Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [ 8 ]

sudah amat tinggi dan betapapun lihainya Empek Gan, kiranya tidak akan dapat mengalahkannya dengan mudah dan paling-paling hanya dapat mengimbanginya saja. Begitu rapat dan kuat pertahanan masing-masing sehingga saling serang dan saling keluarkan ilmu-ilmu simpanan selama seratus jurus, be­lum juga ada yang tampak terdesak. Memang harus diakui bahwa fihak Empek Gan lebih banyak menyerang, namun serangan-serangannya yang lihai selalu gagal!

Di lain fihak, It-gan Kai-ong juga merasa penasaran sekali. Ia telah me­ngeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang pilihan, bahkan telah mengerahkan sin-kangnya yang simpanan, namun tetap tak mampu ia mendesak kakek pelukis itu, apalagi menjatuhkan! Karena pena­saran, ia menjadi marah dan tiba-tiba ia meludah, menggunakan senjatanya yang kotor dan licik ke arah muka Empek Gan.

“Heh, jembel busuk!” Empek Gan memaki, pena bulunya mengebut dan.... air itu menyambar kembali ke arah tuannya.

Akan tetapi It-gan Kai-ong memang tidak bermaksud menggunakan “ilmu” meludah ini yang ia tahu takkan ada gunanya terhadap seorang lawan seperti Empek Gan. Ia tadi meludah hanya un­tuk melampiaskan hatinya yang gemas. Kini ia berteriak nyaring, suaranya me­lengking tinggi dan tiba-tiba gerakan tongkatnya berubah sama sekali. Angin dari empat penjuru menyambar dan berputar-putar seperti angin puyuh yang menyerang ke arah Gan-lopek.

“Ayaaa....!” Gan-lopek berseru terkejut. Baru kali ini ia menyaksikan daya serangan sehebat dan seaneh ini. Ia me­maksa diri untuk menangkis dan menge­rahkan lwee-kangnya, namun tetap saja ia ikut terputar oleh daya serang tongkat yang menimbulkan kekuatan seperti angin puyuh ini sehingga tubuhnya berpusing tak tertahankan lagi! Ia tidak tahu bah­wa inilah ilmu yang telah dipelajari oleh It-gan Kai-ong dari kitab rampasannya dari tangan Bu Kek Siansu, yaitu kitab yang separoh terampas olehnya sedangkan separohnya lagi terampas oleh Hek-giam-lo. Tadinya It-gan Kai-ong tidak ingin mengeluarkan ilmu ini sebelum ia berada di puncak Thai-san dan berhadapan de­ngan anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai yang lain, hendak menggunakannya sebagai ilmu simpanan untuk senjata terakhir. Akan tetapi karena Gan-lopek merupakan lawan yang ampuh dan ulet bukan main, saking mendongkolnya, It-gan Kai-ong segera mengeluarkannya dan hasilnya bukan main!

Sayang bagi It-gan Kai-ong, ilmu itu hanya sebagian saja ia miliki, sedangkan bagian lain berada di tangan Hek-giam-lo, maka ia seperti kenal kepala tidak kenal buntut, tahu awal tidak tahu akhir. Lawannya sudah “tertawan” oleh daya serangannya, sudah ikut berpusing, akan tetapi ia tidak tahu bagaimana untuk melanjutkan ilmunya dan merobohkan lawan. Betapapun juga, dalam keadaan berpusing seperti itu, banyak lowongan terdapat dalam kedudukan Gan-lopek dan dengan terkekeh-kekeh beringas It-gan Kai-ong menggerakkan tongkathya untuk memberi pukulan maut kepada lawannya ini. Tongkatnya sudah berkelebat menusuk ke arah lambung!

“Trakkkkk....!” Tiba-tiba segulung sinat kuning menyambar dan menangkis tongkat It-gan Kai-ong yang menusuk lambung Gan-lopek, disusul ucapan nya­ring. “Gan-lopek, jangan takut, biarkan kutusuk matanya yang sebelah dan kau­coret-coret mukanya dengan tinta hitam putih!”

It-gan Kai-ong kaget sekali karena tangkisan pedang itu membuat kakinya tergeser. Tidak hebat tenaga orang yang baru datang ini, akan tetapi gerakannya benar-benar luar biasa sekali. Ia terbe­lalak heran dan matanya yang tinggal satu itu mengeluarkan sinar berapi ketika ia mengenal bahwa yang datang menolong Gan-lopek ini ternyata hanya seorang gadis remaja yang bukan lain adalah Lin Lin.

Lebih-lebih kaget dan herannya ketika Lin Lin sudah mengerjakan pedangnya. Pedang Besi Kuning, menerjang dengan gerakan-gerakan yang luar biasa sekali. Karena tadinya ia memandang rendah, menyangka bahwa gadis ini masih seperti dulu, tidak berapa kepandaiannya, It-gan Kai-ong tadinya berlaku lambat. Siapa tahu, kesalahan menduga ini hampir mencelakakannya. Tahu-tahu pedang itu dengan gerakan melingkar sudah mendekati tenggorokan dan ketika ia mengelak, tahu-tahu ujung pedang sudah dekat sekali dengan matanya yang tidak buta, merupakan serangan yang luar biasa sekali dan agaknya matanya akan benar-benar ditusuk! Baiknya It-gan Kai-ong memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dalam keadaan berbahaya ini, menangkis atau mengelak sudah tak keburu, ia meludah dan.... air ludahnya muncrat ketika bertemu pedang. Kekuatan air ludah ini hebat karena ternyata sudah dapat menahan pedang sehingga ia berhasil menggerakkan tongkatnya me­nangkis pedang yang agak terlambat oleh tangkisan air ludah tadi.

“Wah, kotor! Keparat busuk, manusia jorok! Pedangku kena ludahnya! Celaka....!” Lin Lin melompat mundur dan menggosok-gosokkan pedangnya pada batang pohon untuk menghapus air ludah yang menempel di situ!

Adapun It-gan Kai-ong yang merasa kaget sekali menyaksikah gerakan pedang Lin Lin, maklum bahwa kalau ia dikero­yok, akan berbahaya baginya. Ia seorang sakti, aken tetapi sebagai seorang ma­nusia iblis tentu saja ia tidak segan-se­gan menggunakan kecurangan dan kelicikan. Melihat bahwa keadaan dirinya ber­ada di fihak lemah, ia cepat mengguna­kan kesempatan selagi Lin Lin ribut membersihkan peding, untuk melesat pergi sambil berseru.

“Gan-lopek, kegembiraanku lenyap dengan datangnya gangguan seorang bo­cah. Lain kali kita lanjutkan!”

“Dia curang, dia licik, main kotor!” Lin Lin memaki-maki, kemudian menoleh kepada Gan-lopek dan berkata, “Gan-lopek, apakah kau juga datang hendak menonton pertandingan para iblis itu?”

Sejenak, seperti juga It-gan Kai-ong tadi, Gan-lopek tertegun, dan tercengang menyaksikan gerakan pedang Lin Lin. Akan tetapi ia segera tertawa. “Ha-ha-ha, si iblis mata satu itu kiranya jerih menghadapi seorang nona!” Kemudian kegembiraannya mereda ketika ia ter­ingat akan muridnya.

“Nona yang baik, muridku terjerumus ke dalam jurang. Kau sahabat baiknya, bukan? Mari bantu aku mencarinya, mu­dah-mudahan dia masih hidup!”

Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar ini dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut kakek itu menuruni ju­rang dengan hati-hati melalui jalan me­mutar yang tidak begitu terjal. Jurang itu amat curam dan betapapun pandai­nya, seorang manusia biasa yang tidak pandai terbang seperti burung tak mung­kin dapat menuruninya tanpa memilih jalan memutar. Oleh karena jalan me­mutar inilah maka sejam lebih kemudian baru mgreka berdua dapat sampai ke dasar jurang dan mulai mencari-cari. Namun tidak ada jejak maupun bayangan Lie Bok Liong!

Ke manakah pemuda yang tadi terjungkal masuk ke dalam jurang itu? Apakah tubuhnya sudah hancur lebur terbanting dari tempat yang amat tinggi sehingga tidak ada bekasnya lagi? Agaknya akan begitulah kalau tidak terjadi hal yang kebetulan dan aneh, dan yang menyelamatkan nyawanya.

Ketika tubuhnya terjungkal dan me­layang turun dengan kecepatan mengeri­kan, Bok Liong sudah yakin bahwa ia tentu akan tewas. Namun sebagai se­orang yang berjiwa gagah, ia menggigit bibirnya dan menahan diri agar tidak berteriak ketakutan. Bahkan kedua ta­ngannya lalu mencengkeram sana-sini, mencari pegangan. Tentu saja ia tidak dapat mencari apa yang akan dipegang atau disambarnya, karena ia hanya me­lihat bayangan-bayangan batu terbang ke atas di sampingnya, amat cepat memusingkan kepala. Akhirnya, tubuhnya yang melayang terlampau dekat dengan batu menonjol terbentur pada batu itu. Kare­na yang terbentur itu adalah pundaknya dan kepalanya juga sedikit menyerempet batu, Bok Liong merasa kepalanya se­olah-olah pecah dan seketika pandang matanya dan pikirannya menjadi gelap, ia pingsan tapi masih melayang terus ke bawah.

Ia tidak tahu betapa sebelum tubuhnya menimpa batu-batu di dasar jurang, tiba-tiba berkelebat bayangan yang ber­seru aneh, lalu bayangan ini melesat ke arah ia akan jatuh, menggerakkan kedua tangannya dan tubuhnya terayun naik lagi. Karena kekuatan luncuran tubuhnya tadi amat keras, kini oleh bayangan itu dibelokkan dan membalik ke atas lagi, maka ada empat lima meter tubuhnya melayang ke atas, lalu turun kembali dan disambut oleh kedua tangan bayangan itu.

Hanya sebentar Bok Liong pingsan. Ketika ia membuka kedua matanya, ia merasa kepala dan lehernya basah semua. Ia gelagapan dan membuka matanya, seketika ingat bahwa ia tadi melayang jatuh. Kiranya ia sudah duduk di atas batu, ketika ia bangun. Dan tak jauh dari situ ia melihat seorang wanita muda berjalan pergi. Melihat tubuhnya tidak hancur, biarpun ada luka-luka sedikit dan pundaknya sakit, Bok Liong menjadi he­ran dan mengira bahwa dia tentu sudah mati. Inikah neraka? Ia menjadi bingung dan melihat wanita muda itu cepat ia memanggil.

“Heeeiii, Nona, tunggu....!”

Gadis itu menengok sebentar, akan tetapi lalu lari pergi.

“Eh, kau Sian Eng....!” Bok Liong begitu heran sampai ia meloncat berdiri, tidak mempedulikan rasa nyeri di pun­daknya, dan melompat lari mengejar. Biarpun hanya sekali menoleh, ia menge­nal wajah itu, wajah Sian Eng! Akan tetapi dalam sekejap mata saja bayangan gadis itu sudah lenyap dan kecepatan yang luar biasa ini membuat Bok Liong berhenti termangu-mangu.

“Aku tentu sudah mati.... dan agaknya Sian Eng juga sudah mati.... tentu ini alam baka....” pikirnya sambil duduk di atas batu kembali.

Akan tetapi, sedikit demi sedikit pikirannya menjadi terang kembali. Ia masih dapat merasa, tubuhnya masih lengkap, pikirannya masih utuh dan ia tahu bahwa ia berada di dalam jurang, bahwa It-gan Kai-ong berada di atas jurang sana dan kakek itulah yang membuat ia terguling ke dalam jurang. Entah bagaimana, ia tidak terbanting remuk, agaknya Sian Eng yang telah menolongnya, betapa tidak mungkinnya hal ini terjadi. Sian Eng cukup ia kenal, tidak hanya orangnya, malah ia kenal pula kepandaiannya, tidak lebih tinggi dari­ pada tingkatnya, malah jauh lebih rendah. Bagaimana gadis itu mau menolongnya? Bagaimana carahya? Dan andaikata benar Sian Eng gadis itu tadi, dan Sian Eng menolongnya, mengapa tadi terus pergi dan mengapa ada bayangan yang begitu aneh pada wajah gadis yang biasanya halus peramah itu?

Ketika teringat lagi bahwa It-gan Kai-ong masih di atas dan mungkin se­kali kakek itu akan mencari jalan ke bawah dan melihatnya masih hidup, Bok Liong segera menguatkan diri, berdiri dan pergi cepat-cepat dari tempat itu. Untung pundaknya tidak patah tulangnya, hanya luka kulit dan daging di bahu saja.

Inilah sebabnya mengapa Lin Lin dan Gan-lopek tidak dapat menemukan Bok Liong, bekas-bekasnya pun tidak. Hal ini membuat Gan-lopek terheran-heran, akan tetapi Lin Lin segera menjatuhkan diri di atas batu dan menangis tersedu-sedu.

“Eh-eh, mengapa kau menangis?” Gan-lopek bertanya heran.

Lin Lin tidak menjawab, terus me­nangis keras dan akhirnya dengan kata-kata bercampur isak ia berkata. “Kasihan.... Liong-twako.... tentu telah hancur lebur.... ah, Liong-twako kau orang yang amat baik.... mengapa mengalami nasib begini buruk? Mati pun tidak ada kuburnya.... ah, Liong-twako....!” Lin Lin menangis makin keras karena memang gadis ini merasa kasihan dan berduka.

“Hush, bocah tolol, kenapa kau bicara yang bukan-bukan? Siapa bilang Bok Liong sudah mati?”

Seketika terhenti tangis Lin Lin dan ia berdongak memandang wajah kakek itu dengan mata merah. Diam-diam si kakek girang sekali melihat bahwa gadis ini betul-betul menangisi Bok Liong murid­nya, tanda bahwa gadis ini betul-betul mencinta muridnya.

Melihat pandang mata Lin Lin penuh pertanyaan seakan-akan heran mendengar kata-katanya tadi, Gan-lopek segera ter­tawa dan berkata, “Ha-ha-ha, anak baik, tenangkan hatimu dan bergembiralah. Bok Liong belum mati. Kalau tubuhnya ter­banting ke dasar ini, biarpun akan hancur berantakan, sedikitnya kita tentu akan menemukan daging atau tulangnya, atau tentu ada tanda-tanda darahnya. Akan tetapi tidak terdapat tanda-tanda itu, hal ini hanya bisa berarti bahwa Bok Liong telah selamat, entah bagaimana cara Tuhan menyelamatkan seorang yang mem­bela kebenaran, akan tetapi percayalah, aku yakin bahwa Bok Liong pasti masih hidup dan selamat di saat itu.”

Bukan main girangnya hati Lin Lin. Kegirangan luar biasa yang tidak dibuat-buat. Seketika ia melompat bangun dan merangkul kakek itu dan.... menangis lagi.

“Eh-eh, bagaimana ini? Kenapa kau begini cengeng, hah?” Akan tetapi diam-diam Gan-lopek mengangguk-angguk dan hatinya sudah setuju seratus prosen ka­lau muridnya berjodoh dengan gadis ini. Ia tahu betul betapa besar cinta kasih Bok Liong terhadap Lin Lin. Hal ini diucapkan sendiri oleh Bok Liong dalam keadaan tidak sadar ketika ia merawat muridnya itu setelah menyelamatkannya dari tangan Hek-giam-lo. Dan sekarang, melihat sikap Lin Lin, agaknya muridnya tidak bertepuk tangan sebelah, cinta kasih muridnya terhadap Lin Lin bukan tiada terbalas.

Tiba-tiba Lin Lin mengundurkan diri dan tertawa. Gan-lopek membelalakkan matanya, tapi kemudian ia pun tertawa, girang bukan main karena ternyata calon “mantu murid” ini memiliki watak yang aneh. Keduanya tertawa-tawa di dasar jurang, seperti dua orang yang sama-sama menonton dagelan (badut) di pang­gung. Akan tetapi kalau ada orang lain melihat mereka, tentu mengira mereka berdua itu sudah menjadi gila atau mung­kin juga mereka disangka iblis-iblis pen­jaga jurang!

“Eh, nanti dulu. Kenapa kau ter­tawa?” Akhirnya Gan-lopek berhenti dan bertanya karena merasa betapa suara ketawanya kalah merdu oleh nona itu. Ia seakan-akan merasa seorang penyanyi yang merasa kalah indah suaranya.

Lin Lin akhirnya dapat menghentikan ketawanya pula. Sambil tersenyum dan mengusap air matanya dengan ujung le­ngan baju, gadis ini berkata.

“Banyak sekali hal yang patut mem­bikin aku tertawa, Kek.” Tanpa ragu-ragu ia menyebut kakek kepada Gan-lopek.

“Apa itu? Kukira kau tertawa saking bahagia mendengar Bok Liong belum mati.”

“Itulah yang pertama kali memang. Aku girang sekali bahwa Liong-twako belum mati. Benar sekali dugaanmu, Kek, agaknya memang Liong-twako ter­tolong secara ajaib dan belum tewas. Hal ini amat menggirangkan hatiku, karena muridmu itu seorang yang amat baik terhadap aku, sehingga kalau ia mati aku akan merasa sedih sekali.”

“Hemmm, lalu hal apalagi yang mem­bikin kau tertawa selain hal yang kau­sebutkan tadi?”

Kembali Lin Lin tertawa dan tak segera menjawab. Ia ketawa geli ter­pingkal-pingkal sambil menudingkan te­lunjuknya ke arah Gan-lopek. Kakek ini tercengang keheranan, memandang ke sana ke mari, berputaran berkeliling untuk mencari apa yang menyebabkan Lin Lin tertawa. Agaknya perbuatannya ini makin menggelikan hati Lin Lin yang makin terpingkal-pingkal. Akhirnya kakek itu juga tertawa menandingi Lin Lin.

Gadis ini terkejut dan tentu ia akan segera berhenti tertawa saking kagetnya karena suara ketawa kakek itu kali ini bukanlah suara ketawa wajar, melainkan suara ketawa yang mengandung khi-kang dan yang membuat ia hampir terjengkang karena suara itu mendebarkan jantungnya dan membuatnya seperti lumpuh. Akan tetapi, gadis nakal ini tidak menghenti­kan suara ketawanya, bahkan kini pun ia mengerahkan khi-kang dan sin-kangnya, disalurkan ke dalam suara ketawanya untuk menandingi Gan-lopek.

Maka terjadilah hal aneh dan ter­dengarlah hal aneh pula. Suara ketawa mereka, yang satu merdu tinggi yang lain rendah parau, terbahak-bahak dan bergema dari daser jurang membubung naik sampai keluar jurang, suara yang tentu akan dianggap orang yang tak melihat mereka sebagai suara ketawa raja iblis dan kuntilanak sendiri! Lebih aneh lagi melihat keadaan tubuh mereka. Ti­dak seperti orang bergirang tertawa ka­rena keduanya berdiri tegak, lutut se­dikit ditekuk seperti orang memasang kuda-kuda, wajah sama sekali tidak se­perti orang kegirangan, melainkan sung­guh-sungguh dan seperti orang mengerah­kan tenaga ketika sedang buang air dan sukar keluar!

“Stop....! Stop....!” Akhirnya Gan-lopek berseru sambil meloncat ke atas.

Lin Lin hampir terjengkang dan hal ini adalah karena Empek Gan telah me­ngerahkan seluruh tenaganya untuk “men­dorong” gadis itu dalam “pergulatan” tenaga suara yang kalau dilanjutkan akan berbahaya itu. Setelah berhasil men­dorong, ia melompat dan terbebaslah mereka daripada pertandingan khi-kang yang hebat itu. Kini Gan-lopek meman­dang dengan bengong, hanya bibirnya yang bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara sehingga kumis dan jenggotnya saja yang bergerak-gerak.

Lin Lin juga mengerahkan hawa murni untuk mengembalikan tenaga, kemudi­an ia memandang dan berkata, “kau hebat, Kek!”

Si tua menarik napas panjang, meng­elus-elus jenggot dan mengangguk-angguk.

“Siapa bilang aku hebat? Tidak, anak baik, aku tua bangka dan tiada gunanya lagi. Akan tetapi engkau.... ah, hampir aku tidak percaya bahwa kau memiliki khikang yang begitu hebat. Hampir aku tidak kuat menahannya. Kau anak nakal, apa kau tadi bermaksud membunuh aku si tua bangka, yang biarpun jelek-jelek masih guru Bok Liong?”

Lin Lin kaget. “Ah, mana mungkin aku mencelakakanmu, Kek? Andaikata ada maksud yang buruk itu, tak mungkin aku mampu. Menghadapi seorang sakti seperti kau ini, Kek, aku tiada ubahnya seekor semut melawan gajah!”

“Huh-huh, kadang-kadang si semut berhasil memasuki telinga gajah dan si gajah tua bangka mampus sendiri! Anak baik, aku pernah melihatmu, pernah men­dengar dari Bok Liong, akan tetapi ke­pandaianmu tidak seperti yang kauperlihatkan tadi. Anak nakal, kau memiliki ilmu begini hebat, mengapa berpura-pura bodoh?”

Kini Lin Lin benar-benar merasa he­ran. Akan tetapi segera ia menjadi gi­rang sekali karena ia dapat menduga bahwa ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat Pusaka Beng-kauw itulah agaknya yang tadi mendatangkan khi-kang luar biasa yang membuat Empek Gan kaget setengah mati dan keheranan. Akan te­tapi, teringat akan nasihat Suling Emas, Lin Lin tidak mau membuka rahasia ini dan ia hanya berkata.

“Kakek Gan, kau orang tua harap jangan mengejek orang muda. Kepandai­an apa yang kupunyai? Dari pada meng­ejek dan membikin panas perut orang muda, lebih baik kau orang tua memberi petunjuk-petunjuk sehingga ilmuku yang mentah akan menjadi matang dan ber­guna!”

Empek Gan tertawa. “Wah, boleh.... boleh.... memang aku tahu bahwa kalau ilmumu sudah matang, aku si tua mana mampu menandingimu? Tapi, kau tadi bicara tentang perut panas, tidak demi­kian dengan perutku. Perutku perih se­kali!” Tiba-tiba terdengar “ayam berkokok” dari dalam perut kakek itu se­hingga Lin Lin tertawa geli.

“Tunggulah, Kek. Betapapun juga, aku adalah seorang wanita dan aku tahu ba­gaimana caranya menyembuhkan perut perih.” Setelah berkata demikian, gadis ini berlari memasuki hutan dan tak lama kemudian ia sudah kembali membawa seekor kelinci yang gemuk sekali. Di dalam hatinya, Lin Lin girang dan gem­bira karena ia mendapat jalan untuk menyempurnakan ilmu yang baru ia da­pat, yaitu dengan minta petunjuk-petunjuk Empek Gan pada bagian yang sulit. Maklum bahwa kakek ini seorang sakti, maka ia segera menggunakan kecerdikan­nya untuk “mengambil hati” melalui pe­rut lapar Kakek Gan.

***

Kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Empek Gan, dan mari kita selidiki siapakah gerangan gadis yang telah menolong Bok Liong secara aneh itu? Menurut pandangan Bok Liong, gadis itu mirip benar dengan Sian Eng, akan tetapi tidak mau berhenti ketika ia dipanggil.

Siapakah gadis itu sesungguhnya? Pandang mata Bok Liong yang tajam memang tidak salah. Gadis itu adalah Sian Eng! Akan tetapi, kita tahu bahwa ilmu kepandaian Sian Eng tidaklah amat tinggi, dan sebaliknya, cara menolong Bok Liong yang melayang jatuh dari atas jurang itu hanya akan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kesaktian luar biasa. Untuk mengetahui rahasia ini, mari kita ikuti perjalanan dan pengala­man Sian Eng.

Telah kita ketahui bahwa Sian Eng dapat dibujuk oleh laki-laki yang dikasihi­nya, Suma Boan, untuk memasuki lorong rahasia di bawah tanah bekas tempat sembunyi Tok-siauw-kui yang belasan tahun lamanya bertapa dan bersembunyi di tempat ini. Dan kemudian betapa Sian Eng terjebak ke dalam ruangan di bawah tanah oleh alat-alat rahasia yang agak­nya telah dipasang orang sehingga ia ter­kurung oleh empat dinding batu tanpa dapat mencari jalan keluar karena jalan keluar satu-satunya hanya mendorong batu yang menutup lorong, padahal batu itu beratnya ribuan kati dan ternyata Suma Boan sendiri dari luar ruangan itu tak mampu menggerakkan batu ini!

Di bagian depan cerita ini, kita ting­galkan Sian Eng dalam keadaan roboh dan dikeroyok oleh kelelawar-kelelawar kecil beracun yang menyerangnya dengan gigitan, lalu menyedot darahnya.

Setelah roboh dan merasa betapa kelelawar-kelelawar itu menyerbunya, Sian Eng diserang rasa takut dan ngeri yang bercampuran dengan sakit di selu­ruh tubuhnya. Gigitan binatang-binatang kecil itu mendatangkan rasa panas, gatal dan perih. Ia bergulingan ke sana ke mari, menjerit-jerit seperti orang gila, kemudian di dalam gelombang kengerian dan ketakutan itu timbullah suatu ke­nekatan yang luar biasa, kemarahan yang secara aneh membuat ia tiba-tiba men­dapatkan kekuatan baru. Sian Eng me­loncat bangun, kedua tangannya men­cengkeram kelelawar-kelelawar yang masih menempel di tubuhnya, memban­ting, menginjak, bahkan ia lalu meng­gigit kepala binatang-binatang kecil itu, meremukkan kepala dan mengisap darah­nya. Rasa sakit yang amat hebat membuat gadis ini seperti tidak ingat lagi akan keadaan sekitarnya, yang ada di dalam ingatan hanya membalas, membunuh, mengamuk!

Pergulatan menyeramkan di gelap ini seandainya terjadi di tempat terang dan kelihatan orang lain tentu akan membuat orang merasa ngeri dan seram. Gadis itu sudah tidak karuan lagi pakaiannya, robek sana-sini, rambutnya terurai awut-awutan. Juga tingkah laku­nya seperti orang gila. Ia bergulingan, kadang-kadang meloncat berjingkrak-jingkrak, kadang-kadang tertawa, lalu menangis, semua ini karena penderitaan rasa nyeri yang hebat ditambah rasa takut dan ngeri. Akan tetapi tiada henti­nya ia membunuh kelelawat dan bahkan mulai makan dagingnya dan minum da­rahnya.

Semalam suntuk Sian Eng bergulat. Bangkai kelelawar bertumpuk-tumpuk di ruangan itu dan entah sudah berapa ba­nyak darah yang diminumnya, daging yang ditelannya. Akhirnya malam pun ber­akhir berganti pagi dengan ditandai seberkas cahaya memasuki ruangan. Cahaya ini membantu Sian Eng mengusir kelelawar-kelelawar. Akan tetapi Sian Eng juga kehabisan tenaga, menggeletak terlentang pingsan di atas bang­kai-bangkai kelelawar! Pakaiannya robek-robek, kulitnya penuh bintik-bintik merah dari darah yang keluar dari luka-lukanya.

Sehari penuh Sian Eng menggeletak di atas bangkai-bangkai kelelawar di dalam ruangan di bawah tanah itu, setengah pingsan setengah tidur, atau seperti telah mati. Akan tetapi setelah matahari teng­gelam dan ruangan itu menjadi gelap, kelelawar-kelelawar kecil mulai beter­bangan kemudian menyerangnya. Sian Eng seperti dibangunkan dan seakan-akan seekor hantu betina atau kuntilanak yang hanya “hidup” di waktu malam, ia bang­kit lagi dan seperti malam kemarin, kembali terjadi pertandingan dengan ke­lelawar-kelelawar kecil yang menyerang dan mengeroyoknya secara ganas sekali. Kembali Sian Eng menjadi korban gigit­an, akan tetapi anehnya gerakan-gerakan­nya lebih tangkas dan lebih ganas daripada kemarin. Kini lebih banyak lagi kelelawar yang mati, dan lebih banyak lagi yang darah dan dagingnya memasuki perut Sian Eng! Kembali semalam suntuk terjadi perang kecil yang ganas mengerikan di dalam ruangan gelap, akan tetapi kali ini Sian Eng kelihatannya makin kuat saja sehingga menjelang pagi, binatang-binatang itu mulai gentar dan hanya satu dua ekor yang berani menerjangnya. Namun sekali sambar, Sian Eng menangkapnya, merobeknya menjadi dua dan mengisap darah yang menyembur keluar. Agaknya rasa darah, sakit hati, dan ditambah lapar dan haus membuat Sian Eng berubah seperti seorang kuntilanak! Anehnya begitu sinar matahari menerangi ruangan, Sian Eng baru merasa lemas dan letih, lalu terguling dan menggeletak telentang setengah telanjang di atas “kasur” terbuat daripada bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk.

Seperti juga kemarin, sehari penuh Sian Eng tidur setengah pingsan. Luka-luka kecil di kulitnya yang putih kuning dan halus, yang kemarin tampak berbintik-bintik merah, kini mulai meng­hilang, akan tetapi tubuhnya sebentar terasa panas membara, sebentar kemudian dingin seperti salju!

Memang terjadi sesuatu yang hebat pada diri gadis ini. Kelelawar-kelelawar itu ternyata adalah sebangsa kelelawar yang beracun, yang biasanya sekali meng­gigit orang tentu meninggalkan racun yang akan cukup merampas nyawa orang itu dalam waktu dua tiga hari. Sedang­kan Sian Eng telah menerima gigitan yang bertubi-tubi dari kelelawar-kelelawar itu, gigitan ganas yang disertai kemarahan sehingga racun yang jahat dan berbahaya banyak sekali memasuki tubuh dan me­racuni darahnya. Akan tetapi, secara kebetulan sekali keadaan yang mengeri­kan itu membuat Sian Eng menggila dan mengganas, membuat ia marah dan ma­kan daging kelelawar serta minum darah­nya. Justeru inilah yang menjadi obat penawar, obat penawar yang tiada kedua­nya di dunia ini! Di luar pengetahuan dan kesadarannya sendiri, selain dapat mengisi perut untuk menahan lapar dan haus, Sian Eng telah mengobati dirinya sendiri. Tidak saja mengobati dan meng­halau bahaya dari racun gigitan kelelawar-kelelawar, bahkan jauh lebih dari itu, ia telah memasukkan sumber tenaga yang amat hebat, karena racun kelelawar itu mengandung hawa panas, yang biasa­nya akan menghanguskan jantung, me­ngeringkan darah, sebaliknya, racun pe­nawar yang terdapat dalam daging dan darah kelelawar itu mengandung hawa dingin.

Kini mulailah kedua racun yang ber­tentangan itu bekerja, bertempur mati-matian di dalam tubuh Sian Eng, mem­buat gadis ini dalam keadaan tidak sadar sebentar kepanasan sebentar kedinginan. Kalau Tuhan Yang Maha Kuasa meng­hendaki seseorang harus masih hidup, tidak akan kekurangan jalan, betapapun aneh dan tak mungkin tampaknya jalan itu di mata manusia. Demikian pula dengan halnya Sian Eng. Nyawanya tergan­tung di ujung sehelai rambut. Hanya Tuhan saja yang mampu menolongnya, hanya Tuhan yang memutuskan mati hidupnya. Dua macam racun yang memasuki tubuhnya, yang satu lewat luka-luka gi­gitan yang ke dua lewat mulut, adalah racun-racun yang amat berbahaya dan terlalu banyak masuk ke tubuhnya. Kini kedua macam racun yang mempunyai kekuatan bertentangan itu saling bertan­ding, saling dorong untuk menguasai tu­buh Sian Eng yang akan berakhir dengan maut jika satu di antara kedua racun itu kalah! Hawa panas dan dingin saling desak, kuasa-menguasai. Sedikit saja selisih kekuatan kedua hawa ini, akan tamatlah riwayat hidup Kam Sian Eng, gadis yang bernasib malang ini. Namun, seperti sudah disebutkan tadi, Tuhan belum menghendaki riwayat gadis ini tamat, karenanya secara ajaib sekali, kedua macam racun itu KEBETULAN memiliki kekuatan seimbang! Mereka saling bercampur dan lenyaplah daya merusak, bahkan sebaliknya, di dalam tubuh Sian Eng, kedua macam racun itu bercampur dan lahirlah semacam daya tenaga mujijat yang membuat sin-kang (hawa sakti) di tubuh gadis ini naik beberapa puluh kali lipat!

Tidaklah mengherankan apabila gadis itu bergerak bangun setelah hari kembali menjadi gelap, yaitu pada malam ke tiga, gadis itu merasa tubuhnya ringan dan nyaman sekali, sama sekali tidak ada rasa sakit lagi, yang ada hanya rasa hangat yang menyenangkan. Selain ini, lenyap pula rasa takut dan rasa ngeri. Bahkan ia tertawa-tawa ketika mende­ngar sambaran kelelawar-kelelawar yang untuk ketiga kalinya kini mulai hendak menyerbu musuh yang ulet itu.

Sian Eng merasa betapa sambaran binatang-binatang itu amat lambat dan lemah. Dengan mudahnya ia menyentil dengan kuku-kuku jarinya. Sekali sentil saja remuklah kepala kelelawar yang me­nyambar ke arahnya. Ketika banyak se­kali binatang itu mulai menyerbu, Sian Eng kewalahan juga dan terpaksa mem­biarkan satu dua ekor menggigit tubuh­nya yang setengah telanjang itu. Akan tetapi, terjadilah keanehan. Gadis ini sama sekali tidak merasakan nyeri ketika tergigit, sebaliknya, kelelawar yang menggigitnya itu melepas gigitan, jatuh dan berkelojotan terus mati! Tentu saja hal ini tidak tampak oleh Sian Eng, akan tetapi sejam kemudian, tidak ada seekor pun kelelawar yang menyerangnya lagi. Binatang-binatang itu hanya beterbangan dan bercuit-cuit ketakutan, seakan-akan mereka kini mengakui bahwa manusia yang tiga malam berturut-turut dikeroyoknya itu tak terkalahkan dan patut menjadi ratu mereka.

Sian Eng terbebas daripada ancaman maut oleh racun-racun berbahaya itu. Akan tetapi agaknya pengaruh racun-racun itu mempengaruhi juga otaknya. Setidaknya tentu mengubah kesempurna­annya, mengganggu dan membuat Sian Eng menjadi seorang aneh. Kadang-kadang ia tertawa sendiri kalau menangkap ke­lelawar untuk dimakan, kadang-kadang ia menangis karena teringat akan Suma Boan. Malam ke tiga itu diisi dengan tawa dan tangis berganti-ganti.

Pada keesokan harinya, Sian Eng da­pat bergerak dengan gesit dan pikirannya juga menjadi terang. Teringatlah ia bahwa ia terkurung di situ, terkubur hidup-hidup. Pikiran ini menggerakkan sema­ngatnya dan ia menghampiri batu pe­nutup lubang. Dicobanya tenaganya untuk membongkar batu itu, untuk mondorong­nya kembali. Ia merasa betapa dalam tubuhnya bergolak hawa yang amat kuat, yang terasa panas sekali. Ia mengerahkan tenaga, hawa panas meningkat, batu bergoyang, akan tetapi tiba-tiba hawa panas itu berubah menjadi hawa dingin dan.... Sian Eng roboh pingsan dan batu itu kembali menutup lubang!

Setelah siuman kembali, Sian Eng mencoba dan berkali-kali ia pingsan ha­nya karena perubahan hawa di dalam tubuhnya. Akhirnya ia maklum bahwa di dalam tubuhnya terdapat hawa yang aneh, yang kadang-kadang panas, kadang-kadang dingin, akan tetapi yang demikian hebat sehingga ia tidak mampu menguasainya dan kalau ia memaksa terus mengerahkan tenaga yang aneh itu, tentu akhirnya ia akan mati terpukul sendiri. Karena inilah Sian Eng lalu mencari jalan lain. Ia me­meriksa seluruh dinding, seinci demi seinci, diperiksanya teliti sekali. Namun hasilnya sia-sia dan sementara itu, karena ia belum dapat menguasai dua ma­cam hawa di tubuhnya, berkali-kali Sian Eng roboh pingsan.

Akan tetapi pada suatu hari, kurang lebih lima hari semenjak ia terkurung di situ, usahanya berhasil. Ia mulai meme­riksa lantai. Satu per satu batu-batu lantai ditelitinya dan akhirnya ketika ia mendongkel sebuah batu di sudut kiri, terbongkarlah lubang yang lebarnya ada dua kaki persegi. Mendadak dari dalam lubang itu meluncur keluar seekor ular yang kepalanya putih. Bagaikan kilat menyambar, ular itu menerjang ke atas dan tanpa dapat dielakkan lagi, lengan kiri Sian Eng kena digigit. Sian Eng men­jerit dan mengerahkan tenaga. Karena ia belum menguasai dua macam tenaga di tubuhnya, ia mengerahkan sekenanya saja dan kebetulan pada saat itu, hawa dingin di tubuhnya yang lebih kuat maka se­ketika pengerahan tenaga ini membuat lengannya yang tergigit ular itu terasa seperti berubah menjadi es! Dan hebatnya, ular itu lalu melepaskan gigitannya, melingkar-lingkar menggeliat-geliat dan tak bergerak lagi, mati! Sian Eng menjadi tertarik sekali. Inikah tempat persembunyian kitab-kitab Tok-siauw-kui? Tanpa ragu-ragu lagi ia memasuki lubang itu, dan ternyata setelah ia melompat turun, ia berada di sebuah ruangan lain, ruangan atas dan tepat berada di bawah ruangan yang pe­nuh bangkai kelelawar itu. Dan cahaya matahari masuk melalui lubang dua kaki tadi, cukup membuat ruangan itu men­jadi terang. Di sudut ruangan, terdapat sebuah meja batu atau lebih tepat se­buah bangku batu yang permukaannya legok (cekung) dan menggambarkan bentuk pantat dan kaki orang yang bersila. Agaknya tempat ini dahulunya dipakai duduk bersila orang yang bertapa di sini. Akan tetapi, bagaimanakah sebuah bangku batu sampai cekung seperti itu hanya karena diduduki orang saja, benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali. Hanya bangku itulah yang terdapat di dalam kamar itu, dan tidak ada apa-apa lagi.

Saking besarnya rasa kecewa dan me­nyesalnya, Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut di depan bangku itu dan me­nangis. Ia melihat betepa tapak kaki bersila itu kecil mungil, menggambarkan kaki seorang wanita, maka ia merasa yakin bahwa tentu bangku ini menjadi tempat bersila dan bertapa samadhi Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, ibu dari Suling Emas. Ia menangis karena teringat akan hubungannya dengan Tok-siauw-kui. Tok-siauw-kui dahulunya adalah isteri ayah­nya, Jenderal Kam Si Ek, yang kemudian pergi meninggalkan suaminya sehingga ayahnya itu menikah lagi, dengan ibunya. Agaknya Tok-siauw-kui demikian benci kepada ibunya sehingga kini biarpun su­dah meninggal, Tok-siauw-kui masih melampiaskan sakit hartinya dan meng­hukum anak dari wanita yang merebut suaminya!

“Bibi Liu Lu Sian.... mengapa kau begini kejam? Mengapa aku yang kau­siksa, padahal aku tidak berdosa kepada­mu? Bibi.... betapapun juga aku adalah anak tirimu.... kau pernah mencinta ayah kandungku.... demi mendiang ayahku.... harap kautunjukkan jalan keluar bagiku, Bibi....!” Ia menangis dan masih berlutut di depan bangku batu itu. Ke­mudian ia teringat akan ayahnya dan menangis makin sedih.

“Ayah.... Ayah, kau tentu sudah berkumpul dengan Bibi Liu Lu Sian.... bujuklah dia agar supaya anakmu ini diberi petunjuk keluar dari neraka ini!” sambil menangis Sian Eng membentur-benturkan kepalanya di atas lantai depan bangku.

Tiba-tiba terdengar bunyi perlahan dan ternyata setiap kali Sian Eng mem­benturkan jidatnya di atas lantai, bangku batu itu bergeser ke kiri, makin lama makin ke kiri sehingga akhirnya tampak­lah sebuah lubang di bawah bangku batu itu. Sian Eng terkejut dan memandang dengan heran karena di situ terdapat sehelai kain kuning yang menutupi se­suatu dan ditulisi dengan huruf-huruf besar berbunyi: WASIAT PENINGGAIAN LIU LU SIAN. Jantungnya berdebar keras dan tangannya sudah digerakkan untuk meraih dan membuka kain kuning itu, untuk segera melihat wasiat deri wanita sakti itu. Akan tetapi ia segera ingat bahwa benda-benda di bawah kain kuning itu adalah milik Liu Lu Sian, dan bahwa wasiat wanita ini mustahil ditinggalkan untuk dirinya. Ia tidak berani melanjut­kan niatnya. Ia tidak berhak! Akan tetapi selagi ia termenung, ia teringat akan tugasnya, teringat akan kekasihnya, Suma Boan. Timbullah pertentangan dalam batinnya. Ia adalah keturunan seorang gagah. Ayahnya, Kam Si Ek semenjak muda terkenal sebagai seorang satria utama yang menjunjung tinggi kegagahan dan tidak sudi melakukan sesuatu yang tercela. Semenjak ia masih kecil, ayah­nya sudah menjejalinya dengan budi pe­kerti orang gagah. Akan tetapi di lain fihak, cinta kasihnya terhadap Suma Boan juga terasa berat menekan di hati.

Akhirnya kembali Sian Eng berlutut di depan bangku batu tempat bersamadhi Tok-siauw-kui, membenturkan jidatnya di lantai sambil berkata.

“Bibi Liu Lu Sian, mohon perkenan bibi untuk mengambil sebuah dua buah kitab peninggalan demi memenuhi kehendak kekasih. Mohon bibi sudi memberi ampun....” Tiba-tiba Sian Eng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, dari dalam lubang tadi melayang keluar tiga batang anak panah yang menyambar ke atas. Anak-anak panah itu lewat di depan mukanya dan peninglah kepala Sian Eng mencium bau yang wangi memabukkan. Terang bahwa anak-anak panah itu mengandung racun yang dahsyat dan andaikata ia tadi melanjutkan niatnya membuka kain kuning, tentu anak-anak panah itu akan tepat mengenai muka dan lehernya. Ia mendongak ke atas dan melihat anak-anak panah itu menancap pada dinding batu, gagangnya bergoyang-goyang. Sian Eng bergidik ngeri dan ketika ia memandang ke arah lubang tadi, ternyata kain kuningnya telah tersingkap dan di bawahnya hanya terdapat alat-alat rahasia yang tadi menggerakkan tiga anak panah. Kiranya ketika ia membenturkan kepala di lantai depan bangku batu yang kini sudah pindah ke kiri, ada alat rahasia yang menggerakkan anak-anak panah itu sehingga ia selamat. Seorang yang begitu saja membuka kain kuning tadi karena bernafsu memiliki wasiat, pasti akan menjadi korban anak panah, betapapun pandainya, karena anak-anak panah itu menyambar tak terduga-duga dan jarknya amat dekat.

Sian Eng memandang lebih teliti dan ternyata selain alat-alat yang menggerakkan anak panah, juga di situ terdapat tulisan yang terukir pada dasar lubang. Seperti tulisan di atas kain kuning, tulisan yang terukir pada batu di dasar itu pun besar-besar, dan jelas, berbunyi : YANG TAHU AKAN SOPAN SANTUN PATUT MENJADI MURIDKU. DUDUKLAH BERSAMADHI DI ATAS BANGKU, HANYA YANG BERJODOH AKAN BERHASIL.

Sian Eng bukan bermaksud hendak menjadi murid Tok-siauw-kui, melainkan bermaksud untuk mencari kitab peninggalan wanita sakti itu, untuk diberikan kepada kekasihnya. Karena bukankah kitab-kitab ini akan menyenangkan Suma Boan dan seperti dijanjikan oleh kekasihnya itu, setelah ia berhasil menemukan kitab-kitab itu mereka akan pergi ke Cin-ling-san untuk merundingkan urusan perjodohan mereka dengan bibi gurunya? Selain itu, ia tadinya tidak memiliki keinginan lain. Akan tetapi setelah kini ia terkurung dan tidak mampu keluar, timbullah keinginannya untuk mempelajari ilmu-ilmu peninggalan Tok-siauw-kwi, sungguhpun hal ini hanya dimaksudkan untuk membuat ia mampu keluar dari neraka ini. Karena itulah, maka tanpa ragu-ragu lagi Sian Eng lalu naik ke atas bangku batu dan duduk bersila. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan betapa lekuk-lekuk di atas permukaan batu cocok benar dengan ukuran tubuh belakang dan kakinya, seakan-akan sudah dicetak untuk dirinya. Kemudian ia teringat akan Tok-siauw-kui yang muncul dan menggemparkan perayaan Beng-kauw. Memang ada persesuaian dalam bentuk tubuh wanita sakti itu dengan dirinya. Mulailah Sian Eng mengheningkan cipta, bersiulian (bersamadhi) di atas bangku itu yang ternyata amat enak diduduki.

Akan tetapi sama sekali di luar dugaannya bahwa hal ini akan membawa ia kepada hal-hal baru yang akan mengubahnya menjadi seorang manusia lain! Ia tekun bersiulian seperti yang diajarkan ayahnya, duduk diam tak bergerak sedikit pun juga, mematikan raga. Tanpa ia sadari, ia sudah duduk seperti itu selama setengah hari!

Tiba-tiba terdengar suara keras dan kagetlah Sian Eng karena ia merasa tubuhnya terjatuh ke bawah. Ketika ia membuka matanya, benar saja, bangku batu itu sudah nyeplos ke bawah dan ia sudah berada di dalam ruangan lain, di bawah ruangan yang tadi. Ia segera turun dan melihat betapa di ruangan ini terdapat dipan untuk tidur, terdapat meja dan bangku, sedangkan di atas meja terdapat akar-akar dan buah-buah obat, juga di sana-sini bertumpuk kitab-kitab kuno. Sedangkan di sudut kiri terdapat sebatang pedang yang mengeluarkan sinar merah, pedang telanjang yang menancap pada dinding batu karang sampai setengahnya!

Dengan hati berdebar-debar tidak karuan Sian Eng memperhatikan cara bagaimana ia tadi dapat merosot ke bawah bersama bangku yang didudukinya. Setelah mengadakan pemeriksaan, kira­nya bangku tadi dipasangi alat-alat yang halus sekali dan ternyata kehangatan tubuhnya melepaskan minyak-minyak beku dan menggerakkan alat-alat yang ber­gerak otomatis. Kalau saja tubuh orang yang bersamadhi tidak cocok dengan lekuk-lekuk di permukaan batu tadi, kira­nya alat itu takkan dapat berjalan. Te­rang bahwa Tok-siauw-kui memang meng­hendaki seorang yang bentuk tubuhnya menyamainya, yang tentu saja seorang wanita, untuk menjadi ahli warisnya! Dan kini kitab-kitab pelajaran yang serba ra­hasia, yaqg dicari penuh kerinduan oleh orang-orang di seluruh dunia kang-ouw, terletak di depan Sian Eng, tinggal memilih saja!

Akan tetapi Sian Eng tidak membutuhkan semua ilmu itu! Ia hanya ingin mempelajari ilmu untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat menggerakkan batu-batu penutup lubang, agar ia dapat keluar dan ia akan membawa sebuah dua buah kitab ilmu untuk diberikan kepada kekasihnya yang berada di luar gua. Ka­rena kitab-kitab itu banyak sekali ma­camnya, akhirnya ia dapat juga menemu­kan sebuah kitab yang mengajarkan ilmu Ban-kin-pek-ko-chiu (Ilmu Keraskan Ta­ngan Selaksa Kati). Ilmu ini mengajarkan cara I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum), cara bersamadhi dan bernapas, menghimpun tenaga sakti dan menguasainya. Segera Sian Eng bersamadhi dan berlatih menurut petunjuk kitab ini. Sama sekali ia tidak mengira bahwa kalau bagi orang lain harus memakan waktu ber­bulan-bulan untuk memetik buah latihan ilmu ini, baginya hanya membutuhkan beberapa hari saja oleh karena di dalam tubuhnya sudah terdapat dua macam hawa panas dan dingin yang amat hebat berkat racun dari kelelawar. Berhari-hari Sian Eng tekun berlatih dan apabila ia merasa lapar, ia menangkapi kelelawar untuk dimakam dagingnya. Untuk minum tidaklah sukar karena dinding batu-batu karang itu mengandung air, dan di sana-sini terdapat air jernih menetes-netes dari atas. Tentang akar-akar dan buah-buah obat di atas meja, tidak ia per­hatikan ketika ia membaca keterangan di sampingnya bahwa obat-obat itu adalah obat untuk pelbagai luka pukulan dan korban racun.

***

Demikianlah, tidak mengherankan apabila dua pekan kemudian se­menjak ia memasuki gua, Sian Eng sama sekali tidak mendengar teriakan-teriakan Suma Boan yang menyusulnya dan ber­teriak-teriak dari luar batu penutup lu­bang. Di waktu itu, ia sedang tekun bersamadhi menyempurnakan sin-kang yang sudah terasa memenuhi tubuhnya. Dengan girang Sian Eng mendapat ke­nyataan bahwa tenaga panas dan dingin yang kadang-kadang menguasainya, yang membuatnya berkali-kali pingsan, kini dapat ia kuasai sepenuhnya dengan cara yang diberikan oleh kitab itu.

Setelah merasa bahwa ia dapat me­nguasai tenaga mujijat itu, Sian Eng menghentikan latihannya dan pada saat itulah baru ia melihat gambaran di din­ding, gambaran yang ada tanda-tanda huruf kecil terukir. Ia segera memperhatikan dan bukan main girang hatinya karena gambaran-gambaran itu merupakan tanda-tanda rahasia cara membuka dan menutup pintu-pintu rahasia dan alat-alat rahasia lain yang dipasang di dalam istana di bawah tanah ini. Cepat ia mencari rahasia batu besar yang menutup terowongan dan kiranya rahasianya terletak pada batu itu sendiri. Di ujung kanan atas dari batu itu terdapat bagian yang menonjol dan bagian inilah yang harus dipukul tiga kali ke dalam.

Dengan hati amat girang Sian Eng melompat melalui lubang itu ke bagian atas, kemudian sekali lagi ia menerobos ke bagian paling atas melalui lubang. Ia tidak sadar bahwa gerakannya melompat melalui lubang ini hebat dan ringan sekali, jauh bedanya dengan keadaan dirinya sebelum memasuki tempat ini. Begitu memasuki ruangan paling atas, hidungnya disambut bau yang amat busuk dari bangkai-bangkai kelelawar yang bertumpuk-tumpuk di situ selama beberapa hari. Sian Eng menutupi hidungnya dan dengan menahan napas ia lalu menghampiri batu penutup terowongan. Betul saja, di bagian atas ujung kanan batu itu terdapat bagian yang menonjol. Ia mengepal tangannya dan menghantam tiga kali.

Terdengarlah suara berkerotokan dan.... dapat dibayangkan rasa gembira hati gadis itu melihat batu besar itu bergerak dan masuk ke dalam dinding membuka jalan terowongan itu seperti sediakala! Saking girangnya Sian Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia teringat kembali kepada Suma Boan, maka cepat ia melompat dan berlari-lari keluar melalui terowongan sambil tertawa-tawa gembira. Tadi ketika keluar dari dalam kamar rahasia, ia telah mengambil dua buah kitab kuno yang ia kira tentu akan memuaskan hati kekasihnya, karena kitab-kitab itu adalah kitab ilmu pedang dan ilmu silat. Kini dua buah kitab kuno itu berada di balik baju dalamnya.

Akan tetapi ketika ia tiba di luar gua, di situ sunyi sekali tidak kelihatan bayangan Suma Boan. Pada waktu itu, hari telah berganti malam, keadaan di luar gua gelap gulita.

“Suma-koko!” Sian Eng memanggil, menyangka bahwa kekasihnya tentu sedang beristirahat di suatu tempat se­telah menanti-nanti kelurnya dengan hati kesal. Tentu kekasihnya itu merasa khawatir sekali, mungkin sudah putus asa.

“Suma-koko!” Berkali-kali ia memang­gil sambil melangkah keluar. Namun tidak ada yang menjawab. Tiba-tiba ia mendengar teriakan-teriakan dari jauh. Sian Eng cepat menggerakkan kakinya mengejar. Juga kali ini ia tidak sadar bahwa gerakan kakinya cepat dan ringan bukan main, dan bahwa ia telah berlari cepat sekali! Ini adalah berkat hawa sakti di tubuhnya yang kini mulai dapat ia kuasai setelah ia memiliki Ilmu Ban-kin Pek-ko-chiu. Sama sekali ia tidak tahu bahwa Suma Boan baru saja keluar dari dalam gua, dan bahwa pemuda itu hampir celaka oleh Liu Hwee dan Kauw Bian Cinjin.

Setelah melaktikan pengejaran dengan kecepatan mengagumkan, akhirnya ia dapat menyusul dua bayangan yang ber­kejaran itu. Segera ia mengenal Liu Hwee yang mengejar Suma Boan! Ia tidak me­ngenal apa sebabnya, maka diam-diam ia hanya mengikuti mereka.

Ketika tiba di luar hutan, Liu Hwee mulai menyerang Suma Boan dengan sen­jata rahasia jarum perak, kemudian kare­na pemuda itu terhalang larinya ketika mengelak, gadis puteri ketua Beng-kauw ini cepat menerjangnya dengan senjata­nya yang hebat, yaitu sepasang cambuk­nya yang diganduli dua buah bola baja.

“Suma Boan manusia busuk, kau hen­dak lari ke mana?” bentak Liu Hwee.

Suma Boan yang melihat bahwa gadis ini hanya mengejar sendirian saja, men­jadi marah dan timbul kembali keberani­annya. Tadi ia melarikan diri karena gadis itu berdua dengan Kauw Bian Cin­jin, merupakan lawan yang amat berat. Sekarang, melihat gadis itu sendirian saja, ia lalu membalikkan tubuh dan me­lawan sambil memaki.

“Bocah sombong, kau bosan hidup!”

Seperti biasa, pemuda bangsawan ini melawan dengan tangan kosong saja. Biasanya, menghadapi lawan muda, biar­pun lawan bersenjata, ia selalu men­dapatkan kemenangan karena sebagai murid It-gan Kai-ong, tentu saja ia me­miliki tingkat ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi kali ini ia berhadapan de­ngan puteri Beng-kauw! Pula, Lio Hwee memegang senjata aneh yang amat berbahaya. Di samping ini, baru saja Suma Boan mengalami hal-hal yang melelahkan dan menakutkan, sedangkan betisnya yang ia potong dagingnya juga masih terasa sakit. Oleh karena semua inilah maka sebentar saja ia terdesak hebat dalam pertandingan mati-matian itu. Cuaca remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit, dan dua orang ini bertanding mengandalkan ketajaman telinga, karena ketajaman pandangan mata tidaklah dapat dipercaya dalam keadaan setengah gelap itu.

Betapapun Suma Boan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi kecepatan senjata cambuk di tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara bola-bola baja itu menyambar pundaknya, Suma Boan me­ngeluh panjang dan terhuyung-huyung. Ia sudah mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun tetap saja karena yang diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka yang biarpun tidak parah namun cukup membuat ke­dudukannya menjadi makin lemah.

“Siapa berani mengotori tempat suci Beng-kauw, harus mati!” seru Liu Hwee dan senjatanya kembali menyambar, kini mengarah kepala dan yang sebuah lagi menotok pusar. Serangan maut yang agak­nya sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan yang sudah terhuyung-huyung.

Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat dari samping, yang membuat sepasang bola di ujung cambuk itu meleset arahnya, bah­kan tampak bayangan orang yang cepat menyambar cambuk itu dan sekali me­renggut, cambuk itu terampas dari ta­ngan Liu Hwee! Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak menyangka-nyangka sehingga senjatanya kena diram­pas orang. Ia mengira bahwa yang da­tang tentulah It-gan Kai-ong atau se­tidaknya tentu kawan Suma Boan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur dan siap-siap meng­hadapi lawan tangguh dengan tangan kosong.

Akan tetapi bayangan itu sudah me­nyambar tubuh Suma Boan dan dibawa lari dari tempat itu! Lie Hwee menjadi penasaran sekali, biarpun ia maklum bah­wa lawan amat tangguh dan ia harus berhati-hati, namun ia diam-diam meng­ikuti dan mengejar ke arah lenyapnya bayangan yang membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan itu. Sa­yang baginya, malam yang gelap mem­buat ia kehilangan jejak lawannya se­hingga akhirnya Lie Hwee hanya melan­jutkan pengejarannya dengan kira-kira saja, untung-untungan.

Sementara itu, bayangan tadi mem­buang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa lari Suma Boan.

“Suma-koko.... kau terluka....?” katanya sambil lari.

Sejenak Suma Boan tak mampu men­jawab. Tadi ketika ia sudah terancam bahaya maut di tangan Liu Hwee, ia merasa girang dan heran karena terto­long oleh bayangan yang belum ia ke­tahui siapa dia. Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia tahu bahwa orang ini adalah seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak karu­an, akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat sekali. Karena kehebatan gerak inilah maka ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin Sian Eng memiliki kepandaian sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis itu membuka mu­lut bicara, ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian Eng! Tentu saja ia menjadi bengong dan tak mampu men­jawab. Pikirannya bekerja. Tentu terjadi sesuatu yang hebat kepada diri Sian Eng, dan tentu selama dua pekan itu, Sian Eng telah mempelajari ilmu yang sakti.

Suma Boan memang seorang yang cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor oleh syakwasangka dan penuh tipu muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis ini mengkhianatinya, setelah mendapatkan ilmu lalu dimilikinya sendiri!

“Suma-koko.... hebatkah lukamu?” kembali Sian Eng bertanya sambil melan­jutkan larinya, karena gadis ini merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka.

Suma Boan pura-pura mengeluh panjang, “Cukup hebat.... mengapa kau begitu lama baru muncul, Moi-moi? Dan bagaimana hasilnya, dapatkah kau me­nemukan kitab-kitab itu?”

“Dapat.... dapat.... jangan khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah kitab untukmu.” Tiba-tiba gadis ini ter­tawa dan berdirilah bulu tengkuk Suma Boan. Suara ketawa ini tidak sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi diam-diam ia gi­rang bukan main.

“Mana kitab-kitab itu? Biarlah aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar tidak gemetar.

“Nanti saja, kita lari dulu, takut ka­lau-kalau dikejar musuh.”

“Katakan saja di mana, aku yang akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.

Kembali Sian Eng tertawa geli, “Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di balik.... baju dalam dan....” Tiba-tiba suaranya terhenti dan gadis itu roboh lemas. Kiranya Suma Boan telah menotoknya dengan tiba-tiba. Karena yang ditotok adalah tong-cu-hiat di belakang leher dan thian-hu-hiat, maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak dapat mengeluarkan suara lagi. Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa betapa Suma Boan meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang disimpannya di situ. Terde­ngar pemuda itu berseru girang, mengan­tongi dua buah kitab itu lalu menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari oleh Suma Boan, dipondong di atas pundak!

Sian Eng memjadi kecewa dan juga bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kekasihnya akan melakukan perbuatan seperti ini. Saking marah­nya, ketika ia berusaha untuk mengerah­kan tenaga, jalan darahnya yang ber­henti itu membuat hawa sakti menyerang dirinya sendiri dan ia pingsan seketika!

Ketika Sian Eng siuman dari pingsan­nya, ia mengerang perlahan dan tubuhnya tidak karuan rasanya. Ia memandang ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya berbaring telentang di atas sebuah dipan di dalam kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya sebuah perahu besar yang berlabuh di pinggir. Melihat kamar yang bersih dan indah ini, tentu ia berada di sebuah perahu yang mewah. Sinar mata­hari yang memasuki jendela kamar pe­rahu menandakan bahwa malam telah berganti pagi dan hawa pagi itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa segar bahkan merasa tidak enak sekali. Kagetlah ia ketika menengok dirinya. Ternyata pakaiannya yang robek-robek semalam telah diganti pakaian indah bersih, pakaiannya sendiri yang buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia memasuki gua. Seketika wajahnya menjadi merah. Ia dapat menduga bahwa tentu Suma Boan yang mengganti pakai­annya. Serentak ia bangkit dan ia menyeringai. Badannya terasa sakit-sakit. Kemarahannya bangkit ketika ia teringat akan kelakuan Suma Boan semalam, yang secara khianat telah menotoknya. Kemudian kecurigaannya timbul ketika ia menyaksikan keadaan dirinya di pagi ini.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dari luar dan masuklah Suma Boan. Pe­muda ini berpakaian indah bersih pula, wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng dengan senyum lebar yang menambah ketampanan wajahnya.

“Isteriku yang manis, kau sudah ba­ngun?”

Bagaikan disambar petir Sian Eng memandang terbelalak. Ucapan ini mem­perkuat kekhawatiran hatinya.

“Apa.... apa kau bilang....?” Kemudian, pandang mata Suma Boan se­akan-akan menceritakan semuanya, membuat Sian Eng gemetar seluruh tubuhnya.

“Kau.... kau telah melakukan....”

Suma Boan melangkah maju dan memeluknya mesra. “Isteriku, kau isteriku yang tercinta. Sian Eng, kita telah menjadi suami isteri dan.... aduhhh....!”

Suma Boan terlempar ke sudut kamar karena dengan tenaga yang dahsyat se­kali Sian Eng telah mendorongnya. Sian Eng kini bangkit berdiri, matanya me­rah menyala-nyala, pipinya seperti terbakar rasanya.

“Keparat biadab! Kau.... kau berani....”

Suma Boan terkejut bukan main, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia tidak terluka. Ia melangkah maju lagi dan membujuk dengan suara manis.

“Eng-moi-moi, kau kenapakah? Bukan­kah kau mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu dengan se­luruh jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga kelak? Aku.... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu sehingga kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak tahan lagi. Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”

“Keparat busuk!” Sian Eng memaki dan bagaikan seekor singa betina ia me­nerjang maju. Suma Boan tentu saja tidak mau membiarkan dirinya diserang, cepat ia mengelak, malah kemarahannya kini bangkit. Memang sesungguhnya di hati putera pangeran ini tidak ada cinta kasih murni terhadap Sian Eng, yang ada ha­nya cinta berdasarkan nafsu binatang belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya terhadap Sian Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia menafsir bahwa Sian Eng telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah menjadi “isterinya” tentu Sian Eng akan membuka rahasia ilmu itu ke­padanya. Tentu saja di samping ini, juga kelemahan batinnya terhadap kecantikan Sian Eng merupakan sebab yang kuat pula sehingga di malam itu ia melakukan perbuatan biadab seperti binatang.

Kini dalam marahnya, Suma Boan balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi daripada kepandaian Sian Eng, maka sekali ia mengeluarkan jurus yang sulit, tangannya berhasil memukul pundak Sian Eng, membuat gadis itu terjungkal.

“Kau hendak berlagak, ya? Mulai sekarang kau harus mentaati segala perin­tahku, kalau tidak, kau akan kusiksa sampai mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik kau tidak mau terima!” Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah berhasil merobohkan Sian Eng, Suma Boan me­langkah maju.

Sian Eng rebah miring dan menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini ham­pir membuatnya menjadi gila. Rasa me­nyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati memenuhi kepalanya, membuat ke­palanya berdenyut-denyut, membuat tu­buhnya sebentar panas sebentar dingin. Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang dicintanya, yang dipujanya, yang diharapkan menjadi suaminya kelak, mem­perlakukan dia seperti ini. Tiba-tiba ke­marahannya memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika Suma Boan sudah melangkah dekat, ia siap-siap. Benar saja, Suma Boan yang bermaksud hendak “menundukkan” Sien Eng mengangkat k&kinya menendang. Pada saat itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat berdiri. Suma Boan tidak bisa berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian Eng mengayun-ayun tubuh itu, diputar-putarnya di atas kepala!

“Kuhancurkan kepalamu! Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam kepa­rat!” Sian Eng memaki-maki sambil me­nangis dan air matanya bercucuran.

Suma Boan takut setengah mampus. Ia berusaha untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan diri, namun kakinya yang dicengkeram tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia tidak mampu meronta. Ia mulai merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya meluncur keluar dua buah kitab kuno. Melihat ini Sian Eng men­dadak tertawa-tawa!

“Hi-hi-hi-hik! Untuk dua kitab ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau tega menghancurkan harapan hidupku, mem­buyarkan cita-citaku, membanting remuk kasih sayangku. Hanya untuk dua buah kitab kuno, hi-hi-hik!”

Makin takutlah Suma Boan. “Sian Eng.... Moi-moi.... kauampunkanlah diriku.... Eng-moi, ingatlah.... aku cinta kepadamu, sungguh mati, biar aku bersumpah....!” Akan tetapi kata-katanya tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.

Pada saat itu, terdengar suara wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang menantang, “Bangsat Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”

Sian Eng terkekeh makin geli. “Dia memang laki-laki, akan tetapi laki-laki seperti anjing. Nah, terimalah!” Ia meng­ayun tubuh Suma Boan dan melemparkan­nya keluar dari pintu.

Baiknya Suma Boan dapat mengerahkan gin-kangnya sehingga ia dapat meng­atur keseimbangan tubuhnya dan dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Liu Hwee yang berdiri di situ dengan sikap me­nantang. Mula-mula ia khawatir kalau-kalau Liu Hwee datang bersama orang lain. Akan tetapi setelah mendapat ke­pastian bahwa gadis puteri Beng-kauw ini hanya seorang diri, apalagi tidak bersenjata, melainkan bertangan kosong dan bertolak pinggang di situ, hatinya menjadi besar. Ia merasa malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau orang lain menyaksikan keadaannya, benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan merasa terhina oleh Sian Eng itulah maka kini kemarah­annya ia tumpahkan kepada Liu Hwee.

“Perempuan keparat! Kau mau apa?” bentaknya.

“Suma Boan mata-mata busuk. Mau menghukummu, apa lagi?”

Suma Boan berseru keras dan cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah Liu Hwee mengelak dan balas menyerang. Suma Boan menyeringai karena merasa betapa kakinya yang tadi dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan kaku, membuat gerakannya kacau. Sebetulnya kalau di­buat perbandingan, dalam hal kematang­an ilmu silat, kiranya Suma Boan lebih tinggi sedikit daripada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi banyak macam ilmu dan sudah lebih banyak pengalamannya bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Suma Boan sedang merasa gelisah memikirkan ke­adaan Sian Eng. Selain itu, ia pun masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih, ditambah lagi cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa meremukkan tulang kakinya. Oleh karena merasa kaku dan sakit-sakit kaki­nya, segera Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Be­racun). Ilmu silat ini ia warisi dari It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Un­tuk mainkan ilmu silat ini, ia hanya menggunakan jari telunjuk dan jari te­ngah dari kedua tangannya, dipakai me­nyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang remeh jari-jari ini, karena ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung hawa pukulan beracun yang sekali mengenai tubuh lawan dapat mengakibat­kan maut datang menjemput.

Melihat datangnya serangan yang mengeluarkan angin berciutan serta me­lihat uap hitam yang mengepul dari jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw yang sakti maklum dan dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu pukulan jahat dan ganas. Ia tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji ini, cepat menggunakan gin-kang dan ke­gesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari mencari kesempatan membalas. Ia maklum bahwa kalau tangannya sam­pai terbentur jari-jari itu, ia akan terluka oleh racun berbahaya.

Suma Boan menjadi makin penasaran dan melihat lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya, ia menjadi ma­kin ganas. Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke manapun juga Liu Hwee mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka sehingga pemuda itu kehilangan kegesitannya. An­daikata tidak demikian, agaknya tidak mudah bagi Liu Hwee untuk dapat me­nyelamatkan diri.

Pertandingan ini berjalan setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak lelah. Memang ia sudah lelah sekali, dan kakinya makin sakit. Namun berkat ilmu pukulannya yang dahsyat dan keji, Liu Hwee belum sempat membalas dan selalu menyelamatkan diri. Hal ini dimengerti oleh Suma Boan, maka sambil mengeluar­kan suara gerengan seperti harimau ia mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak mempedulikan rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali dan ia betul-betul terdesak ketika ia mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak sampai di ujung perahu dan agaknya tidak ada jalan keluar lagi bagi­nya.

“Ha-ha-ha, bocah sombong. Ke mana lagi kau akan lari?” Suma Boan meng­ejek, lalu menerjang maju dengan tusuk­an kedua jari tangan kanannya sambil memekik, “Hiaaaaattttt!” Hebat bukan main serangan ini dan Liu Hwee sudah berada di pinggir perahu, kalau ia me­lompat ke belakang tentu ia akan jatuh ke dalam air!

Namun gadis yang tenang dan gesit gerakannya ini dapat melihat bahwa be­tapapun hebat dan berbahayanya serangan lawan ini, ia dapat melihat bahwa Suma Boan sudah kehilangan kecepatannya. Maka dengan tenang dan tabah ia miringkan tubuh secepat kilat setelah ujung kedua jari berbahaya itu sudah mendekati dadanya. Kedua ujung jari itu lewat ham­pir mengenai bajunya dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan kirinya menceng­keram pergelangan tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan hilang kaget­nya menyaksikan gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang perkasa itu telah mengerahkan tenaga, serentak me­narik dengan lwee-kang sepenuhnya sam­bil menggerakkan dan melepaskan lengan itu. Suma Boan memang sudah lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apalagi ia tidak mengira sama sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan me­lakukan perbuatan ini. Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat, tubuhnya yang ketika menusukkan jari tadi memang sudah condong ke depan dan kaki kanannya juga terangkat ke depan, tak dapat ia pertahankan lagi, terlempar dan.... “byurrrrr!” air sungai muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh Suma Boan yang cukup berat.

Liu Hwee yang memang curiga bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw, cepat memasuki bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia. Ia memeriksa cepat dengan pandang mata­nya, namun tidak mendapatkan sesuatu yang penting. Lalu ia melompat keluar lagi, juga tidak melihat Suma Boan. Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam ke dalam sungai. Gadis ini lalu menggerakkan kedua kakinya melompat ke darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun merasa lelah sekali karena semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan pertandingan tadi sudah memeras banyak tenaganya.

Tentu saja tidak benar dugaan Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai. Pemuda bangsawan ini terlalu cerdik dan licin untuk dapat di­tewaskan secara begitu mudah. Karena maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah seperti itu tak mungkin ia dapat melakukan perlawanan lagi, pula karena khawatir kalau-kalau Liu Hwee menanti di pinggir perahu dan siap menyerangnya dengan serangan maut apabila ia hendak kembali ke perahu, Suma Boan lalu menyelam dan bersembunyi di bawah perahu dengan hanya mengeluarkan hi­dung dan mulutnya di permukaan air. Dari bawah ia melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya terdapat orang bergin-kang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap Sian Eng membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi, goyangan perahu hanya sebentar saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka Suma Boan lalu naik ke perahu, melalui tambang yang tergantung ke bawah. Dengan hati-hati ia melompat naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada bahaya mengancam. Terhadap Liu Hwee ia tidak begitu takut, akan tetapi ia ngeri memikirkan sepak terjang Sian Eng.

Namun di perahu itu sunyi saja, tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan berindap-indap memasuki kamar perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya serasa tertusuk, penuh kekecewa­an, penasaran, dan kemarahan. Tak perlu ia mencari lagi. Terang bahwa dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan kemudian ia rampas, ketika tadi jatuh dari dalam saku bajunya, telah diambil kembali oleh Sian Eng yang sekarang telah pergi entah ke mana!

“Perempuan laknat!” Suma Boan me­nyumpah-nyumpah sambil menanggalkan pakaiannya yang basah untuk diganti dengan yang kering. Kemudian ia duduk di atas dipan dan termenung. Sian Eng telah ia nodai dan ada dua akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini. Per­tama, gadis itu akan merasa menjadi isterinya walaupun tidak sah dan inilah yang ia harapkan ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apabila begini akibatnya, tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang menyerahkan diri dan kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya dengan sah agar kitab-kitab itu dan ter­utama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya. Akan tetapi akibat ke dua mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama sekali, dan gadis itu akan merasa sakit hati kepada­nya lalu memelihara dendam kesumat yang tiada habisnya terhadap dirinya. Memikirkan akibat ke dua ini, Suma Boan bergidik.

“Dua buah kitab itu telah kulihat se­pintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan yang sebuah lagi ilmu pe­dang. Akan tetapi Sian Eng telah me­miliki tenaga kecepatan dan gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mung­kin ia pelajari dari dua buah kitab itu, apalagi hanya dalam waktu dua pekan. Agaknya banyak rahasia aneh di dalam gua itu. Aku harus memberi tahu suhu.... ah, tidak, kalau suhu yang menemukan semua itu, tentu takkan diberikan kepadaku....” Demikianlah, Suma Boan melamun dan memeras pikirannya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan baik dan kalau kesem­patan ini terbuka, ia sendiri yang akan menyelidiki ke dalam gua. Akan tetapi untuk itu ia harus membuat persiapan. Sebelum melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia harus menemui gurunya dan kebetulan gurunya akan membuat per­temuan di puncak Thai-san. Maka be­rangkatlah Suma Boan ke arah Thai-san.

Adapun Sian Eng, setelah melempar keluar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar dua buah kitab dan se­lagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melesat keluar dari jendela bilik perahu, terus melompat ke darat dan melarikan diri sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan. Akan tetapi, ka­dang-kadang ia tertawa dan memaki-maki diri sendiri. Mulai saat itu, apabila teringat akan nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian Eng menjadi berubah tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa berganti-ganti. Tujuan hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal ihwalnya ini, untuk mengadukan pena­sarannya dan mohon kepada kakak tirinya untuk membalaskan dendamnya. Akan tetapi apabila ia dalam keadaan tenang, ia hanya menangis perlahan dan termenung-menung, akan tetapi sifat liar itu lenyap. Dengan cepat Sian Eng yang pernah mendengar tentang niat Suling Emas mewakili ibunya ke Thai-san, juga menyusul ke Thai-san untuk bertemu dengan Suling Emas.

Demikianlah, setelah tiba di lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia yang berada di bawah jurang melihat orang jatuh meluncur dari atas. Betapapun berubahnya watak Sian Eng, melihat orang terancam maut ini, tak dapat ia berpeluk tangan, timbul sifat satria ke­turunan ayahnya. Ia lalu mempergunakan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ternyata ia berhasil menolong Bok Liong. Ketika melihat bahwa yang ia tolong adalah Lie Bok Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya karena ia merasa bahwa ia telah menjadi seorang yang terhina, maka tan­pa banyak cakap ia lari meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa.

***

“Bagus, bagus sekali! Heh-heh-heh-heh!” Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di lain bagian dari lereng Gunung Thai-san, keluar dari se­buah hutan yang penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.

“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!” Suara itu berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek. Dia berdiri menari-nari kegirangan, meng­angkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada dua batang pohon di kanan kiri. Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat dengan gesit dan dengan pengerahan gin-kang yang luar biasa. Kini gadis itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!

Mendengar ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bang­ga dan girang akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek sam­bil bertolak pinggang dan mulutnya cem­berut.

“Apa kaubilang, Kek? Kau mau ang­gap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini memasang kuda-kuda yang aneh, kedua ka­kinya jinjit (berdiri di ujung jari) sambil berkata lagi, “Hayo kaulayani hasil latih­anku, Kek!” Setelah berkata demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua tangannya diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan, mengarah dada Gan-lopek.

“Ehhh, jangan....!” Gan-lopek kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan ketika mendengar desir angin yang dahsyat ke­luar dari pukulan gadis itu. Hawa pukul­an yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan.... “kraaakkkkk!” patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!

“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek me­lompat-lompat. “Apakah kau hendak mem­bunuhku, bocah liar?”

Sejenak Lin Lin sendiri tertegun me­nyaksikan hebatnya akibat pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri dan merangkul pun­dak si kakek sambil tertawa-tawa.

“Masa aku hendak membunuhmu, Kek? Andaikata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”

“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang main-main, Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau sudah berhasil. Selamat, selamat....”

“Kek, banyak terima kasih. Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai tenaga sin-kang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih ilmu-ilmu pukulan ini.”

“Hemmm, entah iblis mana yang su­dah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biarpun kau tidak memberi tahu dan aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kaulatih ini ada­lah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!” Tiba-tiba empek ini meloncat dan memukul-mukul kepalanya sendiri. “Wah-wah-wah, ke­enakan bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa waktunya telah tiba. Hayo kita ke pun­cak, jangan-jangan kita akan terlambat menonton pertunjukkan yang terhebat di kolong langit!” Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak lari cepat. Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas tangannya dan berkata.

“Kakek Gan, hayo kita berlumba lari cepat ke puncak!”

Maka berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum bukan main, mulailah ia me­ragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia melihat sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.

Sementara itu, dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain daripada yang dipikir­kan Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia se­lalu memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan seperti ma­rah-marah kepadanya padahal ia memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas. Mengapa Su­ling Emas marah-marah kepadanya? Meng­apa Suling Emas menolong perempuan yang hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas? Perempuan macam itu harus dibunuh! Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada tentu.... dirinya! Berpikir sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia me­narik napas panjang, pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi wajah­nya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.

Selain marah dan penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun me­rasa khawatir dan gelisah. Oleh karena itu, ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak terbang agar dapat cepat­cepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.

Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat me­nuju puncak itu untuk sejenak menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama kita tinggalkan.

Ketika Suling Emas menyaksikan dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan ku­buran mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya pe­rasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang merupakan malapetaka besar. Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya, sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara mereka sen­diri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan Lian dan dia. Akan tetapi agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit bahwa gadia baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka dua belas! Dan Tan Lian ber­sumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh isteri dan anak-anaknya!

Dapat dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas, betapa duka dan menyesal­nya. Akan tetapi percobaan yang me­nimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan me­nyerang Tan Lian tanpa ia mampu men­cegahnya. Pukulan yang dahsyat itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan Pat-jiu Sin-ong, he­batnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian. Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja di Raja Obat di lereng Thai-san. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu memon­dong tubuh Tan Lian dan setelah me­negur Lin Lin, ia melesat pergi mening­galkan Lin Lin. Ada tiga hal yang mem­buat ia sengaja meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat, yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng Thai-san, ke dua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan para anggauta Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ke tiga adalah karena ia sengaja hendak menjauhi Lin Lin! Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus melakukan perjalanan bersama ga­dis itu. Gadis remaja itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang ke­padanya, membayangkan cinta berahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan. Dekat dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang men­datangkan rasa suka di hati, mendatang­kan rasa gembira. Beratlah rasanya un­tuk mempertahankan hati. Lebih berat daripada menghadapi seratus orang lawan tangguh. Ia maklum bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal takkan runtuh hati­nya menghadapi seorang gadis yang be­gitu cantik jelita, dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak ternoda sedikit pun kekotoran duniawi. Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan Lin Lin, akhirnya sifat egonya (mementingkan diri sendiri) akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin Lin, sebagai pengganti Suma Ceng. Akan tetapi, bukanlah demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hi­dup Lin Lin. Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewa­sa, terlalu tua untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apalagi setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menye­ret orang lain, apalagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang mengerikan itu.

Demikianlah, dengan batin menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi. Suling Emas yang berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian secara demikian ganas. Sebagai seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya! Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian men­cinta Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena.... cemburu pula!

Ketika berhenti sebentar di pinggir sebuah sungai kecil di luar hutan, untuk sekedar menyegarkan tubuh dan minum, Tan Lian mengerang perlahan dan mem­buka matanya. Gadis itu dibaringkan oleh Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera menghampiri.

“.... kau....?” Tan Lian terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, seakan-akan meragukan pandang matanya, serasa dalam mimpi.

Suling Emas menggerakkan tangannya, mencegah gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia lakukan ini kare­na begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan tidak kuat bangun.

“Kau terluka hebat, harap jangan bergerak! Aku sedang membawamu ke Thai-san, untuk minta pertolongan Kim-sim Yok-ong (Raja Obat Berhati Emas). Kau tenanglah. Tan-siocia (Nona Tan), kurasa Yok-ong akan mampu menyembuhkanmu.”

Tan Lian nampak gelisah. “Kau.... kau mendengar semua....?”

Suling Emas dapat menduga apa yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik napas panjang, mengangguk dan berkata halus. “Aku mendengar semua, akan tetapi sekarang juga sudah lupa lagi apa yang kudengar.” Jawabannya ini berarti bahwa hal-hal yang ia dengar diucapkan gadis itu tidak dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia ceritakan kepada orang lain.

Biarpun Tan Lian maklum akan arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah lagi ia merasa berduka dan malu. Air matanya mengucur keluar dan ia me­nangis terisak-isak.

Suling Emas menarik napas panjang lagi. Ia tahu apa yang menyebabkan ga­dis ini menangis, maka ia tak dapat bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis baju hijau yang gagah perkasa ini. Ia maklum bah­wa Tan Lian adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi daripada Lin Lin. Kalau saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat dalam tongkat pusaka Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan Lian, apalagi hanya dengan sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu benar-benar hebat dan ber­bahaya sekali, lagi ganas dan dahsyat. Jangankan Tan Lian, dia sendiri kalau ilmu itu sudah terlatih baik oleh Lin Lin, tidak akan mudah dapat mengalahkannya.

Pat-jiu Sin-ong tidak percuma terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu, dan ilmu yang ia ciptakan itu me­rupakan inti sari daripada semua kepandaian yang menjadi ilmu pusaka Beng-kauw!

“Tenanglah, Nona. Memang nasib kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan oleh orang-orang tua kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik ayahmu maupun ibuku sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur riwayat mereka bersama jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan riwayat dan urusan mereka? Ah, Nona Tan, ku­harap kau tidak berpemandangan sesempit itu....”

Tan Lian menghentikan tangisnya, memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika berkata, “Berpemandangan sempit? Kau.... kau tidak merasakan, tentu saja pandai mencela! Di dunia aku hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian ayah karena dibunuh ibumu membuat aku sebatangkara. Kausalahkan aku kalau aku bersumpah men­dendam dan hendak membalas kematian ayah? Akan tetapi Thian tidak menaruh kasihan kepadaku. Aku terlambat!” Suara­nya terisak. “Aku terlambat setelah aku berlatih dengan susah payah selama ber­tahun-tahun, setelah aku rela tinggal seorang diri...., tidak mau menikah.... menjadi perawan tua.... semua ini hanya untuk satu tujuan, yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup kuat dan hendak mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan tentang keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain menimpakan dendam kepadamu? Tapi.... aku tidak becus.... aku.... aku tidak mampu mengalahkanmu....” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.

Suling Emas mengerutkan keningnya. Ia dapat membayangkan penderitaan ba­tin yang selama ini menimpa diri Tan Lian. Memang benar hebat dan berat sekali dan diam-diam ia memuji kebakti­an Tan Lian yang demi untuk berbakti kepada ayahnya sampai berkorban sedemikian rupa, menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi seorang gadis yang sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun, padahal gadis ini cantik dan gagah, tentu dalam usia tujuh belas atau delapan belas sudah menjadi isteri orang kalau saja ayahnya tidak meninggal, terbunuh oleh ibunya!

“Tan-siocia harap kau jangan berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur sampai di mana puncaknya, dan siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang lebih tinggi lagi. Andaikata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan mampu menandinginya, karena biarpun kau telah menggembleng dirimu belasan tahun lamanya, ibuku pun terus memperdalam ilmunya selama puluhan tahun!”

“Lebih baik kalau aku tewas dalam usahaku membalas ibumu, daripada seperti sekarang ini....” ia terisak. “.... tidak seja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau.... kau tidak membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan ini, lebih baik kaubunuh aku!”

“Nona, di antara kita tidak ada permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak, aku, tidak akan berpemandangan begitu picik. Dan ku­harap kau pun dapat sadar akan hal ini, bahwa di antara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita saling benci dan saling bermusuhan.”

“Akan tetapi...., aku sudah bersumpah.... untuk membunuh isterimu....”

“Jangan khawatir, aku tidak beristeri,” kata Suling Emas, tersenyum.

“Tapi wanita yang memukulku itu? Ah, dia tentu tunanganmu!”

Suling Emas kembali menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.

“Tapi, jelas dia mencintamu!”

Suling Emas kaget bukan main mendenger pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa Lin Lin mencinta­nya?

“Hemmm, mengapa kau berkata demikian?” katanya, suaranya tenang saja, padahal jantungnya berdebar keras.

“Dia cemburu kepadaku.... eh, kumaksudkan....” Tan Lian menjadi gugup sekali karena tanpa ia sengaja atau sadari, ia sendiri sudah membuka rahasia hatinya.

“Tak mungkin, Nona. Dia adalah adik tiriku!”

Tan Lian tercengang dan entah meng­apa, tiba-tiba wajahnya berseri gembira! Akan tetapi hanya sebentar, karena ia lalu menghela napas dan berkata dengan lirih dan berat, “Aku sudah bersumpah memusuhimu, tak perlu kau berlaku baik kepadaku, tiada gunanya. Lebih baik aku mati saja, tak perlu kaucarikan orang pandai untuk berobat.”

“Hemmm, mengapa kau begini putus harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup....”

“Muda, katamu? Seorang wanita sudah berusia.... seperti aku, kaubilang masih muda? Aku adalah perawan tua. Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup hanya menjadi bahan ejekan? Sebatangkara, tiada keluarga, tugas pun terbengkalai tak terpenuhi, apa artinya hidup? Aku sudah tua!” kembali air matanya mengalir turun.

“Kau masih muda, Nona Tan. Muda dan cantik jelita lagi gagah perkasa. Ku­rasa, dia yang merasa dirinya pandai dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan berebutan untuk mendapatkan perhatianmu, dan akan merasa bahagia se­kali kalau menjadi pilihanmu.”

Sepasang pipi gadis itu tiba-tiba men­jadi merah, matanya memandang lebar-lebar ke arah Suling Emas seakan-akan hendak menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati yang jujur. Melihat se­pasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan ke­jujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap. “Be.... betulkah....?”

Suling Emas lega hatinya. Ia mengangguk meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan Lian lagi sambil berkata, “Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera sampai di Thai-san. Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti ini.”

Di dalam pondongan pemuda itu, Tan Lian termenung-menung. Dia masih be­lum beristeri, usianya sudah lanjut pula, tentu lebih tua beberapa tahun daripada dia sendiri! Permusuhan antara orang tua tentu saja akan hapus kalau mereka men­jadi suami isteri! Dia begitu baik, begini gagah perkasa, dan bukankah dia tadi memuji-muji bahwa aku cantik jelita dan gagah? Bukankah pujian yang keluar dari mulut seorang laki-laki, pujian yang bu­kan hanya kosong, yang keluar dari hati sejujurnya, menjadi bayangan daripada cinta kasih?

Makin muluk-muluk lamunan Tan Lian sehingga akhirnya ia tertidur nyenyak di dalam pondongan Suling Emas.

Di lereng Thai-san yang agak tersem­bunyi, di bagian yang paling sunyi karena hanya penuh dengan hutan-hutan belukar, terdapat sebuah pondok sederhana dan bersih, mempunyai banyak jendela se­hingga di dalam pondok itu hawanya sejuk segar. Inilah tempat tinggal Kim-sim Yok-ong, seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua akan tetapi wajahnya tetap segar berseri dan kemerahan seperti wajah seorang pemuda remaja, sepasang matanya bersinar-sinar dan bentuknya indah seperti mata wanita cantik. Jari-jari tangannya halus dan runcing seperti tangan seorang terpelajar, gerak-geriknya halus, tutur sapanya ramah dan sopan, pakaiannya sederhana dan dari kain murah, akan tetapi bersih sekali, sebersih kuku-kukunya dan rambutnya. Inilah dia Kim-sim Yok-ong yang namanya terkenal di seluruh jagat, yaitu nama sebutannya, bukan nama aselinya karena nama aselinya tidak ada yang tahu. Ia dijuluki Kim-sim (Hati Emas) karena kakek ini menolong kepada siapa saja yang perlu ditolong, tidak pilih kasih, tidak pandang bulu, tanpa pamrih, tanpa syarat seolah-olah hatinya terbuat daripada emas yang amat berharga penuh dengan cinta kasih akan sesamanya. Di samping ini ia disebut Yok-ong (Raja Obat) karena ilmu pengobatan yang ia miliki benar-benar luar biasa sekali sehingga banyak orang bilang bahwa tidak ada penyakit di dunia ini yang tidak bisa diobati dan disembuhkan oleh Kim-sim Yok-ong! Karena kebaikan hatinya yang tidak pandang bulu dan tidak pilih kasih inilah agaknya maka semua orang di dunia ini, termasuk mereka yang memiliki watak kasar dan buruk, semua segan-segan dan tidak berani mengganggunya. Bukan tidak berani terhadap Kim-sim Yok-ong sendiri yang tak pernah dilihat orang bermain silat, akan tetapi tidak berani karena sekali dia mengganggu Kim-sim Yok-ong, tentu ia akan ber­hadapan dengan seluruh tokoh di dunia kang-ouw, baik tokoh kanan maupun kiri, tokoh putih maupun hitam, para pen­dekar maupun penjahat! Agaknya Kim-sim Yok-ong sudah menjadi “milik” semua orang yang akan membelanya mati-mati­an!

Akan tetapi, tidaklah sering raja obat ini dikunjungi orang yang hendak ber­obat. Pertama, karena tempat tinggalnya sering kali berpindah-pindah dan selalu ia memilih lereng-lereng gunung yang ting­gi dan yang mempunyai tetumbuhan yang mengandung obat. Ke dua, kepandaiannya yang istimewa adalah khusus untuk mengobati orang-orang terluka oleh pukulan-pukulan, oleh senjata-senjata rahasia atau oleh racun-racun. Dalam hal inilah ia memang memiliki kepandaian istimewa. Adapun kepandaiannya mengobati orang-orang sakit biasa, tidaklah istimewa, sama dengan tabib-tabib yang banyak terdapat di kota-kota. Oleh karena itu pula maka hanya para anggauta dunia kang-ouw saja yang selalu mencari dan minta tolong kepada Kim-sim Yok-ong. Dan justeru ini pula yang membuat namanya terkenal di antara para tokoh kang-ouw.

Bahkan tak boleh disangkal lagi, enam iblis Thian-te Liok-kai yang kini tinggal lima orang saja itu, sengaja memilih puncak Thai-san sebagai tempat mengadu ilmu karena pada waktu itu Kim-sim Yok-ong berada di gunung itulah. Hal ini penting sekali karena mereka maklum bahwa pertandingan adu ilmu di antara mereka tentu sedikitnya akan mengakibat­kan luka-luka yang parah dan mengeri­kan, dan hanya Kim-sim Yok-ong saja yang akan mampu mengobati.

Pada pagi hari itu, selagi Kim-sim Yok-ong mengatur akar-akar obat di atas genteng depan rumah untuk dijemur, da­tanglah Suling Emas yang memondong tubuh Tan Lian. Sudah dua hari dua ma­lam gadis itu berada dalam keadaan pingsan maka Suling Emas tidak pernah berhenti, berlari cepat siang malam se­hingga ketika ia tiba di situ, keadaan pendekar ini lesu dan lemah, tubuhnya lelah sekali, tangannya kaku-kaku dan kakinya gemetar.

“Ayaaaaa....! Kiranya Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) yang datang! Ah, lagi-lagi kau melupakan kesehatan sendiri, sedikitnya dua hari dua malam tak pernah berhenti berlari untuk me­nolong seseorang. Kim-siauw-eng, orang seperti engkau ini amat diperlukan dunia, dan berbahagialah engkau karena hidupmu telah kauisi dengan kemanfaatan bagi dunia. Bawalah dia masuk, sebentar aku menyusul!”

Suling Emas mengangguk. “Terima kasih, Locianpwe.” Lalu ia melangkah memasuki pondok dan merebahkan tubuh Tan Lian di atas sebuah pembaringan di sudut ruangan. Sedikit gelisah juga hati Suling Emas menyaksikan keadaan Tan Lian yang sudah pucat sekali mukanya, tubuhnya dingin dan kaku seakan-akan sudah mati. Hanya napasnya yang lemah saja yang membuktikan bahwa gadis itu masih hidup. Diam-diam Suling Emas berdoa semoga gadis itu tidak mati oleh pukulan maut Lin Lin, karena kalau hal ini terjadi, ia akan merasa berdosa dan makin menyesal mengingat bahwa semua ini adalah akibat daripada perbuatan ibu kandungnya yang lalu.

Tak lama kemudian Raja Obat itu memasuki pondok dengan langkah perlahan dan tenang sekali. Suling Emas sudah mengenal watak Raja Obat ini, maka ia pun diam saja dan menanti sam­pai orang tua itu melakukan pemeriksaan.

Kim-sim Yok-ong menghampiri sebuah tempayan air di sudut luar, mencuci kedua tangannya, kemudian menyusutnya dengan kain bersih. Barulah ia meng­hampiri Tan Lian tanpa menoleh ke arah Suling Emas yang masih berdiri di dekat pembaringan. Tabib sakti itu membungkuk, memandangi Tan Lian dengan kening berkerut, mengulur tangan kiri me­nekan nadi tangan gadis itu dan tangan kanannya meraba-raba pundak dan leher.

“Uhhhhh....!” katanya, agak tercengang. “Aku mendengar berita bahwa Pat-jiu Sin-ong sudah meninggal dunia! Bagaimana nona ini bisa terkena pukulan­nya beberapa hari yang lalu?”

Suling Emas tidak merasa heran men­dengar ini, sungguhpun ia menjadi makin kagum saja. Tidak ada akibat pukulan yang bagaimana hebat pun di dunia ini yang tidak dikenal oleh Kim-sim Yok-ong!

“Bukan, Locianpwe. Pat-jiu Sin-ong memang sudah meninggal dunia dan tidak melakukan pukulan terhadap nona ini.”

Kakek itu memandang dan tahulah ia bahwa Suling Emas tidak ingin bicara tentang pemukul nona ini. Ia menarik napas panjang dan berkata, “Siapapun juga pemukulnya, sudah pasti bukan Beng-kauwcu Liu Mo, juga bukan Kauw Bian Cinjin. Kalau bukan Pat-jiu Sin-ong, en­tah siapa yang mampu melakukan pukulan ini. Hemmm, siapapun juga, dia meng­gunakan pukulan Beng-kauw dan aneh sekali bahwa kau yang membawanya ke sini untuk kuobati.”

Ucapan ini tidak langsung, namun diam-diam Suling Emas mengerti bahwa kakek itu sudah tahu segalanya, sudah mendengar bahwa dia adalah putera Tok-siauw-kui dan cucu Pat-jiu Sin-ong. Alangkah cepatnya berita tersiar, tidak heran bahwa tokoh-tokoh kang-ouw men­cari dan hendak mengeroyoknya. Apalagi kalau diingat bahwa banyak tokoh kang-ouw mengunjungi kakek ini untuk minta obat.

“Kau keluarlah dulu, Kim-siauw-eng, biar kucoba untuk mengobati nona ini.”

Suling Emas lalu mengangguk, me­langkah keluar dan duduk di atas sebuah batu hitam yang terdapat di depan pon­dok itu. Memang di depan pondok ter­dapat sekumpulan batu-batu besar yang beraneka warna. Inilah sebuah di antara kesukaan Kim-sim Yok-ong, yaitu me­ngumpulkan batu-batu yang licin halus dan aneh-aneh macam serta warnanya.

Lebih dua jam Suling Emas menanti, belum juga ada berita dari dalam. Ia melamun dan bermacam pikiran meng­godanya, terutama sekali pikiran tentang diri Lin Lin! Ia merasa amat sayang dan kasihan kepada gadis remaja itu, malah hampir ia jatuh cinta! Berulang kali Su­ling Emas menarik napas panjang, bukan sekali-kali menyesali nasibnya, melainkan menyesal mengapa setelah ibunya men­jadi sebab kegegeran dunia, kini diamen­jadi sebab pula kegegeran hati gadis-gadis cantik.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa seperti suara katak di musim hujan. Su­ling Emas cepat mengangkat muka dan kaget serta herannya bukan main ketika ia melihat dua orang kakek sudah berdiri dalam jarak lima meter di depannya, masing-masing kakek itu memegang leher baju seorang penduduk gunung. Yang membuat Suling Emas kaget dan heran adalah betapa kedua orang kakek itu dapat datang tanpa ia ketahui sama se­kali, tahu-tahu sudah berada di situ. Terlalu dalamkah ia tadi tenggelam dalam lamunannya sehingga ia tidak men­dengar kedatangan mereka, ataukah mung­kin mereka itu luar biasa saktinya? Akan tetapi sepanjang ingatannya, hanya Bu Kek Siansu saja yang pandai datang dan pergi tanpa ia ketahui!

Ia memandang penuh perhatian. Seorang di antara dua kakek itu rambut dan jenggotnya panjang berwarna putih seperti perak, bahkan alis matanya juga putih, jubahnya panjang dan putih pula. Pendeknya, tidak ada warna lain terdapat pada diri kakek ini, malah kulitnya kalau diperhatikan juga luar biasa putihnya, seakan-akan tidak ada darah di bawah kulit itu. Diam-diam Suling Emas kaget. Orang ini membayangkan tenaga sin-kang yang mujijat, akan tetapi bagaimana seorang dengan kepandaian sehebat ini belum pernah ia jumpai dan tidak ia kenal sama sekali? Kemudian perhatiannya teralih kepada orang ke dua. Dia ini juga seorang kakek tua, rambutnya awut-awutan, kumis dan jenggotnya tebal panjang. Akan tetapi berbeda dengan kakek pertama yang rambutnya serba putih, kakek ini rambut dan jenggotnya ke­merah-merahan, juga pakaiannya serba merah, sepatu rumputnya merah, kulit badannya juga kemerahan seakan-akan setiap hari dibakar matahari! Yang mem­buat Suling Emas diam-diam terkesiap hatinya adalah ketika ia melihat mata kedua orang kakek itu. Kakek pertama matanya putih hampir tidak kelihatan bagian hitamnya, akan tetapi kakek ke dua matanya merah dan hampir tidak tampak bagian putihnya. Benar-benar dua orang kakek yang luar biasa sekali. Ja­ngankan bertemu mereka, mendengar tentang mereka pun belum pernah!

Kedua orang kakek itu masih ter­tawa-tawa, dan kedua orang penduduk gunung yang dicengkeram leher bajunya itu kelihatan ketakutan sekali.

“Hah, biruang busuk, benar inikah rumah Kim-sim Yok-ong?” tiba-tiba si kakek putih bertanya kepada orang yang dicengkeramnya. Orang itu mengangguk-angguk, dengan tubuh gemetar dan biarpun mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari bibirnya.

“Huah-hah-hah, si tabib memelihara anjing untuk menjaga pondok agaknya!” kata si kakek merah sambil menudingkan telunjuk ke arah Suling Emas. “Biar ku­usir dulu anjing itu, menyebalkan benar!” Setelah berkata demikian, kakek merah ini tiba-tiba menggerakkan tangan ka­nannya seperti orang mendorong ke arah Suling Emas yang masih duduk di atas batu hitam. Terdengar suara bercuitan menyambar ke arah Suling Emas. Pen­dekar ini kaget dan kagum juga menyak­sikan pukulan jarak jauh yang demikian dahsyat, akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan tenang Suling Emas yang biasa menghormat kaum tua, sengaja tidak mau menangkis, melainkan ia dalam keadaan masih bersila tubuhnya, me­layang ke atas mengelak pukulan dan seperti seekor burung, tubuhnya yang masih duduk bersila itu hinggap pada batu lain di sebelah kiri.

Pukulan jarak jauh itu tidak mengenai dirinya, akan tetapi terdengar suara keras dan.... batu hitam tempat duduk Suling Emas tadi pecah-pecah dan di antara muncratnya batu itu tampak cahaya berapi yang panas luar biasa!

“Anjing penjaga yang baik....!” seru kakek putih dan dengan mulut menyeri­ngai memperlihatkan deretan giginya yang putih berkilauan, kakek ini pun menggerakkan tangan kanannya mendo­rong ke arah Suling Emas.

***

Pendekar ini masih belum hilang kagetnya menyaksikan akibat pukulan jarak jauh si kakek merah yang benar-benar dahsyat itu, pukulan yang mengandung tenaga raksasa penuh hawa panas membakar yang sekali mengenai tubuh manusia akan membuat tubuh itu tidak hanya remuk akan tetapi juga terbakar! Kini melihat datangnya pukulan jarak jauh yang sama sekali tidak bersuara namun membuat rumput-rumput di atas tanah yang dilalui seketika menjadi layu, ia cepat-cepat menggerakkan tubuhnya melompat tinggi dan kemudian turun berdiri dengan keadaan siap siaga.

Ia melihat betapa batu yang didudukinya bergoyang-goyang sedikit, akan tetapi tidak pecah seperti tadi, malah tampaknya tidak apa-apa. Tadinya ia mengira bahwa kepandaian kakek putih itu kalah jauh oleh kakek merah, akan tetapi tiba-tiba si kakek merah berseru. “Wah-wah, agaknya kau berusaha keras mengalahkan aku. Huah-hah-hah!”

Suling Emas kaget dan melihat lagi. Matanya terbelalak kelika ia melihat batu besar yang disangkanya tidak apa-apa itu, kini mulai bergerak-gerak tak lama kemudian runtuh dan kiranya sudah hancur menjadi debu! Diam-diam ia ka­get sekali. Dua orang kakek ini benar-benar merupakan orang-orang yang pa­ling sakti yang pernah ia jumpai atau dengar, kecuali tentu saja Bu Kek Siansu, akan tetapi kakek itu memang boleh disejajarkan dengan manusia biasa.

Cepat ia menjura penuh penghormatan sambil berkata.

“Mohon maaf sebesarnya bahwa ka­rena teecu (murid) tidak mengenal siapa adanya Ji-wi Locianpwe (Dua Kakek Sakti), maka terlambat untuk mengada­kan penyambutan. Teecu juga hanya se­orang tamu dari luan rumah Kim-sim Yok-ong yang kini sedang sibuk meng­obati orang sakit. Harap Ji-wi (Tuan berdua) sudi menunggu, biarlah teecu menyingkir kalau kehadiran teecu tidak menyenangkan hati Ji-wi.”

Biarpun maklum bahwa dua orang kakek itu sakti luar biasa, akan tetapi tentu saja Suling Emas tidak merasa takut. Ucapannya yang sopan dan me­ngalah bukanlah bayangan daripada rasa takut, melainkan bayangan daripada si­kapnya yang menghormat orang asing yang lebih tua, dan juga karena ia se­dang menghadapi tugas penting mewakili ibunya menghadapi anggauta-anggauta Thian-te Liok-koai, maka dia tidak mau mencari perkara lain yang akan menga­caukan tugasnya.

“Huah-hah-hah, orang muda ini boleh juga. Heh, orang muda, kami datang karena mendengar nama besar Kim-sim Yok-ong yang menjulang tinggi sampai ke langit. Akan tetapi kami tidak percaya kalau tidak membuktikan sendiri sampai di mana kepandaiannya. Kata orang, tabib sombong ini dapat menghidupkan lagi orang mati terkena racun!”

Diam-diam Suling Emas mendongkol. Dua orang kakek ini boleh jadi sakti, akan tetapi sikap mereka berandalan. “Saya rasa berita itu tidak benar, Locianpwe. Sepandai-pandainya orang, ba­gaimana bisa menghidupkan orang yang sudah mati? Akan tetapi memang benar bahwa Kim-sim Yok-ong pandai sekali mengobati korban-korban segala macam pukulan dan senjata beracun yang bagai­mana parah sekalipun!”

“Huh, huh!” Si kakek putih, berbeda dengan si kakek merah yang selalu ter­tawa mengejek, kalau bicara selalu ber­sungut-sungut. “Siapa mau percaya? Coba dia sembuhkan akibat pukulanku ini!” Setelah berkata demikian kakek putih ini melemparkan tawanannya ke atas tanah dan tangan kirinya bergerak. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh orang gunung itu tidak berkutik lagi, kaku kejang se­perti sebatang balok.

“Huah-hah-hah, bagus! Memang tanpa diuji mana mau percaya? Andaikata dia bisa menyembuhkan dia itu, tak mungkin dia bisa menyembuhkan orang ini!” Ia pun mendorong tawanannya ke depan dan memukul. Kembali terdengar jerit keras dan orang gunung ke dua ini berkelojotan di atas tanah.

Suling Emas kaget dan marah, akan tetapi dua orang kakek itu sudah ber­kelebat dan lenyap dari situ. Hanya ge­ma suara ketawa kakek merah yang ma­sih terdengar. Ingin Suling Emas menge­jar dan menegur kakek itu, bahkan ia pun siap untuk mengadu kepandaian de­ngan dua orang kakek yang kejam itu. Akan tetapi karena kedua orang pen­duduk gunung yang tak berdosa itu ber­ada dalam keadaan luka hebat dan maut mengancam nyawa mereka, Suling Emas membatalkan niatnya mengejar, kemudi­an cepat ia menghampiri dua orang kor­ban untuk memeriksa keadaannya.

Tercenganglah Suling Emas ketika menyaksikan keadaan dua orang itu. Me­reka sama sekali tidak terluka, akan tetapi keadaan mereka sungguh mengeri­kan. Korban kakek putih masih tetap kaku kejang, seluruh tubuhnya mulai ber­ubah warna menjadi keputih-putihan dan biarpun masih bernapas, namun ketika diraba terasa dingin seperti salju! Se­baliknya, korban kakek merah berkelojot­an, tubuhnya mulai kemerahan-merahan, bahkan dari lubang-lubang tubuhnya mu­lai keluar asap tipis dan kalau diraba darahnya panas seperti api! Melihat keadaan mereka ini, cepat-cepat Suling Emas lari memasuki pondok untuk me­manggil Kim-sim Yok-ong. Ia maklum bahwa kakek itu sedang mengobati Tan Lian dan biasanya ia pun tidak berani mendesak atau mengganggu si raja obat. Namun karena keadaan memaksa, ter­dorong rasa kasihan terhadap dua orang penduduk gunung yang tak berdosa ini, Suling Emas segera berseru dari pintu.

“Locianpwe, harap lekas keluar, di sini ada dua orang korban yang mem­butuhkan pertolongan Locianpwe!”

Akan tetapi sebetulnya tidak perlu dia berteriak-teriak karena pada saat itu kebetulan sekali Kim-sim Yok-ong keluar dari dalam ruangan pengobatan sambil tersenyum. Begitu melihat kakek ini, teringatlah Suling Emas akan keadaan Tan Lian maka cepat ia bertanya, “Bagaimana dengan keadaan nona itu, Locianpwe?”

Lega hati Suling Emas. Setelah men­dengar bahwa Tan Lian tertolong, ia ter­ingat kembali kepada dua orang korban di luar. “Locianpwe, di luar ada dua orang korban yang keadaannya amat berbahaya, harap Locianpwe sudi monolong orang-orang yang tak berdosa itu.” Tanpa banyak cakap lagi Kim-sim Yok-ong lalu melangkah cepat keluar pondok. Melihat dua orang menggeletak di pekarangan rumahnya, yang seorang berkelojoikn dan yang kedua diam tak bergerak kaku, ia cepat menghampiri dan memeriksa. Ke­ningnya berkerut-kerut dan ia menggeleng-gelengkan kepala, kadang-kadang mulutnya mengeluarkan seruan-seruan heran dan kaget.

“Kim-siauw-eng, apakah yang terjadi di sini tadi?” tanyanya tanpa menoleh kepada Suling Emas sambil memeriksa tubuh korban kakek putih yang makin lama makin dingin tubuhnya itu. Dengan singkat Suling Emas menuturkan tentang dua orang kakek aneh yang tadi datang. Mendengar ini, tabib sakti itu mengelu­arkan seruan aneh, bangkit berdiri dan memandang Suling Emas dengan mata terbelalak.

“Agaknya mereka itu bukan manusia!” serunya kaget. “Kalau mereka manusia, tokoh dari golongan manapun juga, tentu pernah kulihat atau setidaknya kudengar nama dan keadaannya. Akan tetapi se­lama puluhan tahun aku hidup, belum pernah mendengar tentang seorang kakek putih dan seorang kakek merah. Lebih hebat lagi, aku tidak mengenal pula pu­kulan-pukulannya terhadap dua orang ini!” Ia menarik napas panjang. “Gunung Thai-san ini boleh dibilang tinggi, namun pun­caknya masih kalah tinggi oleh awan. Sungguh segala sesuatu di dunia ini tak dapat diukur batasnya. Mereka itu agak­nya sengaja menantangku dan hendak menguji. Hemmm, orang-orang sesat, nyawa manusia dibuat main-main! Buta­kah mereka sehingga tidak melihat bah­wa mati hidupnya seseorang bukan se­kali-kali tergantung daripada kepandaian­ku mengobati, melainkan tergantung sepenuhnya pada kehendak Thian? Kim-siauw-eng, bawalah masuk mereka, akan kucoba menolong, sungguhpun aku merasa ragu-ragu untuk dapat menyelamatkan mereka.”

Suling Emas cepat mengempit dua orang itu dan membawanya masuk ke dalam pondok dan atas permintaan tabib sakti itu. Ia membaringkan mereka di atas bangku-bangku kayu yang berada di ruangan belakang. Kemudian seperti yang diminta oleh Kim-sim Yok-ong. Suling Emas menanggalkan pakaian kedua orang itu, pakaian bagian atas sehingga tubuh mereka bagian atas telanjang. Ngeri sekali keadaan mereka. Tubuh mereka itu kini yang seorang sudah berubah putih, yang kedua menjadi merah, persis warna kulit ke dua orang kakek aneh itu.

Sementara itu, Kim-sim Yok-ong sibuk membakar ujung jarum-jarum perak dan emas di atas api lilin. Kemudian ia menghampiri korban kakek putih yang tubuhnya kaku dan berwarna putih itu. Dengan gerakan hati-hati sekali namun tidak ragu-ragu, ia menancapkan jarum-jarum emas pada jalan-jalan darah ter­tentu di dada, leher dan pusar! Kemudi­an ia menggunakan jarum-jarum perak untuk menusuk jalan-jalan darah pada tubuh orang kedua yang menjadi korban kakek merah. Setelah pada masing-masing tubuh kedua orang korban itu tertancap tujuh batang jarum, Kim-sim Yok-ong mengeluarkan sebatang pisau yang tajam lalu melukai kedua telapak tangan mere­ka dengan ujung pisau.

Aneh! Dari luka di telapak tangan korban kakek putih segera mengucur keluar darah yang keputih-putihan se­dangkan dari luka di telapak tangan kor­ban kakek merah mengucur darah yang kehitaman! Lambat laun, berubahlah warna pada wajah kedua orang itu, kembali menjadi normal dan napas mereka pun mulai tenang. Akhirnya mereka bergerak-gerak mengeluh panjang. Kim-sim Yok-ong menarik napas panjang, kelihatan lega hatinya. Akan tetapi agaknya ia tadi telah mengerahkan tenaga dan men­curahkan seluruh perhatiannya, sehingga ia tampak lelah dan sambil menghapus keringatnya, ia mulai mencabuti jarum-jarum yang menancap di tubuh kedua orang itu.

“Siapapun kedua iblis itu, dia tidak mungkin dapat mengalahkan kekuasaan Thian,” kata Kim-sim Yok-ong perlahan. “Inilah buktinya! Karena agaknya Thian belum menghendaki kedua orang tak bersalah ini tewas, kebetulan sekali aku dapat menyembuhkan luka-luka mereka yang hebat, akibat pukulan aneh yang belum pernah kusaksikan sebelumnya. Betapapun juga, pukulan kakek merah itu mengandung, unsur panas sedangkan pukulan kakek putih mengandung pukulan dingin. Di dunia ini, hanya terdapat dua macam unsur tenaga, Im dan Yang, sungguhpun berbeda ragam dan caranya, namun bersumber sama.”

Suling Emas menyaksikan dan men­dengarkan dengan hati penuh kekaguman. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa yang sudah amat dikenal­nya. “Huah-hah-hah, Kim-sim Yok-ong! Jangan bergembira dulu dan merasa se­nang! Cobalah kaupunahkan akibat pukulan-pukirian kami ini!”

Bagaikan kilat menyambar, Suling Emas sudah berkelebat keluar pondok, siap untuk menghadapi dua orang iblis asing yang hendak menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong dengan cara buas, ya­itu melukai orang-orang tak bersalah itu, main-main dengan nyawa orang seakan-akan mereka itu hanya binatang-binatang kelinci saja. Akan tetapi alangkah kaget­nya ketika tiba di pekarangan depan, ia tidak melihat dua orang kakek itu me­lainkan empat brang dusun lain yang sudah menggeletak tak bergerak di atas tanah.

“Celaka! Keji benar mereka!” serunya sambil membuhgkuk untuk memeriksa.

“Jangan pegang mereka! Biarkan aku memeriksa lebih dulu!” seru Kim-sim Yok-ong sambil berlari-lari keluar.

Hebat sekali keadaan empat orang itu. Mereka adalah korban baru. Ada yang tulangnya patah-patah sampai men­jadi puluhan potong! Ada yang tulangnya remuk-remuk. Ada yang seluruh tubuhnya keluar bintik-bintik merah dan orang ke empat mengeluarkan darah dari semua lubang di tubuhnya!

“Kejam....!” Seru Yok-ong. “Kim-siauw-eng, bantulah aku. Mereka harus cepat-cepat ditolong!”

Maka bekerjalah Suling Emas meng­angkat orang-orang itu ke dalam pondok dan ia girang melihat dua orang dusun pertama sudah dapat bangun. Segera Yok-ong menyuruh mereka pulang sanibil membawa obat-obat minum kepada kedua orang itu. Akan tetapi selanjutnya ia sibuk mengobati empat orang yang men­derita luka-luka hebat sekali. Suling Emas hanya membantu, memasakkan obat, me­ngambilkan daun ini dan akar itu, sambil mengagumi cara tabib sakti itu menolong para korban. Cekatan dan terampil, hati-hati dan tepat sehingga kembali empat orang itu dapat diselamatkan nyawanya.

Akan tetapi, secara berturut-turut pekarangan depan pondok itu kebanjiran para korban dua orang kakek iblis yang aneh itu, yang selalu meninggalkan korban mereka di pekarangan pondok se­hingga dalam waktu setengah hari saja di situ berkumpul tiga puluh orang lebih yang terancam nyawanya dengan pel­bagai macam luka-luka hebat, dari racun-racun yang paling ganas sampai pukulan-pukulan yang paling keji yang selamanya belum pernah terbayangkan oleh Suling Emas, bahkan yang banyak di antaranya membuat si tabib sakti agak bingung! Akhirnya si tabib sakti terpaksa meng­akui kehebatan dua orang kakek itu ka­rena menjelang senja, sudah ada empat orang yang tewas, karena tak mampu ia menyembuhkannya!

Hebatnya, malam itu masih bertam­bah lagi jumlah korban sehingga seluruh­nya menjadi lima puluh orang korban tangan maut kakek merah dan kakek putih yang luar biasa ini! Suling Emas memuncak kemarahannya, namun ia tidak dapat melakukan pencegahan atau pun pengejaran karena tenaganya amat di­butuhkan untuk membantu Kim-sim Yok-ong. Baiknya Tan Lian siuman menjelang malam dan keadaannya sedemikian baik­nya sehingga gadis ini mampu bangkit duduk dan memandang ke kanan kiri dengan keheran-heranan karena ia melihat seorang kakek tua dibantu oleh Suling Emas sibuk mengurus dan mengobati puluhan orang. Biarpun yang sembuh telah disuruh pulang oleh tabib sakti itu, namun di dalam rumah masih terkumpul tiga puluh orang dan enam orang mayat!

“Ahhh.... apa yagg terjadi? Di mana aku....?” Gadis itu bertanya, penuh kengerian hati.

Suling Emas segera menghampiri dan giranglah hatinya melihat gadis itu sudah sembuh sama sekali, tempak dari wa­jahnya yang segar.

“Syukur kau telah tertolong, Nona. Akan tetapi kau harus beristirahat di sini barang tiga hari menurut pesan Yok-ong Locianpwe. Akan tetapi celaka, hari ini terjadi hal hebat. Dua orang iblis yang tidak terkenal mengamuk dan me­lukai banyak orang, hanya untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong.” Secara singkat Suling Emas menceritakan keada­an itu, sedangkan Yok-ok sama sekali tidak ambil peduli dan tetap sibuk meng­urusi mereka yang luka.

Tan Lian menjedi heran dan terharu menyaksikan kebaikan hati tabib itu. “Apa? Aku harus beristirahat skja melihat begini banyaknya orang yang perku ditolong? Tidak, Locianpwe, aku siap membantumu!” Ia meloncat turun dari pembaringan dan biarpun kepalanya masih agak pening, namun gadis ini dengan cekatan lalu mulai membantu dengan masak air den lain-lain.

Kim-sim Yok-ong mengangguk-angguk dan memandang sebentar. “Boleh kau boleh membantu. Yang tak boleh kau­lakukan hanya pengerahan tenaga dalam. Bagus hari ini aku bersusah-payah me­nolongmu bukah tiada gunanya. Nona kau ambilkan bungkusan dari atas lemari itu, kemudian kau bakar ujung semua jarum ini sampai terasa panasnya pada ujung gagangnya.”

Demikianlah, tiga orang itu semalam suntuk sibuk menolong orang dan baiknya dua orang iblis tua itu agaknya sudah cukup “menguji kepandaian” Kim-sim Yok-ong, buktinya tidak ada lagi orang terluka mereka antarkan.

Pada keesokan harinya menjelang tengah hari, barulah selesai pekerjaan itu. Sebanyak empat puluh lebih orang telah sembuh dan boleh pulang, akan tetapi ada delapan orang yang tak dapat tertolong dan kini rebah menjadi mayat di dalam pondok. Kim-sim Yok-ong tam­pak lelah sekali, jauh lebih lelah dari Tan Lian yang juga bekerja keras dalam keadaan belum pulih tenaganya. Kakek ini tampak duduk di atas bangku, bersila dan wajahnya keruh, keningnya berkerut-kerut dan agak pucat. Ia berkali-kali menarik napas panjang dan memandangi mayat-mayat yang berjajar di situ.

“Locianpwe, harap Locianpwe tidak merasa berduka. Sudah cukup hebat ke­pandaian Locianpwe dan delapan orang korban ini agaknya memang sudah di­kehendaki Thian untuk mati. Apakah yang harus disesalkan? Biarlah saya me­ngubur mayat-mayat ini!”

Kim-sim Yok-ong menggeleng-geleng kepalanya dan menarik napas panjang, “Bukan itu yang menyusahkan hatiku, orang muda. Kau tidak mengerti, apa kehendak dua orang aneh itu dengan perbuatan mereka?”

“Apalagi kalau tidak hendak menguji kepandaian Locianpwe? Kalau memang mereka itu orang-orang yang mempunyai sedikit saja prikemanusiaan, tentu mere­ka akan menyesali perbuatan mereka dan akan mengakui keunggulan Locianpwe dalam hal melawan dan memunahkan akibat pukulan-pukulan beracun mereka!”

“Bukan...., bukan demikian. Ketahuilah, Kim-siauw-eng, mereka itu sengaja melakukan bermacam-macam pukulan dengan penggunaan racun yang berbahaya, tak lain hendak mempelajari caraku mem­beri obat. Mereka memaksaku mengeluar­kan ilmu pengobatan dan agaknya mereka memang sengaja hendak mempelajarinya. Ilmu pengobatan memang amat baik dan boleh saja diketahui semua orang, akan tetapi kurasa bukan dengan niat baik ke­dua orang itu mempelajarinya, buktinya cara mereka mempelajari sudah cukup ganas dan keji. Aku khawatir sekali....”

“Siapakah iblis-iblis itu?” Tan Lian berseru. “Kalau sudah pulih kembali kesehatanku, akan kucari mereka dan ku­ajak mereka bertanding. Membasmi me­reka atau mati di tangan mereka me­rupakan tugas seorang yang menjunjung kegagahan!”

Suling Emas memandang kagum dan kakek itu menghela napas. “Nona, bukan sekali-kali aku memandang rendah ke­padamu. Akan tetapi kepandaian dua orang itu, biapun Thian-te Liok-koai sendiri belum tentu dapat menandinginya!”

Suling Emas kaget. Ia harus percaya omongan tabib dewa ini yang tentu da­pat menilai kepandaian orang melihat akibat pukulan-pukulannya. Diam-diam ia bergidik dan makin kuat niatnya untuk menggempur dua orang kakek itu.

“Biarlah saya mengubur mayat-mayat ini dan setelah itu, aku akan mencari mereka berdua untuk minta pertanggung­an jawab mereka!”

Dengan dibantu oleh Tan Lian, Suling Emas mengubur delapan mayat itu, di­saksikan oleh Kim-sim Yok-ong yang merasa prihatin sekali. Baru kali ini selama ia memdapat julukan Raja Obat, ia gagal menyembuhkan delapan orang yang meninggal dunia di depan matanya. Ia merasa terhina sekali.

Setelah delapan buah mayat itu dimasukkan lubang di tanah dan mereka mulai menguruk dengan tanah, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari arah barat, suara ketawa kakek merah bersama suara ejekan kakek putih yang sudah dikenal baik oleh Suling Emas.

“Huah-hah-hah, kiranya hanya begini saja kepandaian si Raja Obat!” terdengar suare kakek merah.

“Kau tidak patut dan tidak berhak menggunakan sebutan Yok-ong (Raja Obat) lagi!” seru suara kakek putih.

“Locianpwe, biarkan saya memberi hajaran kepada mereka!” Suling Emas berseru marah, dan hendak lari ke barat dari mana suara-suara itu datang. Akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang orang. Ia menoleh dan ternyata Tan Lian yang memegang tangannya, wajah gadis itu pucat dan memandang dengan penuh kekhawatiran.

“Ada apa, Nona Tan?” tanya Suling Emas merasa terganggu.

Merah wajah Tan Lian dan gadis ini segera melepaskan pegangannya. “Tidak apa-apa, hanya.... mereka itu benar-benar sakti, mari kubantu engkau....”

“Terima kasih. Tidak perlu, karena kau sendiri masih belum boleh mengeluarkan tenaga, harus beristirahat sampai sembuh.” Suling Emas lalu berkelebat dan lari untuk mencari dua orang kakek iblis itu.

“Kau.... berhati-hatilah....!” seru Tan Lian dan sampai lama gadis ini berdiri bengong memandang ke arah barat, ke arah perginya pendekar yang sudah me­nundukkan hatinya itu. Sampai lama ia berdiri seperti patung, tidak tahu bahwa pekerjaan menguruk kuburan masih menanti dan juga bahwa si kakek tabib memandanginya dengan tarikan napas panjang.

“Anak yang baik, mayat-mayat itu menunggu untuk diuruk selekasnya!” Tiba-tiba tabib itu berkata. Sadarlah Tan Lian daripada lamunannya dan segera ia mengerjakan tanah galian untuk menguruk lubang-lubang kuburan itu bersama Kim-sim Yok-ong. Kemudian tabib itu meng­ajak Tan Lian ke pondok dan mereka membersihkan pondok dari darah yang berceceran. Kim-sim Yok-ong menyiram-nyiramkan obat pemunah hawa beracun dan membakar akar wangi, kemudian ia memanggil gadis itu untuk duduk di de­pannya.

“Tak usah kau merasa khawatir. Biarpun kedua orang iblis itu lihai sekali, namun Suling Emas biarpun masih muda adalah seorang pendekar yang sakti dan waspada. Kurasa tidak akan mudah men­celakakan Suling Emas,” kata kakek itu dengan suara menghibur.

“Mudah-mudahan begitulah, Locianpwe,” jawab Tan Lian yang kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Saya berhutang nyawa kepada Locianpwe, apabila dalam hidup ini saya tidak mampu membalas, biarlah dalam penjelmaan lain saya akan menjadi binatang peliharaan Locianpwe untuk mem­balas budi.” Dan tiba-tiba dengan sedih nona ini menangis.

Kim-sim Yok-ong tertawa, mengelus-elus jenggotnya dan membangunkan gadis itu.

“Jangan begitu, kau duduklah. Jangan kauikat aku dengan belenggu karma. Semua yang kulakukan bukanlah untuk menanam budi, juga bukan bermaksud menolong, melainkan karena sudah men­jadi kewajibanku. Anak yang baik, kalau orang sudah setua aku ini, seharusnya melakukan segala sesuatu tanpa pamrih, hanya berdasarkan kewajiban dan sebagai pujaan kepada kebesaran Thian. Nona, kau telah terpukul oleh seorang yang memiliki pukulan dasar dari ilmu silat Beng-kauw, pukulan yang dahsyat dan yang tadinya kuanggap hanya mampu dilakukan oleh Pat-jiu Sin-ong seorang. Siapakah yang memukulmu dan mengapa? Bagaimana pula Suling Emas yang mem­bawamu ke sini? Kalau kau tidak ke­beratan, harap kauceritakan kepadaku karena aku merasa kasihan kepadamu dan ingin memberi sekedar nasihat.”

Makin sedih tangis Tan Lian mendengar pertanyaan ini. Ia hidup sebatangkara, selama ini tidak ada orang lain yang memperhatikan nasibnya kecuali, tentu saja, Thio San. Thio San adalah seorang pemuda, tunangannya sejak kecil. Akan tetapi ia telah menyia-nyiakan pertunangannya dengan Thio San dan selalu menghindari pemuda itu karena besarnya tekad dan cita-citanya selama ini untuk membalas dendam. Selain ini, di lubuk hatinya, ia pun tidak puas de­ngan tunangan ini, tunangan yang dipilih ayahnya semenjak ia masih kecil karena Thio San adalah putera sahabat baik ayahnya. Ia tidak puas karena Thio San, sungguhpun merupakan seorang pemuda yang tampan dan baik, dan yang ternyata amat setia dan amat mencintanya pula, hanya seorang pemuda terpelajar yang lebih tekun mempelajari kesusastraan sehingga dalam pandangannya Thio San adalah seorang pemuda lemah yang tidak mengerti ilmu silat. Tidak sesuai dengan keadaannya sendiri sebagai puteri men­diang Hui-kiam-eng Tan Hui yang ter­kenal sebagai seorang pendekar besar.

“Locianpwe, banyak terima kasih atas perhatian Locianpwe terhadap diri saya yang bernasib malang ini. Sesungguhnya secara terus terang saya mengakui bahwa yang memukul saya adalah adik tiri Su­ling Emas, sedangkan Suling Emas adalah.... adalah musuh besar saya.”

“Apa? Musuh besarmu? Akan tetapi dengan susah payah dia membawamu ke sini!”

“Itulah yang memberatkan hati saya, Locianpwe, dan saya mohon petunjuk. Sebetulnya bukan dia musuh saya, me­lainkan ibunya, Tok-siauw-kui yang sudah membunuh ayah saya.”

“Siapakah ayahmu?”

“Mendiang ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”

“Ahhh....! Tentu saja aku kenal dia. Lalu bagaimana? Teruskanlah dan jangan ragu-ragu, mendiang ayahmu dahulu ada­lah sahabat baikku, dia seorang pendekar besar.”

Mendengar ini, makin deras air mata mengucur keluar dari sepasang mata gadis itu. Setelah dapat meredakan tangisnya ia menyambung ceritanya, “Kematian ayah membuat saya menjadi se­orang yang hidup sebatangkara, tidak ada cita-cita lain di hati kecuali mencari Tok-siauw-kui dan membalas dendam. Akan tetapi karena Tok-siauw-kui amat lihai sehingga ayah sendiri kalah oleh­nya, saya melewatkan waktu sampai belasan tahun untuk memperdalam ilmu silat. Akan tetapi, Locianpwe, alangkah malang nasib saya. Begitu saya merasa bahwa sudah tiba saatnya saya pergi mencari Tok-siauw-kui yang kabarnya berada di Nan-cao, bersembunyi di sana dan saya segera berangkat, di tengah jalan saya mendengar berita bahwa Tok-siauw-kui baru saja tewas! Ah, hancur hati saya karena saya tidak berhasil membalas dendam. Akan tetapi, kemudian saya mendengar dari It-gan Kai-ong bahwa Tok-siauw-kwi adalah ibu dari Suling Emas. Tentu saja saya ikut ber­sama tokoh-tokoh kang-ouw lain untuk membalaskan sakit hati itu kepada pu­tera musuh besar saya. Kembali saya kecewa, Locianpwe, karena.... karena.... saya tidak mampu mengalahkan Suling Emas, malah.... malah.... ketika saya bersumpah di depan makam ayah untuk membalaskan dendam itu kepada isteri dan anak-anak Suling Emas, saya dipukul roboh oleh adik tirinya dan.... dia malah menolong saya....” Gadis itu kembali menangis sedih.

“Hemmm.... hemmm.... tidak hanya kau kalah oleh Suling Emas, malah hati­mu pun roboh oleh asmara. Kau men­cinta Suling Emas?”

Seketika berhenti tangis Tan Lian dan ia melonjak kaget, memandang kakek itu dengan muka pucat dan mata terbelalak. Kakek itu tetap tersenyum sabar.

“Bagaimana.... bagaimana.... Locianpwe bisa tahu....?” Akhirnya Tan Lian bertanya dengan suara gagap.

Senyum kakek itu melebar, “Aku pernah muda, anak baik, dan sudah banyak kusaksikan di dunia ini. Sudah banyak dongeng dan peristiwa terjadi karena cinta. Kalau tidak karena cinta, agaknya tidak akan terjadi urusanmu dengan Su­ling Emas, tidak akan terjadi permusuhan yang terpendam di hatimu. Ayahmu pun menjadi korban cinta. Karena itu, kau percayalah kepadaku, anak baik, buang jauh-jauh perasaan itu karena kulihat bahwa kau berbakat untuk menjadi mu­ridku. Tadinya aku tidak ada niat me­miliki murid, akan tetapi setelah dua iblis itu mengakaliku dan mencuri banyak pengetahuanku, aku harus menurunkan kepandaianku. Kaulah yang cocok untuk menjadi muridku, tidak saja kau ber­bakat, akan tetapi kau pun anak sahabat­ku.”

Tan Lian menjatuhkan diri lagi berlutut di depan kakek itu. “Ohhh, Locian­pwe saya merasa seakan-akan bertemu dengan ayah saya. Locianpwe, tolonglah saya. Saya sudah bersumpah hendak mem­bunuh isteri dan anak-anak Suling Emas, akan tetapi.... dia tidak punya isteri dan.... dan memang betul saya jatuh cinta kepadanpa. Locianpwe, sudilah Lo­cianpwe menolong saya, mewakili orang tua saya yang sudah tiada, harap suka usahakan perjodohan saya dengan Suling Emas. Kalau hal ini tidak terjadi, saya merasa sia-sia hidup di dunia, dendam ayah tak terbalas, hasrat hati hendak memunahkan dendam dengan ikatan jodoh tak tercapai....”

Kakek itu termenung sejenak. “Suling Emas termasuk seorang di antara tokoh-tokoh aneh di dunia ini. Aku khawatir kalau-kalau maksud hatimu akan gagal, Nak. Mengapa tidak kaubatalkan saja dan hidup mencapai kebahagiaan penuh damai daripada kesunyian seperti aku? Aku tanggung bahwa kebahagiaan itu akan jauh lebih sempurna daripada kebahagiaan itu akan jauh lebih sempurna daripada kebahagiaan duniawi.”

“Cobalah dulu, Locianpwe. Belum tentu dia tidak setuju, agaknya.... agaknya dia pun bukan tak suka kepada saya....”

Akhirnya kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiklah.... baiklah, akan tetapi jangan kau lalu membunuh diri kalau dia menolak. Berjanjilah dulu, tanpa janjimu aku takkan mau menerima permintaanmu.”

“Saya berjanji takkan membunuh diri kalau.... dia menolak.”

“Dan akan suka menjadi muridku,” sambung kakek itu.

“.... dan akan suka menjadi murid Locianpwe....”

“Bagus!” Kakek itu tampak girang, “Nah, kau beristirahatlah, kita menanti sampai dia kembali.”

Akan tetapi pada saat itu, di luar pondok terdengar langkah kaki orang. Tergopoh-gopoh Tan Lian berlari ketuar, hatinya sudah tak sabar lagi untuk menyambut kedatangan Suling Emas. Ia harus cepat melihat dengan mata sendiri bahwa pendekar itu kembali dalam ke­adaan selamat. Ketika ia melangkah keluar dari pintu pondok, tiba-tiba ia tercengang dan berdiri seperti patung, memandang laki-laki muda yang berdiri di pekarangan rumah itu dengan mata terbelalak. Pemuda itu, yang berpakaian sederhana seperti seorang pelajar, ke­libatan lelah sekali, berwajah tampan dan keningnya lebar, juga memandang ke­padanya, mata yang sayu kelelahan itu bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri.

“Lian-moi (Adik Lian)....!” Akhirnya ia berseru dan tersaruk-saruk ia melangkah maju.

“Kau....? Kenapa kau datang ke sini?”

“Kenapa? Lian-moi, tentu saja hendak mencarimu, menyusulmu! Lian-moi, ham­pir glia aku mencarimu, mengikuti jejak­mu. Lian-moi, mengapa kau di sini dan dengan siapakah kau....” Orang muda yang bukan lain adalah Thio San itu tiba-tiba berhenti karena melihat mun­culnya seorang kakek yang bersikap te­nang dan bermata tajam muncul di pintu, di belakang tunangannya.

“Thio San! Sudah berapa kali kujelas­kan kepadamu bahwa di antara kita su­dah tidak ada ikatan dan tidak ada urus­an apa-apa lagi. Kenapa kau begini tak tahu malu dan masih berani menyusulku dan mengikutiku selalu? Pergilah!”

“Tapi....”

“Pergilah, sebelum aku habis sabar dan terpaksa bertindak kasar!”

“Tapi, Lian-moi, kita bertunangan....”

“Hemmm, kalau tidak ingat akan hubungan itu, sudah dulu-dulu aku mengenyahkanmu dengan kekerasan. Thio San, sejak dua belas tahun yang lalu, di depan engkau dan orang tuamu, bukankah aku sudah menyatakan pembatalan ikatan itu? Bukankah sudah kujelaskan secara terang-terangan apa yang menjadi sebab­nya? Thio San, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Nah, cukup, kau pergi­lah!” Karena hampir tidak kuat menahan air matanya, Tan Lian lalu membalikkan tubuhnya dan lari memasuki pondok.

Pemuda itu berdiri dengan muka pu­cat, sinar matanya menjadi makin sayu, wajahnya makin muram, tubuhnya ber­goyang-goyang seperti sebatang pohon terlanda angin, agaknya ia mengerahkan seluruh tenaganya agar tidak roboh.

“Orang muda,” Kim-sim Yok-ong ber­kata, suaranya halus menghibur. “Aku tidak berhak mencampuri urusanmu, akan tetapi biarlah kuperingatkan kau bahwa perjodohan yang dipaksakan oleh sefihak takkan membentuk rumah tangga yang berbahagia. Syarat utama perjodohan adalah kesediaan, kerelaan dan cinta kasih kedua fihak. Karena itu, seorang laki-laki harus dapat menguatkan hati dan rela berkorban perasaan demi men­cegah dirinya sendiri terperosok ke da­lam neraka rumah tangga yang tidak bahagia.”

Suara orang lain yang memasuki te­linganya menyadarkan pemuda itu dari keadaan yang memelas (menimbulkan iba) itu. Ia mengangkat dadanya dan menegakkan kepalanya, memandang tajam kepada kakek itu ketika menjawab.

“Orang tua, aku tidak mengenal si­apakah engkau, akan tetapi karena ucap­anmu bermaksud baik, aku berterima kasih sekali kepadamu. Namun, kalau aku harus membenarkan pendapatmu itu, lalu ke mana nanti perginya kesetiaan dan kebaktian? Jodoh yang sudah dipilihkan orang tua semenjak kecil, harus diterima dengan rela, itu bakti namanya! Satu kali orang bertunangan, harus ditunggu sampai mati, itu setia namanya! Betapapun juga, kau betul, orang tua. Dia tidak suka kepadaku dan aku tidak dapat memaksa­nya. Dia seorang ahli silat yang lihai, hatinya penuh dendam yang belum ter­balaskan, hidupnya bagaikan seekor naga yang melayang-layang di angkasa dengan bebas beterbangan di antara awan dan petir! Sedangkan aku.... aku....”

“Dan kau seorang muda yang penuh filsafat, yang mabuk akan ujar-ujar kuno, yang hidup menurunkan garis-garis dalam kitab, yang buta akan kenyataan bahwa betapapun mengecewakannya, manusia yang belum mau melepaskan diri dari­pada kehidupan ramai, berarti belum mungkin terlepas daripada nafsu-nafsu duniawi! Kau tidak mau mengerti bahwa orang seperti Tan Lian hanya tunduk kepada nafsu yang menguasai hatinya, sebaliknya kau hanya tunduk kepada per­aturan tanpa mau menjenguk keadaan orang lain. Orang muda, aku kasihan kepadamu. Kau seorang yang baik, berbakti dan setia, akan tetapi kau lemah! Bukan lemah jasmani saja, juga lemah batinmu karena kau malu akan kenyataan bahwa juga engkau telah dikuasai nafsu yang mendorong cinta nafsumu terhadap Tan Lian, akan tetapi kau tidak berterus terang, malah kau hendak menutupi cinta­mu dengan dalih setia dan berbakti! Sayang....”

Tiba-tiba dua titik air mata mem­basahi pipi pemuda itu yang menunduk­kan mukanya dan berkata, “Orang tua, kau betul. Aku cinta padanya, tapi dia menolakku. Namun, aku akan menanti dengan sabar, seperti yang sudah kulaku­kan belasan tahun lamanya, karena ku­lihat dia masih sendiri. Kalau dia sudah bersuamikan orang lain, barulah aku akan mundur. Maafkan aku, orang tua,” Se­telah berkata demikian, pemuda itu men­jura dan membalikican tubuh, lalu ber­jalan dengan langkah-langkah gontai me­ninggalkan pondok.

Sampai lama Kim-sim Yok-ong ber­diri memandang dari depan pintu pondok­nya sambil menggoyang-goyang kepala dan menghela napas. “Sampai sekarang, entah sudah berapa juta orang muda menjadi korban penyakit asmara ini. Sungguh memalukan, aku yang berjuluk Yok-ong belum juga dapat menemukan obatnya!” Sambil menggeleng-geleng kepala ia memasuki pondoknya dan melihat Tan Lian menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangan, kakek ini tidak mau bertanya-tanya lagi. Ia maklum bahwa gadis ini tentu merasa menyesal, berduka, dan malu karena urusan pribadinya telah terdengar orang lain.

“Locianpwe...., aku.... aku malu sekali. Ah, Locianpwe tentu akan memandang rendah kepadaku.... seorang gadis yang sudah ditunangkan sejak kecil akan tetapi berani minta tolong kepada Locianpwe untuk menguruskam perjodohan dengan pria lain....! Kalau Locianpwe merasa bahwa aku terlalu hina dan rendah, biarlah aku pergi dari sini dan tidak berani mengganggumu lagi....”

“Hemmm, aku tahu keadaan hatimu, Nak, dan tidak biasanya aku mencampuri urusan pribadi orang lain. Aku tidak memandang rendah dan aku tetap akan memegang janjiku.” Mendengar ucapan ini, Tan Lian berlutut dan merangkul kaki Yok-ong sambil menangis.

***

Dengan gerakan yang cepat sekali, bagaikan terbang saja terlihat dari jauh, pendekar sakti Suling Emas lari mendaki puncak Thai-san. Ia sengaja mencari tempat-tempat tinggi, bahkan kadang-kadang ia meloncat naik ke atas pohon untuk melihat keadaan sekitar pegunung­an itu dalam usahanya mencari jejak dua orang iblis tua yang telah mengacau pondok Kim-sim Yok-ong. Namun sudah sehari semalam ia mencari, hasilnya sia-sia belaka. Pada harti ke dua, pagi-pagi sekali ia sudah tiba di puncak paling tinggi dan selagi ia meneliti keadaan se­kelilingnya, tiba-tiba ia mendengar te­tabuhan khim yang nyaring, merdu dan halus. Sejenak kagetlah Suling Emas ka­rena ingatannya melayang-layang, me­ngira bahwa Bu Kek Siansu berada di tempat ini. Akan tetapi ketika ia mem­perhatikan, ia segera mengerutkan keningnya. Suara alat musik yang-khim yang ditabuh ini, sungguhpun cukup nya­ring dan merdu, namun memiliki gaya yang liar dan iramanya merangsang. Be­tapapun juga, harus ia akui bahwa tenaga yang keluar dari suara khim ini cukup hebat, menimbulkan rangsang yang men­debarkan jantung dan bagi orang yang kurang kuat tenaga batinnya, tentu akan roboh di bawah pengaruh suara itu.

Kemudian Suling Emas tersenyum dan teringatlah ia akan Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-koai, yang dapat mainkan yang-khim seganas ini? Ia ingat bahwa dahulu wanita iblis ini telah merampas alat musik yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan agaknya ia telah mempelajari alat musik itu, di­sesuaikan dengan ilmu untuk menyerang orang, baik melalui suara yang-khim maupun dengan cara mempergunakan alat musik itu sebagai senjata. Diam-diam Suling Emas menghitung-hitung dan memang hari itu sudah tiba saatnya perjanjian para anggauta Thian-te Liok-koai mengadakan pertemuan untuk mengadu ilmu di puncak Thai-san. Karena suara yang-khim dari Siang-mou Sin-ni itu me­rupakan panggilan atau tantangan, untuk sementara Suling Emas menunda urusan­nya mencari dua orang asing dan kini ia mencabut sulingnya, meniup dan melagu­kannya sambil melangkah lebar ke arah datangnya suara.

Sungguh ajaib suara yang terdengar di hutan-hutan Gunung Thai-san pada saat itu. Kalau ada orang mendengar suara ini tentu akan mengira bahwa suara itu bukan sewajarnya, mungkin para iblis hutan sedang berpesta. Suara suling me­ngalun, bergelombang turun naik menge­lus perasaan, menyegarkan akan tetapi juga memabukkan karena memiliki daya seret yang menghanyutkan. Suara ini mengiringi atau diiringi suara berkencring­nya yang-khim yang diseling dengan “me­lody” yang jelas satu-satu dan nyaring, namun bukan main hebatnya suara ini karena setiap bunyi “ting!” dari sehelai kawat yang disentil jari, cukup kuat daya serangnya untuk membuat jantung lawan putus! Perpaduan suara musik yang aneh dan bergema di seluruh hutan, menari-nari di puncak pohon, bahkan menembus dasar jurang yang paling dalam.

Pertandingan jarak jauh yang dilakukan dengan “suara” itu benar-benar amat menarik. Kini Suling Emas tidak melang­kah lagi, melainkan berhenti dan berdiri tegak. Mukanya agak merah dan dari belakang kepalanya tampak uap putih tipis. Ini menandakan bahwa Siang-mou Sin-ni sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga untuk menghadapi suara yang-khim itu, Suling Emas tak boleh bersikap sembarangan dan harus pula mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga sin-kang. Akan tetapi, begitu pendekar sakti ini memusatkan tenaganya, suara yang-khim makin menjadi lemah seakan-akan terdesak suara suling yang makin me­lengking tinggi itu. Anehnya, daun-daun pohon yang masih hijau segar, yang tum­buh di atas kepala dan di dekat Suling Emas meniup sulingnya, tiba-tiba rontok satu demi satu, melayang-layang ke bawah dengan gerakan aneh dan lucu se­akan-akan daun-daun itu menari-nari mengikuti bunyi irama suling!

Akhirnya suara yang-khim itu berhenti dan terdengar keluhan, lalu disusul suara Siang-mou Sin-ni dari jauh. Suara itu terdengar lamat-lamat akan tetapi cukup jelas. “Suling Emas, saat mengadu kepandaian adalah malam nanti kalau bulan sudah muncul. Aku hanya main-main, kenapa kau sungguh-sungguh?”

Suling Emas juga menghentikan tiupan sulingnya dan ia menarik napas panjang lalu tersenyum. Kata-kata itu tak perlu dia menjawabnya. Ia tahu bahwa untuk menghadapi malam pertemuan bulan lima tanggal lima belas, yaitu malam nanti di mana akan diadakan pertandingan untuk menentukan tingkat masing-masing, Siang-mou Sin-ni berusaha untuk “mengukur keadaannya” dengan suara yang-khim tadi. Dan menurut pendapatnya bahwa biarpun ia tidak kalah oleh Siang-mou Sin-ni dalam penggunaan sin-kang di dalam suara, namun kemajuan wanita iblis itu tak boleh dipandang ringan begitu saja dan malam nanti akan merupakan lawan yang tangguh.

Setelah Siang-mou Sin-ni pergi, Su­ling Emas teringat kembali akan dua orang kakek yang dicarinya. Ia lalu me­lanjutkan usahanya mencari jejak kedua orang itu.

“Dua Locianpwe yang muncul di pon­dok Kim-sim Yok-ong, silakan kduar, saya mau bicara!” Demikianlah berkeli-kali ia berteriak dengan pengerahan khi-kangnya sehingga suaranya bergema sam­pai jauh. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada jawaban kecuali gema suaranya sendiri.

Ia melangkah terus dan tiba di sebuah puncak lain. Di sini ia pun berdiri dan meneriakkan panggilannya seperti tadi. Oleh karena suaranya memang keras, apalagi dengan pengerahan khi-kang, suara itu bergema dan burung-burung yang tadinya enak-enak hinggap dan mengaso di atas cabang-cabang pohon, berlindung dari panasnya matahari di antara daun-daun, menjadi kaget dan beterbangan sambil bercuwit-cuwit, sekelompok burung yang kebetulan berada di pohon dekat Suling Emas berdiri, kaget dan kelepak sayapnya terdengar gaduh. Suling Emas mengangkat muka memandang sambil tertawa.

Akan tetapi suara ketawanya terhenti ketika ia melihat sinar hitam seperti asap menyambar ke atas dan burung-burung itu yang jumlahnya belasan ekor runtuh ke bawah dan berjatuhan di depan kaki Suling Emas. Ketika ia memandang teliti, ternyata burung itu semua telah mati dan kulit mereka berubah menjadi hitam sedangkan bulu-bulunya rontok! Tahulah ia bahwa bukan hanya Siang-mou Sin-ni saja yang sudah hadir di Thai-san, dan agaknya para anggauta Thian-te Liok-koai mulai mendemonstrasikan kelihaiannya.

“Hek-giam-lo iblis keji. Tak perlu kau memperlihatkan kekejamanmu di hadapan­ku, kalau kau mau mulai bertanding, keluarlah!”

Tidak ada jawaban kecuali suara dengus mengejek yang disusul oleh sambar­an sinar hitam yang cepat bagaikan kilat gerakannya. Diam-diam Suling Emas ka­gum dan mengerti bahwa kepandaian Hek-giam-lo dalam hal melepas senjata rahasia Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam) telah maju dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu dalam pertan­dingan di puncak Thai-san ini (baca jilid pertama). Karena ini Suling Emas tidak mau memandang rendah. Cepat tangan­nya sudah mencabut keluar kipas birunya dan dengan gerakan yang diisi lwee-kang sepenuhnya ia mengibas ke depan. Run­tuhlah jarum-jarum hitam itu, semua lenyap ke dalam tanah. Akan tetapi sinar hitam ke dua menyusul, malah lebih besar dan lebih kuat. Ketika Suling Emas mengibaskan kipasnya lagi, sinar itu mem­balik, tapi hanya kurang lebih dua meter, lalu terdorong maju lagi, mendesak terus, bahkan kini mulai berpencar menjadi tiga bagian yang menerjang tubuh Suling Emas dari atas, tengah, dan bawah! Suling Emas terkejut karena pada saat itu, di belakang sinar hitam yang sudah pecah menjadi tiga bagian, tampak belasan sinar berkilauan menyambar pula ke depan. Itulah barisan hui-to (golok terbang), senjata rahasia dari Hek-giam-lo yang ampuh sekali di samping senjata rahasia jarum-jarum beracunnya. Dengan cara luar biasa sekali, iblis hitam itu dapat menyambitkan tiga belas batang golok kecil (belati) sekaligus dan tiga belas batang pisau terbang itu secara tepat mengancam tiga belas bagian tubuh yang kesemuanya mematikan!

“Hek-giam-lo, terlalu kau!” seru Su­ling Emas dengan marah. Tangan kanan­nya sudah mencabut sulingnya dan bagai­kan terbang tubuhnya sudah mencelat ke atas. Ketika sinar-sinar hitam itu me­ngejar, ia mengibaskan kipasnya dan ber­bareng ia memutar sulingnya merupakan lingkaran besar di depan tubuhnya. Ke­tika belasan pisau terbang itu tiba, pisau-pisau itu “tertangkap” oleh lingkaran sinar suling, terus ikut berputar-putar merupakan bundaran sinar berkilauan yang indah sekali.

“Terimalah kembali!” bentak Suling Emas yang sudah turun ke bawah. Suling­nya digerakkan seperti mendorong dan tiga betas batang pisau terbang yang tadinya beterbangan memutar-mutar di depan Suling Emas, kini seperti belasan ekor burung terbang kembali ke sarangnya!

Seperti juga Siang-mou Sin-ni, tahu-tahu terdengar suara Hek-giam-lo dari jauh, “Malam nanti kita bertanding!”

Suling Emas mendongkol sekali akan tetapi ia tidak mau mengejar karena memang saat yang dijanjikan adalah ma­lam nanti kalau bulan purnama sudah muncul menyinari bumi. Ia berjalan terus mencari dua orang kakek sakti yang aneh dan kejam. Diam-diam ia merasa kha­watir juga. Dari peristiwa tadi ia men­dapat kenyataan bahwa Siang-mou Sin-ni dan Hek-giam-lo sudah memperoleh kemajuan pesat dan jauh lebih berbahaya daripada dahulu. Tentu iblis-iblis yang lain, It-gan Kai-ong dan kakak beradik Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong juga telah memperdalam ilmu-ilmu me­reka. Dia tidak gentar menghadapi me­reka, akan tetapi siapa tahu, kalau dua orang kakek asing yang baru muncul mengacau di pondok Kim-sim Yok-ong itu membantu para iblis, sukarlah untuk mencapai kemenangan.

“Aku harus menghadapi dua orang kakek itu lebih dulu sebelum bertanding dengan Thian-te Liok-koai,” pikirnya dan kembali ia melanjutkan usahanya mencari. Hari telah menjelang senja ketika ia makin mendekati puncak di mana per­tandingan antara Thian-te Liok-koai akan diadakan.

Makin tinggi orang mendaki gunung, makin dinginlah hawa udara. Suling Emas juga sudah mulai merasa dingin, apalagi menjelang senja itu, puncak Thai-san dili­puti hailmun yang cukup tebal. Ketika ia memasuki sebuah hutan pohon cemara tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan ba­nyak pohon tumbang, malah ia lalu ter­paksa berloncatan ke sana ke mari untuk menghindarkan dirinya tertimpa batang-batang pohon yang beterbangan ke arahnya! Suling Emas cepat menyelinap sam­bil meloncat ke sana-sini, kemudian tahu­lah ia bahwa yang “main-main” dengan batang-batang pohon adalah Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong! Agaknya mereka berdua juga melihatnya, karena kini mereka tertawa-tawa dan semua ba­tang pohon dan batu-batu besar yang mereka permainkan itu kini menimpa ke arah Suling Emas! Pendekar ini memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya.

Biarpun ada “hujan” pohon dan batu-batu besar, bagaikan seekor kera ia menyeli­nap dan mengelak ke sana-sini. Demikian cepat dan ringan gerakannya sehingga bajunya saja tak pernah tergores cabang pohon yang menimpanya bertubi-tubi.

“Dua iblis liar, beginikah cara kalian menandingiku?” Suling Emas membentak dan sudah siap untuk balas menyerang. Akan tetapi sambil tertawa-tawa dua orang iblis itu melarikan diri, dan Suling Emas tidak mau mengejar mereka. Ia melanjutkan perjalanannya, sementara itu cuaca mulai menjadi remang-remang dan hawa udara makin dingin.

Puncak tertinggi sudah tampak menjulang tinggi di depan matanya. Ia sudah mulai putus asa untuk bisa mendapatkan dua orang kakek aneh itu, karena ia sudah tidak ada waktu lagi untuk men­cari mereka. Ia harus pergi ke puncak untuk menemui dan menandingi iblis-iblis yang berkumpul, untuk mewakili ibu kandungnya yang dulu ditantang oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi tiba-tiba ketika ia membelok, ia melihat pemandangan aneh sekali di pinggir anak sungai yang mengalir deras dari sumbernya.

Dua orang kakek yang dicari-carinya selama sehari semalam itu ternyata, tanpa diduga-duga kini berada di depan­nya! Si kakek putih duduk bersila di tengah sungai, tenggelam sampai sebatas lehernya. Bukan main! Hawa udara begitu dinginnya menyusup tulang, dan air su­ngai itu pun dinginnya melebihi salju, akan tetapi kakek ini duduk bersila me­rendam diri, kelihatannya enak-enak tidur ataukah sedang samadhi dengan tenangnya! Akan tetapi bukan, ia bukan sedang tidur atau bersamadhi karena mulutnya mengomel panjang pendek, “Wah, panas­nya, tak enak, sialan benar!” Hawa udara begitu dingin, berendam di air gunung lagi, masih mengeluh kepanasan!

Adapun kakek merah tidak kalah aneh­nya. Kakek ini duduk di pinggir sungai, bersila di atas tanah, dikelilingi api ung­gun yang menyala besar. Jarak antara tubuh kakek itu dengan api yang menge­lilinginya kurang dari satu meter, seluruh tubuhnya yang sudah merah itu menjadi makin merah. Di depannya terdapat se­buah periuk terisi air yang digodok di atas api, air yang mendidih. Dapat di­bayangkan betapa panasnya dikurung api besar sedekat itu, akan tetapi kakek ini malah menggigil kedinginan dan kedua tangannya berganti-ganti ia masukkan ke dalam periuk penuh air mendidih itu, lalu menyiram-nyiramkan air panas itu ke mukanya. “Waduh dinginnya, tak tertahankan, hu-hu-huuu.... dingin....!”

Alangkah sombongnya mereka ini, pikir Suling Emas. Ia maklum bahwa kedua orang kakek ini memang sengaja berdemonstrasi seperti itu untuk me­mamerkan kepandaian mereka. Memang harus diakui bahwa demonstrasi ini jelas membuktikan kehebatan sin-kang mereka yang dapat membuat tubuh menjadi kebal akan rasa panas maupun dingin. Perbuat­an seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kesaktian, yang tenaga sin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi sungguh suatu cara menyombongkan kepandaian yang amat menggelikan kalau kepandaian seperti ini dibuat pamer, apalagi terhadap dia! Karena merasa yakin bahwa dua orang ini sengaja memamerkan kepandaian ke­padanya maka terpaksa Suling Emas ha­rus melayani mereka. Ia mendekati kakek putih yang berendam di dalam air sebatas leher itu. “Ah, Locianpwe, memang kau benar, hawanya amat panas, mem­buat orang ingin mandi terus. Akan te­tapi aku tidak ada kesempatan mandi, biar kurendam saja kepalaku!” Setelah berkata demikian, Suling Emas lalu mem­benamkan kepalanya ke dalam air dan tidak dikeluarkannya dari dalam air sam­pai lama sekali! Biarpun perbuatan ini hanya demonstrasi atau main-main, akan tetapi jelas menang setingkat kalau dibandingkan dengan kakek putih yang biarpun tubuhnya terendam air, akan tetapi hanya sebatas leher, kepalanya tidak. Dan merendamkan kepala ke da­lam air sedingin itu, apalagi sampai lama sekali, tentu lebih sukar daripada me­rendam tubuh saja. Ketika mendengar air itu berguncang cepat Suling Emas mengangkat kepalanya. Ia maklum bahwa pukulan dari dalam air dapat membuat air bergelombang dan kepalanya akan terancam bahaya luka di dalam kalau tergencet hawa pukulan melalui gelom­bang itu. Kiranya kakek putih sudah berdiri dalam air yang tingginya hanya sebatas pahanya, bajunya yang serba putih basah kuyup dan kakek itu meman­dang dengan mata marah.

Akan tetapi Suling Emas tidak mem­pedulikannya, melainkan segera meng­hapus muka dan kepalanya yang basah sambil menghampiri kakek merah yang duduk dikurung api unggun dan main-main air mendidih.

“Kau kedinginan, Locianpwe? Memang hawanya dingin bukan main. Untung kau membuat api unggun!” Sambil berkata demikian, Suling Emas menghampiri api dan memasukkan kedua tangannya ke dalam api yang bernyala-nyala, bahkan membiarkan api itu bernyala menjilat leher dan mukanya!

“Bocah sombong! Berani kau me­mamerkan kepandaian kepada kami?” Kakek putih membentak marah dari da­lam sungai.

“Huah-hah-hah, orang muda, bukankah kau anjing penjaga Kim-sim Yok-ong? Apakah kau menantang kami?”

“Ji-wi Locianpwe, aku hanya meng­imbangi cara kalian. Sama sekali bukan bermaksud pamer. Aku bukan penjaga, melainkan sahabat baik Kim-sim Yok-ong yang kalian ganggu dengan cara keji melukai banyak orang.”

“Huah-hah-hah, ada delapan orang yang mampus, kan? Mengapa dia tidak mampu menghidupkan mereka?” kata lagi kakek merah sambil berdiri di tengah-tengah api unggun.

“Kailan dua orang tua benar-benar terlalu. Ji-wi ini siapakah dan mengapa melakukan pembunuhan keji hanya untuk menguji kepandaian Kim-sim Yok-ong? Apakah dosanya orang-orang itu dan apa pula kesalahan Yok-ong yang selalu me­nolong orang tanpa pandang bulu? Tidak ada orang di dunia kang-ouw ini yang tidak menaruh sayang dan hormat kepada Yok-ong yang berhati emas, akan tetapi kalian ini telah mempermainkannya.”

“Heh, bocah lancang! Siapakah kau berani bicara seperti ini kepada kami?” bentak si kakek putih.

“Ha-hah, apa peduliku dengan orang-orang kang-ouw cacing-cacing tiada guna itu?” kata pula kakek merah. “Kau siapa­kah, bocah lancang?”

“Orang mengenalku dengan sebutan Kim-siauw-eng, Si Suling Emas!”

“Suling Emas, agaknya kau merasa menjadi pendekar muda. Usiamu paling banyak tiga puluh tahun, masih bocah! Mana kau mengenal kami? Yang tua-tua pun belum tentu mengenal kami. Akan tetapi kalau kau mau tahu, aku adalah Lam-kek Sian-ong (Dewa Kutub Selatan) dan dia si putih itu adalah Pak-kek Sian-ong (Dewa Kutub Utara)! Nah, kau sudah mengenal kami sekarang, dan kau harus mampus!” Si kakek merah ini tiba-tiba menggerakkan tangannya ke arah api dan.... bagaikan bintang-bintang beterbangan, lidah-lidah api itu menyam­bar ke arah tubuh Suling Emas!

Suling Emas kaget sekali. Baru ia tahu bahwa demonstrasi yang dilakukan kakek ini tadi hanyalah demonstrasi kecil saja, mungkin dilakukan karena memandang rendah kepadanya. Akan tetapi serangan yang dilakukannya kali ini, be­nar-benar hebat luar biasa, merupakan “pukulan berapi” yang luar biasa, me­ngandung sifat panas melebihi api sendiri. Ia maklum bahwa inti tenaga Yang ini amat kuat, ia takkan mampu menandinginya kalau melawan dengan kekerasan, maka cepat Suling Emas menggunakan kipasnya mengebut sambil meloncat ke sana ke mari. Api menyala-nyala yang menyambar itu merupakan api yang di­dorong oleh tenaga pukulan jarak jauh, begitu terkena dikebut, menyeleweng arahnya dan karena kakek itu terus me­lakukan pukulan sedangkan Suling Emas terus mengibas sambil mengelak tampak­lah pemandangan yang indah. Api-api itu beterbangan, merah menyala dan padam apabila runtuh menyentuh tanah, seperti kembang api yang dinyalakan orang untuk menyambut datangnya musim semi!

“Serahkan dia padaku!” seru si muka putih dan tiba-tiba dari arah sungai melayang sinar-sinar putih berkeredepan dan setelah dekat, Suling Emas merasa hawa dingin yang menembus kulit menyelinap ke tulang-tulang. Kagetlah ia dan mak­lum bahwa juga kakek putih ini benar-benar sakti. Inti tenaga Im yang dimiliki kakek itu sudah sedemikian hebatnya sehingga ia mampu membuat air sungai dikepal menjadi salju atau es dan dilontarkan merupakan peluru-peluru yang mengandung hawa pukulan dingin me­matikan! Seperti juga serangan api tadi, kini serangan es yang dingin tak mampu ia menghadapinya dengan perlawanan tenaga, maka ia pun cepat mengelak ke sana ke mari sambil menyelewengkan hujan es itu. Sebentar saja Suling Emas menjadi sibuk sekali, kipasnya mengibas hujan api dari kanan, sulingnya menang­kis hujan peluru es dari kiri!

Adapun kedua orang kakek itu agak­nya begitu penasaran sehingga mereka tidak mau menggunakan cara lain untuk menyerang. Berkali-kali terdengar mereka berseru kaget dan kagum. “Aneh, dia dapat bertahan!” disusul seruan-seruan tak percaya, “Masa semua tidak mengenai sasaran?”

Agaknya karena penasaran inilah me­reka terus melontarkan pukulan seperti tadi dan Suling Emas terus-menerus me­nangkis dan meloncat ke sana ke mari menyelamatkan diri tanpa mampu balas menyerang. Namun gin-kangnya memang sudah hebat dan gerakan kaki tangannya sudah sempurna, maka biarpun dihujani api dan es dari kanan kiri, pendekar ini tetap dapat mempertahankan diri. Se­mentara itu, senja sudah mulai terganti malam dan bulan mulai menampakkan dirinya. Bulan bundar dan penuh, kebetul­an tidak ada awan menghalang, halimun pun sudah pergi, maka keadaan menjadi terang benderang.

“Suling Emas....! Mengapa kau tidak muncul? Takutkah engkau?” Terdengar teriakan yang bergema, datangnya dari arah puncak.

Suling Emas sibuk sekali. Dua orang kakek ini lihai bukan main, tak mungkin ia dapat meninggalkan mereka. Ia pun tahu akan kelihaian dan kejahatan iblis-iblis yang berada di puncak. Kalau mere­ka tahu bahwa ada dua orang kakek asing yang amat sakti memusuhinya, tentu mereka akan mempergunakan ke­sempatan baik ini untuk memukul roboh padanya. Maka ia pun diam saja.

“Huah-hah-hah, agaknya bocah ini banyak musuhnya. Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), biar kita beri kesempatan padanya untuk menghadapi musuhnya, baru nanti kita turun tangan, takkan terlambat.”

“Baiklah, Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah) kita nonton, sampai di mana kepandaian tokoh-tokoh jaman sekarang!”

Seketika hujan api dan hujan es itu terhenti dan ketika Suling Emas meman­dang, kedua orang kakek itu sudah le­nyap dari tempat itu! Ia menarik napas panjang, menyusut peluhnya dan berkata seorang diri, “Berbahaya....! Mereka benar lihai. Apa maksud kedatangan me­reka di dunia ramai? Nama mereka tidak dikenal di dunia kang-ouw, tanda bahwa mereka adalah pertapa-pertapa yang puluhan tahun menyembunyikan diri, mengapa sekarang tiba-tiba mereka muncul dan mengganggu Kim-sim Yok-ong?” Suling Emas mengerutkan keningnya dan diam-diam ia ingin melihat gerakan ilmu silat mereka untuk mencoba-coba menerka, dari golongan manakah kakek merah dan kakek putih itu. Tingkat tenaga inti dari Im dan Yang sedemikian tingginya, kiranya hanya dicapai oleh para guru besar dari partai-partai persilatan besar pula, hasil latihan matang selama puluhan tahun.

“Suling Emas! Apakah kau tidak berani muncul?” kembali terdengar seruan suara parau yang menggunakan khi-kang. Suling Emas mengenal suara ini, suara It-gan Kai-ong, maka ia lalu mengerahkan khi-kangnya, berseru keras.

“Aku Kim-siauw-eng datang!” Tubuhnya berkelebat cepat bagaikan terbang menuju ke puncak itu. Bulan purnama bersinar terang, dan Suling Emas memang sudah sering kali mendaki pegunungan ini sehingga ia hafal akan jalannya, maka di bawah penerangan bulan purnama, sebentar saja ia sudah sampai di puncak.

Ternyata mereka sudah hadir lengkap di puncak yang merupakan tanah terbuka ditumbuhi rumput hijau. Lengkap hadir para anggauta Thian-te Liok-koai yang kini hanya tinggal lima orang itu. It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, Toat-beng Koai-jin, dan adiknya, Tok-sim Lo-tong. Mereka sudah tidak sabar lagi menanti, dan mengomel panjang pendek ketika akhirnya Suling Emas muncul.

“Anggauta Thian-te Liok-koai selalu berlumba untuk lebih dulu hadir dalam pertemuan mengadu kepandaian, membuktikan bahwa ia berani. Dia ini main lambat-lambatan, anggauta macam apa ini!” Toat-beng Koai-jin mendengus dan marah-marah.

“Memang dia tidak patut menjadi anggauta Thian-te Liok-koai! Cuhhh!” It-gan Kai-ong meludah dengan sikap menghina sekali.

“Sudah menjadi pendirian Thian-te Liok-koai bahwa anggauta-anggautanya terdiri daripada orang-orang gagah yang suka melakukan perbuatan berani dan gagah! Akan tetapi dia ini tidak gagah berani, melainkan lemah dan pengecut, buktinya dia selalu memperlihatkan watak lemahnya dengan menolong orang-orang!”

***

Mendengar ucapan Hek-giam-lo ini semua orang mengangguk-angguk membenarkan. Diam-diam Suling Emas mengeluh di dalam hatinya. Memang, baik dan jahat, gagah dan pengecut, semua hanya sebutan manusia, dan karenanya baik atau pun bucuk, gagah ataupun pengecut, sepenuhnya tergantung daripada orang yang mengatakannya, yaitu berdasarkan pandangannya. Iblis-iblis berupa manusia ini memang wataknya berlainan dengan manusia biasa, akan tetapi mereka tidak sengaja bersikap demikian, karena memang menurut pendapat mereka, pandangan mereka itu pun benar pula! Dari jaman dahulu sampai kini banyak terdapat orang-orang seperti ini, yang hatinya sudah tertutup dan kotor sehingga pandangannya pun kotor dan nyeleweng tanpa mereka sadari. Perbuatan ugal-ugalan, mengganggu orang, menindas, mengandalkan kekuasaan dan kekuatan, mengganggu wanita baik-baik, menonjolkan kekurangajaran, semua per­buatan ini mereka anggap sebagai per­buatan gagah berani, atau setidaknya sebagai bukti bahwa mereka ini gagah berani dan mereka bahkan menjadi bang­ga karena perbuatan-perbuatan itu. Sebaliknya, orang-orang yang menghindari perbuatan-perbuatan semacam ini, yang selalu berusaha mengasihi sesamanya, mengulurkan tangan menolong sesama­nya, dianggap sebagai tanda dari watak penakut dan pengecut!

“Hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni tertawa terkekeh dan memasang muka semanis-manisnya ketika ia mendekati Suling Emas, memandang wajah yang tampan itu, lalu berkata, “Betapapun juga, ke­pandaiannya cukup lumayan untuk mem­buat ia patut menjadi anggauta Thian-te Liok-koai. Tentang sifat-sifat gagah berani itu, biarlah kelak aku sendiri yang akan membimbingnya. Aku akan membuat hatinya lebih kuat daripada hati kalian, aku akan mengajarnya menjadi seorang yang paling gagah dan paling berani di dunia ini!” Kembali iblis betina itu terkekeh dan dari rambutnya semer­bak bau wangi. Tentu saja yang dimak­sudkan dengan “hati kuat” adalah hati yang kejam dan ganas, sedangkan “gagah berani” adalah suka melakukan perbuatan yang paling jahat mengerikan. Ketika Siang-mou Sin-ni mengulurkan tangan hendak menggandengnya, Suling Emas melangkah mundur sambil mengelak.

“Eh, Suling Emas, mengapa kau mun­dur? Bukankah tadi kita sudah main-main dan permainan bersama kita menghasil­kan perpaduan yang sedap didengar? Percayalah, kalau kau dan aku bersatu, kelak kita akan mempunyai seorang putera yang akan menjadi raja yang menguasai seluruh jagad!”

Suling Emas melangkah maju dan berkata, suaranya keren, “Dengarlah kalian berlima! Aku datang bukan dengan maksud hendak menjadi anggauta Thian-te Liok-koai, oleh karena itu tidak perlu kalian menilai diriku apakah aku patut atau tidak menjadi rekan kalian! Aku datang mewakili mendiang ibuku yang ditantang oleh It-gan Kai-ong untuk ikut dalam adu ilmu di antara Thian-te Liok-koai, dan di samping itu, aku hendak minta kembali tongkat pusaka Beng-kauw dari tangan Hek-giam-lo juga sekalian aku memang mempunyai perhitungan dengan kalian semua. It-gan Kai-ong harus mengembalikan kitab yang diram­pasnya dari tangan Locianpwe Bu Kek Siansu, juga Hek-giam-lo, sedangkan Siang-mou Sin-ni harus mengembalikan yang-khim. Adapun Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong yang kena dibujuk It-gan Kai-ong untuk menjadi kaki tangan Suma Boan, sebaiknya kembali saja ke tempat asal kalian di pulau-pulau kosong!”

“Wah-wah, dia cukup berani! Memaki-maki kita, mengusir kami berdua! Biar­kan dia ikut dalam adu kepandaian!” kata Toat-beng Koai-jin. Memang tokoh-tokoh hitam ini paling suka melihat orang yang berani, apalagi yang kejam, karena watak ini cocok dengan selera mereka.

“Baiklah, kita mulai dan kali ini kita harus bersungguh-sungguh untuk dapat menentukan urutan tingkat dalam Thian-te Liok-koai, siapa yang paling pandai disebut twako (kakak tertua), yang ke dua ji-ko (kakak ke dua) dan seterusnya. Yang mampus dalam adu ilmu ini takkan dikubur, bangkainya akan menjadi makanan binatang buas dan burung gagak, tulang-tulangnya akan diperebutkan anjing-anjing hutan!” kata It-gan Kai-ong sam­bil meludah-ludah.

“Bagus, kita mulai!” teriak Siang-mou Sin-ni dan Hek-giam-lo berbareng. Lima orang itu serentak meloncat mundur, masing-masing melompat mundur kira-kira dua tombak jauhnya dan kini mereka memasang kuda-kuda, mata mereka melirik-lirik mencari korban. Karena mak­lum bahwa mereka ini adalah orang-orang sakti yang aneh, Suling Emas juga tidak mau menjadi sasaran di tengah-tengah dan ia pun melompat mundur. Kini enam orang itu merupakan lingkaran yang menghadap ke dalam, menanti saat un­tuk merobohkan lawan dalam pertanding­an campuran itu, di mana tidak ada kawan, semua adalah lawan yang harus dikalahkan, kalau perlu dibunuh!

“Siapa berani menyerangku?” It-gan Kai-ong mengejek. Kesempatan ini diper­gunakan oleh Tok-sim Lo-tong yang me­nerjangnya dari samping kiri sambil mengeluarkan senjatanya yang berupa seekor ular hidup. Terjangan ini dibarengi pekik nyaring yang tidak menyerupai pekik manusia lagi, melainkan lebih pan­tas keluar dan mulut seekor binatang buas atau agaknya begitulah suara iblis. Memang aneh sekali watak orang-orang ini. Tok-sim Lo-tong bersama kakaknya, Toat-beng Koai-jin tadinya dapat diper­alat It-gan Kai-ong dan bekerja sama dengan raja pengemis itu. Akan tetapi dalam pertemuan di puncak Thai-san ini, di mana mereka hendak memperebutkan kedudukan sebagai saudara tua yang pa­ling lihai di antara mereka, lenyaplah segala persahabatan, segala hubungan, satu-satunya nafsu yang menguasai mere­ka adalah menang sendiri dan menjadi jagoan nomor satu!

Serangan Tok-sim Lo-tong ini hebat sekali, tangan kirinya yang mencenake­ram ke depan mengeluarkan sambaran angin pukulan yang mengeluarkan bunyi seperti suara tikus, bercicitan, sedangkan ular yang ia pegang dengan tangan kanan itu meluncur ke depan menggigit dan mengeluarkan racun dari semburan mulut­nya! Jangan dipandang rendah racun ular itu karena binatang yang dijadikan sen­jata ini adalah ular beracun yang amat berbahaya, yang mempunyai bisa disebut “racun api” karena racun itu dapat mem­bakar hangus apa saja yang disentuhnya. Juga cengkeraman tangan kiri Bocah Tua Hati Racun (Tok-sim Lo-tong) ini mengandung tenaga dalam yang penuh dengan racun dingin, merupakan racun yang berlawanan dengan ular di tangan kanannya, namun tidak kalah hebatnya karena sekali saja pukulan tangan kirinya mengenai sasaran, dapat membikin beku jantung dan darah.

Namun Tok-sim Lo-tong boleh jadi berbahaya bagi lawan manusia biasa, menghadapi It-gan Kai-ong ia menemukan tanding. Dengan suara ketawa terbahak, raja pengemis ini menyambut serangan Tok-sim Lo-tong dengan sama dahsyat­nya. Kakek mata satu ini mengangkat tongkat bututnya, ditusukkan ke arah mulut ular sedangkan dia sendiri meludah tiga kali berturut-turut yang ditujukan ke arah tiga jalan darah di sepanjang lengan kiri lawan yang menyerangnya. Jadi, serangan Tok-sim Lo-tong itu dibalas serangan pula oleh It-gan Kai-ong!

“Uh-uh!” Lo-tong menjerit marah dan tentu saja ia mengerahkan kedua lengan­nya, yang kanan untuk menghindarkan ularnya dari tusukan maut sedangkan yang kiri untuk menghindari sambaran air ludah yang lebih berbahaya daripada senjata rahasia beracun. Kemudian ia mendesak lagi dengan memutar ularnya seperti kitiran angin cepatnya, sedangkan tangan kirinya tetap melakukan pukulan sebagai selingan.

“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong ter­tawa mengejek dan ia pun memutar tong­katnya mengimbangi lawan dan di lain saat keduanya sudah berhantam dengan seru. Biarpun tongkat di tangan It-gan Kai-ong itu hanya tongkat butut, namun kalau sudah ia mainkan seperti itu, dapat melawan senjata baja yang bagaimana keras dan tajam pun. Sebaliknya, sen­jata hidup di tangan Tok-sim Lo-tong juga demikian, kecuali bagian lemah yang terletak di mulut dan mata ular itu, tubuh ular telah dilindungi kulit yang kebal dan tahan bacokan senjata tajam. Pertandingan antara dua orang tokoh iblis dunia ini hebat sekali, angin yang berputar-putar seperti angin puyuh mem­buat pohon-pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan daun-daun pohon banyak yang rontok!

Sementara itu, Hek-giam-lo, orang ke dua yang sama licik dan curangnya de­ngan It-gan Kai-ong, segera menggerak­kan senjata sabitnya yang mengerikan dan tajam seperti pisau cukur itu, tanpa peringatan lagi ia menerjang Toat-beng Koai-jin yang berdiri di sebelah kirinya. Mengapa ia memilih lawan Toat-beng Koai-jin? Inilah kecerdikan setan hitam itu. Menurut perhitungannya, dibanding­kan dengan Siang-mou Sin-ni, apalagi dengan Suling Emas, Toat-beng Koai-jin ini adalah lawan yang lebih empuk, maka ia tidak menyia-nyiakan waktu terus saja meniilih Toat-beng Koai-jin sebagai lawannya yang ia yakin akan dapat ia jatuhkan dalam waktu singkat.

Toat-beng Koai-jin si manusia liar yang gendut berpunuk seperti kerbau itu, bertelanjang baju, menggereng seperti binatang biruang luka, kemudian kedua tangannya mencakar-cakar dengan kuku-kukunya yang panjang runcing. Di lain saat sudah ada tiga buah batu besar dan dua batang pohon menyambar ke arah Hek-giam-lo. Iblis Hitam ini tentu saja dapat mengelak cepat, akan tetapi ketika ia menerjang lagi, si punuk liar itu sudah memegang sebatang pohon besar, diper­gunakan sebagai senjata, mengamuk dan menerjang Hek-giam-lo! Repot juga Hek-giam-lo diterjang dengan senjata pohon yang penuh cabang ranting dan daun-daun itu. Ia membabat dengan sabitnya dan beterbanganlah daun-daun dan ran­ting pohon itu bagaikan hujan. Sebentar saja pohon di tangan Toat-beng Koai-jin sudah tinggal batangnya saja yang dipergunakan oleh Toat-beng Koai-jin sebagai senjata tongkat besar, tongkatnya yang sebesar balok bergaris tengah tiga puluh senti itu ia putar-putar di atas kepala sehingga sinar bayangannya me­nyelimuti seluruh tubuhnya. Segera kedua orang iblis ini sudah saling terjang dan terlibat dalam pertandingan yang tidak kalah serunya dengan pertandingan antara It-gan Kai-ong dan Tok-sim Lo-tong. Ha­nya bedanya, pertandingan ini meng­akibatkan batu-batu kecil beterbangan ke atas dan tanah menjadi debu bergulung-gulung menyuramkan pandangan mata yang hanya diterangi sinar bulan purnama.

Suling Emas sudah siap siaga ketika ia melihat orang terakhir, Siang-mou Sin-ni melangkah dan menghampirinya dengan langkah seperti harimau lapar, dengan pinggul digoyang-goyang, lenggang dibuat-buat, disertai senyum manis dan sepasang mata ini berkilat-kilat memantulkan sinar bulan. Deretan gigi putih berkilauan me­ngintai dari balik bibir mengulum senyum, Suling Emas bersikap makin waspada dan siap, karena ia cukup mengenal iblis betina ini. Makin manis sikapnya, makin berbahayalah iblis ini. Diam-diam ia harus kecantikan Siang-mou Sin-ni. Seorang wanita yang sudah masak, yang sukar dicari cacatnya dari rambut yang halus hitam panjang berbau harum itu sampai kepada wajah cantik jelita dan bentuk tubuh yang ramping padat dan sepasang kaki tangan yang kecil menarik. Patut disayangkan seorang wanita yang berdarah bangsawan Kerajaan Hou-han ini tersesat menjadi seoranp manusia iblis yang keji. Kalau Suling Emas teringat akan perbuatan-perbuatan jahat Siang-mou Sin-ni, lenyaplah rasa sayang dan kasihannya. Entah berapa banyak manusia dan kanak-kanak tidak berdosa tewas di tangan iblis wanita ini, dihisap darahnya hidup-hidup untuk dijadikan obat kuat! Mengingat akan kekejaman ini, ia ber­gidik dan timbul niatnya untuk membasmi wanita iblis ini agar lenyap sebuah ancaman bagi keselamatan manusia.

Akan tetapi wanita itu tidak segera menyerangnya seperti yang disangka oleh Suling Emas, bahkan mendekatinya sam­bil tersenyum-senyum dan matanya mengerling tajam.

“Suling Emas, biarkan si goblok itu saling gempur sendiri. Kita tidak begitu goblok untuk bunuh-membunuh di malam seindah ini, bukan? Lihat, betapa indah­nya bulan, betapa cemerlang dan sejuk­nya hawa udara. Suling Emas, kita biar­kan mereka itu saling gebuk dan saling bunuh, nanti dengan mudah kita bereskan mereka semua anjing-anjing busuk itu, Sekarang mari kita menonton mereka sambil mengobrol di bawah sinar bulan purnama, asyik dan nikmat, kan? Aku merindukan dirimu semenjak pertama kita di sini dahulu. Marilah, sayang!” Sambil berkata demikian, dengan bibir tersenyum dan mata setengah terkatup wanita itu mengembangkan kedua lengan­nya seperti hendak memeluk Suling Emas.

Suling Emas melangkah mundur, me­ngibaskan lengan bajunya dengan marah. “Siang-mou Sin-ni, simpanlah bujuk rayu­mu untuk orang lain. Aku bukanlah laki-laki seperti yang kaukehendaki. Lebih baik kau insyaflah, tebus dosa-dosamu dengan bertapa dan membersihkan batin. Kalau tidak mungkin aku sendiri yang akan mengantar kau kembali ke alam asalmu!”

Tiba-tiba sepasang mata yang tadi setengah terkatup bersinar mesra itu terbuka lebar dan sinarnya kini penuh kekejian. Mulut itu masih tersenyum, akan tetapi matanya membayangkan ke­bencian yang memuncak. Kennudian, tiba-tiba wanita itu menjerit dan menubruk maju, didahului rambutnya yang panjang menyambar hendak menangkap Suling Emas. Wanita yang tadinya seperti seorang puteri jatuh cinta, yang gerakan­nya lemah gemulai dan penuh bujuk rayu itu, kini tiba-tiba berubah menjadi silu­man betina yang haus darah!

“Kalau begitu, mampuslah kau!” teriaknya mengikuti serbuannya.

Suling Emas cepat menggerakkan kipasnya mengebut pergi rambut itu dan sulingnya berkelebat menjadi sinar ke­emasan menotok ke arah leher Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi wanita sakti ini dapat mengelak dan melanjutkan serang­annya dengan dahsyat dan penuh kebenci­an. Kini tangan kirinya memegang sebuah yang-khim sebagai senjata dan bertem­purlah mereka berdua dengan seru dan mati-matian.

Tempat yang indah dan romantis, puncak Thai-san yang biasanya sunyi hening dan yang tentu akan menarik perhatian kaum pertapa sebagat tempat suci itu kini menjadi medan pertandingan mati-matian yang mengerikan. Enam orang yang sedang bertempur itu ke­semuanya memiliki kesaktian yang tinggi. Angin pukulan mereka membuat daun-daun rontok, semua batu-batu pecah berhamburan dan debu mengebul tinggi. Suara angin pukulan mereka berciutan mengerikan dan dalam jarak belasan meter batang-batang pohon yang terlanda angin pukulan berguncang-guncang seperti didorong oleh tenaga raksasa.

Dasar lima orang manusia iblis itu berwatak aneh dan liar, maka dalam melakukan pertandingan untuk menentukan siapa yang paling unggul, sama sekali tidak dipergunakan aturan sehingga pertempuran itu dari kacau-balau dan penuh nafsu membunuh. Dan memang masing-masing memiliki keistimewaan sendiri maka tidaklah mudah bagi yang seorang untuk mengalahkan yang lain.

Betapapun juga, menghadapi It-gan Kai-ong yang luar biasa dan yang telah memiliki sebagian daripada kitab rampasan dari Bu Kek Siansu, lambat-laun Tok-sim Lo-tong terdesak hebat. Karena merasa penasaran bahwa Tok-sim Lo-tong selalu dapat menahan serangannya sungguhpun ia sudah mengerahkan seluruh tenaga, akhirnya It-gan Kai-ong memekik keras dan mulailah ia menggerakkan tongkatnya menurut ilmu barunya yang ia pelajari daripada kitab rampasannya yang hanya setengahnya itu. Namun hasilnya sudah hebat sekali. Serangkum angin pukulan berpusing menyerbu ke arah Tok-sim Lo-tong. Iblis ini mengeluarkan seruan kaget, cepat ia memutar pula ularnya.

“Prakkk!” ujung tongkat It-gan Kai-ong tepat sekali menghantam kepala ular sehingga kepala ular itu pecah berantakan. Tok-sim Lo-tong menjerit marah dan ia menyambitkan bangkai ular ke arah lawannya. Namun sekali menangkis, bangkai ular itu terlempar ke samping, ke arah gerombolan pepohonan di sebelah kiri. Terdengar jerit mengerikan dan tubuh seseorang yang tak dikenal terguling-guling roboh, sebagian dari tubuh ular itu masuk ke dalam dadanya. Demikian hebatnya sambitan itu! Kiranya orang yang terkena sambitan itu adalah seorang tosu yang tadinya me­nonton sambil bersembunyi.

Pada saat berikutnya, terdengar Siang-mou Sin-ni terkekeh genit, rambutnya menyambar ke kanan dan di saat berikut­nya rambutnya telah “menangkap” se­orang hwesio yang tak mampu melepaskan diri, biarpun sudah meronta-ronta sekuat tenaga. Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan tubuh hwesio itu terangkat lalu diputar-putar seperti kitir­an, dijadikan senjata melawan Suling Emas!

“Iblis keji! Lepaskan dia!” seru Suling Emas yang terpaksa mengelak ke sana­ sini karena tidak mau menangkis yang akibatnya tentu menewaskan hwesio penonton yang tak bersalah itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh dan terus menerjang makin hebat. Dengan menggunakan gin-kangnya, Suling Emas mendahului meloncat ke atas dan dari atas sulingnya bergerak menghantam rambut yang mengikat hwesio itu, sedangkan tangan kirinya merampas tubuh si hwesio. Hwesio itu dapat terampas dan terlepas, akan tetapi alangkah kaget hati Suling Emas melihat bahwa hwesio itu sudah tewas, lehernya hampir putus oleh jiratan rambut tadi! Ia melemparkan mayat itu ke samping lalu menerjang maju penuh kemarahan. Wamta iblis itu menyambutnya sambil terkekeh mengejek.

Agaknya sudah banyak berkumpul tokoh-tokoh kang-ouw yang cukup tabah untuk menonton pertandingan hebat ini, yang memang sudah tersiar luas di dunia kang-ouw. Celakanya, ketabahan harus dibayar mahal sekali sehingga da­lam waktu beberapa detik saja, dua orang sudah menjadi korban. Lebih hebat lagi, agaknya hal ini menimbulkan kegembira­an hati yang buas dan liar itu, karena terdengar It-gan Kai-ong tertawa-tawa, untuk sementara mengurangi desakannya pada Tok-sim Lo-tong dan ia meludah sejadi-jadinya ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dan beberapa orang sudah terluka oleh ludah-ludah itu. Sibuk­lah kini di balik pepohonan itu karena orang-orang yang tadinya menonton mulai jerih, beramai-ramai mengundurkan diri sambil membawa teman-teman yang te­was atau terluka. Akan tetapi tampak sinar terang berkelebat dan dua orang di antara mereka terjungkal tanpa kepala lagi. Kiranya Hek-giam-lo tidak mau ketinggalan dan berpesta dengan senjata sabitnya. Hal ini ditambah dengan hujan batu besar dan pohon-pohon yang dilontarkan oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!

Setelah para penonton yang tak diundang itu kalang-kabut pergi menjauhi tempat maut itu, pertandingan dilanjut­kan, lebih gembira dan lebih dahsyat daripada tadi. Tok-sim Lo-tong kini sudah meniru kakaknya, menggunakan sebatang pohon untuk menghadapi It-gan Kai-ong. Akan tetapi karena keistimewaannya adalah senjata ular hidup, ia tidaklah begitu cekatan seperti kakaknya dan beberapa belas jurus kemudian, tongkat It-gan Kai-ong yang gerakannya berpusing aneh itu berhasil mengetuk tangannya sehingga sambil berterik kesakitan Tok-sim Lo-tong terpaksa melepaskan senjatanya sambil bergulingan ke kiri dikejar It-gan Kai-ong yang tertawa-tawa.

Ketika Tok-sim Lo-tong terguling di dekat Hek-gia-lo, mendadak iblis hitam ini meninggalkan Toat-beng Koai-jin dan mengayun sabitnya membacok ke arah kepala Tok-sim Lo-tong! Iblis gundul kurus kering ini cepat mengelak sambil meloncat berdiri sehingga sabit itu luput makan lehernya dan amblas ke dalam tanah sambil mengeluarkan api ketika terbentur batu-batu yang terbabat seperti agar-agar saja!

Terdengar teriakan keras dan pnhon besar di tangan Toat-beng Koai-jin me­nyambar ke arah Tok-sim Lo-tong yang baru saja terbebas dari maut di tangan Hek-giam-lo. Tok-sim Lo-tong meloncat tinggi menghindari serangan kakaknya sendiri, akan tetapi ia terhuyung-huyung oleh sambaran angin pukulan dengan batang pohon ini. Hebatnya, Siang-mou Sin-ni agaknya melupakan Suling Emas dan kini wanita itu pun menerjang Tok-sim Lo-tong yang sudah terhuyung-huyung, menggunakan rambutnya yang panjang mengirim serangan maut!

Suling Emas berdiri bengong. Lima orang itu memang patut dijuluki iblis. Mereka begitu licik dan curang sehingga dalam pertandingan menentukan kedudukan ini, mereka tidak segan-segan untuk me­ngeroyok Tok-sim Lo-tong yang terdesak hebat, menggunakan serangan-serangan maut. Bahkan Toat-beng Koai-jin, kakak Tok-sim Lo-tong sendiri, ikut pula mengeroyok, seakan-akan lupa bahwa yang dikeroyok itu adalah adiknya sendiri! Adakah manusia yang lebih ganas dari­pada mereka ini?

Namun, boleh dipuji kepandaian Tok-sim Lo-tong. Biarpun ia tadi terhuyung-huyung, namun menghadapi serangan Siang-mou Sin-ni, ia masih dapat menggerakkan kedua tangan mengirim pukulan-pukulan dengan sin-kang sehingga gumpal­an rambut yang menyambar ke arahnya itu dapat tertahan oleh hawa pukulan­nya, malah kini tangannya membentuk cakar setan untuk mencengkeram rambut itu! Pada saat itu, tampak berkele­batnya sabit Hek-giam-lo yang membabat ke arah tangannya sehingga terpaksa Tok-sim Lo-tong menarik kembali ta­ngannya. Tongkat It-gan Kai-ong me­nyambutnya dari belakang dan batang pohon di tangan Toat-beng Koai-jin juga sudah menyambar pula dari depan! Tok-sim Lo-tong sibuk mengelak dan meng­gunakan ilmunya menggelinding seperti bola ke sana ke mari, gesit dan cepat sekali. Namun empat orang pengeroyok­nya tidak memberi ampun dan pada saat ia meloncat bangun menghindarkan bacok­an Hek-giam-lo, pundaknya keserempet tongkat It-gan Kai-ong. Si gundul kurus kering ini memekik kesakitan dan membalikkan tubuh hendak mengamuk. Na­mun cabang-cabang pada batang pohon yang menyambarnya telah menyapu kakinya sehingga ia roboh terguling.

“Tranggggg!” Sinar kuning emas me­nangkis sabit yang membacok kepala Tok-sim Lo-tong dan menangkis pula tongkat It-gan Kai-ong, bahkan kipasnya mengebut rambut-rambut Siang-mou Sin-ni. Kiranya Suling Emas yang menolong Tok-sim Lo-tong. Pendekar ini tak dapat tinggal diam saja menyaksikan pertan­dingan yang berat sebelah dan tidak adil. Mana ada aturan mengeroyok orang yang sudah terdesak? Benar-benar mereka itu tidak mengenal watak gagah tidak mau peduli akan norma-norma yang berlaku pada tokoh-tokoh kang-ouw. Biasanya, sungguhpun golongan hitam yang terdiri daripada penjahat, masih enggan melaku­kan perbuatan yang memalukan dan ber­sifat pengecut. Akan tetapi iblis-iblis ini benar-benar tak tahu malu dan terpaksa Suling Emas turun tangan membantu Tok-sim Lo-tong yang dikeroyok oleh empat orang rekan-rekannya para ang­gauta Thian-te Liok-koai termasuk kakaknya sendiri Toat-beng Koai-jin!

Campur tangan Suling Emas membuat pertandingan menjadi kacau-balau dan secara otomatis mereka itu masing-masing memilih lawan terdekat dan di lain saat It-gan Kai-ong sudah bergebrak melawan Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni bertanding dengan Toat-beng Koai-jin, sedangkan Tok-sim Lo-tong yang kini sudah menyambar sebatang pohon itu kini me­nyerang mati-matian kepada Suling Emas yang baru saja membebaskannya daripada ancaman maut! Semua keadaan yang tidak tahu aturan, tidak mengenal budi, dan liar ganas seenaknya sendiri ini ber­jalan tanpa kata-kata.

Diam-diam Suling Emas menjadi bi­ngung juga. Ia tidak mau terlalu men­desak Tok-sim Lo-tong karena ia tahu bahwa begitu si gundul kurus kering ini ia desak, tentu yang lain-lain akan turun tangan mengeroyok Tok-sim Lo-tong! Oleh karena inliah maka ia hanya mempertahankan diri sambil memperhatikan jalannya pertandingan antara pasangan-pasangan lain. Juga ia sempat melihat bahwa banyak juga tokoh kang-ouw yang masih bersembunyi menonton, akan te­tapi mereka kini tidak berani terlalu mendekati tempat itu, melainkan nooton dalam jarak yang cukup aman.

Mendadak terdengar suara “cring-cring-cring” yang amat nyaring dan meng­getarkan jantung. Suling Emas kaget sekali, mengenal suara itu yang ternyata keluar dari alat musik yang-khim di ta­ngan Siang-mou Sin-ni! Betul saja Toat-beng Koai-jin yang terserang suara ini karena ia bertanding melawan Siang-mou Sin-ni, tidak kuat melawan pengaruh suara yang mengikat semangat ini, ilmu yang dicuri oleh Siang-mou Sin-ni meng­gunakan yang-khim milik Bu Kek Siansu. Kakek berpunuk yang liar itu tiba-tiba menjadi pucat dan terhuyung-huyung ke belakang. Tahu-tahu kedua kakinya sudah terkena sambaran rambut Siang-mou Sin-ni yang menariknya sehingga kakek liar itu terjengkang ke belakang. Seperti tadi ketika Tok-sim Lo-tong terdesak, kini mereka berempat, Hek-giam-lo, It-gan Kai-ong, dan Tok-sim Lo-tong bersama Siang-mou Sin-ni serentak menyerang Toat-beng Koai-jin yang sudah roboh!

“Pengecut, tahan!” seru Suling Emas melompat untuk membantu Toat-beng Koai-jin. Namun terlambat karena ketika ia tiba di dekat kakek itu, sabit di ta­ngan Hek-giam-lo telah membacok kepala, sedangkan tongkat It-gan Kai-ong sudah menusuk dada dalam detik hampir berbareng, sedangkan rambut Siang-mou Sin-ni yang terbagi menjadi dua merobek tubuh kakek itu dengan menarik kedua kaki ke kanan kiri disusul oleh hantaman balok pohon oleh Tok-sim Lo-tong. Beta­papun saktinya Toat-beng Koai-jin, tu­buhnya seketika menjadi remuk dan te­robek-robek, hancur!

“Kejam! Kalian iblis-iblis ganas!” ben­tak Suling Emas yang segera mengamuk dengan sulingnya. Saking hebatnya gerak­an Suling Emas, Tok-sim Lo-tong tak dapat menghindarkan dirinya dan sekali dadanya terkena totokan suling, kakek ini pun roboh dengan nyawa putus, rohnya melayang menyusul kakaknya.

“Heh-heh-heh, Toat-beng Koai-jin menjadi anggauta ke enam karena dia mampus lebih dulu. Tok-sim Lo-tong menjadi anggauta ke lima, setingkat lebih tinggi daripada kakaknya. Lucu!” kata It-gan Kai-ong tertawa-tawa. Hek-giam-lo hanya mendengus dan Siang-mou Sin-ni cekikikan. Kini tinggal empat orang yang masih hidup dan otomatis mereka berdiri di empat sudut, memasang kuda untuk memperebutkan kemenangan.

“Kalian iblis-iblis ganas, malam ini aku Suling Emas bersumpah hendak mem­basmi kalian bertiga!” seru Suling Emas. Setelah berkata demikian, tubuhnya bergerak cepat sekali dan dia sekaligus su­dah membagi-bagi serangan kepada tiga orang lawannya secara beruntun. Karena maklum bahwa tiga orang lawannya ini merupakan orang-orang terlihai dari Thian-te Liok-koai, maka dalam serangan­nya ini Suling Emas mengeluarkan ilmu­nya berdasarkan Hong-in-bun-hoat yang dahulu ia terima dari Bu Kek Siansu. Tidak saja gerakannya berdasarkan ilmu silat huruf yang hebat ini, juga ia me­ngerahkan tenaga Kim-kong Sin-im se­hingga ketika bergerak, sulingnya menge­luarkan bunyi yang dahsyat dan meng­getarkan isi dada ketiga orang lawannya. Hebat sekali gerakan Suling Emas ini, sulingnya berubah seperti halilintar me­nyambar, sinarnya menyilaukan mata para lawannya, apalagi dibarengi suara melengking tinggi itu, benar-benar mengejutkan lawan yang sambil memekik mereka melompat mundur dengan gerakan mempertahankan diri. Mereka selamat dari penyerangan pertama ini, namun tidak urung mereka merasa gentar juga dan jantung mereka berdebar-debar.

Tiga orang iblis ini adalah orang-orang yang cerdik dan licik. Maklumlah mereka bahwa pendekar muda ini benar-benar tak boleh dibuat main-main, kepandaiannya meningkat hebat semenjak pertemuan terakhir. Oleh karena itu, kini pendirian mereka pun berubah. Mereka tidak mau saling serang antara kawan sendiri dan bermaksud menggabungkan tenaga tiga orang untuk menghadapi Suling Emas.

Tanpa kata-kata, tiga orang iblis ini sudah bersepakat dalam hal ini, maka otomatis mereka melakukan gerakan menyudut dan mengurung Suling Emas dari sudut segi tiga. Rambut yang hitam halus dan panjang dari Siang-mou Sin-ni melebar tegak lurus seperti duri lan­dak, penuh tenaga dan siap dipergunakan, sedangkan alat musik khim yang berada di tangan kanannya diangkat ke atas kepala, digerak-gerakkan perlahan untuk mengubah-ubah posisi, mencari kesempa­tan yang baik, wanita yang cantik ini sekarang kelihatan mengerikan dan agak­nya pantas kalau mulutnya yang menye­ringai itu diberi tambahan caling di ka­nan kiri, seperti gambar siluman betina yang haus akan darah manusia. Hek-giam-lo juga berdiri dengan siap, kedua kaki­nya terpentang lebar, kokoh kuat, muka­nya yang berkedok tengkorak amat me­ngerikan karena dari lubang di bagian matanya berjelalatan, sabit yang tajam berkilau diangkat tinggi ke atas, terkena sinar bulan berkeredepan menyilaukan, sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka didorong lurus ke depan, seperti tangan setan hendak menceng­keram korbannya. Yang paling menjijik­kan adalah It-gan Kai-ong. Kakek raja pengemis ini berdiri agak terbongkok, kedua kakinya ditekuk rendah bagian lututnya, tongkat bututnya melintang di depan dada, matanya yang tinggal se­belah itu merah terbelalak tak pernah berkedip, mulutnya agak terbuka dan air liurnya menetes-netes dari ujung kanan.

Suling Emas yang terkurung di tengah-tengah tampak tenang-tenang saja. Le­nyap sudah kerut merut kemarahan dari mukanya. Memang pendekar sakti ini sudah berhasil menghalau nafsu marah di hatinya dan inilah syarat utama bagi seorang pendekar silat, yaitu tidak boleh sekali-kali dipengaruhi nafsu perasaan di hatinya. Ia berdiri dengan kuda-kuda biasa, kaki kiri diangkat ke atas dengan lutut ditekuk, kaki kanan berdiri di ujung jari kaki, suling di tangan kanan melin­tang di depan kening, tangan kiri me­megang kipas biru yang bergerak-gerak, tertutup terbuka, perlahan-lahan tanpa mengeluarkan bunyi, sepasang matanya tidak memandang ke mana-mana, seakan-akan memandang ujung hidungnya sendiri seperti keadaan seorang dalam samadhi, namun seluruh urat syarafnya telah “di­pasang” dan panca inderanya mengikuti gerak-gerik tiga orang lawannya.

Sunyi hening di saat itu. Empat orang itu seperti patung-patung mati, bahkan pernapasan mereka pun tidak terdengar. Jengkerik dan walang yang biasanya ra­mai berdendang menghias kesunyian pun­cak, kini berhenti seakan-akan mereka ikut nonton dengan penuh ketegangan dan kecemasan, seperti para tokoh kang-ouw yang sembunyi sambil menonton di se­keliling tempat itu. Tiba-tiba empat “pa­tung” itu bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata biasa, disertai suara-suara mengejutkan.

“Hiaaaaattttt!” Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar cepat sekali, seperti kilat dan hanya tampak cahayanya saja. “Siuuuttttt!” Hanya satu sentimeter saja selisihnya dari leher Suling Emas yang dengan mudah miringkan tubuh membiarkan sabit menyambar di dekatnya.

“Huah-ha-ha-ha.... wuuuuttttt!” Tongkat It-gan Kai-ong melakukan serangan tusukan maut dari samping selagi Suling Emas miringkan tubuh, disusul pada detik berikutnya oleh sambaran yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni yang menghantam pusar dengan gerakan kuat-kuat sehingga yang-khim mengeluarkan bunyi “singgggg!”. Namun dengan amat cekatan, seakan-akan berubah menjadi segulung asap. Suling Emas sudah bergerak menyelinap di antara gulungan sinar senjata lawan dan tak sebuah pun di antara hujan senjata lawan dan tak sebuah pun di antara lembaran rambut Siang-mou Sin-ni yang mengirim serangan susulan, dapat menyentuhnya! Namun Hek-giam-lo sudah menerjang lagi, sabitnya menyambar-nyambar laksana burung hantu dari udara, sedangkan tongkat It-gan Kai-ong juga bergerak-gerak seperti ular hitam menotok pelbagai jalan darah mematikan, dibantu oleh hantaman-hantaman yang-khim dan sambaran-sambaran rambut yang mengeluarkan suara berciutan. Suling Emas memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Ia meloncat, mendekam, memutar tubuh, berjungkir-balik dan setelah lewat lima menit mereka berempat bergerak-gerak sedemikian cepatnya sehingga bayangan mereka campur aduk menjadi satu, tampak Suling Emas meloncat tinggi sekali dan tahu-tahu sudah berdiri sejauh empat meter di depan tiga orang lawannya. Kembali seperti tadi, mereka berempat tak bergerak, saling pandang penuh rasa benci dan penasaran. Kini Suling Emas tidak terkurung lagi, melainkan menghadapi mereka bertiga yang berada di depannya.

Perlahan-lahan tiga orang itu melangkah maju dan otomatis membentuk barisan segi tiga. Namun Suling Emas tidak mau terkurung lagi. Ia ingin membalas, tidak mau dijadikan umpan serangan mereka tanpa mendapat kesempatan membalas sama sekali. Ia maklum bahwa kecepatan mereka itu amat hebat dan kalau ia sudah terkurung seperti tadi, serangan mereka bertubi-tubi tak pernah berhenti dan keadaan demikian itu tentu saja amat berbahaya dan tidak meng­untungkan. Ia tersenyum mengejek, lalu berkata.

“Bagus, tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai! Menghadapi aku saja dengan tiga lawan satu, kalian gentar, apalagi mau menghadapi mendiang Ibuku! Eh, apakah kalian takut? Kalau takut....”

“Sssrrr.... srrr.... srrrrr....!”

“Cuiiiiittttt....!”

“Sing.... sing.... singgg!”

Suling Emas tentu saja sudah was­pada. Malah ini yang ia kehendaki, maka ia tadi sengaja mengejek untuk memanas­kan hati mereka. Pancingannya berhasil karena secara beruntun mereka melepas senjata rahasia. Pertama-tama Siang-mou Sin-ni yang melontarkan jarum-jarum beracun dari arah kiri, sebanyak tujuh belas yang kesemuanya menuju ke jalan-jalan darah utama. Kemudian disusul oleh senjata rahasia It-gan Kai-ong yang menjijikkan namun tak kalah jahatnya, yaitu air ludahnya, menyerang dari arah kanan dan paling akhir Hek-giam-lo telah meng­gunakan pisau-pisau terbangnya menyerang dari depan langsung dengan kecepat­an luar biasa. Biarpun orang sesakti Su­ling Emas, andaikata ia lengah, tentu akan sukar melepaskan diri daripada ancaman bahaya maut dari tiga penjuru ini. Baiknya ia memang sudah waspada dan sudah menduga lebih dulu, maka begitu tampak sinar melayang dari tiga jurusan, ia telah mendahului mereka, tubuhnya mendadak mumbul ke atas se­perti terbang, lebih cepat daripada sam­baran senjata-senjata rahasia itu, dan kini dia melayang di atas senjata-senjata rahasia itu, langsung ia menerjang tiga orang lawannya dari atas dengan serang­an sulingnya dalam jurus-jurus rahasia dari Hong-in-bun-hoat. Kini giliran tiga orang iblis itulah yang kaget setengah mati ketika tiba-tiba ada suara men­dengung-dengung dan melengking di atas kepala mereka, disusul oleh sinar ke­emasan yang menyilaukan mata. Mereka sama sekali tidak menduga akan terjang­an Suling Emas sehebat itu.

Karena tiga orang iblis itu memang sakti dan berilmu tinggi, biarpun terkejut dan terdesak hebat oleh serangan Suling Emas dari atas yang dahsyatnya bagaikan sambaran halilintar di musim hujan itu, namun mereka bertiga dapat juga me­nyelamatkan diri. It-gan Kai-ong berhasil menjatuhkan diri ke belakang sambil me­mutar-mutar tongkatnya melindungi diri­nya, sehingga ia berhasil memecahkan sinar bergulung-gulung yang menyambar­nya dan hanya pakaiannya saja yang sebagian besar robek oleh sambaran sinar suling lawannya. Hek-giam-lo juga ber­hasil melompat ke belakang sambil berteriak nyaring dan menangkis dengan sabitnya. Terdengar suara keras dan ujung senjatanya itu patah, akan tetapi ia se­lamat tidak terluka. Hanya Siang-mou Sin-ni yang kurang beruntung karena ketika dalam kagetnya ia menggerakkan rambutnya menangkis, rambutnya itu terbabat sinar kuning emas dan putuslah rambutnya yang hitam panjang sehingga tinggal sampai ke pundaknya saja! Wanita ini menjerit ngeri dan menangis.

Akan tetapi tidak hanya sampai di situ Suling Emas menyerang. Kini tubuhnya sudah berada di atas tanah dan tan­pa membuang waktu lagi ia melanjutkan serangannya, bertubi-tubi ia menyerang tiga orang lawannya sambil tetap main­kan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat luar biasa itu. It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo terdesak, mereka maklum akan kelihaian ilmu ini maka mereka main mundur menjauhkan diri. Tidak demikian dengan Siang-mou Sin-ni yang menjadi marah sekali karena rambut yang menjadi kebanggaan dan menjadi senjata ampuhnya itu telah “berondol”. Dengan nekat wanita ini menyambut serangan Suling Emas dengan kekerasan. Ia mainkan yang-khim di tangannya dan menyambut pukulan dengan pukulan pula.

Betapapun juga, Siang-mou Sin-ni terpaksa mengakui kehebatan Hong-in-bun-hoat karena belum sampai sepuluh jurus, ia sudah terdesak dan terancam hebat. Dengan gerakan nekat tanpa mem­pedulikan keselamatan dirinya, Siang-mou Sin-ni menjerit dan menghantamkan yang-khim pada saat suling lawannya bergulung-gulung mengitari dirinya.

Suling Emas kaget sekali, tidak menyangka lawannya akan berlaku nekat mengadu nyawa. Tiada waktu lagi untuk mengelak, maka ia menggerakkan kipasnya yang sudah tertutup untuk menangkis.­

“Brakkkkk!” Keras sekali suara ini terdengar dan yang-khim di tangan Siang-mou Sin-ni pecah menjadi empat potong, tetapi kipas biru di tangan Suling juga patah menjadi dua. Detik amat berbahaya itu dipergunakan Suling Emas dengan baiknya karena sulingnya sudah meluncur ke depan dan tiga kali sulingnya berhasil menotok tiga jalan darah yang berbahaya dari Siang-mou Sin-ni.

“Aihhhh....!” Siang-mou Sin-ni menjerit, yang-khim yang sisanya berada di tangannya ia lemparkan ke bawah, berbareng dengan kipas Suling Emas yang juga dibuang ke bawah, kemudian tiba-tiba wanita itu tertawa nyaring dan.... sinar merah menyambar dari mulutnya ke arah muka Suling Emas. Pendekar sakti ini kaget sekali, maklum apa artinya sinar merah yang mengeluarkan bau busuk memabukkan itu. Wanita iblis itu telah mempergunakan ilmunya yang terakhir, yaitu Tok-hiat-hoat-lek, ilmu menyemburkan darah beracun yang amat berbahaya. Kipasnya sudah tidak ada padanya, padahal kipas itulah yang paling tepat untuk menghadapi serangan dahsyat mengerikan ini. Terpaksa ia lalu melempar tubuhnya ke belakang. Namun, biarpun ia tidak terkena semburan darah beracun, hawa beracun dari darah yang mengeluarkan bau busuk melebihi mayat busuk ini telah mempengaruhinya dan mendatangkan pusing pada kepalanya dan pandang matanya berkunang-kunang. Ia cepat mengerahkan sin-kang dan setelah tubuhnya terlempar ke belakang, segera ia berjungkir-balik dan melompat jauh ke kanan. Baiknya ia seorang yang hati-hati dan gesit, karena benar seperti yang ia khawatirkan, semburan darah itu tadi mengejarnya dan kalau saja ia tidak cepat-cepat berjungkir-balik dan melompat tentu ia akan menjadi korban. Kini ia melihat wanita iblis itu terhuyung-huyung dan tertawa-tawa. Hal ini mem­buat Suling Emas diam-diam mengagumi Siang-mou Sin-ni. Totokannya tiga kali tadi hebat sekali dan kesemuanya men­datangkan maut. Seorang yang bagaimana pandai dan kuatnya tentu akan roboh dan tewas seketika. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni masih mampu mengeluarkan ilmu­nya yarig terakhir, mampu tertawa-tawa dan hanya terhuyung-huyung. Hebat! Wa­nita itu sambil tertawa memuntahkan darah yang beracun, lalu berlari-larian seperti orang gila dan akhirnya terdengar jeritnya melengking ketika tubuhnya ter­jungkal ke dalam jurang tak jauh dari situ. Agaknya ia seperti gila dan buta oleh luka-lukanya dan lari tanpa melihat lagi sehingga terjungkal memasuki jurang yang ratusan kaki dalamnya!

Tiba-tiba Suling Emas berteriak keras dan tubuhnya melesat ke kanan kiri sambil memutar sulingnya. Secara serentak ia diserang hebat oleh It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo. Karena pandang matanya masih berkunang-kunang dan kepalanya masih pening, ia hanya dapat mengelak sambil menjaga diri dengan suling. Agaknya keadaannya ini diketahui pula oleh dua orang manusia iblis itu, yang terus mendesaknya dengan serangan-serangan kilat. Setelah dua orang iblis ini mengeroyok berdua saja, mereka men­dapat kenyataan yang mengagumkan, yaitu bahwa ilmu silat yang mereka mainkan untuk mengeroyok Suling Emas kini menjadi berlipat ganda ampuhnya. Ilmu silat mereka itu saling mengisi kekosongan yang ada dan dimainkan bersama-sama dapat menjadi semacam daya serang yang luar biasa! Insyaflah mereka akan hal ini, karena memang sesungguh­nya ilmu silat baru mereka itu adalah bagian-bagian daripada sebuah ilmu yang kitabnya mereka ranpas dari tangan Bu Kek Siansu. It-gan Kai-ong dalam pe­rebutan berhasil mendapatkan kitab bagi­an depan sedangkan Hek-giam-lo bagian belakang.

Suling Emas juga kaget karena terasa olehnya betapa hebat desakan kedua orang ini. Ia berusaha menghalau hawa beracun yang mendesak di dadanya dan ke otaknya, akan tetapi kedua orang lawannya tidak memberi kesempatan ke­padanya, terpaksa ia harus mengandalkan sulingnya untuk melindungi tubuh sehingga suling itu berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang menyelimuti dirinya, tak memungkinkan sabit dan tongkat menyentuhnya. Mereka seakan-akan hanya mengadu tenaga dan keuletan. Akan tetapi berapa lama ia akan dapat bertahan? Betapapin juga, dalam ilmu silat, menyerang lebih menguntungkan daripada mempertahankan, kecuali kalau pertahanan itu dapat diubah cepat men­jadi penyerangan balasan. Dalam hal ini, Suling Emas sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk membalas. Hal ini adalah karena ia masih berada dalam pengaruh hawa beracun Tok-hiat-hoat-lek dari Siang-mou Sin-ni tadi, dan ke dua karena penggabungan ilmu silat ke­dua orang iblis itu benar-benar memper­lipat ganda kehebatan daya serang mere­ka.

It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo ada­lah tokoh-tokoh kawakan yang sudah matang ilmunya, maka tentu saja dalam hal ilmu silat mereka merupakan orang-orang yang banyak pengalaman dan cer­dik sekali. Setelah mainkan bagian ilmu rampasan kitab Bu Kek Siansu bersama-sama, segera mereka menarik kesimpulan baliwa apabila kedua ilmu mereka itu digabungkan, maka akan merupakan ilmu yang hebat sekali.

“Kiri buka, atas tekan!” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berseru.

Hek-giam-lo mendengus dan berteriak. “Kanan tutup, bawah dorong!”

Kiranya yang diucapkan It-gan Kai-ong adalah merupakan sebagian daripada ilmu pukulan yang paling hebat, akan tetapi karena hanya ia dapatkan setengahnya, maka selama ini merupakan rahasia baginya dan tak dapat ia pergunakan. Adapun ucapan Hek-giam-lo sebagai im­bangannya adalah lanjutan daripada jurus itu, maka keduanya segera bergerak. It-gan Kai-ong lebih dulu lari disambung oleh Hek-giam-lo. Bukan main dahsyatnya terjangan ini, sebuah jurus rahasia yang kini dimainkan secara bersambung oleh dua orang! Begitu otomatis gerakan me­reka, ganti-berganti sehingga merupakan serangkaian serangan yang serba sulit dihadapi.

Suling Emas kaget sekali. Hampir saja ia terkena bacokan sabit setelah ia berhasil menghindarkan tusukan maut tongkat It-gan Kai-ong. Akan tetapi begitu sabit itu lewat sedikit di atas pundaknya, secara aneh sekali tongkat kakek raja pengemis sudah menyambar, ujungnya tergetar menjadi lima dan menyerang ke arah lima bagian tubuhnya dari sebelah atas, disambung dengan sambaran sabit bertubi-tubi dari bawah! Suling Emas sudah berusaha menyelamatkan diri dengan memutar sulingnya, namun karena ia masih pusing dan sulingnya hanya merupakan senjata pendek yang sukar menghadapi senjata-senjata panjang yang menyerang dari atas dan bawah secara aneh dan bertubi-tubi, ketika tubuhnya melompat miring, pundaknya terkena hantaman tongkat It-gan Kai-ong.

“Brukkk!” Hantaman ini keras sekali. Batu karang juga akan hancur terlanda pukulan ini. Suling Emas sudah mengerah­kan lwee-kangnya ke arah pundak, namun tetap saja ia terbanting dan bergulingan di atas tanah!

“Heh-heh-heh!” It-gan Kai-ong ter­tawa gembira dan mukanya beringas ketika ia mengejar dengan tongkat terangkat, siap memberi tusukan terakhir.

“Mampus kau!” Hek-giam-lo mende­ngus dan berlumba dengan kakek penge­mis itu untuk berusaha mendahuluinya membacokkan sabitnya ke arah tubuh Suling Emas yang bergulingan dan ke­lihatannya tak berdaya lagi itu. Hampir berbareng, tongkat dan sabit itu menyambar ke arah tubuh Suling Emas.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi yang getarannya seakan-akan men­copot jantung It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo. Suara ini adalah suara yang ditiup Suling Emas dalam keadaan bahaya itu. Sejenak Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong tertegun dan gerakan mere­ka terhenti beberapa detik. Namun be­berapa detik ini cukuplah bagi pendekar sakti seperti Suling Emas yang sudah melompat bangun dan menggerakkan sulingnya.

“Trang-trang.... duk.... duk....!” Tubuh It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo ter­lempar dan melayang bagaikan layang-layang putus talinya, sedangkan sabit dan tongkat mereka patah-patah! Kemudian robohlah dua orang iblis sakti itu, me­ngeluh dan dari mulut mereka muntah darah segar. Mereka telah terluka hebat.

Akan tetapi di lain fihak, Suling Emas berdiri dengan terhuyung-huyung. Ia ber­usaha mengusir kepeningan kepalanya akibat hawa beracun Siang-mou Sin-ni tadi, karena luka di pundaknya akibat gebukan tongkat It-gan Kai-ong tidaklah amat parah baginya kalau dibandingkan dengan hawa beracun itu.

“Huah-hah-hah, anjing muda boleh juga!”

“Semua sudah roboh, tinggal dia yang harus roboh!” Sambung suara ke dua dan muncullah kakek putih dan kakek merah. Keduanya menggerakkan tangan, kakek merah dari depan Suling Emas sedangkan kakek putih dari belakangnya karena munculnya kedua orang kakek itu berpencar. Suling Emas yang sudah berku­rang tenaganya karena pusing, juga kare­na luka di pundaknya, cepat miringkan tubuh dan mementangkan kedua lengan­nya, didorong ke arah kanan kiri untuk menghadapi serangan dua orang kakek itu. Ia kaget sekali ketika menerima dorongan tenaga sakti yang berlawanan, dari kanan tenaga kakek merah panas seperti api, sedangkan dari kiri tenaga kakek putih dingin seperti salju! Inilah hebat, pikirnya. Tak mungkin ia menge­rahkan dua macam tenaga untuk meng­hadapi serangan maut ini, akan tetapi Suling Emas bukanlah seorang sakti yang sudah kenyang akan gemblengan hebat kalau ia menjadi panik atau gentar. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, semua hawa murni ia kerahkan untuk menahan gelombang serangan itu, sepasang matanya meram, dari balik kain kepalanya mengepul uap putih. Gelombang tenaga makin dahsyat dari kanan kiri, tubuh Suling Emas sudah gemetar, hampir tak kuat lagi.

“Orang-orang tak tahu malu, pengecut! Mengeroyok kakakku yang sudah terluka!” Tiba-tiba seorang pemuda meloncat ke depan. Dia ini bukan lain adalah Bu Sin! Pemuda ini mencabut pedangnya. Sesosok bayangan lain berkelebat dan cepat menarik tangannya.

“Bu Sin, jangan....! Tiarap....!” Dengan sentakan keras bayangan yang ternyata adalah seorang nikouw (pendeta wanita Buddha) ini berhasil membuat Bu Sin roboh terguling. Akan tetapi ia berhasil menyelamatkan Bu Sin saja karena sekali kakek merah mengibaskan tangan kirinya ke arahnya, nikouw yang bukan lain adalah Kui Lan Nikouw, bibi guru Bu Sin ini, roboh terguling sambil me­ngeluh.

Pada saat itu, Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong sudah merangkak bangun. Terdengar It-gan Kai-ong terkekeh biarpun napasnya terengah-engah dan mulutnya mengeluarkan darah, sedangkan Hek-giam-lo mendengus aneh, juga napasnya terengah-engah. Kedua orang kakek ini lalu dengan langkah terhuyung-huyung menghampiri Suling Emas yang berdiri dengan kedua lengan terpentang kaku, tangan mereka memegang sisa senjata yang sudah patah lebih setengahnya. Jelas bahwa mereka hendak menurunkan tangan maut terhadap Suling Emas yang sama sekali sudah tidak berdaya itu. Mereka ini sudah terluka berat di sebelah dalam tubuhnya akibat totokan suling, akan tetapi nafsu mereka masih besar untuk membunuh Suling Emas yang sudah berada dalam keadaan “terjepit” antara dua tenaga raksasa yang amat dahsyat. Biarpun keadaan dua orang iblis itu sudah terluka dan lemah namun karena mereka adalah orang-orang sakti, tentu saja tanpa perlawanan Suling Emas, sekali pukul dengan senjata-senjata sepotong itu sudah akan cukup untuk membunuh perdekar ini. Mereka kini sudah berada dekat sekali dan sabit serta tongkat sudah diangkat, siap untuk dipukulkan.

“Plakk!” Dua sosok ba­yangan manusia berkelebat cepat, se­batang pedang bersinar kuning menangkis sabit membuat sabit itu kini terpotong tinggal gagangnya sdja, sedangkan sebuah tengan yang kecil halus menangkis tongkat sehingga tongkat itu terpental. Kiranya yang muncul adalah dua orang gadis, Lin Lin dan Sian Eng yang muncul di saat yang bersamaan dari dua jurusan! Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong terkejut dan terhuyung mundur. Lin Lin sambil berseru keras mengayun pedangnya menyerang Hek-giam-lo. Iblis hitam ini tentu saja tidak takut menghadapi Lin Lin, akan tetapi oleh karena ia telah terluka hebat dan senjatanya yang ampuh sudah musnah, ditambah lagi karena dalam tangkisan tadi ia mendapat bukti bahwa Lin Lin telah memiliki ilmu dan tenaga mujijat, Hek-giam-lo mendengus marah lalu melompat jauh, menghilang di tempat gelap. Juga It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah ketika menerima tangkisan lengan Sian Eng, kaget setengah mati karena tangannya terasa panas dan gatal-gatal. Ia maklum bahwa keadaannya yang sudah terluka itu tidak menguntungkan dirinya, maka ia pun lalu melompat dan lenyap di tempat gelap.

Lin Lin dan Sian Eng saling pandang gembira.

“Enci Sian Eng....!” serunya gembira. Akan tetapi Sian Eng tidak menjawab dan Lin Lin melihat betapa wajah encinya yang tersinar cahaya bulan itu aneh sekali. Sian Eng seakan-akan tidak mempedulikannya, malah kini Sian Eng dengan tangan kosong menerjang kakek putih yang berjuluk Pek-kek Sian-ong, dari mulutnya terdengar lengking yang amat aneh, yang membuat bulu tengkuk Lin Lin serasa berdiri karena ia teringat akan lengking yang keluar dari si mayat hidup Cui-beng-kwi! Akan tetapi ia pun segera sadar bahwa Suling Emas terancam bahaya, maka dengan pedang terhunus ia lari menghampiri Lam-ek Sian-ong kakek muka merah, lalu menerjang dengan ilmu pedangnya berdasarkan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw!

Melihat dua orang gadis yang gerakan-gerakannya ganas sekali menerjang, baik Lam-kek Sian-ong maupun Pak-kek Sian-ong terkejut sekali dan sama sekali mereka tidak menduga-duga terjadinya hal ini. Tadi, melihat betapa dua orang gadis muda remaja itu sekali tangkis dapat membuat It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang sudah mereka saksikan kelihaian­nya lari tunggang-langgang saja sudah membuat mereka terheran-heran. Maka mereka berbareng lalu mengerahkan te­naga mendesak Suling Emas. Karena memang sudah payah keadaannya, di“jepit” seperti itu Suling Emas tak dapat menahan lagi, ia mengeluh panjang dan roboh terguling, dalam keadaan pingsan dan mukanya pucat sekali seperti sudah mati!

Sian Eng dan Lin Lin memuncak ke­marahannya. Lin Lin memutar pedangnya dan menyerang kalang-kabut sambil me­maki-maki, “Kakek tua bangka mau mam­pus! Kau berani mencelakai dia? Kucukur jenggotmu kutabas hidungmu kupenggal lehermu!” Ia memaki-maki sambil me­nyerang. Serangannya hebat bukan main karena dalam keadaan marah itu ia me­ngeluarkan jurus-jurus paling hebat dari ilmu silat barunya yang sudah ia latih lagi atas petunjuk Gan-lopek. Adapun Sian Eng yang juga menyaksikan keadaan Suling Emas, kini memaki-maki dan melengking-lengking secara aneh, namun gerakan-gerakan kedua tangannya ketika menerjang kakek muka putih dahsyat bukan main, mengeluarkan angin yang mengeluarkan bunyi bersuitan. Lin Lin dan Sian Eng yang marah melihat Suling Emas roboh dan menyerang kedua orang kakek itu, tidak melihat betapa sesosok bayangan berkelebat cepat sekali, me­nyambar tubuh Suling Emas dan dibawa lari dengan kecepatan seperti terbang.

“Eh, siapa kau dan hendak kaubawa ke mana kakakku? Berhenti!” Bu Sin yang tadinya bingung berlutut di dekat tubuh bibi gurunya yang terluka, kini meloncat ketika melihat seorang wanita cantik baju hijau melarikan Suling Emas yang masih pingsan.

“Bodoh! Kubawa dia ke pondok Kim-sim Yok-ong agar diobati!” wanita itu membentak Bu Sin sambil terus lari. Bu Sin yang mengejarnya sebentar saja kehilangan bayangan wanita itu yang bukan lain adalah Tan Lian, gadis yang memiliki gin-kang luar biasa itu dan yang tentu saja tak dapat dikejar oleh Bu Sin. Kare­na mengkhawatirkan keadaan bibi gurunya dan kedua orang adiknya, apalagi karena mendengar bahwa wanita tadi hendak mengobatkan Suling Emas, ter­paksa Bu Sin kembali ke tempat per­tandingan.

Memang harus diakui bahwa di luar kesadaran, bahkan diluar kehendak mere­ka atau tidak disengaja, baik Lin Lin maupun Sian Eng telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat luar biasa, yang secara mujijat telah mendatangkan tenaga sin-kang yang amat kuat, namun ilmu itu baru saja mereka dapatkan dan belum mereka latih masak-masak. Kini mereka menghadapi tokoh-tokoh seperti dua orang kakek sakti yang aneh itu, sudah tentu saja bukan lawan mereka. Tadi pun keti­ka menghadapi Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong, mereka dapat dan kuat menangkis hanya karena kedua orang iblis itu sudah menderita luka dan kehabisan tenaga. Kalau dua orang iblis itu dalam keadaan sehat dan segar, tentu saja Lin Lin dan Sian Eng tentu takkan mampu menandingi mereka.

Sepasang kakek yang aneh itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, juga hanya sebentar saja merasa heran dan kaget, akan tetapi setelah menghadapi Lin Lin dan Sian Eng, maklumlah orang-orang sakti ini bahwa dua orang gadis itu sungguhpun mewarisi ilmu mujijat, namun ternyata masih “mentah”. Segera terdengar mereka tertawa-tawa dan begitu kedua orang kakek ini menggerakkan kedua tangan mereka, tubuh Lin Lin dan Sian Eng “tersedot” dan “hanyut” dalam arus hawa pukulan yang berputaran seperti angin puyuh! Lin Lin dan Sian Eng berusaha mempertahankan diri, namun sia-sia, mereka terputar-putar seperti kitiran angin oleh dua orang kakek sakti.

Bu Sin bingung sekali. Bibi gurunya masih pingsan dengan muka pucat. Melihat kedua orang adiknya terputar-putar seperti itu, hatinya ingin menolong, akan tetapi ia pun maklum bahwa tenaga dan kepandaiannya jauh dari yang diharapkan untuk bisa menolong adik-adiknya. Beta­papun juga, pemuda ini sudah siap me­nerjang kedua orang kakek itu. Dengan gerakan nekat, ia meloncat dan mem­bentak.

“Dua orang kakek siluman lepaskan adik-adikku!” Akan tetapi begitu meloncat, segera ia terbanting roboh ke belakang dekat bibi gurunya, terdorong oleh sebuah tenaga ajaib yang datang tiba-tiba. Tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek lain, kakek tua yang berjenggot panjang, yang berdiri tersenyum memandang kepadanya, akan tetapi yang cukup membuat Bu Sin terhenyak kaget ketika mengenal kakek itu sebagai kakek sakti yang pernah me­nolongnya dan melatihnya di bawah pan­curan air.

“Mereka bukan lawanmu,” terdengar kakek itu berkata lirih.

“Locianpwe, tolonglah adik-adikku....”

Akan tetapi kakek itu yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu, sudah melangkah maju dan berkata, suaranya li­rih namun suara ini menembus seluruh udara, mendatangkan gema yang nyaring berpengaruh.

“Sayang.... puluhan tahun bertapa ternyata tak mampu mengendalikan nafsu!” Ia mengangkat kedua lengannya, digerakkan perlahan ke depan dan.... dua orang gadis itu seakan-akan tertarik dan bebas daripada pusaran hawa pukulan kedua kakek, terhuyung-huyung dan roboh dengan kepala pening namun tidak menderita sedikit pun juga.

Si kakek merah dan si kakek putih terdesak mundur oleh hawa halus yang keluar dari gerakan tangan Bu Kek Siansu, sehingga kuda-kuda mereka terbongkar. Mereka kaget sekali, memandang Bu Kek Siansu dengan penasaran.

“Siapa kau?” hardik Lam-kek Sian-ong si muka merah.

“Berani kau menentang kami?” Pak-kek Sian-ong juga membentak.

“Damai di bumi....” Bu Kek Siansu berbisik lirih lalu menarik napas panjang dan balas memandang dengan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Pak-kek Sian-ong, siapa adanya aku bukanlah soal yang perlu diributkan, karena aku tiada beda­nya dengan kalian berdua atau orang lain. Aku manusia biasa, tiada bedanya dengan kalian. Hanya sayang kalian.....”

“Kau mengenal nama kami?” seru Pak-kek Sian-ong terheran-heran, karena puluhan tahun mereka berdua merupakan tokoh tersembunyi dan tak seorang pun tokoh kang-ouw, apalagi yang baru-baru mengenal mereka.

“Kau siapa?” bentak Lam-kek Sian-ong. “Kau yang berani menentang kami, apakah kau begitu pengecut untuk menyembunyikan nama?”

Bu Kek Siansu tersenyum, “Aku sama sekali tidak menentang kalian.”

“Kau bilang tidak menentang akan tetapi kau turun tangan terhadap kami dan menolong dua orang bocah itu!”

“Aku memang turun tangan.” jawab kakek sakti itu dengan penuh kesabaran, “akan tetapi sama sekali dasarnya bukan untuk menentang kalian!”

“Lalu, apa dasarnya?”

“Pertama, karena aku sayang kepada kalian, sayang akan jerih payah kalian bertapa sampai puluhan tahun dan kini tak dapat mengendalikan nafsu hendak membunuh dua orang anak perempuan ini. Ke dua, aku merasa sayang, kalau bocah-bocah yang masih muda remaja, yang atas kehendak Thian telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi, yang masih akan melanjutkan riwayat hidupnya dan meramaikan dunia ini dengan perbuatan-perbuatan mereka, kalian habiskan riwayatnya sampai di sini saja. Pula, memang agaknya sudah menjadi kehendak Thian bahwa dua orang anak ini tidak semestinya tewas pada saat ini, maka kebetulan sekali aku lewat....”

“Manusia sombong!” bentak si muka merah.

“Betulkah mereka takkan tewas setelah kau datang? Heh, manusia besar mulut, kalau sekarang kami turun tangan membunuh mereka, kau mau bisa berbuat apa?”

Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap tenang, sabar, dan ramah. “Penentuan mati hidup berada sepenuhnya di tangan Yang Menghidupkan! Hanya manusia yang buta hati saja yang tidak melihat kenyataan mutlak ini. Membunuh? Terbunuh? Tak seorang pun mampu menentukan hal-hal rahasia ini. Kalau Tuhan menghendaki seseorang meninggalkan raganya, biarpun seribu dewa takkan mampu menunda atau membatalkannya. Sebaliknya kalau Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup di dunia, biarpun seribu setan takkan mampu menewaskan orang itu. Hanya orang-orang sesat saja yang mengira bahwa dia, dengan kekuasaannya, dengan kekuatannya, dapat menentukan mati hidup orang lain, berlawanan dengan kehendak Tuhan, karena dengan perkiraannya itu, berarti dia hendak menentang kekuasaan Tuhan!”

***

“Tua bangka besar mulut! Apakah kauanggap kami ini anak-anak kecil dan kau seorang pendeta yang hendak memberi wejangan tentang kebatinan? Huh, lamunan kosong belaka semua kata-katamu itu. Yang Maha Kuasa, Thian, hanya menuruti kehendak yang menang, yang berkuasa dan kuat. Mau bukti? Sekarang juga kami sanggup membunuh dua orang gadis itu, juga kau sendiri!” bentak si muka merah yang agaknya lebih berangasan daripada si muka putih yang mendengarkan dan mengangguk-angguk membenarkan.

“Damai.... damai....” Kakek itu bersabda, lirih seperti orang berbisik. Kemudian ia memandang tajam dan dengan wajah masih berseri ia berkata lagi.

“Alangkah kosong rasa hati mendengarkan ucapan, Saudara. Dan hebatnya, apa yang kaukatakan itu justeru menjadi ang­gapan sebagian besar manisia, dan tak dapat dibantah lagi, perkembangan di dunia memang sejalan dengan pikiranmu itu. Anugerah paling suci yang diberikan kepada manusia, yaitu akal budi, yang dapat membuat manusia mengungkap segala rahasia alam, yang membuat ma­nusia merupakan mahluk yang terpandai, ternyata oleh manusia sendiri disalah­gunakan. Anugerah ini malah diperguna­kan untuk menentang Sang Pemberi. Ma­kin pandai manusia, makin gila dia. Ma­kin pandai manusia, makin kacau dunia. Semua ini adalah akibat daripada jalan pikiran yang telah kauucapkan tadi. Wewenang dipakai mencari menang. Kekuasa­an menjadi alat penindas. Kepandaian di­pergunakan sebagai alat pemuas nafsu. Ya Tuhan, turunkanlah kiranya kekuasaan­mu untuk menyapu bersih segala kotoran yang menutup dan menyuramkan api suci dalam jiwa manusia....”

“Tua bangka. Pendeta kepalang tang­gung, tosu bukan hwesio bukan. Mau apa kau banyak mulut?” Lam-kek Sian-ong.

“Eh, sahabat, kami berdua sengaja turun dari pertapaan untuk mencari tan­ding di seluruh permukaan bumi!” kata Pak-kek Sian-ong.

“Hemmm, menandingi diri sendiri saja masih belum mampu, menandingi orang lain? Saudaraku yang baik, kaukalahkan dulu dirimu sendiri dan kau akan menaklukkan dunia,” jawab Bu Kek Siansu.

“Kami akan bunuh dua orang gadis ini. Lihat, kau dapat berbuat apa?” Lam-­kek Sian-ong membentak dan diturut oleh Pak-kek Sian-ong, dia sudah bergerak maju. Lin Lin dan Sian Eng yang sejak tadi mendengarkan dengan heran, kini bersiap untuk menjaga diri.

Akan tetapi Bu Kek Siansu meng­angkat tangan kanannya ke atas dan entah bagaimana, isyaratnya ini agaknya mempunyai pengaruh untuk menyetop kedua orang kakek jagoan itu untuk se­mentara.

“Mengapa kalian begini bernafsu untuk memukul orang? Daripada memukul anak-anak, kalian boleh memukul aku dan aku takkan melawan.”

“Sombong! Kau tahu bahwa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong semenjak turun dari pertapaan tak pernah menemui tanding? Tua bangka, jangan kau som­bong, sekali pukul kami mampu membikin tubuhmu separuh hangus separuh beku!” teriak si muka merah yang merasa dipandang rendah.

“Biarlah kalau Thian menghendaki demikian. Aku hanya ingin mewakili dua orang anak itu daripada pukulan-pukulanmu.”

“Ang-bin-siauwte, mengapa banyak bicara melayani kakek gila ini? Mari kita pukul dia hendak kulihat bagaimana macam mayatnya nanti,” kata Pak-kek Sian­-ong. Keduanya lalu melangkah maju setindak dan dengan gerakan berbareng mereka memukul dengan pukulan jarak jauh. Biarpun tidak mengeluarkan suara apa-apa, namun dari tangan kedua orang kakek itu dengan jelas sekali tampak menyambar dua macam cahaya putih dan merah. Yang merah mendatangkan hawa panas sekali sedangkan yang putih men­datangkan hawa dingin. Dua cahaya itu bagaikan dua gulung asap menyambar ke arah tubuh Bu Kek Siansu dan.... tidak terjadi apa-apa! Tubuh tua itu masih tetap berdiri di situ, wajahnya tetap berseri, matanya membayangkan keterang­an, kesabaran dan cinta kasih terhadap sesama hidup, sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa Bu Kek Siansu merasakan pukulan jarak jauh yang dahsyat itu. Dua orang kakek muka merah dan muka putih, tetap berdiri sambil menggerak-gerakkan kedua tangan, agaknya mengerahkan te­naga dan memperkuat daya pukulannya. Namun Bu Kek Siansu tidak mempedulikan mereka, bahkan ia menghampiri Kui Lan Nikouw yang masih rebah pingsan. Pada saat gulungan cahaya kemerahan dan keputihan menyambar punggungnya, Bu Kek Siansu menggerakkan kedua ta­ngannya ke arah tubuh Kui Lan Nikouw dan pendeta wanita itu mengeluh, bergerak, lalu bangkit duduk!

Kiranya Kui Lan Nikouw yang pingsan karena sambaran hawa pukulan kedua orang kakek sakti ketika ia menyelamatkan Bu Sin, sekarang oleh Bu Kek Siansu diobati dengan hawa pukulan yang sama, yaitu kakek sakti ini “memindahkan” hawa pukulan dua orang kakek aneh itu ke tubuh Kui Lan Nikouw dan karenanya pendeta wanita ini segera sembuh kembali. Setelah menyembuhkan Kui Lan Nikouw, Bu Kek Siansu lalu bangkit berdiri dan menghadapi dua orang kakek aneh itu kembali.

“Cukupkah kalian memukul? Belum puaskah nafsumu?”

Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong saling pandang dengan mata terbelalak. Apakah ilmu

bersambung..................9

0 komentar:

Posting Komentar