Rabu, 15 Mei 2013

Istana Pulau Es [9]

seolah-olah dia sungkan menerima penghormatan Pat-jiu Sin-kauw yang berlutut di depannya.
Sejenak Pat-jiu Sin-kauw terbelalak, heran sendiri mengapa tahu-tahu dia jatuh berlutut. Ketika mendengar suara ketawa ditahan di sana-sini, dia marah sekali dan meloncat berdiri, siap untuk menerjang mati-matian mengadu nyawa.
"Pat-jiu Sin-kauw, cukup! Mundurlah, Nona ini benar-benar lihai sekali, terlalu lihai untukmu. Agaknya hanya Kam-siauwte saja yang tepat menjadi lawannya. Kam-taihiap, harap maju dan kalahkan Nona itu untukku!"
Pat-jiu Sin-kauw tidak berani membantah dan mengundurkan diri, sedangkan Han Ki yang duduk di jendela, ketika mendengar perintah itu, mengangkat muka memandang kepada Koksu, kemudian menoleh dan memandang Siauw Bwee. Nona ini masih berdiri dan juga memandang kepadanya. Pandang mata mereka bertemu dan mulut Siauw Bwee berseru,
"Suheng....!"
Akan tetapi ia tahu bahwa sia-sia saja panggilannya ini karena Han Ki memandang kepadanya seperti pandang mata orang asing, bahkan alisnya berkerut sebagai tanda kalau hatinya tidak senang. Tiba-tiba tubuh Han Ki melesat dari jendela itu, melayang dan tiba di depan Siauw Bwee!
Kembali mereka berpandangan, kini dari jarak dekat karena mereka berdiri saling berhadapan. Hati Siauw Bwee terharu sekali. Wajah suhengnya kini kelihatan muram ditindih duka, sinar matanya kosong, dan jelas tampak olehnya bahwa suhengnya itu sama sekali tidak bahagia. Akan tetapi dengan kaget ia pun dapat melihat bahwa suhengnya sudah siap untuk menerjangnya.
"Suheng.... jangan melawanku....!" Ia berkata dengan hati bingung.
Han Ki memandangnya dengan sinar mata kosong, kemudian terdengar ia berkata,
"Bu-loheng menyuruh aku mengalahkan engkau. Aku akan menangkapmu untuk Bu-loheng!"
"Suheng, ingatlah! Aku Khu Siauw Bwee....! Suheng....!"
Siauw Bwee cepat menghindar ketika tangan kiri Han Ki meluncur dan mencengkeram pundaknya.
"Eh, kau pandai juga!" Han Ki yang cengkeramannya luput itu telah membalikkan tangan dan menyambar ke arah lengan Siauw Bwee untuk menangkap lengan itu. Akan tetapi kembali tangkapannya luput!
"Kam-siauwte, jangan sungkan-sungkan, pukul roboh dia!" Tiba-tiba Koksu berkata nyaring, "Dia datang mengacau!"
Han Ki mengerutkan alisnya. "Baik, Loheng!" Dan kini dia menerjang maju memukul ke arah lambung Siauw Bwee. Tentu saja pukulannya mantap dan kuat sekali sehingga Siauw Bwee yang maklum bahwa suhengnya ini tidak main-main cepat mengelak dan mengibaskan lengan menangkis.
"Plakkk!" Tubuh Siauw Bwee terhuyung ke samping karena betapapun juga, tenaga sin-kangnya masih belum dapat menandingi tenaga Han Ki. Selagi terhuyung, Han Ki sudah mengejar dengan tendangan ke belakang lutut dan tumitnya, tendangan beruntun yang amat berbahaya. Namun tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas dan bukan hanya dapat menghindarkan diri dari dua kali tendangan, bahkan dari atas dia kini membalas dengan tendangan pula ke arah dada Han Ki! Dara itu kini merasa yakin bahwa suhengnya kehilangan ingatan, maka dia kini menyerang sungguh-sungguh dengan niat merobohkan Han Ki dan dapat melarikan suhengnya itu dari situ!
"Eh, kau lihai!" Kembali Han Ki berseru dan sambil menjengkangkan tubuh ke belakang, tangannya menyambar dan berusaha menangkap kaki Siauw Bwee yang menendang.
"Plakk!" Sebelum tangan Han Ki dapat menangkap kaki yang menendang itu, kaki ke dua dari dara itu telah menghantam tangannya dari samping sehingga kembali tangkapannya meleset. Akan tetapi pertemuan tenaga itu membuat tubuh Siauw Bwee terlempar lagi. Dara itu berjungkir balik dan dapat turun dengan tegak di atas lantai.
"Aihhh.... bagaimana kau bisa sehebat ini?" Han Ki mulai merasa heran dan kini dia menerjang dan mengirim serangkaian serangan pukulan yang mendatangkan angin dahsyat. Siauw Bwee tentu saja mengenal pukulan-pukulan ini dan cepat dia menghadapinya dengan elakan dan tangkisan. Diam-diam ia merasa terharu dan juga bingung sekali. Menghadapi suhengnya seperti ini, teringat ia akan keadaan mereka ketika berlatih di Pulau Es dahulu. Akan tetapi dia tahu bahwa saat ini suhengnya bukannya sedang berlatih, melalnkan menyerangnya dengan sungguh-sungguh!
"Hebat, engkau Nona! Sungguh menarik sekali dan menyenangkan dapat berlatih ilmu denganmu!" Ucapan Han Ki ini membuktikan akan dasar wataknya yang baik, dan bahwa dia tidak akan mempunyai niat kejam terhadap lawan, karena terpaksa oleh perintah Koksu maka dia berusaha merobohkan dan menangkap Siauw Bwee. Akan tetapi ucapan yang tidak sengaja itu membuat Siauw Bwee makin terharu dan dua titik air mata menetes turun.
"Wuuutttt!"
"Alhhh.... plakkk!" Hampir saja Siauw Bwee roboh oleh air matanya sendiri. Karena terharu dan matanya menjadi kabur oleh air mata, totokan tangan kiri Han Ki hampir mengenai sasarannya, yaitu di lambung kanan. Untung ia masih cepat dapat menggerakkan kakinya yang telah memiliki ilmu gerak kaki kilat dan dapat pula menangkis totokan ltu dengan tangan kanannya. Kemudian ia terhuyung dan kini Siauw Bwee terpaksa harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, bahkan dia juga harus menggunakan ilmu gerak kaki tangan kilat untuk mempertahankan diri. Biarpun demikian, dia masih selalu terdesak dan tidak mampu balas menyerang, sungguhpun sampai sekian lamanya Han Ki belum dapat merobohkannya!
Coa Leng Bu memandang bingung. Mendengar disebutnya suheng oleh Siauw Bwee dia dapat menduga bahwa tentu laki-laki yang amat lihai itulah penghuni Istana Pulau Es, murid dari Bu Kek Siansu. Melihat jalannya pertempuran yang demikian hebatnya, ia maklum bahwa murid keponakannya itu takkan dapat menang, dan untuk membantu pun ia merasa bahwa kepandaiannya terlampau rendah. Gerakan dua orang itu amat hebat, amat indah, dan sukar dimengerti karena mengandung keanehan. Kalau sampai Siauw Bwee tertawan, dia akan mengamuk dan mengorbankan nyawa karena maklum bahwa kalau dara sakti itu saja masih kalah, apalagi dia!
Pada saat itu, terdengar suara gaduh sekali di luar gedung. Mula-mula suara itu terdengar dari jauh, makin lama makin dekat. Terdengar teriakan-teriakan, bahkan tanda bahaya dipukul gencar dan derap kaki kuda hilir-mudik disambut suara orang-orang berlari-lari bingung. Semua orang yang berada di ruangan itu menoleh ke arah pintu dengan heran, akan tetapi Han Ki dan Siauw Bwee tetap bertanding dengan hebat. Dapat dibayangkan betapa hancur hati Siauw Bwee menghadapi peristiwa itu. Kalau saja Han Ki tidak dalam keadaan kehilangan ingatan seperti itu, kalau saja dalam keadaan wajar suhengnya itu menyerangnya, tentu dia akan menyerah dan tidak berani melawan. Akan tetapi keadaannya sekarang lain lagi. Suhengnya itu bergerak atas perintah lain orang, bergerak di luar kesadarannya dan seolah-olah bukan suhengnya yang menyerangnya, melainkan orang lain, seorang pengawal dari Koksu! Karena inilah maka Siauw Bwee melawan sekuatnya, mengerahkan seluruh tenaganya dan kepandaiannya, bukan hanya untuk menjaga diri, melainkan juga kalau mungkin untuk merobohkan dan menawan suhengnya, untuk melarikannya. Akan tetapi ternyata olehnya bahwa biarpun Han Ki kehilangan ingatannya, namun sama sekali tidak kehilangan ilmu kepandaiannya! Dan baru sekarang setelah bertanding benar-benar, bukan main-main dan bukan latihan, Siauw Bwee mendapat kenyataan betapa hebat kepandaian suhengnya. Dia yang sudah merantau dan banyak mempelajari ilmu tambahan yang tinggi-tinggi tingkatnya, terutama ilmu gerakan kilat, kini berhadapan dengan suhengnya dia benar-benar tidak berdaya! Dia hanya mampu mempertahankan diri, mengelak dan menangkis, sama sekali tidak diberi kesempatan membalas, bahkan dia mengerti benar bahwa kalau suhengnya itu tidak memiliki dasar watak yang baik, kalau suhengnya kejam dan bermaksud membunuhnya, agaknya pertandingan itu tidak berjalan terlalu lama! Hanya karena suhengnya bermaksud menawan tanpa membunuhnya sajalah yang membuat dia masih dapat bertahan sampai ratusan jurus lamanya!
Seorang perwira pengawal yang bermuka pucat bergegas memasuki ruangan itu menghadap Bu-koksu dan melapor dengan wajah serius penuh kegelisahan bahwa pada saat itu, Sian-yang telah kebobolan oleh penyelundup, yaitu mata-mata musuh yang berhasil menyelundup ke dalam kota, bahkan telah berhasil menyamar sebagai tentara dan mempengaruhi perajurit-perajurit penjaga di Sian-yang sehingga timbul pemberontakan dan kekacauan.
"Hemm, berapa jumlah mereka?" Koksu bertanya sambil mengerutkan alisnya.
"Menurut hasil penyelidikan, mereka itu hanya terdiri dari belasan orang yang dipimpin oleh dua orang mata-mata lihai, akan tetapi selain mereka itu terdiri dari orang-orang yang pandai, juga jumlah perajurit kita yang telah dipengaruhi cukup banyak, ada beberapa losin orang yang sekarang memperlihatkan sikap memberontak!"
"Ahhh, Si Keparat! Harus kuhajar sendiri!" Koksu lalu bangkit berdiri lalu menoleh kepada Han Ki yang masih bertanding dengan gadis perkasa itu. "Kam-siauwte, hentikan pertandingan, biar diwakili Si Dampit. Mari ikut aku keluar! Dampit, dan kau semua pengawal, tangkap dua orang itu!"
Mendengar ucapan ini, Han Ki mencelat ke belakang meninggalkan Siauw Bwee, kemudian mengikuti Koksu keluar dari dalam ruangan itu. Siauw Bwee hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba bayangan berkelebat dan empat buah lengan bergerak cepat dan dalam detik yang sama mencengkeram ke arah tubuhnya dari kanan kiri!
Siauw Bwee cepat mengelak dan ketika ia memandang, ternyata sepasang manusia dampit yang tadi enak-enak duduk, kini telah menyerangnya dan ternyata selain gerakan mereka itu cepat sekali, juga mengandung tenaga dahsyat. Kembali Si Dampit menyerang dan Siauw Bwee cepat mengelak lagi, menggunakan gerak kaki kilat.
Pada saat itu, Coa Leng Bu juga sudah diserang oleh Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin. Tentu saja Coa Leng Bu melawan mati-matian sungguhpun dalam beberapa jurus saja dia terdesak hebat. Betapapun ia berusaha mempertahankan diri, diserang oleh dua orang yang tingkat ilmu kepandaiannya tinggi itu, Coa Leng Bu masih terkena hantaman tangan kanan Pat-jiu Sin-kauw yang mengandung Thai-lek-kang, menyerempet pundaknya, membuat kakek ini terpelanting. Pengawal raksasa yang berpakaian perang telah menubruknya dengan tombak panjang di tangan, menusuk ke arah dada Coa Leng Bu yang sedang terguling itu. Coa Leng Bu dapat mengelak dan menggulingkan tubuhnya, terus dikejar dengan tusukan bertubi-tubi.
Mendengar teriakan Coa Leng Bu, Siauw Bwee menoleh dan tahu-tahu dua buah tangan telah menangkap leher dan pundaknya, dua tangan lagi bergerak menotoknya. Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya, maklum bahwa dalam keadaan lengah karena menoleh tadi dia telah tertangkap oleh Si Dampit. Dia menerima totokan kedua tangan itu, akan tetapi dia telah menutup jalan darahnya dan pada detik itu juga, kedua tangannya bergerak cepat.
"Krakkk! Cusss!" Tangan kirinya dengan jari terbuka menghantam dada Si Dampit yang berada di kanannya, tepat mengenai iga dan mematahkan beberapa batang tulang iga, sedangkan tangan kanannya bergerak ke atas menusuk dengan jari tangannya mengenai leher sehingga leher orang ke dua itu tertusuk berlobang dua buah dan mengucurkan darah. Siauw Bwee meronta, pegangan kedua tangan itu terlepas dan ia mencelat mundur sambil menendang dengan kedua kakinya.
"Dess! Bukkk!" Tubuh Si Dampit terpelanting ke belakang dan terjadilah hal yang mengerikan. Mungkin saking nyerinya, kedua orang dampit yang sebetulnya saling membenci itu karena keadaan mereka membuat hidup mereka tidak leluasa dan tidak menyenangkan, kini saling menyalahkan dan kebencian mereka memuncak karena mereka menganggap bahwa kalau tubuh mereka tidak saling melekat, tentu mereka tidak sampai terluka seperti itu. Dengan kemarahan meluap, seorang di antara mereka yang terluka lehernya itu mencekik leher saudaranya sendiri. Orang yang tulang iganya patah tadi juga marah, berusaha melepaskan cekikan, akan tetapi cekikan sepuluh jari tangan itu bagaikan cakar besi menghujam kulit leher dan makin lama makin dalam. Yang dicekik menjadi panik, matanya terbelalak dan dalam saat terakhir ia menghantam tangan kanannya sekuat tenaga tepat mengenal ubun-ubun kepala saudaranya.
"Krekkk!"
seketika pecah kepala itu dan matilah orangnya, namun kedua tangannya sudah mencengkeram terlalu dalam sampai masuk ke dalam leher dan orang ke dua ini pun terbawa roboh dan mati dengan mata mendelik! Sungguh mengerikan sekali kematian sepasang manusia dampit itu. Watak sepasang manusia dampit ini tidaklah aneh, karena memang demikianlah watak manusia-manusia yang belum sadar pada umumnya. Dalam keadaan terancam bahaya, manusia-manusia merasa senasib sependeritaan dan bersatu. Persatuan yang sesungguhnya hanya timbul dari sayang diri, merasa diri ada teman sependeritaan. Manusia yang belum sadar dan pandang mata batinnya diselubungi nafsu mementingkan diri pribadi sehingga lenyaplah rasa kasih terhadap apa dan siapapun juga kecuali terhadap tubuh sendiri, selalu akan merasa terhibur dari kesengsaraan kalau melihat orang lain sengsara! Sebaliknya, dia akan merasa iri hati kalau melihat orang lain bahagia. Kalau ada perkara timbul menimpa dirinya, selalu ia mencari sasaran kepada orang laln untuk menyalahkannya, sama sekali tidak pernah mau menyalahkan diri sendiri. Demikian pula dengan kedua orang dampit itu. Di waktu mereka menghadapi lawan, mereka dapat bekerja sama seolah-olah dua tubuh mereka dikendalikan oleh satu nyawa, dapat bekerja sama dengan amat baiknya. Akan tetapi kalau tidak ada bahaya mengancam mereka berdua, mereka itu saling menyalahkan sebagai biang keladi keadaan mereka yang tidak menyenangkan. Maka ketika mereka berdua terluka, mereka saling membenci dan kemarahan membuat mereka seperti gila sehingga terjadilah saling bunuh! Betapa banyaknya di dunia ini terjadi seperti halnya sepasang manusia dampit itu!
Perang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang. Apakah sebabnya? Tiada lain karena manusia tidak pernah mau mengakui kesalahan pribadi, melainkan melontarkan sebab kesalahan kepada orang lain. Karena manusia selalu dipenuhi oleh kehendak, dipenuhi oleh keinginan, dipengaruhi oleh ingatan-ingatan akan kenikmatan duniawi, akan kedudukan tinggi, akan kekayaan, kemakmuran dan lain sebagainya yang sudah dikenalnya dan didengung-dengungkan orang semenjak dia kecil! Dari kehendak-kehendak yang demikian banyaknya, yang dimiliki oleh seluruh manusia, tentu saja timbul pertentangan karena masing-masing hendak mendapatkan apa yang dikehendakinya. Pertentangan inilah yang menimbulkan permusuhan, melahirkan kebencian, memperebutkan kebenaran masing-masing yang sesungguhnya hanyalah kebenaran palsu belaka, dan sebagai pelaksanaannya terjadilah perang!
Betapa jahatnya manusia yang belum memillki kesadaran ini, semua manusia termasuk pengarang sendiri! Untuk kepentingan pribadi, kita melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Untuk kepentingan pemuasan nafsu badani, kita tidak segan-segan mengotori rohani. Dan semua ini masih dilakukan dengan cara yang memuakkan, yaitu dengan dalih muluk-muluk dan suci, seperti menutupi kotoran dengan kain putih! Biarpun di dasar hati, biarpun jiwa kita yang kotor namun kita, makhluk yang mengaku terpandai di antara segala makhluk, mencari alasan-alasan yang bersih untuk menutupi perbuatan kita yang kotor. Di dalam perang, misalnya. Manusia sampai-sampai tidak segan untuk menarik TUHAN, untuk menggunakan nama-Nya sebagai alasan agar dianggap, sedikitnya oleh hatinya sendiri, bahwa perang yang dilakukannya adalah betul, karena telah diridhoi Tuhan! Dua bangsa yang berlawanan dan saling berperang, sebelum mengangkat senjata untuk membasmi musuh masing-masing, lebih dahulu mohon berkah dari Tuhan dan masing-masing berangkat perang dengan semangat bernyala untuk menyembelih sesama manusia karena merasa bahwa Tuhan akan melindunginya!
Mengutuk perang, mengusahakan perjanjian damai, melenyapkan senjata-senjata dan meniadakan pasukan-pasukan tentara tidak akan mungkin berhasil melenyapkan perang di antara manusia. Karena, perang hanyalah pencetusan daripada pertentangan antar kelompok manusia yang dihidupkan oleh pertentangan di antara manusia-manusia pribadi sendiri. Selama pertentangan antar manusia pribadi ini masih ada, maka pertentangan antar kelompok atau antar bangsa tak mungkin lenyap. Tidak ada perbedaan pokok antara perkelahian antar tetangga dengan peperangan antar negara. Satu-satunya perbedaannya hanyalah dalam bentuk, kecil dan besar. Namun bersumber satu, yaitu dari keinginan mementingkan diri pribadi yang dimiliki kedua pihak sehingga timbul pertentangan.
Setelah menyaksikan kematian mengerikan karena saling bunuh dari Si Dampit, Siauw Bwee bergidik dan baru ia teringat akan supeknya. Ia menengok dan terkejut menyaksikan supeknya bergulingan dan diancam tusukan tombak bertubi-tubi oleh pengawal berpakaian perang dan kini kawan-kawannya juga mulai ikut mengejar tubuh yang bergulingan itu.
Karena maklum bahwa keselamatan supeknya terancam hebat, Siauw Bwee mengeluarkan suara melengking tinggi yang menggetarkan jantung para lawan yang berada di situ, kaki tangannya bergerak dan dalam sekejap mata saja, pengawal bertombak dan Thian Ek Cinjin terpelanting ke kanan kiri dan tubuh Coa Leng Bu telah lenyap karena disambar Siauw Bwee dan dibawa melesat keluar dari ruangan itu melalui jendela! Gegerlah para pengawal dan perwira yang berada di ruangan itu. Mereka berteriak-teriak dan melakukan pengejaran, akan tetapi Siauw Bwee dan supeknya telah lenyap. Ketika semua orang tiba di luar gedung, perhatian mereka tertarik oleh hal yang lebih menggegerkan lagi. Kiranya kota Sian-yang telah menjadi kacau dan geger. Di sana-sini terjadi pertempuran-pertempuran antara tentara yang memberontak dan yang hendak menindas pemberontakan. Pertempuran kacau-balau karena pihak pemberontak hanya ada kurang lebih seratus orang saja, maka tentu saja mereka kewalahan dan terdesak. Mereka mundur dan menyebar sehingga pertempuran menjadi kacau, berkembang di seluruh pelosok kota. Di sana-sini bahkan terjadi kebakaran sebagai siasat para pemberontak yang mengundurkan diri dan bersembunyi di antara rumah-rumah penduduk yang padat. Tentu saja dengan adanya kebakaran-kebakaran itu keadaan menjadi makin kacau. Penduduk menjadi panik, mengira bahwa pihak musuh telah menyerbu masuk kota. Mereka berbondong-bondong pergi mengungsi, membawa buntalan pakaian dan perhiasan serta barang-barang berharga yang mudah dibawa, membawa anak-anak mereka hendak keluar dari pintu gerbang kota, mengungsi ke lain tempat. Akan tetapi para pasukan penjaga melarang mereka dan secepat mungkin berusaha menenangkan mereka dengan keterangan bahwa tidak ada musuh menyerbu, hanya ada beberapa pemberontak yang dikejar-kejar.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelinap di antara banyak orang yang berlari-larian hilir mudik tidak karuan itu sehingga para pengejar mereka kehilangan jejak mereka. Siauw Bwee mengajak Coa Leng Bu untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa yang membikin kacau adalah belasan orang mata-mata Mancu yang menyelundup ke kota Sian-yang dan yang dapat mempengaruhi beberapa losin orang tentara sehingga memberontak.
Dengan marah, Bu-koksu sendiri turun tangan mengatur pasukan-pasukan penjaga untuk melakukan pembersihan, menjaga tempat-tempat penting. Ke mana pun dia bergerak, Han Ki selalu mengawalnya. Koksu bersama beberapa orang perwira pembantu, juga Han Ki, menunggang kuda dan berputaran di dalam kota, mengatur pasukan-pasukan yang melakukan pembersihan. Namun, karena malam tiba dan para mata-mata itu melakukan taktik bersembunyi di antara rakyat, keluar masuk gang-gang dan rumah-rumah rakyat, memancing kekacauan dengan membakar sana-sini, maka Koksu sendiri dan anak buahnya menjadi kewalahan. Memang benar bahwa para serdadu yang memberontak telah ditundukkan, sebagian tewas dan sebagian lagi ditawan, selebihnya menyerahkan diri. Akan tetapi belasan orang mata-mata itu tetap saja tidak dapat ditemukan biarpun para penjaga telah melakukan penggeledahan di seluruh rumah penduduk kota. Hal ini adalah karena para mata-mata itu amat cerdik, selalu berpindah-pindah dan bersembunyi ke dalam rumah-rumah yang telah digeledah, dengan mengancam penghuninya dan pura-pura menjadi anggauta keluarga penghuni rumah itu.
Malam itu merupakan malam yang paling ribut di Sian-yang. Para tentara masih sibuk memeriksa dan mencari ke sana ke mari dan tingkah-polah para anggauta tentara yang mencari mata-mata ini menambah kekacauan penduduk. Mereka bersikap keras dan tidak segan-segan untuk memukuli rakyat yang dacurigai menyembunyikan para mata-mata musuh. Semalam suntuk terjadi kebakaran di sana-sini dan para mata-mata Mancu yang terdidik itu tentu saja setelah melakukan pembakaran, berada di tempat yang jauh dari kebakaran di mana para tentara melakukan penggerebekan dan pemeriksaan ketat. Semalam suntuk, tidak ada seorang pun penduduk yang dapat tidur dan mereka menanti datangnya pagi dengan hati berdebar-debar penuh ketegangan. Berada di dalam kota, amat menakutkan, akan mengungsi keluar dilarang oleh para penjaga pintu gerbang.
Paginya, pagi-pagi sekali penduduk tersentak kaget mendengar lonceng tanda bahaya dibunyikan bertalu-talu dan di luar rumah, di jalan-jalan terdengar teriakan-teriakan para anggauta tentara yang berlarian menuju ke benteng. Lonceng itu merupakan tanda bahwa ada pasukan musuh menyerbu ke kota Sian-yang! Para penduduk gemetar ketakutan dan tidak berani keluar rumah, anak-anak menangis dalam pelukan ibunya dan orang laki-laki sibuk mengumpulkan senjata untuk melindungi keluarga, menutupi pintu dan jendela kuat-kuat. Gegerlah seluruh kota Sian-yang.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyelinap di antara rumah-rumah penduduk mendekati benteng, hendak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Mereka berhasil naik sebuah pohon besar yang tinggi di dekat benteng dan dari tempat yang terlindung daun-daun lebat ini mereka mengintai ke atas benteng dan keluar benteng. Kiranya dari jauh tampak barisan besar yang terpecah menjadi pasukan-pasukan yang bergerak mengepung kota Sian-yang! Setiap pasukan mempunyai bendera dan mereka itu dipelopori oleh pasukan berkuda yang gagah. Paling depan tampak beberapa orang perajurit berkuda membawa bendera-bendera, mengiringkan beberapa orang panglima Mancu yang juga menunggang kuda. Dari tempat sembunyinya, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu melihat bahwa di antara para Panglima Mancu itu terdapat seorang panglima wanita. Jantung Siauw Bwae berdebar aneh. Dia menduga-duga dengan penuh keheranan siapa adanya panglima wanita Mancu yang demikian gagah itu, yang duduk di atas kuda dengan tegak dan majukan kudanya paling depan mendekati benteng, menuju ke atas pintu gerbang di mana berdiri Koksu dan para panglimanya. Jaraknya terlalu jauh sehingga dia tidak dapat mengenal wajah panglima wanita itu, hanya melihat rambutnya dikuncir panjang hitam melambai-lambai tertiup angin. Pakaian para panglima itu gemerlapan ditimpa sinar matahari pagi, dan senjata-senjata tajam yang dipegang oleh anak buah pasukan itu menyilaukan mata.
Dari tempat sembunyinya yang jauh itu Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menyaksikan perang yang dimulai dengan tantangan pihak Mancu yang diajukan dengan bunyi terompet dan tambur, dan disusul majunya seorang panglima berkuda yang bertubuh tinggi besar dan dengan suara seperti geledek menyambar panglima itu memberi aba-aba kepada pasukannya yang bergerak maju pula, sebanyak kurang lebih seribu orang pasukan berkuda dan bergolok panjang dikempit dengan lengan kanan.
Melihat ini, Koksu lalu memerintahkan seorang panglimanya untuk menyambut musuh membawa pasukannya. Panglima ini masih muda, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning pucat, namun sepasang matanya tajam dan gerak-geriknya tangkas. Suaranya kecil namun melengking nyaring ketika dari atas benteng itu dia mengeluarkan aba-aba kepada perwira-perwira pembantunya ke bawah. Pasukannya disiapkan, juga berjumlah seribu orang pasukan berkuda, pintu gerbang dibuka, jembatan gantung diturunkan dan pasukan keluar dari dalam benteng. Panglima muka kuning itu memberi perintah kepada pembantunya. Kudanya yang berbulu hitam disiapkan di luar benteng, dan dengan gerakan lincah sekali panglima muka kuning itu melayang turun dari atas benteng!
"Wah, hebat juga gin-kangnya....!" Coa Leng Bu memuji kagum menyaksikan panglima itu melayang turun dan tubuhnya tepat tiba di atas kuda hitamnya di luar benteng! Seorang pembantunya menyerahkan sebuah tombak panjang dan panglima ini lalu membedal kuda ke depan barisannya dengan sikap gagah. Memang perbuatannya meloncat dari atas tembok benteng itu bukan semata-mata untuk berlagak, melainkan terutama sekali dimaksudkan untuk mengangkat semangat pasukannya dan untuk membikin jerih pihak musuh.
Panglima Mancu yang bertubuh tinggi besar itu mengeprak kudanya maju, menyeret golok panjangnya menyambut majunya Panglima Sung yang bermuka kuning. Begitu kuda mereka berhadapan, terdengar bunyi nyaring berkali-kali beradunya golok dan tombak panjang, trang-tring-trang-tring diiringi ringkik kuda dan sorakan pasukan kedua pihak.
Pertandingan itu berlangsung seru sekali dan ternyata bahwa kepandaian kedua orang panglima itu seimbang. Mungkin panglima muka kuning itu lebih gesit, akan tetapi jelas dia kalah tenaga sehingga hal ini membuat keadaan mereka berimbang dan pertandingan mati-matian itu berjalan makin seru. Sungguh tidak beruntung bagi panglima muka kuning, ketika lawannya menghantam sekuat tenaga dengan golok panjang dan dia menangkis dengan tombak, hantaman yang amat kuat itu membuat tombaknya hampir terlepas dari pegangan, kudanya meringkik kesakitan karena tertusuk tombak yang hampir terlepas dan kuda itu berjingkrak. Hal ini membuat panglima muka kuning kehilangan keseimbangan tubuhnya sehingga ketika golok lawan menyambar dan ia kembali menggerakkan tombak menangkis, tombaknya menjadi patah. Terpaksa ia mencabut pedang dan dengan senjata yang pendek ia terdesak hebat oleh lawannya yang bersenjata golok bergagang panjang.
Sorak-sorai pasukan Mancu yang menyambut kemenangan panglimanya disambut serbuan tentara Sung di bawah pimpinan para perwira pembantu panglima muka kuning. Tentu saja pasukan Mancu tidak tinggal diam dan menyambut serbuan ini dengan sorak-sorai makian.
Terjadilah perang yang dahsyat antara dua ribu orang perajurlt itu, perang campuh di atas kuda yang menggiriskan hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Mereka berdua dapat melihat betapa dua ribu orang itu saling bunuh, darah muncrat-muncrat, mayat bergelimpangan terinjak-injak kuda, jerit-jerit kesakitan, teriakan-teriakan kemarahan, tawa dan tangis bercampur-aduk memenuhi udara bercampur debu yang mengebul tinggi!
Pasukan Mancu itu adalah pasukan yang terlatih baik menurut petunjuk Panglima Wanita Maya maka mereka bertanding dengan semangat tinggi, kuda mereka pilihan dan mereka mempunyai kerja sama yang lebih baik sehingga akhirnya pasukan dari benteng itu terdesak dan kewalahan. Panglima muka kuning itu tewas dan beberapa orang perwira pembantunya juga tewas, maka sisa pasukan yang kehilangan dua ratus orang lebih itu mundur melarikan diri ke benteng, dikejar oleh pasukan musuh.
Koksu yang marah sekali melihat ini, memerintahkan serdadu-serdadu penjaga di benteng menghujankan anak panah ke arah musuh, kemudian dia menyuruh muridnya sendiri, Ang-siucai yang kini telah memakai pakaian panglima, memimpin dua ribu orang perajurit menyerbu keluar.
Pasukan pengejar yang dihujani anak panah itu menghentikan pengejaran, kemudian merekalah yang mengundurkan diri karena ada aba-aba dari belakang agar mereka mundur. Panglima Wanita Maya melihat keluarnya pasukan baru yang jumlahnya dua ribu orang lalu memerintahkan Kwa-huciang, pembantu utamanya, menyambut serbuan musuh itu dengan membawa tiga ribu orang perajurit.
Kini terjadilah perang yang lebih hebat lagi, sebagian berkuda, sebagian pasukan berjalan kaki dan makin banyaklah kini darah berhamburan, nyawa melayang dan debu mengebul makin tinggi.
Panglima Maya mempergunakan sisa pasukannya untuk menyerbu ke benteng dan di pihak Sung mengadakan perlawanan, menghujankan anak panah dari atas tembok yang dibawa oleh pihak penyerbu. Karena kalah banyak jumlahnya, akhirnya pihak musuh dapat menyerbu masuk dan Koksu yang dilindungi oleh Han Ki membuka jalan darah, melarikan diri dari belakang merobohkan pihak penyerbu yang mengurung kota itu dari belakang pula. Berkat kelihaian Han Ki, akhirnya Bu-koksu, beberapa orang panglima, Kepala Daerah Sian-yang, dapat melarikan diri menunggang kuda dan terus lari ke selatan, menuju ke kota Ta-tung di mana terdapat benteng lebih besar dan kuat lagi sebagai benteng pertahanan dekat kota raja. Pihak pasukan yang mempertahankan kota Sian-yang, sebagian pula ada yang berhasil menyelamatkan diri ke selatan, akan tetapi lebih banyak yang roboh dan tewas menjadi korban amukan tentara Mancu yang bergabung dengan pasukan tentara pemberontak. Penyerbuan kota itu menjadi mudah berhasil berkat pengacauan dari dalam yang dilakukan anak buah Panglima Maya.
Dalam keributan ketika pasukan Mancu menyerbu, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu yang tadinya bersembunyi di atas pohon itu cepat meloncat turun dan terpaksa melarikan diri memasuki kota dan bersembunyi di dalam sebuah kuil tua di mana ternyata sudah terdapat banyak orang bersembunyi pula.
Sudah menjadi lajimnya manusia-manusia di dunia ini, perang antara manusia mendatangkan malapetaka hebat di mana perikemanusiaan sudah diinjak-injak, nyawa manusia tidak ada harganya, nafsu membunuh, merusak, menyiksa dan kebencian meluap-luap. Di dalam perang biasanya yang menang seperti harimau haus darah, ingin membunuh sebanyak mungkin, ingin menyiksa sepuas hatinya karena selalu teringat olehnya bahwa kalau dia kalah, maka dialah yang akan tersiksa dan terbunuh. Soalnya hanya siapa yang lebih dulu membunuh, dia wenang! Kemudian akibat kemenangan ini membuat mereka yang haus darah menjadi kejam sekali, perampokan terjadi di mana-mana, pembunuhan, penyiksaan dan perkosaan!
Dengan dalih "pembersihan", bala tentara Mancu memasuki setiap rumah penduduk dan membunuh siapa saja yang dicurigai, mengambil barang-barang berharga, dan wanita-wanita muda diganggunya, diperkosa atau dibunuhnya kalau melawan! Jerit tangis membubung tinggi di angkasa, rintihan mohon pengadilan dan perlindungan. Namun, dalam perang, siapakah yang akan mengadili dan melindungi? Semua hak mutlak berada di tangan yang menang. Andaikata keadaannya terbalik, pihak yang kalah itu yang menjadi penyerbu dan pemenang, keadaannya takkan berbeda banyak. Memang sudah menjadi sifat manusia pada umumnya. Jika kalah dan menderita minta-minta ampun dan mohon perlindungan Tuhan dan semua dewa, kemudian mengandung dendam kebencian yang hebat. Kalau sedang menang dan jaya lupa akan perikemanusiaan, berbuat sewenang-wenang, lupa akan kekuasaan Tuhan dan mabok kemenangan.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu mencari jalan keluar dari kota itu, namun sia-sia. Pihak Mancu, atas perintah Panglima Maya yang cerdik, begitu berhasil merampas dan menduduki kota, lalu mengatur penjagaan ketat, menjadikan benteng rampasan itu menjadi benteng pertahanan, tidak memperbolehkan orang keluar masuk tanpa ijin khusus. Kemudian Panglima Maya dan Pangeran Bharigan yang memimpin langsung penyerbuan itu, menjatuhkan perintah kepada semua perajurit, melarang mereka melanjutkan perbuatannya merampok, membunuh dan memperkosa. Kalau ada yang dicurigai supaya ditangkap dan akan diperiksa. Pelanggaran larangan ini akan dijatuhi hukuman berat.
Maya memang cerdik. Pengalamannya ketika ia lari dari Khitan, menyaksikan akibat perang melihat hal-hal mengerikan sebagai akibat perang membuat dia mengerti bahwa pada saat pasukannya berhasil menyerbu kota yang dilakukan dengan taruhan nyawa, maka pesta-pora mereka yang kejam itu hanya untuk melampiaskan nafsu yang berkobar-kobar. Tidaklah bijaksana kalau begitu berhasil lalu menjatuhkan larangan, hal ini akan mengecewakan hati pasukan dan menimbulkan rasa tidak senang sehingga mudah memberontak. Akan tetapi, juga tidak baik kalau dibiarkan berlarut-larut. Maka setelah membiarkan pasukannya berbuat sesukanya itu, dua hari kemudian, dia mengumumkan perintah ini.
Pengumuman ini membuat rakyat yang tadinya ketakutan setengah mati menjadi tenang kembali. Penghuni kota diperkenankan bekerja seperti biasa dengan jaminan akan dilindungi oleh pemerintah baru. Betapapun juga, pemerasan dan perampokan halus-halusan masih terjadi di sana-sini sungguhpun perajurit-perajurit itu tidak lagi berani membunuh orang. Pukulan dan hinaan tentu saja masih ada. Terutama sekali perkosaan yang dilakukan sembunyi-sembunyi dengan ancaman.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu terpaksa meninggalkan kuil ketika kuil itu diserbu belasan orang perajurit Mancu yang galak-galak. Para pengungsi di dalam kuil terdiri dari dua puluh orang lebih dan mereka menggigil ketakutan ketika terdengar suara gaduh masuknya belasan orang perajurit itu. Waktu itu, pengumuman dari Panglima Mancu belum ada, maka para perajurit itu segera menyerbu, menendangi orang dan merampas buntalan-buntalan. Beberapa orang wanita yang sudah tua dan ikut mengungsi ke situ, ditendang roboh dan dirampas buntalan mereka. Buntalan dibuka dan isinya dibuang ke sana-sini, hanya yang berharga saja yang diambil. Ketika ada di antara para pengungsi itu hendak mempertahankan barangnya, mereka dibacok roboh. Seorang wanita tua lehernya sampai hampir putus ketika wanita itu mencakar muka seorang para perajurit yang merampas buntalannya. Yang lain-lain menjerit dan berusaha lari, akan tetapi mereka roboh oleh sabetan golok atau tendangan kaki.
Siauw Bwee menjadi merah mukanya dan ia sudah hendak meloncat dan memberi hajaran, akan tetapi lengannya dipegang Coa Leng Bu yang berbisik, "Jangan mencari bahaya. Mereka bukan lawan kita...."
Kemudian Coa Leng Bu menarik tangan Siauw Bwee diajak keluar dari kuil tua yang kini menjadi tempat penyembelihan manusia dan menjadi tempat perbuatan sewenang-wenang itu. Akan tetapi mereka melihat Siauw Bwee dan segera terdengar seruan-seruan girang.
"Aduhhhh! Ada yang sejelita ini sembunyi di sini! Wah, untung besar kita.... ha-ha-ha!"
Seorang perwira Mancu yang agaknya menjadi kepala pasukan kecil ini sudah meloncat menubruk, matanya bernyala penuh gairah nafsu, mukanya beringas. Coa Leng Bu maklum bahwa kalau perwira itu sampai mendekati Siauw Bwee, tentu gadis itu takkan membiarkannya dan menerjang ke depan, menyambut perwira itu dengan tendangan yang membuatnya terjengkang!
Melihat betapa supeknya jelas dengan sengaja tidak mau membunuh orang, Siauw Bwee menjadi sadar. Dia maklum bahwa kota yang sudah diduduki bala tentara Mancu itu merupakan tempat yang amat berbahaya. Mereka tidak dapat lolos keluar dan kalau sampai mereka membunuh tentara lalu dikeroyok, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya bagi mereka. Maka sambil menahan kemarahan, ia pun lalu berkelebat merobohkan para perajurit Mancu yang kini datang mengeroyok mereka berdua. Dalam waktu singkat saja dia dan supeknya telah berhasil meloloskan diri dari mereka dan cepat melarikan diri, menyelinap di antara banyak orang dan mencari tempat persembunyian baru.
Tiba-tiba terdengar jerit wanita dan Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu cepat menuju ke tempat itu, di balik sebuah jalan tikungan di mana tampak orang-orang melarikan diri dan perajurit-perajurit Mancu hilir mudik tertawa-tawa, dan ada yang mabok. Ketika Siauw Bwee dan supeknya melihat sebuah kereta dikurung belasan orang serdadu yang tertawa-tawa dan dari dalam kereta itu terdengar jerit wanita-wanita tadi, dara sakti ini tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Tanpa mempedulikan pencegahan supeknya, dia telah menerjang maju, membuat empat orang perajurit terpelanting ke kanan kiri dan ia cepat membuka tirai yang menutupi kereta. Kiranya ada empat orang perajurit di dalam kereta, sedang tertawa-tawa dan hendak memperkosa dua orang wanita, yang seorang masih dara remaja dan seorang pula adalah ibu dara itu, seorang nyonya setengah tua yang cantik dan berpakaian seperti seorang wanita bangsawan.
Siauw Bwee mereggerakkan tangan empat kali dan tubuh empat orang perajurit itu terlempar keluar dari kereta dengan kepala pecah! Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Akan tetapi, Siauw Bwee telah menyambar tubuh ibu dan anak itu, meloncat keluar dari dalam kereta sambil berseru,
"Supek, kita harus selamatkan mareka!"
"Celaka...., hayo cepat lari!" Coa Leng Bu mengomel, akan tetapi dia tidak dapat menyalahkan Siauw Bwee karena menyaksikan peristiwa seperti itu, tentu saja dara sakti itu tak mungkin tinggal diam.
Wanita bangsawan itu berkata, "Nona penolong, bawa kami pergi ke ujung selatan kota di sana ada tinggal seorang adikku, membuka toko obat."
"Supek, mari kita ke sana!" kata Siauw Bwee dan dengan cepat mereka itu lenyap menyelinap di antara banyak pengungsi dan akhirnya mereka berhasil tiba di toko obat dan cepat-cepat mereka disembunyikan di ruangan belakang. Kiranya nyonya itu adalah isteri seorang pembesar di kota itu. Rumahnya sudah habis dirampok dan suaminya mati terbunuh, bahkan sekeluarga mereka, hanya nyonya itu dan anak gadisnya yang berhasil melarikan diri melalui pintu belakang, ditolong oleh kusir mereka yang setia. Akan tetapi sial bagi mereka, di tengah jalan mereka dihentikan oleh pasukan tadi, kusir mereka dibunuh dan hampir saja mereka menjadi korban kebuasan perajurit-perajurit Mancu kalau saja tidak tertolong oleh Siauw Bwee.
Nyonya bangsawan itu bersama puterinya berlutut menghaturkan terima kaaih kepada Siauw Bwee, akan tetapi dara perkasa ini membangunkan mereka sambli berkata, "Dalam keadaan seperti ini, tidak ada tolong-menolong dan sudah semestinya kalau klta yang senasib saling melindungi. Sekarang pun aku dan supekku minta perlindungan kalian, agar kami diperbolehkan bersembunyi di rumah ini sampai malam. Menjelang tengah malam, kami akan berusaha menyelundup keluar kota."
"Lihiap telah menolong keluarga kami, tentu saja Lihiap boleh sembunyi di sini," kata adik nyonya bangsawan pemilik toko obat itu. Coa Leng Bu dan Siauw Bwee mendapatkan dua buah kamar di ruangan paling belakang dan setelah mengisi perut dengan hidangan yang hangat, mereka berdua mengaso dan bercakap-cakap.
"Kita baru dapat keluar kalau keadaan sudah gelap sekali. Kita harus dapat melewati tembok kota dan sebaiknya kalau aku yang lebih dulu mencari jalan keluar. Tembok kota raja luar terkurung air dan kurasa penjagaan amat ketat. Engkau akan menimbulkan banyak perhatian apalagi para serdadu itu seperti serigala kelaparan kalau melihat wanita muda. Kau tunggu saja di sini, aku akan menyamar sebagai seorang pengungsi yang mencari keluarganya yang tercerai dalam keributan dan akan kucari bagian yang paling lemah untuk diterobos. Kau menanti di sini dan beristirahatiah."
Siauw Bwee tak dapat membantah. Biarpun dia jauh lebih lihai daripada supeknya, akan tetapi dia adalah seorang wanita muda yang tentu akan menimbulkan banyak kesukaran dalam usaha itu.
"Baiklah, Coa-supek. Akan tetapi harap Supek berhati-hati. Pihak Mancu mempunyai banyak orang pandai sehingga Koksu sendiri yang dibantu orang-orang sakti sampai dapat dikalahkan dan kota ini diduduki. Memang aku harus keluar dari sini untuk mengejar Kam-suheng."
Mendengar ini Coa Leng Bu mengerutkan alisnya dan ia teringat akan pemuda tampan yang lihainya bukan main itu, lalu ia menghela napas. "Telah kuperhatikan ketika mendengar engkau menyebut suheng kepada pemuda sakti itu. Sungguh beruntung sekali mataku dapat memandang murid Locianpwe Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es! Akan tetapi, menurut penglihatanku berdasarkan pengalaman, suhengmu itu berada dalam keadaan yang tidak wajar, Khu-lihiap."
"Itulah yang membingungkan hatiku, Supek. Dia tidak mengenalku, bahkan melawanku! Bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi? Apakah dia berpura-pura dan terpaksa bersikap seaneh itu?"
Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Tidak, Lihiap. Kalau aku tidak salah duga suhengmu itu tentu telah diracuni dengan semacam I-hun-san (bubuk perampas ingatan) sehingga dia lupa akan segala hal yang lalu dan dijadikan pengawal boneka oleh Bu-koksu."
"I-hun-san....?" Siauw Bwee memandang dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran. "Akan tetapi, suhengku memiliki ilmu kepandaian yang hebat, bagaimana mungkin dia sampai terkena racun....?"
Kakek itu menghela hapas. "Boleh jadi dia lihai sekali. Menyakslkan sepak terjangnya ketika melawanmu, harus kuakui bahwa selama hidupku belum pernah aku melihat orang sehebat dia. Akan tetapi dia masih muda, Lihiap, dan mungkin ilmu silat yang demikian tinggi cukup untuk melindungi diri daripada serangan yang kasar, namun untuk dapat melindungi dari tipu muslihat halus, benar-benar membutuhkan pengalaman. Sudahlah, kita akan menyelidikinya kelak, akan tetapi kita harus dapat keluar lebih dulu dari kota yang menjadi neraka ini. Kemudian kita akan menyusulnya, tentu dia menyelamatkan rombongan Koksu keluar dari kota ini. Sekarang aku akan melakukan penyelidikan dan mencari jalan untuk keluar dari tembok kota."
Siauw Bwee mengangguk dan supeknya itu lalu meninggalkan rumah tempat persembunyian mereka melalui jalan atas meloncat ke atas genteng dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan mencari jalan yang memungkinkan mereka dapat melarikan diri dengan selamat.
Malam itu Siauw Bwee tak dapat tidur, gelisah di atas pembaringannya. Dia sama sekali tidak mengkhawatirkan diri sendiri yang terkurung di dalam kota itu, akan tetapi dia bingung dan gelisah memikirkan Kam Han Ki, suhengnya. Memikirkan suhengnya yang dicintanya itu, selain gelisah, hatinya juga panas dan kemarahan membuat dia jengkel sekali. Dia tahu bahwa suhengnya, seperti juga dia, adalah keturunan pendekar-pendekar yang berjiwa pahlawan, dan andaikata tidak terjadi hal-hal yang membuat mereka seolah-olah dimusuhi negara, dianggap orang-orang pelarian, tentu mereka akan menyumbangkan tenaga untuk kepentingan mereka. Suhengnya adalah keturunan keluarga Suling Emas, akan tetapi kini dianggap sebagai pengkhianat negara dan pemberontak, hanya karena peristiwa hubungan asmara yang tiada sangkut-pautnya dengan kepentingan negara. Dan sekarang, tenaga suhengnya dipergunakan oleh negara secara pengecut dan keji! Marahlah hati dara ini dan andaikata saat itu ia berhadapan dengan Bu-koksu, tentu akan diserangnya pembesar tinggi itu.
"Eiiggghhhh....! Toloooongggg....!" Jeritan suara wanita itu terhenti tiba-tiba seolah-olah mulut yang berteriak itu didekap. Siauw Bwee tersentak kaget, mencelat turun dari pembaringannya karena jeritan itu terdengar dekat sekali, dari sebelah depan rumah. Tanpa membuang waktu lagi dia meloncat keluar kamar dan lari ke depan. Dapat dibayangkan betapa marahnya ketika ia melihat tiga orang serdadu Mancu sambil tertawa-tawa membacoki keluarga tuan rumah yang semua sudah menggeletak tewas di atas lantai, termasuk nyonya bangsawan yang ditolongnya.
"Iblis....!" Ia membentak dan menerjang maju. Tiga orang serdadu itu terbelalak, kagum memandang dara yang muncul ini. Betapa cantik jelitanya! Akan tetapi, bagaikan seekor burung menyambar, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke depan, kaki kirinya bergerak, tangan kanannya meraih dan tubuh serdadu yang memegang pedang terpental, pedangnya terampas oleh dara perkasa itu. Sebelum mereka bertiga dapat bergerak, pedang di tangan Siauw Bwee telah menyambar seperti kilat dan mereka itu roboh dengan tubuh terbabat putus menjadi dua!
Dari bawah sinar lampu, Siauw Bwee melihat bahwa seluruh keluarga telah tewas, kecuali gadis cantik puteri nyonya bangsawan. Mengertilah dia bahwa dara itu tadi yang menjerit, tentu dilarikan serdadu. Dia terus mengejar ke depan dan memasuki sebuah warung kosong di mana ia mendengar suara serdadu tertawa. Dengan pedang di tangan kanan, ia menerjang masuk melalui pintu dan apa yang dilihatnya membuat Siauw Bwee seperti hendak meledak dadanya. Matanya mendelik penuh amarah! Dua orang serdadu sedang memaksa gadis puteri bangsawan itu di atas meja. Baju atas gadis itu telah terbuka sama sekali dan sekarang, sambil tertawa-tawa, seorang serdadu hendak merenggut lepas pakaian bawah, sedangkan serdadu ke dua sambil memegang lengan gadis itu, menampari mulut gadis disuruh diam!
"Anjing busuk!" Siauw Bwee memaki, pedangnya berkelebat.
"Singgg....! Crotttt!" Punggung serdadu yang hendak menelanjangi gadis itu terbelah dari atas ke bawah. Dia tidak sempat berteriak, hanya matanya saja yang memandang heran, lalu ia roboh mandi darahnya sendiri. Serdadu ke dua terkejut, mencabut pedangnya, namun kembali sinar kilat berkelebat dan serdadu itu pun roboh dengan leher putus!
Tiba-tiba dari luar warung itu datang belasan orang serdadu berlari-lari. Mereka adalah pasukan-pasukan yang menjaga daerah ini dan tadi mereka melihat mayat kawan mereka di dalam rumah obat, lalu mereka mendengar keributan di warung itu.
Melihat munculnya dua belas orang serdadu ini, Siauw Bwee yang sudah marah sekali cepat menyambar dengan terjangan pedang rampasannya. Gerakan pedang di tangan Siauw Bwee seperti kilat menyambar-nyambar. Terdengar suara nyaring berturut-turut, pedang dan golok beterbangan disusul robohnya enam orang serdadu Mancu! Yang lain-lain menjadi terkejut dan marah, mereka berteriak-teriak dan Siauw Bwee terus menerjang maju, dalam sekejap mata merobohkan dua orang serdadu lagi sehingga dengan mudah ia meloncat keluar. Akan tetapi, di luar warung telah berkumpul puluhan orang tentara Mancu yang dipimpin oleh empat orang perwira Mancu yang lihai. Begitu perwira Mancu ini menggerakkan senjata mereka, tahulah Siauw Bwee bahwa empat orang ini lihai, maka dia pun cepat menggerakkan senjatanya yang berkelebat seperti sinar kilat, membuat keempat orang itu cepat-cepat menangkis dan mengelak kaget. Mereka segera mengurung dan memberi aba-aba kepada anak buah mereka. Siauw Bwee dikeroyok dan dikurung ketat, namun dara ini yang sudah marah sekali mengamuk terus, lupa bahwa dia telah mengamuk di kandang harimau dan akan menghadapi bala tentara musuh yang jumlahnya ribuan orang!
Sepak terjang Siauw Bwee menggiriskan hati pasukan Mancu dan dalam pertandingan mati-matian itu kembali Siauw Bwee telah merobohkan belasan orang. Hanya empat orang perwira itu saja yang masih dapat bertahan, dibantu oleh anak buah mereka yang mengurung dari jarak jauh dan dengan sikap jerih. Betapapun juga, dikeroyok oleh empat orang perwira Mancu yang dibantu oleh pasukan yang kini makin banyak karena bala bantuan datang, Siauw Bwee menjadi lelah dan dia maklum bahwa sukarlah baginya untuk dapat keluar dari kepungan itu.
"Aku akan mengadu nyawa dengan kalian anjing-anjing Mancu!" bentaknya dan pedangnya bergerak makin cepat, diikuti tubuhnya yang mencelat ke sana ke mari sukar diikuti pandang mata para pengeroyoknya. Namun, ke mana juga tubuh Siauw Bwee berkelebat, dia selalu dihadapi oleh puluhan orang tentara dan di sebelah luar, kepungan masih ada ratusan orang musuh yang bersiap-siap dan berteriak-teriak mengepungnya.
Tiba-tiba kepungan itu agak kacau, terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya orang-orang yang mengepung Siauw Bwee. Tadinya dara ini mengira bahwa Coa Leng Bu yang datang membantunya, akan tetapi betapa herannya ketika ia melihat seorang pemuda tampan yang sama sekali tidak dikenalnya. Di bawah sinar penerangan lampu-lampu di depan rumah dan obor-obor yang dibawa oleh para pasukan, dia melihat bahwa pemuda itu tersenyum-senyum, wajahnya tampan pandang matanya tajam, akan tetapi gerakan kedua tangan pemuda itu lihai bukan main. Yang membuat dia terheran-heran adalah gerakan yang dikenalnya baik-baik karena itulah ilmu silat yang dia pelajari dari mendiang Ouw-pangcu, yaitu Ouw Teng ketua kaum liar, dan dia mengenal pula pukulan Jit-goat-sin-kang yang dipergunakan pemuda itu, pukulan-pukulan yang mengeluarkan hawa panas dan kadang-kadang dingin!
"Nona, harap lekas lari melalui pintu gerbang selatan. Cepat, biar aku yang menahan mereka!" Pemuda tampan itu kini sudah bergerak mendekati Siauw Bwee, berdiri saling membelakangi dengan dara ini dan menuding ke selatan.
Biarpun dia tidak mengenal pemuda itu, namun melihat pemuda itu mengamuk dengan gerakan lihai sekali, dia percaya bahwa pemuda ini tentu bermaksud baik, maka dia hanya berkata, "Terima kasih!" dan tubuhnya cepat meloncat dan menerobos melalui kepungan di sebelah selatan yang sudah terbuka karena dikacau oleh pemuda itu. Ketika dia lari melewati tubuh pemuda itu, dia merasakan getaran hawa pukulan Jit-goat-sin-kang, dan diam-diam merasa kagum sekali. Hawa pukulan pemuda ini tidak di sebelah bawah tingkat Coa Leng Bu maupun mendiang Ouw Teng sendiri! Dan kini pemuda itu telah merampas sebatang tombak, mainkan tombak itu dengan gerakan yang amat lincah seolah-olah seekor naga yang mengamuk di antara awan-awan angkasa. Dalam amukannya ini, pemuda itu masih dapat tersenyum memandang Siauw Bwee, bahkan mengejapkan mata kirinya dengan lucu akan tetapi juga menarik sekali!
Kalau saja pemuda itu tidak terbukti telah membantunya keluar dari kepungan tentu Siauw Bwee akan marah dan menganggapnya kurang ajar. Dia cepat mengerahkan gin-kangnya dan meloncat jauh ke depan, merobohkan tiga orang serdadu yang menghadapinya. Karena kini empat orang perwira itu dihadapi Si Pemuda yang sengaja mencegah mereka mengejar Siauw Bwee, maka dara perkasa ini tentu saja dengan mudah dapat menerobos keluar karena hanya dihadang dan dihalangi oleh pasukan yang dapat dibabatnya dengan mudah. Dia lalu berlari cepat ke selatan, dikejar oleh pasukan yang berteriak-teriak.
Ketika tiba di pintu gerbang sebelah selatan, di situ sedang terjadi keributan pula dan dilihatnya supeknya, Coa Leng Bu sedang mengamuk, dikeroyok para penjaga pintu gerbang. Melihat ini, Siauw Bwee menjadi girang dan dia terjun ke dalam medan pertempuran sehingga para pengeroyok Coa Leng Bu menjadi kocar-kacir setelah dalam beberapa gebrakan saja belasan orang di antara mereka roboh oleh pedang rampasan Siauw Bwee. Coa Leng Bu juga mengamuk dengan hebat. Kedua tangannya menyambari tubuh-tubuh para pengeroyok dan melempar-lemparkannya ke arah serdadu lain. Di sekeliling tempat itu sudah penuh dengan tubuh korban yang malang-melintang.
Coa Leng Bu juga girang sekali melihat munculnya Siauw Bwee yang memang sudah dinanti-nantinya, maka dia cepat berkata, "Syukur engkau tidak terlambat datang. Lekas ikut aku, cepat!"
Siauw Bwee maklum bahwa kalau mereka terus mengamuk di situ, para pasukan musuh tentu akan datang membanjiri dan kalau pintu gerbang sudah tertutup dan mereka dikurung oleh ratusan orang serdadu, tidak ada harapan lagi untuk keluar dari kota itu. Apalagi kalau sampai para panglima Mancu keluar. Baru empat orang perwira saja yang mengeroyoknya tadi, sudah memiliki kepandaian yang lihai, apalagi kalau para panglima seperti yang ia saksikan ketika mereka berperang tanding melawan para Panglima Sung!
Kini mereka berdua menerobos kepungan dan berhasil keluar dari pintu gerbang selatan yang terkurung oleh air yang cukup lebar. Dan jembatan gantung di luar pintu itu tentu saja terangkat naik sehingga tidak ada jalan keluar lagi meninggalkan tempat itu.
"Bagaimana, Supek?" Siauw Bwee bertanya bingung, pedangnya berkelebat merobohkan dua orang pengejar terdekat.
"Aku sudah siap dengan alat penyeberang di sana. Itu, mari!" Kakek ahli obat ini menuding ke kanan. Siauw Bwee memandang di tempat gelap itu, terkena cahaya penerangan dari atas benteng, dia melihat sebatang kayu balok yang panjangnya ada tiga meter. Kiranya supeknya selain telah mendapatkan jalan juga telah siap dengan sebatang balok untuk menyeberang! Biarpun tidak sebaik sebuah perahu, namun cukup untuk menyeberangkan mereka. Maka dia lalu mengikuti supeknya. Kemudian keduanya meloncat ke atas balok itu dan dengan tenaga tekanan kaki mereka, balok itu meluncur ke tengah!
Baru saja balok yang mereka injak dan mereka dorong dengan tekanan tenaga kaki itu bergerak, berserabutan muncul melalui pintu gerbang itu para serdadu sambil berteriak-teriak dan mengacungkan obor, kemudian mereka berlari mendekati tepi sungai dan mengacung-acungkan senjata.
"Serang dengan anak panah!" terdengar teriakan seorang perwira yang baru datang dan tak lama kemudian datanglah hujan anak panah dari tepi sungai dan dari atas benteng! Coa Leng Bu yang tidak memegang senjata, sudah menanggalkan bajunya dan dengan baju ini, dia menangkis semua anak panah yang datang menyerang, memutar bajunya sehingga seluruh tubuhnya tertutup. Siauw Bwee memutar pedang dan sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai tubuhnya. Semua anak panah gagal mengenai sasaran dan kini balok itu telah tiba di tengah sungai, penuh dengan anak panah yang menancap di situ.
"Awas perahu-perahu musuh!" Coa Leng Bu berbisik. Dari kanan kiri meluncurlah perahu-perahu yang ditumpangi oleh serdadu Mancu. Semua ada enam buah perahu, tiga dari kanan dan tiga dari kiri, setiap perahu dipimpin oleh seorang perwira yang kelihatan lihai.
"Supek, cepat dorong balok ke seberang, biar aku yang menahan mereka," kata Siauw Bwee. Dia menyelipkan pedang rampasannya di pinggang, kemudian kedua tangannya sibuk mencabuti anak-anak panah yang menancap di atas balok, ada puluhan batang banyaknya. Coa Leng Bu mengerti bahwa murid keponakannya ini memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripadanya, maka dia mengangguk dan cepat mengerahkan tenaga sin-kang ke kaki mendorong balok itu dengan tekanan kuat, kemudian malah berjongkok dan membantu dengan kedua tangannya yang dipergunakan sebagai dayung. Balok itu meluncur cepat sekali menuju ke seberang yang hanya tampak gelap menghitam di malam itu.
"Wir-wir-wirrr....!" Siauw Bwee kini melontarkan anak-anak panah itu dengan kedua tangannya, menyerang ke arah perahu-perahu musuh yang meluncur dari kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan dari atas perahu-perahu itu ketika anak-anak panah yang dilontarkan namun kecepatannya tidak kalah oleh luncuran anak panah yang terlepas dari gendewa itu membuat beberapa orang tentara Mancu terjungkal.
Tiba-tiba dari atas sebuah perahu yang datang dari kanan, terdengar suara berdesing nyaring. Siauw Bwee terkejut melihat menyambarnya beberapa batang anak panah. Ia maklum bahwa anak-anak panah itu dilepaskan oleh orang yang memiliki tenaga kuat, maka ia berseru,
"Coa-supek, awas anak panah!"
Dengan pedangnya dia sudah menangkis, akan tetapi sebatang anak panah melesat dan kalau saja Coa Leng Bu tidak cepat miringkan tubuh, tentu punggungnya sudah menjadi sasaran. Betapapun juga, anak panah yang amat cepat dan kuat luncurannya itu masih mengenai pundak kanannya, menancap di bawah tulang pundak dari belakang sampai menembus ke depan! Coa Leng Bu tidak mengaduh, hanya menggigit bibir dan melanjutkan pekerjaannya menyeberangkan balok. Siauw Bwee marah sekali. Tangan kirinya yang menggenggam lima batang anak panah, dia gerakkan dan lima batang anak panah itu melayang ke arah perahu dari mana datangnya anak-anak panah yang cepat tadi.
"Trak-trakk!" Siauw Bwee melihat betapa lima batang anak panahnya runtuh dan lenyap ke dalam air.
Tak lama kemudian dari atas perahu yang sudah mendekat itu, tampak berkelebat bayangan yang meloncat ke arah balok. Karena keadaan gelap, Siauw Bwee hanya melihat tubuh yang langsing dari orang itu. Seorang wanita, pikirnya heran dan kagum. Gerakan wanita itu benar-benar hebat, seperti seekor burung terbang saja, akan tetapi yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah pedang di tangan orang itu karena pedang ini mengeluarkan cahaya kilat yang hebat, juga membawa hawa yang mengerikan hati. Tentu seorang Panglima Mancu, pikir Siauw Bwee dengan kaget dan heran karena tidak diduganya bahwa yang melepas anak panah tadi dan yang kini melayang ke arah mereka adalah seorang wanita. Namun dia tidak sempat terheran terlalu lama karena tubuh orang yang menyambar dari perahu itu telah berjungkir-balik di udara dan kini menyerangnya dengan pedang yang bersinar kilat dengan tusukan ke arah lehernya!
Siauw Bwee maklum bahwa selain pedang itu amat ampuh, juga tenaga yang mendorong gerakan pedang itu tentu kuat sekali, maka dia tidak berani memandang ringan, lalu mengerahkan sin-kangnya yang disalurkan melalui pedang rampasannya, dan berbareng dia menghantam dengan telapak tangan kirinya, mengerahkan sin-kang dan menggunakan pukulan Jit-goat-sin-kang!
"Trakkk....! Aiiihhh....!"
Jeritan ini keluar dari mulut dua orang wanita, yaitu Siauw Bwee dan wanita yang menyerangnya, karena keduanya terkejut bukan main akan akibat bentrokan pertama ini. Pedang Siauw Bwee patah menjadi dua ketika bertemu dengan pedang yang bersinar kilat itu, akan tetapi wanita itu pun terkejut setengah mati ketika pedangnya bertemu dengan pedang lawan, tangan kanannya tergetar, apalagi ketika ada pukulan yang amat dingin menghantam dadanya. Cepat wanita itu mencelat dengan jalan berjungkir-balik di udara, turun ke ujung balok di belakang Siauw Bwee dan ketika Siauw Bwee cepat membalik dan mendorongkan kedua tangannya, kini dengan pengerahan sin-kang yang dilatihnya di Pulau Es, wanita lawannya yang berpedang kilat itu telah mengenjotkan kakinya pada balok dan tubuhnya sudah melayang kembali ke atas perahu! Seorang lawan yang hebat, pikir Siauw Bwee. Namun dia sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan menanti dengan pandang mata tajam ditujukan ke arah perahu itu. Akan tetapi, agaknya wanita yang berpedang kilat itu pun terkejut dan ragu-ragu untuk menyerang lagi, apalagi kini balok itu telah tiba di seberang, sedangkan perahu-perahu yang besar itu tidak dapat mepet di tepi sungai yang dangkal.
Siauw Bwee tentu saja tidak pernah menduga bahwa wanita yang menyerangnya tadi adalah Ok Yan Hwa, murid Mutiara Hitam! Tentu saja ilmu kepandaiannya hebat, dan pedang itu tentu saja amat ampuh karena yang dipegangnya adalah sebatang di antaru Sepasang Pedang Iblis! Seperti telah diceritakan di bagian yang lalu, tadinya kedua orang murid Mutiara Hitam, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa, setelah bertemu dan dikalahkan oleh Kam Han Ki, menaati pesan Han Ki dan meninggalkan tentara Mancu. Akan tetapi, di dalam perjalanan, mereka ini selalu berselisih karena selain kehidupan yang mewah dan terhormat di dalam barisan Mancu membuat mereka merasa sengsara setelah berkelana lagi, juga mereka kurang gembira karena tidak dapat mengamuk dan berlomba membunuh musuh dengan pedang mereka! Karena itulah ketika mendengar betapa pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin Maya maju terus, mereka kembali lagi dan membantu Panglima Maya menyerbu dan menaklukkan kota Sian-yang.
Hati Siauw Bwee dan Coa Leng Bu menjadi lega ketika mereka meloncat ke darat. Untung bahwa malam itu gelap dan agaknya panglima wanita musuh yang lihai itu menjadi ragu-ragu setelah menyaksikan kelihaian Siauw Bwee, maka tidak mengejar lagi. Dan memang dugaan Siauw Bwee betul. Ok Yan Hwa adalah seorang wanita gagah perkasa yang berilmu tinggi. Akan tetapi dia pun bukan seorang bodoh yang nekat. Ketika tadi bergebrak dengan Siauw Bwee, hatinya penuh keheranan karena dia tahu bahwa tenaga sin-kangnya jauh di bawah wanita muda itu! Apalagi ketika menghadapi pukulan dorongan tangan kiri Siauw Bwee, Yan Hwa benar-benar kaget setengah mati, tidak pernah menyangka bahwa di samping Maya, masih ada lagi gadis muda yang lebih lihai daripada dia! Karena suhengnya tidak bersamanya, dan di antara pasukan tidak ada yang dapat diandalkan untuk membantu, maka di dalam kegelapan malam itu dia tidak berani nekat melakukan pengejaran seorang diri saja, apalagi dua orang yang melarikan diri itu selain lihai juga berada di luar kota. Baru menghadapi wanita itu saja, belum tentu dia akan menang, apalagi harus menghadapi dua orang lawan yang sakti. Dia tidak tahu bahwa sebatang di antara anak panahnya telah berhasil melukai pundak Coa Leng Bu, dan tentu saja dia pun tidak tahu bahwa kakek itu, yang menurut pendengaran para pasukan, adalah supek Si Nona Lihai, sebetulnya jauh kalah kalau dibandingkan dengan murid keponakannya.
Setelah melihat bahwa pihak pasukan musuh tidak melakukan pengejaran, Siauw Bwee mengajak paman gurunya berhenti, kemudian dengan hati-hati dia mencabut anak panah yang menancap di pundak Coa Leng Bu. Sebagai seorang ahli pengobatan, tentu saja Leng Bu dapat mengobati luka di pundaknya yang untung sekali tidak merupakan luka parah karena anak panah itu hanya menembus daging tidak merusak tulang atau urat besar. Setelah diobati dan dibalut, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke selatan. Biarpun pundaknya terluka, Leng Bu mengajak Siauw Bwee berjalan cepat terus ke selatan semalam itu, dan baru pada pagi harinya, mereka memasuki dusun dan berhenti ke dalam sebuah warung untuk makan dan beristirahat.
Di sepanjang jalan malam itu, mereka melewati banyak rombongan orang yang mengungsi, yaitu penduduk dusun-dusun di sekitar kota Sian-yang yang telah direbut pasukan Mancu. Ketika mereka tiba di dusun itu pun sebagian besar penduduk telah berkemas dan bersiap untuk lari mengungsi ke selatan. Hanya mereka yang tidak mampu saja, dan mereka yang enggan meninggalkan usaha mereka, seperti tukang warung itu, yang masih berada di dusun dan tidak tergesa-gesa lari mengungsi.
Warung itu penuh dengan para pengungsi yang ingin beristirahat sambil mengisi perut, dan kedua orang itu diam-diam mendengarkan percakapan para pengungsi tentang jatuhnya kota Sian-yang. Tiba-tiba Siauw Bwee yang sedang makan bubur, menelan ludah dan hampir saja tersedak. Coa Leng Bu memandang heran, akan tetapi ketika melihat gadis itu mengerutkan alis dan melirik ke kiri di mana terdapat beberapa orang tamu pria sedang bercakap-cakap. Leng Bu juga mendengarkan dan melanjutkan makan bubur dengan sikap tenang.
"Benarkah keteranganmu itu bahwa bala tentara musuh dipelopori oleh Pasukan Maut?" Terdengar orang ke dua bertanya sambil berbisik.
"Tidak salah lagi. Keponakanku adalah seorang anggauta pasukan pengawal di Sian-yang. Dialah yang menganjurkan kami sekeluarga meninggalkan kota setelah dia ketahui betapa kuatnya pasukan-pasukan musuh," bisik orang pertama.
"Aihhh, pantas saja Sian-yang tak dapat dipertahankan, biarpun Koksu sendiri kebetulan berada di sana!" kata orang ke tiga. "Aku telah mendengar pula akan kehebatan Pasukan Maut yang kabarnya beranggautakan tentara yang seperti iblis, tidak takut mati dan berkepandaian tinggi, dipimpin oleh orang-orang sakti. Apalagi Panglima Pasukan Maut, kabarnya Panglima Wanita Maya itu memiliki kepandaian seperti iblis dan belum pernah ada yang mampu mengalahkannya!"
"Hemmm, di antara panglima musuh muncul seorang panglima wanita seperti itu, mengingatkan aku akan ramalan seorang tosu di Kun-lun-san puluhan tahun yang lalu bahwa banyak kerajaan runtuh oleh wanita, bukan hanya oleh kecantikan mereka, akan tetapi juga oleh kelihaian mereka. Apakah Kerajaan Sung yang kini makin terpecah dan mundur ke selatan akan roboh pula karena wanita?"
"Stttt, Twako, jangan bicara seperti itu....!" terdengar suara memperingatkan.
Yang mengejutkan hati Siauw Bwee adalah disebutnya nama Panglima Wanita Maya tadi. Apakah sucinya yang menjadi Panglima Mancu? Ataukah hanya kebetulan ada persamaan nama belaka? Akan tetapi, melihat kelihaian panglima wanita itu, tidak akan mengherankan kalau wanita itu adalah sucinya, apalagi kalau diingat betapa wanita dari perahu Mancu malam tadi pun amat lihai, sungguhpun tidak selihai sucinya. Pula, sucinya adalah puteri dari Kerajaan Khitan, sedikitnya masih mempunyai hubungan darah dengan bangsa Mancu, dan dia tahu betapa sucinya amat membenci Kerajaan Sung karena kerajaan itu dianggap telah menjadi sebab kesengsaraan dan kemusnahan keturunan keluarga Suling Emas.
Hati Siauw Bwee ingin sekali menjumpai sucinya, akan tetapi dia telah menimbulkan kekacauan di Sian-yang, bukankah hal ini akan membuat sucinya makin benci kepadanya? Pula, apa perlunya menjumpai sucinya yang telah menjadi Panglima Mancu? Dia tidak ada hasrat bertemu dengan sucinya itu sebaliknya dia ingin sekali segera pergi menyusul suhengnya yang sekarang amat aneh sikapnya dan menurut dugaan Coa Leng Bu, menjadi korban racun perampas semangat dan ingatan. Keadaan suhengnya amat mengkhawatirkan dan suhengnya perlu sekali mendapatkan pertolongannya.
"Supek, mari kita melanjutkan perjalanan," katanya lirih kepada Coa Leng Bu. Kakek itu mengangguk, akan tetapi tiba-tiba dia melihat Siauw Bwee memandang keluar dengan mata terbelalak kaget, kemudian dara itu memberi isyarat kepadanya untuk duduk kembali. Coa Leng Bu melirik ke luar dan melihat serombongan orang memasuki warung.
Mereka terdiri dari sebelas orang, dan yang menjadi pembuka jalan ke warung itu adalah seorang pendek gemuk yang berkepala botak. Melihat orang ini pemilik warung cepat-cepat menyambut dengan membongkok-bongkok penuh penghormatan.
"Selamat datang, Koan-taihiap.... sungguh menyesal sekali warungku penuh tamu sehingga saya tidak dapat menyambut dengan sepatutnya."
Orang yang disebut pendekar besar Koan itu menggerakkan matanya yang lebar memandang ke sekeliling, alisnya berkerut dan dia berkata, "Harus kausediakan tempat. Tamu-tamuku adalah orang-orang yang lebih penting daripada siapapun juga di sini, dan aku sudah terlanjur memuji warungmu yang dapat menyuguhkan makanan enak."
Tukang warung menjadi bingung dan terpaksa dengan kata-kata halus dia mengusir beberapa orang pengungsi yang sudah lama duduk di situ dan yang sudah selesai makan pula. Dengan muka bersungut-sungut namun tidak berani membantah, beberapa orang meninggalkan warung itu dan meja bangku bekas mereka dibersihkan oleh tukang warung dan pelayan-pelayannya. Kemudian orang she Koan itu bersama rombongannya yang masih menanti di luar warung, dipersilakan masuk. Orang she Koan dengan sikap amat ramah, hormat bahkan menjilat, mempersilakan seorang kakek tua yang agaknya menjadi pimpinan rombongan itu untuk duduk di bangku kepala.
Dapat dibayangkan betapa jaget rasa hati Siauw Bwee ketika mengenal kakek ini dan dia melirik dengan penuh perhatian. Kakek itu sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun usianya, rambutnya sudah putih semua, panjang seperti juga jenggotnya, namun matanya masih berkilat-kilat jernih seperti mata anak kecil dan kulit mukanya masih merah segar seperti orang muda, pakaiannya seperti seorang sastrawan dan tangannya menggerak-gerakkan sebatang kipas sutera yang terlukis indah. Dia tersenyum-senyum lebar ketika memasuki warung itu. Biarpun sudah bertahun-tahun tak pernah berjumpa, namun Siauw Bwee segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pek-mau Seng-jin. Koksu Negara Yucen yang amat sakti! Juga ia dapat menduga bahwa dengan adanya Koksu Yucen di situ, tentulah rombongan itu terdiri dari orang-orang penting dari bangsa Yucen. Dugaannya memang tidak salah karena rombongan itu adalah tokoh-tokoh pengawal dan Panglima Kerajaan Yucen, bahkan di antara mereka terdapat Panglima Dailuba yang terkenal, Panglima Besar Yucen yang pandai sekali akan ilmu perang dan ilmu silat, bertubuh tinggi besar, bermuka lebar dan mukanya brewok, usianya sudah enam puluh tahun namun masih kelihatan tangkas dan kuat.
Coa Leng Bu sudah bertahun-tahun mengasingkan diri sehingga dia tidak mengenal rombongan itu, akan tetapi pandang matanya yang tajam dapat mengenal orang pandai. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa biarpun disebut pendekar besar, orang she Koan itu hanyalah ahli silat biasa saja, akan tetapi kakek berambut putih dan rombongannya itu adalah orang-orang yang sakti, maka dia bersikap waspada dan memperhatikan wajah murid keponakannya yang jelas kelihatan berubah.
Pek-mau Seng-jin sendiri sekali pandang sudah dapat menduga bahwa wanita muda yang cantik jelita dan seorang kakek berpakaian sederhana yang duduk menyendiri di sudut itu tentulah bukan orang-orang sembarangan, dan bukanlah pengungsi-pengungsi biasa. Koksu ini adalah seorang yang sakti dan cerdik. Pada waktu itu, bangsa Yucen mulai berkembang kemajuannya dan melihat penyerbuan-penyerbuan bangsa Mancu terhadap Kerajaan Sung Selatan, Koksu Yucen sengaja menahan pasukan-pasukannya dan membiarkan mereka berperang. Hal ini menguntungkan Yucen karena dapat menyusun kekuatan yang kelak dapat dipergunakan memukul kedua bangsa yang tentu menjadi lemah oleh perang. Kini bangsa Yucen hanya menjadi penonton, menanti saat baik untuk mengalahkan semua musuh yang sudah lelah karena bertanding sendiri. Kedatangannya di tempat itu selain hendak melihat-lihat keadaan dengan mata kepala sendiri, juga untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan golongan-golongan yang kuat untuk membantu gerakan bangsa Yucen kalau waktunya sudah tiba.
Kini melihat Siauw Bwee yang sudah tidak dikenalnya lagi karena telah menjadi seorang dara dewasa yang amat cantik jelita, dan melihat Coa Leng Bu yang juga tidak dikenalnya, namun yang ia dapat duga tentu merupakan dua orang yang berilmu tinggi, diam-diam dia memperhatikan dan timbul keinginan hatinya menarik kedua orang itu menjadi pembantunya, atau kalau ternyata kedua orang itu berada di pihak musuh, membasminya di saat itu juga sebelum kelak mereka merupakan penghalang dan pembantu-pembantu musuh yang lihai. Karena dia hanya menduga saja kelihaian dua orang itu dari sikap dan kedudukan tubuh mereka, maka dia ingin menguji. Di atas meja di depannya terdapat taplak meja dari kain. Jari-jari tangan kirinya merobek ujung taplak, lalu dipelintirnya menjadi dua butir kecil dan dengan telunjuknya, ia menyentil kedua butir kain itu ke arah Siauw Bwee dan Coa Leng Bu. Dua butir kain itu melesat dengan cepat luar biasa, tidak tampak oleh pandang mata yang lain, kecuali oleh para panglima yang lihai yang maklum akan niat atasan mereka dan hanya memandang sambil tersenyum.
Sambaran dua butir gulungan kain itu mendatangkan desir angin yang cukup untuk ditangkap oleh pendengaran kedua orang itu. Coa Leng Bu terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia menyambar ke arah lehernya. Cepat dia menjatuhkan sumpitnya dari atas meja dan membungkuk untuk mengambil sumpit itu, padahal gerakan ini adalah gerakan mengelak sehingga benda kecil itu menyambar lewat. Tentu saja Siauw Bwee yang jauh lebih lihai daripada Leng Bu, maklum pula bahwa Pek-mau Seng-jin menyerangnya. Dia mengibaskan tangannya mengusir beberapa ekor lalat dari atas meja sambil mengomel, "Ihhh, banyak benar lalat di sini!"
Bagi orang lain, hanya kelihatan dara jelita itu mengusir lalat, akan tetapi lalat-lalat itu terbang ketakutan, sedangkan di antara jari tangannya terjepit benda kecil yang tadi menyambar ke arah lehernya! Tadinya Siauw Bwee terkejut dan mengira bahwa Koksu Negara Yucen itu agaknya mengenalnya dan menyerang, akan tetapi ketika ia menangkap senjata rahasia itu dan mendapat kenyataan bahwa benda itu hanyalah segumpal kecil kain, dan yang diserang tadi hanyalah jalan darah yang tidak berbahaya dan hanya akan mendatangkan kelumpuhan tanpa membahayakan keselamatannya, maka tahulah dia bahwa kakek berambut putih itu hanya mengujinya, ingin membuktikan bahwa dia dan supeknya adalah orang-orang yang lihai.
Maka menyesallah Siauw Bwee. Kalau tahu demikian, tentu dia akan membiarkan saja gumpalan kain itu mengenai lehernya agar jangan menimbulkan kecurigaan. Kini telah terlanjur, maka dia bahkan menjadi mengkal, menoleh ke arah meja rombongan itu dan diam-diam meremas hancur gumpalan kain menjadi debu, kemudian dia meniup tangan kirinya dan.... debu itu melayang ke arah meja rombongan Pek-mau Seng-jin.
Para Panglima Yucen terkejut sekali. Tak mereka sangka bahwa dara jelita itu ternyata benar-benar sakti, dan diam-diam mereka pun kagum akan ketajaman pandang mata Pek-mau Seng-jin. Kalau tidak menduga bahwa dara itu lihai, tentu koksu itu tidak sudi sembarangan main-main dengan orang! Pek-mau Seng-jin tersenyum puas. Tak salah dugaannya. Petani sederhana dan dara jelita itu benar-benar bukan orang sembarangan. Biarpun petani itu hanya pura-pura mengambil sumpit yang jatuh, tidak seperti gadis itu yang sengaja memperlihatkan kepandaiannya, namun jelas bahwa petani sederhana itu bukan ahli silat biasa. Sambitannya tadi tidak mengandung tenaga yang mematikan, namun telah disambitkan dengan kecepatan sentilan jari tangan dan meluncur cepat sekali, tak tampak oleh mata dan karena kecil ringan maka desir anginnya lirih sekali. Namun telah dapat disambut oleh mereka dengan cara mengagumkan!
Orang she Koan yang sebetulnya hanyalah seorang di antara kaki tangan bangsa Yucen untuk daerah itu dan yang kini bertugas sebagai penunjuk jalan, tidak melihat apa yang baru terjadi. Kini dia disuruh mendekat, dibisiki oleh Pek-mau Seng-jin. Orang itu mengangguk-angguk dan memandang ke arah Siauw Bwee dengan alis berkerut dan sinar mata heran. Bayangkan saja, pikirnya. Koksu minta dia mempersilakan dua orang itu untuk makan bersama sebagai tamu terhormat yang diundang!
Koan Tek, demikian nama orang ini, adalah seorang jago silat yang terkenal di daerah itu, maka dihormati oleh pemilik warung makan. Dia berwatak kasar dan memandang rendah orang lain dan tentu saja orang yang suka memandang orang yang dianggap berada di bawahnya, selalu menjilat kepada orang-orang atasannya. Mendengar Koksu mengundang dua orang itu yang dianggapnya hanya seorang petani miskin dan seorang gadis cantik, dia merasa penasaran sekali. Sepanjang pengetahuannya, Koksu Yucen dan para panglimanya adalah orang-orang peperangan yang gagah perkasa, tak pernah terdengar mereka itu suka mempermainkan wanita cantik. Apakah sebabnya kini Koksu mengundang kedua orang ini? Akan tetapi, dia tidak berani membantah dan dengan langkah lebar ia menghampiri meja Siauw Bwee. Karena kedua orang itu merupakan orang yang diundang Koksu, maka dia menjura dengan sikap hormat paksaan sambil berkata,
"Ji-wi diundang untuk makan bersama dengan rombongan kami."
Coa Leng Bu yang maklum akan kekerasan hati Siauw Bwee, cepat mendahului murid keponakannva itu dan dia berdiri sambil membalas penghormatan Koan Tek.
"Terima kasih atas undangan Sicu. Kami berdua telah makan dan sudah hendak melanjutkan perjalanan. Harap maafkan kami." Dia memberi kedipan mata kepada Siauw Bwee untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, penolakan yang tak disangka-sangka oleh Koan Tek ini membuat dia mendongkol dan marah. Boleh jadi kedua orang ini tidak mengenal rombongan Koksu dari Yucen, akan tetapi dia yang mengundangnya, mengapa mereka tidak memandang mata kepadanya?
"Loheng, mungkin karena Ji-wi belum mengenal saya, tidak suka menerima undangan kami," katanya dengan nada agak keras. "Perkenalkanlah, saya Koan Tek, di sini dikenal sebagai Koan-taihiap dan orang-orang yang kami undang bukanlah orang-orang sembarangan, berarti bahwa kami telah menjunjung tinggi kehormatan Ji-wi. Maka saya ulangi, harap Ji-wi tidak menolak undangan kami untuk berkenalan dan makan bersama!"
Biarpun kata-kata itu bersifat undangan, namun nadanya yang keras itu mengandung tekanan, paksaan dan membayangkan ancaman. Hal ini membuat Siauw Bwee makin marah. Hati dara muda ini memang sudah mengkal dan marah ketika ia melihat Pek-mau Seng-jin yang mengingatkan dia akan perbuatan koksu itu yang dahulu pernah menawan dia dan Maya kemudian menyerahkan dia dan Maya sebagai hadiah kepada Coa Sin Cu di pantai Po-hai. Mengingat akan hal ini saja sudah membuat tangannya gatal untuk membalas dendam, karena sekarang dia tidak gentar lagi menghadapi koksu yang lihai itu, kemudian kemarahannya tadi ditambah dengan penyerangan Pek-mau Seng-jin, biarpun penyerangan itu merupakan ujian dan tidak mengandung niat jahat. Kini, ditambah oleh kata-kata dan sikap Koan Tek, tentu saja dia tidak mau menaati isyarat mata supeknya agar bersabar. Dia sudah bangkit berdiri dan memandang Koan Tek dengan mata berapi.
"Engkau ini mengundang ataukah hendak memaksa orang? Kalau mengundang bersikaplah sebagai pengundang yang sopan, setelah ditolak dengan alasan tepat segera mundur. Kalau mau memaksa, terus terang saja, tak usah bersembunyi di balik sikap manis agar aku tidak usah ragu-ragu lagi memberi hajaran kepada orang yang hendak memaksaku!"
"Ehhh.... sudahlah.... sudahlah....!" Coa Leng Bu berkata khawatir. Kakek ini cepat berdiri dan menjura kepada Koan Tek. "Harap sicu suka maafkan, kami hendak pergi saja."
Akan tetapi Koan Tek sudah marah sekali. Dengan mata melotot ia memandang kepada Siauw Bwee dan membentak, "Berani engkau kurang ajar kepada Koan-taihiap. Apakah kau sudah bosan hidup?"
Siauw Bwee menudingkan telunjuknya. "Jangankan baru engkau seorang, biar ada seratus orang macam engkau aku tidak takut! Supek, biarlah, orang macam dia ini kalau tidak dihajar tentu akan menghina orang lain saja!"
Koan Tek hendak menerjang maju, akan tetapi tiba-tiba ada orang menarik lengannya sehingga dia terhuyung ke belakang. Ketika dia menoleh ternyata yang menariknya adalah seorang kakek tinggi kurus, berpakaian sastrawan dan dia ini adalah seorang di antara para pembantu Koksu, maka dia segera melangkah mundur. Kakek itu dengan sikap sopan sekali menjura kepada Leng Bu dan Siauw Bwee sambil berkata,
"Harap Ji-wi sudi memaafkan Koan-sicu yang bersikap kasar karena memang dia yang jujur selalu bicara kasar. Harap Ji-wi ketahui bahwa kami mengundang Ji-wi dengan niat bersih hendak berkenalan. Di antara kita terdapat nasib yang sama yaitu selagi negara kita diserbu bangsa Mancu, sebaiknya kalau orang-orang gagah seperti kita bersatu menghadapi musuh. Karena itulah maka pemimpin kami, Pek-mau Seng-jin, mengharap Ji-wi sudi datang berkenalan."
Leng Bu tidak pernah mendengar nama Pek-mau Seng-jin, akan tetapi Siauw Bwee yang tahu bahwa kakek rambut putih itu adalah Koksu Negara Yucen, segera menjawab, "Kami berdua tidak ada sangkut-pautnya dengan segala urusan perang! Apalagi harus bersekutu dengan pihak ke tiga. Hemm, kami bukan pengkhianat, bukan pula penjilat, lebih baik kalian tidak mencari perkara dan membiarkan kami pergi!"
Setelah berkata demikian, Siauw Bwee memegang tangan supeknya dan diajak pergi. Akan tetapi baru saja mereka melangkah hendak keluar, terdengar bentakan halus, "Tahan!" Dan tampak berkelebat bayangan orang, tahu-tahu Pek-mau Seng-jin sendiri telah berdiri menghadang mereka sambil tersenyum-senyum. Tadi ketika mendengar ucapan Siauw Bwee yang menyinggung "pihak ke tiga", Koksu itu menjadi kaget sekali dan ia maklum bahwa dara itu telah mengetahui keadaannya sebagai pihak ke tiga, yaitu bukan golongan Mancu dan bukan pula golongan Sung. Maka dia menjadi khawatir kalau-kalau gadis itu akan membuka rahasianya yang akan menyukarkan penyamaran dan penyelidikannya, juga dia menjadi curiga.
"Nona, siapakah engkau? Dan di golongan manakah engkau berdiri?"
Ingin sekali Siauw Bwee memperkenalkan diri dan menyerang Koksu itu, akan tetapi dia masih menahan diri karena maklum bahwa Koksu ini disertai rombongan orang yang berkepandaian tinggi. Tentu saja dia tidak takut, hanya dia khawatir akan keselamatan supeknya yang telah terluka pundaknya.
"Aku dan Supek adalah orang-orang perantauan yang tak perlu berkenalan dengan siapapun juga, tidak mempunyai urusan dengan kalian dan tidak mencari perkara. Sudahlah, harap kau orang tua suka minggir dan membiarkan kami lewat!"
"Ha-ha-ha, benar-benar lantang suaranya! Nona, aku kagum sekali menyaksikan keberanian dan kelihaianmu. Orang-orang di dunia kang-ouw berkata bahwa sebelum bertanding tidak akan dapat saling menghargai dan berkenalan, oleh karena itu, setelah kebetulan sekali kita saling bertemu di sini, aku menantang Ji-wi untuk saling menguji kepandaian."
Panaslah hati Siauw Bwee. Betapapun dia ingin menghindari pertempuran, akan tetapi kalau ditantang terang-terangan seperti itu, mana mungkin dia mundur lagi?
"Hemm, kalian mengandalkan banyak orang untuk menghina?" tanyanya sambil memandang ke arah rombongan itu, tersenyum mengejek. Memang Siauw Bwee memiliki wajah yang amat cantik jelita, maka biarpun dia tersenyum mengejek wajahnya tampak manis dan menarik sekali.
"Ha-ha-ha! Selain tabah dan pandai bicara, juga cerdik sekali. Nona muda, aku akan merasa malu mengeroyok seorang yang patut menjadi cucuku. Tidak sama sekali, kami bukanlah rombongan pengecut yang main keroyok, melainkan orang-orang yang dapat menghargai kepandaian orang lain dan melalui kepandaian itu kami ingin berkenalan dan bersahabat. Bagaimana, Nona? Aku berjanji tidak akan mengeroyok melainkan menguji kepandaian satu lawan satu!"
"Siapa takut? Majulah!" Siauw Bwee diam-diam merasa girang karena kini dia memperoleh kesempatan untuk menghajar musuh yang pernah menawannya ini dan tidak takut akan pengeroyokan karena ucapan yang keluar dari mulut seorang Koksu tentu saja dapat dipercaya.
Pek-mau Seng-jin kembali tertawa. "Hebat! Sebegitu muda sudah memiliki keberanian besar, mengingatkan aku akan kegagahan mendiang pendekar sakti wanita Mutiara Hitam! Tidak, Nona. Dunia kang-ouw akan mentertawakan Pek-mau Seng-jin kalau aku melayani seorang muda seperti engkau. Biarlah aku diwakili oleh...."
"Perkenankanlah hamba menghadapinya!" Tiba-tiba Koan Tek berkata sambil meloncat maju. Dia merasa penasaran dan marah sekali kepada Siauw Bwee yang tadi memandang rendah serta menghinanya. Dia bukan seorang kejam yang suka membunuh orang akan tetapi karena nama besar dan kehormatannya tersinggung, dia ingin memberi hajaran kepada gadis ini.
Pek-mau Seng-jin tersenyum. Orang kasar macam Koan Tek ini perlu juga menerima hajaran, pikirnya, karena dia yakin bahwa Koan Tek bukanlah lawan kedua orang ini.
"Mundurlah, biar aku yang maju lebih dulu!" Leng Bu berkata kepada Siauw Bwee. Dia maklum bahwa murid keponakannya itu hendak menyembunyikan nama dan keadaannya, maka dia tidak menyebut nama. Sebaliknya Siauw Bwee pun maklum mengapa paman gurunya ini hendak maju biarpun pundaknya sudah terluka. Tentu paman gurunya ini hendak maju lebih dulu sehingga kalau sampai kalah, Siauw Bwee dapat menggantikannya. Kalau Siauw Bwee yang maju lebih dulu dan sampai kalah, tentu Leng Bu pun tidak akan berdaya lagi. Maka Siauw Bwee segera melangkah mundur dan berkata,
"Hati-hatilah, Supek. Pundakmu terluka, mengapa memaksa diri?" Dengan ucapan ini Siauw Bwee kembali menghina Koan Tek, seolah-olah dia hendak menonjolkan kenyataan bahwa biarpun pundaknya terluka, kakek petani itu masih berani maju menghadapi Koan Tek yang berarti memandang rendah.
"Petani tak tahu diri, kausambutlah seranganku!" Koan Tek berseru nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pukulan keras ke arah dada Leng Bu.
Leng Bu tidak dapat terlalu menyalahkan Siauw Bwee yang menyambut tantangan sehingga terpaksa terjadi pertandingan. Dia sendiri tentu saja masih dapat bersabar dan mundur menghadapi tantangan, akan tetapi seorang muda seperti Siauw Bwee, tentu sukar untuk mengelakkan tantangan seperti itu. Maka dia mendahului Siauw Bwee menyambut lawan sehingga seandainya ia dapat menang dan mengatasi hal ini, tidak akan terjadi persoalan yang lebih hebat. Dia khawatir apabila Siauw Bwee yang maju, tangan dara yang ampuh itu akan terlalu keras dan terjadi pembunuhan. Selain itu, andaikata rombongan ini berniat buruk, kalau sampai dia kalah, masih ada Siauw Bwee yang jauh lebih lihai untuk menghadapi mereka. Pendeknya, biarpun pundaknya luka, dia hendak maju sebagai pengukur keadaan dan iktikad hati mereka ini.
Jotosan tangan Koan Tek itu merupakan serangan yang cukup kuat dan cepat. Leng Bu mengenal juga serangan ini dan tahu bahwa lawannya adalah seorang ahli gwa-kang yang memiliki tenaga kasar yang besar. Jurus itu adalah jurus Hek-houw-to-sim (Macan Hitam Menyambar Jantung), sebuah pukulan ke arah dada kirinya dengan kepalan tangan diputar ke kanan kiri ketika lengan itu meluncur dari pinggang. Pukulan semacam ini dapat menghancurkan batu!
Coa Leng Bu yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada Koan Tek yang kasar itu, hanya dengan melangkah ke belakang saja sudah cukup untuk menghindarkan pukulan itu. Akan tetapi Koan Tek sudah menyambung serangannya dengan jurus serangan berikutnya, yaitu lengan kirinya meluncur ke depan berbareng dengan kaki kiri, memasukkan dua jari tangan kiri ke arah leher lawan. Itulah jurus Sian-jin-ci-lou (Dewa Menunjukkan Jalan), sebuah totokan ke arah kerongkongan yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Saking cepatnya dan kuatnya gerakan ini terdengar angin bercuitan!
Kini Leng Bu tidak mau mundur lagi, bahkan melangkah maju memapaki serangan ini! Dengan gerakan ringan sekali dia miringkan tubuh sehingga tusukan jari tangan itu meleset lewat dekat lehernya, berbareng dengan itu Leng Bu menggerakkan telapak tangan kirinya mendorong dada lawan. Koan Tek terkejut sekali dan berusaha menangkis dengan lengan kanan, namun tenaga dorongan itu biarpun tertangkis, tetap saja membuat tubuhnya terjengkang ke belakang. Koan Tek cukup lihai biarpun tubuhnya terjengkang, dia masih mengangkat kakinya menendang ke arah bawah pusar! Kembali serangan yang dapat membawa maut. Leng Bu menjadi tak senang menyaksikan betapa lawannya berusaha untuk membunuhnya, cepat kakinya digeser dan ketika tendangan itu lewat, secepat kilat tangannya menyangga kaki itu dan sekali dia membentak dan mendorong tubuh Koan Tek terlempar ke belakang tanpa dapat dicegahnya lagi. Tubuhnya tentu akan terbanting keras kalau saja sebuah tangan yang kurus tidak cepat menyambar tengkuknya sehingga dia tidak jadi terbanting.
"Hebat....!" kata pemilik tangan kurus yang bukan lain adalah kakek sastrawan pembantu Koksu Yucen. Sementara itu, para tamu warung yang sebagian besar terdiri dari para pengungsi, berserabutan lari keluar dari warung, sedangkan pemilik warung bersama para pelayannya telah bersembunyi di balik meja dan lemari dengan ketakutan.
"Sungguh mengagumkan sekali dan sepantasnya saya, Tiat-ciang-siucai (Sastrawan Tangan Besi) Lie Bok berkenalan dan ingin mengetahui siapakah nama Enghiong yang perkasa?" Si Kakek Sastrawan bertanya dengan muka tersenyum.
Melihat sikap yang sopan ini, Coa Leng Bu merasa tidak enak dan dia cepat menjura. "Namaku yang rendah adalah Coa Leng Bu dan harap saja Locianpwe suka memaafkan kami dan membiarkan kami pergi karena sesungguhnya, saya dan keponakan saya tidak ingin bertanding dengan siapapun juga."
"Ha-ha, bukan bertanding melainkan menguji kepandaian untuk bahan perkenalan, Coa-enghiong. Marilah kita main-main sebentar!"
Leng Bu yang maklum bahwa lawannya sekali ini tentu tidak boleh disamakan dengan Koan Tek yang kasar, cepat menyapu dengan kakinya dan meja kursi di sekeliling tempat itu terlempar ke sudut, disambar hawa tendangan kakinya sehingga ruangan itu menjadi lega. Hal ini saja membuktikan betapa kuat tenaga sin-kang kakek ini sehingga orang yang berjuluk Tiat-ciang-siucai mengangguk-angguk kagum.
"Bagus sekali! Engkau benar-benar amat berharga untuk menjadi teman berlatih. Nah, sambutlah, Coa-enghiong!" Setelah berkata demikian kakek sastrawan itu melangkah maju, tangan kirinya menampar kepala dan tangan kanannya dalam detik berikutnya mencengkeram ke arah perut! Itulah jurus Pai-san-to-hai (Menolak Gunung Mengeduk Laut) yang dilakukan dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam) cukup kuat.
Leng Bu tidak tahu pukulan mana yang merupakan pukulan pancingan dan yang mana yang merupakan serangan sesungguhnya karena kedua tangan yang bergerak hampir berbareng itu memang dapat dipergunakan sesuka Si Penyerang, yang satu dipakai memancing, yang ke dua baru merupakan pukulan sesungguhnya. Dia tidak mau terpancing, maka dia menggunakan kedua tangannya menangkis ke atas dan ke bawah.
"Plakk! Dukkk!"
Tiat-ciang-siucai terdesak mundur dua langkah, sedangkan Leng Bu masih berada di tempatnya akan tetapi wajahnya berubah menyeringai karena pundaknya yang terluka tadi terasa nyeri. Jelas bahwa sin-kangnya lebih kuat, akan tetapi selisihnya hanya sedikit dan luka di pundaknya membuat dia menderita. Namun dia tidak mau mundur, bahkan membalas menyerang dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang! Terdengar angin menyambar dari kedua tangannya dan hawa di ruangan warung itu tiba-tiba menjadi panas seolah-olah ada sinar matahari sepenuhnya memasuki ruangan.
Tiat-ciang-siucai berseru kaget dan cepat ia menggunakan kedua tangannya melindungi tubuh, menangkis bertubi-tubi sehingga dua pasang tangan itu saking cepat gerakannya berubah menjadi banyak. Namun kakek sastrawan itu terdesak mundur oleh hawa panas. Tiba-tiba Leng Bu yang ingin segera memperoleh kemenangan itu sudah mengubah gerakannya, ditujukan ke bawah, menyerang tubuh bagian bawah dan tiba-tiba hawa yang panas itu berubah sejuk. Kembali kakek sastrawan terkejut, dan biarpun dia berhasil menangkis serangan yang seperti hujan datangnya, namun perubahan itu membuat dia bingung dan terhuyung ke belakang.
"Heiii! Bukankah itu Jit-goat-sin-kang?" Tiba-tiba Pek-mau Seng-jin berseru kaget dan kagum.
Mendengar ini, Coa Leng Bu terkejut. Tak disangkanya kakek berambut putih itu mengenal Jit-goat-sin-kang yang selama ini tersembunyi dari dunia kang-ouw. Akan tetapi karena sudah terlanjur dikeluarkan, dia lalu menerjang maju dan mengerahkan tenaganya. Dari dorongan telapak tangan kanannya keluar hawa pukulan yang bercuitan ke arah tubuh Tiat-ciang-siucai yang terhuyung. Siucai itu berusaha menahan dengan kedua tangannya, namun tetap saja dia terdorong dan roboh bergulingan. Leng Bu menghentikan serangannya, meloncat mundur dan menjura.
"Harap maafkan kekasaran saya."
Tiat-ciang-siucai meloncat bangun, matanya terbelalak. "Luar biasa sekali! Saya mengaku kalah!"
Menyaksikan sikap ini, agak lega hati Coa Leng Bu, karena sikap kakek sastrawan itu menunjukkan sikap seorang kang-ouw yang baik, gagah perkasa, dan jujur, berani menerima kekalahan dengan hati tulus.
Pek-mau Seng-jin girang sekali. Biarpun belum dapat dikatakan luar biasa, petani tua bertelanjang kaki itu dapat dijadikan seorang pembantunya yang lumayan. Maka dia memberi tanda dengan mata kepada Panglima Dailuba yang tinggi besar, bermata lebar dan bermuka penuh brewok.
"Biarlah aku menguji kepandaianmu, Coa-enghiong!" katanya dengan suaranya yang nyaring besar mengejutkan. Panglima ini adalah seorang bangsa Yucen tulen, bertenaga besar dan berkepandaian tinggi. Apalagi setelah dia menjadi pernbantu utama Pek-mau Seng-jin yang melatihnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi, panglima ini benar-benar merupakan seorang lawan yang amat tangguh.
Hal ini dapat diduga oleh Siauw Bwee, maka dia berkata, "Supek, biarkanlah saya yang maju karena Supek tentu lelah sekali."
Akan tetapi Coa Leng Bu menggeleng kepala. Sebelum dia kalah, lebih baik gadis itu jangan turun tangan yang tentu akan menimbulkan persoalan yang lebih berat lagi. Sekali gadis itu turun tangan, dia tidak berani tanggung apakah lawan masih dapat keluar dari pertandingan dengan hidup-hidup. Pula, agaknya yang merupakan lawan terberat hanyalah kakek yang bernama Pek-mau Seng-jin itu, maka biarlah kakek itu nanti bertanding melawan Siauw Bwee.
"Tidak, aku masih belum kalah," jawabnya dan cepat ia maju sambil berkata, "Sahabat, siapakah nama besarmu?"
Dailuba tertawa bergelak. "Namaku sama sekali tidak terkenal, Coa-enghiong. Namaku adalah Thai Lu Bauw, seorang kasar yang hanya mempelajari sedikit ilmu. Mana bisa dibandingkan dengan engkau yang memiliki Jit-goat-sin-kang? Harap kau suka mulai."
Coa Leng Bu menggeleng kepala. "Bukan kami yang menghendaki pertandingan ini, Thai-sicu. Engkau majulah!"
"Lihat serangan!"
Gerakan Dailuba berbeda dengan gerakan Tiat-ciang-siucai Lie Bok tadi. Gerakan orang tinggi besar ini lambat sekali ketika tangan kanannya yang dibuka itu menyerang dengan dorongan ke arah dada Leng Bu. Akan tetapi, Coa Leng Bu sebagai seorang yang sudah banyak mengalami pertandingan, tidak mau memandang rendah dan dugaannya ternyata tepat karena ketika ia menangkis pukulan itu, dia terdorong sampai dua langkah, sedangkan lawannya terus melangkah maju dan mengirim dorongan lanjutan dengan tangan kiri. Ternyata Si Tinggi Besar ini memiliki tenaga yang luar biasa kuatnya!
Terpaksa Coa Leng Bu menangkis dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang sehingga dua tenaga raksasa bertemu dan keduanya tergoyang. Ketika Leng Bu hendak menarik kembali lengannya, dia kaget bukan main karena lengannya itu lekat pada lengan lawan, seolah-olah tersedot dan tak dapat dilepas lagi dan pada saat itu tangan kanan Dailuba telah datang lagi menampar ke arah kepalanya!
Tahulah dia bahwa lawannya ini telah melatih sin-kangnya dengan tenaga menyedot dan menempel, maka dia cepat miringkan kepala dan mendahului dengan sodokan tangan kiri ke arah perut lawan.
"Plakkk!"
Lengannya yang tertempel itu terlepas, akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan kagumnya hati Leng Bu ketika merasa betapa sodokannya ke perut yang mengenai sasaran dengan tepat tadi seolah-olah tidak terasa oleh lawan, bahkan jari tangannya terasa nyeri. Dailuba menggerakkan kakinya yang panjang dan besar menyerang kaki lawan. Leng Bu cepat meloncat ke atas, akan tetapi angin yang menyambar dari kaki Si Tinggi Besar membuat dia hampir terpelanting!
Coa Leng Bu menjadi penasaran sekali, lalu dia menyerang dengan cepat, menggunakan jurus-jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang. Namun, melihat betapa Dailuba dapat menahan serangannya dengan gerakan lambat dan seenaknya, kedua lengan besar yang digerakkan lambat itu telah menciptakan hawa yang merupakan perisai sehingga semua pukulan Leng Bu menyeleweng, maka tahulah Leng Bu bahwa tingkat kepandaian lawannya ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkatnya. Maka dia merasa terkejut dan khawatir, bukan takut kalah, melainkan takut kalau-kalau Siauw Bwee sendiri tidak akan mampu menanggulangi mereka. Kalau sampai mereka kalah, tentu mereka terpaksa menerima undangan dan perkenalan mereka, padahal dia tahu bahwa Siauw Bwee tidak menghendaki hal itu terjadi. Maka dia lalu mempercepat serangannya dan kini dia menggunakan Im-yang-sin-kang. Sebetulnya Im-yang-sin-kang masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan Jit-goat-sin-kang yang merupakan latihan sin-kang dengan bantuan sinar sakti matahari dan bulan, akan tetapi karena dalam latihan ini Leng Bu belum mencapai puncaknya sedangkan Im-yang-sin-kang dia sudah mahir sekali, maka terpaksa dia menggunakan sin-kang yang baginya lebih kuat itu. Padahal, untuk menggunakan sin-kang ini mengandalkan seluruhnya dari tenaga dalamnya sendiri sedangkan pundaknya sudah terluka, maka hal ini merupakan bahaya baginya. Dia sekarang mempergunakannya dalam keinginannya untuk mencapai kemenangan.
Ketika lawannya membalas serangannya dengan dorongan kedua telapak tangan, dengan pukulan semacam Thai-lek-sin-kang yang amat kuat, dia menghadapinya dengan Im-yang-sin-kang.
"Bressss!" Tubuh tinggi besar dari Dailuba terlempar ke belakang dan terguling akan tetapi Leng Bu sendiri terjengkang dan dia mengeluh, pundaknya nyeri bukan main.
"Supek....!" Siauw Bwee menghampiri, akan tetapi Leng Bu telah bangun kembali, wajahnya pucat menahan sakit dan dia memegangi pundaknya yang luka, sebelah lengannya menjadi lumpuh.
Dailuba juga bangkit berdiri, tampak darah dari ujung bibirnya dan dia menjura. "Hebat sekali engkau, Coa-enghiong. Biarpun engkau terluka, engkau masih mampu menahan pukulanku!"
"Ha-ha-ha, karena Coa-enghiong terluka, biarlah kita anggap pertandingan tadi berakhir dengan sama-sama dan mudah-mudahan menjadi jembatan perkenalan di antara kita!" kata Pek-mau Seng-jin.
"Tidak," Siauw Bwee menjawab lantang. "Kami tetap tidak berkeinginan untuk mengikat tali persahabatan. Kami hendak pergi dan siapa yang menghalangiku, berarti dia hendak memusuhiku!" Dia lalu memegang tangan supeknya dan berkata, "Marilah, Supek. Kita pergi dari sini dan jangan melayani mereka yang mabok kekerasan ini!"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, Nona. Kalau kalian tidak memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada kami, mengapa begini angkuh? Kami hanya ingin berkenalan, kalau engkau menolak berarti engkau menghina kami," kata Pek-mau Seng-jin sambil menghadang di depan pintu keluar.
"Kalau engkau menganggap aku menghina, habis kau mau apa?"
"Taijin, bocah ini lancang sekali. Biarlah hamba menundukkannya!" kata Dailuba yang tak dapat menahan kesabarannya lagi menyaksikan sikap Siauw Bwee demikian berani terhadap orang pertama sesudah Raja Yucen! Dia sudah melompat maju menghadapi Siauw Bwee.
Dara ini maklum bahwa tanpa memperlihatkan kepandaian, mereka tidak akan mau mundur begitu saja, maka dia melepaskan tangan Leng Bu dan menghampiri Dailuba.
"Kaukira aku takut kepadamu?" bentaknya.
Dailuba tersenyum mengejek. Gadis ini hanyalah murid keponakan Leng Bu. Sedangkan Coa Leng Bu sendiri tidak mampu mengalahkannya, apalagi murid keponakannya yang hanya seorang dara muda?
"Nona, aku harus mengaku bahwa aku kagum sekali menyaksikan keberanianmu. Akan tetapi, engkau bukanlah lawan kami dan sesungguhnya aku sendiri merasa malu kalau harus bertanding melawan seorang bocah perempuan seperti Nona. Sedangkan supekmu sendiri yang cukup lihai tidak mampu mengalahkan aku, bagaimana engkau berani menghadapi aku?"
"Tidak perlu banyak cerewet. Kalau kau berani, majulah!" Siauw Bwee menantang.
Dailuba menjadi marah. Akan tetapi dia adalah seorang panglima besar, tentu saja dia dapat menahan diri dan tidak mau menuruti nafsu amarah. Maka sambil tersenyum dia berkata, "Baiklah kalau begitu. Seorang anak bandel seperti engkau ini tentu belum mau mengerti kalau belum mengenal kelihaianku. Nah, kaujagalah sentuhan ini!"
Sambil berkata demikian, Dailuba menampar pundak Siauw Bwee dan hanya mempergunakan seperempat bagian tenaganya saja. Itu pun ia lakukan dengan hati-hati dan perlahan karena khawatir kalau-kalau tulang pundak nona ini akan remuk terkena tamparannya!
Siauw Bwee menjadi makin marah. Dia tentu saja tahu bahwa lawannya ini tidak sungguh-sungguh menyerangnya, dan hal ini selain dianggap sebagai sikap memandang rendah, juga merupakan penghinaan! Cepat sekali tangannya bergerak dan tahu-tahu Dailuba berteriak kaget ketika kedua pundak dan kedua lututnya telah kena ditotok oleh jari tangan dan ujung sepatu nona itu sehingga kedua pasang kaki tangannya menjadi lumpuh dan di saat selanjutnya, tubuhnya sudah dilemparkan oleh dara itu dengan menyambar tengannya! Tembok warung itu bobol kena bentur tubuhnya akan tetapi tubuh yang kuat itu tidak terluka dan begitu dia terbanting, totokan-totokan itu telah punah dan Si Tinggi Besar telah meloncat bangun. Merah sekali mukanya dan matanya menjadi merah saking marah. Dia telah dihina di depan Koksu dan para rekannya!
"Keparat! Tak tahu orang mengalah!" bentaknya sambil menubruk maju.
"Siapa minta kau mengalah! Keluarkan semua kepandaianmu!" Siauw Bwee tersenyum mengejek.
Perasaan malu membuat Dailuba lupa diri dan memuncak kemarahannya. Belum pernah selamanya dia menerima penghinaan seperti itu, apalagi dilakukan oleh seorang gadis muda di depan Koksu! Dia adalah orang kepercayaan dan tangan kanan Koksu, dan semua panglima tunduk kepadanya! Mana mungkin dia menerima saja dipermainkan seorang gadis begitu saja? Maka begitu ia menubruk maju, dia memukul dengan pengerahan tenaga sekuatnya, tangan kiri menghantam ubun-ubun kepala dan tangan kanan menyodok ke arah pusar. Kedua tangannya melancarkan pukulan maut dan jarang ada lawan tangguh yang mampu menghindarkan diri dari serangan ini. Bahkan Koksu sendiri menjadi terkejut dan menyesal mengapa panglimanya itu hendak membunuh gadis yang demikian lihai, namun dia dapat mengerti akan kemarahan Dailuba dan memandang penuh perhatian.
"Mampuslah! Wuushhh.... siuuutt!" Bentakan Dailuba disusul angin sambaran kedua tangannya.
"Haaaiiittt.... yyaaaahhhh!"
Pek-mau Seng-jin sendiri sampai terbelalak kagum menyaksikan gerakan Siauw Bwee yang asing baginya. Kedua kaki dara itu bergerak dengan cepat dan aneh, indah sekali seolah-olah kedua kaki dara itu menjadi roda, bergeser ke sana-sini dengan lincah dan ringan, namun tepat sekali sehingga dua pukulan maut itu sama sekali tidak mengenai sasaran. Padahal dua pukulan itu sukar sekali dielakkan dan Koksu sendiri maklum bahwa jalan satu-satunya menghadapi dua pukulan maut itu hanya menangkis dengan pengerahan sin-kang. Betapa mungkin gadis itu dapat mengelak tanpa meloncat pergi, hanya mengegos ke sana-sini seolah-olah pukulan itu merupakan pukulan biasa yang dipandang rendah saja? Juga panglima tinggi besar itu terkejut, namun rasa marah dan penasaran melampaui kekagetannya dan kemarahan membuat dia tidak mau melihat kenyataan, tidak menyadarkannya bahwa sesungguhnya dia menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berbahaya daripada Coa Leng Bu, bahkan lebih berbahaya daripada semua lawan yang pernah ia hadapi sebelumnya! Kemarahan dan penasaran membuat dia menerjang lagi dengan gerakan cepat dan lebih kuat, menggerakkan kedua tangannya menyerang bertubi-tubi dan setiap pukulan, tamparan, atau totokan dia tujukan ke arah bagian-bagian yang mematikan!
Siauw Bwee bukan tidak tahu akan hal ini. Dia maklum bahwa lawannya sengaja mengirim pukulan-pukulan maut karena kemarahannya, dan hal ini membuat dia ingin menalukkan orang-orang itu dengan memperlihatkan kepandaiannya. Dia pun bukan seorang gadis bodoh yang hanya menuruti nafsu amarah. Dia mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai seorang Koksu Negara Yucen, dan sudah mendengar bahwa bangsa Yucen pada waktu itu merupakan bangsa yang besar dan kuat. Dia dapat menduga bahwa orang tinggi besar ini tentu bukan orang sembarangan pula, melainkan seorang yang berkedudukan tinggi di Kerajaan Yucen. Mengingat bahwa mereka yang tadi berhadapan dengan Coa Leng Bu bersikap gagah dan tidak bermaksud membunuh supeknya itu, maka kini dia pun hanya ingin mencari kemenangan dan segera pergi bersama supeknya melanjutkan perjalanan ke selatan, terutama sekali untuk menyusul suhengnya, Kam Han Ki.
Kini melihat betapa lawannya menerjang dengan hebat, Siauw Bwee terus menggunakan ilmu gerak langkah kilat yang ia pelajari dahulu dari kaum lengan buntung, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri menyelinap di antara pukulan-pukulan itu. Makin lama, Dailuba menjadi makin penasaran dan memukul makin cepat. Tidak mungkin ada orang hanya main mengelak saja dari hujan pukulannya, padahal baru sambaran angin pukulannya saja sudah cukup untuk merobohkan lawan. Namun, pandang matanya sampai berkunang ketika lewat tiga puluh jurus dia menyerang, gadis itu hanya main elak saja dan tak sebuah pun dari pukulan-pukulannya dapat menyentuh ujung baju gadis itu, apalagi mengenai tubuhnya! Dia makin terheran-heran. Supek gadis ini tadi harus mengakui keunggulannya hanya dalam belasan jurus saja. Bagaimana kini gadis ini menghadapi serangan-serangannya sampai tiga puluh jurus lebih tanpa membalas sama sekali, mempermainkannya seperti seorang dewasa mempermainkan anak kecil?
Kalau tidak ingat bahwa di situ ada Koksu dan para rekannya yang menjadi penonton, tentu panglima tinggi besar ini sudah mengeluarkan senjatanya. Akan tetapi hal itu tidak mungkin dia lakukan di bawah pengawasan Koksu dan para rekannya karena tentu hal itu akan membuat dia menjadi makin rendah dan malu. Maka kini ia hanya menggigit bibir dait melanjutkan serangan-serangannya dengan tenaga sin-kang Thai-lek-sin-kang!
Melihat pukulan-pukulan yang mengandung hawa sin-kang ini, Siauw Bwee maklum bahwa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya. Dia meloncat mundur, memasang kuda-kuda dan sengaja menyambut pukulan kedua tangan lawannya tadi. Melihat ini, Coa Leng Bu terkejut sekali. Dia tahu akan kehebatan ilmu silat murid keponakannya, akan tetapi menghadapi pukulan-pukulan orang yang bernama Thai Lu Bauw begitu saja, benar-benar amat berbahaya karena tenaga sin-kang Si Tinggi Besar itu amat kuat. Sebaliknya, Dailuba girang sekali melihat gadis itu berani menerima pukulannya tanpa menggunakan langkah-langkah aneh untuk mengelak seperti tadi, maka dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam dorongan kedua lengannya itu.
Siauw Bwee tidak berniat membunuh lawannya, akan tetapi kalau sampai dia tidak berani menerima pukulan sin-kang ini, tentu orang-orang itu menyangka takut. Oleh karena itu, dia tidak mengelak, bahkan kini dia mendorongkan kedua lengannya ke depan menyambut datangnya pukulan jarak jauh yang amat dahsyat ini. Diam-diam dia menggunakan sin-kang yang dilatihnya bersama Kam Han Ki dan Maya di Pulau Es, sehingga dari kedua tangannya menyambar hawa dingin sekali yang menyambut hawa pukulan Dailuba.
"Wussshhhh.... desss!"
Mereka berdiri berhadapan dengan kedua tangan dilonjorkan, jarak antara kedua pasang tangan itu ada dua kaki, akan tetapi mereka merasa seolah-olah telapak tangan mereka bertemu. Tubuh Dailuba bergoyang-goyang, kemudian menggigil kedinginan dan tiba-tiba Siauw Bwee mencelat ke atas sambil menarik kedua lengannya dan.... tubuh Dailuba terbawa oleh dorongannya sendiri ketika dia mengerahkan seluruh tenaganya, jatuh menelungkup! Kalau Siauw Bwee menghendaki, di saat itu tentu saja dia dapat memukul kepala lawannya dari atas, akan tetapi untuk membuktikan kemenangannya, dia hanya merenggut penutup kepala lawannya dan meloncat turun dengan ringan di belakang Dailuba. Panglima tinggi besar ini terengah-engah, tubuhnya masih terguncang dan menggigil, kemudian melompat bangun dan memutar tubuh, dengan mata terbelalak memandang Siauw Bwee yang tersenyum sambil memegangi topi yang tadi berada di atas kepalanya.
"Terimalah kembali penutup kepalamu!" Siauw Bwee berkata sambil melontarkan benda terbuat dari kain itu ke arah Dailuba. Orang tinggi besar itu menyambar topi dengan tangannya, akan tetapi.... "wushhhh!" benda itu seperti berubah menjadi burung terbang, mengelak dari sambarannya, melayang ke atas dan jatuh di atas kepalanya.
"Hebat....! Ahhh, sungguh ajaib! Betapa mungkin kepandaian seorang murid keponakan jauh melampaui tingkat supeknya sendiri? Nona, aku kagum sekali dan marilah kita saling menguji kepandaian kita. Aku akan merasa gembira sekali berkenalan dengan Nona setelah kitaa saling mengenal kelihaian masing-masing!" Koksu berkata dan tubuhnya sudah mencelat ke depan Siauw Bwee.
Hemm, biar akan menimbulkan geger, sekali ini dia akan memberi hajaran keras kepada orang yang telah pernah menawan dia bersama sucinya, Maya. Pikiran ini membuat Siauw Bwee menjawab lantang.
"Pek-mau Seng-jin, biarpun aku masih muda, sudah banyak aku mendengar namamu yang besar."
"Apa? Engkau sudah mengenal namaku? Jadi engkau tahu siapa aku ini?" Kakek berambut putih itu bertanya, alisnya berkerut.
Siauw Bwee tersenyum mengejek sambil mengangguk. Alis putih itu makin berkerut. Celaka, pikir Pek-mau Seng-jin. Kalau gadis ini sudah mengenalnya, berarti tahu bahwa dia adalah Koksu dari Yucen, rahasia penyamaran dan perjalanannya telah terbuka! Gadis ini harus ditarik sebagai sekutunya, atau.... kalau tidak mau, harus dienyahkan sebagai musuh yang berbahaya! Namun, sikap kakek itu masih tenang saja dan dia bertanya,
"Nona, engkau sudah mengenalku. Sudah sepatutnya kalau aku mengetahui siapakah engkau yang semuda ini telah memiliki kepandaian amat tinggi."
"Aku seorang perantau. Sudah kukatakan bahwa aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi, kalian memaksa kami untuk bertanding. Kami telah memenuhi permintaan kalian, hanya karena terpaksa, bukan sekali-kali untuk berkenalan. Nah, kita lanjutkan atau tidak?"
"Ha-ha-ha, pantas saja engkau angkuh dan tinggi hati, karena memang engkau lihai sekali. Biarlah, kita main-main sebentar dengan taruhan bahwa kalau engkau kalah, biarpun engkau tidak mau menjadi sahabat kami, engkau harus memperkenalkan namamu kepadaku. Bagaimana?"
"Aku tidak sudi berjanji apa-apa. Dengan pertandingan yang kaupaksakan ini, kalau aku kalah, terserah kepadamu mau berbuat apa. Akan tetapi kalau engkau kalah dan tewas di tanganku, jangan menyalahkan aku!"
"Aduh sombongnya! Baiklah, Nona. Sudah lama aku tidak ketemu lawan yang setanding. Melihat cara engkau mengalahkan pembantuku, ternyata engkau cukup berharga untuk menjadi kawanku. Bersiaplah engkau!"
"Majulah!" Siauw Bwee sudah memasang kuda-kuda dengan kedua kaki tegak, agak terbuka dan kedua tangannya tergantung lemas di kedua samping tubuhnya, matanya tajam mengawasi lawan dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi serangan yang bagaimanapun juga.
Melihat cara persiapan dan kedudukan tubuh dara itu, kembali Pek-mau Seng-jin kagum dan dia tidak berani memandang rendah. Dara ini tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali sehingga dapat bersikap seperti itu, tanpa memasang kuda-kuda teguh seperti yang biasa dilakukan ahli-ahli silat.
"Sambutlah, Nona!"
Pek-mau Seng-jin mulai dengan serangan pertama. Tangan kirinya bergerak menyambar dari samping menuju ke arah leher Siauw Bwee. Angin pukulan yang panas sekali menyambar, diikuti oleh lengan baju yang menampar muka, kemudian dalam detik berikutnya disusul pula oleh jari-jari tangan yang melakukan totokan-totokan ke arah lima jalan darah di kedua pundak kanan kiri leher dan tenggorokan! Bukan main hebatnya serangan ini yang sekali gerak telah mengandung lima serangan. Baru angin pukulan itu saja sudah amat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan tamparan ujung lengan baju atau totokan-totokan itu sendiri yang rerupakan inti serangan!
Namun Siauw Bwee tidak menjadi gentar. Tanpa menggeser kaki, tubuh atasnya melirik ke belakang dan lengan kanannya yang kecil menangkap dengan berani.
"Plakk! Brettt....!"
Pek-mau Seng-jin meloncat ke belakang dengan mata terbelalak heran. Dia tidak mengenal gerak tangan Siauw Bwee tadi yang amat cepat dan hal ini tidak aneh karena dara ini menggunakan ilmu gerak tangan kilat yang merupakan kepandaian khusus dari kaum tangan buntung! Dengan gerakan kilatnya, sambil menangkis serangan tadi, jarinya dapat digerakkan dengan pemutaran pergelangan tangan cepat sekali sehingga dari samping ia berhasil melobangi ujung dengan baju kakek berambut putih itu!
"Kau.... apakah engkau dara perkasa yang telah membunuh panglima dampit dari Kerajaan Sung?"
Siauw Bwee terkejut dan kagum. Agaknya Koksu Yucen ini mempunyai banyak mata-mata yang telah menyelundup ke dalam gedung pembesar Sian-yang sehingga mengetahui pula peristiwa itu.
"Kalau betul demikian, mengapa?" tanyanya dengan tenang.
"Aihh....! Nona yang perkasa! Kita sepaham dan sehaluan! Marilah engkau bekerja sama dengan kami menghadapi bangsa Mancu yang biadab dan Kerajaan Sung yang sudah hampir roboh!"
"Pek-mau Seng-jin, aku tidak mau mencampuri urusan negara dan perang. Kalau kau tidak ingin melanjutkan pertandingan gila ini, biarkan aku dan Supek pergi."
"Engkau keras kepala! Apa kaukira akan mampu menandingi Pek-mau Sengjin? Jaga serangan!"
Kini kakek itu mengeluarkan seruan keras dan nyaring sekali, seruan yang dikeluarkan dengan tenaga khi-kang sehingga melengking tinggi dan mengejutkan semua orang, bahkan para pembantunya hampir tidak kuat bertahan kalau tidak cepat mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan lengking itu. Pemilik warung dan para pelayannya yang masih bersembunyi, seketika roboh pingsan! Namun Siauw Bwee tetap tenang dan melihat kini kakek itu menerjangnya dengan dahsyat, ia cepat mengelak dengan gerakan kakinya yang lincah sambil balas memukul dari samping dengan pengerahan sin-kang yang mengandung tenaga Im-kang kuat sekali. Pek-mau Seng-jin menangkis.
"Dukkk!" Keduanya terlempar ke belakang, akan tetapi kalau Siauw Bwee tidak merasakan sesuatu, hanya terpental saking kuatnya lawan, adalah Pek-mau Seng-jin menggoyang tubuhnya mengusir hawa dingin yang menyusup ke tulang-tulangnya! Pada saat itu terdengar seruan nyaring.
"Tahan! Di antara sahabat sendiri tidak boleh bertanding!" Tampak bayangan berkelebat dan Suma Hoat telah berdiri di tempat itu, memandang kepada Koksu dan Siauw Bwee, kemudian cepat menjura kepada Pek-mau Seng-jin sambil berkata,
"Seng-jin, dia adalah Coa Leng Bu, suhengku sendiri. Harap jangan melanjutkan perkelahian!"
Pek-mau Seng-jin tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, kau salah sangka, Suma-sicu! Kami bukan berkelahi, melainkan saling menguji kepandaian dan Nona ini benar-benar luar biasa lihainya. Kiranya masih suhengmu sendiri Coa-sicu ini, dan Nona ini, apakah dia juga murid keponakanmu?"
"Murid keponakan....? Saya tidak mengenalnya, biarpun kami pernah saling berjumpa."
Sementara itu Siauw Bwee terheran-heran melihat pemuda tampan yang pernah menolongnya lari dari Sian-yang. Jadi pemuda yang lihai dan mahir Ilmu Jit-goat-sin-kang itu adalah sute dari Coa Leng Bu? Dia mengerutkan alisnya dan makin tidak mengerti ketika mendengar pemuda itu disebut Suma-sicu oleh Pek-mau Seng-jin. Pemuda itu bernama keluarga Suma! Apa artinya ini? Ketika dia menoleh kepada Coa Leng Bu, kakek ini menarik napas panjang dan berkata,
"Sute, sesungguhnya tidak ada perkelahian dan biarkan kami berdua pergi lebih dulu. Kalau engkau mengenal mereka ini, harap jelaskan bahwa kami bukanlah orang yang suka terlibat dalam urusan negara, sampai jumpa, Sute." Coa Leng Bu lalu mengajak Siauw Bwee pergi dari situ dan sekali ini rombongan Pek-mau Seng-jin tidak mencegah mereka.
Setelah keluar dari dusun itu, Siauw Bwee tidak dapat menahan hatinya. "Supek, pemuda itu adalah orang yang menolongku keluar dari Sian-yang. Benarkah dia itu sutemu?"
"Memang begitulah. Tadinya Suhu Bu-tek Lo-jin hanya mempunyai tiga orang murid, yaitu Twa-suheng Lie Soan Hu yang menjadi ketua lembah mamimpin orang-orang penderita kusta, ke dua aku sendiri, dan ke tiga adalah Sute Ouw Teng. Akan tetapi belum lama ini, Suhu mengangkat seorang murid baru yang biarpun paling muda, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Dia adalah Suma-sute tadi yang sebelum menerima ilmu Jit-goat-sin-kang dan lain-lain dari Suhu, telah memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripada kami bertiga. Sungguh tidak kuduga bahwa dia mengenal rombongan Pek-mau Seng-jin tadi, betapapun juga, kedatangannya menghentikan bahaya yang mengancam kita. Sekarang aku ingin sekali tahu, bagaimana engkau mengenal Pek-mau Seng-jin dan siapakah dia sebenarnya?"
"Dia itu bukan lain adalah Koksu Negara Yucen,."
"Aihhhh....!" Wajah Coa Leng Bu berubah pucat. "Pantas saja dia lihai bukan main. Dan Suma-sute agaknya mengenal baik mereka itu! Apa artinya ini?"
Siauw Bwee menarik napas panjang. "Agaknya aku dapat menduga apa artinya, Supek. Koksu Negara Yucen itu tentu melakukan penyelidikan dan mencari bantuan orang-orang pandai, mengingat akan pesatnya gerakan kerajaan itu menyerbu ke selatan. Tadi dia mengajak aku membantunya ketika mendengar bahwa aku menewaskan Panglima Sung, tentu dia mengira aku memusuhi Sung dan Mancu. Dan melihat sikap sutemu tadi, aku tidak akan meragukan kalau dia termasuk di antara orang-orang gagah yang kena terbujuk untuk bersekutu dengannya."
Coa Leng Bu mengangguk-angguk. "Hemm, agaknya begitulah. Aku bertemu dengan dia di Sian-yang dan akulah yang minta dia mencarimu dan memberi tahu bahwa aku menanti di pintu gerbang selatan. Aku tidak mencampuri urusan pribadinya, namun aku sebagai suhengnya berhak untuk mengingatkannya bahwa tidaklah baik membantu bangsa asing memerangi bangsa sendiri."
Siauw Bwee teringat akan sucinya, Maya. Mengapa sucinya itu juga membantu pasukan Mancu? Maka dia lalu berkata,
"Dalam keadaan negara kacau seperti ini, memang banyak orang merasa serba salah, Supek. Kerajaan Sung makin merosot pamornya, banyak pembesar yang buruk dan jahat. Timbullah Kerajaan bangsa Yucen dan bangsa Mancu, membuat banyak orang menjadi ragu-ragu dan timbul harapan baru untuk melihat munculnya kerajaan baru yang akan dapat mengamankan negara dan memakmurkan kehidupan rakyat. Betapapun juga, tentu saja aku tidak setuju kalau orang mengharapkan kemakmuran dari penjajahan bangsa asing!"
"Cocok, Khu-lihiap! Demlkian pula pendapatku, maka kalau aku bertemu dengan dia, akan kuperingatkan dia."
"Supek, siapakah nama sutemu itu? Aku mendengar tadi disebut Suma-sicu oleh Koksu Yucen."
"Memang dia she Suma, namanya Hoat."
"Suma Hoat....?" Siauw Bwee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat karena dia seperti pernah mendengar nama itu.
"Apakah engkau sudah mengenal namanya pula?"
Siauw Bwee mengangguk. "Nama itu tidak asing bagiku.... akan tetapi aku lupa lagi...." Dia benar-benar tidak ingat lagi, akan tetapi dia menduga bahwa tentu pemuda tampan itu masih ada hubungan dengan Panglima Suma Kiat, musuh besar yang telah menjadi biang keladi tewasnya ayahnya dan Menteri Kam Liong! Ketika hal ini terjadi, dia masih terlalu muda dan memang dia tidak pernah memperhatikan atau mendengar keadaan keluarga Suma Kiat sehingga dia tidak tahu bahwa pemuda berusia tiga puluh tahun yang telah menolongnya itu bukan lain adalah putera tunggal musuh besarnya itu!
Mereka melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah kota kecil. "Kita menanti Sute di sini. Aku ingin sekali mendengar apakah betul dia menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen."
Siauw Bwee mengangguk setuju. Dia pun ingin sekali menyelidiki, apakah hubungan sute dari supeknya itu, yang mengingat akan kedudukannya terhitung masih susioknya (paman gurunya) sendiri, dengan musuh besarnya, Suma Kiat!
Sementara itu, setelah menyadarkan pemilik warung dan mengganti semua kerusakan dengan hadiah banyak, rombongan Pek-mau Seng-jin mengajak Suma Hoat keluar dari dusun karena mereka tidak mau menarik perhatian penduduk yang sudah panik dengan adanya pertandingan di dalam warung tadi. Di dalam hutan di luar dusun itu, mereka bercakap-cakap.
Memang benarlah dugaan Siauw Bwee, Suma Hoat telah menjadi kaki tangan Koksu dari Yucen. Seperti telah klta ketahui, pemuda yang merasa amat menyesal dan berduka karena dia telah membikin lumpuh Ketua Siauw-lim-pai yang tidak mau melawannya, kemudian makin menyesal karena dia telah menghina kedua orang bibinya sendiri, yaitu Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui, bersama Im-yang Seng-cu menyerbu markas besar Hoat Bhok Lama di Pegunungan Heng-toan-san di lembah Sungai Cin-sha. Dia melihat kedua orang wanita itu tewas dan dia bertemu dengan Bu-tek Lo-jin yang kemudian mengajaknya membunuh Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, kemudian mengangkatnya sebagai murid.
Hati Dewa Pemetik Bunga ini penuh dengan penyesalan akan semua perbuatannya yang lalu, penyesalan yang timbul setelah dia membuat lumpuh kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Ti Hosiang. Penyesalan ini membuat dia mengasingkan diri dan tekun berlatih ilmu silat yang ia peroleh dari Bu-tek Lo-jin yang hanya beberapa bulan saja mengajarkan ilmu-ilmu silat dan Jit-goat-sin-kang kepadanya, kemudian kakek aneh itu pergi lagi meninggalkannya. Dengan tekun sekali Suma Hoat menggembleng diri dengan ilmu-ilmu itu sambil berusaha melupakan kesenangannya, yaitu bermain asmara dengan wanita-wanita cantik yang membuatnya dijuluki Jai-hwa-sian. Gurunya menceritakan kepadanya bahwa dia menipunyai tiga orang suheng yang tinggal di tebing Lembah Kaum Kusta. Ketika dia mengunjungi mereka ke sana, dia hanya bertemu dengan Coa Leng Bu, suhengnya yang ke dua, dan dia enggan menjumpai twa-suhengnya dan sam-suhengnya ketika mendengar dari ji-suheng ini bahwa mereka itu menjadi ketua dari kaum liar dan kaum penderita kusta. Apalagi karena ia mendapat kenyataan bahwa biarpun disebut ji-suheng, kepandaian Coa Leng Bu tidaklah lebih tinggi daripadanya.
Setelah meninggalkan ji-suhengnya, Suma Hoat lalu teringat kepada ayahnya. Benar bahwa dia telah disakiti hatinya, telah diusir tanpa salah, karena bukankah permainan asmara dengan Bu Ci Goat adalah karena rayuan ibu tirinya itu? Betapapun juga, dia adalah anak tunggal, dia harus menghadap ayahnya yang sudah tua. Dia harus membantu ayahnya setelah kini dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Teringat akan ayahnya, Suma Hoat merasa dirinya makin berdosa dan semua ini adalah gara-gara wanita! Gara-gara Ciok Kim Hwa! Kalau dia tidak patah hati karena Ciok Kim Hwa membunuh diri, tentu dia tidak sampai bentrok dan diusir ayahnya sehingga kemudian dia membalas dendamnya kepada para wanita dan menjadi seorang pemerkasa dengan Julukan Jai-hwa-sian! Bahkan kemudian membuat dia melakukan hal yang amat keji, yaitu membuat Ketua Siauw-lim-pai yang sakti dan berbudi mulia itu menjadi cacat, lumpuh kedua kakinya. Dia harus menebus semua dosanya itu, dengan jalan berbakti kepada ayahnya, berbakti kepada negara, dan berbakti kepada kemanusiaan.
Dengan pikiran inilah Suma Hoat mencari ayahnya, menahan nafsu berahinya yang kadang-kadang bergejolak setiap ia melihat wanita cantik, dan akhirnya dia berhasil bertemu dengan ayahnya, Suma Kiat di kota raja. Akan tetapi, biarpun dia girang sekali mendapat sambutan gembira dari ayahnya dan ibu tirinya, Bu Ci Goat, di dalam hatinya dia terkejut karena ayahnya segera memberi tahu bahwa ayahnya diam-diam telah membuat persekutuan dengan Kerajaan Yucen, dan membuat persiapan untuk membantu Kerajaan Yucen dari dalam untuk menjatuhkan pemerintah lama! Biarpun di dalam hatinya terasa panas dan tidak setuju, namun dia tidak mau mengecewakan ayahnya dan akhirnya dia menjalankan tugas yang diperintahkan ayahnya untuk menemui Pek-mau Seng-jin, Koksu Negara Yucen yang sedang melakukan penyelidikan tentang gerakan tentara Mancu. Dengan membawa surat ayahnya, Suma Hoat berhasil bertemu dengan Pek-mau Seng-jin kemudian dia malah menerima tugas penyelundupan ke dalam kota Sian-yang untuk menghubungi kaki tangan Pek-mau Seng-jin dan menyelidiki keadaan pasukan Mancu yang menduduki kota itu. Telah ada kata sepakat antara Suma Kiat dan Pek-mau Seng-jin untuk membiarkan pasukan-pasukan Sung berperang melawan pasukan-pasukan Mancu sehingga kedua pihak itu akhirnya menjadi lemah dan mudah dihancurkan oleh pasukan Yucen.
Demikianlah, ketika ia menyelundup ke Sian-yang, Suma Hoat bertemu dengan ji-suhengnya, Coa Leng Bu, dan ia disuruh membantu dan memberitahukan jalan keluar kepada nona yang menjadi murid keponakan ji-suhengnya. Suma Hoat berhasil membantu Siauw Bwee dan begitu bertemu dengan dara itu, jantung Suma Hoat berdebar keras, sekaligus dia tertarik seperti sebatang jarum tertarik oleh besi sembrani! Ketangkasan dan kelihaian gadis itu, kecantikannya, bentuk tubuhnya, suaranya, segala-galanya membuat jantung Suma Hoat seperti akan dicopot. Dia telah banyak berjumpa dengan wanita cantik, telah banyak mempermainkan wanita, namun belum pernah dia mengalami getaran jantung seperti ketika bertemu dengan Siauw Bwee, padahal baru dia lihat sebentar saja di malam itu, di antara sinar obor. Seolah-olah dia bertemu dengan Ciok Kim Hwa, bahkan lebih lagi karena dalam pandang matanya, Siauw Bwee jauh melampaui daya tarik Kim Hwa! Dia telah jatuh cinta, bukan cinta birahi seperti kalau dia bertemu wanita-wanita cantik yang dipermainkan dan diperkosanya, melainkan cinta kasih yang membuat dia ingin selamanya berdampingan dan hidup berdua dengan gadis itu, menghentikan semua petualangan asmaranya!
Di dalam hutan kecil, Pek-mau Seng-jin dan kaki tangannya berunding. "Biarkan pasukan Mancu yang kuat itu menyerbu terus ke selatan," antara lain Pek-mau Seng-jin berkata, "setelah pasukan-pasukan Mancu jauh meninggalkan induknya, dan tentara Sung mengalami pukulan hebat, baru kita mengerahkan bala bantuan untuk memotong jalan, menghancurkan tentara Mancu dan menyerbu terus ke kota raja Sung Selatan. Suma-sicu, gadis tadi memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali. Sungguh aku merasa heran sekali mengapa murid keponakanmu dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Siapakah dia sebenarnya?"
"Saya sendiri belum mengenalnya, Seng-jin," jawab Suma Hoat sejujurnya. "Ji-suheng hanya mengatakan bahwa gadis itu adalah anak angkat dari Sam-suheng karena itulah maka menyebut Ji-suheng sebagai supeknya."
"Hemm, kalau saja dia dapat kita tarik menjadi pembantu, akan menguntungkan sekali. Suma-sicu, dapatkah kau membujuknya untuk berplhak kepada kita?"
"Akan saya coba, Seng-jin."
"Baik, kalau begitu harap kau suka menyusulnya. Biarkan dia memilih, langsung membantuku atau membantu ayahmu. Dengan tenaga-tenaga lihai seperti dia, perjuangan kita akan makin berhasil. Kami akan kembali dan mempersiapkan pasukan untuk memberi pukulan-pukulan terakhir setelah Mancu dan Sung berhantam sendiri di selatan."
Mereka berpisah dan Suma Hoat cepat pergi mengejar Ji-suhengnya dan gadis jelita yang telah memikat hatinya. Mendengar betapa dara itu dipuji-puji Pek-mau Seng-jin, dia menjadi makin tertarik. Benar-benar seorang dara pilihan, pikirnya. Dahulu, dia tergila-gila kepada Ciok Kim Hwa, seorang gadis lemah. Sekarang dara yang datang bersama ji-suhengnya itu, selain memiliki daya tarik lebih hebat daripada Ciok Kim Hwa juga memiliki ilmu kepandaian tinggi! Pantas menjadi kawan hidupnya. Untuk mendapatkan gadis seperti itu sebagai isterinya, dia siap meninggalkan cara hidupnya yang lalu, yang penuh petualangan dan dosa!
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa girang hati Suma Hoat ketika dia bertemu dengan Coa Leng Bu dan Khu Siauw Bwee yang memang menantinya di kota kecil itu. Kedua orang itu sedang makan pagi di sebuah warung ketika Suma Hoat datang.
"Ahhh, Ji-suheng! Untung sekali aku dapat menyusul kalian di sini!" katanya sambil menatap wajah Siauw Bwee dengan jantung berdebar. Bukan main! Pagi ini gadis itu tampak makin cantik mempesonakan. Biarpun mulut Suma Hoat mengeluarkan kata-kata gembira seperti itu, namun dia berdiri terpesona memandang Siauw Bwee, seolah-olah kedua kakinya tidak kuat menaiki anak tangga rumah makan itu!
Menyaksikan sikap pemuda itu, Siauw Bwee mengerutkan alisnya dan tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah. Pandang mata pemuda itu dengan jelasnya memancarkan isi hatinya kepadanya! Siauw Bwee tidak mampu melawan pandang mata seperti itu lebih lama lagi dan ia menunduk. Sedangkan Coa Leng Bu yang melihat sikap sutenya ini lalu menegur,
"Sute, mari duduklah. Kenapa berdiri saja di situ?"
Suma Hoat sadar, kedua pipinya menjadi merah, jantungnya berdenyut aneh dan ia merasa heran sekali. Dia yang sudah bermain cinta dengan banyak gadis cantik dari segala golongan, kenapa sekarang sama sekali tidak berdaya menghadapi gadis ini? Ia lalu menaiki anak tangga, dan duduk di atas bangku berhadapan dengan Siauw Bwee, di sebelah kiri suhengnya.
"Ji-suheng, aku mendengar bahwa kau terluka pundakmu. Bagaimana lukamu? Apakah sudah sembuh?"
"Hanya luka daging, tidak berbahaya, Sute."
"suheng, Nona ini adalah yang kausuruh aku bantu di Sian-yang tempo hari. Siapakah dia? Harap Suheng memperkenalkan."
Siauw Bwee mengangkat muka dan kini dia menatap wajah orang muda itu penuh perhatian. Wajah yang tampan, pikirnya, dan sikap yang gagah sekali. Dia sudah hampir lupa lagi bagaimana wajah Panglima Suma Kiat, akan tetapi dia mendengar bahwa panglima tua itu pun dahulunya seorang yang tampan. Orang muda di depannya ini memiliki sikap yang gagah perkasa, agaknya tidak patut menjadi seorang jahat, akan tetapi pandang matanya begitu tajam, seolah-olah pandang mata itu menjenguk ke dalam hatinya, bahkan seolah-olah pandang mata itu menelanjanginya! Diam-diam Siauw Bwee bergidik. Laki-laki yang jantan dan berbahaya sekali! Kalau saja cinta kasih di hatinya tidak sebulatnya tertuju kepada suhengnya, pria di depannya ini memiliki daya tarik luar biasa dan tidak anehlah kalau dia tertarik!
Mendengar ucapan sutenya, Coa Leng Bu tertawa, "Ahhh, aku sampai lupa memperkenalkan. Sute, Khu-lihiap ini adalah puteri angkat dari mendiang Ouw-sute, jadi masih terhitung murid keponakanmu sendiri. Khu-lihiap, ini adalah Suma-sute, masih susiokmu sendiri."
Siauw Bwee bangkit berdiri dan memberi hormat. "Susiok....!" katanya perlahan dan sederhana.
Suma Hoat cepat bangkit berdiri dan membalas penghormatan dara itu sambil berkata, "Aihh, Nona. Harap jangan menyebut Susiok kepadaku. Kepandaian Nona begitu tinggi, kalau menyebut Susiok kepadaku hanya membuat aku menjadi malu saja. Nona, namaku adalah Suma Hoat dan kuharap Nona tidak menyebut Susiok, sebut saja Twako karena kita telah menjadi sahabat, bukan?" Ucapan dan sikap Suma Hoat demikian ramah dan wajar, sama sekali tidak memperlihatkan sikap kurang ajar sehingga Siauw Bwee tersenyum. Senyum yang membuat Suma Hoat hampir terjengkang saking kagum dan girangnya.
"Baiklah, Suma-twako."
Mereka duduk kembali dan Leng Bu cepat memberi isyarat kepada pelayan untuk menambah hidangan dan minuman.
"Nona, engkau she Khu akan tetapi belum memperkenalkan diri."
Sambil tersenyum memandang orang muda yang polos itu, Siauw Bwee menjawab,. "Namaku Khu Siauw Bwee." Berkata demikian, ia memandang tajam untuk melihat apakah orang muda she Suma itu mengenal namanya. Kalau dia keluarga Suma Kiat, tentu akan mengenal bahwa dia adalah puteri mendiang Panglima Khu Tek San! Akan tetapi tidak tampak perubahan sesuatu pada wajah yang tampan itu dan memang sesungguhnya Suma Hoat tidak mengenal nama ini. Peristiwa yang menimpa Khu Tek San dan Menteri Kam Liong terjadi ketika dia sudah meninggalkan kota raja.
Sambil makan minum mereka bercakap-cakap. Beberapa kali Suma Hoat memancing untuk mengetahui keadaan Khu Siauw Bwee, namun gadis itu seolah-olah hendak menyembunyikan keadaannya.
"Nona, kepandaianmu begitu hebat. Siapakah sebetulnya gurumu?" Akhirnya dia bertanya secara langsung.
"Aku sendiri tidak tahu dan tidak dapat memberi tahu tentang itu, Suma-twako. Aku hanya belajar sedikit-sedikit di sana-sini, dan mula-mula aku belajar di bawah bimbingan suheng dan suciku sendiri." Siauw Bwee tetap saja mengelak.
"Ahh, kalau begitu, suheng dan sucimu tentu sakti bukan main! Bolehkah aku mengenal mereka?"
"Maaf, Twako. Suheng dan suci merahasiakan diri mereka sehingga aku tidak boleh menyebut nama mereka. Harap kau suka memaklumi watak orang-orang aneh seperti mereka itu."
Suma Hoat kecewa akan tetapi dia mengangguk. Heran sekali gadis ini sikapnya penuh rahasia, akan tetapi biarpun kecewa, dia tidak merasa menyesal! Padahal biasanya dia merasa paling benci kalau menghadapi gadis yang angkuh.
"Aku mengerti, Nona, dan maafkan kelancanganku bertanya tadi. Bukan maksudku untuk mengetahui rahasia orang lain, akan tetapi.... aku kagum sekali kepadamu, maka timbul keinginanku untuk mengenalmu lebih baik dengan mengetahui riwayatmu. Maafkan aku."
"Tidak apa, Twako, akulah yang minta maaf," kata Siauw Bwee, tidak enak juga hatinya menyaksikan sikap yang amat ramah, sopan dan baik dari orang muda itu.
"Sute, sekarang aku ingin sekali bertanya kepadamu. Sesungguhnya karena hal inilah maka aku menantimu di sini. Bagaimana engkau dapat mengenal Koksu Negara Yucen dan rombongannya?"
Pertanyaan yang tiba-tiba datangnya ini mengejutkan hati Suma Hoat. Tak disangkanya bahwa suhengnya tahu akan hal itu. Suhengnya sudah lama mengasingkan diri, tak mungkin mengenal Pek-mau Seng-jin sebagai Koksu Kerajaan Yucen. Tak salah lagi, tentulah Khu Siauw Bwee yang mengenal kakek berambut putih itu, maka dia menjadi makin kagum dan heran. Dara ini selain berilmu tinggi, juga agaknya berpemandangan luas dan berpengalaman dalam dunia kang-ouw.
"Jadi Suheng sudah mengenal Koksu Yucen? Terus terang saja, Suheng. Aku bekerja sama dengan Kerajaan Yucen dan bersekutu dengan Pek-mau Seng-jin."
Diam-diam Coa Leng Bu kagum akan ketepatan pandangan Siauw Bwee. Dia melirik gadis itu yang bersikap tidak mengacuhkan, kemudian berkata, "Sute, aku tidak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi selagi negara dalam keadaan terancam mengadakan persekutuan dengan bangsa lain, bukanlah hal itu dipantang oleh orang-orang gagah?"
Suma Hoat tersenyum. "Untuk memberi pandangan tentang perjuangan bangsa, harus lebih dulu mengetahui keadaan sesungguhnya. Suheng melihat sendiri betapa kerajaan terancam oleh pasukan-pasukan Mancu yang kuat sekali. Biarpun semua orang gagah membantu Kerajaan Sung, kiranya kerajaan itu takkan dapat dipertahankan lagi. Jalan satu-satunya yang tepat adalah mengharapkan bantuan bala tentara Yucen dengan maksud menghadapi Mancu, bukanlah hal itu demi keselamatan negara kita?"
Diam-diam Siauw Bwee dapat mengerti kebenaran ini, dan Coa Leng Bu hanya menarik napas panjang. "Aku tidak tahu tentang politik negara, Sute, hanya kuharap Sute tidak akan menyimpang daripada garis yang dilalui orang-orang gagah, jangan sampai kelak dikenal sebagai seorang pengkhianat bangsa."
"Tidak mungkin, Suheng. Sampai mati pun aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Kalau sekarang aku berbaik dengan Koksu Negara Yucen, hal itu semata-mata untuk menarik pihak Yucen menolong Kerajaan Sung yang terancam oleh pihak Mancu."
Keterangan ini memuaskan hati Leng Bu dan kesempatan ini dipergunakan oleh Suma Hoat untuk mengajak mereka mencontoh sikapnya. "Kuharap Suheng dan Nona Khu dapat melihat kenyataan itu dan marilah kalian ikut bersamaku membantu kerajaan dengan bekerja sama dengan Koksu Yucen. Dengan jalan ini kita akan dapat menyelamatkan negara dari ancaman Mancu."
"Aku tidak mempunyai hasrat untuk melibatkan diri dengan perang, Sute," jawab Leng Bu dengan suara dingin.
"Dan bagaimana dengan pendapatmu, Nona?"
"Aku juga tidak suka mencampuri urusan negara, aku benci akan perang! Dan selain itu, aku mempunyai urusan pribadi yang lebih penting. Biarlah kita mengambil jalan kita masing-masing, Suma-twako. Supek, marilah kita melanjutkan perjalanan ke selatan." Siauw Bwee ingin sekali segera dapat bertemu dengan Kam Han Ki dan Leng Bu yang maklum akan hal hati dara itu berkata,
"Sebaiknya besok pagi-pagi saja kita berangkat. Kota Sian-tan merupakan benteng kuat dan menjadi pertahanan pasukan Sung, kurasa ke sanalah kita harus menuju. Akan tetapi, mengingat akan peristiwa di Sian-yang, kita harus berhati-hati memasuki kota itu."
Siauw Bwee maklum bahwa setelah mereka berdua mengacau di Sian-yang sebelum pasukan Mancu tiba di sana, tentu mereka akan dimusuhi oleh tentara Sung, dan akan ditangkap oleh Bu-koksu karena dia telah membunuh panglima dampit. Maka ia mengangguk dan menyatakan setuju.
"Suheng dan Nona Khu. Aku telah mendengar akan sepak terjang kalian di Sian-yang. Bukankah engkau yang telah membunuh panglima dampit dan menimbulkan kekacauan di sana? Kalau benar demikian, amat berbahaya kalau kalian memasuki kota Siang-tan. Pula, bolehkah aku bertanya apa tujuan Nona pergi ke sana?"
"Aku ingin mencari seseorang, urusan pribadi, Twako. Maaf, aku tidak dapat memberi penjelasan kepadamu."
Suma Hoat mengangguk, kembali merasa kecewa akan tetapi tidak menyesal. Bahkan dia ingin sekali membantu Nona ini karena dia dapat merasa bahwa tentu ada rahasia yang mengganggu hati nona ini. Dia akan diam-diam menyelidiki dan kalau perlu melindungi dan membantu Nona yang telah menjatuhkan hatinya ini.
"Kalau begitu aku setuju dengan pendapat Ji-suheng. Lebih baik berangkat besok pagi, dan sedapat mungkin memasuki kota di waktu malam, menyelinap di antara kaum pengungsi sehingga tidak akan mudah dikenal."
Siauw Bwee makin suka kepada pemuda ini. Seorang yang jujur, ramah, sopan dan tahu diri sehingga tidak terus bertekad mengetahui rahasia orang bahkan dapat menghargai dan memaklumi rahasia orang.
"Suma-twako, aku pernah mendengar nama besar seorang Panglima Sung yang bernama Suma Kiat. Tidak tahu apakah persamaan she antara Twako dan dia berarti ada hubungan keluarga?"
Kembali Suma Hoat terkejut, akan tetapi dia dapat menekan hatinya dan tidak memperlihatkan pada wajahnya. Dia tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali aku adalah puteranya, Nona."
"Ohhh....!" Siauw Bwee tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Untung dia dapat menahan kemarahannya dengan pendapat bahwa pemuda ini sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan Suma Kiat. Buktinya, pemuda ini tidak mengenalnya dan agaknya tidak tahu menahu tentang perbuatan jahat ayahnya yang telah mengakibatkan kematian Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Betapapun juga, sukar baginya untuk dapat duduk semeja lagi dengan putera musuh besarnya, maka ia lalu bangkit dan berkata,
"Supek, aku ingin mengaso dulu. Besok pagi-pagi kita melanjutkan perjalanan." Kepada Suma Hoat dia hanya menjura tanpa memandang wajahnya, kemudian meninggalkan mereka dan pergi memasuki kamarnya di mana dia duduk dan mengatur pernapasan untuk menekan hatinya yang menggelora karena marah. Dia dapat menyabarkan hatinya ketika mengingat betapa Suma Hoat adalah seorang laki-laki yang baik, tidak seperti ayahnya. Dia tidak akan mencontoh sucinya, yang membawa-bawa dendam kepada seluruh keluarga, bahkan bangsa! Tidak, dendamnya hanya tertuju kepada Suma Kiat, dia tidak akan memusuhi Suma Hoat yang sedikit banyak telah menarik hatinya.
Suma Hoat merasa heran akan sikap gadis itu, akan tetapi dia tidak menduga sama sekali akan isi hati Siauw Bwee. Dia melanjutkan bercakap-cakap dengan suhengnya, dan di pihak Coa Leng Bu, dia sama sekali tidak mengenal siapa adanya sutenya ini. Puluhan tahun dia menyembunyikan diri, mengasingkan diri dan tidak pernah tahu akan keadaan dunia ramai. Tentu saja dia tidak tahu akan sepak terjang Suma Kiat, bahkan dia tidak tahu bahwa sutenya ini adalah Jai-hwa-sian, karena nama Jai-hwa-sian pun belum pernah didengarnya. Dia hanya merasa kagum kepada sutenya yang selain memiliki kepandaian lebih tinggi daripadanya, juga ternyata putera seorang Panglima Sung! Dia malah merasa malu sendiri bahwa tadi dia telah menegur sutenya, siapa kira sutenya adalah putera panglima yang tentu saja lebih tahu akan keadaan negara.
Karena Suma Hoat juga hendak melanjutkan perjalanan besok, maka pemuda ini menyewa kamar di rumah penginapan yang didiami Leng Bu dan Siauw Bwee. Melihat Siauw Bwee tidak pernah keluar lagi dari kamarnya, Suma Hoat juga siang-siang sudah memasuki kamar, berusaha melupakan Siauw Bwee namun tak berhasil. Makin dilupa, wajah gadis itu makin jelas kelihatan di depan mata. Setiap gerak-gerik gadis itu, lirikan mata, gerak bibirnya, kalau bicara, kejapan matanya, senyum dikulum, aihh, dia benar tergila-gila! Harus kunyatakan sekarang, pikirnya. Tidak akan ada kesempatan, lagi. Berhasil atau gagal, sekarang, malam ini!
***
Malam ini amat sunyi. Suara penduduk kota kecil yang biasanya memecahkan kesunyian, malam itu tidak terdengar lagi. Dan sudah beberapa malam yang lalu, semenjak pasukan-pasukan Mancu menyerbu ke selatan, kota kecil ini menjadi sunyi sekali di waktu malam. Sebagian besar penduduknya sudah mengungsi ke selatan, mencari tempat yang jauh dari kemungkinan dilanda perang, dan sebagian kecil yang tertinggal, sore-sore sudah masuk tidur, tidur yang tidak pulas karena sedikit suara saja cukup membuat mereka terbangun dan bersiap-siap melarikan diri jika ada bahaya perang mengancam.
Bulan sepotong yang menciptakan keindahan ajaib, pemandangan remang-remang antara terang dan gelap, seakan-akan menambah kesunyian karena tiada yang menikmati dan mengaguminya. Hanya belalang, jengkerik, kutu-kutu dan burung malam yang dapat menikmati malam sunyi itu. Makin sunyi, makin menyenangkan bagi mereka. Mereka dapat bebas mengeluarkan suara, mungkin suara rindu si jantan mengundang si betina, suara untuk melindungi telur atau anak-anak mereka dari bahaya, namun bagi telinga manusia, suara binatang-binatang itu seolah-olah bernyanyi. Aneh akan tetapi demikianlah kenyataannya bahwa suara-suara berirama ini bahkan menambah rasa sunyi dan hening sang malam yang menciptakan rasa takut dalam hati manusia-manusia yang sudah gelisah oleh bayangan mereka sendiri itu.
Kesunyian terasa benar oleh Siauw Bwee yang berada di dalam kamarnya. Dia rebah sambil termenung, gelisah memikirkan suhengnya. Bagaimanakah kalau benar pendapat Coa Leng Bu bahwa suhengnya menjadi korban racun perampas semangat? Bagaimana kalau sampai tak dapat disembuhkan? Ngeri dia memikirkan bahwa suhengnya takkan dapat mengenalnya selamanya!
Berkali-kali Siauw Bwee menarik napas panjang dan dia merasa kesunyian, perasaan yang selalu menggoda hatinya semenjak dia meninggalkan Pulau Es. Kegelisahan dan kesunyian hatinya membuat dia dapat mendengarkan suara binatang malam dengan jelas dan dalam pendengarannya, suara malam itu seperti keluh-kesah yang menggema dari lubuk hatinya.
Tiba-tiba dia bangun duduk di atas pembaringannya. Suara binatang malam terhenti ketika terdengar suara tiupan suling melengking. Mula-mula suara suling itu rendah seperti keluhan seekor binatang yang terluka, kemudian makin meninggi dan melagu. Lengking suling yang merdu mengalun, naik turun dengan lika-liku yang halus, suaranya menggetar seolah-olah hawa yang keluar dari mulut peniupnya mengandung hati yang merana.
Siauw Bwee terpesona. Seperti juga semua belalang, jengkerik, dan kutu-kutu malam yang semua diam terpesona, dia pun diam tak bergerak, seluruh semangatnya seperti terbetot, terbawa melayang-layang di angkasa, memasuki dunia lamunan. Suara itu mendatangkan perasaan aneh dan penuh rahasia, seperti perasaan orang kalau mendengarkan dengan penuh perhatian suara angin bersilir mempermainkan daun-daun pohon, seperti dendang anak sungai dengan airnya yang bercanda dengan batu-batu sungai, suara air hujan rincik-rincik menimpa permukaan bumi, suara guntur di angkasa di musim hujan, suara air laut bergemuruh menghantam karang. Sejenak membuat perasaan pikiran menjadi hampa, sunyi, penuh damai, bebas daripada permainan suka duka.
Namun, suara tiupan suling yang melagu itu menghanyutkannya ke lembah keharuan, mengingatkan dia akan segala kesunyian dan kegelisahannya, membuat Siauw Bwee tanpa disadarinya sendiri berlinang air mata. Ketika merasa dua titik air hangat mengalir turun di atas pipinya, barulah dia tersadar. Cepat dihapusnya air matanya, dan ia terheran-heran. Siapakah yang meniup suling seperti itu? Seolah-olah dia mendengar keluh kesah, rintihan dan ratap tangis bersembunyi di dalam lengking merdu itu.
Siauw Bwee turun dari pembaringan, membereskan pakaian tanpa mempedulikan rambutnya yang awut-awutan, kemudian dia keluar dari kamarnya, terus keluar dari rumah penginapan, menuju ke belakang dari mana terdengar suara suling itu. Bulan sepotong masih mengambang tinggi di atas kepala, sinarnya menciptakan cahaya remang-remang, agak kebiruan, agak kekuningan, mendatangkan hawa yang sejuk dan menimbulkan suasana yang penuh rahasia dan keajaiban. Pohon-pohon yang menjadi permainan cahaya redup dan kegelapan, seolah-olah kehilangan bentuk aselinya dan berubah menjadi bentuk yang penuh rahasia. Siauw Bwee terus melangkah memasuki sebuah kebun yang kosong, dan tiba-tiba tampaklah olehnya seorang yang duduk membelakanginya, duduk di atas sebuah batu, meniup suling. Dia adalah seorang laki-laki, akan tetapi sukar dikenal siapa karena selain membelakanginya, juga laki-laki itu duduk terlindung dalam bayangan sebatang pohon. Kedua tangan memegang suling, kepalanya agak miring ketika meniup lobang suling, kedua pundaknya bidang.
Siauw Bwee berhenti melangkah. Setelah keluar dari dalam kamar, kini suara suling terdengar makin merdu, seolah-olah melayang-layang di angkasa, bermain-main dengan bayangan, membubung tinggi melalui sinar bulan redup, seperti hendak mencapai bulan. Teringatlah dia kini dan dia mengenal lagu yang dimainkan suling itu. Ketika dia masih tinggal bersama orang tuanya di kota raja, Siauw Bwee pernah mempelajari seni suara dan dia mengenal lagu itu, sebuah lagu kuno yang berjudul "Merindukan Bulan". Bahkan dia masih teringat akan kata-kata nyanyian lagu itu. Bagaikan dalam mimpi, ketika tiupan suling itu mengulangi lagi nyanyian itu, dia bernyanyi, perlahan, akan tetapi karena dia memiliki tenaga khi-kang yang hebat, suara nyanyian menggetar dan bergelombang sampai jauh, merdu seperti bisikan bulan sendiri melalui cahaya yang kebiruan.
"Bulan....
tunggulah aku wahai bulan
jangan kautinggalkan aku sendiri!
Bulan....
hanya engkaulah pengganti dia
hanya engkaulah pencermin wajahnya
Bulan....
ke mana engkau lari?
ke mana engkau sembunyi?
Bulan....
kasihanilah aku wahai bulan
jangan kau pergi.... jangan....!"
Tak terasa lagi, kembali dua titik air mata membasahi pipi Siauw Bwee. Dia berhenti bernyanyi, dan suara suling itu pun melambat, menurun, akhirnya berhenti sama sekali. Sejenak sunyi, tiada sedikit pun suara menyusul penghentian lengking suling, kemudian, tiba-tiba, suara binatang malam saling sahut lagi, seolah-olah mereka itu berseru memuji.
Seperti dalam mimpi, Siauw Bwee melihat penyuling itu bangkit, menghampirinya dan tiba-tiba orang itu menjatuhkan diri berlutut di depannya.
"Nona.... engkau benar-benar datang.... terima kasih kepada Thian....! Betapa hatiku menggetarkan suara merindumu, memanggilmu.... dan ternyata engkau dapat menangkap getaran ini.... ahhh, Nona, adakah.... adakah harapan di hatiku yang kering ini?"
Siauw Bwee terbelalak memandang ketika sadar kembali dan terbebas dari hikmat keajaiban malam dan mengenal orang itu yang bukan lain adalah Suma Hoat. Hampir dia menjerit kalau saja tidak cepat-cepat dia mendekap mulut sendiri dengan telapak tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mendekap dada kiri seolah-olah menahan debaran jantungnya.
"Ihhh.... engkau.... engkau.... apa maksudmu? Apa artinya semua ini....?"
Suma Hoat yang sudah tergila-gila itu menjatuhkan diri menelungkup dan mencium ujung sepatu Siauw Bwee. Gadis itu menjadi makin sadar dan cepat melompat ke belakang.
"Suma Hoat! Apakah engkau sudah gila?" bentaknya.
"Nona Khu Siauw Bwee, memang aku sudah gila. Tidak dapatkah engkau menangkap kegilaanku dari suara sulingku, dari sinar mataku kalau memandangmu, dan debar jantungku kalau mendengar suaramu, dari...."
"Kau.... kau gila....!" Siauw Bwee membentak, wajahnya menjadi merah sekali.
"Benar, aku gila, aku tergila-gila kepadamu, Nona. Aku cinta padamu.... biarlah kaubunuh aku kalau kau merasa terhina, aku rela mati di tanganmu, aku cinta padamu, Khu Siauw Bwee," Suma Hoat berkata sambil berlutut, sekali ini, tidaklah seperti kalau dia merayu wanita. Belum pernah dia merendahkan diri seperti itu, biasanya dia malah angkuh sekali berhadapan dengan wanita. Dan baru dua kali ini selama hidupnya dia mengaku cinta dengan setulus hatinya.
Melihat sikap ini, lenyaplah kemarahan dari hati Siauw Bwee. Dia terharu karena sikap laki-laki ini jelas bukanlah rayuan kosong belaka! Timbul pertentangan di hatinya, antara kasihan yang menimbulkan keharuan dan kebencian karena mengingat bahwa pria ini adalah putera musuh besarnya.
"Suma Hoat, cukuplah sikapmu yang gila ini. Aku tidak mau menerima cintamu, tidak bisa menerima cinta siapapun juga."
Suma Hoat memejamkan matanya. Aihh, tidak.... tidak....! Apakah dia harus kembali mengalami kegagalan cinta! Cinta yang tulus ihklas, cinta yang bukan terdorong berahi semata, melainkan cinta karena daya tarik dari seluruh pribadi wanita itu?
"Kau.... kau.... sudah mencinta orang lainkah....?" tanyanya lemah.
"Bukan urusanmu itu, Suma Hoat, dengarlah, kalau aku tidak melihat sikapmu yang baik, tentu sudah sejak kemarin aku mencarimu dan membunuhmu!"
Suma Hoat terkejut bukan main. Dia melompat bangun, memandang gadis itu dengan mata terbelalak lebar. "Nona, demikian besarkah dosaku? Demikian besarkah dosa seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita seperti Nona? Sehingga timbul kebencianmu dan keinginanmu untuk membunuhku?"
"Bukan karena itu, melainkan karena kenyataan bahwa engkau adalah putera musuh besarku, putera si keparat Suma Kiat."
"Ya Tuhan....! Mengapa, Nona? Mengapa engkau memusuhi ayahku?"
"Buka telingamu baik-baik. Suma Hoat! Aku adalah puteri tunggal dari mendiang Khu Tek San! Dan engkau tahu bahwa ayahku dan Menteri Kam Liong, guru ayahku, tewas gara-gara kekejian ayahmu!"
Suma Hoat makin kaget. Dia tidak melihat peristiwa itu, akan tetapi akhir-akhir ini dia sudah mendengar akan hal itu. Dengan muka pucat dia memandang gadis itu, kemudian berkata lemah,
"Sungguh buruk nasibku.... Tuhan mengutukku karena perbuatan ayah.... dan.... dari perbuatanku sendiri. Nona, kalau begitu, kaubunuhlah aku, aku takkan melawanmu...."
"Hemmm, kalau aku hendak membunuhmu, apa kaukira engkau mampu melawanku?"
"Khu Siauw Bwee, aku tahu bahwa engkau lihai, akan tetapi harap jangan memandang rendah orang laln. Dan jangan engkau mencari ayahku, karena selain ayahku berilmu tinggi dan mempunyai benyak pasukan, juga aku bersedia menebus kesalahan ayah kepadamu. Aku cinta padamu, Nona. Sungguh, aku bersumpah, aku cinta padamu. Lebih baik engkau membalas dendammu kepadaku dan aku rela mati di tangan wanita yang kucinta dengan seluruh tubuh dan nyawaku."
"Engkau gila! Siapa percaya omonganmu? Engkau perayu. Mana mungkin orang baru berjumpa dua kali sudah menyatakan cinta seperti engkau? Selain itu, aku tidak akan membunuhmu, aku bukan orang yang membabi buta dalam pembalasan dendamnya. Hanya ayahmu yang bersalah dan ke mana pun dia bersembunyi, aku akan dapat mencari dan membunuhnya. Kalau tidak, percuma saja aku bertahun-tahun belajar ilmu di Pulau Es!" Saking marahnya, Siauw Bwee lupa diri dan menyebut Pulau Es.
Suma Hoat makin kaget. "Apa....? Engkau.... engkau.... penghuni Istana Pulau Es....?"
"Benar! Dan kalau engkau hendak membela ayahmu, majulah agar aku mempunyai alasan untuk menghajarmu!"
Lemas rasa seluruh tubuh Suma Hoat. Bukan lemas karena takut, melainkan lemas karena maklum bahwa harapan cintanya musnah sama sekali. Gadis jelita ini adalah penghuni Istana Pulau Es, selain memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa, juga agaknya mencintai orang lain, bahkan menjadi musuh ayahnya. Tak mungkin dara ini sudi membalas cintanya.
"Aku.... aku tidak akan melawanmu, Nona. Betapapun juga, aku tetap mencintamu.... dan agaknya sudah menjadi nasibku untuk selalu kecewa dalam cinta kasih murni, dan hanya dapat mengecap kenikmatan cinta palsu yang hampa. Maafkan aku, Nona. Hanya sebuah hal yang kumohon kepadamu untuk mengaku. Benarkah dugaanku bahwa Nona telah mencinta orang lain?"
Menyaksikan sikap yang begitu menderita dan suara yang menggetar seperti hendak menangis, Siauw Bwee, yang berperasaan halus itu kembali merasa kasihan
"Benar dugaanmu, karena itu aku tidak mungkin dapat mendengar pernyataan cinta kasih dari pria lain yang manapun juga!"
Suma Hoat menunduk, jari-jari tangannya meremas. "Krekkk!" Sulingnya hancur berkeping-keping. "Selamat tinggal, Nona. Betapapun juga, cintaku takkan pernah padam dan harapanku takkan pernah musnah. Aku akan menanti, siapa tahu...., Thian akan menaruh iba kepadaku.... dan kelak.... kelak kita masih akan dipertemukan kembali dengan harapan baik bagiku.... selamat tinggal."
Tubuh Suma Hoat melesat cepat meninggalkan tempat itu, dan Siauw Bwee berdiri termangu-mangu, menghela napas panjang. Teringat ia kepada Yu Goan, pemuda tampan gagah perkasa yang juga jatuh cinta kepadanya dan terpaksa ditolaknya pula. Akan tetapi, hatinya tidak seberat ketika menghadapi pernyataan cinta kasih Suma Hoat. Diam-diam dia harus mengaku di dalam hatinya bahwa andaikata Suma Hoat bukan putera Suma Kiat, agaknya tidak sukar baginya untuk memperhatikan pernyataan cinta kasih pemuda itu! Andaikata....!
"Khu-lihiap, apa yang kaulakukan malam-malam di sini? Hawanya begini dingin...."
Siauw Bwee sadar dari lamunannya dan membalikkan tubuh. "Ah, aku tak dapat tidur, Supek."
"Sebaiknya tidur sekarang, besok kita berangkat pagi-pagi. Aku akan membicarakan rencana kita dengan Sute karena dia agaknya lebih mengenal keadaan kota Siang-tan agar lebih mudah kita memasuki kota yang menjadi benteng pertahanan pasukan Sung itu."
"Dia sudah pergi, Supek."
"Apa? Siapa maksudmu?"
"Suma-twako, dia sudah pergi." Setelah berkata demikian, Siauw Bwee kembali ke penginapan dan memasuki kamarnya.
Coa Leng Bu masih tidak percaya dan membuka pintu kamar sutenya. Ternyata kamar itu telah kosong. Dia hanya melongo dan tidak mengerti. Diam-diam ia menghela napas dan menduga bahwa tentu terjadi sesuatu antara Siauw Bwee dan sutenya itu, akan tetapi dia tidak tahu apa yang terjadi dan tidak berani bertanya. Ia pun lalu memasuki kamarnya dan tidur.
Pasukan Mancu yang menduduki kota Sian-yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, dan tentu saja karena jasa Pasukan Maut yang dipimpin oleh Panglima Wanita Maya maka benteng itu dapat direbut dengan mudah. Setelah berhasil menduduki kota dan mengamankan keadaan, Pangeran Bharigan mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan Pasukan Mancu. Jasa Maya dan pembantu-pembantunya, terutama kedua orang murid Mutiara Hitam, dipuji-puji oleh Pangeran Bharigan yang biarpun cintanya ditolak Maya, masih selalu mengharapkan perubahan hati dara itu.
Biarpun keadaan mengharuskan dia bergembira, namun Maya merasa masih belum puas, apalagi kalau dia mengingat akan suhengnya yang tempo hari membantu pasukan Yucen. Dia tidak akan merasa puas kalau belum menumpas Kerajaan Sung untuk membalas dendam kematian Menteri Kam Liong, kemudian menumpas bangsa Mongol dan Yucen untuk membalas kematian ayah bundanya, Raja dan Ratu Khitan. Maka untuk menghentikan puji-pujian itu, dia menjawab,
"Kemenangan kita adalah jasa para perajurit dan kemenangan ini belum ada artinya karena benteng yang berada di depan jauh lebih kuat. Saya mendengar bahwa benteng musuh di kota Siang-tan amat kuatnya."
"Menurut para penyelidik memang benar demikian, Li-ciangkun," kata Pangeran Bharigan. "Oleh karena itu, kita pun jangan tergesa-gesa melakukan penyerangan. Sambil memberi waktu kepada para anak buah pasukan untuk mengaso, sebaiknya kalau kita mengirim mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka. Kita harus mengetahui kelemahan-kelemahan mereka di samping kekuatan mereka agar pukulan kita tidak akan gagal."
"Sebaiknya demikian, Pangeran. Akan tetapi, untuk menyelidiki kota besar yang merupakan benteng kuat itu, tidaklah mudah. Oleh karena itu, saya mohon perkenan Pangeran untuk pergi menyelidiki sendiri, dengan beberapa orang pembantu yang berkepandalan cukup tinggi."
Pangeran Bharigan mengangguk-angguk. Memang sebaiknya begitu dan kalau panglima wanita yang sakti itu pergi menyelidiki sendiri, tentu hasilnya akan jauh lebih baik daripada mengirim penyelidik biasa. Biarpun hatinya khawatir kalau-kalau wanita perkasa yang menarik hatinya dan diharapkan dapat menjadi calon isterinya itu mengalami malapetaka, namun dia tahu bahwa merupakan pantangan bagi Maya untuk bersikap penakut.
"Saya tidak dapat menolak permintaanmu, Li-ciangkun. Kalau memang kauanggap penting bahwa engkau sendiri yang pergi, terserah. Silakan memilih pembantu-pembantumu, dan apakah perlu dengan pasukan?"
Maya menggeleng kepala. "Saya hanya memerlukan bantuan Ok Yan Hwa, Can Ji Kun, Kwa-huciang dan Theng-ciangkun. Kami berlima akan menyamar sebagai pengungsi dan memasuki kota Siang-tan. Besok pagi-pagi kita berangkat. Kalau Pangeran setuju, kuharap kalian berempat suka bersiap-siap malam ini."
Pangeran Bharigan menyetujui dan bersiaplah lima orang itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di waktu cuaca makin gelap, mereka menyelundup keluar dan berpakaian sebagai penduduk biasa, membawa buntalan pakaian, kemudian menyelinap di antara rombongan pengungsi yang berbondong-bondong menuju ke Siang-tan. Tidak begitu banyak yang memasuki kota Siang-tan, karena sebagian pengungsi ada yang berhenti di dusun-dusun dan kota-kota sebelum mencapai Siang-tan. Perjalanan jauh membuat pakaian dan rambut mereka kusut sehingga kecantikan Ok Yan Hwa, terutama sekali Maya, tidaklah begitu menonjol, apalagi mereka sengaja membiarkan sinar matahari membakar kulit muka dan tangan mereka yang biasanya halus dan putih kuning itu. Kulit mereka menjadi kecoklatan seperti kulit para wanita petani. Pula, di antara para pengungsi terdapat pula wanita-wanita bangsawan dan hartawan yang dalam perjalanan mengungsi itu tak pernah lupa untuk bersolek, sehingga dipandang sepintas lalu, Yan Hwa dan Maya yang membiarkan kulit mereka dihanguskan matahari, membiarkan pakaian dan rambut mereka kusut, tidak kelihatan cantik luar biasa.
Ketika memasuki pintu gerbang sebelah utara bersama rombongan pengungsi, Maya dan empat orang pembantunya melihat betapa penjagaan di sepanjang tembok kota amat kuat dan rapi. Para penjaga berbaris dengan lapisan yang ketat, sedangkan setiap orang pengungsi diawasi dengan cermat, bahkan kereta-kereta yang masuk diperiksa dan pengungsi yang membawa senjata dirampas. Diam-diam Maya harus mengakui bahwa penjagaan bagian pintu gerbang di kota Siang-tan ini jauh lebih kuat daripada penjagaan di kota Sian-yang dan di atas tembok kota penuh pula dengan pasukan penjaga yang selalu siap dengan busur dan anak panah mereka. Juga di sekeliling tembok dipasangi jebakan-jebakan dengan barisan-barisan pendam yang tidak tampak dari jauh. Semua ini dicatat dalam hati oleh Maya. Setelah memasuki kota, Maya dan teman-temannya menyaksikan barisan Sung telah memasang persiapan membentuk pasukan-pasukan peronda, sedangkan induk pasukan yang berada di markas, yang tampak dari luar, kelihatan segar-segar dan penuh semangat.
Banyak sekali rombongan pengungsi yang membanjiri kota ini semenjak beberapa hari yang lalu sehingga semua rumah penginapan penuh oleh para pengungsi yang beruang. Karena kehabisan kamar, terpaksa Maya dan teman-temannya bermalam di dalam sebuah gedung besar rumah perkumpulan yang oleh para dermawan kota itu disediakan untuk menampung para pengungsi yang tidak dapat menyewa kamar, yang tidak berkeluarga di kota itu dan yang tidak kebagian kamar penginapan lagi. Saking banyaknya orang yang memasuki gedung ini, sebagiaan besar mereka terpaksa berjubel di dalam ruangan terbuka yang luas. Di tempat ini mereka, laki-laki wanita, tua muda, kanak-kanak, beristirahat, ada yang duduk mengobrol, ada yang tidur di lantai. Di sana-sini terdengar suara anak-anak kecil menangis diiringi suara makian atau hiburan orang tuanya, ada pula suara keluh-kesah wanita yang teringat akan rumah dan segala miliknya yang terpaksa ditinggalkan. Di dalam ruangan ini Maya dan empat orang temannya duduk di sudut, memperhatikan percakapan-percakapan antara para pengungsi karena percakapan-percakapan itu pun merupakan sumber keterangan yang amat penting bagi mereka.
Menyaksikan sikap para pengungsi, melihat wajah mereka tidaklah sekeruh tadi ketika melakukan perjalanan, bahkan kini setelah bercakap-cakap mereka tersenyum-senyum dan sama sekali tidak tampak berduka, diam-diam Maya teringat akan penuturan suhengnya yang seringkali ketika mereka berada di Pulau Es membicarakan filsafat yang banyak diketahui suhengnya itu. Diam-diam dia dapat melihat kenyataan akan watak manusia pada umumnya seperti yang pernah ia dengar dari suhengnya. Di dalam segala macam hal, dalam susah maupun senang, manusia selalu bergerak dan bersikap di atas dorongan sifat sayang diri. Betapapun dukanya hati seseorang karena mengalami derita tertimpa kemalangan, hatinya yang duka itu akan terhibur apabila melihat manusia lain menderita pula, apalagi kalau penderitaan manusia lain itu lebih besar daripada penderitaannya sendiri. Dia dapat membayangkan betapa akan hancur dan sengsara hati setiap orang diri para pengungsi ini andaikata dia seorang yang mengalami nasib buruk seperti itu! Akan tetapi, bertemu dan berkumpul dengan banyak orang lain yang senasib, maka mereka itu merasa terhibur! Sebaliknya, setiap kesenangan dan keuntungan yang datang selalu ingin dikuasai oleh seorang saja sehingga dijadikan perebutan! Sifat sayang diri dan iba diri inilah yang mengusir cinta kasih antara manusia jauh-jauh dari hati manusia sehingga di mana-mana, bahkan di dalam hati masing-masing manusia, timbul pertentangan-pertentangan. Padahal, dengan cinta kasih yang mendalam, setiap kedukaan akan terasa ringan apabila dipikul bersama, sebaliknya di setiap kesukaan akan terasa lebih nikmat apabila dinikmati bersama. Hal ini akan dapat dirasakan oleh setiap orang dalam sebuah keluarga yang penuh cinta kasih, di mana setiap kedukaan menjadi ringan dan setiap kesukaan menjadi besar karena selalu dirasakan oleh seluruh keluarga yang mengandung cinta kasih di dalam hati masing-masing.
Percakapan antara tiga orang laki-laki tua di sebelah kirinya amat menarik hati Maya dan empat orang kawannya. Mereka itu bercerita tentang keributan di dalam gedung kepala daerah kota Sian-yang, di mana Koksu Negara menjadi tamu. Keributan yang ditimbulkan oleh seorang dara perkasa yang bertanding melawan pengawal-pengawal Koksu, bahkan yang berhasil membunuh pengawal Koksu yang paling terkenal, yaitu Panglima Dampit.
Maya saling pandang dengan teman-temannya, dan berbisiklah Ok Yan Hwa,
"Tentu dia itu orangnya...."
Maya dan yang lain-lain mengangguk. Mereka sudah mendengar penuturan Ok Yan Hwa betapa ada seorang gadis lihai bukan main yang hendak kabur keluar dari kota Sian-yang di malam hari dan dalam pengepungan terhadap dara lihai itu, Yan Hwa sendiri tidak berhasil mengalahkannya. Tadinya Maya juga terheran, akan tetapi ketika mendengar bahwa Yan Hwa baru bertanding beberapa gebrakan saja melawan pelarian itu, dia masih belum yakin benar akan ada seorang gadis yang dapat menandingi Yan Hwa. Akan tetapi ketika sekarang mendengar bahwa gadis itu dapat membunuh Panglima Dampit dalam pertandingan, Maya benar-benar terkejut bukan main. Dia maklum akan kelihaian Panglima Dampit, yang amat terkenal dan sukar dikalahkan itu, dan kini dua orang dampit yang lihai itu tewas di tangan gadis itu. Diam-diam terbayanglah wajah sumoinya, Khu Siauw Bwee di dalam mata Maya, Yan Hwa melihat dara itu di dalam gelap sehingga tidak dapat menceritakan dengan jelas bagaimana wajah gadis itu. Akan tetapi, melihat keadaannya, seorang gadis cantik yang mampu mengalahkan Panglima Dampit, di dunia ini sukar sekali didapat bahkan Yan Hwa sendiri belum tentu akan mampu mengalahkan dua orang dampit itu, dan kalaupun ada agaknya hanya dia sendiri atau Siauw Bwee! Dia lalu berbisik kepada Ji Kun. Pemuda ini mengangguk lalu mendekati orang-orang yang sedang bicara tentang peristiwa di gedung yang ditinggali Bu-ciangkun itu, kemudian bertanya,
"Lopek, benarkah Panglima Dampit terbunuh oleh seorang gadis? Betapa anehnya dan sukar dipercaya. Siapa yang tidak mengenal kelihaian Panglima Dampit?"
Kakek itu memandang Ji Kun dan mengerutkan alisnya. "Memang benar dia lihai sekali akan tetapi menurut penuturan keponakanku yang menjadi pengawal dan pada waktu itu menyaksikan sendiri pertandingan itu, Panglima Dampit benar-benar tewas dalam keadaan mengerikan di tangan gadis yang mempunyai kepandaian seperti dewi itu."
"Aih, sungguh hebat dan menarik sekali. Lopek, untuk melupakan kesengsaraan kita, sukakah kau menceritakan kejadian itu? Si Dampit adalah panglima betapa mungkin sampai terbunuh, dan bagaimana dengan Koksu dan panglima-panglima lainnya?"
Dengan wajah gembira karena mendapat kesempatan menceritakan peristiwa penting yang tidak sembarangan orang dapat mengetahuinya, kakek itu menghisap huncwe (pipa tembakau) sampai paru-parunya penuh asap, kemudian dengan uluran napas panjang ia mengeluarkan asap tambahan yang hilang sarinya itu melalui hidungnya, menikmati pandang mata semua orang di sekelilingnya yang bergantung kepada bibirnya. Barulah dia menjawab,
"Engkau tidak tahu, orang muda. Pertandingan itu memang disengaja oleh Koksu yang hendak menguji kepandaian gadis perkasa itu. Gadis itu bersama seorang laki-laki tua memasuki ruangan dan entah mengapa, para pengawal tidak ada yang mengerti, dia mengamuk. Menyaksikan kelihaian gadis itu, Koksu menyuruh panglimanya maju bergantian, akan tetapi apa yang terjadi? Benar keponakanku yang mengatakan bahwa gadis itu agaknya bukan manusia biasa melainkan seorang dewi, baik karena kecantikannya yang luar biasa, tubuhnya yang berbentuk menggairahkan, maupun kepandaiannya yang sukar dipercaya. Kalian tahu? Seorang demi seorang para panglima pengawal itu roboh olehnya!"
"Aihhhh....!"
"Ayaaaaaa.... lihai sekali!"
"Tsk-tsk-tskk....!"
"Melihat semua panglimanya roboh, Bu-koksu lalu menyuruh adik angkatnya sendiri, pengawal pribadinya yang penuh rahasia, yang hanya dikenal sebagai Kam-busu untuk maju menghadapi gadis itu!"
"Aihhhh....!" Sekali ini teriakan kaget keluar dari mulut Maya. Disebutnya nama Kam-busu yang katanya paling lihai di antara para panglima, membuat hatinya berdebar tegang. Seorang she Kam menjadi adik angkat Koksu dan paling lihai di antara para panglima pengawal? Siapa lagi kalau bukan Kam Han Ki? Ah, akan tetapi sungguh tidak mungkin hal itu terjadi. Suhengnya menjadi pengawal pribadi Koksu? Tak masuk akal! Suhengnya adalah seorang buruan, seorang pelarian yang dimusuhi Kerajaan Sung, mana bisa sekarang menjadi pengawal pribadi Koksu? Pula kalau betul dugaannya bahwa dara yang lihai sekali itu adalah sumoinya, Khu Siauw Bwee, mana mungkin bertanding melawan Kam Han Ki? Tentu seorang di antara keduanya itu yang bukan sumoinya atau suhengnya. Kalau gadis itu betul Siauw Bwee, tentu pengawal itu bukan Han Ki. Sebaliknya, kalau pengawal itu Han Ki, pasti gadis itu bukan Siauw Bwee. Betapapun juga, dia hampir yakin bahwa tentu gadis itu sumoinya, sedangkan pengawal itu bukan suhengnya, biarpun mempunyai she Kam.
Kakek itu melanjutkan ceritanya setelah melotot kepada Maya sebagai teguran karena teriakannya tadi. "Terjadilah pertandingan yang amat luar biasa, mengejutkan semua orang dan agaknya sukar ditentukan siapa di antara mereka itu yang akan menang kalau pertandingan itu dilanjutkan. Sayang, pada saat itu, kota mulai dikacau musuh sehingga Koksu terpaksa meninggalkan ruangan itu dikawal oleh Kam-busu, dan Koksu memerintahkan Panglima Dampit bersama para panglima lain dan para pengawal untuk menangkap atau membunuh gadis ini bersama temannya. Dalam pertempuran inilah, gadis jelita yang lihai itu membunuh Panglima Dampit dan banyak pengawal lain. Untung keponakanku hanya mengalami kepala benjol saja dan tidak mati. Gadis itu yang sepak terjangnya seperti seekor naga betina, berhasil lolos dari kepungan para pengawal, bahkan menolong pula temannya."
Semua orang tercengang dan cara Si Kakek bercerita yang disertai gerakan kedua tangannya mendatangkan kesan mendalam terhadap para pendengarnya, terutama sekali kepada Maya dan teman-temannya, tentu saja. Maya merasa yakin kini bahwa gadis itu tentulah Siauw Bwee. Gadis mana lagi di dunia ini yang memiliki ilmu kepandaian selihai itu? Dia maklum bahwa kepandaian sumoinya amat tinggi, tidak banyak selisihnya dengan dia sendiri, bahkan dia tidak berani memastikan bahwa dia akan dapat memenangkan sumoinya itu! Selagi dia hendak bertanya kepada kakek itu lebih jelas tentang diri Kam-busu, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar gedung itu. Suara teriakan-teriakan orang berkelahi! Mendengar ini, otomatis para pengungsi menjadi pucat wajahnya dan mereka bergegas menyiapkan barang-barang bawaan, ada yang segera menggendong anaknya. Tak seorang pun berani membuka suara sehingga keadaan yang sunyi itu membuat suara gaduh di luar makin terdengar jelas. Tak salah lagi, ada dua orang tengah berkelahi sambil saling memaki.
"Hendak lari ke mana kau, keparat?" terdengar bentakan disusul gedebak-gedebuknya kaki berlari memasuki gedung. Kembali terdengar suara perkelahian, di dalam gedung, dekat dengan ruangan itu.
Mendengar suara perkelahian ini makin dekat dengan ruangan itu, seorang kakek yang pucat ketakutan cepat menutupkan daun pintu yang menembus ruangan itu kemudian bergegas ia duduk kembali. Semua mata terbelalak memandang kepada pintu yang tertutup itu dan dari balik pintu terdengar suara perkelahian, kini berdesingnya senjata. Jantung mereka menjadi makin tegang dan berdebar.
"Brakkkkk!" Daun pintu pecah, berantakan dan tubuh seorang laki-laki tinggi besar yang tadi terlempar menubruk daun pintu, jatuh terjengkang di atas daun pintu di sebelah dalam ruangan. Anak-anak menjerit, juga para wanita, dan semua orang terbelalak memandang, akan tetapi menjadi agak lega ketika melihat bahwa yang berkelahi bukanlah tentara, berarti bahwa di luar tidak terjadi perang. Yang berkelahi hanyalah dua orang laki-laki setengah tua. Akan tetapi kini orang yang jatuh cepat mencelat ke samping ketika lawannya, seorang kakek ber jenggot pendek, menubruknya. Kakek berjenggot pendek itu ternyata lihai sekali. Biarpun dia bertangan kosong, ternyata lawannya yang memegang sebatang golok telah terlempar sampai tubuhnya membobol daun pintu. Kini kakinya melayang menyusul tubrukannya yang tak berhasil tadi. Lawannya berseru marah, tangannya tertendang sehingga goloknya terlepas. Dengan gerengan seperti seekor biruang terluka, orang yang memakai topi bulu domba ini membalas dengan pukulan-pukulan dahsyat dan bertandinglah kedua orang itu di tempat yang amat sesak dengan para pengungsi itu!
Maya dan teman-temannya tetap duduk dengan sikap tenang. Mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang yang berkelahi itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Gerakan mereka tangkas sekali dan biarpun tempat itu penuh sesak dengan pengungsi, mereka dapat bertanding dengan berloncatan ke sana-sini, melewati kepala orang, bahkan kadang-kadang menggunakan kaki mereka meloncat dari pundak dan kepala para pengungsi lalu melesat ke kanan kiri! Tentu saja para pengungsi menjadi geger dan melihat bahwa yang berkelahi hanya dua orang biasa, mereka yang kena injak dan yang memiliki kepandaian, melawan dan memukul. Namun, dua orang itu lihai sekali sehingga setiap serangan dari para pengungsi yang marah karena dikacau dua orang itu, dalam dua tiga gebrakan saja sudah terpukul roboh dan mereka berdua melanjutkan perkelahian mereka!
Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa sudah marah sekali, hendak meraba pedang yang mereka sembunyikan di balik baju. Akan tetapi Maya menyentuh lengan mereka, berkedip dan menggoyang kepala sehingga mereka terpaksa menelan kemarahan mereka terhadap dua orang yang benar-benar tidak mengenal tempat dan keadaan, berkelahi di antara bagitu banyak orang sehingga menimbulkan kepanikan.
Tiba-tiba orang yang bertopi bulu domba itu mengelak sambil meloncat ke tempat rombongan Maya. Seperti tidak disengaja, dia turun dan hendak menginjak pundak Can Ji Kun untuk dipergunakan sebagai landasan! Tentu saja Ji Kun tidak sudi pundaknya diinjak. Dia miringkan tubuh, tangannya menyambar ke atas menotok lutut orang dan sambil berteriak kaget orang itu roboh terguling!
Lawannya yang berjenggot pendek menerjang maju, melampaui kepala Yan Hwa, dan gadis itu pun menampar ke atas, mengenai tulang betis Si Jenggot Pendek yang terjungkal pula menimpa tubuh lawannya. Mereka berdua sudah cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri pada lutut dan tulang betis, kemudian keduanya tiba-tiba bersuit keras sambil meloncat ke pintu.
"Tangkap mereka!" Kedua orang itu berseru dan dari luar masuklah puluhan orang tentara yang bersenjata lengkap, sedangkan di luar pintu masih tampak banyak sekali anggauta tentara. Jumlah mereka ada seratus orang lebih!
"Berpencar! Lari....!" Maya berbisik. Maklumlah dia bahwa perkelahian antara dua orang tadi hanyalah sandiwara belaka. Agaknya mereka adalah panglima-panglima yang menyamar dan melakukan penyelidikan. Karena kota Sian-yang di utara telah kebobolan karena adanya penyelundupan mata-mata musuh yang lihai, maka kini Koksu Bu Kok Tai tidak mau membiarkan hal itu terulang di kota Siang-tan. Dia maklum bahwa mata-mata musuh hanya dapat menyelinap masuk di antara pengungsi, maka dia mengatur rencana itu untuk mengetahui siapa di antara pengungsi-pengungsi yang berkepandaian tinggi dan mereka itu harus ditangkap untuk diperiksa. Kalau ternyata mata-mata, tentu akan dihukum mati, sebaliknya kalau bukan mata-mata, akan dapat dipergunakan untuk membantu mempertahankan kota. Siasat ini dilakukan pada saat yang sama dan bukan hanya di tempat Maya dan teman-temannya berkumpul saja terjadi perkelahian sandiwara itu, akan tetapi juga di tempat-tempat lain di mana para pengungsi berkumpul. Dan pada saat pasukan-pasukan menyerbu ke ruangan itu, di lain tempat juga terjadi hal yang sama, yaitu penangkapan-penangkapan atas diri orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, yang terkena pancingan perkelahian palsu tadi!
Maya dan empat orang temannya cepat meloncat dan menyerbu keluar. Dua orang yang tadi bersandiwara, cepat memerintahkan pasukan mengurung lima orang ini dan terjadilah pertandingan yang jauh berbeda dengan perkelahian antara dua orang tadi. Pertandingan sekali ini adalah pertempuran sesungguhnya, bahkan mati-matian karena kalau Maya berlima tidak akan menyerah sampai mati, adalah para pimpinan pasukan itu ketika menyaksikan kelihaian lima orang itu menjadi makin curiga bahkan hampir yakin bahwa lima orang itu tentulah mata-mata musuh. Pengepungan dilakukan ketat sekali, namun Maya, Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa melayang naik, membobol langit-langit dengan kepandaian mereka dan dari atas mereka melempar-lemparkan genteng ke bawah untuk membantu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun yang menerjang keluar melalui pintu. Kepandaian kedua orang panglima pembantu Maya ini hebat sekali, terutama Kwa-huciang yang hanya tinggal sebelah lengannya. Panglima yang setia ini semenjak lengannya buntung, menerima gemblengan ilmu dari Maya sehingga dia malah lebih lihai daripada sebelum lengannya buntung sebelah.
Kacau-balaulah pihak tentara Sung. Dari atas ada hujan genteng yang dilepas dengan sambitan keras sekali, siapa yang terkena pasti roboh dengan kepala pecah atau tubuh terluka parah, sedangkan dua orang laki-laki itu mengamuk seperti dua ekor singa. Akhirnya kedua orang itu berhasil membobol keluar dari gedung itu dan ternyata malam hari itu, di seluruh kota terjadi geger karena penyergapan di tempat-tempat pengungsi yang dilakukan serentak. Kepanikan penduduk dan kegelapan malam membuka kesempatan baik bagi Kwa-huciang dan Theng-ciangkun sehingga dengan berpencar mereka akhirnya dapat melarikan diri dari para pegejarnya.
Maya, Yan Hwa dan Ji Kun yang berada di atas genteng, segera diserbu oleh anak panah yang dilepas oleh para anggauta pasukan panah dari bawah. "Kita berpencar," Maya cepat berkata setelah meruntuhkan semua anak panah yang menyambar ke arahnya seperti yang dilakukan oleh dua orang pembantunya pula, "Jangan lupa, pada hari yang ditentukan berkumpul di kuil tua itu!" Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya melesat, Maya telah lenyap dari situ ditelan kegelapan malam.
Ji Kun dan Yan Hwa juga cepat menggunakan gin-kang mereka, berloncatan di atas rumah-rumah penduduk kota dan menghilang. Maka gegerlah keadaan kota, pasukan-pasukan dikerahkan untuk mencari lima orang mata-mata musuh itu.
Dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya, Maya lari seorang diri ke arah timur. Selama dia menjadi panglima, dara perkasa itu tiada henti-hentinya melatih diri dengan ilmu silatnya, bahkan kecerdasannya membuat dia mampu mengembangkan dan memperbaiki jurus-jurus simpanannya sehingga dari jurus-jurus ilmu silatnya dia dapat menciptakan banyak sekali jurus silat yang aneh dan juga amat lihai. Dari banyak pertandingan yang dialaminya ketika berperang melawan musuh, dia dapat menemukan banyak gerakan-gerakan aneh dari macam-macam lawan dan semua ini ditampungnya, diolah dan karena dia berbakat mencipta, maka tanpa disadari, Maya telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatnya. Apalagi ketika ia menerima buah sian-tho dari Pangeran Bharigan, semacam buah yang langka, yang didapat jauh dari utara dekat kutub dan merupakan barang pusaka dari Kerajaan Mancu, maka dara ini memperoleh tenaga sin-kang yang dahsyat. Buah sian-tho ini bagi orang biasa, mengandung khasiat daya pengobatan yang lebih mujarab daripada jin-som, akan tetapi bagi seorang ahli sin-kang seperti Maya, dapat membangkitkan hawa sakti yang membuat sin-kangnya yang dilatih secara istimewa di Pulau Es itu menjadi lebih kuat lagi.
Maya tidak berani berhenti dan berputaran mencari tempat yang baik untuk memulai dengan penyelidikannya. Dia harus dapat menemukan markas di mana tinggal Koksu dan para panglima agar dia dapat mengintai dan mendengarkan rencana siasat mereka. Hanya inilah jalan yang paling baik, karena untuk menyelidiki sendiri keadaan pertahanan musuh, selain berbahaya juga akan memakan waktu lama sekali. Kota itu amat besar, dan dia tidak tahu di antara gedung-gedung yang banyak sekali itu, yang mana menjadi tempat tinggal Koksu dan para panglimanya. Dia harus bekerja dengan hati-hati sekali. Koksu Bu Kok Tai bukanlah orang sembarangan, dan dia maklum akan kelihaian para panglima pengawalnya, sungguhpun Panglima Dampit telah tewas.
Menjelang pagi, Maya menuju ke pinggir tembok kota sebelah timur ketika ia mendengar suara ribut-ribut di sana. Disangkanya bahwa seorang di antara anak buahnya menghadapi bahaya, maka dia cepat menuju ke tempat itu dan siap untuk menolong kalau benar seperti yang dikhawatirkannya. Dia mendekam di atas sebuah wuwungan dan melihat seorang laki-laki sedang dikeroyok oleh banyak tentara. Laki-laki itu tidak tampak jelas mukanya di dalam cuaca yang gelap, akan tetapi gerakannya hebat sekali! Bukan Kwa-huciang, juga bukan Theng-ciangkun, akan tetapi gerakannya malah lebih lihai daripada kedua orang pembantunya. Bahkan mungkin tidak di sebelah bawah kelihaian Can Ji Kun sendiri! Diam-diam Maya menjadi heran sekali. Orang itu lihai, pikirnya, dan kenyataannya bahwa dia dikeroyok tentara-tentara Sung membuktikan bahwa orang itu tentulah seorang penyelundup dari luar pula. Akan tetapi dari mana?
"Mundur kalian semua! Orang-orang tolol tidak mengenal orang! Aku adalah putera seorang panglima!" Laki-laki itu mengamuk, merobohkan para pengeroyok sambil membentak-bentak.
"Ha-ha-ha, di kota berkeliaran mata-mata dan biar kau mengaku putera raja sekalipun, siapa mau percaya? Kami tidak pernah bertemu denganmu!" Pimpinan pasukan yang mengeroyok tertawa dan pengeroyokan menjadi makin ketat.
Mendengar bahwa orang lihai itu mengaku sebagai putera Panglima, Maya mendapatkan sebuah akal yang cerdik dan berani. Kalau dia bisa menolong dan mengikat persahabatan dengan orang itu, tentu amat berguna bagi penyelidikannya, pikirnya dan dia lalu melompat turun langsung menyerbu para tentara yang mengurung pria itu.
"Heiii.... kau.... ehhh.... !" Pria itu bukan lain adalah Suma Hoat! Ketika dia menyusul ayahnya di kota Siang-tan dan menyaksikan kekacauan malam itu dia sengaja keluar untuk melihat apa yang terjadi. Dalam penyelidikannya inilah dia dicurigai dan dikepung oleh pasukan yang memang belum pernah melihat pemuda yang belum lama kembali ke tempat asalnya itu.
Maya tidak mempedulikan seruan pemuda itu. Seorang panglima yang berpakaian preman, pada waktu itu banyak panglima berpakaian preman untuk menjadi penyelidik dan menangkapi mata-mata, menyerangnya dari belakang dengan sebatang pedang. Dengan mudah saja Maya membalikkan tubuh, membiarkan pedang lawan dan sekali tangan kanannya bergerak, pedang itu telah dirampasnya dan sebuah tamparan tangan kirinya membuat Panglima Sung itu terpelanting dan roboh telentang di depannya.
"Heiiii.... kau.... Nona.... siapa dan mengapa....?" Suma Hoat mengelak dari sebuah tusukan tombak dan menoleh kepada Maya, tergagap saking herannya ketika melihat seorang dara yang demikian cantik jelita tahu-tahu datang membantunya! Melihat wajah Maya ia tepesona dan terbelalak. Dia telah gila! Mengapa sekarang dia pun terpesona, jantungnya berdebar tidak karuan menyaksikan wajah dara ini? Sungguh mati dia harus mengakui bahwa getaran jantungnya ketika melihat wajah itu sama sekali berbeda dengan getaran nafsu kalau dia melihat wanita-wanita cantik! Wajah ini.... luar biasa sekali, lebih cantik daripada mendiang Ciok Kim Hwa, lebih jelita daripapada wajah Khu Siauw Bwee! Mungkinkah dia begitu mudah jatuh cinta sekarang?
Apakah setelah beberapa bulan ini dia menghentikan petualangannya sebagai Jai-hwa-sian, dia lalu mudah tergila-gila dan jatuh cinta dalam arti kata yang murni terhadap setiap gadis cantik yang dijumpainya?
Akan tetapi, kalau tadi dia terpesona oleh wajah itu, oleh kecantikannya, kini dia terpesona menyaksikan betapa pedang rampasan di tangan dara jelita itu berkelebatan merupakan gulungan sinar yang luar biasa sekali dan semua senjata para pengurungnya patah disambar sinar yang bergulung-gulung. Hebat bukan main! Mengapa dia selalu bertemu dengan dara-dara yang seperti bidadari namun memiliki kepandaian seperti iblis!
Biarpun Maya mengamuk, namun dia berhati-hati sekali, tidak mau membunuh seorang pun tentara yang kalau dalam perang tentu akan dibasminya sebanyak mungkin itu. Dia tidak mau menghadapi kesulitan yang tentu timbul kalau sampai dia melakukan pembunuhan.
"Bunuh mata-mata.... !" Terdengar teriakan keras dan seorang panglima lain yang mukanya seperti tengkorak, berpakaian preman, melayang turun dari atas genteng, terjun ke dalam medan pertempuran itu. Setelah dekat, ternyata muka seperti tengkorak itu lebih mirip muka kuda.
Suma Hoat membalikkan tubuhnya dan orang bermuka kuda itu terbelalak. berseru, "Kongcu....!"
"Eh, Siangkoan Lee! Engkau di sini....?" Suma Hoat juga berseru.
"Saya mengawal kereta Taijin, itu di sana...." Siangkoan Lee pelayan dan juga murid Suma Kiat itu cepat membentak, "Tahan senjata! Apakah kalian sudah buta? Kongcu ini adalah putera Suma-goanswe (Jenderal Suma)!"
Para komandan pasukan mengenal Siangkoan Lee, maka tentu saja mereka terkejut mendengar ini dan mengeluarkan aba-aba untuk menghentikan pengeroyokan. Sementara itu, ketika Maya melihat munculnya Siangkoan Lee, dan mendengar bahwa pemuda tampan yang dibantu itu adalah putera Suma Kiat, menjadi kaget setengah mati. Celaka, pikirnya. Dia talah salah pilih! Tanpa berkata sesuatu dia sudah meloncat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap.
"Heiiii, Nona....! Tunggu....!" Melihat dara perkasa yang telah mengguncang jantungnya itu melompat pergi, Suma Hoat cepat meloncat pula mengejar.
"Apakah dia mata-mata?" tanya Siangkoan Lee.
"Mata-mata hidungmu!" Suma Hoat memaki. "Dia sahabatku! Katakan kepada Ayah nanti aku datang menghadap!" Tanpa menoleh Suma Hoat melanjutkan pengejarannya terhadap bayangan hitam yang meloncat-loncat ke atas genteng rumah-rumah penduduk itu.
"Heii, Nona! Tunggu, aku mau bicara....!"
Maya mengerutkan kening. Kalau dia menggunakan gin-kangnya, biar pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, tak mungkin pemuda itu dapat menyusulnya. Juga kalau dia menghadapi pemuda itu, biarpun dia tahu bahwa pemuda itu cukup lihai namun dia percaya akan dapat membunuhnya. Akan tetapi, kalau hal itu terjadi, Si Pemuda tentu akan mengejar dan berteriak-teriak, dan kalau sampai dia kedapatan oleh para penjaga, padahal malam telah hampir pagi, dia bisa celaka. Maya mengigit bibir menahan kesabaran hatinya, demi keselamatannya sendiri. Mengingat bahwa pemuda ini adalah putera Suma Kiat yang amat dibencinya, ingin dia menggerakkan pedang membunuhnya!
Dia terpaksa berhenti dan membalikkan tubuh. "Engkau mau bicara apakah?"
Kebetulan sekali mereka berhenti di atas genteng rumah yang terkena sorotan sinar dari bawah sehingga wajah dara itu tampak jelas di bawah sinar remang-remang. Sekali lagi jantung di dalam dada Suma Hoat seperti jungkir-balik. Wajah ini.... luar biasa cantiknya. Kecantik jelitaan yang aneh, asing dan belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang gadis berwajah seperti ini.
"Nona, maafkan aku.... setelah Nona tadi menolongku, bagaimana aku dapat membiarkan kau pergi begitu saja sebelum aku menghaturkan terima kasih?"
"Aku tidak mengharapkan terima kasih," jawab Maya singkat.
"Akan tetapi, setelah Nona menolongku, tidak mungkin aku bersikap begitu tak kenal budi. Setidaknya, harap Nona sudi berkenalan. Namaku Suma Hoat, dan siapakah Nona yang cantik jelita seperti bidadari namun berkepandaian setinggi langit?"
Berkerut alis Maya. Laki-laki ceriwis, pikirnya, sungguhpun dia harus mengakui bahwa putera Jenderal Suma Kiat ini ternyata amat tampan, suaranya halus gerak-geriknya menarik.
"Aku melihat seorang dikeroyok, lalu datang membantu. Hal itu biasa saja, aku melakukannya bukan untuk memancing terima kasih, bukan pula mengharapkan perkenalan. Sudahlah....!"
Melihat gadis itu sekali mencelat melayang ke wuwungan di depan, Suma Hoat terkejut dan takut kalau-kalau takkan dapat bertemu lagi, maka dia pun cepat mengejar sambil berseru, "Nona, tunggu....!"
Maya berhenti dan membalikkan tubuh, membentak, "Engkau mau apa lagi?"
Suma Hoat kini sudah tergila-gila benar menyaksikan sikap yang demikian keras, sifat yang liar dan penuh kewibawaan, namun juga amat manis. Maka dia mengambil keputusan untuk dapat berkenalan dengan dara ini. Cinta kasihnya yang pertama terhadap Ciok Kim Hwa putus, kemudian cinta kasihnya yang kedua, cinta kasih murni terhadap Khu Siauw Bwee, juga gagal karena gadis itu telah mencinta orang lain dan dia tidak berani bermain gila terhadap gadis yang ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es itu, dan kini dia merasa jatuh cinta untuk ke tiga kalinya, bukan cinta berahi seperti terhadap semua wanita yang pernah dipermainkannya, melainkan cinta sungguh-sungguh! Dia tidak mau gagal lagi sekarang.
"Nona, aku berniat baik, mengapa Nona menolak perkenalan? Kalau aku tidak berniat baik terhadap dirimu, tentu aku sudah berteriak bahwa Nona adalah seorang mata-mata dan Nona akan dikepung oleh ribuan orang tentara!"
"Hemm, begitukah? Kalau begitu mampuslah engkau!" Pedang rampasan di tangan Maya menyambar ganas merupakan sinar kilat menyambar ke arah leher Suma Kiat.
Pemuda ini terkejut bukan main, "Aahhhh....!" Ia melempar tubuh ke belakang dan berjungkir-balik dengan cepat. Kembali sinar pedang menyambar dan keringat dingin keluar membasahi dahi Suma Hoat ketika dengan pengerahan gin-kang sekuatnya kembali dia melempar diri ke kiri sambil mengebutkan ujung lengan bajunya ke belakang.
"Brettt!" Ujung lengan baju itu buntung karena benar seperti dugaannya, sinar pedang itu kembali telah menerjangnya untuk ketiga kalinya dengan gerakan yang bukan main cepatnya.
"Tahan, Nona....!" Ia meloncat ke belakang, loncatan yang indah sekali karena tubuhnya masih menghadap kepada Maya. "Aku sudah memperlihatkan niat baik dengan tidak membuka rahasiamu, apakah engkau seorang yang begitu kejam dan tidak mengenal budi, membalas iktikad baik orang dengan serangan maut?"
Maya diam-diam kagum juga. Tiga kali dia menyerang, sungguh-sungguh, dengan jurus-jurus maut, namun pemuda itu masih mampu menyelamatkan diri, hal itu berarti bahwa pemuda itu telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, tidak di sebelah bawah tingkat kepandaian Can Ji Kun. Dan ucapan yang halus penuh teguran itu, betapapun juga membuat kedua pipinya merah. Ingin dia memperkenalkan diri dan terus menyerang, membunuh pemuda ini karena bagi dia, seluruh keluarga Suma Kiat harus dibunuh! Akan tetapi dia teringat akan pekerjaannya sebagai penyelidik, maka dia berkata angkuh,
"Aku tidak membutuhkan iktikad baikmu, dan aku pun tidak takut kalau engkau hendak membuka rahasia!"
Bukan main, pikir Suma Hoat. Gadis ini benar-benar angkuh, seperti seorang puteri kaisar saja! Seorang dara yang ilmu kepandaiannya amat tinggi, wajahnya amat cantik jelita, dan wataknya amat tinggi pula!
"Dengarlah dulu, Nona. Nona adalah seorang mata-mata, berarti Nona memusuhi Kerajaan Sung, dan aku pun adalah seorang yang tidak memihak Kerajaan Sung. Dengan demikian, kita berada di satu pihak. Dan penjagaan di sini amat ketat dan kuat. Nona tidak dapat bergerak leluasa, apa yang akan dapat Nona selidiki? Bahkan banyak bahayanya Nona akan terkepung dan celaka. Akan tetapi aku dapat bergerak leluasa dan aku dapat menyelidiki dan memberi tahu kepadamu apa yang kau ingin ketahui. Aku suka membantumu, Nona. Nah, apakah Nona masih hendak membunuhku?"
Maya memutar otaknya. Pemuda putera musuh besar ini harus dibunuh, akan tetapi apa yang dikatakannya mengandung kebenaran. Dia harus bersikap cerdik. Sebagai seorang panglima perang yang sudah biasa menahan perasaan pribadi demi siasat dan keuntungan pihaknya, Maya lalu berkata,
"Begitukah? Ucapanmu harus dibuktikan lebih dulu. Sekarang apa yang hendak kaulakukan dengan aku, setelah engkau tahu bahwa aku adalah seorang mata-mata?"
Wajah Suma Hoat girang bukan main. "Pertama-tama, Nona harus mempunyai tempat persembunyian yang baik dan aku mempunyai sebuah rumah kecil yang kosong dan yang takkan ada yang berani mengganggu atau memasukinya. Nona boleh mempergunakan rumahku itu sebagai tempat bersembunyi. Hanya di waktu malam saja Nona dapat melakukan penyelidikan dan di waktu siangnya Nona boleh bersembunyi di situ. Kemudian, aku dapat membantu mencari keterangan yang sekiranya tak dapat Nona peroleh sendiri. Bagaimana?"
Maya kembali terdiam dan berpikir, kemudian dia berkata sambil menurunkan pedangnya, "Kalau aku tidak dengar tadi bahwa engkau adalah putera Jenderal Suma Kiat yang kutahu bukanlah seorang pembesar yang setia terhadap Kerajaan Sung, tentu aku tidak percaya omonganmu. Betapapun juga, ketahuilah bahwa disamping aku menerima penawaranmu, aku tetap tidak percaya kepadamu dan sedikit saja engkau memperlihatkan sikap mencurigakan, aku pasti akan membunuhmu. Jangan engkau kira bahwa aku tidak dapat melakukannya! Nah, tunjukkan di mana rumah itu!"
"Mari, Nona! Aku tak perlu bersumpah, akan tetapi Suma Hoat bukanlah seorang yang biasa mengeluarkan kata-kata yang berlainan dengan isi hati! Bukan seorang pengecut yang untuk menolong nyawa sendiri melakukan penipuan-penipuan rendah!" Dia meloncat dan dara perkasa itu pun meloncat di belakangnya. Untuk menguji nona itu, Suma Hoat mengerahkan seluruh ilmunya berlari cepat, namun betapapun cepatnya dia berloncatan dan berlari, bayangan gadis itu tetap berada di belakangnya! Diam-diam dia makin kagum, dan di lain pihak, Maya juga kagum karena pemuda ini benar-benar lihai sekali.
Rumah kecil itu memang milik Jenderal Suma Kiat yang mempunyai banyak rumah di kota Siang-tan. Rumah itu kosong dan sebagai rumah pembesar itu, tentu saja tidak akan ada yang berani mengganggunya. Setelah mereka memasuki rumah itu dan duduk berhadapan di ruangan dalam, Suma Hoat berkata,
"Siang ini harap Nona bersembunyi di sini. Nona sudah mengenalku, harap Nona suka memperkenalkan diri dan menceritakan kedudukan Nona agar aku dapat mencarikan keterangan yang Nona kehendaki."
Maya mengerutkan alisnya. Malam telah berganti pagi dan sinar matahari yang mulai menyinari ruangan itu membuat ia dapat melihat wajah Suma Hoat dengan jelas. Wajah yang tampan dan sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan wajah yang akan menarik hati wanita mana pun! Akan tetapi pertanyaan itu tidak menyenangkan hatinya. Dia tidak mungkin mengakui dirinya sebagai Panglima Pasukan Maut, hal ini terlalu berbahaya karena kalau Suma Hoat mengetahui, belum tentu dia mau memegang janji. Dia terlalu penting bagi Kerajaan Sung yang akan mempertaruhkan apa saja untuk menangkap panglima wanita yang telah banyak merugikan Kerajaan Sung itu.
"Suma Hoat, ingatlah bahwa bukan aku yang menghendaki kerja sama ini, melainkan engkau! Aku hanya berjanji bahwa kelak aku akan memperkenalkan diri kepadamu, akan tetapi untuk saat ini, cukup untuk kauketahui bahwa aku adalah seorang mata-mata dari barisan Mancu, tanpa nama! Masih belum terlambat bagimu untuk kau menarik diri, aku pun tidak terlalu mengharapkan bantuanmu!"
Suma Hoat terbelalak, bukan hanya oleh kata-kata yang keras dan penuh keangkuhan ini melainkan juga karena terpesona oleh wajah yang kini tampak jelas olehnya. Kulit muka itu agak kecoklatan karena tertimpa sinar matahari, namun wajah itu benar-benar luar biasa cantiknya, terutama sekali matanya yang bersinar-sinar seperti bintang pagi, mulutnya yang manis dalam gerakan apapun juga, dan dari seluruh kepribadian gadis ini mengakibatkan getaran di hatinya, getaran yang dirasainya ketika ia bertemu dengan Khu Siauw Bwee. Tak salah lagi, dia jatuh cinta untuk ketiga kalinya, dan mungkin yang terakhir ini paling parah! Rasanya dia rela berkorban apapun juga untuk dapat menjadi suami gadis ini!
"Baiklah, aku tidak boleh terlalu banyak mengharap sebelum memperlihatkan kemauan baikku, Nona. Hanya aku yakin bahwa Nona bukanlah seorang berbangsa Mancu, dan juga bukan seorang gadis Han...."
"Cukup semua ini. Kalau kau memang hendak membantuku, aku ingin mengetahui kekuatan yang menjaga benteng Siang-tan ini, berapa besar bala tentaranya, siapa komandan-komandannya, dari mana akan didatangkan bala tentara kalau benteng terdesak, dan apa macamnya jebakan-jebakan dan barisan pendam di luar tembok benteng, dari mana datangnya pasukan inti kalau musuh datang, di mana ditempatkannya barisan panah."
Suma Hoat melongo. Benar-benar seorang mata-mata yang hebat, pikirnya, dan agaknya menguasai benar pekerjaan perang!
"Aku akan berusaha mendapatkan keterangan-keterangan itu, Nona. Di kamar belakang sebelah kanan terdapat bahan-bahan makan dan minum untukmu. Aku akan pergi mencari keterangan untukmu, malam nanti aku akan datang. Harap Nona jangan meninggalkan tempat ini sebelum gelap."
Maya mengangguk, akan tetapi sebelum Suma Hoat tiba di pintu dia memanggil.
"Tunggu dulu!"
Suma Hoat membalik dan menatap wajah itu, beberapa kali menelan ludah. Bibir itu! Mata itu! Ingin dia berlutut dan menyatakan cinta kasihnya di saat itu juga! Akan tetapi, menghadapi seorang wanita seperti ini, dia tidak boleh lancang dan sembrono. Dan sekali ini dia tidak boleh gagal, cinta kasihnya harus mendapat sambutan, kalau tidak, dia tidak dapat membayangkan betapa akan jadinya kalau kembali cintanya berantakan!
"Ada pesan apakah, Nona?"
"Hanya sebuah pertanyaan yang kuminta kaujawab dengan sebenarnya, karena kalau kau membohong tiada gunanya. Kenapa engkau melakukan ini semua? Kenapa engkau membantu aku, padahal aku tahu pasti bahwa engkau bukanlah seorang sekutu Kerajaan Mancu?" Setelah bertanya demikian, sambil menanti jawaban Maya memandang dengan sinar mata tajam yang seolah-olah menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. Suma Hoat merasa silau dan karena memang dia tidak menyembunyikan sesuatu, memang perasaannya terhadap gadis itu sudah jelas dan wajar, maka dia menentang sinar mata tajam itu sambil menjawab dengan hati terbuka sehingga suaranya tenang dan jujur.
"Aku sengaja membantumu bukan karena engkau mata-mata Mancu, Nona, juga bukan karena dalih dan pamrih apapun juga, melainkan semata-mata karena aku ingin membantumu, karena aku kagum kepadamu, dan karena ada dorongan di hatiku yang membuat aku ingin berkorban apa juga demi untukmu. Nah, sampai jumpa!" Suma Hoat membalikkan tubuhnya tanpa menanti reaksi dari pertanyaannya yang hampir membuka rahasia hatinya itu. Dia sudah nekat dan pasrah andaikata gadis itu menjadi marah dan menyerangnya. Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu sehingga ketika tiba di luar rumah, hati Suma Hoat lega bukan main, bukan lega karena dia tidak diserang atau dibunuh, melainkan lega penuh harapan karena kalau gadis itu tidak marah, berarti dia sudah menang separuh!
Memang Maya tidak berbuat sesuatu. Gadis itu telalu heran mendengar jawaban yang ia yakin bukan bohong itu. Terlalu heran dan terlalu kaget sehingga dia hanya duduk melongo sampai pemuda itu lenyap dari depannya. Barulah ia sadar dan menarik napas panjang. Gila! Putera Suma Kiat menaruh hati cinta kepadanya! Hemmm, berkali-kali dia digoda cinta kasih pria, dari Can Ji Kun yang masih harus diragukan cintanya yang mungkin palsu, sampai Pangeran Bharigan yang tak dapat diragukan lagi cinta kasihnya. Namun, mana mungkin dia memperhatikan, apalagi membalas, cinta kasih pria lain kalau hatinya sudah dia serahkan sebulatnya kepada suhengnya, Kam Han Ki? Hampir Maya menitikkan air mata ketika ia teringat akan suhengnya, teringat betapa pertemuannya dengan suhengnya amat menyakitkan hati. Dia sudah mengaku cinta, sudah rela meninggalkan semua ini, melupakan semua dendamnya, tidak lagi mencampuri urusan dunia, ikut sehidup semati dengan suhengnya di Pulau Es, memadu cinta sampai hayat meninggalkan raga, asal saja suhengnya tidak membagi kehidupan mereka berdua dengan kehadiran Siauw Bwee. Akan tetapi, suhengnya tidak mau! Sungguh menyakitkan hatinya dan menurut patut, tidak seharusnya dia mati-matian mencinta orang yang begitu tak tahu dicinta! Sudah sepatutnya kalau dia memperhatikan, mungkin membalas cinta kasih yang murni dari Pangeran Bharigan, atau memperhatikan sinar mata mengandung kasih yang begitu mesra dan menggairahkan, yang terpancar dari mata Suma Hoat!
"Alhh, Suheng...., Suheng....!" Ia mengeluh, hatinya merintih, namun kekerasan hatinya membuat dia pantang menitikkan air mata dan ia melupakan kedukaan hatinya dengan mencurahkan pikiran kepada tugasnya sebagai mata-mata. Apa pun yang akan terjadi dengan gejolak hatinya, yang terang saja pekerjaannya akan berhasil baik dengan bantuan seorang putera jenderal! Bahkan kalau dia bisa mempengaruhi Suma Hoat untuk membujuk Jenderal Suma Kiat membantu penyerbuan pasukan Mancu dari dalam kota Siang-tan! Tentu akan mudah menalukkan kota benteng yang amat kuat ini!
***
Kedua orang panglima pembantu Maya yaitu Kwa-huciang dan Theng-ciangkun, berhasil menyelamatkan diri dari kepungan dan dengan menyamar sebagai pengemis, mereka dapat menyelinap di antara banyak pengemis yang berkeliaran di kota itu, yang berkelompok di emper-emper kuil, di bawah jembatan, di pasar-pasar.
Berbeda dengan dua orang ini, Ji Kun dan Yan Hwa tidak sudi untuk menyamar sebagai ngemis dan bercampur dengan orang-orang yang berbaju kotor, berbadan kotor dan berbau apek itu. Di dalam keadaan terancam ini, timbul cinta kasih antara Ji Kun dan Yan Hwa sehingga ke manapun mereka lari bersama, saling melindungi dan tak mau saling berpisah. Memang demikianlah sifat dan watak kedua orang ini. Di waktu ada bahaya saling menolong dan saling melindungi tanpa mengingat akan keselamatan diri sendiri, namun dalam keadaan bebas dan damai, keduanya selalu bertengkar dan tak mau saling mengalah. Mereka sama sekali tidak sadar bahwa Sepasang Pedang Iblis yang berada di tangan mereka itu mengeluarkan pengaruh mujijat dan jahat sekali, yang menambah persaingan di antara mereka karena dengan mengandalkan pedang masing-masing, mereka tidak mau mengalah dan hal inilah yang merupakan penghalang rasa cinta kasih mereka yang sebetulnya amat mendalam itu.
Ketika kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasil lolos dari kepungan para perajurit, mereka bersembunyi di wuwungan rumah lalu berunding sebentar. Tak lama kemudian, mereka berhasil menyambar dua orang perajurit yang berada di tempat terpisah, melucuti pakaian mereka dan dengan mengenakan pakaian perajurit mereka menyelinap di dalam kegelapan malam kemudian berhasil lolos keluar dari kota melalui pintu gerbang sebelah selatan, yaitu pada saat diadakan penggantian penjaga. Barulah para penjaga tahu bahwa dua orang di antara mereka adalah palsu ketika Ji Kun dan Yan Hwa berlari cepat meninggalkan pintu gerbang. Pengejaran dilakukan, akan tetapi tak mungkin pasukan itu dapat menandingi ilmu lari cepat dua orang murid Mutiara Hitam ini. Apalagi malam yang gelap menelan bayangan mereka.
Setelah berlari jauh, dua orang muda itu meninggalkan pakaian perajurit dan duduk mengaso dalam sebuah hutan, di atas akar pohon menonjol. Yan Hwa agak terengah-engah dan gadis ini membereskan rambutnya yang tadi awut-awutan karena tadi disembunyikan dalam topi perajurit. Melihat rambut sumoinya terurai, Ji Kun segera memeluknya dan menciumnya. Yan Hwa tertawa dan balas mencium dengan mesra. Pengalaman berbahaya tadi mendekatkan hati mereka dan ciuman-ciuman mereka menambah mesra perasaan hati. Akan tetapi ketika Ji Kun hendak berbuat lebih jauh lagi, Yan Hwa mendorong dadanya dengan halus.
"Ihhh....! Tugas belum selesai ingin yang bukan-bukan!"
Ji Kun tertawa. Buyarlah hasrat hatinya. Sambil mempermainkan rambut kekasihnya yang panjang hitam dan gemuk, dia berkata,
"Kita telah bebas. Sungguh berbahaya sekali!"
"Malu kita melarikan diri terbirit-birit seperti dua ekor tikus. Enci Maya dan yang lain-lain tentu sedang sibuk melakukan penyelidikan di dalam kota, sedangkan kita berada jauh di luar kota, enak-enakan. Sungguh harus malu!" Yan Hwa mencela.


bersambung 10.........

0 komentar:

Posting Komentar