menguasainya, membuat ia ingin memeluk ketat
tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah,
betapa mudahnya ia jatuh cinta kepada Maya, dan.... ketika ia memandang
arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat mudah pula, semudah tadi,
ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
“Kau....,
kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri, terbayanglah
wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai
lama ia termenung seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan
batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas perasaannya.
Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus
tiga buah arca itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali
Siauw Bwee menjenguknya, mengajaknya makan kemudian setelah bertanya
mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh,
“Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauw-moi, tinggalkan aku sendiri.”
Pada
jengukannya yang ke dua, Siauw Bwee ragu-ragu den memandang suhengnya,
kemudian berkata, “Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”
Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat demikian?”
“Kulihat
Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku
bertanya ddan menghiburnya dia malah membentakku agar aku tidak
mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”
“Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri,Sumoi!”
Sejenak
Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar
ucapannya lirih, “Engkau kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”
“Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
“Suheng,
selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau
berduka dan Suci menangis, Suheng, engkau...., engkau satu-satunya orang
yang kumiliki di dunia ini, disamping ibuku yang entah berada di mana.
Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka....”
Han Ki memejamkan
mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia
telah dapat menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan
berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi. Aku tidak apa-apa, hanya
tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang
kaubuat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk
mengalihkan perhatian sumoinya itu.
“Sudah, Suheng. Layar yang
kauberi sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin
mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu”
Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang disana.”
“Aku ingin menagkap kijang.”
“Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”
“Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman disini.”
Han
Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoinya. “Apa? di sini ada
aku dan sucimu, dan engkau hendak mencari kijang untuk teman?”
Siauw
Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku....,
aku kadang-kadang merasa kesepian, Suheng tarutama sekali.... sekarang
ini....”
Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan tubuhnya dan lari pergi.
“Hei....!
Khu-sumoi....?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan
lapat-lapat Han Ki mendengar sumoinya itu terisak! Han Ki berdiri
termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Perempuan....!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
Hatinya
makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa
mulai saat itu ia hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kengan
kedua sumoinya itu. Untuk melupakan pekerjaannya. Semalam suntuk dia
tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
***
Pada
keesokan harinya, barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak
beristirahat, tiba-tiba ia terlonjak bangun karena mendengar suara desir
angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah suara
pukulan-pukulan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Biasanya, desir angin
pukulan itu terdengar di waktu kedua sumoinya berlatih akan tetapi
sekali ini, desir angin hebat itu diseling suara bentakan-bentakan
nyaring orang bertempur. Ia merasa heran dan khawatir sekali cepat
meloncat bangun dan melesat keluar dari Istana Pulau Es. Ketika ia tiba
di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoinya sudah
saling serang dengan hebatnya! Pohon tumbang batu berhamburan dilanggar
angin pukulan kedua sumoinya yang berkelahi dengan sungguh-sungguh,
mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini mereka
bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh,
setiap serangan mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti
bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih bersikap mengalah dan
lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa
betina kehilangan anaknya.
“Maya....! Siauw Bwee....! Berhenti....!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
Akan
tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua
orang dara itu saling serang dari jarak dekat, tidak hanya mengandalkan
sin-kang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan mereka
yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut,
totokan-totokan yang membawa nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki
tertegun adalah jeritan mereka yang saling menuduh.
“Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”
“Dan
engkau....! Engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak
dapat menerima cintaku!” Maya membalas dengan teriakan marah.
“Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
“Kau perempuan tak bermalu!”
“Engkau yang tidak tahu malu!”
“Sumoi....
! Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat
menangkis sambil mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw
Bwee terlempar ke belakang, terpental dan terhuyung-huyung.
“Kau.... membelanya....!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.
“Kau.... kau.... melemparku dahulu, kau.... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.
“Ahh,
Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila?
Hentikan permusuhan gila ini! Aku.... aku.... ahhh.... !” Han Ki
menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!
“Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
“Suheng,
engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau
mencintaku? Ataukah.... engkau cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut
jawaban pasti.
Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan
kedua tangan menutupi mukanya karena pandang matanya terasa
berkunang-kunang, dan sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku
tidak tahu..., aku tidak tahu kalian adalah kedua orang sumoiku, seperti
adik-adikku sendiri...., aku tidak cinta siapa-siapa....!”
Ia hanya
mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka
pergi dari situ. Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara
itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan tetapi ketika
sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua
tangannya dan memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan
keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin karena angin yang
bertiup membawa datang salju-salju tipis. Ia mulai merasa khawatir, lalu
melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoinya, khawatir kalau-kalau
mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian
lain dari pulau itu. Akan tetapi, mereka tidak ada di pulau dan betapa
kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari pantai,
yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama
dengan layar hitam itu membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang
sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee, dengan layar kuning
meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
Han Ki berlari ke pantai,
berteriak nyaring, “Sumoiiii....!” Akan tetapi, samar-samar dia hanya
melihat kedua orang sumoinya itu menoleh dan melambaikan tangan kemudian
tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata!
Tak terasa lagi kedua mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai
kedua buah perahu itu lenyap dari pandang matanya. Di dalam hatinya,
semenjak tinggal di situ, dia sudah mengambil keputusan untuk tidak
kembali ke dunia ramai. Akan tetapi, kini kedua orang sumoinya, dua
orang yang paling dicintainya di dunia ini, meninggalkan Pulau Es,
menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya. Teringat dia
akan cita-cita kedua orang sumoinya membalas dendam, dan terbayanglah
dia betapa sumoi-sumoinya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar.
Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang yang dikasihinya itu
terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu
mereka dan kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini?
Betapapun juga, dia harus menyusul mereka dan berusaha.
Setelah dua
buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama
hidupnya belum pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan
nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah hidupnya terbang
melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan
Siauw Bwee, lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah
kegembiraan hidupnya selama ini berada di tangan kedua sumoinya itu. Han
Ki menjatuhkan diri duduk di pantai, termenung, hatinya kosong,
pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan
keadaan hidupnya selama ini. Semenjak kecil ia sudah sebatang kara,
seorang diri di dunia ini dan selama itu ia dahulu selalu gembira, tidak
pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian, pengikatan cinta kasihnya
dengan Sung Hong Kwi membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan
karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu. Namun, rasa sengsara
itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang
sumoinya. Semua rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoinya
itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan karena cinta, dan akhirnya dia
menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan
Pulau Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu
Kek Siansu, gurunya yang bijaksana,
“Han Ki, segala hal yang menimpa
dirimu kelak, jangan kaupersalahkan keadaan di luar dirimu, karena
sesungguhnya yang menjadi sebab daripada akibat yang menimpa diri berada
di dalam diri sendiri. Carilah sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan
dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan mengenal
kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting
dan berharga daripada mengenal cacat selaksa orang lain.”
Teringat
akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi
karena dalam menderita kekosongan hati dan kehilangan ini, lapat-lapat
terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.
Segala
peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena
saling menyambung, saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala
macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas, kecewa dan lain-lain
hanyalah permainan daripada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau
bersuka tentu akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang
bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia yang MEMILIKI saja yang akan
KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa
datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang
mengerikan jurang KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait,
yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada tentu akan ada, maka
yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu
memiliki, sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh
karena itu, Han Ki, berbahagialah si bijaksana yang TIDAK MEMILIKI
APA-APA, karena dia akan bebas daripada suka maupun duka!
Han Ki
termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa
cocok dengan keadaan hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok
pula dengan kehidupan semua manusia. Orang yang tidak mempunyai apa-apa
takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan
kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal
khawatir kehilangan kesohorannya, dan kalau sampai kemudian terjadi
kehilangan, itu akan menimbulkan duka. Seperti dia sekarang, karena dia
memiliki kedua orang sumoinya, mencintainya, maka kini kehilangan dan
menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu
pun, karena dia memiliki Sung Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi
berduka ketika kehilangan. Andaikata dia tidak memiliki kesemuanya itu,
pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
“Janganlah kita
sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu
perasaan sehingga kita mempunyai tanpa memiliki, pada lahirnya kita
mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin kita tidak
tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah
wajar. Mata batin yang sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu
berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget, tidak menjadi
duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah.
Berkumpul dan berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang
patut disesalkan.”
Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan
mengenangkan kembali semua wejangan gurunya dan yang merupakan obat yang
amat mujarab karena dia merasa hatinya ringan kini, tidak seberat tadi,
sungguhpun ia tidak mungkin dapat lenyap gundah gulana yang menyesak
dada. Bukan hanya karena kehilangan dua orang yang dicintainya,
melainkan karena kedua orang sumoinya itu membawa ganjalan hati yang
rumit, membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara
remaja terhadap dirinya! Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan
lalu dia membuat sebuah perahu dan beberapa pekan kemudian berangkatlah
Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana,meninggalkan Pulau
Es,meninggalkan tiga buah arca mereka yang seolah-olah menjadi mereka
menghuni Istana Pulau Es yang mereka tinggalkan.
Kalau hati Han Ki
merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia
terasa kosong olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh
cemburu terhadap sumoinya. Dia mencintai suhengnya, dan melihat sikap
suhengnya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun merasa
yakin bahwa suhengnya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang
suheng terhadap sumoinya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap
seorang dara! Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan,
menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki, juga ketika suhengnya
mengukir arcanya, jari-jari tangan suhengnya itu penuh perasaan dan amat
mesra, sehingga ketika ia menonton suhengnya bekerja menyelesaikan
arcanya, dia merasa seolah-olah jari tangan suhengnya itu bukan
meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri,
membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suhengnya tidak
mau mengaku cinta? Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
Hatinya
kecewa, penasaran, dan mengkal dan larilah dara ini kepada
cita-citanya. Dia harus memenuhi cita-citanya. Dia harus membalas dendam
keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas kehancuran
kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan
Kerajaan Sung, terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini
ikut bertanggung jawab atas kehancuran Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah
bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hunya, Menteri Kam
Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suhengnya, Kam Han Ki.
Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting.
Biarpun dia tidak tahu bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah
kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan tidak akan berhenti
sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya
sudah cukup tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapapun juga di
Kerajaan Sung!
Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan
harinya, dia beium melihat daratan besar, hanya bertemu dengan
pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya,
menjelang tengah hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa
ombak lalu didekat perahunya. Mayat seorang laki-laki yang berpakaian
tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya
bahwa bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena
segera tampak banyak sekali mayat manusia di samping bagian-bagian
perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh ombak.
Siapakah mereka? Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka
semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat itu tampak luka-luka bekas senjata
tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini,
pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubung tinggi di
sebelah kiri perahu, agak jauh dari situ.
Maya cepat mengatur kemudi
dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi.
Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab
asap itu. Kiranya ada beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan
yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran yang dahsyat antara dua
pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik
turun oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak
panah yang beterbangan ke sana-sini mengeluarkan bunyi bersuitan dan
amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak. Tampak
pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala
menyambar perahu-perahu dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah
berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising oleh suara anak panah, suara
perahu memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang
berjuang melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu,
ada yang terapung-apung, ada pula yang terluka dan belum mati terlempar
ke laut, teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi maut
di laut, sungguh menyayat hati. Banyak sekali di antara perajurit yang
tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh, setelah kini
berada dalam cengkeraman maut yang berada gelombang lautan,
menjerit-jerit dan minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut.
Memang adakalanya orang yang berani mati menghadapi ancaman maut di
tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut
ditelan air.
Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh
sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut! Pengalaman-pengalamannya
setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang
berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya
sehingga perang bukan merupakan hal yang baru baginya. Dia sama sekali
tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula
berperang! Dia tidak tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin
membantu pihak yang terdesak! Karena itu, Maya mempercepat perahunya
menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang
penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu
perang dikepung oleh banyak perahu-perahu kecil, ia mendekatkan
perahunya ke tempat itu.
Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang
berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan perahu besar itu.
Setiap kali ada perajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat
ke atas perahu besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka.
Gerakan para perwira di atas perahu besar menunjukkan bahwa mereka
memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi, serangan anak
panah yang seperti hujan lebatnya, telah merobohkan banyak anak buah
perahu besar sehingga di atas dek perahu besar itu telah bertumpukan
mayat-mayat perajurit. Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat
mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau pedang untuk menangkis
semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa
orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya karena
mereka itu amat gagah perkasa, dan bukan hanya melindungi diri sendiri
namun juga orang ini membagi-bagi perintah dan berusaha melindungi anak
buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di antara mereka
yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya
sebagai seorang panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
Adapun
orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan
gagah perkasa, yang berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar.
Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak hanya karena pihak musuh
yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang
mengepung perahu besar-besar, akan tetapi juga karena para anak buah
mereka itu sibuk memadamkan perahu besar yang sudah terbakar sebagian!
“Gak-goanswe
(Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung,
sekarang telah terkepung menyerahlah!” Terdengar teriakan dari
perahu-perahu kecil, dan mendengar ini, segera timbul rasa suka di hati
Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak terhadap pemerintah Sung
ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu
besar itu adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak
dan lawan mereka adalah tentara Kerajaan Sung yang harus dibasminya!
Dengan
dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan
pertempuran. Ada anak panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya,
akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia berhasil meruntuhkan semua
anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar
setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan
seekor burung walet, tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
“Basmi
tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan,
tiga orang tentara Sung yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu
roboh. Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang
pedang, kemudian mengamuklah sang dara perkasa ini yang membuat Si
Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita
yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok
dengan ilmu golok sedangkan tangan kanan mainkan pedang dengan ilmu
pedang. Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan
tubuh mereka mencelat keluar dari perahu besar terjatuh ke laut karena
ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap
diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa
dapat bergerak melindungi dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk
mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai membakar layar perahu
besar. Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya
yang buruk itu rusak-rusak, ia menangkap tengkuk leher seorang perwira
Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas pedang dan
sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar
tubuh sang perwira Sung dari perahu besar pula. Dan kini dara perkasa
itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
kiri.
Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan
hebat. Maya cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika ia menyaksikan
pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu sama
lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung!
Gerakan mereka tangkas dan aneh sekali, dan Maya segera teringat akan
cerita suhengnya akan sepasang manusia dampit yang amat lihai,
bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu, perwira
pemberontak yang brewok, yang gagah perkasa menerjang marah kepada
sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak buahnya. Perwira muda
itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang
tubuhnya menjadi satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi, Si
Dampit itu, lihai bukan main karena empat buah tangan mereka bergerak
secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah
dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang
Panglima Muda pemberontak sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan
lumpuh tertotok!
“Tawan dan bawa dia ke sini!” Terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
Maya
menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah
timbul kebenciannya. Apalagi melihat mereka telah menawan panglima muda
pemberontak yang sedang dibelanya, maka ia pun merobohkan para
pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya,
kemudian tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya
menyambar, sekaligus membabat dua buah kepala orang dampit itu.
“Wuuuuttt.... tranggg....!”
Maya
terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat
sehingga pedangnya tergetar. Namun, manusia dampit itu lebih kaget lagi
karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan gerakan
melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka.
Cepat mereka meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua
orang dampit itu tidak saja kuat sin-kangnya, akan tetapi juga amat
lihai gin-kangnya.
“Lepaskan dia....!” Maya membentak dan mengirim
serangan bertubi-tubi. Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoinya
paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang yang mereka latih
bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan
main. Baru sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan
lawan, apalagi kini ia mendesak dari jarak dekat! Sepasang manusia
dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan
mereka, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda, untuk
melawan Maya. Namun, sepasang senjata di kedua tangan Maya, yaitu pedang
dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya, selain aneh gerakannya
juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sin-kang yang dingin menusuk
tulang. Setiap kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di
tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan terdengar seorang di antara
mereka yang kepalanya botak, berseru,
“Gadis siluman!”
Orang ke dua yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
Si
Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya,
membuat gerakan maut, dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga
mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan oleh enjotan empat
buah kaki, tubuh mereka melayang cepat keluar dari perahu besar. Mereka
meloncat ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ
ke perahu lain, agaknya hendak membawa tawanan mereka ke perahu dari
mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.
Akan tetapi, Maya
juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan
pengejaran. “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya,
pedangnya berkelebat menyambar dari belakang. Si Rambut Panjang yang
berada di sebelah belakang, menangkis dengan pedangnya, kemudian
sisihannya sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan
melompat ke.... air! Maya terkejut, mengira bahwa Si Dampit hendak
terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biarpun
dia pandai berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh
diandalkan untuk melawan lawan lihai seperti Si Dampit itu.
Akan
tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air,
melainkan hinggap di atas mayat seorang tentara yang sudah mati, yang
mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat, hinggap di
atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit
sudah melompat lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari
perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa lihai Si Dampit ini dan
betapa tinggi gin-kangnya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat
mengejar, bahkan menyusul dan selagi tubuh mereka di udara, ujung
pedangnya yang menyambar dengan cepat menusuk lengan Si Botak yang
mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
“Aduhhh....!” Si Botak
berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas. Maya yang menangkis
serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya, berjungkir
balik di udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan
seperti seekor burung elang menyambar kelinci, sudah mencengkeram leher
baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik tubuhnya melayang ke
atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan
perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar,
langsung ke perahu besar. Dia masih sempat membebaskan totokan Si
Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek perahu, kemudian
memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok, berkata,
“Tai-ciangkun,
lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi
anjing-anjing Sung ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melihat
pembantunya selamat, dan kagum bukan main, berkata, “Li-hiap.... harap
memperkenalkan nama yang mulia....”
“Cepat putar perahu!” Maya
menjawab tanpa memperkenalkan nama dan dia mengamuk amat hebat sehingga
para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan meninggalkan
perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat
dipadamkan dari bahaya kebakaran dan pasukan musuh yang berloncatan itu
ada yang meloncat ke air! Mereka tak memperhitungkan lagi, pokoknya
mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!
Kegembiraan
besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya
seperti seekor harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu
besar, mengejar dan mengamuk dari perahu ke perahu sehingga pasukan
Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh
perahu-perahu kecil mundur!
Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu
besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahu-perahu kecil
pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu
terbakar, pecahan-pecahan perahu, mayat-mayat manusia yang mulai
bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu, dan rintih tangis
mereka yang terluka dan masih belum mati, ada yang meronta-ronta di air
berusaha berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di
pecahan-pecahan perahu.
Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan
tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak, dengan wajah berseri,
dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan
banyak tenaga. Baru sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa
perih kaki di paha kirinya karena serempetan golokp para pengeroyok
yang tadi ketika ia mengamuk tidak dirasakannya.
Tiba-tiba dara
perkasa itu menjerit kaget, balok yang diinjaknya terbalik dan terseret
ke bawah dan tentu saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan
pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya karena ia membutuhkan
kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi, tiba-tiba kakinya terpegang
atau tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha
meronta, akan tetapi karena memang bukan ahli di air, ia gelagapan,
minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam!
***
Kita
tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui
sebabnya dan kita tengok keadaan Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok
Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua orang
muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan
dengan amat tekun oleh Tang Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati
perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal mati
isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha
membalas kematian kakak kembarnya, Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan
menyerbu Kerajaan Mongol. Tang Hauw Lam kehilangan gairah hidup. Kalau
saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan
terakhir isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati
menyusul isterinya. Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar
kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan kitab-kitab peninggalan
isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu
telah memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua
kepandaian Mutiara Hitam! Tentu saja mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah
pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan
bahwa pada masa itu, sukarlah dicari pemuda-pemudi remaja yang memiliki
ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
Akan
tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan
kerinduan terhadap isterinya seperti itu sehingga tubuh Tang Hauw Lam
kurus kering dan wajahnya selalu muram dan pucat, bekas pendekar besar
ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali
dalam pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak
memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak memperhatikan soal
pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu
kekeringan itu lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan
bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan lagi kanak-kanak dan perlu
pembatasan di dalam pergaulan mereka.
Setelah mendapat kenyataan
bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi,
mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam
terkenal sekali, yaitu Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu
Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid perempuannya Ok Yan
Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan
dalam melatih ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang
Iblis yang betina kepada Yan Hwa. Pada waktu yang sama, ia menyerahkan
Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan Ilmu pedang
yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal,
yaitu Ilmu Golok Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan
tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas pendekar besar ini mampu
mengubah Ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang
ini kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk memperlengkap ilmu kedua
orang muridnya, dia mengajarkan kedua ilmu pedang itu kepada mereka,
hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok Kiam-sut,
sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
Setahun lamanya kedua
orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat
menguasai ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini
diserahkan kepada mereka itu benar-benar amat luar biasa. Kalau mereka
berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat
menyambar-nyambar menyilaukan mata.
Karena sikapnya yang tidak peduli
sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya, dan di samping
mengajarkan ilmu silat, Tang Hauw Lam hanya selalu tekun besamadhi,
bekas pendekar ini tidak tahu akan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam perhubungan kedua orang muridnya. Kekuasaan alam menguasai dua
orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik.
Masa kanak-kanak mereka lewat sudah dan menjelang kedewasaan mereka,
masing-masing merupakan daya tarik yang luar biasa dan karena mereka
hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh,
yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
Barulah
Tang Hauw Lam terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak
sengaja ia mendapatkan kedua orang muridnya itu sedang saling bermain
cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami isteri!
“Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
Kedua
orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri
berlutut di depan suhu mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak
dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya mereda dan jantungnya seperti
ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya
itu menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya
yang telah tiada.
“Ahhh.... dua orang muridku....? Ahhh, betapa
isteriku akan kecewa sekali.... aku...., aku telah gagal mendidik
kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, dengan terhuyung ia
memasuki kamar di pondoknya dan bersila, memejamkan mata melawan
kehancuran hatinya.
Pada keesokan harinya, Tang Hauw Lam dikejutkan
suara ribut-ribut, beradunya pedang dan angin pukulan yang
berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu
gerakan pedang kedua orang muridnya. Sekali ini, kedua pedang itu
bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang bertempur
mati-matian ia meloncat, tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin
yang diterimanya selama ini membuat tubuh bekas pendekar yang sudah
lemah itu menjadl makin lemah.
Ketika ia tiba di luar pondok, Tang
Hauw Lam terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah
bertanding mati-matian dengan pedang di tangan. Sepasang pedang iblis
itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang
telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan
kasih sayangnya satu sama lain? Ternyata bahwa ketika gurunya
mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh kemarahan
dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk
mereka bercekcok, saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta
mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai merayu dan memikat.
Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa
ilmu pedangnya lebih lihai, pedang masing-masing lebih ampuh. Karena
pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan mereka melampaui
besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda
yang masih berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan
masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara mati-matian! Baru sekali
ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang
mereka saling bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat
mereka menjadi makin penasaran dan tidak akan merasa puas sebelum
memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih
panas hatlnya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa
memperhitungkan lagi bagaimana harus mengalahkan lawan, kalau perlu
membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap semua cinta
kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling
menyalahkan sehingga malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang
ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan bahwa ilmu pedangnya lebih
tinggi dan pedang di tangannya, lebih ampuh!
Sebagai seorang ahli,
sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu
tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan
dahsyat dan mati-matian. Pandang matanya berkunang, kepalanya pening
karena apa yang di saksikannya ini merupakan pukulan batin ke dua yang
hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan.
Juga dia terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua
orang muridnya yang bertanding, melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua
orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang Iblis itu! Wajah kedua
orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang
haus darah!
“Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding....!” Ia berseru
sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya. Akan tetapi,
seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya,
setiap seruannya tentu akan diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang
muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama sekali
tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling
menyerang semakin dahsyat.
“Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau
berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini meloncat ke depan
dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat
gerakan saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di
tengah-tengah antara mereka sambil mendorongkan kedua tangannya ke kanan
kiri.
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh
mereka terlempar ke belakang dan masing-masing memandang suhu mereka
yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri yang masih
menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua
luka itu!
“Suhu....!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru
sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan keduanya menangis
terisak-isak.
“Suhu.... harap Suhu bunuh saja teecu....” Can Ji Kun meratap.
“Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa....!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
Sepasang
mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas
tanah. Pedang itu dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar
seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang berlumuran darah suhu
mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu
meter itu tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan kini bagian
gagang mereka saling melekat! Dia memang tahu akan sifat pedang-pedang
itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang
saling tarik!
“Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk.... aaahhhh....!”
“Suhu.... teecu berdosa....!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
“Suhu, bunuh saja teecu....!” Yan Hwa juga meratap lagi.
Tang
Hauw Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan
kini ia tersenyum! “Tidak, kalian tidak sengaja.... dan.... dan terima
kasih.... aku girang sekali.... akan dapat berjumpa dengan subo
kalian.... akan tetapi kalian.... ahh, hati-hatilah.... pedang-pedang
itu terkutuk.... aaaahhhh!” Wajah yang berseri itu memucat, matanya
memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar, “Kwi Lan.... isteriku,
engkau masih menunggu aku....? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku
datang....!” Tubuhnya terguling. Kedua orang muridnya menubruk dan
ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka mulutnya tersenyum
dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
“Suhu....!” Ok Yan Hwa
terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar
memeluk mayat suhunya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoinya.
Tiga
hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke
Bukit Merak di Khitan dan dikuburkan di sebelah makam Mutiara Hitam,
kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si bongkok yang menjaga kuburan
keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw Lam
sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah,
membawa pedang masing-masing.
“Sumoi, mengapa kita harus berpisah?
Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita, akan
saling merindukan....” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoinya
setelah berhari-hari ia membujuk dengan sia-sia.
Yan Hwa menggeleng
kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena
kita berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu
teringat akan dosaku terhadap Suhu, Suheng. Sebaliknya kita berpisah.”
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung kedukaan.
“Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?”
Yan
Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih
dan membawa bahagia kalau engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang
dan po-kiamku (pedang pusakaku).”
Tiba-tiba sinar mata penuh kasih
sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan
tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu,
pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku suhengmu, sudah semestinya lebih
lihai darimu!”
“Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”
Ji
Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan
nyawa suhu mereka. Sungguhpun hal itu tarjadi tanpa mereka sengaja
karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan den mereka juga
tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya
sehingga termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah
terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin dan perasaan berdosa.
“Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan menderita....”
“Aku
akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk
mengalahkan engkau dan setelah kau mengakui keunggulanku, baru aku suka
menyambung kembali hubungan cinta kita.”
“Gila....!” Ji Kun berseru
akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat seperti
itu bukan hanya sumoinya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan
merasa puas dan cintanya takkan terganggu apabila sumoinya mau tunduk
dan mengaku kalah terhadapnya.
Maka berpisahlah kedua orang muda yang
saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa mereka telah
berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang
seolah-olah telah kemasukan roh deri Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada
waktu itu, kembali dunia kang-ouw kemasukan dua orang muda yang berilmu
tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang keduanya memiliki
pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
***
Agar
tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan
Khu Siauw Bwee, seorang dara lain yang melakukan perjalanan seorang
diri, meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula yang
seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suhengnya yang diam-diam ia
cinta sepenuh hatinya, Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw
Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke selatan. Seperti juga
sucinya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan
cita-citanya. Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi
ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek San yang gagah perkasa,
bersama suhunya, Menteri Kam Liong yang sakti, melakukan usaha nekat,
yaitu membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan
menuntut balas atas kematian ayahnya. Akan tetapi dia tidak
berpemandangan sepicik sucinya, tidak mendendam kepada Kerajaan Sung,
melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki
tangannya.
Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah
ia melihat daratan luas membentang di sebelah barat, maka ia lalu
mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di
daratan yang luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu
saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di pantai, ia melihat banyak
nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang
menyambutnya dengan heran melihat seorang dara remaja dan jelita
mendarat seorang diri, “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan
memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan seekor kuda yang
baik. Siapa suka?”
Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu
yang biarpun amat sederhana namun kuat buatannya itu ditukar dengan
kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki
kuda dan tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda
yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh mendapatkan perahuku.”
Pemilik
kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan
kudanya kepada Siauw Bwee. “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini
amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti aku akan
selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona
pandai menunggang kuda?”
Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw
Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek. Akan tetapi
ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar
menunggang kuda.”
Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu,
biarpun hatiku amat menyesal karena tidak jadi mendapat keuntungan, aku
tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda
saja.”
Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
“Kudaku ini
adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar
ditunggangi karena belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di
sini belum ada yang mampu menundukkan dan menjinakkannya. Aku khawatir
kalau Nona dilemparkan jatuh.”
Siauw Bwee mengangguk-angguk dan
diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa watak
orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang
sederhana dan dianggap bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak
orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersernyum manis dan
berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal
andaikata aku sampai dilemparkan dan mati sekalipun.”
“Nona....!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
“Biarlah
kucoba keliarannya!” Siauw Bwree berkata, memegang kendali kuda dan
bagaikan seekor burung, tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda
hitam besar itu. Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik,
lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya mengipat-ngipatkan tubuh
dan ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungyya, ia lalu
berdiri di atas kedua kaki belakang menggoyang-goyang tubuh dan
meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk menggigit orang yang menduduki
punggungnya. Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau
tertendang. Akan tetapi, mereka melongo menyaksikan betapa nona jelita
itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan
kedua kaki menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak
menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak menamparnya, setiap kali menoleh
ditampar dan dia mengerahkan sin-kangnya, menekan tubuhnya sehingga kuda
itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya masih
tetap di atas punggung!
“Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil
melompat turun dan kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah kakinya
gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirik takut
ketika Siauw Bwee mengelus bulu di kepalanya.
“Hebat.... bukan
main.... siapakah.... siapakah Nona....?” tanya nelayan itu, kini
mukanya, seperti muka teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan
takut.
“Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung
kudanya yang meringkik perlahan dan melambaikan tangan. “Lupakan aku,
aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut kudanya dan
kuda itu meringkik lagi lebih keras lalu meloncat ke depan dan lari
cepat sekali, diikuti pandang mata para nelayan yang melongo.
Hati
Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas dapat
berlari cepat dan tidak pernah mogok atau rewel, tidak berhenti sebelum
ia hentikan, biarpun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk.
Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk
keluar hutan lebat. Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari
di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran melihat di tempat
sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat
cukup lumayan, dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena
tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari tidak pernah bertemu manusia
atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke
kota raja Kerajaan Sung. Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar
orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di sebuah tikungan
yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan
menghentikan kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia
memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar makian nyaring dari atas!
“Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok Sun!”
Siauw
Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang
dikejarnya tadi kini telah terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di
dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalang-kabut. Diam-diam
Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng
(Garuda Terbang) itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!
Orang
yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan
tetapi ia melongo ketika melihat bahwa yang datang menunggang kuda
adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Akhirnya Siauw Bwee yang
membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum,
“Sobat, kau
sedang apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang
seekor burung dalam kurungan?” Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika
mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah seorang
pemuda berusia dua puluh lima tahun kurang lebih, mukanya memperlihatkan
kekasaran seorang yang jujur dan penuh keberanian.
Mendengar ucapan
yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking
marahnya. Tangannya keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka
Siauw Bwee, mulutnya terbuka lebar mengeluarkan kata-kata keras.
“Eh,
bocah, cilik nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau! Aku
bukan harimau atau biruang yang boleh kaujeret seperti ini. Hayo
lepaskan aku, kalau tidak aku akan....”
“Kau akan apa? Melepaskan
diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam
orang!” Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan
biarpun engkau bukan harimau atau monyet, akan tetapi engkau adalah
seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”
“Eh, bocah! Lepaskan
aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di
dunia kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah
terkenal di seluruh jagad?”
Siauw Bwee tidak membenci orang itu.
Sebaliknya malah, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan agaknya
memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia
menggodanya adalah karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi,
ketika ia berniat meloncat turun dan menolong membebaskan orang yang
meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar
gerakan banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan
pergi dari situ.
“Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana?
Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu, siapa yang akan
membebaskan aku? Aku.... aku ngeri melihat ke bawah....!” Akan tetapi
Siauw Bwee tidak peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia
kembali ke tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon dan mengintai.
Tak
lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang
membuat Siauw Bwee bengong keheranan memandang mereka. Mereka itu
terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang wanita.
Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian
tinggi, dan pakaian mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar
biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu, alias buntung kaki
kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat
bercagak yang mereka kempit di ketiak kanan. Biarpun mereka itu semua
berkaki satu, namun mereka dapat melangkah cepat dan gerakan mereka
sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun
yang tergantung di pohon, mereka bardiri tegak dengan sikap penuh
wibawa.
Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan
kini mulailah dia mengerti bahwa agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang
menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia memang
kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang
buntung itu lihai sekali. Karena tidak mempunyai permusuhan dengan
mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup mulut dan menanti
perkembangan selanjutnya.
“Susiok, kita kesalahan menjerat orang
lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang kakek
berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
Kakek
itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian
mpngangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan
seorang anggauta mereka yang terjerat. Akan tetapi karena dia sudah
berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan
dan mata-mata yang dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap
Suhu.”
Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei,
saudara-saudara yang di bawah, dengarlah! Aku Hui-eng Liem Hok Sun,
selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu
siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan
aku pergi!”
“Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang
kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata. Dalam
persembunyiannya, Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau,
orang kasar, pikirnya.
Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Tolol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu aku akan dapat pergi!”
Orang
kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku
seorang saja di sini, engkau si goblok ini mana bisa pergi, apalagi di
sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana engkau
akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat
ke atas, tongkatnya membabat dan brettt! Tali yang menggantung tubuh Hok
Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah. Akan tetapi,
ternyata gin-kang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak
terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh
tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh
hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan
orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat, tampak sinar
berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok
Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem
Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini
orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian
mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu
manjawab, suaranya halus namun nadanya keren. “Kami tidak ingin
berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara
menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah Hok Sun.
"Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?"
"Kalian
sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!" bentak Hok Sun dan ia
sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar. Dari tempat
persembunyiannya, Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar
itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan
terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari
atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang
murid pertapa di Go-bi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur,
akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini,
Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan
lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang sedangkan tongkatnya
sudah menotok ke arah leher. Namun Hok Sun benar-benar memiliki gin-kang
yang hebat. Biarpun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus
lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup.
Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah
berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil
meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh
tersungkur!
"Hemm, manusia bandel!" Kakek yang menjadi pimpinan
rombongan sudah mencelat ke depan. Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan
gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya, dan
sekaligus, kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari
tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan
yang membingungkan Hok Sun. Biarpun murid dari Go-bi-san ini berusaha
menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apalagi memang gerakan
kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar
biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak
dapat berkutik lagi!
"Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main
keroyokan!" Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu
tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang
meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam
gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan
keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para
orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam
melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula,
dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat
yang amat aneh sehingga ingin dia lebih banyak mengetahui tentang
orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak
tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong
tubuh Hok Sun itu dari jauh. Mereka menyeberangi hutan yang besar dan
lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di
kaki bukit.
Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang
bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari
jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan
inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh
perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh,
kemudian melompat dan lenyap! Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh
Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula. Setelah semua orang tidak
tampak lagi, Siauw Bwee berendap menghampiri bangunan itu dan ia
terheran-heran. Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan
kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lobangnya! Namun, semua
orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran
sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak,
memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja
dia tidak melihat adanya lobang sedikit pun! Ke manakah perginya
rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir
Siauw Bwee. Akan tetapi, andaikata ada pintu rahasianya, bagaimana
begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba
Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi.
Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang
berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai dan
sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
"Ohh...., tidak....! Mimpi burukkah aku....?" Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
Akan
tetapi, adakah yang lebih aneh daripada semua ini? Tadi ia melihat
serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu
sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman!
Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh,
begitu kecil tanpa lobang pintu atau jendela, namun dapat menampung
begitu banyak orang! Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya,
kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang
kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri
buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis
tergantung lepas. Mengerikan! Seorang di antara lima orang lengan
buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah
rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan,
karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker,
juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Adapun di belakang
kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung
lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang
anggauta rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh
perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu
luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap,
begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Pemimpin
rombongan itu, kakek yang berjenggot dan memegang tongkat Si Kaki
Buntung, menggunakan ujung tongkat itu mengetuk tujuh kali ke atas
dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama
kemudian, terbukalah lobang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari
dalam lobang melayang keluar tiga orang berkaki buntung, yang paling
depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi.
Kemudian, dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki
buntung, agaknya keluar dari lobang rahasia lain di sebelah belakang.
Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki
tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung
yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah,
dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung
tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah
di punggung orang berkaki buntung itu yang jauh berlutut dan tidak
berani berkutik. Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua
pihak orang-orang bercacat itu yang mengeluarkan suara. Yang paling
merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu
dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang
ikut meloncat keluar, menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa
dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur, suaranya
penuh kebencian, keras dan dingin,
"Apakah kaum lengan buntung kini
sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari
pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan
memancing keributan dengan menawan seorang anggauta kami?"
Kakek yang
menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai
tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab, suaranya tidak kalah
keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama, "Agaknya di dalam
pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian
orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan
buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacat orang
tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah menggoyang lidah yang
tidak bertulang, kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina
yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji
sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi,
akan tetapi mengapa seorang anggauta kalian yang tidak terhormat ini
melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?"
Alis empat orang
berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang
kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu
kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi
ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan
begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu
mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya
yang melanggar peraturan.
"Tidak.... tidak.... Suci.... dan
Suheng.... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan
penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan
seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat
berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan
aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!" Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa mengejek, "Hemm, mana ada maling mau mengaku?"
Si
Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata,
suaranya mantap dan berwibawa, "Menghadapi perkara, tidak boleh
mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak
berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!"
"Baik!" kata
kakek lengan satu. "Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak
buahmu!" Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima
orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga
berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw
Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu, akan
tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke
dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi lobang itu
belum tertutup, cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam
lobang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan
berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke
bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya
merupakan "pintu gerbang" saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang
agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah! Ia menjadi
bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si
Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni
tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa
tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang
luas sekali, lorong-lorong yang terbuat daripada batu dan keadaan di
bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw
Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak
mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan.
Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki
bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di
manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari
pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong? Dengan sikap
hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas
dan bersih sekali, lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat
sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri
dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini
pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca
inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang lihai ini. Tiba-tiba
terdengar gerakan halus, Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan
ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih,
laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya, akan tetapi mereka
itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat
masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di
antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah
enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali. Siauw Bwee dapat
menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia
cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata,
"Apakah Locianpwe ketua dari kaum.... eh, kaki buntung ini?"
Kakek
itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat,
"Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung."
"Maaf,
Liong-locianpwe, kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini.
Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu
agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang
sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa."
"Tidak mempunyai
kesalahan? Hemm.... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari
pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung
bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang
yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini, sampai hari pertandingan
tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami.
Juga engkau, Nona."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya, "Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?"
"Terpaksa,
begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau
pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun
dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan
kami."
"Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai
permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya
kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak
bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm.... kurasa tidak akan
begitu mudah."
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki
buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam, "Engkau
siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Go-bi-san seperti orang she Liem
itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan
partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu
kaum lengan buntung."
"Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee."
"Bagus!
Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona.
Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap
seorang gadis muda."
"Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak
pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau
dapat berbuat apakah?"
"Suhu, biarkan teecu menawannya!" kata seorang
wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah
murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, "Hati-hatilah, jangan
sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang
masih amat muda."
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya
sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee. "Nona, kami tidak
biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan
kami dan menyerahlah. Biarpun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami
perlakukan dengan baik, sebaliknya, hendaknya kauketahui bahwa entah
sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami."
Panas rasa hati
Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat
memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Bagus
sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda.
Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum
tua, apalagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si
Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak
enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja."
"Bocah
sombong!" Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah
menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee. Cepat bukan
main gerakan itu, akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek
Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat
miringkan tubuh dan dari bawah jari tangan menyambar dengan totokan ke
arah telapak tangan nenek itu.
"Aihhh....!" Nenek itu berseru kaget,
tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee.
Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar,
menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya
tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee yang sudah
melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum
bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat, maka ia
berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan
kirinya menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya,
disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia
berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima
tongkat yang menyambar.
"Plakk!"
"Aihhh....!" Nenek itu kembali
berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya
sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan
dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam
Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek
yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali
berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa dan dia mengerti
bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh,
cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat
menutup kekurangan karena cacat kaki mereka! Dia juga mengeluarkan
kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biarpun dia agak bingung
menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia
menang dalam tenaga sin-kang, pula dalam hal gin-kang dia pun lebih
unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau
tangkisan kuat. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa kaum kaki
buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam
pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak
ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya
tanpa melukai.
"Hebat....! Luar biasa....! Sukar dipercaya!"
Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi
komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee. Siauw Bwee
adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan
sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika
melawan Maya, sucinya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut
ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin
dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk
kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia
meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan
kakinya menotol ujung tongkat lawan! Perbuatan ini selain luar biasa dan
membuktikan kemahiran gin-kang yang istimewa, juga amat berbahaya maka
terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton
termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti
dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya
dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah
terlepas dari ujung tongkat.
"Wuuuutttt!" Tubuh dara itu memang
terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah
langit-langit batu ruangan itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi
manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara
itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit
seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan
punggungnya dengan langit-langit, Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek
"Ah,
kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah
payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat
tubuhnya?"
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid
kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih
sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun
yang tidak ternama, dia dipermainkan, seperti itu.
"Bocah sombong
keparat!" Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya mengenjot lantai,
tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang
menempel di langit-langit itu.
"Jangan....!" Sang Ketua berteriak
ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah
menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali karena
kalau seorang dara remaja sudah berkepandalan seperti itu, tentu dapat
dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di
belakangnya! Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam
kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang
dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia
melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului
kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak
tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
"Aihhh....!"
Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting
ke bawah. Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi
begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula
getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat
menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapapun juga, karena
telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak
terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun ia mendengar suara
mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang
tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya,
tanpa menggunakan tongkat dan dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini
telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya
sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak dan dia
maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia kalah pengalaman, apapula harus
menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh. Maka dia lalu
mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai
berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat
sin-kangnya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi,
dalam perputaran ini, kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar
biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan
darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
"Celaka....!" Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.
Totokan
yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai
jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan
tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sin-kang
dan besamadhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek
Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu
kejam, telah mengirim totokan para jalan darah yang menyebabkan kematian
sehingga dia sudah mengerahkan sin-kang istimewa memulihkan jalan
darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi
setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak
sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki,
keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah
berpura-pura mati. Ketika berlatih sin-kang di Istana Pulau Es,
suhengnya telah membikin rahasia ilmu "mematikan raga" yang luar biasa,
maka kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini dan tubuhnya menjadi lemas,
napasnya dan detik pada nadi tangannya berhenti, tubuhnya seperti dalam
keadaan tak bernyawa lagi!
Kakek itu berlutut dengan satu kakinya
dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. "Aihh, celaka. Aku telah
kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya
sudah mencapai tingkat lebih tinggi daripada kepandaianku sendiri!
Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat, agaknya aku
sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah
membunuhnya! Biar aku sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan
jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat." Setelah menghela napas
berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu
dibawanya masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya
hanya berdiri menonton, tak seorang pun mengeluarkan suara seperti ikut
merasa berduka bersama pimpinan mereka.
Siauw Bwee yang berlagak
mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya,
tentu saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan
diri. Tadinya dia sudah khawatir kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini
membawa "jenazahnya" keluar dari bangunan di bawah tanah, akan tetapi
hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian
dalam. Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang
mendapat penerangan dari lobang yang merupakan celah-celah batu yang
menjadi langit-langit ruangan itu dan terdengarlah gerengan menyeramkan.
Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika
melihat seekor biruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua.
Akan tetapi ternyata binatang besar itu tidak menyerang, bahkan Liong
Ki Bok berkata,
"Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang
terhormat dan sama sekali bukan musuh kita. Sayang aku telah kesalahan
tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat
terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri."
Biruang yang
bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan, bagaikan
mengerti akan ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan
memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan merintih dan diam-diam Siauw
Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah
yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar
biasa. Jangan-jangan binatang ini tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!
"Memang
kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari
ini telah kesalahan tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa
dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di situ melihat korban
tanganku yang berdarah!"
Biruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti
kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika melihat ruangan
sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri
dan merasa seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di
sekelilingnya terdapat lobang-lobang pada dinding dan di setiap lobang
berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya
lobang-lobang itu, ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.
Biruang
itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya
ke dalam sebuah peti kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang
berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang Ketua kalau kelak
ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan
melihat ketua itu membalikkan tubuh memandang sesosok mayat orang tinggi
besar yang berdiri menyeramkan di sebalik lobang dekat anak tangga.
Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi
suaranya perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan pengerahan
kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap bisikan-bisikan itu.
"Orang
she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang
pernah kutandingi. Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis
yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh, dan penyesalanku
lebih besar daripada ketika terpaksa membunuhmu." Setelah kakek itu
melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan
baik, dia mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa
benda cair berwarna kuning berbau harum ke atas tubuh Siauw Bwee.
"Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...."
Kemudian
kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala biruang
sambil berkata, "Hek-mo, kaujagalah baik-baik pintu gerbang ruangan
jenazah."
Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi.
Agaknya biruang itu bertugas menjaga ruangan di luar pintu gerbang.
Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir
kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan
ruangan jenazah yang cukup luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah
mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya memakai cawat
dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya
gemetar, semua bulu di tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika
ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak! Tadinya dia tidak percaya
ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip, akan tetapi hampir saja ia
lupa bahwa dia telah "mati" dan tidak semestinya bergerak dan hampir
meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat mayat itu menggerakkan
kaki tangannya dan melangkah keluar dari dalam lobangnya! Mayat itu
hidup kembali! Di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah
tengkorak dan mayat-mayat kering melihat seorang "mayat hidup", tentu
saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati
seorang gadis remaja, biarpun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee maka
dara yang tadinya berpura-pura mati itu kini benar-benar menjadi
pingsan!
Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw
Bwee adalah melirik ke arah lobang mayat she Cia itu dengan harapan akan
melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang
dialaminya tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lobang itu kosong!
Dengan napas terengah saking ngeri dan takut, Siauw Bwee gadis perkasa
yang kini ketakutan seperti kanakkanak melihat setan itu mengintai dari
balik peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika
melihat mayat hidup itu bergerak cepat sekali, berkelebat datang dari
sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci besar
terisi makanan. Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya
sambil berdiri saja, akan tetapi, tiba-tiba ia mengeluarkan suara
gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw
Bwee menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat
hidup itu memiliki kepandaian yang hebat. Ilmu silatnya luar biasa
sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu
menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul
gerakan kaki menyapu dari bawah. Agaknya jurus ini merupakan jurus
terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu
girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari,
tangannya mengambil makanan dari panci yang tadi ia taruh di atas lantai
ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke
mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak
muntah karena melihat bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah
tikus-tikus kecil yang berkulit merah!
Karena ingin muntah ini, Siauw
Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup
itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi
di lobangnya seperti tadi. Akan tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan
lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan mulutnya
masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah
melalui bibirnya!
Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut
dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada setan atau mayat
hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lobangnya
secara menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup
yang sedang ketakutan atau panik. Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah
keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah menghampiri Si
Mayat Hidup, dia menjadi makin geli hatinya melihat betapa "mayat
hidup" itu matanya melotot memandang kepadanya kedua kaki mayat hidup
itu menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa tentulah
mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini
menderita kengerian seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa
dialah yang kini menjadi mayat hidup! Terdorong oleh rasa geli dan
kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah
seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja
menyeringai untuk menakut-nakuti, setelah tiba di depan mayat hidup itu
ia tertawa dengan suara mengerikan, "He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini
masih baik, enak diganyang jantungnya!"
Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan melangkah maju.
"Hiiiihh!"
Kini "mayat hidup" itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia
meloncat meninggalkan lobangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan
kedua kaki menggigil.
Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia
tertawa terpingkal-pingkal. "Nah, kau tahu sekarang rasanya orang yang
ketakutan menghadapi mayat hidup!" katanya. "Orang she Cia, mengapa
engkau pura-pura mati dan berada di tempat ini?"
Orang yang tadinya
berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh
terduduk. "Aahhh..., sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!"
katanya, suaranya besar dan agak parau, agaknya karena sudah lama tidak
bicara.
"Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup," Siauw Bwee berkata sambil tertawa geli.
Orang
itu meloncat bangun, gerakannya cepat sekali. "Eh, engkau tadi dibawa
si ketua Liong Ki Bok itu ke sini dalam keadaan mati. Orang mati mana
bisa pingsan dan mana mungkin sekarang engkau hidup lagi?"
Siauw Bwee
menjebirkan bibirnya. "Tidak meraba kepalamu sendiri! Engkau pun masih
hidup, mengapa berada di sini dan beraksi sebagai mayat?"
Sejenak
laki-laki tinggi besar gundul itu memandang Siauw Bwee, kemudian
menggeleng kepala dan menghela napas. "Sukar dipercaya.... akan
tetapi.... Liong Ki Bok tadi sudah mengatakan sendiri bahwa kepandaianmu
melebihi aku. Hemm, Nona, dengan cara bagaimanakah engkau dapat
mengakali Liong Ki Bok yang lihai sehingga engkau disangka mati dan
dibawa ke sini?"
"Mudah saja. Dengan Pi-ki-hoan-hiat (Menutupi Hawa
Memindahkan Jalan Darah) aku bisa menghentikan napas dan nemindahkan
denyut perjalanan darah."
Mata orang itu terbelalak. "Engkau? Semuda ini sudah pandai melakukan hal itu?"
"Jangan
terlalu memuji, Sobat." Siauw Bwee segera merasa suka kepada orang ini
karena merasa "senasib". "Engkau sendiri pun telah dapat mengakali Liong
Ki Bok dan berpura-pura mati."
"Aku lain lagi. Aku memang hampir
mati ketika dibawa ke sini.... eh, nanti dulu, Nona. Sebelum aku
menceritakan rahasiaku, aku harus mengetahui lebih dulu siapakah Nona
dan mengapa Nona menyelundup masuk seperti ini?"
Siauw Bwee maklum
bahwa tentu orang ini mempunyai rahasia besar dan mungkin ia akan dapat
menyelidiki keadaan kaum kaki buntung dengan mendengar keterangan orang
ini tanpa melakukan penyelidikan sendiri. "Namaku Khu Siauw Bwee dan aku
menyelundup ke sini karena hendak menolong seorang bernama Liem Hok Sun
yang ditawan oleh orang-orang kaki buntung itu karena dianggap
melanggar wilayah mereka."
Orang itu mengangguk-angguk. "Engkau
benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah
ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat
keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara
seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara
seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka
berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki
kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya. Dendam antara
kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu,
juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk
mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul di
antara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka
permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan
pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu
melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan
kaum lengan buntung yang saling bermusuhan."
"Akan tetapi, mengapa
mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan
orang-orang lengan buntung sebanyak itu? Siauw Bwee bertanya heran.
"Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!"
Mata Siauw Bwee terbelalak lebar. "Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?"
Orang itu mengangguk. "Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau lengannya."
"Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?"
"Memang
banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan
buntung amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi
seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi
murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah
ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam
guha-guha batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok,
keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara
seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya
dalam pertandingan itu. Adapun kaum lengan buntung diketuai oleh The
Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga
keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap
bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka."
Siauw
Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu. "Dan engkau
sendiri, kulihat kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung.
Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?"
"Aku
bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan
buntung. Isteri The Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan
kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk menyelidiki dan
mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena
hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum
lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini."
"Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?"
Cia
Cen Thok menghela napas panjang. "Kalah lihai sih tidak. Engkau harus
ingat bahwa nenek moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu
saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para keturunan ini
pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat
pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun
kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan
buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak
kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk
mengimbangi, karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu
gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan
tongkat, benar-benar amat hebat."
Siauw Bwee mengangguk-angguk. "Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh."
"Itulah
sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The
Bian Le ketua kaum lengan buntung, untuk menyelundup ke sini dan
mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku
kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar
habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini."
"Tiga tahun?" Siauw Bwee bergidik.
"Ya, tiga tahun kurang lebih."
"Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!"
Cia
Cen Thok memandang kagum. "Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi,
biarpun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi
sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan
kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari
tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong
Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian tinggi,
yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir
setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri."
"Berapakah jumlah mereka?"
"Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang."
"Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Huieng Liem Hok Sun itu."
"Apamukah dia itu, Nona?"
"Hemm....
bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di
balik sikapnya yang kasar, juga dia murid Go-bi-san yang ilmunya
lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang
menjadi tawanan di sini."
"Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku
sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk
menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kaulakukan
ini."
Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan biruang yang
menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama kemudian
pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan,
yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya.
Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,
"Nona,
kaupergunakan pedang ini. Mari kita menerjang keluar. Kesempatan baik
sekali selagi ketuanya dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!"
Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang
seperti diserang ular. "Dia.... eh, dia.... siapa ini....?"
"Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?"
Liem
Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa, "Aku akali Si Buntung Kaki itu!
Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku
memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku
lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku
mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran,
ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka
bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang keluar
sebelum terlambat!"
Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen
Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk
mengerti. "Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!"
"Eh, kau mengenal aku?"
"Aku yang memberitahukan namamu kepadanya," kata Siauw Bwee.
"Engkau?
Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan
diri...., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika
kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat
aneh, apakah engkau pun akan lari keluar?"
Cia Cen Thok mengangguk. "Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan."
Siauw
Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat biruang itu
sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si
Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap biruang itu bukan
binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia diam saja dan
terus berlari keluar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.
Ketika
mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat
keluar empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan
Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.
Siauw Bwee menggerakkan kakinya
menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga
sin-kang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang,
berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan
kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan
mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis
dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.
"Trakk!"
Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat
membantu. Kemudian, pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang
tongkatnya patah itu.
"Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!" Ia
memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang
disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah
merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!
"Hayo
cepat keluar!" Siauw Bwee berkata dan kini dialah yang mendahului lari
ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah
dalam, keadaan mereka berbahaya sekali. Dengan gerakan ringan dan indah
tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos keluar dari lobang kecil
yang merupakan "pintu kamar" bangunan setengah bundar di atas tanah itu.
Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah
dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui
tingkatnya sendiri.
Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar,
mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah
berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang
diceritakan oleh Cia Cen Thok, biarpun Siauw Bwee dapat menangkan mereka
dalam hal sinkang, gin-kang, maupun ilmu silat, namun gerakan tangan
mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak
tersangka-sangka. Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini mernang
jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka rahasia ilmu tangan
kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka
gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang
lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan
tangan dengan tenaga sin-kang. Karena inilah maka dia segera dikurung
dan didesak hebat. Adapun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi.
Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena
hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa
Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga
hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh
daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat sungguhpun cukup mendatangkan
rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.
Untung bagi mereka
bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak
murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau
mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib
mereka berdua.
"Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan
saling melindungi!" teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan mendekati Si
Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan. Hok Sun bukan
seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka
dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan
dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini, mereka
berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.
"Awas....!"
Siauw Bwee berbisik, "aku akan melontarkanmu ke kiri melalui kepala
mereka. Engkau harus cepat melarikan diri, biar aku yang menahan
mereka....!"
"Ahhh, mana bisa....?" Hok Sun menjawab dengan
bantahannya, dan tidak seperti Siauw Bwee yang berbisik, pemuda itu
bicara nyaring, "Aku bukan seorang pengecut yang ingin selamat sendiri
dan meninggalkan kau sendirian dikepung oleh para ...."
Siauw Bwee menjadi gemas dan sambil menangkis tusukan tongkat seorang lawan wanita, ia sengaja menggerakkan pinggul.
"Auhhh....!
Apakah pinggulmu dari baja, Nona?" Hok Sun berteriak kesakitan ketika
pinggulnya dihantam daribelakang. Ia menggosok-gosok pinggulnya sehingga
tidak sempat menghindar ketika ada tongkat memukul kepalanya dari atas.
Untung Siauw Bwee melihat atau lebih tepat mendengar gerakan itu, maka
ia cepat mendorongkan tangan kirinya ke belakang.
"Aihhh....!" Hok Sun terhuyung akan tetapi hantaman tongkat itu luput. "Bagaimana sih engkau ini, Nona? Kawan ataukah lawan?"
"Bodoh!"
Siauw Bwee berbisik gemas. "Kalau engkau sudah bebas, bagiku apa sih
sukarnya melarikan diri? Awas, akan kulontarkan kau. Lekas lari!"
Tiba-tiba Hok Sun merasa tubuhnya terbang ke atas ketika Siauw Bwee
mencengkeram punggung bajunya dan mendorong dengan tenaga yang hebat
bukan main. Tubuh Hok Sun terlempar melalui atas kepala para
pengeroyoknya dan ia terus melompat jauh untuk melarikan diri, diam-diam
ia makin kagum bukan main terhadap Siauw Bwee. Setelah Si Dogol itu
terbebas, Siauw Bwee bernapas lega, memutar pedangnya bagaikan kitiran
cepatnya sehingga lenyaplah tubuh dara perkasa ini, yang tampak hanya
gulungan sinar pedangnya dan dari dalam gulungan sinar pedang yang
menangkis datangnya semua serangan tongkat itu, menyambar keluar tenaga
dahsyat dari telapak tangan kirinya yang mengirim dorongan-dorongan.
Para pengeroyoknya banyak yang terjengkang, akan tetapi segera meloncat
bangun lagi dan mengeroyok makin nekat. Ketika Siauw Bwee memandang ke
arah larinya Hok Sun, ia melihat pemuda itu kembali sudah dikepung enam
orang kaki buntung! Siauw Bwee gemas sekali. Tentu Si Dogol itu masih
tetap keras kepala dan tidak rela lari meninggalkannya. Kalau begitu
terus, Hok Sun bisa celaka, padahal kini jaraknya sudah jauh sehingga
tak mungkin lagi dia dapat menolong jika Hok Sun terancam bahaya seperti
tadi. Akan tetapi tiba-tiba enam orang pengeroyok Hok Sun itu
cerai-berai ketika sesosok bayangan berkelebat dan Cia Cen Thok sudah
membantu Hok Sun. Melihat laki-laki bercawat ini, terdengar
teriakan-teriakan kaget dan para pengeroyok mereka berdiri terbelalak
seperti arca dengan muka pucat.
Siauw Bwee tersenyum geli dan hatinya
lega melihat Hok Sun dan Cia Cen Thok sudah berhasil melarikan diri,
menggunakan kesempatan selagi para pengeroyok mereka terkejut dan diam
tak bergerak. Tentu saja anak buah kaki buntung itu kaget setengah mati
melihat dan mengenal orang yang telah tiga tahun menjadi mayat di kamar
mayat, kini tahu-tahu telah hidup lagi dan mengamuk! Ketika melihat
Siauw Bwee, mereka tidak begitu kaget dan heran karena mereka segera
mengerti bahwa dara perkasa itu sebetulnya belum mati ketika tadi
dimasukkan ke kamar jenazah. Akan tetapi berbeda lagi dengan Cia Cen
Thok yang sudah tiga tahun menjadi mayat, dan dahulu mereka ikut pula
mengeroyok dan membunuh orang ini. Dan pakaian Cia Cen Thok yang hanya
merupakan cawat itu menambah keseraman.
Setelah melihat dua orang itu
jauh dan lenyap bayangannya, Siauw Bwee tertawa nyaring, pedangnya
dilempar ke atas tanah dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik
beberapa kali dan selagi semua orang berdongak dan mengikuti gerakan
luar biasa itu, tubuh Siauw Bwee telah lari jauh dan dia menyusul ke
arah larinya Hok Sun dan Cia Cen Thok. Orang-orang berkaki buntung
mengejar cepat, namun mereka itu bukanlah tandingan Siauw Bwee dalam hal
ilmu berlari cepat sehingga sebentar saja tubuh dan bayangan Siauw Bwee
telah lenyap dari pandang mata mereka. Tak lama kemudian Siauw Bwee
telah dapat mengejar Hok Sun dan Cen Thok. Dia heran melihat dua orang
itu berhenti dan kelihatan bingung.
"Kenapa kalian berhenti di sini?"
Siauw Bwee menegur.
"Wah,
celaka, Li-hiap!" Kini Hok Sun yang amat kagum akan kelihaian Siauw
Bwee tidak segan-segan menyebut lihiap (pendekar wanita), "Semua jalan
keluar sudah dihadang setan-setan buntung itu!"
Siauw Bwee memandang kepada Cen Thok dan bekas mayat hidup ini mengangguk.
"Memang
benar, Li-hiap. Jalan menuju ke tempat tinggal kaum dengan buntung
sudah dihadang semua dan penuh perangkap dan jerat yang dipasang mereka.
Satu-satunya jalan hanya melalui rawa, daerah yang dianggap berbahaya
dan tidak pernah ada yang berani melalui tempat itu. Aku sendiri sama
sekali tidak mengenal daerah itu, Li-hiap." Ucapan terakhir ini
seolah-olah minta keputusan dan nasihat Siauw Bwee yang biarpun paling
muda namun mereka anggap sebagai orang yang lebih tinggi kedudukan dan
tingkatnya daripada mereka.
"Kalau begitu, kita melalui rawa!" kata
Siauw Bwee dengan suara tetap,"Bagaimanapun juga, kita harus dapat
keluar dari daerah berbahaya ini!"
"Baik, kalau begitu marilah ikut
bersamaku!" Cen Thok berkata dan mendahului lari. Hok Sun dan Siauw Bwee
juga meloncat dan lari mengikuti orang bercawat itu. Tak lama kemudian
mereka tibalah di daerah yang penuh rawa, daerah luas dan mati.
"Ke
mana jalannya?" tanya Siauw Bwee, agak ngeri juga menyaksikan daerah
luas dan mati, rawa yang seolah-olah tanpa tepi sehingga amat mengerikan
keadaannya.
"Aku sendiri pun tidak tahu, Li-hiap. Kita harus mencari
jalan, akan tetapi hati-hatilah. Rawa ini kabarnya berbahaya sekali,
banyak terdapat bagian-bagian yang pada permukaannya kelihatan rumput
dan tanah, akan tetapi di bawahnya adalah lumpur yang menyedot dan
adakalanya air amat dalam."
Siauw Bwee yang mengandalkan gin-kangnya
segera mengambil keputusan, "Biarlah aku mencari jalan. Dengan
keringanan tubuh, kiranya aku tidak akan terancam bahaya." Tanpa menanti
jawaban ia lalu mulai menyeberangi rawa, memilih bagian yang cukup
tebal dan kuat. Kalau kakinya salah injak bagian yang tipis, sebelum ia
terjeblos ia sudah dapat meloncat lagi. Melihat ini, dua orang itu
selain merasa kagum juga ngeri karena kalau kurang tinggi ilmu
gin-kangnya, tentu sekali terjeblos akan berarti bahaya maut!
Matahari
telah condong ke barat dan mereka masih belum menemukan jalan keluar
dari daerah itu karena jalan penyeberangan rawa yang mereka tempuh
membelak-belok harus memilih bagian yang aman. Tiba-tiba Hok Sun
berteriak, "Aihh, apa itu....?"
Dua orang temannya menengok dan
berdongak memandang ke atas, arah yang ditunjuk oleh Hok Sun. Tampak
awan hitam memenuhi udara, akan tetapi jelas bukan awan yang bergerak
terbawa angin karena gerakan awan itu cepat sekali.
"Burung-burung....!"
Siauw Bwee berseru ngeri karena belum pernah ia melihat burung-burung
terbang berkelompok sebanyak itu sehingga merupakan awan hitam yang
bergerak cepat.
"Eh, dia ke sini....!" Cen Thok berseru kaget.
"Mereka meluncur turun....!" Hok Sun berteriak pula.
Benar
saja. Sekumpulan burung itu seolah-olah menerima pertanda rahasia dan
mereka kini meluncur turun ke arah tiga orang ini dan segera mereka
diserang oleh ratusan ekor burung elang!
Di tengah rawa yang amat
berbahaya itu tiga orang ini menjadi repot sekali menghadapi penyerangan
ribuan ekor burung. Hok Sun menggerak-gerakkan kedua tangannya
menangkis dan menghantam burung-burung yang menyerangnya. Juga Cen Thok
sibuk membela diri dan membunuhi burung-burung yang tak terhitung
banyaknya. Namun mereka ini kewalahan, bingung dan panik, apalagi
setelah kulit-kulit tangan mereka mulai berdarah oleh patukan-patukan
burung yang kuat itu. Mereka bertanding melawan keroyokan burung-burung
sambil berteriak-teriak dan tak lama kemudian Siauw Bwee terpisah dari
mereka. Dara perkasa ini pun repot menghadapi pengeroyokan
binatang-binatang yang kelihatannya marah, haus darah dan buas itu,
sampokan-sampokan kedua tangan dara ini sekaligus membunuhi banyak
burung, akan tetapi binatang-binatang itu sungguh ganas. Mati lima
datang sepuluh, mati sepuluh datang dua puluh.
***
Kepanikan
menyerang hati Siauw Bwee. Dia merasa jijik dan ngeri sekali karena para
pengeroyoknya ini seperti bukan burung-burung biasa, begitu nekat dan
agaknya mereka kelaparan semua. Bajunya mulai robekrobek, bahkan pundak
dan kedua lengannya mulai berdarah. Serangan datangnya seperti hujan,
sukar untuk dihindarkan semua. Dia tidak lagi dapat memperhatikan dua
orang temannya dan teriakan-teriakan mereka sudah tidak terdengar lagi
karena mereka saling berpisah makin jauh setelah Siauw Bwee mulai
berloncatan untuk menghindarkan burung-burung itu. Dia menggunakan
gin-kangnya, meloncat tinggi dan jauh dengan maksud melarikan diri. Akan
tetapi burung-burung itu tetap mengejarnya. Sampai jauh Siauw Bwee
melawan sambil berloncatan menjauhi dan kemarahannya timbul sehingga
ketika dia menggerakkan kedua tangan, makin banyaklah burung-burung itu
menjadi bangkai, memenuhi rawa.
Entah berapa jam lamanya Siauw Bwee
bertanding melawan burung-burung itu, akan tetapi kini matahari sudah
makin doyong ke barat dan sinarnya mulai menyuram. Entah berapa ratus
ekor burung telah dibunuhnya. Kepalanya menjadi pening oleh suara burung
yang menjerit-jerit sambil menyerang, pandang matanya berkunang oleh
bayangan burung-burung yang tiada hentinya menyambar di depan mukanya.
Dia mulai lelah, kepalanya pening dan patukan burung mulai banyak
mengenai kulit lengannya. Celaka, pikirnya, tidak pernah mengira bahwa
dia akan tewas oleh pengeroyokan burung-burung. Betapa memalukan dan
menyedihkan. Tewas oleh pengeroyokan burung-burung!
Tiba-tiba di
antara suara mencicitnya burung yang memekakkan telinga, terdengar suara
manusia! Lirih saja, akan tetapi amatlah jelas seolah-olah ada yang
berbisik di dekat telinganya.
"Sungguh keberanian dan kenekatan yang
bodoh! Masa manusia kalah cerdik oleh burung? Kalau berlindung ke air
bersembunyi di balik alang-alang, bukankah lebih mudah daripada melawan
dengan nekat?"
Siauw Bwee terkejut. Tidak, dia bukan sedang mimpi,
juga tidak mendengar suara setan rawa! Dia mendengar suara manusia,
seorang manusia yang berilmu tinggi dan yang menolongnya dengan nasihat
itu. Suara itu adalah suara yang dikirim dari tempat jauh menggunakan
Ilmu Coan-im-jip-bit yang hanya dapat dilakukan dengan pengerahan
khi-kang yang amat kuat! Suhengnya dapat melakukan hal itu, dan dia pun
kalau mau melatih diri, menggabungkan sin-kang dengan khi-kang, tentu
akan dapat melakukannya pula. Suhengnya! Jantung Siauw Bwee berdebar.
Suhengnyakah orang itu? Ah, tidak mungkin. Suhengnya selalu bicara
dengan halus dan ramah kepadanya, sedangkan suara orang itu sama sekali
tidak halus dan ramah, bahkan setengah memakinya bodoh dan kalah cerdik
oleh burung! Siapa pun adanya orang itu, jelas bahwa nasihatnya patut
diperhatikan. Maka ia lalu mencari bagian rawa yang penuh alang-alang
dan yang airnya agak dalam, kemudian setelah menggerakkan kedua
tangannya membunuh burung-burung yang menyerangnya, ia lalu menjatuhkan
diri ke dalam air rawa, menyembunyikan tubuhnya sampai ke atas mulut ke
dalam air di bawah alang-alang. Hidungnya mencium bau busuk alang-alang
yang membusuk, membuatnya muak, akan tetapi ia tahankan. Benar saja,
burung-burung itu hanya beterbangan di atas alang-alang, tidak ada lagi
yang menyerangnya.
Siauw Bwee merasa lega dan berterima kasih. Akan
tetapi burung-burung itu tetap saja beterbangan di atas alang-alang,
agaknya menunggu sampai dia muncul kembali dan siap menyerang. Burung
sialan, ia memaki. Merendam diri di dalam air lumpur kotor itu sungguh
bukan hal yang menyenangkan, apalagi baunya amat tidak enak dan tubuhnya
mulai merasa gatal-gatal.
Dua jam kemudian, setelah matahari makin
turun ke barat dan sinarnya sudah hampir tidak ada tenaganya lagi,
setelah Siauw Bwee hampir tidak kuat bertahan dan ingin mengamuk lagi,
tiba-tiba burung-burung itu terbang pergi meninggalkan Siauw Bwee dan
meninggalkan rawa yang banyak bangkai burungnya.
Siauw Bwee meloncat
dan keluar dari dalam air. Tiba-tiba ia menjerit-jerit dan tubuhnya
mengkirik, menggigil dengan jijik dan geli ketika ia melihat bahwa
puluhan ekor lintah telah menempel di tubuhnya dan menggigit, menghisap
darahnya tanpa ia rasakan tadi! Dengan bulu tengkuk berdiri dan
mengkirik ia sibuk mencabuti dan meremas serta membanting lintah-lintah
itu sehingga darah binatang-binatang itu berceceran ke mana-mana. Bukan
darah binatang-binatang itu melainkan darahnya yang telah dihisap
mereka! Siauw Bwee sampai hampir menelanjangi tubuhnya sendiri karena
lintah-lintah itu ada yang menyelinap memasuki baju dan celananya,
menggigit dan menghisap darah tanpa memilih tempat.
"Setan! Bedebah!
Kurang ajar!" Siauw Bwee memaki-maki dan membunuhi lintah-lintah itu,
dan setelah memeriksa semua tubuh dan pakaiannya, barulah ia memakai
kembali pakaiannya. Sementara itu, matahari telah tenggelam dan ketika
Siauw Bwee memandang ke sekeliling, dia tidak melihat lagi adanya dua
orang temannya tadi, juga tidak dapat menduga ke mana larinya mereka
yang tadi ketakutan dikeroyok burung.
Siauw Bwee mulai melangkah lagi
melanjutkan usahanya keluar dari tempat itu. Dia tidak lagi dapat
mencari kedua orang temannya, maka dia pun kini harus mengingat
keadaannya sendiri. Dia harus dapat keluar dari daerah rawa yang amat
luas ini. Dia mulai mencari-cari, akan tetapi tetap saja tidak dapat
keluar, bahkan beberapa kali ia lewat lagi di tempat di mana dia
dikeroyok burung karena di situ terdapat banyak bangkai burung
berserakan di atas rawa!
"Tempat celaka! Neraka dunia!" Ia mengomel
karena kini malam sudah mulai tiba, cuaca mulai gelap. Tiba-tiba
terdengar suara air berkecipakan. Dia memandang ke depan dan bukan main
kagetnya ketika melihat serombongan ular berenang menyeberangi rawa
menuju ke arah dia berdiri! Ular-ular yang besar kecil beraneka warna,
ada yang putih, hijau, coklat, hitam dan merah! Kembali bulu tengkuk
Siauw Bwee berdiri. Teringatlah ia akan ular-ular merah di bawah Istana
Pulau Es. Tak jauh dari tempat ia berdiri terdapat sebatang pohon yang
sudah tumbang tengahnya, tinggal merupakan tonggak, akan tetapi
tingginya masih ada dua meter. Cepat Siauw Bwee mengayun tubuh meloncat
ke atas tonggak itu, berdiri tegak dan memandang ke bawah. Betapa ngeri
hatinya ketika ia melihat ular-ular itu mulai berebut, memperebutkan
bangkai-bangkai burung. Bangkai-bangkai burung yang terapung di atas air
itu mereka serang, moncong-moncong ular dibuka lebar dan
bangkai-bangkai dicaploki dan ditelan berikut bulu-bulunya sehingga tak
lama kemudian beratus buah bangkai burung itu telah habis, pindah ke
dalam perut ular-ular yang kini menggembung. Pemandangan ini amat
mengerikan hati Siauw Bwee sehingga tonggak yang ia injak
bergoyang-goyang, tanda bahwa kakinya menggigil terbawa oleh hati yang
ngeri. Baiknya dara perkasa ini sudah memiliki gin-kang yang luar biasa,
kalau tidak, ada bahayanya ia terguling jatuh dan dikeroyok ular saking
ngerinya.
Malam telah tiba dan keadaan gelap sekali. Selagi Siauw
Bwee kebingungan karena tidak mungkin kini ia berdiri terus semalam
suntuk di atas tonggak, juga tidak mungkin dia meloncat turun tanpa
mengetahui lebih dulu apakah ular-ular itu tidak berada di situ,
tiba-tiba tampak olehnya sinar terang dari jauh. Dari atas tonggak itu
ia dapat menduga bahwa sinar itu adalah obor-obor yang dipegang orang.
Karena rawa itu luas dan sinar obor-obor yang bersatu itu cukup terang,
maka sebagian sinarnya dapat mencapai tempat Siauw Bwee. Giranglah hati
Siauw Bwee ketika melihat bahwa ular-ular yang sudah kekenyangan itu
kini merayap pergi, agaknya takut akan sinar obor.
Dengan bantuan
sinar yang datang dari obor-obor itu, Siauw Bwee dapat meloncat turun ke
tempat yang tidak ada ularnya, kemudian mulailah ia berlari dengan
hati-hati menuju ke arah orang-orang yang membawa obor. Tadinya ia
mengira bahwa kedua orang temannya yang membawa obor itu, akan tetapi
kini tampak olehnya bahwa yang membawa obor adalah tiga orang, jadi
jelas bukan dua orang temannya itu. Tiga orang itu membawa enam buah
obor, masing-masing dua buah yang disatukan di satu tangan. Apakah
orang-orang berkaki buntung yang masih berusaha mengejar dan mencarinya?
Siauw Bwee menggigit bibirnya dengan gemas. Aku telah menderita karena
mereka, pikirnya. Dikeroyok burung, hampir dikeroyok ular dan
benar-benar telah dikeroyok lintah! Dan merendam tubuhnya di air kotor
berbau! Kalau dia bukan bekas penghuni Pulau Es, tentu sekarang telah
menderita kedinginan luar biasa pula! Biarlah, mereka hanya bertiga,
mungkin pimpinan mereka dan sekali ini aku akan membikin mereka tahu
rasa!
Dengan hati gemas dan marah Siauw Bwee mempercepat larinya,
berloncatan menghampiri tiga orang yang membawa obor itu dan setelah
dekat ia tercengang karena tiga orang itu tidak memakai tongkat dan kini
tampak jelaslah bahwa mereka bukan tiga orang berkaki buntung,
melainkan tiga orang berlengan buntung sebelah! Kiranya mereka itu
adalah tiga orang dari kaum lengan buntung! Hati Siauw Bwee tertarik
sekali dan juga girang. Sekarang ia mendapat kesempatan untuk keluar
dari daerah rawa yang berbahaya itu! Diam-diam ia membayangi mereka dan
benarlah dugaannya, tiga orang berlengan kiri buntung itu membawanya
keluar dari daerah rawa dan memasuki sebuah hutan yang tandus.
Karena
keadaan gelap dan penerangan obor itu tidaklah cukup menerangi daerah
sekitarnya, maka Siauw Bwee tidak tahu jalan apa yang mereka tempuh
sehingga dapat keluar dari daerah rawa, akan tetapi ternyata untuk
keluar dari daerah rawa itu mereka telah menghabiskan waktu semalam
suntuk!
Mereka telah memadamkan obor dan membuangnya karena malam
telah terganti pagi ketika tiga orang itu berjalan cepat sekali menuju
ke sebuah pondok bambu yang berdiri di tengah hutan tandus. Gerak kaki
mereka ketika berlari itu cepat bukan main dan diam-diam Siauw Bwee
kagum sekali. Gerakan orang-orang berlengan kiri buntung itu ternyata
amat hebat dan dalam hal berlari cepat, jelas bahwa orang-orang berkaki
buntung bukanlah lawan mereka ini! Dia sendiri harus mengerahkan
gin-kangnya dan berlari cepat-cepat untuk dapat membayangi mereka dan
tidak tertinggal.
Ketika tiga orang itu mengampiri pondok, Siauw Bwee
menyelinap dan bersembunyi sambil mengintai. Pakaiannya sudah kering
kembali, akan tetapi robek-robek di bagian lutut, paha, betis dan lengan
kanan kiri. Burung-burung sialan, ia memaki. Bekal pakaiannya masih
tertinggal di atas punggung kuda hitamnya yang sekarang entah bagaimana
nasibnya.
Siauw Bwee memandang heran ketika melihat seorang laki-laki
tua renta dan bertubuh kurus kering duduk di atas bangku bambu depan
pondok itu. Laki-laki itu keadaannya amat menyedihkan. Kedua kakinya
buntung sebatas paha, lengan kirinya juga buntung seperti tiga orang
pendatang itu dan yang tinggal hanyalah lengan kanannya yang kurus dan
yang memegang sebatang tongkat seperti milik para anggauta kaum kaki
buntung. Siauw Bwee memandang heran dan menduga. Termasuk golongan
manakah kakek itu? Lengan kirinya buntung seperti tiga orang pendatang
itu, akan tetapi belum tentu dia merupakan anggauta kaum lengan buntung
karena kakinya juga buntung, tidak hanya kaki kanan, bahkan
kedua-duanya! Dan kakek itu duduk tanpa kaki seperti orang sedang
bersila, tangan kanan memegang tongkat yang melintang di depannya,
lengan baju kiri tergantung lepas tanpa isi, kedua matanya terpejam
seolah-olah dia tidak tahu akan kedatangan tiga orang itu.
Siauw Bwee
mengalihkan pandangnya. Di antara tiga orang lengan buntung ini, tidak
seorang pun pernah dilihatnya di antara mereka yang dulu pernah
dilihatnya ketika lima orang lengan buntung membawa tawanan seorang kaki
buntung. Yang seorang adalah seorang nenek yang mukanya masam dan
kelihatan galak. Yang ke dua adalah seorang laki-laki berusia empat
puluh tahunan, lebih muda daripada Si Nenek, sikapnya gagah dan agaknya
dia yang memimpin rombongan tiga orang itu. Orang ke tiga adalah seorang
laki-laki bermuka tampan akan tetapi membayangkan kesombongan.
Ketiganya kini berdiri di depan kakek tua renta itu, kemudian
terdengarlah laki-laki tinggi tegap yang memimpin rombongan itu berkata,
"Twa-supek,
kami diperintah oleh Suhu untuk memperingatkan Supek yang terakhir
kalinya agar supek suka memberitahukan rahasia gerak tangan kilat kaum
kaki buntung!" Biarpun laki-laki itu menyebut twa-supek (uwa guru
tertua), namun nada suaranya amat tidak menghormat, bahkan mengandung
ancaman dan kekerasan.
Kakek itu membuka matanya dan terkejutlah
Siauw Bwee menyaksikan betapa sinar mata kakek tua renta itu mengandung
penderitaan seperti mata orang yang sakit berat! Kemudian terdengar
kakek itu berkata lirih, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi
mencampuri permusuhan terkutuk itu! Pergilah kalian!"
"Twa-supek!
Kalau begitu benar keterangan para penyelidik bahwa supek menerima
kedatangan orang-orang berkaki buntung, tentu supek telah membuka
rahasia ilmu kami!"
"Benar, mereka datang pula ke sini membujuk akan
tetapi aku tidak sudi pula membantu mereka. Seperti juga kaum lengan
buntung, kaum kaki buntung adalah anak muridku pula. Betapa aku sudi
membantu mereka yang saling bermusuhan sendiri?"
"Twa-supek! Kiranya
sampai sekarang, setelah menerima kutukan dari roh para nenek moyang,
Twa-supek masih saja mengkhianati sumpah...."
"Sudahlah, tutup mulutmu!" Kakek itu membentak.
Orang
itu melotot marah. "Orang tua, biarpun engkau terhitung supek sendiri,
akan tetapi engkau telah hampir mati, hanya mempunyai sebuah lengan
saja. Kalau kami turun tangan, apakah kau sanggup melawan kami?"
Kakek itu menundukkan kepalanya. "Hanya kesesatan itu yang belum kalian lakukan, kalau kalian hendak membunuhku, silakan!"
Siauw
Bwee terkejut ketika mendengar suara kakek itu. Teringatlah ia akan
suara yang dikirim dengan ilmu Coan-im-jip-bit dan yang telah
menolongnya dari serangan burung-burung liar. Kini mendengar ancaman
laki-laki lengan buntung, Siauw Bwee tidak dapat menahan kemarahannya
lagi. Dia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang cepat sekali,
tahu-tahu telah berdiri di depan laki-laki tinggi tegap yang menyerang
kakek itu dengan kata-kata keras tadi.
"Engkau manusia yang tak tahu
aturan!" Siauw Bwee tidak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk
pulih kembali dari rasa kaget mereka melihat munculnya seorang dara
yang gerakannya seperti burung walet. "Tidak menghormati supek sendiri,
dan tidak menghiraukan alasan-alasan yang begitu bijaksana, melainkan
bersikap seperti tiga ekor kerbau gila yang hanya bertindak karena
dorongan nafsu bermusuhan dan haus darah! Kalian hendak membunuh
Locianpwe ini? Hi-hik, bicara sih mudah! Baru melawan aku saja kalian
sudah takkan bisa menang, apalagi melawan Locianpwe ini!"
Tiba-tiba
muncul seorang dara jelita yang masih remaja dan datang-datang
memaki-makinya membuat laki-laki tinggi tegap bertangan satu itu
tercengang dan sejenak tak dapat berkata-kata. Akan tetapi kemudian
timbul kemarahannya. Dia tadi hanya mengancam saja dan sama sekali bukan
bermaksud menyerang apalagi membunuh kakek itu. Karena ancamannya itu
kini disaksikan orang luar, tentu saja hal ini amat memalukan dan
merendahkan dirinya, maka dia amat marah.
"Bocah siluman dari mana berani mencampuri urusan kami!" bentaknya.
"Bocah
dari mana tak perlu kau tahu. Pendeknya, lekas kau mentaati petintah
Locianpwe inl untuk segera angkat kaki dari tempat ini, kalau tidak,
jangan sesalkan aku menggunakan kekerasan mengusir kalian bertiga!"
Ucapan
ini tekebur sekali dan tentu saja murid kepala kaum lengan buntung itu
saking marahnya sampai memandang dengan mata mendelik. "Bocah kurang
ajar! Engkau ada hubungan apakah degan kakek itu?"
"Bukan sanak bukan teman, akan tetapi aku akan melindunginya dari keganasan kalian!"
"Hemm,
kulihat engkau masih amat muda, masih bocah. Ingat lebih baik jangan
mencampuri urusan kaum lengan buntng kalau kau sayang nyawamu."
"Tentu
saja aku sayang nyawaku, akan tetapi aku siap membelanya dengan nyawaku
karena aku yakin nyawaku tidak akan apa-apa kalau hanya melawan
orang-orang kejam macam kalian!"
"Keparat!" Laki-laki itu tak dapat
menahan kesabarannya lagi dan ia sudah menerjang dengan sambaran lengan
baju kirinya ke arah muka Siauw Bwee, dan tangan kanannya sudah cepat
mengirim susulan dengan tonjokan ke arah leher! Cepat sekali gerakannya
ini, namun terlalu lambat bagi Siauw Bwee yang sudah dapat mengelak
dengan jalan menarik muka ke belakang kemudian menggerakkan tangan kiri
menangkis tangan kanan yang memukul.
"Plakk!" Tubuh Laki-laki itu
hampir terjengkang ke belakang sehingga ia mengeluarkan seruan kaget dan
heran. Siauw Bwee tidak peduli dan sudah menerjang maju dengan tamparan
kedua tangannya susul-menyusul. Akan tetapi kini dara ini yang merasa
kaget karena tubuh laki-laki itu dengan amat indah dan cepatnya sudah
bergerak dan semua tamparannya luput! Kiranya laki-laki itu mempunyai
gerak langkah yang amat luar biasa dan tiba-tiba saja kaki kiri
laki-laki itu menyambar amat dahsyat dan cepatnya! Siauw Bwee makin
terkejut dan hanya dengan loncatan ke samping secara cepat ia dapat
menghindar. Namun, dengan langkah-langkah yang aneh dan berputar,
laki-laki itu telah berada di belakangnya dan lengannya mencengkeram
kepala disusul tendangan lagi yang akan melontarkan tubuh seekor kerbau
bunting saking kuatnya!
"Ayaaaa....! Siauw Bwee berteriak dan
tubuhnya mencelat ke atas tinggi sekali kemudian dari atas, ketika
tubuhnya meluncur turun, dia telah menggerakkan kedua tangannya
melakukan gerakan mendorong. Laki-laki itu kagum sekali menyaksikan
gin-kang yang begitu sempurna, akan tetapi ia juga girang karena kalau
tubuh itu turun ia akan dapat menyambut dengan serangan dahsyat. Siapa
kira, dari telapak kedua tangan dara itu menyambar hawa yang kuat dan
ketika ia berusaha menangkis, hawa dingin yang luar biasa membuat
tubuhnya menggigil dan dia terhuyung-huyung.
"Aihhh....!" Laki-laki itu berseru keras dan kini kedua orang saudara seperguruannya sudah menerjang maju mengeroyok Siauw Bwee.
"Bagus,
majulah semua kalian orang-orang tak tahu malu!" Siauw Bwee mengejek,
akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa dikeroyok tiga oleh
orang-orang itu benar-benar merupakan lawan amat berat! Tingkat sin-kang
dan gin-kang mereka tidaklah seberapa hebat, akan tetapi dia dibikin
bingung oleh gerak langkah mereka yang amat luar biasa itu. Teringatlah
ia akan penuturan Cia Cen Thok bahwa kaum lengan buntung ini telah
mencipta semacam ilmu silat yang disebut gerak kaki kilat. Siauw Bwee
harus mengerahkan seluruh kepandaiannya dan kini dia terdesak terus.
Sungguhpun dengan ilmu silatnya yang tinggi, sin-kangnya yang kuat dan
gin-kangnya yang sempurna dia dapat selalu mengelak atau menangkis namun
dia tidak diberi kesempatan membalas sama sekali. Terkejutlah dara
perkasa itu karena mendapat kenyataan bahwa kaum lengan buntung ini
benar-benar memiliki keistimewaan seperti yang dimiliki kaum kaki
buntung dengan gerak tangan kilat mereka!
Tiba-tiba terdengar kelepak
sayap yang riuh-rendah dan tiba-tiba udara di situ menjadi gelap
tertutup bayangan dari atas. Tiga orang lengan buntung itu memandang ke
atas dan seketika wajah mereka menjadi pucat sekali. Kini kelepak sayap
itu ternyata bukanlah sayap melainkan suara cecowetan separti suara kera
yang banyak sekali dan dari mulut tiga orang lengan buntung itu
terdengar jerit ketakutan.
"Celaka....! Kelelawar siang!"
Siauw
Bwee menjadi heran sekali melihat tiga orang itu menjatuhkan diri
berlutut dan menutupi kepala mereka dengan tubuh menggigil ketakutan.
Dia mendongak dan apa yang dilihatnya membuat ia hampir menjerit. Yang
disebut kelelawar siang itu memang sesungguhnya kelelawar, akan tetapi
banyaknya bukan main, sama banyaknya dengan burung-burung yang
menyerangnya kemarin! Dan yang hebat, kelelawar-kelelawar itu agaknya
berbeda dengan kelelawar biasa, tidak takut sinar matahari dan tubuh
mereka hitam seperti arang! Biarpun merasa ngeri sekali, akan tetapi
Siauw Bwee tidak mau bersikap penakut seperti tiga orang bekas lawan
itu, maka ia masih berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan.
"Nona,
lekas berlutut, serendah mungkin. Kelelawar-kelelawar itu tidak akan
menyerang lebih tinggi dari satu meter di atas tanah, dan gigitannya
seekor saja cukup membuat manusia menjadi gila!"
Mendengar suara
lirih di dekat telinganya yang sama dengan suara ketika dia dikeroyok
burung, Siauw Bwee terkejut. Pada saat itu beberapa ekor kelelawar sudah
menyambar turun mengarah kepalanya! Menjadi gila kalau digigit? Dia
makin ngeri dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut
seperti yang dilakukan tiga orang lengan buntung, hanya dia tidak
menutup kepalanya melainkan memandang ke atas penuh perhatian.
Tiba-tiba
terdengar bunyi melengking tinggi dan nyaring. Siauw Bwee menoleh dan
melihat bahwa suara itu keluar dari mulut Si Kakek Tua, suara yang
dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang yant tinggi. Aneh sekali, ketika
terdengar suara melengking tinggi penuh getaran ini, kelelawar-kelelawar
itu menjadi kacau-balau terbangnya, menabrak sana sini dan kelihatan
panik. Akan tetapi, sebelum suara itu cukup kuat untuk mengusir semua
kelelawar, suara itu makin melemah dan Siauw Bwee melihat kakek itu
terengah-engah kehabisan tenaga.
Siauw Bwee adalah seorang dara yang
cerdik. Melihat ini, maklumlah bahwa cara mengeluarkan lengkingan itu
adalah cara untuk mengusir binatang-binatang mengerikan itu dan bahwa
pada saat itu Si Kakek yang lihai sedang menderita sakit maka pengerahan
sin-kang yang kuat membuatnya kehabisan tenaga. Maka dia lalu
mengerahkan sin-kang dan keluarlah suara melengking tinggi dengan
getaran kuat dari dalam dada Siauw Bwee. Dia hampir menari kegirangan
ketika melihat hasil tiruannya. Binatang-binatang itu menjadi makin
panik dan kacau, beterbangan membubung setinggi mungkin, agaknya untuk
menghindari getaran lengkingan maut itu dan tak lama kemudian mereka
sudah terbang tinggi dan jauh, lenyap dari pandangan mata. Barulah Siauw
Bwee menghentikan lengkingannya dan ia meloncat berdiri memandang tiga
orang lengan buntung yang juga sudah berdiri dengan muka pucat.
"Mau dilanjutkan?" Siauw Bwee menantang berani.
"Kalian bertiga tidak lekas pergi? Melawan Nona ini berarti mencari mati sia-sia!" kata Si Kakek Tua.
Tiga
orang itu sudah melihat bukti kelihaian Siauw Bwee. Selain merasa
gentar, juga mereka tahu bahwa. berkat pertolongan gadis itulah maka
mereka lolos dari bahaya yang lebih mengerikan daripada maut, maka tanpa
berkata-kata mereka lalu berlari pergi.
Siauw Bwee membalikkan tubuh memandang kakek tua itu. "Locianpwe, kau sedang menderita sakit."
Kakek itu mengangguk, tersenyum dan lengan tunggalnya melambai. "Ke sinilah, anak baik. Siapa namamu?"
"Nama saya Khu Siauw Bwee, Locianpwe."
"Ha-ha-ha,
jangan menyebut locianpwe. Kepandaianmu lebih hebat daripada sedikit
ilmu yang kumiliki. Sungguh sukar dipercaya bahwa seorang dara semuda
engkau telah memiliki sin-kang yang sedemikian hebat. Siapakah gurumu?"
Siauw
Bwee sudah mendapat pesan suhengnya bahwa mereka bertiga tidak boleh
menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, sesuai dengan pesan kakek manusia
dewa itu. Maka dia menjawab menyimpang, "Guruku tidak boleh disebut
namanya, aku hanya belajar dari suhengku yang bernama Kam Han Ki.
Locianpwe jangan terlalu memuji dan membuatku menjadi bangga dan
sombong."
Kembali kakek itu tertawa. "Engkau benar-benar masih bocah.
Eh, Nona yang baik, engkau selain lihai juga rendah hati, dan hatimu
amat baik penuh budi dan welas asih. Engkau belum mengenal aku akan
tetapi engkau berani mempertaruhkan nyawa untuk membelaku mati-matian."
Siauw Bwee tertawa manis dan dia berkata,
"Aihhh,
Locianpwe membikin aku merasa malu saja. Aku tidaklah sebaik yang
Locianpwe katakan. Tentu saja aku membela mati-matian kepada Locianpwe
yang telah menolongku kemarin."
Mata kakek itu terbelalak. "Menolongmu? Apa maksudmu, Nona?"
"Waah,
Locianpwe pandai berpura-pura lagi. Siapakah yang kemarin menggunakan
Ilmu Coan-im-jip-bit menyelamatkan aku dari serangan burung-buruhg gila?
Kalau tidak ada pertolongan Locianpwe, agaknya aku akan mati di tengah
rawa!"
"Ah, engkaukah orangnya? Aku tidak mengenal siapa orangnya
karena dari jauh. Aku kebetulan berjalan-jalan di dekat rawa dan melihat
orang dikeroyok burung elang. Kiranya engkaukah orangnya?"
Hati
Siauw Bwee menjadi geli. Orang tidak mempunyai sebuah kaki pun,
bagaimana bisa berjalan-jalan? Ingin dia menyaksikan bagaimana orang tak
berkaki bisa berjalan.
"Akulah orangnya, Locianpwe. Dan aku mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu itu," Siauw Bwee menjura dengan hormat.
Kakek
itu tertawa bergelak dan sejenak wajahnya yang muram itu berseri
gembira. "Wah, pengakuanmu ini meningkatkan pandanganku terhadap dirimu,
Nona. Di samping segala kebaikanmu, engkau jujur dan ingat budi pula!
Engkaulah orangnya. Ya, engkaulah orangnya yang akan dapat menolong
kedua kaum yang saling bermusuhan sehingga setiap tahun mengorbankan
banyak nyawa manusia tidak berdosa. Aku mohon kepada-mu, Nona, sukakah
engkau mewakili aku menyelamatkan mereka!"
Siauw Bwee mengerutkan
alisnya. Sikap kakek itu benar-benar patut dikasihani. Dalam keadaan
seperti itu masih mementingkan keselamatan orang lain, keselamatan kaum
buntung kaki dan buntung lengan yang memperlakukannya dengan buruk.
"Apakah
maksudmu, Locianpwe? Mereka itu saling bermusuhan dan kedua pihak amat
lihai. Bagaimana aku dapat mencampuri dan betapa mungkin aku dapat
menolong dua pihak yang saling bermusuhan?"
"Duduklah, Nona, dan
dengarkan ceritaku." Siauw Bwee memang tertarik sekali akan permusuhan
kedua kaum yang cacat itu, yang sebagian sudah ia dengar dari Cia Cen
Thok, maka ia lalu duduk di atas dipan bambu di sebelah kakek itu.
"Tahukah engkau mengapa kedua kaum yang bercacat itu saling bermusuhan, Nona?"
Siauw
Bwee mengangguk. "Permusuhan mereka ditanam oleh kedua orang saudara
seperguruan yang bermusuhan dan dalam pertandingan, seorang kehilangan
kaki kanan dan yang seorang lagi kehilangan lengan kiri."
"Benar, dan
aku tadinya adalah seorang di antara kaum lengan buntung itu. Akan
tetapi, sejak dahulu aku tidak menyetujui permusuhan antara saudara
sendiri, karena kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung sebenarnya
adalah saudara-saudara seperguruan. Apalagi cara mereka menerima
murid-murid yang harus dibuntungi kaki atau lengannya seperti kaum
mereka, benar-benar merupakan perbuatan yang amat keji. Aku adalah
suheng dari The Bian Le dan aku berusaha membujuk suteku yang menjadi
ketua kaum lengan buntung sekarang untuk berdamai dengan pihak kaki
buntung. Pada waktu itu akulah yang menjadi ketua kaum lengan buntung.
Usul itu diterima dengan penuh kemarahan dan mereka memberontak. Aku
yang menjadi ketua mereka malah mereka anggap pengkhianat sumpah leluhur
dan aku dikeroyok, kemudian kaki kananku mereka buntungkan dan aku
diusir dengan kata-kata menghina bahwa aku berpihak kepada kaum kaki
buntung, maka kaki kananku dibuntungi dan aku diusir."
Kakek itu menundukkan mukanya dan menarik napas panjang, Siauw Bwee mengepal tangannya dan berkata, "Betapa kejamnya!"
Kakek
itu menggeleng kepala, "Merceka patut dikasihani, Nona. Aku tidak
menyesal karena kakiku dibuntungi sebelah, melainkan menyesal bahwa
usahaku itu gagal sama sekali. Aku lalu pergi ke tempat kaum kaki
buntung. Biarpun kaki kananku sudah buntung seperti lengan kiriku, aku
tidak putus harapan dan berusaha menghubungi Liong Ki Bok, ketua mereka
yang sebenarnya kalau diperhitungkan malah suteku sendiri pula. Akan
tetapi, karena tadinya aku adalah ketua kaum lengan buntung, aku
dicurigai dan malah di sana aku dikeroyok dan kaki kiriku dibuntungi
pula."
"Ahhh....! Biadab! Jahat benar mereka itu!"
Kembali kakek
itu menggeleng kepala. "Mereka, kedua pihak telah dibikin mabok oleh
dendam permusuhan. Akulah orangnya yang patut disesalkan karena berusaha
mendamaikan mereka. Akan tetapi aku malah tetap penasaran dan aku
takkan dapat mati dengan meram kalau belum berhasil mendamaikan mereka."
Kakek itu kelihatan berduka sekali dan diam-diam Siauw Bwee merasa
terharu dan kasihan, juga kagum menyaksikan iktikad baik yang tak
kunjung padam dari hati kakek yang tubuhnya sudah cacat seperti itu.
"Apa
hubungannya semua itu dengan aku, Locianpwe? Kalau engkau sendiri yang
tadinya adalah ketua kaum lengan buntung sama sekali tidak dapat
mendamaikan mereka bahkan dianggap pengkhianat, bagalmana aku akan dapat
mengusahakannya?"
"Dengan jalan lain pasti dapat, Khu-lihiap. Akan
tetapi dengarlah dulu ceritaku. Aku terasing di antara mereka kedua
pihak dan aku, dengan tekad untuk tetap hidup dan terus berusaha
mendamaikan mereka, dapat menyeret tubuhku dengan hanya lengan kanan ini
sampai ke tempat ini, terpencil dan terasing. Sepuluh tahun lamanya aku
berdiam di sini, menggembleng diri dan terutama sekali mempelajari
rahasia ilmu-ilmu kedua pihak yang sesungguhnya memang sesumber. Dan
ketekunanku selama sepuluh tahun ini berhasil baik, Nona! Aku telah
memecahkan kedua ilmu mereka, maksudku aku telah menemukan cara
pemecahannya dan cara untuk menundukkan ilmu gerak tangan kilat dari
kaum kaki buntung dan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan buntung.
Dengan ilmu ini mereka tentu akan dapat ditundukkan kalau perlu dengan
kekerasan!"
Wajah Siauw Bwee berseri, dia ikut merasa gembira akan
hasil kakek itu yang akan dapat memenuhi cita-cita hidupnya, yaitu
menundukkan dan mendamaikan kedua kaum yang bersaudara akan tetapi
permusuhan itu. "Bagus sekali, Locianpwe. Kalau begitu, Locianpwe
pergunakan saja ilmu itu untuk menghajar orang-orang keras kepala itu!"
serunya.
"Nona, lihatlah keadaanku. Aku hanya mempunyai sebuah lengan
dan aku.... karena terlalu tekun menggembleng diri dengan ilmu-ilmu
itu, aku menderita sakit jantung yang hebat dan takkan terobati lagi.
Biarpun semua teori silat mereka sudah berada di telapak tanganku kalau
aku hanya mempunyai satu lengan saja, bagaimana mungkin aku dapat
menghadapi mereka?"
"Ohhh....! Maafkan aku, Locianpwe," Siauw Bwee
berkata dengan muka merah karena dalam kegembiraannya tadi ia sampai
lupa bahwa kakek itu tubuhnya tidak lengkap lagi.
"Tidak apa, Nona. Bahkan akulah yang minta maaf kepadamu karena berani minta engkau seorang luar untuk mewakili aku...."
"Maksudmu....?"
"Ilmu
kepandaianmu hebat, Nona. Baik Liong Ki Bok maupun The Bian Le, malah
aku sendiri tidak akan dapat menandingimu. Engkau tentu murid seorang
yang amat sakti. Akan tetapi, kalau engkau dikeroyok dan menghadapi ilmu
silat gerak tangan sakti dan gerak kaki sakti, engkau yang masih kurang
pengalaman tentu akan menjadi bingung sehingga keadaanmu akan
berbahaya. Akan tetapi kalau engkau kuberi pelajaran rahasia tentang
kedua ilmu itu dan pemecahannya, dengan mudah engkau akan dapat
mengalahkan mereka. Nona, sudikah engkau memenuhi permintaan seorang tua
yang sudah hampir mati dan sudikah engkau membiarkan aku mati dalam
keadaan meram dan tenang karena menyaksikan kedua kaum itu telah dapat
dipaksa berdamai?" Kakek itu suaranya seperti orang akan menangis dan
disambungnya dengan suara parau. "Andaikata aku memiliki dua buah kaki,
aku akan berlutut memohon kepadamu, Khu-lihiap!"
Siauw Bwee merasa
terharu sekali. Dia memiliki watak yang halus dan perasa, penuh welas
asih, bagaimana mungkin ia dapat menolak permintaan itu? "Aihh,
Locianpwe harap jangan terlalu sungkan. Aku sudah Locianpwe tolong dari
ancaman maut dikeroyok burung-burung liar dan aku belum dapat membalas
budi itu. Tentu saja aku akan berusaha untuk memenuhi permintaanmu."
"Terima
kasih, Li-hiap! Semoga Tuhan memberkatimu! Dan jangan bicara tentang
budi pertolongan dariku, karena aku tahu bahwa tanpa kunasihatkan untuk
menyelam juga, burung-burung gila itu mana mungkin dapat menjatuhkan
seorang seperti Li-hiap? Nah, marilah kita mulai dengan latihan
ilmu-ilmu tangan kilat dan kaki kilat, Nona. Waktu untuk pibu (mengadu
ilmu) di antara mereka tiga bulan lagi, cukup lama bagimu untuk
menguasai kedua ilmu itu dan kelak, dalam pertandingan pibu Nona dapat
maju dan mengalahkan mereka. Kalau ketua mereka kalah olehmu, tentu
mereka tidak berani membantah dan akan memenuhi permintaan Li-hiap untuk
berdamai dan bersumpah mengubur semua permusuhan di antara kedua kaum!"
Waktu
tiga bulan bukanlah waktu yang sebentar dan berarti bahwa perjalanan
akan tertunda selama tiga bulan. Akan tetapi waktu itu tidak dibuang
sia-sia, dan sebagai seorang ahli silat seperti Siauw Bwee, tentu saja
akan girang sekali, menerima pelajaran dua macam ilmu yang demikian
hebat. Apalagi kalau diingat bahwa dia sedang melakukan tugas yang mulia
yaitu berusaha mendamaikan permusuhan semua saudara sehingga kalau
berhasil berarti dia telah menyelamatkan entah berapa banyak nyawa yang
setiap tahun pasti ada yang jatuh menjadi korban pibu.
Demikianlah,
mulai hari itu, Siauw Bwee menerima petunjuk-petunjuk kakek cacat itu
melatih diri dengan ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dan
karena dasar ilmu silatnya malah lebih tinggi tingkatnya daripada kedua
ilmu itu dia dapat melatih diri dengan mudah dan hasilnya amat hebat,
lebih hebat daripada kalau kedua ilmu itu dilatih oleh tubuh Si Kakek
sendiri andaikata dia tidak bercacat!
***
Terpaksa kita tinggalkan
dulu Siauw Bwee yang setiap hari tekun berlatih kedua macam ilmu silat
istimewa itu dan sebaiknya kita mengikuti perjalanan Kam Han Ki, karena
hal ini untuk memperlancar jalannya cerita.
Telah kita ketahui betapa
Kam Han Ki merana hatinya, seolah-olah kehilangan semangat dan gairah
hidup ketika kedua orang sumoinya meninggalkan Istana Pulau Es sehingga
dia tinggal seorang diri di Pulau Es. Karena tidak dapat menahan
kesepian yang menggerogoti hatinya, juga karena khawatir akan keadaan
kedua orang sumoinya, Han Ki lalu membuat sebuah perahu dan berlayarlah
dia meninggalkan Pulau Es dengan maksud hendak mencari kedua orang
sumoinya, atau setidaknya, seorang di antara mereka.
Setelah mendarat
di tepi pantai daratan Tiongkok, pemuda ini menjadi bingung karena dia
tidak tahu di sebelah mana kedua orang sumoinya mendarat dan ke mana
pula mereka pergi. Akan tetapi, dia berjalan terus ke barat dan di
sepanjang jalan dia berusaha menemukan jejak kedua orang sumoinya dengan
bertanya-tanya kepada orang-orang yang dijumpainya di jalan. Akan
tetapi, sampai berpekan-pekan ia melakukan perjalanan, belum juga ia
mendapatkan jejak kedua orang sumoinya. Tidak ada seorang pun di antara
mereka yang ditanyainya pernah melihat dua orang gadis itu, sebaliknya,
Han Ki mendengar akan keadaan kerajaan baru yang makin luas saja
wilayahnya, yaitu Kerajaan Cin yang dibangun oleh bangsa Yucen. Kini di
daerah utara, hampir seluruh wilayah Kerajaan Sung telah terjatuh ke
tangan Kerajaan Cin. Dari dia mendengar pula tentang pergolakan di
Kerajaan Sung, tentang para pembesar yang memberontak dan berdiri
sendiri-sendiri menguasai wilayah masing-masing. Mendengar pula akan
pergerakan bangsa Mancu di samping bangsa Yucen.
Ketika ia mendengar
bahwa dia memasuki daerah yang telah dikuasai bangsa Yucen yang mulai
mengangkat pejabat-pejabat daerah sebagai pegawai Kerajaan Cin,
teringatlah Han Ki akan kekasihnya, Sung Hong Kwi yang dahulu akan
dikawinkan dengan Raja Yucen. Timbul hasrat hatinya untuk mendengar
berita tentang kekasihnya itu, dan kalau mungkin.... menjumpainya! Masih
hidupkah Hong Kwi kekasihnya itu? Apakah kini telah menjadi seorang
yang mulia di Kerajaan Cin? Ataukah hanya menjadi selir rendahan saja?
Hatinya terasa perih kalau ia mengingat akan cerita betapa raja-raja
yang berkuasa, seperti halnya Kaisar Kerajaan Sung, paling suka
mempermainkan wanita dan setiap hari berganti wanita, yang lama
dicampakkan begitu saja. Jangan-jangan seperti itu pula nasib Hong Kwi.
Kekhawatiran ini mendorong hasratnya untuk menyelidiki keadaan Hong Kwi.
Akhirnya,
karena dorongan hasrat ingin bertemu bekas kekasihnya tak dapat
ditahannya lagi, Han Ki mendatangi kota raja Yucen dan berhasil pada
suatu malam menyelundup masuk ke taman Istana Raja Yucen! Dilihatnya
bahwa dia telah memasuki harem (keputren, tempat selir-selir raja) dan
ketika ia melihat beberapa orang wanita cantik berpakaian indah
bersendau-gurau di dekat kolam ikan, ia lalu melompat ke dekat mereka.
Wanita-wanita itu terkejut dan menjerit, akan tetapi Han Ki mengangkat
tangannya dan berkata halus,
"Harap kalian jangan takut. Aku datang tidak berniat buruk, hanya ingin bertemu dengan Sung Hong Kwi. Adakah dia di sini?"
Ketika
melihat bahwa yang muncul seperti setan itu adalah seorang pemuda yang
tampan dan gagah, lenyaplah rasa takut wanita-wanita itu dan di antara
mereka bahkan ada yang tersenyum-senyum dan melirik-lirik tajam. Mereka
adalah wanita-wanita yang selalu dikurung dan hanya kadang-kadang
melayani Raja Yucen yang sudah tua, tentu saja jantung mereka berdebar
tegang dan aneh ketika berhadapan dengan seorang pemuda tampan dan gagah
seperti itu. Seorang di antara mereka yang paling berani, segera
berkata,
"Engkau sungguh berani mati memasuki tempat ini.
Bagaimanakah engkau tidak ditangkap dan dibunuh oleh para pengawal yang
menjaga di luar?"
"Hal itu tidak penting. Yang penting, adakah Sung Hong Kwi di sini? Aku ingin berjumpa dengan dia."
"Siapa itu Sung Hong Kwi? Kami tidak mengenalnya dan tidak pernah mendengar namanya."
Han
Ki mengerutkan kening. Salahkah dugaannya bahwa kekasihnya itu diboyong
oleh Raja Yucen? "Lima tahun yang lalu, ada seorang puteri Kerajaan
Sung dikawinkan dengan Raja Yucen...."
"Ohhh! Kaumaksudkan dia?"
Seorang selir yang usianya paling tua, kurang lebih tiga puluh tahun
akan tetapi masih amat cantik, segera berkata, "Puteri yang rewel itu?
Dia tidak menjadi selir sribaginda, akan tetapi diberikan kepada
Pangeran Dhanu yang tergila-gila kepadanya. Aihhh, kasihan Pangeran
Dhanu yang tampan, rela tidak memelihara selir akan tetapi isterinya itu
selalu merongrongnya!"
Han Ki terkejut. "Pangeran Dhanu? Di mana istananya?"
Wanita
itu tertawa. "Mana ada waktu beristirahat dengan tenang di istana?
Isterinya, Puteri Sung itu terlalu rewel, bahkan kini kabarnya sakit
sehingga diajak tetirah ke Hutan Bunga Bwee di tepi sungai"
"Di mana tempat itu?"
"Ihh, mau apa sih engkau mencari puteri yang sakit-sakitan? Di sini banyak...."
"Lekas
katakan!" Han Ki membentak marah ketika mendengar wanita-wanita itu
mulai tertawa memikat. "Kalau tidak terpaksa aku akan membunuh kalian!"
Ia sengaja mengancam dan berhasillah dia karena wanita-wanita itu
menjadi pucat dan ketakutan.
"Di luar kota raja, di sebelah utara,
dekat sungai ada hutan penuh bunga bwee dan sudah beberapa hari mereka
di sana.... aihhh....!" Wanita itu dan temantemannya menjerit ketika
tiba-tiba tubuh Han Ki berkelebat dan pemuda gagah itu sudah lenyap dari
depan mereka.
"Setan....! Siluman....!" Mereka berteriak-teriak
sambil melarikan diri, ada yang terkencing-kencing ketakutan dan bahkan
ada yang pingsan di tempatnya! Semenjak malam itu, sampai beberapa lama
pemuda itu menjadi bahan percakapan para selir dengan penuh rasa ngeri
dan juga rindu!
Akan tetapi ketika Han Ki tiba di hutan yang
dimaksud, ia terkejut menyaksikan bekas-bekas pertempuran dan mendapat
kabar bahwa malam tadi tempat itu diserbu oleh gerombolan pasukan Mancu
yang memang telah bermusuhan dengan pihak Yucen. Banyak terdapat
mayat-mayat bangsa Mancu dan Yucen dan ketika dia tiba di situ, pasukan
Yucen sedang mengangkuti mayat-mayat itu dan melakukan penjagaan ketat.
Namun, dengan kepandaiannya yang tinggi, Han Ki berhasil mendekati
sampai di luar perkemahan yang ditinggali Pangeran Dhanu dan isterinya.
Di luar perkemahan dia dihadang oleh para pengawal!
"Berhenti! Siapa engkau dan ada keperluan apa?" bentak pengawal-pengawal itu.
"Aku
hendak berjumpa dengan Pangeran Dhanu. Aku adalah.... seorang saudara
dari isterinya, hendak menengoknya, karena kabarnya sakit."
Para pengawal mengepungnya dengan pandang mata curiga. "Sang Pangeran sedang sibuk, Sang Puteri sakit keras...."
Tiba-tiba
Han Ki meloncat ke dalam kemah, gerakannya amat cepat sehingga para
pengawal itu sejenak melongo karena kehilangan pemuda itu. Baru mereka
tahu bahwa pemuda itu menerobos masuk ketika mendengar pemuda itu
menjerit, "Hong-Kwi....!" Mendengar kekasihnya sakit keras, pemuda itu
seperti gila dan nekat menerobos sambil memanggil nama kekasihnya.
"Han Ki-koko....? Ohhh...."
Suara
ini cukup bagi Han Ki. Dia mengerahkan tenaganya dan tubuhnya
berkelebat memasuki sebuah kamar di dalam perkemahan besar itu dan dia
berdiri pucat dengan mata terbelalak memandang tubuh kekasihnya yang
rebah telentang seperti mati di atas pembaringan. Di kepala pembaringan
itu duduk seorang laki-laki yang berkumis tipis berpakaian indah dan
bersikap gagah namun wajahnya diliputi kedukaan besar. Laki-laki ini
meloncat bangun dan tangannya meraba gagang pedangnya. Seorang pelayan
wanita mundur-mundur ketakutan memandang Han Ki.
Wajah Hong Kwi pucat
sekali, matanya sayu dan rambutnya yang hitam itu terurai lepas,
tubuhnya kelihatan lemah. Dia memandang Han Ki, beberapa kali bibirnya
bergerak namun tidak ada suara keluar. Air mata seperti butiran-butiran
mutiara menetes turun dan akhirnya dia dapat juga bersuara,
"Han
Ki-koko.... kau datang....? Ahh, Koko.... bawalah aku pergi....
bawalah....!" Kedua lengannya diangkat lemah, diulurkan ke arah Han Ki,
akan tetapi tiba-tiba kedua lengannya terkulai kembali di atas
pembaringan, mukanya yang tadinya menghadap ke Han Ki itu tergolek ke
kiri, matanya terpejam, hanya mulutnya yang masih agak terbuka
seolah-olah dia belum selesai bicara.
"Hong Kwi....!" Han Ki tidak mengenal suaranya sendiri, suara yang terhenti di kerongkongannya.
"Isteriku....!"
Pangeran Dhanu, laki-laki gagah itu menubruk dan menangis. Kemudian ia
meloncat bangun, memandang Han Ki dan berkata, air matanya masih
menetes-netes, "Jadi engkaukah Kam Han Ki, laki-laki kejam yang
menghancurkan hati isteriku? Engkau datang $ hanya untuk menyaksikan
kematiannya? Betapa kejam engkau!"
Ucapan ini bagaikan petir
menyambar karena seolah-olah Han Ki baru tahu bahwa kekasihnya, telah
meninggal dunia. Dia menubruk ke depan, dipegangnya tangan kanan Hong
Kwi, diguncang-guncangnya pundak mayat itu. "Hong Kwi.... Hong Kwi....!
Ini aku Kam Han Ki! Aku telah datang. Hong Kwi....! Hong Kwi, bukalah
matamu, pandanglah aku, bicaralah....!"
Menyaksikan sikap pemuda itu,
Pangeran Dhanu agak berkurang kemarahannya dan memandang dengan kening,
berkerut. Di belakang Han Ki, Si Pelayan menangis sesenggukan dan di
luar kamar itu, seorang pengawal berdiri tegak menjaga, dalam keadaan
siap seolah-olah tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, sungguhpun
alisnya berkerut menandakan bahwa dia ikut prihatin terharu.
"Hong
Kwi...., kekasihku.... Hong Kwi, aku berdosa padamu! Ah, kekasihku, kau
bawalah aku....!" Han Ki yang biasanya tenang itu kini tidak dapat
menahan pukulan batin yang amat hebat itu. Dia masih mencinta Hong Kwi,
bahkan belum pernah dia berhenti mencintanya. Kini melihat kekasihnya
mati setelah bertemu dengannya, dia merasa berdosa dan berduka.
"Hemm, dia sudah mati baru engkau datang dan bicara seperti itu. Kam Han Ki, engkau bukan seorang laki-laki yang patut dipuji!"
Ucapan
yang bernada keras ini membuat Han Ki sadar bahwa dia telah berada di
tempat orang, bahkan sadar bahwa mayat yang dipeluknya itu adalah mayat
isteri orang lain. Dia bangkit, menekan perasaannya, berdiri lemas dan
dengan mata merah dan pipi basah ia memandang Pangeran Dhanu. Sejenak
kedua orang laki-laki itu saling berpandangan.
"Engkau tentu Pangeran Dhanu...." katanya perlahan.
"Benar!
Akulah Pangeran Dhanu, laki-laki yang mencintanya dengan seluruh jiwa
ragaku, yang selama bertahun-tahun ikut menderita bersamanya, yang
berusaha menghiburnya, yang memenuhi segala permintaannya. Akan tetapi,
pada saat terakhir, namamulah yang diucapkannya!" Di dalam ucapan
pangeran itu terdapat kegetiran yang hebat sehingga diam-diam Han Ki
merasa kasihan dan bersalah.
"Pangeran, selama bertahun-tahun aku
berpisah darinya, dipisahkan dengan kekerasan, akan tetapi engkau....
selama itu berada di sampingnya. Akulah yang lebih menderita daripada
engkau."
"Aku sudah mendengar akan namamu, dia bercerita tentang
dirimu. Akan tetapi kumaafkan dia asal dia dapat membalas dan menerima
cintaku. Akan tetapi.... dia selalu berduka, teringat kepadamu, selalu
sakit-sakitan.... kuajak tetirah ke mana-mana untuk menghiburnya,
kukorbankan tugas-tugasku. Semalam anjing-anjing Mancu menyerbu
perkemahan, biarpun dapat dipukul mundur akan tetapi isteriku menderita
kaget yang hebat, Jantungnya lemah.... dan.... kemudian kau datang....
ah, isteriku....!" Pangeran itu mengusap air matanya.
"Pangeran,
maafkan aku. Betapapun juga, engkau yang mencintanya telah menjadi
suaminya selama lima tahun. Engkau telah memiliki dia sebagai isteri
yang tercinta...."
"Memang aku memiliki tubuhnya akan tetapi tidak memiliki hatinya. Engkau telah merampas hatinya, keparat!"
"Dan orang-orang Mancu telah merampas nyawanya. Aku akan membalas ini!"
"Orang
she Kam! Tidak perlu menimpakan kesalahan kepada orang lain. Engkaulah
yang telah membunuh isteriku! Engkaulah yang menghancurkan hidupnya, dan
engkau pula yang merampas kebahagiaan hidupku! Pengawal, tengkap orang
ini!"
Belasan orang pengawal menerjang masuk dengan tombak di tangan.
Han Ki berseru, Hong Kwi, kalau rohmu masih di sini, dengarlah
sumpahku. Aku tidak akan menikah dengan wanita lain di dunia ini!"
Setelah barkata demikian, tubuhnya berkelebat keluar dan robohlah enam
orang pengawal yang menghadangnya. Dia tidak membunuh karena dia maklum
betapa hancur hati Pangeran Dhanu, maklum pula bahwa pangeran itu
betul-betul mencinta Hong Kwi. Dia hanya marah kepada orang-orang Mancu
karena andaikata malam tadi orang-orang Mancu tidak menyerbu sehingga
tidak mengagetkan hati Hong Kwi yang jantungnya lemah karena sakit,
tentu pertemuannya dengan bekas kekasihnya itu tidak berskhir dengan
kematian Hong Kwi!
Biarpun Pangeran Dhanu yang marah, berduka dan
sakit hati itu mengerahkan semua sisa pasukannya, namun mereka tidak
dapat mencegah Han Ki melarikan diri dan keluar dari hutan itu dengan
gerakan cepat seperti menghilang.
Han Ki berlari cepat meninggalkan
Kerajaan Yucen. Ingin sekali ia dapat menggabungkan diri dengan barisan
Kerajaan Sung, melupakan semua peristiwa yang membuat ia menjadi orang
buruan. Ingin ia membela Sung dan menghajar musuh-musuh besarnya. Akan
tetapi, tentu dia akan ditangkap begitu muncul di kota raja! Ah, biarpun
tanpa pasukan, dia tetap berusaha untuk membalas kematian Hong Kwi
kepada bala tentara Mancu! Dengan keputusan bulat, Han Ki melanjutkan
perjalanannya, hatinya makin merana. Dia tidak saja kehilangan Maya dan
Siauw Bwee, bahkan kini ditinggal mati Hong Kwi yang sampai detik
terakhir masih mencintanya! Kenyataan ini makin memberatkan hatinya, dan
ia selalu merasa telah berbuat dosa yang amat besar kepada Hong Kwi.
Cinta kasih di antara mereka yang terenggut putus, yang disangkanya
hanya membuat dia seorang menderita sengsara, kiranya lebih menyiksa
lagi bagi Hong Kwi sampai dibawanya mati! Hati Han Ki menjadi kosong dan
ia merasa dirinya sudah tua sekali. Padahal pada waktu itu, usia Han Ki
baru tiga puluh satu atau tiga puluh dua tahun
Maya membuka matanya.
Sudah matikah dia? Pertama yang berkelebat dalam pikirannya adalah
bahwa dia terseret ke dalam air yang gelap lalu ia tidak ingat apa-apa
lagi. Tentu sudah mati. Akan tetapi mengapa dia berada di atas perahu?
Dan ada enam orang perajurit di perahu itu, perahu yang didayung cepat.
Tidak! Dia tentu belum mati. Ataukah perahu ini perahu yang akan
menyeberangkannya ke alam baka dan enam orang itu malaikat-malaikat? Tak
mungkin. Mana ada malaikat berpakaian seperti perajurit dunia! Keparat,
tentu mereka ini yang membuat ia terjatuh ke air dan mereka yang
menyeretnya ke dalam air sehingga dia pingsan dan tertawan. Dia menjadi
marah dan menggerakkan tangan.... akan tetapi, kedua tangan dan kedua
kakinya tidak dapat digerakkan. Terbelenggu! Ia mengerahkan tenaga, akan
tetapi dia lelah sekali sehingga tenaganya masih belum cukup untuk
mematahkan belenggu, dan ketika ia memandang, kiranya belenggu itu
terbuat daripada baja yang tebal dan kuat sekali! Maya pura-pura masih
pingsan dan tidak bergerak, diam-diam mengumpulkan hawa murni ke
lengannya.
Perahu itu kini menempel pada sebuah perahu besar. Dia membuka mata memperhatikan.
"Wah, dia sudah sadar!" kata seorang di antara mereka yang kebetulan menengok dan melihat Maya membuka mata.
Karena
sudah ketahuan, Maya tidak berpura-pura lagi. Dengan gerakan tubuhnya,
ia berhasil bangun duduk. "Siapa kalian? Mengapa aku kalian tangkap?"
Akan tetapi ketika melihat pakaian seragam mereka adalah tentara laut
Kerajaan Sung, ia lalu berkata, "Hemm.... kalian tentu anjing-anjing
Kerajaan Sung!"
"Perempuan liar. Bangunlah dan ikut kami menghadap panglima, atau engkau lebih suka kami seret ke atas perahu?"
Karena
belum mendapat kesempatan mematahkan belenggunya, Maya bangkit berdiri
dan tiba-tiba kedua kakinya membuat gerakan menendang sambil meloncat.
Akibatnya, dua orang perajurit terlempar ke dalam air!
"Wah! Wah!
Awas...., betina ini liar sekali!" Seru seorang di antara mereka dan
kini dari atas perahu besar meloncat turun banyak perajurit. Tubuh Maya
diringkus dan dia dipaksa naik ke atas perahu besar. Dua orang perajurit
yang bertubuh kuat memegang ujung rantai yang membelenggu kedua
tangannya, dan setengah diseret Maya dibawa memasuki ruangan besar di
atas perahu. Biarlah, pikirnya, biar aku dihadapkan panglima mereka.
Kalau nanti ada kesempatan, dia akan membasmi anjing-anjing ini!
Dengan
dada membusung dan kepala tegak Maya berjalan terpincang-pincang karena
kedua kakinya dibelenggu, memasuki ruangan. Ketika ia melihat dua orang
panglima duduk di atas kursi dalam ruangan itu, matanya terbelalak. Ia
mengenal mereka! Mereka adalah panglima-panglima perahu besar yang telah
ditolongnya! Bahkan panglima muda yang kini sudah bangkit berdiri
adalah panglima muda yang ditolongnya dari tangan Si Dampit yang lihai!
Juga
panglima besar yang berjenggot itu memandang dengan kaget. "Engkau....?
Engkau pendekar wanita penolong kami....!" Ia lalu membentak anak
buahnya, "Apakah kalian ini buta dan gila semua? Hayo cepat lepaskan
belenggunya!"
"Krek! Krekkk!" Tiba-tiba Maya yang sudah berhasil
mengumpulkan kembali tenaganya, sekali mengerahkan telah mematahkan
belenggu kaki tangannya! Dia melangkah maju dan termanyum. "Ciangkun,
selamat berjumpa!"
Panglima besar itu meloncat dari tempat duduknya
dan cepat menjura. "Selamat datang, Li-hiap!" Dan kepada anak buahnya ia
membentak, "Lihat apakah yang telah kalian lakukan, orang-orang tolol!
Menawan dan membelenggu penolong kami! Seolah-olah belenggu kalian itu
ada artinya bagi Li-hiap yang sakti!" Kemudian ia membentak makin
nyaring, "Hayo cepat berlutut, minta ampun kepada Li-hiap!"
Enam
orang itu, yang dua tertendang tadi sudah ikut naik, cepat menjatuhkan
diri dan seperti burung-burung saling sahut mereka berseru, "Mohon maaf
kepada Li-hiap, karena kami tidak tahu maka...."
Maya menggerakkan tangannya. "Sudahlah! Salahku sendiri yang kurang pandai berenang sehingga mudah kalian bekuk!"
"Li-hiap,
silakan duduk!" Panglima muda yang brewok cepat menyerahkan kursinya
dan ia memandang kagum. Ketika ia ditolong dari tangan lawan dampit yang
lihai dia tidak dapat melihat jelas wajah penolongnya. Kini ia kagum
bukan main melihat bahwa penolongnya hanyalah seorang dara remaja yang
masih amat muda lagi cantik jelita seperti bidadari!
"Lekas ambil
pakaian bersih dan kering untuk Li-hiap! Dan sediakan meja perjamuan!"
Panglima besar itu memberi perintah. Sibuklah anak buahnya mempersiapkan
barang-barang yang diperintahkan itu.
"Li-hiap, silakan berganti
pakaian kering dulu. Nanti kita bicara," Panglima tua itu mempersilakan.
Tanpa sungkan-sungkan Maya lalu memasuki kamar di perahu yang ditunjuk
dan berganti pakaian. Panglima besar itu berbisik-bisik dengan wajah
serius dengan pembantunya, panglima muda brewok.
"Wah, betapa lucunya
aku berpakaian seperti ini!" Maya yang sudah selesai berganti pakaian
dan keluar dari kamar, tertawa memandangi pakaian panglima yang
dipakainya.
"Engkau gagah sekali dan patut dalam pakaian itu,
Li-hiap. Hanya kurang pedangnya. Silakan memakai pedangku." Panglima tua
itu menyambut dan meloloskan sabuk pedangnya kemudian menghampiri Maya
dan memakaikan sabuk pedang itu di punggung Maya sehingga dara itu
tampak makin gagah perkasa.
Atas ajakan penuh hormat dari kedua orang
panglima itu, Maya kini dijamu dan sambil makan minum mereka
bercakap-cakap. Atas pertanyaan panglima tua itu, Maya menjawab, "Namaku
Maya dan kuharap Ciangkun jangan menanyakan siapa guruku dan dari mana
asal-usulku karena hal itu takkan dapat kuterangkan.
Seandainya aku
tidak melihat sendiri betapa pasukan Ciangkun bertempur melawan
pasukan-pasukan Sung, tentu aku tidak akan dapat duduk semeja dengan
kalian. Ciangkun siapakah, dan mengapa pula pasukan Ciangkun bertempur
melawan Pasukan Sung yang menjadi musuhku?"
***
Wajah panglima tua
itu berseri mendengar bahwa dara perkasa yang menjadi penolongnya ini
menganggap Kerajaan Sung sebagai musuhnya. Dia menyuguhkan secawan arak,
setelah arak yang disuguhkan sebagai penghormatan itu diminum, dia
berkata,
"Namaku Bu Gi Hoat, dan dia ini adalah pembantuku, Panglima
Muda Lai Sek. Tadinya aku adalah seorang panglima besar Kerajaan Sung
yang ditugaskan memimpin armada menjaga pantai timur. Kini kami menjadi
musuh Kerajaan Sung yang makin menyuram dan penuh kelaliman."
"Hemm...., jadi Ciangkun memberontak terhadap Kerajaan Sung? Mengapa?"
Panglima
she Bu itu menarik napas panjang. "Selama beberapa keturunan, nenek
moyangku adalah pembesar-pembesar militer yang setia kepada kerajaan.
Akan tetapi, sekarang ini Kerajaan Sung mengalami kesuraman hebat karena
kelemahan Kaisar yang dipengaruhi oleh menteri-menteri dorna,
thaikam-thaikam dan panglima-panglima jahat macam Suma-goanswe. Karena
itu, banyak sekali panglima yang memberontak, pembesar-pembesar daerah
yang berdiri sendiri. Aku pun tidak dapat tinggal diam, apalagi semenjak
Menteri Kam yang amat kami hormati itu difitnah dan tewas oleh kekejian
Kerajaan Sung. Kami harus membunuh Kaisar dan kaki tangannya yang lalim
dan membentuk kerajaan baru yang bebas daripada penindasan para
pembesar korup."
Maya mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa girang
karena kini mendapat kesempatan untuk membasmi musuh-musuhnya, terutama
Kerajaan Sung! Apalagi karena jelas bahwa panglima ini bersetiakawan
dengan pek-hunya, Menteri Kam. Tanpa ragu-ragu lagi ia berkata, "Kalau
begitu, aku siap membantumu, Ciangkun!"
Bukan main girangnya hati panglima itu. Ia mengisi cawan arak dan mengajak Maya minum kemudian berkata,
"Sungguh
sudah menjadi kehendak Tuhan agaknya bahwa Kerajaan Sung yang buruk itu
mesti hancur sehingga hari ini Tuhan sendiri yang mengirim Lihiap untuk
membantu kami! Belum juga aku berani mengutarakan maksud hatiku minta
bantuanmu, engkau telah menyatakan hendak membantu. Terima kasih,
Li-hiap, terima kasih!"
"Ah, engkau terlalu sungkan, Ciangkun. Memang
aku pun berniat membasmi Kerajaan Sung yang kubenci sehingga kebetulan
sekali kerja sama ini. Kalau Bu-ciangkun setuju, berilah aku pasukan
yang cukup banyak dan kuat, dan sekarang juga aku akan membawa pasukan
itu menyerbu ke kota raja Sung!"
Hampir saja kedua orang panglima
perang itu tertawa bergelak mendengar ucapan ini. Betapa dangkalnya
pengetahuan dara ini tentang perang. Begitu mudahnya hendak membawa
pasukan menyerbu ke kota raja, seolah-olah jalan ke kota raja Sung itu
halus lunak tanpa rintangan. Perjalanan ribuan li itu sebelum ditempuh
sepersepuluhnya sudah akan menghadapi pasukan-pasukan besar musuh yang
amat banyak jumlahnya. Dara ini bicara tentang perang seperti orang
membalikkan tangan saja mudahnya! Akan tetapi karena maklum bahwa tentu
saja dara semuda ini sama sekali tidak mengerti tentang perang, dan agar
jangan menyinggung perasaan, kedua orang panglima itu hanya saling
pandang dan menahan kegelian hati mereka.
"Li-hiap, serahkan urusan
perang kepadaku karena perang melawan Kerajaan Sung tidaklah semudah
itu. Mereka masih memiliki bala tentara yang kuat dan besar jumlahnya.
Akan tetapi, kau akan kuangkat menjadi panglima muda dan kuserahi
pasukan yang hendaknya kau gembleng menjadi pasukan istimewa yang kuat
dan percayalah kami hanya mengandalkan kegagahan Li-hiap dengan
pasukanmu untuk mendobrak pihak musuh di garis depan."
Maya
mengangguk. "Terserah kepadamu, Ciangkun. Bagiku, asal aku mendapat
kesempatan membasmi pasukan Sung, cukuplah. Lebih banyak lebih baik."
"Bagus!
Mulai sekarang engkau adalah seorang panglima dan sudah selayaknya
kalau engkau sebagai pembantuku yang kupercaya, sebagai pembantu utama
di samping Lai-ciangkun, tahu akan kedudukan dan siasat kita."
Dengan
panjang lebar Bu-ciangkun lalu memberi tahu kepada pembantunya yang
baru ini bahwa dia telah mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu
yang besar dan kuat agar bersama-sama mereka dapat menyerang ke selatan.
Mendengar ini, Maya tidak ambil peduli. Baginya, bersekutu dengan Mancu
pun tidak menjadi soal asal dia dapat membalas kepada Kerajaan Sung,
Yucen dan Mongol!
"Boleh saja bersekutu dengan orang Mancu.
Bu-tai-ciangkun. Asal jangan bersekutu dengan orang-orang Mongol dan
Yucen saja. Kedua bangsa itu pun masih musuhku!"
Bu-ciangkun tertawa
bergelak. Gadis ini memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa
sekali, akan tetapi tidak berpengalaman sama sekali, bahkan masih
memiliki sifat kekanak-kanakan dan jujur, "Ha-ha-ha! Jangan khawatir,
Li-ciangkun (Panglima Wanita)! Kami tidak mempunyai hubungan dengan
bangsa Mongol! Sedangkan bangsa Yucen yang sekarang telah mendirikan
Kerajaan Cin juga merupakan musuh kita karena dia merupakan penjajah
yang mengancam bangsa dan negara. Di dalam pertempuran yang akan
kauhadapi, engkau bahkan akan melawan Bangsa Yucen dan juga pasukan
Kerajaan Sung."
"Bagus!" Maya, girang sekali. "Lekas siapkan pasukan untukku, Tai-ciangkun. Akan kulatih mereka!"
Demikianlah,
mulai hari itu, Maya mengepalai lima ratus orang pasukan dengan sepuluh
orang perwira pembantunya. Dara ini dahulu adalah seorang Puteri Khitan
dan dia sudah sering kali melihat, bahkan mengikuti cara ayahnya dan
para panglima Khitan melatih tentaranya, maka kini dengan baik sekali ia
dapat melatih pasukan di bawah perintahnya. Mereka dia beri pelajaran
ilmu berkelahi dengan menurunkan beberapa jurus yang lihai dari ilmu
silatnya. Juga para perwira pembantunya ia latih sendiri dengan beberapa
jurus ilmu silat sehingga mereka pun menjadi lihai.
Mula-mula
Bu-ciangkun terkejut dan terheran-heran, juga girang menyaksikan cara
Maya melatih pasukannya. Diam-diam ia lalu menyebar para penyelidik dan
tak lama kemudian dia mendengar bahwa puteri Raja Khitan yang bernama
Maya tidak ketahuan ke mana perginya semenjak ikut bersama Menteri Kam
Liong yang tewas dikeroyok oleh tentara Sung. Diam-diam ia menjadi
girang dan kagum sekali. Tidak salah lagi, melihat bentuk wajahnya, Maya
yang kini menjadi panglimanya itulah Puteri Maya, puteri Khitan dari
Raja Khitan dan keponakan dari mendiang Menteri Kam Liong! Akan tetapi
karena dara itu sudah menyatakan tidak akan menceritakan riwayatnya, ia
pun diam-diam saja, bahkan tidak memberitahukan dugaannya itu kepada
siapapun juga.
Setelah selesai menggembleng pasukan di tepi pantai
sampai dua bulan lamanya, pada suatu pagi Bu-ciangkun mengumpulkan para
panglimanya yang berjumlah lima orang, "Barisan Mancu yang menjadi
sekutu kita berjanji akan menyambut kita di pantai ini untuk bergabung
kemudian bergerak ke selatan. Akan tetapi, telah sebulan mereka
terlambat dan kurirnya juga belum tampak. Aku khawatir kalau-kalau ada
perubahan keadaan, maka sebaiknya seorrang di antara kalian harus
membawa pasukan untuk menghubungi mereka di perbatasan Mancu. Akan
tetapi selain perjalahan itu jauh, melalui daerah-daerah yang kering dan
sukar, juga ada bahayanya akan bertemu dengan pasukan-pasukan Mongol,
terutama sekali pasukan Kerajaan Cin. Siapakah di antara kalian yang
sanggup melakukan tugas berat ini?"
Seperti telah diduganya, dan juga
diharapkannya maka dia sengaja menyebutkan bahaya pasukan Mongol dan
Yucen. Maya segera berdiri sigap dan menjawab, "Aku sanggup!"
Empat
orang panglima yang lain telah mengenal kelihaian panglima wanita itu,
maka mereka tidak berani berebut, bahkan Li-ciangkun yang brewok dan
dapat menangkap isi hati panglimanya, segera berkata, "Memang tugas
berat ini paling tepat dilakukan oleh Li-ciangkun dengan pasukan
mautnya."
Bu-ciangkun mengangguk-angguk. "Akan kubuatkan surat untuk
pimpinan barisan Mancu yang berada di perbatasan. Li-ciangkun tentu
maklum bahwa suratku ini sama harganya dengan nyawa."
"Baiklah, Tai-ciangkun. Akan kujaga dengan taruhan nyawaku sendiri. Harap jangan khawatir."
"Selain
mengadakan hubungan dengan mereka dan menyerahkan suratku, di sepanjang
jalan harap Li-ciangkun mencari tenaga-tenaga dari rakyat yang
sekiranya akan dapat memperkuat kedudukan kita dan dapat membantu
perjuangan kita."
"Baik!" jawab Maya yang teringat, akan rakyat
Khitan. Kalau dia bisa bertemu dengan rakyat Khitan dan membujuk mereka
masuk menjadi perajurit di bawah pimpinannya, betapa akan senang
hatinya. Diam-diam timbul keinginan hatinya melihat rakyatnya bangkit di
bawah pimpinannya untuk membangun kembali Kerajaan Khitan yang besar
dan jaya!
Karena persediaan kuda amat terbatas, pasukan yang dipimpin
Maya sebanyak lima ratus orang itu hanya membawa seratus ekor kuda.
Maya dan sepuluh orang perwiranya tentu saja mempunyai masing-masing
seekor kuda, adapun seratus ekor kuda itu akan ditunggangi lima ratus
orang secara bergilir, lima orang perajurit untuk setiap kuda seekor.
Maka berangkatlah pasukan itu dengan megahnya, dipimpin oleh Panglima
Muda Maya yang menunggang kuda putih berada di depan, diapit dua orang
pengawal pembawa bendera. Amat gagah dan barisan itu pun bergerak rapi,
yang berjalan kaki di depan, yang berkuda, seratus orang banyaknya, di
belakang. Bu-ciangkun sendiri mengantar berangkatnya pasukan istimewa
ini sampai di luar daerah perkemahan.
Dua buah bendera itu
berkibar-kibar. Yang sebuah bertuliskan nama pasukan yang diberi oleh
Bu-ciangkun sendiri, yaitu "Pasukan Maut"! Dan bendera yang sebuah lagi
bertuliskan nama panglimanya, yaitu Panglima Wanita Maya!
Perjalanan
ke barat dimulai. Oleh gemblengan-gemblengan keras Maya selama dua
bulan, tubuh anak buah pasukan kuat-kuat dan semangat mereka juga besar.
Mereka semua merasa bangga menjadi perajurit Pasukan Maut, mempunyai
seorang panglima yang mereka tahu amat sakti, melebihi kegagahan
Bu-tai-ciangkun sendiri, seperti seekor naga betina.
Belasan hari
kemudian, pasukan itu telah tiba di daerah kering tandus dan di
sana-sini mereka melalui padang pasir yang tidak berapa luas. Ketika
mereka tiba di daerah pegunungan yang mulai memperlihatkan kesuburan,
tiba-tiba mereka diserbu oleh pasukan Yucen yang berjaga di situ karena
daerah itu sebagian telah dikuasai oleh tentara Yucen.
"Basmi
anjing-anjing Yucen!" Maya berteriak, suaranya melengking tinggi
mengatasi semua kegaduhan dan terdengar oleh semua anak buahnya sehingga
mereka bertempur seperti harimau-harimau kelaparan, pasukan Yucen yang
terdiri dari tiga ratus orang lebih dan mengira bahwa yang mereka serbu
adalah pasukan Sung yang dianggap melanggar wilayah, menjadi kewalahan.
Apalagi ketika Maya sendiri turun dari kudanya dan mengamuk, pedangnya
membabati tentara musuh seperti orang membabat rumput saja, pasukan
Yucen menjadi gentar. Komandan Yucen mengeluarkan aba-aba untuk mundur,
akan tetapi dengan gerakan kilat, Maya melompat, pedangnya memenggal
leher seorang perwira musuh dan tangan kirinya mencengkeram leher baju
Panglima Yucen itu terus menariknya dari atas kuda. Panglima itu
terkejut dan meronta, heran dan kaget melihat bahwa yang menawannya
adalah seorang dara jelita yang masih muda. Akan tetapi keringatnya
mengucur deras ketika ia mendengar dara itu mendesis bengis,
"Engkau Panglima Yucen keparat. Ingatkah kepada ayahku Raja Talibu dari Khitan?"
Wajah
panglima itu pucat dan ia menggeleng-gelengkan kepala, "Aku.... aku
tidak....!" Akan tetapi kata-katanya terhenti dan lehernya terbabat
putus oleh pedang Maya. Dara perkasa ini melompat ke atas batu besar,
membawa kepala Panglima Yucen sambil berseru,
"Heii.... anjing-anjing
Yucen! Lihat kepala siapa ini?" Suaranya yang dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga khikang amat nyaringnya dan makin paniklah tentara
Yucen mendengar dan melihat kepala pemimpin mereka, sebaliknya makin
bersemangatlah Pasukan Maut itu sehingga mereka mengamuk, membunuhi
musuh yang kocar-kacir dan lari berserabutan.
"Hidup Maya Li-ciangkun!" Sorak para perajurit dan mereka mengejar musuh yang melarikan diri.
Hanya
setelah ada perintah Maya saja para perajurit berhenti mengejar. Ketika
Maya memerintahkan para perwira menghitung, dalam perang pertama ini
pasukannya kehilangan dua puluh orang akan tetapi membunuh lebih dari
seratus orang musuh. Ini merupakan kemenangan besar dan perajurit yang
terluka dirawat baik-baik, sedangkan yang tewas lalu dikubur.
Mayat-mayat para perajurit Yucen dibiarkan saja berserakan. Maya lalu
memerintahkan pasukannya bergerak maju lagi.
"Pasukan Maut yang gagah perkasa. Serbu....!"
Barulah
pasukan Yucen itu menjadi panik benar-benar. Suara perintah itu datang
dari atas puncak dan mereka dapat menduga bahwa itu tentulah suara
panglima wanita yang menurut cerita perajurit Yucen yang melarikan diri
memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan. Akan tetapi, serbuan itu
datangnya bukan dari puncak, melainkan dari bawah, dari belakang mereka!
Terjadilah
perang tanding yang jauh lebih hebat mengerikan daripada tadi, akan
tetapi lebih celaka lagi akibatnya bagi tentara Yucen karena mereka
berada dalam keadaan panik dan siasat mereka hancur sehingga mereka
berada di pihak yang diserang. Keadaan yang sama sekali di luar
perhitungan mereka ini, yang membuat keadaan menjadi berbalik secara
tiba-tiba, membuat para komandan pasukan itu tidak sempat lagi
memikirkan siasat, maka satu-satunya jalan adalah melawan dan
mempertahankan diri secara kacau-balau dan mencari selamat
sendiri-sendiri! Di lain pihak, tentara Pasukan Maut yang bergerak
secara terpimpin dan teratur, ditambah kegembiraan mereka karena baru
sekarang mereka tahu akan kelihaian siasat pimpinan mereka, tumbuh
semangatnya dan terjadilah penyembelihan besar-besaran seperti yang
semula direncanakan pasukan Yucen, akan tetapi sekarang merekalah yang
menjadi domba-dombanya dan pihak musuh yang menjadi jagalnya! Banyak di
antara mereka terbunuh, bukan hanya oleh senjata Pasukan Maut, akan
tetapi juga yang terjun ke jurang dan tewas dalam usaha mereka
menyelamatkan diri, dan hanya ada dua ratus orang saja yang sempat
melarikan diri menerobos kepungan musuh dan terus lari sipat-kuping ke
bawah bukit!
Pertempuran yang berat sebelah itu berlangsung sampai
pagi dan dengan hati penuh kegembiraan Maya mendapat kenyataan bahwa
dalam perang kedua kalinya ini pasukannya membasmi hampir tiga ratus
orang musuh sedangkan dia hanya kehilangan tiga puluh orang, itu pun
tidak semua tewas dan masih ada yang dapat tertolong karena hanya
menderita luka-luka saja! Kemenangan yang membesarkan hatinya dan hati
anak buahnya itu sekali ini benar-benar dirayakan mereka dengan
tertawa-tawa dan bersendau-gurau menceritakan pengalaman masing-masing
dalam pertempuran semalam!
Maya membawa pasukannya turun bukit dan
beristirahat setengah hari lamanya di padang rumput yang luas sehingga
mereka tidak akan dibokong musuh. Kemudian perjalanan ke barat
dilanjutkan dengan semangat penuh. Maya tidak selalu menunggang kuda di
depan pasukannya, kadang-kadang membiarkan pasukannya lewat sambil dia
mengucapkan kata-kata bersemangat dan menyapa anak buahnya sehingga
semua anak buahnya merasa bangga dan dekat dengan panglima ini. Banyak
di antara mereka yang ketika panglima di atas kuda putihnya itu
menjajari mereka, berkata terang-terangan,
"Hidup Maya Li-ciangkun! Kami siap mati membelamu!"
Maya
tersenyum mengangguk dan berkata dengan suara merdu, "Aku pun siap mati
membela Pasukan Maut! Setiap orang dari Pasukan Maut adalah seperti
kaki dan tanganku sendiri!" Tentu saja ucapan panglima wanita remaja
yang cantik jelita ini disambut sorak-sorai gembira.
Ketika pasukan
pada beberapa hari kemudian melalui padang rumput, tiba-tiba pasukan
berhenti. Maya yang sedang berada di belakang membalapkan kudanya menuju
ke depan. Kiranya di depan pasukannya menghadang ribuan ekor domba. Ia
mengerutkan keningnya dan memerintahkan perwiranya mengurus hal itu.
Akan tetapi sampai agak lama pasukan masih belum bergerak maju, maka dia
menjadi tidak sabar dan cepat ia menuju ke bagian depan. Seorang
perwira melaporkan bahwa para perwira dan pengawal cekcok dengan para
penggembala domba, bahkan terjadi perkelahiani Maya terkejut, cepat ia
menghampiri dan ketika melihat betapa enam orang perwira roboh dan
terluka, dia marah sekali dan cepat meloncat turun dari atas kudanya dan
lari ke depan.
Dilihatnya bahwa para perwiranya sedang berkelahi
melawan pimpinan penggembala domba. Dia tertarik sekali menyaksikan
kelihaian seorang di antara para penggembala itu. Agaknya dia itu
pemimpinnya, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, bertubuh
tinggi tegap, tangan kanan memegang sebatang pecut kulit hitam, lengan
kiri memondong seekor anak domba. Gerakan penggembala muda ini hebat dan
cepat sekali dan pecutnya itu menyambar-nyambar ganas, merobohkan dua
orang perwira sekaligus dan yang masih menandinginya adalah Kwa-huciang,
seorang di antara perwiranya yang paling lihai. Kwa-huciang bersenjata
pedang dan kini terjadilah pertandingan antara kedua orang itu. Maya
menghampiri dan memandang penuh perhatian, diam-diam kagum menyaksikan
kegagahan pemuda penggembala muda itu. Setelah bertanding belasan jurus,
tiba-tiba penggembala yang melawan Kwa-huciang sambil memondong domba
itu berseru keras, pecutnya melibat pedang Kwa-huciang dibetot dan
perwira itu terlempar. Kakinya menendang lutut Si Perwira yang jatuh
terpelanting dan kini penggembala itu menginjakkan kaki kanannya di atas
dada Kwa-huciang sambil berkata nyaring,
"Hayo lekas perintahkan pasukanmu mengambil jalan memutar, kalau tidak akan kuinjak hancur dadamu!"
"Eh,
galak amat!" Maya berseru sambil melompat maju. "Penggembala berbau
domba, kau sombong sekali. Mengapa engkau dan kawan-kawanmu mengamuk dan
merobohkan para perwiraku!"
Penggembala domba itu menengok dan kelihatan tercengang lalu menjawab,
"Domba
kami banyak yang terinjak mati, sebagian lari kocar-kacir ketakutan.
Domba-domba kami sedang makan rumput, mengapa pasukan kalian mengganggu?
Mengapa tidak mengambil jalan memutar? Lihat, domba kecil ini sampai
patah kakinya!" Ia menoleh ke arah domba yang dipondongnya. Kemudian ia
memandang lagi kepada Maya sambil bertanya, "Eh, engkau ini perajurit
wanita, mau apa?"
Maya tersenyum. "Orang kasar, agaknya engkau lebih pandai bergaul dengan domba daripada dengan manusia."
"Tentu
saja! Apa sih baiknya manusia? Palsu dan berpura-pura, ganas dan kejam
melebihi srigala. Domba-domba adalah mahluk yang lemah, selalu mengalah
dan...."
"Dan engkau lupa bahwa kau sendiri juga seorang manusia!"
Maya memotong. "Ataukah barangkali engkau ini pun seekor domba yang
menyamar manusia?"
Pemuda itu gelagapan, merasa kalah bicara maka ia membentak, "Kau siapa dan mau apa?"
"Aku adalah panglima Pasukan Maut ini!" jawab Maya dengan sikap keren.
Tiba-tiba
penggembala domba yang muda itu melepaskan injakan kakinya sehingga
Kwa-huciang mampu bernapas lagi dan Si Penggembala tertawa bergelak
sampai tubuhnya berguncang-guncang dan mukanya memandang langit.
"Ha-ha-ha-ha!
Panglimanya seorang bocah perempuan belasan tahun yang halus dan
cantik! Pasukan macam apa ini? Pantas saja para perwiranya lebih lemah
daripada domba!"
Kwa-huciang marah sekali. Dia sudah bangkit duduk
dan kini ia bangun sambil membentak, "Penggembala kurang ajar! Apakah
kau sudah bosan hidup berani menghina Li-ciangkun?"
Akan tetapi Maya
menggoyang tangan berkata, "Kwa-huciang, kaumundurlah dan biar aku
sendiri yang memberi hajaran kepada bocah nakal bau domba ini. Hei,
bocah! Engkau kira bahwa engkau sudah paling jempolan setelah
mengalahkan beberapa orang perwiraku yang memang sudah kelelahan dan
kehabisan tenaga. Coba kau melawan aku! Lihat, aku akan tetap berdiri di
sini, sedikit pun tidak akan memindahkan kedua kakiku. Kau boleh
menyerangku, kalau sampai aku merobah kedudukan kedua kakiku, aku
mengaku kalah padamu!"
"Kalau hanya mengaku kalah saja apa gunanya
bagiku?" Pemuda itu membantah dan memandang Maya penuh selidik,
seolah-olah ia dapat merasa bahwa biarpun hanya seorang wanita muda,
panglima itu agaknya tidak boleh dibuat sembrono. Kalau tidak
berkepandaian tinggi, mana mungkin bersikap demikian tekebur?
Kembali
Maya tersenyum, "Eh, pecinta domba. Kalau sampai kau dapat merobah
kedudukan kakiku, selain aku mengaku kalah, aku akan memerintahkan
pasukanku mengambil jalan memutar dan akan kuganti harganya semua
dombamu yang terluka atau hilang. Akan tetapi bagaimana kalau kau tidak
mampu merobah kedudukan kakiku malah kau akan roboh olehku kurang dari
sepuluh jurus? Apa yang akan kaupertaruhkan?"
Mata yang lebar penuh
kepolosan itu terbelalak. "Aku? Roboh dalam waktu kurang dari sepuluh
jurus olehmu? Mana mungkin ini? Kalau sampai begitu, aku akan berlutut
dan menyembah seratus kali kepadamu!"
"Kalau hanya disembah seratus
kali oleh orang seperti kau saja apa gunanya bagiku?" Maya membalas
bantahan pemuda penggembala itu.
Pemuda itu kembali merasa kalah
bicara. Sudah jelas bahwa dalam hal silat lidah ia bukan tandingan gadis
jelita yang perkasa itu. "Habis, kau minta apa? Aku seorang miskin,
hanya menjadi buruh menggembala domba bersama teman-temanku, gajinya
sebulan dimakan dua puluh hari. Aku tidak punya apa-apa untuk
dipertaruhkan!"
Maya mengangguk-angguk. "Engkau punya banyak sekali.
Kepandaianmu, kegagahanmu, kekasaranmu, kejujuran, kesetiaan. He,
penggembala domba yang gagah. Kalau dalam sepuluh jurus aku merobohkan
engkau tanpa menggerakkan kaki pindah dari sini, engkau harus suka
menjadi seorang perwira Pasukan Mautku!"
Pemuda penggembala itu
mengerutkan keningnya yang tebal. Sebetulnya, tidak ada sedikit pun
hasrat hatinya menjadi perwira atau perajurit. Akan tetapi, ditantang
seperti itu, dia menjadi penasaran. Pula, kalau benar panglima wanita
muda ini dapat merobohkannya dalam sepuluh jurus tanpa mengangkat kedua
kaki, berarti panglima ini bukan manusia, melainkan dewa dan dia tentu
akan suka sekali menjadi pembantu panglima dewa atau dewi!
"Baiklah!
Nah, rasakan lihainya pecutku!" Penggembala itu melangkah maju
menghampiri Maya, pecutnya ia gerakkan, diputar-putar di atas kepalanya
sehingga terdengar suara ledakan-ledakan kecil yang nyaring.
Ketika
sinar hitam pecut itu melalui atas kepala Maya karena Si Penggembala
memang mengeluarkan gerakan ancaman, dia cepat mengangkat tangan kiri
dan.... pecut itu sudah berada di tangannya, yaitu ujung pecut dia
pegang. Penggembala itu terheran-heran melihat betapa ujung pecutnya
tadi seolah-olah tertarik oleh sesuatu sehingga terbang ke arah tangan
panglima wanita itu. Melihat ujung pecutnya sebelum dipakai menyerang
sudah terpegang lawan, ia menjadi penasaran dan berusaha melepaskan
dengan membetot keras.
Maya tersenyum. "Aku hanya menahan sebentar
seranganmu, untuk memberi kesempatan padamu melepaskan dombamu. Lepaskan
dulu domba itu biar gerakanmu menjadi leluasa!"
Bukan main heran
hati penggembala itu, akan tetapi makin keras dugaannya bahwa seorang
yang dapat bersikap sedingin itu, setenang itu, sudah pasti memiliki
kepandaian yang boleh diandalkan. Maka ia pun tidak menjadi
sungkan-sungkan lagi, dilepaskannya perlahan domba yang dipondong lengan
kirinya. Maya juga melepaskan ujung pecut itu dan memandang tersenyum
melihat pemuda itu mulai menghampirinya, dengan gerak langkah satu-satu,
memasang kuda-kuda, langkah seperti seekor harimau menghampiri calon
mangsanya. Maya memandang kagum. Bukan main gagahnya pemuda kasar ini.
Pakaiannya kasar sederhana, kepalanya ditutupi topi bulu domba, pasangan
kuda-kudanya kokoh kuat, tangan yang memegang pecut melintang di depan
dada, tangan kiri diangkat ke atas kepala dengan jari terbuka dan
telapak tangan menghadap langit, sepasang matanya yang lebar memandang
tanpa berkedip ke arah pundak Maya. Sikap seorang ahli silat yang kuat!
Sementara
itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh
kesukaran dan di tempat yang liar sehingga keselamatan banyak
mengandalkan kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam ilmu silat
utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap
hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut
dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah.
Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan wanita-wanita.
Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka
telah memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat
mengandalkan tenaga mereka yang lemah, pula, karena keadaan mereka yang
kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang rendah. Maka dia
tidak segera menerjang secara ngawur, apalagi karena dia harus dapat
mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka setiap jurus serangannya
harus diperhitungkan benar-benar. Mengingat pula akan janji wanita muda
itu tidak akan merobah kedudukan kedua kakinya, maka Si Penggembala lalu
melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang
dari belakang! Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu
tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merobah
kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah
kaki. Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!
Ia lalu
menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, yang diserang
adalah kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari
tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke sepuluh,
akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak
mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan
kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu tidak sampai ke
bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak!
Akan
tetapi Maya sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, melainkan
menerima saja sabetan itu sambil mengerahkan sin-kang ke arah kedua
kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya mendorong dengan
pukulan jarak jauh.
"Brettt.... dessss....! Auggghhh....!" Pecut itu
mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan tetapi sedikit
pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang
mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat
ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia
menggigil!
Para perwira dan perajurit bersorak menyambut kemenangan
panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat tangan menyuruh mereka
diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu,
"Engkau sudah
kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan
kuganti agar diberikan oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba."
Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di depan Maya sambil berkata,
"Saya
Cia Kim Seng adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan
mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan membantu Li-ciangkun dan
siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!
Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan perajurit.
"Para
perwira dan perajurit Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima
Cia Kim Seng sebagai seorang perwira pembantuku, sebagai seorang
anggauta pasukan kita yang jaya!"
Terdengar sorak-sorai riuh-rendah
dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri pemuda
gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan
seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa
beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan
seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.
Tiba-tiba
semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia
Kim Seng, menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng
melompat dan membentak mereka, "Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Kenapa
menangis?"
"Kalau engkau masuk menjadi anggauta Pasukan Maut yang
hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon diterima pula menjadi
anggauta pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!" kata seorang
di antara mereka.
Maya tertawa gembira, "Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima kalian!"
Para
penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang
bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima
mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua orang penggembala tua
yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim
Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap dan
dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi perajurit Pasukan
Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?
Di sepanjang
jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya
melihat betapa "muridnya" ini benar-benar memiliki bakat yang baik
sekali di samping kekuatan besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang
luar biasa. Juga para penggembala itu ternyata menjadi
perajurit-perajurit yang baik dan kuat. Di sepanjang perjalanan, Maya
berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri dari
pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan
yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi
lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia
berangkat.
Pada suatu hati, pasukan telah tiba di perbatasan daerah
Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu karena Maya berniat
menghentikan gerakan dan berdiam di situ menanti beberapa orang utusan
yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala
tentara Mancu.
Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para
perajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah pimpinan para perwira,
sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah
petunjuk-petunjuk Maya. Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu
pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu,
ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya!
Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap
sebagai panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi,
dihormati dan dicintainya!
Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,
bersambung 6 .......
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar