Selasa, 14 Mei 2013

mutiara hitam [ 7 ]

ia lalu menjawab.

“Undangan resmi dari bangsa Hsi-­hsia untuk Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya tolak. Saya pun tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan menyalahguna­kan undangan ini. Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu.”

Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa ter­kekeh, kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran itu berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit. Menjelang pagi barulah mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ terdapat bangunan­-bangunan darurat dari bambu yang di­jadikan tempat persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak buahnya.

Pangeran Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh Bouw Lek Couw­su dan murid-muridnya. Hwesio tinggi besar berkaki buntung ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pin­tu.

“Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari Khitan! Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah kehor­matan besar sekali dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuk­tikan kesetiaan orang gagah Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!”

Pangeran Talibu balas memberi hor­mat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung. “Sudah lama kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet dan kami merasa kagum bahwa bangsa yang kecil itu da­pat bangkit menjadi bangsa yang kuat. Akan tetapi saya tidak melihat hubungan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Losuhu untuk mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa Hsi-hsia.”

Sebagai putera kandung seorang pang­lima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula dalam hal siasat, dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia pun membanting dan menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bang­sa yang kecil dan tidak ada hubungannya dengan Khitan yang besar!

“Ha-ha-ha! Pangeran Talibu dari Khi­tan benar tinggi hati! Justeru pertemuan antara kita inilah yang menjadi jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan duduk dan mari kita berun­ding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang besar dan yang memiliki kepenting­an bersama.”

Talibu mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk menghadapi meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan cantik segera datang membawa arak hangat dan hidangan. Para pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ tiada ubahnya dengan ruangan istana raja. Diam-diaLm Talibu merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa pula seorang pendeta, biarpun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai pela­yan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia diam saja, me­lirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diam-diam ia merasa bahwa ia berada di dalam ke­adaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati.

Setelah mereka makan minum, di­temani Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin geenit sikapnya terhadap dirinya, Talibu tak sabar lagi lalu bertanya,

“Losuhu, kalau saya tidak keliru men­duga, Losuhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal sampai ke Khitan.”

“Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan dugaan itu tepat sekali. Pin­ceng adalah Bouw Lek Couwsu yang merasa tidak tega menyaksikan kemiskin­an bangsa Hsi-hsia, maka sengaja me­mimpin mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka.”

Pangeran Talibu mengangguk-angguk. “Setelah saya memenuhi undangan Losuhu yang disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka memberi penje­lasan, apakah yang akan Losuhu bicara­kan dengan saya.”

“Ha-ha-ha! Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti laki-laki.” Pendeta ini memberi isyarat dan semua pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu. Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek Couwsu berkata.

“Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul, kita rayakan. Terus terang saja, kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk mengikat tali persahabatan dan membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung.”

Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan senyum yang me­mikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan serbuan Hsi-hsia ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguan-gangguan di tapal batas sebelah barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud baik terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan. Tentu saja tidak bisa lain daripada maksud mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi Sung! Padahal pada waktu itu, Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung dan betapa pun bangsanya banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya sebagai Ratu Khitan selalu men­cegah bangsanya bermusuhan dengan Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat menerima persekutuan dengan Hsi-hsia, apalagi atas nama bang­sanya. Namun sebaliknya, biarpun ia dianggap tamu agung, namun ia telah berada di sarang Hsi-hsia, sehingga pe­nolakannya akan membahayakan kese­lamatannya.

“Membicarakan urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguhpun saya Putera Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apalagi pada saat ini saya hanya seba­gai seorang pelancong bagaimana saya dapat merundingkan urusan besar ini? Setidaknya haruslah seorang utusan khu­sus dari Sang Ratu di Khitan.”

“Hi-hi-hik! Pangeran Mahkota Khitan yang tampan gagah kenapa seperti se­orang gadis kemalu-maluan saja? Menga­pa harus bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul!” kata Bu-tek Siu-lam sambil terkekeh.

Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang. “Apakah ini sebuah penghina­an?”

Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai. “Ah, Paduka Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam? Sahabatku ini sama se­kali tidak menghina, akan tetapi suka bicara secara terus terang dan sejujur­nya. Apa yang dikatakan memang tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota, demi untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak mengambil keputusan. Secara kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi kehendak Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan menjadi sekutu?”

Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik napas panjang. “Hemm, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang mencinta bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku. Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar dapat kuper­timbangkan apakah aku berhak memutus­kan atau tidak.”

Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi. “Bagus, memang ini­lah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran Mahkota calon raja besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa Khitan adalah dua bang­sa yang besar gagah perkasa, mempunyai kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang selalu menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab? Huh, bangsa Han yang lemah itu harus dihajar. Ke­rajaan Sung harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntung­annya dengan bangsa Khitan. Dalam ke­adaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari barat, menakluk­kan Sung sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami meng­ulurkan tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar bersama yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan selatan!

“Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak panglima yang pandai dan pasu­kan-pasukan yang kuat.”

“Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng seli­diki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai hubungan de­ngan banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita.”

“Bu-tek Ngo-sian? Siapakah mereka?” Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.

“He-heh-heh, tidak heran kalau Pa­duka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan memi­liki kepandaian mengerikan.”

“Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedu­dukan kita, Pangeran Talibu. Karena itu, pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan kami.”

“Bouw Lek Couwsu, aku hanya se­orang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat kuputuskan sen­diri. Apakah yang harus kulakukan se­karang?”

“Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya.”

“Kalau Ibuku menolak....?”

“Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami....“

Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu tiba di ruang­an itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke depan. Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan tangis. Mereka kelihatan bi­ngung, sedih dan ketakutan. Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.

“Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hu­tang kepadamu!” kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. “Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutia­ra Hitam, akan tetapi sebagai gantinya, lima orang gadis paling cantik yang ku­temui di sepanjang perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi kalian menjamu Pa­ngeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah, kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik, Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah!”

Melihat kedatangan Siauw-bin Lo­-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang.

Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apalagi setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah ke mana perginyaitu. Ia tertawa bergelak.

“Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lo­mo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Ta­libu!” perintahnya kepada lima orang gadis yang masih berlutut.

Karena sudah mengalami siksaan apa­bila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu seperti ke­hilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit berdiri. Wajah mereka yang can­tik itu menjadi agak terang ketika me­reka melihat siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan, untuk menolak! Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pen­deta yang biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandan­an seperti orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlumba menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.

Talibu hampir tak dapat mengendali­kan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenal­kan Pak-sin-ong sebagai seorang di an­tara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah seka­li. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khi­tan dapat bekerja sama dengannya? Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah le­mas dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia mera­sa seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk mener­kam dan mengeroyoknya! Ia memandang dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan benci di hatinya. Sebalik­nya, mereka itu bukan lima ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih. Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk. Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang me­musuhinya ini. Tak dapat pula ia mena­han kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.

“Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing.”

Lima orang gadis itu kelihatan bi­ngung, saling pandang, meragu dan seper­ti tidak percaya kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw­-bin Lo-mo yang masih duduk sambil ter­tawa. Melihat ini serentak timbul harap­an mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemu­da tampan itu. Otomatis mereka men­jatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu bang­kit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.

Mendadak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah me­loncat melalui lima orang gadis itu, ber­diri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.

“Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau ke mana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!” Sekali rangkul, ia telah menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu men­jadi pucat wajahnya dan tubuhnya meng­gigil ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.

“Tahan!” Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya me­nyaksikan perbuatan Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah ku­bebaskan dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?”

“Eh-eh, orang muda! Aku yang mem­bawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak mem­bebaskan mereka? Kau berani meman­dang rendah Siauw-bin Lo-mo?” Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.

Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah. “Bouw Lek Couwsu, engkau­lah tuan rumah di sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?”

Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya!

“Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan me­nolak hidanganku untuk menikmati wa­nita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual la­gak. Ha-ha-ha, apa kaukira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau pura-pura ber­sikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khi­tan? Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau menulis surat itu sekarang juga?”

“Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak me­lihat perubahan mukanya? Sudah kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa.” kata Bu-tek Siu-lam sam­bil membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya secara tak tahu malu.

“Couwsu, serahkan saja bocah ini ke­padaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya saja? Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu.” kata pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah merah.

Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siu­lam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang meng­gigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak, “Hayo kalian bertiga buka pakaian!”

Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara gemetar, “Ampunkan kami.... ampunkan kami....“ sedangkan yang dua orang lain­nya menangis.

“ Masih belum memenuhi perintah?” Bouw Lek Couwsu membentak lalu me­ngerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia ter­tawa, kedua lengannya yang besar ber­bulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara “brett, brett, brett....!” di antara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek semua sehing­ga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat. Mereka hanya da­pat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan.

Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan sengaja ia me­raih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul se­perti tadi! Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakai­an cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang da­lam waktu beberapa detik sudah telan­jang pula seperti teman-teman senasib mereka.

“Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Tali­bu? Maukah kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau, biarlah pin­ceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!” Bouw Lek Couwsu berkata penuh ejekan.

Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang ter­jadi, sampai mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia ma­cam ini, dan bahwa ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.

“Jahanam berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut dibasmi!” Ia menyer­bu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan tangan­nya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatang­kan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil mem­balikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lo­mo sudah berdiri di depannya, tertawa­-tawa dan berkata.

“Couwsu, apakah kau ingin dia mam­pus?”

“Jangan, cukup asal kautangkap dia Lo-mo.”

“Kaulihat aku menangkap tikus ini!” Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju. Pangeran Talibu tidak gentar biarpun ia dapat menduga akan kelihaian lawannya. Pedangnya berkele­bat, memapaki datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan yang kurus kering itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang menyambar tangan kanannya, Talibu ka­get dan cepat menarik pedang memutar pergelangan tangannya sehingga pedang­nya berkelebat ke kanan menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan kekagetannya dan menundukkan kepala miringkan tubuh membiarkan pedang lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian Pangeran Khitan ini dan karena ia mak­lum bahwa Ratu Khitan memiliki kepan­daian tinggi, apalagi setelah menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak berani main-main lagi.

Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga Talibu menjadi bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang berkelebat­an, seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan yang kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan segera memutar pedangnya, menyambarkan pedang ke arah bayangan yang berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung menyilaukan mata.

Lima orang gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar, mengharap kemenangan bagi Si Pemuda Tampan yang mereka tahu bertanding karena membela mereka.

Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum berpengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan bahwa jarang dapat ditemui seorang pemuda, apalagi pemuda Khitan, sepandai dia mainkan pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya mampu bertahan selama dua puluh jurus saja. Ketika sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan tiba-tiba pada saat pedangnya kembali menusuk bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah kanannya, bayangan yang lain telah berhasil mengetuk pergelangan tangan kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking nyerinya dan pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat membuang diri bergulingan di lantai menjauhi lawan.

Lima orang gadis itu seperti diko­mando saja menjerit. Jeritan ini mence­lakakan mereka karena seolah-olah me­nyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu­-tek Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga lima orang gadis itu kembali merintih-rintih penuh kengerian.

Mendengar jeritan dan rintihan me­reka, semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan urusan lain. Satu-satunya yang memenuhi perasaannya hanya ber­usaha membasmi orang-orang jahat ini dan membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu. Ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju de­ngan tangan kosong. Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia menggulingkan tubuh sampai jauh. Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju menghampiri Siauw­bin Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh. Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo yang dengan mudah dapat menangkap pemuda ini ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang memandang rendah, apalagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak memba­yangkan kelihaian dan garis pertahanan­nya lemah sekali. Ia yakin dalam se­gebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap pemuda ini.

Makin dekat, gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya bergerak membawa tubuhnya maju sambil berputaran! Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai menyangsikan kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar seperti itu? Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil me­mainkan pedang, memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan tetapi kalau hanya berhadapan dengan seorang lawan, apalagi bertangan kosong, apa gunanya berputaran? Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia makin memandang rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia ce­pat menerjang maju dan dalam sekali gerak ia telah menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap! Hebat bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat menghindarkan diri.

Akan tetapi, hal yang amat aneh terjadi. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga cengkeramannya, bah­kan dari dalam putaran itu datang me­nyambar pukulan tangan kanan Talibu yang mengenai dadanya, membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling roboh!

Lima orang gadis itu sejenak melupa­kan kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam ketika melihat bahwa pemu­da pujaan dan penolong mereka dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan te­tapi alangkah kecewa hati mereka ketika melihat kakek itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah, namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima harus menderita di bawah peng­hinaan jari-jari tangan yang kurang ajar.

Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Maka ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah jauh lebih lihai daripada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah merupakan lawan yang lebih tangguh! Dugaannya memang tepat. Setelah kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu menjadi lebih berbahaya. Ia kini mainkan Ilmu Cap-sha­ sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biarpun belum dapat ia mainkan dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya ta­han yang kokoh kuat, dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukul­an dan serangan lawan. Tidak menghe­rankan apabila totokan-totokan dan ceng­keraman tangan Siauw-bin Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan kilat yang tak tersangka-sangka muncul­nya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo sampai kena dirobohkan.

Karena Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan Talibu belum masak benar, maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak berhasil. Ketika Talibu me­lancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat ditangkap lawan. Mu­lailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu akan roboh.

Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat untuk meng­hancurkan jurus pertahanan lawan dan mencari lowongan merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai lelah dan pening. Jurus Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama ka­rena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya, dimainkan sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada hasilnya. Kakek kurus itu makin mendesak dan pada saat per­putaran tubuh Talibu berkurang kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw­-bin Lo-mo mencengkeram kedua pundak Talibu!

Pangeran Khitan itu menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang kuat seperti baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya ber­gerak menendang bergantian, pertama ke arah anggauta rahasia lawan kemudian disusul tendangan ke lutut kanan.

“Aihhhh....!” Siauw-bin Lo-mo sampai berseru keras saking kagetnya. Kembali ia hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan susulan biarpun ia elakkan masih mengenai tulang kering kakinya, membuat ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang!

“Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu!” Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek.

Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang mata­nya yang ditujukan ke arah Talibu me­nyinarkan pandangan maut. “Kaulihat saja, Siu-lam, kaulihat kuhancurkan Pangeran cilik ini. Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat menghancurkannya!”

Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata. “Ingat, Lo-mo. Aku tidak menghendaki dia mati!”

Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia me­langkah maju, perlahan-lahan seperti seekor singa menghampiri calon mangsa­nya. Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya berdenyut-denyut dan mem­buat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap menanti pe­nyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bu­kanlah lawan kakek kurus itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan mati-matian untuk mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal. Apa­lagi setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan dan pende­kar sakti Suling Emas, keangkuhannya timbul dan ia akan melawan terus sam­pai titik darah terakhir! Maka begitu lawannya sudah dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat maju, menerjang dengan ketangkasannya yang mengagumkan.

Kini Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar, tangan kanan menghantam disusul ceng­keraman ke arah anggauta rahasia lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi, karena pada saat itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju. Kakek itu tidak gentar melihat serangan aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, menangkis tangan kanan Talibu dan me­nangkap pergelangan tangan kiri lawan. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu ter­buka jari-jarinya dan memapaki tangkis­annya dengan totokan-totokan ke arah pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang hendak menangkap. Inilah hebat dan berbahaya! Kakek itu secara tergesa-gesa merobah gerakannya, mem­batalkan niatnya menangkis dan menang­kap, akan tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga akan hal ini, atau me­mang jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua perhi­tungannya tidak meleset. Kiranya totok­an-totokan itu pun tidak dilanjutkan, di tengah jalan membalik dan menotok ke­dua lutut Siauw-bin Lo-mo. Untuk ke­perluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki!

“Haya....!” Siauw-bin Lo-mo berteriak kaget. Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya akan tetapi kaki kirinya tetap saja kena ditotok lututnya sehingga lumpuh seketika. Baiknya ia amat lihai se­hingga dengan sebelah kaki ia dapat meloncat mundur sampai tiga meter jauhnya. Di dalam hati ia harus meng­akui bahwa selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu jurus-jurus ilmu silat yang amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus itu, dan tiga kali pula ia “termakan.” Kalau pemuda ini lebih mahir dan menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.

Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan, menjadi besar hati dan menyerbu dengan hati girang. Dengan sebelah kaki tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak berkurang. Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak berdaya lalu maju menyerbu dengan ter­jangan ganas, tidak lagi menggunakan jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum dikenal lawan. Kini ia me­nerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya me­rendah dan sebelum Talibu dapat men­cegahnya, sebuah tamparan mengenai

“Plakk....! Aduuuuuhhh....!” Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali rasanya, seakan-akan isi perutnya diba­kar. Ia berusaha meloncat bangun akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar yang tepat mengenai sebelah kanan lehernya. Seketika pandang mata­nya berkunang-kunang, kepalanya pening, kemudian pandang matanya menjadi me­rah gelap. Telinganya masih dapat me­nangkap suara Bouw Lek Couwsu.

“Lo-mo, jangan bunuh dia....!”

“ Jangan khawatir, Couwsu!” jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali menam­par, kali ini mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini masih mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.

***

Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan pe­lancong dari luar kota memenuhi kota raja. Rumah-rumah para pembesar dan bangsawan selalu kelihatan gembira dan megah. Pesta-pesta diramaikan berma­cam kesenian silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung yang luas. Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah dan semua ru­angan tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan hias melukiskan sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian pelajar berjalan hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan men­dapat kesan bahwa penduduknya menik­mati hidup aman tenteram dan bersuka ria, berlumba dalam keindahan dan ke­majuan seni budaya.

Memang demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan Sung lebih mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua rakyatnya, lebih condong untuk memajukan kebudayaan, sedapat mungkin menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan kekerasan. Memang niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kai­sar lupa bahwa untuk menjamin semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan penjagaan dan untuk menjamin penjagaan yang dapat diandalkan mutlak diperlukan bala tentara yang kuat! Apa­lagi kalau diingat bahwa Kerajaan Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu meng­incar untuk mencaploknya.

Para bangsawan yang kaya raya itu seakan berlumba mengadakan pesta ter­buka di mana siapa saja boleh datang menikmati hidangan dan menonton per­tunjukan kesenian. Mereka berlumba me­lakukan derma dan perbuatan baik, kare­na Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan. Hanya mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki muka mereka yang hitam, oleh korupsi agar menjadi putih bersih. Dan memang siasat seperti ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan keder­mawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut berpesta dan makan serta menonton gratis itu banyak yang merasa bersyukur atas kedermawan­an pembesar-pembesar dan bangsawan­-bangsawan kota raja. Bahkan pandang mata orang-orang kang-ouw yang biasa­nya tajam dapat pula dikelabuhi karena terlampau sering mereka ini minum arak wangi dan hidangan-hidangan lezat.

Pagi hari itu, pagi hari yang cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran Kiang. Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah sebuah di antara ge­dung-gedung besar yang paling terkenal di kota raja. Siapakah yang tidak menge­nal keluarga Kiang ini? Bukan Pangeran Kiang yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu Kiang-kongcu (Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang menge­nal Kiang-kongcu. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengenalnya karena se­pak terjangnya yang gagah dan lihai, apalagi karena dia adalah murid pendekar sakti Suling Emas! Penjahat-penjahat mengenalnya karena takut. Penjilat-penji­lat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka. Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan pandai bergaul. Bahkan wanita-wanita mengenalnya kare­na ketampanannya dan sifatnya yang romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya!

Dan pagi hari itu, pesta meriah di­adakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran Kiang ini! Untuk keperluan apa? Kiang-kongcu tidak tampak berada di rumah. Juga Pangeran Kiang dan iste­rinya yang sudah berusia lanjut dan tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil tuan rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan memang pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangan­nya di gedung itu. Dia bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperke­nalkan oleh Pangeran Kiang sebagai anak keponakan Nyonya Kiang yang baru da­tang berkunjung setelah berpisah belasan tahun. Padahal sesungguhnya baru per­tama kali itu selama hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai putera tunggal mendiang Suma Hoan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini benar-benar putera mendiang kakaknya, karena mempunyai persamaan wajah yang tidak dapat diragukan lagi.

“Engkau benar, keponakanku...., engkau tentu putera mendiang Kakakku...., ah, melihatmu seperti melihat dia dahulu....!” Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan menangis. Dan demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk menghormat ke­datangan pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada semua orang. Seperti biasanya, jika ada kesempatan baik se­perti ini, banyak pula para anggauta kai­-pang (perkumpulan pengemis) yang datang dan mereka duduk berkelompok menyen­diri, menikmati hidangan lezat dan arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai­-pang ini adalah kenalan baik Kiang-kong­cu karena mereka ini sesungguhnya bu­kanlah orang-orang jembel biasa, melain­kan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia kang-ouw sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran Kiang ini, banyak orang-orang aneh sa­habat Kiang-kongcu muncul sehingga tidak mengherankan apabila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang tidak se­mestinya ikut berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan tosu-tosu per­tapa! Semua orang aneh ini datang hanya karena pesta diadakan di kebun Kiang-kongcu.

Dan bukan hal yang aneh lagi kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta! Bukan wanita-wa­nita cantik sembarangan, melainkan ahli­-ahli silat pula yang menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota raja. Lima orang wanita ini ber­usia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun, berpakaian ringkas, tampak gagah namun tidak melenyapkan kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat dipastikan cantik­cantik! Tentu saja mereka berlima me­milih sebuah meja dan menjadi sekelom­pok, akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika mendapat kenyataan bah­wa Kiang-kongcu tidak hadir! Sebetulnya mereka hendak mempergunakan kesem­patan ini untuk bertemu dan bercakap­-cakap dengan orang yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu. Kekecewaan mereka hanya seben­tar karena sebagai pengganti Kiang-kong­cu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata dalam hal ke­ramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati wanita tidak kalah lihai daripada Kiang-kongcu! Suma-kong­cu ini segera duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan yang asyik dan gembira. Apalagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga mulut mereka menyaksikan ketika Suma Kiat meng­genggam cawan arak, mengerahkan sin­kang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih! Biarpun wajah Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui bahwa dia termasuk seorang pemuda yang berlagak dan tidak berwajah buruk.

Adapun delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja di sudut adalah para pengemis yang tergolong gagah perkasa. Pengemis golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap sebagai seorang musuh. Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang menjadi musuh besar penge­mis golongan sesat? Delapan orang pe­ngemis yang kini berkumpul di situ ada­lah pengemis-pengemis golongan baju butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang memegang sebuah topi butut berhias kembang. Pengemis muda belia yang tampan dan gagah. Dia ini bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu (Ketua Yu) yang dihormati tu juh orang pengemis lainnya karena dikenal sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Yu Siang Ki yang datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah dari dara yang dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui tokoh-tokoh pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa Ketua Khong-skn Kai-pang ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.

“Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan semen­jak dahulu kami menghormat dan men­cintanya. Akan tetapi sayang sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu dengan pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak per­nah meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah orang me­lihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata di kota raja ini terdapat seorang murid­nya yang lihai.” kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat Putih).

“Apakah Lo-kai maksudkan Kiang­-kongcu?”

“Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh.”

“Bukan hanya mengenal namanya, Lo­kai malah secara kebetulan sekali saya sudah mendapat kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu.”

“Ah, begitukah? Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga Pangeran Kiang akan mengadakan pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut bersama kami hadir di pesta itu. Kalau ada jodoh bertemu Kiang-kongcu, agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu da­pat bertemu dengan Suling Emas.”

Demikianlah, pagi hari itu, Yu Siang Ki hadir bersama tujuh orang tokoh pe­ngemis kota raja. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa pesta itu sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut keda­tangan seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin besar rasa kecewa dan ketidaksenangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik yang genit-genit dan mendemonstrasikan ke­pandaiannya, seperti main sulap membuat arak dalam cawan bergolak, melihat pemuda berpakaian indah itu petantang-petenteng dengan sombongnya ketika dipuji-puji tamu.

“Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lwee-kangnya hebat sekali.” bisik pengemis di sebelah kiri Siang Ki. Melihat kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu, akan tetapi melihat ke­sombongannya, sungguh jauh bedanya....”

Siang Ki mengangguk-angguk. “Kepan­daiannya hebat, dan mungkin kesombong­annya itu karena ia masih muda dan karena berhadapan dengan wanita-wa­nita.”

Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebe­lah kanan Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik. “Hemmm.... sungguh mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya hadir mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu, sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran se­kali, orang macam apakah Suma Kong­cu ini?”

“Lo-kai, bukan urusan kita, tidak per­lu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu tidak muncul, sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat ini saja.” Berkata demikian Siang Ki mengangkat cawan arak dan hendak di­minumnya.

Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak ketika pada saat itu terdengar suara nyaring suara Kwi Lan! Gadis itu berseru dengan nyaring.

“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?”

Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak araknya dan berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya. “Wah, tentu akan terjadi keributan....“

Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan Si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini? Telah kita ketahui bahwa dara per­kasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah pemuda Ketua Khong-sim Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai seorang adik angkat. Biarpun sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih gembira dan jenaka seperti biasa, namun sikap Siang Ki ter­hadapnya sudah berubah. Pemuda ini menekan hatinya dan memaksa perasaan­nya untuk memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia tak pernah ber­hasil sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan berduka. Akhir­nya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki hendak menemui tokoh-tokoh pengemis untuk mencari keterangan tentang Suling Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan tentang Suma Kiat seperti yang dipesan­kan gurunya. Diam-diam ia menjadi jeng­kel sekali. Di dalam kota besar seperti ini, di mana terdapat puluhan orang, bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma Kiat?

Selagi ia termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan kamarnya, ia mendengar suara ke­tawa cekikikan dan dua orang, gadis yang berpakaian ringkas berwajah cantik mema­suki ruangan itu dari depan. Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergan­tung di pinggang, dan langkah kaki me­reka yang ringan, Kwi Lan dapat mendu­ga bahwa mereka adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari sudut matanya ia mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis itu yang genit, akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan dirinya, ia pun diam saja dan hanya memperhatikan ucapan-ucapan mereka ketika mereka lewat di ruangan itu me­nuju ke kamar sebelah belakang.

“Wah.... sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada, untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?” kata yang bertubuh ramping dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.

“Ihh, yang kaupikirkan dia saja, Moi­-moi! Jangan khawatir, biarpun dia tidak ada, namun ada penggantinya. Aku men­dengar bahwa keponakan Pangeran Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!”

“Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat daripada dia. Siapakah nama­nya, Cici?”

“Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu....“

Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama Suma­-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma Kiat, suhengnya yang sedang ia cari-cari. Demikianlah, pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen, diam-diam ia membayangi me­reka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi ketika melihat bahwa di dalam ta­man di sebelah kiri rumah gedung itu terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia berjalan masuk pula.

“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?” tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suhengnya seperti yang diperintahkan gurunya.

Seruan yang nyaring ini membuat banyak tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun di antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang tangan Kwi Lan.

“Aha, Sumoi....! Alangkah girang hati­ku melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini....!” Suma Kiat yang meme­gang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan pan­dang mata penuh nafsu.

“Suheng, kau menjadi makin gila!” bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah benar-benar.

“Eh.... eh...., Sumoi...., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku ke­padamu? Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa....”

“Bodoh! Tak malukah engkau?” bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil terse­nyum-senyum dan menahan ketawa.

Suma Kiat tersenyum masam, sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat sumoinya yang me­mang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu terhadap sumoinya kecuali ingin menggo­danya dan ia suka sekali melihat sumoinya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini, melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikap­nya itu ditonton oleh semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.

“Ah, maaf, Sumoi. Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan se­mua pengalamanmu. Oya, biarlah kuper­kenalkan kau kepada para tamu.” Tanpa mempedulikan sikap Kwi Lan yang mem­protes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan berkata dengan suara lan­tang.

“Para tamu yang terhormat! Perke­nankanlah saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan perkasa ini, Kam Kwi Lan!” Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan menjura kepada mere­ka. Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpak­sa pula mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan mereka, kemudian karena takut kalau-kalau su­hengnya yang otak-otakan ini melakukan hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan mata terbe­lalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.

Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk ta­ngan memanggil pelayan, berseru. “Lekas, hidangan terlezat dan arak terbaik untuk Kam-siocia!” Bahkan para pelayan diam­-diam mencibirkan bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri. Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar.

Namun Suma Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu diadakan untuk menghormatinya, apalagi kini melihat sumoinya da­tang, tidak tahu akan ketidaksenangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.

“Oya, belum kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah murid-murid kepala dari per­guruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan harimau-harimau betina kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”

Senang hati lima orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan terdengar berkata ketus.

“Sudah, kalian beriima pergilah!”

Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya. Seorang di antara Chi Ci-moi itu, yang tertua, kini menjadi merah mukanya dan bertanya, suaranya ketus. “Apa makaud­mu....?”

“Maksudku sudah cukup jelas. Meng­gelindinglah kalian beriima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua lengan Suhengku!”

Lima orang wanita itu tak dapat me­nahan kemarahan hati mereka. Dengan muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara murid kepala Ang-lian Bu-koan memben­tak. “Orang tidak boleh menghina kami begini saja!”

Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas karena sikap suhengnya, kini pun marah. “Aku suruh kalian pergi, kalian anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perem­puan genit dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!” Berkata demikian Kwi Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang gadis itu!

Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini biarpun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar. Mereka terhindar dari han­taman meja, namun tak dapat menghin­darkan diri dari serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian mereka beriepotan kuah dan arak, dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam ke­adaan masih panas-panas! Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan men­cak-mencak.

“Ah, Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara....!” Suma Kiat sudah menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik pergi dari taman, memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin membangkang, namun ia masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki pertempuran melawan su­hengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.

Setelah mereka berdua duduk di ruangan samping. Suma Kiat segera ber­kata suaranya perlahan setengah berbisik, akan tetapi penuh kesungguhan, matanya memancarkan kecerdikan yang mengaget­kan hati Kwi Lan.

“Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur, semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?”

Kwi Lan memandang, matanya ter­belalak. Celaka, kiranya sinar kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang makin menjadi!

“Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!”

“Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau datang ke sini mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan. Kaulihatlah lima orang wa­nita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu kami.”

“Sekutu apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.

“Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak....”

“Ahhh....!” Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak pernah disangkanya. Jadi gurunya yang gila, juga suhengnya yang berotak miring ini, mem­punyai rencana yang demikian gila? Ia cerdik maka kini ia menahan kemarahan­nya dan berbisik. “Suheng aku belum diberi tahu Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?” Ia pura-pura bersungguh-sungguh.

Suma Kiat tersenyum, menengok ke sekelilingnya. “Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini adalah gedung Pangeran Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng menurut Ibu, dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera Pangeran bernama Suma Boan.” Sampai di sini Suma Kiat membusungkan dadanya. “Aku cucu Pa­ngeran! Karenanya aku berhak menjadi kaisar! Dan engkau menjadi puteri, ha­-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau menjadi permaisuri, dan menjadi ibu suri.... ha-ha-ha!”

“Hushh.... Suheng, bicaralah yang be­nar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”

“Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah mengada­kan hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah sepakat untuk me­ngadakan persekutuan. Kaulihat hwesio yang duduk di sudut tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam apabila saatnya tiba.”

“Hemm, kaukira begitu mudah? Di sini banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini, Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?”

“Siapa bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti pe­rempuan! Dan menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga siap mem­bantu bangsa Hsi-hsia....”

“Bohong....!”

Kwi Lan sendiri menjadi kaget men­dengar suaranya yang spontan dan me­ngandung kemarahan itu. Tanpa disadari­nya, ia kini telah menjadi pembela bang­sa Khitan! Teringat ini, dan melihat pan­dang mata Suma Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung. “Aku mendengar bangsa Khitan bersahabat dengan Keraja­an Sung. Tak mungkin mereka sudi ber­sekutu dengan bangsa Hsi-hsia yang bia­dab, yang menyerang dan menghancurkan Beng-kauw secara menggelap, yang di­pimpin oleh hwesio-hwesio gila, manusia-manusia biadab berkedok pendeta!”

“Aihh.... kiranya pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam pe­rantauan ini engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa Hsi-hsia kini mendapat jalan un­tuk memaksa pemerintah Kerajaan Khi­tan untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia.”

“Hemm, aku tidak percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya, sedangkan Khitan adalah negara besar....“

“Ha-ha-ha, mereka terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran Mahkota mereka ter­jatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw­.

“Apa....?” Kwi Lan menekan perasa­annya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.

Suma Kiat tertawa puas. “Benar? Pangeran Mahkota yang bernama Talibu, Pangeran Khitan itu kini menjadi tawan­an Bouw Lek Couwsu dan dia itulah yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu.”

Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah ibu kandungnya itu memang mempunyai se­orang putera angkat bernama Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biarpun ia mengandung perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut sekali. Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bu­kan urusan main-main. Kalau yang dika­takan pemuda gila ini benar, ia harus berusaha sedapat mungkin menolong pu­tera angkat ibunya! Maka dengan cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang se­penuhnya menonjolkan sikap tidak per­caya.

“Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan dita­wan orang-orang Hsi-hsia?” Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.

Merah wajah Suma Kiat. “Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya kepada aku, calon Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san....“ Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan kata­-katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget, seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga. “eh, Sumoi...., ja­ngan bilang kepada siapapun juga....“

Akan tetapi pada saat itu, perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan itu, di taman. Mereka ber­gegas keluar, terutama Suma Kiat, men­dahului sumoinya melompat keluar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut.

Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan, memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang se­batang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan memaki-maki.

“Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis tadi yang boleh kaupermainkan....“ bentak gadis muda she Chi, sedangkan encinya sudah meraba gagang pedangnya.

Pengemis muda itu bukan lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia duga bahwa gadis itu tentu menimbulkan keributan sesuai dengan wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa. Memang lima orang wanita itu patut diberi se­dikit hajaran. Dia sudah mendengar siapa adanya lima orang wanita itu. Akan te­tetapi ketika ia melihat Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng oleh Kwi Lan, tim­bullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali. Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat, wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seper­guruan pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak mempedulikannya, bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima orang wanita yang merasa terhina oleh Kwi Lan, mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan secara kasar se­kali.

Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah mencari keributan, apalagi mengingat bahwa di situ adalah tempat tinggal Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa khawatir akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya. “Jangan heran akan sikapku....!”

Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring.

“Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan me­ngeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?”

Ucapan ini sungguh hebat dan pedas. Biarpun mereka berlima itu wanita, na­mun tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan yang amat berpengaruh karena perguruan mereka. Dan kini seorang pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah dan tak dapat ditahan lagi kema­rahan orang termuda dari Chi Ci-moi yang bernama Chi Bwee, meloncat ba­ngun menghadapi Yu Siang Ki dan me­maki-makinya seperti tadi.

Siang Ki tersenyum mendengar maki-makian ini, kemudian menambah panas­nya api yang ia kobarkan. “Kam Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa, seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang genit....“

“Jembel busuk mau mampus!” bentak Chi Leng, enci Chi Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya menyambar dengan se­buah tusukan ke dada Siang Ki.

“Wuuuuttt....!” Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong ke belakang. Pemuda ini tanpa merobah kedudukan kakinya telah mampu menge­lak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.

“Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”

“Enci, mari kita bunuh jembel ini!” Chi Bwee juga sudah mencabut pedang­nya dan membacok. Namun kembali bacokannya mengenai angin.

“Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?” Siang Ki meng­ejek terus. Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan. Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pe­muda jembel ini, dua orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut! Biarpun dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya menyambar topinya, sam­bil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan tangan kanan.

“Siuut-siuut-bret-bret....!” Terdengar lima orang itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu sudah terlepas semua ikatannya, ce­rai-berai dan awut-awutan karena pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki. Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian merasa rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika me­reka memandang, pita-pita rambut mereka telah berada di tangan Siang Ki yang tertawa-tawa.

Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa lihainya dan marah karena peris­tiwa yang terjadi di depan banyak tokoh kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang mem­buat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gu­nanya berlaku nekat karena takkan dapat menang. Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu mun­cul keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia ber­niat mengakhiri perkelahian dan mening­galkan tempat itu.

Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah datang berlari seperti terbang cepatnya. Pemuda ini marahsekali. Ia tidak mengenal Si Pemuda Jembel, se­baliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, ten­tu saja tanpa pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu. Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukul­an hebat ke arah Yu Siang Ki.

“Suheng.... jangan....!” Kwi Lan me­lompat dan mengejar kakak seperguruan­nya.

Akan tetapi Suma Kiat tidak mempe­dulikannya dan sudah menghantam ke arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang meng­hantam dengan hawa amat panas! Kaget­lah ia mengenal pukulan ampuh ini. Ce­pat ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang yang menyambar ke arahnya.

“Wuuuuttt.... plakkk....!” Karena Yu Siang Ki membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis, maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia tidak men­duga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan ber­temu Yu Siang Ki merasa betapa serang­kum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia terhuyung-huyung dengan wajah pucat!

Suma Kiat tertawa mengejek dan sudah menyambar lagi ke depan, me­ngirim pukulan lebih ganas kepada Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.

“Suheng.... mundur kau....!”

Suma Kiat melihat sinar hijau berke­lebat dan tahulah ia bahwa Siang-bhok­-kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya. Namun ia tidak per­caya bahwa sumoinya akan berani atau mau melukainya, maka ia tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.

“Brettt....! Aduhhh....! Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau melukai aku?” bentak Suma Kiat. Pundak kirinya mengucurkan darah karena tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya dengan mata terbela­lak heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoinya benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk membela seorang.... penge­mis!

Dengan pedang di tangan dan muka merah saking marahnya, Kwi Lan men­jawab dan menentang pandang mata suhengnya. “Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu Pangcu ini telah membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan yang erat. Akan tetapi engkau malah membela perem­puan-perempuan tak tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi kau memaksa maju se­hingga terluka pedangku. Pendeknya, sia­papun juga tidak boleh mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya melintang di depan dada.

“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau sekarang telah menjadi Inang penga­suh jembel cilik ini? Menjadi pelindung pengemis kelaparan ini?”

Siang Ki telah menyambar tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerak­annya cepat sekali dan kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata.

“Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku takut menghadapi engkau, Suma-kongcu.”

Suma Kiat marah sekali, akan tetapi melihat sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoi­nya marah dan melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoinya itu. Dan kini jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si Pengemis ini!

Pada saat yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan ketegang­an, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring berwibawa.

“Hemm, apakah yang terjadi di sini?” Semua orang menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap yang berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong! Dan di samping pemuda itu ber­jalan seorang gadis cantik jelita berpa­kaian indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi!

Bagaimanakah Kiang Liong bisa mun­cul pada saat itu dan mengapa pula ber­sama Puteri Mimi? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perja­lanan Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi lancar.

Seperti telah kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong di “rebus” dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.

Untung bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.

“Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”,

Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian baru ia menghadapi Song Goat dan men­jura sampai dalam. “Nona Song, kau telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman. Terlalu! Biar kuhajar mereka agar kapok!”

“Ah, mengapa kau berpemandangan sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya amat sederhana dan bodoh percaya akan tah­yul. Kita tidak semestinya marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang yang sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan kesetia­an! Marilah kita pergi!” Suara gadis itu terdengar penuh kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.

Sejenak Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajar­an keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa berkata sesuatu, sete­lah menyambar sepasang pit dan yang­-kimnya, ia pun melompat keluar jendela menyusul Song Goat.

Mereka berdua berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah gadis itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung keke­ruhan tanda bahwa hati gadis itu ber­duka. Ia merasa heran sekali dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat mena­han kesunyian di antara mereka.

“Nona Song, harap berhenti dulu.”

Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara mengham­piri sebuah pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat sejuk hawa­nya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari di bawah sinar mata­hari yang sudah naik tinggi.

Mereka duduk berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Masih tidak bica­ra. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipi­nya menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia bertanya.

“Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?”

Kiang Liong tersenyum. Makin terta­rik hatinya ketika ia menatap wajah yang tunduk itu. Dara cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi pa­tah-patah dan...., pemalu! Berdebar jan­tungnya, timbul rasa kasih dan suka di hatinya.

“Nona Song, aku hanya ingin berca­kap-cakap denganmu.”

Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata tajam yang seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. “Bicara tentang apakah, Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalan­anmu. Jalan kita bersimpangan....”

“Ah, Song-kouwnio, apakah kau meng­anggap aku seorang yang demikian ren­dah dan tidak ingat budi? Kau sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah menyelamatkan aku dan sampai mati sekalipun, budimu yang be­sar tidak akan dapat kulupakan, Betapa mungkin setelah kini kau menyelamatkan aku, akan kutinggalkan saja kau? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona. Pohon-pohonyang disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon atau binatang?”

Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil. Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi daripada tingkat ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya. Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia meng­angkat muka. Mereka bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra. Bagaikan sinar mataha­ri, hangat-hangat menembus jantung ga­dis itu.

“Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah, ka­rena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat dari Ayah....“

“Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah ada­nya ayahmu, Nona? Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan te­rima kasihku.”

Tiba-tiba Song Goat yang duduk ber­sandar pohon itu membungkukkan pung­gung, menyembunyikan muka di kedua tangan dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal budi, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang pecah oleh pertanyaan dan si­kap Kiang Liong, pecah dan membanjir sebagai tangis yang membuat air mata­nya berderai melalui celah-celah jari tangannya yang menutupi muka.

Sebuah lengan yang kuat melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang halus terdengar dekat telinganya. “Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa menangis? Hanya manusia ke­jam berhati iblis saja yang tega mem­buatmu berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah siap dengan jiwa ragaku untuk memban­tumu.”

Sentuhan jari tangan yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini seakan-akan menjebol­kan bendungan terakhir sehingga mem­banjirlah air mata dari sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong, dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya!

Kiang Liong yang banyak mengenal watak wanita, tidak mengganggunya dan membiarkan gadis itu menangis tersedu­sedu. Tangis adalah obat terbaik untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati. Dengan penuh kasih sa­yang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan perlahan-lahan ia menunduk­kan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang pemuda romantis, mudah terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.

Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat. Se­perti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia merebah­kan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membatas pelukannya, dan baru tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah semua oleh air matanya.

“Aiiihhh....“ Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk men­jatuhkan diri. “Aiiihhh....”

“Kenapa, Nona?” Kiang Liong berta­nya, tersenyum ramah. Dua pasang mata bertemu pandang, kasih sayang dan ke­mesraan dalam pandang mata Kiang Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song Goat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

“Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.... maaf­kan aku.... yang lupa diri....“

“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini berduka dan sakit hati?”

Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng kepala tanpa jawaban.

Kiang Liong meraih maju dan meme­gang tangan yang dingin dan halus itu. Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata. “Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu. Apakah kau masih tidak percaya padaku?”

Song Goat mengangkat mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pa­sang mata bertemu pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan kemesraan memandangnya. Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari jari-jari tangannya ber­gerak dan membalas tekanan Kiang Liong. Alangkah mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja.... kalau saja.... Song Goat cepat mengusir perasa­an ini dan rasa malu membuat leher dan mukanya menjadi merah dan panas, ke­mudian ia menarik tangannya perlahan­-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas remasannya sebagai jawaban suara hati.

“Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”

Dengan muka tunduk Song Goat men­jawab lirih. “Aku.... meninggalkan Ayah­ku....!”

“Kenapa? Di mana dia?”

Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka berpandangan dan Song Goat berkata. “Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.... biarlah kau menjadi satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.... dan biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku, Kiang-kong­cu, aku.... aku telah dihina dan dikhia­nati.... tunanganku sendiri.”

Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal. “Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak buta matanya, tentu buta hatinya sehingga ia tega ber­buat keji terhadapmu. Siapa dia, Nona?”

Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa sejak kecil ia te­lah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya, dijodohkan dengan putera saha­bat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut merantau, mencari tunangannya, kemudi­an menceritakan betapa ia dan ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada se­orang gadis lain sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.

Kiang Liong mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan tetapi setelah selesai cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya mengandung ketegangan. “Nona Song, kau bilang nama tunanganmu itu Yu Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang? Apakah dia seorang pengemis muda yang bertopi lebar ter­hias bunga, dan memegang tongkat. Wa­jahnya tampan tubuhnya tinggi?”

Song Goat mengangguk. “Apakah Kongcu sudah mengenal dia?”

“Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan ke­kejian kepadamu? Dan siapakah wanita yang dicintanya?”

“Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan....”

“Ahhhh....! Dia....?” Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis yang cantik jelita, lincah dan ganas, dan ia kini tidak merasa heran bahwa tu­nangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara Hitam. Memang gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!

“Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?”

“Hemm, kenal sih tidak, dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah aku bertemu dengannya. Memang dia cantik dan lihai, akan tetapi tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak bijaksana kalau dia melu­kai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada wanita lain di depanmu.”

Song Goat menarik napas panjang. “Tak dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih kepada Adik Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku. Dan dia menya­takan cinta kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong keselamatan Adik Kwi Lan.” Song Goat lalu menceri­takan tentang munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru Mutiara Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam pembelaannya ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan gurunya sen­diri.

Mendengar semua ini, Kiang Liong mengangguk-angguk.

“Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk bertemu kembali dengan dia, Kongcu? Apalagi harus bicara tentang jodoh! Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa terhina dan malu hanyalah me­larikan diri seperti yang kulakukan se­karang.”

Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa ka­sihan sekali. Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil itu. Sejenak tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam genggaman, akan tetapi tidak ditarik lepas.

“Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”

Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala, menun­duk dan menarik tangannya. “Aku.... aku tidak tahu.... dia memang gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu de­ngannya...., dan.... mendengar pengakuan­nya terhadap Kwi Lan, rasanya.... rasanya aku tidak mencintanya....“

Kembali tangan kanan Song Goat dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat. “Dewiku, kalau begitu mengapa berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat menghargaimu dan kau pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka? Engkau sebaliknya harus bersyukur telah terbebas daripadanya. Terus terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk mencin­tamu, dan cinta kasihku akan jauh me­lampaui cinta kasih pengemis bodoh itu!”

Song Goat mendengar ucapan ini me­mejamkan matanya dan air matanya berlinang di ataspipi. Ia seperti mabok dan mandah saja ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bah­kan ia hanya meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya. Ia merasa seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat, merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang kuat itu, bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian dewata. Sejenak ia hampir lupa diri, hampir ma­bok madu asmara. Akan tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang dan mesra mendekati dan menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan menggerakkan kedua lengan­nya yang tadi merangkul leher pemuda itu untuk mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.

“Tidak....! Tidak....!” keluhnya berka­li-kali.

Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh per­tanyaan. Akan tetapi ia tidak mau me­maksa dan hanya memandang penuh se­lidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa bersalah. Dia tadi seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas, seolah-olah ia mempermainkan cinta kasih orang!

“Kiang-kongcu, kaumaafkan aku. Sesungguhnya, akan merupakan kehormat­an dan kebahagiaan besar sekali bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk mendapatkan cinta kasih seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku akan bahagia sekali!”

Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan tetapi Song Goat mengelak dan cepat-cepat menyambung kata-katanya. “Akan tetapi.... jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak memiliki kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak murtad dan tidak berbakti. Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil. Sejak dahulu aku sudah menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang me­mutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk menjadi nikouw (pendeta wanita)!”

“Moi-moi....!”

“Tidak, jangan sentuh aku lagi, Kong­cu! Ingat, aku isteri orang lain! Engkau seorang pendekar muda yang sudah ter­kenal dan aku yakin seorang pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga peraturan. Engkau budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku mengabdi kepada agama.” Song Goat menghapus air mata­nya yang kembali berderai itu dengan ujung bajunya.

Kiang Liong menghela napas panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya terhadap wanita, maka ia lalu berkata. “Nona Song, aku mengerti akan pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-lian-si di lereng Bukit Cin-ling-san diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw mempelajari keagamaan, akan tetapi kau berjanjilah bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam satu tahun dia tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamu­lah kalau kau hendak menjadi nikouw. Kauserahkan suratku kepada Fang-ni­kouw.”

Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai saputangan putih dan menggunakan getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret beberapa belas huruf di atas saputangan lalu memberikannya kepada Song Goat.

“Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu.”

“Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan te­tapi apa boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan menanti sampai satu tahun.”

“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpi­sah. Semoga Thian memberkahimu.”

Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak sudah ia mengenal gadis cantik, akan tetapi baru Song Goat ini yang menda­tangkan rasa iba besar di hatinya. Ke­mudian, setelah bayangan gadis itu le­nyap, ia pun melanjutkan perjalanan. Tentu saja ia menuju pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusanbesar. Ia harus melapor sendiri kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi ancaman bangsa Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalan­an, hanya dua wajah yang selalu terba­yang di depan matanya. Wajah Po Leng In dan wajah Song Goat. Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan te­tapi yang kedua-duanya telah melepas budi kepadanya.

“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpi­sah. Semoga Thian memberkahimu.”

Ketika ia tiba di lembah Sungai Ku­ning, di kaki Bukit Fu-niu-san di sebelah selatan kota raja, senja telah mendatang. Ia mempercepat larinya karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di sebuah dusun yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya.

Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh sudah kelihatan bahwa di pinggir hutan itu ter­jadi perang kecil yang dilakukan oleh empat lima puluh orang. Hatinya ber­debar keras. Dari jauh tampak bahwa yang bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa hwesio jubah merah yang ber­gerak cepat dan tangkas. Sedangkan pihak lawan adalah orang-orang bersera­gam, seperti pasukan yang pada saat itu keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot mempertahankan diri. Kiang Liong menjadi cemas sekali. Adakah pasukan Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini dekat dari kota raja? Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari kota raja? Dari jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya menuju ke tempat pertempuran.

Setelah dekat, ia terheran-heran. Kira­nya pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang Khitan! Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang sisanya melaku­kan perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan memiliki keberanian serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi orang-orang Khitan ini. Dan yang mengagumkan hati Kiang Liong adalah ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio jubah merah. Bukan main gadis remaja ini. Cantik je­lita, memiliki kecantikan khas Khitan yang berbeda dengan kecantikan orang-orang daerah, memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan pedang gadis itu jelas merupakan ilmu pedang yang bertingkat tinggi! Sayangnya gadis itu agaknya belum banyak pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih berpe­ngalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua orang hwesio jubah merah ini tentu tak­kan dapat bertahan lama.

Apalagi ia telah mengenal bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan bangsa sahabat, andaikata pasukan tak terkenal se­kalipun, tentu Kiang Liong tidak ragu-ragu untuk membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini. Terutama sekali melihat gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah baik kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis itu, tentu mereka akan dapat ber­kenalan dengan baik! Akan tetapi gadis itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya da­pat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan adalah pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat orang Hsi-hsia memekik dan roboh terguling.

Seketika berubah keadaan perang kecil itu. Apalagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong terus menerjang dan dalam waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia sudah roboh terguling. Para perajurit pengawal bangsa Khitan timbul semangat mereka melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan pekik kemenangan lalu menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut, se­bagian roboh binasa, yang lain melarikan diri. Lima orang pendeta jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok dara jelita tadi, sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan berlindung kepada kegelapan malam yang mulai timbul.

“Cianbu (Kapten), syukur kau dan pa­sukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak tentu aku sudah mereka tawan!” Dara remaja itu berkata sambil menya­rungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak membayangkan kecemasan atau kekagetan sungguhpun ia baru saja ter­lepas daripada bahaya besar.

Kapten yang memimpln pasukan pe­ngawal itu memberi hormat dengan membungkuk dalam-dalam di depan dara itu dan meletakkan tangan kanan di de­pan dada, kemudian berkata. “Rasa syu­kur dan terima kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau Kiang-kongcu tidak datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba sepa­sukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong.” Berkata demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.

Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia hanya kaget men­dengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.

“Cianbu terlalu memuji....“ Ia berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.

“Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid.... Suling Emas.....?”

Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid Su­ling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah ini....!

“Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia.” katanya merendah.

Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun. “Sudah sering aku mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah mengenal namamu.”

Kiang Liong memandang wajah ayu itu, mengingat-ingat. Kemudian ia ter­ingat akan cerita bahwa Panglima Besar Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita dan pandai ilmu silat.

“Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kaya­bu yang terhormat?”

Puteri Mimi tersenyum, giginya ber­kilat putih dan indah seperti mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan me­nerangi cuaca yang sudah mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan ber­kata.

“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?” Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.

Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura dalam-da­lam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti kalau ia mem­buat laporan kepada atasannya.

“Hamba mendapat pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena khawatir akan terjadi hal serupa.”

“Apa....? Pangeran Talibu tertawan....?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Me­ngapa orang-orang Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.

Kepala pengawal itu menggeleng ke­pala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui, hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana.

Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung....” Ia menoleh ke arah Kiang Liong.

“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan mem­bantu sekuat tenaga untuk membebaskan­nya karena kejadian itu terjadi di wila­yah Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di rumah­ku agar terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah, di antara mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak akan membunuh Pangeran Talibu.”

“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.

Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepada­mu.”

Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi permintaan Kiang Liong tadi. Berangkat­lah pasukan itu pergi, juga Sang Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda yang di­sediakan oleh kepala pasukan.

Karena dapat menduga bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari belakang rumah.

Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun, ia melihat bahwa di taman sam­ping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hor­mat dan ramah, juga ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian, dari ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.

“Bagaimana ini, Ibu? Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggal­kan seorang putera?” Kiang Liong berta­nya.

“Hemm, aku pun heran sekali melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong).” kata Pa­ngeran Kiang dengan muka cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal setahuku, Pamanmu Su­ma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu.... hiihh, mengeri­kan sekali, seperti iblis betina.”

“Ah, terlalu sekali. Tidak sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula, kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Me­mang Kam Sian Eng mengerikan, akan tetapi.... ah, dia seorang yang berilmu tinggi, dan tidak waras, apalagi dia ma­sih adik tiri Suling Emas, apakah kau masih bersangsi?”

Makin keruh wajah Pangeran Kiang. “Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emass selalu benar dan baik, sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”

“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“

“Sudahlah!” Pangeran Kiang memban­ting kaki dan meninggalkan kamar. Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu kare­na ayah bundanya bertengkar di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah seringkali ia men­dengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.

“Sesungguhnya, bagaimanakah ia da­tang dan mau apa? Sekarang, eh, wa­nita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?”

Suma Ceng yang biarpun usianya su­dah mendekati lima puluh masih tampak cantik dan halus itu, menarik napas pan­jang, memegang dan menarik tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata. “Puteri harap kaumaafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu membikin kau merasa tidak enak sekali.”

Mimi biarpun masih gadis remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata.

“Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”

Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu terme­nung. "Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci angkat ratumu di Khitan." Kemudian ia meman­dang putera sulungnya, "Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu siapapun juga ia me­ninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung. Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu tidak setuju, maka ter­paksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam pesta."

Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tang­ga ibunya, dan di dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat sayang kepadanya, melebihi sayang­nya kepada dua orang adiknya, Kiang Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua orang adik­nya. Rahasia apakah? Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua puluh tiga tahun, sudah me­nikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai (sastrawan)yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.

"Kalau begitu.... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"

"Tidak, bahkan ia datang, bicara sing­kat lalu pergi lagi menghilang seperti.... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau mengatakan dia iblis be­tina. Memang mengerikan sekali, Liong­ji. Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat orang-orang sakti seperti Suling.... eh, Gurumu sehingga melihat orang berkele­bat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan sikapnya.... hih, menyeramkan!"

Kiang Liong tidak merasa heran kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pe­muda itu sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini menggembirakan hatinya, karena biarpun ia mempunyai dua orang adik namun mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu silat. Ayahnya lebih senang anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu silat. Teringat akan adiknya, ia lalu ber­tanya.

"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"

Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawin­kan dengan anak itu. Anak pemilik res­toran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang tua!"

Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"

"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya...."

"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia se­kali kalau dia mencinta seorang gadis seperti.... Mimi ini...."

"Ihhh.... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.

"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-ma­rah, maafkan kalau pendapat saya, keli­ru." Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya. Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria yang dicintanya, putera Suling Emas!

"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau meni­kah."

"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apalagi seka­rang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat ber­tindak untuk menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."

Seketika wanita itu menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting itu."

Pada saat itulah terdengar suara ri­but-ribut di samping gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini, Kiang Liong lalu melom­pat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.

Demikianlah, seperti telah kita keta­hui di bagian depan cerita ini, ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyak­sikan keributan yang terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.

"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"

"Kiang-kongcu datang....!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang sekali­gus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong. Dengan pandang mata­nya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang kelihatan me­nimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak dide­ngarnya. Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak senang di hatinya, apalagi melihat mun­culnya pengemis muda itu bersama Mu­tiara Hitam! Hatinya makin sebal me­lihat seorang pemuda berpakaian serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang pe­nuh perhatian.

Suma Kiat adalah seorang yang wa­taknya aneh, namun harus diakui bahwa di balik keanehannya, ia memiliki kecer­dikan luar biasa. Mendengar seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik muka semanis­-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.

"Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata demikian, ia kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.

Kiang Liong hanya mengangguk kepa­da Suma Kiat sebagai balasan, lalu ber­tanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa sebabnya?"

Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu menunjuk Yu Siang Ki dan berkata. "Jembel busuk inilah yang mengacau. Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan melukai pundakku!"

Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran, akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak disangka-sang­kanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang lain, masih terhitung adik seper­guruan dengannya. Ia menjadi bingung dan sejenak kesima tak dapat berkata. Kemudian ia memandang Yu Siang Ki, pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, ke­mudian ia pun balas menghormat.

"Pesta kecil ini diadakan untuk me­nyambut kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu menghina tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."

Sebelum Yu Siang Ki sempat men­jawab, lima orang wanita yang tadi di­kalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka berkata, "Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina kami, Kiang-kongcu. Tan­pa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata dia sumoi dari Su­ma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan menyerang kami!"

Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit ini yang selalu mengejar-nge­jarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.

"Harap kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan urusan ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima orang wanita itu mundur dan de­ngan bersungut-sungut mereka lalu pergi dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan Siang Ki.

Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat, bagaimana penje­lasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu, adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu lain."

"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya ke­cewa. Terus terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar me­reka, kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima pertanggungan-jawab­nya."

Diam-diam Kiang Liong kagum men­dengar jawaban itu. Jawaban yang seder­hana namun sekaligus menonjolkan sifat gagah pemuda itu yang tidak suka men­ceritakan peristiwa itu untuk membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga membayangkan keang­kuhan seorang ketua perkumpulan penge­mis yang mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima pertanggunganjawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya itu terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!

"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggungjawabkan per­buatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam menusuk.

Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang gagah mengenal kegagahan, men­junjung tinggi persahabatan dan tahu mana baik mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahan­kan nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu menantangku untuk mengadu kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak berani berlaku ku­rang ajar dan ceroboh, membentur Gu­nung Thai-san. Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang wanita tadi, berarti Kongcu mem­bela yang sesat dan aku siap untuk me­nerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"

Dua orang muda yang sama tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk ber­tanding seperti dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apalagi setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah Ketua Khong-sim Kai­-pang yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.

"Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan tongkat besar? Harap Piauw-heng jangan mencapaikan diri, untuk membikin mam­pus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat berlagak sam­bil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.

"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada sang­kut-pautnya dengan aku, tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang Liong dan me­nyentuh pundaknya. Sejak tadi puteri ini mendengar dan melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian jembel itu.

Melihat majunya Puteri Mimi, terpak­sa Kiang Liong mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia men­jadi kagum. "Ada petunjuk apakah, Pu­teri?" Kini semua orang memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang asing namun sedap didengar.

"Kiang-kongcu, mereka yang ribut­-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu tentu ada sebab­nya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan menyelidiki lebih dulu apa sebab keribut­an, baru mengambil keputusan yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah ter­lambat. Harap Kiang-kongcu mendahulu­kan kesadaran."

Tidak hanya Kiang-liong dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucap­an seperti itu keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti Puteri Mimi.

Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera Mimi, sebaiknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan, berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang Liong, sikap dan pandang matanya penuh tantangan! Suaranya nyaring tinggi menyambar telinga semua orang, lang­sung menusuk jantung mereka dengan kata-kata yang tajam.

"Orang she Kiang! Apakah karena engkau menjadi murid Suling Emas eng­kau lalu boleh berlagak sombong seperti seorang pangeran dari langit? Kalau se­gala macam urusan kecil hendak diberes­kan secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar! Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena perempuan­-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan memberi hukuman, hayo hu­kumlah aku. Mutiara Hitam berani ber­buat berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling Emas seorang pendekar besar dan pa­triot, akan tetapi muridnya mengapa mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan kedu­dukan dan nama Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"

Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai per­sekutuan untuk membantu gerakan bang­sa Hsi-hsia, menjadi pucat karena khawa­tir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupa­kan penghinaan hebat!

"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila? Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki menegurnya, wajah pemuda ini pun men­jadi pucat. Ia maklum bahwa kali ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikan­nya, bahkan sinar matanya seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"

Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini! Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar karena menahan amarah ketika ia bertanya.

"Mutiara Hitam, sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang bu­kan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"

Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"

Sepasang mata Kiang Liong menge­luarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal tangannya untuk menerjang maju, meng­hajar gadis yang liar ini. Akan tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan mem­bentak, "Boleh! Coba hendak kulihat siapa orangnya!"

"Kaulihat baik-baik!" Kwi Lan yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.

"Sumoi.... jangan....!" Suma Kiat ber­seru.

Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga orang hwesio tadi.

"Brakkk....!" Hwesio kurus berjubah kuning itu dengan tangan kirinya me­nyampok dan meja itu pecah. Sambil menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan. "Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"

Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang berna­ma Cheng Kong Hosiang?"

"Sumoi, jangan....!" Kembali Suma Kiat berseru.

Cheng Kong Hosiang menjadi be­ringas pandang matanya. Kakek ini men­cium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang yang memi­liki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi seorang gadis remaja.

"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."

Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan, melihat gadis itu sudah mener­jang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri bersenjatakan tongkat. "Trang-trang.... wuuut-wuuut, aduhhh....!"

Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di ta­ngan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan pemegangnya, kemu­dian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pun­dak patah-patah!

Cheng Kong Hosiang sudah menyam­bar tongkatnya yang panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat daripadanya. Tubuh gadis ini seperti le­nyap, berubah menjadi bayangan yang didahului sinar pedang kehijauan.

"Sumoi, tahan....!" Kembali terdengar suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya. Melihat sumoinya nekat dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak jauh yang mengan­dung hawa beracun dan betapa pun lihai­nya Kwi Lan, kaarena ia menujukan per­hatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya sukar baginya untuk menghindar­kan diri dari pukulan maut suhengnya.

Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!

"Dukk....!"

Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri, seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena tang­kisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya sendiri membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong. Melihat betapa adik misan­nya mengirim pukulan dari belakang se­ganas dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu. Andaikata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal ke­ributan ini sekalipun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga semua orang, kembali menonton pertan­dingan antara Mutiara Hitam dan Cheng Kong Hosiang.

Yu Siang Ki juga menyaksikan peris­tiwa yang terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang melin­dungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan me­ngapa bersikap seperti itu? Ia merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi Lan apabila gadis itu terancam bahaya.

Hwesio kurus itu memang lihai sekali. Tongkatnya terbuat daripada baja kebiru­an yang kuat dan berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di tangannya diputar cepat se­hingga lenyap bentuknya, berubah men­jadi gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap bayangannya, tergulung oleh sinar pe­dangnya yang kehijauan. Namun perta­hanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke manapun juga sinar pedangnya me­nyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga pertandingan itu men­jadi makin seru dan sengit. Belasan se­rangan hwesio itu juga tak pernah ber­hasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.

"Trang! Trang....!" Dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang yang bertanding seru itu mencelat mun­dur sampai tiga meter lebih.

Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada Kiang-kongcu dan tetap hendak menan­tang pinceng, bukan di sini tempatnya!"

Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi sekutumu! Eh, Cheng Kong Ho­siang, apa kaukira aku tidak mengerti akan rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Engkau bertugas meng­adakan persekutuan busuk dengan kaum pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan pem­besar yang hadir di sini...."

"Trang-trang....!" Tongkat itu me­nyambar hebat dan Kwi Lan yang me­nangkis dua buah serangan itu sampai merasa tergetarpundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah bertanding secara he­bat.

Berubah wajah Siang Ki mendengar ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik ke­pada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu, para pem­besar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.

"Berhenti! Semua tidak boleh, mening­galkan tempat ini!" bentak Kiang Liong yang cepat memberi isyarat kepada pen­jaga, kemudian membisikkan perintah agar Si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana dan pasukan­nya. Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang lihai. Kini men­dengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat. Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khia­nat.

Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi hati­nya agak lega melihat betapa tadi pukul­an suhengnya digagalkan oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepan­daian yang jauh lebih tinggi daripadanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi, hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat, kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwe­sio ini lebih dulu, pikirnya. Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.

Kwi Lan menjadi penasaran. Perta­hanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi pedangnya. Ia harus mengguna­kan akal. Dalam satu dua detik saja ia sudah mendapatkan akal ini. Kalau la­wannya yang merupakan seorang berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam pertandingan-pertandingan itu di­biarkan terus mempertahankan diri agak­nya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi lebih lemah jika diperguna­kan untuk menyerang. Artinya setiap serangan membuka lowongan atau ke­lemahan dalam pertahanan.

Tiba-tiba Kwi Lan menusukkan pe­dangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat. Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula, bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak akan dapat me­nandingi kehebatan sumoinya dan tentu akan roboh. Kini melihat berobahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia me­rasa girang. Ia mencinta sumoinya, akan tetapi kalau sumoinya menghalang jalan menuju tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat sumoinya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang, berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.

Akan tetapi Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah ter­bayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya. Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghan­tam ke arah kepala Kwi Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan ujung tongkat me­nyerempet pundaknya!

Di dalam hatinya, Kiang Liong terte­gun. Memang siasat ini hebat, akan teta­pi terlalu berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi Lan selain tabah juga tenang dan cerdik, per­hitungannya takkan meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserem­pet ujung tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).

"Auuuggghhh....!" Pukulan itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan menggeliat-geliat kesakitan karena selu­ruh isi perutnya seperti ditusuk-tusuk.

"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat lari menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan te­tapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu, bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan tidak bergerak lagi.

"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.

Pemuda ini hendak memeriksa dan me­maksa hwesio itu membuka rahasia, akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia me­meriksa, Cheng Kong Hosiang ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit ber­diri, dan menatap wajah adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat hanya menyeri­ngai saja.

Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di luar taman dan masuklah seorang ko­mandan berpakaian gagah memimpin se­pasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedang­kan para anak buahnya dengan rapi men­jaga di pintu keluar.

"Hemm, tidak ada perlunya kita ber­ada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.

Yu Siang Ki mengangguk. Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan me­ngenai tuduhan yang dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang ber­ada di sini ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang Liong dengan pandang ma­ta bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang Liong berkata halus, "Biar­kan mereka pergi!"

Yu Siang Ki merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.

"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."

"Hemm, tidak ada yang perlu dimaaf­kan. Kalau kau ingin minta maaf, pergi­lah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini. Yu Siang Ki tercengang, tidak me­ngerti, akan tetapi karena Kiang Liong sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan karena Kwi Lan sudah menarik tangan­nya, terpaksa ia mengikuti gadis itu keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.

"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."

"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu!"

"Apa....? Bagaimana? Di mana?"

"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelas­kan."

"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"

"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"

"Takut siapa?"

"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia da­tang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."

"Ah, Gurumu marah karena kau mem­bunuh hwesio itu?"

Kwi Lan menghentikan larinya me­mandang pemuda itu dan membanting kaki. "Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus menyelamatkan Putera Mahko­ta Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang lebih baik kaukumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian, ke­mudian menyusulku pergi ke lembah Su­ngai Kuning di sebelah barat Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sana­lah markas Bouw Lek Couwsu dan baris­an mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah, sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajah­nya berobah. Seorang calon nikouw? Yang akan mempertimbangkan perminta­an maafnya? Ah, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh Kiang-kongcu. Tunangan­nya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa terhina, tentu mengambil kepu­tusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan seperti itu. Akan tetapi, urusan yang. dikemukakan Kwi Lan amat besar. Biar­pun ia tidak peduli tentang nasib Pange­ran Khitan, akan tetapi kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi gadis itu. Dia ha­rus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup kuat.

"Mari kita kumpulkan teman-teman!" katanya dan barangkatlah mereka mem­persiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Kwi Lan.

***

Semua tamu yang hadir dalam pesta penyambutan Suma Kiat, digiring oleh pasukan pengawal istana. Setelah diperik­sa, ditanya seorang demi seorang, me­reka itu tidak ada yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!

Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar dan men­ceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang Hsi-hsia. Kai­sar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras mencegah pecahnya perang.

"Betapa pun kecilnya, perang tetap merupakan malapetaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus dihin­darkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehen­daki, kami lebih suka mengorbankan se­bagian harta benda daripada mendatang­kan malapetaka bagi rakyat!"

Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan Kerajaan Sung sendiri. Ka­rena perintah semacam ini yang sering kali dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan ketika malapetaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia yang ti­dak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!

Kiang Liong kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak se­orang di antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan ter­hadap orang-orang Hsi-hsia? Dan dima­nakah adanya Pangeran Khitan yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman. Melihat betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Ho­siang dan melihat pula sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang hebat itu.

Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya, mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah, sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauw-te!"

Suma Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi, tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.

"Piauw-heng, aku tidak punya rahasia apa-apa."

"Suma Kiat! Orang lain boleh kau­bohongi akan tetapi aku tidak! Kaukira aku tidak tahu akan kebingunganmu ke­tika kau melihat Mutiara Hitam hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan.... kau membunuh Cheng Kong Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"

"Ha-ha-ha, Piauw-heng. Kau benar­-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi, membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik mi­san sendiri? Sungguh engkau seorang kakak tak patut dibanggakan. Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku. Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau tidak suka melihat ke­nyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa kata Bibi kalau ku­ceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.

Akan tetapi dengan sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan hati yang panas oleh ma­rah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat, jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu. Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat kami, mengotorkan dan mence­markan nama baik keluarga kami. Hayo ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah kau tentang penawanan Putera Mahkota Khi­tan? Jawab sejujurnya kalau kau tidak ingin aku menggunakan kekerasan terha­dapmu!"

Tiba-tiba berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya disi­pitkan, dari mana menyambar keluar sinar mata yang tajam dan aneh. Kemu­dian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak, suara ke­tawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa. Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!

"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kaukira aku ini orang bawahanmu sehing­ga boleh kauperintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum pernah takut ke­pada siapapun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"

Setelah berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat meleng­gang terus hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu. Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari kamar ini sebelum kau mengaku!" Sambil membentak tangan kanan Kiang Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.

Suma Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan ta­ngan kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut, pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!

"Plak-plak....!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menang­kis dengan pengerahan sin-kang disalur­kan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar dan menabrak dinding sedang­kan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa lengannya yang menangkis men­jadi panas sekali.

Hanya beberapa detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke din­ding. Ia sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya terse­nyum menyeringai. "Piauw-heng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"

"Huh, bukan aku yang mengajak ber­kelahi, melainkan engkau yang meman­cing keributan. Tinggal kaupilih, mengaku terus terang ataukah harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis pandang matanya tajam.

Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah, Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepada­mu? Harap kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong. Pemuda ini pada hakekatnya juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar, menekan kema­rahannya dan berkata,

"Begitulah yang kukehendaki, Piauw­te. Sekarang kauceritakan baik-baik ten­tang...."

"Wuuuutt.... dukkkk....!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan ber­gulingan di lantai. Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyang­ka-nyangka tidak sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena pukulan. Hanya karena sin-kang pemuda ini sudah mendekati tingkat tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar, napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuh­nya ia menahan napas mengerahkan sin-kang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu bahwa ia terluka, sungguh­pun tidak berat danberbahaya. Ia me­nahan kemarahannya dan terus berguling­an, karena ia tahu kalau kemarahan menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.

"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" Terdengar suara Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan keluar dari empat jurusan.

Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang dilontarkannya.

"Kraakkk.... bruukk!" Kursi yang ter­buat dari kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit hawa pukulan Suma Kiat yang menyam­bar dari kanan kiri.

"Aihhh....!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah kursi. Namun ia tidak dapat terlalu lama ber­heran, karena Kiang Liong kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari ba­wah. Inilah pukulan tangan kosong yang diambil dari gerakan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga gwa-kang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam).

Suma Kiat memang telah mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, na­mun dalam hal tenaga dalam dan penga­laman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia terkejut dan mengguna­kan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba lebih dulu dan melihat sambarannya. Suma Kiat juga menangkis dengan tenaga gwa-kang, akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang berlawanan, yakni tenaga dalam. Suma Kiat terkejut, namun terlambat. Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan, menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langit­langit kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!

Suma Kiat mengeluh, kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi, mengaduh,, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah ka­rena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia me­nanti maut. Namun pukulan itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka mata­nya perlahan-lahan, ia melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak ping­gang, kedua kaki terpentang lebar, sikap­nya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.

Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Me­nangis sesenggukan, terisak-isak dan ber­gulingan di atas lantai, seperti seorang anak, kecil menangis rewel.

"Uhuuk-hu-huuukk.... Piauw-heng, kau benar kejam sekali.... u-hu-huuk.... kalau memang kau tega kepada adik misan, kaubunuhlah aku sekarang juga.... u-hu­huuukk....!"

Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini.

Menurut penuturan ibunya, mungkin se­kali Kam Sian Eng itu seorang wanita yang selain aneh, juga tidak waras otak­nnya. Dan bukan aneh kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Atau­kah berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.

"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kauceritakan semua rahasia itu." katanya dengan hati sebal.

Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya mengguna­kan kekuatan sin-kang untuk melontar­kannya. Rasa nyeri yang dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri kakak misannya, mengge­rakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak dekat ke pinggang.

"Piauw-heng, kau benar-benar terlalu kejam. Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja kaupikir, Piauw-heng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengan­nya. Katanya.... kelak kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada.... eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apalagi enci adik Chi itu. Kaubagi mereka untukku, ya, Piauw-heng?"

Kiang Liong mendongkol bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini mem­bohong. Ia sudah mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan ten­gang ditawannya Pangeran Mahkota Khi­tan, Suma Kiat mempermainkannya. Ka­lau tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang tidak patut ini!

"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang dapat kaubodohi dengan sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau tidak mengaku.... hemm.... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.

"Eh.... eh.... ohh.... Piauw-heng kaubu­nuhlah saja aku...." Kembali Suma Kiat menangis menggerung-gerung! Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah. Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan ter­dengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak tingkah. Ia melangkah maju dan.... sinar putih yang menyilaukan mata menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan menyerangnya secepat kilat!

Kiang Liong terkejut bukan main. Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak ter­sangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga gin-kang dan tubuh­nya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya mentertawakan.

"Crak-crak....!" Sebuah meja besar pecah menjadi beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang Liong menyelinap ke bela­kang meja.

Beberapa detik ini sudah cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia meloncat melam­paui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar melihat bahwa kakak misan­nya hanya memegang sepasang senjata pensil yang hanya satu kaki lebih pan­jangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih

"Cring-cring.... trang-trang-trang....!" Berkali-kali pedang yang bersinar putih itu bertemu denpan sepasang pensil dikedua tangan Kiang Liong. Barulah Suma Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi, berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengan­dung tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh.

Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar sepasangpensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang me­lindungi tubuhnya. Andaikata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuh­nya, hanya ingin merobohkan dan menak­lukkannya, maka hal ini memakan waktu agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan untuk meno­tok adik misannya.

Tiba-tiba terdengar suara lengking nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!" Angin yang keras menyambar masuk dari jendela dan.... lampu dinding dalam kamar itu seketika menjadi pa­dam! Kiang Liong kaget, tidak melanjut­kan serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma Kiat menerjangnya dengan hebat. Kaget­lah Kiang Liong dan ia menangkis. Per­temuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang tampak jelas di dalam kamar gelap ini. Kembali Suma Kiat menyerangnya. Kiang Liong me­nangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman pendengarannya. Ia sama se­kali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih tajam pandangan matanya di dalam gelap daripada dia. Suma Kiat semenjak kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan. Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebab­nya mengapa setelah kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan Kiang Liong.

Karena tidak ingin "salah tangan" dalam gelap itu sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya, pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat "me­nangkap" pedang itu dengan §epasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha me­narik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti lekat pada sepasang pensil.

"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" Dengan suara tegas Kiang Liong berkata.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bu­kan main. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi. Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba. Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat. Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan sin-kang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sin-kangnya dapat melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.

"Plakk....!”

Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras, akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil yang masih menjepit pedang Suma Kiat ter­lepas dari kedua tangan, jatuh berkeron­tangan di atas lantai kamar.

Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau da­tang, Ibu."

"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain ada­lah Kam Sian Eng. Melihat wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa serem juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Me­mang kata-katanya mengandung kebe­naran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit adalah untuk pertempuran jarak de­kat, akan tetapi mengingat akan tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu biarpun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh. Akan tetapi ia tidak dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat ia terpaksa menge­rahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Ka­gum juga hatinya karena wanita itu da­pat menotoknya tanpa ia ketahui sama sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak pula menjadi lemas karena yang tertotok ada­lah jalan darah yang berpusat di pung­gung. Maka ia hanya dapat rebah telen­tang sambil memandang ibu dan putera yang gila itu.

"Bagus, Ibu. Kita bawa Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini menggagalkan pertemuan dan persekutuan bahkan membahayakan kedudukan para pembantu di kota raja."

Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar mata yang amat tajam menembus ke­rudung hitam, membuat Kiang Liong tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan perasa­an, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah gila atau mata iblis!

"Kaubawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.

"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang akan ku­bawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan, Heh-heh!"

"Siapa?"

"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menya­rungkan pedangnya yang tadi terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat keluar dari dalam kamar.

Di ruangan tengah Suma Kiat ber­temu dengan Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat­-ji (Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut. Apakah.... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"

"Heh-heh-heh, anakmu sudah mam­pus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.

"Apa....? Di mana dia....?" Suma Ceng menjerit.

Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"

Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup menge­nal kecurangan dan kelihaian keponakan­nya. Dengan sabetan kaki yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet, terangkat dan tu­buhnya terbanting ke lantai. Kepala­nya membentur lantai dan nyonya ini pingsan!

"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.

"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjang­kau hendak menangkap.

Akan tetapi Puteri Mimi bukan se­orang wanita lemah. Cepat ia mengelak dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul tendangan kaki kanannya.

"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi.

Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan mengarah ba­gian berbahaya dan lemah dari tubuh lawan.

Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan be­laka dan di lain saat tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh ta­ngan kiri Suma Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.

Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat. "Hayo pergi, ikuti aku!"

Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng, berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam. Di dalam gedung menjadi gempar. Pa­ngeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget dan gelisah me­lihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demi­kian pula Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya. Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan perbuat­an Suma Kiat. Ia menghela napas pan­jang dan mengomel.

“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya....!” Tentu saja Pangeran Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat. Mendengar ucapan suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus.

“Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik kau cepat-cepat berusaha, mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji dan Puteri Mimi!”

Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan tetapi ia keluar dari kamar isteri­nya untuk mengerahkan pasukan penga­wal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya. Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong se­hingga lenyapnya tidak perlu dikhawatir­kan. Ke dua karena ia memang kurang peduli akan pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlahketurunannya. Ia maklum akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pe­muda itu adalah keturunan Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta is­teri, maka ia tidak pernah membicarakan hal ini.

Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari seperti terbang cepatnya menuju ke ba­rat. Mereka melewati kota Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar di kaki Bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.

Malam telah terganti pagi dan mata­hari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali di­lempar oleh wanita berkerudung itu se­hingga rebah telentang di atas tanah.

Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya.

“Ibu, kenapa berhenti?”

“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya.” Kata ibunya. Puteri Mirni mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati ba­nyak kesenangan dengan aku, ha-ha!”

Suma Kiat memeluk erat dan men­dekatkan mukanya hendak mencium. Pu­teri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda itu jauh lebih kuat.

Kam Sian Eng duduk bersila, me­mejamkan mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya ber­api. Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat membentak keras.

“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”

Suma Kiat mengangkat muka meman­dang sambil menyeringai. Melihat sinar mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauw-heng, apakah kau cemburu dan iri?” Ia mengejek, akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang menyeram­kan itu membuat ia kederjuga. Ia tahu betapa lihainya kakak misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsu­nya. Ia mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh ke atas tanah, rebah miring. Biar­pun ia sudah dapat bergerak, namun ia pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega bahwa untuk sementara ia terbebas dari­pada penghinaan. Akan tetapi tentu saja ia amat cemas, apalagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota Khitan tertawan mu­suh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong, satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!

Mereka tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam, segera berkata.

“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat menyambut, Couwsu memerintah­kan pinceng untuk menyambut Toanio dan mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”

Kam Sian Eng bangkit, tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu meng­ikuti ibunya, diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar dan gelap. Hwesio muka hi­tam sebagai penunjuk jalan membawa mereka berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan berputar­-putaranan. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan terpendam dan hujan anak panah!

***

Setelah berpisah dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang, Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut­ perjalanan seorang diri menuju kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras. Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya itu bernama Pangeran Talibu. Biasanya Ia tak senang dan iri kalau teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisahsekali. Ia sendiri menjadi heran mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi me­nolong dan membebaskan Pangeran itu daripada ancaman orang-orang Hsi-hsia! Ibu kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini, ia dapat menggambarkan betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak guru­nya, sudah pasti ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari Ibu kan­dungnya. Dan tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.

Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap, bahkan angin sedikit pun tak ada bertiup.

Jalan kecil itu penuh daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan hati-hati, tiba-tiba ka­kinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi berciutan dari kanan kiri dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon dan di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau ber­tindaksembrono. Ia berdiri tegak dan te­tap di tempatnya, hanya memutar pe­dangnya menjadi segulung sinar melin­dungi tubuhnya. Semua anak panah terpu­kul runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.

Kwi Lan amatcerdik. Ia dapat men­duga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang mengandung rahasia serang­an atau jebakan gelap. Ia memandang ke sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia akan tersesat di dalam hutan ini, apalagi malam ham­pir tiba. Kalau melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang indah berseri-seri. Itulah jalan yang pa­ling tepat, pikirnya dan sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan menga­yun tubuh, tubuhnya yang ramping itu melayang ke arah pohon. Kemudian mu­lailah ia melanjutkan perjalanan melalul “jalan atas” yaitu berloncatan dari pohon ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga dalam waktu sing­kat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih seratus batang pohon besar.

Tiba-tiba ketika ia meloncat ke se­buah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke arah­nya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil mengerahkan tenaga.

“Cring-cring.... brettt....!”

Ketika ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah sekali, apa­lagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia, berlompatan dan me­nyerangnya dari lima penjuru. Gerakan binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka me­nyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.

Kwi Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andaikata ia dikeroyok di atas tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor monyet sekalipun ia tidak akan gentar. Kini ia ber­ada di atas dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan “daerah” monyet. Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit. Betapa­pun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar. Itulah jarum-jarum hijau! Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar betapa “monyet-monyet” itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia! Kiranya mereka adalah manu­sia-manusia yang menyamar sebagai mo­nyet, agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin tabah. Lima orang Itu masih berusaha bergan­tung pada dahan-dahan pohon. Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat menge­luh lagi karena mereka semua telah te­was!

Akan tetapi pada saat itu, terdengar ledakan keras dan.... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biarpun terancam bahaya maut, gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang mata­nya yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu sambil berpegang kuat-kuat pada dahan. Setelah tahu arah pohon roboh, ia cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apabila pohon itu sudah rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh gin­kangnya, sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan, melampaui pohon itu dan mela­yang turun ke atas tanah sambil menyambar ujung dahan terpanjang.

Untung sekali bahwa dalam seperem­pat detik terakhir ia ingat untuk me­nyambar ujung ranting dari dahan terpan­jang pohon itu, karena begitu kedua ka­kinya turun menginjak tanah yang tertu­tup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi Lan menahan napas, menge­rahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!

Kini ia “nongkrong” di atas dahan mengeluarkan saputangan dan menghapus dahi dan leher yang penuh dengan ke­ringat dingin. Tangan yang dipergunakan untuk menghapus keringat itu agak ge­metar, jantungnya berdebar-debar. Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pi­kir Kwi Lan. Ia berada terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para penjaga tentu akan me­meriksa sekeliling tempatini. Ia tidak takut menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin bertempur dengan mereka sebelum dapat menemu­kan dan menolong Pangeran Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di mana tempat sembunyi?

Kwi Lan memandang kesekeliling. Ia tidak mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon juga tidak aman. Buktinya tadi ia ber­temu lima orang yang menyamar sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia tu­run dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju perlahan-lahan meng­gunakan sebatang ranting sebagal tong­kat. Ia menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak. Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya. Suara manusia ter­dengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang. Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan batu-batu menonjol.” Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang berbahasa daerah yang ia mengerti.

“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,

“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suara tinggi.

“Wah, mereka ini tewas....!”

“Bawa obor, biarkan pinceng meme­riksanya!”

Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar. Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang ter­akhir tentulah seorang hwesio jubah me­rah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suhengnya, di sinilah Pangeran Mahkota tertawan. Ia me­mutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti amat kuat, jauh lebih kuat daripada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit Kao-likung-san di lembah Nu­kiang dahulu, karena selain markas ini dekat kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang di­basmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini berhati­hati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang ditawan?

Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang anak buah yang me­nyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia, terluka jarum dan te­was oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar me­nyambarnya puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di mana ia bersembunyi. Kalau ia ber­sembunyi di dasar jurang itu, tentu tu­buhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang menon­jol ini, ia terlindung dan aman!

“Kalau dia bersembunyi di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka makin menjauh. Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran men­cari-cari di sekitar tempat itu, dengan obor di tangan, Kwi Lan menyelinap dan berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang mencari sen­dirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan. Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari. Tiba-tiba dua batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan ping­san. Bagaikan iblis sendiri bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap dengan korbannya, lalu mema­damkan obor, mengempit tubuh yang gemas itu dan membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.

“Jawab saja dengan angguk.” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang dita­wannya setelah ia menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran Mahkota Khitan ditawan?”

Orang itu menggeleng kepalanya.

“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”

Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan me­mandang di bawah sinar bulan yang ber­sinar melalui celah-celah daun pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan keras kepala, se­dikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan sadar akan kekeliru­annya. Mengapa ia menawan seorang Hsi­-hsia? Tentu saja, orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa, menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan! Ia melihat, banyak tadi orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han su­dah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang peng­khianat. Dan biasanya, seorang pengkhia­nat adalah seorang pengecut, hanya ber­juang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang untuk cita-cita bangsa, bangsa apapun, juga, adalah seorang patriot yang tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati. Sadar akan kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi lumpuh, dan Ia men­jepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang, kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun daripohon. ia berlaku hati-hati, tidak berani semba­rangan meloncat.

Setelah mencari dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon, akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti pengemis penuh tambalan, membawa obor dan pedang mencari-cari seperti orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke atas pohon.

Tepat dugaannya, pengemis baju ber­sih yang berjiwa khianat ini menjadi ketakutan, apalagi ketika ia mengenal bahwa yang menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di an­tara kaum sesat dunia pengemis. Wajah­nya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat totokan pada urat gagunya.

“Bawa aku ke tempat tahanan Pange­ran Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh.” desis Kwi Lan sambil menem­pelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak, mengangguk-angguk.

“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu sebe­lum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu meng­geleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan membebaskannya.

“Ampunkan aku, Li-hiap....”

“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”

Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung pedang ditodongkan di punggung. Penge­mis itu lalu mengambil jalan simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar, jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.

Sampai lima kali orang itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat ter­tentu, berbisik bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga orang penjaga­nya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak. Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan me­reka kini menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu be­sar. Kwi Lan biarpun melakukan perjalanan malam gelap, hanya diterangi bulan sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.

“Di sanalah tempat tahanan itu, Li­hiap. Di dalam guha, yang tampak dari sini itu.” pengemis yang ditawan itu ber­bisik, suaranya gemetar dan dengan ujung bajunya ia menghapus peluh. Mereka telah melakukan perjalanan yang amat sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang ber­gerak-gerak memandang penuh rasa ta­kut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andaikata ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan mengalami kematian yang lebih hebat lagi.

Dengan amat hati-hati Kwi Lan me­rayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang berbaris di sepan­jang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu, ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia bergerak mendekati guha batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu, mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang. Kiranya di depan guha yang cukup besar itu ter­dapat lima orang penjaga! Dan melihat keadaan mereka, ia dapat menduga bah­wa lima orang yang bertugas menjaga tempat tahanan Ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi besar dan memegang sebuah penggada yang me­ngerikan karena selain besar dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah seorang kecil pen­dek yang memegang toya. Melihat tam­bal-tambalan pada pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.

Kwi Lan mengintai, hatinya bergun­cang. Tentu saja ia tidak gentar. Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat keluar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat men­capai kemenangan secara cepat dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya ten­tu akangagal. Ia mulai menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan akan berhasil. Apalagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat! Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri. Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan me­ngenang pemuda itu? Ih, pemuda som­bong. Tidak memandang mata kepadanya! Padahal semua pemuda, yang tampan-tam­pan dan gagah-gagah, seorang demi se­rang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam Si Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian Siang Koan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak memandang sebelah mata kepada­nya! Si Sombong, mentang-mentang men­jadi murid Suling Emas lalu besar kepala!

Kwi Lan makin gemas. Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan? Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua puluh meter jauhnya dari mulut guha.

“Eh, apa itu?” Seorang di antara me­reka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya besarsekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa, siapa tahu ada musuh.”

“Benar, mari kita periksa, Suheng.” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.

Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu be­sar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang dekat, lewat di depan batu besar, ia membiar­kan mereka lewat beberapa langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari belakang!

Hebat bukan main serangan ini. Ja­rum-jarum hijau itu adalah senjata-sen­jata rahasia yang halus sekali, dilontar­kan dengan tenaga sin-kang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya hanya tampak sinar kehijauan. Apalagi dilontarkan dari jarak dekat dan dari belakang Si Korban, benar-benar amat berbahaya. Dua orang hwesio itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi serang­an gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri. Biarpun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam dua kali bergerak, menamat­kan riwayat dua orang hwesio ini. Se­telah membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke belakang batu besar.

Tiga orang penjaga yang lain terkejut sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan mempergu­nakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia lari memasukiguha. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan berkulit putih bersih itu penuh de­ngan luka-luka bekas cambukan. Namun wajah yang tampan itu masih memba­yangkan kegagahan dan keagungan, se­dikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.

Kwi Lan memegang pundaknya, meng­guncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”

Pemuda itu membuka matanya, me­mandang heran, seakan-akan tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti bertanya apakah ia dalam mimpi.

“Jawablah, apakah engkau ini Pange­ran Mahkota Khitan yang bernama Pa­ngeran Talibu?”

Pemuda itu sejenak memandang ta­jam, lalu balas bertanya. “Engkau siapa­kah, Nona? Bagaimana kau bisa....”

“Tidak penting aku siapa, yang pen­ting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sa­baran.

Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu mengang­guk. “Aku mengenalmu! Ya.... Aku me­ngenalmu. Kau tidak, asing bagiku.... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau sia­pakah?”

“Wah, kau cerewet benar, apakah pa­ngeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”

Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas....!”

Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah Pa­ngeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada ditangan kanannya. Kiranya tiga orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan guha dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini, Pangeran Talibu mengeluh, meme­jamkan mata dan berkata lirih.

“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa....?” Ia tidak berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini.

Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.

Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia mendengar suara “cring-cring-trang­-trang!” bertemunya senjata tajam, dise­ling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat ibunya. Ibunya. Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia ter­ingat akan nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Bu­tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati saja daripada tertawan hidup-hidup!

Talibu membuka matanya dan.... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah menggeletak di de­pan guha, tak bernyawa lagi! Adapun dara itu sejenak memandang ke sekeliling depan guha, kemudian meloncat masuk ke dalam guha, gerakannya seperti se­ekor burung, demikian ringan dan lincah. Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!

“Tahanlah, aku akan melepaskan be­lenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat ketika ia menggerakkan pe­dangnya. Terdengar suara nyaring empat kali. Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang mata bersinar-sinar.

“Nona, kau....”

“Sstt, mari kita lari!” Kwi Lan me­nyambar tangan Pangeran itu dan di­tariknya keluar dari guha, diajak lari cepat meninggalkan guha. Tak jauh dari guha Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing keluar dan dibunuh pula. Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia mengikuti Kwi Lan sambil berkata.

“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih....”

““Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.

Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau terse­nyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama hidupnya ia di­maki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disem­bah-sembah rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang galak!

Akan tetapi belum lama mereka per­gi, baru tiba di daerah hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah pasukan Hsi-hsia yang me­ngurung mereka. Pangeran Talibu ter­tawa, membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu, khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka itu ber­diri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan. Pangeran itu mem­balas pandang mata Kwi Lan dan ber­kata.

“Bagus! Seperti inilah selayaknya se­orang pangeran tewas! Tidak mati konyol dalam guha sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan meng­hendaki dan aku akan dapat terbebas daripada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup, percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melu­pakan engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andaikata kita berdua takkan dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan kehormatan besar. Ha-ha-ha!”

Kwi Lan memandang dengan mata berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini memiliki sema­ngat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun tersenyum dan berkata lirih.

“Pangeran Talibu, selama nyawa saya belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!”

“Bagus! Kau hebat sekali, Nona. Ma­rilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedang­nya. Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari marabahaya. Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut terobek pedang!

Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan Kwi Lan cepat-cepat melon­cat mundur ketika ada angin hebat me­nyambar dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.

“Heh-heh-heh, kau masih belum ka­pok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan cepat menubruk maju. Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas, un­tuk sementara Kwi Lan dapat, bertahan terhadap desakan kakek ini, akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama se­kali tidak dapat membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.

“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan pe­dangnya yang diputar membentuk ling­karan panjang. Namun Siauw-bin Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindar­kan diri dan membalas dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas oleh Kwi Lan. Kem­bali kakek itu dapat menghindarkan diri. Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh per­hatiannya terhadap kakek ini.

Siauw-bin Lo-mo diam-diam menjadi gemassekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebus­an tempo hari ketika ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Se­telah melayani Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga belum dapat tertawan kem­bali, ia mendapatkan akalbaik. Ia tahu bahwa orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah bagi mereka.

“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan, ke­mudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.

Pangeran Talibu terkejut, cepat me­nusukkan pedangnya ke dada kakek itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya, kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Ta­libu roboh. Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Tali­bu sambil berseru.

“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”

Namun sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.

“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kaulepaskan pedang dan menyerah. Kalau tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai tembus jantungnya!”

Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati Si Kakek yang tentu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pange­ran Talibu. Hatinya menjadi lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.

“Nona, kau larilah! Jangan mende­ngarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak akan tetapi sebuah tendangan pada dagu­nya membuat ia pingsan!

“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin Lo­mo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu dan....kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis merah memanjang. Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan dia!”

“Heh-heh-heh, aku tidak akan membu­nuhnya kalau kau menyerah. Hayo be­lenggu dia!”

Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar yang me­rasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya menjangkau untuk meraba dada gadis itu. Sudah biasa bagi orang-­orang peperangan ini apabila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja di antara anggauta pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.

“Heh, mundur....!” Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu saja ia tidak sudi merendah­kan diri menolong seorang perajurit Hsi-hsia biasa yang baginya tidak lebih se­ekor kucing atau anjing.

Pada saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang Hsi-hsia itu yang hanya sempat mengeluarkan suara “Hekkk!” lalu tubuhnya terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sin­kang yang hebat! Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau me­nantang siapa lagi berani kurang ajar terhadap dirinya. Keadaan tegang dipe­cahkan suara ketawa Siauw-bin Lo-mo.

“Heh-heh-heh, orang goblok macam dia sudah sepatutnya mampus! Hayo ba­wa tawanan menghadap Couwsu!” Ia sen­diri lalu memegang dengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwe­sio jubah merah.

“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik. Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha, kutanggung selama hidupmu belum pernah kau me­nikmati bunga liar sehebat ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta Jin-cam Khoa-ong. Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula me­nempel kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couw­su, oleh karena, kecuali Thai-lek Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri sendiri men­jadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan barisan orang-orang tangguh.

Sian Eng sendiri tidak bersekongkol dengan pe­mimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu apabila bala tentara Hsi-hsia berhasil mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat, menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan yang ma­sih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pange­ran Kiang, kemudian mengusahakan per­sekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.

Adapun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia ba­rat yang sengaja bertualang untuk men­cari kesempatan baik guna menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan ynng lebih tinggi lagi, ia segera meneri­ma penawaran Bouw Lek Couwsu untuk bersekutu dan mengerahkan barisan pe­ngemis baju bersih untuk membantu Hsi-­hsia apabila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!

Siauw-bin Lo-mo adalah seorang pe­rampok sejak kecil, kini pun ia telah menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk memi­liki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang membantu Bouw Lek Couwsu. ia sudah tua dan sudah waktunya hidup bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sam­pai matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu bah­kan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis anak buah Bu-tek Siu-lam.

Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja mendukung usaha Bouw Lek Couwsu se­penuh hati. Seperti diketahui, Algojo Ma­nusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi musuh Keraja­an Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa kalau usaha Hsi-hsia ini ber­hasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu Khitan yang menjadi musuh besarnya.

Hanya Thai-lek Kauw-ong seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia da­tang ke markas Bouw Lek Couwsu kare­na terbujuk teman-temannya dan teruta­ma sekali karena tidak mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang ter­gabung dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan pemberontak­an, hanya menikmati hidangan yang serba lezat. Bouw Lek Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan tenaga kakek sakti itu apabila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa lagi kalau diingat bahwa Thsi-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.

Ketika Siauw-bin Lo-mo datang mem­bawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang dan juga terkejut mendengar la­poran tentang usaha Mutiara Hitam un­tuk membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya ke­pada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada yang menyelundup dan hampir saja membebas­kan tawanan penting itu. Ia telah meng­gunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang keras hati itu te­tap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu ditahan dalam guha juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.

Bouw Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang di­waktu mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu dan karena pada dasarnya ia memang seorang hamba naf­su, setelah tua pengekangannya jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan. Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar daripada nafsu­nya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya untuk menundukkan. Pangeran Talibu.

“Bagus!” jawabnya kepada Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya, “Masukkan mereka ber­dua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat jangan sampai ada ke­mungkinan didatangi orang luar!”

Setelah Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu mem­bicarakan rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-angguk­kan kepalanya yang gundul sambil ber­kata.

“Demi Iblis! Engkau benar-benar pin­tar sekali, Couwsu!”

Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing, makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menye­rah! Ha-ha-ha!”

“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan tetapi harus cepat-ce­pat kaulaksanakan. Karena kalau sampai Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”

“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu berta­nya heran.

“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”

Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek Couw­su mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo. Apa arti­nya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa kau sengaja me­nawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”

Siauw-bin Lo-mo terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara Hitam menentangmu? Be­rapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang ber­bahaya? Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya. Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”

Bouw Lek Couwsu masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu mengangguk-angguk. “Hemmm, me­mang diam-diam aku sudah menaruh curiga kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”

Kalau Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak men­dengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah kamar ta­hanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan bagian atasnya ada jeruji pula. Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk, pintu ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga un­tuk beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar, mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia, tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.

Kwi Lan duduk di atas lantai, me­mandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di dekatnya. Kembali jantung­nya berdebar. Wajah Pangeran ini telah menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat daripada biasa. Ia telah rela menyerah, rela di­tawan untuk menyelamatkan nyawa pe­muda yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa ia menjadi takut dan ngeri melihat



bersambung 8 ................

0 komentar:

Posting Komentar