sudah amat tinggi dan betapapun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan
dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat
mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing
sehingga saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama
seratus jurus, belum juga ada yang tampak terdesak. Memang harus diakui
bahwa fihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun
serangan-serangannya yang lihai selalu gagal!
Di lain fihak,
It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah mengeluarkan
ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sin-kangnya
yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu,
apalagi menjatuhkan! Karena penasaran, ia menjadi marah dan tiba-tiba
ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka
Empek Gan.
“Heh, jembel busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan.... air itu menyambar kembali ke arah tuannya.
Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan “ilmu”
meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan
seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya untuk melampiaskan hatinya
yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya melengking tinggi dan
tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat
penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang
ke arah Gan-lopek.
“Ayaaa....!” Gan-lopek berseru terkejut. Baru
kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia
memaksa diri untuk menangkis dan mengerahkan lwee-kangnya, namun tetap
saja ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan
kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak
tertahankan lagi! Ia tidak tahu bahwa inilah ilmu yang telah dipelajari
oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu,
yaitu kitab yang separoh terampas olehnya sedangkan separohnya lagi
terampas oleh Hek-giam-lo. Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin
mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan
berhadapan dengan anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai yang lain,
hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan
tetapi karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main,
saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan
hasilnya bukan main!
Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya
sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan
Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal
tidak tahu akhir. Lawannya sudah “tertawan” oleh daya serangannya, sudah
ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan
ilmunya dan merobohkan lawan. Betapapun juga, dalam keadaan berpusing
seperti itu, banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek dan
dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya
untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah
berkelebat menusuk ke arah lambung!
“Trakkkkk....!” Tiba-tiba
segulung sinat kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong
yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nyaring. “Gan-lopek,
jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kaucoret-coret
mukanya dengan tinta hitam putih!”
It-gan Kai-ong kaget sekali
karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga
orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar
biasa sekali. Ia terbelalak heran dan matanya yang tinggal satu itu
mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong
Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain adalah
Lin Lin.
Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah
mengerjakan pedangnya. Pedang Besi Kuning, menerjang dengan
gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang
rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu, tidak berapa
kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu,
kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu
dengan gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia
mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang
tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan agaknya
matanya akan benar-benar ditusuk! Baiknya It-gan Kai-ong memiliki
kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau
mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan.... air ludahnya muncrat
ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata
sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya
menangkis pedang yang agak terlambat oleh tangkisan air ludah tadi.
“Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya!
Celaka....!” Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya
pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!
Adapun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikah gerakan
pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikeroyok, akan berbahaya
baginya. Ia seorang sakti, aken tetapi sebagai seorang manusia iblis
tentu saja ia tidak segan-segan menggunakan kecurangan dan kelicikan.
Melihat bahwa keadaan dirinya berada di fihak lemah, ia cepat
menggunakan kesempatan selagi Lin Lin ribut membersihkan peding, untuk
melesat pergi sambil berseru.
“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bocah. Lain kali kita lanjutkan!”
“Dia curang, dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian
menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang
hendak menonton pertandingan para iblis itu?”
Sejenak, seperti
juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan
gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si
iblis mata satu itu kiranya jerih menghadapi seorang nona!” Kemudian
kegembiraannya mereda ketika ia teringat akan muridnya.
“Nona
yang baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya,
bukan? Mari bantu aku mencarinya, mudah-mudahan dia masih hidup!”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap
lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni jurang dengan hati-hati melalui
jalan memutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan
betapapun pandainya, seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang
seperti burung tak mungkin dapat menuruninya tanpa memilih jalan
memutar. Oleh karena jalan memutar inilah maka sejam lebih kemudian
baru mgreka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai mencari-cari.
Namun tidak ada jejak maupun bayangan Lie Bok Liong!
Ke manakah
pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya
sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga
tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal
yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.
Ketika
tubuhnya terjungkal dan melayang turun dengan kecepatan mengerikan,
Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai seorang
yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak
berteriak ketakutan. Bahkan kedua tangannya lalu mencengkeram
sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang
akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya melihat
bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat
memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat
dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Karena yang terbentur itu
adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong
merasa kepalanya seolah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan
pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.
Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar
jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang berseru aneh, lalu bayangan
ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan
tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat
keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka
ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun kembali dan
disambut oleh kedua tangan bayangan itu.
Hanya sebentar Bok
Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan
lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat
bahwa ia tadi melayang jatuh. Kiranya ia sudah duduk di atas batu,
ketika ia bangun. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda
berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biarpun ada luka-luka
sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi heran dan mengira bahwa
dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat
wanita muda itu cepat ia memanggil.
“Heeeiii, Nona, tunggu....!”
Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.
“Eh, kau Sian Eng....!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat
berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pundaknya, dan melompat lari
mengejar. Biarpun hanya sekali menoleh, ia mengenal wajah itu, wajah
Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah
lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti
termangu-mangu.
“Aku tentu sudah mati.... dan agaknya Sian Eng
juga sudah mati.... tentu ini alam baka....” pikirnya sambil duduk di
atas batu kembali.
Akan tetapi, sedikit demi sedikit pikirannya
menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap,
pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa
It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat
ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana, ia tidak terbanting
remuk, agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya
hal ini terjadi. Sian Eng cukup ia kenal, tidak hanya orangnya, malah ia
kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari pada tingkatnya,
malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana
carahya? Dan andaikata benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng
menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan yang
begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?
Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin
sekali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih
hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat
dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka
kulit dan daging di bahu saja.
Inilah sebabnya mengapa Lin Lin
dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak.
Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera
menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.
“Eh-eh, mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.
Lin Lin tidak menjawab, terus menangis keras dan akhirnya dengan
kata-kata bercampur isak ia berkata. “Kasihan.... Liong-twako.... tentu
telah hancur lebur.... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik....
mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya....
ah, Liong-twako....!” Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis
ini merasa kasihan dan berduka.
“Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”
Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek
itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa
gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong muridnya, tanda bahwa gadis
ini betul-betul mencinta muridnya.
Melihat pandang mata Lin Lin
penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi,
Gan-lopek segera tertawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan
hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya
terbanting ke dasar ini, biarpun akan hancur berantakan, sedikitnya
kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada
tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal
ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana
cara Tuhan menyelamatkan seorang yang membela kebenaran, akan tetapi
percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di
saat itu.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar
biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul
kakek itu dan.... menangis lagi.
“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa
kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek
mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen kalau
muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta
kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok
Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah
menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap
Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk tangan sebelah, cinta kasih
muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.
Tiba-tiba Lin
Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi
kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon “mantu
murid” ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar
jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di
panggung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu
mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mungkin juga mereka
disangka iblis-iblis penjaga jurang!
“Eh, nanti dulu. Kenapa
kau tertawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa
betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa
seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.
Lin Lin
akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan
mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, gadis ini berkata.
“Banyak sekali hal yang patut membikin aku tertawa, Kek.” Tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.
“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”
“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako
belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako
tertolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan
hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga
kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”
“Hemmm, lalu hal apalagi yang membikin kau tertawa selain hal yang kausebutkan tadi?”
Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli
terpingkal-pingkal sambil menudingkan telunjuknya ke arah Gan-lopek.
Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran
berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya
perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin
terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.
Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking
kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa
wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khi-kang dan yang membuat
ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan
membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak
menghentikan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khi-kang
dan sin-kangnya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi
Gan-lopek.
Maka terjadilah hal aneh dan terdengarlah hal aneh
pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah
parau, terbahak-bahak dan bergema dari daser jurang membubung naik
sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak
melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri!
Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Tidak seperti orang
bergirang tertawa karena keduanya berdiri tegak, lutut sedikit ditekuk
seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak seperti
orang kegirangan, melainkan sungguh-sungguh dan seperti orang
mengerahkan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!
“Stop....! Stop....!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.
Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah
mengerahkan seluruh tenaganya untuk “mendorong” gadis itu dalam
“pergulatan” tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu.
Setelah berhasil mendorong, ia melompat dan terbebaslah mereka daripada
pertandingan khi-kang yang hebat itu. Kini Gan-lopek memandang dengan
bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara
sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.
Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudian ia memandang dan berkata, “kau hebat, Kek!”
Si tua menarik napas panjang, mengelus-elus jenggot dan mengangguk-angguk.
“Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada
gunanya lagi. Akan tetapi engkau.... ah, hampir aku tidak percaya bahwa
kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat
menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua
bangka, yang biarpun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”
Lin Lin
kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andaikata ada maksud
yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti
kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”
“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si
gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah
mendengar dari Bok Liong, akan tetapi kepandaianmu tidak seperti yang
kauperlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat,
mengapa berpura-pura bodoh?”
Kini Lin Lin benar-benar merasa
heran. Akan tetapi segera ia menjadi girang sekali karena ia dapat
menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw
itulah agaknya yang tadi mendatangkan khi-kang luar biasa yang membuat
Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan tetapi, teringat akan
nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya
berkata.
“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang
muda. Kepandaian apa yang kupunyai? Dari pada mengejek dan membikin
panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi
petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan
berguna!”
Empek Gan tertawa. “Wah, boleh.... boleh.... memang
aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu
menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demikian
dengan perutku. Perutku perih sekali!” Tiba-tiba terdengar “ayam
berkokok” dari dalam perut kakek itu sehingga Lin Lin tertawa geli.
“Tunggulah, Kek. Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu
bagaimana caranya menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian,
gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali
membawa seekor kelinci yang gemuk sekali. Di dalam hatinya, Lin Lin
girang dan gembira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu
yang baru ia dapat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada
bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera
menggunakan kecerdikannya untuk “mengambil hati” melalui perut lapar
Kakek Gan.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek
Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong
Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip
benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia
dipanggil.
Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok
Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan
tetapi, kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi,
dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas
jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian
luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan
dan pengalaman Sian Eng.
Telah kita ketahui bahwa Sian Eng
dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihinya, Suma Boan, untuk
memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi
Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di
tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di
bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agaknya telah dipasang orang
sehingga ia terkurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan
keluar karena jalan keluar satu-satunya hanya mendorong batu yang
menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma
Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu ini!
Di bagian depan cerita ini, kita tinggalkan Sian Eng dalam keadaan
roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang
menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya.
Setelah
roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng
diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan sakit di seluruh
tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan rasa panas,
gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit seperti
orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu
timbullah suatu kenekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh
membuat ia tiba-tiba mendapatkan kekuatan baru. Sian Eng meloncat
bangun, kedua tangannya mencengkeram kelelawar-kelelawar yang masih
menempel di tubuhnya, membanting, menginjak, bahkan ia lalu menggigit
kepala binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan mengisap
darahnya. Rasa sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak
ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya
membalas, membunuh, mengamuk!
Pergulatan menyeramkan di gelap
ini seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu
akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan
lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga
tingkah lakunya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang
meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis,
semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut
dan ngeri. Akan tetapi tiada hentinya ia membunuh kelelawat dan bahkan
mulai makan dagingnya dan minum darahnya.
Semalam suntuk Sian
Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan
entah sudah berapa banyak darah yang diminumnya, daging yang
ditelannya. Akhirnya malam pun berakhir berganti pagi dengan ditandai
seberkas cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir
kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga,
menggeletak terlentang pingsan di atas bangkai-bangkai kelelawar!
Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari darah
yang keluar dari luka-lukanya.
Sehari penuh Sian Eng menggeletak
di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu,
setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi
setelah matahari tenggelam dan ruangan itu menjadi gelap,
kelelawar-kelelawar kecil mulai beterbangan kemudian menyerangnya. Sian
Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau
kuntilanak yang hanya “hidup” di waktu malam, ia bangkit lagi dan
seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan
kelelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas
sekali. Kembali Sian Eng menjadi korban gigitan, akan tetapi anehnya
gerakan-gerakannya lebih tangkas dan lebih ganas daripada kemarin. Kini
lebih banyak lagi kelelawar yang mati, dan lebih banyak lagi yang darah
dan dagingnya memasuki perut Sian Eng! Kembali semalam suntuk terjadi
perang kecil yang ganas mengerikan di dalam ruangan gelap, akan tetapi
kali ini Sian Eng kelihatannya makin kuat saja sehingga menjelang pagi,
binatang-binatang itu mulai gentar dan hanya satu dua ekor yang berani
menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng menangkapnya, merobeknya
menjadi dua dan mengisap darah yang menyembur keluar. Agaknya rasa
darah, sakit hati, dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng berubah
seperti seorang kuntilanak! Anehnya begitu sinar matahari menerangi
ruangan, Sian Eng baru merasa lemas dan letih, lalu terguling dan
menggeletak telentang setengah telanjang di atas “kasur” terbuat
daripada bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk.
Seperti juga
kemarin, sehari penuh Sian Eng tidur setengah pingsan. Luka-luka kecil
di kulitnya yang putih kuning dan halus, yang kemarin tampak
berbintik-bintik merah, kini mulai menghilang, akan tetapi tubuhnya
sebentar terasa panas membara, sebentar kemudian dingin seperti salju!
Memang terjadi sesuatu yang hebat pada diri gadis ini.
Kelelawar-kelelawar itu ternyata adalah sebangsa kelelawar yang beracun,
yang biasanya sekali menggigit orang tentu meninggalkan racun yang
akan cukup merampas nyawa orang itu dalam waktu dua tiga hari.
Sedangkan Sian Eng telah menerima gigitan yang bertubi-tubi dari
kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas yang disertai kemarahan sehingga
racun yang jahat dan berbahaya banyak sekali memasuki tubuh dan
meracuni darahnya. Akan tetapi, secara kebetulan sekali keadaan yang
mengerikan itu membuat Sian Eng menggila dan mengganas, membuat ia
marah dan makan daging kelelawar serta minum darahnya. Justeru inilah
yang menjadi obat penawar, obat penawar yang tiada keduanya di dunia
ini! Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri, selain dapat mengisi
perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah mengobati dirinya
sendiri. Tidak saja mengobati dan menghalau bahaya dari racun gigitan
kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah memasukkan
sumber tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung
hawa panas, yang biasanya akan menghanguskan jantung, mengeringkan
darah, sebaliknya, racun penawar yang terdapat dalam daging dan darah
kelelawar itu mengandung hawa dingin.
Kini mulailah kedua racun
yang bertentangan itu bekerja, bertempur mati-matian di dalam tubuh
Sian Eng, membuat gadis ini dalam keadaan tidak sadar sebentar
kepanasan sebentar kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki
seseorang harus masih hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapapun aneh
dan tak mungkin tampaknya jalan itu di mata manusia. Demikian pula
dengan halnya Sian Eng. Nyawanya tergantung di ujung sehelai rambut.
Hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya, hanya Tuhan yang memutuskan
mati hidupnya. Dua macam racun yang memasuki tubuhnya, yang satu lewat
luka-luka gigitan yang ke dua lewat mulut, adalah racun-racun yang amat
berbahaya dan terlalu banyak masuk ke tubuhnya. Kini kedua macam racun
yang mempunyai kekuatan bertentangan itu saling bertanding, saling
dorong untuk menguasai tubuh Sian Eng yang akan berakhir dengan maut
jika satu di antara kedua racun itu kalah! Hawa panas dan dingin saling
desak, kuasa-menguasai. Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa ini,
akan tamatlah riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang
ini. Namun, seperti sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki
riwayat gadis ini tamat, karenanya secara ajaib sekali, kedua macam
racun itu KEBETULAN memiliki kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur
dan lenyaplah daya merusak, bahkan sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng,
kedua macam racun itu bercampur dan lahirlah semacam daya tenaga mujijat
yang membuat sin-kang (hawa sakti) di tubuh gadis ini naik beberapa
puluh kali lipat!
Tidaklah mengherankan apabila gadis itu
bergerak bangun setelah hari kembali menjadi gelap, yaitu pada malam ke
tiga, gadis itu merasa tubuhnya ringan dan nyaman sekali, sama sekali
tidak ada rasa sakit lagi, yang ada hanya rasa hangat yang menyenangkan.
Selain ini, lenyap pula rasa takut dan rasa ngeri. Bahkan ia
tertawa-tawa ketika mendengar sambaran kelelawar-kelelawar yang untuk
ketiga kalinya kini mulai hendak menyerbu musuh yang ulet itu.
Sian Eng merasa betapa sambaran binatang-binatang itu amat lambat dan
lemah. Dengan mudahnya ia menyentil dengan kuku-kuku jarinya. Sekali
sentil saja remuklah kepala kelelawar yang menyambar ke arahnya. Ketika
banyak sekali binatang itu mulai menyerbu, Sian Eng kewalahan juga dan
terpaksa membiarkan satu dua ekor menggigit tubuhnya yang setengah
telanjang itu. Akan tetapi, terjadilah keanehan. Gadis ini sama sekali
tidak merasakan nyeri ketika tergigit, sebaliknya, kelelawar yang
menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh dan berkelojotan terus mati!
Tentu saja hal ini tidak tampak oleh Sian Eng, akan tetapi sejam
kemudian, tidak ada seekor pun kelelawar yang menyerangnya lagi.
Binatang-binatang itu hanya beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan,
seakan-akan mereka kini mengakui bahwa manusia yang tiga malam
berturut-turut dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan patut menjadi ratu
mereka.
Sian Eng terbebas daripada ancaman maut oleh racun-racun
berbahaya itu. Akan tetapi agaknya pengaruh racun-racun itu
mempengaruhi juga otaknya. Setidaknya tentu mengubah kesempurnaannya,
mengganggu dan membuat Sian Eng menjadi seorang aneh. Kadang-kadang ia
tertawa sendiri kalau menangkap kelelawar untuk dimakan, kadang-kadang
ia menangis karena teringat akan Suma Boan. Malam ke tiga itu diisi
dengan tawa dan tangis berganti-ganti.
Pada keesokan harinya,
Sian Eng dapat bergerak dengan gesit dan pikirannya juga menjadi
terang. Teringatlah ia bahwa ia terkurung di situ, terkubur hidup-hidup.
Pikiran ini menggerakkan semangatnya dan ia menghampiri batu penutup
lubang. Dicobanya tenaganya untuk membongkar batu itu, untuk
mondorongnya kembali. Ia merasa betapa dalam tubuhnya bergolak hawa
yang amat kuat, yang terasa panas sekali. Ia mengerahkan tenaga, hawa
panas meningkat, batu bergoyang, akan tetapi tiba-tiba hawa panas itu
berubah menjadi hawa dingin dan.... Sian Eng roboh pingsan dan batu itu
kembali menutup lubang!
Setelah siuman kembali, Sian Eng mencoba
dan berkali-kali ia pingsan hanya karena perubahan hawa di dalam
tubuhnya. Akhirnya ia maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat hawa yang
aneh, yang kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, akan tetapi yang
demikian hebat sehingga ia tidak mampu menguasainya dan kalau ia memaksa
terus mengerahkan tenaga yang aneh itu, tentu akhirnya ia akan mati
terpukul sendiri. Karena inilah Sian Eng lalu mencari jalan lain. Ia
memeriksa seluruh dinding, seinci demi seinci, diperiksanya teliti
sekali. Namun hasilnya sia-sia dan sementara itu, karena ia belum dapat
menguasai dua macam hawa di tubuhnya, berkali-kali Sian Eng roboh
pingsan.
Akan tetapi pada suatu hari, kurang lebih lima hari
semenjak ia terkurung di situ, usahanya berhasil. Ia mulai memeriksa
lantai. Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya dan akhirnya ketika
ia mendongkel sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah lubang yang
lebarnya ada dua kaki persegi. Mendadak dari dalam lubang itu meluncur
keluar seekor ular yang kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar, ular
itu menerjang ke atas dan tanpa dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian
Eng kena digigit. Sian Eng menjerit dan mengerahkan tenaga. Karena ia
belum menguasai dua macam tenaga di tubuhnya, ia mengerahkan sekenanya
saja dan kebetulan pada saat itu, hawa dingin di tubuhnya yang lebih
kuat maka seketika pengerahan tenaga ini membuat lengannya yang
tergigit ular itu terasa seperti berubah menjadi es! Dan hebatnya, ular
itu lalu melepaskan gigitannya, melingkar-lingkar menggeliat-geliat dan
tak bergerak lagi, mati! Sian Eng menjadi tertarik sekali. Inikah tempat
persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui? Tanpa ragu-ragu lagi ia
memasuki lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat turun, ia berada
di sebuah ruangan lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah ruangan
yang penuh bangkai kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui
lubang dua kaki tadi, cukup membuat ruangan itu menjadi terang. Di
sudut ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih tepat sebuah bangku
batu yang permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan bentuk pantat
dan kaki orang yang bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai duduk
bersila orang yang bertapa di sini. Akan tetapi, bagaimanakah sebuah
bangku batu sampai cekung seperti itu hanya karena diduduki orang saja,
benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali. Hanya bangku itulah
yang terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada apa-apa lagi.
Saking besarnya rasa kecewa dan menyesalnya, Sian Eng lalu menjatuhkan
diri berlutut di depan bangku itu dan menangis. Ia melihat betepa tapak
kaki bersila itu kecil mungil, menggambarkan kaki seorang wanita, maka
ia merasa yakin bahwa tentu bangku ini menjadi tempat bersila dan
bertapa samadhi Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia
menangis karena teringat akan hubungannya dengan Tok-siauw-kui.
Tok-siauw-kui dahulunya adalah isteri ayahnya, Jenderal Kam Si Ek, yang
kemudian pergi meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu menikah lagi,
dengan ibunya. Agaknya Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya
sehingga kini biarpun sudah meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan
sakit hartinya dan menghukum anak dari wanita yang merebut suaminya!
“Bibi Liu Lu Sian.... mengapa kau begini kejam? Mengapa aku yang
kausiksa, padahal aku tidak berdosa kepadamu? Bibi.... betapapun juga
aku adalah anak tirimu.... kau pernah mencinta ayah kandungku.... demi
mendiang ayahku.... harap kautunjukkan jalan keluar bagiku, Bibi....!”
Ia menangis dan masih berlutut di depan bangku batu itu. Kemudian ia
teringat akan ayahnya dan menangis makin sedih.
“Ayah.... Ayah,
kau tentu sudah berkumpul dengan Bibi Liu Lu Sian.... bujuklah dia agar
supaya anakmu ini diberi petunjuk keluar dari neraka ini!” sambil
menangis Sian Eng membentur-benturkan kepalanya di atas lantai depan
bangku.
Tiba-tiba terdengar bunyi perlahan dan ternyata setiap
kali Sian Eng membenturkan jidatnya di atas lantai, bangku batu itu
bergeser ke kiri, makin lama makin ke kiri sehingga akhirnya tampaklah
sebuah lubang di bawah bangku batu itu. Sian Eng terkejut dan memandang
dengan heran karena di situ terdapat sehelai kain kuning yang menutupi
sesuatu dan ditulisi dengan huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT
PENINGGAIAN LIU LU SIAN. Jantungnya berdebar keras dan tangannya sudah
digerakkan untuk meraih dan membuka kain kuning itu, untuk segera
melihat wasiat deri wanita sakti itu. Akan tetapi ia segera ingat bahwa
benda-benda di bawah kain kuning itu adalah milik Liu Lu Sian, dan bahwa
wasiat wanita ini mustahil ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak berani
melanjutkan niatnya. Ia tidak berhak! Akan tetapi selagi ia termenung,
ia teringat akan tugasnya, teringat akan kekasihnya, Suma Boan.
Timbullah pertentangan dalam batinnya. Ia adalah keturunan seorang
gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal sebagai seorang satria
utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi melakukan sesuatu
yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayahnya sudah menjejalinya
dengan budi pekerti orang gagah. Akan tetapi di lain fihak, cinta
kasihnya terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.
Akhirnya kembali Sian Eng berlutut di depan bangku batu tempat
bersamadhi Tok-siauw-kui, membenturkan jidatnya di lantai sambil
berkata.
“Bibi Liu Lu Sian, mohon perkenan bibi untuk mengambil
sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi kehendak kekasih. Mohon
bibi sudi memberi ampun....” Tiba-tiba Sian Eng menghentikan
kata-katanya karena pada saat itu, dari dalam lubang tadi melayang
keluar tiga batang anak panah yang menyambar ke atas. Anak-anak panah
itu lewat di depan mukanya dan peninglah kepala Sian Eng mencium bau
yang wangi memabukkan. Terang bahwa anak-anak panah itu mengandung racun
yang dahsyat dan andaikata ia tadi melanjutkan niatnya membuka kain
kuning, tentu anak-anak panah itu akan tepat mengenai muka dan lehernya.
Ia mendongak ke atas dan melihat anak-anak panah itu menancap pada
dinding batu, gagangnya bergoyang-goyang. Sian Eng bergidik ngeri dan
ketika ia memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain kuningnya telah
tersingkap dan di bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia yang tadi
menggerakkan tiga anak panah. Kiranya ketika ia membenturkan kepala di
lantai depan bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat
rahasia yang menggerakkan anak-anak panah itu sehingga ia selamat.
Seorang yang begitu saja membuka kain kuning tadi karena bernafsu
memiliki wasiat, pasti akan menjadi korban anak panah, betapapun
pandainya, karena anak-anak panah itu menyambar tak terduga-duga dan
jarknya amat dekat.
Sian Eng memandang lebih teliti dan ternyata
selain alat-alat yang menggerakkan anak panah, juga di situ terdapat
tulisan yang terukir pada dasar lubang. Seperti tulisan di atas kain
kuning, tulisan yang terukir pada batu di dasar itu pun besar-besar, dan
jelas, berbunyi : YANG TAHU AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI MURIDKU.
DUDUKLAH BERSAMADHI DI ATAS BANGKU, HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.
Sian Eng bukan bermaksud hendak menjadi murid Tok-siauw-kui, melainkan
bermaksud untuk mencari kitab peninggalan wanita sakti itu, untuk
diberikan kepada kekasihnya. Karena bukankah kitab-kitab ini akan
menyenangkan Suma Boan dan seperti dijanjikan oleh kekasihnya itu,
setelah ia berhasil menemukan kitab-kitab itu mereka akan pergi ke
Cin-ling-san untuk merundingkan urusan perjodohan mereka dengan bibi
gurunya? Selain itu, ia tadinya tidak memiliki keinginan lain. Akan
tetapi setelah kini ia terkurung dan tidak mampu keluar, timbullah
keinginannya untuk mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Tok-siauw-kwi,
sungguhpun hal ini hanya dimaksudkan untuk membuat ia mampu keluar dari
neraka ini. Karena itulah, maka tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu naik
ke atas bangku batu dan duduk bersila. Alangkah herannya ketika ia
mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas permukaan batu cocok benar
dengan ukuran tubuh belakang dan kakinya, seakan-akan sudah dicetak
untuk dirinya. Kemudian ia teringat akan Tok-siauw-kui yang muncul dan
menggemparkan perayaan Beng-kauw. Memang ada persesuaian dalam bentuk
tubuh wanita sakti itu dengan dirinya. Mulailah Sian Eng mengheningkan
cipta, bersiulian (bersamadhi) di atas bangku itu yang ternyata amat
enak diduduki.
Akan tetapi sama sekali di luar dugaannya bahwa
hal ini akan membawa ia kepada hal-hal baru yang akan mengubahnya
menjadi seorang manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti yang diajarkan
ayahnya, duduk diam tak bergerak sedikit pun juga, mematikan raga.
Tanpa ia sadari, ia sudah duduk seperti itu selama setengah hari!
