inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat
naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam.
Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakekitu. Ia tahu bahwa mereka itu,
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua
orang kakek yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka
pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana
mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu. Biarpun ia
maklum bahwa dengan bantuannya sekalipun amat sukar untuk mendapat
kemenangan, namun ia tidak bisa membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya
seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat tinggi keudara. Ia anggap bahwa
gerakan Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu
hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali
meloncat, ia sudah mengeluarkan ucapan tadi dan tahu-tahu diudara ia
sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke bawah
panggung!
Gerakan ini tentu saja kelihatan hebat luar biasa.
Inilah demonstrasi ginkang yang hebat, juga sekali jambret saja ia
dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan
betapa lihainya gadis ini! Semua pengemis yang menyaksikan ini menjadi
makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut
melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong,
kini melongo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan
seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!
“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kaubilang lawanmu hebat? Kaulihat ini, Nona
muda yang galak ini apakah kalah hebatnya?” Pak-kek Sian-ong berkata
demikian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang
menyambar-nyambar dahsyat. Pertandingan di atas panggung kini
benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan.
Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan
menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan
seorang gadis cantik yang memainkan pedang secara ganas. Gak-lokai dan
Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting
hebat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum
bahwa orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah
orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada
kepandaian mereka.
Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri.
Matanya tajam menonton pertandingan, menimbang dan menilainya.
Sebentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek
Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang
menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran. Pengemis muda itu
ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan
gerak yang membuktikan bahwa dia bukan ahli silat sembarangan.
Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah mengenal
ilmu tongkat yang dimainkan pemuda itu. Kalau dasarnya sudah jelas
ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan
tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.
Namun kekagumannya terhadap
pemuda tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran
antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan
benar-benar ia terheran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu
silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang kayunya
itu? Dalam hal Ilmu pedang, setidaknya telah mengenal dasar-dasarnya.
Akan tetapi gerakan pedang yang dimainkan gadis itu benar-benar membuat
ia terlongong. Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat
Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran
pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah tendangan
ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara
Gobi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau balau antara ilmu pedang
Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau namun
justeru kekacauannya inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu
yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main, keganasannya
membuat Suling Emas mengerutkan kening. Pantas saja Pak-kek Sian-ong
berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek yang
doyan berkelahi itu melayaninya dengan sungguh-sungguh sambil
memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau
mempelajari ilmu kacau balau ini sehingga Si Kakek merasa sayang kalau
cepat-cepat menghentikan pertandingan.
Setelah meneliti sejenak
tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang
sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian
luar biasa. Juga ia sudah mengenal sifat-sifat dan keampuhan Ilmu silat
mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong. Dibandingkan
dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya
tidak akan tega untuk mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu
meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata kepada Yu Siang Ki
sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang
muda, kaubantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat
pertahanan kalian!”
“Dukkk....!” Dua lengan yang sama-sama
mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu. Lam-kek Sian-ong sejak
tadi tidak pernah ditangkis Yu Suang Ki karena pemuda yang cerdik itu
maklum bahwa ia kalah tenaga, kini melihat ada orang yang berani
menangkis, sengaja mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi
keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu membuat Suling
Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga
terjengkang dan hampir roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga
kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor singa yang membuat
papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan
mata melotot.
Sementara itu Yu Siang Ki yang melihat gerakan
orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika maklum bahwa orang
ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek
Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.
“Kauseranglah terus, biar
aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan. Pertandingan dilanjutkan
dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini
dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk
mengeluarkan kepandaian. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi
menjadi lawan Lam-kek Sian-ong ini. Bagaimana pemuda ini dapat mengatur
sedemikian tepatnya, dengan membagi dua daya tempur mereka? Memang
sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main,
serangan-serangannya kuat, pendeknya letak kelihaian Ilmu pedang ini
berada pada daya serangnya. Adapun ilmu tongkat pemuda itu lebih
mengutamakan pertahanannya sehingga apabila dipergunakan untuk menjaga
diri dan mempertahankan, amatlah tepat. Gembiralah hatinya menghadapi
serangan-serangan pedang yang demikian berbahaya dan menghadapi
pertahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di
lain pihak, dua orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka
berdua bertanding dengan sikap seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi,
ternyata mereka dapat mengimbangi kelihaian kakek muka putih.
Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga
bukan main hebatnya. Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling
bertemu dan membuat keduanya terdarong mundur diam-diam mereka menjadi
kaget. Lam-kek Sian-ong selama “dalam hukuman” di lereng Lu-liang-san,
bersama Pak-kek Sian-ong memperdalam Ilmu silat mereka dengan maksud
menghadapi Bu Kek Siansu yang sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu
kepandaiannya jauh lebih hebat daripada dua puluh tahun yang lalu
ketika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan. Di jaman itu, hanya
beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek
Sian-ong. Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya?
Sama sekali kakek muka merah ini tidak mengira bahwa yang dihadapinya
adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga
terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat kepandaiannya,
bahkan ia yakin akan kekuatan sinkang di dalam tubuhnya. Namun ternyata
bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat mengimbangi
kekuatannya. Maka ia lalu merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan
dengan menggunakan Ilmu silatnya yang ia yakin lebih murni dan lebih
banyak ragamnya daripada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu
menggerakkan kedua tangannya, mulai “menulis” hurut-huruf mulia di
udara. Tampaknya saja seperti menulis huruf, pada hakekatnya semua
gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat sehingga
terdengar anginnya bersiutan, karena Inilah Hong-In-bun-hoat (Silat
Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin
pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia
mengeluarkan seruan keras.
Pak-kek Sian-ong yang senang
gembira melayani dua orang muda yang mengeroyoknya terheran-heran
mendengar seruan kawannya. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya
kaget dan terheran, menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat
membuat Lam-kek Sian-ong mengeluarkan seruan-seruan seperti itu.
Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah kagetnya
ketika ia melihat betapa kawannya terdesak hebat oleh pengemis berkedok
yang gerakannya luar biasa sekali. Ia berseru keras dan kedua
lengannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu Siang Ki.
Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan sekaligus
menyerang mereka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua
serangan ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri dengan memutar
pedangnya. Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan
kedua telapak tangan yang terbuka itu. Betapapun Yu Siang Ki dan Kwi
Lan mempertahankan diri, tetap saja mereka terhuyung-huyung ke belakang
sampai lima enam langkah! Kesempatan yang memang dicari oleh Si Muka
Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya. Bagaikan kilat cepatnya,
tubuhnya sudah mencelat ke arah Suling Emas yang sedang berhantam
dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar biasa
cepatnya dan tak terduga-duga sama sekali.
Memang Pak-kek
Sian-ong adalah seorang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya
daripada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan
tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga yang dahsyat, keras dan
amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong menyalurkan tenaga saktinya menjadi
tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan tetapi
kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka merah, bahkan melebihinya!
Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu
lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya
mencengkeram kepala didahului oleh jari tangan kanan yang menotok ke
arah leher!
“Kepandaianmu boleh juga!” Demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.
Suling Emas terkejut sekali. Menghadapi seorang di antara dua kakek
ini saja, tidak mudah baginya untuk memperoleh kemenangan. Kalau ia
dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat sekali ia menendang
lengan tangan Lam-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada detik
lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia akan menyambut
serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras melawen keras.
Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas
menghantam dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.
Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini. Terdengar suara
“piak-piak!” Dan tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika
turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus....!” Di tangannya
terdapat sehelai saputangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.
Suling Emas kaget dan cepat ia berjungkir balik membuat salto sampal
lima kali di udara sebelum turun karena ia khawatir akan penyerangan
Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi dirinya
tidak menguntungkan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas
papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya berdiri dan
memandangnya dengan mata terbelalak.
“Suling Emas....!” Dua
orang kakek itu berseru heran. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka
akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking heran, sejenak
mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong yang gagal
dalam serangannya dan hanya berhasil merenggut saputangan penutup muka
akan tetapi ia sendiri menerima pukulan di pundak yang membuat bagian
tubuh itu terasa ngilu, merasa penasaran sekali. Kini, setelah mendapat
kenyataan bahwa lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas,
penasarannya hilang, terganti rasa heran.
Bukan hanya kedua
orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling
Emas, juga semua orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk
dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan girang karena maklum bahwa
pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang
pendekar yang sejak dahulu bersahabat dengan kaum kai-pang. Ada pula
yang marah dan benci karena memang sejak dahulu mengandung hati dendam
kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra tunggal Iblis
betina Tok-siauw-kwi Liu Lu. Sian (baca cerita SULING EMAS) yang
melakukan banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam
kepadanya. Yang paling gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi
anggauta kai-pang. Mereka maklum bahwa bukan saatnya bagi mereka untuk
menentang kaum pengemis baju butut setelah Suling Emas berada di situ.
Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera
pergi dari situ untuk menyelamatkan diri dan hendak melaporkan peristiwa
ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siu-lam.
Sementara
itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya, menarik napas panjang
tiga kali, memandang ke sekeliling kemudian mengeluarkan sebatang
suling dari balik jubahnya. Sambil melintangkan suling emasnya di depan
dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil berkata.
“Baiklah,
Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka
mengacau semenjak dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja
melihat kalian mengacau Khong-sim Kai-pang. Aku akan mewakili sahabat
baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian.”
suara ini jelas dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas terdengar
oleh semua pengemis yang hadir di situ. Gak-lokai dan Ciam-lokai berdiri
bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul-betul telah
salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu
adalah Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan Jagad
selama puluhan tahun!
Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat.
Sama sekali di luar persangkaannya bahwa yang memalsukan nama ayahnya
adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang
dihormati dan dijunjung tinggi selalu oleh ayahnya. Tak salah dugaannya
bahwa orang aneh ini memang bermaksud menyelamatkan kai-pang dengan ,
menggunakan nama ayahnya? Akan tetapi mengapa menggunakan nama ayahnya?
Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu Kang Tianglo, jauh lebih
terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas menggunakan nama
ayahnya yang sudah meninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok
saputangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas
seakana-akan hendak menyembunyikan diri? Saking heran dan bingungnya,
pemuda yang merasa girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.
Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali
terhadap Suling Emas. Kagum menyaksikan sepak terjangnya ketika
menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum sekali
setelah kini saputangan itu terbuka. Wajah laki-lakl yang amat gagah dan
entah bagaimana, jantungnya berdebar dan ia merasa tertarik sekali.
Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andaikata Ibu kandungnya itu
mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hatinya untuk bicara
dengan Suling Emas, untuk bertanya kepada pendekar ini tentang Ratu
Yalina di Khitan. Pada saat itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut
Sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu sambil tertawa-tawa
girang sudah mencabut pedang mereka, Si Kakek Muka Putih mencabut pedang
putih sedangkan kakek muka merah mencabut pedangmerah. Ia maklum betapa
lihainya dua orang kakek itu maka timbullah kekhawatiran di hatinya.
Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua orang kakek
itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.
“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”
Tidak hanya para pengemis yang kaget setengah mati, bahkan Suling Emas
yang sejak tadi sudah kagum dan heran melihat Ilmu silat gadis ini,
sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki dua orang
kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya tersenyum lebar
dimaki-maki.
“Kalian ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak
nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut kalian memukul Bu
Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan menyesali
perbuatan, betapa kalian bersumpah akan mentaati pesan beliau sampai
mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?,”
Pak-kek Sian-ong
hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam-kek Sian-ong
dengan melotot lalu membentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami
lupa akan pesan Bu Kek Siansu?”
Sepasang mata yang jeli itu
bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu tersenyum mengejek, pedang
kayu di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong, ketika
gadis itu berkata nyaring.
“Tidak lupa mungkin sekali, akan
tetapi melanggar sudah jelas! Apa kaukira aku lupa akan pesan itu?
Masih terbayang di depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya
kepada kalian.” Gadis itu dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di
atas papan dan berkata lagi, “Dia bersila seperti ini, hanya bedanya,
setelah, menerima pukulan curang dan pengecut kalian, dari mata, hidung,
mulut dan telinganya mengalir darah segar. Kemudian ia berkata begini.
Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan meniru lagak dan
suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak ada
pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, Itu sudah
sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh
yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri
termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf
dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah penting lagi.
Selamat berpisah.”
Kwi Lan meloncat bangun dan kembali
menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu
berganti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”
“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami memang sudah sadar dan insyaf.” bantah Pak-kek Sian-ong.
“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini
masih bilang sadar dan insyaf? Bukankah perbuatan kalian hari ini
merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali menggunakan
kepandaian untuk berbuat jahat dan mengacau?”
“Tidak!
Jembel-jembel busuk ini jahat, dan menyeleweng, saling memperebutkan
kedudukan, sudah sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel
dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan benar, bukankah itu
merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.
“Tak tahu
malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang
Tianglo dan Suling Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang
Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak menyelamatkan
Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang-orang sesat. Kalau kalian
membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan
tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah
itu berarti kalian lebih sesat daripada kaum sesat? Baiklah, kalau aku
bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta
bagaimana pendapat orang tua suci itu dan hendak kulihat kelak
bagaimana kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka
berubah. Ucapan gadis itu amat berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka
merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu mendengar tentang sepak
terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka
melihat Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas
adalah seorang pendekar yang dikasihi Bu Kek Siansu.
“Sudahlah,
kami mengaku salah, Nona. Jangan kaubilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu
orang tua itu. Akan tetapi kesalahan kami tidak sengaja. Kami memang
tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah mana sekarang golongan
jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.
“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang
menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini
sudah pergi jauh, andaikata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti
bertemu dengan datuk mereka yang bernama Bu-tek Siu-lam, kalian tentu
akan lari terbirit-birit ketakutan!”
“Heh, kaulihat saja!”
bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar
mereka!” Dua orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan
secepat terbang, mereka pergi. Dari jauh terdengar suara Lam-kek
Sian-ong.
“Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu untuk menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul!”
Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu,
setelah para pengacau pergi, kembali Suling Emas yang menjadi pusat
perhatian.
Keadaan masih tetap tegang karena hal-hal dan
perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan hadapi ini tidak kalah
gawat dan menegangkan daripada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang
Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan
tetapi lebih hebat lagi, orang itu ternyata Suling Emas. Lalu muncul
pengemis muda lihai yang menurut keterangan Si Gadis jelita adalah
putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya
perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi di depan mata mereka.
Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang kini berada di
atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam
sepak terjang mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas yang kini tidak menutupi muka dengan saputangannya lagi,
berdiri di atas panggung berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan.
Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya. Kemudian tanpa ragu-ragu
lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan
Suling Emas.
“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa
dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih bahagia lagi hati
saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari
orang-orang jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah
mendiang Ayah saya. Sebelum meninggal dunia, Ayah saya meninggalkan
pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang daripada pengaruh
kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan menghadapi
orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari Paman dan mohon
pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap Paman
menerima hormat saya.”
Suling Emas tersenyum dan girang sekali
hatinya. Dengan munculnya pemuda yang menjadi putera Yu Kang Tianglo,
akan terbebaslah ia daripada tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi
ia sudah menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah
mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa pemuda ini secara gagah
berani turun tangan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong
yang sakti untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda
ini setia dan mencinta perkumpulan pengemis yang dulu dibangun oleh
kakeknya, maka dapat diharapkan pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo
menjadi ketua perkumpulan ini.
Untuk menguji Iwee-kang Yu Siang
Ki, Suling Emas menempelkan kedua tangannya di pundak pemuda itu sambil
membentak. “Tak usah berlutut!” Pendekar sakti ini mengerahkan sinkang
yang disalurkan di kedua tengannya.
Yu Siang Ki terkejut ketika
merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung, kemudian
tenaga raksasa membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat
wajah yang tersenyum-senyum itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang
mengujinya. Maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sehingga biarpun
tubuhnya terbetot dan tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan
berlutut!
“Bagus! Engkau patut menjadi putera Saudara Yu Kang
Tianglo!” kata Suling Emas sambil melepaskan kedua tangannya. Pemuda
itu melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan
bibir menyeringai menahan takut. Suling Emas terkejut sekali, tangan
kirinya bergerak cepat dan.... “brettt!” baju Siang Ki sudah robek
memperlihatkan pundak kirinya. Ternyata benar seperti dugaannya, di
situ terdapat tanda menghitam seperti tapak jari tangan!
“Hemm, kau terkena hawa pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Berputarlah kau dan jangan melawan!”
Yu Siang Ki tadinya terkejut dan heran ketika ia mengerahkan Iwee-kang
untuk menahan ujian, ia merasa betapa dada kirinya sakit seperti
ditusuk-tusukjarum. Ia makin terkejut ketika tiba-tiba Suling Emas
merobek bajunya, akan tetapi kini ia merasa bersyukur. Sebagai seorang
ahli silat tinggi, tentu saja ia sudah dapat menduga bahwa kakek putih
yang sakti tadi ternyata telah melukainya dengan pukulan jarak jauh yang
membuat ia terdorong dan terhuyung ke belakang tadi. Maka tanpa banyak
pikir lagi ia lalu memutar tubuh membelakangi Suling Emas, melepaskan
seluruh urat dan tenaganya sedikit pun tidak melakukan perlawanan.
Pada saat itu ia merasa betapa pundak kiri dan punggungnya ditotok
kemudian telapak tangan yang amat panas seperti membara menempel di
punggungnya.
“Sekarang bernapaslah panjang-panjang dan rasakan apakah masih sakit.”
Yu Siang Ki menarik napas panjang, hatinya girang sekali karena dada
kirinya sudah tidak sakit lagi. Ia menggeleng kepala dan berkata.
“Sudah tidak terasa apa-apa lagi, Paman.”
Suling Emas melepaskan
tangannya dan menghela napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong,
tangannya masih keji! Akan tetapi bahayanya sudah lewat, hanya perlu
memulihkan tenaganya. “He, Nona, ke sinilah engkau!” Tiba-tiba Suling
Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi Lan.
Ketika Kwi Lan
tadi melihat betapa Yu Siang Ki disembuhkan dari lukanya oleh Suling
Emas dengan tenaga sin-kang, ia tercengang. Kemudian ia tersenyum
girang. Kiranya kakek muka putih tadi lihai sekali sehingga dorongannya
dari jarak jauh telah melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia tidak terluka!
Dan hal ini berarti bahwa dia lebih kuat daripada pemuda itu, lebih
lihai! Ketika Suling Emas memanggilnya, sambil tersenyum ia menghampiri
dan menyimpan pedangnya. Memang ia pun ingin sekali bicara dengan
Suling Emas yang ia kagumi. Ingin bicara tentang Sang Ratu Khitan, ibu
kandungnya!
Begitu Kwi Lan melangkah maju dengan mata bersinar,
wajah berseri dan bibir tersenyum, Suling Emas memandang seperti orang
terpesona. Dadanya berdenyut keras dan seketika teringatlah ia kepada
Lin Lin atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama benar dengan kekasihnya
itu! Seperti itu pula Lin Lin dahulu mengangkat muka dengan leher
panjang lurus, dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan
semangat. Seperti itu pula lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun
membayangkan kegagahan. Dan senyum itu! Senyum nakal dan aneh,
pembawaan dari suku bangsanya yang asing, suku bangsa Khitan!
Gadis itu sudah berdiri dekat di depannya, namun Suling Emas masih
memandang, merasa seperti dalam mimpi. Ia melihat Lin Lin muda kembali,
menjadi gadis remaja!
Melihat keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan
memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh. Dilihat sikapnya,
pendekar sakti yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya dengan
laki-lakl biasa, yang selalu memandangnya dengan sikap tertarik seperti
itu. Akan tetapi sinar matanya lain daripada laki-laki yang lain. Sinar
mata yang terpancar keluar dari sepasang mata yang sayu sedih itu, tidak
mengandung nafsu seperti pada laki-laki lain, melainkan penuh
pertanyaan dan keheranan bukan kekaguman dan bukan pula gairah.
“Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Suling Emas? Sudah banyak
kudengar tentang dirimu dari Yu Siang Ki. Memang aku ingin sekali jumpa
denganmu, banyak hal yang hendak kutanyakan. Suling Emas, di manakah
kita dapat bicara dengan enak dan leluasa? Kuharap engkau tidak akan
merasa keberatan....!”
“Engkau anak siapa? Siapa Ibumu?”
Pertanyaan ini keluar dari mulut Suling Emas secara otomatis seperti di
luar kesadarannya dan terdengar keras seperti bentakan sehingga semua
orang yang mendengar mengira bahwa pendekar itu menjadi marah-marah.
Kwi Lan tersentak kaget, keningnya berkerut, matanya memandang tajam.
Apa maksud pendekar ini? Mengapa begitu jumpa, terus saja bertanya
siapa ibunya? Kwi Lan adalah seorang gadis yang amat cerdik. Pertanyaan
yang membingungkan semua orang ini sudah dapat diduga maksudnya dalam
sekejap mata oleh Kwi Lan. Ia sudah mendengar bahwa orang ini, Suling
Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina, dan mungkin sekali, kalau tidak
hisapan jempol belaka percakapan antara kaum sesat, di antara kakak dan
adik angkat ini terjalin kasih sayang. Kalau betul demikian, agaknya
kini Suling Emas terkejut melihat dia dan tentu saja hanya satu hal yang
menyebabkannya, yaitu bahwa dia tentu mirip dengan ibunya di waktu
masih muda! Ia tidak meragukan keterangan bibi dan gurunya, bahwa Ibu
kandungnya adalah Ratu Yalina.
“Kau tanya namaku? Seperti engkau, namaku hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang Ibuku.... aku sendiri tidak tahu....”
Mendengar jawaban ini, Suling Emas baru sadar betapa tidak pantasnya
pertanyaannya tadi. Wajahnya menjadi merah sekali dan ia cepat
berkata. “Nona, kaubukalah baju bagian dadamu!”
Kini wajah Kwi
Lan yang menjadi merah sekali, merah karena marah. Sepasang matanya
memancarkan kemarahan, sinarnya menyambar wajah Suling Emas dan tangan
kanannya bertolak pinggang, telunjuk kiri menuding ke arah hidung Suling
Emas sambil mulutnya membentak.
“Apakah kaukira setelah kau
bernama Suling Emas dan terkenal sebagai pendekar besar yang sakti,
boleh saja engkau menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang
ajar tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, ia membanting kakinya
dengan gemas kemudian sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang turun
dari atas panggung.
“Kwi Lan....! Kwi Lan, kembalilah! Engkau hendak ke mana....?” Yu Siang Ki berseru memanggil.
Kwi Lan tidak menoleh, hanya menjawab dengan suara menyatakan
kekesalan hatinya. “Aku pergi, uruslah dunia pengemismu, sampai jumpa!”
“Kwi Lan....!” Yu Siang masih berusaha menahan.
“Percuma, gadis seperti dia itu tak mungkin mau dicegah
kehendaknya....!” Suling Emas berkata lirih dan berkali-kali pendekar
ini menarik napas panjang dan berkata. “ aneh.... benar aneh....,” Di
dalam hatinya ia benar-benar makin heran menyaksikan sikap gadis pemarah
itu yang sama dengan watak Lin Lin. Kemudian ia bertanya kepada Yu
Siang Ki, “Kwi Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah datangnya?
Ilmunya hebat....“
“Entahlah, Paman. Saya bertemu di tengah jalan, dia sebatangkara namanya Kwi Lan dan shenya Kam....”
“Heh....?” Suling Emas benar-benar terkejut, memandang wajah tampan itu dengan mata penuh selidik.
“Benar, Paman. Ketika pertama kali mendengar saya pun terkejut dan
melihat kelihaiannya, saya mengira dia mempunyai hubungan keluarga
dengan Paman. Akan tetapi ternyata bukan dia.... dia bahkan tidak tahu
siapa orang tuanya. Kiranya, semenjak bayi dia dirawat gurunya yang ia
sebut-sebut Bibi Sian.”
Suling Emas berdiri tegak seperti arca.
Penuturan singkat tentang gadis itu membuat pikirannya melayang-layang
dan mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis yang sama benar wajah
dan wataknya dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang dia mempunyai
seorang “Bibi Sian”, yaitu Kam Sian Eng! Dan ilmu kepandaian Sian Eng
memang hebat luar biasa,” karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu
kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!
Benarkah sangkaannya ini? Akan tetapi, ahh.... mana mungkin Lin Lin
mempunyai puteri? Ia hanya mendengar bahwa sampai kini, Lin Lin yang
kini menjadi Ratu Yalina di Khitan, tidak pernah menikah dan hanya
mempunyai seorang putera angkat, yaitu anak panglimanya sendiri yang
setia, Kayabu.
Pada saat itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah
meloncat ke atas panggung. Tadi ketika semua orang mendengar bahwa
orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu ternyata palsu dan Suling
Emas adanya, mereka menjadi gaduh dan ramailah mereka mengeluarkan
pendapat masing-masing. Gak-lokai dan Ciam-lokai segera merundingkan hal
itu dengan anak buahnya. Mereka kini sudah mendengar bahwa Yu Kang
Tianglo telah meninggal dunia dan karena mereka tahu bahwa Suling Emas
dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka mereka tidak akan menuntut,
bahkan berterima kasih. Apalagi di situ ada terdapat pemuda lihai yang
mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus dibuktikan lebih dahulu
kebenarannya. Setelah mendapat persetujuan rekan-rekan mereka, dua
orang kakek pengemis itu lalu melompat ke atas panggung. Langsung mereka
berdua menghadapi Suling Emas dan memberi hormat.
“Kiranya
Taihiap (Pendekar Besar) yang semenjak dahulu telah menjadi sahabat
baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi memaafkan kesalahan kami yang
menyangka Taihiap Yu Kang Tianglo.” kata Gak-lokai.
Suling Emas
balas menjura dah menarik napas panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku
pun bersalah, telah berani mengaku sebagai Yu Kang Tianglo. Syukurlah
kalian semua percaya bahwa perbuatanku ini sama sekali bukan untuk
merampas kedudukan, melainkan untuk mewakili sahabatku itu membersihkan
Khong-sim Kai-pang. Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan kebetulan
sekali muncul putera Yu Kang Tianglo ini yang bernama Yu Siang Ki.
Melihat kepandaiannya, kiranya tidak ada orang lain yang tepat untuk
memimpin Khong-sim Kai-pang dan bersama kai-pang-kai-pang lain bersatu
menghadapi ancaman kaum sesat.”
“Ucapan Taihiap tepat sekali
dan kami bergembira bertemu dengan putera Yu Kang Kai-pangcu, sungguhpun
merasa sedih mendengar berita kematiannya.
Akan tetapi,
Taihiap, siapakah berani tanggung bahwa orang muda ini benar-benar
putera Yu Kang Tianglo yang sudah puluhan tahun tiada berita?” kata
Ciam-lokai.
“Pendapat rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang
memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap, hal ini masih tidak ada
buruknya, bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap seorang pendekar
sakti yang selalu membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai
dipalsukan orang lain yang kemudian menyelewengkan kai-pang seperti
hannya lima pangcu yang telah tewas di tangan Taihiap, bukankah hal ini
akan menimbulkan malapetaka? Karena itu, kami minta bukti dari orang
muda ini bahwa dia betul-betul putera Yu Kang Tianglo!”
“Bagus....! Benar sekali....!” Terdengar para pengemis berteriak-teriak.
Suling Emas hanya memandang kepada Yu Siang Ki. Di dalam hatinya ia
percaya kepada pemuda ini yang dapat ia nilai kejujuran dan
kesetiaannya dari sikap dan sepak terjangnya tadi. Akan tetapi ia pun
tidak berani memastikan apakah pemuda ini benar-benar putera Yu Kang
Tianglo, karena ketika bertemu dengan tokoh pengemis itu, dahulu Yu Kang
Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya. Oleh karena
inilah, ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk
membuktikan kebenaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.
Pemuda itu dengan sikap tenang, tanpa ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil berkata.
“Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda Berdua) tentulah Gak-lokai
dan Ciam-lokai. Ayah pernah menyebut nama Ji-wi kepada saya. Apa yang
Ji-wi kemukakan tadi memang benar. Saya harus dapat membuktikan bahwa
saya Yu Siang Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo.
Saya mempunyai tiga macam bukti, harap Ji wi dan semua Saudara
anggauta Khong-sim Kai-pang, mendengar dan menyaksikannya!”
Yu
Siang Ki berhenti sejenak, kemudian ia berkata lagi dengan suara
lantang sambil menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menekan di dada
kiri arah tempat jantung dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk
lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. “Beginilah tanda rahasia
perkumpulan kita Khong-sim Kai-pang! Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang
menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya sekedar tanda, melainkan
memiliki tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda pengenal sesama
anggauta. Kedua mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai dengan nama
perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati
Kosong). Kosong adalah kosong lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin
tidak memiliki apa-apa, dalamnya juga kosong dan polos tidak mempunyai
watak dan pikiran kotor. Adapun hati dimaksudkan bahwa setiap anggauta
harus memiliki hati yang bersih dan penuh kesetiaan terhadap
perkumpulan. Kemudian arti ke tiga dan hal ini hanya dikenal oleh para
pimpinan Khong-sim Kai-pang, yaitu gerakan ini adalah jurus pembukaan
daripada ilmu silat yang harus dimiliki oleh para pimpinan Khong-sim
Kai-pang. Nama Ilmu silatnya pun Khong-sim-kun (Ilmu Silat Hati
Kosong)!”
Mendengar ini, berisiklah semua pengemis dan semua
terheran-heran. Yang sudah tahu jelas akan arti tanda rahasia mereka
itu, mengangguk-angguk membenarkan, yang belum tahu kini menjadi tahu
dan tercengang, tidak mengira bahwa tanda rahasia itu mempunyai arti
yang begitu luas.
“Sekarang bukti ke dua bahwa saya adalah
putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di antara saudara anggauta
Khong-sim Kai-pang tidak ada yang mengetahui siapa nama Gak-lokai dan
Ciam-lokai! Adakah di antara saudara yang mengetahui nama mereka
berdua?”
Yu Siang Ki menanti sampai beberapa lama. Para
pengemis itu kembali berisik sekali sehingga keadaan di situ menjadi
seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua orang tokoh yang
selalu hanya dikenal sebagai Gak-lokai dan Ciam-lokai saja. Kemudian
terdengar suara mereka. “Tidak ada yang tahu....!”
Yu Siang Ki
menjura kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji wi Lokai,
untuk menjadi bukti, terpaksa saya memperkenalkan nama Ji wi.” Kemudian
pemuda ini menghadapi para pengemis dan berkata lantang. “Mendiang
Ayah pernah mengatakan bahwa di antara para tokoh Khong-sim Kai-pang,
yang boleh saya percaya adalah dua orang yaitu Paman Gak Lun dan Paman
Ciam Hie inilah!”
Dua orang lokai itu saling pandang dengan muka
pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak pernah memperkenalkan nama,
bahkan tidak pernah ada yang menyebut nama mereka. Memang hanya Yu Kang
Tianglo yang mereka beritahu tentang nama mereka.
Kembali para
pengemis menjadi berisik, bahkan ada yang bersorak karena kedua orang
lokai itu sama sekali tidak membantah. Hal ini hanya berarti bahwa bukti
ke dua ini pun cocok.
“Sekarang bukti ke tiga. Seperti
kukatakan tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu diberi
pelajaran Ilmu Silat Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada
masa ini, di antara semua anggauta Khong-sim Kai-pang, hanya Gak-lokai
dan Ciam-lokai berdua sajalah yang faham akan ilmu silat itu, karena
dahulu ketika Ayah datang ke sini untuk memimpin saudara-saudara
menghadapi Pouw Kai-ong, sebelum Ayah pergi lagi Ayah telah menurunkan
Ilmu itu kepada dua orang tua ini. Benarkah tidak, Ji-wi Lokai?”
Gak-lokai dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk.
Kini mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang tahu semua kejadian
rahasia ini tentulah benar putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi mereka
masih belum puas. Kalau ketua mereka selihai Suling Emas, hati mereka
akan menjadi lega. Akan tetapi Yu Siang Ki masih amat muda. Biarpun tadi
kelihatan kelihaiannya, bahkan dipuji oleh Suling Emas, namun cukup
kuatkah pemuda ini menjadi ketua kai-pang yang kini menghadapi banyak
musuh tangguh?
“Nah, kalau benar demikian.” Siang Ki menyambung
kata-katanya, kini saya persilakan Ji-wi untuk menguji aku dengan ilmu
silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa
hanya ayahku Yu Kang Tianglo yang dapat mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis bersorak. Gak-lokai dan
Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka kesempatan bagi
mereka untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana
kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka
yakin bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka
menjadi segan juga. Gak-lokai lalu menjura dan berkata.
“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani kurang ajar!”
Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah
dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”
Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai
pembukaan mereka telah bergerak seperti yang dilakukan Yu Siang Ki
tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan
diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari
tengah. Juga pemuda itu melakukan gerak yang sama, setelah itu barulah
dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh, namun amat
cepat dan menimbulkan angin pukulan halus. Diam-diam Suling Emas
memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan
kakek pemuda itu memang benar hebat, gerakannya halus dan indah namun
mengandung kecepatan gerak dan tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara
pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa dalam ilmu
silat ini, Si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya daripada
kedua orang lawannya. Hal inl adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai
hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu Kang.
Tianglo
sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar,
sebaliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja
gerakannya lebih mahir dan sempurna.
Dua orang kakek itu girang
bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir Ilmu
Silat Khong-sim-kun dan semua jurus yang mereka keluarkan untuk
menyerangnya, semua dapat dikembalikan, ditangkis atau dielakkan
dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka
jalankan dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki,
sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis, tentu tangan mereka
terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah
lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa
jurus saja mereka tentu akan dapat dirobohkan!
Keduanya lalu
melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan
bersorak, “Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang
Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua kita!”
Setelah
berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Yu Siang Ki sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon
pimpinan Pangcu!”
Pemuda itu terharu ketika melihat semua
pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan mengangkat
bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu
merendahkan diri. Aku tentu saja suka sekali memimpin kalian dan
melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan
Ciam-lokai yang sudah lebih berpengalaman.”
Para pengemis
bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa-tawa. Para
pimpinan kai-pang yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta
memberi selamat kepada pangcu baru dari Khong-sim Kai-pang. Timbul
harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan lebih
kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.
“Eh, ke mana dia....?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di belakangnya.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terkejut dan heran. “Ke mana perginya Kim-siauw Taihiap?”
“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan
terukir di atas papan panggung di mana tadi Suling Emas berdiri.
Beramai-ramai mereka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang
terukir, amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!
“Selamat kepada pangcu baru,
Suling Emas akan selalu mengamati
dan melindungi dari jauh!”
Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari
meloncat turun menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus tunggangan
Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin
kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat
menghilang begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan yang diukir dengan
ujung kaki.
Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan
Ciam-lokai girang karena di dalam tulisan yang ditinggalkan Suling Emas
itu, Si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan, biarpun
dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran,
mereka masih dapat mengharapkan bantuan pendekar sakti itu. Biarpun di
dalam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi Lan
yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia
kepada Khong-sim Kai-pang, ia mengesampingkan perasaan pribadi yang
jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur segala usaha dan
perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.
***
Suling Emas
menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia
tidak berhasil mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biarpun ia
membalapkan kudanya mengejar keempat penjuru, ia tetap saja tak dapat
melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak mau
menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu
wataknya aneh dan keras sekali. Dan ia memang kurang hati-hati dengan
ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju. Tentu saja ia
maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena seperti
juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat pukulan
rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap
kurang ajar!
“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng.” ia
menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Lin-moi, juga
wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali.... siapakah bocah itu?”
Karena dapat menduga, watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu
bahwa percuma saja mencari terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya
dan bersembunyi, mana mungkin ia mencari dan menemukannya? Suling Emas
menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang.
Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek
Sian-ong. Hatinya menjadi risau. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak
ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan berusaha
melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja
pikirannya tak dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang
jahat bermunculan. Bahkan dua orang seperti Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan
dapat menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak
mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin , aku dapat menjadi penonton saja.
Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia
mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertandingan lagi? Mengganggu
ketenangan dan kesunyian dengan urusan dunia yang tiada habisnya?
Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik
saputangan yang tergantung di leher ke atas, menutupi mulut dan
hidungnya. Telinganya mendengar suara makian dari jauh, dari arah
belakangnya.
“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”
“Iblis Khitan, kalau bisa kaucari sendiri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina pengemis miskin?”
Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lokai! Biarpun ia tidak menengok dan
tidak melihat, namun telinganya mendengar betapa dari belakang terdapat
dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang amat hebat. Ia
terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek
Sian-ong yang datang, akan tetapi kalau mereka, mengapa suara makian
Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas lalu memutar
kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan
kanannya.
Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia
terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua orang
Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang
menenteng kelinci saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu
dicengkeram punggung bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan
diri. Ini saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu.
Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihaian mereka
karena ia pun maklum bahwa banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan
tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang datang ini bukan orang
sembarangan, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi dalam
ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat dari pakaiannya.
Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di dada
mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar,
berarti bahwa mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin
Lin sampai mengutus panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu
tidak main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu
saja!
Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba dekat,
Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas, “Taihiap, bukan kami
yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh
dua ekor monyet Khitan ini!”
Suling Emas berkata dari balik
saputangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh,
“Sepanjang pengetahuanku, Panglima-panglima Khitan adalah orang-orang
yang berkepandaian tinggi dan juga menjunjung keadilan dan kegagahan.
Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan sudah
melupakan persahabatan dan hendak mengganas di selatan?”
Muka
kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu
langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan
sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang berkuda
yang menutupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena
perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu
menyamar sebagai pengemis dan berada di antara para pengemis Khong-sim
Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang
keraguan mereka.
Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan jika
terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong
menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap,
jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh
perjalanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan.
Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang.
Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”
“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling
bertemu dan tidak saling mengenal. Mengapa kalian bersusah payah
mencariku?”
Pangllma yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata.
“Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini
kepada Taihiap. Harap Taihiap sudi menerimanya!”. Setelah berkata
demikian, tangannya yang memegang surat itu bergerak menyambit dan
gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Suling Emas.
Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan
itu saja sudah merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat
menyambit seperti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat
menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap
gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas
panggung kudanya.
Dua orang panglima itu memandang
penuh kekaguman dan panglima yang menyambitkan gulungan surat berkata,
“Ternyata tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan tugas kami.
Maafkan kami, sobat-sobat yang bandel dan selamat tinggal, Taihiap!”
Mereka berdua melepaskan cengkeraman pada punggung baju dua orang kakek
pengemis itu, kemudian membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi
meninggalkan tempat itu.
“Berbahaya sekali! Mereka itu memiliki
kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu diganggu orang-orang
Khitan?” tanya Ciam-lokai terheran-heran. Ini adalah pengalamannya yang
dua kali melihat Suling Emas dikejar-kejar orang Khitan.
Suling Emas tersenyum. “Urusan pribadi, Lo-kai. Maafkan kalau kalian sampal terbawa-bawa.”
“Adakah sesuatu yang dapat kami lakukan untuk membantumu, Taihiap?”
tanya Gak-lokai ketika melihat wajah pendekar itu agak pucat.
Suling Emas mengerutkan kening. Ia tadi kecewa karena tak dapat mencari
Kwi Lan, maka kini ia berkata. “Memang kalian dapat membantuku. Harap
kalian sampaikan kepada Pangcu kalian agar suka mengutus anak-anak
buahnya untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya gadis yang
berjuluk Mutiara Hitam itu. Kalau berhasil, harap memberi kabar
kepadaku. Aku akan berada di kota raja.”
Dua orang kakek
pengemis itu menyanggupi dan mereka lalu berpisah. Setelah Gak-lokai
dan Ciam-lokai pergi, Suling Emas menjalankan kudanya perlahan-lahan
sambil melepas tali pengikat gulungan kertas. Hatinya berdebar keras.
Surat dari Lin Lin? Apa kehendaknya? Jari-jari tangannya agak gemetar
ketika ia membentangkan kertas itu di depannya, sedangkan kudanya masih
jalan terus perlahan-lahan seenaknya. Surat itu ternyata singkat namun
mengandung gambaran hati yang penuh rindu dan risau.
Kakanda Kam Bu Song,
Terlalu
lama saya menanggung derita batin. Terlalu lama menyimpan rahasia
besar. Tak tertahankan lagi. Lekas datang berkunjung.
YALINA
Suling Emas menghela napas panjang dan menyimpan gulungan surat di saku
baju sebelah dalam. Apakah yang dikehendaki Lin Lin? Rahasia besar
apakah yang dimaksudkannya? Bukankah sudah tepat kalau ia meninggalkan
Lin Lin, seperti juga ia meninggalkan Suma Ceng?”
Ah, hidupnya
yang lalu dirusak oleh asmara gagal. Bukan ia tidak merasa rindu kepada
Lin Lin, hanya ia sengaja hendak menghapus perasaan itu mengingat akan
kedudukan Lin Lin sebagai Ratu Yalina di Khitan. Untuk apa dia
mengganggu dan merusak nama baik seorang ratu besar? Inilah yang
meragukan hatinya sehingga ia tidak berani berkunjung ke Khitan.
Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan hendak pergi ke kota raja
Sung, untuk menemui Liong ji (Anak Liong). Ya, kini hanya pemuda
putera Suma Ceng itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong adalah
pemuda puteranya. Anak Suma Ceng, menggunakan she Kiang menurut nama
keluarga Pangeran Kiang suami Suma Ceng, akan tetapi Kiang Liong adalah
puteranya! Dan semenjak kecil, ia seringkali berkunjung secara
diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang Liong yang menganggapnya
sebagai gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota raja untuk
berkunjung kepada murid dan juga puteranya itu, karena sudah merasa
rindu? Akan tetapi surat Lin Ling yang baru saja diterimanya membuat
hatinya bimbang.
Ah, betapa pahit semua kenyataan itu. Lin Lin
adalah seorang wanita yang dicintanya, bahkan bukan hanya menjadi
kekasih biasa, melainkan menjadi isteri selama sebulan, isteri yang
tidak sah! Terpaksa ia harus merenggutkan cinta kasih, merobek hati
sendiri demi kedudukan Lin Lin sebagai seorang ratu! Dan terhadap Kiang
Liong, biarpun ia tahu bahwa anak itu adalah puteranya sendiri, ia tidak
berani mengakuinya dan oleh pemuda itu ia hanya dianggap sebagai guru!
Hal ini ia lakukan demi menjaga nama baik Suma Ceng, juga nama baik anak
itu sendiri sebagai putera pangeran! Benar-benar ia banyak menderita
batin, namun pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi
orang-orang yang ia cinta!
Senja hari di malam tahun baru.
Untuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san
yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi
tidak seperti dahulu pada pertama kalinya, kini kaum sesat dengan
pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung naik
ke puncak, melainkan bergerombol dan berkumpul menjadi beberapa
kelompok di lereng gunung. Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah
berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang mereka pilih
tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk kaum
sesat yang dipilih oleh golongan masing-masing untuk menentukan siapa di
antara mereka yang patut dipilih menjadi bengcu atau pemimpin besar
kaum sesat.
Datuk pertama yang muncul di puncak adalah seorang
yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki puncak sambil
bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang
lucu, sedangkan lagunya juga lucu sekali, sehingga suaranya yang bergema
di seluruh lembah dan terdengar oleh para kaum sesat, membuat mereka
terheran-heran dan tersenyum-senyum geli. Suara tinggi kecil seperti
suara perempuan. Kalau tidak melihat orangnya, mendengar suaranya tentu
orang mengira dia seorang wanita. Akan tetapi ternyata dia itu seorang
laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan tubuh berotot dan
sepatutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh gagah. Wajahnya
tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata yang
warna hitamnya tercampur biru, kulitnya putih halus seperti kulit
wanita, rambutnya panjang dibiarkan terurai di belakang punggung. Dan
lenggangnya, lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang
seorang wanita berpantat besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu
manis bentuknya untuk seorang pria itu selalu tersenyum-senyum dan
bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak makin manis. Pakaiannya juga
aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka warna yang halus,
lehernya digantungi kalung permata yang besar-besar. Kuku jari-jari
tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah! Inilah dia Bu-tek
Siu-lam, datuk yang dipilih para pengemis untuk menjadi bengcu.
Julukan Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang
ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi
seperti perempuan dan tingkah lakunya tiada bedanya dengan seorang
wadam (banci). Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di
pinggangnya.
Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan
nyanyiannya, memandang ke kanan kiri lalu berdongak ke atas. Mulutnya
terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga
mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini
disusul suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.
“Heiiii! Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya
hendak beraksi? Kalau benar bisa menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela
menganggapnya sebagai bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hi-hik!”
Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa
usianya ini berdiri dengan tubuh digerak-gerakan kemayu!
Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh
Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang mulai berani mendaki puncak,
akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah puncak dari mana
mereka dapat memandang datuk mereka dengan penuh harapan. Di antara
kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat
pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik hatinya dan ingin
menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang
mendatangi bukit yang sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani,
beberapa orang pelancong dan ada juga beberapa orang kang-ouw yang
menjadi ingin tahu sekali. Ketika rombongan pengemis mulai mendaki
bukit, orang-orang ini yang tidak tahu akan bahaya dan sama sekali tidak
tahu dan tidak mengenal orang aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk
menonton.
Kedatangan rombongan bukan pengemis ini tak terlepas
dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam. Ia segera menghadap ke
arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata,
suaranya manis sekali terdengarnya, sungguhpun dengan dialek asing.
“Siapakah jago kalian? Mana dia? Suruh dia naik ke sini!”
Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa
yang dimaksudkannya karena mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama
sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang menjawabnya, Bu-tek
Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan
tidak menghormatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang
tinggi itu sudah melayang turun dari puncak, tiba di antara puluhan
orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan
menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka
tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan
genit ini pun tertawa-tawa.
Akan tetapi secara mendadak suara
ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang di antara
mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang
laki-laki berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat.
Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijambak rambutnya
dan digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.
“Hi-hik, inikah jago kalian? Atau ada yang lain lagi?” Bu-tek Siu-lam
bertanya sambil tertawa-tawa dan mengangkat-angkat tubuh yang tergantung
di tangan kanannya itu. Karena kesakitan, orang itu menjadi marah
sekali. Betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang kuat dan
pernah belajar silat, maka tentu saja tidak mau dihina oleh orang aneh
ini.
“Bedebah! Lepaskan aku!” teriaknya dan tangan kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.
“Crakkk!”
Laki-laki itu menjerit dan darah menyembur dari lengan kirinya yang
sudah buntung sebatas siku karena pukulannya tadi ditangkis dengan
guntingan, dilakukan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan
sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya, Laki-laki itu meronta-ronta
dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan kedua kakinya
menghantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang aneh itu.
“Crak-crak-crak!”
Sungguh hebat pemandangan itu. Mengerikan sekali! Laki-laki yang
tergantung itu kini buntung semua lengan dan kakinya! Darah bercucuran
dan Laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah lagi,
agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat
para penonton menjadi panik, ada yang lari, ada yang jatuh bangun,
ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking takutnya.
“Hayo mana jagomu. Inikah? Crak-crak! Atau ini? Crak-crak-crak!”
Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerjakan guntingnya setelah
melemparkan korban pertama ke atas tanah. Ia tidak menggunting badan
atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja belasan
orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah membanjir
dan mereka yang menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati
karena kehabisan darah!
“Heeii, anak-anakku semua kaum
kai-pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh kita
kalau aku menjadi Bengcu!”
Para pengemis itu biarpun tadinya
merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun karena
mereka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan
senang melihat orang lain bukan golongannya menderita, lalu bersorak
girang.
“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
“Tidak ada yang dapat melawan kegagahan Locianpwe!”
Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil
tersenyum bangga dan puas. Sementara itu sisa para penonton yang panik
dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah barat menjauhi
rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati mereka
lega karena orang aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek
Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk mendemonstrasikan
kepandaian dan kekejamannya telah puas.
Di antara rombongan
pengemis itu terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan
Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut
Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis semenjak mudanya, dan semenjak
dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang. Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini
sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan prang baik-baik
sampai pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah
ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang. Hal ini adalah
karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala
urusan. Pendeknya, ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap
perkumpulannya yang didirikan oleh seorang pamannya dahulu. Begitu bodoh
dan tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi
apakah perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat.
Kali ini ia pun ikut rombongan hanya untuk menonton dan sama sekali
tidak tahu macam apa orang yang dipilih perkumpulannya sebagai bengcu.
Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau rombongannya bergerak.
Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di
luar batas perikemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan kemarahannya
membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apalagi ketika melihat betapa
para pengemis yang menjadi anggauta-anggauta perkumpulannya kini sambil
tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu mulai menyeret mayat-mayat
yang bergelimpangan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam jurang
atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin penasaran. Kalau ia
melihat anak buah merampok atau memeras, ia masih tidak peduli karena
betapapun juga yang dirampok dan diperas tentulah orang yang kaya. Akan
tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan tanpa alasan terhadap
orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini menembus
kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.
“Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siu-lam.
“Hoan-lokai, jangan sembrono....!”
“Hoan-lokai, jangan kurang ajar terhadap calon bengcu....!”
Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak
dipedulikan oleh Hoan-lokai yang sudah menjadi marah sekali. Ia sudah
meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu, berhadapan dengan
Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang dan melihat betapa kedua
tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka terkejut dan
mengeluarkan teriakan kaget. Warna hijau pada kedua tangan ini menjadi
tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua tenaga
Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan
ilmunya dan biarpun semua orang tahu akankeampuhan kedua tangannya,
namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai mengerahkan tenaga
Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau! Kini tak seorang pun
mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Betapapun juga, kejadian ini menegangkan hati dan
menyenangkan, karena mereka mendapat kesempatan untuk menyaksikan
kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang
keselamatan Hoan-lokai, siapa peduli? Kakek ini biarpun memiliki ilmu
tinggi, namun bodoh dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun takkan
merugikan siapa-siapa.
Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam
melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua tangannya
hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu
akan sikap kakek pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua
tangan yang hijau itu mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam
agaknya sama sekali tidak memandang mata.
“Kau mau apa?” tanya Bu-tek Siulam dengan sikap angkuh sambil memandang pengemis itu dengan kepala dimiringkan.
“Kau ini manusia apakah iblis? Kalau manusia, mengapa kau membunuhi
orang sekejam itu tanpa alasan?” tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan
mata melotot.
Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya
mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi bahwa kakek
pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali.
Kemudian tanpa memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap
orang aneh itu yang amat sombong, Hoan-lokai sudah menggerakkan tangan
kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siulam. Pukulan ini keras
sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu
pukulan seperti ini, pengemis tua itu sanggup memukul hancur sepotong
batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.
Namun bagi seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, tentu saja
kepandaian seperti ini tidak ada artinya sama sekali, termasuk
kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang
adalah ilmu gwa-kang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang hanya dengan
latihan-latihan berat mempergunakan kekuatan kulit daging, maka bagi
seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat
saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang.
Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah tidak
lagi memhutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakar, kepandaiannya.
Seseorang yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan
bantuan tenaga kasar, melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari
dalam tubuhnya untuk dipergunakan secara tepat. Seorang ahli ilmu silat
tinggi mendasarkan tenaga dalam yang sifatnya lunak dan lembut,
seperti pasir atau tanah seperti air, atau lunak ulet seperti karet.
Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya
seperti besi sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak
dan lemas itu? Besi dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain
karena keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet,
takkan ada artinya bahkan memukul diri sendiri, kalau dihantamkan
pasir, tanah atau air yang tak melawan, akan lenyap dan tenaga
pukulannya akan tersedot tanpa guna.
“Wuuuuttt.... desss!”
Pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali
mengenai perut Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa
kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa tangannya itu amblas atau
tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui perlawanan seperti
orang memukul kapas. Namun Hoan-lokai adalah seorang ahli silat yang
sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang aneh kejam seperti
iblis ini adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam), maka ia
cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
“Wuuuuttt.... dukkk!” Kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti
sehingga pukulan tangan kiri Hoan-lokai seperti memukul karet dan
membalik. Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan siasat, hanya
menggunakan setengah tenaganya, sedangkan tenaga setengahnya lagi ia
pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang “menancap” ke dalamperut. Ia
berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-hi-hi-he-hehh....!” Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit
sekali, berirama dan berlagu seperti orang bernyanyi! “Jembel busuk,
apakah kau hendak memberontak? Teman-temanmu mengangkatku sebagai
Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan aku?”
“Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka!”
Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di
tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih.
Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului tangan
Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya
tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya menyambar ke depan, leher
ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya
tadi!
Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya
marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan
binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek-coa Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para
pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan.
Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur
dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat
dipakai sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini
ular yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun itu demikian mudah
terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali
ini kedua kepalan tangannya secara berbareng, dengan pengerahan tenaga
Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.
“Wuuuttt.... ceppp....!”
Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali
tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi segera kakek pengemis
itu meronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar
memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang
hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu
seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus
ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga
untuk mencabut keluar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek
Siu-lam hanya tertawa, suara ketawanya lucu menyeramkan.
“Pergilah!” bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang
ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan tenaga. Akan tetapi sebelum
tangannya terlepas dari “cengkeraman” perut, terlebih dahulu terdengar
suara “pletok-pletok!” dua kali dan ketika kedua tangan itu sudah
bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah!
Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke
jantung dan tulang sumsum.
Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali.
Rasa nyeri membuat mukanya pucat penuh keringat, dan garis-garis
keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai.
Dia memang seorang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena
kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia
berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebatnya
rasa sakit yang dideritanya, ia menjadi makin marah dan nekat. Dengan
pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya
bergantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan
kepalanya! Serudukan seperti ini sama sekali tak boleh dipandang ringan
karena dengan kepalanya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah
dinding tembok yang kuat!
Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya
berdiri dengan tegak sambil tertawa ha-ha-hi-hi, memasang perutnya yang
sengaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi
tubrukan antara kepala dan perut itu.
“Suppp!” Kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak
mengempis
sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut! Aneh sekali
kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan
hidung Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit
bibir seperti menahan kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya
remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya
menendang-nendang tanah di bawahnya. Biarpun semua orang yang hadir
belum pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu, yaitu menggunakan perut
menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat menduga betapa kepala
Hoan-lokai, seperti kedua tangannya tadi, akan menjadi remuk tergencet!
Pada saat itu, dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa,
suara ketawanya keras sekali dan terbahak-bahak terpingkal-pingkal
seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu
sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak
menjadi kaget dan berdiri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini
bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat
jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan
melongo. Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya.
Amat tidak patut dengan suara ketawanya. Kalau suara ketawanya besar
dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi
besar, orangnya ternyata biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran
biasa. Kecil kurus, sedemikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal
kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua sehingga sukar
ditaksir berapa usianya. Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang
kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang hanya tampak sebagai
dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang
sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu
pula karena
sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil berjajar
di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang
panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan
pendek sebatas pangkal lengan, celananya panjang kakinya telanjang.
Benar-benar seorang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang
melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia
pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa
terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya sedangkan mulut itu sendiri
tidak tertawa!
Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini,
dari bawah puncak muncul pula serombongan orang yang beraneka macam
bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh
seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan
gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan
perkumpulan Thianliong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan
yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang
murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga!
Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil
kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw bin Lo-mo (Iblis Tua
Muka Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia
persilatan. Sebetulnya, julukannya Iblis Tua Muka Tertawa kurang tepat
karena biarpun suaranya kalau tertawa seperti orang
terpingkal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah
memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa!
Kedua kaki
orang aneh ini tidak tampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah
berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang
kepalanya masih “menancap” dalam perut Bu-tek Siu-lam. Melihat datangnya
orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama sekali tidak memandang mata
dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai
masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut
lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya
tak dapat diceritakan lagi saking hebatnya.
“Huah-hah-heh-heh-heh!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa
menggerakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu seperti keluar
dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di barat takkan dapat berjumpa
dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu
dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang
berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!” Setelah
berkata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan
ke arah pantat Hoan-lokai.
“Bukkk!” Tendangan ini kelihatannya
hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira
demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung
tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu
tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki
tubuhnya dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu
saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia
mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus ke atas, keluar dari
kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.
Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala
Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia
terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan
gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah
akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil
berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai
bagaikan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.
Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lomo menggerakkan tangan kirinya dan
sekali tangan ini bergerak entah bagaimana, tubuh Hoan-lokai yang
menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan
yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek
Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak
bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai
hendak mencoba-coba kepandaian Si Iblis Banci! Kasihan sekali nasib
Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong seorang tokoh yang berkepandaian
tinggi di antara para anggauta Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan
dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua
ekor harimau buas! Sama sekali tidak berdaya dan kepalanya pening
pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam
bola yang ditendang pergi datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu.
Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu hanya dengan dorongan
tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya terlempar ke sana ke mari!
Sambil mempermainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di
udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenaknya!
“Heh
manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan memiliki
kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah
kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main
dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah
dan mengejek.
“Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam.
Kau boleh. jadi merupakan setan di barat dan ditakuti orang, akan
tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua
takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda
hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin
Lo-mo!” Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak
bergerak dan kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan
kuat meluncur ke arah Bu-tek Siulam.
“He-he-hi-hi-hik! Kiranya
Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pantas sekali! Orangnya
ternyata lebih buruk daripada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti
sampai tubuh Hoan-lokai menyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan
jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.
Dua tenaga sinkang raksasa
bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan.... tubuh kakek
pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka
seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara!
Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan
masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang
ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan mereka
diulur ke depan dengan jari tangan terbuka darimana meluncur tenaga
sakti yang tak tampak, yang “menahan” bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai
di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekanan makin hebat dan
keduanya tidak mau saling mengalah.
Celaka sekali adalah
Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola dilontarkan ke
sana ke mari sehingga kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan
kini, tertahan oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuhnya
terjepit dan sukar bernapas. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia
mengeluarkan teriakan menyeramkan, tubuhnya lalu menjadi lemas dan
dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah! Hoan-lokai tewas
dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!
Melihat ini,
kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai
terbanting berdebuk ke atas tanah. Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh
dan berkata, “Iblis tua bangka kurus kering benar-benar mengagumkan!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. “Engkau hebat, akan tetapi belum tentu
aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!”
Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian-liong-pang maju hendak
menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo mencegah dengan
gerakan tangan, lalu berkata. “Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot
untuk menyingkirkan bangkai ini?”
Anak buah Thian-liong-pang
mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan
suara tertawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil
sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menuangkannya beberapa
tetes cairan berwarna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap
mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu,
mereka membelalakkan mata saking kaget dan herannya. Bahkan Bu-tek
Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap,
melumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir
Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat.
Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan
ilmu silat dan merupakan lawan yang amat berbahaya dan harus
diperhatikan.
Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat
Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin
Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil
berkata.
“Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”
Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang hebat! Patut kau menjadi
iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu,
nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepadamu sebelum kau
mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan
guntingku ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu!”
“Huah-hah-hah, bocah muda omongannya besar! Apakah hanya engkau saja
yang menjadi sainganku? Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada,
lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang tanggung aku
turun tangan membuang keringat menghadapi mereka!” Ucapan kakek kecil
ini membuat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar
sombong bukan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh.
Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat menjawab, terdengar bunyi pekik seperti
lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini hebat bukan main,
menggetarkan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di
sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong mengerikan ini,
orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama anehnya dengan
dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus,
mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi,
sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga
tak tampak biji matanya, tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh,
berbentuk seperti pedang, ujungnya berkait dan bergigi seperti
gergaji! Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya
mengikat sebuah pancing bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh,
akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam.
Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang
tinggi besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka
ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orangorang dari utara.
Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.
“Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata Bu-tek Siu-lam.
Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo memandang penuh perhatian dan amat
tertarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata, “Aha, kiranya
yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma kalau
begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang bernama besar!”
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguhpun hanya
mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian
Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil itu, ia
sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang namanya
sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan
ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu.
Sambil tersenyum mengejek ia lalu menghadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam
Khoa-ong dan berkata.
“Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang
algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu untuk
mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk
menggorok leher. Hi-hi-hik! Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan
tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum
benangku!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut
guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah
mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya!
Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya,
akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi lucu. Ia seorang
yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran
Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya berdiri dengan kedua kaki
terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak
berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini
tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi
raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu
segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek
Siu-lam yang tidak hanya amat menghina akan tetapi juga terang-terangan
menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua
lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang seperti tengkorak
hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya,
“Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau
pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian
Pak-sin-ong!” Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan
mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia
gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam.
Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup
dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji
dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan terbelah dan isi perutnya akan
cerai-berai!
“Traanggg....!” Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga
langkah, juga Bu-tek Siulam terdorong ke belakang ketika senjata
gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit.
Mereka memandang kagum dan muka mereka berubah sedikit. Pertemuan
kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak
boleh dipandang ringan.
“Siuuuuutttt....!” Kini sinar yang kecil
panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung
dan melayang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek
Siu-lam.
“Cringgg....!” Sinar kecil putih itu terpental kembali
ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan
Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pancing
itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang
ini mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain memiliki tenaga
yang kuat, juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia
bertali itu.
Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua
kali itu kini saling pandang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo
tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini,
Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil
itu menyeramkan sekali, pikirnya.
“Huah-ha-ha-ha, belum juga
lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita
datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut
menjadi Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di
antara kedua orang calon lawannya, memasang kuda-kuda dan siap untuk
menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun
bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk
menjaga diri.
Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang
membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan
datang angin , taufan mengamuk dan di antara angin besar ini terdengar
jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah
kaki gajah! Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua
adalah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya
seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti
penuh kewaspadaan. Tak lama kemudian benar saja, orang yang
mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia
seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio,
mukanya seperti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya
yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya
membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling
dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.
“Tak salah lagi, engkau tentulah Thai-lek Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang penuh perhatian.
“Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?”
tanya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar
Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.
“Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu
datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki
Thai-lek Kauw-ong!”
“Bagus, kebetulan sekali!” kata Pak-sin-ong
yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang
mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan
memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang
dicalonkan menjadi Bengcu. Kita menanti apalagi? Mari mengeluarkan
kepandaian menentukan siapa yang lebih unggul!”
Mendengar ini,
Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam
sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum
benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya,
adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua
tangannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun
raksasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga
orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya
tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sampai lama baru
keluar suara dari mulutnya.
“Tidak bertempur!”
Kakek
gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut
sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagainya karena kakek
ini muncul dari pulau-pulau di laut timur. Akan tetapi kakek ini memang
tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia
hanya tertarik mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo,
Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan
dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan
orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi
tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri,
tidak mengenal hukum-hukum dan bertindak seenak hatinya sendiri tanpa
mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia melakukan hal-hal yang
bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan
hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu
sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan
dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada
angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis
membunuh-bunuhi orangorang yang sama sekali tidak salah. Kalau hatinya
lagi senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia akan
tertawasaja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara.
Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran
sekali. “Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?” tanya Bu-tek Siu-lam
yang suka bicara.
“Tidak ada Bengcu” jawab Si Kakek Gundul singkat.
“Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali.
Bukankah kita berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang
lebih unggul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau
tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”
“Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?”
Ucapan itu singkat namun jelas maksudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong
ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi,
juga tidak ditentukan siapa menjadi bengcu dan keenam orang iblis itu
menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa
salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup
sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam?
Namun
tiga orang aneh yang mendengar usulnya ini mengerutkan kening, tidak
setuju. Hal itu adalah karena mereka, bertiga ini semua mempunyai anak
buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap
sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu
saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin
besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap
dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol. Ia
selalu rindu untuk merampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka
tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi
bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan
mengandalkan bantuan kaum sesat di dunia persilatan teritu akan lebih
mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke
tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang
dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi
musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu
untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta
merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah
sebabnya mengapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek
Kauw-ong yang tak banyak bicara.
“Pemilihan Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek Siu-lam.
“Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula Pak-sin-ong penasaran.
“Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin Lo-mo juga berkata.
“Bodoh!” Thai-lek Kauw-ong membentak. “Kita menjadi sahabat, saling
bantu. Kalau mau bertanding, ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik
termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!” Setelah
berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembrengnya sehingga
terdengar bunyi “brenggg!” yang nyaring sekali menulikan telinga.
Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul, menjadi terkejut,
menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu lenyap menyembunyikan diri
dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pimpinan mereka saja
berani menonton pertemuan empat orang aneh itu dari tempat yang agak
jauh dan aman.
Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena
mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita
mereka semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan
melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan
mereka kepada Thai-lek Kauw-ong seorang! Padahal menurut kemauan Raja
Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan
untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan
ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke
empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang,
kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera
marah!
Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke
arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan,
kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah
lehernya itu tiba, ia sudah mendahului menggerakkan sepasang
gembrengnya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat,
sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan
tiba-tiba dan tidak terduga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang
maju dan menyerangnya dengan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki
Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada lengan
Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan
totokan dan balas menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin
bersiutan itu! Sekaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga
orang lawannya!
Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan
guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepasang
gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan
cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat
betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan
kanannya. “Wiirr....!” Jarum besar yang diikat benang di tangan
kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong. “Tranggg....!” Thai-lek
Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka
terpaksa menangkis dengan gembreng kirinya dan usahanya menjepit
gunting menjadi gagal.
Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin
yang menyambar keluar dan tendangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan
tahulah ia bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek
yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh
mengelak.
Dalam segebrakan itu saja, dari keadaan diserang,
Thai-lek Kauw-ong mampu merobah keadaan menyerang dan ini membuktikan
bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan
dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang
setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan
kemenangan-kemenangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang
mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!
“Hemm, kalian seperti bajingan-bajingan kecil hendak mengeroyok?
Boleh!” Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang
keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasaan. Tiga orang
tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di dalam
hati mereka itu diam-diam bermaksud mengeroyok kakek gundul yang kosen
ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat
mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang
dengan muka merah.
“Siapa mengeroyokmu? Sombong! Lihat
kelihaian Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong.
Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga
dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan
seperti kilat menyambar, sinar putih dari tangan kirinya sudah meluncur
cepat dan itulah pancing bertali yang menyambar ke arah muka Thai-lek
Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal
senjata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun ia
mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek
Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya menangkis. Terdengar suara
“cringgg!” keras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan
menyerang Pak-sin-ong sendiri! Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak
tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara kemudian
meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini
menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah
menerjang maju dan menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus
mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!
Sama sekali bukan
serangan ringan yang dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya
bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga
gerakan gergaji ini melengkung membentuk setengah lingkaran yang
merupakan pintu penutup bagi jalan keluar lawan! Thai-lek Kauw-ong
berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya
yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Brenggg....!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil
menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa
meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tangkisan yang
sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu
ia akan terhuyung-huyung! Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju
menerjang Raja Monyet itu sambil berseru keras.
“Klik-klik!”
Guntingnya yang besar berbunyi dua kali dan dengan amat cepatnya
Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai
sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisihnya dari leher dan pundaknya.
Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur
menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam
hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan
muka. Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar
lihai sekali.
“Klik.... brenggg!” kembali seperti keadaan
Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis
sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi
susul-menyusul nyaring sekali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai menjadi
pucat. Ia dapat menangkis dan mengelak sambaran dan gencatan senjata
lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu
menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat
mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera terdesak
hebat!
“Breng.... brenggg....!” Hampir saja ujung baju depan
Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke
belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada
saat ia membuang diri ke belakang ini.
“Hehh....!” Thai-lek
Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam
keadaan terdesak dan membuang diri ke belakang dapat mengirim serangan
dengan senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengibaskan
gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyeleweng
oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga
besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan
mengeluarkan keringat dingin. Kalau ia tidak berlaku cepat, jangankan
sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung
bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan
elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sambil
memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.
Kesempatan ini
dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan
menguji kepandaian Si Raja Monyet. “Huah-hah-hah, Kauw-ong,
kauterimalah senjataku!” bentaknya dan ketika tangannya bergerak,
sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke
depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong, mengeluarkan seruan
panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia
ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen
itu takut menghadapi senjata rahasia yang dilemparkan ke depan kaki,
sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah
dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata
Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena
sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu!
Thai-lek
Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya memyambar turun ke arah
Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke
bawah! Hebat bukan main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat
dipergunakan sebagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata
lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang
menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang
sebuah lagi menyambar perut! Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong
dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang
lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya
tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang
menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah
Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini
menyambut sepasang gembrengnya dengan mudah.
Empat orang sakti
itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong
dengan sepasang gemrengan siap menghadapi tiga orang itu. Karena dalam
gebrakan-gebrakan perorangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga
tingkat ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini
timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan
menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong
tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali
bahwa hari ini ia menghadapi tiga orang lawan yang akan merupakan
makanan yang keras baginya! Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang
memuaskan hatinya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara
melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan telinga, juga
membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah
menjadi tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang
yang tinggi. Tentu saja empat orang itu terkejut dan seketika
menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding. Ketika
Thai-lek Kauw-ong memutar tubuh dan tiga orang lainnya juga memandang,
mereka melihat seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan
wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang tak diketahui empat orang
itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa, apalagi wanita itu
duduk di atas ranting yang kecil dan kiranya akan patah kalau diduduki
orang biasa. Akan tetapi wanita itu duduk dengan enak, membelakangi
mereka dengan tubuh diputar dan kepala dipalingkan ke arah mereka.
Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran.
Tubuh wanita itu padat dan indah bentuknya, pakaiannya indah, akan
tetapi kepala wanita itu tertutup kerudung! Biarpun kerudung itu tipis
dan membayangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja menyeramkan
dan menimbulkan bayang-bayang gelap pada muka, terutama pada kedua
matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya kelihatan
kilauan seperti titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit
putih halus dan berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan
tetapi semua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam mengkilap!
Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat
dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguhan sendiri sehingga
mereka menjadi angkuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan
wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw
terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini. Sebagai orang-orang
berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu
dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang
tak boleh dipandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut.
Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia menjadi marah
sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani mengganggu
mereka berempat.
“Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa
gerangan dia berani bersikap kurang ajar!” Tangan kirinya bergerak dan
sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.
Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby,
yaitu memancing ikan! Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang
memancing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak jaman dahulu
sampai sekarang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi
Pak-sin-ong, alat pancing dan talinya bukan hanya untuk memancing
ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amatampuh. Ia
menciptakan ilmu silat yang Khas dengan tali dan pancing ini sehingga di
samping gergajinya, senjata pancing ini amatlah berbahaya karena dapat
dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang
itu.
Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu
meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka wanita itu
dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa.
Namun wanita itu yang hanya dapat melihat datangnya serangan ini dari
lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat
datangnya pancing yang hendak mengait dan marenggut kerudung yang
menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas
dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia
menggerakkan telunjuknya menyentil dengan kuku telunjuk.
“Cringg....!”
Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke
arah pemiliknya. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi
dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.
“Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian
lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan puncak
ini!” terdengar suara wanita itu. Suaranya halus merdu, akan tetapi amat
dingin. Kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram daun-daun
pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu
mengeluarkan suara melengking panjang sambil menggerakkan kedua tangan,
daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil menyambar
ke arah empat orang itu. Bahkan sebagian terbang lebih jauh lagi,
menyambar ke arah beberapa orang pimpinan rombongan pengemis dan
rombongan Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi
berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk
mereka mengadu ilmu.
Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali!
Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu
yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli
rendahan, akan tetapi dapat melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya
melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga
yang dahsyat, hanya dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah amat
tinggi ilmunya Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apalagi
mereka sebagai orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun
itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan
tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang
datang menyambar sehingga daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun
daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang itu makin kagum
karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga
sinkang yang amat kuat.
Jerit-jerit mengerikan membuat empat
orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang,
ternyata beberapa orang dari tiga golongan tadi telah roboh
berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam.
Beberapa
helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis,
tiga orang anggauta Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh
terkena sambaran daun-daun terbang dan berkelojotan dalam
keadaansekarat!
Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang
menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat
tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini
mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.
Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan
menjadi kagum, segera berkata, “Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!”
Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya,
berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek
yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin
melembung besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai
celana yang longgar, demikian pula bajunya. Katau tidak tentu sudah
pecah-pecah pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di
kerongkongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua tangannya
mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.
“Siuuuuutttt.... krakkk.... !” Ranting itu berikut beberapa cabang besar
seketika patah dan roboh ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan
suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun dengan
loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan
dahsyat itu,
Melihat kehebatan Ilmu Thai-lek-kang ini, tiga
orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau
mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi
raksasa gundul yang hebat ini! Juga wanita berkerudung itu diam-diam
amat kaget karena tak disangkanya bahwa Si Gundul yang wajahnya buruk
seperti monyet ini benar-benar amat lihai. Jarak antara kakek gundul dan
pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak
kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu
merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan! Karena
maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu
lalu mengangguk sedikit dan berkata, suaranya tetap halus dan merdu
namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara
itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.
“Namaku Sian dari Istana Bawah Tanah. Baru sekarang keluar dari bumi
memasuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam apa adanya orang
yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah
di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba
kepandaiannya!”
Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik
kerudung hitam itu menyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan
gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak
tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa
wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir
usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan
seorang gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang membayang di balik
pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada
ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!
Tentu saja empat
orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling
bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah
bertemu atau mendengar tentang wanita ini. Wanita ini bukan lain adalah
Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah
muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apalagi
karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk
tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab peninggalan iblis
betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri. Seperti
tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan
tenaga sinkang yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani
menerima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat
turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan
tajam tampak betapa ginkangnya biarpun cukup tinggi namun tidaklah
sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah lebih tinggi daripada
tingkat mereka!
“Huah-hah-hah!” Siauw-bin Lo-mo tertawa tanpa
menggerakkan bibirnya sehingga Kam Sian Eng memandang dengan hati
terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura
bertanya lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua
persoalan kami? Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!”
Kam Sian Eng mengangguk. “Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian
yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena
kalian bukan orang-orang sembarangan, aku bersedia untuk berkenalan.
Aku setuju dengan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama
Thai-lek Kauw-ong?” tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala
gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini
cocok dengan usulnya. “Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi
mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa
salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa
Tanding)?” Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia
sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik,
juga sama dengan namanya! Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah
banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang
keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan
empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan
wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang,
seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak
menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian
Eng. Biarpun wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah
berubah karena kehancuran hati di waktu mudanya ditambah dengan
latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia tidak
kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu
bahwa bertanding menghadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut,
namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai
kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha,
betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo
yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah
muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan
hati.
“Betul! Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?”
kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman
yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan
Khitan.
“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”
“Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan apalagi? Tentu saja golongan
kaum sesat, hi-hik!” kata, Bu-tek Siu-lam sambil mesam-mesem genit.
Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap
genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga
tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.
Senyum ini oleh
Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat,
maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh,
memang benar! Banyak orang menyebut aku seorang sesat. Memang aku
sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah
macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau tahu orang yang
tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling
Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah
golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan
kalian berempat untuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu
kepandaian yang lihai sekali.” Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau
Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian
hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena
Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te
Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali
Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara
kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Selain menaruh
dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah
dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu
Suling Emas masih berada di Khitan.
Sejenak wajah cantik di
balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu
mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng
marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas
adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai
lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang
tak pernah bertemu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA
DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia
menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan
kakak tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor!
Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah
Tok-siauw-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah
datangnya Toksiauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri
pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan
perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan
kaum sesat. Aku menghormat mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka
berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka
membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata
Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada
Beng-kauw,” kata Sian Eng. Dia pernah mendengar dahulu betapa antara
Bengkauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga
hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS).
Karena ia mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan
ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya
Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah
menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya
menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.
“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian –toanio, biarlah kita
tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang
lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita
berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan
kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling
banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak
menjadi tokoh pertama!” Thai—lek Kauw-ong berkata. Tiga orang kakek yang
lain mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia
sudah menjawab cepat-cepat.
“Baiklah, dan sekarang aku pergi
lebih dulu!” Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan
lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak
mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang
mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan
sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan
tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!” ia terkekeh genit.
“Ilmu kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya
suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup
membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti
wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.
“Biarpun
tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi,
sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak
apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan Bertiga) tidak akan
segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang
mendukung Samwi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Samwi dapat
mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi
sewaktu-waktu perlu bantuan.”
Berbeda dengan yang lain-lain,
Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas
kerajaan, oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya
pasukan untuk melaksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan.
Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.
Pada saat itu,
tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arahh selatan
karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang
halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang
usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun. Wanita ini
memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan
bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong
manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya
penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan
hati dan tak pernah tersenyum. Yang amat menarik perhatian adalah
rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan
terurai begitu saja di belakang punggungnya sampai ke pinggulnya yang
besar. Sebatang pedang tampak tersembul gagangnya dari balik rambut di
punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah daripada cantik,
sungguhpun kemanisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh
setiap orang laki-laki.
“Maaf, saya mewakili Guruku untuk
menghadiri pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan Bengcu baru!”
kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke
depan dada sebagai tanda penghormatan.
“Hi-hik, kalau Gurumu
secantik engkau, mengapa tidak kauajak sekalian datang ke sini, manis?”
kata Bu-tek Siu-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak
menelan wanita pakaian merah itu.
Tiga orang kakek yang lain
hanya tersenyum mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang
putih sehingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu
terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah
Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe ini tentulah yang berjuluk
Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru
saya Siang-mou Sin-ni!” Sambil berkata demikian ia melangkah maju dan
kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam
yang memang memandang rendah semua orang tertawa mengejek lalu
berkata, “Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa
Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka
bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti
engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya
dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku,
bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya
menyambar ke depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut
sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya
sudah tertangkap.
Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya
ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan
kemudian Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi dan.... suaranya adalah
suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
“Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang kalau tidak dicium! Wanita
adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak ditimang!”
Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan
dan “ngokk” pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai
mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih
Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua
saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang
paling tinggi di antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena
kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak
pernah ada orang laki-laki berani mengganggunya setelah banyak di
antara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar
terhadap dirinya. Sekarang ia mengalami perlakuan seperti ini dari
Bu-tek Siu-lam, tentu saja seketika mukanya yang tadinya merah kini
berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
“Lepas....!” jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang
punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt.... plakkk!” Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut,
cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai
tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang pergelangan tangan kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan
tetapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga
akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan
kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas
itu terkena lecutan ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah
biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung
tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah
karena luka. Ia berseru kaget dan menarik tangannya sambil melangkah
mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik
kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.
Po Leng In kini
sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya
tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan
tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan
bergerak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat
tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya
penuh kemarahan, dan biarpun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang
cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan
bahwa ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya
terenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau berani
melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati
baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat daripada baja!”
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan
ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah “bersaudara”
atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli
akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi
yang sudah “jatuh” itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah
Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thiante Liok-kwi
(Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah
orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian
yang bagi orang lain mengerikan, menyeramkan, jahat atau tidak adil,
bagi mereka ini adalah biasa saja! kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada
perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkannya dan
memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu tiada sangkut
pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan
bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh
pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol. Juga
Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan
meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang
telah mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih
berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam
menonton sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang tidak
mempunyai pengikut, tentu saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa.
Apalagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni
sehingga ia ingin menyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis
betina itu. Adapun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam,
masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi
tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga
mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi
sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk mereka muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai
juga sudah banyak pengalaman. Selagi “orang muda”, ia bersikap tahu
diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu melakukan penyerangan.
Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang, “saya
yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru,
perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus
membela kehormatan Guru saya.” Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul
dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya
dan dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta
menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak
mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih
pria tampan dan menyenangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan
gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati
Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya
tertawa-tawa itu berubah beringas, matanya seperti mata harimau marah,
lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi
menyeramkan itu berubah dan suaranya penuh wibawa ketika ia memberi
perintah.
“Buka bajumu!”
Muka Po Leng In menjadi pucat
sekali, matanya terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti
berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak,
kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan
makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.
“Buka! Buka bajumu!”
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.
“Hemm.... hemm....!” Terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya
merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang
baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar memandang
dan hatinya bertanya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek
Siu-lam atau tidak.
“Perempuan muda, dengar baik-baik.
Sebetulnya sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa dengan rongga
dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang
indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku
suka mengampunimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada.
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi,
berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan
dan kenekatannya.
“Bu-tek Siu-lam engkau terlalu menghina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”
Kata-kata itu tertutup dengan gerakan pedang. Cepat sekali gerakan
pedangnya, sehingga tak tampak bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar
kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam, dibarengi
hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan
digerakkan oleh tenaga sinkang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk mengenal serangan berbahaya. Ia
mengeluarkan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik
tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sempat turun tangan
membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah.
Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelanjutan
daripada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri itu dengan
jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang
keji, dahsyat dan jika berhasil mendatangkan maut! Memang hebat dan
keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi Si Iblis
Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni
dahulu memang pernah bersahabat dengan Tok-siuw-kwi dan menerima
pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah
penggunaan rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan
tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan kedua pihak.
Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena
dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak
seperti laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki biasa, tentu
saat itu sudah tewas oleh cengkeramannya.
Bu-tek Siu-lam kaget
dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah
menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po Leng In cepat
menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan
tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang
menyambar dari kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok jalan
darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke
arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun
sudah marah dan penasaran. Kalau ia sebagai seorang di antara lima
“dewa” yang menggantikan kedudukan enam “iblis” kini tak dapat cepat
mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus
menaruh mukanya?
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut
disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan
suara ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah
ia “tutup” jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar kelenci, ia
sudah menangkap gumpalan rambut yang menyambar ke arah mukanya lalu
mengangkat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Karena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po
Leng In hanya setinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke
atas!
Po Leng In kaget dan mengenali bahaya. Sambil berseru
“lepaskan” kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari
tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggencet jalan
darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas!
Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan
Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik! Kaulihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
“Hi-hik, siapa bilang tidak ada gunanya? Rambutnya harum sekali!”
Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan
lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya terbuat daripada baja!”
Pedang di tangan kanannya bergerak dan “brett!” pedang itu berubah
menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain
saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah,
membuat tubuh bagian atas sebatas pinggang tidak berpakaian lagi!
Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat
juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek
semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu
bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala
Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini
ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja
hebat penderitaan ini. Mukanya menjadi merah sampai terus ke leher dan
dadanya yang tidak tertutup apa-apa, matanya memandang penuh kebencian
dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek
Siu-lam marah sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan
sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu
menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ketika
tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting
leher, melainkan menggunting kaki tangan. Iblis ini memang seorang yang
kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita.
Kalau melihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan
memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah
dan merasa terhina!”
“Hendak kulihat sampai di mana
ketabahanmu!” gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat
putus rambut yang panjang itu! Po Leng In adalah seorang wanita yang
seperti gurunya, amat menyayang rambut panjangnya, maka tanpa
disadarinya ia menjerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya
terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!
“Hi-hik!
Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!” Sambil
berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang
ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya
tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak
sadar, buktinya kini wanita itu masih memandangnya penuh kebencian dan
sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah
menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan,
kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup
untuk tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali
Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai
perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman
yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam sudah
melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba
terdengar suara bentakan nyaring. “Mahluk keji tak berjantung! Kau ini
terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan yang akan
mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak
mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh untuk
dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina
seorang lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak
tahu malu! Lebih baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!”
Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apalagi
makian demikian hebatnya. Saking heran dan kagetnya, ia urung menusuk
dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita ini
yang datang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana
suara itu datang, ia melihat bahwa yang datang itu seorang gadis muda
remaja yang amat cantik jelita dan yang memandangnya dengan mata
berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama,
tiba-tiba tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat
sehingga secara terpaksa ia harus melepaskan pedang itu yang jatuh ke
tanah didekat tubuh Po Leng Ini
Kwi Lan, gadis remaja yang baru
datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam
terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu
kerikil, dan mengira bahwa orang aneh itu melepaskan pedang karena
gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam
dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan. Sayang ia datang
terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan
bibi dan gurunya, Si Wanita Berkerudung. Biarpun sejak masih kanak-kanak
ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini tidak
pernah mendapat gemblengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga
segala sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh
karena Kwi Lan adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga
tidak suka melihat si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di
samping ini, ia suka dan kagum melihat kegagahan. Oleh karena inilah,
melihat sikap Po Leng In yang sama sekali tidak takut menghadapi ancaman
maut itu, ia menjadi kagum dan tanpa mempedulikan bahwa wanita itu
adalah murid Siangmou Sin-ni yang ia pernah dengar dari gurunya adalah
seorang di antara Thiante Liok-kwi, ia segera melompat maju dan
memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.
Bu-tek
Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan.
Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri
dan membelakanginya! Sama sekali tidak mempedulikan dia dan caci makinya
tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat
gunting besar terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat
menduga dengan pasti siapa orang itu.
“Hei, bukankah kau si
iblis Bu-tek....” Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriakannya karena
tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu
gunting besar itu sudah berada di tangannya, menyambar ke arah rumpun
bunga di bawah pohon.
“Klik-klik!” hanya dua kali guntingan dan
tetumbuhan itu terbabat habis! Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak
heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan manusia.
Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyambit kerikil ke arah
lengannya bersembunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu
dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui?
Tiba-tiba terdengar
suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras. Kwi
Lan terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan
ternyata dugaannya tidak keliru. Dari balik sebatang pohon besar muncul
seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri. Siapa lagi
kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan
dan ia berdiri dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia
menudingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.
“Huh, kiranya
Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita.
Alangkah jauh bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!” Hauw Lam
mengejek.
“Eh kau Berandal....!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru
saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya.
Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya
tersenyum lebar. “Heiii, kau.... Mutiara Hitam....?” Kiranya pemuda itu
baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ.
Sejenak mereka saling pandang.
“Awas....!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru.
Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguhpun ia suka
berkelakar. Sambaran gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia
cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya dengan kuat ke arah
lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil
menggunting leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah
mengancam lengannya segera menekuk siku dan guntingnya membalik,
menyambut golok.
“Traaanggg....!” Bunga api berpijar menyilaukan
mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek Siu-lam bahwa
golok itu tidak patah-patah! Juga tidak terlepas dari pegangan tangan
pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup
menahan senjata yang terpukul, apalagi tergunting oleh senjatanya.
Pemuda ini bukan orang sembarangan!
“Bocah, engkau siapa dan
murid siapa? Mengapa kau berani main-main dengan aku dan menyerang
secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam menahan guntingnya dan bertanya
marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada seorang pemuda berani
menandinginya, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda ini memiliki
ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan
cukup berharga untuk ditanya.
Hauw Lam menyeringai. Padahal di
dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan membuat
bahunya terasa akan patah itu telah mengagetkan hatinya. Namun ia
masih tertawa-tawa untuk mengelabuhi lawan. “Hehheh, siapa tidak
mengenal Bu-tek Siu-lam? Biarpun belum melihat orangnya, namanya sudah
dikenal semua orang termasuk aku. Siapa aku? Kautanyalah kepada Nona
itu, namaku Berandal karena aku suka berandalan! Kau tanya Guruku? Ada
ratusan orang, terlalu panjang kalau disebut satu demi satu!”
“Bocah ingusan! Tak kausebut juga apa kaukira aku tidak bisa mengenal
ilmu silatmu ceker ayam? Kau bergeraklah....!” Setelah berkata
demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju
lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan
guntingnya membentuk lingkaran lebar yang melingkari tubuh Hauw Lam dan
menutup semua jalan keluar!
“Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau
memang tampan, biarpun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau wanita?”
Tang Hauw Lam biarpun harus cepat mengelak dengan repot karena gunting
itu menyambar-nyambar dari segala jurusan, namun masih sempat
berkelakar untuk memanaskan hati lawan. Di samping ini, memang pemuda
ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejekannya tadi
berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu tokoh aneh
ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya dengan cara
menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya
untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan
membunuhnya sebelum berhasil mengenal ilmu silatnya. Karena inilah Hauw
Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia
peroleh dari petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang
luar biasa, yang muncul dari dalam kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Karena
itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan betapapun gunting di tangan Bu-tek
Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan
diri daripada lingkaran, bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang
bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.
Sementara itu, melihat
munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gembira dan ia cepat-cepat
menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan
menotok atau mengusap, pulih kembali jalan darah di tubuh Po Leng In.
Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali. Rambutnya terbabat
separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri
memegang rambut berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan
kanannya mengambil pedangnya, lalu ia sejenak memandang wajah Kwi Lan.
Kemudian ia membungkuk dan berbisik. “Terima kasih banyak,
mudah-mudahan aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali dengan
kerikil kecil sanggup memukul runtuh pedangku dari tangan Bu-tek
Siu-lam.”
“Kerikil? Meruntuhkan pedang? Aku tidak.... ah, agaknya Si Berandal yang melakukannya.”
“Si Berandal?”
“Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”
Wanita itu menengok dan mengerutkan keningnya. Biarpun pemuda yang
disebut Berandal oleh penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak
hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata Po Leng In yang tajam
melihat berkelebatnya bayangan putih, dan seorang pemuda pakaian putih
telah berdiri di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu. Ia
memandang tajam dan pada saat itu, terdengar suara pemuda yang melawan
Bu-tek Siu-lam, yang biarpun terdesak masih tertawa-tawa.
“Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah mengenal ilmu silatku?”
Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan
jurus pemuda itu melawannya, ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan
lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum dapat menduganya dari cabang
persilatan mana, Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga! Saking panas
hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang
biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini
sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan tetapi karena
ia ingin memaksa Si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat
ia kenal asalnya, maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum besar
diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap
dipergunakan bila perlu.
“Heh-heh, memang kau bertubuh pria
berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting. Eh, kau
sendiri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kautuduh
aku yang bukan-bukan menyerangmu secara menggelap?”
“Bocah
setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, setelah
mengenal ilmu silatmu, aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian
menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”
“Heh-heh, tak mudah,
sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan
menjahit tubuhku lalu kaujadikan barang mainan? Cih, tidak tahu malu.
Kalau laki-laki, kau tua bangka dan kakek-kakek, kalau wanita, kau juga
sudah nenek-nenek. Siapa sudi.... aiiiihhh....!” Hauw Lam berseru
terkejut dan cepat ia melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil
memutar golok melindungi diri. Gerakan memutar golok sambil bergulingan
ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi gerakannya membabat
berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan, sekarang dari
kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan ilmu golok
itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyelamatkan diri dari
sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.
“Aihhh, bukan berandal yang menyambitkan kerikil!” Kwi Lan berkata.
Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan
mengangguk-angguk, kemudian sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi
Lan lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan
mendapat malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki
kepandaian jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaiannya sendiri, maka
Po Leng In merasa tidak ada gunanya berada di situ lebih lama lagi. Ia
harus cepat pulang untuk melapor kepada gurunya!
Kwi Lan belum
melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena
perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan
tangguh itu. Ketika ia bergerak hendak mencabut pedangnya dan meloncat
membantu Hauw Lam, tiba-tiba berkelebat bayangan putih di depannya dan
tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan
serius dan telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.
“Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki,
apakah tidak sudah tadi pemuda sembrono itu menjadi korban guntingnya?
Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya yang aneh dan
selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan
dirobohkan. Kalau Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan
engkau bahkan membahayakan keselamatannya dan keselamatanmu sendiri.”
Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan
mencegahnya membantu Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki muda yang
berwajah serius, bahkan wajahnya membayangkan kematangan jiwa sehingga
tampak guratan-guratan nyata. Wajah yang tampan dan penuh kesabaran,
penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat berwibawa. Pakaiannya
sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan topinya seperti
seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam
tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini.
Namun hatinya mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.
“Justeru karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!”
bentaknya penasaran karena ia anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam
terdesak mengapa malah melarangnya membantu? “Apa kaukira aku tidak
mampu menandingi tua bangka genit itu?”
Tanpa menoleh kepadanya
laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh kesungguhan.
“Dia itu lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah
lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!” Sebelum Kwi Lan sempat
membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan
sekali sehingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apalagi
ketika pemuda itu menyerbu ke dalam pertempuran, terdengar Bu-tek
Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.
Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu
sebatang pensil bulu dan pensil kayu di kedua tangannya. Senjata ini
amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi mengapa Bu-tek
Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur? Ia tidak tahu
bahwa dalam segebrakan saja, tadi, pemuda itu telah menotok tujuh belas
jalan darah terpenting dengan sepasang senjatanya kalau mengenai
sasarannya akan cukup kuat merobohkan lawan sekuat Bu-tek Siu-lam!
Karena inilah Bu-tek Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur
menghindarkan diri.
Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang
karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang pemuda itu dan
pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat
menyambar ke arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat
membalikkan tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya.
Gadis ini tidak menduga dan tidak tahu siapa yang menyerangnya, maka
ia yang amat percaya akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama
sekali tidak tahu bahwa yang menyerangnya dari belakang adalah Thailek
Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima “dewa”, jadi lebih
lihai daripada gurunya sendiri! Tangkisannya tidak ada artinya. Kalau ia
mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan tetapi
karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya
sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan
tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong
mengempit tubuh gadis itu di lengan kiri, lalu kedua kakinya
berloncatan cepat sekali meninggalkan puncak.
“Heh-heh, biar
dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan membuatnya sibuk.
Kalau aku membantu keenakan untuk dia!” gerutu kakek gundul tinggi besar
ini yang sama sekali tidak mempedulikan kesetiakawanan.
Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main
karena sebegitu lama belum juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw
Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua macam pensilnya. Ia
kaget melihat gerakan ini karena mendatangkan dua macam angin pukulan
yang berlawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang
mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam kehalusan gerak ini
tersembunyi tenaga yang amat dahsyat. Tahulah ia bahwa pemuda baju
putih ini bukan orang sembarangan pula. Diam-diam ia mengeluh. Pemuda
berandalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat kepandaian
yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat
aneh yang tak dikenalnya sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang
demikian dahsyat ilmunya. Benar di dunia telah muncul jago-jago muda
yang amat hebat!
“Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau
siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau sahabat dia.... eh, Si
Berandal mentah ini?”
Sebelum pemuda baju putih yang pendiam
dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki berandal mentah
sudah mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu
malu! Makin banyak datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit!
Ataukah engkau hendak menggunakan lagak perempuan lacur untuk merayu
dan menyembunyikan rasa takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini
membantuku dan menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum
belaka bahwa Bu-tek Siu-lam adalah seorang manusia iblis yang selain
jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut dibasmi....”
“Siuuutt.... klik-klik....!” Gunting besar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan pinggang Hauw Lam.
“Haya.... sayang tidak kena....!” Hauw Lam berhasil menangkis dengan
goloknya, guntingan pertama ke arah lehernya, namun goloknya sempat
terlepas dari tangannya yang terasa panas dan pada saat guntingan ke dua
ke arah pinggangnya mengancam sehingga jalan satu-satunya baginya
untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke belakang dan
bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena
berarti ia kalah, mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih
menolongnya, menangkis gunting sehingga pemuda yang nakal biarpun
mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin, masih sempat
mengejek juga!
Kembali Bu-tek Siu-lam, tercengang. Tangkisan
Hauw Lam tadi, sungguhpun cukup kuat, akan tetapi tidak mengherankan
karena senjata pemuda itu adalah sebatang golok besar yang berat. Akan
tetapi, biarpun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental
dan ia merasa tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga
lengannya terasa kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar
matanya memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di
negara Nepal, ia pernah menjadi orang kepercayaan Raja di sana, yaitu
menjadi kepala thaikam (pembesar kebiri) yang dipercaya untuk mengurus
segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum
menjadi thaikam, Bu-tek Siu-lam telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi, maka biarpun dikebiri, ia tetap menjadi seorang laki-laki yang
kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu kehilangan kemampuannya sebagai
laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena
pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat menjadi
thaikam itu hanya melenyapkan kemampuannya mendapat keturunan saja.
Biarpun dengan kenyataan ini diam-diam dapat merajalela dan merusak
kesusilaan yang dijaga keras di dalam istana dengan melakukan
hubungan-hubungan gelap dengan para puteri dan selir raja, namun
pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat
pengebirian, mendatangkan sifat kewanita-wanitaan kepada dirinya
seperti kepada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain,
timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali
kepada pemuda-pemuda tampan, hampir sama besarnya dengan rasa suka
terhadap gadis-gadis cantik! Kebiasaan seperti inilah yang membuat
makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak normal dan boleh dibilang
mendekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan telah berhasil
melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir, ia ketahuan dan
terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja yang
marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri
ke timur dan berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup
dalam dunia pengemis.
Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang
tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya hati seorang
kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang
mengejek dan menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian.
Kemudian muncul pemuda baju putih yang pendiam dan juga amat tampan
wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apalagi mendapat
kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai
daripada Si Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat
mengalahkan pemuda ini dengan mudah.
“Orang muda, boleh juga kepandaianmu. Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Siu-lam tanpa alasan?”
Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. “Bu-tek
Siu-lam, sudah lama aku mendengar tentang namamu yang besar di dunia
kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu. Aku she Kiang, bernama Liong,
dari kota raja. Memang tidak ada permusuhan di antara kita, aku hanya
tidak ingin kau mencelakai orang lain. Sobat muda ini benar karena
telah menolong seorang Nona yang hendak kauperhina....“
“Hi-hik, jadi engkaukah yang menyambitkan kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal sombong ini, dan....”
“Ah....!” Tiba-tiba Hauw Lam memotong, memandang pemuda baju putih itu
tanpa menghiraukan Bu-tek Siu-lam lagi. “Kiranya Kiang Kongcu....!
Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota raja Sung, putera
Pangeran Kiang dan murid Suling Emas....!”
Pemuda baju putih
yang mengaku bernama Kiang Liong itu menahan senyum. Memang tidak salah
dugaan Hauw Lam. Pemuda baju putih ini memang benar Kiang-kongcu,
putera Pangeran Kiang yang sulung. Para pembaca ceritaCINTA BERNODA
DARAH tentu masih ingat bahwa ibu pemuda ini bernama Suma Ceng dan
sebelum Suma Ciang menikah dengan Pangeran Kiang, ia telah mengandung
anak sulung ini! Jadi siapakah ayah pemuda ini? Bukan lain adalah
Suling Emas! Sebelum menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling
cinta dengan Suling Emas dan karena kedudukan mereka tak memungkinkan
perjodohan di antara mereka, maka dengan nekat mereka melakukan hubungan
gelap yang mengakibatkan Suling Emas disiksa (ketika itu belum sakti)
dan Suma Ceng dikawinkan dengan Pangeran Kiang. Tentu saja Kiang Liong
sendiri tidak tahu akan hal ini yang menjadi rahasia besar dan hanya
diketahui oleh dua orang saja, yaitu tentu saja Suling Emas dan Suma
Ceng.
Bagi Kiang Liong, Suling Emas adalah pendekar sakti yang
ia kasihi, hormati dan taati, karena Suling Emas adalah gurunya yang
menggemblengnya sejak ia masih kecil. Masih teringat olehnya betapa
ketika ia berusia sepuluh tahun, pada suatu malam Suling Emas memasuki
kamarnya, dengan sikap manis mengajaknya bercakap-cakap kemudian
mengajaknya keluar dan mulai malam hari itulah ia menjadi murid Suling
Emas. Murid terkasih dalam rahasia, bahkan ibu kandungnya sendiri tidak
mengetahui akan hal yang dirahasiakan ini. Lima tahun kemudian, setelah
ia berusia lima belas tahun, barulah ayah ibunya tahu akan hal ini.
Ayahnya marah-marah, akan tetapi setelah mendapat penjelasan ibunya,
marahnya mereda dan sejak itu ia menjadi murid Suling Emas secara
berterang.
Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau bertemu
dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu
mengajaknya berlatih di dalam taman bunga.
“Sobat baik, engkau terlalu memuji. Akan tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau segera dapat mengenalku “
Adapun Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah murid
Suling Emas, menjadi kaget dan kagum sekali, disamping perasaan tidak
enak di hatinya. Dari sambaran batu kerikil yang mengenai lengannya dan
tangkisan pensil terhadap guntingnya saja sudah membuktikan betapa
tinggi ilmu kepandaian pemuda itu. Kalau muridnya sepandai ini, betapa
hebat kepandaian gurunya yang dianggap musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!
“Heh-heh, kiranya engkau murid Suling Emas? Bagus sekali! Orang muda
yang tampan, kaukatakan kepada Gurumu bahwa kalau dia memang seorang
pendekar sakti, boleh dia menghadapi Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa
Tanding)!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Hemmm, Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan mereka itu?”
“Hi-hik, pantas sekali engkau belum tahu karena nama itu baru tadi
dilahirkan. Dengarkan baik-baik dan kauceritakan kepada mereka yang
menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kang-ouw. Butek Ngo-sian
mulai hari ini menguasai dunia persilatan yang kalian sebut kaum sesat
sebagai pengganti Thian-te Liok-kwi yang telah lenyap! Pertama-tama
adalah aku sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong,
kemudian Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong, dan Sian-twanio. Sayang kau
datang terlambat, kalau tidak tentu dapat berjumpa dengan mereka. Akan
tetapi, dapat kuperkenalkan Thai-lek Kauw-ong....!” ia menoleh ke arah
raksasa gundul tadi duduk lalu berseru, “....ehhh.... kemana Kauw-ong?”
“Heeeiii, mana dia Mutiara Hitam....?” Hauw Lam juga berseru sambil
memandang ke sana ke mari. “Kiangkongcu, tentu dia dibawa lari setan
gundul tadi. Mari kaubantu aku mengejarnya!”
Kiang Liong
adalah seorang pemuda yang tenang dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan
tetapi ia pun merasa khawatir karena tidak melihat bayangan dua
orangitu. Ia merasa heran betapa kakek gundul itu dapat bergerak
sedemikian cepatnya dan tanpa ia ketahui. Hal itu saja sudah jelas
membuktikan bahwa kakek gundul itu tentu lihai bukan main. Ia mengangguk
lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih dahulu.
Bu-tek
Siau-lam terkekeh ketawa. “Hi-hi-hik, Kauw-ong, engkau mencari penyakit!
Tidak membantuku malah membawa lari gadis galak tadi. Biar kaurasakan
betapa lihainya orang-orang muda sekarang, hi-hi-hik!” Ia lalu turun
dari puncak, memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak
mengikuti datuk itu turun gunung.
***
“Hei, kakek gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku, dan ke mana?”
Thai-lek Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang dikempitnya itu tenang
dan ketus, sedikit pun tidak membayangkan rasa takut. Di samping
ketabahan ini, juga menurut perhitungannya, gadis yang sudah ia
lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya dapat bicara lagi. Kemudian,
rasa kagetnya bertambah ketika secara tiba-tiba tubuh yang ramping itu
meronta dan tangan kanan Kwi Lan menyambar dahsyat ke arah lambungnya.
Thai-lek Kauw-ong adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang
memiliki tenaga hebat dan kuat sekali, maka tentu saja ia pun mengenal
pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat berbahaya ini. Untuk
menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada lain jalan baginya kecuali
melepaskan kempitannya dan menggunakan pinggulnya yang digerakkan
tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi Lan
terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal, namun tamparan
tangan kirinya pada pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak
gagal sama sekali.
“Plakk!” Dan tubuh Thai-lek Kauw-ong
terhuyung sedikit. Ia terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang
Kwi Lan yang sudah berdiri dengan sikap gagah dan muka mengandung
kemarahan. Tentu saja kakek kosen ini sama sekali tidak tahu akan latar
belakang peristiwa ini. Kwi Lan adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang
menurunkan ilmu aneh, ilmu-ilmu silat tinggi yang dipelajari secara
sesat, sehingga menghasilkan ilmu yang lain sekali daripada ilmu silat
tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali daripada aselinya.
Demikian pula dalam melatih lwee-kang dan memperkuat sin-kang, Kwi Lan
mempunyai cara berlatih yang amat aneh sehingga hasilnya pun luar biasa
dan kadang-kadang ia dapat melakukan hal dengan sin-kang yang takkan
dapat dilakukan oleh ahli lwee-keh yang sudah lebih tinggi tingkatnya!
Inilah sebabnya mengapa dalam berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu
singkat saja Kwi Lan sudah mampu membebaskan diri. Menurut perhitungan
Thai-lek Kauw-ong, totokannya itu akan melumpuhkan lawan selama dua
belas jam. Akan tetapi, baru tiga empat jam ia lari turun gunung, gadis
itu sudah mampu membebaskan diri, bahkan sekaligus menyerangnya dengan
pukulan maut!
“Hemm, kau boleh juga, patut menjadi. murid
Thai-lek Kauw-ong!” Kakek gundul yang tidak pandai bicara itu berkata
sambil mengangguk-angguk.
Kwi, Lan selain pemberani, juga amat
cerdik. Ia kini tidak berani memandang rendah orang lain. Sudah terlalu
banyak ia melihat orang-orang pandai yang ilmunya. luar biasa seperti
Pak-kek Sin-ong, Lam-kek Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi pun ia
melihat betapa lihainya Bu-tek Siu-lam. Kakek gundul tinggi besar ini
tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas memiliki ilmu kepandaian yang
hebat. Buktinya, tanpa dapat ia cegah tadi telah menawahnya sedemikian
mudahnya. Setelah kini mendengar bahwa kakek itu menawannya dengan niat
mengambilnya sebagai murid, Kwi Lan menjadi lega hati dan tersenyum
mengejek.
“Kakek gundul, jangan kau mimpi pada siang hari! Kau
ingin menjadi Guruku? Sungguh lamunan kosong! Sampai di manakah
tingginya ilmu kepandaianmu maka kau mempunyai keinginan seperti itu?
Apakah kau mampu menandingi....Bu Kek Siansu?”
Thai-lek Kauw-ong
membelalakkan kedua matanya dan mulutnya terbuka. Sejenak ia tidak
mengeluarkan suara. Sudah terlalu lama ia mendengar tentang nama besar
Bu Kek Siansu yang disebut oleh segala macam golongan dengan sikap
hormat dan kagum, bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat betapa
orang-orang pandai demikian menghormat, biarpun ia sendiri belum pemah
jumpa, sedikit banyak ia merasa segan juga. Akan tetapi kini mendengar
ucapan gadis ini yang mengandung tantangan ia segera menjawab.
“Aku ingin mencoba kepandaiannya? Apakah dia Gurumu?”
“Bukan. Sayang aku bukan muridnya karena kalau aku muridnya, tentu
sejak tadi kau sudah menggeletak tanpa nyawa lagi. Kau belum cukup
pandai untuk menjadi Guruku kalau kau belum mampu menandingi Bu Kek
Siansu!”
Panas hati kakek itu. Selama ini, sudah puluhan tahun
ia tidak pernah menemui lawan yang sanggup mengalahkannya. Selama
puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di laut timur telah
menghasilkan ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping himpunan
tenaga Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia telah menciptakan ilmu silat
tangan kosong yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan
dengan mengambil dasar gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di
pulau-pulau kosong. Di samping Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya
sepasang gembreng amat hebat. Suaranya saja sudah dapat merobohkan
seorang lawan tangguh. Tidak mengherankan apabila kakek ini tidak
pernah bertemu tanding dan kemenangan-kemenangan itu membuatnya haus,
haus akan pertandingan-pertandingan baru dan ke menangan-kemenangan
baru.
“Boleh coba! Hayo siapa yang dapat mengalahkan aku?” seru
kakek itu sambil berdiri tegak, agak membungkuk seperti seekor monyet
besar.
Kwi Lan tertawa lalu berkata, “Wah, lagaknya! Tentu saja,
karena tahu di sini tidak ada siapa-siapa lalu mengeluarkan ucapan
besar dan bersumbar! Sekarang begini saja, eh.... siapa namamu tadi?”
Thai-lek Kauw-ong menyipitkan matanya, memandang penuh perhatian.
Masih terbayang ia akan Bu-tek Siu-lam yang mempermainkan Po Leng In
tadi dan diam-diam ia membayangkan bahwa gadis di depannya ini jauh
lebih cantik jauh lebih indah bentuk tubuhnya daripada Po Leng In!
Thai-lek Kauw-ong bukan seorang bermata keranjang, bahkan sudah puluhan
tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita. Namun, perbuatan, Bu-tek
Siu-lam tadi membuat hatinya bergerak dan nafsu yang sudah lama tidur
kini ikut bergerak hendak bangkit kembali.
“Orang menyebutku Thai-lek Kauw-ong,” jawabnya singkat.
“Wah, cocok. Memang mukamu seperti raja monyet! Dan melihat nama julukanmu, tentu engkau memiliki tenaga besar.
Nah, sekarang coba kauperlihatkan kepandaianmu agar dapat kubandingkan
dengan ilmu-ilmu yang pernah kusaksikan dari Bu Kek Siansu.”
Thai-lek Kauw-ong berpikir sejenak.
Ia harus mendemonstrasikan kepandaian, terutama tenaganya untuk
menundukkan gadis yang beraniini. Ia melihat sebatang pohon tak jauh
dari tempat itu, maka ia mendapat pikiranbaik. Ia menudingkan
telunjuknya ke arah pohon sambil berkata.
“Kaulihat, dari tempat ini aku sanggup sekali pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!”
Kwi Lan memandang dan ia tercengang. Betulkah itu? Seorang yang
memiliki sin-kang amat hebat sekalipun, sekali memukul dari jarak jauh
paling-paling hanya akan membikin rontok puluhan , helai daun. Pohon
itu daunnya amat lebat, tidak hanya puluhan, bahkan ratusan dan ribuan
helai daunnya! Mungkinkah kakek ini akan mampu memukul rontok semua
daun itu hanya dengan sekali pukul? ia tidak percaya dan menggeleng
kepala, tersenyum lebar dan berkata.
“Kakek sombong, bagaimana
aku bisa percaya kalau tidak melihat buktinya sendiri? Akan tetapi kau
harus merontokkan semua daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan.”
“Hemm, kaulihat baik-baik!” Thai-lek Kauw-ong berseru, panas juga hatinya diejek dan digoda oleh nona yang pandai bicara itu.
Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk kedua lututnya sampai hampir
berjongkok, tubuhnya merendah dan ia mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang,
kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk ujung
menempel di kedua pangkal paha matanya mencorong memandang ke arah pohon
itu, kemudian dari kerongkongannya keluar suara kasar dan parau
seperti suara burung gagak dan kedua tangannya didorong ke depan, agak
ke atas mengarah pohon. Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua. lengan
tangan raksasa gundul ini menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon,
membuat batang pohon seperti didorong tenaga raksasa sehingga miring
dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang sehingga semua daunnya rontok dan
melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang
yang luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.
Kwi Lan terkejut
sekali. Sekilas pandang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu
benar-benar telah berhasil merontokkan semua daun pohon sekali pukul!
Ketika ia melihat daun-daun rontok berhamburan sebagian melayang ke
arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga menggerakkan kedua
tangan cepat sekali, menyambar dan menangkap beberapa helai daun lalu
mengerahkan tenaga sin-kang menyambitkan daun-daun itu ke arah dahan
pohon. Daun itu masih melayang-layang akan tetapi melayang ke atas dan
dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!
“Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masi, ada beberapa helai daun yang tinggal,
tidak rontok semua!” Kwi Lan mengejek, Gadis ini tidak peduli apakah
kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak karena ia memang hanya
berniat menggangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk
membuktikan bahwa ia pun bukan tidak memiliki kepandaian.
Dan
sebetulnyalah bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan
Kwi Lan. Raksasa gundul yang sudah berdiri tegak kembali napasnya agak
terengah karena tadi ia telah mempergunakan tenaga besar sekali. Ia
merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rohtok dan tentu saja ia tadi
melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia segera
mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan gerakan Sian-twanio
ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!
“Eh, Nona.... apa hubunganmu dengan Sian-twanio....?”
Kini Kwi Lan yang menjadi tercengang. Ia cukup cerdik untuk
menghubung-hubungkan sesuatu persoalan. Kakek gundul ini agaknya
mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata rahasia maka
menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.
“Bibi Sian adalah Guruku. Apakah kau kenal dengan Guruku?”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya
mukanya yang menjadi berseri gembira. “Hemm, dia itu adik termuda dari
Bu-tek Ngosian. Aku yang paling tua. Kausebut aku Twa-supek (Uwa Guru
Tertua)!”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada hubungan
ini? Siapa dan apakah Bu-tek Ngo-sian itu? Guruku tidak pernah
bercerita tentang itu kepadaku.“ bantahnya meragu.
Thai-lek
Kauw-ong mengangguk. “Tentu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang
pertama. Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat
Bu-tek Siu-lam. Ke lima Gurumu. Bu-tek Ngo-sian menggantikan kedudukan
Thian-te Liok-kwi.”
Kwi Lan tidak puas. Biarpun ia tahu bahwa
gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadang-kadang tidak waras
jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya.
Mana mungkin gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini?
Betapapun juga, hal itu merupakan pertolongan baginya, karena setelah
kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan
diganggunya.
“Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja.
Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat
menjadi muridmu.”
Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi
menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin mengambil murid, hanya
terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek
Siu-lam mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab.
“Bukan
murid. Kita orang sendiri. Kautemani aku beberapa hari. Keponakan harus
bersikap manis kepada Supeknya.” Sambil berkata demikian, sepasang mata
itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu
bulat-bulat dengan pandang matanya. Kwi Lan bergidik. Sudah terlalu
sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapl
biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau
hatinya terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang
mata Si Kakek Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia
merasa ngeri, sungguhpun hal ini belum menimbulkan rasa takut.
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan
amat kebetulan karena seolah-olah membebaskan dia pada saat yang
tegang. Mereka berdua menengok dan tampaklah dua orang penunggang kuda.
Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian indah dan
gagah, penuh hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang panglima Khitan.
Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan bulu burung yang amat indah,
sikap mereka angker dan gagah. Melihat sikap mereka dan cara mereka
duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing ini
tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apalagi gagang dan sarung
senjata yang tergantung di pinggang mereka berhiaskan emas permata! Kwi
Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka itu, akan
tetapi ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian.
Oleh karena inilah, otaknya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru
kepada Thai-lek Kauw-ong.
“Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama
sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan dua orang
penunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau memang gagah
perkasa!”
Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat
ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena terlalu lama bertapa
mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan
tentu saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia
sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan hatinya
untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang
penuh nafsu berahi tadi, dan menganggap gadis itu sebagai murid
Sian-twanio besar-benar belum merasa yakin akan kelihaiannya. Oleh
karena itu ia segera menjawab.
“Baik, kaulihatlah!”
Sambil berkata demikian, tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat
membuat loncatan tinggi melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang
sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah udara, kakek itu
sudah menyambar ke depan dan kedua tangannya mencengkeram ke arah
pundak dua orang panglima itu sambil berseru keras.
“Turun kalian....!” Suaranya keras, sambarannya cepat.
Akan tetapi dua orang panglima itu biarpun merasa ngeri, ternyata
benar-benar bukan orang sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka
berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak dengan jalan
melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring.
Terdengar suara keras dari patahnya tulang-tulang punggung kedua ekor
kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua ekor kuda
besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat
dibayangkan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan
Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul dapat merobohkan dua ekor kuda besar
dengan tulang-tulang punggung patah-patah
Dua orang Panglima
Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama dengan bentuk Thai-lek
Kauw-ong itu sesungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu
keduanya adalah dua orang panglima yang berkedudukan tinggi di kerajaan
Khitan yang mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima
barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya antara lain
adalah lukisan kepala kuda di baju depan dada. Nama kakek ini adalah
Hoan Ti-ciangkun. Adapun orang ke dua yang bermuka bengis adalah Loan
Ti-ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal
pada lukisan pilar benteng di depan dadanya. Hoan Ti-ciangkun dan Loan
Ti-ciangkun inilah adanya dua orang panglima yang belum lama ini telah
menyampaikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas. Selain
ilmu kepandaian kedua orang panglima ini lihai, juga mereka berdua
merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khitan mengadakan
hubungan dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu, keduanya amat
mahir berbahasa selatan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun memakai
nama Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun. Mereka merupakan
panglima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak muda
mereka sudah menjadi perajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan
mereka berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi.
Tanpa sebab
sama sekali kini mereka dalam perjalanan pulang ke Khitan telah diserang
Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu
saja mereka menjadi marah sekali di samping rasa heran dan kaget. Namun
sebagai orang-orang berpengalaman, mereka maklum akan keanehan
tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan
amarah. Hoan Ti-ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus, menoleh ke
arah dua ekor kuda yang berkelojotan, mengelus jenggotnya dan menarik
napas panjang.
“Kasihan, kalian menderita tanpa dosa.” Setelah
berkata demikian, Hoan Ti-ciangkun melangkah maju setindak dan tangan
kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan
jarak jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu
berhenti berkelojotan karena pukulan yang tepat mengarah kepala itu
membuat dua ekor blnatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti-clangkun
bersama kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi
hormat.
“Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan
merasa belum pernah kenal dengan Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan
sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami? Siapakah
Lo-suhu?”
Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang amat
merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua orang panglima itu
sehingga tidak mengherankan apabila Ratu Khitan mengagkat mereka sebagai
utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah
pimpinan Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan
rakyat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat
Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan
Khitan, padahal kerajaan-kerajasn lain telah ditaklukkannya.
Siapa kita, ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek
Kauw-ong marah-marah. Hal ini karena dua orang panglima itu salah duga
dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi seorang hwesio. Agaknya karena ia
berkepala dundul maka orang Khitan itu menyangkanya hwesio, tidak
tahu bahwa gundulnya adalah gundul aseli, bukan karena dicukur,
melainkan gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lek-kang!
“Aku
Thai-lek Kauw-ong bukan pandeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian.
Tidak ada permusuhan. Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat
seranganku!” Setelah berkata demikian, kakek gundul itu sudah menerjang
maju kalang-kabut, menggunakan kedua lengannya yang besar dan kuat.
Dua orang panglima Khitan itu mendongkol bukan main. Tiada hujan tiada
angin kakek gundul yang bukan hwesio ini telah membunuh kuda mereka,
dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena ingin diakui
keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik,
mereka berdua yang mentaati pesan ratu mereka tentu akan suka mengakui
keunggulan Si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang, maka
keduanya cepat mengelak dan bahkan kini balas menyerang.
“Ji-wi
Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalahkan
dia!” Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua orang panglima itu
dapat menduga sebabnya mengapa Si Gundul ini bertindak secara
edan-edanan. Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja Si Gundul ini
hendak memamerkan kepandaian kepada Si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua
bangka, mukanya seperti monyet, masih hendak berlagak di depan seorang
gadis remaja! Pikiran ini membuat kedua orang panglima Khitan ini makin
marah dan mereka lalu berdecak dan menyerang sungguh-sungguh.
Dua orang panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat
dari cara mereka melakukan penyerangan. Biarpun mereka berdua adalah
ahli-ahli bermain senjata tajam, namun melihat bahwa lawan mereka tidak
memegang senjata, mereka juga tidak mencabut senjata, melainkan maju
menerjang dengan kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa biarpun
mereka berdua adalah panglima-panglima Khitan, namun mereka memiliki
ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya
tahan, juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.
Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan
orang sembarangan, akan tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki
lweekang demikian kuatnya, maka karena ia merasa khawatir kalau-kalau
tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan
diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera mengeluarkan seruan keras sekali
dan tubuhnya lalu bergerak berpusingan dengan kedua lengan
dikembangkan. Hebat bukan main akibatnya gerakan ini karena dari kedua
lengan itu timbul angin menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar
biasa, kemudian makin lama tubuh kakek itu makin cepat berputaran, angin
pun makin hebat pula berpusingan. Inilah ilmunya yang amat ia andalkan,
yaitu Soan-hong-sin-ciang! Jarang sekali Thai-lek Kauw-ong
mengeluarkan ilmunya yang ampuh ini, sekarang karena dalam hatinya
timbul dorongan nafsu dan ingin sekali ia membuat Kwi Lan kagum akan
kepandaiannya, ia hendak merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu
sesingkat-singkatnya!
Dua orang panglima itu terkejut bukan
main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu sedemikian
lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai
menggigil dan perlahan-lahan tubuh mereka mulai mendoyong dan akhirnya,
makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat tenaga angin
berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan
terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu.
Terlambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi
mereka berdua mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu
yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke
mana, dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hongsin-ciang
yang hebat itu. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun, berusaha
mencabut senjata mereka, namun terlambat, karena pada saat itu, sambil
memutar-mutar tubuhnya, kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua
tamparan mengenai pundak Hoan Ti-ciangkun dan dada Loan Ti-ciangkun.
Dua orang panglima itu mengeluh dan terlempar ke belakang, masih
berputar karena kini mereka terbawa angin, kemudian roboh
terguling-guling! Pada saat itu terdengar suara melengking merdu
sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup dengan
indahnya. Namun, ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara
suling yang masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan
mengandung pula pengaruh yang membuat jantung Kwi Lan berdetak keras.
Seketika tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan
tenaga. Terkejut sekali gadis ini. Sebagai murid Kam Sian Eng, tentu
saja ia maklum bahwa suara melengking yang merupakan nyanyian suling
ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah mengajarkan
kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan suara ini, akan
tetapi selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan pengaruh yang begini
hebat sehingga secara langsung merampas tenaganya! Gurunya sendiri
tidak akan mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena
maklum bahwa hal ini amat berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan
diri, duduk bersila dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk melindungi
jantungnya.
Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi terkejut sekali
ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi sehingga tubuhnya
yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan
niat hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang
panglima Khitan itu, dan menghentikan gerakannya sambil mengerahkan
tenaga sin-kang untuk melawan suara itu. Tiba-tiba suara melengking itu
berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi
besar yang bagian bawah mukanya tertutup sehelai saputangan. Di tangan
kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan kepalanya terlindung
sebuah topi lebar pinggirannya yang sudah butut. Thai-lek Kauw-ong
memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah
seorang lawan yang tangguh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan
gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima Khitan
yang tiada guna itu.
“Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”
“Thai-lek Kauw-ong sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah
mengangkat nama besar dengan perbuatan-perbuatan keji dan ganas. Kini
secara kebetulan kita bertemu di sini dan kembali engkau telah berlaku
sewenang-wenang mengandalkan kepandaianmu. Andaikata aku tidak
mengambil pusing sulingku ini saja tentu takkan membiarkan engkau
melakukan segala macam keganasan sekehendak hatimu sendiri!” Sambil
berkata demlkian, orang itu menggerakkan sulingnya di depan dada dan
tampak sinar kuning emas berkelebatan menyilaukan mata.
“Ahhh.... engkau.... Suling Emas?” Thai-lek Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang berubah menjadi sinar kuning emas itu.
Sebelum Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah berkata cepat, “Thai-lek
Kauw-ong, engkau mengalahkan dua panglima itu masih tidak aneh. Kalau
kau bisa mengalahkan Suling Emas, barulah kau boleh menyebut orang
pertama dari Bu-tek Ngo-sian.
Suling Emas mengerutkan keningnya.
Bocah itu benar-benar bersikap berandalan dan nakal. Ia tahu bahwa
gadis ini mulutnya amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang berusaha
mengadu kakek gundul ini dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan
nakal, dan teringatlah ia kepada Lin Lin atau Ratu Yalina, dahulu di
waktu mudanya juga seperti gadis ini. Ataukah seperti Kam Sian Eng?
Kalau gadis ini murid Sian Eng, agaknya puteri adik tirinyaitu. Ia tahu
bahwa Sian Eng telah menjadi korban cinta kasihnya kepada Suma Boan,
putera pangeran yang jahat itu dan setelah Suma Boan tewas di tangan
Sian Eng dan Lin Lin, Sian Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah
gila dan secara aneh dan mendadak telah memiliki ilmu kepandaian yang
dahsyat! Puteri Sian Engkah gadis cantik yang liar dan nakal ini?
“Hemm, kebetulan sekali. Pak-sian-ong mengatakan kau lihai, ingin aku
mencobanya. Suling Emas, kausambutlah seranganku ini!” Setelah berkata
demikian, tiba-tiba tubuh kakek gundul itu kembali berputar-putar amat
cepatnya, seperti ketika ia menyerang dua orang Panglima Khitan tadi.
Makin lama makin cepat gerakannya dan mulai terdengar angin berdesing
menyambar keluar dari kedua lengan tangannya yang dipentang lebar.
Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka begitu
menyerang, Thai-lek Kauw-ong sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu
Soan-hong-sin-ciang!
“Aahhh, sayang sekali ilmu yang begini
hebat menjadi milik seorang yang gila nama dan kemenangan.” kata Suling
Emas sambil menarik napas panjang. Menghadapi angin yang mulai
berpusingan itu Suling Emas bersikap tenang sekali, menyelipkan
sulingnya di pinggang kemudian berdiri tegak menghadapi lawan yang kini
sudah berpusingan amat cepatnya itu. Makin cepat tubuh Thai-lek
Kauw-ong berputar dan angin yang berpusing di sekeliling tubuhnya amat
kuat. Dengan angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil membuat
dua orang Panglima Khitan terhuyung-huyung. Kini melihat sikap Suling
Emas yang berdiri tenang dan biarpun pakaian pendekar sakti ini
berkibar tertiup angin yang berpusing, namun tubuhnya tetap tegak,
sedikit pun tidak bergeming. Thai-lek Kauw-ong lalu berseru keras dan
tubuhnya yang berputar itu mulailah bergerak menyerang. Inilah ilmu
Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sepenuhnya. Tubuh itu
berpusingan sukar dlikuti pandang mata saking cepatnya, bagaikan telah
berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap berpusingan ini
secara tak tersangka-sangka melayang, keluar dua buah lengan tangan
yang melakukan pukulan-pukulan dahsyat.
“Hebat....!” Suling Emas
memuji. Ia kagum sekali. Kecuali Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong
yang tiba-tiba muncul kembali dan yang ia ketahui memang memiliki ilmu
kepandaian luar biasa, sejak mati atau mundurnya Thian-te Liok-kwi,
belum pernah ia bertemu tanding yang memiliki ilmu kepandaian seperti
ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang dimainkan kakek gundul ini lain
daripada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing itu saja
sudah mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan
mengamuk, atau pusaran angin yang menghanyutkan. Kalau saja ia tidak
memiliki sin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret dan
kuda-kuda goyah, berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat
menghindarkan diri dari serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor
naga menyambar keluar dari awan tebal itu.
Memang lihai sekali
Thai-kek Kauw-ong dan ia patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek
Ngo-sian. Ilmu silatnya. Soan-hong Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan
tetapi sekali ini ia bertemu dengan ,Suling Emas, seorang pendekar
sakti yang sudah matang ilmunya. Tadi
pun ketika Thai-lek Kauw-ong
merobohkan dua orang Panglima Khitan dan mengirim pukulan maut hanya
dengan suara sulingnya saja Suling Emas sudah mampu “menangkis” atau
mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan suling tadi pun bukan
sembarang tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat tinggi, yang
diperoleh Suling Emas yaitu yang disebut Kim-kong Sin-kiam.
Kini
menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sungguh-sungguh
serta disertai tenaga dalam, amat kuat itu, Suling Emas menghadapinya
dengan tenang. Ia maklum akan lihainya kakek ini dan ia juga merasa
sayang. Biarpun belum jelas mengenal kakek ini orang macam apa, akan
tetapi sepanjang pendengarannya, kakek ini semenjak muncul dari pulau
di lautan timur, selalu mencari perkara dan suka sekali berkelahi,
namun tidak ia dengar kakek ini mempunyai anak buah penjahat. Maka ia
pun tidak ingin membunuhnya, merasa sayang melihat Ilmu kepandaian yang
amat tinggi itu. Dengan tenang namun waspada, Suling Emas lalu
menggerakkan kedua tangannya. Jari-jarinya terbuka dan telunjuk kedua
tangannya membuat gerakan mencorat-coret di udara kosong. Hanya
tampaknya saja mencoret-coret menulis huruf dengan telunuk di udara,
namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in Bun-hoat dimainkan oleh
seorang ahli yang sudah matang!
Thai-lek Kauw-ong terkejut
setengah mati. Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret, namun semua
pukulannya terpental membalik, dan dua buah telunjuk itu sedemikian
kuatnya sehingga menembus pusaran angin, langsung melakukan
totokan-totokan pada jalan darah di seluruh tubuhnya. Karuan saja kakek
gundul ini menjadi sibuk sekali, menangkis dan mengelak. Biarpun ia
menangkis dengan kedua tangannya dan mengelak cepat-cepat, agaknya kedua
tangan dan elakannya masih belum cukup untuk melindungi tubuhnya karena
yang menyerangnya bukan lagi dua buah telunjuk, melainkan puluhan buah
telunjuk! Demikian cepatnya gerakan Suling Emas. Selain terkejut, juga
kakek gundul ini kagum sekali. Timbul kegembiraan hatinya karena baru
kali ini ia bertemu tanding yanghebat. Ia segera menghentikan pusingan
tubuhnya dan melayani gerakan Suling Emas dengan sama cepatnya. Setelah
tubuhnya tidak berpusing lagi, ia tidaklah begitu terdesak karena kini
ia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya ke satu jurusan saja, yaitu
ke depan. Ia masih mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia
sengaja mengadu lengan sambil mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa
lawannya itu sama sekali tidak takut beradu tangan setiap kali kedua
lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental mundur dua langkah, akan
tetapi biarpun tubuh Thai-lek Kauw-ong tidak terpental mundur ia merasa
lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal ini berarti bahwa
Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menang seusap
dalam tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi
besar adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!
“Suling Emas, kau
hebat!” Kakek gundul itu biarpun merasa penasaran, namun ia tidak marah
melainkan kagum dan gembira. “Kausambutlah ini!” Sambil berkata
demikian, tubuhnya yang sudah mencelat mundur itu kini berjongkok dan
dari kerongkongannya keluar bunyi burung gagak, kemudian kedua tangannya
yang terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah Suling Emas!
Suling Emas belum pernah mendengar akan ilmu kepandaian Thai-lek
Kauw-ong maka tadi ia kagum dan mengira bahwa Soan-hong Sin-ciang itu
adalah ilmu simpanan atau ilmu yang diandalkan kakek gundul itu. Ketika
melihat kakek itu mencelat mundur dan berjongkok, ia sudah menduga bahwa
kakek ini tentu mengeluarkan ilmu lain macam lagi, maka ia waspada dan
memasang kuda-kuda. Ketika mendengar suara seperti burung gagak keluar
dari kerangkongan kakek itu, ia terkejut bukan main. Ia pernah
mendengar.... tentang ilmu yang amat dahsyat dan yang suaar dimiliki
orang, kecuali oleh mereka yang sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu
lwee-kang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang, semacam Ilmu yang dimiliki seekor
katak. Dengan ilmu ini, katak yang demikian kecil dapat mempunyai
tenaga yang dahsyat sekali. Ia pernah mendengar penuturan tentang
Hoa-mo-kang dan Si pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya juga mengeluarkan
suara dari kerongkongannya seperti suara katak. Kini kakek gundul ini
berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara dari
kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini? Suling Emas yang
cerdik itu segera teringat akan julukan kakek gundul itu. Tak salah
lagi, tentulah ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan
inilah yang membuat kakek itu dijuluki Thai-lek. Setelah dengan cepat
dapat menduga akan dasar ilmu pukulan ini, timbul keinginan hati Suling
Emas untuk mencoba pukulan lawan tangguh ini sampai di mana batas
kekuatannya. Karena ia tidak mau sembrono dan membahayakan diri sendiri,
maka ia hanya mempergunakan tenaga sebanyak tiga perempat bagian saja
sedangkan sisa tenaganya ia, persiapkan untuk dipakai meringankan
tubuhnya dan meloncat menghindarkan diri.
Melihat Suling Emas
berani menyambut Thai-lek-kang dengan dorongan kedua tangan dari atas
ke bawah kakek itu menjadigirang. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia akan
menang. Boleh jadi ia tidak mampu menandingi ilmu silat Suling Emas
yang demikian ajaib, akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu tenaga,
tak mungkin ia kalah kuat. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang
sanggup mengalahkan Thai-lek-kang. Sekali ini pun ia harus dapat
menangkan lawan tangguh ini dengan pukulan Thai-lek-kang, maka sambil
mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hawa
panas mengalir bagaikan banjir keluar dari pusarnya melalui kedua
lengan.
Bagi pandangan orang lain, pertemuan dua tenaga sakti
di udara itu tidak kelihatan dan seakan-akan tidak ada apa-apa. Namun
bagi kedua orang sakti ini, seakan-aikan halilintar menyambar dan
meledak di atas kepala mereka. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang
tangan itu hanya saling menyentuh ketika keduanya mendorong ke depan,
namun keduanya merasa seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling Emas
terdorong dari bawah dan karena pendekar ini memang sudah waspada, ia
segera menggunakan sisa tenaganya untuk meringankan tubuh sehingga ia
berhasil “mematahkan” tenaga dorongan dari kedua tangan lawan dengan
cara membiarkan tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir empat meter
tingginya! Tidak demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa
gundul ini menggunakan seluruh tenaganya dan ia berdiri kokoh kuat di
atas tanah, biarpun ia menang posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah,
akan tetapi ia seperti tergencet dan begitu dua tenaga sakti itu
bertemu, kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai ke lutut! Selain
ini, juga kakek gundul ini merasa napasnya sesak dan seakan-akan dadanya
hendak meledak. Thai-lek Kauw-ong terkejut dan maklumlah ia bahwa
lawannya benar-benar amat lihai sehingga kalau ia terus menggunakan
Thai-lek-kang untuk melawannya, akan terancam bahaya dan bisa menderita
luka parah di dalam tubuh. Sebagai seorang ahli ia tidak bodoh dan
tidak mau mengulangi penggunaan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang biasanya
amat dia andalkan itu. Sekali ia mengeluarkan seruan keras, tubuhnya
sudah meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke tanah sudah
tercabut keluar dan di kedua tangannya tampak senjatanya yang ampuh,
yaitu sepasang gembreng.
“Aha, kiranya kepandaianmu hanya
sebegitu, saja, Thai-lek Kauw-ong? Belum lecet kulitmu belum patah
tulangmu, kau sudah mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya sebegitu
kepandaianmu, mana boleh engkau mengangkat dirimu sebagai orang pertama
Bu-tek Ngo-sian? Melawan Guruku saja ,kau belum tentu menang!”
Panas rasa perut Thai-lek Kau-ong mendengar ejekan Kwi Lan ini. Suling
Emas juga mengerutkan kening. Benar-benar seorang gadis yang bermulut
tajam dan berbahaya. Bocah seperti itu patut ia telungkupkan di atas
pangkuannya dan dipukuli punggungnya sampai minta-minta ampun dan
bertobat! Ia tahu bahwa kakek gundul ini merupakan lawan yang tangguh
dan sudah merupakan ahli tingkat atasan yang sukar dicari tandingnya.
“Suling Emas, coba kausambut senjataku ini!” Thai-lek Kauw-ong yang
kini menjadi penasaran dan marah oleh ejekan Kwi Lan, bergerak maju,
sepasang gembrengnya mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika ia
adu-adukan. Tubuh Suling Emas berkelebat dan di depan tubuhnya tampak
bergulung sinar kuning emas, yaitu sinar senjata sulingnya yang sudah ia
cabut dan gerakkan untuk menangkis datangnya senjata lawan yang hebat.
“Trangg.... trangggg....!” Mata Kwi Lan menjadi silau karena bunga api
yang berpijar keluar amat terang, kemudian disambung oleh suara
beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya tergetar. Gadis ini
menjadi kagum dan kaget, apalagi ketika dari suling yang digerakkan
tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi nyaring yang
menandingi bunyl nyaring sepasang gembreng. Riuh-rendah suara suling
dan gembreng ini dan Kwi Lan segera menjatuhkan diri duduk bersila. Ia
menyatukan semangat dan mengatur pernapasan sambil memandang penuh
perhatian. Dua orang itu tampak bergerak makin lama makin cepat.
sehingga sukar dibedakan lagi mana Suling Emas mana Thai-lek Kauw-ong.
Adapun suara gembreng dan suling amat aneh. Makin lama makin terasa
oleh Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang kini digunakan sebagai
senjata itu mulai membentuk irama tertentu seakan-akan dua orang itu
tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu bersama!
Akan tetapi, makin merdu suara suling dan makin nyaring suara gembreng,
makin hebat pula pengaruhnya sehingga akhirnya Kwi Lan tidak dapat
menahan lagi untuk memandang pertempuran itu. Ia makin mengerahkan
tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan telinganya saja untuk
mendengarkan suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia mengakui
kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong dan ia merasa sangsi apakah
gurunya akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu. Makin besar
pula kagumnya terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti
daripada Thai-lek Kauw-ong. Biarpun tingkat kedua orang ini lebih
tinggi daripadanya, namun pertandingan tangan kosong disusul
pertandingan adu tenaga dalam tadi dapat ia ikuti dengan seksama dan ia
tahu bahwa dalam dua pertandingan terdahulu itu Suling Emas berada di
pihak unggul.
Makin lama suara suling dan gembreng saling
serang dengan irama yang cocok, jalin-menjalin, seling-menyeling,
kadang-kadang malah ganas dan marah saling menghimpit, akan tetapi
adakalanya merdu merayu seperti sepasang orang muda bercumbu rayu. Akan
tetapi kurang lebih seperempat jam kemudian suara suling makin nyaring
melengking, sebaliknya suara gembreng makin kacau balau dan menyeleweng
daripada irama bahkan terdengar parau tidak keras lagi. Mendengar ini.
Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul, maka ia mengangkat muka
memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek Kauw-ong mulai
kacau-balau, sepasang gembrengnya yang berubah menjadi dua gulungan
sinar kebiruan menjadi makin ciut dan kecil, sebaliknya sinar, kuning
emas menjadi makin besar dan panjang, bergulung-gulung menekan dan
menghimpit dua gulungan sinar kebiruan. Namun gerakan mereka masih sama
cepatnya sehingga tubuh mereka tertutup oleh gulungan sinar senjata.
“Cukuplah!” Tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke
belakang sambil menarik kembali sulingnya yang sudah menekan dan membuat
lawan hampir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan sepasang mata
bersinar dan mulut di balik saputangan ia berkata, “Thai-lek Kauw-ong,
ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa
terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu.”
Thai-lek
Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar,
mulutnya agak ternganga dan napasnya terengah-engah, mukanya agak pucat
penuh peluh, juga pakaiannya basah semua, tangan kakinya nampak lemas
tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah menngatur napas dan tidak
begitu terengah-engah lagi ia berkata.
“Suling Emas memang
lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!” Setelah berkata demikian,
kakek itu mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya lalu pergi
dari situ dengan langkah lebar.
“Heeei!, Kauw-ong, tentu lain
kali kau mengajak teman-temanmu mengeroyok, ya?” Kwi Lan mengejek.
Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melangkah pergi.
“Eh,
Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi? Tidak mau
mengambil murid kepadaku? Heeei....!” Akan tetapi Thai-lek Kauw-ong
berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya lenyap di
sebuah tikungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan
baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.
Suling
Emas berdiri tegak, mengerutkan keningnya memandang gadis itu. Melihat
gadis itu mengejek dan tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng
kepalanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi ada
keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa sungkan,
akalnya mengadu domba, semua ini condong ke arat watak yang liar dan
tidak baik.
“Nona, apakah dia itu Twa-supekmu (Uwa Gurumu)?” ia
bertanya ketika gadis itu menghentikan tawanya dan kini berdiri di
depannya, memandangnya penuh perhatian. Kekaguman memancar daripada
mata gadis itu dan entah. bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan
ia agak gugup melihat pandang mata seperti itu!
“Dia?
Twa-supekku? Ah, hanya menurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa
kini telah terbentuk Bu-tek Ngosian dan ia menjadi orang nomor satu
sedangkan Guruku menjadi orang nomor lima, malah dia menyuruh aku
menyebutnya Twa-supekku. Mana aku percaya? Guruku mana sudi bersekutu
dengan dia?”
Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke bawah. “Bukankah Gurumu yang bernama Kam Sian Eng?”
Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan
nama gurunya? Ia sendiri baru satu kali mendengar gurunya menyebutkan
namanya, yaitu ketika gurunya bicara dengan anggauta partai pengemis
yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan menerimahajaran. Ia
mengangguk heran dan bertanya.
“Eh, bagaimana kau bisa tahu namanya?”
Kini Suling Emas tersenyum di balik saputangannya. Kalau sudah bertanya
sambil memandang seperti itu, benar-benar gadis ini tiada ubahnya
dengan Lin Lin dahulu! “Tentu saja aku tahu karena sebenarnya aku adalah
kakak Gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus kaupanggil
Twa-supek!”
Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak
pernah disangka-sangkanya. Gurunya adik Suling Emas? Akan tetapi
mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, kekasih
ibu kandungnya! Mengapa begini kebetulan?
“Harap.... harap kau suka membuka saputangan itu!”
“He? Apa.... mengapa?”
“Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supekku, bukan hanya orang berkedok saputangan.”
Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut saputangan yang menutupi bagian bawah mukanya.
“Bukankah kau pernah melihat wajahku di Kang-hu?”
“Benar, akan tetapi hanya sebentar saja.” jawab Kwi Lan sambil menatap
wajah yang tampan dan penuh garis-garis pengalaman pahit itu. “Hemmm,
aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!” Kata-kata terakhir
ini keluar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan
penyesalan. Pada saat itu, Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan
sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia
membuka baju, juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa
tokoh ini adalah kekasih ibu kandungnya! Kalau memang kekasihnya,
mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu Khitan?
Suling Emas
terkejut, akan tetapi segera tersenyum, “Hemmm, kau masih salah sangka
agaknya. Engkau menganggap, aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo
hari aku menyuruh engkau membuka bajumu? Ah, anak nakal jangankan kini
mengetahui bahwa engkau murid Sian Eng dan masih murid keponakanku
sendiri. Andaikata tidak tahu sekalipun, aku bukanlah seorang laki-laki
tua yang suka berlaku kurang ajar kepada seorang gadis remaja. Memang
kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum selesai
engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar
engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka
seperti yang diderita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai dari
Pak-kek Sian-ong.” ,
Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah
ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang kembali
peristiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar
ini. Akan tetapi dasar wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui begitu
saja tentang kekeliruan dugaannya.
“Huh, kakek gila tua bangka
itu mana mampu begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan kurang
waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!”
Suling Emas
mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia
mengangguk-angguk. “Agaknya engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian
Eng yang amat aneh maka engkau dapat terhindar dari pukulan jarak jauh
Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian yang hebat,
akan tetapi sayang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun sehingga
terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang hormat.” Biarpun mulut
Suling Emas masih tersenyum namun sepasang matanya memandang penuh
teguran.
Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba memandangnya
dengan penuh selidik, kemudian terdengar gadis itu bertanya, suaranya
lantang dan agak menggetar perasaan.
“Suling Emas.... ada hubungan apakah antara engkau dan.... Ratu Khitan....?”
Seketika wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin
pucat, sepasang mata pendekar itu menyipit dan keningnya berkerut,
kening tebal yang hampir bersambung setelah dikerutkan seperti itu.
Pertanyaan yang tak disangka-sangkanya sama sekali ini datangnya
terlalu tiba-tiba, lebih-mengagetkan daripada tusukan sebuah pedang
yang tajam.
“Apa....? Apa.... maksudmu....?” Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan kekerasan dan kesungguhan.
bersambung 5....................
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar