Selasa, 14 Mei 2013

mutiara hitam [ 4 ]

inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakekitu. Ia tahu bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak me­ngenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju. Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu. Biarpun ia maklum bahwa dengan bantuannya sekalipun amat sukar untuk mendapat kemenangan, namun ia tidak bisa mem­biarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat tinggi keudara. Ia anggap bahwa gerak­an Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah menge­luarkan ucapan tadi dan tahu-tahu diudara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu ke bawah panggung!

Gerakan ini tentu saja kelihatan he­bat luar biasa. Inilah demonstrasi gin­kang yang hebat, juga sekali jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa lihainya gadis ini! Semua penge­mis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sian-ong, kini me­longo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!

“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kaubilang lawanmu hebat? Kaulihat ini, Nona mu­da yang galak ini apakah kalah hebat­nya?” Pak-kek Sian-ong berkata demi­kian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar dahsyat. Pertandingan di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi seorang pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis cantik yang memain­kan pedang secara ganas. Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting he­bat dan juga tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang bertanding di atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada kepandaian mereka.

Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertan­dingan, menimbang dan menilainya. Se­bentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong, sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin terheran-heran. Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki kecepatan gerak yang membuk­tikan bahwa dia bukan ahli silat semba­rangan. Diam-diam ia menjadi kagum sekali dan ia merasa seperti pernah me­ngenal ilmu tongkat yang dimainkan pe­muda itu. Kalau dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini? Ia lupa lagi.

Namun kekagumannya terhadap pemu­da tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia ter­heran-heran menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang ka­yunya itu? Dalam hal Ilmu pedang, se­tidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan pedang yang dimain­kan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong. Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah ten­dangan ilmu sliat Siauw-lim-pai, lebih mirip tendangan ilmu silat utara Go­bi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau ­balau antara ilmu pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau namun justeru kekacauannya inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main, keganasannya membuat Suling Emas mengerutkan ke­ning. Pantas saja Pak-kek Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sung­guh-sungguh sambil memperhatikan ilmu silat gadis itu. Namun sukarlah untuk mengenal atau mempelajari ilmu kacau­ balau ini sehingga Si Kakek merasa sayang kalau cepat-cepat menghentikan pertandingan.

Setelah meneliti sejenak tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Juga ia sudah mengenal sifat-sifat dan keampuh­an Ilmu silat mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong. Dibanding­kan dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya tidak akan tega untuk mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata kepada Yu Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang muda, kaubantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat pertahanan kalian!”

“Dukkk....!” Dua lengan yang sama­-sama mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu. Lam-kek Sian-ong sejak tadi tidak pernah ditangkis Yu Suang Ki karena pemuda yang cerdik itu maklum bahwa ia kalah tenaga, kini melihat ada orang yang berani menangkis, sengaja mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu membuat Suling Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga terjengkang dan hampir roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor singa yang membuat papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan mata melotot.

Sementara itu Yu Siang Ki yang me­lihat gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika maklum bahwa orang ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek Sian-ong yang sedang melayani Kwi Lan.

“Kauseranglah terus, biar aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan. Pertandingan dilanjutkan dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian. Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi lawan Lam-kek Sian-o­ng ini. Bagaimana pemuda ini dapat mengatur sedemikian tepatnya, dengan membagi dua daya tempur mereka? Me­mang sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main, serangan-serang­annya kuat, pendeknya letak kelihaian Ilmu pedang ini berada pada daya se­rangnya. Adapun ilmu tongkat pemuda itu lebih mengutamakan pertahanannya sehingga apabila dipergunakan untuk menjaga diri dan mempertahankan, amat­lah tepat. Gembiralah hatinya mengha­dapi serangan-serangan pedang yang de­mikian berbahaya dan menghadapi per­tahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak, dua orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding dengan sikap seperti yang dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat mengimbangi kelihaian kakek muka putih.

Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main hebatnya. Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling bertemu dan membuat keduanya terdarong mundur diam-diam mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong selama “dalam hukuman” di lereng Lu-liang-san, bersama Pak-kek Sian-ong memperdalam Ilmu silat mereka dengan maksud menghadapi Bu Kek Sian­su yang sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat daripada dua puluh tahun yang lalu ke­tika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan. Di jaman itu, hanya beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek Sian-ong. Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama sekali ka­kek muka merah ini tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat kepandaian­nya, bahkan ia yakin akan kekuatan sin­kang di dalam tubuhnya. Namun ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat mengimbangi kekuatannya. Maka ia lalu merobah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan menggunakan Ilmu silatnya yang ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya daripada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu menggerakkan kedua tangannya, mulai “menulis” hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti menulis huruf, pada hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat sehingga terdengar angin­nya bersiutan, karena Inilah Hong-In-bun-hoat (Silat Huruf Angin dan Awan)! Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali dan berulang-ulang ia mengeluarkan seruan keras.

Pak-kek Sian-ong yang senang gem­bira melayani dua orang muda yang mengeroyoknya terheran-heran mende­ngar seruan kawannya. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya kaget dan terheran, menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat membuat Lam­-kek Sian-ong mengeluarkan seruan-seruan seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa ka­wannya terdesak hebat oleh pengemis berkedok yang gerakannya luar biasa sekali. Ia berseru keras dan kedua le­ngannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu Siang Ki. Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya dan sekaligus menyerang me­reka berdua, tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri de­ngan memutar pedangnya. Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua telapak tangan yang ter­buka itu. Betapapun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap saja mereka terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah! Kesempatan yang memang dicari oleh Si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya. Bagaikan kilat cepatnya, tubuhnya sudah men­celat ke arah Suling Emas yang sedang berhantam dengan Lam-kek Sian-ong. Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama se­kali.

Memang Pak-kek Sian-ong adalah se­orang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya daripada Lam-kek Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong me­nyalurkan tenaga saktinya menjadi tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek muka merah, bahkan melebihinya! Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya mencengkeram kepala didahului oleh jari tangan kanan yang menotok ke arah leher!

“Kepandaianmu boleh juga!” Demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.

Suling Emas terkejut sekali. Mengha­dapi seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah baginya untuk mem­peroleh kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat se­kali ia menendang lengan tangan Lam­-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada detik lain tubuhnya sudah mencelat ke atas. Terpaksa ia akan me­nyambut serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras melawen keras. Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas menghantam dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.

Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini. Terdengar suara “piak-piak!” Dan tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru. “Bagus....!” Di tangannya terdapat sehelai saputangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.

Suling Emas kaget dan cepat ia ber­jungkir balik membuat salto sampal lima kali di udara sebelum turun karena ia khawatir akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi dirinya tidak menguntung­kan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas papan, ia melihat betapa dua orang kakek itu hanya berdiri dan memandangnya dengan mata terbelalak.

“Suling Emas....!” Dua orang kakek itu berseru heran. Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking he­ran, sejenak mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong yang gagal dalam serangannya dan hanya berhasil merenggut saputangan penutup muka akan tetapi ia sendiri menerima pukulan di pundak yang membuat bagian tubuh itu terasa ngilu, merasa penasaran sekali. Kini, setelah mendapat kenyataan bahwa lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas, penasarannya hilang, ter­ganti rasa heran.

Bukan hanya kedua orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas, juga semua orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan girang karena maklum bahwa pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang pen­dekar yang sejak dahulu bersahabat de­ngan kaum kai-pang. Ada pula yang ma­rah dan benci karena memang sejak da­hulu mengandung hati dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra tunggal Iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu. Sian (baca cerita SULING EMAS) yang melakukan banyak kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya. Yang paling gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggauta kai-pang. Mereka maklum bah­wa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju butut setelah Suling Emas berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ untuk menyelamatkan diri dan hendak melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siu-lam.

Sementara itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya, menarik napas panjang tiga kali, memandang ke sekeli­ling kemudian mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Sambil melin­tangkan suling emasnya di depan dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil ber­kata.

“Baiklah, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau semenjak dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja melihat kalian mengacau Khong­-sim Kai-pang. Aku akan mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian.” suara ini jelas dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas terdengar oleh semua pengemis yang hadir di situ. Gak-lokai dan Ciam-lokai berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul­-betul telah salah sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu adalah Suling Emas, pendekar sakti yang namanya menggetarkan Jagad selama puluhan tahun!

Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat. Sama sekali di luar persangkaan­nya bahwa yang memalsukan nama ayahnya adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang dihormati dan dijunjung tinggi selalu oleh ayahnya. Tak salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang bermaksud menyelamatkan kai-pang dengan , menggunakan nama ayahnya? Akan tetapi mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas meng­gunakan nama ayahnya yang sudah me­ninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok saputangan seperti orang takut dikenal? Mengapa Suling Emas seakan­a-akan hendak menyembunyikan diri? Sa­king heran dan bingungnya, pemuda yang merasa girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.

Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali terha­dap Suling Emas. Kagum menyaksikan sepak terjangnya ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum sekali setelah kini saputangan itu terbuka. Wajah laki-lakl yang amat gagah dan entah bagaimana, jantungnya berde­bar dan ia merasa tertarik sekali. Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andaikata Ibu kandungnya itu mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hati­nya untuk bicara dengan Suling Emas, untuk bertanya kepada pendekar ini ten­tang Ratu Yalina di Khitan. Pada saat itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut Sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka, Si Kakek Muka Putih mencabut pedang putih sedangkan kakek muka merah mencabut pedangmerah. Ia maklum betapa lihainya dua orang kakek itu maka tim­bullah kekhawatiran di hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua orang kakek itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.

“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”

Tidak hanya para pengemis yang ka­get setengah mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi sudah kagum dan heran melihat Ilmu silat gadis ini, sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki dua orang kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya ter­senyum lebar dimaki-maki.

“Kalian ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut kalian memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan me­nyesali perbuatan, betapa kalian bersum­pah akan mentaati pesan beliau sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek Siansu?,”

Pak-kek Sian-ong hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam­-kek Sian-ong dengan melotot lalu mem­bentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan pesan Bu Kek Siansu?”

Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu terse­nyum mengejek, pedang kayu di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong, ketika gadis itu berkata nyaring.

“Tidak lupa mungkin sekali, akan te­tapi melanggar sudah jelas! Apa kaukira aku lupa akan pesan itu? Masih terba­yang di depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.” Gadis itu dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia bersila seperti ini, hanya beda­nya, setelah, menerima pukulan curang dan pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan telinganya mengalir darah segar. Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah memejamkan mata dan meniru lagak dan suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, Itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling pen­ting, mengenal diri sendiri termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebo­dohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar. Yang lain-lain tidakkah pen­ting lagi. Selamat berpisah.”

Kwi Lan meloncat bangun dan kem­bali menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu bergan­ti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”

“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami me­mang sudah sadar dan insyaf.” bantah Pak-kek Sian-ong.

“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini masih bilang sadar dan insyaf? Bukankah per­buatan kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali menggunakan kepandaian untuk ber­buat jahat dan mengacau?”

“Tidak! Jembel-jembel busuk ini jahat, dan menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan, sudah sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.

“Tak tahu malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo dan Suling Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang­-orang sesat. Kalau kalian membantu mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan tetapi kalian memusuhi orang-orang gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah itu berar­ti kalian lebih sesat daripada kaum se­sat? Baiklah, kalau aku bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta bagaimana pendapat orang tua suci itu dan hendak kulihat kelak bagai­mana kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”

Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis itu amat berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu men­dengar tentang sepak terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka melihat Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar yang di­kasihi Bu Kek Siansu.

“Sudahlah, kami mengaku salah, Nona. Jangan kaubilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang tua itu. Akan tetapi kesa­lahan kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.

“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini sudah pergi jauh, andaikata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti bertemu dengan datuk me­reka yang bernama Bu-tek Siu-lam, ka­lian tentu akan lari terbirit-birit keta­kutan!”

“Heh, kaulihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar mereka!” Dua orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan secepat terbang, mereka pergi. Dari jauh terdengar suara Lam-kek Sian-ong.

“Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu untuk menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul!”

Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu, se­telah para pengacau pergi, kembali Su­ling Emas yang menjadi pusat perhatian.

Keadaan masih tetap tegang karena hal­-hal dan perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan hadapi ini tidak kalah gawat dan menegangkan daripada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi, orang itu ternyata Suling Emas. Lalu muncul pengemis muda lihai yang menurut keterangan Si Gadis jelita adalah putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya perubahan-perubahan hebat yang amat cepat terjadi di depan mata mereka. Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang kini berada di atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam sepak terjang mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.

Suling Emas yang kini tidak menutupi muka dengan saputangannya lagi, berdiri di atas panggung berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya. Ke­mudian tanpa ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suling Emas.

“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih bahagia lagi hati saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari orang-orang jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah men­diang Ayah saya. Sebelum meninggal dunia, Ayah saya meninggalkan pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang daripada pengaruh kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan menghadapi orang jahat yang lihai, saya diharuskan mencari Paman dan mohon pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap Paman menerima hormat saya.”

Suling Emas tersenyum dan girang sekali hatinya. Dengan munculnya pemu­da yang menjadi putera Yu Kang Tianglo, akan terbebaslah ia daripada tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi ia sudah menyaksikan kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa pe­muda ini secara gagah berani turun ta­ngan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang sakti untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan mencin­ta perkumpulan pengemis yang dulu di­bangun oleh kakeknya, maka dapat diha­rapkan pemuda ini menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan ini.

Untuk menguji Iwee-kang Yu Siang Ki, Suling Emas menempelkan kedua tangannya di pundak pemuda itu sambil membentak. “Tak usah berlutut!” Pende­kar sakti ini mengerahkan sinkang yang disalurkan di kedua tengannya.

Yu Siang Ki terkejut ketika merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung, kemudian tenaga raksa­sa membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat wajah yang terse­nyum-senyum itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang mengujinya. Maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga sehingga biarpun tubuhnya terbetot dan tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan berlutut!

“Bagus! Engkau patut menjadi putera Saudara Yu Kang Tianglo!” kata Suling Emas sambil melepaskan kedua tangan­nya. Pemuda itu melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan bibir menyeringai menahan takut. Suling Emas terkejut sekali, tangan kirinya bergerak cepat dan.... “brettt!” baju Siang Ki sudah robek memperlihat­kan pundak kirinya. Ternyata benar se­perti dugaannya, di situ terdapat tanda menghitam seperti tapak jari tangan!

“Hemm, kau terkena hawa pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Berpu­tarlah kau dan jangan melawan!”

Yu Siang Ki tadinya terkejut dan heran ketika ia mengerahkan Iwee-kang untuk menahan ujian, ia merasa betapa dada kirinya sakit seperti ditusuk-tusukjarum. Ia makin terkejut ketika tiba­-tiba Suling Emas merobek bajunya, akan tetapi kini ia merasa bersyukur. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja ia sudah dapat menduga bahwa kakek putih yang sakti tadi ternyata telah melukainya dengan pukulan jarak jauh yang membuat ia terdorong dan terhuyung ke belakang tadi. Maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu memutar tubuh membelakangi Suling Emas, melepaskan seluruh urat dan tena­ganya sedikit pun tidak melakukan perla­wanan. Pada saat itu ia merasa betapa pundak kiri dan punggungnya ditotok kemudian telapak tangan yang amat pa­nas seperti membara menempel di punggungnya.

“Sekarang bernapaslah panjang-panjang dan rasakan apakah masih sakit.”

Yu Siang Ki menarik napas panjang, hatinya girang sekali karena dada kirinya sudah tidak sakit lagi. Ia mengge­leng kepala dan berkata. “Sudah tidak terasa apa-apa lagi, Paman.”

Suling Emas melepaskan tangannya dan menghela napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong, tangannya masih keji! Akan tetapi bahayanya sudah lewat, ha­nya perlu memulihkan tenaganya. “He, Nona, ke sinilah engkau!” Tiba-tiba Suling Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi Lan.

Ketika Kwi Lan tadi melihat betapa Yu Siang Ki disembuhkan dari lukanya oleh Suling Emas dengan tenaga sin-kang, ia tercengang. Kemudian ia tersenyum girang. Kiranya kakek muka putih tadi lihai sekali sehingga dorongannya dari jarak jauh telah melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia tidak terluka! Dan hal ini berarti bahwa dia lebih kuat daripada pemuda itu, lebih lihai! Ketika Suling Emas memanggilnya, sambil tersenyum ia menghampiri dan menyimpan pedangnya. Memang ia pun ingin sekali bicara de­ngan Suling Emas yang ia kagumi. Ingin bicara tentang Sang Ratu Khitan, ibu kandungnya!

Begitu Kwi Lan melangkah maju de­ngan mata bersinar, wajah berseri dan bibir tersenyum, Suling Emas memandang seperti orang terpesona. Dadanya berdenyut keras dan seketika teringatlah ia kepada Lin Lin atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama benar dengan kekasihnya itu! Seperti itu pula Lin Lin dahulu mengangkat muka dengan leher panjang lurus, dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan semangat. Seperti itu pula lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun membayangkan kegagah­an. Dan senyum itu! Senyum nakal dan aneh, pembawaan dari suku bangsanya yang asing, suku bangsa Khitan!

Gadis itu sudah berdiri dekat di de­pannya, namun Suling Emas masih me­mandang, merasa seperti dalam mimpi. Ia melihat Lin Lin muda kembali, menja­di gadis remaja!

Melihat keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh. Dilihat sikapnya, pende­kar sakti yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya dengan laki-lakl biasa, yang selalu memandangnya dengan sikap tertarik seperti itu. Akan tetapi sinar matanya lain daripada laki-laki yang lain. Sinar mata yang terpancar keluar dari sepasang mata yang sayu sedih itu, tidak mengandung nafsu seperti pada laki-laki lain, melainkan penuh pertanyaan dan keheranan bukan kekaguman dan bukan pula gairah.

“Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Suling Emas? Sudah banyak ku­dengar tentang dirimu dari Yu Siang Ki. Memang aku ingin sekali jumpa dengan­mu, banyak hal yang hendak kutanyakan. Suling Emas, di manakah kita dapat bicara dengan enak dan leluasa? Kuharap engkau tidak akan merasa keberatan....!”

“Engkau anak siapa? Siapa Ibumu?” Pertanyaan ini keluar dari mulut Suling Emas secara otomatis seperti di luar ke­sadarannya dan terdengar keras seperti bentakan sehingga semua orang yang mendengar mengira bahwa pendekar itu menjadi marah-marah.

Kwi Lan tersentak kaget, keningnya berkerut, matanya memandang tajam. Apa maksud pendekar ini? Mengapa be­gitu jumpa, terus saja bertanya siapa ibunya? Kwi Lan adalah seorang gadis yang amat cerdik. Pertanyaan yang membingungkan semua orang ini sudah dapat diduga maksudnya dalam sekejap mata oleh Kwi Lan. Ia sudah mendengar bahwa orang ini, Suling Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina, dan mungkin sekali, kalau tidak hisapan jempol belaka percakapan antara kaum sesat, di antara kakak dan adik angkat ini terjalin kasih sayang. Kalau betul demikian, agaknya kini Suling Emas terkejut melihat dia dan tentu saja hanya satu hal yang me­nyebabkannya, yaitu bahwa dia tentu mirip dengan ibunya di waktu masih muda! Ia tidak meragukan keterangan bibi dan gurunya, bahwa Ibu kandungnya adalah Ratu Yalina.

“Kau tanya namaku? Seperti engkau, namaku hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang Ibuku.... aku sendiri ti­dak tahu....”

Mendengar jawaban ini, Suling Emas baru sadar betapa tidak pantasnya per­tanyaannya tadi. Wajahnya menjadi me­rah sekali dan ia cepat berkata. “Nona, kaubukalah baju bagian dadamu!”

Kini wajah Kwi Lan yang menjadi merah sekali, merah karena marah. Sepa­sang matanya memancarkan kemarahan, sinarnya menyambar wajah Suling Emas dan tangan kanannya bertolak pinggang, telunjuk kiri menuding ke arah hidung Suling Emas sambil mulutnya membentak.

“Apakah kaukira setelah kau bernama Suling Emas dan terkenal sebagai pen­dekar besar yang sakti, boleh saja eng­kau menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang ajar tak tahu malu!” Setelah berkata demikian, ia membanting kakinya dengan gemas kemudian sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang turun dari atas panggung.

“Kwi Lan....! Kwi Lan, kembalilah! Engkau hendak ke mana....?” Yu Siang Ki berseru memanggil.

Kwi Lan tidak menoleh, hanya men­jawab dengan suara menyatakan kekesal­an hatinya. “Aku pergi, uruslah dunia pengemismu, sampai jumpa!”

“Kwi Lan....!” Yu Siang masih berusa­ha menahan.

“Percuma, gadis seperti dia itu tak mungkin mau dicegah kehendaknya....!” Suling Emas berkata lirih dan berkali-kali pendekar ini menarik napas panjang dan berkata. “ aneh.... benar aneh....,” Di dalam hatinya ia benar-benar makin heran menyaksikan sikap gadis pemarah itu yang sama dengan watak Lin Lin. Kemudian ia bertanya kepada Yu Siang Ki, “Kwi Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah datangnya? Ilmunya he­bat....“

“Entahlah, Paman. Saya bertemu di tengah jalan, dia sebatangkara namanya Kwi Lan dan shenya Kam....”

“Heh....?” Suling Emas benar-benar terkejut, memandang wajah tampan itu dengan mata penuh selidik.

“Benar, Paman. Ketika pertama kali mendengar saya pun terkejut dan melihat kelihaiannya, saya mengira dia mempu­nyai hubungan keluarga dengan Paman. Akan tetapi ternyata bukan dia.... dia bahkan tidak tahu siapa orang tuanya. Kiranya, semenjak bayi dia dirawat gurunya yang ia sebut-sebut Bibi Sian.”

Suling Emas berdiri tegak seperti arca. Penuturan singkat tentang gadis itu membuat pikirannya melayang-layang dan mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis yang sama benar wajah dan watak­nya dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang dia mempunyai seorang “Bibi Sian”, yaitu Kam Sian Eng! Dan ilmu ke­pandaian Sian Eng memang hebat luar biasa,” karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)! Benarkah sangkaannya ini? Akan tetapi, ahh.... mana mungkin Lin Lin mempunyai puteri? Ia hanya mendengar bahwa sampai kini, Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina di Khitan, tidak pernah menikah dan hanya mempunyai seorang putera angkat, yaitu anak pang­limanya sendiri yang setia, Kayabu.

Pada saat itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah meloncat ke atas panggung. Tadi ketika semua orang mendengar bah­wa orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu ternyata palsu dan Suling Emas adanya, mereka menjadi gaduh dan ramailah mereka mengeluarkan pendapat masing-masing. Gak-lokai dan Ciam-lokai segera merundingkan hal itu dengan anak buahnya. Mereka kini sudah mendengar bahwa Yu Kang Tianglo telah meninggal dunia dan karena mereka tahu bahwa Suling Emas dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka mereka tidak akan menuntut, bahkan berterima kasih. Apa­lagi di situ ada terdapat pemuda lihai yang mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus dibuktikan lebih dahulu kebenarannya. Setelah mendapat persetuju­an rekan-rekan mereka, dua orang kakek pengemis itu lalu melompat ke atas panggung. Langsung mereka berdua menghadapi Suling Emas dan memberi hormat.

“Kiranya Taihiap (Pendekar Besar) yang semenjak dahulu telah menjadi sa­habat baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi memaafkan kesalahan kami yang menyangka Taihiap Yu Kang Tianglo.” kata Gak-lokai.

Suling Emas balas menjura dah me­narik napas panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku pun bersalah, telah berani mengaku sebagai Yu Kang Tianglo. Syu­kurlah kalian semua percaya bahwa per­buatanku ini sama sekali bukan untuk merampas kedudukan, melainkan untuk mewakili sahabatku itu membersihkan Khong-sim Kai-pang. Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan kebetulan sekali mun­cul putera Yu Kang Tianglo ini yang bernama Yu Siang Ki. Melihat kepandai­annya, kiranya tidak ada orang lain yang tepat untuk memimpin Khong-sim Kai-pang dan bersama kai-pang-kai-pang lain bersatu menghadapi ancaman kaum se­sat.”

“Ucapan Taihiap tepat sekali dan kami bergembira bertemu dengan putera Yu Kang Kai-pangcu, sungguhpun merasa sedih mendengar berita kematiannya.

Akan tetapi, Taihiap, siapakah berani tanggung bahwa orang muda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo yang su­dah puluhan tahun tiada berita?” kata Ciam-lokai.

“Pendapat rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap, hal ini masih tidak ada buruknya, bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap seorang pendekar sakti yang selalu membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai dipalsukan orang lain yang kemudian menyelewengkan kai-pang seperti hannya lima pangcu yang telah tewas di tangan Taihiap, bukankah hal ini akan menimbulkan malapetaka? Ka­rena itu, kami minta bukti dari orang muda ini bahwa dia betul-betul putera Yu Kang Tianglo!”

“Bagus....! Benar sekali....!” Ter­dengar para pengemis berteriak-teriak.

Suling Emas hanya memandang kepada Yu Siang Ki. Di dalam hatinya ia perca­ya kepada pemuda ini yang dapat ia nilai kejujuran dan kesetiaannya dari sikap dan sepak terjangnya tadi. Akan tetapi ia pun tidak berani memastikan apakah pemuda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo, karena ketika bertemu dengan tokoh pengemis itu, dahulu Yu Kang Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya. Oleh karena inilah, ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk membuktikan ke­benaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.

Pemuda itu dengan sikap tenang, tanpa ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil berkata.

“Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda Berdua) tentulah Gak-lokai dan Ciam-lokai. Ayah pernah menyebut nama Ji-wi kepada saya. Apa yang Ji-wi kemu­kakan tadi memang benar. Saya harus dapat membuktikan bahwa saya Yu Siang Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Saya mempunyai tiga ma­cam bukti, harap Ji wi dan semua Sau­dara anggauta Khong-sim Kai-pang, mendengar dan menyaksikannya!”

Yu Siang Ki berhenti sejenak, ke­mudian ia berkata lagi dengan suara lan­tang sambil menggerakkan kedua tangan­nya, yang kiri menekan di dada kiri arah tempat jantung dan tangan kanan diang­kat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. “Beginilah tanda rahasia perkumpulan kita Khong-sim Kai-pang! Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya sekedar tanda, melainkan memiliki tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda pengenal sesama anggauta. Kedua mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai dengan nama perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Penge­mis Hati Kosong). Kosong adalah kosong lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin tidak memiliki apa-apa, dalamnya juga kosong dan polos tidak mempunyai watak dan pikiran kotor. Adapun hati dimaksud­kan bahwa setiap anggauta harus memiliki hati yang bersih dan penuh kesetiaan terhadap perkumpulan. Kemudian arti ke tiga dan hal ini hanya dikenal oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang, yaitu ge­rakan ini adalah jurus pembukaan dari­pada ilmu silat yang harus dimiliki oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang. Nama Ilmu silatnya pun Khong-sim-kun (Ilmu Silat Hati Kosong)!”

Mendengar ini, berisiklah semua pe­ngemis dan semua terheran-heran. Yang sudah tahu jelas akan arti tanda rahasia mereka itu, mengangguk-angguk membe­narkan, yang belum tahu kini menjadi tahu dan tercengang, tidak mengira bah­wa tanda rahasia itu mempunyai arti yang begitu luas.

“Sekarang bukti ke dua bahwa saya adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di antara saudara anggauta Khong-sim Kai-pang tidak ada yang me­ngetahui siapa nama Gak-lokai dan Ciam-lokai! Adakah di antara saudara yang mengetahui nama mereka berdua?”

Yu Siang Ki menanti sampai bebera­pa lama. Para pengemis itu kembali berisik sekali sehingga keadaan di situ menjadi seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua orang tokoh yang selalu hanya dikenal sebagai Gak­-lokai dan Ciam-lokai saja. Kemudian terdengar suara mereka. “Tidak ada yang tahu....!”

Yu Siang Ki menjura kepada Gak­-lokai dan Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji ­wi Lokai, untuk menjadi bukti, terpaksa saya memperkenalkan nama Ji wi.” Ke­mudian pemuda ini menghadapi para pengemis dan berkata lantang. “Men­diang Ayah pernah mengatakan bahwa di antara para tokoh Khong-sim Kai-pang, yang boleh saya percaya adalah dua orang yaitu Paman Gak Lun dan Paman Ciam Hie inilah!”

Dua orang lokai itu saling pandang dengan muka pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak pernah memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah ada yang menyebut nama mereka. Memang hanya Yu Kang Tianglo yang mereka beritahu ten­tang nama mereka.

Kembali para pengemis menjadi beri­sik, bahkan ada yang bersorak karena kedua orang lokai itu sama sekali tidak membantah. Hal ini hanya berarti bahwa bukti ke dua ini pun cocok.

“Sekarang bukti ke tiga. Seperti ku­katakan tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu diberi pelajaran Ilmu Silat Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada masa ini, di antara semua anggauta Khong-sim Kai-pang, ha­nya Gak-lokai dan Ciam-lokai berdua sajalah yang faham akan ilmu silat itu, karena dahulu ketika Ayah datang ke sini untuk memimpin saudara-saudara meng­hadapi Pouw Kai-ong, sebelum Ayah per­gi lagi Ayah telah menurunkan Ilmu itu kepada dua orang tua ini. Benarkah ti­dak, Ji-wi Lokai?”

Gak-lokai dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang tahu semua kejadian rahasia ini tentulah benar putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi mereka masih belum puas. Kalau ketua mereka selihai Suling Emas, hati mereka akan menjadi lega. Akan tetapi Yu Siang Ki masih amat muda. Biarpun tadi kelihatan kelihaiannya, bahkan dipuji oleh Suling Emas, namun cukup kuatkah pemuda ini menjadi ketua kai-pang yang kini menghadapi banyak musuh tangguh?

“Nah, kalau benar demikian.” Siang Ki menyambung kata-katanya, kini saya persilakan Ji-wi untuk menguji aku de­ngan ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya ayahku Yu Kang Tianglo yang dapat mengajarkan ilmu itu kepada­ku.”

“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis bersorak. Gak-lokai dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka ke­sempatan bagi mereka untuk memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi karena kini mereka yakin bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan juga. Gak-lokai lalu menjura dan berkata.

“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani kurang ajar!”

Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”

Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai pembuka­an mereka telah bergerak seperti yang dilakukan Yu Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. Juga pemuda itu melakukan ge­rak yang sama, setelah itu barulah dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh, namun amat cepat dan menimbulkan angin pukulan halus. Diam-diam Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan kakek pemuda itu me­mang benar hebat, gerakannya halus dan indah namun mengandung kecepatan ge­rak dan tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa dalam ilmu silat ini, Si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya daripada kedua orang lawannya. Hal inl adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu Kang.

Tianglo sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar, se­baliknya Yu Siang Ki berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja gerakannya lebih mahir dan sempurna.

Dua orang kakek itu girang bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir Ilmu Silat Khong-sim­-kun dan semua jurus yang mereka ke­luarkan untuk menyerangnya, semua da­pat dikembalikan, ditangkis atau dielak­kan dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka jalan­kan dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu menangkis, tentu tangan mereka terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu akan dapat dirobohkan!

Keduanya lalu melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan bersorak, “Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua kita!”

Setelah berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Yu Siang Ki sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon pim­pinan Pangcu!”

Pemuda itu terharu ketika melihat semua pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan mengangkat bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu merendah­kan diri. Aku tentu saja suka sekali me­mimpin kalian dan melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah lebih ber­pengalaman.”

Para pengemis bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa­-tawa. Para pimpinan kai-pang yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta memberi selamat kepada pangcu baru dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan lebih kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.

“Eh, ke mana dia....?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di belakangnya.

Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terke­jut dan heran. “Ke mana perginya Kim-­siauw Taihiap?”

“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan terukir di atas papan panggung di mana tadi Suling Emas berdiri. Beramai-ramai me­reka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang terukir, amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!

“Selamat kepada pangcu baru,
Suling Emas akan selalu mengamati
dan melindungi dari jauh!”

Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari meloncat turun menuju ke kandang kuda, namun kuda kurus tunggangan Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat menghilang begitu saja, bahkan meninggalkan tulisan yang diukir dengan ujung kaki.

Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang ka­rena di dalam tulisan yang ditinggalkan Suling Emas itu, Si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan, biarpun dari jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran, mereka masih dapat mengharapkan ban­tuan pendekar sakti itu. Biarpun di da­lam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi Lan yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia kepada Khong-sim Kai-pang, ia mengesampingkan pera­saan pribadi yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur se­gala usaha dan perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.

***

Suling Emas menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak berhasil mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biarpun ia membalapkan kudanya mengejar keempat penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak mau menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras sekali. Dan ia memang kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju. Tentu saja ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa gadis itu menderita luka akibat pukulan rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia bersikap kurang ajar!

“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng.” ia menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Lin-moi, juga wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali.... siapakah bocah itu?”

Karena dapat menduga, watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja mencari terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya dan bersembunyi, mana mungkin ia men­cari dan menemukannya? Suling Emas menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang. Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hatinya menjadi risau. Untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan berusaha melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja pikirannya tak dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang jahat bermuncul­an. Bahkan dua orang seperti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin , aku dapat menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertanding­an lagi? Mengganggu ketenangan dan kesunyian dengan urusan dunia yang tiada habisnya?

Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik sapu­tangan yang tergantung di leher ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Telinga­nya mendengar suara makian dari jauh, dari arah belakangnya.

“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”

“Iblis Khitan, kalau bisa kaucari sen­diri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina pengemis miskin?”

Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lo­kai! Biarpun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun telinganya mendengar betapa dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang amat hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong yang datang, akan te­tapi kalau mereka, mengapa suara ma­kian Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas lalu memutar kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan kanannya.

Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua orang Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang me­nenteng kelinci saja. Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu diceng­keram punggung bajunya dan sama sekali tidak dapat melepaskan diri. Ini saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu. Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihai­an mereka karena ia pun maklum bahwa banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang datang ini bukan orang sembarang­an, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi dalam ketentaraan, dua orang panglima! Hal ini dapat dilihat dari pa­kaiannya. Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di dada mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar, berarti bahwa mereka adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin sampai mengutus panglima-panglimanya datang, berarti Ratu Khitan itu tidak main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!

Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas, “Taihiap, bukan kami yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh dua ekor monyet Khitan ini!”

Suling Emas berkata dari balik sapu­tangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh, “Sepanjang penge­tahuanku, Panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian ting­gi dan juga menjunjung keadilan dan ke­gagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami? Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hen­dak mengganas di selatan?”

Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka. Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang berkuda yang menu­tupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pe­ngemis dan berada di antara para penge­mis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan mereka.

Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini, karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap me­reka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap, jauh-jauh kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perja­lanan ribuan li, mengalami segala macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara kai-pang. Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”

“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling ber­temu dan tidak saling mengenal. Menga­pa kalian bersusah payah mencariku?”

Pangllma yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata.

“Kami datang sebagai utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini ke­pada Taihiap. Harap Taihiap sudi mene­rimanya!”. Setelah berkata demikian, ta­ngannya yang memegang surat itu berge­rak menyambit dan gulungan surat itu bagaikan peluru menyambar ke arah Su­ling Emas.

Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian karena tidak sembarang orang dapat menyambit seper­ti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung ku­danya.

Dua orang panglima itu memandang penuh kekaguman dan panglima yang me­nyambitkan gulungan surat berkata, “Ter­nyata tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan tugas kami. Maafkan kami, sobat-sobat yang bandel dan se­lamat tinggal, Taihiap!” Mereka berdua melepaskan cengkeraman pada punggung baju dua orang kakek pengemis itu, ke­mudian membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi meninggalkan tempat itu.

“Berbahaya sekali! Mereka itu memi­liki kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu diganggu orang-orang Khitan?” tanya Ciam-lokai terheran-he­ran. Ini adalah pengalamannya yang dua kali melihat Suling Emas dikejar-kejar orang Khitan.

Suling Emas tersenyum. “Urusan pri­badi, Lo-kai. Maafkan kalau kalian sam­pal terbawa-bawa.”

“Adakah sesuatu yang dapat kami la­kukan untuk membantumu, Taihiap?” tanya Gak-lokai ketika melihat wajah pendekar itu agak pucat.

Suling Emas mengerutkan kening. Ia tadi kecewa karena tak dapat mencari Kwi Lan, maka kini ia berkata. “Memang kalian dapat membantuku. Harap kalian sampaikan kepada Pangcu kalian agar suka mengutus anak-anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya gadis yang berjuluk Mutiara Hitam itu. Kalau berhasil, harap memberi kabar kepadaku. Aku akan berada di kota raja.”

Dua orang kakek pengemis itu me­nyanggupi dan mereka lalu berpisah. Se­telah Gak-lokai dan Ciam-lokai pergi, Suling Emas menjalankan kudanya perla­han-lahan sambil melepas tali pengikat gulungan kertas. Hatinya berdebar keras. Surat dari Lin Lin? Apa kehendaknya? Jari-jari tangannya agak gemetar ketika ia membentangkan kertas itu di depan­nya, sedangkan kudanya masih jalan terus perlahan-lahan seenaknya. Surat itu ter­nyata singkat namun mengandung gam­baran hati yang penuh rindu dan risau.

Kakanda Kam Bu Song,
Terlalu lama saya menanggung de­rita batin. Terlalu lama menyim­pan rahasia besar. Tak tertahankan lagi. Lekas datang ber­kunjung.
YALINA

Suling Emas menghela napas panjang dan menyimpan gulungan surat di saku baju sebelah dalam. Apakah yang dike­hendaki Lin Lin? Rahasia besar apakah yang dimaksudkannya? Bukankah sudah tepat kalau ia meninggalkan Lin Lin, seperti juga ia meninggalkan Suma Ceng?”

Ah, hidupnya yang lalu dirusak oleh asmara gagal. Bukan ia tidak mera­sa rindu kepada Lin Lin, hanya ia sengaja hendak menghapus perasaan itu meng­ingat akan kedudukan Lin Lin sebagai Ratu Yalina di Khitan. Untuk apa dia mengganggu dan merusak nama baik se­orang ratu besar? Inilah yang meragukan hatinya sehingga ia tidak berani berkun­jung ke Khitan. Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan hendak pergi ke kota raja Sung, untuk menemui Liong­ ji (Anak Liong). Ya, kini hanya pemuda putera Suma Ceng itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong adalah pemuda puteranya. Anak Suma Ceng, menggunakan she Kiang menurut nama keluarga Pangeran Kiang suami Suma Ceng, akan tetapi Kiang Liong adalah puteranya! Dan semenjak kecil, ia seringkali berkun­jung secara diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang Liong yang meng­anggapnya sebagai gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota raja untuk ber­kunjung kepada murid dan juga puteranya itu, karena sudah merasa rindu? Akan tetapi surat Lin Ling yang baru saja diterimanya membuat hatinya bimbang.

Ah, betapa pahit semua kenyataan itu. Lin Lin adalah seorang wanita yang di­cintanya, bahkan bukan hanya menjadi kekasih biasa, melainkan menjadi isteri selama sebulan, isteri yang tidak sah! Terpaksa ia harus merenggutkan cinta kasih, merobek hati sendiri demi kedudukan Lin Lin sebagai seorang ratu! Dan terhadap Kiang Liong, biarpun ia tahu bahwa anak itu adalah puteranya sendiri, ia tidak berani mengakuinya dan oleh pemuda itu ia hanya dianggap sebagai guru! Hal ini ia lakukan demi menjaga nama baik Suma Ceng, juga nama baik anak itu sendiri sebagai putera pangeran! Benar-benar ia banyak menderita batin, namun pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi orang-orang yang ia cinta!

Senja hari di malam tahun baru. Un­tuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tidak seperti dahulu pada pertama kalinya, kini kaum sesat dengan pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung naik ke puncak, melainkan bergerombol dan ber­kumpul menjadi beberapa kelompok di le­reng gunung. Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk kaum sesat yang dipilih oleh golongan masing-masing untuk menentukan siapa di antara me­reka yang patut dipilih menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.

Datuk pertama yang muncul di pun­cak adalah seorang yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki puncak sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang lucu, sedangkan lagunya juga lucu sekali, sehingga suaranya yang bergema di se­luruh lembah dan terdengar oleh para kaum sesat, membuat mereka terheran-heran dan tersenyum-senyum geli. Suara tinggi kecil seperti suara perempuan. Kalau tidak melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita. Akan tetapi ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan tubuh berotot dan sepa­tutnya ia seorang laki-laki yang memiliki tubuh gagah. Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu mancung dan mata yang warna hitamnya tercampur biru, kulitnya putih halus seperti kulit wanita, rambutnya panjang dibiar­kan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya, lenggangnya genit dan lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu manis bentuknya untuk seorang pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar nampak makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka warna yang halus, leher­nya digantungi kalung permata yang be­sar-besar. Kuku jari-jari tangannya runcing terpelihara dan diberi merah-merah! Inilah dia Bu-tek Siu-lam, datuk yang di­pilih para pengemis untuk menjadi beng­cu. Julukan Siu-lam (Laki-laki Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti perempuan, beraksi seperti perempuan dan tingkah lakunya tiada be­danya dengan seorang wadam (banci). Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya.

Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan nyanyiannya, meman­dang ke kanan kiri lalu berdongak ke atas. Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini disusul suaranya yang merdu dan kecil namun nyaring sekali.

“Heiiii! Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya hendak beraksi? Kalau benar bisa menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela menganggapnya se­bagai bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hi-hik!” Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa usianya ini berdiri dengan tubuh digerak-gerakan kemayu!

Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai­-pang mulai berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah puncak dari mana mereka da­pat memandang datuk mereka dengan penuh harapan. Di antara kaum sesat yang berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat pula puluhan orang yang datang hanya karena tertarik hatinya dan ingin menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang mendatangi bukit yang sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani, beberapa orang pe­lancong dan ada juga beberapa orang kang-ouw yang menjadi ingin tahu sekali. Ketika rombongan pengemis mulai men­daki bukit, orang-orang ini yang tidak tahu akan bahaya dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk menonton.

Kedatangan rombongan bukan penge­mis ini tak terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam. Ia segera menghadap ke arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata, suaranya manis sekali terdengarnya, sungguhpun dengan dialek asing.

“Siapakah jago kalian? Mana dia? Suruh dia naik ke sini!”

Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya karena mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang menjawabnya, Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan tidak menghormati­nya. Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi itu sudah melayang turun dari puncak, tiba di antara puluhan orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam karena orang aneh yang tampan dan genit ini pun tertawa­-tawa.

Akan tetapi secara mendadak suara ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang di antara mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang laki-laki ber­usia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijam­bak rambutnya dan digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.

“Hi-hik, inikah jago kalian? Atau ada yang lain lagi?” Bu-tek Siu-lam bertanya sambil tertawa-tawa dan mengangkat-angkat tubuh yang tergantung di tangan kanannya itu. Karena kesakitan, orang itu menjadi marah sekali. Betapapun juga, dia adalah seorang laki-laki yang kuat dan pernah belajar silat, maka ten­tu saja tidak mau dihina oleh orang aneh ini.

“Bedebah! Lepaskan aku!” teriaknya dan tangan kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.

“Crakkk!”

Laki-laki itu menjerit dan darah me­nyembur dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas siku karena pukulannya tadi ditangkis dengan guntingan, dilaku­kan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya, Laki-laki itu meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan tangan kanan dan kedua kakinya meng­hantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang aneh itu.

“Crak-crak-crak!”

Sungguh hebat pemandangan itu. Me­ngerikan sekali! Laki-laki yang tergan­tung itu kini buntung semua lengan dan kakinya! Darah bercucuran dan Laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah lagi, agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat para penonton menjadi pa­nik, ada yang lari, ada yang jatuh ba­ngun, ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking takutnya.

“Hayo mana jagomu. Inikah? Crak­-crak! Atau ini? Crak-crak-crak!” Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerja­kan guntingnya setelah melemparkan korban pertama ke atas tanah. Ia tidak menggunting badan atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja belasan orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah mem­banjir dan mereka yang menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati karena kehabisan darah!

“Heeii, anak-anakku semua kaum kai­-pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh kita kalau aku menjadi Bengcu!”

Para pengemis itu biarpun tadinya merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun karena me­reka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan senang melihat orang lain bukan golongannya menderita, lalu bersorak girang.

“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”

“Tidak ada yang dapat melawan ke­gagahan Locianpwe!”

Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan puas. Semen­tara itu sisa para penonton yang panik ­dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah barat menjauhi rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati mereka lega karena orang aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kekejamannya telah puas.

Di antara rombongan pengemis itu ­terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan Tiat-ciang Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis semenjak mudanya, dan ­semenjak dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang. Perkumpulan Hek-coa Kai-pang ini sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan prang baik-baik sampai pimpinan orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kai-pang. Hal ini adalah karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala urusan. Pendeknya, ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap perkumpulannya yang didirikan oleh seorang pamannya dahulu. Begitu bodoh dan tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun ikut rombongan hanya untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang yang dipilih perkumpulannya sebagai bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau rombongannya bergerak.

Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di luar batas perikemanusiaan ini, semangatnya tergugah dan kemarah­annya membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apalagi ketika melihat betapa para pengemis yang menjadi anggauta-anggauta perkumpulannya kini sambil tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu mulai menyeret mayat-mayat yang bergelimpangan dan melem­parkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin penasaran. Kalau ia melihat anak buah merampok atau memeras, ia masih tidak peduli karena betapapun juga yang dirampok dan diperas tentulah orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhan-pembunuhan tanpa alasan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini menembus kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.

“Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siu-lam.

“Hoan-lokai, jangan sembrono....!”

“Hoan-lokai, jangan kurang ajar ter­hadap calon bengcu....!”

Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai yang sudah menjadi marah sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu, berhadapan dengan Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang dan melihat betapa kedua tangan pengemis ini berubah menjadi hijau, mereka ter­kejut dan mengeluarkan teriakan kaget. Warna hijau pada kedua tangan ini men­jadi tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua tenaga Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan ilmunya dan biarpun semua orang tahu akankeampuhan kedua tangannya, namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai mengerahkan tenaga Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau! Kini tak seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka pucat dan mata terbelalak. Betapapun juga, kejadi­an ini menegangkan hati dan menyenang­kan, karena mereka mendapat kesempat­an untuk menyaksikan kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu itu. Tentang keselamatan Hoan­-lokai, siapa peduli? Kakek ini biarpun memiliki ilmu tinggi, namun bodoh dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun tak­kan merugikan siapa-siapa.

Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua tangannya hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu akan sikap kakek pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua tangan yang hijau itu mengandung tenaga mujijat, namun Bu-tek Siu-lam agaknya sama sekali tidak memandang mata.

“Kau mau apa?” tanya Bu-tek Siu­lam dengan sikap angkuh sambil meman­dang pengemis itu dengan kepala dimiringkan.

“Kau ini manusia apakah iblis? Kalau manusia, mengapa kau membunuhi orang sekejam itu tanpa alasan?” tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan mata me­lotot.

Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi bah­wa kakek pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali. Kemudian tanpa memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap orang aneh itu yang amat sombong, Hoan-lokai sudah menggerakkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siu­lam. Pukulan ini keras sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan seperti ini, pengemis tua itu sanggup memukul han­cur sepotong batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.

Namun bagi seorang tokoh besar se­perti Bu-tek Siu-lam, tentu saja kepan­daian seperti ini tidak ada artinya sama sekali, termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang adalah ilmu gwa-kang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang hanya dengan latihan-latihan berat mempergu­nakan kekuatan kulit daging, maka bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang. Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih tinggi karena tokoh ini sudah tidak lagi memhutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakar, kepandaian­nya. Seseorang yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga kasar, melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk dipergunakan secara te­pat. Seorang ahli ilmu silat tinggi men­dasarkan tenaga dalam yang sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah seperti air, atau lunak ulet seperti karet. Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya seperti besi sifatnya, apakah yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak dan lemas itu? Besi dapat menghancurkan batu atau benda-benda lain karena keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada artinya bahkan me­mukul diri sendiri, kalau dihantam­kan pasir, tanah atau air yang tak me­lawan, akan lenyap dan tenaga pukulan­nya akan tersedot tanpa guna.

“Wuuuuttt.... desss!” Pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali mengenai perut Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa tangannya itu amblas atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui perlawanan seperti orang memukul kapas. Namun Hoan-lokai ada­lah seorang ahli silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa orang aneh kejam seperti iblis ini adalah seorang ahli Iwee-keh (tenaga dalam), maka ia cepat-cepat menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.

“Wuuuuttt.... dukkk!” Kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan kiri Hoan-lokai seperti memukul karet dan membalik. Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan sia­sat, hanya menggunakan setengah tenaga­nya, sedangkan tenaga setengahnya lagi ia pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang “menancap” ke dalamperut. Ia berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.

“Ha-ha-hi-hi-he-hehh....!” Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit se­kali, berirama dan berlagu seperti orang bernyanyi! “Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak? Teman-temanmu mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan aku?”

“Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam neraka!”

Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua jari tangan kirinya me­nyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari tangannya tadi!

Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek­-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular hitam yang mempunyai dua kegunaan. Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeli­haranya bertahun-tahun itu demikian mu­dah terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan tangannya secara ber­bareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya, menghantam perut.

“Wuuuttt.... ceppp....!”

Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi segera kakek pengemis itu me­ronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk mencabut keluar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ke­tawanya lucu menyeramkan.

“Pergilah!” bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam mengerahkan te­naga. Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari “cengkeraman” perut, ter­lebih dahulu terdengar suara “pletok-pletok!” dua kali dan ketika kedua ta­ngan itu sudah bebas, ternyata tulang-tulang tangannya sudah remuk dan patah-patah! Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk sampai ke jantung dan tulang sumsum.

Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat pe­nuh keringat, dan garis-garis keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai. Dia memang se­orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebat­nya rasa sakit yang dideritanya, ia men­jadi makin marah dan nekat. Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya ber­gantungan lumpuh, dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya! Seruduk­an seperti ini sama sekali tak boleh dipandang ringan karena dengan kepala­nya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding tembok yang kuat!

Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha­-ha-hi-hi, memasang perutnya yang se­ngaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi tubrukan antara kepala dan perut itu.

“Suppp!” Kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu serentak
mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut! Aneh sekali kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan kesakitan hebat. Kedua lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya menendang-nendang tanah di bawahnya. Biarpun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan ilmu yang sehebat itu, yaitu mengguna­kan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat menduga be­tapa kepala Hoan-lokai, seperti kedua tangannya tadi, akan menjadi remuk ter­gencet!

Pada saat itu, dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan ter­bahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan ber­diri bulu tengkuk mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan melongo. Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara ketawa­nya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang raksasa tinggi besar, orang­nya ternyata biasa saja, bahkan kurang daripada ukuran biasa. Kecil kurus, se­demikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang sempit itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu pula karena

sabuk itu penuh dengan dompet-dompet kecil berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali. Bajunya berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya pan­jang kakinya telanjang. Benar-benar se­orang yang aneh dan lucu sekali. Apalagi kalau orang melihat mukanya, muka yang kelihatan serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekeh-kekeh yang keluar dari mulutnya sedang­kan mulut itu sendiri tidak tertawa!

Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan orang yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh seorang di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thian­liong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan julukan Dua Belas Ekor Naga! Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang aneh itu. Dia bukan lain adalah Siauw­ bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini menggemparkan dunia persilatan. Sebe­tulnya, julukannya Iblis Tua Muka Ter­tawa kurang tepat karena biarpun suaranya kalau tertawa seperti orang terping­kal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah memperlihatkan senyum sedikit pun, apalagi ketawa!

Kedua kaki orang aneh ini tidak tam­pak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih “menancap” dalam perut Bu-tek Siu-lam. Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama se­kali tidak memandang mata dan ia masih tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya membebaskan kepalanya dari perut lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan sakitnya tak dapat diceritakan lagi sa­king hebatnya.

“Huah-hah-heh-heh-heh!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa mengge­rakkan bibir atau membuka mulut. Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di barat takkan dapat berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu dengan iblis dari selatan. Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang diri!” Setelah ber­kata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat Hoan-lokai.

“Bukkk!” Tendangan ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang hebat sehingga Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencatan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.

Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah dan gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoan-lokai bagai­kan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.

Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo­mo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah bagai­mana, tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam! Kiranya sekarang ternyata bahwa Si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepan­daian Si Iblis Banci! Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong se­orang tokoh yang berkepandaian tinggi di antara para anggauta Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas! Sama sekali tidak berdaya dan kepalanya pening pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, dua orang aneh itu hanya dengan dorongan tangan dari jauh, dapat membuat tubuhnya ter­lempar ke sana ke mari! Sambil mem­permainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakap-cakap seenak­nya!

“Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan me­miliki kepandaian yang tidak buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah dan mengejek.

“Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupa­kan setan di barat dan ditakuti orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku Si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut kepadamu. Ha-ha-hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin gentar Siauw-bin Lo-mo!” Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siu­lam.

“He-he-hi-hi-hik! Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pan­tas sekali! Orangnya ternyata lebih buruk daripada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai me­nyambar dekat. Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.

Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan.... tubuh kakek pengemis itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang saling bertemu di udara! Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri tegak, tangan kanan me­reka diulur ke depan dengan jari tangan terbuka darimana meluncur tenaga sakti yang tak tampak, yang “menahan” bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka berkeringat, tekan­an makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.

Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola di­lontarkan ke sana ke mari sehingga ke­palanya pening, pandang matanya ber­kunang dan kini, tertahan oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu, ia merasa tubuh­nya terjepit dan sukar bernapas. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia me­ngeluarkan teriakan menyeramkan, tubuh­nya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya bercucuran darah! Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!

Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke atas tanah. Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Iblis tua bangka kurus kering benar-benar mengagumkan!”

Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. “Eng­kau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!” Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian­-liong-pang maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo­-mo mencegah dengan gerakan tangan, lalu berkata. “Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bang­kai ini?”

Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan suara ter­tawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan membuka tutup botol, menu­angkannya beberapa tetes cairan ber­warna kuning ke atas mayat Hoan-lokai. Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka membelalakkan mata saking kaget dan herannya. Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap, me­lumer menjadi cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi benar-benar amat hebat. Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu silat dan me­rupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.

Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah. Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil ber­kata.

“Bagaimana, bocah tampan. Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”

Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepada­mu sebelum kau mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan guntingku ini, orang tua, biarpun kau mempunyai racun neraka itu!”

“Huah-hah-hah, bocah muda omongan­nya besar! Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku? Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang tanggung aku turun ta­ngan membuang keringat menghadapi mereka!” Ucapan kakek kecil ini mem­buat Bu-tek Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bu­kan main, pikirnya, tentu memiliki ilmu simpanan yang ampuh.

Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat men­jawab, terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala, terdengar dari utara. Lolong ini hebat bukan main, menggetar­kan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di sekeliling puncak. Belum lenyap gema suara melolong me­ngerikan ini, orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul kali ini sama aneh­nya dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya. Tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya, tangan kanan memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang, ujungnya ber­kait dan bergigi seperti gergaji! Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Bu-tek Siu-lam. Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar yang galak sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orang­orang dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.

“Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata Bu-tek Siu-lam.

Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo me­mandang penuh perhatian dan amat ter­tarik, kemudian sambil tertawa-tawa ia pun berkata, “Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang ber­nama besar!”

Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguhpun hanya mengukur kekuatan sinkang masing-masing, ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapapun lihai kakek kecil itu, ia sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang nama­nya sudah terkenal sekali, maka ia pun tidak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan kedudukan bengcu. Sam­bil tersenyum mengejek ia lalu meng­hadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong dan berkata.

“Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi­-hik! Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan jarum be­nangku!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan benangnya!

Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama sekali tidak ramah apalagi lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya ber­diri dengan kedua kaki terbuka lebar, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang itu dengan sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja, bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina akan tetapi juga terang-terangan menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar berapi. Mulut yang seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya,

“Bu-tek Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong!” Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siu-lam. Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan ter­belah dan isi perutnya akan cerai-berai!

“Traanggg....!” Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siu­lam terdorong ke belakang ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan Si Tokoh Genit. Mereka me­mandang kagum dan muka mereka ber­ubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.

“Siuuuuutttt....!” Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung dan me­layang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.

“Cringgg....!” Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pan­cing itu tertangkis oleh jarum besar yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan ma­sing-masing selain memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam meng­gunakan senjata rahasia bertali itu.

Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pan­dang dan kelihatan ragu-ragu, Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, Pak-sin-ong diam-diam meremang bulu tengkuknya. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.

“Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang, hayo kita putuskan siapa diantara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu kini sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawan­nya, memasang kuda-kuda dan siap untuk menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biarpun bertangan kosong namun amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk men­jaga diri.

Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang hebat. Seakan-akan datang angin , taufan me­ngamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah! Tiga orang itu saling pandang dan karena mereka semua ada­lah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspada­an. Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya se­perti seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali, mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling dipukulkan berbunyi nyaring dan berisik.

“Tak salah lagi, engkau tentulah Thai­-lek Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sam­bil memandang penuh perhatian.

“Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?” ta­nya Siauw-bin Lo-mo, juga memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia kang-ouw.

“Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!”

“Bagus, kebetulan sekali!” kata Pak-sin-ong yang biarpun di dalam hatinya terkejut menyaksikan kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap, empat tokoh besar yang dicalon­kan menjadi Bengcu. Kita menanti apa­lagi? Mari mengeluarkan kepandaian me­nentukan siapa yang lebih unggul!”

Mendengar ini, Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah mencabut gergaji dan pancingnya, adapun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kuda-kuda, kedua ta­ngannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun rak­sasa gundul yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sam­pai lama baru keluar suara dari mulut­nya.

“Tidak bertempur!”

Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pe­ngikut sungguhpun banyak kaum sesat di Pantai Timur menjagainya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut ti­mur. Akan tetapi kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya ter­tarik mendengar nama besar Bu-tek Siu­-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk di­ajak mengadu ilmu. Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang kebaikan maupun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak me­ngenal hukum-hukum dan bertindak se­enak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia me­lakukan hal-hal yang bagi umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun tangan secara kejam melebihi iblis membunuh-bunuhi orang­orang yang sama sekali tidak salah. Ka­lau hatinya lagi senang, biar orang ber­sikap keterlaluan kepadanya, ia akan ter­tawasaja. Ia seorang aneh, dan tidak pandai bicara.

Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali. “Apakah kau tidak ingin menjadi Bengcu?” tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.

“Tidak ada Bengcu” jawab Si Kakek Gundul singkat.

“Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukan­kah kita berempat ini datang di sini untuk menentukan siapa yang lebih ung­gul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”

“Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak Terlawan)?”

Ucapan itu singkat namun jelas mak­sudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak di­tentukan siapa menjadi bengcu dan ke­enam orang iblis itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam?

Namun tiga orang aneh yang mende­ngar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah karena me­reka, bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat. Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang Khitan dan Mongol. Ia selalu rindu untuk me­rampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian kaum sesat dan dengan mengan­dalkan bantuan kaum sesat di dunia per­silatan teritu akan lebih mudah baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan. Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw maka kini ia ingin sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya me­ngapa tiga orang aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.

“Pemilihan Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek Siu-lam.

“Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula Pak-sin-ong penasaran.

“Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin Lo-mo juga berkata.

“Bodoh!” Thai-lek Kauw-ong memben­tak. “Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding, ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!” Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembreng­nya sehingga terdengar bunyi “brenggg!” yang nyaring sekali menulikan telinga.

Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul, menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat mereka itu le­nyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pim­pinan mereka saja berani menonton per­temuan empat orang aneh itu dari tem­pat yang agak jauh dan aman.

Tiga orang aneh itu segera bergerak dan karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai dengan cita-cita mereka semula dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka ke­pada Thai-lek Kauw-ong seorang! Pada­hal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah!

Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya itu tiba, ia sudah men­dahului menggerakkan sepasang gembreng­nya menggencet ke arah gunting itu dengan kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan tidak ter­duga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya de­ngan totokan jari telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang daripada lengan Siauw-bin Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas menyerang dengan tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu! Se­kaligus kakek gundul ini telah melayani serangan tiga orang lawannya!

Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biarpun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat betapa sepa­sang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat menarik kembali serangan guntingnya, akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng, ia lalu menggerakkan tangan kanannya. “Wiirr....!” Jarum besar yang diikat be­nang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong. “Tranggg....!” Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka terpaksa menangkis dengan gem­breng kirinya dan usahanya menjepit gunting menjadi gagal.

Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan ten­dangan kakek gundul itu dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa Si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh meng­elak.

Dalam segebrakan itu saja, dari ke­adaan diserang, Thai-lek Kauw-ong mam­pu merobah keadaan menyerang dan ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat. Namun tentu saja tiga orang aneh yang sudah biasa dengan kemenangan-keme­nangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan sekarang mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!

“Hemm, kalian seperti bajingan-ba­jingan kecil hendak mengeroyok? Boleh!” Biarpun ia tidak pandai bicara, namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasa­an. Tiga orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biarpun di da­lam hati mereka itu diam-diam bermak­sud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya. Tuduhan yang tepat mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan muka merah.

“Siapa mengeroyokmu? Sombong! Li­hat kelihaian Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong. Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat menyam­bar, sinar putih dari tangan kirinya sudah meluncur cepat dan itulah pancing ber­tali yang menyambar ke arah muka Thai-lek Kauw-ong. Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal sen­jata ini, akan tetapi pancing itu dapat mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thai-lek Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya me­nangkis. Terdengar suara “cringgg!” ke­ras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sin-ong sendiri! Pak-sin-ong kaget dan cepat menggentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah me­nerjang maju dan menyerang dengan gergajinya yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!

Sama sekali bukan serangan ringan yang dilakukan Pak-sin-ong ini karena selain gergajinya bergerak amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini meleng­kung membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan ke­luar lawan! Thai-lek Kauw-ong berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Brenggg....!”

Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tang­kisan yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyung-huyung! Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil ber­seru keras.

“Klik-klik!” Guntingnya yang besar berbunyi dua kali dan dengan amat cepat­nya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai sasaran, sungguhpun hanya sedikit selisih­nya dari leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini, Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapapun juga harus diakui bahwa Si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.

“Klik.... brenggg!” kembali seperti ke­adaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring se­kali. Wajah Bu-tek Siu-lam sampai men­jadi pucat. Ia dapat menangkis dan me­ngelak sambaran dan gencatan senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera ter­desak hebat!

“Breng.... brenggg....!” Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit masih untung ia dapat membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning pada saat ia membuang diri ke belakang ini.

“Hehh....!” Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak dan mem­buang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian berbahaya. Terpaksa ia mengi­baskan gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul menyele­weng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar. Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluar­kan keringat dingin. Kalau ia tidak ber­laku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun melangkah mundur sam­bil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji kepandaian Si Raja Monyet. “Huah-hah-hah, Kauw-ong, kau­terimalah senjataku!” bentaknya dan ke­tika tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke depan kakinya. Melihat ini, Thai-lek Kauw-ong, menge­luarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu takut menghadapi senjata ra­hasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andaikata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang muncrat-muncrat dari ledakan itu!

Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya memyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo, sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan main sepasang gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan se­bagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo, yang sebuah menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut! Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyam­but sepasang gembrengnya dengan mudah.

Empat orang sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang gemrengan siap menghadapi tiga orang itu. Karena dalam gebrakan-gebrakan per­orangan tadi dapat terlihat bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai­-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa hari ini ia meng­hadapi tiga orang lawan yang akan me­rupakan makanan yang keras baginya! Inilah baru kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan telinga, juga membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah menjadi tanda bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang tinggi. Tentu saja empat orang itu ter­kejut dan seketika menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding. Ketika Thai-lek Kauw-ong memutar tu­buh dan tiga orang lainnya juga meman­dang, mereka melihat seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang tak diketahui empat orang itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa, apalagi wanita itu duduk di atas ranting yang kecil dan kiranya akan pa­tah kalau diduduki orang biasa. Akan tetapi wanita itu duduk dengan enak, membelakangi mereka dengan tubuh di­putar dan kepala dipalingkan ke arah mereka. Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran. Tubuh wanita itu padat dan indah ben­tuknya, pakaiannya indah, akan tetapi kepala wanita itu tertutup kerudung! Biarpun kerudung itu tipis dan memba­yangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja menyeramkan dan menimbul­kan bayang-bayang gelap pada muka, terutama pada kedua matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan hanya kelihatan kilauan seperti titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit putih halus dan berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi se­mua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam mengkilap!

Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguh­an sendiri sehingga mereka menjadi ang­kuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini. Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh di­pandang ringan, akan tetapi mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia men­jadi marah sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani meng­ganggu mereka berempat.

“Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani ber­sikap kurang ajar!” Tangan kirinya berge­rak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.

Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan! Hal ini bukan aneh atau lucu karena memang meman­cing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak jaman dahulu sampai seka­rang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat pan­cing dan talinya bukan hanya untuk me­mancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang amatampuh. Ia menciptakan ilmu silat yang Khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping gergajinya, senjata pancing ini amatlah berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh dengan tali yang panjang itu.

Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun wanita itu yang ha­nya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan marenggut kerudung yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan te­lunjuknya menyentil dengan kuku te­lunjuk.

“Cringg....!”

Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya. Pak-sin-ong mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.

“Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup pantas untuk menghadiri pertemuan puncak ini!” terdengar suara wanita itu. Suaranya halus merdu, akan tetapi amat dingin. Kedua tangannya bergerak ke depan menceng­keram daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara meleng­king panjang sambil menggerakkan kedua tangan, daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil me­nyambar ke arah empat orang itu. Bah­kan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pim­pinan rombongan pengemis dan rombong­an Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka mengadu ilmu.

Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi sekali!

Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan, akan tetapi da­pat melontarkannya sehingga daun-daun itu hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya dapat dilaku­kan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apalagi mereka se­bagai orang-orang pandai melihat sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat kuat.

Jerit-jerit mengerikan membuat em­pat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat memandang, ternyata beberapa orang dari tiga go­longan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh tubuh mereka berubah hitam.

Beberapa helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang pengemis, tiga orang anggauta Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran daun-daun ter­bang dan berkelojotan dalam keadaansekarat!

Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.

Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata, “Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!” Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti hendak pecah. Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula bajunya. Katau tidak tentu sudah pecah-pecah pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di kerong­kongan seperti suara seekor katak jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.

“Siuuuuutttt.... krakkk.... !” Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,

Melihat kehebatan Ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang hebat ini! Juga wanita ber­kerudung itu diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa Si Gundul yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar amat lihai. Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak kurang dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon, benar-benar seperti angin taufan! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti, wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suara­nya tetap halus dan merdu namun empat orang laki-laki itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur saja.

“Namaku Sian dari Istana Bawah Ta­nah. Baru sekarang keluar dari bumi me­masuki dunia ramai, tertarik hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kang-ouw. Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya!”

Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu me­nyambar ke kanan kiri, mata yang liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak tersenyum di balik kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan sukar ditaksir usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang mem­bayang di balik pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!

Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang. Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini. Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apalagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab pening­galan iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri. Seperti tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan te­naga sinkang yang amat tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani mene­rima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak betapa ginkangnya biarpun cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya tidaklah lebih tinggi daripada tingkat mereka!

“Huah-hah-hah!” Siauw-bin Lo-mo ter­tawa tanpa menggerakkan bibirnya se­hingga Kam Sian Eng memandang dengan hati terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami? Belum ada ketentuan siapa yang bakal menjadi Bengcu!”

Kam Sian Eng mengangguk. “Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang sembarangan, aku ber­sedia untuk berkenalan. Aku setuju de­ngan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?” tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya senang karena wanita ini cocok dengan usulnya. “Me­mang tak perlu ada Bengcu, lebih pen­ting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tan­ding)?” Kam Sian Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya! Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan watak­nya sendiri ini. Empat orang ini tidak segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapat­nya. Orang yang tidak menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!

“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai­-lek Kauw-ong bertanya kecewa.

“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng. Biarpun wanita ini mengalami gang­guan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di waktu muda­nya ditambah dengan latihan-latihan samadhi dan lweekang yang menyele­weng, namun ia tidak kehilangan kecer­dikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding meng­hadapi empat orang ini, biarpun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.

“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok.... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam merasa jerih terhadap Thai-lek Kauw-ong, apalagi setelah muncul wanita ini yang aneh dan memiliki kepandaian yang menggiriskan hati.

“Betul! Memang kita segolongan, per­lu apa bertempur?” kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita me­rampas Kerajaan Khitan.

“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”

“Hi-hik, sahabatku yang manis. Go­longan apalagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata, Bu-tek Siu­-lam sambil mesam-mesem genit. Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini, ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.

Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong di­kira senyum karena setuju disebut go­longan sesat, maka kakek gundul yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh, memang benar! Banyak orang me­nyebut aku seorang sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah ma­camnya orang yang tidak sesat?”

“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menon­jol namanya adalah Suling Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat un­tuk menandinginya karena memang ia memiliki ilmu kepandaian yang lihai se­kali.” Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan keben­cian hebat. Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu Hek-giam-lo seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga ter­jadi permusuhan antara kedua tokoh ini (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Se­lain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu Suling Emas masih berada di Khitan.

Sejenak wajah cantik di balik keru­dung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi Suling Emas. Suling Emas ada­lah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi cinta kasih antara saudara, apalagi karena semenjak kecil memang tak pernah ber­temu dengan kakak tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini da­pat melawan kakak tirinya itu!

“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang lain kotor!

Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw­-kwi yang jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Tok­siauw-kwi? Bukan lain dia adalah seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat men­diang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.

“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng. Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Beng­kauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS). Karena ia menda­patkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguhpun kakak kandungnya Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan hal-hal lain lagi.

“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian –toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita berlumba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun kemudian kita berkumpul lagi disini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai—lek Kauw-ong berkata. Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk, dan biarpun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah menjawab cepat-cepat.

“Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!” Baru saja habis kata-katanya, tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.

“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya.... hemm....!” ia terkekeh genit.

“Ilmu kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka kepada Sian Eng karena wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.

“Biarpun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apabila aku membutuhkan bantuan, Samwi (Tuan Bertiga) tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam­wi,” kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Sam­wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apabila Sam-wi se­waktu-waktu perlu bantuan.”

Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas kerajaan, oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk me­laksanakan cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.

Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arahh selatan karena pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian, muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun. Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya ber­bentuk lonjong manis. Apalagi sepasang matanya amat indah bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan kekerasan hati dan tak pernah tersenyum. Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggung­nya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang pedang tampak tersembul ga­gangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan gagah daripada cantik, sungguhpun ke­manisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap orang laki-laki.

“Maaf, saya mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan be­lajar kenal dengan Bengcu baru!” kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda penghormatan.

“Hi-hik, kalau Gurumu secantik eng­kau, mengapa tidak kauajak sekalian datang ke sini, manis?” kata Bu-tek Siu­-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita pakaian merah itu.

Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang putih se­hingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nya­ring.

“Kalau saya tidak keliru sangka, Lo­cianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!” Sambil berkata demi­kian ia melangkah maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.

Bu-tek Siu-lam yang memang meman­dang rendah semua orang tertawa me­ngejek lalu berkata, “Ah, kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau. Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga Gurumu engkau tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya menyambar ke depan.

Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan tangan kirinya sudah tertangkap.

Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam mem­buka mulut bernyanyi dan.... suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!

“Wanita adalah bunga harum, alangkah sayang kalau tidak dicium! Wanita adalah intan gemilang, alangkah sayang kalau tidak di­timang!”

Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan “ngokk” pipi kanan Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.

Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara murid-murid Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak per­nah ada orang laki-laki berani menggang­gunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh secara kejam dan ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Se­karang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek Siu-lam, tentu saja se­ketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya seperti mengeluarkan cahaya berkilat.

“Lepas....!” jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar hitam melalui atas kepalanya ke depan.

“Siuuuuttt.... plakkk!” Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang perge­langan tangan kirinya.

Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan te­tapi karena ia tadi memandang rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecut­an ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena luka. Ia berseru kaget dan me­narik tangannya sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.

Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada dadanya, dan begitu tangan kanan berge­rak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya penuh kemarah­an, dan biarpun ia maklum bahwa lawan­nya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.

Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, ma­tanya bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau berani melawan aku? Hi-hik, murid Siang-mo Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar hatimu terbuat daripada baja!”

Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa baru saja mereka mengaku telah “bersaudara” atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka bertiga tidak peduli akan Siang-mouw Sin-ni yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah “ja­tuh” itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan), bukan lagi Thian­te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)! Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeram­kan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah biasa saja! kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada perempuan dan bisa mendapatkannya, biarlah ia mendapatkan­nya dan memperlakukannya sesuka hati, apalagi perempuan itu tiada sangkut pautnya dengan mereka bertiga! Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mo­ngol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian seperti yang telah mereka janjikan.

Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu hitam menonton sambil menyeringai le­bar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu saja ia se­enaknya dan tidak tergesa-gesa. Apalagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou Sin-ni sehingga ia ingin me­nyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu. Adapun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam, masih belum hilang kagetnya karena beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono memperlihatkan diri, hanya menanti sam­pai datuk mereka muncul.

Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman. Selagi “orang muda”, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu me­lakukan penyerangan. Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang, “saya yang muda tidak berani terhadap Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan saya harus membela kehormatan Guru saya.” Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi watak gurunya dan dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menye­nangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.

Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beri­ngas, matanya seperti mata harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeram­kan itu berubah dan suaranya penuh wi­bawa ketika ia memberi perintah.

“Buka bajumu!”

Muka Po Leng In menjadi pucat se­kali, matanya terbelalak memandang sejenak ia tak bergerak seperti berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memak­sakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng. Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.

“Buka! Buka bajumu!”

Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Ketakutan mencekik lehernya.

“Hemm.... hemm....!” Terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka le­bar-lebar memandang dan hatinya berta­nya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.

“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau mengge­letak tanpa nyawa dengan rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu agar kulihat. Kalau tubuh­mu seindah matamu, aku suka mengam­punimu dan membiarkan hatimu tetap di dalam dada.

Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya.

“Bu-tek Siu-lam engkau terlalu meng­hina orang! Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”

Kata-kata itu tertutup dengan gerak­an pedang. Cepat sekali gerakan pedang­nya, sehingga tak tampak bentuk pedang­nya, berubah menjadi sinar kehijauan yang meluncur cepat menuju ke leher Bu-tek Siu-lam, dibarengi hawa dingin. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga sin­kang yang tak boleh dipandang ringan!

Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk me­ngenal serangan berbahaya. Ia mengeluar­kan suara terkekeh mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sem­pat turun tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini amat cepat karena memang merupakan kelan­jutan daripada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan jika berhasil mendatang­kan maut! Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok­-siauw-kwi Si Iblis Betina dan yang diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah ber­sahabat dengan Tok-siuw-kwi dan mene­rima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah peng­gunaan rambut panjang sebagai senjata.

Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan ke­dua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan lawannya itu tidak seper­ti laki-laki biasa! Kalau lawannya se­orang laki-laki biasa, tentu saat itu su­dah tewas oleh cengkeramannya.

Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po­ Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut panjang menyambar dari kanan kiri dada­nya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!

“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.

Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran. Kalau ia se­bagai seorang di antara lima “dewa” yang menggantikan kedudukan enam “iblis” kini tak dapat cepat mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus menaruh mukanya?

Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia mengeluarkan suara ketawa, membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia “tutup” jalan darahnya, kemudian se­cepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang me­nyambar ke arah mukanya lalu mengang­kat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Ka­rena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya se­tinggi pundaknya, tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!

Po Leng In kaget dan mengenali baha­ya. Sambil berseru “lepaskan” kedua kakinya bergantian menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggen­cet jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.

“Hi-hi-hi-hik! Kaulihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”

“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.

“Hi-hik, siapa bilang tidak ada guna­nya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya ter­buat daripada baja!” Pedang di tangan kanannya bergerak dan “brett!” pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas ping­gang tidak berpakaian lagi! Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga Si Banci ini. Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun menggores kulit orang!

Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya, kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini. Muka­nya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa­-apa, matanya memandang penuh kebenci­an dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut. Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah sebabnya ke­tika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher, melainkan menggunting kaki ta­ngan. Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau melihat orang lain menderita. Kalau me­lihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa ter­hina!”

“Hendak kulihat sampai di mana ke­tabahanmu!” gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah membabat putus rambut yang panjang itu! Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut pan­jangnya, maka tanpa disadarinya ia men­jerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam keadaan telentang!

“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih. Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya kini wanita itu masih meman­dangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut biarpun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!

“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantung­nya!”

Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan bahwa Bu-tek Siu-lam su­dah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.

Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. “Mahluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai perikemanusiaan yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh un­tuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mam­pu melawan. Ih, Si Muka Tebal tak tahu malu! Lebih baik mampus saja daripada hidup tidak tahu malu!”

Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apalagi ma­kian demikian hebatnya. Saking heran dan kagetnya, ia urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita ini yang da­tang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana suara itu da­tang, ia melihat bahwa yang datang itu seorang gadis muda remaja yang amat cantik jelita dan yang memandangnya dengan mata berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama, tiba-tiba tangannya yang meme­gang pedang menjadi tergetar hebat se­hingga secara terpaksa ia harus melepas­kan pedang itu yang jatuh ke tanah di­dekat tubuh Po Leng Ini

Kwi Lan, gadis remaja yang baru datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu kerikil, dan me­ngira bahwa orang aneh itu melepaskan pedang karena gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan. Sayang ia datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan bibi dan gurunya, Si Wanita Berkerudung. Biarpun sejak masih kanak-kanak ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi, namun gadis ini tidak pernah mendapat gem­blengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga segala sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh karena Kwi Lan adalah keturunan pendekar maka dasar wataknya juga ti­dak suka melihat si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang. Di samping ini, ia suka dan kagum melihat kegagah­an. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang sama sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia men­jadi kagum dan tanpa mempedulikan bahwa wanita itu adalah murid Siang­mou Sin-ni yang ia pernah dengar dari gurunya adalah seorang di antara Thian­te Liok-kwi, ia segera melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.

Bu-tek Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan. Laki-laki yang tinggi besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri dan membelakanginya! Sama sekali tidak mempedulikan dia dan caci makinya tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat gunting besar terselip di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat menduga dengan pasti siapa orang itu.

“Hei, bukankah kau si iblis Bu-tek....” Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriak­annya karena tiba-tiba sekali Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu gunting besar itu sudah berada di tangannya, menyambar ke arah rumpun bunga di bawah pohon.

“Klik-klik!” hanya dua kali guntingan dan tetumbuhan itu terbabat habis! Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan manusia. Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyam­bit kerikil ke arah lengannya bersem­bunyi di balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui?

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras. Kwi Lan terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan ternyata dugaannya tidak keliru. Dari balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri. Siapa lagi kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan dan ia berdiri dengan gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia menu­dingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.

“Huh, kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita. Alangkah jauh bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!” Hauw Lam mengejek.

“Eh kau Berandal....!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama sekali tidak disangka-sangkanya.

Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya tersenyum lebar. “Heiii, kau.... Mutiara Hitam....?” Kiranya pemuda itu baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ. Sejenak mereka saling pandang.

“Awas....!” Tiba-tiba Kwi Lan ber­seru.

Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguhpun ia suka berkelakar. Sambaran gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya dengan kuat ke arah lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil menggunting leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah mengancam lengannya segera menekuk siku dan gun­tingnya membalik, menyambut golok.

“Traaanggg....!” Bunga api berpijar menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek Siu-lam bahwa golok itu tidak patah-patah! Juga tidak terlepas dari pegangan tangan pemuda itu. Hal ini benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup menahan senjata yang terpukul, apalagi tergunting oleh senjatanya. Pemuda ini bukan orang sembarangan!

“Bocah, engkau siapa dan murid sia­pa? Mengapa kau berani main-main dengan aku dan menyerang secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam menahan gunting­nya dan bertanya marah. Ia merasa penasaran sekali melihat ada seorang pemuda berani menandinginya, akan te­tapi karena ia tahu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan cukup berharga untuk ditanya.

Hauw Lam menyeringai. Padahal di dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan membuat bahu­nya terasa akan patah itu telah menga­getkan hatinya. Namun ia masih tertawa-tawa untuk mengelabuhi lawan. “Heh­heh, siapa tidak mengenal Bu-tek Siu-lam? Biarpun belum melihat orangnya, namanya sudah dikenal semua orang ter­masuk aku. Siapa aku? Kautanyalah ke­pada Nona itu, namaku Berandal karena aku suka berandalan! Kau tanya Guruku? Ada ratusan orang, terlalu panjang kalau disebut satu demi satu!”

“Bocah ingusan! Tak kausebut juga apa kaukira aku tidak bisa mengenal ilmu silatmu ceker ayam? Kau bergerak­lah....!” Setelah berkata demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya membentuk lingkaran lebar yang melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup semua jalan keluar!

“Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau memang tampan, biarpun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau wanita?” Tang Hauw Lam biarpun harus cepat mengelak dengan repot karena gunting itu menyambar-nyambar dari segala ju­rusan, namun masih sempat berkelakar untuk memanaskan hati lawan. Di sam­ping ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejek­annya tadi berhasil membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu to­koh aneh ini akan berusaha sedapat mungkin mengenal ilmu silatnya dengan cara menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat simpanannya untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membu­nuhnya sebelum berhasil mengenal ilmu silatnya. Karena inilah Hauw Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia peroleh dari petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar biasa, yang muncul dari dalam kuburan, yaitu Bu-tek Lojin! Kare­na itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan betapapun gunting di tangan Bu-tek Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan diri daripada lingkaran, bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.

Sementara itu, melihat munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gem­bira dan ia cepat-cepat menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan menotok atau meng­usap, pulih kembali jalan darah di tubuh Po Leng In. Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali. Rambutnya terbabat separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri meme­gang rambut berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan kanannya meng­ambil pedangnya, lalu ia sejenak meman­dang wajah Kwi Lan. Kemudian ia mem­bungkuk dan berbisik. “Terima kasih ba­nyak, mudah-mudahan aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali de­ngan kerikil kecil sanggup memukul run­tuh pedangku dari tangan Bu-tek Siu-lam.”

“Kerikil? Meruntuhkan pedang? Aku tidak.... ah, agaknya Si Berandal yang melakukannya.”

“Si Berandal?”

“Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”

Wanita itu menengok dan mengerut­kan keningnya. Biarpun pemuda yang disebut Berandal oleh penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata Po Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan putih, dan se­orang pemuda pakaian putih telah berdiri di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu. Ia memandang tajam dan pada saat itu, terdengar suara pemuda yang melawan Bu-tek Siu-lam, yang biar­pun terdesak masih tertawa-tawa.

“Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah mengenal ilmu silatku?”

Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu melawannya, ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum da­pat menduganya dari cabang persilatan mana, Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga! Saking panas hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang biasanya hanya ia pergunakan kalau menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan tetapi karena ia ingin memaksa Si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat ia kenal asalnya, maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum besar diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia menjepit jarum itu, siap dipergunakan bila perlu.

“Heh-heh, memang kau bertubuh pria berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting. Eh, kau sen­diri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kautuduh aku yang bukan-bukan menyerangmu secara meng­gelap?”

“Bocah setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, sete­lah mengenal ilmu silatmu, aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”

“Heh-heh, tak mudah, sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan menjahit tubuhku lalu kaujadikan barang mainan? Cih, tidak tahu malu. Kalau laki-laki, kau tua bangka dan kakek-kakek, kalau wanita, kau juga sudah nenek-nenek. Siapa sudi.... aiiiihhh....!” Hauw Lam berseru terkejut dan cepat ia melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi diri. Gerakan memutar golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi gerakan­nya membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan, sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu sungguh tidak tepat kalau dikatakan ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyela­matkan diri dari sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.

“Aihhh, bukan berandal yang menyam­bitkan kerikil!” Kwi Lan berkata. Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan mengangguk-angguk, ke­mudian sekali lagi ia memberi hormat kepada Kwi Lan lalu berlari cepat me­ninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak ada gunanya ber­ada di situ lebih lama lagi. Ia harus cepat pulang untuk melapor kepada guru­nya!

Kwi Lan belum melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena perhatiannya tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan tangguh itu. Ketika ia bergerak hendak mencabut pedangnya dan melon­cat membantu Hauw Lam, tiba-tiba ber­kelebat bayangan putih di depannya dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan serius dan telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.

“Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki, apa­kah tidak sudah tadi pemuda sembrono itu menjadi korban guntingnya? Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya yang aneh dan selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan dirobohkan. Ka­lau Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan engkau bahkan memba­hayakan keselamatannya dan keselamat­anmu sendiri.”

Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan men­cegahnya membantu Hauw Lam itu. Ia seorang laki-laki muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya membayangkan kematangan jiwa sehingga tampak gurat­an-guratan nyata. Wajah yang tampan dan penuh kesabaran, penuh pengertian, namun sinar matanya amat kuat berwiba­wa. Pakaiannya sederhana serba putih dari kain yang kasar, pakaian dan topi­nya seperti seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini. Namun hatinya mendongkol karena ia dicegah membantu Hauw Lam.

“Justeru karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!” bentaknya penasaran karena ia anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah melarangnya membantu? “Apa kaukira aku tidak mampu menan­dingi tua bangka genit itu?”

Tanpa menoleh kepadanya laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh kesungguhan. “Dia itu lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!” Sebelum Kwi Lan sempat membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan sekali se­hingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apalagi ketika pemuda itu menyerbu ke dalam pertempuran, terdengar Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.

Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu dan pensil kayu di kedua tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi mengapa Bu-tek Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur? Ia tidak tahu bahwa dalam segebrakan saja, tadi, pemuda itu telah menotok tujuh belas jalan darah terpenting dengan se­pasang senjatanya kalau mengenai sasar­annya akan cukup kuat merobohkan la­wan sekuat Bu-tek Siu-lam! Karena inilah Bu-tek Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur menghindarkan diri.

Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang pemuda itu dan pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar ke arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi inilah kekeliruannya. Gadis ini tidak men­duga dan tidak tahu siapa yang menye­rangnya, maka ia yang amat percaya akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang me­nyerangnya dari belakang adalah Thai­lek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima “dewa”, jadi lebih lihai daripada gurunya sendiri! Tangkisannya tidak ada artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya sudah dipencet, membuat gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja Thai-lek kauw-ong mengempit tubuh gadis itu di le­ngan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat sekali meninggalkan puncak.

“Heh-heh, biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan mem­buatnya sibuk. Kalau aku membantu keenakan untuk dia!” gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang sama sekali tidak mempedulikan kesetiakawanan.

Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main karena sebegitu lama belum juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini karena mendatang­kan dua macam angin pukulan yang ber­lawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam kehalusan gerak ini tersembunyi tenaga yang amat dah­syat. Tahulah ia bahwa pemuda baju putih ini bukan orang sembarangan pula. Diam-diam ia mengeluh. Pemuda beran­dalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat aneh yang tak dikenalnya sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang demikian dahsyat ilmu­nya. Benar di dunia telah muncul jago-jago muda yang amat hebat!

“Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau sahabat dia.... eh, Si Beran­dal mentah ini?”

Sebelum pemuda baju putih yang pen­diam dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki berandal mentah sudah mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu ma­lu! Makin banyak datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit! Ataukah engkau hendak menggunakan lagak pe­rempuan lacur untuk merayu dan me­nyembunyikan rasa takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini membantuku dan menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek Siu-lam adalah seorang manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut dibasmi....”

“Siuuutt.... klik-klik....!” Gunting be­sar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan pinggang Hauw Lam.

“Haya.... sayang tidak kena....!” Hauw Lam berhasil menangkis dengan goloknya, guntingan pertama ke arah lehernya, namun goloknya sempat terlepas dari tangannya yang terasa panas dan pada saat guntingan ke dua ke arah pinggang­nya mengancam sehingga jalan satu-satu­nya baginya untuk menyelamatkan diri hanya membuang diri ke belakang dan bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan karena berarti ia kalah, mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih menolongnya, menang­kis gunting sehingga pemuda yang nakal biarpun mukanya pucat dan dahinya me­ngeluarkan keringat dingin, masih sempat mengejek juga!

Kembali Bu-tek Siu-lam, tercengang. Tangkisan Hauw Lam tadi, sungguhpun cukup kuat, akan tetapi tidak menghe­rankan karena senjata pemuda itu ada­lah sebatang golok besar yang berat. Akan tetapi, biarpun hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental dan ia merasa tenaga yang tersalur pada guntingnya membalik sehingga lengannya terasa kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar matanya memandang wajah pemuda itu dengan penuh perha­tian.

Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal, ia pernah menjadi orang keperca­yaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam (pembesar kebiri) yang dipercaya untuk mengurus segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum menjadi thaikam, Bu­-tek Siu-lam telah memiliki ilmu kepan­daian tinggi, maka biarpun dikebiri, ia tetap menjadi seorang laki-laki yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu ke­hilangan kemampuannya sebagai laki-laki, sebaliknya Bu-tek Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat menjadi thaikam itu hanya mele­nyapkan kemampuannya mendapat ke­turunan saja.

Biarpun dengan kenyataan ini diam-diam dapat merajalela dan merusak ke­susilaan yang dijaga keras di dalam is­tana dengan melakukan hubungan-hubung­an gelap dengan para puteri dan selir raja, namun pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat pengebirian, mendatangkan sifat kewani­ta-wanitaan kepada dirinya seperti ke­pada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain, timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada pemuda-pemuda tam­pan, hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik! Kebia­saan seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak normal dan boleh dibilang men­dekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan telah berhasil melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para selir, ia ketahuan dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung oleh raja yang marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke timur dan berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup da­lam dunia pengemis.

Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya hati seorang kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang mengejek dan menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian. Kemudian muncul pemuda baju putih yang pendiam dan juga amat tampan wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apa­lagi mendapat kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai daripada Si Pemuda Berandalan, bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat mengalahkan pemuda ini dengan mudah.

“Orang muda, boleh juga kepandaian­mu. Siapakah engkau dan mengapa eng­kau memusuhi Bu-tek Siu-lam tanpa alasan?”

Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. “Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku mendengar tentang na­mamu yang besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu. Aku she Kiang, bernama Liong, dari kota raja. Memang tidak ada permusuhan di antara kita, aku hanya tidak ingin kau mence­lakai orang lain. Sobat muda ini benar karena telah menolong seorang Nona yang hendak kauperhina....“

“Hi-hik, jadi engkaukah yang menyam­bitkan kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal sombong ini, dan....”

“Ah....!” Tiba-tiba Hauw Lam memo­tong, memandang pemuda baju putih itu tanpa menghiraukan Bu-tek Siu-lam lagi. “Kiranya Kiang Kongcu....! Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota raja Sung, putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas....!”

Pemuda baju putih yang mengaku bernama Kiang Liong itu menahan se­nyum. Memang tidak salah dugaan Hauw Lam. Pemuda baju putih ini memang be­nar Kiang-kongcu, putera Pangeran Kiang yang sulung. Para pembaca ceritaCINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat bahwa ibu pemuda ini bernama Suma Ceng dan sebelum Suma Ciang menikah dengan Pangeran Kiang, ia telah me­ngandung anak sulung ini! Jadi siapakah ayah pemuda ini? Bukan lain adalah Su­ling Emas! Sebelum menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling cinta dengan Suling Emas dan karena keduduk­an mereka tak memungkinkan perjodohan di antara mereka, maka dengan nekat mereka melakukan hubungan gelap yang mengakibatkan Suling Emas disiksa (ke­tika itu belum sakti) dan Suma Ceng di­kawinkan dengan Pangeran Kiang. Tentu saja Kiang Liong sendiri tidak tahu akan hal ini yang menjadi rahasia besar dan hanya diketahui oleh dua orang saja, yaitu tentu saja Suling Emas dan Suma Ceng.

Bagi Kiang Liong, Suling Emas adalah pendekar sakti yang ia kasihi, hormati dan taati, karena Suling Emas adalah gurunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil. Masih teringat olehnya be­tapa ketika ia berusia sepuluh tahun, pada suatu malam Suling Emas memasuki kamarnya, dengan sikap manis mengajak­nya bercakap-cakap kemudian mengajak­nya keluar dan mulai malam hari itulah ia menjadi murid Suling Emas. Murid terkasih dalam rahasia, bahkan ibu kan­dungnya sendiri tidak mengetahui akan hal yang dirahasiakan ini. Lima tahun kemudian, setelah ia berusia lima belas tahun, barulah ayah ibunya tahu akan hal ini. Ayahnya marah-marah, akan tetapi setelah mendapat penjelasan ibunya, ma­rahnya mereda dan sejak itu ia menjadi murid Suling Emas secara berterang.

Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau bertemu dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu mengajaknya berlatih di da­lam taman bunga.

“Sobat baik, engkau terlalu memuji. Akan tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau segera dapat mengenal­ku “

Adapun Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah murid Suling Emas, menjadi kaget dan kagum sekali, disamping pera­saan tidak enak di hatinya. Dari sambar­an batu kerikil yang mengenai lengannya dan tangkisan pensil terhadap guntingnya saja sudah membuktikan betapa tinggi ilmu kepandaian pemuda itu. Kalau mu­ridnya sepandai ini, betapa hebat kepandaian gurunya yang dianggap musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!

“Heh-heh, kiranya engkau murid Su­ling Emas? Bagus sekali! Orang muda yang tampan, kaukatakan kepada Gurumu bahwa kalau dia memang seorang pende­kar sakti, boleh dia menghadapi Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)!”

Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Hemmm, Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan mereka itu?”

“Hi-hik, pantas sekali engkau belum tahu karena nama itu baru tadi dilahir­kan. Dengarkan baik-baik dan kaucerita­kan kepada mereka yang menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kang-ouw. Bu­tek Ngo-sian mulai hari ini menguasai dunia persilatan yang kalian sebut kaum sesat sebagai pengganti Thian-te Liok­-kwi yang telah lenyap! Pertama-tama adalah aku sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, kemudian Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong, dan Sian-twanio. Sayang kau datang terlambat, kalau tidak tentu dapat berjumpa dengan mereka. Akan tetapi, dapat kuperkenal­kan Thai-lek Kauw-ong....!” ia menoleh ke arah raksasa gundul tadi duduk lalu berseru, “....ehhh.... kemana Kauw-ong?”

“Heeeiii, mana dia Mutiara Hi­tam....?” Hauw Lam juga berseru sambil memandang ke sana ke mari. “Kiang­kongcu, tentu dia dibawa lari setan gun­dul tadi. Mari kaubantu aku mengejar­nya!”

Kiang Liong adalah seorang pemuda yang tenang dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan tetapi ia pun merasa khawatir karena tidak melihat bayangan dua orangitu. Ia merasa heran betapa kakek gundul itu dapat bergerak sedemi­kian cepatnya dan tanpa ia ketahui. Hal itu saja sudah jelas membuktikan bahwa kakek gundul itu tentu lihai bukan main. Ia mengangguk lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih dahulu.

Bu-tek Siau-lam terkekeh ketawa. “Hi-hi-hik, Kauw-ong, engkau mencari penyakit! Tidak membantuku malah mem­bawa lari gadis galak tadi. Biar kaurasa­kan betapa lihainya orang-orang muda sekarang, hi-hi-hik!” Ia lalu turun dari puncak, memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak mengikuti datuk itu turun gunung.

***

“Hei, kakek gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku, dan ke mana?”

Thai-lek Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang dikempitnya itu tenang dan ketus, sedikit pun tidak membayangkan rasa takut. Di samping ketabahan ini, juga menurut perhitungannya, gadis yang su­dah ia lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya dapat bicara lagi. Kemu­dian, rasa kagetnya bertambah ketika secara tiba-tiba tubuh yang ramping itu meronta dan tangan kanan Kwi Lan me­nyambar dahsyat ke arah lambungnya. Thai-lek Kauw-ong adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang memiliki tenaga hebat dan kuat sekali, maka ten­tu saja ia pun mengenal pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat ber­bahaya ini. Untuk menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada lain jalan ba­ginya kecuali melepaskan kempitannya dan menggunakan pinggulnya yang digerakkan tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi Lan terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal, namun tamparan tangan kirinya pada pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak gagal sama sekali.

“Plakk!” Dan tubuh Thai-lek Kauw­-ong terhuyung sedikit. Ia terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang Kwi Lan yang sudah berdiri dengan sikap gagah dan muka mengandung kemarahan. Tentu saja kakek kosen ini sama sekali tidak tahu akan latar belakang peristiwa ini. Kwi Lan adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang menurunkan ilmu aneh, ilmu-ilmu silat tinggi yang dipela­jari secara sesat, sehingga menghasilkan ilmu yang lain sekali daripada ilmu silat tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali daripada aselinya. Demikian pula dalam melatih lwee-kang dan memper­kuat sin-kang, Kwi Lan mempunyai cara berlatih yang amat aneh sehingga hasil­nya pun luar biasa dan kadang-kadang ia dapat melakukan hal dengan sin-kang yang takkan dapat dilakukan oleh ahli lwee-keh yang sudah lebih tinggi tingkat­nya! Inilah sebabnya mengapa dalam berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu singkat saja Kwi Lan sudah mam­pu membebaskan diri. Menurut perhitung­an Thai-lek Kauw-ong, totokannya itu akan melumpuhkan lawan selama dua belas jam. Akan tetapi, baru tiga empat jam ia lari turun gunung, gadis itu sudah mampu membebaskan diri, bahkan sekaligus menyerangnya dengan pukulan maut!

“Hemm, kau boleh juga, patut men­jadi. murid Thai-lek Kauw-ong!” Kakek gundul yang tidak pandai bicara itu ber­kata sambil mengangguk-angguk.

Kwi, Lan selain pemberani, juga amat cerdik. Ia kini tidak berani memandang rendah orang lain. Sudah terlalu banyak ia melihat orang-orang pandai yang ilmunya. luar biasa seperti Pak-kek Sin-ong, Lam-kek Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi pun ia melihat betapa lihainya Bu-tek Siu-lam. Kakek gundul tinggi besar ini tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Buktinya, tanpa dapat ia cegah tadi telah menawahnya sedemikian mu­dahnya. Setelah kini mendengar bahwa kakek itu menawannya dengan niat mengambilnya sebagai murid, Kwi Lan men­jadi lega hati dan tersenyum mengejek.

“Kakek gundul, jangan kau mimpi pada siang hari! Kau ingin menjadi Guruku? Sungguh lamunan kosong! Sampai di ma­nakah tingginya ilmu kepandaianmu maka kau mempunyai keinginan seperti itu? Apakah kau mampu menandingi....Bu Kek Siansu?”

Thai-lek Kauw-ong membelalakkan ke­dua matanya dan mulutnya terbuka. Se­jenak ia tidak mengeluarkan suara. Sudah terlalu lama ia mendengar tentang nama besar Bu Kek Siansu yang disebut oleh segala macam golongan dengan sikap hormat dan kagum, bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat betapa orang-orang pandai demikian menghormat, biar­pun ia sendiri belum pemah jumpa, sedikit banyak ia merasa segan juga. Akan tetapi kini mendengar ucapan gadis ini yang mengandung tantangan ia segera menjawab.

“Aku ingin mencoba kepandaiannya? Apakah dia Gurumu?”

“Bukan. Sayang aku bukan muridnya karena kalau aku muridnya, tentu sejak tadi kau sudah menggeletak tanpa nyawa lagi. Kau belum cukup pandai untuk menjadi Guruku kalau kau belum mampu menandingi Bu Kek Siansu!”

Panas hati kakek itu. Selama ini, sudah puluhan tahun ia tidak pernah menemui lawan yang sanggup mengalah­kannya. Selama puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di laut timur telah menghasilkan ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping himpunan tenaga Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan dengan mengambil dasar gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di pulau-pulau kosong. Di samping Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya sepasang gembreng amat he­bat. Suaranya saja sudah dapat meroboh­kan seorang lawan tangguh. Tidak meng­herankan apabila kakek ini tidak pernah bertemu tanding dan kemenangan-keme­nangan itu membuatnya haus, haus akan pertandingan-pertandingan baru dan ke menangan-kemenangan baru.

“Boleh coba! Hayo siapa yang dapat mengalahkan aku?” seru kakek itu sambil berdiri tegak, agak membungkuk seperti seekor monyet besar.

Kwi Lan tertawa lalu berkata, “Wah, lagaknya! Tentu saja, karena tahu di sini tidak ada siapa-siapa lalu mengeluarkan ucapan besar dan bersumbar! Sekarang begini saja, eh.... siapa namamu tadi?”

Thai-lek Kauw-ong menyipitkan mata­nya, memandang penuh perhatian. Masih terbayang ia akan Bu-tek Siu-lam yang mempermainkan Po Leng In tadi dan diam-diam ia membayangkan bahwa gadis di depannya ini jauh lebih cantik jauh lebih indah bentuk tubuhnya daripada Po Leng In! Thai-lek Kauw-ong bukan se­orang bermata keranjang, bahkan sudah puluhan tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita. Namun, perbuatan, Bu-tek Siu-lam tadi membuat hatinya ber­gerak dan nafsu yang sudah lama tidur kini ikut bergerak hendak bangkit kem­bali.

“Orang menyebutku Thai-lek Kauw-­ong,” jawabnya singkat.

“Wah, cocok. Memang mukamu seperti raja monyet! Dan melihat nama julukan­mu, tentu engkau memiliki tenaga besar.

Nah, sekarang coba kauperlihatkan ke­pandaianmu agar dapat kubandingkan dengan ilmu-ilmu yang pernah kusaksikan dari Bu Kek Siansu.”

Thai-lek Kauw-ong berpikir sejenak.

Ia harus mendemonstrasikan kepandaian, terutama tenaganya untuk menundukkan gadis yang beraniini. Ia melihat seba­tang pohon tak jauh dari tempat itu, maka ia mendapat pikiranbaik. Ia menu­dingkan telunjuknya ke arah pohon sam­bil berkata.

“Kaulihat, dari tempat ini aku sang­gup sekali pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!”

Kwi Lan memandang dan ia terce­ngang. Betulkah itu? Seorang yang me­miliki sin-kang amat hebat sekalipun, sekali memukul dari jarak jauh pa­ling-paling hanya akan membikin rontok puluhan , helai daun. Pohon itu daunnya amat lebat, tidak hanya puluhan, bahkan ratusan dan ribuan helai daunnya! Mung­kinkah kakek ini akan mampu memukul rontok semua daun itu hanya dengan sekali pukul? ia tidak percaya dan meng­geleng kepala, tersenyum lebar dan ber­kata.

“Kakek sombong, bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat buktinya sendiri? Akan tetapi kau harus merontok­kan semua daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan.”

“Hemm, kaulihat baik-baik!” Thai-lek Kauw-ong berseru, panas juga hatinya diejek dan digoda oleh nona yang pandai bicara itu.

Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk ke­dua lututnya sampai hampir berjongkok, tubuhnya merendah dan ia mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang, kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk ujung menempel di kedua pangkal paha matanya mencorong memandang ke arah pohon itu, kemudian dari kerongkongan­nya keluar suara kasar dan parau seperti suara burung gagak dan kedua tangannya didorong ke depan, agak ke atas meng­arah pohon. Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua. lengan tangan raksasa gundul ini menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon, membuat batang pohon se­perti didorong tenaga raksasa sehingga miring dan cabang-cabangnya bergoyang­-goyang sehingga semua daunnya rontok dan melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.

Kwi Lan terkejut sekali. Sekilas pan­dang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu benar-benar telah berhasil merontok­kan semua daun pohon sekali pukul! Ketika ia melihat daun-daun rontok ber­hamburan sebagian melayang ke arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangan cepat sekali, menyambar dan menangkap bebe­rapa helai daun lalu mengerahkan tenaga sin-kang menyambitkan daun-daun itu ke arah dahan pohon. Daun itu masih me­layang-layang akan tetapi melayang ke atas dan dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!

“Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masi, ada beberapa helai daun yang tinggal, tidak rontok semua!” Kwi Lan mengejek, Gadis ini tidak peduli apakah kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak ka­rena ia memang hanya berniat meng­gangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk membuktikan bahwa ia pun bukan tidak memiliki kepandaian.

Dan sebetulnyalah bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan. Raksasa gundul yang sudah berdiri tegak kembali napasnya agak ter­engah karena tadi ia telah memperguna­kan tenaga besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rohtok dan tentu saja ia tadi melihat gerakan Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan gerakan Sian-twa­nio ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!

“Eh, Nona.... apa hubunganmu dengan Sian-twanio....?”

Kini Kwi Lan yang menjadi terce­ngang. Ia cukup cerdik untuk menghu­bung-hubungkan sesuatu persoalan. Kakek gundul ini agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata ra­hasia maka menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.

“Bibi Sian adalah Guruku. Apakah kau kenal dengan Guruku?”

Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya mukanya yang menjadi berseri gembira. “Hemm, dia itu adik termuda dari Bu-tek Ngo­sian. Aku yang paling tua. Kausebut aku Twa-supek (Uwa Guru Tertua)!”

Kwi Lan mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada hubungan ini? Siapa dan apa­kah Bu-tek Ngo-sian itu? Guruku tidak pernah bercerita tentang itu kepadaku.“ bantahnya meragu.

Thai-lek Kauw-ong mengangguk. “Ten­tu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama. Kedua adalah Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke lima Gurumu. Bu-tek Ngo-sian menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi.”

Kwi Lan tidak puas. Biarpun ia tahu bahwa gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadang-kadang tidak waras jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya. Mana mungkin gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini? Betapapun juga, hal itu merupakan perto­longan baginya, karena setelah kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan diganggunya.

“Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu saja aku tidak dapat menjadi muridmu.”

Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin mengambil murid, hanya terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek Siu­-lam mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab.

“Bukan murid. Kita orang sendiri. Kautemani aku beberapa hari. Keponakan harus bersikap manis kepada Supeknya.” Sambil berkata demikian, sepasang mata itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan pandang matanya. Kwi Lan bergidik. Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapl biasanya ia hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau hatinya terlalu jengkel, menghajar si pemandang. Kini melihat pandang mata Si Kakek Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia merasa ngeri, sungguhpun hal ini belum menim­bulkan rasa takut.

Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan karena seolah-olah mem­bebaskan dia pada saat yang tegang. Mereka berdua menengok dan tampaklah dua orang penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian indah dan gagah, penuh hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang pang­lima Khitan. Kepala mereka memakai topi yang berhiaskan bulu burung yang amat indah, sikap mereka angker dan gagah. Melihat sikap mereka dan cara mereka duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing ini ten­tu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa­lagi gagang dan sarung senjata yang ter­gantung di pinggang mereka berhiaskan emas permata! Kwi Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka itu, akan tetapi ia dapat men­duga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena inilah, otak­nya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek Kauw-ong.

“Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan dua orang pe­nunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau memang gagah per­kasa!”

Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena terlalu lama bertapa mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan tentu saja ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu sengaja memanaskan hatinya untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang penuh nafsu berahi tadi, dan menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio besar-benar belum merasa yakin akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera menjawab.

“Baik, kaulihatlah!”

Sambil berkata demikian, tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat membuat loncatan tinggi melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah udara, kakek itu sudah menyambar ke depan dan kedua tangan­nya mencengkeram ke arah pundak dua orang panglima itu sambil berseru keras.

“Turun kalian....!” Suaranya keras, sambarannya cepat.

Akan tetapi dua orang panglima itu biarpun merasa ngeri, ternyata benar-benar bukan orang sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak de­ngan jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring. Terdengar suara keras dari pa­tahnya tulang-tulang punggung kedua ekor kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya tubuh dua ekor kuda besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat dibayang­kan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan tulang-tulang punggung patah-patah

Dua orang Panglima Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama de­ngan bentuk Thai-lek Kauw-ong itu se­sungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu keduanya adalah dua orang panglima yang berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan yang mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju depan dada. Nama kakek ini adalah Hoan Ti-ciangkun. Adapun orang ke dua yang bermuka bengis adalah Loan Ti-ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal pada lukisan pilar benteng di de­pan dadanya. Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun inilah adanya dua orang pang­lima yang belum lama ini telah menyam­paikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas. Selain ilmu kepan­daian kedua orang panglima ini lihai, juga mereka berdua merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khi­tan mengadakan hubungan dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu, kedua­nya amat mahir berbahasa selatan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun me­makai nama Hoan Ti-ciangkun dan Loan Ti-ciangkun. Mereka merupakan pang­lima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak muda mereka sudah menjadi perajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan mereka ber­kat ilmu kepandaian mereka yang tinggi.

Tanpa sebab sama sekali kini mereka dalam perjalanan pulang ke Khitan telah diserang Thai-lek Kauw-ong sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja mereka menjadi marah sekali di samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai orang-orang berpengalaman, me­reka maklum akan keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan amarah. Hoan Ti-ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus, menoleh ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan, mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.

“Kasihan, kalian menderita tanpa dosa.” Setelah berkata demikian, Hoan Ti-ciangkun melangkah maju setindak dan tangan kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan jarak jauh yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu berhenti ber­kelojotan karena pukulan yang tepat mengarah kepala itu membuat dua ekor blnatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti-clangkun bersama kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.

“Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan merasa belum per­nah kenal dengan Lo-suhu, juga tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami? Sia­pakah Lo-suhu?”

Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua orang pang­lima itu sehingga tidak mengherankan apabila Ratu Khitan mengagkat mereka sebagai utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah pimpinan Ratu Yalina selalu berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan rak­yat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya membuat Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan, padahal kera­jaan-kerajasn lain telah ditaklukkannya.

Siapa kita, ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah. Hal ini karena dua orang panglima itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi se­orang hwesio. Agaknya karena ia berke­pala dundul maka orang Khitan itu me­nyangkanya hwesio, tidak tahu bahwa gundulnya adalah gundul aseli, bukan karena dicukur, melainkan gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lek-kang!

“Aku Thai-lek Kauw-ong bukan pandeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada permusuhan. Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian, kakek gundul itu sudah menerjang maju kalang-kabut, menggunakan kedua lengannya yang besar dan kuat.

Dua orang panglima Khitan itu men­dongkol bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul yang bukan hwesio ini telah membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik, mereka berdua yang men­taati pesan ratu mereka tentu akan suka mengakui keunggulan Si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka diserang, maka keduanya cepat mengelak dan bah­kan kini balas menyerang.

“Ji-wi Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalah­kan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan berteriak dan kini kedua orang panglima itu dapat menduga sebabnya mengapa Si Gundul ini bertindak secara edan-edanan. Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja Si Gundul ini hendak memamerkan kepandaian kepada Si Gadis Cantik! Keparat, sudah tua bangka, mukanya seperti mo­nyet, masih hendak berlagak di depan seorang gadis remaja! Pikiran ini mem­buat kedua orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka lalu berdecak dan menyerang sungguh-sungguh.

Dua orang panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka melakukan penyerang­an. Biarpun mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata tajam, namun me­lihat bahwa lawan mereka tidak meme­gang senjata, mereka juga tidak men­cabut senjata, melainkan maju menerjang dengan kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa biarpun mereka berdua ada­lah panglima-panglima Khitan, namun me­reka memiliki ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya tahan, juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.

Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan orang sembarangan, akan tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki lwee­kang demikian kuatnya, maka karena ia merasa khawatir kalau-kalau tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan diremehkan Kwi Lan, kakek ini segera mengeluarkan se­ruan keras sekali dan tubuhnya lalu ber­gerak berpusingan dengan kedua lengan dikembangkan. Hebat bukan main akibat­nya gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh kakek itu makin cepat berputaran, angin pun makin hebat pula berpusingan. Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Ja­rang sekali Thai-lek Kauw-ong menge­luarkan ilmunya yang ampuh ini, seka­rang karena dalam hatinya timbul do­rongan nafsu dan ingin sekali ia mem­buat Kwi Lan kagum akan kepandaiannya, ia hendak merobohkan kedua lawannya itu dalam waktu sesingkat-singkat­nya!

Dua orang panglima itu terkejut bu­kan main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu sedemikian lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai menggigil dan perlahan-lahan tubuh mereka mulai men­doyong dan akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat tenaga angin berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan terhuyung-huyung ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu. Ter­lambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi mereka ber­dua mengerahkan tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan terlempar entah ke mana, dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hong­sin-ciang yang hebat itu. Hoan Ti-ciang­kun dan Loan Ti-ciangkun, berusaha men­cabut senjata mereka, namun terlambat, karena pada saat itu, sambil memutar-mutar tubuhnya, kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua tamparan me­ngenai pundak Hoan Ti-ciangkun dan dada Loan Ti-ciangkun. Dua orang pang­lima itu mengeluh dan terlempar ke be­lakang, masih berputar karena kini mereka terbawa angin, kemudian roboh ter­guling-guling! Pada saat itu terdengar suara melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup dengan indahnya. Namun, ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara suling yang masih merdu itu kini mengandung nada kemarahan dan mengandung pula penga­ruh yang membuat jantung Kwi Lan ber­detak keras. Seketika tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut sekali gadis ini. Sebagai murid Kam Sian Eng, tentu saja ia mak­lum bahwa suara melengking yang meru­pakan nyanyian suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah mengajarkan kepadanya tentang ilmu menyerang lawan menggunakan sua­ra ini, akan tetapi selama hidupnya be­lum pernah ia menyaksikan pengaruh yang begini hebat sehingga secara lang­sung merampas tenaganya! Gurunya sen­diri tidak akan mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum bahwa hal ini amat berbahaya baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk bersila dan mengerahkan se­luruh tenaganya untuk melindungi jan­tungnya.

Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi ter­kejut sekali ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi sehingga tubuh­nya yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan niat hatinya untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang panglima Khitan itu, dan menghentikan gerakannya sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melawan suara itu. Tiba-tiba suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang bagian bawah mukanya tertutup sehelai saputangan. Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan kepalanya terlindung sebuah topi lebar pinggirannya yang sudah butut. Thai-lek Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah seorang lawan yang tang­guh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti dua orang Panglima Khitan yang tiada guna itu.

“Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”

“Thai-lek Kauw-ong sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah mengangkat nama besar dengan perbuat­an-perbuatan keji dan ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu di sini dan kem­bali engkau telah berlaku sewenang-we­nang mengandalkan kepandaianmu. Andai­kata aku tidak mengambil pusing sulingku ini saja tentu takkan membiarkan engkau melakukan segala macam keganasan se­kehendak hatimu sendiri!” Sambil berkata demlkian, orang itu menggerakkan suling­nya di depan dada dan tampak sinar kuning emas berkelebatan menyilaukan mata.

“Ahhh.... engkau.... Suling Emas?” Thai­-lek Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang berubah menjadi sinar kuning emas itu.

Sebelum Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah berkata cepat, “Thai-lek Kauw-ong, engkau mengalahkan dua panglima itu masih tidak aneh. Kalau kau bisa mengalahkan Suling Emas, barulah kau boleh menyebut orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian.

Suling Emas mengerutkan keningnya. Bocah itu benar-benar bersikap berandal­an dan nakal. Ia tahu bahwa gadis ini mulutnya amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang berusaha mengadu kakek gundul ini dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan nakal, dan teringatlah ia kepada Lin Lin atau Ratu Yalina, dahulu di waktu mudanya juga seperti gadis ini. Ataukah seperti Kam Sian Eng? Kalau gadis ini murid Sian Eng, agaknya puteri adik tirinyaitu. Ia tahu bahwa Sian Eng telah menjadi korban cinta kasihnya ke­pada Suma Boan, putera pangeran yang jahat itu dan setelah Suma Boan tewas di tangan Sian Eng dan Lin Lin, Sian Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah gila dan secara aneh dan mendadak telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat! Puteri Sian Engkah gadis cantik yang liar dan nakal ini?

“Hemm, kebetulan sekali. Pak-sian-ong mengatakan kau lihai, ingin aku mencobanya. Suling Emas, kausambutlah seranganku ini!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek gundul itu kembali berputar-putar amat cepatnya, seperti ketika ia menyerang dua orang Panglima Khitan tadi. Makin lama makin cepat gerakannya dan mulai terdengar angin berdesing menyambar keluar dari kedua lengan tangannya yang dipentang lebar. Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka begitu menyerang, Thai-lek Kauw-ong sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Soan-hong-sin-ciang!

“Aahhh, sayang sekali ilmu yang be­gini hebat menjadi milik seorang yang gila nama dan kemenangan.” kata Suling Emas sambil menarik napas panjang. Menghadapi angin yang mulai berpusingan itu Suling Emas bersikap tenang sekali, menyelipkan sulingnya di pinggang kemudian berdiri tegak menghadapi lawan yang kini sudah berpusingan amat cepat­nya itu. Makin cepat tubuh Thai-lek Kauw-ong berputar dan angin yang berpusing di sekeliling tubuhnya amat kuat. Dengan angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil membuat dua orang Pang­lima Khitan terhuyung-huyung. Kini me­lihat sikap Suling Emas yang berdiri te­nang dan biarpun pakaian pendekar sakti ini berkibar tertiup angin yang berpusing, namun tubuhnya tetap tegak, sedikit pun tidak bergeming. Thai-lek Kauw-ong lalu berseru keras dan tubuhnya yang ber­putar itu mulailah bergerak menyerang. Inilah ilmu Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sepenuhnya. Tubuh itu berpusingan sukar dlikuti pandang mata saking cepatnya, bagaikan telah berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap berpusingan ini secara tak tersang­ka-sangka melayang, keluar dua buah lengan tangan yang melakukan pukulan-pukulan dahsyat.

“Hebat....!” Suling Emas memuji. Ia kagum sekali. Kecuali Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang tiba-tiba muncul kembali dan yang ia ketahui memang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, sejak mati atau mundurnya Thian-te Liok-kwi, belum pernah ia bertemu tanding yang memiliki ilmu kepandaian seperti ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang dimainkan kakek gundul ini lain daripada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing itu saja sudah mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan mengamuk, atau pusaran angin yang menghanyutkan. Kalau saja ia tidak memiliki sin-kang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret dan kuda-kuda goyah, berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri dari serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor naga menyambar keluar dari awan tebal itu.

Memang lihai sekali Thai-kek Kauw­-ong dan ia patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Ilmu silatnya. Soan-hong Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan tetapi sekali ini ia bertemu dengan ,Suling Emas, seorang pendekar sakti yang sudah matang ilmunya. Tadi
pun ketika Thai-lek Kauw-ong meroboh­kan dua orang Panglima Khitan dan mengirim pukulan maut hanya dengan suara sulingnya saja Suling Emas sudah mampu “menangkis” atau mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan suling tadi pun bukan sembarang tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat tinggi, yang diperoleh Suling Emas yaitu yang disebut Kim-kong Sin-kiam.

Kini menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sungguh-sungguh serta disertai tenaga dalam, amat kuat itu, Suling Emas menghadapinya dengan tenang. Ia maklum akan lihainya kakek ini dan ia juga merasa sayang. Biarpun belum jelas mengenal kakek ini orang macam apa, akan tetapi sepanjang pen­dengarannya, kakek ini semenjak muncul dari pulau di lautan timur, selalu men­cari perkara dan suka sekali berkelahi, namun tidak ia dengar kakek ini mempu­nyai anak buah penjahat. Maka ia pun tidak ingin membunuhnya, merasa sayang melihat Ilmu kepandaian yang amat tinggi itu. Dengan tenang namun waspada, Suling Emas lalu menggerakkan kedua tangannya. Jari-jarinya terbuka dan te­lunjuk kedua tangannya membuat gerakan mencorat-coret di udara kosong. Hanya tampaknya saja mencoret-coret menulis huruf dengan telunuk di udara, namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in Bun-hoat dimainkan oleh seorang ahli yang sudah matang!

Thai-lek Kauw-ong terkejut setengah mati. Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret, namun semua pukulannya terpental membalik, dan dua buah telun­juk itu sedemikian kuatnya sehingga me­nembus pusaran angin, langsung melaku­kan totokan-totokan pada jalan darah di seluruh tubuhnya. Karuan saja kakek gundul ini menjadi sibuk sekali, menang­kis dan mengelak. Biarpun ia menangkis dengan kedua tangannya dan mengelak cepat-cepat, agaknya kedua tangan dan elakannya masih belum cukup untuk melindungi tubuhnya karena yang menyerangnya bukan lagi dua buah telunjuk, melainkan puluhan buah telunjuk! Demi­kian cepatnya gerakan Suling Emas. Se­lain terkejut, juga kakek gundul ini kagum sekali. Timbul kegembiraan hati­nya karena baru kali ini ia bertemu tanding yanghebat. Ia segera menghenti­kan pusingan tubuhnya dan melayani gerakan Suling Emas dengan sama cepat­nya. Setelah tubuhnya tidak berpusing lagi, ia tidaklah begitu terdesak karena kini ia dapat mencurahkan seluruh per­hatiannya ke satu jurusan saja, yaitu ke depan. Ia masih mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia sengaja mengadu lengan sambil mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa lawannya itu sama sekali tidak takut beradu ta­ngan setiap kali kedua lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental mundur dua langkah, akan tetapi biarpun tubuh Thai-lek Kauw-ong tidak terpental mun­dur ia merasa lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal ini berarti bahwa Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menang seusap dalam tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi besar adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!

“Suling Emas, kau hebat!” Kakek gundul itu biarpun merasa penasaran, namun ia tidak marah melainkan kagum dan gembira. “Kausambutlah ini!” Sambil berkata demikian, tubuhnya yang sudah mencelat mundur itu kini berjongkok dan dari kerongkongannya keluar bunyi burung gagak, kemudian kedua tangannya yang terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah Suling Emas!

Suling Emas belum pernah mendengar akan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong maka tadi ia kagum dan mengira bahwa Soan-hong Sin-ciang itu adalah ilmu simpanan atau ilmu yang diandalkan kakek gundul itu. Ketika melihat kakek itu mencelat mundur dan berjongkok, ia sudah menduga bahwa kakek ini tentu mengeluarkan ilmu lain macam lagi, maka ia waspada dan memasang kuda­-kuda. Ketika mendengar suara seperti burung gagak keluar dari kerangkongan kakek itu, ia terkejut bukan main. Ia pernah mendengar.... tentang ilmu yang amat dahsyat dan yang suaar dimiliki orang, kecuali oleh mereka yang sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu lwee-kang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang, semacam Ilmu yang dimiliki seekor ka­tak. Dengan ilmu ini, katak yang demi­kian kecil dapat mempunyai tenaga yang dahsyat sekali. Ia pernah mendengar penuturan tentang Hoa-mo-kang dan Si pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya juga mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara katak. Kini kakek gundul ini berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini? Suling Emas yang cerdik itu segera teringat akan julukan kakek gun­dul itu. Tak salah lagi, tentulah ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan inilah yang membuat kakek itu dijuluki Thai-lek. Setelah dengan cepat dapat menduga akan dasar ilmu pukulan ini, timbul keinginan hati Suling Emas untuk mencoba pukulan lawan tangguh ini sampai di mana batas kekuatannya. Karena ia tidak mau sembrono dan membahayakan diri sendiri, maka ia hanya mempergunakan tenaga sebanyak tiga perempat bagian saja sedangkan sisa tenaganya ia, persiapkan untuk dipakai meringankan tubuhnya dan meloncat menghindarkan diri.

Melihat Suling Emas berani menyam­but Thai-lek-kang dengan dorongan kedua tangan dari atas ke bawah kakek itu menjadigirang. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia akan menang. Boleh jadi ia tidak mampu menandingi ilmu silat Su­ling Emas yang demikian ajaib, akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu tenaga, tak mungkin ia kalah kuat. Se­lama hidupnya, belum pernah ada orang yang sanggup mengalahkan Thai-lek-kang. Sekali ini pun ia harus dapat menangkan lawan tangguh ini dengan pukulan Thai-lek-kang, maka sambil mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hawa panas mengalir bagai­kan banjir keluar dari pusarnya mela­lui kedua lengan.

Bagi pandangan orang lain, pertemu­an dua tenaga sakti di udara itu tidak kelihatan dan seakan-akan tidak ada apa­-apa. Namun bagi kedua orang sakti ini, seakan-aikan halilintar menyambar dan meledak di atas kepala mereka. Akibat­nya hebat sekali. Dua pasang tangan itu hanya saling menyentuh ketika keduanya mendorong ke depan, namun keduanya merasa seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling Emas terdorong dari bawah dan karena pendekar ini memang sudah was­pada, ia segera menggunakan sisa tenaga­nya untuk meringankan tubuh sehingga ia berhasil “mematahkan” tenaga dorongan dari kedua tangan lawan dengan cara membiarkan tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir empat meter tingginya! Tidak demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa gundul ini menggu­nakan seluruh tenaganya dan ia berdiri kokoh kuat di atas tanah, biarpun ia menang posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah, akan tetapi ia seperti tergencet dan begitu dua tenaga sakti itu bertemu, kedua kakinya amblas ke dalam tanah sampai ke lutut! Selain ini, juga kakek gundul ini merasa napasnya sesak dan seakan-akan dadanya hendak meledak. Thai-lek Kauw-ong terkejut dan maklum­lah ia bahwa lawannya benar-benar amat lihai sehingga kalau ia terus mengguna­kan Thai-lek-kang untuk melawannya, akan terancam bahaya dan bisa mende­rita luka parah di dalam tubuh. Se­bagai seorang ahli ia tidak bodoh dan tidak mau mengulangi penggunaan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang biasanya amat dia andalkan itu. Sekali ia menge­luarkan seruan keras, tubuhnya sudah meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke tanah sudah tercabut keluar dan di kedua tangannya tampak senjata­nya yang ampuh, yaitu sepasang gem­breng.

“Aha, kiranya kepandaianmu hanya sebegitu, saja, Thai-lek Kauw-ong? Belum lecet kulitmu belum patah tulangmu, kau sudah mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya sebegitu kepandaianmu, mana boleh engkau mengangkat dirimu sebagai orang pertama Bu-tek Ngo-sian? Melawan Guruku saja ,kau belum tentu menang!”

Panas rasa perut Thai-lek Kau-ong mendengar ejekan Kwi Lan ini. Suling Emas juga mengerutkan kening. Benar-benar seorang gadis yang bermulut tajam dan berbahaya. Bocah seperti itu patut ia telungkupkan di atas pangkuannya dan dipukuli punggungnya sampai minta-minta ampun dan bertobat! Ia tahu bahwa ka­kek gundul ini merupakan lawan yang tangguh dan sudah merupakan ahli ting­kat atasan yang sukar dicari tandingnya.

“Suling Emas, coba kausambut sen­jataku ini!” Thai-lek Kauw-ong yang kini menjadi penasaran dan marah oleh ejekan Kwi Lan, bergerak maju, sepasang gem­brengnya mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika ia adu-adukan. Tubuh Suling Emas berkelebat dan di depan tubuhnya tampak bergulung sinar kuning emas, yaitu sinar senjata sulingnya yang sudah ia cabut dan gerakkan untuk menangkis datangnya senjata lawan yang hebat.

“Trangg.... trangggg....!” Mata Kwi Lan menjadi silau karena bunga api yang berpijar keluar amat terang, kemudian disambung oleh suara beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya ter­getar. Gadis ini menjadi kagum dan kaget, apalagi ketika dari suling yang digerakkan tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi nyaring yang me­nandingi bunyl nyaring sepasang gem­breng. Riuh-rendah suara suling dan gembreng ini dan Kwi Lan segera men­jatuhkan diri duduk bersila. Ia menyatu­kan semangat dan mengatur pernapasan sambil memandang penuh perhatian. Dua orang itu tampak bergerak makin lama makin cepat. sehingga sukar dibedakan lagi mana Suling Emas mana Thai-lek Kauw-ong.

Adapun suara gembreng dan suling amat aneh. Makin lama makin terasa oleh Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang kini digunakan sebagai senjata itu mulai membentuk irama ter­tentu seakan-akan dua orang itu tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu bersama!

Akan tetapi, makin merdu suara suling dan makin nyaring suara gembreng, makin hebat pula pengaruhnya sehingga akhirnya Kwi Lan tidak dapat menahan lagi untuk memandang pertempuran itu. Ia makin mengerahkan tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan telinganya saja untuk mendengarkan suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong dan ia merasa sangsi apakah gurunya akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu. Makin besar pula kagumnya terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti daripada Thai-lek Kauw-ong. Biar­pun tingkat kedua orang ini lebih tinggi daripadanya, namun pertandingan tangan kosong disusul pertandingan adu tenaga dalam tadi dapat ia ikuti dengan seksama dan ia tahu bahwa dalam dua pertan­dingan terdahulu itu Suling Emas berada di pihak unggul.

Makin lama suara suling dan gem­breng saling serang dengan irama yang cocok, jalin-menjalin, seling-menyeling, kadang-kadang malah ganas dan marah saling menghimpit, akan tetapi adakala­nya merdu merayu seperti sepasang orang muda bercumbu rayu. Akan tetapi kurang lebih seperempat jam kemudian suara suling makin nyaring melengking, sebaliknya suara gembreng makin kacau balau dan menyeleweng daripada irama bahkan terdengar parau tidak keras lagi. Mendengar ini. Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul, maka ia mengangkat muka memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek Kauw­-ong mulai kacau-balau, sepasang gem­brengnya yang berubah menjadi dua gu­lungan sinar kebiruan menjadi makin ciut dan kecil, sebaliknya sinar, kuning emas menjadi makin besar dan panjang, bergulung-gulung menekan dan menghimpit dua gulungan sinar kebiruan. Namun gerakan mereka masih sama cepatnya sehingga tubuh mereka tertutup oleh gulungan sinar senjata.

“Cukuplah!” Tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik kembali sulingnya yang sudah menekan dan membuat lawan ham­pir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan sepasang mata bersinar dan mulut di balik saputangan ia berkata, “Thai-lek Kauw-ong, ilmu kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa terhadap kemanusiaan dengan ilmu kepandaianmu.”

Thai-lek Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak ternganga dan napasnya terengah-engah, mukanya agak pucat penuh peluh, juga pakaiannya basah se­mua, tangan kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah men­ngatur napas dan tidak begitu terengah-engah lagi ia berkata.

“Suling Emas memang lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!” Setelah berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya lalu pergi dari situ dengan langkah lebar.

“Heeei!, Kauw-ong, tentu lain kali kau mengajak teman-temanmu mengero­yok, ya?” Kwi Lan mengejek. Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melang­kah pergi.

“Eh, Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi? Tidak mau mengambil murid kepadaku? Heeei....!” Akan tetapi Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya lenyap di sebuah ti­kungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan baru berhenti tertawa ketika bayangan kakek itu lenyap.

Suling Emas berdiri tegak, mengerut­kan keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu mengejek dan tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng kepa­lanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi ada keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa sungkan, akalnya mengadu domba, semua ini condong ke arat watak yang liar dan tidak baik.

“Nona, apakah dia itu Twa-supekmu (Uwa Gurumu)?” ia bertanya ketika gadis itu menghentikan tawanya dan kini ber­diri di depannya, memandangnya penuh perhatian. Kekaguman memancar daripa­da mata gadis itu dan entah. bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan ia agak gugup melihat pandang mata seperti itu!

“Dia? Twa-supekku? Ah, hanya me­nurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah terbentuk Bu-tek Ngo­sian dan ia menjadi orang nomor satu sedangkan Guruku menjadi orang nomor lima, malah dia menyuruh aku menyebut­nya Twa-supekku. Mana aku percaya? Guruku mana sudi bersekutu dengan dia?”

Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke bawah. “Bukankah Gurumu yang bernama Kam Sian Eng?”

Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya? Ia sendiri baru satu kali mendengar gurunya menyebutkan nama­nya, yaitu ketika gurunya bicara dengan anggauta partai pengemis yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan menerimahajaran. Ia mengangguk heran dan bertanya.

“Eh, bagaimana kau bisa tahu nama­nya?”

Kini Suling Emas tersenyum di balik saputangannya. Kalau sudah bertanya sambil memandang seperti itu, benar-benar gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu! “Tentu saja aku tahu karena sebenarnya aku adalah kakak Gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus kaupanggil Twa-supek!”

Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sang­kanya. Gurunya adik Suling Emas? Akan tetapi mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, ke­kasih ibu kandungnya! Mengapa begini kebetulan?

“Harap.... harap kau suka membuka saputangan itu!”

“He? Apa.... mengapa?”

“Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supekku, bukan hanya orang berkedok saputangan.”

Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut saputangan yang menutupi bagian bawah mukanya.

“Bukankah kau pernah melihat wajah­ku di Kang-hu?”

“Benar, akan tetapi hanya sebentar saja.” jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan penuh garis-garis pengalaman pahit itu. “Hemmm, aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!” Kata-kata terakhir ini ke­luar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan penyesalan. Pada saat itu, Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika menyuruh ia membuka baju, juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah kekasih ibu kandungnya! Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu Khitan?

Suling Emas terkejut, akan tetapi segera tersenyum, “Hemmm, kau masih salah sangka agaknya. Engkau mengang­gap, aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh engkau membuka bajumu? Ah, anak nakal ja­ngankan kini mengetahui bahwa engkau murid Sian Eng dan masih murid kepo­nakanku sendiri. Andaikata tidak tahu sekalipun, aku bukanlah seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar kepada seorang gadis remaja. Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar engkau membuka baju memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka seperti yang dide­rita Yu Siang Ki sebagai akibat pukulan lihai dari Pak-kek Sian-ong.” ,

Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang kembali peris­tiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar ini. Akan tetapi dasar wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.

“Huh, kakek gila tua bangka itu mana mampu begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan kurang waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!”

Suling Emas mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia meng­angguk-angguk. “Agaknya engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka engkau dapat ter­hindar dari pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi sa­yang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau berlaku kurang hormat.” Biarpun mulut Suling Emas masih ter­senyum namun sepasang matanya meman­dang penuh teguran.

Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba memandangnya dengan penuh selidik, kemudian terdengar gadis itu bertanya, suaranya lantang dan agak menggetar perasaan.

“Suling Emas.... ada hubungan apakah antara engkau dan.... Ratu Khitan....?”

Seketika wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin pucat, sepasang mata pendekar itu menyipit dan keningnya berkerut, kening tebal yang hampir bersambung setelah dikerutkan seperti itu. Pertanyaan yang tak disang­ka-sangkanya sama sekali ini datangnya terlalu tiba-tiba, lebih-mengagetkan dari­pada tusukan sebuah pedang yang tajam.

“Apa....? Apa.... maksudmu....?” Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan kekerasan dan kesungguhan.


bersambung 5....................

0 komentar:

Posting Komentar