Tiba-tiba terdengar suara keras dan kagetlah Sian Eng karena ia merasa
tubuhnya terjatuh ke bawah. Ketika ia membuka matanya, benar saja,
bangku batu itu sudah nyeplos ke bawah dan ia sudah berada di dalam
ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi. Ia segera turun dan melihat
betapa di ruangan ini terdapat dipan untuk tidur, terdapat meja dan
bangku, sedangkan di atas meja terdapat akar-akar dan buah-buah obat,
juga di sana-sini bertumpuk kitab-kitab kuno. Sedangkan di sudut kiri
terdapat sebatang pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang telanjang
yang menancap pada dinding batu karang sampai setengahnya!
Dengan hati berdebar-debar tidak karuan Sian Eng memperhatikan cara
bagaimana ia tadi dapat merosot ke bawah bersama bangku yang
didudukinya. Setelah mengadakan pemeriksaan, kiranya bangku tadi
dipasangi alat-alat yang halus sekali dan ternyata kehangatan tubuhnya
melepaskan minyak-minyak beku dan menggerakkan alat-alat yang bergerak
otomatis. Kalau saja tubuh orang yang bersamadhi tidak cocok dengan
lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kiranya alat itu takkan dapat
berjalan. Terang bahwa Tok-siauw-kui memang menghendaki seorang yang
bentuk tubuhnya menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk
menjadi ahli warisnya! Dan kini kitab-kitab pelajaran yang serba
rahasia, yaqg dicari penuh kerinduan oleh orang-orang di seluruh dunia
kang-ouw, terletak di depan Sian Eng, tinggal memilih saja!
Akan
tetapi Sian Eng tidak membutuhkan semua ilmu itu! Ia hanya ingin
mempelajari ilmu untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat
menggerakkan batu-batu penutup lubang, agar ia dapat keluar dan ia akan
membawa sebuah dua buah kitab ilmu untuk diberikan kepada kekasihnya
yang berada di luar gua. Karena kitab-kitab itu banyak sekali
macamnya, akhirnya ia dapat juga menemukan sebuah kitab yang
mengajarkan ilmu Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan Tangan Selaksa
Kati). Ilmu ini mengajarkan cara I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum),
cara bersamadhi dan bernapas, menghimpun tenaga sakti dan menguasainya.
Segera Sian Eng bersamadhi dan berlatih menurut petunjuk kitab ini.
Sama sekali ia tidak mengira bahwa kalau bagi orang lain harus memakan
waktu berbulan-bulan untuk memetik buah latihan ilmu ini, baginya hanya
membutuhkan beberapa hari saja oleh karena di dalam tubuhnya sudah
terdapat dua macam hawa panas dan dingin yang amat hebat berkat racun
dari kelelawar. Berhari-hari Sian Eng tekun berlatih dan apabila ia
merasa lapar, ia menangkapi kelelawar untuk dimakam dagingnya. Untuk
minum tidaklah sukar karena dinding batu-batu karang itu mengandung air,
dan di sana-sini terdapat air jernih menetes-netes dari atas. Tentang
akar-akar dan buah-buah obat di atas meja, tidak ia perhatikan ketika
ia membaca keterangan di sampingnya bahwa obat-obat itu adalah obat
untuk pelbagai luka pukulan dan korban racun.
***
Demikianlah, tidak mengherankan apabila dua pekan kemudian semenjak ia
memasuki gua, Sian Eng sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan
Suma Boan yang menyusulnya dan berteriak-teriak dari luar batu penutup
lubang. Di waktu itu, ia sedang tekun bersamadhi menyempurnakan
sin-kang yang sudah terasa memenuhi tubuhnya. Dengan girang Sian Eng
mendapat kenyataan bahwa tenaga panas dan dingin yang kadang-kadang
menguasainya, yang membuatnya berkali-kali pingsan, kini dapat ia kuasai
sepenuhnya dengan cara yang diberikan oleh kitab itu.
Setelah
merasa bahwa ia dapat menguasai tenaga mujijat itu, Sian Eng
menghentikan latihannya dan pada saat itulah baru ia melihat gambaran di
dinding, gambaran yang ada tanda-tanda huruf kecil terukir. Ia segera
memperhatikan dan bukan main girang hatinya karena gambaran-gambaran itu
merupakan tanda-tanda rahasia cara membuka dan menutup pintu-pintu
rahasia dan alat-alat rahasia lain yang dipasang di dalam istana di
bawah tanah ini. Cepat ia mencari rahasia batu besar yang menutup
terowongan dan kiranya rahasianya terletak pada batu itu sendiri. Di
ujung kanan atas dari batu itu terdapat bagian yang menonjol dan bagian
inilah yang harus dipukul tiga kali ke dalam.
Dengan hati amat
girang Sian Eng melompat melalui lubang itu ke bagian atas, kemudian
sekali lagi ia menerobos ke bagian paling atas melalui lubang. Ia tidak
sadar bahwa gerakannya melompat melalui lubang ini hebat dan ringan
sekali, jauh bedanya dengan keadaan dirinya sebelum memasuki tempat ini.
Begitu memasuki ruangan paling atas, hidungnya disambut bau yang amat
busuk dari bangkai-bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk di situ
selama beberapa hari. Sian Eng menutupi hidungnya dan dengan menahan
napas ia lalu menghampiri batu penutup terowongan. Betul saja, di bagian
atas ujung kanan batu itu terdapat bagian yang menonjol. Ia mengepal
tangannya dan menghantam tiga kali.
Terdengarlah suara
berkerotokan dan.... dapat dibayangkan rasa gembira hati gadis itu
melihat batu besar itu bergerak dan masuk ke dalam dinding membuka jalan
terowongan itu seperti sediakala! Saking girangnya Sian Eng lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia
teringat kembali kepada Suma Boan, maka cepat ia melompat dan
berlari-lari keluar melalui terowongan sambil tertawa-tawa gembira. Tadi
ketika keluar dari dalam kamar rahasia, ia telah mengambil dua buah
kitab kuno yang ia kira tentu akan memuaskan hati kekasihnya, karena
kitab-kitab itu adalah kitab ilmu pedang dan ilmu silat. Kini dua buah
kitab kuno itu berada di balik baju dalamnya.
Akan tetapi ketika
ia tiba di luar gua, di situ sunyi sekali tidak kelihatan bayangan Suma
Boan. Pada waktu itu, hari telah berganti malam, keadaan di luar gua
gelap gulita.
“Suma-koko!” Sian Eng memanggil, menyangka bahwa
kekasihnya tentu sedang beristirahat di suatu tempat setelah
menanti-nanti kelurnya dengan hati kesal. Tentu kekasihnya itu merasa
khawatir sekali, mungkin sudah putus asa.
“Suma-koko!”
Berkali-kali ia memanggil sambil melangkah keluar. Namun tidak ada yang
menjawab. Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Sian Eng
cepat menggerakkan kakinya mengejar. Juga kali ini ia tidak sadar bahwa
gerakan kakinya cepat dan ringan bukan main, dan bahwa ia telah berlari
cepat sekali! Ini adalah berkat hawa sakti di tubuhnya yang kini mulai
dapat ia kuasai setelah ia memiliki Ilmu Ban-kin Pek-ko-chiu. Sama
sekali ia tidak tahu bahwa Suma Boan baru saja keluar dari dalam gua,
dan bahwa pemuda itu hampir celaka oleh Liu Hwee dan Kauw Bian Cinjin.
Setelah melaktikan pengejaran dengan kecepatan mengagumkan, akhirnya ia
dapat menyusul dua bayangan yang berkejaran itu. Segera ia mengenal
Liu Hwee yang mengejar Suma Boan! Ia tidak mengenal apa sebabnya, maka
diam-diam ia hanya mengikuti mereka.
Ketika tiba di luar hutan,
Liu Hwee mulai menyerang Suma Boan dengan senjata rahasia jarum perak,
kemudian karena pemuda itu terhalang larinya ketika mengelak, gadis
puteri ketua Beng-kauw ini cepat menerjangnya dengan senjatanya yang
hebat, yaitu sepasang cambuknya yang diganduli dua buah bola baja.
“Suma Boan manusia busuk, kau hendak lari ke mana?” bentak Liu Hwee.
Suma Boan yang melihat bahwa gadis ini hanya mengejar sendirian saja,
menjadi marah dan timbul kembali keberaniannya. Tadi ia melarikan diri
karena gadis itu berdua dengan Kauw Bian Cinjin, merupakan lawan yang
amat berat. Sekarang, melihat gadis itu sendirian saja, ia lalu
membalikkan tubuh dan melawan sambil memaki.
“Bocah sombong, kau bosan hidup!”
Seperti biasa, pemuda bangsawan ini melawan dengan tangan kosong saja.
Biasanya, menghadapi lawan muda, biarpun lawan bersenjata, ia selalu
mendapatkan kemenangan karena sebagai murid It-gan Kai-ong, tentu saja
ia memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kali ini ia
berhadapan dengan puteri Beng-kauw! Pula, Lio Hwee memegang senjata
aneh yang amat berbahaya. Di samping ini, baru saja Suma Boan mengalami
hal-hal yang melelahkan dan menakutkan, sedangkan betisnya yang ia
potong dagingnya juga masih terasa sakit. Oleh karena semua inilah maka
sebentar saja ia terdesak hebat dalam pertandingan mati-matian itu.
Cuaca remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit,
dan dua orang ini bertanding mengandalkan ketajaman telinga, karena
ketajaman pandangan mata tidaklah dapat dipercaya dalam keadaan setengah
gelap itu.
Betapapun Suma Boan mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi kecepatan senjata cambuk di
tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara bola-bola baja itu
menyambar pundaknya, Suma Boan mengeluh panjang dan terhuyung-huyung.
Ia sudah mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun tetap saja
karena yang diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka yang
biarpun tidak parah namun cukup membuat kedudukannya menjadi makin
lemah.
“Siapa berani mengotori tempat suci Beng-kauw, harus
mati!” seru Liu Hwee dan senjatanya kembali menyambar, kini mengarah
kepala dan yang sebuah lagi menotok pusar. Serangan maut yang agaknya
sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan yang sudah
terhuyung-huyung.
Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin pukulan
yang amat dahsyat dari samping, yang membuat sepasang bola di ujung
cambuk itu meleset arahnya, bahkan tampak bayangan orang yang cepat
menyambar cambuk itu dan sekali merenggut, cambuk itu terampas dari
tangan Liu Hwee! Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak
menyangka-nyangka sehingga senjatanya kena dirampas orang. Ia mengira
bahwa yang datang tentulah It-gan Kai-ong atau setidaknya tentu kawan
Suma Boan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur
dan siap-siap menghadapi lawan tangguh dengan tangan kosong.
Akan tetapi bayangan itu sudah menyambar tubuh Suma Boan dan dibawa
lari dari tempat itu! Lie Hwee menjadi penasaran sekali, biarpun ia
maklum bahwa lawan amat tangguh dan ia harus berhati-hati, namun ia
diam-diam mengikuti dan mengejar ke arah lenyapnya bayangan yang
membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan itu. Sayang
baginya, malam yang gelap membuat ia kehilangan jejak lawannya
sehingga akhirnya Lie Hwee hanya melanjutkan pengejarannya dengan
kira-kira saja, untung-untungan.
Sementara itu, bayangan tadi membuang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa lari Suma Boan.
“Suma-koko.... kau terluka....?” katanya sambil lari.
Sejenak Suma Boan tak mampu menjawab. Tadi ketika ia sudah terancam
bahaya maut di tangan Liu Hwee, ia merasa girang dan heran karena
tertolong oleh bayangan yang belum ia ketahui siapa dia. Akan tetapi
ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia tahu bahwa orang ini adalah
seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak karuan, akan tetapi
yang memiliki kepandaian hebat sekali. Karena kehebatan gerak inilah
maka ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin Sian Eng memiliki
kepandaian sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia tidak dapat
melihat wajah gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis itu
membuka mulut bicara, ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian
Eng! Tentu saja ia menjadi bengong dan tak mampu menjawab. Pikirannya
bekerja. Tentu terjadi sesuatu yang hebat kepada diri Sian Eng, dan
tentu selama dua pekan itu, Sian Eng telah mempelajari ilmu yang sakti.
Suma Boan memang seorang yang cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor
oleh syakwasangka dan penuh tipu muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis
ini mengkhianatinya, setelah mendapatkan ilmu lalu dimilikinya sendiri!
“Suma-koko.... hebatkah lukamu?” kembali Sian Eng bertanya sambil
melanjutkan larinya, karena gadis ini merasa khawatir kalau-kalau ada
yang mengejar mereka.
Suma Boan pura-pura mengeluh panjang,
“Cukup hebat.... mengapa kau begitu lama baru muncul, Moi-moi? Dan
bagaimana hasilnya, dapatkah kau menemukan kitab-kitab itu?”
“Dapat.... dapat.... jangan khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah
kitab untukmu.” Tiba-tiba gadis ini tertawa dan berdirilah bulu tengkuk
Suma Boan. Suara ketawa ini tidak sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi
diam-diam ia girang bukan main.
“Mana kitab-kitab itu? Biarlah aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar tidak gemetar.
“Nanti saja, kita lari dulu, takut kalau-kalau dikejar musuh.”
“Katakan saja di mana, aku yang akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.
Kembali Sian Eng tertawa geli, “Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di
balik.... baju dalam dan....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan gadis itu
roboh lemas. Kiranya Suma Boan telah menotoknya dengan tiba-tiba. Karena
yang ditotok adalah tong-cu-hiat di belakang leher dan thian-hu-hiat,
maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak dapat mengeluarkan suara
lagi. Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa betapa Suma Boan
meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang disimpannya di
situ. Terdengar pemuda itu berseru girang, mengantongi dua buah kitab
itu lalu menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari
oleh Suma Boan, dipondong di atas pundak!
Sian Eng memjadi
kecewa dan juga bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kekasihnya
akan melakukan perbuatan seperti ini. Saking marahnya, ketika ia
berusaha untuk mengerahkan tenaga, jalan darahnya yang berhenti itu
membuat hawa sakti menyerang dirinya sendiri dan ia pingsan seketika!
Ketika Sian Eng siuman dari pingsannya, ia mengerang perlahan dan
tubuhnya tidak karuan rasanya. Ia memandang ke kanan kiri dan
mendapatkan dirinya berbaring telentang di atas sebuah dipan di dalam
kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya sebuah perahu besar yang
berlabuh di pinggir. Melihat kamar yang bersih dan indah ini, tentu ia
berada di sebuah perahu yang mewah. Sinar matahari yang memasuki
jendela kamar perahu menandakan bahwa malam telah berganti pagi dan
hawa pagi itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa segar
bahkan merasa tidak enak sekali. Kagetlah ia ketika menengok dirinya.
Ternyata pakaiannya yang robek-robek semalam telah diganti pakaian indah
bersih, pakaiannya sendiri yang buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia
memasuki gua. Seketika wajahnya menjadi merah. Ia dapat menduga bahwa
tentu Suma Boan yang mengganti pakaiannya. Serentak ia bangkit dan ia
menyeringai. Badannya terasa sakit-sakit. Kemarahannya bangkit ketika ia
teringat akan kelakuan Suma Boan semalam, yang secara khianat telah
menotoknya. Kemudian kecurigaannya timbul ketika ia menyaksikan keadaan
dirinya di pagi ini.
Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dari luar
dan masuklah Suma Boan. Pemuda ini berpakaian indah bersih pula,
wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng dengan senyum
lebar yang menambah ketampanan wajahnya.
“Isteriku yang manis, kau sudah bangun?”
Bagaikan disambar petir Sian Eng memandang terbelalak. Ucapan ini memperkuat kekhawatiran hatinya.
“Apa.... apa kau bilang....?” Kemudian, pandang mata Suma Boan
seakan-akan menceritakan semuanya, membuat Sian Eng gemetar seluruh
tubuhnya.
“Kau.... kau telah melakukan....”
Suma Boan
melangkah maju dan memeluknya mesra. “Isteriku, kau isteriku yang
tercinta. Sian Eng, kita telah menjadi suami isteri dan.... aduhhh....!”
Suma Boan terlempar ke sudut kamar karena dengan tenaga yang dahsyat
sekali Sian Eng telah mendorongnya. Sian Eng kini bangkit berdiri,
matanya merah menyala-nyala, pipinya seperti terbakar rasanya.
“Keparat biadab! Kau.... kau berani....”
Suma Boan terkejut bukan main, akan tetapi sebagai seorang ahli silat
tingkat tinggi, ia tidak terluka. Ia melangkah maju lagi dan membujuk
dengan suara manis.
“Eng-moi-moi, kau kenapakah? Bukankah kau
mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu dengan seluruh
jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga kelak?
Aku.... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu
sehingga kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak
tahan lagi. Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”
“Keparat busuk!” Sian Eng memaki dan bagaikan seekor singa betina ia
menerjang maju. Suma Boan tentu saja tidak mau membiarkan dirinya
diserang, cepat ia mengelak, malah kemarahannya kini bangkit. Memang
sesungguhnya di hati putera pangeran ini tidak ada cinta kasih murni
terhadap Sian Eng, yang ada hanya cinta berdasarkan nafsu binatang
belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya
terhadap Sian Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia
menafsir bahwa Sian Eng telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah
menjadi “isterinya” tentu Sian Eng akan membuka rahasia ilmu itu
kepadanya. Tentu saja di samping ini, juga kelemahan batinnya terhadap
kecantikan Sian Eng merupakan sebab yang kuat pula sehingga di malam itu
ia melakukan perbuatan biadab seperti binatang.
Kini dalam
marahnya, Suma Boan balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi
daripada kepandaian Sian Eng, maka sekali ia mengeluarkan jurus yang
sulit, tangannya berhasil memukul pundak Sian Eng, membuat gadis itu
terjungkal.
“Kau hendak berlagak, ya? Mulai sekarang kau harus
mentaati segala perintahku, kalau tidak, kau akan kusiksa sampai
mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik kau tidak mau
terima!” Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah berhasil
merobohkan Sian Eng, Suma Boan melangkah maju.
Sian Eng rebah
miring dan menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini hampir membuatnya
menjadi gila. Rasa menyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati
memenuhi kepalanya, membuat kepalanya berdenyut-denyut, membuat
tubuhnya sebentar panas sebentar dingin. Tak disangkanya sama sekali
bahwa orang yang dicintanya, yang dipujanya, yang diharapkan menjadi
suaminya kelak, memperlakukan dia seperti ini. Tiba-tiba kemarahannya
memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika Suma Boan
sudah melangkah dekat, ia siap-siap. Benar saja, Suma Boan yang
bermaksud hendak “menundukkan” Sien Eng mengangkat k&kinya
menendang. Pada saat itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat
berdiri. Suma Boan tidak bisa berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian
Eng mengayun-ayun tubuh itu, diputar-putarnya di atas kepala!
“Kuhancurkan kepalamu! Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam
keparat!” Sian Eng memaki-maki sambil menangis dan air matanya
bercucuran.
Suma Boan takut setengah mampus. Ia berusaha untuk
mengerahkan tenaga dan melepaskan diri, namun kakinya yang dicengkeram
tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia tidak mampu meronta. Ia mulai
merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya meluncur keluar dua buah
kitab kuno. Melihat ini Sian Eng mendadak tertawa-tawa!
“Hi-hi-hi-hik! Untuk dua kitab ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau
tega menghancurkan harapan hidupku, membuyarkan cita-citaku,
membanting remuk kasih sayangku. Hanya untuk dua buah kitab kuno,
hi-hi-hik!”
Makin takutlah Suma Boan. “Sian Eng.... Moi-moi....
kauampunkanlah diriku.... Eng-moi, ingatlah.... aku cinta kepadamu,
sungguh mati, biar aku bersumpah....!” Akan tetapi kata-katanya
tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.
Pada saat itu, terdengar
suara wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang
menantang, “Bangsat Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”
Sian Eng terkekeh makin geli. “Dia memang laki-laki, akan tetapi
laki-laki seperti anjing. Nah, terimalah!” Ia mengayun tubuh Suma Boan
dan melemparkannya keluar dari pintu.
Baiknya Suma Boan dapat
mengerahkan gin-kangnya sehingga ia dapat mengatur keseimbangan
tubuhnya dan dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika
ia melihat Liu Hwee yang berdiri di situ dengan sikap menantang.
Mula-mula ia khawatir kalau-kalau Liu Hwee datang bersama orang lain.
Akan tetapi setelah mendapat kepastian bahwa gadis puteri Beng-kauw ini
hanya seorang diri, apalagi tidak bersenjata, melainkan bertangan
kosong dan bertolak pinggang di situ, hatinya menjadi besar. Ia merasa
malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau orang lain menyaksikan keadaannya,
benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan merasa terhina oleh Sian
Eng itulah maka kini kemarahannya ia tumpahkan kepada Liu Hwee.
“Perempuan keparat! Kau mau apa?” bentaknya.
“Suma Boan mata-mata busuk. Mau menghukummu, apa lagi?”
Suma Boan berseru keras dan cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah
Liu Hwee mengelak dan balas menyerang. Suma Boan menyeringai karena
merasa betapa kakinya yang tadi dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan
kaku, membuat gerakannya kacau. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan,
dalam hal kematangan ilmu silat, kiranya Suma Boan lebih tinggi sedikit
daripada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi banyak macam ilmu dan sudah lebih
banyak pengalamannya bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Suma Boan
sedang merasa gelisah memikirkan keadaan Sian Eng. Selain itu, ia pun
masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih, ditambah lagi
cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa meremukkan
tulang kakinya. Oleh karena merasa kaku dan sakit-sakit kakinya, segera
Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu
Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Beracun). Ilmu silat ini ia warisi
dari It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Untuk mainkan ilmu silat ini,
ia hanya menggunakan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua
tangannya, dipakai menyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang
remeh jari-jari ini, karena ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung
hawa pukulan beracun yang sekali mengenai tubuh lawan dapat
mengakibatkan maut datang menjemput.
Melihat datangnya serangan
yang mengeluarkan angin berciutan serta melihat uap hitam yang
mengepul dari jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw
yang sakti maklum dan dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu
pukulan jahat dan ganas. Ia tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji
ini, cepat menggunakan gin-kang dan kegesitan tubuhnya untuk mengelak
ke sana ke mari mencari kesempatan membalas. Ia maklum bahwa kalau
tangannya sampai terbentur jari-jari itu, ia akan terluka oleh racun
berbahaya.
Suma Boan menjadi makin penasaran dan melihat
lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya, ia menjadi makin ganas.
Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke manapun juga Liu Hwee
mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka sehingga
pemuda itu kehilangan kegesitannya. Andaikata tidak demikian, agaknya
tidak mudah bagi Liu Hwee untuk dapat menyelamatkan diri.
Pertandingan ini berjalan setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak
lelah. Memang ia sudah lelah sekali, dan kakinya makin sakit. Namun
berkat ilmu pukulannya yang dahsyat dan keji, Liu Hwee belum sempat
membalas dan selalu menyelamatkan diri. Hal ini dimengerti oleh Suma
Boan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau ia
mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak mempedulikan
rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali dan ia betul-betul terdesak
ketika ia mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak sampai di
ujung perahu dan agaknya tidak ada jalan keluar lagi baginya.
“Ha-ha-ha, bocah sombong. Ke mana lagi kau akan lari?” Suma Boan
mengejek, lalu menerjang maju dengan tusukan kedua jari tangan
kanannya sambil memekik, “Hiaaaaattttt!” Hebat bukan main serangan ini
dan Liu Hwee sudah berada di pinggir perahu, kalau ia melompat ke
belakang tentu ia akan jatuh ke dalam air!
Namun gadis yang
tenang dan gesit gerakannya ini dapat melihat bahwa betapapun hebat dan
berbahayanya serangan lawan ini, ia dapat melihat bahwa Suma Boan sudah
kehilangan kecepatannya. Maka dengan tenang dan tabah ia miringkan
tubuh secepat kilat setelah ujung kedua jari berbahaya itu sudah
mendekati dadanya. Kedua ujung jari itu lewat hampir mengenai bajunya
dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan kirinya mencengkeram pergelangan
tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan hilang kagetnya menyaksikan
gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang perkasa itu telah
mengerahkan tenaga, serentak menarik dengan lwee-kang sepenuhnya
sambil menggerakkan dan melepaskan lengan itu. Suma Boan memang sudah
lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apalagi ia tidak mengira sama
sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan melakukan
perbuatan ini. Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat,
tubuhnya yang ketika menusukkan jari tadi memang sudah condong ke depan
dan kaki kanannya juga terangkat ke depan, tak dapat ia pertahankan
lagi, terlempar dan.... “byurrrrr!” air sungai muncrat tinggi ketika
tertimpa tubuh Suma Boan yang cukup berat.
Liu Hwee yang memang
curiga bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw,
cepat memasuki bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak
seorang pun manusia. Ia memeriksa cepat dengan pandang matanya, namun
tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Lalu ia melompat keluar lagi,
juga tidak melihat Suma Boan. Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam
ke dalam sungai. Gadis ini lalu menggerakkan kedua kakinya melompat ke
darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun merasa lelah sekali karena
semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan pertandingan tadi
sudah memeras banyak tenaganya.
Tentu saja tidak benar dugaan
Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai. Pemuda
bangsawan ini terlalu cerdik dan licin untuk dapat ditewaskan secara
begitu mudah. Karena maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah
seperti itu tak mungkin ia dapat melakukan perlawanan lagi, pula karena
khawatir kalau-kalau Liu Hwee menanti di pinggir perahu dan siap
menyerangnya dengan serangan maut apabila ia hendak kembali ke perahu,
Suma Boan lalu menyelam dan bersembunyi di bawah perahu dengan hanya
mengeluarkan hidung dan mulutnya di permukaan air. Dari bawah ia
melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya
terdapat orang bergin-kang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap
Sian Eng membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi, goyangan perahu
hanya sebentar saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka
Suma Boan lalu naik ke perahu, melalui tambang yang tergantung ke bawah.
Dengan hati-hati ia melompat naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada
bahaya mengancam. Terhadap Liu Hwee ia tidak begitu takut, akan tetapi
ia ngeri memikirkan sepak terjang Sian Eng.
Namun di perahu itu
sunyi saja, tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan berindap-indap
memasuki kamar perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya serasa
tertusuk, penuh kekecewaan, penasaran, dan kemarahan. Tak perlu ia
mencari lagi. Terang bahwa dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan
kemudian ia rampas, ketika tadi jatuh dari dalam saku bajunya, telah
diambil kembali oleh Sian Eng yang sekarang telah pergi entah ke mana!
“Perempuan laknat!” Suma Boan menyumpah-nyumpah sambil menanggalkan
pakaiannya yang basah untuk diganti dengan yang kering. Kemudian ia
duduk di atas dipan dan termenung. Sian Eng telah ia nodai dan ada dua
akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini. Pertama, gadis itu akan
merasa menjadi isterinya walaupun tidak sah dan inilah yang ia harapkan
ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apabila begini akibatnya,
tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang menyerahkan
diri dan kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya dengan
sah agar kitab-kitab itu dan terutama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng
dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi akibat
ke dua mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama
sekali, dan gadis itu akan merasa sakit hati kepadanya lalu memelihara
dendam kesumat yang tiada habisnya terhadap dirinya. Memikirkan akibat
ke dua ini, Suma Boan bergidik.
“Dua buah kitab itu telah
kulihat sepintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan yang
sebuah lagi ilmu pedang. Akan tetapi Sian Eng telah memiliki tenaga
kecepatan dan gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mungkin ia
pelajari dari dua buah kitab itu, apalagi hanya dalam waktu dua pekan.
Agaknya banyak rahasia aneh di dalam gua itu. Aku harus memberi tahu
suhu.... ah, tidak, kalau suhu yang menemukan semua itu, tentu takkan
diberikan kepadaku....” Demikianlah, Suma Boan melamun dan memeras
pikirannya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan
baik dan kalau kesempatan ini terbuka, ia sendiri yang akan menyelidiki
ke dalam gua. Akan tetapi untuk itu ia harus membuat persiapan. Sebelum
melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia harus menemui gurunya dan
kebetulan gurunya akan membuat pertemuan di puncak Thai-san. Maka
berangkatlah Suma Boan ke arah Thai-san.
Adapun Sian Eng,
setelah melempar keluar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar
dua buah kitab dan selagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia
mempergunakan kesempatan itu untuk melesat keluar dari jendela bilik
perahu, terus melompat ke darat dan melarikan diri sambil menangis
tersedu-sedu sepanjang jalan. Akan tetapi, kadang-kadang ia tertawa dan
memaki-maki diri sendiri. Mulai saat itu, apabila teringat akan
nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian Eng menjadi berubah
tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa berganti-ganti. Tujuan
hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal
ihwalnya ini, untuk mengadukan penasarannya dan mohon kepada kakak
tirinya untuk membalaskan dendamnya. Akan tetapi apabila ia dalam
keadaan tenang, ia hanya menangis perlahan dan termenung-menung, akan
tetapi sifat liar itu lenyap. Dengan cepat Sian Eng yang pernah
mendengar tentang niat Suling Emas mewakili ibunya ke Thai-san, juga
menyusul ke Thai-san untuk bertemu dengan Suling Emas.
Demikianlah, setelah tiba di lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia
yang berada di bawah jurang melihat orang jatuh meluncur dari atas.
Betapapun berubahnya watak Sian Eng, melihat orang terancam maut ini,
tak dapat ia berpeluk tangan, timbul sifat satria keturunan ayahnya. Ia
lalu mempergunakan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ternyata ia berhasil
menolong Bok Liong. Ketika melihat bahwa yang ia tolong adalah Lie Bok
Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya karena ia merasa bahwa ia
telah menjadi seorang yang terhina, maka tanpa banyak cakap ia lari
meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki puncak
dengan kecepatan luar biasa.
***
“Bagus, bagus sekali!
Heh-heh-heh-heh!” Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di
lain bagian dari lereng Gunung Thai-san, keluar dari sebuah hutan yang
penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan
tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.
“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti
ini, aku memukul tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang,
heh-heh-heh-heh!” Suara itu berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata
suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek lucu, yang bukan
lain adalah Gan-lopek. Dia berdiri menari-nari kegirangan, mengangkat
ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang
sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada
dua batang pohon di kanan kiri. Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan
bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat
dengan gesit dan dengan pengerahan gin-kang yang luar biasa. Kini gadis
itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya
berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!
Mendengar ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa
bangga dan girang akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang
dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek sambil bertolak pinggang
dan mulutnya cemberut.
“Apa kaubilang, Kek? Kau mau anggap aku
seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini
memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya jinjit (berdiri di ujung
jari) sambil berkata lagi, “Hayo kaulayani hasil latihanku, Kek!”
Setelah berkata demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin
bertindak maju dan kedua tangannya diangkat seperti orang memberi
hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan, mengarah dada
Gan-lopek.
“Ehhh, jangan....!” Gan-lopek kaget setengah mati dan
cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan ketika mendengar
desir angin yang dahsyat keluar dari pukulan gadis itu. Hawa pukulan
yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan.... “kraaakkkkk!”
patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek
tadi!
“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuhku, bocah liar?”
Sejenak Lin Lin sendiri tertegun menyaksikan hebatnya akibat
pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri
dan merangkul pundak si kakek sambil tertawa-tawa.
“Masa aku hendak membunuhmu, Kek? Andaikata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”
“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang main-main, Lin Lin, pukulan-pukulanmu
hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau sudah berhasil. Selamat,
selamat....”
“Kek, banyak terima kasih. Kaulah yang memberi
petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai tenaga sin-kang
yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih ilmu-ilmu
pukulan ini.”
“Hemmm, entah iblis mana yang sudah menurunkan
ilmu iblis ini kepadamu. Biarpun kau tidak memberi tahu dan aku pun
tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kaulatih ini
adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang
dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!” Tiba-tiba empek ini meloncat
dan memukul-mukul kepalanya sendiri. “Wah-wah-wah, keenakan
bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa
waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak, jangan-jangan kita akan
terlambat menonton pertunjukkan yang terhebat di kolong langit!” Setelah
berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak
lari cepat. Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas
tangannya dan berkata.
“Kakek Gan, hayo kita berlumba lari cepat ke puncak!”
Maka berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis
beterbangan, cepat bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa.
Diam-diam kakek ini kagum bukan main, mulailah ia meragu apakah pilihan
muridnya ini tepat, karena ia melihat sifat-sifat liar dan tak mau
ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan muridnya, Lie Bok Liong,
adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.
Sementara
itu, dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain daripada yang dipikirkan
Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia
selalu memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam
perasaan. Ia marah dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan
seperti marah-marah kepadanya padahal ia memukul roboh seorang
perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas. Mengapa Suling Emas
marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan yang
hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu
bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah
perempuan yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya
kepada Suling Emas? Perempuan macam itu harus dibunuh! Berani mencinta
Suling Emas! Dan berani bersumpah hendak membunuh isteri Suling Emas.
Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada tentu.... dirinya! Berpikir
sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia menarik napas
panjang, pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung
perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan
tetapi wajahnya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa
perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang
lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.
Selain marah dan
penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir
dan gelisah. Oleh karena itu, ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan
Suling Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia
seakan-akan hendak terbang agar dapat cepatcepat sampai ke puncak dan
bertemu dengan pujaan hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan
pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut
sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.
Baik kita
tinggalkan dulu Lin Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat menuju
puncak itu untuk sejenak menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama
kita tinggalkan.
Ketika Suling Emas menyaksikan dan mendengar
sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan kuburan
mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya
perasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang
merupakan malapetaka besar. Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya,
sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara
mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan
Lian dan dia. Akan tetapi agaknya kini timbul lagi hal lain yang
mencelakakan, yaitu kenyataan pahit bahwa gadia baju hijau, ahli pedang
itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka dua belas! Dan Tan Lian
bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh isteri dan
anak-anaknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas,
betapa duka dan menyesalnya. Akan tetapi percobaan yang menimpa
hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan
menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya. Pukulan yang dahsyat
itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan
Pat-jiu Sin-ong, hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja
tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan
Lian. Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja di
Raja Obat di lereng Thai-san. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu
memondong tubuh Tan Lian dan setelah menegur Lin Lin, ia melesat pergi
meninggalkan Lin Lin. Ada tiga hal yang membuat ia sengaja
meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat,
yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng
Thai-san, ke dua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu
dengan para anggauta Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ke tiga adalah
karena ia sengaja hendak menjauhi Lin Lin! Ia merasa betapa besar
bahayanya kalau ia terus melakukan perjalanan bersama gadis itu. Gadis
remaja itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang kepadanya,
membayangkan cinta berahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun
membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan. Dekat
dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai bunga yang indah
jelita, yang semerbak mengharum, yang mendatangkan rasa suka di hati,
mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya untuk mempertahankan hati.
Lebih berat daripada menghadapi seratus orang lawan tangguh. Ia maklum
bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang
normal takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu
cantik jelita, dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma
Ceng, dengan watak yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan
hati yang putih bersih tak ternoda sedikit pun kekotoran duniawi. Kalau
dilanjutkan pergaulannya dengan Lin Lin, akhirnya sifat egonya
(mementingkan diri sendiri) akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi
demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin
Lin, sebagai pengganti Suma Ceng. Akan tetapi, bukanlah demikian dasar
perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin Lin. Gadis itu
masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu tua
untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apalagi
setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin
menyeret orang lain, apalagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai
dendam yang mengerikan itu.
Demikianlah, dengan batin menderita
Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui
bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini
merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar
bahayanya kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi. Suling
Emas yang berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis
itu memukul Tan Lian secara demikian ganas. Sebagai seorang yang
berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu dan
hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya!
Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula
mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian mencinta
Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya
mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena....
cemburu pula!
Ketika berhenti sebentar di pinggir sebuah sungai
kecil di luar hutan, untuk sekedar menyegarkan tubuh dan minum, Tan Lian
mengerang perlahan dan membuka matanya. Gadis itu dibaringkan oleh
Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera menghampiri.
“.... kau....?” Tan Lian terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok
kedua matanya dengan tangan, seakan-akan meragukan pandang matanya,
serasa dalam mimpi.
Suling Emas menggerakkan tangannya, mencegah
gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia lakukan ini
karena begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan tidak kuat
bangun.
“Kau terluka hebat, harap jangan bergerak! Aku sedang
membawamu ke Thai-san, untuk minta pertolongan Kim-sim Yok-ong (Raja
Obat Berhati Emas). Kau tenanglah. Tan-siocia (Nona Tan), kurasa Yok-ong
akan mampu menyembuhkanmu.”
Tan Lian nampak gelisah. “Kau.... kau mendengar semua....?”
Suling Emas dapat menduga apa yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik
napas panjang, mengangguk dan berkata halus. “Aku mendengar semua, akan
tetapi sekarang juga sudah lupa lagi apa yang kudengar.” Jawabannya ini
berarti bahwa hal-hal yang ia dengar diucapkan gadis itu tidak
dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia ceritakan kepada orang lain.
Biarpun Tan Lian maklum akan arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah
lagi ia merasa berduka dan malu. Air matanya mengucur keluar dan ia
menangis terisak-isak.
Suling Emas menarik napas panjang lagi.
Ia tahu apa yang menyebabkan gadis ini menangis, maka ia tak dapat
bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis baju
hijau yang gagah perkasa ini. Ia maklum bahwa Tan Lian adalah seorang
pendekar wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi daripada
Lin Lin. Kalau saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat
dalam tongkat pusaka Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan
Lian, apalagi hanya dengan sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu
benar-benar hebat dan berbahaya sekali, lagi ganas dan dahsyat.
Jangankan Tan Lian, dia sendiri kalau ilmu itu sudah terlatih baik oleh
Lin Lin, tidak akan mudah dapat mengalahkannya.
Pat-jiu Sin-ong
tidak percuma terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu, dan
ilmu yang ia ciptakan itu merupakan inti sari daripada semua kepandaian
yang menjadi ilmu pusaka Beng-kauw!
“Tenanglah, Nona. Memang
nasib kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan oleh
orang-orang tua kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik
ayahmu maupun ibuku sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur
riwayat mereka bersama jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan
nasib kita dengan riwayat dan urusan mereka? Ah, Nona Tan, kuharap kau
tidak berpemandangan sesempit itu....”
Tan Lian menghentikan
tangisnya, memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika
berkata, “Berpemandangan sempit? Kau.... kau tidak merasakan, tentu saja
pandai mencela! Di dunia aku hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian
ayah karena dibunuh ibumu membuat aku sebatangkara. Kausalahkan aku
kalau aku bersumpah mendendam dan hendak membalas kematian ayah? Akan
tetapi Thian tidak menaruh kasihan kepadaku. Aku terlambat!” Suaranya
terisak. “Aku terlambat setelah aku berlatih dengan susah payah selama
bertahun-tahun, setelah aku rela tinggal seorang diri...., tidak mau
menikah.... menjadi perawan tua.... semua ini hanya untuk satu tujuan,
yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup kuat dan
hendak mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan
tentang keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain
menimpakan dendam kepadamu? Tapi.... aku tidak becus.... aku.... aku
tidak mampu mengalahkanmu....” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.
Suling Emas mengerutkan keningnya. Ia dapat membayangkan penderitaan
batin yang selama ini menimpa diri Tan Lian. Memang benar hebat dan
berat sekali dan diam-diam ia memuji kebaktian Tan Lian yang demi untuk
berbakti kepada ayahnya sampai berkorban sedemikian rupa,
menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi seorang gadis
yang sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun,
padahal gadis ini cantik dan gagah, tentu dalam usia tujuh belas atau
delapan belas sudah menjadi isteri orang kalau saja ayahnya tidak
meninggal, terbunuh oleh ibunya!
“Tan-siocia harap kau jangan
berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur sampai di
mana puncaknya, dan siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai
tingkat yang lebih tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang
lebih tinggi lagi. Andaikata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan
mampu menandinginya, karena biarpun kau telah menggembleng dirimu
belasan tahun lamanya, ibuku pun terus memperdalam ilmunya selama
puluhan tahun!”
“Lebih baik kalau aku tewas dalam usahaku
membalas ibumu, daripada seperti sekarang ini....” ia terisak. “....
tidak seja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau.... kau tidak
membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan ini,
lebih baik kaubunuh aku!”
“Nona, di antara kita tidak ada
permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak, aku, tidak akan
berpemandangan begitu picik. Dan kuharap kau pun dapat sadar akan hal
ini, bahwa di antara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita
saling benci dan saling bermusuhan.”
“Akan tetapi...., aku sudah bersumpah.... untuk membunuh isterimu....”
“Jangan khawatir, aku tidak beristeri,” kata Suling Emas, tersenyum.
“Tapi wanita yang memukulku itu? Ah, dia tentu tunanganmu!”
Suling Emas kembali menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.
“Tapi, jelas dia mencintamu!”
Suling Emas kaget bukan main mendenger pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa Lin Lin mencintanya?
“Hemmm, mengapa kau berkata demikian?” katanya, suaranya tenang saja, padahal jantungnya berdebar keras.
“Dia cemburu kepadaku.... eh, kumaksudkan....” Tan Lian menjadi gugup
sekali karena tanpa ia sengaja atau sadari, ia sendiri sudah membuka
rahasia hatinya.
“Tak mungkin, Nona. Dia adalah adik tiriku!”
Tan Lian tercengang dan entah mengapa, tiba-tiba wajahnya berseri
gembira! Akan tetapi hanya sebentar, karena ia lalu menghela napas dan
berkata dengan lirih dan berat, “Aku sudah bersumpah memusuhimu, tak
perlu kau berlaku baik kepadaku, tiada gunanya. Lebih baik aku mati
saja, tak perlu kaucarikan orang pandai untuk berobat.”
“Hemmm, mengapa kau begini putus harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup....”
“Muda, katamu? Seorang wanita sudah berusia.... seperti aku, kaubilang
masih muda? Aku adalah perawan tua. Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup
hanya menjadi bahan ejekan? Sebatangkara, tiada keluarga, tugas pun
terbengkalai tak terpenuhi, apa artinya hidup? Aku sudah tua!” kembali
air matanya mengalir turun.
“Kau masih muda, Nona Tan. Muda dan
cantik jelita lagi gagah perkasa. Kurasa, dia yang merasa dirinya
pandai dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan berebutan untuk
mendapatkan perhatianmu, dan akan merasa bahagia sekali kalau menjadi
pilihanmu.”
Sepasang pipi gadis itu tiba-tiba menjadi merah,
matanya memandang lebar-lebar ke arah Suling Emas seakan-akan hendak
menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati yang jujur. Melihat
sepasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan
kejujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap. “Be....
betulkah....?”
Suling Emas lega hatinya. Ia mengangguk
meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan Lian lagi sambil
berkata, “Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera sampai di
Thai-san. Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti ini.”
Di dalam pondongan pemuda itu, Tan Lian termenung-menung. Dia masih
belum beristeri, usianya sudah lanjut pula, tentu lebih tua beberapa
tahun daripada dia sendiri! Permusuhan antara orang tua tentu saja akan
hapus kalau mereka menjadi suami isteri! Dia begitu baik, begini gagah
perkasa, dan bukankah dia tadi memuji-muji bahwa aku cantik jelita dan
gagah? Bukankah pujian yang keluar dari mulut seorang laki-laki, pujian
yang bukan hanya kosong, yang keluar dari hati sejujurnya, menjadi
bayangan daripada cinta kasih?
Makin muluk-muluk lamunan Tan Lian sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak di dalam pondongan Suling Emas.
Di lereng Thai-san yang agak tersembunyi, di bagian yang paling sunyi
karena hanya penuh dengan hutan-hutan belukar, terdapat sebuah pondok
sederhana dan bersih, mempunyai banyak jendela sehingga di dalam pondok
itu hawanya sejuk segar. Inilah tempat tinggal Kim-sim Yok-ong, seorang
kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya
tetap segar berseri dan kemerahan seperti wajah seorang pemuda remaja,
sepasang matanya bersinar-sinar dan bentuknya indah seperti mata wanita
cantik. Jari-jari tangannya halus dan runcing seperti tangan seorang
terpelajar, gerak-geriknya halus, tutur sapanya ramah dan sopan,
pakaiannya sederhana dan dari kain murah, akan tetapi bersih sekali,
sebersih kuku-kukunya dan rambutnya. Inilah dia Kim-sim Yok-ong yang
namanya terkenal di seluruh jagat, yaitu nama sebutannya, bukan nama
aselinya karena nama aselinya tidak ada yang tahu. Ia dijuluki Kim-sim
(Hati Emas) karena kakek ini menolong kepada siapa saja yang perlu
ditolong, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, tanpa pamrih, tanpa
syarat seolah-olah hatinya terbuat daripada emas yang amat berharga
penuh dengan cinta kasih akan sesamanya. Di samping ini ia disebut
Yok-ong (Raja Obat) karena ilmu pengobatan yang ia miliki benar-benar
luar biasa sekali sehingga banyak orang bilang bahwa tidak ada penyakit
di dunia ini yang tidak bisa diobati dan disembuhkan oleh Kim-sim
Yok-ong! Karena kebaikan hatinya yang tidak pandang bulu dan tidak pilih
kasih inilah agaknya maka semua orang di dunia ini, termasuk mereka
yang memiliki watak kasar dan buruk, semua segan-segan dan tidak berani
mengganggunya. Bukan tidak berani terhadap Kim-sim Yok-ong sendiri yang
tak pernah dilihat orang bermain silat, akan tetapi tidak berani karena
sekali dia mengganggu Kim-sim Yok-ong, tentu ia akan berhadapan dengan
seluruh tokoh di dunia kang-ouw, baik tokoh kanan maupun kiri, tokoh
putih maupun hitam, para pendekar maupun penjahat! Agaknya Kim-sim
Yok-ong sudah menjadi “milik” semua orang yang akan membelanya
mati-matian!
Akan tetapi, tidaklah sering raja obat ini
dikunjungi orang yang hendak berobat. Pertama, karena tempat tinggalnya
sering kali berpindah-pindah dan selalu ia memilih lereng-lereng gunung
yang tinggi dan yang mempunyai tetumbuhan yang mengandung obat. Ke
dua, kepandaiannya yang istimewa adalah khusus untuk mengobati
orang-orang terluka oleh pukulan-pukulan, oleh senjata-senjata rahasia
atau oleh racun-racun. Dalam hal inilah ia memang memiliki kepandaian
istimewa. Adapun kepandaiannya mengobati orang-orang sakit biasa,
tidaklah istimewa, sama dengan tabib-tabib yang banyak terdapat di
kota-kota. Oleh karena itu pula maka hanya para anggauta dunia kang-ouw
saja yang selalu mencari dan minta tolong kepada Kim-sim Yok-ong. Dan
justeru ini pula yang membuat namanya terkenal di antara para tokoh
kang-ouw.
Bahkan tak boleh disangkal lagi, enam iblis Thian-te
Liok-kai yang kini tinggal lima orang saja itu, sengaja memilih puncak
Thai-san sebagai tempat mengadu ilmu karena pada waktu itu Kim-sim
Yok-ong berada di gunung itulah. Hal ini penting sekali karena mereka
maklum bahwa pertandingan adu ilmu di antara mereka tentu sedikitnya
akan mengakibatkan luka-luka yang parah dan mengerikan, dan hanya
Kim-sim Yok-ong saja yang akan mampu mengobati.
Pada pagi hari
itu, selagi Kim-sim Yok-ong mengatur akar-akar obat di atas genteng
depan rumah untuk dijemur, datanglah Suling Emas yang memondong tubuh
Tan Lian. Sudah dua hari dua malam gadis itu berada dalam keadaan
pingsan maka Suling Emas tidak pernah berhenti, berlari cepat siang
malam sehingga ketika ia tiba di situ, keadaan pendekar ini lesu dan
lemah, tubuhnya lelah sekali, tangannya kaku-kaku dan kakinya gemetar.
“Ayaaaaa....! Kiranya Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) yang datang!
Ah, lagi-lagi kau melupakan kesehatan sendiri, sedikitnya dua hari dua
malam tak pernah berhenti berlari untuk menolong seseorang.
Kim-siauw-eng, orang seperti engkau ini amat diperlukan dunia, dan
berbahagialah engkau karena hidupmu telah kauisi dengan kemanfaatan bagi
dunia. Bawalah dia masuk, sebentar aku menyusul!”
Suling Emas
mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.” Lalu ia melangkah memasuki pondok
dan merebahkan tubuh Tan Lian di atas sebuah pembaringan di sudut
ruangan. Sedikit gelisah juga hati Suling Emas menyaksikan keadaan Tan
Lian yang sudah pucat sekali mukanya, tubuhnya dingin dan kaku
seakan-akan sudah mati. Hanya napasnya yang lemah saja yang membuktikan
bahwa gadis itu masih hidup. Diam-diam Suling Emas berdoa semoga gadis
itu tidak mati oleh pukulan maut Lin Lin, karena kalau hal ini terjadi,
ia akan merasa berdosa dan makin menyesal mengingat bahwa semua ini
adalah akibat daripada perbuatan ibu kandungnya yang lalu.
Tak
lama kemudian Raja Obat itu memasuki pondok dengan langkah perlahan dan
tenang sekali. Suling Emas sudah mengenal watak Raja Obat ini, maka ia
pun diam saja dan menanti sampai orang tua itu melakukan pemeriksaan.
Kim-sim Yok-ong menghampiri sebuah tempayan air di sudut luar, mencuci
kedua tangannya, kemudian menyusutnya dengan kain bersih. Barulah ia
menghampiri Tan Lian tanpa menoleh ke arah Suling Emas yang masih
berdiri di dekat pembaringan. Tabib sakti itu membungkuk, memandangi Tan
Lian dengan kening berkerut, mengulur tangan kiri menekan nadi tangan
gadis itu dan tangan kanannya meraba-raba pundak dan leher.
“Uhhhhh....!” katanya, agak tercengang. “Aku mendengar berita bahwa
Pat-jiu Sin-ong sudah meninggal dunia! Bagaimana nona ini bisa terkena
pukulannya beberapa hari yang lalu?”
Suling Emas tidak merasa
heran mendengar ini, sungguhpun ia menjadi makin kagum saja. Tidak ada
akibat pukulan yang bagaimana hebat pun di dunia ini yang tidak dikenal
oleh Kim-sim Yok-ong!
“Bukan, Locianpwe. Pat-jiu Sin-ong memang sudah meninggal dunia dan tidak melakukan pukulan terhadap nona ini.”
Kakek itu memandang dan tahulah ia bahwa Suling Emas tidak ingin bicara
tentang pemukul nona ini. Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Siapapun juga pemukulnya, sudah pasti bukan Beng-kauwcu Liu Mo, juga
bukan Kauw Bian Cinjin. Kalau bukan Pat-jiu Sin-ong, entah siapa yang
mampu melakukan pukulan ini. Hemmm, siapapun juga, dia menggunakan
pukulan Beng-kauw dan aneh sekali bahwa kau yang membawanya ke sini
untuk kuobati.”
Ucapan ini tidak langsung, namun diam-diam
Suling Emas mengerti bahwa kakek itu sudah tahu segalanya, sudah
mendengar bahwa dia adalah putera Tok-siauw-kui dan cucu Pat-jiu
Sin-ong. Alangkah cepatnya berita tersiar, tidak heran bahwa tokoh-tokoh
kang-ouw mencari dan hendak mengeroyoknya. Apalagi kalau diingat bahwa
banyak tokoh kang-ouw mengunjungi kakek ini untuk minta obat.
“Kau keluarlah dulu, Kim-siauw-eng, biar kucoba untuk mengobati nona ini.”
Suling Emas lalu mengangguk, melangkah keluar dan duduk di atas sebuah
batu hitam yang terdapat di depan pondok itu. Memang di depan pondok
terdapat sekumpulan batu-batu besar yang beraneka warna. Inilah sebuah
di antara kesukaan Kim-sim Yok-ong, yaitu mengumpulkan batu-batu yang
licin halus dan aneh-aneh macam serta warnanya.
Lebih dua jam
Suling Emas menanti, belum juga ada berita dari dalam. Ia melamun dan
bermacam pikiran menggodanya, terutama sekali pikiran tentang diri Lin
Lin! Ia merasa amat sayang dan kasihan kepada gadis remaja itu, malah
hampir ia jatuh cinta! Berulang kali Suling Emas menarik napas panjang,
bukan sekali-kali menyesali nasibnya, melainkan menyesal mengapa
setelah ibunya menjadi sebab kegegeran dunia, kini diamenjadi sebab
pula kegegeran hati gadis-gadis cantik.
Tiba-tiba terdengar
suara ketawa seperti suara katak di musim hujan. Suling Emas cepat
mengangkat muka dan kaget serta herannya bukan main ketika ia melihat
dua orang kakek sudah berdiri dalam jarak lima meter di depannya,
masing-masing kakek itu memegang leher baju seorang penduduk gunung.
Yang membuat Suling Emas kaget dan heran adalah betapa kedua orang kakek
itu dapat datang tanpa ia ketahui sama sekali, tahu-tahu sudah berada
di situ. Terlalu dalamkah ia tadi tenggelam dalam lamunannya sehingga ia
tidak mendengar kedatangan mereka, ataukah mungkin mereka itu luar
biasa saktinya? Akan tetapi sepanjang ingatannya, hanya Bu Kek Siansu
saja yang pandai datang dan pergi tanpa ia ketahui!
Ia memandang
penuh perhatian. Seorang di antara dua kakek itu rambut dan jenggotnya
panjang berwarna putih seperti perak, bahkan alis matanya juga putih,
jubahnya panjang dan putih pula. Pendeknya, tidak ada warna lain
terdapat pada diri kakek ini, malah kulitnya kalau diperhatikan juga
luar biasa putihnya, seakan-akan tidak ada darah di bawah kulit itu.
Diam-diam Suling Emas kaget. Orang ini membayangkan tenaga sin-kang yang
mujijat, akan tetapi bagaimana seorang dengan kepandaian sehebat ini
belum pernah ia jumpai dan tidak ia kenal sama sekali? Kemudian
perhatiannya teralih kepada orang ke dua. Dia ini juga seorang kakek
tua, rambutnya awut-awutan, kumis dan jenggotnya tebal panjang. Akan
tetapi berbeda dengan kakek pertama yang rambutnya serba putih, kakek
ini rambut dan jenggotnya kemerah-merahan, juga pakaiannya serba merah,
sepatu rumputnya merah, kulit badannya juga kemerahan seakan-akan
setiap hari dibakar matahari! Yang membuat Suling Emas diam-diam
terkesiap hatinya adalah ketika ia melihat mata kedua orang kakek itu.
Kakek pertama matanya putih hampir tidak kelihatan bagian hitamnya, akan
tetapi kakek ke dua matanya merah dan hampir tidak tampak bagian
putihnya. Benar-benar dua orang kakek yang luar biasa sekali. Jangankan
bertemu mereka, mendengar tentang mereka pun belum pernah!
Kedua orang kakek itu masih tertawa-tawa, dan kedua orang penduduk
gunung yang dicengkeram leher bajunya itu kelihatan ketakutan sekali.
“Hah, biruang busuk, benar inikah rumah Kim-sim Yok-ong?” tiba-tiba si
kakek putih bertanya kepada orang yang dicengkeramnya. Orang itu
mengangguk-angguk, dengan tubuh gemetar dan biarpun mulutnya
bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.
“Huah-hah-hah, si tabib memelihara anjing untuk menjaga pondok
agaknya!” kata si kakek merah sambil menudingkan telunjuk ke arah Suling
Emas. “Biar kuusir dulu anjing itu, menyebalkan benar!” Setelah
berkata demikian, kakek merah ini tiba-tiba menggerakkan tangan
kanannya seperti orang mendorong ke arah Suling Emas yang masih duduk
di atas batu hitam. Terdengar suara bercuitan menyambar ke arah Suling
Emas. Pendekar ini kaget dan kagum juga menyaksikan pukulan jarak jauh
yang demikian dahsyat, akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan
tenang Suling Emas yang biasa menghormat kaum tua, sengaja tidak mau
menangkis, melainkan ia dalam keadaan masih bersila tubuhnya, melayang
ke atas mengelak pukulan dan seperti seekor burung, tubuhnya yang masih
duduk bersila itu hinggap pada batu lain di sebelah kiri.
Pukulan jarak jauh itu tidak mengenai dirinya, akan tetapi terdengar
suara keras dan.... batu hitam tempat duduk Suling Emas tadi pecah-pecah
dan di antara muncratnya batu itu tampak cahaya berapi yang panas luar
biasa!
“Anjing penjaga yang baik....!” seru kakek putih dan
dengan mulut menyeringai memperlihatkan deretan giginya yang putih
berkilauan, kakek ini pun menggerakkan tangan kanannya mendorong ke
arah Suling Emas.
***
Pendekar ini masih belum hilang
kagetnya menyaksikan akibat pukulan jarak jauh si kakek merah yang
benar-benar dahsyat itu, pukulan yang mengandung tenaga raksasa penuh
hawa panas membakar yang sekali mengenai tubuh manusia akan membuat
tubuh itu tidak hanya remuk akan tetapi juga terbakar! Kini melihat
datangnya pukulan jarak jauh yang sama sekali tidak bersuara namun
membuat rumput-rumput di atas tanah yang dilalui seketika menjadi layu,
ia cepat-cepat menggerakkan tubuhnya melompat tinggi dan kemudian turun
berdiri dengan keadaan siap siaga.
Ia melihat betapa batu yang
didudukinya bergoyang-goyang sedikit, akan tetapi tidak pecah seperti
tadi, malah tampaknya tidak apa-apa. Tadinya ia mengira bahwa kepandaian
kakek putih itu kalah jauh oleh kakek merah, akan tetapi tiba-tiba si
kakek merah berseru. “Wah-wah, agaknya kau berusaha keras mengalahkan
aku. Huah-hah-hah!”
Suling Emas kaget dan melihat lagi. Matanya
terbelalak kelika ia melihat batu besar yang disangkanya tidak apa-apa
itu, kini mulai bergerak-gerak tak lama kemudian runtuh dan kiranya
sudah hancur menjadi debu! Diam-diam ia kaget sekali. Dua orang kakek
ini benar-benar merupakan orang-orang yang paling sakti yang pernah ia
jumpai atau dengar, kecuali tentu saja Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek
itu memang boleh disejajarkan dengan manusia biasa.
Cepat ia menjura penuh penghormatan sambil berkata.
“Mohon maaf sebesarnya bahwa karena teecu (murid) tidak mengenal siapa
adanya Ji-wi Locianpwe (Dua Kakek Sakti), maka terlambat untuk
mengadakan penyambutan. Teecu juga hanya seorang tamu dari luan rumah
Kim-sim Yok-ong yang kini sedang sibuk mengobati orang sakit. Harap
Ji-wi (Tuan berdua) sudi menunggu, biarlah teecu menyingkir kalau
kehadiran teecu tidak menyenangkan hati Ji-wi.”
Biarpun maklum
bahwa dua orang kakek itu sakti luar biasa, akan tetapi tentu saja
Suling Emas tidak merasa takut. Ucapannya yang sopan dan mengalah
bukanlah bayangan daripada rasa takut, melainkan bayangan daripada
sikapnya yang menghormat orang asing yang lebih tua, dan juga karena ia
sedang menghadapi tugas penting mewakili ibunya menghadapi
anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai, maka dia tidak mau mencari perkara
lain yang akan mengacaukan tugasnya.
“Huah-hah-hah, orang muda
ini boleh juga. Heh, orang muda, kami datang karena mendengar nama
besar Kim-sim Yok-ong yang menjulang tinggi sampai ke langit. Akan
tetapi kami tidak percaya kalau tidak membuktikan sendiri sampai di mana
kepandaiannya. Kata orang, tabib sombong ini dapat menghidupkan lagi
orang mati terkena racun!”
Diam-diam Suling Emas mendongkol. Dua
orang kakek ini boleh jadi sakti, akan tetapi sikap mereka berandalan.
“Saya rasa berita itu tidak benar, Locianpwe. Sepandai-pandainya orang,
bagaimana bisa menghidupkan orang yang sudah mati? Akan tetapi memang
benar bahwa Kim-sim Yok-ong pandai sekali mengobati korban-korban segala
macam pukulan dan senjata beracun yang bagaimana parah sekalipun!”
“Huh, huh!” Si kakek putih, berbeda dengan si kakek merah yang selalu
tertawa mengejek, kalau bicara selalu bersungut-sungut. “Siapa mau
percaya? Coba dia sembuhkan akibat pukulanku ini!” Setelah berkata
demikian kakek putih ini melemparkan tawanannya ke atas tanah dan tangan
kirinya bergerak. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh orang gunung itu
tidak berkutik lagi, kaku kejang seperti sebatang balok.
“Huah-hah-hah, bagus! Memang tanpa diuji mana mau percaya? Andaikata dia
bisa menyembuhkan dia itu, tak mungkin dia bisa menyembuhkan orang
ini!” Ia pun mendorong tawanannya ke depan dan memukul. Kembali
terdengar jerit keras dan orang gunung ke dua ini berkelojotan di atas
tanah.
Suling Emas kaget dan marah, akan tetapi dua orang kakek
itu sudah berkelebat dan lenyap dari situ. Hanya gema suara ketawa
kakek merah yang masih terdengar. Ingin Suling Emas mengejar dan
menegur kakek itu, bahkan ia pun siap untuk mengadu kepandaian dengan
dua orang kakek yang kejam itu. Akan tetapi karena kedua orang penduduk
gunung yang tak berdosa itu berada dalam keadaan luka hebat dan maut
mengancam nyawa mereka, Suling Emas membatalkan niatnya mengejar,
kemudian cepat ia menghampiri dua orang korban untuk memeriksa
keadaannya.
Tercenganglah Suling Emas ketika menyaksikan keadaan
dua orang itu. Mereka sama sekali tidak terluka, akan tetapi keadaan
mereka sungguh mengerikan. Korban kakek putih masih tetap kaku kejang,
seluruh tubuhnya mulai berubah warna menjadi keputih-putihan dan
biarpun masih bernapas, namun ketika diraba terasa dingin seperti salju!
Sebaliknya, korban kakek merah berkelojotan, tubuhnya mulai
kemerahan-merahan, bahkan dari lubang-lubang tubuhnya mulai keluar asap
tipis dan kalau diraba darahnya panas seperti api! Melihat keadaan
mereka ini, cepat-cepat Suling Emas lari memasuki pondok untuk
memanggil Kim-sim Yok-ong. Ia maklum bahwa kakek itu sedang mengobati
Tan Lian dan biasanya ia pun tidak berani mendesak atau mengganggu si
raja obat. Namun karena keadaan memaksa, terdorong rasa kasihan
terhadap dua orang penduduk gunung yang tak berdosa ini, Suling Emas
segera berseru dari pintu.
“Locianpwe, harap lekas keluar, di sini ada dua orang korban yang membutuhkan pertolongan Locianpwe!”
Akan tetapi sebetulnya tidak perlu dia berteriak-teriak karena pada
saat itu kebetulan sekali Kim-sim Yok-ong keluar dari dalam ruangan
pengobatan sambil tersenyum. Begitu melihat kakek ini, teringatlah
Suling Emas akan keadaan Tan Lian maka cepat ia bertanya, “Bagaimana
dengan keadaan nona itu, Locianpwe?”
Lega hati Suling Emas.
Setelah mendengar bahwa Tan Lian tertolong, ia teringat kembali kepada
dua orang korban di luar. “Locianpwe, di luar ada dua orang korban yang
keadaannya amat berbahaya, harap Locianpwe sudi monolong orang-orang
yang tak berdosa itu.” Tanpa banyak cakap lagi Kim-sim Yok-ong lalu
melangkah cepat keluar pondok. Melihat dua orang menggeletak di
pekarangan rumahnya, yang seorang berkelojoikn dan yang kedua diam tak
bergerak kaku, ia cepat menghampiri dan memeriksa. Keningnya
berkerut-kerut dan ia menggeleng-gelengkan kepala, kadang-kadang
mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran dan kaget.
“Kim-siauw-eng, apakah yang terjadi di sini tadi?” tanyanya tanpa
menoleh kepada Suling Emas sambil memeriksa tubuh korban kakek putih
yang makin lama makin dingin tubuhnya itu. Dengan singkat Suling Emas
menuturkan tentang dua orang kakek aneh yang tadi datang. Mendengar ini,
tabib sakti itu mengeluarkan seruan aneh, bangkit berdiri dan
memandang Suling Emas dengan mata terbelalak.
“Agaknya mereka
itu bukan manusia!” serunya kaget. “Kalau mereka manusia, tokoh dari
golongan manapun juga, tentu pernah kulihat atau setidaknya kudengar
nama dan keadaannya. Akan tetapi selama puluhan tahun aku hidup, belum
pernah mendengar tentang seorang kakek putih dan seorang kakek merah.
Lebih hebat lagi, aku tidak mengenal pula pukulan-pukulannya terhadap
dua orang ini!” Ia menarik napas panjang. “Gunung Thai-san ini boleh
dibilang tinggi, namun puncaknya masih kalah tinggi oleh awan. Sungguh
segala sesuatu di dunia ini tak dapat diukur batasnya. Mereka itu
agaknya sengaja menantangku dan hendak menguji. Hemmm, orang-orang
sesat, nyawa manusia dibuat main-main! Butakah mereka sehingga tidak
melihat bahwa mati hidupnya seseorang bukan sekali-kali tergantung
daripada kepandaianku mengobati, melainkan tergantung sepenuhnya pada
kehendak Thian? Kim-siauw-eng, bawalah masuk mereka, akan kucoba
menolong, sungguhpun aku merasa ragu-ragu untuk dapat menyelamatkan
mereka.”
Suling Emas cepat mengempit dua orang itu dan
membawanya masuk ke dalam pondok dan atas permintaan tabib sakti itu. Ia
membaringkan mereka di atas bangku-bangku kayu yang berada di ruangan
belakang. Kemudian seperti yang diminta oleh Kim-sim Yok-ong. Suling
Emas menanggalkan pakaian kedua orang itu, pakaian bagian atas sehingga
tubuh mereka bagian atas telanjang. Ngeri sekali keadaan mereka. Tubuh
mereka itu kini yang seorang sudah berubah putih, yang kedua menjadi
merah, persis warna kulit ke dua orang kakek aneh itu.
Sementara
itu, Kim-sim Yok-ong sibuk membakar ujung jarum-jarum perak dan emas di
atas api lilin. Kemudian ia menghampiri korban kakek putih yang
tubuhnya kaku dan berwarna putih itu. Dengan gerakan hati-hati sekali
namun tidak ragu-ragu, ia menancapkan jarum-jarum emas pada jalan-jalan
darah tertentu di dada, leher dan pusar! Kemudian ia menggunakan
jarum-jarum perak untuk menusuk jalan-jalan darah pada tubuh orang kedua
yang menjadi korban kakek merah. Setelah pada masing-masing tubuh kedua
orang korban itu tertancap tujuh batang jarum, Kim-sim Yok-ong
mengeluarkan sebatang pisau yang tajam lalu melukai kedua telapak tangan
mereka dengan ujung pisau.
Aneh! Dari luka di telapak tangan
korban kakek putih segera mengucur keluar darah yang keputih-putihan
sedangkan dari luka di telapak tangan korban kakek merah mengucur
darah yang kehitaman! Lambat laun, berubahlah warna pada wajah kedua
orang itu, kembali menjadi normal dan napas mereka pun mulai tenang.
Akhirnya mereka bergerak-gerak mengeluh panjang. Kim-sim Yok-ong menarik
napas panjang, kelihatan lega hatinya. Akan tetapi agaknya ia tadi
telah mengerahkan tenaga dan mencurahkan seluruh perhatiannya, sehingga
ia tampak lelah dan sambil menghapus keringatnya, ia mulai mencabuti
jarum-jarum yang menancap di tubuh kedua orang itu.
“Siapapun
kedua iblis itu, dia tidak mungkin dapat mengalahkan kekuasaan Thian,”
kata Kim-sim Yok-ong perlahan. “Inilah buktinya! Karena agaknya Thian
belum menghendaki kedua orang tak bersalah ini tewas, kebetulan sekali
aku dapat menyembuhkan luka-luka mereka yang hebat, akibat pukulan aneh
yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Betapapun juga, pukulan kakek
merah itu mengandung, unsur panas sedangkan pukulan kakek putih
mengandung pukulan dingin. Di dunia ini, hanya terdapat dua macam unsur
tenaga, Im dan Yang, sungguhpun berbeda ragam dan caranya, namun
bersumber sama.”
Suling Emas menyaksikan dan mendengarkan
dengan hati penuh kekaguman. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara
ketawa yang sudah amat dikenalnya. “Huah-hah-hah, Kim-sim Yok-ong!
Jangan bergembira dulu dan merasa senang! Cobalah kaupunahkan akibat
pukulan-pukirian kami ini!”
Bagaikan kilat menyambar, Suling
Emas sudah berkelebat keluar pondok, siap untuk menghadapi dua orang
iblis asing yang hendak menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong dengan cara
buas, yaitu melukai orang-orang tak bersalah itu, main-main dengan
nyawa orang seakan-akan mereka itu hanya binatang-binatang kelinci saja.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba di pekarangan depan, ia
tidak melihat dua orang kakek itu melainkan empat brang dusun lain yang
sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah.
“Celaka! Keji benar mereka!” serunya sambil membuhgkuk untuk memeriksa.
“Jangan pegang mereka! Biarkan aku memeriksa lebih dulu!” seru Kim-sim Yok-ong sambil berlari-lari keluar.
Hebat sekali keadaan empat orang itu. Mereka adalah korban baru. Ada
yang tulangnya patah-patah sampai menjadi puluhan potong! Ada yang
tulangnya remuk-remuk. Ada yang seluruh tubuhnya keluar bintik-bintik
merah dan orang ke empat mengeluarkan darah dari semua lubang di
tubuhnya!
“Kejam....!” Seru Yok-ong. “Kim-siauw-eng, bantulah aku. Mereka harus cepat-cepat ditolong!”
Maka bekerjalah Suling Emas mengangkat orang-orang itu ke dalam pondok
dan ia girang melihat dua orang dusun pertama sudah dapat bangun.
Segera Yok-ong menyuruh mereka pulang sanibil membawa obat-obat minum
kepada kedua orang itu. Akan tetapi selanjutnya ia sibuk mengobati empat
orang yang menderita luka-luka hebat sekali. Suling Emas hanya
membantu, memasakkan obat, mengambilkan daun ini dan akar itu, sambil
mengagumi cara tabib sakti itu menolong para korban. Cekatan dan
terampil, hati-hati dan tepat sehingga kembali empat orang itu dapat
diselamatkan nyawanya.
Akan tetapi, secara berturut-turut
pekarangan depan pondok itu kebanjiran para korban dua orang kakek iblis
yang aneh itu, yang selalu meninggalkan korban mereka di pekarangan
pondok sehingga dalam waktu setengah hari saja di situ berkumpul tiga
puluh orang lebih yang terancam nyawanya dengan pelbagai macam
luka-luka hebat, dari racun-racun yang paling ganas sampai
pukulan-pukulan yang paling keji yang selamanya belum pernah
terbayangkan oleh Suling Emas, bahkan yang banyak di antaranya membuat
si tabib sakti agak bingung! Akhirnya si tabib sakti terpaksa mengakui
kehebatan dua orang kakek itu karena menjelang senja, sudah ada empat
orang yang tewas, karena tak mampu ia menyembuhkannya!
Hebatnya,
malam itu masih bertambah lagi jumlah korban sehingga seluruhnya
menjadi lima puluh orang korban tangan maut kakek merah dan kakek putih
yang luar biasa ini! Suling Emas memuncak kemarahannya, namun ia tidak
dapat melakukan pencegahan atau pun pengejaran karena tenaganya amat
dibutuhkan untuk membantu Kim-sim Yok-ong. Baiknya Tan Lian siuman
menjelang malam dan keadaannya sedemikian baiknya sehingga gadis ini
mampu bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheran-heranan
karena ia melihat seorang kakek tua dibantu oleh Suling Emas sibuk
mengurus dan mengobati puluhan orang. Biarpun yang sembuh telah disuruh
pulang oleh tabib sakti itu, namun di dalam rumah masih terkumpul tiga
puluh orang dan enam orang mayat!
“Ahhh.... apa yagg terjadi? Di mana aku....?” Gadis itu bertanya, penuh kengerian hati.
Suling Emas segera menghampiri dan giranglah hatinya melihat gadis itu
sudah sembuh sama sekali, tempak dari wajahnya yang segar.
“Syukur kau telah tertolong, Nona. Akan tetapi kau harus beristirahat di
sini barang tiga hari menurut pesan Yok-ong Locianpwe. Akan tetapi
celaka, hari ini terjadi hal hebat. Dua orang iblis yang tidak terkenal
mengamuk dan melukai banyak orang, hanya untuk menguji kepandaian
Kim-sim Yok-ong.” Secara singkat Suling Emas menceritakan keadaan itu,
sedangkan Yok-ok sama sekali tidak ambil peduli dan tetap sibuk
mengurusi mereka yang luka.
Tan Lian menjedi heran dan terharu
menyaksikan kebaikan hati tabib itu. “Apa? Aku harus beristirahat skja
melihat begini banyaknya orang yang perku ditolong? Tidak, Locianpwe,
aku siap membantumu!” Ia meloncat turun dari pembaringan dan biarpun
kepalanya masih agak pening, namun gadis ini dengan cekatan lalu mulai
membantu dengan masak air den lain-lain.
Kim-sim Yok-ong
mengangguk-angguk dan memandang sebentar. “Boleh kau boleh membantu.
Yang tak boleh kaulakukan hanya pengerahan tenaga dalam. Bagus hari ini
aku bersusah-payah menolongmu bukah tiada gunanya. Nona kau ambilkan
bungkusan dari atas lemari itu, kemudian kau bakar ujung semua jarum ini
sampai terasa panasnya pada ujung gagangnya.”
Demikianlah, tiga
orang itu semalam suntuk sibuk menolong orang dan baiknya dua orang
iblis tua itu agaknya sudah cukup “menguji kepandaian” Kim-sim Yok-ong,
buktinya tidak ada lagi orang terluka mereka antarkan.
Pada
keesokan harinya menjelang tengah hari, barulah selesai pekerjaan itu.
Sebanyak empat puluh lebih orang telah sembuh dan boleh pulang, akan
tetapi ada delapan orang yang tak dapat tertolong dan kini rebah menjadi
mayat di dalam pondok. Kim-sim Yok-ong tampak lelah sekali, jauh lebih
lelah dari Tan Lian yang juga bekerja keras dalam keadaan belum pulih
tenaganya. Kakek ini tampak duduk di atas bangku, bersila dan wajahnya
keruh, keningnya berkerut-kerut dan agak pucat. Ia berkali-kali menarik
napas panjang dan memandangi mayat-mayat yang berjajar di situ.
“Locianpwe, harap Locianpwe tidak merasa berduka. Sudah cukup hebat
kepandaian Locianpwe dan delapan orang korban ini agaknya memang sudah
dikehendaki Thian untuk mati. Apakah yang harus disesalkan? Biarlah
saya mengubur mayat-mayat ini!”
Kim-sim Yok-ong
menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang, “Bukan itu yang
menyusahkan hatiku, orang muda. Kau tidak mengerti, apa kehendak dua
orang aneh itu dengan perbuatan mereka?”
“Apalagi kalau tidak
hendak menguji kepandaian Locianpwe? Kalau memang mereka itu orang-orang
yang mempunyai sedikit saja prikemanusiaan, tentu mereka akan
menyesali perbuatan mereka dan akan mengakui keunggulan Locianpwe dalam
hal melawan dan memunahkan akibat pukulan-pukulan beracun mereka!”
“Bukan...., bukan demikian. Ketahuilah, Kim-siauw-eng, mereka itu
sengaja melakukan bermacam-macam pukulan dengan penggunaan racun yang
berbahaya, tak lain hendak mempelajari caraku memberi obat. Mereka
memaksaku mengeluarkan ilmu pengobatan dan agaknya mereka memang
sengaja hendak mempelajarinya. Ilmu pengobatan memang amat baik dan
boleh saja diketahui semua orang, akan tetapi kurasa bukan dengan niat
baik kedua orang itu mempelajarinya, buktinya cara mereka mempelajari
sudah cukup ganas dan keji. Aku khawatir sekali....”
“Siapakah
iblis-iblis itu?” Tan Lian berseru. “Kalau sudah pulih kembali
kesehatanku, akan kucari mereka dan kuajak mereka bertanding. Membasmi
mereka atau mati di tangan mereka merupakan tugas seorang yang
menjunjung kegagahan!”
Suling Emas memandang kagum dan kakek itu
menghela napas. “Nona, bukan sekali-kali aku memandang rendah
kepadamu. Akan tetapi kepandaian dua orang itu, biapun Thian-te
Liok-koai sendiri belum tentu dapat menandinginya!”
Suling Emas
kaget. Ia harus percaya omongan tabib dewa ini yang tentu dapat menilai
kepandaian orang melihat akibat pukulan-pukulannya. Diam-diam ia
bergidik dan makin kuat niatnya untuk menggempur dua orang kakek itu.
“Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini dan setelah itu, aku akan
mencari mereka berdua untuk minta pertanggungan jawab mereka!”
Dengan dibantu oleh Tan Lian, Suling Emas mengubur delapan mayat itu,
disaksikan oleh Kim-sim Yok-ong yang merasa prihatin sekali. Baru kali
ini selama ia memdapat julukan Raja Obat, ia gagal menyembuhkan delapan
orang yang meninggal dunia di depan matanya. Ia merasa terhina sekali.
Setelah delapan buah mayat itu dimasukkan lubang di tanah dan mereka
mulai menguruk dengan tanah, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari arah
barat, suara ketawa kakek merah bersama suara ejekan kakek putih yang
sudah dikenal baik oleh Suling Emas.
“Huah-hah-hah, kiranya hanya begini saja kepandaian si Raja Obat!” terdengar suare kakek merah.
“Kau tidak patut dan tidak berhak menggunakan sebutan Yok-ong (Raja Obat) lagi!” seru suara kakek putih.
“Locianpwe, biarkan saya memberi hajaran kepada mereka!” Suling Emas
berseru marah, dan hendak lari ke barat dari mana suara-suara itu
datang. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang. Ia menoleh dan
ternyata Tan Lian yang memegang tangannya, wajah gadis itu pucat dan
memandang dengan penuh kekhawatiran.
“Ada apa, Nona Tan?” tanya Suling Emas merasa terganggu.
Merah wajah Tan Lian dan gadis ini segera melepaskan pegangannya.
“Tidak apa-apa, hanya.... mereka itu benar-benar sakti, mari kubantu
engkau....”
“Terima kasih. Tidak perlu, karena kau sendiri masih
belum boleh mengeluarkan tenaga, harus beristirahat sampai sembuh.”
Suling Emas lalu berkelebat dan lari untuk mencari dua orang kakek iblis
itu.
“Kau.... berhati-hatilah....!” seru Tan Lian dan sampai
lama gadis ini berdiri bengong memandang ke arah barat, ke arah perginya
pendekar yang sudah menundukkan hatinya itu. Sampai lama ia berdiri
seperti patung, tidak tahu bahwa pekerjaan menguruk kuburan masih
menanti dan juga bahwa si kakek tabib memandanginya dengan tarikan napas
panjang.
“Anak yang baik, mayat-mayat itu menunggu untuk diuruk
selekasnya!” Tiba-tiba tabib itu berkata. Sadarlah Tan Lian daripada
lamunannya dan segera ia mengerjakan tanah galian untuk menguruk
lubang-lubang kuburan itu bersama Kim-sim Yok-ong. Kemudian tabib itu
mengajak Tan Lian ke pondok dan mereka membersihkan pondok dari darah
yang berceceran. Kim-sim Yok-ong menyiram-nyiramkan obat pemunah hawa
beracun dan membakar akar wangi, kemudian ia memanggil gadis itu untuk
duduk di depannya.
“Tak usah kau merasa khawatir. Biarpun kedua
orang iblis itu lihai sekali, namun Suling Emas biarpun masih muda
adalah seorang pendekar yang sakti dan waspada. Kurasa tidak akan mudah
mencelakakan Suling Emas,” kata kakek itu dengan suara menghibur.
“Mudah-mudahan begitulah, Locianpwe,” jawab Tan Lian yang kemudian
menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Saya berhutang nyawa
kepada Locianpwe, apabila dalam hidup ini saya tidak mampu membalas,
biarlah dalam penjelmaan lain saya akan menjadi binatang peliharaan
Locianpwe untuk membalas budi.” Dan tiba-tiba dengan sedih nona ini
menangis.
Kim-sim Yok-ong tertawa, mengelus-elus jenggotnya dan membangunkan gadis itu.
“Jangan begitu, kau duduklah. Jangan kauikat aku dengan belenggu karma.
Semua yang kulakukan bukanlah untuk menanam budi, juga bukan bermaksud
menolong, melainkan karena sudah menjadi kewajibanku. Anak yang baik,
kalau orang sudah setua aku ini, seharusnya melakukan segala sesuatu
tanpa pamrih, hanya berdasarkan kewajiban dan sebagai pujaan kepada
kebesaran Thian. Nona, kau telah terpukul oleh seorang yang memiliki
pukulan dasar dari ilmu silat Beng-kauw, pukulan yang dahsyat dan yang
tadinya kuanggap hanya mampu dilakukan oleh Pat-jiu Sin-ong seorang.
Siapakah yang memukulmu dan mengapa? Bagaimana pula Suling Emas yang
membawamu ke sini? Kalau kau tidak keberatan, harap kauceritakan
kepadaku karena aku merasa kasihan kepadamu dan ingin memberi sekedar
nasihat.”
Makin sedih tangis Tan Lian mendengar pertanyaan ini.
Ia hidup sebatangkara, selama ini tidak ada orang lain yang
memperhatikan nasibnya kecuali, tentu saja, Thio San. Thio San adalah
seorang pemuda, tunangannya sejak kecil. Akan tetapi ia telah
menyia-nyiakan pertunangannya dengan Thio San dan selalu menghindari
pemuda itu karena besarnya tekad dan cita-citanya selama ini untuk
membalas dendam. Selain ini, di lubuk hatinya, ia pun tidak puas dengan
tunangan ini, tunangan yang dipilih ayahnya semenjak ia masih kecil
karena Thio San adalah putera sahabat baik ayahnya. Ia tidak puas karena
Thio San, sungguhpun merupakan seorang pemuda yang tampan dan baik, dan
yang ternyata amat setia dan amat mencintanya pula, hanya seorang
pemuda terpelajar yang lebih tekun mempelajari kesusastraan sehingga
dalam pandangannya Thio San adalah seorang pemuda lemah yang tidak
mengerti ilmu silat. Tidak sesuai dengan keadaannya sendiri sebagai
puteri mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui yang terkenal sebagai seorang
pendekar besar.
“Locianpwe, banyak terima kasih atas perhatian
Locianpwe terhadap diri saya yang bernasib malang ini. Sesungguhnya
secara terus terang saya mengakui bahwa yang memukul saya adalah adik
tiri Suling Emas, sedangkan Suling Emas adalah.... adalah musuh besar
saya.”
“Apa? Musuh besarmu? Akan tetapi dengan susah payah dia membawamu ke sini!”
“Itulah yang memberatkan hati saya, Locianpwe, dan saya mohon petunjuk.
Sebetulnya bukan dia musuh saya, melainkan ibunya, Tok-siauw-kui yang
sudah membunuh ayah saya.”
“Siapakah ayahmu?”
“Mendiang ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”
“Ahhh....! Tentu saja aku kenal dia. Lalu bagaimana? Teruskanlah dan
jangan ragu-ragu, mendiang ayahmu dahulu adalah sahabat baikku, dia
seorang pendekar besar.”
Mendengar ini, makin deras air mata
mengucur keluar dari sepasang mata gadis itu. Setelah dapat meredakan
tangisnya ia menyambung ceritanya, “Kematian ayah membuat saya menjadi
seorang yang hidup sebatangkara, tidak ada cita-cita lain di hati
kecuali mencari Tok-siauw-kui dan membalas dendam. Akan tetapi karena
Tok-siauw-kui amat lihai sehingga ayah sendiri kalah olehnya, saya
melewatkan waktu sampai belasan tahun untuk memperdalam ilmu silat. Akan
tetapi, Locianpwe, alangkah malang nasib saya. Begitu saya merasa bahwa
sudah tiba saatnya saya pergi mencari Tok-siauw-kui yang kabarnya
berada di Nan-cao, bersembunyi di sana dan saya segera berangkat, di
tengah jalan saya mendengar berita bahwa Tok-siauw-kui baru saja tewas!
Ah, hancur hati saya karena saya tidak berhasil membalas dendam. Akan
tetapi, kemudian saya mendengar dari It-gan Kai-ong bahwa Tok-siauw-kwi
adalah ibu dari Suling Emas. Tentu saja saya ikut bersama tokoh-tokoh
kang-ouw lain untuk membalaskan sakit hati itu kepada putera musuh
besar saya. Kembali saya kecewa, Locianpwe, karena.... karena.... saya
tidak mampu mengalahkan Suling Emas, malah.... malah.... ketika saya
bersumpah di depan makam ayah untuk membalaskan dendam itu kepada isteri
dan anak-anak Suling Emas, saya dipukul roboh oleh adik tirinya dan....
dia malah menolong saya....” Gadis itu kembali menangis sedih.
“Hemmm.... hemmm.... tidak hanya kau kalah oleh Suling Emas, malah hatimu pun roboh oleh asmara. Kau mencinta Suling Emas?”
Seketika berhenti tangis Tan Lian dan ia melonjak kaget, memandang
kakek itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Kakek itu tetap
tersenyum sabar.
“Bagaimana.... bagaimana.... Locianpwe bisa tahu....?” Akhirnya Tan Lian bertanya dengan suara gagap.
Senyum kakek itu melebar, “Aku pernah muda, anak baik, dan sudah banyak
kusaksikan di dunia ini. Sudah banyak dongeng dan peristiwa terjadi
karena cinta. Kalau tidak karena cinta, agaknya tidak akan terjadi
urusanmu dengan Suling Emas, tidak akan terjadi permusuhan yang
terpendam di hatimu. Ayahmu pun menjadi korban cinta. Karena itu, kau
percayalah kepadaku, anak baik, buang jauh-jauh perasaan itu karena
kulihat bahwa kau berbakat untuk menjadi muridku. Tadinya aku tidak ada
niat memiliki murid, akan tetapi setelah dua iblis itu mengakaliku dan
mencuri banyak pengetahuanku, aku harus menurunkan kepandaianku. Kaulah
yang cocok untuk menjadi muridku, tidak saja kau berbakat, akan tetapi
kau pun anak sahabatku.”
Tan Lian menjatuhkan diri lagi
berlutut di depan kakek itu. “Ohhh, Locianpwe saya merasa seakan-akan
bertemu dengan ayah saya. Locianpwe, tolonglah saya. Saya sudah
bersumpah hendak membunuh isteri dan anak-anak Suling Emas, akan
tetapi.... dia tidak punya isteri dan.... dan memang betul saya jatuh
cinta kepadanpa. Locianpwe, sudilah Locianpwe menolong saya, mewakili
orang tua saya yang sudah tiada, harap suka usahakan perjodohan saya
dengan Suling Emas. Kalau hal ini tidak terjadi, saya merasa sia-sia
hidup di dunia, dendam ayah tak terbalas, hasrat hati hendak memunahkan
dendam dengan ikatan jodoh tak tercapai....”
Kakek itu termenung
sejenak. “Suling Emas termasuk seorang di antara tokoh-tokoh aneh di
dunia ini. Aku khawatir kalau-kalau maksud hatimu akan gagal, Nak.
Mengapa tidak kaubatalkan saja dan hidup mencapai kebahagiaan penuh
damai daripada kesunyian seperti aku? Aku tanggung bahwa kebahagiaan itu
akan jauh lebih sempurna daripada kebahagiaan itu akan jauh lebih
sempurna daripada kebahagiaan duniawi.”
“Cobalah dulu, Locianpwe. Belum tentu dia tidak setuju, agaknya.... agaknya dia pun bukan tak suka kepada saya....”
Akhirnya kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiklah....
baiklah, akan tetapi jangan kau lalu membunuh diri kalau dia menolak.
Berjanjilah dulu, tanpa janjimu aku takkan mau menerima permintaanmu.”
“Saya berjanji takkan membunuh diri kalau.... dia menolak.”
“Dan akan suka menjadi muridku,” sambung kakek itu.
“.... dan akan suka menjadi murid Locianpwe....”
“Bagus!” Kakek itu tampak girang, “Nah, kau beristirahatlah, kita menanti sampai dia kembali.”
Akan tetapi pada saat itu, di luar pondok terdengar langkah kaki orang.
Tergopoh-gopoh Tan Lian berlari ketuar, hatinya sudah tak sabar lagi
untuk menyambut kedatangan Suling Emas. Ia harus cepat melihat dengan
mata sendiri bahwa pendekar itu kembali dalam keadaan selamat. Ketika
ia melangkah keluar dari pintu pondok, tiba-tiba ia tercengang dan
berdiri seperti patung, memandang laki-laki muda yang berdiri di
pekarangan rumah itu dengan mata terbelalak. Pemuda itu, yang berpakaian
sederhana seperti seorang pelajar, kelibatan lelah sekali, berwajah
tampan dan keningnya lebar, juga memandang kepadanya, mata yang sayu
kelelahan itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri.
“Lian-moi (Adik Lian)....!” Akhirnya ia berseru dan tersaruk-saruk ia melangkah maju.
“Kau....? Kenapa kau datang ke sini?”
“Kenapa? Lian-moi, tentu saja hendak mencarimu, menyusulmu! Lian-moi,
hampir glia aku mencarimu, mengikuti jejakmu. Lian-moi, mengapa kau di
sini dan dengan siapakah kau....” Orang muda yang bukan lain adalah
Thio San itu tiba-tiba berhenti karena melihat munculnya seorang kakek
yang bersikap tenang dan bermata tajam muncul di pintu, di belakang
tunangannya.
“Thio San! Sudah berapa kali kujelaskan kepadamu
bahwa di antara kita sudah tidak ada ikatan dan tidak ada urusan
apa-apa lagi. Kenapa kau begini tak tahu malu dan masih berani
menyusulku dan mengikutiku selalu? Pergilah!”
“Tapi....”
“Pergilah, sebelum aku habis sabar dan terpaksa bertindak kasar!”
“Tapi, Lian-moi, kita bertunangan....”
“Hemmm, kalau tidak ingat akan hubungan itu, sudah dulu-dulu aku
mengenyahkanmu dengan kekerasan. Thio San, sejak dua belas tahun yang
lalu, di depan engkau dan orang tuamu, bukankah aku sudah menyatakan
pembatalan ikatan itu? Bukankah sudah kujelaskan secara terang-terangan
apa yang menjadi sebabnya? Thio San, antara kita sudah tidak ada
apa-apa lagi. Nah, cukup, kau pergilah!” Karena hampir tidak kuat
menahan air matanya, Tan Lian lalu membalikkan tubuhnya dan lari
memasuki pondok.
Pemuda itu berdiri dengan muka pucat, sinar
matanya menjadi makin sayu, wajahnya makin muram, tubuhnya
bergoyang-goyang seperti sebatang pohon terlanda angin, agaknya ia
mengerahkan seluruh tenaganya agar tidak roboh.
“Orang muda,”
Kim-sim Yok-ong berkata, suaranya halus menghibur. “Aku tidak berhak
mencampuri urusanmu, akan tetapi biarlah kuperingatkan kau bahwa
perjodohan yang dipaksakan oleh sefihak takkan membentuk rumah tangga
yang berbahagia. Syarat utama perjodohan adalah kesediaan, kerelaan dan
cinta kasih kedua fihak. Karena itu, seorang laki-laki harus dapat
menguatkan hati dan rela berkorban perasaan demi mencegah dirinya
sendiri terperosok ke dalam neraka rumah tangga yang tidak bahagia.”
Suara orang lain yang memasuki telinganya menyadarkan pemuda itu dari
keadaan yang memelas (menimbulkan iba) itu. Ia mengangkat dadanya dan
menegakkan kepalanya, memandang tajam kepada kakek itu ketika menjawab.
“Orang tua, aku tidak mengenal siapakah engkau, akan tetapi karena
ucapanmu bermaksud baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Namun,
kalau aku harus membenarkan pendapatmu itu, lalu ke mana nanti perginya
kesetiaan dan kebaktian? Jodoh yang sudah dipilihkan orang tua semenjak
kecil, harus diterima dengan rela, itu bakti namanya! Satu kali orang
bertunangan, harus ditunggu sampai mati, itu setia namanya! Betapapun
juga, kau betul, orang tua. Dia tidak suka kepadaku dan aku tidak dapat
memaksanya. Dia seorang ahli silat yang lihai, hatinya penuh dendam
yang belum terbalaskan, hidupnya bagaikan seekor naga yang
melayang-layang di angkasa dengan bebas beterbangan di antara awan dan
petir! Sedangkan aku.... aku....”
“Dan kau seorang muda yang
penuh filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup menurunkan
garis-garis dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapapun
mengecewakannya, manusia yang belum mau melepaskan diri daripada
kehidupan ramai, berarti belum mungkin terlepas daripada nafsu-nafsu
duniawi! Kau tidak mau mengerti bahwa orang seperti Tan Lian hanya
tunduk kepada nafsu yang menguasai hatinya, sebaliknya kau hanya tunduk
kepada peraturan tanpa mau menjenguk keadaan orang lain. Orang muda,
aku kasihan kepadamu. Kau seorang yang baik, berbakti dan setia, akan
tetapi kau lemah! Bukan lemah jasmani saja, juga lemah batinmu karena
kau malu akan kenyataan bahwa juga engkau telah dikuasai nafsu yang
mendorong cinta nafsumu terhadap Tan Lian, akan tetapi kau tidak
berterus terang, malah kau hendak menutupi cintamu dengan dalih setia
dan berbakti! Sayang....”
Tiba-tiba dua titik air mata
membasahi pipi pemuda itu yang menundukkan mukanya dan berkata, “Orang
tua, kau betul. Aku cinta padanya, tapi dia menolakku. Namun, aku akan
menanti dengan sabar, seperti yang sudah kulakukan belasan tahun
lamanya, karena kulihat dia masih sendiri. Kalau dia sudah bersuamikan
orang lain, barulah aku akan mundur. Maafkan aku, orang tua,” Setelah
berkata demikian, pemuda itu menjura dan membalikican tubuh, lalu
berjalan dengan langkah-langkah gontai meninggalkan pondok.
Sampai lama Kim-sim Yok-ong berdiri memandang dari depan pintu
pondoknya sambil menggoyang-goyang kepala dan menghela napas. “Sampai
sekarang, entah sudah berapa juta orang muda menjadi korban penyakit
asmara ini. Sungguh memalukan, aku yang berjuluk Yok-ong belum juga
dapat menemukan obatnya!” Sambil menggeleng-geleng kepala ia memasuki
pondoknya dan melihat Tan Lian menangis terisak-isak sambil menutupi
muka dengan kedua tangan, kakek ini tidak mau bertanya-tanya lagi. Ia
maklum bahwa gadis ini tentu merasa menyesal, berduka, dan malu karena
urusan pribadinya telah terdengar orang lain.
“Locianpwe....,
aku.... aku malu sekali. Ah, Locianpwe tentu akan memandang rendah
kepadaku.... seorang gadis yang sudah ditunangkan sejak kecil akan
tetapi berani minta tolong kepada Locianpwe untuk menguruskam perjodohan
dengan pria lain....! Kalau Locianpwe merasa bahwa aku terlalu hina dan
rendah, biarlah aku pergi dari sini dan tidak berani mengganggumu
lagi....”
“Hemmm, aku tahu keadaan hatimu, Nak, dan tidak
biasanya aku mencampuri urusan pribadi orang lain. Aku tidak memandang
rendah dan aku tetap akan memegang janjiku.” Mendengar ucapan ini, Tan
Lian berlutut dan merangkul kaki Yok-ong sambil menangis.
***
Dengan gerakan yang cepat sekali, bagaikan terbang saja terlihat dari
jauh, pendekar sakti Suling Emas lari mendaki puncak Thai-san. Ia
sengaja mencari tempat-tempat tinggi, bahkan kadang-kadang ia meloncat
naik ke atas pohon untuk melihat keadaan sekitar pegunungan itu dalam
usahanya mencari jejak dua orang iblis tua yang telah mengacau pondok
Kim-sim Yok-ong. Namun sudah sehari semalam ia mencari, hasilnya sia-sia
belaka. Pada harti ke dua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di puncak
paling tinggi dan selagi ia meneliti keadaan sekelilingnya, tiba-tiba
ia mendengar tetabuhan khim yang nyaring, merdu dan halus. Sejenak
kagetlah Suling Emas karena ingatannya melayang-layang, mengira bahwa
Bu Kek Siansu berada di tempat ini. Akan tetapi ketika ia
memperhatikan, ia segera mengerutkan keningnya. Suara alat musik
yang-khim yang ditabuh ini, sungguhpun cukup nyaring dan merdu, namun
memiliki gaya yang liar dan iramanya merangsang. Betapapun juga, harus
ia akui bahwa tenaga yang keluar dari suara khim ini cukup hebat,
menimbulkan rangsang yang mendebarkan jantung dan bagi orang yang
kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan roboh di bawah pengaruh suara
itu.
Kemudian Suling Emas tersenyum dan teringatlah ia akan
Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-koai, yang dapat
mainkan yang-khim seganas ini? Ia ingat bahwa dahulu wanita iblis ini
telah merampas alat musik yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan
agaknya ia telah mempelajari alat musik itu, disesuaikan dengan ilmu
untuk menyerang orang, baik melalui suara yang-khim maupun dengan cara
mempergunakan alat musik itu sebagai senjata. Diam-diam Suling Emas
menghitung-hitung dan memang hari itu sudah tiba saatnya perjanjian para
anggauta Thian-te Liok-koai mengadakan pertemuan untuk mengadu ilmu di
puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari Siang-mou Sin-ni itu
merupakan panggilan atau tantangan, untuk sementara Suling Emas menunda
urusannya mencari dua orang asing dan kini ia mencabut sulingnya,
meniup dan melagukannya sambil melangkah lebar ke arah datangnya suara.
Sungguh ajaib suara yang terdengar di hutan-hutan Gunung Thai-san pada
saat itu. Kalau ada orang mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa
suara itu bukan sewajarnya, mungkin para iblis hutan sedang berpesta.
Suara suling mengalun, bergelombang turun naik mengelus perasaan,
menyegarkan akan tetapi juga memabukkan karena memiliki daya seret yang
menghanyutkan. Suara ini mengiringi atau diiringi suara berkencringnya
yang-khim yang diseling dengan “melody” yang jelas satu-satu dan
nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap bunyi “ting!”
dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya untuk
membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema
di seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar
jurang yang paling dalam.
Pertandingan jarak jauh yang dilakukan
dengan “suara” itu benar-benar amat menarik. Kini Suling Emas tidak
melangkah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya agak
merah dan dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan
bahwa Siang-mou Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk
menghadapi suara yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap
sembarangan dan harus pula mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga
sin-kang. Akan tetapi, begitu pendekar sakti ini memusatkan tenaganya,
suara yang-khim makin menjadi lemah seakan-akan terdesak suara suling
yang makin melengking tinggi itu. Anehnya, daun-daun pohon yang masih
hijau segar, yang tumbuh di atas kepala dan di dekat Suling Emas meniup
sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu, melayang-layang ke bawah
dengan gerakan aneh dan lucu seakan-akan daun-daun itu menari-nari
mengikuti bunyi irama suling!
Akhirnya suara yang-khim itu
berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara Siang-mou Sin-ni dari
jauh. Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup jelas. “Suling
Emas, saat mengadu kepandaian adalah malam nanti kalau bulan sudah
muncul. Aku hanya main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”
Suling
Emas juga menghentikan tiupan sulingnya dan ia menarik napas panjang
lalu tersenyum. Kata-kata itu tak perlu dia menjawabnya. Ia tahu bahwa
untuk menghadapi malam pertemuan bulan lima tanggal lima belas, yaitu
malam nanti di mana akan diadakan pertandingan untuk menentukan tingkat
masing-masing, Siang-mou Sin-ni berusaha untuk “mengukur keadaannya”
dengan suara yang-khim tadi. Dan menurut pendapatnya bahwa biarpun ia
tidak kalah oleh Siang-mou Sin-ni dalam penggunaan sin-kang di dalam
suara, namun kemajuan wanita iblis itu tak boleh dipandang ringan begitu
saja dan malam nanti akan merupakan lawan yang tangguh.
Setelah
Siang-mou Sin-ni pergi, Suling Emas teringat kembali akan dua orang
kakek yang dicarinya. Ia lalu melanjutkan usahanya mencari jejak kedua
orang itu.
“Dua Locianpwe yang muncul di pondok Kim-sim
Yok-ong, silakan kduar, saya mau bicara!” Demikianlah berkeli-kali ia
berteriak dengan pengerahan khi-kangnya sehingga suaranya bergema
sampai jauh. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada jawaban kecuali gema
suaranya sendiri.
Ia melangkah terus dan tiba di sebuah puncak
lain. Di sini ia pun berdiri dan meneriakkan panggilannya seperti tadi.
Oleh karena suaranya memang keras, apalagi dengan pengerahan khi-kang,
suara itu bergema dan burung-burung yang tadinya enak-enak hinggap dan
mengaso di atas cabang-cabang pohon, berlindung dari panasnya matahari
di antara daun-daun, menjadi kaget dan beterbangan sambil
bercuwit-cuwit, sekelompok burung yang kebetulan berada di pohon dekat
Suling Emas berdiri, kaget dan kelepak sayapnya terdengar gaduh. Suling
Emas mengangkat muka memandang sambil tertawa.
Akan tetapi suara
ketawanya terhenti ketika ia melihat sinar hitam seperti asap menyambar
ke atas dan burung-burung itu yang jumlahnya belasan ekor runtuh ke
bawah dan berjatuhan di depan kaki Suling Emas. Ketika ia memandang
teliti, ternyata burung itu semua telah mati dan kulit mereka berubah
menjadi hitam sedangkan bulu-bulunya rontok! Tahulah ia bahwa bukan
hanya Siang-mou Sin-ni saja yang sudah hadir di Thai-san, dan agaknya
para anggauta Thian-te Liok-koai mulai mendemonstrasikan kelihaiannya.
“Hek-giam-lo iblis keji. Tak perlu kau memperlihatkan kekejamanmu di hadapanku, kalau kau mau mulai bertanding, keluarlah!”
Tidak ada jawaban kecuali suara dengus mengejek yang disusul oleh
sambaran sinar hitam yang cepat bagaikan kilat gerakannya. Diam-diam
Suling Emas kagum dan mengerti bahwa kepandaian Hek-giam-lo dalam hal
melepas senjata rahasia Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam) telah
maju dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu dalam pertandingan di
puncak Thai-san ini (baca jilid pertama). Karena ini Suling Emas tidak
mau memandang rendah. Cepat tangannya sudah mencabut keluar kipas
birunya dan dengan gerakan yang diisi lwee-kang sepenuhnya ia mengibas
ke depan. Runtuhlah jarum-jarum hitam itu, semua lenyap ke dalam tanah.
Akan tetapi sinar hitam ke dua menyusul, malah lebih besar dan lebih
kuat. Ketika Suling Emas mengibaskan kipasnya lagi, sinar itu membalik,
tapi hanya kurang lebih dua meter, lalu terdorong maju lagi, mendesak
terus, bahkan kini mulai berpencar menjadi tiga bagian yang menerjang
tubuh Suling Emas dari atas, tengah, dan bawah! Suling Emas terkejut
karena pada saat itu, di belakang sinar hitam yang sudah pecah menjadi
tiga bagian, tampak belasan sinar berkilauan menyambar pula ke depan.
Itulah barisan hui-to (golok terbang), senjata rahasia dari Hek-giam-lo
yang ampuh sekali di samping senjata rahasia jarum-jarum beracunnya.
Dengan cara luar biasa sekali, iblis hitam itu dapat menyambitkan tiga
belas batang golok kecil (belati) sekaligus dan tiga belas batang pisau
terbang itu secara tepat mengancam tiga belas bagian tubuh yang
kesemuanya mematikan!
“Hek-giam-lo, terlalu kau!” seru Suling
Emas dengan marah. Tangan kanannya sudah mencabut sulingnya dan
bagaikan terbang tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ketika sinar-sinar
hitam itu mengejar, ia mengibaskan kipasnya dan berbareng ia memutar
sulingnya merupakan lingkaran besar di depan tubuhnya. Ketika belasan
pisau terbang itu tiba, pisau-pisau itu “tertangkap” oleh lingkaran
sinar suling, terus ikut berputar-putar merupakan bundaran sinar
berkilauan yang indah sekali.
“Terimalah kembali!” bentak Suling
Emas yang sudah turun ke bawah. Sulingnya digerakkan seperti mendorong
dan tiga betas batang pisau terbang yang tadinya beterbangan
memutar-mutar di depan Suling Emas, kini seperti belasan ekor burung
terbang kembali ke sarangnya!
Seperti juga Siang-mou Sin-ni, tahu-tahu terdengar suara Hek-giam-lo dari jauh, “Malam nanti kita bertanding!”
Suling Emas mendongkol sekali akan tetapi ia tidak mau mengejar karena
memang saat yang dijanjikan adalah malam nanti kalau bulan purnama
sudah muncul menyinari bumi. Ia berjalan terus mencari dua orang kakek
sakti yang aneh dan kejam. Diam-diam ia merasa khawatir juga. Dari
peristiwa tadi ia mendapat kenyataan bahwa Siang-mou Sin-ni dan
Hek-giam-lo sudah memperoleh kemajuan pesat dan jauh lebih berbahaya
daripada dahulu. Tentu iblis-iblis yang lain, It-gan Kai-ong dan kakak
beradik Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong juga telah memperdalam
ilmu-ilmu mereka. Dia tidak gentar menghadapi mereka, akan tetapi
siapa tahu, kalau dua orang kakek asing yang baru muncul mengacau di
pondok Kim-sim Yok-ong itu membantu para iblis, sukarlah untuk mencapai
kemenangan.
“Aku harus menghadapi dua orang kakek itu lebih dulu
sebelum bertanding dengan Thian-te Liok-koai,” pikirnya dan kembali ia
melanjutkan usahanya mencari. Hari telah menjelang senja ketika ia makin
mendekati puncak di mana pertandingan antara Thian-te Liok-koai akan
diadakan.
Makin tinggi orang mendaki gunung, makin dinginlah
hawa udara. Suling Emas juga sudah mulai merasa dingin, apalagi
menjelang senja itu, puncak Thai-san diliputi hailmun yang cukup tebal.
Ketika ia memasuki sebuah hutan pohon cemara tiba-tiba terdengar suara
hiruk-pikuk dan banyak pohon tumbang, malah ia lalu terpaksa
berloncatan ke sana ke mari untuk menghindarkan dirinya tertimpa
batang-batang pohon yang beterbangan ke arahnya! Suling Emas cepat
menyelinap sambil meloncat ke sana-sini, kemudian tahulah ia bahwa
yang “main-main” dengan batang-batang pohon adalah Toat-beng Koai-jin
dan Tok-sim Lo-tong! Agaknya mereka berdua juga melihatnya, karena kini
mereka tertawa-tawa dan semua batang pohon dan batu-batu besar yang
mereka permainkan itu kini menimpa ke arah Suling Emas! Pendekar ini
memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya.
Biarpun ada “hujan”
pohon dan batu-batu besar, bagaikan seekor kera ia menyelinap dan
mengelak ke sana-sini. Demikian cepat dan ringan gerakannya sehingga
bajunya saja tak pernah tergores cabang pohon yang menimpanya
bertubi-tubi.
“Dua iblis liar, beginikah cara kalian
menandingiku?” Suling Emas membentak dan sudah siap untuk balas
menyerang. Akan tetapi sambil tertawa-tawa dua orang iblis itu melarikan
diri, dan Suling Emas tidak mau mengejar mereka. Ia melanjutkan
perjalanannya, sementara itu cuaca mulai menjadi remang-remang dan hawa
udara makin dingin.
Puncak tertinggi sudah tampak menjulang
tinggi di depan matanya. Ia sudah mulai putus asa untuk bisa mendapatkan
dua orang kakek aneh itu, karena ia sudah tidak ada waktu lagi untuk
mencari mereka. Ia harus pergi ke puncak untuk menemui dan menandingi
iblis-iblis yang berkumpul, untuk mewakili ibu kandungnya yang dulu
ditantang oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia membelok,
ia melihat pemandangan aneh sekali di pinggir anak sungai yang mengalir
deras dari sumbernya.
Dua orang kakek yang dicari-carinya
selama sehari semalam itu ternyata, tanpa diduga-duga kini berada di
depannya! Si kakek putih duduk bersila di tengah sungai, tenggelam
sampai sebatas lehernya. Bukan main! Hawa udara begitu dinginnya
menyusup tulang, dan air sungai itu pun dinginnya melebihi salju, akan
tetapi kakek ini duduk bersila merendam diri, kelihatannya enak-enak
tidur ataukah sedang samadhi dengan tenangnya! Akan tetapi bukan, ia
bukan sedang tidur atau bersamadhi karena mulutnya mengomel panjang
pendek, “Wah, panasnya, tak enak, sialan benar!” Hawa udara begitu
dingin, berendam di air gunung lagi, masih mengeluh kepanasan!
Adapun kakek merah tidak kalah anehnya. Kakek ini duduk di pinggir
sungai, bersila di atas tanah, dikelilingi api unggun yang menyala
besar. Jarak antara tubuh kakek itu dengan api yang mengelilinginya
kurang dari satu meter, seluruh tubuhnya yang sudah merah itu menjadi
makin merah. Di depannya terdapat sebuah periuk terisi air yang digodok
di atas api, air yang mendidih. Dapat dibayangkan betapa panasnya
dikurung api besar sedekat itu, akan tetapi kakek ini malah menggigil
kedinginan dan kedua tangannya berganti-ganti ia masukkan ke dalam
periuk penuh air mendidih itu, lalu menyiram-nyiramkan air panas itu ke
mukanya. “Waduh dinginnya, tak tertahankan, hu-hu-huuu.... dingin....!”
Alangkah sombongnya mereka ini, pikir Suling Emas. Ia maklum bahwa
kedua orang kakek ini memang sengaja berdemonstrasi seperti itu untuk
memamerkan kepandaian mereka. Memang harus diakui bahwa demonstrasi ini
jelas membuktikan kehebatan sin-kang mereka yang dapat membuat tubuh
menjadi kebal akan rasa panas maupun dingin. Perbuatan seperti ini
hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesaktian, yang
tenaga sin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi sungguh
suatu cara menyombongkan kepandaian yang amat menggelikan kalau
kepandaian seperti ini dibuat pamer, apalagi terhadap dia! Karena merasa
yakin bahwa dua orang ini sengaja memamerkan kepandaian kepadanya maka
terpaksa Suling Emas harus melayani mereka. Ia mendekati kakek putih
yang berendam di dalam air sebatas leher itu. “Ah, Locianpwe, memang kau
benar, hawanya amat panas, membuat orang ingin mandi terus. Akan
tetapi aku tidak ada kesempatan mandi, biar kurendam saja kepalaku!”
Setelah berkata demikian, Suling Emas lalu membenamkan kepalanya ke
dalam air dan tidak dikeluarkannya dari dalam air sampai lama sekali!
Biarpun perbuatan ini hanya demonstrasi atau main-main, akan tetapi
jelas menang setingkat kalau dibandingkan dengan kakek putih yang
biarpun tubuhnya terendam air, akan tetapi hanya sebatas leher,
kepalanya tidak. Dan merendamkan kepala ke dalam air sedingin itu,
apalagi sampai lama sekali, tentu lebih sukar daripada merendam tubuh
saja. Ketika mendengar air itu berguncang cepat Suling Emas mengangkat
kepalanya. Ia maklum bahwa pukulan dari dalam air dapat membuat air
bergelombang dan kepalanya akan terancam bahaya luka di dalam kalau
tergencet hawa pukulan melalui gelombang itu. Kiranya kakek putih sudah
berdiri dalam air yang tingginya hanya sebatas pahanya, bajunya yang
serba putih basah kuyup dan kakek itu memandang dengan mata marah.
Akan tetapi Suling Emas tidak mempedulikannya, melainkan segera
menghapus muka dan kepalanya yang basah sambil menghampiri kakek merah
yang duduk dikurung api unggun dan main-main air mendidih.
“Kau
kedinginan, Locianpwe? Memang hawanya dingin bukan main. Untung kau
membuat api unggun!” Sambil berkata demikian, Suling Emas menghampiri
api dan memasukkan kedua tangannya ke dalam api yang bernyala-nyala,
bahkan membiarkan api itu bernyala menjilat leher dan mukanya!
“Bocah sombong! Berani kau memamerkan kepandaian kepada kami?” Kakek putih membentak marah dari dalam sungai.
“Huah-hah-hah, orang muda, bukankah kau anjing penjaga Kim-sim Yok-ong? Apakah kau menantang kami?”
“Ji-wi Locianpwe, aku hanya mengimbangi cara kalian. Sama sekali bukan
bermaksud pamer. Aku bukan penjaga, melainkan sahabat baik Kim-sim
Yok-ong yang kalian ganggu dengan cara keji melukai banyak orang.”
“Huah-hah-hah, ada delapan orang yang mampus, kan? Mengapa dia tidak
mampu menghidupkan mereka?” kata lagi kakek merah sambil berdiri di
tengah-tengah api unggun.
“Kailan dua orang tua benar-benar
terlalu. Ji-wi ini siapakah dan mengapa melakukan pembunuhan keji hanya
untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong? Apakah dosanya orang-orang itu
dan apa pula kesalahan Yok-ong yang selalu menolong orang tanpa
pandang bulu? Tidak ada orang di dunia kang-ouw ini yang tidak menaruh
sayang dan hormat kepada Yok-ong yang berhati emas, akan tetapi kalian
ini telah mempermainkannya.”
“Heh, bocah lancang! Siapakah kau berani bicara seperti ini kepada kami?” bentak si kakek putih.
“Ha-hah, apa peduliku dengan orang-orang kang-ouw cacing-cacing tiada
guna itu?” kata pula kakek merah. “Kau siapakah, bocah lancang?”
“Orang mengenalku dengan sebutan Kim-siauw-eng, Si Suling Emas!”
“Suling Emas, agaknya kau merasa menjadi pendekar muda. Usiamu paling
banyak tiga puluh tahun, masih bocah! Mana kau mengenal kami? Yang
tua-tua pun belum tentu mengenal kami. Akan tetapi kalau kau mau tahu,
aku adalah Lam-kek Sian-ong (Dewa Kutub Selatan) dan dia si putih itu
adalah Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara)! Nah, kau sudah mengenal kami
sekarang, dan kau harus mampus!” Si kakek merah ini tiba-tiba
menggerakkan tangannya ke arah api dan.... bagaikan bintang-bintang
beterbangan, lidah-lidah api itu menyambar ke arah tubuh Suling Emas!
Suling Emas kaget sekali. Baru ia tahu bahwa demonstrasi yang dilakukan
kakek ini tadi hanyalah demonstrasi kecil saja, mungkin dilakukan
karena memandang rendah kepadanya. Akan tetapi serangan yang
dilakukannya kali ini, benar-benar hebat luar biasa, merupakan “pukulan
berapi” yang luar biasa, mengandung sifat panas melebihi api sendiri.
Ia maklum bahwa inti tenaga Yang ini amat kuat, ia takkan mampu
menandinginya kalau melawan dengan kekerasan, maka cepat Suling Emas
menggunakan kipasnya mengebut sambil meloncat ke sana ke mari. Api
menyala-nyala yang menyambar itu merupakan api yang didorong oleh
tenaga pukulan jarak jauh, begitu terkena dikebut, menyeleweng arahnya
dan karena kakek itu terus melakukan pukulan sedangkan Suling Emas
terus mengibas sambil mengelak tampaklah pemandangan yang indah.
Api-api itu beterbangan, merah menyala dan padam apabila runtuh
menyentuh tanah, seperti kembang api yang dinyalakan orang untuk
menyambut datangnya musim semi!
“Serahkan dia padaku!” seru si
muka putih dan tiba-tiba dari arah sungai melayang sinar-sinar putih
berkeredepan dan setelah dekat, Suling Emas merasa hawa dingin yang
menembus kulit menyelinap ke tulang-tulang. Kagetlah ia dan maklum
bahwa juga kakek putih ini benar-benar sakti. Inti tenaga Im yang
dimiliki kakek itu sudah sedemikian hebatnya sehingga ia mampu membuat
air sungai dikepal menjadi salju atau es dan dilontarkan merupakan
peluru-peluru yang mengandung hawa pukulan dingin mematikan! Seperti
juga serangan api tadi, kini serangan es yang dingin tak mampu ia
menghadapinya dengan perlawanan tenaga, maka ia pun cepat mengelak ke
sana ke mari sambil menyelewengkan hujan es itu. Sebentar saja Suling
Emas menjadi sibuk sekali, kipasnya mengibas hujan api dari kanan,
sulingnya menangkis hujan peluru es dari kiri!
Adapun kedua
orang kakek itu agaknya begitu penasaran sehingga mereka tidak mau
menggunakan cara lain untuk menyerang. Berkali-kali terdengar mereka
berseru kaget dan kagum. “Aneh, dia dapat bertahan!” disusul
seruan-seruan tak percaya, “Masa semua tidak mengenai sasaran?”
Agaknya karena penasaran inilah mereka terus melontarkan pukulan
seperti tadi dan Suling Emas terus-menerus menangkis dan meloncat ke
sana ke mari menyelamatkan diri tanpa mampu balas menyerang. Namun
gin-kangnya memang sudah hebat dan gerakan kaki tangannya sudah
sempurna, maka biarpun dihujani api dan es dari kanan kiri, pendekar ini
tetap dapat mempertahankan diri. Sementara itu, senja sudah mulai
terganti malam dan bulan mulai menampakkan dirinya. Bulan bundar dan
penuh, kebetulan tidak ada awan menghalang, halimun pun sudah pergi,
maka keadaan menjadi terang benderang.
“Suling Emas....! Mengapa kau tidak muncul? Takutkah engkau?” Terdengar teriakan yang bergema, datangnya dari arah puncak.
Suling Emas sibuk sekali. Dua orang kakek ini lihai bukan main, tak
mungkin ia dapat meninggalkan mereka. Ia pun tahu akan kelihaian dan
kejahatan iblis-iblis yang berada di puncak. Kalau mereka tahu bahwa
ada dua orang kakek asing yang amat sakti memusuhinya, tentu mereka akan
mempergunakan kesempatan baik ini untuk memukul roboh padanya. Maka ia
pun diam saja.
“Huah-hah-hah, agaknya bocah ini banyak
musuhnya. Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), biar kita beri kesempatan
padanya untuk menghadapi musuhnya, baru nanti kita turun tangan, takkan
terlambat.”
“Baiklah, Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah) kita nonton, sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh jaman sekarang!”
Seketika hujan api dan hujan es itu terhenti dan ketika Suling Emas
memandang, kedua orang kakek itu sudah lenyap dari tempat itu! Ia
menarik napas panjang, menyusut peluhnya dan berkata seorang diri,
“Berbahaya....! Mereka benar lihai. Apa maksud kedatangan mereka di
dunia ramai? Nama mereka tidak dikenal di dunia kang-ouw, tanda bahwa
mereka adalah pertapa-pertapa yang puluhan tahun menyembunyikan diri,
mengapa sekarang tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu Kim-sim
Yok-ong?” Suling Emas mengerutkan keningnya dan diam-diam ia ingin
melihat gerakan ilmu silat mereka untuk mencoba-coba menerka, dari
golongan manakah kakek merah dan kakek putih itu. Tingkat tenaga inti
dari Im dan Yang sedemikian tingginya, kiranya hanya dicapai oleh para
guru besar dari partai-partai persilatan besar pula, hasil latihan
matang selama puluhan tahun.
“Suling Emas! Apakah kau tidak
berani muncul?” kembali terdengar seruan suara parau yang menggunakan
khi-kang. Suling Emas mengenal suara ini, suara It-gan Kai-ong, maka ia
lalu mengerahkan khi-kangnya, berseru keras.
“Aku Kim-siauw-eng
datang!” Tubuhnya berkelebat cepat bagaikan terbang menuju ke puncak
itu. Bulan purnama bersinar terang, dan Suling Emas memang sudah sering
kali mendaki pegunungan ini sehingga ia hafal akan jalannya, maka di
bawah penerangan bulan purnama, sebentar saja ia sudah sampai di puncak.
Ternyata mereka sudah hadir lengkap di puncak yang merupakan tanah
terbuka ditumbuhi rumput hijau. Lengkap hadir para anggauta Thian-te
Liok-koai yang kini hanya tinggal lima orang itu. It-gan Kai-ong,
Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, Toat-beng Koai-jin, dan adiknya, Tok-sim
Lo-tong. Mereka sudah tidak sabar lagi menanti, dan mengomel panjang
pendek ketika akhirnya Suling Emas muncul.
“Anggauta Thian-te
Liok-koai selalu berlumba untuk lebih dulu hadir dalam pertemuan mengadu
kepandaian, membuktikan bahwa ia berani. Dia ini main lambat-lambatan,
anggauta macam apa ini!” Toat-beng Koai-jin mendengus dan marah-marah.
“Memang dia tidak patut menjadi anggauta Thian-te Liok-koai! Cuhhh!” It-gan Kai-ong meludah dengan sikap menghina sekali.
“Sudah menjadi pendirian Thian-te Liok-koai bahwa anggauta-anggautanya
terdiri daripada orang-orang gagah yang suka melakukan perbuatan berani
dan gagah! Akan tetapi dia ini tidak gagah berani, melainkan lemah dan
pengecut, buktinya dia selalu memperlihatkan watak lemahnya dengan
menolong orang-orang!”
***
Mendengar ucapan Hek-giam-lo
ini semua orang mengangguk-angguk membenarkan. Diam-diam Suling Emas
mengeluh di dalam hatinya. Memang, baik dan jahat, gagah dan pengecut,
semua hanya sebutan manusia, dan karenanya baik atau pun bucuk, gagah
ataupun pengecut, sepenuhnya tergantung daripada orang yang
mengatakannya, yaitu berdasarkan pandangannya. Iblis-iblis berupa
manusia ini memang wataknya berlainan dengan manusia biasa, akan tetapi
mereka tidak sengaja bersikap demikian, karena memang menurut pendapat
mereka, pandangan mereka itu pun benar pula! Dari jaman dahulu sampai
kini banyak terdapat orang-orang seperti ini, yang hatinya sudah
tertutup dan kotor sehingga pandangannya pun kotor dan nyeleweng tanpa
mereka sadari. Perbuatan ugal-ugalan, mengganggu orang, menindas,
mengandalkan kekuasaan dan kekuatan, mengganggu wanita baik-baik,
menonjolkan kekurangajaran, semua perbuatan ini mereka anggap sebagai
perbuatan gagah berani, atau setidaknya sebagai bukti bahwa mereka ini
gagah berani dan mereka bahkan menjadi bangga karena
perbuatan-perbuatan itu. Sebaliknya, orang-orang yang menghindari
perbuatan-perbuatan semacam ini, yang selalu berusaha mengasihi
sesamanya, mengulurkan tangan menolong sesamanya, dianggap sebagai
tanda dari watak penakut dan pengecut!
“Hi-hi-hik!” Siang-mou
Sin-ni tertawa terkekeh dan memasang muka semanis-manisnya ketika ia
mendekati Suling Emas, memandang wajah yang tampan itu, lalu berkata,
“Betapapun juga, kepandaiannya cukup lumayan untuk membuat ia patut
menjadi anggauta Thian-te Liok-koai. Tentang sifat-sifat gagah berani
itu, biarlah kelak aku sendiri yang akan membimbingnya. Aku akan membuat
hatinya lebih kuat daripada hati kalian, aku akan mengajarnya menjadi
seorang yang paling gagah dan paling berani di dunia ini!” Kembali iblis
betina itu terkekeh dan dari rambutnya semerbak bau wangi. Tentu saja
yang dimaksudkan dengan “hati kuat” adalah hati yang kejam dan ganas,
sedangkan “gagah berani” adalah suka melakukan perbuatan yang paling
jahat mengerikan. Ketika Siang-mou Sin-ni mengulurkan tangan hendak
menggandengnya, Suling Emas melangkah mundur sambil mengelak.
“Eh, Suling Emas, mengapa kau mundur? Bukankah tadi kita sudah
main-main dan permainan bersama kita menghasilkan perpaduan yang sedap
didengar? Percayalah, kalau kau dan aku bersatu, kelak kita akan
mempunyai seorang putera yang akan menjadi raja yang menguasai seluruh
jagad!”
Suling Emas melangkah maju dan berkata, suaranya keren,
“Dengarlah kalian berlima! Aku datang bukan dengan maksud hendak menjadi
anggauta Thian-te Liok-koai, oleh karena itu tidak perlu kalian menilai
diriku apakah aku patut atau tidak menjadi rekan kalian! Aku datang
mewakili mendiang ibuku yang ditantang oleh It-gan Kai-ong untuk ikut
dalam adu ilmu di antara Thian-te Liok-koai, dan di samping itu, aku
hendak minta kembali tongkat pusaka Beng-kauw dari tangan Hek-giam-lo
juga sekalian aku memang mempunyai perhitungan dengan kalian semua.
It-gan Kai-ong harus mengembalikan kitab yang dirampasnya dari tangan
Locianpwe Bu Kek Siansu, juga Hek-giam-lo, sedangkan Siang-mou Sin-ni
harus mengembalikan yang-khim. Adapun Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim
Lo-tong yang kena dibujuk It-gan Kai-ong untuk menjadi kaki tangan Suma
Boan, sebaiknya kembali saja ke tempat asal kalian di pulau-pulau
kosong!”
“Wah-wah, dia cukup berani! Memaki-maki kita, mengusir
kami berdua! Biarkan dia ikut dalam adu kepandaian!” kata Toat-beng
Koai-jin. Memang tokoh-tokoh hitam ini paling suka melihat orang yang
berani, apalagi yang kejam, karena watak ini cocok dengan selera mereka.
“Baiklah, kita mulai dan kali ini kita harus bersungguh-sungguh untuk
dapat menentukan urutan tingkat dalam Thian-te Liok-koai, siapa yang
paling pandai disebut twako (kakak tertua), yang ke dua ji-ko (kakak ke
dua) dan seterusnya. Yang mampus dalam adu ilmu ini takkan dikubur,
bangkainya akan menjadi makanan binatang buas dan burung gagak,
tulang-tulangnya akan diperebutkan anjing-anjing hutan!” kata It-gan
Kai-ong sambil meludah-ludah.
“Bagus, kita mulai!” teriak
Siang-mou Sin-ni dan Hek-giam-lo berbareng. Lima orang itu serentak
meloncat mundur, masing-masing melompat mundur kira-kira dua tombak
jauhnya dan kini mereka memasang kuda-kuda, mata mereka melirik-lirik
mencari korban. Karena maklum bahwa mereka ini adalah orang-orang sakti
yang aneh, Suling Emas juga tidak mau menjadi sasaran di tengah-tengah
dan ia pun melompat mundur. Kini enam orang itu merupakan lingkaran yang
menghadap ke dalam, menanti saat untuk merobohkan lawan dalam
pertandingan campuran itu, di mana tidak ada kawan, semua adalah lawan
yang harus dikalahkan, kalau perlu dibunuh!
“Siapa berani
menyerangku?” It-gan Kai-ong mengejek. Kesempatan ini dipergunakan oleh
Tok-sim Lo-tong yang menerjangnya dari samping kiri sambil
mengeluarkan senjatanya yang berupa seekor ular hidup. Terjangan ini
dibarengi pekik nyaring yang tidak menyerupai pekik manusia lagi,
melainkan lebih pantas keluar dan mulut seekor binatang buas atau
agaknya begitulah suara iblis. Memang aneh sekali watak orang-orang ini.
Tok-sim Lo-tong bersama kakaknya, Toat-beng Koai-jin tadinya dapat
diperalat It-gan Kai-ong dan bekerja sama dengan raja pengemis itu.
Akan tetapi dalam pertemuan di puncak Thai-san ini, di mana mereka
hendak memperebutkan kedudukan sebagai saudara tua yang paling lihai di
antara mereka, lenyaplah segala persahabatan, segala hubungan,
satu-satunya nafsu yang menguasai mereka adalah menang sendiri dan
menjadi jagoan nomor satu!
Serangan Tok-sim Lo-tong ini hebat
sekali, tangan kirinya yang mencenakeram ke depan mengeluarkan sambaran
angin pukulan yang mengeluarkan bunyi seperti suara tikus, bercicitan,
sedangkan ular yang ia pegang dengan tangan kanan itu meluncur ke depan
menggigit dan mengeluarkan racun dari semburan mulutnya! Jangan
dipandang rendah racun ular itu karena binatang yang dijadikan senjata
ini adalah ular beracun yang amat berbahaya, yang mempunyai bisa disebut
“racun api” karena racun itu dapat membakar hangus apa saja yang
disentuhnya. Juga cengkeraman tangan kiri Bocah Tua Hati Racun (Tok-sim
Lo-tong) ini mengandung tenaga dalam yang penuh dengan racun dingin,
merupakan racun yang berlawanan dengan ular di tangan kanannya, namun
tidak kalah hebatnya karena sekali saja pukulan tangan kirinya mengenai
sasaran, dapat membikin beku jantung dan darah.
Namun Tok-sim
Lo-tong boleh jadi berbahaya bagi lawan manusia biasa, menghadapi It-gan
Kai-ong ia menemukan tanding. Dengan suara ketawa terbahak, raja
pengemis ini menyambut serangan Tok-sim Lo-tong dengan sama dahsyatnya.
Kakek mata satu ini mengangkat tongkat bututnya, ditusukkan ke arah
mulut ular sedangkan dia sendiri meludah tiga kali berturut-turut yang
ditujukan ke arah tiga jalan darah di sepanjang lengan kiri lawan yang
menyerangnya. Jadi, serangan Tok-sim Lo-tong itu dibalas serangan pula
oleh It-gan Kai-ong!
“Uh-uh!” Lo-tong menjerit marah dan tentu
saja ia mengerahkan kedua lengannya, yang kanan untuk menghindarkan
ularnya dari tusukan maut sedangkan yang kiri untuk menghindari sambaran
air ludah yang lebih berbahaya daripada senjata rahasia beracun.
Kemudian ia mendesak lagi dengan memutar ularnya seperti kitiran angin
cepatnya, sedangkan tangan kirinya tetap melakukan pukulan sebagai
selingan.
“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong tertawa mengejek dan ia
pun memutar tongkatnya mengimbangi lawan dan di lain saat keduanya
sudah berhantam dengan seru. Biarpun tongkat di tangan It-gan Kai-ong
itu hanya tongkat butut, namun kalau sudah ia mainkan seperti itu, dapat
melawan senjata baja yang bagaimana keras dan tajam pun. Sebaliknya,
senjata hidup di tangan Tok-sim Lo-tong juga demikian, kecuali bagian
lemah yang terletak di mulut dan mata ular itu, tubuh ular telah
dilindungi kulit yang kebal dan tahan bacokan senjata tajam.
Pertandingan antara dua orang tokoh iblis dunia ini hebat sekali, angin
yang berputar-putar seperti angin puyuh membuat pohon-pohon di sekitar
tempat itu bergoyang-goyang dan daun-daun pohon banyak yang rontok!
Sementara itu, Hek-giam-lo, orang ke dua yang sama licik dan curangnya
dengan It-gan Kai-ong, segera menggerakkan senjata sabitnya yang
mengerikan dan tajam seperti pisau cukur itu, tanpa peringatan lagi ia
menerjang Toat-beng Koai-jin yang berdiri di sebelah kirinya. Mengapa ia
memilih lawan Toat-beng Koai-jin? Inilah kecerdikan setan hitam itu.
Menurut perhitungannya, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni, apalagi
dengan Suling Emas, Toat-beng Koai-jin ini adalah lawan yang lebih
empuk, maka ia tidak menyia-nyiakan waktu terus saja meniilih Toat-beng
Koai-jin sebagai lawannya yang ia yakin akan dapat ia jatuhkan dalam
waktu singkat.
Toat-beng Koai-jin si manusia liar yang gendut
berpunuk seperti kerbau itu, bertelanjang baju, menggereng seperti
binatang biruang luka, kemudian kedua tangannya mencakar-cakar dengan
kuku-kukunya yang panjang runcing. Di lain saat sudah ada tiga buah batu
besar dan dua batang pohon menyambar ke arah Hek-giam-lo. Iblis Hitam
ini tentu saja dapat mengelak cepat, akan tetapi ketika ia menerjang
lagi, si punuk liar itu sudah memegang sebatang pohon besar,
dipergunakan sebagai senjata, mengamuk dan menerjang Hek-giam-lo! Repot
juga Hek-giam-lo diterjang dengan senjata pohon yang penuh cabang
ranting dan daun-daun itu. Ia membabat dengan sabitnya dan
beterbanganlah daun-daun dan ranting pohon itu bagaikan hujan. Sebentar
saja pohon di tangan Toat-beng Koai-jin sudah tinggal batangnya saja
yang dipergunakan oleh Toat-beng Koai-jin sebagai senjata tongkat besar,
tongkatnya yang sebesar balok bergaris tengah tiga puluh senti itu ia
putar-putar di atas kepala sehingga sinar bayangannya menyelimuti
seluruh tubuhnya. Segera kedua orang iblis ini sudah saling terjang dan
terlibat dalam pertandingan yang tidak kalah serunya dengan pertandingan
antara It-gan Kai-ong dan Tok-sim Lo-tong. Hanya bedanya, pertandingan
ini mengakibatkan batu-batu kecil beterbangan ke atas dan tanah
menjadi debu bergulung-gulung menyuramkan pandangan mata yang hanya
diterangi sinar bulan purnama.
Suling Emas sudah siap siaga
ketika ia melihat orang terakhir, Siang-mou Sin-ni melangkah dan
menghampirinya dengan langkah seperti harimau lapar, dengan pinggul
digoyang-goyang, lenggang dibuat-buat, disertai senyum manis dan
sepasang mata ini berkilat-kilat memantulkan sinar bulan. Deretan gigi
putih berkilauan mengintai dari balik bibir mengulum senyum, Suling
Emas bersikap makin waspada dan siap, karena ia cukup mengenal iblis
betina ini. Makin manis sikapnya, makin berbahayalah iblis ini.
Diam-diam ia harus kecantikan Siang-mou Sin-ni. Seorang wanita yang
sudah masak, yang sukar dicari cacatnya dari rambut yang halus hitam
panjang berbau harum itu sampai kepada wajah cantik jelita dan bentuk
tubuh yang ramping padat dan sepasang kaki tangan yang kecil menarik.
Patut disayangkan seorang wanita yang berdarah bangsawan Kerajaan
Hou-han ini tersesat menjadi seoranp manusia iblis yang keji. Kalau
Suling Emas teringat akan perbuatan-perbuatan jahat Siang-mou Sin-ni,
lenyaplah rasa sayang dan kasihannya. Entah berapa banyak manusia dan
kanak-kanak tidak berdosa tewas di tangan iblis wanita ini, dihisap
darahnya hidup-hidup untuk dijadikan obat kuat! Mengingat akan kekejaman
ini, ia bergidik dan timbul niatnya untuk membasmi wanita iblis ini
agar lenyap sebuah ancaman bagi keselamatan manusia.
Akan tetapi
wanita itu tidak segera menyerangnya seperti yang disangka oleh Suling
Emas, bahkan mendekatinya sambil tersenyum-senyum dan matanya
mengerling tajam.
“Suling Emas, biarkan si goblok itu saling
gempur sendiri. Kita tidak begitu goblok untuk bunuh-membunuh di malam
seindah ini, bukan? Lihat, betapa indahnya bulan, betapa cemerlang dan
sejuknya hawa udara. Suling Emas, kita biarkan mereka itu saling gebuk
dan saling bunuh, nanti dengan mudah kita bereskan mereka semua
anjing-anjing busuk itu, Sekarang mari kita menonton mereka sambil
mengobrol di bawah sinar bulan purnama, asyik dan nikmat, kan? Aku
merindukan dirimu semenjak pertama kita di sini dahulu. Marilah,
sayang!” Sambil berkata demikian, dengan bibir tersenyum dan mata
setengah terkatup wanita itu mengembangkan kedua lengannya seperti
hendak memeluk Suling Emas.
Suling Emas melangkah mundur,
mengibaskan lengan bajunya dengan marah. “Siang-mou Sin-ni, simpanlah
bujuk rayumu untuk orang lain. Aku bukanlah laki-laki seperti yang
kaukehendaki. Lebih baik kau insyaflah, tebus dosa-dosamu dengan bertapa
dan membersihkan batin. Kalau tidak mungkin aku sendiri yang akan
mengantar kau kembali ke alam asalmu!”
Tiba-tiba sepasang mata
yang tadi setengah terkatup bersinar mesra itu terbuka lebar dan
sinarnya kini penuh kekejian. Mulut itu masih tersenyum, akan tetapi
matanya membayangkan kebencian yang memuncak. Kennudian, tiba-tiba
wanita itu menjerit dan menubruk maju, didahului rambutnya yang panjang
menyambar hendak menangkap Suling Emas. Wanita yang tadinya seperti
seorang puteri jatuh cinta, yang gerakannya lemah gemulai dan penuh
bujuk rayu itu, kini tiba-tiba berubah menjadi siluman betina yang haus
darah!
“Kalau begitu, mampuslah kau!” teriaknya mengikuti serbuannya.
Suling Emas cepat menggerakkan kipasnya mengebut pergi rambut itu dan
sulingnya berkelebat menjadi sinar keemasan menotok ke arah leher
Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi wanita sakti ini dapat mengelak dan
melanjutkan serangannya dengan dahsyat dan penuh kebencian. Kini
tangan kirinya memegang sebuah yang-khim sebagai senjata dan
bertempurlah mereka berdua dengan seru dan mati-matian.
Tempat
yang indah dan romantis, puncak Thai-san yang biasanya sunyi hening dan
yang tentu akan menarik perhatian kaum pertapa sebagat tempat suci itu
kini menjadi medan pertandingan mati-matian yang mengerikan. Enam orang
yang sedang bertempur itu kesemuanya memiliki kesaktian yang tinggi.
Angin pukulan mereka membuat daun-daun rontok, semua batu-batu pecah
berhamburan dan debu mengebul tinggi. Suara angin pukulan mereka
berciutan mengerikan dan dalam jarak belasan meter batang-batang pohon
yang terlanda angin pukulan berguncang-guncang seperti didorong oleh
tenaga raksasa.
Dasar lima orang manusia iblis itu berwatak aneh
dan liar, maka dalam melakukan pertandingan untuk menentukan siapa yang
paling unggul, sama sekali tidak dipergunakan aturan sehingga
pertempuran itu dari kacau-balau dan penuh nafsu membunuh. Dan memang
masing-masing memiliki keistimewaan sendiri maka tidaklah mudah bagi
yang seorang untuk mengalahkan yang lain.
Betapapun juga,
menghadapi It-gan Kai-ong yang luar biasa dan yang telah memiliki
sebagian daripada kitab rampasan dari Bu Kek Siansu, lambat-laun Tok-sim
Lo-tong terdesak hebat. Karena merasa penasaran bahwa Tok-sim Lo-tong
selalu dapat menahan serangannya sungguhpun ia sudah mengerahkan seluruh
tenaga, akhirnya It-gan Kai-ong memekik keras dan mulailah ia
menggerakkan tongkatnya menurut ilmu barunya yang ia pelajari daripada
kitab rampasannya yang hanya setengahnya itu. Namun hasilnya sudah hebat
sekali. Serangkum angin pukulan berpusing menyerbu ke arah Tok-sim
Lo-tong. Iblis ini mengeluarkan seruan kaget, cepat ia memutar pula
ularnya.
“Prakkk!” ujung tongkat It-gan Kai-ong tepat sekali
menghantam kepala ular sehingga kepala ular itu pecah berantakan.
Tok-sim Lo-tong menjerit marah dan ia menyambitkan bangkai ular ke arah
lawannya. Namun sekali menangkis, bangkai ular itu terlempar ke samping,
ke arah gerombolan pepohonan di sebelah kiri. Terdengar jerit
mengerikan dan tubuh seseorang yang tak dikenal terguling-guling roboh,
sebagian dari tubuh ular itu masuk ke dalam dadanya. Demikian hebatnya
sambitan itu! Kiranya orang yang terkena sambitan itu adalah seorang
tosu yang tadinya menonton sambil bersembunyi.
Pada saat
berikutnya, terdengar Siang-mou Sin-ni terkekeh genit, rambutnya
menyambar ke kanan dan di saat berikutnya rambutnya telah “menangkap”
seorang hwesio yang tak mampu melepaskan diri, biarpun sudah
meronta-ronta sekuat tenaga. Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan
tubuh hwesio itu terangkat lalu diputar-putar seperti kitiran,
dijadikan senjata melawan Suling Emas!
“Iblis keji! Lepaskan
dia!” seru Suling Emas yang terpaksa mengelak ke sana sini karena tidak
mau menangkis yang akibatnya tentu menewaskan hwesio penonton yang tak
bersalah itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh dan terus
menerjang makin hebat. Dengan menggunakan gin-kangnya, Suling Emas
mendahului meloncat ke atas dan dari atas sulingnya bergerak menghantam
rambut yang mengikat hwesio itu, sedangkan tangan kirinya merampas tubuh
si hwesio. Hwesio itu dapat terampas dan terlepas, akan tetapi alangkah
kaget hati Suling Emas melihat bahwa hwesio itu sudah tewas, lehernya
hampir putus oleh jiratan rambut tadi! Ia melemparkan mayat itu ke
samping lalu menerjang maju penuh kemarahan. Wamta iblis itu
menyambutnya sambil terkekeh mengejek.
Agaknya sudah banyak
berkumpul tokoh-tokoh kang-ouw yang cukup tabah untuk menonton
pertandingan hebat ini, yang memang sudah tersiar luas di dunia
kang-ouw. Celakanya, ketabahan harus dibayar mahal sekali sehingga
dalam waktu beberapa detik saja, dua orang sudah menjadi korban. Lebih
hebat lagi, agaknya hal ini menimbulkan kegembiraan hati yang buas dan
liar itu, karena terdengar It-gan Kai-ong tertawa-tawa, untuk sementara
mengurangi desakannya pada Tok-sim Lo-tong dan ia meludah sejadi-jadinya
ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dan beberapa orang sudah
terluka oleh ludah-ludah itu. Sibuklah kini di balik pepohonan itu
karena orang-orang yang tadinya menonton mulai jerih, beramai-ramai
mengundurkan diri sambil membawa teman-teman yang tewas atau terluka.
Akan tetapi tampak sinar terang berkelebat dan dua orang di antara
mereka terjungkal tanpa kepala lagi. Kiranya Hek-giam-lo tidak mau
ketinggalan dan berpesta dengan senjata sabitnya. Hal ini ditambah
dengan hujan batu besar dan pohon-pohon yang dilontarkan oleh Toat-beng
Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
Setelah para penonton yang tak
diundang itu kalang-kabut pergi menjauhi tempat maut itu, pertandingan
dilanjutkan, lebih gembira dan lebih dahsyat daripada tadi. Tok-sim
Lo-tong kini sudah meniru kakaknya, menggunakan sebatang pohon untuk
menghadapi It-gan Kai-ong. Akan tetapi karena keistimewaannya adalah
senjata ular hidup, ia tidaklah begitu cekatan seperti kakaknya dan
beberapa belas jurus kemudian, tongkat It-gan Kai-ong yang gerakannya
berpusing aneh itu berhasil mengetuk tangannya sehingga sambil berterik
kesakitan Tok-sim Lo-tong terpaksa melepaskan senjatanya sambil
bergulingan ke kiri dikejar It-gan Kai-ong yang tertawa-tawa.
Ketika Tok-sim Lo-tong terguling di dekat Hek-gia-lo, mendadak iblis
hitam ini meninggalkan Toat-beng Koai-jin dan mengayun sabitnya membacok
ke arah kepala Tok-sim Lo-tong! Iblis gundul kurus kering ini cepat
mengelak sambil meloncat berdiri sehingga sabit itu luput makan lehernya
dan amblas ke dalam tanah sambil mengeluarkan api ketika terbentur
batu-batu yang terbabat seperti agar-agar saja!
Terdengar
teriakan keras dan pnhon besar di tangan Toat-beng Koai-jin menyambar
ke arah Tok-sim Lo-tong yang baru saja terbebas dari maut di tangan
Hek-giam-lo. Tok-sim Lo-tong meloncat tinggi menghindari serangan
kakaknya sendiri, akan tetapi ia terhuyung-huyung oleh sambaran angin
pukulan dengan batang pohon ini. Hebatnya, Siang-mou Sin-ni agaknya
melupakan Suling Emas dan kini wanita itu pun menerjang Tok-sim Lo-tong
yang sudah terhuyung-huyung, menggunakan rambutnya yang panjang mengirim
serangan maut!
Suling Emas berdiri bengong. Lima orang itu
memang patut dijuluki iblis. Mereka begitu licik dan curang sehingga
dalam pertandingan menentukan kedudukan ini, mereka tidak segan-segan
untuk mengeroyok Tok-sim Lo-tong yang terdesak hebat, menggunakan
serangan-serangan maut. Bahkan Toat-beng Koai-jin, kakak Tok-sim Lo-tong
sendiri, ikut pula mengeroyok, seakan-akan lupa bahwa yang dikeroyok
itu adalah adiknya sendiri! Adakah manusia yang lebih ganas daripada
mereka ini?
Namun, boleh dipuji kepandaian Tok-sim Lo-tong.
Biarpun ia tadi terhuyung-huyung, namun menghadapi serangan Siang-mou
Sin-ni, ia masih dapat menggerakkan kedua tangan mengirim
pukulan-pukulan dengan sin-kang sehingga gumpalan rambut yang menyambar
ke arahnya itu dapat tertahan oleh hawa pukulannya, malah kini
tangannya membentuk cakar setan untuk mencengkeram rambut itu! Pada saat
itu, tampak berkelebatnya sabit Hek-giam-lo yang membabat ke arah
tangannya sehingga terpaksa Tok-sim Lo-tong menarik kembali tangannya.
Tongkat It-gan Kai-ong menyambutnya dari belakang dan batang pohon di
tangan Toat-beng Koai-jin juga sudah menyambar pula dari depan! Tok-sim
Lo-tong sibuk mengelak dan menggunakan ilmunya menggelinding seperti
bola ke sana ke mari, gesit dan cepat sekali. Namun empat orang
pengeroyoknya tidak memberi ampun dan pada saat ia meloncat bangun
menghindarkan bacokan Hek-giam-lo, pundaknya keserempet tongkat It-gan
Kai-ong. Si gundul kurus kering ini memekik kesakitan dan membalikkan
tubuh hendak mengamuk. Namun cabang-cabang pada batang pohon yang
menyambarnya telah menyapu kakinya sehingga ia roboh terguling.
“Tranggggg!” Sinar kuning emas menangkis sabit yang membacok kepala
Tok-sim Lo-tong dan menangkis pula tongkat It-gan Kai-ong, bahkan
kipasnya mengebut rambut-rambut Siang-mou Sin-ni. Kiranya Suling Emas
yang menolong Tok-sim Lo-tong. Pendekar ini tak dapat tinggal diam saja
menyaksikan pertandingan yang berat sebelah dan tidak adil. Mana ada
aturan mengeroyok orang yang sudah terdesak? Benar-benar mereka itu
tidak mengenal watak gagah tidak mau peduli akan norma-norma yang
berlaku pada tokoh-tokoh kang-ouw. Biasanya, sungguhpun golongan hitam
yang terdiri daripada penjahat, masih enggan melakukan perbuatan yang
memalukan dan bersifat pengecut. Akan tetapi iblis-iblis ini
benar-benar tak tahu malu dan terpaksa Suling Emas turun tangan membantu
Tok-sim Lo-tong yang dikeroyok oleh empat orang rekan-rekannya para
anggauta Thian-te Liok-koai termasuk kakaknya sendiri Toat-beng
Koai-jin!
Campur tangan Suling Emas membuat pertandingan menjadi
kacau-balau dan secara otomatis mereka itu masing-masing memilih lawan
terdekat dan di lain saat It-gan Kai-ong sudah bergebrak melawan
Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni bertanding dengan Toat-beng Koai-jin,
sedangkan Tok-sim Lo-tong yang kini sudah menyambar sebatang pohon itu
kini menyerang mati-matian kepada Suling Emas yang baru saja
membebaskannya daripada ancaman maut! Semua keadaan yang tidak tahu
aturan, tidak mengenal budi, dan liar ganas seenaknya sendiri ini
berjalan tanpa kata-kata.
Diam-diam Suling Emas menjadi
bingung juga. Ia tidak mau terlalu mendesak Tok-sim Lo-tong karena ia
tahu bahwa begitu si gundul kurus kering ini ia desak, tentu yang
lain-lain akan turun tangan mengeroyok Tok-sim Lo-tong! Oleh karena
inliah maka ia hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan jalannya
pertandingan antara pasangan-pasangan lain. Juga ia sempat melihat bahwa
banyak juga tokoh kang-ouw yang masih bersembunyi menonton, akan
tetapi mereka kini tidak berani terlalu mendekati tempat itu, melainkan
nooton dalam jarak yang cukup aman.
Mendadak terdengar suara
“cring-cring-cring” yang amat nyaring dan menggetarkan jantung. Suling
Emas kaget sekali, mengenal suara itu yang ternyata keluar dari alat
musik yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni! Betul saja Toat-beng
Koai-jin yang terserang suara ini karena ia bertanding melawan Siang-mou
Sin-ni, tidak kuat melawan pengaruh suara yang mengikat semangat ini,
ilmu yang dicuri oleh Siang-mou Sin-ni menggunakan yang-khim milik Bu
Kek Siansu. Kakek berpunuk yang liar itu tiba-tiba menjadi pucat dan
terhuyung-huyung ke belakang. Tahu-tahu kedua kakinya sudah terkena
sambaran rambut Siang-mou Sin-ni yang menariknya sehingga kakek liar itu
terjengkang ke belakang. Seperti tadi ketika Tok-sim Lo-tong terdesak,
kini mereka berempat, Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong, dan Tok-sim Lo-tong
bersama Siang-mou Sin-ni serentak menyerang Toat-beng Koai-jin yang
sudah roboh!
“Pengecut, tahan!” seru Suling Emas melompat untuk
membantu Toat-beng Koai-jin. Namun terlambat karena ketika ia tiba di
dekat kakek itu, sabit di tangan Hek-giam-lo telah membacok kepala,
sedangkan tongkat It-gan Kai-ong sudah menusuk dada dalam detik hampir
berbareng, sedangkan rambut Siang-mou Sin-ni yang terbagi menjadi dua
merobek tubuh kakek itu dengan menarik kedua kaki ke kanan kiri disusul
oleh hantaman balok pohon oleh Tok-sim Lo-tong. Betapapun saktinya
Toat-beng Koai-jin, tubuhnya seketika menjadi remuk dan terobek-robek,
hancur!
“Kejam! Kalian iblis-iblis ganas!” bentak Suling Emas
yang segera mengamuk dengan sulingnya. Saking hebatnya gerakan Suling
Emas, Tok-sim Lo-tong tak dapat menghindarkan dirinya dan sekali dadanya
terkena totokan suling, kakek ini pun roboh dengan nyawa putus, rohnya
melayang menyusul kakaknya.
“Heh-heh-heh, Toat-beng Koai-jin
menjadi anggauta ke enam karena dia mampus lebih dulu. Tok-sim Lo-tong
menjadi anggauta ke lima, setingkat lebih tinggi daripada kakaknya.
Lucu!” kata It-gan Kai-ong tertawa-tawa. Hek-giam-lo hanya mendengus dan
Siang-mou Sin-ni cekikikan. Kini tinggal empat orang yang masih hidup
dan otomatis mereka berdiri di empat sudut, memasang kuda untuk
memperebutkan kemenangan.
“Kalian iblis-iblis ganas, malam ini
aku Suling Emas bersumpah hendak membasmi kalian bertiga!” seru Suling
Emas. Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali dan dia
sekaligus sudah membagi-bagi serangan kepada tiga orang lawannya secara
beruntun. Karena maklum bahwa tiga orang lawannya ini merupakan
orang-orang terlihai dari Thian-te Liok-koai, maka dalam serangannya
ini Suling Emas mengeluarkan ilmunya berdasarkan Hong-in-bun-hoat yang
dahulu ia terima dari Bu Kek Siansu. Tidak saja gerakannya berdasarkan
ilmu silat huruf yang hebat ini, juga ia mengerahkan tenaga Kim-kong
Sin-im sehingga ketika bergerak, sulingnya mengeluarkan bunyi yang
dahsyat dan menggetarkan isi dada ketiga orang lawannya. Hebat sekali
gerakan Suling Emas ini, sulingnya berubah seperti halilintar
menyambar, sinarnya menyilaukan mata para lawannya, apalagi dibarengi
suara melengking tinggi itu, benar-benar mengejutkan lawan yang sambil
memekik mereka melompat mundur dengan gerakan mempertahankan diri.
Mereka selamat dari penyerangan pertama ini, namun tidak urung mereka
merasa gentar juga dan jantung mereka berdebar-debar.
Tiga orang
iblis ini adalah orang-orang yang cerdik dan licik. Maklumlah mereka
bahwa pendekar muda ini benar-benar tak boleh dibuat main-main,
kepandaiannya meningkat hebat semenjak pertemuan terakhir. Oleh karena
itu, kini pendirian mereka pun berubah. Mereka tidak mau saling serang
antara kawan sendiri dan bermaksud menggabungkan tenaga tiga orang untuk
menghadapi Suling Emas.
Tanpa kata-kata, tiga orang iblis ini
sudah bersepakat dalam hal ini, maka otomatis mereka melakukan gerakan
menyudut dan mengurung Suling Emas dari sudut segi tiga. Rambut yang
hitam halus dan panjang dari Siang-mou Sin-ni melebar tegak lurus
seperti duri landak, penuh tenaga dan siap dipergunakan, sedangkan alat
musik khim yang berada di tangan kanannya diangkat ke atas kepala,
digerak-gerakkan perlahan untuk mengubah-ubah posisi, mencari
kesempatan yang baik, wanita yang cantik ini sekarang kelihatan
mengerikan dan agaknya pantas kalau mulutnya yang menyeringai itu
diberi tambahan caling di kanan kiri, seperti gambar siluman betina
yang haus akan darah manusia. Hek-giam-lo juga berdiri dengan siap,
kedua kakinya terpentang lebar, kokoh kuat, mukanya yang berkedok
tengkorak amat mengerikan karena dari lubang di bagian matanya
berjelalatan, sabit yang tajam berkilau diangkat tinggi ke atas, terkena
sinar bulan berkeredepan menyilaukan, sedangkan tangan kirinya dengan
jari-jari terbuka didorong lurus ke depan, seperti tangan setan hendak
mencengkeram korbannya. Yang paling menjijikkan adalah It-gan Kai-ong.
Kakek raja pengemis ini berdiri agak terbongkok, kedua kakinya ditekuk
rendah bagian lututnya, tongkat bututnya melintang di depan dada,
matanya yang tinggal sebelah itu merah terbelalak tak pernah berkedip,
mulutnya agak terbuka dan air liurnya menetes-netes dari ujung kanan.
Suling Emas yang terkurung di tengah-tengah tampak tenang-tenang saja.
Lenyap sudah kerut merut kemarahan dari mukanya. Memang pendekar sakti
ini sudah berhasil menghalau nafsu marah di hatinya dan inilah syarat
utama bagi seorang pendekar silat, yaitu tidak boleh sekali-kali
dipengaruhi nafsu perasaan di hatinya. Ia berdiri dengan kuda-kuda
biasa, kaki kiri diangkat ke atas dengan lutut ditekuk, kaki kanan
berdiri di ujung jari kaki, suling di tangan kanan melintang di depan
kening, tangan kiri memegang kipas biru yang bergerak-gerak, tertutup
terbuka, perlahan-lahan tanpa mengeluarkan bunyi, sepasang matanya tidak
memandang ke mana-mana, seakan-akan memandang ujung hidungnya sendiri
seperti keadaan seorang dalam samadhi, namun seluruh urat syarafnya
telah “dipasang” dan panca inderanya mengikuti gerak-gerik tiga orang
lawannya.
Sunyi hening di saat itu. Empat orang itu seperti
patung-patung mati, bahkan pernapasan mereka pun tidak terdengar.
Jengkerik dan walang yang biasanya ramai berdendang menghias kesunyian
puncak, kini berhenti seakan-akan mereka ikut nonton dengan penuh
ketegangan dan kecemasan, seperti para tokoh kang-ouw yang sembunyi
sambil menonton di sekeliling tempat itu. Tiba-tiba empat “patung” itu
bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata biasa,
disertai suara-suara mengejutkan.
“Hiaaaaattttt!” Sabit di
tangan Hek-giam-lo menyambar cepat sekali, seperti kilat dan hanya
tampak cahayanya saja. “Siuuuttttt!” Hanya satu sentimeter saja
selisihnya dari leher Suling Emas yang dengan mudah miringkan tubuh
membiarkan sabit menyambar di dekatnya.
“Huah-ha-ha-ha....
wuuuuttttt!” Tongkat It-gan Kai-ong melakukan serangan tusukan maut dari
samping selagi Suling Emas miringkan tubuh, disusul pada detik
berikutnya oleh sambaran yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni yang
menghantam pusar dengan gerakan kuat-kuat sehingga yang-khim
mengeluarkan bunyi “singgggg!”. Namun dengan amat cekatan, seakan-akan
berubah menjadi segulung asap. Suling Emas sudah bergerak menyelinap di
antara gulungan sinar senjata lawan dan tak sebuah pun di antara hujan
senjata lawan dan tak sebuah pun di antara lembaran rambut Siang-mou
Sin-ni yang mengirim serangan susulan, dapat menyentuhnya! Namun
Hek-giam-lo sudah menerjang lagi, sabitnya menyambar-nyambar laksana
burung hantu dari udara, sedangkan tongkat It-gan Kai-ong juga
bergerak-gerak seperti ular hitam menotok pelbagai jalan darah
mematikan, dibantu oleh hantaman-hantaman yang-khim dan
sambaran-sambaran rambut yang mengeluarkan suara berciutan. Suling Emas
memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Ia meloncat, mendekam,
memutar tubuh, berjungkir-balik dan setelah lewat lima menit mereka
berempat bergerak-gerak sedemikian cepatnya sehingga bayangan mereka
campur aduk menjadi satu, tampak Suling Emas meloncat tinggi sekali dan
tahu-tahu sudah berdiri sejauh empat meter di depan tiga orang lawannya.
Kembali seperti tadi, mereka berempat tak bergerak, saling pandang
penuh rasa benci dan penasaran. Kini Suling Emas tidak terkurung lagi,
melainkan menghadapi mereka bertiga yang berada di depannya.
Perlahan-lahan tiga orang itu melangkah maju dan otomatis membentuk
barisan segi tiga. Namun Suling Emas tidak mau terkurung lagi. Ia ingin
membalas, tidak mau dijadikan umpan serangan mereka tanpa mendapat
kesempatan membalas sama sekali. Ia maklum bahwa kecepatan mereka itu
amat hebat dan kalau ia sudah terkurung seperti tadi, serangan mereka
bertubi-tubi tak pernah berhenti dan keadaan demikian itu tentu saja
amat berbahaya dan tidak menguntungkan. Ia tersenyum mengejek, lalu
berkata.
“Bagus, tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai! Menghadapi aku
saja dengan tiga lawan satu, kalian gentar, apalagi mau menghadapi
mendiang Ibuku! Eh, apakah kalian takut? Kalau takut....”
“Sssrrr.... srrr.... srrrrr....!”
“Cuiiiiittttt....!”
“Sing.... sing.... singgg!”
Suling Emas tentu saja sudah waspada. Malah ini yang ia kehendaki,
maka ia tadi sengaja mengejek untuk memanaskan hati mereka.
Pancingannya berhasil karena secara beruntun mereka melepas senjata
rahasia. Pertama-tama Siang-mou Sin-ni yang melontarkan jarum-jarum
beracun dari arah kiri, sebanyak tujuh belas yang kesemuanya menuju ke
jalan-jalan darah utama. Kemudian disusul oleh senjata rahasia It-gan
Kai-ong yang menjijikkan namun tak kalah jahatnya, yaitu air ludahnya,
menyerang dari arah kanan dan paling akhir Hek-giam-lo telah
menggunakan pisau-pisau terbangnya menyerang dari depan langsung dengan
kecepatan luar biasa. Biarpun orang sesakti Suling Emas, andaikata ia
lengah, tentu akan sukar melepaskan diri daripada ancaman bahaya maut
dari tiga penjuru ini. Baiknya ia memang sudah waspada dan sudah menduga
lebih dulu, maka begitu tampak sinar melayang dari tiga jurusan, ia
telah mendahului mereka, tubuhnya mendadak mumbul ke atas seperti
terbang, lebih cepat daripada sambaran senjata-senjata rahasia itu, dan
kini dia melayang di atas senjata-senjata rahasia itu, langsung ia
menerjang tiga orang lawannya dari atas dengan serangan sulingnya dalam
jurus-jurus rahasia dari Hong-in-bun-hoat. Kini giliran tiga orang
iblis itulah yang kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada suara
mendengung-dengung dan melengking di atas kepala mereka, disusul oleh
sinar keemasan yang menyilaukan mata. Mereka sama sekali tidak menduga
akan terjangan Suling Emas sehebat itu.
Karena tiga orang iblis
itu memang sakti dan berilmu tinggi, biarpun terkejut dan terdesak
hebat oleh serangan Suling Emas dari atas yang dahsyatnya bagaikan
sambaran halilintar di musim hujan itu, namun mereka bertiga dapat juga
menyelamatkan diri. It-gan Kai-ong berhasil menjatuhkan diri ke
belakang sambil memutar-mutar tongkatnya melindungi dirinya, sehingga
ia berhasil memecahkan sinar bergulung-gulung yang menyambarnya dan
hanya pakaiannya saja yang sebagian besar robek oleh sambaran sinar
suling lawannya. Hek-giam-lo juga berhasil melompat ke belakang sambil
berteriak nyaring dan menangkis dengan sabitnya. Terdengar suara keras
dan ujung senjatanya itu patah, akan tetapi ia selamat tidak terluka.
Hanya Siang-mou Sin-ni yang kurang beruntung karena ketika dalam
kagetnya ia menggerakkan rambutnya menangkis, rambutnya itu terbabat
sinar kuning emas dan putuslah rambutnya yang hitam panjang sehingga
tinggal sampai ke pundaknya saja! Wanita ini menjerit ngeri dan
menangis.
Akan tetapi tidak hanya sampai di situ Suling Emas
menyerang. Kini tubuhnya sudah berada di atas tanah dan tanpa membuang
waktu lagi ia melanjutkan serangannya, bertubi-tubi ia menyerang tiga
orang lawannya sambil tetap mainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang
amat luar biasa itu. It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo terdesak, mereka
maklum akan kelihaian ilmu ini maka mereka main mundur menjauhkan diri.
Tidak demikian dengan Siang-mou Sin-ni yang menjadi marah sekali karena
rambut yang menjadi kebanggaan dan menjadi senjata ampuhnya itu telah
“berondol”. Dengan nekat wanita ini menyambut serangan Suling Emas
dengan kekerasan. Ia mainkan yang-khim di tangannya dan menyambut
pukulan dengan pukulan pula.
Betapapun juga, Siang-mou Sin-ni
terpaksa mengakui kehebatan Hong-in-bun-hoat karena belum sampai sepuluh
jurus, ia sudah terdesak dan terancam hebat. Dengan gerakan nekat tanpa
mempedulikan keselamatan dirinya, Siang-mou Sin-ni menjerit dan
menghantamkan yang-khim pada saat suling lawannya bergulung-gulung
mengitari dirinya.
Suling Emas kaget sekali, tidak menyangka
lawannya akan berlaku nekat mengadu nyawa. Tiada waktu lagi untuk
mengelak, maka ia menggerakkan kipasnya yang sudah tertutup untuk
menangkis.
“Brakkkkk!” Keras sekali suara ini terdengar dan
yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni pecah menjadi empat potong, tetapi
kipas biru di tangan Suling juga patah menjadi dua. Detik amat berbahaya
itu dipergunakan Suling Emas dengan baiknya karena sulingnya sudah
meluncur ke depan dan tiga kali sulingnya berhasil menotok tiga jalan
darah yang berbahaya dari Siang-mou Sin-ni.
“Aihhhh....!”
Siang-mou Sin-ni menjerit, yang-khim yang sisanya berada di tangannya ia
lemparkan ke bawah, berbareng dengan kipas Suling Emas yang juga
dibuang ke bawah, kemudian tiba-tiba wanita itu tertawa nyaring dan....
sinar merah menyambar dari mulutnya ke arah muka Suling Emas. Pendekar
sakti ini kaget sekali, maklum apa artinya sinar merah yang mengeluarkan
bau busuk memabukkan itu. Wanita iblis itu telah mempergunakan ilmunya
yang terakhir, yaitu Tok-hiat-hoat-lek, ilmu menyemburkan darah beracun
yang amat berbahaya. Kipasnya sudah tidak ada padanya, padahal kipas
itulah yang paling tepat untuk menghadapi serangan dahsyat mengerikan
ini. Terpaksa ia lalu melempar tubuhnya ke belakang. Namun, biarpun ia
tidak terkena semburan darah beracun, hawa beracun dari darah yang
mengeluarkan bau busuk melebihi mayat busuk ini telah mempengaruhinya
dan mendatangkan pusing pada kepalanya dan pandang matanya
berkunang-kunang. Ia cepat mengerahkan sin-kang dan setelah tubuhnya
terlempar ke belakang, segera ia berjungkir-balik dan melompat jauh ke
kanan. Baiknya ia seorang yang hati-hati dan gesit, karena benar seperti
yang ia khawatirkan, semburan darah itu tadi mengejarnya dan kalau saja
ia tidak cepat-cepat berjungkir-balik dan melompat tentu ia akan
menjadi korban. Kini ia melihat wanita iblis itu terhuyung-huyung dan
tertawa-tawa. Hal ini membuat Suling Emas diam-diam mengagumi Siang-mou
Sin-ni. Totokannya tiga kali tadi hebat sekali dan kesemuanya
mendatangkan maut. Seorang yang bagaimana pandai dan kuatnya tentu akan
roboh dan tewas seketika. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni masih mampu
mengeluarkan ilmunya yarig terakhir, mampu tertawa-tawa dan hanya
terhuyung-huyung. Hebat! Wanita itu sambil tertawa memuntahkan darah
yang beracun, lalu berlari-larian seperti orang gila dan akhirnya
terdengar jeritnya melengking ketika tubuhnya terjungkal ke dalam
jurang tak jauh dari situ. Agaknya ia seperti gila dan buta oleh
luka-lukanya dan lari tanpa melihat lagi sehingga terjungkal memasuki
jurang yang ratusan kaki dalamnya!
Tiba-tiba Suling Emas
berteriak keras dan tubuhnya melesat ke kanan kiri sambil memutar
sulingnya. Secara serentak ia diserang hebat oleh It-gan Kai-ong dan
Hek-giam-lo. Karena pandang matanya masih berkunang-kunang dan kepalanya
masih pening, ia hanya dapat mengelak sambil menjaga diri dengan
suling. Agaknya keadaannya ini diketahui pula oleh dua orang manusia
iblis itu, yang terus mendesaknya dengan serangan-serangan kilat.
Setelah dua orang iblis ini mengeroyok berdua saja, mereka mendapat
kenyataan yang mengagumkan, yaitu bahwa ilmu silat yang mereka mainkan
untuk mengeroyok Suling Emas kini menjadi berlipat ganda ampuhnya. Ilmu
silat mereka itu saling mengisi kekosongan yang ada dan dimainkan
bersama-sama dapat menjadi semacam daya serang yang luar biasa!
Insyaflah mereka akan hal ini, karena memang sesungguhnya ilmu silat
baru mereka itu adalah bagian-bagian daripada sebuah ilmu yang kitabnya
mereka ranpas dari tangan Bu Kek Siansu. It-gan Kai-ong dalam perebutan
berhasil mendapatkan kitab bagian depan sedangkan Hek-giam-lo bagian
belakang.
Suling Emas juga kaget karena terasa olehnya betapa
hebat desakan kedua orang ini. Ia berusaha menghalau hawa beracun yang
mendesak di dadanya dan ke otaknya, akan tetapi kedua orang lawannya
tidak memberi kesempatan kepadanya, terpaksa ia harus mengandalkan
sulingnya untuk melindungi tubuh sehingga suling itu berubah menjadi
gulungan sinar kuning emas yang menyelimuti dirinya, tak memungkinkan
sabit dan tongkat menyentuhnya. Mereka seakan-akan hanya mengadu tenaga
dan keuletan. Akan tetapi berapa lama ia akan dapat bertahan? Betapapin
juga, dalam ilmu silat, menyerang lebih menguntungkan daripada
mempertahankan, kecuali kalau pertahanan itu dapat diubah cepat menjadi
penyerangan balasan. Dalam hal ini, Suling Emas sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk membalas. Hal ini adalah karena ia masih
berada dalam pengaruh hawa beracun Tok-hiat-hoat-lek dari Siang-mou
Sin-ni tadi, dan ke dua karena penggabungan ilmu silat kedua orang
iblis itu benar-benar memperlipat ganda kehebatan daya serang mereka.
It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo adalah tokoh-tokoh kawakan yang sudah
matang ilmunya, maka tentu saja dalam hal ilmu silat mereka merupakan
orang-orang yang banyak pengalaman dan cerdik sekali. Setelah mainkan
bagian ilmu rampasan kitab Bu Kek Siansu bersama-sama, segera mereka
menarik kesimpulan baliwa apabila kedua ilmu mereka itu digabungkan,
maka akan merupakan ilmu yang hebat sekali.
“Kiri buka, atas tekan!” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berseru.
Hek-giam-lo mendengus dan berteriak. “Kanan tutup, bawah dorong!”
Kiranya yang diucapkan It-gan Kai-ong adalah merupakan sebagian
daripada ilmu pukulan yang paling hebat, akan tetapi karena hanya ia
dapatkan setengahnya, maka selama ini merupakan rahasia baginya dan tak
dapat ia pergunakan. Adapun ucapan Hek-giam-lo sebagai imbangannya
adalah lanjutan daripada jurus itu, maka keduanya segera bergerak.
It-gan Kai-ong lebih dulu lari disambung oleh Hek-giam-lo. Bukan main
dahsyatnya terjangan ini, sebuah jurus rahasia yang kini dimainkan
secara bersambung oleh dua orang! Begitu otomatis gerakan mereka,
ganti-berganti sehingga merupakan serangkaian serangan yang serba sulit
dihadapi.
Suling Emas kaget sekali. Hampir saja ia terkena
bacokan sabit setelah ia berhasil menghindarkan tusukan maut tongkat
It-gan Kai-ong. Akan tetapi begitu sabit itu lewat sedikit di atas
pundaknya, secara aneh sekali tongkat kakek raja pengemis sudah
menyambar, ujungnya tergetar menjadi lima dan menyerang ke arah lima
bagian tubuhnya dari sebelah atas, disambung dengan sambaran sabit
bertubi-tubi dari bawah! Suling Emas sudah berusaha menyelamatkan diri
dengan memutar sulingnya, namun karena ia masih pusing dan sulingnya
hanya merupakan senjata pendek yang sukar menghadapi senjata-senjata
panjang yang menyerang dari atas dan bawah secara aneh dan bertubi-tubi,
ketika tubuhnya melompat miring, pundaknya terkena hantaman tongkat
It-gan Kai-ong.
“Brukkk!” Hantaman ini keras sekali. Batu karang
juga akan hancur terlanda pukulan ini. Suling Emas sudah mengerahkan
lwee-kangnya ke arah pundak, namun tetap saja ia terbanting dan
bergulingan di atas tanah!
“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong
tertawa gembira dan mukanya beringas ketika ia mengejar dengan tongkat
terangkat, siap memberi tusukan terakhir.
“Mampus kau!”
Hek-giam-lo mendengus dan berlumba dengan kakek pengemis itu untuk
berusaha mendahuluinya membacokkan sabitnya ke arah tubuh Suling Emas
yang bergulingan dan kelihatannya tak berdaya lagi itu. Hampir
berbareng, tongkat dan sabit itu menyambar ke arah tubuh Suling Emas.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang getarannya seakan-akan
mencopot jantung It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo. Suara ini adalah
suara yang ditiup Suling Emas dalam keadaan bahaya itu. Sejenak
Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong tertegun dan gerakan mereka terhenti
beberapa detik. Namun beberapa detik ini cukuplah bagi pendekar sakti
seperti Suling Emas yang sudah melompat bangun dan menggerakkan
sulingnya.
“Trang-trang.... duk.... duk....!” Tubuh It-gan
Kai-ong dan Hek-giam-lo terlempar dan melayang bagaikan layang-layang
putus talinya, sedangkan sabit dan tongkat mereka patah-patah! Kemudian
robohlah dua orang iblis sakti itu, mengeluh dan dari mulut mereka
muntah darah segar. Mereka telah terluka hebat.
Akan tetapi di
lain fihak, Suling Emas berdiri dengan terhuyung-huyung. Ia berusaha
mengusir kepeningan kepalanya akibat hawa beracun Siang-mou Sin-ni tadi,
karena luka di pundaknya akibat gebukan tongkat It-gan Kai-ong tidaklah
amat parah baginya kalau dibandingkan dengan hawa beracun itu.
“Huah-hah-hah, anjing muda boleh juga!”
“Semua sudah roboh, tinggal dia yang harus roboh!” Sambung suara ke dua
dan muncullah kakek putih dan kakek merah. Keduanya menggerakkan
tangan, kakek merah dari depan Suling Emas sedangkan kakek putih dari
belakangnya karena munculnya kedua orang kakek itu berpencar. Suling
Emas yang sudah berkurang tenaganya karena pusing, juga karena luka di
pundaknya, cepat miringkan tubuh dan mementangkan kedua lengannya,
didorong ke arah kanan kiri untuk menghadapi serangan dua orang kakek
itu. Ia kaget sekali ketika menerima dorongan tenaga sakti yang
berlawanan, dari kanan tenaga kakek merah panas seperti api, sedangkan
dari kiri tenaga kakek putih dingin seperti salju! Inilah hebat,
pikirnya. Tak mungkin ia mengerahkan dua macam tenaga untuk menghadapi
serangan maut ini, akan tetapi Suling Emas bukanlah seorang sakti yang
sudah kenyang akan gemblengan hebat kalau ia menjadi panik atau gentar.
Ia mengerahkan seluruh tenaganya, semua hawa murni ia kerahkan untuk
menahan gelombang serangan itu, sepasang matanya meram, dari balik kain
kepalanya mengepul uap putih. Gelombang tenaga makin dahsyat dari kanan
kiri, tubuh Suling Emas sudah gemetar, hampir tak kuat lagi.
“Orang-orang tak tahu malu, pengecut! Mengeroyok kakakku yang sudah
terluka!” Tiba-tiba seorang pemuda meloncat ke depan. Dia ini bukan lain
adalah Bu Sin! Pemuda ini mencabut pedangnya. Sesosok bayangan lain
berkelebat dan cepat menarik tangannya.
“Bu Sin, jangan....!
Tiarap....!” Dengan sentakan keras bayangan yang ternyata adalah seorang
nikouw (pendeta wanita Buddha) ini berhasil membuat Bu Sin roboh
terguling. Akan tetapi ia berhasil menyelamatkan Bu Sin saja karena
sekali kakek merah mengibaskan tangan kirinya ke arahnya, nikouw yang
bukan lain adalah Kui Lan Nikouw, bibi guru Bu Sin ini, roboh terguling
sambil mengeluh.
Pada saat itu, Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong
sudah merangkak bangun. Terdengar It-gan Kai-ong terkekeh biarpun
napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan darah, sedangkan
Hek-giam-lo mendengus aneh, juga napasnya terengah-engah. Kedua orang
kakek ini lalu dengan langkah terhuyung-huyung menghampiri Suling Emas
yang berdiri dengan kedua lengan terpentang kaku, tangan mereka memegang
sisa senjata yang sudah patah lebih setengahnya. Jelas bahwa mereka
hendak menurunkan tangan maut terhadap Suling Emas yang sama sekali
sudah tidak berdaya itu. Mereka ini sudah terluka berat di sebelah dalam
tubuhnya akibat totokan suling, akan tetapi nafsu mereka masih besar
untuk membunuh Suling Emas yang sudah berada dalam keadaan “terjepit”
antara dua tenaga raksasa yang amat dahsyat. Biarpun keadaan dua orang
iblis itu sudah terluka dan lemah namun karena mereka adalah orang-orang
sakti, tentu saja tanpa perlawanan Suling Emas, sekali pukul dengan
senjata-senjata sepotong itu sudah akan cukup untuk membunuh perdekar
ini. Mereka kini sudah berada dekat sekali dan sabit serta tongkat sudah
diangkat, siap untuk dipukulkan.
“Plakk!” Dua sosok bayangan
manusia berkelebat cepat, sebatang pedang bersinar kuning menangkis
sabit membuat sabit itu kini terpotong tinggal gagangnya sdja, sedangkan
sebuah tengan yang kecil halus menangkis tongkat sehingga tongkat itu
terpental. Kiranya yang muncul adalah dua orang gadis, Lin Lin dan Sian
Eng yang muncul di saat yang bersamaan dari dua jurusan! Hek-giam-lo dan
It-gan Kai-ong terkejut dan terhuyung mundur. Lin Lin sambil berseru
keras mengayun pedangnya menyerang Hek-giam-lo. Iblis hitam ini tentu
saja tidak takut menghadapi Lin Lin, akan tetapi oleh karena ia telah
terluka hebat dan senjatanya yang ampuh sudah musnah, ditambah lagi
karena dalam tangkisan tadi ia mendapat bukti bahwa Lin Lin telah
memiliki ilmu dan tenaga mujijat, Hek-giam-lo mendengus marah lalu
melompat jauh, menghilang di tempat gelap. Juga It-gan Kai-ong yang
sudah terluka parah ketika menerima tangkisan lengan Sian Eng, kaget
setengah mati karena tangannya terasa panas dan gatal-gatal. Ia maklum
bahwa keadaannya yang sudah terluka itu tidak menguntungkan dirinya,
maka ia pun lalu melompat dan lenyap di tempat gelap.
Lin Lin dan Sian Eng saling pandang gembira.
“Enci Sian Eng....!” serunya gembira. Akan tetapi Sian Eng tidak
menjawab dan Lin Lin melihat betapa wajah encinya yang tersinar cahaya
bulan itu aneh sekali. Sian Eng seakan-akan tidak mempedulikannya, malah
kini Sian Eng dengan tangan kosong menerjang kakek putih yang berjuluk
Pek-kek Sian-ong, dari mulutnya terdengar lengking yang amat aneh, yang
membuat bulu tengkuk Lin Lin serasa berdiri karena ia teringat akan
lengking yang keluar dari si mayat hidup Cui-beng-kwi! Akan tetapi ia
pun segera sadar bahwa Suling Emas terancam bahaya, maka dengan pedang
terhunus ia lari menghampiri Lam-ek Sian-ong kakek muka merah, lalu
menerjang dengan ilmu pedangnya berdasarkan ilmu silat yang ia pelajari
dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw!
Melihat dua orang gadis
yang gerakan-gerakannya ganas sekali menerjang, baik Lam-kek Sian-ong
maupun Pak-kek Sian-ong terkejut sekali dan sama sekali mereka tidak
menduga-duga terjadinya hal ini. Tadi, melihat betapa dua orang gadis
muda remaja itu sekali tangkis dapat membuat It-gan Kai-ong dan
Hek-giam-lo yang sudah mereka saksikan kelihaiannya lari
tunggang-langgang saja sudah membuat mereka terheran-heran. Maka mereka
berbareng lalu mengerahkan tenaga mendesak Suling Emas. Karena memang
sudah payah keadaannya, di“jepit” seperti itu Suling Emas tak dapat
menahan lagi, ia mengeluh panjang dan roboh terguling, dalam keadaan
pingsan dan mukanya pucat sekali seperti sudah mati!
Sian Eng
dan Lin Lin memuncak kemarahannya. Lin Lin memutar pedangnya dan
menyerang kalang-kabut sambil memaki-maki, “Kakek tua bangka mau
mampus! Kau berani mencelakai dia? Kucukur jenggotmu kutabas hidungmu
kupenggal lehermu!” Ia memaki-maki sambil menyerang. Serangannya hebat
bukan main karena dalam keadaan marah itu ia mengeluarkan jurus-jurus
paling hebat dari ilmu silat barunya yang sudah ia latih lagi atas
petunjuk Gan-lopek. Adapun Sian Eng yang juga menyaksikan keadaan Suling
Emas, kini memaki-maki dan melengking-lengking secara aneh, namun
gerakan-gerakan kedua tangannya ketika menerjang kakek muka putih
dahsyat bukan main, mengeluarkan angin yang mengeluarkan bunyi
bersuitan. Lin Lin dan Sian Eng yang marah melihat Suling Emas roboh dan
menyerang kedua orang kakek itu, tidak melihat betapa sesosok bayangan
berkelebat cepat sekali, menyambar tubuh Suling Emas dan dibawa lari
dengan kecepatan seperti terbang.
“Eh, siapa kau dan hendak
kaubawa ke mana kakakku? Berhenti!” Bu Sin yang tadinya bingung berlutut
di dekat tubuh bibi gurunya yang terluka, kini meloncat ketika melihat
seorang wanita cantik baju hijau melarikan Suling Emas yang masih
pingsan.
“Bodoh! Kubawa dia ke pondok Kim-sim Yok-ong agar
diobati!” wanita itu membentak Bu Sin sambil terus lari. Bu Sin yang
mengejarnya sebentar saja kehilangan bayangan wanita itu yang bukan lain
adalah Tan Lian, gadis yang memiliki gin-kang luar biasa itu dan yang
tentu saja tak dapat dikejar oleh Bu Sin. Karena mengkhawatirkan
keadaan bibi gurunya dan kedua orang adiknya, apalagi karena mendengar
bahwa wanita tadi hendak mengobatkan Suling Emas, terpaksa Bu Sin
kembali ke tempat pertandingan.
Memang harus diakui bahwa di
luar kesadaran, bahkan diluar kehendak mereka atau tidak disengaja,
baik Lin Lin maupun Sian Eng telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat luar
biasa, yang secara mujijat telah mendatangkan tenaga sin-kang yang amat
kuat, namun ilmu itu baru saja mereka dapatkan dan belum mereka latih
masak-masak. Kini mereka menghadapi tokoh-tokoh seperti dua orang kakek
sakti yang aneh itu, sudah tentu saja bukan lawan mereka. Tadi pun
ketika menghadapi Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong, mereka dapat dan kuat
menangkis hanya karena kedua orang iblis itu sudah menderita luka dan
kehabisan tenaga. Kalau dua orang iblis itu dalam keadaan sehat dan
segar, tentu saja Lin Lin dan Sian Eng tentu takkan mampu menandingi
mereka.
Sepasang kakek yang aneh itu, Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, juga hanya sebentar saja merasa heran dan kaget, akan
tetapi setelah menghadapi Lin Lin dan Sian Eng, maklumlah orang-orang
sakti ini bahwa dua orang gadis itu sungguhpun mewarisi ilmu mujijat,
namun ternyata masih “mentah”. Segera terdengar mereka tertawa-tawa dan
begitu kedua orang kakek ini menggerakkan kedua tangan mereka, tubuh Lin
Lin dan Sian Eng “tersedot” dan “hanyut” dalam arus hawa pukulan yang
berputaran seperti angin puyuh! Lin Lin dan Sian Eng berusaha
mempertahankan diri, namun sia-sia, mereka terputar-putar seperti
kitiran angin oleh dua orang kakek sakti.
Bu Sin bingung sekali.
Bibi gurunya masih pingsan dengan muka pucat. Melihat kedua orang
adiknya terputar-putar seperti itu, hatinya ingin menolong, akan tetapi
ia pun maklum bahwa tenaga dan kepandaiannya jauh dari yang diharapkan
untuk bisa menolong adik-adiknya. Betapapun juga, pemuda ini sudah siap
menerjang kedua orang kakek itu. Dengan gerakan nekat, ia meloncat dan
membentak.
“Dua orang kakek siluman lepaskan adik-adikku!”
Akan tetapi begitu meloncat, segera ia terbanting roboh ke belakang
dekat bibi gurunya, terdorong oleh sebuah tenaga ajaib yang datang
tiba-tiba. Tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek lain, kakek tua
yang berjenggot panjang, yang berdiri tersenyum memandang kepadanya,
akan tetapi yang cukup membuat Bu Sin terhenyak kaget ketika mengenal
kakek itu sebagai kakek sakti yang pernah menolongnya dan melatihnya di
bawah pancuran air.
“Mereka bukan lawanmu,” terdengar kakek itu berkata lirih.
“Locianpwe, tolonglah adik-adikku....”
Akan tetapi kakek itu yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu, sudah
melangkah maju dan berkata, suaranya lirih namun suara ini menembus
seluruh udara, mendatangkan gema yang nyaring berpengaruh.
“Sayang.... puluhan tahun bertapa ternyata tak mampu mengendalikan
nafsu!” Ia mengangkat kedua lengannya, digerakkan perlahan ke depan
dan.... dua orang gadis itu seakan-akan tertarik dan bebas daripada
pusaran hawa pukulan kedua kakek, terhuyung-huyung dan roboh dengan
kepala pening namun tidak menderita sedikit pun juga.
Si kakek
merah dan si kakek putih terdesak mundur oleh hawa halus yang keluar
dari gerakan tangan Bu Kek Siansu, sehingga kuda-kuda mereka terbongkar.
Mereka kaget sekali, memandang Bu Kek Siansu dengan penasaran.
“Siapa kau?” hardik Lam-kek Sian-ong si muka merah.
“Berani kau menentang kami?” Pak-kek Sian-ong juga membentak.
“Damai di bumi....” Bu Kek Siansu berbisik lirih lalu menarik napas
panjang dan balas memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.
“Pak-kek Sian-ong, siapa adanya aku bukanlah soal yang perlu diributkan,
karena aku tiada bedanya dengan kalian berdua atau orang lain. Aku
manusia biasa, tiada bedanya dengan kalian. Hanya sayang kalian.....”
“Kau mengenal nama kami?” seru Pak-kek Sian-ong terheran-heran, karena
puluhan tahun mereka berdua merupakan tokoh tersembunyi dan tak seorang
pun tokoh kang-ouw, apalagi yang baru-baru mengenal mereka.
“Kau siapa?” bentak Lam-kek Sian-ong. “Kau yang berani menentang kami, apakah kau begitu pengecut untuk menyembunyikan nama?”
Bu Kek Siansu tersenyum, “Aku sama sekali tidak menentang kalian.”
“Kau bilang tidak menentang akan tetapi kau turun tangan terhadap kami dan menolong dua orang bocah itu!”
“Aku memang turun tangan.” jawab kakek sakti itu dengan penuh
kesabaran, “akan tetapi sama sekali dasarnya bukan untuk menentang
kalian!”
“Lalu, apa dasarnya?”
“Pertama, karena aku
sayang kepada kalian, sayang akan jerih payah kalian bertapa sampai
puluhan tahun dan kini tak dapat mengendalikan nafsu hendak membunuh dua
orang anak perempuan ini. Ke dua, aku merasa sayang, kalau bocah-bocah
yang masih muda remaja, yang atas kehendak Thian telah mewarisi
ilmu-ilmu tinggi, yang masih akan melanjutkan riwayat hidupnya dan
meramaikan dunia ini dengan perbuatan-perbuatan mereka, kalian habiskan
riwayatnya sampai di sini saja. Pula, memang agaknya sudah menjadi
kehendak Thian bahwa dua orang anak ini tidak semestinya tewas pada saat
ini, maka kebetulan sekali aku lewat....”
“Manusia sombong!” bentak si muka merah.
“Betulkah mereka takkan tewas setelah kau datang? Heh, manusia besar
mulut, kalau sekarang kami turun tangan membunuh mereka, kau mau bisa
berbuat apa?”
Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala dan menarik
napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang, sabar, dan ramah.
“Penentuan mati hidup berada sepenuhnya di tangan Yang Menghidupkan!
Hanya manusia yang buta hati saja yang tidak melihat kenyataan mutlak
ini. Membunuh? Terbunuh? Tak seorang pun mampu menentukan hal-hal
rahasia ini. Kalau Tuhan menghendaki seseorang meninggalkan raganya,
biarpun seribu dewa takkan mampu menunda atau membatalkannya. Sebaliknya
kalau Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup di dunia, biarpun seribu
setan takkan mampu menewaskan orang itu. Hanya orang-orang sesat saja
yang mengira bahwa dia, dengan kekuasaannya, dengan kekuatannya, dapat
menentukan mati hidup orang lain, berlawanan dengan kehendak Tuhan,
karena dengan perkiraannya itu, berarti dia hendak menentang kekuasaan
Tuhan!”
***
“Tua bangka besar mulut! Apakah kauanggap
kami ini anak-anak kecil dan kau seorang pendeta yang hendak memberi
wejangan tentang kebatinan? Huh, lamunan kosong belaka semua kata-katamu
itu. Yang Maha Kuasa, Thian, hanya menuruti kehendak yang menang, yang
berkuasa dan kuat. Mau bukti? Sekarang juga kami sanggup membunuh dua
orang gadis itu, juga kau sendiri!” bentak si muka merah yang agaknya
lebih berangasan daripada si muka putih yang mendengarkan dan
mengangguk-angguk membenarkan.
“Damai.... damai....” Kakek itu
bersabda, lirih seperti orang berbisik. Kemudian ia memandang tajam dan
dengan wajah masih berseri ia berkata lagi.
“Alangkah kosong
rasa hati mendengarkan ucapan, Saudara. Dan hebatnya, apa yang
kaukatakan itu justeru menjadi anggapan sebagian besar manisia, dan tak
dapat dibantah lagi, perkembangan di dunia memang sejalan dengan
pikiranmu itu. Anugerah paling suci yang diberikan kepada manusia, yaitu
akal budi, yang dapat membuat manusia mengungkap segala rahasia alam,
yang membuat manusia merupakan mahluk yang terpandai, ternyata oleh
manusia sendiri disalahgunakan. Anugerah ini malah dipergunakan untuk
menentang Sang Pemberi. Makin pandai manusia, makin gila dia. Makin
pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat daripada
jalan pikiran yang telah kauucapkan tadi. Wewenang dipakai mencari
menang. Kekuasaan menjadi alat penindas. Kepandaian dipergunakan
sebagai alat pemuas nafsu. Ya Tuhan, turunkanlah kiranya kekuasaanmu
untuk menyapu bersih segala kotoran yang menutup dan menyuramkan api
suci dalam jiwa manusia....”
“Tua bangka. Pendeta kepalang tanggung, tosu bukan hwesio bukan. Mau apa kau banyak mulut?” Lam-kek Sian-ong.
“Eh, sahabat, kami berdua sengaja turun dari pertapaan untuk mencari
tanding di seluruh permukaan bumi!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Hemmm, menandingi diri sendiri saja masih belum mampu, menandingi orang
lain? Saudaraku yang baik, kaukalahkan dulu dirimu sendiri dan kau akan
menaklukkan dunia,” jawab Bu Kek Siansu.
“Kami akan bunuh dua
orang gadis ini. Lihat, kau dapat berbuat apa?” Lam-kek Sian-ong
membentak dan diturut oleh Pak-kek Sian-ong, dia sudah bergerak maju.
Lin Lin dan Sian Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan heran, kini
bersiap untuk menjaga diri.
Akan tetapi Bu Kek Siansu
mengangkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini
agaknya mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu
untuk sementara.
“Mengapa kalian begini bernafsu untuk memukul
orang? Daripada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan aku
takkan melawan.”
“Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui
tanding? Tua bangka, jangan kau sombong, sekali pukul kami mampu
membikin tubuhmu separuh hangus separuh beku!” teriak si muka merah yang
merasa dipandang rendah.
“Biarlah kalau Thian menghendaki demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu daripada pukulan-pukulanmu.”
“Ang-bin-siauwte, mengapa banyak bicara melayani kakek gila ini? Mari
kita pukul dia hendak kulihat bagaimana macam mayatnya nanti,” kata
Pak-kek Sian-ong. Keduanya lalu melangkah maju setindak dan dengan
gerakan berbareng mereka memukul dengan pukulan jarak jauh. Biarpun
tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan kedua orang kakek
itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya putih dan
merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih
mendatangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap
menyambar ke arah tubuh Bu Kek Siansu dan.... tidak terjadi apa-apa!
Tubuh tua itu masih tetap berdiri di situ, wajahnya tetap berseri,
matanya membayangkan keterangan, kesabaran dan cinta kasih terhadap
sesama hidup, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu
merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Dua orang kakek muka
merah dan muka putih, tetap berdiri sambil menggerak-gerakkan kedua
tangan, agaknya mengerahkan tenaga dan memperkuat daya pukulannya.
Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia menghampiri Kui
Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya
kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu
menggerakkan kedua tangannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta
wanita itu mengeluh, bergerak, lalu bangkit duduk!
Kiranya Kui
Lan Nikouw yang pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek
sakti ketika ia menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu
diobati dengan hawa pukulan yang sama, yaitu kakek sakti ini
“memindahkan” hawa pukulan dua orang kakek aneh itu ke tubuh Kui Lan
Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh kembali. Setelah
menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit berdiri dan
menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.
“Cukupkah kalian memukul? Belum puaskah nafsumu?”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu
bersambung..................9
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar