Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [10]

"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song
berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng. Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai di
mana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi di sana pun kosong.



"Eng-moi...! Di mana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari.
Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi
disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau
menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu tidak
tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada?



"Eng-moi...!!" Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil
lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi
juga mendongkol, lalu mengingat-ingat. Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya menyuruh ia
memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu,
ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak.
Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya.
Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan
baru. Tentu di sana sembunyinya. Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng di sana. Hutan
kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar
baginya untuk dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang
lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil sebatang suling bamboo dari kamarnya lalu
berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.



Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar
memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan
seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum
tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa
mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan
sejam lebih naik turun puncak!



Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu
ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah
berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah
suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga di sana
terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping
rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.



Benar seperti dugaannya, hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa
gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia
datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng
takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya. Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat
yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai
yang jernih sekali sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di dasarnya. Bu Song duduk dan mengeluarkan
sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena
bermain musik adalah sebuah di antara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup
suling. Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran mendapatkan kenyataan bahwa
bakat muridnya lebih baik daripada bakatnya sendiri dalam hal meniup suling. Maka ia lalu diajar dan sekarang
sudah pandai mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula bermain tioki (catur),
membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Pendeknya, suhunya ingin menurunkan semua kepandaian bun
(sastra) kepadanya. Semua kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song!



Begitu lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan menari-nari di
angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga, menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan ujung
rumput hijau. Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan pohon-pohon cemara
bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi suara suling yang merdu. Jengkerik dan
belalang yang biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan hasrat hati ikut
bernyanyi seirama dengan suara suling.



Bu Song yang tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu ini
tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh menangis menanti datangnya hujan yang tak
kunjung tiba, menanti tetesnya embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai
pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh perasaan, sehingga menggetarkan rasa
dalam hatinya terhadap gadis itu.



Bu Song tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling, tampak
berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai pakaian putih tanda berkabung. Dengan
hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan kelengangan yang
mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa. Ia segera menoleh dan melihat Eng Eng sudah
berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya, menundukkan muka seakan-akan gadis
itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada di situ, seakan-akan sedang menikmati pemandangan batu
beraneka warna di dasar air jernih.



Bu Song tersenyum dan merasa heran mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar pengertian
bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah merubah suasana menjadi sama sekali berbeda
dengan biasanya. Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang, lalu berhenti
dekat punggung gadis itu.



"Eng-moi..." panggilnya lirih. Kedua pundaknya bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak
menjawab, juga tidak menoleh, mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang
ujung kakinya sendiri.



"Eng-moi..." Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu lalu tertawa karena mengira
gadis itu masih saja mempermainkannya. Akan tetapi Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada
mukanya.



Bu Song terheran. Ada apalagi gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah Eng Eng
bersikap seperti ini.



"Eng-moi, kau kenapa...?" Ia bertanya kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu membalikkan tubuh gadis itu
supaya menghadapinya. Eng Eng menurut saja dan tubuhnya, membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan
di depan mukanya yang menunduk.



Bu Song makin terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan pundak yang gemetar seperti
seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah
sekali, merah sampai ke telinga dan leher. Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba ia berpikir.
Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan baru sekarang ternyata olehnya betapa
indahnya bentuk jari-jari itu halus meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan
tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu? "Eng-moi, sepulangku dari dusun, setengah mati aku
mencarimu. Setelah kudapatkan kau di sini, mengapa kau menutupi mukamu? Eng-moi, kaupandanglah aku..."



Perlahan Bu Song memegang kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih menunduk dan
merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum. "Moi-moi kaupandanglah aku, mengapa kau tidak berani
memandangku?"



"Kau... kenapa, Moi-moi...?" tanyanya, heran dan mulai gelisah. Eng Eng dapat menangkap kegelisahan dari suara
Bu Song, jawabnya tanpa mengangkat muka, "... aku... malu, Song-ko..." "Malu? Malu kepada siapa dan karena
siapa dan karena apa?"



Perlahan Eng Eng kembali mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song, dan menggigit bibir, lalu berkata
setelah menekan rasa malu di hatinya, "Tadi Ayah telah berangkat pergi dan dia bilang... dia bilang... bahwa
aku dan engkau... ahh...!" Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia kembali
menunduk.



Bu Song memegang lagi kedua tangan Eng Eng, tertawa dan berkata, "Tentang perjodohan kita...?"



Eng Eng mengangguk, lalu berkata lirih, "Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti kedatanganmu,
aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari sembunyi..."



"Ha-ha, lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?" Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng. Jari-jari mereka
saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari tangan Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi
usaha melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh.



"Mengapa malu?" Bu Song mengulang. Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu
cemberut dan berkata galak, "Ahh... malu ya malu....!" Lalu membuang muka.



"Eng-moi, setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak bahagiakah perasaanmu
seperti yang kurasakan?"



Mendengar suara Bu Song menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan Bu Song.
Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu pandang, seakan-akan saling menjenguk isi hati masing-masing,
dari jari tangan mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati, kemudian Eng Eng menunduk perlahan,
mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang bidang!



Bu Song mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke dalam
dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian pula Eng
Eng. Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal. Mereka tidak bicara lagi, terayun
dalam gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di angkasa, dibuai mimpi indah. Mereka tidak
bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai
jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu mereka saling pandang penuh
kemesraan.



"Eng-moi..." akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng berbeda dari biasanya.
Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra, terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri
menjadi terharu dan membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil, kita sudah saling
mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta
kasih kita dapat berlangsung selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa
ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu, kita dijodohkan! Alangkah bahagia hatiku, Eng-moi, dan
aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan."



Eng Eng tersenyum penuh kebahagiaan. "Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian, Moi-moi! Doakan
saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus ujian, kita... kita..." "Bagaimana...?" Eng Eng
mendesak tak sabar. "Kita lalu kawin!"



"Ihh...!" Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata yang nakal. Bu Song
hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.



"Song-koko, kemarin dulu itu..." "Ya...?" "Ketika kau.. kau menciumku..." "Ya, mengapa...?" "Kau sudah tahu
tentang... tentang perjodohan kita?"



Bu Song tertawa menggoda. "Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa? Kau marah-marah karena kucium
hidungmu, sekarang pun aku akan..."



"Tidak! Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat bangun dan memegang tangan
Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh, Song-koko!"



"Mengapa tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan berseri-seri segar
bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah sejak kecil sering engkau kucium?"



"Lain dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang..."



"Sekarang bagaimana?"



"Sekarang kita... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!"



Bu Song juga tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi tangan itu.
"Engkau benar, Moi-moi. Aku tadipun hanya bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapapun besar cinta kasihku
kepadamu, aku akan menahan diri. Aku cukup menghormatmu, aku menghargaimu dan aku tidak akan merusak
kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku lupa..."



"Ihh, dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang kaulakukan di
dusun tadi."



Mereka duduk di atas batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang burung
rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah berhasil menolong anak burung itu dan
memuji-muji burung besar, gagah dan indah itu.



Eng Eng girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan gembira. "Wah burung yang
hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Heiiii! Di sana itu, bukankah itu hektiauw (rajawali hitam)?"
Tiba-tiba Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas.



Bu Song cepat memandang dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam itu
terbang melayang-layang amat gagahnya, biarpun karena jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda dengan
burung-burung lain. Eng Eng saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat
berdiri dan berkata, "Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat
sekali.



"Eh, Eng-moi, tunggu...!" Bu Song juga meloncat dan lari mengejar akan tetapi ternyata gadis itu larinya cepat
bukan main. Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu gin-kang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera
tertinggal jauh. Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi
khawatir sekali dan berteriak-teriak, "Eng-moi...! Jangan ke sana...! Puncak itu terlarang bagi kita..."



Akan tetapi Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke arah
puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi karena amat
berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia tidak
melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andaikata benar-benar ada bahaya, ia takut apa?
Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat indah! Maka tanpa mempedulikan
peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isarat dengan tangan supaya pemuda itu mengikutinya
dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung.



Hati Bu Song penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula bahwa tidaklah
percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api. Suhunya seorang sakti yang bijaksana, kalau
melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia menjadi
khawatir sekali. Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng. Bagaimana ia dapat mencegah dan
melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang
amat cepat larinya itu. Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan yang pohonnya
besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat keadaan hutan agak gelap.



"Eng-moi, tunggu...!" Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat bayangan Eng Eng lenyap ke
dalam hutan. "Song-ko, mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.



Bu Song sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan agar jangan
sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan
bingung. Hutan itu selain besar dan agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena pohon-pohon besar itu
berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak bayangan Eng Eng!



"Eng-moi, di mana kau...??" teriaknya keras. Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya sendiri yang menjawab
dari semua penjuru! Tiba-tiba ia mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking
kaget dan ngeri melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali bergantungan di atas
pohon, kepala ular itu bergantung ke bawah dan mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan
bengis. Agaknya binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan tubuh menggigil Bu
Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih dalam lagi.



"Eng-moi...!!" Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan mana gadis itu lari.



"Song-ko...!!" Tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur sebelah dalam hutan
itu. Bu Song terkejut, dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu, tidak peduli
lagi akan kelelahan kakinya sambil memanggil-manggil nama Eng Eng. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar
menjawabnya lagi dan selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak
terdengar jerit suara Eng Eng. Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat lari ke jurusan
itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu karang yang runcing dan
bertumpuk-tumpuk.



Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan seekor
binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada yang robek,
bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang. Gadis itu kelihatan
lemah dan lelah. Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah, Bu Song dapat
menduga bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan
dua di antara mereka, akan tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak. Bukan
main kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan tidak dirasainya.



"Eng-moi....!" Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia sama sekali tidak
pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan yang baik dalam pertandingan. Pada saat itu, Eng
Eng sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram dan menggigit. Sial baginya,
kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya terguling roboh!



Bu Song melompat dan memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng Eng. Akan
tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah
sehingga Bu Song yang memukul dengan seluruh tenaganya, terhuyung ke depan dan pada saat itu tengkuknya dipukul
keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar serta berat. Bu Song merasa pandang
matanya gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil
membalikkan tubuh. Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di pundak kiri dan melihat
keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking merasa ngeri dan takut, gadis itu telah
pingsan.



"Binatang jahat, lepaskan dia!" Bu Song dengan marah dan nekat mengejar dan menyerbu dari belakang, berniat
hendak merampas tubuh Eng Eng. Biarpun gerakan Bu Song kaku, namun pemuda ini pada dasarnya memiliki tenaga
yang besar dan kuat. Sayang ia tak pernah belajar silat maka terjangannya itupun kurang cepat dan biasa saja
sehingga kembali binatang yang gesit itu mudah saja mengelak, bahkan kaki kanannya yang berkuku panjang itu
berhasil mendupak dada Bu Song. Kuku jari kaki yang panjang itu merobek baju dan tendangannya cukup keras
membuat tubuh Bu Song terguling-guling ke belakang. Namun Bu Song bertubuh kuat dan cepat ia sudah bangkit lagi
meloncat ke depan dan menubruk dengan nekat. Ia berhasil menangkap pundak kanan monyet besar itu dan langsung
menjempit lehernya dalam usahanya mencegah Si Monyet melarikan Eng Eng.



Monyet itu menggereng, meronta, namun aneh sekali, tanpa disadari oleh Bu Song sendiri, tenaganya terlalu besar
untuk monyet itu yang tak mampu bergerak dalam jepitannya. Di luar kesadarannya, dalam keadaan penuh
kekhawatiran dan kemarahan itu, tenaga sakti dalam tubuhnya yang memang telah terkumpul berkat latihan
pernapasan dan siulian, kini bergerak tersalur ke lengannya sehingga jepitannya amat kuat.



Sayang sekali bahwa Bu Song tak pernah mempelajari teori ilmu berkelahi maka ia tidak dapat melanjutkan
perkembangannya. Kalau ia dapat sedikit saja bermain silat, tentu ia telah berhasil merobohkan binatang itu dan
merampas Eng Eng. Kini dengan bingung ia hanya menarik-narik lengan Eng Eng dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya tetap menjepit leher monyet besar.



Sebaliknya binatang itu adalah binatang yang mengandalkan hidupnya dengan kekerasan dan perkelahian. Maklum ia
tidak dapat melepaskan diri dari jepitan yang amat kuat dan maklum pula bahwa lawannya ingin merampas wanita
dalam panggulannya, ia sengaja melepaskan tubuh Eng Eng. Bu Song terkejut karena tiba-tiba tubuh Eng Eng dapat
ia tarik sehingga hampir terbanting jatuh. Terpaksa ia melepaskan jepitan pada leher dan menerima tubuh Eng
Eng. Siapa kira, monyet itu cerdik dan cepat sekali. Begitu lehernya dilepaskan, monyet itu membalik dan
tiba-tiba Bu Song terpelanting karena perutnya dihantam sekerasnya dan di lain saat ketika tubuhnya
terpelanting, Eng Eng telah berhasil diserobot kembali dan dipanggul terus dibawa lari.



"Binatang jahat, hendak lari ke mana kau?" Bu Song sudah bangkit lagi dan mengejar. Monyet itu ketakutan.
Agaknya ia tahu bahwa lawannya amat kuat, dihantam sedemikian kerasnya tidak mampus bahkan mengejar lagi. Cepat
monyet itu melompat-lompat dari batu ke batu naik ke puncak. Puncak Api yang menakutkan. Sebagai seorang
manusia, Bu Song yang tidak terlatih tentu saja payah mengejar seekor monyet yang mengambil jalan pendakian
yang amat sukar itu. namun Bu Song tidak gentar dan terus mengejar, walaupun ia mulai tertinggal jauh. Bukan
main sukarnya perjalanan ke puncak, amat curam dan sekali saja kaki terpeleset, tentu tubuhnya akan melayang ke
bawah ratusan meter dalamnya dan akan terbanting hancur di atas batu-batu karang di sebelah bawah. Kalau saja
ia tidak sedang marah dan gelisah memikirkan nasib Eng Eng, agaknya biar Bu Song seorang pemberani pun akan
ngeri kalau melihat ke bawah. Ia mengejar terus dan hanya beberapa belas meter lagi monyet itu tentu akan
mencapai puncak.



"Binatang jahat, lepaskan dia...!" berkali-kali Bu Song berseru marah dan mempercepat pengejarannya.



Tiba-tiba terdengar kelepak sayap dan tampaklah tubuh burung rajawali hitam yang besar itu menyambar turun.
Melihat burung itu, Bu Song cepat berseru, "Hek-tiauw-ko (Saudara Rajawali Hitam), tolonglah Eng Eng. Hajar
monyet busuk itu!"



Aneh sekali. burung itu agaknya mengenal Bu Song yang telah menolong anaknya dan agaknya mengerti pula bahwa
monyet itu musuh Bu Song. Ia menyambar ke bawah dan dengan kuku-kuku yang runcing mengerikan ia mencengkeram ke
arah kepala monyet yang memanggul tubuh Eng Eng! Namun monyet itupun bukan binatang sembarangan. Dengan geram
marah monyet itu menggerakkan tangan kanannya menghantam. Burung rajawali menggerakkan sayapnya dan tubuhnya
mumbul sedikit, mengelak hantaman monyet, kemudian mencengkeram lengan kanan monyet itu.



"Ceppp... kraakkkk!" Sekali kedua kaki rajawali bergerak, lengan monyet itu hancur, daging kulitnya
robek-robek, tulangnya patah-patah! Monyet itu memekik keras dan karena ia menggunakan tangan kirinya untuk
menghadapi lawan yang kuat itu, tanpa terasa lagi ia melemparkan tubuh Eng Eng dari pundaknya. Untung Bu Song
sudah tiba di situ dan cepat pemuda ini menubruk Eng Eng dan mencegah tubuh gadis itu terguling ke dalam
jurang. Karena tempat di situ amat berbahaya dan satu-satunya tempat yang agaknya dapat dipakai merawat Eng Eng
yang masih pingsan hanya di puncak yang tinggal beberapa meter lagi, Bu Song memanggul tubuh Eng Eng dan
merayap naik sambil jalan memutar, menjauhi tempat pertempuran.



Agaknya pekik monyet tadi telah menarik datang kawan-kawannya karena dari atas puncak itu berloncatan banyak
sekali monyet besar-besar seperti yang menculik Eng Eng. Namun monyet pertama begitu memekik, kepalanya sudah
hancur dicengkeram rajawali hitam, dan begitu monyet-monyet itu datang menyerbu, terjadilah pertandingan yang
amat hebat dan menarik. Monyet-monyet itu liar dan ganas dan agaknya andaikata rajawali hitam tidak pandai
terbang, tentu ia takkan sanggup menghadapi monyet yang puluhan banyaknya itu. Namun rajawali hitam adalah
seekor burung raksasa, dikeroyok puluhan ekor monyet itu ia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan kelihatan
gembira sekali. sambil mengeluarkan suara menantang-nantang, burung itu terbang mengitari tempat itu dan
sekali-kali menyambar ke bawah merobohkan seekor monyet. Monyet-monyet itu memekik-mekik marah, berjingkrakan
dan ada pula yang menyambitnya dengan batu. Hiruk-pikuk di bawah puncak itu, ramai sekali pertandingan antara
rajawali hitam yang dikeroyok banyak monyet.



Sementara itu, Bu Song mencapai puncak. Bukan main indahnya pemandangan di puncak itu. Puncak penuh dengan
hutan pohon yang besar-besar dan berdaun merah. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa puncak ini tampak
kemerahan seperti api menyala dari jauh. Namun pada saat itu, perhatian Bu Song seluruhnya ditujukan kepada Eng
Eng sehingga ia tidak mempedulikan keindahan pemandangan, melainkan cepat-cepat ia menurunkan tubuh Eng Eng di
atas tanah.



"Eng-moi... Eng-moi..." Bu Song mengguncang-guncang pundak Eng Eng dan merasa gelisah sekali melihat gadis itu
meramkan mata dengan muka pucat.



Eng Eng merintih lirih, menggerakkan kepala ke kanan kiri dan membuka matanya perlahan. Pemandangan pertama
ketika ia membuka mata adalah hutan kemerah-merahan di depannya. Gadis ini kaget, bangkit dan merangkul Bu
Song, katanya, "Song-ko... apakah kita berada di sorga?"



Bu Song mendekap kepala itu, memeluknya dengan hati sebesar bukit. Ia mencium rambut di kepala itu dan
berbisik, "Tidak, Moi-moi. Kita masih hidup, kita diselamatkan burung hek-tiauw yang kini masih bertanding
dikeroyok banyak monyet jahat. Bagaimana, Moi-moi? Kau tidak apa-apakah? Tidak sakit-sakit tubuhmu?"



Mendengar suara penuh getaran ini terharulah hati Eng Eng. Perasaan wanitanya dapat menangkap rasa kasih sayang
yang amat besar dari pemuda ini kepadanya. Ia mengangkat muka, menggelengnya kemudian merangkul leher Bu Song.
Baru saja terlepas dari bahaya maut membuat hati kedua orang muda ini makin dekat dan saling menyayang. Kali
ini Eng Eng tidak marah ketika Bu Song menciumnya penuh kasih sayang, ciuman yang dilakukan saking girangnya
hati melihat kekasihnya selamat. Eng Eng tidak marah, malah tanpa sengaja ia mempererat rangkulannya.



Tiba-tiba Bu Song mendorong tubuh Eng Eng ke samping sambil berkata kaget, "Moi-moi, awas...!!" Matanya
terbelalak memandang ke depan. Eng Eng terkejut sekali, cepat memutar tubuh sambil melompat berdiri di samping
Bu Song yang sudah berdiri pula. Dan ia pun terbelalak kaget ketika melihat bahwa di depan mereka telah berdiri
seekor monyet berbulu merah yang besar sekali, lebih besar dari manusia! Bulu monyet ini halus dan merah,
matanya juga merah dan taringnya putih mengkilat tampak jelas karena monyet ini meringis dan matanya memandang
penuh ancaman.



Mengingat bahwa kekasihnya tidak pandai silat, Eng Eng segera maju dan berkata perlahan, "Koko, kau
sembunyilah!" Kemudian gadis ini dengan gerakan gesit sekali menerjang maju, mengirim pukulan ke arah dada
binatang itu sedangkan kakinya membuat gerakan menyapu kaki. Cepat sekali gerakan ini, namun monyet merah itu
ternyata tidak kalah gesitnya. Anehnya, gerakan monyet itu seperti gerakan orang bersilat pula ketika ia
melangkah mundur dan meloncat menghindarkan diri daripada sapuan kaki Eng Eng, bahkan sebelum kakinya turun ke
tanah, monyet itu sudah membalas dengan cengkeraman tangan yang berkuku panjang meruncing ke arah pundak Eng
Eng. Gadis ini cepat miringkan tubuhnya dan dari samping ia menendang. Puteri Kim-mo Taisu tentu saja memiliki
ilmu kepandaian yang lumayan sungguhpun ayahnya diam-diam mengakui bahwa puterinya ini tidak begitu besar
bakatnya. Tendangannya menyamping cepat sekali dan sebelum binatang yang amat gesit itu sempat mengelak, kaki
gadis itu sudah mengenai lambungnya.



"Bukkk!!" Eng Eng mengeluarkan seruan kaget. Tendangannya tadi dilakukan dengan pengerahan tenaga cukup keras,
akan tetapi ia merasa seakan-akan menendang sebuah batu besar, kakinya membalik dan terasa sakit sekali. akan
tetapi monyet besar itupun agaknya kesakitan karena ia memekik dan menjadi makin marah. Dengan gerakan cepat
dan dahsyat ia menubruk dengan kedua tangan dan kakinya seperti seekor harimau menerkam. Kembali Eng Eng
mengelak dengan menggulingkan tubuh ke atas tanah. Tubrukan luput, akan tetapi binatang itu sudah dapat
berjungkir balik dan kini menyerang dan menerjang lagi.



Tiba-tiba gerakan binatang itu terhenti karena Bu Song yang tidak tega melihat begitu saja kekasihnya berkelahi
melawan binatang liar ini, sudah melompat maju dan karena Si Monyet membelakanginya, ia telah menerkam pundak
dan leher binatang itu, terus menggumulnya dan menjepit leher binatang dengan lengan kanannya, sedangkan lengan
kirinya menjepit perut.



Binatang itu kaget dan meronta-ronta, menggereng dan kedua tangannya menangkap lengan Bu Song. Namun ia tidak
dapat melepaskan diri dari jepitan tangan Bu Song yang amat kuat. Binatang itu menggulingkan diri, mereka
bergumul, namun seperti seekor lintah menempel di kaki kerbau, Bu Song tidak dapat dilepaskan oleh monyet
raksasa yang memekik-mekik marah. Celaka bagi Bu Song adalah kuku-kuku panjang dari tangan monyet itu yang
mencengkeram lengannya. Biarpun Bu Song amat kuat, namun ia terlambat mengerahkan tenaga dalam yang di luar
pengetahuannya telah memenuhi tubuhnya itu ke arah lengan. Masih baik baginya begitu kuku-kuku itu menancap
lengan, ia mengerahkan tenaga sehingga lengannya tidak sampai terobek. Kuat sekali monyet itu, tenaganya liar
dan ganas, mereka bergulingan mendekati jurang!



"Koko, lepaskan dia...!" Eng Eng berteriak penuh kengerian melihat betapa kekasihnya bersama monyet itu
bergulingan dekat jurang yang curam. Gadis ini meloncat dekat dan mengerahkan tenaga memukul kepala monyet
raksasa. Namun kembali ia terkejut karena kepalan tangannya tidak sanggup meremukkan kepala, bahkan terasa
sakit. Namun bukan tidak ada pengaruhnya pukulan ini karena si Monyet kembali memekik kesakitan dan kedua
tangannya yang mencengkeram lengan Bu Song terlepas. Pemuda ini maklum pula akan bahayanya bergumul dekat
jurang, maka ia melepaskan jepitannya dan mendorong punggung monyet itu sambil melompat ke belakang.



Monyet itu marah sekali kepada Eng Eng yang dua kali telah memukulnya. Kini ia meloncat dan menerjang Eng Eng
dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman dahsyat, gerakannya tidak berbeda dengan ahli silat tinggi yang ahli
dalam ilmu jiauw-kang (ilmu mencengkeram). Eng Eng berusaha mengelak, akan tetapi malang baginya, rambutnya
yang tadi terlepas dan terurai panjang itu dapat tertangkap oleh tangan monyet yang terus menarik dan
mengayunnya. Tubuh Eng Eng terbawa oleh ayunan ini. Monyet itu memekik dan mengerahkan tenaga melontarkan
dan... tubuh Eng Eng tanpa dapat dicegah lagi melayang ke arah jurang yang amat curam!



"Eng-moi...!!" Bu Song menjerit penuh kengerian dan kegelisahan melihat tubuh kekasihnya melayang masuk jurang.
Ia lari ke pinggir jurang dan ketika monyet itu menerkamnya, sekali menggerakkan tangan kirinya Bu Song
berhasil membuat monyet itu terlempar! Dalam keadaan gelisah ini, secara tidak sadar Bu Song telah
mempergunakan sin-kang yang sudah mengeram dalam tubuhnya sehingga sekali sampok tangan kirinya sanggup
melemparkan monyet yang begitu kuat. Tanpa ingat akan bahaya lagi Bu Song lalu ikut meloncat ke dalam jurang
dengan tangan diulurkan untuk menolong Eng Eng. Tentu saja tubuhnya ikut pula melayang turun dengan kecepatan
seperti burung terbang.



"Eng-moi...!" Ia berseru keras sekali, seluruh perhatiannya tercekam oleh kekhawatiran akan keselamatan Eng
Eng, seujung rambut pun ia tidak ingat bahwa dia sendiri melayang-layang turun menghadapi maut yang mengerikan.



"Koko...!" Eng Eng berteriak, merupakan jeritan lemah karena gadis yang sadar akan maut yang mengancam ini
telah pingsan! Barulah kini Bu Song sadar pula akan keadaan mereka. Namun seluruh hasratnya hanya tercurah
untuk menolong dan menyelamatkan nyawa kekasihnya, maka ia lalu berteriak keras sekali, sekuat paru-parunya
mengeluarkan suara itu.



"Hek-tiauw-ko...! Tolonggg...!!" Karena tubuh Bu Song jauh lebih berat daripada tubuh Eng Eng, maka dalam
luncuran ke bawah ini ia lebih cepat menyusul tubuh Eng Eng. Dengan kemauan keras, Bu Song mengulur tangan dan
berhasil memegang lengan Eng Eng. Akan tetapi kini karena kedua tubuh mereka menjadi satu maka berat badan
menjadi bertambah dan mereka meluncur ke bawah dengan kecepatan yang mengerikan. melihat ke bawah Bu Song
merasa seakan-akan buka mereka yang meluncur ke bawah, melainkan batu-batu karang di bawah yang melayang ke
atas menuju mereka!



"Hek-tiauw-ko...!" Ia menjerit lagi dan terdengarlah bunyi kelepak sayap ketika burung rajawali hitam yang
besar itu menyambar ke arah mereka. Karena burung ini hanya mengenal Bu Song, maka agaknya hanya kepada pemuda
inilah ia mau menolong. Cepat sekali kakinya duah menyambar pundak Bu Song. Pemuda itu merasa pundaknya
tertusuk kuku, akan tetapi maklum bahwa hanya burung ini yang akan mampu menolong mereka berdua, ia cepat
menggunakan tangan kirinya merangkul ke atas dan berhasil memeluk leher burung rajawali hitam, sedangkan tangan
kanannya tetap memegang lengan Eng Eng.



Berat tubuh mereka berdua terlalu berat bagi burung rajawali yang sudah lelah dan terluka karena dikeroyok
monyet-monyet tadi. Maka betapapun ia menggerakkan sayapnya, ia tidak kuasa menahan luncuran ke bawah dan
melayang-layanglah mereka bertiga, biarpun tidak begitu pesat seperti tadi karena tertahan gerakan sayap burung
yang berusaha mengangkat mereka, namun masih terus meluncur, tak tertahankan lagi! Burung itu mengeluarkan
suara seperti orang merintih ketika mereka telah dekat sekali dengan dasar jurang, lalu burung itu mengerahkan
kaki mengangkat tubuh Bu Song ke atas sambil membalikkan tubuh sehingga tubuhyalah yang berada di bawah.



"Brukkkk...!!" Mereka terhempas ke bawah dan dunia menjadi gelap gulita bagi Bu Song yang roboh pingsan oleh
bantingan yang hebat itu.



Lama sekali Bu Song pingsan. Tubuh kedua manusia dan seekor burung itu tak bergerak sama sekali. Hanya bulu
burung yang kehitaman, ujung pakaian Bu Song dan rambut Eng Eng saja yang bergerak-gerak tertiup angin.



Ketika akhirnya Bu Song membuka matanya, ia nanar dan tidak ingat apa yang telah terjadi. Tubuhnya tak dapat
bergerak. Akan tetapi perlahan-lahan ingatannya kembali dan ia bergidik. Kiranya yang membuat ia tak dapat
bergerak adalah tubuh Eng Eng yang melintang di atas dadanya. Perlahan ia bangkit duduk, mengeluh karena
seluruh tubuhnya sakit-sakit. Akan tetapi ia tidak mempedulikan dirinya, cepat ia mengangkat tubuh atas Eng
Eng. Gadis itu tidak kelihatan terluka di luar, akan tetapi mulut, hidung dan telinganya mengucurkan darah!



"Eng-moi...!" Bu Song berseru lemah dan mengusap darah dari muka gadis itu. diguncangnya perlahan pundak Eng
Eng, namun tubuh itu lemas dan mata itu tidak terbuka. "Moi-moi..., Eng-moi...!" Bu Song memanggil-manggil dan
mengguncang-guncang, namun sia-sia. Eng Eng tetap tidak bergerak dan tidak membuka matanya.



Dia pingsan, pikir Bu Song. Harapannya timbul. Dada gadis itu yang menempel di dadanya masih berdetak biarpun
lemah, dahinya yang ia ciumi masih hangat. Eng Eng tidak mati, hanya pingsan. Tidak bisa dia mati! Ia ingat
bahwa paling baik adalah mencari air untuk mencuci darah dan untuk membasahi muka dan kepala Eng Eng agar sadar
kembali. Perlahan dan hati-hati ia meletakkan tubuh yang dipangkunya itu kembali ia bangkit berdiri,
terhuyung-huyung akan jatuh. Akan tetapi ia menguatkan diri dan tiba-tiba tampaklah olehnya tubuh rajawali
hitam menggeletak. Kepala burung itu pecah, otaknya berhamburan dan binatang itu tidak bernyawa lagi! Kiranya
ketika jatuh tadi, burung itu sengaja memasang tubuhnya di bawah dan malang baginya, kepalanya terbanting pada
batu sehingga hancur seketika. Bu Song berlutut dan mengelus-ngelus burung itu, dan titik air mata membasahi
pipi. Kemudian ia teringat kepada Eng Eng, terus berdiri lagi dan mencari air. Kebetulan tak jauh dari situ
terdapat air mancur dari lubang dalam batu karang. Segera ia menuju ke air dan karena tidak ada tempat untuk
mengambil air, ia hanya menggunakan kedua tangannya, lalu cepat-cepat berjalan menghampiri Eng Eng dengan hanya
sedikit sisa air di mangkuk tangannya.



Setelah muka yang pucat itu terkena air, Eng Eng bergerak lemah dan dengan mata masih meram, bibir gadis ini
bergerak membisikkan kata-kata yang cukup jelas bagi Bu Song, "Song-koko..., Koko... aku cinta padamu..."



Bu Song merasa seakan-akan jantungnya diremas. Ia mendekap kepala gadis itu dan berbisik di telinganya. "Eng
Eng... aku berada di sini...., mati hidup aku bersamamu, Eng-moi..." Ia melihat mulut itu tersenyum, akan
tetapi matanya tetap tidak terbuka.



"Eng-moi... Eng-moi..." Namun gadis itu tidak menjawab dan Bu Song berlari lagi menuju ke air mancur. Kali ini
ia mendapatkan beberapa helai daun yang ia jadikan satu dan dengan daun-daun ini ia dapat membawa air ke
dalamnya. Gadis itu menelan air dan mengeluh perlahan, lalu membuka mata. Mereka saling pandang, mata yang sayu
dari Eng Eng bertemu pandang mata penuh harap-harap cemas dari Bu Song.



"Song-ko..." Eng Eng berkata lemah, berusaha untuk tersenyum. Bu Song segera memangku gadis itu dan gerakan ini
membuat Eng Eng merintih kesakitan.



"Bagaimana, Moi-moi? Apamu yang sakit? Kau tidak apa-apa, bukan?" pertanyaan penuh kecemasan dilontarkan
bertubi-tubi.



Eng Eng meramkan mata, keningnya berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri hebat yang ditahan-tahannya,
kemudian ia membuka lagi matanya dan kini bulu matanya basah. "koko... tiada harapan lagi..."



Seakan-akan terhenti detik jantung Bu Song dan ia mereka-reka arti yang lain untuk kalimat itu. "... apa... apa
maksudmu...?"



Kembali Eng Eng meramkan mata dan ketika membukanya lagi, kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia
menggeleng kepala. "Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam...
dadaku... serasa terbakar dan akan pecah... oh..."



"Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala
dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan
khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan..."



"Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...!
Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?"



Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu
menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya, "Tentu saja, kekasihku, tentu
saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita...
menikah..."



Naik sedu sedan di dada Eng Eng dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya
kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Song-ko..." Tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "... mengapa
kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?"



"Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan
pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa
ragaku..."



"Koko..., kasihan kau..." Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan. Bu Song tak dapat menahan diri
lagi, air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya
dengan ciumannya. Air mata yang bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba
mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur darah yang masih mengalir keluar dari hidung. Bu Song
tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu.



"Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi..." "Eng-moi...! Jangan berkata begitu....
Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku..."



Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan saat
terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu
hanya dapat ia pandang dan kenang saja.



"Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di
kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu."



"Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "kau tidak akan mati! Kalau kau mati,
aku pun ingin mati di sampingmu!" Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir
turun itu memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas
terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.



Bu Song tentu saja menjadi girang sekali. "Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar air
hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup
menggendongmu ke atas. Kita pulang!"



Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat
kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.



"Kau.. kau sanggulkan rambutku....," katanya. Biarpun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya
tersendat-sendat dan sukar keluarnya, Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan
kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin. Akan tetapi




bersambung........11

0 komentar:

Posting Komentar