amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang berada di
situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan pedang pemuda itu,
kakek itu nampak makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu pedang yang
lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya, mainkan jurus-jurus
yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh! Han Ki menjadi
makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah
menguasai ilmu pedang itu bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri,
juga sin-kang kakek itu amat hebat! Dia pun mengerti bahwa orang-orang
yang mengaku penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab
ini, ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat
membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru Pemuda ini adalah keluarga sendiri!
Diam-diam
Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini
telah memiliki tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi
kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi jago-jago kang-ouw yang
sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya, kembali dan
menjura.
Locianpwe, maafkan kekurangajaranku. Seperti telah kukatakan
tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu, demikian pula kedua orang sumoiku
itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiat dan saudara
nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek-jiu tadi tentu mempunyai hubungan
dengan Bu Kek Siansu guruku.
Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu, kata
kakek itu dan Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu
agaknya tidak membohong.
Kalau begitu, dari manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?
Kakek itu mengangkat pundak. Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.
Locianpwe,
sukakah Locianpwe menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan
bagaimana dapat tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?
Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
Aku
tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun
tidak tahu. Sudahlah, orang muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau
Nelayan ini, selama turan-temurun menjadi nelayan dan tidak mau
mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi
orang asing dan engkau sekarang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati
penyambutan kami seadanya.Kau boleh tinggal disini selama kau dan
sumoi-sumoimu menyukai, dan boleh pergi kemana saja. Hanya pesanku,
engkau dan sumoimu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu
karang sana itu. Tempat itu adalah tempat keramat bagi kami, tak seorang
pun boleh mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?
Han Ki mengangguk
dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati
penuh ingin tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh
didatangi orang.
Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu, Kakek, tempat apakah itu yang kausebut tempat keramat?
Han
Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek
dan keluarganya yang aneh itu akan marah. Akan tetapi, kakek itu
agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus, Anak perempuan yang
cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek
moyang kami. Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku
tidak berani bicara banyak pula mengenai tempat yang kami anggap suci
itu. Mari kita berpesta!
Orang-orang itu lalu bersorak sambil
mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki dan dua
orang sumoinya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana
terdapat sebuah dusun kecil dengan pondok-pondok kayu yang sederhana
pula. Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut kedatangan
mereka sambil bersorak-sorak gembira. Tak lama kemudian anakanak itu
mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan
tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada
meraka. Biarpun mereka itu kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun
mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal. Di samping
itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat
sehingga gerakan mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
Setelah daging
ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu
itu ikut makan daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan
penghuni pulau itu sendiri yang rasanya seperti sari buah. Mereka semua
bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel kini
merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua
keanehan pada keluarga itu adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama!
Agaknya, keluarga yang terasing dari dunia ramai ini telah kehilangan
kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai
tua mereka tidak, bernama.
Keadaan mereka yang aneh, kepandaian
mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan Bu Kek
Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang
menyelimuti keadaan keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia bersama
kedua orang sumoinya untuk beberapa hari lamanya di pulau itu. Diam-diam
ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia, menduga bahwa letak
rahasianya agaknya berada di daerah keramat di pulau itu. Karena ia
menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan
suhunya. Han Ki bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat
keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia lakukan dengan mudah
karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya,
sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak
para nelayan itu menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari
anak-anak yang amat pandai berenang.
***
Sudah lama kita
meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi
Lan Si Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara
Hitam, pendekar wanita yang gagah perkasa itu meninggalkan suami dan dua
orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara kembarnya,
yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu
gugur dalam perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu
tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan Raja Talibu, saudara
kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan
kematiannya.
Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora
hatinya Mutiara Hitam Kam Kwi Lan meninggalkan suami yang dicintanya
untuk melaksanakan tugasnya yang memaksa jiwanya, maka berangkatlah ia
seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara
kembarnya, tugas yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat
dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja Mongol! Sungguh sengsara
rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya.
Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini
tak pernah terpisah sehari pun dari isterinya, maka dapat dibayangkan
betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan lenyap
dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan
hati gelisah di Gunung Merak di daerah Khitan, bersama dua orang
muridnya. Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang
selalu gembira dan jenaka ini kehilangan gairah hidupnya seperti
matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam
dan murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk
tekun mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab peninggalan isterinya.
Berbulan-bulan
ia menunggu dan di lubuk hatinya, Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih
tepat kelau dikatakan bahwa dia menunggu berita kematian isterinya
daripada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya itu. Siapakah
seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apalagi Raja Mongol yang
pada waktu itu sedang kuat-kuatnya?
Gunung Merak merupakan bukit
kecil, dan, tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu.
Tang Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan,
sesuai dengan pesan isterinya. Jenazah Talibu dan isterinya pun oleh
Pangilma Khitan yang setia, sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat
itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas
tanah kuburan, dan hidup sebagai pertapa di tempat itu bersama dua orang
muridnya.
Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika
Tang Hauw Lam sedang duduk bersamadhi, dia disadarkan teriakan dua orang
muridnya.
Suhu! Ada orang membongkar kuburan! '
Tang Hauw Lam
membuka matanya yang klni tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali
karena pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu
diterimanya dengan tenang.
Ceritakan yang betul, apa yang terladi, katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di depannya.
Teecu
dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana
sudah terdapat seorang laki-laki bongkok yang menakutkan. Dia sedang
menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan bertanya ia
membentak teecu berdua dan mengusir, kata Can Ji Kun.
Dia pasti orang
jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu
seperti anjing saja! Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
Tang
Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya
sambil memandang tajam. Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar
kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan apa keperluannya
menggali tanah kuburan?
Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can
Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan jelas apa yang
telah ia alami bersama sumoinya. Mereka melihat seorang laki-laki
bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena mereka
menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan
keluarga Raja Khitan yang juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu,
dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki bongkok itu sambil
membentak.
Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!
Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau? Can Ji Kun juga membentak marah.
Laki-laki
bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang
mereka dengan mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan
bertemu dengan dua orang anak-anak di tempat sunyi itu, kemudian berkata
nyaring.
Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain,
jangan di tempat keramat ini! Dan dia melanjutkan pekerjaannys
menggali, tanah. Setiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah
tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar
sekali. Akan tetapi dua orang anak yang seperti dua ekor anak harimau
itu tidak melihat kenyataan ini dan Can Ji Kun membentak,
Maling kurang ajar, pergilah! Ia lalu menerjang dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok
Dukk!
Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras
karena dia terlatih semenjak kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu
membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa nyeri.
Melihat
suhengnya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, Maling hina! Berani kau
merobohkan suhengku? anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan
tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki Bongkok yang masih terus
menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
Plakk! Aduh....! Seperti
halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok
Yan Hwa terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
Can
Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masihbelum
kapok, bahkan kini keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng
menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
Hemm.... anak-anak
nakal! Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua
buah batu itu, kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu
hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menjadi pucat,
kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka.
Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!
Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan? kata Ok Yan Hwa.
Hati
Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kelau ada orang kuat menahan pukulan
muridnya yang masih kecil, bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas
hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan
menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi
laki-laki bongkok itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal
ini amat mencurigakan, maka ia bangkit berdiri dan berkata,
Akan
kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja, jangan
sekali-kali lancang mencampuri. Dua orang murid itu lalu mengikuti guru
mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu akan tahu
rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan
mereka tadi.
Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu,
laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah hati pendekar
ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan
tetapi dia juga lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan
membongkar kuburan karena yang digalinya adalah tanah kosong, sungguhpun
tidak jaun dari kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu.
Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti
pakaian pelayan, wajahnya buruk dan kelihatan berduka. Di atas tanah,
tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak tempat abu
jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang
senang karena jelas agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk
mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat lancang. Mana mungkin abu
jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja
Khitan?
Sobat, apa yang kaulakukan di sini? Ia menegur.
Si Bongkok
itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut.
Agaknya ia tidak senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun
itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat seorang laki-laki
setengah tua yang tampan dan gagah biarpun kurus dan agak pucat, ia
menghentikan pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang
Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw Lam dan merasa yakin tidak pernah
bertemu dengan laki-laki gagah itu, Ia menjawab singkat.
Kalau engkau
suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan
nasihati murid-muridmu agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang
kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut pautnya denganmu.
Pergilah, aku sedang sibuk!
Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya.
Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa Han yang
sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan.
Jawaban orang ini ketus dan tidak ramah, bahkan memandang rendah
kepadanya.
Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur
di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau tidak boleh mengubur abu
jenazah di tempat ini!
Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam
dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh kemarahan. Hemm.... siapa
yang melarangnya?
Aku yang melarangnya! Hauw Lam berkata tegas.
Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. Kalau aku tetap hendak mengubur abu jenazah di sini, engikau mau apa?
Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!
Hemm, kaukira akan gampang saja? Cobalah!
Kalau
isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani
Si Bongkok ini dengan kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan
kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi, ia pemurung dan
pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali
tidak memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan
kesabarannya dan membentak Manusia sombong! Pergilah! Sambil membentak
demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan kanannya untuk
mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan
Pek-kong-ciang yang amat ampuh, dan kuat, mengandung tenaga sin-kang
yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
Si Bangkok itu membuat
gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga
kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya. Desss....!
Ahhh....!
Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka
tergetar hebat tanda bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget
adalah Hauw Lam. Pada waktu itu, ilmu kepandaiannya telah meningkat
hebat karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat, ia
telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat,
juga tenaga sin-kangnya bertambah kuat sehingga untuk masa itu, jarang
ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto Tang Hauw Lam suami
Mutiara Hitam ini. Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw
Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat kuatnya dan mengandung
tenaga mujijat, tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi
sekali! Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki
ke pandaian sehebat ini? Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya
terkejut sekali, dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya bukanlah
orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena
maklum bahwa orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi,
maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau dia salah tangan dan
salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya
menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang
muridnya. tadi.
Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya
melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur abu jenazah majikanku di
sini dengan taruhan nyawa. Siapapun juga tidak boleh menghalangi
dikuburnya abu jenazah ini di sini! Dengan ucapan ini, Si Bongkok itu
agaknya hendak minta maaf dan mengajukan alasan mengapa dia bersikeras
hendak mengubur abu jenazah di situ.
Tang Hauw Lam belum pernah
mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa dia
belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab.
Dan aku pun
mempertaruhkan nyawaku untuk menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari
gangguan siapapun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau abunya
dikuburkan di tempat ini!
Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu
bertanya. Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak apa yang
Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?
Aku adalah
Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga
isteriku, bahkan Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara
iparku!
Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, Mutiara Hitam....?
Hauw Lam mengangguk. Isteriku!
Tiba-tiba
terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran,
demikian pula kedua orang muridnya karena di luar dugaannya sama sekali,
Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya sambil menangis!
Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi
abu jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
Hamba Gu Toan
mohon ampun.... harap Tang-taihiap ketahui.... ini.... abu jenazah
dari.... majikan hamba.... mendiang Menteri Kam Liong....!
Wajah Hauw
Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah
guci terisi abu jenazah. Apa? Kanda, Kam Liong.... mati....?
Benarkah....?
Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena
dikeroyok para panglima kerajaan.... dan yang satu itu abu jenazah
Panglima Khu Tek San, murid -majikan hamba .... mereka tewas dalam
menolong adik beliau, Kam Han Ki-taihiap....
Ahhh....! Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, Tidak dinyana.... Kam Liong Twako....!
Sambil
berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa
keluarga majikannya. Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam
Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu Kek Siansu dan dia
berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya,
menyelamatkan pula kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah
Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu jenazah ke tempat itu untuk
dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu. Tang Hauw Lam mendengarkan
penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main, makin
tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja
Talibu saudara kembar isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga
berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua isterinya,
tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya
Menteri Kam terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa
begitu buruk nasib keturunan Suling Emas pendekar perkasa yang menjadi
ayah mertuanya!Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya !
Aihhh.
Gu Toan.... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua
pembelaanmu, dan kaumaafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun
sedang menanti berita tentang isteriku.... Karena tidak menganggap Gu
Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang
Hauw Lam menceritakan keperglan isterinya. Mendengar ini, Gu Toan
terkejut dan ikut prihatin. Kemudian, Tang Hauw Lam membantu Gu Toan
menggali lobang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong dan Khu Tek
San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama
muridnya menyembahyangi kuburan baru itu.
Dua hari kemudian, selagi
Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang bergabung menunggu
kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan
bunyi terompet dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah
siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan datang bahaya. Lalu menyuruh
kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan agar
jangan sembarangan bicara atau bergerak.
Tak lama kemudian muncullah
serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda, sikap
mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari
pagi. Komandan pasukan itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa,
mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali, sebatang golok
besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda
putih yang tinggi besar.
Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat
kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri dengan sikap
tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar
pasukannya berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya,
ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
Kami adalah pasukan Mongol
yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari
seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!
Jantung Tang Hauw
Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan, wajahnya berubah ketika ia
berkata, Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan
Mongol mencari aku?
Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw
Lam, dari kamandan itu lalu memberi hormat secara militer, kemudian
berkata dengan sikap hormat, Kami melaksanakan perintah raja kami untuk
pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang
setinggi-tingginya kepada pendekar Tang Hauw Lam, disertai pujian bahwa
Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami
seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!
Hati pendekar
itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke
Mongol dengan maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi?
Karena dia memang selalu berkhawatir akan nasib isterinya, maka dia
tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak,
Apa yang terjadi
dengan isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di
mana Mutiara Hitam dan apa yang telah terjadi?
Kami hanya utusan yang
menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan
salam dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!
Panglima
Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang
pembantunya, melompat turun dari kudanya dengan sigap kemudian dengan
penuh hormat dan membungkuk, menyerahkan bungkusan sutera kuning itu
kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar dan jantung berdebar
tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian
menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.
Tunggu
dulu! Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, melompat
berdiri dan berkata, Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!
Tang-taihiap,
kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah
kami lakukan, dan Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca
surat dari raja kami yang berada di dalam bungkusan. Selamat tinggal!
Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu
bergerak cepat, kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika
pasukan bergerak pergi, tampak debu mengebul tinggi menutupi barisan
yang pergi dengan cepatnya.
Tang Hauw Lam masih berdiri
termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, Tai-hiap, hidup memang
banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya,
penderitaan merupakan pengalaman hidup yang amat berguna.
Tang Hauw
Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning,
hampir tidak berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta,
memusatkan panca indera dan memperkuat hatinya dengan hawa murni,
kemudian setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi
ia mulai membuka bungkusan kain kuning, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah
mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa
berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi
bungkusan yang dikirim oleh Raja Mongol dengan begitu menghormat kepada
suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh perhatian, dengan
wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga
apa yang telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.
Suasana amat
menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat
bungkusan. Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar
oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari tangan itu dengan seksama.
Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka
tunggu-tunggu dan duga-duga. Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah
tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias dengan batu
permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan....
setumpuk pakaian dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah
pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam ketika pergi, berikut
sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
Betapapun
kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil
ketika ia membuka tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang
telah ia perkirakan semula, dan terdengar keluhnya, Lan-moi....
isteriku....! Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian
itu dan menutupi mukanya dengan pakaian isterinya, lalu menubruk dan
memeluk tempayan itu, tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil
memejamkan mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya
tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan mengorbankan nyawa, kini
pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.
Kwi Lan....! Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak menggelapkan kesadarannya.
Subo....! Can Ji Kun berseru sambil menangis.
Subo....! Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, Keparat orang-orang Mongol! Aku akan membalas dendam!
Aku juga! Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar, rombongan pasukan Mongol.
Ji
Kun,, Yan Hwa! Berhenti....! Tang Hauw Lam membentak, tangannya
bergerak ke depan dan dua orang muridnya itu terpelanting roboh. Apa
yang hendak kalian lakukan?
Kedua orang anak itu merangkak
menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan. Subo
telah mereka bunuh....! Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
Subomu
gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar
dari Raja Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga
karenanya! Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw
Lam, dan dengan wajah pucat, pipi basah air mata namun sikapnya telah
menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan membaca
isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia
membaca surat Raja Mongol itu. Surat yang menceritakan usaha isterinya
membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh kekaguman dan
pujian atas kegagahan Mutiara Hitam, yang seorang diri menyerbu Mongol,
mengamuk dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan
gagah perkasa, membunuhi ratusan orang perajurit Raja Mongol yang
menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena
kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas
dengan pedang masih di tangan!
Kami amat kagum dan terharu
menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam, demikian penutup
surat yang panjang lebar itu. Tak dapat kami menganggap orang segagah
itu sebagai musuh, bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami.
Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan perang dengan perasaan
pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh
hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw
Lam yang beruntung sekali dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang
demikian gagah perkasa.
Kwi Lan....! Ucapan Tang Hauw Lam terdengar
sayu dan wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya
suram-muram dan tanpa banyak cakap lagi Tang Hauw Lam lalu menggali
tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh Gu
Toan yang berkali kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
Penguburan abu jenazah Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan
sampai satu bulan lamanya. Tang Hauw Lam berkabung di dekat kuburan
isterinya.
Setelah lewat sebulan, dia menyerahkan tempayan emas dan
pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan sambil berkata, Gu Toan, engkaulah
satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini dan
karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu,
maka kuserahkan semua ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai
benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas. Jagalah tanah kuburan
ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.
Jangan
khawatir, Tai-hiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah
menjaga tanah kuburan ini, akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba
masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat mengganggu kuburan
atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.
Engkau
seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas
dan dapat dilaksanakan dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat
tinggal, Gu Toan.
Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba
lancang memberi nasihat kepada Tai-hiap, hanya ingin hamba
memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup,
melainkan juga Tai-hiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang
murid Tai-hiap.
Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia
akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi. Masih berkumandang di
telinganya pesan terakhir isterinya, .... andaikata aku tewas dalam
tugas pribadiku ini, kaupimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan
aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang akhirat,
suamiku.
Biarpun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw
Lam memaksa diri tersenyum penuh syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan
berkata, Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku sebaik
mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang
akhirat. Selamat tinggal! Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang
Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti pandang mata Si Bongkok
yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.
***
Berlindung
di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit
karang dan menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri guha besar
yang dianggap tempat keramat oleh penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga
hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat
menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun
mengetahui akan perbuatannya ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak
mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu karena ia menduga
bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh
rahasia dan tentu ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu, akan dapat ia
temukan di dalam guha keramat terlarang itu.
Biarpun kepandaiannya
sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali.
Seluruh penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki
kepandaian hebat sehingga kalau dia tidak hati-hati tentu akan terlihat
oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia
menyinggung hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu,
tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang bersikap baik kepadanya.
Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan
melanggar daerah terlarang itu, kalau sampai dia ketahuan mendatangi
tempat itu, bukankah ia akan merasa malu sekali?
Guha itu sudah mulai
gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari
lemak ikan. Setelah memasuki guha itu, Han Ki menyalakan lilin dan
mulailah ia dengan penyelidikannya. Guha itu ternyata cukup besar dan
tepat seperti dugaannya, gua itu merupakan terowongan. Ia masuk terus
dan betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar
yang keadaannya sudah rusak dan dinding batunya banyak yang longsor.
Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat
tua, sebagian tertimbun batu dan tanah. Dibukanya peti itu dan isinya
adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki mengambil
sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin
di atas peti dan mulai membuka-buka kitab.
Inilah yang kucari!
serunya girang. Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai
membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak kuno, akan tetapi
Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya
tadi. Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek
moyang penghuni. Pulau Nelayan. Agaknya kitab-kitab itu tidak ada
gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara
mereka dapat membaca.
Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab
yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget sekali, juga
girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau
Nelayan itu masih mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya
mereka itu adalah keturunan orang-orang yang mengungsi dari Pulau Es di
jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang
kerajaan kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi
nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
Menurut catatan dalam kitab itu,
di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari
daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah
istana di situ. Pangeran ini amat sakti dan bersama para pengikutnya ia
tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup aman
tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu, para pengikutnya membentuk
keluarga-keluarga yang hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena
kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain yang berani
mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es
turun-temurun dan ilmu kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang
turun-temurun dipelajari anak cucunya.
Akan tetapi, pada waktu
keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah
mulai berkembang, terjadilah malapetaka yang amat dahsyat di pulau itu.
Badai taufan mengamuk, tak tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat
pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua penghuninya! Seluruh keluarga
raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi
semua! Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau,
yaitu yang sedang berlayar menangkap ikan, mereka inilah yang tidak
terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan sebagian
besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan
orang, tujuh laki-laki dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga
perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua belas orang inilah
yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan! Di antara mereka
itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima
pelajaran ilmu silat tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah
mengherankan apabila ilmunya itu ia wariskan kepada anak cucunya
sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi! Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan,
makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan pakaian serta watak
mereka menjadi sederhana sekali sungguhpun ilmu silat mereka amat lihai!
Han
Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan
antara para penghuni pulau ini dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para
penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang terlepas dari
bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan
keluarga raja yang terbebas dari maut.
Mendadak terdengar suara
gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin
menyambar ke arah kepalannya. Sebuah tangan berkuku panjang
mencengkeram ke arah kepalanya dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki
berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain mencengkeram dada.
Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara
berbareng. Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan
juga kuat sekali dibarengi suara menggereng seperti binatang buas. Han
Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti
sehingga terguling. Ketika ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru
kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia bertubuh satu
berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh
itu menyerang lagi dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan
mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan menakut-nakuti.
Trik-cringgg....!
Ayaaa....! Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku
panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan kanannya seperti lumpuh
dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali
Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
Kini, di
antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan
terdesak, Han Ki dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua
orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang punggungnya melekat
menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua
orang yang mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar
dampit itu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada para
penghuni Pulau Nelayan.
Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya
karena orang kembar itu, berbeda dengan kakek botak yang menguji
kepandaiannya, kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan
kaki atau tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Dan di
dalam guha yang gelap karena lilin di atas peti terguling. Han Ki tidak
dapat bergerak leluasa, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat,
agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
Heii, nanti dulu! Aku bukan
musuh....! Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke
mari. Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya,
malah mendesak makin hebat. Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding,
keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin membunuh, maka tentu
saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar
kuku runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang
terobek hanyalah bajunya di punggung dan di belakang pundak.
Tiba-tiba, seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, Mataku.... ahhh.... silaunya....!
Han
Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini
agak terang. Dan bersamaan dengan terangnya tempat itu, dua orang
dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan seringkali
menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang
sambil meloncat ke belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan
tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin, tadi terguling dan tidak
padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
Aduh.... silau....!
Tak dapat melihat....
Tiba-tiba
sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah
mereka dari tempat itu, menghilang ke sebelah dalam terowongan yang
gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh dan menarik napas
melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti,
kini telah menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan
binatang-binatang buas yang biasa dengan tempat gelap, sepasang orang
dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang
menolongnya. Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si
Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula. Kalau demikian, maka
berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang
luas, mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit
dan gelap? Mereka terlalu lihai! Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari
keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di
tempat pertempuran tadi.
Akan tetapi ketika ia tiba di luar guha,
tempat di luar guha itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang
dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan
guha. Maya dan Siauw Bwee berada di antara mereka, akan tetapi kedua
orang sumoinya itu dibelenggu!
Eh.... aku.... aku tidak melakukan
apa-apa.... Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali
ini benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela
kedua orang sumoinya kalau mereka itu berniat buruk.
Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit! Kakek botak berkata suaranya dingin sekali.
Akan
tetapi.... dia.... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki
asal-usul kalian karena aku tertarik, tidak berniat buruk....! Dan aku
telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari Pulau
Es!
Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek
itu berkata lagi, Kami tidak mengerti apa yang kaukatakan itu, Si
Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami
anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan
malapetaka kalau tinggal bersama kami. Kelahiran, mereka telah membawa
bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin besar merusakkan
tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.
Akan tetapi mereka.... lihai sekali!
Kami
mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena
mereka merupakan seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala,
tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau telah melanggar
pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoimu
harus meninggalkan pulau ini!
Akan tetapi....! Han Ki membantah.
Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah kemarahan penghuni pulau?
Han
Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya
takhayul ini tak munkin di bantah. Baiklah, kami akan pergi besok pagi.
Sekarang juga!
Suheng,
mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita
pergi! Aku muak menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita
bukan pulau ini?
Han Ki mengangguk. Baiklah. Mari kita pergi! Han Ki
lalu menghampiri kedua orang sumoinya, menggunakan tenaga saktinya
sekali renggut membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu,
menggandeng tangan mereka dan mengikuti orang-orang itu yang
mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki kagum
menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki dan perempuan, juga
kanak-kanak, menuruni tebing membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia
lalu lepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang Sumoinya memasuki
perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek
botak.
Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di guha yang
kubaca, kalian adalah keturunan dari dua belas orang pengungsi yang
menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai
taufan. Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang
keluarganya terbasmi dalam badai. Akan tetapi, ada seorang keturunan
keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa
yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku
tidak berniat buruk ketika menyelidik ke dalam guha. Adapun sepasang
manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu. Mereka
sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kapandaian mereka itu
hebat sekali, kalau mereka kalian biarkan keluar, tenaga mereka akan
amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!
Dengan hati-hati Han
Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena
malam amat gelap. Dia menanti sempai orang-orang itu pergi meninggalkan
pantai, obor-obor di tangan mereka membentuk pemandangan yang aneh,
sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular merayap
naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan
perahu ke pantai dan ia melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir
pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia mendayung
perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
Dua
orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati
tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa suhu mereka adalah keturunan
keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga. Baru
para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat
kepandaiannya seperti penghuni Pulau Nelayan, apalagi raja itu sendiri
yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es itu tentu indah
sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
Setelah
memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari,
melewati sekumpulan pulau kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau
yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar puncak sebuah
bangunan di tengah pulau itu.
Tak salah lagi, itulah Pulau Es! Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
Maya
dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan
dengan hati berdebar tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain daripada
pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan cemerlang tertimpa sinar
matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan ujung bangunan
itu kalau tidak lebih dulu mendengar bahwa di tengah pulau terdapat
sebuah istana tentu disangka puncak sebuah bukit karang.
Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng? tanya Maya.
Jangan-jangan kita telah didahului orang lain, kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
Tidak
mungkin, jawab Han Ki. Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu
menyuruh kita ke sana. Hayo bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di
sana.
Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung
berdebar tegang, tiga orang itu mendarat dan menarik perahu naik ke
darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini
yang dapat menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah.
Setelah menarik perahu sampai jauh ke daratan agar jangan terbawa hanyut
air laut kalau pasang dan menyembunyikan perahu di tempat yang aman,
mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam
mimpi saja. Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga
tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau batunya. Pantas saja disebut
Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari
bongkahan es yang amat beSar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung
di atas laut, sungguhpun mereka tidak merasakan guncangan sama sekali.
Pulau Es ini kosong, tidak ada mahluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu! Han Ki berseru, gembira dan kagum.
Bagaimana
kita dapat hidup di tempat seperti ini? Maya mencela, Tidak ada
tetumbuhan sebatang pun, tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati
kelaparan di sini!
Aduh, dinginnya bukan main! Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.
Han
Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin,
menyusup ke tulang-tulang rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan
sin-kang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum bahwa kedua
orang sumoinya tentu akan menderita sekali karena untuk dapat melawan
hawa yang dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu,
membutuhkan tenaga sin-kang yang kuat.
Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.
Mereka
berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini, darah mereka
mengalir cepat menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah
bukit karang, akhirnya mereka berhenti dan memandang kagum ke depan. Di
tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya,
berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat
debu kotor, bangunan itu nampak gemilang seperti baru, selain indah
dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi,
karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini,
hawanya lebih dingin lagi sehingga Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan
tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
Mari kita masuk! Han
Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoinya. Kedua orang
anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga
tiba di depan pintu bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan
langkahnya dan bertanya,
Suheng.... jangan-jangan ada orangnya di....
Aihhh,
Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andaikata ada penghuninya
sekalipun kita takut apa? Maya mencela dengan suara nyaring.
Jangan
khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu,
tidak ada orang yang akan berani mengganggu. Marilah! Han Ki bergandeng
tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak digandengnya pula
merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan
sikap tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan
terdapat kerukunan di antara kedua orang sumoinya itu.
Pintu yang
besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan
terheran-heran. Ruangan depan istana itu benar-benar mengagumkan sekali
karena selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di dinding
terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah
orang-orang bangsawan dan hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan
sajak berpasangan. Ruangan yang lebar, lantainya dari pintu putih
mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi di kedua
sudut, dua buah lemari kayu terbuat daripada kayu besi terukir kepala
naga dan piring-piring dinding, guci berukir bunga-bunga menghias
ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah pintu besar
menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang
sebelah kiri menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong
yang menuju kebangunan kecil. Di sudut sekali terdapat sebuah rak
senjata yang penuh dengan delapan belasmacam senjata, biasanya dipasang
sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang
sampai tombak merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu
mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya!
Han Ki
menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di
ruangan depan ini tidaklah sedingin hawa di luar. Kedua orang anak
perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak benar-benar
menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa
keadaan di ruangan depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu
besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin dalam, makin eloklah
keadaan di dalam istana. Semua perabot rumah serba lengkap dan indah,
dan disitu terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan lengkap dengan
tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdpat
beberapa pintu yang menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno,
yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu! Dapat dibayangkan betapa
girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan
mereka memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya. Ruangan belakang
yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan
di sebuah kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat
indah dan halus sehingga tampak urat-urat dan jalan darah seolah-olah
arca itu terbuat daripada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena
dengan adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoinya lebih
baik, dan lebih mudah, yaitu untuk melatih pukulan-pukulan dan
totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis
tubuh manusia biasa itu.
Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung
gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur kering, ia makin kagum
dan bersyukur kepada suhengnya yang agaknya sebelum menyuruh para
muridnya pergi ke Pulau Es, telah lebih dulu mengatur persediaan
secukupnya.
Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci? Siauw Bwee
berkata menahan senyum, sikap dan suaranya halus, namun tidak urung
tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada sucinya yang tadi takut
kelaparan berada di pulau itu.
Hemm, semua bahan makanan ini paling
lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah habis, ke
mana kita akan mencarinya? Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
Kita bisa mencari ikan di laut, kata Siauw Bwee.
Hemm,
kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di
Pulau Nelayan, tentu mudah, Sumoi. Sayang sekali, hawanya di sini amat
dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat seekor ikan pun,
engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi,
aku tidak takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh
kalau memang benar akan selamanya belajar ilmu bertahun-tahun di tempat
ini.
Melihat betapa kedua orang sumoinya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata,
Sudahlah,
Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian. berdua memang
benar semua. Khu-sumoi benar karena memang kita tidak perlu berkecil
hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal bagaimana
kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada
tumbuh-tumbuhan ini dengan selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam
pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan kurasa
di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan
buah-buahan serta seyur-sayuran. Kelak aku akan melakukan penyelidikan
dengan perahu dan mencari bahan makanan secukupnya. Sekarang, lebih baik
membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan
peninggalan Suhu untuk mengisi perut. Dengan bijaksana Han Ki melerai
dan kedua orang sumoinya melupeken perbantahan mereka, kemudian mereka
berdua kembali berlomba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya.
Ternyata dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling
mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya tidak pernah mau kalah oleh
sumoinya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini
mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai
watak kedua orang sumoinya. Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau
kalah mau kalah sungguhpun di dasari kejujuran dan juga mempunyai kasih
sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati
yang tidak kalah teguh oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup
oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan untuk mengalah
terhadap sucinya.
Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling
tidak mau kalah, dan saling lumba antara kedua arang anak perempuan itu,
dalam hal mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak
perempuan itu agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan dan hal ini
amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua orang sumoinya merupakan
murid-murid yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru
karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapapun lelahnya,
seorang di antara mereka, kalau melihat yang lain berlatih, dan akan
terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau
beristirahat akan tertinggal jauh, Keduanya sama tekun dan sama cerdik,
kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di bawah
pengawasan dara bimbingan Han Ki mereka sikat satu demi satu! Tentu saja
mereka berdua memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri
sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua orang sumoinya sehingga dia
pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang
lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhunya.
Dengan, dasar yang telah dimilikinya, tidak terlalu sukar baginya untuk
melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.
Akan tetapi, di samping
kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoinya yang
membuat mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han
Ki menjadi pusing kalau melihat persaingan itu berlarut-larut sehingga
menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang
laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua
orang gadis remaja yang sedang manja-manjanya dan bengal-bengalnya,
apalagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak kegalakannya,
terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
Aku akan mempelajari
ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku! Pada suatu
malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam
seadanya. Kalau belum kubasmi habis musuh-musuhku, beum lega hatiku!
Karena
maklum bahwa sumoinya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan
berlarut-larut, Han Ki hanya mengangguk. Lebih baik sekarang
mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya dan di
dunin ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.
Akan tetapi,
Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ignin
melihat sucinya itu untuk kemudian ia permainkan dan tertawa, segera
bertanya, Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang begitu banyak
sehingge kau hendak membasminya semua?
Musuh-mushku? Sepasang mata
Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki
memandang kagum. Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian
indahnya, seperti sepasang bintang yang terang cemerlang! Bukan main
indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu
jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok
sekali di tengah bagian yang hitam tampak titik yang hitam namun
seolah-olah mengeluarkan api! Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol
yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi mereka semua
kelak!
Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoinya ini. Kiranya
menaruh dendam sakit hati yang demikian besar atas kematian ayah bunda
angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan
kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah,
sumoinya ini akan lebih ngotot lagi, maka dia diam saja.
Akan tetapi
seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau kalah begitu saja dan ia langsung
mencela, Aihhh, Suci. Pandanganmu itu keliru sekali!
Apa? Keliru
katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan
kerajaan ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana
letak kekeliruannya, Sumoi yang manis? Biarpun Maya menyebut sumoi yang
manis namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan menantangnya
untuk berdebat. Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang
sumoinya akan menyala, dan seyogianya dia segera memadamkannya, akan
tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan
kedua orang sumoinya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan
penuh perhatian.
Suci, jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum
menyaksikan sumoinya yang kecil ini karena di balik kehalusannya itu
tersembunyi kekuatan dan
ketenangan yang mengherankan hatinya. Engkau
tentu tahu sendiri bahwa aku pun menjadi korban, ayahku tewas oleh bala
tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku sama sekali tidak
mendendamkepada seluruh kerajaan Sung!Aku tahu bahwa ada biang keladinya
yang mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan
mendendam pada biang keladinya yaitu Panglima Besar Suma Kiat dan
kakitangannya.
Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh
kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung telah bersama menghancurkan
kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas.
Ini merupakan dendam ini keluarga juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja
engkau tak dapat merasakan hal ini karena engkau bukan putri raja yang
mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi ditambah dendam
bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak akan kubalas.
Sebelum Siauw
Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, Semua cita-cita adalah
benar asal dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan
kebenaran. Aku sudah mendengar tekad Maya-sumoi,dan aku tidak akan
mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu,
Khu-sumoi?
Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa
suhengnya itu sengaja memasuki perdebatan dengan maksud menghentikannya,
maka dia selalu yang patuh kepada suhengnya juga tidak berkeras hendak
membantah Maya. Maka jawabnya, Aku akan mempelajari ilmu sesempurna
mungkin untuk kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia
amat lihai, karena itu aku harus memiliki tingkat kepandaian yang
melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan
bersabar dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka
Han
Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan.
Suheng, engkau sendiri mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat.
Bukankah engkau mendendam pula kepadanya? Pertanyaan. itu dilakukan
dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya
sehingga mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama! Akan tetapi,
betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika
mendengar jawaban Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum
menjawab.
Masih bergema di telingaku nasihat dan wejangan Siansu. Han
Ki kadang-kadang menyebut Suhunya siansu. Yaitu bahwa dendam timbul
dari nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu
menegaskan bahwa menuruti nafsu memancing datangnya penyesalan dan
penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada siapapun
juga. Kalau toh ada malapetaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku,
maka hal itu datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah
sebagai ujian, namun yang jelas, demikian menurut Siansu, adalah bahwa
apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Diluar
kehendakNya, takkan ada terjadi sesuatu!
Akan tetapi, Suheng, Siauw
Swee membantah penuh perasaan. Ada akibat tentu ada sebabnya. Katakanlah
bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan
tetapi yang menjadi sebabnya adalah perbuatan manusia, dalam hal
malapetaka yang menimpamu , sebabnya adalah kejahatan Suma Kiat!
Han
Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. Sungguhpun
demikian, Sumoi, namun si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab
hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai penyebab. Dan siapa yang
melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang buahnya
kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum
keadilan Tuhan! Tanpa kita balas, Tuhan suda kan memungut-Nya sendiri
dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya kepada Tuhan.
Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya itu.
Suheng!
Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputusasaan dan
kelemahan yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai
kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak berakal saja yang tidak mau
berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa
pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal
yang mencelakakan kita!
Han Ki tersenyum memandang sumoinya yang
penuh semangat itu. Ucapanmu benar, Sumoi. Memang, manusia wajib
berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapapun juga,
segala ikhtiar hanyalah merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, adapun
segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.
Suheng, kenapa Tuhan
menjatuhkan malapetaka kepada kita? Siauw Bwee bertanya, suaranya
mengandung penasaran. Suheng sendiri tertimpa malapetaka sehingga
menjadi orang buronan kerajaan di mana Suheng bekerja sebagai seorang
penglima yang setia! Aku sendiri tertimpa malapetaka, ayahku yang setia
terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta
bersama Suheng dan Suci di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang
tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan seolah-olah
mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat
maka Tuhan sengaja menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat,
kejahatan apakah yang telah kita lakukan?
Kembali Han Ki tersenyum
sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoinya ini masih remaja dan penuh
nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat
hidup yang sederhana. Sumoi, manusia terlahir bukan atas kehendaknya
sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak mati tidak
mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan
caranya. Seluruh hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya
berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya, sungguhpun segala
akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri. Hukum Tuhan
adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapapun juga merupakan
hukum yang penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya.
Karena itu, kita harus sadar dengan penuh keyakinan bahwa Tuhan itu
Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kaiau kita hanya
tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya
menangis duka dan penasaran sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita!
Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak Tuhan, mengapa
kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak
terjang kita dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup
kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah, yang lain tidaklah penting
lagi.
Ah, mana mungkin? Maya membantah. Kalau orang tertimpa
malapetaka yang disebabkan oleh kejahatan orang lain, bagaimana kita
dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik kalau
nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?
Han Ki
menggeleng kepala, Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan
oleh nafsu iba diri dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andaikata
Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah pemain-pemain
sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara
menentukan, permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang
manusia. Dan ingat, bukan perannya yang penting, melainkan cara manusia
memainkan perannya itu. Biarpun seseorang diberi peran seorang raja
besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela.
Sebaliknya, biarpun Sang Sutradara memberi peran kecil tak berarti,
misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu memainkannya
dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan
manusia. Apa artinya seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau
sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja, kalau dia
lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan
direndahkan di mata manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa
mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati Tuhan kalau seorang biasa
yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup
penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis
kebenaran dan keadilan.
Dua orang anak perempuan itu mengerutkan
kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati mereka,
sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah
hidup.
Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng. Maya mendengus.
Maaf, Suheng. Betapapun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya! Siauw Bwee berkata.
Han
Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua
orang sumoinya akan sia-sia belaka. Kesadaran datang bukan oleh
palajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman.
Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati
kalau lari? Manusia membutuhkan pengalaman pahit untuk mencapai
kesadaran dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang lebih
banyak pahitnya daripada manisnya. Namun, semua ini berguna, karena
apakah artinya pengalaman manis? Hanya akan lalu tanpa bekas.
Sebaliknya, pengalaman pahit aken membekas dalam hati sanubari, sukar
dilupa, dan karena itu maka amat berguna. Diam-diam dia hanya
mengharapkan semoga tidak terlalu pahit pengalaman yang akan menimpa
kedua orang sumoinya ini.
Sudahlah, daripada omong kosong, mari kita
berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sin-kang sehingga dapat
bertahan bersamadhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah
mengerti bahwa hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sin-kang
yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri untuk memperkuat
sin-kang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat
(ilmu menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang
berada di kamar bawah untuk berlatih.
Dua orang anak perempuan itu
menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran
ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama
Han Ki ke Pulau Es, akan tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu
menotok yang bertingkat tinggi dan untuk pelajaran ini, mereka telah
menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal
letak-letak jalan darah sehingga kini mereka hanya akan melatih
prakteknya saja dengan arca itu.
Terutama sekali Siauw Bwee girang
sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat
mengatasi sucinya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biarpun
keduanya sama tekun dan sama-sama memiliki bakat yang amat baik untuk
belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda. Dalam
hal mempelajari sin-kang, jelas bahwa Maya melampaui sumoinya, juga
dalam ilmu pukulan, gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia
lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoinya. Akan tetapi, dalam hal
gin-kang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar
loncatan-loncatan dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui sucinya.
Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat ini.
Dan seperti biasa dalam
setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlomba saling
mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah
pengawasan dan petunjuk Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu
berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan menyerang semua jalan
darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori
gerakan ilmu silat ini. Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak
perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang mengelilingi setangkai
bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok
semua jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh
gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee dan setelah selesai, Han
Ki berkata sungguh-sungguh, Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan
ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau
menggunakan jari telunjuk saja, sebaliknya untuk menotok jalan darah
tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan jari
tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kaulatih setiap
hari dengan tekun. Maya-sumoi.
Maya mengangguk dan menjawab, Baiklah, Suheng. Akan tetapi mukanya yang menunduk itu membayangkan ketidakpuasan hatinya.
Sekarang engkau, Khu-sumoi, Han Ki menyuruh sumoinya yang ke dua.
Baik,
Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu
kesalahan-kesalahanku seperti yang dilakukan Suci tadi agar aku mengenal
kesalahanku sendiri! kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah dan
ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca, jari
tangannya yang kecil mungil melakukan totokan-totokan secara cepat.
Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini ternyata
bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi dan setelah ia selesai
bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh
arca itu, Han Ki berkata,
Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan
jari tangan benar dan kecepatanmu cukup, hanya dalam melakukan totokan,
engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sin-kang di ujung jarimu agar
setiap totokan, pada tubuh manusia akan berhasil baik.
Melihat betapa Han Ki, memuji sumoinya, Maya meloncat ke depan dan berkata,
Suheng,
aku mau berlatih lagi dengan arca keparat ini! Tanpa menanti jawaban
Han Ki, Maya sudah bergerak lagi menerjang dan menyerang arca batu,
gerakannya cepat dan serangannya amat kuat
Krakkk! Dada arca itu
retak-retak dan Maya, menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung,
membuat tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.
Ahhh, Sumoi!
Engkau telah merusakkan arca! Han Ki berseru marah. Karena dalam
kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki
memuji-muji Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi
menggunakan totokan jari tangan, melainkan pukulan-pukulan dengan
telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl
Mendengar
teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya
penuh kemarahan, Maya menundukkan muka dan berkata,Salahku, Suheng. Aku
bersalah dan siap menerima hukuman....
Han Ki menghela napas panjang.
Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan
Siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang? Siauw
Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, Suheng, kalau
arca itu rusak, bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah
mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu dan berlatih haruslah yang
kuat, apalagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja
lama-lama pecah.
Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoinya ini memang
aneh dan lucu. Tadi saling berlomba dan bersaing, akan tetapi begitu
yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!
Arca ini peninggalan Suhu, kini teiah menjadi rusak, kita harus dapat
membuatkan penggantinya.
Han Ki lalu mencari batu karang yang
terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan mulai
hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang
manusia. Dan dalam usaha ini terjadi keanehan dan penemuan bakatnya.
Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali! Maya
dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka
menyaksikan betapa arca buatan Han Ki ternyata amat baik, bentuknya
menyerupai manusia benar dan biarpun tidak sehalus arca yang rusak,
namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak
terduga-duga ini Han Ki menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu
terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir untuk memperdalam
kemahiran tangannya.
Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoinya
dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi peninggalen Bu
Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua
orang gadis cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai,
apalagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia sudah merupakan seorang
pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apalagi sekarang! Namun, di
samping ketekunan mereka yag bercita-cita dan melatih diri menjadi
orang-orang sakti, terdapatlah keruwetan-keruwetan perasaan di antara
dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa. Han Ki adalah seorang
pemuda yang tempan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara
remaja itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang
terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam hati kedua orang dara remaja ini
tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang
menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling
menyayang ini selalu bersaing, apalagi di depan Han Ki! Mereka bertiga
yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan
mereka masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan
Cemburu. Melawan musuh yang kuat dapat mengandalkan ilmu silat tinggi
yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu akan
dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?
Kalau
Han Ki sedang, melatih silat kepada dua orang sumoinya, dia selalu
merasa kagum, karena selain cerdik dan berbakat, juga kedua orang
sumoinya itu merupakan dua orang gadis remaja yan cantik jelita. Sukar
dikatakan siapa antara mereka yang cantik. Maya memiliki kecantikan yang
panas dan liar, bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya
tarik istimewa dan khas. Akan tetapi, daya tariknya itu sukar dikatakan
dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan
kehalusannya dan pengertiannya yang mendalam. Sama sekali Han Ki, pemuda
yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak
bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati
wanita, tidak pernah mimpi bahwa dialah orangnya yang akan mabok
kepayang, bahkan akan menjadi akibat daripada serangkaian peristiwa yang
amat hebat!
***
Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih!
Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolah-olah
dia bernapas! Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu
yang dibuat oleh Han Ki atas permintaannya. Han Ki memandang dengan
wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya
sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu
girang memeluk burung-burungan dari batu yang diukirnya dari batu
karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang
berlatih di belakang istana.
Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam
untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang lebih setahun
lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari
ilmu-ilmu yang dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek
Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah kitabkitab yang
ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus
dibakar.
Kitab-kitab pelajaran iimu silat tidak baik ditinggalkan
begitu saja, kata gurunya. Ilmu silat merupakan ilmu yang amat berguna
jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali
terjatuh ke tangan orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya.
Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan kedua orang sumoimu,
kitab-kitab itu harus dibakar.
Karena inilah, maka Han Ki terpaksa
membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang
telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan
ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu merangkai kitab yang berisikan
ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia
pelajari.
Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang
istana. Suara Maya dan Siauw Bwee, seperti orang bertengkar. Cepat ia
menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan
Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ,
perebutan mencapai puncaknya. Maya berusaha merampas burung batu itu
dari tangan Siauw Swee yang mempertahankan. Keduanya memegang burung
batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
Prakkk Burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
Ohhh....!
Burungku.... aih, burungku pecah....! Siauw Bwee berlutut, menangis
memandang burung batu yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.
Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela,
Ahh, begitu saja menangis. Cengeng....!
Maya-sumoi! Apa yang kaulakukan itu? Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada Siauw Bwee.
Aku hanya ingin meminjam, dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!
Tidak! Dia memang hendak merampasnya! Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
Maya-sumoi,
tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa, Han Ki kembali
menegur, tidak senang karena melihat Maya mulai bersikap keras dan
memaksa kepada Siauw Bwee.
Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak kepadaku.
Han
Ki mengerutkan keningnya. Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan
Khu-sumoi, bukan semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga
menginginkan sebuah, mengapa tidak minta saja kubuatkan dan merampas
kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus minta maaf
kepada Khu-sumoi!
Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.
Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air matanya. Melihat betapa Maya
dimarahai Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
Lihat, Khu,sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi, Han Ki kembali menegur.
Sejenak
sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh
kepada Siauw Bwee. Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur.
Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat! Lebih baik aku pergi
saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng! Maya
membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
Suci, kau hendak ke mana? Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya mencegah.
Kalau
dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti
kalau sudah mendingin hatinya, tentu dia kembali sendiri. Karena di
dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia sengaja
membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu
tidak berapa luas.
Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum
juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga Siauw Bwee
merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi
pulau dari dua jurusan. Akan tetapi, mereka bertemu kembali dengan
tangan hampa.
Kucari kemana-mana tidak ada . Suheng.Jangan-jangan dia....
Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah dimana nak nakal itu!
Suheng,
Suci tidak nakal! Ahh.... dia harus dapat ditemukan kembali, Bagaimana
kalau terjadi sesuatu dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....
Tenanglah.
Kaupersiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya ssmpai depat. Han
Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran
hatinya dan mulai berteriak-teriak nyaring memanggil nama Maya.
Mayaaaaa....! Sumoi....! keluarlah....! Di mana engkau....?
Suara
Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga
dari dalam perutnya, mempergunakan khi-kang yang kuat sekali. Mendengar
suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia melanjutkan
persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia
mendengarkan gema suara Han Ki dari jauh.
Maya....! Maya....! Maya....!
Tidak
ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee
dan tentu saja Maya yang bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas.
Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah keinginan hatinya,
bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya,
agar suhengnya dan sumoinya cemas memikirkannya, terutama sekali
suhengnya! Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya
dan ia tahu bahwa suhengnya tentu mencarinya di seluruh permukaan pulau
itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong itu.
Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng
dan sumoinya, yaitu di dalam ruangan bawah istana!
Biar dia tahu
rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa
Han Ki membuatkan mainan sumoinya dan dalam pertengkaran tadi jelas
bahwa suhengnya membela sumoinya, bahkan memarahinya di depan sumoinya.
Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati, aku
tidak akan kembali kepada mereka! Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi?
Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng dan
sumoinya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi.
Melihat arca batu yang tadinya mereka pakai sebagai alat melatih
tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan pinggangnya
saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa
dalam latihan itu pun ia dimarahi suhengnya karena membikin pecah arca.
Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ. Kalau dia tumpuk di depan
rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di
belakang tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya
lalu menghampiri arca yang tinggal setengah badan bagian bawah, kemudian
ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk mengangkatnya.
Namun, arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan! Ia berdiri
memandang penuh penasaran. Sin-kangnya sudah kuat, masa dia tidak dapat
mengangkat batu ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh
sekalipun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa kaki arca ini tak
dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk,
memeluk kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan
memutar.
Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan
betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di bawah landasan kaki
arca itu, lantainya berlobang? Akan tetapi keheranannya berganti
kegirangan dan ia berkata, Inilah tempat sembunyi yang baik! Tanpa
ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lobang itu dan kembali dia
terheran-heran karena di bawah lobang terdapat anak tangga dari batu.
Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia tidak
menutup lagi kaki arca di atas lobang dengan hati-hati Maya menuruni
anak tangga batu itu, terus ke bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat
sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
Dengan hati-hati akan tetapi
sedikitpun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya
menuruni lorong kecil, Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja
dibuat orang, berada di bawah istana dan hal ini selain terbukti dari
adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap,
melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar
penerangan melalui lobang-lobang rahasia.
***
Akan tetapi karena
penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di
atas, yaitu kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur,
maka makin ia turun ke bawah makin gelaplah cuaca. Maya berhenti dan
duduk mengaso. Teringatlah ia kembali akan tujuan nya semula, yaitu
bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan tidak mungkin Han Ki
dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa
ngeri karena tak lama kemudian tem pat itu menjadi gelap sekali. Hal ini
karena adalah penerangan di dapur, yang letaknya di atas tempat itu,
dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
“Dia tidak ada!”, kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
“Begini gelap, tentu sukar mencari nya, ”kata Siauw Bwee.
“Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu? ”
“Dia tidak nakal, Suheng....”
Kembali
pemuda itu menghela napas, “Hemm, dia seringkali mengganggumu dan kau
selalu melayaninya, akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau
makanlah, Sumoi.”
“Marilah, Suheng.”
“Makanlah, aku tidak lapar.”
“Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?”
“Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamat annya. Dia lenyap, bagaimana aku tidak khawatir? ”
“Kalau Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan.”
“Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya.” Han Ki berkelebat keluar untuk mencari lagi sumoinya yang hilang.
Siauw
Bwee berdiri menghadapi ma kanan, alisnya berkerut.“>Dia.... dia
mencintai Suci” Tiba-tiba ia menjatuhkan diri di atas bangku dan
menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya
bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
Semalam itu Siauw Bwee tidak
tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan
disediakan di ruangan belakang di atas meja, tidak tersentuh. Juga Han
Ki tidak tidur, bahkan semalaman itu ia tidak kembali ke istana, karena
dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es, beberapa kali mengelilingi
pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi
sumoinya itu dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia
belaka.
Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut.
Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke mana Maya dapat pergi?
Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di
pulau dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, ten tu
sumoinya itu bersembunyi di dalam istana! Mengapa dia begini bodoh?
Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua
kamar di masukinya dan akhirnya ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka
berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia mencium sesuatu yang aneh,
harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lobang di atas lantai dekat
kaki arca yang pecah! Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi
ia merayap memasuki lobang itu.
Maya yang tertidur sambil duduk
bersandar dinding batu, terbangun dan me lihat betapa tempat yang gelap
itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah
terganti pagi karena sinar yang masuk dari atas adalah sinar matahari.
Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia
terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu. Dari jauh ia sudah
mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir
anak tangga batu dan melihat ke depan ternyata bahwaanak tangga itu
berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar dan di atas lantai tampak
uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat. Tiba-tiba ia
menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang
sudah biasa dapat melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali
ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya! Ular-ular berkulit
merah berdesis-desis saling belit danagaknya ular-ular itu melihat
kedatangannya karena ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya
dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk mulut yang kebiruan.
Dengan
hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan
pergi dari tempat yang menyeramkan itu, akan tetapi tiba-tiba kepalanya
terasa pusing, pandang matanya berkunang dan seluruh tubuhnya panas,
kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di
atas anak tangga. Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya,
akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu dan licin, maka
ular-ular itu tidak dapat merayap naik,baru sampai dekat kaki Maya sudah
terpeleset jatuh kembali ke bawah. Akan tetapi, uap putih harum amis
yang keluar dari mulut wereka makin tebal memenuhi ruangan. Maya tidak
melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terpelanting di
atas anak tangga.
“Maya....!” Han Ki terkejut dan cemas sekali
menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga sedangkan di
bawahnya, ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik. Cepat
pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu
adalah hawa beracun, menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya
lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia menurunkan tubuh Maya di
atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia
bernapas lega. Jalan darah sumoinya tidak berubah, pernapasannya biasa,
hanya tubuhnya agak panas dan mungkin sumoinya pingsan karena kaget.
Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan pundak Maya. Maya
mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai
terengah-engah! Hal ini mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa
khawatir. Ia memeluk tubuh sumoinya, mengangkat kepala gadis cilik itu
dan mengguncang-guncangnya.
“Maya-sumoi ....!”
Maya memandang
kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini
mengandung sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api,
wajah yang jelita itu menjadi kemerahan, mengingatkan ia akan wajah
kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Kwi di waktu berlomba asmara dengan
dia!
“Maya ....”
Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya
saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya dengan kedua
lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya,
didekapkan kuat-kuat sambil berbisik, “Suheng....ah, Suheng....!”
Kemudian gadis cilik itu menangis! “Suheng....apakah kau sayang
kepadaku....?”
Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan
bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan
Maya membuat ia merasa aneh.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,
”jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada
sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan
rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri,
lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu
merangkul makin ketat dan mulut Maya betbisik, “Peluklah aku
erat-erat....Suheng...., jangan lepaskan lagi....!”
“Maya....!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
“Suheng....aku
cinta padamu, Suheng....ahhh.... !” Kini Maya mengangkat mulut nya dan
membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti
diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia
mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh
sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis
cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu berahi! Cepat
ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas,
kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng....! Suci
kenapa.... ?” Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan berhasil menemukan
lobang rahasia. lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik
dari bawah memondong tubuh sucinya yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi,
lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki. Ucapan ini mengejutkan
Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lobang di
lantai ruangan bawah. Karena lobang itu kecil, maka Siauw Bwee yang
keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah
oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar
Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular
merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari
mulut ular-ular itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di
tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas, “Dia perlu beristirahat,
biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari
semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee
menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han
Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya,
menggunakan sin-kangnya untuk membersihkan tubuh sumoinya dari pengaruh
hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya terbangun dan ia bangkit
duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular.... banyak sekali.... , ular merah....!” katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. “Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
“Aku
di sini, Sumoi, ” Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar
guncangan hatinya tidak terlihat wajahnya. Diapun menekan kemarahannya
atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam
suntuk.
“Ahhh, kini aku teringat....lobang rahasia di bawah
arca....lorong di bawah tanah....dan ular-ular merah! Hiiih,
menjijikkan! Suheng, kaumaafkan aku, ya?”
“Tidak ada yang perlu
dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu
berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada dibawah sana. Harus
dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng! ” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku
juga ikut!” kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki
tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak
mau mengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”
“Aku
belum!” jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali.
“Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?,“ Maya bertanya.
“Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya
memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat
ini, Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu
terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw
Bwee balas memeluk. “Makanya jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak
bisa makan dan tidur kalau, kau pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung
Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda
dari biasanya, bukan pandang matakanak-kanak lagi, melainkan pandang
mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita!
Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab, “Aku
setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku
membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk
kalian!” Maya berlari ke dapur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada
Han Ki, berkata,
“Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah
makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah
tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka
bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka
dilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahaya sekali.
Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak
mungkin kita dapat mendekati binatang-binatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis,
bagaimana baiknya, Suheng?” tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia
nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun
ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang
membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han
Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan berahi namun belum
dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
“Aku akan
menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya.
Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi
ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah
kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi,
binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.”
Selama tinggal di
Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari
bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga
ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang
berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daun kering serta
menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoinya
yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
“Kita
nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi
hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah
tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap
putihnya . Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi,
lemparkan ranting- ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan
sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari
dan meja, jangan sampai barang barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-
kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana.”
Tiga orang itu membakar
ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting
berapi i tu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka
bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua
orang sumoinya melempar kan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali
ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api,
binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi
buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala
itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling
terjang, saling belit dan berlomba lari memasuki sebuah lobang yang
terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee
meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han
Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari
sebuah lobang. Sudah kuduga, tentu ada lobangnya yang menembus ruangan
itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati
penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular- ular itu
bergerak pergi dan tak lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal
belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih
yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari
lobang-lobang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya
lobang-lobang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lobang hawa dan
lobang memasukkan sinar matahari.
“Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun. Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah,
“Hati-hati,
Sumoi. Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih
amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun
membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.” Setelah berkata
demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan
kakinya melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan
keluar dari lobang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut
pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan
sebongkah batu itu menutupi lobang dari mana ular-ular tadi meninggalkan
ruangan. Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar
lobang itu lebih dulu sebagal penyumbat, baru meletakkan batu besar itu
di luar lobang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya
terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi,
baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya
tertutup dan disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya.
Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu
robek dan daun pintunya terbuka separuh. Han Ki mengenal tulisan di
atas kain, yaitu tulisan tangan suhunya dengan huruf-huruf kembang yang
amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain
sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika
membaca tulisan suhunya itu!
Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini
amat keji, ciptaan tokoh- tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut
dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.
Membaca tulisan
suhunya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian
ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan
heran.
“Suheng, kitab-kitab apakah itu?” Siauw Bwee bertanya tidak
sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin sekali melihat dan
mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kauperiksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari
kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang
sumoinya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng
mereka, setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan
berkata:
“Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang
ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular
berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
“Kitab-kitab
itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan
lemari itu tadinya dipasangi tulisan suhunya yang melarang orang membaca
kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di
Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela
kebenar an dan, keadilan. ”
”Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku
sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam
kitab yang kubaca ditempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika
kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita
tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang
ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar, bahkan tak mungkin
orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang
melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana, dan
melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita
buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya
amat lihai.Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang
menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan
tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa
kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini, kedua orang
gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa
penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada
orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa
terdapat larangan oleh suhunya sendiri. Semenjak peristiwa itu, Maya
tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat
hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya
kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi,
kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu bahwa
diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering
kali memandangnya seperti itu. Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati
kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlombaan di
antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini
diam-diam mereka melanjutkan dengan perlombaan mencinta pemuda itu!
Hal
ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat
dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka
saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang
seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan kasih sayang seorang wanita
terhadap seorang pria. Biarpun keduanya tidak pernah membuka rahasia
hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama
sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yangtidak
diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telahturun ke dalam ruangan
rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan
tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki
hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat
tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat
hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas
yang dibebankan suhunya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat
cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di
atas Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara
jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang
gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biarpun mereka bertiga tinggal
di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi
menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga
mereka selalu dapat berpakaian dengan baik, seperti telah dapat diduga
sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoinya itu
menjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali,
yang me mungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai
pula menggerakkan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga halus yang
memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata
lawan yang keras dan tajam. Dilain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan
luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali, terutama
sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang
sifatnya panas,dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas
seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah
seperti menari-nari sehingga dara yang memilikl kecantikan luar biasa
dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han
Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi
seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu.
Usianyn sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang
tua, pendiam dan sering kali bersamadhi. Di samping kepandaian silatnya,
juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia
latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah menjadi dara-dara
dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam
putih, dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga
buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati- hati.
***
“Jangan
tinggalkan aku .... ohhh, Ko ko.... jangan tinggalkan aku...., bawalah
aku pergi....!” Rintihan ini keluar dari mulut seorang wanita muda,
seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang
pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian
ketika ia turun dari pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang
sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu kamar.
Kamar itu
mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih
dan harum semerbak. Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih
seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terurai lepas, hitam dan
pan jang agak berombak, berbau harum sari bunga.Pakaian yang
dipakainya, yang sedang dibetulkan letaknya, juga terbuat dari sutera
halus dan mahal. DI atas meja dekat pembaringan tampak hiasan hiasan
baju dan hiasan-hiasan rambut daripada emas dan batu kumala, serba
indah, dan mahal. Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun
ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang hartawan. Adapun pria
yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidakacuh itu adalah
seorang laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang
lebih dua puluh lima tahun,pakaiannya juga indah dan pesolek sekali
sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
“Aku
harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak
boleh mengingat aku lagi. Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk
terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita.”
Dara
itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya
sendiri. Benarkah ucapan yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap
didengar,yang membahagiakan hatinya semalam suntuk, keluar dari mulut
laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
Ah,
tidak mungkin! Dara itu lari kedepan dan menubruk laki-laki itu,
merangkul pinggangnya dari belakang dan menjatuhkan diri berlutut,
“Koko...., jangan tinggalkan aku....,ahhh, tidakkah engkau mencintaku?
Bukankah tadi telah kaubisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah
orang seperti engkau akan begitu tegameninggalkan aku? Ahh, Koko!”
“Hemm, cinta telah mati dihatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.”
“Koko...., aku...., aku cinta padamu...., uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku....!”. Dara itu menangis.
“Engkau?
Perempuan Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!” Laki-laki itu
tertawa, akan tetapi suara tawa nya mengandung kepahitan.
“Koko....,
sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan
kepadamu tubuhku, cintaku, segala-galanya.... ?”
“Ha-ha-ha , itukah
buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu,
bukti cinta adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan
aku pergi!”
“Tidak....! Tidak....! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku
cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku mau ikut bersamamu, ke
mana pun kau pergi!”
Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya
ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan. Dia
terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan
kelihaiannya. Si Dara terbanting telentang di atas pembaringan dan
menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh
sambil berkata,
“Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan
cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh. Yang kauberikan
kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan
meminta untuk memuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada
bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
“Engkau seorang pendekar yang per kasa, yang kucinta....!”
“Ha-ha-ha!
Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak
orang, yang dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Eng
kau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa Pemerkosa Wanita! Entah sudah
berapa banyak bunga kupetik (Jai-hwa-sian ber arti Dewa Pemetik Bunga),
akan tetapi, bukan kupatahkan tangkainya melainkan kupetik atas kerelaan
si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian dan engkau
seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau Ikut? Mencinta ku? Ha-ha,
menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis, apa yang terjadi
semalam itu hanya menjadi kenangan manis.”
Sekali berkelebat,
laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan
saja tampak melayang keluar dari jendela kamar yang seketika menjadi
sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak tangis tertahan dara itu.
Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu. Tiga hari yang
lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga,
perahunya bertumbukan dengan perahu lain dan terguling. Untung dari
perahu yang menumbuknya itu meloncat keluar seorang pemuda tampan dan
gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu
sekaligus, dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya
raya dan tentu saja para pelayan yang berada di perahu lain cepat
memberi pertolongan, akan tetapi andaikata tidak ada pemuda itu, agaknya
ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum
tertolong. Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima
kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri yang didayung pergi dengan
cepat, tidak mempededulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi, ketika tadi
menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di
telinganya, “Malam nanti aku menerima terima kasihmu di dalam kamarmu,
Nona manis.”
Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang
kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya berdebar tidak karuan kalau
ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap
yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan ten tang
bisikan itu kepada orang tuanya. Benarkah pemuda itu membisikkan
kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapapun juga, hatinya
menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu
kamarnya. Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan
hati lega akan tetapi juga kecewa, lega karena yang dlkhawatirkan tidak
terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang
aneh), tertidurlah Si Dara manis.
Akan tetapi, belum lama ia pulas,
ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat,
kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi
kini telah rebah di sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini,
akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan takut, lalu membuka
mulut hendak menjerit. Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda
itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak dapat
mengeluarkan suara. Kemudian, dengan halus dan menarik, pemuda itu
mencumbu rayu, membujuk-bujuk dengan halus sehingga ketika totokannya
dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau melawan. Jangankan
melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah
menjatuhkan hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya
dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa pemuda itu mencintanya,
maka tentu akan meminangnya.
“Aahhh....!” Dara itu menangis makin
sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban seorang
laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari
dalam kamar itu, seperti suara leher dicekik, suara yang akan
menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar dari
kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
Laki-laki
itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, karena patah hati sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya
dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi dengan peristiwa bersama ibu
tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi
seorang laki-lakiyang suka mempermainkan cinta wanita. Mula-mula dia
hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi
lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga
dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari korban, seperti seekor
burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak
ayam! Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat
ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang roboh ketika berusaha
menangkapnya, Suma Hoat diberl julukan Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik
Bunga), bahkan nama aselinya dilupakan orang.
Nona hartawan yang
menggantung diri dikamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa
ratus, dan begitu keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa
yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi korbannya. Dia tahu
bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan
malu, ada pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu ,
akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak ingin tahu. Begitu keluar
darikamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada
sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
Sudah
lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang
tuanya dan selama perantauannya didunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan
mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang gagah dan
kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam.
Biarpun dia sendiri tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah
atau pendekar budiman, namun di lubukhatinya ia selalu merasa kagum
kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia
hitam. Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini
melakukan perbuatan-perbuatan sewenang-wenang dan mulailah ia menaruh
penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu.
Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya
mencontoh perbuatan-perbuatan para orang gagah. Karena itu, pemuda ini
selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan menentang
golongan dunia hitam sungguhpun ia tidak dapat meninggalkan kesukaannya
merayu wanita-wanita untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu
menggunakan kekerasan! Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan
tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat menghentikannya, terutama
sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah
sebabnya, disamping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun seringkali
menolong orang-orang lemah tertindas sehingga dia disamping julukan
Pemetik Bunga (Pe merkosa) juga dijuluki Dewa!
Pada masa itu,
terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan,
terutama sekali oleh Kerajaan Yu cen yang menjadi makin kuat, kemudian
malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam dibantu oleh
pasukan-pa sukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat,
maka Kerajaan Yu cen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah
utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa Mongol sudah mulai
memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan
menyusun kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, diantara
bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi makin kuat sehingga bangsa ini
mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin. Namun segera
menjadi ke nyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru
ini ternyata lebih bengis dan sewenang-wenang dari pada Kerajaan Khitan
yang sudah runtuh. Biarpun dahulu Kerajaan Khitan juga merupakan
kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan
setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan,
namun Raja Talibu dari Kerajaan Khitan yang masih ingat akan darahnya
yang separuh darah Han, tidak terlalu mendesak dan selalu memperlihatkan
sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu
akan kelemahan Sung, menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya
memaksa, seolah-olahupeti harus dlberikan sebagai tanda pengakuan
kebesaran kerajaan baru Cin.
Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah
mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai memperlihatkan
keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi
sedikit daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas
dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak dapat mempertahankan daerah ini dan
selalu didesak mundur ke selatan.
Melihat keadaan ini, bangsa Han
pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi
cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka
tujukan kepada pemerintah Sung yang amat lemah. Kaisar telah berada
dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup, hidup Kaisar dan
keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah
kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolah-olah tidak mempedulikan
betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan
dipaksa oleh bangsa Yucen yangkini mempunyai Kerajaan Cin yang makin
kuat. Pesta-pora, bersenang-senang, me lakukan pemilihan dara-dara muda
jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara cantik,
membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu
adalah hasil keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh
kaisar dan keluarganya setiap saat.
Di luar istana, pembesar-pembesar
korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan,
masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah
masing-masing, mempergunakan kekuasannya untuk melakukan apa saja demi
kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas dan mengadakan
peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasihat
dianggap melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan
hukuman-hukuman serta pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
Di
sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang
tenggelam dalam pelukan dara-dara muda jelita, dalam arak-arak wangi dan
hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggak-lenggok
menari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena
oleh bisik dan bujuk rayu kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya
tidak terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang oleh para pembesar
thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan para selir.
Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu
sehingga boleh dibilang seluruh urusan kerajaan merekalah yang
memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar, baik sipil maupun
militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar
menelannya begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme,
keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa apa saja, benda mati
maupun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera
halus, benda hidup berupa dara-dara jelita!
Keadaan semacam ini
tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh
kang-ouw, para partai- partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan
orang gagah merasa marah sekali dan kecewa bukan main sehingga mereka
mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka
ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan
raja-raja muda yang menguasai daerah- daerah dan yang mulai memberontak
dan tidak mengakui kedaulatan pemerintahKerajaan Sung pusat. Yang paling
dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di
antara para pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup,
adalah Jenderal Suma Kiat. Kebencian mereka memuncak ketika pera
pembesar daerah ini mendengar akan perbuatam Suma Kiat terhadap Menteri
Kam yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak
keadilan dan satu-satunya pem besar yang paling berani dalam menentang
perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri, menjadi tewas. Bukan
hanya para pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali
para tokoh kang-ouw yang menaruh hormat kepada putera Suling Emas itu,
menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri Kam.
Mulailah
terjadi kesimpangsiuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar
daerah ini berkuasa dan berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah
penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak aman, setiap saat
mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh
kang-ouw dan juga mata-mata para pembesar daerah.
Hampir semua
partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung.
Kecuali Siauw-lim-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Siauw-lim- pai
adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya, yaitu Kian Ti Ho
Siang. Menghadapi kekacauan di Kerajaan Sung, ketika para muridnya
menyatakan pendapat ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua
telapak tangan di depan dada sambil berkata , “Omitohud ...., segala
peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat daripada
sepak terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah
orang-orang beragama yang bertugas menyebarkan agama, ada sangkut-paut
apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi pembesar, bagi
kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah
menjadi kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran
dan pertentangan kerajaan, berarti terjatuh ke dalam api permusuhan dan
hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai
tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk
mencampuri pertentangan di antara pembesar-pembesar daerah, orang-orang
kang ouw dan pemerintah pusat.”
“Maaf, Supek, teecu sekalian tentu
saja mentaati pesan Supek dan semua nasihat Supek benar belaka,” kata
seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang
dianggap sebagai seorang hwesio yang paling maju dan yang diharapkan
kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai setelah ketua sekarang
yang terhitung supeknya itu mengundurkan diri, “akan tetapi apabila
badai mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai.
Binatang-binataang kecil seperti burung sekalipun akan berusaha
menyelamatkan diri , apakah kita harus mandah saja menjadi korban
keganasan badai?” Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak
mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar daerah dibantu orang
kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan
mereka tentu akan terlanda akibat perang.
Kian Ti Hosiang
mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, disamping
menjadi kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki
kepandaian, penegak kebenaran dan tentu saja merasa penasaran
menyaksikan kelaliman merajalela. “Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam
dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan. Mencontoh
sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak
dapat mencontohnya tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari
perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan merugikan pihak
lain. Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini.”
Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan
matanya. Ini merupakan tanda bagi para murid bahwa ketua itu mengakhiri
wawancara dan telah mulai bersamadhi. Maka mereka pun bubaran.
Demikian
sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga
oleh semua cabang-cabang Siauw-lim-pai yang tersebar dimana-mana. Sikap
ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan dan menjauhkan diri dari
urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan,
namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
Cabang
Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para
hwesio Siauw-lim-pai di cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di
dalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar pelajaran tentang
kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali
mereka didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar
daerah, dan petugas-petugas pembesar pusat untuk menarik mereka yang
merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan ditolak
dengan halus oleh Gin Sin Hwe siok, etua kelenteng Siauw-lim-pai di
Lo-kiu itu.
Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka,
namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil antara kaki tangan
masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat
pertentangan paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang
saing menyelidiki. Namun seperti biasa, rakyat yang sudah kenyang akan
pertentangan itu dan masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa,
seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai,
bahkan restoran-restoran masih penuh tamu yang datang untuk makan minum
sambil bercakap-cakap. Di tempat-tempat seperti inilah sering kali
dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masing-masing sehingga
tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan
luka-luka dan kematian. Akan tetapi, hal ini amatlah mengherankan dan
mengagumkan pihak yang melakukan bentrokan selalu mengganti kerugian
pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat
bentrokan-bentrokan itu. Hal ini adalah karena masing-masing golongan
bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga berlomba untuk merebut
hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah, maka
pemilik restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya
bentrokan-bentrokan bahkan sebagai pedagang-pedagang cerdik, setiap
terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan
menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga
para pembesar setempat selalu bersikap bijaksana, tidak mencampuri
bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan berat
sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
Pada suatu pagi,
restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Ketika
seorang pemuda tampan yang pakaiannya indah, dengan pedang bergantung
di punggung, gagah sekali sikapnya, memasuki restoran, pelayan
menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut sebelah
dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat. Semenjak
meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri, dua hari yang lalu, dia
belum bertemu dengan wanita yang menggerakkan berahinya sehingga hatinya
menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu, juga dengan niat mencari calon
korbannya,akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik
hatinya.
Ia menanggalkan pedang buntalan pakaiannya, meletakkan di
atas meja dan memesan makanan dan minuman. Setelah pelayan pergi untuk
melayani pesanannya, pemudaini menyapu ruangan restoran dengan pandang
matanya. Tamu yang memenuhitempat itu terdiri dari bermacam-macam
golongan, dan ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman
masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang menarik perhatian Suma
Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan
pelancong-pelancong. Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi
restoran sambil bercakap-cakap bersendau-gurau, keadaan nampaknya
tenang tenteram dan damai.
Akan tetapi ketika seorang tamu baru
memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali. Orang ini
adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi
dua puluh lima tahun usianya, pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang
amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu, telanjang sama
sekali! Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak
sebuah buntalan kain kuning yang agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki
ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada
dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam,
senyumnya yang seolah-olah mengejek pada keadaan di sekitarnya.
Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau,
hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan
seperti seorang petani yang bangkrut!
Tidaklah mengherankan apabila
pela yan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati
curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian
sederhana dan kaki te lanjang. Laki-laki itu menglkuti pandang mata Si
Pelayan lalu berkata,
“Bung Pelayan, engkau tidak melayani pakaian
dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan
uangnya, bukan? Nah, aku mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu
melayani uangku!” Setelah berkata demikian, laki-laki itu menepuk-nepuk
bungkusannya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak. Pelayan itu
cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu dan tidak jauh dari
meja Suma Hoat. Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah
pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling tajam ke arah Suma
Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi, betapapun tertarik
hatinya, Suma Hoat pura-pura tidak melihatnya. Didalam hatinya ia merasa
geli dan menganggap betapa tepatnya ucapan orang aneh itu. Memang tidak
dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup
oleh bayangan perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap
gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap harta dunia! Orang menilai
orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan
kedudukannya, pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat
mendatangkan kesenangan dan keuntungan bagi yang me nilai! Buktinya
tersebar di mana-mana. Datanglah kerumah seseorang dengan pakaian butut
dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut dengan penuh curiga ,
pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah manganggap bahwa
engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidaksenangan belaka.
Sebaliknya, kalau engkau datang dengan pakaian serba indah, dengan
kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan nama besar serta
kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan
tersenyum-senyum karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan
atau kesenangan! Hal ini tak mungkin dapatdibantah lagi karena memang
kenyataannya demikianlah.
Maka, biarpun sikapnya tak acuh, diam-diam
Suma Hoat memperlihatkan laki-laki itu dan menduga bahwa orang itu
tentulah bukan orang sembarangan, sungguhpun tak tampak sebatang pun
senjata pada dirinya. Timbul kegembiraannya kaena ada sesuatu yang
menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula keyakinan bahwa
munculnya seorangto koh luar biasa seperti initentu akan disusul dengan
peristiwa yang menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang
masih muda ini hanya berlagak saja, karena pada waktu itu memang tidak
jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar di
anggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain
daripada yang lain!
Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang
kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu sebangsa pengemis yang
merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah
seorang kang-ouw maka ia bertanya dengan sikap hormat.
“Sicu hendak memesan apakah?”
Akah
tetapi orang itu tidak menjawab, hanya memandang ke arah pintu depan.
Si Pelayan menoleh ke arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyum
nya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu dan lari
terbungkuk- bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang tiba.
Melihat ini, Su ma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh
perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima
orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Mereka itu terdiri dari dua orang yang
pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai
orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah
hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau
itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan
penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap
dan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayan yang menyambut - segera berkata,
“Selamat
datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin
telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!
Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja,
tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan
orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik
kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma
Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang.
Suma
Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang
itu, dan juga memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan
makanan karena ditinggalkan pelayanyang kini sibuk melayani lima orang
itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat
banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang
telinga dan menangkap percakapan mereka.
“Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!” kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
“Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!” kata perwira kurus sambil tertawa.
“Kabarnya mereka lihai,“ kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
“Aahh,
yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,” kata Si Tosu
dengan suara rendah. “Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh
Hoasan....”
“Sstt, harap Totiang hati-hati,” perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
“Takut
apa?” Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan
dan berpura-pura tidak mendengar. “Semua sudah diatur baik.”
“Memang
Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa
cabang mereka terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak
kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin saja,” kata pula perwira
kurus.
Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang
pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan. Banyak benar hidangan
itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka dikejutkan oleh
suara orang menggebrak meja sambil berseru,
“He, Bung Pelayan yang
tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa
orang-orang lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh
menjemukan!”
“Sicu, harap bersabar....!” Pelayan membujuk dengan
wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki Telanjang, melainkan takut
kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua
orang perwira sambil meng gumam, “Ciangkun, maafkan.... !”
Melihat
ini, Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata, “Pelayan,
tugasmu melayani tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan
pilih kasih!”
Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan
mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itumelototkan mata
mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata, “Wah-wah,
banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja!
Biar kubasmi lalat-lalat ini!” katanya dan menyambar kain lap dari
pundak seorang pelayan, kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri
dan.... belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena
sambaran angin pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!
Si
Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan
terdengarlah suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak, “Ha-ha-ha!” Si
Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaian nya itu tertawa. “Kalau
sudah amat kelaparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan!”
“Ha-ha-ha-ha!”
Lima orang itu ber tawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si
Perwira Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang
menoleh sambil tertawa mangerling ke arah Si Kaki Telanjang.
“Ha-ha-ha-hauuup....!”Tiba-tibe
Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia
terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar
memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke
tenggorokkannya.
“Haaak-agghh.... haaakk-huaaakkk!”
“Eh, kau kenapa?” Temannya, Si Per wira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan ketawa mereka.
“Ughh-ughh....,
lalat...., masuk mulut...., si bedebah!” Perwira kurus itu terbatuk-
batuk dan empat orang temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu
menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman
mereka.
“Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!” Perwira itu
menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat itu karena tidak
berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.
Suma
Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Te lanjang
itu menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari
atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut
Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan
ketawanya.
“Ha-ha-ha, memang bagi yang kelaparan, tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan!”
Lima
orang itu semua menengok ke pada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu
minum araknya setelah berkata, “Menangkap lalat banyak caranya, aku suka
dengan cara ini!” Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu
menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang beterbangan.
Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya,
bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun
merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya
Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan
tenaga sin-kang yang kuat.
Dengan tenang Suma Hoat melambaikan
tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu
terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan
arak berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk
dengan tepat seolah-olah dituangkan kesitu. Suma Hoat memandang kepada
Si Gemuk dan berkata,
“Kalau orang gemar kuah daging lalat, silakan minum!” Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.
“Setan....!”
Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke
belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur
kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan
bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih,
tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali
remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
“Ha-ha-ha! Hebat! Hebat!
Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi
kuah lalat, ha-ha-ha!” Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan
bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda
pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
“Makanlah!”
Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan
sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang
aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas
sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu,
tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
“Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!” katanya gembira.
Dua
orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar
mangkok-mangkok masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang.
Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih
cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat
yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai
semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.
“Singggg....!”
Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat
bukan main ke arah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut.
Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring
sehingga senjata rahasia itu menyambar cepat bukan main, padahal saat
itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok
terakhir.
“Ke sini....!” Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke
depan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat dan...., piring yang
berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan
melayang ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang
meletakkannya ke atas meja.
Lima orang itu terkejut bukan main. Tak
mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang
demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki
kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura
dengan hormat.
“Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua
buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata.” Ucapan ini biasa
dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang
pandai.
Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura.
Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak
berdiri, tetap duduk dengan tenang.
“Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?” Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.
“Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga,” kata Suma Hoat acuh.
“Heh-heh,
dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing
(sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau,”
kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
“Kalau begitu, sekali lagi
maaf,” kata Si Perwira Kurus. “Karena belum mengenal, kami telah
bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”
“Ha-ha-ha,
sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan
hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum
mengenal kami? Terima kasih, ya?”
“Perwira Gemuk yang kini bersikap
hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil
berkata, “Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka
menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu
menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
“Eh,
eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si Kaki Telanjang bangkit berdiri
dan menggapai. “Harap jangan mempermainkan aku orang miskin, dan jangan
akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa
membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!”
“Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!” Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.
“Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang berkata membantah.
Perwira
gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang
membungkuk-bungkuk, “Ini bayaran hidangan!” kata Si Perwira mengeluarkan
beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si Pelayan. Si Pelayan
menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi
dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah
dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
“Heii! Kenapa kau
bengong? Apakah bayarannya kurang?” Si Kaki Telanjang menegur pelayan.
“Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!”. “Tidak....,tidak
kurang malah lebih...., akan tetapi....” Pelayan itu memperlihatkan
perak yang berada di telapak tangannya dan ternyata bahwa
potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti dijepit
jepitan baja yang amat kuat!
Si Kaki Telanjang tertawa, “Bagus,
kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!” Pelayan ini
pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap
mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apalagi dia!
“Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!”
Suma Hoat menjawab, “Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!”
Si
Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk.
“Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai
nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang
Seng-cu.”
Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang
aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih
begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut
kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai
yang dianggap murtad, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi,
wataknya aneh dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia
pun menjura dan berkata, “Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang
suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!”
“Haiii!” Im-yang Seng-cu
meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan
menggoyang-goyangkan tangannya, “Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti
engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!”
“Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan....”
“Wah-wah,
stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak
peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan
menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan di
mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!”
Suma
Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang
telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri
dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan
minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara,
Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
“Benarkah engkau Jai-hwa-sian?” Tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
“Kalau benar mengapa?” Suma Hoat balas bertanya.
Im-yang
Seng-cu tertawa. “Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa
percaya. Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah
Jai-hwa-sian yang tersohor itu.”
“Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal.”
��Ha-ha-ha!
Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati,
dan aku cocok sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata
terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu tentang lima orang
tadi?”
“Mereka lihai, akan tetapi sombong.”
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk. “Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si
tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang
mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa
yang hendak kaulakukan terhadap rencana mereka?”
“Rencana yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,” jawab Suma Hoat.
“Aihhh!
Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi
hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang
hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka
itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!”
Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh
gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan
melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
“Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” jawabnya.
“Apa?”
Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya. “Jai-Hwa-sian, kalau benar kau
Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa disamping....
eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar
yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?”
Mendengar
ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. “Im-yang Seng-cu,
tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat
pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang
yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum
tahu siapa salah dan siapa yang benar.”
Im-yang Seng-cu
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah
engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?”
“Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw.”
“Kalau
begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik!̶q; Im-yang Seng-cu
lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang
pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak
pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia
menambahkan, “Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti
Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima
orang cecunguk tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu. Si
Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang
Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara
Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak
menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini
hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak
kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak
berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian yang
bijaksana itu menjadi berantakan?”
Suma Hoat tertarik sekali. Dia
sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua
Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat
disejajarkan dengan paman tuanya. Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar
pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah
pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
“Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si?”
Yang
ditanya tertawa, “Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah
jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw
aku lebih tahu. Mereka bicara tentsng keledai-keledai gundul yang
berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang
memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah
barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu
ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku
sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”
Suma Hoat tersenyum dingin. “Silakan!”
Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.
“Sebaiknya
mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik
Bunga) saja! Selamat tinggal!” Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma
Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya.
Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah
membayar makanan yang dipesannya tadi.
***
Im-yang
Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk
menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia
lalu langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di ujung
kota.
“Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini, ” katanya kepada penjaga kuil.
Penjaga
kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh
kecurigaan dan menjawab, “Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu.
Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu.”
Im-yang
Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu
mengandung kecurigaan, maka katanya keras, “Aku mempunyai urusan penting
sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh
bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu. Harap
jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!”
Alis
hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya
hanya sebaya dengan dia, mengapa sikapnya begini angkuh? “Maaf Sicu,
jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras. Urusan jatuh bangunnya
Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati
hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan
itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya
melayanl orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budha dan
bersembahyang.”
Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat
kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang
suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang
benar? Dia penasaran dan berkata lagi, “Engkau sungguh terlalu curiga
dan keras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu
mohon bertemu!”
Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio
Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta
mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena
hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw.
Sambil menjura
hwesio itu berkata, “Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu
yang datang? Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak
mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai.”
“Aku tidak datang
sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang
hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan
Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai
Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum
terlambat.”
Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara. halus, “Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?”
Im-yang
Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi, kurus
yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan
kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan bertanya, “Apakah
aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?.”
“Benar, Sicu.” Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
“Aku adalah Im-yang Seng-cu, ada urusan penting mengenai kuil ini hendak kusampaikan kepada Losuhu.”
“Omitohud....
! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan
seorang pendekar kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan
mari kita bicara di ruangan dalam.”
Setelah mereka memasuki ruangan
dalam yang sederhana namun bersih sekali, dan duduk berhadapan, Im-yang
Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, “Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai
terancam bahaya besar. Malam nanti, kuil ini akan diserbu, semua
penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!”
Hwesio
tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja
sungguhpun sinar keheranan dan tidak percaya terpancar dari kedua
matanya. “Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu bawa ini.
Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu?
Kami selamanya tidak bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat
dengan semua golongan....”
“Aku mengerti Losuhu!” Im-yang Seng-cu
memotong tak sabar. “Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi pegangan
Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh
ketua kalian, Kian Ti Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi,
justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi siapa-siapa
itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam
nanti.”
Mulailah hwesio itu tertarik. “Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?”
“Aku
tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan
menyerbu dan membasmi kuil ini dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai
dan perwira-perwira Kerajaan Sung.” Dengan singkat namun jelas Im-yang
Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar
percakapan mereka di dalam restoran pagi hari itu.
Gin Sim Hwesio
adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suhengnya di
pusat, yaitu Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang
yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti sikap Kian Ti Hosiang.
Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian
bangkit berdiri dan menjura kepada tamunya.
“Banyak terima kasih akan
peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang
berniat begitu jahat terhadap kuil ini, dan andaikata benar demikian,
pinceng dan murid-murid akan sanggup menghadapi mereka. Selamat jalan,
Sicu.”
Im-yang Seng-cu membelalakkan mata, “Losuhu, aku akan membantumu!”
“Tidak
baik kalau pihak luar mencampuri, kami sanggup membela diri dan kami
tidak ingin menarik orang luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut.
Selamat jalan, Sicu!”
Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia
diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang Seng-cu bangkit
berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, “Dasar si bodoh yang
ingin mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si
Jai-hwa-sian! “Selamat tinggal, Losuhu!” Ia membalikkan tubuhnya hendak
pergi.
“Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng
berterima kasih sekali, akan tetapi kalau pinceng menerima bantuan Sicu,
bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orang-orang
yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira,
kalau pinceng sudah berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk
mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka sehingga perdamaian
dapat dijaga dan dipertahankan.”
Akan tetapi, Im-yang Seng-cu
mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya
penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biarpun
penawarannya untuk membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin
menjaga dan kalau perlu membantu pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang ia
tahu bersih hatinya namun juga amat keras kepalanya itu.
Malam itu
sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di
dalam dan di luarnya terang karena para hwesio menyalakan lampu
penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biarpun hatinya keras dan
kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun
ketua kuil itu telah siap sedia dan berlaku hati-hati. Kuil cabang
Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya
dibantu oleh murid-muridnya, para hwesio muda Siauw-lim-pai yang
jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa kedudukannya sudah cukup
kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan.
Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio
sendiri duduk bersila melakukan samadhi di tengah ruangan depan.
Menjelang
tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, “Siap....!” Dan
perintah ini segera disampaikan kepada semua murid sambung-menyambung.
Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang
gerakannya gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang
berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang
ditugaskan menjaga di dalam, segera keluar membawa obor sehingga sinar
penerangan di ruangan depan itu makin cemerlang menerangi wajah enam
orang itu. Gin Sim Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri,
sebatang tongkat hwesio di tangan kanan , memandang tajam. Ia mengenal
lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw,
dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini
bertambah dengan seorang lagi yang membuatnya terkejut karena gerakan
dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat tinggi,
orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum
lebar, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?”
Si
Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu, tertawa sambil
mencabut pedang panjang dari pinggangnya, “Kami adalah dua orang perwira
tinggi Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauw-lim-si karena
para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan berontak!”
“Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!” kata Si Tosu sambil mengejek.
“Omitohud!
harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa
Ji-wi-ciangkun hanyalah, perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu
juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai. Sebaiknya katakan terus
terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar
bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan
perebutan kekuasaan. Kami tidak mau memusuhi siapapun juga, dan kalau
Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai dan
memancing-mancing usaha keji itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi
selamanya akan merasa tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman
sebelum kita semua melakukan dosa!”
Lima orang itu saling pandang
dengan mata terbelalak, “Ahhhh Si Keparat.... tentu mereka yang
membocorkan....!” teriak Si Perwira Kurus.
Tiba-tiba terdengar suara
ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa
dan berkata, “Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah
engkau sudah ketagihan lalat lagi dan datang ke sini hendak mencari
makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!”
“Engkau.... Im-yang Seng-cu!” Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah maju dan menegur.
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk. “Hemm, hemm...., kiranya Thai-lek Siauw-hud
Ngo Kee juga hadir! Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang
semua ini tentulah Coa Sin Cu!?”
“Setan kau!” Dua orang perwira
gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang
kang-ouw, sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek
Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin Sim Hwesio yang dibantu enam orang
muridnya.
Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya dan sinar
hitam yang lebar dan panjang bergulung di depan tubuhnya menangkis
serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat
luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si, “Bagaimana,
Losuhu? Berhasilkah engkau menghadapi mereka dengan pelajaran suci
agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya patut dihadapi
dengan tongkat penggebuk anjing!”
“Omitohud...., terpaksa pinceng
melanggar pantangan berkelahi!” Gin Sim Hwesio juga sudah menggerakkan
tongkat hwesionya dan melanjutkan, “Im-yang Seng-cu, terima kasih atas
bantuanmu akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau
pembunuhan!”
Akan tetapi, biarpun mulutnya berkata demikian, hati
hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua orang lawannya,
terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan kanan
telah membuat senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan
tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di antara muridnya roboh
terjengkang dan muntah darah!
“Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita
tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!” Im-yang, Seng-cu tertawa
lagi, tongkatnya menyambar-nyambar dan dengan ilmu kepandaiannya yang
campuraduk, ia berhasil mengacaukan pertahanan keempat orang
pengeroyoknya. Imyang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoa-san-pai, murid
Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi
semenjak bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak
sekali ilmu silat. Memang mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya.
Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga kemurnian ilmu silat
Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai
lain, Im-yang Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apapun juga,
baik ilmu silat kaum putih maupun kaum hitam sehingga dia dianggap
murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari
segala macam ilmu silat dan mengawin-ngawinkan semua ilmu itu, Im-yang
Seng-cu memperoleh kemajuan hebat dan dia memiliki gerakan yang
aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal
dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk
menghadapi lawan itu.
Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga
jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar biasa ini
mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang
sajak setiap melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar
tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang dan nyaring:
Betapa dunia takkan kacau-balau oleh tingkah mahluk bernama manusia
pendeta tidak segan berbuat dosa
pejabat tidak segan bsrbuat khianat
Pendekar berubah menjadi penjahat
Si bengcu cerdik menggoyang kaki
membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
Tinggal dia menanti hasil terakhir!
Oh dunia....!Oh manusia....!
Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan
Pada
saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit
ketika ia menggerakkan ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang,
tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan langsung menyambar ke
arah kaki Si Perwira kurus.
“Pletak!” Tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya, retak den rasa nyeri menusuk ke tengah jantung.
“Ayaaaa....!
Aduh-aduhhh....!” Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki,
pedangnya terlepas dan ia berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang
rasanya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering kakinya, namun
rasa nyeri menusuk-nusuk jantung.
“Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan
terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi!” Im-yang
Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya.
“Im-yang Seng-cu, manusia sombong!” Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang.
“Syuuutt....,
tranggg!” Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya
tergetar ketika tongkatnya menangkis golok. Kiranya Thai-lek Siauw-hud
Ngo Kee yang menyerangnya. Orang gendut pendek ini ketika melihat betapa
empat orang kawannya tidak mampu pengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan
perwira kurus terluka, segera meninggalkan Gin Sim Hwesio karena tosu
itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini hanya
dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh
dan tewas. Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar
merupakan gulungan sinar putih sehingga biarpun Gin Sim Hwesio sudah
menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala,
tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapapun juga, mereka
berdua masih mampu mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika
Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.
Adapun Im-yang Seng-cu,
biarpun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati
sekali. Setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, tadinya ia
memandang ringan, akan tetapi begitu Si Gendut Pendek itu maju, dia
terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud
tidak kalah jauh olehnya.
“Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?” Im-yang Seng-cu masih mengejek.
“Hu-ha-ha!
Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah
bersepatu sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan
sudi menerima orang tak sopan, bertelanjang kaki!”
Im-yang Seng-cu
tertawa dan diam-diam ia mendongkol karena sekarang, ia bertemu batunya.
Ternyata Si Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu
menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika merantau ke utara, di mana
ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang
menyambar, disusul sambaran Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar
tongkatnya dengan pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu
terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat mundur dengan kaget, dan
pada saat golok menyambar. Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan
mengelak. Akan tetapi begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia
merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan! Sedetik mereka
bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek
Siauw-hud terlempar ke atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan
dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga, ia mendapat
kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong Si Gendut Pendek itu
kuat sekali maka ia tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan
tubuh si gendut itu dengan kekuatan dari bokong dan punggungnya.
“Ngekkk....broooottt!”
Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sin-kang untuk
melawan bantingan, tanpa disengaja lobang belakangnya melepaskan kentut
besar!
“Idiiih....! Bau....! Bau....!” Im-yang Seng-cu memijat hidung
dengan jari tangan kiri sedangkan tangan kanannya memutar tongkat
menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.
Muka
Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah
terbanting sampai terkentut-kentut! Memang aneh sekali Thai-lek
Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam penyakit yang mungkin timbul karena
kesalahan berlatih sin-kang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam
perutnya yang gendut itu, ataukah karena lobang belakangnya sudah
longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan tenaga sin-kang
sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa
yang bocor sedikit ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang
nyaring! Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai
dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga mengangkat benda berat, ia
sudah melepas kentut pula dan sekarang, karena terbanting ia mengerahkan
sin-kang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia
marah sekali dan bagaikan seekor harimau terluka, ia menerjang maju
memutar goloknya sambil memaki,
Im-yang Seng-cu calon bangkai!
Makanlah golokku! Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang
marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani main-main, cepat mainkan
jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga
batang pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia terdesak hebat
seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid kepalanya.
Gin Sim Hwesio
mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil
tidak ada yang tampak. Tiba-tiba ia berseru, “Celaka....!” Dan ia
memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai,
akan tetapi tosu itu dapat mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari
samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat api bernyala
di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak,
pedang itu berkelebat ke bawah melukai pahanya. Ia terhuyung dan
muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk menolong suhunya.
Tiba-tiba
terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai
ini segera terganti teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama
kemudian, berkelebatlah bayangan orang yang cepat dan ringan sekali, dan
di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan
pedangnya, sekali terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar ke
belakang. Kemudian, laki-laki ini meloncat dan menerjang mereka yang
mengepung Im-yang Seng-cu. Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa
dan berseru,
“Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian (Dewa), bukannya Kwi (Setan)!”
Suma
Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya,
diputar cepat sekali sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis
menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan dadanya.
“Siapa
engkau....?” Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan
gerak pedang Suma Hoat. Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang
Seng-cu sudah memperkenalkan,
Mau kenal sahabatku ini? “Dialah Jai-hwa-sian!”
Si Gendut terkejut sekali. “Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai?”
Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
“Cringggg!”
Golok dan pedang bertemu dan melekat, pada saat itulah, Si Perwira
gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher Suma
Hoat dari belakang.
“Pergilah....!” Suma Hoat membentak, menggetarkan
pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke
belakang dan secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sahingga
pedang perwira gemuk menyambar atas kepalanya. Detik itu juga, pedang
Suma Hoat meluncur dari bawah, Si Perwira menjerit, pedangnya terlepas
dan ia terjengkang roboh, darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
Akan
tetapi, puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari
belasan pemuda-pemuda dan belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan
gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau murid-murid dari Coa
Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang
menjaga di luar tadi telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai
membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang merobohkan lima orang
yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran lalu datang membantu Gin Sim
Hwesio dan Im-yang Seng-cu.
Terjadilah pertadingan yang berat
sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang sedangkan yang
mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang sudah terluka, Im-yang
Seng-cu dan Suma Hoat. Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
“Ha-ha-ha!
Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!” Im-yang
Seng-cu tertawa bergelak dan cepat mengerjakan tongkatnya merobohkan dua
pengeroyok karena ingin mengejar ketinggalannya ketika melihat betapa
Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh
ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia
sudah terluka cukup parah, ia hanya dapat menggerakkan tongkatnya untuk
melindungi tubuhnya.
Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian
tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud, dan tosu yang mengaku bernama Thian Ek
Cinjin, Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira
Kurus telah remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman
mereka pun telah terluka oleh pedang Suma Hoat. Biarpun kepandaian dua
orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tomgkat
Im-yang seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi
pedang Suma Hoat. Akan tetapi karena datang puluhan orang anak buah Coa
Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat, sedangkan Gin Sim
Hwesio sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri
sendiri.
Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin
Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya terhuyung dan roboh ke belakang
ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah
terluka dan tenaganya makin berkurang sedangkan para pengeroyoknya yang
masih muda-muda itu terlampau banyak. Biarpun ia roboh terjengkang dan
rebah sambil memutar tongkatnya, namun keadaannya terancam bahaya maut
dengan serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan hujan
menimpa dirinya.
“Trang-trang-trang....!” Pedang-pedang yang
menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang pengeroyok
roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang meninggalkan para
pengeroyoknya untuk menolong Gin Sim Hwesio. Hwesio itu kini sempat
bangun kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah
dapat memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini
kembali dikepung dan pundaknya kena ujung pedang seorang pengeroyok,
bajunya robek dan kulitnya ikut robek sehingga darahnya mulai mengucur
keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar
pedangnya menyambut datangnya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid
Coa-bengcu.
Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biarpun
ia masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka pula. Dada kanannya
tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sin-kang
sambil membanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang
robek berdarah. Diapun mengamuk hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi
nyaring:
“Malang-melintang di dunia kang-ouw”
“menentang kejahatan mengabdi kebenaran”
“tongkat di tangan haus darah dan nyawa”
“para penjahat angkara murka”
“biarpun tewas dalam membela kebenaran”
“dengan senjata tongkat tetap di tangan”
“apa lagi yang membuat penasaran?”
“Bress!
Prookk!” Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan
Im-yang Seng-cu, akan tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai
telah berhasil membacok ke arah lehernya. Im-yang Seng-cu cepat membuang
diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat keluar
dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek!
Ia terhuyung dan memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring
ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak senjata lawan.
Suma Hoat
mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar
menyilaukan mata tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud
dan teman-temannya mundur, kesempatan itu dipergunakan Suma Hoat untuk
meloncat jauh menyambar tubuh Im-yang Seng-cu, dibawa ke tempat di mana
Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.
“Kalian berdua
mempertahankan di belakangku!” kata Suma Hoat dan mulailah terjadi
pengepungan yang ketat terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah
terluka parah, juga Im-yang Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma
Hoat seorang yang masih mampu mengirim serangan balasan karena dua orang
temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.
Bukan main kagum hati
Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat.
Biarpun pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus,
melindungi kedua orang yang terluka sambil balas menerjang dengan
sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja ada
pengeroyok lengah tentu menjadi korban. Im-yang Seng-cu kagum dan juga
gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim
Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak
ada Suma Hoat tentu niat buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para
hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana, bahkan ditambah
dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak
terjang Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi
“Dia dikatakaan Pemetik Bunga”
“perbuatannya bergelimang darah menghitam”
“kini dia mati-matian membela”
“kebenaran dengan taruhan nyawa penuh rela”
“hitam atau putihkah dia?”
“Dia disebut berbudi seperti dewa”
“tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara”
“menangis dengan hati merana”
“setan atau dewakah dia?”
Suma
Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian ini hanya diam-diam ia pun kagum
sekali akan sikap Im-yang Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih
sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah perkasanya Si Kaki telanjang itu!
Suma Hoat memusatkan perhatiannya diujung pedang dan amukannya membuat
gentar Thai-lek Siauw-hud. Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka. Malam
sudah hampir terganti pagi dan mulailah para penyerbu merasa khawatir.
Kalau sampai pagi dan mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh
penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua usaha itu akan
sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia.
Semua anak buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau
terluka, kemudian serentak mereka lari meninggalkan tempat itu membawa
para korban pihak mereka.
“Engkau ikut denganku!” Tiba-tiba Suma Hoat
berseru, tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar pinggang
seorang di antara gadis-gadis penyerbu yang sejak tadi memang sudah
diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati agar jangan
melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan
menggerakkan pedangnya membacok, akan tetapi sekali mengetuk pergelangan
gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat tubuhnya sudah ditotok
dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat
bergerak lagi.
Kemudian, tanpa menoleh lagi, Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
“Eh, nanti dulu!” Im-yang Seng-cu berseru.
“Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih”
Gin Sim Hwesio juga berteriak, akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab.
Im-yang
Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, “Itulah seorang
pendekar besar yang rusak hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal
di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa kira malam
ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!”
Im-yang Seng-cu juga berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang
sudah lenyap di telan keremangan pagi.
“Omitohod....!” Gin Sim Hwesio
merangkap kedua tangan, kedua tangan seperti berdoa, diam-diam harus
mengakui bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya
keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak terseret dalam pertentangan
adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan
sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
Im-yang
Seng-cu melakuan pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa
kekecewaan. Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa
suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar hatinya, Suma Hoat memiliki
watak pendekar yang besar yang mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu
kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang
dianggap terkutuk di seluruh dunia yaitu suka mengganggu wanita! Bahkan
perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian
disertai tekad untuk membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa
ditawar-tawar lagi, pada akhirnya dicemarkan oleh perbuatannya yang amat
tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda
dan cantik. Penculikan yang jelas diketahui apa maksudnya! Padahal, di
waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran membersihkan nama
Siauw-lim-pai, dia sudah terancam bahaya maut dan kalau dikehendaki.
Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat melarikan diri. Akan
tetapi, dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri tidak mau
meninggalkan Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah,
bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan nekat!
“Jai-hwa-sian....
bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?”
Im-yang Seng-cu berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia
menemukan jejak Jai-hwa-sian yang membawa lari korbannya ke dalam sebuah
hutan di luar kota Lok-kiu!
Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam
hutan dan akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun yang itu,
dan tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik
rumpun itu, di atas tanah yang ditilami rumput tebal hijau seperti
permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang
menjadi korban itu. Betapapun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini
terdapat seorang wanita yang perlu ditolong! Dan dia akan melawan
Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa! Memang tidak
salah bahwa gadis itu adalah seorang diantara para pnyerbu kuil semalam,
seorang anak buah Coa Sin Cu akan tetapi persoalannya sekarang lain.
Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang terancam kehormatannya oleh
seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar
yang semalam mempertahankan nyawanya untuk membela kebenaran!
Ia
menduga bahwa tentu akan mendengar gadis itu menangis seperti biasa
kalau seorang Jai-hwa-cat (Penjahat Pemerkosa) menerkam korbannya, dan
mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau mengancam. Akan tetapi,
muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, matanya terbelalak ketika ia
mendengar suara gadis itu, penuh kemanjaan penuh rayuan.
“Koko....
aku.... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau....betapa....
tampan dan mesra! Koko, aku rela menjadi milikmu selamanya...., aku
cinta padamu!”
Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya
mengandung kegetiran, “Aku tidak percaya akan cinta! Perempuan yang
cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya nafsu!
Nafsu berahi! Dan aku....” Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul
bentakan,
“Im-yang Seng-cu! Aku suka bersahabat denganmu karena aku
kagum padamu, akan tetapi kalau kau mencampuri urusan pribadiku, aku
akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan kuanggap penghalang.
Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!”
Im-yang Seng-cu
menarik napas panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan
baginya untuk mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama
sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan, dan kedua telinganya sendiri
jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa
mungkin ini? Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,
“Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat engkau sadar bahwa perbuatanmu itu menyeleweng daripada kebenaran.”
“Im-yang
Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada
sangkut-pautnya dengan siapapun juga, dan sama sekali engkau tidak
berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau aku
terpaksa menggunakan kekerasan?”
Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa
yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian,
sungguhpun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apalagi sekarang dia
sudah terluka cukup parah. Andikata dia mendengar gadis itu menangis dan
minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian, biar sepuluh
kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela
wanita yang tertindas dan terhina. Akan tetapi wanita yang suaranya
manja dan merayu itu mana membutuhkan pertolongannya? Bahkan, kalau ia
mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas
bahwa wanita itu pun akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan
untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia menggerakkan pundak lalu pergi
dari tempat itu.
***
Han Ki memandang kedua arca Maya
dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar, penuh kegembiraan. Kedua arca
yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya.
Arca-arca itu sudah jadi, persis seperti kedua orang sumoinya yang amat
dikasihinya dan ia kagum akan hasil seni yang diciptakan tangannya,
melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoinya. Baru sekarang ia
dapat memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya.
Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih
cantik. Kadang-kadang tampak Maya lebih cantik, akan tetapi
kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia
harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya
dan menyinarkan kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa
jantungnya berdebar, apalagi ditambah bibir yang seolah-olah mengandung
senyum penuh arti itu.
Gerakan halus di belakangnya pada saat itu
amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok pun Han Ki
maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia
mengenal benar gerakan halus kedua orang sumoinya, malah dapat
membedakannya. Apalagi, ada keharuman yang khas pada diri masing-masing
dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga
yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk
kedua orang sumoinya karena dia tahu bahwa semua wanita menyukai bunga
dan bau-bau harum.
“Suheng....”
Han Ki menoleh tersenyum.
“Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
Maya berlutut di dekat suhengnya.
“Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”
Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu saja arcaku sendiri!”
“Ah, Suheng sombong!” Han Ki hanya tertawa.
“Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”
Han
Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi
kemudian terdengar suaranya menggoda karena dia terpaksa melayani
pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”
Wajah
yang itu berseri, manis pandang mata yang biasanya hangat itu lebih
panas lagi, senyumnya manis memikat. “Suheng....” Maya menyentuh lengan
suhengnya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”
Han Ki menatap
wajah sumoinya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa
cantiknya, kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri
tersendiri dan mempunyai daya pikat yang amat kuat. Terpaksa ia
mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita,
Sumoi.”
“Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?”
Pertanyaan ini makin manja dan Maya mendekatkan mukanya. Tampak
garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik
melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam,
bibir itu terbuka sedikit, tampak sederetan gigi putih dan napas dara
itu seperti agak terengah.
Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang
masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak ketika ia
menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini,
Maya.”
Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya
memegang lengan Han Ki, suaranya menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun
bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini”
“Maya....!” Han Ki membantah kaget.
Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan.
“Suheng, bukankah aku lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
“Maya-sumoi....!”
bersambung 5.........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar