takut!”
Siangkoan Li habis daya. Berbantahan dengan gadis ini ia
merasa tak sanggup menang. Pula dia telah melakukan hal yang amat
hebat, telah berkhianat terhadap Thian-liong-pang, semua gara-gara
gadis ini. Sekarang, kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka
bersama sekalipun, apalagi yang disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal
ini, semua dilakukan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah
merasa jantungnya berdebar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis
jelita ini pun suka kepadanya seperti rasa suka di hatinya? Mencintanya
seperti rasa cinta di hatinya?
Dengan ilmu kepandaian mereka,
dengan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang
mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok
belakang. Menurut keterangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke
tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang
Kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil
menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.
“Siangkoan
Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?”
tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.
“Entah, kedua orang Guruku tak pernah mau bercerita tentang diri mereka.”
“Kalau benar demikian, tentu hwesio-hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa.”
“Memang aku masih ingat cerita Ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai
memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak percaya mereka mampu
mengalahkan kedua orang Guruku. Buktinya, kalau kedua orang Guruku
menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerangkeng?
Agaknya memang sengaja kedua orang Guruku tidak mau keluar.”
“Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu!”
Tiba-tiba terdengar desir angin. Mereka cepat menyelinap di balik
serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senjata rahasia) menyambar di
atas kepala mereka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat
mereka bersembunyi. Mereka memandang ke sekeliling dengan pedang siap
di tangan.
“Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?” kata seorang di antara mereka.
“Benar sekali, Sute (Adik Seperguruan). Agaknya orang-orang jahat yang
datang menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua
orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua
menjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum
kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hukuman, teman-temannya
yang jahat datang untuk menimbulkan kekacauan. di sini.”
“Kau
benar, Suheng (Kakak Seperguruan). Kata Suhu mereka itu lihai bukan
main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita
mengenai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti
setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat
dikerahkan tenaga untuk mengepung dan mencari mereka!”
Mendadak
saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlempar
dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah
tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi kalau bukan
Siangkoan Li yang melakukan hal ini. Memang pemuda ini memiliki
keahlian menyambit dengan kerikil menotok jalan darah, seperti pernah ia
pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan di dalam guha yang
terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang.
Setelah merobohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan
Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya berlari keluar dari taman itu menuju
ke sungai yang melintang di belakang.
“Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhuku terhalang.” kata Siangkoan Li.
Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati
sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat
mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melintang. Dengan
cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh
dengan rumpunalang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhunya
sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang
ini sudah tiba saatnya, kedua orang suhunya bebas? Entah hari apa, akan
tetapi tentu sekitar hari ini.
Dengan mudah Siangkoan Li
mendapatkan sumur yang tertutup alang-alangitu. Ia memberi isyarat
kepada Kwi Lan untuk mengikutinya kemudian ia melompat masuk. Dengan
ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja
tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian
pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan
keduanya tiba di dasar sumur, Siangkoan Li lalu menggandeng tangan Kwi
Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki terowongan di bawah
tanah.
Ketika mereka tiba di sebuah tikungan terowongan dan
dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka merasai
sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras.
Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu
bertiarap di atas tanah sambil memandang ke depan.
Kiranya dua
orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar
dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang
menari-nari. Akan tetapi luar biasa hebatnya sambaran tangan mereka.
Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki
terowongan menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya
bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan
tetapi kakek muka merah sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan
mereka berdua itu menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi
Lan! Akan tetapi ternyata makimakiannya bukan ditujukan kepada dua
orang muda ini.
“Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan!
Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus kami tantang rohmu agar
datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup ataupun
sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong
(Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan)
bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu! Lima
belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya
untuk menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo
muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau
takut, Bu Kek Siansu?”
Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong
ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan
dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu merasa betapa
lantai tergetar hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu
bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak melihat
kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap
sedangkan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari
yang menerobos masuk dari lubang dan celah-celah di atas. Kehebatan
gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan
mereka dan membuat mereka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan
Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang
guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung tidak mengerti
mengapa ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak
tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang?
Nama
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu
adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar
biasa. Kedua orang kakek inimemang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan
dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitandengan
membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan!
Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh
Suling Emas, Akm Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan
banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini
akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada
orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu tek
Siansu!
Siapakah Bu Tek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu
dengan manusia setengah dewa ini, walaupun namanya menjadi kembang bibir
semua tokoh dunia kang-ouw. Diantara para pendekar terdapat kepercayaan
bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang
bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah
hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk
dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia
hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan,
karena kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapapun juga! Bu Kek Siansu
tidak mempunyai tempat tinggal tertentu atau lebih tepat, tak seorangpun
tahu dimana adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul
pada saat yang tak disangka-sangka.
Lima belas tahun yang lalu,
setelah Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh
Suling Emas dan kawan-kawannya (baca ceritaCINTA BERNODA DARAH ).
sepasang kakek sakti ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini,
mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil
dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu
saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio Luliang-san dan
akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas di tangan
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Dua orang kakek ini tentu akan
menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu
Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini membuat
mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi
wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman
di dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk
menebus dosa.
Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah
lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji
mereka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan
memaki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.
“Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek
Siansu seorang pengecut?” kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan
berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan
hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin
yang mengerikan.
Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi)
yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu di luar, suaranya
halus dan merdu perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan
Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang
hatinya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka masih
bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil
menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.
“Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?” kata Lam-kek Sian-ong.
“Hoh, ke sinilah biar kami dapat menebus penderitaan lima belas tahun
dengan kematianmu, tua bangka!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
Tidak ada jawaban. Hanya suara yang-khim makin jelas dan pengaruhnya
juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga
maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin mereda dan akhirnya
mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara yang-khim
penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang
berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih
sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun, seakan-akan oleh mereka
terdengar gema suaranya memenuhi telinga, dan suasana tenang damai dan
tenteram masih terasa menyelubungi hati.
“Siancai, siancai(damai, damai)....!
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi
(Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau diikat hidungnya, manusia
diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia daripada kerbau....!”
Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara
yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di
mana-mana.
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap, tiba-tiba
mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka
berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka
memasuki terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena tahu-tahu di
situ telah berdiri seorang kakek tua sekali rambut dan jenggotnya sudah
putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan
sebuah yang-khim berada di punggungnya.
Melihat datangnya kakek
ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang kuda-kuda dan
bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan
lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan
aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sendirinya!
“Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini, kakek-kakek yang sudah amat tua,
mengapa harus bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di
tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang mengagumkan, tanda bahwa
Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan
tempaan dan gemblengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah
memperoleh hasil yang amat berharga.”
“Bu Kek Siansu, sejak
dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah
olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak
peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang
bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti
hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi
pertandingan lima belas tahun yang lalu!” kata Lam-kek Sian-ong dengan
mata mendelik.
“Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak
cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!” kata pula Pak-kek Sian-ong
yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang
kuda-kuda yang aneh dan lucu.
Bu Kek Siansu mengelus-elus
jenggot dan tersenyum ramah. “Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor
akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain
lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang
bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi
tidak mau membersihkan diri dan menginsyafi kekeliruannya, bukankah hal
itu amat bodoh dan patut disesalkan?”
Pak-kek Sian-ong bertukar
pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian Si Muka Merah itu tertawa.
Ha-ha, Bu Kek Siansu. kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai
melakukan kejahatan.
Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!”
“Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia
tanpa tanding di jagad ini!” kata Pak-kek Sian-ong penasaran.
“Siancai.... Siancai.... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama
sekali tidak ada gunanya? Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam
kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semenjak Thian-te Liok-kwi
(Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan makin aman, bahkan
kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan mereka.
Tokoh-tokoh hitam akan mengadakan pertemuan dan sekali mereka itu
bersatu padu, bukankah perikemanusiaan terancam bahaya hebat? Ji-wi,
segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya.
Matahari memberi cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air
memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji-wi yang telah
dikurniai kepandaian tinggi, layaknya kalau tidak digunakan untuk
sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih
lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mempelajari ilmu kalau hanya
untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf.”
“Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat
sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari
kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu.”
“Benar kata-kata Ang-bin Siauwte.” kata Si Muka Putih. “Yang lain-lain
perkara kecil, kami akan menurut selanjutnya kalau kami kalah lagi.”
Bu Kek Siansu menarik napas panjang. “Aku sudah terlalu lama membuang
nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka
hati. Kalau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah
kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau
pukulan-pukulan Ji-wi tidak membuat aku mati karena maut masih
segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah
dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang
kumaksudkan tadi.”
Kembali dua orang kakek itu saling pandang.
Betapapun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia setengah
dewa itu. Biarpun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri
di dalam kurungan, namun mereka maklum bahwa Bu Kek Siansu memiliki
kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu
Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu
dan ingin membunuhnya. Melainkan mereka haus akan kemenangan. Apapun
juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya.
Apalagi kalau kemenangan ini disahkan dengan terjatuhnya Bu Kek
Siansu,, si manusia dewa di bawah tangan mereka!
“Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!” kata Si Muka Merah.
“Aku pun memukul tiga kali!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Terserah, tiga kali juga baik.” kata Bu Kek Siansu tenang.
“Kau tidak boleh menangkis!” kata pula Lam-kek Sian-ong.
“Dan tidak boleh mengelak!” sambung Pek-kek Sian-ong.
“Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi.”
Siangkoan Li dan Kwi Lan yang semenjak tadi bertiarap dan menyaksikan
serta mendengar semua ini, menjadi kaget sekali. Dua orang kakek itu
luar biasa lihainya. Baru angin pukulan mereka saja tadi sudah
menghancurkan batu. Bagaimana sekarang kakek yang sudah amat tua itu
dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu,
jadi enam kali pukulan tanpa mengelak maupun menangkis? Kwi Lan bangkit
duduk saking tertarik menyaksikan keanehan ini. Juga Siangkoan Li
sudah duduk di dekatnya sambil memandang ke dalam dengan kening
berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang
gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku
demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus
dan lemahitu. Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu,
bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena
amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu
tadi, mulailah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil
hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan.
Setelah ia sadar akan hal ini, mengapa ia tidak mau mencuci diri
membersihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang
berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong-pang yang sudah
terlanjur kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaiknya ia
turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa
kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya.
Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas
dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang
berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dahsyat menyambar.
“Desss....!”
Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-goyang ke belakang depan dan benar-benar
kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis maupun mengelak.
Pukulan yang amat keras dan menggeledek.
“Ang-bin Siauwte,
bergantian!” teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek
Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengaturpernapasan. Ia
tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali,
karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya
makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam.
Dengan bergantian, ia mendapat kesempatan memulihkan tenaga. Diam-diam
ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena
setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia
merasa seperti memukul sekarung kapas, tenaganya amblas kemudian
membalik. Sungguh hebat!
Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek
Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek
Sianong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang,
kakek bermuka pucat ini memukul dengan jarijari terbuka dan
mengerahkan tenaga Imkang.
“Cesss....!”
Kembali tubuh
Bu Kek Siansu tergetar bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka
kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh
damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapapun juga, jelas tampak
oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa
hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka
dalam yang hebat.
Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka
putih itu kagum bukanmain. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam
pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati
Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat
keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur
pernapasannya.
Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak
melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong
yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini
majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan
kata-kata, dua orang kakek ini telah bersepakat untuk melakukan
pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya
pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong
adalah seorang ahli dalam penggunaan tenaga panas, sedangkan
sebaliknya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mempergunakan tenaga dingin.
Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya,
bagaimana tubuh dapat mengatur dua macam tenaga sakti yang saling
berlawanan untuk menghadapi dua pukulan itu?
Mustahil kalau
seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi
buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun
tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan
pemukulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang
dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa
pasti bahwa kali ini kakek tua yenta itu tentu akan terpukul mati.
“Bresss....!”
Hebat bukan main pukulan yang dilakukan berbareng itu. Kepalan tangan
Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek
Sianong menampar lambung dalam saat berbareng. Tubuh Bu Kek Siansu
terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu
punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang-khim
di punggungnya ternyata telah remuk! Akan tetapi kakek ini tidak roboh
binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia
maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keadaan hancur sedangkan
dinding batu di mana ia terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam
dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu! Senyum itu
masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari
kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih
yang panjang!
Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata
terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak
keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah
mempergunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan
tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri.
Akan tetapi melihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa
lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan
Bu Kek Siansu dan.... mungkin juga menyeret mereka berdua ke lubang
kuburan! Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak
berlaku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka
sudah menghampiri Bu Kek Siansu yang berdiri dengan tubuh menggetar
akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.
Akan tetapi
tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi
Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut
di depan kedua gurunya sambil berseru.
“Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi....!”
Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil
menudingkan telunjuknya dan berkata, “Kalian ini dua orang tua
benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan memukul
seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian
yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan macam apa
yang kalian perlihatkan ini?”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek
Sianong terkejut. Mereka tidak mengira bahwa semua yang terjadi itu
telah disaksikan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid
mereka berani mencampuri urusan ini bahkan berani pula mengajak datang
seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat
itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong
berpegang pada tangan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk
melakukan pukulan terakhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi
mereka saling berpegang telapak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan
dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu menggerakkan
tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di
jalan.
“Pergilah kalian!” bentak Lam-kek Sian-ong.
Kwi
Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan
dahsyat menyambar. Mereka dapat mengerahkan tenaga hendak menangkis
atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin pukulan dari depan itu
seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ketika mereka mengerahkan
tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka
salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu
pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok!
Benar-benar, pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak
mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek
itu menyentuh tubuh mereka, tentu maut akan datang merenggut nyawa!
Akan tetapi, tiba-tiba mereka merasa ada tangan menyentuh punggung
mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada
saat pukulan tiba. Dan, sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh
kulit tubuh mereka, hawa pukulan itu membalik dan kedua kakek itu
berseru keras lalu roboh terjengkang!
“Minggirlah, anak-anak!”
terdengar bisikan dari belakang dan Kwi Lan berdua Siangkoan Li merasa
betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan.
Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan
diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan kelihaian dua
orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke
depan.
Kedua orang kakek itu sudah meloncat bangun lagi dan
memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum.
Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun
sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mulailah terbuka
mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka
terlalu mengagungkan dan mengandalkan kepandaian sendiri! Sinar mata
mereka mulai melunak, tidak seliar biasanya dan hal ini tidak terluput
dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah
maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.
“Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi.”
Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan
mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguhpun
pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar
dari mulutnya. Kalau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang
akan tewas!
Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu berkata
lagi, “Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menyesal? Baru saja
ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biarpun
kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut
mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan
keselamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup.
Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua.”
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong masih saling bergandengan tangan.
Mereka kini melangkah maju dan Lamkek Sian-ong berkata, “Masih sekali
pukulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku
tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu!”
“Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan
mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti
ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu
mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi
dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.
“Dukkk....!”
Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu
menerima pukulan hebat itu dengan tubuhnya tanpa pengerahan tenaga
sama sekali! Kakek itu telah mengorbankan diri demi keselamatan mereka
berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang
lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih bergoyang-goyang. Dari
mata, hidung, mulut, dan telinga mengalir darah segar! Dua orang kakek
itu menjerit dan menubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek
Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang
mereka pukul tanpa melawan, begitu saja membiarkan dirinya terluka
hebat untuk menyelamatkan mereka berdua. Di mana ada budi kebajikan
yang sebesar ini?
Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.
“Siancai.... siancai.... legalah hatiku sekarang.... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat....”
“Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?” Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.
“Siansu, kami bersumpah akan mentaati pesanmu sampai mati!” kata pula Pak-kek Sian-ong.
“Anak-anak yang baik,” kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek
itu adalah dua orang anak-anak kecil saja. “Tidak ada pengorbanan
apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang
lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa
bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk
kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan
kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat
berpisah.” Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan
terhuyung-huyung keluar dari dalam terowongan itu dengan wajah berseri
dan mulut tersenyum!
Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek
yang biasanya liar itu kini menangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong Si
Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan
mukanya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek
Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan
terisak-isak tanpa mengeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak
menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking
geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini
ia hanya memandang dengan penuh keheranan.
Siangkoan Li segera
melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek
itu. “Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu....”
Mendadak Pak-kek Sian-ong membalikkan tubuh menoleh lalu membentak, “Aku tidak mempunyai murid macam engkau.
Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. “Suhu, harap
maafkan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasihat Ji-wi Suhu. Ayah
dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang menjadi perkumpulan jahat
akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan....?”
Kini Lam-kek Sian-ong yang membalikkan tubuh danmenoleh. Ia masih
duduk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan
mata menghardik, “Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang yang
menjemukan! Pergi.... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari
sini!”
“Suhu....!” Siangkoan Li merintih.
“Cukup! Engkau
membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan Ayahmu menjadi
runtuh berantakan. Kaukira kami tidak mengetahui sepak terjangmu? Kami
tidak sudi mempunyai murid macam engkau!” kata Pak-kek Sian-ong.
“Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya
itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin
Twako, kaubikin dua orang muda ini kecewa saja!” Si Muka Merah
mengejek.
Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan
pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya
kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa
kedua orang suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik
sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi
sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi,
mengejek dan menghina Kwi Lan. Wajah pemuda ini menjadi pucat, layu
dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangansemangat. Ia masih
berlutut dan mengangkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang
kakek itu mohon dikasihani. Akan tetapi kedua orang gurunya sama
sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka merah.
Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.
Kwi
Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek
jembel itu. Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek
Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru
Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa
ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu
ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia
tadi terlempar oleh hawa pukulan mereka. Kini, melihat betapa
Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan
bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahankanlagi. Ia melompat maju
dan memaki.
“Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan
sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehendak
kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian!
Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap
minta nasihat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak
mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?” Ia lalu memegang
lengan Siangkoan Li, ditariknya pemuda itu bangun dari berlutut,
digandengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.
“Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan
menyandarkan pendirianmu kepada orangorang lain. Belajarlah dewasa dan
hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka
yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang
yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya
susah senang pun ditanggung sendiri. Itu baru laki-laki namanya!”
“Hi-hi-hik....!” Pak-kek Sian-ong mengeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.
“Ha-ha-ha-ha!” Lam-kek Sian-ong juga tertawa.
Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu
membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Beberapa kali ia menoleh
memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang
gurunya tadi hanya mencobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap.
Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.
Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung
dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih
pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi
Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi.
Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong,
tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut
sebelah depan. Biarpun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ
menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelanja.
Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan
tetapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi
telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa makanan di atas meja,
akan tetapi pengemis itu tidak peduli dan duduk melenggut, agaknya
tertidur setelah kekenyangan makan. Kedua tangannya diletakkan di atas
meja dan kalau orang memperhatikannya, tentu akan menjadi heran
melihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan
kuku-kukunya pun terpelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat
mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut
mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar
merah!
Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu
kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak
bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak
pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini
pun hanya seorang di antara anggauta perkumpulan-perkumpulan itu yang
sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga
Siangkoan Li terlalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan
terlalu sibuk dengan usahanya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya
selanjutnya lupa lagi kepada Si Pengemis yang masih duduk melenggut di
atas kursinya.
“Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi.
Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihainya,
tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan
benar? Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada
diri sendiri untuk memperbaiki hidup, menghapus semua yang kotor dan
mulai dengan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat
jantanmu? Bangkitlah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada
gunanya.” Berkali-kali Kwi Lan menghibur.
“Aihhh...., bukan
main....!” Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi
cukup jelas. Kwi Lan cepat menoleh keluar, akan tetapi tidak tampak
ada orang di luar. Suara tadi datang dari luar, ataukah.... dari
pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi bukan, karena telinganya yang
tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus dan
panjang, napas orang sedang tidur! Ia menoleh ke arah dalam di mana
kakek yang mengurus warung itu sibuk membersihkan dapur. Tidak ada
orang lain kecuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak
pedulikan lagi. Mungkin suara orang di luar warung dan ucapan tadi
tidak ada hubungannya dengan dia.
Siangkoan Li menghela napas
panjang. “Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi,
mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku
menjadi insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan
menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi menyerah
dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan
Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengangkat kembali nama baik
Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi....” Ia
menundukkan muka dengan sedih.
“Mengapa lagi? Apa yang menjadi halangan?”
“Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng.
Dengan sendirinya aku telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh
jahat! Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata bukan orang
baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku? Kurasa
usahaku untuk menghimpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil.”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia kurang pengalaman, namun ia
seorang gadis yangcerdik. Ia dapat mengerti keadaan Siangkoan Li dan
melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab dan menghibur,
tiba-tiba terdengar suara halus namun keren dan penuh teguran.
“Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan kekerasan!”
Kwi Lan cepat menoleh dan tampaklah lima orang hwesio muncul di depan
warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim,
akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio
tua yang berjenggot panjang dan putih, matanya bersinar halus namun
amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di
belakangnya dan sikap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima
semua membawa pedang.
“Celaka, mereka adalah hwesio-hwesio
Lu-liang-pai....” bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan
melangkah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri
paling depan.
“Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah
Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu
dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi memaafkan karena hal itu teecu
lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin berjumpa dengan kedua orang
Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang-pai.” Siangkoan Li
yang mengenal kesalahannya dan kini sedang dalam usaha “memperbaiki
jalan hidup” mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali
sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.
“Omitohud.... baik sekali
kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang,
bukan hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada
kami. Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar
daerah larangan, lebih dari itu, malah tanpa ada yang mengetahui kau
telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal
itu berarti kau telah melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau
menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan
jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan
untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup untuk
menghukummu. Sekarang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke
dalam kuil dan merobohkan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo
lekas berlutut dan menerima hukuman di kuil kami.”
Siangkoan Li
menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan
mencabut pedang Siang-bhokkiam! Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang
di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan
kirinya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.
“Hwesio-hwesio
gundul sombong! Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu,
kalian berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa-dosanya?
Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya
manusia?”
Para hwesio itu nampak kaget, bahkan ada di antara
mereka mencabut pedang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu
mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata.
“Omitohud...... Nona muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok
Hwesio Ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona.
Nona murid siapakah?”
“Hwesio tua, tak perlu aku
memperkenalkan diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li
yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili
dia. Kau tidak berhak!”
“Ah, mengapa semuda ini Nona juga
tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha)
membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini
adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat
kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami menganggap
Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke
kuil dan memberi hukuman yang layak.
Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm.... agaknya pinceng tidak akan berlaku selunak ini.”
Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkankeningnya. Ia menjadi makin
berduka, diingatkan betapa ayahnya seorang yang dihormati dan dijunjung
tinggi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya
mencemarkan nama orang tuanya saja.
“Tua bangka gundul! Kau
bicara seolah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di
dunia ini! Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai.
Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling
bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang
orang-orang berdosa! Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri
menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan
nasib manusia lain, menghukum dan menganggap mereka berdosa! Pantas
kalian hendak dibasmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu
Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus
semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati
dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci
anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada
lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu!”
“Kwi Lan, jangan....!” Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan
meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang.
Kemudian Siangkoan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan
berkata.
“Thaisu, dan para Suhu semua, dengarlah! Kuharap
kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua
perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Aku tidak merasa berdosa
terhadap Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu
bukanlah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu
dihukum, boleh.
Aku bersedia melayani kalian, akan tetapi aku
tidak mau dihukum! Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan, juga
boleh! Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi
hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah,
silakan!”
Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini
terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani melawan dan
mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang hebat itu,
ia meragu. Apalagi di situ terdapat nona muda yang galak ini, yang
tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu.
Andaikata dia mampu mengalahkan dan menangkap Siangkoan Li, kemudian
hal ini terdengar oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil,
bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu
melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang-pai? Bantuan Bu Kek
Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu
tak seorang pun manusia mengetahuinya.
“Omitohud....! Maksud
pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti
kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dam berarti pula kami tidak
melupakan persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak
mengambil jalan sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat sesuatu, akan
tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu sebagai
musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi.” Ia menoleh kepada
murid-muridnya dan mendengus, “Mari kita pergi.”
Hwesio tua itu
mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah keluar sambil
berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan
dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang mata sampai mereka itu
mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.
“Engkau
benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri,
mempertimbangkan perbuatan sendiri kemudian mempertanggungjawabkannya
sendiri pula. Terima kasih atas segala bantuanmu, Kwi Lan. Sekarang
terbukalah mataku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membangun
kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah
sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, terjunjung tinggi namanya di
dunia kang-ouw. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk
memperlihatkan kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang
anak seperti aku.” Ucapan ini bersemangat sekali dan pemuda itu berdiri
dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan terkepal dan mukanya
yang tampan kehilangan kemuramannya, kini tampak berseri dan
bercahaya.
Kwi Lan tersenyum lebar, menghampiri dan memegang
tangan pemuda itu. “Bagus! Sekarang aku dapat dengan hati ikhlas dan
dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li. Kelak aku pasti akan datang
mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu.”
Pemuda itu memandangnya tajam. “Apa? Kau.... kau tidak ikut bersamaku?”
Kwi Lan menggeleng kepala. “Sungguh lucu, bukan? Tadinya engkau yang
selalu menyuruh aku pergi akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu.
Sekarang aku yang hendak meninggalkanmu akan tetapi engkau yang
sebaliknya menghendaki aku membantumu. Sekarang engkau dapat berdiri
sendiri, Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku,
melainkan urusan pribadimu. Betapapun juga, aku girang sekali telah
dapat bersahabat denganmu. Engkau seorang pemuda yang amat hebat!”
“Kwi Lan.... ahhh....”
“Ada apa? Kenapa kau meragu lagi?”
“Kwi Lan...., terus terang saja... hemm, sekarang ini.... terasa amat
berat bagiku untuk berpisah darimu. Tidak.... tidak dapatkah kita....
eh, bersama selalu....?”
“Ehm.... ehm....!”
Untung
pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk
sambil menggaruk-garuk pundak yang agaknya digigit kutu bajunya
sehingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata Siangkoan Li
itu menjadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam
warung di mana terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang
berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan berkata.
“Maaf,
Kwi Lan. Kembali aku terseret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus
mengambil jalan kita masing-masing dan kelak bertemu kembali dalam
suasana yang lebih baik, setelah tugas kita masing-masing selesai. Nah,
selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan!” Jari tangan yang
menggenggam tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa hangat yang
menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke dalamhatinya. Ia memandang mesra
kemudian menarik kembali tangannya.
“Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil dalam tugasmu. Sampai berjumpa pula kelak....”
Dengan wajah berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan
warung itu dan tak lama kemudian ia telah berlari-lari cepat dan lenyap
dari pandang mata Kwi Lan yang mengikutinya. Gadis itu termenung
sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik warung.
Setelah membayar harga makanan, ia pun lalu membawa bungkusan
pakaiannya dan meninggalkan warung itu.
***
Kita
tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk
melanjutkan perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya.
Marilah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti telah
disinggung oleh manusia dewa Bu Kek Siansu ketika memberi nasihat
kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw,
terutama di kalangan golongan hitam, terjadi perubahan hebat semenjak
lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya
enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi
lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apalagi, pemerintah Sung dengan
secara tidak langsung dibantu oleh para pendekar, mendapat angin baik
dan di mana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan hitam
sehingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri
secara berterang. Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam
ini menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang
dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar perkumpulan
pengemis sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi
sarang mereka yang dikejar-kejar itu.
Kemudian timbul
desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan semangat golongan
hitam yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah
memiliki kesaktian lebih hebat daripada mendiang Thian-te Liok-kwi!
Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini
tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat
penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki pengikut-pengikut yang
memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam “datuk” mereka.
Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti
Berambut Wangi), seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas.
Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan
menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir inl
banyak muncul di dunia sebelah selatan. Semenjak dikalahkan oleh Suling
Emas (bacaCINTA BERNODA DARAH ), iblis betina ini melarikan diri dan
bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain
menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid
perempuan yang cantik-cantik dan kesemuanya berambut panjang terurai
tidak digelung dan ia menciptakan sebuah barisan wanita yang disebutnya
Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya
Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia
sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.
Orang ke dua adalah
seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang
namanya menggemparkan perbatasan dunia barat. Begitu muncul, dia
mengacau di antara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah
membunuh dua ratus lebih orang pengemis golongan putih dengan cara
yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa,
sebuah gunting yang besar sekali. Dia ini dijuluki Bu-tek Siu-lam (Si
Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan
membasmi golongan pengemis putih, tentu saja namanya disanjung-sanjung
oleh para pengemis golongan hitam yang berusaha untuk mengambil alih
kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dikabarkan selain lebih
lihai daripada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan
amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak
bicaranya seperti perempuan genit!
Orang ke tiga adalah Jin-cam
Khoaong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong,
seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan.
Kabarnya dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te
Liok-kwi (bacaCINTA BERNODA DARAH ). Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara)
atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah gergaji
berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi
buronan Kerajaan Khitan!
Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak
anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada
Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian
utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan
menggabungkan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh
Pak-sin-ong.
Orang ke empat di antara deretan datuk-datuk dunia
hitam ini adalah seorang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu
menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini
adalah paman guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat
dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandaiannya. Karena di waktu mudanya
dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para
pengikutnya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.
Orang ke lima di antara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya
seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet
Bertenaga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepulauan di laut, dan entah
berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat
di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah. Sampai kini
belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang senjatanya
yang aneh dan lucu, yaitu sepasang gembreng alat musik yang biasa
dipakai bersama tambur dan canang untuk mengiringi tarian dan permainan
barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti
tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyaipengikut. Ia
malang-melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan kesukaan
satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar!
Pagi hari itu amat ramai di Puncak Cheng-liong-san yang biasanya amat
sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang
paling sunyi, tak pernah didatangi manusia karena selain sukar
mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang
buas dan seringkali dijadikan sarang manusia-manusia buas pula. Pagi
hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan di antara
orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan
pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk
mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia
hitam menghadapi para pendekar golongan putih.
Semenjak malam
tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada
rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula
rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa
bendera lambang perkumpulan mereka segala! Pagi hari itu sudah ramailah
puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada
yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang
berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang,
ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis.
Biarpun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang
jahat yang selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera
mereka berkibar dengan sulaman bermacam-macam lambang. Ada gambar naga
dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang.
Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan
gambar garuda hitam dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah
bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis yang pakaiannya berkembang
bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan
perkumpulan-perkumpulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa
Kai-pang. Memang golongan pengemislah yang terbanyak datang
mengunjungi pertemuan kaum sesat ini.
Serigala dan harimau,
binatang-binatang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing,
demikian pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu,
sedangkan manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan kebiasaan
mereka. Biarpun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak
Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa
melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat
beramah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa
persahabatan satu dengan yang lainnya. Dengan bangga mereka saling
menceritakan pengalaman mereka yang bagi umum merupakan perbuatan
jahat, namun bagi mereka merupakan kegagahan dan keberanian yang patut
mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak
ketawa, mengalahkan dan mengusir burung-burung yang terbang pergi
ketakutan.
Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan
saja, mereka kini berkumpul mengelilingi sebuah batu besar yang bundar
bentuknya dan licin permukaannya sehingga batu itu dapat dipergunakan
sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan
di seputar “meja” ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok
atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan
bermacam-macamlah sikap mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa
merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ
adalah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu
ini, serentak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua
percakapan terhenti dan semua mata melotot memandang penuh gairah
kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan dengan lenggang
bergaya tari, menarik dan menggairahkan. Dua orang wanita muda ini
bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah
muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa
mereka adalah wanita-wanita selatan. Rambut mereka terurai panjang tak
digelung, dan gagang pedang tampak di belakang punggung. Mereka datang
sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata mengerling-ngerling
genit.
Karena yang menjadi pelopor pertemuan ini adalah dua
perkumpulan pengemis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kaipang, maka dua
perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus
meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak musuh yang
datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak
terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan
berkata kepada dua orang wanita itu.
“Selamat datang di antara
sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Berdua) ini dari golongan
manakah dan berdiri di bawah bendera apa?”
Dua orang wanita
muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil menutupi mulut dengan
ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang di antara
mereka yang lebih tinggi berkata.
“Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini.”
“Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf,
karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan
maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan
mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!”
Dua orang wanita
itu tersenyum-senyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang
terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak
keluar dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum
dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak
menawarkan tempat duduk.
“Mari duduk dekatku sini, Nona. Batunya licin dan bersih!”
“Di sini teduh. Marilah!”
Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, semua
mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit
senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada pula yang mulai
mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak
mereka yang memang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul.
Namun dua orang wanita itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita
sopan mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu
menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta
Siang-mou-tin ini tersenyum-senyum dan melirik sana-sini memilih
tempat. Sesungguhnya bukan tempat yang mereka pilih, melainkan
penawarnya. Tak lama kemudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh,
mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan
segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.
Biarpun
tuan rumahnya adalah perkumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini
bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat janggal
terdengarnya. Pengemis yang tidak miskin! Namun ini kenyataan karena
sesungguhnya para anggauta Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih
banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi
mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias merampok! Dengan
mengandalkan kepandaian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi
orang-orang kaya lalu “mengemis” jumlah tertentu yang harus diberikan
oleh si kaya. Demikianlah praktek yang dijalankan oleh
perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu
bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak
baik dan makanan-makanan yang cukup lezat dan mahal.
Menjelang
siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang lebih. Maka
perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah
membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama
menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para
pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.
“Sudah
terlalu lama kita ditindas!” Demikian antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang
berkata. “Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong
raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan
harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi
mereka.”
“Agar persatuan kita dapat lebih kuat teratur, kita
harus mengangkat seorang bengcu (pemimpin). Pertemuan ini memang
merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan untuk memilih bengcu.
Tentu saja memilih bengcu harus mencari seorang tokoh yang sakti agar
pekerjaan kita jangan sampai gagal!” kata Ketua Hek-coa Kai-pang. “Kami
dari golongan pengemis mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe Bu-tek
Siu-lam!”
Semua pengemis yang merupakan anggauta pimpinan
pelbagai perkumpulan pengemis, bertepuk tangan menyatakan setuju dan
mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa Kai-pang itu.
Mulailah golongan lain mengajukan calon-calon mereka. Wakil-wakil dari
utara mengajukan calon Sin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang sudah
terkenal kesaktiannya. Golongan barat diperkuat oleh perkumpulan
Thian-liong-pang mengajukan Siauw-bin Lo-mo. Sebaliknya para penjahat
yang datang dari timur dan yang mengagumi sepak terjang Thai-lek
Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan tokoh baru ini sebagai
bengcu. Ramailah mereka memuji-muji setinggi langit calon
masing-masing, menceritakan kehebatan sepak terjang mereka, kelihaian
mereka, dan kekejaman mereka yang mereka katakan bahwa lebih hebat
daripada Thian-te Liok-kwi yang kini sudah tidak ada lagi, tinggal
Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw.
“Bagus! Agaknya kita tidak kekurangan calon yang hebat-hebat! Sudah
ada empat orang calon kita yang dalam beberapa hari ini akan hadir di
sini. Setelah semua calon berkumpul, barulah dilihat siapa di antara
mereka yang paling patut dijadikan bengcu. Sementara itu, mengingat
bahwa Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, jadi
merupakan tokoh tua yang patut diingat, sebaiknya kita mendengarkan
suara utusannya yang kini hadir di sini.” kata Ketua Hek-peng Kai-pang
sambil melirik dua orang nona manis yang kelihatan makin merapat
duduknya dengan dua orang laki-laki muda tampan tadi. Tanpa malu-malu
lagi kedua nona itu sudah bersikap sangat mesra terhadap dua orang
pasangan mereka.
Mendengar ucapan itu, dua orang nona manis itu
kini dengan manja dan perlahan mendorong dada pasangan mereka, kemudian
tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali meloncat, gerakan mereka
yang amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah berdiri di atas
batu besar di tengah-tengah. Di tempat tinggi ini mereka kelihatan
jelas. Cantik genit dengan bentuk tubuh tampak membayang di balik
pakaian sutera tipis. Cantik menggairahkan.
“Seperti telah kami
katakan tadi, kami hanyalah utusan yang ditugaskan oleh Guru kami
sebagai peninjau saja. Guru kami menyatakan bahwa beliau tidak tertarik
lagi akan urusan dunia dan tidak menghendaki kedudukan bengcu. Akan
tetapi ini bukan berarti bahwa kami tidak mau bekerja sama dengan Anda
sekalian. Guru kami berpesan apabila bengcu baru sewaktu-waktu bergerak
menggempur Suling Emas, Guru kami pasti akan turun tangan membantu.
Hanya kalau bentrok melawan Suling Emas saja Guru kami suka berkerja
sama. Kiranya cukuplah pernyataan kami dan selanjutnya kami hanya
menjadi peninjau yang tidak mengajukan calon.” Setelah berkata demikian,
dengan langkah menggoyang pinggul mereka kembali menghampiri pasangan
masing-masing yang menerima mereka dengan kedua lengan terbuka dan
tertawa-tawa.
Ucapan anggauta Siang-mou-tin ini sekaligus
membelokkan percakapan mereka yang hadir di situ dari persoalan
pencalonan bengcu menjadi soal musuh-musuh besar mereka.
“Apa
yang dikatakan oleh Ji-wi Kouwnio tadi memang tepat!” kata seorang di
antara para tokoh dari utara. “Memang Suling Emas merupakan seorang
musuh besar kita bersama. Siapakah di antara kita yang belum pernah
terganggu oleh Suling Emas, baik secara langsung mau pun tidak
langsung? Dan jangan dilupakan Ratu Khitan! Wanita yang kini menjadi
Ratu Khitan kabarnya masih sanak dekat Suling Emas, bahkan berhasil
menjadi ratu karena bantuan Suling Emas. Kami mendengar pula bahwa ratu
yang sampai kini tidak menikah itu adalah kekasih Suling Emas. Sungguh
memalukan sekali, terutama terhadap bangsa Khitan yang menjadi kawan
baik kami. Oleh karena itulah kami mengajukan Pak-sin-ong sebagai calon
bengcu dan tugas kita pertama adalah mencari dan membunuh Suling Emas
bersama teman-temannya, terutama sekali Ratu Khitan!”
Ramailah
mereka menyebut dan menyumpahi nama-nama tokoh yang menjadi musuh
mereka. Selain Suling Emas dan Ratu Khitan, juga ada yang
menyebut-nyebut nama Yu Kang Tianglo yang mereka khawatirkan akan
merupakan pimpinan para pengemis baju butut yang amat lihai. Disinggung
pula nama Kam Bu Sin bersama isterinya Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw
yang kini berdiam di kota Heng-yang, sebuah kota yang terletak di lembah
Sungai Mutiara di mana keduanya hidup rukun dan tenteram namun yang
selalu tak pernah merupakan tugas mereka sebagai orang-orang gagah untuk
melawan kejahatan. Masih banyak nama yang disebut dan dimusuhi oleh
orang-orang golongan sesat ini, di antaranya disebut-sebut pemilik
Ang-san-kok (Lembah Gunung Merah).
“Paling penting lebih dulu
memohon bengcu baru untuk menyerang Ratu Khitan.” seorang tokoh utara
berkata, “Kalau kedudukan Ratu Khitan dapat dirampas, berarti golongan
kita akan mendapatkan bantuan yang amat kuat, yaitu bangsa Khitan,
sehingga tidak akan sukarlah membasmi yang lain-lain.”
“Akan
tetapi kabarnya ilmu kepandaian Ratu Khitan juga amat hebat!” bantah
seorang lain. “Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi
aku mendengar bahwa biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun
ia masih cantik jelita seperti bidadari dan ilmu kepandaiannya amat
dahsyat. Di sampingnya ada pula pembantunya yang setia, Panglima Besar
Kayabu yang kabarnya juga lihai sekali.”
“Uhh, lihai apa? Kayabu
itu hanya mengandalkan ketampanan wajahnya sehingga ia menjadi seorang
di antara kekasih Ratu Yalina yang gila lelaki!”
“Masa....?”
“Siapa membohong? Kekasihnya banyak, di antaranya Suling Emas, Kayabu
dan boleh dibilang setiap orang muda bangsa Khitan tentu ditarik masuk
ke istana untuk memuaskan nafsunya.”
“Ah, benarkah itu....?” Orang-orang menjadi tertarik hatinya.
Orang yang bercerita itu membusungkan dadanya. Dia seorang laki-laki
berusia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar, nampak amat
kuat, mukanya dihias kumis dan jenggot lebat, sehingga wajahnya
menjadi angker menakutkan.
“Aku bukan hanya sudah menyaksikan
dengan mata ini sendiri, bahkan sudah pula menikmati pelukannya yang
hangat!” kata laki-laki ini. “Siapa yang tidak tahu bahwa aku pernah
tinggal di Khitan dan menjadi kekasih Ratu Yalina sampai sepekan lebih?”
“Wah, hebat sekali! Twako, agaknya dia suka kepadamu karena kau tinggi
besar dan gagah!” kata seorang anggauta pengemis menggoda karena masih
belum percaya benar.
“Memang dia paling suka kepada laki-laki
yang tinggi besar, terutama sekali yang jenggot dan kumisnya sebagus
ini!” Laki-laki itu mengelus-elus jenggot dan kumisnya dengan bangga
sambil melirik ke arah dua orang anggauta Siang-mou-tin yang tidak
memilih dia.
“Ceritakan....!”
“Ya, ceritakan, Twako. Bagaimana ketika engkau menjadi kekasih Ratu Yalina?”
Orang-orang mendesak kepada Si Brewok ini untuk bercerita. Dua orang
wanita anggauta Siang-mou-tin yang mendengar percakapan yang makin
menjurus ke arah cabul dan kotor ini hanya tersenyum-senyum dan
kadang-kadang terkekeh geli.
Si Brewok yang kini menjadi pusat
perhatian, dengan bangga lalu melompat ke atas batu besar di
tengah-tengah, memasang aksi dan berdehem beberapa kali sebelum mulai
dengan ceritanya yang pasti menarik dan cabul. Akan tetapi pada saat
itu, Si Brewok menjerit dan terjengkang roboh menggelinding turun dari
atas batu besar. Ketika orang-orang datang menghampirinya, ternyata Si
Brewok sudah tewas dan di lehernya menancap sebatang jarum hijau!
Kagetlah semua orang dan pada saat itu, dari balik sebatang pohon muncul
seorang gadis muda yang amat cantik. Gadis ini bukan lain adalah Kwi
Lan! Secara kebetulan sekali, dalam perjalanannya menuju ke Khitan, Kwi
Lan lewat di kaki Gunung Cheng-liong-san. Ia tertarik akan gerak-gerik
dua orang anggauta Siang-mou-tin maka diam-diam ia mengikuti mereka naik
ke puncak di mana ia melihat berkumpul banyak orang dari golongan
sesat. Mula-mula ia hanya mengintai dan mendengarkan, sudah merasa kesal
dan hendak pergi ketika tiba-tiba ia mendengar nama Ratu Khitan
disebut-sebut. Ratu Khitan yang bernama Yalina, ibu kandungnya! Ia
mendengarkan dengan hati berdebar. Ketika mendengar betapa Ratu Yalina
dimusuhi, ia hanya mencibirkan bibirnya dan tidak mengambil peduli.
Akan tetapi ketika muncul Si Brewok yang menghina Ratu Yalina, ia tak
dapat menahan kemarahannya sehingga sebelum Si Brewok bicara yang
bukan-bukan, ia sudah menyerangnya dengan sebatang jarum. Siapa kira Si
Brewok itu hanya lihai mulutnya saja. Diserang satu kali telah roboh dan
tewas!
Kwi Lan muncul dari tempat sembunyinya dan berkata
lantang. “Aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi
mendengar monyet itu membual, benar-benar membikin orang menjadi muak
dan tak dapat menahan tangan untuk tidak menghajarnya. Selamat
tinggal!” Dengan enak saja Kwi Lan yang telah membunuh orang itu
membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.
Semua orang terkejut.
Gadis cantik itu dapat bersembunyi di situ tanpa seorang pun di antara
mereka tahu, hal ini sudah membuktikan kelihaiannya. Kemudian sekali
turun tangan sudah membunuh Si Brewok, hal ini merupakan bukti ke dua.
Semua orang menjadi kesima. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan
seorang Khitan yang ikut dalam rombongan dari utara.
“Itu dia
perempuan iblis yang merampas kuda hitam Hek-liong-ma!” Orang Khitan
ini telinga kanannya putus bekas sabetan pedang Siang-bhok-kiam di
tangan Kwi Lan.
“Benar, dia Si Gadis Siluman, murid iblis
betina yang bernama Kam Sian Eng!” teriak seorang yang tangan kanannya
buntung, mata kanannya buta dan hidungnya bengkok. Dia adalah seorang
tokoh Hek-pang Kai-pang yang pernah mendapat hajaran Kam Sian Eng dan
kini mengenal Kwi Lan.
“Dia pengacau itu....!” beberapa orang Thian-liong-pang juga berseru.
“Srr.... werr.... siuuuuttt....!” Hujan senjata rahasia menyerang Kwi Lan!
Gadis ini terkejut. Tak disangkanya bahwa ia akan bertemu banyak musuh
di tempat ini. Cepat ia meloncat ke depan mengelak dari serangan hujan
senjata rahasiaitu. ia menaksir bahwa jumlah lawannya ada seratus orang
lebih dan dari sambaran senjata-senjata rahasia tadi tahulah ia bahwa di
antara mereka terdapat banyak orang yang tak boleh dipandang
ringankepandaiannya. Ia tidak takut, tidak pernah mengenal takut. Akan
tetapi Kwi Lan juga bukan seorang goblok yang mau menyia-nyiakan
nyawanya, mati konyol dikeroyok begitu banyak lawan. Sambil tersenyum
mengejek ia lalu mempergunakan kepandaiannya berlari cepat. Karena ia
tidak mengenal daerah itu, ia lari ke kiri dan kebetulan sekali ia lari
ke tempat kuda. Kuda-kuda tunggangan para pendatang ini dikumpulkan di
suatu tempat yang banyak ditumbuhi rumput gemuk, dijaga oleh belasan
orang anggauta rendahan.
Ketika Kwi Lan lari sampai ke tempat
ini dikejar oleh puluhan orang dari belakang, ia melihat betapa di
tempat kuda ini ternyata juga terjadi kekacauan. Belasan orang penjaga
kuda sudah menggeletak malang-melintang di sekitar tempat itu
sedangkan puluhan ekor kuda itu sudah terlepas semua! Terdengar bunyi
cambuk meledak-ledak, membuat binatang-binatang itu menjadi makin
panik, saling tabrak dan riuh rendah suara mereka meringkik-ringkik.
Melihat kesempatan ini, Kwi Lan lalu melompat ke atas punggung seekor
kuda tinggi besar, kemudian menyendal kendali kuda itu, membelok ke
kanan lalu melarikan kuda.
Ributlah suara para pengejar ketika,
menyaksikan kekacauan di tempat ini, apalagi ketika melihat betapa semua
kuda mereka telah terlepas dan panik. Dalam keadaan seribut itu, mereka
terhalang melakukan pengejaran, dan sibuk menenangkan kuda tunggangan
mereka.
Kwi Lan membedal terus kudanya menuruni puncak. Ketika
mendengar derap kaki banyak kuda mengejarnya, ia segera mempersiapkan
jarum-jarumnya dan menoleh. Mau tidak mau ia tertawa sendiri melihat
bahwa yang mengejarnya adalah kuda-kuda tanpa penunggang. Kiranya
banyak kuda yang karena bingung lalu mengikuti saja kuda yang
ditunggangi Kwi Lan. Gadis ini lalu menahan kudanya dan menghalau
belasan ekor kuda yang mengikutinya itu sehingga mereka lari kacau-balau
ketakutan.
Sambil tersenyum-senyum Kwi Lan melanjutkan
perjalanannya. Senyum kepuasan menghiasbibirnya. Ia telah berhasil
merobohkan orang yang telah menghina ibu kandungnya. Biarpun ia belum
pernah bertemu dengan ibu kandungnya dan belum pernah ada yang bercerita
tentang ibunya, namun ia tidak percaya bahwa ibunya seorang berwatak
rendah seperti dibualkan oleh Si Brewoktadi. Ia puas bahwa ia telah
membunuh orang itu dan di samping ini telah mendapatkan seekor kuda
tunggangan. Biarpun tidak sebaik kuda keturunan Hek-liong-ma yang hilang
ketika ia dikeroyok bajak sungai anak buah Huang-ho Tai-ong, namun kuda
ini juga seekor kuda yang baik. Agaknya tunggangan orang-orang utara
tadi. Mereka itu jelas adalah orang-orang dari golongan sesat, maka Kwi
Lan tidak merasa malu untuk merampas kuda mereka.
Akan tetapi,
setelah melarikan kuda beberapa lama belum juga Kwi Lan berhasil turun
dari Cheng-liong-san. Ia merasa heran dan bingung sekali. Sudah lama
ia membalapkan kuda, naik turun dan membelok ke kanan kiri, namun ia
hanya berputar-putar di sekitar lerenggunung. Ia memang berhasil
melarikan diri dari para pengejarnya, namun ia tidak berhasil turun dari
gunung!
Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia melihat
seorang berpakaian pengemis duduk bersandar batang pohon. Pengemis itu
agaknya kelelahan dan mengaso di tempat itu lalu tertidur karena
hembusan angin gunung yang sejuk. Pengemis ini pakaiannya penuh
tambalan, memegangi sebatang tongkat, sebuah buntalan besar terletak di
dekatnya dan sebuah topi lebar menutupi seluruh mukanya. Topi lebar
bundar yang butut dan tua, akan tetapi anehnya, setangkai bunga mawar
yang merah segar berikut dua helai daunnya terselip menghias pita topi
itu.
Kwi Lan menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya kepada
pengemis ini, menanyakan jalan turun. Akan tetapi siapa tahu
kalau-kalau pengemis ini seorang di antara kaum sesat yang berkumpul di
puncak tadi. Tentu akan sia-sia pertanyaannya. Kalau pengemis ini
seorang di antara kaum sesat itu, tentu bukan percuma berada di situ.
Mungkin sengaja menghadang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.
Kwi Lan sengaja memperlambat jalannya kuda ketika melewati pengemis
yang duduk melenggut itu. Kudanya lewat dekat di depan Si Pengemis dan
ia sudah siap waspada menjaga serangan. Namun pengemis itu tidak
bergerak, seolah-olah tidak mendengar suara kaki kuda lewat di depannya.
Kwi Lan lewat terus sampai agak jauh sambil menengok. Pengemis itu
tetap tidak bergerak. Kalau begitu, tentu bukan seorang di antara kaum
sesat, pikirnya. Tentu seorang pengemis tulen yang kelaparan dan
kelelahan. Maka ia lalu memutar kembali kudanya dan meloncat turun
dekat pengemis itu. Muka pengemis itu tidak tampak, tertutup topi
lebar. Akan tetapi orang yang menjadi pengemis tentulah seorang tua yang
sudah tidak kuat bekerja lagi dan hidup terlantar, pikirnya.
“Paman pengemis!” tegurnya nyaring. “Harap kau bangun sebentar, aku ingin bertanya....”
Pengemis itu tersentak seperti orang kaget, lalu mengguman dan
menggaruk belakang telinganya. Gerakan ini membuat topinya makin
menunduk. Ketika ia mengangkat sedikit mukanya, yang tampak oleh Kwi
Lan hanya sepasang mata mengintai dari bayang-bayang gelap di bawah
topi.
“Mau bertanya apa?” Suara pengemis itu lirih seperti orang kelaparan benar sehingga kehabisan tenaga.
“Engkau tentu mengenal jalan di tempat ini, Paman tua, kautolonglah
aku yang tidak tahu jalan. Tunjukkan padaku jalan menuruni lembah gunung
ini.”
Sejenak pengemis itu tidak menjawab, melainkan memandang
kuda yang dituntun Kwi Lan. Kemudian ia berkata, acuh tak acuh, “Jalan
turun bisa ditempuh jalan kaki, tak mungkin berkuda. Dari sini maju
kira-kira setengah li, di pinggir jalan terdapat sebuah batu besar
berbentuk kepala burung. Di belakang batu itulah terdapat jalan setapak
yang akan membawa orang turun ke bawah.” Setelah berkata demikian,
pengemis itu kembali menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh
pulas lagi.
“Terima kasih, Paman.” kata Kwi Lan akan tetapi pengemis itu tidak menjawab karena agaknya sudah tidur.
Huh, pemalas benar, pikir Kwi Lan. Akan tetapi tiba-tiba ia ingat
seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika ia
mengingat-ingat, terbayanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun
dekat markas besar Lu-liang-pai di mana ia bersama Siangkoan Li
berpisah. Di rumah makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus
menerus duduk melenggut, sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya
semenjak ia datang ke rumah itu sampai pergi lagi. Inikah orang itu?
Melihat topi bututnya mungkin ini orangnya dan kalau betul, benar-benar
aneh dan mencurigakan. Bagaimana bisa begitu kebetulan? Tadinya
bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di Cheng-liong-san. Di
sana tidur, di sini pun tidur. Kalau pengemis ini begitu malas dan
kerjanya hanya tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini?
Biarlah, asal ia tidak menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak
di puncak itu dan tentu masih berusaha mencarinya. Tak perlu menambah
lawan yang belumdiketahui kesalahannya. Ia lalu meloncat ke atas
punggung kudanya lagi dan melarikan kuda ke depan.
Kurang lebih
setengah li jauhnya, melihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip
kepala burung, ia berhenti. Benar saja seperti diceritakan pengemis
tadi, ketika ia menyelinap ke belakang batu, tampak olehnya jalan
menurun yang hanya tampak bekas tapak kaki saja. Jalan itu curam dan
kecil sekali, turunnya harus berpegangan pada akar-akar dan batu. Tak
mungkin dilalui oleh seekor kuda. Kalau begitu pengemis itu tidak
bohong, dan tidak mempunyai niat buruk. Pada saat Kwi Lan hendak
menuruni jalan setapak itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan-bentakan
keras di sebelahbelakang. Ia meloncat keluar lagi dari belakang batu
untuk melihat, siap dengan pedangnya. Alangkah kaget dan herannya ketika
dari jarak setengah li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis malas
yang tadi duduk melenggut di bawah pohon, kini telah bertanding
dikeroyok belasan orang banyaknya! Hebatnya, pengemis itu masih
menutupi kepala dan mukanya dengan topi lebar butut, bahkan masih duduk
melonjorkan kaki dan bersandar pada pohon, hanya tongkat di tangannya
yang bergerak-gerak ke depan menangkis serangan senjata tajam belasan
orang itu yang menyerangnya sambil membentak-bentak!
Kwi Lan
tertarik sekali. Banyak sekali orang aneh di dunia ini dan agaknya
pengemis malas itu pun seorang aneh. Ia menunda niatnya meninggalkan
gunung ini dan karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu berlari
kembali ke tempat pengemis itu dikeroyok. Ternyata kini setelah dekat
bahwa belasan orang yang mengeroyok itu adalah pengemis-pengemis pula!
Pengemis-pengemis baju bersih yang sudah beberapa kali bentrok dengan
Kwi Lan.
“Hayo mengakulah! Engkau dari golongan mana dan
mengapa mengacau pertemuan di puncak Cheng-liong-san? Pakaianmu bersih,
hal ini berarti bahwa engkau masih segolongan dengan kami,
pengemis-pengemis pakaian bersih. Mengapa kau mengacau pertemuan yang
diadakan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang? Kau dari partai mana?”
“Hemm, baju bersih badan kotor hati busuk, apa artinya? Orang-orang
sesat, pergilah dan jangan menggangguku!” Pengemis itu berkata tak
acuh, dan tongkatnya juga bergerak sembarangan menghadapi belasan
batang tongkat, golok, dan pedang itu.
Kwi Lan yang kini sudah
berdiri dekat memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta
kagum sekali. Tongkat di tangan pengemis malas itu benar-benar hebat
dan lihai bukan main. Memang behar bahwa belasan orang pengeroyok itu
tidak berapa tinggi ilmu silatnya, namun karena belasan orang maju
bersama maka cukup berbahaya. Apalagi kalau diingat bahwa pengemis malas
itu melawan sambil duduk dan lebih-lebih lagi, mukanya ditutup topi
butut. Akan tetapi begitu tongkat di tangan pengemis malas ini bergerak
ke depan, berturut-turut belasan orang pengemis baju bersih itu roboh
terguling dengan sambungan lutut terlepas karena totokan ujung tongkat
yang dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!
Kini pengemis
malas itu dengan gerakan sigap telah meloncat bangun, dan barulah
tampak oleh Kwi Lan betapa tubuh pengemis ini jangkung dan tegap, namun
mukanya tetap bersembunyi di balik topi butut. Sambil melintangkan
tongkatnya dengan sikap penuh wibawa pengemis itu menghadapi para
pengemis yang merintih-rintih dan mengurut-urut lutut mereka, lalu
terdengar suaranya lantang berpengaruh, jauh bedanya dengan ketika
bicara dengan Kwi Lan tadi.
“Berani menjadi pengemis berarti
berani menjauhkan diri dari pada perbuatan-perbuatan jahat, berani
mengatasi kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati nurani
mereka yang mampu, berani mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan
tetapi kalian menghadapi kemiskinan dengan perbuatan jahat. Kalau sudah
begitu, mengapa masih memakai pakaian pengemis? Kalian hanyalah
penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pengemis, membikin kotor dunia
pengemis dan sudah sepatutnya dibasmi. Kalau mau menjadi penjahat,
jadilah penjahat yang berani bertanggung jawab, atau kalian mau jadi
pengemis, jadilah pengemis yang baik. Mengapa berlaku seperti
pengecut-pengecut yang hina-dina?”
Belasan orang pengemis yang
menggeletak itu tidak menjawab, hanyalah memandang dengan mata melotot.
Sebagai jawaban kata-kata itu, dari jauh terdengar bentakan-bentakan
dan berbondong-bondong datanglah berlari-lari banyak orang yang bukan
lain adalah orang-orang yang tadi berapat di puncak dan kini sudah
datang mengejar. Jumlah mereka itu ada tiga puluh orang lebih!
Mendengar bentakan-bentakan mereka, pengemis aneh itu menggerakkan
kepala memandang ke depan, kemudian ia menoleh kepada Kwi Lan dengan
muka masih tersembunyi di balik topi. “Nona, mengapa engkau kembali?
Pergilah turun gunung dan jangan kau melibatkan diri dengan orang-orang
jahat itu.”
“Dan engkau sendiri?” Kwi Lan bertanya.
“Aku akan menghadapi mereka. Tongkatku masih cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus itu.”
“Wah, enaknya! Engkau mau mencari enak sendiri, Paman jembel! Kalau
tongkatmu kuat, apa kaukira pedangku kurang tajam? Kaulah yang boleh
pergi, mereka itu mengejar aku, bukan mengejar engkau!” bantah Kwi Lan
sambil mencabut Siang-bhok-kiam dari sarungnya. Melihat bahwa pedang
gadis itu terbuat daripada kayu, pengemis itu tercengang, kentara dari
sikapnya yang tiba-tiba tak bergerak. Topinya terangkat sedikit dan
dari bayangan topi itu menyambar dua buah mata yang tajam sinarnya.
“Ah, kiranya Nona seorang pendekar pedang yang lihai!”
Percakapan mereka terpaksa dihentikan karena para pengejar sudah tiba
dekat. Yang tercepat larinya bahkan sudah tiba di depan pengemis itu
dalam jarak empat lima meter. Mereka mengangkat senjata sambil
membentak marah.
Akan tetapi pengemis itu dengan tenang namun
cepat bukan main telah menggerakkan tangan kanannya ke arah topinya,
meraih dan melemparkannya ke depan dengan gerakan kilat dan.... topi itu
berpusing dan terbang menyambar mereka yang datang mengancam. Bagaikan
hidup, topi itu terbang keliling dan kembali kepada pemiliknya setelah
lebih dahulu mampir dan mencium dahi atau leher mereka yang mengejar
paling depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul
robohnya tubuh enam orang pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat
bangun lagi!
Sejenak Kwi Lan bengong. Bukan karena melihat
senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa itu karena ia maklum
bahwa dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar melempar topi yang
pinggirannya lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi. Yang membuat
ia bengong adalah ketika pengemis itu melepas topinya, maka tampaklah
kepala dan muka seorang pengemis yang tampan dan gagah! Seorang pemuda
yang paling banyak dua tiga tahun lebih tua daripadanya! Dan ia sudah
menyebutnya paman tua! Akan tetapi ketika pengemis muda itu sudah
mengenakan kembali topinya yang lebar sehingga mukanya yang tampan
tertutup topi, Kwi Lan sadar darikeheranannya. Ia pun tidak mau kalah
dan secepat kilat tangan kirinya bergerak melepas jarum-jarum halus.
Kembali terdengar jerit kesakitan dan enam orang pengejar roboh.
“Nona, mari kita pergi. Jumlah mereka amat banyak dan di antara mereka banyak terdapat orang pandai. Mari!”
Mereka berdua lari cepat dan sesampainya di batu berbentuk kepala
burung, mereka lalu menuruni jalan setapak. Para pengejar yang belum
roboh tidak berani mengejar setelah menyaksikan kelihaian dua orang muda
itu. Mereka berdiri ragu-ragu, menanti rombongan pengejar lain yang
lebih banyak sambil menolong teman-teman yang terluka.
Karena
Kwi Lan dan pengemis aneh itu menggunakan gin-kang mereka, sebentar
saja mereka berhasil menuruni Cheng-liong-san dan tak tampak atau
terdengar lagi pengejar mereka. Mereka kini jalan berendeng menuju ke
timur. Semenjak turun gunung tadi, tak pernah mereka membuka mulut dan
baru setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, mereka tidak berlari
lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan suara.
“Ah, untung bahwa tokoh-tokohnya belum hadir. Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm...., berbahaya sekali!”
“Kaumaksudkan tua-tua bangka yang mereka sebut-sebut tadi seperti
Bu-tek Siu-lam, Thai-lek Kauw-ong, Jin-ciam Khoa-ong dan Siauw-bin
Lo-mo? Ah, aku tidak takut! Justeru aku ingin sekali bertemu dengan
mereka untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!” kata Kwi Lan.
Kini pengemis muda itu yang menoleh dan memandang terheran-heran.
Saking herannya ia sampai lupa menyembunyikan muka seperti yang biasa ia
lakukan. Kebetulan sekali Kwi Lan pun menoleh sehingga ia dapat melihat
wajah pengemis itu dengan jelas. Wajah yang tampan dan gagah, masih
muda namun sudah jelas tampak kematangan jiwa pada sinar mata dan
tarikan mukanya.
“Engkau seorang gadis yang aneh, Nona!”
“Tidak seaneh engkau!” jawab Kwi Lan cepat. “Bukankah engkau ini
pengemis malas yang pernah kulihat duduk dalam warung di lereng
Lu-liang-san? Dan mengapa engkau sekarang berada di sini? Apakah engkau
sengaja mengikuti perjalananku?”
Pengemis itu menggeleng kepala.
“Tidak ada yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu lagi di
sini karena memang aku hendak menonton pertemuan kaum sesat di sini.
Akan tetapi engkau.... justeru pertemuan di Lu-liang-san itu yang
membuat aku keheranan dan mengatakan engkau seorang aneh, Nona. Kulihat
engkau di sana bersama cucu ketua Thian-liong-pang, bersama seorang dari
golongan hitam yang menentang para hwesio Lu-liang-pai. Aku sudah
menyayangkan mengapa seorang dengan kepandaian seperti kau ini
terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan tetapi hari ini aku
melihat engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi mereka, bahkan
baru saja kau menantang-nantang terhadap empat orang tokoh besar
mereka. Bukankah hal ini amat aneh sekali?”
“Jadi tadinya kaukira aku ini seorang tokoh hitam pula?” tanya Kwi Lan sambil memandang marah.
“Begitulah, karena kau datang bersama tokoh Thian-liong-pang dan menentang hwesio-hwesio Lu-liang-pai.”
“Bukan, aku bukan tokoh golongan sesat.”
“Itu aku percaya setelah menyaksikan sepak terjangmu di sini. Engkau tentu seorang pendekar pedang wanita yang sakti.”
“Juga bukan. Aku bukan pendekar wanita dan bukan pula penjahat. Aku
orang biasa saja. Tidak seperti engkau. Engkau tentu seorang tokoh
kaipang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Agaknya engkau memimpin
pengemis-pengemis baju kotor, bukan?”
Pengemis muda itu menghela napas panjang kemudian menggeleng kepala.
“Aku juga bukan apa-apa, seperti engkau bahkan tidak ada orang yang
mengenal siapa aku ini. Memang betul bahwa mendiang Ayahku adalah
seorang tokoh besar dunia pengemis, akan tetapi sudah lama sekali
sebelum aku lahir Ayahku telah mengundurkan diri dari dunia pengemis.
Sebagai seorang pengemis, tentu saja Ayah hanya meninggalkan topi
butut, tongkat lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat
betapa dunia pengemis terancam malapetaka, terpaksa aku harus turun
tangan mewakili mendiang Ayah. Karena itulah aku turun gunung dan
bertemu dengan engkau di sini.”
“Wah, kalau begitu Ayahmu tentu Yu Kang Tianglo!”
Pengemis muda itu terkejut. “Bagaimana kau bisa tahu?”
Kwi Lan tertawa dan wajah yang sudah cantik itu menjadi amat menarik.
Ketawanya wajar, tidak ditutup-tutupi dan tidak malu-malu sehingga gadis
itu memperlihatkan kecantikan yang aseli. Pengemis muda ini sejenak
menjadi bengong, namun ia membuang pandang matanya dan menekan
perasaannya.
“Tentu saja aku tahu! Kau berilmu tinggi dan
seorang pengemis, kau bilang Ayahmu tokoh besar dunia pengemis. Tentu
pengemis golongan putih. Dan tadi, di antara musuh-musuh kaum sesat
disebut-sebut nama Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau bukan Ayahmu.”
Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan
belum terusak tata susila palsu, Di samping ini, juga pemberani sekali
dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang terletak di
lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan sekali dan
lihai. Pantas saja tergila-gila kepada gadis ini. Siapa orangnya yang
takkan tergila-gila?
“Betul sekali dugaanmu. Mendiang Ayahku
adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki, pengemis muda
sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku.” Ia
menjura dengan sikap hormat.
Kwi Lan membalas penghormatan itu
sambil tertawa, “Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan? Gerakan
tongkatmu tadi hebat luar biasa, biarpun pakaianmu pakaian jembel,
namun engkau bukan seorang kotor! Yu Siang Ki, namaku Kwi Lan, Kam Kwi
Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku Mutiara Hitam!”
Pengemis muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan.
“Engkau she Kam, Nona?”
“Benar, kenapakah?”
“Aih, tidak apa-apa, hanya.... mengapa begitu kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan....”
“Wah, kau menjemukan benar, menyebutku nona-nonaan segala! Semua orang
yang menjadi sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja atau.... Mutiara
Hitam.”
“Tapi aku.... bukan sahabat....”
“Hemm, bagus,
ya? Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau
tak mau bersahabat? Nah, selamat berpisah!” Kwi Lan sudah membalikkan
tubuh hendak pergi.
“Eh...., maaf, bukan begitu maksudku.
Aku.... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi....
baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang
marah?”
Kwi Lan tertawa! “Memang aku gampang marah gampang gembira! Nah, sekarang lanjutkan, kalau aku she Kam, mengapa kebetulan?”
“Shemu mengingatkan aku akan seorang yang kujunjung tinggi, seorang
pendekar sakti yang selain menjadi sahabat baik mendiang Ayahku, juga
menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun disebut-sebut oleh
mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!”
“Eh, dia she Kam?”
Siang Ki mengangguk. “Menurut penuturan Ayahku, Suling Emas bernama
Kam Bu Song, Kwi Lan, melihat keadaanmu yang luar biasa, ilmu
kepandaianmu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan menghubungkan
engkau dengan Suling Emas? Apakah engkau puterinya? Ataukah
keponakannya?”
Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya membayangkan
kekecewaan. Kalau saja benar demikian, bahwa dia puteri seorang sakti
seperti Suling Emas, alangkah akan menyenangkan dan membanggakan! Akan
tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang
Khitan yang dianggap bangsa liar!
“Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaimana macamnya Suling Emas.”
“Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang hatiku andaikata engkau
benar-benar puterinya, karena aku pun sedang mencarinya. Aku sendiri
pun belum pernah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi Ayah berpesan
bahwa dalam usahaku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum
jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku
mengetahui siapa orang tuamu?”
Mereka tiba di depan sebuah anak
sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki Gunung
Cheng-liong-san itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara
batu-batu menjadi dendang yang aneh namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di
tepi sungai, di atas batu yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan
topinya dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman
sekali duduk di tepi anak sungai itu.
“Aku sendiri tidak tahu
siapa orang tuaku.” kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang
mata melamun. “Semenjak aku masih bayi, aku dirawat Guruku.”
Yu
Siang Ki menmmandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya
ayah dan ibu, akan tetapi sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping
orang tuanya. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya,
seorang gadis yang patut dikasihani.
“Ah, Gurumu tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”
“Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri,
dan aku hanya mengenalnya sebagai Bibi Sian. ilmu kepandaiannya memang
luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa saja.” Kwi Lan memang
sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya adalah seorang
aneh yang tidak suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau menimbulkan
keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan memberitahukan bahwa
bibi atau gurunya itu pun she Kam!
Yu Siang Ki menarik napas
panjang. “Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan
diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara
mereka dan melihat kepandaianmu, tentu Gurumu seorang yang amat
pandai.”
Kwi Lan tertawa. “Yu Siang Ki, engkau belum pernah
bertanding denganku, belum pernah melihat kepandaianku, akan tetapi
sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah
terlalu aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek
Sian-ong itu barulah patut disebut orang-orang sakti dan aneh luar
biasa.”
Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu
dengan penuh perhatian. “Apa? Engkau pernah berjumpa dengan kedua
Locianpwe itu? Mengenal mereka?”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya.
Hatinya masih mengkal kalau ia teringat kepada dua orang kakek itu,
menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li,
“Tentu saja aku sudah pernah bertemu dengan dua orang tua bangka
seperti monyet!”
“Aiihhh.... Kwi Lan, bagaimana engkau berani....?”
“Memaki mereka monyet? Di depan mereka pun aku berani memaki-maki
mereka. Boleh jadi mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka itu layak
dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepandaian seperti Bu Kek
Siansu, tentu mereka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu
sampai kapok!”
Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama makin
mengherankan gadis ini! “Kau.... kau pernah berjumpa pula dengan....
dengan Bu Kek Siansu?”
Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.
Tanpa disadarinva, Siang Ki memegang lengan gadis itu erat-erat dan
dengan penuh gairah ia bertanya. “Benarkah itu, Kwi Lan? Benarkah ada
manusia dewa itu? Aku hanya mendengar namanya seperti dongeng yang
diceritakan Ayah!”
“Mengapa aku berbohong? Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan tetapi juga goblok!”
Kali ini sepasang mata Siang Ki memandangi muka Kwi Lan dengan penuh
curiga dan keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesuatu yang tak masuk akal
dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kangouw, menyebut
nama dua orang kakek ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang
gadis ini tidak hanya berani memaki mereka, bahkan berani mengatakan
bahwa Bu Kek Siansu goblok! Ini sudah keterlaluan sekali. Nama Bu Kek
Siansu sudah disanjung-sanjung oleh semua pendekar, dianggap guru besar
yang setarap dengan Tat Mo Couwsu dan juga disegani, semua tokoh dunia
hitam, dianggap seperti manusia dewa yang entah sudah berapa ratus
tahun usianya. Akan tetapi gadis ini menyebutnya goblok! Kalau tidak
mendengar dengan kedua telinganya sendiri, tak mau Siang Ki
mempercayai hal ini.
“Kwi Lan, maukah engkau menceritakan
kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang kakek sakti itu?” Dengan
penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan semangat Kwi Lan
untuk menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.
Ketika
mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang
kali ia mengangguk. “Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut
dikasihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan membantunya
jika keadaan mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku banyak
persamaannya. Dia bertugas membangun dan membersihkan Thian-liong-pang
sedangkan aku harus membangun kembali dan membersihkan Khong-sim
Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kauceritakan bahwa
kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek
Siansu untuk memihak kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya
orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan sanggup membendung
datangnya iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan.”
“Yu Siang Ki, aku sudah terlalu banyak bercerita. Sekarang
kauceritakanlah pengalamanmu, tentang Ayahmu yang terkenal itu dan
tentang kau sendiri.”
Memang begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa
suka dan cocok sekali dengan gadis yang wajar dan polos ini. Apalagi
ketika mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam, biarpun tidak ada hubungan
dengan Kam Bu Sang si Suling Emas, namun persamaan she ini saja sudah
menambah rasa suka di hatinya karena semenjak kecil memang Siang Ki
sudah memuja nama Suling Emas yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya. Kini
mendengar permintaan gadis ini tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.
Yu Kan Tianglo adalah seorang tokoh partai pengemis Khong-sim Kai-pang.
Ia putera Ketua Khong-sim Kai-pang akan tetapi semenjak kecil
menghilang dan mempelajari Ilmu silat tinggi. Setelah berusia tiga puluh
tahun ia muncul dan mencari musuh besar yang membunuh ayahnya, yaitu
seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi raja pengemis, It-gan
Kai-ong. Di dalam usahanya yang amat sukar ini karena It-gan Kai-ong
memiliki kesaktian yang hebat, ia mendapat bantuan Suling Emas sehingga
akhirnya berhasil membunuh tokoh iblis itu.
Semenjak itu, Yu
Kang Tianglo tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw. Biarpun secara
diam-diam ia masih suka kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para
pimpinan kai-pang, namun ia sendiri mengasingkan diri dan beberapa tahun
kemudian menikah dengan puteri seorang sahabatnya, juga seorang
pendekar silat yang mengasingkan diri. Dari pernikahan ini lahirlah Yu
Siang Ki. Akan tetapi sungguh malang nasib Yu Kang Tianglo, ketika
melahirkan, isterinya meninggal dunia. Hal ini terjadi karena tempat
tinggal mereka yang menyendiri di lereng Bukit Thai-hang-san, jauh
tetangga sehingga pada saat melahirkan. Yu Kang Tianglo sendiri tidak
berada. di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia pulang ke
pondok bersama seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan,
isterinya telah menggeletak tak bernyawa di samping seorang bayi yang
menangis keras. Isterinya mati karena kehabisan darah!
Yu Kang
Tianglo hidup dengan hati mengandung kedukaanbesar. Ia makin tak mau
lagi muncul di dunia ramai. Hidupnya dlcurahkan untuk merawat dan
mendidik Siang Ki sehingga ketika pemuda ini, berusia dua puluh tahun,
ia telah mewarisi semua kepandaian ayahnya! Betapapun juga, Yu Kang
Tianglo tak pernah mau mengingkari asal-usulnya sebagai putera kai-pang
(perkumpulan pengemis) sehingga bukan hanya dia, bahkan puteranya pun
semenjak kecil diharuskan memakai pakaian yang dihias tambal-tambalan
seperti pakaian pengemis.
“Demikianlah, Kwi Lan. Ketika Ayah
mendengar bahwa dunia pengemis kembali rusak dan terancam hebat oleh
tokoh-tokoh sesat sehingga banyak pengemis dibawa menyeleweng, Ayah
menjadi kaget dan marah sekali. Hal ini sungguh menjadi malapetaka
karena jantung Ayah yang selalu lemah dan sakit-sakit semenjak ibu
meninggal dunia, mendapat serangan yang membawa Ayah meninggal dunia
pula. Ayah hanya berpesan agar aku mewakili Ayah untuk menolong kaum
pengemis, terutama sekali Khong-sim Kai-pang.”
Kwi Lan
mendengarkan penuturan itu dengan hati penuh iba. Kiranya pemuda ini
juga bernasib buruk di waktu kecilnya, tidak ada bedanya dengan Tang
Hauw Lam maupun Siangkoan Li. Semenjak kecil sudah dirundung malang dan
kini hidup sebatang kara di dunia.
“Saudara Siang Ki, karena
engkau selalu melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat engkau
mengenal semua tokoh kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam
maupun putih. Karena Ayahmu adalah sahabat baik pendekar sakti Suling
Emas, tentu engkau tahu baik tentang riwayat pendekar itu.”
“Aku
hanya mendengar dari penuturan mendiang Ayah. Biarpun hatiku amat
kepingin, namun belum pernah aku mendapat kehormatan berjumpa dengan
pendekar itu.”
“Dalam percakapan kaum sesat di puncak
Cheng-liong-san tadi, aku mendengar mereka menyebut-nyebut nama Ratu
Khitan yang katanya masih sanak dekat dengan Suling Emas, bahkan katanya
menjadi.... eh, kekasihnya. Tahukah engkau akan hal itu?”
Yu
Siang Ki menggeleng kepalanya. “Ayah tidak tahu akan hal itu. Aku pun
tidak tahu benar. Yang kutahu bahwa Ratu Khitan kabarnya juga memiliki
ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan aku pernah mendengar pula dari
luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi adik angkat Suling Emas. Tentang
hubungan asmara di antara mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, sampai
sekarang Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu Khitan yang
kabarnya cantik jelita itu sampai sekarang tak pernah menikah.”
Berdebar jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa tidak enak. Menurut kata
Bibi Sian gurunya, dia adalah puteri Khitan. Kalau Ratu Khitan tidak
pernah menikah, bagaimana ia bisa menjadi puterinya? Siapakah ayahnya?
“Ah, bagaimana mungkin seorang ratu tidak menikah?” Ia pura-pura merasa
heran dan bertanya. “Bukankah seorang raja atau ratu itu membutuhkan
keturunan untuk kelak diwarisi tahta kerajaan?”
Yu Siang Ki
mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu
tidak menikah. Akan tetapi aku mendengar dari para pedagang keliling
yang seringkali mengembara ke Khitan bahwa sesungguhnya ia tidak
menikah namun Ratu Khitan mempunyai seorang putera angkat. Agaknya
putera angkatnya itu pun telah mewarisi kepandaian ibunya. Namanya
Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali pangeran itu mengadakan
perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya tampan bukan main
dan sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang tangguh.”
Makin tidak nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau benar seperti yang
dituturkan gurunya secara singkat sekali bahwa dia puteri Ratu Khitan
mengapa ia sejak kecil ikut Bibi Sian? Mengapa Ibu kandungnya sendiri
tidak merawat dan mendidiknya, bahkan mengangkat seorang putera?
Apakah karena aku perempuan? Makin penasaran rasa hati Kwi Lan sehingga
tampak mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api kemarahan.
“Kau kenapakah?” Siang Ki yang berpemandangan tajam itu menegurnya.
“Tidak apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa bertemu dengan Suling Emas?”
Siang Ki makin terheran. “Kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai
hubungan dengan Suling Emas, mengapa sekarang hendak bertemu
dengannya?”
Kwi Lan sudah dapat menekan perasaannya.
Iatersenyum dan menjawab. “Puji-pujian yang kudengar mendorong hatiku
untuk melihat bagaimana macamnya pendekar besar itu. Di manakah dia
berada sekarang?”
“Aku sendiri pun mencari-carinya, Kwi Lan.
Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia seperti Suling Emas. Aku
hendak pergi ke Kang-hu mengunjungi pusat dari Khong-sim Kai-pang.
Setelah aku memperkenalkan diri, kiranya para tokoh Khong-sim Kai-pang
ada yang tahu di mana adanya Suling Emas yang merupakan sahabat baik
itu.”
Hati Kwi Lan kecewa mendengar bahwa pemuda yang luas
pengalamannya ini pun tidak tahu di mana adanya Suling Emas. Ia harus
bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai pendekar itu tentang ibu
kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya itu seorang wanita
tak tahu malu seperti yang dibicarakan oleh para kaum sesat, ia tidak
usah melanjutkan keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu. Di samping
ini, ia pun tertarik untuk menyaksikan bagaimana keadaan perkumpulan
pengemis golongan putih yang menjadi musuh pengemis-pengemis golongan
hitam. Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh dan pendekar-pendekar besar
yang ia percaya tentu akan ia jumpai kalau ia mengikuti pengemis muda
ini.
“Aku ikut!” Tiba-tiba ia berkata. Siang Ki memandang, terkejut. “Apa maksudmu? Ikut....?”
“Ya, aku ikut bersamamu dengan harapan agar kau dan Khong-sim Kai-pang
akan dapat membantuku mempertemukan dengan Suling Emas. Atau....
barangkali engkau tidak suka mengajak aku.”
Sepasang mata gadis
itu memandang penuh selidik, bahkan mengandung tantangan. Mau tidak
mau Siang Ki tersenyum. Gadis ini benar lincah dan wajar, aseli
danmenyenangkan. Ia mengangguk dan berkata lirih.
“Bukan aku
yang tidak suka melakukan perjalanan bersamamu, Kwi Lan. Sebaliknya aku
bersangsi apakah engkau akan betah melakukan perjalanan di samping
seorang pengemis sehingga derajatmu terseret turun dan dipandang
rendah serta dihina orang.”
“Karena kau seorang yang berpakaian
pengemis? Huh, hendak kulihat siapa berani menghinaku kalau aku
berjalan bersamamu! Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan pula
dari kata-katanya, melainkan dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar
setelah merantau.”
Pengemis muda itu memandang dengan wajah
berseri dan mulut tersenyum. “Dan engkau akan masih belajar banyak, Kwi
Lan, dan akan mendapatkan kenyataan-kenyataan yang banyak pula. Hidup
ini belajar dan sebelum mati, takkan pernah habis hal-hal yang perlu
kita pelajari. Nah, mari kita berangkat ke kota Kang-hu.”
Demikianlah, untuk ke tiga kalinya Kwi Lan melakukan perjalanan bersama
seorang pengemis tampan yang lihai dan sifatnya jauh lagi bedanya dengan
dua orang pemuda yang pernah dikenalnya. Kalau Tang Hauw Lam pemuda
berandalan yang selalu riang gembira itu memandang hidup dari segi
yang lucu dan menggembirakan, sedangkan Siangkoan Li memandang hidup
dari segi yang penuh kedukaan, kekecewaan dan penuh perjuangan, adalah
pemuda ke tiga ini seorang pemuda yang sikapnya seperti orang tua,
sudah masak, berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan memandang
dunia dengan sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemuda
yang ketiganya sama lihai, entah mana yang paling tinggi ilmunya, dan
yang memiliki sifat-sifat menarik dan baik masing-masing. Tiga pemuda
perkasa yang begitu berjumpa dengan Kwi Lan telah memperlihatkan rasa
suka dan sayang!
***
Sudah terlalu lama kita
meninggalkan Suling Emas, semenjak dalam buku jilid pertama. Dua orang
tokoh pengemis Khong-sim Kai-pang yang bernama Gaklokai dan Ciam-lokai,
dengan penuh keyakinan mengira bahwa Suling Emas adalah Yu Kang
Tianglo dan mohon kepada “Yu Kang Tianglo” ini untuk menolong kaum
pengemis yang terancam keselamatannya oleh kaum sesat. Setelah
mendengar permintaan mereka berdua, akhirnya Suling Emas menyanggupi
untuk datang ke Kang-hu mengunjungi Khong-sim Kai-pang sebagai Yu Kang
Tianglo!
Ada dua hal yang menyebabkan Suling Emas menerima
permintaan ini. Pertama karena mengingat akan persahabatannya dengan Yu
Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali menyelamatkan Khong-sim Kai-pang
dari tangan orang-orangsesat. ke dua, karena ia sedang dikejar-kejar
oleh para orang-orang suruhan Ratu Yalina dari Khitan yang minta
kepadanya untuk datang ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke Khitan
melepaskan rindu terhadap kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina, akan
tetapi keinginan ini ia tekan dengan anggapan bahwa kepergiannya ke
Khitan berarti merendahkan derajat ratu yang di junjung tinggi oleh
bangsa Khitan itu. Tidak, ia harus berkorban. Dengan menyamar menjadi Yu
Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan saputangan, tentu akan
membebaskannya daripada pengejaran orang-orang Khitan itu.
Karena kini menghadapi sebuah tugas yang penting, maka hati dan pikiran
Suling Emas tidak lagi terlalu ditekan oleh kenang-kenangan pahit
sehingga tubuhnya menjadi lebih segar dan bersemangat. Memang tubuh
pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala
penderitaan. Hanya kalau terlalu merana hatinya, teringat akan
kegagalan-kegagalan cinta kasih yang meremukkan jiwanya, maka jantungnya
menjadi tidak kuat dan ia suka terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia
sudah dapat mengatasi kedukaan lni, tubuhnya menjadi sehat kembali.
Kuda merah kurus yang menjadi kawan satu-satunya dan menjadi kuda
tunggangannya yang setia, berjalan perlahan. Setelah tiba di depan
pintu gerbang kota Kang-hu sebelah barat, Suling Emas menarik napas
panjang. Entah sudah berapa belas tahun ia tak pernah lewat kota ini
yang dahulu dikenalnya amatbaik. Ia menaikkan saputangan menutupi
mukanya, menundukkan topi bututnya menyembunyikan muka dan melanjutkan
perjalanan. Untuk pergi ke kuil yang menjadi markas besar perkumpulan
pengemis, Khong-sim Kai-pang, ia harus memasuki kota Kang-hu dan keluar
lagi dari kota itu melalui pintu sebelah timur karena kuil itu berada di
luar kota sebelah timur.
Kota Kang-hu tidak ada perubahan.
Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu saja. Namun ia
tahu bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang dahulu telah
menjadi tua, seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti yang
muda, yang dahulu masih kanak-kanak atau bahkan belum terlahir. Oleh
karena penggantian satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa
ia tidak mengenal seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang
atau berada di dalam warung dan toko. Maka hatinya menjadi lega dan ia
melepas saputangan yang menutupi mukanya. Hanya kalau perlu saja, agar
jangan dikenal orang, ia menutupi mukanya. Kalau memang tidak ada yang
mengenalnya, ia tidak perlu menutupi mukanya karena hal ini malah akan
menimbulkan kecurigaan.
Seorang laki-laki tua di atas kuda
kurus dan buruk bukanlah penglihatan yang aneh di kota itu, maka tak
seorang pun memperhatikan Suling Emas. Semua orang menganggap dia ini
seorang petani tua miskin yang mungkin hendak mencari sanaknya di kota
atau hendak berbelanja.
Ketika tiba di sebuah jalan simpang tiga
di dekat pintu gerbang timur, Suling Emas menghentikan kudanya di depan
sebuahwarung. Ia teringat bahwa warung ini dahulu amat terkenal dengan
masakan bakminya yang lezat dan murah. Perutnya memang sudah lapar maka
ia ingin makan di mi warung ini. Seperti yang telah diduganya, juga
penjaga kedai bakmi ini sudah terganti orang lain semua. Akan tetapi
meja-mejanya masih seperti dahulu, menjadi hitam mengkilap saking tuanya
dan setiap hari terkena minyak. Dengan hati lega Suling Emas mengambil
tempat duduk di sudut menghadap ke pintu masuk. Senang juga melihat
betapa dugaannya tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi banyak tamu
karena bakminya. Buktinya, belasan orang tamu yang memenuhi tempat itu
semua menggerakkan sumpit makan bakmi!
Ia memesan bakmi dan
arak, kemudian makan dengan enaknya. Betapapun juga, karena ia berada
dekat markas Khong-sim Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah
ia akan menghadapi hal-hal yang pelik, Suling Emas memasang mata
denganwaspada. Ia sengaja tidak menurunkan topi bututnya dan mengintai
dari balik topinya sambil makan bakmi dan minum arak. Tidak ada sesuatu
yang ganjil di antara para tamu yang makan bakmi. Hanya di sudut kanan
ada tiga orang laki-laki berpakaian seperti ahli-ahli silat, agaknya
mereka ini adalah piauwsu-piauwsu (pengantar kiriman) yang lewat di
Kang-hu dan makan di kedai ini. Yang seorang sudah berusia lima puluhan
tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah. Yang dua orang adalah
pemuda-pemuda berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat
terhadap yang tua itu. Di pinggang mereka tampak gagang pedang. Melihat
sikap mereka itu tidak sombong dan bicara dengan sopan dan perlahan.
Suling Emas tahu bahwa mereka ini adalah orang baik-baik. Logat bicara
mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang selatan.
Setelah habis semangkok bakmi, Suling Emas minta semangkok lagi.
Perutnya amat leper, sudah dua hari ia tidak makan. Juga ia minta tambah
arak. Pelayan kedai curiga. Orang tua ini pelahap benar, dan
pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat juga seorang dusun yang
miskin.
“Lopek harap bayar dulu,” kata Si Pelayan dengan suara
perlahan. Kalau sampai orang ini terlalu banyak makan minum kemudian
tidak dapat membayarnya, dia juga tidak terlepas dari tanggung jawab
dan selain mendapat teguran, sedikitnya ia harus menanggung separoh
harga makanan dan minuman itu!
Suling Emastersenyum. Ia dihina,
akan tetapi ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia tidak merasa
terhina karena ia tahu akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata
sesuatu ia mengeluarken sepotong perak dan memberikannya kepada Si
Pelayan. Melihat perak ini yang cukup besar, Si Pelayan mengubah sikap
membungkuk-bungkuk dan berkata,
“Biar nanti sajalah, Lopek. Saya
ambilkan tambahanmu.” Si Pelayan pergi dan Suling Emas menyimpan
peraknya sambll tersenyum pula. Semenjak ia muda dahulu sampai sekarang,
generasi telah berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup
manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia
diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan
berdasarkan pribadinya namun berdasarkan harta dan kedudukannya. Orang
menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya melainkan
berdasarkan bagusnya pakaian dan padatnya kantung. Manusia sudah tidak
dapat menguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta
benda dan kedudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang
amat lemah dan menyedihkan!
Ketika pelayan itu membawa bakmi dan
arak tambahan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut di pintu
kedai. Si Pelayan menoleh dan ketika ia melihat dua orang pengemis di
pintu itu yang marah-marah dan memaki-maki, ia cepat-cepat lari ke dalam
dengan muka pucat. Suling Emas menoleh dan diam-diam ia terkejut ketika
melihat dua orang pengemis setengah tua yang berdiri di depan pintu
itu. Dua orang pengemis ini menaruh tangan kiri di atas dada sedangkan
tangan kanan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk di atas
kepala. Itulah tanda bahwa mereka berdua adalah anggauta-anggauta
Khong-sim Kai-pang! Mau apakah dua orang Khong-sim Kai-pang datang ke
kedai ini dengan sikap demikian aneh?
“Mana pemilik kedai? Hayo
lekas keluar!” bentak seorang di antara mereka dengan suara galak. Kini
mereka sudah menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi mereka
kempit. Tak lepas dari pandang mata Suling Emas betapa para tamu
kelihatan gelisah melihat dua orang pengemis ini, seperti takut-takut.
Sejak kapankah anggauta-anggauta Khong-sim Kai-pang bersikap galak
seperti ini dan ditakuti orang?
Dari dalam kedai berlari-lari
keluar seorang berjubah hitam panjang, tubuhnya kecil kurus dan
kumisnya panjang sampai ke dagunya. Jelas tampak orang ini ketakutan,
sambil membungkuk-bungkuk dan memaksa senyum sehingga tampak giginya
yang hitam karena tembakau ia menghampiri dua orang pengemis itu sambil
berkata,
“Ah, kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang! Silakan duduk!”
“Tak usah banyak jual omongan manis. Kami datang bukan menghendaki
bakmimu yang busuk dan arakmu yang bau! Engkau Lai Keng pemilik kedai
ini?”
Be.... betul...., ada apakah, Taihiap....?”
Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, Si Pemilik Kedai menyebut
Taihiap (Pendekar Besar) kepada anggauta Khong-sim Kai-pang itu.
“Huh, engkau benar-benar memandang rendah kepada kami, ya? Ketika
kemarin seorang anggauta rendahan kami datang minta derma sepuluh tail,
kenapa hanya kauberi uang kecil? Engkau berani menghina kami?”
“Ah, tidak sama sekali...., mana saya berani? Ketahuilah, harap Ji-wi
suka mempertimbangkan. Perdagangan sekarang sepi, dan pula
keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagaimana saya
sanggup menderma sepuluh tail perak? Harap Ji-wi sudi
mempertimbangkan....”
“Tidak laku, ya? Sepi kau bilang? Begini banyak tamu kau bilang sepi!” bentak pengemis ke dua.
“Benar, ada juga yang datang berbelanja namun keuntungannya tipis sekali....“
“Banyak alasan! Kalau kaunaikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau
mendapatkan banyak untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail?
Pendeknya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim Kai-pang bukannya
orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau sekarang tidak mengeluarkan
sepuluh tail, jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini!”
Sambil berkata demikian, seorang di antara para pengemis itu
menggerakkan tongkatnya ke bawah dan.... “ceppp....!” tongkat itu amblas
masuk ke dalam lantai sampai setengahnya lebih!
Si Pemillk
Kedai menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara
bercampur isak ia berkata, “Kalau begini.... bakal bangkrut....”
“Kaupilih saja. Bangkrut atau mampus!”
Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak
meja sambil berseru, “Bangsat tak tahu malu! Dari mana datangnya
pengemis-pengemis yang begini kurang ajar!”
Ternyata yang
menggebrak meja dan marah-marah ini adalah tiga orang piauwsu tadi
yang kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang
berdiri di luar pintu. Piauwsu setengah tua bermuka merah tadi kini
menudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,
“Kalian ini golongan apakah? Melihat sikap dan pakaian seperti
pengemis-pengemis yang biasanya mencari sisa makanan di kedai-kedai
atau minta sedekah kepada orang yang lewat. Akan tetapi ternyata kalian
lebih rendah daripada pengemis maupun perampok. Pengemis tidak minta
secara paksa sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis!”
Dua orang pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu
itu dengan mata melotot lebar. “Apa kamu mencari mampus berani
mencampuri urusan kami dua orang anggauta Khon-sim Kai-pang?” Sebutan
Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara pengemis itu
dengan keras-keras, agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama ini
untuk mendatangkan kesan.
“Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan
Pengemis Hati Kosong) semestinya mempunyai anggauta-anggauta yang
berhati kosong tanpa pamrih akan tetapi kalian ini perampok-perampok
berkedok pengemis amat menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang sedang
makan di kedai ini, memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan
pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang
mengganggu! Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada
nafsu makan. Hayo enyah dari sini!” bentak piauwsu setengah tua muka
merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak.
Malah seorang di antara dua orang muda ini segera mengulur tangan ke
depan, menggunakan dua buah jari menjepit tongkat yang tertancap di
lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar
dari lantai.
“Phuhh! Yang macam ini dipakai menakut-nakuti
orang? Menyebalkan!” katanya sambil melempar tongkat itu sehingga
tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai. Semua tamu kedai
itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah
sekali. Pemilik tongkat sudah menyambar tongkatnya, kemudian mereka
berdua meloncat mundur lalu berdiri di jalan sambil menantang.
“Pengacau dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?”
Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu
muda. “Tak tahu malu, menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk,
kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan manusia jahat.
Kami datang dan pergi tak pernah menyembunyikan nama. Di selatan kami
terkenal piauwsu-piauwsu yang paling, benci terhadap penjahat-penjahat
berkedok pengemis, seperti srigala-srigala berkedok domba! Aku Lim Kiang
atau Lim-piauwsu, dan ini kedua orang puteriku. Lekas kalian enyah
dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang
mengusir anjing-anjing rendah.”
Dua orang pengemis itu marah
bukan main. “Keparat she Lim! Kau dan anak-anakmu sudah bosan hidup
rupanya. Majulah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya
kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu yang lebar itu?”
“Ayah,
biarkan kami menghajar dua penjahat ini!” seru dua orang muda sambil
meloncat ke depan dan pedang mereka sudah berada di tangan. Sang Ayah
yang agaknya cukup percaya akan kepandaian putera-puteranya, lalu
mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil bertolak
pinggang.
Dua orang pengemis itu sudah berseru nyaring sambil
memutar tongkat besi mereka, menyerang dua orang piauwsu muda yang
sudah menangkis dengan pedang mereka pula. Terjadilah pertandingan yang
seru, di atas jalan raya di depan kedai bakmi! Mereka yang tadinya
enak-enak makan bakmi, kini sudah keluar pula dari kedai untuk
menonton, wajah mereka tegang dan khawatir karena semua orang di
Kang-hu tahu belaka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir
ini berlaku sewenang-wenang. Tentu saja diam-diam mereka mengharapkan
kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.
Pengharapan mereka itu ternyata terkabul. Dua orang piauwsu muda dari
selatan ini memiliki ilmu pedang yang hebat. Tidak sampai lima puluh
jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis Khong-sim
Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang dan
tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut menonton menjadi terkejut
ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera ia kenali.
Itulah ilmu pedang Beng-kauw! Tak disangsikan lagi bahwa
piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan melihat sepak
terjang mereka, ia menjadi bangga, Mereka ini murid-murid Bengkauw yang
baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka memberi hajaran dua orang
pengemis jahat, juga melihat betapa dua orang piauwsu muda itu hanya
melukai pundak lawan, tidak membunuhnya.
Beberapa orang di
antara penonton yang tadi makan bakmi segera menghampiri tiga orang
piauwsu itu sambil berbisik, “Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini.
Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kai-pang bermarkas di luar kota
ini dan selain anggautanya banyak, juga mereka mempunyai
pemimpln-pemimpin yang pandai dan amat kejam! Lekas, Sam-wi (Tuan
Bertiga) pergilah dari sini.”
Piauwsu tua mengerutkan alisnya
dan berkata lantang, “Kami bukan golongan pengecut yang berani berbuat
tidak berani bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua orang
pengemis ini karena kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya
datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka itu dengan pedang
kami.” Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali
tidak membayangkan kesombongan.
Banyak orang yang sudah tahu
akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini
berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka bertiga lekas pergi
saja karena kalau tidak, mana mungkin mereka dapat melawan banyak
anggauta Khong-sim Kai-pang. Namun bujukan-bujukan itu sia-sia belaka.
Si Piauwsu Tua bersama dua orang puteranya bahkan menyatakan hendak
mendatangi markas besar Khong-sim Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu
agar jangan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk Kang-hu! Tiba-tiba
terdengar suara orang yang amat jelas mengatasi semua suara orang yang
sedang membujuk-bujuk, “Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa
dibujuk-bujuk? Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka
mati!”
Semua orang menoleh dan ketika orang-orang di situ
melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini adalah seorang
berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah tertutup
sehelai kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir.
Ada suara bisikan-bisikan terdengar. “Nah, mereka sudah mulai
datang....!”
Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya she
Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling Emas dengan tajam.
Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pemimpin
Khong-sim Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah maju dan hendak
menegur.
Akan tetapi Suling Emas sudah menghampiri mereka
sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan menegur, “Kalian ini
orang-orang apa berani hendak mengancam Khong-sim Kai-pang? Kalau ada
satu dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang
kota ini pencuri belaka? Kalau ada satu dua orang piauwsu menyeleweng,
apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka?
Demikian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang
menyeleweng, apakah benar kalau dikatakan bahwa Khong-sim Kai-pang
perkumpulan orang jahat? Setelah memperoleh kemenangan berlaku merendah
dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, Itulah sikap seorang
bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah? Hayo
pergi.... pergi.... pergi....!” Ia mendorong-dorong sehingga jari-jari
tangannya menyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi
kebenaran dan kegagahan. Untuk membela yang tertindas dan menghadapi
yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan ragu-ragu
mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewarisi watak gagah
ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja
beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh Khong-sim Kai-pang
yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa
pengemis ini bukan orang sembarangan. Karena itulah, ia memberi tanda
kepada dua orang puteranya untuk mundur, kemudian ia sendiri tersenyum
dan berkata.
“Setiap orang manusia tentu mencari kebenarannya
sendiri. Betapapun jahatnya Khong-sim Kai-pang, tentu seorang
anggautanya akan melihatnya sebagai perkumpulan yang baik. Sahabat,
kalau kau merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau
majulah!” Sambil berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.
“Aihh....!” ia berseru kaget dan tangannya meraba-raba pinggang,
kemudian ia menunduk untuk melihat ke arah pinggangnya. Namun tetap
saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pedang itu sudah
lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!
Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
“Pe.... pedangku....!” Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu
setengah tua itu bahwa pedang kedua orang puteranya juga sudah lenyap!
“Adakalanya orang tidak dapat mengandalkan pedangnya.” Suling Emas
berkata lagi, “Tapi lebih tepat mempergunakan akal dan kewaspadaan.
Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang akan selalu membawa
kemenangan. Sam-wi mencari inikah?”
Tiga orang piauwsu itu
melongo ketika melihat pengemis yang mukanya ditutupi saputangan itu
mengangsurkan tiga batang pedang mereka! Cepat mereka menyambut pedang
mereka dan tidak berani sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat
merampas pedang mereka bertiga tanpa mereka ketahui sama sekali,
adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sekali dan
bukanlah lawan mereka! Betapapun juga, Lim Kiang adalah seorang gagah
yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum ia dikalahkan.
“Boleh jadi engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, akan
tetapi jangan kira bahwa kami takut untuk coba-coba memberantas
kejahatanmu!” Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan pedangnya
hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak
hendak menerjang Suling Emas.
Pada saat itu berkelebat dua
bayangan hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya
hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang
bertubuh bongkok kurus. Namun Si Bongkok ini sekali sambar sudah
mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke belakang
sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung. Sedangkan kakek pengemis ke dua
sudah pula melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.
“Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar
terhadap Ketua Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?”
bentak Si Pengemis Bongkok yang bukan lain adalah Gak-lokai. Adapun
pengemis ke dua adalah Ciam-lokai.
Lim Kiang adalah seorang
piauwsu yang sudah banyakpengalaman. Ia terkejut dan maklum bahwa dua
orang pengemis tua itu pun lihai bukan main.
Akan tetapi ia
makin kaget ketika mendengar disebutnya nama Yu Kang Tianglo. Ia
memandang terbelalak kepada Suling Emas lalu berkata.
“Locianpwe ini.... Yu Kang Tianglo....? Akan tetapi.... mereka itu....”
Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi dihajar dua orang
puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas, tanah.
Suling
Emas mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada
Lim Kiang dan dua orang puteranya. “Terima kasih kami ucapkan atas
pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang penyeleweng itu. Memang di
antara anggauta Khong-sim Kai-pang ada yang menyeleweng, namun itu
bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan
penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampaikanlah hormatnya Yu Kang
Tianglo kepada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami hormati!”
Diam-diam Lim Kiang terkejut danheran. Ia memang lama mendengar nama
besar Yu Kang Tianglo akan tetapi sama sekali tak pernah disangkanya
bahwa tokoh pengemis itu pasti dapat mengenal gerakan pedang
putera-puteranya sehingga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu
pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diturut
kedua orang puteranya.
“Mohon maaf bahwa kami berani bersikap
kurang hormat kepada Locianpwe.” Setelah berkata demikian, Lim Kiang
cepat-cepat mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Kang-hu.
“Kalian sudah datang? Bagus! Bagaimana kalian dapat membiarkan dua
orang jahat itu melakukan hal yang amat memalukan Khong-sim Kai-pang?”
Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.
“Maaf, Pangcu.
Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggauta yang
setia sudah menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu.” kata Gak-lokai,
sedangkan Ciam-lokai mengambilkan kuda Suling Emas. Ketiganya lalu
pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua
orang pengemis yang terluka tadi sedangkan Gak-lokai sibuk menuturkan
apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang selama ini.
Sementara
itu, berita tentang munculnya Yu Kang Tianglo seperti tadi terdengar
oleh beberapa orang penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di
Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh kepercayaan bahwa setelah
tokoh besar itu muncul, Khong-sim Kai-pang akan bersih dari oknum-oknum
jahat dan tidak lagi ada penggangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya.
Mendengar penuturan Gak-lokai, Suling Emas menjadi marah. Ternyata
bahwa kaum sesat yang menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil
memecah belah perkumpulan itu, bahkan sebagian besar anggautanya kena
mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak mengherankan
karena oknum-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang menyenangkan
seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan dunia.
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang melihat gejala-gejala buruk ini, maklum
bahwa kalau mereka berdua berkeras, tentu akan terjadi perang di antara
para anggauta sendiri yang akan mengorbankan banyak nyawa. Padahal,
mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada dasarnya jahat,
melainkan karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping
itu, ada lima orang kaum sesat yang kini terpilih menjadi pemimpin
mereka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian
yang lihai sehingga dua orang kakek ini tidak berani turun tangan
secara serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang mereka
andalkan.
“Mereka yang menyeleweng kini menduduki markas karena
para anggauta yang setia rela mengikuti kami mengundurkan diri
bersembunyi di tempat-tempat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu.”
Gak-lokai menutup ceritanya. “Mereka kini mengganti pakaian mereka
dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi.
Hanya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh
orang lebih maka anggauta-anggauta yang menyeleweng akan dapat
disadarkan kembali.”
Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui
pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang tajam melihat
bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara
pohon-pohon mendahuluimereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah
mata-mata golongan sesat yang kini menguasai markas Khong-sim Kai-pang.
Ketika mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu
tiba di depan kuil besar yang semenjak dahulu menjadi markas besar
partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat betapa dari belakang
mereka datang berbondongbondong puluhan orang pengemis yang berpakaian
butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh orang
lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk menengok, mereka
serentak menjatuhkan diri berlutut dan seperti dlkomando saja mereka
berseru. “Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!”
Kemudian tampak
dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti barisan pengemis
pula, pengemis dengan pakaian bersih dan bersenjata tongkat besi.
Melihat ini Suling Emas berkata kepada pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai
suaranya nyaring.
“Saudara-saudara semua tidak boleh
sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan sendiri,
hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang
mengotori kai-pang!”
Demikianlah, empat puluh orang pengemis
itu disuruh menanti di luar, sedangkan Suling Emas dengan diantar
Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk
dengan langkah tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luarpekarangan. Ia
memandang ke depan dan melihat bahwa yang memimpin barisan pengemis
baju bersih yang jumlahnya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh
orang. Lima di antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh
tahun memakai pakaian pengemis tambal-tambalan dan berkembang-kembang,
di tangan mereka tampak senjata tongkat yang berat dan jelas bukan
tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak berpakaian
pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya mereka berdua itu
adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh lebih. Suling
Emas memandang tajam namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari
pekarangan, ia naik anak tangga yang tingginya ada dua meter,
menyambung ke ruangan depan yang cukup luas. Tempat inilah yang biasanya
dipakai untuk pertemuan umum para anggauta, di udara terbuka dan
letaknya di depan kuil.
Lima orang pengemis berpakaian penuh
kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan sikap
angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka.
Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka
pundaknya itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh tersungkur ke depan
kaki lima orang kepala pengemis baru.
“Siapakah yang
bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggauta Khong-sim
Kai-pang ini?” Terdengar suara Suling Emas memecah kesunyian. Suaranya
halus, namun penuh wibawa. “Mereka yang merasa bersalah, sudah
menyelewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju
mengaku agar menerima hukuman!”
Seorang di antara lima pimpinan
pengemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara
mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka
Suling Emas.
“Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan perkumpulan
kami sehingga kau berani mengucapkan kata-kata kurang ajar? Apakah
engkau ini sekutu para pengkhianat macam dua orang jembel tua bangka
itu?” ia menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai.
Gak-lokai tak dapat menahan kemarahannya. “Sungguh kalian ini tak tahu
diri! Kalian adalah orang-orang baru di Khong-sim Kai-pang, namun
kalian seperti buta. tidak mau membuka mata, seperti tuli tak mau
membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, seorang
tokoh terbesar dari golongan Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian
berlutut!”
Lima orang itu agaknya sudah mendengar laporan maka
mereka tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum-senyum. Akan tetapi di
antara lima puluh lebih anggauta Khong-sim Kai-pang yang sudah dibawa
menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang
menjadi pucat mukanya, menggigil tubuhnya. Kawan-kawannya yang percaya
kepada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
“Ha-ha-ha, bagus sekali! Puluhan tahun Yu Kang Tianglo tidak
memperlihatkan diri, membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam keadaan
terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat
keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti seorang
kawakan yang berkuasa! Cih, sungguh tidak tahu malu! Pada saat ini
memang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk sementara ini
kami lima oranglah yang berkuasa sampai diadakan pemilihan ketua pada
pertemuan antara kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini
Yu Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini
seorang tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli.
Engkau tidak ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi
jangan membadut di sini!”
Merah wajah Gak-lokai dan Ciam-lokai,
namun Suling Emas memberi isyarat dengan tangan agar merekadiam. Ia
sendiri lalu melangkah maju dan dengan sikap tenang ia berkata. “Yu
Kang Tianglo bukan seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang.
Semenjak Ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal
sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang membela orang-orang
terlantar dan jembel-jembel kelaparan, membimbing mereka kembali ke
dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka, paling anti
akan kejahatan. Siapa dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan
siapa pun dia orangnya boleh menjadi anggauta, asal saja mereka itu
orang baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan yang selama puluhan
tahun ditempuh Khong-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan muncul di sini
sekiranya keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya.
Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan, dengan
mata kepala, sendiri aku menyaksikan dua orangmu melakukan pemerasan
seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus
bertindak membersihkan kai-pang dari orang-orang jahat!”
Mendengar ini, banyak di antara para anggauta Khong-sim Kai-pang yang
kini berbaju kembang-kembang dan memegang tongkat besi, menjadi
ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka itu
meloncat maju mengurung Suling Emas dan Si Juling membentak.
“Keparat busuk, enak saja kau mengobrol di sini! Kami yang berkuasa di
Khong-sim Kai-pang dan kami yang berhak menentukan bagaimana cara kami
mengumpulkan dana demi kemajuan perkumpulan dan kebahagiaan semua
anggauta kami. Kau berani datang menghina, berarti engkau mencari
mampus sendiri!” Sambil berkata demikian, Si Juling dan empat orang adik
seperguruannya mengangkat tinggi tongkat-tongkat mereka. Ada yang
memegang tongkat besi, ada tongkat baja, kuningan bahkan ada yang
memegang tongkat dari perak murni!
“Hemm.... hemm.... semenjak
dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan kebenaran dan selalu mengambil
jalan halus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut
sebagai lambang mencari jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan
tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewah-mewahan dan
berlumba memegang tongkat yang membayangkan kekerasan dan kekejaman.
Sungguh menyeleweng sekali!”
“Tak usah banyak cakap! Satu di
antara syarat menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang, dia harus mempunyai
kepandaian yang paling tinggi itu di antara para anggauta. Beranikah
engkau melawan kami berlima?”
“Eh, kiranya kalian maslh
mengenal juga akan peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian
memperlihatkan kecurangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju
bersama atau ditambah lagi dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai
tolong beri pinjam tongkatmu!” kata Suling Emas, menoleh kepada dua
orang tokoh lama itu.
“Harap Pangcu pakai saja tongkat ini.
”Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin Tianglo.”
kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkatnya, sebatang tongkat bambu
yang sudah amat tua.
Yu Jin Tianglo adalah Ketua Khong-sim
Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka tentu saja
semua anggauta yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah.
Mereka semua tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga
kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai sendiri tidak berani
sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo
kalah oleh pengeroyokan mereka berlima?
Namun Suling Emas dengan
langkah lebar dan tenag sudah berdiri di tengah-tengah lapanganyang
tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa Si
Juling berbisik-bisik kepada dua orang pendeta, akan tetapi kemudian Si
Juling bersama empat orang kawannya meloncat dan sekaligus mengurung.
“Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat
untuk memperkuat Khong-sim Kai-pang menjadi perkumpulan yang paling
hebat di antara semua kai-pang. Maksud baik kami ini kiranya malah
kauhina! Sungguh kau mencari mati sendiri.”
Suling Emas tertawa
di balik saputangannya. “Kalian ini pengemis-pengemis macam apa?
Pakaiannya saja berlumba mewah! Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu
orang-orang golongan sesat yang hendak menyelundup ke kai-pang-kai-pang
mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat
riwayat kalian!”
“Manusia sombong!” Lima orang itu membentuk
barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa memasang
kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di
pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi
lawan! Tongkat dipanggul di pundak, berdiri seenaknya dan pandang mata
tidak acuh sama sekali! Diam-diam Gak-lokai Ciam-lokai, dua orang ahli
silat kelas berat, menjadi khawatir sekali. Akan tetapi lima orang
pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka terus bergerak
mengitari Suling Emas dan mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba Si Mata
Juling yang menjadi pimpinan mereka berteriak keras dan serentak lima
batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi
gulungan sinar yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali!
Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka,
lima orang pengemis baju kembang itu benar-benar memiliki kepandaian
tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat cepatnya,
dan amat berat sehingga terdengar angin bersiutan. Betapa mungkin
ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat menghindarkan diri dari
hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini?
“Singgggg...., Krak-krak-krak-krakkrak....!”
Semua orang kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini
terbang di udara dan jatuh jauh dari tempat itu. Ketika mereka memandang
ke depan lima orang pengemis baju kembang itu sudah roboh tak berkutik
lagi sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti tadi
memanggul tongkatnya!
Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak
lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya pihak
kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum. Kemudian
meledaklah sorak-sorai penuh kegembiraan dari beberapa puluh orang
pengemis anggauta Khong-sim Kai-pang yang setia, sedangkan para
anggauta Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah
takluk kepada lima orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan
makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri berlutut.
“Yu Kang Tianglo, kau terlalu sombong!”
Bentakan ini keras sekali dan kiranya dua orang berpakaian tosu tadi
telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas, sedangkan yang kedua
dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan mayat lima orang
pimpinan Khong-sim Kai-pang itu ke bawah panggung! Perbuatan yang
kejam ini disambut suara berbisik dari mereka yang pro dan anti di
golongan anggauta, baik yang kini sudah berpakaian bersih maupun yang
masih berpakaian butut.
“Trakk! Trakk! Trakk!”
Suara ini
nyaring sekali sehingga menyakitkan telinga. Melihat betapa kedua
telapak tangan pendeta yang menghampiri Suling Emas ditepuk-tepukkan
menerbitkan suara nyaring itu, semua orang yang tadinya berisik menjadi
diam dan memandang penuh keheranan dan kekaguman. Betapa dua telapak
tangan dari kulit dan daging dapat mengeluarkan bunyi seperti itu?
Sahabat-sahabat pengemis dengarlah baik-baik! Pinto (aku) berdua
hanyalah tamu-tamu dari kelima pangcu (ketua) yang telah terbunuh secara
keji oleh manusia sombong yang mengaku Yu Kang
Tianglo ini. Pinto
berdua adalah orang-orang sebawahan Locianpwe Bu-tek Siu-lam,
bagaimana mungkin menyaksikan tuan rumah dihina orang tanpa turun
tangan? Telah kita ketahui semua betapa para anggauta kai-pang di bawah
pimpinan orang-orang lama yang mengaku suci dan bersih, hidup
sengsara, kekurangan makan dan pakaian, bahkan kadang-kadang mengalami
kelaparan. Kemudian golongan kami sebagai pimpinan baru telah mengangkat
nasib para jembel sehingga mereka dapat memakai pakaian baik dan makan
sekenyangnya setiap hari. Tak perlu dibicarakan panjang lebar siapa
yang lebih patut menjadi pemimpin kai-pang. Sudah terbukti pula betapa
kelima orang kai-pang yang terbunuh berjasa besar terhadap
saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini yang akan
merampas kedudukan dan akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam
lembah kesengsaraan!”
Mendengar ini, terbangun semangat mereka
yang tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat betapa dahulu, semenjak
dipimpin oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta Ciam-lokai, para
anggauta hidup di bawah tekanan peraturan-peraturan keras sekali,
bahkan mereka itu diharuskan hidup seadanya dan sederhana, sesuai
dengan pendapatan serta hasil sumbangan para dermawan. Kemudian setelah
Gak-lokai dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan dipegang oleh lima orang
ketua baru, uang mengalir masuk dengan berlebihan sehingga mereka dapat
hidup jauh lebih baik, bahkan dapat pula bermewah-mewahan! Maka ketika
mendengar ucapan tosu itu, mereka lalu saling bicara dan keadaan
menjadi berisik kembali.
Suling Emas tercengang ketika melihat
tosu yang membunyikan kedua telapak tangan tadi. Ia maklum bahwa tosu
itu bukan sembarang orang, telah memiliki kepandaian tinggi dan tentu
seorang ahli Tiat-ciang-kang (Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih kedua
telapak tangannya sehingga menjadi kuat dan keras laksana baja.
Apalagi mendengar tosu itu mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek
Siu-lam, ia menjadi tertarik. Memang selama perantauannya, ia mendengar
akan munculnya seorang tokoh besar berjuluk Bu-tek Siu-lam ini.
Akan tetapi sebelum Suling Emas menjawab, tiba-tiba terdengar suara
Gak-lokai berteriak keras. “Sungguh tamu-tamu yang tak tahu malu
mencampuri urusan dalam Khong-sim Kai-pang!” Kemudian tubuh dua orang
kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah melayang dan
meloncat ke depan Suling Emas menghadapi dua orang tosu itu.
Ciam-lokai menghampiri Suling Emas dan berkata halus, “Mohon Pangcu sudi
membiarkan kami berdua memberi hajaran kepada tosu-tosu lancang ini.”
Suling Emas cepat membisikkan nasihatnya. “Baiklah, Ciam-lokai, kau
nanti hadapi Si Hidung Besar itu dan awaslah terhadap telapak tangannya.
Dia ahli Tiat-ciang-kang dan jangan sampai mengadu telapak tangan,
akan tetapi serang kedua jalan darah di belakang sikunya.” Karena
bisikan ini dilakukan seperti tanpa menggerakkan bibir, hanya dengan
pengerahan, tenaga khikang yang sempurna, maka yang mendengar hanya
Ciam-lokai seorang. Kakek bertongkat butut inimengangguk-angguk. Ia
percaya penuh akan kelihaian ketuanya yang sakti.
Sementara ini,
Gak-lokai Si Kakek Pengemis yang bertubuh bongkok, sudah melangkah
maju, mengerahkan khi-kang dan berkata lantang sehingga suaranya
mengatasi suara berisik para anggauta Khong-sim Kai-pang yang seketika
menjadi tenang dan mendengarkan penuh perhatian.
“Sejak
kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai penasihat-penasihat segala macam
hidung kerbau? Urusan kai-pang adalah urusan dalam dan tidak boleh sama
sekali dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah menjadi peraturan
kai-pang sejak dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu. Sekarang
ada tamu-tamu tak diundang yang berani lancang mencampuri urusan dalam,
hal ini tak lain berarti sebuah tantangan!”
Dua orang tosu itu
menjadi merah mukanya. Tosu yang alisnya putih melangkah maju dan
membentaki “Jembel busuk! Tak tahukah kau siapa kami berdua? Kami
adalah utusan Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Berani kau menghina utusan
beliau?”
Gak-lokai menjura dan menjawab suaranya tegas dan
nyaring. “Kami sama sekali tidak menghina siapapun juga, apalagi seorang
tokoh besar seperti Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sebaliknya kalian
inilah yang sudah menghina ketua kami! Kalian sebagai orang luar mana
tahu peraturan dan sifat Khong-sim Kai-pang kami? Perkumpulan kami
bukanlah perkumpulan segala macam jembel yang kelaparan dan yang hanya
memikirkan tentang makanan dan pakaian belaka! Akan tetapi, kai-pang
kami adalah perkumpulan orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan,
orang-orang yang bertugas membela kebenaran dan keadilan tanpa pamrih,
cukup dengan hidup sederhana atas kerelaan dan belas kasihan orang yang
lebih mampu. Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan menganggap
penyelundup-penyelundup itu menjunjung tinggi derajat perkumpulan kami?
Huh, bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan
dengan cara yang keji dan dengan cara yang lebih jahat daripada
perampok-perampok hina!
“Setan kelaparan! Gak-lokai dan
Ciam-lokai, pinto sudah tahu bahwa kalianlah yang menjadi penyakit
dalam Khong-sim Kai-pang. Kalian mengandalkan apa berani bicara seperti
itu di depan pinto?” bentak tosu hidung besar dengan marah. “Pergilah,
kalian terlalu rendah untuk berurusan dengan pinto. Biarkan orang yang
sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan kami!”
“Heh-heh-heh!”
Hidung kerbau macam kalian ini mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu
kami yang mulia?” Kalau kalian hendak menantang, cukup kami yang akan
melayaninya. Rekan Gak, kau minggirlah, biarkan tongkat bututku
menghajar anjing hidung besar ini!”
Gak-lokai tertawa lalu
meloncat ke pinggir, lalu tubuhnya melayang ke bawah dan tahu-tahu ia
telah menyelinap ke dalam ruangan depan kuil dan sebelum lain orang
berani mencegah, ia sudah meloncat kembali membawa tiga buah bangku. Ia
mempersilakan Suling Emas duduk di atas bangku, kemudian ia sendiri
duduk di sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke tiga adalah
diperuntukkan Ciam-lokai.
“Ha-ha, Tosu Alis Putih. Kami tidak
tahu kau siapa, karena kau tamu tak diundang, silakan kau berdiri saja
di sudut situ!” kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini marah
sekali, mengepal tinju dan mendelik.
“Eh-eh, sabar dulu. Giliran
kita belum tiba. Nanti setelah Saudara Ciam membereskan temanmu Si
Hidung Kerbau, barulah kita boleh saling tonjok!” kata pula Gak-lokai.
Tosu Alis Putih itu hanya membuang ludah melampiaskan marahnya, kemudian
ia memandang ke tengah panggung di mana Ciam-lokai sudah berhadapan
dengan kawannya.
Ciam-lokai dengan menggerak-gerakkan tongkat
bambunya yang butut, yang tadi ia pinjamkan kepada Suling Emas,
menghadapi tosu hidung besar, tersenyum lebar dan berkata, suaranya
lantang.
“Eh, tosu yang tak tahu diri! Engkau mengaku tamu, akan
tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berarti kalian ini
bukan sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki keadaan Khong-sim
Kai-pang. Setelah kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku
siapa sebenarnya kau ini agar aku tahu pula siapa nama orang yang nanti
roboh di tanganku!”
Ucapan ini diucapkan halus dan sewajarnya,
akan tetapi tetap saja membikin panas telinga karena sifatnya tekebur!
Tosu yang hidungnya besar itu usianya sudah tua, mungkin hanya beberapa
tahun lebih muda daripada Ciam-lokai, akan tetapi wajahnya masih gagah
dan kulit mukanya kemerahan, rambutnya masih hitam. Ia menekan kemarahan
hatinya dan tersenyum mengejek lalu berkata.
“Jembel tua
bangka yang sudah mau mampus, dengarlah baik-baik! Pinto bernama Bu
Keng Cu, sedangkan dia itu adalah Suhengku bernama Bu Liang Cu. Kami
berdua adalah anak murid Im-yang-kauw di perbatasan dunia barat.
Kedatangan kami di Khong-sim Kai-pang ini adalah mewakili Bengcu
(Pimpinan) kami yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam untuk memenuhi undangan
pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang pimpinan Khong-sim Kai-pang yang
menjadi sahabat kami dan tuan rumah, telah tewas di tangan Yu Kang
Tianglo, tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam. Kalau kau
sudah bosan hidup hendak mewakili Yu Kang Tianglo, silakan. Akan tetapi
jangan lupa bahwa pinto sudah menasihatimu supaya kau mundur saja
karena kau bukanlah lawan pinto, jembel tua!”
Wajah Ciam-lokai
menjadi pucat sekali. Memang Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang
aneh. Orang lain kalau marah akan merah sekali mukanya, akan tetapi
Ciam-lokai menjadi pucat! Ia marah karena merasa kalah bicara. Siapa
kira, tosu ini pandai berdebat dan kini ia yang tadinya hendak
menyombong, oleh tosu yang lemas lidah itu seakan-akan diseret turun
menjadi terbalik keadaannya! Selagi ia memutar-mutar otak untuk mencari
jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu itu sudah tertawa
bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Nah, mukamu sudah pucat seperti mayat,
jembel tua. Pinto khawatir kau akan roboh pingsan dan tewas karena
takut! Lebih baik sebelum terlambat, kau mundurlah dan biarkan Yu Kang
Tianglo saja yang melayani pinto!”
Ciam-lokai makin pucat,
mulutnya bergerak-gerak namun tidak dapat mengeluarkan suara saking
marahnya. Ia tahu bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang
dalam hal kepandaian berdebat, rekannya Gak-lokai lebih pandai, maka ia
hanya dapat menoleh ke arah Gak-lokai dengan muka masih pucat dan sinar
mata minta bantuan.
“Heh-heh-heh, Saudara Ciam yang baik.
Mengapa kau terheran-heran mendengar tosu hidung kerbau Bu Keng Cu itu
bernyanyi semerdu ini? Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak
sekalipun kalau hampir mampus dapat bernyanyi merdu? Akan tetapi Si
Hidung Besar ini suaranya mengandung hawa busuk beracun, maka lebih baik
lekas kauusir dia pergi!”
Muka Ciam-lokai yang tadi pucat kini
menjadi merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu sambil menyeringai
lebar. “Nah, kau sudah mendengar sendiri. Masih tidak mau pergi?
Besar-benar muka tebal!”
Bu Keng Cu marah sekali. Tanpa bicara
lagi kembali ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan
terdengarlah suara nyaring seperti dua buah benda keras digosok.
Kemudian secara tiba-tiba dan dengan dahsyat sekali, tosu itu sudah
menerjang maju, kedua tangannya terbuka, yang kanan memukul ke arah
kepala, yang kiri mencengkeram ke arah dada. Telapak tangannya berwarna
hitam mengkilap dan ketika ia menerjang, sambaran angin pukulannya
dahsyat sekali.
Ciam-lokai terkejut dan cepat ia mengelak sambil
meloncat ke kiri dan tongkat bututnya bergerak secara aneh, berkelebat
cepat dan terdengarlah suara “plak-plak!” dua kali disusul seruan Bu
Keng Cu yang tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Gak-lokai
bersorak, diikuti oleh para pengemis bawahannya. Memang lucu sekali
pertandingan dalam gebrak pertama itu. Bu Keng Cu kelihatan amat dahsyat
dan ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan Ciam-lokai amat cepat dan
aneh dan dalam gebrakan pertama saja tongkat bambunya sudah berhasil
menggebuk punggung lawan dua kali dan mendorong pantat satu kali. Sayang
bahwa gebukan-gebukan itu dilakukan terlalu cepat sehingga tak
bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk dapat merobohkan lawan sekuat
tosu itu.
Memang ilmu tongkat yang dipergunakan oleh
Ciam-lokai tadi amat luar biasa. Itulah ilmu tongkat Go-bwee-tung
(Tongkat Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo. Gerakan-gerakannya
aneh sekali dan ilmu tongkat ini sanggup untuk “mencuri” beberapa
gebukan walau menghadapi ilmu silat yang amat tinggi sekalipun, karena
sifat-sifatnya seperti ekor buaya yang dapat menyabet dari belakang
tanpa diduga-duga lawan. Hanya sayangnya, Yu Jin Tianglo dahulu
menciptakan ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum dan menghajar anak
buah yang dahulu menyeleweng, maka semua pukulannya bukan merupakan
pukulan maut. Dan karena Yu Jin Tianglo melihat bakat baik pada
Ciam-lokai untuk menjadi pimpinan pengemis maka ia sengaja menurunkan
ilmu ini kepadanya.
Karena sifatnya hanya untuk menghukum,
bukan membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung ini tentu saja tidak
banyak paedahnya kalau dipergunakan dalam pertandingan sungguh-sungguh
di mana kedua lawan berusaha keras untuk merobohkan dan kalau perlu
saling membunuh. Betapapun juga, melihat bahwa dalam gebrakan pertama
saja pengemis tua itu sudah berhasil menggebuk lawannya, para pengemis
yang pro kepada Ciam-lokai bersorak-sorai gembira. Sebaliknya Bu Keng
Cu menjadi kaget sekali dan tak berani menganggap rendah lawannya yang
ternyata memiliki ilmu tongkat yang hebat itu. Ia berseru keras dan
menepuk-nepuk kedua telapak tangannya sehingga terdengar suara nyaring,
dan kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak asap! Itulah
puncak kehebatan penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang! Kemudian tosu itu
kembali menyerang, kali ini terjangannya jauh lebih hebat daripada
tadi, juga pukulannya cepat dengan kedua tangan bergerak-gerak secara
aneh, yang kanan lambat-lambat akan tetapi yang kiri cepat-cepat.
Ciam-lokai bukan seorang bodoh. Sudah banyak pengalamannya dalam
bertempur, dan ia maklum pula akan kelihaian tosu ini. Ia tidak berani
lagi main-main dan mengandalkan Go-bwee-tung, maka ia cepat menggeser
kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya, menghindarkan. pukulan kiri
lawan yang amat cepat datangnya itu. Akan tetapi siapa kira, begitu
tubuhnya merendah tahu-tahu pukulan tangan kanan yang tadinya bergerak
lambat, sudah tiba dan dari atas menghantam ke arah kepalanya! Ia kaget
sekali dan cepat-cepat ia mengangkat tongkat menangkis sambil
mengerahkan kedua tangannya yang memegang kedua ujung tongkatnya.
“Krakk!”
Tongkat itu patah menjadi dua! Ciam-lokai meloncat ke belakang dan
wajahnya menjadi pucat. Bukan saja ia menderita malu, juga ia merasa
sayang sekali bahwa tongkat pusaka pemberian mendiang Yu Jin Tianglo
itu kini patah menjadi dua!
Segera terdengar sorakan para
pengemis baju bersih yang berpihak kepada dua orang tosu ini, karena
keadaan kini berubah untuk keuntungan Si Tosu. Ciam-lokai menggigit
bibir dan ia menerjang maju dengan dua batang tongkat pendek di kedua
tangan. Kini ia menyesal mengapa tadi ia tidak segera menggunakan siasat
yang dibisikkan ketuanya kepadanya. Maka kini begitu menerjang, ia
segera menggunakan dua batang tongkat pendeknya untuk menghujani kedua
siku tangan lawan dengan totokan-totokan cepat.
“Aiihhh....!” Bu
Keng Cu berseru kaget dan sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk
menghindarkan totokan itu. Di dalam hatinya, ia terkejut bukan main.
Bagaimana kakek jembel ini dalam dua gebrakan saja sudah dapat
mengetahui kelemahan Ilmu Tiat-ciang-kang yang dipergunakannya?
Sampai tiga puluh jurus lebih, Ciam-lokai mendesak lawannya dengan
totokan-totokan maut yang dipusatkan pada kedua siku tangan lawan. Bu
Keng Cu mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan
totokan-totokan itu, kemudian secara tiba-tiba gerakannya berubah.
Sejurus gerakannya kasar dan keras, pada jurus berikutnya berubah halus
lembek, kemudian berubah lagi. Dalam lima enam jurus saja Ciam-lokai
sudah hampir terkena tusukan jari tangan yang sekeras baja, dan untung
ia masih sempat membuang tubuh ke belakang sehingga hanya ujung
bajunya yang bolong ketika tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari menusuk
ujung baju bisa bolong menyatakan bahwa jari-jari itu cukup kuat untuk
menusuk bolong logam keras!
Setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu
silat aneh yang sebentar lembek sebentar keras, cepat dan lambat
berganti-ganti dan selalu berubah, Ciam-lokai menjadi terdesak hebat.
Kini sukar baginya untuk mengancam kedua siku lawan, karena kedua tangan
lawan itu melakukan gerakan-gerakan yang selalu berubah sifatnya
sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.
Suling Emas yang
menyaksikan jalannya. pertandingan sejak tadi, diam-diam harus mengakui
keunggulan tosu itu atas kepandaian Ciam-lokai. Apalagi ketika tosu itu
mainkan ilmu silat yang dikenalnya sebagai Ilmu Silat Im-yang-kun, ia
tahu bahwa kalau dilanjutkan, Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan
tewas dalam pertempuran ini. Maka ia lalu mengerahkan tenaga
khi-kangnya, mulutnya berkemak-kemik tanpa mengeluarkan suara.
Akan tetapi, Ciam-lokai yang sedang sibuk menghadapi desakan lawan yang
lihai, tiba-tiba mendengar suara ketuanya itu berbisik jelas sekali di
pinggir telinganya. “Hantam lutut kanannya, totok pundak kirinya!”
Ciam-lokai yang sedang terdesak hebat dan sibuk menyelamatkan diri
itu, mendengar suara ketuanya, secara membuta lalu mentaati anjuranini.
Ia menggerakkan kedua tangan secara beruntun, menghantamkan tongkat
kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan tongkat kanannya menotok jalan
darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri.
Bu Keng Cu terkejut
setengah mati. Memang pada saat itu, biarpun ia sedang mendesak lawan,
bagian lutut kanan dan pundak kiri inilah yang terbuka, sedangkan
perubahan gerak jembel tua itu benar-benar aneh dan tidak terduga,
begitu langsung menyerang dua bagian yang lemah ini. Hampir saja lutut
kanannya kena dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang lalu menerjang
maju lagi dengan kemarahan meluap.
“Hantam pelipis kirinya dan totok lambung kanannya!”
Kembali Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan hati girang setelah
melihat betapa petunjuk pertama tadi hampir berhasil. Kembali Bu Keng Cu
kaget setengah mati dan hanya dengan susah payah ia mampu membebaskan
diri dari bahaya maut. Ia terheran-heran dan makin penasaran dan marah.
Jelas bahwa ia menang unggul dan ia sudah yakin akan memperoleh
kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan terdesak, jembel itu
secara tiba-tiba merobah gerakan secara begitu aneh, kadang-kadang
berlawanan dengan gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang bermain
silat lagi, akan tetapi selalu tepat menyerang bagian-bagian tubuhnya
yang tak terjaga?
Apakah jembel ini mempunyai “mata ke tiga”
yang dapat melihat bagian-bagian terbuka itu? Hal seperti ini hanya
dapat dan mungkin dilakukan oleh orang yang sudah mengenal ilmu silatnya
Im-yang-kun. Akan tetapi andaikata Si Jembel Tua ini mengenal bahkan
ahli dalam ilmu silat Im-yang-kun, mengapa gerakan-gerakannya begitu
tiba-tiba dan seperti dipaksakan?
“Injak kaki kirinya dan tusuk
perutnya, kalau ia membalik, tendang pantatnya!” kembali bisikan itu
diturut oleh Ciam-lokai dengan taat. Pada saat itu Bu Keng Cu sedang
mendesaknya dengan tendangan kaki kanan dan ia baru saja menyelinap ke
kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia lalu mengangkat kakinya
menginjak secara tiba-tiba dan keras ke arah kaki kiri tosu itu,
berbareng ia menusukkan tongkatnya ke arah pusar lawan.
“Hayaaaa....!” Bu Keng Cu terkejut dan cepat ia memutar tubuh untuk
menghindarkan dua serangan berbahaya ini. Akan tetapi siapa duga baru
saja tubuhnya terputar, sebuah tendangan tepat mengenai pantatnya
sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlempar ke bawah
panggung!
Tepuk sorak riuh-rendah menyambut kemenangan
Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis pengikut kaum sesat menjadi
pucat wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan diri sebagai utusan
Bu-tek Siu-lam itu ternyata hanya sebuah gentong kosong belaka, kalah
oleh Ciam-lokai yang tua dan kurus kering!
Pada saat itu, di
antara riuh-rendahnya para pengemis yang menjagoi Ciam-lokai
bersorak-sorak, berkelebat bayangan Bu Liang Cu, dan begitu berhadapan
dengan Ciam-lokai, ia langsung mengirim serangan bertubi-tubi,
mengeluarkan jurus-jurus paling lihai dari Im-yang-kun. Kiranya tosu
yang menjadi suheng Bu Keng Cu ini tadi juga menyaksikan keanehan
terjadi dalam pertandingan itu. Ia yakin bahwa Im-yang-kun mengatasi
ilmu silat Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada saat-saat tertentu
jembel itu merubah gerakannya dan begitu tepat mengisi lowongan yang
melemahkan pertahanannya? Oleh karena inilah, dengan hati penasaran ia
lalu maju dan langsung menggunakan jurus-jurus Im-yang-kun untuk mencoba
apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan ahli Ilmu Silat Im-yang-kun.
Hebat bukan main terjangan Bu Liang Cu karena ia lebih pandai dari pada
sutenya!
Karena kejadian ini tak terduga-duga dan tiba-tiba,
maka Ciam-lokai tak dapat mengharapkan bisikan-bisikan ketuanya, maka
cepat ia memutar kedua tongkat dan meloncat ke belakang. Akan tetapi
karena perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan serangan tangan kanan
Bu Liang Cu, ia kurang cepat menghindar ketika tangan kiri tosu itu
bergerak cepat sekali menyambar pergelangan tangan kanannya. Jari-jari
tosu itu sudah menyentuh kulit lengannya. Ciam-lokai terkejut, menarik
tangannya. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah lagi tongkatnya yang di
tangan kanan terampas sedangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang!
Keadaannya berbahaya sekali karena jika tosu itu melanjutkan
serangannya, celakalah ia!
“Heh, tosu bau, jangan main curang
kau.” Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju menghadapi Bu Liang Cu.
“Lawanmu adalah aku karena rekanku Ciam-lokai sudah mengalahkan
kawanmu!”
Tosu itu berdongak dan tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha! Siapa yang curang? Suteku tidak pernah kalah oleh jembel
busuk itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu!”
“Benar!
Mari kita hadapi mereka, Suheng. Hayo majulah dan biar kita lihat
bersama apakah benar kalian berdua dapat mengalahkan kami!” Bu Keng Cu
berseru dan ia pun sudah melompat lagi, ke atas panggung, berdiri dekat
suhengnya. Ia memang tidak terluka. Kini kedua orang tosu itu berdiri
berdampingan dan memasang kuda-kuda Im-yang-kun. Ilmu silat Im-yang-kun
ini memang hebat, akan tetapi kalau dimainkan oleh dua orang, lebih
ampuh lagi.
Gak-lokai yang tidak tahu akan bantuan yang
dilakukan diam-diam oleh Suling Emas kepada Ciam-lokai, menjadi marah
sekali. “Saudaraku Ciam, mari kita hajar dua orang tosu kerbau ini!”
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus Suling Emas. “Tahan dulu
Gak-lokai dan Ciam-lokai, kalian mundurlah. Aku hendak bicara dengan
mereka.”
Karena ketua mereka yang memberi perintah, biarpun
ogah-ogahan, kedua orang kakek pengemis itu lalu mundur. Suling Emas
lalu melangkah maju dengan langkah perlahan dan tenang, menghadapi dua
orang tosu yang sudah siap-siap untuk mengadu nyawa. Biarpun ia
menyamar sebagai ketua kai-pang namun Suling Emas tak dapat
menyembunyikan sikapnya yang halus dan sopan terhadap golongan
pendeta. Maka ia segera menjura dengan hormat dan berkata.
“Ji-wi Toyu, sudah lama sekali saya mendengar tentang Im-yang-kauw
sebagai sebuah perkumpulan agama yang besar di perbatasan barat, bahkan
pernah saya mendapat kehormatan beramah-tamah dengan Kauwcu (Ketua
Agama) Sin-hong Locianpwe. Menurut pendapat saya, jalan hidup yang
ditempuh golongan Ji-wi (Tuan Berdua) dan golongan kai-pang tidaklah
banyak bedanya. Namun, dalam urusan partai masing-masing, tidak
selayaknya kalau kedua pihak saling mencampuri. Harap Ji-wi sudi
mendengar alasanku ini dan persilakan Ji-wi menghentikan semua
kesalahpahaman ini.”
Dua orang tosu itu saling pandang, kemudian
Bu Liang Cu yang beralis putih segera berkata, lagaknya angkuh, “Yu
Kang Tianglo, bagaimana pinto berdua dapat bicara dengan orang yang
hanya mengaku bernama Yu Kang Tianglo akan tetapi yang menutupi
mukanya?”
Suling Emas menarik napas panjang. “Sesungguhnya saya
sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia ramai. Akan
tetapi mendengar betapa kai-pang-kai-pang dicemarkan oleh
penyelundup-penyelundup sesat, terpaksa saya turun tangan. Hanya karena
kepentingan kai-pang saya turun tangan, bukan kepentingan pribadi, maka
apa perlunya saya memperkenalkan muka? Harap Ji-wi Toyu suka memandang
perkenalan saya dengan Sin-hong Locianpwe Kauwcu dari Im-yang-kauw dan
menghabiskan permusuhan yang tiada sebabnya ini.”
Tiba-tiba
kedua orang tosu itu tertawa mengejek dan kini Bu Keng Cu yang berkata
dengan suara nyaring, agaknya dengan maksud agar didengar oleh semua
pengemis yang hadir di situ.
“Ha-ha! Perkenalanmu dengan
Sinhong Locianpwe tak perlu kausombongkan! Kakek itu sudah tewas
karena kesalahan terhadap Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Kini Locianpwe
Bu-tek Siu-lam yang memimpin kami, bahkan beliau pula yang akan memimpin
semua kai-pang di dunia. Engkau ini berani lancang tangan membunuh
lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang dan mengangkat diri sendiri
menjadi bengcu di sini tanpa perkenan Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sungguh
tak tahu diri!”
Suling Emas adalah orang yang sudah matang
jiwanya. Kesabarannya sudah sampai pada dasar batinnya, maka ia pun
tidak marah mendengar ucapan yang sombong ini. Namun, ia terkejut juga
mendengar bahwa Ketua Im-yang-kauw yang memang pernah dikenalnya itu
tewas di tangan Bu-tek Siu-lam. Ia tahu bahwa Ketua Im-yang-kauw itu
seorang pendeta yang suci, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau
Ketua Im-yang-kauw itu sampai terbunuh oleh Bu-tek Siu-lam, terbuktilah
berita bahwa Bu-tek Siu-lam memiliki kepandaian yang hebat. Jelas bahwa
tokoh ini merupakan ancaman di dunia.
“Hemm, Ji-wi Toyu tak
dapat menerima kata-kata halus. Masa bodoh dan terserahlah, karena saya
sebagai orang Khong-sim Kai-pang, tetap hendak mempertahankan kai-pang
dari tangan-tangan jahat, juga menghukum mereka yang menyeleweng
daripada peraturan kai-pang.”
“Bagus. Tadi dengan Coam-im-kang
(Tenaga Mengirim Suara) kau telah membantu kakek jembel dan mengalahkan
Suteku secara curang. Sekarang lawanlah kami berdua secara berterang.
Hendak kami lihat apakah kau pantas menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang.”
Dengan sikap tenang Suling Emas menjawab. “Ji-wi Toyu, silakan maju.
Saya siap menerima pengajaran!” Suling Emas maklum bahwa dua orang tosu
ini pun merupakan penyeleweng-penyeleweng daripada agama mereka maka ia
menganggap perlu memberi hajaran kepada mereka, selain demi kebaikan
mereka sendiri, juga agar menundukkan sikap para pengemis yang hendak
menyeleweng mengandalkan pengaruh luar. Pernah ia bertemu dengan Ketua
Im-yang-kauw yang berjuluk Sin-hong (Angin Sakti), dan mereka telah
bertukar pendapat tentang ilmu silat. Ketua Im-yang-kauw itu merasa
tunduk akan pengertian Suling Emas, bahkan berterima kasih sekali karena
mendapat petunjuk-petunjuk berharga, maka sebagai balas kebaikan, ketua
itu telah memberikan dasar-dasar Im-yang-kun dan minta supaya ditunjuk
kesalahan-kesalahannya. Karena ini maka tentu Suling Emas sudah mengenal
baik dasar gerakan Im-yang-kun sehingga tadi ia dapat memberi petunjuk
kepada Ciamlokai untuk mengatasi lawan.
Dua orang tosu itu,
apalagi Bu Liang Cu, maklum bahwa ketua kai-pang ini amat lihai. Seorang
yang sudah dapat menguasai Ilmu Coam-im-kang, yaitu mengirim suara dari
jarak jauh dengan kekuatan khikang, adalah seorang yang sudah memiliki
tenaga sakti yang hebat. Akan tetapi karena mereka berdua yakin akan
kedahsyatan Im-yang-kun yang dimainkan oleh mereka berdua maka mereka
tidak menjadi gentar dan ingin menebus kekalahan yang tadi.
Dari
kiri dan kanan, dua orang tosu itu lalu menyerang. Bu Liang Cu
menggunakan Im-kang (Tenaga Lemas) menyerang dari kiri, mengarah
lambung dengan pukulan yang amat perlahan dan lambat, sebaliknya dari
kanan Bu Keng Cu sudah menerjang dengan cepat dan kuat sekali,
mempergunakan Yang-kang (Tenaga Kasar). Kehebatan Im-yang-kun ini adalah
perubahan dua macam tenaga yang berlawanan. Dua orang tosu itu dapat
sewaktu-waktu merobah tenaga mereka sehingga lawan yang dikeroyok dua
akan menjadi bingung menghadapi penyerangan-penyerangan tenaga yang
berlawanan dan berubah selalu itu. Suling Emas maklum akan hal ini, akan
tetapi tentu saja ia sama sekali tidak bingung karenanya. Apalagi baru
dua orang tosu itu, biar ketuanya sendiri belum mampu menandingi
ilmu-ilmunya. Begitu melihat datangnya serangan dua orang tosu yang
berlawanan tenaganya dan dilakukan secara berbareng ini, Suling Emas
sama sekali tidak mengelak maupun menangkis. Pukulan dari kiri ke arah
lambung dan dari kanan menuju leher itu diterimanya sambil mengerahkan
Iweekang, kedua tangannya bergerak dan mulutnya berseru, “Pergilah!”
“Desss...., plakkk....! Wuuuuttt....!”
Dua pukulan itu tepat mengenai lambung kiri dan leher kanan Suling
Emas, akan tetapi tubuh pendekar sakti itu bergoyang sedikit pun tidak,
sebaliknya kedua tangannya sudah menerkam baju kedua lawan bagian dada
dan sekali ia menggerakkan kedua lengan, tubuh dua orang tosu itu
terlempar jauh ke bawah panggung!
Kedua tosu itu kaget setengah
mampus. Akan tetapi mereka bersyukur sekali bahwa lawan yang sakti itu
masih menaruh kasihan kepada mereka sehingga mereka terbanting ke atas
tanah dalam keadaan berdiri sehingga hanya terhuyung-huyung saja. Kalau
terbanting dengan kepala atau badan lebih dahulu, setidaknya mereka
tentu akan babak-belur! Tahulah mereka bahwa “Yu Kang Tianglo” itu
benar-benar amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi mereka berdua lalu
ngeloyor pergi secepatnya.
Semua pengemis yang setia bersorak.
Sebaliknya mereka yang menyeleweng menjadi pucat dan berlutut ketakutan.
Akan tetapi Suling Emas mengampuni mereka, hanya menyuruh mereka itu
mengaku terus terang akan penyelewengan mereka, mengembalikan semua
rampasan kepada yang berhak. Gak-lokai dan Ciam-lokai membantu Suling
Emas meneliti semua bekas penyeleweng, menurunkan kedudukan dan bahkan
membagi-bagi hukuman yang ringan namun cukup meyakinkan hati mereka.
Atas permohonan Gak-lokai dan Ciam-lokai, Suling Emas tinggal di kuil
itu sampai beberapa lama untuk menjaga kalau-kalau golongan sesat datang
lagi mengacau.
“Harap Pangcu menaruh kasihan kepada kami
semua,” demikian kata Gak-lokai. “Kekalahan pihak sesat yang tadinya
menguasai Khong-sim Kai-pang, tentu takkan diterima begitu saja oleh
kawan-kawan mereka. Di samping itu, juga kemenangan dan kembalinya
Pangcu di sini akan membangkitkan semangat bagi para anggauta kai-pang
yang lain. Biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk mengundang,
kai-pang-kai-pang lain sehingga terdapat kesatuan yang kuat untuk
menghadapi gangguan kaum sesat. Setelah Pangcu memimpin pertemuan itu
dan keadaan kita benar-benar kuat, barulah Pangcu dapat meninggalkan
kami.”
Suling Emas merasa kasihan dan menyatakan
kesanggupannya. Semua pengemis menjadi gembira sekali dan undangan lalu
dikirim. Bendera Khong-sim Kai-pang kini berkibar megah di atas kuil.
Di waktu senggang, Suling Emas menurunkan beberapa ilmu pukulan untuk
menyempurnakan kepandaian Gak-lokai dan Ciam-lokai yang ia harapkan
akan memimpin Khong-sim Kai-pang kalau ia meninggalkan kai-pang itu.
Dua orang kakek itu menjadi girang sekali dan karena mereka itu memang
dua orang ahli yang sudah tahu akan dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka
dalam beberapa hari saja mereka dapat menguasai rahasia ilmu pukulan
yang diajarkan Suling Emas.
Beberapa hari kemudian, hari yang
ditentukan untuk pertemuan para kaipang telah tiba. Semenjak pagi, kuil
yang menjadi pusat Khong-sim Kai-pang dikunjungi banyak sekali
rombongan pengemis yang dipimpin ketua masing-masing. Mereka ini
datang dari segala penjuru, merupakan kai-pang-kai-pang yang membawa
bendera perkumpulan masing-masing. Ban-hwa Kai-pang dari Sin-yang, Hwa-i
Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), Ang-tung Kai-pang
(Tongkat Merah) dan masih banyak lagi kai-pang lain yang hadir.
Diantaranya malah tampak wakil-wakil dari Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng
Kai-pang yang tampak mencolok dengan pakaian mereka yang bersih dan
mentereng!
Tentu saja Suling Emas yang berpandangan tajam itu
dapat menduga kai-pang mana yang menyeleweng dari pada jalan benar,
namun sebagai seorang yang bijaksana, ia memerintahkan Gak-lokai dan
Ciam-lokai untuk menerima semua kai-pang itu dengan penghormatan yang
sama. Semua bendera kai-pang yang menjadi tamu dipasang di sekeliling
panggung di mana berkibar bendera Khong-sim Kai-pang, dan para wakil
pimpinan kai-pang-kai-pang itu dipersilakan duduk di sebelah kanan
panggung, menduduki kursi-kursi yang berhadapan dengan kursi ketua yang
diduduki oleh Suling Emas sendiri. Semua anak buah partai-partai
,pengemis itu duduk mengelilingi panggung, ada yang duduk ada yang
berjongkok, ada yang berdiri.
Pada saat itu, di sebelah luar
kumpulan pengemis yang mengelilingi panggung itu, terdapat seorang
pengemis muda yang tampan dan seorang gadis cantik. Mereka ini bukan
lain adalah Yu Siang Ki dan Kwi Lan! Wajah Siang Ki agak pucat dan
sepasang matanya terbelalak penuh ketegangan. Ia sama sekali tidak
peduli ketika beberapa orang pengemis yang duduknya paling belakang
memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan. Mereka itu adalah
pengemis-pengemis baju butut yang tentu saja menjadi marah melihat
Siang Ki yang berpakaian bersih, mengira bahwa pengemis muda ini
tentulah golongan para pengemis aliran baru, yaitu pengemis-pengemis
baju bersih yang dipimpin kaum sesat.
Hati Yu Siang Ki terlampau
tegang untuk memperhatikan sikap mereka itu. Ia memandang ke atas
panggung, sinar matanya berkilat-kilat ketika ia melihat seorang kakek
pengemis bertopi lebar dengan muka ditutup saputangan duduk di atas
kursi ketua Khong-sim Kai-pang.
“Siang Ki, kenapa kau tidak maju dan terjang badut tua itu?” tanya Kwi Lan ketika menyaksikan sikap pemuda teman barunya ini.
Yu Siang Ki menggeleng kepala, lalu menjawab sambil menggerakkan tangan
kiri menunjuk ke arah Suling Emas. “Tidak boleh aku berlaku lancang,
Kwi Lan. Memang ketika mendengar dari pengemis-pengemis di sepanjang
jalan bahwa ada orang yang mengaku sebagai Ayahku datang merampas
kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang, aku menjadi marah sekali dan berniat
untuk membuka kedoknya dan menyerangnya. Akan tetapi setelah tiba di
sini, aku menjadi ragu-ragu. Demi menjaga nama baik Khong-sim Kai-pang,
aku harus bersabar. Menurut cerita mereka itu, orang yang mengaku
sebagai Ayahku amat aneh dan tinggi ilmunya, bahkan telah membunuh
oknum-oknum jahat yang memegang pimpinan Khong-sim Kai-pang, bahkan
menghukum para anggauta yang menyeleweng, juga ia dibantu oleh Gak-lokai
dan Ciam-lokai, dua tokoh Khong-sim Kai-pang yang dulu menjadi sahabat
baik dan pembantu Kakek Yu Jin Tianglo. Aku harus menyaksikan dulu sepak
terjangnya, siapa tahu dia itu seorang tokoh pengemis yang berusaha
menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan oknum-oknum jahat dengan
menggunakan nama Ayah untuk mencari wibawa.”
Kwi Lan
mengangguk-angguk. Ia heran mengapa pemuda ini berpikir sedalam itu
padahal kalau menurut dia, orang yang memalsukan Yu Kang Tianglo yang
sudah meninggal, wajib dikutuk dan dihajar! Coba seandainya yang
menghadapi urusan itu dia sendiri, atau orang-orang seperti Tang Hauw
Lam si Berandal atau Siangkoan Li tentu takkan menunggu-nunggu dan
melihat gelagat. Memang pengemis muda ini lain lagi sifatnya, hati-hati
dan berpandangan luas. Betapapun juga karena yang dipalsukan namanya
adalah ayah pemuda ini, bukan ayahnya, maka ia pun tinggal diam saja
menanti perkembangannya lebih lanjut.
“Orang sesabar dan selemah
engkau baru sekali ini kujumpai!” omelnya sambil memandang wajah yang
terlalu tampan untuk menjadi wajah seorang pengemis itu.
Yu Siang Ki juga memandang. Pandang mata mereka bentrok, bertaut sejenak dan pemuda itu tersenyum.
“Sebelum tahu betul apa kehendak orang itu memalsukan nama Ayah,
bagaimana aku dapat bertindak? Ayah sendiri memesan agar aku berusaha
membela dan membersihkan Khong-sim Kai-pang. Kalau orang aneh yang
memalsukan nama Ayah itu bermaksud baik dan membela Khong-sim Kai-pang,
andaikata Ayah sendiri masih hidup dan berada di sini, tentu beliau juga
tidak akan menghalanginya.”
Kwi Lan tidak berkata apa-apa lagi
dan ia hanya menurut ketika pemuda itu mengajaknya memilih tempat di
belakang akan tetapi dari mana mereka dapat memandang, ke atas panggung
cukup jelas. Mereka berdua duduk dan menonton dengan penuh perhatian.
Makin lama makin banyaklah pengemis yang datang memenuhi pekarangan
depan kuil yang menjadi markas Khong-sim Kai-pang itu. Kemudian tampak
Gak-lokai dan Ciam-lokai melangkah maju, memberi hormat kepada Suling
Emas, kemudian mereka berdua menjura ke arah belasan orang yang duduk di
kursi kehormatan yaitu para pimpinan kai-pang-kai-pang lain yang
menjadi tamu. Sebagai wakil Khong-sim Kai-pang yang menjadi tuan rumah,
Gak-lokai lalu berkata suaranya lantang dan jelas.
“Saudara
sekalian yang kami undang telah sudi datang memenuhi undangan, hal ini
amat menggembirakan karena jelas ternyata bahwa persatuan diantara
kai-pang masih erat. Kami mengundang Saudara sekalian untuk mempererat
persatuan ini dan hendak memperkenalkan Saudara tua kami yang telah
puluhan tahun mengasingkan diri dan kini berkenan kembali untuk
memimpin kita sekalian, yaitu Yu Kang Tianglo, Pangcu (Ketua) Khong-sim
Kai-pang!”
Tepuk sorak menyambut ucapan ini dan Suling Emas
segera bangkit dari tempat duduknya, berdiri dan menjura ke sekeliling
panggung. Melihat tubuh Suling Emas yang tinggi besar dan tegap,
sepasang mata di bawah topi lebar yang tajam berkilat, muka yang bagian
bawahnya ditutupi saputangan, semua pengemis memandang dengan
bermacam-macam perasaan. Ada yang heran, ada yang kagum, penuh harapan,
curiga dan sebagainya. Puluhan tahun yang lalu, Yu Kang Tianglo muncul
untuk membunuh It-gan Kai-ong kemudian melenyapkan diri kembali. Tak
seorang pun di antara para pengemis yang belum mendengar namanya, namun
tidak ada yang pernah melihat mukanya. Kini tokoh besar itu muncul lagi
dengan muka tertutup sehingga bermacam dugaan yang aneh-aneh timbul.
Ketika Suling Emas berdiri, keadaan menjadi sunyi dan semua orang
menanti dengan hati berdebar untuk mendengarkan apa yang hendak
dikatakan oleh Yu Kang Tianglo, tokoh pengemis yang tak pernah dijumpai
orang namun namanya amat terkenal itu.
Dua pasang mata memandang
ke arah Suling Emas dengan penuh perhatian dan juga dengan
terheran-heran betapa beraninya memalsukan nama orang yang sudah
meninggal dunia. Kwi Lan terheran bercampur marah sedangkan Yu Siang Ki
terheran dan ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa kehendaknya.
“Saudara-saudara para pimpinan dan anggauta kai-pang!” Suara Suling
Emas lantang dan nyaring, akan tetapi halus. “Maafkan bahwa saya
menutupi muka, karena memang sesungguhnya bukan maksud saya mencari
ketenaran diri dengan hadir saya di sini. Sudah semenjak dahulu saya
selalu berusaha menyembunyikan diri dan menjauhkan diri dari pada
urusan dunia. Akan tetapi, dua kali saya terpaksa menampilkan diri,
pertama kali dahulu di waktu It-gan Kai-ong mengotorkan dunia pengemis
dengan kejahatannya. Sekarang, mendengar betapa dunia pengemis kembali
diselundupi kaum sesat, mau tidak mau saya terpaksa menampilkan diri
untuk menegakkan kembali kebenaran dan kebersihan di dunia pengemis.
Terutama sekali Khong-sim Kai-pang yang semenjak mendiang Ayah saya
dahulu merupakan kai-pang yang bersih dan gagah ternyata telah
diselundupi oknum-oknum jahat yang mengangkat diri sendiri menjadi
pimpinan dan menyelewengkan kai-pang ke jalan sesat. Terpaksa saya turun
tangan membasmi mereka. Karena itu, dalam kesempatan ini saya
peringatkan kepada saudara-saudara pimpinan kai-pang lain agar
berhati-hati dan bersatu padu untuk menghalau kaum sesat yang hendak
mencari tempat dan menguasai kai-pang.”
“Bagus, bagus.”
“Akur....! Akur....!”
Para pengemis bertepuk sorak. Yu Siang Ki mengangguk-angguk dan hatinya
lega. Kiranya benar seperti dugaannya. Orang aneh ini sengaja
memalsukan nama mendiang ayahnya dengan maksud baik, yaitu hendak
mengandalkan nama ayahnya untuk mempengaruhi kai-pang dan mengajak
mereka melawan kaum sesat. Ia menoleh ke arah Kwi Lan yang juga
memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak. Pada saat itu, Kwi
Lan menyentuh tangannya.
“Siang Ki, lihat....!”
Yu Siang
Ki cepat menengok dan matanya tajam masih sempat melihat sinar hitam
melayang ke arah leher dan lambung orang aneh yang memalsukan nama
ayahnya itu. Jelas bahwa sinar itu adalah senjata rahasia yang halus
sekali, yaitu jarum-jarum rahasia!
“Celaka!” bisiknya khawatir.
Akan tetapi ia dan Kwi Lan memandang dengan melongo ketika Suling Emas
dengan tenang menerima jarum-jarum itu dengan leher dan lambung,
kemudian tangan kirinya seperti mengusir lalat di leher dan lambungnya
dan sekali tangannya bergerak, sinar hitam melesat dan jarum-jarum itu
sudah di “retour” kembali kepada pengirimnya, namun dengan kecepatan
dan kekuatan yang dahsyat sekali. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan
dua orang pengemis baju bersih yang berdiri di antara banyak pengemis
itu roboh dan tewas seketika karena leher dan lambung mereka termakan
jarum rahasia mereka sendiri!
Hanya para pengemis yang sudah
tinggi ilmunya saja menyaksikan gerakan Suling Emas dan maklum apa yang
telah terjadi. Yang tidak begitu tinggi ilmunya terheran-heran dan tidak
tahu apa yang terjadi sehingga keadaan menjadi panik.
Suling
Emas mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada semua orang
agar tidak menjadi panik. Kemudian terdengar suaranya lantang.
“Harap Saudara semua tenang. Matinya dua orang itu menjadi peringatan
bagi kita bahwa di mana-mana kaum sesat sudah menyelundup sehingga perlu
kita waspada karena mereka berdua itu adalah orang-orang jahat yang
berusaha untuk membunuh saya. Sebaliknya pihak kaum sesat juga telah
mendapat peringatan!” Suara ini tegas dan penuh wibawa.
“Mereka itu pengemis baju bersih! Basmi para pengemis baju bersih yang jahat!” Terdengar teriakan-teriakan marah.
Kembali Suling Emas mengangkat tangannya. “Dengarlah baik-baik! Menilai
orang bukan dari pakaian bersih atau kotor! Menilai orang harus dari
sepak terjangnya, dari perbuatannya! Pengemis memang orang miskin.
Sedapat mungkin orang harus berpakaian bersih dan baik, akan tetapi
kalau tidak ada, apa boleh buat, kotor pakaiannya asal tidak kotor hati
dan pikirannya. Orang-orang yang pernah menyeleweng dari pada kebenaran
bukan sekali-kali berarti bahwa mereka itu selama hidupnya menjadi
orang-orang jahat yang harus dikutuk! Karena itu, kami anjurkan kepada
saudara-saudara kaum kai-pang yang pernah menyeleweng, kembalilah ke
jalan benar dan bertobatlah. Apabila kalian tidak insyaf, kami kaum
kai-pang yang sudah bersatu akan membasmi kalian!”
Kembali tepuk
sorak menyambut ucapan yang lantang dan penuh semangat dari Suling Emas
ini, karena semua orang menyetujui pendiriannya. Akan tetapi tentu saja
tidak termasuk mereka yang memang hadir dengan maksud menentang,
seperti rombongan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dua kai-pang
ini memang sudah seluruhnya dikuasai kaum sesat, bahkan dua kai-pang ini
pula yang belum lama ini mengadakan pertemuan di dunia kaum sesat untuk
membicarakan soal pemilihan bengcu golongan hitam.
Oleh karena
itu, kedatangan dua rombongan ini tentu saja berdasarkan menyelidik
dan juga untuk menghalangi pergerakan kaum pengemis yang dipimpin oleh
Yu Kang Tianglo. Bahkan dua orang pengemis yang tewas karena senjata
jarum mereka diretour oleh Suling Emas tadi adalah anggauta-anggauta
Hek-coa Kai-pang.
Di antara tepuk sorak gemuruh itu, tiba-tiba
terdengar suara nyaring yang mengatasi kegaduhan itu. “Siapa di antara
kita yang mampu menandingi Locianpwe Bu-tek Siu-lam?”
Pernyataan nyaring yang entah dikeluarkan oleh siapa ini menusuk
telinga semua orang dan seketika kegaduhan terhenti, tak seorang pun
berani mengeluarkan suara lagi. Pada saat itu dua orang kakek pengemis
sudah melompat bangun dari barisan kursi pimpinan kai-pang yang menjadi
tamu. Mereka ini lalu melangkah maju ke tengah panggung, menghadapi
semua pengemis yang hadir. Keduanya adalah kakek yang usianya sudah enam
puluh tahun, berpakaian sebagai pengemis akan tetapi pakaian mereka
bersih dan baru yang sengaja ditambal-tambal. Mereka ini memegang
tongkat panjang dan melihat betapa pada baju bagian dada mereka terdapat
gambar garuda dan ular, maka mudah diduga bahwa mereka tentulah
tokoh-tokoh dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dan memang
betul sekali. Kakek yang baju di dadanya tergambar garuda hitam adalah
seorang tokoh Hek-peng Kai-pang, sedangkan yang dadanya tergambar ular
hitam adalah seorang tokoh Hek-coa Kai-pang.
Sejak tadi,
kehadiran rombongan Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang sudah
merupakan hal yang menimbulkan tegang di hati para pengemis karena
mereka semua itu tahu dengan jelas siapakah mereka ini. Boleh dibilang
pada waktu itu, pelopor para kai-pang yang menggabung dengan kaum sesat
adalah dua buah perkumpulan inilah. Maka semua orang sudah dapat menduga
bahwa munculnya tokoh-tokoh dua kai-pang ini tentulah mengandung
maksud kurang baik. Kini melihat dua orang kakek ini muncul di panggung,
semua orang diam dan memandang penuh perhatian.
Kakek yang
dadanya bergambar ular hitam itu tubuhnya kecil tinggi, kepalanya
besar. Setelah memandang ke sekeliling ia lalu berkata.
“Kami
adalah wakil dari Hek-coa Kai-pang. Mendengar uraian pangcu dari
Khong-sim Kai-pang tadi, kami setuju sekali. Memang di antara kai-pang
harus diadakan persatuan erat untuk menghadapi musuh-musuh kita! Dan
untuk memperkuat para kai-pang kita harus memilih seorang pemimpin yang
cakap. Kami dari pihak Hek-coa Kai-pang dan juga saudara-saudara kita
dari Hek-peng Kai-pang dalam pertemuan orang-orang gagah telah
bersepakat untuk mengangkat Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai bengcu
kita.”
“Benar apa yang diucapkan oleh Saudara dari Hek-coa
Kai-pang ini!” kata kakek ke dua yang dadanya bergambar garuda hitam.
Kakek ini mukanya merah dan matanya sipit sampai hampir terpejam
selalu, tapi mulut lebar dan bibirnya tebal sekali. “Hanya di bawah
bimbingan seorang Locianpwe yang sakti seperti Bu-tek Siu-lam saja maka
derajat golongan kita dapat terangkat. Kami rasa Yu Kang Tianglo dari
Khong-sim Kai-pang cukup bijaksana untuk menyadari hal ini dan
menyetujui pengangkatan Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai pimpinan
tertinggi semua kai-pang!”
Para pengemis menyambut ucapan dua
orang kakek itu dengan berbisik. Dari rombongan pimpinan kai-pang sudah
meloncat maju lagi dua orang kakek pengemis berpakaian butut. Seorang
di antara mereka berteriak.
“Apa? Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu kita? Setelah ia membunuh secara keji dua ratus orang golongan kita?”
Yang berteriak ini adalah Ketua Ang-tung Kai-pang, seorang kakek
bertubuh kecil pendek akan tetapi bermata lebar. Ia memutar-mutar
tongkat merahnya dengan sikap marah sekali. Ketika Bu-tek Siu-lam
melakukan pembunuhan terhadap dua ratus orang pengemis, belasan orang
pengemis anak buahnya ikut terbunuh, maka tentu saja ia marah-marah
mendengar betapa dua orang kakek itu hendak mengangkat Bu-tek Siu-lam
menjadi bengcu.
“Cocok! Tidak sudi kami menerima tokoh jahat itu
menjadi bengcu!” Teriak pula pengemis ke dua yang sudah meloncat maju.
Dia ini adalah wakil dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis
Laksaan Bunga).
“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kaipang memang
perkumpulan yang menyeleweng dan bersekongkol dengan kaum sesat!”
Teriakan-teriakan itu terdengar saling bantah dan suasana menjadi
berisik sekali melebihi pasar.
“Yang dibunuh adalah pengemis-pengemis jahat!”
“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang menyenangkan hidup anak buahnya!”
“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang pro kepada tokoh yang diusulkan menjadi bengcu itu.
“Basmi penyeleweng-penyeleweng!” “Basmi Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang!”
“Bu-tek Siu-lam musuh besar kaipang!”
Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang anti sehingga keadaan menjadi
ribut dan tegang karena setiap saat dapat timbul perang saudara antara
para pengemis ini. Gak-lokai dan Ciam-lokai menjadi pucat wajahnya dan
mereka sudah hendak bergerak, akan tetapi Suling Emas mencegah dan
berkata halus.
“Biarkan saja. Malah lebih baik. Dengan begini
kita dapat melihat siapakah di antara mereka yang menyeleweng. Kalau
mereka sudah menyatakan pendapat, baru kita turun tangan melakukan
pembersihan.”
Sementara itu, di atas panggung sudah terjadi
perdebatan yang makin lama menjadi saling maki antara tujuh orang
pimpinan pengemis baju bersih yang dikepalai oleh dua orang dari
Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang, dan pihak lawan mereka adalah
sebelas orang pimpinan dari kai-pang-kai-pang lain yang rata-rata
berpakaian butut. Suling Emas hanya duduk di atas kursi sambil menatap
tajam, meneliti mereka yang pro dan mereka yang anti terhadap Bu-tek
Siu-lam. Juga Kwi Lan dan terutama sekali Yu Siang Ki, memandang dengan
hati tegang dan tertarik. Diam-diam Yu Siang Ki terheran menyaksikan
orang aneh yang memalsukan nama ayahnya. Ia masih belum dapat menyelami
isi hati orang itu. Kalau benar tindakannya itu demi perbaikan dan
pembersihan kai-pang, kenapa kini ia diam saja melihat keadaan
kacau-balau itu? Pihak manakah yang dibelanya?
Suling Emas yang
duduk tak bergerak di atas kursinya dapat melihat betapa semua pengemis
yang pro kepada Bu-tek Siu-lam dipimpin oleh dua orang kakek Hek-peng
Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dilihat dari sikap mereka, memang
agaknya dua orang kakek ini sudah mengaturnya terlebih dahulu, sengaja
untuk mengacaukan pertemuan ini dan bahkan kini tampak olehnya betapa
rombongan pengemis yang duduk di sebelah timur, yang jumlahnya banyak,
adalah anak buah mereka yang diam-diam sudah siap untuk turun tangan
jika terjadi perkelahian!
Yang menyeleweng secara sadar hanya
beberapa orang saja, pikirnya. Sebagian besar di antara para pengemis
itu hanya ikut-ikutan karena tertarik oleh tingkat hidup yang lebih baik
dan kemewahan. Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu akan banyak
roboh korban di kedua pihak. Suling Emas tidak menghendaki hal ini
terjadi, maka ia sudah siap untuk menegur mereka dan merobohkan para
pimpinan pengacau. Orang-orang yang melakukan penyelewengan secara
ikut-ikutan seperti mereka itu, sekali pimpinannya roboh, tentu akan
mudah diinsyafkan dan diajak kembali ke jalan benar. Yang menjadi sumber
penyelewengan para anggauta kai-pang ini sebetulnya adalah tokoh yang
bernama Bu-tek Siu-lam. Karena munculnya tokoh sakti yang sudah
berhasil membunuh Ketua Im-yang-kauw itulah maka para pengemis yang
lemah batinnya, mudah dibawa menyeleweng, karena ada yang mereka
andalkan.
Akan tetapi dalam keadaan ketegangan tengah memuncak
itu, sebelum Suling Emas sempat turun tangan atau membiarkan Gak-lokai
dan Ciam-lokai mengurus keributan, tiba-tiba terdengar suara tertawa
bergelak. Suara ketawa ini datangnya dari.... udara! Begitu nyaring dan
hebat sehingga seakan-akan menggetarkan papan panggung.
“Hua-ha-ha-ha! Jembel-jembel busuk ini seperti sekumpulan anjing berebut tulang!”
“Heh-heh-heh! Tidak usah berebut pangkat, kamilah yang akan menjadi raja-raja kalian! Heh-heh!”
“Hua-ha-ha! Benar sekali! Aku ingin menjadi raja pengemis!”
Bagaikan dua ekor burung rajawali, dari atas menyambar turun tubuh dua
orang kakek yang mengerikan keadaannya. Yang seorang bertubuh kurus
bermuka putih seperti orang kehabisan darah, kepalanya botak dan
rambutnya jarang seperti sutera tua. Orang ke dua bertubuh besar kuat
dan mukanya merah sekali, muka yang ditumbuhi rambut sehingga muka itu
menyerupai muka singa.
Bukan main hebatnya gerakan kedua orang
kakek yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya turun ke atas papan
panggung, sambil tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua tangan ke
sekeliling dan.... tubuh para, pimpinan pengemis yang tadinya berhadapan
dan cekcok saling maki itu seperti layang-layang putus talinya,
terlempar ke bawah panggung! Dan hebatnya, kedua orang kakek itu tidak
pilih-pilih orang, siapa saja yang tadi saling maki memenuhi panggung
itu mereka lemparkan turun. Mereka itu berjumlah belasan orang, hampir
dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan kai-pang yang memiliki
kepandaian tinggi. Ketika dua orang kakek aneh ini muncul dan menyergap,
belasan orang itu sudah berusaha menerjang dan memukul roboh dua orang
kakek pengacau, bahkan banyak di antara mereka yang menggunakan
tongkat besi menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika
tongkat-tongkat itu mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama
sekali tidak dirasakannya, dan tanpa dapat dicegah lagi semua orang
itu telah mereka lempar-lemparkan dengan cara yang luar biasa mudahnya.
Dalam waktu beberapa menit saja, delapan belas orang pimpinan para
pengemis baju bersih dan baju butut itu telah dilempar turun dari atas
panggung!
“Dua orang iblis dari mana berani mengacau pertemuan
Khong-sim Kai-pang?” Teriakan ini keluar dari mulut Gak-lokai dan
Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan menerjang dengan tongkat mereka.
Suling Emas terlampau heran dan kaget menyaksikan munculnya dua orang
kakek luar biasa itu sehingga ia tidak sempat mencegah majunya Gak-lokai
dan Ciam-lokai. Dengan muka berubah Suling Emas bangkit dari kursinya,
memandang dengan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan pandang
matanya sendiri bahwa dua orang kakek yang muncul itu bukan lain adalah
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua orang kakek yang sakti itu
tiba-tiba saja muncul di situ. Apakah kehendaknya? Benarkah mereka
menghendaki menjadi raja pengemis?
Teringatlah Suling Emas pada
pertemuannya dengan kedua orang tokoh ini puluhan tahun yang lalu.
Ketika itu pun dua orang kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi
raja di Khitan (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya dengan susah
payah, setelah dibantu Lin Lin (Ratu Yalina di Khitan), Liu Hwee puteri
Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian Cinjin tokoh Beng-kauw, ia berhasil
mengusir dua orang kakek itu. Kini secara tiba-tiba dan tak
terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu muncul telah
mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat
bahwa mereka berdua itu tidak memilih bulu, merobohkan semua pengemis
baik yang berpakaian butut maupun yang bersih, jelas bahwa mereka ini
bukan penggerak kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak
menurutkan kata hati mereka sendiri yang aneh luar biasa!
Terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat sekali. Mereka ini memang
merupakan dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang sudah tinggi tingkat
ilmu silatnya, apalagi dalam beberapa hari ini mereka telah mendapat
petunjuk dari Suling Emas, maka tentu saja terjangan mereka itu amat
hebat. Akan tetapi, dengan gerakan yang tenang sekali, dua orang kakek
aneh di atas panggung itu menggeser kaki dan terjangan kedua lokai itu
hanya mengenai angin belaka.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Makin
banyak muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah, keroyoklah kami,
ha-haha!” seru Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah.
“Bagus sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi dengan enak!”
Dua orang kakek itu terkekeh-kekeh dan menghadapi terjangan Gak-lokai
dan Ciam-lokai seenaknya saja, dengan tangan kosong. Si Kakek Muka
Merah menghadapi Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih menghadapi
Gak-lokai. Mereka ini memang merupakan dua orang tokoh yang berwatak
luar biasa. Makin tua makin gila dan sejak dahulu mereka amat doyan
berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan hati mereka
melebihi perkelahian yang ramai. Melihat terjangan dua orang pengemis
bertongkat itu, mereka sudah bergembira karena mengira tentu akan
menghadapi lawan tangguh karena mereka pun maklum bahwa di dunia
pengemis terdapat banyak orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi mereka
kecewa sekali ketika mendapat kenyataan bahwa dua orang tokoh Khong-sim
Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali bukan tandingan mereka!
“Ho-ha-ha, kiranya jembel busuk tidak ada harganya!” Lam-kek Sian-ong
Si Muka Merah terbahak-bahak dan pada saat Ciam-lokai memukulkan
tongkatnya ke arah dada, ia menyambut dengan kepalan tangannya.
“Krakkk!!” Tongkat di tangan Ciam-lokai itu patah-patah menjadi
beberapa potong dan setiap kali pengemis tua itu menghantamkan
tongkatnya selalu disambut kepalan dan terpotong-potong lagi!
Sementara itu, Pak-kek Sian-ong yang menghadapi Gak-lokai juga merasa
kecewa. Akan tetapi berbeda dengan Si Muka Merah yang mendemonstrasikan
tenaga Yang-kang dahsyat dan amat kuatnya itu, ia mengeluarkan
keahliannya, yaitu tenaga Im yang lemas dan halus. Ketika Gak lokai
menghantamnya dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak tangan dan....
tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya mencelat ke atas. Gak-lokai
terkejut, namun karena ia pun seorang yang lihai biarpun tubuhnya
mencelat ke atas, ia bergerak di udara dan menghantamkan tongkatnya ke
arah kepala Pak-kek Sian-ong. Kakek muka putih ini lagi-lagi menyambut
dengan telapak tangan dan sekali lagi tubuh Gak-lokai mencelat ke
atas. Berkali-kali hal ini terjadi sehingga tubuh Gak-lokai bagaikan
sebuah bal yang dipermainkan lawan.
“Iblis-iblis tua, berani kau
mempermainkan Khong-sim Kai-pang?” Bentakan halus ini keluar dari
mulut Yu Siang Ki. Pemuda ini menjadi marah ketika menyaksikan betapa
dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai
maksud baik itu. Apalagi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai
dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu
bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau. Ia sendiri belum
tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun melihat
usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia
segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga
yang biasanya menghias topinya.
Lontarkan itu bukanlah
sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam
jalan darah di dekat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang
kakek muka merah karena melihat betapa kakek muka merah ini amat
dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat
berbahaya. Sekali saja tangan kakek muka merah itu berhasil menonjok
tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!
“Aihh....!” Kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget ketika
lengannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat
sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini
menyambar, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira,
totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iwee-kang yang dahsyat
sehingga lengannya kesemutan, ia terheran-heran. Ini bukan sambitan
orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang
Ki.
Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa
yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat muda. Pada
saat itu, Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran, menggunakan sisa
tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lambung dan menusuk di
bagian yang mematikan.
“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat
mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras
saja. Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya,
tiba-tiba tubuhnya sudah melayang jauh turun ke bawah panggung karena
pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan gerakan menyepak
(menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh
kakek muka merah itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai
terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa
kesaktiannya memang luar biasa.
Yu Siang Ki maklum akan hal ini
maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya
yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka
merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu
sudah menyambar tongkatnya dan berseru keras. “Tak seorang pun boleh
menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang
dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sin-kang.
“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kaulihat
lawanku ini biarpun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!”
ia bicara sambil menggerakkan tubuh mengelak. Sekali lihat saja
Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemuda ini hebat dan tak
boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu
Siang Ki.
“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”
bersambung 4...............
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar