“Belum tentu.... belum tentu....!” Suma Boan menggeleng kepalanya, “dia
lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki
tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan
menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun diikuti oleh si jenggot
panjang, Ciok Kam, masuk ke dalam gedung. Sebentar saja para pelayan
menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang
penyerbuan musuh di atas genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak,
“Tidak ada apa-apa, mundur semua!” Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya
yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua
itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi
laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam gedung.
Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas
pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa
kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biarpun kalian
anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari
wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di sini.”
“Nanti dulu....!”
Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa
kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka, “Dituturkan tidak ada
gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang
adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh.
Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti
Kim-lun Seng-jin. Tentang kami.... hemmm, cukup kauketahui bahwa kami
adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat
tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Berbahaya!”
Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di
dalam gelap. Bu Sin dan Sian Eng saling pandang, mereka bingung sekali
memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa
kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk dapat mencari Lin Lin
yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si
jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah
terlalu berat bagi mereka, apalagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada
jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari
tempat itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan
dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka
melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas
berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang
menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan
bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di
dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin “kakek gundul” itu adalah
Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han.
Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja
disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan “ketemu batunya” kalau
melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang
mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan
tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia
diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, baik sekali.
Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek
surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya,
apalagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya,
kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau
kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama
tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman dan akan
dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui, menuju ke kota raja.
***
Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang
amat luar biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng
mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan kaki
dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil
melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian
Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.
Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum
angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya,
membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah
kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan
bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba
dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang
melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan
berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah
tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki
tangannya dan ia “terbang” dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak
mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu
ia mengira bahwa ia sedang mimpi.
Entah berapa lama ia berada
dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan
tubuhnya dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di
luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke
sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu
tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis
yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan
mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang
diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia
dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku?
Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana
asalku, apalagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar
tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut),
gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan gin-kangnya. Akan
tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan,
apalagi orangnya!
Suara itu masih terkekeh-kekeh, “Heh-heh-heh,
siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku,
heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak
bermain kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin
sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biarpun
seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak
dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat
lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana
berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak
pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara
itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan
kirinya!
“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing hendak
menggigit buntut sendiri berputaran. Heh-heh.... lucu.... lucu.... lagi,
Nona. Sekali lagi, lucu benar....!”
Tentu saja Lin Lin tidak
sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya.
Hampir ia menangis. “Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia
perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butub
setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.
“Heh-heh, lebih baik
jadi setan, biarpun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu
kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan?
Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang
pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor daripada setan
sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat
melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya dan.... tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku di sini, lihat baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri
seorang kakek yang.... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan
karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek
ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu
sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola
karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal
sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan
jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar
seperti telinga area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak.
Melihat orang seperti itu anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana
lakonnya dan apa peran apa yang harus kita pegang terserah Sang
Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki supaya
aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si
pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa
aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar
ilmu gin-kang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam
dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani
mendaki gunung menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu
yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau
akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu
ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”
Panas perut Lin Lin,
bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah
tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat
menahan lagi kegelian hatinya. “Dan pedang itu.... heh-heh-heh,
bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang
ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itupun kurang tajam,
baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya. “Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong....!”
Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat
giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri. “Kaulihat, siapa
ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat
gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”
Geli juga hati Lin
Lin. Memang gadis inipun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira.
Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis
memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga. “Ihhh, jijik ah!
Gigimu kuning-kuning begitu!”
Kakek itu kelabakan. “Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong....!”
Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat
melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri
yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak
telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk
kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar
kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari
pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya
sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek
itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama
sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian
yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!
“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini?” akhirnya dia bertanya.
Kakek itu mengomel, “Gigiku putih.... tidak kuning....!”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti
seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi. “Memang gigimu putih, siapa
bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang!”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti.... seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang
mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat
menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak, ketika
ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi
dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku ke sini?”
“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin. “Di mana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di.... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia tidak MAIN lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin. “Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi. “Kau gadis bangsaku
heh-heh, tak salah lagi, karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu
dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang
berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung
hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua matanya sampai juling ke tengah
semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apalagi
memandang giginya! Betapapun juga, ucapan ini menusuk perasaannya,
membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam
karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak pernah
memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati. Karena
ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah
angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal
dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa
Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan tidak percaya, hatinya
berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hatinya adalah
pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
“Kau
betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih
sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar daripada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
“Sayang, aku sendiri tidak tahu Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya.
“Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu
angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu
bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap
dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil,
tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya
lagi. “Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang
tuamu?”
“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek....”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut
dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar
kata-katanya. “Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas....”
Jantung Lin Lin berdegupan. “Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu,
Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding
mengadu nyawa.”
Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti
terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya,
terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa. Lin Lin marah. “Apa yang
lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu
kuning....!”
Seketika kakek itu berhenti tertawa. “Apa kau bilang? Gigiku putih seperti.... seperti....”
“.... seperti kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”
“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kauperas dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang.”
“Tidak peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau
tentu suka membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama,
bukan?”
“Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu aku. Awas dia kalau berani ganggu kau!”
Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, den jalan
satu-satunya untuk membalas budi, hanyalah membalasken dendam kduarga
itu.
“Tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan mencariku ke mana-mana.”
“Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?”
“Ih, jangan gitu, Kek. Biarpun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung sendiri.”
“Baiklah, mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”
Lin Lin maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan
sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi
ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan di saat berikutnya ia harus
memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang
seperti terbang cepatnya!
Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama kakek itu.
Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan
kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan
seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah tertinggal.
“Kalau merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai di sana?” Kakek itu bersungut-sungut.
“Kau maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”
“Di mana lagi? Bukankah kita mencari dia? Tapi kau harus belajar ilmu
pukulan lebih dulu untuk menghadapinya. Mari!” Kakek itu menyambar
tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat
bukan main, dua kali lebih cepat daripada biasanya.
Menjelang
pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah.
Bermacam bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah
merata sampai di hutan-hutan dan membiarkan seribu satu macam bunga
berkembang amat indahnya.
“Heh-heh, bagus di sini. Kita
main-main di sini!” Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon
menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk
di atas sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang
pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.
Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur, “Kek, katanya hendak mengajar ilmu kepadaku?”
“Aku sedang mengajarmu sekarang. Kaulihat baik-baik!”
Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini main-main selalu.
Masa ia akan diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan
membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari seperti terbang,
memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika meminjam tusuk
kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini seorang sakti.
Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja, dan
hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak
bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti
anak kecil.
“Kek, kau ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”
“Heh-heh, aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?”
Lin Lin tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek
itu. “Kek, namaku Lin, sheku tentu saja....” Lin Lin hendak mengatakan
“Kam”, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya.
“.... tidak
ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku
Kim-lun Seng-jin. Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas.
Nah, ini dia.” Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah
mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan gelang, karena
tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki.
Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti
ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap lagi.
Begitu cepatnya seperti sulapan saja.
“Namaku Roda Emas, memang
hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah
kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”
Lin Lin terkejut, juga
geli mendengar ia dipanggil “A-lin”. Ketika mengeluarkan sepasang roda
atau gelang tadi, amat cepat. Akan tetapi apakah benda-benda itu
mcrupakan senjata? Andaikata dijadikan senjata, tadi pun tidak
dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang
memberi pelajaran?
“Pelajaran yang mana, Kek?”
“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota! Lihat baik-baik!”
Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa
kakek itu bukanlah berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak
tampak bergerak, kakinya tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang
itu terus berayun seperti ada yang mendorohg. Anehnya, kadang-kadang
ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun ke belakang
maupun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu
menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.
“Nah, kau sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus
memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati). Biarpun
kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biarpun berat dan kuat,
namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat tubuhmu menjadi
ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan menjadi
lamunan kosong lagi.”
Mulailah Lin Lin menerima gemblengan dari
kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang jarang
muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari
perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh
perkumpulan atau oleh negara. Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu
meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw dan biarpun tidak
ada orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini
karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan
permusuhan, namun mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat
main-main. Bahkan Thian-te-liok-koai, Si Enam Jahat atau Enam Setan
Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun Seng-jin.
Pada masa itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te-liok-koai dan para
ketua partai persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki
kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang
termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan jarang
sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia,
dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu Kim-lun
Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal dengan
sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling
tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah
terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya daripada kakek ini.
Lin Lin boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin
karena kakek sakti yang aneh ini selamanya tak pernah mau menerinna
murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu meringankan
tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan
lwee-kang yang luar biasa. Di samping ini, juga kakek aneh itu
menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong
Mengurung Gunung). Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang, ia
membawa Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang
mereka berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini,
seorang gadis remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok,
tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang
dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta terutama
sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin
Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu dengan panggang daging
binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak
tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Ternyata Kim-lun Seng-jin
amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh,
malah ia mengenal pula ayah Li Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya
tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci
yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.
“Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang
perajurit sejati yang jujur dan setia. Kejujuran dan kesetiaannya
ditambah kekerasan hatinya itulah yang mombuat ia dipandang orang,
kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah
menggemparkan dunia kang-ouw ketika ia dahulu berhasil mencuri hati
Liu Lu Sian, seorang gadis sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan
Cantik Beracun).”
“Lalu bagaimana, Kek?” tanya Lin Lin, dapat
menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu Bu Song yang
oleh Kui Lan Nikouw disebut wanita dari golongan hitam yang telah
bercerai dari ayah angkatnya.
“Entah bagaimana selanjutnya aku
tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawinan mereka menggemparkan. Setan
cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat sakti,
seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan
raja-raja di Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, seorang sakti ini, tidak
setuju puterinya menikah dengan Ayah angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu
Sian amat keras hati dan nekat, orang tua itupun tak dapat berbuat
apa-apa. Akan tetapi kedengar hubungan antara ayah dan puterinya ini
menjadi putus. Selanjutnya entah.”
***
Lin Lin tahu
selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera, yaitu yang bernama
Kam Bu Song dan yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah
bercerai dari ayah angkatnya.
“Di mana sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang bernama Liu Gan itu, Kek?”
“Heh, mana aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu angkatmu?”
“Bukan. Dia sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera
yang sekarang pergi pula, entah ke mana. Kalau ada orang yang amat benci
Ayah, agaknya Liu Gan itu, Kek. Di mana dia sekarang?”
“Mana
aku tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya. Kemudian ia
menghilang, tidak ada kabarnya lagi. Pula, aku tidak ada hubungan
dengannya, aku pun tidak sudi menyelidiki. Dia orang.... hemmm, orang
golongan hitam, aku takut kedua tanganku menjadi hitam juga kalau
berhubungan dengannya.”
Daging itu sudah matang. Kim-lun
Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha
kelinci yang diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas.
“Wah, kau hebat! Heran aku, kenapa kalau aku yang memanggang tidak bisa
begini sedap dan gurih? Tanganmu memang luar biasa!” katanya sambil
menikmati daging panas. Lin Lin tersenyum. Bukan tangannya yang
membikin daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan garam dan bumbu,
terutama daun harum dan kayu manis yang ia dapatkan di hutan itu, yang
ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek yang pandai makan ini tidak
pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak.
“Aku sudah masak seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu?”
“Ihhh, bukankah aku setiap hari melatihmu dengan ilmu-ilmu itu?”
“Segala Ilmu Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya. Apa
artinya kalau dipakai menghadapi musuh besarku, Si Suling Emas?”
Kakek itu mencak-mencak, tapi masih menggerogoti daging, “Kaupandang
rendah sekali, ya? Hendak kulihat, kalau Suling Emas mampu menangkapmu,
aku berani mempertaruhkan kedua mataku! Jangan kau main-main, bocah
nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan
Kai-ong takkan mampu mengejarmu, tahu?”
“Jadi, aku hanya akan
mampu melarikan diri saja? Kau melatihku untuk berlari-lari
menyelamatkan diri kalau bertemu orang sakti?”
“Heh, apa
kaukira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan
diri lebih dulu. Apa artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita
pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan Khong-in-liu-san itu, jangan
kaupandang ringan. Dengan mempelajari ini, sekarang kepandaianmu sudah
lipat menjadi sepuluh kali daripada yang sudah-sudah, kau tahu?”
Tentu saja Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga.
“Apa kaukira sekarang aku sudah dapat melawan Suling Emas?”
Kim-lun Seng-jin membelalakkan kedua matanya dengan alis diangkat.
“Enak saja bicara! Melawan segala macam penjahat masih boleh, tapi menghadapi dia? Kaukira orang macam apa Suling Emas itu?”
“Orang apa sih dia? Bagaimana kepandaiannya?”
“Dia sih orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar
dipegang ekornya. Dia orang yang seperti juga aku, tidak mau berdekatan
dengan keramaian. Selalu bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku
sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai Suling Emas, orang muda yang
amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah dari
mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh delapan
tahun ini.”
“Kenapa kau mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku, Kek?”
“Orang macam dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang
mengherankan andaikata mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas
membunuh Kaisar, atau membunuh ketua Kun-lun-pai. Sepak terjangnya
tidak dapat diikuti orang. Mungkin orang tuamu dibunuhnya karena ada
kesalahan terhadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu terhadap
kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu?”
“Kek apakah dia benar-benar lihai?”
“Dia hebat.”
“Kau takut terhadap Suling Emas?”
Kakek itu mencak-mencak lagi, tulang kelinci yang sudah tak berdaging
lagi digigit pecah dan disedot sumsumnya. “Takut apa? Kim-lun Seng-jin
tidak pernah mengenal takut.”
“Kalau begitu kau berani melawannya? Kau dan dia siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia?”
Kakek itu duduk kembali, menarik napas. “Jangan kaukira bisa mengadu
aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu, aku akan
turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan
menang. Betapapun juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya.”
Girang hati Lin lin. “Kalau begitu, mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di sana, bukan?”
“Kira-kira begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti
bayangannya. Kita lihat saja nanti, di kota raja kita dapat mencari
keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih lagi ilmu pukulan itu.”
Demikianlah, sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin
terus dilatih ilmu silat oleh Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya
sendiri kepandaian Lin Lin meningkat dengan cepat. Gadis ini sama sekali
tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja mengambil jalan memutar,
melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu yang mereka
pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih panjang,
perjalanan menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat
demikian karena ia ingin melihat Lin Lin dapat melatih diri sampai
matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat terjaga.
Sering kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan
memandang wajah Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas
panjang dan menggeleng-geleng kepala. “Serupa benar.... serupa
benar....”
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang
melakukan perjalanan bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok
keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik ini juga cepat meninggalkan
An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang selamanya
belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song.
Dua
orang ini melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh
berkuranglah kegembiraan mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak
berada di dekat mereka. Malah keduanya agak muram wajahnya, karena
biarpun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun mereka amat
mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya. Dia
adalah saudara tertua dan dialah yang merasa bertanggung jawab atas
keselamatan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa diketahuinya ke
mana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang
bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak
tirinya, Kam Bu Song, maupun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw.
Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang ditinggalkan Lin Lin di kamar
penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu yang
menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi
agak lega.
Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan
melakukan perjalanan cepat, dalam waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng
sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal bersama ayahnya di
Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas, bekas
Jenderal Kam sering kali mendongeng kepada tiga orang anaknya tentang
keadaan kota raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam
Si Ek biarpun bertugas di Shan-si, namun ia adalah seorang pejabat
pemerintah Kerajaan Sung karena pada masa itu, Kerajaan Hou-han belum
bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung.
Oleh
karena pernah mendengar tentang kota raja ini, ketika memasuki kota
raja, Bu Sin dan adiknya merasa gembira dan kagum, akan tetapi tidak
terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru pertama kali selama
hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka berdua mencari rumah
penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka,
bertanya ke sana ke mari, tentang diri seorang pemuda bernama Bu Song,
she Liu. Bu Sin dan adiknya masih teringat akan penuturan bibi guru
mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja ini dengan
menggunakan she Liu, yaitu she ibunya.
Orang pertama yang mereka
tanyai adalah seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon
pengikut ujian seorang laki-laki yang sudah berusia enam puluh tahun
lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cerdik dan pandai
mencari keterangan. Tidak ada orang yang lebih tepat dimintai
keterangan tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di
kota raja selain seorang guru sastra yang sudah tua.
Akan tetapi
guru sastra itu menggeleng kepalanya dan mengerutkan kening. “Sungguh
menyesal aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan
orang banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang,
entah sudah ada berapa ribu orang pelajar yang menempuh ujian.”
Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal sekali. Malah Sian
Eng hampir menangis kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain
sia-sia belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang
kakak belum dapat ditemukan, sekarang malah kehilangan seorang adik dan
mendengar jawaban guru tua ini, agaknya memang tak mungkin mencari
seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh ujian pada
empat belas tahun yang lalu!
Pada saat mereka hampir putus asa
itu, kakek guru tua tadi berkata menghiburnya, “Masih ada satu jalan
untuk mencari orang itu. Pada empat belas tahun yang lalu, yang menjabat
sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang tinggal di
kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon
pertolongannya, karena kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang
para pengikut ujian dan siapa tahu beliau akan dapat memberi keterangan
di mana adanya Liu Bu Song itu.”
Wajah kakak beradik itu berubah
dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma
di An-sui? Itulah keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana
pula Lin Lin lenyap. Di sana malah terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda
lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena pikiran ini membuat
merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan
minta diri.
Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang.
“Apakah kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu,
bagaimana kalau mereka yang berada di sana, terutama It-gan Kai-ong,
mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan memasuki gua naga dan
harimau?”
“Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai
permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong
kita, mengapa kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran
tua itu mengerti di mana adanya Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya
dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong kita, apalagi
orang lain?”
“Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak
ada permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada
di sana. Kita pernah ribut dengan para pengemis.”
“Bukankah dia
sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh Lin Lin? Kalau
memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu.”
Akhirnya Bu Sin mengambil keputusan dan berkata, “Baiklah, kita ke
An-sui, bertanya dan minta tolong kepada Pangeran Suma Kong. Apapun
yang akan terjadi, harus kita hadapi karena ini menjadi kewajiban kita
memenuhi pesan terakhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari,
Eng-moi, kita kembali ke An-sui.”
Hanya semalam mereka di kota
raja dan pada keesokan harinya, kembali mereka melakukan perjalanan ke
An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui beberapa hari kemudian di
waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke rumah gedung yang pernah
mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati
mereka berdebar tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk
melaporkan kepada Pangeran Suma bahwa mereka berdua mohon menghadap,
memasuki pintu depan yang besar.
Akhirnya pintu terbuka dan
alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah
seorang pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan
berhidung bengkok bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda
yang mereka lihat malam itu, Suma-kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih
Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata pemuda itu
memandangmya seakan-akan hendak menelannya bulat-bulat dan mulut yang
membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum. Di belakang pemuda ini
keluar pula belasan orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja
dapat menduga bahwa mereka adalah perajurit-perajurit pengawal karena
pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan belasan orang
pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas
penghormatan kedua orang tamunya dengan menjura dan berkata.
“Menurut laporan pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran
Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang tidur siang, akan tetapi kalau ada
urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena semua urusan
Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperluan Ji-wi datang
menghadap Ayah?”
Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran
Suma maupun puteranya asal dapat memberi keterangan tentang kakaknya,
maka ia segera berkata dengan hormat.
“Maafkan kalau kami
mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Kedatangan kami mohon
menghadap Pangeran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena
untuk urusan kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong.”
Wajah Suma Boan berubah ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan
seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah pedang yang tergantung di
pinggang dan punggung kedua orang muda itu. “Heran sekali, kami tidak
pernah mengenal Ji-wi, pertolongan apakah yang kami lakukan?”
“Begini, Kongcu. Kami mencari seorang pengikut ujian yang berada di
kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun yang lalu. Karena pada
waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pangeran Suma yang menjabat
kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami apakah
beliau mengetahui di mana adanya pelajar itu sekarang.”
“Siapakah namanya pelajar itu? Empat belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catatan tentang pelajar.”
“Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song....”
“Bu Song....?” Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya
seketika berubah merah, matanya terbelalak lebar. “Apamukah dia itu?”
pertanyaannya kini tidak halus lagi.
Bu Sin dan Sian Eng kaget
melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang
menyebabkan Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya,
“Dia adalah kakak kami....”
“Bagus....!” Suma-kongcu melompat
bangun lalu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, Bu Song! Kau telah mengirim
dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan hukumanmu,
adik perempuan hemmm.... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!”
Suma-kongcu bertepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan
cepat sekali. “Tangkap mereka!”
Bukan main kagetnya Bu Sin dan
Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan mendengar perintah ini. Tanpa
menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mundur sambil mencabut
pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepatnya. Bagaikan seekor
burung elang menyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua
tangannya bergerak melakukan serangan. Bu Sin dan Sian Eng belum sempat
menarik pedang, terpaksa mereka menangkis karena serangan ini cepat dan
berbahaya sekali. Kedua tangan Suma Boan bertemu dengan tangkisan
tangan Bu Sin dan Sian Eng. Akibatnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian
Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak
meloncat bangun, namun sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan
telah mengenai jalan darahnya dengan cepat, membuat ia tidak mampu
berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan menyambar tubuh Sian Eng
dan memondongnya.
“Lepaskan adikku!” Bu Sin membentak,
pedangnya yang sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan.
Permainan pedang Bu Sin bukanlah lemah. Pedang itu meluncur cepat dan
Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil melompat ke samping. Akan
tetapi pedang Bu Sin mengejar terus.
Pada saat itu, para
pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi
menolong adiknya. Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar
pedangnya melayani belasan orang pengawal itu. Menghadapi para pengawal
ini, biarpun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu pedang Bu Sin.
Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal
lainnya menjadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini
demikian hebat. Kini mereka tidak berani mendekat rapat. Melihat ini,
Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan tubuh Sian Eng ke atas
dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan
sambil membentak.
“Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku menangkap cacing ini!”
Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil
menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Adapun Bu Sin ketika
melihat Suma Boan, segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia
bermaksud merobohkan kongcu itu untuk dapat menolong adiknya yang ia
lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak.
“Orang jahat she Suma! Apa kesalahan kami maka kau melakukan penangkapan?”
“Ha-ha-ha, Bu Song, kakakmu itu musuh besarku. Menyerahlah!”
“Sebelum mati takkan menyerah. Lihat pedang.”
Suma Boan tetap tertawa sambil mengelak dari sambaran pedang. Di lain
saat kedua tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai
penyerangan balasan. Putera pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan
tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat (silat tangan kosong)
yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin
bukanlah lawannya, karena dibandingkan dengan putera pangeran ini,
ilmu kepandaian Bu Sin masih amat rendah, kalau beberapa tingkat!
Tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa belas jurus saja,
pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring
sehingga pedangnya terpental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat
menyelamatkan diri, ia telah tertotok roboh dan segera ditubruk dan
diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang pengawal yang marah karena
pemuda ini sudah melukai tiga orang kawan mereka, menghujankan
pukulan-pukulan. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak
menghardik orang-orangnya. “Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan
menghukumnya. Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai
mati, nyawa kalian gantinya!” Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya
pingsan saja.
Suma Boan menengok ke arah dipan dan alangkah
kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang
tadi telah tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini
tidak tampak lagi, lenyap dari tempat itu tanpa bekas!
“Keparat,
di mana dia....?” Suma Boan dengan sekali lompat sudah tiba di dekat
dipan dan sepasang matanya melotot, mukanya pucat ketika ia melihat
sebuah benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu.
Benda ini adalah sebuah bendera kecil, gagangnya dari kayu hitam
menancap pada dipan, benderanya berbentuk segi tiga berdasar hitam
dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit, tersulam
dengan benang warna kuning emas!
“Hek-giam-lo....!” bibir Suma Boan berbisik, lalu ia menggertak gigi, “lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat....!”
Akan tetapi ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat mengejar setan itu
yang telah menculik tawanannya. Kemarahannya ia tumpahkan kepada Bu
Sin. “Seret ia ke dalam kebun belakang!”
Para pengawal menyeret
tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi
itu ke belakang. Atas perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang
balok yang dipasang menyilang, kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas
balok bersilang itu.
Bu Sin sudah siuman, maklum akan bahaya
maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa,
sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan
yang berdiri di depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal.
“Orang she Suma!” Kata Bu Sin dengan juara ketus dan nyaring. “Antara
kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kaukatakan bahwa kakakku
Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima
hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu
aku akan mewakili kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia
rendah.”
“Ha-ha, kematian sudah di depan mata dan masih
berlagak!” dengus Suma Boan dan sekali ia meroboh saku, ia telah
mengeluarkan enam batang anak panah. “Sebentar lagi kau mampus.”
“Siapa takut mati? Seorang gagah sekali-kali tidak berkedip menghadapi
kematian, asal saja ia mati dalam kebenaran! Akan tetapi, ceritakan
mengapa kakakku memusuhi orang macam kau, agar aku tahu untuk apa aku
mati.”
“Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh
Ayah, ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian karena
tertarik oleh kepintarannya Ayah telah memberinya kedudukan baik sebagai
pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia rendah itu tidak tahu
akan kedudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik
perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, mengalami
cambukan seratus kali, tapi agaknya tubuhnya yang sudah hampir menjadi
bangkai itu dibawa setan, atau mungkin juga dimakan setan sampai habis.
Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk melanjutkan hukumannya.
Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan atas
diri adikku akan kubalas himpas hemmm.... kalau saja perempuan itu
tidak lenyap....”
“Di mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita
sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku akan menerima dengan
mata melek. Akan tetapi, kaubebaskan adikku. Dia wanita, tidak
bertanggung jawab akan perbuatan kakakku.”
“Ha-ha-ha, adikmu
akan kurusak, kemudian kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini
harus dibayar sampai habis, berikut bunganya.”
Pucat wajah Bu
Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bahwa percuma saja
membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang
menyakitkan hati. Apapun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat
tentu kematian dan ia percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan
setiap kesempatan untuk meloloskan diri atau untuk membunuh diri dari
pada dijamah tangan-tangan kotor itu.
“Pengecut, siapa takut ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh!” bentaknya.
Tangan kiri Suma Boan bergerak dan meluncurlah sebatang anak panah,
menancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih, namun Bu Sin
tetap memandang dengan mata marah, berkedip pun tidak pemuda perkasa
ini.
“Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran
tanpa membunuh korbannya. Dan hati-hati, dia harus dibiarkan tersiksa
sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran menjaga malam ini.
Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi
akan kulihat bangkainya tetap tergantung di sini.”
“Baik,
Kongcu, hamba sekalian akan menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir.”
Serempak para pengawal menjawab sambil memberi hormat.
Dengan
senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut melepaskan
anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur
dan dengan tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua
pundak. Dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri
pada kaki tangan den pundaknya masih dapat ia pertahankan dengan
menggigit bibir, sedikit pun keluhan tidak ada yang keluar dari
mulutnya. Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya,
hampir ia tidak kuat menahan hati untuk memaki-maki dan
berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa. Akan
tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ
menjadi tontonan, benar-benar menyakitkan hati sekali.
Suma Boan
tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka Bu Sin sebelum pergi
meninggalkan tempat itu. Bu Sin hanya membuang muka ke samping, akan
tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa
pipi itu panas dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan
putera pangeran ini yang memiliki lwee-kang amat kuatnya. Namun sakit
di hatinya lebih hebat.
“Jaga baik-baik, awas, jangan sampai ada
yang mencuri calon mayat ini,” pesan Suma Boan kepada anak buahnya.
Mereka memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan
kesanggupan mereka.
Setelah kongcu itu pergi, para pengawal
yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok bersilang di
mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin
bahwa penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di
atas tanah, dekat tangan, siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu.
Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian yang tertusuk anak
panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa
nyeri ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga.
Pikirannya sibuk memikirkan kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa
kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan ayahnya. Kiranya
kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya,
kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan
dan ditangkap lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi
kakaknya lenyap pada malam hari. Ke mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa
dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin. Siapakah yang mau
menolong kakaknya? Seperti juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau
menolongnya?
Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha
mengikuti sinar berkelebatan dengan matanya, namun tetap saja matanya
silau dan tak dapat melihat apa yang berkelebatan itu. Tahu-tahu para
penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah malang-melintang,
tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti
main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik
ikatan kaki tangannya terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah
banyaknya itu tercabut. Darah bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat
lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi atas dirinya.
Ketika Bu Sin sadar kembali, ia mendapatkan dirinya sudah berada di
sebuah hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada
sebuah api unggun yang masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun
manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk, memeriksa luka-lukanya.
Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut
dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi. Cepat ia
melompat berdiri, dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera
dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah pandang matanya bertemu
dengan tanah yang dicoret-coret merupakan huruf-huruf.
ADIKMU DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU BERUSAHA MENGEJARNYA.
Bu Sin terduduk kembali. Agaknya orang yang menolongnya ini sejak tadi
menjaganya di situ dan melihat ia siuman, baru orang itu pergi sambil
meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu?
Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia
teringat akan penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan
tahun yang lalu telah menolong kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal
sekali, mengapa penolongnya itu melakukan ini secara bersembunyi
sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan
penolongnya. Lebih khawatir lagi hatinya ketika mendapat kenyataan
bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Ia tidak tahu siapa itu
Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini disebut
orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya pengalamannya
bersama Lin Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga bersembunyi di dalam
hutan, di atas pohon besar kemudian mereka terancam oleh It-gan
Kai-ong. Betapa kemudian terdengar suara melengking tinggi yang membuat
It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang
mengeluarkan lengking tinggi tampak punggungnya dan menyebut-nyebut
nama Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang
Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah membawa lari Sian Eng! Siapa
dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat namanya,
Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam!
Bu Sin termenung, bingung
karena tidak tahu harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti
yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang Sian Eng dibawa lari
Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan
berada di mana sekarang. Mencari kakaknya belum juga bertemu, hanya
mendengar nasibnya yang buruk, disiksa hampir mati dan lenyap. Apa yang
harus ia lakukan sekarang?
Dengan pikiran bingung dan gelisah
sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup hutan
karena ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali
lagi terjatuh di tangannya berarti akan hilang nyawanya.
***
Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya berada dalam keadaan tertotok
jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring di atas dipan? Gadis ini
biarpun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat
tertotok membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatannya masih
berjalan baik dan panca inderanya tidak terpengaruh. Ia berusaha
sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lwee-kang untuk membebaskan
diri daripada totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya
gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu.
Tiba-tiba
sesosok bayangan nitam berkelebat dan tahu-tahu ia merasa dirinya
diterbangkan dari tempat itu. Demikian cepatnya gerakan yang
menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan
penolongnya itu. Ia dipondong dan karena masih dalam keadaan tertotok,
ia tidak dapat menggerakkan kepala untuk memandang pemondongnya.
Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia mengingat-ingat. Tiba-tiba
jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi mengejar
It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam.
Orang yang membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan
juga pembunuh orang tua mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang
tuanya, musuh besar ini yang sekarang menculiknya pergi, tentu tidak
bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, cepat sekali
larinya seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng
gunung.
Sian Eng sekarang sudah mampu menggerakkan kepala
karena urat lehernya sudah mulai terbebas daripada totokan, jalan
darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia menengok
dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya
yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu.
Ketika ia memandang ke sekitarnya mdalui kedua pundak pemondongnya, ia
terkejut dan merasa ngeri. Kiranya mereka telah berada di sebuah tempat
kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar, karena selain
luas, juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah
berdiri di sana, di dalam lingkungan pagar tembok dan di sana sini
berdiri patung-patung yang terukir indah. Jalan menuju ke batu nisan itu
menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawanya ke batu nisan itu.
Akan tetapi ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui
sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali.
Tak lama kemudian sampailah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang
cukup luas dan tidak gelap, agaknya sinar matahari dapat masuk ke
ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang, akan
tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali
membuktikan bahwa penolong atau penculiknya itu adalah seorang yang
amat tinggi kepandaiannya.
Sian Eng yang sudah dapat bergerak
lagi cepat menoleh dan.... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak
lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan
mata terbelalak lebar memandang ke depan, kepada orang yang
memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu di tubuhnya berdiri, dan
gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang
memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu
menutup sampai kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua
lubang mata yang lebar, lubang hidung yang kecil dan bekas mulut yang
amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat seperti itu, yakni di
bawah tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti ini,
benar-berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit
ketakutan.
Kemudian mahluk itu yang berdiri tak bergerak seperti
patung, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema namun seperti dari
jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hidup,
“Nona datang dari Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri Jenderal
Kam Si Ek?”
Karena masih dicekam kengerian, Sian Eng belum
mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan sepasang matanya yang
bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah untuk membasahi
kerongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali.
Mendadak
terjadi hal yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Mahluk itu, yang kini ia
dapat menduga tentulah seorang manusia yang memakai topeng tengkorak,
tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan bangku itu, di mana Sian
Eng sudah bangkit berdiri!
“Aduhai Sang Puteri....
bertahun-tahun hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri,
bertahun-tahun hamba yang hina mencari dengan susah payah. Akhirnya
hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun, akan tetapi Paduka
sudah pergi.... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Paduka di
sini. Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu....”
Sampai di sini, si kedok tengkorak itu lalu menangis sesenggukan.
Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo keheranan, bulu tengkuknya
berdiri kaku karena ia menganggap bahwa kedok iblis ini tentulah
seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangisan kedok iblis itu
demikian mengharukan hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu
dan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya. Ia ikut pula
menangis!
Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat
tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, “Wahai, Paduka Puteri
junjungan hamba...., betapa bahagianya hati hamba, betapa bahagianya
rakyat kita, setelah bertahun-tahun dikuasai raja yang tak berhak. Kini
Paduka telah muncul, bagaikan Sang Matahari muncul untuk mengusir awan
hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada hamba Hek-giam-lo yang
akan membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang
menjadi hak Paduka....”
Tentu saja Sian Eng makin tidak
mengerti dan menganggap orang yang miring otaknya ini sedang kambuh
gilanya maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar suara
mirip tangisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di
bawah tanah itu. Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo
disusul maki-makian.
Hek-giam-lo mengangguk-anggukkan kepala
tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus, “Mohon perkenan
Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana.”
Mau tak mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini
dianggap istana dan ia hendak dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi
untuk membantah, ia tidak berani karena maklum bahwa orang gila yang
menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia hanya
mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata
lirih, “Pergilah....”
Tampak bayangan hitam berkelebat dan
tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari depannya. Sian Eng
menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia? Ataukah
semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau begitu, agaknya
bukan manusia si kedok tadi, jangan-jangan memang benar tengkorak
hidup. Kalau manusia, masa pandai menghilang seperti itu?
Di
sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu,
berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke
kaki. Seorang wanita cantik sekali, rambutnya hitam halus dan
mengeluarkan keharuman yang mewakili taman bunga, baju luarnya putih
bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan. Sukar
mengira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir merah itu
orang akan mengira ia masih amat muda, akan tetapi sikap, gerak-gerik
dan pandang matanya membayangkan kematangan lahir batin di samping
watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Rambut
Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang
melewati batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan
batu nisan besar sambil memaki-maki dengan suara nyaring, diseling
lengking tinggi seperti orang menangis.
“Hek-giam-lo, tengkorak
busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau
kau tidak lekas keluar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus
ini kubikin remuk. Hendak kulihat apakah kau masih tidak akan muncul!”
Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo yang tepat muncul dari
sebuah lubang di depan batu nisan setelah membuka penutup lubang itu
dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari
terkencing-kencing ketakutan kalau melihat mahluk seperti Hek-giam-lo
tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu nisan itu. Akan tetapi
Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya
Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang
runcing dan tangan kanan bertolak pinggang.
“Hek-giam-lo
tengkorak busuk! Hayo lekas kauserahkan padaku surat yang kaucuri dari
gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka!”
Hek-giam-lo
tidak menjawab akan tetapi segera melompat keluar dan menghadapi
Siang-mou Sin-ni dengan marah. “Sin-ni, antara kita sudah terdapat
saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak bersimpangan. Kau tahu
bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi negaraku.
Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku
menemukan kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting.
Dengan memperlihatkannya kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat
hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau pinta surat itu?”
“Tengkorak busuk! Kaukira hanya kau seorang yang mau mengambil peran
sebagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau
tak tentu tanah airnya, berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat
persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa sangkut-pautnya dengan
Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han. Surat itu
harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak yaitu
Kerajaan Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun untuk itu
aku harus mengadu ilmu dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan
undur setapak pun!”
“Hemmm, kau perempuan mau main politik
segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di
antara Thian-te Liok-koai. Lebih baik kaupertahankan nama itu dan
jangan mencampuri urusan negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki.”
“Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok tengkorak, siapa tahu kau
perempuan atau laki-laki? Hayo kembalikan!” Siang-mou Sin-ni menggertak
dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah
bergoyang-goyang. Rambutnya merupakan senjatanya yang paling ampuh dan
memang rambutnya itulah yang amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi
wanita biasa, agaknya rambut yang hitam panjang halus dan harum itu
akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum
pria. Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan
cengkeraman-cengkeraman maut yang entah sudah menewaskan nyawa beberapa
banyak orang!
“Sin-ni, kau tahu aturan antara kita. Surat ini
kudapatken dengan jalan menggunakan kepandaian, tentu saja tidak
mungkin kuberikan kepadamu begini saja.”
Sambil berkata
demikian, Hek-giam-lo sudah mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya
mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari tangan Suma Boan tanpa
diketahui orangnya.
Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo,
Siang-mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu,
rambutnya seakan-akan hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan
sebagian rambutnya yang lain lagi menyambar ke arah jalan darah di dada,
leher, pangkal lengan dan pergelangan yang maksudnya selain merobohkan
lawan juga merampas sabit!
“Uhhh!” Hek-giam-lo membentak, surat
itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah
menjadi sinar putih yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan
hitam yang bergulung-gulung dengan sinar sabitnya. Pada detik-detik
berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling terjang dengan
ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan
ada orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis
kuburanlah yang sedang bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding
di atas lantai depan batu bisa, kadang-kadang dengan gerakan ringan dan
cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas bongpai (batu nisan),
melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi, melanjutkan
pertandingan yang amat hebatnya.
Namun keduanya sama kuat.
Pertahanan masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi
mereka untuk mencari lubang dan memasuki serangan mematikan.
“Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pelajaranmu dari Bu Kek Siansu? Untuk
apa kaurampas setengah kitabnya? Hayo keluarkan, kulihat jurus-jurusmu
adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno!” ejek Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo mendengus dan memutar sabitnya. “Kau merampas alat
tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cerewet, rampaslah suratmu
kakau kau memang becus!”
“Keparat, hari ini Hek-giam-lo mampus
di tanganku!” Siang-mou Sin-ni memperhebat gerakannya dan kini mereka
bertanding lebih seru lagi, berusaha mencari kemenangan dengan
mengeluarkan jurus-jurus mematikan.
Sementara itu, Sian Eng
ketika melihat dirinya ditinggalkan sendiri oleh Hek-giam-lo, segera
timbul keberaniannya. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat
ia melompat turun dari atas bangku panjang, menyambar pedangnya yang
tadi dibawa pula agaknya oleh Hek-giam-lo, dan berjalanlah ia melalui
lorong di bawah tanah yang gelap. Seberapa kali ia salah jalan. Kiranya
lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan. Setelah
meraba sana, merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar
matahari melalui sebuah lubang. Pengharapannya menebal dan cepat ia
merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari sebuah lubang yang
cukup besar. Ia mengerahkan gin-kang dan melompat keluar dari lubang.
Sejenak kedua matanya silau dan terpaksa ia berdiri sambil memejamkan
mata. Baru saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat
menyilaukan mata, hampir ia tak dapat percaya apa yang dilihatnya.
Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan di situ
berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh.
Yang seorang adalah Hek-giam-lo, yang mempergunakan sebuah sabit yang
mengerikan. Orang ke dua adalah seorang wanita cantik sekali, akan
tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu selalu
menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata!
Sian Eng tidak tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan
itu. Hek-giam-lo dianggapnya seorang miring otak yang menganggap dia
sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia masih tidak tahu
apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap
dirinya. Adapun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itupun
ia tidak kenal, tidak tahu pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo.
Oleh karena ini, Sian Eng tidak mempedulikan pertempuran itu dan
mendapatkan kesempatan baik ini ia segera melarikan diri.
Akan
tetapi Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang
itu tidak melihatnya dan tidak tahu bahwa ia melarikan diri. Dua orang
itu adalah orang-orang sakti yang tentu saja melihat dia keluar dari
lubang tadi. Belum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus.
“Sin-ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia.”
“Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru aku memberi ampun padamu!”
Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga, namun dengan
mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan membalas dengan sambaran
rambutnya.
“Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu!” kembali Hek-giam-lo berkata, minta pertandingan dihentikan.
“Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kauserahkan kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik.”
Kewalahan Hek-giam-lo menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur,
juga amat pandai berdebat ini. “Nah, kaumakanlah suratmu!” Hek-giam-lo
sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke arah Siang-mou
Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng.
Adapun
Siang-mou Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya
dan ia terkekeh girang melihat bahwa benda itu memang benar merupakan
surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan Pemerintah Hou-han.
Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku jubahnya,
kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari
tempat itu. Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang
ke arah sebuah di antara jajaran patung yang kebetulan berada di
depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang sastrawan kuno. Wajah
patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja.
“Ih, tampan juga kau!” Siang-mou Sin-ni tersenyum. “Sayang kau hanya
batu, tidak punya darah dan daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih
baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi.”
Siang-mou Sin-ni
menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang menyambar ke arah leher
patung. “Plakkk!” Rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak
apa-apa. Jangankan patah, gempil pun tidak.
Sepasang mata jeli
bening itu terbelalak. Biasanya, hantaman rambutnya akan mampu
memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung saja tidak
kuat? Sekali lagi ia menggerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua
menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar.
“Plakkk!” Kali
ini tubuh Siang-mou Sin-ni tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan
tadi lebih besar sehingga ketika terpental, lebih hebat pula terasa
olehnya.
Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah
patung itu, lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau
semua patung itu sekuat ini, agaknya memiliki kesaktian, hiiiiih,
Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya bangun dan ia cepat-cepat
meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti
iblis sekarang lari ketakutan, mengira bahwa patung-patung itu sudah
menjadi iblis. Mungkin menghadapi sesama manusia, iblis wanita rambut
panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun, akan tetapi menghadapi
patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya,
benar-benar melewati batas ketabahannya.
Kalau saja Siang-mou
Sin-ni tahu betapa sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat
bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari malah akan diserang
mati-matian! Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi, “patung” itu
menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah
seorang pemuda tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian
berwarna hitam. Suling Emas! Seperti juga Siang-mou Sin-ni, Suling Emas
yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah perginya
Hek-giam-lo.
Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia
lari sekuat tenaga dan memasuki hutan besar. Napasnya terengah-engah
dan setelah masuk di bagian hutan yang gelap, merasa dirinya aman, gadis
ini memperlambat langkahnya untuk mengaso dan mengatur napas. Akan
tetapi, dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya menjadi
pucat tak berdarah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri....
Hek-giam-lo!
“Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap
hati-hati, tanpa hamba yang melindungi, sebaiknya Paduka jangan pergi ke
mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,” terdengar Hek-giam-lo
berkata dengan suaranya yang menyeramkan.
“Tidak.... tidak.... biarkan aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku!” teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari.
Akan tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian
Eng menjadi nekat dan menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah
bagaimana pedangnya seperti bertemu benda keras dan terpental jauh
kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa lari seperti terbang
cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan
dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo.
***
Lin Lin
membanting-banting kedua kakinya seperti anak kecil tidak dituruti
permintaannya. “Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia berada di kota
raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita
berada di sini, setiap malam berkeliaran semalam suntuk, kalau siang
tidur di kuil tua, persis seperti kelelawar, malam berkeliaran siang
tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang hidungnya!”
Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil
tua yang kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak, tertawa lebar
memperlihatkan giginya yang putih dan mengkilap tertimpa sinar api
unggun yang dibuatnya, sehingga keadaan dalam kuil yang gelap itu
menjadi terang.
“Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukatakan kepadamu bahwa orang macam Suling Emas itu sukar dipegang buntutnya.”
“Apa dia bukan manusia, Kek?”
“Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita.”
Melihat dara remaja itu mengajukan pertanyaan dengan muka
sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin. “Uuhh, kau benar-benar
masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar dipegang
buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya.”
“Wah, kalau begitu, sia-sia saja kita berkeliaran di kota raja ini, Kek?” Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting kaki.
“Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna dan ada
manfaatnya, asal saja kita tahu bagaimana mempergunakannya dan memetik
manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja, bukalah matamu baik-baik.
Bukankah kau menemui keadaan yang baru bagimu? Tidakkah kau ingin
melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana kalau
datang ke sini dan tak pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah
lama tidak kunikmati masakan istana.”
Seketika kemurungan hati
Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya berkilat dan
seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. “Wah, mari
kita ke sana, Kek, ada masakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar
sekali!”
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal agaknya senang
sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja itu.
“Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar.”
“Serupa siapa, Kek?”
“Serupa dengan orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut aku
ke istana dan menikmati masakan dapur yang selama hidupmu belum pernah
kaumakan atau lihat. Akan tetapi amat berbahaya, banyak penjaganya
yang pandai.”
“Aku tidak takut!”
“Bukan soal berani atau takut, melainkan kepandaianmu yang kuragukan.”
“Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu sendiri, Kek.
Bukankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu?” cela Lin Lin.
Kakek itu tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan
benar-benar amat memandang rendah. Disebutnya “serba kosong”, memang
nama ilmu yang ia turunkan adalah Khong-in (Mega Kosong).
“Biarpun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul.”
Marah Lin Lin. Kepalanya dikedikkan, dadanya dibusungkan. “Pagi siang
sore malam kausuruh aku berlatih, tak pernah membiarkan aku mengaso,
sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku belum
berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima sekali.
Wah, celaka, dapat seorang teman satu kali saja begini tak ingat budi
dan jerih payah orang!”
“Huah-ha-ha-ha!” Kakek itu
terpingkal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian,
eh, bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi
sesuatu kepadanya karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar
memutarbalikkan kenyataan. “Ya sudahlah, aku setuju kau berlatih keras
selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur istana,
harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kauperlihatkan padaku
sekali lagi ilmu Khong-in-liu-san yang kaupelajari sambil mengerahkan
tenaga dan gin-kang. Kau kurasa sudah cukup, sekarang juga kita pergi ke
istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar!”
Lin Lin girang
sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi
pada jurus ke tujuh, ia terlalu keras menggunakan tenaga sin-kang dan
“krakkk!” pedang yang diayunnya patah menjadi tiga potong! Gadis itu
terkejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat tangan
kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh
ke bawah.
Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk
tangan sambil menari-nari kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening,
mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa kakek itu mengejeknya.
“Bagus, bagus....! Kaulihat sendiri, cucuku, dengan tenaga
Khong-in-ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah menjadi tiga potong.
Ha-ha-ha, sudah hebat tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan
sehingga membikin rusak senjata sendiri. Cukup dan marilah ikut ke
istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih sendiri
sebatang pedang pusaka dalam kamar pusaka.”
Seketika lenyap
kemarahan Lin Lin seperti awan tipis disapu angin. Ia meloncat dekat
kakek itu merangkul pundaknya. “Betulkah, Kek? Hayo, lekas kita
berangkat kalau begitu!”
Sambil tertawa riang keduanya lalu
berkelebat lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual
ketika ia menyatakan bahwa setiap kali datang ke kota raja ia pasti
mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang, kesukaan kakek ini
hanya makan, makan enak, apalagi masakan-masakan lezat mahal di dapur
istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar!
Kakek itu membuktikan
omongannya dengan pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana.
Hafal betul ia akan jalan menuju ke istana, malah ia dapat memilih
dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal ini saja
sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi “langganan” tempat
terlarang itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks
istana memang amat sunyi. Pintu gerbang sudah tertutup dan beberapa
orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk penjagaan. Ada pula yang
meronda pagar tembok, membawa tombak dan pedang.
Jengkel juga
Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar
tembok yang dipilihnya untuk melompat masuk. Pagar tembok itu amat
tinggi, tidak kurang dari tujuh meter tingginya. Akan tetapi yang ia
pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak jauh dari
tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok.
Kalau saja ia tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih
tembok yang mana saja. Diambilnya sebuah batu dan disambitnya ke arah
kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri. Ternyata seorang
penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena
sambitan batu itu, tepat pada tulang keringnya di kaki, membuat ia
meloncat-loncat dan mengaduh-aduh sambil memegangi tulang kering yang
dicium batu. Teman-temannya segera lari menghampiri, termasuk mereka
yang meronda. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-lun Seng-jin,
memberi isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya.
Mula-mula kakek itu melompat ke atas cabang pohon terdekat dengan
tembok, ia melompat ke atas tembok. Lin Lin agak ngeri juga melihat
dari tempat yang tinggi itu.
***
Akan tetapi ia
mengeraskan hati dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat
kenyataan bahwa lompatannya amat ringan dan mudah. Mengertilah ia
sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-kin, maka
diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu.
Dengan mudah
mereka melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di
daerah istana. “Siapa tahu di sini kita akan bertemu dengan Suling
Emas, Kek,” kata Lin Lin, mengagumi bangunan-bangunan besar yang dihias
lampu-lampu beraneka warna.
“Boleh jadi, boleh jadi....” Kakek itu mengangguk-angguk. “Orang macam dia itu bisa berada di manapun juga.”
“Apa dia itu hebat sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia?”
Kakek itu menggeleng kepala. “Belum pernah, bertemu pun belum. Akan
tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah membuat nama besar, jauh
melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw.
Aku.... aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di
sana dapurnya, mari!”
Kim-lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin
dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa mengeluarkan suara
seperti dua ekor kucing saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di
atas genteng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak
rendah, membuka genteng, mematahkan kayu penyangga genteng, lalu
menytisup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka telah berada di atas
langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka
langit-langit di pojok yang agaknya memang sudah lama terbuka.
“Ini pintu rahasiaku, kubuat belasan tahun yang lalu,” bisiknya sambil
tersenyum lebar. Lin Lin menjadi geli juga hatinya. Kakek ini
benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari
lubang itu mereka mengintip ke bawah dan bau yang sedap masuk melalui
lubang itu menyambut hidung mereka.
“Ehhhmmmm, waaahhhhh,
sedapnya....!” Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan hidungnya. Juga
Lin Lin merasa amat lapar sekarang. “Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa
hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari!” Ia membuka lubang itu
dan melayang ke bawah, diikuti oleh Lin Lin.
Dapur itu tidak
menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu mewah. Lebih
bersih daripada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini
disebut dapur? Lantainya mengkilap, dindingnya dari batu marmer putih,
lemari-lemarinya yang indah berdiri berjajar di sudut, penuh dengan
panci-panci dan mangkok-mangkok besar. Tempat perapian untuk masak
berada di sebelah kiri. Betul kata kakek itu, panci dan mangkok-mangkok
itu masih nampak mengebulkan uap, tanpa bahwa isinya masih panas.
Kakek itu sudah tidak mau memperhatikan atau mempedulikan Lin Lin lagi
karena ia sudah sibuk membuka dan memeriksa isi panci dan mangkok. Di
tangannya sudah terdapat sepasang sumpit gading yang ia ambil dari
sebuah lemari. Sekarang tangan yang memegang sumpit ini kewalahan
melayani mulutnya yang melalap dan cepat menghabiskan segala yang
dimasukkannya. Nyumpit sana, nyumpit sini, lari ke lemari sana, kemudian
ke lemari sini, kakek itu benar-benar berpesta-pora! Tangan kirinya
menyambar guci arak yang berada di atas lemari terciumlah bau arak
wangi ketika ia mendorong makanan di mulutnya itu dengan arak. Mulutnya
mengeluarkan bunyi seperti babi makan ketika mengunyah makanan,
bibirnya mengecap-ngecap penuh nikmat.
Lin Lin juga ikut
berpesta-pora sungguhpun tidak selahap kakek itu. Namun ia pun gembira
bukan main karena banyak sekali macamnya masakan yang luar biasa di
situ. Karena ia tidak mengenal masakan-masakan itu, ia menyumpit
masakan yang disebut oleh kakek itu sebagai masakan istimewa.
“Ini sop sarang burung, ini tim lidah harimau, ini sop hiu masak kecap,
dan ini.... wah, ini panggang ikan lele!” Tiada hentinya ia menyebut
nama-nama masakan dan Lin Lin harus akui bahwa yang disebut oleh kakek
itu memang benar nikmat dan lezat. Saking gembiranya, Lin Lip juga
ikut-ikutan minum arak merah yang tidak begitu keras, namun hangat di
perut. Tanpa mereka sadari perut mereka menjadi penuh dan sang perut
yang tak sanggup mengikuti selera lidah. Lin Lin yang minta ampun lebih
dulu duduk terhenyak di atas kursi, terengah kekenyangan. Dasar dara
remaja yang masih kekanakan, tanpa malu-malu ia membelakangi kakek itu
untuk mengendurkan tali pinggang dalam dan luar!
“Heh-heh-heh,
puas sekali ini. Wah, Kaisar amat royal hari ini, ada apa gerangan?
Dasar rejekimu besar, Lin Lin!” Kakek itupun tak mampu lagi mengisi
perutnya. Agaknya makanan sudah memenuhi perutnya sampai ke leher
sehingga tiada ruangan kosong lagi untuk menampung masakan. Ia
menjatuhkan diri di lantai, bersandar dinding dan minum arak keras
sedikit demi sedikit sambil mengecap-ngecapkan bibirnya.
Terdengar suara orang bicara dan langkah kaki mendatangi. Cepat bagaika
maling konangan (ketahuan orang) Lin Lin sudah melompat dan menerobos
ke dalam lubang di atas langit-langit. Kakek itu mengikutinya sambil
terkekeh dan sambil mengintai dari atas ia berbisik.
“Ihhh, kenapa kau begini penakut?”
Lin Lin tidak menjawab, mukanya merah. Bukan takut, tapi siapa tidak
menjadi malu kalau mencuri makanan ketahuan pemiliknya? Hatinya
berdebar-debar gelisah. Selama hidupnya, baru kali ini ia melakukan
pencurian. Menjadi maling makanan, alangkah rendahnya dan memalukan!
Dengan muka masih merah ia ikut mengintai, hendak melihat siapakah
mereka yang memasuki dapur itu. Apakah kaisar sendiri? Ataukah
permaisuri? Makin berdebar jantungnya.
Tiga orang memasuki
dapur istana itu. Kiranya hanyalah tukang-tukang dapur saja, melihat
pakaian mereka. Begitu memasuki dapur, ketiganya berhenti bicara dan
memandang ke arah lemari dengan mata terbelalak. Seorang di antara
mereka lari mendekati lemari dan terdengarlah ia berseru kaget.
“Celaka, masakan-masakannya ada yang curi! Ada yang makan, lihat nih, ada yang tumpah di lantai!”
“Wah-wah, celaka, tentu ada yang mencuri masuk!”
Tiga orang itu mencari sana-sini, memandang ke seluruh penjuru, lalu
berdongak ke atas. Lin Lin makin berdebar jantungnya, merasa
seakan-akan tiga orang itu telah mengetahui tempat persembunyiannya.
“Agaknya kucing! Kalau orang, mana berani main gila di dapur istana!”
“Masa kucing bisa mengganyang habis begini banyak masakan?”
“Siapa tahu kucing siluman!”
Ribut-ribut tiga orang tukang masak itu. “Lekas laporkan kepada
penjaga, eh.... ke komandan jaga saja, biar dikerahkan semua pengawal
menangkap kucing laknat. Kalau tidak tertangkap yang makan
masakan-masakan ini, celaka kita, tentu mendapat hukuman dari Sri
Baginda!”
Seorang di antara mereka lari keluar, agaknya hendak
melapor. Lin Lin makin gelisah, akan tetapi ia lihat Kim-lun Seng-jin
malah tidur mendengkur perlahan di bawah genteng! Agaknya kakek ini
kekenyangan dan tertidur, sama sekali tidak tahu akan keributan di dalam
dapur.
“Tentu kucing, entah berapa ekor yang masuk dan mencuri
masakan,” kata lagi tukang masak yang gendut perutnya. “Hemmm, kalau
tertangkap, akan kusembelih dia, kutarik keluar jantungnya, kumasak
dengan jahe dan tape ketan. Baik untuk menguatkan jantung menambah
darah.”
Pucat muka Lin Lin mendengar ancaman ini dan saking
gelisahnya, ketika menggeser lebih dekat ke arah lubang untuk mengintai
lebih jelas, kepalanya terantuk genteng mengeluarkan bunyi. Dua tukang
masak di bawah mendengar ini dan mereka berdongak memandang penuh
curiga.
“Wah, kucingnya di atas sana!” seorang menuding.
“Mana bisa? Tidak ada lubang, dari mana dia masuk?”
“Siapa tahu kucing siluman?”
Si gendut menudingkan telunjuknya ke atas, tepat ke arah Lin Lin, lalu
membentak, “He! Siapa di atas sana? Kucing atau manusia, atau setan?”
Tidak ada jawaban.
“Agaknya pencuri!” kata temannya.
“Lebih baik panggil para pengawal, biar ditangkap dan dihujani anak panah.”
“Nanti dulu, siapa tahu kalau hanya tikus atau kucing.” Kembali ia
memandang ke arah Lin Lin sambil berseru, “Heee! Siapa sembunyi di atas
langit-langit? Kalau setan atau manusia, jangan jawab. Kalau kucing,
jawablah!”
Lin Lin mendengarkan penuh perhatian, dengan seluruh
perasaan, menegang dan jantung berdebar. Mendengar pertanyaan ini,
otomatis mulutnya menjawab, “.... kucing...., eh meeooonggg....!” Ia
gugup sekali sehingga jawabannya kacau-balau.
“Lho! Kucing bisa
bicara! Wah, celaka.... setan....!” Dua orang tukang masak itu lari
tunggang-langgang dan di ambang pintu mereka bertabrakan sampai jatuh
bangun.
“Heh-heh-heh!” Kim-lun Seng-jin tertawa dan menarik
tangan Lin Lin, diajak melompat naik ke atas genteng. “Kau lucu sekali,
masa kucing bisa berkata seperti manusia!”
Merah muka Lin Lin, mulutnya cemberut. “Aku tidak sengaja. Habis, aku bingung, kau enak-enak ngorok sih, Kek!”
“Mari kita ke gudang pusaka!”
Gudang pusaka dijaga kuat. Memang gudang ini selalu dijaga, siang
malam, karena di dalamnya terdapat simpanan senjata-senjata pusaka dan
bendera-bendera milik istana. “Kau yang masuk, biar aku merobohkan lima
orang penjaga itu, dan sementara kau di dalam, aku yang menjaga di luar.
Lekas pilih pedang yang kausukai, tapi hati-hati, banyak jebakan di
sana. Aku percaya kau mampu menjaga diri.”
Lin Lin mengangguk
dan bagaikan dua ekor burung walet, kakek dan dara remaja itu melayang
turun. Lima orang penjaga serentak melongo ketika tiba-tiba di depan
mereka berdiri seorang kakek gundul yang berjenggot panjang bersama
seorang wanita muda secantik bidadari. Sedetik mereka mengira bahwa
mereka dikunjungi sebangsa iblis dan peri, akan tetapi pada detik lain
mereka sudah bergerak hendak menangkap. Namun mereka kalah cepat. Kedua
tangan kakek itu bergerak dan lima orang itu roboh tertotok, tak
berkutik lagi. Dengan dorongan tangannya, Kim-lun Seng-jin berhasil
membuka daun pintu yang terkunci.
Lin Lin cepat melompat masuk,
akan tetapi baru saja kakinya menginjak lantai di sebelah dalam gedung
itu, dari kanan kiri menyambar dua batang anak panah. Baiknya dara ini
sudah melatih Khong-in-ban-kin secara tekun sehingga gin-kangnya sudah
jauh lebih tinggi daripada dahulu, sudah lipat entah berapa kali.
Anak-anak panah itu cepat sambarannya, namun ia lebih cepat lagi,
dengan gerakan gesit ia telah melompat maju di antara sambaran anak
panah, terus ke depan sehingga anak-anak panah dari kanan kiri itu
meluncur lewat di belakang punggungnya! Tanpa menghiraukan lagi
anak-anak panah itu, kini Lin Lin berdiri kagum memandang
senjata-senjata yang dipasang berderet-deret di sepanjang dinding. Bukan
main indahnya senjata-senjata itu. Tombak-tombaknya, ruyung, golok,
pedang, toya dan banyak sekali macamnya, rata-rata merupakan senjata
pilihan, kuno dan terbuat daripada besi aji yang mempunyai cahaya dan
hawa yang ampuh. Akan tetapi pandang mata Lin Lin lekat pada sebatang
pedang tipis yang tergantung di dinding sebelah kiri. Pedang ini kecil
dan tipis, sarungnya daripada kulit harimau, gagangnya kecil dan dihias
ronce-ronce merah. Seperti dalam mimpi, kedua kakinya bergerak
menghampiri dinding sebelah kiri, kemudian ia mengulur tangan kanan,
merenggut pedang yang tergantung pada dinding itu. Ringan sekali pedang
ini, akan tetapi begitu ia tarik dari dinding, tiba-tiba dari atas
melayang turun sebuah benda besar dan berat, meluncur cepat akan
menghantam dirinya!
Karena benda itu cepat sekali datangnya,
Lin Lin yang sudah memegang pedang di tangan kanan, tak sempat
mengelak lagi. Terpaksa ia mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, tangan
kirinya menangkis dan.... terdengar suara keras, batu besar yang
meluncur turun itu pecah oleh tangkisan Lin Lin yang disertai tenaga
Khong-in-ban-kin!
Saking kagetnva karena pecahnya batu itu
menerbitkan suara keras dan berisik, Lin Lin cepat melompat keluar lagi
dari gudang itu dan di lain detik ia sudah tiba di luar kamar.
“Kek, aku pilih pedang ini....” katanya terengah-engah.
Kim-lun Seng-jin membelalakan kedua matanya. “Tepat! Kau tahu pedang
ini? Inliah Pedang Besi Kuning pedang rampasan dari bangsa Khitan
ratusan tahun yang lalu! Wah-wah, kalau ini tidak ajaib namanya, tak
tahu lagi aku harus disebut bagaimana.”
Pada saat itu terdengar suara gembreng dipukuli gencar tanda bahaya!
“Hayo kita pergi!” Kim-lun Seng-jin maklum akan adanya bahaya kalau
para jagoan istana ke luar, maka ia tidak mau main-main lagi. Tangannya
menyambar Pergelangan tangan Lin Lin dan mereka melesat lari secepat
terbang menuju ke pagar tembok, melompati pagar tembok dan melayang
keluar. Kiranya di luar sudah berkumpul para penjaga yang melakukan
pengepungan. Namun beberapa kali kakek itu menggerakkan tangan, banyak
penjaga roboh dan mereka dapat lari menghilang dalam gelap. Beberapa
menit kemudian mereka sudah berada di dalam kuil kuno kembali.
Mereka duduk dekat api unggun. Kakek itu menghunus pedang dan tampak
sinar kuning menyilaukan mata. Dan mendadak tampak sepasang mata kakek
itu berlinang air mata, kemudian ia mencium mata pedang itu. Lin Lin
memandang dengan heran.
“Kek, kau pernah mengatakan bahwa aku
seperti seorang gadis Khitan. Kau sendiri bilang mempunyai gigi dan
hidung bangsa Khitan. Kemudian pedang ini kaukatakan dahulu berasal dari
bangsa Khitan. Kakek yang baik, apakah artinya ini semua? Bangsa apakah
Khitan itu? Apakah kau mengenal pedang ini?”
Kakek itu mengusap
dua butir air matanya, lalu memasukkan pedang tipis tadi ke dalam
sarung, menyerahkannya kepada Lin Lin. “Kau simpan baik-baik pedang ini
dan sembunyikan di balik jubahmu. Sekarang kaudengarkan ceritaku. Bangsa
Khitan adalah bangsa yang gagah perkasa, bangsa yang selalu merantau
karena ingin menikmati kebebasan alam, tidak mau terikat oleh apa pun
juga. Mereka adalah bangsa besar, hidup bahagia dan tidak mau diperbudak
oleh harta dunia dan kemuliaan duniawi. Akan tetapi sayang, betapapun
juga, masih saja nafsu setan menguasai hati, dan timbullah perebutan
kekuasaan, yang kuat ingin menjadi pemimpin. Dahulu, puteri kepala suku
bangsa Khitan adalah muridku. Tayami, ah, anak baik dia, gagah perkasa
dan aku tidak kecewa mempunyai murid seperti dia. Dia itu puteri tunggal
raja kami yang bijaksana, gagah dan adil, tidak mau tunduk kepada
raja-raja lain, memimpin suku bangsanya dengan penuh kasih sayang,
membawanya ke daerah-daerah yang subur. Akan tetapi, dia mempunyai
banyak saudara, dan para saudaranya inilah yang menaruh iri hati, ingin
merebut kekuasaan sehingga selalu terjadi perebutan kekuasaan. Aku
sendiri tidak sudi terlibat, tidak suka aku akan pengumbaran nafsu
hendak menjadi penguasa dan mencari kemuliaan kedudukan. Pernah
kuanjurkan raja yang menjadi ayah muridku itu untuk mengalah saja,
memberikan kedudukan pemimpin kepada adiknya yang amat ingin menjadi
raja. Akan tetapi, dia tidak mau, malah mencurigaiku.” Sampai di sini
kakek itu menarik napas panjang.
“Lalu bagaimana, Kek?”
“Aku masih terhitung paman luarnya, aku tersinggung lalu aku pergi
meninggalkan suku bangsaku, merantau seorang diri tidak mau meributkan
persoalan dunia ramai lagi. Betapa besar kedukaanku mendengar bahwa
bangsaku masih saling gasak, sehingga pertumpahan darah sering kali
terjadi antara para penguasa. Akhirnya terjadi perang antara suku
bangsa Khitan dengan Kerajaan Sung. Perang besar terjadi di Shan-si.
Agaknya adik raja berkhianat, bersekutu dengan musuh dan raja kami
gugur, juga puterinya. Tayami, muridku yang tersayang. Kasihan dia,
suaminya, seorang gagah perajurit pilihan Khitan, juga gugur. Kabarnya
Tayami ikut pula bertempur dengan gagah perkasa, sambil memondong
puterinya yang masih kecil. Aku menyesal sekali mengapa kutinggalkan
dia, sehingga tahu-tahu aku mendengar dia gugur dan puterinya itu
hilang.” Kakek itu memandang wajah Lin Lin dengan sepasang mata tajam
penuh selidik.
Meremang bulu tengkuk Lin Lin. Belum pernah kakek itu memandangnya secara begini. “Ada apa, Kek?”
“Kau....! Kaulah puteri Tayami, tak salah lagi. Wajahmu, suaramu,
watakmu, serupa benar dengan muridku. Kau cucu raja kami, kau keturunan
langsung.”
Lin Lin meloncat berdiri. “Tak mungkin, Kek!”
“Siapa bilang tidak mungkin? Kau anak pungut Jenderal Kam, dan pada
waktu terjadi perang, justeru Jenderal Kam Si Ek yang menjadi jago dan
komandan di Shan-si, yang melakukan perlawanan hebat dan mengalahkan
bangsa Khitan. Dia seorang laki-laki yang perkasa pula, siapa tahu dia
melihat kau dalam gendongan Ibumu yang berjuang dengan gigih, merasa
tertarik, kagum dan kemudian mengambilmu sebagai puterinya. Tak salah
lagi, kaulah Yalina, puteri Tayami. Namamu juga Lin Lin, dan wajahmu
serupa dia. Juga pedang itu.... bukanlah terlalu kebetulan kalau di
antara sekian banyaknya pusaka, kau justeru memilih pusaka Khitan? Lin
Lin, tidak salah lagi, kau adalah puteri Tayami yang hilang, yang sampai
sekarang dicari-cari oleh para pengikut setia dari Kakekmu mendiang
raja Kulukan.”
“Dicari-cari? Untuk apa, Kek?”
Kim-lun
Seng-jin tertawa dan menggelengkan kepalanya. “Memang aneh mereka itu
terlalu kukuh. Karena kekukuhan mereka, terjadilah hal-hal yang
menyedihkan, perebutan kursi, saling mendukung pilihan mereka. Itulah
sebabnya mengapa aku menjauhkan diri Lin Lin, kau dicari oleh mereka
yang tidak suka kepada raja sekarang, untuk mengangkatmu sebagai ratu
dan melawan raja yang sekarang berkuasa, yaitu Pamanmu, Kubakan, Raja
Khitan yang sekarang.”
“Apa....?” Lin Lin terbelalak memandang
Kim-lun Seng-jin, kemudian ia membantah, “Aku masih tidak percaya, Kek.
Tak mungkin aku seorang puteri bangsa Khitan karena sepatah kata pun
bahasa Khitan tidak kumengerti. Ah, kau hanya mengkhayal, Kek. Hal ini
harus ada buktinya. Ahhhhh.... satu-satunya orang yang akan dapat
memberi keterangan tentu dia!”
“Dia siapa?”
“Putera
sulung Ayah angkatku, Kam Bu Song. Kek, kaubantulah aku mencari Kakak
Kam Bu Song, tidak saja hal ini untuk memenuhi pesan terakhir Ayah
angkatku, juga kalau dapat bertemu dengan dia kiranya dia akan dapat
bercerita, anak siapa sebenarnya aku ini.”
Lin Lin lalu
menceritakan pesan terakhir dari Jenderal Kam. Kim-lun Seng-jin
mengangguk-angguk. “Mungkin Kam Bu Song itu dapat bercerita. Akan
tetapi, Lin Lin, jangan kaukira bahwa andaikata kau benar Puteri Khitan
seperti persangkaanku, aku menghendaki kau benar-benar menjadi ratu dan
memerangi Pamanmu sendiri. Aku lebih senang melihat kau bebas seperti
sekarang ini, menikmati kebahagiaan hidup tanpa ikatan sesuatu yang
hanya akan menimbulkan pertumpahan darah di antara saudara dan bangsa
sendiri.”
“Kalau aku betul keturunan Raja Khitan, tentu saja
akan kujungkalkan pengkhianat yang telah merampas tahta Kerajaan
Khitan, Kek!”
Jawaban tiba-tiba ini mengejutkan Kim-lun Seng-jin
sehingga ia duduk melongo memandang Lin Lin. Akan tetapi Lin Lin segera
tertawa. “Jangan kau gelisah, Kek. Aku bukanlah puteri raja, aku orang
biasa. Setelah mencari Suling Emas tidak bertemu, aku akan mencari Kakak
Kam Bu Song sambil menanti datangnya kedua orang kakakku, Sin-ko dan
Enci Eng.”
Mendadak kakek itu meloncat dan menyambar tangan Lin Lin. “Hayo kita lari keluar kota raja. Berbahaya di sini!”
Lin Lin kaget dan hendak membantah. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat
bayangan-bayangan yang amat gesit, lalu terdengar bentakan, “Maling
keparat, kembalikan pedang pusaka!”
Mendengar ini, maklumlah
Lin Lin bahwa mereka telah dikejar pengawal-pengawal istana yang
berkepandaian tinggi. Akan tetapi mengapa harus melarikan diri?
“Kek, kita lawan saja....!” serunya sambil berusaha melepaskan
tangannya. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin malah menariknya untuk diajak
lari cepat sekali menuju ke pinggir kota raja. Lin Lin tidak dapat
melepaskan diri. Dengan gerakan yang luar biasa, Kim-lun Seng-jin sudah
membawa Lin Lin melompati dinding tembok yang mengelilingi kota raja dan
para pengejar tadi makin tertinggal jauh.
“Kek, kenapa kita
mesti lari-lari seperti dua ekor tikus dikejar kucing? Memalukan
sekali!” Lin Lin mencela ketika mereka sudah turun di luar tembok kota
raja dan tangannya dilepaskan oleh Kim-lun Seng-jin. Kakek itu tertawa.
“Bukan takut, melainkan aku tidak mau menyeretmu ke dalam kesulitan.
Kau masih muda, Lin Lin, dan kau keturunan Raja Khitan. Kalau mereka
mengetahui akan hal ini, kau akan dikejar-kejar terus dan selanjutnya
kau takkan dapat hidup dengan tenteram. Pergilan, lanjutkan usahamu
mencari kakakmu. Kita berpisah di sini. Latih baik-baik Khong-in-ban-kin
dan Khong-in-liu-san, dan kau takkan kecewa kelak. Tentang Suling Emas
jangan khawatir. Kalau aku kebetulan bertemu dengannya, akan kutanyai
dia apakah betul dia membunuh orang tua angkatmu. Kalau betul,
percayalah, dia akan kuajak bertempur sampai sepuluh ribu jurus!
Sekarang cepat kau pergi, mereka sudah datang!”
“Dan tinggalkan
kau seorang diri menghadapi anjing-anjing dari istana itu, Kek? Tidak
nanti!” Lin Lin berdiri tegak, malah segera mencabut pedangnya.
“Wah, keras kepala, seperti Tayami!” Kakek itu bersungut-sungut,
tiba-tiba tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah menotok pundak kiri
Lin Lin. Karena dara ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek
itu akan menyerangnya tentu saja ia tidak dapat menghindarkan diri dan
seketika ia merasa tubuhnya lemas sekali. Kakek itu tertawa bergelak,
lalu tubuhnya melesat ke depan, menyambut datangnya para pengejar. Lin
Lin tidak berdaya. Ingin ia lari membantu tapi tubuhnya lemas dan ia
maklum dalam keadaan seperti ini, kalau bertempur, baru sejurus saja
melawan orang biasa, tentu ia akan roboh. Karena itu, ia hanya berdiri
diam saja dan mendengar betapa kakek itu dikepung dan dikeroyok oleh
para musuh yang berteriak-teriak. Agaknya, kakek itu sengaja
mempermainkan mereka, karena ia berlari-lari, membiarkan dirinya
dikejar-kejar dan akhirnya Lin Lin tidak mendengar suara apa-apa lagi.
Sunyi di sekelilingnya. Kakek itu sengaja memancing para musuhnya untuk
mengejarnya, menjauhi Lin Lin. Dara itu maklum akan hal ini dan ia
menarik napas panjang. Baru sekarang ia merasa betapa baiknya Kim-lun
Seng-jin terhadapnya. Kalau dekat dengan kakek itu, mereka sering kali
cekcok dan berbantahan akan tetapi setelah berpisah, tak dapat Lin Lin
menahan dua air matanya menitik turun.
Tak sampai seperempat
jam, totokan pada pundaknya itu buyar dengan sendirinya. Lin Lin lalu
menggerakkan pedang curian, mainkan Ilmu Silat Khong-in-liu-san. Pedang
itu mengeluarkan suara bercuitan dan sinar kuning bergulung-gulung di
malam buta. Ia merasa puas sekali karena pedang yang tipis dan kecil
ringan itu terasa amat enak dimainkan. Amat cocok dengan ilmu pedang
yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin. Ia baru berhenti bermain silat
setelah fajar berada di ambang pintu langit timur. Kegelapan malam
sudah terusir, terganti cuaca remang-remang berkabut, berwarna kelabu,
ia memandang pedangnya. Pedang yang amat indah, terbuat daripada logam
yang kekuning-kuningan, akan tetapi bukan emas.
“Hemmm, Pedang
Besi Kuning, pusaka Khitan?” Lin Lin berpikir sambil memandangi
pedangnya. “Dan aku Puteri Khitan? Seperti dongeng saja!” Melihat
bahwa yang aneh pada pedang itu hanyalah ronce-ronce merah yang panjang
itu, Lin Lin segera melepas kedua ronce merah itu dan menyimpannya
dalam saku jubahnya. Betapapun juga, pedang ini adalah pedang curian,
pikirnya. Kalau terlalu menyolok mata dan dilihat orang, tentu sepanjang
jalan hanya akan menimbulkan keributan belaka.
Dengan hati
bungah (senang) ia lalu berjalan menjauhi kota raja. Ia ingin menanti
munculnya kedua orang kakaknya, yang tentu akan menuju ke kota raja
pula. Untuk kembali ke kota raja sekarang terlalu berbahaya. Memang,
tidak ada seorang pun yang melihat dia memasuki istana, akan tetapi
keadaan di kota raja tentu sedang kacau, penjagaan diperkuat dan
orang-orang yang datang dari luar tentu dicurigai. Jangan-jangan
pedangnya akan dikenal dan ia akan mengalami kesukaran kalau masuk kota
raja. Lebih baik menanti munculnya kedua orang kakaknya itu di luar
kota.
Di sebelah barat kota raja terdapat sebuah hutan yang
kecil tapi amat indah. Pohon-pohon di situ tampak subur dan seakan-akan
teratur. Memang hutan ini adalah hutan tempat para anggauta istana
menghibur diri kalau keluar kota. Lin Lin tidak tahu akan hal ini dan
girang hatinya ketika memasuki hutan ini. Ia berjalan seenaknya
memasuki hutan, mendengarkan kicau burung yang menyambut datangnya
pagi. Lin Lin memang memiliki watak periang. Melihat suasana indah dan
mendengar kicau burung yang berloncatan di cabang-cabang dan
ranting-ranting pohon, kegembiraannya timbul. Kadang-kadang ia terkekeh
ketawa melihat seekor kelinci muncul dari belukar, menggerak-gerakkan
sepasang telinga yang panjang dan mainkan bola mata yang bening lebar.
Ada kalanya ia berloncatan gembira meniru burung kecil yang berloncatan
di daun-daun sambil berkicau.
Tiba-tiba Lin Lin terkejut
mendengar suara orang tertawa. Karena ia amat gembira dan memperhatikan
burung-burung di atas pohon, tidak diketahuinya bahwa sejak tadi ada dua
orang laki-laki memperhatikannya. Dua orang laki-laki itu kini
menghadang di depannya sambil tertawa. Ketika Lin Lin memandang, kiranya
mereka adalah dua orang pendeta yang berkepala gundul. Dua orang hwesio
yang masih muda, pakaian pendetanya bersih, gundul kepalanya kurang
bersih, karena sudah mulai ditumbuhi rambut baru, sikap mereka riang dan
wajah mereka berseri gembira, sama sekali tidak patut menjadi wajah
pendeta yang biasanya serius dan alim. Melihat bahwa yang tertawa
adalah dua orang pendeta, Lin Lin tersenyum. Pendeta-pendeta tidak perlu
ditakuti dan kegembiraannya timbul kembali.
“Selamat pagi, Ji-wi Suhu (Bapak Pendeta Berdua)!” serunya riang. “Pagi yang indah sekali, bukan?”
Dua orang hwesio itu saling pandang, dan tertawa lebar. Seorang di
antara mereka, yang alis matanya tebal, maju selangkah. “Selamat pagi.
Memang pagi yang indah sekali, agaknya karena ada Nona yang cantik manis
maka suasana begini menyenangkan. Siapakah nama Nona? Kami berdua
senang sekali dapat berkenalan dengan Nona cantik jelita. Bukankah
begitu, Suheng (Kakak Seperguruan)?”
Hwesio ke dua
mengangguk-angguk dan mulutnya menyeringai, memperlihatkan gigi
besar-besar berwarna kuning. “Memang betul, dan hari ini kita tidak
perlu tergesa-gesa kembali ke kelenteng, lebih senang main-main dengan
Nona ini di sini.”
Seketika keriangan Lin Lin lenyap, terganti
oleh kemarahan yang membuat kedua pipinya menjadi merah, sepasang
matanya yang bening seakan-akan mengeluarkan sinar berapi. “Ihhh, kalian
ini dua orang bajingan yang menyamar sebagai pendeta, ataukah
pendeta-pendeta yang kemasukan iblis? Bagaimana dua orang gundul
berpakaian pendeta begini kurang ajar? Minggir, biarkan aku lewat, aku
tidak sudi bicara dengan kalian lagi!”
“Ho-ho-hooo, nanti dulu,
Manis!” Si Alis Tebal cepat membentangkan kedua lengannya menghadang di
tengah jalan. “Bukan kebetulan kita saling bertemu di sini, agaknya
memang antara kita bertiga sudah ada jodoh! Kalau tergesa-gesa mau pergi
juga, harus memberi ciuman dulu kepada kami, seorang tiga kali.
Bukankah begitu, Suheng?”
“Ya-ya, betul itu! Di tempat sunyi begini, tak usah malu-malu, Nona!” kata Si Gigi Kuning.
“Jahanam bermulut busuk!” Lin Lin membentak, tubuhnya berkelebat dan
sekali kedua tangannya mendorong dengan jurus dari ilmu silatnya
Khong-in-liu-san, dua orang hwesio itu terjengkang roboh ke kanan kiri.
Kini Lin Lin yang mendapat giliran tertawa nyaring bernada penuh ejekan.
“Hi-hik, kiranya kalian hanyalah dua ekor monyet gundul yang hanya pandai pentang mulut menghina wanita!”
Dua orang hwesio muda itu kaget sekali, sama sekali tidak pernah
mengira bahwa dara remaja itu dapat melakukan penyerangan yang
sedemikian dahsyat dan tiba-tiba. Mereka marah sekali dan lenyaplah
keinginan hati mereka untuk mempermainkan Lin Lin, kini dengan mata
merah mereka meloncat bangun, penuh nafsu menyakiti gadis ini. Gerakan
mereka cepat dan tahu-tahu mereka telah melolos sebatang cambuk dari
ikat pinggang. Cambuk hitam yang panjang dan melihat gerakan cambuk di
tangan, dapat diduga bahwa mereka adalah ahli-ahli bermain cambuk yang
mahir sekali.
“Bocah setan, berani kau main gila terhadap pinceng (aku)?” seru Si Alis Tebal.
“Sute, kita cambuki pakaiannya sampai ia telanjang bulat!” kata Si Gigi Kuning dengan nada gemas.
“Tar-tar-tar-tar!” dari depan dan belakang, dua batang cambuk itu
mengeluarkan bunyi dan menyambar-nyambar di atas kepala Lin Lin. Namun
seujung rambut pun gadis ini tidak menjadi gentar. Malah kemarahannya
memuncak.
“Hemmm, monyet-monyet gundul tak tahu diri. Hajaran
tadi masih belum cukup bagi kalian, ya? Manusia-manusia berwatak kotor
macam kalian kalau tidak dibasmi, hanya akan mengotorkan dunia dan
mengganggu wanita saja!” Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan
tangan kanan dan “srattt!” tampak sinar kuning menyilaukan mata karena
Pedang Besi Kuning sudah berada di tangannya.
“Bagus, kau berani
melawan? Rasakan cambukan ini!” Cambuk dari depan menyambar, disusul
cambuk dari belakang dan di lain saat tubuh Lin Lin sudah terkurung dua
batang cambuk yang menyambar-nyambar bagaikan dua ekor ular hidup.
Kiranya dua orang hwesio muda itu tidak terlalu menyombong. Permainan
cambuk mereka memang hebat, cepat dan kuat sekali. Namun kali ini mereka
bertemu dengan Lin Lin, yang baru saja mewarisi Ilmu Khong-in-ban-kin,
ilmu yang membuat ia dapat mengerahkan gin-kang yang hebat sehingga
tubuhnya berubah ringan dan cepat laksana gerakan seekor burung walet.
Betapapun cepatnya dua batang cambuk itu melecut dan menyambar, tubuh
Lin Lin lebih cepat lagi bergerak, berkelebat di antara sambaran cambuk
diselimuti gulungan sinar kuning dari pedangnya.
Memang hebat
sekaii Lin Lin setelah ia mewarisi ilmu dari Kim-lun Seng-jin. Apalagi
di tangannya sekarang ada sebatahg pedang pusaka terbuat daripada besi
aji yang amat ampuh. Dengan sinar yang menyilaukan mata, pedangnya
berkelebat dan.... dua orang hwesio muda itu berteriak kesakitan ketika
cambuk-cambuk di tangan mereka itu putus semua berikut ujung lengan
baju dan sebagian daripada kulit dan daging lengan mereka, semua
terbabat oleh sinar pedang yang menyilaukan dan berhawa dingin itu!
Tentu saja mereka terkejut dan ketakutan, lalu melarikan diri sambil
memegangi kepala seakan-akan merasa khawatir kalau-kalau kepala mereka
pun akan terbabat putus!
“Bagus sekali. Benar-benar kiam-hoat (ilmu pedang) yang amat indah dan lihai!”
Lin Lin cepat menengok. Kiranya tak jauh dari tempat pertempuran itu
tampak seorang laki-laki muda duduk di atas punggung kudanya. Pemuda ini
berusia dua puluh tahun lebih, bermuka bundar dengan jidat lebar,
sepasang matanya lebar den menyinarkan kejujuran, alisnya tebal,
hidungnya agak pesek, mulutnya membayangkan keramahan. Biarpun bukan
wajah yang dapat disebut tampan, namun ia tidak buruk rupa, bahkan
wajahya yang sederhana ini menyenangkan hati orang. Pakaiannya pun
sederhana dan bersih, rambutnya digelung ke atas den dibungkus sutera
berkembang. Gagang sebuah pedang yang tampak menandakan bahwa ia pun
seorang yang tidak asing akan senjata tajam. Juga bentuk tubuhnya yang
kekar membayangkan tenaga besar.
Lin Lin masih marah. Sehabis
bertemu dengan dua orang hwesio muda yang bermulut kotor dan lancang
tadi, ia mempunyai prasangka buruk terhadap pemuda ini. Kalau laki-laki
yang sudah menjadi hwesio-hwesio saja seperti tadi kurang ajarnya,
apalagi yang masih muda seperti ini! Dengan muka merah den mulut
cemberut ia membalikkan tubuh menghadapi pemuda itu, lalu menghardik.
“Memang kiam-hoatku indah den lihai, juga pedangku ini cukup tajam
untuk memenggal leher setiap orang laki-laki ceriwis den kurang ajar!
Kau mau apa ikut campur?”
Ada semenit pemuda itu melongo.
Matanya yang lebar itu makin melebar ketika ia memandang Lin Lin.
Terbayang pada matanya itu kekaguman luar biasa den sesungguhnya, ia
memang kagum sekali setelah dara ini sekarang menghadapinya. Wajah Lin
Lin seakan-akan menyihirnya, membuat jantungnya jungkir balik dan
kepalanya puyeng, matanya berkunang-kunang. Belum pernah selama
hidupnya ia melihat seorang dara seperti ini, dan belum pernah ia
mengalami guncangan seperti ini pula menghadapi seorang gadis.
Lin Lin makin tidak sabar. Agaknya laki-laki ini kurang ajar pula,
duduk di atas punggung kuda dan memandangnya tanpa berkata apa-apa,
memandangnya tanpa berkedip. Ia membanting kaki dan memaki, “Apa kaukira
aku ini barang tontonan maka matamu melotot terus memandangku?”
Pemuda itu tersenyum. “Bukan barang tontonan, Nona, akan tetapi tidak
ada tontonan yang lebih indah, lebih mempesona, lebih....”
“Kau lebih kurang ajar lagi!” bentak Lin Lin dan tubuhnya sudah melesat ke depan sambil mengirim serangan dengan pedangnya.
“Uiiihhhhh, ganas....!” pemuda itu cepat sekali membuang diri dari atas
punggung kuda, berjumpalitan beberapa kali dan ketika kedua kakinya
sudah berdiri di atas tanah, ternyata ia telah mencabut pedangnya yang
berkilauan seperti perak. “Baiklah, Nona. Kalau kau ingin mencoba
kepandaian, mari kulayani. Agaknya kau murid orang pandai dan patut
menjadi lawanku bertanding pedang.” Ia melambaikan tangan kiri
menantang.
Dari gerakan pemuda tadi yang amat mengagumkan hati
Lin Lin, gadis inipun maklum bahwa lawannya kali ini bukanlah seorang
sembarangan, bukan macam dua orang hwesio tadi. Akan tetapi ia tidak
takut! Dan perasaannya ini ia keluarkan melalui bibirnya yang merah,
“Biar ada sepuluh orang macam engkau, aku tidak gentar!”
“Ha-ha-ha, ada satu saja orang macam aku sudah terlalu repot bagimu,
apalagi ada sepuluh orang!” pemuda itu berkelakar, akan tetapi ia harus
cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis karena dengan gerakan
seperti seekor burung walet, gadis itu sudah menerjangnya.
“Trang-trang-tranggggg....!” Tiga kali pedang mereka saling beradu,
menimbulkan bunga api yang muncrat ke sana-sini. Keduanya cepat menarik
pedang masing-masing dan lega hati mereka ketika mendapat kenyataan
bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan keras lawan keras tadi.
Masing-masing kagum dan juga kaget. Apalagi Lin Lin. Tadi ia sudah
mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin, dan ia maklum bahwa tenaga yang
terdapat dalam ilmu ini luar biasa besarnya. Tadi ia gunakan sedikit
saja untuk menghadapi dua orang hwesio, sekali babat saja cambuk-cambuk
itu putus semua. Sekarang ia pergunakan tenaga ilmu ini dalam mengadu
pedang, sedangkan di tangannya adalah pedang pusaka pula, mengapa pedang
lawannya tidak menjadi rusak dan tidak terpental? Ini hanya menjadi
bukti bahwa pemuda pesek ini selain memiliki pedang yang ampuh juga
memiliki kepandaian tinggi, dapat melawan terjangan tenaga
Khong-in-ban-kin. Apakah kakek gundul pelontos Kim-lun Seng-jin yang
membohonginya dan membual tentang kelihaian Khong-in-ban-kin? Kakek itu
bilang bahwa jarang ada lawan yang akan dapat mengimbangi kecepatan dan
kekuatan tenaga dalamnya kalau ia mengerahkan Khong-in-ban-kin, akan
tetapi sekarang, baru saja bertemu dengan seorang pemuda pesek, ilmunya
itu seakan-akan tiada artinya lagi.
Di lain fihak, Si Pemuda
juga kaget dan tercengang di samping kekagumannya yang menjadi-jadi.
Tadinya ia mengira bahwa dara lincah itu hanya memiliki gerakan yang
amat cepat dan ilmu pedang yang tinggi saja, maka dengan mudah dapat
mengalahkan dua orang hwesio kurang ajar tadi. Siapa kira, dalam
pertemuan pedang tadi ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal tenaga,
gadis itu tidak usah mengaku kalah terhadapnya, juga pedang di
tangannya itu adalah pedang ampuh yang dapat menahan pusakanya sendiri.
Padahal pusakanya ini adalah pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan)
yang jarang bandingannya, pedang pusaka pemberian suhunya.
“Wah
karena pedangmu ampuh kau jadi sombong, ya? Awas lehermu!” Lin Lin
membentak dan segera gadis ini mainkan Khong-in-liu-san untuk menerjang
lawannya. Hebat terjangannya ini, pedangnya berubah menjadi sinar
kuning bergulung-gulung, makin lama makin tebal merupakan segunduk awan
bergerak perlahan mengurung diri pemuda itu dari segala jurusan.
Pemuda itu mengeluarkan seruan tertahan. Benar-benar tak disangkanya
gadis ini sedemikian lihainya. Ia pun lalu bersilat dengan pedangnya,
ilmu silat yang aneh, gerakan-gerakannya lucu dengan tubuh megal-megol
seperti seorang pelawak beraksi di atas panggung wayang. Hampir saja
Lin Lin tak dapat menahan ketawanya menyaksikan gerakan aneh dan lucu
ini. Akan tetapi ia pun terheran-heran karena ke manapun juga pedangnya
menyambar, selalu dapat dielakkan atau ditangkis oleh pemuda yang
gerak-geriknya aneh ini. Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda itu
banyak mengalah, hanya mempertahankan diri daripada serangan-serangannya
yang dahsyat, tidak berusaha membalas sungguh-sungguh. Memang pemuda
itu tidak ingin merobohkan Lin Lin, kekagumannya terhadap gadis itu
membuat ia mengalah dan hanya ingin menguji kepandaian orang.
“Hebat...., hebat.... kiam-hoat yang luar biasa!” berkali-kali pemuda
itu memuji. Akan tetapi, makin dipuji makin marahlah Lin Lin karena
pujian itu ia anggap sebagai ejekan. Mana bisa ilmu pedangnya dipuji
kalau sama sekali tidak mampu mendesak lawan?
“Balaslah!
Seranglah! Kaukira aku takut? Kalau kau bisa mengalahkan aku, baru kau
laki-laki sejati!” Ia menantang. Ia berbesar hati karena ia memiliki
ilmu Khong-in-ban-kin dan dengan ilmu ini ia dapat menggunakan gin-kang
yang sempurna sehingga ia tidak khawatir akan termakan pedang lawan.
Seperempat jam sudah mereka bertanding. Kuda tunggangan pemuda itu
menjadi gelisah, berkali-kali meringkik ketakutan. Pemuda itu gemas
juga. Gadis ini amat menarik hatinya, dan ia tidak tega untuk merobohkan
atau mengalahkannya. Akan tetapi kalau tidak “diberi rasa”, tentu
tidak tahu akan kelihaiannya, demikian ia pikir, bangkit harga dirinya
sebagai seorang laki-laki.
“Baiklah, Nona, lihat pedangku!” Ia
memutar pedangnya cepat sekali dan mengerahkan tenaga untuk mendesak dan
menindih gulungan sinar pedang lawan.
Memang hebat pemuda ini.
Amat kuat tenaga desakan hawa dan sinar pedangnya, mengejutkan hati Lin
Lin. Namun cepat gadis ini menggunakan Khong-in-ban-kin, tubuhnya begitu
seakan-akan bayangan, dengan lincahnya ia menyelinap di antara sinar
pedang. Sungguhpun harus ia akui bahwa semua serangannya sekarang gagal
dan buyar, tidak ada kesempatan lagi, namun ia tetap dapat
mempertahankan diri daripada desakan lawan. Makin keras pemuda itu
menekan, makin lincah gerakan Lin Lin sehingga pemuda itu selain kaget
juga heran dan bingung. Tahulah ia sekarang bahwa dara lincah ini adalah
murid seorang sakti, karena hanya beberapa orang saja di dunia
kang-ouw, boleh dihitung dengan jari jumlahnya, yang akan dapat
menghindarkan diri daripada tekanan pedangnya seperti ini.
Pada saat itu, terdengar bentakan keras, “Susiok (Paman Guru), inilah iblis betina liar itu!”
“Hemmm, hemmm, agaknya mengandalkan kecantikannya. Lihat pinceng menangkapnya!”
“Mari kita berlumba, Sute, aku pun timbul kegembiraan hendak menangkap gadis liar ini!” sambung suara ke dua.
“Hee, Sicu (Orang Gagah), harap mundur. Biarkan pinceng berdua main-main dengan budak ini!”
Pemuda itu dan Lin Lin biarpun masih saling gempur, otomatis kini
mengendurkan gerakan dan melirik. Kiranya yang datang adalah dua orang
hwesio muda yang tadi, yang berdiri agak jauh, akan tetapi kini mereka
datang bersama dua orang hwesio setengah tua yang bertubuh tinggi besar
dan keduanya memegang sebatang tongkat hwesio yang panjang dan terbuat
daripada baja. Kedua orang hwesio ini sombong sekali lagaknya dan
agaknya mereka memandang rendah kepada pemuda itu dan Lin Lin.
Tanpa memberi kesempatan lagi, dua orang hwesio setengah tua itu
menerjang maju dari kanan kiri mengeroyok Lin Lin! Benar-benar tak tahu
malu, pikir Lin Lin, suaranya saja hendak berlumba untuk menangkapnya,
kiranya mereka itu hanya ingin mengeroyok mengandalkan senjata yang
panjang dan berat. Mana ada orang yang hendak “menangkap” menggunakan
tongkat yang begitu panjang dan berat?
Akan tetapi ketika ia
mengayun pedang dengan putaran lebar, sekaligus menangkis dua batang
tongkat itu, terdengar suara keras, bunga api berpijar dan Lin Lin
merasa betapa telapak tangannya tergetar. Ia kaget dan diam-diam ia
mengeluh. Kiranya di samping kesombongan mereka, dua orang hwesio ini
memiliki tenaga lwee-kang yang hebat! Cepat ia menggerakkan tubuh dan
dengan mengandalkan kelincahannya, kini ia menghadapi dua orang
pengeroyoknya, lupa bahwa lawan lamanya, pemuda itu, kini berdiri
menonton dan tidak menyerangnya lagi.
“Tahan senjata! Melihat gerakan, Ji-wi Suhu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim. Betulkah?”
Dua orang hwesio setengah tua itu melompat mundur, menahan tongkat
mereka lalu memandang pemuda itu. Lin Lin tidak peduli, akan tetapi ia
pun tidak sudi menyerang orang yang menarik senjatanya, maka dengan
pedang melintang di depan dada, ia hanya memandang, sikapnya gagah.
“Kami memang betul hwesio-hwesio Siauw-lim. Kau siapakah, Sicu, dan apa yang hendak kaukatakan kepada kami?”
Pemuda itu mengerutkan keningnya. “Siauw-lim-pai adalah partai
persilatan yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan, yang selalu
bersih dan terkenal sebagai pusat orang-orang beribadat yang berilmu
tinggi. Akan tetapi mengapa Ji-wi Suhu datang-datang menyerang seorang
wanita?”
“Gadis liar ini menghina murid-murid keponakan kami!”
“Hemmm, pemutarbalikan fakta yang menjijikkan! Adalah dua orang hwesio
itulah yang kurang ajar, mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan
terhadap wanita terhormat. Ji-wi Suhu akan membersihkan nama partai
kalau sekarang juga memberi hukuman kepada murid-murid sendiri, daripada
menyerang orang yang tidak berdosa.”
“Orang muda, kau siapakah, berani bicara lancang, memberi kuliah kepada kami?”
Pemuda itu tersenyum. “Aku she Lie bernama Bok Liong, orang biasa saja.
Akan tetapi aku mengenal baik Cheng Han Losuhu, dan pedangku
Goat-kong-kiam ini selalu menghendaki kebenaran dibela oleh orang-orang
gagah.”
Cheng Han Hwesio adalah ketua Siauw-lim-pai, maka
mendengar disebutnya nama ini, kedua orang hwesio itu menjadi kaget
sekali. Mereka khawatir kalau-kalau pemuda ini akan mengadu, dan memang
akhir-akhir ini banyak sekali anak buah para hwesio yang tersesat, mabuk
oleh kesenangan duniawi dan mempergunakan kesempatan selagi negara
kacau dan ketua dari pusat tidak sempat melakukan pengawasan, mereka
mengumbar nafsu jahatnya. Terutama sekali yang menimbulkan keadaan
memalukan dan buruk ini adalah para penjahat dan pelarian yang
menyembunyikan diri dengan jalan mencukur rambutnya dan memakai jubah
pendeta, tinggal bersembunyi di kelenteng-kelenteng. Merekalah yang
menjadi “guru” dan menyeret para hwesio muda yang belum teguh batinnya
dan masih lemah imannya ke jalan sesat. Dua orang hwesio ini hanya
merupakan kepala dari sebuah kelenteng kecil, sudah terlalu lama
berkecimpung di dalam keduniaan, maka hanya pada lahirnya saja seperti
pendeta, namun batinnya sudah menjadi penjahat-penjahat hamba nafsu
buruk.
“Keparat, kau benar kurang ajar! Kaukira kami takut
padamu? Sute, kauhajar dia ini, biar pinceng menangkap Nona liar. Kalau
tidak diberi hajaran, tidak akan kapok orang-orang muda kepala batu
ini!”
Dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu terlalu memandang
rendah orang muda. Mereka mengandalkan kepandaian yang tinggi dan
senjata tongkat yang berat, pula, memang ilmu tongkat atau ilmu toya
dari Siauw-lim-pai amat terkenal kuat. Namun, pemuda itu adalah murid
orang sakti, juga Lin Lin telah menerima gemblengan dari seorang sakti
yang tingkatnya sejajar dengan ketua Siauw-lim-pai di pusat sendiri!
Maka kalau mau dibuat perbandingan, tingkat dua orang hwesio itu masih
jauh di bawah.
“Aku tidak ingin kaubantu!” seru Lin Lin sambil menggerakkan pedang menghadapi serangan seorang hwesio.
“Siapa membantumu, Nona? Aku pun diserang oleh hwesio palsu ini!” jawab
pemuda yang bernama Lie Bok Liong itu sambil menggerakkan pedang pula
menandingi lawannya.
Pertempuran seru terjadi, terpecah menjadi
dua. “Nona, adu ilmu antara kita boleh ditentukan sekarang. Siapa yang
lebih dulu mengalahkan lawan, dia yang lebih unggul antara kita!” pemuda
itu berseru.
“Baik, seorang laki-laki tidak melanggar
janjinya!” seru Lin Lin girang. Gadis ini sebentar saja dapat melihat
kelemahan lawan dan ia yakin akan dapat merobohkannya dalam waktu
cepat, maka usul pemuda itu diterimanya dengan girang. Melihat tongkat
itu menyodok ke arah dadanya, Lin Lin sengaja berlaku lambat, membiarkan
lawan lengah dan kegirangan. Beberapa senti meter sebelum ujung
tongkat mengenai dadanya, tiba-tiba ia miringkan tubuhnya menggunakan
jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Berikan Buah) dari ilmu silat
ayahnya, tangan kirinya menangkis dengan jari-jari terbuka, dan
pedangnya bergerak cepat ke depan. Inilah gerakan dari Khong-in-liu-san,
yang tidak terduga dan amat cepat datangnya. Hwesio lawannya itu
menjerit kesakitan, tongkatnya terlepas dan pangkal lengannya terobek
pedang sampai kelihatan tulangnya.
Sambil tersenyum manis tapi
penuh ejekan, Lin Lin membalikkan tubuh memandang ke arah pemuda pesek
itu, siap untuk mengejek dan berbangga akan kemenangannya. Akan tetapi
tiba-tiba wajahnya berubah merah sekali. Apa yang dilihatnya? Pemuda
itu ternyata sudah lebih dulu merobohkan lawannya, hwesio lawan pemuda
itu sudah rebah dengan pundak berdarah!
Akan tetapi pemuda itu
berkata, “Nona, kita berhasil dalam waktu yang sama. Hayo kita berlumba
merobohkan dua orang hwesio ceriwis itu!”
Lin Lin melihat
betapa hwesio muda yang dua orang tadi telah melarikan diri
tunggang-langgang melihat betapa kedua orang paman guru mereka telah
roboh! Karena dua orang hwesio muda itu yang menjadi biang keladi
pertempuran, dan dua orang hwesio itu yang sebenarnya amat kurang ajar,
Lin Lin menjadi marah sekali dan tubuhnya berkelebat melakukan
pengejaran. Ia melihat sesosok bayangan dengan cepat juga berkelebat di
sampingnya. Tahu bahwa pemuda pesek itu tidak mau kalah, Lin Lin
mengerahkan gin-kangnya dan di lain saat ia sudah tiba di belakang dua
orang hwesio itu. Pedangnya menyambar dan dua orang hwesio itu menjerit,
roboh terguling. Dua orang hwesio muda itu terluka pahanya.
Karena menganggap bahwa dua orang hwesio itu jahat sekali, Lin Lin kembali menggerakkan pedang hendak membunuh mereka.
“Tranggg!” Bunga api berpijar ketika pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Lie Bok Liong.
“Nona, harap jangan bunuh mereka. Mereka adalah hwesio-hwesio Siauw-lim!”
“Hwesio Siauw-lim atau hwesio-hwesio langit, siapa takut? Mereka ini
jahat, kalau hwesio-hwesio tua Siauw-lim-pai membela mereka, berarti
mereka pun jahat!”
“Omitohud.... kasar akan tetapi harus diakui
kebenarannya....” terdengar seruan suara halus dan tahu-tahu di depan
mereka telah berdiri seorang hwesio tua yang putih semua jenggotnya,
akan tetapi mukanya masih segar kemerahan seperti seorang muda. Hwesio
ini berjubah kuning, memegang sebuah tongkat pendeta dan sinar matanya
berpengaruh penuh wibawa. Melihat hwesio ini, Lie Bok Liong segera
mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.
“Cheng Hie
Losuhu! Kebetulan sekali Losuhu datang. Kami dua orang muda telah
berselisih faham dengan beberapa orang anak murid Siauw-lim-pai, harap
Losuhu memberi kebijaksanaan.”
Hwesio tua itu tertawa perlahan.
“Lie-sicu tak perlu bersikap sungkan. Pinceng (aku) yang tua sudah
melihat dan mendengar semua. Memang sudah pinceng dengar kenakalan empat
orang anak murid ini, akan tetapi baru sekarang pinceng melihat
buktinya.” Kemudian ia mengalihkan pandang mata kepada Lin Lin dan
berkata, “Nona, kepandaianmu hebat bagi seorang semuda Nona. Memang
pantas sekali Pedang Besi Kuning berada di tanganmu! Dua orang anak
murid Siauw-lim-pai yang durhaka ini telah melakukan kesalahan kepadamu,
harap Nona sudi memberi maaf, biar pinceng nanti yang akan menghukum
mereka.”
Lin Lin kaget bukan main. Hwesio tua ini dapat
mengetahui segalanya, bahkan tahu pula tentang pedangnya, pedang curian
dari gudang istana. Tentu seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Ia
memang marah kepada dua orang hwesio yang kurang ajar itu, akan tetapi
sekarang sudah ada pentolan Siauw-lim-pai yang mengurus dan hendak
menghukum, hatinya puas.
“Terserah kepada Losuhu. Aku percaya
Losuhu akan benar-benar memberi hukuman berat, kalau tidak, berarti
Losuhu membantu orang jahat!”
Muka hwesio tua itu berubah agak
pucat, akan tetapi ia hanya tertawa dan menjura. Lie Bok Liong lalu
mengajak Lin Lin pergi, “Marilah, setelah ada Cheng Hie Losuhu, tentu
mereka akan mendapat bagian mereka. Cheng Hie Losuhu terkenal sebagai
pengawal tindak-tanduk dan sepak terjang para anak murid Siauw-lim-pai
dan dunia kang-ouw mengenal belaka kebijaksanaan dan keadilannya.
Losuhu, perkenankan kami pergi.”
Cheng Hie Hwesio menggerakkan
tangannya, mengangguk-angguk. “Pergilah.... pergilah dengan hati-hati,
orang-orang muda. Doa restu dan berkahku mengiringi kalian berdua....”
Lin Lin tercengang, hendak marah kepada pemuda pesek itu. Enak saja,
pikirnya, ajak-ajak seakan-akan dia itu memang teman seperjalanan. Kenal
pun tidak! Akan tetapip melihat sikap hwesio yang amat halus dan baik
itu, tak enak hatinya menimbulkan ribut di depannya. Ia pun mengangguk
dan berjalan pergi bersama Lie Bok Liong yang menuntun kudanya.
Sampai lama mereka jalan berendeng, diam saja, tidak berkata-kata, juga
saling lirik saja tidak. Seakan-akan mereka saling tidak ingat lagi
bahwa di sebelah mereka berjalan seorang lain. Tentu saja tidak demikian
hal yang sebetulnya. Bok Liong sekaligus terbetot semangatnya oleh
gadis lincah ini, dan ia berjalan sambil merenung, terheran-heran atas
perubahan di dalam hatinya sendiri, mengapa ia merasakan hal yang aneh
ini, hal yang selama ia hidup belum pernah ia rasai. Adapun Lin Lin, ia
sedang mengumpul-ngumpulkan kata-kata untuk menyerang pemuda pesek
lancang ini nanti setelah mereka jauh dari hwesio tua tadi.
Setelah mereka keluar dari dalam hutan dan berada di jalan yang sunyi
sekali, tiba-tiba Lin Lin berhenti dan berkata ketus, “Nah, sekarang
tidak ada siapa-siapa yang akan menghalangi kita membuat perhitungan!”
Pemuda itu seakan-akan baru sadar dari alam mimpi. Ia menengok dan
memandang dengan kaget. “Perhitungan? Perhitungan apa, Nona?”
“Perhitungan apa? Pura-pura tanya lagi. Kau tadi mengajak adu cepat
berlumba merobohkan dua orang hwesio ceriwis. Siapa yang menang? Aku!
Lalu hwesio tua Siauw-lim-pai tadi memuji-muji dan minta maaf. Memuji
siapa dan minta maaf kepada siapa? Aku! Tapi kau memerintah aku ikut
denganmu! Sombong!”
Bok Liong cepat menjura, sikapnya
sungguh-sungguh. “Nona, harap kau tidak main-main lagi. Maafkanlah kalau
sikap dan kata-kataku pernah menyinggungmu. Aku Lie Bok Liong adalah
seorang laki-laki sejati, dan kulihat sepak terjangmu membuktikan bahwa
kau seorang pendekar wanita yang mengagumkan. Oleh karena itu,
terimalah hormatku, Nona, dan sampai mati aku tidak nanti berani
mengangkat senjata terhadapmu lagi. Aku mengaku kalah dan menyerah.”
Watak Lin Lin memang aneh. Dalam segala hal ia selalu tidak mau kalah.
Kalau orang bersikap keras terhadapnya, ia tidak mau kalah keras, kalau
orang galak, ia akan lebih galak lagi. Kini Bok Liong bersikap merendah
dan mengalah dengan suara sungguh-sungguh dan wajah serius, ia pun tidak
mau kalah!
“Nah, kau sih yang sombong tadinya. Padahal aku juga
tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan orang seperti kau ini. Aku
tahu kau bukan orang jahat, tapi, kalau aku tidak bersikap keras, orang
takkan mengetahui kelihaianku. Nah, kau pun kuminta maklum saja kalau
tadi aku bersikap kaku. Betapapun juga, kau telah membantuku menghadapi
hwesio-hwesio kotor tadi.”
Jantung Bok Liong berdebar-debar.
Alangkah girangnya melihat bahwa nona yang lincah galak ini kiranya
dapat juga bicara dengan baik. Ia menahan senyumnya dan berkata lagi.
“Nona, terima kasih atas pengertianmu. Kita menjadi sahabat, hal yang
amat kuinginkan semenjak aku melihat kau menghajar hwesio-hwesio ceriwis
di hutan itu. Sekali lagi, namaku Lie Bok Liong, biarpun bukan seorang
tokoh besar di dunia kang-ouw, akan tetapi aku mengenal hampir semua
tokoh kang-ouw, kecuali tokoh-tokoh besar yang masih muda seperti kau.
Bolehkah aku mengetahui nama dan julukanmu? Terus terang saja, aku yang
banyak mengenal ilmu silat, tahu akan dasar-dasar gerakan ilmu silat
dari Go-bi-pai, Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai dan banyak
partai persilatan lain lagi, sama sekali buta akan ilmu silatmu yang
luar biasa tadi, Nona.”
Lin Lin merasa diayun-ayun di atas awan
saking bangga dan girangnya mendengar kata-kata pujian yang keluar
sejujurnya dari mulut pemuda itu. Setelah ia pandang-pandang, pemuda
berhidung pesek ini, wajahnya menarik dan menyenangkan hati juga,
sikapnya jujur dan sopan tapi tidak bermuka-muka atau menjilat, sikap
sewajarnya dari seorang yang memasang isi hati pada wajahnya.
Timbul rasa suka di hatinya disertai kepercayaan besar. Apalagi tadi ia
mendengar bahwa Bok Liong ini mengenal hampir semua tokoh kang-ouw.
Siapa tahu pemuda ini bisa memberitahu kepadanya tentang Suling Emas,
atau mungkin juga tentang kakaknya, Bu Song. Wajahnya seketika berseri,
matanya bersinar-sinar, bibirnya yang manis itu tersenyum sehingga
pemuda itu merasa betapa tiba-tiba kedua lutut kakinya lemas dan
gemetar!
Memang hebat daya pengaruh asmara yang mulai
menggerogoti jantung seorang pemuda. Hanya si pemuda yang bersangkutan
sendiri yang dapat merasakannya. Kalau seorang pemuda sedang bercinta,
terutama sekali kalau mulai jatuh cinta, segala sesuatu pada diri dara
yang dicintainya tampak hebat luar biasa. Kerling mata yang tajam
melebihi pedang pusaka langsung menusuk dada menembus punggung! Senyum
sepasang bibir merah membasah bagaikan seribu manis dari madu yang
memabukkan dan membuat kepalanya pening tujuh keliling dengan mata
berkunang-kunang! Kilauan gigi putih berderet rapi yang hanya tampak
sekilas di balik sepasang bibir segar, lebih ampuh daripada sinar petir
yang langsung menyambar kepala memasuki tubuh menyelusup ke seluruh
tulang sumsum! Tidaklah terlalu mengherankan apabila Bok Lieng berdiri
dengan kedua lutut gemetar ketika ia menghadapi wajah Lin Lin yang
berseri-seri itu.
“Kaukira aku seorang yang buta?” demikian Lin
Lin mulai kata-katanya yang kini terdengar manis, hilang sama sekali
ketusnya. “Aku pun sekali bertemu saja tahu bahwa kau bukan orang
jahat, akan tetapi aku harus yakin dulu. Twako.... ya, lebih baik
kusebut kau Twako (Kakak), karena kau tentu lebih tua daripada Sin-ko
(Kakak Sin). Eh, berapa sih usiamu?”
Mau tak mau Bok Liong
tersenyum, setelah gadis ini bersikap jenaka seperti ini, ia merasa
betapa sinar matahari menjadi lebih terang daripada tadi. “Usiaku hampir
dua puluh dua tahun.”
“Nah, betul dugaanku. Sin-ko baru dua
puluh tahun, aku sendiri baru tujuh belas. Sampai di mana aku tadi? Oya,
tentang nama. Namaku Lin Lin, she.... Kam.”
“Kam Lin Lin.... indah benar namamu, Nona.”
“Wah, kalau kau masih menyebut nona-nonaan segala, aku pun akan
menyebutmu dengan tuan-tuanan. Bagaimana pendapatmu, Tuan Besar?”
Bok Liong tertawa bergelak, kemudian terheran. Seingatnya, baru kali
inilah ia dapat tertawa sampai begitu keras, sampai basah kedua
matanya. Benar-benar mengherankan. Apa yang terjadi dengan dirinya?
“Habis, aku harus menyebut bagaimana? Ah, kau betul. Kau menyebutku Twako, kalau begitu kau adikku, Moi-moi.”
“Nah, begitu baru enak bicara. Terhadap seorang tuan mana aku sudi
mengobrol begini? Lain lagi kalau terhadap seorang kakak....”
“Maksudmu, terhadap seorang sahabat baik seperti kakak sendiri,” potong Bok Liong.
“Sama saja, apa bedanya? Twako, kulihat tadi ilmu silatmu juga hebat sekali. Siapakah gurumu?”
Kalau orang lain yang menanyakan hal ini, tentu Bok Liong takkan mau
menerangkannya. Selama ia berkecimpung di dunia kang-ouw, hanya beberapa
orang tokoh besar saja yang tahu murid siapa pemuda lihai ini. Akan
tetapi terhadap Lin Lin yang sekaligus sudah merobohkan jantung menawan
hatinya, ia tidak berani berbohong, apalagi tidak menjawab. Ia takut
kalau-kalau gadis yang sekarang sudah “jinak” dan baik kepadanya ini
akan mengamuk lagi dan memusuhinya. Tidak ada malapetaka baginya di saat
itu yang akan lebih besar dan hebat daripada dimusuhi Lin Lin!
“Nona.... eh, Lin-moi (Adik Lin). Guruku terkenal dengan namanya yang
sederhana sekali, malah sesungguhnya, orang lain termasuk aku sendiri
tak pernah mengenal namanya karena ia hanya memperkenalkan she (nama
keturunan) yaitu she Gan. Karena inilah maka di dunia kang-ouw ia
dikenal sebagai Gan-lopek (Empat Tua Gan)!”
Senyum di bibir Lin
Lin melebar. “Gan-lopek? Hi-hik! Badut tak pernah mandi yang pantatnya
besar, kumis dan jenggotnya dijadikan sarang semut, paling takut melihat
cacing dan ular? Hi-hi-hik, geli hatiku kalau mengenangkan dia!” Lin
Lin menutupi mulut dengan tangan kiri untuk menyembunyikan tawanya.
***
Bok Liong membelalakkan kedua matanya yang lebar, “Apa? Kau pernah melihat Suhu?”
Lin Lin menggeleng kepala, menahan kekehnya. Agak lama baru dia dapat
bicara. “Aku hanya mendengar ceritanya dari kakek gundul pacul. Wah,
kakek dan aku tertawa-tawa sampai perutku menjadi keras dan kakek jatuh
terguling dari atas cabang pohon.” Kembali Lin Lin tertawa
terkekeh-kekeh dan diam-diam Bok Liong menjadi tak senang hatinya karena
merasa betapa suhunya, orang yang ia anggap paling hebat di dunia ini,
menjadi buah tertawaan, sungguhpun ia cukup mengenal suhunya sebagai
orang yang luar biasa anehnya dan kadang-kadang membuat lelucon yang
luar biasa.
“Hemmm, kau pernah mendengar cerita tentang Suhu?
Dan kakek gundul pacul yang menceritakan itu, apakah dia jatuh dari
cabang pohon terus mati?”
Tiba-tiba suara ketawa Lin Lin
terhenti. “Dia? Mati jatuh dari cabang? Ah, Twako, kau benar-benar
tidak mengenal dia. Dialah yang menurunkan ilmu SERBA KOSONG kepadaku,
dia orang sakti seperti dewa. Mana bisa mati jatuh dari cabang?”
Bok Liong benar-benar tidak mengerti. Luar biasa sekali dara ini,
pikirnya. Kalau kakek gundul pacul itu mengajar ilmu, berarti kakek itu
guru si nona. Akan tetapi kenapa nona ini menyebutnya gundul pacul,
sebutan yang seakan-akan mengejek dan memandang rendah?
“Ah, kalau begitu beliau seorang sakti? Siapakah beliau itu, atau kau juga tidak tahu namanya?”
“Tentu saja aku tahu. Dia disebut Kim-lun Seng-jin.... eh, kenapa kau,
Liong-twako (Kakak Liong)?” Lin Lin heran melihat pemuda itu meloncat
seperti dipagut ular dan matanya menjadi amat bundar dan lebar.
“Kim-lun Seng-jin? Beliau itu gurumukah?” tanya Bok Liong.
Kembali Lin Lin menggeleng kepala. “Bukan! Bukan guruku. Dia sahabat baikku.”
Makin heranlah Bok Liong. Masa, kakek sakti yang amat terkenal di dunia
ini yang tingkatnya sekelas dengan gurunya, menjadi sahabat baik gadis
ini?
“Tapi kau bilang tadi bahwa kau menerima ilmu dari padanya. Kan itu berarti bahwa dia gurumu.”
“Bukan! Hanya kenalan biasa saja. Tapi ilmunya SERBA KOSONG memang
boleh juga.” Lin Lin bersikap seakan-akan hal itu merupakan hal yang
“bukan apa-apa” baginya, sikap ini sengaja ia “pasang” karena melihat
betapa Bok Liong terheran-heran dan agaknya amat menjunjung tinggi
Kim-lun Seng-jin!
“Serba kosong! Aneh sekali nama ilmu itu.
Tapi, Lin-moi, aku percaya bahwa ilmu yang diturunkan oleh Kim-lun
Seng-jin tentulah hebat bukan main. Ah, maafkan kalau tadi aku bersikap
kurang hormat. Siapa mengira bahwa kau adalah mur.... eh, sahabat baik
Kim-lun Seng-jin Locianpwe (Orang Tua Gagah)? Pantas saja beliau bisa
bercerita tentang Suhuku.”
Senang sekali hati Lin Lin,
kebanggaannya bukan main sehingga ia mengangkat dadanya yang sudah
membusung. Karena senangnya, ia ingin memberi sekedar hiburan kepada Bok
Liong dengan kata-kata manis. “Tapi kakek berkata bahwa biarpun
Gan-lopek itu orangnya lucu dan merupakan seorang badut besar, namun
kepandaiannya hebat. Maka sekarang, melihat kepandaianmu, aku percaya
akan kesaktiannya.”
Sekarang Bok Liong teringat akan matanya
menatap ke arah pedang yang tergantung di pinggang Lin Lin. Tadi ketika
mendengar ucapan Cheng Hie Hwesio tentang Pedang Besi Kuning, ia amat
terkejut. Ia mendengar pula tentang lenyapnya pedang pusaka itu dari
gudang pusaka istana, dan ia tadi masih terheran-heran bagaimana pedang
itu bisa terjatuh ke tangan Lin Lin. Betapapun pandainya Lin Lin,
kiranya bukanlah hal yang mudah untuk dapat memasuki istana dan mencuri
sebuah pedang pusaka. Akan tetapi sekarang terbukalah rahasia itu, kalau
gadis itu pergi bersama scorang sakti seperti Kim-lun Seng-jin, soal
memasuki istana dan mencuri pedang pusaka bukanlah merupakan hal yang
aneh lagi. Akan tetapi, ia mulai mengenal watak Lin Lin dan karenanya ia
tidak mau bertanya-tanya akan hal pedang itu, takut kalau-kalau Lin
Lin akan menjadi curiga dan marah kepadanya. Sebaliknya ia lalu
bertanya.
“Lin-moi, setelah kita menjadi sahabat dan kenalan
sekarang, bolehkah aku mengetahui apa yang kaukehendaki sehingga kau
seorang diri sampai berada di tempat ini? Hendak pergi ke manakah kau?”
Ini memang merupakan pertanyaan yang dinanti-nanti Lin Lin. Gadis ini
sudah mengambil keputusan untuk minta bantuan Bok Liong. Kakek gundul
Kim-lun Seng-jin biarpun telah mewariskan ilmu dan mengajaknya ke kota
raja, malah ke dalam istana dan mencuri pedang, namun tidak berhasil
menolong dia mendapatkan musuh besarnya, juga kakek angkatnya. Setelah
mendengar tentang sangkaan Kim-lun Seng-jin mengenal asal-usulnya dengan
bangsa Khitan, makin besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan Bu
Song, karena dialah satu-satunya orang yang boleh diharapkan akan dapat
menceritakan asal-usulnya, karena ketika ia diambil anak oleh Jenderal
Kam, tentu Bu Song sudah besar dan dapat mengingat semua peristiwa di
waktu itu.
“Liong-twako, sebelum aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, lebih dulu kaujawablah. Apakah kau akan suka membantuku?”
“Tentu saja! Dengan segala senang hati aku akan membantumu. Apakah yang dapat kulakukan untukmu, Moi-moi?”
“Tanpa syarat?”
“Eh.... tanpa syarat bagaimana? Tentu saja, aku harus mendengar dulu apa urusanmu itu dan apa yang harus kulakukan.”
Bibir manis itu cemberut, tapi bagi Bok Liong malah tampak makin manis.
“Kalau begitu, tak usah kau membantuku. Ucapanmu itu menyatakan bahwa
tidak sepenuh hatimu kau berniat membantuku. Kalau sepenuh hati suka
membantu, tentu tidak akan bertanya-tanya lagi, apa saja urusannya, akan
suka membantu.”
Merah muka Bok Liong mendengar celaan ini, dan
diam-diam ia harus akui bahwa ucapan gadis ini, biarpun terdengar
seperti mencari menang sendiri, namun ada benarnya juga. “Baiklah, aku
akan membantumu. Akan tetapi, Moi-moi, kau tentu tahu bahwa biarpun
untuk kau sendiri, terpaksa aku tidak mau melakukan hal-hal yang
berlawanan dengan kebenaran, ringkasnya, aku tidak mau membantu fihak
yang melakukan kejahatan....”
Bok Liong terpaksa menghentikan
kata-katanya karena seketika Lin Lin menjadi marah sekali. Gadis ini
berdiri tegak, mengedikkan kepala, kedua tangan di pinggang, pandang
matanya keras. “Sudahlah, kita tidak jadi bersahabat. Aku tidak sudi
bersahabat dengan orang yang tidak percaya kepadaku sedangkan aku amat
percaya kepadamu!” Tubuhnya membalik dan berkelebat pergi.
Bukan
main kagetnya hati Bok Liong. Ia pun cepat mengerahkan gin-kangnya
untuk mengejar, “Nanti dulu, Non.... eh, Moi-moi. Tunggu....! Mari kita
bicara....!”
Akan tetapi Lin Lin tidak mempedulikannya, terus
lari kencang. Karena ia mempergunakan gin-kang dari Khong-in-ban-kin,
tentu saja larinya cepat sekali, mengalahkan kuda betina yang kabur
dikejar kuda jantan. Dan Bok Liong sampai berkeringat karena harus
mengerahkan seluruh tenaga mengejar.
“Lin-moi.... tunggu dulu....! Aku percaya padamu....!”
Lin Lin mendengar derap kaki kuda. Kiranya Bok Liong yang melihat
betapa gerakan Lin Lin amat gesit dan cepat, kembali ke tempat tadi,
meloncat ke atas punggung kudanya dan membalapkan kuda tunggangnya itu,
melakukan pengejaran. Tapi ilmu lari cepat yang dipergunakan Lin Lin
benar-benar luar biasa sekali. Kalau gadis itu sudah matang dalam
melatih Khong-in-ban-kin, kiranya pemuda itu biarpun berkuda takkan
mampu menyusulnya. Sekarang pun, sukar sekali Bok Liong dapat menyusul.
Setelah berkejaran hampir dua jam dan mereka tiba di luar kota Pao-teng
sebelah selatan kota raja, barulah Lin Lin tersusul. Hal inipun hanya
karena gadis itu kehabisan napas, terpaksa ia berhenti dengan napas
memburu. Sepasang pipinya menjadi merah seperti buah tomat karena
darahnya bergerak cepat setelah berlari selama itu.
Bok Liong
cepat-cepat melompat turun dari atas kudanya dan menghadapi Lin Lin yang
berdiri cemberut. Bok Liong kembali mengangkat kedua tangan memberi
hormat dan suaranya benar-benar penuh bujuk rayu, “Adikku yang baik,
Moi-moi yang baik budi, maafkanlah aku yang tolol. Aku sungguh tidak
mengerti mangapa kau marah-marah kepadaku, kalau kau suka menjelaskan,
biarlah aku akan membunuh diri kalau memang aku berbuat dosa
terhadapmu.”
Di dalam hatinya, Lin Lin tertawa geli dan mengira
pemuda itu membadut. Akan tetapi karena ia masih mendongkol, ia menjawab
ketus, “Kau sudah tidak percaya kepadaku, mengapa masih memperlihatkan
sikap bersahabat?”
“Siapa bilang aku tidak percaya, Lin-moi? Aku
percaya seribu prosen kepadamu. Percaya mati-matian dan bulat-bulat!”
Bok Liong sengaja bersikap jenaka dan benar saja, dara yang memang pada
dasarnya berwatak jenaka gembira itu sebentar saja sudah hilang
marahnya.
“Kaubilang percaya hanya di mulut tapi di hati kau
menyangka aku akan melakukan hal-hal jahat dan akan menyeretmu ke dalam
perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan kebenaran. Bagus, ya? Lain
di mulut lain di hati, berani sumpah tak berani mati!”
Kini
tiba giliran Bok Liong yang tertawa geli di dalam hatinya. Entah dari
mana dara ini memungut kata-kata sindiran yang merupakan istilah dalam
panggung sandiwara itu untuk mengukur watak laki-laki.
“Wah, benar aku telah bersalah, Lin-moi, akan tetapi sungguh mati bukan maksudku untuk tidak percaya kepadamu.”
“Nah, sekarang bunuh dirilah. Aku ingin sekali lihat!” kata Lin Lin
sambil duduk di atas tanah, dibawah pohon. Peluhnya membasahi jidat dan
leher, diusapnya dengan saputangan sutera.
“Bunuh diri....? Apa maksudmu....?”
“Eh, pakai tanya lagi! Kan kau sendiri yang tadi berjanji hendak bunuh
diri kalau berdosa kepadaku. Nah, kau bunuh dirilah. Atau memang kau
pun termasuk golongan yang berani sumpah tak berani mati?”
“Waduh-waduh, masa kesalahan begitu saja dianggap dosa besar yang harus
ditebus dengan nyawa? Lin-moi, harap jangan main-main. Biarlah, aku
mengaku salah dan tidak akan banyak tanya lagi. Aku akan membantumu
tanpa syarat dan tanpa tanya-tanya lagi. Sekarang katakan, apa yang
dapat kulakukan untuk membantumu? Apakah kesukaranmu?” kata Bok Liong
sambil duduk pula di atas tanah, berhadapan dengan Lin Lin. Kudanya yang
juga tampak lelah itu beristirahat sambil makan rumput gemuk hijau di
pinggir jalan, ekornya dikebut-kebutkan ke kanan kiri mengusir lalat,
kelihatan girang dan lega kuda itu setelah tadi berlumba lari.
Kini wajah Lin Lin tampak sungguh-sungguh. Memang, ia tadi mendongkol.
Akan tetapi tidak mendalam dan puaslah ia sudah dapat balas menggoda Bok
Liong. Kini dengan suara serius ia berkata.
“Liong-twako,
sebetulnya pikiranku amat bingung. Aku mencari musuh besar tidak
bertemu, mencari kakak angkatku juga tidak berhasil, malah-malah Kakak
Bu Sin dan Enci Sian Eng pun sampai sekarang tidak bertemu kembali
denganku, entah lenyap ke mana mereka itu!”
Tahulah sekarang
Bok Liong bahwa gadis ini adalah seorang dara remaja yang hilang dalam
arti kata, terpisah daripada dua orang kakaknya. Ia tidak memotong,
melainkan menanti gadis itu melanjutkan penuturannya.
“Kami
bertiga pergi meninggalkan dusun kami di kaki Gunung Cin-ling-san,
dengan niat mencari musuh besar kami, juga mencari kakak angkatku yang
semenjak kami lahir tak pernah kami temui. Celakanya, kami
bercerai-berai dan aku mencari sendiri, dibantu oleh kakek gundul
Kim-lun Seng-jin. Namun hasilnya sia-sia belaka. Kakek gundul itu
ternyata tidak becus membantuku, tak dapat membawaku kepada kakak
angkatku, juga tidak tahu di mana adanya musuh besarku. Nah, sekarang
aku minta bantuanmu, Liong-twako, bantulah aku mencari mereka itu.”
Bok Liong tertawa. Hatinya lega bukan main. “Ah, Lin-moi, kau ini
memang suka bikin orang bingung. Kalau tadi-tadi kau bilang hanya
bantuan seperti ini saja, tentu aku seribu kali setuju. Akan kubantu
engkau, Moi-moi. Akan tetapi, tentu saja aku harus tahu lebih dulu
siapakah gerangan mereka yang kaucari. Siapakah musuh besarmu itu?”
“Aku sendiri juga tidak tahu, akan tetapi menurut dugaan kami, dia adalah Si Suling Emas.”
Tiba-tiba Bok Liong meloncat sampai satu meter lebih. Mukanya berubah
dan ia memandang kepada Lin Lin dengan bengong. Lin Lin juga meloncat
dan membanting kakinya.
“Nah-nah-nah, kau kumat lagi! Apakah
semua laki-laki memang pengecut sehingga begitu mendengar nama Suling
Emas lantas menjadi ketakutan macam ini? Kau dan kakek gundul sama saja.
Menjemukan benar!”
Wah, kau yang kumat, bukan aku, demikian
suara hati Bok Liong. Akan tetapi mulutnya segera berkata, “Jangan salah
sangka, Lin-moi. Aku tidak takut, hanya terheran-heran. Kau agaknya
tidak tahu orang macam apa dia itu, maka begitu mudah kau menuduh dia
sebagai musuh besarmu. Lin-moi, Suling Emas adalah seorang pendekar
sakti yang dipandang tinggi oleh para tokoh bersih di dunia kang-ouw.
Masa dia membunuh ayah bundamu?”
Lin Lin cemberut. “Biar
dipandang tinggi oleh semua orang di dunia atau dipandang tinggi oleh
para dewa sekali pun, aku tidak takut! Ihhh, semua orang takut kepada
Suling Emas. Sampai bagaimana sih kepandaiannya? Ingin aku bertemu
dengan dia dan mengajak dia duel (adu ilmu) sampai selaksa jurus!:
Bok Liong meraba-raba bawah hidungnya yang tidak berkumis untuk
menahan tawa. “Baiklah, Lin-moi. Aku akan membantumu dan kurasa kalau
diusahakan benar, bukan tidak mungkin aku akan dapat memperjumpakan kau
dengan Suling Emas.”
Wajah yang cemberut itu seketika berseri
dan kembali Bok Liong merasa dadanya tergetar. Sekarang demikian hebat
ia terpengaruh sehingga jantung di dalam rongga dadanya berloncatan ke
atas kemudian jatuh kembali di tempatnya dalam keadaan terbalik!
Mulutnya sampai ternganga ketika ia memandang wajah Lin Lin, sinar
matanya sayu penuh keharuan. Baru kali ini ia menyaksikan sesuatu yang
demikian indahnya sampai mengharukan.
Akan tetapi Lin Lin mana
memperhatikan hal ini? Ia sudah terlampau girang cepat ia menyambar
tangan Bok Liong, di guncang-guncangnya. “Betul, Liong-twako? Kau bisa
mencari dia? Ah, kakek gundul itu saja tidak becus. Di mana adanya
Suling Emas, Liong-ko? Jauh atau dekat? Hayo kita segera pergi ke sana,
ingin kupaksa dia mengaku tentang pembunuhan itu!”
Kembali Bok
Liong tersenyum. Kini ia berani tersenyum dan ini memudahkan ia menahan
tawanya mendengar kata-kata dan melihat sikap yang lucu ini. Benar-benar
seorang dara lincah jenaka yang seperti seekor burung baru belajar
terbang, tidak tahu tingginya gunung lebarnya lautan!
“Tidak
begitu mudah, Lin-moi. Orang macam dia itu tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap. Akan tetapi, aku akan bertanya-tanya kepada tokoh
kang-ouw. Aku mempunyai banyak kenalan di dunia kang-ouw dan dari
mereka, kurasa akhirnya kita akan dapat berjumpa dengan Suling Emas.
Sekarang soal ke dua, tentang kakakmu itu. Siapa dia dan bagaimana
mungkin seorang kakak tidak pernah bertemu dengan adik-adiknya
selamanya?”
“Kakak angkatku itu bernama Kam Bu Song, akan tetapi
ketika ia mengikuti ujian di kota raja empat belas tahun yang lalu, ia
memakai she Liu. Apakah kau bisa mencari keterangan tentang dia?”
“Kam.... Liu Bu Song? Tak pernah aku mendengar nama ini, akan tetapi
kalau empat belas tahun yang lalu dia di kota raja, tentu saja aku tidak
ingat lagi. Tentu aku masih kanak-kanak waktu itu. Akan tetapi, aku
dapat mencari keterangan di kota raja tentang dia. Sekarang, kau hendak
mencari yang mana lebih dulu? Kalau mencari kakakmu lebih dulu, kita
kembali ke kota raja. Kalau mencari Suling Emas, tidak periu kita ke
kota raja.”
Lin Lin termenung. Kedua orang itu sama pentingnya.
Akan tetapi, pertemuan dengan Kim-lun Seng-jin dan cerita tentang
“Puteri Khitan” amat menarik hatinya dan membuat ia ingin sekali segera
mendengar pemecahan rahasia ini. Pula, kalau ia mencari Bu Song di kota
raja, ada keuntungannya, yaitu sambil menanti datangnya Bu Sin dan Sian
Eng. Mereka berdua itu pasti akan datang ke kota raja pula.
“Biar kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, ke kota raja.” Akhirnya ia
berkata. “Sekalian menanti munculnya Sin-ko dan Enci Sian Eng.
Liong-twako, kau baik sekali. Perlu kau kuperkenalkan dengan Sin-ko dan
terutama dengan Eng-cici. Wah, dia itu gagah perkasa, ilmu pedangnya
hebat dan dia cantik sekali, Twako!” Setelah berkata demikian ia
tertawa-tawa gembira.
Merah muka Bok Liong. “Hush, kau bicara apa ini? Kenapa kau bilang kepadaku tentang Cicimu? Apa perlunya?”
“Ihhh, kalau aku memuji kecantikan Enciku di depanmu, apa sih
salahnya?” Ia tertawa-tawa lagi dan matanya menggoda. Bok Liong
tersenyum masam, hatinya mengeluh. Engkaulah yang cantik, tidak ada
wanita ke dua di dalam dunia ini yang dapat menggerakkan hatiku seperti
engkau, demikian suara hatinya.
“Baiklah, kita kembali ke kota raja. Akan tetapi sarung pedangmu itu harus diganti. Biar nanti kucarikan gantinya.”
“Sarung pedang? Mengapa?” Lin Lin meraba pedangnya.
“Moi-moi, tadi aku mendengar dari kata-kata Cheng Hie Hwesio tentang
Pedang Besi Kuning yang hilang dari istana dan berada di tanganmu.
Lebih baik sarungnya yang istimewa itu diganti, sehingga tidak akan
dikenal orang.”
Lin Lin tersenyum. “Memang inilah pedang itu,
kakek gundul dan aku yang mengambilnya. Wah, kalau kau ikut tentu senang
sekali, Liong-twako. Kami berdua sikat habis semua masakan di dalam
dapur istana. Wah, enak-enak, pendeknya, selama hidup belum pernah kau
merasakannya. Sampai sakit perutku, terlalu kenyang dan perut kakek itu
menjadi busung. Dan kami.... kami menyamar seperti kucing....” Lin Lin
terkekeh gembira, menutupi mulutnya dan dengan suara terputus-putus
diseling tawa ia menceritakan pengalamannya di istana.
Bok Liong
kagum bukan main. Kagum akan kehebatan Kim-lun Seng-jin, juga kagum
akan manisnya mulut yang bergerak-gerak bicara itu. Kemudian mereka
berdua memasuki kota Pao-teng dan di sebuah toko senjata, Bok Liong
membeli sebuah sarung pedang untuk pedang yang tergantung di pinggang
Lin Lin. Kini pedang itu, tanpa ronce-ronce dan dengan sarung lain,
tiada bedanya dengan pedang biasa, maka tentu tidak akan ada yang tahu
bahwa itulah Pedang Besi Kuning, pedang pusaka rampasan dari bangsa
Khitan yang lenyap dari dalam gudang pusaka istana.
Di kota
Pao-teng, Bok Liong mengajak Lin Lin memasuki sebuah rumah makan yang
cukup besar dan bersih. Hari menjelang senja dan perut mereka telah
lapar. Tanpa sungkan-sungkan Lin Lin menyetujui dan seorang pelayan
segera menyambut mereka dengan hormat, apalagi ketika melihat pedang
yang tergantung di punggung Bok Liong dan di punggung Lin Lin.
Bok Liong bertanya, “Kau hendak makan apa, Moi-moi?”
“Apa sajalah. Setelah makan eh.... anu.... semua itu, kiranya tidak ada
makanan yang cukup bagiku.” Ia mengernyitkan hidung dan Bok Liong
maklum bahwa yang dimaksudkan Lin Lin tentu masakan-masakan di dapur
istana itu. Pelayan yang menanti pesanan mereka tentu saja tidak
mengerti apa yang dimaksudkan oleh nona yang cantik jelita dan gagah
perkasa ini.
Bok Liong memesan arak wangi, nasi putih, bakmi,
bakso dan beberapa macam sayur-mayur lagi. Pesanan itu dilayani dengan
cepat sehingga beberapa menit kemudian mereka telah mulai makan minum.
Kelahapan Bok Liong dan perutnya yang sudah amat lapar itu membuat Lin
Lin dapat makan dengan enak juga, malah tidak kalah enaknya dengan
masakan-masakan dapur istana ketika ia sudah kekenyangan. Bukanlah
masakannya yang menjadi syarat mutlak untuk kelezatan, melainkan perut
lapar. Perut lapar menyedapkan setiap makanan yang paling sederhana
seakalipun!
Suara orang bercakap-cakap riuh rendah memasuki
restoran itu tidak menarik perhatian Lin Lin dan Bok Liong yang sedang
enak makan, juga ketika beberapa orang tamu memesan masakan dengan suara
parau, mereka tidak menengok dan terus makan. Akan tetapi karena tiga
orang laki-laki yang baru datang itu duduknya di meja yang berhadapan
dengan Lin Lin, mau tak mau Lin Lin dapat melihat mereka. Mendadak gadis
ini meletakkan sumpit dan mangkoknya, kemudian ia bangkit dari tempat
duduk dengan mata berapi Bok Liong melihat keadaan gadis ini, sambil
menghirup kuah dari mangkok, menoleh lalu mengerutkan keningnya.
Kiranya yang bercakap-cakap dan duduk mengelilingi meja itu adalah tiga
orang laki-laki yang pakaiannya ditambal-tambal, pakaian pengemis
jembel!
“Sssttttt, Lin-moi, tenang dan duduklah. Tak baik
membuat ribut di restoran orang, bikin kacau dan rusak barang orang
saja.” bisiknya.
Lin Lin sadar, menekan perasaannya dan duduk
kembali. Seorang pelayan sedang siap untuk mengambilkan pesanan tiga
orang pengemis itu, memandang penuh kekhawatiran dan curiga kepada Lin
Lin, akan tetapi ketika melihat gadis ini duduk kembali, ia cepat-cepat
pergi ke dapur. Tidak mengherankan apabila Lin Lin kaget dan marah
melihat tiga orang laki-laki itu, karena mereka ini adalah tiga orang di
antara para pengemis yang malam-malam mengeroyok dia dan dua orang
saudaranya. Sebaliknya, tiga orang pengemis itu agaknya tidak mengenal
Lin Lin, dan hal inipun tidak aneh. Mereka baru satu kali saja melihat
Lin Lin, inipun di waktu malam dan dalam pertempuran. Apalagi ketika
itu Lin Lin ditemani oleh Bu Sin dan Sian Eng, sedangkan sekarang
hanya berdua dengan Bok Liong.
“Mereka adalah pengemis-pengemis yang dulu ikut mengeroyok kami,” bisik Lin Lin.
Bok Liong mengangguk-angguk. Gadis itu sudah menceritakan tentang
perselisihannya dengan para pengemis yang dipimpin oleh Si Raja
Pengemis It-gan Kai-ong.
“Mereka itu tokoh-tokoh
Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang) dan agaknya
mereka datang sebagai tamu. Wilayah mereka bukanlah di Pao-teng sini.
Lin-moi, mari kita ke luar.” Bok Liong memanggil pelayan, membayar dan
mengajak Lin Lin keluar dari restoran.
“Lin-moi, malam ini kita
sebaiknya bermalam di sini. Pengemis-pengemis itu mencurigakan.
Pengemis-pengemis Hui-houw-kai-pang merupakan orang-orang kepercayaan
It-gan Kai-ong. Mereka itu bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, kalau datang
ke dekat kota raja tentu ada maksud-maksud tertentu, sebagai mata-mata.
Aku akan membayangi mereka.”
“Liong-ko, kenapa kau akan lakukan hal ini? Apa hubunganmu dengan urusan itu?”
Bok Liong memandang dengan sinar mata penuh perasaan ketika ia berkata.
“Lin-moi, seorang warga negara harus setia kepada negaranya. Demikian
pula aku, harus setia kepada Kerajaan Sung. Kalau aku melihat
persekutuan yang membahayakan negara dan aku diamkan saja bukankah itu
berarti bahwa aku menjadi seorang pengkhianat? Tidak Moi-moi, takkan
kudiamkan saja kalau orang-orang Hui-houw-kai-pang ini mempunyai niat
melakukan sesuatu yang membahayakan negara.”
Kagum hati Lin
Lin, Sebagai anak angkat Jenderal Kam, seorang patriot sejati yang rela
mengorbankan diri dan kebahagiaan demi negara, tentu saja ia tahu akan
hal ini, dan ia dapat menghormati sikap ini.
Malam hari itu,
Bok Liong dan Lin Lin membayangi tiga orang pengemis yang memasuki
sebuah rumah gedung kecil di sebelah timur kota Pao-teng. Rumah ini jauh
dari tetangga, pekarangannya lebar dan kelihatannya sunyi. Sebuah
rumah kuno yang modelnya seperti rumah pesanggrahan bangsawan, yang
hanya ditinggali sewaktu-waktu saja. Bagi para penduduk Pao-teng, rumah
gedung mungil ini terkenal dengan sebutan “Gedung Merah”, karena
memang cat rumah itu merah. Orang-orang hanya tahu bahwa rumah itu
milik seorang hanya bangsawan muda dari An-sui yang kadang-kadang saja
datang ke rumah ini di mana ia mempunyai beberapa orang wanita penghibur
yang menjadi selir-selirnya. Kalau bangsawan muda itu datang, barulah
tampak kesibukan di gedung merah ini. Tukang-tukang masak pandai
dipanggil, rombongan penghibur, penari dan penyanyi, diundang dan
sering kali diadakan pesta oleh bangsawan itu bersama selir-selirnya,
kadang-kadang ditemani beberapa orang tamu.
Bangsawan muda itu
bukan lain adalah Suma Boan, putera Pangeran Suma. Memang dia seorang
pemuda penghambur nafsu dan uang. Sebetulnya, hanya kelihatannya saja
Suma Boan merupakan seorang kongcu hidung belang yang menghabiskan
waktunya dengan pelesir dan bersenang-senang. Padahal sebetulnya, dia
seorang muda yang mempunyai penuh cita-cita. Tidak sia-sia ia menjadi
murid orang sakti It-gan Kai-ong, karena tidak saja ia memiliki ilmu
kepandaian tinggi, namun juga memiliki cita-cita setinggi langit. Sudah
banyak tokoh-tokoh kang-ouw ia hubungi, dan ia menghimpun tenaga untuk
sewaktu-waktu bergerak melaksanakan tujuan dan cita-citanya, yaitu
menggulingkan kedudukan kaisar dan mengangkat diri sendiri menjadi
penggantinya! Tentu saja cita-citanya ini masih merupakan rahasia dalam
hatinya dan kiranya hanya gurunya dan pembantu-pembantunya yang paling
setia saja yang tahu. Orang lain hanya menganggap bahwa Suma Boan
adalah seorang bangsawan, putera pangeran, masih sanak dengan kaisar,
kaya raya dan royal di samping memiliki ilmu kepandaian silat tinggi.
Maka dari itu, Bok Liong menjadi heran sekali ketika ia mengintai dari
atas genteng gedung merah bersama Lin Lin, ia melihat bahwa tiga orang
pengemis itu mengadakan pertemuan dengan Suma Boan. Hal ini sama sekali
tak pernah diduganya. Suma Boan putera pangeran yang tinggai di An-sui
itu berada di sini? Benar-benar di luar dugaannya, yang sejak dahulu
berkelana, Bok Liong mengenal siapa adanya Suma Boan, murid It-gan
Kai-ong yang lihai. Akan tetapi ia sama sekali tidak tahu akan rahasia
putera pangeran ini. Ia tidak menjadi heran karena Suma Boan
berhubungan dengan pengemis, karena guru pemuda bangsawan itu adalah
raja pengemis sendiri! Akan tetapi yang membuat ia terheran-heran adalah
munculnya pemuda bangsawan itu di gedung merah, karena tadinya ia
mengira bahwa tiga orang pengemis itu hendak mengadakan persekutuan
atau pertemuan rahasia dengan musuh-musuh Kerajaan Sung. Maka ia kecewa
dan memberi isyarat kepada Lin Lin untuk pergi dari situ.
Akan
tetapi, sebaliknya wajah Lin Lin menengang ketika ia mengenal Suma Boan.
Ia malah memberi isyarat kepada Bok Liong untuk mendengarkan percakapan
mereka di bawah, lalu mendekatkan mulut pada telinga Bok Liong sambil
berbisik.
“Di rumah dia itulah aku berpisah dengan kedua kakakku.”
Mendengar ini, hati Bok Liong tertarik dan ia segera mendekam dan mendengarkan percakapan empat orang itu.
Terdengar Suma Boan bertanya. “Mana Suhu? Kenapa tidak datang dan bagaimana hasilnya dengan surat yang dirampas Hek-giam-lo?”
“Kai-ong-ya tidak berhasil merampas kembali, tapi memberi tahu bahwa
surat itu agaknya sudah terampas kembali oleh Siang-mou Sin-ni dari
tangan Hek-giam-lo. Sekarang Ong-ya berkenan pergi sendiri menyelidik ke
Yu-nan.”
“Apa? Suhu mendatangi wilayah Nan-cao?”
“Betul, Kongcu. Pada pertengahan bulan depan, tepat pada bulan purnama,
di sana diadakan pesta menyambut hari raya kaum Agama Beng-kauw,
sekalian memperingati hari wafat ke seribu dari Kauw-cu (Ketua Agama)
yang telah meninggal dunia. Dalam kesempatan ini, tentu saja Kai-ong-ya
dapat menghadiri karena para tokoh hitam dan putih semua diterima
dengan tangan terbuka oleh Beng-kauw.”
“Bagus!” Suma Boan
kelihatan girang sekali. “Hanya sayang sekali, kalau Suhu memberi tahu,
tentu aku akan ikut ke sana, untuk melihat dan menambah pengalaman.”
“Kai-ong-ya berpesan agar Kongcu suka menanti kedatangan Tok-sim
Lo-tong yang sudah berjanji akan datang mengunjungi dan sudah siap
memberi bantuan untuk menghadapi Suling Emas.”
“Hemmm, si keparat itu apakah sudah dapat diketahui Suhu di mana tempatnya kalau ia datang ke kota raja?”
“Menurut Kai-ong-ya, sering kali ia berada di dalam gedung perpustakaan istana.”
“Heeeee! Apa itu?” Tubuh Suma Boan berkelebat, diikuti tiga orang
pengemis itu yeng sudah melompat keluar dan langsung melayang ke atas
genteng.
Kiranya tadi ketika mendengar percakapan di bawah, Bok
Liong dan Lin Lin menjadi tertarik sekali. Apalagi ketika nama Suling
Emas disebut-sebut, Lin Lin menjadi begitu bernafsu sehingga ia bergerak
untuk membuat lubang lebih besar. Karena kurang hati-hati dan hatinya
tegang, gerakannya mengeluarkan bunyi dan terdengar oleh telinga Suma
Boan yang tajam.
“Keparat, berani kalian main-main di depan
Lui-kong-sian?” bentak Suma Boan sambil menerjang maju. Lui-kong-sian
atau Dewa Geledek adalah julukannya.
Bok Liong maklum akan
lihainya lawan, maka cepat ia memasang kuda-kuda dan menangkis. Dua
lengan yang sama kuatnya bertemu dan akibatnya, keduanya terpental
melayang dan tentu akan roboh terguling di atas genteng kalau tidak
cepat-cepat mereka meloncat turun. Lin Lin yang tahu bahaya, juga
mendahului meloncat turun sambil mencabut pedangnya. Baru saja kakinya
menginjak tanah, tiga orang pengemis itu sudah menerjangnya dengan
tongkat, gerakan mereka cepat dan kuat. Namun Lin Lin sudah memutar
pedangnya, tampak sinar kuning bergulung-gulung dari pedang itu
menyambut datangnya tiga bayangan tongkat.
Adapun Suma Boan
ketika tertangkis oleh lengan Bok Liong, terkejut bukan main dan ia
menjadi penasaran. “Siapakah kau? Apa perlunya kau malam-malam datang
seperti pencuri?” bentaknya ketika ia sudah berhadapan dengan lawannya
di atas tanah. Sayang keadaannya agak gelap sehingga ia tidak dapat
mengenal siapa pemuda yang lihai di depannya ini.
“Suma-kongcu, suruh orang-orangmu mundur, dan kami akan segera pergi,
tidak akan mengganggumu lagi,” kata Bok Liong sambil memandang ke arah
pertempuran. Akan tetapi ia tidak khawatir akan keselamatan Lin Lin
karena tiga orang pengemis itu telah terdesak hebat oleh sinar pedang
kuning yang bergulung-gulung dahsyat.
“Enak saja bicara, berani
kau datang untuk memerintahku? Ke nerake kau!” Suma Boan cepat
menerjang dengan pukulan-pukulan maut. Keistimewaan pemuda bangsawan
ini adalah ilmu pukulan tangan kosong. Tenaganya kuat dan ia memiliki
banyak tipu muslihat, juga memiliki beberapa pukulan yang mengandung
tenaga beracun. Namun kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh, murid
seorang sakti pula, maka semua pukulannya dapat dihalau oleh Bok Liong.
Karena dia seorang pendekar yang gagah dan memang suka mengadu ilmu,
apalagi sudah lama mendengar akan nama besar Lui-kong-sian Suma Boan,
Bok Liong juga tidak mau mencabut pedangnya dan melayani lawannya
dengan tangan kosong pula. Keduanya sama kuat, sama cepat dan
masing-masing mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi.
Tidak
seramai dua orang jago muda ini keadaan Lin Lin dan para pengeroyoknya.
Dalam sekejap mata saja, pedangnya telah merobohkan dua orang
pengeroyok dan pengemis yang ke tiga lari ketakutan menjauhkan diri!
Diam-diam Lin Lin menjadi girang dan juga bangga. Ia pernah dikeroyok
orang-orang seperti ini, ketika bersama Bu Sin dan Sian Eng dahulu, dan
mereka bertiga amat repot menghadapi pengeroyokan banyak pengemis. Akan
tetapi sekarang, biarpun yang mengeroyoknya hanya bertiga, namun dengan
pedang curian itu dan dengan ilmu warisan Kim-lun Seng-jin, terasa
betapa lemahnya tiga orang pengeroyoknya dan betapa mudah ia merobohkan
mereka! Lin Lin menoleh dan melihat Bok Liong masih bertanding hebat
dengan pemuda jangkung yang sombong itu.
“Liong-twako, jangan
takut, pedangku akan mencabut nyawanya!” seru Lin Lin dan cepat ia
menerjang. Sinar kuning berkelebat dan Suma Boan mengeluh sambil
membuang diri ke kiri lalu berjungkir balik. Pucat wajahnya karena
hampir saja ia menjadi korban sinar pedang yang mengandung hawa dingin
seperti es. Ia tadi terlalu memandang rendah. Kiranya selain pemuda
lawannya itu hebat, juga gadis itu amat lihai dan ganas ilmu pedangnya.
Lin Lin hendak menerjang lagi, akan tetapi tangannya disambar Bok
Liong, ditarik dan pemuda itu berkata, “Moi-moi, mari kita pergi, jangan
bikin kacau rumah orang!”
Lin Lin baru teringat bahwa
sebetulnya bukan menjadi kehendak mereka bertempur dengan orang-orang
itu. Tadi ia terpaksa merobohkan lawan karena ia dikeroyok. Sekarang,
apa perlunya bertanding terus? Ia tidak bermusuhan dengan pemuda
bangsawan itu. Malah pemuda itu telah berjasa dalam menyebut-nyebut
Suling Emas tadi. Ia tahu sekarang ke mana harus mencari Suling Emas,
musuh besarnya. Ke kota raja. Di dalam gedung perpustakaan istana!
Hatinya girang mengingat akan hal ini dan ia cepat meloneat pergi
bersama Bok Liong, menghilang ke dalam gelap. Suma Boan tidak mengejar.
Pemuda bangsawan ini cukup cerdik dan hati-hati. Dua orang itu lihai,
dan belum ia kenal siapa mereka. Tiga orangnya telah roboh, mengapa ia
harus mengejar tanpa bantuan yang kuat?
Setelah berlari jauh
meninggaikan kota Pao-teng, Bok Liong dan Lin Lin berhenti untuk
mengatur napas. “Wah, untung kebetulan It-gan Kai-ong tidak berada di
sana bersama Suma-kongcu. Kalau ada, bisa berbahaya tadi. Sama sekali
tidak kuduga bahwa gedung merah itu milik Suma Boan,” kata Bok Liong.
“Aku tidak takut! Biar ada jembel tua bangka setengah buta itu aku
tidak takut dan akan melawannya mati-matian!” seru Lin Lin dengan suara
gagah.
“Kau memang hebat, Lin-moi. Memang tenaga kita digabung
menjadi satu, belum tentu si tua dapat berbuat sekehendak hatinya. Tapi
Suma Boan itupun tak boleh dipandang ringan. Dia lihai.....” Bok Liong
menggeleng-geleng kepala dan ia maklum bahwa kata-katanya ini hanya
untuk mencegah agar Lin Lin tidak menjadi marah. Padahal ia tahu benar
bahwa mereka berdua bukanlah lawan It-gan Kai-ong. Melawan Suma Boan
saja, baru seimbang dengan kepandaiannya. Pemuda bangsawan itu harus ia
akui amat hebat ilmu pukulannya. Tadi pun ia sudah kewalahan dan hampir
mencabut pedangnya kalau saja Lin Lin tak segera maju membantunya.
“Liong-ko, sekarang kita harus kembali ke kota raja. Suling Emas
berada di sana, di dalam gedung perpustakaan istana. Wah, kali ini dia
tidak akan dapat terlepas dari tanganku!”
Bok Liong
mengangguk-angguk. “Memang kurasa kali ini kita akan dapat bertemu
dengannya. Akan tetapi sebelumnya, kuminta kepadamu, Lin-moi. Jangan
kau terburu nafsu dan lancang menyerangnya kalau kita bertemu
dengannya. Aku yang akan bicara dengannya, dan aku dapat mengajukan
pertanyaan yang akan memaksanya mengaku apakah dia membunuh orang tua
angkatmu ataukah tidak. Tak boleh sembrono dan lancang terhadap seorang
seperti dia.”
“Aku tidak takut!”
“Memang kau tidak
takut, Moi-moi, akan tetapi bagaimana kalau penyeranganmu itu salah
alamat? Bagaimana kalau ternyata dia itu tidak berdosa? Bukankah kau
menyerang orang yang tidak bersalah kepadamu dan kalau terjadi demikian
maka berarti kaulah yang bersalah kepadanya?”
“Baiklah,
baiklah, aku akan menutup mulut dan mau menyerahkan urusan kepadamu.
Asal aku segera bertemu dengannya dan mendapat kepastian, baru aku puas,
Twako.”
Bok Liong tersenyum. Ia khawatir kalau-kalau sahabat
barunya ini marah dan mengambul. “Marilah, Moi-moi. Kau suka melakukan
perjalanan malam begini?”
“Biar malam udara terang, lihat bulan tersenyum di atas tuh!”
Akan tetapi Bok Liong tidak memandang bulan, melainkan memandang wajah
yang tengadah, wajah yang baginya lebih daripada bulan sendiri!
“Kau tidak lelah dan ngantuk nanti?”
Lin Lin menggeleng kepala. Maka berangkatlah dua orang muda itu,
berjalan kaki di bawah sinar bulan, berendeng mereka berjalan. Bagi
Lin Lin, hal ini adalah biasa saja dan tidak mendatangkan perasaan
apa-apa. Ia merasa seperti berjalan di samping Bu Sin. Terhadap Bok
Liong ia mempunyai perasaan persaudaraan yang tebal dan menganggap
pemuda ini seperti kakaknya sendiri. Tentu saja tidak demikian apa yang
berkecamuk di dalam rongga dada Bok Liong. Suasana romantis ini
mendorong-dorong hasratnya, menekan-nekan hatinya dan membakar darahnya,
membuat ia ingin sekali menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin
menyatakan cinta kasihnya yang berkobar-kobar menghanguskan jiwanya.
Ingin ia memegang jari-jari tangan yang kecil halus itu. Ingin ia
mendekap kepala dengan wajah cantik dan rambut hitam halus harum itu ke
dadanya, ingin membisikkan sumpah cinta,ingin ia.... ingin....
“Plakkk!”
“Eh, ada apa, Twako?” Lin Lin berhenti dan menoleh ke samping,
memandang heran kepada pemuda yang baru saja menempiling kepala sendiri
itu.
Bok Liong sadar, kaget dan gugup. “Oh.... eh.... tidak ada
apa-apa, ada nyamuk tadi menggigit pelipisku,” jawabnya. Untung
bayang-bayang pohon menyembunyikan sinar bulan dari mukanya yang menjadi
merah sekali.
“Kau bikin kaget orang saja. Masa menepuk nyamuk
di pelipis sendiri begitu kerasnya?” Lin Lin mengomel karena tadi ia
dikagetkan daripada lamunannya. Sambil berjalan ia pun melamun,
teringat akan cerita Kim-lun Seng-jin akan keadaan dirinya. Betulkah ia
seorang Puteri Khitan? Ia seorang puteri, keturunan langsung dari Raja
Khitan? Inilah yang ia lamunkan dan ia seperti melihat dirinya dengan
pakaian puteri yang indah sekali, berada di dalam gedung istana seperti
yang pernah ia lihat bersama Kim-lun Seng-jin, disembah-sembah ribuan
orang! Apalagi kalau ia yang menjadi ratu dari bangsa Khitan, ia
akan.... akan apakah dia? Inilah yang baru ia pikir-pikir dan rencanakan
dalam alam lamunannya ketika tiba-tiba Bok Liong menempiling kepala
sendiri dan mengagetkannya serta menariknya turun daripada angkasa ke
alam sadar.
“Sayang tidak ada kuda. Kalau kudaku masih ada, kau dapat naik kuda, Lin-moi, dan tidak terlalu lelah.”
“Kenapa kaujual kudamu kalau begitu?”
Bok Liong menghela napas. “Perlu dijual.... perlu sekali.... saku sudah kosong, apa daya?”
Lin Lin menggerakkan tangan, sejenak menyentuh lengan pemuda itu.
“Aku tahu. Kau terpaksa menjualnya untuk membelikan sarung pedangku ini
dan untuk makan dan sewa kamar, untuk biaya-biaya perjalanan, bukan?
Liong-ko, kau orang baik.”
Hati Bok Liong berdenyut-denyut girang, akan tetapi ia pura-pura mendengus.
“Ah, yang begitu saja, mana patut diomongkan? Pula, dua orang melakukan
perjalanan hanya dengan seekor kuda, canggung sekali. Kita berdua sudah
sejak kecil berlatih ilmu lari cepat, untuk apa? Kalau kita mau, kita
tidak akan kalah oleh larinya seekor kuda.” Mereka tertawa dan
melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
***
Kita
tinggalkan dulu Lin Lin dan Lie Bok Liong yang melakukan perjalanan
malam menuju ke kota raja karena Lin Lin sudah tidak sabar lagi menanti
untuk segera dapat bertemu dengan orang yang dianggap musuh besarnya,
yaitu Suling Emas. Mari sekarang kita menengok keadaan Sian Eng, gadis
yang mengalami hal yang amat menyeramkan hatinya itu.
Seperti
telah dituturkan di bagian depan, Sian Eng tadinya berhasil melarikan
diri dari tempat rahasia di bawah kuburan yang menjadi tempat tinggai
Hek-giam-lo, yaitu pada saat Hek-giam-lo bertempur melawan Siang-mou
Sin-ni yang datang menyerbu untuk minta dikembalikannya surat rahasia.
Akan tetapi malang baginya, di dalam sebuah hutan, selagi ia merasa lega
dan mengira telah terlepas daripada cengkeraman iblis itu, tiba-tiba si
iblis itu sendiri muncul di depannya, Hek-giam-lo telah berada di situ,
seakan-akan telah lebih dulu datang dan sengaja menanti kedatangannya.
Ia berusaha menyerang, namun apa dayanya terhadap Hek-giam-lo yang
sakti? Di lain detik ia sudah pingsan dan dipondong Hek-giam-lo,
kemudian dibawa lari secepat terbang! Kali ini si kedok iblis itu
berlaku amat teliti, tak pernah memberi kesempatan sedikit pun juga
kepadanya untuk dapat melepaskan diri daripada pengawasannya.
Hek-giam-lo bersikap amat menghormat kepadanya, menyebutnya tuan puteri,
akan tetapi di samping sikap menghormat ini terbayang sifat memaksa
yang tak dapat dibantah lagi. Memaksa agar Sian Eng ikut dengannya dan
mentaati segala permintaannya. Akhirnya gadis ini maklum bahwa tak
mungkin ia mampu membebaskan diri lagi, maka ia juga tidak lagi mencoba.
Selama iblis ini tidak mengganggunya dan memperlakukannya dengan sikap
menghormat dan baik-baik, ia pun menurut saja dan hendak melihat apa
yang akan terjadi selanjutnya dan ke mana ia akan dibawa.
“Hek-giam-lo, sudah berkali-kali kunyatakan bahwa aku bukanlah puteri
raja seperti yang kau sebut-sebut. Aku she Kam, namaku Sian Eng. Kau
salah lihat, karena itu harap jangan ganggu aku, biarkanlah aku pergi.”
Berkali-kali gadis itu mencoba dengan bujukannya ketika mereka berjalan
melalui sebuah bukit yang sunyi.
Hek-giam-lo memang pendiam dan
tak banyak ia bicara selama dalam perjalanan, sungguhpun ia amat
memperhatikan keperluan Sian Eng dan tak pernah terlambat untuk
mencarikan makanan dengan pelayanan penuh hormat. Permintaan
berkali-kali dari Sian Eng hanya dijawabnya singkat, “Paduka puteri
raja kami, memang sejak kecil diambil anak oleh Jenderal Kam.” Hanya
demikian jawabnya dan selanjutnya ia tidak mau bicara lagi.
Melalui perjalanan yang amat cepat, kadang-kadang Hek-giam-lo memondong
dan membawanya lari seperti terbang setelah minta maaf lebih dulu,
mereka menuju ke arah timur laut dan pada suatu hari tibalah mereka di
daerah yang jauh dari kota, daerah penuh hutan yang amat liar. Kemudian,
di tengah-tengah daerah ini, tibalah mereka di sebuah rumah
perkampungan dengan rumah-rumah yang kelihatan baru. Inilah perkampungan
baru yang dijadikan pusat suku bangsa Khitan, terletak dalam sebuah
hutan liar dikelilingi hutan-butan kecil di antara gunung-gunung di
perbatasan Mancuria!
Dapat dibayangkan betapa heran dan berdebar
hati Sian Eng ketika Hek-giam-lo berteriak-teriak dalam bahasa yang ia
tidak mengerti, para penyambut menjatuhkan diri berlutut di sepanjang
jalan yang mereka lalui.
“Tengoklah, Tuan Puteri, rakyat kita memberi hormat kepada Paduka,” kata Hek-giam-lo, nada suaranya gembira.
Sian Eng melihat orang-orang kasar yang bertubuh tegap dan kuat,
wanita-wanita cantik tapi sederhana, juga terdapat sifat-sifat gagah
pada para wanita yang berlutut di pinggir jalan itu.
“Kita sekarang ke mana, Hek-giam-lo?”
“Mari menghadap Sri Baginda, Paman Paduka.”
“Pamanku?” Sian Eng tidak mendapat jawaban, terpaksa ia berjalan
mengikuti Hek-giam-lo yang menuju ke sebuah rumah besar di
tengah-tengah perkampungan itu. Di depan rumah besar ini terdapat
banyak penjaga, laki-laki berpakaian perang yang kelihatan gagah dan
kuat, dengan tombak di tangan dan golok besar di pinggang. Mereka
berbaris rapi dan memberi hormat dengan tegak ketika Hek-giam-lo dan
Sian Eng lewat. Juga di dalam rumah, di sepanjang lorong, berbaris
pasukan pengawal. Kiranya dalam rumah besar itu yang dari luar kelihatan
sederhana, sebelah dalamnya amat mewah. Bendera-bendera kecil berkibar
di mana-mana, bermacam-macam warnanya. Ketika mereka sampai di ruangan
sebelah dalam, pasukan pengawal berganti, kini pasukan wanita yang
cantik-cantik dan gagah serta bersinar mata tajam! Namun, baik pasukan
laki-laki maupun wanita, semua kelihatannya amat takut dan menghormat
Hek-giam-lo.
Melalui pelaporan seorang penjaga yang seperti
raksasa wanita, besar dan bengis, mereka diperkenankan memasuki ruangan
besar di mana telah menanti seorang laki-laki tampan berpakaian indah,
duduk di atas sebuah kursi atau singgasana terbuat daripada gading.
Laki-laki ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan
bermata tajam.
Hek-giam-lo yang menuntun Sian Eng masuk, berkata
singkat, “Tuan Puteri, harap memberi hormat kepada Sri Baginda, Paman
Paduka.” Ia sendiri lalu menjatuhkan diri berlutut dan terdengar
suaranya nyaring.
“Hamba datang menghadap, dengan berkah Sri
Baginda, hamba berhasil mendapatkan Tuan Puteri yang sekarang ikut
menghadap Sri Baginda.”
Laki-laki itu ternyata adalah Raja suku
bangsa Khitah yang bernama Kubukan. Ia memandang wajah Sian Eng penuh
perhatian. Sian Eng yang tidak sudi berlutut, mengira bahwa raja yang
tampan ini tentu akan marah karena ia tidak mau memberi hormat, akan
tetapi kiranya tidak demikian. Raja itu memandang dengan sinar mata
kurang ajar, kemudian tertawa bergelak dan berkata kepadanya dalam
bahasa Han yang cukup lancar.
“Nona, marilah mendekat, biarkan aku memeriksa cermat apakah kau benar keponakanku ataukah palsu.”
Sian Eng melangkah maju sampai berada dekat dengan raja itu sambil
berkata, “Hek-giam-lo tahu bahwa aku bukan keponakanmu. Sudah
kuberitahukan berkali-kali tapi ia nekat saja membawaku ke sini. Siapa
pun adanya kau, harap kau suka berlaku murah dan bebaskan aku.”
Raja itu memandang lagi penuh perhatian, kemudian tertawa sekali lagi.
Dari mulutnya berhamburan bau arak yang keras. “Ha-ha-ha, semua orang
mengaku keponakanku, ha-ha. Alangkah inginku dapat memeluk keponakanku,
dapat meraba lehernya yang halus. Untung kau bukan keponakanku, Nona,
kau cukup cantik jelita. Ha-ha, untung....!” Sian Eng terkejut sekali
dan ia sudah merasa ngeri ketika kedua tangan raja yang berbulu
lengannya itu bergerak hendak merabanya.
Akan tetapi pada saat
itu Hek-giam-lo berkata dalam bahasa Khitan yang tak dimengerti Siang
Eng, “Sri Baginda, kali ini tidak bisa salah lagi. Dia itu adalah anak
Jenderal Kam. Sayang Jenderal Kam sendiri sudah mampus ketika hamba
sampai di sana. Hamba mendengar bahwa anak-anaknya pergi ke kota raja,
maka hamba menyelidiki dan berhasil menangkap anak perempuannya ini.
Tak salah lagi, dia adalah puteri mendiang Tuan Puteri Tayami.”
“Hek-giam-lo, apa yang menyebabkan kau yakin benar bahwa dia ini
betul-betul keponakanku? Sudah ada dua orang gadis yang dibawa datang
dan perwira-perwira yang membawanya bersumpah bahwa mereka adalah
keponakanku. Tapi ternyata bukan. Kau boleh lihat mereka, biarpun mereka
berdua itu jauh lebih cocok menjadi keponakan yang kucari-cari daripada
gadis ini, toh mereka itu bukan keponakanku!” Raja memberi tanda dengan
tepukan tangan dan tak lama kemudian dua orang gadis digiring masuk.
Dua orang gadis yang cantik jelita akan tetapi wajah mereka pucat dan di
kedua pipi yang halus tampak bekas air mata. Mereka ini berdiri di
depan raja dan menundukkan muka.
“Ha-ha-ha, mereka ini
keponakanku? Akan tetapi biarpun bukan, kedatangan mereka sedikit banyak
menyenangkan hatiku, biarpun hanya untuk beberapa malam. Hek-giam-lo,
gadis yang kaubawa ini bukanlah puteri Kakak Tayami.”
“Tapi Sri Baginda....”
“Kau mau bukti? Dengar, ketika masih bayi, pernah kulihat keponakanku
itu. Pada punggungnya terdapat sebuah tanda merah. Coba kita periksa
bersama!” Ia memberi isyarat dan tiba-tiba Hek-giam-lo menggerakkan
tangannya. Tahu-tahu ia telah memegang senjatanya yang hebat, yaitu
sabit bengkok yang amat tajam itu.
Sinar berkilauan
menyambar-nyambar, Sian Eng menjerit ngeri karena merasa betapa tubuhnya
dikurung sinar berkilauan. Kemudian, hampir ia roboh pingsan ketika
mendapat kenyataan bahwa pakaiannya telah terbang ke kanan kiri disambar
sinar itu dan beberapa detik kemudian ia telah menjadi telanjang bulat!
Dapat dibayangkan betapa malu dan marahnya Sian Eng. Ingin ia berlaku
nekat dan menerjang mengadu nyawa, akan tetapi rasa malu karena
keadaannya yang telanjang itu membuat ia kehilangan tenaga, malah ia
lalu menjatuhkan diri berlutut dan setengah bertiarap di atas lantai
untuk menyembunyikan tubuhnya. Tentu saja dengan berbuat demikian,
punggungnya tampak jelas dan raja bersama Hek-giam-lo melihat jelas
kulit punggung yang putih bersih tiada cacad sedikit pun!
“Ha-ha-ha-ha, kaulihat, Hek-giam-lo? Dia bukan keponakanku, sayang seribu sayang. Tapi lumayan juga, dia cantik manis!”
“Ampun, Sri Baginda. Hamba telah berlaku ceroboh.” terdengar Hek-giam-lo berkata, suaranya gemetar penuh sesal.
“Tidak apa, kaucarilah lagi. Gadis ini pasti akan menyenangkan hatiku.
Eh, Nona, kau berdirilah.” Sian Eng terkejut sekali ketika merasa betapa
pundaknya diraba orang yang hendak menariknya berdiri. Ia mengangkat
muka memandang dan kiranya raja itulah yang sudah turun dari singgasana
untuk membangunkannya, matanya bersinar-sinar penuh nafsu. Saking
ngeri, malu, dan marahnya, Sian Eng tidak ingat apa-apa lagi. Bagaikan
seekor harimau betina, ia melompat dan menerkam ke depan, memukul denuan
kedua tangannya ke arah dada dan perut raja itu!
Akan tetapi
tiba-tiba tubuhnya terpental ke samping, roboh menumbuk dinding. Raja
itu sendiri pucat mukanya dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah.
Hampir saja ia celaka kalau tidak Hek-giam-lo yang cepat menolongnya
tadi. Marahnya bukan main. Lenyap keinginannya untuk mempermainkan Sian
Eng, terganti rasa benci yang meluap-luap.
“Hek-giam-lo,
kuserahkan dia kepadamu. Hukum dia, juga dua orang puteri palsu ini.
Muak aku kepada mereka. Kubur mereka hidup-hidup, jadikan tontonan,
biar rakyatku melihat dan berkesempatan menghina mereka yang
menyebaikan hati rajanya!” Setelah berkata demikian, raja itu mendengus
marah, lalu pergi memasuki kamarnya, diiringkan oleh dayang-dayang
cantik jelita dan muda-muda.
Sian Eng sudah bangun kembali dan
cepat menyambar pakaiannya yang robek menjadi beberapa potong.
Sedapat-dapat ia membungkus tubuhnya dengan pakaian itu dan untung bahwa
pakaiannya terbuat daripada kain yang lebar dan panjang sehingga
biarpun robek-robek namun masih cukup untuk menutupi ketelanjangannya.
Akan tetapi Hek-giam-lo tak memberi kesempatan lagi kepadanya. Dengan
pekik mengerikan, iblis ini bergerak dan tahu-tahu ia telah menangkap
Sian Eng dan dua orang gadis pucat itu, membawa mereka bertiga seperti
orang membawa tiga ekor ayam saja, kemudian melangkah lebar keluar dari
gedung itu.
Malam itu terang bulan, namun keadaan di luar
perkampungan itu, di pinggir hutan, amat menyeramkan. Apalagi kalau
orang melihat ke arah kiri, di mana terdapat tempat terbuka dan sinar
bulan menyorot langsung tidak terhalang ke atas tanah. Orang itu pasti
akan bergidik melihat apa yang tampak di sana.
Tiga buah kepala
orang berada di atas tanah. Kepala tiga orang wanita yang masih hidup!
Yang dua buah adalah kepala dua orang wanita cantik bermuka pucat dan
terdengar mereka ini menangis terisak-isak dengan air mata bercucuran.
Akan tetapi, kepala yang berada di kiri, kepala Sian Eng, biarpun tampak
agak pucat juga, namun sama sekali tidak menangis, malah sepasang
matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
Memang hebat dan
mengerikan sepak terjang Hek-giam-lo, si manusia iblis itu, yang
mentaati perintah rajanya. Ia menggali tiga buah lubang-lubang yang
sempit dan dalam macam sumur kecil, memasukkan tiga orang gadis tawanan
itu ke dalam sumur dan mengubur mereka sebatas leher. Seluruh tubuh
tiga orang gadis ini tidak tampak, hanya kepala mereka sebatas leher
yang keluar dari tanah. Kemudian iblis ini memasang benderanya di atas
pohon dekat tempat itu. Dengan adanya tanda ini, tidak ada seorang pun
manusia di perkampungan itu berani mencoba menolong gadis-gadis bernasib
malang ini. Siapakah berani melawan Tengkorak Hitam yang menjadi tangan
kanan raja?
Setelah Hek-giam-lo pergi, Sian Eng berpikir. Ia
mengenang kata-kata Raja Khitan terhadapnya dan teringatlah ia akan Lin
Lin. Adiknya itu bukanlah anak kandung ayah bundanya, melainkan anak
angkat. Ayahnya tidak pernah bicara tentang orang tua Lin Lin, akan
tetapi adik angkatnya itu wataknya aneh sekali dan ketika ia tadi
melihat pengawal-pengawal dan dayang-dayang wanita di dalam gedung Raja
Khitan, alangkah besar persamaan Lin Lin dengan para wanita itu.
Terutama sekali bulu mata dan hidungnya. Jantungnya berdebar.
Jangan-jangan Hek-giam-lo salah ambil, mengira dia Lin Lin. Dan besar
kemungkinan Hek-giam-lo menduga bahwa Lin Lin adalah keponakan raja.
Betulkah ini?
Tangis kedua orang gadis di sebelah depan dan
belakangnya mengganggunya dari lamunan. Ia menengok dan perasaan kasihan
memenuhi hatinya melihat dua buah kepala yang tidak berdaya dan sedang
menangis terisak-isak itu, sama sekali lupa bahwa keadaannya sendiri
pun tiada bedanya dengan mereka berdua. Ia tahu bahwa dia dan mereka
akan menghadapi kematian yang mengerikan dari penuh sengsara. Dipendam
sebatas leher dan dibiarkan sampai mati. Mungkin besok hari menerima
penghinaan dari para penyiksanya sebelum mati kelaparan.
Tiba-tiba terdengar suara mengaum dari jauh. Dua orang gadis itu makin
keras menangis dan Sian Eng sendiri bergidik. Tak salah lagi, itulah
suara harimau yang mengaum dari dalam hutan. Bagaimana kalau raja hutan
itu datang dan menyerang mereka? Dengan hanya kepalanya di atas tanah,
Sian Eng dapat membayangkan betapa harimau itu akan makan kepala mereka
seenaknya tanpa mereka dapat membalas atau pun melarikan diri. Siapa di
antara mereka bertiga yang lebih dulu akan digerogoti harimau?
“Hu-hu-huk, Ayah.... Ibu.... tolong....!” Gadis yang berada di sebelah belakang Sian Eng menjerit-jerit.
“Aku.... aku.... takut.... ya Tuhan cabutlah nyawaku....!” Gadis cantik di sebelah depan Sian Eng mengeluh dan menangis.
Sian Eng mengerutkan keningnya, penuh iba hati. Ia tak menyalahkan dua
orang gadis itu. Tentu saja mereka ketakutan. Mereka adalah gadis-gadis
biasa yang lemah, oh, alangkah sengsaranya mati dalam keadaan ketakutan
seperti itu.
“Enci berdua, tenangkanlah hati kalian. Manusia
hidup memang hanya untuk menghadapi kematian yang sewaktu-waktu pasti
akan tiba, cepat atau pun lambat. Mengapa takut? Mati adalah biasa,
semua manusia akan mati, hanya waktu saja soalnya.”
Dua orang
gadis itu menengok kepadanya, terheran-heran melihat Sian Eng sama
sekali tidak menangis dan sama sekali tidak nampak takut.
“Aku.... aku tidak takut mati.... aku.... aku lebih baik mati. Yang
kutakuti adalah kengerian ini dan.... dan penghinaan.... ah, lebih baik
aku mati, tapi jangan.... jangan mati dimakan harimau....” kata gadis di
depannya terisak-isak.
“Sebelum hayat meninggaikan badan, tak
boleh berputus asa,” kata pula Sian Eng. “Enci berdua harap tenang saja,
kalau belum waktunya kita mati, percayalah, kita takkan mati. Kalau
sudah tiba waktunya mati, ah, jangankan sudah setua kita, kanak-kanak
pun bisa saja mati.”
Hiburan dan kata-kata Sian Eng yang keluar
dengan suara penuh ketabahan itu ternyata ada hasilnya juga. Dua orang
gadis itu berhenti menangis dan anehnya, auman binatang buas dari dalam
hutan tidak terdengar lagi. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Eng
untuk mengajak dua orang teman “senasib sependeritaan” itu untuk
bercakap-cakap. Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa seperti
juga dia, dua orang itu diculik oleh tokoh-tokoh Khitan karena disangka
sang puteri! Akan tetapi begitu tiba di depan raja, mereka ditelanjangi
dan diperiksa punggung mereka, karena katanya puteri itu mempunyai tanda
merah di punggungnya. Tentu saja, seperti juga Sian Eng, mereka tidak
memiliki tanda seperti itu karena memang mereka bukanlah puteri Khitan.
Kemudian dengan air mata bercucuran dua orang gadis itu bercerita betapa
selama tiga hari mereka menjadi permainan raja yang kejam.
Sian
Eng menjadi panas hatinya. Jiwa pendekar dalam hatinya bergolak. Kalau
saja ia mendapat kesempatan, tentu akan dibunuhnya Raja Khitan itu. Dan
menghadapi penderitaan dua orang gadis itu, ia tidak dapat bicara
banyak. Akan tetapi setidaknya percakapan mereka itu juga merupakan
hiburan yang lumayan untuk melewatkan malam yang mengerikan ini. Tentu
saja semalam suntuk mereka tak mampu tidur semenit pun juga dan
menjelang pagi, karena teringat bahwa para penyiksa itu tentu akan
menghabisi nyawa mereka dengan siksaan-siksaan keji, dua orang gadis
itu mulai menangis lagi. Sian Eng tidak mampu lagi menghibur mereka.
Gadis ini mengambil keputusan bahwa kalau ia diberi kesempatan satu
kali saja terbebas dari kuburan itu, ia akan mengamuk sampai mati!
Terdengar derap kaki kuda dari jauh, makin lama makin dekat. Dua orang
wanita itu menoleh ke arah Sian Eng dan air mata mereka bercucuran.
“Adik Sian Eng, selamat berpisah....”
“Mudah-mudahan kematian segera datang menjemputku....” kata gadis di belakang Sian Eng, menyambut ucapan gadis di depan.
Sian Eng terharu, akan tetapi ia malah memaksa diri tersenyum, “Enci,
kalau seorang di antara kita mati, tentu yang dua akan mati pula.
Bagaimana bisa bilang selamat berpisah? Kita takkan pernah berpisah
kurasa, mati pun akan bersama-sama. Bukankah itu menyenangkan sekali?
Kita akan ada teman selalu, biar di alam sana pun.”
Derap kaki
kuda sudah dekat sekali, datang dari arah belakang mereka. Tiga orang
gadis itu dapat menoleh ke kiri kanan, akan tetapi tentu saja tidak
mungkin menengok ke belakang, karena tubuh mereka yang terpendam tanah
itu sama sekali tidak dapat digerakkan. Oleh karena itu, biarpun hati
mereka sekali memandang, mereka tidak dapat dan tidak tahu siapa
gerangan penunggang kuda yang datang ini.
***
Tak lama
kemudian, seekor kuda yang besar dan kuat berlari congklang dan berhenti
dekat mereka. Seorang laki-laki berpakaian serba hitam melompat turun.
Dua orang gadis itu hanya mengerling sebentar dan segera menutup mata
dan menangis lagi. Pakaian orang ini sama dengan Si Iblis Hitam,
mengerikan.
Akan tetapi Sian Eng menoleh ke kiri dan memandang
dengan mata tajam dan kening berkerut. Darahnya berdenyut-denyut,
jantungnya berdebar, membuat ia merasa dadanya sesak sekali. Si Jubah
Hitam itu sama sekali bukan Hek-giam-lo, melainkan seorang laki-laki
muda yang berwajah gagah sekali, tampan dan memiliki sepasang mata yang
sayu di bawah lindungan sepasang alis yang tebal, hitam dan berbentuk
panjang gompyok. Seorang laki-laki yang tampan dan tinggi besar. Yang
membuat Sian Eng berdebar tidak karuan hatinya adalah jubah hitam itu,
mengingatkan ia akan laki-laki yang pernah ia lihat punggungnya yang
berjubah hitam dan topinya, topi pelajar yang mempunyai ekor dua buah,
yaitu tali hitam yang melambai ke bawah. Dan gambar pada baju di dada
itu. Suling Emas! Celaka, pikirnya. Kiranya musuh besar ayah bundanya
yang datang ini? Orang yang sudah membunuh ayah bundanya, sudah tentu
mempunyai niat yang tidak baik terhadap dirinya.
Dan orang itu
semenjak melompat turun dari kudanya, terus memandangnya dengan sinar
mata yang tajam penuh selidik! Akan tetapi laki-laki itu segera melompat
dekat, tangannya mencabut sebuah benda panjang kuning mengkilap. Sebuah
suling! Tak salah lagi, dialah Suling Emas, karena yang dipegangnya itu
apalagi kalau bukan suling terbuat daripada emas?
Dengan
gerakan cepat, ia mendekati Sian Eng, sinar kuning berkelebat dan
sebentar saja tanah di sekeliling Sian Eng terbongkar. Setelah Sian Eng
dapat membebaskan kedua tangannya, ia menekan tanah di pinggirnya dan
meronta, terus meloncat ke atas, sama sekali tidak ingat bahwa
pakaiannya tidak karuan macamnya karena pakaian itu sudah robek-robek
dan hanya ia pakai sekedar menutupi tubuhnya saja. Begitu melompat dan
berdiri, baru ia melihat keadaan dirinya, maka cepat-cepat ia
meoggerakkan kedua lengan menutupi dada!
Pemuda itu menyumpah,
“Keparat....!” cepat ia membuka jubahnya yang hitam lebar itu,
melemparnya ke arah Sian Eng. Kain jubah itu tepat sekali menimpa Sian
Eng dan menyelimutinya dari leher sampai ke kaki! Kini Sian Eng berdiri
terlongong, memandang pemuda itu yang kini tampak lebih gagah dengan
pakaian dalam yang ringkas berwarna putih. Akan tetapi laki-laki itu
tanpa menoleh lagi sudah mengerjakan sulingnya, membongkar dari
menggali tanah untkik membebaskan dua orang gadis itu. Kembali ia
menyumpah karena kedua orang gadis itu malah dimasukkan ke dalam sumur
dalam keadaan hampir telanjang bulat.
“Benar-benar setan!” ia
menyumpah dan dengan gemas ia merenggut kain bendera besar tanda
Hek-giam-lo, merobeknya menjadi dua dan menyerahkannya kepada dua orang
gadis itu yang merasa berterima kasih sekali dan terus saja
mengerodongkan robekan kain hitam itu ke atas tubuh mereka.
“Lekas, kalian naik ke atas kuda ini dan cepat pergi. Amat berbahaya di
sini.” Ia menoleh kepada Sian Eng, tersenyum sedikit dan berkata,
“Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau di depan dan cepat
larikan kuda ini keluar wilayah Khitan.”
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
“Kau.... kau.... Suling Emas....?” akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata.
Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk.
“Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,” katanya. Akan
tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu
roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka
dan.... kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam,
mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi
kering membiru!
“Ah, gobloknya aku....!” Suling Emas menarik napas panjang.
bersambung ..........3
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar