"Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada
mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya
temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor."
Sepasang
alis Maya berkerut. "Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari
dia sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap
hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai
keadaan kita."
Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan
di antara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang perwiranya
mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para
perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan
seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena ke mana saja
Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua
perajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi,
biarpun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para
pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang
dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian
lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga,
bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian banyaknya?' Kalau
dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah mungkin
karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang
menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan di antara para
perajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui
sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.
"Cia-ciangkun,
jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja," kata
Kwa-huciang, kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang
baru itu.
"Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng," bantah Maya
mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu tersinggung.
"Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat
ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri."
"Hahhh....?" Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
"Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?" tanya Kim Seng.
Maya
tersenyum, "Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar
sarang. Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah
kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan
panglima dari sebuah pasukan. Mari kita ke sana!"
Akan tetapi ketika
dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal
Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para
pengawal yang bertugas menjaga di luar pintu kemah, masih berdiri tegak
dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang
memasuki kemah itu.
Selagi para perwira mengerutkan alis dan
memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka
diam, matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut tanda
bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya.
Tiba-tiba wanita
sakti inl berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi
isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas. Bekas penggembala domba
ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya,
tentu dia tidak akan tahu. Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian
itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing
di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga,
tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan
memandang Maya yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim
Seng dan berserulah ia nyaring,
"Mata-mata keparat turunlah!" Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
"Brettt!"
Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas
melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng
yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke
arah tubuh yang melayang turun.
"Cringgg....!" Dua pedang bertemu dan
tangan Kim Seng tergetar. Laki-laki yang melayang turun itu dalam
keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng,
bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur
cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya.
Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh
disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandian Kim
Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran
hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat dengan matanya. Setiap
gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar
oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur
dengan pedang di tangan.
Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama
sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi,
kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari
wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
"Engkaukah yang bernama Maya?"
Maya
sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki
ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali,
mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki
tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan
memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin, "Akulah
Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!"
Tiba-tiba
laki-laki itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar
tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang
berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita
seperti dewi. Maya...., Maya...., tadinya kukira mengenal nama ini....
hemm, apakah engkau puteri...."
Maya memotong dengan suara tajam
seperti pedang menyambar, "Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian
bicara! Engkau siapakah dan menaapa engkau menyelundup seperti maling ke
sini?"
"Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki,
di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan
aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan
hendak menyaksikan sampai di mana kebenaran nama besar Maya yang katanya
lihai seperti dewi!"
Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini
ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang di
antara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya,
akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara
dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi
menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui
bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang
memberontak terhadap Kerajaan Sung.
"Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk ke sini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?"
Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru, "Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...."
"Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?"
Wajah
yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara
berduka, "Subo.... Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau
berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja
Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping kuburan Suhu...."
Wajah
Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking
bencinya kepada orang Mongol. "Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...."
Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk. "Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit...."
Maya
mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia
menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang
kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan, agaknya
terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika mendengar
pemimpin mereka menyebut "bibi" kepada pendekar sakti wanita Mutiara
Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya
memandang mereka dan berkata,
"Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku
adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena
itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol
yang biadab! Adapun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam."
Sebelas
orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan
penuh hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu
Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari
Mutiara Hitam!
"Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan."
Maya
mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan
ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja di sana tidak ada Ji Kun
dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya.
Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
"Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima di sini, lalu.... engkau mau apa?"
"Heh-heh-heh,
tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima
Maya dan ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa
hanya engkaulah sebenarnya orang itu, hemmm...., baiklah aku pergi
saja!"
"Tahan!" Maya membentak, menahan kemarahannya. Dia marah
sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapapun juga, Ji Kun
adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di
samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia
bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan
bagi terlaksananya cita-citanya.
Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh. "Engkau mau apa?" tanyanya, sikapnya congkak sekali.
"Can
Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau
menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari
kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau
mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji,
Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan
kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku
patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah,
engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang
di antara pembantu-pembantuku. Bagaimana?" "Li-ciangkun! Mana bisa
diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan
Pasukan Maut!" Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain
menjadi gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,
"Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?"
Melihat
para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang
berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah,
sudah berkata sambil tertawa, "Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali.
Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang
perwiramu ini aku tentu akan menang!"
"Sombong!" bentak Kim Seng dan bersama sepuluh orang rekannya ia sudah melangkah maju.
"Menggelindinglah
kalian!" Tiba-tiba Can Ji Kun membentak, tubuhnya berputaran seperti
gasing, kedua tangannya mendorong dengan tenaga sin-kangnya yang ampuh.
Kim Seng kena disambar pukulan sin-kang, terhuyung-huyung ke belakang
sedangkan sepuluh orang perwira lainnya terguling roboh!
Kesombongan
Ji Kun menjadi-jadi dan ia tertawa bergelak. "Ji Kun, ternyata engkau
hanya mewarisi kepandaian Bibi, tidak mewarisi wataknya yang gagah!"
bentak Maya. "Majulah!"
Ji Kun berseru nyaring, kini kedua lengannya
dilonjorkan mengirim, pukulan sin-kang ke arah Maya. Maya mengerahkan
sin-kangnya, tangan kiri masih bertolak pinggang dan dia hanya menyambut
dorongan kedua tangan Ji Kun dengan tangan kanannya.
"Desss!" dua
tenaga sin-kang raksasa bertemu di udara dan akibatnya tubuh Ji Kun
terdorong ke belakang sampai dua langkah! Dia terkejut sekali, cepat
menahan napas mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin yang menyesak
dada sambil memandang dengan mata terbelalak. Maya masih berdiri
bertolak pinggang dan tersenyum mengejek. Para perwira yang maklum bahwa
yang bertanding adalah ahli-ahli tingkat tinggi, mengundurkan diri
mepet pada kemah dan menonton dengan mata di buka lebar-lebar, tentu
saja dengan hasrat hati ingin melihat panglima mereka menang.
Can Ji
Kun merasa penasaran sekali. Sin-kangnya amat kuat dan semenjak ia
berpisah dari sumoinya, turun gunung dan malang-melintang di dunia
kang-ouw menggegerkan dunia penjahat karena kelihaian dan kekerasannya
yang tidak mengenal ampun, tidak pernah ada lawan yang mampu menandingi
kekuatan sinkangnya, apalagi ilmu pedangnya. Akan tetapi dorongan kedua
tangannya hanya dilawan dengan sebelah tangan saja oleh Puteri Khitan
ini dan dia kalah tenaga! Dengan marah dan penasaran dia lalu menerjang
maju, kedua tangannya bergerak cepat dan kuat, tulang-tulang lengannya
mengeluarkan bunyi berkerotakan ketika sin-kangnya bekerja.
"Wut-wut....
plak-plak....!" Untuk kedua kalinya tubuh Ji Kun terlempar ke belakang,
kini malah sampai lima langkah dan hampir saja ia jatuh. Kedua
lengannya yang bergerak cepat melakukan pukulan-pukulan dahsyat tadi
kena ditangkis oleh sepasang lengan yang lunak halus itu namun yang
mengandung tenaga mujijat yang membuatnya tergetar, kedinginan dan
terhuyung ke belakang hampir jatuh.
Rasa penasaran dan malu membuat
Ji Kun marah sekali. Keangkuhannya tersinggung, dan dia mengeluarkan
suara pekik melengking, kemudian tubuhnya bergerak aneh dan cepat,
menerjang maju dan menyerang Maya yang masih berdiri tersenyum-senyum.
Biarpun mulutnya tersenyum, akan tetapi Maya bersikap tenang dan
hati-hati sekali menyaksikan gerak serangan yang dahsyat itu. Jurus
serangan yang dilakukan Ji Kun benar-benar berbahaya sekali. Sepuluh
buah jari tangan pemuda itu bergerak-gerak melakukan totokan dan
cengkeraman. Itulah jurus yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Meracuni Darah
Melepaskan Tulang) dari ilmu silat yang paling luar biasa dari Mutiara
Hitam, yaitu Capsha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti)! Menghadapi
serangan ini, Maya maklum bahwa dia tidak boleh lengah. Dia lalu
mempergunakan gin-kangnya, tubuhnya berkelebat cepat sekali, mengelak ke
sana-sini kemudian kedua lengannya diputar di depan badan sehingga
tampak gulungan sinar biru dari warna lengan bajunya, membentuk payung
yang menolak dan menangkis semua serangan lawan.
Ji Kun makin marah
dan tiba-tiba ia merobah gerakannya. Sekali ini memutar tubuhnya seperti
tadi ketika ia merobohkan sebelas orang perwira sekaligus, tubuhnya
berputar seperti gasing mengejar lawan dan dari putaran itu
kadang-kadang kedua tangannya mengirim pukulan-pukulan berbahaya yang
tak tersangka-sangka. Inilah jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Bepusing
Mengeluarkan Kilat), juga sebuah di antara Tiga Belas Jurus Sakti!
Maya
terkejut sekali. Akan tetapi dia adalah murid Bu Kek Siansu yang sudah
digembleng secara tekun dan hebat oleh Kam Han Ki, maka menghadapi jurus
aneh ini dia tidak menjadi bingung. Dia berdiri tegak, tidak
menghiraukan bayangan tubuh lawan yang berpusing itu, hanya pada waktu
tampak berkelebatnya lengan tangan dari putaran itu menyambar, dia
memapaki dengan telapak tangannya, menggunakan dorongan dengan tenaga
saktinya. Ketika Ji Kun terpaksa mengakhiri jurus ini karena tidak
mempan terhadap lawannya yang lihai, tiba-tiba tubuh Maya berkelebat
lenyap dari depannya. Sebagai murid seorang sakti, Ji Kun maklum bahwa
lawannya menggunakan gin-kang yang amat hebat, yang lebih tinggi
daripada tingkatnya sendiri, maka cepat ia membalikkan tubuh. Dan memang
benar, tahu-tahu Maya telah berada di belakangnya. Cepat Ji Kun
melakukan gerakan menangkis, akan tetapi Maya mengeluarkan bentakan
menggeledek yang menggetarkan seluruh ruangan itu, bahkan sebelas orang
perwiranya seketika merasa kakinya lumpuh dan jatuh berlutut, sedangkan
Ji Kun yang menangkis tadi terdorong ke belakang dan hampir saja ia
roboh terbanting kalau tidak cepat-cepat meloncat ke atas dan
berjungkir-balik. Dia tidak jatuh, akan tetapi wajahnya sebentar pucat
sebentar merah dan tiba-tiba tampak sinar kilat menyilaukan mata ketika
murid Mutiara Hitam ini sudah mencabut pedangnya!
Melihat ini, Maya
terkejut sekali dan menegur, Ji Kun, perlukah pibu dilanjutkan dengan
senjata? Belum terbukakah matamu bahwa tingkat kepandaianku sekarang ini
takkan terlawan olehmu dan mungkin hanya mendiang Bibi Mutiara Hitam
saja yang akan dapat menandingiku?"
"Kalau kau belum mengalahkan pedangku, aku tetap belum mengaku kalah, Maya!" jawab Can Ji Kun dengan keras kepala.
Maya
menghela napas. Untuk mendapatkan seorang sehebat ini memang tidak
mudah. Dia maklum bahwa biarpun kepandaian Ji Kun amat tinggi, namun
ilmu silatnya masih berada di atas tingkat Ji Kun, demikian pula
gin-kang dan sinkangnya. Hanya melihat pedang itu, dia merasa ngeri.
"Pedangmu
dahsyat dan mengandung hawa kejam, Ji Kun. Akan tetapi jangan kira
bahwa aku takut menghadapi pedangmu. Marilah!" Maya menggerakkan tangan
kanannya dan dia sudah mencabut pedang panjangnya, pedang panglima yang
ia terima sebagai pemberian Bu-taiciangkun sendiri. Sebuah pedang yang
amat baik, terbuat daripada baja biru, akan tetapi bukanlah pedang
pusaka seperti yang berada di tangan Ji Kun.
"Awaslah terhadap
seranganku ini, Maya!" Ji Kun berseru dan tubuhnya menerjang maju,
didahului oleh sinar putih yang menyilaukan mata dari pedangnya.
Maya
tidak menjawab, melainkan mengelak jauh ke kiri sambil mengelebatkan
pedangnya menusuk mata kaki lawan. Serangan seperti ini hanya dilakukan
oleh seorang ahli pedang yang sudah tinggi tingkatnya sehingga Ji Kun
cepat-cepat meloncat dan pedangnya sudah meluncur ke dada Maya. Ji Kun
mengerti bahwa entah siapa yang menjadi guru Maya, mungkin sekali
Menteri Kam Liong yang ia dengar memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi dari Mutiara Hitam, maka diapun mengerahkan seluruh tenaga dan
mainkan Ilmu Pedang Lan-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan) yang
merupakan perpaduan dari Siang-bhok-kiam dari Mutiara Hitam dan
Pek-kong-To-hoat dari Tang Hauw Lam. Dia sama sekali tidak pernah mimpi
bahwa biarpun dalam hal pengalaman masih kalah jauh oleh Menteri Kam
Liong, namun dalam hal ilmu silat, tingkat Maya malah lebih tinggi
daripada tingkat menteri putera Suling Emas itu karena dara ini adalah
penghuni, Istana Pulau Es, murid tidak langsung dari Bu Kek Siansu!
Menghadapi
ilmu pedang yang dimainkan Ji Kun demikian dahsyatnya, diam-diam Maya
kagum sekali dan memuji kepandaian bibinya, maka ia bersikap tenang.
Terutama sekali pedang pusaka di tangan Ji Kun membuat ia ngeri. Pedang
itu mengeluarkan hawa maut yang menggetar dan dingin sekali. Kalau saja
sin-kangnya tidak sudah amat kuat, agaknya dia akan terpengaruh oleh
getaran itu yang akan mengacaukanpermainan pedangnya. Dia pun tak berani
mengadukan pedangnya dengan pedang lawan, dan ketika Ji Kun mendesaknya
sedemikian rupa sehingga terpaksa sekali Maya mengelebatkan pedang
menangkis, tak tercegah lagi kedua pedang bertemu.
"Takkk!" Maya
terkejut bukan main karena pedangnya itu melekat pada pedang Ji Kun yang
seolah-olah mempunyai daya tarik atau daya sedot yang mujijat! Dan
kesempatan ini dipergunakan Ji Kun untuk menggerakkan pedang ke bawah,
membacok kepala Maya! Maya mengelak cepat.
"Breet!" Robek dan
putuslah ujung pundak baju panglima wanita itu. Dia melompat mundur, Ji
Kun tersenyum girang dan mendesak terus. Kini Maya mengerti bahwa pedang
pusaka itu selain mempunyai wibawa ampuh, juga mempunyai daya menyedot.
Pengetahuan ini membuat dia memutar otak mencari akal.
Ketika untuk
kesekian kalinya sinar pedang yang ampuh itu terus mendesaknya dan
mengirim tusukan, kembali ia menangkis. Kalau dibacok, dia tidak berani
menangkis karena pertemuan langsung itu mungkin sekali akan merusakkan
pedangnya. Akan tetapi kalau hanya tusukan, dia berani menangkis dari
samping. Dia sengaja menangkis dari atas sehingga ketika pedangnya
tersedot dan menempel, pedangnya berada di atas pedang lawan dan sebelum
Ji Kun melanjutkan pedangnya untuk mengirim serangan mendadak,. Maya
telah mendorongkan tangan kirinya dengan pengerahan tenaga sin-kang yang
membentuk hawa pukulan dingin. Inilah pukulan inti es yang hebatnya
bukan kepalang, yang oleh Han Ki disebut pukulan Swat-im Sin-jiu!
Tubuh
Ji Kun seperti terkena aliran halilintar, menggigil dan pedangnya
terlepas dari tangannya. Dia berusaha mempertahankan diri namun ia hanya
dapat mencegah tubuhnya terguling, dan hanya jatuh duduk dengan muka
pucat! Cepat ia bersila dan memejamkan matanya, mengerahkan hawa murni
untuk melindungi isi dadanya yang terserang hawa dingin luar biasa.
Semua perwira bengong terlongong dan tidak ada yang bergerak, semua
terpesona oleh pertandingan yang sedemikian hebatnya, yang belum pernah
mereka saksikan selama hidup mereka.
Maya menyimpan pedangnya,
membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan
tangannya menggigil. "Bukan main....!" serunya sambil menggeleng kepala.
Memegang pedang itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan
mengeluarkan hawa maut yang amat kejam!
Can Ji Kun membuka matanya
dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa
ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu
melangkah maju dan menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata,
"Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini."
Bayangan
khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia
menerima pedangnya. Ia bangkit berdiri,menyimpan pedangnya dan berkata,
"Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo."
"Ahhh....
sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu," kata Maya
perlahan, kemudian sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia
bertanya "Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah engkau akan memenuhi janji
dan membayar taruhanmu?"
Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab,
"Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik dari Suhu
dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan
mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."
Sebelas
orang perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan
pemuda itu saking girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi
diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia akui bahwa kepandaiannya
tidak dapat menandingi dara itu!
"Ji Kun, mulai sekarang engkau
menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang.
Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan
sumoimu, Ok Yan Hwa. Di manakah dia sekarang?"
Diingatkan kepada Ok
Yan Hwa, sumoinya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga
musuhnya (betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram. "Aku
tidak tahu. Kami saling berpisah setelah Suhu meninggal dunia dan turun
gunung."
Mungkin karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit,
semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati orang dengan melihat
wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua murid bibinya itu
dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan hati pembantu
barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak. Pada keesokan
harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan
yang menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di
tapal batas, yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan
Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah
lebih dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara
Yucen! Bala tentara Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat,
terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung
yang bergerak dari selatan!
Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua
belas orang pembantunya. "Karena sudah jelas bahwa barisan Mancu yang
menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku
akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan
tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih
menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh
orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"
"Baik!"
jawab Can Ji Kun yang segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang,
membawa surat laporan Maya dan berangkat pada hari itu juga ke timur.
Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke barat.
"Sayang kita tidak tahu pasti ke mana mundurnya barisan Mancu dan di antara kita tidak ada yang mengenal baik daerah ini."
"Li-ciangkun,
harap jangan khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya
tidak akan keliru kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke
selatan."
Maya tercengang. Banyak hal yang aneh dan tidak
tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala domba ini! "Mengapa kau
berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak terdapat
barisan Sung?"
"Jalan mundur satu-satunya yang paling lemah dijaga
musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan dengan barisan Yucen yang
kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat terdapat
pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan
Sung, akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin lemah daripada
menghadapi barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi pasukan
Sung. Maka kiranya tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa
barisan Mancu itu tentu mengundurkan diri ke selatan."
Maya
mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si
Penggembala domba ini memiliki pemandangan yang luas dan cerdik.
"Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke selatan."
Berangkatlah
pasukan itu pada keesokan harinya, menuju ke selatan dan ketika para
penyelidik memberi pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa
pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke selatan, Maya makin kagum
terhadap pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat
sunyi, karena sebagian besar penduduk mengungsi dari daerah yang dilanda
perang itu.
Kita kembali mengikuti perjalanan dan pengalaman Khu
Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu gerak tangan kilat dan
gerak kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung dan lengan
kirinya juga buntung. Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah ilmu
rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini
memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari
kakek itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja
Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan
ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacat saja sudah begitu hebat,
apalagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya,
juga telah memiliki dasar ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih tinggi
pula. Disamping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu
itu!
"Bagus! Li-hiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna!
Andaikata aku sendiri yang melatih dengan kaki tangan utuh, belum tentu
dapat sesempurna ini!" Lu Gak, demikian nama kakek itu, tertawa puas.
Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali
ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras,
siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk
sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan
napasnya memburu.
"Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat."
"Baiklah....
baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa
mengambil tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal
nenek moyang kami kedua pihak di mana terdapat pula kuburan mereka
berdua itu. Engkau wakililah aku Li-hiap, mendamaikan mereka dengan
mengalahkan mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata
terpejam."
"Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan
lancar," jawab Siauw Bwee dan hatinya lega menyaksikan kakek itu dapat
tidur pulas di dalam pondok. Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu
kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan satu, namun
tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke
atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan
mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum
kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada
keesokan harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan, telah berkumpul
seluruh anggauta kaum kaki buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan
kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka dipimpin oleh
ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le
si lengan buntung. Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak
mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak yang lebih
banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan
tahun depan, akan tetapi adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat
sehingga semua anggauta saling serang merupakan perang kecil yang akan
merobohkan banyak korban di kedua pihak.
Kedua pihak telah mengajukan
lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum
pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah
meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak
akan tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik
sebuah batu besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir
kalau-kalau kemunculannya akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi
kakek ini amatlah penting, merupakan tugas hidupnya!
Melihat
munculnya Siauw Bwee, yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan
keduanya dara ini pernah bentrok, Kedua kaum cacat itu menjadi terkejut
dan marah.
"Bocah pengecut!" Bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu
karena tadinya ia merasa menyesal telah "membunuh" gadis ini dan yang
ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin kacau anak
buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak
melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun itupun tidak
mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang ilmunya
tinggi itu berada di situ!
"Mau apa engkau?" bentak The Bian Lee dan
kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena
teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak
berpihak kepada siapapun.
Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan suara bernada dingin,
"Kalian
ini orang-orang tua, sudah bercacat tubuhnya akan tetapi masih selalu
dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian seperti hidup di neraka
dan selalu, haus darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian
ini adalah keturunan saudara-saudara seperguruan dan kepandaian kalian
berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini masih juga
dilanjutkan?"
"Eh, bocah setan. Mau apa engkau mencampuri urusan
kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu?"
bentak Liong Ki Bok.
"Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan denganmu!" bentak pula The Bian Le.
Siauw
Bwee tertawa, "Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa
kalian tidak semestinya saling bermusuh. Begitu ada orang luar
mencampuri, kalian besikap seperti hendak bersatu! Alangkah akan baik
dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu memenuhi kekurangan
yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai kalian dapat
saling tolong-menolong?"
"Banyak cerewet!" The Bian Le berteriak,
"Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak boleh
mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara
kami musnah, barulah akan terhenti!"
"Wah, wah! Memang aku tahu bahwa
ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang
baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk
menjadi murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki!
Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang
didapat hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam
antara saudara sendiri!"
"Engkau terlalu menghina kami!" teriak Liong Ki Bok.
"Perempuan keparat!" The Bian Le membentak.
Siauw
Bwee mengangkat kedua tangan ke atas. "Disuruh damai secara baik-baik,
tidak sudi, memang seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik
kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja mengorbankan kaki tangan
untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri
dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua gila! Kalau aku
kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan permusuhan gila ini
sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanak-kanak
kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan
merobah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk
bersatu mengalahkan aku kalau bisa!"
Dua orang ketua itu tertegun.
Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka
berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi
sehingga memperlengkap kekurangan mereka.
"Nona, jangan main-main!" teriak Liong Ki Bok.
"Engkau mencari mampus!" teriak pula The Bian Le.
"Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?"
"Keparat! Siapa takut?" Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
"Kalau begitu, kalian menerima taruhanku?" tanya Siauw Bwee dengan girang.
Kedua
orang ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat
keduanya menjadi marah sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada
saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
"Aku terima!" kata Liong KI Bok.
"Marilah!" kata The Bian Le.
"Bagus! Nah, seranglah!" Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.
Liong
Ki Bok sudah menggerakkan kedua tangannya, yang kiri mencengkeram
disusul totokan tongkat. Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah
menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah
menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan yang
dahsyat! Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka
dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia
mengelak sambil tertawa mengejek. Makin diserang, makin cepat ia
mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu
menjadi makin marah. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya
serangan tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan kedua tangannya seperti
berubah menjadi delapan buah saking cepatnya. Demikian pula, The Bian Le
seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang menghujankan tendangan
dengan gerak, kaki yang indah dan rapi.
"Duk!" Kedua orang ketua itu
terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki
tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal
lengan satu The Bian Le sudah kena ditepuk!
"Nah, bukankah ilmu
kalian seperti ilmu kanak-kanak?" Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak
karena kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh
kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak,
mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan pemecahan rahasia kedua ilmu
mereka.
Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka
segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan kini bahkan serangan mereka
seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya
setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan
gerakan mereka! Setelah bertanding selama seratus jurus, akhirnya dengan
gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat mereka
secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua
itu mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh!
Siauw Bwee bertolak pinggang. "Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?"
Liong
Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan
alis berkerut. Siauw Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang
segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum cacat itu menjadi marah dan
mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua
mereka membentak mereka supaya mundur.
"Aku mengaku kalah. Nona lihai
sekali, akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak
tangan kilat kami?" kata Liong Ki Bok.
"Hal itu tidak perlu
dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus
memenuhi janji untuk menghentikan permusuhan!"
Tiba-tiba The Bian Le
berseru, "Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu
mengaku kalah. Sampai lain tahun!" Dan ia sudah berlari pergi diikuti
dua puluh sembilan orang anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan
penasaran!
"Kami memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk
kali ini!" kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan pergi diikuti
semua anak buahnya.
Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh.
Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya berhasil
menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil
menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus
dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras
dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan
melihat Lu Gak roboh dengan mata mendelik!
"Lu-locianpwe!" Siauw
Bwee cepat memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa
kakek itu terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu
memondong tubuh yang hanya berlengan satu itu, membawanya lari kembali
ke pondok Lu Gak. Kakek itu setelah sadar lalu mengeluh panjang dan
menggeleng kepalanya.
"Keras kepala.... keras kepala mereka itu.... Li-hiap....!"
"Aku
akan menghajar mereka, Locianpwe. Akan kupaksa mereka!" Siauw Bwee
berkata gemas, maklum bahwa kakek ini merasa berduka sekali ketika tadi
menyaksikan betapa kedua kaum itu masih saja tidak mau menghentikan
permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah gagal!
Akan tetapi,
dengan napas terengah-engah kakek itu berkata, "Percuma, Lihiap....!
Ahh....! Kiranya hanya Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati
mereka dan membuka mata mereka bahwa semua permusuhan dan dendam itu
amatlah tidak baik...."
"Tenanglah, Locianpwe. Yang paling penting
Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahan-lahan kita mencari
akal. Percayalah, aku akan membantumu."
"Aihh, kau baik sekali,
Li-hiap. Akan tetapi mereka, aahhh...." Dan kakek itu lalu menangis
terisak-isak! Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega
meninggalkan kakek itu yang telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa
kepadanya. Dengan sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita
sakit itu.
Tiga hari kemudian, selagi Siauw Bwee menggodok obat untuk
Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar pondok.
Siauw Bwee segera meloncat keluar dan tampaklah semua anggauta kedua
kaum bercacat itu berkumpul di luar pondok dan saling memaki,
"Sudah
jelas betapa rendah dan curangnya Si Lengan Buntung!" teriak seorang
nenek berkaki buntung sambil menudingkan tongkatnya ke arah kelompok
lengan buntung yang memandang marah. "Siapa lagi kalau bukan kalian yang
menculik ketua kami dengan bantuan gadis setan itu? Orang she Lu adalah
seorang di antara kaummu, tentu membantu kalian!"
"Tutup mulutmu
yang kotor!" bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan
telunjuk lengan tunggalnya kepada rombongan kaki buntung, "Gadis itu
pernah berada di tempat kalian, tentu dia telah membantu kalian menculik
ketua kami!"
Mendengar ini Siauw Bwee yang baru keluar berseru, "Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?"
Semua
orang menengok dan ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando
saja mereka kedua pihak telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee.
Dara
perkasa ini terkejut dan heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya
berkelebat ke depan, menyambar-nyambar laksana burung walet menyambar
sekumpulan laron sehingga terdengarlah orang-orang mengaduh disusul
robohnya belasan orang berturut-turut! Untung bagi mereka bahwa Siauw
Bwee masih menaruh kasihan, menganggap mereka itu orang-orang keras
kepala yang bodoh dan dimabok dendam, maka dia masih menahan tenaganya
dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.
"Tahan.... Apakah kalian telah gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua....!"
Siauw
Bwee melompat kedekat pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk
di depan pintu, menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua
orang kedua kaum cacat itu memandang Lu Gak dan seorang kakek lengan
buntung berkata,
"Lu-supek, Suhu The Bian Le telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona ini?"
"Juga ketua kami diculik oleh Nona ini!" berkata seorang tokoh kaki buntung.
Lu
Gak menggeleng-gelengkan kepalanya, "Hemm.... kalian sudah gila semua,
gila oleh dendam permusuhan sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan
secara membabi-buta. Apakah kalian melihat sendiri Khu-lihiap menculik
kedua orang ketua kalian?"
"Kemarin pagi ketua kami menyatakan hendak
mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat rawa melawan
ketua lengan buntung," demikian kakek yang berkaki buntung bercerita,
"Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan diantara
kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui oleh Nona ini
yang melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang,
maka terpaksa kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami
tiba di dekat rawa, kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga
mencari ketua mereka. Akan tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan
lengan baju yang buntung dari ketua lengan buntung dan tongkat ketua
kami. Karena tidak kelihatan mayat di situ, berarti ketua kami diculik
dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan Nona ini?"
Tiba-tiba
Siauw Bwee melangkah maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis
melangkah mundur. Mereka jerih terhadap Siauw Bwee yang luar biasa
lihainya. "Permusuhan di antara kalian telah menimbulkan banyak
malapetaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah satu-satunya orang
yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha mendamaikan dan
apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua kakinya! Padahal
dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah jalan
yang benar penuh damai. Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan
kalian datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak
ingat betapa besar rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang
gila, agaknya aku akan senang untuk membunuh kalian semua seperti
membasmi lalat-lalat busuk yang hanya mengotori dunia! Sekarang agaknya
Thian sendiri yang menghukum kalian sehingga ketua kalian lenyap diculik
orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku berjanji untuk
membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka bersumpah untuk
menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari mereka?"
Orang-orang kedua rombongan saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.
"Ingat,
orang yang dapat menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian
tinggi. Aku akan berusaha mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua
kalian, Akan tetapi bersumpahlah lebih dulu bahwa semenjak saat ini,
semua dendam di antara kalian telah habis dan kalian tidak akan saling
bermusuhan lagi, bagaimana, sanggupkah?"
Hening sejenak dan terdengar
mereka semua berbisik -bisik. Kemudian, kakek kaki buntung melapor
teman-temannya, "Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup
asal ketua kami diselamatkan!"
Siauw Bwee tersenyum. Memang pihak
kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya,
"Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan
mencari dan menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!"
"Kami....
kami sanggup dan bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua
kami diselamatkan!" Akhirnya nenek lengan buntung berseru.
Siauw Bwee
masih belum puas. Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan di
antara mereka dan siapa tahu kalau nanti ketua mereka telah berada di
tengah mereka, permusuhan akan dilanjutkan.
"Bagaimana kalau kelak ternyata bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan permusuhan?"
Hening
pula sejenak dan tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi
mendengarkan penuh perhatian berkata, "Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu
bodohkah kalian menaati kehendak ketua kalian yang sudah gila? Kalau
ternyata mereka masih nekat saling bermusuhan dan tidak menaati janji
dengan Khu-lihiap, kita hancurkan saja mereka yang menjadi sarang dan
bibit permusuhan."
"Akurr....!" Kini semua anggauta kedua kaum itu berteriak.
Wajah Siauw Bwee berseri, "Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap meninggalkan lengan baju dan tongkat!"
Berangkatlah
mereka menuju ke rawa di mana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok
burung-burung liar. Ketika mereka tiba di tepi rawa di mana mereka
menemukan tongkat Liong Ki Bok dan lengan baju The Bian Le, Siauw Bwee
memandang ke sekitarnya dan dia mengerutkan kening. Rawa itu amat luas
dan tidak tampak tempat yang kiranya dapat dipergunakan sebagai tempat
tinggal orang yang menculik kedua orang ketua itu. Dia merasa heran dan
menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik, tentu tidak
disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat. Tempat
terbuka. luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan orang? Dia
memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini
merupakan tempat sarang maut dan teringatlah penuh kengerian akan dua
orang temannya yang juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok
burung, yaitu Cia Cen Thok si bekas "mayat hidup" dan pemuda Co-bi-san
yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu mereka itu telah tewas dimakan
burung atau tenggelam di dalam rawa atau.... dikeroyok ular. Siauw Bwee
bergidik.
"Li-hiap, ke mana sekarang kita mencari mereka?" Tiba-tiba
nenek lengan buntung bertanya dan semua orang kini memandang kepada
Siauw Bwee.
Siauw Bwee menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus
menjawab. Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka yang
sejak tadi mengerutkan alisnya dan memandangi daerah rawa yang luas,
berkata,
"Ahh, aku tahu! Tidak salah lagi....!"
Semua orang kini memandang kakek itu dan Siauw Bwee bertanya, "Di mana mereka menurut pendapatmu, Locianpwe?"
Semua
orang diam mendengarkan jawaban kakek itu, "Kedua orang sute itu kalau
diculik orang tentu disembunyikan di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin
dipergunakan untuk maksud itu dan satu-satunya tempat yang paling tepat
tentulah di kuil tua!"
Orang-orang kedua kaum cacat itu saling
pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai kelihatan murung
dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu,
kecuali jika diadakan pibu! Namun, melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak
pergi menuju ke kuil tua, mereka mengikuti dari belakang.
"Lihat itu....! Siauw Bwee berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda beterbangan di atas kuil.
"Kelelawar-kelelawar
siang!" Anggauta kedua rombongan berteriak kaget dan seketika
menghentikan langkah. Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah
cepat bergerak ke arah kuil. Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan
tetapi dengan wajah takut-takut.
Siauw Bwee lebih dulu tiba di kuil
dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menambus ke
halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang
mengejutkan hatinya. Dua orang kakek itu, Liong Ki Bok dan The Bian Le,
rebah telentang di atas rumput, agaknya terluka dan tertotok, terbelalak
memandang ke arah ratusan kelelawar yang beterbangan di atas dan
mengeluarkan suara seperti sekumpulan anjing dan kera berkelahi, siap
untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak berdaya itu! Melihat ini,
Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat
mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini, Siauw
Bwee teringat dan melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan
tenaga khi-kang, ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan
mengandung getaran hebat. Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi
panik dan cepat melarikan diri dengan terbang membumbung tinggi sambil
cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu makin bingung, bahkan ada
yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara melengking yang
begitu dahsyatnya.
Tiba-tiba di luar kuil terdengar suara
tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan suara
gedebak-gedebuk orang berkelahi.
"Locianpwe, harap menjaga agar
binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu
memaksa diri. Aku akan melihat keluar!" Tubuh dara perkasa itu sudah
berkelebat keluar kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak
keheranan. Puluhan orang-orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung
itu sedang diamuk oleh dua orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh
serta lihai bukan main! Sudah belasan orang anggauta kedua kaum itu
roboh tewas, banyak pula yang terluka dan kedua orang itu mengamuk
sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja rawa! Lebih
banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa kelelawar!" teriak
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat
saja, tubuhnya penuh lumpur.
"Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran rawa-rawa!"
Siauw
Bwee menahan napas melihat orang ke dua itu, yang pakaiannya
robek-robek tidak karuan hampir telanjang dan seperti orang pertama
rambutnya riap-riapan tubuhnya penuh lumpur dan mata mereka itu merah
dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian mereka luar biasa
sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja akan tetapi setiap
tangan mereka bertemu dengan anggauta-anggauta kedua kaum yang
mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!
"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun
....!" Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran. "Semua
orang mundur, jangan melawan mereka!" Mendengar seruan ini dan karena
memang takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu, anak
buah kedua kaum cacat itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya
Siauw Bwee saja yang berhadapan dengan dua orang gila. ia menoleh dan
berkata kepada orang-orang itu. "Ketua kalian selamat, di halaman
belakang!" Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.
"Cia Cen
Thok, Liem Hok Sun, apa yang kalian lakukan ini?" Siauw Bwee
memberanikan diri menegur dengan hati gentar dan ngeri karena dia dapat
menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak waras lagi dan tidak normal.
"Ha-ha-ha!" Kedua orang itu tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.
"Cia Cen Thok! Liem Hok Sun! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!"
"Ha-ha-ha!
Korban lunak untuk para dewa kelelawar!" Tiba-tiba Cia Cen Thok yang
tertawa-tawa itu menyerang hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak.
Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu tercium bau amis. Tangan beracun!
Bahkan tubuh mereka semua beracun! Siauw Bwee dapat menduga bahwa
agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri dari
pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan
kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain gila, tubuh
mereka menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua
orang gila itu telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan
dahsyat sekali!
Pada saat Siauw Bwee mengelak dan mengandalkan-
gin-kangnya agar jangan sampai kulit tubuhnya tersentuh tangan-tangan
beracun itu, para anggauta kedua kaum telah memapah keluar ketua mereka,
mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil
menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka tidak membantu
karena ketua mereka berkata, "Dua orang itu korban kelelawar, tubuh
mereka beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan
mereka!"
Siauw Bwee harus menggunakan seluruh kepandaiannya
menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu. Yang menyulitkannya adalah
bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena maklum bahwa dua
orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa mungkin dia
tega untuk membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena kedua orang
itu menyerangnya dengan nafsu membunuh, setelah menjadi korban gigitan
kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga
gerakan mereka menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai
daripada sebelum gila.
Bukan main ramai dan serunya pertandingan
itu. Biarpun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali,
akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa
bagian pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet
cakaran tangan Hok Sun sehingga mengeluarkan darah. Rasa gatal dan panas
pada pundaknya membuat Siauw Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun.
Terpaksa dia harus mengerahkan sin-kangnya dan dengan hawa murni itu
dia mendesak hawa beracun di pundaknya sehingga tidak menjalar lebih
luas. Ketika ia agak lengah karena melirik ke arah pundak kirinya,
tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok dengan tendangan yang merupakan
jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya. "Desss!" Tubuh Siauw
Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah! Dua orang gila itu
terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan
seperti dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa
pahanya panas sekali, cepat ia menggunakan sin-kang melindungi darahnya
dan melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas, gila atau
tidak, mereka itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak
dia robohkan, tentu akhirnya dia sendiri yang celaka. Karena itu,
melihat mereka menubruk maju Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya dan
menyambut tubuh mereka dengan tendangan kedua kakinya!
"Bukk! Bukk!"
Dua
orang gila itu berteriak seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar
ke belakang dan mereka bergulingan menekan perut yang rasanya seperti
diremas-remas! Mereka kini meringis dan Siauw Bwee sudah melompat
bangun, kepalanya pening akibat bau racun dan tubuhnya agak terhuyung.
Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali melihat dua bekas lawan yang
gila itu meraung-raung kesakitan. Namun, kedua orang itu kini sudah
bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya.
Siauw Bwee
terkejut. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Dia harus membagi
sin-kang untuk melindungi tubuhnya dari kedua lukanya. Luka di kulit
pundak dan kulit pahanya. Tendangan Cen Thok tadi merobek celananya di
paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan keracunan pula bertemu dengan
kaki Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu sudah menyerbu lagi, ia
menguatkan hatinya, menggunakan Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan.
Tubuh
kedua orang gila itu seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka
mereka menjadi biru, tubuh mereka menggigil dan mereka bergulingan
sampai jauh kemudian berhasil merangkak bangun dan melarikan diri sambil
berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki
buntung dan seorang anggauta lengan buntung cepat menolongnya, memegang
kedua lengannya menuntunnya memasuki kuil tua.
"Lepaskan aku...." Siauw Bwee berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.
Para
anggauta kedua kaum itu mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersamadhi
menghimpun tenaga dan hawa murni untuk mengobati luka-lukanya dan
mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian Le memberi isyarat kepada
semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee. Mereka pergi ke
ruangan depan di mana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa
bersatu dan lenyaplah rasa permusuhan di antara mereka setelah kedua
pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir
mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan dami untuk mendamaikan
mereka!
Mereka tidak mau meninggalkan Siauw Bwee dan beberapa kali
kedua orang ketua itu menjenguk dan pergi lagi ketika melihat Siauw Bwee
masih tetap bersamadhi. Malam tiba dan para anggauta kedua kaum itu
menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu menjadi
tempat tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan. Kini
tampaklah suasana yang mengharukan di mana seorang kaki buntung dan
seorang lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu
halaman kuil! Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang
ramah-tamah, saling membicarakan kedua ilmu mereka, membuka rahasia
gerak kilat masing-masing!
Setelah malam tiba dan lampu penerangan
dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di pundak dan
pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah
karena ia terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran
racun-racun berbahaya itu dan ketika ia bangkit, ia mengeluh dan
terhuyung. Kemudian dengan terpincang-pincang ia dipapah dua orang
anggauta kaki buntung dan lengan buntung.
"Mana kedua ketua kalian?"
tanyanya ketika ia dipapah keluar. Kedua orang kakek itu sudah
menyambutnya dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw Bwee, mereka
berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu!
"Terima
kasih kami haturkan kepada Li-hiap yang sudah menolong kami!" kata The
Bian Le yang berlutut dan mengangkat sebelah tangannya ke depan dada
sebagai tanda penghormatan.
"Terima kasih sekali, terutama karena
Li-hiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah untuk
mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami
bersatu sebagai saudara-saudara seperguruan," kata Liong Ki Bok.
Bukan
main girangnya hati Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini,
biarpun ditebusnya dengan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang
karena mengingat betapa akan bahagianya rasa hati Kakek Lu Gak. Ia
menoleh ke kanan kiri dan bertanya,
"Mana dia?"
Dua orang ketua itu saling pandang, "Siapakah yang Li-hiap cari?" tanya Liong Ki Bok.
"Hemmm, betapa kalian telah melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian! Mana Locianpwe Lu Gak?"
"Ahh....!" Barulah semua orang teringat akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.
"Lekas,
jemput dia di pondoknya!" Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya
pincang itu menyuruh mereka karena dia sendiri masih terlalu lemah. Dua
orang kakek itu cepat pergi sendiri dan tak lama kemudian mereka datang
dengan wajah berduka sambil memanggul tubuh yang hanya berlengan satu
dan yang sudah tak bernyawa itu!
Hati yang duka dari Siauw Bwee
berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu
Gak. Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya
saking girangnya menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang
dengan hati girang dan rasa girang yang berlebihan menyerang jantungnya
dan membuatnya mati dalam keadaan penuh bahagia!
Jenazah Kakek Lu
dikubur di halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah, Siauw Bwee
berkata dalam pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh,
"Kuharap saja kalian akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak
lagi memupuk permusuhan dan membuntungi kaki dan lengan orang, dan
anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai lambang perdamaian abadi."
Siauw
Bwee diantar oleh semua anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu
itu, diberi pakaian, kuda dan bekal secukupnya. Kedua ketua itu
berlinang air mata ketika Siauw Bwee melambaikan tangan sebagai ucapan
selamat tinggal, meninggalkan tempat yang takkan dapat ia lupakan itu
karena di situ dia telah mengalami hal-hal yang hebat.
Setelah
meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan
mencari ibunya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya
ketika mendengar berita dari seorang perwira Sung bekas sahabat ayahnya
bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri mengungsi itu, telah meninggal
dunia karena sakit sesudah mendengar bahwa suaminya gugur. Siauw Bwee
sempat mengunjungi kuburan ibunya, bahkan dia berkabung dan menangisi
kuburan ibunya di dusun sunyi sampai beberapa hari, kemudian karena
mendengar keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang
memimpin barisan besar ke utara untuk melawan para pemberontak dan
pasukan-pasukan Mancu di perbatasan utara, dia lalu melanjutkan
perjalanannya menyusul ke utara. Kebenciannya terhadap musuh besar itu
meningkat karena dia menganggap bahwa kematian ibunya pun disebabkan
oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan setiap saat teringat dengan
hati penuh rindu kepada suhengnya, Kam Han Ki, kini melakukan
perjalanan dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya menjadi
pendiam dan kurang gembira.
***
Kota-kota dan dusun-dusun daerah
utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi
menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi
karena selain tidak tahu harus pergi ke mana, juga mereka merasa sayang
untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Ada pula yang
menyuruh keluarganya saja pergi mengungsi. Karena banyak warung, toko
dan restoran tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan
toko merupakan usaha yang amat baik dan menguntungkan. Warung-warung
nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat
itu sewaktu-waktu kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja
dan bangkunya butut, tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan
yang disediakan pun amat sederhana, walaupun harganya sama sekali tidak
sederhana, melainkan harga pukulan!
Bagi restoran-restoran di
dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang
kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat
dusun itu. Para perajurit yang makan-makan di restoran tidak berani
berbuat sewenang-wenang, dan selalu membayar karena pemilik-pemilik
restoran itu dengan cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan
mengirim hidangan-hidangan yang lezat. Selama ini, juga dengan adanya
rumah-rumah makan itu mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghibur
diri. Kalau mereka tidak bayar dan semua restoran tutup, tentu mereka
akan kehilangan.
Pada suatu pagi, Panglima Maya dan sebelas orang
pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup besar di kota dekat
tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta
para perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu
dilayani penuh hormat. Para pengawal cukup duduk di ruangan bawah saja
dan mereka menghadapi meja sambil bersendau-gurau, karena para pemimpin
mereka berada di loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk
bersenang-senang dan bersendau-gurau saling menggoda.
Tiba-tiba
delapan orang perajurit pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap
itu menghentikan sendau-gurau mereka dan semua mata memandang ke arah
pintu restoran, mulut mereka tersenyum-senyum. Siapa orangnya yang tidak
akan terpesona menyaksikan seorang dara jelita memasuki restoran itu
dengan langkah tegap dan lenggangnya menggiurkan itu? Dara itu masih
muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning dengan leher
baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh debu
dapat diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh. Wajah dara ini
cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk
indah, kerlingnya tajam dan menyentuh berahi. Ketika seorang pelayan
menghampirinya, dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus,
menyentuh lengan Si Pelayan sambil berkata,
"Cepat sediakan nasi lauk-pauk seadanya dan minuman teh panas!"
Para
perajurit tertawa-tawa gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian
berani dan ramah, berani memegang lengan seorang pelayan laki-laki
tanpa sungkan sungkan lagi.
"Wah, sayang bukan lenganku....!"
Terdengar seorang perajurit berkata sambil mengelus-elus tangannya
sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya. Dara itu tidak
peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan
anteng. Para perajurit itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi
lengannya disentuh oleh dara baju kuning itu seketika menjadi pucat,
tubuhnya gemetar dan setelah dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu
menyediakan makanan yang dipesan, sikapnya amat hormat dan takut-takut.
Meledaklah suara tertawa empat orang perajurit dari meja yang telah
dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang belum dilayani.
Seorang
perajurit dari meja kosong menggebrak meja, "Apa ini? Pelayan, kami
memesan lebih dulu, kenapa melayani orang yang datangnya belakangan? Apa
kaukira kami tidak membayar?"
"Ha-ha-ha!" Seorang perajurit dari
meja yang sudah dilayani tertawa, "Kenapa mencak-mencak? Kalau mukamu
cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu!
Ha-ha-ha!" Teman-temannya tertawa dan empat orang perajurit yang belum
dilayani itu makin marah.
"He! Pelayan! Ke sini kau, kalau mau tahu rasanya pukulan perajurit-perajurit Pasukan Maut!"
Pelayan
itu berdiri dengan kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi
meja, telah menuangkan teh ke dalam cawannya dengan sikap tenang,
kemudian memandang Si Pelayan, "Pelayan, jangan layani anjing-anjing
mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama sekali yang menggunakan
nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak baik lagi!"
Mendengar ini, empat
orang perajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja
gadis, itu, mengurung dari empat penjuru. Seorang di antara mereka yang
berada di belakang gadis itu mencabut golok dan berkata,
"Eh, engkau perempuan kang-ouw merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam dari mulutmu yang manis!"
Gadis itu masih memegang cawan teh panas, menunda minumnya dan, matanya yang indah bergerak melirik ke kanan kiri dan depan.
Perajurit
yang berada di depannya sudah membentak, "Engkau sungguh kurang ajar,
datang-datang minta dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis
muda cantik, kami masih mengalah dan hanya ingin menegur pelayan. Kenapa
kau memaki kami? Penghinaan itu baru lunas kalau kau membayar dengan
sebuah ciuman dari bibirmu yang ma.... ougghhh....!" Perajurit itu tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena mukanya sudah kena siraman air teh
panas yang telah "meloncat" dari cawan yang dipegangi dara itu. Tiga
orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan tetapi
dari dalam cawan itu kini air teh "meloncat" ke tiga penjuru, ke kiri
kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang perajurit yang
menjadi gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan
tetapi juga karena percikan air yang mengenai muka rasanya seperti
jarum-jarum menusuk!
Empat orang perajurit lain menjadi marah
menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan mengusap-usap mata
seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.
"Tentu dia mata-mata musuh! Serang! Bunuh....!"
Dara
itu bangkit berdiri, tangannya meraih ke depan dan sebuah piring
melayang-layang terbang menyambar empat orang perajurit itu. Terdengar
jerit-jerit kesakitan dan empat orang perajurit itu roboh dengan lengan
mereka berdarah karena ketika mereka menangkis, lengan mereka tergores
piring yang menjadi tajam karena berpusing itu, melebihi pisau! Akan
tetapi tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara kemudian berdesing
turun menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget,
menangkap piring, meletakkannya di atas meja lalu dia menoleh ke arah
anak tangga menuju loteng. Di situ telah berdiri Maya! Melihat seorang
wanita cantik dan gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning
itu memandang tajam dan kakinya menendang meja di depannya sehingga meja
itu terlempar jauh. Agaknya dia tahu bahwa dia kedatangan lawan
tangguh, maka ingin mencari tempat yang luas untuk menghadapi
pengeroyokan.
