Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [5]

bukan orang sembarangan, ia murid seorang sakti yang bertapa di dalam gua-gua sepanjang pantai Po-hai. Semenjak
kecil Pouw Kee Lui digembleng oleh pertapa ini dan memperoleh ilmu silat yang tinggi sekali. Akan tetapi
beberapa tahun yang lalu, ia tidak dapat menahan gelora nafsunya yang memang selalu mengalahkan batinnya
sehingga ia menculik dan memperkosa seorang wanita nelayan, membunuh suami wanita itu dan beberapa orang
keluarganya yang hendak membela wanita itu. Gurunya marah sekali, akan tetapi dalam cengkeraman nafsu iblis,
Pouw Kee Lui turun tangan pula terhadap gurunya yang sudah amat tua dan lemah sehingga ia berhasil membunuh
gurunya sendiri, kemudian membunuh pula wanita itu! Peninggalan gurunya berupa kitab-kitab pelajaran ilmu
kesaktian ia ambil semua dan pergilah Pouw Kee Lui meninggalklan pantai Po-hai dengan kedua tangan berlepotan
darah pembunuhan kejam! Selama bertahun-tahun ia memperdalam ilmunya, mempelajari kitab-kitab dari suhunya,
maka kepandaiannya makin meningkat tinggi.
Dalam perantauannya, Pouw Kee Lui yang sudah menjadi hamba nafsu itu mengumbar nafsu angkara murka,
mengandalkan kepandaiannya untuk melakukan apa saja demi memuaskan dirinya. Merampok, membunuh, merampas
wanita, dan mengganggu orang-orang kang-ouw untuk mengangkat diri dan namanya sehingga dalam beberapa tahun
saja terkenallah nama Pouw Kee Lui sebagai seorang tokoh muda yang ganas dan kejam sepak terjangnya.
Pada suatu hari, yaitu tiga bulan yang lalu, sampailah Pouw Kee Lui di Kang-hu dan ia mendengar tentang
perkumpulan Khong-sim Kai-pang yang terkenal dan kuat. Dengan tertarik ia mendatangi markas perkumpulan itu dan
tercenganglah ia menyaksikan betapa kuil tua yang dijadikan pusat perkumpulan, ternyata di sebelah dalamnya
terdapat perabot-perabot rumah yang cukup lumayan dan lengkap. Tertarik pula melihat betapa kedudukan ketua
perkumpulan ini amat dihormat, baik oleh anak buah Khong-sim kai-pang yang mempunyai ratusan orang anggota,
maupun oleh para penduduk sekitar tempat itu. Bahkan pembesar-pembesar negeri memandang perkumpulan ini dengan
hormat! Maka timbullah niatnya yang bukan-bukan yaitu ingin merampas kedudukan ketua Khong-sim Kai-pang!
Dengan tenang ia mendatangi kuil di luar kota Khang-hu, dan dengan seenaknya pula ia menyatakan kepada Yu Jin
Tianglo bahwa ia ingin menjadi ketua Khong-sim Kai-pang! Tentu saja belasan orang pimpinan itu menjadi marah,
namun sekaligus mereka itu dirobohkan secara mudah oleh Pouw Kee Lui! Bahkan Yu Jin Tianglo sendiri yang tentu
saja mempertahankan kedudukan, terutama nama besarnya, dalam pertandingan yang hebat terbunuh olehnya!
Sifat-sifat baik seseorang sukar ditiru dan tidak mudah menular. Sebaliknya sifat-sifat buruk itu tanpa
diajarkan pun akan mudah ditiru dan merupakan semacam penyakit batin yang mudah menular. Setelah menyaksikan
kesaktian petualang muda itu, para pimpinan Khong-sim Kai-pang mau tak mau terpaksa tunduk, dan kemudian,
melihat sifat Pouw Kee Lui atau Kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis) yang baru ini jauh berlainan dengan
sifat dan watak Yu Jin Tianglo, para anggota perkumpulan ini menjadi gembira sekali. Nafsu mereka yang selama
berada di bawah pimpinan dan pengawasan Yu Jin Tianglo seakan-akan tertekan, kini mendapat jalan keluar dan
mulailah terjadi pelanggaran-pelanggaran oleh anak buah Khong-sim Kai-pang. Bahkan dendam yang selama ini
terpaksa disimpan saja di dalam hati terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui karena Yu Jin Tianglo malah menyalahkan anak
buahnya sendiri, kini meluap-luap dan ketika para pimpinan menceritakan kepada ketua baru itu. Pouw Kee Lui
segera mengatur rencana dan menyuruh para pimpinan yang berkepandaian cukup tinggi untuk menculik puteri Tan
Hui yang baru berusia lima tahun dari rumah paman bocah itu. Hal ini dilakukan untuk langsung pergi mencari
Hui-kiam-eng Tan Hui, ketua baru ini merasa dirinya terlalu tinggi!
Demikianlah peristiwa hebat yang terjadi pada perkumpulan Khong-sim Kai-pang dan yang tentu saja mengherankan
hati Tan Hui dan juga Lu Sian yang sudah mendengar akan kebesaran perkumpulan itu dan ketuanya, Yu Jin Tianglo.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Pouw Kee Lui melihat anak buahnya mendapat penghinaan dari Tan Hui dan
seorang wanita jelita bernama Lu Sian, malah dua orang pembantunya yang ia anggap berkepandaian cukup yang ia
utus menantang Hui-kiam-eng Tan Hui, juga menerima penghinaan pula. Ia anggap penghinaan melampaui batas dan
ketika sore hari itu ia mengambil keputusan untuk mencari sendiri Tan Hui, tiba-tiba muncullah Lu Sian yang
menerobos masuk dengan pedang di tangan dan berseru.
"Di mana adanya Yu Jin Tianglo! Aku mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui untuk mengambil kembali puterinya!"
Di dalam kuil itu para pimpinan Khong-sim Kai-pang berkumpul, malah dua orang pengemis yang telinganya buntung
dan Si Kepala Besar yang menderita luka dalam juga hadir di situ. Menyaksikan seorang wanita muda dengan pedang
di tangan yang demikian cantik jelita, sejenak Pouw Kee Lui melongo terpesona dan keheranan. Ia dapat menduga
tentu inilah teman Tan Hui yang telah membuntungi telinga pembantunya. Ia terheran-heran bagaimana ada seorang
wanita muda yang cantik jelita seperti ini mampu melakukan hal itu. Pouw Kee Lui pada hakekatnya bukanlah
seorang laki-laki mata keranjang, namun kali ini ia benar-benar terpesona dan untuk sejenak ia tidak mampu
mengeluarkan kata-kata. Namun ia tidak bodoh. Ia tahu bahwa seorang, apalagi kalau ia wanita, yang sudah berani
dengan sikap begini tabah memasuki sarang lawan, tentulah memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Kepandaian
dua orang pembantunya bukanlah rendah, dan kalau dua orang pembantunya itu setelah bertemu dengan wanita ini
pulang dalam keadaan terluka cukup hebat, terkena jarum beracun harum, telinganya buntung dan isi dadanya
terguncang dan terluka, jelas bahwa di dalam kai-pang, kiranya hanya dia seorang yang akan sanggup menandingi
wanita itu. Maka sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia bersikap hati-hati, ingin tahu lebih dulu siapa
gerangan wanita ini dan dari golongan mana.
Akan tetapi, begitu dua orang pengemis yang kalah di depan rumah makan itu melihat munculnya Lu Sian, mereka
sudah lantas memaki dan memandang dengan mata melotot. Ini cukup menjadi isyarat bagi para pimpinan pengemis
yang jumlahnya ada tujuh orang lagi. Serentak mereka itu bangkit dan mencabut senjata masing-masing. Tujuh
orang pengemis ini semua adalah pengemis tua dan yang memiliki kepandaian tinggi. Lima di antara mereka,
bersenjatakan tongkat mereka, sedangkan yang dua orang mencabut pedang.
Namun Lu Sian sama sekali tidak takut. Dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan yang memegang
pedang menudingkan ujung pedangnya ke arah tujuh orang pengemis itu, ia membentak.
"Aku tidak ada tempo untuk berurusan dengan segala macam jembel tua bangka! Suruh Yu Jin Tianglo keluar untuk
bicara denganku!"
Akan tetapi tujuh orang pengemis itu tidak ada yang menjawab atau peduli, bahkan mereka lalu membuat gerakan
mengurung nona yang cantik dan galak ini. Lu Sian menjadi gemas sekali dan ia sudah siap menerjang untuk
memberi hajaran ketika di belakangnya terdengar suara yang jelas dan nyaring.
"Nona, Yu Jin Tianglo yang kautanyakan itu sudah mati."
Kaget sekali Lu Sian mendengar hal ini. Ia memang mendengar dari dua orang pengemis bahwa para para pengemis
sudah mempunyai ketua baru, akan tetapi tidak ia sangka bahwa Yu Jin Tianglo sudah mati. Cepat ia memutar tubuh
menghadapi Si Pembicara yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui. Ia melihat sorang laki-laki berusia tiga puluh
tahun lebih, tubuhnya sedang, kumis dan jenggotnya pendek, wajahnya berkulit kasar akan tetapi tidaklah buruk
bahkan mendekati tampan. Kelihatannya orang ini lemah dan tidak mempunyai kepandaian yang tinggi, akan tetapi
sepasang matanya mencorong bagaikan mata srigala. Pakaiannya biar sederhana, namun tidak ada yang ditambal,
maka ia sama sekali tidak kelihatan seperti anggota pengemis, apalagi seperti ketua pengemis.
"Mati...?" Lu Sian ketika memutar tubuhnya berseru. "Ya, mati," kata Pouw Kee Lui dan senyum sinis muncul di
bibirnya. "Tidak kebetulan sekali, ia mati melawan aku."
Diam-diam kagetlah Lu Sian. Siapa kira, orang macam ini mampu mengalahkan bahkan membunuh Yu Jin Tianglo yang
terkenal berkepandaian tinggi? Tak masuk akal! Orang di depannya ini pantasnya seorang petani gunung, atau
paling hebat seorang pedagang obat keliling.
"Hemmmm," akhirnya ia mendengus, "kau siapakah?" Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba tujuh orang pengemis tua
sudah serentak maju menerjangnya. Terpaksa Lu Sian memutar pedangnya dan membalikkan tubuh menghadapi mereka
yang sudah mengurungnya. Ia segera menggunakan jurus Delapan Iblis Menahan Hujan dari Ilmu Silat Pat-mo
Kiam-hoat, sekaligus ia menangkis datangnya hujan senjata, bahkan sekaligus pula dapat balas menyerang!
Terdengar suara nyaring beradunya senjata dan di antara berdentingan ini Lu Sian mendengar orang itu tertawa
dan berkata dengan nada mengejek.
"Namaku Pouw Kee Lui, Nona, dan akulah sekarang Ketua Khong-sim kai-pang!"
Lu Sian marah sekali karena ia kini dapat menduga bahwa ketua baru yang kelihatan lemah itu amat curang. Tentu
tadi selagi bicara memberi perintah kepada para pembantunya untuk menyerbunya, menggunakan kesempatan selagi ia
agak jengah. Baiknya ia dapat menghindarkan diri dari serangan mendadak itu dan kemarahannya meluap-luap ketika
ia memaki, "Pengecut tengik! Kalau tidak lekas dibebaskan puteri Tan Hui, akan kubasmi habis Khong-sim Kai-pang
hari ini!"
Pouw Kee Lui memperhatikan gerakan pedang nona itu dan diam-diam ia terkejut dan heran karena ia sama sekali
tidak mengenal gerakan ilmu pedang yang mirip Pat-sian Kiam-hoat itu. Ia sudah berpengalaman dan boleh dibilang
mengenal ilmu pedang dari golongan manapun, baik dari partai bersih maupun dari golongan hitam. Akan tetapi
ilmu pedang yang dimainkan nona ini sama sekali asing baginya dan ia harus akui bahwa ilmu pedang ini hebat!
Tiba-tiba tedengar suara "wesss-wessss" beberapa kali dan.... Seorang demi seorang pengemis tua yang mengeroyok
Lu Sian, terjungkal roboh karena mereka merasa kaki mereka menjadi lumpuh secara mendadak. Lu Sian sendiri
tidak tahu mengapa mereka itu pada roboh dengan sendirinya, maka ia tidak mau mengotori pedangnya dengan lawan
yang robh bukan oleh dia. Dengan heran dia hanya menambah tendangan saja yang membuat amereka roboh mencelat
keluar dari ruangan, hiruk pikik mereka memaki dan menyatakan rasa heran.
"Ilmu siluman....!" "Dia bukan manusia!" Tujuh orang pengemis itu memaki-maki. Akan tetapi Pouw Kee Lui menjadi
kaget bukan main. Matanya mengerling kekiri dan ia melihat sebuah kantung besar, seperti karung tempat beras,
bersandar di sudut kiri ruangan itu, di belakang patung Budha. Ia tahu betul bahwa tadinya tak pernah ada
karung seperti itu. Tentu dari karung itulah datangnya hawa pukulan yang membuat para pembantunya tadi roboh,
maka ia berlaku hati-hati sekali. Gadis cantik jelita itu sudah lihai ilmu pedangnya, dan masih mempunyai
pembantu yang demikian hebat ilmu pukulannya dari jarak jauh. Ia harus membikin wanita ini tidak berdaya, baru
ia akan menghadapi tokoh aneh yang bersembunyi itu. Pouw Kee Lui memang cerdik dan juga banyak akal bulusnya.
Kini dengan wajah tersenyum dan pandang mata kagum ia melangkah maju menghampiri Lu Sian sambil menjura dan
berkata.
"Lihiap benar-benar hebat sekali, membuat orang kagum!" Akan tetapi ia menjura bukan sembarang menghormat
karena diam-diam ia menggunakan tenaga dalam untuk melancarkan pukulan yang amat kuat. Lu Sian kaget. Tentu
saja ia sudah bersiap sedia dan sudah pula menduga bahwa ketua baru Khong-sim Kai-pang ini mungkin melakukan
serangan gelap berselimut penghormatan, akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa tenaga serangan gelap
itu akan sehebat ini. Ia merasa dadanya sesak. Cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk melawan dorongan tenaga
yang tak tampak itu, dan legalah hatinya bahwa ia berhasil mendorong mundur hawa pukulan Pouw Kee Lui. Akan
tetapi pada saat keduanya bersitegang mengerahkan tenaga dan pada saat Lu Sian merasa lega karena mengira bahwa
tenaga dalamnya dapat menolak mundur lawan sehingga perasaan ini membuat ia agak lengah, tiba-tiba tangan kanan
Pouw Kee Lui menyambar ke depan dan tahu-tahu lengan kiri Lu Sian sudah kena dicengkeram!
Lu Sian terkejut bukan main, tak pernah mengira lawan ini selicik itu karena biasanya orang yang saling mengadu
tenaga lwee-kang seperti mereka itu, sama sekali tidak mengandung lain pikiran untuk melakukan serangan gelap
seperti yang dilakukan ketua pengemis ini. Dicengkram lengan kirinya, Lu Sian merasa sakit sekali, seakan-akan
dari telapak tangan kanan Pouw Kee Lui keluar api yang mengalir masuk melalui pergelangan tangannya yang
dicengkram. Ia kaget dan marah, lalu menggerakkan pedang di tangan kanannya dibacokkan ke arah muka lawan.
Namun tenaga bacokan ini berkurang karena ia merasa tangan kirinya sakit sekali. Agaknya Si Ketua Pengemis
menambah tenaga cengkeramannya. Begitu hebatnya rasa nyeri sehingga bacokan Lu Sian tidaklah sehebat yang ia
inginkan. Dengan tangan kirinya yang dibuka jari-jarinya, Pouw Kee Lui menangkis, tepat mengenai tangan kanan
Lu Sian yang memegang pedang. Begitu keras tangkisan ini sehingga terpaksa Lu Sian melepaskan pedangnya yang
meluncur ke sebelah kanannya, ke arah karung yang bersandar di sudut belakang arca! Ini saja sudah membuktikan
kehebatan tenaga dan kepandaian Pouw Kee Lui yang sekaligus sambil menangkis serangan pedang, dapat membuat
pedang lawan menyerang "karung" itu.
Tepat seperti yang diduganya, karung itu bukan benda mati Karena tiba-tiba karung itu mencelat ke atas dan
pedang Toa-hong-kiam yang menyambarnya itu terpental dan menancap pada lengan patung. Karung itu sendiri
setelah jatuh di atas lantai, membal lagi ke atas dan hinggap di atas kepala arca itu, bergoyang-goyang akan
tetapi tidak jatuh ke bawah.
Sementara itu, sejenak Lu Sian terkejut sekali oleh kelihaian ketua baru Khong-sim Kai-pang ini. Namun ia
segera mengerahkan khikang, tubuhnya merendah dan tangan kanan dengan jari terbuka menghantam pusar lawan
sambil tangan kirinya yang masih dicengkram itu di tarik keras.
Hebat sekali serangan yang bersifat ganas ini, serangan maut dengan pukulan dari ilmu silat Sin-coa-kun (Ilmu
Silat Ular Sakti) ditambah pengerahan tenaga sakti dan suara teriakan yang mengandung khi-kang. Pouw Kee Lui
juga kaget, terpaksa melepaskan pegangannya dan mencelat mundur. Lu Sian sudah menyambar pedangnya yang
menancap di lengan arca, dengan kemarahan meluap ia sudah siap lagi menghadapi lawannya yang tangguh, tangan
kirinya diam-diam mengambil segenggam Siang-tok-ciam.
Pouw Kee Lui kagum menyaksikan kepandaian Lu Sian. Akan tetapi ia tahu, bahwa menghadapi gadis jelita ini, ia
takkan kalah. Yang membuat ia ragu-ragu adalah setan karung itu, yang ia belum ketahui siapa, bahkan belum ia
ketahui apakah isinya, manusia, binatang, ataukah setan? Akan tetapi ia dapat menduga bahwa yang berada dalam
karung itu memiliki kepandaian yang amat tinggi, lebih tiggi daripada kepandaian nona ini, bahkan belum tentu
ia sendiri mampu menandinginya. Melihat munculnya tokoh rahasia ini tepat pada waktu Lu Sian datang mewakili
Tan Hui, Ketua Khong-sim Kai-pang ini menjadi curiga dan ia berlaku lebih hati-hati. Seperti biasa, Pouw Kee
Lui orangnya cerdik, dapat melihat gelagat dan tidak mau sembrono.
"Tahan dulu, Nona!" ia berseru melihat lawannya sudah siap hendak menerjangnya lagi, bahkan siap dengan
jarum-jarum rahasia di tangan kiri. Ketika ia memeriksa luka akibat jarum merah yang wangi itu, ia sudah
terheran dan menduga-duga, dari golongan mana wanita cantik yang menggunakan jarum beracun harum dan berwarna
merah.
Lu Sian juga bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa ketua baru yang masih muda ini benar-benar amat lihai, dan ia
masih belum tahu pula apakah atau siapakah adanya karung yang dapat bergerak aneh bahkan yang tidak termakan
oleh pedangnya, yang dapat mengeluarkan hawa pukulan membikin roboh para pimpinan pengemis yang mengeroyoknya
tadi dan sekarang masih bergoyang-goyang di atas kepala arca. Menghadapi seorang seperti Pouw Kee Lui, ia tidak
boleh berlaku nekat dan sembrono. Maka ia pun menahan serangannya, memandang dengan mulut, hatinya masih
mendongkol karena pergelangan tangan kirinya, masih terasa nyeri bekas cengkeraman Pouw Kee Lui yang kuat.
"Nona, terus terang saja, di antara kau dan aku tidak terdapat permusuhan apa-apa, bahkan selamanya baru kali
ini kita saling jumpa. Urusan antara kami dan Hui-kiam-eng Tan Hui adalah urusan perkumpulan yang kupimpin,
bukan urusanku pribadi, melainkan urusan Khong-sim Kai-pang. Oleh karena itu, untuk menghindarkan
kesalahpahaman, bolehkah kami bertanya, siapakah Nona yang datang mewakili Tan Hui, dari golongan mana dan apa
sebabnya mewakili Hui-kiam-eng Tan Hui yang tidak berani datang sendiri?"
Lu Sian tersenyum mengejek. Setelah ia mendapat kenyataan bahwa ketua baru ini seorang lihai, pula di situ
masih banyak terdapat pimpinan Khong-sim Kai-pang yang juga tidak boleh dipandang ringan kalau mereka maju
mengeroyok, perlu ia mempergunakan nama Beng-kauw. Maka jawabnya dengan suara lantang.
"Dari golongan mana datangku, tak perlu kusebut-sebut karena terlampau besar untuk dibandingkan dengan
perkumpulan segala macam jembel busuk. Akan tetapi kalau hendak mengetahui namaku, aku adalah Liu Lu Sian,
adapun Ayahku adalah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan..."
"Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw)...??" Pouw Kee Lui memotong cepat dan kaget. "Betul. Nah, kau mau bicara
apalagi?" Lu Sian berkata dengan suara angkuh. "Aku mendengar bahwa puteri Beng-kauwcu telah menikah dengan
Kam-goanswe...?" "Sekarang tidak lagi!" Lu Sian cepat memotong. "Nah, sekarang kau mau serahkan puteri
Hui-kiam-eng atau kita lanjutkan pertandingan?"
Pouw Kee Lui tersenyum. Tentu saja ia tidak takut menghadapi Lu Sian. Akan tetapi setelah ia mengetahui bahwa
wanita ini adalah puteri Beng-kauwcu, ini lain lagi soalnya! Tentu saja ia tidak boleh main-main dengan Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, ketua dari Beng-kauw! Tidak nanti ia mau mengorbankan diri untuk membela anak buah Khong-sim
Kai-pang, perkumpulan pengemis yang baru saja ia pimpin. Ia merebut kedudukan pangcu bukan karena ia terlalu
mencinta para pengemis.
"Ah, kiranya puteri Beng-kauwcu! Di antara kita orang segolongan, perlu apa terjadi pertengkaran tiada
artinya?"
"Kita bukan segolongan! Dan jangan kira aku datang untuk mengemis kebaikanmu. Aku bukan pengemis!"
Kembali Pouw Kee Lui tersenyum. Tidak terasa sakit hatinya karena ia sendiri pun tidak merasa sebagai pengemis
biarpun ia mengepalai perkumpulan pengemis. Akan tetapi para pimpinan Khong-sim Kai-pang melototkan mata,
karena mereka sebagai tokoh-tokoh pengemis merasa terhina.
"Biarlah kukembalikan anak Hui-kiam-eng, karena mengingat persahabatan dengan Pat-jiu Sin-ong!" Sambil berkata
demikian, Pouw Kee Lui menoleh ke arah arca dan alangkah kagetnya melihat bahwa setan karung tadi sudah tidak
berada lagi di tempat itu. Entah ke mana perginya! Ia meresa heran dan penasaran. Dengan kepandaiannya yang
tinggi, bagaimana ia sampai tidak dapat melihat perginya mehluk aneh dalam karung itu? Ia menduga bahwa tentu
karung itu terisi manusia sakti dari Beng-kauw yang terkenal dengan tokoh-tokohnya yang sakti. Ia menghela
napas. Baiknya ia berlaku hati-hati. Kalau ia sampai berlaku ceroboh dan melanjutkan permusuhan dengan wanita
ini, biarpun ia akan dapat menangkan Lu Sian, tapi tentu ia akan berhadapan dengan tokoh-tokoh Beng-kauw dan
tentu setan karung itu seorang tokoh Beng-kauw yang akan membantu Lu Sian.
Ia memberi isyarat kepada seorang anggota kai-pang yang cepat masuk ke belakang kuil itu dan tak lama kemudian
orang itu datang kembali menuntun seorang anak perempuan. Anak itu berusia lima tahun, wajahnya cantik dan
masih kecil sudah tampak sifat kegagahannya karena anak itu tidak menangis, hanya dengan sepasang matanya yang
bening memandang ke arah Lu Sian.
Lu Sian tersenyum kepada anak itu. "Anak baik, mari kau ikut aku pulang menemui Ayahmu." Akan tetapi anak itu
diam saja, bergerak maju pun tidak, hanya memandang dengan penuh pertanyaan dan ragu-ragu, agaknya tidak
percaya kepada Lu Sian. Akan tetapi ketika Lu Sian memondongnya, anak itu pun menurut saja, tidak membantah.
"Nah, sudah beres urusan kita, aku pergi Pouw-pangcu!" kata Lu Sian sambil melangkah keluar.
"Harap sampaikan hormatku kepada Beng-kauwcu!" kata Pouw Kee Lui tanpa mempedulikan sikap para pembantunya yang
kelihatan penasaran. Setelah Lu Sian pergi jauh tak tampak bayangannya lagi, barulah Pouw Kee Lui menghadapi
para pembantunya sambil berkata, suaranya keren.
"Kalian mau apa?" "Pangcu,sudah banyak anak buah kita celaka oleh wanita itu, pula, apakah kematian anak buah
kita di tangan Tan Hui harus didiamkan saja? Bukankah hal ini, biarpun kami tahu bahwa Pangcu sengaja mengalah,
akan dipandang oleh dunia kang-ouw bahwa kita telah dikalahkan oleh Tan Hui dan seorang temannya siluman
betina? Bukankah Khong-sim Kai-pang akan menjadi bahan tertawaan dan..."
"Desss!" Pouw Kee Lui mengayun tangannya dan Si Pembicara itu, seorang pengemis tua, jatuh tersungkur, giginya
yang tinggal buah itu meloncat keluar dari mulutnya yang berdarah.
"kau tua bangka tahu apakah? Kalian tidak tahu orang macam apakah aku ini sehingga mudah dikalahkan oleh Tan
Hui dan wanita itu? Akan tetapi kalian harus menggunakan akal cerdik, tidak seperti kerbau gila asal berani
menerjang saja tanpa perhitungan. Apakah kalian tidak tahu bahwa Beng-kauwcu adalah perkumpulan agama yang amat
besar dan berpengaruh, menjadi tulang punggung dari Nan-cao? Ketua Beng-kauw adalah Koksu Negara Nan-cao yang
dalam sedetik bisa mengumpulkan laksaan orang tentara! Kita Khong-sim Kai-pang sama sekali bukanlah lawan
Beng-kauw, seperti anak kijang melawan harimau! Apakah kekuatan Khong-sim Kai-pang yang dulu dipimpin oleh
seorang tua bangka lemah model Yu Jin Tianglo? Phuh, hanya dua ratusan orang! Sebelum kita menjadi besar dan
kuat, jangan bertingkah hendak menentang Beng-kauw dengan jalan mencelakai puteri ketuanya. Sungguh tolol
perbuatan begitu, berarti bunuh diri!"
Tercengang para pimpinan pengemis. Baru sekarang mereka mendengar keterangan yang begitu banyak isi dan
alasannya. Makin tertarik mereka dan kagum akan pandangan ketua baru ini yang luas.
"Kami mentaati segala perintah Pangcu. Mohon penjelasan." Kata Si Kepala Besar. Pouw Kee Lui tertawa bergelak.
"Di seluruh dunia ini, entah berapa banyaknya pengemis macam kalian yang sesungguhnya merupakan kekuatan yang
besar. Akan tetapi kalian hanya berpisah-pisah secara berkelompok, merupakan kai-pang-kai-pang yang tidak ada
artinya. Kalian lihat saja, aku akan menaklukkan semua kai-pang di seluruh negeri, dengan Khong-sim Kai-pang
menjadi golongan teratas. Setelah itu, barulah kita menjadi kuat, dengan anak buah yang puluhan ribu orang
banyaknya. Baru setelah itu, Beng-kauw dan yang lain-lain tak usah kita pandang lagi! Ha-ha-ha!"
Para pimpinan pengemis menjadi terkejut dan kagum. Memang tak pernah mereka memikirkan hal ini, dan dengan
ketua seperti Pouw-pangcu ini, agaknya niat itu bukan mimpi belaka. Dahulu ketika Yu Jin Tianglo masih menjadi
ketua mereka, perkumpulan Khong-sim Kai-pang sudah terkenal paling kuat. Apalagi Pouw-pangcu ini kepandaiannya
jauh melebihi Yu Jin Tianglo! Maka mereka lalu tunduk mendengarkan uraian Pouw Kee Lui tentang rencananya
hendak menundukkan para kai-pang, menjatuhkan ketua mereka dan kalau ada ketua kai-pang yang tidak tunduk akan
dibunuhnya.
Sementara itu, sambil memondong anak perempuan Hui-kiam-eng Tan Hui, Lu Sian berlari cepat mempergunakan
gin-kangnya menuju kembali ke dusun yang terletak tiga puluh li lebih, di mana ia meninggalkan pakaiannya di
rumah penginapan. Anak perempuan itu tidur dalam pondongannya. Menjelang tengah malam, sampailah ia di dusun
itu, terus saja ia langsung menuju ke pondok penginapan dengan niat menanti di situ sampai Tan Hui datang.
Akan tetapi pada saat itu, ia melihat banyak orang di ruangan depan penginapan. Kiranya Tan Hui baru saja
kembali setelah menyelesaikan bantuannya pada para piauwsu. Pendekar ini berhasil mengalahkan para perampok dan
merampas kembali barang-barang berharga yang menjadi tanggungan para pengawal. Dengan cepat Lu Sian menyelinap
ke tempat gelap dan berindap-indap menghampiri rumah penginapan. Ia tidak dapat melihat jelas, akan tetapi
dapat mendengar percakapan mereka. Terdengar suara seorang laki-laki yang parau, dan mudah dimengerti bahwa
laki-laki itu sedang mengomeli Tan Hui, karena ucapannya begini.
"Dasar kau yang tidak mentaati nasihat orang tua! Kalau dulu-dulu kau suka menikah lagi dengan gadis pilihanku,
tentu kau tidak akan merantau meninggalkan anakmu sehingga takkan terjadi urusan ini! Kau tahu sendiri betapa
Lian-ji (Anak Lian) amat mencinta Siok Lan, dan dia masih terhitung saudara sepupu mendiang isterimu. Tidak
akan ada wanita yang lebih tepat daripada Siok Lan untuk menjadi ibu Lian-ji..."
"Paman, harap jangan terlalu memarahi kakak Tan Hui, dia sedang menguatirkan anak Lian..." terdengar suara
wanita, suaranya menggetar penuh perasaan dan tiba-tiba Lu Sian menjadi cemburu sekali. Ketika ia mengintai, di
bawah sinar lampu tampaklah seorang laki-laki tua dan seorang gadis cantik di dalam ruangan itu, masih ada
beberapa orang lain yang berpakaian piauwsu. Adapun Tan Hui duduk menunjang dagu di atas bangku.
Setelah menarik napas panjang berkali-kali, Tan Hui akhirnya meloncat bangun dan berkata, "Aku harus
menyusulnya sekarang juga! Orang lain berusaha menolong Anakku, bagaimana aku bisa tinggal diam saja?"
"Kau terluka dan lelah, mana boleh pergi lagi menghadapi lawan tangguh? Tunggu sampai besok pagi juga belum
terlambat." Kata suara parau.
"Akan tetapi Lauw-ko, Nona Lu pergi seorang diri, dan Khong-sim Kai-pang amat berbahaya, banyak orangnya yang
pandai."
Pada saat itu, terdengar suara anak kecil berteriak. "Ayah...! Ayah...!" Dan anak perempuan yang tadi digendong
Lu Sian meronta dari pondongan lalu lari masuk.
"Lian-ji...!" Seruan ini sekaligus keluar dari mulut mereka yang berada di ruangan, disusul tangis seorang
wanita yang memeluk anak itu.
"Lian-ji! Syukur kepada Thian bahwa kau selamat, Nak..." "Bibi Lan...!" Anak itu menangis dalam pelukan gadis
cantik, sedangkan tan Hui yang sudah meloncat dekat membelai rambut kepala puterinya dengan wajah berseri.
Kemudian Tan Hui menghadap ke arah pintu dan berkata, "Adik Lu Sian, silakan masuk!"
Akan tetapi tidak ada orang yang masuk, tidak ada suara. Tan Hui terheran dan cepat meloncat keluar. Ia melihat
bayangan Lu Sian terhuyung-huyung keluar dari halaman depan.
"Adik Lu Sian...!" Tan Hui mengejar dan ia berseru kaget ketika melihat tubuh nona itu terguling roboh. Cepat
ia meloncat dekat dan memondong tubuh itu. "Kau... terluka...?" bisiknya.
Sambil merintih kesakitan Lu Sian berkata lirih. "... punggungku... terkena... jarum beracun...!" Lalu ia
menjerit dan pingsan.
Kagetlah semua orang melihat Tan Hui datang memondong tubuh seorang wanita cantik yang pingsan. "Inilah Nona Lu
Sian yang telah menolong Lian-ji dan membawanya pulang. Akan tetapi ia terluka parah, terkena racun. Lauw-ko,
harap suka menjaga dan mengantar pulang Anak Lian lebih dulu ke rumah, biar Adik Siok Lan menemaninya. Aku
harus mengantar Nona Lu Sian ini ke seorang ahli pengobatan racun, sekarang juga!"
Orang yang suaranya parau itu adalah kakak dari mendiang isteri Tan Hui. Melihat Tan Hui memondong tubuh
seorang wanita cantik seperti itu, ia mengerutkan keningnya dan berkata. "Mengapa susah-susah? Apakah tidak
lebih baik dirawat di penginapan sini lalu memanggil tabib?"
"Ah, kau tidak tahu, Lauw-ko. Luka jarum beracun amat berbahaya, dan hanya ahli-ahli saja yang dapat
mengobatinya. Sudahlah, Nona ini telah menyelamatkan anakku sampai mengorbankan diri, bagaimana aku dapat
ragu-tagu lagi untuk menolongnya? Harap Lauwko suka menjaga Lian-ji baik-baik, dan Adik Siok Lan, aku mohon
bantuanmu menemani keponakanmu." Setelah berkata demikian, sambil kedua lengan memondong tubuh Lu Sian yang
lemas. Tan Hui berkelebat dan sebentar saja ia sudah berada di luar rumah penginapan.
"Tan-taihiap, sekali lagi kami menghaturkan terima kasih atas bantuanmu dan maafkan kami yang tidak mampu balas
menolong Tai-hiap yang menghadapi kesukaran." Seorang diantara para piauwsu itu berteriak, namun Tan Hui tidak
mempedulikan mereka, dengan kecepatan luar biasa ia telah menggunakan gin-kangnya untuk berlari cepat
meninggalkan dusun itu. Setengah malam penuh ia berlari cepat, bahkan pada keesokan harinya ia masih kelihatan
berlari-lari cepat keluar masuk hutan dan dusun. Setelah matahari naik tinggi, Tan Hui memasuki sebuah dusun
yang sunyi dan tiba-tiba ia mendengar Lu Sian mengeluh dan Tan Hui girang sekali karena tadinya ia merasa
kuatir melihat Lu Sian tidak pernah bergerak dalam pondongannya, dan wajahnya pucat.
"Bagaimana, Sian-moi? Sakit sekalikah?" Ia berhenti sambil memandang wajah orang dalam pondongannya.
Lu Sian membuka mata, mengeluh lagi perlahan, lalu mengangguk. "Tan Hui Koko, kau hendak bawa aku ke manakah?"
"Di Lembah Sungai Yang-ce bagian selatan, ada seorang ahli pengobatan racun yang tinggal di kota I-kiang. Kalau
aku berlari cepat, dalam tiga hari akan sampai di sana, dan kau tentu akan tertolong."
Lu Sian menggeleng kepala sambil mengerutkan alisnya yang hitam panjag dan bagus bentuknya. "Percuma, Koko,
akan terlambat..."
Kaget sekali Tan Hui mendenagar hal ini, ia seorang ahli pedang dan ahli gin-kang, tidak banyak mengetahui
tentang senjata-senjata beracun, maka ia menjadi kaget dan gugup. "Ah... kalau begitu... bagaimana baiknya
Moi-moi?"
Sejenak Lu Sian diam saja, berpikir, lalu bertanya. "Tan Hui Koko, mengapa aku membingungkan keadaanku? Kalau
aku sampai mati pun kau tidak akan rugi apa-apa!"
"Ah, jangan kau bilang begitu, Moi-moi. Kau telah mengorbankan diri untuk menolong puteriku. Aku bersedia
mengorbankan nyawa untuk membalas budimu yang amat besar itu."
"Hemm, jadi hanya karena ingin membalas budi? Andaikata aku tidak menolong anakmu, tentu sekarang kau sudah
tinggalkan aku mati kering di pinggir jalan tanpa peduli sedikit pun, bukan?"
"Ah... eh, bagaimana pula ini? Sian-moi, jangan kau berpikiran begitu! Biarpun kita baru saja berkenalan, akan
tetapi aku... aku amat kagum dan suka kepadamu. Sudahlah, untuk apa bicara seperti ini? Sekarang yang paling
penting, bagaimana harus membebaskanmu daripada bahaya racun. Sian-moi tadi kau bilang... dalam tiga hari
terlambat. Bagaimana kau bisa bilang begitu? Apakah kau mengerti tentang pengaruh racun?"
"Aku tahu, bahkan aku mengerti bagaimana caranya mengobati luka karena jarum beracun ini. Akan tetapi aku
sangsi apakah kau sudi melakukannya untukku." "Wah, bagus!! Tentu saja aku suka menolongmu, biarpun untuk itu
aku harus korbankan apa juga. Moi-moi yang baik, lekas kaukatakan bagaimana aku dapat menyembuhkanmu!" Girang
sekali Tan Hui, hal ini dapat dirasakan oleh Lu Sian yang merasa betapa kedua lengan laki-laki gagah itu
memeluk tubuhnya makin erat. Diam-diam Lu Sian tersenyum di dalam hatinya.
"Tan-koko, tenanglah dulu. Kau ini lucu, melihat lukaku pun belum, kau sudah kebingungan tidak karuan. Lekaslah
kau cari sebuah kamar penginapan di dusun ini."
"Kurasa tidak akan ada sebuah pun rumah penginapan di dusun kecil seperti ini." Tan Hui menjawab sangsi,
memandang keadaan dusun yang sunyi itu.
"Kalau begitu, kita sewa rumah seorang petani. Nanti akan kuberi petunjuk kepadamu untuk mengobati punggungku.
Mudah-mudahan saja berhasil dan nyawaku masih belum bosan tinggal di dalam badanku."
Tan Hui girang sekali dan diam-diam ia menjawab ucapan Lu Sian. "Siapa yang akan bosan tinggal di dalam tubuh
seindah tubuhmu?" Akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu. Segera mereka bisa mendapatkan sebuah rumah
kecil yang cukup bersih, yang mereka sewa dari keluarga petani. Dengan amat hati-hati Tan Hui meletakkan tubuh
Lu Sian di atas sebuah pembaringan dalam kamar sederhana tapi cukup bersih di pondok itu.
"Aduhh...! Ah, punggungku yang terluka, kenapa kautelentangkan tubuhku...?" Lu Sian mengeluh kesakitan, membuat
Tan Hui makin bingung dan cepat-cepat ia membantu wanita itu tertelungkup.
"Lekas, Koko, lekas periksa punggungku, sebelah kiri, ah, sakit sekali rasanya. Panas, perih dan
gatal-gatal...!"
Tan Hui bingung melihat pinggang dan pinggul di depannya. "Ha... bagaiman bisa memeriksanya...?" ia tergagap
karena memang ia merasa sungkan sekali. Punggung itu tertutup baju. Memeriksa punggung berarti harus membuka
baju yang menutupnya, betapa mungkin?
"Ah, Koko, katanya kau hendak menolongku. Selagi nyawaku terancam oleh racun yang makin menghebat menjalar
masuk mendekati jantungku, kau masih memakai segala sopan santun dan sungkan-sungkan? Katakanlah, kau mau
menolongku atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau lekas pergi dan tinggalkan aku mati sendiri di sini!"
"Moi-moi kau tahu aku ingin sekali menolong..." "Kalau begitu, lekas kau buka baju di punggungku, kaurobek
saja! Lekas periksa dan ceritakan kepadaku bagaimana macamnya dan di mana letaknya."
Mendengar ucapan yang keras ini, lenyap kebingungan Tan Hui. Tangannya merenggut baju di atas punggung dan
"brettt!" baju luar berikut baju dalam yang tipis berwarna merah muda terobek oleh jari-jari tangannya yang
kuat. Sejenak ia puyeng melihat kulit punggung yang putih halus seperti salju, dengan urat-urat merah
membayang. Akan tetapi Tan Hui menggoyang kepalanya mengusir kepeningannya, dan ia berkerut kuatir melihat
tujuh batang jarum merah menancap pada punggung berkulit putih halus itu, di sebelah kiri!
"Tujuh batang jarum merah!" Katanya dengan suara menggetar melihat betapa kulit di sekitar jarum-jarum itu
mulai berwarna merah kebiruan, tanda keracunan hebat.
"Lekas cabut dan berikan jarum-jarumnya kepadaku!" karena ingin sekali menolong sedangkan dia sendiri memang
tidak mengerti tentang senjata beracun, Tan hui memenuhi permintaan ini dengan cepat. Ketika tujuh batang
jarum-jarum merah itu tercabut dan disimpan oleh Lu Sian yang memeriksa sebentar, tampak bekas tusukan
jarum-jarum itu merupakan tujuh bintik-bintik merah. Lu Sian merogoh saku mengeluarkan dua batang jarum perak,
memberikan jarum-jarum itu kepada Tan Hui.
"Tan-koko, kaucari lilin dan nyalakan lilin itu. Kemudian kaubakarlah ujung kedua jarum itu sebentar. Cepat,
Koko. Racun ini sekali memasuki jantungku, nyawaku takkan bertahan sampai dua hari lagi!"
Mendengar ini bukan main kagetnya hati Tan Hui. Ia cepat mencari dan akhirnya datang kembali ke dalam kamar
membawa lilin yang dinyalakan. Kemudian, sesuai dengan petunjuk Lu Sian, ia membakar ujung kedua jarum.
"Sekarang kautusuklah tepat di kedua jalan darah kian-ceng-hiat dengan jarum-jarum itu, Koko, diamkan sebentar
lalu kautusukkan pada jalan darah hong-hu-hiat."
Jari-jari tangan Tan Hui gemetar ketika tangannya memegangi dua jarum perak, keningnya berkerut. Bermacam
perasaan menggelora di dalam dadanya. Perasaan gelisah kalau-kalau Lu Sian takkan sembuh dan juga perasaan
tidak karuan yang ditimbulkan oleh penglihatan di depannya! Lu Sian begitu bebas! Wanita ini seakan-akan
menganggapnya bukan orang lain. Tidak sungkan-sungkan dan tidak malu-malu membuka robekan baju itu lebih besar
lagi ketika ia menyuruh Tan Hui menusuk jalan darah di bawah pangkal lengan.
Biarpun dia merasa mulai lega hatinya karena kini di sekitar bintik-bintik merah itu tidak kelihatan biru lagi,
namun setiap kali menusukkan jarum dan ujung jarinya menyentuh kulit punggung atau kulit lambung, Tan Hui
menggigil dan terpaksa meramkan kedua matanya.
"koko, kau kenapakah...?" pertanyaan dengan suara halus merdu ini membuat Tan Hui sadar. Ia membuka matanya dan
merahlah kedua pipinya ketika ia melihat betapa Lu Sian kini sudah duduk di depannya dan memandangnya dengan
sepasang mata menyatakan kemakluman hati akan keadaannya!
"Aku... aku... ah, aku, telah berdosa besar terhadapmu, Moi-moi. Betapa aku berani berlancang tangan,
menghadapimu, dalam keadaan begini."
Lu Sian meraih dan memegang lengan Tan Hui. "Aiih, mengapa kau bilang begitu? Koko, kau telah mengobatiku,
mengapa lancang? Tentang keadaan kita seperti ini, apa salahnya? Bersamamu aku tidak merasa malu. Tan Hui Koko,
bukankah... bukankah kau suka pula kepadaku seperti aku kagum dan suka kepadamu?"
Tan Hui menelan ludah. Bukan main wanita ini. Cantik jelita sukar dicari keduanya, berilmu tinggi pula.
Laki-laki mana di dunia ini yang takkan tergila-gila? Apakah dia suka kepada Lu Sian? Pertanyaan gila!
"Moi-moi, tentu saja aku suka kepadamu, aku kagum kepadamu. Akan tetapi ketahuilah, Sian-moi, aku hanya seorang
duda yang sama sekali tidak cukup berharga untukmu dan...." Tiba-tiba Lu Sian menutupkan jari-jari tangannya
yang kecil dan berkulit halus itu di depan mulut Tan hui, mencegahnya bicara lebih lanjut.
Betapapun hebatnya seseorang, sudah tentu sekali ada kelemahannya. Dan bagi pria, biasanya takkan kuat
menghadapi rayuan wanita, betapa kuat pun si pria itu. Bujuk rayu seorang wanita cantik lebih dahsyat daripada
gerak kilat ratusan anak panah atau ribuan mata pedang! Tan Hui adalah seorang pendekar yang memiliki nama
besar. Nama julukan Hui-kiam-eng bukanlah nama kosong belaka. Ia merupakan seorang pendekar penegak keadilan
dan kebenaran, penentang kejahatan, ditakuti lawan disegani kawan. Namun ia seorang laki-laki juga, malah
ditinggalkan isterinya, seorang laki-laki yang haus akan cinta kasih, yang haus akan kehadiran wanita di
dekatnya. Kalau saja ia tidak kematian isterinya, belum tentu ada wanita betapapun cantiknya akan dapat
berhasil menggodanya. Akan tetapi kini keadaannya lain. Ia kehilangan isterinya, sedang haus akan cinta.
Celakanya, ia berjumpa dengan seorang wanita seperti Lu Sian, seorang wanita yang hebat, cantik jelita, apalagi
yang sudah menolong puterinya dengan pengorbanan. Wanita muda yang bajunya robek terbuka bagian punggung sampai
hampir membuka dadanya, yang memegang tangannya, yang memandangnya dengan sinar mata mesra dan bibir tersenyum
menantang. Herankah kita kalau kemudian Tan Hui terjungkal pertahanan batinnya dan tergila-gila membiarkan diri
menjadi hamba nafsu asmara? Begitu tergila-gila pendekar ini sampai ia lupa bahwa perbuatannya ini adalah
sebuah pelanggaran besar bagi seorang satria, bagi seorang pendekar! Lupa bahwa ia telah melanggar pantangan,
melanggar susila. Lupa pula bahwa ia melanggar hukum keluarganya ketika ia berbisik-bisik menjanjikan kepada Lu
Sian untuk menurunkan ilmu gin-kang yang luar biasa dengan keluarganya!
Tan Hui, pendekar besar berjuluk Hui-kiam-eng itu telah benar-benar menjadi mabok oleh kecantikan wajah dan
keharuman tubuh Lu Sian. Mereka berdua lupa akan segala, mengejar kesenangan yang tak kunjung puas. Sampai
berpekan-pekan Tan Hui dan Lu Sian berdiam di dusun sunyi itu, setiap hari bermain-main di pinggir anak sungai
dalam hutan, bersenda-gurau, tertawa-tawa dan bermain cinta, di samping berlatih ilmu gin-kang yang diturunkan
oleh Tan Hui kepada kekasihnya. Ilmu gin-kang keturunan keluarga Tan Hui ini memang hebat dan aneh pula cara
melatihnya. Rahasia kehebatannya terletak dalam latihan pernapasan dan samadhi, cara penyaluran jalan darah di
waktu mempergunakan ilmu ini untuk bergerak atau berlari cepat. Di situlah terletak perbedaannya dengan
gin-kang dari golongan lain. Dan cara melatihnya pun istimewa, yaitu dengan bersamadhi dalam keadaan telanjang
bulat! Inilah sebabnya mengapa Tan Hui pernah menyatakan keraguannya untuk mengajarkan gin-kang, dan menyatakan
bahwa hanya orang "dalam" atau keluarga sendiri yang boleh melatihnya, karena untuk mengajar orang lain,
bagaimana mungkin dengan syarat seperti itu? Akan tetapi setelah Lu Sian si cantik jelita menjadi kekasihnya,
menjadi isteri walaupun di luar pernikahan, tentu saja syarat itu tidak menyusahkan mereka lagi.
Karena Lu Sian memang sudah memiliki ilmu silat tinggi, dan di samping ini juga amat cerdik, dalam waktu kurang
lebih dua bulan saja ia sudah berhasil menguasai ilmu gin-kang yang diturunkan oleh kekasihnya kepadanya. Ia
merasa girang sekali. Bukan hanya girang karena dapat mempelajari gin-kang yang terkenal di dunia kang-ouw
sebagai gin-kang nomor satu itu, juga ia merasa girang karena mendapat kenyataan bahwa Tan Hui adalah seorang
kekasih yang menyenangkan hatinya. Seorang kekasih yang cocok dengannya, tidak seperti bekas suaminya, Jenderal
Kam Si Ek, yang dalam segala hal ingin menonjolkan disiplin! Sudah dapat ia membayangkan berapa akan bahagia
hidupnya di samping Tan Hui, karena kekasihnya ini sudah menyanggupi untuk berdua dengan dia menjelajah di
dunia kang-ouw, mencari ilmu-ilmu yang lebih tinggi lagi dan sedapat mungkin ingin menjadi suami isteri jagoan
nomor satu di dunia! Dengan Tan Hui di sampingnya, bukan tak mungkin cita-cita ini akan tercapai
Akan tetapi, betapapun juga, manusia takkan mampu mengatur nasibnya sendiri kalau perbuatannya bertentangan
dengan prikebajikan. Mimpi yang muluk-muluk ini ternyata menghadapi kegagalan total yang menyedihkan! Pagi hari
itu, ketika pagi-pagi sekali Lu Sian mendahului kekasihnya bangun dan pergi mandi di anak sungai, kebetulan
datang serombongan orang mencari Hui-kiam-eng Tan Hui di dalam dusun. Mereka ini adalah serombongan piauwsu
terdiri dari sembilan orang. Ketika bertemu dengan Tan Hui, mereka menceritakan bahwa mereka diminta tolong
oleh kakak ipar pendekar ini untuk mencarinya sebagai pembalasan budi, tentu saja para piauwsu ini segera
mencarinya. Selain menyampaikan pesan kakak iparnya agar Tan Hui segera pulang, juga para piauwsu ini membawa
berita yang membuat Tan Hui hampir pingsan saking kagetnya. Akan tetapi pendekar ini masih mampu menekan
perasaannya dan segera ia menyuruh pergi para piauwsu itu secepatnya sambil mengirim pesan kepada kakak iparnya
bahwa ia segera pulang.
Demikianlah, ketika Lu Sian dengan wajah berseri, wajah seorang wanita dalam cinta, pulang dari anak sungai, ia
disambut oleh Tan Hui dengan muka masam. Jelas sekali bahwa Tan Hui menahan-nahan gelora amarah yang mengamuk
di hatinya. Menurutkan kata hatinya, ingin Tan Hui mengamuk, namun ia mencinta Lu Sian maka yang keluar dari
mulutnya hanyalah ucapan singkat.
"Sian-moi, sampai saat ini sajalah hubungan kita. Aku hendak pergi sekarang. Selamat tinggal!"
"Eh-eh-eh, Koko, mengapa senda-guraumu tak enak benar pagi ini?" Lu Sian menangkap lengan kekasihnya yang
hendak pergi itu. Ia masih menganggap kekasihnya bergurau.
Akan tetapi Tan Hui tidaklah bergurau. Ia merenggut lengannya yang dipegang Lu Sian secara kasar, sambil
berkata. "Aku tidak bergurau. Aku benar-benar akan pergi meninggalkanmu karena hendak menikah dengan Siok Lan,
gadis dusun yang baik!"
Tiba-tiba sepasang mata Lu Sian berkilat marah. Suaranya dingin sekali ketika ia menghadapi Tan Hui, sambil
berkata, "Hemm, begitukah? Tan Hui, katakanlah apa yang menyebabkan perubahan pada dirimu ini! Mengapa kau
marah-marah kepadaku dan seperti tiba-tiba membenciku? Apakah kesalahanku? Bukankah semalam kau masih
memperlihatkan cinta kasih yang besat terhadap diriku dan..."
"Cukup?" Tan Hui membanting kakinya dengan marah, sedangkan mukanya berubah menjadi merah.
"Jangan sebut-sebut lagi hal itu, jangan sebut-sebut lagi perbuatan biadab kita yang tak mengenal tata susila.
Perbuatan terkutuk!"
"Tan Hui, apa maksudmu? Kita saling mencinta, aku menyerahkan jiwa ragaku sebulatnya kepadamu, dan kaubilang
itu terkutuk?"
"Perbuatan jina yang terkutuk! Apa kau masih ingin memaksa aku bicara? Sudahlah, aku pergi!" Tan Hui memaksa
keluar dari pintu depan.
Akan tetapi Lu Sian meloncat dan menangkap lengannya. "Kau bicara! Kau keluarkan isi hatimu! Aku akan mati
penasaran kalau kau tidak bicara. Hayo katakanlah, mengapa kau marah-marah dan membenci padaku!"
Dengan kening berkerut dan muka keruh Tan Hui membalikkan tubuhnya. Sejenak ia menunduk dan menarik napas
panjang, lalu terdengar ia satu kali terisak. "Setiap kali aku menanyakan riwayatmu, kau selalu mengelak.
Kiranya kau menyembunyikan rahasia dan aku menjadi barang permainanmu. Liu Lu Sian! Setelah kau menipuku,
mewarisi gin-kang dan menyeretku ke dalam hubungan jina karena kau adalah isteri dari seorang Jederal Kam Si
Ek, apakah kau sekarang masih tidak mau melepaskan aku?" Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara pahit
sekali oleh Tan Hui, tajam seperti pedang menusuk dada Lu Sian.
"Hemm, kiranya kau sudah tahu bahwa aku puteri Beng-kauwcu dan bekas isteri Kam-goanswe? Bekas isteri, kataku,
karena aku sudah meninggalkannya. Tan Hui Koko, semalam kau masih bersikap baik, mengapa pagi-pagi ini kau
berubah? Sejak kapankah kauketahui rahasiaku itu?"
"Tadi para piauwsu datang menyampaikan panggilan Lauw-ko dan mereka itu mendengar dari para pengemis Khong-sim
Kai-pang tentang kau...."
"Uh-uh, begitukah? Koko berkali-kali kau bersumpah menyatakan cinta kasihmu. Apakah hal itu akan mudah
kaulempar begitu saja? Apakah kau sama saja seperti lelaki-lelaki isi sampah yang bersumpah palsu, seperti
kumbang yang terbang pergi begitu saja setelah menghisap madu dari kembang? Apakah kau seorang laki-laki begitu
rendah ahlak?"
Tan Hui marah. "Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku.
Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam
SI Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah merupakan perbuatanku yang
biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian
memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini? Bagaimanakah
kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki
lain hanya untuk mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta kepadamu, namun
aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar
tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina macam engkau!"
Tan Hui meloncat jauh ke depan. Terdengar pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah
menyambar ke arah Tan Hui, disusul bentakannya, "Tan Hui, kau terlalu menghinaku!"
Mendengar sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar. Ia berhasil menangkap
sebatang di antara jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Melihat jarum merah di tangannya itu. Tan Hui tertegun,
kemudian kemarahannya memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan memaki-maki.
"Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu, hanyalah akalmu saja untuk merayu aku dan
menyeret aku ke dalam jurang perjinaan, ya? Yang melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu sendiri!"
Lu Sian tersenyum mengejek. "Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala macam akal untuk memperoleh
cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi
kiranya kau hanya seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan suara hati dan
perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"
"Dan aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..." saking marahnya Tan Hui tak dapat melanjutkan
kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.
Lu Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang muda yang semalam masih saling
peluk cium dengan kasih sayang yang semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat dan mati-matian
karena hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang mencari korban.
Julukan Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali, akan tetapi
sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah karena ia memiliki ilmu gin-kang yang hebat.
Ilmu meringankan tubuh ini membuat ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya tentu saja
menjadi amat berbahaya karena cepatnya.
Biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu Sian yang diwarisi dari
ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andaikata Lu Sian belum mempelajari gin-kang istimewa itu, agaknya
Tan Hui akan dapat mengimbanginya dengan kecepatan. Namun, kini Lu Sian telah memiliki gin-kang Coan-in-hui
(Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun dari Tan Hui sehingga biarpun dibandingkan
dengan Tan Hui gin-kangnya masih kalah sedikit karena membuat ilmu pedangnya Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya
menjadi beberapa kali lipat dahsyatnya.
Lu Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat disangkal pula bahwa semenjak
meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta Tan Hui
dan agaknya akan bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi perselisihan di pagi hari
itu. Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap membenci dan menghina, maka ia pun memaksa
perasaannya untuk balas membenci, dan menganggap Tan Hui seorang musuh yang harus dibasmi.
Pertandingan berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu, diseling bersiutnya
pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan. Setelah berjalan seratus jurus mulailah Tan Hui
terdesak. Ilmu pedang yang dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung gerakan-gerakan yang curang. Di
samping kalah tinggi ilmu pedangnya, juga di dalam hatinya, Tan Hui tidaklah sebulat Lu Sian untuk membunuh
lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah mendengar bahwa kekasihnya yang benar-benar amat
dicintanya itu adalah isteri orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena kecewa inilah, maka setelah
bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang secara sungguh-sungguh.
Berbeda dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai terdesak, ia berseru
keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar yang amat hebat. Angin menderu-deru keluar dari sinar
ini yang tadinya bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaran-lingkaran secara cepat
sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang
dimilikinya, biasanya sudah hebat sekali apalagi sekarang setelah gin-kangnya maju pesat. Maka cepatlah
gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu.
Tan Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang yang demikian
dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun kecepatan pedangnya tidak cukup untuk membendung datangnya
lingkaran-lingkaran yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja pedangnya berdenting karena bertemu
dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan kecepatan yang tak dapat disangka-sangka,
tahu-tahu sudah memasuki perut Hui-kiam-eng Tan Hui!
"Cepppp!" Hanya sedetik terjadinya hal ini Lu Sian sendiri merasa kaget, cepat-cepat mencabut pedang dan
meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak dengan mata terbelalak memandang bekas kekasihnya
yang kini menjadi musuhnya itu.
Tan Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka di perutnya sambil menekan
keras-keras namun tetap saja darahnya menetes-netes melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya pucat, akan
tetapi bibirnya tersenyum pahit.
"Tidak penasaran Hui-kiam-eng roboh di tangan puteri Beng-kauwcu, karena memang kiam-hoatmu hebat luar biasa.
Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah kunasehatkan kepadamu bahwa kalau kau melanjutkan kesukaanmu
menggoda dan menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak dimusuhi orang.
Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga hidupmu kelak akan terjamin...?"
"Cerewet! Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi kesempatan kepadamu untuk
pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"
Senyum di mulut Tan Hui berubah makin pahit. "Seorang pendekar tidak akan lari daripada maut. Lukaku memang
hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri tegak, pedangku masih di tangan. Siapa bilang aku kalah?
Baru kalah kalau pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat berdiri. Lihat
serangan!" Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat, sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena
gerakannya dalam menyerang ini mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan
tangan.
Lu Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum terluka, Tan Hui tidak mampu
menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut ujung
pedang Lu Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh bergulingan lalu diam telentang,
tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan masih memegang pedang dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat
keadaan bekas kekasihnya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan pedangnya.
"Salahmu sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..." Tan Hui menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya
terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata, "Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tapi
tak mungkin. Aku sudah jatuh... aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya pesanku... jangan kauturunkan gin-kang
kepada orang lain... dan kalau kelak anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap
kauampunkan dia..." Makin lirih suara Tan Hui akhirnya hanya terdengar bisik-bisik yang tak dapat dimengerti,
kemudian ia diam tak bergerak lagi.
Sejenak Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam hatinya. Ia seorang yang
berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan. Kemudian ia berlutut di dekat mayat Tan Hui. Setelah mati
wajah Tan Hui tampak tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam bahagia bersama pendekar
ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih. "Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"
"Celaka ia membunuh Tan-taihiap!" terdengar suara "sing-sing" dicabutnya golok dan pedang. Perlahan Lu Sian
bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu yang sudah mengurungnya, sinar matanya
berkilat-kilat, bibirnya yang merah tersenyum mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang kempis. Alamat
celakalah mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti itu, karena itu adalah tanda-tanda
daripada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui mengenalnya oleh keterangan para piauwsu, sehingga secara
tidak langsung, para piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!
Kalian piauwsu-piauwsu jahanam inilah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya aku?" suaranya terdengar
satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan mulut setengah tersenyum.
Seorang piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki. "Kau siluman betina! Kau puteri Beng-kauwcu dan sudah
menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"
"Syiuuutt, cring... crokkk!" piauwsu muda itu sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar ke arahnya.
Goloknya yang menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali dan kepalanya
terpental jauh, tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan menyemprotkan darah seperti air mancur!
Ributlah delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala penjuru. Namun Lu Sian
sudah siap sedia, dan sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam di tangannya
berkelebat laksana naga mengamuk. Kini gin-kangnya sudah maju pesat sekali sehingga gerakannya sukar diikuti
pandangan mata para piauwsu itu. Sungguhpun delapan orang itu menerjang berbareng, namun mereka masih kalah
cepat oleh Lu Sian yang seakan-akan dapat melejit dan menyelinap di antara sinar golok dan pedang para
pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang Toa-hong-kiam di tangannya merobohkan
mereka seorang demi seorang! Hanya terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar
bersiutan, kemudian yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang pengeroyok, disusul orang ke dua
ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung, perut robek, atau muka terbelah dua. Darah muncrat-muncrat dan
tubuh bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu telah roboh mandi darah di
sekeliling mayat Tan Hui! Ada diantara mereka yang tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi orang
cacat karena sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung!
Sambil tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali lalu pergi dari situ tanpa
menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi, barulah
penduduk dusun itu geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Di halaman pondok yang tadinya
dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka
berkasih-kasihan, kini pebuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan
kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi,
orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.
Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan
mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi
mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu akan
menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang
dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati,
tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki
Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!
Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya,
tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang
anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia sudah
kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa.
Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima
tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut
kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat, segalanya
ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat
mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.
Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya
adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka
hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus
tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini,
kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin
diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan hidup. Bekalnya tidak banyak, namun
sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak
malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun di setiap dusun, sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya.
Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali,
apa saja akan dikerjakannya. Tenaga anak ini memang besar dan tubuhnya juga tegap. Namun tak pernah tinggal
terlalu lama di sebuah tempat, karena ia mau bekerja hanya untuk menyambung hidupnya.
Biarpun ayah bundanya adalah jagoan silat yang jarang ditemui tandingannya, namun Bu Song yang berusia sembilan
tahun itu sama sekali tidak mengerti ilmu silat. Ia pun tidak ingin belajar silat, karen sejak kecil,
kitab-kitab filsafat dan nasihat-nasihat ayahnya membuat ia mempunyai pandangan rendah terhadap ahli silat.
Ahli silat hanya menyeretmu ke dalam pekerjaan kasar dan kotor, demikian nasihat ayahnya. Menjadi tentara,
menjadi tukang pukul, menjadi pengawal, atau menjadi perampok! Kesemuanya membutuhkan ilmu silat untuk melawan
musuh, untuk membunuh orang lain dalam permusuhan pribadi! Memang ada yang dapat mempergunakan ilmu silat untuk
menjadi pendekar dan berbakti untuk negera, membasmi musuh negara, akan tetapi berapa banyaknya? Kecil sekali
dibandingkan dengan yang menyeleweng menjadi penjahat mengandalkan kekuatan dan kepandaian silatnya.
Inilah sebabnya mengapa Bu Song sama sekali tidak bisa ilmu silat, namun ia pandai bersajak, pandai pula
menulis dan menggambar huruf hias. Karena kekerasan wataknyalah maka ia "memaksa diri" untuk membenci ilmu
silat, padahal wataknya yang keras, jujur, tubuhnya yang tegap dan tenaganya yang besar itu menunjukkan bahwa
ia memiliki bakat baik untuk menjadi pendekar, bukan menjadi seorang sastrawan!
Karena semenjak kecil ia memang hidup sebagai putera seorang pembesar yang serba cukup, maka biarpun sekarang
telah menjadi seorang "gelandangan", namun Bu Song selalu dapat menjaga dirinya agar tetap bersih dan sehat,
biarpun pakaiannya kemudian habis dijualnya untuk makan sehingga yang dimilikinya hanya yang menempel pada
tubuhnya, namun ia merawat pakaian itu dengan hati-hati, mencucinya setiap kali pakaian itu kotor. Oleh karena
inilah, Bu Song selalu tampak sehat dan bersih, tidak seperti seorang anak jembel.
Pada suatu hari dalam perantauannya tanpa arah, tibalah Bu Song di lembah Sungai Huai yang subur daerahnya. Ia
meninggalkan Kabupaten Jwee-bun dimana ia tinggal selama sebulan dan bekerja membantu seorang pemilik rumah
makan. Kini, dengan bekal sisa uang gajinya, Bu Song berangkat pagi-pagi meninggalkan Jwee-bun, terus ke timur
melalui hutan-hutan kecil sepanjang lembah sungai.
Matahari sudah naik tinggi, sinarnya menerobos celah-celah daun pohon di atas kepalanya. Angin semilir
berdendang dengan daun bunga, mengiringi nyanyian burung-burung hutan. Di sana-sini, binatang kelinci dengan
telinganya yang panjang-panjang berlompatan saling kejar dan bermain "sembunyi-cari" dengan teman-temannya di
antara rumpun. Demikian indah pemandangan, demikian merdu pendengaran, demikian nyaman perasaan pada pagi cerah
itu sehingga Bu Song lupa akan segala kesukaran yang pernah ia alami maupun yang akan ia hadapi. Anak ini
berdiri diam tak bergerak agar jangan mengagetkan kelinci-kelinci itu, menonton mereka bermain-main dengan hati
geli.
"Ha-ha-ha-ha! Akulah raja di antara segala raja! Dikawal monyet-monyet berkuda! Ha-ha-ha!"
Bu Song tersentak kaget mendengar tiba-tiba ada suara ketawa yang disambung kata-kata yang dinyanyikan itu.
Suara itu datangnya dari belakang, masih jauh sekali. Heran sekali ia, mengapa di dalam hutan sesunyi ini ada
seorang bernyanyi seaneh itu. Orang gilakah? Akan tetapi ia menjadi makin heran ketika mendengar suaran kaki
kuda, kemudian melihat munculnya lima ekor kuda besar-besar ditunggangi lima orang yang wajahnya kelihatan
bengis-bengis. Kuda terdepan yang ditunggangi oleh seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, menyeret
seorang laki-laki yang rambutnya compang-camping penuh tambalan. Laki-laki aneh inilah yang agaknya bernyanyi
tadi, karena memang keadaannya seperti orang gila. Kedua lengannya terikat dengan tali yang cukup besar dan
kuat, dan ujung tali ikatan ini dipegang oleh Si Penunggang Kuda. Si gila ini tangan kanannya memegang sebuah
paha panggang yang besar, mungkin paha angsa atau kalkun, yang digerogotinya. Biarpun kedua lengannya terikat,
ia kelihatan enak-enak saja, diseret kuda ia malah menari dan bernyanyi-nyanyi, sama sekali tidak kelihatan
takut. Terang dia gila, pikir Bu Song. Ia memperhatikan lima orang itu. Mereka kelihatan galak dan membawa
senjata tajam. Rasa iba menyesak di dadanya. Orang itu jelas gila, berarti dalam sakit. Kenapa harus disiksa
seperti itu?
Tentu saja Bu Song tidak tahu bahwa yang ia sangka gila itu adalah seorang sakti yang telah menggemparkan dunia
kang-ouw dengan perbuatannya yang hebat dalam menentang kejahatan, disertai tindakannya yang selalu edan-edanan
seperti orang tidak waras otaknya. Dan agaknya sangat boleh jadi lima orang itu juga seperti Bu Song, tidak
tahu sama sekali bahwa yang mereka tangkap itu adalah Kim-mo Taisu, pendekar sastrawan gila yang dahulu adalah
seorang sastrawan tampan dan gagah bernama Kwee Seng dan berjuluk Kim-mo eng!
Terdorong oleh rasa kasihan, Bu Song berlari menghampiri orang gila itu. "He, bocah! Mau apa kau??" Seorang di
antara para penunggang kuda itu membentak, tangannya bergerak dan cambuk di tangannya itu mengeluarkan bunyi
"tar-tar-tar" seperti mercon.
"Aku hanya ingin bicara dengan Paman ini, apa salahnya?" Bu Song menjawab dan ia nekat mendekati terus biarpun
ia diancam dengan cambuk yang panjang dan dapat berbunyi menakutkan itu.
Laki-laki gila itu dengan enaknya menggigit sepotong daging dari paha panggang yang dipegangnya, lau melirik ke
kanan memandang Bu Song, tertawa dan berkata. "Eh, bocah sinting! Kau lapar? Nih, kau boleh gigit dan makan
sepotong!" Sedapatnya ia mengelurkan tangannya yang terikat untuk memberikan paha panggang itu kepada Bu Song.
"Tidak, Paman, aku tidak lapar. Kau makanlah sendiri." Bu Song terpaksa harus maju setengah berlari untuk
mengimbangi orang gila yang terseret di belakang kuda itu. Orang gila itu terpaksa pula melangkah lebar dan
terhuyung-huyung. "Paman, kenapa kau ditawan? Apakah kesalahanmu? Dan kau hendak dibawa ke mana?"
"Bocah gila! Pergi kau! Tar-tar-tar!" Cambuk di tangan penunggang kuda yang paling belakang, melecut ke arah Bu
Song dan orang gila itu. Cambuk itu panjang dan tangan yang memegangnya biarpun kurus namun bertenaga sehingga
lecutan itu keras sekali, tepat mengenai pundak Bu Song dan leher orang gila. Akan tetapi anehnya, Bu Song sama
sekali tidak merasa sakit karena ujung cambuk itu ketika mengenai tubuhnya, terpental kembali seakan-akan
tertangkis tenaga yang tak tampak.
"Heh-heh-heh, bocah sinting, kenapa kau bertanya-tanya?" Si Gila itu berkata kepada Bu Song sambil tertawa
menggerogoti paha panggang pula.
"Aku kasihan kepadamu, paman. Biarlah kumintakan ampun untukmu..." "Hush, jangan goblok! Aku memang berdosa,
aku mencuri paha panggang ini, ha-ha-ha, dan untuk itu aku harus menerima hukuman. Biarlah aku diseret dan baru
hukum seret ini habis kalau paha ini pun habis kumakan."
"Kau masih tidak mau pergi?!" Kembali Si Penunggang Kuda mencambuk, kini ujung cambuk mengenai pipi Bu Song,
terasa sakit dan panas. Namun Bu Song memang keras hati, ia tidak mundur, dan terus berlari di sebelah Si Gila.
Kini orang gila itu memandang kepadanya dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah jalur merah di pipi yang
tercambuk. "Ha-ha-ha, bocah, kau lumayan! Kau mau tahu? Mereka ini adalah lima ekor monyet yang hendak
menangkap anjing, akan tetapi sayang kali ini mereka menangkap harimau. Ha-ha-ha-ha! Nah, pergilah kau, sampai
jumpa pula!"
Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengerti akan maksud kata-kata Si Gila itu, hanya ia dapat menduga bahwa
Si Gila ini tentu memaki para penawannya yang disebut sebagai lima ekor monyet. Menurut dugaannya, Si Gila ini
malah mengumpamakan diri sebagai harimau. Mempergunakan kata-kata bersajak mengandung sindiran yang memaki
orang!
"Cerewet, masih pura-pura gila? Bocah setan, apa kau bosan hidup?" Kembali cambuk itu melecut, mengenai kaki Bu
Song dan sekali cambuk itu digerakkan, Bu Song terlempar ke pinggir jalan, bergulingan. Kulitnya lecet-lecet,
akan tetapi Bu Song tidak pedulikan rasa sakitnya. Cepat ia bangun berdiri dan sempat melihat betapa orang gila
itu kini terseret-seret karena lima ekor kuda itu dilarikan cepat-cepat. Biarpun terseret-seret jatuh bangun
dan terhuyung-huyung, namun Si Gila itu masih tertawa-tawa dan bernyanyi dengan suara riang dan nyaring. Bu
Song berdiri bengong, penuh iba dan juga penuh kagum kepada orang gila itu.
Biarpun kelihatannya terseret-seret kuda, tentu saja sebetulnya hal itu disengaja oleh Kim-mo Taisu Kwee Seng!
Pagi hari itu, baru saja ia bangun dari tidur nyenyak di sebelah kuil bobrok di luar kota Kabupaten Jwee-bun
ketika lima orang penunggang kuda itu serentak menyergapnya. Karena tidak tahu apa urusannya, Kwee Seng tidak
melawan dan memang pada saat itu, gilanya sedang kumat. Malam tadi ia terlalu banyak minum arak yang dicurinya
dari rumah makan terbesar di kota itu, minum-minum sampai mabok dan kalau sudah begini, tentu ia teringat akan
semua pederitaannya sehingga membuat ia tertawa-tawa dan menangis seorang diri. Ketika lima orang itu
menyergapnya dan mengikat kedua lengannya dengaa tali yang khusus dipergunakan ahli-ahli silat untuk
membelenggu lawan, ia hanya tertawa-tawa dan memutar-mutar biji matanya.
Orang tinggi besar muka hitam yang memimpin rombongan lima orang itu, setelah membelenggu kedua tangannya, lalu
bertolak pinggang dan berkata, "Kami adalah murid-murid tertua dari perkumpulan Sian-kauw-bu-koan (Perkumpulan
Silat Monyet Sakti). Kami mentaati perintah Suhu menyelidiki dan mengejar penjahat yang tiga malam yang lalu
telah mengganggu rumah Suhu. Kau lah agaknya orangnya, karena kaulah orang baru yang kami temui dan jelas bahwa
kau pandai ilmu silat, hanya berpura-pura gila. Kami takkan membunuhmu sebelum kau dihadapkan kepada Suhu."
Demikianlah, Kwee Seng digusur keluar lalu mereka menunggang kuda dan menarik Kwee Seng yang dibelenggu itu
keluar dari Jwee-bun. Akan tetapi, Kwee Seng menari-nari dan bernyanyi-nyanyi.
"Akulah raja-diraja! Pengawal-pengawalku monyet-monyet berkuda!" Ia menari-nari di pinggir-pinggir jalan dan
ketika mereka lewat di depan rumah makan, kaki Kwee Seng menendang meja. Anehnya, meja itu tidak roboh, hanya
panggang paha yang berada di tempatnya telah berloncatan. Kwee Seng tertawa dan menyambar sebuah paha panggang
yang meloncat di dekatnya, terus saja digerogotinya paha panggang yang masih panas itu sambil mulutnya
mengoceh, "enak... enak, gurih sedap...!"
Pemilik warung marah-marah, bersama beberapa orang pembantunya memungut paha panggang yang berjatuhan di tanah,
kemudian mereka hendak memukuli oarng gila itu. Akan tetapi Si Muka Hitam membentak.
"Jangan sembarangan pukul tawanan kami! Nih, kerugianmu kuganti!" ia melemparkan sepotong uang perak yang
diterima oleh pemilik warung dengan girang. Arak-arakan itu kemudian menjadi tontonan, anak-anak menggoda Kwee
Seng, orang-orang tua mempercakapkan kejadian aneh itu. Menyaksikan tingkah Kwee Seng yang mencuri paha
panggang, dan melihat betapa kepala rombongan orang berkuda itu dengan baik membayar kerugian Si Tukang Warung,
otomatis semua orang berpihak kepada para penunggang kuda dan menduga bahwa orang gila itu tentulah telah
melakukan perbuatan jahat.
Kwee Seng terus diseret berlari-lari di belakang kuda sambil tetap menggerogoti daging paha. Setelah dagingnya
habis semua tinggal tulang yang juga ia gigit pecah ujungnya untuk dihisap sum-sumnya, mendadak Kwee Seng
berhenti dan berkata.
"Sudah cukup! Paha curian sudah habis, hukumanku pun habis!"
Kuda di depannya lari terus, akan tetapi penunggangnya, Si Muka Hitam yang memegangi ujung tali belenggu,
tersentak ke belakang dan jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto
sehingga ia dapat jatuh melalui ekor kuda! Ia kaget sekali, berseru keras dan tubuhnya membuat salto sehingga
ia dapat jatuh berdiri di atas tanah sambil membelalakkan matanya. Empat orang kawannya juga cepat melompat
turun dan mencabut senjata masing-masing, sikap mereka mengancam, akan tetapi juga agak jerih.
Kwee Seng menggerakkan kedua tangannya dan "bret, brett" tali yang mengikat pergelangan kedua tangannya putus
dengan mudah. Kembali lima orang itu terkejut, juga Si Tinggi Besar muka hitam sudah mencabut goloknya, siap
menghadapi tawanan yang memberontak ini.
Kwee Seng tertawa bergelak, menoleh ke kanan kiri memandang lima orang yang mengurungnya. "heh-heh, habis makan
tidak minum, sungguh tak enak sekali. Eh, sahabat-sahabat seperjalanan, siapa di antara kalian yang mempunyai
arak? Aku ingin sekali minum!"
Empat orang itu sudah gatal-gatal tangannya hendak menerjang, akan tetapi Si Muka Hitam menggeleng kepala,
menghampiri kudanya yang sudah dipegang oleh seorang temannya, mengeluarkan sebuah guci arak dan melemparkannya
kepada Kwee Seng. Kwee Seng tertawa-tawa menyambut guci arak lalu menuangkan isinya ke mulut, meneguk arak
dengan lahap sekali tak kunjung henti sampai akhirnya guci itu kosong!
"Heh-heh, arak tidak baik, tapi cukup menghilangkan dahaga!" katanya sambil mengusap mulut dengan lengan baju.
"Nah, sekarang kita bicara. Aku memang mencuri paha panggang, maka aku suka kalian hukum diseret-seret. Akan
tetapi sekarang barang curian itu sudah habis, maka sampai di sini pula hukumanku."
"Tidak perlu segala pura-pura ini!" Si Muka Hitam membentak. "Seorang gagah tidak akan menyangkal perbuatannya.
Kau jelas seorang kang-ouw yang pura-pura gila, apakah tidak malu kalau bersikap pengecut? Kaulah satu-satunya
orang yang mungkin melakukan pengacauan di rumah Suhu, oleh karena itu, kami harap supaya kau ikut baik-baik
menghadap Suhu untuk menerima pengadilan. Kalau kau berkeras menolak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan
pula!"
"Siapa guru kalian itu?" Kwee Seng bertanya tak acuh. "Suhu adalah guru silat yang mendirikan Silat Monyet
Sakti, namanya terkenal sebagai seorang yang menghargai persahabatan dan tidak pernah mengganggu golongan
lain."
"Aha! Kiranya Sin-kauw-jiu (Kepalan Monyet Sakti) Liong Keng Lo-enghiong di kota Sin-yang."
Lima orang itu cepat saling pandang dan wajah mereka berubah girang. "Hemm, kau sudah mengenal Suhu, sudah
mengacau rumahnya tiga hari yang lalu, masih berpura-pura lagi!" tegur Si Muka Hitam.
"Ha-ha-ha! Liong-lo-enghiong memang patut menjadi monyet tua sakti, akan tetapi kalian ini benar-benar monyet
buntung yang lancang sekali. Sudah kukatakan tadi, kalian hendak menangkap anjing, akan tetapi keliru menangkap
hariamau, bukankah itu amat lucu? Sudahlah , aku hendak pergi!" Setelah berkata demikian, Kwee Seng melempar
guci arak yang sudah kosong ke atas tanah, kemudian tanpa menoleh lagi ia berjalan melewati mereka dengan
lenggang seenaknya dan bernyanyi-nyanyi!
"Kalau To menyuram, dianjurkan prikebajikan!

Prikebajikan muncul tampak pula kemunafikan!

Kalau rumah tangga hancur berantakan dianjurkan kerukunan!



"Setelah negara kacau, baru timbul pahlawan!

Hayaaaaa......! Hayaaaa...!

Hayaaaaa......!!!"

Nyanyian itu adalah ayat-ayat dalam kitab To-tek-khing pelajaran Nabi Lo Cu. Kwee Seng amat tertarik oleh
pelajaran Agama To-kauw ini setelah selama tiga tahun ia berada di Neraka Bumi, di mana terkumpul banyak
kitab-kitab kuno tentang To-kauw milik nenek penghuni Neraka Bumi, dan banyak pula kitab-kitab ini dibacanya.
Agaknya pengaruh pelajaran To ini pulalah yang membuat Kwee Seng kini menjadi tak acuh akan keduniawian,
bersikap bebas lepas seperti orang tidak normal!



Adapun lima orang itu ketika melihat Si Gila seperti hendak melarikan diri, cepat lari mengejar dan
mengurungnya dengan senjata di tangan, sikap mengancam dan siap menerjang. Si Muka



Hitam yang tinggi besar berdiri menghadapi Kwee Seng sambil membentak. "Kau tidak boleh pergi sebelum ikut kami
menghadap Suhu!"



Ha-Ha-Ha, aku akan menghadap Suhumu sekarang juga!" Kwee Seng berkata sambil berjalan terus tanpa mempedulikan
mereka. Tentu saja lima orang itu tidak sudi percaya dan menyangka Kwee Seng mempergunakan siasat untuk dapat
melarikan diri. Si Muka Hitam memberi tanda dan menyerbulah mereka semua dengan golok dan pedang mereka.
Senjata-senjata itu mereka tujukan pada tempat-tempat yang tidak berbahaya, bahkan ada yang hanya dipakai
mengancam karena mereka tidak berniat membunuh Si Gila ini yang perlu dihadapkan kepada guru mereka untuk
diperiksa.



"Siuuuttt... wrr-wrr-wrrr!" Lima orang itu menjadi silau matanya melihat sinar menyilaukan mata disambung tubuh
mereka terpental ke belakang. Entah apa yang terjadi, mereka tahu-tahu sudah terlempar dan jatuh duduk
terjengkang sedangkan senjata mereka lenyap entah ke mana bersamaan pula dengan lenyapnya orang gila yang
mereka serang tadi! Mereka saling pandang dengan penuh keheranan. Mereka adalah murid-murid pilihan dari
Sin-kauw-jiu Liong Keng, jagoan Sin-yang! Bagaimana mereka dapat dengan mudah saja, dalam segebrakan dirobohkan
seorang lawan tanpa mereka ketahui bagaimana caranya?



"Eh, Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua)... lihat...!" Seorang diantara mereka berkata sambil menudingkan
telunjuknya ke belakang. Si Muka Hitam dan adik-adik seperguruannya menoleh dan ternyata golok dan pedang
mereka yang lenyap tadi telah menancap di atas tanah, di sekeliling guci arak yang kosong! Entah bagaimana bisa
menancap di situ, dan kapan terjadinya, mereka sama sekali tidak dapat menerka. Dengan penuh keheranan,
kekaguman, juga kekhawatiran karena perguruan mereka menghadapi seorang musuh yang sedemikian saktinya, mereka
bangkit, membersihkan pakaian lalu mengambi senjata dan meloncat ke atas kuda yang mereka kaburkan cepat-cepat
ke Sin-yang untuk memberi laporan kepada guru mereka.



Dengan cepat lima orang itu membalapkan kuda karena mereka amat khawatir akan keselamatan perguruan mereka.
Guru mereka harus diberi peringatan akan datangnya malapetaka dari tangan Si Jembel yang sakti itu. Lima ekor
kuda mereka sampai mandi peluh ketika akhirnya mereka memasuki Sin-yang dan cepat-cepat mereka melompat turun
di depan rumah besar yang pintu depannya terdapat tulisan Sin-kauw-bu-koan. Mereka berlima lalu lari masuk
tanpa mempedulikan pertanyaan para murid lain yang berada di depan gedung.



"Mana Suhu? Kami harus cepat-cepat menghadap Suhu!" Demikianlah ucapan mereka sambil berlari terus menuju ke
ruangan dalam.



Akan tetapi begitu mereka membuka pintu ruangan tamu, lima orang murid ini berdiri seperti patung,
membelalakkan mata karena hampir tidak percaya kepada pandang mata dan pendengaran telinga sendiri. Suhu
mereka, seorang tua berusia enam puluh tahun yang jenggotnya sudah putih semua, duduk di ruangan tamu, menjamu
seorang tamu yang tertawa-tawa bergelak sambil minum arak, menimbulkan suasana gembira sedangkan suhu mereka
juga tertawa-tawa, seorang tamu berpakaian compang-camping yang bukan lain adalah.... Jembel gila yang mereka
keroyok tadi! Orang gila itu kini menoleh ke arah mereka sambil mengangkat cawan arak dan berkata sambil
tertawa.



"Ha-ha, percayakah kalian sekarang bahwa aku akan menghadap Liong-lo-enghing (Orang Tua Gagah she Liong)?"



Lima orang murid itu masih bingung dan khawatir. Orang gila itu memang sikapnya edan-edanan, jangan-jangan suhu
mereka kena ditipu pula. Suhu mereka memang selalu ramah kepada siapapun juga, siapa tahu bahwa Si Gila inilah
mungkin orang jahat yang mengacau tiga hari yang lalu.



"Suhu... eh, dia ini..." Si Muka Hitam berkata akan tetapi segera menghentikan kata-katanya ketika melihat
sepasang mata suhunya memandang marah kepadanya.



"Hemm, apa-apaan kalian ini? Bersikap tolol terhadap tamu agung? Hayo lekas memberi hormat kepada yang
terhormat Kim-mo Taisu!"



Lima orang itu merasa seakan-akan kepala mereka disiram air es! Tentu saja mereka sudah mendengar suhu mereka
bicara dengan kagum akan seorang pendekar aneh yang menggemparkan dunia persilatan, yaitu seorang pendekar muda
yang amat sakti dan jarang dapat ditemui orang namun yang perbuatan-perbuatannya membuat namanya menjulang
tinggi di antara para pendekar lainnya, yaitu Kim-mo Taisu. Siapa kira nama besar ini dimiliki oleh seorang
jembel muda! Patutnya nama julukan Kim-mo Taisu dipakai oleh seoarang tua yang berwibawa. Kalau saja bukan suhu
mereka yang memperkenalkan, sampai mati pun mereka takkan dapat percaya. Meremang bulu tengkuk mereka menawan
dan menyeret-nyeret Kim-mo Taisu.



Serempak lima orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kwee Seng sambil berkata, "Mohon Taisu sudi
mengampuni kekurangajaran kami berlima!"



Sin-kauw Liong Keng yang sudah tua itu tercengang dan bercuriga ketika melihat murid-murid kepala ini memberi
penghormatan seperti itu kepada tamu-tamunya, maka cepat ia bertanya dengan suara keren.



"Hemm, apakah yang telah kalian perbuat terhadap dia?" Si Muka Hitam segera menjawab, suaranya penuh
penyesalan, "Suhu, teecu berlima dalam menyelidiki penjahat, telah salah duga dan kesalahan tangan menangkap
Taisu, mohon Suhu dapat mengampunkan teecu."



"Hah...?? Kalian menangkap Kim-mo Taisu? Wah celaka! Gila betul murid-muridku. Harap Taisu suka memaafkan aku
orang tua yang mempunyai murid-murid tolol." Liong Keng cepat-cepat menjura kepada Kwee Seng.



Kwee Seng tertawa dan balas menjura. "Wah, mengapa begini sungkan? Tidak aneh bila terjadi kesalahpahaman,
kalau tidak ada kejadian itu, mana aku dapat mengetahui bahwa Lo-enghiong diganggu orang?"



Liong Keng duduk kembali, mengelus jenggotnya dan wajahnya kelihatan murung. Ia menarik napas panjang lalu
memberi perintah kepada lima orang muridnya untuk bangun. Dengan taat mereka bangkit dan mengambil tempat duduk
di belakang suhu mereka. Kini pandang mata mereka terhadap Kim-mo Taisu berobah sama sekali, penuh keseganan
dan kekaguman.



"Memang murid-muridku goblok, akan tetapi dapat dimengerti juga kesalahdugaan mereka karena dia pun seorang
muda yang suka memakai pakaian jembel seperti Taisu. Dan dia lihai bukan main... hemm, ataukah agaknya aku yang
sudah terlalu tua dan tiada guna...." Kembali guru silat tua itu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan
kepalanya. Tiba-tiba ia bangkit berdiri, gerakannya cepat sekali, lalu ia menghadapi Kwee Seng sambil berkata.
"Kim-mo Taisu, aku sudah tahu sampai di mana hebatnya kepandaianmu ketika kau membantuku setahun yang lalu di
Hutan Ayam Putih membasmi perampok, coba sekarang kau uji, apakah kepandaianku sudah amat merosot?" Setelah
berkata demikian, guru silat tua itu tiba-tiba menerjang Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas bangkunya. Guru
silat tua itu memukul dengan tangan kanannya, pukulan yang antep dan ampuh, namun Kwee Seng hanya duduk
tersenyum. Ketika pukulan sudah tiba pada sasarannya, terdengar suara keras dan bangku yang diduduki Kwee Seng
tadi hancur berkeping-keping, akan tetapi pendekar sakti itu sendiri sudah tidak berada di situ! Kejadian ini
berlangsung cepat sekali, menghilangnya Kwee Seng juga amat luar biasa sehingga guru silat dan lima orang
muridnya melongo, lalu celingukan mencari-cari dengan mata mereka.



"Ha-ha, pukulan tanganmu masih ampuh sekali, Lo-enghiong!" tiba-tiba terdengar suaranya dan ketika semua orang
memandang, ternyata Kim-mo Taisu atau Kwee Seng itu telah berada di sudut ruangan, punggungnya menempel pada
sudut dinding bagian atas, seperti orang enak-enak duduk saja! Ternyata pendekar sakti itu sekaligus telah
membuktikan kehebatan gin-kangnya ketika ia "menghilang" dan juga kekuatan lwe-kangnya dengan cara menempelkan
punggung pada dinding!



Hemm, kauanggap pukulan tanganku masih cukup ampuh? Sekarang harap kau suka melihat ilmu toyaku, bagaimana?"
Cepat sekali guru silat itu tahu-tahu sudah menyambar sebatang toya, yaitu senjata tongkat atau pentung terbuat
daripada sebuah kuningan dengan ujungnya baja, sebuah senjata yang berat dan keras bukan main. Kemudian toya
itu diputar-putarnya sampai mengeluarkan angin berciutan, toyanya sendiri hilang bentuknya karena yang tampak
hanya gulungan sinar kuning yang makin lama makin berkembang lebar. Terdengar suara keras berkali-kali dan di
lain saat Si Guru Silat sudah meloncat turun, toyanya melintang di depan dada, dan ia bengong memandang ke atas
di mana tadi Kim-mo Taisu berada. Pendekar sakti itu sudah tidak berada di atas dinding itu memperlihatkan
akibat serangan yang hebat tadi, yaitu berlubang-lubang pada tujuh tempat, tepat di bagian tubuh yang
berbahaya.



"Wah, ilmu toyamu masih amat luar biasa Lo-enghiong!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan kiranya pendekar ini
tadi melompat ke sudut lain dari ruangan itu dengan gerakan demikian cepatnya sehingga tak tampak oleh mereka
yang berada di ruangan itu. Kini ia menghampiri Si Guru Silat tua sambil menjura dan tertawa-tawa, "Kau yang
begini tua masih sehebat ini, benar-benar harus diberi ucapan selamat dengan seguci arak wangi."



Liong Keng tersenyum dan melempar toyanya ke arah muridnya yang cepat menerimanya dan menyimpannya. "Ha-ha-ha,
pujianmu kosong, dan orang setua aku ini sudah tidak butuhkan itu lagi. Taisu kalau kau menganggap bahwa ilmuku
masih belum berkurang, maka makin sukarlah penasaran ini dibereskan. Heeei, ambil lagi guci besar arak wangi
untuk Taisu!"



Biarpun tadinya guru silat itu tertawa-tawa melayani Kwee Seng minum arak yang baru dibuka dari guci, namun
kerut-kerut di dahinya timbul lagi dan ia menarik napas panjang berkali-kali.



"Lo-enghiong, mengapa kausimpan-simpan penasaran di hati? Ceritakanlah, apa yang terjadi dan siapa itu orang
muda berpakaian jembel yang lihai sekali?"



Liong Keng kembali menarik napas panjang. "Kalau diceritakan sungguh membikin orang mati penasaran! Aku Liong
Keng selama puluhan tahun hidup sebagai guru silat tak pernah mencari permusuhan dengan siapapun juga, kecuali
dengan orang-orang jahat sehingga selama ini namaku tetap disuka dunia kang-ouw. Siapa tahu, sekali ini namaku
hancur oleh seorang bu-beng-siauw-cut (orang kecil tak terkenal)!" Dengan suara penuh penasaran ia lalu
bercerita akan peristiwa yang menimpa padanya beberapa hari yang lalu.



Liong Keng seorang guru silat yang terkenal, guru silat walaupun merupakan guru bayaran, namun dalam menerima
murid ia tidaklah asal orang mampu membayarnya saja. Ia memilih calon murid yang berbakat dan yang berkelakuan
baik-baik, bahkan banyak di antara muridnya yang karena miskin tidak mampu membayarnya. Ada seorang murid
perempuan, anak seorang janda miskin yang amat dikasihinya sehingga ketika janda itu meninggal dunia, murid
perempuan yang bernama Bi Loan itu ia pungut sebagai puterinya, karena guru silat itu sendiri memang tidak
mempunyai keturunan. Bi Loan menjadi murid yang pandai dan anak yang berbakti, wajahnya cukup cantik sehingga
guru silat itu tentu saja mengharapkan mantu yang pantas. Sebagai seorang gadis yang pandai silat, puteri
Sin-kauw-jiu Liong Keng, Bi Loan bukanlah gadis pingitan yang selalu berada di dalam kamarnya. Ia sudah biasa
keluar pintu, bahkan biasa pula menggunakan kepandaiannya untuk membela si lemah yang tertindas. Tidak ada
orang yang berani mencoba-coba mengganggunya, karena selain gadis itu sendiri pandai silat, juga orang merasa
sungkan bermusuhan dengan Sin-kauw-jiu itu, Liong Keng dan murid-muridnya yang banyak jumlahnya.



"Akan tetapi, sepekan yang lalu," demikian guru silat itu melanjutkan ceritanya. "Bi Loan memasuki sebuah
tempat judi Karena tertarik. Di tempat itu tentu saja berkumpul banyak penjahat dan di situ pula Bi Loan
mendengar ucapan kurang ajar. Terjadilah keributan dan beberapa orang lelaki yang kurang ajar itu dihajar
kalang kabut oleh Bi Loan sehingga mereka itu lari tunggang langgang. Akan tetapi tiba-tiba seorang pengemis
muda, kukatakan pengemis karena ia berpakaian jembel. Ia tidak terkenal dan menurut cerita mereka yang
menyaksikan kejadian itu, Bi Loan bertanding dengan jembel muda itu yang agaknya membela para penjahat tadi.
Pertandingan berjalan seru dan laki-laki muda itu lalu melarikan diri sambil menyindir-nyindir. Bi Loan marah
dan mengejar, sebentar saja mereka lenyap dari tempat itu." Guru silat itu berhenti bercerita dan menarik napas
panjang.



"Lalu bagaimana?" Kwee Seng tertarik.



"Tak seorang pun tahu ke mana mereka pergi berkejaran, karena sampai sehari semalam Bi Loan tidak pulang, aku
menjadi kuatir dan pada keesokan harinya aku sendiri pergi mencari. Aku mendapatkan Bi Loan di dalam sebuah
kuil kosong di hutan sebelah barat kota...."



Melihat wajah guru silat itu merah padam, Kwee Seng menduga-duga. "Dan pengemis itu?"



"Dia tidak ada, entah berada di mana. Akan tetapi sikap Bi Loan luar biasa sekali. Anakku itu dengan sikap yang
aneh menyatakan tidak ingin pulang karena ia sudah menjadi isteri Kai-ong!"



"Kai-ong (Raja Pengemis)??" Kwee Seng tertegun.



Demikianlah pengakuannya. Ia menyebut Kai-ong kepada laki-laki muda jembel itu. Aku marah dan memaksanya pulang
karena kuanggap Bi Loan sedang dalam keadaan tidak sadar. Dan setibanya di rumah, ia hanya menangis, tidak mau
bicara apa-apa kecuali menyatakan hendak ikut kai-ong! Malam harinya, tiga hari yang lalu, di depan hidungku
sendiri tanpa aku dapat berbuat sesuatu, bangsat itu datang dan membawa pergi Bi Loan!"



"Apa? Bagaimana terjadinya?" Kwee Seng kaget. Ia maklum bahwa guru silat ini kepandaiannya sudah lumayan, kalau
laki-laki muda yang mengaku sebagai raja pengemis itu mampu menculik seorang gadis begitu saja, itu membuktikan
bahwa ilmu kepandaian jembel muda itu tentulah hebat!



"Sungguh aku harus merasa malu, menjadi guru silat puluhan tahun lamanya, sama sekali tidak berdaya menghadapi
seorang penjahat tak ternama seperti dia. Aku harus tutup perguruanku!"



"Suhu...!" lima orang murid kepala berseru. "Ahh, perlu apa belajar ilmu silat dari seorang lemah seperti aku?"
guru silat itu menghela napas. "Kim-mo Taisu, kau tadi menyatakan sendiri bahwa baik tenagaku maupun ilmu
toyaku masih kuat, namun malam hari itu aku benar-benar seperti anak kecil, dipermainkan orang. Dia itu, tanpa
kuketahui padahal aku sama sekali belum tidur, tahu-tahu telah dapat memasuki kamar puteriku, memondongnya
keluar dan meloncat ke atas genteng. Aku mendengar puteriku berkata "Selamat tinggal, Ayah" dan melihat
berkelebatnya bayangan itu di atas. Tentu saja aku menyambar toya dan mengejar ke atas, lalu kuhantamkan toyaku
pada punggung orang itu. Tepat toyaku mengenai punggung, namun... ahhh... toyaku terlepas dari tanganku dan dia
tidak apa-apa! Kemudian menghilang di dalam gelap!"



Makin kagum hati Kwee Seng. Selama ini, baru Bayisan seorang yang ia anggap seorang muda yang berkepandaian
hebat, siapa kira sekarang muncul lagi seorang pemuda lain yang menyebut diri raja pengemis yang demikian
lihai!



"Nah, selanjutnya kau telah ketahui. Aku menyuruh murid-muridku untuk pergi melakukan penyelidikan, akan tetapi
bukannya mengetahui di mana sembunyinya penjahat yang menculik anakku, malah berani berlaku kurang ajar
kepadamu. Betapapun juga, hal ini kuanggap kebetulan sekali, karena, kalau tidak kau sahabat muda, siapa lagi
yang dapat mencuci bersih namaku ini?" Suara guru silat itu terdengar sedih sekali, penuh permohonan sehingga
nampak benar bahwa ia telah tua dan telah banyak berkurang semangatnya begitu menderita kekalahan.



"Baiklah, Lo-enghiong." Kwee Seng menyanggupi. "Mendengar ceritamu, aku jadi ingin sekali bertemu dengan raja
pengemis itu! Mudah-mudahan saja aku akan dapat menemukannuya. Akan tetapi tentang puterimu, kalau memang betul
dia itu telah memilih Si Raja Pengemis, apa yang dapat kita perbuat? Lo-enghiong, tentu kau sendiri maklum
betapa ruwetnya soal asmara..." Perih hati Kwee Seng berkata demikian, seakan-akan ia menusuk dan menyindir
hatinya sendiri yang berkali-kali menjadi korban asmara jahil!



Liong Keng menghela napas dan mengangguk-angguk. "Dia bukan keturunanku sendiri, bagaimana aku bisa mengetahui
isi hatinya yang sesungguhnya? Kalau memang demikian halnya, biarlah ia pergi, memang Thian tidak menghendaki
aku mempunyai keturunan."



Setelah menyatakan janjinya akan pergi mencari penculik puteri guru silat Liong, Kwee Seng lalu berpamit dan
pergilah ia dari rumah itu untuk mencari orang yang amat menarik hatinya Si Raja Pengemis!



Dua orang penjaga pintu rumah judi yang bertubuh tinggi besar seperti gajah bengkak itu memandang penuh
perhatian, kemudian seorang di antara mereka yang berkepala botak bertanya seius, "Dari mana mau ke mana?"



Pertanyaan singkat ini tentulah merupakan sebuah kode rahasia, pikir Kwee Seng, maka ia tertawa dan menjawab
seenaknya, "Dari belakang mau ke depan!"



Sejenak kedua orang penjaga itu tercengang mendengar jawaban ini, kemudian mereka tertawa bergelak dan orang ke
dua yang hidungnya bengkok ke atas menghardik. "Jembel kapiran! hayo lekas pergi, di sini bukan tempat kau
mengemis!"



"Tempat apa sih ini?" Kwee Seng bertanya, berlagak orang sinting. "Di sini rumah judi, mau apa kau tanya-tanya?
Hayo lekas minggat, apa kau ingin kupukul mampus?" bentak Si Botak sambil mengepal tinjunya yang sebesar kepala
Kwee Seng itu di depan hidung Si Pendekar Sakti.



"Waduh, tanganmu bau kencing kuda!" Kwee Seng menutupi hidungnya, lalu menjauhkan mukanya dan memandang kepada
papan nama di depan pintu, mengerutkan keningnya dan membacanya dengan lagak sukar, sedangkan Si Botak itu
otomatis menarik kepalannya dan mencium tangannya itu. Agaknya memang bau tangannya itu, karena hidungnya
bergerak-gerak seperti hidung kuda diganggu lalat. Kemudian ia marah besar, baru merasa bahwa ia dipermainkan,
akan tetapi sebelum ia sempat memukul, ia dan kawannya yang berhidung bengkok itu memandang heran karena
pengemis itu sudah membaca papan nama dengan suara keras, "BAN HOA PO KOAN (Rumah Judi Selaksa Bunga)! Wah,
kebetulan sekali, aku paling gemar berjudi!"



Sekaligus kemarahan dua orang itu berubah menjadi keheranan. Mana ada seorang jembel pandai membaca huruf, dan
mana mungkin jembel itu masih gemar berjudi pula? "Eh, setan sampah! Makan saja kau harus minta-minta,
bagaimana kau bisa berjudi? Apakah taruhannya sisa makanan?" ejek Si Botak dan kedua orang penjag apintu ini
tertawa bergelak sambil memegangi perut mereka yang gendut. Mendadak suara ketawa mereka terhenti dan mata
mereka melotot lebar memandang tangan Kwee Seng yang sudah mengeluarkan sebuah kantung kuning berisi penuh uang
perak yang berkilauan!



"Apakah modal sekian ini kurang cukup?" Dua orang itu menelan ludah menaksir-naksir bahwa kantung itu isinya
tidak kurang dari seratus tail perak. Kemudian mereka mengangguk-angguk. "Cukup... cukup... silakan masuk...!"



Kwee Seng menutup kantungnya dan dengan lenggang kangkung ia melangkah masuk, diawasi dua orang penjaga yang
terheran-heran. Akan tetapi Kwee Seng tidak mempedulikan mereka, terus saja melangkah masuk ke dalam ruangan
yang cukup luas, di mana terdapat banyak orang mengelilingi beberapa buah meja judi. Ngeri hati Kwee Seng
ketika menyaksikan orang-orang yang berjudi. Bukan seperti wajah manusia lagi, melainkan seperti sekelompok
binatang kelaparan. Muka penuh peluh, berkilauan basah, mata melotot dan seluruh uratnya menegang. Sinar mata
penuh kerakusan, kemurkaan, sedangkan yang kehabisan uang kelihatan putus asa, penasaran, dendam, dan iri.
Tempat setan dan iblis berpesta-pora, pikir Kwee Seng. Hawa udara panas di dalam Rumah Judi Selaksa Bunga itu.
Panas luar dalam. Luar panas Karen kurang hawa, dalam panas karena pengaruh uang.



Kwee Seng menhampiri meja tengah yang paling besar dan paling ramai. Semua meja adalah meja permainan dadu.
Meja tengah juga tempat bermain dadu, akan tetapi di sini agaknya tempat istimewa di mana taruhannya amat
besar. Uang perak bertumpuk-tumpuk, bahkan ada beberapa potong emas. Yang mainkan dadu adalah seorang laki-laki
kurus bermata sipit seperti selalu terpejam. Orang itu usianya empat puluh tahun lebih, lengan bajunya digulung
sampai ke siku. Gerakan kedua tangannya cepat sekali ketika ia memutar biji-biji dadu di dalam mangkok,
kemudian secepat kilat ia menutupkan mangkok itu ke atas meja dengan biji-biji dadu di bawah mangkok. Mulailah
orang-orang memasang nomer yang ia duga dengan mempertaruhkan uang. Ketika pemasangan selesai, dengan gerakan
tangan cepat sekali pemain itu membuka mangkok, maka tampaklah dua biji dadu di atas meja dengan permukaan
memperlihatkan titik-titik merah. Jumlah titik-titik inilah merupakan angka yang keluar. Bagi yang pasangannya
kena, mendapat jumlah taruhannya yang diterima dengan wajah berseri-seri dan mata berkilat-kilat. Bagi yang
kalah, dan sebagian besar memang kalah, mereka hanya melihat dengan mata sayu betapa tumpukan uang taruhan
mereka digaruk oleh Si Bandar yang tertawa-tawa lebar. Agaknya yang nasibnya mujur adalah selalu Si Bandar,
buktinya yang mendapat atau yang pasangannya terkena selalu hanya yang memasang kecil, sebaliknya yang
taruhannya besar selalu tak pernah kena pasangannya!



Kedatangan Kwee Seng tidak ada yang tahu karena memang semua perhatian ditujukan ke atas meja. Setelah melihat
tiga empat kali pasangan melalui pundak orang-orang yang bertaruh. Kwee Seng mendesak maju. Dengan lagak
dibuat-buat ia mengeluarkan pundi-pundi uangnya dan menaruhkannya di atas meja dengan keras. Jelas tampak bahwa
pundi-pundi itu isinya berat dan banyak, maka tertegunlah semua orang. Yang merasa pasangannya hanya
kecil-kecilan lalu memberi tempat sehingga akhirnya Kwee Seng dapat duduk berhadapan dengan Si Bandar Judi.
Pundi-pundi itu belum dibuka, maka Si Bandar yang kurus itu memandang tajam dengan mata sipitnya, kemudian
bertanya.



"Pasangan dengan uang tunai. Apakah anda punya uang?" Diam-diam SI Bandar ini merasa heran mengapa penjaga
pintu memperkenankan seorang jembel masuk ruangan itu.



"Heh-heh-heh, kalau tidak punya uang, tentu aku tidak akan berjudi!" Kwee Seng membuka pundi-pundinya dan
terdengar seruan-seruan heran dan kaget ketika kelihatan isi pundi-pundi oleh mereka. "Tapi aku tidak sudi
berjudi kecil-kecilan. Aku ingin mengadu untung dengan Bandar sendiri, bertaruh angka ganjil atau genap, dengan
hanya sebuah biji dadu saja. Berani?"



Kembali orang-orang berseru heran. Gila benar orang ini, menantang bandar! Ban-hwa Po-koan adalah rumah judi
besar, orang-orang yang menjadi bandar adalah ahli-ahli judi yang ulung. Si Bandar kurus kecil ini
tersenyum-senyum memperlihatkan giginya yang runcing-runcing seperti gigi tikus. "Mengapa tidak berani? Berapa
uangmu dan berapa akan kaupertaruhkan?" "Isi pundi-pundi ini ada seratus dua puluh tail, kupertaruhkan semua!"



Terdengar seruan "ah-oh-eh" ramai sekali ketika para penjudi mendengar ucapan ini. Sekali pasang seratus dua
puluh tail perak? Benar-benar hanya orang gila yang dapat melakukan hal ini! Bahkan Si Bandar Kurus itu sendiri
menjadi basah penuh keringat Karena betapapun juga hatinya menjadi tegang menghadapi taruhan yang begini hebat.
Akan tetapi Kwee Seng hanya tersenyum-senyum dan menggaruk-garuk kepalanya seperti orang mencari kutu rambut.



"Eh, Muka Tikus, berani tidak kau?" akhirnya ia berkata kesal melihat bandar itu hanya memandang kepadanya.



Ada yang teratawa geli, ada pula yang kuatir mendengar jembel itu berani menyebut muka tikus kepada bandar.
Apalagi ketika mereka melihat betapa empat orang tukang pukul rumah judi itu, yang tegap-tegap tubuhnya,
diam-diam mendekati Kwee Seng dan berdiri di belakang Si Jembel ini sambil saling memberi tanda dengan mata,
siap untuk menerjang kalau perlu.



"Apa? Mengapa tidak berani? Mari kita mulai! Kau bertaruh genap atau ganjil?" Si Bandar menyisihkan sebuah dadu
yang bermuka enam memasukkannya ke dalam mangkok yang telentang di atas meja. Suasana menjadi tegang, semua
orang tidak ada yang mengeluarkan suara, menanti jawaban Kwee Seng sehingga keadaan menjadi sunyi dan sebuah
jarum yang jatuh ke lantai agaknya akan terdengar pada saat itu.



Kwee Seng masih tersenyum-senyum dan ia mendorong pundi-pundinya ke depan. "Seratus dua puluh tail perak
kupasangkan untuk angka ganjil!" katanya nyaring.



Si Bandar tertawa, hatinya girang bukan main karena tiba-tiba ada makanan begini lunak tersodor di depan
mulutnya. Jari-jari tangannya sudah terlatih sempurna sehingga sambil memegang mangkok, ia dapat mempergunakan
dua jari telunjuk dan tengah yang berada di belakang mangkok untuk membalik-balik biji dadu di waktu ia menutup
atau membuka mangkok, tanpa seorang pun dapat melihatnya. Kecurangan ini sudah ia lakukan bertahun-tahun dan
tak pernah ada yang tahu. Dengan jari-jarinya yang terlatih ia dapat membalik-balik dua biji dadu sesuka
hatinya, apalagi kalau hanya sebuah! Alangkah mudahnya. Tiap kali ia menutup mangkok, matanya yang seperti
terpejam itu sekelebatan dapat melihat angka yang berada di permukaan biji dadu, kemudian di waktu membuka
mangkok, cepat jari-jari tangannya yang memegang mangkok dan tersembunyi di belakang mangkok bekerja membalik
biji-biji dadu menjadi angka-angka yang hanya dipasangi taruhan-taruhan kecil. Dengan cara demikian, selalu
pemasang taruhan besar akan kalah. Sekarang, jembel gila ini bertaruh angka ganjil untuk sebuah biji dadu.
Alangkah mudahnya untuk membalikkan biji dadu itu agar permukaannya yang genap berada di atas untuk memperoleh
kemenangan seratus dua puluh tail. Alangkah mudahnya!



Baik!" katanya. "Semua orang disini menjadi saksi. Kau memasang angka ganjil!" Kemudian ia menggulung kedua
lengan bajunya lebih tinggi lagi, dan memutar-mutar dadu ke dalam mangkok. Gerakannya cepat sekali sehingga
dadu yang berputaran di dalam mangkok itu tidak kelihatan lagi saking cepatnya, kemudian dengan gerakan
tiba-tiba, ia membalikkan mangkok ke atas meja dengan biji dadu di bawahnya.



"Heh-heh-heh!" Si Bandar mengusap peluh di dahinya. "Apakah kau tidak merobah pasanganmu? Tetap ganjil? Boleh
pilih, sobat. Selagi mangkok belum dibuka kau berhak memilih. Ganjil atau genap?"



Suasana makin tegang, akan tetapi sambil tersenyum dingin Kwee Seng menaruh kedua tangannya di atas meja, di
depannya, dan ia tenang-tenang menjawab. "Aku tetap memasang angka ganjil!"



Si Bandar dengan tangan agak gemetar memegang mangkok, mulutnya berkata. "Nah, siap untuk dibuka, semua orang
menjadi saksi!" Jari-jarinya bergerak dan mangkok diangkat, dibarengi seruan Si Bandar. "Heeeeeiiitt!"



Semua mata memandang kepada biji dadu yang telentang, jelas memperlihatkan lima buah titik merah. "Ganjil... !"
Semua mulut berseru.



"Aaahhhhh..." Si Bandar menjadi pucat, berdiri terlongong keheranan memandang ke arah biji dadu, hampir tidak
percaya kepada matanya sendiri. Tadi ketika menutup mangkok, jelas ia dapat mengintai bahwa dadu itu tadi
berangka lima, maka ketika membuka mangkok, telunjuknya sudah menyentil dadu itu agar membalik ke angka enam
atau empat. Akan tetapi mengapa dadu itu tetap telentang pada angka lima, padahal ia yakin betul bahwa sentilan
jarinya tadi berhasil baik? Apakah kurang keras ia menggunakan jarinya?



"Heh-heh-heh, apakah kemenanganku hanya cukup kaubayar dengan seruan ah-ah-eh-eh? Hayo bayar seratus dua puluh
tail!" kata Kwee Seng tertawa-tawa.



Empat orang tukang pukul sudah siap dengan tangan di gagang golok, akan tetapi bandar itu tidak memberi tanda
maka mereka tidak berani turun tangan. Bandar itu menggunakan ujung jubahnya untuk mengusap peluh yang memenuhi
muka dan lehernya, kemudian ia tertawa ha-hah-heh-heh.



"Tentu saja dibayar, sobat. Anda mujur sekali! Akan tetapi, apakah kau termasuk botoh kendil?"



Kwee Seng memang bukan seorang penjudi, tentu saja ia tidak mengerti apa artinya istilah "botoh kendil!" ini.
Botoh berarti penjudi, adapun kendil adalah perabot dapur untuk masak nasi. Ia mengerutkan kening, mengira
istilah itu merupakan makian. "Apa maksudmu? Apa itu botoh kendil?"



Jawaban ini membuat semua orang yang hadir makin terheran. Dari jawaban ini saja mudah diketahui bahwa jembel
ini bukanlah seoarang ahli judi, bagaimana mendadak ia begini berani bertaruhan besar dan malah menang?



"Botoh kendil adalah penjudi yang segera lari meninggalkan gelanggang begitu mendapat kemenangan, termasuk
golongan yang licik!" jawab Si bandar yang juga terheran-heran.



Kwee Seng tertawa, tidak jadi marah. "wah, belum apa-apa kau sudah takut kalau-kalau aku pergi membawa
kemenanganku. Bandar macam apa kau ini, tidak berani menghadapi kekalahan? Jangan kuatir, tikus, aku tidak akan
lari. Hayo bayar dulu kemenanganku!"



Dengan tangan gemetar akan tetapi mulut memaksa senyum, bandar itu memerintahkan pembantunya untuk membayar
jumlah taruhan itu, dimasukkan ke dalam pundi-pundi hitam. Ketika menerima pembayaran ini, Kwee Seng lalu
menaruh pundi-pundi baru di sebelah pundi-pundi kuningnya sambil berkata, suaranya nyaring. "Sekarang
kupertaruhkan semua ini, dua ratus empat puluh tail!"



"Ohhhh.....!!!" Kini orang-orang yang tadinya bermain di meja-meja kecil menjadi tertarik dan berkerumunlah
mereka di sekeliliing meja besar. Seakan-akan menjadi terhenti sama sekali perjudian di dalam ruangan itu,
semua penjudi menjadi penonton dan yang berjudi hanyalah Kwee Seng seorang melawan Si Bandar bermata sipit.
Bandar ini pun kaget, akan tetapi kini wajahnya berseri-seri. Kiranya jembel ini benar-benar gila. Dengan
begini, sekaligus ia dapat menarik kembali kekalahannya, bahkan sekalian menarik uang modal Si Jembel! Kalau
tadi ia mungkin kurang tepat menyentil dadu, sekarang tidak mungkin lagi. Ia akan berlaku hati-hati dan pasti
kali ini ia akan menang.



"Bagus! Kau benar-benar menjadi penjudi jempol!" Ia memuji sambil mulai memutar-mutar biji dadu ke dalam
mangkok.



"Huh, aku bukan penjudi, sama sekali tidak jempol." Kwee Seng membantah, akan tetapi matanya mengawasi dadu
yang berputar-putar di mangkok, sedangkan kedua tangannya masih ia tumpangkan di atas meja di depan dadanya.



Si Bandar menggerakkan tangannya dan dengan cepat mangkok itu sudah tertelungkup lagi di atas meja
menyembunyikan dadu di bawahnya. "Nah, sekarang ulangi taruhanmu biar disaksikan semua orang!" Si Bandar
berkata, suaranya agak gemetar karena menahan ketegangan hatinya. Ia tadi melihat jelas bawa biji dadu yang
ditutupnya itu telentang dengan angka dua di atas! Jadi genap! Ia mengharapkan Si Jembel ini tidak merobah
taruhannya.



"Aku mempertaruhkan dua ratus empat puluh tail untuk angka ganjil!" Kwee Seng berkata tenang tapi cukup jelas.
Muka Si Bandar berseri gembira, mulutnya menyeringai penuh kemenangan ketika ia tertawa penuh ejekan.



"Bagus, semua orang mendengar dan menyaksikan. Dia bertaruh dengan pasangan angka ganjil. Nah, siap dibuka,
kali ini kau pasti kalah!" Tangannya membuka mangkok dan tentu saja jari tangannya tidak melakukan gerakan
apa-apa karena ia sudah tahu betul bahwa dadu itu berangka dua, jadi berarti genap. Begitu tangannya yang kiri
membuka dadu, tangan kanan siap untuk menggaruk dua buah pundi-pundi uang penuh perak berharga itu.



"Wah, ganjil lagi...!!" seru semua orang dan Si Bandar menengok kaget....!!!" Seru semua orang dan Si Bandar
menengok kaget. Kedua kakinya menggigil ketika matanya melihat betapa dadu itu kini jelas memperlihatkan titik
satu! Bagaimana mungkin ini? Ia mengucek-ngucek matanya. Tadi ia jelas melihat titik dua!



"Heh-heh-heh, mengapa kau mengosok-gosok mata? Apakah matamu lamur? semua orang melihat jelas bahwa itu angka
satu, berarti ganjil. Kau kalah lagi dan hayo bayar aku dua ratus empat puluh tail!"



Bandar itu bangkit berdiri, dahinya penuh peluh dingin sebesar kedele. "Ini... ini tak mungkin... bagaimana
bisa ganjil lagi...?" Ia sudah memandang ke arah empat tukang pukul, siap untuk memerintahkan menangkap Si
Jembel, menyeretnya keluar dan memukulinya, kalau perlu membunuhnya.



"Hayo bayar!" Kwee Seng berkata. "Apakah rumah judi ini tidak mampu bayar lagi?" Selagi Si Bandar Judi
tergagap-gagap dan empat orang tukang pukul lain sudah siap pula datang mendekat dengan wajah beringas,
tiba-tiba terdengar suara tertawa-tawa. Dari sebelah dalam muncullah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun
lebih, akan tetapi pakaiannya penuh tambal-tambalan, pakaian pengemis!



"Orang muda ini sudah menang mengapa tidak lekas-lekas dibayar?" kata pengemis tua itu. Heran tapi nyata! Si
Bandar kelihatan takut dan cepat-cepat duduk memerintahkan pembantunya membayar dua ratus empat puluh tail
perak, sedangkan para tukang pukul itu mundur dengan sikap hormat sekali! Si Kakek Pengemis itu lalu berjalan
menghampiri bandar, mengambil tempat duduk di dekat bandar, berhadapan dengan Kwee Seng!



"Baiklah, Pangcu," kata Si Bandar dan mendengar sebutan Pangcu (Ketua Perkumpulan) ini, diam-diam Kwee Seng
melirik dan memandang kakek itu penuh perhatian. Usianya lima puluh lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan
tetapi jelas bukan pakaian butut, melainkan kain bermacam-macam yang masih baru sengaja dipotong-potong dan
disambung-sambung. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat yang kini disandarkan di bangkunya sedangkan kedua
tangannya ditaruh di atas meja di depan dadanya. Diam-diam Kwee Seng menduga bahwa kakek ini tentulah seorang
yang berilmu tinggi, maka ia bersikap hati-hati. Tadi ia telah menggunakan tenaga lwee-kangnya memperoleh
kemenangan, yaitu dengan hawa lwee-kang disalurkan melalui tangan menekan meja membuat biji dadu itu tetap atau
membalik sesuka hatinya.



Dua buah pundi-pundi hitam telah dibayarkan kepadanya dan kini di depan Kwee Seng terdapat empat pundi-pundi
uang yang isinya semua empat ratus delapan puluh tail! Setelah membayar, Si Bandar ragu-ragu untuk melanjutkan
perjudian, karena ia takut kalau kalah. Kalau sampai kalah lagi, ia akan celaka, harus mempertanggung jawabkan
kekalahannya yang aneh! Akan tetapi ketika ia melirik ke arah kakek itu, Si Kakek berkata perlahan.



"Teruskan, biar aku menyaksikan sampai di mana nasib baik orang muda ini." Mendengar ini, Si Bandar berseri
lagi wajahnya. Ucapan itu berarti bahwa Si Kakek hendak membantunya dan tentu saja dengan adanya perintah ini,
tanggung jawab digeser dari pundaknya. Siapakah kakek ini? Dia ini bukan lain adalah ketua dari Ban-hwa
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga). Tadinya rumah judi itu dibuka oleh para pencoleng kota, akan
tetapi kurang lebih setengah tahun yang lalu, secara tiba-tiba rumah judi itu diberi nama Ban-hwa-po-koan,
karena sesungguhnya, terjadi perubahan hebat pada Ban-hwa Kai-pang. Perkumpulan pengemis ini secara tiba-tiba
berubah sepak terjangnya dan dengan kekerasan menguasai rumah judi itu pula. Karena para pimpinannya memang
berilmu tinggi, tidak ada yang berani menentangnya, bahkan para penjahat menjadi sekutu mereka. Inilah sebabnya
mengapa bandar dan para tukang pukul yang mengenal Koai-tung Tiang-lo (Orang Tua Tongkat Setan) Ketua ban-hwa
Kai-pang, menjadi ketakutan, akan tetapi juga lega karena dengan hadirnya ketua ini, mereka menjadi besar hati.



Si Bandar dengan semangat baru telah memutar-mutar dadu di dalam mangkok lagi. Lalu ia membalikkan mangkok di
atas meja. Ia melihat jelas bahwa dadu itu berangka tiga, maka dengan ujung kakinya ia menyentuh kaki Koai-tung
Tiang-lo tiga kali untuk memberi tahu. Kakek itu mengangguk-angguk dan tersenyum dengan ujung mulut ditekuk ke
bawah, penuh ejekan.



"Nah, sekarang kau mau bertaruh berapa dan dengan pasangan ganjil atau genap?" keadaan menjadi tegang dan sunyi
kembali, lebih tegang daripada tadi. Semua orang yang berada di situ, biarpun sebagian tidak mengenal kakek
pengemis, namun dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang berpengaruh dan berpihak kepada rumah judi.
Benar-benar amat menarik melihat jembel muda yang rambutnya awut-awutan dan yang bernasib baik itu kini
berhadapan dengan seorang pengemis tua yang serba bersih. Baru pertama kali ini terjadi hal begitu menarik di
dalam rumah judi sehingga semua orang menonton dengan hati berdebar-debar, bahkan yang tadinya murung karena
kalah, sejenak lupa akan kekalahannya.



Sambil menarik ke arah kakek itu Kwee Seng mendorong empat pundi-pundi perak sambil berkata. "Tidak ada
perubahan, kupertaruhkan semua, empat ratus delapan puluh tail perak dengan pasangan angka ganjil!"



Si Bandar mengerling ke arah kakek, tampaknya bingung. Akan tetapi kakek itu tersenyum dan memberi tanda dengan
mata supaya Si Bandar bekerja seperti biasa, yaitu menggunakan jari tangannya yang lihai itu membalikkan dadu
agar membalikkan dadu agar membalik menjadi angka empat atau dua. Dengan gerakan hati-hati Si Bandar menangkap
pantat mangkok, jari-jari tangannya menyelinap masuk dan pada saat itu ia merasa betapa siku tangannya di
pegang oleh kakek pengemis dan terasa betapa hawa yang hangat memasuki lengannya sampai ke jari-jari tangannya.
Bandar ini sedikit banyak tahu akan ilmu silat, maka ia girang sekali, maklum bahwa ketua pengemis itu
membantunya dengan tenaga sin-kang.



"Siap Buka... heeeiittt! Aduuhhh....!" Si Bandar berteriak kesakitan ketika mangkok dibuka. Jari-jari tangannya
yang menyentil biji dadu seakan-akan digencet antara dua tenaga yang merupakan dua jepitan baja, tertekan oleh
hawa sin-kang Si Kakek dan terhimpit dari depan oleh hawa yang tidak tampak yang entah bagaimana memasuki biji
dadu. Cepat ia menarik kembali tangannya.



"Ganjil lagi...!" Hebat...!!" Semua orang berseru ketika melihat biji dadu itu memperlihatkan angka tiga!
Diam-diam Si Kakek menatap wajah Kwee Seng. Ia maklum bahwa jembel muda ini bukan orang sembarangan, dan maklum
pula bahwa tadi ia gagal membantu karena jembel muda itu menyerang dengan dorongan berhawa sin-kang dari
jari-jari tangan, mencegah Si Bandar menggulingkan biji dadu dengan jari tangan!



Wajah bandar itu pucat sekali, berkedip-kedip ia memandang ke arah kakek. Ia jelas merasa gelisah dan mohon
bantuan. Kakek itu hanya tersenyum dan berkata. "Sahabat muda ini besar sekali untungnya. Dia sudah menang,
tidak lekas dibayar mau tunggu kapan lagi?"



Mendengar ini, Si Bandar dan para pembantunya sibuk mengumpulkan uang, akan tetapi mana cukup untuk membayar
jumlah begitu besar? Bandar itu terpaksa lari ke sebelah dalam untuk mengambil kekurangan uang dari kas besar!
Jumlah yang dibayarkan ini adalah hasil beberapa hari!



Orang-orang di situ makin terheran-heran melihat betapa jembel muda yang kini sudah menjadi raja uang dengan
kemenangan-kemenangan besar sehingga di depannya berjajar delapan pundi-pundi yang jumlahnya hampir seribu tail
perak, masih belum puas agaknya buktinya ia masih memandang ke arah mangkok dadu. Kini kakek pengemis itu yang
bertanya.



"Sahabat muda masih berani melanjutkan?" Kwee Seng tertawa, menengok ke kanan kiri. "Mana arak? Berilah seguci
arak berapa saja kubeli. Aku sudah menjadi kaya-raya, ha-ha-ha!"



Seorang tukang pukul menerima tanda kedipan mata dari kakek pengemis, cepat-cepat ia menggotong seguci besar
arak dan meletakkannya di depan Kwee Seng, "Tidak usah bayar, sahabat. Arak ini adalah suguhan kami untuk tamu
yang menjadi langganan baik." Kata Si Kakek yang kini tidak sembunyi-sembunyi lagi bersikap sebagai tuan rumah.



"Bagus! Terima kasih! Sudah diberi kemenangan besar, masih disuguhi arak lagi." Kata Kwee Seng yang segera
mengangkat guci dan menuangkannya ke mulut, minum sampai bergelogok suaranya. Setelah habis setengah guci, ia
baru berhenti dan mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju. "Arak baik... arak baik... ha-ha, hayo teruskan
permainan!"



Ketika bandar yang bermuka pucat itu dengan tangan menggigil memegang mangkok, Si Ketua Pengemis merampas
mangkok dan mendorong bandar itu ke pinggir. Dorongan perlahan saja akan tetapi bandar itu hampir roboh,
terhuyung-huyung sampai jauh.



"Ha-ha-ha, memang dia sialan!" Kwee Seng menertawakan. Koai-tung Tiang-lo memegang mangkok dan memandang Kwee
Seng dengan mata penuh selidik. "Orang muda, kau hendak pasang berapa?"



"Heh-heh, semua ini kupasangkan untuk angka ganjil, ha-ha" "Gila!" seru seorang di antara para penonton. Ia
berkata demikian karena tidak tahan hatinya melihat betapa kemenangan sebesar itu akan diludeskan dalam sekali
pasangan. Kwee Seng mendengar makian menengok dan melihat muka orang yang pucat, mata yang muram tanda kalah
judi.



"Kau benar, sahabat. Memang kita semua yang sudah memasuki rumah judi adalah orang-orang gila belaka! Ha-ha-ha!
Orang tua, kaumainkanlah dadu itu. Delapan pundi-pundi ini untuk angka ganjil."



"Hemm, orang muda, apakah yang kaukehendaki? Tentu bukan kemenangan uang." Kata Si Kakek sambil mulai
memutar-mutar dadu dalam mangkok. Gerakannya kaku, tidak seindah dan secepat gerakan bandar tadi. Memang
Koai-tung Tiang-lo bukanlah seorang bandar judi. Namun, biar tangannya kaku dan seperti tidak bergerak, dadu di
dalam mangkok itu berputar cepat sekali, jauh lebih cepat dariapada kalau diputar oleh Si Bandar tadi.



"Heh-heh, orang tua, kau benar. Delapan pundi-pundi perak ini kupertaruhkan untuk angka ganjil. Kalau aku
kalah, kau boleh ambil semua perak ini tanpa banyak urusan lagi. Akan tetapi kalau aku yang menang, aku hanya
minta dibayar sebuah keterangan."



Semua orang makin terheran, akan tetapi kakek itu tersenyum maklum. Memang bagi orang-orang kang-ouw, uang
tidaklah berharga. "Uangmu delapan kantung, sudah jelas harganya. Akan tetapi keterangan itu, harus disebutkan
dulu agar diketahui harganya, apakah cukup dibayar dengan delapan kantung perak."



Percakapan ini benar-benar tak dapat dimengerti oleh tukang judi yang mendengarkan dengan perasaan heran. Kwee
Seng mengangguk. "Itu pantas! Keterangan itu adalah tentang diri seorang jembel muda macam aku ini yang
menyebut dirinya kai-ong (raja pengemis). Aku ingin berjumpa dengannya!"



Berubah wajah kakek itu mendengar ini, matanya menyambar tajam. "Hemm, ada urusan apakah dengan kai-ong?"



"Urusan pribadi. Bagaimana, kauterima?"



Kakek itu mengangguk. "Boleh. Akan tetapi keterangan itu jauh lebih berharga daripada delapan pundi-pundi
perak. Kalau kau kalah, keterangan tidak kaudapat, delapan pundi-pundi ini berikut tangan kirimu harus
kaubayarkan kepadaku. Kalau kau menang, uangmu ini kaubawa pergi bersama keterangan tentang di mana adanya
kai-ong. Akor?"



Semua orang terkejut. Bukan main taruhan itu. Berikut tangan kiri? Berarti tangan kiri jembel muda itu kalau
kalah harus dibuntungi? Ah, kalau tidak gila, tentu Si Jembel menolak. Akan tetapi, Kwee Seng mengangguk dan
berkata, "Cocok!" Wah, benar-benar jembel muda ini sudah gila. Masa sebuah keterangan tentang seorang kai-ong
saja dipertaruhkan dengan hampir seribu tail perak berikut sebuah tangan dibuntungi!



Keadaan menjadi tegang bukan main, bahkan kini ditambah rasa ngeri di hati. Dadu itu berputaran makin cepat dan
tiba-tiba mangkok itu ditutupkan di atas meja, menyembunyikan dadu yang akan menentukan nasib Si Jembel dan
tangan kiri. Koai-tung Tiang-lo masih menindih mangkok tertutup, sedangkan tangan kanannya terletak di atas
meja dengan jari-jari tangan terbuka. Namun, suasana yang amat tegang itu sama sekali tidak mempengaruhi Si
Jembel muda, kini ia malah mengangkat guci dengan tangan kanan untuk dituangkan isinya ke dalam mulut,
sedangkan tangan kirinya juga terletak di atas meja dan matanya terus melirik ke arah mangkok di atas meja.



Melihat kesempatan selagi lawannya minum arak, Koai-tung Tiang-lo segera berseru. "Siap buka, lihatlah!" Tangan
kirinya mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kiri mengangkat mangkok dan jari-jari tangan kanannya menegang!
Akan tetapi pada saat itu, juga jari-jari tangan kiri Kwee Seng menegang dan seperti halnya Koai-tung Tiang-lo,
dari jari-jari tangan ini, menyambar keluar tenaga sin-kang (hawa sakti) ke arah biji dadu di atas meja.



Semua mata memandang dan... terdengar seruan heran karena begitu mangkok dibuka, biji dadu di atas meja itu
berputaran! Hal ini tentu saja tidak mungkin Karena begitu tadi begitu mangkok ditutup, tentu biji dadu itu
telah jatuh ke meja dan berhenti bergerak. Bagaimana sekarang bisa berputaran? Hanya sebentar saja dadu itu
berputar, mendadak kini berhenti sehingga semua mata memandang dengan terbelalak dan melotot seperti mau
terloncat keluar dari tmpatnya. Kembali terdengar seruan-seruan tertahan di sana-sini ketika mereka melihat
betapa biji dadu itu terletak miring sedemikian rupa sehingga permukaannya dibagi dua antara titik-titik angka
tiga dan dua! Akan tetapi dadu itu bukannya diam melainkan bergerak ke kanan kiri, sebentar mendoyomg ke angka
tiga, di lain saat mendoyong ke angka dua, seakan-akan ada kekuatan tak tampak yang saling dorong, saling
mengadu kekuatan untuk mendorong dadu roboh telentang memperlihatkan permukaan angka tiga atau dua.



Ketika orang-orang yang berada di situ memandang kepada dua orang pengemis tua dan muda itu, mereka makin kaget
dan heran, lalu gelisah dengan sendirinya. Pengemis tua itu wajahnya merah sekali dan basah penuh peluh, tangan
kanannya menggetar di atas meja dengan jari-jari terbuka dan telapak tangan menghadap ke arah dadu, napasnya
agak terengah-engah. Adapun pengemis muda itu masih enak-enak saja duduk dengan tangan kiri dibuka jarinya
menghadap ke depan, tangan kanan masih memegang guci arak yang diminumya dan kini perlahan-lahan diletakkannya
guci arak ke atas meja. Gerakan ini menimbulkan getar pada meja dan dadu itu membalik hampir telentang dengan
muka angka tiga, akan tetapi terdengar Koai-tung Tiang-lo berseru aneh dan dadu itu membalik lagi menjadi
miring!



"Pangcu, apa kau masih hendak berkeras? Terdengar Kwee Seng berkata sambil tersenyum. Betapapun juga, Kwee Seng
adalah seorang terpelajar yang masih ingat akan peraturan. Ia maklum bahwa pengemis tua yang dipanggil Pangcu
(ketua) ini adalah seorang terkemuka, maka ia sengaja tidak mau membikin malu. Dengan adu tenaga sin-kang itu,
tentu sudah cukup bagi pangcu itu untuk mengetahui bahwa kakek itu tidak akan menang, lalu suka mengalah tanpa
menderita malu karena jarang ada yang mengerti bahwa mereka telah saling mengadu sin-kang.



Akan tetapi Koai-tung Tiang-lo adalah seorang yang keras kepala. Apalagi sekarang setelah ia mengandalkan
pengaruhnya kepada seorang yang ia anggap paling sakti di dunia ini, yaitu orang berjuluk Raja Pengemis, maka
Ketua Ban-hwa Kai-pang ini menjadi tinggi hati. Mana ia sudi mengalah terhadap seorang jembel tak ternama yang
seperti miring otaknya ini?



Tiba-tiba Koai-tung Tiang-lo berseru keras dan biji dadu itu melayang naik dari atas meja! Kakek itu sendiri
bangkit berdiri, tangan kanannya kini dengan terang-terangan diangkat ke depan sedangkan tangan kirinya masih
memegang dengan tangan kirinya masih memegang mangkok. Kwee Seng menghela napas. Kakek ini benar-benar keras
kepala, perlu ditundukkan. Ia masih saja duduk, tapi tangan kirinya terpaksa ia angkat dan tertuju ke atas, ke
arah dadu yang mengambang di udara dalam keadaan masih miring!



Tentu saja semua orang menahan napas, mata terbelalak mulut ternganga memandang peristiwa aneh itu. Mereka
tidak mengerti jelas apa yang terjadi dan siapa di antara mereka berdua yang bermain sulap, akan tetapi mereka
dapat menduga bahwa terjadi pertandingan hebat di antara kedua orang aneh itu.



"Aaiiihhh!" Teriakan ini keluar dari dalam dada Koai-tung Tiang-lo dan menyambarlah mangkok dari tangan kirinya
menuju Kwee Seng. Namun pendekar ini sambil tersenyum mengulur tangan kanan dan sebelum mangkok itu menyentuh
tangan kanannya, benda itu sudah terpental kembali kemudian terhenti di tengah-tengah, biji dadu itu seperti
mengambang di udara karena "terjepit" di antara dua rangkum tenaga dahsyat yang saling mendorong!



"Semua yang hadir harap lihat baik-baik, angka berapakah permukaan dadu itu? Ucapan Kwee Seng ini diikuti
pengerahan tenaga sin-kang. Tadi dalam menahan serangan lawan ia hanya mempergunakan sepertiga tenaganya saja,
maka kini ia menambah tenaganya dan... betapa pun Koai-tung Tiang-lo mempertahankan sekuat tenaga, tetap saja
dadu itu kini membalik dan biarpun masih mengambang di udara, namun jelas kini memperlihatkan angka tiga pada
permukaannya. Semua orang yang melihat angka tiga ini, tentu saja serentak berkata "Angka tiga...!"



"Hemm, berarti angka ganjil. Pangcu, kau kalah...." Pada saat Kwee Seng berkata demikian itu empat orang tukang
pukul sudah mencabut golok dan membacok kepala dan leher Kwee Seng dari belakang! Tentu saja Kwee Seng tahu
akan hal ini, namun karena sambaran tenaga empat batang golok itu tidak arti baginya dan karena ia sedang
mengerahkan sin-kang sehingga seluruh tubuhnya terlindung ia pura-pura tidak tahu dan diam saja. Empat batang
golok itu meluncur kuat ke arah kepala dan leher, tiba-tiba... "wuuuutttt!" senjata-senjata itu membalik
seakan-akan terdorong tenaga yang amat kuat. Tanpa dapat dicegah lagi, golok-golok itu menyerang pemegangnya
karena tangan itu sudah tak dapat dikuasai lagi saking hebatnya tenaga membalik. Bukan kepala Kwee Seng yang
termakan mata golok melainkan kepala para penyerangnya yang terpukul punggung golok. Terdengar suara keras
disusul jerit kesakitan dan suara berkerontangan golok-golok terjatuh di lantai. Biarpun tidak tajam, namun
punggung golok baja cukup keras untuk membuat kepala mereka "bocor" dan tumbuh tanduk biru!



Pada saat berikutnya, terdengar suara keras dan mangkok itu meledak pecah, demikian pula biji dadu, lalu
disusul terjengkangnya tubuh Koai-tung tiang-lo ke belakang menimpa kursinya! Kwee Seng tertawa lalu menyambar
guci araknya dan menenggak habis araknya. Sementara itu, Koai-tung Tiang-lo sudah melompat bangun, mukanya
sebentar merah sebentar pucat, napasnya agak terengah-engah. Cepat ia menghardik para tukang pukul yang sudah
mengurung Kwee Seng dengan senjata di tangan sedangkan para pengunjung rumah judi sudah panik hendak melarikan
diri, takut terbawa-bawa dalam perkelahian.



Koai-tung Tiang-lo mengangkat kedua tangn menjura kepada Kwee Seng. "Sicu (Orang Gagah) hebat, pantas berjumpa
dengan kai-ong. Di lereng sebelah utara Tapie-san, di mana kai-ong kami menanti kunjunganmu."



Kwee Seng tersenyum dan menjura. "Kau cukup jujur, Pangcu. Terima kasih." Seenaknya Kwee Seng mengambil dan
mengempit delapan kantung uang yang isinya seribu tail lebih itu termasuk uangnya sendiri, lalu berjalan ke
luar. Uang sebanyak itu sudah tentu amat berat, seratus dua puluh lima kati, tapi ia dapat mengempit dan
membawanya seakan-aakan amat ringan.



"Siapa yang kalah judi di sini, mari ikut aku keluar!" kata Kwee Seng sambil melangkah terus. Sebentar saja,
lebih dari tiga puluh orang ikut keluar, dan tentu saja tidak semua dari mereka penderita kekalahan. Yang
menang pun karena ia mengharapkan keuntungan ikut pula keluar.



Sampai di luar rumah judi, Kwee Seng berhenti. Ternyata banyak orang pula berkumpul di depan rumah judi karena
mereka sudah mendengar akan peristiwa aneh di rumah judi itu. Memang karena baru beberapa hari yang lalu
terjadi keributan ketika puteri guru silat Sin-kauw-bu-koan bertanding dengan para tukang pukul rumah judi itu.



"Saudara-suadara sekalian telah kalah berjudi, bukan? Hentikanlah kebiasaan kalian gemar berjudi, karena
percayalah, kalian tidak akan menang. Kalau kalian melanjutkan kegemaran buruk itu, pasti saudara sekalian akan
menderita kesengsaraan lahir batin. Pada lahirnya, Saudara akan habis-habisan yang akibatnya tentu kekacauan
rumah tangga, kehancuran pekerjaan karena tidak terurus, kemiskinan yang akan menyeret kalian kepada
kemaksiatan lainnya. Kerugian batin, Saudara akan menjadi orang yang suka melakukan kecurangan, menjauhkan rasa
cinta sesama, menimbulkan sifat iri dan tamak. Nah, ini uang kubagi-bagikan di antara kalian untuk menebus
kekalahan kalian, akan tetapi mulai saat ini harap kalian jangan suka berjudi lagi. Pergunakan sedikit uang ini
untuk modal bekerja!" tentu saja ucapan Kwee Seng ini disambut sorak-sorai oleh mereka dan dengan adil Kwee
Seng membagi-bagi semua uang kemenangannya berikut uangnya sendiri sampai habis, seorang kebagian dua puluh
tail perak lebih!



Setelah membagi habis delapan pundi-pundi uang itu, Kwee Seng lalu berjalan pergi keluar dari kota itu, menuju
ke selatan karena ia hendak mencari raja pengemis di Gunung Tapie-san. "Paman, perbuatanmu itu semua sia-sia
belaka, tiada gunanya sama sekali!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang anak laki-laki yang semenjak tadi
mengikuti Kwee Seng dari depan rumah judi. Kwee Seng sedang melamun, maka ia tidak memperhatikan langkah kaki
seorang kanak-kanak yang mengikutinya dan sejak tadi melihat semua perbuatannya.



Ia melirik dan melihat anak kecil yang berwajah terang dan tampan, berpakaian sederhana namun bersih. Ia merasa
heran dan tidak dapat menangkap arti kata-kata anak laki-laki yang usianya paling banyak sepuluh tahun ini.



"Apa kau bilang?" tanyanya sambil melangkah terus, diikuti oleh anak itu. "Aku bilang bahwa akan sia-sia saja
perbuatan paman tadi di depan rumah judi, menghamburkan uang seperti orang melempar rabuk pada tanah kering!"



Kwee Seng melengak heran, lalu memandang lebih teliti sambil menghentikan langkahnya. Ia lalu tertawa bergelak
karena mengenal anak ini sebagai anak yang pernah menaruh kasihan ketika ia ditawan oleh murid-murid guru silat
Liong Keng!



"Ha-ha-ha-ha, kau bocah sinting itu muncul lagi?" tegurnya kepada anak laki-laki ini yang bukan lain adalah Kam
Bu Song. "Eh, bocah, kenapa kau selalu bertemu denganku dan mencampuri urusanku?"



"Entah, Paman. Perjumpaan kita bukan kusengaja akan tetapi setiap kali kita bertemu, aku selalu tertarik
kepadamu. Pertama dulu, aku tertarik karena merasa kasihan melihat kau diseret-seret orang. Sekarang, aku pun
kasihan kepadamu karena melihat kau melakukan perbuatan yang sia-sia belaka akibat kau tidak mengerti."



Hampir Kwee Seng tidak percaya kepada telinganya sendiri. Dia seorang yang tinggi ilmunya mengenai sastra dan
silat, kini diberi "kuliah" oleh seorang bocah yang berusia sepuluh tahun! Akan tetapi karena kata-kata anak
ini disusun rapi, ia tertarik sekali, apalagi setelah ia perhatikan, anak ini mempunyai pembawaan dan pribadi
yang amat menarik. Pada saat itu, mereka sudah tiba di luar kota dan di tempat yang sunyi itu Kwee Seng lalu
pergi ke bawah pohon di pinggir jalan, menjatuhkan diri duduk di atas tanah. Anak itu pun mengikutinya, berdiri
di depannya dengan pandang mata penuh perhatian. Kwee Seng tertawa lagi.



"Heh-heh, bocah sinting. Sekarang kaukatakan, mengapa perbuatanku tadi kaukatakan sia-sia belaka tidak ada
gunanya?



"Karena perbuatan paman tadi bertentangan dengan dua hal," jawab anak itu tanpa ragu-ragu dan tanpa pikir-pikir
lagi, tanda bahwa ia tahu akan apa yang diucapkannya dan tanda bahwa ia memang cerdas. "Pertama bertentangan
dengan wejangan ini." Anak itu lalu membusungkan dada mengambil napas, berdongak dan bernyanyilah ia dengan
suara keras nyaring.



"Diri sendiri melakukan kejahatan

diri sendiri menimbulkan kesengsaraan.

Diri sendiri menghindarkan kejahatan

diri sendiri mendapatkan kebahagiaan.

Suci atau tidak tergantung kepribadiannya

orang lain mana mampu membersihkannya?"




Kwee Seng melongo. "Eh, apakah kau murid seorang hwesio (pendeta Buddha)? Nyanyianmu adalah kalimat suci dalam
kitab Sang Buddha!" ia mengenal sajak itu. Memang sajak ini adalah pelajaran dalam kitab Buddha Dhammapada.



Bu Song mengangguk. "Aku membacanya dari kitab, kalau Sang Buddha yang mengajarkannya, biarlah aku menjadi
murid Sang Buddha."



Jawaban ini pun aneh dan membuat Kwee Seng makin terterik. "Anak baik, mari kau duduklah di sini." Ia tidak mau
lagi menyebut anak itu "anak sinting". Setelah Bu Song ikut duduk di bawah pohon di depannya, Kwee Seng lalu
bertanya.



"Anak baik, coba kaujelaskan, apa hubungannya pelajaran itu dengan perbuatanku tadi." "Para penjudi itu berjudi
tidak ada yang menyuruh, adalah mereka sendiri yang membuat mereka melakukan penjudian. Mereka mau jadi atau
tidak mau judi, adalah mereka sendiri yang memutuskan. Mereka celaka karena judi, atau tidak celaka karena
tidak judi, juga mereka sendiri yang menimbulkan. Pokok dan sumber semua perbuatan adalah terletak di dalam
hatinya, ibarat baik buruknya kembang tergantung daripada pohonnya. Kalau pohonnya sakit, mana bisa kembangnya
baik? Kalau hatinya kotor, mana bisa perbuatannya bersih? Perbuatan buruk mana bisa betulkan orang lain? Yang
bisa membetulkan hanya dirinya sendiri, karena hati berada di dalam dirinya sendiri. Inilah sebabnya maka
perbuatan Paman tadi sia-sia belaka. Pembagian uang takkan menolong mereka melepaskan kemaksiatan berjudi."



Kwee Seng melongo seperti patung. Kalau anak ini pandai membaca sajak dari kitab-kitab suci hal itu tidaklah
mengherankan benar, semua anak yang diajar membaca tentu dapat disuruh menghafalkannya. Akan tetapi apa yang
diucapkannya ini sama sekali bukanlah hafalan dari kitab suci manapun juga, melainkan keluar dari pendapat dan
pikiran berdasarkan pelajaran filsafat kebatinan untuk menguraikan sajak tadi! Inilah hebat! Ia kagum bukan
main, akan tetapi masih sangsi. Jangan-jangan hanya kebetulan saja anak ini "ngoceh" tanpa sengaja tapi tepat.
Ia hendak menguji pula.



"Hemm, kau tadi bilang perbuatanku bertentangan dengan dua hal. Hal pertama adalah sajak tadi, kini apakah hal
ke dua?"



"Segala macam nasihat dan wejangan memanglah muluk-muluk dan enak didengar, akan tetapi itu hanyalah suara yang
keluar dari mulut. Segala macam ayat dan pelajaran dalam kitab-kitab suci memanglah indah dan enak dibaca, akan
tetapi hal itu hanyalah tulisan di atas kertas. Apakah artinya semua itu kalau tidak ada kenyataan dalam
perbuatannya? Semenjak kanak-kanak sampai tua manusia lebih suka mencoba dari orang lain daripada belajar
sendiri! Oleh karana itu. PERBAIKILAH DIRIMU SENDIRI SEBELUM ENGKAU MEMPERBAIKI ORANG LAIN."



"Ah, kau murid Nabi Khong Cu!" Kwee Seng berseru, kagum. "Boleh juga disebut begitu karena beliau memang
seorang guru besar yang patut menjadi guru. Dengan memperbaiki diri sendiri, kita membersihkan diri dari
perbuatan jahat, dengan demikian orang-orang akan mencontoh. Kalau SEMUA ORANG MASING-MASING BELAJAR
MEMPERBAIKI DIRI SENDIRI, maka apa perlunya segala macam nasihat dan pelajaran? Akan tetapi kalau tidak mau
membersihkan diri sendiri, orang lain mana mau mencucinya bersih? Paman, itulah sebabnya kukatakan bahwa
sia-sia saja Paman menasihati para penjudi itu. Alangkah akan janggalnya kalau mereka yang telah mendengar
nasihat Paman itu mendapat kenyataan betapa Paman sendiri seorang maling..."



"Hahhh...? Apa kaubilang? Aku.... maling?" Kwee Seng benar-benar kaget dan penasaran, matanya melotot dan ia
memperlihatkan muka merah. Akan tetapi diam-diam ia kagum dan heran. Anak ini sama sekali tidak takut, matanya
memandang bening dan wajahnya serius (sungguh-sungguh).











"Aku tahu bahwa fitnah itu jahat, Paman, karenanya tak mungkin aku berani melakukan fitnah. Akan tetapi yang
menyatakan bahwa Paman seorang maling adalah Paman sendiri, dalam pertemuan kita yang pertama. Bukankah Paman
sendiri yang bercerita kepadaku bahwa Paman mencuri paha panggang yang Paman makan itu?"



Sejenak Kwee Seng tertegun, mengingat-ingat, lalu ia tertawa bergelak sampai perutnya terasa kaku. "Ha-ha-ha!
Mengambil paha panggang kauanggap maling! Anak baik, aku sama sekali bukan maling!"



Bu Song menarik napas panjang. "Syukurlah kalau begitu. Sebetulnya tidak perlu mencuri. Mencuri paha ayam
maupun gajah, tetap mencuri namanya. Aku tidak akan mencuri, Paman."



Kwee Seng mengamati wajah anak itu penuh perhatian. Sepasang mata anak ini bening dan tajam, indah bentuknya
dan dihias bulu mata yang panjang dan melengkung ke atas. Serasa pernah ia melihat mata indah seperti ini, akan
tetapi tak dapat ia mengingat di mana dan kapan. Adapun Bu Song tidak merasa bahwa jembel itu memperhatikannya,
karena sebaliknya ia sendiri memperhatikan pakaian yang butut dan rambut riap-riapan itu. Kembali ia menghela
napas dan berkata, "Sayang, Paman, uang sebanyak itu dihamburkan sia-sia. Mengapa tidak paman sisakan sedikit
untuk membeli pakaian? Pakaian Paman sudah begini rusak, juga kaki Paman telanjang tidak bersepatu."



Diam-diam ada rasa haru menyelinap di hati Kwee Seng. Baru kali ini semenjak perantauannya, ia mendapat
perhatian orang lain, dikasihani orang lain. Hal ini menimbulkan haru dan suka di hatinya. Entah mengapa,
pribadi anak ini amat menarik hatinya dan diam-diam Kwee Seng mencela dirinya sendiri. Tertarik kepada orang
lain inilah yang menjadi sebab-musabab segala penderitaanya. Kalau dahulu ia tidak tertarik kepada
Ang-siauw-hwa, atau kepada Liu Lu Sian! Sekarang ia tertarik oleh keadaan bocah ini, kalau ia menuruti hatinya,
tentu ada saja persoalan baru muncul. Ia lalu berdongak dan berusaha mengusir perasaannya sambil bernyanyi
dengan suara keras.



"Lima warna membutakan mata

lima bunyi menulikan telinga

lima lezat merusak rasa

memburu membunuh menjadikan buas

benda dihargai menjadi curang

itulah sebabnya orang bijaksana

mementingkan kebutuhan perut

tak menghiraukan panca indera!"




Bu Song memandang dengan mata terbuka lebar dan kagum. Sama sekali tidak disangkanya bahwa jembel yang seperti
orang gila dan suka bersikap edan-edanan dan aneh ini begitu pandai bernyanyi, suaranya nyaring merdu dan
sajaknya bukan pula sembarang sajak. Kata-kata dalam sajak itu menimbulkan kesan mendalam di hatinya dan karena
semenjak kecil ia dijejali kitab-kitab kuno yang sukar bentuk dan arti kalimatnya, maka sekali mendengar sajak
ini Bu Song sudah dapat menangkap inti sarinya. Tak terasa lagi ia bertepuk tangan memuji. "Bagus sekali, Paman
terutama isi sajaknya!"



Kwee Seng tersenyum. "Kau belum pernah mendengarnya? Belum pernah membacanya?"



Bu Song menggeleng kepalanya. Memang dahulu ayahnya melarang ia membaca kitab-kitab Agama To, kerena menurut
anggapan Kam Si Ek, pelajaran dalam agama ini hanya melemahkan semangat anak-anak. Akan tetapi Bu Song yang
sudah banyak membaca kitab-kitab kuno, dapat menduganya, maka ia berkata. "Aku belum pernah membaca sajak itu,
akan tetapi agaknya itu adalah perlajaran Agama To, bukan?"



Kwee Seng girang dan merangkul pundak anak itu. "Anak baik, memang itu adalah sajak dari kitab To-tek-kheng
dari Agama To ajaran Nabi Lo Cu. Anak yang baik siapakah namamu?"



"Aku bernama Bu Song, paman." "Bu Song? Nama yang indah dan gagah. Dan apa shemu (nama keturunan)?"



Bu Song mengerutkan kening dan menggeleng kepala. "Aku tidak menggunakan she. Namaku cukup Bu Song saja, tanpa
tambahan."



Kwee Seng memandang dengan alis bergerak-gerak. "Mengapa begitu? Di manakah kau tinggal?"



Bu Song memandangnya dan kini anak itu tersenyum. "Sama dengan engkau Paman." "Heh...? Bagaimana bisa sama
dengan aku, kalau aku tidak mempunyai tempat tinggal... Ehhh! Apa kau mau bilang bahwa kau tidak mempunyai
tempat tinggal?"
















Bu Song mengangguk!



"Dan orang tuamu? Siapakah mereka? Mengapa kau meninggalkan rumah orang tuamu?" Ucapan Kwee Seng terdengar
bengis dan ia memandang Bu Song dengan mata marah, seakan-akan hendak memaksa anak ini mengaku. Memang Kwee
Seng marah karena ia dapat membayangkan betapa susahnya hati ayah bunda anak ini. Anak seperti ini tentu amat
disayang oleh orang tuanya, maka kalau anak ini pergi tanpa pamit, tentu akan menyusahkan hati mereka.



Tiba-tiba Bu Song berdiri, lalu mengangkat tangan menjura kepada Kwee Seng. "Maaf, Paman, terpaksa aku tidak
dapat melayani bercakap-cakap dengan Paman lebih lama. Aku pergi...!"



"Hee, nanti dulu! Mengapa kau tidak mau bicara lagi?" Sambil menoleh dan memperlihatkan muka sedih Bu Song
menjawab, "Orang bercakap-cakap harus jujur dan tidak saling membohong. Akan tetapi aku terpaksa tidak dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman, aku tidak dapat dan tidak mau bercerita tentang diriku, tentang
riwayatku, maka terpaksa aku harus meninggalkan Paman, biarpun dengan penuh kesal dan kecewa...."



"He, Bu Song, kau kembalilah. Aku tidak akan tanya-tanya lagi tentang keadaan dirimu atau orang tuamu."



Bu Song menjadi girang sekali, ia berlari kembali dan duduk di depan Kwee Seng lagi. Kwee Seng kini memandang
penuh perhatian, lalu memegang kedua pundak anak itu, meraba-raba memeriksa tubuh dengan hati girang dan heran
ia mendapat kenyataan bahwa anak ini mempunyai bakat yang luar biasa untuk ilmu silat. Tulang-tulangnya bersih
dan kuat seperti tubuh seekor harimau muda!



"Bu Song apakah kau pernah belajar ilmu silat?" "Silat? Tidak, tidak pernah." Bu Song menggeleng kepalanya.
"Bagus! Anak baik, aku cocok sekali denganmu. Maukah kau menjadi muridku?"



Murid? Menjadi murid jembel yang gila-gilaan ini? Mau belajar apakah dari orang ini, pikir Bu Song dengan
kening berkerut karena merasa sangsi. "Paman, sipakah Paman ini dan hendak mengajar apakah kepadaku?"



Kwee Seng tertawa bergelak. Jari tangannya mencoret-coret tanah dan tampaklah guratan yang dalam dan indah
gayanya, terdiri dari empat huruf yang berbunyi "Kim-mo Taisu", lalu ia tertawa dan berkata, "Inilah namaku."



"Kim-mo Taisu!" Bu Song membaca dengan pandang mata kagum. "Alangkah indahnya huruf tulisan Paman! Aku suka
menjadi murid Paman untuk belajar menulis huruf indah dan belajar kitab Agama to!"



Kwee Seng girang sekali mendapat kenyataan behwa anak ini memang pandai. Ia tadi sengaja menuliskan huruf
kembang, huruf-huruf yang indah dan coretannya cepat, sukar dimengerti pelajar setengah matang. Akan tetapi
anak ini sekali melihat dapat membacanya, sungguh membuktikan kepandaian sastra yang cukup baik. Ia tertawa
bergelak.



"Aku hanyalah seorang mahasiswa gagal, Bu Song. Tidak, aku bukan hanya mengajar kau tulis dan baca kitab agama
To, akan tetapi terutama sekali aku akan mengajarkan ilmu silat kepadamu. Kau berbakat baik sekali untuk
belajar ilmu silat."



Akan tetapi alangkah herannya ketika ia melihat anak itu menggeleng kepala cepat-cepat sambil mengerutkan
sepasang alisnya yang berbentuk golok.



"Tidak, Paman! Aku tidak mau belajar silat!" "Eh, kenapa?" "Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal
permusuhan sumber kekejaman!"



"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia yang
mempergunakan ilmu itu."



"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi
berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau tidak
untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"



"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang



begitu?"



"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."



Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu silat, pikir
Kwee Seng. Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran
mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat
seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah berpemandangan
luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani mengemukakan
jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.



"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu
kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhumu, kau harus ikut ke mana pun
aku pergi."



Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu, apalagi
setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum dan maklum bahwa
orang itu bukanlah orang sembarangan walaupun ia tidak setuju dengan sepak terjangnya. Maka ia lalu cepat
menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya
menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan tetapi,
hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biarpun hal itu
merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau takut keluar dari
mulutnya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhunya penuh pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang
dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.



"Anak baik, muridku yang baik....!" Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang
untuk meruntuhkan air mata. Ia merasa betapa dari diri suhunya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan,
kasih sayang orang tua yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam
saat itu, di dalam hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan
berambut riap-riapan ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa
sayang seorang anak terhadap ayah!



"Bu Song, kautunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya,
tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu. Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada
saat itu timbul rasa inginnya belajar "terbang" seperti yang dilakukan suhunya, akan tetapi hatinya yang keras
menolak keinginan ini karena pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil, masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak
tahu ke mana suhunya pergi, juga tidak dapat menduga kemana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum
bahwa gurunya itu seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk di bawah
pohon itu, menanti. Kewajiban seorang murid untuk menanti perintah gurunya dan andaikata gurunya itu sehari
semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!



Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah berkelebat
datang, membawa pundi-pundi kuning, datang-datang melempar pundi-pundi itu ke depan Bu Song sambil tertawa
bergelak dan berkata.



"Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka
itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar
menjemukan!"



Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia mentertawakannya.
"Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat, sehingga Kim-mo Taisu
tercengang.



"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian
kujungkirbalikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."



Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhunya ini yang dianggap juga
sia-sia belaka, tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam dalam hati
mereka terhadap suhunya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum, mengerti bahwa muridnya
tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu, diam-diam ia
makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap guru, dan pandai pula menyimpan
perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana keuletan dan ketahanan hati muridnya ini.



"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah
Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi uang ini
dan kau susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"



"Mengapa tidak berani, Suhu?" "Baik, nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!" Setelah berkata
demikian, Kim-mo Taisu menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap. Untuk kedua kalinya
Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu bergerak dan lenyap begitu
saja, seakan-akan suhunya pandai ilmu "menghilang". Ia memandang pundi-pundi itu kemudian mengikatkanya di
punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan. Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang
tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa jerih. Ia percaya penuh bahwa suhunya pasti
menanti di sana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara, ini adalah ucapan ayahnya. Apapun akan ia
jalani untuk mentaati perintah suhunya. Hatinya lapang, langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali,
Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia.
Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa hasilnya
bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di kota orang
berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!



Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia dapat
mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga mendapatkan
pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di sarang burung, kalau perlu
malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk mengusir lapar. Soal minum tidaklah
sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai
juga ia ke kaki Gunung Tapie-san.



Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini,
perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagi-pagi ia
sudah berloncatan dai batu ke batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.



Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno yang
besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok bagian depan
bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup. Sekeliling gedung itu
sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat tinggal manisia ini terdapat
sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di mana seoarang raja atau pangeran tinggal
melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia
cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah istananya?



Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras dan suara ketokan
bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak mungkin kalau
kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang berputaran di atas
gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.



Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah ppintu kemusian suara
tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah pekarangan yang
luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan tuan depannya saja jelas membayangkan kemewahan gedung. Dari
balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang berwajah bengis!



Kim-mo Taisu melangkah masuk dan sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis berdiri
berbaris di kanan kiri pekarangan itu setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu keluar tiga
orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih seperti barisan
di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap dan langkah mereka
sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap pembesar-pembesar tinggi!
Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah di antara tiga orang ini yang memakai nama julukan Raja
Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, taja pengemis itu masih muda
sedangkan tiga orang pengemis ini biarpun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah berusia lima puluh
lebih.



Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal-tambaln, Kim-mo Taisu menunduk untuk
memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan anak buahnya
semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.



"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang puny rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan tetapi biar
sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis, namun aku bukan
pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti pakaian pengemis, akan
tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan kepalsuan manusia?"

bersambung ................6

0 komentar:

Posting Komentar