Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su - 16

tiba-tiba terhuyung dan
kembali menjatuhkan diri di atas bangku karena melihat betapa kamar itu berputar-putar dan dia merasa seperti
terayun-ayun. Karena tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas
meja, hanya menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya, "Jangan bodoh, Swi
Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yan terhormat, dan di kota raja kau dapat bekerja sama dengan
kakakmu........" "aku tidak mau.... ah, tidak mau....." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang dekat
sekali dengan mukanya.

Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan gagah, akan
tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya dia tidak ingat
apa-apa lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di raknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja dengan baik, dia tertidur
dan tidak merasa apa-apa lagi. Swi Nio mengeluh dan mengerang.

Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam
sebuah perahu berdua saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia
meronta ronta hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret,
tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu
tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta kasihnya. Jauh
lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka matanya Mimpi itu teringat lagi
olehnya, membuat dia bergidik ngeri. Untung hanya mimpi, pikirnya ketika dia membuka mata mendapatkan dirinya,
telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam kamarnya. "Ouh....!" Kepalanya masih pening sekali. Dia
bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali! Dia teringat
bahwa dia menemani subonya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum.

Teringat betapa dia terlalu
banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berada di pembaringannya tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan
tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya, dan tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah
terjadi atas dirinya! "Keparat....!" Dia bangkit akan tetapi terguling lagi karena selain kepalanya pening
sekali, tubuhnya juga panas dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat
bubuk, racun yang diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran
Tang Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio
menahan napas, mengambil keputusan untuk mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum
bahwa dirinya diperkosa Pangeran itu. "Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran
Tang Sin Ong akan menjemputmu secara resmi membawanya ke kota raja sebagai selirnya terkasih...." "Tidak sudi!
Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan tubuhnya yang telanjang bulat, kedua tanganya
dikepal. "Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan tangan
gurunya. "Swi Nio, apa yang kauucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima kalungnya,
engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam kamar ini, semestinya aku
mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri
muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh
kekasihmu sendiri? Bocah setan tak kenal budi! Kalau tidak aku robah pendirianmu, aku sendiri yang akan
membunuhmu! Pikirkan ini baik-baik. Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!"

The Kwat Lin meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar. Swi Nio menutupi mukanya dan
menangis mengguguk. Tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia
mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut pembaringan. Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak
mungkin dalam keadaan seperti itu dia melarikan diri. Tentu akan mudak tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan
pun tidak mampu, apa lagi dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh
pangeran itu yang selalu terkawal kuat! "Ta Tuhan....!" Dia menangis lagi sesenggukan. "Ayah.... Koko...., apa
yang harus kulakukan......?" Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak
sudi! Lebih baik mati! Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil.
Dirabanya ikat pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri
seperti wanita-wanita lemah.

Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biarpun tangannya gemetar dan
tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia mengayun pedang
itu ke lehernya. "Plakkkk!!" Lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya. Tadinya dia mengira
bahwa subonya yang mencegahnya membuuh diri, maka dia terisak dan membalik. Betapa kagetnya ketika dia melihat
bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya.
Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup tampan dan membayangkan kegagahan. "Membunuh diri bukan perbuatan
seorang gagah." Bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih
hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!" Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau....?"

"Ssssttt...., bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu San. Nona,
daripada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan bekerja
untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah mendatangkan malapetaka
ini kepadamu." Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan
jalan yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga bahwa dia
tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah seorang ahli tentang
racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh wanita iblis itu, seperti seekor
domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu!

Dendamnya bertumpuk, kini terbuka
jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri? "Baik, mari ikut aku...." bisiknya dan dengan
berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia dan akhirnya, menjelang pagi, mereka berdua
berhasil keluar dari tembok pagar Butong- pai. "Haiii....!!" tiba-tiba terdengar bentakan dan lima orang
anggauta Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi ketika mereka melihat Swi Nio,
mereka terheran-heran, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan rahasia
bersama murid utama ketua mereka.


Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang ikut dalam rombongan
Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggauta rombongan pula. Akan tetapi sepagi itu,
masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?"
Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya mampu
satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari yang amat kuat
dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat kelihaian orang itu, Swi Nio
tercengang. Dia makin kagum. Kiranya mata-mata ini bukan orang biasa dan andaikata ketahuan pun akan merupakan
lawan tangguh, sungguhpun tentu saja dia sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan
subonya turun tangan. "Mari cepat....!" Orang laki-laki itu berkata dan melihat keadaan Swi Nio yang masih
lemas, dia tanpa ragu-ragu lagi lalu menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat
cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya itu.

**********

Gadis bernama Liang-cu yang sebenarnya adalah
penyamaran Bu Swi Liang, bekerja di dalam istana sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat
hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua
yang terjadi di dalam kamar Yang Kui Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti
pakaian dan lain-lain di depan matanya begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang
muda ini hidup di antara wanita-wanita cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui.

Di istana bagian puteri ini
tidak ada prianya, karena para thaikam yang bertugas di situ biarpun kelihatan seperti orang pria, namun
sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda yang sedang berkobar
nafsunya karena Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu berahi oleh subonya sendiri.

Sebagai seorang
pemuda yang baru gila berahi, kini berada ditengah-tengah para wanita cantik itu, tentu saja dia tidak kuat
bertahan terlalu lama. Untuk melakukan tugasnya memikat Yang Kui Hui, dia belum berani karena kesempatanya
belum tiba. Dia tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Karena sekali gagal,
dia tentu akan mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup!
Akan tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik.
Tugasnya amat penting bagi perjuangan subonya Sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya adalah nyawanya.


Pada suatu senja belasan hari kemudian Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan mengunjungi
selirnya yang tercinta dan tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri. Swi Liang lalu
mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan dengan kamar para pelayan
utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu. Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal
bagaimana untuk memulai tugasnya, merayu dan memikat Hati Yang Kui Hui, dia membayangkan keadaan selir itu dan
jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau bertukar
pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggaerahkan itu.

Pernah dia membantu
pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi dan jari-jari tangannya menyentuh kulit yang halus, lunak,
dan hangat, dan tercium olehnya bau semerbak harum dari tubuh selir itu. Keharuman yang khas dan alangkah jauh
bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu dibandingkan dengan subonya! "Enci Liang-cu! kenapa melamun
saja?" Seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawa tawa, di belakangnya masuk pula seorang
gadis cantik berbaju merah.

Mereka itu adalah dua orang pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik
jelita yang genit-genit "Ah, Enci Liang-cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersendaugurau dengan kami? Swi
Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu melotot melahap
kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada kesempatan beristirahat
seperti ini...." kata Swi Liang. "Mari temani kami main thio-ki (kartu) di kamarku, Enci Liang-cu!" kata Si
Baju Hijau. "Ya, marilah, Enci Liang-cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih
erat lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
tangan Swi Liang.

Tak dapat Swi Liang menolak karena hal ini mendatangkan kecurigaan apalagi memang dia sudah
rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subonya. Kedua orang gadis
itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si Baju Hijau yang berbau
harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat pembaringan di sekeliling meja
itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main, juga di atas meja terdapat seguci
arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kuih kering. "Duduklah, Enci Liang-cu. Mari kita,
main-main. kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijau berkata sambil merangkul.

"Dan tubuhmu begini
tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang-cu," kata Si Baju Merah memegang-megang lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan
Enci Liang-cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah menghelus telapak tangan pemuda itu. Swi Liang menarik
tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang kasar, mana bisa
dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?" "Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil
mencubit paha Swi Liang. "Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang-cu!" kata
Si Baju Hilau. Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini, maka
cepat-cepat mengajak mereka bermain kartu, karena kalau dilanjutkan godaan mereka itu, tentu dia takkan kuat
lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka, menciumi bibir yang
merah dan lincah itu! "Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang
berbau wangi.

"Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya
dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau. Meeka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan
bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan
Swi Liang hanya mendengarkan dan kadang-kadang tersenyum saja.

Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga
rahasianya dapat terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian
minum arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan akhirnya
arak dalam guci kecil itu habis!

"Ahhh, hawanya panas sekali ....!" kata Si Baju Hijau. "Bukan panas, hanya
engkau terlalu banyak minum maka terasa panas, " kata Swi Liang. "Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya." Si Baju
Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut dengan kipas. Swi Liang menelan ludah, matanya memandang ke
arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat
hati.

Karena pandang matanya selalu tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut
dan sekali ini dia kalah. Akan tetapi arak telah habis! "Wah, Enci Liang-cu jarang kalah, sekarang telah kalah
araknya habis. Mana dia bisa menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut. "Hi-hik, kalau arak habis dia
harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau. "Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai
sekarang, taruhannya dirobah. karena arak habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah.
Kedua orang gadis itu dari kanan kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka. Swi Liang
memejamkan kedua matanya!

"Eh.... eh...., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan....?" katanya gelagapan. "Enci
Liang-cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat menyaksikan
orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi kita. Apa salahnya di
antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan rindu......" kata Si Baju Merah.
Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu berahinya sendiri. Ketika dia
menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung kepipi, melainkan mencium mulut dua
orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium sehingga tanpa diperintah lagi
permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling mencumbu, saling peluk dan saling cium antara
tiga orang itu! "Aihh, Enci Liang-cu.... kau hebat sekali ....." keluh Si Baju Hijau. "Enci Liang-cu.... kalau
saja engkau seorang pria....." bisik Si Baju Merah "Kalian senang?" Swi Liang berkata, terengah-engah sedikit.

"Matikanlah lampunya, barangkali di dalam gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa
tahu?" Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke
pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas
setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu
lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget
bercampur girang,

"Eh... kau...?" "Hemm, diamlah sayang....." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar
itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis"
itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaanya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya. Menjelang pagi,
terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya,
"...engkau.... setiap malam harus menemani kami.... ya, koko yang baik?" "....harus, kalau tidak.... hemm, kami
akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati......" bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja
mengancam. Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian,
tampak Swi Liang dalam pakaian seperti liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang
pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali
lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan penuh keringat dan muka pucat.
Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri.

Mengapa dia begitu lemah sehingga
tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka,
sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai
gagal, dia akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu
saja terancam hebat.

Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka
dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya
sendiri. Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun
juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk
melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar
supaya dijatuhi hukuman berat.

Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak
mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan,
membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan
mengenakan pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata
merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk
memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali.

Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah
membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus
lunak dan hangat. "Ehhmmm...." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk
melihat siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang-cu?
Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkanlah, tubuhku memang sedang
pegal-pegal....." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang.

Pemuda
itu melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap wajah yang
menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam agak mengeriting itu
terurai di atas bantal, anak rambut yang melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis sampai ke bawah telinga.
Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu nampak makin putih terhias
anak rambut yang menghitam dan sepasang alis yang hitam sekali melengkuk seperti dilukis, melindungi mata yang
terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu mata menggelapkan pipi sebelah atas,
menyembunyikan warna kemerahan yang menyegarkan. Hidung yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak
bergerak terdorong napas yang keluar masuk, dan dibawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak
basah, kelihatan menebal sebelah bawahnya karena selir itu tersenyum, sebuah lesung pipit menghias di ujung
mulut sebelah kiri. Manis dan cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu....! Swi Liang
menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil. Agaknya Yang Kui
Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya dan bertanya, "Ada apakah
Liang-cu? Tanganmu gemetar..." "Ahhh.... tidak apa-apa, hanya.... paduka demikian cantik jelita..... hamba
sampai merasa terharu memandangi Paduka....." "Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang-cu Coba kau tutup dan kunci
pintu kamar itu, dan beritahukan kepada penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak
beristirahat. Oya, suruh penghubung pelaporkan kepada Sri Baginda tidak datang ke kamarku.

Setelah itu,
kautemani aku di sini, pijati tubuhku sampai aku tidur." Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah,
Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah selesai dan dia sudah menutupkan dan memalang daun pintu sehingga
mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan harum itu, Swi Liang segera berlutut lagi di depan
pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu.
"Nanti dulu, Liang-cu. Coba kaubantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini menjadi agak
panas...." kata Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam sutera merah berkembang.
Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan gemetar dia
membantu puteri itu membuka pakaian luarnya sehingga kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian dalam yang amat
tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung yang amat menggairahkan. Begitu pakaian luarnya
dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang
memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu terkenal sekali si samping kecantikannya yang sukar dicari
bandingnya.

"Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liangcu?" Suara terkekeh halus dan
teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya. "Ampunkan hamba.... hamba.... silau, seolah-olah
melihat bidadari turun dari langit...." Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang
laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan jangan bersikap seperti orang gila!" Swi Liang segera melakukan
perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis dan paha, makin ke atas makin
tersiksalah hatinya apalagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian.

"Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu
juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai....!" Yang Kui Hui membalikan tubuhnya dan kini rebah
terlentang, karena pakaian dalam yang tipis itu tersingkap membuat Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi.
Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu
seolah-olah telanjang bulat di depannya! "Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan
kuat-kuat, perlahan saja, Liang-cu."

Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi
lemah karena dikuasai nafsu berahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah
menimbulkan godaan dan tantangan yang demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani
bertindak sembrono, dan sambil menguatkan hatinya dan menundukan mukanya yang menjadi merah, menyembunyikan
dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu, dia memijit paha yang gempal itu
dan jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis.
Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan kepala
melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak berani
memandang wajah puteri itu karen takut kalau-kalau Sang Puteri marah. Betapapun nafsu berahi telah menyundul
sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak
berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti uluran tangan Sang Puteri, karena dia maklum bahwa sekali
keliru bertindak tebusannya adalah nyawanya di samping kegagalan tugasnya. "Kau memang aneh, Liang-cu. Benar
kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau perhatikan.

Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau
seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya,
menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku,
tanganmu kuat dan kasar, dan pandang matamu..... hemmm..... engkau seolah-olah hedak menelanku bulat-bulat
setiap kali kau melihatku! Hi-hik, aku sampai merasa sungkan dan malu!" Swi Liang terkejut sekali, akan tetapi
sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk meningikan nada suaranya, "Harap Paduka
ampunkan semua kekurangan hamba."

"Ah, tidak apa-apa, Liang-cu. Engkau sudah berjasa besar, dan....hem.....
keadaanmu yang kejantanjantanan itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan
sifat kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. kalau engkau
seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya...... tentu akan lebih menyenangkan hatiku....." Seketika terhenti
jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang seperti berhenti
berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya sehingga suara detak jantungnya
memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring. Kesempatan baik telah terbuka!

Selir jelita ini telah membuka
rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan
dan akan terpenuhilah kedua cita-citanya, yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan
sekaligus menyempurnakan tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh
subonya! Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan.

"Hamba.... hamba
rela mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia melalukan apa saja untuk menyenangkan hati Paduka.
Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...." Hi-hik, Liang-cu. Engkau
memang aneh. Betapapun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?" "Kalau Paduka kehendaki, pasti
dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti perintah dari langit." Yang Kui Hui
menjadi terheran-heran dan bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar, tidak hanya pada
pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas, putih halus membusung.

"Apa....,apa maksudmu, Liang-cu?" "Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka
menghendaki, hamba dapat pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati." Ehhh...?" Mata yang bening
indah itu terbelalak, mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah membasah itu membentuk lingkaran
memperlihatkan lidah yang meruncing merah dan rongga mulut yang lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti
mutiara. Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata,

"Benarkah itu? Sungguh aneh dan luar biasa! Coba kaubuktikan omonganmu, Liang-cu. Coba kau pian-hoa menjadi
seorang pria!" Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba....
hamba .... mana berani kurang ajar....?" "Lakukanlah! ini merupakan perintah. Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang
Kui Hui berkata penuh nafsu karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi
pria, hal yang hanya pernah didengar dalam dongeng kuno saja.

"kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani
membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan membungkuk. "Maafkan hamba...." Dia lalu melepas gelung
rambutnnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah merah berseri dia berkata, "Hamba
telah berubah menjadi seorang pria." Suaranya kini besar, suara seorang laki-laki tulen! Yang Kui Hui memandang
terbelalak.

"Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah, dan mukamu tanpa bedak dan yanci memang
seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?" Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin
bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal
kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya. Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang
laki-laki tulen!

Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang
bidang, tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang
pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang-cu. Buka semua pakaianmu!" Perintah ini sama sekali tidak
disangka-sangka oleh Swi Liang. Biarpun sudah lama dia menghedaki terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini,
namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat
seperti itu! Akan tetapi, gairah yang meluap-luap dan kegembiraannya mengusir semua rasa malu dan dengan jari
tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri
membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pria sejati di depan selir jelita itu.

"Ahhh...., Liang-cu... ke
sinilah kau! Sungguh hebat.... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di sisiku, manis!" Tanpa
diperitah kedua kalinya karena memang itulah yang diinginkannya selama ini. Swi Liang lalu naik ke pembaringan
dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit lalu menyambutnya dengan peluk
cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti seekor ular yang memagutnya dan
membelit-belitnya. Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel
terlantar, sekali dikuasai nafsu berahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu,
lenyaplah duka, lenyap pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai
akibat dorongan nafsu birahi yang minta dilampiaskan


Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin hebatlah, seperti nyala api, makin dibiarkan makin membesar dan
takkan padam sebelum habis bahan bakarnya!

Hanyalah manusia yang selalu sadar akan keadaan dirinya, akan
gerak-gerik dirinya lahir maupun batin, takkan kehilangan kewaspadaan dan kebijaksanaan, takkan dapat
dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun. Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup
yang didatangkan oleh gairah nafsu, sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang bebar-bebar akan
dapat menikmati hidup karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak
dikejar-kejarnya. Dialah orang menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu dengan
kewaspadaan dan memngenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir maupun batinnya, bukan menguasai
nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang sewajarnya, penuh kesadaran,
pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian, maka nafsu akan kehilangan
kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi. Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu,
tidak akan ada gunanya, karena, boleh jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, manun sewaktu-waktu nafsu
yang masih menguasai diri itu meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktuwaktu akan dapat menyala lagi,
demikianlah kalau orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan. Dengan
pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan pengekangan, api itu
hanya membara dan tidak tampak untuk sewaktu-waktu bernyala lagi, karena YANG MENGEKANG NAFSU ADALAH NAFSU
JUGA. Mengekang berarti menggunakan kekerasan menuruti keinginan!


Menjelang pagi, yang Kui Hui yang kekenyangan
melampiaskan nafsu berahinya, terlena di pembaringan, wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang
tidur pulas di sampingnya, lalu wanita cantik itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak
membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu ditariknya kembali tangannya dan dia menghela nafas panjang.
Setelah kekenyangan, barulah dia dapat berfikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia
membiarkan dirinya terseret oleh nafsu berahi.

Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai
wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan
hatinya dan menimbulkan kekhawatirannya.

Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk dan
perlahan-lahan, agar jangan membangunkan pemuda itu, dia mengenakan pakaiannya. Matanya tak pernah berpindah
dari wajah Swi Liang dan sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam ketika
mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan.

Betapapun juga, pemuda itu terlalu
halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi
Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya dibandingkan dengan An Lu San! An Lu San barulah boleh disebut
seorang laik-laki sejati! Dengan kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang
tinggi besar, tenaganya yang seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan
kejantanan yang amat hebat!

Sedangkan pemuda ini, terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang
lebih berbahaya lagi, pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya
dia, mudah terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata
ini belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya? Yang Kui Hui bergidik dan bergegas
turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil pedang bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di
atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan
keluar setelah menutupkan kembali daun pintu perlahan-lahan.

Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan
beberapa orang pengawal pribadinya, kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya
yang kini telah berkumpul itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik. Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak,
menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia
rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari
tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya dan dia
membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya merangkul memeluk. Dai membuka matanya ketika tangan dan
kakinya bertemu dengan kasur yang kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan kiri, mencari-cari.

yang Kui Hui
telah pergi dari kamar itu! Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam
hatinya. Ke manakah perginya wanita itu sepagi ini, pikirnya. Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki
kamar dan memergoki keadaanya, bergegas dia menyambar pakaiannya, dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian
wanita penyamarannya. Dengan tergesa-gesa dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci
untuk memulas mukanya yang semalam telah menjadi muka pria aslinya dan sia-sia bedak dimukanya telah terhapus
sama sekali oleh ciuma-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut
hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu! Akan tetapi dia segera
tersenyum menenangkan hatinya sendiri.

Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak main-main dengan dia! Tak mungkin
wanita itu melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa yang mereka nikmati bersama semalam!
Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir
Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari
kekasihnya itu. Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang
pelayan wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang dengan
suara biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu.

"Beliau tadi memerintahkan bahwa
kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi menyusul ke dalam pondok di taman. Beliau menanti di
sana." Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya.
Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta
kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu agar
jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain!

"Ha-ha, kau cerdik sekali, manis," kata hatinya penuh
kegembiraan, "untuk kecerdikanmu itu akan kuberi upah ciuman hangat!" Sambil tersenyum-senyum membayangkan
segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam pondok taman, Swi Liang melangkah lebar ke dalam
taman yang indah dan luas itu. Taman itu sunyi karena hari masih amat pagi dan memang biasanya pun taman itu
hanya dikunjungi para puteri istana setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di
situ. Bahkan tidak tampak seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman.

Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang pelayan wanita,
Swi Liang menggerakan pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak terguncang. Salah kalian sendiri,
pikirnya dan untuk menekan perasaanya, dia telah menginjak kuburan yang tidak kentara dan tidak dikenal orang
lain kecuali dia itu. Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata
dengan suara biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan,

"Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga manis,
bukalah pintu, aku sudah amat rindu kepadamu....!" Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan.... Swi
Liang meloncat ke belakang sambil menahan seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar
dua puluh orang lebih pengawal yang memegang senjata di tangan!

"Menyerahlah engkau, Liang-cu. Kami mendapat
perintah untuk menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren. Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan
kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa...
apa... dosaku....?" Dia bertanya gagap, saking bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar
dari mulutnya. Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan Sang Komandan membentak. "Lekas berlutut dan menyerah!"
Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang telah
membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang telah
mengkhianatinya.

Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka. "Mampuslah!" bentaknya
sambil menerjang ke depan, menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri
menghantam pengawal ke dua yang berdiri dekat. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang cukup tinggi, maka
dia dapat menangkis biarpun dia menjadi terhuyung- huyung, akan tetapi pengawal yang terkena hantaman tangan
kiri Swi Liang, mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntah-muntah darah karena pukulan yang
mengenai dadanya tadi amat kuat. Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu
rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, karena mereka semua bersenjata. Repot jugalah Swi Liang yang
harus membela diri dengan tangan kosong!

"Jangan bunuh dia! kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali
komandan berteriak. Swi Liang mengamuk sekuatnya, namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan
tusukan, akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke
dalam kamar tahanan. Sementara itu, yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang dahulu
menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja menyelundup. Mendengar
ini, kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya.

Pada hari itu juga, di
dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku.

Ada beberapa macam semangat yang
mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat
mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya
prajurit yang didorong semangat mengabdi kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa
dengan rela, karena dia merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang
yang tentu saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau "tempat baik" di alam baka!
Betapapun juga, lepas daripada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit yang
bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan gagah.

Tidaklah
demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subonya yang juga menjadi kekasihnya, karena
keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subonya terlaksana. Kalau putera subonya
sampai biasa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subonya, dia tentu setidaknya akan menjadi seorang
menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya.

Begitu
dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subonya, The Kwat Lin Ratu
Pulau Es yang kini menjadi Ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran tang Sin Ong, dan tugasnya
adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu
saja menimbulkan geger.

Pangeran Tang Sin Ong ditangkap dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang
Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak
memberontak. Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap Ketua Bu-tong-pai yang memberontak.

Habislah riwayat
hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan karena
sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang dididik oleh ayahnya
sejak kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan.

Memang, keadaan
sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Hal ini tidaklah berarti bahwa sekeliling yang bersalah
sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi Liang.Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya
sendiri! Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di dalam
lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak mungkin
terseret atau ternoda, seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi tetap bersih!
Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa karena "akunya"menonjol
dan Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan senang sendiri, sehingga untuk memenuhi
segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa
bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.

Pasukan
yang kuat dipimpin seorang perwira tinggi membawa perintah penangkapan dari Kaisar sendiri, tiba di
Bu-tong-san. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, Ketua Bu-tong-pai yang baru dan hendak ditangkap itu, telah
melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya. Hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka
rahasia pemberontakannya, The Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia
merasa kecewa sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan
pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu. Maka
diam diam dia lalu lolos dari Bu-tong-san, bersama anak buahnya yang setia dia lalu melarikan diri ke Rawa
Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini.

Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi
datuk kaum sesat itu telah ditaklukannya dan telah menjadi sekutunya, dan tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa
Bangkai, di kaki Pengunungan Luliang-san, menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota
raja, tentu saja Kwat Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah berbahaya dan rahasia itu.
Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh kesempatan
menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si menghibur The Kwat Lin atas
kegagalan muridnya. "Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan muridmuridku," kata The Kwat Lin dengan suara
gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan pengharapanku
tadinya tinggal kepada Swi Liang.

Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu katakanlah sebagai
suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia Pangeran Tang Sin Ong sehingga
Pangeran itu pun dihukum mati. Dengan matinya Pangeran Tang Sin Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin
menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati gemas. "Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian
seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?" Liok Si mencela. "Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu
lagi. Aku bukan lagi Ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan
perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Citacita kita kandas setengah jalan. Betapapun tinggi
kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apakah?"

Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar sekali.
"The-pangcu.... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari kedudukan dengan mudah
sekali." "Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu menjadi
pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu, oleh karena itu. Cita-citaku hanya satu,
ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan dengan darah
keturunannya."

Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya.... sepatutnya...., dan aku bersedia
membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku." The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan
memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li, kita bukan anak-anak kecil lagi, kita sama-sama wanita dan kita saling
mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku
menganggapmu sebagai tangan dan kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup semati?"

Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain berilmu
tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan kegagalan
muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita." "Bagaimana?" "Bersekutu dengan An Lu
Shan!" The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu tersenyum dan
diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun itu kalau tersenyum
kelihatan masih muda dan masih cantik.

Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan
kecurigaannya. Sudah terang bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan
Panglima itu? Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa
iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh kaisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang, sekutunya
ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan!

"Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya, suaranya membentak dan
matanya memandang tajam menyelidik. "Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah
para cerdik pandai jaman dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan?Demi tercapainya
cita-cita, kalau perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!" Berseri wajah The Kwat Lin dan
dia memandang kagum. "kau benar, Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali! Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"

"Jangan
khawatir. Aku sudah lama mengenal baik Panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat Kaisar dan Yang
Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat membutuhkan bantuan orang-orang
pandai, tentu saja dia akan menerima kita dengan tangan terbuka." The Kwat Lin berdebar-debar dan
menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya, nampaknya ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana
kita dapat mengadakan hubungan?" "Aku akan menyuruh anak buahku, harap kau suka tulis surat untuk disampaikan
kepada An Lu Shan. Sebaiknya begini isinya." Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin,
mengulurkan tangan kepada An Lu Shan mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus
The Kwat Lin. Dalam hal menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari pada pria, dan hal ini dibuktikan
oleh The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li Liok Si.

Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi
itu. Mereka ini terdiri dari empat orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan
tangkas. Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan
genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam tetumbuhan
kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan tanah tipis dan
inilah yang berbahaya sekali. Manusia maupun binatang yang berani mendekati rawa dan salah injak, mengira bahwa
tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur yang mempunyai daya penyedot sehingga sekali
kaki terbenam, disedot ke bawah dan sukar ditarik ke atas lagi.

Air berlumpur itu dalam sekali dan karena amat
lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang atau binatang itu tenggelam terus secara
perlahan-lahan dan lumpur itu memang mempunyai daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar
untuk ditarik kembali ke atas. Selain bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di
situ terdapat banyak ular dan binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan
lain. Jauh dari rawa, tampak ditengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan bangunan yang
tampak dari jauh.

Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena
selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu
adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo cai-li. Karena seringkali terdapat
bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan
kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan
sebutan Rawa Bangkai! Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat
di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar
setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu.

Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan
teteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik sekali bagi The
Kwat Lin dan anak buahnya.



Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di
antara mereka laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki
berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang
gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya
mengandung sinar keras. Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah
penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong!
Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?

Malam itu,
setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tidak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri
dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan.
Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati,
maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil
menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai. Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri
terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tong-san, barulah
mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio
teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk.

Laki-laki itu memandang ke
arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat
dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali
tangis dan air mata yang bercucuran. Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan
pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting,
kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan
saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas
kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita." Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat
Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, kduanya baru
melihat nyata akan wajah masing-masing.

Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah
gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik. "Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem
Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio,
bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Butong- pai yang baru. Aku pun telah mengetahui
akan nasibmu semalam...." "Ahhh....! Si Jahanam Tang Sin Ong....!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa,
aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan
kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan. "Nah, itu baru
gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran apalagi dia sahabat baik Gurumu
yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah
jalannya sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam."

"Kau.... kau seorang prajurit bawahan Jenderal
itu?" Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan perajurit, aku seorang luar yang telah menggabungkan
diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tongpai. Aku disuruh menyelidiki
rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah seorang yang amat
cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun dia harus tahu segala
gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar maupun pemberontak lain.

Sekarang aku tahu bahwa rencana mereka
adalah melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan kembali dan melaporkan hasil
penyelidikanku kepada An-goanswe. kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan engkau tentu akan diterima, karena engkau
memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu kepada Tang Sin Ong." "Aku.... aku tidak suka menjadi
pemberontak."

"Hemm,apakah kaukira aku suka menjadi pemberontak,Nona? tidak,aku membantu An Lu Shan bukan
karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah." "Eh?" Swi Nio
tertarik dan memandang wajah yang gagah itu."mengapa?" "Hampir sama nasib kita, Nona, hanya bedanya jalannya
saja. ketahuilah, dahulu aku adalah seorang tokoh Hoa San-Pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik
dan pemberontakan, bahkan condong untuk setia kepada pemerintahan, akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal
yang amat hebat... yang merubah seluruh jalan hidupku..." Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. dia mendekat
lalu berkata, "Liem-twako, kauceritakanlah!" Sejenak mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya
secara singkat.

Dia tinggal di kota Ma-Kiubun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. dia hidup
tenang dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan
mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya merasa kecewa setelah tiga bulan menikah, belum juga
ada tanda-tanda mengandung, maka dia mengijinkan isterinya untuk bersembahyang ke kelenteng untuk minta berkah
agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya. "Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi, barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan
payah, mukanya pucat dan basah air mata.

Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan
diri dan berlutut di depan kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan
di kelenteng itu terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera
bangsawan menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya! Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat
itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis sesenggukan. hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia
termangu-mangu seperti patung saking marah dan dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai
membiarkan isterinya lari.

Cepat dia mengejar dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia
menendang pecah daun pintu! Dia berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya? "Isteriku telah rebah mandi
darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk dadanya hampir tembus!" Dia mengakhiri
ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya.

"Ohhh....!!" Swi Nio menjadi pucat sekali dan dia
menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu. "Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus
dihukum! Dan aku akan membantumu, Liem-twako!" Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan
erat. Mereka saling berpegangan dan saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di
antara kita dan karenanya aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan
membantumu kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah
kubalas impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu! Karena
itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera menerimaku karena dia
membutuhkan bantuan kepandaianku."

"Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti
aku. Aku merasa beruntung dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah aku akan ikut bersamamu
menghadap Jenderal An Lu Shan." Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki dan benar saja seperti dikatakan
laki-laki gagah itu, dia diterima dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah bukan perajurit yang menjadi
pembantupembantu An Lu Shan.

Persahabatannya dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh
benih-benih cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang
dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa oleh seorang
pangeran.

Akhirnya keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio mengatakan bahwa dia baru mau
melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup
sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apalagi karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan
yang pandai mengambil hati orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya.

Pada
suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio, bersama tiga orang tokoh lain yang merupakan
orang-orang berkepandaian tinggi di antara para pembantu An Lu Shan. Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang
kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya, Tan Goan Kok
ini biarpun usianya sudah lima puluh tahun lebih, dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat
seekor kerbau bunting Di samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari
bandingannya.

Kakek kedua adalah pat-jiu Mokai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam
puluh tahun, pakaiannya penuh tambalan biarpun bersih dan baru, selalu memegang sebatang tongkat butut dan
siapa pun, bahkan An Lu Shan sendiri, menyebutnya Pangcu (Ketua) padahal kakek jembel ini hanyalah seorang
ketua yang tidak mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin suatu perkumpulan pengemis namun nama
besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang pengemis di manapun juga akan selalu menyebutnya Pangcu!
Sampai ketua para perkumpulan pengemis juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum
pernah kakek ini dikalahkan lawan selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu
Shan.

Orang ke tiga, berusia lima puluh tahun lebih, berpakaian tosu dan memang dia seorang penganut Agama To,
seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok Tojin orangnya
pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu pedangnya itu bahkan
mampu menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai! Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap
An Lu Shan yang memanggilnya, Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin bekas
ketua Bu-tong-pai yang mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar.

"Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian Berlima)
untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi apakah benarbenar dia hendak bersekutu. Bu Swi Nio adalah muridnya,
maka aku mengutusnya untuk mengukur hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan
marah kepada muridnya yang telah melarikan diri dan menjadi pembantuku. kau menemani dan menjaga tunanganmu,
Toan Ki. Dan Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu, di
samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya." Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima


bersambung 17...................

0 komentar:

Posting Komentar