Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [6]

Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang
pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi
mengandung tenaga sehingga terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan hendak
mencari Kai-ong?"



Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-Yang? Padahal ia telah
melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-Yang mendahuluinya
memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir sukar dipercaya.
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak, "ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana bisa
melawan kecepatan burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat dengan
perantaraan burung dara itu ke tempat ini. "Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku mau
bicara dengannya!"



"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu dengan
Kai-ong?"



"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan kalian
pengemis-pengemis palsu."



"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga pengemis
tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"



Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja,
bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan
mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat maupun senjata. Melihat
bentuk pentung ini ketiganya serua, teringatlah ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu Sin-tung
Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua Bertongkat Sakti). Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai
adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal di selatan, terkenal sebagai orang-orang pandai yang tidak
termasuk golongan jahat, bahkan memimpin kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang
tiga orang tokoh ini hanya menjadi penjaga pintu di sini?" "Bukankah Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung
Sam-lo-kai?"



Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang muda." Kata kakek pertama yang paling
tua, "Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakana terus terang
saja apa maksudmu mencari Kai-ong?"



"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di sini?
Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"



"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami." Jawab
pengemis itu cepat-cepat. Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu terntu
merasa tidak sendang sekali dengan "pekerjaan" mereka akan tetapi agaknya terpaksa, entah oleh apa dan mengapa.



"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun,
aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap kalian
bertiga minggir!"



Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo Taisu tertawa
bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju hendak memasuki pintu
depan rumah gedung.



"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar keras
ketika mereka menggerakan tongkat menyerang. Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa
kepandaian tiga orang kakek pengemis ini tidak kalah oleh Koai-tung tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam
rumah judi di Sin-yang. Maka dapat dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan
sebatang lagi diputar menghadang di depan!



"Wuuuttt! Wuuuttt!" Dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri mengancam
lambung. Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap ujung
kedua tongkat, mengerahkan lwee-kang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua orang pengemis
tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini. Betapa pun mereka mempertahankan kehendak merampas
kembali tongkat yang terpegang lawan, sia-sia belaka dan tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke dalam tanah
sampai setengahnya lebih!



Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali, ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini
meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok dan
sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian jurus
serangan ini, maka ia cepat menggunakan gin-kangnya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri, kemudian
lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat dan "Lepas....!!" Teriaknya sambil mengerahkan sin-kang,
sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat dipertahankan lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur
bagaikan anak panah kemudian menancap pada dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.



Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu
ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya
betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka! Mereka
menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani membiarkan orang ini masuk ke dalam
gedung begitu saja karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat marah dari Kai-ong.



"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu
berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung. Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan
kedua orang temannya juga sudah mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan pengemis
yang berdiri dari delapan belas orang itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo
Taisu. Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak
melihat barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah,
kadang-kadang merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan
bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi. Barisan
ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa kagum.



"Orang muda, biarpun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis Pengejar
Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku siapakah engkau dan apa
perlumu mencari Kai-ong!"



Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku mencoba untuk menjadi
anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan, nekat
hendak memasuki gedung. Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan yang sekaligus
telah menerjang dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang bersenjata tongkat panjang, seorang lagi
bersenjata pedang dan orang ke tiga bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat
berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju bersama, ternyata mereka bertiga dapat
bekerja sama baik sekali, seakan-akan seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang kaki tangan menyerang
Kim-mo Taisu!



Pendekar ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang ini.



Kedua tangannya digerakkan, dengan ilmu tankapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka. Akan
tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada detik itu juga, pengurung
bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat betapa tiga orang di
bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara mereka menyerang
berbeda sungguhpun kerja sama mereka tetap baik. Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa
mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya, dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka
gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang
hebat dengan tiga macam senjata mereka. Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi
oleh barisan enam kali tiga orang ini dan ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh
barisan pengemis! Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu
silat. Melihat hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali,
tertarik untuk mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi daripada para
pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justeru ingin melihat bentuk
permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia hanya main
berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa barisan ini
bergerak dan berubah. Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu
barisan ini sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang
terkenal itu. Dia sendiri adalah ahli permaianan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan
hafal akan seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Kiranya
barisan biasa saja setelah terdapat rahasia sumbernya.



Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar harimau!
Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi mangsa harimau, ha-ha!"
sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai "bekerja", tangan kakinya bergerak cepat, tubuhnya berkelebat
bagaikan bayangan kilat. Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh
menyusul bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu
sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti bagaimana mereka
itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat. Ketika melihat betapa
Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani lagi turun!



Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, mampu menghadapi
seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa orang muda gila ini memasuki gedung, tentu mereka
mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka bertekad untuk mempertahankan
penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri menghadang di depan pintu.



"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat kami
bertiga!"



"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk
main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa aku hendak
bertemu?"



Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu memperkenalkan
namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang namanya di dunia kang-ouw
terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu saja sudah mendengar nama besar
Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang
pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang
pengemis muda yang sikapnya edan-edanan dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat
sakti sekali dan juga merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak
dengan muka pucat, seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu
dan berkata, suaranya penuh permohonan.



"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan kami,
juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong yang
amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk berarti kami bertiga akan binasa. Karena itu,
tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulan-perkumpulan Kai-pang
di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!" Tiba-tiba kakek pengemis ini terguling dan darah muncrat dari
punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam gedung!



"Twa-suheng...!" Dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu dengan mata
penuh permohonan.



Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul melainkan
seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita itu berkata,
suaranya nyaring dan merdu.



"Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk
dengan hormat, tangannya mempersilahkan.



Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia memang seorang
aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap kai-ong itu, yang seakan-akan
benar-benar seoarang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan watak Kim-mo Taisu
untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti wanita cantik itu memasuki ruangan
depan. Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih
itu penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam,
keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke ruangan
yang lebih dalam lagi.



Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti kamar di dalam istana raja. Pintu
terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa yang genit, tercium bau asap dupa wangi.



"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu." Wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di
depan pintu.



"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat daripada lantai dan
permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau mau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang
membersihkannya!"



Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini, ia hanya memandang bingung dan samar-samar tampak oleh
Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekuatiran. Agaknya wanita ini terlalu
banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!



Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian
bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"



Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita berjalan keluar
tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak seperti pakaian
pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat daripada sutera tipis dan halus beraneka warna. Sambil
tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri. Akan tetapi ketika mereka
keluar dan melihat bahwa "tamu agung" itu adalah seorang jembel yang pakaiannya penuh tambalan, kakinya
telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak kaget, berhenti dan saling pandang
dengan ragu-ragu. Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat
menghampiri Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata.



"Silahkan Khekkoan (tamu) duduk di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."



Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong yang aneh
itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang harum sekali yang
keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!



"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil menjauhkan
diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi. Ngeri ia membayangkan kedua kakinya
dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu, yang demikian genit-genit. Tentu akan
menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu
terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu
memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan setengah berlari ke dalam di mana terdapat seorang laki-laki
duduk menghadapi meja ditemani tiga orang wanita muda lain.



Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau
menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti
seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung
seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai pakaian
berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula. Wajahnya tampan
akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang sempit membayangkan
kelicikan. Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak
meimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya sedang
bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan disodorkan di
depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan arak ke dalam cawan
araknya. Adapun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya dengan alis dikerutkan



Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh
dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus akan tetapi suara tetap serak tak sedap didengar.



"Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih, daging kelinci
ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut Si Cantik. Wanita itu tersenyum
paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata.



"Pouw-koko (Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak
senang dengan keadaan seperti ini."



"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan kepada
para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas berlutut dan
mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh kepada lima orang
wanita cantik itu.



Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan
tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada tahi
lalatnya di dagu, berkata genit.



"Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya menjadi kesayangan Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir
selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan
wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.



"Benar tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan
oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"



Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah, "Mana bisa aku
dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"



"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh kekasihnya
duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua orang selirnya
yang berani membantah itu.



"Aduhhh...! Aduhhh...!!" Dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit
bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas meja
dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang wanita itu
menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.



"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" Perintah ini diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka lalu
menggotong kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan.



"Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis), yang secara
keji membunuh orang tertua dari Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya secara ganas
pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja Pengemis itu penuh ejekan.



Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui
adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah
membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari
kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya yang
tinggi. Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu
dengan Liu Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee Lui yang
cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar kekuasaannya dengan menundukkan
perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong atau raja pengemis yang
hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas gadis mana saja yang disukainya.



Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat oleh
guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan sekali
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta melihat ilmu
silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak ada
yang memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang amat
tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya, wajahnya yang
tampan, dan sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati. Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam
perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu bahwa yang ia sangka seorang pendekar sakti itu
sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam
sebuah kuil kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga Liong Bi
Loan menjadi mabuk dan dalam keadaan tidak sadar telah menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang
kehinaan oleh Pouw Kee Lui.



Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang membuta
saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka seekor domba
sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan akhirnya reda juga
penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan bersetia kepadanya, akan
mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi. Terobatilah hati Bi Loan. Ketika
pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya
girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar datang membawanya pergi dan tentu saja ia
ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya,
daripada menjadi seorang gadis ternoda yang akan menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui
bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang yang amat penting, seorang raja, biarpun hanya rajanya pengemis!
Dan melihat selir "suaminya" begitu banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk menghalau
semua selir itui, yang juga diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan
minum. Demikianlah keadaan singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.



Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat muka memandang, mulutnya
tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang serak, "Kim-mo Taisu,
apakah kau mendapat nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam rumah tangga orang lain? Kubunuh
Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang selirku, itu adalah urusan keluargaku
sendiri."



"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!"
Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya.



"Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut dengan arak
wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan berseru. "Silakan!" Sekali ia
menggerakkan tangan, mangkok berisi penuh arak itu melayang cepat sekali seperti peluru tanpa araknya tumpah
sedikit pun, menuju ke arah dada Kim-mo Taisu.



Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan kirinya dan begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu
di atas telapak tangan kirinya, di mana mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat
dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda bahwa penyambitnya
memiliki sin-kang yang hebat. Di lain fihak, Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh
arak, tanpa tergoyang sedikit pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan
keduanya. Hebat Kim-mo Taisu ini, pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.



Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang, mengecap-ngecapkan
lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong. "Arak baik... hemm, arak
yang baik sekali. Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba tangannya bergerak dan mangkok
itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.



"Tinggg!!" Mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar seperti
gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok kosong.



"Brakkk!!" Mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan! "Aiihhh!!" Pouw-kai-ong
terloncat kaget. Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar berapi, kedua tangannya menegang,
jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau. Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti
segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala,
bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat karena latihan lwee-kang tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis
dan tangannya membuat gerakan mempersilakan tamunya duduk.



"Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka. Silakan
duduk!"



Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja pengemis
itu, kemudian ia menarik bangku dan duduk. "Terima kasih, Kai-ong."



Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu, ia letakkan di atas telapak
tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sin-kang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan terus menjalar ke
mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap! Inilah hawa sin-kang yang
bukan main tingginya!



"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu kepada
tamunya.



Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sin-kang yang
diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang akan mampu
melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jerih, baginya demonstarasi itu hanyalah permainan untuk
menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok arak mendidih itu sambil
mengerahkan sin-kangnya.



Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang
dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!



"Terima kasih, sayang arakmu dingin." Kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak itu
tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi,
menggunakan sifat dingin dari tenaga sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar Kim-mo
Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.



Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan bahwa
kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu, keperluan apakah
yang membawamu datang mencari aku?"



Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan menjilati bibirnya. "Arak
baik, arak baik...!"



Pouw-kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan seguci arak ke arah Kim-mo
Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai tenaga lwee-kang, sedangkan jarak antara mereka dekat saja,
hanya terpisah sebuah meja. Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus menggelogoknya
langsung tanpa cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan
meletakkan guci arak di atas meja.



"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di Sin-yang dan karena
tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."



"Aaahhhh....!" Wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu,
kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat. Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu,
setelah sekarang kau dapat bertemu denganku, apa yang kau kehendaki?"



"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan mengembalikan
puterinya itu, kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang baik!" Pouw Kee
Lui juga tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan dengan maksud menyuap." Ia lalu
bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo Taisu, perkenalkan, inilah isteriku
yang bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"



"Is... terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran. "Moi-moi kekasihku, kaukatakanlah kepada Kim-mo Taisu,
benarkah bahwa aku menculikmu?"



Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan berkata, "Aku
pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang luar?"



Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa ia akan
menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya, tentu saja
ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong, telah jatuh
cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan rasa takut, jadi
terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis! Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang
telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut atau cinta, melainkan karena sudah terlanjur
terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa mengikuti Pouw Kee Lui!



Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya kehilangan
senyumnya seperti orang gila ketika ia berkata, "Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini juga aku
menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar bahwa kau telah
merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas merenggut nyawa para
pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka, setelah aku datang, biarlah aku
merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam ruangan ini atau di luar!"



Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang biasanya
pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya, akan tetapi
mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri membayangkan kecerdikan
otaknya. Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang
Muda. Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda sebagai
musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini berjuluk Kim-mo
Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia harus waspada menghadapi
orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sin-kang dari manusia sinting ini. Dan
sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan pertemuan dengan para
sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata dengan senyum lebar.



"Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu. Akan tetapi
kau melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat mengotori suasana meriah
dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa gelisah setengah mati! Kim-mo
Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu, biarkan aku beristirahat selama tiga hari
untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku akan menantimu di puncak gunung ini, di mana
kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"



Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu mencari
alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak Tapie-san. Akan
tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang kebetulan bulan gelap. Aku
akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!" Setelah melenggang keluar dari ruangan
itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di
luar gedung. Setelah keluar dari gedung, tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari
pandang mata pengemis yang tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada
orang yang berani menantang kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!



Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersamadhi di bawah pohon. Kedua
kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya,
semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhunya.



Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama sekali tidak pandai
ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan bahwa ia dapat juga
menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang yang tidak terlatih ilmu
silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan kelelahan hebat, akan tetapi
pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyala-nyala di sepasang mata yang
bersinar-sinar itu.



"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan
menghilangkan lelah."



Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan gurunya,
meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.



"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang panjang..."
Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh. Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus
menarik napas dan merasa betapa dadanya penuh sekali.



"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu ulangi
sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."



Otomatis Bu Song mentaati perintah suhunya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil masih
bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut, menahannya ke tengah
pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai napas. "Kau umpamakan napasmu
seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat menunggang naga itu, kaubiarkan dirimu dibawa
terbang keluar masuk, terus kautunggangi jangan lepaskan sedikitpun juga, akhirnya kau tentu akan mampu
menguasai dan menaklukannya." Demikianlah Kim-mo Taisu memberi petunjuk. Kemudian ia mengajar muridnya untuk
sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata
menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera dipusatkan "menunggang naga". Inilah inti pelajaran ilmu
bersamadhi, dan siulian atau samadhi ini pula menjadi dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song
sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.



Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang muridnya
terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru saja tiba
setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersamadhi, sungguhpun baru saja dimulai
hari ini, dari pagi sampai sore!



"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya. Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan
dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar, tidak merasakan kelelahan lagi.



"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak
mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."



"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?" "Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song.
Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau tulisan itu dapat mengandung goresan yang
bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi
tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus
menggunakan pernapasanmu untuk membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot
itu untuk menerobos ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan
kuajarkan engkau menulis huruf indah." Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri akan tetapi
diam-diam dia merasa malu kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia
menipu muridnya ini yang tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian,
sinar matanya memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat,
memiliki bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang
mata itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul
pundak muridnya dan berkata halus.



"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kaulakukan ketika
kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."



"Baiklah, Suhu." Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan
hati girang ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat
pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu.
Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh. Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan
kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohon-pohon. Suara yang menyelinap ke dalam telinganya
seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu
Song menggigil dan tak dapat pula ia mempertahankan diri, buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh
disusul tubuhnya jatuh pula dari atas pohon! Untung baginya, Pohon itu tidak terlalu tinggi, juga ketika ia
terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah,
Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu
masih terngiang di telinganya, membuat kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapapun ia menahan dan
menutupi telingan dengan kedua tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa seperti
jantungnya ditusuk-tusuk jarum, Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari
ke tempat suhunya, namun suara kelenengan itu makin keras dan kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia
teringat akan nasihat suhunya, "Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu
mengganggu badan dan pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk
keluarnya hawa pernapasan.



Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan pula
segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi satu dan
memaksa diri "menunggang naga" seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhunya. Sebentar saja anak yang
bertekad membaja ini telah berhasil "tenggelam" ke dalam keadaan diam, tekun menunggang naga pernapasannya
sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mujijat tadi! Suara kelenengan masih
terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya saja, tidak mampu masuk
karena telinga itu telah ditinggalkan "penumpangnya" atau penjaganya yang sedang seenaknya menunggang naga!



Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak menghadapi
bahaya suara mujijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang berceceran dan
membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhunya.



Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh
tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali. Kedua
kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai kecil itu
ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan, kakek ini melenggut
di atas punggung keledai, hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan jubahnya yang panjang lebar
itu melambai-lambai tertiup angin gunung.



Ketika keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih duduk bersila di bawah pohon, kakek itu mengeluarkan
seruan tertahan dan keledainya berhenti. Ia lalu melompat turun dan sengaja membunyikan kelenengannya di depan
Kim-mo Taisu sambil mengerahkan tenaganya. Terheran-heran kakek itu melihat betapa orang yang duduk bersila itu
masih saja duduk, sama sekali tidak bergeming biarpun bunyi kelenengan itu sebetulnya dapat merobohkan lawan
tangguh!



Tiba-tiba Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek itu lalu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Makin tua kau
makin ugal-ugalan saja, Pat-jiu Sin-ong!"



Kakek itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia membungkuk untuk memandang lebih teliti orang yang
duduk bersila itu. Seorang berusia tiga puluhan, tubuhnya tegap rambutnya riap-riapan mukanya terselimut awan
kedukaan, pakaiannya tambal-tambalan dan kakenya telanjang.



"Kau mengenal aku?" "Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi
bekas calon mantumu? Ha-ha-ha!" Kim-mo Taisu melompat berdiri.



"Hehh....?? Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee Seng...!" Kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo Taisu dari kepala sampai
ke kaki dengan pandang mata tidak percaya.



"Cukup Kim-mo Taisu saja, Kauwcu." "Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu....?" Kakek itu lalu merangkul pundak dan
tertawa bergelak-gelak. "Siapa akan mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan tampan, sekarang... sekarang..."
"Seorang jembel busuk!"



"Ha-ha-ha! Alangkah akan girang hatiku kalau melihat anakku berpakaian jembel duduk disampingmu bersiulian di
bawah pohon! Ahhh, sayang tidak demikian jadinya. Eh, Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada penjahat secara
menggelap menyerangmu sehingga kau jatuh ke dalam jurang. Sungguh mati, kukira kau sudah hancur di dasar
jurang."



"Sebaiknya begitu, sayang nyawaku belum mau meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih ingin membiarkan
tubuh ini menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa sampai di sini?"



Kakek itu menarik napas panjang. "Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh, apakah kau tidak pernah
bertemu dengannya?"



Kim-mo Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia enggan bicara tentang bekas kekasihnya itu.



"Dia sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya kau. Kalau dia menjadi
isterimu, agaknya kau pun akan makan hati seperti aku yang menjadi ayahnya. Dia pulang menceritakan bahwa dia
meninggalkan suaminya, ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah minggat sambil mencuri kitab-kitabku.
Benar-benar anak durhaka dia! Aku mencarinya sampai berbulan-bulan. Kau benar-benar beruntung dapat terlepas
daripadanya."



Tiba-tiba Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang awan. "Ha-ha-ha! Pat-jiu Sin-ong, kau bilang aku
bahagia karena terlepas daripadanya, bukankah kau juga sudah terlepas daripadanya? Bukankah dengan demikian
kita sama-sama menjadi orang bahagia?" Suara ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh hutan dan di dalam hatinya,
kakek itu terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang terkandung dalam suara tawa itu. Maka ia pun
tertawa dan berkata.



"Kau benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang laki-laki, muda dan tua, tunangan dan ayah, terbebas dari
rongrongan seorang wanita siluman! Ha-ha-ha! Kita harus rayakan ini, tunggu... aku membawa arak baik!" Kakek
itu lari ke arah keledainya yang makan rumput tak jauh dari situ, mengambil guci arak dari atas pelana,
menuangkan arak ke dalam dua buah cawan dan membawanya kembali kepada Kim-mo Taisu. Mereka lalu minum arak
bersama sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw bertemu dan kecocokan watak
mereka mendatangkan kegembiraan sementara.



Saking gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak laki-laki melihat dan mendengar percakapan mereka. Anak
ini Bu Song dan mendengar bahwa kakek itu adalah Pat-jiu Sin-ong, wajahnya berubah. Kiranya orang tua itu
adalah kakeknya sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan kedua orang tuanya tentang kakeknya, Ketua
Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong bernama Liu Gan. Dan sekarang kakeknya berada di sini, kalau
mengenalnya sebagai putera ibunya, tentu akan membawanya ke selatan! Menurutkan kata hatinya Bu Song sudah
ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu, akan tetapi ia teringat akan gurunya yang lapar, maka ia lalu
menurunkan buntalan pundi-pundi uang berikut apel, dengan hati-hati dan perlahan ia meletakkan buntalan itu ke
atas tanah, kemudian berindap-indap sambil menoleh memandang kedua orang yang masih minum sambil tertawa-tawa,
pergi dari tempat itu. Dua butir air mata menghias pipinya ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang
ibunya. Setelah dua orang itu tidak tampak lagi. Bu Song lalu pergi secepatnya.



Setelah arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong melepaskan rangkulannya, melempar cawan kosong ke bawah lalu
berkata. "Kim-mo Taisu, sekarang kau bersiaplah, mari kita mengadu kepandaian!"



Kim-mo Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya pula ke atas tanah. "Pat-jiu Sin-ong, apa pula ini?
Kau tahu bahwa aku takkan bisa mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur denganmu. Tidak
ada alasan bagiku maupun bagimu untuk saling serang."



"Ha-ha-ha, tidak ada alasan katamu? Akulah yang membuat engkau terjungkal ke dalam jurang. Nah, sekarang tiba
saatnya kau harus membalas dan aku bersedia melayanimu untuk membayar hutang. Aku yang membuatmu menjadi
seperti ini, tak usah kau pura-pura, seorang laki-laki harus berani menghadapi kenyataan!"



Akan tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Kenyataannya bukan seperti yang kaukira. Aku tidak mendendam
kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa tahun yang lalu. Dan aku tahu bahwa kau tidak mempunyai niat
buruk, dahulu maupun sekarang Pat-jiu Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku tidak suka bermusuhan
denganmu."



"Eh-eh!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan suara kecewa. "Siapa bilang tidak ada alasan? Bertahun-tahun
aku tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku gatal-gatal. Kalau kau tidak mendendam kepadaku, sebaliknya
akulah yang mendendam padamu dan sekarang kau harus membereskan hutangmu kepadaku!"



Berkerut alis Kim-mo Taisu. "Hem, hem...! Kalau begini lagi. Katakan, aku berhutang apa kepadamu? Kalau memang
berhutang, tentu saja akan kubayar."



"Ha-ha-ha, kau masih berpura? Aku kehilangan anak, aku menderita karena anak. Semua ini gara-gara engkau dahulu
menolaknya. Aku baik-baik menyerahkan dia kepadamu, akan tetapi kau tidak mencintanya dan tidak mau menjadi
suaminya maka timbul urusan seperti sekarang ini. Andaikata dahulu kau suka memperisteri dia, tentu kita semua
akan hidup bahagia. Nah, penghinaanmu itu bukankah hutang besar?"



Tertusuk hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang menolak, melainkan Liu Lu Sian. Dia mencinta Lu Sian,
akan tetapi Lu Sian tidak mencintanya! Akan tetapi sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku terus
terang akan hal ini kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya. Kalau
dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tingkatnya telah maju amat jauh. Kalau sebelum masuk ke Neraka
Bumi saja ia sudah sanggup menandingi Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu merobohkan kakek sakti
ini secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih melawan seorang lawan yang tangguh sedangkan sekarang
tiba kesempatan yang amat baik.



Ia mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong. Nah, aku sudah siap, kau mulailah!"



Wajah kakek itu berseri girang. "Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau waspadalah!" Tiba-tiba ia
memekik keras sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, jubahnya yang leber itu berkibar mendatangkan angin yang
dahsyat.



Kim-mo Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat sekali dan seandainya ia tidak mengalami
latihan luar biasa di Neraka Bumi, oleh daya pekik ini saja ia tentu sudah kendor semangat. Cepat ia menggeser
kakinya miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus menghantamkan tangan kanannya dengan bantingan lengan dan
tangan terbuka, serangan yang kelihatannya bertahan saja akan tetapi sebetulnya hebat bukan main karena ia
telah mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).



"Beng-kauwcu, awas serangan balasan!" Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa didahului angin pukulan
akan tetapi telah terasa hawa amat dinginnya, menjadi terkejut dan cepat-cepat ia pun mengelak sambil melompat
ke kanan.



"Bagus, kau hebat!" katanya sambil menerjang lagi. Bertandinglah dua orang sakti itu, mula-mula hanya dengan
jurus satu-satu dan lambat, akan tetapi makin lama makin cepat dan kuatlah gerakan mereka sehingga tubuh mereka
lenyap tak tampak lagi, yang kelihatan hanya gundukan bayangan mereka yang sudah bercampur menjadi satu dan
sukar dibedakan.



Sejam sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum bukan main akan kemajuan lawan. Sepasang lengan sudah
terasa sakit-sakit karena sering beradu, namun belum pernah pukulan mereka mengenai sasaran. Kim-mo Taisu
selain kagum juga mulai bosan dan kuatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara mereka akan terluka hebat.
Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan tentu saja tidak ingin dilukai, akan tetapi ia mengenal pula tabiat
Pat-jiu Sin-ong yang gemar bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja. Pada saat Kim-mo Taisu memutar otak
mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini, tiba-tiba Pat-jiu Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua
tangan berbareng sambil merendahkan tubuh, kedua kaki ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan dengan jari-jari
tangan terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo Taisu.



Jangan disangka ringan pukulan Ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya yang setengah berjongkok itu dalam posisi
pengumpulan tenaga dari pusat bawah perut yang meluncur keluar melalui kedua lengan yang dilonjorkan. Dengan
pukulan simpanan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, dalam jarak lima meter, Ketua
Beng-kauw ini sanggup merobohkan sebatang pohon hanya dengan hawa pukulannya. Inilah sebuah di antara
jurus-jurus rahasia yang tak pernah ia keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan catat dalam kumpulan tiga kitab
rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini lenyap dicuri puterinya sendiri! Pukulan
Beng-kong-tong-tee ini adalah ciptaannya sendiri dan merupakan pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia
beri nama sebagai lambang daripada Agama Beng-kauw (Agama Terang) yang ia pimpin. Jurus ini demikian hebat dan
gemilang seakan-akan Agama Beng-kauw yang merupakan sinar terang menggetarkan bumi. Karena ingin sekali
memperoleh kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan pukulan itu akan tetapi
oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya
mempergunakan tiga perempat bagian saja dari tenaga sin-kangnya.



Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali
pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh, maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda dan dengan kaki
terpentang kokoh dan kuat dan kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak berani ia
mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan berbahaya, maka ia
juga mengerahkan sin-kangnya untuk melawan keras sama keras.



"Wuuuttt! Dess...!!" Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya
bukan main pertemuan dua tenaga sin-kang kedua orang sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar
ke belakang dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah sepuluh meter
jauhnya. Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya.
Pat-jiu Sin-ong juga jatuh terduduk, dari mulutnya tersembur keluar sedikit darah segar. Untung bagi Ketua
Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya saja untuk menghadapi pukulannya
tadi, dan karena tenaga mereka memang seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka dalam. Hanya Pat-jiu
Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu membuat tenaga serangannya
membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih banyak daripada lawannya. Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga
dan napas, tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat bangun.



"Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!" Kata-kata ini
diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan seseorang
lawan yang dapat menandinginya.



Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu. "Cukuplah, Kauwcu. Aku harus
menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan yang lebih tangguh daripadamu di puncak ini besok. Lain kali saja
kita lanjutkan."



Biarpun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang lebih
tangguh daripadanya, ia menjadi penasaran sekali. "Hemm, siapakah dia yang kaukatakan lebih tangguh daripada
aku?"



Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian agar Si
Kakek mau berhenti. "Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau belum mengenalnya, julukannya Raja
Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang di empat penjuru."



"Hemm, hemm ada kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding dengannya?
Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu sama saja dengan
pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!" Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sin-ong lalu berjalan
menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke atas ia sudah duduk di punggung keledai kecil itu dan
berlarilah si keledai ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.



Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu
sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu Sian. Jadi
Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat! Akan tetapi
mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Bukan urusannya semua itu, namun sukar baginya untuk tidak
memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi uang, akan tetapi ia tidak
melihat Bu Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.



"Bu Song!" Ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat bahwa di dalamnya ada beberapa buah
apel, ia makin heran. Anak itu telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam bungkusan, mengapa lalu
pergi? Dan ke mana perginya?



"Bu Song....!" Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari
sambil berseru memanggil-manggil nama muridnya.



Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini setelah mendengar bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu
adalah kakeknya, meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan
tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti. Akhirnya dari
puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya
karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di lereng
itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.



Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap mengepul dan
terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan anak ini menelan ludah
beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu pemilik rumah bekerja, seperti
yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.



"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?" Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya berdiri
seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat. Bu Song tersentak
kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini tiba-tiba muncul seperti
keluar dari dalam bumi?



"Maafkan aku, kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah
makan." Katanya sambil menjura dengan hormat.



Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot, mulutnya yang
ompong itu berkemak-kemik. "Kau akan mengemis makanan?"



Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula. "Aku bukan pengemis! Aku
mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini tidak ada
pekerjaan, sudahlah!" Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu.
Akan tetapi tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap
bangun, kakek itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.



"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan bisa
mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di puncak itu
dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."



Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa
kakek inilah yang merobohkannya.



"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini." "Tak perlu omong besar lebih dulu,
sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari ikut ke dapur!"



Di bagian dapur rumah itu, Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua
seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Adapun yang
wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek tinggi besar
yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.



"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur Si Tanpa Baju kepada kakek
pertama.



"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin bekerja
membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi makanan
kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"



Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga Si Nenek berpaling memandang. "Sam-hwa, kau isilah
padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup memenuhi semua
tempat air di sini. Lucu, kan?"



Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa mengapa ia tadi
minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah tidak ada yang waras!



"Kaumakanlah dan ambil sendiri di atas meja itu." Kata Si Nenek tak acuh. Karena yakin bahwa yang akan
dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau ragu-ragu lagi Bu Song menghampiri meja dan
melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya makin memberontak lagi. Ia segera mengambil
mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan, lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan
itu, sungguhpun bahannya sangat sederhana. Bu Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak
bertemu nasi, setiap hari hanya makan buah-buahan saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh
mangkok kosong dan berhenti makan, persediaan nasi di tempat nasi tinggal setengahnya lagi!



"Ho-ho-ha-ha-hah!" Malam ini kita berpuasa, A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak
tertutup baju itu berguncang-guncang.



"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula." Kata A-kwi sambil menggeleng-geleng
kepalanya.



Sam-hwa muncul dari pintu. Melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar pandang dengan
dua orang kakek itu. "Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? biar dia kuberi buah. Anak, mari terima!" Ia
melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak kaget
karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga tanpa dapat ia
pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa saja, sama
sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang membuat
berat buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran Si Nenek yang hendak mengujinya.



Melihat dia roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan Bu Song
keluar dapur. "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa keluar."



Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia sudah
menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air dari kayu yang
terletak di sudut rumah.



"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air." Celanya sambil
mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih. "Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air
ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Mereka berjalan
keluar.



Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan dan alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat
seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhunya, seorang kakek yang kedua kakinya rusak,
ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan sepasang kaki.



"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga. A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk
dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua, "Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."



Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah. "Siapa namamu?"
"Nama saya Bu Song, Kek." "Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjiwir telinga Bu Song. "Kau harus sebut
Ong-ya!"



Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka memperhatikan kakek
lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa disebut ong-ya? Sebutan
seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan peraturan, maka ia menduga-duga.
Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi
kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong! Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak
pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda maupun
kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak mau menyebut Ong-ya!



"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?" "Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona
Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci." "Hemmm, kau keluar cari mereka, suruh pulang ada
urusan penting." "Baiklah, Ong-ya."



Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu Song
melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang saja. Ah, kalau
begitu tentulah kepala rampok, biarpun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya. Ia merasa menyesal
sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka, kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi ia tidak akan sudi.
Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.



"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya, lekas kau
pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur, A-liong dan Sam-hwa akan memberi
tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian, kakek yang
bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali seakan-akan ia lari
setengah terbang.



Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia sengaja, ia
agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka. Ia akan melakukan
pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air dan, kemudian segera meninggalkan tempat ini. Dengan penuh
semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia telah terlatih
menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur keluar dari sebuah guha kecil, membentuk kolam air yang tak pernah
kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu pikulan itu dapat
menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul. Hati-hati ia lalu
meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari tempat itu.



Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini
menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan air
ke dalam kolam itu."



Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam ini,
sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi
sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orang-orang tua
ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah kedua tahang air berpindah tempat, ia lalu
mendaki lagi.



Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya seperti
hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali lagi, kolam itu
akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!



"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir lulus,
tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh kasihan
kepadamu."



Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek. "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!" Lalu ia membawa
pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi karena memang sudah amat
lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan kedua kakinya tersaruk-saruk.
Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jenkel dan desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan
kuat-kuat.



Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air.
Biarpun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan mampu
menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan bukan main
beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh!



Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat
menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara
gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak! Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya.
Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya
berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka
bopeng penuh totol-totol hitam orang yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga
bermuka sempit seperti tikus.



"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil semua
sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kai-ong.
Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah siap?"
demikian kata Kim-mo Taisu.



Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang sahabat-sahabat
baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah lama mereka
mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia belaka. Sahabatku ini
adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga gunung (perampok)." Ia
menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda
Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja daripada bajak. Masih ada beberapa orang sahabat baikku
yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"



Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat, pikirnya.
Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijiwir orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek A-kwi yang
menjiwirnya.



"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik Si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu Song.
Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan
kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek
A-kwi melirik ke arah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song agar
anak itu berjalan lebih cepat.



Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel. "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan di
dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan srigala-srigala! Gila betul.
Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih dulu!" sekali
berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan, dan Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri
untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak
dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya
agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk menjumpai gurunya.



Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong. "Ha-ha-ha, segala rampok dan
bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala macam rampok dan
bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita mulai!"



Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-bin-liong sudah
melangkah maju, diikuti oleh Si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat puluh tahun.
Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di punggungnya,
adapun Si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat daripada ekor ikan pee. Keduanya berdiri dengan
sikap menantang.



"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!" kata Si Tokoh Bajak yang
menyebut temannya raja gunung, cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar
suara bersiutan mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh
manusia benar-benar akan mengakibatkan luka yang hebat. "Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku
menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud
baik aku ingin sekali berkenalan dan menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak
memandang orang lain. Keluarkan senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau
bersikap sesombong ini!"



"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja sudah
berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"



Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong Si Muka Bopeng yang sudah
bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian kecu dan rampok, baru
kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah dan tanpa menanti lawan mengeluarkan senjata, ia
sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah leher Kim-mo Taisu.



"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!" Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat, tidak mengelak malah
menggerakkan tangannya, dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah
lehernya itu. Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari
pegangan Si Muka Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh!



Marahlah Si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya ekor ikan pee yang menyeramkan itu melecut di
udara, mengeluarkan bunyi "swing-swing-swing...!" dan berkelebatan diputar-putar di atas kepalanya lalu
menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak sembrono. Ia belum tahu
bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak. Gerakannya perlahan dan lambat saja,
akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh kulitnya. Setelah mempergunakan hidungnya
mencium-cium di kala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan
tetapi tidak mengandung racun berbahaya, maka sambil mengelak daripada tusukan golok Si Raja Gunung yang sudah
mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia
menggunakan tenaga membetot sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat Si Raja Gunung
Hwa-bin-liong dengan girang menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan...
melayanglah cambuk ekor ikan pee itu ke arah penyerang di belakangnya. Hwa-bin-liong berteriak kesakitan,
Kim-mo Taisu cepat membalik, sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan di lain
saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha raja laut yang masih terlongong karena senjatanya tadi kena
dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan raja gunung, masing-masing terluka oleh senjata
kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup hebat untuk membuat mereka tak mampu
bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan!



Tanpa mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari itu, Kim-mo Taisu
menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan
segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam begitu untuk menggangu pertemuan
kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan saja!"



Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa tekebur dan bangga. Masih ada
beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui lalu
membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Locianpwe, harap sudi memperlihatkan
diri!"



Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangan betapa heran dan kagetnya hati
Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang pernah menjadi
lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia cari untuk membalaskan
kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa Si Ratu Pelacur! Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma
Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya karena
cemburu dan iri hati karena paman guru ini mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum
bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah, merenggut wanita
terkasih. Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu
Kim-tung Sin-yang dan Koi-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia
tiga puluh tahun lebih, sikapnya tenang dan serius, sikapnya gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih
Ban-pi Lo-cia. Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan
Ban-pi Lo-cia lalu menjadi muridnya, ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada
tingkat suhengnya, yaitu Bayisan.



"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan mereka
kepadamu?"



Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan, aku
dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-mo-eng
dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan
lama!"



"Orang she Kwee ini dengan aku pun mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan, Pouw-pangcu." Kata Ma Thai
Kun yang tidak suka banyak bicara lalu maju menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar
merah. Melihat tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat menyempurnakan
Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya sejak dahulu. Namun, ketika ia mengelak,
kagetlah ia karena dari kepalan tangan merah itu tampak uap mengepul putih yang seakan-akan menyambar mukanya
dengan hawa pukulan yang amat hebat. Biarpun pukulan itu tidak mengenai sasaran, namun hawa pukulannya yang
berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat. Dengan kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur
sikap, karena lawannya ini ternyata telah maju amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan
Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun bertapa sambil menggembleng diri
sehingga ia berhasil menyempurnakan Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia
namakan Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)! Kembali Ma Thai Kun menerjang maju, dari kedua tangannya
keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas. Terpaksa kali ini Kwee Seng menggunakan Bian-sin-kun
(Tangan Kapas Sakti) untuk menangkis karena selain tak mungkin menghadapi desakan lawan tangguh hanya dengan
berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan lawan.



Ketika kedua lengan bertemu, Ma Thai Kun kaget sekali karena merasa betapa tanaganya seperti tenggelam dan
tangan lawan sedemikian lunaknya sehingga ilmunya Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun, sebaliknya ada
hawa dingin yang menjalar dari tangannya sampai ke pangkal lengan. Oleh karena ini, cepat ia menarik tangannya,
menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan. Hanya dengan cara ini ia dapat terbebas dari pengaruh
Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri, diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa ilmu kepandaian Kwee Seng
ternyata telah meningkat hebat. Maka ia bersikap hati-hati dan menyerang lagi dengan Cui-beng-ciang, ditujukan
ke arah anggota tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi bertanding mengadu tenaga seperti tadi.



Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah memperoleh sedikit kemajuan,
pantas saja kau berani berlagak. Kaumakan cambukku !" ucapan ini disusul suara ledakan cambuk di udara dan
tampaklah gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil melayang dari tangan Ban-pi
Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal sebagai senjata tunggalnya yang ampuh disebut Lui-kong-pian
(Cambuk Petir), terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di laut utara, di
antara gunung-gunung es!



"Bagus! Kalian pengecut-pengecut besar boleh mengeroyokku!" Kim-mo Taisu tertawa mengejek dan berkelebat cepat
menyelinap di antara garis-garis lingkaran yang dibentuk sinar cambuk, kemudian membalas lawan lama ini dengan
sebuah tendangan kilat. Ketika Ban-pi Lo-cia menangkis tendangan ini dengan tangan kirinya, Kim-mo Taisu
mempergunakan tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma Thai Kun dan sudah mendahului orang she Ma ini
dengan sebuah gerakan dari ilmu silat Lo-hai-kun (Pengacau Lautan). Demikian cepat dan tak terduga gerakannya
ini sehingga biarpun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis, namun pundaknya masih kena tampar, kelihatannya tidak
keras namun cukup membuat Ma Thai Kun terlempat dan bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun
memiliki kekebalan, dan tenaga dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun kembali sambil
menerjang maju dengan kemarahan meluap-luap.



Pada saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat sudah maju pula. Dia ini bersenjatakan sebuah tongkat
dan gerakannya ternyata cukup hebat. Pemuda ini menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi serangannya selain
kuat juga sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah mengirim serangan sampai tiga jurus. Kim-mo
Taisu menggunakan ginkangnya menghindarkan diri dan ia belum sempat membalas pemuda she Lauw itu karena kini
kedua orang ketua kai-pang sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata ia sudah dikurung oleh lima
orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali tentu saja Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun,
Kim-mo Taisu maklum bahwa orang-orang pandai dan keadaannya berbahaya, namun seujung rambut pun ia tidak
terjadi gentar. Sambil mengerakan gin-kangnya yang kini menanjak tinggi tingkatnya sejak ia berlatih di dalam
Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada Pouw Kee Lui yang masih berdiri menonton. Hatinya panas bukan main dan
diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja pengemis yang masih muda itu, yang dapat mengerahkan dan mempergunakan
orang-orang pandai sedangkan dia sendiri enak-enak menonton.



"Aha, tikus busuk she Pouw yang mengaku raja pengemis, kiranya kau hanyalah raja pengecut yang mengandalkan
kawan banyak!" ia terpaksa hanyalah raja pengecut yang mengandalkan kawan banyak!" Ia terpaksa berhenti untuk
menangkis pukulan tongkat Lauw Kiat yang tak dapat ia elakkan. Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga
Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat
lagi menghindar dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia, sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah Koai-tung
Tiang-lo. Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan
Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh terguling-guling dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut
kanannya terlepas!



"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?" melihat betapa dikeroyok lima, lawannya itu
masih dapat mengejeknya bahkan merobohkan Koai-tung Tiang-lo, diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum
bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti
seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.



"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh!" Teriak si Raja Pengemis dan cepat ia
menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok lima. Akan
tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo bukanlah
seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju dan menerjangnya dengan tubuh
berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan kelihatannya seperti berubah
menjadi belasan banyaknya. Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika
dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, malah lebih lihai daripada Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang, tadi
pun ia sudah repot melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya,
akan tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir sama
cepatnya dengan dia sendiri. Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak mempunyai
kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun, kelima orang lawannya itu pun terheran-heran betapa orang
yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.



"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang bertangan
kosong!" Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya pinggang oleh tongkat
di tangan Kim-tung Sin-kai. Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan
panca inderanya terganggu dan pada detik yang bersamaan, setelah berhasil menghindarkan yang lain, ujung cambuk
Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang. Tiga orang
pengeroyok lain telah menutup jalan keluarnya, maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan tongkat berarti
membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman tongkat. Kim-mo Taisu tentu
memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya
maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai biarpun lihai, dapat ia atasi tenaganya.



"Bukkk!" Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi dilain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh
dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua kaki
Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang pengeroyoknya tidak
berani turun tangan khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kim-mo Taisu
untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah turun kembali ke atas tanah, tangan
kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!



Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku, majulah!" ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kim-tung
Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka. Ia heran tadinya karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya
terpukul, ia mengerahkan sin-kang yang tentu akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya
sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat
menduga bahwa tentulah Si Raja Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali. Kini tanpa menanti
datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahhului menggerakkan cabang pohon liu itu dan serta-merta ia mainkan
Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta dan sempurnakan dengan dasar ilmu
yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi. Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu
pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang
seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih sehingga hawa sin-kang di dalam tubuhnya sudah mencapai
tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi. Cabang kayu di tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin
mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh
belas batang kayu kelihatan jelas sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan
kepada lima orang lawan.



Dengan bersenjatakan cabang kayu mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan tetapi
tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang, akan tetapi karena daya serangnya hanya satu bagian saja
sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya itu tidak ada
artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dapat mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung
Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan
balasannya. Melihat ini, Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat
kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar laksana
seekor burung garuda. Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang menyambar
dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi tongkat mereka,
seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau berkelebat cepat
dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota pimpinan pengemis yang
kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa mereka mundur. "Ha-ha-ha.
Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah pengeroyokan?" Kim-mo
Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya.



Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi
kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguhpun tenaga dalam dan hawa
sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya yang tak
kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul daripada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang kini menjadi Kim-mo
Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman. Maka mendengar ejekan ini, matanya
melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti beruang terluka dan tanpa berkata apa-apa
Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan
kerasnya lalu membentuk sinar hitam yang melingkar-lingkar dan bagai hujan datang menyambar ke arah Kim-mo
Taisu tidak berani memandang rendah, cepat memutar cabang liu di tangannya, membentuk sebuah bayangan payung
yang melindungi tubuhnya dari atas.



Pouw Kee Lui biarpun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun amat
penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui orang di dunia
persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan tinggi. Ketika
tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu
sebatang tongkat pula, yang ia mainkan seperti orang bermain toya, kini melihat betapa lawan yang dikeroyok itu
berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran. Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung
tongkat yang ada rahasianya sambil mencabut dan tahu-tahu sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam
tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di
tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri digerakkan secara aneh. Belum pernah dalam sejarah ilmu silat
ada orang mainkan pedang di tangan kanan dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini
mempunyai gaya permainan yang amat berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja pengemis itu dapat memainkannya
seakan-akan ia menjadi dua orang yang memegang pedang dan toya.



Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka menggunakan
senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah digembleng telah di "isi"
hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih berbahaya daripada sepasang senjata.
Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma Thai Kun ini selain merusak kulit daging,
juga memasukkan hawa beracun! Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu
benci ia kepada Kim-mo Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw,
maka setiap pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. namun Kim-mo Taisu
agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun menjadi makin
marah dan penasaran.



Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa sekali ini ia
benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, biarpun
mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup merobohkan mereka
seorang demi seorang. Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat
karena mereka bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula. Dengan
pengeroyokan ini, tak mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya
dapat mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti. Setelah kekurangan dua
orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan makin kuat. Hal ini adalah karena dua orang yang
telah toboh tadi memiliki tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi bukannya membantu, bahkan
menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah lapangannya lebih luas dan longgar,
mereka ini dapat bersilat leluasa dan mencurahkan seluruh daya serangnya.



Kim-mo Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya dengan pukulan
Hek-see-ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam yang hanya setingkat lebih lunak daripada tangan
Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun! Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan pedangnya
dengan serangan air ludah! Luar biasa berbahaya, dan menjijikkan sekali cara bertempur Si Raja Pengemis ini.
Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan dari mulutnya itu benar-benar tak boleh dipandang ringan.
Ketika Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai betisnya, terasa panas
seperti terpercik air mendidih!



Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang lihai ini dengan permainan
Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya itu hanyalah
ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk menghadapi pengeroyokan lawan
yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang sebetulnya merupakan ilmu yang sudah ia rangkai
menjadi sepasang, dapat dimainkan berbareng. Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang,
penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun aslinya
adalah Lo-hai-san-hoat, ilmu kipas yang juga telah mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut
semestinya, Kim-mo Taisu harus bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna. Akan tetapi
sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang maupun
kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebatai pedang. Tentu saja tidak
bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak ada pedang, kini ia
menggantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan kipas, lalu ia robah
menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.



Betapapun juga, Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan Ma Thai
Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di tangan Ban-pi
Lo-cia telah membelit pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding melawan Ban-pi
Lo-cia, pernah terbelit juga pinggangnya dan ia tidak mampu melepaskan diri begitu saja. Oleh karena ini
seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang ke arah
Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala! Hebat bukan main
serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan perlawanan senekat ini. Terpaksa
ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke belakang! Memang Kim-mo Taisu juga hanya
menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak mengejar karena pada saat itu, pedang di
tangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali, disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu
cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat,
saling mengisap dan saling membetot.



Pada saat itu, Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh
terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui dan kini dalam keadaan
setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak menindas atau
membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah dan Pouw Kee Lui di
atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja pengemis itu kalah kuat.



Ma Thai Kun sudah melangkah maju, wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya. "Sekarang mampus engkau!"
katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!



Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata Si Raja Pengemis, maka tak mungkin
ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan kirinya,
mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.



"Plakk!" Kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan setengah terbanting
itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya! Keadaannya menjadi berbahaya
sekali karena Ban-pi Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya untuk menghantam lawan yang sudah tak
dapat menghadapinya lagi itu.



Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring. "Ha-ha-ho-ho! Setelah
mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benar memalukan sekali!" Dan
muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri tempat pertandingan itu.



Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suhengnya ini. Dalam keadaan tangannya lekat pada
tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suhengnya ini yang keras
seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya melompat mundur dan dengan
mata beringas ia memandang suhengnya, lalu memaki.



"Lui Gan, di antara kita tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang aku?" "Cerewet, sebelum
menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tentram karena pada suatu saat tentu kau mampus di
tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"



"Liu Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil mengeluarkan teriakan
garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya menjadi kakak
beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.



Biarpun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia kini
sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi, tiba-tiba
Ban-pia Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak dilanjutkan.



"Setan iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?" bentaknya.



Terdengar jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan. Tempo hari, karena kecurangan
dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang, kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah seorang kakek tua yang
rambutnya riap-riapan kumisnya panjang, yang "berdiri" bukan di atas kedua kaki melainkan di atas sepasang
tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin atau bekas Raja Muda Kerajaan Tang yang terkenal dengan
julukan Sin-jiu Couw Pa Ong!



"Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali. Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan
Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu
Sin-jiu Couw Pa Ong sudah dipukul roboh dan menderita luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat
digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat muncul kembali? Ia tahu betul betapa lihainya kakek ini,
maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika tadi melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah
tak bernafsu lagi untuk melanjutkan pertandingan. Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di
dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat mengalahkan bekas suhengnya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali
dapat mengatasi Kim-mo Taisu, sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menangkan Couw Pa
Ong, biarpun kakek itu kini sudah lumpuh kedua kakinya. Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia
tertawa bergelak sambil berkata.



"Couw Pa Ong, sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!" Ia lalu melesat jauh dan
pergi dari tempat itu.



"Monyet dari Khitan, kau hendak lari ke mana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke depan dan kedua tongkat yang
menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.



Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan
kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat pula dan
lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah lama ia
mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat betapa Ban-pi Lo-cia yang kosen
itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek lumpuh ini tentulah amat
lihai dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan sepasang tongkat saja sudah
membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan yang amat penting, maka ia mendiamkan
saja raja pengemis itu lari.



Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suhengnya, namun setelah beberapa kali mereka beradu lengan, maklumlah Ma
Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas suhengnya. Maka setelah melihat betapa Ban-pi Lo-cia lari
juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam ia mengutuk kecurangan dan sifat pengecut mereka. Ia
mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong
tertawa mengejek dan menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan pula. Dua pasang tangan bertemu di udara
dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun
terguling-guling muntahkan darah segar, melompat kembali dengan muka pucat lalu melarikan diri.



Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu berdiri
seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu. Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. Tadi
hampir saja ia menghadapi bahaya maut yang tak terelakkan lagi. Akhirnya datang pertolongan kalau memang Tuhan
belum menghendaki dia mati, pikirnya. Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja
menolongnya. Andaikata seorang di antar para pengerook bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu akan
menjadi penolong dan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya untuk
membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw. Adapun muncul kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya
karena belum tentu kakek yang tak dikenalnya itu akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang
aneh kalau orang belum ditakdirkan mati. Sebetulnya, mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak
gentar. Hanya ia akan merasa sayang sekali kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati karena dengan demikian
berarti orang-orang macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong, dua orang yang sama sekali tidak ada artinya hadir di
dunia ini karena hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain akan makin merajalela!



"Kwee-koko....!" Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak, membelalakkan mata. Gila, pikirnya, mengapa tiba-iba
ia bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita memanggilnya Kwee-koko dengan suara semerdu itu.



"Kwee-koko...!" dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya berubah, matanya
terbelalak, mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita berdiri di situ, menggandeng
seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan sepasang mata
berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya dengan telunjuk kiri di mulut, seperti
anak terheran-heran.



"Kwee-koko...!" Untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya suaranya gemetar penuh perasaan. "Mengapa engkau
menjadi begini?" Air matanya membanjir turun membasahi sepasang pipinya.



Kim-mo Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Tetap saja wanita cantik
itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak mungkin!
Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia memandang dengan
teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung tingi-tinggi ke atas, ujungnya terjuntai ke belakang,
tubuh yang kecil ramping padat itu, tak salah lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur di Telaga
Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.



"Nona.... Eh, Nyonya.... Siapakah....?" Ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar karena jantungnya berdebar
keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal ini sudah pasti, ia tidak pernah mengenalnya mengapa
wanita itu memanggilnya Kwee-koko dengan suara begitu mesra?



Wanita itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil berkata halus, "Kwee-koko,
aku adalah Gin Lin..."



"Ah...!" Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim Lin...?" Ia cepat menahan
sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim Lin sebagai seorang
pelacur.



Wanita itu mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara kembarku."



"Apa...? Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah meninggal dunia?"



"Aku tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku..."



"Hehh...??" Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu menyembunyikan senyum
manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan saudara kembar Ang-siauw-hwa ini
seorang yang tidak beres otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda Kwee, "Nona, maaf.
Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku she Kwee?



Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang. "Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal
suaraku?" "Suaramu seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa..."



"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan
mengerti selamanya. Kwee-koko, kaukenalilah aku?" Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari
balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat
ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka
Buni yang kini berdiri di depannya!



"Kau...? Kau....?" Ia berkata, suara menggigil dan kakinya melangkah maju. Gin Lin melepas kedoknya dan
melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua
lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"



Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu....? Ah, dan aku..., aku... ah, sampai gila aku
memikirkan kau....!" Bagaikan didorong tenaga mujijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, berdekapan
mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa akan tetapi kedua matanya
bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan
ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh "nenek" itu.



"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!" Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai
itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?" "Apa seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan
keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan
seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"



Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis sedangkan suaminya masih
memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa
segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis
pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.



"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil. Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin
Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat. "Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"



Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu. "Eng Eng, dia ini ayahmu,
Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku
untuk mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."



Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang
wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong
tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar
dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia
mengalami kebahagiaan seperti saat ini.



"Isteriku....! Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee Seng.. agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!"
katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.



"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi Ayah Eng
Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia
telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi ternyata masih
menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andaikata Gin Lin benar-benar seorang
nenek sekalipun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.



"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.



"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?" "Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan
Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"



Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ. "Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah
dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan ... dan adik puteri Suhu." Kata Bu Song dengan pandang mata
sejujurnya dan muka ikut bergembira.



Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata, "Bu
Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"



Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya.
"Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku ke sini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia
baik, Ayah!"



"Ehh...??" Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi
penjelasan.



"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat
kau berhadapan dengan musuh jahat, maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa
gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau kutahan
lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu
Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada
Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."



"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?" "Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas." "Pulang?"
terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata "pulang"
lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab,
"Marilah!"



"Bu Song, kau ikut dengan kami." Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi BU Song masih berdiri dengan
kepala menunduk.



"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak
bergerak dan tidak pula mengangkat muka. Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang
menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus
peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak
dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah
kepadanya, dan kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?



Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri
Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"



Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras
hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar
aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi
karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut
dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis,
ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.



"Bu Song, kaulihat aku!" Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang
suhunya dengan mata tajam.



"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah
bosan ikut gurumu?"



Bu Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan."



"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar
tertarik dan merasa heran. "Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu..."



"Apa kau bilang??" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu berjongkok agar dapat memandang wajah
muridnya, baik-baik. "Dia itu Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"



"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak
mencari ibu..."



Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan?
Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"



Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu mengenal Ayah dan Ibu?" "Anak
baik, tentu saja aku mengenal mereka!" "Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu
membalikkan tubuhnya dan lari. Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap
tangannya.



"Kenapa?" "Teecu tidak mau Suhu kembalikkan ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."



Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada Ayah dan Kakekmu, kau ikut
saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu." Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal
yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa
secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini,
timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan
berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.



Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan tangannya
oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang
dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman
masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan
lari atau diajak memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil tertawa-tawa.



Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh
kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air
mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.



Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim
Lin mendiang saudara kembarnya kepada Kwee Seng, dia dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran
bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini, adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang
terkenal. Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan
menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi. Sepasang bocah kembar yang baru
berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari keluar pada saat istana pangeran
itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin
terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil
lari ke sana kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang. Akhirnya ia
jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong
oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat
seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan membawanya pergi
cepat-cepat.



"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela
Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong." Demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia tidak
tahu bahwa aku adalah kepaonakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, malah menjadi lumpuh
kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan
lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat
itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek
gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin
Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali,
ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."



"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu mencela.



"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, daripada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang,
lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya
dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu
membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai.... Thian membawamu
masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin mencengkram jari-jari tangan suaminya
dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.



Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di situ,
bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu.
Ada pun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk, karena sebetulnya, sebagai tokoh kang-ouw, ia
enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau
tidak memberi hormat.



Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali. "Sudahlah, tidak perlu
banyak sungkan, kita orang sendiri ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami kepoakanku
adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap
dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan
kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.



"Maaf, Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya
tidak akan ikut-ikut...."



"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh
kerajaan yang sekarang berkuasa, juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan
Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"



Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk menjauhkan
diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."



Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kaudengar kata-kata suamimu? Apa kau
sudah lupa lagi, akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"



"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke manapun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga,
sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."



"Haaahhh, pergilah...!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu,
dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua "kaki" nya yang berupa sepasang tongkat.



Gin Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong, dan Sam-hwa yang
ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan saja karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas panglima
pembantu Kong Lo Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah selesai, dengan
terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini, dan mereka pun kelihatan terharu, apalagi Sam-hwa yang
menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai cucunya.



"Harap kalian bertiga jangan terlalu sedih." Akhirnya Gin Lin berkata. "Betapapun juga, waktu akan membawa kita
berkumpul dalam perjuangan yang sama." Kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah wajah mereka
malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh keluar hutan. Setelah mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya
apa artinya ucapan isterinya ketika berpisah tadi.



Gin Lin menarik napas panjang. "Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang pembela Kerajaan Tang. Seperti
juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa
kerajaan runtuh diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di lubuk hati kita
masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek
sudah berusaha keras, dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang Muda, akan
tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja, dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di
tangan musuh yang mendirikan Kerajaan Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu,
agaknya hati kita masih akan tetap mengandung dendam."



Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam itu tidak ada dan
tak dapat ia merasai atau mengerti apa yang diutarakan isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah melibatkan
diri dengan urusan negara.



"Yang terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song." Akhirnya ia berkata, "dan kalau kita terlibat urusan
perang, bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh daripada
keributan."



"Ke manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!" Gin Lin berkata dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan
betapa puterinya harus hidup di neraka itu!



"Tempat yang baik dan berjasa." Kim-mo Taisu berkata, melamun. "Ihhh, neraka itu kauanggap baik?"



Suaminya tersenyum dan memegang tangan Si Isteri. "Kalau tidak ada Neraka Bumi, bagaimana kita bisa saling
berjumpa?"



Gin Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata. "Sudahlah, ke mana kita sekarang pergi?"



"Ke Min-san!" Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu, Gin Lin membaca kitab-kitab dan
banyak tahu akan teori ilmu silat sambil melatih diri sedapatnya. Biarpun kurang sempurna karena kurang
bimbingan, namun dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu mereka
tidak mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang sukar, Gin Lin menggendong puterinya
sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.



Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke Puncak Min-san di mana
Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana untuk tempat tinggal mereka, jauh daripada dunia keramaian.



Mulai saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan isterinya. Akan tetapi oleh
karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka hanya Eng Eng saja yang menerima latihan
ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra. Seperti kita ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini
dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak pernah lulus dalam ujian. Biarpun ia lebih gemar ilmu silat, namun
sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai. Hanya pada masa
itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah mudah. Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang
seluruh pembesar yang berhak memeriksa ujian, jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam ujian.
Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk melakukan
penyuapan, tidak mau ia lulus ujian yang membuat ia gagal terus dalam ujian lagi.



Karena memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu kepada Bu Song. Akan tetapi,
di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini, diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar ilmu
silat yang secara cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu pengobatan. Dalam
diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan
dalam latihan samadhi dan peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju daripada Eng Eng.



Bertahun-tahun keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di lereng Min-san.
Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena penduduk tidak ada yang berani naik ke puncak
yang sukar itu. Namun mereka hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.



Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka agar jalan ceritera dapat lancar, marilah kita mengikuti
perjalanan tokoh wanita kita ini. Di dalam jilid dua telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian
membunuh kekasihnya sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula atau setidaknya membikin luka
berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap sebagai gara-gara pertengkarannya dengan Tan Hui.



Setelah ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama kurang lebih dua bulan, kini kembali Lu Sian bebas
seperti burung liar yang terbang melayang di udara. Agak menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh Tan
Hui, laki-laki yang cukup menyenangkan hatinya, akan tetapi di samping kekecewaan dan penyesalannya itu,
terselip rasa bangga dan girang bahwa ia kini telah mewarisi ilmu gin-kang dari kekasihnya itu, yaitu Ilmu
Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega). Gin-kang ini jauh lebih hebat daripada gin-kang yang pernah ia pelajari,
dan dengan hati gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian berlari-lari secepat terbang menggunakan
Coan-in-hui.



Selagi ia berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar di lereng bukit, tiba-tiba ia melihat sebuah benda
bergerak-gerak jauh di depannya. Lu Sian kaget seketika melihat bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah bantal
atau karung yang dapat berlompatan cepat sekali. Ia mengenal benda ajaib ini karena di dalam rumah Raja
Pengemis, ketika berada dalam bahaya benda ini telah menolongnya. Maka ia lalu mengerahkan tenaga dan cepat
mengejar. Karena kini ginkangnya memang sudah mulai mahir, gerakannya seperti burung walet menyambar-nyambar
dan biarpun gerakan benda ajaib itu juga amat cepat, namun setengah jam kemudian ia berhasil memperdekat jarak
di antara mereka.



Akan tetapi benda itu terus berloncatan, seakan-akan melarikan diri, melompati jurang dan mendaki bukit itu. Lu
Sian merasa heran. Tak salah lagi, pastilah benda itu terisi orang, akan tetapi mengapa begitu kecil? Apakah
seorang anak kecil? Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak kecil memiliki kepandaian sehebat itu? Orang tua
pun akan sukar bergerak sedemikian cepatnya kalau bersembunyi di dalam karung.



"Locianpwe, tunggu aku mau bicara!" serunya. Namun bantal itu malah makin cepat bergerak maju berloncatan. Lu
Sian menjadi gemas. Biarpun kau hendak lari ke langit, masa aku tidak mampu mengejarmu? Demikian pikirnya dan
ia mengejar terus.



Akhirnya benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan Lu Sian telah dapat menyusulnya. Tiba-tiba terdengar
suara dari dalam benda itu, "Waduh, waduh..., habis napasku...! Terlalu sekali, mengejar orang terus-terusan.
Aku terima kalah!" Setelah terdengar suara ini, bantal itu pecah dan muncullah seorang kakek yang pendek kecil
berjenggot panjang berkepala besar. Tubuhnya pendek seperti kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi
melihat kepala yang besar dan penuh mumis dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang sudah tua sekali!
Napasnya mengkas-mengkis (terengah-engah), dan begitu keluar dari dalam karung, ia seperti tidak melihat Lu
Sian, melainkan memandang ke kanan kiri dengan wajah ketakutan, seperti mencari sesuatu.



Lu Sian menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata, "Kakek lucu, mengapa kau bersembunyi dalam bantal dan
mengapa pula lari terbirit-birit?"



Dengan napas masih tersengal-sengal kakek itu menyusut peluh di dahinya, lalu berkata cemberut, "Kenapa kau
mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja aku kalah napas, coba aku masih muda, ilmu gin-kang coa-in-hui itu
mana mampu mengejarku?"



"Kakek yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu untuk menghaturkan terima kasih atas pertolonganmu di
rumah Kai-ong."



"Sudahlah, apa kau melihat Bu Kek Siansu?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali matanya jelalatan ke kanan
kiri, ketakutan.



Lu Sian adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat lagak kakek ini ia dapat menduga bahwa biarpun kakek
ini seorang sakti, namun ada yang ditakuti. Dan agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja ia pernah
mendengar nama Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia kang-ouw, pasti pernah mendengar
nama itu, biarpun jarang sekali yang dapat bertemu muka dengan manusia dewa yang sakti itu. Maka ia tidak
menjawab, melainkan berkata.



"Sekarang tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu gerak-gerik manusia dewa itu? Eh, Kakek, siapakah kau dan
mengapa bertanya tentang Bu Kek Siansu?"



"Aku... aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya dan kakek itu mengangkat muka membusungkan dadanya yang tipis.
"Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar baik-baik supaya jangan terjungkal karena kaget. Akulah Bu Tek Lojin!"



Belum pernah Lu Sian mendengar nama ini, dan ia menganggap orang ini selain lucu juga agak sombong. Baru
namanya saja Bu Tek (tidak terlawan)! "Biar kau tidak terlawan, akan tetapi lariku lebih cepat daripada
larimu."



"Huh, bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong Liu Gan itu datang
bersamamu?"



"Kalau aku panggil dia, tentu ayah datang!" jawab Lu Sian, sengaja mempergunakan nama ayahnya untuk menakuti
orang, karena ia percaya bahwa nama ayahnya cukup disegani kawan ditakuti lawan, buktinya Si Raja Pengemis yang
lihai itu pun kuncup hatinya mendengar bahwa ia puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.



"Ho-ho-ho-hoh! Lekas panggil ayahmu datang. Dia ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan kupermainkan
seperti... seperti... seperti..."



"Seperti apa?" Lu Sian sudah marah, mendongkol hatinya mendengar dia dan ayahnya dipandang ringan.



"Seperti ini!" Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel sebuah batu dan... batu itu mencelat terbang
ke atas, padahal batu itu besar dan amat berat. "Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia mencongkel sebuah batu
lain yang lebih besar ke atas seperti tadi. "Dan yang ke tiga ini kawan ayahmu!" Batu ke tiga mencelat ke atas
dan kini tiga buah batu besar itu melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala Si Kakek Cebol. Akan tetapi
kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke atas dan... tiga buah batu itu bermain-main
di udara, bergerak ke atas dan ke bawah, tak pernah menyentuh telapak tangan kakek itu, seakan-akan ada hawa
yang berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.



Lu Sian melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan tenaga sin-kang akan tetapi untuk dapat mempermainkan
tiga batu besar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga sin-kang yang hebat luar biasa. Kakek ini sakti
sekali dan ternyata kesombongannya bukan kosong belaka.



"Nah, kalian bertiga bisa apa terhadapku?" Ia lalu membuat gerakan dengan tangannya lalu membentak, "Turun!"
Heran sekali. Tiga buah batu itu bertumpang-tindih bersusun tiga lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah,
seperti dipegang tangan yang kuat, turunnya pun perlahan-lahan dan tidak menimbulkan debu. Akan tetapi begitu
kakek itu melompat mundur, tiga buah batu yang tersusun itu hancur berantakan!



Lu Sian menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul keinginannya memperoleh ilmu dari kakek sakti ini, maka ia
cepat menjura sambil memuji. "Wah, hebat sekali kepandaian Locianpwe!"



Kakek itu kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak pinggang membusungkan dada, matanya mengedip-ngedip,
hidungnya bergerak-gerak dengan ujung hidungnya mekar! "Nah, maka kau jangan main-main dengan Bu Tek Lojin! Aku
pesan kepadamu, dan temannya-temannya, apabila suling emas terjatuh ke dalam tangan seorang di antara kalian,
harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek Lojin. Mengerti?"



"Tidak, tidak mengerti." Lu Sian menggeleng kepala.



Kakek itu marah-marah dan mengepal tinjunya, mengamang-amangkan kedua tinjunya di depan hidung Lu Sian.
"Kaulihat ini?" bentaknya.



Lu Sian benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking gugupnya ia menjawab sambil mengangguk-angguk. "Aku
lihat, dan baunya busuk!" Lu Sian kaget mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat lincah dan liarnya kumat
sehingga ia bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap menanti serangan, karena kakek aneh ini tentu marah.



Akan tetapi Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke depan hidungnya sendiri, mencium-cium. Hidungnya
dikernyitkan dan ia berkata. "Benar bau tak enak, habis belum dicuci, berhari-hari bersembunyi dalam karung!
Eh, bocah, biar tanganku bau, akan tetapi apakah badanmu lebih keras daripada batu tadi?"



"Maaf Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang kaumaksudkan dengan suling emas?"



"Wah, ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau benar bocah hijau tak tahu apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan agaknya tidak pernah memberi pengertian kepada bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian Bu Kek Siansu
kepada Sastrawan Ciu Bun. Sekarang, Sastrawan Ciu Bun lenyap, entah mampus atau belum, akan tetapi suling emas
itu lenyap, menjadi perebutan orang-orang di dunia. Nah, aku perlu suling itu, kalau seorang di antara kalian
menemukannya, harus diberikan kepadaku. Harus, mengerti?"


bersambung.........7

0 komentar:

Posting Komentar