Rabu, 22 Mei 2013

pedang kayu harum [3]

seolah-olah menertawakan kebodohan dan kebutaan manusia. Tuhan Maha Kasih, tidak
membeda-bedakan. Siapa pun dia yang bersedia, akan menerima uluran kasihNya, seperti
cahaya matahari pagi yang tidak memilih-milih siapa yang akan disinarinya. Kasih sayang
Tuhan merata, tanpa perbedaan, tidak dikotori dosa manusia, besar kecilnya kasih yang
dilimpahkan tergantung daripada rasa penerimaan si manusia sendiri!

Tiba-tiba terjadi perubahan pada paduan suara itu. Kicau burung yang tadinya merdu, kini
berubah cecowetan penuh kejut dan takut, tanda bahwa terjadi sesuatu yang tidak wajar di
tempat itu. Kemudian muncullah bayangan orang-orang berkelebat cepat. Gerakan mereka
tangkas seperti burung-burung raksasa dan dalam sekejap mata saja sembilan orang telah
membentuk lingkaran kipas di depan kakek yang bersamadhi dalam jarak kurang lebih
sepuluh meter.

Kenyataan bahwa sembilan orang ini dapat mendaki puncak, ditambah dengan gerakan mereka tadi, tentu saja mereka ini bukanlah orang-orang biasa, melainkan orang- orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ketika mereka berlompatan di depan kakek itu, kaki mereka tidak menimbulkan suara seperti kaki burung hinggap di atas dahan.

Mereka berdiri tak bergerak, namun dalam keadaan siap-siaga, memasang kuda-kuda dengan gaya
masing-masing, seluruh urat saraf menegang, pandang mata ditujukan ke arah kakek dan
pedang yang terletak didepannya. Pandang mata yang menyapu wajah kakek itu mengandung
benci yang mendalam, adapun ketika pandang mata menyapu pedang, kebencian berubah
menjadi rasa kepingin yang tak disembunyikan.

Biarpun kedatangan sembilan orang sakti itu hanya ditandai perubahan pada kicau burung,
ternyata telah diketahui oleh kakek tua renta yang sedang duduk bersamadhi. Dia membuka
kedua matanya dan menyapu dengan pandang matanya ke arah sembilan orang yang berdiri
mengurungnya dalam bentuk lingkaran kipas.

Mulutnya tersenyum, sedikitpun tidak memperlihatkan rasa heran seolah-olah kedatangan mereka itu memang telah diduganya.
Adapun sembilan orang itu ketika bertemu pandang sedetik dengan sapuan matanya, menjadi
terkejut dan bergidik.

Mereka temukan pandang mata itu saja cukup memperingatkan mereka bahwa kakek yang mereka kunjungi ini makin tua makin ampuh kesaktiannya.

"Sie Cun Hong...! Aku datang untuk menerima pedangmu sebagai pengganti nyawamu yang
semestinya kukirim ke neraka agar dendam hatiku terhadpmu lunas!"

Kakek itu menoleh ke kanan karena yang bicara ini adalah orang yang berdiri paling kanan
dalam lingkaran kipas itu. Bibirnya tersenyum lebar memperlihatkan mulut ompong tak
bergigi lagi, seperti senyum seorang bayi yang belum bergigi.

Wanita yang menyebut namanya yang sudah bertahun-tahun tak pernah didengarnya itu adalah seorang nenek yang usianya paling sedikit sudah tujuh puluh tahun. Rambutnya sudah hampir putih semuanya, digelung kecil ke atas dengan tusuk konde perak. Wajahnya masih belum kehilangan raut dan bentuk yang manis, hanya mulut yang dahulunya amat indah manis itu kini agak "nyamprut"
karena tidak bergigi lagi. Tubuhnya yang dahulunya tinggi semampai itu kini agak membongkok dan kurus. Pakaiannya sederhana dan berwarna hijau. Dari depan, tampak gagang pedang tersembul di balik pundak kanannya.

"Heiii, bukankah engkau Lu Sian Cu? Ah, tubuhmu mungkin sudah menjadi tua, namun
semangatmu benar masih muda, Sian Cu! Engkau mendendam kepadaku dan menghendaki
pedang Siang-bhok-kiam sebagai pengganti nyawaku? Eh, dalam hal apakah engkau
mendendam kepadaku?"

"Keparat tua bangka! Jangan kaukira akan dapat mendesakku dengan pertanyaan untuk
membikin aku malu. Aku sudah tua, dan semua yang hadir itu adalah tokoh-tokoh besar di
dunia kang-ouw, tidak perlu malu aku mengaku! Puluhan tahun yang lalu engkau telah
mempergunakan kepandaianmu menggaggahi dan memperkosaku. Dendamku kepadamu
setinggi langit!"

Kakek itu tertawa, lalu mengangguk-angguk. "Benar, alangkah cepatnya sang waktu
meluncur. Ketika itu engkau baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, dan engkau terkenal

0 komentar:

Posting Komentar