Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [3]

"Tranggg!" Terpaksa Bayisan menangkis karena cepat sekali pedang Lu sian sudah menyambar, membacok mulutnya
sehingga terpaksa ia menghentikan kata-katanya. Akan tetapi selanjutnya ia tidak berani membuka mulut lagi
karena Lu Sian sudah menyerangnya secara bertubi-tubi. Pedang nona ini berkelebatan laksana naga mengamuk
dengan gerakan-gerakan aneh dan ganas. Inilah Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang dahsyat.
Angin dari pedang ini menggerakkan daun-daun pohon yang tumbuh di pot besar di sudut kiri kamar, malah beberapa
helai daun rontok karenanya. Ujung pedangnya berubah banyak sekali, akan tetapi dengan jelas Bayisan melihat
ujung yang asli menyerang ganas ke arah perutnya sedangkan ujung pedang lain hanya bayangan karena cepatnya
pedang bergerak.
Tentu saja pemuda Khitan murid Ban-pi Lo-cia ini tidak mau dirinya disate oleh pedang lawan. Cepat ia mengubah
kuda-kuda kaki menjadi miring sambil menghantamkan pedangnya dari kiri ke kanan. Kembali terdengar suara
nyaring bertemunya kedua pedang dan sebelum Lu Sian sempat menyerang kembali, bayisan sudah melanjutkan
pedangnya menusuk ke arah dada kiri ! Lu Sian menggerakkan lengan, pedangnya sudah terputar ke kanan dan tepat
sekali menangkis. Namun Bayisan hanya menggertak, sebelum pedang tertangkis ia sudah menarik kembali pedangnya,
membuat gerakan lengkung dan membabat ke arah kaki sedangkan tubuhnya mendoyong ke depan dengan tangan kiri
terbuka jarinya mencengkram ke arah dada. Gerakan yang dahsyat, berbahaya, dan juga kurang ajar !
"Aiihhh!!" Seruan yang keluar dari mulut Lu Sian ini bukan seruan biasa, melainkan pekik yang dilakukan dengan
pengerahan khikang sehingga kalau saja Bayisan tidak kuat sinkangnya, tentu akan roboh karena lumpuh terserang
pekik luar biasa ini ! Ternyata, seperti juga Bayisan, gadis puteri beng-kauwcu ini sudah mempelajari
mempergunakan jerit yang mengandung tenaga khikang untuk merobohkan lawan. Melihat lawannya tidak terpengaruh
oleh pekikannya dan serangan berbahaya itu terus dilanjutkan, Lu Sian meloncat ke atas, membiarkan pedang lawan
membabat angin di bawah kedua kakinya sedangkan pedangnya sendiri dengan kecepatan kilat lalu berkelebat
membabat tangan kiri lawan yang hendak berbuat kurang ajar tadi.
Di sini terbukti kehebatan Lu Sian yang dapat mengubah kedudukan terserangmenjadi penyerang. Namun lawannya
juga seorang ahli karena cepat-cepat dapat menarik tangan kirinya sedangkan pedang yang membabat angin itu
sudah cepat menusuk tepat ke arah hidung Lu Sian selagi gadis ini turun kembali ke atas lantai. Serangan ini
terlalu mudah bagi Lu Sian dan dielakkannya. Bayisan mempergunakan ilmu pedang gaya barat, kembali pedangnya
mebabat kedua kaki, begitu membabat tubuhnya mendoyong ke belakang sehingga tidak memberi kesempatan kepada
lawan untuk membarengi dengan serangan balasan. Dan setiap kali Lu Sian meloncat, pedang Bayisan sudah terputar
dan menyambut lagi kedua kaki yang turun !
Menjemukan!" Lu Sian berseru keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, hampir dua meter tingginya dan dari
atas pedangnya langsung membabat leher lawan yang tubuhnya mendoyong ke belakang. Bagaikan seekor kura-kura
menyembunyikan kepala ke dalam leher, Bayisan menarik lehernya ke bawah dan dengan hati ngeri ia mendengar
mendesingnya pedang tepat di atas tengkuknya, dan alangkah kagetnya katika ia melihat Lu Sian tidak turun ke
bawah melainkan tadi meloncat dan kini tepat berada di atas kepalanya, kedua kakinya berbareng melakukan
gerakan menendang ke bawah ke arah ubun-ubun dan lehernya !
"Lihai...!" serunya, dan kembali ia menggelinding ke atas lantai, tidak peduli bahwa debu tidak saja mengotori
bajunya, juga mukanya terkena debu sehingga muka yang tampan menjadi coreng-moreng ! Akan tetapi ia selamat
daripada bahaya maut dan kini mereka sudah saling berhadapan lagi.
"Perempuan liar ! Kau tidak tahu dicinta orang ! Baik, aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu, kalau kau
masih hidup dalam pertempuran ini, lihat betapa kau akan menjadi permainanku sebelum kau kubunuh..."
"Tutup mulut!" Lu Sian meloncat ke depan dan kini ia menggunakan jurus Pat-mo Kiam-hoat yang paling lihai.
Pedangnya tidak berdesing lagi, melainkan menyambar tanpa suara, hanya angin gerakan pedangnya terasa panas
seperti mengandung api. Pedang itu membabat lagi ke arah mulut, mulut pemuda yang kurang ajar dan amat
dibencinya. Ia sudah membayangkan akan merobek mulut itu dengan pedangnya. Akan tetapi Bayisan juga sudah marah
dan mengerahkan seluruh kepandaiannya yang ia terima dari Ban-pi Lo-cia. Pedangnya membuat gerakan menyilang,
pertama menangkis dan kedua menekan dari atas dengan maksud menindih pedang lawan untuk dapat menggunakan
tangan kirinya mengirim pukulan. Namun perhitungannya meleset. Pat-mo Kiam-hoat merupakan ilmu pedang hitam
yang penuh dengan akal muslihat, mana mudah ditindih ? Bagaikan belut licinnya, pedang itu sudah melesat keluar
dari tenaga tindihannya dan kini membacok ke arah paha kanannya. Bayisan melangkah mundur, dan membarengi
pukulan ke arah pusar, sedangkan tangan kirinya kini merupakan senjata hebat dengan dorongan ke depan, mengarah
muka dengan pengerahan tenaga sinkang.

Dengan gerakan yang lemas dan indah Lu Sian menekuk tubuh ke kiri tanpa mengubah kedudukan kaki sehingga
kepalanya hampir menempel tanah, kemudian pedangnya dari arah kiri itu melesat ke depan hendak merobek perut!
"Trang, trang !" Dua kali pedang bertemu karena bagitu ditangkis pedang Lu Sian sudah bergerak lagi membacok
pundak yang hanya dapat dihindarkan dengan tangkisan ke dua.
Serang-menyerang mati-matian terjadi, setiap tusukan dibalas bacokan dan demikian sebaliknya. Mereka berputaran
di dalam ruangan itu, bertanding tanpa saksi, ada kalanya tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar pedang
mereka, ada kalanya mereka bertanding lambat dan bergerak berputar-putar, seperti dua ekor ayam berlaga. Hampir
seratus jurus mereka bertanding, peluh membasahi muka, namun belum ada yang terluka atau terdesak. Biarpun ilmu
kepandaian mereka jauh berbeda sifatnya, juga berbeda sumber, namun ternyata tingkat mereka seimbang. Lu Sian
kalah sedikit tenaganya, namun kekalahan ini tertutup oleh kelebihannya dalam kelincahan gerak.
Sebagai seorang pemuda mata keranjang yang sudah biasa menggoda dan merusak wanita, tentu saja Bayisan
terpesona dan tergila-gila kepada Lu Sian yang memiliki kecantikan sukar dicari tanding, namun kehebatan ilmu
silat gadis ini membuat ia merasa penasaran sekali sehingga serangan-serangannya tidak lagi main-main dan
lenyaplah keinginannya menawan hidup-hidup karena lawannya benar-benar berbahaya sekali. Kini ia tidak peduli
lagi apakah ia akan dapat menawan hidup-hidup atau harus membunuh, pokoknya ia harus menang karena kalau ia
kalah berarti kematian baginya ! Mereka bertanding tanpa sebab tertentu, keduanya sudah melupakan urusan yang
membuat mereka datang ke tempat itu.
Setekah lewat seratus jurus dan Liu Lu Sian yang maklum akan kemenangannya dalam ginkang, cepat mempergunakan
kemenangan ini, mengerahkan ginkangnya, menggerakkan tubuhnya secepat burung walet menyambar-nyambar, pedangnya
berkelebat bagaikan kilat halilintar. Dengan campuran Toa-hong Kiam-hoat dan Pat-mo Kiam-hoat, ia dapat
mendesak lawannya tanpa memberi kesempatan pedangnya beradu, karena terlalu sering beradu pedang berarti
kerugian baginya karena ia kalah tenaga. Bayisan mulai terdesak dan di dalam hati ia menyumpah-nyumpah. Namun,
tidaklah mudah bagi Lu Sian untuk mengalahkan lawan ini, lawan yang baru kali ini ia temui tanpa dapat
menjatuhkannya dengan segera. Selain Kwee Seng baru kali ini ia bertemu tanding yang begini muda tapi begini
tangguh, sehingga ia merasa penasaran sekali, penasaran dan marah sehingga ia tidak akan berhenti sebelum dapat
membinasakannya !
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pedangnya yang telah mengurung lawan, meluncur dari atas menusuk
tengkuk Bayisan yang baru saja membalikkan tubuh karena melihat gadis itu tahu-tahu sudah bergerak cepat dan
berada di belakangnya. Bayisan mengerti bahwa tengkuk lehernya berada dalam keadaan gawat, salah-salah bisa
putus, maka sambil membalik tadi ia cepat membabitkan pedang dengan setengah putaran melindungi tengkuk. Akan
tetapi karena ia menangkis dengan badan setengah membalik, maka kali ini tenaganya tidak dapat dipergunakan
sepenuhnya dan tidak berhasil menindih tenaga Lu Sian yang sebaliknya memang memperhitungkan hal ini dan telah
mengerahkan tenaga sepenuhnya, menggetarkan pedang yang tersalur tenaga sinkang sehingga untuk beberapa detik
kedua pedang saling menempel dan lekat ! Pada detik itu juga Lu Sian telah menggerakkan tangan kirinya dan
dalam pandangan Bayisan, tangan kiri gadis itu seakan-akan berubah menjadi seekor ular karena gerakannya
lenggak-lenggok macam ular akan tetapi tahu-tahu dua buah jari tangan itu telah mengancam sepasang biji matanya
! Hebat sekali serangan Lu Sian kali ini, karena gerakan tubuhnya adalah berdasarkan Toa-hong-kun, gerakan
pedangnya berdasarkan Pat-mo Kiam-hoat, sedangkan tangan kirinya ini mainkan gerakan Sin-coa-kun (Ilmu Silat
Ular Sakti). Sekaligus dapat mainkan jurus-jurus campuran dari tiga macam ilmu silat tinggi, dapat dibayangkan
kehebatannya.
"Ayaaaaa!!" Bayisan berseru keras saking kagetnya, mengerahkan tenaga untuk menarik pedang dan terus
menggunakan tenaga tarikan itu untuk melempar tubuhnya ke belakang, bergulingan sampai beberapa meter dan baru
berhenti setelah tubuhnya membentur dinding. Akan tetapi pada saat ia melompat bangun, tangan kirinya bergerak
dan sinar hitam menyambar cepat ke arah Lu Sian ! Kiranya ketika menghindarkan diri daripada serangan maut
sambil bergulingan tadi, Bayisan sudah mengeluarkan senjata rahasianya dan begitu meloncat bangun telah
membalas dengan senjata gelap ini. Memang hebat ! Kali ini ia tidak menggunakan hui-to yang telah dua kali ia
pergunakan tanpa hasil, maka kini ia menggunakan Jarum Racun Hitam (Hek-tok-ciam) yang pernah ia pergunakan
terhadap Kwee Seng sehingga pemuda sakti itu terjungkal ke dalam jurang. Sekarang, saking jengkelnya menghadapi
gadis jelita yang amat hebat ilmu kepandaiannya ini, Bayisan tidak segan-segan mempergunakan jarum racunnya.
Melihat sinar hitam dan desir angin, Lu Sian berseru marah. Dia sendiri adalah seorang ahli senjata rahasia
jarum, tentu saja sekali melihat ia tahu benda apa yang menyambar itu. Tangan kirinya menyambar ikat
pinggangnya dari sutera, dan sekali menggerakkan pergelangan tangan, ikat pinggang itu bergulung menjadi sinar
kuning emas dan tergulunglah jarum-jarum hitam lawan menempel pada ujung ikat pinggang. Kemudian sekali ia
menggentakkan tangan kirinya, jarum-jarum itu terbang ke arah Bayisan ! Ini masih belum hebat, biarpun sudah
membikin Bayisan berseru kagum dan kaget, karena gerakan kain dari tangan kiri Lu Sian menciptakan sinar hitam
tertiup angin, menyambar ke arah Bayisan. Ternyata gadis ini pun mengeluarkan jarum hitamnya, selain
mengembalikan senjata lawan, juga memberi "hidangan" yang sama dan yang tidak kalah lezatnya !
"Aiiihhh, perempuan iblis!" teriak Bayisan yang cepat memutar pedangnya menangkis jarum-jarum itu. Lu Sian
tersenyum puas dan menerjang maju lagi. Kembali terdengar berdesingnya pedang, disusul berkerontangannya kedua
pedang bertemu, dan menyambarnya angin dari gerakan kedua orang muda yang memiliki kepandaian tinggi ini.
Pada saat itu, terdengar suara bentakan laki-laki dari luar, "Iblis Khitan penjahat cabul, kau menipu kami!"
Maka muncullah tiga orang laki-laki setengah tua yang berpakaian seperti jembel pengemis. Mereka itu berpakaian
pengemis, pakaian mereka penuh tambalan bermacam-macam warna, akan tetapi tubuh mereka tampak sehat dan kuat,
sedangkan gerakan mereka ketika muncul diruangan itu, kelihatan gesit-gesit sekali. Mereka semua membawa
sebatang tongkat di tangan , tongkat yang butut akan tetapi di ujungnya dipasangi besi berwarna merah.
Munculnya tiga orang jembel ini menhentikan pertandingan itu. Bayisan memandang mereka dengan kening berkerut.
"Apa maksud kalian memaki?" bentaknya.
"Masih pura-pura lagi ! Kau mengaku seorang pendekar yang hendak membantu pembebasan Kam-goanswe yang kami
muliakan, akan tetapi apakah yang kau lakukan di dusun Ki-san ? Kau membasmi keluarga yang dengan baik hati
telah menolong dan merawatmu. Keparat!" Setelah seorang di antara tiga jembel itu berkata demikian, mereka
serentak maju menerjang. Melihat ini, Bayisan kaget sekali. Gerakan mereka itu cukup hebat, seungguhpun tentu
ia tidak gentar menghadapi keroyokan tiga orang pengemis ini, namun kalau mereka bertiga membantu Lu Sian
menghadapinya, tentu ia akan celaka. Kepandaiannya melawan Lu Sian berimbang, ada sedikit saja bantuan yang
menambah tenaga Lu Sian, berarti ia menghadapi maut. Bayisan cerdik orangnya. Melihat gelagat tidak
menguntungkan dirinya, ia tertawa dan tiba-tiba tubuhnya meloncat ke luar dari jendela. Tiga orang pengemis itu
mengejar cepat. "Hendak lari ke mana kau jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga)?"
Akan tetapi Lu Sian tidak mengejar. Gadis ini hanya mengangkat pundaknya saja. Ia tidak mempunyai urusan dengan
Bayisan, dan pertandingan tadi sudah cukup untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya terhadap kekurang ajaran
Bayisan. Tentang Bayisan memperkosa atau membunuh orang, itu bukan urusannya dan ia tidak akan mencampuri.
Apalagi kalau mendengar kata-kata pengemis tadi bahwa Bayisan bermaksud membantu pembebasan Kam Si Ek. Bukankan
itu berarti bahwa Bayisan adalah seorang sahabat Kam Si Ek ?
Tiga orang pengemis tadi baru mengejar sampai di depan kelenteng, tiba-tiba Bayisan membalik dan menyerang
mereka dengan jarum-jarum hitamnya. Tiga orang pengemis itu bukan orang-orang sembarangan pula, cepat mereka
mengelak sehingga jarum-jarum itu lewat di dekat tubuh mereka, menancap dan lenyap ke dalam tembok. Akan tetapi
bau jarum-jarum itu yang amis membuat mereka kaget sekali.
"Jarum-jarum beracun...!" teriak mereka dan sejenak mereka ragu-ragu untuk melanjutkan pengejaran. Bayisan
sudah pergi jauh dan melihat jarum beracun ini, tiga orang pengemis itu tidak berani mengejar lagi, dan
teringat akan gadis perkasa yang tadi sanggup menahan pedang orang Khitan yang kosen itu, mereka segera
memasuki kelenteng.
Lu Sian tidak membuang waktu lagi. Melihat mereka menjura dengan hormat, sebelum mereka membuka mulut ia sudah
bertanya, "Tiga sahabat dari partai pengemis manakah?"
Pada masa itu memang para pengemis membentuk perkumpulan, dan hal ini dipergunakan oleh orang-orang kang-ouw
untuk menyamar sebagai pengemis pula dan terbentuklah perkumpulan-perkumpulan pengemis mereka dapat bergerak
leluasa dan tidak begitu menarik perhatian.
Tahu bahwa gadis itu bukan orang sembarangan, pengemis tertua menjura dan memperkenalkan diri. "Kami adalah
pimpinan dari Wei-ho-kai-pang."
"Ah, kiranya Sam-wi (Tuan Bertiga) adalah Sin-tung Sam-kai (Tiga Pengemis Tongkat Sakti)? Hemm, kebetulan
sekali. Aku adalah Liu Lu Sian, puteri Beng-kauwcu..."
"Ah, maaf... maaf, kami telah berlaku kurang hormat terhadap Li-Hiap. Maaf bahwa beberapa bulan yang lalu kami
tidak dapat datang menghadap ayah Li-hiap (Pendekar Wanita)."
"Tidak apa," kata Lu Sian yang serta merta menganggap mereka itu sahabat karena ucapan merkea tadi yang
memuliakan Kam Si Ek. "Tahukah kalian dimana adanya Kam-goanswe sekarang? Aku mendengar bahwa dia dijebak orang
jahat di kelenteng ini, dan tadi kalian bicara tentang Kam-goanswe kepada orang Khitan itu, apa artinya semua
ini? Harap Sam-wi suka menceritakan dengan jelas."
Diam-diam tiga orang itu saling pandang. Mereka sama sekali tidak tahu apa hubungannya puteri Beng-kauw dengan
jederal muda yang mereka kagumi itu. Akan tetapi mengingat akan kebesaran nama Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua
Bang-kauw, dan menduga bahwa gadis ini tentu bermaksud baik, mereka lalu bercerita.
Memang sesungguhnya Kam Si Ek dengan hanya sedikit pengawal telah keluar dari benteng menuju ke ibu kota
Shan-si untuk memenuhi panggilan Gubernur Li Ko Yung yang disampaikan oleh Phang-siangkun Si Komandan muka
hitam yang diam-diam mengatur pengkhianatan untuk menjatuhkan Kam Si Ek. Setelah tiba di kota Poki, rombongan
Kam Si Ek dicegat oleh gerombolan yang memang sudah disiapkan terlebih dulu. Celakanya, para pengawal Kam Si Ek
diam-diam sudah disogok pula oleh Phang-siangkun sehingga selagi tidur, Kam Si Ek disergap dan dijadikan
tawanan. Penyergapan dilakukan di dalam kelenteng yang memang diajukan sebagai tempat penginapan oleh para
pengawal Kam Si ek. Sebagai seorang komandan yang jujur dan tidak mau menggangu rakyat, Kam Si Ek memang biasa
melakukan perjalanan sederhana, menginap pun di mana saja asal jangan mengganggu penduduk, maka usul untuk
bemalam di rumah kelenteng itu diterimanya baik.
"Kami menyaksikan itu semua karena kebetulan sekali kelenteng tua ini sejak lama menjadi tempat perkumpulan
kami para pengemis Wei-ho-kai-pang." Demikian seorang di antara pimpinan kai-pang (perkumpulan jembel) itu
berkata, "Kami amat kagum kepada Kam-goanswe dan ingin sekali menolongnya, akan tetapi apakah yang dapat kami
lakukan terhadap pasukan yang begitu ketat, apalagi yang dikawal pula oleh tokoh-tokoh rahasia berilmu tinggi
yang sengaja dikirim dari Kerajaan Liang?"
"Hemm, kalau begitu, yang merencanakan panawanan tehadap diri Kam-goanswe adalah Kerajaan Liang?"
"Betul, Li-hiap. Seperti diketahui, Kerjaan Liang setelah berhasil merobohkan Kerajaan Tang, selalu mengalami
rong-rongan dari pelbagai pihak yang hendak menjatuhkannya pula. Terjadi perebutan kekuasaan dan selain ancaman
bangsa liar dari utara, juga Kerajaan Liang harus menghadapi ancaman yang tidak kalah hebatnya dari bangsa
sendiri yang memperebutkan kekuasaan setelah Kerajaan Tang roboh. Kam-goanswe terkenal sebagai seorang jenderal
yang jujur, setia dan pengetahuannya akan ilmu perang amat terkenal. Inilah sebabnya Kerajaan Liang ingin
sekali mempergunakan tenaganya dan cara satu-satunya hanya menculiknya karena Jenderal Kam tidak pernah mau
mengakui kedaulatan kerajaan-kerajaan baru yang banyak muncul setelah Kerajaan Tang jatuh. Dia seorang pahlawan
sejati, seorang patriot yang betul-betul hanya mementingkan negara dan rakyat, sama sekali tidak meributkan
soal kedudukan dan kemuliaan pribadi."
Lu Sian biasanya tidak peduli akan keadaan negara. Kini ia tertarik sekali dan makin kagumlah ia terhadap Kam
Si Ek, amat senang hatinya mendengar nama pemuda pilihan hatinya itu dipuji-puji. Dengan penuh perhatian ia
mendengarkan cerita tiga orang pengemis itu, cerita tentang keadaan negara yang biasanya ia takkan suka
mempedulikannya.
Menurut cerita Sin-tung Sam-kai, semenjak Kerajaan Tang roboh pada tahun 907 oleh pemberontakan Gubernur Ho-nan
yang bernama Cu Bun yang kemudian mendirikan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Liang, maka keadaan tidak
pernah aman. Perang terjadi dimana-mana, perebutan kekuasaan terjadi. Para pejabat tinggi bekas Kerajaan Tang
mengangkat diri sendiri menjadi raja muda dan sebagian besar tidak mau tunduk kepada raja baru itu. Sementara
itu, ancaman dari utara dan barat masih terus datang sehingga keadaan makin kacau balau. Banyak pula bekas
pejabat tinggi Kerajaan Tang yang masih setia dan mereka ini pun menggunakan pelbagai usaha untuk mendirikan
kembali kerajaan yang sudah jatuh.
"Sehari setelah Kam-goanswe dibawa pergi oleh pasukan Kerajaan Liang, di sini muncul Bayisan yang mengaku
seorang pendekar sahabat baik Kam-goanswe. Dia telah memperlihatkan kepandaiannya sehingga kami percaya dan
ketika dia minta bantuan kami untuk menyelidiki kemana Kam-goanswe dibawa, kami lalu mengerahkan anak buah kami
untuk melakukan penyelidikan itu. Akan tetapi, dengan kaget kami mendengar berita dari seorang anak buah kami
akan kejahatan Bayisan itu di dusun Ki-san."
"Apa yang ia lakukan?" "Seorang pencari kayu di hutan pada suatu hari mendapatkan Bayisan dalam keadaan pingsan
di dalam hutan. Pencari kayu she Chie itu menolongnya dan membawanya pulang ke rumah. Akan tetapi apa yang
dilakukan jahanam itu sebagai balas budi ini ? Dua hari kemudian ia membunuh pencari kayu berikut isterinya dan
anak-anaknya sebanyak tiga orang berikut gadis itu sendiri ! Tentu saja kami yang mendengar ini menjadi marah
sekali dan menyerbu ke sini, kiranya Li-hiap sudah lebih dulu datang menggempurnya. Sayang ia terlalu lihai sehingga kita tak dapat membinasakannya!"
Akan tetapi Lu Sian sama sekali tidak tertarik oleh cerita tentang Bayisan ini, maka tanyanya cepat, "Lalu,bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian ? Kemana dibawanya Kam-goanswe oleh pasukan itu?"
"Sudah kami selidiki dan ternyata dibawa ke kota raja, yaitu di ibukota Ho-nan."
Ke manapun juga akan kukejar, pikir Lu Sian. Ibu kota Ho-nan yang sekarang menjadi kota raja adalah Kai-feng,
dan ia harus segera berangkat ke sana.
"dan Bayisan itu, apa maksudnya dengan pernyataannya bahwa ia hendak menolong Kam-goanswe pula?"
"Kami tidak tahu jelas karena ia seorang yang berhati palsu. Akan tetapi kami dapat menduganya, Li-hiap. Bukan
tak mungkin bahwa dia pun seorang kepercayaan Kerajaan Khitan yang juga ingin sekali mempergunakan tenaga dan
pikiran Kam-goanswe dalam soal ilmu perang. Bangsa Khitan sendiri sudah berkali-kali mengalami kekalahan
apabila berhadapan dengan pasukan yang dipimpin Kam-goanswe."
"Baik, terima kasih, Sin-tung Sam-kai. Sekarang perkenankan aku pergi, aku hendak menyelidiki ke Kai-feng."
"Berhati-hatilah, Li-hiap. Dalam masa perebutan kekuasaan ini, raja-raja muda banyak menarik tenaga orang-orang
pandai yang tentu akan berlomba merampas seorang penting seperti Kam-goanswe."
Dengan tergesa-gesa karena masih saja hatinya mengkhawatirkan nasib jenderal muda she Kam itu, Liu Lu Sian
segera meninggalkan kota Poki, kembali ke dusun keluar kota untuk mengambil kudanya, kemudian ia membalapkan
kuda itu ke timur-laut, menuju ke kota raja dari Kerajaan Liang.
Apa yang diceritakan secara singkat oleh Sin-tung Sam-kai tiga orang pimpinan perkumpulan jembel
Wei-ho-kai-pang itu memang benar. Perebutan kekuasaan di antara para bekas pembesar tinggi Kerajaan Tang, para
bekas pangeran dan raja muda yang mengangkat diri sendiri setelah Kerajaan Tang roboh, benar-benar membuat
rakyat amat menderita. Rakyat yang tidak tahu apa-apa, yang lemah dan miskin, selalu yang menjadi korban tiap
kali terjadi perang dan keributan. Pemuda-pemudanya dipaksa menjadi tentara, hasil sawah ladangnya dirampasi,
pajaknya diperberat secara paksa, gadis-gadisnya yang muda dan cantik diambil secara paksa untuk menghibur
pasukan-pasukan yang lewat.
Akan tetapi, mereka yang tergolong orang-orang pandai, ahli silat dan ahli perang, bermunculan dan keadaan
keruh seperti itulah merupakan masa jaya bagi mereka. Inilah masanya bagi para perampok untuk beraksi tanpa
takut dihancurkan petugas keamanan karena orang lebih meributkan mencari kedudukan daripada menjaga keamanan
rakyat. Masanya bagi yang kuat menindas yang lemah. Masanya pula bagi orang-orang sakti yang di masa aman
tenteram pergi ke guha-guha, ke puncak-puncak gunung, ke tepi-tepi laut untuk bertapa, untuk turun gunung masuk
kota raja untuk menawarkan kepandaian mencari jasa dan kedudukan mulia ! Dan memang para raja muda yang
mempunyai cita-cita mengangkat diri menjadi raja besar, amat membutuhkan tenaga orang-orang sakti ini. Tidak
peduli si orang sakti itu terdiri daripada golongan hitam maupun putih, penjahat maupun pendeta, asal sakti dan
tenaganya dapat dipergunakan, tentu oleh si pangeran atau raja muda akan diterima penuh kegembiraan, dihujani
hadiah emas permata, pakaian indah, makanan lezat, atau wanita cantik.
Memang menurut sejarah, jaman Lima Wangsa selama setengah abad ini, adalah jaman yang paling keruh dan penuh
dengan perang antara saudara. Semenjak Kerajaan Tang jatuh dalam tahun 907, disusul dengan perebutan kekuasaan
yang memecah-mecah bangsa. Dunia kang-ouw terpecah-belah pula, karena masing-masing membela yang mempergunakan
mereka. Tidak jarang terjadi bentrokan hebat antara perkumpulan-perkumpulan orang gagah. Bahkan parai-partai
persilatan besar, kelenteng-kelenteng besar yang mempunyai banyak anak murid banyak yang terseret-seret.
Dalam perjalanannya mencari Kam Si Ek menuju ke ibu kota Kai-feng yang berada di lembah selatan Sungai Kuning,
Liu Lu Sian banyak sekali melihat pertempuran-pertempuran dan banyak penderitaan para pengungsi ! Namun karena
ia sendiri mempunyai urusan penting yang amat menggoda hatinya, maka ia sengaja menjauhkan diri dari semua
halangan, tidak mau melayani urusan kecil yang akan memperlambat perjalanannya dan tidak mempedulikan pula
penderitaan para pengungsi yang amat menyedihkan itu. Akan tetapi, pada suatu hari, ia tertarik juga akan
sesuatu peristiwa dan terpaksa menunda perjalanannya untuk menyaksikan peristiwa itu.
Pagi hari itu, ketika Lu Sian menunggangi kudanya melalui jalan sunyi yang rusak oleh air hujan, tiba-tiba ia
mendengar suara jeritan yang sambung menyambung. Suara seperti ini sudah biasa ia dengar. Tentu wanita yang
diculik pasukan tentara, atau diganggu orang jahat, pikirnya tanpa mau mempedulikannya. Akan tetapi pekik itu
tidak hanya jerit wanita, bahkan pula teriakan laki-laki yang agaknya menghadapi maut. Ini pun tidak menarik
perhatian Lu Sian. Tiba-tiba ia menghentikan kudanya dengan menahan kendali. Telinganya mendengar bersiutnya
angin yang aneh. Itulah hawa pukulan yang luar biasa, pikirnya. Tentu ada orang sakti yang bertempur di sana.
Sebagai seorang ahli silat, hal ini amat menarik hatinya dan ia segera meloncat turun dari kudanya, membiarkan
kudanya makan rumput di situ lalu ia sendiri berlari memasuki dusun itu, menyelinap di antara pohon dan
semak-semak.
Ia melihat seorang kakek yang rambutnya riap-riapan, akan tetapi pakaiannya biarpun kotor berdebu terbuat
daripada bahan sutera yang mahal, mukanya keruh pandang matanya kejam, alisnya berkerut seperti orang marah.
Kakek ini duduk di atas sebuah batu besar di pinggir jalan, kedua kakinya bersila dan kelihatan lemas. Di dekat
batu besar itu tampak sebuah dipan bambu yang biasa digunakan orang untuk mengangkut orang-orang sakit, dan dua
orang pemanggulnya kini berada di belakang kakek itu, seorang duduk mengipasi lehernya yang berkeringat dan
yang seorang lagi berdiri sambil bertolak pinggang mengikuti gerakan kakek tadi. Melihat wajah dua orang itu
yang bodoh, mereka itu agaknya hanya tukang panggul dipan itu yang hanya bertenaga besar.
Yang amat menarik perhatian Lu Sian adalah di sekeliling tempat duduk kakek itu, di mana tampak belasan mayat
bergelimpangan. Mereka itu tidak kelihatan terluka dan di dekat mereka banyak senjata malang melintang, bahkan
di antara mayat itu ada yang masih memegang pedang. Akan tetapi semua mayat itu mengeluarkan darah dari mulut,
hidung, mata dan telinga ! Di antaranya terdapat pula wanita-wanita yang agaknya hanya wanita biasa, mungkin
para pengungsi karena di sana-sini kelihatan buntalan-buntalan pakaian.
Pada saat itu, datang pula serombongan pengungsi, di depannya berjalan dua orang laki-laki muda dan seorang
gadis tanggung. Melihat gerakan mereka, dapat diduga bahwa dua orang pemuda itu memiliki kepandaian silat,
bahkan yang seorang sudah memegang sebatang pedang telanjang. Para pengungsi laki-laki dan perempuan dan yang
jumlahnya dua puluh orang lebih, berjalan di belakang tiga orang muda itu dengan mata terbelalak lebar
membayangkan kengerian dan ketakutan.
"Mana dia ? Mana kakek gila yang jahat dan membunuhi pengungsi itu?" bentak pemuda yang memegang pedang.
Para pengungsi yang berada di belakangnya dengan muka pucat menuding ke arah kakek yang sedang duduk tenang di
atas batu sambil berkata, "Itu dia, iblis tua itu..."
Si Pemuda bersama dua orang temannya tercengang, seperti tidak percaya. Pemuda berpedang melangkah maju. "Dia
ini...? Kakek lumpuh...?"
Kakek itu membuka matanya yang tadinya seperti selalu ditutup, memandang tiga orang muda dengan penuh
perhatian, lalu dengan suara malas bertanya.
"Kalian juga mengungsi ? Apakah hendak tunduk kepada Kerajaan pemberontak Liang?"
"Kakek iblis ! Orang-orang ini mengungsi menyelamatkan diri dari ancaman perang, mengapa kau bunuh mereka ?
Siapa kau?" bentak pemuda berpedang.
"Jawab ! Kalian hendak mengungsi dan tunduk kepada pemberontak Liang?"
"Kami tunduk kepada pemerintah yang mana, peduli apa denganmu?"
"Hemm, kalian tidak setia kepada Kerajaan Tang, maka harus mati juga."
"Kakek gila ! Kau... kau pembunuh kejam, kau harus dienyahkan..." Pemuda itu menerjang maju dengan pedang
digerakkan, akan tetapi dengan kakek itu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan dengan jari tangan terbuka.
Bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, pemuda berpedang itu terangkat dan terlempar ke belakang, menjerit
dan roboh dengan pedang di tangan, dari mulut, hidung, mata dan telinganya keluar darah. Gadis tanggung itu
menubruknya dan menangis ketika menyaksikan bahwa kakaknya itu ternyata telah tewas !
"Siluman keji...!" Pemuda ke dua marah sekali, lupa akan bahaya dan melompat ke depan, kedua tangannya bergerak
memukul.
Si kakek tetap tenang, kembali tangan kirinya terangkat dan... pemuda kedua itu mengalami nasib sama. Tubuhnya
terangkat dan terlempar lalu terbanting ke bawah, tewas dalam keadaan mengerikan ! Kakek itu tidak berhenti
sampai di situ, ia menggerakkan tangannya pula dan kini gadis tanggung yang menangis itu bagaikan kena hantam
kepalanya oleh palu godam, terjengkang dan tewas, juga berdarah dari mulut, hidung, mata dan telinganya !
Melihat ini, para pengungsi itu lari seperti dikejar setan dan keadaan di situ sunyi kembali. Lu Sian bergidik.
Hebat kakek ini. Pukulan jarak jauh membayangkan tenaga sin-kang yang luar biasa. Lu Sian bersembunyi dan
mengintai terus. Dari jauh datang lagi rombongan pengungsi baru, terdiri dari sebelas orang. Mereka itu
terkejut ketika melihat mayat bergelimpangan di pinggir jalan, akan tetapi mereka tidak menaruh curiga kepada
Si Kakek Lumpuh.
"Apa yang terjadi ? Lopek, apakah yang terjadi di sini ? Mengapa begini banyak orang mati..." Seorang di antara
rombongan pengungsi itu bertanya.
Dengan gerakan perlahan, kakek itu menoleh, menyapu para pengungsi yang terdiri dari dua keluarga itu dengan
pandang mata dingin. "Kalian hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang?"
"Tidak." Jawab orang itu, "Kami mencari daerah tak bertuan, lebih baik hidup di gunung-gunung di mana terdapat
ketentraman."
"Hemm, kalian tidak senang dengan pemberontak Liang?"
"Ah, semenjak runtuhnya Kerajaan Tang, kami tidak pernah mengalami ketenteraman lagi. Mana ada pemerintah yang
menyenangkan sekarang ini, biarpun banyak hidup kerajaan-kerajaan baru?"
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak, tangannya merogoh saku baju dan ia melemparkan sekantung uang perak.
"Terimalah ini, berangkatlah dan memang lebih baik kalian mengungsi ke gunung-gunung. Selamat jalan!"
Orang itu terkejut dan bingung, pandang matanya menaruh curiga. Pasti ada hubungannya keadaan kakek aneh ini
dengan kematian begitu banyak orang. Setelah menghaturkan terima kasih, ia tergesa-gesa membawa keluarganya
meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan ini pergi, sampai sore hari, hanya serombongan pengungsi lagi yang lewat di situ, terdiri
dari belasan orang yang kesemuanya, dari anak bayi sampai kakek-kakek, dibunuh oleh kakek lumpuh ini karena
mereka itu semua hendak mengungsi ke kota raja Liang, yaitu kota Lok-yang ! Bertumpuk-tumpuk mayat pengungsi di
tempat itu, dan Si Kakek Lumpuh lalu pergi dari situ, duduk di atas pikulan yang berupa dipan bambu digotong
dua orang pemikulnya.
Liu Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw. Semenjak kecil gadis ini berdekatan dengan orang kang-ouw yang sakti
dan aneh, tidak heran pula melihat kekejaman-kekejaman dilakukan orang. Ayahnya dan para pimpinan Beng-kauw
juga merupakan orang-orang aneh yang dapat membunuh orang lain begitu saja tanpa berkedip. Akan tetapi kini
menyaksikan kakek lumpuh yang membunuh para pengungsi tanpa pilih bulu, laki perempuan tua muda, sampai bayi
dibunuh hanya karena mereka hendak mengungsi ke Lok-yang, benar-benar menjadi kaget dan bergidik. Bukan main
kejamnya kakek lumpuh ini, pikirnya. Biarpun urusannya itu tiada tiada sangkut-pautnya dengan dirinya, namun ia
sudah merasa tertarik untuk mengikuti kakek lumpuh itu, dan kalau perlu ia hendak turun tangan mencoba-coba
kehebatan Si Kakek Lumpuh yang ia percaya tentu mempunyai kepandaian tinggi sekali.
Kakek itu bermalam di sebuah gubuk rusak di pinggir sawah, dilayani oleh kedua orang pemikulnya. Betapa
herannya hati Lu Sian ketika kakek itu mengeluarkan sekantung uang emas, memberikan kepada kedua pemikulnya
sambil berpesan agar besok kedua orang itu mencarikan sebuah kereta dan kuda yang baik untuknya. "Aku hendak
melakukan perjalanan jauh ke selatan, kalian mana kuat memikul aku terus?" demikian katanya dengan suara
perlahan akan tetapi berpengaruh sedangkan kalimatnya teratur baik seperti ucapan seorang pembesar atau
bangsawan. Dua orang pemikul itu tidak banyak cakap, akan tetapi meraka itu memperlihatkan sikap menghormat
sekali, menyanggupi dan menyebut paduka kepada kakek itu, kadang-kadang menyebut Ong-ya atau Taijin.
Malam itu bulan bersinar penuh,Lu Sian masih mengintai di sekitar tempat itu ketika ia malihat berkelebatnya
bayangan yang gerakannya cepat bukan main. Tahu-tahu bayangan itu sudah tiba di depan gubuk di mana Si Kakek
Lumpuh berada, dan terdengar suara erang laki-laki yang parau tetapi nyaring.
"Hee, Couw Pa Ong ! Kau terkenal dengan julukan Sin-jiu (Tangan Sakti), apakah tangan saktimu itu hanya untuk
membunuhi rakyat tidak berdosa ? Sin-jiu Couw Pa Ong, kalau ada kepandaian, keluarlah!"
Terdengar suara tertawa mengejek dari dalam gubuk. Couw Pa Ong Si Raja Muda sudah lenyap bersama lenyapnya
Kerajaan Tang yang besar ! Akan tetapi aku Si Tua Bangka Kong Lo Sengjin akan membunuh setiap orang yang tidak
setia kepada Dinasti Tang. Orang usilan, kau siapa?"
Orang di luar itu tertawa juga, "Ha-ha-ha, Couw Pa Ong ! Setelah kau kalah dan remuk kedua kakimu, kau merasa
malu dengan kekelahanmu sehingga kau mengganti nama ? Ha-ha-ha, sungguh lucu ! Biarpun mengganti nama seribu
kali, siapa tidak akan mengenal Sin-jiu Couw Pa Ong yang besar namanya akan tetapi kini sudah bangkrut dan
lumpuh ? Pinceng Houw Hwat Hwesio dari Siauw-lim-si, tidak akan mendiamkan saja melihat kau bertindak
sewenang-wenang!"
Dari dalam gubuk terdengar suara meludah. "Cuhhh ! Segala macam pendeta ! Kau selalu hanya membantu yang
menang, untuk yang kuat memberi sumbangan, untuk orang-orang kaya dan orang-orang segolongan. He, pendeta
tengik ! Selama kau menjadi pendeta pernahkah kau berdoa untuk si miskin jembel kelaparan ? Pernahkah kau
berdoa untuk si jahat agar kembali ke jalan yang benar ? Pernah kau membantu untuk pelaksanaan doa-doamu dengan
perbuatan nyata ? Apa jasamu untuk negara dan bangsa ? Apakah orang-orang menjadi baik setelah kau setiap hari
bersembahyang?"
"Cukup ! Kau bekas raja muda memang terkenal jahat, tidak mengenal Thian!" Si Hwesio marah, memutar toya
(tongkat panjang) dan mendekati pintu gubuk.
"Ha-ha-ha-ha ! Apakah tandanya orang mengenal Tuhan ? Hanya karena gerak bibir dan goyang lidah cukup menjadi
tanda mengenal Tuhan ? Dengar, pendeta tengik, orang bisa saja mengenal Tuhan tanpa mempedulikan perilaku
kebajikan, akan tetapi tak mungkin orang mengabdi kebajikan tanpa mengenal Tuhan! Perbuatan nyata yang menjadi
ukuran, bukan gerak bibir dan goyang lidah!"
"Apa perbuatanmu baik ? Ihhh, manusia yang sudah gelap hatinya ! Kalau pinceng (aku) tidak turun tangan
menghukummu mewakili Thian, kau tentu akan makin merajalela!" Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat
memasuki pintu gubuk.
Liu Lu Sian memandang penuh perhatian. Gerakan hwesio cukup hebat dan ia pikir tentu kakek lumpuh itu akan
menghadapi lawan tangguh. Akan tetapi setelah hwesio itu menerobos masuk, ia hanya mendengar suara ketawa Si
Kakek Lumpuh, dibarengi suara "krakkk!" dan disusul melayangnya tubuh hwesio itu keluar gubuk bersama toyanya
yang sudah patah-patah menjadi tiga potong ! Akan tetapi hwesio itu bukan terlempar melainkan melompat keluar.
Agaknya ia gentar dan juga marah.
"Couw Pa Ong orang buronan (pelarian)! Pinceng datang memang bukan untuk melawanmu seorang diri, akan tetapi
hendak menyampaikan tantangan ! Kalau memang gagah, datanglah di tepi sungai, kami Wei-ho Si-eng (Empat Orang
Gagah Sungai Wei-ho) menantimu malam ini juga!"
"Ha-ha-ha ! Aku Kong Lo Sengjin mana kenal segala cacing tanah yang bernama Wei-ho Si-eng segala ? Akan tetapi
jangan kira karena kedua kakiku lumpuh, kalian empat ekor cacing tanah dapat menghinaku. Kalian tentulah empat
orang pengkhianat dan penjilat Kerajaan Liang, harus kubunuh. Kautunggulah, sekarang juga aku datang memenuhi
tantanganmu!"
Hwesio itu meleset pergi dengan gerakan cepat sekali. Liu Sian makin tertarik. Ia sudah mendengar dari ayahnya
akan nama Sin-jiu Couw Pa Ong yang terhitung seorang diantara tokoh-tokoh besar di dunian persilatan. Menurut
cerita ayahnya, Couw-Pa Ong adalah seorang Raja Muda Kerajaan Tang yang memiliki ilmu silat tinggi sekali,
seorang yang mempertahankan Kerajaan Tang, akan tetapi karena pengeroyokan orang-orang gagah yang berusaha
menjatuhkan kerajaan itu, ia kalah dan terpukul hancur kedua kakinya. Semenjak itu orang tidak mendengar lagi
namanya dan ia dianggap sebagai seorang pelarian yang selalu dicari oleh Kerajaan Liang untuk dibinasakan.
Sekarang ia secara kebetulan bertemu dengan tokoh ini, menyaksikan keganasan yang luar biasa dan juga sebentar
lagi ia akan menyaksikan kelihaian kakek lumpuh ini menghadapi empat orang gagah yang berjuluk Wei-ho Si-eng.
Maka ketika ia melihat kakek itu keluar dari gubuk, duduk di atas dipan bambu dan dipukul dua orang pelayannya,
secara diam-diam ia mengikuti dari jauh. Tidak berani ia mengikuti terlalu dekat karena kakek lihai itu
berbahaya sekali dan ia tidak mau melibatkan diri dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya
dengan dirinya. Maka ia malah mendahului larinya dua orang pemikul itu, menuju ke tepi sungai, ia melihat empat
orang sudah menanti musuh. Ia memperhatikan mereka.
Di bawah sinar bulan yang penuh dan terang, ia melihat seorang hwesio setengah tua, yang ia duga tentulah
hwesio yang tadi dipatahkan toyanya oleh Si Kakek Lumpuh. Hwesio ini bertangan kosong, akan tetapi melihat
bentuk tubuhnya yang tegap, dapat dibayangkan bahwa tanpa toya, hwesio bernama Houw Hwat Hwesio murid
Siauw-lim-pai ini tentulah seorang lawan yang cukup tangguh. Orang ke dua adalah seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun lebih, memegang sebatang tongkat baja, berdiri tegak memandang ke depan. Orang ke tiga adalah
seorang tosu (pendeta To) yang tidak memegang senjata apa-apa, akan tetapi pinggangnya terlibat sebuah cambuk
hitam. Adapun orang ke empat adalah seorang wanita berusia empat puluh tahun, di punggungnya terselip sebatang
pedang. Mereka berempat berdiri dengan sikap tegang dan memandang ke depan, menanti datangnya musuh mereka yang
lihai, yang akan muncul dari arah timur.
Lu Sian juga memandang ke arah itu. Dan tak lama kemudian, di bawah sinar bulan yang mencorong yang merupakan
bola api merah bulat di sebelah timur, muncullah dua orang pemikul itu, berjalan dengan langkah lebar setengah
berlari. Kakek lumpuh itu bersila di atas dipan bambu, rambutnya sebagian besar menutupi muka, menyembunyikan
sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti mata harimau. Suasana menjadi tegang sekali, dan ini terasa oleh
Liu Lu Sian yang sudah merasa gembira karena sebentar lagi ia akan menyaksikan pertandingan hebat. "Berhenti!"
Kakek lumpuh mengomando dan kedua orang pemikul itu berhenti pada jarak dua puluh meter dari keempat orang yang
sudah siap itu. Tiba-tiba pikulan itu berikut dipan bambu dan kakek lumpuh, terlempar ke atas, melayang ke
depan dan turun ke atas tanah di depan empat orang musuh, turun tanpa suara dan tanpa menimbulkan debu
seakan-akan sehelai daun kering melayang turun dari pohon. Bukan main hebatnya gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) yang diperlihatkan kakek lumpuh itu !
Dua orang pemikul lau berjongkok dan sikap mereka tidak peduli. Agaknya sudah terlalu sering mereka ini melihat
tuan mereka bertempur atau membunuh orang. Memang selama belasan tahun ini setelah Kerajaan Tang roboh, Sin-jiu
Couw Pa Ong yang sudah mengganti namanya menjadi Kong Lo Sengjin, kerjanya hanyalah mencari perkara dan
membunuhi orang-orang yang dianggapnya tidak setia kepada Kerajaan Tang yang sudah roboh. Dalam kecewanya dan
sakit hatinya karena kedua kakinya lumpuh, kakek ini menjadi seperti tidak normal lagi pikirannya, menjadikan
ia ganas kejam dan gila-gilaan !
"Nah, kalian menentangku, aku sudah datang. Majulah!" dengan sikap tenang saja, masih bersila, kedua tangannya
diletakkan di atas paha, kakek itu menantang.
Hwesio itu mewakili teman-temannya menjawab setelah melangkah maju setindak, "Couw Pa Oag, sebelum kami turun
tangan terhadapmu, baiklah kau ketahui lebih dulu bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak tahu bahwa kau
seorang bekas raja muda yang setia terhadap rajamu, dan di samping itu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw.
Kalau kau membunuhi musuh-musuhmu atau membunuhi orang-orang yang kau anggap telah menghianati Kerajaan Tang,
itu pinceng dan adik-adik pinceng ini tidak akan ambil peduli. Akan tetapi secara kejam kau membunuhi para
pengungsi hanya karena mereka hendak mengungsi ke daerah Kerajaan Liang, hal ini amatlah keji dan bukan hanya
kami, melainkan semua orang gagah tentu akan menentangmu. Kami berempat sudah mengangkat saudara, bersumpah
hendak membasmi kejahatan. Pinceng Houw Hwat hwesio murid dari Siauw-lim-pai, Toheng ini Liong Sin Cu seorang
tosu dari Kun-lun-pai, dia itu Bun-tanio dari Hoa-san-pai beserta Lu Tek Gu adik seperguruannya. Kaulihat kami
adalah murid-murid partai besar, selalu mentaati perintah perguruan untuk membasmi kejahatan..."
"Cukup ! Ha-ha-ha, hwesio mentah ! Kau perlu apa berpidato di depanku ? Kau tahu apa ? Dengan membunuhi para
pengungsi itu, aku telah berbuat kebaikan terhadap mereka. Pertama, mereka mengungsi ke daerah pemerintah
pemberontakan Liang, sama dengan mencari kesengsaraan, maka aku bebaskan mereka sehingga tidak usah menghadapi
bencana. Ke dua, mereka itu mudah melupakan pemberontakan Cu Bun yang merebut tahta kerajaan, berarti mereka
itu lemah dan pengecut, tidak setia. Apa harganya untuk hidup lebih lama lagi!"
"Benar-benar alasan yang bocengli (tak pakai aturan), seenak perutnya sendiri!" bentak Lo Tek Gu si murid
Hoa-san-pai yang memegang tongkat. "Mari kita hajar tua bangka keji ini!"
Liu Lu Sian yang menonton sambil sembunyi, diam-diam merasa gembira dan kagum terhadap Kong Lo Sengjin Si Kakek
Lumpuh. Lihai ilmu silatnya, lihai pula kata-katanya, aneh dan juga terlalu sekali ! Ia mengharapkan
pertandingan yang ramai sehingga tidak percuma ia mengintai dan mengikuti kakek itu sampai sehari lamanya,
apalagi kalau diingat bahwa empat orang pengeroyok ini adalah murid-murid partai persilatan besar,
Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, dan Hoa-san-pai ! Tiga buah partai besar yang sering disebut-sebut ayahnya dan
dikagumi.
Mula-mula memang empat orang itu bergerak dengan cepat dan indah sekali mengurung Si Kakek Lumpuh. Hwesio
Siauw-lim-pai itu yang telah kehilangan toya, kini mematahkan dahan pohon dan memutar-mutar dahan ini dengan
tenaga besar menimbulkan angin berderu, Tosu dari Kun-lun-pai yang bernama Liong Sun Cu itu pun meloloskan
cambuknya dan terdengar bunyi keras seperti petir menyambar di atas kepala. Sungguhpun tidak sehebat paman
gurunya, Kauw Bian, permaianan cambuk itu, namun Lu Sian mengagumi keindahannya. Adapun kakak
beradikseperguruan dari Hoa-san-pai, juga tidak kalah hebatnya. Permainan pedang wanita itu amat cepat,
pedangnya lenyap berubah sinar pedang bergulung-gulung, sedangkan tongkat sutenya juga bergerak-gerak laksana
seekor naga mengamuk.
Akan tetapi segera Lu Sian kecewa. Entah empat orang itu hanya memiliki gerakan ilmu silat indah yang kosong
saja, ataukah Si Kakek Lumpuh yang terlalu ampuh bagi mereka ? Disambar empat macam senjata dari empat penjuru,
tubuh bagian atas kakek itu hanya bergerak-gerak seperti batang padi tertiup angin pukulannya menyeleweng ke
kanan ke kiri. Tiba-tiba terdengar kakek itu tertawa bergelak, tubuhnya yang masih bersila itu tahu-tahu sudah
melayang ke atas kemudian menyambar ke arah Houw Hwat Hwesio. Hwesio Siauw-lim-pai ini kaget sekali, cepat ia
menyambut dengan sodokan toyanya ke arah ulu hati. Kong Lo Sengjin menangkap toya itu berbareng tangan kirinya
menampar dilanjutkan dengan tangan kanan yang menangkap toya mendorong keras. Houw Hwat Hwesio berteriak sekali
dan tubuhnya sudah terlempar ke bawah. Terdengar air muncrat dan tampaklah tubuh hwesio itu terapung-apung
seperti sebatang balok hanyut !
"Siluman tua, berani kau membunuh saudara kami?" bentak Liong Sun Cu si tosu Kun-lun-pai. Cambuknya
menyambar-nyambar dengan suara keras. Karena kakek tua itu kini sudah duduk bersila lagi di atas bambu setelah
tadi menyerang Houw Hwat Hwesio, maka cambuk Liong Sun Cu menyambar ke bawah, ke arah kepalanya. Bun-toanio
yang juga marah, menerjang dengan tusukan pedang dari belakang, mengarah punggungnya, sedangkan Lu Tek Gu
menghantamkan tonkatnya ke arah pundak kiri.
Kong Lo Sengjin kembali mengeluarkan suara ketawa keras. Ia membiarkan cambuk itu mengenai kepalanya. Ujung
cambuk menghantam kepalanya terus melibat, akan tetapi ketika tosu Kun-lun-pai yang kegirangan melihat hasil
serangannya itu hendak menarik kembali cambuknya, ia kaget setengah mati karena cambuknya seakan-akan telah
tumbuh akar di kepala kakek itu, tak dapat ditarik kembali ! Pedang yang menusuk punggung dan tongkat yang
menghantam pundak juga tidak ditangkis, akan tetapi pedang dan tongkat meleset hanya merobek baju saja,
seakan-akan yang diserang adalah baja yang keras dan licin sekali. Selagi tiga orang pengeroyoknya kaget, kakek
itu sudah menyambar cambuk dan tubuhnya kembali mencelat ke atas. Kedua tangannya bergerak, cepat sekali
sehingga sukar diikuti dengan pandang mata, menampar tiga kali ke arah kepala para pengeroyoknya, sambil
menampar, ia terus mencengkram dan melempar. Hanya jerit tiga kali terdengar dan tampaklah tiga orang gagah itu
berturut-turut melayang dari atas tebing, jatuh ke dalam sungai dan tubuh mereka terapung-apung seperti
ikan-ikan mati, hanyut mengikuti mayat Houw Hwat Hwesio !
Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata. "Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan, sampai di
sini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan
mampus di tangan kakek sakti itu !
"Hemm, kenapa ? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka membunuh orang
banyak, Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan mereka, akan tetapi hamba
berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara
penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami ? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor kepada
raja pemberontak ! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus ! Nah, kauperhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya
sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua
orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang
rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat
yang luar biasa itu. Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam
suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas
pemikulnya, merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri ilmu
itu masih tidak usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu
merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya. Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu
silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula. Teringat ini, ia membayangkan
betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan kalau dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang.
Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu
ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya, atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini
dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih dulu
cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan
langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan
sepasang kakinya. Biarpun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan
dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu
lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh ! Sebentar saja bayangannya lenyap ke arah timur dari mana malam
tadi muncul.
Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu
tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee
Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian banyaknya
pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau
kalah oleh siapapun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang
tak bersalah. Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapapun juga, Kwee
Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman
seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman ! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek
terbayang lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba-tiba ia teringat akan keadaan
Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi
ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan.
Karena ia sama sekali kehilangan jejak Kam Si Ek dan di sepanjang jalan tak seorang pun pernah melihat jenderal
muda ini, Lu Sian menduga bahwa andaikata benar pemujaan hatinya itu diculik oleh kaki tangan Kerajaan Liang,
agaknya mereka itu membawa Kam Si Ek ke kota raja melalui jalan sungai. Maka ia pun segera mencari tukang
perahu dan menyewa perahu itu ke timur. Kota raja Lok-yang letaknya masih di Lembah Sungai Kuning, namun agak
jauh dari sungai, di sebelah selatan.
Pada saat itu, Sungai Kunimg airnya penuh, bahkan di beberapa bagian membanjir, meluap sampai jauh dari sungai,
menyelimuti ratusan hektar sawah ladang. Dusun-dusun yang berada di lembah, yang terlalu dekat sungai, sudah
banyak yang dilanda banjir. Namun karena airnya mengalir tenang, Si Tukang Perahu berani melayarkan perahunya
menurut aliran air. Keadaan di kanan kiri sungai amat menyedihkan dan perjalanan dengan perahu kali ini bagi Lu
Sian benar-benar tidak menyenangkan sama sekali. Lenyap pemandangan alam yang biasanya amat indah, terganti
keadaan yang mengenaskan, sungguhpun Lu Sian tidak ambil peduli terhadap bencana alam ini. Hatinya sendiri
sedang penuh dengan rasa gelisah kalau ia memikirkan nasib Kam Si Ek.
"Tahan perahumu, minggir ke sana...!" tiba-tiba Lu Sian memerintah tukang perahu ketika ia melihat sebuah
perahu besar berlabuh di sebelah kanan. Ia merasa curiga. Perahu itu besar dan mewah, sama sekali bukan perahu
nelayan miskin, patutnya perahu bangsawan atau hartawan yang sedang pesiar. Saat seperti itu sama sekali bukan
saat yang patut untuk berpesiar, maka adanya perahu di tempat sunyi itu sungguh mencurigakan hatinya. Apalagi
ketika ia melihat bahwa dusun di tempat itu juga sudah tenggelam oleh air bah, hanya satu-satunya rumah gedung
yang berada di dusun, yang kebetulan letaknya di tempat agak tinggi masih belum kemasukan air. Tak seorang pun
manusia tampak di dusun yang kebanjiran itu, agaknya semua penghuninya telah pergi mengungsi. Kalau demikian
halnya, mengapa perahu besar berada di situ dan perahu itu pun kosong tidak ada orangnya ?
Setelah perahu kecil itu minggir dan Lu Sian mendapat kenyataan bahwa perahu besar itu benar-benar kosong ia
berkata, "Kautunggu di sini, aku hendak menyelidiki kemana perginya orang-orang dari perahu ini!" Tanpa menanti
jawaban, Lu Sian menggerakkan tubuhnya meloncat ke atas wuwungan rumah ke rumah yang terendam air, kemudian
dengan kelincahan yang mengagumkan ia berloncatan dai rumah, kadang-kadang melalui pohon yang juga terendam
air, menuju ke rumah gedung yang masih belum terendam air. Tukang perahu itu melongo, lalu bergidik ia sudah
mengira bahwa penumpangnya adalah seorang wanita kang-ouw yang pandai ilmu silat, kalu tidak demikian tak
mungkin gadis muda dan cantik jelita ini berani melakukan perjalanan seorang diri, apalagi gadis ini membawa
pedang ! Akan tetapi ia hanya mengira Lu Sian seorang gadis yang pandai main pedang seperti biasa dipertunjukan
para penjual obat, siapa kira gadis ini dapat berloncatan seperti itu. Jangan-jangan dia bukan manusia, pikir
Si Tukang Perahu. Di waktu sungai banjir meluap-luap seperti itu, menurut cerita rakyat, siluman-siluman pada
bermunculan, juga para dewi-dewi yang sengaja turun dari khayangan untuk menggempur para siluman yang hendak
merusak manusia dengan air banjir. Biarpun rakyat tak pernah melihatnya, akan tetapi selalu terjadi pertarungan
hebat antara para dewa-dewi melawan siluman-siluman, dan betapapun juga dewa-dewi yang menang dan air yang
digerakkan siluman mengamuk ke dusun-dusun itu kembali ke sungai pula seperti biasa ! Kini melihat gadis
penyewa perahunya pandai "terbang" melayang-layang dari rumah ke rumah, Si Tukang Perahu bergidik.
"Tidak tahu dia itu dewi atau siluman, akan tetapi sinar matanya tajam mengerikan. Lebih baik aku pegi sebelum
ia kembali!" Melihat Lu Sian berloncatan makin jauh, diam-diam tukang perahu segera mendayung perahunya ke
tengah lagi dan melarikan diri dengan perahunya dari tempat itu ! Ia tidak peduli bahwa uang sewa perahu belum
dibayar, ia sudah merasa lega dan puas dapat meninggalkan gadis itu, karena siapa tahu, bukan dia menerima
pembayaran, malah dia harus membayar nyawa.
Liu Lu Sian tidak tahu bahwa perahunya telah pergi meninggalkannya, karena ia sedang berloncatan mendekati
gedung dengan hati berdebar penuh harapan akan dapat melihat Kam Si Ek. Ia meloncat ke atas genteng gedung itu
dan dari atas genteng ia mengintai ke dalam. Ternyata di dalamnya terdapat enam orang anak perahu. Mereka duduk
menghangatkan tubuh du dekat tempat perapian sambil makan roti kering dan dendeng. Terdengar mereka
bersungut-sungut. "Kita ditinggalkan di sini, untuk apa ? Kalau banjir makin besar, ke mana kita harus bawa
perahu ? Ah, lebih enak menjadi pegawai di darat kalau begini. Banyak teman dan aman. Masa untuk mengawal
seorang tawanan saja harus menggunakan pasukan lima puluh orang lebih ? Dan keadaan tawanan itu lebih enak
daripada kita!"
"Sam-lote, jangan kaubilang begitu." Cela temannya. "Tawanan itu memang seorang penting, siapa tidak mengenal
Jenderal Kam Si Ek ? Malah aku mendengar dari anggota pasukan, bahwa komandan mereka menerima perintah khusus
dari kota raja untuk menghormati Kam-goanswe sebagai tamu agung. Kita hanya petugas-petugas biasa, mau apa
lagi?"
Mendengar percakapan mereka ini. Lu Sian girang sekali. Dengan kepandaiannya yang tinggi, ia meninggalkan
tempat itu tanpa ada yang mengetahui. Gedung itu letaknya di tempat tinggi maka tidak terlanda banjir, di
bagian belakang gedung merupakan kaki sebuah bukit kecil dan ke sinilah Lu Sian mengambil jalan ke selatan, ke
kota raja Lok-yang. Tak lama kemudian ia sampai di jalan besar dan segera mempercepat larinya. Sayang kudanya
ia tinggalkan ketika ia mempergunakan jalan sungai, akan tetapi karena ilmu lari cepatnya juga sudah mencapai
tingkat tinggi, Lu Sian segera mempergunakan Ilmu Lari Cepat Liok-te-hui-teng sehingga tubuhnya berkelebat
seperti terbang cepatnya, tidak kalah cepatnya, oleh larinya seekor kuda biasa !
Perjalanan selanjutnya melalui pegunungan yang biarpun jalannya lebar, namun banyak naik turun dan amat sunyi.
Ini pegunungan Fu-niu yang puncaknya menjulang tinggi. Dari atas puncak ini tampaklah gunung-gunung yang memang
banyak mengepung daerah itu. Di utara tampak puncak-puncak Pegunungan Luliang-san dan Tai-hang-san, di sebelah
barat tampak Pegunungan Cin-ling-san, di selatan samar-samar tampak dibalik mega puncak Pegunungan Tapa-san.
Biasanya Lu Sian amat suka menikmati tamasya alam di pegunungan, akan tetapi kali ini ia tidak mempunyai
perhatian terhadap semua keindahan itu karena hati dan pikirannya penuh oleh bayangan Kam Si Ek yang hendak
ditolongnya.
Ketika ia membelok di sebuah lereng, tiba-tiba ia melihat banyak tubuh orang menggeletak di pinggir jalan.
Golok dan pedang malang melintang, darah berceceran dan dua belas orang itu sudah menjadi mayat. Mereka ini
kelihatan sebagai orang-orang kang-ouw yang gagah, dan melihat betapa senjata-senjata mereka tidak berjauhan,
malah ada yang masih di dalam cengkraman tangan, melihat tubuh mereka penuh luka, agaknya orang-orang ini telah
melakukan pertandingan mati-matian dan nekat. Jelas kejadian ini belum lewat lama, mungkin pagi tadi dan di
situ tampak bekas-bekas pertempuran dahsayat. Lu Sian berdebar. Apakah hubungannya belasan mayat orang ini
dengan ditawannya Kam Si Ek ? Hatinya makin kuatir dan ia mempercepat larinya mengejar ke depan.
Menjelang senja, ketika ia menuruni lereng, ia mendengar suara hiruk-pikuk di kaki bukit. Jelas terdengar suara
banyak orang sedang berkelahi, diseling ringkik kuda dan denting senjata tajam saling bertemu. Lu Sian
mempercepat larinya dan napasnya terengah-engah ketika ia tiba di tempat pertempuran, karena selain
terus-menerus ia mengerahkan gin-kang untuk berlari cepat juga hatinya selalu penuh ketegangan dan kekuatiran
akan keselamatan pemuda idaman hatinya.
Kiranya banyak sekali orang yang bertanding di depan sebuah danau kecil di kaki bukit itu. Hampir seratus orang
banyaknya saling gempur dan merupakan perang kecil yang kacau-balau. Ada yang masih menunggang kuda, ada yang
sudah bertanding di atas tanah, bahkan ada yang bergulat sambil bergulingan, saling cekik dan saling jotos.
Tidak kurang pula yang terlempar ke danau sedang berusaha berenang minggir. Kacau-balau dan hiruk-pikuk, suara
makian diseling teriakan marah, keluh kesakitan dan ketakutan.
Lu Sian dapat menduga bahwa orang-orang yang berpakaian seragam biru itu tentulah pasukan yang mengawal atau
yang menawan Kam Si Ek, karena diantara mereka ini masih banyak yang menunggang kuda. Adapun lawan pasukan ini
adalah orang-orang yang berpakaian macam-macam, ada yang berpakaian petani, ada pula yang berpakaian pendeta,
akan tetapi sebagian besar berpakaian pengemis. Tentulah segolongan dengan Wei-ho-kai-pang, pikir Lu Sian dan
tentu saja hatinya lalu condong membantu para pengemis. Bukankah Kam Si Ek tertawan oleh pasukan itu dan kini
para pengemis hendak menolongnya ? Akan tetapi, Lu Sian tidak berniat membantu mereka, matanya mencari-cari
karena ia tidak melihat Kam Si Ek. Ia tidak mempedulikan pertempuran hebat itu, karena yang ia butuhkan untuk
dicari adalah Jenderal Kam.
Dengan sama sekali tidak mengacuhkan pertandingan, Lu Sian berjalan terus memasuki gelangang perang. Kalau ada
senjata menyambar, tidak perduli senjata pihak pasukan atau lawan mereka ia mengelak dan kaki tangannya
bergerak merobohkan siapa saja yang menghalangi jalannya ! Hebat sepak terjang gadis ini. Baik pihak pasukan
maupun pihak pengemis, sekali terkena pukulan maupun tendangannya pasti roboh !
"Dimana Kam Si Ek?" Berkali-kali Lu Sian bertanya kepada seorang anggota pasukan yang ia robohkan, akan tetapi
tak seorangpun mau menjawabnya, bahkan ia segera dikeroyok empat anggota pasukan. Golok gagang panjang dari dua
orang lawan yang masih menunggang kuda, menyambar ke arah leher dan pinggang Lu Sian. Cepat gadis itu melompat,
menyambar belakang golok, membetot dengan gerakan mendadak sambil menendang ke arah golok ke dua. Golok pertama
yang ia tarik itu terlepas dari pegangan dan menghantam kawan sendiri yang menyerang dari kiri, tepat mengenai
pahanya dan menembus memasuki perut kuda ! Kuda itu meringkik keras dan kabur membawa penungganya yang hampir
putus paha kakinya. Adapun orang yang terampas goloknya, hampir saja jatuh terguling karena terbetotot. Pada
saat itu, dua orang pasukan yang tidak berkuda sudah menyerbu pula dari depan dan belakang, menggunakan pedang,
Lu Sian tidak pedulikan mereka, tubuhnya meloncat ke atas dan tahu-tahu ia sudah berdiri di atas punggung kuda,
tepat dibelakang lawan yang terampas goloknya tadi. Sekali menggerakan tangan, ia sudah mencekik leher lawan
dari belakang. Dua orang temannya hendak menolong, akan tetapi Lu Sian mengangkat tubuh lawan dan
menggunakannya sebagai perisai ! Tentu saja dua orang itu tidak berani menyerang, takut melukai tubuh teman
mereka sendiri yang ternyata adalah seorang atasan mereka.
"Hayo, katakan di mana adanya Kam-goanswe!" Lu Sian membentak sambil mempererat cekikan pada tengkuk Si Perwira
yang sudah tidak berdaya itu.
"Di... di sana..." Perwira itu menuding ke arah batu karang besar dan Lu Sian cepat membanting tubuhnya ke atas
tanah, meloncat turun dari kuda dan berloncatan ke arah sekelompok batu karang yang memang terdapat tidak jauh
dari tempat itu. Tempat itu terjaga oleh beberapa orang anggota pasukan, dan agaknya orang tawanan itu
disembunyika di belakang batu-batu.
Sebelum Lu Sian sempat turun tangan, tiba-tiba ia mendengar gaduh luar biasa di antara orang-orang yang
bertanding. Alangkah heran dan kagetnya ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar seperti raksasa,
berkepala gundul menggunakan kedua lengan bajunya mengamuk. Seperti sepak terjangnya sendiri tadi, laki-laki
gundul itu tidak peduli siapa saja, asal berada dekatnya, lalu disapu roboh oleh ujung kedua lengan bajunya.
Akan tetapi gerakan laki-laki ini jauh lebih hebat, lebih ganas dan sebentar saja tubuh orang-orang
bergelimpangan di sekitarnya. Kemudian laki-laki itu melompat dan bagaikan terbang saja tahu-tahu ia sudah tiba
di depan batu-batu karang besar. Lima orang penjaganya segera mencegat dengan senjata di tangan, akan tetapi
sekali laki-laki tinggi besar itu menggerakkan tangan kakinya, lima orang itu terlempar semua, terbanting pada
batu karang dan hebatlah kesudahannya. Dua di antaranya pecah-pecah kepalanya, yang tiga mungkin patah-patah
tulang iganya karena mereka roboh tak dapat berkutik lagi !
Raksasa gundul itu tertawa ha-ha-he-heh, lalu melangkah lebar memasuki sekelompok batu karang itu dan di lain
saat ia telah melesat keluar mengempit tubuh Kam Si Ek ! Kagetlah Lu Sian. Cepat ia menggerakkan kakinya
menjejak tanah dan tubuhnya melesat pula mengejar. Akan tetapi gerakan Si Raksasa gundul itu benar-benar hebat
karena sebentar saja ia sudah jauh meninggalkan tempat pertempuran. Betapapun juga, Lu Sian tidak mau mengalah,
gadis ini mengeluarkan ilmunya berlari cepat sehingga kedua kakinya seakan-akan tidak menyentuh tanah lagi !
"Lepaskan dia!!" Ia membentak setelah dapat menyusul sehingga jarak mereka hanya tinggal lima meter lagi. Kedua
tangan gadis ini bergerak dan serangkum sinar kemerahan menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum rahasia yang
amat hebat. Gadis ini amat suka akan bunga-bunga yang harum, maka sejak kecil ia mempelajari keadaan segala
macam bunga. Setelah ia pandai ilmu silat dan banyak mendapat petunjuk ayahnya tentang pelbagai macam racun,
maka ia lalu dapat mencampur racun-racun berbahaya dengan sari keharuman bunga, maka terciptalah jarum-jarumnya
yang ia namakan Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum). Memang amat harum baunya jarum-jarum ini, bahkan ketika
menyambar dengan sinar merah, sudah tercium baunya yang amat harum, begitu harumnya sehingga dapat memabokkan
orang. Tidak terkena jarumnya, baru mencium baunya saja sudah cukup berbahaya, apalagi kalau sampai jarum itu
menembus kulit memasuki jalan darah !
Akan tetapi, raksasa gundul itu benar-benar lihai sekali. Tanpa menoleh ia sudah mengebutkan lengan bajunya
dan... jarum-jarum itu memasuki lubang tangan baju dan menancap disitu. Tiba-tiba raksasa gundul itu berseru
keras, tangannya bergerak dan jarum-jarum itu menyambar keluar, kembali ke pemiliknya ! Tentu saja Lu Sian
terkejut sekali, cepat ia menyampok jarum-jarumnya sendiri dengan pedangnya yang sudah ia cabut keluar. Lawan
ini benar lihai, pikirnya dan terkejutlah ia ketika teringat bahwa raksasa gundul selihai ini kiranya hanya ada
seorang saja di dunia, yaitu Ban-pi Lo-cia! Ban-pi Lo-cia tokoh utara yang sudah bertanding dua hari dua malam
melawan ayahnya dan berkesudahan seri ! Bahkan Kwee Seng sendiri yang begitu sakti, sampai dapat dihancurkan
sulingnya oleh raksasa gundul ini. Sejenak Lu Sian meragu. Terang bahwa dia bukan lawan kakek itu. Akan tetapi
Kam Si Ek telah dikempit dan dibawa lari, bagaimana ia dapat mendiamkannya saja ? Gadis ini sudah mempersiapkan
jarum-jarumnya lagi, akan tetapi melihat kakek itu tidak mempedulikannya dan malah lari makin cepat, ia
berpikir dan tidak jadi menyerang, melainkan terus mengikuti dengan cepat pula, takut kalau-kalau tak dapat
menyusul.
"Ia tentu tidak berniat membunuh Kam Si Ek." "Kalau hendak membunuhnya, perlu apa dibawa-bawa lari ? Agaknya
Kam Si Ek tidak berdaya, kelihatannya lemas tentu sudah terkena totokan, kalau mau dibunuh sekali pukul juga
mati." Karena berpikir demikian maka Lu Sian tidak jadi menyerang secara nekat, melainkan kini ia membayangi
Ban-pi Lo-cia yang terus lari memasuki sebuah hutan di kaki bukit.
Dengan hati-hati sekali Lu Sian menghampiri sebuah bangunan kuil tua yang berada di dalam hutan. Ia tahu bahwa
Ban-pi Lo-cia memasuki kuil itu maka ia tidak berani menerjang masuk secara sembrono. Bukan ia takut menhadapi
bahaya, melainkan Lu Sian seorang gadis yang cerdik. Sia-sia saja kalau harus menempuh bahaya dan membiarkan
dirinya dirobohkan atau ditangkap pula, akan gagallah usahanya menolong Kam Si Ek. Ia berindap menghampiri kuil
dan mengintai. Senja telah datang akan tetapi cuaca di luar kuil belum gelap benar. Hanya di sebelah dalam kuil
yang tua dan rusak itu sudah gelap. Akan tetapi ia dapat mendengar suara Ban-pi Lo-cia yang parau diselingi
suara ketawanya penuh ejekan.
"Heh-heh-heh, Kam-goanswe tentu banyak kaget. Untung saya keburu datang, kalau tidak tentu keselamatan Goanswe
takkan dapat dipertahankan lagi." Kembali kakek itu tertawa. Lu Sian merasa heran mendengar kata-kata ini dan
ia mengerahkan pandang matanya untuk melihat sebelah dalam yang agak gelap. Setelah matanya biasa, ia dapat
melihat bayangan Kam Si Ek duduk bersila di atas lantai, agaknya mengatur napas dan tenaga, sedangkan Ban-pi
Lo-cia juga duduk bersandar tembok.
Kam Si Ek menggerakkan kedua lengannya menjura, masih sambil bersila, dan terdengar suaranya yang nyaring,
"Losuhu (Bapak Pendeta) siapakah ? Harap suka memperkenalkan diri, agar aku yang sudah menerima budi
pertolongan akan dapat mengingat nama besar Losuhu."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha ! Kam Si Ek, dengarlah. Aku bukan seorang hwesio seperti kau sangka,
aku orang biasa. Sebaliknya kau seorang jenderal yang amat dibutuhkan orang pada saat seperti sekarang ini.
Oleh karena itu, aku menolongmu tentu bukan sekali untuk melepas budi, melainkan untuk keperluan yang tiada
bedanya dengan para penculikmu. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, kiranya begitulah ? Kalau begitu, siapapun adanya kau, dan betapapun tinggi kepandaianmu, tak mungkin
kau akan dapat memaksa aku untuk tunduk dan mentaati perintahmu. Raja Liang bermaksud menculikku, akan tetapi
kau lihat sendiri, banyak orang mencoba mengagalkan penculikannya. Kulihat pendeta, orang-orang Kang-ouw, dan
para pengemis yang menyerbu. Aku boleh jadi terkenal dalam perang, akan tetapi aku sama sekali tidak terkenal
di antara mereka. Kalau mereka juga berusaha menolongku, tentu juga bermaksud menguasaiku. Ah, alangkah bodoh
dan sia-sia ! Selama negara terpecah-pecah seperti sekarang, selama orang-orang besar dan pemimpin rakyat main
berebutan, kemuliaan dan kedudukan, selama tentara dipergunakan untuk memerangi saudara sebangsa, aku Kam Si Ek
takkan sudi mengeluarkan setetes pun keringat untuk membantu!"
Ban-pi Lo-cia bangkit berdiri, bertolak pinggang dan menundukkan muka memandang orang muda yang sedang duduk
bersila itu. "Ah, Kam Si Ek, tahukah kau siapa aku?"
"Kau seoran tua yang berilmu tinggi, sayang..." "Eh, kenapa sayang?" "Sayang bahwa seorang tua yang lihai
seperti kau ini masih dapat diperalat oleh orang-orang yang haus akan kedudukan tinggi, yang ingin memperoleh
kekuasaan dan kemuliaan di atas ratusan ribu mayat dari rakyat!"
"Ha-ha-ha ! Kalau aku memperkenalkan diriku, tentu kau juga takkan mengenal namaku, karena kau bukan seorang
kang-ouw, melainkan seorang ahli perang. Akan tetapi agaknya menarik bagimu kalau kukatakan bahwa aku
menangkapmu untuk kuserahkan kepada rajaku di Khitan."
"Ahhh...!" Kam Si Ek benar-benar terkejut mendengar ini. Ia sudah amat terkenal sebagai pemukul orang-orang
Khitan sehingga di kalangan musuh besar ini, yaitu para prajurit Khitan, menjulukinya Im-kan-ciangkun (Panglima
Akhirat)! Ia tahu bahwa orang-orang Khitan paling membencinya, maka tahulah Kam Si Ek bahwa kali ini ia tentu
akan tewas. Akan tetapi ia sama sekali tidak sudi memperlihatkan rasa takut, maka ia lalu tertawa mengejek.
"Hemm, sejak dahulu aku tahu bahwa orang-orang Khitan amat licik dan pengecut..."
Ban-pi Lo-cia berseru keras dan di luar kuil, Lu Sian sudah siap dengan jarum-jarum dan pedangnya. Kalau kakek
itu turun tangan membunuh Kam Si Ek, ia akan mendahuluinya dengan serangan jarum beracun disusul serbuannya ke
dalam untuk mengadu nyawa !
"Apa kaubilang ? Bangsa Khitan adalah bangsa yang paling besar, bangsa paling gagah perkasa. Bagaimana kau
berani menyebut licik dan pengecut?"
"Mereka kalah perang, entah sudah berapa kali mereka terpukul muncur dalam perang melawan pasukanku. Mengapa
sekarang mereka menggunakan akal keji untuk menculikku ? Bukankah ini cara yang licik sekali ? Kalau memang
gagah, mengapa tidak mengajukan panglima perang yang ulung untuk melawanku mengatur barisan?"
"Ha-ha-ha ! Kalau kau katakan itu licik, kau gila ! Justeru karena kami membutuhkan kepandaianmu mengatur maka
kami sengaja menculikmu. He, Kam Si Ek. Tinggal kaupilih sekarang. Kau sudah menumpuk hutang terhadap kami
bangsa Khitan. Untuk membalas dendam, membunuhmu sama mudahnya dengan membunuh seekor cacing. Akan tetapi
rajaku tidak menghendaki demikian. Kau ikut denganku ke Khitan dan bekerja untuk rajakku. Kelak kau tentu akan
menjadi panglima tertinggi dan hidup penuh kemuliaan."
"Tidak sudi ! Lebih baik mati ditanganmu!" Tiba-tiba Kam Si Ek melompat bangun dan goloknya menyambar dalam
serangannya kepada Ban-pi Lo-cia. Kiranya, tadi ketika ia ditawan oleh pasukan Kerajaan Liang, ia diperlakukan
baik dan golok emasnya pun tidak dirampas, akan tetapi karena ia tidak dapat melawan puluhan orang, pula karena
ia belum mendengar apa kehendak Raja Liang memanggilnya secara diculik, Kam Si Ek tidak melawan. Sekarang
menghadapi seorang Khitan yang hanya memberi dua jalan, yaitu mati dibunuh kakek ini atau takluk dan membantu
Khitan, tentu saja ia lebih senang memilih mati daripada harus menjadi penghianat bangsa.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Entah apa yang terjadi di dalam kuil itu Lu Sian tidak dapat melihat jelas.
Selagi ia hendak meloncat masuk membantu Kam Si Ek , tiba-tiba ia mendengar desir angin dari dalam. Cepat ia
mengelak dan kiranya golok emas di tangan Kam Si Ek tadi sudah terlepas dari pegangan pemiliknya dan menyambar
ke luar mengarah Lu Sian ! Gadis itu terkejut dan cepat meloncat keluar kuil, maklum bahwa kakek itu agaknya
sejak tadi sudah tahu bahwa ada orang mengintai.
Benar saja, bayangan kakek gundul itu berkelebat dan tahu-tahu sudah berhadapan dengan Lu Sian. Kakek itu
menyeringai, matanya terbelalak lebar, dan sepasang biji matanya yang bundar itu melotot. Memang ia sudah tahu
bahwa ada orang mengintai, akan tetapi karena ia memang "besar kepala" dan memandang rendah semua orang, ia
tidak peduli. Baru setelah Kam Si Ek menyerangnya, ia "menangkap" golok emas itu dengan ujung lengan baju dan
menggentak golok emas itu terlepas dari tangan Kam Si Ek lalu melontarkannya langsung menyerang Si Pengintai.
Sama sekali tidak disangkanya bahwa pengintainya adalah seorang gadis yang begini cantik jelita sehingga
membuat matanya melotot dan mulutnya mengiler. Biarpun sudah banyak sekali kakek gundul ini mempermainkan
wanita cantik, namun harus ia akui selama itu belum pernah ia berjumpa dengan seorang gadis yang seperti ini
jelitanya. Tentu saja hatinya girang bukan main.
"Ha-ha-ha, cantik jelita ! Aduh, bidadari manis. Hampir saja aku kesalahan tangan membunuhmu. Untung..." Ia
melangkah maju jari tangannya yang besar-besar dan berbulu itu bergerak hendak mengelus pipi Lu Sian. Gadis ini
mencelat mundur dan wajahnya pucat ketika ia memikirkan Kam Si Ek.
"Kau apakan dia...? Kau... kau bunuh dia...? Ia berseru dan kakinya, bergerak hendak meloncat ke dalam kuil.
"Kalau kau membunuh Kam Si Ek, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ban-pi Lo-cia!"
"Eh-eh, juita... kau tahu namaku...?" Ban-pi Lo-cia merasa heran. Akan tetapi Lu Sian tidak memperdulikannya
dan melangkah masuk ke dalam kuil. Akan tetapi cepat ia menghindar karena hampir ia bertumbukan dengan Kam Si
Ek yang berlari keluar dari dalam untuk mengejar lawannya. Ia terheran-heran melihat Lu Sian yang segera
dikenalnya. Ia mendengar ucapan gadis itu tadi, maka alangkah herannya karena sama sekali ia tidak menyangka
bahwa yang pertama datang untuk menolongnya adalah... puteri Ketua Beng-kauw yang pernah membuat ia
tergila-gila begitu berjumpa !
Juga Lu Sian tercengang dan girang sekali. "Lekas..." katanya. "Lekas kau ambil golokmu disana. Kita keroyok,
dia lihai sekali!"
Tentu saja Kam Si Ek tahu akan kelihaian kakek gundul itu. Tadi saja di dalam gelap, sekali gebrak goloknya
sudah kena dirampas ! Akan tetapi karena tidak ada jalan lain kecuali nekat melawan, ia mengangguk dan cepat ia
lari dan mencabut goloknya yang menancap pada sebatang pohon. Setelah itu ia kembali berlari menghampiri
lawannya yang sudah berhadapan dengan Lu Sian. Agaknya, kecantikan Lu Sian yang luar biasa itu seakan-akan
menyilaukan pandangan mata yang lebar melotot itu, membetot semangatnya dan membuat Si Kakek Gundul berdiri
seperti patung, menikmati wajah ayu lalu merayap-rayap turun, Lu Sian menjadi merah mukanya. Pandang mata itu
seakan-akan mulut besar yang melahapnya dengan rakus !
"Monyet tua, kau melihat apa?" Lu Sian membentak marah dan pedangnya berkelebat dengan serangan jurus Ilmu
Pedang Pat-mo Kiam-hoat. Karena maklum bahwa lawannya ini amat lihai, maka begitu bergerak ia segera
menggunakan ilmu pedang ciptaan ayahnya itu. Pedangnya berkelebat menyambar menimbulkan angin berdesir diikuti
suara mengaung.
"Aihh, bagus ilmu pedangmu!" Ban-pi Lo-cia berseru kaget. Tentu saja ia dapat mengenal ilmu pedang yang baik.
Cepat ia mengebutkan ujung lengan bajunya yang kiri. Biarpun hanya ujung lengan baju, akan tetapi karena
digerakkan oleh seorang yang berkepandaian tinggi, lengan baju itu menjadi senjata yang amat ampuh. Ketika
ujungnya menangkis pedang, Lu Sian merasa betapa tangannya panas. Itulah tanda betapa besarnya tenaga sin-kang
dari lawannya. Di lain pihak, ban-pi Lo-cia juga heran. Ia tadi sudah mengerahkan tenaganya dengan maksud
memukul runtuh pedang Si Nona, siapa kira pedang itu tidak runtuh. Dari rasa kaget ia menjadi gembira.
"Heh-heh-heh, cantik jelita dan manis seperti bidadari, ilmu pedangnya lumayan pula. Heh-heh, sukar dicari
keduanya...!"
Pada saat itu, golok ditangan Kam Si Ek sudah menyambar, membacok, ke arah kepalanya yang gundul. Kepala itu
gundul plontos seperti labu, agaknya akan terbelah dua kalau bacokan golok itu mengenainya. Akan tetapi Ban-pi
Lo-cia adalah seorang tokoh besar yang sakti. Tanpa menoleh atau membalikkan tubuhnya, ia sudah menundukkan
kepalanya sehingga golok itu berdesing hanya beberapa senti di sebelah kanan kepalanya. Kakek ini tentu saja
tidak mendiamkan orang yang menyerangnya. Tangan kanannya mencengkram ke belakang dan biarpun ia masih tetap
memandang penuh kekaguman kepada Lu Sian, namun tangan yang digerakkan ke belakang itu dengan cepat sekali
telah menyerang ke arah pergelangan tangan kanan Kam Si Ek yang memegang golok. Jenderal muda ini kaget.
Ternyata kakek yang diserang ini tanpa merobah kedudukan badan telah dapat mengelak dan sekaligus mengancam
lengannya. Cepat ia menarik kembali goloknya dan meloncat ke samping untuk menghindarkan cengkraman yang amat
hebat itu.
Lu Sian sudah menerjang pula. Kini gerakan kakinya membentuk pat-kwa mengelilingi Si Kakek Gundul, pedangnya
menyambar-nyambar dari delapan penjuru. Inilah Pat-mo Kiam-hoat yang dimainkan sepenuhnya oleh gadis itu,
karena ia tahu betul, tanpa usaha keras dan sungguh-sungguh, dia dan Kam Si Ek pasti akan celaka menghadapi
lawan tangguh ini. Kam Si Ek yang masih merasa heran mengapa gadis puteri Beng-kauwcu ini bisa tiba-tiba muncul
di tempat ini dan berusaha menolongnya, juga maklum bahwa mereka berdua menghadapi seorang lawan tangguh. Ia
tidak pernah mendengar nama Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek gundul itu sudah membuktikan kelihaiannya. Cepat
Kam Si Ek juga memutar golok emasnya dan kini ia berhati-hati sekali, mengeluarakan jurus-jurus berbahaya
mendesak dari belakang.
Kam Si Ek adalah murid dari ayahnya sendiri, seorang panglima perang yang ulung. Akan tetapi, karena ayahnya
juga seorang ahli perang, dengan sendirinya ia lebih suka mempelajari ilmu perang dan memimpin barisan daripada
ilmu silat. Dalam hal menunggang kuda, melepas panah dan mencari siasat dalam memimpin barisan, ia jauh lebih
hebat daripada ilmu silatnya. Betapapun juga, golok emasnya yang digerakkan dengan tenaganya yang besar, cukup
berbahaya.
Ban-pi Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua lengan bajunya
berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia tertegun
karena mengenal ilmu pedang itu.
"Kau... murid Pat-jiu Sin-ong...?" tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul kebutan lengan bajunya ke
belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.
Lu Sian tersenyum mengejek. "Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan dengan puteri tunggalnya!"
"Ahh... ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia menghentikan semua gerakannya.
Melihat hal ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah leher disusul dengan
tangan kiri, sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan goloknya ke arah pinggang. Hebat sekali serangan dua
orang muda ini.
Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular terbang mengitari tubuh Ban-pi
Lo-cia. Hebat sekali ini yang ternyata merupakan sehelai cambuk atau tali hitam panjang berkelebatan sambil
mengeluarkan suara meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru kaget karena goloknya sudah
terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh terkena totokan ujung cambuk !
Lu Sian marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk maju dengan nekat, menggerakkan
pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris ke arah cambuk.
Serangan ini benar-benar amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan gerakan kaki ringan,
kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan ketika Lu Sian menerjang maju, tiba-tiba cambuknya
mengeluarkan suara keras lalu menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke arah muka yang cantik jelita itu.
Kini Lu Sian yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk itu membingungkannya,
apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan mukanya. Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini,
tentu akan bercacat ! Karena ini, ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya berusaha
membabat cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang (Ilmu Mencengkram Kuku Harimau) untuk
menangkap cambuk.
Ban-pi Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama makin mengecil dan tanpa
dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan gadis itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat
dan membelenggu kedua pergelengan tangannya, Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari tangannya dan
betapapun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua lengannya, namun sia-sia belaka.
"Huah-hah-hah, manisku, kau hendak lari ke manakah?" Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau tali hitamnya itu
dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan kanannya dengan jari besar-besar dan penuh bulu itu
diulur ke depan, agaknya hendak menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu. Melihat muka yang
berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal menyeringai makin mendekatinya, Lu Sian
hampir menjerit saking ngeri dan seremnya.
"Binatang, kaulepaskan dia!" Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu meloncat dan menubruk
Ban-pi Lo-cia dari belakang ! Tadi jenderal muda ini merasa lemgan kanannya lumpuh setelah totokan ujung cambuk
sehingga goloknya terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu Sian, ia cepat mengerahkan
sin-kang ke arah lengan untuk mengusir kelumpuhan. Betapa kagetnya melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan
agaknya Si Kakek Iblis itu hendak berbuat kurang ajar. Rasa kuatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat dan seperti
seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.
Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang secara kasar begini. Akan
tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang membuat semangatnya
melayang-layang, apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan cambuknya. Bagaikan seorang
kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia tidak ingat apa-apa lagi kecuali korbannya. Inilah
sebabnya mengapa Kam Si Ek berhasil menerkamnya dan menggulatnya dari belakang. Pemuda yang bertenaga kuat itu
sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan ilmu gulat yang memang pernah ia pelajari untuk memiting
dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia !
Kagetlah Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik lingkaran tangan yang kuat !
Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia
tarik kembali dan kedua tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan yang
mencekiknya. Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik terus,
bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor
lintah yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi ! Menghadapi ilmu gulat macam ini Ban-pi Lo-cia
kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata kelahi (ilmu silat) dari aliran manapun juga, akan tetapi
menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.
Pada saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas daripada belenggu ujung cambuk, sejenak mengurut-ngurut kedua
lengannya yang terasa sakit, kemudian ia menyambar pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan
bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk mencegah Si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.
Repot juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang menyerang seperti
seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat
sekali. Sebetulnya dengan mudah Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian, akan tetapi karena ia
terburu-buru saking gugup dan kuatirnya akan cekikan yang ketat, ia menjadi bingung sendiri, mengebut-ngebutkan
kedua lengan baju untuk menghalau lengan Lu Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia
terbebas dari cekikan orang muda itu. Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni
mematahkan tulang leher lawannya ! Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali ! kalau yang ia piting lehernya
itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu
mematahkan tulang seekor harimau ! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa,
melainkan seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar
saja ia bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali
melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat
ujung cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat pedang
itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.
"Ayaaaa....!" Lu sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya, menikam bertubi-tubi
sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan. Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia
untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya.
Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan otomatis kempitannya pada leher juga terlepas.
Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri terlepas lalu membalik dan sekali tangan kirinya menampar,
pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu terguling roboh !
"Bocah setan ! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak membuatku menjadi mayat
dengan mata melotot dan lidah keluar, ya ? Mari kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!" Ia
menubruk maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher pemuda itu dengan lengan
kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu ! Tangan kirinya memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak
ketika kedua tangan Kam Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.
"Iblis tua, lepaskan dia!" Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu terkejut sekali melihat pemuda itu
tercekik, maka cepat ia menyambar pedangnya yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan
nekat untuk menolong pemuda pujaan hatinya.
Heh-heh-heh, kau bersabar dan tunggulah, manis ! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini sudah kucekik
sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya ! Ha-ha-ha!" Kakek gundul ini menggunakan cambuk
di tangan kirinya untuk menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.
Kam Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya,
berusaha sekuatna untuk merenggut lepas lengan tangan yang mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka, karena
tangan kakek yang kuat itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat bernapas,
pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi, kepalanya serasa membesar dan hampir
meledak. Tadinya ia mengharapkan bantuan Lu Sian, akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, selalu
tertangkis cambuk, habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus mati. Bagi
seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di dalam
perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih menyesal lagi
hatinya itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat daripada maut !
Tiba-tiba wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia tengah memandang ke
arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh gadis itu, ia berteriak sekuatnya.
"Jangan...!" akan tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan Ban-pi Lo-cia.
"Brett...! Breettt ! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"
Mendengar suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan menoleh. Matanya yang sudah
lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek
bajunya sendiri sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna merah muda yang
membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.
"Kau masih belum mau melepaskannya?" Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan mulut menyungging senyum manis
ditambah lirikan mata memikat.
"Heh-heh-heh... ah, hebat kau...!" Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam mimpi ia bangkit
meninggalkan pemuda itu, kini ia terkekeh, matanya tak pernah berkedip menelan gadis di depannya, kakinya
melangkah ke depan dan kedua tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.
Lu Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh, melangkah mundur dengan
gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga makin menonjollah kecantikan tubuhnya, terus mundur dan
kadang-kadang melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu. Ketika ia melihat Kam Si Ek
sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan
memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian
menggerakkan tangan kirinya yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat tua, makanlah ini!" Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang yang
menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya. Inilah serangan hebat sekali ! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona
oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai, begitu
melihat kelebatnya jarum dan pedang kesadarannya pulih dan sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang,
menyampok jarum-jarum dengan lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian. Tiba-tiba
terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran lebar dan
sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya. Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa
dikomando lagi, telah mengeroyok Si Kakek Lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh
tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan
diri tak mungkin, walaupun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu
siap mengadu nyawa !
Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu-sin-ng, biarpun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau dibandingkan
dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu.
Adapun Kam Si Ek, biarpun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini bertenaga besar dan
tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bai Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai
berat atau membunuh. Padahal ia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila,
adapun Kam Si Ek kalau memang tidak dapat ia bujuk tentu akan dibunuhnya. Setelah mencari akal, tiba-tiba
cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah
suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek
dan Liu Lu Sian.
Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka begitu
melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi, golok dan pedang
seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali. Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk dapat
menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan
cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan
terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya. Biarpun jarak mereka
terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh !
"Hemm, tua bangka tak tahu malu ! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?" Tiba-tiba terdengar
angin mendesing dari kiri. Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat
memutar tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara,
akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang
kakek tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan
sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.
"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong ? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke
mari seperti anjing terkena gebuk ? Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh ? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini
menjadi pengemis lumpuh." Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini
berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini
terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepala Sakti), akan tetapi andaikata kakek
itu belum lumpuh sekalipun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat,
siap untuk menggempur.
Kong Long Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini. "Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk. Mana
aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba menganggu Kam-goanswe.
Dia seorang patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biarpun ia tidak akan kalah, namun ia merasa
sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu Si Kakek
Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek. Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka
membantu Khitan, andaikata ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat tidak mau membantu. Tadi pun
sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak
menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan kekuasaan,
apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek ? ia lalu tertawa menyeringai.
"Kakek lumpuh, raja jembel ! Siapa butuh dia ? Kau bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah Si Bidadari!"
Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.
Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu, telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih pingsan,
akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari
pingsannya. Untung bahwa mereka tadi terkena pukulan secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya saja yang
membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu sukar
ditolong nyawa mereka.
Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek saja
sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula
menculik dia ! Ia tertawa bekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo Sengjin. Dua
orang kakek itu terheran, dan Lu Sian segera meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin
sambil berkata.
"Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan
seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum
sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik..." Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya
melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar dan ia membentak, "Budak rendah ! Biarpun kau
puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa ? Mengapa kau mentertawakan aku ? Apanya yang tidak cocok?"
"kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi ! Orang-orang yang tidak bersalah,
masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat
saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau tahu bahwa
Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang beraninya hanya kepada si
lemah. Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan ?
Hi-hi-hik!"
Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu dihormati
orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera
menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika ia
menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.
"Ban-pi Lo-cia, bersiaplah kau ! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik mengira Kong Lo Sengjin takut
menghadapi seekor monyet Khitan!"
Ban-pi Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat mengadu domba. Akan tetapi
ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah
lumpuh ? Ia harus memperlihatkan kelihaiannya, setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa sukarnya menangkap Si
Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek ?
"Raja Muda bangkrut ! Kaulihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!" Bentakan ini disusul suara "tar-tar-tar!"
keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.
"Ha-ha-ha, kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu ?" Liu Lu Sian
berseru sambil bertepuk tangan. Besar hati Ban-pi Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin
hebat memutar cambuknya dan menyerang.
Di lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi, merasa marah sekali dan ia tidak akan berhenti,
tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil mengalahkan Ban-pi Lo-cia. Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai
taktik memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak kakek lumpuh sehingga
pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin menghebat. Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian,
pertandingan makin lama makin hebat dan mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan
hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek, memberi isyarat supaya pemuda itu tidak banyak
bergerak atau bicara, kemudian di dalam gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan
mengajaknya pergi dari situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.
Sementara itu, dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah bertanding dengan hebatnya.
Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh.
Namun tahu bahwa lawannya ini tentu memiliki sin-kang yang kuat, maka dalam serangannya ia mengerahkan tenaga
dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan. Agaknya Ban-pi Lo-cia, seperti biasa menjadi watak tokoh besar
yang terlalu percaya kepandaian sendiri, memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya Si Kepalan
Sakti. Pukulannya Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini
menghantam ke arah Kong Lo Sengjin. Hebat memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih
belasan tahun lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur racun kelabang
direndam arak tua, maka kini pukulan yang dilancarkan kengan pengaruh tenaga sin-kang, hebatnya luar biasa
sehingga tidak aneh kalau orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh anginnya saja.
Namun sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki Sin-jiu atau Kepalan
Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa
seperti Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, maupun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula bagaimana harus menghadapi
pukulan-pukulan ini. Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu
memapaki pukulan itu dengan telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri. Ban-pi
Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya
akan langsung menembus kulit telapak tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia
mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.
"Dessss...!" Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang lemas lunak
seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui
sesuatu. Selagi ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri
melalui kepalan tangannya !
"Celaka...!" Ia berseru kaget dan cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang
membalik itu tertangkis dan ia segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan. Kiranya kakek buntung itu
sudah mempergunakan jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan,
kemudian dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau
tersimpan.
Marahlah Ban-pi Lo-cia. Tahu bahwa tak boleh ia main-main lagi dengan tangan kosong melawan kakek yang
berjulukan Kepalan Sakti ini, ia melolos Lui-kong-pian dan terus mengadakan serangan dahsyat. Cambuknya
menyambar-nyambar dan meledak di atas kepala Si Kakek Buntung. Diam-diam Kong Lo Sengjin terkejut. Ia lebih
mahir menggunakan tangan kosong, akan tetapi menghadapi cambuk yang demikian panas dan dahsyatnya, kalau
dilawan dengan tangan kosong, tentu ia akan terdesak. Maka ia lalu melompat ke belakang dan mengangkat tongkat
bambumya untuk menangkis, kemudian secepat kilat tongkat bambu yang kiri menusuk perut lawan. Kiranya dua
batang bambu yang dipergunakan untuk pengganti kaki itu kini dapat dimainkan seperti senjata. Kalau yang kanan
akan menyerang, yang kiri menjadi kaki dan demikian sebaliknya. Bahkan adakalanya tubuh kakek lumpuh ini
melayang ke atas dan pada saat seperti itu, dua batang bambunya dapat menyerang bertubi-tubi. Hebat memang
bekas raja muda ini ! Tongkat-tongkat bambunya itu tidak saja dapat menyerang dengan pukulan dan hantaman atau
sodokan seperti dua batang toya panjang, malah ujungnya dapat ia pergunakan untuk menotok jalan darah. Karena
bambu itu berlubang, maka ketika digerakkan oleh sepasang tangan yang sakti itu, mengeluarkan bunyi angin
mengaung-ngaung seperti suara dua ekor harimau bertanding.
Ramai bukan main pertandingan tingkat tinggi ini. Bayangan mereka lenyap terbungkus gulungan sinar senjata dan
terdengar pada saat itu adalah auman-auman yang keluar dari sepasang bambu diseling suara meledak-ledak dari
ujung cambuk. Keadaan yang seimbang ini, ketangguhan lawan membuat hati yang sudah menjadi gelap, tidak
mendusin lagi bahwa dua orang muda itu sudah lenyap dari situ.
Setelah lewat seratus jurus, mendadak Kong Lo Sengjin yang teringat kepada Lu Sian berseru, "Siluman betina,
kaulihat baik-baik bagaimana aku merobohkan monyet Khitan!" Tiba-tiba gerakannya berubah. Kini tongkat bambu di
tangan kirinya menerjang dengan gerakan memutar seperti kitiran sehingga suara mengaung jadi makin keras.
Demikian cepatnya putaran tongkat bambu ini sehingga Ban-pi Lo-cia terpaksa memutar cambuknya pula untuk
menangkis dan melindungi tubuh. Dengan tongkat lawan diputar sperti itu, tak mungkin ia dapat melibat dengan
cambuknya.
Tiba-tiba sekali, selagi bayangan tongkatnya itu masih belum lenyap, tongkatnya sendiri sudah turun dan kini
sebagai gantinya, tangan kanan kakek lumpuh itu menghantam ke depan dengan pukulan jarak jauh. Angin mendesis
ketika pukulan ini dilakukan. Pukulan ini sudah membunuh puluhan orang pengungsi tanpa mengenai tubuh, maka
dapat dibayangkan betapa ampuhnya. Ban-pi Lo-cia kaget dan maklum bahwa inilah pukulan maut yang membuat kakek
bekas raja muda itu dijuluki Kepalan Sakti. Ia tidak berani berlaku sembrono, maka tidak mau menangkis secara
langsung karena maklum bahwa lawannya memang memiliki keistimewaan dalam hal pukulan tangan kosong. Cepat ia
menggeser kakinya sehingga kedudukan kuda-kudanya miring, kemudian dari samping ia baru berani menangkis dengan
Hek-see-ciang. Tentu saja menangkis dari samping tidak sama dengan menerima dari depan secara langsung.
Betapapun juga, begitu lengannya bertemu dengan lengan kakek lumpuh, hampir saja Ban-pi Lo-cia terjengkang,
maka cepat-cepat ia melompat ke belakang sambil tertawa bergelak.
"Huah-hah-hah, bidadari cantik manis. Kaulihat, bukankah Ban-pi Lo-cia tidak dapat roboh oleh Sin-jiu ?
Sekarang kaulihat betapa aku membalasnya..." Tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berhenti berkata-kata, matanya liar
mencari-cari di dalam gelap dan tiba-tiba ia berseru, "Celaka, kita kena tipu gadis liar itu!"
"Huh-huh, siapa butuh siluman itu ? Biar dia mampus!" Kong Lo Sengjin memaki. "Hayo kita lanjutkan
pertandingan, tak usah banyak cerewet!" Kembali ia menerjang maju dengan tongkat bambunya.
"Nanti dulu!" Ban-pi Lo-cia mengelak. Lenyapnya gadis jelita yang tadinya ia anggap sebagai korban yang sudah
berada di depan mulut, melenyapkan pula nafsunya bertempur. "Kau tahu ia itu puteri Pat-jiu Sin-ong. Mengapa
pula ia ikut-ikut memperebutkan Kam-goanswe kalau tidak diutus ayahnya ? Hemm, apakah kaukira Nan-cao tidak
mengilar pula memiliki panglima seperti Kam-goanswe?"
Kong Lo Sengjin menyumpah-nyumpah. "Kau betul ! Celaka, kita kejar dia!"
Dua orang itu lalu melesat pergi mengejar. Tiba-tiba keduanya seperti ada yang memberi aba-aba, meloncat ke
atas pohon dan memandang dari puncak pohon besar. Biarpun keadaan gelap, namun sinar bintang-bintang di langit
cukup untuk menerangi sebagian besar permukaan bumi dan pandangan tajam kedua orang kakek ini segera melihat
berkelebatnya bayangan dua orang muda itu yang belum lari jauh.
"Huah-hah-hah, manisku ! Kau hendak lari kemanakah?" Mereka berdua meloncat turun lagi dan segera mengejar ke
arah dua bayangan tadi.
Bukan main kagetnya hati Lu Sian. Tadinya ia sudah merasa girang karena berhasil lari pergi dari tempat
pertempuran selagi dua orang kakek sakti itu berkutetan mencari menang. Tanpa disengaja, mereka lari sambil
berpegang tangan. Agaknya Kam Si Ek masih belum pulih betul oleh bekas pukulan Hek-se-ciang, maka ia menurut
saja digandeng dan ditarik oleh gadis itu.
"Celaka." Bisik Lu Sian, "Si Monyet Gundul mengejar kita..."
"Hemm, kita bersembunyi di balik batang pohon besar, biarkan ia lewat lalu tiba-tiba kita berdua menyerang dari
kanan kiri, bukankah itu akan berhasil?" Kam Si Ek memberi usul. Siasat seperti ini adalah siasat perang, akan
tetapi agaknya takkan berhasil banyak kalau dipergunakan sebagai siasat pertandingan perorangan. Dalam perang
mungkin siasat ini dapat dipergunakan melawan musuh yang lebih banyak.
"Percuma, kepandaiannya beberapa kali lipat lebih tinggi daripada kita, akal itu takkan berhasil. Lebih baik
bersembunyi, tapi jangan sampai dapat dicari."
Tiba-tiba terdengar teriakan keras dari arah belakang, "Kam-goansewe, jangan takut aku menolongmu!"
Gemetar suara Lu Sian mendengar ini. "Wah, benar-benar celaka. Kusangka Ban-pi Lo-cia menang dan mengejar,
kiranya kedua-duanya iblis tua itu yang mengejar kita."
"Hemm, mengapa takut ? Kalau memang tidak ada jalan keluar, kita lawan mati-matian. Aku tidak takut mati!"
"Aku... aku juga tidak takut mati, akan tetapi aku masih ingin hidup, apalagi sekarang setelah bertemu
denganmu." Kata-kata Lu Sian ini membikin Kam Si Ek terkejut dan tercengang. Selanjutnya ia menurut saja ketika
Lu Sian menariknya ke arah kiri di mana terdapat sebuah danau kecil. Kini bulan mulai menerangi jagat dan
tampaklah permukaan danau kilau kemilau, dan rumput alang-alang yang tumbuh di pinggir danau bergerak-gerak
seperti menari-nari ketika tertiup angin malam.
"Lekas terjun, ini jalan satu-satunya!" Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan mereka terjun ke dalam air danau
yang gelap dan dingin. Kam Si Ek segera menggerakkan kaki tangan hendak berenang ke tengah, akan tetapi gadis
itu menahannya.
"Tidak usah ke tengah, kita bersembunyi di sini saja." "Di sini?" "Ya, menyelam. Lihat, alang-alang ini dapat
menyembunyikan kita." Lu Sian memilih batang alang-alang yang besar dan panjang, memotongnya dan memasukkan
ujungnya ke mulut. "Kalau mereka lewat, kita menyelam, batang alang-alang ini membantu pernapasan kita."
Diam-diam Kam Si Ek kagum bukan main. Gadis ini cerdik luar biasa, pikirnya setelah ia mengerti apa yang
dimaksudkan Lu Sian. Ia pun segera memotong sebatang alang-alang dan mereka menanti. Danau di bagian pinggir
itu tidak dalam, air hanya sebatas dada mereka. Akan tetapi dinginnya bukan main !
Tidak lama mereka menanti. Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya datang dari depan, lalu terdengar suara
Ban-pi Lo-cia, "Ke mana mereka pergi ? Tak mungkin mereka lari jauh!"
"Hemm, kalu tidak bersembunyi di danau itu, kemana lagi?" kata pula Si Kakek Lumpuh, Kong Lo Sengjin.
Kagetlah hati dua orang muda itu dan cepat-cepat Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek memberi isyarat supaya
menyelam. Keduanya lalu menyelamkan kepala, berlutut ke dalam danau dan batang alang-alang itu mereka
pergunakan untuk menghisap hawa dari permukaan air. Karena di situ memang banyak tumbuh alang-alang maka batang
alang-alang dari mulut mereka itu tidak tampak dari luar.
Mereka tidak berani banyak bergerak, kuatir kalau-kalau air bergelombang dan menimbulkan kecurigaan. Dari dalam
air mereka dapat melihat bayangan dua orang itu di pinggir danau. Agaknya dua orang kakek itu tetap menyangka
mereka bersembunyi di danau maka sengaja mereka menanti. Akan celakalah agaknya kalau tadi mereka tidak
mempergunakan batang alang-alang untuk bernapas, karena kalau tadi mereka hanya menyelam biasa, tentu sekarang
sudah tidak kuat menahan napas dan terpaksa muncul lagi. Dan sekali mereka muncul, berarti mereka pasti akan
tertawan ! Saking girang dan kagum hati Kam Si Ek memikirkan ini, di dalam air ia memegang tangan Lu Sian dan
menggenggamnya. Kagetlah ia karena tangan gadis itu menggigil kedinginan. Baru ia teringat bahwa di dalam air
danau ini dingin luar biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Kam Si Ek lalu memeluk pundak gadis itu sambil
merapatkan tubuhnya agar dengan jalan ini mereka berdua agak merasa hangat.
Ketika melihat dari dalam air bahwa kedua orang kakek itu berdiri agak menjauhi tempat mereka sembunyi, Lu Sian
menempelkan telinganya ke permukaan air dengan gerakan hati-hati sekali. Daun telinganya timbul di permukaan
air di antara alang-alang dan terdengarlah suara Ban-pi Lo-cia.
"Aku harus mendapatkan bidadari itu!" "Ah, monyet tua bangka tak tahu malu, masih suka mengejar-ngejar gadis
remaja. Aku sama sekali tidak peduli. Nah, kaucarilah sendiri!" jawab Kong Lo Sengjin sambil menggerakkan
tongkat hendak pergi.
"Uh, uh, kaulah yang tolol!" Si Gundul memaki. "Apa kaukira Jenderal Kam Si Ek akan aman berada di tangannya ?
Eh, setan lumpuh, mari kita kerja sama. Kau mengejar ke kanan aku mengejar ke kiri, syukur kalau aku dapat
menangkap Si Bidadari Manis dan kau dapat menemukan Jenderal Kam. Kalau sebaliknya, kita lalu saling menukar
tangkapan kita, bukankah ini kerja sama yang baik sekali?"
Si Kakek Lumpuh diam sejenak. Dipikir-pikir memang benar juga ucapan iblis gundul ini. Iblis gundul ini lihai
bukan main, kalau dia sampai mengganggu puteri Beng-kauw-cu Pat-jiu Sin-ong, itulah baik. Biar kelak Pat-jiu
Sin-ong mencarinya untuk membalas dendam. Biar dua orang iblis itu saling gempur, dengan demikian berarti ia
akan kehilangan dua orang musuh yang tangguh, dan kalau mereka itu sampai mampus, berarti Khitan dan Nan-cao
akan kehilangan tulang punggungnya.
"Usulmu baik sekali, mari kita kerjakan!" kata Si Kakek Lumpuh yang segera meloncat dan berlari cepat sekali
dengan sepasang tongkatnya, ke arah kiri, Ban-pi Lo-cia juga berlari cepat ke arah kanan dan sebentar saja
lenyaplah bayangan mereka, meninggalkan danau yang sunyi.
Lu Sian menarik tangan Kam Si Ek dan kini keduanya berdiri lagi. Air sampai sebatas dada mereka. Akan tetapi
mereka belum berani keluar dari danau.
"Kita tunggu sebentar, siapa tahu mereka itu hanya menipu. Kalau mereka tiba-tiba kembali, kita dapat menyelam
lagi." Kata Lu Sian dan Kam Si Ek mengangguk. Mereka masih berpegang tangan dan kini, di bawah sinar bulan
mereka saling pandang dengan seluruh rambut, muka dan tubuh basah ! Melihat pandang mata Kam Si Ek seperti itu,
tak terasa lagi Lu Sian menjadi merah mukanya, berdebar hatinya dan ia cepat menundukkan mukanya !
"Liu-siocia (Nona Liu), tanpa bantuanmu aku tentu sudah menjadi orang halus. Aku berhutang budi, berhutang
nyawa kepadamu, entah bagaimana aku dapat membalasnya."
"Tidak ada yang hutang dan tidak ada yang menghutangkan nyawa!" jawab Lu Sian, kini matanya bersinar-sinar
memandang. Wajah mereka hanya terpisah dua jengkal saja, tangan mereka masih saling berpegang. "Kalau tadi aku
tidak kaubantu, aku pun sudah celaka di tangan Ban-pi Lo-cia." Ketika Lu Sian menunduk dan melihat bajunya yang
robek, ia cepat-cepat menutupkannya, dan kembali dua pipinya tiba-tiba menjadi merah.
Kam Si Ek bingung. Sejenak ia terpesona. Biasanya, menghadapi gadis cantik yang terang-terangan memperlihatkan
cinta kasih kepadanya, ia memandang randah dan tidak mengacuhkan. Ia selalu menganggap bahwa wanita hanya akan
melemahkan semangatnya berjuang ! Akan tetapi sekali ini ia benar-benar bingung. Wajah ini, biarpun basah kuyup
dan rambutnya awut-awutan, luar biasa cantiknya.
"Kenapa kau memandang terus tanpa berkedip?" Tiba-tiba Lu Sian bertanya sambil tersenyum.
"Eh.. oh.. aku heran, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku terkurung bencana dan dapat datang menolong..." Dalam
gugupnya Kam Si Ek berkata, heran akan kenakalan gadis ini menggodanya seperti itu.
Lu Sian lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendengar rencana jahat yang dilakukan Phang-ciangkun
untuk menipu dan menawan Kam Si Ek dan semua peristiwa yang terjadi ketika ia melakukan pengejaran untuk
menolong Kam Si Ek ke Lok-yang, Kam Si Ek mendengarkan penuh perhatian, kagum akan kecerdikan Lu Sian dalam
mengikuti jejak mereka yang menculiknya, bergidik mendengar akan kekejaman Kong Lo Sengjin membunuhi pengungsi.
"Dia dahulu adalah seorang Raja Muda yang perkasa, berjuang mati-matian mempertahankan Dinasti Tang. Sayang
bahwa kekecewaan karena melihat jatuhnya Kerajaan Tang membuat ia seperti gila dan menjadi seorang kejam."
"Kau sendiri bersetia kepada Tang sampai rela mengorbankan nyawa." Lu Sian menegur.
"Akan tetapi semua kesetiaanku kutujukan kepada negara dan bangsa. Kerajaan Tang roboh karena kesalahan Kaisar
dan pembantu-pembantunya, yang mengabaikan rakyat. Sekarang, setelah Kerajaan Tang jatuh, aku hanya mengabdi
kepada negara dan rakyat, tidak mudah tertipu oleh mereka yang mengangkat diri sendiri menjadi raja-raja kecil
yang saling bertempur memperebutkan kekuasaan."
"Hemm, kau memang... memang lain daripada yang lain..." Lu Sian menarik napas panjang memandang kagum tanpa
disembunyikan lagi. Melihat pandang mata gadis ini, berdebar jantung Kam Si Ek karena ia menjadi bingung dan
tidak mengerti mengapa gadis ini memandangnya seperti itu, menimbulkan rasa tegang dan juga senang.
"Nona, mengapa kaulakukan semua ini...?" Akhirnya ia bertanya, memandang tajam.
"Lakukan apa?" Lu Sian sambil memperlihatkan senyumnya yang membuat darah diseluruh tubuh Kam Si Ek bergelora.
"Melakukan semua untuk menolongku ? Mengapa kau seperti tidak mempedulikan keselamatanmu sendiri hanya... hanya
untuk menolong orang seperti aku?"
Sejenak mereka saling pandang dan tanpa sengaja, kini mereka saling mendekat, tinggal sejengkal saja jarak
antara hidung mereka. Akhirnya Lu Sian menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, akan tetapi suaranya
terdengar merdu dan jelas. "Karena ........... karena aku cinta kepadamu !"
Hampir saja Kam Si Ek terjengkang ke dalam air kalau saja Lu Sian tidak cepat-cepat memegang lengannya dan
menariknya, "Kau ... kenapa.....?" Gadis itu bertanya kaget. "Ah..... Lui Lu Sian.... Kau membikin aku hampir
mati kaget....!" Kam Si Ek memang amat kaget, kaget dan girang. Siapa yang takkan kaget mendengar seorang gadis
remaja yang demikian cantik jelita, yang dahulu telah merobohkan hatinya, kini tiba-tiba mengaku cinta secara
terang-terangan ? "Lu Sian... mungkin... mungkinkah ini..." ia lalu merangkul.
"Mengapa tidak mungkin ? Ketika kau muncul dahulu itu... menangkis pedangku, lalu bilang bahwa hanya Tuhan yang
tahu betapa inginnya kau menangkan aku... nah, sejak itu aku tak dapat melupakanmu..."
"Aduh, kau adikku yang nakal... adikku yang manis..." Dalam kegirangan yang meluap-luap Kam Si Ek lalu mendekap
kepala gadis itu dan menciumnya. Keduanya yang selama hidupnya baru kali ini mengalami hal seperti itu, merasa
seakan-akan lemas seluruh syaraf di tubuh, membuat mereka tak dapat berdiri tegak, dan tergulinglah mereka ke
dalam air, masih berpelukan dan berciuman ! Dalam keadaan seperti itu untung sebelum mereka bangkit, mereka
melihat bayangan Ban-pi Lo-cia berkelebat di pinggir danau dan berdiri tak jauh dari rumpun alang-alang ! Tentu
saja mereka tidak berani berkutik, dengan saling rangkul mereka memaksa diri berendam di dalam air, menahan
napas !
Setelah bayangan itu lenyap lagi, baru mereka berani muncul dalam keadaan saling rangkul dan terengah-engah,
kemudian tertawa-tawa karena keadaan itu mereka anggap lucu. Tiba-tiba mereka berhenti tertawa, masih saling
peluk dan saling pandang dengan sinar mata penuh kasih sayang. Lama mereka saling pandang tanpa kata-kata,
kemudian terdengar Kam Si Ek berkata lirih, "Moi-moi, terima kasih atas budi dan cintamu, percayalah, semenjak
aku melihatmu dahulu, aku sudah jatuh cinta kepadamu, hanya aku... aku tahu diri, seorang seperti aku mana
mungkin mengharapkan seorang dewi puteri Beng-kauwcu?"
Lu Sian mencubit lengan pemuda itu. "Kau seorang Jenderal ! Dan aku.. aku hanya wanita biasa, bagaimana kau
bisa bilang begitu?" Ia lalu menyandarkan mukanya pada dada yang bidang dan basah itu, sedangkan Kam Si Ek
dengan penuh kebahagiaan mendekap kepala kekasihnya itu menggigil kedinginan. Memang tadi di dalam air sudah
amat dingin, kini setelah separuh tubuh berada dipermukaan air dan tertiup angin malam, dinginnya makin
menghebat.
"Ah, kau kedinginan ! Mari kita keluar dari sini!" katanya
"Hemm, kukira kau akan mengajakku menjadi sepasang kura-kura disini." Lu Sian menggoda. Mereka tertawa dan
kembali Kam Si Ek merasa kagum terhadap kekasihnya ini. Jelas bahwa Lu Sian ini memiliki watak yang bebas,
lincah dan jenaka sekali. Tidak biasa ia menghadapi watak seperti ini dan karenanya ia merasa amat gembira dan
heran.
Mereka lalu meloncat ke darat. "Kita kembali ke Sungai Kuning, bukankah perahu yang membawamu masih berada di
sana?"
"Ah, malah kembali ke perahu?" "Tentu saja. Perahu itulah tempat satu-satunya yang tidak akan disangka oleh dua
orang kakek itu. Mereka tentu mengira kita mengambil jalan darat, untuk kembali ke bentengmu atau ke selatan."
Kam Si Ek mengangguk. Cerdik benar kekasihnya ini dan ia makin bangga serta gembira. Mereka lalu sedapat
mungkin memeras air dari pakaian yang mereka pakai, kemudian berlari-lari mengambil jalan yang gelap menuju ke
Sungai Kuning di utara. Di tengah jalan, Lu Sian mengeluarkan jarum dan benang yang selalu dibawanya dalam
saku, dan sambil berjalan ia menjahit bajunya yang robek. Mereka melakukan perjalanan tanpa bicara karena
kuatir kalau-kalau suara mereka akan terdengar orang, hanya genggaman jari-jari tangan mereka yang bicara
banyak, menggetarkan perasaan hati masing-masing. Kadang-kadang Kam Si Ek tak dapat menahan hatinya dan ia
memeluk Lu Sian, beberapa lama mereka berdekapan dan berbisik-bisik di dekat telinga masing-masing.
Karena melakukan perjalanan dengan hati-hati sekali, pada keesokan harinya pagi hari barulah mereka sampai di
sudut di mana perahu besar itu berlabuh. Alangkah kaget hati Lu Sian melihat bahwa air bah makin membesar.
Dusun yang terendam air makin tak tampak dan keadaan di situ sunyi sekali, para anak buah perahu berjaga. Dari
tempat tinggi itu tampak perahu masih berada di sana sehingga mereka menjadi girang sekali.
Karena banjir makin membesar, kini rumah gedung itu mulai terendam air sedikit, kira-kira sejengkal dalamnya.
Ketika Lu Sian dan Kam Si Ek tiba di gedung itu, mereka mendengar suara bersungut-sungut dari dalam.
"Celaka betul, sampai sekarang belum juga ada berita dari kota raja ! Apakah kita akan didiamkan di sini sampai
mati kedinginan?"
"Ah, Laote, tak perlu mengomel. Ini termasuk kewajiban dan tentu akan ada pahalanya!" cela suara lain.
Tiba-tiba enam orang prajurit yang bertugas menjaga perahu itu terkejut ketika dua sosok bayangan melompat
masuk dan seorang gadis dengan pedang di tangan telah berada di depan mereka. Apalagi ketika melihat bahwa
bayangan ke dua adalah Kam Si Ek, orang yang tadinya tertawan dan dibawa ke kota raja, seketika mereka menjadi
pucat dan berseru. "Celaka...!"
Akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Lu Sian sudah berkelebatan bagaikan seekor burung garuda menyambar,
mengeluarkan angin menderu dan muncratlah darah dari tubuh enam orang itu yang roboh satu-satu dengan dada
berlubang atau leher hampir putus. Darah yang keluar dari luka mereka membuat sedikit air yang merendam lantai
seketika menjadi merah.
"Moi-moi... jangan..." Kam Si Ek mencegah, akan tetapi gerakan pedang Lu Sian amat cepat, secepat kilat
menyambar dan enam orang itu telah menggeletak tak bernyawa lagi. Cegahan Kam Si Ek terlambat dan pemuda ini
berdiri dengan muka berkerut, tak senang ia menyaksikan perbuatan gadis ini yang dianggapnya amat kejam dan
ganas. Teringat ia bahwa gadis kekasihnya ini adalah puteri tunggal Beng-kauwcu dan terbayang dalam benaknya
kekejaman-kekejaman yang terjadi di Beng-kauw. Tiba-tiba ia menjadi marah sekali.
"Hemm, gadis berhati kejam ! Sekarang aku tahu maksud hatimu ! Kau tidak ada bedanya dengan yang lain. Tentu
kau hendak membujukku untuk membantu ayahmu di Nan-cao, bukan ? Kau mempergunakan kecantikanmu untuk
menjatuhkan hatiku. Memang, aku cinta kepadamu, aku tergila-gila kepadamu oleh kecantikanmu. Akan tetapi jangan
harap bahwa aku, Kam Si Ek seorang laki-laki sejati akan menjual negara dan bangsa hanya karena seorang
wanita!" Ia mencabut golok emasnya dan memandang dengan mata penuh kemarahan.
Lu Sian terkejut, akan tetapi hanya sebentar. Ia malah tersenyum, tersenyum mengejek. Ia puteri tunggal Pat-jiu
Sin-ong, tentu saja ia pun mempunyai watak yang amat aneh. Membunuh baginya bukan apa-apa. Orang yang patut
dibunuh harus dibunuh, demikian ajaran ayahnya. Kini ia memandang dengan mata penuh kagum dan cinta kepada Kam
Si Ek, akan tetapi sengaja ia tersenyum mengejek. Inilah kesempatan baik baginya untuk menguji kepandaian
pemuda itu. Maka ia lalu menggerakkan pedangnya dan berkata.
"Kam Si Ek, begitukah dugaanmu ? Dan kau telah menghunus golokmu ? Baiklah, mari kita lihat siapa diantara kita
yang lebih lihai!" Sambil berkata demikian, gadis itu meloncat ke ruangan belakang gedung yang lebih luas
karena ruangan itu penuh mayat. Sambil melompat ia melirik dan mengeluarkan suara ketawa mengejek, membikin
hati Kam Si Ek makin panas.
"Lihat golok!" bentak Kam Si Ek sambil meloncat mengejar bagaikan kilat. Lu Sian membalikkan tubuh dan
menggerakkan pedangnya menangkis. Maka bertandinglah kedua orang itu dalam ruangan belakang di mana lantainya
penuh air sehingga kaki mereka membuat air di lantai muncrat-muncrat. Golok dan pedang menyambar-nyambar dan
berkali-kali terdengar suara nyaring beradunya kedua senjata itu ! Memang aneh kedua orang muda ini. Beberapa
jam yang lalu mereka masih berpelukan, berciuman, dan sekarang mereka sudah saling serang, senjata mereka
saling mengintai nyawa !
Dalam hal ilmu silat, Kam Si Ek masih kalah oleh Liu Lu Sian. Akan tetapi, pemuda ini mempunyai ketabahan hati
luar biasa, karenanya ilmu goloknya seperti dimainkan oleh orang nekat, juga tenaganya besar sekali sehingga
untuk seratus jurus lamanya mereka bertanding dengan seru dalam keadaan berimbang.
Lu Sian orangnya memang cerdik sekali. Ia sudah dapat menyelami perasaan hati kekasihnya, maka ia tidak marah
ketika tadi dimaki-maki. Ia tahu bahwa cara hidup kekasihnya itu jauh berbeda dengan dia, maka bagi Kam Si Ek,
cara pembunuhan yang dilakukan tadi tentu amat mengagetkan. Selain itu, agaknya kekasihnya ini mulai merasa
curiga, mengira bahwa dia memang bermaksud membujuk dan menariknya untuk membantu Kerajaan Nan-cao. Oleh karena
ini, maka ia berlaku hati-hati sekali. Kalau sampai ia menyinggung hati pemuda yang sudah menjadi kekasihnya
itu, maka hal itu dapat merenggangkan perhubungan mereka yang sudah mulai terjalin.
Kini ia sudah merasa puas menguji kepandaian Kam Si Ek. Sungguhpun tingkat kepandaian jenderal muda ini tentu
saja sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau dibandingkan dengan
para pemuda yang pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling unggul. Tidak banyak selisihnya
daripada tingkatnya sendiri. Kalau ia mau, tentu lambat laun ia dapat mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka
ia sudah merasa puas. Bakat ilmu silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima pelajaran ilmu
silat tinggi, tentu dia sendiri pun akan kalah ! Ia sudah mencoba kepandaiannya, akan tetapi belum mencoba
hatinya. Biarlah ia mainkan ujian berbahaya ini. Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan
pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya
menanti maut !
Betapa terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget dan karena ia sudah tak
mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya ke arah leher. Namun, tetap
saja goloknya itu membabat ke arah pundak dan "makan" ke dalam daging di pangkal lengan Lu Sian. Darah
mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak,
lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.


"Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi ? Bukankah engkau hendak membunuhku?" Lu Sian berkata, biarpun pangkal
lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa
pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya digerakkan
oleh kemarahan yang tiba-tiba.
"Kau.. kau mengapa begini aneh..? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"
"Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi ? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang telah
menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah
melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka ? Kau
seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa berkedip, membunuh
laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam
orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi kita, mengapa kau
marah-marah ? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao !
Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu belaka, hanya di bibir. Aku... aku... ahhhh....!" Tubuh
Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling.
Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan melihat betapa wajah gadis itu
pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat, ia makin gugup.
"Moi-moi.... Moi-moi..., kaumaafkan aku... ah, aku bodoh sekali ! Lu Sian... ! Moi-moi...!" Kam Si Ek lalu
memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari ke belakang rumah dan meloncat ke atas dek
perahu besar. Hanya di perahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian ke atas sebuah
opembaringan yang berada di bilik perahu.
"Ah, benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!" Kam Si Ek merobek baju di pundak Lu Sian
dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda
itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah
terlalu banyak. Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat dan matanya masih meram, napasnya
tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat
api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Di musim
banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih.
Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata yang
tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli ! Kalau
ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi ! Setelah air matang Kam Si Ek lalu
membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian, melihat di perahu
itu banyak perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin.
Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu biarpun sudah siuman, namun belum sadar, masih
bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan, matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti
orang terserang demam ! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil meramkan mata
gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya !
"Ayah, aku tidak mau menikah dengan Kwee Seng ! Tidak mau dengan raja muda di timur, pangeran di barat atau
putera mahkota di utara ! Aku hanya mau menikah dengan Kam Si Ek, biar dia jenderal tolol, biar dia laki-laki
canggung, aku sudah cinta kepadanya, Ayah!"
Kam Si Ek duduk bengong di pinggir pembaringan. Bermacam perasaan teraduk dalam hatinya. Girang dan bahagia
karena dalam igauannya ini Liu Lu Sian jelas membuka isi hatinya yang amat mencintainya. Bingung karena gadis
itu makin malam makin hebat mengigau dan gelisah. Duka dan khawatir karena ia telah melukai gadis itu, melukai
tubuh dan hatinya.
Lu Sian mengigau terus. Dalam igauannya itu malah ia menyebut-nyebut bahwa ia bersama Kam Si Ek akan pergi
menemui Gubernur Li Ko Yung di Shan-si, untuk minta bantuan gubernur ini menjadi perantara meminangnya kepada
ayahnya di Nan-cao. Mendengar igauan ini, sadarlah Kam Si Ek bahwa itulah jalan terbaik. Ia memang tadinya
menerima undangan atau panggilan Gubernur Li dan di tengah jalan ia dijebak dan dikhianati komplotan para
perwira yang memberontak dan pasukan-pasukan kerajaan Liang. Hal itu perlu ia laporkan kepada Gubernur Li.
Disamping itu untuk mengajukan lamaran kepada ayah Liu Lu Sian yang selain menjadi Ketua Beng-kauw, juga
menjadi koksu (guru negara) di Nan-cao, siapa lagi yang lebih tepat selain dengan perantaraan Gubernur Li?"
Ia memeluk Lu Sian dan mencium pipinya dengan mesra. "Moi-moi, tenangkanlah hatimu, kauampunkan kokomu yang
tolol ini. Aku cinta kepadamu, Moi-moi, dan demi Tuhan, aku akan meminangmu dari tangan ayahmu." Ia lalu sibuk
melepaskan perahu daripada ikatan, mendayung ke tengah lalu memasang layar. Biarpun bukan ahli, Kam Si Ek tidak
asing dengan pelayaran, maka biarpun hari telah berganti malam, ia berani melayarkan perahunya di bawah sinar
bulan.
Lu Sian membuka matanya dan tersenyum-senyum girang. Melihat Kam Si Ek sibuk mengemudikan perahu, ia lalu
mengeluarkan bungkusannya, mengambil obat luka dan mengobati pundaknya. Kemudian ia mengusap-ngusap pipinya
yang masih panas oleh ciuman Kam Si Ek, turun dari pembaringan perlahan-lahan lalu keluar dari dalam bilik.
"Koko (Kanda)..." ia berseru memanggil lirih. Kam Si Ek terkejut dan menoleh. Melihat gadis itu berdiri
bersandar pintu bilik, ia terkejut, girang dan juga khawatir.
"Eh, kau sudah bangun, Moi-moi ? Kau beristirahatlah, jangan keluar dulu, nanti kena angin... ! Itu ada bubur
di meja, kaumakanlah...!"
"Aku tidak lapar, Koko, dan aku sudah sembuh." Mana bisa ia merasa lapar kalau hatinya sebahagia itu ? Pula,
ketika ia berpura-pura pingsan dan mengigau, bukankah Kam Si Ek dengan amat telaten telah menyuapinya dengan
bubur sampai kekenyangan ? "Aku merasa seperti baru bangun dari mimpi. Eh, Koko kau melayarkan perahu ini ke
manakah?"
Girang sekali hati Kam Si Ek melihat kekasihnya benar-benar telah sembuh, wajahnya berseri pipinya merah dan
matanya bersinar-seinar. "Pundakmu tidak nyeri lagi, Moi-moi?"
Dengan gaya manja Lu Sian menggeleng kepalanya lalu berjalan menghampiri. Dengan satu tangan Kam Si Ek memegang
tali layar, tangan ke dua meraih lengan gadis itu dan mereka berpegang tangan, saling pandang penuh kasih.
"Sian-moi, kau tahu bahwa aku dipanggil oleh Gubernur Li akan tetapi oleh pasukan yang berkhianat dan
bersekongkol dengan Raja Liang, aku diculik. Hal ini harus kulaporkan kepada Gubernur Li, maka aku sekarang
hendak pergi ke Shan-si untuk berunding dengan beliau. Kuharap kau suka ikut denganku ke sana, selain berunding
urusan pengkhianatan itu, akupun perlu minta bantuannya." Sampai di sini pemuda itu berhenti bicara dan mukanya
menjadi merah.
"Bantuan apa, Koko?" Lu Sian bertanya, pura-pura tidak tahu akan tetapi diam-diam girang sekali karena agaknya
akalnya "mengigau" itu berhasil baik.
"Moi-moi." Tangan Kam Si Ek menggenggam erat-erat tangan Lu Sian. "Aku hendak mohon bantuannya untuk menjadi
orang perantara, mengajukan pinangan atas dirimu dari tangan ayahmu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan di Nan-cao."
Girang sekali hati Lu Sian. "Koko, kemanapun juga kau pergi, aku suka ikut!"
Tidak ada kegembiraan yang lebih besar bagi muda-mudi daripada kegembiraan dua buah hati yang saling bertemu.
Berhari-hari mereka menjalankan perahu sambil bersenda gurau, menceritakan keadaan masing-masing, menangkap
ikan dan masak-masak lalu makan bersama. Kam Si Ek makin mendalam cinta dan kagumnya terhadap Lu Sian,
mengagumi kecantikan dan kelincahan gadis ini, termasuk wataknya yang kadang-kadang aneh. Di lain pihak, Lu
Sian juga kagum akan kekasihnya yang sudah tiada orang tua lagi, tentang keturunan keluarga Kam yang semenjak
dahulu terkenal sebagai panglima-panglima perang jagoan. Ketika Lu Sian bercerita tentang pertemuannya dengan
kakak seperguruan jenderal itu, yaitu Lai Kui Lan di dalam benteng, Kam Si Ek menyatakan kekuatirannya.
"Suci seakan-akan telah menjadi saudara kandungku. Dia seorang pendiam dan bersungguh-sungguh, banyak
membantuku dalam perang. Akan tetapi akhir-akhir ini ia sering kudapati menangis di kamarnya, dan sama sekali
tidak mau menceritakan apa sebab-sebabnya. Aku kuatir sekali ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Malah sebelum
aku pergi dari benteng, Suci seringkali berkunjung ke Kwan-im-bio di luar benteng, bahkan bermalam di sana.
Agaknya ia menjadi kenalan baik dari para nikouw (pendeta wanita) di kuil itu."
Mendengar ini, Lu Sian dapat menduga dan ia hanya mengeluh di dalam hatinya, tidak mau menceritakan apa yang
menjadi dugaannya. Ia menduga bahwa Kui Lan tentu menjadi korban asmara, tentu berduka karena Kwee Seng
terjatuh ke dalam jurang dan binasa. Gadis itu mencinta Kwee Seng dan menjadi patah hati. Ia tidak berani
bercerita tentang Kwee Seng kepada Kam Si Ek karena cerita ini tentu akan membuka pula rahasia tentang perasaan
Kwee Seng kepadanya. Akibat ceritanya ini tentu akan mendatangkan suasana tidak enak diantara mereka, apalagi
di situ tersangkut pula diri Lai Kui Lan.
Cinta memang aneh. Biarpun dua orang muda yang amat jauh berbeda sifat dan wataknya, namun kalau sudah
dipengaruhi cinta kasih, mereka seperti lupa akan semua perbedaan ini. Seorang yang mabok dicinta, hanya akan
melihat yang baik-baik saja dari kekasihnya. Demikian pula dengan Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Kalau saja mereka
tidak sedang mabok cinta, tentu mereka akan dapat melihat bahwa mereka mempunyai watak yang jauh berbeda. Kam
Si Ek adalah seorang pemuda yang keras hati, jujur, berdisplin memegang aturan, gagah perkasa dan seorang
patriot. Sebaliknya, Lu Sian memiliki dasar watak yang aneh, kadang-kadang licik dan menjalankan siasat-siasat
yang curang bukanlah aneh baginya. Ia tidak peduli akan segala aturan, bebas merdeka dan liar. Tidak mau kalah
oleh siapapun juga, tidak peduli akan orang lain menderita atau tidak, tidak peduli sama sekali tentang negara
maupun bangsa. Baginya, siapa yang menentangnya akan ia hantam !
Perbedaan itu secara mencolok akan tampak kalau kita dapat menjenguk isi hati dan pikiran mereka pada saat
mereka duduk melamun. Kam Si Ek melamunkan kebahagiaannya kalau sudah menikah dengan Liu Lu Sian, melamun
betapa dengan bantuan isterinya yang memiliki kecerdikan dan kepandaian luar biasa itu, ia akan dapat berjuang
dan memilih junjungan yang benar-benar tepat pada jaman itu, seorang calon raja yang akan benar-benar
memperhatikan kesejahteraan rakyat.
Sebaliknya, Lu Sian di samping melamun tentang kesenangannya menjadi isteri pemuda yang dicintanya, juga ia
teringat akan kekalahan-kekalahannya yang diderita selama ini. Hatinya panas bukan main kalau ia teringat
betapa ia sama sekali tidak berdaya menghadapi orang-orang sakti seperti Kwee Seng, Ban-pi Lo-cia, Bayisan, dan
Kong Lo Sengjin. Alangkah masih jauh ia ketinggalan dalam ilmu silat, pikirnya dengan hati tidak puas. Ia
bercita-cita untuk memperdalam ilmu silatnya, mencari kitab-kitab pusaka dan wasiat-wasiat ilmu silat agar ia
dapat menjadi seorang tokoh sakti yang akan menjagoi dunia persilatan, mengalahkan orang-orang itu.
Pertama-tama ia akan minta kepada ayahnya untuk mewariskan ilmu-ilmu baru ciptaan ayahnya, kemudian ia akan
menitahkan anak buah suaminya untuk menyelidiki dan mencari orang-orang berilmu !
Untung bagi mereka, di dalam perjalanan mereka tidak bertemu dengan Ban-pi Lo-cia maupun Kong Lo Sengjin dan
setelah tiba di wilayah Shan-si, mereka merasa aman, melakukan perjalanan cepat dengan menunggang kuda memasuki
ibu kota Shan-si, menghadap Gubernur Li Ko Yung.
Gubernur Li adalah seorang yang cerdik sekali. Dia merupakan seorang diantara pimpinan pemberontakan yang
menggulingkan kedudukan kaisar terakhir Dinasti Tang. Akan tetapi ia tidak semaju Gubernur Cu Bun di Ho-nan
yang akhirnya berhasil menggulingkan Kerajaan Tang dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar pertama Kerajaan Liang.
Terhadap Jenderal Kam Si Ek, Gubernur Li berlaku amat hati-hati. Ia maklum bahwa jenderal muda ini amat setia
terhadap negara dan bangsa, dan bahwa jatuhnya Kerajaan Tang tidak mempengaruhi hati Kam-goanswe. Oleh karena
itulah maka dengan cerdik ia hendak mempergunakan tenaga dan pikiran jenderal muda itu secara halus. Ia
menyambut kedatangan Kam Si Ek dengan ramah tamah dan penuh penghormatan, juga terhadap Liu Lu Sian yang
diperkenalkan sebagai puteri Beng-kauwcu, ia menyambut dengan ramah. Ketika secara singkat Kam Si Ek
menceritakan bahwa perwira she Phang yang diutus memanggilnya ke benteng itu telah bersekongkol dengan pasukan
Kerajaan Liang untuk menawannya, Gubernur Li menjadi marah sekali.
"Keparat itu berani melakukan kejahatan seperti itu?" Gubernur Li menggebrak meja, memanggil seorang panglima
dan memerintahnya segera berangkat membawa pasukan dan surat perintahnya untuk menangkap Phang-ciangkun dan
menjatuhi hukuman mati ! Setelah itu ia menjamu kedua orang tamu agung ini dengan arak dan hidangan lezat,
berkali-kali ia memberi selamat atas pembebasan Kam-goanswe daripada bahaya. Kemudian, setelah mereka kenyang
makan minum dan mengusir para pelayan, Gubernur Li Ko Yung berkata.
"Goanswe, saya ingin sekali bicara empat mata denganmu, untuk merundingkan urusan negara dalam keadaan
kacau-balau seperti sekarang ini." Berkata demikian, ia melirik ke arah Liu Lu Sian. Gadis ini tentu saja
maklum bahwa dia merupakan "orang luar" apalagi dia adalah puteri Guru Negara Nan-cao, maka tentu saja ia tidak
berhak mendengar. Namun dasar ia berwatak nakal dan kukwai (aneh), ia pura-pura tidak tahu dan enak-enak duduk
minum arak wangi ! Kam Si Ek merasa tidak enak sekali. Mengusir Liu Lu Sian pergi, tentu saja tidak enak
baginya, mendiamkannya saja kekasihnya berada di situ, juga tidak enak terhadap Gubernur Li. Maka dengan
memberanikan hati ia lalu berkata sambil bangkit berdiri dan menjura kepada gubernur itu.
"Li-taijin, harap maafkan. Sebelum kita meningkat kepada percakapan urusan negara yang penting, baiklah lebih
dulu saya menyatakan terus terang bahwa Nona Liu ini bukanlah orang luar. Dia adalah... adalah... calon isteri
saya, yaitu... eh..., kalau saja Taijin sudi melepas budi kebaikan kepada kami berdua untuk menjadi orang
perantara dan mengajukan pinangan kepada Beng-kauwcu di Nan-cao." Setelah berkata demikian, dengan muka merah
ia duduk kembali. Liu Lu Sian tersenyum di dalam hati, akan tetapi ia diam saja pura-pura tunduk karena malu.
Sejenak gubernur ini tercengang, kemudian ia tertawa bergelak-gelak saking girangnya. Tidak ada kesempatan
sebaik ini ! Cocok benar dengan cita-cita hatinya. Mengikat hubungan baik dengan Nan-cao ! Melepas budi kepada
Jenderal Kam ! Maka ada kesempatan yang lebih bagus daripada ini demi terlaksananya cita-citanya ?
"Ha-ha-ha ! Bagus..., bagus sekali ! Kionghi, kionghi (selamat,selamat)! Memang sudah tiba waktunya Kam-goanswe
memilih teman hidup dan Nona Liu yang cantik jelita puteri Beng-kauwcu benar-benar merupakan pasangan yang amat
cocok dengan Kam-goanswe. Sekali lagi kionghi dan tentu saja dengan segala senang hati saya suka menjadi
perantara!"
Gubernur Li mengangkat cawan memberi selamat dan dua orang muda itu cepat menghaturkan terima kasih. Setelah
itu, Gubernur Li Ko Yung berkata dengan suara bersungguh-sungguh.
"Ji-wi (kalian) tentu maklum bahwa bekas Gubernur Cu Bun yang sekarang mengangkat diri sendiri menjadi Raja
Dinasti Liang adalah seorang pengkhianat, maka tidak mengherankan pula ia berusaha menculik Kam-goanswe. Memang
dahulu kami bekerja sama dalam usaha menggulingkan Raja Tang yang pada waktu itu merupakan raja lalim. Akan
tetapi sama sekali bukan menjadi rencana kami untuk mengangkar diri sendiri menjadi raja, melainkan hanya
bermaksud menggulingkan raja lalim dan mencari pengganti yang tepat. Siapa kira Cu Bun berkhianat dan
mendirikan dinasti baru yang sekarang ini. Maka tidak mengherankan apabila mereka yang tadinya membantu dalam
perjuangan, kini memisahkan diri dan terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil. Sekarang, bagaimana dengan daerah
kita yang meliputi Propinsi Shan-si ? Tentu saja kita tidak akan tunduk kepada Kerajaan Liang atau kerajaan
kecil yang manapun juga. Bagaimana pendapat Kam-goanswe?"
Kam Si Ek mengangguk-angguk, lalu berkata, "Saya setuju dengan pendapat Taijin. Demi kesetiaan leluhur kita
yang berjuang untuk negara dan rakyat, saya sendiri tidak akan mudah memilih junjungan, karena sekali kita
salah pilih mengabdi kepada raja lalim berarti kita pun membantu kelalimannya."
"Betul sekali ucapan Kam-goanswe ! Kita berjuang di bidang yang lain, saya di bidang sipil, Goanswe di bidang
muliter, namun pendapat dan tujuan kita cocok ! Kita boleh menanti dan memilih secara hati-hati, sementara itu,
sebelum muncul seorang pemimpin yang betul-betul cocok, kita tidak bisa membiarkan daerah Shan-si yang menjadi
tanggung jawab kita ini dicaplok oleh raja kecil palsu yang manapun juga. Bukankah begitu, Kam-goanswe?"
"Betul sekali, Taijin. Saya akan menyerahkan jiwa raga untuk mempertahankan dan membela Shan-si!"
"Bagus ! Nah, ketahuilah, Goanswe. Di antara para raja kecil yang secara lancang mengangkat diri sendiri, kini
terjadi perebutan wilayah dan kekuasaan. Bukan hanya dari Kerajaan Liang saja datangnya ancaman terhadap
wilayah kita, melainkan dari Se-cuan, dari timur Kerajaan Wu Yue, belum lagi ancaman yang amat membahayakan
dari Bangsa Khitan. Untuk mempertahankan wilayah kita, perlu kita membentuk pemerintahan sementara dan kerja
sama yang erat antara kita semua yang bertugas di Shan-si. Oleh karena itu, setelah nanti saya menjadi orang
perantara dan telah dilangsungkan pernikahan antara Ji-wi berdua, saya minta agar Kam-goanswe sudi memegang
tugas panglima di sini dan mengatur semua barisan yang perlu diperkuat untuk mejaga wilayah kita dari ancaman
di segala jurusan."
Pandai sekali Gubernur Li mengatur rencana dengan halus sehingga Kam Si Ek yang berwatak jujur itu percaya
seratus prosen. Sama sekali Gubernur Li Ko Yung tidak membayangkan niat untuk mencari kekuasaan sendiri, maka
serta merta Kam Si Ek menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama.
Adapun Lu Sian yang lebih cerdik dan sudah biasa menghadapi kelicikan dan siasat busuk orang, sedikit banyak
menaruh curiga, akan tetapi ia tidak mau peduli akan cita-cita gubernur itu. Hasratnya hanya satu yaitu menjadi
isteri Kam Si Ek yang dicintainya, dan kalau gubernur itu dapat menjadi perantara sehingga hasrat hatinya
terkabul, ia merasa cukup puas. Baginya sama saja apakah Gubernur Li itu seorang patriot tulen ataukah seorang
pengkhianat. Juga ia tidak peduli Kam Si Ek akan membantu siapa, asal jenderal muda yang perkasa ini menjadi suaminya.
Ketika utusan Gubernur Li yang merupakan sepasukan berkuda membawa seorang wakil dan surat pribadi mengajukan
pinangan, berikut pula berpeti-peti barang berharga, tiba di Nan-cao menghadap kepada Beng-kauwcu pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, Ketua Beng-kauw ini membaca surat dan menarik napas panjang. Betapapun juga, ia kurang cocok
dengan pilihan puterinya ini, dan ia akan lebih senang kalau puterinya mendapat jodoh seorang tokoh kang-ouw
seperti Kwee Seng. Puterinya terdidik sebagai seorang ahli silat, sebagai seorang yang biasa terbang bebas
seperti burung di udara, sekarang puterinya memilih Kam Si Ek, seorang jenderal yang terkenal sebagai ahli
perang yang berdisiplin, bagaimana dapat cocok watak mereka ? Akan tetapi karena surat itu dilampiri surat
puterinya, dan ia mengenal baik watak puterinya yang mewarisi wataknya sendiri, yaitu tidak mau mundur
sejengkal pun untuk melaksanakan keinginan hatinya, pula mengingat bahwa Kam Si Ek adalah seorang pemuda
perkasa yang dijadikan rebutan oleh kaum wanita, keturunan panglima-panglima perkasa pula, terpaksa ia
mengalah.
Apalagi kalau Ketua Beng-kauw ini sebagai seorang kok-su (guru negara) mengingat akan suasana dan kedudukan
Kam-goanswe sebagai panglima di Shan-si, yang tentu saja merupakan kekuasaan yang amat baik untuk dijadikan
sekutu, maka ia segera menulis surat balasan menerima pinangan itu dan menetapkan hari pernikahan puterinya di
Nan-cao.
Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu Bun yang
kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil di seluruh
negara yang jumlahnya sukar dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di antara raja-raja kecil ini, banyak pula
keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan bangsawan, berusaha
untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu.
Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, diantaranya
bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang
kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat pula menarik bantuan Gubernur Li Ko Yung yang
dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek, dan masih banyak pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang
Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari
Pemerintah Liang Muda.
Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu merobohkan
Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada
tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan pertama dari jaman
Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja (907-923).
Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama
Kerajaan Tang Muda. Akan tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda
ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara "orang dalam", juga ancaman serangan dari
raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda.
Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota
raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti
biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja terakhir
Dinasti Tang ! Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang, namun di dalam hatinya timbul dendam
terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat
dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si Ek tetap tinggal di Shan-si.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si Ek
dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini
bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya toapan (lebar dan
terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk menjadi ilmu silat. Akan tetapi, Kam
Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu
Song sudah pandai membaca ribuan huruf.
Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan
tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah
lewat beberapa tahun. Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan hal ini
sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi
kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia
kang-ouw. Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul
memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra,
lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan. Lu sian beberapa kali menyatakan
keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat
mengajak putera mereka merantau dan menambah pengalaman di dunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek menolak ajakan
ini.
Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan kepada
puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita
ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu silat yang
dapat melindungi kita, melainkan watak yang baik !
Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan besar, Kam Si Ek yang
berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya
penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan ! Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si
Ek, karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang ! Hanya sehelai kertas
ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.
Kam Si Ek,
Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap cocok dengan keadaanmu.
Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.
Liu Lu Sian
Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu
dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama
sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima
penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah. Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang,
melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih.
Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan
jabatan dan meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.
"Si Ek !" demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau
sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan
ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam
dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"
"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang
tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang
Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman
mereka, aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak
mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."
"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya, "Kaukurung dirimu dengan tugas, dan
kaukurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku ? Ah, kiranya
cintamu terhadapku sudah mulai luntur!" Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum
wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.
"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri ? Ketahuilah, isteriku. Cinta
kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh
pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik
masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan
kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku
sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan kewajiban sebagai
isteri dan ibu, apalagi kekurangannya ? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti
kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban ? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song ? Kau tahu
sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."
Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak ! "Cukup ! Bosan aku
mendengar kuliahmu ! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku hanya untuk membuat aku
terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku !" Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting
pintu keras-keras.
Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun
memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu,
isterinya sama sekali tidak suka didekatinya. Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia
tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan. Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa
isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak
isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan
mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!
Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima
! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang
dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa
dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah
dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.
"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya ? Apakah kesalahan ibu?" berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam
Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di
Nan-cao. Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja
tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek
yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi
tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah
antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka
bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara
mereka.
Hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak isterinya pergi meninggalkannya. Setelah Lu Sian pergi,
barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan
Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya. Akan tetapi keadaan
Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian dalam pertengkaran mereka. Memang betul
bahwa Kerajaan Liang yang meerobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang
Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak. Pimpinan
muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang mengejar kesenangan belaka,
mengejar kedudukan dan kemuliaan. Orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah memperoleh
kedudukan dan kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka. Setiap orang pejuang tadinya
bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa.
Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasai kenikmatan daripada kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan
lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku
yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang. Mengapa memikirkan orang lain ?
Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di
dalam hati sanubari.
Namun, tiada yang kekal di dunia ini. Kesenangan tidak. Kedudukan pun tidak. Semua pasti berakhir, kesenangan
dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan
bertemu dengan duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka. Inilah hukum
timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang ! Titik kedua ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam
mayapada ini.
Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami
pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu
Bwee Hwa. Tidak secantik Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan yang
sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang wanita yang halus perangainya,
bersusila dan berkebudayaan tinggi. Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang
sekarang telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan Nikouw. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng,
kemudian patah hati melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar
itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia tertarik oleh ajaran dan
ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya.
Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sutenya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu, dialah
yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga
amat perlu bagi Bu Song. Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri
sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh
kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung
Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena
Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan
datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu selesai,
muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi.
Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah
memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak, "Kam Si
Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil
berkata, suaranya gemetar, "Harap jangan layani orang itu...!"
Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak
melayani orang yang menantangnya seperti itu ? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya, "Mengapa ?
Siapa dia?" Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata, "Dia... dia... itu Giam Sui Lok, orang sekampung
denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi ... ditolak
oleh ayah. Biarpun dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta huruf. Ah,
dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka menaruh kasihan... dan jangan melayaninya..."
Kam Si Ek mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini ? biarpun disebut pendekar oleh isterinya, jelas bahwa
pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak
memusuhi siapapun yang menjadi suami Bee Hwa ? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan disangka
pengecut dan penakut ?
Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya ? Apakah kau suka kepadanya?"
Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan suaminya. "Bagaima kau bisa bilang
begitu ? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi isterimu ? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku
dapat mengingat laki-laki lain ? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak ingin kalian
bertempur, kemudian seorang diantara kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak
kepadamu... akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang
jahat..."
Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya. "Jangan kau kuatir, aku akan menasihatinya, kalau tidak
terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun jendela diketuk dari luar. "Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san ! Ada urusan diantara
kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm, kautunggulah!" Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun jendela, terus
melompat keluar.
Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki
muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya
membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu aturan,
namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
"Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu
aturan dan tak tahu malu ? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar ? Apakah di
dunia ini hanya ada dia seorang wanita ? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan penghinaan bagiku,
akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari
sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai disini saja."
Giam Sui Lok mengertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati, "Kam Si Ek, enak saja kau
bicara ! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa, belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya
menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh ! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi kalau tidak
dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati diujung senjata siapa yang menjadi suaminya,
atau membunuh suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati
di tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk mengakhiri penderitaan batin ini!" Sambil berkata
demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya !
Kam Si Ek menjadi marah. "Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak menggunakan aturan."
"Tak perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini diujung senjata ? Kalau tidak
berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan
karena kau lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biarpun hanya panglima pengecut."
"Tutup mulut ! Lihat golokku siap menandingimu!" bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok emasnya.
Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua orang
itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar dengan amat
cepat dan kuat agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya karena telah
mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya ! Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya
Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian
Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan Kam Si Ek ia kalah jauh. Dengan tenang sekali
Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan
lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas. Akan tetapi
Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah
melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya. Giam Sui Lok mengeluh, pangkal
lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu
berkata, "Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya. "Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat ! Kau masih muda
dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan meresa malu
sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan. "Kam Si Ek ! Aku mengaku kalah dan minta
mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang
saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau
sudah!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di balik gelap
malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil
berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song !
Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa
buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang.
Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari keluar dan
lenyap pula di tempat gelap.
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat disusul
dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi
peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu saja ia segera
menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka. Anak itu tidak dapat ditemukan,
seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan
penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san,
merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song !
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kwee Seng ! Sengaja kita lakukan ini agar jalan cerita dapat tersusun baik, karena memang ada hubungannya antara tokoh-tokoh yang diceritakan itu.Telah kita ketahui betapa dalam keadaan linglung, Kwee Seng telah melayani cinta kasih seorang nenek-nenek di Neraka Bumi selama belasan hari ketika Arus Maut di Neraka Bumi itu meluap airnya dan cuaca menjadi gelap.
Setelah cuaca menjadi terang kembali, pikirannya pun menjadi terang dan sadarlah ia bahwa ia telah mencurahkan
kasih sayangnya kepada seorang nenek-nenek yang memang menghendaki ia menjadi suaminya ! Bagaikan gila Kwee
Seng memukuli muka dan kepalanya sendiri, kemudian ia meloncat ke dalam air arus Arus Maut, menyelam dan
berenang melawan arus.
Bukan main kuatnya arus itu, seekor ikan pun agaknya takkan mampu berenang melawan arus itu. Akan tetapi,
selama tiga tahun berdiam di dalam Neraka Bumi, Kwee Seng telah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Berkat
latihan samadhi menurut ajaran kitab samadhi, tenaga lweekangnya meningkat hebat beberapa kali lipat, sedangkan
ilmu silatnya juga tanpa ia sadari telah menjdai hebat luar biasa setelah ia memahami kitab Ilmu Perbintangan.
Kini, menghadapi terjangan arus yang demikian ganasnya, Kwee Seng dapat mempergunakan lweekangnya, menyelam dan
berenang sepenuh tenaga sambil menahan napas. Beberapa kali ia terpukul kembali, namun dengan gigih Kwee Seng
maju terus. Benturan-benturan dengan batu ketika ia dihempaskan Arus Maut, tidak terasa oleh tubuhnya yang
sudah menjadi kuat dan kebal. Kadang-kadang ia muncul di permukaan air untuk mengambil napas, lalu menyelam
kembali dan bergerak maju terus. Bukan main hebatnya perjuangan melawan Arus Maut ini. Perjuangan mati-matian
dan ia tidak tahu bahwa andaikata tiga tahun yang lalu ia harus melakukan perjuangan macam ini, tentu ia akan
tewas !
Akhirnya ia dapat keluar dari dalam terowongan dan ketika ia muncul di permukaan air, ia melihat langit
menyinarkan cahaya terang benderang, membuat matanya silau karena sudah terlalu lama ia tinggal di tempat agak
gelap. Biarpun sudah keluar dari terowongan Arus Maut, namun sungai yang diterjangnya ini diapit-apit dinding
batu karang yang amat tinggi. Ia berenang terus dan akhirnya, sejam kemudian, ia melihat dinding yang biarpun
masih amat tinggi dan curam, namun tidak selicin dinding yang telah ia lalui. Cepat ia berenang ke pinggir,
menangkap celah dinding batu karang dan mengangkat tubuhnya ke atas. Cepat ia bersila di bawah dinding karang,
untuk memulihkan tenaganya dan pernapasannya.
Akan tetapi, setelah tenaganya pulih, ia teringat akan perbuatannya dengan nenek itu dan... tiba-tiba Kwee Seng
menangis, lalu menampari pipinya beberapa kali sampai kedua pipinya bengkak-bengkak matang biru ! Sebentar
kemudian ia tertawa-tawa, suara ketawanya bergema di sepanjang sungai yang diapit dinding karang. Kemudian ia
merayap naik melalui dinding yang tidak rata, menggunakan tangan kirinya menangkap dan menginjak celah-celah
karang. Cepat sekali gerakannya, seperti seekor monyet saja dan tak sampai seperempat jam, ia telah berada dia
atas tanah datar, di lembah sungai di lereng Bukit Liong-kui-san ! Tak jauh di sebelah depan, ia melihat puncak
di mana tiga tahun yang lalu ia bertanding mati-matian melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, dimana ia dirobohkan
secara pengecut oleh jarum-jarum beracun Bayisan.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" Tiba-tiba Kwee Seng tertawa bergelak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar
dan rambut riap-riapan karena ketika melawan arus tadi pita rambutnya hilang entah ke mana, bajunya
robek-robek, kedua pipinya bengkak-bengkak, akan tetapi matanya bersinar terang biarpun mulutnya tersenyum
setengah mewek seperti orang mau menangis !
Masih terdengar suaranya tertawa-tawa ketika tubuhnya berloncatan dengan gerakan yang luar biasa, tidak seperti
manusia lagi, melainkan lebih pantas iblis penjaga gunung sedang menari-nari. Memang patut dikasihani Kwee Seng
ini. Karena tergila-gila akan kecantikan Liu Lu Sian dan kecewa melihat watak gadis yang ia cinta, ia menjadi
seorang pemabok, dan kini setiap kali teringat kepada Lu Sian ia masih tertawa-tawa. Kemudian pengalamannya
dengan nenek-nenek di dalam Neraka Bumi, benar-benar telah membuat rusak pikirannya, membuat ia tak kuat lagi
menahan tekanan batin, membuatnya seperti gila. Kalau teringat kepada nenek-nenek itu, ia menangis. Maka sejak
saat itu kembali ke dunia ramai, tawa dan tangis silih berganti dilakukan oleh pendekar muda ini ! Seorang
pendekar muda yang tadinya terkenal tampan dan gagah perkasa, kini berubah menjadi seorang berpakaian
compang-camping yang suka tertawa dan menangis, pendeknya berubah menjadi seorang jembel gila ! Dan semua ini
karena asmara.
Akan tetapi, sesungguhnya Kwee Seng sama sekali tidaklah gila. Ia hanya seperti orang gila kalau teringat
kepada Liu Lu Sian dan teringat pula kepada Si Nenek, karena kedua orang itu mengingatkan ia akan semua
pengalaman dan perbuatannya. Kalau ia sedang sadar, Kwee Seng tetap merupakan pendekar yang gagah perkasa, yang
cerdik dan berpemandangan luas. Ia tidak pernah pula melupakan Bayisan yang telah berlaku curang dan
menyebabkan ia terjungkal ke dalam jurang di puncak Liong-kui-san. Ia tidak pula dapat melupakan guru Bayisan,

bersambung .........4

0 komentar:

Posting Komentar