Sabtu, 11 Mei 2013

bukek sian su - 6


Han Ti Ong kembali membalikkan tubuhnya dan hendak melangkah pergi.
"Suhu, nanti dulu...!" Pangeran itu mengerutkanalisnya. Lagi-lagi dia mendengar pengaruh yang luar biasa di balik suara anak itu yang memaksanya menoleh!
Dengan suara kesal dia berkata, "Mau apa lagi?"
"Maaf, Suhu. Teecu mana bisa meninggalkan sebelas buah mayat itu disini begini saja?"
"Habis, apa maumu?" "Teecu harus mengubur mereka lebih dulu sebelum pergi."
"Kalau aku melarangmu?" Teecu tidak percaya bahwa Suhu akan sekejam itu, teecu yakin akan kebaikan budi Suhu. Akan tetapi
andaikata Suhu benar melarang teecu, terpaksa teecu akan membangkang dan tetap akan mengubur mayatmayat ini."

Sepasang mata pangeran itu terbelalak penuh keheranan. Anak berusia tujuh tahun sudah berani memiliki pendirian seperti batu karang kokohnya.
"Murid macam apa kau ini? Belum apa-apa sudah siap membangkang terhadap Guru!"
"Teecu menjadi murid bukan membuta, dan teecu ingin mempelajari ilmu yang baik. Kalau teecu mentaati saja perintah Suhu yang tidak benar, sama saja dengan teecu menyeret Suhu ke dalam kesesatan."

Mata Han Ti Ong makin terbelalak. Hampir dia marah, akan tetapi dia dapat melihat apa yang tersembunyi di balik ucapan yang kelihatan kurang ajar ini dan dia mengangguk-angguk.
"Lakukanlah kehendakmu, aku menunggu."
"Terima kasih! Teecu memang tahu bahwa Suhu seorang sakti yang budiman!"

Dengan wajah berseri Sin LIong lalu menggali lubang. Akan tetapi karena dia hanya seorang anak kecil dan yang dipergunakan menggali hanyalah sebatang cangkul biasa yang kecil pemberian orang-orang dusun dan yang biasa dia pergunakan untuk menggali dan mencari akar obat, maka tentu saja menggali sebuah lubang untuk mengubur sebelas buah mayat bukan merupakan pekerjaan ringan dan mudah!

Mula-mula Han Ti Ong duduk di bawah pohon dan melirik ke arah muridnya itu yang bekerja keras. Disangkanya bahwa tentu bocah itu akan kelelahan dan akan beristirahat. Akan tetapi dia kecele. Sin Liong bekerja terus biarpun kaki tangannya sudah pegal-pegal semua, dan keringat membasahi seluruh tubuh, menetes dari dahinya dan kadang-kadang diusapnya dengan lengan baju. Akan tetapi dia tidak pernah berhenti bekerja.

Sudah setengah hari mencangkul, baru dapat membuat lubang yang hanya cukup untuk dua buah mayat saja.
Kalau dilanjutkan, agaknya untuk dapat menggali lubang yang cukup untuk semua mayat, ia harus bekerja selama dua hari dua malam atau lebih!
"Hemm, hatinya lembut tapi kemauannya keras. Benar-benar bocah ajaib." Han Ti Ong mengomel sendiri dan dia lalu bangkit, dirampasnya cangkul dari tangan muridnya dan tanpa berkata apa-apa lagi dia lalu mencangkul. Gerakannya amat cepat sekali sehingga Sin Liong yang mundur dan menonton menjadi kabur pandangan matanya karena seolah-olah tubuh gurunya berubah menjadi banyak, semuanya mencangkul dan sebentar saja telah terbuat sebuah lobang yang amat besar dan yang cukup untuk mengubur sebelas buah mayat itu.

Tentu saja hati Sin lIong girang
bukan main dan satu demi satu diangkat, atau lebih tepat diseeretnya mayat-mayat itu, dimasukkan ke dalam lubang dan air matanya bercucuran! Han Ti ong membantu muridnya mengguruk atau menutup lubang itu sehingga di tempat itu, di depan gua tempat tinggal Sin Liong, terdapat sebuah kuburan yang besar sekali.
"Sudahlah, sudah mati ditangisipun tidak ada gunanya. Mari kita pergi!"

Sin Liong merasa lengannya dipegang oleh gurunya dan di
lain saat dia harus memejamkan matanya karena tubuhnya telah "terbang" dengan amat cepatnya meninggalkan Gunung
Jeng-hoa-san, entah kemana! Akan tetapi setelah merasa terbiasa, Sin Liong berani juga membuka matanya dan
dengan penuh kagum dia melihat bahwa dia dikempit oleh suhunya yang berlari cepat seperti angin saja.

Dia mengenal pula tempat dimana suhunya melarikan diri yaitu ke sebelah timur Pegunungan Jeng-hoa-san. Tiba-tiba dia melihat sesuatu, juga hidungnya mencium sesuatu, maka dia cepat berseru,
"Suhu, harap berhenti dulu!" Han Ti Ong berhenti. "Ada apa?"
"Suhu, disana itu..." Suara Sin Liong tergetar dan ketika Han Ti Ong menoleh, dia pun merasa jijik sekali. Yang ditunjuk oleh muridnya itu adalah sekumpulan mayat orang yang sudah menjadi mayat rusak dan bekasnya menunjukkan bahwa mayat-mayat itu tentu diganggu oleh binatang-binatang buas sehingga berserakan kesana-sini.
"Mau apa kau?" Han Ti Ong membentak.
"Suhu apakah kita harus mendiamkan saja mayat-mayat itu? Mereka adalah bekas-bekas manusia seperti kita juga. Kasihan kalau tidak diurus..."
"Wah, kau memang gatal-gatal tangan ! Nah, hendak kulihat apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?"

Han Ti Ong menurunkan Sin Liong dan dia sendiri lalu duduk diatas sebuah batu dari tempat agak jauh. Dia sungguh ingin tahu apa yang akan dilakukan muridnya itu terhadap mayat-mayat yang sudah demikian membusuk, bahkan dari tempat dia duduk pun tercium baunya yang hampir membuatnya muntah.

Dengan langkah lebar Sin Liong menghampiri mayat-mayat itu, sedikit pun tidak kelihatan jijik atau segan. Kemudian, diikuti pandang mata Han Ti Ong yang terheran-heran bocah itu mulai menggali tanah dengan hanya menggunakan sebatang pisau kecil, pisau yang biasanya dipergunakan untuk memotong-motong daun dan akar dan yang agaknya tak pernah terpisah dari saku bajunya.

Anak itu hendak menggali lubang untuk mengubur dua belas buah mayat busuk itu hanya dengan menggunakan sebatang pisau kecil! Hampir saja Han Ti Ong tertawa tergelak saking geli hatinya, juga saking girangnya mendapat kenyataan bahwa muridnya ini benar-benar seorang bocah ajaib yang mempunyai pribadi luhur dan wajar tanpa dibuat-buat! Dengan kagum dia meloncat bangun, lari menghampiri yang telah menggali lubang beberapa sentimeter dalamnya.
"Cukup Sin Liong. Lubang itu sudah cukup lebih dari cukup untuk mengubur mereka."
"Ehhh...? Mana mungkin, Suhu...? "
"Ha, kau masih meragukan kelihaian suhumu? Lihat baik-baik!" Han Ti Ong lalu mengeluarkan sebuah botol dari saku jubahnya, menggunakan ujung sepatunya mencongkel mayat-mayat itu menjadi setumpukan barang busuk, dan dia menuangkan benda cair berwarna kuning dari dalam botol ke atas tumpukan mayat. Tampak uap mengepul dan tumpukan mayat itu mencair, dalam sekejap mata saja lenyaplah tumpukan mayat itu karena semua, berikut tulang-tulangnya, telah mencair dan cairan itu mengalir ke dalam lubang yang tadi digali Sin Liong. Benar saja, cairan itu memasuki lubang dan meresap ke tanah, tentu saja lubang itu sudah lebih dari
cukup untuk menampung cairan itu. Dengan mata terbelalak penuh kagum, Sin Liong lalu menguruk lagi lubang itu
dan berlutut di depan kaki suhunya,
"Suhu, terima kasih atas bantuan Suhu. Suhu sungguh sakti dan budiman."
"Aahhh....!" Muka Han Ti Ong menjadi merah dan dia mengeluarkan seruan itu untuk menutupi rasa malunya. Mana bisa dia disebut budiman kalau mengubur mayat-mayat itu bukan terjadi atas kehendaknya, melainkan dia "terpaksa" oleh muridnya?
"Kalau aku tidak salah lihat, mereka ini adalah pendekar-pendekar gagah. Sungguh kematian yang menyedihkan dan entah siapa yang dapat membunuh mereka. Mereka kelihatan bukan orang-orang sembarangan yang mudah dibunuh. Mari kita pergi, Sin Liong!"
Kembali murid itu dikempitnya dan Pangeran Sakti itu menggunakan ilmu berlari cepat seperti tadi, melanjutkan perjalanan ke timur menuruni Pegunungan Jeng-hoa-san. Tak lama kemudian, kembali Sin Liong yang dikempit(dijepit di bawah lengan) berseru, "Haiii Suhu, harap berhenti dulu...!" Han Ti Ong menjadi gemas. Akan tetapi dia berhenti juga menurunkan bocah itu dari
kempitan di bawah ketiaknya.
"Mau apa lagi kau? Awas, kalau tidak penting sekali, aku akan marah!"
"Lihat disana itu, Suhu. Tidak patutkah kita menolong orang yang sengsara itu? Siapa tahu dia juga sudah mati disana..." Tanpa menanti jawaban suhunya, Sin Liong sudah lari menghampiri sesosok tubuh yang menggeletak di bawah pohon tak jauh dari situ. Tubuh itu tidak bergerak-gerak, akan tetapi dari tempat ia berdiri, Han Ti Ong mengerti bahwa orang itu belum tewas, agaknya pingsan atau tertidur saja. Dia tersenyum dan melihat muridnya sudah menjatuhkan diri berlutut di depan orang itu. Betapa kagetnya ketika dia mendengar teriakan muridnya,
"Eihh, Suhu! Dia seeorang wanita!" Han Ti Ong terheran. Dia lalu meloncat ke arah muridnya dan melihat betapa tiba-tiba orang yang disangkanya pingsan itu sudah meloncat bangun dan langsung memukul kepala Sin Liong dengan kekuatan dahsyat. "Wuuuttt........... plakkk! Augghhh....!!" Wanita yang mukanya kotor matanya merah dan rambutnya awut awutan itu menjerit ketika pukulannya tertangkis oleh lengan Han Ti Ong yang amat kuat.
Dia terhuyung ke belakang, sejenak memandang Han Ti Ong dan Sin Liong, kemudian menangis tersedu-sedu dan bergulingan diatas tanah menangis seperti seorang anak kecil. "Jangan....aughhh, jangan....lepaskan aku....lepaskan ...! Jangan bunuh mereka...!" Sin Liong tertegun dan memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang penuh kasihan. Juga Han Ti Ong memandang dengan terharu, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang berotak miring! "Toanio(Nyonya),
kau kenapakah...? Sin Liong melangkah ke depan. Tiba-tiba wanita
itu meloncat bangun dan Han Ti Ong sudah siap melindungi muridnya yang sama sekali tidak kelihatan takut itu.

Akan tetapi wanita itu lalu tiba-tiba tertawa terkekeh. "Hi-hi-hi-hikk!" Aneh sekali, ketika wanita itu
tertawa, Han Ti Ong melihat wajah yang amat cantik manis! Wanita itu adalah seorang gadis muda yang amat
cantik, akan tetapi yang entah mengapa telah menjadi gila.

Pakaian yang dipakainya adalah pakaian pria yang terlalu besar,
rambutnya yang hitam panjang itu riap-riapan tidak diurus, mukanya kotor terkena debu dan air mata,
matanya merah dan membengkak.
"Hi-hi-hik, kubunuh engkau, Pat-jiu Kai-ong, aku bersumpah akan membunuhmu
untuk membalas kematian dua belas orang Suhengku!" Kemudian dia menangis lagi.
" Hu-hu-huuuuuh.... Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai habis terbasmi...." Han Ti Ong terkejut dan teringatlah dia akan nama Tiga Belas Orang Pendekar Bu-tong-pai yang amat terkenal sebagai tiga belas orang pendekar gagah perkasa pembela keadilan
dan kebenaran, teringat pula bahwa mereka terdiri dari dua belas pria dan seorang wanita, kalau tidak salah,
saudara termuda.

"Nona, apakah engkau orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai?" tanyanya sambil
melangkah maju menghampiri wanita gila itu.
"Jangan sentuh aku! Manusia terkutuk, jangan sentuh aku lagi!" Dan tiba-tiba wanita itu menyerang dengan hebatnya.
Han Ti Ong menangkis dan menotok. Robohlah wanita itu, roboh dalam keadaan lemas tak dapat bergerak lagi.
"Suhu, mengapa....?" Sin Liong bertanya penasaran.
"Bodoh, kalau tidak kutotok, tentu dia akan mengamuk terus. Coba kauperiksa dia, apakah kau bisa mengobatinya?"

Sin Liong berlutut dan melihat wanita itu hanya melotot tanpa mampu bergerak.
Setelah memerikasa sebentar, dia menarik napas panjang.
"Suhu, dia terkena pukulan batin yang amat berat, membuat dia menjadi begini, berubah ingatannya. Kalau kita berada di Jeng-hoa-san, kiranya dapat teecu mencarikan daun penenang utnuk mengobatinya."
"Hemm, kau lihatlah Gurumu mencoba untuk mengobatinya." Han Ti Ong megeluarkan sebatang jarum
emas dari sakunya, setelah membersihkan ujungnya dia lalu mengahampiri wanita itu dan menusukkan jarum emasnya
di tiga tempat, di tengkuk kanan kiri dan ubun-ubun!
Sin Liong memandang dengan mata terbelalak.

Dia sudah mendengar dari ayahnya tentang kepandaian orang mengobati dengan tusukan jarum, akan tetapi sekarang dia
menyaksikannya. Dan wanita itu baru mengeluh lalu tertidur dengan pernapasan yang panjang dan tenang.
Ketika gurunya mencabut jarum dan menyimpannya, gurunya berkata, "Coba kau periksa lagi matanya, apakah sudah ada
perubahan?" Sin Liong membuka pelupuk mata dan meihat bahwa mata wanita itu yang tadinya mengeluarkan sinar
aneh yang liar, kini telah normal kembali.

Dia cepat menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suhunya. "Suhu, teecu seperti buta, tidak tahu bahwa Suhu adalah seorang ahli pengobatan pula."
"Hemm, dalam hal mengenal tetumbuhan obat, mana aku mampu menandingimu? Akan tetapi aku mempunyai kepandaian menusuk jarum, kepandaian turunan yang tentu kelak akan kuajarkan kepadamu."
"Suhu, teecu mengajukan sebuah permohonan, harap Suhu tidak keberatan."
"Hemm, apa lagi?" "Harap Suhu suka menolong wanita malang ini, dan membiarkan dia ikut dengan kita."
"Kau..............kau gila.......?"
"Suhu, dia belum sembuh benar. Kalau dia dibiarkan disini, lalu datang orang jahat, bagaimana?"
"Ha, kau tidak usah khawatir. Dia adalah orang termuda dari Cap-sha Sin-hiap,
ilmu kepandaiannya tinggi. Siapa berani mengganggunya?"
"Buktinya, dua belas orang suhengnya tewas dan tentu mereka itu adalah mayat-mayat yang tadi kita kubur. Agaknya yang membunuh adalah Pat-jiu Kai-ong. Selain itu, kalau dia teringat akan peristiwa itu sebelum sembuh benar, tentu dia akan kumat gilanya dan apakah Suhu tega membiarkan dia seperti itu?"

Han Ti ong memandang wajah wanita yang bukan lain adalah The Kwat Lin itu. Dia
terheran sendiri mengapa wajah yang kotor dan rambut yang kusut itu mendatangkan rasa iba yang luar biasa di
hatinya? Mengapa dia merasa tertarik dan ingin sekali menolong wanita muda ini? Apakah dia sudah "Ketularan"
watak muridnya, ataukah... ataukah...? Dia tidak berani membayangkan. Selama ini hanya isterinya seoranglah
wanita yang menarik hatinya, yang membangkitkan gairahnya, akan tetapi perempuan gila ini.. entah mengapa,
telah membuat dia tertarik dan kasihan sekali.

"Sudahlah, kau memang cerewet, dan kalau tidak kuturuti, tentu
kau rewel terus. Biar kita membawa bersama ke Pulau Es, kita lihat saja nanti bagaimana perkembangannya."

Ucapan terakhir ini seperti ditujukan kepada hatinya sendiri!
"Teecu tahu, Suhu adalah seorang yang budiman."

Dengan hati mengkel karena ucapan muridnya itu seperti ejekan kepadanya karena dia mau menolong dara ini sama
sekali bukan karena dia budiman, melainkan karena dia kasihan dan terutama sekali... tertarik hatinya,
dengan kasar dia lalu mengempit tubuh wanita itu di bawah ketiak kanannya, dan menyambar tubuh Sin Liong di bawah
ketiak kirinya dan larinya Pangeran yang sakti ini secepat terbang menuju ke pantai lautan.




Siapakah sebetulnya manusia sakti yang ditakuti oleh tujuh orang tokoh kang-ouw itu?
Siapakah Pangeran Han Ti Ong yang pada bagian dada bajunya terdapat lukisan burung Hong dan seekor Naga emas itu?
Dia adalah pangeran dari Pulau Es.
Pulau ini merupakan pulau rahasia yang hanya dikenal orang kang-ouw seperti dalam dongeng
karena tidak pernah ada orang yang berhasil menemukan pulau itu kecuali beberapa orang nelayan yang perahunya diserang badai dan mereka ini ditolong oleh manusia-manusia sakti, manusia yang menjadi penghuni Pulau Es, sebuah pulau dari es dimana
terdapat istana indah dan merupakan sebuah kerajaan kecil penuh dengan orang sakti.

Setelah ditolong dan diselamatkan, dan berhasil kembali ke daratan, para nelayan inilah yang membuat cerita seperti dongeng itu
sehingga nama sebutan Pulau Es terkenal di dunia kang-ouw.
Kerajaan di Pulau Es itu dibangun oleh seorang pangeran, ratusan tahun yang lalu.
Seorang pangeran yang amat sakti, seorang pangeran yang dianggap pemberontak
karena berani menentang kehendak kaisar, dan pangeran ini bersama keluaraganya menjadi pelariaan.
Dengan kesaktiannya, dia berhasil melarikan keluarganya ke pantai timur dan menggunakan sebuah perahu utnuk mencari tempat baru.
Tujuannya adalah ke pulau di timur
di mana dahulu sudah banyak orang-orang pandai dari daratan yang melarikan diri dan menjadi buronan karena berani menentang pemerintah, yaitu Kepulauan Jepang!

Akan tetapi dia tersesat jalan, perahunya dilanda badai hebat dan perahunya dibawa jauh ke utara sampai kemudian perahu itu
mendarat di sebuah pulau. Pulau Es!
Melihat pulau itu tersembunyi, baik sekali dijadikan tempat persembunyiannya, dan di sekitar situ terdapat pulau-pulau lain yang tanahnya cukup subur, maka pangeran pelarian ini mengambi keputusan untuk menjadikan Pulau Es sebagai tempat tinggalnya.

Dia lalu mengumpulkan orang-orang yang setia kepadanya, membawa mereka ke Pulau Es menjadi pengikut-pengikutnya.
Dibangunnya sebuah istana yang kecil namun indah di Pulau itu dan berdirilah sebuah kerajaan kecil di tempat terasing ini!
Berkat kebijaksanaan Raja Pulau Es ini, para pengikutnya dan keluarga raja hidup aman tentram dan penuh kebahagiaan di Pulau Es.

Para keluarganya hidup rukun dan para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga sehingga penghuni pulau itu berkembang biak.
Karena kesaktian rajanya, dan karena letak pulau itu yang sukar dikunjungi orang luar, maka kerajaan kecil ini tidak pernah terganggu.
Raja itu mewariskan kepandaiannya kepada keturunannya, merupakan ilmu-ilmu warisan yang hebat, dan tentu saja para pengikut mereka mendapat pula pelajaran ilmu yang tinggi.






0 komentar:

Posting Komentar