Ketika para perwira lari-lari turun dari loteng dan
para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru, "Tahan! Mundur semua!
Aku mau bicara.... dengan dia!"
Dara itu telah siap berdiri dengan
tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang juga
tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka
berhadapan dan saling pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat
karena masing-masing seperti telah mengenal.
Ketika Maya melihat
gagang pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan
segera menegur, "Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis
Betina)?"
Dara itu kelihatan kaget sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya, "Bagaimana engkau bisa tahu?"
Maya tersenyum lebar, "Kalau benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa kepadaku!"
Dara
perkasa itu memang benar Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam. Dia meneliti
wajah Maya dan teringat, lalu berkata, "Dan engkau agaknya Maya...."
"Benar,
Yan Hwa, kebetulan sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku
yang tidak mengenal wanita perkasa! Heii, dengarlah. Dia ini adalah
sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta maaf!"
Mendengar
bahwa dara baju kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji
Kun, delapan orang perajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan
seorang di antara mereka berkata, "Lihiap, mohon sudi mengampuni kami
yang bermata tapi seperti buta!"
Akan tetapi Ok Yan Hwa yang berwatak
angkuh tidak mempedulikan mereka, apalagi karena ia tertarik dan
terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari
"Can-huciang"!
"Apa maksudmu, Maya? Benarkah Suheng berada di sini?"
"Benar, Yan Hwa. Dia adalah seorang di antara pembantu-pembantuku yang utama."
"Suheng? Ah, mana mungkin Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?"
Maya
mengerti bahwa dalam hal keangkuhan, gadis itu tidak kalah oleh
suhengnya. Maka ia pun berterus terang dan tersenyum, "Dia menjadi
perwira pembantuku karena kalah taruhan."
Yan Hwa mengerutkan
alisnya, memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar
mata marah karena mengira bahwa Maya bicara main-main, "Maksudmu?"
"Dia
telah mengadu kepandaian melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku
kalah aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut,
dan kalau dia yang kalah dia akan membantuku dan menjadi perwiraku."
Yan
Hwa membelalakkan matanya yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang.
Ketidakpercayaan membayang jelas di wajahnya, "Aku tidak percaya. Mana
dia?"
"Dia sedang bertugas ke pantai timur, menjalankan perintahku."
"Hemmm..., aku lebih tidak percaya lagi."
"Bahwa dia menjadi perwira pembantuku?"
"Aku tidak percaya bahwa dia telah kalah olehmu!"
"Namun
kenyataannya demikianlah, Yan Hwa, karena suhengmu sudah menjadi
pembantumu, bagaimana kalau engkau juga membantu aku? Kita membasmi
pasukan Kerajaan Sung yang telah menewaskan Menteri Kam Liong kakak
subomu, kita membasmi tentara Yucen, dan terutama sekali kita membasmi
bangsa Mongol yang telah membunuh subomu. Bagaimana?"
Sejenak Yan Hwa
diam memutar pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suhengnya,
karena rindu dan juga karena ingin melihat apakah sekarang, setelah
merantau sekian lamanya, dia sudah dapat menundukkan suhengnya itu.
"Aku
tetap tidak percaya bahwa Suheng telah kalah olehmu." Ia mengamati
wajah Maya yang amat cantik jelita itu. Dia diam-diam harus mengakui
bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik
jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu! "Kalau benar Suheng
menjadi perwira pembantumu, aku lebih percaya kalau dia lakukan karena
dia jatuh cinta kepadamu."
Wajah Maya menjadi merah, akan tetapi ia
tetap tersenyum dan berkata dengan ejekan yang disengaja, "Yan Hwa,
engkau tetap angkuh seperti dahulu. Kalau kau tidak percaya, bagaimana
kalau kita pun mengadakan pertaruhan seperti yang telah dilakukan
suhengmu?"
"Engkau menantangku?" Sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar berapi.
"Bukan
menantang, murid bibiku yang manis, melainkan aku mengajak engkau
berjuang bahu-membahu, dan untuk meyakinkan hatimu maka marilah kita
mencoba kepandaian, tentu saja kalau kau berani."
"Singggg....!"
Tampak sinar kilat berkelebat menyilaukan mata ketika Yan Hwa mencabut
pedangnya. Jantung Maya berdebar dan untuk ke sekian kalinya ia merasa
terheran-heran mengapa mendiang bibinya yang terkenal sebagai seorang
pendekar wanita yang sakti dan gagah perkasa, suka memiliki dua buah
pedang seperti yang diwariskan kepada Ji Kun dan Yan Hwa ini. Pedang di
tangan Yan Hwa mempunyai wibawa yang sama dengan Pedang Iblis Jantan
milik Ji Kun.
"Engkau menerima pertaruhan ini?" Dia bertanya.
Yan
Hwa mengangkat pedangnya, tegak lurus di depan dahinya. "Maya, aku telah
bersumpah demi kehormatan nama suhu dan subo, pedangku ini hanya akan
menghirup darah orang-orang jahat. Baru sekarang tercabut keluar dari
sarangnya bukan untuk membasmi penjahat. Akan tetapi ketahuilah, sekali
pedang ini tercabut, dia tidak akan kembali ke sarungnya sebelum
menghirup darah. Karena itu, katakan bahwa engkau membohong, bahwa
Suheng tidak pernah kaukalahkan, dan aku akan menyimpannya kembali dan
pergi dari sini, akan kupuaskan pedangku dengan darah penjahat di lain
tempat yang kudapatkan."
Maya tersenyum. "Yan Hwa, engkau tidak
memalukan menjadi murid mendiang Bibi Mutiara Hitam, engkau seorang
pendekar, akan tetapi betapa angkuh watakmu, betapa kejam hatimu. Aku
tidak pernah membohong, dan biarpun aku tidak mamiliki sebatang pedang
pusaka sekeji pedangmu itu, namun aku tidak takut menghadapinya." Sambil
berkata demikian perlahan-lahan Maya melolos pedangnya dan membuka
jubah luarnya yang ia lemparkan kepada Cia Kim Seng. Bekas penggembala
domba ini menerima jubah dan dia bersama para perwira lain kini mencari
tempat yang enak buat menonton pertandingan yang akan terjadi. Para
perajurit pengawal sudah menjauh-jauhkan meja kursi di dalam restoran
itu sehingga ruangan restoran yang cukup luas itu kini menjadi sebuah
arena pertandingan yang dapat diduga akan terjadi dengan dahsyat dan
seru.
"Maya, bersiaplah engkau!" Sebelum gema suara ini habis,
tahu-tahu tubuh Yan Hwa telah berkelebat ke depan didahului sinar putih
berkilat yang menyilaukan mata. Diam-diam Maya kagum. Kiranya Yan Hwa
memiliki gerakan yang lebih cepat dan ringan daripada Ji Kun, maka ia
bersikap hati-hati dan cepat ia mengelak sambil membalas dengan tusukan
pedangnya dari samping. Yan Hwa mengandalkan keampuhan pedang pusakanya
maka dia menyabetkan pedangnya untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga
sin-kangnya dengan maksud merusak pedang lawan.
"Bagus!" Maya memuji
dan meloncat tinggi sehingga sinar kilat itu meluncur di bawah kakinya.
Dari atas, jubah Maya membalik, menukik ke bawah dan ujung pedangnya
mengancam ubun-ubun kepala lawan. Hebat bukan main gerakan Maya ini,
selain indah juga amat sukar dilakukan sehingga para perwira pembantunya
memuji. Juga Yan Hwa kagum sekali, akan tetapi watak dara ini tidak ada
bedanya dengan watak suhengnya. Dia tahu bahwa Maya memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi, akan tetapi dia tetap tidak dapat percaya kalau
Maya dapat mengalahkan suhengnya, atau dia dengan Pedang Iblis Betina di
tangannya! Maka serangan Maya yang amat berbahaya itu ia hindarkan
dengan merendahkan tubuh lalu menggulingkan tubuhnya ke depan. Ketika
serangan Maya itu luput dan panglima wanita ini sudah berjungkir balik
lagi membuat salto dan kakinya menginjak lantai, sinar kilat pedang Yan
Hwa sudah berkelebat lagi, sinar pedangnya berubah seperti payung,
merupakan gulungan yang bundar dan dari gulungan sinar putih itu
menyambar-nyambar kilatan sinar yang panjang dan mengandung hawa panas!
Maya
makin kagum. Harus ia akui bahwa dalam hal kecepatan gerak dan ilmu
pedang, ternyata Yan Hwa ini tidak kalah oleh suhengnya, bahkan mungkin
lebih berbahaya serangan-serangannya. Maka dengan hati kagum, gembira
namun juga waspada dan mengimbangi permainan lawan dengan gerakannya
yang lebih cepat lagi. Dia berlaku hati-hati, tidak pernah pedang mereka
bentrok secara langsung. Paling-paling hanya bersentuhan sedikit dan
bergeseran, namun itu pun sudah membuat pedangnya mengeluarkan api dan
kadang-kadang hampir dapat tersedot dan menempel! Hanya dengan
sin-kangnya yang kuat saja dia dapat mencegah pedangnya melekat pada
pedang lawan.
Mata para perwira, apalagi para perajurit sudah
berkunang-kunang karena silau menyaksikan sinar kilat pedang Yan Hwa
berkelebatan di ruangan itu dan seratus jurus telah lewat tanpa ada yang
tampak terdesak. Hal ini sebetulnya memang disengaja oleh Maya. Kalau
ia mau, dengan sin-kangnya yang amat tinggi dan kuat, tentu saja dia
dapat merobohkan lawannya dengan pukulan yang membahayakan bagi
keselamatan Yan Hwa, namun dia tahu bahwa jika dia mengalahkan Yan Hwa
dalam waktu singkat, tentu hati dara yang angkuh ini akan tersinggung.
"Yan
Hwa, inikah Siang-bhok Kiam-sut dari mendiang Bibi? Hebat bukan
main....!" Maya cepat mengelak karena kembali ada sinar kilat menyambar
ke arah lehernya.
"Singggg! Wuuuusssshhhh!"
Diam-diam Yan Hwa
terkejut dan juga kagum sekali. Kini tahulah dia bahwa Maya benar-benar
amat hebat kepandaiannya, ilmu pedangnya aneh dan dalam hal gin-kang,
Maya bahkan melampaui tingkatnya! Seperti juga Ji Kun, dia
terheran-heran mengapa bocah yang dahulu ikut bersama Panglima Khu Tek
San itu kini telah menjadi seorang yang begini lihai. Tentu Menteri Kam
Liong, kakak subonya yang kabarnya lebih lihai dari subonya itu yang
menjadi gurunya.
"Maya, engkau, pun hebat! Agak berkurang
ketidakpercayaanku. Akan tetapi aku belum kalah!" kata Yan Hwa yang
sudah menyerang lagi dengan hebat, agaknya dia hendak menguras semua
kepandaiannya untuk mencapai kemenangan.
Maya maklum bahwa untuk
menundukkan orang seperti Yan Hwa ini harus mengalahkannya, maka ia lalu
mengeluarkan suara melengking keras dan tiba-tiba tubuhnya berkelebatan
sedemikian cepatnya sehingga Yan Hwa mengeluarkan seruan kaget dan
pandang matanya berkunang-kunang. Cepat Yan Hwa memutar pedang pusakanya
sehingga tubuhnya terlindung dan terkurung oleh benteng sinar kilat.
Menghadapi pertahanan seperti ini, Maya tak berdaya. Jalan satu-satunya
hanya memancing agar pedangnya melekat, pikirnya. Maka ia mengurangi
kecepatannya dan menahan serangannya. Melihat bahwa gerakan Maya tidak
secepat tadi, Yan Hwa juga berhenti melindungi tubuh dan ia mendapat
kesempatan untuk menyerang lagi dengan tusukan kilat ke dada Maya.
"Bagus!" Maya memuji, pedangnya menangkis dari samping.
"Trakk!
Pedangnya menempel dan tersedot oleh Li-mo-kiam, dan melihat kini lawan
berani mengadu pedang sehingga tertempel oleh pedang pusakanya, Yang
Hwa menjadi girang sekali dan melanjutkan pedangnya yang sudah membikin
tak berdaya pedang lawan itu untuk menusuk ke perut. Kesempatan ini yang
dipergunakan Maya. Ia melepaskan pedangnya, membanting diri ke kiri dan
sebelum tubuhnya menyentuh tanah ia mengirim pukulan sin-kang ke arah
lengan tangan Yan Hwa yang memegang pedang.
"Aiiihhh...." Yan Hwa
memekik, pedangnya yang menempel pedang lawan terlepas, tangannya lumpuh
dan tubuhnya menggigil kedinginan, rasa dingin yang terus menjalar ke
dalam dadanya. Ia maklum bahwa dia telah terkena pukulan sin-kang yang
amat kuat dan berbahaya, maka tanpa mempedulikan sesuatu ia lalu duduk
bersila dan mengatur napas.
Maya telah melompat dan sekaligus
menyambar dua buah pedang yang saling menempel itu. Dengan tenaga
sin-kang ia melepaskan pedangnya yang tersedot dan menempel pada
Li-mo-kiam, menyarungkan pedangnya dan mengamat-amati pedang Yan Hwa
dengan penuh kengerian.
Yan Hwa membuka matanya, lega bahwa lukanya
tidak hebat. Kalau dadanya yang terkena pukulan seperti itu, agaknya dia
akan tewas. Dan tahulah dia bahwa kalau Maya menghendaki dan
menggunakan pukulan-pukulan dahsyat dan sakti seperti itu, tak mungkin
dia dapat melawan sampai ratusan jurus. Kini dia percaya penuh.
Jangankan baru dia atau suhengnya, bahkan mendiang suhunya atau subonya
sekalipun agaknya belum tentu mampu menandingi ilmu kepandaian Maya yang
demikian hebatnya.
Maya menghampirinya dan menyerahkan pedang
pusakanya. Yan Hwa menarik napas panjang, menerima dan menyimpan
pedangnya dan berdiri dengan muka tunduk. "Maafkan aku, kini aku percaya
sepenuhnya. Suheng dan aku bukanlah tandinganmu."
Mendengar ucapan
yang bernada kecewa itu Maya berkata, "Tidak perlu penasaran, Yan Hwa.
Ketahuilah bahwa aku adalah penghuni Istana Pulau Es, pewaris ilmu Suhu
Bu Kek Siansu."
Terbelalak mata Yan Hwa memandang dan dalam pandang mata itu kini terkandung kekaguman dan sikap takluk.
"Aahhhh, sungguh aku tidak tahu diri. Maya, biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."
Maya
tersenyum girang dan maju merangkul pundak Yan Hwa. Tiba-tiba mereka
berdua menoleh ketika mendengar suara keluhan. Ketika memandang ke arah
para perwira, mereka itu mengeluh dan menggosok-gosok mata mereka
seolah-olah mata mereka sakit dan memang mata mereka terasa pedih dan
gatal karena setelah pertandingan berhenti, mata mereka masih terus
seperti melihat sinar kilat menyambar-nyambar menimbulkan rasa pedih dan
nyeri.
Maya menghela napas, "Yan Hwa, hati-hatilah engkau
menggunakan pedangmu. Pedangmu itu di samping pedang Ji Kun, adalah
pusaka-pusaka yang ampuhnya menggila dan kalau kurang hati-hati atau
salah mempergunakannya dapat menimbulkan malapetaka hebat."
Yan Hwa
mengangguk dan dia lalu menceritakan riwayat kedua pusaka Sepasang
Pedang Iblis itu. Mendengar penuturan ini, Maya bergidik ngeri dan
diam-diam ia amat khawatir akan nasib Yan Hwa dan Ji Kun yang mewarisi
sepasang pedang pusaka seperti itu. Namun karena maklum akan keangkuhan
mereka, dia tidak mau berkata apa-apa, baik terhadap Yan Hwa maupun
terhadap Ji Kun kelak.
Para perwira dan perajurit menjadi makin kagum
terhadap Maya, juga menjadi girang karena pasukan mereka bertambah
seorang perwira wanita yang luar biasa lihainya sehingga tentu saja hal
ini membesarkan hati karena berarti kuatnya pasukan mereka.
Pasukan
Maut terus bergerak ke selatan dengan hati-hati karena mereka telah
mendekati batas-batas daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Sung dan Yucen.
Ketika mendengar pelaporan dari para penyelidik depan bahwa ada berita
di depan, kurang lebih tiga puluh li dari situ terdapat sebuah barisan
besar yang belum diketahui barisan kerajaan mana, Maya lalu menghentikan
pasukannya dan menugaskan kepada Ok Yan Hwa dan Cia Kim Seng untuk
pergi melakukan penyelidikan.
Berangkatlah Cia Kim Seng si bekas
penggembala dan Ok Yan Hwa menunggang kuda melakukan penyelidikan ke
depan. "Cia-huciang, karena engkau lebih mengenal daerah ini, biarlah
engkau yang menjadi penunjuk jalan, aku ikut di belakangmu," kata Yan
Hwa di tengah jalan.
Cia Kim Seng memandang dengan wajah berseri.
Biarpun dalam ilmu silat, wanita ini amat angkuh dan keras hati tidak
mau kalah, akan tetapi dalam hal lain cukup jujur dan berwatak gagah,
maka ia menjawab,
"Baiklah, akan tetapi tentang keselamatanku di jalan, aku sepenuhnya mengandalkan perlindunganmu."
"Jangan khawatir, Cia-huciangkun aku akan selalu menjaga."
Mereka
membalapkan kuda dan setelah melakukan perjalanan belasan li jauhnya,
mereka tiba di padang rumput. Dari depan nampak mengebul debu tebal dan
tinggi. Mereka menahan kuda dan Cia Kim Seng mengerutkan alisnya yang
tebal sambil memandang ke depan penuh perhatian. Tak salah lagi, di sana
terdapat barisan besar yang sedang berperang. Entah barisan mana yang
agaknya sedang mengundurkan diri ke sini itu."
Tiba-tiba Yan Hwa berseru keras, "Awas belakangmu!"
Cia
Kim Seng membalikkan kuda dan pada saat itu terdengar gonggongan anjing
yang riuh-rendah. Ketika mereka memandang, banyak sekali serigala
keluar dari padang rumput. Demikian banyaknya sehingga kuda yang
ditunggangi dua orang itu meringkik-ringkik ketakutan.
"Kita lari....!" Cia Kim Seng berteriak.
"Jangan!
Percuma, kuda-kuda kita akan dapat disusulnya. Tunggu!" Yan Hwa berseru
karena ia melihat penglihatan yang amat aneh. Di antara
serigala-serigala itu, merangkak paling depan, tampak seorang laki-laki
berkepala gundul, hanya memakai celana hitam sebatas betis yang sudah
robek-robek ujungnya. Laki-laki ini merangkak seperti serigala, dan
mulutnya mengeluarkan bunyi menggonggong dan agaknya dia memimpin
barisan serigala itu!
"Pergunakan cambuk melindungi diri,
Cia-hu-ciang! Aku akan menangkap manusia serigala itu. Tentu dia
pemimpinnya!" Setelah berkata demikian, Yan Hwa meloncat dari atas
kudanya dan langsung menerkam Si Kepala Gundul.
Manusia serigala itu
tiba-tiba meloncat berdiri, tertawa-tawa dan menyambut datangnya tubuh
Yan Hwa dengan kedua tangan mencengkeram dan mulut dibuka lebar untuk
menggigit!
Yan Hwa merasa ngeri, akan tetapi dia sama sekali tidak
menjadi takut dan gugup. Sambutan serangan ini dapat ia elakkan dan
kakinya terayun menendang dari samping.
"Desss!" Tendangan kaki Yan
Hwa tepat mengenai lambung laki-laki aneh itu, akan tetapi ternyata dia
memiliki tubuh yang kebal dan kuat sehingga ketika tubuhnya terguling,
dia sudah bangkit lagi dan mengeluarkan suara menggonggong keras.
Mendengar suara ini, enam ekor serigala menerjang maju, akan tetapi
dengan mudah Yan Hwa menggerakkan kedua kakinya, menendangi
binatang-binatang itu sehingga terlempar jauh.
Melihat betapa Cia Kim
Seng dikeroyok banyak serigala sehingga repot mengayun pecut ke kanan
kiri tubuh kudanya yang meringkik-ringkik ketakutan dan keadaannya benar
terancam bahaya, Yan Hwa maklum kalau dia tidak cepat bertindak, mereka
akan terancam bahaya maut dan dia merasa enggan untuk menggunakan
pedang pusakanya membunuh binatang-binatang itu! Maka ia lalu miringkan
tubuh ketika laki-lakl gundul itu menerjangnya, dari samping ia mengirim
totokan yang tepat mengenai jalan darah di pundak yang telanjang.
Laki-laki itu mengaduh dan Yan Hwa sudah mencengkeram tengkuknya.
"Cepat
perintahkan anjing-anjingmu mundur, kalau tidak kupatahkan batang
lehermu!" Ia mengancam dan jari-jari tangannya yang halus itu
mencengkeram tengkuk seperti sepasang jepitan baja!
"Aduhhh...., ampun.... lepaskan aku....!"
"Lekas perintahkan anjing-anjing itu mundur atau kau mampus!"
Tiba-tiba
laki-laki gundul itu mengeluarkan suara menyalak-nyalak seperti seekor
anjing ketakutan dan.... serigala-serigala itu lalu menyalak-nyalak dan
mundur teratur meninggalkan Cia Kim Seng!
Dengan muka berkeringat Kim Seng melompat turun dari kudanya. "Bunuh saja manusia serigala itu!" katanya marah.
"Ampun....!" Si Laki-laki gundul berkata.
"Aku mau mengampuni kau, akan tetapi engkau harus siap sewaktu-waktu membantu pasukan kami kalau kami butuhkan!" bentak Yan Hwa.
"Baik...., baik...., aku berjanji....!"
Yan
Hwa melepaskan cengkeramannya dan sambil mengeluh laki-laki itu
mengelus-elus tengkuknya dan memandang dengan gentar. "Ceritakan siapa
kau?"
"Aku bernama Theng Kok, keluargaku habis karena korban perang,
dan aku.... sejak kecil bermain-main dengan serigala-serigala di sini,
aku pandai menguasai mereka...."
"Hemm, Theng Kok. Kalau kelak kau
suka membantu kami, kau akan kami beri hadiah besar, akan tetapi kalau
kau tidak mau, lihat ini!" Yan Hwa mengayun tangannya ke arah sepotong
batu dan hancurlah batu itu. Muka Theng Kok menjadi pucat dan ia
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. "Aku menurut....
menurut....!"
Yan Hwa lalu menangkap kembali kudanya dan melanjutkan
perjalanan bersama Cia Kim Seng. Debu yang tampak di depan mengebul
makin tinggi. Mereka membalapkan kuda ke arah debu mengebul itu dan tak
lama kemudian tampaklah oleh mereka pasukan Mancu yang bergerak
mengundurkan diri.
Terjadilah hal yang amat aneh dan mengherankan
hati Ok Yan Hwa ketika mereka berdua bertemu dengan pasukan Mancu yang
berada paling belakang. Pasukan yang dipimpin oleh seorang perwira Mancu
itu begitu bertemu dengan Cia Kim Seng serta-merta menjatuhkan diri
berlutut, dan Sang Perwira berkata,
"Pangeran....!"
Lenyaplah sikap Cia Kim Seng yang biasanya sederhana, kini tampak dia penuh wibawa ketika bertanya,
"Siapa yang memimpin barisan ini?"
"Panglima Durbana, Pangeran!" jawab perwira itu penuh hormat.
"Mengapa mundur ke selatan dan kini mundur lagi ke timur? Apa yang terjadi?"
"Ketika
kami hendak bergerak ke pantai timur, kami bertemu dengan barisan besar
Yucen sehingga kami terpukul mundur ke selatan. Kemarin kami bertemu
dengan barisan besar Kerajaan Sung dan setelah bertempur sehari semalam,
terpaksa kami mundur...."
"Memalukan! Apakah pasukan-pasukan kita
sudah demikian lemahnya sehingga bisanya hanya mundur dan lari saja?
Panggil Panglima Durbana menghadap!"
"Baik, Pangeran!" Perwira itu lalu meloncat ke atas kudanya dan membalap ke depan.
Ok Yan Hwa memandang "rekannya" itu penuh takjub.
"Jadi kau.... kau.... seorang Pangeran Mancu....?"
Cia
Kim Seng menggerakkan tubuh menjura dengan membungkuk setengah badan
sambil berkata, "Benar, Ok-lihuciang. Aku adalah Pangeran Bharigan yang
sengaja menyamar untuk melakukan penyelidikan sendiri ke arah timur.
Tidak ada waktu untuk bicara panjang, kelak tentu kujelaskan semua
kepada Maya-ciangkun.
Seorang panglima datang berkuda. Dia segera
melompat turun dari kudanya dan berlutut dengan sebelah kaki di depan
Pangeran Bharigan.
"Lekas katakan mengapa engkau mundur menghadapi pasukan Sung!" Pangeran itu menegur dengan suara marah.
"Maaf,
Pangeran. Terpaksa hamba menarik mundur barisan karena pihak musuh
terlalu kuat, apalagi dipimpin oleh Jenderal Besar Suma Kiat dan
pembantu-pembantunya yang berkepandaian tinggi."
Pangeran Bharigan mengelus dagunya, kemudian menoleh kepada Yan Hwa.
"Ok-li-huciang.
Harap kau suka segera memberi laporan kepada Maya-li-ciangkun mengenai
keadaan kami yang memerlukan bantuan segera."
"Baik, Cia.... eh,
Pangeran Bharigan," Ok Yan Hwa meloncat ke atas kudanya dan membalap
meninggalkan tempat itu, Ketika tiba di perkemahan Pasukan Maut, dengan
singkat namun jelas dia menceritakan kepada Maya dan para perwira lain
tentang keadaan barisan Mancu, tentang pihak musuh barisan Sung yang
dipimpin Suma Kiat, dan tentang diri Cia Kim Seng yang ternyata adalah
Pangeran Bharigan dari Kerajaan Mancu. Mendengar penuturan itu, Maya
menjadi terheran-heran, juga kaget dan girang. Musuh besarnya, Suma
Kiat, berada di depan!
"Bagus! Kita akan berpesta menghancurkan
barisan Sung! Sungguh tidak kusangka bahwa penggembala domba itu
ternyata seorang Pangeran Mancu!"
Pada saat Maya mempersiapkan
pasukannya untuk membantu pasukan Mancu menggempur bala tentara Sung
yang dipimpin oleh Jenderal Suma Kiat, tiba-tiba datang sebuah pasukan
kecil, terdiri dari lima puluh orang. Maya menjadi girang ketika
mendapat kenyataan bahwa pasukan kecil itu ternyata adalah pasukan yang
dipimpin Can Ji Kun yang kembali dari timur setelah memenuhi tugasnya
melapor kepada Panglima Laut Bu Gi Hoat yang memberontak terhadap
Kerajaan Sung.
Hati Maya menjadi tegang dan memandang penuh perhatian
kepada Ok Yan Hwa dan Can Ji Kun, suheng dan sumoi yang bertemu di
tempat itu dan kini berdiri berhadapan saling pandang itu.
"Hemm...., kiranya engkau di sini?" Terdengar Can Ji Kun menegur, pandang matanya tidak pernah melepaskan wajah sumoinya.
"Kalau
engkau cukup berharga menjadi pembantu di sini, mengapa aku tidak?" Ok
Yan Hwa menjawab pula, suaranya mengandung ejekan dan tantangan, namun
sinar matanya yang bersinar dan kedua pipi yang kemerahan itu tak dapat
menyembunyikan rasa rindu dan senangnya berhadapan dengan pemuda tampan
itu.
Dua orang ini aneh, pikir Maya. Untung bahwa saat itu mereka
sedang sibuk menghadapi serbuan ke tempat musuh maka segala urusan
pribadi dapat dikesampingkan. Maya lalu berkata,
"Ji Kun dan Yan Hwa,
kalian adalah murid-murid tersayang dari Bibi Mutiara Hitam! Suma Kiat
adalah musuh besar kita karena dialah yang menjadi biang keladinya
sehingga Menteri Kam Liong, uwa guru kalian, tewas secara menyedihkan.
Semenjak dahulu, keturunan Suma selalu melakukan kejahatan, dan kini
tiba saatnya bagi kita untuk membersihkan dunia dari keturunan jahat
itu. Ji Kun, engkau memimpin pasukan sayap kiri, dan Yan Hwa memimpin
pasukan sayap kanan. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya langsung
dari depan bersama pasukan-pasukan Mancu. Kalian berdua jangan ikut
menerjang maju karena tugas kalian hanya menjaga kalau Si Keparat itu
melarikan diri. Kalian harus mencegahnya lolos dan begitu bertemu dengan
dia, lepaskan panah api sebagai isyarat."
Kedua orang suheng dan sumoi itu mengangguk.
"Jangan khawatir, Si Tua Bangka keparat Suma Kiat itu tentu akan tewas di tanganku!" kata Ji Kun sambil meraba gagang pedangnya.
"Belum tentu! Agaknya akulah yang akan berhasil menembuskan pedangku di jantungnya!" Yan Hwa tidak mau kalah.
Maya
tersenyum. "Kita sama lihat sajalah. Hanya, sebagai atasan kalian, aku
tidak akan memberi ampun kalau sampai kalian memberi kesempatan
kepadanya untuk lolos." Setelah melepas pandang mata penuh wibawa dengan
sinar tajam seperti menembus dada mereka, Maya lalu tersenyum dan
berkata, " Ji Kun, engkau baru datang, beristirahatlah. Aku akan
mengatur barisan dan menjelang senja nanti kita berangkat."
Ji Kun
mengangguk dan membalikkan tubuh menghadapi Yan Hwa. Kembali mereka itu
saling pandang dengan sinar mata penuh rindu. Maya yang sudah
meninggalkan mereka, tiba-tiba teringat akan pandang mata mereka itu,
lalu menengok. Alisnya berkerut dan berbagai pertanyaan aneh timbul di
hatinya ketika ia melihat kedua orang muda itu sambil berpegangan
tangan, bergandeng memasuki tenda Yan Hwa! Jelas sekali sikap mereka itu
menunjukkan bahwa mereka saling mencinta! Memasuki perkemahan berdua
dengan sikap seperti itu? Hemmm.... diam-diam Maya makin terheran-heran
mengapa di samping menyerahkan Sepasang Pedang Iblis yang sungguh tidak
pantas dipegang pendekar, juga agaknya bibinya, Mutiara Hitam, telah
memberi pendidikan batin yang keliru sehingga kini kedua orang suheng
dan sumoi itu agaknya saling mencinta, bukan seperti saudara
seperguruan, melainkan seperti seorang pria dan wanita. Hemmm....
tiba-tiba Maya merasa betapa mukanya panas. Mengapa dia merasa tidak
senang? Apakah salahnya kalau Yan Hwa dan Ji Kun saling mencinta? Mereka
adalah dua orang muda yang sama-sama tampan dan cantik, sama-sama gagah
perkasa. Sedangkan dia sendiri...., dia pun jatuh cinta kepada Kam Han
Ki, Suhengnya! Ah, betapapun juga, tidak seperti mereka berdua itu yang
secara terang-terangan di siang hari memasuki perkemahan berdua! Sungguh
tidak patut! Itu pelanggaran susila namanya! Belum menjadi suami
isteri, di siang hari, di depan mata semua anggauta pasukan, memasuki
perkemahan untuk bermain asmara! Benar-benar tidak pantas! Akan
tetapi...., apa pedulinya? Maya mengangkat kedua pundak dan mengusir
bayangan kedua orang itu dari dalam kepalanya lalu menyibukkan diri
untuk mengatur barisan yang senja itu juga akan diberangkatkan untuk
bersama barisan Mancu menghantam pasukan Sung yang dipimpin oleh
Jenderal Suma Kiat.
Barisan Mancu sendiri, setelah melihat kehadiran
Pangeran Bharigan yang gagah perkasa dan yang kini langsung memimpin
mereka sendiri, timbul semangat baru, apalagi ketika mendengar bahwa
mereka kini dibantu oleh Pasukan Maut yang sudah amat terkenal dipimpin
oleh panglima wanita bersama pembantu-pembantunya yang lihai. Segera
Pangeran Bharigan yang sudah mengadakan kontak dengan Maya, menyusun
barisannya dan mengatur siasat yang sesuai dengan petunjuk Maya untuk
bersama-sama menyerbu barisan Sung pada malam hari itu.
Bala tentara
Sung yang dipimpin oleh Suma Kiat itu memang kuat. Bukan hanya lengkap
peralatan perangnya, akan tetapi juga besar jumlahnya dan dipimpin
sendiri oleh Suma Kiat yang bukan saja amat tinggi ilmu silatnya, juga
amat pandai mengatur barisan dalam perang. Apalagi, di sampingnya
terdapat pembantu-pembantunya yang lihai, di antaranya yang menjadi
pembantu utamanya adalah selir mudanya sendiri, selir cantik jelita yang
amat dicintanya, yaitu Bu Ci Goat yang tak pernah terpisah dari
sampingnya semenjak dahulu tertangkap basah bermain gila dengan
puteranya, Suma Hoat yang kemudian diusirnya. Bu Ci Goat yang telah
mewarisi ilmu kepandaian Suma Kiat, bahkan memiliki tingkat yang lebih
tinggi daripada Siangkoan Lee murid tunggal jenderal itu, selain menjadi
pembantu utama yang boleh diandaikan juga merupakan satu-satunya yang
dapat menghibur dan menyenangkan hati Suma Kiat di mana dan kapan saja.
Selain selir mudanya ini, tentu saja orang ke dua yang dapat ia andalkan
adalah muridnya sendiri, Siangkoan Lee yang kini juga merupakan seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Semenjak Suma Kiat berhasil
mempengaruhi Kaisar untuk mencelakai orang yang amat dibencinya, yaitu
Menteri Kam Liong sehingga musuhnya itu tewas bersama muridnya,
dikeroyok pasukan pengawal, Suma Kiat merasa hidupnya tidak tenang dan
tidak tenteram lagi. Kebenciannya terhadap Kam Liong yang sesungguhnya
masih keluarganya sendiri adalah kebencian yang timbul semenjak dia
masih muda, timbul perasaan mengiri dan karena dia selalu mempunyai
anggapan bahwa keturunan Suling Emas adalah orang-orang yang selalu
memusuhinya dan menghalanginya. Padahal Suling Emas adalah kakak ibunya
sehingga keturunan Suling Emas adalah saudara-saudara misannya sendiri.
Dia tidak pernah mau mengerti bahwa keturunan Suling Emas memusuhi
perbuatannya, menentang kejahatannya, bukan pribadinya. Keturunan Suling
Emas adalah orang-orang yang berjiwa pendekar, terutama Menteri Kam
Liong, sedangkan dia selalu mengumbar nafsu dan tidak segan melakukan
perbuatan yang amat jahat (baca cerita MUTIARA HITAM).
Memang
demikianlah keadaan manusia yang belum sadar batinnya, suka sekali untuk
dapat mengenal kekurangan pada diri sendiri. Orang yang belum sadar
selalu tinggi hati, terlalu tinggi menghargai diri sendiri, selalu
merasa sebagai orang terbaik, terpandai, dan segala sifat baik yaitu
diawali "ter" lagi karena dia mempunyai perasaan lebih daripada siapa
pun di dunia ini. Mereka paling pandai, paling baik, paling benar karena
itu paling patut dianugerahi, paling patut dikasihani, dan lain-lain.
Orang yang belum sadar batinnya selalu mengemukakan kebaikan-kebaikan
dirinya sehingga dia menjadi terbiasa dan mabok, tanpa, disadarinya
menyeret dia menjadi hamba nafsu keakuannya, pertimbangan akalnya miring
dan budinya digelapkan. Sebaliknya, manusia yang sudah sadar batinnya
akan selalu berhati-hati dalam setiap sepak terjangnya, setiap
kata-katanya, selalu mawas diri dan meneliti diri pribadi agar setiap
perbuatannya tidak akan menyusahkan atau merugikan lain orang hanya demi
keuntungan diri sendiri. Menilai diri sendiri lebih dulu yang dianggap
jauh lebih penting daripada menilai diri orang lain dengan kesadaran
bahwa sesungguhnya SUMBER SEGALA SESUATU YANG MELANDA DIRI BERADA DI
DALAM HATI SENDIRI. Karena itu, seorang yang sudah sadar batinnya,
setiap kali tertimpa sesuatu hal, baik yang menyenangkan maupun yang
menyusahkan, selalu akan menjenguk ke dalam hati sendiri untuk mencari
sebab musababnya sebelum mencari sebab-sebab itu di luar dirinya.
Ketika
menteri Kam Liong masih ada, Suma Kiat yang menjadi jenderal dan
menduduki kursi panglima itu merasa tidak bebas, seolah-olah sepasang
mata saudara misannya yang tajam itu selalu mengikuti dan mengawasinya.
Dia selalu beranggapan bahwa kalau Kam Liong sudah dibinasakan, tentu
akan merasa senang dan bebas, merasa tidak ada musuhnya lagi. Akan
tetapi, setelah keadaan membantunya, yaitu keadaan yang ditumbulkan oleh
hubungan cinta antara Kam Han Ki dan Sung Hong Kwi, sehingga dia
berhasil melenyapkan Menteri Kam Liong yang dibencinya, bukan kesenangan
dan kebebasan yang didapatnya, melainkan sebaliknya! Kematian Menteri
Kam Liong itu membangkitkan kemarahan di hati banyak pembesar dan
terutama di hati orang-orang gagah di dunia kang-ouw sehingga Suma Kiat
malah dimusuhi banyak orang! Sudah banyak orang gagah berusaha
menjatuhkannya, dan biarpun dengan kepandaian dan kedudukannya, dia
berhasil mengalahkan mereka, namun dia selalu merasa tidak tenteram dan
tidak aman.
Pemberontakan-pemberontakan yang timbul karena terutama
sekali disebabkan oleh kematian Menteri Kam Liong membuat Suma Kiat
merasa kepalang untuk mundur, bahkan dia mempergunakan kesempatan itu
untuk mencari kedudukan lebih tinggi dan jasa lebih besar di mata
Kaisar, maka dia sendiri yang memimpin pasukan untuk membasmi para
pemberontak. Di dalam melaksanakan tugas ini pun dia selalu didampingi
oleh selirnya yang tercinta dan dapat diandalkan, juga oleh muridnya,
Siangkoan Lee. Dengan adanya dua orang pembantu ini, bersama pasukan
yang kuat dan besar, dia merasa agak aman sungguhpun dia selalu
berhati-hati meneliti para pembantu di kanan kirinya kalau-kalau ada di
antara mereka yang menjadi pengagum mendiang Menteri Kam Liong dan
merupakan orang berbahaya baginya.
Ketika tiba di perbatasan utara
dan bertemu dengan barisan Mancu, tentu saja Suma Kiat segera
mengerahkan pasukan-pasukannya dan berhasil memukul mundur barisan Mancu
ke utara kembali. Kemenangan besar itu dirayakan oleh Suma Kiat dengan
pesta dan pencatatan pahala bagi para perwira dan tentaranya, dan sehari
itu dia sendiri bersenang-senang dengan Bu Cin Goat selirnya tercinta
sambil memberi kesempatan kepada pasukan-pasukannya untuk beristirahat.
Namun penjagaan tetap dilakukan dengan ketat dan para penyelidiknya
tetap melakukan penyelidikan di sekitar daerah itu untuk mengawasi
gerak-gerik musuh. Tentu saja Suma Kiat yang memandang rendah pasukan
Mancu itu tidak tahu bahwa pasukan yang telah dipukul mundur itu sehabis
menderita kekalahan dari pasukan-pasukan Yucen, kini bangkit kembali
semangatnya karena Pangeran Bharigan telah berada di tengah mereka,
apalagi karena pasukan Mancu ini percaya akan kekuatan Pasukan Maut yang
dipimpin Panglima Wanita Maya yang membantunya dan telah mengatur
siasat untuk menyerbu barisan Sung di malam itu.
Yang didengar oleh
Suma Kiat dari para penyelidiknya hanya bahwa pasukan Mancu kini tidak
lagi melarikan diri, melainkan menghentikan gerakan mereka lari dan kini
agaknya sedang menyusun kekuatan dan membuat perkemahan di lereng
bukit. Mendengar itu Suma Kiat tertawa dan memberi perintah kepada para
perwiranya,
"Biarkan mereka hari ini. Kalau kita menyerbu, selain
pasukan kita masih lelah juga kedudukan mereka di lereng membuat mereka
kuat dan tentu kita akan mengorbankan banyak perajurit. Biarkan
perajurit-perajurit kita beristirahat. Tentu mereka malam ini akan
melakukan penyerbuan balasan, dan kita akan siap untuk menyambut dan
menghancurkan mereka. Ha-ha-ha!" Setelah memberi perintah, Suma Kiat
menggandeng tangan selirnya memasuki kamar. Setelah menutupkan pintu
kamar, langsung ia memeluk, memondong dan menciumi Bu Ci Goat penuh
nafsu, membawanya ke pembaringan.
Akan tetapi Ci Goat melepaskan diri
dan berkata, "Musuh menyusun kekuatan dan ada bahaya mereka menyerbu.
Mengapa engkau hanya memikirkan senang-senang saja? Ini bukan waktunya
untuk kita bersenang-senang."
Suma Kiat memandang selirnya yang muda,
merangkulnya dan tertawa. "Ah, mengapa engkau pusingkan hal itu?
Melawan sekelompok anjing Mancu yang sudah kita pukul mundur, apa
bahayanya? Biarkan mereka mengira bahwa kita lengah, dan biarkan mereka
malam ini menyerbu untuk menemukan maut, seperti sekumpulan nyamuk
menerjang api, ha-ha-ha! Ci Goat, engkau semakin manis saja!" Ia memeluk
dan menciumi lagi, dan kini Ci Goat tidak menolak, bahkan membalas
dengan belaian yang dapat memabokkan jenderal tua itu. Akan tetapi,
sepasang alis wanita itu agak mengerut, dan dia tidak melayani
pencurahan kasih sayang suaminya dengan sepenuh hati, karena hanya
tubuhnya saja yang melayani, akan tetapi hati dan pikirannya penuh
kecewa dan terbayanglah wajah tampan seorang perwira muda yang
sebetulnya selama ini telah direncanakan untuk menjadi temannya
melewatkan malam dingin! Memang, di samping kecerdikan Suma Kiat sebagai
seorang panglima perang, dia memiliki kelemahan, dan menghadapi selir
mudanya ini, dia seolah-olah buta tidak melihat kenyataan betapa
selirnya ini hanya berpura-pura saja puas mempunyai suami yang jauh
lebih tua akan tetapi sebenarnya, secara diam-diam dia cerdik, setiap
ada kesempatan, Bu Ci Goat selalu mencari teman bersenang-senang
melewatkan malam dengan perwira-perwira muda yang jauh lebih muda,
tampan dan memuaskan daripada suaminya!
Penyelewengan Bu Ci Goat ini
hanya diketahui oleh Siangkoan Lee yang cerdik. Akan tetapi, orang muda
muka buruk seperti kuda ini masih kalah cerdik oleh Bu Ci Goat dalam hal
seperti itu. Dengan modal wajah cantik tubuh menggairahkan, Ci Goat
berhasil membuat Siangkoan Lee terpeleset ke dalam pelukannya dan
menikmati cinta kasih berahinya! Hal ini bukan dilakukan oleh Ci Goat
karena dia suka kepada Siangkoan Lee, sama sekali bukan. Mana mungkin
seorang wanita hamba nafsu berahi seperti dia tertarik kepada seorang
pemuda yang mukanya seperti kuda itu? Dia sengaja menyerahkan diri
kepada Siangkoan Lee karena dia tahu bahwa murid suaminya ini telah
mengetahui rahasia penyelewengannya. Sekali Siangkoan Lee telah diberi
kesempatan bermain cinta dengannya, tentu saja pemuda ini tidak lagi
berani mencoba untuk membuka rahasianya kepada Suma Kiat, karena dia
sendiri merupakan seorang di antara mereka yang berani mencemarkan
kehormatan Sang Panglima!
Suma Kiat adalah seorang panglima perang
yang cerdik, dan juga seorang yang memiliki ilmu silat tinggi. Tentu
saja dia pun bukan tidak dapat menduga bahwa seorang wanita seperti Ci
Goat, yang pernah mengganggu putera tunggalnya sehingga puteranya itu
dia usir, akan dapat melayani dia seorang diri tanpa jemu. Dia menduga
bahwa kalau ada kesempatan pasti Ci Goat akan melampiaskan nafsu
berahinya yang tak kunjung padam dan puas itu dengan pria-pria muda dan
tampan. Akan tetapi, dia tidak mau peduli asal tidak menyolok di depan
matanya!
Memang, seorang pria seperti Suma Kiat yang tak tahu diri,
adalah sebodoh-bodohnya orang. Dia pun menjadi lengah oleh
nafsu-nafsunya, tidak tahu bahwa di saat dia bersenang dengan selirnya,
ada beberapa orang perwiranya yang mengadakan pertemuan rahasia dan
saling berbisik-bisik mengatur rencana. Mereka itu bukan lain adalah
para perwira yang sudah terbujuk oleh tiga orang perwira tinggi, yaitu
Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang, tiga orang perwira yang dahulu
pernah menjadi rekan Khu Tek San. dan mereka ini diam-diam mendendam
atas kematian Menteri Kam Liong dan perwira Khu Tek San. Mereka itu
hanya menanti saat baik, dan mendengar betapa pihak Mancu mengadakan
persiapan, diam-diam mereka menanti saat itu untuk mereka pergunakan
apabila keadaan memungkinkan.
Kita tinggalkan dulu dua pasukan yang
sudah sama-sama bersiap untuk saling serbu itu dan marilah kita
mengikuti perjalanan dan pengalaman Suma Hoat yang sudah lama kita
tinggalkan.
Di dalam hati orang muda yang tampan wajahnya dan tegap
tubuhnya, seorang pria muda yang memiliki segalagalanya untuk dengan
mudah menjatuhkan hati setiap orang wanita ini terdapat watak-watak yang
saling bertentangan. Mungkin sekali seandainya tidak ada pukulan batin
karena asmara yang telah menghancurkan hatinya, yaitu ketika dia
mengalami kegagalan dalam asmaranya dengan Ciok Kim Hwa, bahkan melihat
kekasihnya membunuh diri, perkembangan dalam watak Suma Hoat akan
menjadi lain sekali. Mungkin dia hanya akan menjadi seorang yang
memiliki nafsu berahi besar dan seorang pria yang tidak akan melewatkan
setiap kesempatan untuk bercinta dengan setiap orang wanita cantik yang
suka melayaninya. Dan memang watak seperti ini telah ia perlihatkan
sebelum ia bertemu dengan mendiang Ciok Kim Hwa. Akan tetapi kegagalan
cintanya dengan Kim Hwa, ditambah lagi sikap ayahnya yang mengusirnya
setelah ia melayani rayuan ibu tirinya membentuk watak yang mengerikan
dalam hati pemuda tampan ini.
Dalam urusan lain, Suma Hoat memiliki
watak pendekar, menentang kejahatan dan membela yang lemah tertindas.
Akan tetapi, sekali berhadapan dengan wanita cantik, lenyaplah semua
kependekarannya dan dia berubah menjadi iblis yang amat ganas! Dengan
senyum di bibir dia dapat melihat wanita cantik yang menolak cintanya
mati di tangannya, seolah-olah darah yang mengalir dari tubuh wanita
yang dibunuhnya mendatangkan rasa panas dan meredakan nafsunya, sama
dengan kalau wanita itu suka melayani cintanya! Dan dia akan tertawa
terbahak-bahak kalau melihat wanita yang telah menjadi korbannya itu
benar-benar jatuh cinta kepadanya, menangis dan berlutut memohon agar
jangan ditinggalkan. Dia merasa senang sekali meninggalkan wanita itu
menangis, bahkan dia sering kali mengintai untuk melihat gadis-gadis
yang patah hati dan tercemar nama dan kehormatannya itu menggantung
diri, minum racun, atau menusuk perut dengan gunting untuk membunuh
diri.
Kekejaman yang melebihi iblis inilah yang membuat ia di juluki
Jai-hwa-sian! Suma Hoat merantau sampai jauh ke barat, ke utara dan
selatan. Dia sendiri tidak sadar bahwa hidupnya sudah tidak normal lagi,
bahwa dia sebetulnya menderita penyakit! Penyakit jiwa yang timbul
karena pengalaman-pengalamannya dengan wanita yang menekan batinnya!
Kepatahan hatinya karena cintanya putus, cinta murni yang pertama kali
menyentuh hatinya bersama Ciok Kim Hwa, kemudian pengalamannya yang ke
dua bersama Bu Ci Goat selir ayahnya, mendatangkan rasa kebencian hebat
kepada kaum wanita! Dia sendiri tidak tahu bahwa perbuatan-perbuatannya
yang keji, yang membuat dia dijuluki Jai-hwa-sian, yang sepintas lalu
akan dianggap orang sebagai perbuatan yang semata-mata terdorong oleh
nafsu berahinya yang tidak lumrah, sebenarnya adalah perbuatan yang
terdorong oleh dendam dan benci! Dia memperkosa wanita, menyakitkan hati
mereka, membiarkan mereka patah hati dan membunuh diri, bahkan
adakalanya dia membunuh mereka, adalah karena bencinya kepada kaum
wanita yang dia anggap semua mempunyai cinta palsu! Ciok Kim Hwa yang
telah membunuh diri itu pun telah mengecewakan hatinya, maka dia girang
melihat wanita-wanita cantik membunuh diri karena telah diperkosanya dan
ditinggalkannya!
Pada waktu Suma Hoat merantau ke barat ia
mempelajari banyak ilmu silat yang tinggi dan aneh-aneh sehingga
dibandingkan dengan dulu ketika ia meninggalkan ayahnya, tingkat
kepandaiannya sudah memperoleh kemajuan jauh sekali. Bahkan di antara
ilmu yang aneh-aneh itu dia mempelajari pula ilmunya orang India
menaklukkan ular dengan suling, mempelajari pula penggunaan obat-obat
dan racun-racun dari sari-sari kembang dan daun untuk membius wanita dan
untuk membuat korbannya mabok dan bangkit gairah berahinya. Pendeknya,
Suma Hoat yang telah berjuluk Jai-hwa-sian ini mempelajari banyak macam
ilmu yang dianggap bermanfaat baginya, yaitu ilmu silat dan ilmu yang
ada hubungannya dengan kesukaannya mengganggu wanita. Bahkan dari
seorang wanita India tukang sihir yang selain menjadi gurunya juga
menjadi kekasihnya, dia mempelajari cara-cara untuk merayu dan
menjatuhkan hati wanita! Maka ketika ia kembali dari perantauannya ke
barat, Suma Hoat telah berubah menjadi seorang pria tampan yang sudah
matang, lengkap dengan syarat-syarat sebagai Jai-hwa-sian, seorang "play
boy" besar yang tiada tandingannya.
Pandang mata Suma Hoat amatlah
tajamnya terhadap wanita. Biarpun dari jarak jauh, dia dapat menentukan
berapa usia seorang wanita, cantik tidaknya, apa keistimewaan, dan cacat
celanya hanya dengan melihat dari balakang saja! Demikianlah, ketika
pada suatu pagi ia memasuki kota Jit-bun dan melewati sebuah restoran,
ia segera melihat dua orang wanita yang amat menarik perhatiannya.
Perutnya
mamang lapar dan dia sedang memilih-milih restoran. Agaknya belum tentu
ia akan memasuki restoran itu kalau saja matanya yang awas tidak
melihat dua orang wanita yang sedang duduk menghadap meja di restoran
yang masih sunyi itu. Sekerling pandang saja ia sudah tertarik sekali
melihat dua orang wanita itu yang ia tahu adalah dua orang gadis cantik
yang masih muda dan bertubuh kuat sebagai ahli-ahli silat tingkat
tinggi!
Suma Hoat memasuki restoran itu dan sengaja duduk di meja
yang menghadap ke arah dua orang gadis itu sehingga dia dapat memandang
dan memperhatikan mereka dengan leluasa. Hatinya makin tertarik. Hemm
dua orang gadis kang-ouw, pikirnya. Pedang mereka diletakkan di atas
meja dan dari cara mereka duduk demikian tegak menunjukkan bahwa dua
orang gadis itu sudah memiliki kepandaian yang lumayan. Ia makin
tertarik ketika mendapat kenyataan betapa kedua orang gadis itu memiliki
daya tarik yang berbeda. Yang seorang, kira-kira berusia dua puluh
tahun, berwajah bundar seperti bulan purnama, pandang matanya tenang dan
dalam, sikapnya pendiam, membayangkan kecantikan lautan di kala senja
diterangi matahari senja yang merah, begitu indah mempesona dan
menerangkan hati. Gadis ini berpakaian biru, rambutnya yang gemuk dan
hitam dibelah dua dan diikat di kanan kiri belakang kedua telinganya.
Ibarat bunga, gadis ini adalah bunga teratai yang tenang dan tegak
mengambang di atas air telaga menenangkan hati siapa yang memandang,
indah tidak membosankan.
Adapun gadis ke dua paling tinggi berusia
delapan belas tahun, sifatnya menjadi lawan gadis pertama. Gadis ini
pakaiannya merah muda, wajahnya agak lonjong dengan dagu meruncing
manis. Mulutnya yang kecil tersenyum-senyum, sepasang matanya yang
bersinar-sinar dengan pandang mata tajam menyambar-nyambar seperti
kilat, membayangkan kecantikan yang menimbulkan gairah menggelora,
seperti kecantikan lautan di waktu terbakar matahari pagi yang mulai
memanas dan ombak-ombak mulai menggelora membuih di pantai. Rambutnya
digelung tinggi ke atas sehingga wajahnya tampak sepenuhnya, manis dan
kedua telinganya memakai anting-anting yang menambah kemanisannya. Gadis
itu lincah jenaka dan periang ibarat bunga dia adalah bunga mawar hitam
yang liar berduri, namun harum semerbak dan kokoh kuat di atas
tangkainya, tidak takut serangan angin dan hujan! Sukarlah bagi Suma
Hoat yang memandang mereka bergantian untuk mengatakan siapa di antara
kedua orang gadis yang lebih menarik hatinya. Keduanya sama cantik
jelita, sama manis dan sama kuat daya tariknya sungguhpun sifat mereka
berlawanan.
Melihat seorang pemuda tampan dan gagah, memandang mereka
penuh perhatian, gadis baju biru membuang muka dengan alis berkerut,
akan tetapi gadis baju merah membalas pandang mata Suma Hoat dengan
berani dan penuh tantangan sehingga terpaksa Suma Hoat memanggil pelayan
karena dia tidak ingin gadis baju merah yang tentu berdarah panas itu
memakinya. Pelayan datang dan ia segera memesan makanan dan minuman.
Kedua
orang gadis itu saling berbisik, berbisik perlahan, akan tetapi
diam-diam Suma Hoat tersenyum dalam hatinya karena biarpun bisikan itu
tidak akan terdengar orang lain yang berdiri hanya satu meter jauhnya
dari mereka, namun dapat terdengar olehnya yang duduk dalam jarak lima
meter dari mereka. Tidak percuma dia memiliki sin-kang yang kuat dan
bersusah payah melatih diri untuk mempertajam pendengarannya yang
merupakan syarat utama bagi seorang ahli silat tinggi.
"Suci, kulihat
orang ini bukan orang sembarangan, kalau bukan seorang pendekar yang
berilmu tinggi tentu seorang penjahat yang berbahaya...." bisik gadis
baju merah kepada gadis baju biru.
"Hemm, melihat pandangan matanya,
dia bukan orang baik-baik, Sumoi. Kita harus waspada, dan kalau betul
dia seorang penjahat, kita harus membasminya!" bisik Si Kakak
Seperguruan.
Suma Hoat tertawa dalam hatinya, akan tetapi ia
mengambil sikap seolah-olah tidak mendengar dan berteriak kepada
pelayan, "Hee, pelayan! Minta tambah araknya, aku suka sekali yang
hangat dan manis!" Ia lalu menoleh ke arah gadis baju merah yang
kebetulan memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu dan gadis itu
menjadi merah kedua pipinya, sedangkan gadis baju biru yang juga
memandangnya membuang muka lagi.
Hati Suma Hoat makin tertarik.
Kiranya kakak beradik seperguruannya, pikirnya. Akan tetapi keduanya
benar-benar menarik hatinya. Gadis baju merah itu membayangkan
kehangatan dan kemanisan seperti arak yang diminumnya, sedangkan Si Baju
Biru itu memperlihatkan sikap dingin dan tenang sikap yang akan lebih
menggairahkan kalau sampai berhasil dia tundukkah. Dan dia pasti akan
dapat menundukkan mereka. Pasti!
"Jangan pandang dia, Sumoi. Aku
mengenal sinar mata laki-laki seperti itu! Baik dia pendekar maupun
penjahat, yang jelas dia adalah laki-laki yang kurang ajar. Kita sedang
melakukan tugas, dan Suhu berpesan agar kita tidak melibatkan diri dan
membawa-bawa Siauw-lim-pai ke dalam permusuhan. Mari kita selesaikan
makan dan melanjutkan perjalanan agar jangan kemalaman melewati
Pegunungan Kwi-hwa-san."
"Baiklah, Suci."
Kedua orang gadis itu
melanjutkan makan hidangan mereka yang dilayani oleh seorang pelayan.
Mendengar bisikan itu, Suma Hoat tertarik. Kiranya dua orang murid
Siauw-lim-pai! Dia harus berhati-hati. Siauw-lim-pai tidak boleh dibuat
main-main! Namun, selama ini dia hanya mendapatkan gadis-gadis yang
lemah, maka munculnya dua tangkai bunga harum di depan hidungnya yang
ternyata adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang gagah perkasa, telah
mengusik nafsu berahinya.
"Setelah makan, kita mengambil bekal
pakaian di hotel Nam-am kemudian membeli roti kering untuk bekal di
perjalanan," kata pula gadis baju biru.
"Apakah tidak perlu membeli kuda, Suci?"
"Ahh,
mana bisa kita begitu royal, Sumoi? Membeli kuda bukanlah hal yang
murah. Pula, kalau kita menggunakan ilmu lari cepat tidak banyak bedanya
dengan menunggang kuda."
"Akan tetapi tidak melelahkan, Su-ci....?"
"Hemm,
Sumoi. Dari mana engkau akan mendapatkan uang untuk membeli dua ekor
kuda? Kalau bekal uang kita ditambah perhiasan ditukarkan kuda, habis
bagaimana kita akan membeli makanan? Sudahlah, jangan rewel...."
Suma
Hoat bangkit dari bangkunya, menghampiri pengurus restoran,
berbisik-bisik dan mengeluarkan beberapa potong perak dari sakunya,
kemudian pergi meninggalkan restoran, diikuti pandang mata dua orang
murid perempuan Siauw-lim-pai akan tetapi Suma Hoat sendiri tidak pernah
menengok.
"Agaknya engkau salah duga, Suci. Dia bukan orang jahat.
Kelihatannya lebih pantas menjadi seorang pendekar, begitu halus
gerak-geriknya seperti seorang pelajar, dan wajahnya...."
"Sumoi!"
Sumoinya
tersenyum, akan tetapi kedua pipinya merah. "Suci, kalau tidak salah
tahun ini usiamu sudah dua puluh tahun, bukan? Dan aku sudah delapan
belas tahun. Kita sudah dewasa dan selama bertahun-tahun kita selalu
tekun mempelajari ilmu silat. Salahkah kalau sebagai gadis-gadis dewasa,
sekali-kali kita memandang dan memperhatikan seorang pemuda yang
menarik hati? Betapapun juga, kelak kita tentu akan bertemu jodoh,
Suci...."
"Hush! Sumoi, memalukan sekali bicaramu! Sungguh melanggar susila!"
Gadis
baju merah menahan ketawa, menutup mulut dan memandang sucinya dengan
mata berseri. "Suci, maafkan kalau aku membantah. Gadis-gadis dewasa
merasa tertarik dan membicarakan seorang pemuda yang gagah dan tampan,
mengapa kaukatakan melanggar susila? Kalau begitu pendapatmu, tentu akan
terjadi makin banyak lagi peristiwa yang menyedihkan seperti dalam
dongeng Sam Pek dan Eng Tai! Laki-laki boleh memilih jodoh, apakah kita
kaum wanita hanya dijadikan budak belian, diberikan siapa saja di luar
kehendak kita untuk menjadi isteri orang? Tidak, Suci. Kuanggap sudah
wajar kalau kita pun tertarik kepada pria yang memenuhi selera hati kita
dan...."
"Cukup, Sumoi! Agaknya kau tergila-gila kepada dia tadi, ya? Sungguh tak tahu malu!"
"Tergila-gila sih tidak, hanya aku mengatakan bahwa dia itu seorang pemuda yang gagah tampan dan halus gerak-geriknya...."
"Sudahlah.
Mari kita pergi! Kalau terdengar orang, sungguh memalukan!" Si Gadis
Baju Biru lalu bangkit berdiri, diikuti sumoinya yang tersenyum-senyum
memanggii pelayan,
"Hitung semua berapa!" kata Sang Suci dengan suara
agak keras karena hatinya mengkal terhadap sumoinya. Dia mengenal
sumoinya yang berwatak jenaka, riang dan lincah, akan tetapi memuji-muji
seorang pemuda tampan benar-benar hal ini dianggap keterlaluan dan tak
tahu malu!
Betapa heran hati kedua orang gadis itu ketika dengan membongkok-bongkok Si Pelayan berkata,
"Sudah dibayar, Ji-wi Siocia. Semua hidangan sudah dibayar lunas oleh sahabat Ji-wi tadi.
"Sudah dibayar? Oleh sahabat yang mana?" Gadis baju biru bertanya.
Pelayan
itu membungkuk-bungkuk tersenyum. "Oleh Kongcu tadi yang mengaku
sahabat Ji-wi. Dia baik sekali, pembayarannya kelebihan banyak akan
tetapi dihadiahkan kepada kami...."Gadis baju biru mengepal tinju,
matanya memancarkan kemarahan, wajahnya agak merah. Akan tetapi sumoinya
menyentuh lengannya dari belakang dan berkata,
"Ah, sungguh sahabat
kita itu terlalu sungkan. Marilah, Suci, kalau sudah dibayar, sudah
saja." Ia menarik tangan sucinya keluar dari restoran itu.
"Setan!
Dia benar-benar kurang ajar dan berani mati!" Gadis baju biru mengomel
setelah mereka keluar dari restoran."Aihhh, mengapa Suci marah-marah?
Orang telah bersikap baik, mengapa tidak bersyukur dan berterima kasih
malah dimaki-maki?" Sumoinya mencela.
"Sumoi!" Sucinya membentak
marah dan melototkan matanya yang bening. "Apakah harga diri
kehormatanmu hanya semurah harga makanan itu?"
"Eh-eh.... mengapa
Suci berkata demikian? Dia membayar makanan secara diam-diam, sedikit
pun tidak mengeluarkan ucapan dan perbuatan yang kurang ajar! Bagaimana
Suci menyebut-nyebut soal harga diri dan kehormatan?"Sucinya menghela
napas panjang. "Sumoi, biar usiamu sudah delapan belas tahun, namun
engkau selalu terkurung dan tidak ada pengalaman. Engkau tidak tahu
betapa bahayanya kaum pria dengan sikap manis mereka. Hati-hatilah
Sumoi, kalau engkau tidak membentuk benteng baja di luar hati dan
perasaanmu, engkau akan mudah tergelincir oleh licinnya sikap manis
pria."
"Suci...."
"Sudahlah! Mari kita ke hotel!"
Akan tetapi
ketika mereka berdua tiba di hotel, mereka menghadapi keanehan ke dua
yang membikin Sang Suci makin mendongkol akan tetapi Sang Sumoi makin
girang. Di hotel ini, tidak hanya kamar hotel dibayar oleh "sahabat"
itu, malah telah tersedia dua ekor kuda besar yang dihadiahkan oleh
"sahabat" itu kepada mereka! Gadis baju biru hendak marah-marah, akan
tetapi sumoinya membisikkan bahwa kalau Sang Suci marah-marah, maka
tentu akan menarik perhatian orang dan bukankah hal itu akan lebih
memalukan lagi?
"Kita terima dengan wajar dan semua orang akan
menganggap hal itu wajar pula, karena apakah anehnya kalau seorang
sahabat baik menghadiahkan dua ekor kuda? Pula, bukankah
perbuatan-perbuatannya itu kini meyakinkan kita bahwa dia tidak
mengandung niat buruk?" "Hemm... malah makin curiga aku kepadanya,
Sumoi."
Seorang pelayan hotel menghampiri mereka dan memberi hormat.
"Ji-wi Siocia, Kongcu sahabat Ji-wi tadi meninggalkan sepucuk surat
kepada Ji-wi." Ia menyerahkan sebuah sampul kepada mereka. Gadis baju
biru menerima sampul dengan alis berkerut.
"Wah, sampulnya berbau
harum!" bisik Sumoi tersenyum dan hal ini menambah kemengkalan hati
sucinya yang merobek ujung sampul dengan gerakan kasar lalu mencabut
keluar sehelai kertas. Tulisan yang terdapat di kertas itu amat indah,
dan hanya merupakan surat yang singkat :
Sebaiknya menunggang kuda
agar tidak kemalaman lewat Kwi-hwa-san. Harap Ji-wi Li-hiap berhati-hati
kalau sampai di sana, karena di Kwi-hwa-san terdapat gerombolan
perampok yang lihai.
Teriring hormatnya
Sahabat Ji-wi.
Gadis
baju biru itu merobek-robek surat dan sampul sampai berkeping-keping dan
wajahnya menjadi merah. "Kalau ada perampok, tentu dialah orangnya.
Hemm, hendak kulihat saja sampai di mana puncak kekurangajarannya!"
Biarpun
berkata demikian, dia tidak menolak ketika sumoinya mengajak dia
melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda pemberian Si Pembuat Surat
itu. Setelah membeli bekal roti kering, mereka lalu membalapkan kuda
keluar kota menuju di mana Puncak Pegunungan Kwi-hwa-san tampak tertutup
awan.
Kedua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis sembarangan. Yang
berbaju biru, sang suci, bernama Liang Bi, sedangkan sumoinya bernama
Kim Cui Leng, keduanya adalah murid-murid pilihan dari Ketua
Siauw-lim-pai di waktu itu, yaitu Kian Ti Hosiang yang amat lihai!
Biarpun baru selama lima tahun mereka digembleng oleh Kian Ti Hosiang,
namun ilmu kepandaian kedua orang gadis ini amat lihai maka mereka
mendapat kepercayaan Kian Ti Hosiang untuk mewakilinya mengadakan
pertemuan dengan wakil-wakil dari perkumpulan Beng-kauw di selatan.
Tujuan
mereka adalah Tai-liang-san di mana terdapat wakil partai Beng-kauw dan
Ta-liang-san terletak di sebelah barat Kwi-hwa-san sehingga perjalanan
mereka sudah dekat. Paling lama tiga hari lagi mereka akan tiba di
tempat tujuan. Akan tetapi, peristiwa pertemuan dengan Pemuda tampan
gagah itu membuat hati Liang Bi merasa tidak enak sungguhpun sumoinya
kelihatan gembira dan selalu memuji-muji kebaikan hati pemuda tampan
itu.
Menjelang senja mereka tiba di Pegunungan Kwi-hwa-san yang kelihatan sunyi sekali.
"Untung
kita berkuda sehingga sebelum gelap tiba di sini, Suci. Kita harus
berhati-hati," kata Cui Leng yang teringat akan isi surat pemberi kuda.
"Huh,
siapa percaya kepada obrolan si pembual itu? Kalau ada perampok, tentu
dialah orangnya. Biar dia muncul, akan kubayar lunas kelakuannya
terhadap kita!" jawab Liang Bi marah.
"Eh, eh....! Kalau engkau
hendak membayar lunas, berarti kita harus mengganti uang makanan, hotel
dan harga kedua ekor kuda ini. Mana uang kita cukup, Suci?" Muka Liang
Bi menjadi merah. Bukan itu maksudku. Yang kubayar adalah kelancangannya
dan kekurangajarannya, kubayar dengan makian, kalau perlu kuhajar dia!"
"Awas,
Suci....!" Cui Leng tiba-tiba berseru dan tangannya menangkap sebatang
anak panah yang meluncur ke arah dadanya. Akan tetapi, tanpa
diperingatkan pun, Liang Bi sudah bergerak cepat dan tangan kirinya
sudah pula berhasil menangkap sebatang anak panah yang menyambarnya.
Tiba-tiba
terdengar suara bercuitan nyaring dan belasan batang anak panah
menyambar ke arah kuda tunggangan mereka! Dengan anak panah rampasan,
kedua orang dara perkasa ini menangkis, akan tetapi tidak urung ada anak
panah yang menancap di perut kuda mereka. Keduanya berseru keras dan
melompat ke atas, berjungkir-balik dan turun ke atas tanah sambil
mencabut pedang. Dua ekor kuda itu roboh dan berkelojotan. Dari depan
terdengar sorakan dan muncullah dua puluh orang lebih, berlari-lari ke
arah mereka.
"Kau masih tidak percaya, Suci?" Cui Leng berkata, teringat akan bunyi surat.
Namun sucinya menjawab kaku, "Ini tentu perbuatan Si Laknat itu. Kalau muncul gerombolan perampok ini, tentu dialah kepalanya!"
Akan
tetapi setelah gerombolan perampok yang terdiri dari dua puluh delapan
orang, ternyata bukan dipimpin pemuda tampan yang dicurigai, melainkan
dikepalai oleh dua orang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh
brewok dan matanya lebar, bersenjata golok besar di tangan kanan dan
sebatang cambuk di tangan kiri. Adapun semua anggauta perampok
bersenjata golok besar, di pinggang mereka tampak gulungan tali hitam.
Tidak tampak pemuda tampan di antara mereka.
"Ha-ha-ha-ha! Suheng!
Sungguh untung anak panah kita tadi tidak melukai mereka. Kiranya mereka
adalah dua orang nona yang begini denok, sayang kalau terluka. Hari ini
kita mendapat untung besar, kita berdua akan memperoleh seorang satu,
ha-ha-ha!" Perampok ke dua yang bertahi lalat di ujung hidungnya
tertawa.
"Kau benar, Sute. Sudah lama kita menjadi duda, dan dua
orang nona ini patut menjadi isteri kita. Eh, dua orang nona yang
jelita, kalian siapakah dan hendak ke mana? Jangan takut, kami tidak
akan mengganggu kalian, bahkan hendak mengangkat kalian menjadi isteri
yang tercinta dan hidup mewah di Puncak Kwi-hwa-san," kata perampok ke
satu yang matanya merah.
"Keparat yang bosan hidup!" Cui Leng
membentak dan menudingkan pedangnya. "Jangan sembarangan membuka mulut
besar yang berbau menjijikkan! Buka lebar-lebar kedua mata dan
telingamu. Kami suci dan sumoi adalah murid-murid Ketua Siauw-lim-pai!
Kalian telah lancang tangan membunuh kuda kami, hayo kalian ganti dengan
kedua telinga kalian. Buntungkan daun telinga kalian dan kami akan
mengampuni jiwa anjing kalian!"
"Ha-ha-ha-ha! Yang galak ini tentu
sumoinya. Wah, cocok dengan aku, Suheng, aku suka yang liar dan panas.
Biar sucinya itu untukmu, lebih cocok."
"Benar, Sute. Aku lebih suka yang tenang hemm...., tenang menghanyutkan. Ha-ha-ha!"
"Monyet busuk! Kalian benar-benar sudah bosan hidup!" bentak Cui Leng.
"Sumoi,
perlu apa banyak bicara dengan cacing rendah ini? Kita basmi mereka!"
kata Liang Bi yang sudah menerjang maju diikuti sumoinya yang sudah
marah sekali.
Akan tetapi sambil tertawa, dua orang kepala rampok itu
meloncat ke belakang, jauh dari mereka dan memberi aba-aba dengan suara
nyaring kepada anak buahnya yang cepat mengurung dua orang gadis itu,
Dengan sikap tenang Liang Bi dan Cui Leng memasang kuda-kuda dan
memperhatikan gerak-gerik para pengepung mereka yang sudah membuat
lingkaran mengelilingi mereka. Dengan pedang melintang di depan dada,
tangan kiri diangkat tinggi ke atas kepala berdiri mengadu punggung,
kedua orang gadis itu merupakan dua orang pendekar wanita yang amat
berbahaya, dan hal ini agaknya dimengerti oleh dua orang kepala perampok
maka mereka tidak berani melayani secara langsung melainkan menyuruh
anak buah mereka mengeroyok.
Andaikata dua puluh delapan orang anak
buah perampok itu mengeroyok secara liar dengan senjata mereka itu akan
mudah dibasmi oleh Liang Bi dan Cui Leng. Akan tetapi kiranya dua orang
kepala rampok itu adalah orang-orang kasar yang memiliki kepandaian
tinggi sehingga anak buah mereka pun terlatih, bahkan pandai membentuk
barisan yang kini mulai mengelilingi dua orang dara perkasa itu.
Atas
perintah dua orang kepala rampok, anak buah mereka kini melolos
gulungan tali hitam. Kembali dua orang pemimpin itu meneriakkan perintah
dan tiba-tiba tampak sinar hitam melayang dari sekeliling dua orang
gadis itu. Kiranya para anak buah perampok itu telah melontarkan tali
hitam ke arah mereka dan tali-tali itu akan melibat tubuh mereka berdua.
Liang Bi dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan cepat mereka memutar
pedang menyambut. Beberapa helai tali hitam terbabat putus, akan tetapi
ada yang menyambar ke arah kaki dan tubuh mereka sehingga terpaksa
keduanya meloncat ke sana ke mari sambil memutar pedang. Biarpun tidak
ada tali yang dapat membelit tubuh mereka, namun mereka menjadi terpisah
dan segera dua puluh delapan orang itu terpecah menjadi dua rombongan,
masing-masing empat belas orang mengurung Liang Bi dan Cui Leng! Sehelai
tali melibat kaki Cui Leng. Pemegang tali tertawa girang akan tetapi
suara ketawanya berubah pekik ketakutan ketika tubuhnya melayang ke
udara karena dara ini menggerakkan kakinya yang terbelit tali sedemikian
kuatnya sehingga pemegangnya terbawa melayang ke atas dan terlempar ke
arah dara ini yang menyambut dengan babatan pedangnya.
"Crokkk!" Perampok itu roboh dan mati seketika karena pinggangnya hampir putus!
Mulailah
para perampok itu menerjang dengan golok mereka dan dua orang dara
perkasa itu menggerakkan pedang mengamuk. Biarpun para perampok itu
rata-rata pandai mainkan golok, namun menghadapi Liang Bi dan Cui Leng,
sebentar saja enam orang roboh tak dapat bangun kembali sedangkan
beberapa orang lagi terlempar kena tendangan dan merangkak bangun lagi
sambil mengaduh-aduh. Kacau-balaulah keadaan para pengeroyok, namun
mereka masih mengeroyok penuh semangat karena kini dua orang pimpinan
mereka maju sendiri dan ikut mengeroyok. Perampok mata merah melawan
Liang Bi dibantu belasan orang anak buahnya, sedangkan perampok bertahi
lalat, sutenya menghadapi Cui Leng juga dibantu belasan orang.
Pertandingan hebat dan mati-matian terjadi dan ternyata bahwa dua orang
kepala rampok itu memiliki kepandaian yang lumayan, terutama sekali
cambuk mereka yang melecut-lecut di atas kepala lawan membuat kedua
orang gadis itu harus bersilat dengan hati-hati. Selain kelihaian cambuk
mereka, juga senjata golok kedua orang kepala rampok ini berat sekali,
ditambah tenaga mereka yang seperti gajah membuat dua orang pendekar
wanita Siauw-lim-pai mempergunakan gin-kang untuk mengelak ke sana ke
mari sambil menggerakkan pedang merobohkah lagi beberapa orang anak buah
perampok. Darah mulai muncrat ke sana-sini membasahi rumput dan dua
orang dara perkasa itu mengamuk dengan hebat, tidak mau berhenti sebelum
membasmi semua perampok itu.
Setelah mendapat kenyataan bahwa dua
orang wanita yang tadinya hendak mereka tangkap hidup-hidup itu amat
lihai, nafsu berahi kedua orang kepala rampok berubah menjadi kemarahan
meluap-luap dan kini mereka menyerang untuk membunuh. Namun, Liang Bi
dan Cui Leng tidak menjadi gentar dan pedang mereka berubah menjadi
sinar bergulung-gulung yang menyilaukan mata dan amat berbahaya karena
setiap orang pengeroyok yang berani terlalu dekat tentu akan roboh
disambar pedang. Pengepungan menjadi mengendur dan mereka hanya berani
menyerang dari jauh, bahkan tidak berani menyerang secara langsung dari
depan. Kecuali dua orang kepala rampok yang memutar-mutar cambuk
mengeluarkan angin yang berbunyi nyaring bercuitan.
Tiba-tiba dua
orang dara perkasa itu menjerit dan terhuyung. Paha kiri Lian Bi dan
pundak kanan Cui Leng terkena senjata rahasia yang berupa jarum dengan
ronce merah. Mereka tidak tahu siapa yang melepas senjata rahasia secara
demikian lihai, datangnya dari atas dan tak tersangka-sangka sehingga
mereka yang datang menghadapi pengeroyokan itu tidak dapat mengelak
lagi. Liang Bi yang terluka pahanya, kini melawan sambil agak
terpincang-pincang sedangkan Cui Leng terpaksa memindahkan pedang ke
tangan kiri karena lengan kanannya terasa panas dan kaku! Para perampok
tidak melihat datangnya senjata rahasia itu, mengira bahwa dua orang
gadis itu menjadi lelah. Mereka mengepung semakin ketat sambil
berteriak-teriak.
"Tangkap mereka hidup-hidup!" teriak kedua orang kepala perampok sambil mendesak terus.
Liang
Bi dan Cui Leng kini menjadi repot. Kalau pihak perampok dapat melepas
senjata rahasia demikian lihainya, berarti mereka akan celaka. Untuk
mencegah dua orang kepala rampok itu menyerang dengan senjata rahasia
lagi, mereka memaksa diri bergerak cepat meloncat ke sana-sini di antara
para pengeroyok sehingga membahayakan penyerangan senjata rahasia
mengenai kawan sendiri. Biarpun sudah terluka, namun mereka masih sempat
merobohkan masing-masing dua orang anak buah perampok lagi, namun
keadaan mereka makin payah karena luka jarum itu benar-benar menimbulkan
rasa panas yang terus menjalar ke seluruh tubuh mereka, sebagai
ahli-ahli silat tingkat tinggi, dapat menduga bahwa tentu saja senjata
rahasia itu mengandung racun berbahaya, maka tentu saja mereka mulai
merasa khawatir sekali.
Tiba-tiba terdengar suara melengking seperti
suling dengan lagu yang amat aneh, makin lama makin keras. Tak lama
kemudian terdengar jerit ketakutan disusul robohnya beberapa orang
anggauta perampok.
"Ular....! Ular....!"
Dua orang kepala rampok
itu membelalakkan mata dan terkejut bukan main ketika melihat puluhan
ekor ular berbisa telah berada di situ dan dengan ganas menyerang anak
buah mereka! Ketika mereka memandang, tak jauh dari situ berdiri seorang
pemuda tampan yang dengan tenangnya meniup sebatang suling yang
bentuknya aneh. Mengertilah mereka bahwa laki-laki muda itulah yang
menggerakkan ular-ular itu dengan suara sulingnya. Sambil berseru marah
keduanya meloncat ke arah laki-laki itu dengan cambuk dan golok di
tangan.
"Tar! Tar!" Dua batang cambuk menghantam kepala laki-laki
itu, namun dengan tenang laki-laki itu mengulur tangan kiri, menangkap
kedua ujung cambuk dan sekali renggut kedua batang cambuk, itu putus
tengahnya! Dua orang kepala rampok makin marah, golok mereka membacok,
namun pemuda itu hanya menggeser kaki dan dua batang golok itu luput,
lalu tiba-tiba tampak sinar berkelebat dua kali dan robohlah dua orang
kepala rampok dengan dada terbuka mengucurkan darah, sedangkan pemuda
yang melakukan semua itu dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan tetap
memegang suling yang ditiup, kini dengan tenangnya menyimpan kembali
pedang yang tadi ia pergunakan membunuh dua orang kepala rampok itu.
Liang
Bi dan Cui Leng melihat bahwa peniup suling itu bukan lain adalah Si
Pemuda Tampan yang telah mengaku sahabat mereka! Cui Leng berseru
girang, akan tetapi Liang Bi mengerutkan alisnya. Betapapun juga, kedua
orang dara perkasa ini mengamuk lebih hebat sehingga dalam waktu
sebentar saja, robohlah semua gerombolan perampok, tidak ada seorang pun
yang dapat lolos, sebagian roboh oleh pedang kedua pendekar wanita ini,
sebagian lagi oleh sebagian ular-ular yang mengamuk.
Pemuda yang
bukan lain adalah Suma Hoat itu, menghentikan "lagu" sulingnya dan
meniup suling dengan suara meninggi dan pendek-pendek. Ular-ular itu
merayap pergi seolah-olah diusir oleh bunyi pendek-pendek ini dan
sebentar saja tidak tampak seekor pun ular di situ.
Adapun Liang Bi
dan Cui Leng, cepat-cepat menjauhkan diri ke tempat yang bersih, duduk
bersila dan mengerahkan sin-kang untuk melawan racun yang menjalar ke
tubuh mereka melalui luka di tubuh yang terkena senjata rahasia.,
"Syukur bahwa Ji-wi selamat. Memang perampok-perampok di sini amat berbahaya," terdengar Suma Hoat berkata.
Liang Bi dan Cui Lang membuka mata, yang pertama memandang dengan alis berkerut, yang kedua dengan mata berseri.
"Kalau
tidak cepat engkau datang bersama barisan ularmu yang hebat, tentu kami
telah tewas, sobat baik!" kata Cui Leng tersenyum lalu menggigit bibir
menahan rasa sakit.
Liang Bi makin tak senang, akan tetapi ia pun cepat berkata, "Terima kasih atas pertolongan Kongcu."
Suma
Hoat tentu saja melihat perbedaan sambutan ini dan ia tersenyum, senyum
yang khas dipelajarinya untuk menundukkan hati wanita-wanita muda. Ia
melihat sinar kagum dan gembira di mata Cui Leng, akan tetapi Liang Bi
tetap memandang dingin.
"Perampok-perampok ini mempunyai sarang di dalam hutan, tak jauh dari sini. Marilah Ji-wi beristirahat di sana."
Cui
Leng sudah hendak menjawab, akan tetapi Liang Bi mendahuluinya, "Terima
kasih, tidak usahlah. Kami akan beristirahat di sini dan menyembuhkan
luka...."
"AihMhh....! Ji-wi terluka....? Aduh celaka....! Itu adalah
Ang-tok-ciam (Jarum Racun Merah)! Berbahaya sekali!" tiba-tiba Suma
Hoat berseru.
Liang Bi menjawab dingin, "Tidak mengapa, Kongcu Kami sanggup mengobatinya dengan sin-kang...."
"Wah,
mana bisa? Sedikit-sedikit aku mengerti tentang pengobatan! Racun
Ang-tok-ciam amat lihai. Biarpun dapat dilawan dengan sin-kang dan tidak
sampai merampas nyawa, namun akibatnya akan membuat muka menjadi bopeng
dengan totol merah yang tidak dapat diobati lagi. Coba Ji-wi rasakan,
benar tidak. Bukankah di tempat yang terkena luka itu terasa gatal-gatal
dan di sekitar kelilingnya kaku dan rasa panas menjalar naik perlahan
dari situ dan pertama-tama rasa panas itu menjalar naik? Bagi orang yang
tidak mempunyai sin-kang, tentu akan tewas dalam waktu dua belas jam.
Bagi Ji-wi yang memiliki sin-kang tinggi, akan dapat menyelamatkan
nyawa, akan tetapi hawa panas yang naik ke atas itu akan keluar dari
lobang-lobang kulit muka dan menimbulkan totol-totol merah! Marilah ikut
bersamaku ke sarang perampok, dan aku akan mengobati Ji-wi."
"Suci...."
Cui Leng memandang sucinya dengan wajah membayangkan kengerian
mendengar betapa racun jarum beronce merah itu akan membuat wajahnya
yang cantik menjadi bopeng dengan totol-totol merah!
Akan tetapi,
dengan sikap dingin Liang Bi menggeleng kepala dan berkata kepada Suma
Hoat, "Terima kasih atas kebaikanmu, Kongcu. Akan tetapi kami akan
beristirahat di sini saja dan mengobati sendiri luka-luka kami."
Suma
Hoat menarik napas panjang, menggerakkan kedua pundak dan berkata,
"Agaknya Ji-wi Li-hiap merasa curiga kepadaku dan menerima salah maksud
baikku. Maafkan kalau aku telah berlaku lancang dengan melakukan
pembayaran dan membelikan kuda yang tidak ada artinya dan yang
kumaksudkan hanya untuk bersahabat itu. Tentu saja aku tidak dapat
memaksa, akan tetapi.... aku akan menanti di dalam hutan, di bekas rumah
perampok kalau-kalau Ji-wi Lihiap berubah pikiran dan suka kuobati agar
racun itu tidak mengakibatkan cacat pada muka Ji-wi. Selamat berpisah."
Ia lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan kedua orang gadis itu.
Sebentar saja ia sudah lenyap karena cuaca mulai gelap, bayangannya
menyelinap ke dalam hutan tak jauh di depan.
"Suci, engkau sungguh
keterlaluan! Orang berniat baik akan tetapi engkau selalu menolak.
Bagaimana kalau muka kita menjadi bopeng?" Cui Leng segera menegur kakak
seperguruannya setelah bayangan pemuda itu lenyap.
Liang Bi menoleh
ke arah adiknya. "Cui Leng-sumoi, apa artinya muka bopeng bagi seorang
gagah? Kalau hanya bopeng mukanya, tidak mengapa, asal jangan bopeng dan
cacat hatinya. Aku masih tidak percaya kepada orang itu, Sinar matanya
mengandung kepalsuan."
"Suci, aku....!"
"Cukup, Sumoi! Mengapa
sejak bertemu dengan laki-laki itu engkau selalu membantah kata-kataku?
Kita harus cepat bersamadhi menghimpun hawa murni dan mempergunakan
sin-kang untuk melawan racun!" Setelah berkata demikian, Liang Bi sudah
melanjutkan samadhinya dan memejamkan kedua mata, sebentar saja dia
sudah tenggelam ke alam samadhi, napasnya panjang-panjang teratur
seperti napas orang tidur nyenyak.
Cui Leng berusaha untuk meniru
sucinya, namun ia selalu gelisah dan tak dapat tenang. Sukar baginya
untuk mengumpulkan panca indera memusatkan kemauan dan segala perasaan
untuk menghimpun hawa murni. Bayangan wajah tampan Suma Hoat selalu
tampak, terutama sekali ucapannya tentang cacat bopeng yang mengancam
mukanya dan penawaran pemuda itu untuk mengobatinya sehingga dia akan
terbebas dari ancaman mengerikan itu selalu terngiang di telinganya.
Sejam
kemudian, setelah merasa yakin bahwa sucinya telah "pulas" dalam
samadhi, Cui Leng tak dapat menahan diri dari ancaman bahaya bopeng,
maka diam-diam ia meninggalkan sucinya memasuki hutan dengan maksud
menjelang pagi sebelum sucinya sadar kembali dari samadhi, dia akan
kembali ke situ sehingga kepergiannya tidak diketahui sucinya.
Mudah
saja bagi Cui Leng untuk mendapatkan rumah bekas tempat tinggal kepala
rampok itu karena rumah itu cukup megah di tengah hutan dan tampak
cahaya penerangan dari rumah itu! Dengan jantung berdebar dia meloncat
ke depan pintu yang segera terbuka dan muncullah pemuda itu sambil
tersenyum amat tampannya.
"Ah, selamat malam, Nona. Syukur bahwa Li-hiap suka datang...."
Berhadapan
dengan pemuda itu, tiba-tiba Cui Leng merasa kikuk dan malu-malu.
"Aku.... aku hendak minta obat.... aku tidak mau menjadi bopeng...."
"Tentu saja! Sayang, sekali kalau Li-hiap sampai menjadi bopeng. Eh, mana sucimu, mengapa tidak datang?"
"Dia....
dia tidak mau, dia.... sedang siu-lian, kutinggalkan di sana. Harap kau
suka menolongku dan aku akan berterima kasih sekali, kemudian aku akan
segera kembali agar dia tidak tahu bahwa aku melanggar perintahnya. Dia
galak sekali."
"Masuklah Li-hiap. Aku akan mengobatimu, jangan kahwatir. Rumah ini kosong, beberapa orang sisa perampok telah kuusir pergi."
Cui
Leng memasuki rumah itu yang ternyata cukup bersih dengan perabot rumah
lengkap. Dia dipersilakan duduk di atas bangku dan Suma Hoat berkata,
"Li-hiap,
orang yang terkena jarum Ang-tok-ciam harus cepat diberi obat dan jarum
itu dicabut keluar, kemudian lukanya harus disedot agar racun yang
mengeram di bawah kulit dapat dibersihkan. Engkau terluka di manakah?"
Wajah
Cui Leng mendadak menjadi merah sekali. "Di.... sedot....? Akan tetapi
aku.... aku terluka di sini...." dia menuding ke arah dada kanan,
sedikit di bawah pundak, kemudian menyambung cepat, "Biarlah kucabut dan
kusedot sendiri lukanya, baru kauobati."
Suma Hoat memandang ke arah
dada itu dan tersenyum. "Li-hiap, mana mungkin engkau menyedot luka di
tempat itu? Mulutmu tidak akan dapat mencapainya dan.... ah, sungguh aku
orang yang tidak beruntung, selalu dicurigai. Agaknya Li-hiap juga
masih tidak percaya kepadaku. Dalam keadaan seperti ini, perlukah
menggunakan rasa sungkan-sungkan lagi? Ingat bahwa aku hanya mengobati,
tidak mempunyai niat buruk yang lain. Terserah kepada Li-hiap, kalau
tidak mau, aku pun tentu saja tidak berani memaksa." Pemuda itu
membalikkan tubuh dan membelakangi Cui Leng dan menambah kayu di tempat
perapian sehingga tempat itu menjadi makin terang dan hawanya menjadi
hangat. Memang dia sengaja memberi kesempatan kepada Cui Leng untuk
mengambil keputusan.
Ia mendengar gadis itu menghela napas panjang
berulang-ulang, kemudian terdengar suaranya lirih agak gemetar,
"Baiklah.... Kongcu.... biar engkau yang menyedot dan mengobatinya. Apa
boleh buat, aku tidak sudi menjadi bopeng."
Suma Hoat tersenyum,
senyum penuh kemenangan, akan tetapi ketika ia membalikkan muka
menghadapi Cui Leng, wajahnya tampak tenang dan biasa saja, bahkan dia
berkata,
"Engkau tidak usah khawatir, Li-hiap. Dengan kepandaianmu
yang tinggi, aku bisa berbuat apakah terhadapmu? Aku hanya seorang
pelajar yang mengerti sedikit ilmu pengobatan dan yang mengandung maksud
baik." Ia lalu menghampiri buntalan pakaiannya, mengambil seguci arak
dan cawannya. Sambil menuangkan arak dia berkata dengan sembarangan,
"Harap
kau suka membuka bagian yang terluka. Setelah minum obat penawar racun
ini, baru akan kucabut jarum dan kusedot darahnya yang terkena racun."
Ia menanti sampal Cui Leng dengan jari-jari gemetar membuka bajunya,
melepaskan kancing tiga buah dari bagian atas, kemudian menguak baju
dalamnya yang juga berwarna merah sehingga tampaklah dada bagian atasnya
yang berkulit putih kemerahan dan di bawah pundak kanan itu tampak
ujung gagang jarum yang beronce merah," terhujam dalam-dalam di kulit
dan daging.
"Aku sudah siap, Kongcu," kata gadis itu perlahan.
"Baik,
sekarang minumlah dulu obat ini." Suma Hoat menyerahkan cawan yang
penuh arak obat kepada gadis itu yang segera menerima dan menenggaknya.
Gadis
itu terbatuk. "Ughh-ughh....! Aihhh, obat ini rasanya harum dan manis
akan tetapi keras sekali seperti arak yang sudah amat tua!" serunya
sambil memandang arak dalam cawan yang berwarna merah.
"Memang obat
itu dicampur dengan arak. Akan tetapi bukanlah obat sembarangan,
Li-hiap. Sudah disimpan puluhan tahun lamanya, namun khasiatnya amat
hebat. Jangan ragu-ragu minumlah!"
Cul Leng duduk di atas bangku
pendek dan Suma Hoat berlutut. Pemuda ini menggunakan kuku jari tangan
yang agak panjang terpelihara seperti kuku sastrawan, menjepit ujung
gagang jarum di antara kedua kukunya dan dengan gerakan tiba-tiba ia
mencabut jarum itu.
"Aihhh!" Cui Leng merintih karena luka itu terasa perih dan nyeri.
"Sakit
sedikit, Li-hiap. Sekarang aku akan menyedot lukanya. Engkau tidak
keberatan bukan?" Sambil bertanya demikian, Suma Hoat mengangkat muka,
memandang dan Cui Leng menunduk sehingga mereka berpandangan dengan muka
terpisah tidak jauh. Wajah itu demikian tampan, sepasang mata itu
demikian bagus dan bibir itu tersenyum amat ramah sehingga Cui Leng
menjadi percaya sepenuhnya. Lenyaplah semua kecurigaan dan keraguan, dan
jantungnya berdebar. Dia merasa sesuatu yang amat aneh yang membuat
jantungnya berdebar keras. Mengapa wajah pemuda ini sekarang luar biasa
tampannya? Mengapa dia merasa amat senang berdekatan dengannya?
Ia tersenyum malu-malu dan mengangguk, "Lakukanlah...."
Seluruh
bulu dan rambut di tubuh Cui Leng seperti berdiri ketika ia merasa
betapa bibir yang basah hangat itu menempel di kulit dada bagian atas.
Jantungnya berdebar makin keras ketika bibir itu menyedot luka di
dadanya. Ia merasakan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dialaminya,
perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, campur baur penuh rasa
senang, gembira, malu, nikmat dan membuat ia ingin menjatuhkan kepalanya
di atas pundak pemuda itu. Tubuhnya seperti tak bertulang lagi, lemas
dan lenyap seluruh kemauan, adanya hanya rasa cinta kasih yang
menggelora terhadap pemuda itu. Suma Hoat meludahkan darah yang
disedotnya, kemudian menyedot lagi, meludah lagi. Setelah ia menyedot
tiga kali, Cui Leng tak dapat menahan lagi amukan perasaan yang
menggelora di hatinya, tubuhnya gemetar dan kedua matanya setengah
terpejam, mulutnya agak terbuka, terengah memberl jalan keluar pada hawa
yang mendesak dan menyesakkan dadanya yang bergelombang.
Melihat
tanda ini, diam-diam Suma Hoat tersenyum. "Arak obat" yang diberikannya
tadi sudah bekerja baik. Sebagai seorang yang sudah berpengalaman
matang, dia maklum bahwa arak yang sebetulnya adalah obat perangsang itu
mempunyai daya melumpuhkan semua pertahanan susila dihati wanita dan
tentu saja seperti obat-obat perangsang lain, hanya akan manjur terhadap
wanita yang memang sudah mengandung hati tertarik kepadanya. Maka kini
perlahan-lahan bibirnya bergeser, bukan lagi luka itu yang dikecupnya,
melainkan naik ke leher.
Cui Leng merasakan hal ini, dan ia terkejut
sekali, namun apa daya, semua kemauannya telah lenyap, bahkan dia merasa
dirinya seperti terapung di angkasa, demikian menyenangkan. Dia hanya
dapat mengeluh panjang, napasnya makin terengah dan kini kedua matanya
bahkan dipejamkan sama sekali. Tak lama kemudian, ketika pemuda itu
merangkul dan menciumi pipi dan bibirnya, dia merintih dan kedua
lengannya merangkul leher pemuda itu tanpa disadarinya. Cui Leng telah
lupa dan mabok. Perasaannya terhadap pemuda itu hanya bahwa pemuda itu
amat baik, amat tampan, amat gagah perkasa dan sepatutnya menjadi
jodohnya!
Seperti dalam mimpi ia menyerah, menurut dan memenuhi apa
saja yang dikehendaki pemuda itu dan satu-satunya. percakapan di antara
mereka adalah pertanyaan Si Pemuda.
"Kekasihku, siapakah namamu?"
Pertanyaan
yang aneh. Belum juga mengenal nama, sudah menyerahkan segalanya! Namun
pada saat itu, Cui Leng yang sudah mabok dan lupa daratan itu tidak
merasai keanehan ini dan menjawab lirih, " Namaku Kim Cui Leng.... dan
kau, Koko....?"
"Panggil saja aku Hoat."
"Hoat-ko.... aku cinta padamu...."
Dengan
ucapan ini, Cui Leng kehilangan segala-galanya. Ia telah serahkan jiwa
raganya kepada seorang pria yang sama sekali tidak diketahui riwayat dan
keadaannya! Bahkan namanya pun hanya diketahui dengan sebuah huruf
"Hoat" saja! Dia seorang gadis yang tidak mempunyai pengalaman sama
sekali, masih hijau, dan yang mempermainkannya adalah seorang
"Jai-hwa-sian" yang pahdai merayu, tentu saja Cui Leng benar-benar
jatuh!
Barulah pada keesokan harinya, ketika sadar dari tidurnya yang
nyenyak berbantal lengan dan dada Suma Hoat, Cui Leng menjerit,
teringat akan segala yang terjadi dan ia menangis tersedu-sedu. Suma
Hoat memeluknya.
"Ah, Leng-moi, kekasihku, dewi pujaan hatiku. Kenapa menangis? Apakah engkau menyesal mempunyai kekasih seperti aku?"
"Tidak....! Tidak....! Aku cinta padamu, Koko, akan tetapi...."
Suma Hoat menciuminya. "Mengapa menangis?"
"Aku takut! Kalau Suci tahu, celakalah aku. Aku tentu akan dibunuhnya! Ini merupakan pelanggaran kami!"
Suma
Hoat tertawa, "Ha-ha-ha! Mengapa takut kepadanya? Jangankan baru dia,
biar seluruh tokoh Siauw-lim-pai datang, jangan takut. Ada aku di sini,
Leng-moi. Percayalah, aku tidaklah selemah yang kaukira. Lihat ini!"
Suma Hoat menggerakkan tangan kiri dengan jari terbuka ke arah lantai.
Terdengar suara "plak! Plak!" dan Cui Leng memandang lantai dengan mata
terbelalak melihat betapa telapak tangan pemuda itu membuat bekas yang
amat dalam dan begitu jelas sehingga tampak garis telapak tangannya.
"Eh.... itu.... Tiat-ciang-kang (Telapak Tangan Besi)!" serunya kagum.
"Dan
lihat ini!" Kembali tangannya didorongkan ke depan, ke arah guci arak
di atas meja dan.... "wuuuuttt!" guci arak itu terbang melayang ke arah
tangannya, disambut dan pemuda itu menenggak araknya!
"Wah, Koko....! Sin-kangmu hebat bukan main!"
"Nah, masih takutkah engkau? Biar sucimu datang, dia tidak akan dapat mengganggumu, apalagi membunuhmu."
"Akan tetapi, namaku akan ternoda! Koko, bagaimana baiknya....?" Wajah gadis itu menjadi pucat.
"Karena
ketahuan Sucimu? Ha-ha, Leng-moi, kekasihku. Jalan satu-satunya
hanyalah mengusahakan agar sucimu mau bermain cinta denganku, mau
melayaniku. Dengan demikian, engkau mempunyai teman dan dapat saling
menyimpan rahasia!"
"Kau....!" Tangan Cui Leng menyambar hendak
menampar muka Suma Hoat, akan tetapi pemuda itu menangkap tangan itu
sambil tertawa-tawa dan betapa pun Cui Leng meronta sambil mengerahkan
tenaga, tetap saja dia tidak mampu melepaskan tangannya.
"Leng-moi,
jangan begitu. Ingatkah kita melakukan permainan cinta atas dasar suka
sama suka, bukan? Tidak ada yang memaksa! Aku adalah seorang laki-laki
yang takkan menolak cinta kasih wanita mana pun. Aku mengusulkan agar
sucimu suka bermain cinta denganku semata-mata untuk menolongmu, yaitu
agar rahasiamu tetap aman tersimpan. Bagaimana?"
Cui Leng terisak. "Kau.... kau.... mata keranjang!"
"Ha-ha-ha!"
Suma Hoat tertawa. "Laki-laki mana di dunia ini yang tidak mata
keranjang? Asal diberi kesempatan tidak akan ada laki-laki yang menolak
kasih sayang wanita cantik! Dan sucimu juga cantik jelita, sungguhpun
tidak sepanas engkau. Bagaimana?
Cui Leng memang merasa menyesal dan
khawatir. Kalau sampai diketahui sucinya bahwa dia telah menyerahkan
kehormatannya kepada pria itu, tentu dia akan celaka dan selama hidupnya
takkan merasa aman. Akan tetapi, kalau sucinya juga "terjun" dan ikut
basah, sama-sama basah seperti dia, tentu saja mereka berdua akan dapat
saling menjaga rahasia masing-masing.
"Jadi kau.... kau tidak akan memperisteri aku?"
"Moi-moi?
Jangan bodoh! Hubungan kita bukanlah hubungan suami isteri, kita
melakukannya karena suka sama suka, bukan? Kita sama-santa menikmatinya,
bukan? Tadinya pun aku tidak pernah berjanji untuk mengambilmu sebagai
isteri."
"Mengapa?" Dalam suara Cui Leng terkandung putus harapan.
"Mengapa?
Karena aku sudah bersumpah selamanya tidak akan beristeri! Itulah!
Sekarang bagaimana, maukah engkau membiarkan aku membujuk sucimu agar
keadaannya sama denganmu ataukah harus kutinggalkan engkau begini saja?"
"Tidak,
jangan tinggalkan aku. Baiklah, lakukan apa yang kaukehendaki kepada
suci kalau.... kalau.... itu merupakan satu-satunya jalan...."
Melihat
betapa wajah yang cantik dan biasanya berseri itu kini berkerut tanda
susah. Suma Hoat tertawa, merangkul dan memondong Cui Leng. "Leng-moi,
hidup satu kali mengapa berduka dan berkhawatir? Tidak pantas wajahmu
yang cantik berduka. Mari kita bergembira!" Dia membawa Cui Leng lari
keluar rumah itu menuju ke sebuah sungai. Tak lama kemudian, kedua orang
itu sudah tertawa-tawa, mandi bertelanjang bulat di dalam sungai itu,
saling menyirami air, berkejaran penuh kegembiraan, saling mencurahkan
cinta kasih secara bebas seperti sepasang angsa. Cui Leng kembali
menjadi gembira, lupa sama sekali akan kekhawatirannya tadi, terbuai
mabok dalam rayuan Suma Hoat yang amat pandai menguasai hati dan
tubuhnya.
"Sumoi....!"
Bentakan Liang Bi mengejutkan Cui Leng dan
ia menengok dengan wajah pucat ke arah sumoinya yang sudah berdiri di
tepi sungai, sedangkan Suma Hoat malah tersenyum-senyum. Kekagetan Cui
Leng tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan rasa kaget yang memukul
hati Lian Bi ketika ia mencari sumoinya dan mendapatkan sumoinya sedang
mandi bersama pemuda penolong mereka dalam keadaan telanjang bulat
seperti itu.
"Ha-ha, kebetulan sekali engkau datang Li-hiap. Marilah
ikut bersama kami, di sini segar dan nyaman. Tanggalkan pakaianmu!" kata
Suma Hoat.
Saking bingung dan takutnya melihat sucinya penuh
kemarahan, Cui Leng berkata di luar kesadarannya, "Benar suci! Mari kita
mandi bersama Hoat-koko....!"
"Sumoi, engkau murid yang murtad!
Tidak malu melakukan perbuatan terkutuk" dengan kemarahan meluap Liang
Bi mencabut pedangnya. "Manusia-manusia macam kalian harus kubunuh!"
"Suci....!"
"Tenanglah,
Leng-moi, biar aku yang menundukkannya!" Setelah berkata demikian
sekali melompat tubuh Suma Hoat yang telanjang bulat melayang ke darat,
ke depan Liang Bi.
Selama hidupnya yang dua puluh tahun lamanya,
dalam mimpi pun belum pernah Liang Bi melihat seorang laki-laki dewasa
telanjang. Kini ada seorang laki-laki dewasa bertelanjang bulat berdiri
di depannya, tentu saja hal ini merupakan pengalaman yang amat hebat,
yang membuat seluruh tubuhnya menggigil dan ia hampir pingsan saking
malunya. Akan tetapi kemarahannya mengatasi segala perasaan lain. Dengan
teriakan ganas ia menerjang dengan pedangnya, membacok laki-laki itu
penuh kebencian.
Akan tetapi, selain tingkat ilmu kepandaian Suma
Hoat sudah amat tinggi, juga menghadapi seorang pria yang telanjang
bulat itu membuat Liang Bi merasa ngeri sehingga gerakannya terganggu
dan dengan mudah Suma Hoat menghindarkan diri dari serangan pedang yang
bertubi-tubi.
"Ah, Nona yang manis, mengapa engkau hendak membunuhku
yang tidak berdosa? Sumoimu dan aku sama-sama menikmati cinta kasih dan
marilah, engkau ikut pula menikmatinya. Tegakah engkau membunuh aku yang
tidak berdosa?" Sambil mengelak dengan mempergunakan gin-kangnya yang
tinggi, Suma Hoat membujuk.
"Manusia hina! Terkutuk! Mampuslah!"
Liang
Bi menerjang lagi dengan mata setengah terpejam karena dia tidak tahan
menyaksikan tubuh yang telanjang bulat begitu dekat dengannya itu.
Kembali
Suma Hoat mengelak. "Aihh, betapa tega hatimu, Nona. Akan tetapi aku
tidak tega untuk mencelakaimu. Aku cinta padamu, manis!"
Ucapan
merayu ini seperti minyak disiramkan pada api, membuat kemarahan Lian Bi
makin berkobar. Kalau pria ini mencinta sumoinya, bagaimana sekarang di
depan sumoinya berani mengeluarkan kata-kata mencintanya?
"Keparat
biadab!" Liang Bi memaki makin marah, pedangnya diputar cepat sekali
menjadi segulung sinar menyilaukan yang menyambar-nyambar.
"Aduh,
cantik dan gagah sekali engkau!" Suma Hoat kembali memuji dan cepat ia
mengelak. Tiba-tiba Liang Bi menendang dan paha kiri Suma Hoat yang
mengelak masih diserempet ujung sepatu. Suma Hoat terguling!
"Mampuslah engkau!" Liang Bi menubruk dan menusuk, Suma Hoat menggulingkan tubuhnya mengelak dari tusukan yang bertubi-tubi.
"Suci....!"
Cui Leng yang sudah naik ke darat dan mengenakan pakaian menjerit namun
Liang Bi tidak peduli terus mengejar dan menusuk ke arah tubuh yang
bergulingan itu. Makin panas hatinya karena tusukannya tidak pernah
mengenai orang yang dibencinya.
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa dan
ketika kembali Liang Bi menusuk, ia berguling dan tiba-tiba, pada saat
ujung pedang Liang Bi menyentuh tanah, tubuh Suma Hoat mencelat ke atas
dan tahu-tahu ia telah memeluk tubuh Liang Bi, meringkus tubuh itu
dengan melingkarkan kedua lengan menelikung lengan gadis itu. Liang Bi
menjerit ngeri ketika merasa betapa tubuh yang telanjang bulat itu
memeluknya begitu erat. Ia menggigil dan merasa seluruh tubuh lemas maka
ia pun roboh terguling bersama Suma Hoat. Mereka roboh di atas tanah
berumput, pedang terlepas dari tangan Liang Bi dan gadis ini hampir
pingsan ketika merasa betapa lehernya, pipinya dan bibirnya dicium oleh
pemuda yang telanjang bulat itu!
"Aku cinta padamu, Nona. Aihh, betapa cantik manis engkau....!" Suma Hoat berbisik-bisik.
"Bunuh
aku....! Bunuh saja aku.... !" Liang Bi merintih dan akhirnya ia tak
ingat diri, pingsan oleh rasa jijik dan ngeri ketika merasa betapa
tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya.
Kalau saja Suma Hoat tidak
ingat bahwa Bi adalah murid Siauw-lim-pai, dan terutama sekali tidak
ingat atau menjaga nama Cui Leng, tentu dia akan memperkosa atau
membunuh Liang Bi di saat dan di tempat itu juga. Akan tetapi dia tidak
ingin menyusahkan Cui Leng yang sudah bersikap baik kepadanya! Kalau dia
memperkosa Liang Bi, gadis yang keras hati ini akhirnya tentu akan
membunuh diri dan nama baik Cui Leng akan ternoda. Dia harus mencari
akal untuk menguasai hati dan tubuh Liang Bi tanpa paksaan sehingga
gadis itu akan berada dalam keadaan yang sama dengan sumoinya sehingga
mereka akan dapat saling menjaga rahasia masing-masing. Kalau sudah
demikian, dia akan dapat meninggalkan mereka berdua sebagai seorang
sahabat dan bekas kekasih! Dan dia tidak perlu bermusuhan dengan pihak
Siauw-lim-pai yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
Melihat
Liang Bi pingsan, Suma Hoat melepaskannya, mengenakan pakaiannya dan
berkata kepada Cui Leng yang tadi menonton dengan penuh kekhawatiran.
"Sucimu keras hati, akan tetapi aku harus menundukkannya, demi menjaga
nama baikmu. Aku akan membuat dia suka melayaniku, akan tetapi engkau
harus membantuku. Semua ini kita lakukan demi kebaikanmu."
Cui Leng
tak dapat berkata lain kecuali menarik napas panjang dan mengangguk.
Diam-diam ia menyesali perbuatannya, akan tetapi betapapun juga harus
dia akui bahwa belum pernah selama hidupnya ia merasakan kebahagiaan dan
kesenangan seperti sekarang, dan pula dia pun mengerti bahwa kalau
sucinya sudah terjun pula seperti yang telah dia lakukan, rahasianya
tentu akan tertutup dan ia aman.
Ketika siuman dari pingsannya, Liang
Bi mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah rumah yang cukup bersih
dan, megah, terikat pada dipan kayu, terbelenggu kaki tangannya. Suma
Hoat yang berpakaian rapi, bersisir dan kelihatan tampan sekali duduk di
pinggir pembaringan, Cui Leng tidak tampak dan pemuda itu tersenyum
memandangnya ketika ia membuka mata.
"Jahanam....!" Kata-kata yang
pertama keluar dari mulut Liang Bi adalah makian, namun hatinya agak
lega bahwa ia masih tetap berpakaian dan dirinya belum ternoda.
Suma
Hoat tersenyum. "Bi-moi, engkau sungguh cantik sesuai dengan namamu. Aku
cinta padamu, Bi-moi," Suma Hoat merayu dan mengusap dagu yang halus
itu. Liang Bi membuang muka dengan gerakan kasar.
"Jangan sentuh aku! Lebih baik kaubunuh saja!" teriaknya dan dua butir air mata meloncat keluar dari sepasang matanya.
"Aihh,
sayang sekali kalau dibunuh. Aku tidak akan membunuhmu, tidak akan
mencelakakanmu. Aku cinta padamu. Mengapa engkau berkeras kepala? Aku
hanya ingin engkau membalas cintaku! Bukankah sudah cocok sekali kalau
seorang gadis jelita seperti engkau dan seorang pemuda tampan seperti
aku saling mencinta?" .
"Phuih! Manusia terkutuk! Jangan mengira
bahwa semua wanita akan semudah itu kaupermainkan! Aku lebih baik mati
daripada melakukan perbuatan terkutuk!"
Akan tetapi Suma Hoat tertawa
dan dengan gerakan mesra mulailah ia membelai dan menciumi. Liang Bi
meronta-ronta, memaki-maki dan menangis. Melihat betapa gadis itu sama
sekali tidak bergerak hatinya oleh cumbu rayunya, Suma Hoat menghentikan
perbuatannya.
"Hemm, engkau benar keras hati dan keras kepala.
Hendak kulihat sampai di mana kekerasanmu!" Pemuda yang kalau berhadapan
dengan wanita menjadi keji dan ganas seperti iblis itu lalu mengambil
secawan arak, yaitu obat perangsang yang sudah dipersiapkan.
"Kauminumlah arak obat ini, manis!"
"Tidak sudi! Engkau telah menipu,
menjatuhkan hati Sumoi yang lemah dengan tipuanmu. Jarum itu sama
sekali tidak mengandung racun berbahaya. Tanpa pengobatan pun akan
lenyap sendiri rasa gatal dan panas, namun engkau membohongi Sumoi.
Engkau katakan bahwa racun itu akan membuat muka menjadi bopeng,
buktinya aku tidak apa-apa! Aku tidak sudi minum obatmu yang terkutuk!"
Liang Bi membuang muka ke samping.
Akan tetapi sambil tertawa Suma
Hoat menggunakan tangan kiri memegang dagu, dengan jari-jari tangannya
yang kuat ia memaksa mulut Liang Bi terbuka dan ia menuangkan isi cawan
ke dalam mulut dara itu. Liang Bi gelagapan terpaksa menelan arak obat
itu sampai habis. Ia terbatuk-batuk dan memaki-maki.
"Binatang!
Iblis! Aku bersumpah untuk membunuhmu! Engkau telah menghina murid-murid
Siauw-lim-pai!" ia meronta-ronta dan memandang Suma Hoat yang
tertawa-tawa penuh kebencian.
Suma Hoat hanya duduk dan memandang
sambil tersenyum. Tak lama kemudian obat itu mulai bekerja. Liang Bi
menjadi gelisah. Seluruh tubuhnya terasa panas dan jantungnya berdegup
kencang, pandang matanya kabur, kepalanya pening. Makin lama makin panas
rasanya sehingga ia mengira bahwa tubuhnya telah kemasukan racun dan ia
akan mati. Akan tetapi ia tidak peduli. Yang amat mengganggu hatinya
adalah perasaan aneh yang mendorong-dorongnya, menimbulkan rangsangan
birahi, membuat ia seolah-olah dipaksa dari dalam untuk menyerah, untuk
menerima pemuda itu yang kelihatan amat tampan dan menggairahkan. Namun,
karena pada dasarnya dia tidak sudi melakukan perbuatan yang
dianggapnya terkutuk itu, dia dapat melawan perasaan aneh ini dan dia
memejamkan mata agar tidak melihat wajah yang tampan dan senyum manis
itu.
"Suci, mengapa Suci tidak mau menurut! Hoat-koko orangnya amat
baik, Suci. Aku.... aku cinta padanya dan kalau Suci menurut, Suci pun
akan jatuh cinta padanya.!"
Mendengar suara sumoinya ini, Liang Bi
membuka mata dan menoleh. "Perempuan hina! Perempuan rendah! Orang macam
engkau ini seribu kali lebih baik membunuh diri saja, tidak ada
harganya untuk hidup!" .
Muka Cui Leng menjadi merah, akan tetapi
Suma Hoat sudah memeluknya sambil tertawa, "Leng-moi, sucimu lebih suka
mati, lebih suka menderita. Biarlah, kita berdua lebih senang untuk
memilih hidup dan bersenang, ha-ha-ha!" Suma Hoat lalu menarik tangan
Cui Leng ke atas pembaringan dimana Liang Bi terbelenggu, kemudian ia
mulai membelai Cui Leng. Tanpa malu-malu, di depan mata Liang Bi dia
mengajak Cui Leng bermain cinta! Biarpun Cui Leng merasa sungkan dan
malu sekali, akan tetapi karena dia maklum bahwa perbuatan ini dilakukan
oleh kekasihnya untuk menggerakkan hati sucinya dan dia amat memerlukan
sucinya ikut terjun dalam permainan itu yang akan menyelamatkan
rahasianya, maka ia pun menurut saja.
Dapat dibayangkan betapa
tersiksa rasa hati Liang Bi yang dipaksa menyaksikan adegan yang
dianggap terkutuk itu berlangsung di depan matanya! Dia memejamkan mata
dan membuang muka, namun telinganya masih mendengar. Ia tersiksa sekali
karena rangsangan didalam tubuhnya makin menghebat, nafsu berahinya
menggelora dengan disuguhkannya adegan yang amat dekat itu, dan ia
memaksa batinnya sekuat tenaga untuk melawan godaan yang datangnya dari
dalam. Di luar kehendaknya, karena rangsangan yang amat hebat, beberapa
kali ia menoleh, membuang mata dan memandang mereka. Kalau sudah tidak
kuat, ia mengeluh dan memaksa kedua matanya untuk dipejamkan. Ia
merintih-rintih dan berkali-kali bersambat, "Bunuhlah aku....
bunuhlah.... ahhh, terkutuk kalian.... bunuhlah aku....!" Kemudian
diakhiri dengan tangis terisak-isak dengan air mata bercucuran di atas
kedua pipinya.
Suma Hoat yang melakukan perbuatan tak tahu malu itu
dengan niat untuk menggerakkan, hati Liang Bi, turun dari pembaringan,
menghampiri Liang Bi dan menciumnya, mengusap air matanya. "Bimoi....
aku pun mencintamu seperti aku mencinta Leng-moi...., kau menurutlah
sayang dan kita bertiga hidup bahagia...." Jari tangannya membelai dan
hampir saja Liang Bi tidak kuat menahan, hampir runtuh batinnya. Namun
dia menggigit bibir dan menggeleng kepada dengan mata dipejamkan, tak
kuasa menjawab.
Suma Hoat menjadi jengkel. Belum pernah ia menjumpai
seorang gadis yang begini keras pertahanan hatinya. Arak obatnya tidak
mempan, juga adegan yang ia pamerkan tidak! "Hemmm, kau berkeras, ya?
Kau lebih senang tersiksa? Baiklah!"
Ia lalu menotok tubuh Liang Bi, melepaskan belenggunya dan memondong tubuhnya keluar dari rumah itu.
"Hoat-ko....!"
Cui Leng cepat mengejar, khawatir karena menyangka bahwa pemuda itu
hendak membunuh sucinya. "Marilah, Leng-moi. Aku ingin melihat sampai
dimana keteguhan dan kekerasan hatinya!"
Pemuda itu membawa tubuh
Liang Bi ke belakang rumah dan meletakkannya di atas rumput. Kemudian ia
mengeluarkan sulingnya dan meniup suling aneh itu. Cui Leng memandang
penuh perhatian dengan mata terbelalak. Terdengarlah bunyi lengking yang
aneh, disusul bunyi berkerasakan di antara rumpun alang-alang dan
rumput. Tak lama kemudian, muncullah tiga ekor ular hijau yang beracun,
merayap mendekati Liang Bi!
"Hoat-ko....!" Cui Leng menjerit.
Akan
tetapi Suma Hoat memandang kepadanya sambil menggeleng kepala dan
melanjutkan tiupan sulingnya. Mengertilah Cui Leng bahwa kekasihnya
hanya hendak menakut-nakuti Liang Bi.
Yang menyiksa dan
mengkhawatirkan hati Cui Leng adalah bahwa sucinya itu paling jijik dan
takut melihat ular. Kini ada tiga ekor ular merayap mendekatinya, tentu
saja sucinya menjadi takut setengah mati. Mata Liang Bi terbelalak,
melirik ke arah ular-ular itu dan wajahnya pucat sekali.
Suma Hoat
menghentikan tiupan sulingnya dan dengan sulingnya ia mencegah ular-ular
itu datang terlalu dekat. "Bagaimana, Bi-moi? Kalau kau tidak mau
menyerah, ular-ular ini akan menggigitmu dan sekali gigit saja tubuhmu
akan bengkak-bengkak!"
Liang Bi sudah tertotok,, tubuhnya lemas dan lumpuh. Akan tetapi ia masih dapat berkata ketus, "Bunuhlah aku! Aku tidak sudi!"
Suma
Hoat makin panasaran, ditiupnya lagi sulingnya dan kini tiga ekor ular
itu mendekati tubuh Lian Bi yang menjadi makin ketakutan. Lidah-lidah
ular yang merah dan bergerak-gerak keluar masuk itu, taring yang putih
mengkilap dan melengkung ke dalam, mata yang merah dan liar, benar-benar
membuat ia hampir pingsan saking takutnya. Betapa mudahnya untuk
mengucapkan kata-kata menyerah dan ia akan terbebas dari ancaman
ular-ular ini! Dia menikmati cinta kasih seperti yang diiihatnya tadi
dinikmati sumoinya. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, bertekad lebih
baik mati daripada menyerah dan terperosok ke dalam pecomberan yang
berupa perbuatan melanggar, susila yang terkutuk dan menjijikkan. Tidak,
dia tidak akan menyerah. Bagi seorang gagah, kehormatan seribu kali
lebih berharga daripada nyawa! Seribu kali lebih baik mati sebagai
seorang pendekar wanita yang bersih daripada hidup sebagai seorang
perempuan ternoda!
"Bunuhlah! Aku tidak takut mati!" Ia berteriak.
Sinar
yang buas terpancar keluar dari pandang mata Suma Hoat. Dia mulai marah
dan dia lupa akan janjinya kepada Cui Leng, maka kini dia meniup
sulingnya dengan nada makin tinggi. Tiga ekor ular itu mendesis-desis,
siap menerjang dan menggigit tubuh wanita yang terbujur di atas tanah.
"Crat-crat-crat!"
Sinar
putih menyilaukan mata itu lenyap dan disitu telah berdiri dua orang
wanita dengan pedang di tangan dan tiga ekor ular tadi telah putus
kepalanya, tinggal tubuhnya yang menggeliat-geliat dalam sekarat.
Cui
Leng dan Suma Hoat terkejut sekali, akan tetapi dengan tenang Suma Hoat
mengangkat kepala memandang. Yang muncul dan membunuh tiga ekor ular
dengan pedang itu adalah dua orang wanita yang usianya antara tiga puluh
lima sampai empat puluh tahun, keduanya bersikap gagah perkasa dan
masih nampak cantik. Melihat persamaan wajah mereka, mudah diduga bahwa
mereka ini tentulah kakak beradik. Kini wanita yang lebih tua
menudingkan pedangnya kepada Suma Hoat dan membentak,
"Penjahat keji, perbuatanmu melampaui batas perikemanusiaan. Sekarang, setelah kami datang bersiaplah untuk mati!"
Setelah berkata demikian, tubuhnya mencelat ke depan menyerang Suma Hoat yang cepat menggunakan sulingnya menangkis.
"Dan
engkau wanita kejam patut mampus, juga!" teriak wanita ke dua yang juga
cepat sekali gerakannya menerjang Cui Leng. Terpaksa gadis, ini
mencabut pedang menangkis.
"Cringgg...., tranggg....!"
Pertemuan
pedang kedua orang wanita gagah itu dengan suling Suma Hoat dan pedang
Cui Leng menimbulkan bunga api yang muncrat menyilaukan mata. Wanita
yang lebih tua terkejut bukan main karena tangannya yang memegang pedang
tergetar hebat, tanda bahwa pemuda tampan yang memegang suling itu
memiliki sin-kang yang amat kuat. Adapun wanita ke dua juga merasa bahwa
dara cantik yang menjadi teman pemuda itu pun memiliki gerakan yang
tangkas dan kuat. Namun keduanya tidak gentar dan cepat menyerang dengan
"dahsyat.
Namun, Suma Hoat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi
dapat mengimbangi permainan pedang lawan sehingga mereka telah
bertanding dengan seru.
Diam-diam ia kagum karena ternyata wanita
baju hijau yang usianya sekitar empat puluh tahun ini memiliki
kepandaian yang luar biasa. Maka dia pun cepat melolos pedangnya dan
balas menyerang.
Di lain pihak, Cui Leng kewalahan menghadapi
lawannya yang lihai. Terpaksa Cui Leng mengeluarkan seluruh ilmu
kepandaiannya memainkan ilmu pedang Siauw-lim-pai yang mempunyai daya
tahan kokoh kuat.
"Tahan....!" Tiba-tiba wanita yang melawan Cui Leng
berteriak dan melompat mundur diikuti encinya. Wanita ini memandang Cui
Leng dan bertanya, "Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai? Ilmu pedangmu
adalah ilmu pedang Siauw-lim-pai!"
Cui Leng menjadi bingung, tidak
tahu harus menjawab bagaimana. Kalau tidak dalam keadaan seperti
sekarang, tentu tanpa ragu-ragu ia akan mengaku. Akan tetapi dalam
keadaan seperti itu, ingin ia menyembunyikan kenyataan bahwa dia adalah
murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi Suma Hoat sudah mendahuluinya, tertawa
sambil memandang kedua wanita itu.
"Tidak salah dugaan Ji-wi Toanio
yang cantik dan gagah! Dia dan sucinya itu adalah murid-murid
Siauw-lim-pai, dan aku adalah sahabatnya. Kami bertiga sedang main-main,
mengapa Ji-wi membunuh ular-ularku dan menyerang kami?"
Kedua orang
wanita itu saling pandang, kelihatan terkejut sekali dan terheran. Tanpa
mempedulikan ucapan Suma Hoat yang main-main, Juga panggilan dengan
embel-embel "yang cantik dan gagah" yang pada saat lain tentu akan
menimbulkan kemarahan mereka, kini wanita tertua menghadapi Cui Leng dan
bertanya.
"Engkau.... dan sucimu.... apakah wakil-wakil dari Siauw-lim-pai untuk bertemu dengan Beng-kauw?"
Cui
Leng menjadi makin bingung. Dia tidak tahu siapa kedua orang wanita
itu, akan tetapi dia menduga bahwa mereka tentulah orang-orang
Beng-kauw, maka dia menjadi makin bingung.
"Aku.... aku...." Sukar sekali dia melanjutkan kata-katanya.
"Kembali
Ji-wi Toanio benar. Adik Kim Cui Leng dan adik Liang Bi ini adalah
wakil Siauw-lim-pai. Ji-wi siapakah? Biarlah aku mewakili kedua adikku
tercinta ini untuk berunding. Mari kita ke rumah kami." Suma Hoat
berkata dan senyumnya amat menarik.
"Aihhh...., bagaimana ini? "Wanita yang lebih muda, berpakaian biru berkata dan kelihatan bingung
"Hui-moi,
mari kita pergi" kata wanita baju hijau yang lebih tua. Adiknya
mengangguk dan keduanya berkelebat pergi meninggalkan tempat itu.
Cui
Leng membanting-bantingkan kakinya. "Celaka, Koko. Kenapa Koko mengaku
bahwa kami berdua adalah orang-orang Siauw-lim-pai? Kita tidak tahu
mereka itu siapa!"
Suma Hoat tertawa, "Takut apa, Moi moi? Ada aku di sini, mengapa takut?"
Cui
Leng memandang sucinya yang masih rebah telentang, dan ternyata sucinya
telah pingsan saking ngerinya tadi ketika akan digigit ular-ular itu.
"Wah,
bagaimana ini? Kau belum juga berhasil dengan suci, dan sekarang ada
dua orang wanita itu. Rahasia tentu akan terbongkar....!"
"Ha-ha-ha,
jangan khawatir, Sucimu takut ular, aku masih ada jalan lain." Setelah
berkata demikian, Suma Hoat memondong tubuh Liang Bi dan kembali ke
dalam rumah diikuti oleh Cui Leng yang amat gelisah hatinya dan
menduga-duga siapa gerangan kedua orang wanita yang lihai itu. Mereka
itu lihai dan kalau mereka bertempur terus, belum tentu dia dan Suma
Hoat akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi mengapa mereka berdua
tadi terus lari pergi setelah mendengar bahwa dia adalah murid dan wakil
Siauw-lim-pai? Siapakah mereka?
Ya, siapakah mereka? Dua orang
wanita itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang selama belasan tahun
bersembunyi di Ta-liang-san. Mereka adalah cucu dari pendiri Beng-kauw
yang selama hampir dua puluh tahun bersembunyi di Ta-liang-san,
menggembleng diri dengan ilmu silat di bawah pimpinan paman kakek
mereka, yaitu Kauw Bian Cinjin seorang tokoh besar Beng-kauw. Kakak
beradik ini bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dan mereka ini
bukan lain adalah kedua orang kakak dari Kam Han Ki! Mereka adalah
puteri dari Kam Bu Sin adik tiri Suling Emas, sedangkan ibu mereka
adalah Liu Hwe, keturunan ketua Beng-kauw (baca cerita MUTIARA HITAM)!
Kedua
orang kakak beradik ini tadinya sudah menikah dengan dua orang pendekar
ternama di selatan, akan tetapi kedua suami mereka telah gugur ketika
berjuang melawan musuh-musuh Beng-kauw. Mereka belum mempunyai keturunan
dan selama ini hidup sebagai jandajanda yang tekun melatih diri di
puncak Ta-liang-san dan menanti kesempatan untuk membangun kembali
Beng-kauw yang sudah hancur. Mereka merasa prihatin sekali ketika anak
buah Beng-kauw kini jatuh ke dalam cengkeraman seorang pendeta dari
Tibet yang amat lihai dan yang membangun sarang di Pegunungan Heng-toan
di lembah Sungai Ci-sha. Pendeta Tibet ini berjuluk Hoat Bhok Lama,
seorang pendeta berjubah merah yang amat lihai dan yang melanjutkan
perkumpulan Agama Beng-kauw dan memaksa bekas anak buah Beng-kauw
menjadi anak buahnya. Akan tetapi, dengan pimpinan di tangannya,
Beng-kauw diselewengkan dan dia tidak segan melakukan perbuatan yang
jahat. Namun karena lihainya, segala usaha keturunan pendiri Beng-kauw
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, yaitu kedua orang wanita she Kam itu,
selalu gagal. Bahkan suami mereka pun tewas di tangan Hoat Bhok Lama!
Juga Kauw Bian Cinjin yang sudah amat tua, paman kakek dan juga mereka,
tewas di tangan Hoat Bhok Lama!
Demikianlah, dalam usaha mereka untuk
menentang Hoat Bhok Lama, bukan semata-mata membalas dendam kematian
suami dan keluarga mereka, melainkan dalam usaha mereka untuk merampas
kembali Beng-kauw dan membersihkan perkumpulan itu dari penyelewengan,
Kam Sian Kui dan Kam Siang Hui menghubungi Siauw-lim-pai untuk mohon
pertolongan Ketua Siauw-lim-pai.
Tentu saja mereka segera turun
tangan ketika menyaksikan seorang gadis disiksa dan akan dibunuh dengan
ular-ular beracun. Akan tetapi ketika mendengar bahwa gadis-gadis itu
adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang katanya akan dikirim oleh Ketua
Siauw-lim-pai sebagai wakil, dan yang kini malah membantu pemuda tampan
itu, kedua orang kakak beradik ini menjadi segan mencampuri. Mereka
mengharapkan bantuan Siauw-lim-pai, kalau mereka kini bentrok dengan
murid Siauw-lim-pai, apa jadinya? Maka mereka bergegas pergi mencari
Ketua Siauw-lim-pai untuk melaporkan peristiwa yang mereka lihat di
hutan itu.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengar akan nasib buruk
yang menimpa keluarga keturunan Suling Emas, pek-hu (uwa) mereka. Akan
tetapi mereka hanya dapat menangis mendengar akan kematian Raja Talibu,
Mutiara Hitam dan Kam Liong yang menjadi saudara-saudara misan mereka.
Mereka tidak berdaya berbuat sesuatu karena mereka sendiri pun mengalami
nasib yang tidak baik. Suami mereka gugur, Beng-kauw dirampas orang dan
diselewengkan. Mereka tidak dapat mengharapkan bantuan saudara-saudara
lain karena mereka menganggap bahwa adik mereka, Kam Han Ki, telah
tewas. Mereka tidak tahu bahwa adik mereka itu masih hidup. Maka
satu-satunya harapan mereka adalah Siauw-lim-pai yang mereka tahu
memiliki banyak orang pandai dan yang selalu siap membela kebenaran.
Apalagi karena perampas Beng-kauw adalah seorang pendeta, sedikit banyak
hal ini akan mencemarkan pula nama Siauw-lim-pai yang menjunjung tinggi
Agama Buddha.
Demikianlah, mereka bergegas mencari ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, untuk melaporkan dan sekalian untuk
berunding dengan ketua itu sendiri mengenai urusan mereka menghadapi
Hoat Bhok Lama yang amat lihai. Kebetulan sekali bahwa pada waktu itu
Kian Ti Hosiang berada di kota Cun-ek, di kaki Pegunungan Ciung-lai,
tidak jauh dari situ di dalam sebuah kuil cabang Siauw-lim-pai.
Kian
Ti Hosiang menerima kedatangan mereka dan dengan sabar dan tenang
mendengarkan penuturan mereka. Biarpun di dalam hatinya hwesio yang
berwajah tenang ini terkejut sekali mendengar akan keadaan kedua orang
muridnya, namun dengan sikap tenang ia berkata,
"Omitohud...., Ji-wi
Toanio telah bertindak tepat dengan memberitahukan kepada pinceng.
Mereka masih muda dan belum berpengalaman. Pinceng tak dapat menduga
apakah yang terjadi dan siapa laki-laki muda itu. Biarlah pinceng
sendiri yang akan menengok mereka."
"Sebaiknya begitu Locianpwe. Mari
kami antarkan Locianpwe mengunjungi tempat itu," kata Kam Siang Kui
yang merasa tidak enak sekali karena dia menduga bahwa tentu dua orang
murid Siauw-lim-pai itu jatuh ke tangan seorang yang amat jahat dan
keji, penjahat berwajah tampan dan bersikap ramah yang lihai itu.
Biarpun
Kian Ti Hosiang sudah tua, namun betapapun dua orang tokoh Bengkauw itu
menggunakan seluruh kepandaian berlari cepat, hwesio yang kelihatan
melangkah seenaknya itu selalu berada di samping mereka. Hal ini
menlmbulkan rasa hormat dan kagum dalam hati mereka dan diam-diam mereka
harus mengakui bahwa dalam hal ilmu lari cepat, biar mendiang Kauw Bian
Cinjin guru dan paman kakek mereka sendiri tidak akan dapat menandingi
Ketua Siauw-lim-pai ini.
Di dalam perjalanan ini, kedua orang wanita
tokoh Beng-kauw itu menceritakan keadaan Beng-kauw dan kembali mereka
mengajukan permohonan agar Ketua Siauw-lim-pai itu suka membantu mereka
untuk menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Kian Ti Hosiang mendengarkan
dengan penuh kesabaran, kemudian menjawab bahwa urusan itu akan mereka
bicarakan setelah perkara kedua muridnya selesai, dan akan dirundingkan
dengan para pemimpin Siauw-lim-pai.
"Saya rasa bahwa Locianpwe
seorang saja yang akan mampu menolong kami," Kam Siang Kui berkata penuh
permohonan. "Lama itu lihai bukan main, dan kiranya hanya Locianpwe
seorang di dunia ini yang akan dapat mengalahkannya."
Ketua
Siauw-lim-pai itu menghela napas panjang. "Kita lihat sajalah nanti,
Toanio. Pinceng sudah lama menghentikan pendirian bahwa kejahatan harus
diakhiri dengan kekerasan dan pembunuhan. Pinceng tidak tahu siapakah
yang lebih jahat antara penjahat yang dibunuh dengan orang yang
membunuhnya!"
Mendengar ucapan ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui
saling pandang penuh keheranan dan tidak berani lagi bicara tentang
permohonan bantuan sebelum hwesio ini selesai menolong murid-muridnya.
Perjalanan dilakukan dengan cepat dan sunyi, seolah-olah mereka bertiga
tenggelam dalam lamunan masing-masing yang dibangkitkan oleh ucapan
terakhir hwesio itu.
***
Liang Bi terikat kaki tangannya pada
sebatang tiang di ruangan rumah bekas kepala rampok. Ia memandang dengan
sinar mata penuh kebencian kepada Suma Hoat dan Kim Cui Leng.
Dilihatnya Suma Hoat yang tersenyum-senyum meloncat pergi
meninggalkannya setelah selesai mengikat tubuhnya dan menotok jalan
darah di pundaknya sehingga tubuhnya menjadi lemas dan tidak mampu
menggunakan sin-kang untuk melepaskan diri.
Cui Leng memandang kepada
sucinya dengan sinar mata penuh penyesalan dan kekhawatiran. Kemudian
ia melangkah maju, membujuk, "Suci, mengapa engkau berkeras? Suci,
Hoat-koko benar-benar mencinta kita, dia tidak bermaksud jahat. Dia
mencinta kita dan dia baik sekali. Suci, di dunia ini sukarlah berternu
dengan seorang pria seperti dia. Tampan, berilmu tinggi, menarik hati
dan.... dan.... engkau tentu akan merasa bahagia sekali kalau suka
melayani dan membalas cinta kasihnya. Suci, ke mana-mana kita berdua,
kita mengalami suka-duka berdua, mengalami bahaya maut berdua.
Sekarang...., aku menikmati kebahagiaan, aku pun ingin agar kita
menikmatinya berdua...."
"Cihh! Perempuan rendah! Cui Leng, tidak
malukah engkau? Apakah sudah hilang harga dirimu? Engkau menyeret nama
dan kehormatanmu ke pecomberan! Aihhh, bagaimana engkau sampai dapat
terperosok serendah ini?"
"Suci, apakah artinya malu? Kalau kita suka
melakukan suatu perbuatan tanpa merugikan orang lain, mengapa mesti
malu? Pula, malu kepada siapakah? Tidak ada orang lain yang akan
mengetahuinya! Suci, kausambutlah Hoat-koko, dan kita bertiga akan hidup
bahagia, dan dengan kita bertiga menjadi satu, kita takut kepada
siapakah? Hoat-koko amat lihai, aku sudah membuktikan betapa ia memiliki
sin-kang yang amat kuat, memiliki pukulan-pukulan lihai seperti
Tiat-ciang-kang dan memiliki ilmu aneh-aneh. Kalau kita berbaik
kepadanya kita dapat belajar ilmu dari dia, alangkah senangnya!"
"Sumoi!
Aku masih dapat memaafkan engkau karena kau telah terbujuk. Kaulepaskan
aku, mari kita pergi dari tempat terkutuk ini, Sumoi. Marilah, selagi
dia tidak ada. Engkau belum tersesat terlalu jauh...."
Akan tetapi
Cui Leng menggeleng kepala. "Tidak mungkin, Suci. Aku tidak dapat mundur
lagi. Kalau engkau suka melayaninya seperti yang telah kulakukan dan
kita menikmati kebahagiaan bersama, setelah itu.... tentu Hoat-koko
tidak akan mengganggumu lagi dan kita dapat hidup bersama dia atau
meninggalkannya dengan hati aman...."
Liang Bi membelalakkan matanya.
Gadis ini tidak mengerti mengapa sumoinya bersikeras minta agar dia
melayani niat keji pemuda itu!
Senja telah mendatang ketika dari jauh
terdengar suara suling yang membuat bulu tengkuk Liang Bi berdiri
meremang. Dia merasa ngeri karena teringat bahwa suara itu adalah suara
suling Si Pemuda yang pandai menguasai ular dengan sulingnya. Padahal,
di antara segala mahluk di dunia ini, ular adalah binatang yang paling
ia takuti. Sejak kecil ia merasa jijik dan takut kepada ular sehingga
biarpun kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tetap
saja dia merasa jijik dan ngeri kalau melihat ular. Wajahnya menjadi
pucat dan napasnya terengah. Cui Leng juga mendengar suara ini dan ia
melangkah mundur, memandang dengan sinar mata aneh dan bibirnya
tersenyum.
"Engkau mencari sengsara sendiri, Suci. Ingin aku melihat apakah engkau mampu melawan Hoat-koko!"
Makin
pucat wajah Liang Bi ketika ia melihat Suma Hoat datang berjalan
perlahan sambil meniup sulingnya dan.... di depan pemuda itu tampak
seekor ular besar dan panjang merayap maju mengerikan! Ular ini lebih
dari dua meter panjangnya, sebesar betis orang, kulitnya mengkilap
berwarna hijau kekuningan, matanya merah. Setelah tiba di ruangan itu,
Suma Hoat menghentikan tiupannya dan ular itu pun berhenti, mengangkat
kepala menoleh ke kanan kiri seperti bingung mengapa suara suling itu
lenyap.
"Bi-moi, bagaimana? Apakah engkau masih keras kepala? Sekali
lagi kuminta engkau suka menerima cintaku seperti yang dilakukan
sumoimu, dan kita bertiga hidup bahagia."
"Tidak sudi. Lebih baik mati!"
"Begitukah?
Hemm.... biarlah ularku yang akan menjawab pertanyaanmu ini. Kalau
engkau sudah merasa cukup dan tidak keras kepala lagi, katakan saja
bahwa engkau menyerah. Akan tetapi kalau engkau lebih suka memilih mati,
engkau akan mati dengan nyawa masih penuh rasa takut dan jijik sehingga
rohmu akan berkeliaran dikejar ketakutan hebat!" Suma Hoat lalu meniup
sulingnya. Terdengarlah suara melengking aneh dan ular itu mengangkat
tubuh atas tinggi-tinggi, kemudian berlenggak-lenggok seperti menari dan
perlahan-lahan merayap mendekati kaki Liang Bi dengan lidah
bergerak-gerak keluar masuk mulutnya yang merah.
Liang Bi memandang
ular itu dengan wajah pucat dan mata terbelalak, bibirnya menggigil dan
dadanya bergelombang. Rasa jijik dan takut hampir membuat ia menjerit.
Ia berusaha menguatkan hatinya, akan tetapi ketika ular itu mulai
merayap dari kakinya terus ke atas melalui betisnya, pahanya,
perutnya.... Liang Bi hampir pingsan. Dia hanya mengharapkan ular itu
menggigitnya agar dia lekas mati. Bagi seorang gagah seperti dia
kematian bukan apa-apa dan akan dihadapinya dengan mata terbuka. Akan
tetapi, bukan kematian yang membuat ia takut kepada ular, melainkan rasa
geli dan jijik.
Namun celaka baginya, Suma Hoat meniup sulingnya
terus dan ular itu sama sekali tidak menggigitnya, melainkan melingkari
tubuhnya dengan kuat. Liang Bi merasa betapa tubuh ular itu
berdenyut-denyut dingin sekali, licin dan menggelikan, menjijikkan,
kemudian kepala ular itu bergerak-gerak di depan mukanya, lidahnya
keluar dan menjilat-jilat! Liang Bi memejamkan mata, membuang muka akan
tetapi ia masih merasa betapa lidah ular itu menjilat-jilat mukanya,
pipinya, bibirnya, lehernya. Ia bergidik. Ular itu seolah-olah sedang
menciumnya penuh nafsu! Ia muak, jijik dan seluruh tubuhnya menggigil.
"Bunuh aku.... iihhhh.... bunuh aku.... uhu-hu-huu.... suruh dia pergi....!" Akhirnya ia merintih.
Akan
tetapi Suma Hoat tidak menghentikan tiupan sulingnya dan si ular terus
menggerayangi muka dan leher Lian Bi dengan moncongnya yang menjijikkan.
Liang Bi menggeliat-geliat, hampir pingsan. Kalau dia pingsan atau mati
seperti yang ia harapkan dia akan terbebas. Akan tetapi celaka, dia
masih sadar dan harus merasakan penderitaan yang amat menyiksa hatinya.
Kalau dia disiksa dengan rasa nyeri, disayat sedikit demi sedikit kulit
dagingnya, dia akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi perasaan
jijik ini benar-benar hampir tidak kuat ia menahannya.
"Suci,
menyerahlah....!" Terdengar suara Cui Leng membujuk. Gadis ini berdiri
di dekat meja tinggi, menaruh lengan kiri di atas meja, lengan kanan
bertolak pinggang, menonton pertunjukan itu dengan hati ngeri dan iba
kepada sucinya. Akan tetapi, karena ia maklum bahwa sebelum sucinya
menyerah dia takkan pernah merasa aman hatinya, maka ia menguatkan
hatanya. Dia pun tidak menjadi benci kepada Suma Hoat yang menyiksa
sucinya seperti itu, karena dia menganggap bahwa Suma Hoat melakukan itu
untuk membujuk sucinya agar suka menerima cintanya, dan Si Pemuda ini
terpaksa melakukan hal ini atas permintaannya, dengan maksud untuk
menyelamatkannya!
Yah, apa saja yang takkan dilakukan oleh mahluk
yang disebut manusia kalau dia sudah tercengkeram oleh nafsu! Sikap yang
diperlihatkan Cui Leng hanyalah sebuah di antara sikap-sikap keji yang
banyak dilakukan wanita yang sudah mabok oleh nafsu berahi dan didasari
rasa iba diri, diselimuti oleh rasa ingin mendapatkan kawan kalau
dirinya sendiri terperosok! Sifat buruk ini, sebuah di antara banyak
sekali sifat buruk lain yang timbul dari sayang diri dan iba diri,
hampir mencengkeram watak semua manusia, merupakan semacam penyakit yang
sukar diobati, yaitu sifat yang selalu ingin minta kawan dalam derita!
Dari anak-anak pun sudah mulai tampak gejala sifat buruk ini. Seorang
anak kecil yang jatuh dan menangis, akan berhenti tangisnya, bahkan bisa
tertawa kalau kita pura-pura jatuh pula di dekatnya dan mengeluh
kesakitan! Menyaksikan penderitaan orang lain yang lebih besar merupakan
semacam "hiburan" bagi seorang yang sedang menderita. Memang amatlah
buruk sekali sifat ini, namun tanpa disadarinya, "penyakit" ini telah
diderita oleh banyak sekali manusia di dunia ini.
Perbuatan Suma Hoat
amat keji. Tentu saja hal ini tidak terasa olehnya sendiri.
Perbuatan-perbuatannya terhadap wanita timbul dari rasa bencinya
terhadap wanita, dan dia hendak melampiaskan rasa bencinya itu dengan
menggunakan nafsu berahinya untuk merusak wanita sebanyak mungkin!
Karena bencinya timbul sifat kejam dan dia merasa gembira melihat
korbannya tersiksa, terutama sekali tersiksa batinnya! Dia menganggap
bahwa batinnya sendiri sudah hancur lebur karena wanita! Bahkan, melihat
wanita tersiksa seperti yang dialami Liang Bi sekarang ini membuat
nafsu berahinya berkobar! Makin hebat seorang wanita tersiksa, makin
menggairahkan bagi Jai-hwa-sian, Si Dewa Pemetik Bunga ini!
Tubuh
Liang Bi yang menggeliat-geliat menjadi makin lemah dan ketika suara
suling melengking makin tinggi, tiba-tiba ular itu berubah gerakannya
kini kepalanya mulai menyusup-nyusup dan menyelinap di balik baju bagian
dada Liang Bi!
"Iihhhh.... ouhhhh...." Liang Bi merintih-rintih dan
seluruh tubuhnya menggigil ketika kepala ular itu menyusup makin dalam.
"Aduuuuhhhh.... tolongggg.... ihhhh.... ambil dia.... ambil binatang
ini.... uhu-hu-huuuu....!"
"Engkau menyerah?" Suma Hoat bertanya.
Dengan
tubuh menggigil, air mata bercucuran dan mata dipejamkan Liang Bi
mengangguk lemah. "....aku menyerah.... hu-hu-huuuuhh...."
Suma Hoat
melompat ke dekat, sekali sambar ia mengambil ular itu dan
melemparkannya jauh ke luar, ke kebun di mana ular yang ketakutan itu
cepat menyusup di antara rumput. Sambil tersenyum-senyum Suma Hoat
melepaskan belenggu kaki tangan Liang Bi, membebaskan totokannya. Akan
tetapi Liang Bi tidak kuat berdiri, tubuhnya menggigil dan ia tentu
roboh kalau tidak cepat dipondong oleh Suma Hoat. Liang Bi menangis
ketika Suma Hoat memondongnya masuk ke dalam kamar.
Cui Leng berdiri
dengan wajah agak pucat. Ia merasa ngeri juga menyaksikan penderitaan
Liang Bi tadi. Akan tetapi kini hatinya lega dan ia berdiri tak
bergerak,
bersambung 7.........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar