Selasa, 14 Mei 2013

mutiara hitam [ 3 ]

takut!”

Siangkoan Li habis daya. Berbantahan dengan gadis ini ia merasa tak sanggup menang. Pula dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat ter­hadap Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini. Sekarang, kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka bersama sekalipun, apalagi yang disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilaku­kan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah merasa jantungnya ber­debar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka kepadanya se­perti rasa suka di hatinya? Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya?

Dengan ilmu kepandaian mereka, de­ngan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut kete­rangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang Kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.

“Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?” tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.

“Entah, kedua orang Guruku tak pernah mau bercerita tentang diri me­reka.”

“Kalau benar demikian, tentu hwesio­-hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa.”

“Memang aku masih ingat cerita Ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak per­caya mereka mampu mengalahkan kedua orang Guruku. Buktinya, kalau kedua orang Guruku menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerang­keng? Agaknya memang sengaja kedua orang Guruku tidak mau keluar.”

“Aneh sekali! Benar-benar aneh dan lucu!”

Tiba-tiba terdengar desir angin. Me­reka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senja­ta rahasia) menyambar di atas kepala me­reka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat mereka bersembunyi. Me­reka memandang ke sekeliling dengan pedang siap di tangan.

“Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?” kata seorang di antara mereka.

“Benar sekali, Sute (Adik Sepergu­ruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua menjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hu­kuman, teman-temannya yang jahat da­tang untuk menimbulkan kekacauan. di sini.”

“Kau benar, Suheng (Kakak Seper­guruan). Kata Suhu mereka itu lihai bu­kan main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita menge­nai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk me­ngepung dan mencari mereka!”

Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlem­par dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil! Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Li yang me­lakukan hal ini. Memang pemuda ini me­miliki keahlian menyambit dengan kerikil menotok jalan darah, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan me­nolong Kwi Lan di dalam guha yang terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang. Setelah me­robohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya berlari keluar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.

“Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhuku terhalang.” kata Siangkoan Li.

Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melin­tang. Dengan cepat Siangkoan Li meng­ajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh dengan rumpunalang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhu­nya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya, kedua orang suhu­nya bebas? Entah hari apa, akan tetapi tentu sekitar hari ini.

Dengan mudah Siangkoan Li menda­patkan sumur yang tertutup alang-alangitu. Ia memberi isyarat kepada Kwi Lan untuk mengikutinya kemudian ia melom­pat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur, Siang­koan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki terowongan di bawah tanah.

Ketika mereka tiba di sebuah tikung­an terowongan dan dari jauh sudah tam­pak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras. Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil me­mandang ke depan.

Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang me­nari-nari. Akan tetapi luar biasa hebat­nya sambaran tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan menimbulkan angin hebat! Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah ­sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan! Akan tetapi ternyata maki­makiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.

“Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan! Apakah engkau sudah mam­pus? Kalau sudah mampus kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji! Hayo, biar engkau masih hidup ataupun sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu! Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?”

Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu mera­sa betapa lantai tergetar hebat. Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak me­lihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap sedang­kan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang mene­robos masuk dari lubang dan celah-celah di atas. Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka dan membuat me­reka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung tidak mengerti mengapa ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang?

Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek inimemang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitandengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan! Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh Suling Emas, Akm Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan! Tidak ada orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu tek Siansu!

Siapakah Bu Tek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walaupun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Diantara para pendekar terdapat kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapapun juga! Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu atau lebih tepat, tak seorangpun tahu dimana adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak disangka-sangka.

Lima belas tahun yang lalu, setelah Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling Emas dan kawan-kawannya (baca ceritaCINTA BER­NODA DARAH ). sepasang kakek sakti ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio Luliang-san dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Dua orang kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini mem­buat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi we­jangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman di dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa.

Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji me­reka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan me­maki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.

“Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?” kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang mengeri­kan.

Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu di luar, suara­nya halus dan merdu perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hati­nya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.

“Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?” kata Lam-kek Sian-ong.

“Hoh, ke sinilah biar kami dapat me­nebus penderitaan lima belas tahun de­ngan kematianmu, tua bangka!” kata pula Pak-kek Sian-ong.

Tidak ada jawaban. Hanya suara yang­-khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin me­reda dan akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama se­kali. Namun, seakan-akan oleh mereka terdengar gema suaranya memenuhi te­linga, dan suasana tenang damai dan tenteram masih terasa menyelubungi hati.

“Siancai, siancai(damai, damai)....!

Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian! Kerbau di­ikat hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia dari­pada kerbau....!” Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.

Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap, tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka me­masuki terowongan itu. Benar saja duga­an mereka karena tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan sebuah yang-khim berada di punggungnya.

Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong su­dah memasang kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sen­dirinya!

“Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini, kakek-kakek yang sudah amat tua, meng­apa harus bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang me­ngagumkan, tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gem­blengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah memperoleh hasil yang amat berharga.”

“Bu Kek Siansu, sejak dahulu engkau pandai bicara manis. Lima belas tahun yang lalu kami kalah olehmu dan kami menyiksa diri selama itu di sini. Boleh jadi kami tidak peduli tentang baik dan jahat, akan tetapi kami bukan pengecut yang bisa pegang janji. Kami sengaja berlatih lima belas tahun untuk menanti hari ini, saatnya kami bertemu denganmu untuk mengulang lagi pertandingan lima belas tahun yang lalu!” kata Lam-kek Sian-ong dengan mata mendelik.

“Tidak peduli baik atau jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Bu Kek Siansu, hayo lawan kami!” kata pula Pak-kek Sian-ong yang sudah merendahkan tubuh dan menekuk kedua lututnya memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu.

Bu Kek Siansu mengelus-elus jenggot dan tersenyum ramah. “Orang-orang yang berlepotan lumpur kotor akan tetapi menyadari akan kekotorannya lalu mandi dan tidak bermain lumpur lagi, bukankah hal itu amat menyenangkan? Orang-orang yang bermain lumpur akan tetapi tidak sadar akan kekotorannya akan tetapi tidak mau membersihkan diri dan meng­insyafi kekeliruannya, bukankah hal itu amat bodoh dan patut disesalkan?”

Pak-kek Sian-ong bertukar pandang dengan Lam-kek Sian-ong, kemudian Si Muka Merah itu tertawa. Ha-ha, Bu Kek Siansu. kami sudah kapok berkecimpung di dunia ramai melakukan kejahatan.

Akan tetapi kami belum kapok untuk mencoba kepandaian, tidak takut untuk mengulangi kekalahan lima belas tahun yang lalu!”

“Hendak kami lihat apakah benar-benar Bu Kek Siansu seorang manusia tanpa tanding di jagad ini!” kata Pak­-kek Sian-ong penasaran.

“Siancai.... Siancai.... mengapa Ji-wi tidak melihat bahwa hal itu sama sekali tidak ada gunanya? Apakah untungnya dunia kalau kakek-kakek macam kita ini bertanding? Harap Ji-wi ketahui, semen­jak Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) tidak ada lagi, dunia bukan ma­kin aman, bahkan kini muncul tokoh-tokoh baru menggantikan kedudukan me­reka. Tokoh-tokoh hitam akan mengada­kan pertemuan dan sekali mereka itu ber­satu padu, bukankah perikemanusiaan ter­ancam bahaya hebat? Ji-wi, segala apa di dunia ini diciptakan demi kebaikan. Semua ada kegunaannya. Matahari mem­beri cahaya kehidupan. Tanah memberi kesuburan. Air memberi zat kehidupan. Tetanaman memberi zat makanan. Ji­-wi yang telah dikurniai kepandaian ting­gi, layaknya kalau tidak digunakan untuk sesuatu kebaikan? Kalau begitu, apa artinya Ji-wi hidup dan lebih-lebih lagi, apa gunanya Ji-wi puluhan tahun mem­pelajari ilmu kalau hanya untuk main-main dengan aku seorang tua bangka? Harap Ji-wi suka insyaf.”

“Heh, Bu Kek Siansu. Manusia tidak lepas dari pada nafsu dan pada saat sekarang ini, nafsu kami satu-satunya mendorong kami untuk mencari kepuasan membalas kekalahan kami lima belas tahun yang lalu.”

“Benar kata-kata Ang-bin Siauwte.” kata Si Muka Putih. “Yang lain-lain per­kara kecil, kami akan menurut selanjut­nya kalau kami kalah lagi.”

Bu Kek Siansu menarik napas panjang. “Aku sudah terlalu lama membuang nafsu mencari menang. Sekarang begini saja, Ji-wi boleh memukulku sesuka hati. Ka­lau tewas oleh pukulan Ji-wi, berarti aku kalah dan terserah kepada Ji-wi apa yang selanjutnya akan Ji-wi lakukan. Akan tetapi kalau pukulan-pukulan Ji­-wi tidak membuat aku mati karena maut masih segan-segan menjemput tua bangka macam aku, harap Ji-wi menerima kalah dan sukalah melakukan usaha menentang munculnya tokoh-tokoh iblis yang ku­maksudkan tadi.”

Kembali dua orang kakek itu saling pandang. Betapapun juga, mereka masih merasa gentar menghadapi manusia se­tengah dewa itu. Biarpun mereka selama lima belas tahun ini menggembleng diri di dalam kurungan, namun mereka mak­lum bahwa Bu Kek Siansu memiliki kesaktian yang sukar diukur bagaimana tingginya. Kini mendengar usul Bu Kek Siansu, mereka menjadi lega dan tentu saja tidak mau menyia-nyiakan kesem­patan baik ini. Mereka sekali-kali bukan membenci Bu Kek Siansu dan ingin membunuhnya. Melainkan mereka haus akan kemenangan. Apapun juga caranya, kalau mereka sudah dianggap menang, akan puaslah hatinya. Apalagi kalau ke­menangan ini disahkan dengan terjatuh­nya Bu Kek Siansu,, si manusia dewa di bawah tangan mereka!

“Baik, aku akan memukulmu tiga kali Bu Kek Siansu!” kata Si Muka Merah.

“Aku pun memukul tiga kali!” kata pula Pak-kek Sian-ong.

“Terserah, tiga kali juga baik.” kata Bu Kek Siansu tenang.

“Kau tidak boleh menangkis!” kata pula Lam-kek Sian-ong.

“Dan tidak boleh mengelak!” sambung Pek-kek Sian-ong.

“Baik, aku tidak akan menangkis dan mengelak. Akan kuterima masing-masing tiga kali pukulan Ji-wi.”

Siangkoan Li dan Kwi Lan yang se­menjak tadi bertiarap dan menyaksikan serta mendengar semua ini, menjadi ka­get sekali. Dua orang kakek itu luar biasa lihainya. Baru angin pukulan me­reka saja tadi sudah menghancurkan ba­tu. Bagaimana sekarang kakek yang su­dah amat tua itu dapat tahan menerima tiga kali pukulan dari masing-masing kakek itu, jadi enam kali pukulan tanpa mengelak maupun menangkis? Kwi Lan bangkit duduk saking tertarik menyaksi­kan keanehan ini. Juga Siangkoan Li su­dah duduk di dekatnya sambil meman­dang ke dalam dengan kening berkerut. Di dalam hatinya ia merasa menyesal sekali mengapa kedua orang gurunya yang dianggap orang-orang sakti itu kini hendak berlaku demikian licik dan curang terhadap seorang kakek yang kelihatan halus dan lemahitu. Ia sangat kagum ketika mendengar ucapan Bu Kek Siansu, bahkan ucapan-ucapan itu secara tidak langsung menikam hatinya karena amat cocok dengan keadaan dirinya sendiri. Mendengar ucapan kakek itu tadi, mulai­lah ia dapat melihat anjuran Kwi Lan. Ia semenjak kecil hidup di lingkungan kotor dan hitam bergelimang di dunia kejahatan. Setelah ia sadar akan hal ini, meng­apa ia tidak mau mencuci diri member­sihkan dari kotoran, kemudian melakukan kebajikan-kebajikan yang berlawanan dengan kejahatan? Mengenai Thian-liong­-pang yang sudah terlanjur kotor, tepat seperti yang dianjurkan Kwi Lan, sebaik­nya ia turun tangan membersihkannya. Dengan begini barulah ia menebus dosa kakeknya dan dengan begini barulah ia berbakti kepada almarhum ayahnya.

Lam-kek Sian-ong sudah menghampiri Bu Kek Siansu, mengambil napas dalam, mengerahkan tenaga lalu memukul ke arah dada Bu Kek Siansu yang berdiri tenang-tenang saja. Angin pukulan dah­syat menyambar.

“Desss....!”

Tubuh Bu Kek Siansu bergoyang-go­yang ke belakang depan dan benar-benar kakek ini telah menerima pukulan tanpa menangkis maupun mengelak. Pukulan yang amat keras dan menggeledek.

“Ang-bin Siauwte, bergantian!” teriak Pak-kek Sian-ong sambil melompat maju. Lam-kek Sian-ong mengangguk sambil meramkan mata dan mengaturpernapas­an. Ia tahu akan akal saudaranya. Jika ia harus memukul terus sampai tiga kali, karena setiap pukulan memakan tenaga dalamnya, makin lama pukulannya makin lemah, juga ada kemungkinan ia sendiri menderita luka dalam. Dengan bergan­tian, ia mendapat kesempatan memulih­kan tenaga. Diam-diam ia kagum sekali. Setelah lima belas tahun, pukulannya amat hebat karena setiap hari ia latih. Akan tetapi tadi mengenai dada Bu Kek Siansu, ia merasa seperti memukul se­karung kapas, tenaganya amblas kemu­dian membalik. Sungguh hebat!

Dengan tubuh agak direndahkan, Pak-kek Sian-ong kini melancarkan pukulan pertama. Berbeda dengan Lam-kek Sian­ong yang memukul dengan menggunakan kekerasan dan tenaga Yang-kang, kakek bermuka pucat ini memukul dengan jari­jari terbuka dan mengerahkan tenaga Im­kang.

“Cesss....!”

Kembali tubuh Bu Kek Siansu terge­tar bahkan terhuyung tiga langkah ke belakang. Muka kakek ini pucat sekali, namun matanya masih bersinar tenang dan penuh damai sedangkan mulutnya tersenyum ramah. Betapapun juga, jelas tampak oleh Kwi Lan dan Siangkoan Li betapa dua kali pukulan itu luar biasa hebatnya dan mungkin sekali kakek tua renta itu sudah menderita luka dalam yang hebat.

Seperti juga Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu kagum bukanmain. Ia telah mengerahkan seluruh tenaganya dalam pukulan pertama ini, akan tetapi pukulannya yang tepat mengenai ulu hati Bu Kek Siansu tadi seperti bertemu dengan segumpal baja yang amat keras. Cepat-cepat ia pun mejamkan mata mengumpulkan tenaga dan mengatur per­napasannya.

Ketika Lam-kek Sian-ong melangkah maju hendak melakukan pukulan ke dua, tiba-tiba lengannya ditarik Pak-kek Sian-ong yang memberi tanda kedipan dengan mata. Lam-kek Sian-ong maklum dan kini majulah mereka berdua, menghampiri Bu Kek Siansu. Tanpa mengeluarkan kata-kata, dua orang kakek ini telah berse­pakat untuk melakukan pemukulan ke dua secara berbareng dan dapat dibayangkan betapa berbahaya pukulan kedua orang ini jika dilakukan berbareng! Lam-kek Sian-ong adalah seorang ahli dalam peng­gunaan tenaga panas, sedangkan sebalik­nya Pak-kek Sian-ong adalah ahli mem­pergunakan tenaga dingin. Jika sekaligus menghadapi dua pukulan yang berlawanan sifatnya, bagaimana tubuh dapat meng­atur dua macam tenaga sakti yang saling berlawanan untuk menghadapi dua pu­kulan itu?

Mustahil kalau seorang sakti seperti Bu Kek Siansu tidak mengerti soal itu. Akan tetapi buktinya, kakek itu hanya tersenyum saja dan masih tenang, sedikit pun tidak menegur ketika dua orang itu menghampirinya untuk melakukan pemu­kulan kedua secara berbareng. Kwi Lan dan Siangkoan Li memandang dengan muka pucat dan penuh kekhawatiran. Dua orang muda ini merasa pasti bahwa kali ini kakek tua yenta itu tentu akan ter­pukul mati.

“Bresss....!”

Hebat bukan main pukulan yang dila­kukan berbareng itu. Kepalan tangan Lam-kek Sian-ong menghantam dada sedangkan jari-jari tangan Pak-kek Sian­ong menampar lambung dalam saat ber­bareng. Tubuh Bu Kek Siansu terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin, lalu punggungnya menubruk dinding batu. Terdengar suara keras dan yang­-khim di punggungnya ternyata telah re­muk! Akan tetapi kakek ini tidak roboh binasa, melainkan maju lagi dengan agak terhuyung-huyung. Setelah ia maju, baru tampak yang-khimnya jatuh dalam keada­an hancur sedangkan dinding batu di mana ia terbanting tadi kini kelihatan amblas ke dalam dan tercetaklah bentuk tubuh kakek itu pada dinding batu! Se­nyum itu masih belum meninggalkan bibir, akan tetapi matanya dipejamkan dan dari kedua bibirnya mengalir darah yang menetes-netes melalui jenggot putih yang panjang!

Dua orang kakek itu saling pandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali. Dari ubun-ubun kepala mereka tampak keluar uap putih yang tebal. Ini tandanya bahwa mereka telah memper­gunakan tenaga dalam yang amat kuat. Dada mereka terasa sakit dan tahulah mereka bahwa pukulan ke dua tadi telah melukai mereka sendiri. Akan tetapi me­lihat keadaan Bu Kek Siansu, mereka menduga bahwa lawannya itu pun telah terluka. Pukulan terakhir tentu akan merobohkan Bu Kek Siansu dan.... mung­kin juga menyeret mereka berdua ke lubang kuburan! Betapapun juga, mereka merasa penasaran sekali dan hendak ber­laku nekat. Pukulan ke tiga sudah siap mereka lakukan dan mereka sudah meng­hampiri Bu Kek Siansu yang berdiri de­ngan tubuh menggetar akan tetapi mulut tersenyum dan muka tenang.

Akan tetapi tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat. Mereka ini adalah Kwi Lan dan Siangkoan Li. Pemuda itu serta merta menjatuhkan diri berlutut di depan kedua gurunya sambil berseru.

“Harap Suhu berdua jangan melakukan pemukulan lagi....!”

Akan tetapi Kwi Lan sudah berdiri di depan dua orang kakek itu sambil menu­dingkan telunjuknya dan berkata, “Kalian ini dua orang tua benar-benar tidak mengenal malu sama sekali! Mana ada aturan memukul seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melawan? Coba kalian yang tidak melawan kupukuli apakah kalian juga mau? Kegagahan ma­cam apa yang kalian perlihatkan ini?”

Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian­ong terkejut. Mereka tidak mengira bah­wa semua yang terjadi itu telah disaksi­kan orang lain. Marahlah mereka ketika melihat bahwa murid mereka berani mencampuri urusan ini bahkan berani pula mengajak datang seorang gadis yang begitu galak dan berani memaki-maki mereka. Pada saat itu mereka berdua sudah bergandeng tangan. Tangan kiri Lam-kek Sian-ong berpegang pada ta­ngan kanan Pak-kek Sian-ong. Mereka berniat untuk melakukan pukulan ter­akhir dengan menggabungkan tenaga, maka tadi mereka saling berpegang tela­pak tangan. Kini melihat munculnya Kwi Lan dan Siangkoan Li, dalam kemarahan mereka itu mereka lalu menggerakkan tangan memukul ke depan, ke arah dua orang muda yang menghalang di jalan.

“Pergilah kalian!” bentak Lam-kek Sian-ong.

Kwi Lan dan Siangkoan Li terkejut sekali ketika merasa ada angin pukulan dahsyat menyambar. Mereka dapat me­ngerahkan tenaga hendak menangkis atau mengelak, akan tetapi aneh luar biasa. Angin pukulan dari depan itu seakan-akan mengunci jalan keluar, bahkan ke­tika mereka mengerahkan tenaga, mereka mendapat kenyataan bahwa tenaga itu tak dapat mereka salurkan! Ternyata bahwa pukulan itu sebelum tiba di tubuh lebih dulu pengaruhnya telah membuat mereka seperti dalam keadaan tertotok! Benar-benar, pukulan yang amat aneh dan lihai. Dengan mata terbelalak mereka menanti datangnya maut, karena sekali pukulan kedua orang kakek itu menyen­tuh tubuh mereka, tentu maut akan da­tang merenggut nyawa! Akan tetapi, ti­ba-tiba mereka merasa ada tangan me­nyentuh punggung mereka. Tangan yang halus dan hangat, merapat di punggung mereka pada saat pukulan tiba. Dan, sebelum tangan kedua orang kakek itu menyentuh kulit tubuh mereka, hawa pu­kulan itu membalik dan kedua kakek itu berseru keras lalu roboh terjengkang!

“Minggirlah, anak-anak!” terdengar bisikan dari belakang dan Kwi Lan ber­dua Siangkoan Li merasa betapa tubuh mereka terdorong ke pinggir tanpa dapat mereka lawan. Tahulah mereka bahwa nyawa mereka telah ditolong Bu Kek Siansu dan diam-diam mereka kagum bukan main. Kini karena yakin akan ke­lihaian dua orang kakek itu. Kwi Lan tak berani berlagak lagi, hanya memandang ke depan.

Kedua orang kakek itu sudah melon­cat bangun lagi dan memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata terbelalak heran dan kagum. Gebrakan tadi jelas membuktikan bahwa mereka berdua, sampai sekarang pun sama sekali bukan tandingan kakek setengah dewa ini. Mu­lailah terbuka mata mereka dan mulailah mereka menyesal mengapa sejak dahulu mereka terlalu mengagungkan dan meng­andalkan kepandaian sendiri! Sinar mata mereka mulai melunak, tidak seliar bia­sanya dan hal ini tidak terluput dari pandangan mata Bu Kek Siansu yang amat waspada. Sambil melangkah maju dan tersenyum, kakek sakti ini berkata.

“Perjanjian harus dipegang teguh. Kalian berdua baru memukul dua kali, masih ada satu kali lagi.”

Dua orang kakek itu makin pucat. Mereka maklum bahwa dua kali pukulan mereka tadi sama sekali tidak melukai kakek sakti itu, sungguhpun pengerahan tenaga dalam yang luar biasa membuat darah bertitik keluar dari mulutnya. Ka­lau sekali lagi memukul, mungkin mereka sendiri yang akan tewas!

Menyaksikan keraguan mereka, Bu kek Siansu berkata lagi, “Mengapa Ji-wi ragu-ragu? Adakah Ji-wi merasa menye­sal? Baru saja ada orang-orang muda yang memberi contoh kepada Ji-wi. Biar­pun kepandaian mereka jauh di bawah tingkat Ji-wi, namun tanpa merasa takut mereka berusaha membelaku. Melepas budi kebajikan tanpa mempedulikan kese­lamatan sendiri, alangkah besar jasa yang diperbuat selagi hidup. Hayolah, aku masih hutang sebuah pukulan dari kalian berdua.”

Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-­ong masih saling bergandengan tangan. Mereka kini melangkah maju dan Lam­kek Sian-ong berkata, “Masih sekali pu­kulan lagi, Bu Kek Siansu, dan kalau engkau dapat bertahan serta aku tidak mampus, biarlah aku bersumpah akan mentaati semua pesanmu!”

“Benar, sudah sepatutnya dan sudah tiba saatnya kami melihat kebodohan sendiri!” kata pula Pak-kek Sian-ong.

Kemudian sambil bergandeng tangan kedua orang itu menghantamkan tangan mereka ke arah dada Bu Kek Siansu. Mereka maklum bahwa kalau kakek sakti ini menggunakan tenaga untuk memukul kembali pukulan mereka, tentu mereka takkan kuat bertahan, terpukul oleh hawa pukulan sendiri dan isi dada mereka yang sudah terluka akan terguncang merenggut nyawa.

“Dukkk....!”

Dua orang itu mengeluarkan pekik kaget. Ternyata kali ini Bu Kek Siansu menerima pukulan hebat itu dengan tu­buhnya tanpa pengerahan tenaga sama sekali! Kakek itu telah mengorbankan diri demi keselamatan mereka berdua. Mereka melihat betapa tubuh Bu Kek Siansu mencelat ke belakang lalu jatuh terduduk, bersila dan tubuhnya masih ber­goyang-goyang. Dari mata, hidung, mu­lut, dan telinga mengalir darah segar! Dua orang kakek itu menjerit dan me­nubruk, menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu. Baru sekarang mereka mengenal rasa terharu. Kakek ini yang mereka pukul tanpa melawan, be­gitu saja membiarkan dirinya terluka hebat untuk menyelamatkan mereka ber­dua. Di mana ada budi kebajikan yang sebesar ini?

Bu Kek Siansu membuka matanya, tersenyum ketika melihat wajah mereka berdua.

“Siancai.... siancai.... legalah hatiku sekarang.... kejahatan yang merajalela di dunia akan menghadapi lawan berat....”

“Siansu, mengapa mengorbankan diri untuk kami?” Lam-kek Sian-ong yang masih terheran itu bertanya.

“Siansu, kami bersumpah akan men­taati pesanmu sampai mati!” kata pula Pak-kek Sian-ong.

“Anak-anak yang baik,” kata Bu Kek Siansu, seakan-akan dua orang kakek itu adalah dua orang anak-anak kecil saja. “Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri termasuk kelemah­an-kelemahan dan kebodohan-kebodohan­nya, sadar insyaf dan kembali kejalan benar. Yang lain-lain tidaklah penting lagi. Selamat berpisah.” Setelah berkata demikian, ia bangkit berdiri lalu berjalan terhuyung-huyung keluar dari dalam te­rowongan itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum!

Sungguh aneh bin ajaib. Dua orang kakek yang biasanya liar itu kini me­nangis terisak-isak. Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah itu menangis sesenggukan sambil duduk dan menyembunyikan muka­nya di antara kedua paha yang diangkat naik. Adapun Pak-kek Sian-ong yang bermuka pucat itu berdiri memegangi kerangkeng dan terisak-isak tanpa me­ngeluarkan air mata. Kalau saja Kwi Lan tidak menyaksikan semua peristiwa tadi, tentu ia akan tertawa bergelak saking geli hatinya. Namun peristiwa tadi sungguh menenangkan hatinya dan kini ia hanya memandang dengan penuh keheran­an.

Siangkoan Li segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang kakek itu. “Ji-wi Suhu, teecu Siangkoan Li datang menghadap Suhu....”

Mendadak Pak-kek Sian-ong memba­likkan tubuh menoleh lalu memben­tak, “Aku tidak mempunyai murid macam engkau.

Kaget sekali hati Siangkoan Li, juga ia menjadi berduka. “Suhu, harap maaf­kan teecu. Teecu datang menghadap mohon nasihat Ji-wi Suhu. Ayah dan Ibu telah meninggal. Thian-liong-pang men­jadi perkumpulan jahat akan tetapi di sana ada Gwakong. Apakah yang teecu harus lakukan....?”

Kini Lam-kek Sian-ong yang memba­likkan tubuh danmenoleh. Ia masih du­duk di atas lantai dan mukanya makin merah ketika ia membelalakkan mata menghardik, “Engkau orang jahat! Engkau tokoh Thian-liong-pang yang menjemukan! Pergi.... dan bawa pergi perempuan liar ini keluar dari sini!”

“Suhu....!” Siangkoan Li merintih.

“Cukup! Engkau membiarkan bangunan yang dengan susah payah didirikan Ayahmu menjadi runtuh berantakan. Kau­kira kami tidak mengetahui sepak ter­jangmu? Kami tidak sudi mempunyai murid macam engkau!” kata Pak-kek Sian-ong.

“Heh-heh, barangkali orang muda ini datang untuk memamerkan kekasihnya itu, dan minta persetujuan kita untuk menikah dengannya. Ha-ha, Pek-bin Twa­ko, kaubikin dua orang muda ini kecewa saja!” Si Muka Merah mengejek.

Sambutan dan sikap kedua orang gurunya ini merupakan pukulan hebat bagi Siangkoan Li. Tadinya ia menggantungkan harapannya kepada dua orang tua itu. Siapa kira, dia sendiri menjadi saksi betapa kedua orang suhunya ini dahulu ternyata juga bukan orang baik-baik sehingga ditundukkan dan dihukum Bu Kek Siansu. Kemudian ditambah lagi sikap mereka yang tidak mengakuinya sebagai murid, lebih dari itu lagi, meng­ejek dan menghina Kwi Lan. Wajah pe­muda ini menjadi pucat, layu dan sinar matanya sayu seperti orang kehilangansemangat. Ia masih berlutut dan meng­angkat mukanya yang pucat memandang kepada dua orang kakek itu mohon di­kasihani. Akan tetapi kedua orang guru­nya sama sekali tidak menaruh kasihan. Si Muka Pucat berdiri dengan muka me­rah. Si Muka Merah duduk dengan mulut menyeringai dan mengejek.

Kwi Lan memang sejak tadi sudah merasa tidak suka kepada dua orang kakek jembel itu. Ketika mereka melakukan pemukulan-pemukulan kepada Bu Kek Siansu, ia telah merasa kecewa dan tidak suka kepada dua orang guru Siangkoan Li. Akan tetapi di samping perasaan ini ia pun maklum bahwa ilmu kepandaian kedua orang kakek itu benar hebat luar biasa. Karena itu ia menjadi segan juga dan tidak berani menyatakan perasaannya ketika ia tadi terlempar oleh hawa pu­kulan mereka. Kini, melihat betapa Siangkoan Li dihina sehingga pemuda ini kelihatan begitu kecewa dan bersedih bukan main, kemarahannya tak tertahan­kanlagi. Ia melompat maju dan memaki.

“Kalian ini tua bangka benar-benar menjemukan sekali! Dahulu Siangkoan Li menjadi murid kalian adalah atas kehen­dak kalian sendiri, bukan dia yang minta-minta mengemis kepada kalian! Sekarang, jauh-jauh Siangkoan Li dengan hati berat datang menghadap minta nasihat, akan tetapi kalian malah memaki-maki dan tidak mengakuinya. Manusia-manusia macam apa kalian ini?” Ia lalu meme­gang lengan Siangkoan Li, ditariknya pe­muda itu bangun dari berlutut, digan­dengnya dan ditarik-tariknya agar pergi dari situ sambil membujuk.

“Sudahlah, Siangkoan Li. Mulai saat ini jangan kau mengandalkan dan me­nyandarkan pendirianmu kepada orang­orang lain. Belajarlah dewasa dan hidup mengandalkan diri sendiri. Untuk apa minta-minta kepada mereka yang tidak punya apa-apa ini? Untuk apa minta penerangan kepada orang yang berada dalam kegelapan? Salah benar diputuskan sendiri, akibatnya susah senang pun di­tanggung sendiri. Itu baru laki-laki nama­nya!”

“Hi-hi-hik....!” Pak-kek Sian-ong me­ngeluarkan suara ketawa tanpa membuka mulutnya.

“Ha-ha-ha-ha!” Lam-kek Sian-ong juga tertawa.

Dengan hati hancur Siangkoan Li yang merasa lemas tubuhnya itu membiarkan dirinya ditarik-tarik oleh Kwi Lan. Bebe­rapa kali ia menoleh memandang kepada gurunya itu dengan harapan kalau-kalau kedua orang gurunya tadi hanya men­cobanya saja dan sekarang sudah berubah sikap. Akan tetapi dua orang kakek itu tetap menyeringai seperti tadi.

Mereka berdua kini duduk di dalam rumah makan kecil sederhana di ujung dusun tak jauh dari markas Lu-liang-pai itu. Wajah Siangkoan Li masih pucat dan muram. Kwi Lan membujuk dan menghiburnya dan atas bujukan Kwi Lan yang berkali-kali itu akhirnya Siangkoan Li mau juga makan nasi. Hari telah siang, akan tetapi warung yang sederhana itu masih kosong, tidak ada tamunya kecuali seorang pengemis yang duduk melenggut di sudut sebelah depan. Biar­pun pakaiannya pengemis, namun berani duduk di situ menghadapi meja, tentu juga seorang tamu yang datang berbelan­ja.

Kini di atas meja di depannya tidak ada lagi mangkok piring, akan te­tapi sisa-sisa di atas meja itu membuktikan bahwa pengemis ini tadi telah makan. Beberapa ekor lalat merubungi sisa ma­kanan di atas meja, akan tetapi penge­mis itu tidak peduli dan duduk meleng­gut, agaknya tertidur setelah kekenyang­an makan. Kedua tangannya diletakkan di atas meja dan kalau orang memperhati­kannya, tentu akan menjadi heran me­lihat kedua tangan ini berkulit putih dan halus, sedangkan kuku-kukunya pun ter­pelihara baik-baik. Akan tetapi sukar untuk melihat mukanya karena sebuah topi butut yang lebar menutupi kepala berikut mukanya. Topi lebar itu pun aneh, berhiaskan setangkai bunga mawar merah!

Kwi Lan dan Siangkoan Li tadi hanya melempar pandang satu kali ke arah pengemis ini, sungguhpun merasa heran namun tidak bercuriga. Terlalu banyak perkumpulan pengemis dan terlalu banyak pengemis-pengemis yang berlagak aneh mereka jumpai. Agaknya pengemis ini pun hanya seorang di antara anggauta per­kumpulan-perkumpulan itu yang sengaja berlagak aneh untuk menarik perhatian orang. Selain itu, juga Siangkoan Li ter­lalu sibuk dengan kemurungan pikirannya dan Kwi Lan terlalu sibuk dengan usaha­nya menghibur Siangkoan Li sehingga keduanya selanjutnya lupa lagi kepada Si Pengemis yang masih duduk melenggut di atas kursinya.

“Sudahlah, tak perlu kau bermuram durja lagi. Bukankah sudah jelas bahwa kedua orang gurumu itu, betapapun lihai­nya, tak lain hanya orang-orang yang pernah juga menyeleweng daripada jalan benar? Untuk apa memikirkan mereka? Yang paling perlu, percaya kepada diri sendiri untuk memperbaiki hidup, meng­hapus semua yang kotor dan mulai de­ngan lembaran baru yang bersih. Siangkoan Li, mana sifat jantanmu? Bangkit­lah, jangan terbawa hanyut duka nestapa yang tiada gunanya.” Berkali-kali Kwi Lan menghibur.

“Aihhh...., bukan main....!” Tiba-tiba terdengar suara pujian perlahan sekali, akan tetapi cukup jelas. Kwi Lan cepat menoleh keluar, akan tetapi tidak tam­pak ada orang di luar. Suara tadi datang dari luar, ataukah.... dari pengemis yang tertidur tadi? Akan tetapi bukan, karena telinganya yang tajam dapat menangkap suara pernapasan pengemis itu yang halus dan panjang, napas orang sedang tidur! Ia menoleh ke arah dalam di mana kakek yang mengurus warung itu sibuk member­sihkan dapur. Tidak ada orang lain ke­cuali kakek itu yang mengurus warung ini. Kwi Lan tidak pedulikan lagi. Mung­kin suara orang di luar warung dan ucapan tadi tidak ada hubungannya de­ngan dia.

Siangkoan Li menghela napas panjang. “Kwi Lan, setelah menyaksikan segala yang terjadi tadi, mendengar semua ucapan kakek ajaib yang bernama Bu Kek Siansu itu, aku menjadi insyaf akan kebodohanku selama ini. Aku terlalu lemah dan menyerah kepada keadaan. Tidak, Kwi Lan, aku tidak lagi sudi me­nyerah dan tunduk kepada Gwakong yang ternyata telah menyelewengkan Thian-liong-pang. Aku akan berusaha mengang­kat kembali nama baik Thian-liong-pang seperti yang telah kuusulkan. Akan tetapi....” Ia menundukkan muka dengan sedih.

“Mengapa lagi? Apa yang menjadi ha­langan?”

“Selama dua tahun aku setia kepada Thian-liong-pang yang menyeleweng. De­ngan sendirinya aku telah menjadi seorang tokoh dunia hitam, tokoh jahat! Lebih dari itu, kedua orang Guruku pun ternyata bukan orang baik-baik. Mana mungkin ada pendekar yang mau percaya kepadaku? Kurasa usahaku untuk meng­himpun tenaga para patriot Hou-han takkan berhasil.”

Kwi Lan mengerutkan keningnya. Biarpun ia kurang pengalaman, namun ia seorang gadis yangcerdik. Ia dapat me­ngerti keadaan Siangkoan Li dan melihat kebenaran pendapat itu. Selagi ia hendak menjawab dan menghibur, tiba-tiba ter­dengar suara halus namun keren dan penuh teguran.

“Huh, bagus sekali, Siangkoan Li. Lekas menyerah sebelum pinceng (aku) terpaksa turun tangan menggunakan ke­kerasan!”

Kwi Lan cepat menoleh dan tampak­lah lima orang hwesio muncul di depan warung itu. Lima orang hwesio yang kelihatannya bersikap agung, alim, akan tetapi juga berwibawa. Apalagi yang memimpinnya. Dia seorang hwesio tua yang berjenggot panjang dan putih, ma­tanya bersinar halus namun amat tajam. Empat orang hwesio lainnya yang belum tua benar, berdiri di belakangnya dan si­kap mereka hormat, menanti perintah. Mereka berlima semua membawa pedang.

“Celaka, mereka adalah hwesio-hwe­sio Lu-liang-pai....” bisik Siangkoan Li yang segera bangkit berdiri dan melang­kah maju, terus memberi hormat kepada hwesio tua yang berdiri paling depan.

“Teecu Siangkoan Li telah melanggar wilayah Lu-liang-pai dan karena diserang terpaksa menotok roboh dua orang suhu dari Lu-liang-pai. Harap Thaisu sudi me­maafkan karena hal itu teecu lakukan secara terpaksa ketika teecu ingin ber­jumpa dengan kedua orang Suhu teecu di dalam sumur di belakang kuil Lu-liang­-pai.” Siangkoan Li yang mengenal kesa­lahannya dan kini sedang dalam usaha “memperbaiki jalan hidup” mendahului mereka minta maaf. Sikapnya merendah sekali sehingga diam-diam Kwi Lan mendongkol.

“Omitohud.... baik sekali kalau kau menyesali perbuatanmu yang sesat. Siangkoan-kongcu. Sayang, bukan hanya itu saja kesalahanmu. Kau telah berdosa besar sekali kepada kami. Beberapa tahun yang lalu, selagi masih kecil, kau telah melanggar daerah larangan, lebih dari itu, malah tanpa ada yang menge­tahui kau telah menjadi murid dua orang musuh besar kami yang sedang dihukum. Hal itu berarti kau telah melakukan dua dosa. Kemudian, setelah keluar, kau menjadi orang sesat dalam Thian-liong-pang yang menjadi perkumpulan jahat semenjak Ayahmu mati. Dosa ketiga ini dosa yang paling besar dan untuk itu pinceng dan para anggauta Lu-liang-pai sudah cukup untuk menghukummu. Seka­rang, semua dosa ini ditambah dengan pelanggaran ke dalam kuil dan meroboh­kan dua orang murid kami. Siangkoan Li, hayo lekas berlutut dan menerima hu­kuman di kuil kami.”

Siangkoan Li menjadi bingung dan melihat ini Kwi Lan sudah melompat ke depan dan mencabut pedang Siang-bhok­kiam! Gadis ini berdiri dengan tegak, pedang di tangan kanan, sarung pedang di tangan kiri dan telunjuk tangan kiri­nya menuding ke arah hwesio-hwesio itu.

“Hwesio-hwesio gundul sombong! Siangkoan Li dengan kalian tidak ada hubungan sesuatu, kalian berhak apakah mengadilinya dan bicara tentang dosa­-dosanya? Apakah kalian ini hakim? Ataukah dewa-dewa yang menentukan dosa tidaknya manusia?”

Para hwesio itu nampak kaget, bah­kan ada di antara mereka mencabut pe­dang siap menanti komando. Akan tetapi hwesio tua itu mengangkat kedua ta­ngan memberi hormat dan berkata.

“Omitohud...... Nona muda siapakah? Kalau tidak salah, pinceng Cin Kok Hwe­sio Ketua Lu-liang-pai sama sekali belum pernah bertemu dengan Nona. Nona murid siapakah?”

“Hwesio tua, tak perlu aku memper­kenalkan diri! Ketahuilah bahwa aku adalah sahabat Siangkoan Li yang tidak rela melihat kau bersikap begini sombong hendak mengadili dia. Kau tidak berhak!”

“Ah, mengapa semuda ini Nona juga tersesat ke dalam jalan gelap? Omitohud, semoga Hudya (Buddha) membimbing Nona ke jalan benar. Ketahuilah Nona, kami bersikap begini adalah karena kami mengingat akan Siangkoan-pangcu yang menjadi sahabat kami. Karena ingat Siangkoan-pangcu, maka kami mengang­gap Siangkoan-kongcu ini orang sendiri sehingga kami hendak membawanya ke kuil dan memberi hukuman yang layak.

Kalau kami tidak melihat muka mendiang Siangkoan-pangcu, hemm.... agaknya pin­ceng tidak akan berlaku selunak ini.”

Siangkoan Li membuang muka dan mengerutkankeningnya. Ia menjadi makin berduka, diingatkan betapa ayahnya se­orang yang dihormati dan dijunjung ting­gi dunia kang-ouw, sebaliknya dia, putera tunggalnya, hanya mencemarkan nama orang tuanya saja.

“Tua bangka gundul! Kau bicara se­olah-olah engkau dan orang-orangmulah manusia paling suci di dunia ini! Hemm, sekarang mengerti aku mengapa Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong membunuh ketua kalian dan membikin kacau Lu-liang-pai. Kiranya kalian adalah orang-orang yang merasa diri paling suci, paling bersih dan karenanya memandang rendah orang lain yang kalian pandang orang-orang berdosa! Kiranya kalian ini hendak mengangkat diri sendiri menjadi wakil Thian (Tuhan) dan mewakili para dewa untuk menentukan nasib manusia lain, menghukum dan menganggap me­reka berdosa! Pantas kalian hendak di­basmi dua orang kakek itu, dan sekiranya tidak ada Bu Kek Siansu yang benar-benar suci dan mulia, tentu kalian sudah mampus semua dan aku percaya, orang-orang seperti kalian ini malah akan mati dengan tersiksa hebat. Mau masuk sorga tak diterima karena hanya suci anggapan sendiri, mau masuk neraka tak diterima pula karena pada lahirnya kalian selalu menentang kejahatan. Huh, tak tahu malu!”

“Kwi Lan, jangan....!” Tiba-tiba Siangkoan Li berseru keras dan meloncat ke depan gadis itu, mencegah gadis itu menggerakkan pedang. Kemudian Siang­koan Li membalikkan tubuh menghadapi para hwesio dan berkata.

“Thaisu, dan para Suhu semua, de­ngarlah! Kuharap kalian tidak membawa-bawa nama Ayahku yang sudah tidak ada. Semua perbuatanku adalah tanggung jawabku sendiri! Aku tidak merasa ber­dosa terhadap Lu-liang-pai, setelah kini kupikir baik-baik. Pelanggaran itu bukan­lah dosa. Kalau menurut pendapat kalian aku berdosa dan perlu dihukum, boleh.

Aku bersedia melayani kalian, akan te­tapi aku tidak mau dihukum! Kalau ka­lian hendak menggunakan kekerasan, juga boleh! Biarlah aku melakukan apa yang dahulu kedua orang Suhuku Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah gagal melakukannya, yaitu memberi hajaran kepada kalian orang-orang Lu-liang-pai yang pura-pura suci! Nah, silakan!”

Muka Cin Kok Thaisu yang kelihatan alim itu kini terkejut dan pucat. Tak disangkanya pemuda ini akan berani me­lawan dan mengingat bahwa pemuda ini adalah murid dua orang kakek yang he­bat itu, ia meragu. Apalagi di situ ter­dapat nona muda yang galak ini, yang tentu bukan orang sembarangan pula maka berani bersikap sekeras itu. Andai­kata dia mampu mengalahkan dan me­nangkap Siangkoan Li, kemudian hal ini terdengar oleh dua orang kakek yang terhukum di belakang kuil, bukankah kemarahan mereka akan bangkit dan jangan-jangan mereka itu melakukan pembalasan dengan membasmi Lu-liang­-pai? Bantuan Bu Kek Siansu manusia dewa itu sukar diharapkan karena di mana adanya kakek itu tak seorang pun manusia mengetahuinya.

“Omitohud....! Maksud pinceng hanya untuk menghukum dan melempangkan yang bengkok, berarti kami menolong jiwa Siangkoan-kongcu dam berarti pula kami tidak melupakan persahabatan kami dengan Siangkoan-pangcu. Kalau Kongcu hendak mengambil jalan sesat terus, kami pun tidak bisa berbuat sesuatu, akan tetapi kelak akan tiba masanya terpaksa kami menghadapi Kongcu seba­gai musuh, bukan sebagai putera sahabat lagi.” Ia menoleh kepada murid-muridnya dan mendengus, “Mari kita pergi.”

Hwesio tua itu mengebutkan lengan bajunya yang lebar, lalu melangkah ke­luar sambil berliam-keng (membaca doa), diikuti oleh empat orang muridnya. Kwi Lan dan Siangkoan Li mengikuti mereka dengan pandang mata sampai mereka itu mulai mendaki bukit menuju ke markas Lu-liang-pai.

“Engkau benar, Kwi Lan. Orang harus dapat menentukan langkah sendiri, mem­pertimbangkan perbuatan sendiri kemudian mempertanggungjawabkannya sendiri pula. Terima kasih atas segala bantuan­mu, Kwi Lan. Sekarang terbukalah mata­ku. Aku akan berusaha sekuat tenagaku untuk membangun kembali Thian-liong-pang sebagai sebuah perkumpulan orang-orang gagah sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat, terjunjung tinggi nama­nya di dunia kang-ouw. Aku akan ber­usaha sekuat tenagaku untuk memperli­hatkan kepada dunia bahwa tidak sia-sia Ayah mempunyai seorang anak seper­ti aku.” Ucapan ini bersemangat sekali dan pemuda itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan ter­kepal dan mukanya yang tampan kehi­langan kemuramannya, kini tampak ber­seri dan bercahaya.

Kwi Lan tersenyum lebar, mengham­piri dan memegang tangan pemuda itu. “Bagus! Sekarang aku dapat dengan hati ikhlas dan dada lapang melepasmu pergi, Siangkoan Li. Kelak aku pasti akan datang mengunjungi Thian-liong-pang di bawah pimpinanmu.”

Pemuda itu memandangnya tajam. “Apa? Kau.... kau tidak ikut bersamaku?”

Kwi Lan menggeleng kepala. “Sungguh lucu, bukan? Tadinya engkau yang selalu menyuruh aku pergi akan tetapi aku tidak mau meninggalkanmu. Sekarang aku yang hendak meninggalkanmu akan tetapi engkau yang sebaliknya menghendaki aku membantumu. Sekarang engkau dapat berdiri sendiri, Siangkoan Li, dan urusan Thian-liong-pang bukanlah urusanku, me­lainkan urusan pribadimu. Betapapun juga, aku girang sekali telah dapat ber­sahabat denganmu. Engkau seorang pe­muda yang amat hebat!”

“Kwi Lan.... ahhh....”

“Ada apa? Kenapa kau meragu lagi?”

“Kwi Lan...., terus terang saja... hemm, sekarang ini.... terasa amat berat bagiku untuk berpisah darimu. Tidak.... tidak da­patkah kita.... eh, bersama selalu....?”

“Ehm.... ehm....!”

Untung pengemis yang terlupa dan masih tidur di sudut depan itu terbatuk-batuk sambil menggaruk-garuk pundak yang agaknya digigit kutu bajunya se­hingga suasana tak enak dan mencekam setelah kata-kata Siangkoan Li itu men­jadi buyar seketika. Siangkoan Li ingat bahwa dia berada dalam warung di mana terdapat pengemis itu dan juga pengurus warung yang berada di dalam, maka ia pun lalu tersenyum dan berkata.

“Maaf, Kwi Lan. Kembali aku terse­ret dalam kelemahan. Engkau benar. Kita harus mengambil jalan kita masing-ma­sing dan kelak bertemu kembali dalam suasana yang lebih baik, setelah tugas kita masing-masing selesai. Nah, selamat tinggal dan selamat berpisah, Kwi Lan!” Jari tangan yang menggenggam tangan Kwi Lan itu seakan-akan memancarkan hawa hangat yang menjalar dari tangan Kwi Lan terus ke dalamhatinya. Ia me­mandang mesra kemudian menarik kem­bali tangannya.

“Selamat jalan, Siangkoan Li. Engkau orang baik, tentu kau akan berhasil da­lam tugasmu. Sampai berjumpa pula ke­lak....”

Dengan wajah berseri dan langkah lebar, Siangkoan Li meninggalkan warung itu dan tak lama kemudian ia telah ber­lari-lari cepat dan lenyap dari pandang mata Kwi Lan yang mengikutinya. Gadis itu termenung sejenak, lalu menghela napas panjang dan memanggil pemilik warung. Setelah membayar harga makan­an, ia pun lalu membawa bungkusan pa­kaiannya dan meninggalkan warung itu.

***

Kita tinggalkan dulu Kam Kwi Lan yang berpisah dari Siangkoan Li untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke Khitan menemui ibu kandungnya. Mari­lah kita menengok keluar, ke dunia kang-ouw. Seperti telah disinggung oleh ma­nusia dewa Bu Kek Siansu ketika mem­beri nasihat kepada Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, di dunia kang-ouw, terutama di kalangan golongan hitam, ter­jadi perubahan hebat semenjak lenyapnya Thian-te Liok-koai dari permukaan dunia penjahat. Lenyapnya enam orang tokoh besar dunia hitam ini membuat golongan hitam menjadi lemah kedudukannya dan kuncup nyalinya. Apalagi, pemerintah Sung dengan secara tidak langsung diban­tu oleh para pendekar, mendapat angin baik dan di mana-mana para pendekar berusaha membasmi golongan hitam se­hingga banyaklah golongan hitam tidak berani lagi memperlihatkan diri secara berterang. Untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, kaum hitam ini menyelun­dup ke dalam perkumpulan-perkumpulan bersih seperti yang dilakukan ke dalam Thian-liong-pang dan sebagian besar per­kumpulan pengemis sehingga banyaklah perkumpulan-perkumpulan baik berubah menjadi sarang mereka yang dikejar-kejar itu.

Kemudian timbul desas-desus yang menggembirakan dan membangkitkan se­mangat golongan hitam yaitu dengan turunnya pentolan-pentolan yang kabarnya malah memiliki kesaktian lebih hebat daripada mendiang Thian-te Liok-kwi! Disebut-sebut oleh golongan hitam ini nama-nama tokoh yang selama ini tidak terkenal di dunia kang-ouw, pendatang-pendatang baru dari empat penjuru dan yang sebelum muncul sudah memiliki pengikut-pengikut yang memilih jagoan masing-masing untuk dijadikan semacam “datuk” mereka.

Orang pertama yang disebut-sebut adalah Siang-mou Sin-ni (Wanita Sakti Berambut Wangi), seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang belum tewas. Karena dia merupakan seorang tokoh wanita, tentu saja yang memuja dan menjagoinya adalah golongan hitam kaum wanita yang akhir-akhir inl banyak mun­cul di dunia sebelah selatan. Semenjak dikalahkan oleh Suling Emas (bacaCINTA BERNODA DARAH ), iblis betina ini melari­kan diri dan bersembunyi di sebuah pulau kosong di pantai selatan, di mana selain menggembleng diri dengan ilmu-ilmu baru, ia juga menerima murid-murid pe­rempuan yang cantik-cantik dan kese­muanya berambut panjang terurai tidak digelung dan ia menciptakan sebuah ba­risan wanita yang disebutnya Siang-mou-tin (Barisan Rambut Wangi)! Akan tetapi belasan tahun lamanya Siang-mou Sin-ni melarang murid-muridnya mencampuri urusan luar, ia sendiri tak pernah terjun ke dunia kang-ouw.

Orang ke dua adalah seorang tokoh dari dunia barat yang tak dikenal orang, namun yang namanya menggemparkan per­batasan dunia barat. Begitu muncul, dia mengacau di antara para dunia pengemis dan dikabarkan bahwa dia telah membu­nuh dua ratus lebih orang pengemis go­longan putih dengan cara yang luar biasa kejamnya, yaitu mempergunakan senjata yang istimewa, sebuah gunting yang be­sar sekali. Dia ini dijuluki Bu-tek Siu­-lam (Si Tampan Tanpa Tanding). Karena munculnya telah melakukan perbuatan membasmi golongan pengemis putih, ten­tu saja namanya disanjung-sanjung oleh para pengemis golongan hitam yang ber­usaha untuk mengambil alih kekuasaan di dunia pengemis. Bu-tek Siu-lam ini dika­barkan selain lebih lihai daripada raja pengemis jahat It-gan Kai-ong, juga lebih kejam dan amat aneh. Orangnya tampan, pakaiannya hebat luar biasa, lagak bica­ranya seperti perempuan genit!

Orang ke tiga adalah Jin-cam Khoa­ong (Raja Algojo Manusia) atau yang menamakan dirinya Pak-sin-ong, seorang tokoh utara berbangsa campuran antara Mongol dan Khitan. Kabarnya dia itu masih keturunan mendiang Hek-giam-lo itu tokoh Thian-te Liok-kwi (bacaCINTA BERNODA DARAH ). Pak-sin-ong (Raja Sakti Utara) atau Jin-cam Khoa-ong ini juga amat kejam, senjatanya sebuah ger­gaji berkait dan ia bercita-cita untuk menjadi Raja Khitan dan kini menjadi buronan Kerajaan Khitan!

Orang ke tiga ini pun mempunyai banyak anak buah, yaitu orang-orang Mongol dan Khitan yang tidak suka kepada Ratu Yalina dari Kerajaan Khitan. Juga banyak tokoh dunia hitam bagian utara yang mengagumi kesaktian kakek ini menyatakan takluk dan menggabung­kan diri atau lebih tepat bernaung di bawah pengaruh Pak-sin-ong.

Orang ke empat di antara deretan datuk-datuk dunia hitam ini adalah se­orang kakek tua renta yang kurus dan mukanya selalu menyeringai, berjuluk Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa). Dia ini adalah paman guru Sin-seng Losu Ketua Thian-liong-pang, maka dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu kepandai­annya. Karena di waktu mudanya dahulu Siauw-bin Lo-mo adalah seorang bajak laut, maka sekarang pun para pengikut­nya sebagian besar tokoh-tokoh bajak laut dan bajak sungai.

Orang ke lima di antara para tokoh adalah seorang raksasa yang mukanya seperti monyet, bahkan julukannya pun Thai-lek Kauw-ong (Raja Monyet Berte­naga Kuat). Tokoh ini muncul dari kepu­lauan di laut, dan entah berapa ratus tokoh sudah dirobohkan oleh kakek ini semenjak ia mendarat di pantai timur sampai perantauannya ke daratan tengah. Sampai kini belum pernah ada jago silat yang mampu mengalahkan sepasang sen­jatanya yang aneh dan lucu, yaitu sepa­sang gembreng alat musik yang biasa dipakai bersama tambur dan canang un­tuk mengiringi tarian dan permainan barongsai atau liong. Keanehan kakek ini adalah bahwa tidak seperti tokoh lain, ia tidak mempunyai murid, juga tidak mempunyaipengikut. Ia malang-melintang seorang diri di dunia kang-ouw dan kesukaan satu-satunya hanyalah berkelahi dan mengalahkan tokoh-tokoh besar!

Pagi hari itu amat ramai di Puncak ­Cheng-liong-san yang biasanya amat sunyi. Puncak gunung ini merupakan sebuah di antara puncak-puncak yang paling ­sunyi, tak pernah didatangi manusia ka­rena selain sukar mencapai puncak ini, juga di sekitar gunung ini menjadi sarang binatang buas dan seringkali dijadikan ­sarang manusia-manusia buas pula. Pagi hari ini pun puncak Cheng-liong-san menjadi pusat pertemuan di antara orang-orang golongan hitam yang sudah berjanji untuk mengadakan pertemuan awal dalam menghadapi pertemuan para tokoh mereka untuk mengadakan pemilihan beng-cu (ketua) yang akan memimpin para tokoh dunia hitam menghadapi para pendekar golongan putih.

Semenjak malam tadi, berbondong-bondong orang kang-ouw mendatangi puncak itu. Ada rombongan terdiri hanya dari dua tiga orang, akan tetapi ada pula rombongan besar terdiri dari belasan orang, bahkan sambil membawa bendera lambang perkumpulan mereka segala! Pagi hari itu sudah ramailah puncak, penuh dengan orang-orang yang bermacam-macam pakaiannya. Ada yang masih amat muda, ada pula yang sudah kakek-kakek. Ada yang berpakaian mewah seperti seorang jutawan, ada yang berpakaian pedagang, ada seperti guru silat, dan banyak pula yang berpakaian pengemis. Biarpun bermacam-macam, sesungguhnya mereka itu sama, yaitu orang-orang jahat yang selalu mendatangkan kekacauan di dunia ini. Tampak bendera mereka berkibar dengan sulaman bermacam-macam lambang. Ada gambar naga dengan beraneka warna, ada gambar bunga-bunga, dan lain macam binatang. Di antara banyak bendera itu, tampak berkibar megah bendera dengan gambar garuda hitam dan ada pula bendera bergambar ular hitam. Dua buah bendera ini dipegang oleh rombongan pengemis yang pakaiannya berkembang bersih, maka mudahlah diketahui bahwa mereka itu adalah rombongan perkumpulan-perkum­pulan pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Memang golongan pe­ngemislah yang terbanyak datang me­ngunjungi pertemuan kaum sesat ini.

Serigala dan harimau, binatang-bina­tang buas hidup rukun dengan kelompok masing-masing, demikian pula manusia. Burung memilih kawan dengan persamaan warna bulu, sedangkan manusia memilih kawan dengan kecocokan watak dan ke­biasaan mereka. Biarpun orang-orang yang pada pagi hari itu berkumpul di Puncak Cheng-liong-san terdiri dari orang-orang kang-ouw yang sudah biasa melakuken perbuatan sesat, namun kini setelah berkumpul mereka dapat bera­mah-tamah, bersendau-gurau dengan hati tulus ikhlas penuh rasa persahabatan satu dengan yang lainnya. Dengan bangga mereka saling menceritakan pengalaman mereka yang bagi umum merupakan per­buatan jahat, namun bagi mereka me­rupakan kegagahan dan keberanian yang patut mereka banggakan. Ramailah suara mereka bercakap-cakap diseling gelak ketawa, mengalahkan dan mengusir bu­rung-burung yang terbang pergi keta­kutan.

Seperti telah bermufakat padahal hanya kebetulan saja, mereka kini ber­kumpul mengelilingi sebuah batu besar yang bundar bentuknya dan licin permu­kaannya sehingga batu itu dapat diper­gunakan sebagai pengganti meja besar. Batu-batu kecil diangkat dan digulingkan di seputar “meja” ini, dijadikan tempat duduk. Ada pula yang berjongkok atau duduk begitu saja di atas tanah, ada yang berdiri dan bermacam-macamlah sikap mereka.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dari jauh. Sebagian besar dari kaum sesat yang berkumpul di situ ada­lah hamba-hamba nafsu, maka mendengar suara ketawa wanita semerdu ini, seren­tak mereka menengok dan memandang. Tak lama kemudian semua percakapan terhenti dan semua mata melotot me­mandang penuh gairah kepada dua orang wanita muda yang datang berjalan de­ngan lenggang bergaya tari, menarik dan menggairahkan. Dua orang wanita muda ini bertubuh kecil ramping, berpakaian sutera halus tipis berwarna merah muda dan hijau pupus. Sikap dan percakapan mereka menunjukkan bahwa mereka ada­lah wanita-wanita selatan. Rambut me­reka terurai panjang tak digelung, dan gagang pedang tampak di belakang pung­gung. Mereka datang sambil tersenyum-senyum manis dan sepasang mata me­ngerling-ngerling genit.

Karena yang menjadi pelopor perte­muan ini adalah dua perkumpulan penge­mis Hek-pek Kai-pang dan Hek-coa Kai­pang, maka dua perkumpulan inilah yang bertindak sebagai tuan rumah dan yang sekaligus meneliti dan mengenal para tamu agar jangan sampai ada pihak mu­suh yang datang menyelundup. Melihat datangnya dua orang wanita muda yang tak terkenal ini, Ketua Hek-coa Kai-pang segera menyambut, menjura dan berkata kepada dua orang wanita itu.

“Selamat datang di antara sahabat! Mohon tanya, Ji-wi Kouwnio (Nona Ber­dua) ini dari golongan manakah dan ber­diri di bawah bendera apa?”

Dua orang wanita muda itu saling pandang lalu tertawa genit sambil me­nutupi mulut dengan ujung lengan baju mereka yang panjang. Kemudian seorang di antara mereka yang lebih tinggi ber­kata.

“Kami adalah anggauta-anggauta Siang-mou-tin, diutus oleh Sin-ni untuk melihat apa yang terjadi di sini.”

“Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan Siang-mou Sin-ni dari selatan. Maaf, karena terlalu jauh kami tak sempat mengirim undangan, harap sampaikan maaf kami kepada Sin-ni. Akan tetapi kami girang bahwa Sin-ni berkenan mengutus wakil. Silakan duduk, Ji-wi Kouwnio!”

Dua orang wanita itu tersenyum-se­nyum dan melangkah mendekati mereka. Para tamu yang terdiri dari laki-laki semua itu kini mencium bau harum yang semerbak keluar dari rambut panjang dua orang wanita ini. Mereka berseru kagum dan mulailah mereka, terutama yang muda-muda, berteriak-teriak menawarkan tempat duduk.

“Mari duduk dekatku sini, Nona. Ba­tunya licin dan bersih!”

“Di sini teduh. Marilah!”

Berlumba mereka itu menawarkan tempat duduk sambil tertawa-tawa, se­mua mengharapkan untuk dapat duduk di dekat dua orang nona manis yang genit senyum kerlingnya dan harum rambutnya itu. Bahkan ada pula yang mulai menge­luarkan kata-kata tidak sopan dan cabul, sesuai dengan watak mereka yang me­mang sudah biasa bersendau-gurau dengan kata-kata cabul. Namun dua orang wani­ta itu pun bukan orang baik-baik. Kalau wanita sopan mendengar sendau-gurau laki-laki yang cabul dan kurang ajar, tentu menjadi malu dan tidak senang, namun dua orang wanita anggauta Siang­-mou-tin ini tersenyum-senyum dan me­lirik sana-sini memilih tempat. Sesung­guhnya bukan tempat yang mereka pilih, melainkan penawarnya. Tak lama ke­mudian, di bawah sorak-sorai dan tawa gemuruh, mereka sudah memilih duduk di sebelah dua orang muda yang tampan dan segera mereka bercakap-cakap dan tertawa-tawa gembira.

Biarpun tuan rumahnya adalah per­kumpulan-perkumpulan pengemis, namun mereka ini bukanlah tuan rumah yang miskin. Sesungguhnya memang amat jang­gal terdengarnya. Pengemis yang tidak miskin! Namun ini kenyataan karena sesungguhnya para anggauta Hek-peng Kai-pang, Hek-coa Kai-pang dan masih banyak lagi perkumpulan pengemis golongan sesat, tak pernah pergi mengemis, melainkan mengemis secara paksa alias merampok! Dengan mengandalkan kepan­daian dan pengaruh perkumpulan, mereka mendatangi orang-orang kaya lalu “me­ngemis” jumlah tertentu yang harus di­berikan oleh si kaya. Demikianlah prak­tek yang dijalankan oleh perkumpulan-perkumpulan pengemis golongan sesat ini. Maka mereka itu bukanlah orang miskin dan dalam pertemuan ini, segera dihidangkan arak baik dan makanan-ma­kanan yang cukup lezat dan mahal.

Menjelang siang, semua tamu sudah berkumpul, jumlahnya seratus orang le­bih. Maka perundingan pun dimulailah. Yang menjadi pokok pembicaraan adalah membentuk persatuan dan persekutuan golongan sesat untuk bersama-sama menghadapi musuh golongan putih dan membalas dendam serta membasmi para pendekar yang pernah menghancurkan golongan mereka.

“Sudah terlalu lama kita ditindas!” Demikian antara lain Ketua Hek-pek Kai-pang berkata. “Semenjak para datuk kita, di antaranya adalah It-gan Kai-ong raja pengemis kami, tewas, maka kita selalu dikejar-kejar, dihina dan harus sembunyi sembunyi. Maka kini kita harus bersatu untuk menghadapi mereka.”

“Agar persatuan kita dapat lebih kuat teratur, kita harus mengangkat seorang bengcu (pemimpin). Pertemuan ini me­mang merupakan pertemuan pendahuluan dan persiapan untuk memilih bengcu. Tentu saja memilih bengcu harus mencari seorang tokoh yang sakti agar pekerjaan kita jangan sampai gagal!” kata Ketua Hek-coa Kai-pang. “Kami dari golongan pengemis mengajukan calon bengcu, yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”

Semua pengemis yang merupakan ang­gauta pimpinan pelbagai perkumpulan pengemis, bertepuk tangan menyatakan setuju dan mendukung tokoh yang disebut oleh ketua Hek-coa Kai-pang itu.

Mulailah golongan lain mengajukan calon-calon mereka. Wakil-wakil dari utara mengajukan calon Sin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang sudah terkenal kesaktiannya. Golongan barat diperkuat oleh perkumpulan Thian-liong-pang meng­ajukan Siauw-bin Lo-mo. Sebaliknya para penjahat yang datang dari timur dan yang mengagumi sepak terjang Thai-lek Kauw-ong yang mengerikan, tentu saja mengajukan tokoh baru ini sebagai beng­cu. Ramailah mereka memuji-muji se­tinggi langit calon masing-masing, men­ceritakan kehebatan sepak terjang me­reka, kelihaian mereka, dan kekejaman mereka yang mereka katakan bahwa lebih hebat daripada Thian-te Liok-kwi yang kini sudah tidak ada lagi, tinggal Siang-mou Sin-ni seorang yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw.

“Bagus! Agaknya kita tidak kekurang­an calon yang hebat-hebat! Sudah ada empat orang calon kita yang dalam be­berapa hari ini akan hadir di sini. Sete­lah semua calon berkumpul, barulah di­lihat siapa di antara mereka yang paling patut dijadikan bengcu. Sementara itu, mengingat bahwa Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Thian-te Liok-kwi, jadi merupakan tokoh tua yang patut diingat, sebaiknya kita mendengarkan suara utus­annya yang kini hadir di sini.” kata Ke­tua Hek-peng Kai-pang sambil melirik dua orang nona manis yang kelihatan makin merapat duduknya dengan dua orang laki-laki muda tampan tadi. Tanpa malu-malu lagi kedua nona itu sudah bersikap sangat mesra terhadap dua orang pasangan mereka.

Mendengar ucapan itu, dua orang nona manis itu kini dengan manja dan perlahan mendorong dada pasangan me­reka, kemudian tertawa genit sambil meloncat ke depan. Sekali meloncat, gerakan mereka yang amat ringan dan cekatan itu membuat mereka sudah ber­diri di atas batu besar di tengah-tengah. Di tempat tinggi ini mereka kelihatan jelas. Cantik genit dengan bentuk tubuh tampak membayang di balik pakaian sutera tipis. Cantik menggairahkan.

“Seperti telah kami katakan tadi, kami hanyalah utusan yang ditugaskan oleh Guru kami sebagai peninjau saja. Guru kami menyatakan bahwa beliau tidak tertarik lagi akan urusan dunia dan tidak menghendaki kedudukan bengcu. Akan tetapi ini bukan berarti bahwa kami tidak mau bekerja sama dengan Anda sekalian. Guru kami berpesan apa­bila bengcu baru sewaktu-waktu bergerak menggempur Suling Emas, Guru kami pasti akan turun tangan membantu. Ha­nya kalau bentrok melawan Suling Emas saja Guru kami suka berkerja sama. Kiranya cukuplah pernyataan kami dan selanjutnya kami hanya menjadi peninjau yang tidak mengajukan calon.” Setelah berkata demikian, dengan langkah meng­goyang pinggul mereka kembali meng­hampiri pasangan masing-masing yang menerima mereka dengan kedua lengan terbuka dan tertawa-tawa.

Ucapan anggauta Siang-mou-tin ini sekaligus membelokkan percakapan me­reka yang hadir di situ dari persoalan pencalonan bengcu menjadi soal musuh­-musuh besar mereka.

“Apa yang dikatakan oleh Ji-wi Kouwnio tadi memang tepat!” kata se­orang di antara para tokoh dari utara. “Memang Suling Emas merupakan seorang musuh besar kita bersama. Siapakah di antara kita yang belum pernah tergang­gu oleh Suling Emas, baik secara lang­sung mau pun tidak langsung? Dan ja­ngan dilupakan Ratu Khitan! Wanita yang kini menjadi Ratu Khitan kabarnya masih sanak dekat Suling Emas, bahkan berhasil menjadi ratu karena bantuan Suling Emas. Kami mendengar pula bahwa ratu yang sampai kini tidak menikah itu ada­lah kekasih Suling Emas. Sungguh mema­lukan sekali, terutama terhadap bangsa Khitan yang menjadi kawan baik kami. Oleh karena itulah kami mengajukan Pak-sin-ong sebagai calon bengcu dan tugas kita pertama adalah mencari dan membunuh Suling Emas bersama teman­-temannya, terutama sekali Ratu Khitan!”

Ramailah mereka menyebut dan menyumpahi nama-nama tokoh yang men­jadi musuh mereka. Selain Suling Emas dan Ratu Khitan, juga ada yang menye­but-nyebut nama Yu Kang Tianglo yang mereka khawatirkan akan merupakan pimpinan para pengemis baju butut yang amat lihai. Disinggung pula nama Kam Bu Sin bersama isterinya Liu Hwee pu­teri ketua Beng-kauw yang kini berdiam di kota Heng-yang, sebuah kota yang terletak di lembah Sungai Mutiara di mana keduanya hidup rukun dan tenteram namun yang selalu tak pernah merupakan tugas mereka sebagai orang-orang gagah untuk melawan kejahatan. Masih banyak nama yang disebut dan dimusuhi oleh orang-orang golongan sesat ini, di anta­ranya disebut-sebut pemilik Ang-san-kok (Lembah Gunung Merah).

“Paling penting lebih dulu memohon bengcu baru untuk menyerang Ratu Khi­tan.” seorang tokoh utara berkata, “Kalau kedudukan Ratu Khitan dapat diram­pas, berarti golongan kita akan menda­patkan bantuan yang amat kuat, yaitu bangsa Khitan, sehingga tidak akan su­karlah membasmi yang lain-lain.”

“Akan tetapi kabarnya ilmu kepandai­an Ratu Khitan juga amat hebat!” bantah seorang lain. “Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi aku mendengar bahwa biarpun usianya sudah empat puluh tahun lebih, namun ia masih cantik jelita seperti bidadari dan ilmu kepandaiannya amat dahsyat. Di samping­nya ada pula pembantunya yang setia, Panglima Besar Kayabu yang kabarnya juga lihai sekali.”

“Uhh, lihai apa? Kayabu itu hanya mengandalkan ketampanan wajahnya se­hingga ia menjadi seorang di antara ke­kasih Ratu Yalina yang gila lelaki!”

“Masa....?”

“Siapa membohong? Kekasihnya ba­nyak, di antaranya Suling Emas, Kayabu dan boleh dibilang setiap orang muda bangsa Khitan tentu ditarik masuk ke istana untuk memuaskan nafsunya.”

“Ah, benarkah itu....?” Orang-orang menjadi tertarik hatinya.

Orang yang bercerita itu membusung­kan dadanya. Dia seorang laki-laki ber­usia tiga puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar, nampak amat kuat, muka­nya dihias kumis dan jenggot lebat, se­hingga wajahnya menjadi angker mena­kutkan.

“Aku bukan hanya sudah menyaksikan dengan mata ini sendiri, bahkan sudah pula menikmati pelukannya yang hangat!” kata laki-laki ini. “Siapa yang tidak tahu bahwa aku pernah tinggal di Khitan dan menjadi kekasih Ratu Yalina sampai sepekan lebih?”

“Wah, hebat sekali! Twako, agaknya dia suka kepadamu karena kau tinggi besar dan gagah!” kata seorang anggauta pengemis menggoda karena masih belum percaya benar.

“Memang dia paling suka kepada laki-laki yang tinggi besar, terutama sekali yang jenggot dan kumisnya sebagus ini!” Laki-laki itu mengelus-elus jenggot dan kumisnya dengan bangga sambil melirik ke arah dua orang anggauta Siang-mou-tin yang tidak memilih dia.

“Ceritakan....!”

“Ya, ceritakan, Twako. Bagaimana ketika engkau menjadi kekasih Ratu Ya­lina?”

Orang-orang mendesak kepada Si Bre­wok ini untuk bercerita. Dua orang wa­nita anggauta Siang-mou-tin yang men­dengar percakapan yang makin menjurus ke arah cabul dan kotor ini hanya ter­senyum-senyum dan kadang-kadang ter­kekeh geli.

Si Brewok yang kini menjadi pusat perhatian, dengan bangga lalu melompat ke atas batu besar di tengah-tengah, memasang aksi dan berdehem beberapa kali sebelum mulai dengan ceritanya yang pasti menarik dan cabul. Akan tetapi pada saat itu, Si Brewok menjerit dan terjengkang roboh menggelinding turun dari atas batu besar. Ketika orang-orang datang menghampirinya, ternyata Si Brewok sudah tewas dan di lehernya menancap sebatang jarum hijau! Kagetlah semua orang dan pada saat itu, dari balik sebatang pohon muncul seorang gadis muda yang amat cantik. Gadis ini bukan lain adalah Kwi Lan! Secara kebetulan sekali, dalam perjalanannya menuju ke Khitan, Kwi Lan lewat di kaki Gu­nung Cheng-liong-san. Ia tertarik akan gerak-gerik dua orang anggauta Siang-mou-tin maka diam-diam ia mengikuti mereka naik ke puncak di mana ia meli­hat berkumpul banyak orang dari golong­an sesat. Mula-mula ia hanya mengintai dan mendengarkan, sudah merasa kesal dan hendak pergi ketika tiba-tiba ia mendengar nama Ratu Khitan disebut-sebut. Ratu Khitan yang bernama Yalina, ibu kandungnya! Ia mendengarkan dengan hati berdebar. Ketika mendengar betapa Ratu Yalina dimusuhi, ia hanya mencibir­kan bibirnya dan tidak mengambil peduli. Akan tetapi ketika muncul Si Brewok yang menghina Ratu Yalina, ia tak dapat menahan kemarahannya sehingga sebelum Si Brewok bicara yang bukan-bukan, ia sudah menyerangnya dengan sebatang jarum. Siapa kira Si Brewok itu hanya lihai mulutnya saja. Diserang satu kali telah roboh dan tewas!

Kwi Lan muncul dari tempat sem­bunyinya dan berkata lantang. “Aku tidak mencari permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi mendengar monyet itu membual, benar-benar membikin orang menjadi muak dan tak dapat menahan tangan untuk tidak menghajarnya. Sela­mat tinggal!” Dengan enak saja Kwi Lan yang telah membunuh orang itu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ.

Semua orang terkejut. Gadis cantik itu dapat bersembunyi di situ tanpa se­orang pun di antara mereka tahu, hal ini sudah membuktikan kelihaiannya. Ke­mudian sekali turun tangan sudah mem­bunuh Si Brewok, hal ini merupakan buk­ti ke dua. Semua orang menjadi kesima. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan seorang Khitan yang ikut dalam rom­bongan dari utara.

“Itu dia perempuan iblis yang me­rampas kuda hitam Hek-liong-ma!” Orang Khitan ini telinga kanannya putus bekas sabetan pedang Siang-bhok-kiam di ta­ngan Kwi Lan.

“Benar, dia Si Gadis Siluman, murid iblis betina yang bernama Kam Sian Eng!” teriak seorang yang tangan kanan­nya buntung, mata kanannya buta dan hidungnya bengkok. Dia adalah seorang tokoh Hek-pang Kai-pang yang pernah mendapat hajaran Kam Sian Eng dan kini mengenal Kwi Lan.

“Dia pengacau itu....!” beberapa orang Thian-liong-pang juga berseru.

“Srr.... werr.... siuuuuttt....!” Hujan senjata rahasia menyerang Kwi Lan!

Gadis ini terkejut. Tak disangkanya bahwa ia akan bertemu banyak musuh di tempat ini. Cepat ia meloncat ke depan mengelak dari serangan hujan senjata rahasiaitu. ia menaksir bahwa jumlah lawannya ada seratus orang lebih dan dari sambaran senjata-senjata rahasia tadi tahulah ia bahwa di antara mereka terdapat banyak orang yang tak boleh dipandang ringankepandaiannya. Ia tidak takut, tidak pernah mengenal takut. Akan tetapi Kwi Lan juga bukan seorang goblok yang mau menyia-nyiakan nyawa­nya, mati konyol dikeroyok begitu banyak lawan. Sambil tersenyum mengejek ia lalu mempergunakan kepandaiannya ber­lari cepat. Karena ia tidak mengenal daerah itu, ia lari ke kiri dan kebetulan sekali ia lari ke tempat kuda. Kuda-kuda tunggangan para pendatang ini dikumpul­kan di suatu tempat yang banyak ditum­buhi rumput gemuk, dijaga oleh belasan orang anggauta rendahan.

Ketika Kwi Lan lari sampai ke tem­pat ini dikejar oleh puluhan orang dari belakang, ia melihat betapa di tempat kuda ini ternyata juga terjadi kekacauan. Belasan orang penjaga kuda sudah meng­geletak malang-melintang di sekitar tem­pat itu sedangkan puluhan ekor kuda itu sudah terlepas semua! Terdengar bunyi cambuk meledak-ledak, membuat bina­tang-binatang itu menjadi makin panik, saling tabrak dan riuh rendah suara me­reka meringkik-ringkik. Melihat kesem­patan ini, Kwi Lan lalu melompat ke atas punggung seekor kuda tinggi besar, kemudian menyendal kendali kuda itu, membelok ke kanan lalu melarikan kuda.

Ributlah suara para pengejar ketika, menyaksikan kekacauan di tempat ini, apalagi ketika melihat betapa semua kuda mereka telah terlepas dan panik. Dalam keadaan seribut itu, mereka ter­halang melakukan pengejaran, dan sibuk menenangkan kuda tunggangan mereka.

Kwi Lan membedal terus kudanya menuruni puncak. Ketika mendengar de­rap kaki banyak kuda mengejarnya, ia segera mempersiapkan jarum-jarumnya dan menoleh. Mau tidak mau ia tertawa sendiri melihat bahwa yang mengejarnya adalah kuda-kuda tanpa penunggang. Ki­ranya banyak kuda yang karena bingung lalu mengikuti saja kuda yang ditung­gangi Kwi Lan. Gadis ini lalu menahan kudanya dan menghalau belasan ekor kuda yang mengikutinya itu sehingga mereka lari kacau-balau ketakutan.

Sambil tersenyum-senyum Kwi Lan melanjutkan perjalanannya. Senyum ke­puasan menghiasbibirnya. Ia telah ber­hasil merobohkan orang yang telah meng­hina ibu kandungnya. Biarpun ia belum pernah bertemu dengan ibu kandungnya dan belum pernah ada yang bercerita tentang ibunya, namun ia tidak percaya bahwa ibunya seorang berwatak rendah seperti dibualkan oleh Si Brewoktadi. Ia puas bahwa ia telah membunuh orang itu dan di samping ini telah mendapatkan seekor kuda tunggangan. Biarpun tidak sebaik kuda keturunan Hek-liong-ma yang hilang ketika ia dikeroyok bajak sungai anak buah Huang-ho Tai-ong, namun kuda ini juga seekor kuda yang baik. Agaknya tunggangan orang-orang utara tadi. Me­reka itu jelas adalah orang-orang dari golongan sesat, maka Kwi Lan tidak me­rasa malu untuk merampas kuda mereka.

Akan tetapi, setelah melarikan kuda beberapa lama belum juga Kwi Lan ber­hasil turun dari Cheng-liong-san. Ia me­rasa heran dan bingung sekali. Sudah lama ia membalapkan kuda, naik turun dan membelok ke kanan kiri, namun ia hanya berputar-putar di sekitar lerenggunung. Ia memang berhasil melarikan diri dari para pengejarnya, namun ia tidak berhasil turun dari gunung!

Selagi ia kebingungan, tiba-tiba dari jauh ia melihat seorang berpakaian pe­ngemis duduk bersandar batang pohon. Pengemis itu agaknya kelelahan dan mengaso di tempat itu lalu tertidur ka­rena hembusan angin gunung yang sejuk. Pengemis ini pakaiannya penuh tambalan, memegangi sebatang tongkat, sebuah buntalan besar terletak di dekatnya dan sebuah topi lebar menutupi seluruh mu­kanya. Topi lebar bundar yang butut dan tua, akan tetapi anehnya, setangkai bu­nga mawar yang merah segar berikut dua helai daunnya terselip menghias pita topi itu.

Kwi Lan menjadi ragu-ragu. Ingin ia bertanya kepada pengemis ini, menanya­kan jalan turun. Akan tetapi siapa tahu kalau-kalau pengemis ini seorang di an­tara kaum sesat yang berkumpul di pun­cak tadi. Tentu akan sia-sia pertanyaannya. Kalau pengemis ini seorang di anta­ra kaum sesat itu, tentu bukan percuma berada di situ. Mungkin sengaja mengha­dang dan kalau ia lewat, tentu akan turun tangan.

Kwi Lan sengaja memperlambat ja­lannya kuda ketika melewati pengemis yang duduk melenggut itu. Kudanya lewat dekat di depan Si Pengemis dan ia sudah siap waspada menjaga serangan. Namun pengemis itu tidak bergerak, seolah-olah tidak mendengar suara kaki kuda lewat di depannya. Kwi Lan lewat terus sampai agak jauh sambil menengok. Pengemis itu tetap tidak bergerak. Kalau begitu, tentu bukan seorang di antara kaum sesat, pikirnya. Tentu seorang pengemis tulen yang kelaparan dan kele­lahan. Maka ia lalu memutar kembali kudanya dan meloncat turun dekat pe­ngemis itu. Muka pengemis itu tidak tampak, tertutup topi lebar. Akan tetapi orang yang menjadi pengemis tentulah seorang tua yang sudah tidak kuat beker­ja lagi dan hidup terlantar, pikirnya.

“Paman pengemis!” tegurnya nyaring. “Harap kau bangun sebentar, aku ingin bertanya....”

Pengemis itu tersentak seperti orang kaget, lalu mengguman dan menggaruk belakang telinganya. Gerakan ini mem­buat topinya makin menunduk. Ketika ia mengangkat sedikit mukanya, yang tam­pak oleh Kwi Lan hanya sepasang mata mengintai dari bayang-bayang gelap di bawah topi.

“Mau bertanya apa?” Suara pengemis itu lirih seperti orang kelaparan benar sehingga kehabisan tenaga.

“Engkau tentu mengenal jalan di tem­pat ini, Paman tua, kautolonglah aku yang tidak tahu jalan. Tunjukkan padaku jalan menuruni lembah gunung ini.”

Sejenak pengemis itu tidak menjawab, melainkan memandang kuda yang ditun­tun Kwi Lan. Kemudian ia berkata, acuh tak acuh, “Jalan turun bisa ditempuh jalan kaki, tak mungkin berkuda. Dari sini maju kira-kira setengah li, di pinggir jalan terdapat sebuah batu besar berben­tuk kepala burung. Di belakang batu itulah terdapat jalan setapak yang akan membawa orang turun ke bawah.” Setelah berkata demikian, pengemis itu kembali menundukkan mukanya dan agaknya ia sudah jatuh pulas lagi.

“Terima kasih, Paman.” kata Kwi Lan akan tetapi pengemis itu tidak menjawab karena agaknya sudah tidur.

Huh, pemalas benar, pikir Kwi Lan. Akan tetapi tiba-tiba ia ingat seperti pernah melihat seorang pengemis semalas ini. Ketika ia mengingat-ingat, terba­yanglah pengalamannya dalam rumah makan di dusun dekat markas besar Lu-liang-pai di mana ia bersama Siangkoan Li berpisah. Di rumah makan itu pun terdapat seorang pengemis yang terus ­menerus duduk melenggut, sama sekali tidak mempedulikan kehadirannya semen­jak ia datang ke rumah itu sampai pergi lagi. Inikah orang itu? Melihat topi bu­tutnya mungkin ini orangnya dan kalau betul, benar-benar aneh dan mencuriga­kan. Bagaimana bisa begitu kebetulan? Tadinya bertemu di Lu-liang-san, kini kembali bertemu di Cheng-liong-san. Di sana tidur, di sini pun tidur. Kalau pe­ngemis ini begitu malas dan kerjanya hanya tidur, bagaimana bisa begitu cepat berada di sini? Biarlah, asal ia tidak menggangguku, pikir Kwi Lan. Musuh terlalu banyak di puncak itu dan tentu masih berusaha mencarinya. Tak perlu menambah lawan yang belumdiketahui kesalahannya. Ia lalu meloncat ke atas punggung kudanya lagi dan melarikan kuda ke depan.

Kurang lebih setengah li jauhnya, me­lihat sebuah batu besar yang bentuknya mirip kepala burung, ia berhenti. Benar saja seperti diceritakan pengemis tadi, ketika ia menyelinap ke belakang batu, tampak olehnya jalan menurun yang hanya tampak bekas tapak kaki saja. Jalan itu curam dan kecil sekali, turun­nya harus berpegangan pada akar-akar dan batu. Tak mungkin dilalui oleh se­ekor kuda. Kalau begitu pengemis itu tidak bohong, dan tidak mempunyai niat buruk. Pada saat Kwi Lan hendak me­nuruni jalan setapak itu, tiba-tiba ia men­dengar bentakan-bentakan keras di sebe­lahbelakang. Ia meloncat keluar lagi dari belakang batu untuk melihat, siap dengan pedangnya. Alangkah kaget dan herannya ketika dari jarak setengah li jauhnya ia dapat melihat betapa pengemis malas yang tadi duduk melenggut di bawah pohon, kini telah bertanding dikeroyok belasan orang banyaknya! Hebatnya, pe­ngemis itu masih menutupi kepala dan mukanya dengan topi lebar butut, bahkan masih duduk melonjorkan kaki dan ber­sandar pada pohon, hanya tongkat di tangannya yang bergerak-gerak ke depan menangkis serangan senjata tajam belas­an orang itu yang menyerangnya sambil membentak-bentak!

Kwi Lan tertarik sekali. Banyak se­kali orang aneh di dunia ini dan agaknya pengemis malas itu pun seorang aneh. Ia menunda niatnya meninggalkan gunung ini dan karena kudanya tadi sudah ia lepas, ia lalu berlari kembali ke tempat penge­mis itu dikeroyok. Ternyata kini setelah dekat bahwa belasan orang yang menge­royok itu adalah pengemis-pengemis pula! Pengemis-pengemis baju bersih yang su­dah beberapa kali bentrok dengan Kwi Lan.

“Hayo mengakulah! Engkau dari go­longan mana dan mengapa mengacau pertemuan di puncak Cheng-liong-san? Pakaianmu bersih, hal ini berarti bahwa engkau masih segolongan dengan kami, pengemis-pengemis pakaian bersih. Me­ngapa kau mengacau pertemuan yang diadakan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang? Kau dari partai mana?”

“Hemm, baju bersih badan kotor hati busuk, apa artinya? Orang-orang sesat, pergilah dan jangan menggangguku!” Pe­ngemis itu berkata tak acuh, dan tongkatnya juga bergerak sembarangan meng­hadapi belasan batang tongkat, golok, dan pedang itu.

Kwi Lan yang kini sudah berdiri de­kat memandang penuh perhatian dan ia menjadi kaget serta kagum sekali. Tong­kat di tangan pengemis malas itu benar-benar hebat dan lihai bukan main. Me­mang behar bahwa belasan orang penge­royok itu tidak berapa tinggi ilmu silat­nya, namun karena belasan orang maju bersama maka cukup berbahaya. Apalagi kalau diingat bahwa pengemis malas itu melawan sambil duduk dan lebih-lebih lagi, mukanya ditutup topi butut. Akan tetapi begitu tongkat di tangan pengemis malas ini bergerak ke depan, berturut-turut belasan orang pengemis baju bersih itu roboh terguling dengan sambungan lutut terlepas karena totokan ujung tong­kat yang dilakukan secara cepat dan tepat luar biasa!

Kini pengemis malas itu dengan ge­rakan sigap telah meloncat bangun, dan barulah tampak oleh Kwi Lan betapa tubuh pengemis ini jangkung dan tegap, namun mukanya tetap bersembunyi di balik topi butut. Sambil melintangkan tongkatnya dengan sikap penuh wibawa pengemis itu menghadapi para pengemis yang merintih-rintih dan mengurut-urut lutut mereka, lalu terdengar suaranya lantang berpengaruh, jauh bedanya de­ngan ketika bicara dengan Kwi Lan tadi.

“Berani menjadi pengemis berarti berani menjauhkan diri dari pada per­buatan-perbuatan jahat, berani mengatasi kemiskinan dan kelaparan dengan jalan mengetuk hati nurani mereka yang mam­pu, berani mengekang diri melawan nafsu duniawi. Akan tetapi kalian menghadapi kemiskinan dengan perbuatan jahat. Kalau sudah begitu, mengapa masih me­makai pakaian pengemis? Kalian hanyalah penjahat-penjahat yang menyamar sebagai pengemis, membikin kotor dunia penge­mis dan sudah sepatutnya dibasmi. Kalau mau menjadi penjahat, jadilah penjahat yang berani bertanggung jawab, atau kalian mau jadi pengemis, jadilah penge­mis yang baik. Mengapa berlaku seperti pengecut-pengecut yang hina-dina?”

Belasan orang pengemis yang meng­geletak itu tidak menjawab, hanyalah memandang dengan mata melotot. Seba­gai jawaban kata-kata itu, dari jauh ter­dengar bentakan-bentakan dan berbon­dong-bondong datanglah berlari-lari ba­nyak orang yang bukan lain adalah orang-orang yang tadi berapat di puncak dan kini sudah datang mengejar. Jumlah mereka itu ada tiga puluh orang lebih!

Mendengar bentakan-bentakan mereka, pengemis aneh itu menggerakkan kepala memandang ke depan, kemudian ia me­noleh kepada Kwi Lan dengan muka ma­sih tersembunyi di balik topi. “Nona, mengapa engkau kembali? Pergilah turun gunung dan jangan kau melibatkan diri dengan orang-orang jahat itu.”

“Dan engkau sendiri?” Kwi Lan ber­tanya.

“Aku akan menghadapi mereka. Tong­katku masih cukup kuat untuk memberi hajaran tikus-tikus itu.”

“Wah, enaknya! Engkau mau mencari enak sendiri, Paman jembel! Kalau tong­katmu kuat, apa kaukira pedangku kurang tajam? Kaulah yang boleh pergi, mereka itu mengejar aku, bukan mengejar eng­kau!” bantah Kwi Lan sambil mencabut Siang-bhok-kiam dari sarungnya. Melihat bahwa pedang gadis itu terbuat daripada kayu, pengemis itu tercengang, kentara dari sikapnya yang tiba-tiba tak berge­rak. Topinya terangkat sedikit dan dari bayangan topi itu menyambar dua buah mata yang tajam sinarnya.

“Ah, kiranya Nona seorang pendekar pedang yang lihai!”

Percakapan mereka terpaksa dihenti­kan karena para pengejar sudah tiba dekat. Yang tercepat larinya bahkan sudah tiba di depan pengemis itu dalam jarak empat lima meter. Mereka meng­angkat senjata sambil membentak marah.

Akan tetapi pengemis itu dengan tenang namun cepat bukan main telah mengge­rakkan tangan kanannya ke arah topinya, meraih dan melemparkannya ke depan dengan gerakan kilat dan.... topi itu ber­pusing dan terbang menyambar mereka yang datang mengancam. Bagaikan hidup, topi itu terbang keliling dan kembali kepada pemiliknya setelah lebih dahulu mampir dan mencium dahi atau leher mereka yang mengejar paling depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan kesakitan, disusul robohnya tubuh enam orang pengejar terdepan, roboh pingsan tak dapat bangun lagi!

Sejenak Kwi Lan bengong. Bukan ka­rena melihat senjata rahasia topi yang aneh dan luar biasa itu karena ia mak­lum bahwa dengan pengerahan tenaga dalam, tidaklah sukar melempar topi yang pinggirannya lebar dan berbentuk bundar itu seperti tadi. Yang membuat ia bengong adalah ketika pengemis itu melepas topinya, maka tampaklah kepala dan muka seorang pengemis yang tampan dan gagah! Seorang pemuda yang paling banyak dua tiga tahun lebih tua dari­padanya! Dan ia sudah menyebutnya paman tua! Akan tetapi ketika pengemis muda itu sudah mengenakan kembali topinya yang lebar sehingga mukanya yang tampan tertutup topi, Kwi Lan sadar darikeheranannya. Ia pun tidak mau kalah dan secepat kilat tangan kiri­nya bergerak melepas jarum-jarum halus. Kembali terdengar jerit kesakitan dan enam orang pengejar roboh.

“Nona, mari kita pergi. Jumlah mere­ka amat banyak dan di antara mereka banyak terdapat orang pandai. Mari!”

Mereka berdua lari cepat dan sesam­painya di batu berbentuk kepala burung, mereka lalu menuruni jalan setapak. Para pengejar yang belum roboh tidak berani mengejar setelah menyaksikan kelihaian dua orang muda itu. Mereka berdiri ra­gu-ragu, menanti rombongan pengejar lain yang lebih banyak sambil menolong teman-teman yang terluka.

Karena Kwi Lan dan pengemis aneh itu menggunakan gin-kang mereka, se­bentar saja mereka berhasil menuruni Cheng-liong-san dan tak tampak atau terdengar lagi pengejar mereka. Mereka kini jalan berendeng menuju ke timur. Semenjak turun gunung tadi, tak pernah mereka membuka mulut dan baru setelah yakin bahwa mereka tidak dikejar, me­reka tidak berlari lagi dan kini pengemis itu mengeluarkan suara.

“Ah, untung bahwa tokoh-tokohnya belum hadir. Kalau iblis-iblis itu hadir, hemm...., berbahaya sekali!”

“Kaumaksudkan tua-tua bangka yang mereka sebut-sebut tadi seperti Bu-tek Siu-lam, Thai-lek Kauw-ong, Jin-ciam Khoa-ong dan Siauw-bin Lo-mo? Ah, aku tidak takut! Justeru aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!” kata Kwi Lan.

Kini pengemis muda itu yang menoleh dan memandang terheran-heran. Saking herannya ia sampai lupa menyembunyikan muka seperti yang biasa ia lakukan. Kebetulan sekali Kwi Lan pun menoleh sehingga ia dapat melihat wajah penge­mis itu dengan jelas. Wajah yang tampan dan gagah, masih muda namun sudah jelas tampak kematangan jiwa pada sinar mata dan tarikan mukanya.

“Engkau seorang gadis yang aneh, Nona!”

“Tidak seaneh engkau!” jawab Kwi Lan cepat. “Bukankah engkau ini penge­mis malas yang pernah kulihat duduk dalam warung di lereng Lu-liang-san? Dan mengapa engkau sekarang berada di sini? Apakah engkau sengaja mengikuti perjalananku?”

Pengemis itu menggeleng kepala. “Ti­dak ada yang mengikuti, hanya kebetulan saja kita bertemu lagi di sini karena memang aku hendak menonton perte­muan kaum sesat di sini. Akan tetapi engkau.... justeru pertemuan di Lu-liang-san itu yang membuat aku keheranan dan mengatakan engkau seorang aneh, Nona. Kulihat engkau di sana bersama cucu ketua Thian-liong-pang, bersama seorang dari golongan hitam yang menentang para hwesio Lu-liang-pai. Aku sudah menyayangkan mengapa seorang dengan kepandaian seperti kau ini terjerumus kedalam pergaulan kaum sesat. Akan tetapi hari ini aku melihat engkau mengacau pertemuan kaum sesat dan memusuhi mereka, bahkan baru saja kau menantang-nantang terhadap empat orang tokoh besar mereka. Bukankah hal ini amat aneh sekali?”

“Jadi tadinya kaukira aku ini seorang tokoh hitam pula?” tanya Kwi Lan sam­bil memandang marah.

“Begitulah, karena kau datang bersa­ma tokoh Thian-liong-pang dan menen­tang hwesio-hwesio Lu-liang-pai.”

“Bukan, aku bukan tokoh golongan sesat.”

“Itu aku percaya setelah menyaksikan sepak terjangmu di sini. Engkau tentu seorang pendekar pedang wanita yang sakti.”

“Juga bukan. Aku bukan pendekar wa­nita dan bukan pula penjahat. Aku orang biasa saja. Tidak seperti engkau. Engkau tentu seorang tokoh kaipang (perkumpul­an pengemis) yang terkenal. Agaknya engkau memimpin pengemis-pengemis baju kotor, bukan?”

Pengemis muda itu menghela napas panjang kemudian menggeleng kepala.

“Aku juga bukan apa-apa, seperti engkau bahkan tidak ada orang yang mengenal siapa aku ini. Memang betul bahwa mendiang Ayahku adalah seorang tokoh besar dunia pengemis, akan tetapi sudah lama sekali sebelum aku lahir Ayahku telah mengundurkan diri dari dunia pengemis. Sebagai seorang penge­mis, tentu saja Ayah hanya meninggalkan topi butut, tongkat lapuk, dan pakaian tambal-tambalan ini. Namun, melihat betapa dunia pengemis terancam mala­petaka, terpaksa aku harus turun tangan mewakili mendiang Ayah. Karena itulah aku turun gunung dan bertemu dengan engkau di sini.”

“Wah, kalau begitu Ayahmu tentu Yu Kang Tianglo!”

Pengemis muda itu terkejut. “Bagai­mana kau bisa tahu?”

Kwi Lan tertawa dan wajah yang sudah cantik itu menjadi amat menarik. Ketawanya wajar, tidak ditutup-tutupi dan tidak malu-malu sehingga gadis itu memperlihatkan kecantikan yang aseli. Pengemis muda ini sejenak menjadi bengong, namun ia membuang pandang matanya dan menekan perasaannya.

“Tentu saja aku tahu! Kau berilmu tinggi dan seorang pengemis, kau bilang Ayahmu tokoh besar dunia pengemis. Tentu pengemis golongan putih. Dan tadi, di antara musuh-musuh kaum sesat di­sebut-sebut nama Yu Kang Tianglo, siapa lagi kalau bukan Ayahmu.”

Diam-diam pemuda itu kagum sekali. Gadis ini lihai, lincah, wajar dan belum terusak tata susila palsu, Di samping ini, juga pemberani sekali dan cerdik. Teringatlah dia akan adegan di warung yang terletak di lereng Bukit Lu-liang-san. Pemuda Thian-liong-pang itu tampan sekali dan lihai. Pantas saja tergila-gila kepada gadis ini. Siapa orangnya yang takkan tergila-gila?

“Betul sekali dugaanmu. Mendiang Ayahku adalah Yu Kang Tianglo. Namaku Siang Ki, Yu Siang Ki, pengemis muda sebatang kara, kalau saja Nona sudi mengetahui dan mengenalku.” Ia menjura dengan sikap hormat.

Kwi Lan membalas penghormatan itu sambil tertawa, “Ihh, kau lucu! Mengapa tidak suka berkenalan? Gerakan tongkat­mu tadi hebat luar biasa, biarpun pakai­anmu pakaian jembel, namun engkau bukan seorang kotor! Yu Siang Ki, nama­ku Kwi Lan, Kam Kwi Lan. Akan tetapi ada badut yang menyebutku Mutiara Hitam!”

Pengemis muda itu mengangkat muka memandang, sinar matanya penuh dugaan.

“Engkau she Kam, Nona?”

“Benar, kenapakah?”

“Aih, tidak apa-apa, hanya.... mengapa begitu kebetulan? Eh, Nona Kwi Lan....”

“Wah, kau menjemukan benar, menye­butku nona-nonaan segala! Semua orang yang menjadi sahabatku menyebutku Kwi Lan begitu saja atau.... Mutiara Hitam.”

“Tapi aku.... bukan sahabat....”

“Hemm, bagus, ya? Kalau tidak suka bersahabat, mengapa mengobrol sejak tadi? Engkau tak mau bersahabat? Nah, selamat berpisah!” Kwi Lan sudah mem­balikkan tubuh hendak pergi.

“Eh...., maaf, bukan begitu maksudku. Aku.... tadinya merasa terlalu rendah menjadi sahabatmu, tapi.... baiklah, Kwi Lan, jangan kau marah-marah. Mengapa kau begini gampang marah?”

Kwi Lan tertawa! “Memang aku gam­pang marah gampang gembira! Nah, se­karang lanjutkan, kalau aku she Kam, mengapa kebetulan?”

“Shemu mengingatkan aku akan se­orang yang kujunjung tinggi, seorang pendekar sakti yang selain menjadi sahabat baik mendiang Ayahku, juga menjadi tokoh besar dunia kang-ouw yang tadi pun disebut-sebut oleh mereka sebagai musuh nomor satu. Dia adalah Suling Emas!”

“Eh, dia she Kam?”

Siang Ki mengangguk. “Menurut pe­nuturan Ayahku, Suling Emas bernama Kam Bu Song, Kwi Lan, melihat keadaanmu yang luar biasa, ilmu kepandaian­mu yang lihai, dan shemu Kam, siapa yang takkan menghubungkan engkau dengan Suling Emas? Apakah engkau pu­terinya? Ataukah keponakannya?”

Kwi Lan menggeleng kepala, mukanya membayangkan kekecewaan. Kalau saja benar demikian, bahwa dia puteri seorang sakti seperti Suling Emas, alang­kah akan menyenangkan dan membangga­kan! Akan tetapi kenyataannya bukan demikian. Dia puteri Ratu Khitan, dia seorang Khitan yang dianggap bangsa liar!

“Bukan, aku bahkan sama sekali tidak kenal dan tidak pernah melihat bagaima­na macamnya Suling Emas.”

“Ah, sayang sekali. Alangkah akan senang hatiku andaikata engkau benar­-benar puterinya, karena aku pun sedang mencarinya. Aku sendiri pun belum per­nah berjumpa dengan Suling Emas, akan tetapi Ayah berpesan bahwa dalam usa­haku membersihkan dunia pengemis dari oknum-oknum jahat, sebaiknya aku mohon pertolongan Suling Emas. Bolehkah aku mengetahui siapa orang tuamu?”

Mereka tiba di depan sebuah anak sungai yang amat jernih airnya. Hutan kecil di kaki Gunung Cheng-liong-san itu amat indah dan sunyi. Bunyi air mengalir di antara batu-batu menjadi dendang yang aneh namun merdu. Kwi Lan lalu duduk di tepi sungai, di atas batu yang halus licin. Yu Siang Ki menanggalkan topinya dan mengebut-ngebutkan topi ke arah leher. Sejuk dan nyaman sekali duduk di tepi anak sungai itu.

“Aku sendiri tidak tahu siapa orang tuaku.” kata Kwi Lan sambil memandang air dengan pandang mata melamun. “Se­menjak aku masih bayi, aku dirawat Guruku.”

Yu Siang Ki menmmandang dengan hati iba. Dia sendiri sudah tidak punya ayah dan ibu, akan tetapi sedikitnya ia sudah menikmati hidup di samping orang tua­nya. Gadis ini sama sekali tidak tahu siapa ayah bundanya, seorang gadis yang patut dikasihani.

“Ah, Gurumu tentulah seorang sakti yang luar biasa. Siapakah julukannya yang mulia?”

“Guruku tidak mempunyai julukan apa-apa, selamanya menyembunyikan diri, dan aku hanya mengenalnya sebagai Bibi Sian. ilmu kepandaiannya memang luar biasa hebatnya, akan tetapi dia orang biasa saja.” Kwi Lan memang sengaja tidak mau menyebut nama bibinya karena bibinya adalah seorang aneh yang tidak suka dikenal namanya. Juga ia tidak mau menimbulkan keheranan lagi kepada pengemis muda ini dengan memberitahu­kan bahwa bibi atau gurunya itu pun she Kam!

Yu Siang Ki menarik napas panjang. “Memang banyak orang sakti aneh di dunia ini yang mengasingkan diri tidak mencampuri urusan dunia ramai. Gurumu tentu seorang di antara mereka dan me­lihat kepandaianmu, tentu Gurumu se­orang yang amat pandai.”

Kwi Lan tertawa. “Yu Siang Ki, eng­kau belum pernah bertanding denganku, belum pernah melihat kepandaianku, akan tetapi sudah berkali-kali memuji! Guruku memang lihai, akan tetapi tidaklah ter­lalu aneh. Orang-orang sakti seperti Pak-kek Sian-ong dan Lang-kek Sian-ong itu barulah patut disebut orang-orang sakti dan aneh luar biasa.”

Siang Ki terkejut dan cepat menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. “Apa? Engkau pernah berjumpa dengan kedua Locianpwe itu? Mengenal mereka?”

Kwi Lan mencibirkan bibirnya. Hati­nya masih mengkal kalau ia teringat ke­pada dua orang kakek itu, menganggap mereka itu keterlaluan sekali sikapnya terhadap Siangkoan Li, “Tentu saja aku sudah pernah bertemu dengan dua orang tua bangka seperti monyet!”

“Aiihhh.... Kwi Lan, bagaimana engkau berani....?”

“Memaki mereka monyet? Di depan mereka pun aku berani memaki-maki mereka. Boleh jadi mereka lihai dan aneh, akan tetapi mereka itu layak dimaki, dan seandainya aku memiliki ilmu kepan­daian seperti Bu Kek Siansu, tentu me­reka berdua itu sudah kuberi pukulan seorang satu sampai kapok!”

Kini Siang Ki memandang bengong. Makin lama makin mengherankan gadis ini! “Kau.... kau pernah berjumpa pula dengan.... dengan Bu Kek Siansu?”

Kwi Lan mengangguk, bangga melihat keheranan pengemis muda ini.

Tanpa disadarinva, Siang Ki meme­gang lengan gadis itu erat-erat dan dengan penuh gairah ia bertanya. “Benar­kah itu, Kwi Lan? Benarkah ada manusia dewa itu? Aku hanya mendengar nama­nya seperti dongeng yang diceritakan Ayah!”

“Mengapa aku berbohong? Aku sudah melihatnya, dan memang kakek tua renta itu lihai dan aneh akan tetapi juga go­blok!”

Kali ini sepasang mata Siang Ki me­mandangi muka Kwi Lan dengan penuh curiga dan keraguan. Gadis ini berani memaki Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, hal itu sudah merupakan sesua­tu yang tak masuk akal dan terlalu luar biasa karena sebagian besar orang kang­ouw, menyebut nama dua orang kakek ini pun dengan berbisik-bisik. Akan tetapi sekarang gadis ini tidak hanya berani memaki mereka, bahkan berani mengata­kan bahwa Bu Kek Siansu goblok! Ini sudah keterlaluan sekali. Nama Bu Kek Siansu sudah disanjung-sanjung oleh se­mua pendekar, dianggap guru besar yang setarap dengan Tat Mo Couwsu dan juga disegani, semua tokoh dunia hitam, di­anggap seperti manusia dewa yang entah sudah berapa ratus tahun usianya. Akan tetapi gadis ini menyebutnya goblok! Ka­lau tidak mendengar dengan kedua te­linganya sendiri, tak mau Siang Ki mem­percayai hal ini.

“Kwi Lan, maukah engkau mencerita­kan kepadaku tentang perjumpaanmu dengan tiga orang kakek sakti itu?” Dengan penuh gairah pemuda ini berkata sehingga membangkitkan semangat Kwi Lan untuk menceritakan pengalamannya bersama Siangkoan Li.

Ketika mendengar penuturan itu, Yu Siang Ki menghela napas panjang dan berulang kali ia mengangguk. “Ah, kalau begitu keliru persangkaanku. Patut dika­sihani keadaan Siangkoan Li dan biarlah kelak aku akan membantunya jika keada­an mengijinkan. Keadaan antara dia dan aku banyak persamaannya. Dia bertugas membangun dan membersihkan Thian-liong-pang sedangkan aku harus mem­bangun kembali dan membersihkan Khong-sim Kai-pang dan kaum pengemis. Kalau benar seperti yang kauceritakan bahwa kedua orang Sian-ong itu sudah ditundukkan dan berjanji kepada Bu Kek Siansu untuk memihak kebenaran, kita boleh bernapas lega, Kwi Lan. Hanya orang-orang seperti mereka itulah yang kelak akan sanggup membendung datang­nya iblis-iblis jahat yang akan menguasai dunia persilatan.”

“Yu Siang Ki, aku sudah terlalu ba­nyak bercerita. Sekarang kauceritakanlah pengalamanmu, tentang Ayahmu yang terkenal itu dan tentang kau sendiri.”

Memang begitu berjumpa, Yu Siang Ki merasa suka dan cocok sekali dengan gadis yang wajar dan polos ini. Apalagi ketika mengetahui bahwa Kwi Lan she Kam, biarpun tidak ada hubungan dengan Kam Bu Sang si Suling Emas, namun persamaan she ini saja sudah menambah rasa suka di hatinya karena semenjak kecil memang Siang Ki sudah memuja nama Suling Emas yang dipuji-puji selalu oleh ayahnya. Kini mendengar perminta­an gadis ini tanpa ragu-ragu lagi ia lalu bercerita.

Yu Kan Tianglo adalah seorang tokoh partai pengemis Khong-sim Kai-pang. Ia putera Ketua Khong-sim Kai-pang akan­ tetapi semenjak kecil menghilang dan mempelajari Ilmu silat tinggi. Setelah berusia tiga puluh tahun ia muncul dan mencari musuh besar yang membunuh ayahnya, yaitu seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi raja pengemis, It-gan Kai-ong. Di dalam usahanya yang amat sukar ini karena It-gan Kai-ong memiliki kesaktian yang hebat, ia men­dapat bantuan Suling Emas sehingga akhirnya berhasil membunuh tokoh iblis itu.

Semenjak itu, Yu Kang Tianglo tidak pernah lagi muncul di dunia kang-ouw. Biarpun secara diam-diam ia masih suka kadang-kadang mengadakan hubungan dengan para pimpinan kai-pang, namun ia sendiri mengasingkan diri dan beberapa tahun kemudian menikah dengan puteri seorang sahabatnya, juga seorang pende­kar silat yang mengasingkan diri. Dari pernikahan ini lahirlah Yu Siang Ki. Akan tetapi sungguh malang nasib Yu Kang Tianglo, ketika melahirkan, isteri­nya meninggal dunia. Hal ini terjadi karena tempat tinggal mereka yang me­nyendiri di lereng Bukit Thai-hang-san, jauh tetangga sehingga pada saat melahir­kan. Yu Kang Tianglo sendiri tidak ber­ada. di rumah, sedang pergi mencari pembantu. Ketika ia pulang ke pondok bersama seorang wanita yang biasa membantu orang melahirkan, isterinya telah menggeletak tak bernyawa di sam­ping seorang bayi yang menangis keras. Isterinya mati karena kehabisan darah!

Yu Kang Tianglo hidup dengan hati mengandung kedukaanbesar. Ia makin tak mau lagi muncul di dunia ramai. Hidupnya dlcurahkan untuk merawat dan mendidik Siang Ki sehingga ketika pe­muda ini, berusia dua puluh tahun, ia telah mewarisi semua kepandaian ayah­nya! Betapapun juga, Yu Kang Tianglo tak pernah mau mengingkari asal-usulnya sebagai putera kai-pang (perkumpulan pengemis) sehingga bukan hanya dia, bahkan puteranya pun semenjak kecil diharuskan memakai pakaian yang dihias tambal-tambalan seperti pakaian penge­mis.

“Demikianlah, Kwi Lan. Ketika Ayah mendengar bahwa dunia pengemis kem­bali rusak dan terancam hebat oleh tokoh-tokoh sesat sehingga banyak pe­ngemis dibawa menyeleweng, Ayah men­jadi kaget dan marah sekali. Hal ini sungguh menjadi malapetaka karena jan­tung Ayah yang selalu lemah dan sakit-sakit semenjak ibu meninggal dunia, mendapat serangan yang membawa Ayah meninggal dunia pula. Ayah hanya ber­pesan agar aku mewakili Ayah untuk menolong kaum pengemis, terutama se­kali Khong-sim Kai-pang.”

Kwi Lan mendengarkan penuturan itu dengan hati penuh iba. Kiranya pemuda ini juga bernasib buruk di waktu kecil­nya, tidak ada bedanya dengan Tang Hauw Lam maupun Siangkoan Li. Semen­jak kecil sudah dirundung malang dan kini hidup sebatang kara di dunia.

“Saudara Siang Ki, karena engkau selalu melakukan perantuan di dunia kang-ouw, kulihat engkau mengenal semua tokoh kang-ouw yang sakti-sakti dari golongan hitam maupun putih. Karena Ayahmu adalah sahabat baik pende­kar sakti Suling Emas, tentu engkau tahu baik tentang riwayat pendekar itu.”

“Aku hanya mendengar dari penuturan mendiang Ayah. Biarpun hatiku amat kepingin, namun belum pernah aku mendapat kehormatan berjumpa dengan pen­dekar itu.”

“Dalam percakapan kaum sesat di puncak Cheng-liong-san tadi, aku men­dengar mereka menyebut-nyebut nama Ratu Khitan yang katanya masih sanak dekat dengan Suling Emas, bahkan katanya menjadi.... eh, kekasihnya. Tahukah eng­kau akan hal itu?”

Yu Siang Ki menggeleng kepalanya. “Ayah tidak tahu akan hal itu. Aku pun tidak tahu benar. Yang kutahu bahwa Ratu Khitan kabarnya juga memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, dan aku pernah mendengar pula dari luaran bahwa ratu itu dahulu menjadi adik angkat Su­ling Emas. Tentang hubungan asmara di antara mereka, aku tidak tahu. Yang pasti, sampai sekarang Suling Emas tidak pernah menikah, juga Ratu Khitan yang kabarnya cantik jelita itu sampai seka­rang tak pernah menikah.”

Berdebar jantung Kwi Lan. Berdebar dan merasa tidak enak. Menurut kata Bibi Sian gurunya, dia adalah puteri Khi­tan. Kalau Ratu Khitan tidak pernah menikah, bagaimana ia bisa menjadi puterinya? Siapakah ayahnya?

“Ah, bagaimana mungkin seorang ratu tidak menikah?” Ia pura-pura merasa heran dan bertanya. “Bukankah seorang raja atau ratu itu membutuhkan keturun­an untuk kelak diwarisi tahta kerajaan?”

Yu Siang Ki mengangguk-angguk. “Aku tidak tahu mengapa Ratu Khitan yang terkenal itu tidak menikah. Akan tetapi aku mendengar dari para pedagang keliling yang seringkali mengembara ke Khitan bahwa sesungguhnya ia tidak me­nikah namun Ratu Khitan mempunyai seorang putera angkat. Agaknya putera angkatnya itu pun telah mewarisi kepandaian ibunya. Namanya Pangeran Talibu, dan sudah beberapa kali pangeran itu mengadakan perjalanan ke selatan. Ilmu silatnya tinggi, orangnya tampan bukan main dan sebentar saja namanya pun terkenal sebagai seorang yang tangguh.”

Makin tidak nyaman rasa hati Kwi Lan. Kalau benar seperti yang dituturkan gurunya secara singkat sekali bahwa dia puteri Ratu Khitan mengapa ia sejak kecil ikut Bibi Sian? Mengapa Ibu kan­dungnya sendiri tidak merawat dan men­didiknya, bahkan mengangkat seorang pu­tera? Apakah karena aku perempuan? Makin penasaran rasa hati Kwi Lan se­hingga tampak mukanya kemerahan, matanya menyinarkan api kemarahan.

“Kau kenapakah?” Siang Ki yang ber­pemandangan tajam itu menegurnya.

“Tidak apa-apa. Tahukah kau di mana aku bisa bertemu dengan Suling Emas?”

Siang Ki makin terheran. “Kau tadi bilang bahwa kau tidak mempunyai hu­bungan dengan Suling Emas, mengapa sekarang hendak bertemu dengannya?”

Kwi Lan sudah dapat menekan pera­saannya. Iatersenyum dan menjawab. “Puji-pujian yang kudengar mendorong hatiku untuk melihat bagaimana macam­nya pendekar besar itu. Di manakah dia berada sekarang?”

“Aku sendiri pun mencari-carinya, Kwi Lan. Tidak mudah mencari seorang tokoh penuh rahasia seperti Suling Emas. Aku hendak pergi ke Kang-hu mengun­jungi pusat dari Khong-sim Kai-pang. Setelah aku memperkenalkan diri, kiranya para tokoh Khong-sim Kai-pang ada yang tahu di mana adanya Suling Emas yang merupakan sahabat baik itu.”

Hati Kwi Lan kecewa mendengar bahwa pemuda yang luas pengalamannya ini pun tidak tahu di mana adanya Suling Emas. Ia harus bertemu dengan Suling Emas. Harus ia tanyai pendekar itu ten­tang ibu kandungnya. Kalau memang betul bahwa ibu kandungnya itu seorang wanita tak tahu malu seperti yang dibi­carakan oleh para kaum sesat, ia tidak usah melanjutkan keinginan hatinya pergi menemui ibunya itu. Di samping ini, ia pun tertarik untuk menyaksikan bagaima­na keadaan perkumpulan pengemis golongan putih yang menjadi musuh pe­ngemis-pengemis golongan hitam. Ingin ia bertemu dengan tokoh-tokoh dan pende­kar-pendekar besar yang ia percaya tentu akan ia jumpai kalau ia mengikuti pe­ngemis muda ini.

“Aku ikut!” Tiba-tiba ia berkata. Siang Ki memandang, terkejut. “Apa maksudmu? Ikut....?”

“Ya, aku ikut bersamamu dengan harapan agar kau dan Khong-sim Kai­-pang akan dapat membantuku memperte­mukan dengan Suling Emas. Atau.... ba­rangkali engkau tidak suka mengajak aku.”

Sepasang mata gadis itu memandang penuh selidik, bahkan mengandung tan­tangan. Mau tidak mau Siang Ki terse­nyum. Gadis ini benar lincah dan wajar, aseli danmenyenangkan. Ia mengangguk dan berkata lirih.

“Bukan aku yang tidak suka melaku­kan perjalanan bersamamu, Kwi Lan. Sebaliknya aku bersangsi apakah engkau akan betah melakukan perjalanan di sam­ping seorang pengemis sehingga dera­jatmu terseret turun dan dipandang ren­dah serta dihina orang.”

“Karena kau seorang yang berpakaian pengemis? Huh, hendak kulihat siapa berani menghinaku kalau aku berjalan bersamamu! Mengukur manusia bukan dari pakaiannya, bukan pula dari kata-katanya, melainkan dari perbuatannya! Hal ini kuketahui benar setelah meran­tau.”

Pengemis muda itu memandang de­ngan wajah berseri dan mulut tersenyum. “Dan engkau akan masih belajar banyak, Kwi Lan, dan akan mendapatkan kenya­taan-kenyataan yang banyak pula. Hidup ini belajar dan sebelum mati, takkan pernah habis hal-hal yang perlu kita pe­lajari. Nah, mari kita berangkat ke kota Kang-hu.”

Demikianlah, untuk ke tiga kalinya Kwi Lan melakukan perjalanan bersama seorang pengemis tampan yang lihai dan sifatnya jauh lagi bedanya dengan dua orang pemuda yang pernah dikenalnya. Kalau Tang Hauw Lam pemuda berandal­an yang selalu riang gembira itu meman­dang hidup dari segi yang lucu dan menggembirakan, sedangkan Siangkoan Li memandang hidup dari segi yang penuh kedukaan, kekecewaan dan penuh per­juangan, adalah pemuda ke tiga ini se­orang pemuda yang sikapnya seperti orang tua, sudah masak, berpemandangan luas banyak pengalaman hidup dan me­mandang dunia dengan sepasang mata yang penuh pengertian. Tiga orang pemu­da yang ketiganya sama lihai, entah mana yang paling tinggi ilmunya, dan yang memiliki sifat-sifat menarik dan baik masing-masing. Tiga pemuda perkasa yang begitu berjumpa dengan Kwi Lan telah memperlihatkan rasa suka dan sayang!

***

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suling Emas, semenjak dalam buku jilid pertama. Dua orang tokoh pengemis Khong-sim Kai-pang yang bernama Gak­lokai dan Ciam-lokai, dengan penuh ke­yakinan mengira bahwa Suling Emas ada­lah Yu Kang Tianglo dan mohon kepada “Yu Kang Tianglo” ini untuk menolong kaum pengemis yang terancam kesela­matannya oleh kaum sesat. Setelah men­dengar permintaan mereka berdua, akhir­nya Suling Emas menyanggupi untuk da­tang ke Kang-hu mengunjungi Khong-sim Kai-pang sebagai Yu Kang Tiang­lo!

Ada dua hal yang menyebabkan Suling Emas menerima permintaan ini. Pertama karena mengingat akan persahabatannya dengan Yu Kang Tianglo sehingga ia ingin sekali menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan orang-orangsesat. ke dua, karena ia sedang dikejar-kejar ­oleh para orang-orang suruhan Ratu Ya­lina dari Khitan yang minta kepadanya untuk datang ke Khitan. Hatinya ingin sekali pergi ke Khitan melepaskan rindu terhadap kekasihnya, Lin Lin atau Ratu Yalina, akan tetapi keinginan ini ia te­kan dengan anggapan bahwa kepergiannya ke Khitan berarti merendahkan derajat ratu yang di junjung tinggi oleh bangsa Khitan itu. Tidak, ia harus berkorban. Dengan menyamar menjadi Yu Kang Tianglo dan menutupi mukanya dengan saputangan, tentu akan membebaskannya daripada pengejaran orang-orang Khitan itu.

Karena kini menghadapi sebuah tugas yang penting, maka hati dan pikiran Suling Emas tidak lagi terlalu ditekan oleh kenang-kenangan pahit sehingga tubuhnya menjadi lebih segar dan ber­semangat. Memang tubuh pendekar sakti ini sudah amat kuat dan kebal terhadap segala penderitaan. Hanya kalau terlalu merana hatinya, teringat akan kegagalan-kegagalan cinta kasih yang meremukkan jiwanya, maka jantungnya menjadi tidak kuat dan ia suka terbatuk-batuk. Akan tetapi sekali ia sudah dapat mengatasi kedukaan lni, tubuhnya menjadi sehat kembali.

Kuda merah kurus yang menjadi ka­wan satu-satunya dan menjadi kuda tung­gangannya yang setia, berjalan perlahan. Setelah tiba di depan pintu gerbang kota Kang-hu sebelah barat, Suling Emas menarik napas panjang. Entah sudah berapa belas tahun ia tak pernah lewat kota ini yang dahulu dikenalnya amatbaik. Ia menaikkan saputangan menutupi mukanya, menundukkan topi bututnya menyembunyikan muka dan melanjutkan perjalanan. Untuk pergi ke kuil yang menjadi markas besar perkumpulan pengemis, Khong-sim Kai-pang, ia harus memasuki kota Kang-hu dan keluar lagi dari kota itu melalui pintu sebelah timur karena kuil itu berada di luar kota se­belah timur.

Kota Kang-hu tidak ada perubahan. Bangunan-bangunannya, toko-tokonya, masih seperti dulu saja. Namun ia tahu bahwa penduduknya sudah berubah. Orang-orang muda yang dahulu telah menjadi tua, seperti dia. Pekerjaan orang-orang tua sudah diganti yang mu­da, yang dahulu masih kanak-kanak atau bahkan belum terlahir. Oleh karena peng­gantian satu generasi ini, maka Suling Emas melihat betapa ia tidak mengenal seorang pun di antara orang-orang yang lalu-lalang atau berada di dalam warung dan toko. Maka hatinya menjadi lega dan ia melepas saputangan yang menutupi mukanya. Hanya kalau perlu saja, agar jangan dikenal orang, ia menutupi muka­nya. Kalau memang tidak ada yang mengenalnya, ia tidak perlu menutupi mukanya karena hal ini malah akan me­nimbulkan kecurigaan.

Seorang laki-laki tua di atas kuda kurus dan buruk bukanlah penglihatan yang aneh di kota itu, maka tak seorang pun memperhatikan Suling Emas. Semua orang menganggap dia ini seorang petani tua miskin yang mungkin hendak mencari sanaknya di kota atau hendak berbelanja.

Ketika tiba di sebuah jalan simpang tiga di dekat pintu gerbang timur, Suling Emas menghentikan kudanya di depan sebuahwarung. Ia teringat bahwa warung ini dahulu amat terkenal dengan masakan bakminya yang lezat dan murah. Perut­nya memang sudah lapar maka ia ingin makan di mi warung ini. Seperti yang telah diduganya, juga penjaga kedai bak­mi ini sudah terganti orang lain semua. Akan tetapi meja-mejanya masih seperti dahulu, menjadi hitam mengkilap saking tuanya dan setiap hari terkena minyak. Dengan hati lega Suling Emas mengambil tempat duduk di sudut menghadap ke pintu masuk. Senang juga melihat betapa dugaannya tepat, kedai bakmi itu masih dikunjungi banyak tamu karena bakminya. Buktinya, belasan orang tamu yang memenuhi tempat itu semua meng­gerakkan sumpit makan bakmi!

Ia memesan bakmi dan arak, kemudi­an makan dengan enaknya. Betapapun juga, karena ia berada dekat markas Khong-sim Kai-pang dan maklum bahwa mulai dari kota inilah ia akan mengha­dapi hal-hal yang pelik, Suling Emas memasang mata denganwaspada. Ia sengaja tidak menurunkan topi bututnya dan mengintai dari balik topinya sambil makan bakmi dan minum arak. Tidak ada sesuatu yang ganjil di antara para tamu yang makan bakmi. Hanya di sudut kanan ada tiga orang laki-laki berpakaian se­perti ahli-ahli silat, agaknya mereka ini adalah piauwsu-piauwsu (pengantar ki­riman) yang lewat di Kang-hu dan makan di kedai ini. Yang seorang sudah berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah. Yang dua orang adalah pemuda-pemuda berusia dua puluh lima tahun, bersikap gagah dan hormat terhadap yang tua itu. Di pinggang me­reka tampak gagang pedang. Melihat sikap mereka itu tidak sombong dan bicara dengan sopan dan perlahan. Suling Emas tahu bahwa mereka ini adalah orang baik-baik. Logat bicara mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang selatan.

Setelah habis semangkok bakmi, Suling Emas minta semangkok lagi. Perutnya amat leper, sudah dua hari ia tidak makan. Juga ia minta tambah arak. Pe­layan kedai curiga. Orang tua ini pelahap benar, dan pakaiannya seperti pengemis, atau paling hebat juga seorang dusun yang miskin.

“Lopek harap bayar dulu,” kata Si Pelayan dengan suara perlahan. Kalau sampai orang ini terlalu banyak makan minum kemudian tidak dapat membayar­nya, dia juga tidak terlepas dari tang­gung jawab dan selain mendapat teguran, sedikitnya ia harus menanggung separoh harga makanan dan minuman itu!

Suling Emastersenyum. Ia dihina, akan tetapi ia maklum mengapa pelayan mencurigainya. Ia tidak merasa terhina karena ia tahu akan dasar sikap pelayan itu. Tanpa berkata sesuatu ia mengeluar­ken sepotong perak dan memberikannya kepada Si Pelayan. Melihat perak ini yang cukup besar, Si Pelayan mengubah sikap membungkuk-bungkuk dan berkata,

“Biar nanti sajalah, Lopek. Saya am­bilkan tambahanmu.” Si Pelayan pergi dan Suling Emas menyimpan peraknya sambll tersenyum pula. Semenjak ia muda dahulu sampai sekarang, generasi telah berganti namun watak manusia masih sama saja. Hidup manusia sudah tidak sewajarnya lagi. Hati dan pikiran manusia diselubungi hawa keduniaan sehingga orang mempercaya orang lain bukan berdasarkan pribadinya namun ber­dasarkan harta dan kedudukannya. Orang menghormat orang lain bukan berdasarkan sikap pribadinya melainkan berdasar­kan bagusnya pakaian dan padatnya kan­tung. Manusia sudah tidak dapat me­nguasai dirinya sendiri yang sudah sepenuhnya dikuasai harta benda dan ke­dudukan. Manusia hanyalah abdi-abdi nafsu kesenangan yang amat lemah dan menyedihkan!

Ketika pelayan itu membawa bakmi dan arak tambahan yang dipesannya, tiba-tiba terdengar ribut-ribut di pintu kedai. Si Pelayan menoleh dan ketika ia melihat dua orang pengemis di pintu itu yang marah-marah dan memaki-maki, ia cepat-cepat lari ke dalam dengan muka pucat. Suling Emas menoleh dan diam-diam ia terkejut ketika melihat dua orang pengemis setengah tua yang berdiri di depan pintu itu. Dua orang pengemis ini menaruh tangan kiri di atas dada sedangkan tangan kanan membentuk ling­karan dengan ibu jari dan telunjuk di atas kepala. Itulah tanda bahwa mereka berdua adalah anggauta-anggauta Khong-sim Kai-pang! Mau apakah dua orang Khong-sim Kai-pang datang ke kedai ini dengan sikap demikian aneh?

“Mana pemilik kedai? Hayo lekas keluar!” bentak seorang di antara mereka dengan suara galak. Kini mereka sudah menurunkan kedua tangan, memegang tongkat yang tadi mereka kempit. Tak lepas dari pandang mata Suling Emas betapa para tamu kelihatan gelisah me­lihat dua orang pengemis ini, seperti takut-takut. Sejak kapankah anggauta-anggauta Khong-sim Kai-pang bersikap galak seperti ini dan ditakuti orang?

Dari dalam kedai berlari-lari keluar se­orang berjubah hitam panjang, tubuhnya ke­cil kurus dan kumisnya panjang sampai ke dagunya. Jelas tampak orang ini ketakut­an, sambil membungkuk-bungkuk dan me­maksa senyum sehingga tampak giginya yang hitam karena tembakau ia meng­hampiri dua orang pengemis itu sambil berkata,

“Ah, kiranya Ji-wi dari Khong-sim Kai-pang! Silakan duduk!”

“Tak usah banyak jual omongan ma­nis. Kami datang bukan menghendaki bakmimu yang busuk dan arakmu yang bau! Engkau Lai Keng pemilik kedai ini?”

Be.... betul...., ada apakah, Taihiap....?”

Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, Si Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada ang­gauta Khong-sim Kai-pang itu.

“Huh, engkau benar-benar memandang rendah kepada kami, ya? Ketika kemarin seorang anggauta rendahan kami datang minta derma sepuluh tail, kenapa hanya kauberi uang kecil? Engkau berani meng­hina kami?”

“Ah, tidak sama sekali...., mana saya berani? Ketahuilah, harap Ji-wi suka mempertimbangkan. Perdagangan seka­rang sepi, dan pula keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagai­mana saya sanggup menderma sepuluh tail perak? Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan....”

“Tidak laku, ya? Sepi kau bilang? Be­gini banyak tamu kau bilang sepi!” ben­tak pengemis ke dua.

“Benar, ada juga yang datang ber­belanja namun keuntungannya tipis se­kali....“

“Banyak alasan! Kalau kaunaikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau mendapatkan banyak untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail? Pendek­nya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim Kai-pang bukannya orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau se­karang tidak mengeluarkan sepuluh tail, jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini!” Sambil berkata demi­kian, seorang di antara para pengemis itu menggerakkan tongkatnya ke bawah dan.... “ceppp....!” tongkat itu amblas masuk ke dalam lantai sampai setengah­nya lebih!

Si Pemillk Kedai menjadi pucat wajah­nya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur isak ia berkata, “Kalau begini.... bakal bangkrut....”

“Kaupilih saja. Bangkrut atau mam­pus!”

Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak meja sambil berseru, “Bangsat tak tahu malu! Dari mana datangnya pengemis-pengemis yang begini kurang ajar!”

Ternyata yang menggebrak meja dan ­marah-marah ini adalah tiga orang piauw­su tadi yang kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di luar pintu. Piauwsu se­tengah tua bermuka merah tadi kini me­nudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,

“Kalian ini golongan apakah? Melihat sikap dan pakaian seperti pengemis-pe­ngemis yang biasanya mencari sisa ma­kanan di kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang yang lewat. Akan tetapi ternyata kalian lebih rendah daripada pengemis maupun perampok. Pengemis tidak minta secara paksa sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis!”

Dua orang pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata melotot lebar. “Apa kamu mencari mampus berani men­campuri urusan kami dua orang anggauta Khon-sim Kai-pang?” Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara pengemis itu dengan keras-keras, agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama ini untuk mendatangkan kesan.

“Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) semestinya mem­punyai anggauta-anggauta yang berhati kosong tanpa pamrih akan tetapi kalian ini perampok-perampok berkedok penge­mis amat menjemukan! Kami adalah tamu-tamu yang sedang makan di kedai ini, memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang mengganggu! Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada nafsu makan. Hayo enyah dari sini!” bentak piauwsu setengah tua muka merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak. Malah seorang di antara dua orang muda ini segera me­ngulur tangan ke depan, menggunakan dua buah jari menjepit tongkat yang ter­tancap di lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar dari lantai.

“Phuhh! Yang macam ini dipakai me­nakut-nakuti orang? Menyebalkan!” kata­nya sambil melempar tongkat itu sehingga tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai. Semua tamu kedai itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah sekali. Pemilik tongkat sudah menyambar tong­katnya, kemudian mereka berdua me­loncat mundur lalu berdiri di jalan sambil menantang.

“Pengacau dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?”

Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu muda. “Tak tahu malu, menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk, kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan manusia jahat. Kami datang dan pergi tak pernah menyem­bunyikan nama. Di selatan kami terkenal piauwsu-piauwsu yang paling, benci ter­hadap penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti srigala-srigala berkedok domba! Aku Lim Kiang atau Lim-piauw­su, dan ini kedua orang puteriku. Lekas kalian enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang mengusir anjing-anjing rendah.”

Dua orang pengemis itu marah bukan main. “Keparat she Lim! Kau dan anak­-anakmu sudah bosan hidup rupanya. Maju­lah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu yang lebar itu?”

“Ayah, biarkan kami menghajar dua penjahat ini!” seru dua orang muda sam­bil meloncat ke depan dan pedang me­reka sudah berada di tangan. Sang Ayah yang agaknya cukup percaya akan kepandaian putera-puteranya, lalu mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil bertolak pinggang.

Dua orang pengemis itu sudah ber­seru nyaring sambil memutar tongkat besi mereka, menyerang dua orang piauw­su muda yang sudah menangkis dengan pedang mereka pula. Terjadilah pertan­dingan yang seru, di atas jalan raya di depan kedai bakmi! Mereka yang tadinya enak-enak makan bakmi, kini sudah ke­luar pula dari kedai untuk menonton, wajah mereka tegang dan khawatir ka­rena semua orang di Kang-hu tahu be­laka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berlaku sewenang­-wenang. Tentu saja diam-diam mereka mengharapkan kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.

Pengharapan mereka itu ternyata ter­kabul. Dua orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki ilmu pedang yang hebat. Tidak sampai lima puluh jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis Khong-sim Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tu­sukan pedang dan tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut menonton menjadi terkejut ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera ia kenali. Itulah ilmu pedang Beng-kauw! Tak di­sangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan me­lihat sepak terjang mereka, ia menjadi bangga, Mereka ini murid-murid Beng­kauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka memberi hajaran dua orang pengemis jahat, juga melihat be­tapa dua orang piauwsu muda itu hanya melukai pundak lawan, tidak membunuh­nya.

Beberapa orang di antara penonton yang tadi makan bakmi segera meng­hampiri tiga orang piauwsu itu sambil berbisik, “Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kai-pang bermarkas di luar kota ini dan selain anggautanya banyak, juga mereka mempunyai pemimpln-pe­mimpin yang pandai dan amat kejam! Lekas, Sam-wi (Tuan Bertiga) pergilah dari sini.”

Piauwsu tua mengerutkan alisnya dan berkata lantang, “Kami bukan golongan pengecut yang berani berbuat tidak be­rani bertanggung jawab! Kami memberi hajaran kepada dua orang pengemis ini karena kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka itu dengan pedang kami.” Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali tidak membayangkan kesom­bongan.

Banyak orang yang sudah tahu akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka ber­tiga lekas pergi saja karena kalau tidak, mana mungkin mereka dapat melawan banyak anggauta Khong-sim Kai-pang. Namun bujukan-bujukan itu sia-sia belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua orang pu­teranya bahkan menyatakan hendak mendatangi markas besar Khong-sim Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk Kang-hu! Tiba-tiba ter­dengar suara orang yang amat jelas me­ngatasi semua suara orang yang sedang membujuk-bujuk, “Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa dibujuk­-bujuk? Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka mati!”

Semua orang menoleh dan ketika orang-orang di situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini adalah seorang berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah ter­tutup sehelai kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir. Ada suara bisikan-bisikan terdengar. “Nah, mereka sudah mulai datang....!”

Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya she Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling Emas de­ngan tajam. Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pe­mimpin Khong-sim Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah maju dan hendak menegur.

Akan tetapi Suling Emas sudah meng­hampiri mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan menegur, “Kalian ini orang-orang apa berani hen­dak mengancam Khong-sim Kai-pang? Kalau ada satu dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang kota ini pencuri belaka? Kalau ada satu dua orang piauwsu menyeleweng, apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka? Demi­kian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng, apa­kah benar kalau dikatakan bahwa Khong­-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat? Setelah memperoleh kemenangan berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, Itulah sikap se­orang bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah? Hayo pergi.... pergi.... pergi....!” Ia mendorong-­dorong sehingga jari-jari tangannya me­nyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.

Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi ke­benaran dan kegagahan. Untuk membela yang tertindas dan menghadapi yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewa­risi watak gagah ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan. Karena itulah, ia memberi tanda kepada dua orang pu­teranya untuk mundur, kemudian ia sen­diri tersenyum dan berkata.

“Setiap orang manusia tentu mencari kebenarannya sendiri. Betapapun jahatnya Khong-sim Kai-pang, tentu seorang ang­gautanya akan melihatnya sebagai per­kumpulan yang baik. Sahabat, kalau kau merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau majulah!” Sambil berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.

“Aihh....!” ia berseru kaget dan ta­ngannya meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk melihat ke arah ping­gangnya. Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pe­dang itu sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja!

Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.

“Pe.... pedangku....!” Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa pedang kedua orang puteranya juga sudah lenyap!

“Adakalanya orang tidak dapat meng­andalkan pedangnya.” Suling Emas ber­kata lagi, “Tapi lebih tepat memperguna­kan akal dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang akan selalu membawa kemenang­an. Sam-wi mencari inikah?”

Tiga orang piauwsu itu melongo ke­tika melihat pengemis yang mukanya ditutupi saputangan itu mengangsurkan tiga batang pedang mereka! Cepat me­reka menyambut pedang mereka dan tidak berani sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat merampas pe­dang mereka bertiga tanpa mereka ke­tahui sama sekali, adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa se­kali dan bukanlah lawan mereka! Betapa­pun juga, Lim Kiang adalah seorang ga­gah yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum ia dikalahkan.

“Boleh jadi engkau seorang yang me­miliki kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira bahwa kami takut untuk coba-coba memberantas kejahatanmu!” Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak hendak menerjang Suling Emas.

Pada saat itu berkelebat dua bayang­an hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang bertubuh bong­kok kurus. Namun Si Bongkok ini seka­li sambar sudah mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke belakang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung. Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.

“Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar terha­dap Ketua Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?” bentak Si Pengemis Bongkok yang bukan lain ada­lah Gak-lokai. Adapun pengemis ke dua adalah Ciam-lokai.

Lim Kiang adalah seorang piauwsu yang sudah banyakpengalaman. Ia ter­kejut dan maklum bahwa dua orang pengemis tua itu pun lihai bukan main.

Akan tetapi ia makin kaget ketika men­dengar disebutnya nama Yu Kang Tiang­lo. Ia memandang terbelalak kepada Su­ling Emas lalu berkata.

“Locianpwe ini.... Yu Kang Tianglo....? Akan tetapi.... mereka itu....” Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi dihajar dua orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas, tanah.

Suling Emas mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan dua orang putera­nya. “Terima kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang penyeleweng itu. Memang di anta­ra anggauta Khong-sim Kai-pang ada yang menyeleweng, namun itu bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampai­kanlah hormatnya Yu Kang Tianglo ke­pada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami hormati!”

Diam-diam Lim Kiang terkejut danheran. Ia memang lama mendengar nama besar Yu Kang Tianglo akan tetapi sama sekali tak pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis itu pasti dapat mengenal gerakan pedang putera-puteranya sehing­ga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diturut kedua orang puteranya.

“Mohon maaf bahwa kami berani ber­sikap kurang hormat kepada Locianpwe.” Setelah berkata demikian, Lim Kiang ce­pat-cepat mengajak kedua orang putera­nya pergi meninggalkan Kang-hu.

“Kalian sudah datang? Bagus! Bagai­mana kalian dapat membiarkan dua orang jahat itu melakukan hal yang amat me­malukan Khong-sim Kai-pang?” Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.

“Maaf, Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggauta yang setia sudah menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu.” kata Gak-lokai, sedangkan Ciam-lokai meng­ambilkan kuda Suling Emas. Ketiganya lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua orang pengemis yang terluka tadi se­dangkan Gak-lokai sibuk menuturkan apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang se­lama ini.

Sementara itu, berita tentang muncul­nya Yu Kang Tianglo seperti tadi ter­dengar oleh beberapa orang penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh kepercayaan bahwa setelah to­koh besar itu muncul, Khong-sim Kai-pang akan bersih dari oknum-oknum jahat dan tidak lagi ada penggangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya.

Mendengar penuturan Gak-lokai, Su­ling Emas menjadi marah. Ternyata bah­wa kaum sesat yang menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil me­mecah belah perkumpulan itu, bahkan se­bagian besar anggautanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak mengherankan karena ok­num-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan dunia.

Gak-lokai dan Ciam-lokai yang meli­hat gejala-gejala buruk ini, maklum bah­wa kalau mereka berdua berkeras, tentu akan terjadi perang di antara para ang­gauta sendiri yang akan mengorbankan banyak nyawa. Padahal, mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada dasarnya jahat, melainkan karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping itu, ada lima orang kaum sesat yang kini terpilih menjadi pemimpin me­reka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai sehingga dua orang kakek ini tidak be­rani turun tangan secara serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang mereka andalkan.

“Mereka yang menyeleweng kini men­duduki markas karena para anggauta yang setia rela mengikuti kami mengun­durkan diri bersembunyi di tempat-tem­pat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu.” Gak-lokai menutup ceritanya. “Mereka kini mengganti pakaian mereka dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi. Ha­nya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh orang lebih maka anggauta-anggauta yang me­nyeleweng akan dapat disadarkan kem­bali.”

Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang tajam melihat bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara pohon-pohon mendahuluimereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah mata-mata golongan sesat yang kini menguasai mar­kas Khong-sim Kai-pang. Ketika mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil besar yang semenjak dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat betapa dari belakang mereka datang berbondong­bondong puluhan orang pengemis yang berpakaian butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh orang lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk menengok, mereka serentak menjatuhkan diri berlu­tut dan seperti dlkomando saja mereka berseru. “Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita!”

Kemudian tampak dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti baris­an pengemis pula, pengemis dengan pa­kaian bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini Suling Emas berkata kepada pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai suara­nya nyaring.

“Saudara-saudara semua tidak boleh sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan sendiri, hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang mengotori kai-pang!”

Demikianlah, empat puluh orang pe­ngemis itu disuruh menanti di luar, se­dangkan Suling Emas dengan diantar Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk dengan langkah tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luarpekarangan. Ia memandang ke depan dan melihat bahwa yang memimpin ba­risan pengemis baju bersih yang jumlah­nya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh orang. Lima di antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian pengemis tambal-tambalan dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak senjata tongkat yang berat dan jelas bukan tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak berpakaian pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya mereka berdua itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh lebih. Suling Emas memandang tajam namun tidak mengenal tujuh orang ini. Dari pekarangan, ia naik anak tangga yang ting­ginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan yang cukup luas. Tempat inilah yang biasanya dipakai untuk perte­muan umum para anggauta, di udara ter­buka dan letaknya di depan kuil.

Lima orang pengemis berpakaian pe­nuh kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan sikap angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka. Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh ter­sungkur ke depan kaki lima orang kepala pengemis baru.

“Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggauta Khong-sim Kai-pang ini?” Terdengar sua­ra Suling Emas memecah kesunyian. Sua­ranya halus, namun penuh wibawa. “Me­reka yang merasa bersalah, sudah menye­lewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju mengaku agar menerima hukuman!”

Seorang di antara lima pimpinan pe­ngemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Suling Emas.

“Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan perkumpulan kami sehingga kau berani mengucapkan kata-kata kurang ajar? Apakah engkau ini sekutu para pengkhia­nat macam dua orang jembel tua bangka itu?” ia menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai.

Gak-lokai tak dapat menahan kema­rahannya. “Sungguh kalian ini tak tahu diri! Kalian adalah orang-orang baru di Khong-sim Kai-pang, namun kalian seper­ti buta. tidak mau membuka mata, seper­ti tuli tak mau membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, se­orang tokoh terbesar dari golongan Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut!”

Lima orang itu agaknya sudah men­dengar laporan maka mereka tidak men­jadi kaget, bahkan tersenyum-senyum. Akan tetapi di antara lima puluh lebih anggauta Khong-sim Kai-pang yang sudah dibawa menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menjadi pucat mukanya, menggigil tubuh­nya. Kawan-kawannya yang percaya ke­pada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.

“Ha-ha-ha, bagus sekali! Puluhan ta­hun Yu Kang Tianglo tidak memperlihat­kan diri, membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam keadaan terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti se­orang kawakan yang berkuasa! Cih, sung­guh tidak tahu malu! Pada saat ini me­mang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk sementara ini kami lima oranglah yang berkuasa sampai di­adakan pemilihan ketua pada pertemuan antara kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini seorang tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli. Engkau tidak ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di sini!”

Merah wajah Gak-lokai dan Ciam­-lokai, namun Suling Emas memberi isya­rat dengan tangan agar merekadiam. Ia sendiri lalu melangkah maju dan de­ngan sikap tenang ia berkata. “Yu Kang Tianglo bukan seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang. Semenjak Ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal sebagai perkum­pulan orang-orang gagah yang membela orang-orang terlantar dan jembel-jembel kelaparan, membimbing mereka kembali ke dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka, paling anti akan kejahatan. Siapa dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan siapa pun dia orangnya boleh menjadi anggau­ta, asal saja mereka itu orang baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan yang selama puluhan tahun ditempuh Khong­-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan mun­cul di sini sekiranya keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya. Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan, de­ngan mata kepala, sendiri aku menyaksi­kan dua orangmu melakukan pemerasan seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak membersihkan kai-pang dari orang-orang jahat!”

Mendengar ini, banyak di antara para anggauta Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju kembang-kembang dan memegang tongkat besi, menjadi ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka itu meloncat maju mengurung Suling Emas dan Si Juling membentak.

“Keparat busuk, enak saja kau meng­obrol di sini! Kami yang berkuasa di Khong-sim Kai-pang dan kami yang ber­hak menentukan bagaimana cara kami mengumpulkan dana demi kemajuan per­kumpulan dan kebahagiaan semua anggau­ta kami. Kau berani datang menghina, berarti engkau mencari mampus sendiri!” Sambil berkata demikian, Si Juling dan empat orang adik seperguruannya meng­angkat tinggi tongkat-tongkat mereka. Ada yang memegang tongkat besi, ada tong­kat baja, kuningan bahkan ada yang me­megang tongkat dari perak murni!

“Hemm.... hemm.... semenjak dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan ke­benaran dan selalu mengambil jalan ha­lus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut sebagai lam­bang mencari jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewah­-mewahan dan berlumba memegang tong­kat yang membayangkan kekerasan dan kekejaman. Sungguh menyeleweng sekali!”

“Tak usah banyak cakap! Satu di an­tara syarat menjadi pimpinan Khong­-sim Kai-pang, dia harus mempunyai ke­pandaian yang paling tinggi itu di antara para anggauta. Beranikah engkau mela­wan kami berlima?”

“Eh, kiranya kalian maslh mengenal juga akan peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian memperlihatkan ke­curangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama atau ditambah lagi dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri pinjam tongkatmu!” kata Suling Emas, menoleh kepada dua orang tokoh lama itu.

“Harap Pangcu pakai saja tongkat ini. ”Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin Tianglo.” kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkat­nya, sebatang tongkat bambu yang sudah amat tua.

Yu Jin Tianglo adalah Ketua Khong­-sim Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka tentu saja semua anggauta yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah. Mereka semua tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai sen­diri tidak berani sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah oleh pengeroyokan mereka berlima?

Namun Suling Emas dengan langkah lebar dan tenag sudah berdiri di tengah-tengah lapanganyang tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa Si Juling berbisik-bisik kepada dua orang pendeta, akan tetapi kemu­dian Si Juling bersama empat orang ka­wannya meloncat dan sekaligus mengu­rung.

“Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat Khong-sim Kai-pang menjadi perkumpulan yang paling hebat di antara semua kai-pang. Maksud baik kami ini kiranya malah kauhina! Sungguh kau mencari mati sendiri.”

Suling Emas tertawa di balik saputa­ngannya. “Kalian ini pengemis-pengemis macam apa? Pakaiannya saja berlumba mewah! Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu orang-orang golongan sesat yang hendak menyelundup ke kai-pang-kai-­pang mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat ri­wayat kalian!”

“Manusia sombong!” Lima orang itu membentuk barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa memasang kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi la­wan! Tongkat dipanggul di pundak, ber­diri seenaknya dan pandang mata tidak acuh sama sekali! Diam-diam Gak-lokai Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat, menjadi khawatir sekali. Akan tetapi lima orang pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka terus berge­rak mengitari Suling Emas dan mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba Si Mata Juling yang menjadi pimpinan me­reka berteriak keras dan serentak lima batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan sinar yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali! Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka, lima orang pengemis baju kembang itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat cepatnya, dan amat berat sehingga ter­dengar angin bersiutan. Betapa mungkin ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat menghindarkan diri dari hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini?

“Singgggg...., Krak-krak-krak-krak­krak....!”

Semua orang kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini terbang di udara dan jatuh jauh dari tempat itu. Ketika mereka memandang ke depan lima orang pengemis baju kem­bang itu sudah roboh tak berkutik lagi sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti tadi memanggul tong­katnya!­

Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya pihak kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum. Kemudian meledaklah sorak-sorai penuh kegembiraan dari be­berapa puluh orang pengemis anggauta Khong-sim Kai-pang yang setia, sedang­kan para anggauta Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri berlutut.

“Yu Kang Tianglo, kau terlalu som­bong!”

Bentakan ini keras sekali dan kiranya dua orang berpakaian tosu tadi telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas, sedangkan yang kedua dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan mayat lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang itu ke bawah pang­gung! Perbuatan yang kejam ini disambut suara berbisik dari mereka yang pro dan anti di golongan anggauta, baik yang kini sudah berpakaian bersih maupun yang masih berpakaian butut.

“Trakk! Trakk! Trakk!”

Suara ini nyaring sekali sehingga me­nyakitkan telinga. Melihat betapa kedua telapak tangan pendeta yang mengham­piri Suling Emas ditepuk-tepukkan menerbitkan suara nyaring itu, semua orang yang tadinya berisik menjadi diam dan memandang penuh keheranan dan ke­kaguman. Betapa dua telapak tangan dari kulit dan daging dapat mengeluarkan bunyi seperti itu?

Sahabat-sahabat pengemis de­ngarlah baik-baik! Pinto (aku) ber­dua hanyalah tamu-tamu dari kelima pangcu (ketua) yang telah terbunuh secara keji oleh manusia sombong yang mengaku Yu Kang
Tianglo ini. Pinto berdua adalah orang­-orang sebawahan Locianpwe Bu-tek Siu­-lam, bagaimana mungkin menyaksikan tuan rumah dihina orang tanpa turun ta­ngan? Telah kita ketahui semua betapa para anggauta kai-pang di bawah pimpin­an orang-orang lama yang mengaku suci dan bersih, hidup sengsara, kekurangan makan dan pakaian, bahkan kadang-ka­dang mengalami kelaparan. Kemudian golongan kami sebagai pimpinan baru telah mengangkat nasib para jembel se­hingga mereka dapat memakai pakaian baik dan makan sekenyangnya setiap hari. Tak perlu dibicarakan panjang lebar siapa yang lebih patut menjadi pemimpin kai-pang. Sudah terbukti pula betapa kelima orang kai-pang yang terbunuh berjasa besar terhadap saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini yang akan merampas kedudukan dan akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam lembah kesengsaraan!”

Mendengar ini, terbangun semangat mereka yang tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat betapa dahulu, semenjak dipimpin oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta Ciam-lokai, para anggau­ta hidup di bawah tekanan peraturan-peraturan keras sekali, bahkan mereka itu diharuskan hidup seadanya dan seder­hana, sesuai dengan pendapatan serta hasil sumbangan para dermawan. Kemu­dian setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan dipegang oleh lima orang ketua baru, uang mengalir masuk dengan berlebihan sehingga mereka dapat hidup jauh lebih baik, bahkan dapat pula bermewah-mewahan! Maka ketika men­dengar ucapan tosu itu, mereka lalu saling bicara dan keadaan menjadi berisik kembali.

Suling Emas tercengang ketika meli­hat tosu yang membunyikan kedua tela­pak tangan tadi. Ia maklum bahwa tosu itu bukan sembarang orang, telah memi­liki kepandaian tinggi dan tentu seorang ahli Tiat-ciang-kang (Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih kedua telapak ta­ngannya sehingga menjadi kuat dan keras laksana baja. Apalagi mendengar tosu itu mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek Siu-lam, ia menjadi tertarik. Memang selama perantauannya, ia mendengar akan munculnya seorang tokoh besar berjuluk Bu-tek Siu-lam ini.

Akan tetapi sebelum Suling Emas menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gak-lokai berteriak keras. “Sungguh tamu-tamu yang tak tahu malu mencampuri urusan dalam Khong-sim Kai-pang!” Ke­mudian tubuh dua orang kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah melayang dan meloncat ke depan Suling Emas menghadapi dua orang tosu itu.

Ciam-lokai menghampiri Suling Emas dan berkata halus, “Mohon Pangcu sudi membiarkan kami berdua memberi ha­jaran kepada tosu-tosu lancang ini.”

Suling Emas cepat membisikkan na­sihatnya. “Baiklah, Ciam-lokai, kau nanti hadapi Si Hidung Besar itu dan awaslah terhadap telapak tangannya. Dia ahli Tiat-ciang-kang dan jangan sampai meng­adu telapak tangan, akan tetapi serang kedua jalan darah di belakang sikunya.” Karena bisikan ini dilakukan seperti tan­pa menggerakkan bibir, hanya dengan pengerahan, tenaga khikang yang sempur­na, maka yang mendengar hanya Ciam-lokai seorang. Kakek bertongkat butut inimengangguk-angguk. Ia percaya penuh akan kelihaian ketuanya yang sakti.

Sementara ini, Gak-lokai Si Kakek Pengemis yang bertubuh bongkok, sudah melangkah maju, mengerahkan khi-kang dan berkata lantang sehingga suaranya mengatasi suara berisik para anggauta Khong-sim Kai-pang yang seketika men­jadi tenang dan mendengarkan penuh perhatian.

“Sejak kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai penasihat-penasihat segala macam hidung kerbau? Urusan kai-pang adalah urusan dalam dan tidak boleh sama sekali dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah menjadi peraturan kai-pang sejak dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu. Sekarang ada tamu-tamu tak diundang yang berani lancang mencampuri urusan dalam, hal ini tak lain berarti sebuah tantangan!”

Dua orang tosu itu menjadi merah mukanya. Tosu yang alisnya putih me­langkah maju dan membentaki “Jembel busuk! Tak tahukah kau siapa kami ber­dua? Kami adalah utusan Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Berani kau menghina utusan beliau?”

Gak-lokai menjura dan menjawab sua­ranya tegas dan nyaring. “Kami sama sekali tidak menghina siapapun juga, apalagi seorang tokoh besar seperti Lo­cianpwe Bu-tek Siu-lam. Sebaliknya kali­an inilah yang sudah menghina ketua kami! Kalian sebagai orang luar mana tahu peraturan dan sifat Khong-sim Kai-pang kami? Perkumpulan kami bukanlah perkumpulan segala macam jembel yang kelaparan dan yang hanya memikirkan tentang makanan dan pakaian belaka! Akan tetapi, kai-pang kami adalah per­kumpulan orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, orang-orang yang ber­tugas membela kebenaran dan keadilan tanpa pamrih, cukup dengan hidup seder­hana atas kerelaan dan belas kasihan orang yang lebih mampu. Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan menganggap penyelundup-penyelundup itu menjunjung tinggi derajat perkumpulan kami? Huh, bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan dengan cara yang keji dan dengan cara yang lebih jahat daripada perampok-pe­rampok hina!

“Setan kelaparan! Gak-lokai dan Ciam-lokai, pinto sudah tahu bahwa ka­lianlah yang menjadi penyakit dalam Khong-sim Kai-pang. Kalian mengandal­kan apa berani bicara seperti itu di de­pan pinto?” bentak tosu hidung besar dengan marah. “Pergilah, kalian terlalu rendah untuk berurusan dengan pinto. Biarkan orang yang sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan kami!”

“Heh-heh-heh!” Hidung kerbau macam kalian ini mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu kami yang mulia?” Kalau kalian hendak menantang, cukup kami yang akan melayaninya. Rekan Gak, kau minggirlah, biarkan tongkat bututku menghajar anjing hidung besar ini!”

Gak-lokai tertawa lalu meloncat ke pinggir, lalu tubuhnya melayang ke ba­wah dan tahu-tahu ia telah menyelinap ke dalam ruangan depan kuil dan sebe­lum lain orang berani mencegah, ia su­dah meloncat kembali membawa tiga buah bangku. Ia mempersilakan Suling Emas duduk di atas bangku, kemudian ia sendiri duduk di sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke tiga adalah diperuntukkan Ciam-lokai.

“Ha-ha, Tosu Alis Putih. Kami tidak tahu kau siapa, karena kau tamu tak di­undang, silakan kau berdiri saja di sudut situ!” kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini marah sekali, mengepal tinju dan mendelik.

“Eh-eh, sabar dulu. Giliran kita belum tiba. Nanti setelah Saudara Ciam mem­bereskan temanmu Si Hidung Kerbau, barulah kita boleh saling tonjok!” kata pula Gak-lokai. Tosu Alis Putih itu hanya membuang ludah melampiaskan marahnya, kemudian ia memandang ke tengah pang­gung di mana Ciam-lokai sudah berha­dapan dengan kawannya.

Ciam-lokai dengan menggerak-gerak­kan tongkat bambunya yang butut, yang tadi ia pinjamkan kepada Suling Emas, menghadapi tosu hidung besar, tersenyum lebar dan berkata, suaranya lantang.

“Eh, tosu yang tak tahu diri! Engkau mengaku tamu, akan tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berar­ti kalian ini bukan sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki ke­adaan Khong-sim Kai-pang. Setelah kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku siapa sebenarnya kau ini agar aku tahu pula siapa nama orang yang nanti roboh di tanganku!”

Ucapan ini diucapkan halus dan sewa­jarnya, akan tetapi tetap saja membikin panas telinga karena sifatnya tekebur! To­su yang hidungnya besar itu usianya sudah tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih muda daripada Ciam-lokai, akan tetapi wajahnya masih gagah dan kulit mukanya kemerahan, rambutnya masih hitam. Ia menekan kemarahan hatinya dan terse­nyum mengejek lalu berkata.

“Jembel tua bangka yang sudah mau mampus, dengarlah baik-baik! Pinto ber­nama Bu Keng Cu, sedangkan dia itu adalah Suhengku bernama Bu Liang Cu. Ka­mi berdua adalah anak murid Im-yang-kauw di perbatasan dunia barat. Keda­tangan kami di Khong-sim Kai-pang ini adalah mewakili Bengcu (Pimpinan) kami yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam untuk memenuhi undangan pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang pimpinan Khong-sim Kai-pang yang menjadi sahabat kami dan tuan rumah, telah tewas di tangan Yu Kang Tianglo, tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam. Kalau kau sudah bosan hidup hendak mewakili Yu Kang Tianglo, silakan. Akan tetapi ja­ngan lupa bahwa pinto sudah menasi­hatimu supaya kau mundur saja karena kau bukanlah lawan pinto, jembel tua!”

Wajah Ciam-lokai menjadi pucat seka­li. Memang Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang aneh. Orang lain kalau marah akan merah sekali mukanya, akan tetapi Ciam-lokai menjadi pucat! Ia ma­rah karena merasa kalah bicara. Siapa kira, tosu ini pandai berdebat dan kini ia yang tadinya hendak menyombong, oleh tosu yang lemas lidah itu seakan-akan diseret turun menjadi terbalik keadaan­nya! Selagi ia memutar-mutar otak untuk mencari jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu itu sudah tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha! Nah, mukamu sudah pucat seperti mayat, jembel tua. Pinto khawatir kau akan roboh pingsan dan tewas karena takut! Lebih baik sebelum terlambat, kau mundurlah dan biarkan Yu Kang Tianglo saja yang melayani pinto!”

Ciam-lokai makin pucat, mulutnya bergerak-gerak namun tidak dapat me­ngeluarkan suara saking marahnya. Ia tahu bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang dalam hal kepandaian berdebat, rekannya Gak-lokai lebih pan­dai, maka ia hanya dapat menoleh ke arah Gak-lokai dengan muka masih pucat dan sinar mata minta bantuan.

“Heh-heh-heh, Saudara Ciam yang baik. Mengapa kau terheran-heran men­dengar tosu hidung kerbau Bu Keng Cu itu bernyanyi semerdu ini? Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak sekali­pun kalau hampir mampus dapat bernyanyi merdu? Akan tetapi Si Hidung Besar ini suaranya mengandung hawa busuk beracun, maka lebih baik lekas kauusir dia pergi!”

Muka Ciam-lokai yang tadi pucat kini menjadi merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu sambil menyeringai lebar. “Nah, kau sudah mendengar sendiri. Ma­sih tidak mau pergi? Besar-benar muka tebal!”

Bu Keng Cu marah sekali. Tanpa bicara lagi kembali ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan terdengar­lah suara nyaring seperti dua buah benda keras digosok. Kemudian secara tiba-tiba dan dengan dahsyat sekali, tosu itu sudah menerjang maju, kedua tangannya terbu­ka, yang kanan memukul ke arah ke­pala, yang kiri mencengkeram ke arah dada. Telapak tangannya berwarna hitam mengkilap dan ketika ia menerjang, sam­baran angin pukulannya dahsyat sekali.

Ciam-lokai terkejut dan cepat ia mengelak sambil meloncat ke kiri dan tongkat bututnya bergerak secara aneh, berkelebat cepat dan terdengarlah suara “plak-plak!” dua kali disusul seruan Bu Keng Cu yang tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.

Gak-lokai bersorak, diikuti oleh para pengemis bawahannya. Memang lucu se­kali pertandingan dalam gebrak pertama itu. Bu Keng Cu kelihatan amat dahsyat dan ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan Ciam-lokai amat cepat dan aneh dan dalam gebrakan pertama saja tong­kat bambunya sudah berhasil menggebuk punggung lawan dua kali dan mendorong pantat satu kali. Sayang bahwa gebuk­an-gebukan itu dilakukan terlalu cepat sehingga tak bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk dapat merobohkan lawan sekuat tosu itu.

Memang ilmu tongkat yang diperguna­kan oleh Ciam-lokai tadi amat luar bia­sa. Itulah ilmu tongkat Go-bwee-tung (Tongkat Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo. Gerakan-gerakannya aneh sekali dan ilmu tongkat ini sanggup un­tuk “mencuri” beberapa gebukan walau menghadapi ilmu silat yang amat tinggi sekalipun, karena sifat-sifatnya seperti ekor buaya yang dapat menyabet dari belakang tanpa diduga-duga lawan. Hanya sayangnya, Yu Jin Tianglo dahulu men­ciptakan ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum dan menghajar anak buah yang dahulu menyeleweng, maka semua pukulannya bukan merupakan pukulan maut. Dan karena Yu Jin Tianglo melihat bakat baik pada Ciam-lokai untuk men­jadi pimpinan pengemis maka ia sengaja menurunkan ilmu ini kepadanya.

Karena sifatnya hanya untuk meng­hukum, bukan membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung ini tentu saja tidak banyak paedahnya kalau diperguna­kan dalam pertandingan sungguh-sungguh di mana kedua lawan berusaha keras untuk merobohkan dan kalau perlu saling membunuh. Betapapun juga, melihat bah­wa dalam gebrakan pertama saja pe­ngemis tua itu sudah berhasil menggebuk lawannya, para pengemis yang pro ke­pada Ciam-lokai bersorak-sorai gembira. Sebaliknya Bu Keng Cu menjadi kaget sekali dan tak berani menganggap rendah lawannya yang ternyata memiliki ilmu tongkat yang hebat itu. Ia berseru keras dan menepuk-nepuk kedua telapak tangan­nya sehingga terdengar suara nyaring, dan kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak asap! Itulah puncak kehebatan penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang! Ke­mudian tosu itu kembali menyerang, kali ini terjangannya jauh lebih hebat dari­pada tadi, juga pukulannya cepat dengan kedua tangan bergerak-gerak secara aneh, yang kanan lambat-lambat akan tetapi yang kiri cepat-cepat.

Ciam-lokai bukan seorang bodoh. Su­dah banyak pengalamannya dalam ber­tempur, dan ia maklum pula akan keli­haian tosu ini. Ia tidak berani lagi main­-main dan mengandalkan Go-bwee-tung, maka ia cepat menggeser kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya, menghindar­kan. pukulan kiri lawan yang amat cepat datangnya itu. Akan tetapi siapa kira, begitu tubuhnya merendah tahu-tahu pukulan tangan kanan yang tadinya ber­gerak lambat, sudah tiba dan dari atas menghantam ke arah kepalanya! Ia kaget sekali dan cepat-cepat ia mengangkat tongkat menangkis sambil mengerahkan kedua tangannya yang memegang kedua ujung tongkatnya.

“Krakk!”

Tongkat itu patah menjadi dua! Ciam-lokai meloncat ke belakang dan wajahnya menjadi pucat. Bukan saja ia menderita malu, juga ia merasa sayang sekali bah­wa tongkat pusaka pemberian mendiang Yu Jin Tianglo itu kini patah menjadi dua!

Segera terdengar sorakan para pe­ngemis baju bersih yang berpihak kepada dua orang tosu ini, karena keadaan kini berubah untuk keuntungan Si Tosu. Ciam-lokai menggigit bibir dan ia menerjang maju dengan dua batang tongkat pendek di kedua tangan. Kini ia menyesal mengapa tadi ia tidak segera menggunakan siasat yang dibisikkan ketuanya kepada­nya. Maka kini begitu menerjang, ia segera menggunakan dua batang tongkat pendeknya untuk menghujani kedua siku tangan lawan dengan totokan-totokan cepat.

“Aiihhh....!” Bu Keng Cu berseru kaget dan sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk menghindarkan totokan itu. Di dalam hatinya, ia terkejut bukan main. Bagaimana kakek jembel ini dalam dua gebrakan saja sudah dapat menge­tahui kelemahan Ilmu Tiat-ciang-kang yang dipergunakannya?

Sampai tiga puluh jurus lebih, Ciam-lokai mendesak lawannya dengan totok­an-totokan maut yang dipusatkan pada kedua siku tangan lawan. Bu Keng Cu mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan totokan-totokan itu, ke­mudian secara tiba-tiba gerakannya ber­ubah. Sejurus gerakannya kasar dan ke­ras, pada jurus berikutnya berubah halus lembek, kemudian berubah lagi. Dalam lima enam jurus saja Ciam-lokai sudah hampir terkena tusukan jari tangan yang sekeras baja, dan untung ia masih sem­pat membuang tubuh ke belakang sehing­ga hanya ujung bajunya yang bolong ke­tika tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari menusuk ujung baju bisa bolong menya­takan bahwa jari-jari itu cukup kuat untuk menusuk bolong logam keras!

Setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu silat aneh yang sebentar lembek sebentar keras, cepat dan lambat berganti-ganti dan selalu berubah, Ciam-lokai menjadi ter­desak hebat. Kini sukar baginya untuk mengancam kedua siku lawan, karena kedua tangan lawan itu melakukan ge­rakan-gerakan yang selalu berubah sifat­nya sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.

Suling Emas yang menyaksikan jalannya. pertandingan sejak tadi, diam-diam harus mengakui keunggulan tosu itu atas ke­pandaian Ciam-lokai. Apalagi ketika tosu itu mainkan ilmu silat yang dikenalnya sebagai Ilmu Silat Im-yang-kun, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan tewas dalam pertempuran ini. Maka ia lalu mengerah­kan tenaga khi-kangnya, mulutnya ber­kemak-kemik tanpa mengeluarkan suara.

Akan tetapi, Ciam-lokai yang sedang sibuk menghadapi desakan lawan yang lihai, tiba-tiba mendengar suara ketuanya itu berbisik jelas sekali di pinggir te­linganya. “Hantam lutut kanannya, totok pundak kirinya!”

Ciam-lokai yang sedang terdesak he­bat dan sibuk menyelamatkan diri itu, mendengar suara ketuanya, secara mem­buta lalu mentaati anjuranini. Ia menggerakkan kedua tangan secara beruntun, menghantamkan tongkat kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan tongkat kanannya menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri.

Bu Keng Cu terkejut setengah mati. Memang pada saat itu, biarpun ia sedang mendesak lawan, bagian lutut kanan dan pundak kiri inilah yang terbuka, sedang­kan perubahan gerak jembel tua itu be­nar-benar aneh dan tidak terduga, begitu langsung menyerang dua bagian yang lemah ini. Hampir saja lutut kanannya kena dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang lalu menerjang maju lagi dengan kemarahan meluap.

“Hantam pelipis kirinya dan totok lambung kanannya!”

Kembali Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan hati girang setelah melihat betapa petunjuk pertama tadi hampir berhasil. Kembali Bu Keng Cu kaget setengah mati dan hanya dengan susah payah ia mampu membebaskan diri dari bahaya maut. Ia terheran-heran dan ma­kin penasaran dan marah. Jelas bahwa ia menang unggul dan ia sudah yakin akan memperoleh kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan terdesak, jembel itu secara tiba-tiba merobah gerakan secara begitu aneh, kadang-kadang berla­wanan dengan gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang bermain silat lagi, akan tetapi selalu tepat menyerang ba­gian-bagian tubuhnya yang tak terjaga?

Apakah jembel ini mempunyai “mata ke tiga” yang dapat melihat bagian-bagian terbuka itu? Hal seperti ini hanya dapat dan mungkin dilakukan oleh orang yang sudah mengenal ilmu silatnya Im-yang-kun. Akan tetapi andaikata Si Jembel Tua ini mengenal bahkan ahli dalam ilmu silat Im-yang-kun, mengapa gerakan-ge­rakannya begitu tiba-tiba dan seperti dipaksakan?

“Injak kaki kirinya dan tusuk perut­nya, kalau ia membalik, tendang pantat­nya!” kembali bisikan itu diturut oleh Ciam-lokai dengan taat. Pada saat itu Bu Keng Cu sedang mendesaknya dengan tendangan kaki kanan dan ia baru saja menyelinap ke kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia lalu mengangkat kakinya menginjak secara tiba-tiba dan keras ke arah kaki kiri tosu itu, berbareng ia me­nusukkan tongkatnya ke arah pusar la­wan.

“Hayaaaa....!” Bu Keng Cu terkejut dan cepat ia memutar tubuh untuk menghindarkan dua serangan berbahaya ini. Akan tetapi siapa duga baru saja tubuhnya terputar, sebuah tendangan tepat mengenai pantatnya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlem­par ke bawah panggung!

Tepuk sorak riuh-rendah menyambut kemenangan Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis pengikut kaum sesat men­jadi pucat wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan diri sebagai utusan Bu-tek Siu-lam itu ternyata hanya sebuah gentong kosong belaka, kalah oleh Ciam-lokai yang tua dan kurus kering!

Pada saat itu, di antara riuh-rendah­nya para pengemis yang menjagoi Ciam­-lokai bersorak-sorak, berkelebat bayangan Bu Liang Cu, dan begitu berhadapan dengan Ciam-lokai, ia langsung mengirim serangan bertubi-tubi, mengeluarkan ju­rus-jurus paling lihai dari Im-yang-kun. Kiranya tosu yang menjadi suheng Bu Keng Cu ini tadi juga menyaksikan ke­anehan terjadi dalam pertandingan itu. Ia yakin bahwa Im-yang-kun mengatasi ilmu silat Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada saat-saat tertentu jembel itu me­rubah gerakannya dan begitu tepat me­ngisi lowongan yang melemahkan perta­hanannya? Oleh karena inilah, dengan hati penasaran ia lalu maju dan langsung menggunakan jurus-jurus Im-yang-kun untuk mencoba apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan ahli Ilmu Silat Im-yang-kun. Hebat bukan main terjangan Bu Liang Cu karena ia lebih pandai dari pada sutenya!

Karena kejadian ini tak terduga-duga dan tiba-tiba, maka Ciam-lokai tak dapat mengharapkan bisikan-bisikan ketuanya, maka cepat ia memutar kedua tongkat dan meloncat ke belakang. Akan tetapi karena perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan serangan tangan kanan Bu Liang Cu, ia kurang cepat menghindar ketika tangan kiri tosu itu bergerak ce­pat sekali menyambar pergelangan tangan kanannya. Jari-jari tosu itu sudah me­nyentuh kulit lengannya. Ciam-lokai terkejut, menarik tangannya. Akan teta­pi ia tidak dapat mencegah lagi tongkat­nya yang di tangan kanan terampas se­dangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang! Keadaannya berbahaya sekali karena jika tosu itu melanjutkan serang­annya, celakalah ia!

“Heh, tosu bau, jangan main curang kau.” Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju menghadapi Bu Liang Cu. “Lawanmu adalah aku karena rekanku Ciam-lokai sudah mengalahkan kawanmu!”

Tosu itu berdongak dan tertawa ber­gelak. “Ha-ha-ha-ha! Siapa yang curang? Suteku tidak pernah kalah oleh jembel busuk itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu!”

“Benar! Mari kita hadapi mereka, Su­heng. Hayo majulah dan biar kita lihat bersama apakah benar kalian berdua dapat mengalahkan kami!” Bu Keng Cu berseru dan ia pun sudah melompat lagi, ke atas panggung, berdiri dekat suheng­nya. Ia memang tidak terluka. Kini ke­dua orang tosu itu berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda Im-yang-kun. Ilmu silat Im-yang-kun ini memang hebat, akan tetapi kalau dimainkan oleh dua orang, lebih ampuh lagi.

Gak-lokai yang tidak tahu akan ban­tuan yang dilakukan diam-diam oleh Su­ling Emas kepada Ciam-lokai, menjadi marah sekali. “Saudaraku Ciam, mari kita hajar dua orang tosu kerbau ini!”

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus Suling Emas. “Tahan dulu Gak-lokai dan Ciam-lokai, kalian mundurlah. Aku hendak bicara dengan mereka.”

Karena ketua mereka yang memberi perintah, biarpun ogah-ogahan, kedua orang kakek pengemis itu lalu mundur. Suling Emas lalu melangkah maju dengan langkah perlahan dan tenang, menghadapi dua orang tosu yang sudah siap-siap un­tuk mengadu nyawa. Biarpun ia menyamar sebagai ketua kai-pang namun Suling Emas tak dapat menyembunyikan sikap­nya yang halus dan sopan terhadap go­longan pendeta. Maka ia segera menjura dengan hormat dan berkata.

“Ji-wi Toyu, sudah lama sekali saya mendengar tentang Im-yang-kauw sebagai sebuah perkumpulan agama yang besar di perbatasan barat, bahkan pernah saya mendapat kehormatan beramah-tamah dengan Kauwcu (Ketua Agama) Sin-hong Locianpwe. Menurut pendapat saya, jalan hidup yang ditempuh golongan Ji-wi (Tuan Berdua) dan golongan kai-pang tidaklah banyak bedanya. Namun, dalam urusan partai masing-masing, tidak sela­yaknya kalau kedua pihak saling mencam­puri. Harap Ji-wi sudi mendengar alasan­ku ini dan persilakan Ji-wi menghentikan semua kesalahpahaman ini.”

Dua orang tosu itu saling pandang, kemudian Bu Liang Cu yang beralis putih segera berkata, lagaknya angkuh, “Yu Kang Tianglo, bagaimana pinto berdua dapat bicara dengan orang yang hanya mengaku bernama Yu Kang Tianglo akan tetapi yang menutupi mukanya?”

Suling Emas menarik napas panjang. “Sesungguhnya saya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi mendengar betapa kai-pang-kai-pang dicemarkan oleh penyelundup-penyelundup sesat, terpaksa saya turun tangan. Hanya karena kepentingan kai-pang saya turun tangan, bukan kepentingan pribadi, maka apa perlunya saya memperkenalkan muka? Harap Ji-wi Toyu suka memandang perkenalan saya dengan Sin-hong Locianpwe Kauwcu dari Im-yang-kauw dan menghabiskan permusuhan yang tiada sebabnya ini.”

Tiba-tiba kedua orang tosu itu ter­tawa mengejek dan kini Bu Keng Cu yang berkata dengan suara nyaring, agaknya dengan maksud agar didengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.

“Ha-ha! Perkenalanmu dengan Sin­hong Locianpwe tak perlu kausombong­kan! Kakek itu sudah tewas karena kesalahan terhadap Locianpwe Bu-tek Siu-lam! Kini Locianpwe Bu-tek Siu-lam yang memimpin kami, bahkan beliau pula yang akan memimpin semua kai-pang di dunia. Engkau ini berani lancang tangan mem­bunuh lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi bengcu di sini tanpa perkenan Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sungguh tak tahu diri!”

Suling Emas adalah orang yang sudah matang jiwanya. Kesabarannya sudah sam­pai pada dasar batinnya, maka ia pun tidak marah mendengar ucapan yang sombong ini. Namun, ia terkejut juga mendengar bahwa Ketua Im-yang-kauw yang memang pernah dikenalnya itu tewas di tangan Bu-tek Siu-lam. Ia tahu bahwa Ketua Im­-yang-kauw itu seorang pendeta yang suci, juga memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau Ketua Im-yang-kauw itu sampai terbunuh oleh Bu-tek Siu-lam, terbuktilah berita bahwa Bu-tek Siu-lam memiliki kepandaian yang hebat. Jelas bahwa to­koh ini merupakan ancaman di dunia.

“Hemm, Ji-wi Toyu tak dapat mene­rima kata-kata halus. Masa bodoh dan terserahlah, karena saya sebagai orang Khong-sim Kai-pang, tetap hendak mem­pertahankan kai-pang dari tangan-tangan jahat, juga menghukum mereka yang menyeleweng daripada peraturan kai-pang.”

“Bagus. Tadi dengan Coam-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) kau telah mem­bantu kakek jembel dan mengalahkan Suteku secara curang. Sekarang lawanlah kami berdua secara berterang. Hendak kami lihat apakah kau pantas menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang.”

Dengan sikap tenang Suling Emas menjawab. “Ji-wi Toyu, silakan maju. Saya siap menerima pengajaran!” Suling Emas maklum bahwa dua orang tosu ini pun merupakan penyeleweng-penyeleweng daripada agama mereka maka ia meng­anggap perlu memberi hajaran kepada mereka, selain demi kebaikan mereka sendiri, juga agar menundukkan sikap para pengemis yang hendak menyeleweng mengandalkan pengaruh luar. Pernah ia bertemu dengan Ketua Im-yang-kauw yang berjuluk Sin-hong (Angin Sakti), dan mereka telah bertukar pendapat tentang ilmu silat. Ketua Im-yang-kauw itu me­rasa tunduk akan pengertian Suling Emas, bahkan berterima kasih sekali karena mendapat petunjuk-petunjuk berharga, maka sebagai balas kebaikan, ketua itu telah memberikan dasar-dasar Im-yang-kun dan minta supaya ditunjuk kesalahan-kesalahannya. Karena ini maka tentu Suling Emas sudah mengenal baik dasar gerakan Im-yang-kun sehingga tadi ia dapat memberi petunjuk kepada Ciam­lokai untuk mengatasi lawan.

Dua orang tosu itu, apalagi Bu Liang Cu, maklum bahwa ketua kai-pang ini amat lihai. Seorang yang sudah dapat menguasai Ilmu Coam-im-kang, yaitu mengirim suara dari jarak jauh dengan kekuatan khikang, adalah seorang yang sudah memiliki tenaga sakti yang hebat. Akan tetapi karena mereka berdua yakin akan kedahsyatan Im-yang-kun yang di­mainkan oleh mereka berdua maka me­reka tidak menjadi gentar dan ingin menebus kekalahan yang tadi.

Dari kiri dan kanan, dua orang tosu itu lalu menyerang. Bu Liang Cu meng­gunakan Im-kang (Tenaga Lemas) me­nyerang dari kiri, mengarah lambung dengan pukulan yang amat perlahan dan lambat, sebaliknya dari kanan Bu Keng Cu sudah menerjang dengan cepat dan kuat sekali, mempergunakan Yang-kang (Tenaga Kasar). Kehebatan Im-yang-kun ini adalah perubahan dua macam tenaga yang berlawanan. Dua orang tosu itu dapat sewaktu-waktu merobah tenaga mereka sehingga lawan yang dikeroyok dua akan menjadi bingung menghadapi penyerangan-penyerangan tenaga yang berlawanan dan berubah selalu itu. Suling Emas maklum akan hal ini, akan tetapi tentu saja ia sama sekali tidak bingung karenanya. Apalagi baru dua orang tosu itu, biar ketuanya sendiri belum mampu menandingi ilmu-ilmunya. Begitu melihat datangnya serangan dua orang tosu yang berlawanan tenaganya dan dilakukan se­cara berbareng ini, Suling Emas sama sekali tidak mengelak maupun menangkis. Pukulan dari kiri ke arah lambung dan dari kanan menuju leher itu diterimanya sambil mengerahkan Iweekang, kedua tangannya bergerak dan mulutnya berseru, “Pergilah!”

“Desss...., plakkk....! Wuuuuttt....!”

Dua pukulan itu tepat mengenai lam­bung kiri dan leher kanan Suling Emas, akan tetapi tubuh pendekar sakti itu bergoyang sedikit pun tidak, sebaliknya kedua tangannya sudah menerkam baju kedua lawan bagian dada dan sekali ia menggerakkan kedua lengan, tubuh dua orang tosu itu terlempar jauh ke bawah panggung!

Kedua tosu itu kaget setengah mam­pus. Akan tetapi mereka bersyukur sekali bahwa lawan yang sakti itu masih me­naruh kasihan kepada mereka sehingga mereka terbanting ke atas tanah dalam keadaan berdiri sehingga hanya terhuyung-huyung saja. Kalau terbanting dengan kepala atau badan lebih dahulu, setidak­nya mereka tentu akan babak-belur! Tahulah mereka bahwa “Yu Kang Tianglo” itu benar-benar amat lihai, maka tanpa banyak cakap lagi mereka berdua lalu ngeloyor pergi secepatnya.

Semua pengemis yang setia bersorak. Sebaliknya mereka yang menyeleweng menjadi pucat dan berlutut ketakutan. Akan tetapi Suling Emas mengampuni mereka, hanya menyuruh mereka itu me­ngaku terus terang akan penyelewengan mereka, mengembalikan semua rampasan kepada yang berhak. Gak-lokai dan Ciam-lokai membantu Suling Emas me­neliti semua bekas penyeleweng, menurunkan kedudukan dan bahkan membagi-­bagi hukuman yang ringan namun cukup meyakinkan hati mereka.

Atas permohonan Gak-lokai dan Ciam­-lokai, Suling Emas tinggal di kuil itu sampai beberapa lama untuk menjaga kalau-kalau golongan sesat datang lagi mengacau.

“Harap Pangcu menaruh kasihan ke­pada kami semua,” demikian kata Gak-lokai. “Kekalahan pihak sesat yang tadi­nya menguasai Khong-sim Kai-pang, tentu takkan diterima begitu saja oleh kawan-kawan mereka. Di samping itu, juga kemenangan dan kembalinya Pangcu di sini akan membangkitkan semangat bagi para anggauta kai-pang yang lain. Biarlah kesempatan ini kita pergunakan untuk mengundang, kai-pang-kai-pang lain sehingga terdapat kesatuan yang kuat untuk menghadapi gangguan kaum sesat. Setelah Pangcu memimpin pertemuan itu dan keadaan kita benar-benar kuat, baru­lah Pangcu dapat meninggalkan kami.”

Suling Emas merasa kasihan dan me­nyatakan kesanggupannya. Semua penge­mis menjadi gembira sekali dan undangan lalu dikirim. Bendera Khong-sim Kai­-pang kini berkibar megah di atas kuil. Di waktu senggang, Suling Emas menurunkan beberapa ilmu pukulan untuk menyem­purnakan kepandaian Gak-lokai dan Ciam­-lokai yang ia harapkan akan memimpin Khong-sim Kai-pang kalau ia meninggal­kan kai-pang itu. Dua orang kakek itu menjadi girang sekali dan karena mereka itu memang dua orang ahli yang sudah tahu akan dasar-dasar ilmu silat tinggi, maka dalam beberapa hari saja mereka dapat menguasai rahasia ilmu pukulan yang diajarkan Suling Emas.

Beberapa hari kemudian, hari yang ditentukan untuk pertemuan para kai­pang telah tiba. Semenjak pagi, kuil yang menjadi pusat Khong-sim Kai-pang di­kunjungi banyak sekali rombongan pe­ngemis yang dipimpin ketua masing-ma­sing. Mereka ini datang dari segala pen­juru, merupakan kai-pang-kai-pang yang membawa bendera perkumpulan masing-masing. Ban-hwa Kai-pang dari Sin-yang, Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang), Ang-tung Kai-pang (Tong­kat Merah) dan masih banyak lagi kai-pang lain yang hadir. Diantaranya malah tampak wakil-wakil dari Hek-coa Kai­-pang dan Hek-peng Kai-pang yang tam­pak mencolok dengan pakaian mereka yang bersih dan mentereng!

Tentu saja Suling Emas yang berpan­dangan tajam itu dapat menduga kai-pang mana yang menyeleweng dari pada jalan benar, namun sebagai seorang yang bijaksana, ia memerintahkan Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menerima semua kai-pang itu dengan penghormatan yang sama. Semua bendera kai-pang yang menjadi tamu dipasang di sekeliling panggung di mana berkibar bendera Khong-sim Kai-pang, dan para wakil pim­pinan kai-pang-kai-pang itu dipersilakan duduk di sebelah kanan panggung, menduduki kursi-kursi yang berhadapan de­ngan kursi ketua yang diduduki oleh Su­ling Emas sendiri. Semua anak buah partai-partai ,pengemis itu duduk menge­lilingi panggung, ada yang duduk ada yang berjongkok, ada yang berdiri.

Pada saat itu, di sebelah luar kum­pulan pengemis yang mengelilingi pang­gung itu, terdapat seorang pengemis muda yang tampan dan seorang gadis cantik. Mereka ini bukan lain adalah Yu Siang Ki dan Kwi Lan! Wajah Siang Ki agak pucat dan sepasang matanya terbelalak penuh ketegangan. Ia sama sekali tidak peduli ketika beberapa orang pe­ngemis yang duduknya paling belakang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kemarahan. Mereka itu adalah pengemis-pengemis baju butut yang tentu saja menjadi marah melihat Siang Ki yang berpakaian bersih, mengira bahwa pengemis muda ini tentulah golongan para pengemis aliran baru, yaitu penge­mis-pengemis baju bersih yang dipimpin kaum sesat.

Hati Yu Siang Ki terlampau tegang untuk memperhatikan sikap mereka itu. Ia memandang ke atas panggung, sinar matanya berkilat-kilat ketika ia melihat seorang kakek pengemis bertopi lebar dengan muka ditutup saputangan duduk di atas kursi ketua Khong-sim Kai-pang.

“Siang Ki, kenapa kau tidak maju dan terjang badut tua itu?” tanya Kwi Lan ketika menyaksikan sikap pemuda teman barunya ini.

Yu Siang Ki menggeleng kepala, lalu menjawab sambil menggerakkan tangan kiri menunjuk ke arah Suling Emas. “Tidak boleh aku berlaku lancang, Kwi Lan. Memang ketika mendengar dari pengemis-pengemis di sepanjang jalan bahwa ada orang yang mengaku sebagai Ayahku datang merampas kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang, aku menjadi marah sekali dan berniat untuk membuka kedoknya dan menyerangnya. Akan tetapi setelah tiba di sini, aku menjadi ragu­-ragu. Demi menjaga nama baik Khong-sim Kai-pang, aku harus bersabar. Me­nurut cerita mereka itu, orang yang mengaku sebagai Ayahku amat aneh dan tinggi ilmunya, bahkan telah membunuh oknum-oknum jahat yang memegang pim­pinan Khong-sim Kai-pang, bahkan menghukum para anggauta yang menyeleweng, juga ia dibantu oleh Gak-lokai dan Ciam-lokai, dua tokoh Khong-sim Kai-pang yang dulu menjadi sahabat baik dan pembantu Kakek Yu Jin Tianglo. Aku harus menyaksikan dulu sepak terjangnya, siapa tahu dia itu seorang tokoh pengemis yang berusaha menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari tangan oknum­-oknum jahat dengan menggunakan nama Ayah untuk mencari wibawa.”

Kwi Lan mengangguk-angguk. Ia heran mengapa pemuda ini berpikir sedalam itu padahal kalau menurut dia, orang yang memalsukan Yu Kang Tianglo yang sudah meninggal, wajib dikutuk dan dihajar! Coba seandainya yang menghadapi urusan itu dia sendiri, atau orang-orang seperti Tang Hauw Lam si Berandal atau Siang­koan Li tentu takkan menunggu-nunggu dan melihat gelagat. Memang pengemis muda ini lain lagi sifatnya, hati-hati dan berpandangan luas. Betapapun juga ka­rena yang dipalsukan namanya adalah ayah pemuda ini, bukan ayahnya, maka ia pun tinggal diam saja menanti perkembangannya lebih lanjut.

“Orang sesabar dan selemah engkau baru sekali ini kujumpai!” omelnya sambil memandang wajah yang terlalu tampan untuk menjadi wajah seorang pengemis itu.

Yu Siang Ki juga memandang. Pan­dang mata mereka bentrok, bertaut se­jenak dan pemuda itu tersenyum.

“Sebelum tahu betul apa kehendak orang itu memalsukan nama Ayah, bagai­mana aku dapat bertindak? Ayah sendiri memesan agar aku berusaha membela dan membersihkan Khong-sim Kai-pang. Kalau orang aneh yang memalsukan nama Ayah itu bermaksud baik dan membela Khong-sim Kai-pang, andaikata Ayah sendiri masih hidup dan berada di sini, tentu beliau juga tidak akan mengha­langinya.”

Kwi Lan tidak berkata apa-apa lagi dan ia hanya menurut ketika pemuda itu mengajaknya memilih tempat di belakang akan tetapi dari mana mereka dapat memandang, ke atas panggung cukup jelas. Mereka berdua duduk dan menon­ton dengan penuh perhatian.

Makin lama makin banyaklah penge­mis yang datang memenuhi pekarangan depan kuil yang menjadi markas Khong-sim Kai-pang itu. Kemudian tampak Gak-lokai dan Ciam-lokai melangkah maju, memberi hormat kepada Suling Emas, kemudian mereka berdua menjura ke arah belasan orang yang duduk di kursi kehormatan yaitu para pimpinan kai-pang-kai-pang lain yang menjadi tamu. Sebagai wakil Khong-sim Kai-pang yang menjadi tuan rumah, Gak-lokai lalu berkata suara­nya lantang dan jelas.

“Saudara sekalian yang kami undang telah sudi datang memenuhi undangan, hal ini amat menggembirakan karena jelas ternyata bahwa persatuan diantara kai-pang masih erat. Kami mengundang Saudara sekalian untuk mempererat per­satuan ini dan hendak memperkenalkan Saudara tua kami yang telah puluhan tahun mengasingkan diri dan kini ber­kenan kembali untuk memimpin kita sekalian, yaitu Yu Kang Tianglo, Pangcu (Ketua) Khong-sim Kai-pang!”

Tepuk sorak menyambut ucapan ini dan Suling Emas segera bangkit dari tempat duduknya, berdiri dan menjura ke sekeliling panggung. Melihat tubuh Suling Emas yang tinggi besar dan tegap, se­pasang mata di bawah topi lebar yang tajam berkilat, muka yang bagian bawahnya ditutupi saputangan, semua pengemis memandang dengan bermacam-macam perasaan. Ada yang heran, ada yang kagum, penuh harapan, curiga dan seba­gainya. Puluhan tahun yang lalu, Yu Kang Tianglo muncul untuk membunuh It-gan Kai-ong kemudian melenyapkan diri kembali. Tak seorang pun di antara para pengemis yang belum mendengar namanya, namun tidak ada yang pernah melihat mukanya. Kini tokoh besar itu muncul lagi dengan muka tertutup se­hingga bermacam dugaan yang aneh-aneh timbul. Ketika Suling Emas berdiri, ke­adaan menjadi sunyi dan semua orang menanti dengan hati berdebar untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan oleh Yu Kang Tianglo, tokoh pengemis yang tak pernah dijumpai orang namun namanya amat terkenal itu.

Dua pasang mata memandang ke arah Suling Emas dengan penuh perhatian dan juga dengan terheran-heran betapa be­raninya memalsukan nama orang yang sudah meninggal dunia. Kwi Lan terheran bercampur marah sedangkan Yu Siang Ki terheran dan ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa kehendaknya.

“Saudara-saudara para pimpinan dan anggauta kai-pang!” Suara Suling Emas lantang dan nyaring, akan tetapi halus. “Maafkan bahwa saya menutupi muka, karena memang sesungguhnya bukan mak­sud saya mencari ketenaran diri dengan hadir saya di sini. Sudah semenjak dahulu saya selalu berusaha menyembunyikan diri dan menjauhkan diri dari pada urus­an dunia. Akan tetapi, dua kali saya ter­paksa menampilkan diri, pertama kali dahulu di waktu It-gan Kai-ong mengo­torkan dunia pengemis dengan kejahatan­nya. Sekarang, mendengar betapa dunia pengemis kembali diselundupi kaum sesat, mau tidak mau saya terpaksa menampil­kan diri untuk menegakkan kembali kebenaran dan kebersihan di dunia penge­mis. Terutama sekali Khong-sim Kai­-pang yang semenjak mendiang Ayah saya dahulu merupakan kai-pang yang bersih dan gagah ternyata telah diselundupi oknum-oknum jahat yang mengangkat diri sendiri menjadi pimpinan dan menyelewengkan kai-pang ke jalan sesat. Terpaksa saya turun tangan membasmi mereka. Karena itu, dalam kesempatan ini saya peringatkan kepada saudara-saudara pim­pinan kai-pang lain agar berhati-hati dan bersatu padu untuk menghalau kaum sesat yang hendak mencari tempat dan me­nguasai kai-pang.”

“Bagus, bagus.”

“Akur....! Akur....!”

Para pengemis bertepuk sorak. Yu Siang Ki mengangguk-angguk dan hatinya lega. Kiranya benar seperti dugaannya. Orang aneh ini sengaja memalsukan nama mendiang ayahnya dengan maksud baik, yaitu hendak mengandalkan nama ayah­nya untuk mempengaruhi kai-pang dan mengajak mereka melawan kaum sesat. Ia menoleh ke arah Kwi Lan yang juga memandang ke atas panggung dengan mata terbelalak. Pada saat itu, Kwi Lan menyentuh tangannya.

“Siang Ki, lihat....!”

Yu Siang Ki cepat menengok dan ma­tanya tajam masih sempat melihat sinar hitam melayang ke arah leher dan lam­bung orang aneh yang memalsukan nama ayahnya itu. Jelas bahwa sinar itu adalah senjata rahasia yang halus sekali, yaitu jarum-jarum rahasia!

“Celaka!” bisiknya khawatir. Akan tetapi ia dan Kwi Lan memandang de­ngan melongo ketika Suling Emas dengan tenang menerima jarum-jarum itu dengan leher dan lambung, kemudian tangan ki­rinya seperti mengusir lalat di leher dan lambungnya dan sekali tangannya berge­rak, sinar hitam melesat dan jarum-ja­rum itu sudah di “retour” kembali kepada pengirimnya, namun dengan kecepatan dan kekuatan yang dahsyat sekali. Ter­dengar jerit-jerit kesakitan dan dua orang pengemis baju bersih yang berdiri di antara banyak pengemis itu roboh dan tewas seketika karena leher dan lambung mereka termakan jarum rahasia mereka sendiri!

Hanya para pengemis yang sudah tinggi ilmunya saja menyaksikan gerakan Suling Emas dan maklum apa yang telah terjadi. Yang tidak begitu tinggi ilmunya terheran-heran dan tidak tahu apa yang terjadi sehingga keadaan menjadi panik.

Suling Emas mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat kepada semua orang agar tidak menjadi panik. Kemudi­an terdengar suaranya lantang.

“Harap Saudara semua tenang. Mati­nya dua orang itu menjadi peringatan bagi kita bahwa di mana-mana kaum sesat sudah menyelundup sehingga perlu kita waspada karena mereka berdua itu adalah orang-orang jahat yang berusaha untuk membunuh saya. Sebaliknya pihak kaum sesat juga telah mendapat peri­ngatan!” Suara ini tegas dan penuh wi­bawa.

“Mereka itu pengemis baju bersih! Basmi para pengemis baju bersih yang jahat!” Terdengar teriakan-teriakan ma­rah.

Kembali Suling Emas mengangkat tangannya. “Dengarlah baik-baik! Menilai orang bukan dari pakaian bersih atau kotor! Menilai orang harus dari sepak terjangnya, dari perbuatannya! Pengemis memang orang miskin. Sedapat mungkin orang harus berpakaian bersih dan baik, akan tetapi kalau tidak ada, apa boleh buat, kotor pakaiannya asal tidak kotor hati dan pikirannya. Orang-orang yang pernah menyeleweng dari pada kebenaran bukan sekali-kali berarti bahwa mereka itu selama hidupnya menjadi orang-orang jahat yang harus dikutuk! Karena itu, kami anjurkan kepada saudara-saudara kaum kai-pang yang pernah menyeleweng, kembalilah ke jalan benar dan bertobat­lah. Apabila kalian tidak insyaf, kami kaum kai-pang yang sudah bersatu akan membasmi kalian!”

Kembali tepuk sorak menyambut ucapan yang lantang dan penuh semangat dari Suling Emas ini, karena semua orang menyetujui pendiriannya. Akan tetapi tentu saja tidak termasuk mereka yang memang hadir dengan maksud menentang, seperti rombongan Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dua kai-pang ini memang sudah seluruhnya dikuasai kaum sesat, bahkan dua kai-pang ini pula yang belum lama ini mengadakan pertemuan di dunia kaum sesat untuk membicarakan soal pemilihan bengcu golongan hitam.

Oleh karena itu, kedatangan dua rom­bongan ini tentu saja berdasarkan menye­lidik dan juga untuk menghalangi perge­rakan kaum pengemis yang dipimpin oleh Yu Kang Tianglo. Bahkan dua orang pengemis yang tewas karena senjata jarum mereka diretour oleh Suling Emas tadi adalah anggauta-anggauta Hek-coa Kai-pang.

Di antara tepuk sorak gemuruh itu, tiba-tiba terdengar suara nyaring yang mengatasi kegaduhan itu. “Siapa di anta­ra kita yang mampu menandingi Locian­pwe Bu-tek Siu-lam?”

Pernyataan nyaring yang entah dike­luarkan oleh siapa ini menusuk telinga semua orang dan seketika kegaduhan ter­henti, tak seorang pun berani mengeluar­kan suara lagi. Pada saat itu dua orang kakek pengemis sudah melompat bangun dari barisan kursi pimpinan kai-pang yang menjadi tamu. Mereka ini lalu melangkah maju ke tengah panggung, menghadapi semua pengemis yang hadir. Keduanya adalah kakek yang usianya sudah enam puluh tahun, berpakaian sebagai pengemis akan tetapi pakaian mereka bersih dan baru yang sengaja ditambal-tambal. Me­reka ini memegang tongkat panjang dan melihat betapa pada baju bagian dada mereka terdapat gambar garuda dan ular, maka mudah diduga bahwa mereka tentu­lah tokoh-tokoh dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dan memang betul sekali. Kakek yang baju di dadanya tergambar garuda hitam adalah seorang tokoh Hek-peng Kai-pang, sedangkan yang dadanya tergambar ular hitam ada­lah seorang tokoh Hek-coa Kai-pang.

Sejak tadi, kehadiran rombongan Hek-coa Kai-pang dan Hek-peng Kai-pang sudah merupakan hal yang menimbulkan tegang di hati para pengemis karena mereka semua itu tahu dengan jelas siapakah mereka ini. Boleh dibilang pada waktu itu, pelopor para kai-pang yang menggabung dengan kaum sesat adalah dua buah perkumpulan inilah. Maka semua orang sudah dapat menduga bah­wa munculnya tokoh-tokoh dua kai-pang ini tentulah mengandung maksud kurang baik. Kini melihat dua orang kakek ini muncul di panggung, semua orang diam dan memandang penuh perhatian.

Kakek yang dadanya bergambar ular hitam itu tubuhnya kecil tinggi, kepala­nya besar. Setelah memandang ke sekeli­ling ia lalu berkata.

“Kami adalah wakil dari Hek-coa Kai-pang. Mendengar uraian pangcu dari Khong-sim Kai-pang tadi, kami setuju sekali. Memang di antara kai-pang harus diadakan persatuan erat untuk mengha­dapi musuh-musuh kita! Dan untuk mem­perkuat para kai-pang kita harus memilih seorang pemimpin yang cakap. Kami dari pihak Hek-coa Kai-pang dan juga sau­dara-saudara kita dari Hek-peng Kai-pang dalam pertemuan orang-orang gagah telah bersepakat untuk mengangkat Lo­cianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai bengcu kita.”

“Benar apa yang diucapkan oleh Sau­dara dari Hek-coa Kai-pang ini!” kata kakek ke dua yang dadanya bergambar garuda hitam. Kakek ini mukanya merah dan matanya sipit sampai hampir terpe­jam selalu, tapi mulut lebar dan bibirnya tebal sekali. “Hanya di bawah bimbingan seorang Locianpwe yang sakti seperti Bu­-tek Siu-lam saja maka derajat golongan kita dapat terangkat. Kami rasa Yu Kang Tianglo dari Khong-sim Kai-pang cukup bijaksana untuk menyadari hal ini dan menyetujui pengangkatan Locianpwe Bu-tek Siu-lam sebagai pimpinan terting­gi semua kai-pang!”

Para pengemis menyambut ucapan dua orang kakek itu dengan berbisik. Dari rombongan pimpinan kai-pang sudah me­loncat maju lagi dua orang kakek penge­mis berpakaian butut. Seorang di antara mereka berteriak.

“Apa? Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu kita? Setelah ia membunuh secara keji dua ratus orang golongan kita?”

Yang berteriak ini adalah Ketua Ang-­tung Kai-pang, seorang kakek bertubuh kecil pendek akan tetapi bermata lebar. Ia memutar-mutar tongkat merahnya dengan sikap marah sekali. Ketika Bu-tek Siu-lam melakukan pembunuhan ter­hadap dua ratus orang pengemis, belasan orang pengemis anak buahnya ikut ter­bunuh, maka tentu saja ia marah-marah mendengar betapa dua orang kakek itu hendak mengangkat Bu-tek Siu-lam menjadi bengcu.

“Cocok! Tidak sudi kami menerima tokoh jahat itu menjadi bengcu!” Teriak pula pengemis ke dua yang sudah melon­cat maju. Dia ini adalah wakil dari Ban-hwa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Laksaan Bunga).

“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai­pang memang perkumpulan yang menye­leweng dan bersekongkol dengan kaum sesat!” Teriakan-teriakan itu terdengar saling bantah dan suasana menjadi berisik sekali melebihi pasar.

“Yang dibunuh adalah pengemis-penge­mis jahat!”

“Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang menyenangkan hidup anak buahnya!”

“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”

Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang pro kepada tokoh yang diusulkan menjadi bengcu itu.

“Basmi penyeleweng-penyeleweng!” “Basmi Hek-peng Kai-pang dan Hek­-coa Kai-pang!”

“Bu-tek Siu-lam musuh besar kai­pang!”

Demikianlah sorakan-sorakan mereka yang anti sehingga keadaan menjadi ribut dan tegang karena setiap saat dapat timbul perang saudara antara para pe­ngemis ini. Gak-lokai dan Ciam-lokai menjadi pucat wajahnya dan mereka sudah hendak bergerak, akan tetapi Su­ling Emas mencegah dan berkata halus.

“Biarkan saja. Malah lebih baik. De­ngan begini kita dapat melihat siapakah di antara mereka yang menyeleweng. Kalau mereka sudah menyatakan penda­pat, baru kita turun tangan melakukan pembersihan.”

Sementara itu, di atas panggung su­dah terjadi perdebatan yang makin lama menjadi saling maki antara tujuh orang pimpinan pengemis baju bersih yang dikepalai oleh dua orang dari Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang, dan pihak lawan mereka adalah sebelas orang pimpinan dari kai-pang-kai-pang lain yang rata-rata berpakaian butut. Suling Emas hanya duduk di atas kursi sambil me­natap tajam, meneliti mereka yang pro dan mereka yang anti terhadap Bu-tek Siu-lam. Juga Kwi Lan dan terutama sekali Yu Siang Ki, memandang dengan hati tegang dan tertarik. Diam-diam Yu Siang Ki terheran menyaksikan orang aneh yang memalsukan nama ayahnya. Ia masih belum dapat menyelami isi hati orang itu. Kalau benar tindakannya itu demi perbaikan dan pembersihan kai-pang, kenapa kini ia diam saja melihat keadaan kacau-balau itu? Pihak manakah yang dibelanya?

Suling Emas yang duduk tak bergerak di atas kursinya dapat melihat betapa semua pengemis yang pro kepada Bu-tek Siu-lam dipimpin oleh dua orang kakek Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Dilihat dari sikap mereka, me­mang agaknya dua orang kakek ini sudah mengaturnya terlebih dahulu, sengaja untuk mengacaukan pertemuan ini dan bahkan kini tampak olehnya betapa rom­bongan pengemis yang duduk di sebelah timur, yang jumlahnya banyak, adalah anak buah mereka yang diam-diam sudah siap untuk turun tangan jika terjadi perkelahian!

Yang menyeleweng secara sadar ha­nya beberapa orang saja, pikirnya. Seba­gian besar di antara para pengemis itu hanya ikut-ikutan karena tertarik oleh tingkat hidup yang lebih baik dan keme­wahan. Kalau sampai terjadi pertempuran, tentu akan banyak roboh korban di kedua pihak. Suling Emas tidak menghendaki hal ini terjadi, maka ia sudah siap untuk menegur mereka dan merobohkan para pimpinan pengacau. Orang-orang yang melakukan penyelewengan secara ikut-ikutan seperti mereka itu, sekali pimpinannya roboh, tentu akan mudah diinsyafkan dan diajak kembali ke jalan benar. Yang menjadi sumber penyelewengan para anggauta kai-pang ini sebetulnya adalah tokoh yang bernama Bu-tek Siu-lam. Ka­rena munculnya tokoh sakti yang sudah berhasil membunuh Ketua Im-yang-kauw itulah maka para pengemis yang lemah batinnya, mudah dibawa menyeleweng, karena ada yang mereka andalkan.

Akan tetapi dalam keadaan ketegang­an tengah memuncak itu, sebelum Suling Emas sempat turun tangan atau mem­biarkan Gak-lokai dan Ciam-lokai meng­urus keributan, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak. Suara ketawa ini da­tangnya dari.... udara! Begitu nyaring dan hebat sehingga seakan-akan menggetarkan papan panggung.

“Hua-ha-ha-ha! Jembel-jembel busuk ini seperti sekumpulan anjing berebut tulang!”

“Heh-heh-heh! Tidak usah berebut pangkat, kamilah yang akan menjadi raja-raja kalian! Heh-heh!”

“Hua-ha-ha! Benar sekali! Aku ingin menjadi raja pengemis!”

Bagaikan dua ekor burung rajawali, dari atas menyambar turun tubuh dua orang kakek yang mengerikan keadaan­nya. Yang seorang bertubuh kurus ber­muka putih seperti orang kehabisan da­rah, kepalanya botak dan rambutnya ja­rang seperti sutera tua. Orang ke dua bertubuh besar kuat dan mukanya merah sekali, muka yang ditumbuhi rambut se­hingga muka itu menyerupai muka singa.

Bukan main hebatnya gerakan kedua orang kakek yang sudah amat tua ini. Begitu keduanya turun ke atas papan panggung, sambil tertawa-tawa mereka menggerakkan kedua tangan ke sekeliling dan.... tubuh para, pimpinan pengemis yang tadinya berhadapan dan cekcok sa­ling maki itu seperti layang-layang putus talinya, terlempar ke bawah panggung! Dan hebatnya, kedua orang kakek itu tidak pilih-pilih orang, siapa saja yang tadi saling maki memenuhi panggung itu mereka lemparkan turun. Mereka itu ber­jumlah belasan orang, hampir dua puluh, dan rata-rata adalah pimpinan kai-pang yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika dua orang kakek aneh ini muncul dan menyergap, belasan orang itu sudah ber­usaha menerjang dan memukul roboh dua orang kakek pengacau, bahkan banyak di antara mereka yang menggunakan tong­kat besi menggebuk. Memang terdengar suara bak-bik-buk ketika tongkat-tongkat itu mengenai tubuh dua orang kakek ini, akan tetapi sama sekali tidak dirasakan­nya, dan tanpa dapat dicegah lagi semua orang itu telah mereka lempar-lemparkan dengan cara yang luar biasa mudahnya. Dalam waktu beberapa menit saja, de­lapan belas orang pimpinan para penge­mis baju bersih dan baju butut itu telah dilempar turun dari atas panggung!

“Dua orang iblis dari mana berani mengacau pertemuan Khong-sim Kai-pang?” Teriakan ini keluar dari mulut Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah melompat maju dan menerjang dengan tongkat mereka.

Suling Emas terlampau heran dan kaget menyaksikan munculnya dua orang kakek luar biasa itu sehingga ia tidak sempat mencegah majunya Gak-lokai dan Ciam-lokai. Dengan muka berubah Suling Emas bangkit dari kursinya, memandang dengan mata terbelalak. Hampir ia tidak percaya akan pandang matanya sendiri bahwa dua orang kakek yang muncul itu bukan lain adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong! Dua orang kakek yang sakti itu tiba-tiba saja muncul di situ. Apakah kehendaknya? Benarkah mereka menghendaki menjadi raja pengemis?

Teringatlah Suling Emas pada pertemuan­nya dengan kedua orang tokoh ini puluh­an tahun yang lalu. Ketika itu pun dua orang kakek ini mengacau Khitan dan ingin menjadi raja di Khitan (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya dengan su­sah payah, setelah dibantu Lin Lin (Ra­tu Yalina di Khitan), Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw, dan Kauw Bian Cin­jin tokoh Beng-kauw, ia berhasil meng­usir dua orang kakek itu. Kini secara tiba-tiba dan tak terduga-duga dua orang kakek ini muncul lagi dan begitu muncul telah mengacaukan keadaan dengan sepak terjang mereka yang aneh. Melihat bah­wa mereka berdua itu tidak memilih bulu, merobohkan semua pengemis baik yang berpakaian butut maupun yang ber­sih, jelas bahwa mereka ini bukan peng­gerak kaum sesat dan tidak mewakili mana-mana, hanya bergerak menurutkan kata hati mereka sendiri yang aneh luar biasa!

Terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai dahsyat sekali. Mereka ini memang me­rupakan dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang sudah tinggi tingkat ilmu si­latnya, apalagi dalam beberapa hari ini mereka telah mendapat petunjuk dari Suling Emas, maka tentu saja terjangan mereka itu amat hebat. Akan tetapi, dengan gerakan yang tenang sekali, dua orang kakek aneh di atas panggung itu menggeser kaki dan terjangan kedua lokai itu hanya mengenai angin belaka.

“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali! Makin banyak muncul tokoh jembel makin baik. Hayo naiklah, keroyoklah kami, ha-ha­ha!” seru Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah.

“Bagus sekali, Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah)! Baru sekarang kita bisa berkelahi dengan enak!”

Dua orang kakek itu terkekeh-kekeh dan menghadapi terjangan Gak-lokai dan Ciam-lokai seenaknya saja, dengan ta­ngan kosong. Si Kakek Muka Merah menghadapi Ciam-lokai, sedangkan kakek muka putih menghadapi Gak-lokai. Mere­ka ini memang merupakan dua orang tokoh yang berwatak luar biasa. Makin tua makin gila dan sejak dahulu mereka amat doyan berkelahi! Tidak ada kesenangan yang lebih menggembirakan hati mereka melebihi perkelahian yang ramai. Melihat terjangan dua orang pengemis bertongkat itu, mereka sudah bergembira karena mengira tentu akan menghadapi lawan tangguh karena mereka pun mak­lum bahwa di dunia pengemis terdapat banyak orang-orang berilmu tinggi. Akan tetapi mereka kecewa sekali ketika men­dapat kenyataan bahwa dua orang tokoh Khong-sim Kai-pang yang menyerang mereka itu sama sekali bukan tandingan mereka!

“Ho-ha-ha, kiranya jembel busuk tidak ada harganya!” Lam-kek Sian-ong Si Muka Merah terbahak-bahak dan pada saat Ciam-lokai memukulkan tongkatnya ke arah dada, ia menyambut dengan ke­palan tangannya.

“Krakkk!!” Tongkat di tangan Ciam-lokai itu patah-patah menjadi beberapa potong dan setiap kali pengemis tua itu menghantamkan tongkatnya selalu disam­but kepalan dan terpotong-potong lagi!

Sementara itu, Pak-kek Sian-ong yang menghadapi Gak-lokai juga merasa kece­wa. Akan tetapi berbeda dengan Si Muka Merah yang mendemonstrasikan tenaga Yang-kang dahsyat dan amat kuatnya itu, ia mengeluarkan keahliannya, yaitu tena­ga Im yang lemas dan halus. Ketika Gak lokai menghantamnya dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak tangan dan.... tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya mencelat ke atas. Gak-lokai terkejut, namun karena ia pun seorang yang lihai biarpun tubuhnya mencelat ke atas, ia bergerak di udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Pak-kek Sian­-ong. Kakek muka putih ini lagi-lagi me­nyambut dengan telapak tangan dan se­kali lagi tubuh Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali hal ini terjadi sehingga tubuh Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.

“Iblis-iblis tua, berani kau memper­mainkan Khong-sim Kai-pang?” Bentakan halus ini keluar dari mulut Yu Siang Ki. Pemuda ini menjadi marah ketika me­nyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apala­gi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang datang mengacau. Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia segera meloncat naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang biasanya menghias topinya.

Lontarkan itu bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan darah di de­kat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat betapa kakek muka me­rah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat berbahaya. Sekali saja tangan ka­kek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!

“Aihh....!” Kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget ketika le­ngannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan te­tapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira, totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iwee-kang yang dahsyat sehingga lengannya kesemutan, ia terheran-heran. Ini bukan sam­bitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh menghadapi Yu Siang Ki.

Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu, Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran, menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lam­bung dan menusuk di bagian yang me­matikan.

“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang keras saja. Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi se­belum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuh­nya sudah melayang jauh turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan ge­rakan menyepak (menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.

Yu Siang Ki maklum akan hal ini maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah me­nyambar tongkatnya dan berseru keras. “Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sin-kang.

“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kaulihat lawanku ini biarpun masih muda, baru berharga untuk diajak main-main!” ia bi­cara sambil menggerakkan tubuh meng­elak. Sekali lihat saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemu­da ini hebat dan tak boleh dipandang ringan, maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.

“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”


bersambung 4...............

0 komentar:

Posting Komentar