Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [7]

"Tidak, tidak mengerti." "Tolol! Kau menantang?" "Tidak, Bu Tek Lojin. Kumaksudkan, aku tidak mengerti mengapa
hanya sebuah suling emas saja dijadikan rebutan. Berapa sih harganya suling emas? Agaknya orang-orang kang-ouw
sekarang sudah menjadi mata duitan semua!"


Kakek itu tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi keras dan ia memegangi perutnya, tubuhnya ditekuk
menjadi lebih pendek lagi. "Ho-ho-ho-hah-hah! Goblok, sekali goblok tetap tolol. Kau tahu apa? Suling itu
menjadi kunci rahasia ilmu kesaktian hebat, selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal dari
bintang, siapa memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling ampuh di dunia ini."



"Ah, begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah dan kawan-kawan lain." Kata Lu Sian, akan tetapi di dalam
hatinya sudah timbul keinginan untuk memiliki sendiri suling emas itu.



Kakek itu kaget. Biarpun sakti, agaknya ia mudah kaget. "Bocah gendeng, bikin kaget saja, kukira Bu... eh!" Ia
menghentikan ucapannya, lalu berseru keras. "Muridku! Kau naik ke sini!"



Karena tidak ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian berkata. "Bu Tek Lojin, sudahlah, aku minta diri, hendak
melanjutkan perjalananku."



"Eh, nanti dulu, kaujumpai muridku yang baik!" Hemm, segala murid anak kecil disuruh menjumpai. Akan tetapi
tidak enak kalau membantah dan membuat marahnya kakek sakti ini, maka ia berdiri menanti.



"Bocah tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis sabarku, kujiwir telingamu sampai copot!" teriak kakek itu
marah-marah. Diam-diam Lu Sian merasa kasihan kepada bocah murid kakek ini yang demikian galak.



"Teecu datang, Suhu!" terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak berkelebat bayangan dan tahu-tahu di
situ berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga
panjang! Hampir Lu Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka kanak-kanak ini tidak
tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah panjang jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya,
berpakaian tidak karuan dan bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
gurunya.



"Kalisani, hayo kaulawan perempuan ini, untuk ujian. Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup untuk kaupakai
berlatih!"



Kalisani, murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai bekas Panglima Khitan itu segera bangkit berdiri memandang
Lu Sian, lalu menjura. "Nona, Suhu sudah memerintah kepadaku, terpaksa kuharap Nona suka melayaniku barang
sepuluh jurus!" Setelah berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti orang hendak membuang air, karena ia
berjongkok sampai rendah sekali dan mukanya menahan napas sampai merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini
lucu sekali dan seandainya Lu Sian tidak sudah menduga bahwa lawan aneh ini seorang yang tak boleh dipandang
ringan, tentu ia tidak dapat menahan ketawanya, Lu Sian sendiri memiliki watak aneh, keras hati dan tidak mau
kalah. Sekarang ia ditantang terang-terangan biarpun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek Lojin jauh lebih tinggi
daripada tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut, dan ia harus memperlihatkan kepandaiannya, apa pun yang
akan terjadi. Oleh karena itu, melihat Kalisani sudah memasang kuda-kuda, ia berseru keras.



"Orang hutan, jaga seranganku!" Tubuhnya bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju, langsung mengirim
tendangan dengan ujung sepatunya ke arah leher orang yang berjongkok di depannya. Ketika lawannya melompat ke
belakang sambil mengulur tangan dengan maksud menangkap kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya dan
tubuhnya condong ke depan, langsung tangan kanannya menghantam dada sedangkan tangan kiri dengan dua jari
tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus dari Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti) yang amat berbahaya dan
ganas. Akan tetapi Kalisani bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek Lojin, ia telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di Khitan, tentu saja ia tidak dapat dikalahkan dengan
mudah dan jurus yang berbahaya ini dengan amat mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara melompat ke kanan. Malah
ia segera membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.



Melihat lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali, Lu Sian makin bersemangat. Ia mengelak dari pukulan
itu dan balas menerjang ganas sambil mengerahkan gin-kangnya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular Sakti yang
memiliki jurus-jurus ganas dan berbahaya. Berkat gin-kang Coa-in-hui yang ia pelajari dari Tan Hui, kini
permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti menjadi berlipat ganda lebih lihai daripada sebelum ia memiliki
gin-kang itu.



Diam-diam Kalisani terkejut sekali. Sedikitpun juga ia tidak mengira bahwa lawannya begini hebat. Tadi ketika
ia disuruh suhunya menandingi Lu Sian, ia merasa ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang sudah tua dan
berpengalaman banyak, pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana harus melawan seorang wanita muda? Akan tetapi
karena suhunya yang memberi perintah, tentu saja ia tidak berani membantah. Ia tadinya hendak berjaga diri saja
dan sedapat mungkin mengalahkan wanita ini dengan lunak, karena Kalisani bukanlah seorang pria yang suka
menghina atau menyakiti hati wanita. Siapa kira, kini menghadapi desakan Lu Sian, ia menjadi bingung dan
pandang matanya kabur, demikian cepatnya wanita ini bergerak! Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi, cepat ia
pun mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan tenaga dalam kedua lengannya, mempercepat gerakannya. Alangkah
herannya ketika beberapa kali lengan mereka saling bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia
sendiri merasa betapa hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya! Maklumlah ia kini bahwa biarpun masih
muda wanita yang pantas menjadi lawannya ini lihai sekali. Pantas saja suhunya mengatakan bahwa wanita ini
cukup tangguh untuk diajak berlatih ilmu silat!



Dengan ilmu gin-kang Coa-in-hui, benar-benar Lu Sian dapat menguasai lawannya. Ia menang cepat dan sudah tiga
kali tangannya berhasil menyerempet tubuh lawan, malah satu kali ia berhasil memukul pundak Kalisani. Akan
tetapi tubuh lawannya kebal dan pukulan itu hanya membuat Kalisani terhuyung-huyung sebentar, maka ia berlaku
amat hati-hati dan mencari kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu Sian sengaja mempermainkan lawan dengan
kecepatannya untuk mengacaukan pertahanannya.



"Bocah tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari Khitan itu mana mampu menghadapi Sin-coa-kun dari Beng-kauw?
Tolol! Kau muridku, mengapa tidak menggunakan pelajaran dariku?" Bu Tek Lojin marah-marah, mencak-mencak dan
memaki-maki.



Kalisani memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari Bu Tek Lojin. Ilmu itu ada tiga
macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga sin-kang yang
luar biasa, ke dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa hebatnya, dan ke tiga
adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda Emas), semacam ilmu silat yang dapat dimainkan dengan
tangan kosong, akan tetapi lebih tepat dengan gelang atau roda emas yang ia terima sebagai tanda mata dari
Tayami! Ilmu-ilmu ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk mempergunakannya terhadap Lu Sian yang sama
sekali tidak dikenalnya dan tidak ada permusuhan dengannya. Kini mendengar seruan gurunya, baru ia ingat. Akan
tetapi terlambat. Sebelum ia sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman LuSian mengenai lehernya, membuat
Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian terbentur pohon dan rebah telentang dengan mata mendelik. Pingsan!



"Uuhhh, tolol, mencari mampus!" Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat "jagonya" keok. Ia melompat
dekat dan dua kali menotok leher dan punggung, muridnya sudah merangkak bangun lagi. "Hayo maju lagi, kalau kau
tidak bisa menang kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang kakek ini memiliki watak yang luar biasa
sekali, sama sekali ia tidak pernah mau mengaku kalah terhadap siapapun juga.



"Bu Tek Lojin, aku tidak hendak bermusuh!" kata Lu Sian, mendongkol juga karena sudah jelas ia menang, mengapa
kakek ini nekat menyuruh muridnya maju lagi? "Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa bukan muridmu
saja yang memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku tidak ada waktu lagi."



"E-e-eh, nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah? Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu? Kalisani, hayo maju lagi!"



Lu Sian gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya. Kali ini aku akan memukul mampus muridnya, lihat dia
hendak berlagak bagaimana lagi? Maka ia cepat berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang dengan cepat.



Kalisani sudah bersiap sedia. Ia sudah merasai kehebatan kepandaian lawan, maka sekarang ia cepat merobah
gerakannya dan mainkan ilmu silat Kim-lun-sin-hoat dan mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin. Tulang-tulangnya
berbunyi berkerotokan, ini tanda bahwa sin-kang di tubuhnya telah terhimpun. Sebenarnya, ia belum matang dalam
latihan Khong-in-ban-kin, maka tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi. Kalau ia sudah berhasil menghimpun tenaga
tanpa tulang-tulangnya berbunyi, barulah ilmunya itu sempurna.



Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lu Sian ketika dia menerjang, ia disambut dengan hawa pukulan jarak jauh
yang luar biasa kuatnya, yang menolak setiap gerakannya sehingga ia tidak dapat mendekati lawannya. Sebaliknya,
kedua tangan lawan yang digerakkan berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran seperti roda itu membingungkan
hatinya. Baru belasan jurus, Lu Sian sudah main mundur.



"Hua-hah-ho-ho-ho-hoh!" Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak menyaksikan betapa muridnya dapat mendesak lawan,
"Kalisani, jangan sungkan. Hantam dia sampai babak belur! Comot hidungnya, jewer telinganya, cubit pantatnya,
ha-ha-ha!"



Dapat dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar ejekan-ejekan ini. Kakek tua bangka mau mampus, pikirnya
marah. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak pada saat ia meloncat jauh ke belakang dan dari kedua tangannya itu
menyambar sinar-sinar kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo Jin! Kakek cebol ini masih tertawa-tawa, akan
tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan terkejutlah ia melihat sinar merah menyambar. Namun dengan mudah
saja ia mengebutkan lengan baju dan semua jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang dilepaskan Lu Sian
runtuh ke tanah.



Kalisani sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan menyambar senjata rahasia berbahaya, ia membanting
tubuh ke belakang dan bergulingan, sehingga ia terbebas daripada ancaman jarum maut. Akan tetapi, Lu Sian tidak
mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah mencabut pedang Toa-hong-kiam dan
kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin
badai mengamuk. Kasihanlah Kalisani. Ia berloncatan ke sana ke mari menghindar daripada gulungan sinar pedang,
seperti monyet berjoget.



"Wah, bocah jahat!" Tiba-tiba pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan ketika Lu Sian menoleh, kiranya
pedangnya itu ujungnya sudah dijepit dua buah jari tangan Bu Tek Lojin. Ia marah sekali cepat mengerahkan
tenaga menarik pedang untuk membikin buntung jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun pedangnya tidak
bergeming, masih tetap terjepit dua buah jari tangan.



"Lepaskan pedangku!" "Heh-heh-hoh!" "Bu Tek Lojin, lepaskan pedangku!" "Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa?
Mau panggil ayahmu? Panggillah dia, Aku tidak takut!" "Ayah tidak berada di sini. Akan tetapi akan kupanggil Bu
Kek Siansu!"



Tangan yang menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu Sian mempergunakan kesempatan ini untuk menarik
pedangnya dan meloncat mundur.



"Kau bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini..." Biarpun mulut berkata demikian, namun kakek itu
jelalatan memandang ke sana ke mari.



"Hemm, kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu dengan beliau, dan aku mendengar beliau menagancam hendak
menghajar kepalamu sampai peok dan gepeng!"



"Oh... ah... tidak... bisa....!" "Kau tidak percaya? Biar kupanggil beliau. Beliau paling benci melihat kau
mengganggu orang muda. Siansu...! Siansu...! Silakan datang ke sini, Bu Tek Lojin menantang Siansu...!!"



"Ohhh... jangan...! Jangan... aku... aku hanya main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo pergi!" Kakek aneh itu
menyambar lengan muridnya dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.



Lu Sian berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia mendapatkan orang-orang yang jauh lebih lihai
daripadanya! Ah, selamanya ia tentu akan menemui kekecewaan dan penghinaan saja kalau ia tidak berhasil
memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di dunia ini. Ia teringat akan ayahnya. Betapapun juga, tingkat
kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia ingat bahwa ayahnya menyimpan kitab-kitab ilmu yang tinggi dan
dirahasiakan. Ia harus menemui ayahnya, menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian minta kepada
ayahnya untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.



Dengan pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke selatan, melakukan perjalanan cepat menuju ke Nan-cao, ke
rumah ayahnya. Akan tetapi kembali ia kecewa. Ketika ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si Ek, ayahnya
marah-marah dan memaki-makinya.



"Isteri dan anak macam apa engkau ini?" Antara lain Pat-jiu Sin-ong marah-marah memakinya. "Seorang isteri dan
ibu meninggalkan suami dan anak begitu saja?! Sungguh celaka!!"



"Kam Si Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya, Ayah. Asal kuajak pindah dan meninggalkan pekerjaannya, dia
marah-marah. Aku bosan dan merasa dijadikan bujang dalam rumah!"



"Huh! Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani suami dan memelihara anak.
Ke mana pun si suami pergi, si isteri harus mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek memang sudah
terkenal sebagai seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya? Sayang dia menjadi
orang Shan-si, kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara kita, alangkah baiknya. Dan kau
meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka! Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku sebagai ayahmu. Tahu??"



Lu Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan muka merah, menutup diri dalam
kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak. Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan menyenangkan,
pikirnya. Pula, setelah ayahnya marah-marah, agaknya tidak mungkin tercapai pengharapannya, yaitu menerima
ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya. Oleh karena inilah, maka pada malam hari itu juga, ia menyelinap masuk ke dalam
kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga kitab rahasia, simpanan ayahnya yang oleh ayahnya disebut Sam-po Cin-keng
(Kitab Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya! Tiga buah kitab itu adalah pusaka yang amat
dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah merupakan kitab pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coam-im-I-hun-to
(Suara Merampas Semangat Orang) dan kitab ke tiga adalah inti pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat
Beng-kauw) yang merupakan ciptaan baru dengan maksud untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan Beng-kauw.
Ilmu silat ini adalah gabungan daripada semua ilmu silat yang pernah diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu
Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan Toa-hong-kun.



Dengan semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia pelajari dengan mudah Karena ia
sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan melatih diri
dengan ilmu silat gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi untuk melatih kedua ilmu perampas semangat melalui
suara dan pandang mata, bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu ia harus memperkuat sin-kang dan khi-kangnya lebih
dahulu, maka setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersamadhi dan melatih tenaga dalam menurut petunjuk
kitab-kitab itu.



Di samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu Sian mulai mencari keterangan
perihal suling emas seperti yang ia dengar dari Bu Tek Lojin. Kakek yang amat sakti, dan kalau kakek itu
sendiri menginginkan suling emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi, tentu suling
emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi tak seorang pun di antara orang-orang
kang-ouw yang ia tanyai, tahu akan benda keramat itu.



Ia merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Min (Hok-kian sekarang).
Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan banyak dikunjungi
orang luar kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak mempedulikan pandang mata banyak
laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan melihat
pedang di pinggang Liu Lu Sian, pelayan itu bersikap hormat.



"Bung Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.



"Maaf, Li-hiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di seluruh rumah penginapan
dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan
perayaan besar di kuil Siauw-lim-si."



Mendongkol sekali rasa hati Lu Sian. Kalau ia kemalaman di hutan, sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau
di dalam guha, akan tetapi kalau ia berada di kota seperti sekarang ini tentu saja ia ingin bermalam dalam
sebuah kamar rumah penginapan.



"Ah, tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya kecewa dan menyesal.



"Sungguh mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani Nona, akan tetapi apa
hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung dan sebelum Nona datang, sudah banyak pula tamu yang terpaksa kami
tolak karena sudah kehabisan kamar."



Lu Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia memaksa dan menggunakan kekerasan,
akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah penginapan An-hoa tu
ketika tiba-tiba terdengar orang berkata.



"Nona, mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku, semalam atau selamanya
pun boleh!"



Lu Sian memandang. Laki-laki itu usianya suadah tiga puluh tahun lebih, wajahnya bundar gemuk seperti bola,
basah oleh peluh, baju di dadanya terbuka, agaknya karena hawa yang panas, sehingga tampak dadanya yang gemuk
berdaging. Matanya sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi meja bersama
tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.



Hati Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya saja laki-laki ini main-main
dengannya, kenyataannya belum terbukti, maka ia lalu berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar
tuan kepada saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"



Laki-laki gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga tertawa gembira.
Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu Sian sambil berkata, "Aiihhh, Nona, mengapa
repot-repot? Kamar yang kusewa itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau
sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"



"Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak banyak bergerak akan tetapi
kalau sudah pulas! Ha-ha!" Si Gendut berkata lagi.



Meledak rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari kiri, seorang pemuda
yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada Lu
Sian sambil berkata, "Nona, harap jangan melayani mereka. Kaupakailah kamarku, aku dapat tidur bersama dua
orang suhengku di kamar belakang..."



Akan tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena matanya sudah memancarkan
cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan, sukar diikuti pandang
mata saking cepatnya dan... "plak-plak-plak-plak!" Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan
oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada Si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan
bernapas. Tubuh Si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung
dan akhirnya roboh menabrak kursi, kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol keluar, hidungnya
remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!



"Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor! Hayo kalian
bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau
tidak berani maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.



Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga amat
kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang
ringan tangkas sekali.



Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara dan mencari keuntungan
di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu melihat kawannya dihajar setengah mati, menjadi kaget dan
marah. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga mereka tak sempat
menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan "sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah mencabut golok.



"Awas...! Lari...!!" Pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu. Namun terlambat! Sinar merah
mernyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang
menyambar ke arah pemuda baju kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya menyambar
sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang
dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!



"Ah, jarum beracun yang hebat!" Pamuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti jarum merah di tangannya.
Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura sambil berkata. "Noana, kumohon dengan hormat sudilah
kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."



Lu Sian melirik dengan pandang mata dingin. "Hemm, kau memiliki kepandaian juga!" katanya, hatinya panas karena
jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?" Ucapan terakhir
ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.



Pemuda itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan, Nona. Sobodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan
Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan segala macam buaya darat."



Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini bukan
sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan
memandang dunia dengan jujur dan berani, senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang membayangkan sifat
jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.



"Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?" tanyanya, masih mengagumi wajah yang amat tampan dan benuk
tubuh yang tegap dan padat.



"Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus berani
mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang
mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini, bukankah berarti
merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni
dan diberi obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh pembunuhan
yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh mengharapkan kebijaksanaan Nona."



Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu Sian,
seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya
sudah jungkir balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu
dengan wanita secantik ini, dan ketika bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah
daya tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut.



Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan tiga
bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil berkata, "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan
kepadaku!"



Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang menancap di dada
mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu
Sian yang menerima dan menyimpannya.



"Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!" Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya
dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri,
mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.



"Kalian bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti hajaran lagi?" Yap Kwan Bi
berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu. Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman
mereka yang mukanya dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapan



Karena semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut, Lu Sian membuang muka dan hendak berjalan keluar
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Yap Kwan Bi cepat berkata, "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan
kamarku. Percayalah, tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku akan tidur bersama kedua suhengku
yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar besar."



Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus, memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan, amat tampan,
amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu. "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara
Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka aku persilakan kau suka
menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."



Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan jantungnya
dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan minum seorang
pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan seorang perantauan di
dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura menghaturkan terima kasih.



"Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona." Katanya hormat. Lu Sian mengangguk dan memanggil
pelayan. "Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke
kamarku."



"Baik, Li-hiap, baik..." Pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk melakukan perintah orang. Lu
Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi peristiwa hebat
itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke
kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul keluar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak
gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.



"Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan. Silakan."



Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar, mulut belum berkata apa-apa, mata sudah saling
pandang dan sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali, ia
menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya. Melihat seorang pemuda terpesona oleh
kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh
kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan
panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan
senyum manis menghias bibir. "Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."



Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku ini
dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat
kagum."



Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan sepasang orang muda
itu. Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum, "Dalam
pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita
gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat mengatur tentang
sebutan."



Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang. "Tahun ini usiaku dua puluh satu
tahun."



"Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!" Pemuda itu dengan muka gembira bangkit
berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak Lu)!



"



Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia
pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"



Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan dengan sikap lincah
manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka
saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika dalam waktu
bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur
kesengajaan!



Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak manis
dan sinar matanya memancarkan kehangatan, ia berkata, "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah
memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"



"Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling rendah di antara
murid-murid Siauw-lim-pai."



"Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata kagum, lalu ia tertawa
dan berdiri sambil memberi hormat. "Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari
Siauw-lim!"



"Lu-cici jangan metertawakan Siauw-te!" Pemuda itupun berdiri dan tertawa. "Kau membikin aku menjadi kikuk
saja! Marilah kita duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."



Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin bebas dan
gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam birahi.



"Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari
Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku
mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai dan semenjak kecil, aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat
kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauw-lim-pai!"



"Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andaikata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat ke sana! Sayang,
sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam
perguruan kami. Maaf, Lu-cici."



Lu Sian menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau menceritakan tentang keadaan
sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan bukankah itu sama dengan mellihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat
dengan meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun tertawa.



Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang luas,
tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.



"Kamar kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk
bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai
sendiri."



"Kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan, Adik yang gagah?" Yap Kwan Bi mengangguk. "Sudah belasan
kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam
tubuh dan tentang ilmu samadhi melatih napas."



"Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk ke sana sebentar.
Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar Cicimu ini masuk sebentar saja ke sana?"



Pemuda itu bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan
kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan sama sekali
tidak boleh dibuat main-main di sana. Para Suhu amat keras dan lihai."



Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan sebelah dalam ruangan
Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi. "Berapa banyakkah kita-kitab di dalam kamar kitab itu?"
Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah tahu
betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang samadhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu
Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini. Akan tetapi yang
menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama
Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah
Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala macam ilmu menotok
jalan darah. Maka ketika ia bertanya kepada Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di
rak paling atas di ujung kiri, hatinya berdebar.



Yap-te, aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau menyenangkan sekali!"



"Ah, Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang budi kepadamu. Entah
bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini, Lu-cici." Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia
minum arak sampai banyak, akan tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita seperti Lu Sian, ia menjadi lupa
diri dan minum terus setiap kali Si Jelita mengisi cawan araknya. Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi dan
ketika Lu Sian mengulur tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya, jari-jarinya merayap
mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biarpun bersentuhan hanyalah ujung jari pada punggung
tangan, namun seakan-akan ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai pusat pembangkit
tenaga, langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar keras. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari
pihak Lu Sian, tangan pemuda itu makin berani dan di lain saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling
cengkeram!



"Lu-cici... alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan tentu lebih muda
daripadaku. Kau paling banyak delapan belas tahun..." Pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari
tangan itu membuat napasnya sesak dan kepalanya berpusing!



Lu Sian tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik kembali lengannya.
Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air, bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang
pemuda itu setengah terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora. Dia wanita
lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu yang datang membakar.



"Yap-te, aku memang lebih tua daripadamu." "Ah, kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia sudah berusia
lima puluh tahun, akan tetapi semua orang tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya
biarpun Bibi Guru tidak mewarisi kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe
(Ganti Otot Suci Sumsum) dengan sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"



serentak perhatian Lu Sian terbangkit. "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah aku bisa berkenalan
dengannya?"



"Tentu saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, kini menjadi pendeta wanita disebut Su-nikouw,
menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"



"Ah, kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...." "Mandi? Air persediaan di rumah penginapan ini
hanya sedikit, itupun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah barat, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat
tinggal bibi guru Su-nikouw, terdapat telaga kecil di sebuah hutan. Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu
mandi di sana."



Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri. "Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita ke sana, mandi
lalu mengunjungi bibi gurumu Su-nikouw!"



Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika
mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng
tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari menuju ke sebelah
barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa
seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap
karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah
hutan, jalan yang merekal lalui licin.



"Hati-hati, jalannya licin..." Baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau
Kwan Bi tidak cepat memeluknya.



"Eh, hampir jatuh aku..." Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya. "Heee, Yap-te,
mengapa kau ini....?" Tegurnya, pura-pura marah.



Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat telinga
Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil. "Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu,
Lu-cici!"



Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan.
"Aihhh, kiranya kau nakal!" Kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga. Kini pohon-pohon tidak
begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan
sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis. Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan
mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram cinta,
seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi. Andaikata dia tidak dibikin mabok dan buta
oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu
kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena
ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.



"Yap-te, mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira



Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak maupun membuka suara, matanya memandang
ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan
ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan
selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya. Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti
bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan
dia tidak berada di situ, menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, kemudian melepaskan sanggulnya,
menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat ke dalam air!



Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia
menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan
bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian
sambil berkata, "Lu-cici, kau ... tidak marah kepadaku?"



"Marah? Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air. "Kau tidak marah mendengar aku
mencintaimu?" "Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kaubuktikan dulu cintamu!" jawab Lu
Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari
langit turun dan mandi di telaga ini.



"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi
memeluk, merangkul dan mencium.



"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu Sian merenggutkan diri
terlepas dari pelukan, tertawa-tawa menggoda membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya. "Adikku
yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."



"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekalipun, aku pasti akan memenuhi
permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu," kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking
hebatnya golombang nafsu membakarnya.



"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan
meminjamnya. Maukah kau menolongku?"



Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi. "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"



Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek, "Huhh!
Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?" Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas
rumput. Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian
dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi Seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar
biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini. Ia
lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh
menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan
membutuhkan si jelita!



"Lu-cici..., tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat. Diam-diam Lu Sian tersenyum. Pemuda itu
amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka
Siauw-lim-pai sekalipun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi si muda remaja yang tampan ini.
Apalagi kalau mendapatkan kitab!



"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku." Lu Sian pura-pura marah dan membuang
muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya.



Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya. "Lu-cici... aku
tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."



"Jadi kau mau menolongku?" Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu. Tentu saja tubuhnya
mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir
saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.



"Tentu, Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati
oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan
kebahagiaan bagiku." Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang
lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui.
Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.



"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan diri
ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu, Adikku,
bersabarlah. Kauceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal di sana
tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."



"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya
Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid
Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang
beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat
itulah, selama upacara sembahyang dilakukan semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Adapun
penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang
mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau
aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara
sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"



Girang sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita
untuk..." Lu Sian mengerling tajam. "... untuk bersenang-senang bersama bukan?"



Lu Sian tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudur hatimu ada maksud itu?"



Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara
sungguh-sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus
selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu,
dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama, Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh
curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali
ini Lu Sian mendiamkannya saja.



Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak
memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?"



Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua dan
bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani
menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil
Kwan-im-bio.



Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang
kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid
keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan
tubuhnya terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan
lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh
tahun lebih! Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda
ini.



"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Darimana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di
Siauw-lim-si?"



Yap Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar
Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan
Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga
besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya
darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.



"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.



Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah bertemu
muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."



"Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni
terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus
bagian yang dapat pinni miliki."



"Melawan usia tua dan berhasil merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi
kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.



"Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet muda bagi
seorang pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi
sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan terlalu mudah
diganggu penyakit!"



Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke manakah mereka pergi?
Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada
nafsu mereka sendiri, dan semalam itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai
nafsu, di dekat telaga dalam hutan.



Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja bertemu seorang wanita
seperti Lu Sian, dia benar-benar jatuh. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan
merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya terbatas pada darah
daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu
belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinaan yang sama sekali tidak
patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan, lebih tidak patut dilakukan oleh
seorang pendekar atau satria.



Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapapun juga dia, harus dia
dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur hatinya, dan untuk dipermainkan atau
dipatahkan cintanya kemudian! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada
cinta nafsu, hanya untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan
mempermainkan cinta kasih orang!



Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar
diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu, terdiri dari
bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw memerlukan datang
pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir Ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahunnya! Kian Hi
Hosiang, Ketua Siauw Lim Pai, sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh semua anak
muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat, berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia
jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai dan pendekar-pendekar
yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.



Kini Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun sehingga kerjanya hanya bersamadhi saja. Sementara urusan
Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu Cheng Han Hwesio murid pertama dan Cheng
Hie Hwesio murid kedua. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia berwatak tekun, jujur,
keras hati berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio (Pendeta Budha) ia sudah menjauhakan diri daripada urusan
duniawi. Adapun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biarpun dalam hal disiplin
sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal
sebagai hwesio pengawas para murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan penyelewangan
sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai biarpun murid murtad itu berada di tempat sejauh seribu lie, dia
takkan dapat terbebas jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan
menghukumnya sesuai dengan peraturan persilatan Siauw-lim-pai!



Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat luas.
Adapun semua hwesio setelah terdengar bunyi kelenengan keras nyaring, berkumpul di ruangan dalam untuk mulai
upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi serem. Di barisan belakang para hwesio
nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar itu
maupun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat
kepada sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid Kian
Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan disekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.



Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara murid-murid
yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biarpun usianya masih amat muda.
Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan upacara sembahyangan,
maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun.
Akan tetapi pada saat itu, kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang orang
yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi
muncul dari tembok bagian selatan. Setelah mendapat "tanda aman" dari Yap Kwan Bi yang berjaga di situ, Lu Sian
lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun ke pekarangan belakang, terus
menyelinap dan berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang Kuil Siauw-lim-si.



Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan keterangan
yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andaikata tidak mendapat keterangan yang jelas
lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan yaitu kamar kitab. Bukan main
luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan
jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah kamar kitab!



Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika ia
lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk!
Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula di deretan mana
letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung
kiri. Setelah membuka dua tiga buah kitab wajahnya berseri. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar telapak
tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok
jalan darah yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju
dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara buah
dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju luarnya dengan hati girang ia berlompatan menuju kebelakang.
Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai
upahnya!



Bibirnya sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka janjikan ketika ia
melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat
menyelinap di balik sebuah arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali bukan Kwan Bi
kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang telanjang di tangan dan matanya menyapu
ke arah dalam pekarangan! Dari luar tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun
lebih, dengan gerakan ringan berdiri di atas sebelah laki-laki pertama lalu berkata perlahan.



"Belum kelihatan?" "Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?" "Dia menjaga di
tembok timur." "Dan Yap-sute?" "Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati akan
berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."



Dua orang laki-laki itu nampak muram wajahnya dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu
Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya
masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian tidak
takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan kekerasan melawan para penghadangnya. Akan tetapi ia
segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu dihadapkan pada para hwesio pimpinan.
Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang tertawan karena dia! Dengan pikiran ini, Lu
Sian lalu menyelinap di anatara bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum
bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.



Akan tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia
mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio
menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah yang
menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha yang amat besar. Berdebar
jantung Lu Sian. Betapapun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para
tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan! Hampir saja ia kembali lagi
dan nekat menerjang keluar melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai bukan
pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan langkahnya
berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio
yang berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai.



Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai dengan
hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang
whesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian
dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Disebelah belakang kakek ini
berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahu lebih. Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia
menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri dibelakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus
tanpa kumis jenggot.



Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos keluar melalui pintu depan tanpa diketahui, dan ia sangsi apakah
ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia
teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio
Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil keputusan dan dengan menekan
debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya kemudian muncul keluar dari balik arca dan berjalan dengan
langkah tenang, dada dibusungkan, menuju keluar.



Tentu saja gerakannya ini tidak terlepas daripada pendengaran para hwesio yang sedang berdoa. Namun, tepat
seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau menunda sembahyang mereka, sungguhpun mereka merasa
terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam kuil? Padahal
sebuah di antara larangan yang amat keras dari Kuil Siauw-lim-si di manapun juga, adalah hadirnya seorang
wanita ke pedalaman kuil! Merupakan pantangan keras karena para tokoh hwesio maklum bahwa diantara segala
godaan, yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita.



Akan tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu golongan murid yang tidak
menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat munculnya seorang wanita muda cantik berpedang dari
balik arca, terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka. Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah melompat
dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah antara ruangan tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir
di ruangan depan juga menjadi heboh.



Melihat dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu keluar, akan tetapi maklum bahwa cara ini
bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa mengandalkan
ketajaman pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap tersenyum dingin. Ia tahu
bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta itu, biarpun masih banyak di antara mereka yang muda-muda,
rata-rata memiliki kepandaian tinggi, karena mereka ini pun merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang ketua
Siauw-lim.



Memang sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak murid yang bukan pendeta, memang banyak yang langsung
menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki kepandaian
tinggi karena mereka ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama. Di antara para hwesio, kiranya hanya dua
orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun mereka itu sejak
kecil hanya belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat. Bahkan tiga orang di
antara para murid, yang kini berdiri menghadang, yang usianya di antara tiga puluh dan empat puluh tahun,
terhitung suheng (kakak seperguruan) Cheng Han dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun kedua orang ini lebih tua
usianya. Mengapa demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu silat dari
Kian Hi Hosiang.



Akan tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar mata tajam, tidak turun
tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan
mengganggu suasana hening dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu.



Akhirnya selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu bangkit berdiri. Segera Cheng Han Hwesio yang keras dan
jujur itu membentak, "Wanita dari mana berani mati memasuki kuil kami tanpa ijin?"



Lu Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa menjawab. Tak sudi ia menjawab.
Pertanyaan begitu kasar. Pada saat itu, para tamu yang melihat sembahyangan selesai, banyak yang mendekat untuk
melihat peristiwa aneh itu. Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru.



"Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!" Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini semua orang kaget
sekali. Lu Sian dengan tenang mengerling dan melihat dandanan orang itu seperti piauwsu (pengawal) ia dapat
menduga bahwa dia itu tentulah ada hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan
pertalian asmara antara dia dengan Tan Hui.



Para pendeta mendengar julukan yang biarpun masih baru namun sudah terkenal itu, terkejut. Kian Hi Hosiang
sendiri lalu berkata, "Omitohud...! Kiranya puteri Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger! Nona, di
antara kami kaum pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan antara pinceng
dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, tak pernah dikotori oleh permusuhan, mengapa kau hari ini mengganggu
upacara sembahyang kami?



Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak penuh kehalusan, menjura
dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan merdu ketika ia menjawab.



"Harap Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang. Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci
kepada wanita dan memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak kaki wanita,
sekali terinjak kaki wanita akan dicuci dengan abu dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak percaya. Maka,
menggunakan kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat. Kiranya tidak ada
apa-apanya di dalam, yang macam begitu saja melarang terinjak kaki wanita. Sungguh keterlaluan! Akan tetapi,
betapapun juga saya mohon maaf kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan kepada Ayah bahwa
biarpun para pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya amat peramah dan baik
hati."



Kian Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh cocok dengan Ayahnya. Pandai dan keji, baik
tangan maupun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik, melihat muka Ayahmu dan mengingat bahwa hari ini adalah hari
baik, biarlah pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh pergi." Ia menghela
napas panjang.



"Suhu! Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini sungguh mencurigakan!"



Kian Hi Hosiang mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi ampun akan pelanggarannya."



"Pelanggaran memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada pelanggaran lain yang lebih
hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawabanlah lebih dulu pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"



Lu Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas dadanya mendengar ia disebut
Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan orang kepadanya di luar kehendaknya. "Heh, setan tua busuk,
kalau pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"



"Kurang ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng Han Hwesio membentak dan matanya melotot.



Lu Sian juga pelototkan matanya. "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun menyebut engkau setan tua
busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita sudah punah, satu-satu?"



Bukan main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang di antara murid Siauw-lim-pai yang dipercaya suhunya,
bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat gurunya mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han Hwesiolah
yang mewakilinya. Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguh-sungguh, siapa nyana hari ini ia
dipermainkan seorang wanita muda, di depan banyak tamu! Kalau ia tidak ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah
turun tangan memberi hajaran kepada setan cilik ini!



"Baiklah akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi, kami tidak percaya engkau
akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu masuk. Katakan,
siapa dia yang membantumu?"



Diam-diam Lu Sian merasa heran. Para penjaga di belakang tadi sudah tahu agaknya akan perbuatan Kwan Bi, kenapa
kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum
dilaporkan. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah penjagamu,
bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana caranya aku masuk ke pekarangan belakang,
ah, itu kewajibanmu untuk mencari tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."



"Nanti dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.



"Eh, hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan berkata. "Losuhu yang mulia, muridmu
yang satu ini benar-benar tak patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"



"Cheng Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi." Hwesio tua itu mengomel dan diam-diam
ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara saja menghadapi wanita ini. Di depan begini banyak orang, wanita
berandalan ini tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang banyak.



"Suhu," Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya, "dia baru saja berkeliaran di dalam kuil, siapa tahu
dia mengambil sesuatu?"



Mendengar ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan orang bodoh. Ia lalu
cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata nyaring,
"Losuhu, apakah orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku, geledahlah!!" Ia melangkah maju
dan dadanya yang membusung itu menantang, agak berguncang ketika ia menghampiri Ketua Siauw-lim-si sampai
dekat.



"Omitohud...!" Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu dekat. "Pinceng
takkan menggeledah..."



"Kau, hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak tahu malu, geledahlah
aku!" Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.



"Menuduh orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau berdiam
lebih lama lagi di sini!" Lu Sian melangkah lebar menuju ke pintu. Mendadak berkelebat bayangan putih dan
seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, pedangnya di punggung, kelihatan gesit dan gagah sudah
menghadang di depan Lu Sian.



"Cheng Han Suheng benar. Kau harus digeledah!" Lu Sian memandang dengan mata bersinar marah. "Kau? Hendak
menggeledah? Berani kau begini menghinaku?"



Wanita itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi, bernama Tan Liu Nio. Ia
memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia menjawab,
"Mengapa tidak berani menggeledahmu?" kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba tubuh Lu Sian.



Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang, mukanya
pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan tahu-tahu dua
jalan darah maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian secepat kilat sehingga jalan satu-satunya bagi Tan Liu
Nio hanyalah melompat ke belakang secepat mungkin sehingga ia terhindar daripada malapetaka yang hebat.



Lu Sian tersenyum mengejek, "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai memang hanya
suka menghina seorang wanita! Hayo kalian hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan
kesempatan ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih menggeledah? Tak tahu malu!"
Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan muka merah dan
serba salah. Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka murid perempuan
lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka menghadapi wanita berandalan yang lihai itu,
apalagi mereka. Adapun murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi mati kutu setelah mendengar
ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan
semuda itu, apalagi di depan banyak orang. Padahal ketua mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan sudah
memperkenankannya pergi.



Pada saat itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang bermuka pucat sekali.
Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang. Terdengar
Kwan Bi berkata, suaranya gemetar. "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima hukuman."



"...apa...? Ada apa...?" Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia benar-benar tidak pernah
meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan tersayang ini.



Suhu, Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang wanita memasuki pekarangan
belakang..."



"Keparat!" Cheng Han Hwesio yang membentak ini. Akan tetapi pada saat itu, cepat bagaikan seekor garuda
menyambar, Lu Sian sudah bergerak ke depan dan menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat keluar.
Pada saat itu, Cheng Han Hwesio yang melihat hal ini, cepat menyusul dengan pukulan maut dari Siaw-lim-pai.



Yap Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil dan pada saat itu
pukulan Cheng Han Hwesio tiba, biarpun tidak menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya sesak dan
muntah darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu memanggulnya dan sambil meloncat ke depan, tangan kirinya
bergerak menyambit ke belakang. Pada saat itu, tiga orang murid Siauwlim-pai tingkatan atas bersama seorang
wanita, yaitu Tan Liu Nio sudah mengejar. Mereka berempat terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lompat
menghindarkan diri dari sambaran sinar merah senjata rahasia Lu Sian. Ketika mereka mengejar terus, mereka
telah tertinggal jauh. Tentu saja sukar bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu Sian karena Lu Sian telah
mempergunakan gin-kangnya yang hebat, yang ia pelajari dari mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, yaitu Ilmu Lari
Cepat Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega)!



Untung bagi Lu Sian, Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula, dicegah oleh Kian Hi
Hosiang yang berkata, "Omitohud... semoga Sang Buddha melimpahkan kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han
dan Cheng Hie, tak usah mengejar. Ketiga Suhengmu dan seorang Sumoimu sudah cukup. Kita tidak perlu menanam
bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku itu sudah maklum dan asal dapat menangkap
kembali Kwan Bi dan membawanya ke sini untuk menerima hukuman, cukuplah."



Demikianlah, upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran dan meriah,
ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah
tertimpa urusan yang tidak menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan suram.



Lu Sian berlari cepat sekali dan setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie jauhnya dari Kim-peng, ia
berhenti dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput, terlindung oleh pohon besar dari sinar matahari senja.
Segera ia memeriksa keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang biru, tanda
bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat ia mencari air untuk membasahi kepala pemuda
itu, lalu memberinya pula minum sedikit. Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia
tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Lu-cici, aku telah membikin kau banyak susah..."



Lu Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya. "Hushhh, kau mengigau, bicara
dibolak-balik. Akulah yang membuat kau menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut, selama ada aku di sini,
tidak ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga dia!"



Kwan Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu kembali dia menggeleng
kepala dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin... dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh
kuhindari, aku harus kembali ke sana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak.
Cin... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku, biar kuhadapi sendiri kemarahan
Suhu."



Lu Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang terdorong rasa haru mendengar
betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu sanggup berkorban
untuknya. Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali.... kecuali agaknya... cinta kasih Kwee Seng yang
telah mati!



"Tidak, aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka hanya akan dapat
mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"



"Lu-cici... ah, Lu-cici...!" Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan jantungnya akibat rasa haru
dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.



Lu Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu sambil duduk bersila ia
mengarahkan sin-kangnya untuk membantu kekasihnya memanaskan jalan darah memperkuat hawa sehingga luka itu akan
cepat sembuh. Ia duduk dalam keadaan begini sampi senja terganti malam. Bulan sudah muncul sore-sore dan
keadaan menjadi terang seperti siang.



Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara bentakan. "Perempuan tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai yang
murtad itu kepada kami!"



Lu Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada Kwan Bi. Ia hanya mengerling
dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi hendak
menggeledahnya, maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu murid-murid Siauw-lim-pai
yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu. Dua orang berusia empat puluh lebih, yang seorang paling banyak
empat puluh, mukanya putih halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi matanya berkilauan
terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil panjang bergantung kebawah, sedangkan orang ke tiga bermuka
kurus sehingga tulang-tulang pipinya menonjol keluar, tampak menyeramkan.



"Cih, perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain adalah Tan Liu Nio murid
Siauw-lim-pai itu mencaci.



Panas hati Lu Sian dan wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang. Ia menunduk, merangkul
leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingasan dengan mesra dan lama! Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan
Liu Nio mengeluarkan suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis itu membentak lagi.



"Kami mengingat Ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik seperguruan kami. Akan tetapi
bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila kau
membangkang!"



Lu Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas cabang pohon dan dari situ ia
melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti seekor
kupu-kupu terbang melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke depan empat orang
murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.



"Betul kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku berempat?" Lu Sian
berkata sambil tersenyum manis.



"Siapa hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah pengecut yang suka
mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak Si Muka Halus yang bernama Long Kiat.



"Aih, aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau suah terdesak lalu
melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan muka kalian berempat maju berbareng!"



"Cukup, kami datang bukan untuk berdebat!" kata Si Kumis yang bernama Lo Keng Siong. "Kuulangi lagi, kami
datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!"



"Wah, jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian hendak membawa pulang dia
untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku yang tidak suka membiarkan dia disiksa."



Si Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi. Sambil menudingkan telunjuknya
yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah muka Lu Sia ia membentak, "bocah setan banyak tingkah! Kami
datang berurusan dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah mencampuri urusan dalam
orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami!"



"Huh, kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua berhak apa mencampuri
urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta, kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami berhak,
sama-sama muda sama-sama suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan kalian membawa pergi Yap Kwan Bi
yang sudah terluka oleh Si Keledai Gundul tadi!"



"Kurang ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!"
kata Lo Keng Siong marah.



"Tidak bisa tidak mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian membawanya pergi, habis
perkara!"



"Kau menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.



"Terserah! Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku sudah menjaadi
mayat!"



"Iblis betina, kau sudah bosan hidup?" "Hi-hik, kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasihatkan
kalian, kalau memang hendak memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju berempat mengeroyokku,
karena kalau maju seorang demi seorang bererti mengantar nyawa dengan sia-sia!"



"Perempuan sombong!" Bentak Liong Kiat marah. "twa-suheng, biar siauwte mengusir iblis betina ini!"



"Eh, eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan. Karena Kwan Bi juga murid
Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan salahkan
kaki tanganku yang tidak bermata."



"Sombong!" Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang terkenal tangguh itu.
Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah
dada dan pusar. Berat dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi
"werrrr-werrr!"



Lu Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia menerima kedua kepalan tangan
amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong Kiat, kedua kakinya diayun ke
belakang sehingga tubuhnya dengan kedua tangan masih menempel pada kepalan lawan, terangkat naik ke atas.
Selagi Liong Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa ini, tiba-tiba Lu Sian sudah
mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat itu tubuh
Lu Sian berada tepat di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat datangnya
sehingga sukar ditangkis lagi!



"Sute, awas....!" Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil melompat dekat diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio.
Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat masih sempat mempelihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai tidaklah
semudah itu dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh terjengkang bagaikan sepotong balok kayu akan
tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah melakukan poksai (salto) ke belakang, berjungkir balik sampai
tiga kali. Ia berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Bergidik ia kalau teringat
betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.



Lu Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang jauh bedanya dengan ketika ia
mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Gin-kangnya
sudah terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu gin-kang yang terhebat di jaman itu. Juga ia
telah mempelajari tiga macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu
pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan yang luar biasa cepatnya berkat gin-kang
Coan-in-hui.



"Sudah kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau kalau kalian nekad
mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu, percuma, tidak akan ramai!"



Bukan main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi
melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian wanita ini seperti iblis, bukan lawan mereka kalau maju seorang
demi seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum tentu saudara seperguruan itu akan
dapat menandingi Lu Sian.



"Kau menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati. "Hi-hik, mengapa Tanya-tanya lagi? Majulah
bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian berempat."



"Bukan kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu menghina. Ji-wi Sute
(Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong sambil
mencabut senjatanya, sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah bajunya. Tan Liu Nio
dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu
sehelai rantai baja. Mereka segera mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan
dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di tengah-tengah!



Lu Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang, tubuhnya miring, kedua lengannya diangkat
ke atas, melengkung di atas kepala dengan jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat manis
seperti orang menari, akan tetapi menyembunyikan kesiapsiagaan yang lengkap dan gagah.



"Keluarkan senjatamu!" Bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat ruyungnya ke atas.



"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kauperintah!" jawab Lu Sian seenaknya.



"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempatsenjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya tertimpa cahaya bulan
menyilaukan mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tibuh Lu Sian sudah lenyap menjadi
bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang
Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu
Sian bergerak dan mendadak "cranggg..... cringgg.... tranggg-trang!" Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa
dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan kanannya dan
sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.



Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa lumpuh karena ia kalah
tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biarpun
dalam gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sin-kang, setidaknya mereka dapat
mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di
tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.



Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia mengadu
tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih
mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak inilah
maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu
mentaati guru mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang,
tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak
sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.



"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan
Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.



Inilah salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan mereka dengan ilmunya
kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan dan
keangkuhannya. Dia memang seorang yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar ini, darahnya bergolak
dan ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis siluman. Akan tetapi pedangnya
kini bergerak secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi gulungan sinar yang membentuk
lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi menjadi gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas. Inilah
Toa-hong Kiam-sut yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya. Di tengah-tengah lengkingnya yang
belum putus, terdengar teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh dalam keadaan mengerikan karena
pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia bergelimpangan mandi darah, berlojotan dan tak dapat
mengeluarkan suara lagi.



"Tok-siauw-kwi, hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali. "Tok-siauw-kwi, berani kau
membunuh Suteku?" Tan Bhok juga membentak dan rantainya berdesing-desing menyambar.



Lu Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya yang menyangka dia hendak
kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!



"Celaka....!" Tan Liu Nio berseru. Karena dia berada paling belakang, maka ia sempat melihat gerakan ini dan
dapat mengelak. Akan tetapi dua orang suhengnya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat
melindungi tubuh atas dengan putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum
Siang-tok-ciam! Seketika hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa mereka
terkena senjata beracun. Namun keduanya masih belum roboh dan masih memutar senjata. Lu Sian tidak berhenti
sampai di situ, begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah menerjang maju lagi mainkan pedangnya dengan
jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong
yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus pinggangnya, perutnya robek dan isi perutnya
keluar. Mereka berdua tidak menderita lama, cepat menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang
tewas lebih dulu.



"Tok-siauw-kwi, kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat, menyerbu dengan
pedangnya. Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.



"Tranggg...!" pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya. Dengan kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan
Liu Nio roboh terguling, kemudian matanya yang sudah menjadi beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan
ke bawah.



"Trangggg!" Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Yap Kwan Bi yang
ternyata telah menangkis pedangnya.



"Kau... kau Tok-siauw-kwi....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada kekasihnya.



"Orang menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...." "Kau.... kau perempuan hina...! Kau telah membunuh
tiga orang Suhengku dan hendak membunuh Suciku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!"



Yap Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah, sekali ditangkis ia roboh terguling, dan Lu
Sian yang mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah. "Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati
palsu! Mual perutku melihatmu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.



Yap Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang suhengnya yang tewas dalam keadaan
demikian mengerikan. ia menjambaki rambutnya dan memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma saja
Tan Liu Nio menghiburnya. Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan ke kuil
Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama
beberapa orang sute berlari-lari ke arah hutan itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di
samping ketiga orang suhengnya, lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri. Ia telah
membunuh diri karena telah menyesal!



Sementara itu, Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia merasa kecewa dan
menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar suci
murni. Bahkan pengalaman ini membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit
hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat
dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan cinta kasihnya
dengan Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil Kwanim-bio. Ia harus
dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia selamanya takkan menjadi tua! Ia akan memaksa
pendekar wanita Siauw-lim-pai itu untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!



Hari telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun pintu depan, akan tetapi
sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan, Lu Sian menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah
kaki dari dalam menuju pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita bertanya.



"Siapakah yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi Kwan-im-bio?" "Aku Lu Sian, mohon
bertemu dengan Su-nikouw!"



Ketika Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh, kiranya Lu-lihiap yang
datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Li-hiap malam-malam datang mengunjungi tempatku yang buruk? Dan
di mana adanya Kwan Bi?"



Akan tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian amat berlainan dengan beberapa
hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian membanting kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita berpanjang
kata, Su-nikouw. Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu tentang ilmu awet
muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya. Kalau kemarin dulu ketika datang ke sini bersama
Kwan Bi ia merasa suka kepada pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci dan
Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang pengaruh rasa benci amat jahat, membutakan mata.
Karena ia merasa sakit hati kepada Siauw-lim-pai, menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang
sudah mabok rasa benci, pandang matanya akan berbalik!



Akan tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia memandang Lu Sian dengan senyum
wajar. "Li-hiap, biarpun pinni merasa heran sekali atas perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan
disebabkan oleh sikapmu, melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang belum sadar akan
kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan kecantikan pada usian tua hanya akan
menyelewengkan hati, membesarkan nafsu, dan percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan
kemudaan yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.



"Tak usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lajim, orang yang sudah membenci seorang yang lain, apa pun yang
keluar dari mulut orang yang di benci itu selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kauserahkan secara
baik-baik atau dengan paksaan, aku harus mendapatkan rahasia itu!"



Su-nikouw menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap. Biarlah lain kali kau
datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal ini perlahan-lahan secara baik-baik."



Alis yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri dan Su-nikouw cepat mengelak dengan menjatuhkan
diri ke belakang. Namun terlambat. Jalan darah di pundak kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu
terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar
saking heran dan kagetnya.



Sambil tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka Siang-tok-ciam, obat pemunahnya hanya
padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."



Su-nikouw yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud.... kau ini wanita muda
sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kausadari! Seorang pertapa seperti aku ini, menganggap
kematian sebagai pembebasan jiwa daripada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah. Racun jarummu yang
mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."



Diam-diam Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh, hanya mengancam, akan
tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian, tidak mau menukar obat pemunah dengan rahasia ilmu
awet muda, bagaimana?



"Nikouw bandel! Mengapa hendak kaukangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin muda sendiri dan cantik
sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa kau hargai daripada nyawamu?"



Su-nikouw menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan
tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan
diajarkan orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi, pinni akan mati tanpa mengeluh!"



Tiba-tiba Lu Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan kau mati begitu saja kalau
kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah, Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu
berahi! Racun Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak terasakah olehmu
Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh
racun, kau terserang oleh rangsangan berahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang laki-laki yang
kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu kalau pada saat kematianmu engkau melakukan
pelanggaran yang paling besar bagi seorang pendeta wanita!"



Napas Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian. "Ah, jangan....
jangan....! sebenarnya siapakah engkau ini, begini keji?"



"Orang menyebutku Tok-siauw-kwi." "Aahhh... kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan,
karena ia mendengar nama julukan ini sebagi seorang tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka ancaman tadi
bukan tak mungkin dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal kejam. Pula, ia memang sejak terluka tadi mencium
bau harum yang aneh dan memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras! Tentu saja sebagai seorang tokoh
Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak tahu tentang segala racun, dan ia tidak
tahu bahwa Lu Sian sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu memang berbahaya dan racunnya cukup
jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi sekali-kali tidak akan menimbulkan gejala nafsu berahi
segala. Dia sengaja mengeluarkan ancaman ini karena dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih
mengerikan daripada kematian bagi seorang wanita pertapa yang saleh!



"Bagaiman? Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar
seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti monyet. Dia
tunduk kepadaku dan dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang sekali mendapatkan
engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"



Su-nikouw bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu. Tak tertahan lagi ia
menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah ia lakukan. "Baiklah, baiklah...., kuberikan rahasia
ilmu itu kepadamu." Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah kitab tipis tulisan tangan
hasil pekerjaannya sendiri.



"Tidak mudah mencapai tingkat seperti aku." katanya. "Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit daging dan
tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum) dan untuk pelajaran itu, menyesal
pinni tidak dapat memberi karena kitabnya tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang berkepandaian tinggi
seperti engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu I-kin-swe-jwe yang paling
hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau memiliki ilmu
itu, engkau pelajari samadhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar dan daun yang sudah tertulis
lengkap pula di situ."



Cepat Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa nikouw itu tidak akan
membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemudah dari sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam senjata
rahasiaku memang mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitakan nafsu berahi?"



Nikouw itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak memaki-maki. Akan tetapi
setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah melompat keluar dan menghilang di tempat gelap sambil membawa
kitab yang amat diinginkannya itu.



Su-nikouw kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali. "Su Pek Hong... Su Pek
Hong..... inilah hukumannya kalau orang tidak mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang bahwa
ilmu awet muda ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik marena menentang hukum alam! Betul kau hanya
menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu akan menganggapku pesolek dan ingin cantik
selalu. Dan wanita yang selalu ingin cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian laki-laki. Ah, betapa
memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima kekuasaan alam? Jadilah nenek-nenek yang
penerima, hadapilah kematian usia tua yang sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini
memalukan..." Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan obat pemunah racun yang ditinggalkan Lu
Sian.



Harta benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada manusia. Namun,
dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia akan dapat
menikmatinya lahir batin. Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati pada
lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran yang akan membawa mereka kepada
kesengsaraan.



Namun diantara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka yang tidak kuat adalah
kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat menjadikan orang
menjadi sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan yang timbul dari kekuatan
ataupun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan orang sewenang-wenang terhadap orang lain, mau
menangnya sendiri saja tanpa menhiraukan tatasusila dan perikemanusiaan.



Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat yang ia
kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya.



Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan perikemanusiaan. Makin ia
turuti nafsunya makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak
puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama
Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.



Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai dan berhasil
mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan latihan lwee-kang dan
langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia butuhkan. Ilmu
kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi seorang wanita
sakti yang sukar dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri
dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang terkenal konsen!



Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam
(Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran ia dikeroyok dan
berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan dahsyat.
Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan dicari dan dikejar oleh orang-orang
Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah, gin-kangnya yang tinggi serta
kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.



Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang sengaja ia
datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga
namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong! Yang paling hebat adalah
ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia
datang sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai ini Lu
Sian merobohkan banyak tokoh, sungguhpun ia belum sanggup mengalahkan ilmu pedang Ketua Kong-thong-pai yang
bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia
atasi dengan kelincahannya.



Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw, ilmu kepandaiannya makin hebat,
akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang
khas sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.



Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada puteranya, Bu
Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu,
Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda. Propinsi Shan-si
telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar
kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke mana
pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu
Song, tentu saja hidup aman sentausa disamping bekas suaminya.



Sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han, Lu Sian termenung. Kalau teringat akan puteranya,
ingin ia menangis. Namun hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi.



"Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya. Bagaimana kalau puteranya itu bertemu
dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya
adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum dan dengan gemas ia meneguk cawan
araknya yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan
menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman keras ini dan memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum
arak seperti dia itu. Cara ia minum adalah cara seorang "setan arak" benar-benar.



Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang dari
arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak
melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka akan
tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun tergetar. Betapa tidak? Pemuda itu
tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal,
matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria
ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biarpun usianya sudah empat puluh tahun! Semenjak hatinya yang
mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan
Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk
memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang
luar biasa, akan tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya,
selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi patah hati, menjadi
gila atau setengah gila!



Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja paling tinggi berusia dua puluh dua
tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam berkelebatnya senjata rahasia
halus menyambar ke arah Si Pemuda Tampan! Melihat sikap pemuda itu yang seorang pemuda pelajar yang tak
mengerti ilmu silat, Lu Sian merasa khawatir sekali, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali
menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh
ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!



Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi mengancam
nyawanya. Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh terdengar orang berseru di luar rumah makan, "Biar
ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" Dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang
membawa golok telanjang di tangan. Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain
yang sedang duduk makan di situ lari keluar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan
ini, bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang
diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang
yang kasar akan tetapi tidak seperti penjahat. Betapapun juga, melihat mereka menyerbu ke arah pemuda yang kini
berteriak, "Tolong! Tolong!" itu, Lu Sian tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit
dari kursinya. Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi. Mata
mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah dan nyawa mereka sudah putus!



"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?" Terdengar bentakan keras dan melayanglah tubuh
seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala
Lu Sian! Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang
didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah
dan "crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong! Pemuda yang sebenarnya
seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang pengurus rumah makan kini berjongkok
bersembunyi di balik meja.



Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang
berpenyakitan. Namun menyaksinkan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan
betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja
sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah meja lain. Ia
membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar
cepat.



"Trakkk!" Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit yang berada di tangan
Lu Sian, Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan
baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga Si Tosu terhuyung mundur. Sepasang sumpit
itu melayang ke arah lambung dan leher. Namun Si Tosu ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke
samping dan bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, sinar merah menyambarnya.
Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di
dadanya. Tosu itu mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta
mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru, "Kau...
Tok-siauw-kwi....!" Namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapi jantungnya dan ia
mati dengan mata mendelik. Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.



Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di depan
Si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih melindungi Paduka...."



"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus empat
mayat penjahat itu." Kata Si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang kembali. Ia lalu melangkah
menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk memberi hormat.



"Li-hiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung
bagaimana saya akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.



Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang, bibirnya tetap tersenyum manis kerling matanya
benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang
jahat hendak membunuh Kong-cu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"



Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum akan kehebatan
kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang
memabokkannya, yang keluar dari tubuh wanita itu. "Hebat sekali, Li Hiap! Kalau tidak menyaksikan dengan mata
sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Li-hiap
begini can.... eh, muda? Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang
penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat tadi, sampai mati pun
saya mungkin tidak percaya bahwa Li-hiap yang telah menolong saya."



Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar dari
matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan
langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar senyumnya sehingga
sedikit deretan gigi putih berkilau tampak, ia berkata, "Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan.
Bukankah Kongcu seorang Pangeran, kalau tidak salah pendengaran saya? Inilah yang mengagumkan, melihat seorang
pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat
ditemui pada jaman kini."



Pemuda itu tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Li-hiap, sekali lagi, katakanlah bagaimana
saya harus membalas budimu?"



"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kong-cu hendak melakukan sesuatu untuk menuruti
permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran
diserang oleh empat orang ini dan siapakan mereka?"



Pemuda itu menggerakan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup mulutnya
dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan,
"Li-hiap disini bukan tempat kita bicara tentang itu. Saya



persilakan Li-hiap singgah di gedung kami, sudikah Li-hiap memberi penghormatan itu?"



"Ayaaa....! Kong-cu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali bagiku.
Terima kasih Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."



Pada saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang berpakaian seragam yang serta-merta
menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu, "Bangunlah!" kata Sang Pangeran dengan sikap berwibawa. "Urus
empat mayat ini dan selidiki kalau-kalau masih ada teman-teman mereka berkeliaran dalam kota!"



Mereka bangkit dengan sikap hormat. "Sediakan dua ekor kuda untuk kami!" kata pula pemuda itu. Cepat sekali dua
orang di antara mereka keluar dan terdengarlah tak lama kemudian derap kaki dua ekor kuda di depan pintu rumah
makan.



"Li-hiap, mari kita berangkat." Ajak Si Pangeran. Ketika Lu Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat Si
Pemilik Rumah Makan mencegah dengan ucapan manis. "Harap Li-hiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di
sini hamba sediakan untuk keperluan Sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"



Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian keluar. Dua ekor kuda besar dan lengkap pakaiannya telah tersedia.
"Silakan, Li-hiap," ajak pemuda itu. Lu Sian tidak sungkan-sungkan lagi, segera melompat ke atas pelana kuda,
diikuti oleh pangeran itu. Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari belakang.



Karena pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, walaupun jarang keluar Lu Sian mengenal jalan dan tahu pula
bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi isatana Gubernur Li!
Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia menjadi lega ketika
teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak pernah keluar rumah dan
tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya bahwa ilmu awet muda membuat ia
takkan dikenal orang, karena biarpun usianya sudah empat puluhan, namun ia tetap kelihatan seperti seorang
gadis dua puluh tahun lebih!



Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan pemuda ini
bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh pelayan, mereka
memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh penghormatan. "Sampaikan
kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang pendekar wanita yang telah
menolongku." Kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita. Mendengar ini, para pelayan
memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.



Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian memandangi
lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya dengan suaminya
dahulu, pikirnya. Suaminya itu biarpun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan gedungnya tidak semewah
dan seindah ini.



"Li-hiap, bolekah saya mengetahui nama Li-hiap yang terhormat?" Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya,
ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya
seorang wanita perantau yang tidak pernah mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang
menjuluki saya..."



"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau patutnya
seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Li-hiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa). Biarlah bagi
saya, Li-hiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut begitu..



Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah Thai-cu
(Pangeran Mahkota)?"



"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri
Baginda. Namaku Lie Kong Hian."



Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang memberitahukan bahwa nyonya
besar telah siap menerima puteranya dan seorang sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu. Beliau tentu girang
sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku."



Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan indah, di
sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat taman bunga
yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu pemuda itu sudah
menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih namun masih
memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita yang memijit-mijit
punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong Hian dan Lu Sian.



"Ibu....!" Pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja sekali. "Inilah Nona
Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di dalam rumah
makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi) yang perkasa ini.



"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasihat orang tua." Sang ibu mengomel. "Kau senang sekali
keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang timbul di
mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti engkau ini menjadi
sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di rumah kurang apa lagikah? Aahhh, dasar anak sukar
diurus....!" Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian yang berdiri menundukkan muka.



"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia
mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa Kim Bwee,
sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."



"Ibu, urusan dalam istana kausebut-sebut di depan Li-hiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat, aku
mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman." Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan
tangan memberi ijin mereka pergi meninggalkannya.



Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam tadi,
diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat
genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia memikirkan
hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan wajah Kong Hian.
Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama sehingga Lu Sian
makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi lebih bebas dan kini
mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati keindahan tubuh ikan-ikan
emas yang berenang di dalam empang teratai.



"Sian-li..." Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang menyebutnya
Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Li-hiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya mendengar
sebutan Dewi ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) daripada disebut Tok-siauw-kwi (Setan
Cilik Beracun)! "Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.



Dengan gagap pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan ibuku tadi menjadi
kenyataan."



"Ucapan yang bagaimana?" "Kalau kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan
melihat Lu Sian tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka
yang mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab



Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata, "Apa salahnya?
Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan siapakah para
penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"



Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya! Cepat ia
bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung dengan pemberontak, mereka itu bekas anak buah
Jenderal Kam Si Ek yang sudah meletakkan jabatan."



Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut, akan tetapi ia dapat menguasai perasaannya
dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka memberontak?"



"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si EK menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan
terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan hidup
mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang, yaitu bekas
Raja Muda Couw Pa Ong untuk memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaan-kerajaan kecil yang sudah
bangun, dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."



Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguhpun kini ia
tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak perlu lagi
takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu. Melihat Lu Sian
tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya.



"Apakah Sian-li belum mendengar nama Couw Pa Ong?" Lu Sian mengangguk. "Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja
pernah aku mendengar namanya, bahkan pernah bertemu dengannya."



Kagetlah hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?" "Ah, kakek seperti itu, hanya patut
menakut-nakuti anak kecil."



Kong Hian memandang kagum sungguhpun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini benar-benar akan sanggup
menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong.



"Kalau begitu benar-benar aku mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia berseru girang.



"Kongcu, tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu, siapakah dia dan
mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"



"Ah, dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku. Dia masih amat muda, akan
tetapi di antara semua penghuni istana, dialah paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang
jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapapun juga dibandingkan denganmu,
dia bukan apa-apa!"



Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di mana kepandaianku, bagaimana bisa
menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"



Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa di antara pemuda
tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang
masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak peduli akan
hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya
mencinta seorang wanita dan benar-benar "setia" seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.



"Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"



"Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang.. malam... jadi... eh,
kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku
berlutut di depanmu....!" Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar hendak
berlutut!



Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku
pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di dalam istana ini,
kecuali tempat tinggal Raja tentu saja." "Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."



"Ke dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ke tiga, segala
permintaanku harus kauturuti, juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."



"Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang
malam..."



"Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"



Mendengar ini, Si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul leher
Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian Si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia
berbisik. "Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."



Menghadapi rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian Pangeran muda itu bertekuk lutut dan
benar-benar jatuh. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu ketika mereka makan minum
menghadapi meja, Si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian biarpun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu Sian
yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengembalikan perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian.
Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria daripada kalau ia sudah
tergila-gila kepada seorang wanita!



Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam ke dalam
permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak
berada di dalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar,
mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai ke pinggul. Rambutnya
hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai
kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia
bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.



Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dengan kedua lengan
terpentang, sedangkan di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di
tangan dan di belakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu
Sian cepat meraba kantung jarumnya, sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera
turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh
Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!



"Kau bersekongkol dengan pemberontak!" Si Gadis membentak dengan suara yang yaring sedangkan matanya
memancarkan sinar berapi, "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia
kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena dia cantik?"



"Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah
menolongku daripada serangan kaum pemberontak!"



"Tapi dia Tok-siauw-kwi...!" "Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan
pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."



"Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi
sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita itu
mengancam dan menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga berpedang itu
sudah bergerak mengurung.



"Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" Tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu
Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya memandang
kepada wanita berpedang itu.



"Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap begini?"



"Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan
pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak,
betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"



"Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak Hian)
ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika
mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong Anakku? Dan
andaikata ia pemberontak sekalipun, hal itu bukanlah salahnya Anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan
tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"



"Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?" Pertanyaan
ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya, dan mengangguk.



Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang mudah diduga
bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak
puas menjadi selir ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah satu-satunya
"anak tiri" yang ia jadikan kekasihnya! Adapun tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian
besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya yang paling ia sayangi ini
mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!



Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang sudah siap memang, dengan pedang di
tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke
kamar Pangeran Lie Kong Hian!



Setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar, Lu Sian tersenyum. Ia sudah senang tinggal di istana
pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun
tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam istana lebih
lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja tentu kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat
betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita ini
ia dekati dan untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan wanita ini yang melihat dari
langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang
semua memegang pedang telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan menyisir
rambutnya dengan sikap tenang.



Coa Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin dan tanpa menyembunyikan rasa
kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak.



"Apakah engkau Tok-siauw-kwi?" Bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar tidak mengira akan menemui
seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu
telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia
sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan bertanya.



Tanpa menoleh, Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang bersama enam
orang pembantumu dengan pedang di tangan?"



Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui cermin itu
membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa
jerih seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi.



"Aku datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"



Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak
dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang
menjemukan?"



Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil berkata, "Tangkap
dia!"



Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan menjemukan dan sama sekali tidak dipandang mata oleh wanita
berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu
kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya, penjahat pria saja mereka masih mampu menghadapi dan mengalahkan,
apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk
mengeroyok, akan tetapi karena telah menerima perintah, mereka tidak berani membantah. Coa Kim Bwee melangkah
msuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang pelayan itu segera melangkah masuk
menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya

bersambung.............8

0 komentar:

Posting Komentar