Jumat, 31 Mei 2013

pedang kayu harum [ 31 ]

"Bukan! aku bukan murid Kun-lun-pai! memang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai,
akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali tidak pernah mempelajari
ilmu silat di Kun-lun-pai!”

"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh
kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran.
"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak
mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai hanya mengatakan bahwa dia
adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah
dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan
pinto dapat menyelamatkannya dan membawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak
menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru. Belum
lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai
haruslah seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu,
maka sampai kini dia berada di Kun-lun-pai selama dua tahun dan bekerja sebagai pembantu.
Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri.”

"Hemmm, begitukah? kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung! tiada
halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Eh, Kiang-toyu, apakah engkau
berkeberatan kalau dia kuambil murid?”

"Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah sendiri. Keng
Hong, pinto telah menyelamatkanmu daripada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat
budi dan hendak meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-
jiu Kiam-ong?”

Keng Hong bangkit berdiri, setelah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis
dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin
terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang
budiman. Ia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu berkata.
"Totiang, sampai matipun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang telah menolong nyawa
saya dan sampai matipun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang
itu. Akan tetapi, apakah budi yang totiang lepas itu mengandung pamrih agar selama hidup
saya harus ikut dan menurut segala kehendak Totiang? Apakah totiang hendak merampas
kebebasan saya? Totiang, pernah saya membaca ujar-ujar dalam kitab kuno bahwa budi
disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, melainkan pemberian hutang yang harus di
bayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya!?”
"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus
kepala anak itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu,
maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau hendak
bilang apa lagi, Toyu?”

Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sesungguhnya
tidak ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha
memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia
tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini
semata-mata tinmbul karena rasa sayang kepada Keng Hong. Dia mengenal orang macam apa
adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang semenjak mudanya hanya mengandalkan kepandaian
malang melintang, seorang petualang yang tidak segan-segan melakukan segala macam
kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Ia ingin melihat Keng Hong menjadi
seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu
akan mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata,
"Siancai....hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya
ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi
murid Taihiap. Hanya ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama

0 komentar:

Posting Komentar