Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [12]

sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan
hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku
tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan
penjernihan batin. Mulailah!"
Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu
Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.
"ADA muncul dari TIADA,

betapa mungkin mencari sumber TIADA?

Mengapa cari ujung sebuah mangkok?

Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?

Akhirnya semua itu kosong hampa,

sesungguhnya tidak ada apa-apa!"

Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian
ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata
menempel di atas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya
Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.
"Bu Song, dengarlah baik-baik," katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas
lantai, di bawah gurunya. "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan,
karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu
dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua
kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu
yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam
semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada yang
paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah.
Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air,
saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan
bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan
menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait,
berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan
lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan
hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu
sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa.
Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"
Dengan terus terang Bu Song menjawab, "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."
Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening
dan penuh pengertian. "Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu,
sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini.
Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu
terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau
seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang
terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu
berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"
Bu Song kaget, terheran, jelas membayang di wajahnya. "Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu
bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada
kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu
tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini
wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum
kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang
tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga
meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena
perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan
kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri
dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran
Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."
Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata, "Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh
hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan
kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar
dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun
telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat
perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun
telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat
oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada
kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."
"Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia
mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada
kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan
umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau
pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."
Bu Song keluar dari tenda suhunya. Di luar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan
orang pengawal tadi masih berjaga di situ, di depan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo
Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada Phang-ciangkun
bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat di situ, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat
lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song
mengaso pula, dibagian belakang tenda.
Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut di depan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam
samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song
melompat bangun dan lari ke depan. Kiranya suhunya sudah berdiri di depan tenda dan berhadapan dengan Kong Lo
Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!
"Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati?
Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!" Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap
tenang sekali, bahkan pedang di punggung dan kipas di pinggang belum ia ambil.

Sikap yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat
empat orang itu terpukul hati nuraninya.
"Kwee Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena itu engkau harus mati, kalau
tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha kami!" kata Kong Lo Sengjin.
"Kau harus menebus kematian Suhu!" bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan tongkatnya.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu? Sekarang harus kau tebus!"
kata Pouw-kai-ong. Hanya Hek-giam-lo yang diam saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu menduga-duga siapa gerangan
orang yang bersembunyi di balik kedok tengkorak ini.
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Menang atau kalah, hidup atau mati, sama saja. Yang penting adalah berdiri
di atas kebenaran! Kalau kalian merasa penasaran, majulah!"
Pada saat itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat keluar dan membentak, "Manusia-manusia berhati keji
dan curang! Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat pengecut dan
curang? Suhu sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan tetapi kalian datang berempat untuk mengeroyoknya.
Di mana keadilan dan kegagahan kalian?"
"Bu Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan mencampuri dan melibatkan dirimu dengan urusan kotor ini. Bu
Song, jangan kautiru gurumu yang menanamkan pohon kebencian sehingga menghasilkan buah-buah dendam dan
permusuhan." Suara Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung wibawa sehingga Bu Song terpaksa mundur
lagi. Dada pemuda ini panas dan penuh amarah, namun ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang dengan hati
was-was dan penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya itu yang sama sekali tidak mengindahkan aturan
dunia kang-ouw. Orang yang sudah menamakan dirinya pendekar, pantang melawan orang sakit, apalagi
mengeroyoknya! Dan empat orang itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat lebih tinggi daripada
pendekar-pendekar silat biasa. Sungguh menjemukan dan menyakitkan hati, menimbulkan rasa penasaran.
Di antara empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat seorang yang masih memiliki harga diri. Lauw Kiat murid
kedua Ban-pi Lo-cia ini adalah seorang Khitan peranakan. Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han yang
bernama keturunan Lauw. Akan tetapi karena sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia dan ia ikut ibunya di
Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagi seorang gagah
perkasa di Khitan, yang biarpun tidak mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia kepada rajanya dan
selalu membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai kegagahan, dan mengenal tata cara, aturan dan sopan
santun pendekar dunia persilatan.
Mendengar teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw Kiat. Ditegur tentang aturan oleh seorang pemuda,
benar-benar amat memalukan. Maka ia lalu menerjang maju sambil berseru, "Kim-mo Taisu, aku membela kematian
Suhu Ban-pi Lo-cia! Lihat seranganku!" Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini, karena tongkatnya yang baru, berat dan
terbuat daripada baja, menyambar ganas dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat.
Kim-mo Taisu yang sudah terluka di sebelah dalam tubuhnya dan masih belum sembuh, tidak mau menghamburkan
tenaga dan ingin menyelesaikan pertandingan itu secara secepat mungkin. Maka ia tidak mengelak menghadapi
sambaran tongkat baja itu, namun secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangan. Kipas di
tangan kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat pada kipas, kemudian bagaikan halilintar menyambar pedangnya
sudah membabat ke arah leher Lauw Kiat. Tokoh Khitan ini kaget bukan main. Berusaha keras membetot tongkatnya
sambil merendahkan tubuh untuk menghindarkan sabetan pedang. Akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa pedang
itu sama sekali tidak menyabet leher seperti tampaknya, melainkan membabat kaki. Kasihan sekali Lauw Kiat yang
tidak sempat menghindarkan serangan luar biasa ini. Terdengar ia mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan kedua
kakinya buntung. Darah bercucuran dari kedua lutut yang sudah buntung itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan,
tidak merasai nyeri lagi.
Kim-mo Taisu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dan tahu-tahu ia sudah berlutut di dekat tubuh Lauw
Kiat, menotok jalan darah di paha untuk menghentikan darah yang mengalir keluar, kemudian mengeluarkan obat
bubuk untuk mengobati luka agar melenyapkan rasa nyeri. Akan tetapi tiba-tiba Bu Song berseru, "Suhu, awas!"
Seruan peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena tentu saja pendekar sakti itu sudah tahu bahwa dia
diserang hebat oleh Kong Lo Sengjin, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih berlutut
dan hendak mengobati luka kedua kaki Pak-sin tung! Cepat Kim-mo Taisu menggerakkan tubuh melesat pergi dari
situ sambil membawa pedang dan kipasnya. Obat bubuk tadi ia sebarkan, merupakan senjata rahasia mengarah mata
ketiga orang pengeroyoknya yang terpaksa melompat mundur, karena tahu bahwa jika obat bubuk itu memasuki mata,
akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak dapat dibuka dan tentu saja akan berbahaya bagi mereka.
Dalam detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian yang amat cepat. Kalau tokoh-tokoh yang
memiliki kepandaian yang tinggi sudah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah menjadi
adu nyawa yang cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat dan kuat, sukar diikuti
pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat menjadi satu. Tiba-tiba terdengar suara keras, dan empat buah
senjata runtuh dan rusak. Tongkat Pouw-kai-ong patah menjadi dua ketika bertemu secara hebat dengan kipas di
tangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek tengahnya dan patah gagangnya. Senjata sabit di tangan Hek-giam-lo
yang mengerikan itu juga patah menjadi tiga bertemu dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua.
Terdengar mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking tinggi yang keluar dari mulut
Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah beradu telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin. Keduanya
berhadapan, Kim-mo Taisu agak merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan kedepan, kedua
telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang "berdiri" di kedua tongkatnya. Mereka
mengerahkan sin-kang dan mengadu tenaga dalam secara mati-matian!
Pouw-kai-ong cepat menempelkan telapak tangan kanan ke punggung Kong Lo Sengjin sebelah kanan, dan Hek-giam-lo
juga meniru perbuatan Raja Pengemis itu, menempelkan telapak tangan kiri ke punggung kakek lumpuh yang sebelah
kiri. Mereka berdua sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu,
kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu dengan pukulan, yang berbahaya adalah Kong Lo Senjin sendiri. Pukulan yang
mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat "ditarik" dan "disalurkan" oleh lawan kepada Kong Lo Sengjin sehingga sama
artinya dengan memukul kawan sendiri meminjam tangan lawan! Satu-satunya cara terbaik untuk membantu adalah
seperti yang mereka lakukan. Tenaga sin-kang mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin menekan lawan.
Hebat akibatnya. Tadinya menghadapi Kong Lo Sengjin yang sudah tua, Kim-mo Taisu masih menang tenaga. Kalau
dilanjutkan, beberapa menit lagi tentu ia akan sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi setelah dua orang
lawannya yang lain datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang tersalur melalui dua telapak tangan
Kong Lo Sengjin, Kim-mo Taisu berusaha menahan, namun ia tidak kuat, apalagi karena di sebelah dalam dadanya
masih terluka cukup berat. Betapapun juga, pendekar yang gagah perkasa ini sama sekali tidak mengeluh, dan sama
sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengarahkan sin-kangnya dan mempertahankan diri sehingga
wajahnya pucat, matanya berkilat dan dari kedua ujung bibirnya menetes darah segar!
Melihat keadaan gurunya sedemikian rupa itu, Bu Song tak dapat tinggal diam lagi. Biarpun suhunya tadi sudah
memesan agar ia tidak turut campur, namun bagaimana ia dapat berpeluk tangan melihat suhunya terancam kematian
oleh tiga orang lawan itu?
"Maaf, Suhu. Terpaksa teecu harus turun tangan!" Ia membentak dan segera melompat maju. Seperti juga
Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk membantu suhunya yang sedang mengadu tenaga dalam
itu, sama sekali ia tidak boleh menggunakan Iwee-kang memukul para lawan suhunya karena hal ini amat
membahayakan suhunya sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya, keduanya dengan jari-jari terbuka,
yang kanan menusuk ke arah mata Pouw-kai-ong sedangkan yang kiri merenggut kedok hek-giam-lo. Perhitungan Bu
Song tepat, Pouw-kai-ong yang ia serang matanya, dan tidak dapat mengelak mau tak mau harus melayaninya dengan
tangkisan, yang berarti menarik tenaganya membantu Kong Lo Sengjin, sedangkan Hek-giam-lo yang selalu
mengenakan kedok, tentu merupakan pantangan paling besar baginya untuk dibuka kedoknya dan pasti akan
melayaninya. Kalau dia menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik. Namun betapapun juga, Bu Song tak sampai
hati dan merasa malu harus menyerang dua orang yang tak bersiap itu dengan senjata!



Pouw-kai-ong dan Hek-giam-lo yang melihat bahayanya serangan, cepat menangkis sambil melompat mundur,
melepaskan bantuan mereka pada Kong Lo Sengjin. Bu Song kini baru mau menggunakan sulingnya dan sekali
sulingnya bergerak, terdengar suara melengking tinggi dan sinar suling itu membawa hawa pukulan dahsyat. Bukan
main kagetnya Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena mereka maklum bahwa tenaga dan kepandaian orang muda itu
hebat bukan main, jelas tampak dari gerakan serangan itu. Sedangkan mereka berdua sudah tidak bersenjata lagi,
yang tadi patah dan rusak sampyuh (sama-sama rusak) dengan senjata-senjata Kim-mo Taisu. Maka mereka hanya
mengandalkan gerakan mereka yang cepat untuk mengelak dan mundur-mundur!



Sementara itu, Kim-mo Taisu yang sudah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya, ketika melihat di sebelah dalam
tubuhnya, ketika melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan kedua orang pembantunya, cepat mengerahkan tenaga
terakhir dan mendorong sekuatnya. Kong Lo Sengjin mengeluh dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter ke
belakang, seperti daun kering tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia bangkit berdiri di atas kedua
tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya seperti tidak bersinar lagi, dan tanpa berkata apa-apa kakek ini
melangkah pergi sempoyongan seperti orang mabok.



"Bu Song, mundur!!" Kim-mo Taisu berseru. Bu Song girang mendengar suara suhunya dan ia mencelat mundur di
samping suhunya, siap membela orang tua ini. Kim-mo Taisu lalu memandang dua orang musuh itu sambil berkata,
suaranya penuh wibawa,



"Apakah kalian masih hendak melanjutkan pertandingan?" Dua orang itu, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, tentu saja
menjadi jerih hati mereka. Tanpa berkata apa-apa, Hek-giam-lo mengempit tubuh Lauw Kiat dan melompat pergi dari
situ bersama Pouw-kai-ong yang juga pergi mengambil jurusan lain. Kedua tokoh ini memang telah dapat dibujuk
oleh Kong Lo Sengjin untuk membantunya, bersama Ban-pi Lo-cia, dengan janji-janji muluk seperti biasa. Kini
melihat betapa Kong Lo Sengjin sendiri telah dikalahkan Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan gelanggang tanpa
mempedulikan mereka, tentu saja mereka pun tiada nafsu lagi untuk menandingi Kim-mo Taisu yang demikian
saktinya.



Setelah semua musuh pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau saja tidak segera dipeluk oleh
Bu Song.



"Bagaimana, Suhu? Hebatkah lukamu...?" Kim-mo Taisu menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu berdiri lagi,
dibantu oleh Bu Song.



"Lukaku hebat memang, dan berat, Akan tetapi tidak apa, sudah semestinya terjadi dalam pertandingan, tidak
seberat luka Kong Lo Sengjin. Akan tetapi hatiku terasa pedih dan sakit. Bu Song, kau lihatlah baik-baik di
sekelilingmu... kau lihatlah mayat-mayat itu..."



Tentu saja sejak tadi Bu Song sudah melihatnya. Ratusan, mungkin ribuan mayat berserakan di sekitar lereng
bukit, mayat-mayat tentara Sung dan Khitan yang belum sempat diurus orang karena perang masih terus terjadi,
kejar-mengejar. Pemandangan itu amat mengerikan, juga menyedihkan.



"Bu Song, kau berlututlah!" Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata. Bu Song terkejut, juga merasa heran, akan tetapi ia
tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya. "Bersumpahlah bahwa kau menaati pesanku yang
terakhir ini!"



Bu Song menekan perasaannya yang diselimuti kedukaan karena ia maklum akan keadaan suhunya. "Teecu bersumpah
demi Thian Yang Maha Kuasa akan menaati pesan Suhu."



"Kau hanya boleh mempergunakan kepandaian silat yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk
menentang yang jahat dan untuk menolong yang lemah tertindas, di samping penggunaan untuk membela diri. Kalau
kau mempergunakan ilmu silatmu untuk menyombongkan kepandaian, untuk menanam permusuhan, dan untuk melampiaskan
nafsu mencari kemenangan, kau...kau akan terkutuk..!"



"Teecu akan mentaati pesan Suhu ini !" jawab Bu Song, suaranya tegas karena keluar dari hati yang jujur. Tanpa
pesan suhunya, memang ia pun berpendirian seperti yang diinginkan suhunya itu.



"Jangan kau mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat melakukan hal ini, kau harus mematikan rasa benci
terhadap siapapun juga. Hati-hatilah terhadap wanita, Bu Song. Sesungguhnya, hidup gurumu selama ini jatuh
bangun hanya karena wanita, karena kelemahan hatiku terhadap wanita. Jangan mudah menjatuhkan cinta, karena
bagi penghidupanku selama ini, cinta itulah yang merupakan pangkal segala derita. Leburkan rasa cintamu menjadi
kasih sayang yang merata terhadap semua manusia, dan hidupmu akan penuh bahagia."



Kembali Kim-mo Taisu berhenti dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi pucat
sekali. Bu Song cepat bangun dan memeluk suhunya. "Mari kita masuk ke dalam kemah dan beristirahat, Suhu."



Kim-mo Taisu tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan di dalam, akan tetapi ia masih sempat memberi pesan
teakhir, "Sewaktu-waktu.. pada hari pertama musim semi... datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh
dengan... Bu Kek Siansu.." kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah segar. Bu Song
terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia menotok beberapa jalan darah di leher dan dada
suhunya seperti yang pernah ia pelajari dari suhunya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak tangannya
di dada suhunya sambil mengerahkan tenaga.



Akan tetapi tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan menolak tangan
muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya keluar dari tenda. Ia bangkit duduk dengan susah
payah. Bu song dengan hati terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya duduk diam meramkan mata,
ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya dengan isyarat tangan tadi.



Pada saat itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to (pisau
terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur ke seluruh bagian tubuhnya yang
berbahaya. Bu Song terkejut, namun tidak gugup. Dengan cepat dan tenang, kedua tangnnya bergerak dan berhasil
menyampok runtuh pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat buah hui-to!



"Pengecut keji!" Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama sepuluh orang yang semua
memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi. Teringatlah Bu Song ketika ia masih kecil, melihat dua
orang anggota Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh oleh Kong Lo
Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo ini adalah anggauta-anggauta Hu-to-pang.



"Hek-giam-lo, kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"



"Wah, bocah ini mengenal kita!" Seorang di antara pemegang pisau itu berseru dan tiba-tiba pisau di tangannya
menyambar ke arah leher Bu Song. Bu Song sengaja memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia
tidak mengelak, melainkan membuka mulut dan "menangkap" pisau itu dari samping dengan giginya! Kemudian sekali
meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada batang pohon sampai ke gagangnya!



"Jangan mencari perkara, harap kalian pergi!" kata Bu Song, teringat akan pesan suhunya.



"Si Tua Bangka sedang terluka, serbu!" teriakan ini keluar dari balik kedok tengkorak dan menyerbulah sepuluh
orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu Song! Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit bergagang
panjang yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini sehingga begitu senjatanya
rusak, ia sudah memiliki gantinya.



Bu Song mencabut sulingnya dan cepat ia melompat ke depan menyambut serbuan mereka. Dengan pengerahan tenaga
sakti, ia menangkis sabit Hek-giam-lo mengeluarkan seruan aneh seperti orang menangis ketika sabitnya dihantam
membalik. Akan tetapi Bu Song tidak dapat balas menyerang karena ia harus menghadapi para anggauta Hui-to-pang
yang ternyata merupakan orang-orang lihai pula. Permainan golok mereka luar biasa, juga amat teratur merupakan
barisan golok yang saling berantai, saling Bantu dan saling susul amat rapi! Dalam kemarahannya menyaksikan
kecurangan Hek-giam-lo dan orang-orang ini yang hendak mendesak gurunya yang terluka parah, Bu Song
mengeluarkah semua kepandaiannya dan dengan lengking tinggi yang keluar dari lubang sulingnya, senjata istimewa
ini berhasil menotok roboh seorang pengeroyok dan orang ke dua yang agaknya menjadi gentar oleh lengking
suling, kena dihantam oleh tangan kiri Bu Song sehingga roboh bergulingan dan tidak mampu bangkit kembali!



"Hek-giam-lo manusia curang! Diantara Suhuku dan engkau tidak ada permusuhan, mengapa kau mendesaknya?" Bu Song
masih mampu melontarkan pertanyaan ini sambil memutar sulingnya dan berloncatan ke kanan kiri. Akan tetapi
Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus seperti seekor lembu, bahkan menerjang makin galak.



Bu Song teringat betapa isteri gurunya juga tewas oleh seorang tokoh Hui-to-pang yang disuruh Kong Lo Sengjin,
maka kemarahannya menjadi-jadi. Ia hanya tidak mengerti mengapa Hek-giam-lo memusuhi gurunya. Bukankah
Hek-giam-lo tadinya muncul dalam barisan Khitan? Mengapa pula Hek-giam-lo kini mengajak orang-orang Hui-to-pang
untuk mengeroyok gurunya yang sudah terluka parah? Tentu saja Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa Hek-giam-lo
ini bukan lain adalah Bayisan! Hek-giam-lo selalu mengenakan kedok tengkorak untuk menyembunyikan mukanya yang
rusak dan mengerikan, bahkan menakutkan.



Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan cerita ini, Bayisan yang menjadi Panglima Muda Khitan, adalah
murid Ban-pi Lo-cia, murid terkasih yang telah mewarisi ilmu kepandaian kakek raksasa itu. Karena tergila-gila
kepada Puteri Tayami, ia hendak memaksa puteri itu menjelang pembunuhan Raja Kulukan, ayah Puteri Tayami. Tentu
saja yang melakukan pembunuhan gelap itu bukan lain adalah Bayisan sendiri yang bersekongkol dengan Pangeran
Kubakan putera selir raja yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya yang ia suruh bunuh sendiri. Akan
tetapi, tanpa disengaja, untuk melindungi kehormatannya yang hendak diperkosa oleh Bayisan, Puteri Tayami telah
menaburkan racun pada muka Bayisan yang tadinya tampan sehingga muka Bayisan terbakar dan berubah menjadi
seperti muka setan yang menakutkan. Semenjak malam itu, Bayisan melarikan diri dan tidak berani mucul lagi di
muka umum. Khitan kehilangan Bayisan yang melarikah diri ke hutan-hutan. Namun diam-diam Bayisan memperdalam
ilmunya dengan hati penuh dendam. Beberapa tahun kemudian, Khitan menjadi gempar dengan munculnya seorang tokoh
berkedok yang menamakan diri Hek-giam-lo. Akan tetapi karena ilmu kepandaian Si Kedok Tengkorak ini amat
tinggi, ditambah pula agaknya Raja Kubakan bersahabat baik dengan Hek-giam-lo serta mempercayainya sebagai
pengawal, maka tidak ada orang yang berani mencari tahu akan keadaan atau riwayatnya. Sesungguhnya, Hek-giam-lo
ini pulalah yang telah diam-diam menewaskan Tayami dan suaminya, Salinga, di dalam perang. Menewaskan dengan
cara curang dari belakang selagi suami dan isteri yang patriotic ini maju perang membela bangsanya!



Oleh karena Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang telah
menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorangpun yang tahu, juga orang-orang yang terkenal di Khitan
tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya adalah Bayisan,
bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu.



Tentu saja hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sutenya (adik seperguruannya), Lauw
Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu. Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat
membuat Hek-giam-lo marah sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah sebabnya
mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang tidak tahu duduk persoalannya, tentu saja merasa heran dan
marah.



Juga orang muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri gurunya,
yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya. Ketika Kim-mo
Taisu masih merantau sebagai seorang pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung, Kim-mo
Taisu pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena Ketua Hui-to-pang menggunakan
kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang gadis yang dicintai puteranya. Puteranya jatuh cinta
kepada seorang gadis anak pedagang kulit di kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si gadis
menolak pinangan itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan dengan keluarga lain.
Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan putera Ketua Hui-to-pang yang terkenal sebagai
perkumpulan tukang-tukang pukul.



Kalau saja Ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia pun tidak akan
memaksa setelah mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu mendengar alasan
penolakan yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko Si Penjual Kulit diobrak-abrik, Si Penjual Kulit dan
isterinya mati terbunuh dan anak perempuannya diculik! Kebetulan pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota itu.
Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa pendekarnya dan malam hari ia mendatangi gedung Ketua Hui-to-pang.
Kemarahannya memuncak ketika mendengar betapa gadis itu menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban
keganasan putera Ketua Hui-to-pang.



Pertempuran terjadi dan Ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila itu dan yang marah
karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan "sepele" orang lain, ternyata kalah dan
terluka! Ketika para anggauta Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera Ketua
Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya, ketika hendak meninggalkan
tempat itu dan membebaskan putera Ketua Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung hidung dan kedua telinga
pemuda hidung belang itu!



Inilah sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu, dan tokoh yang berhasil dihasut Kong
Lo Sengjin dan membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri. Demikianlah
tidak mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk mengeroyok Kim-mo Taisu. Apalagi
ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka yang berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan
Liong dalam usaha mereka merampas dan mencari kitab dan suling pemberian Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo
Taisu! Dendam mereka makin mendalam. Memang kakek tua renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu
amat licin, penuh tipu muslihat dan curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan kesalahan ke
pundak orang untuk mengadu domba!



Biarpun dua orang anggauta pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan tangan kiri Bu
Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini mereka bergerak hati-hati dan tidak berani
memandang rendah lawan muda ini, keadaan mereka menjadi lebih kuat daripada tadi. Apalagi Hek-giam-lo juga
mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu benar-benar seru dan mati-matian.



Namun Bu Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk Setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin, gerakannya
luar biasa sekali. Apalagi senjatanya merupakan senjata yang ampuh dan aneh, terbuat daripada logam yang
tampaknya seperti emas, akan tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang ajaib, yang menjadi lebih ampuh
lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang sudah dijuliki dewa oleh tokoh-tokoh
besar persilatan. Sepak terjangnya hebat menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang
Hui-to-pang itu kehilangan golok mereka yang terbang atau runtuh begitu terbentur suling yang mengandung tenaga
sin-kang mujijat!



Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur dan begitu tangan mereka bergerak, golok terbang melayang
dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali, Ia memutar sulingnya dan menerjang
maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya melakukan tendangan berantai dan robohlah dua
orang Hui-to-pang setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter lebih! Namun pada saat itu, selagi Bu Song
masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari empat penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras
dan berkelebatlah belasan batang hui-to yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga
belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo! Ketika Bayisan menyembunyikan diri, ia pernah
mempelajari ilmu golok terbang dari Ketua Hui-to-pang, yaitu melontarkan golok sebagi senjata rahasia. Dan
karena tingkat kepandaiannya memang amat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Ketua Hui-to-pang sendiri, maka
begitu ia mendapatkan rahasia ilmu melontarkan golok terbang ia dapat menciptakan ilmu ini yang lebih hebat
daripada orang yang mengajarnya. Ia dapat menciptakan golok yang gagangnya melengkung sehingga kalau ia
melontarkannya, golok itu dapat terbang kembali kepadanya apabila tidak mengenai lawan dan dapat ia sambut dan
pergunakan lagi! Lebih hebat pula, kedua tangannya dapat melontarkan tiga belas batang golok terbang sekaligus!
Ini memang hebat luar biasa, karena Hui-to-pangcu sendiri, ketua Perkumpulan Golok Terbang, hanya dapat
melontarkan sebanyak tujuh batang golok!



Menghadapi serangan ini, Bu Song terkejut dan tentu saja ia memutar sulingnya menangkis sambil mengelak. Akan
tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa golok yang tidak mengenai sulingnya, dapat terbang membalik. Ada tiga
batang yang terbang membalik sehingga ia amat kaget dan berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi kurang cepat
dan sebatang golok milik Hek-giam-lo menancap di pundak kirinya!



Melihat hasil ini, enam orang Hui-to-pang menyerbu serentak dengan tusukan dan bacokan golok yang datang
bagaikan hujan ke arah tubuh Bu Song. Bu Song mengeluarkan suara keras dari kerongkongannya, suara keras yang
mengiringi pengerahan tenaga dalam, memutar sulingnya untuk melindungi tubuh karena Hek-giam-lo pun sudah
menerjangnya lagi. Pundaknya terasa sakit dan panas sekali sehingga lengan kirinya hampir lumpuh. Keadaannya
berbahaya sekali, namun Bu Song menggigit bibir dan memutar suling, mengambil keputusan akan melindungi suhunya
sampai titik darah terakhir.



Pada saat itu tiba-tiba Kim-mo Taisu muncul di pintu tenda. Mukanya tidak kelihatan pucat, matanya berkilat
penuh wibawa, sikapnya menantang dan dia membentak,



"Hek-giam-lo, kau masih tidak mau pergi? Orang-orang Hui-to-pang, belum puaskah kalian dengan pertumpahan darah
dan pengorbanan nyawa?" Sambil berkata demikian, dengan mudah saja Kim-mo Taisu menggunakan ujung lengan
bajunya menyampok beberapa buah hui-to yang menyambar ke arahnya, karena orang-orang Hui-to-pang sudah
menyerangnya dengan hui-to begitu melihat musuh besar ini muncul. Golok-golok terbang itu runtuh dan patah
semua menjadi dua potong!



Gentarlah hati Hek-giam-lo dan sisa orang-orang Hui-to-pang ketika melihat Kim-mo Taisu yang ternyata masih
gagah perkasa itu. Jelas bagi mereka bahwa kalau pendekar sakti ini maju, dengan bantuan muridnya yang pandai,
pihak mereka akan mengalami kekalahan besar. Maka Hek-giam-lo mendengus dan membalikkan tubuh lalu berlari
pergi, diikuti oleh enam orang anggauta Hui-to-pang yang tidak pedulikan empat orang temannya yang tewas.



Begitu orang-orang itu lenyap dari pandangan, Kim-mo Taisu roboh terguling di depan pintu tenda! Bu Song cepat
melompat dan berlutut memeriksa keadaan suhunya. Akan tetapi ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng, pendekar sakti
yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu telah menghembuskan napas terakhir. Bu Song menundukkan
kepalanya, termenung sejenak, lalu ia mengangkat jenazah suhunya dibawa ke dalam tenda dan dibaringkan.



Bu Song lalu mencabut hui-to yang menancap di pundak kirinya. Darah mengucur keluar, akan tetapi segera
berhenti setelah Bu Song menekan jalan darah di pundaknya dan menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Ia tidak
khawatir akan racun, karena menurut suhunya, tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Kemudian Bu song mencari dan
memilih tempat yang baik di lereng Gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan mengubur jenazah suhunya, menaruh
sebuah batu besar di depan kuburan. Kemudian ia mengerahkan tenaga, dengan jari telunjuk kanan Bu Song
mencorat-coret pada permukaan batu itu dan terjadilah goresan sedalam dua senti meter yang membentuk
huruf-huruf indah.



MAKAM PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG



Setelah itu, Bu Song lalu mengubur pula jenazah empat orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak mengubur mayat
yang dilihatnya berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk daerah Pegunungan Tai-hang-san. Mereka
beramai-ramai lalu mengubur semua jenazah, baik mayat tentara Sung maupun mayat orang Khitan. Bu Song membantu
sekuat tenaga. Saking banyaknya mayat di sekitar pegunungan, pekerjaan dilanjutkan sampai keesokan harinya
dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat dalam satu lubang. Ketika pada keesekokan harinya akhirnya semua
mayat terkubur, penduduk dusun tidak melihat lagi pemuda tampan yang ikut bekerja mati-matian tanpa
mengeluarkan sepatah katapun itu. Bu Song telah pergi dengan diam-diam, hatinya trenyuh memikirkan keadaan
perang dan segala akibatnya. Rakyat dusun, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, yang selalu taat dan patuh dan
takut, mereka inilah yang selalu menjadi korban terakhir. Tanpa diperintahkan mereka mengubur semua mayat.
Mereka harus mengubur semua mayat itu karena kalau tidak, keselamatan mereka terancam oleh bahaya menjalarnya
wabah penyakit yang hebat.



Setelah gurunya meninggal dunia, barulah Bu Song merasa betapa hidupnya sunyi dan sebatang kara. Ada timbul
ingatan dalam hatinya untuk pergi ke Nan-cao, menjumpai kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari ibunya
yang sampai kini tidak pernah ia jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa pernah ia bertemu dengan
ibunya, bahkan ia berani menegur dan menasihati ibunya itu yang hendak membunuhnya! Sama sekali ia tidak pernah
mimpi bahwa karena sikap dan kata-katanya maka ibunya menjadi sadar dan insyaf, membuat ibunya lalu
menyembunyikan diri tidak mau muncul lagi di dunia ramai untuk menebus dosa-dosanya!



Akan tetapi Bu Song tidak dapat melupakan Suma Ceng. Betapapun juga, cinta kasih yang terpendam dalam hatinya
takkan dapat lenyap. Betapa mungkin ia dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Suma Ceng, gadis yang
telah merampas hatinya, yang telah menyerahkan jiwa raga kepadanya? Karena rasa rindunya kepada Suma Ceng tak
tertahankan lagi, maka ia menunda niatnya pergi ke Nan-cao mencari keluarga ibunya, sebaliknya ia lalu pergi
lagi ke kota raja. Tadinya memang ia sudah ke kota raja, akan tetapi ketika itu ia hendak mencari suhunya dan
mendengar bahwa suhunya pergi bersama tentara Sung ke utara, ia segera keluar dari kota raja untuk menyusul
suhunya. Sekarang ia pergi ke kota raja dengan tujuan lain, yaitu mencari tahu tentang diri kekasihnya, Suma
Ceng.



Ketika ia memasuki pintu gerbang kota raja, hatinya berdebar. Ia tahu betapa perhubungannya dengan Suma Ceng
kurang lebih tiga tahun yang lalu, telah menimbulkan kegemparan di dalam rumah tangga keluarga Pangeran Suma
Kong. Dia sendiri telah disiksa dan kalau tidak ditolong suhunya, tentu ia akan tewas tersiksa. Akan tetapi
bagaimanakah dengan Suma Ceng? Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia membayangkan jangan-jangan
kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula, jangan-jangan malah telah mati! Ia menggeget giginya. Ia harus
menyelidiki dan membuktikan bahwa Suma Ceng kekasihnya tidak sengsara hidupnya.



Ia memasuki pintu gerbang kota raja ketika hari sudah menjelang senja. Keadaan mulai sepi, apalagi karena Bu
Song masuk dari pintu gerbang bagian selatan, ia melalui pinggiran kota raja yang paling sunyi. Mendadak ia
mendengar suara ribut-ribut di sebelah depan. Bu Song melihat seorang laki-laki muda, berpakaian penuh tambalan
akan tetapi baik baju maupun tambalannya terbuat dari kain baru dan bersih sekali sehingga lebih patut disebut
pakaian berkembang aneh, sedang berdiri bertolak pinggang dan memaki-maki belasan pengemis berpakaian penuh
tambalan dan butut.



Tertarik hati Bu Song dan ia segera mendekat. Pengemis baju bersih itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
sedangkan sebelas orang pengemis baju kotor paling muda berusia tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sungguh
mengherankan betapa belasan pengemis itu yang kelihatan murung dan muram wajahnya, dimaki-maki oleh Si Pengemis
Baju Bersih sama sekali tidak berani membalas atau marah. Bahkan seorang diantara mereka, yang usianya sudah
amat tua, dengan muka sabar berkata,



"Sudahlah, Sahabat muda. Harap kau suka maafkan kami orang-orang tua yang tadi tidak mengenal siapa adanya
engkau."



"Huh, memang kalian ini jembel-jembel busuk! Biar pura-pura sudah menerima kalah dan menjadi jembel, masih
bersikap sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru silat kenamaan dan anggauta-anggauta Sin-kauw-bukoan?
Huh!" Pengemis muda baju bersih itu lalu menggerakkan kaki menendang. Tendangan keras dan mengandung tenaga,
mengenai perut kakek jembel itu mengeluarkan suara berdebuk keras.



Bu Song terkejut. Tendangan itu keras sekali dan dapat diduga bahwa pengemis baju bersih itu memiliki tenaga
kasar yang amat kuat. Akan tetapi ketika mengenai perut si Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh kakek itu.
Diam-diam ia merasa kagum dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian kakek jembel berbaju kotor itu jauh lebih
tinggi daripada kepandaian Si Pengemis Baju Bersih, akan tetapi mengapa dihina diam dan mengalah saja? Bahkan
kini pengemis baju bersih itu marah-marah dan memaki-maki, "Kau hendak melawan? Mengandalkan ilmu
kepandaianmu?" Sambil memaki, pengemis baju bersih ini menggerakkan kaki tangannya, menghantam dan menendang.
Biarpun kakek itu dapat menerima tendangan dan pukulan ini tanpa terluka, namun ia terhuyung-huyung dan ketika
ia mundur-mundur, tak diketahuinya bahwa di belakangnya terdapat selokan. Kakinya terpeleset dan ia jatuh ke
dalam selokan yang airnya kotor!



Pengemis baju bersih itu tertawa bergelak, lalu pergi dari situ dengan lagak sombong. Para pengemis baju kotor
yang lain hanya memandang lalu menundukkan kepala sambil menarik napas panjang. Jelas bahwa mereka ini pun
menahan kemarahan hati dan melihat gerak-gerik mereka, Bu song dapat menduga pula bahwa mereka ini pun bukan
orang sembarangan dan belum tentu kalah oleh pengemis baju bersih yang sombong tadi. Akan tetapi mengapa mereka
itu, seperti juga kakek yang dipukulinya tadi, diam saja dan mengalah?



Setelah pengemis baju bersih itu pergi tak tampak lagi, kakek pengemis yang jatuh ke dalam selokan tadi
membanting banting kaki dan menarik napas panjang berulang-ulang sambil mengeluh, "Aahhh... heh...!"



"Suhu, mengapa Suhu menerima terus-menerus penghinaan macam ini? Mari kita serbu saja dan mengadu nyawa dengan
si bedebah!" Seorang pengemis yang termuda berkata, suaranya mengandung penasaran.



"Hushh, jangan bicara sembarangan!" Kakek itu menegur, lalu kembali menghela napas dan menggeleng-geleng
kepalanya.



Seorang pengemis lain yang lebih tua berkata, "Twa-suheng (Kakak Tertua), ada benarnya juga ucapan muridmu.
Seorang gagah lebih baik mati daripada mengalami penghinaan dalam hidupnya!"



"Sudahlah, Sute (Adik Seperguruan). Melawan tanpa perhitungan kepada lawan yang jauh lebih kuat sehingga lebih
merupakan bunuh diri, bukankah gagah namanya, melainkan bodoh. Siapa orangnya mau mengalami penghinaan? Aku pun
tidak suka, akan tetapi kita harus mencari jalan keluar yang baik, menanti kesempatan yang tepat!"



"Akan tetapi sampai kapan kita menanti lagi, Suhu?" Si murid mendesak, "Mungkin Suhu cukup sabar menghadapi
semua penghinaan itu, akan tetapi teecu (murid) tidak dapat bertahan lagi, Suhu. Lain kali, kalau mereka itu
berani sekali lagi melakukan penghinaan terhadap Suhu, teecu tidak berani tanggung apakah teecu akan dapat
menahan diri. Agaknya pasti akan teecu lawan dengan taruhan nyawa! Teecu rasa, biarpun akhirnya kita kalah oleh
Si Bedebah she Pouw, namun sebelum kita mati, kita tentu dapat membunuh puluhan orang musuh sehingga mati pun
tidak penasaran!"



Si Kakek kembali menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Percuma... tidak ada gunanya...!"



Bu Song adalah seorang yang masih muda. Melihat sikap pengemis baju bersih tadi pun ia sudah merasa mendongkol
hatinya. Kini mendengarkan pembantahan antara guru dan murid ini, ia merasa penasaran dan tanpa disadarinya ia
lalu berkata,



"Muridnya begitu bersemangat, gurunya begini melempem, sungguh lucu. Kalau seseorang sudah kehilangan
keberaniannya menentang si jahat, dia tidak patut menjadi guru lagi!"



Pengemis termuda yang menjadi murid kakek itu tiba-tiba melompat ke depan Bu Song dan semua pengemis kaget dan
heran. Mengapa ada orang mendekati mereka tanpa mereka ketahui?



"Eh, orang muda, lancang sekali mulutmu berani menegur Suhu! Tidak tahukah engkau dengan siapa kau berhadapan?
Suhu adalah Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu (Guru Silat Liong berjuluk Kepalan Monyet Sakti), dahulu jagoan kota
Sin-Yang! Hayo lekas kau minta maaf dan menarik kembali omonganmu yang lancang kalau kau tidak ingin merasai
pukulanku!"



"Aihh... aihh...! Kenapa mendadak menjadi begini galak? Tadi ada pengemis tolol memaki-maki lalu memukul dan
menendang Kakek ini sampai masuk selokan bau, kau diam saja!"



Sejenak mereka itu memperlihatkan muka malu, akan tetapi pengemis muda itu, yaitu yang termuda di antara
mereka, baru tiga puluh lima tahun, lalu membentak marah.



"Urusan sesama kaum kai-pang (perkumpulan pengemis) tidak ada hina-menghina, pula merupakan urusan dalam, bukan
urusanmu. Akan tetapi engkau ini orang luar berani menghina kami? Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas
orang-orang Sin-kauw-bukoan yang terkenal?"



Bu Song tersenyum. Tentu saja dia tidak pernah mendengar Sin-kauw-bukoan (Perguruan Monyet Sakti). Kalau mereka
ini bekas orang-orang perguruan silat ternama, mengapa sekarang menjadi pengemis? Bahkan agaknya golongan
pengemis yang paling rendah tingkatnya. Buktinya tadi diperhina oleh pengemis lain yang jelas kepandaiannya
tidak berapa tinggi, mereka ini tidak berani melawan.



"Aku bicara sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini galak amat, mau apa?" Bu song sengaja memancing kemarahan
orang dan cepat sekali pengemis itu menerjangnya dengan pukulan ke arah dada disusul dengan tangan kiri
mencengkeram ke arah lambung.



Memang Bu Song hendak menguji kepandaian mereka ini, terutama kepandaian mereka yang menjadi guru dan
setingkatnya. Dengan tenang ia menggerakkan kakinya mundur dua langkah, sengaja berlaku lambat untuk memancing
lawannya. Benar saja, lawannya terkena pancingannya karena menyangka bahwa ia tidak begitu lihai sehingga
dengan girang lawannya sudah menubruk maju, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada dengan keyakinan pasti
kena. Bu Song memiringkan tubuhnya, menyampok dari samping dan mengerjakan kakinya, yaitu ujung sepatunya
menotok sambungan lutut. Tak dapat dicegah lagi pengemis itu terguling!



Terdengar teriakan keras dan tahu-tahu orang yang disebut adik seperguruan kakek itu tadi menyerbu. Pukulannya
jauh lebih cepat dan berat jika dibandingkan dengan murid keponakannya yang kini sudah merangkak bangun sambil
memijit-mijit lututnya. Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian murid tadi, apalagi paman guru ini,
agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengemis baju bersih yang menghina tadi. Apalagi kepandaian Si
Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu! Mengapa mereka sama sekali tidak melawan tadi dan kini terhadap seorang
luar seperti dia, biarpun kata-katanya sejujurnya dan sama sekali tidak bisa dibilang menghina, mereka sudah
turun tangan? Di samping keheranannya ini, hatinya pun tertarik dan suka kepada para pengemis baju kotor ini.
Jelas bahwa jika maju seorang demi seorang, mereka itu bukan tandingannya. Namun mereka tidak mau maju
mengeroyok. Hal ini saja membuktikan bahwa mereka ini bukan golongan orang-orang jahat yang mengandalkan
kepandaian atau teman banyak untuk berlaku sewenang-wenang dan menghina orang lain. Sikap mereka terhadapnya
adalah sikap orang gagah yang hendak memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan ilmu kepandaian secara gagah
pula.



Karena tertarik dan ingin berkenalan, Bu Song tidak mau mempermainkan lawannya terlalu lama. Dengan gerakan
indah, ia berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah dorongan yang disertai tenaga dalam. Biarpun dorongannya
tidak menyentuh dada orang, namun pengemis itu tetap saja tanpa dapat ia pertahankan lagi, roboh terjengkang ke
belakang dan hanya dengan berjungkir balik saja ia dapat menyelamatkan diri tidak terbanting keras! Namun hal
ini sudah cukup membuka matanya bahwa orang muda yang kelihatan lemah ini sama sekali bukan tandingannya.



"Kau hebat, orang muda!" Orang ketiga yang lebih tua sudah menyambar ke depan. Orang ini adalah kakak
seperguruan dari yang tadi roboh, merupakan orang ke dua di Sin-kauw-bukoan. Pukulannya mengandung tenaga
Iwee-kang yang ampuh dan kuat sehingga setiap ia menggerakkan tangannya, terdengar suara angin menyambar. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap dari depannya! Pengemis yang berwajah
muram ini kaget dan bingung, lalu mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, kiranya
lawannya sudah berada di situ, enek-enak saja tersenyum dan memandangnya. Ia menjadi penasaran dan cepat
menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang dibuka jari-jarinya, seperti tangan monyet hendak
mencengkeram.. Hebat tubrukannya ini, karena tangan itu tidak segera mencengkeram, melainkan menanti ke mana
lawan akan mengelak. Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini amat hebat dan jarang sekali gagal. Namun kembali
matanya mejadi kabur karena lawannya yang muda itu berkelebat tanpa dapat ia duga ke mana, hanya tahu-tahu
sudah melewati atas kepalanya. Ketika ia memutar tubuh, kembali orang muda itu berkelebat menyelinap dari
samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum ia sempat membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh
oleh jari-jari tangan yang hangat. Pengemis ini kaget sekali dan berseru,



"Hebat... aku mengaku kalah...!" Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan mata terbelalak keheranan.



Kini kakek tua renta itu berjalan maju. Langkahnya sudah membayangkan usia tua. Matanya memandang Bu Song,
berkedip-kedip penuh keheranan. "Melihat gerakanmu, orang muda, kau mengingatkan aku akan seseorang... ah,
seseorang yang tadinya kukagumi, akan tetapi ternyata mengecewakan hatiku..."



Makin tertarik hati Bu Song. "Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?



"Ah, jangan sebut-sebut julukanku yang kosong melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi melainkan seorang jembel
busuk yang tiada harganya. Sebut saja aku Lokai (Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan sebagai rahasia,
biarpun dia sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan kusebut-sebut. Akan tetapi karena gerakanmu mirip dia,
kalau kau bisa mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung aku kalah bertaruh dan akan kusebut namanya di
depanmu. Kau jagalah, orang muda!" Kakek itu menerima sebatang toya kuningan yang kedua ujungnya dilapis baja.
Begitu toya itu berada di kedua tangnnya, benda itu seakan-akan menjadi hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya.



"Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!"



Sesungguhnya, biarpun kakek ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada si murid atau sutenya tadi, ia tidak
takut menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah seorang yang dahulunya
tentu ternama, ia pun segan untuk memandang rendah. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka, apalagi
Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia bahkan menaruh iba kepada bekas guru silat dan murid-muridnya ini yang telah
merosot derajatnya menjadi pengemis-pengemis yang dihina orang. Di samping rasa iba ini, ada pula rasa
penasaran mengapa semangat si guru demikian melempem dan tidak layak menjadi sikap seorang gagah.



"Kauwsu, bukan aku yang mengajak berkelahi. Kalau tidak terdesak, untuk apa aku mengeluarkan senjata? Aku tidak
mau melukai orang!" jawabnya. "Kalau kau hendak main-main, silakan mulai."



Kakek itu kelihatan marah sekali. "Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani membalas! Sekarang ada engkau
ini orang muda yang datang-datang menghina kami. Orang muda, jangan salahkan aku kalau toyaku tidak mengenal
kasihan. Kau sambutlah!" Tampak gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar dahsyat, menyerang dengan
pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song disusul gentakan ujung lain yang menyusul dengan hantaman ke
arah kepala andaikata pukulan pertama dapat dielakkan.



Akan tetapi, sekali berkelebat tubuh orang muda itu lenyap dari depannya! Liong-kauwsu terkejut, cepat
membalikkan tubuh menggerakkan toyanya menerjang ke belakang tubuh. Benar saja dugaannya, orang muda yang dapat
bergerak luar biasa cepatnya itu tadi telah berada di belakangnya sehingga serangan susulannya ini tepat
sekali. Dengan tusukan kuat ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang muda itu mengelak ke
kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan, menghantam leher lalu disontekkan lagi, menggunakan
ujung yang lain menyerampang kaki. Semua ini dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan kilat, dan biarpun ia
sudah tua, namun kedua ujung toya itu tiap kali digerakkan, menggetar dan dilihat dengan mata biasa, ujungnya
berubah menjadi puluhan batang.



"Ilmu toya yang bagus!" Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa diketahui kakek itu saking
cepatnya. Dari belakangnya, Liong-kauw-su merasa betapa ujung toyanya disentuh lawan. Ia cepat membalikkan
tubuh dan melihat lawannya itu tersenyum-senyum berdiri di belakangnya, kini sudah mengeluarkan sebuah benda
kuning berkilauan di tangan. Bukan main kaget dan kagumnya hati kakek itu. Ia tadi maklum bahwa lawannya akan
mudah merobohkannya, atau merampas toyanya, karena bukankah tadi lawannya sudah menyentuh ujung toya dari
belakang sebelum ia mampu membalikkan tubuh? Akan tetapi orang muda itu tidak melakukan hal ini bahkan
mengeluarkan senjata, padahal dengan tangan kosong sekalipun agaknya akan sukar baginya untuk mengalahkan orang
muda ini. Ketika ia memperhatikan senjata di tangan orang muda itu, ia berseru kaget, juga sutenya berseru,



"Kim-siaw (Suling Emas)...!"



Bu Song memandang suling emas di tangannya dan pada saat itu, jantungnya berdebar aneh. Nama yang bagus!
Kim-siauw! Namanya sendiri sudah lapuk, sudah terlalu banyak mendatangkan hal-hal yang menyedihkan! Namanya
sendiri, Bu Song, selalu terkait dengan hal-hal yang mematahkan hati, mengingatkan ia akan ayah bundanya yang
cerai-berai, akan hidupnya yang sebatang kara. Mengingatkan ia akan pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir,
akan kematian Kwee Eng yang sudah dicalonkan menjadi isterinya, wanita pertama yang merampas hatinya. Kemudian,
yang masih membekas dalam sekali di kalbunya, mengingatkan ia akan Suma Ceng, wanita kekasihnya yang tadinya ia
anggap sebagai pengganti Kwee Eng yang tewas. Nama Bu Song sungguh diselimuti kegelapan, nama yang sial!



Akan tetapi ia tidak dapat melamun terus karena kembali toya yang berat itu menyambar dibarengi seruan
Liong-kauw-su. Tampak sinar emas bergulung-gulung ketika Bu Song menggerakkan sulingnya. Sinar ini seakan-akan
merupakan tali emas yang menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa dapat dicegah lagi oleh
Liong-kauwsu, juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya, toyanya terlepas dari tangannya, melayang tinggi ke atas
dan ketika turun, disambut oleh suling di tangan Bu Song, diputar-putar sampai berhenti melintang di atas
suling yang disodorkan kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata. "Terimalah kembali toyamu, Liong-kauwsu!"



"Hebat...! Kau lebih hebat daripada Kim-mo Taisu...!" Kakek itu berkata dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga. Juga murid-muridnya serta sutenya memandang penuh kekaguman. "Dan suling emas itu...! Orang muda,
bolehkah kami mengetahui, siapakah namamu yang mulia?"



Bu Song tersenyum pahit, memandang sulingnya yang ia pegang di tangan kanan, ditegakkan lurus depan muka,
kemudian berkata, "Suling emas... suling emas... inilah namaku... Suling Emas!"



Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalamannya. Ia maklum bahwa orang muda
ini adalah seorang sakti yang tidak mau memperkenalkan namanya. Timbul harapan dalam hatinya bahwa orang muda
yang luar biasa ini akan dapat membantunya menebus semua penghinaan dan sakit hati yang selama puluhan tahun ia
derita.



Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang datang-datang membentak, "Lagi-lagi ada manusia tak
berbudi yang berani menghina kaum jembel mengandalkan kepandaiannya?"



Para kakek pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song sendiri merubah namanya, mulai sekarang kita
mengenalnya sebagai Suling Emas) menoleh dan melihat bahwa yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia
kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua lengan bajunya buntung
compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang menutupi sebagian mukanya. Juga capingnya itu butut,
compang-camping pinggirnya. Namun tubuh orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya bersih tidak
berjenggot. Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut.



Setelah berkata demikian, serta merta orang yang baru tiba ini menerjang Suling Emas dengan serangan-serangan
kilat.



"Eh, sahabat.. jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) tidak..." Liong-kauwsu tidak
melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memotong.



"Biarlah, Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami main-main sebentar!"



Memang Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang baru datang ini. Baru bergebrak sejurus saja tahulah ia
bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada tingkat kakek
guru silat itu. Pukulan kedua tangan dan tendangan kedua kakinya mendatangkan angin halus, seakan-akan tidak
mengandung tenaga, namun ternyata penuh dengan tenagan sin-kang yang amat kuat. Juga gerakan-gerakannya aneh
dan membingungkan, cepat sekali membuktikan bahwa gin-kang orang ini pun sudah mencapai tingkat tinggi!



Suling Emas sudah menyimpan sulingnya dan cepat ia mengelak lalu balas menyerang, juga ia mempergunakan
kecepatan gerakannya. Ketika merendahkan tubuh dengan menekuk kedua lutut sampai hampir berjongkok untuk
menghindarkan hantaman kedua tangan kearah dada dan leher tadi, sambil secepat kilat membalas dengan tusukan
jari-jari tangannya ke arah pusar lawan, dengan amat cepatnya tubuh lawannya itu sudah melambung tinggi
sehingga tusukannya tak berhasil. Dari atas pengemis itu sudah berjungkir balik dan kini melakukan serangan
dari atas, dengan kepala di bawah kaki di atas, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala dan tangan
bergerak membentuk lingkaran-lingkaran untuk mencegah jalan keluar!



Suling Emas maklum bahwa menghadapi serangan ini, tidak ada jalan untuk mengelak. Satu-satunya jalan hanyalah
mengadu tenaga. Karena lawan ini melayang turun sehingga tenaganya ditambah oleh berat tubuh serta tenaga
luncuran turun, tentu saja orang itu lebih menguntungkan keadaannya. Namun ia tidak gentar, bahkan ia lalu
memasang kuda-kuda. Kedua kakinya seakan berakar di atas tanah, membiarkan lawan melayang turun sampai dekat
lalu tiba-tiba kedua tangannya bergerak mengimbangi kedudukan kedua tangan lawan untuk menangkis.



"Dukkk...!!" Dua pasang tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pengemis itu mencelat ke atas sampai lima meter
lebih, sedangkan kuda-kuda Suling Emas sungguhpun tidak tergeser, namun kedua kakinya melesak ke dalam tanah
sampai lewat sepatunya! Pengemis ini memang hebat. Walaupun tubuhnya terlempar begitu tinggi, namun ia tidak
kehilangan akal. Beberapa kali pinggangnya bergerak, tubuhnya melentik seperti ular dan ia sudah berhasil
memulihkan keseimbangan tubuhnya dan meloncat turun dengan gerakan ringan, tepat berdiri menghadapi Suling
Emas. Keduanya saling pandang, penuh kekaguman.



"Kepandaianmu luar biasa sekali, sobat!" kata Suling Emas sambil tersenyum. Kata-kata ini keluar dari hatinya
yang tulus, karena memang ia kagum menyaksikan kepandaian pengemis ini. Pula, ketika terlempar ke atas, caping
pengemis itu terlepas dan tampaklah kini wajahnya yang cukup tampan dan gagah. Wajah yang banyak membayangkan
kepahitan hidup, rambutnya awut-awutan, namun bersih dan mengandung cahaya bersemangat.



Di lain pihak, pengemis itu agaknya merasa penasaran, kagum, dan juga kaget. Tentu saja ia tidak menyangka akan
berhadapan dengan orang yang begini sakti. Mendengar ucapan Suling Emas dan melihat senyum itu, ia salah
sangka, mengira bahwa lawannya mengejek. Maka ia lalu memandang dengan sinar mata tajam, mulutnya berkata penuh
geram,



"Orang muda, kau memang hebat! Akan tetapi jangan kau tertawa-tawa lebih dahulu. Aku Yu Kang baru menerima
kalah kalau kau mampu mengalahkan senjataku ini!"



Suling Emas sudah menaruh hati sayang kepada pengemis yang amat lihai ini, maka ia tidak ingin menanam
permusuhan. Akan tetapi sebelum ia mampu menjawab, pengemis yang bernama Yu Kang itu dengan jari-jari kaki
telanjang telah mengenjot tanah dan tubuhnya melayang ke depan Suling Emas, tangan kanannya sudah memegang
sebatang tongkat rotan kecil. Tongkat itu tadinya terselip di belakang punggungnya. Kelihatannya sederhana
sekali, besarnya hanya seibu jari kaki, panjangnya dua lengan. Namun melihat betapa "senjata" yang lebih patut
disebut senjata kanak-kanak bermain perang-perangan itu setelah berada di tangan pengemis ini menggetar-getar
dan mengeluarkan suara melengking tiada hentinya, diam-diam Suling Emas kaget dan cepat ia pun mencabut
sulingnya. Gerakan tongkat rotan yang mengeluarkan suara melengking itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat,
maka Suling Emas segera memutar sulingnya pula dan terdengarlah suara melengking lebih tinggi dan nyaring.



"Bagus! Sambutlah seranganku!" Yu Kang berseru keras dan tubuhnya menyambar maju, tongkatnya bekelebatan dan
membentuk sinar kilat menyambar amat cepatnya.



Suling Emas pun maklum akan bahayanya serangan ini, maka ia lalu menggerakkan sulingnya dan lenyaplah bentuk
suling, berubah menjadi gulungan sinar kuning emas yang membentuk lingkaran-lingkaran. Ia telah mainkan
jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat yang luar biasa ampuhnya. Harus diakui bahwa di antara para tokoh persilatan,
banyak kiranya yang mengenal tokoh persilatan, banyak kiranya yang mengenal Pat-sian Kiam-hoat, bahkan banyak
yang ahli. Namun Pat-sian Kiam-hoat yang dimainkan oleh Suling Emas ini lain daripada yang lain. Kalau Pat-sian
Kiam-hoat biasa mempunyai enam puluh empat jurus, akan tetapi Pat-sian Kiam-hoat yang diwariskan oleh Kim-mo
Taisu kepada Suling Emas hanya mempunyai enam belas jurus. Enam belas jurus yang sudah mencakup semua inti sari
Pat-sian Kiam-hoat, bahkan sudah pula meliputi bagian-bagian terpenting yang terpendam. Di samping ini, setelah
semua pintu dalam tubuh Suling Emas dibuka oleh Bu Tek Lojin, maka sin-kang di tubuhnya dapat bergerak lancar
sehingga permainan ilmu pedang ini menjadi makin hebat. Setiap gerakan, setiap getaran, mengandung hawa sakti
yang dahsyat.



Sin-kauw-jiu Liong Kong, guru silat yang telah menjadi pengemis itu, bersama murid-muridnya dan sutenya,
menjadi penonton yang bengong terlongong. Terheran-heran mereka menonton pertandingan luar biasa ini. Tak dapat
mata mereka mengikuti gerakan kedua orang muda itu, yang tampak hanyalah gulungan sinar kuning bercampur aduk
dengan kilatan ujung tongkat yang menjadi ratusan banyaknya, membungkus bayangan dua orang yang tidak kelihatan
bentuknya dan kabur saking banyaknya! Diam-diam guru silat itu menarik napas panjang dan insyaf betapa ilmu
kepandaian di dunia itu tiada batasnya. Dahulu ia amat kagum kepada sahabatnya, Kim-mo Taisu yang gerakannya
sama dengan Pendekar Suling Emas ini. Kemudian ia dibikin penasaran akan tetapi tidak berdaya oleh seorang
tokoh muda yang baru, dua puluh tahun yang lalu, yaitu orang yang mengaku menjadi raja pengemis, berjuluk
Pouw-kai-ong (Raja Pengemis Pouw) yang memiliki ilmu kepandaian hebat pula. Kini di depan matanya, bertanding
dua orang muda yang begini hebat, benar-benar membuat ia merasa betapa tingkat kepandaiannya sendiri sebenarnya
bukan apa-apa!



"Wah-wah-wah, kau hebat! Aku yang mengaku kalah!" Tiba-tiba terdengar Yu Kang berseru keras dan tubuhnya
terlempar sejauh enam tujuh meter di mana kedua kakinya berhasil menahan robohnya, akan tetapi ia masih tetap
saja terhuyung-huyung!



Suling Emas sudah menyimpan sulingnya, melangkah maju sambil menjura. "Yu-twako, kau benar-benar hebat! Aku
kagum sekali."



Pengemis muda itu menghela napas, berjalan maju, meyelipkan tongkatnya di belakang punggung sambil berkata,
"Sudahlah, tak perlu kau merendah. Sudah jelas aku bukan tandinganmu. Kalau saja si keparat she Pouw itu
selihai engkau, biarlah aku mati di tangannya dan mendiang ayah takkan dapat tenang dalam kuburnya!" Setelah
berkata demikian, Yu Kang melangkah pergi.



"Yu-enghiong (Orang Gagah she Yu), nanti dulu...!" Tiba-tiba Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu berseru sambil mendekat.



Yu Kang membalikkan tubuhnya. "Kau orang tua mau apa lagi? Aku melihat betapa kalian jembel-jembel tiada guna
dipermainkan orang orang, akan tetapi aku sendiri juga seorang jembel tiada guna, tak dapat membela kalian."



"Bukan demikian, Yu-enghiong. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak dihina oleh Kim-siauw-eng, sama sekali
tidak! Yang menghina kami adalah si keparat she Pouw yang kausebut tadi! Dua puluh tahun kami dihina dan
ditindas, karena itu mohon bantuan Yu-enghiong. Marilah kita bersatu untuk menghadapi Pouw-kai-ong yang jahat!"



Yu Kang melotot, terheran. "Kalian ini pun mendendam kepada Pouw-kai-ong si jahat?"



Tiba-tiba Suling Emas yang mendengarkan percakapan itu berkata, "Ah, kiranya kita adalah orang-orang
segolongan. Aku sendiri pun boleh dianggap sebagai seorang musuh besar Pouw-kai-ong, bahkan beberapa kali
pernah aku bertanding melawan dia dan kawan-kawannya!"



Kakek itu berseru girang, lalu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang muda gagah itu, diturut
oleh teman-temannya. "Mohon bantuan Ji-wi Enghiong membasmi Pouw-kai-ong yang jahat..."



"Lo-kai (Pengemis Tua), harap jangan banyak tingkah. Kita dapat saling bantu dalam hal ini. Bangunlah! Lo-kai
ini dari kai-pang (perkumpulan pengemis) yang manakah? Aliran apa?" Pertanyaan Yu Kang ini diajukan dengan
sikap penuh wibawa yang menunjukkan bahwa dia agaknya mengenal baik akan peraturan perkumpulan pengemis.



Orang tua itu bangkit berdiri dan sukar untuk menjawab. Timbul kekhawatiran di hatinya bahwa pengemis muda yang
perkasa ini takkan mau bekerja sama kalau mendengar bahwa dia sebetulnya bukan pengemis sama sekali, melainkan
pengemis paksaan! Melihat keadaan kakek itu meragu, Suling Emas lalu berkata,



"Saudara Yu Kang, Lopek (Paman Tua) ini sama sekali bukan pengemis. Dia dahulu adalah kedua dari
Sin-jiu-bu-koan, berjuluk Sin-kauw-jiu bernama Liong Keng."



"Nama kosong belaka...., nama kosong belaka...." Liong-kauwsu menggoyang-goyang kedua tangan dengan perasaan
malu.



"Hemm, kalau begitu bukan golongan pengemis? Mengapa berpakaian pengemis? Mau main-main dengan pengemis, ya?
Liong-kauwsu, kalau kau dan kawan-kawanmu ini hanya pura-pura menjadi pengemis untuk mencapai tujuan, aku tidak
sudi bekerja sama!"



"Tidak... tidak... ah, Yu-enghiong salah sangka. Memang kami terpaksa menjadi pengemis, akan tetapi andaikata
pembalasan dendam kami sudah terkabul, kami pun tetap akan menjadi pengemis. Kami sudah tidak punya apa-apa,
dan untuk selanjutnya, kami rela menjadi pengemis asal saja Si Keparat Pouw-kai-ong sudah mendapat hukumannya!"



"Kalau begitu, boleh kita bekerja sama." Kata Yu Kang mengangguk-angguk.



"Marilah Ji-wi Enghiong, kita bicara sambil berunding di tempat kami, di bawah jembatan Tembok Merah."



Yu Kang mengangguk dan Suling Emas juga menerima baik undangan ini. Mereka lalu berangkat menuju ke jembatan
besar di pinggir kota itu dan turunlah mereka ke kolong jembatan. Di tempat sederhana inilah Liong-kauwsu
beserta anak buahnya tinggal! Biarpun kolong jembatan, karena dirawat, maka tanahnya cukup bersih dan baunya
tidak busuk. Beberapa orang murid Liong-kauwsu sibuk menyembelih angsa besar yang mereka tadi tangkap, entah
darimana. Tak lama kemudian bau harum paha angsa dipanggang membuat air liur memenuhi mulut. Beberapa orang
lagi mengeluarkan cawan retak dan seguci besar arak!



Sambil memegangi paha angsa panggang yang gurih dan berlemak, menggerogoti daging yang lezat didorong masuk
arak keras, mereka bercakap-cakap. Mereka duduk seenaknya, ada yang berjongkok, ada yang bersandar pada dinding
jembatan, ada pula yang berdiri, ada pula yang sambil rebah-rebahan dan mencari kutu pada baju mereka yang
rombeng! Suling Emas duduk di tengah-tengah bersila dan ikut makan dengan enaknya. Yang mendapat giliran
pertama untuk bercerita adalah Liong-kauwsu. Kakek ini menghentikan makannya, melempar tulang paha angsa ke
tengah air kali yang mengalir di dekat mereka, mengusap minyak lemak dari bibir dengan ujung bajunya yang
kotor, kemudian menarik napas dan bercerita.



"Belasan tahun yang lalu terjadinya malapetaka itu, yang merubah semua jalan hidupku dan murid-muridku serta
keluarga kami..." Ia menarik napas panjang lagi, kemudian ia menceritakan pengalamannya secara jelas singkat
seperti berikut.



Perguruan Sin-kauw-bu-koan di kota Sin-yang cukup terkenal karena baik gurunya, yaitu Sin-kauw-jiu Liong Keng,
maupun para murid-muridnya merupakan orang-orang gagah yang biarpun kuat tidak mempergunakan kekuatannya untuk
melakukan penindasan, bahkan membela kebenaran dan keadilan. Liong-kauwsu tidak mempunyai anak keturunan
sendiri, akan tetapi ia mengangkat seorang murid wanita sebagai anak. Wanita itu bernama Liong Bi Loan, seorang
gadis cantik yang pandai silat. Pada suatu hari, Liong Bi Loan bertemu dengan Pouw-kai-ong yang ketika itu
masih muda dan tampan. Dalam pertandingan, Bi Loan dikalahkan dan gadis ini terpikat, lalu lari bersama
Pouw-kai-ong yang. Liong-kauwsu tidak mampu mencegahnya karena terhadap Pouw-kai-ong, ia sama sekali tidak
berdaya, jauh kalah lihai kepandaiannya.



Seperti telah kita ketahui, dalam kesedihan dan kebingungannya, Liong-kauwsu bertemu dengan Kim-mo Taisu,
kemudian minta pertolongan Kim-mo Taisu untuk menghadapi Pouw-kai-ong. Akan tetapi, Kim-mo Taisu tidak dapat
berbuat sesuatu terhadap Pouw-kai-ong ketika pendekar ini melihat betapa gadis puteri guru silat itu dengan
suka rela ikut Pouw-kai-ong! Hal inilah yang membuat kecewa hati Liong-kauwsu yang tadinya amat mengharapkan
Kim-mo Taisu berhasil membawa pulang puteri angkatnya. Terpaksa ia menerima keadaan dan tidak mau merintangi
lagi puteri angkatnya yang ikut Pouw-kai-ong.



Akan tetapi, dua tahun kemudian, luka dihatinya menjadi robek kembali ketika Liong-kauwsu mendengar kabar
betapa anak angkatnya itu hidup merana dan sengsara di samping Pouw-kai-ong yang mulai nampak "belangnya".
Pouw-kai-ong sudah mulai bosan dan memperlakukan Liong Bi Loan seperti seorang budak belian, bahkan tidak
jarang memukulinya. Kemudian secara berterang Pouw-kai-ong main gila dengan wanita-wanita lain dengan memaksa
Liong Bi Loan melayani dia berpesta dengan perempuan-perempuan lain yang menjadi kekasih baru. Akhirnya Liong
Bi Loan tak kuat menahan, untuk melawan ia kalah kuat, dan wanita ini mengambil jalan terakhir dengan
menggantung diri!



Mendengar ini, Liong-kawsu dan beberapa orang muridnya yang setia, juga dua orang sutenya secara nekat menyerbu
ke tempat yang dijadikan markas besar Pouw-kai-ong, yaitu sebuah kuil tua di luar kota Kang-hu, bekas markas
besar perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Namun, mereka ini sama sekali bukanlah tandingan Pouw-kai-ong.
Bahkan bukan Pouw-kai-ong sendiri yang turun tangan, baru anak buahnya saja sudah membuat Liong-kauwsu dan anak
buahnya kocar-kacir dan dihajar habis-habisan. Pouw-kai-ong tidak membunuh Liong-kauwsu, namun merampas semua
miliknya, kemudian memaksa bekas Ketua Sin-kauw-bu-koan ini bersama anak buahnya hidup sebagai anggota
kai-pang, berpakaian seperti pengemis! Lebih hebat lagi, rombongan Liong-kauwsu ini selalu dihina oleh anak
buah Pouw-kai-ong yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih, atau terkenal dengan sebutan pengemis baju
bersih sebaliknya daripada rombongan Liong-kauwsu dan para pengemis taklukan lain yang disebut rombongan
pengemis baju kotor.



"Demikianlah, Kim-siauw-hiap (Pendekar Suling Emas)," Liong Keng mengakhiri ceritanya dengan muka berduka.
"Bertahun-tahun kami menderita penghinaan dan sepatutnya penderitaan ini kami akhiri dengan bunuh diri saja
seperti yang dilakukan puteriku. Akan tetapi, dalam hati ini masih belum mau menerima, masih menyimpan
penasaran dan dendam setinggi langit, masih selalu mengharapkan kesempatan untuk membalas! Oleh karena itulah,
sampai begini tua saya tetap mempertahankan nyawa untuk menanti datangnya kesempatan itu. Untung sekali hari
ini mempertemukan kami dengan Ji-wi Taihiap (Kedua Pendekar Besar) sehingga boleh diharapkan cita-cita akan
tercapai juga sebelum nyawa meninggalkan badan."



Yu Kang melompat berdiri, membanting tulang paha angsa ke kanan. Tulang itu melesak ke dalam dinding tembok
jembatan yang keras! "Harap Paman Tua Liong tidak berkecil hati. Dengan bekerja sama, masa Si Keparat Pouw itu
tidak akan dapat ditundukkan? Dengarlah baik-baik, aku Yu Kang juga sudah bersumpah, takkan berhenti berusaha
sebelum si jahat Pouw Kee Lui menerima hukumannya. Seluruh keluargaku habis dibasmi keparat itu hanya karena
Tuhan menghendaki saja aku bebas daripada pembasmian sehingga setidaknya ada keturunan ayah yang berusaha
membalaskan dendam keluarga ini."



Yu Kang lalu bercerita. Dia adalah putera bungsu mendiang Yu Jin Tianglo ketua perkumpulan pengemis Khong-sim
Kai-pang. Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, pada belasan tahun yang lalu ketika Pouw Kee
Lui yang memiliki kepandaian tinggi itu muncul dari timur, dia telah menyerbu Khong-sim Kai-pang, merobohkan
semua yang melawannya, membunuh Ketua Khong-sim Kai-pang sekeluarga, membunuh tokoh-tokoh Khong-sim Kai-pang
pula dan merampas kedudukan Ketua Khong-sim Kai-pang. Para anggota yang tidak mau tunduk, dibunuhnya sehingga
akhirnya para anggota lain menjadi ketakutan dan mengakui kekuasaan ketua baru ini, yang kemudian memakai
julukan Pouw-kai-ong Si Raja Pengemis Pouw. Bersama anak buahnya yang dilatihnya, ia menundukkan hampir seluruh
perkumpulan pengemis sehingga julukannya "raja pengemis" benar-benar tepat.



Akan tetapi sama sekali di luar dugaan Pouw-kai-ong yang cerdik bahwa ketika ia melakukan pembasmian terhadap
keluarga Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim Kai-pang, Yu Kang putera bungsu ketua pengemis itu yang baru berusia
tiga belas tahun dan kebetulan sekali pada waktu peristiwa hebat terjadi, sedang bermain-main di luar kota
sehingga terbebas daripada maut. Ketika Yu Kang melihat keadaan keluarganya yang terbasmi habis, tidak seorang
pun masih hidup, ayah bundanya, kakak-kakaknya, semua tewas di tangan Pouw-kai-ong, ia segera melarikan diri.
Selama belasan tahun Yu Kang putera ketua pengemis Khong-sim Kai-pang ini menggembleng diri dengan ilmu silat,
belajar dari tokoh-tokoh pengemis yang telah mengasingkan diri bertapa di gunung-gunung. Ia selalu berpakaian
sebagai pengemis dan hidup sebagai pengemis pula, tetap setia kepada cara hidup ayahnya dan dendam di hatinya
terhadap Pouw Kee Lui tak pernah terlupa sehari pun!



Setelah tujuh belas tahun menggembleng diri, kini dalam usia hampir tiga puluh tahun, barulah Yu Kang turun
dari puncak gunung-gunung dan mulai mencari musuh besarnya, Pouw Kee Lui yang kini sudah menjadi Pouw-kai-ong.
Karena tidak tahu harus mencari di mana, maka ia langsung menuju ke kota raja, oleh karena untuk mencari
seorang "raja" pengemis, kiranya paling tepat menyelidiki dari kota raja, pusat segala macam kegiatan.



"Demikianlah sedikit riwayatku, dan kebetulan aku bertemu dengan kalian yang kukira adalah pengemis-pengemis
yang mengalami penghinaan. Di sepanjang perjalanan banyak aku mendengar akan perpecahan golongan pengemis
menjadi dua, pengemis baju bersih dan pengemis baju kotor, dan tentang penindasan yang dilakukan pengemis baju
bersih terhadap pengemis baju kotor. Siapa kira, pengemis baju bersih adalah pengikut-pengikut setia dari
Pouw-kai-ong, musuh besarku! Di sepanjang jalan, tidak ada yang berani menyebut-nyebut tentang Pouw-kai-ong."



Liong-kauwsu yang kini sudah berubah sebutan menjadi Liong-lokai (Pengemis Tua Liong) itu menarik napas
panjang. "Memang demikianlah. Tidak ada yang berani membicarakan perihal Pouw-kai-ong, apalagi bicara buruk,
karena kaki tangannya banyak sekali dan hukumannya amatlah berat mengerikan." Kakek itu kini menoleh kepada
Suling Emas dan berkata, "Setelah kini saya dan Yu Tai-hiap bercerita, saya harap Kim-siaw Tai-hiap sudi pula
memberi sedikit penuturan dan penjelasan."



"Sesungguhnya tidak ada apa-apa yang patut kuceritakan," Suling Emas berkata dan tiba-tiba wajahnya yang tampan
itu seperti diselubungi awan gelap. Betapa tidak akan keruh hatinya kalau ia diingatkan akan riwayatnya yang
sembilan puluh persen terisi hal-hal menyedihkan itu? Pula ia sudah tidak mau mengingat hal-hal lampau, bahkan
hendak melupakan namanya. Setelah berhenti sejenak, ia menyambung. "Pertemuanku dengan Pouw-kai-ong dalam
pertempuran hanyalah secara kebetulan saja. Akan tetapi karena aku tahu betapa jahatnya Pouw-kai-ong, maka aku
bersimpati kepada orang-orang yang telah menjadi korbannya seperti kalian. Dan, untuk bicara terus terang,
Yu-twako menduga tepat. Pouw-kai-ong amat lihai dan... maaf, kurasa Yu-twako sendiri tidak akan dapat
mengalahkannya!"



Yu Kang mengangguk-angguk, sepasang alisnya yang tebal berkerut-kerut. "Aku pun sudah menyelidiki dan mendengar
bahwa Si Keparat she Pouw itu amat lihai. Kau yang sudah bertanding dengannya, tentu dapat menilainya dengan
tepat, Kim-siauw-eng, dan aku percaya. Kalau kau yang begini lihai masih mengaguminya, tentulah ia merupakan
lawan yang amat tangguh. Akan tetapi, aku tidak akan mundur setapak, kalau perlu nyawaku kupertaruhkan untuk
membalas kematian seluruh keluarga ayahku." Yu Kang mengepal tinju, mukanya merah dan matanya berapi-api.



"Yu-tai-hiap..." "Harap Liong-lokai jangan menyebut aku Tai-hiap (Pendekar Besar)!" Yu Kang memotong kata-kata
kakek itu dengan sengit. "Aku hanyalah seorang pengemis jembel yang tiada guna!" Memang watak Yu Kang keras dan
jujur, tanpa dipalsukan tata cara dan sopan santun. Mungkin sakit hatinya dan malapetaka yang menimpa
keluarganya membuat ia berwatak seperti itu.



"Baiklah, Yu-hiante. Harap jangan berkecil hati. Kalau kita maju bersama dan minta bantuan Kim-siauw-eng dan
orang-orang gagah lainnya, kiranya Si Keparat Pouw itu akan dapat dibasmi."



"Hemm, terserah kau orang tua yang mengaturnya." Akhirnya Yu Kang berkata sambil duduk kembali, menyambar paha
angsa panggang dan menenggak araknya.



Liong-lokai lalu menjura kepada Suling Emas. "Kami mohon dengan hormat sudilah kiranya Kim-siauw-eng membantu
usaha kami membalas dendam, mengeroyok Si Keparat she Pouw yang jahat."



Suling Emas tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Mana bisa begitu, Lo-kai? Tak mungkin aku mengeroyok lawan."



"Akan tetapi, bukankah Kim-siauw-enghiong juga memusuhinya?" "Betul. Seperti telah kukatakan tadi, aku bolehlah
dimasukkan sebagai seorang di antara musuh-musuhnya. Akan tetapi aku tidak mempunyai dendam pribadi dengannya.
Siapa saja yang jahat, boleh dianggap musuhku, karena kalau dia tidak bisa diinsyafkan, tentu akan kugunakan
kekerasan mencegah si jahat merajalela menindas si lemah. Karena itu, berbeda sekali dengan kalian, aku tidak
menaruh dendam dan aku hanya akan menghadapinya satu lawan satu. Tak mungkin aku sampai hati melakukan
pengeroyokan terhadap lawan yang betapapun juga lihainya."



Tiba-tiba Yu Kang menghentikan gerakannya makan paha panggang. Ia memandang tajam ke arah Suling Emas, lalu
mengangguk-angguk dan berkata murung, "Benar sekali, Suling Emas! Aku sendiri pun, kalau tidak dimabok dendam
kesumat, tidak sudi mengeroyok orang. Akan tetapi, kalau maju sendiri tidak menang sampai kapan dapat membalas
dendam? Dendamku jauh lebih besar daripada segala macam aturan pertandingan." Agaknya ucapannya ini berlawanan
dengan wataknya yang gagah, maka untuk mencuci rasa malu, Yu Kang menggelogok arak sebanyaknya ke dalam
perutnya!



"Akan tetapi, menghadapi seorang penjahat keji macam Pouw-kai-ong, bagaimana harus mengingat akan peraturan?
Dia membunuhi orang, merampas kai-pang, mengangkat diri sendiri menjadi raja pengemis, kemudian merampas anak
gadis orang tanpa melamar, memaksa kami menjadi pengemis, apakah semua perbuatannya itu menurutkan aturan?
Bukankah orang bijaksana jaman dahulu mengatakan bahwa kebaikan dibalas dengan kebaikan berganda, akan tetapi
kejahatan harus dibalas dengan keadilan? Dan terhadap seorang keji jahat macam Pouw-kai-ong, apakah yang lebih
adil daripada mengeroyoknya dan menghukumnya bersama?"



"Sudahlah, Liong-kai!" Tiba-tiba Yu Kang berkata keras. "Orang yang tidak mau, apa gunanya dipaksa-paksa?
Biarlah siapa yang mendiamkan saja kejahatan merajalela, dia itu membantu kejahatan! Apalagi, urusan ini adalah
urusan kita para pengemis, mana seorang kongcu terpelajar mau mencampuri urusan segala jembel?"



Hening sejenak setelah Yu Kang mengeluarkan kata-kata yang keras, jujur tanpa tedeng-tedeng lagi ini. Para
pengemis tua itu merasa khawatir, kalau-kalau Suling Emas akan menjadi marah. Namun, Suling Emas bukanlah
seorang yang mudah marah. Gemblengan hidup membuat ia kuat bertahan akan segala serangan. Pula, ia dapat
membedakan mana emas mana tembaga dan tahu bahwa di balik sikap kasarnya, Yu Kang adalah seorang gagah.



"Yu-twako, ucapanmu memang benar sekali. untuk mengeroyok orang, biar dipaksa-paksa aku tentu tetap tidak akan
mau. Pula, justeru aku paling tidak mau mencampuri urusan orang lain karena aku menghormat kalian golongan
pengemis yang biarpun berpakaian kotor namun berhati bersih. Akan tetapi kau keliru sangka kalau aku akan
mendiamkan saja kejahatan merajalela."



"Hemm, omongan Suling Emas seperti omongan guru sekolah berbelit-belit! Pendeknya, kau mau membantu kami atau
tidak?" Yu Kang mencela.



"Tentu saja, akan tetapi tidak secara keroyokan. Biarlah dia nanti kuhadapi sendiri, kalian lihat saja. Kalau
aku kalah dan tewas di tangannya, anggap saja hal itu urusanku, dan barulah kalian boleh turun tangan terhadap
Pouw-kai-ong."



Tiba-tiba Yu kang melompat lagi ke atas. "Mana bisa?? Liong-lokai, mari kita berangkat. Urusan ini adalah
urusan kita, urusan antara para pengemis, bahkan Pouw-kai-ong sendiri pun seorang pengemis yang jahat dan
menyeleweng. Kitalah yang harus menghukumnya, bagaimana kita bisa menyerahkan hal ini kepada orang luar? Suling
Emas, kami tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Marilah, Liong-lokai. Engkau tahu di mana Si Jahanam itu?"



Kakek jembel itu mengerling kepada Suling Emas dengan mata kecewa, akan tetapi ia lalu bangkit berdiri diikuti
teman-temannya dan menjawab pertanyaan Yu Kang, "Kebetulan dia berada tak jauh dari sini. Marilah, Yu-hiante.
Kami ada sebelas orang, bersama Hiante jadi dua belas. Masih ada lima orang saudara Bhong, pengemis-pengemis
dari Yu-nan yang telah lama menanti-nanti kesempatan untuk menuju mengeroyok musuh besar mereka. Seperti juga
engkau, Hiante, kelima Bhong-heng-te (Persaudaraan Bhong) itu pun keturunan ketua kai-pang (perkumpulan
pengemis) yang dibasmi oleh Pouw-kai-ong."



"Bagus, kalau begitu marilah kita berangkat!" kata Yu Kang. Rombongan pengemis itu meninggalkan kolong
jembatan. Hanya Liong-lokai seorang yang menjura kepada Suling Emas. Yu Kang melangkah pergi tanpa menoleh.
Suling Emas berdiri terlongong, akan tetapi tersenyum pahit melihat rombongan pengemis itu pergi dari situ.
Sejenak ia termangu dan mengangkat pundak. Memang benar ucapan Yu kang bahwa urusan di antara pengemis adalah
urusan dalam, orang luar tidak berhak mencampuri. Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas mengerutkan keningnya.
Mereka itu seperti domba-domba digiring ke pejagalan! Ia tahu benar bahwa biarpun dikeroyok oleh mereka, Pouw
Kee Lui masih tetap merupakan lawan yang terlalu kuat. Mereka itu seakan-akan mengantar nyawa dengan sia-sia,
akan mati konyol. Dan ia tahu bahwa mereka adalah orang baik-baik. Mana mungkin ia mendiamkan Pouw-kai-ong
membunuh mereka begitu saja? Kedua kakinya bergerak dan di lain saat Suling Emas sudah mengikuti rombongan itu
dari jauh.



Malam itu terang bulan. Rombongan pengemis yang tadinya hanya dua belas orang itu kini sudah bertambah lima
lagi, yaitu lima orang Bhong-heng-te yang tubuhnya tinggi-tinggi dan dari langkah kaki mereka dapat diketahui
bahwa mereka ini pun bukan orang-orang lemah. Tujuh belas orang pengemis ini berangkat ke luar kota, menuju ke
sebelah utara kota raja. Di kaki gunung yang sunyi, jauh dari kota raja dan jauh dari dusun-dusun, mereka
berhenti lalu bergerak sembunyi mengurung sebuah pondok kecil yang berdiri sunyi di tempat itu.



Dua orang di antara kelima Bhong-heng-te melompat keluar dari tempat persembunyian, menghadapi pintu pondok dan
seorang di antara mereka berseru nyaring.



"Pouw Kee Lui, keparat busuk! Kami telah datang hendak menagih hutangmu kepada keluarga Bhong, hayo keluar!"



Suling Emas yang bersembunyi tak jauh dari tempat itu, di balik batu-batu besar, mengerutkan kening. Kalau
memang mereka hendak mengeroyok, mengapa tidak langsung saja mendatangi pondok dan menyerbu? Dengan
pengeroyokan tujuh belas orang, agaknya Pouw-kai-ong akan kewalahan juga. Apakah mereka terlalu memandang
rendah kepandaian Si Raja Pengemis?



Tiba-tiba terdengar suara ketawa terkekeh dan dari atas gunung kecil melayang turun sesosok bayangan yang luar
biasa gesitnya. Begitu kedua kaki orang saudara Bhong, bayangan itu tertawa bergelak dan berkata, "ha-ha-ha,
tikus-tikus busuk berani mengantar nyawa??"



Ucapan ini disusul gerakan yang hebat sekali. Sebelum dua orang itu mampu menjawab, bayangan yang bukan lain
adalah Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong ini, telah menerjang maju dengan gerakan seperti kilat dan... dua orang
saudara Bhong itu yang sudah berusaha menangkis, terpental ke belakang dan roboh tak dapat bergerak lagi!



Pada saat itu muncul tiga orang saudara Bhong yang lain, muncul dari samping kiri, disusul munculnya tiga orang
dari depan dan tiga orang dari kanan. Tampak Liong-lokai ikut pula dari kanan sedangkan Yu Kang tampak di
antara tiga orang dari depan. Enam orang pengemis lain mengambil jalan memutar hendak menyerbu dari belakang
punggung Pouw-kai-ong.



"Ha-ha-ha! Kiranya tikus tua she Liong ikut pula. Bagus!!" Seruan ini disusul suara bersiutan dan Pouw-kai-ong
telah memutar sebatang tongkat yang berubah menjadi segulung sinar hitam. Ketika Pouw-kai-ong menerjang ke
kanan sambil menggerakkan tongkatnya, terdengar seruan kaget dan kesakitan. Liong-lokai dan dua orang temannya
sudah mengeluarkan senjata masing-masing, akan tetapi begitu sinar bergulung-gulung berwarna hitam itu datang,
dan mereka menangkis, ternyata tubuh Liong-lokai berikut toyanya terlempar ke belakang sedangkan dua orang
muridnya roboh dan tewas! Baiknya Liong-lokai tadi dapat menangkis dengan toyanya dan ketika terlempar masih
dapat menggulingkan tubuh, kalau tidak tentu ia menjadi korban pula.



"Ha-ha-ha, tikus-tikus busuk!" Pouw-kai-ong berseru sambil tertawa-tawa dan memutar tongkatnya membalikkan
tubuh karena pada saat itu, belasan orang telah mengeroyok. Hanya Yu Kang seoranglah yang merupakan lawan berat
dalam pengeroyokan ini. Yang lain-lain hanyalah lawan lunak bagi Pouw-kai-ong sehingga enak saja ia membabat
dengan tongkatnya. Dalam waktu kurang dari seperempat jam, sepuluh orang anggota pengemis telah roboh terluka
berat atau tewas. Kini tinggal Liong-lokai, Yu Kang, dua orang saurdara Bhong, dan tiga orang pengemis lain
yang masih bertahan. Namun mereka terdesak hebat, hanya mampu menangkis saja karena tongkat di tangan
Pouw-kai-ong benar-benar luar biasa sekali!



Suling Emas tidak tega melihat ini. Kalau ia diamkan saja, tentu tujuh orang itu lama-lama akan roboh semua. Ia
mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke depan dan begitu ia menggerakkan sulingnya menangkis
tongkat, Pouw-kai-ong berseru keras dan meloncat mundur sampai empat lima meter jauhnya.



"Siapa kau??" bentaknya. Suling Emas tidak mempedulikannya, melainkan menoleh ke belakang dan berkata, "Harap
rawat teman-temanmu yang terluka, biar kulayani dia sendiri!" Setelah berkata demikian, Suling Emas menerjang
maju, menyerang dengan sulingnya sambil berkata, "Keparat she Pouw, dosamu sudah bertumpuk!"



Pouw-kai-ong terkejut menyaksikan berkelebatnya sinar kuning emas yang begitu cepatnya, dan lebih kaget lagi ia
begitu ketika menangkis dengan tongkat, tangan kanannya tergetar. Hebat lawan ini, pikirnya. Ketika ia
memandang dan mendapat kenyataan bahwa lawannya hanya seorang muda yang takkan lebih dari dua puluh lima tahun
usianya, ia merasa penasaran dan melihat suling emas itu, tiba-tiba ia teringat.



"Setan! Kau murid Kim-mo Taisu...??" "Orang tua jahat, tak usah banyak cerewet!" Suling emas merasa ngeri
menyaksikan muka Raja Pengemis itu yang menyeringai menyeramkan. Pouw-kai-ong berusia lima puluh tahun kurang
lebih, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi amat indah kembang-kembangnya, mukanya sudah berkeriput,
rambutnya licin ditutup pembungkus kepala dari sutera, matanya berkilat-kilat seperti mata setan dan gerakan
tongkatnya memang luar biasa cepat dan beratnya.



Pertandingan antara dua orang sakti ini hebat luar biasa. Yu Kang sendiri yang sudah banyak menerima gemblengan
orang-orang sakti, berdiri tertegun dan diam-diam harus ia akui bahwa seorang diri, tak mungkin ia dapat
menangkan Raja Pengemis itu. Dengan kepandaiannya yang cukup tinggi, kalau ia maju membantu Suling Emas, tentu
kakek jahat itu dapat dirobohkan dengan mudah, akan tetapi ia tahu dan mengenal watak Suling Emas yang tentu
tidak mau dibantu. Maka ia hanya menonton penuh kekaguman, sedangkan Liong-lokai dan anak muridnya merawat
mereka yang terluka dan tewas.



Suling Emas sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang hebat.
Gerakannya selain cepat, juga mengandung tenaga mujijat sehingga sulingnya mengeluarkan suara melengking
seperti ditiup orang. Namun, kelebihannya dalam ilmu silat sakti ini diimbangi oleh kelebihan Pouw-kai-ong
dalam pengalaman dan kematangan. Suling Emas belum lama menguasai ilmunya, sedangkan Pouw-kai-ong sudah matang,
sudah digembleng dalam pertandingan-pertandingan berat. Maka hebatlah pertandingan ini yang sekaligus merupakan
ujian berat bagi Suling Emas. Tubuh kedua orang sakti itu sudah tak dapat dilihat lagi, lenyap terbungkus
gulungan sinar senjata mereka! Biarpun pertandingan itu mengerikan dan merupakan pertandingan mati-matian,
namun kelihatannya amat indah di malam bulan purnama itu!



Perawatan terhadap mereka yang terluka sudah selesai dan kini Liong-lokai dan Yu Kang berdiri dengan mata
terbelalak kagum. "Bukan main... sungguh hebat...!" Bisik kakek jembel itu penuh keheranan dan kekaguman.



"Suling Emas benar," kata Yu Kang. "Kepandaian iblis itu benar-benar hebat sekali. Pantas saja ayah sekeluarga
terbasmi habis...!"



"Mengapa kita tidak menyerbu sekarang? Kesempatan baik terbuka..." "Tidak, Liong-lokai. Tidak boleh kita
menggunakan keadaan ini mencari kemenangan. Hal itu akan merupakan penghinaan bagi Suling Emas. Dia berwatak
aneh, akan tetapi patut dihormati. Mari kita kurung Si Iblis agar dia jangan sampai dapat melarikan diri!"



Tujuh orang sisa rombongan pengemis itu segera mengurung, siap dengan senjata masing-masing. Yu Kang
bersenjatakan sebatang pedang, Liong-lokai bersenjatakan toya kuningan, tiga orang muridnya juga bersenjatakan
toya, sedangkan dua orang saudara Bhong yang kehilangan tiga saudaranya itu bersenjatakan golok.



Untuk mengalahkan Pouw-kai-ong dengan ilmu silatnya, Suling Emas kurang matang latihannya. Akan tetapi berkat
tenaga sin-kang yang hebat di dalam tubuhnya, ia berhasil mendesak lawannya itu yang mulai terengah-engah dan
bermandi peluh.



"Bocah setan, mampuslah!" Saking marahnya, Pouw-kai-ong lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan
tongkatnya ke arah kepala Suling Emas dengan gerakan memutar. Sebuah serangan yang luar biasa hebatnya
merupakan jurus maut tanpa memperhatikan pertahanan diri lagi. Agaknya Pouw-kai-ong sudah nekat, apalagi
melihat betapa sisa rombongan pengemis tadi sudah mengurungnya.



Suling Emas mengangkat sulingnya menangkis. "Plakk...!!" Sepasang senjata ampuh bertemu dan... tubuh
Pouw-kai-ong terhuyung ke belakang, tongkatnya patah-patah! Suling Emas juga tidak mengejar, hanya berdiri
sambil meramkan kedua mata mengumpulkan tenaga. Pertemuan tenaga lewat senjata tadi benar-benar hebat, membuat
dadanya sesak dan agak sakit.



Mendadak terdengar suara hiruk-pikuk dan ketika Suling Emas membuka matanya, ia melihat tujuh orang itu sudah
menyerbu sambil berteriak-teriak. Suling Emas menarik napas panjang dan melompat mundur, menonton dari tempat
persembunyiannya yang tadi. Setelah ia tidak bertanding dengan Raja Pengemis itu, tentu saja ia tidak dapat
menghalangi mereka mengeroyok Pouw-kai-ong. Aganya rombongan pengemis yang dipimpin Yu Kang dan Lionglokai itu
ketika melihat Pouw-kai-ong terhuyung mundur dan tongkatnya sudah patah-patah, segera menyerang.



Namun Si Raja pengemis adalah seorang yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Memang kini senjatanya
sudah rusak dan dadanya terasa sesak sekali, akan tetapi, menghadapi pengeroyokan tujuh orang itu, ia sama
sekali tidak gentar. Bahkan di antara hujan senjata itu ia bergerak sambil memekik, kedua kaki tangannya
bergerak dan... kembali dua orang murid Liong-lokai roboh terguling!



Pada saat itu terdengar sorak-sorai gemuruh dan bermunculanlah puluhan, bahkan ratusan orang pengemis yang
serta merta mengeroyok Poouw-kai-ong! Mereka ini adalah rombongan-rombongan pengemis yang tadi sudah diberi
kabar melalui teman-teman oleh Liong-lokai sehingga dari pelbagai penjuru datanglah mereka yang ingin sekali
melihat Si Raja Pengemis yang dibenci menemui kematiannya.



Pouw-kai-ong terkejut sekali. Matanya jelilatan hendak mencari jalan keluar, namun ia sudah terkurung rapat.
Birpun ia lihai, namun menghadapi ratusan orang pengemis yang mengurungnya rapat dengan senjata di tangan,
benar-benar merupakan ancaman maut yang mengerikan. Ia mengamuk dan lagi-lagi ia merobohkan beberapa orang.
Bahkan Yu Kang yang maju paling dekat, telah kena pukulan tangannya sehingga tulang pundak kiri Yu Kang patah!
Juga Liong-lokai kena hantaman lambungnya, membuat kakek ini terlempar dan roboh tak bernyawa lagi di saat itu
juga. Masih banyak lagi korbannya, ada belasan orang. Namun ia sendiri mulai terkena pukulan, dari kanan kiri,
dari depan belakang. Pouw-kai-ong terhuyung-huyung, mandi darah tapi masih terus mengamuk. Bacokan-bacokan dan
hantaman-hantaman ruyung datang bagaikan hujan, bajunya sudah compang-camping, tubuhnya penuh darah. Akhirnya
ia roboh! Masih saja mereka menghujani senjata.



"Berhenti...!!" Tiba-tiba Suling Emas melayang dan tiba di dekat Pouw-kai-ong. Sekali sulingnya bergerak,
tampak sinar kuning emas dan semua senjata yang ditujukan kepada tubuh yang mandi darah itu terpental.



"Wah, ini konconya! Keroyok...!!" teriak seorang pengemis. "Jangan! mundur semua!!" Yu Kang berseru sambil
menggunakan tangan kananya yang tidak terluka untuk mendorong minggir beberapa orang pengemis yang menghalang
jalan. "Dia bukan konco iblis Pouw, bahkan dialah yang memungkinkan kita merobohkan iblis itu!"



Suara Yu Kang nyaring dan penuh wibawa. Apalagi ketika para pimpinan pengemis mengenal bahwa pengemis kosen ini
adalah putera mendiang Yu Jin Tianglo seperti yang diperkenalkan oleh Liong-lokai, mereka lalu mundur. Yu Kang
mendekati Suling Emas dan bertanya, suaranya nyaring. "Suling Emas! Apa maksudmu menghalangi kami membunuh
iblis ini?"



Suling Emas menggeleng kepala, memandang kepada tubuh yang mandi darah di depannya. Muka itu hancur, bahkan
sebuah daripada matanya remuk! Bibirnya robek hidungnya bengkok. Muka yang mengerikan! Andaikata dapat hidup
terus tentu menjadi seorang yang cacad mukanya.



"Sudah kukatakan tadi bahwa aku tidak suka akan pengeroyokan. Biarpun dia roboh oleh kalian, akan tetapi lebih
dulu aku telah membikin dia tidak berdaya dengan merusak tongkatnya. Kalau ia masih bersenjata, apakah kalian
kira akan dapat dengan mudah merobohkannya? Tentu dia akan dapat melarikan diri. Karena itu aku merasa
seakan-akan ikut mengeroyoknya! Dia sudah mendapat hajaran keras, lebih mati daripada hidup. Lihat mukanya!
Lihat mukanya! Lihat badannya! Urusannya dengan kalian adalah urusan pribadi, aku tidak mau terseret dalam
pengeroyokan dan pembunuhan begini curang."



Sejenak Suling Emas beradu pandang dengan Yu Kang. Kemudian Yu Kang menunduk dan melihat keadaan Pouw-kai-ong.
Ia agaknya merasa puas, berdongak ke udara, mulutnya berkemak-kemik seperti membaca doa. Kemudian ia meloncat
ke atas batu besar tak jauh dari situ. Tangan kirinya sengkleh, tergantung lepas karena tulang pundak kirinya
patah. Akan tetapi sikapnya gagah dan suaranya nyaring.



"Kawan-kawan! Dengarkan aku bicara. Aku adalah Yu Kang, putera mendiang Yu Jin Tianglo ketua Khong-sim
Kai-pang. Bicara tentang dendam kepada Si Jahat Pouw agaknya di antara kita akulah yang paling parah. Akan
tetapi aku puas melihat dia kini dirobohkan, dan... harus kita akui bahwa tanpa bantuan Pendekar Suling Emas
belum tentu kita akan berhasil. Oleh karena itu, biarlah kita jangan membunuhnya sesuai dengan permintaan
Pendekar Suling Emas. Tanpa kita turun tangan lagi, kurasa dia pun akan mampus! Bergembira dan bersoraklah
bahwa mulai detik ini kita terbebas daripada cengkeraman seorang jahat seperti Pouw-kai-ong!"



Ratusan orang pengemis baju kotor itu bersorak gegap-gempita. Ada pula yang berseru, "Hancurkan pengemis baju
bersih!"



"Angkat Saudara Yu Kang menjadi ketua seluruh kai-pang!" "Mari saudara-saudara, kita iringkan Saudara Yu Kang
mengumpulkan semua pengemis baju kotor untuk membasmi pengemis baju bersih!"



Sorak-sorai makin menjadi-jadi dan ratusan pasang tangan diulur ke depan sehingga Yu Kang tak kuasa lagi
mencegah para pengemis itu mendukungnya dan mengaraknya pergi dari situ sambil bersorak-sorak! Hanya beberapa
orang pengemis tua yang tinggal untuk mengurus penguburan para korban dan merawat mereka yang terluka.



Suling Emas berdiri memandang semua ini dengan hati terharu. Ia kagum akan kegagahan Yu Kang yang biarpun kasar
dan jujur, namun memiliki jiwa pendekar. Ia terharu menyaksikan jembel-jembel itu bersatu padu untuk membasmi
penindas dan memperbaiki nasib, menggantungkan harapan mereka kepada Yu kang, satu-satunya pengemis yang boleh
diharapkan akan dapat memimpin mereka, melepaskan diri daripada penindasan orang-orang jahat.



Setelah semua mayat dikubur dan para pengemis tua pergi membawa teman-teman yang terluka sehingga di situ sunyi
sepi, Suling Emas kembali memandang tubuh Pouw Kee Lui yang masih menggeletak mandi darah. Suling Emas menarik
napas panjang, lalu menyambar tubuh itu, membawanya ke dalam pondok. Ia merebahkan tubuh yang masih pingsan itu
ke atas pembaringan, kemudian pergilah ia dari tempat itu. Belum jauh ia pergi, ia mendengar suara orang dan
cepat ia menyelinap lalu mengintai. Kiranya beberapa orang wanita cantik dan beberapa orang laki-laki, semua
berpakaian seperti pelayan-pelayan, berindap-indap memasuki pondok dari belakang. Ia kembali menghela napas.
Kiranya orang she Pouw itu menjadikan pondok itu sebagai tempat istirahat dan bersenang-senang, ditemani
beberapa orang wanita cantik dan mempunyai pelayan-pelayan secukupnya. Biarlah, biar mereka itu merawatnya.
Suling Emas tidak jadi mencari daun obat di dalam hutan, menyerahkan nasib bekas Raja Pengemis itu kepada para
selir dan pelayannya. Ia hanya mengharap mudah-mudahan pelajaran pahit itu tadi akan membuat Pouw-kai-ong
menjadi bertobat.



Suling Emas melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja. Ia merasa girang mendengar percakapan rakyat yang
merasa puas dengan adanya raja baru yang adil dan tidak suka menjalankan kekerasan terhadap rakyatnya. Ia tidak
melihat perubahan apa-apa ketika pada keesokan harinya ia memasuki pintu gerbang kota raja, sehingga ia makin
gembira. Ketika pertama kali ia masuk kota raja ketika ia menyusul suhunya, ia tidak mendapat kesempatan unutk
melihat-lihat kota raja. Kini ia menggunakan kesempatan untuk keliling kota sehingga bertambah kegembiraannya
menyaksikan keadaan yang makmur dan ramai.



Akan tetapi kegembiraan ini musnah seketika setelah ia mendengar berita tentang keluarga Suma. Ia mendengar
berita bahwa Pangeran Suma Kong sudah pindah ke An-sui, kota yang menusuk perasaannya. Berita bahwa Suma Ceng
telah menikah dengan seorang pangeran she Kiang yang menghancurkan hatinya. Bahkan ia mendengar bahwa Suma
Ceng, bekas kekasihnya, kini hidup di lingkungan istana raja, bersama suaminya dan dua orang anaknya! Suma Ceng
sudah menjadi isteri seorang pangeran dan malah sudah menjadi ibu dari dua orang anak!



Hancur hatinya, perih seperti tertusuk seribu batang jarum. Setelah mendapatkan keterangan ini, Suling Emas
meninggalkan kota raja, berjalan di tengah malam buta sambil meramkan mata, menahan air mata yang hendak jatuh
berderai. Akhirnya ia berhenti di jalan yang sunyi, duduk di pinggir jalan, menyembunyikan mukanya di antara
kedua lutut, jari-jari tangan mencengkeram rambutnya. Habislah sudah harapannya. Padamlah semua cahaya
hidupnya. Apa lagi yang boleh dipandang? Kekasih pertama direnggut maut. Kekasih berikutnya direnggut laki-laki
lain! Ayah kandung menikah lagi. Ibu kandung tak tentu rimbanya, mungkin sudah mati karena tidak pernah ia
mendengar beritanya. Siapa lagi yang dapat dijadikan teman dalam hidupnya?



Kakeknya! Ya benar. Kakeknya masih ada. Kakeknya bukanlah sembarang orang. Kakeknya adalah Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan, Ketua Beng-kauw, bahkan menduduki tempat tinggi di Kerajaan Nan-cao! Mengapa ia tidak pergi ke negara
kakeknya? Siapa tahu kalau-kalau ibunya juga pulang ke sana? Selain menghubungi keluarga yang terdekat dan
masih ada, juga ia maklum bahwa di sana ia akan dapat banyak belajar untuk memperdalam ilmunya. Gurunya sendiri
seringkali bicara tentang Pat-jiu Sin-ong dengan penuh kagum.



Setelah duduk termenung dalam keadaan duka cita seperti itu sampai sinar matahari memerah menjelang fajar,
Suling Emas mengangkat mukanya. Orang lain akan kaget kalau menyaksikan perubahan wajah pendekar ini. Tampak
tua dan tidak ada lagi sinar pada mukanya. Hanya kemuraman yang tampak. Pandang matanya sayu.



Tiba-tiba ia meloncat bangun dan menyelinap cepat, bersembunyi di balik sebatang pohon besar di pinggir jalan.
Biarpun keadaan hati Suling Emas sedang mengalami kehancuran dan dirinya tenggelam dalam duka nestapa, namun
naluri kependekarannya tak pernah menjadi tumpul. Panca inderanya peka sekali dan gerakan tiga sosok bayangan
yang berlari-lari keluar dari kota raja, menimbulkan kecurigaannya sehingga ia cepat-cepat bersembunyi untuk
mengintai.



Tiga orang yang berlari amat cepat itu tidak berlari lagi, kini tampak berjalan sambil bercakap-cakap. Suling
Emas cepat menyelinap dan mendekati mereka untuk mendengarkan. Setelah dekat, dari balik pohon melihat seorang
nenek dan dua orang kakek. Nenek itu berwajah galak penuh keriput, memondong sebuah bungkusan kain kuningan
dari sutera halus. Kakek pertama sudah tua, akan tetapi tubuhnya tinggi besar dan nampak kuat, tubuh atasnya
tidak berbaju. Serasa ia mengenal tiga orang tua ini, akan tetapi di mana ia pernah bertemu. Akan tetapi begitu
mereka bertiga bercakap-cakap segera ia ingat.



"A-liong, kau yang paling kuat dan dapat menempuh perjalanan jauh, kau sajalah yang mengantarkan pangeran cilik
ini kepada Ong-ya. Biar aku dan A-kwi menyambut para pengejar sehingga kau dapat pergi jauh takkan terkejar
lagi," kata Si Nenek Tua.



"Betul ucapan Sam Hwa," kata kakek pertama yang bertongkat. "Langkahmu lebar daripada kami berdua, dan aku pun
malas kalau harus berlari-lari dikejar-kejar seperti maling."



"Ihh..., aksinya! Memang kita bertiga maling, siapa tidak tahu?" bentak nenek itu sambil menyerahkan bungkusan
sutera kuning kepada kakek tinggi besar yang disebut A-liong. Kakek A-liong agaknya tidak senang dengan tugas
ini, akan tetapi karena "kalah suara" ia menerima juga bungkusan itu. akan tetapi begitu bungkusan itu
dipondongnya, tiba-tiba terdengar tangis anak kecil yang nyaring sekali.



Eh-eh, kauapakan dia? Sejak tadi diam saja, begitu kausentuh lalu menangis!" kata Si Nenek Tua mengomel.



"Wah, celaka. Kalau menangis seperti itu tentu kau akan menjadi tontonan di sepanjang jalan," kata A-kwi.
"Bagaimana kau akan menjawab pertanyaan orang-orang di jalan? Bahwa anak ini anak selirmu? Ataukah cucumu yang
kematian ayah bundanya?"



Namun A-liong sudah menggigil ngeri, agaknya semua bulu di badannya berdiri semua ketika ia merasa betapa anak
kecil meronta-ronta dan menjerit-jerit keras. Cepat ia mengulurkan tangan ke depan, memberikan bungkusan itu
kembali kepada Sam Hwa sambil berkata,



"Tidak baik..., tidak baik...! Dalam pondongan tangan halus dia diam saja. Tanganku kasar, tidak sehalus
tanganmu, Sam Hwa."



"Cihh! Omongan tua bangka tak bermalu!" kata Sam Hwa dengan muka agak merah sambil menerima kembali bungkusan
sutera kuning yang ternyata berisi seorang anak kecil itu.



"Ha-ha-ha! Bukan karena tanganmu kasar, A-liong, melainkan bau keringatmu yang terlalu keras sehingga anak itu
tidak tahan!" A-kwi menggoda.



Suling Emas mengenal tiga orang ini sebagai pelayan-pelayan Kong Lo Sengjin! Setelah ia mendengar percakapan
mereka, ia menjadi kaget sekali. Sam Hwa si nenek tua tadi menyebut "pangeran cilik" yang harus diantarkan
kepada Ong-ya! Keonaran palagi yang akan dilakukan Kong Lo Sengjin dan anak buahnya? Mereka itu bicara tentang
pengejaran. Tak salah lagi, tentulah mereka bertiga menculik pangeran kecil itu dari dalam istana raja atas
perintah Kong Lo Sengjin yang berwatak aneh. Teringat akan percakapan rakyat yang memuji-muji kaisar baru dari
Kerajaan Sung, Suling Emas segera mengambil keputusan untuk menolong anak kecil itu.



Dengan gerakan ringan sekali Suling Emas melompat dan melayang keluar dari tempat sembunyinya, tangan kirinya
langsung menerjang dengan serangan maut ke arah kepala Sam Hwa. Serangan ini sengaja ia lakukan dengan
pengerahan tenagan sehingga terdengar suara angin bersiut menyambar. Sam Hwa terkejut sekali. Sebagai seorang
ahli silat pandai, maklum ia bahwa bayangan yang menyambar dan menyerangnya ini melakukan serangan maut yang
berbahaya. Maka cepat ia membuang diri ke belakang sambil mengangkat tangan kanan melindungi kepala. Akan
tetapi pada saat itu, bocah yang dipondongnya telah diserobot penyerang itu yang menggunakan tangan kanan
menotok pundaknya lalu merampas bungkusan sutera kuning. Tak dapat Sam Hwa mencegah perampasan ini karena
totokan pada pundak itu melumpuhkan lengan kirinya yang memondong. Di lain saat, Suling Emas sudah melompat ke
belakang, bocah dalam selimut kuning itu dalam pondongannya. Bocah itu menangis lagi, lebih nyaring daripada
tadi!



"Kembalikan anakku...!" Sam Hwa memekik marah. Setelah melihat bahwa yang merampas bocah itu bukan seorang
pengawal istana, melainkan seorang bocah laki-laki muda berpakaian seperti sastrawan, Sam Hwa tidak ragu-ragu
untuk mengakui pangeran cilik itu sebagai anaknya!



A-liong dan A-kwi juga melangkah maju dengan sikap mengancam. "Kurang ajar, berani sekali kau merampok anak
orang di tengah jalan?"



Suling Emas tersenyum mengejek. "Bibi Sam Hwa, kau yang sudah nenek-nenek mana mungkin mempunyai anak yang
masih begini kecil? Paman A-liong dan Paman A-kwi, susungguhnya siapa yang merampok anak orang? Kalian bertiga
ataukah aku? Aku tidak merampok Pangeran Kecil ini, melainkan hendak mengembalikannya di tempat yang
semestinya, yaitu di dalam istana."



Tentu saja tiga orang tua itu kaget sekali. Tiga buah nama tadi adalah nama kecil mereka, yang hanya mereka
ketahui, tak pernah diperkenalkan keluar. Bagaimana orang muda ini bisa mengenal mereka? Biarpun mereka bertiga
itu kini bekerja sebagai pelayan, namun sesungguhnya mereka bukan orang biasa. A-liong dan A-kwi adalah bekas
perwira-perwira tinggi di bawah Kong Lo Sengjin, sedangkan Sam Hwa juga seorang ahli silat tinggi, janda
seorang panglima seangkatan dengan dua orang temannya itu. Mereka ini tetap setia kepada Kong Lo Sengjin.



Karena maklum bahwa orang muda itu sudah mengetahui rahasia mereka, maka Sam Hwa yang lebih pandai bicara
segera bertanya, "Orang muda, siapakah kau yang berani mencampuri urusan pribadi kami? Andaikata benar kami
menculik seorang Pangeran Kecil, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"



"Bibi Sam Hwa dan kedua Paman A-liong dan A-kwi. kukira tidak perlu lagi berpura-pura. Kalian bertiga sudah
pernah bertemu denganku, hanya agaknya kalin sudah lupa lagi. Akan tetapi aku tahu bahwa kalian adalah anak
buah Kong Lo Sengjin, dan bahwa anak itu adalah seorang pangeran yang kalian culik dari istana atas perintah
Kong Lo Sengjin. Secara pribadi memang urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, akan tetapi setelah
mempelajari ilmu, apa gunanya kalau tidak untuk menumpas perbuatan buruk? Aku tidak ingin bermusuh dengan
kalian yang pernah bersikap baik kepadaku, akan tetapi aku pun tidak bisa membiarkan kalian menculik anak orang
semaunya. Apalagi untuk dibawa ke depan Kong Lo Sengjin yang kejam. Aku harus mengembalikan anak ini kepada
orang tuanya."



Sejenak tiga orang tua itu tertegun, terbelalak dan tidak dapat bicara saking kaget dan herannya. Akhirnya Sam
Hwa bertanya, suaranya agak gemetar, "Siapakah kau? Pengawal istana? Siapa?"



Suling Emas menggeleng kepala dan tersenyum. "Kalian sudah terlalu tua sehingga pikun. Mengapa masih mau saja
diperalat Kong Lo Sengjin untuk melakukan hal-hal yang tidak baik? Seyogianya orang-orang setua kalian ini
menenteramkan pikiran membersihkan hati menanti kematian."



"Eh, bocah gila! Lancang mulutmu!" bentak A-liong sambil melangkah maju. "Tak peduli ia pengawal atau bukan,
anak itu hars kita rampas kembali. Serbu!" bentak pula A-kwi sambil menggerakkan tongkatnya.



Karena merasa bahwa rahasia mereka telah terbuka dan jelas bahwa orang muda itu tidak mau mengembalikan
pangeran kecil yang mereka cuik, tiga orang ini serentak menyerang Suling Emas dengan gerakan yang dahsyat.
Sambil menyerang, mereka berusaha merampas anak kecil dalam pondongan Suling Emas yang masih terus menangis
keras. Kalau A-kwi mempergunakan senjata tongkat, A-liong dan Sam Hwa masing-masing menggerakkan sebatang
pedang tipis. Serangan mereka cepat dan mengandung tenanga yang hebat.



Namun tiba-tiba mereka terkejut dan menjadi silau pandang matanya oleh sinar kuning emas yang bergulung-gulung
dan melingkar-lingkar. Dalam saat berikutnya, serbuan tongkat dan dua batang pedang sudah terlempar jauh dan
ketiga orang anak buah Kong Lo Sengjin itu terpekik kesakitan, melompat mundur dan memegangi tangan kanan yang
terasa kaku nyeri dengan tangan kiri. Terbalalak kagum mereka berdiri memandang Suling Emas yang kini berdiri
dengan tangan kiri memondong anak kecil, tangan kanan memegang sebatang suling yang berkilauan tertimpa sinar
matahari pagi.



"Suling Emas...!!" Hampir berbareng mereka berseru ketika melihat suling itu. sebagai pembantu-pembantu
kepercayaan Kong Lo Sengjin, tentu saja mereka mengenal benda ini yang selalu berada bersama sastrawan Ciu Bun
di Pulau Pek-coa-to, biarpun mereka jarang datang ke pulau itu.



Suling Emas menjura sambil tersenyum. "Memang itulah namaku, dan mengingat akan kebaikan mendiang Adik Kwee Eng
dan mendiang ibunya, biarlah kuhabiskan sampai di sini saja kesalah fahaman ini. Selamat tinggal!!" Setelah
berkata demikian, Suling Emas berkelebat cepat, lari ke jurusan kota raja.



Tiga orang tua itu bengong terlongong. Barulah kini mereka teringat bahwa orang muda yang sakti itu bukan lain
adalah anak laki-laki yang pernah minta pekerjaan kepada mereka sekedar untuk makan. Anak laki-laki yang
kemudian menjadi murid Kim-mo Taisu yang kabarnya mampu mengimbangi kesaktian Kong Lo Sengjin sendiri. Akan
tetapi muridnya itu? Benar-benar tak pernah mereka menyangkanya. Karena maklum bahwa mereka bukanlah tandingan
orang muda itu, mereka menganggap bahwa tugas mereka telah gagal dan kembalilah mereka ke Pek-coa-to.



Hati Suling Ema merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa tiga orang tua itu tidak dapat mengejarnya. Akan
tetapi ia risau melihat anak kecil yang terus menangis dalam pondongannya.



"Sssstttt, diam...! Diamlah, anak manis...!" Ia membuka selimut kuning itu sehingga terbuka dan tampak muka
anak yang amat molek dan manis, yang kini mukanya merah karena banyak menangis. Mata yang bening itu memandang
penuh selidik ke arah wajah Suling Emas.



"Nah, begitu anak baik, anak manis! Jangan menangis, ya? Kubawa engkau kembali kepada ayah bundamu...!" Suling
Emas menarik muka manis dan ucapannya halus. Anak itu mengedip-ngedip, terheran, akan tetapi tidak menangis
lagi. Anak berusia kurang lebih dua tahun itu agaknya dapat merasa bahwa ia berada dalam tangan yang aman.



Belum juga sampai di pintu gerbang kota raja, serombongan penunggang kuda terdiri dari tujuh orang, berpakaian
bagai pengawal-pengawal istana, membalapkan kuda keluar dari pintu gerbang danketika bersimpang jalan dengan
Suling Emas, rombongan ini segera menahan kuda, lalu melompat turun dan berteriak kepada Suling Emas, "Hee,
berhenti dulu!"



Suling Emas berhenti, maklum bahwa pengawal-pengawal itu tentulah pasukan dari kota raja yang bertugas mengejar
penculik pangeran. Ia bersikap tenang saja dan memondong anak itu ditangan kirinya, ia membalikkan tubuh
menghadapi mereka.



"Kalian mau apa menahan orang berjalan?" tanyanya tenang. Tujuh orang pengawal itu memandang ke arah anak kecil
dalam pondongannya dan serentak mereka berseru girang. "Itu dia...! Itu dia Sang Pangeran...! Lihat pakaiannya,
selimutnya....!"



Pemimpin rombongan yang berkumis lebat segera melangkah maju, mukanya membayangkan kemarahan, keningnya
berkerut-kerut, lalu membentak,



"Heh, orang muda! Engkau benar-benar berani mati menculik putera Sri Baginda! Tak tahukah kau bahwa saat ini
ratusan orang pengawal dan pasukan keamanan berpencar di seluruh tempat untuk mencarimu? Hayo kau lekas..."



"Ssstttt....!!" Suling Emas menggerakkan bibirnya meruncing sambil menimang-nimang anak yang mulai menangis
lagi itu. "Ah, dasar engkau manusia kasar! Lihat, kalian membuat dia menangis lagi! Tidak tahukah kalian bahwa
dia tidak suka akan suara berisik? Bersikaplah tenang agar jangan membuat dia takut!!"



Seketika berubah sikap komandan pasukan kecil itu. ia memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya agar
tidak membuat gaduh dan dia sendiri pun melakukan perintah dengan suara bisik-bisik! Hal ini terjadi karena
mereka itu mengingat bahwa anak dalam gendongan orang muda itu adalah seorang pangeran, putera Sri Baginda
sendiri! Kalau anak itu menangis karena mereka dan hal itu terdengar oleh Sri Baginda, tentu mereka celaka!
Lucu sekali gerak gerik mereka itu. Lebih-lebih ketika mereka melihat anak itu terus menangis keras, mereka
menjadi bingung. Suling Emas sendiri yang menimang-nimang dan menghibur-hibur, sampai penuh keringat mukanya.
Bingung ia menghadapi seorang anak kecil yang rewel ini. Akhirnya, saking bingungnya, ia mengambil sulingnya
dan meniup suling itu dengan tangan kanan.



Seketika anak itu berhenti menangis. Dengan mata bening dan pipi basah air mata, anak itu memandang Suling
Emas. Ketika Suling Emas meniup sulingnya dengan nada naik turun, anak itu tertawa! Suling Emas gembira dan
tujuh orang pengawal juga ikut tertawa!



"Kalian jangan banyak ribut. Aku justeru hendak membawa pulang anak ini ke kota raja. Bukan aku penculiknya,
melainkan tiga orang jahat. Aku berhasil merampas anak ini dari tangan mereka. Awas, jangan banyak ribut, kalau
kalian ribut-ribut lagi dan anak ini menangis, jangan tanya dosa!" Suling Emas dengan gerakan sembarang
memukulkan sulingnya pada sebatang pohon sebesar paha orang dan... pohon itu tumbang! Pucatlah wajah tujuh
orang itu. mereka mengangguk-angguk dan ketika Suling Emas melanjutkan perjalanannya ke arah kota raja, tujuh
orang itu mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda. Melihat betapa orang muda itu membawa Sang Pangeran
benar-benar menuju ke kota raja, hati mereka lega.



Suling emas terpaksa berjalan sambil meniup sulingnya, karena anak itu menangis saja kalau tidak ditiupkan
suling. Memang Suling Emas pandai sekali bersuling, maka suara sulingnya merdu dan sedap didengar. Ketika
rombongan pengawal kedua yang terdiri belasan orang banyaknya lewat, mereka pun terheran-heran dan turun dari
kuda. Komandan pasukan pertama segera berbisik-bisik memberi tahu dan... rombongan kedua ini pun segera
mengikuti dari belakang sambil menuntun kuda masing-masing. Makin lama, makin banyaklah terdapat pasukan
berkuda dan berjalan kaki mengikuti arak-arakan ini, bahkan setelah memasuki pintu gerbang kota raja, penduduk
besar kecil ikut pula mengikuti arak-arakan menuju ke istana! Suling Emas yang berjalan didepan, enak-enak dan
tenang-tenang saja memondong Sang Pangeran sambil membunyikan suling.



Tentu saja ia diterima oleh Kaisar sendiri dengan pengawalan ketat. Orang masih belum tahu macam apa orang muda
yang membawa pulang Sang Pangeran yang hilang, maka penjagaan diperkuat dan keselamatan Kaisar dilindungi oleh
para panglima. Namun, Suling Emas bukanlah merupakan pribadi yang menimbulkan kecurigaan atau kekhawatiran. Ia
hanya seorang muda dua puluhan tahun usianya, berwajah tampan bersikap tenang dengan mata sayu dan muka muram.



Sebagai seorang terpelajar, Suling Emas tahu akan kesopanan. Di depan Kaisar dia menjatuhkan diri berlutut,
kemudian tanpa mengangkat muka dia menuturkan pertemuannya dengan tiga orang tua yang membawa Sang Pangeran,
kemudian ia menceritakan betapa ia berhasil merampas kembali Sang Pangeran dan membawanya langsung ke istana.
Setelah berkata demikian, ia mengulurkan kedua tangan yang memondong anak kecil itu. Kaisar memberi isyarat
kepada seorang dayang yang segera menerima anak itu dari tangan Suling Emas. Akan tetapi anak kecil itu
menjerit dan menangis, tidak mau terlepas dari tangan Suling Emas! Timbul sedikit kegaduhan dan Kaisar sendiri
sampai tertawa saking gembiranya melihat puteranya pulang dengan selamat. Akhirnya, permaisuri sendiri, ibu
anak itu yang ikut hadir menjemput puteranya, yang maju dan barulah anak itu mau dipondong ibunya. Akan tetapi
mulutnya masih mewek-mewek dan telunjuknya masih menuding-nuding ke arah Suling Emas. "Ha-ha-ha!" Sri Baginda
tertawa bergelak setelah permaisuri membawa puteranya masuk, diikuti para dayang cantik-cantik yang melempar
kerling dan senyum manis kepada Suling Emas yang tampan dan yang dianggap seorang gagah yang berjasa besar.
"Kau seorang pemuda yang luar biasa! Kami sudah mendengar betapa engkau membawa kembali putera kami sambil
bermain suling, diikuti ratusan orang pengawal dan penduduk. Kemudian putera kami juga sukar mau melepaskan
engkau. Sungguh menggembirakan. Eh, orang muda yang gagah perkasa, engkau siapakah?" Suling Emas berlutut
memberi hormat lalu menjawab, "Mohon beribu ampun, Tuanku Kaisar. Hamba sendiri sudah lupa akan nama hamba,
akan tetapi karena hamba memiliki benda ini dan suka sekali meniupnya, maka hamba disebut orang dengan nama
Suling Emas. Hamba tidak mempergunakan nama lain."



Suasana hening ketika semua panglima dan pembesar bersama Kaisar mendengarkan jawaban orang muda itu. Tempat
itu segera penuh dengan suara berbisik-bisik karena semua orang merasa heran mendengar jawaban sepeti ini.
Namun, Kaisar pertama dari Kerajaan Sung adalah bekas seorang panglima besar, seorang yang sudah banyak bertemu
dengan petualang-petualang dan pengelana-pengelana di dunia kang-ouw yang aneh. Kaisar tidak menjadi heran,
lalu berkata penuh wibawa, "Suling Emas, angkatlah mukamu dan dan biarkan kami melihat wajahmu!"



Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah yang
tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda, "Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan
kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."



Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri. Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk
tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini dan ia berkata,



"Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu besar
sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"



"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak mengaharapkan
hadiah apa-apa." Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa, "Kau seorang muda yang gagah
perkasa dan berati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengaharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi
saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanaah kalau
engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? kami sekeluarga akan merasa tentram dan aman apabila
engakau menjadi kepala pengawal disini." "Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih
senang hidup bebas di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."



Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi, "Memang manusia segolonganmu amat aneh. Pernah kami
bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya." Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling
Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhunya disebut-sebut. "Maka kami serahkan kepadamu sendiri Suling
Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah, apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan
bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan tidak
senang."



Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun hanya
seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang
budi, baru lega hatinya.



"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi mengijinkan
hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang
kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab
sebanyak-banyaknya." "Ha-ha-ha!" Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak
hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu.
"Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai
saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling
Emas. APa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!" Suling Emas merasa bingung. Tadinya ia terpaksa
minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi

bersambung..........13

0 komentar:

Posting Komentar