ia lalu menjawab.
“Undangan resmi dari bangsa Hsi-hsia untuk
Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya tolak. Saya pun
tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan menyalahgunakan
undangan ini. Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu.”
Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh, kemudian dengan lagak genit
ia mempersilakan Pangeran itu berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke
barat dan mendaki sebuah bukit. Menjelang pagi barulah mereka tiba di
puncak bukit dan ternyata di situ terdapat bangunan-bangunan darurat
dari bambu yang dijadikan tempat persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak
buahnya.
Pangeran Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh
Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya. Hwesio tinggi besar berkaki buntung
ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pintu.
“Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari Khitan! Kunjungan Paduka
Pangeran ini merupakan sebuah kehormatan besar sekali dan membuktikan
bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai keinginan
baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuktikan kesetiaan orang gagah
Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha!”
Pangeran Talibu balas
memberi hormat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung. “Sudah
lama kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari
Tibet dan kami merasa kagum bahwa bangsa yang kecil itu dapat bangkit
menjadi bangsa yang kuat. Akan tetapi saya tidak melihat hubungan
sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Losuhu untuk mengundang saya
menjadi tamu pimpinan bangsa Hsi-hsia.”
Sebagai putera kandung
seorang panglima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula
dalam hal siasat, dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji
bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia pun membanting dan
menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bangsa yang kecil dan tidak ada
hubungannya dengan Khitan yang besar!
“Ha-ha-ha! Pangeran Talibu
dari Khitan benar tinggi hati! Justeru pertemuan antara kita inilah
yang menjadi jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan
duduk dan mari kita berunding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang
besar dan yang memiliki kepentingan bersama.”
Talibu mengikuti
Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk
menghadapi meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita
muda dan cantik segera datang membawa arak hangat dan hidangan. Para
pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ tiada
ubahnya dengan ruangan istana raja. Diam-diaLm Talibu merasa heran
mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa pula
seorang pendeta, biarpun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai
pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi
sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia
diam saja, melirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya.
Namun diam-diam ia merasa bahwa ia berada di dalam keadaan bahaya, maka
ia bersikap hati-hati.
Setelah mereka makan minum, ditemani
Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin geenit sikapnya terhadap dirinya,
Talibu tak sabar lagi lalu bertanya,
“Losuhu, kalau saya tidak
keliru menduga, Losuhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para
hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal
sampai ke Khitan.”
“Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan
dugaan itu tepat sekali. Pinceng adalah Bouw Lek Couwsu yang merasa
tidak tega menyaksikan kemiskinan bangsa Hsi-hsia, maka sengaja
memimpin mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka.”
Pangeran Talibu mengangguk-angguk. “Setelah saya memenuhi undangan
Losuhu yang disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka
memberi penjelasan, apakah yang akan Losuhu bicarakan dengan saya.”
“Ha-ha-ha! Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti
laki-laki.” Pendeta ini memberi isyarat dan semua pelayan lalu
mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu.
Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek
Couwsu berkata.
“Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus
diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul, kita rayakan. Terus terang
saja, kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk mengikat tali
persahabatan dan membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi
Kerajaan Sung.”
Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga
sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan senyum yang
memikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan
serbuan Hsi-hsia ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama
bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguan-gangguan di tapal batas sebelah
barat Kerajaan Sung. Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud baik
terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan.
Tentu saja tidak bisa lain daripada maksud mengulurkan tangan, mengajak
bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi Sung! Padahal pada waktu
itu, Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung dan betapa pun
bangsanya banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya
sebagai Ratu Khitan selalu mencegah bangsanya bermusuhan dengan
Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat menerima persekutuan
dengan Hsi-hsia, apalagi atas nama bangsanya. Namun sebaliknya,
biarpun ia dianggap tamu agung, namun ia telah berada di sarang
Hsi-hsia, sehingga penolakannya akan membahayakan keselamatannya.
“Membicarakan urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu.
Sungguhpun saya Putera Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai
kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apalagi pada saat ini
saya hanya sebagai seorang pelancong bagaimana saya dapat merundingkan
urusan besar ini? Setidaknya haruslah seorang utusan khusus dari Sang
Ratu di Khitan.”
“Hi-hi-hik! Pangeran Mahkota Khitan yang tampan
gagah kenapa seperti seorang gadis kemalu-maluan saja? Mengapa harus
bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul!” kata Bu-tek
Siu-lam sambil terkekeh.
Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang. “Apakah ini sebuah penghinaan?”
Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit
lalu melerai. “Ah, Paduka Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak
Bu-tek Siu-lam? Sahabatku ini sama sekali tidak menghina, akan tetapi
suka bicara secara terus terang dan sejujurnya. Apa yang dikatakan
memang tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota,
demi untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak mengambil keputusan. Secara
kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi kehendak
Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan
menjadi sekutu?”
Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik napas
panjang. “Hemm, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang mencinta
bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku.
Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar dapat kupertimbangkan apakah aku
berhak memutuskan atau tidak.”
Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan
tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi. “Bagus,
memang inilah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran
Mahkota calon raja besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa
Khitan adalah dua bangsa yang besar gagah perkasa, mempunyai
kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang
selalu menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab? Huh,
bangsa Han yang lemah itu harus dihajar. Kerajaan Sung harus dirampas
dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntungannya dengan bangsa
Khitan. Dalam keadaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan
bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari barat, menaklukkan Sung
sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami mengulurkan
tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar
bersama yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan
selatan!
“Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya lemah,
Sung masih mempunyai banyak panglima yang pandai dan pasukan-pasukan
yang kuat.”
“Ha-ha-ha! Hal ini sudah pinceng selidiki, akan
tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai hubungan dengan
banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan
mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita
bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang
menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita.”
“Bu-tek
Ngo-sian? Siapakah mereka?” Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya
tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar
dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh
Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan
tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.
“He-heh-heh, tidak heran kalau Paduka Pangeran yang tampan dan gagah
belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian! Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang
pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan
mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah
Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam
Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak
orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke
empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak,
sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan
memiliki kepandaian mengerikan.”
“Apa yang dituturkan Bu-tek
Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedudukan kita, Pangeran
Talibu. Karena itu, pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk
membuat persekutuan dengan kami.”
“Bouw Lek Couwsu, aku hanya
seorang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat
kuputuskan sendiri. Apakah yang harus kulakukan sekarang?”
“Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat
tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu
Khitan menyetujuinya.”
“Kalau Ibuku menolak....?”
“Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan
Khitan terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami....“
Pada
saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama
kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah
masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu
tiba di ruangan itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke depan. Lima
orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan
tangis. Mereka kelihatan bingung, sedih dan ketakutan. Namun harus
diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.
“Bouw Lek
Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hutang
kepadamu!” kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat. “Aku
tidak berhasil menangkap kembali Mutiara Hitam, akan tetapi sebagai
gantinya, lima orang gadis paling cantik yang kutemui di sepanjang
perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau
sudah berada di sini? Bagus! Dan kudengar tadi kalian menjamu Pangeran
Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus! Wah,
kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis
cantik, Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik,
sungguh kurang ramah!”
Melihat kedatangan Siauw-bin Lo-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang.
Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apalagi
setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah ke mana
perginyaitu. Ia tertawa bergelak.
“Bagus, terima kasih,
Siauw-bin Lomo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan,
silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit
berdiri dan layani Pangeran Talibu!” perintahnya kepada lima orang
gadis yang masih berlutut.
Karena sudah mengalami siksaan
apabila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu
seperti kehilangan semangat untuk melawan lagi. Kini mendengar perintah
pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin
Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit
berdiri. Wajah mereka yang cantik itu menjadi agak terang ketika
mereka melihat siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani
seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi yang disebut
Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan, untuk menolak!
Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh
Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pendeta
yang biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga
laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan
dandanan seperti orang gila, kini lima orang gadis itu seperti berlumba
menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya.
Talibu
hampir tak dapat mengendalikan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi
mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenalkan Pak-sin-ong sebagai seorang di
antara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah
sekali. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya,
merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khitan dapat bekerja
sama dengannya? Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini
lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah lemas
dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum. Ia merasa
seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya
melepas lima ekor anjing untuk menerkam dan mengeroyoknya! Ia memandang
dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali
tidak menimbulkan benci di hatinya. Sebaliknya, mereka itu bukan lima
ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir
mati karena sedih. Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk.
Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang memusuhinya ini.
Tak dapat pula ia menahan kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri,
menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.
“Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing.”
Lima orang gadis itu kelihatan bingung, saling pandang, meragu dan
seperti tidak percaya kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke
arah Siauw-bin Lo-mo yang masih duduk sambil tertawa. Melihat ini
serentak timbul harapan mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan
seperti yang dikatakan pemuda tampan itu. Otomatis mereka menjatuhkan
diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu
bangkit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu.
Mendadak
berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah meloncat
melalui lima orang gadis itu, berdiri di tengah pintu mengembangkan
kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.
“Hi-hi-hik,
Nona-nona manis mau ke mana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada
kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan
pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami
Nona-nona cantik! Aku memilih yang dua ini!” Sekali rangkul, ia telah
menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi
muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam
belas tahun itu menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil
ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka
digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.
“Tahan!” Talibu
membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya menyaksikan perbuatan
Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu. “Bouw
Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku
dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah kubebaskan
dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?”
“Eh-eh, orang muda! Aku yang membawa datang anak-anak ini, dan hanya
akulah yang berhak membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak
membebaskan mereka? Kau berani memandang rendah Siauw-bin Lo-mo?”
Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek.
Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo,
sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya
keras dan marah. “Bouw Lek Couwsu, engkaulah tuan rumah di sini, maka
aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita
ini ataukah tidak?”
Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali
tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik
keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika
dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas
pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia
dudukkan di kanan kirinya!
“Pangeran Talibu, sebagai seorang
tamu agung, engkau tak tahu sopan menolak hidanganku untuk menikmati
wanita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani
menjual lagak. Ha-ha-ha, apa kaukira pinceng tidak tahu isi hatimu?
Engkau pura-pura bersikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu
engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu.
Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khitan?
Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga, sudah hendak bersikap
sebagai raja di sini. Ha-ha-ha! Coba jawab, maukah engkau menulis surat
itu sekarang juga?”
“Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti
anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau! Ketika tadi aku menyebut nama
Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak melihat perubahan mukanya? Sudah
kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa.” kata
Bu-tek Siu-lam sambil membelai-belai tubuh dua orang dara yang
dirangkulnya secara tak tahu malu.
“Couwsu, serahkan saja bocah
ini kepadaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya saja?
Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu.” kata
pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka
terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya
telah bentrok dengan para hwesio jubah merah.
Bouw Lek Couwsu
hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran
Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siulam yang
membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang menggigil
pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga
orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak, “Hayo kalian bertiga
buka pakaian!”
Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan
diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara gemetar,
“Ampunkan kami.... ampunkan kami....“ sedangkan yang dua orang lainnya
menangis.
“ Masih belum memenuhi perintah?” Bouw Lek Couwsu
membentak lalu mengerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga
orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia tertawa, kedua
lengannya yang besar berbulu menyambar ke depan, sepuluh jari
tangannya mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara “brett, brett,
brett....!” di antara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis
itu robek semua sehingga dalam sekejap mata mereka bertiga telah
telanjang bulat. Mereka hanya dapat menangis dan berlutut, berusaha
menutupi dada dengan kedua lengan.
Bouw Lek Couwsu tertawa
bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan
sengaja ia meraih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak
berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul seperti tadi!
Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakaian
cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang
dalam waktu beberapa detik sudah telanjang pula seperti teman-teman
senasib mereka.
“Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Talibu? Maukah
kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau, biarlah pinceng
mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu!” Bouw Lek
Couwsu berkata penuh ejekan.
Pangeran Talibu maklum bahwa dia
diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk
mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah
dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking
marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang terjadi, sampai mati tak
mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia macam ini, dan bahwa
ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk
memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut
pedangnya dan membentak nyaring.
“Jahanam berkedok pendeta!
Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut dibasmi!”
Ia menyerbu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi
tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke
arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu
cepat sekali dan mendatangkan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget,
cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil
membalikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lomo sudah berdiri di
depannya, tertawa-tawa dan berkata.
“Couwsu, apakah kau ingin dia mampus?”
“Jangan, cukup asal kautangkap dia Lo-mo.”
“Kaulihat aku menangkap tikus ini!” Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan
tubuhnya menubruk maju. Pangeran Talibu tidak gentar biarpun ia dapat
menduga akan kelihaian lawannya. Pedangnya berkelebat, memapaki
datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan yang kurus
kering itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang
menyambar tangan kanannya, Talibu kaget dan cepat menarik pedang
memutar pergelangan tangannya sehingga pedangnya berkelebat ke kanan
menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan
kekagetannya dan menundukkan kepala miringkan tubuh membiarkan pedang
lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian Pangeran
Khitan ini dan karena ia maklum bahwa Ratu Khitan memiliki kepandaian
tinggi, apalagi setelah menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak
berani main-main lagi.
Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat
dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga Talibu menjadi
bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang
berkelebatan, seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan yang
kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan
segera memutar pedangnya, menyambarkan pedang ke arah bayangan yang
berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah
menjadi sinar merah yang bergulung-gulung menyilaukan mata.
Lima
orang gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari
siksaan karena Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan
sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka tak berani
berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar,
mengharap kemenangan bagi Si Pemuda Tampan yang mereka tahu bertanding
karena membela mereka.
Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang
lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum berpengalaman.
Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan
bahwa jarang dapat ditemui seorang pemuda, apalagi pemuda Khitan,
sepandai dia mainkan pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya
mampu bertahan selama dua puluh jurus saja. Ketika sebuah bacokannya
dapat terelakkan lawan tiba-tiba pada saat pedangnya kembali menusuk
bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah
kanannya, bayangan yang lain telah berhasil mengetuk pergelangan tangan
kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking nyerinya dan
pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat
membuang diri bergulingan di lantai menjauhi lawan.
Lima orang
gadis itu seperti dikomando saja menjerit. Jeritan ini mencelakakan
mereka karena seolah-olah menyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek
Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban mereka. Kini
mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga lima
orang gadis itu kembali merintih-rintih penuh kengerian.
Mendengar jeritan dan rintihan mereka, semangat Talibu bangkit kembali.
Ia lupa akan urusan lain. Satu-satunya yang memenuhi perasaannya hanya
berusaha membasmi orang-orang jahat ini dan membebaskan lima orang
gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu. Ia berseru
keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dengan tangan
kosong. Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena
tadi ia menggulingkan tubuh sampai jauh. Dengan geseran-geseran kaki
lambat ia maju menghampiri Siauwbin Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh.
Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam
ini. Siauw-bin Lo-mo yang dengan mudah dapat menangkap pemuda ini
ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang memandang rendah,
apalagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan
kelihaian dan garis pertahanannya lemah sekali. Ia yakin dalam
segebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap pemuda ini.
Makin dekat, gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa
sekali karena kakinya bergerak membawa tubuhnya maju sambil berputaran!
Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai menyangsikan kewarasan
otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar
seperti itu? Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil memainkan
pedang, memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan tetapi kalau
hanya berhadapan dengan seorang lawan, apalagi bertangan kosong, apa
gunanya berputaran? Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri! Ia
makin memandang rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang
dekat, ia cepat menerjang maju dan dalam sekali gerak ia telah menotok
tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap!
Hebat bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda
seperti Talibu untuk dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi, hal
yang amat aneh terjadi. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga
cengkeramannya, bahkan dari dalam putaran itu datang menyambar pukulan
tangan kanan Talibu yang mengenai dadanya, membuat tubuh Siauw-bin
Lo-mo terguling roboh!
Lima orang gadis itu sejenak melupakan
kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek
Siu-lam ketika melihat bahwa pemuda pujaan dan penolong mereka dapat
merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi alangkah kecewa hati mereka
ketika melihat kakek itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah,
namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima harus
menderita di bawah penghinaan jari-jari tangan yang kurang ajar.
Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa
Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Maka ia dapat menduga
bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah jauh
lebih lihai daripada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah
merupakan lawan yang lebih tangguh! Dugaannya memang tepat. Setelah
kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu menjadi lebih
berbahaya. Ia kini mainkan Ilmu Cap-sha sin-kun (Tiga Belas Pukulan
Sakti) yang biarpun belum dapat ia mainkan dengan sempurna, namun
kesaktian ilmu ini ternyata dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika
berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus dari Cap-sha-sin-kun yang
disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan Kilat). Dalam
berputaran, semua geraknya mengandung daya tahan yang kokoh kuat,
dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukulan dan serangan
lawan. Tidak mengherankan apabila totokan-totokan dan cengkeraman
tangan Siauw-bin Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus
itu, dari dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan
kilat yang tak tersangka-sangka munculnya sehingga seorang tokoh besar
seperti Siauw-bin Lo-mo sampai kena dirobohkan.
Karena
Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan
Talibu belum masak benar, maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi,
jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak berhasil. Ketika
Talibu melancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat
ditangkap lawan. Mulailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih
berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil mundur untuk
menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan
pengerahan tenaga sin-kang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya
yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu akan roboh.
Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya
mundur-mundur dan ia terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat
untuk menghancurkan jurus pertahanan lawan dan mencari lowongan
merobohkan Pangeran itu. Talibu sudah mulai lelah dan pening. Jurus
Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama
karena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya, dimainkan
sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak
ada hasilnya. Kakek kurus itu makin mendesak dan pada saat perputaran
tubuh Talibu berkurang kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw-bin
Lo-mo mencengkeram kedua pundak Talibu!
Pangeran Khitan itu
menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang
kuat seperti baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya bergerak
menendang bergantian, pertama ke arah anggauta rahasia lawan kemudian
disusul tendangan ke lutut kanan.
“Aihhhh....!” Siauw-bin Lo-mo
sampai berseru keras saking kagetnya. Kembali ia hampir menjadi korban
kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia
elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan
susulan biarpun ia elakkan masih mengenai tulang kering kakinya, membuat
ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang!
“Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu!” Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek.
Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang
matanya yang ditujukan ke arah Talibu menyinarkan pandangan maut.
“Kaulihat saja, Siu-lam, kaulihat kuhancurkan Pangeran cilik ini.
Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat menghancurkannya!”
Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata. “Ingat, Lo-mo. Aku tidak menghendaki dia mati!”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia
melangkah maju, perlahan-lahan seperti seekor singa menghampiri calon
mangsanya. Talibu yang merasa betapa kedua pundaknya berdenyut-denyut
dan membuat kedua lengannya hampir lumpuh menahan nyeri, sudah siap
menanti penyerbuannya. Ia maklum bahwa dia bukanlah lawan kakek kurus
itu dan bahwa ia harus nekat dan melawan mati-matian untuk
mempertaruhkan namanya sebagai putera Ratu Khitan yang terkenal.
Apalagi setelah teringat bahwa dia adalah putera kandung Ratu Khitan
dan pendekar sakti Suling Emas, keangkuhannya timbul dan ia akan
melawan terus sampai titik darah terakhir! Maka begitu lawannya sudah
dekat, Talibu menggigit gigi menghilangkan semua rasa nyeri dan melompat
maju, menerjang dengan ketangkasannya yang mengagumkan.
Kini
Talibu menekuk sebelah lututnya, tangan kiri dikepal menghantam pusar,
tangan kanan menghantam disusul cengkeraman ke arah anggauta rahasia
lawan. Serangan hebat ini tak mungkin dielakkan lagi, karena pada saat
itu tubuh Siauw-bin Lo-mo sudah meloncat maju. Kakek itu tidak gentar
melihat serangan aneh ini. Ia cepat menggerakkan tangannya, menangkis
tangan kanan Talibu dan menangkap pergelangan tangan kiri lawan. Akan
tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba kedua tangan pemuda itu
terbuka jari-jarinya dan memapaki tangkisannya dengan totokan-totokan
ke arah pergelangan tangan dan ke arah telapak tangannya yang hendak
menangkap. Inilah hebat dan berbahaya! Kakek itu secara tergesa-gesa
merobah gerakannya, membatalkan niatnya menangkis dan menangkap, akan
tetapi agaknya pemuda itu pun sudah menduga akan hal ini, atau memang
jurus ilmu silatnya ini sudah diatur sedemikian rupa sehingga semua
perhitungannya tidak meleset. Kiranya totokan-totokan itu pun tidak
dilanjutkan, di tengah jalan membalik dan menotok kedua lutut Siauw-bin
Lo-mo. Untuk keperluan inilah agaknya maka pemuda itu memasang
kuda-kuda sambil berlutut sebelah kaki!
“Haya....!” Siauw-bin
Lo-mo berteriak kaget. Ia dapat menyelamatkan kaki kanannya akan tetapi
kaki kirinya tetap saja kena ditotok lututnya sehingga lumpuh seketika.
Baiknya ia amat lihai sehingga dengan sebelah kaki ia dapat meloncat
mundur sampai tiga meter jauhnya. Di dalam hati ia harus mengakui bahwa
selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu jurus-jurus ilmu silat yang
amat luar biasa. Tiga kali pemuda itu menggunakan jurus-jurus itu, dan
tiga kali pula ia “termakan.” Kalau pemuda ini lebih mahir dan
menyempurnakan ilmu itu selama lima sampai sepuluh tahun saja, tentu ia
akan terpukul roboh. Kekagetannya mendatangkan kemarahan yang berkobar.
Talibu yang melihat bahwa jurusnya berhasil melukai kaki kiri lawan,
menjadi besar hati dan menyerbu dengan hati girang. Dengan sebelah kaki
tertotok lumpuh, kelihaian Siauw-bin Lo-mo tidak banyak berkurang.
Inilah kesalahan Talibu yang mengira bahwa lawannya sudah tak berdaya
lalu maju menyerbu dengan terjangan ganas, tidak lagi menggunakan
jurus-jurus Cap-sha-sin-kun yang sama sekali belum dikenal lawan. Kini
ia menerjang dengan pukulan-pukulan keras susul-menyusul. Akan tetapi
tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo tertawa, tubuhnya merendah dan sebelum Talibu
dapat mencegahnya, sebuah tamparan mengenai
“Plakk....!
Aduuuuuhhh....!” Tubuh Talibu terguling, lambungnya sakit sekali
rasanya, seakan-akan isi perutnya dibakar. Ia berusaha meloncat bangun
akan tetapi kembali tangan Siauw-bin Lo-mo menampar yang tepat mengenai
sebelah kanan lehernya. Seketika pandang matanya berkunang-kunang,
kepalanya pening, kemudian pandang matanya menjadi merah gelap.
Telinganya masih dapat menangkap suara Bouw Lek Couwsu.
“Lo-mo, jangan bunuh dia....!”
“ Jangan khawatir, Couwsu!” jawab Siauw-bin Lo-mo yang kembali
menampar, kali ini mengenai tengkuk Talibu. Pangeran ini masih
mendengar suara ketawa lawannya yang amat menusuk perasaan sebelum
tamparan itu datang dan dunia menjadi hitam di sekelilingnya.
***
Kota raja Kerajaan Sung kelihatan aman tenteram. Para pedagang dan
pelancong dari luar kota memenuhi kota raja. Rumah-rumah para pembesar
dan bangsawan selalu kelihatan gembira dan megah. Pesta-pesta diramaikan
bermacam kesenian silih berganti diadakan di halaman gedung-gedung
yang luas. Di setiap taman bunga yang terawat indah selalu dihias
arca-arca batu dengan ukir-ukiran yang amat indah dan semua ruangan
tamu dalam gedung-gedung itu penuh lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan
hias melukiskan sajak-sajak indah. Banyak pemuda-pemuda dengan pakaian
pelajar berjalan hilir-mudik memenuhi jalan-jalan raya. Pendeknya
sepintas lalu melihat keadaan kota raja ini orang akan mendapat kesan
bahwa penduduknya menikmati hidup aman tenteram dan bersuka ria,
berlumba dalam keindahan dan kemajuan seni budaya.
Memang
demikianlah yang dikehendaki Kaisar. Pada waktu itu, Kaisar Kerajaan
Sung lebih mengutamakan kesenangan untuk diri pribadi dan untuk semua
rakyatnya, lebih condong untuk memajukan kebudayaan, sedapat mungkin
menjauhi perang karena Kaisar pribadi tidak suka akan kekerasan. Memang
niatnya baik sekali, akan tetapi sayangnya Sang Kaisar lupa bahwa untuk
menjamin semua keamanan dan ketenteraman ini amatlah diperlukan
penjagaan dan untuk menjamin penjagaan yang dapat diandalkan mutlak
diperlukan bala tentara yang kuat! Apalagi kalau diingat bahwa Kerajaan
Sung dikelilingi bangsa lain yang selalu mengincar untuk mencaploknya.
Para bangsawan yang kaya raya itu seakan berlumba mengadakan pesta
terbuka di mana siapa saja boleh datang menikmati hidangan dan menonton
pertunjukan kesenian. Mereka berlumba melakukan derma dan perbuatan
baik, karena Kaisar menganjurkan perbuatan amal dan kebaikan. Hanya
mereka sendirilah yang tahu bahwa amal ini bukan keluar dari lubuk hati
sendiri, melainkan merupakan siasat untuk membedaki muka mereka yang
hitam, oleh korupsi agar menjadi putih bersih. Dan memang siasat seperti
ini banyak berhasil. Bukan saja atasan dan Kaisar senang dengan
kedermawanan mereka, juga rakyat kecil yang diberi kesempatan ikut
berpesta dan makan serta menonton gratis itu banyak yang merasa
bersyukur atas kedermawanan pembesar-pembesar dan bangsawan-bangsawan
kota raja. Bahkan pandang mata orang-orang kang-ouw yang biasanya tajam
dapat pula dikelabuhi karena terlampau sering mereka ini minum arak
wangi dan hidangan-hidangan lezat.
Pagi hari itu, pagi hari yang
cerah, sebuah pesta diadakan di sebuah taman bunga gedung Pangeran
Kiang. Gedung besar dengan taman bunga yang luas dan indah ini adalah
sebuah di antara gedung-gedung besar yang paling terkenal di kota raja.
Siapakah yang tidak mengenal keluarga Kiang ini? Bukan Pangeran Kiang
yang kaya raya ini yang banyak dikenal orang, melainkan puteranya, yaitu
Kiang-kongcu (Tuan Muda Kiang), sebutan untuk Kiang Liong. Semua orang
mengenal Kiang-kongcu. Orang-orang gagah di dunia kang-ouw mengenalnya
karena sepak terjangnya yang gagah dan lihai, apalagi karena dia adalah
murid pendekar sakti Suling Emas! Penjahat-penjahat mengenalnya karena
takut. Penjilat-penjilat mengenalnya karena tangannya selalu terbuka.
Pemuda-pemuda mengenalnya karena ia ramah dan pandai bergaul. Bahkan
wanita-wanita mengenalnya karena ketampanannya dan sifatnya yang
romantis sehingga banyak yang jatuh hati kepadanya!
Dan pagi
hari itu, pesta meriah diadakan di taman bunga rumah keluarga Pangeran
Kiang ini! Untuk keperluan apa? Kiang-kongcu tidak tampak berada di
rumah. Juga Pangeran Kiang dan isterinya yang sudah berusia lanjut dan
tidak bernafsu lagi untuk main pesta-pestaan, tidak hadir. Sebagai wakil
tuan rumah adalah seorang pemuda yang pakaiannya mewah dan indah dan
memang pesta ini diadakan untuk menyambut kedatangannya di gedung itu.
Dia bernama Suma Kiat dan kepada para tamu ia diperkenalkan oleh
Pangeran Kiang sebagai anak keponakan Nyonya Kiang yang baru datang
berkunjung setelah berpisah belasan tahun. Padahal sesungguhnya baru
pertama kali itu selama hidupnya pemuda ini muncul dan mengaku sebagai
putera tunggal mendiang Suma Hoan, kakak dari Nyonya Kiang. Muncul
begitu saja, akan tetapi isterinya, yaitu Nyonya Kiang, tidak ragu-ragu
lagi bahwa pemuda yang mengaku bernama Suma Kiat ini benar-benar putera
mendiang kakaknya, karena mempunyai persamaan wajah yang tidak dapat
diragukan lagi.
“Engkau benar, keponakanku...., engkau tentu
putera mendiang Kakakku...., ah, melihatmu seperti melihat dia
dahulu....!” Demikianlah Suma Ceng, isteri Pangeran Kiang, merangkul dan
menangis. Dan demikianlah, pesta meriah di taman bunga diadakan untuk
menghormat kedatangan pemuda ini dan untuk memperkenalkannya kepada
semua orang. Seperti biasanya, jika ada kesempatan baik seperti ini,
banyak pula para anggauta kai-pang (perkumpulan pengemis) yang datang
dan mereka duduk berkelompok menyendiri, menikmati hidangan lezat dan
arak wangi. Banyak di antara para tokoh kai-pang ini adalah kenalan
baik Kiang-kongcu karena mereka ini sesungguhnya bukanlah orang-orang
jembel biasa, melainkan ahli-ahli silat yang berkeliaran di dunia
kang-ouw sebagai pengemis. Bahkan dalam pesta di kebun kembang Pangeran
Kiang ini, banyak orang-orang aneh sahabat Kiang-kongcu muncul sehingga
tidak mengherankan apabila tempat pesta itu didatangi orang-orang yang
tidak semestinya ikut berpesta, yaitu beberapa orang hwesio gundul dan
tosu-tosu pertapa! Semua orang aneh ini datang hanya karena pesta
diadakan di kebun Kiang-kongcu.
Dan bukan hal yang aneh lagi
kalau ada pula beberapa orang wanita cantik muncul dalam pesta! Bukan
wanita-wanita cantik sembarangan, melainkan ahli-ahli silat pula yang
menjadi sahabat Kiang-kongcu. Dua orang enci adik Chi, dan tiga orang
murid perguruan Ang-lian (Teratai Merah) yang amat terkenal di kota
raja. Lima orang wanita ini berusia antara dua puluh sampai tiga puluh
tahun, berpakaian ringkas, tampak gagah namun tidak melenyapkan
kecantikan mereka. Semua sahabat wanita Kiang-kongcu sudah dapat
dipastikan cantikcantik! Tentu saja mereka berlima memilih sebuah meja
dan menjadi sekelompok, akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika
mendapat kenyataan bahwa Kiang-kongcu tidak hadir! Sebetulnya mereka
hendak mempergunakan kesempatan ini untuk bertemu dan bercakap-cakap
dengan orang yang selama ini menjadi buah mimpi, ingin melepaskan rindu.
Kekecewaan mereka hanya sebentar karena sebagai pengganti
Kiang-kongcu, di situ terdapat Suma-kongcu atau Suma Kiat yang ternyata
dalam hal keramahan dan kepandaian bermanis muka dan memikat hati
wanita tidak kalah lihai daripada Kiang-kongcu! Suma-kongcu ini segera
duduk di meja kelompok gadis-gadis ini dan terjadilah percakapan yang
asyik dan gembira. Apalagi ketika lima orang gadis itu mendengar bahwa
Kongcu ini juga seorang ahli silat yang pandai sekali. Ternganga mulut
mereka menyaksikan ketika Suma Kiat menggenggam cawan arak, mengerahkan
sinkang dan membuat arak di dalam cawan itu panas beruap dan mendidih!
Biarpun wajah Suma Kiat tidak setampan Kiang-kongcu, namun harus diakui
bahwa dia termasuk seorang pemuda yang berlagak dan tidak berwajah
buruk.
Adapun delapan orang pengemis yang menduduki sekitar meja
di sudut adalah para pengemis yang tergolong gagah perkasa. Pengemis
golongan sesat tidak berniat mendekati Kiang-kongcu yang mereka anggap
sebagai seorang musuh. Bukankah Kiang-kongcu murid Suling Emas yang
menjadi musuh besar pengemis golongan sesat? Delapan orang pengemis
yang kini berkumpul di situ adalah pengemis-pengemis golongan baju
butut, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengemis muda yang
memegang sebuah topi butut berhias kembang. Pengemis muda belia yang
tampan dan gagah. Dia ini bukan lain adalah Yu Siang Ki, atau Yu-pangcu
(Ketua Yu) yang dihormati tu juh orang pengemis lainnya karena dikenal
sebagai ketua baru perkumpulan Khong-sim Kai-pang. Yu Siang Ki yang
datang bersama Kwi Lan di kota raja segera berpisah dari dara yang
dianggap sebagai adik angkatnya ini, kemudian ia menemui tokoh-tokoh
pengemis di kota raja. Ketika mendengar bahwa Ketua Khong-skn Kai-pang
ini berniat mencari Suling Emas, para tokoh pengemis segera berunding.
“Yu-pangcu, pendekar sakti Suling Emas adalah seorang sahabat dan
semenjak dahulu kami menghormat dan mencintanya. Akan tetapi sayang
sekali, tak seorang pun dapat mengatakan di mana dapat bertemu dengan
pendekar itu. Dia datang dan pergi seperti dewa, tak pernah
meninggalkan jejak. Bahkan sudah bertahun-tahun tidak pernah orang
melihatnya. Akan tetapi, yang sudah nyata di kota raja ini terdapat
seorang muridnya yang lihai.” kata Pek-tung Lo-kai (Pengemis Tongkat
Putih).
“Apakah Lo-kai maksudkan Kiang-kongcu?”
“Ha-ha, nama besar Kiang-kongcu sudah terkenal sampai jauh.”
“Bukan hanya mengenal namanya, Lokai malah secara kebetulan sekali
saya sudah mendapat kehormatan berjumpa dengan Kiang-kongcu.”
“Ah, begitukah? Kebetulan sekali. Kami mendengar bahwa di taman bunga
Pangeran Kiang akan mengadakan pesta umum. Marilah Yu-pangcu ikut
bersama kami hadir di pesta itu. Kalau ada jodoh bertemu Kiang-kongcu,
agaknya dia akan dapat menerangkan di mana Pangcu dapat bertemu dengan
Suling Emas.”
Demikianlah, pagi hari itu, Yu Siang Ki hadir
bersama tujuh orang tokoh pengemis kota raja. Akan tetapi alangkah
kecewa hatinya ketika ia tidak melihat Kiang Liong dan mendengar bahwa
pesta itu sengaja diadakan oleh keluarga Pangeran Kiang untuk menyambut
kedatangan seorang keponakan mereka yang bersama Suma Kiat. Makin besar
rasa kecewa dan ketidaksenangan hati Yu Siang Ki ketika ia menyaksikan
lagak Suma-kongcu itu, yang duduk menjamu kelompok wanita-wanita cantik
yang genit-genit dan mendemonstrasikan kepandaiannya, seperti main
sulap membuat arak dalam cawan bergolak, melihat pemuda berpakaian indah
itu petantang-petenteng dengan sombongnya ketika dipuji-puji tamu.
“Hemmm, dia amat sombong. Akan tetapi harus diakui bahwa lwee-kangnya
hebat sekali.” bisik pengemis di sebelah kiri Siang Ki. Melihat
kepandaiannya, ia memang pantas menjadi saudara misan Kiang-kongcu, akan
tetapi melihat kesombongannya, sungguh jauh bedanya....”
Siang
Ki mengangguk-angguk. “Kepandaiannya hebat, dan mungkin
kesombongannya itu karena ia masih muda dan karena berhadapan dengan
wanita-wanita.”
Pek-tung Lo-kai yang duduk di sebelah kanan
Siang Ki, setelah melirik ke kanan kiri, berbisik. “Hemmm.... sungguh
mengherankan sekali. Begini sedikit orang-orang gagah yang sepatutnya
hadir mengingat bahwa semua orang gagah menjadi sahabat Kiang-kongcu,
sebaliknya banyak hadir orang-orang tergolong busuk dan banyak
pembesar-pembesar penjilat dan perwira-perwira penting. Heran sekali,
orang macam apakah Suma Kongcu ini?”
“Lo-kai, bukan urusan
kita, tidak perlu kita ambil pusing. Kalau sampai nanti Kiang-kongcu
tidak muncul, sebaiknya kita mohon diri dan meninggalkan tempat ini
saja.” Berkata demikian Siang Ki mengangkat cawan arak dan hendak
diminumnya.
Akan tetapi dia menunda niatnya minum arak ketika
pada saat itu terdengar suara nyaring suara Kwi Lan! Gadis itu berseru
dengan nyaring.
“Suheng....! Mengapa kau berada di sini....?”
Hanya sebentar Siang Ki menunda minumnya. Ia tersenyum, menenggak
araknya dan berbisik kepada Pek-tung Lo-kai di sebelah kanannya. “Wah,
tentu akan terjadi keributan....“
Bagaimanakah tahu-tahu Kwi Lan
Si Mutiara Hitam muncul di tempat pesta ini? Telah kita ketahui bahwa
dara perkasa ini melakukan perjalanan bersama Yu Siang Ki setelah
pemuda Ketua Khong-sim Kai-pang ini berjanji akan menganggapnya sebagai
seorang adik angkat. Biarpun sikap Kwi Lan tidak berubah dan masih
gembira dan jenaka seperti biasa, namun sikap Siang Ki terhadapnya
sudah berubah. Pemuda ini menekan hatinya dan memaksa perasaannya untuk
memandang gadis ini sebagai adik angkat, namun ia tak pernah berhasil
sehingga sepanjang perjalanan Siang Ki nampak murung dan berduka.
Akhirnya mereka tiba di kota raja dan di sini mereka berpisah. Siang Ki
hendak menemui tokoh-tokoh pengemis untuk mencari keterangan tentang
Suling Emas, sedangkan Kwi Lan mencari keterangan tentang Suma Kiat
seperti yang dipesankan gurunya. Diam-diam ia menjadi jengkel sekali.
Di dalam kota besar seperti ini, di mana terdapat puluhan orang,
bagaimana ia dapat menemukan seorang Suma Kiat?
Selagi ia
termenung di sore hari itu, duduk di bangku dalam ruangan depan
kamarnya, ia mendengar suara ketawa cekikikan dan dua orang, gadis yang
berpakaian ringkas berwajah cantik memasuki ruangan itu dari depan.
Melihat cara mereka berpakaian, pedang yang tergantung di pinggang, dan
langkah kaki mereka yang ringan, Kwi Lan dapat menduga bahwa mereka
adalah dua orang gadis ahli silat. Ia tertarik dan dari sudut matanya ia
mengerling. Hatinya sudah tidak senang melihat sikap kedua orang gadis
itu yang genit, akan tetapi karena mereka itu tidak ada hubungan dengan
dirinya, ia pun diam saja dan hanya memperhatikan ucapan-ucapan mereka
ketika mereka lewat di ruangan itu menuju ke kamar sebelah belakang.
“Wah.... sayang sekali kalau dia tidak ada, Cici. Kalau dia tidak ada,
untuk apa kita datang menghadiri pesta itu?” kata yang bertubuh ramping
dengan sanggul rambut tinggi sambil menghela napas kecewa.
“Ihh,
yang kaupikirkan dia saja, Moi-moi! Jangan khawatir, biarpun dia tidak
ada, namun ada penggantinya. Aku mendengar bahwa keponakan Pangeran
Kiang itu pun lihai dan tampan, hi-hik!”
“Hemm, aku sangsi apakah ada yang lebih hebat daripada dia. Siapakah namanya, Cici?”
“Entah, hanya aku mendengar bahwa dia disebut Suma-kongcu begitu....“
Suara percakapan mereka lenyap di balik pintu kamar mereka di sebelah
belakang. Akan tetapi Kwi Lan sudah mendengar cukup banyak. Nama
Suma-kongcu membangkitkan perhatiannya. Bukan tidak boleh jadi bahwa
Suma-kongcu yang dibicarakan dua orang gadis genit ini, adalah Suma
Kiat, suhengnya yang sedang ia cari-cari. Demikianlah, pada keesokan
harinya, ketika pagi-pagi dua orang gadis itu pergi meninggalkan losmen,
diam-diam ia membayangi mereka. Mula-mula ia meragu ketika dua orang
gadis itu memasuki pekarangan gedung besar Pangeran Kiang. Akan tetapi
ketika melihat bahwa di dalam taman di sebelah kiri rumah gedung itu
terdapat banyak tamu bermacam-macam, bahkan ada yang berpakaian
pengemis, setelah meragu sampai sejam lebih di luar, akhirnya ia
berjalan masuk pula.
“Suheng....! Mengapa kau berada di
sini....?” tegurnya ketika ia melihat Suma Kiat duduk menghadapi lima
orang wanita cantik, dan di antaranya adalah gadis-gadis yang ia lihat
di losmen. Ada rasa girang terkandung dalam seruan Kwi Lan karena
hatinya lega bahwa akhirnya ia dapat menemukan suhengnya seperti yang
diperintahkan gurunya.
Seruan yang nyaring ini membuat banyak
tamu menoleh dan memandang. Kecuali Yu Siang Ki, tak seorang pun di
antara tamu itu mengenal gadis jelita yang bersikap lincah ini. Suma
Kiat juga menengok dan ia meloncat bangun, menghampiri dan memegang
tangan Kwi Lan.
“Aha, Sumoi....! Alangkah girang hatiku
melihatmu! Betapa rinduku kepadamu selama ini....!” Suma Kiat yang
memegang tangan gadis itu menarik dan ia hendak memeluk Kwi Lan dengan
pandang mata penuh nafsu.
“Suheng, kau menjadi makin gila!”
bentak Kwi Lan sambil merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan
pemuda itu, mulutnya cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Ketika Suma Kiat yang masih tertawa ha-ha-he-he itu hendak memegang
tangannya lagi, Kwi Lan menampar tangan pemuda itu dalam tangkisan yang
dilakukan dengan keras. Suma Kiat terkejut, tangannya terasa sakit dan
agaknya ia baru tahu bahwa sumoinya marah benar-benar.
“Eh....
eh...., Sumoi...., mengapa marah? Tidak bolehkah aku melepas rinduku
kepadamu? Sudah amat lama kita tidak saling berjumpa....”
“Bodoh! Tak malukah engkau?” bentak Kwi Lan, mukanya kini menjadi merah
ketika melihat betapa semua orang memandang ke arah mereka sambil
tersenyum-senyum dan menahan ketawa.
Suma Kiat tersenyum masam,
sadar akan keadaan ini. Tadinya ia dipengaruhi rasa gembira melihat
sumoinya yang memang amat dirindukannya ini. Ketika ia masih tinggal
bersama Kwi Lan di istana bawah tanah, ia tidak merasakan sesuatu
terhadap sumoinya kecuali ingin menggodanya dan ia suka sekali melihat
sumoinya ini marah-marah. Setelah berpisah jauh dan lama, barulah ia
merasa betapa tersiksa hatinya, betapa rindunya terhadap Kwi Lan, dan
baru ia sadar betapa besar rasa cintanya terhadap gadis itu. Kini,
melihat munculnya Kwi Lan secara tiba-tiba dalam pesta, ia menjadi
demikian girang sehingga tidak ingat bahwa sikapnya itu ditonton oleh
semua tamu. Ia kini sadar lalu cepat berkata.
“Ah, maaf, Sumoi.
Silakan duduk. Mari duduklah di sini dan ceritakan semua pengalamanmu.
Oya, biarlah kuperkenalkan kau kepada para tamu.” Tanpa mempedulikan
sikap Kwi Lan yang memprotes, pemuda ini memandang ke semua penjuru dan
berkata dengan suara lantang.
“Para tamu yang terhormat!
Perkenankanlah saya memperkenalkan Sumoiku yang cantik jelita dan
perkasa ini, Kam Kwi Lan!” Dan sambil tersenyum-senyum ia membalas para
tamu yang terpaksa menunda percakapan, makan dan minum untuk berdiri dan
menjura kepada mereka. Dengan tersipu-sipu Kwi Lan terpaksa pula
mengangkat kedua tangan ke dada membalas penghormatan mereka, kemudian
karena takut kalau-kalau suhengnya yang otak-otakan ini melakukan
hal-hal lain yang memalukan, ia cepat-cepat duduk di bangku menghadapi
meja berhadapan dengan lima orang wanita yang memandangnya dengan mata
terbelalak dan mulut jelas membayangkan iri hati dan kebencian.
Suma Kiat sebaliknya gembira sekali. Setelah Kwi Lan duduk, ia bertepuk
tangan memanggil pelayan, berseru. “Lekas, hidangan terlezat dan arak
terbaik untuk Kam-siocia!” Bahkan para pelayan diam-diam mencibirkan
bibirnya melihat sikap congkak melebihi pemilik rumah sendiri.
Kiang-kongcu saja tidak pernah bersikap seperti itu. Diam-diam mereka
membenci tamu ini, pemuda yang tinggi hati dan kasar.
Namun Suma
Kiat yang pada saat itu merasa menjadi peran utama karena pesta itu
diadakan untuk menghormatinya, apalagi kini melihat sumoinya datang,
tidak tahu akan ketidaksenangan mereka ini. Sambil tersenyum-senyum ia
duduk di sebelah kanan Kwi Lan, kemudian berkata.
“Oya, belum
kuperkenalkan. Sumoi, dua orang nona ini adalah Chi Ci-moi (Enci Adik
she Chi), dan tiga orang Nona ini adalah murid-murid kepala dari
perguruan Ang-lian Bu-koan. Mereka ini merupakan harimau-harimau betina
kota raja, kepandaian mereka amat lihai.”
Senang hati lima
orang gadis itu mendengar pujian ini. Mereka mengangkat kedua tangan dan
menghormat Kwi Lan. Akan tetapi Kwi Lan bersikap dingin, bahkan
terdengar berkata ketus.
“Sudah, kalian beriima pergilah!”
Suma Kiat melongo dan lima orang gadis itu menjadi pucat mukanya.
Seorang di antara Chi Ci-moi itu, yang tertua, kini menjadi merah
mukanya dan bertanya, suaranya ketus. “Apa makaudmu....?”
“Maksudku sudah cukup jelas. Menggelindinglah kalian beriima pergi dari sini, aku hendak bicara berdua lengan Suhengku!”
Lima orang wanita itu tak dapat menahan kemarahan hati mereka. Dengan
muka merah padam mereka melotot kepada Kwi Lan dan seorang di antara
murid kepala Ang-lian Bu-koan membentak. “Orang tidak boleh menghina
kami begini saja!”
Kwi Lan yang sejak tadi memang sudah gemas
karena sikap suhengnya, kini pun marah. “Aku suruh kalian pergi, kalian
anggap menghina? Hemmm, kalau menghina, kalian ini perempuan-perempuan
genit dan cabul tak tahu malu mau apa? Pergilah!” Berkata demikian Kwi
Lan menggerakkan kakinya dan meja di depannya terbang ke arah lima orang
gadis itu!
Kedua Chi Ci-moi dan tiga orang murid kepala
Ang-lian Bu-koan bukanlah gadis-gadis sembarangan. Diserang begini
biarpun tak secara tersangka-sangka dan dari jarak dekat, mereka masih
sempat berjungkir balik ke belakang, kemudian secara berbareng mereka
menggerakkan lengan ke depan menahan meja yang menyambar. Mereka
terhindar dari hantaman meja, namun tak dapat menghindarkan diri dari
serangan arak dan kuah daging sayur yang menyambar ke arah muka dan
pakaian mereka dari mangkok-mangkok di atas meja. Muka dan pakaian
mereka beriepotan kuah dan arak, dan celaka bagi mereka, kuah-kuah itu
baru saja dihidangkan oleh pelayan dalam keadaan masih panas-panas!
Tentu saja mereka menyumpah-nyumpah dan mencak-mencak.
“Ah,
Sumoi jangan bikin ribut. Mari kita bicara....!” Suma Kiat sudah
menyambar lengan adik seperguruannya dan menarik pergi dari taman,
memasuki ruangan samping rumah itu. Kwi Lan ingin membangkang, namun ia
masih ingat akan pesan gurunya dan tidak menghendaki pertempuran melawan
suhengnya sendiri di tempat umum itu, maka ia menurut. Mulutnya
cemberut dan matanya menyinarkan kemarahan.
Setelah mereka
berdua duduk di ruangan samping. Suma Kiat segera berkata suaranya
perlahan setengah berbisik, akan tetapi penuh kesungguhan, matanya
memancarkan kecerdikan yang mengagetkan hati Kwi Lan.
“Ah, Sumoi, kau tidak tahu. Ibu yang mengatur, semua ini. Tahulah engkau bahwa kakakmu ini menjadi calon kaisar?”
Kwi Lan memandang, matanya terbelalak. Celaka, kiranya sinar
kecerdikan di mata suhengnya itu hanya penonjolan dari kegilaannya yang
makin menjadi!
“Suheng, tak sudi aku mendengar ocehanmu yang tidak karuan ini!”
“Huh, anak bodoh. Kau tidak percaya? Bukankah Ibu yang menyuruh kau
datang ke sini mencariku? Bantuanmu amat kubutuhkan. Kaulihatlah lima
orang wanita itu, dan para tamu itu, sebagian besar adalah sekutu
kami.”
“Sekutu apa?” Kwi Lan mulai tidak sabar.
“Sekutu untuk menjatuhkan Kaisar, bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia yang sudah siap bergerak....”
“Ahhh....!” Bukan main kagetnya hati Kwi Lan. Hal ini sama sekali tak
pernah disangkanya. Jadi gurunya yang gila, juga suhengnya yang berotak
miring ini, mempunyai rencana yang demikian gila? Ia cerdik maka kini
ia menahan kemarahannya dan berbisik. “Suheng aku belum diberi tahu
Bibi Sian tentang rencana ini. Apakah rencana itu dan bagaimana?” Ia
pura-pura bersungguh-sungguh.
Suma Kiat tersenyum, menengok ke
sekelilingnya. “Ketahuilah, Ibu membawa aku ke sini. Ini adalah gedung
Pangeran Kiang dan engkau tahu, Isteri Pangeran Kiang bernama Suma Ceng
menurut Ibu, dia adalah Bibiku, adik mendiang Ayahku yang masih putera
Pangeran bernama Suma Boan.” Sampai di sini Suma Kiat membusungkan
dadanya. “Aku cucu Pangeran! Karenanya aku berhak menjadi kaisar! Dan
engkau menjadi puteri, ha-ha-ha, kalau aku menjadi kaisar, kelak engkau
menjadi permaisuri, dan menjadi ibu suri.... ha-ha-ha!”
“Hushh.... Suheng, bicaralah yang benar. Bagaimana rencana itu? Apa yang telah terjadi?”
“Heh-heh, banyak yang terjadi, Adikku sayang! Bangsa Hsi-hsia telah
mengadakan hubungan rahasia dengan banyak pembesar di sini, dan yang
hadir di taman itu sebagian besar adalah pembesar-pembesar yang telah
sepakat untuk mengadakan persekutuan. Kaulihat hwesio yang duduk di
sudut tadi? Dia adalah Cheng Kong Hosiang, dia yang mewakili bangsa
Hsi-hsia. Dan Ibu menunjuk aku untuk memimpin pergolakan dari dalam
apabila saatnya tiba.”
“Hemm, kaukira begitu mudah? Di sini
banyak terdapat orang gagah yang tentu akan menentang pengkhianatan ini,
Suheng. Kenapa Bibi Sian melakukan hal berbahaya ini?”
“Siapa
bilang tidak mudah? Kerajaan Sung amat lemah, kaisarnya seperti
perempuan! Dan menurut kabar yang baru kuperoleh, bangsa Khitan juga
siap membantu bangsa Hsi-hsia....”
“Bohong....!”
Kwi
Lan sendiri menjadi kaget mendengar suaranya yang spontan dan
mengandung kemarahan itu. Tanpa disadarinya, ia kini telah menjadi
pembela bangsa Khitan! Teringat ini, dan melihat pandang mata Suma
Kiat penuh selidik, ia cepat menyambung. “Aku mendengar bangsa Khitan
bersahabat dengan Kerajaan Sung. Tak mungkin mereka sudi bersekutu
dengan bangsa Hsi-hsia yang biadab, yang menyerang dan menghancurkan
Beng-kauw secara menggelap, yang dipimpin oleh hwesio-hwesio gila,
manusia-manusia biadab berkedok pendeta!”
“Aihh.... kiranya
pengetahuanmu cukup luas, Sumoi. Agaknya selama dalam perantauan ini
engkau sudah menjumpai banyak pengalaman. Akan tetapi kau tentu belum
tahu apa yang baru saja kudengar. Bouw Lek Couwsu pimpinan bangsa
Hsi-hsia kini mendapat jalan untuk memaksa pemerintah Kerajaan Khitan
untuk bekerja sama dengan bangsa Hsi-hsia.”
“Hemm, aku tidak
percaya. Bangsa Hsi-hsia hanyalah bangsa biadab yang kecil jumlahnya,
sedangkan Khitan adalah negara besar....“
“Ha-ha-ha, mereka
terpaksa harus memenuhi permintaan bangsa Hsi-hsia setelah Pangeran
Mahkota mereka terjatuh ke dalam tangan Bouw Lek Couw.
“Apa....?” Kwi Lan menekan perasaannya sehingga kekagetan hebat tidak terlalu menonjol pada wajahnya.
Suma Kiat tertawa puas. “Benar? Pangeran Mahkota yang bernama Talibu,
Pangeran Khitan itu kini menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu dan dia itulah
yang akan menjamin bahwa Kerajaan Khitan pasti akan suka membantu.”
Kwi Lan tersenyum dingin untuk menutupi hatinya yang panas. Ia sudah
mendengar dari Siang Ki bahwa Ratu Khitan yang menurut gurunya adalah
ibu kandungnya itu memang mempunyai seorang putera angkat bernama
Pangeran Talibu yang tampan dan gagah perkasa. Biarpun ia mengandung
perasaan iri dan tidak senang kepada anak angkat ibunya itu, namun kini
mendengar betapa putera mahkota itu ditawan Bouw Lek Couwsu, ia terkejut
sekali. Urusan ini ternyata bukan urusan kecil dan sama sekali bukan
urusan main-main. Kalau yang dikatakan pemuda gila ini benar, ia harus
berusaha sedapat mungkin menolong putera angkat ibunya! Maka dengan
cerdik ia lalu tertawa, tertawa dingin yang sepenuhnya menonjolkan
sikap tidak percaya.
“Ah, Suheng. Setelah lama merantau, engkau
masih tetap seperti kanak-kanak, mudah saja diakali orang. Sudah jelas
kau dibohongi orang, akan tetapi kau menerima dan menelannya begitu saja
tanpa mau memeriksa lagi. Siapa mau percaya Pangeran Mahkota Khitan
ditawan orang-orang Hsi-hsia?” Kwi Lan sengaja mengeluarkan suara
ketawa nyaring yang dia tahu menyakitkan hati pemuda ini. Dahulu kalau
bertengkar, ia selalu tertawa seperti ini.
Merah wajah Suma
Kiat. “Sumoi, kaulah yang bodoh dan tolol! Kau masih tidak percaya
kepada aku, calon Kaisar! Pangeran Talibu benar telah ditawan oleh Bouw
Lek Couwsu yang bermarkas di sebelah barat Lok-yang, di lembah Sungai
Kuning di kaki Gunung Fu-niyu-san....“ Tiba-tiba Suma Kiat menghentikan
kata-katanya dan memandang ke kanan kiri dengan sikap kaget,
seakan-akan ia baru ingat bahwa ia telah membuka rahasia besar yang
tidak seharusnya ia katakan kepada siapapun juga. “eh, Sumoi....,
jangan bilang kepada siapapun juga....“
Akan tetapi pada saat
itu, perhatian mereka tertarik oleh suara ribut-ribut di luar ruangan
itu, di taman. Mereka bergegas keluar, terutama Suma Kiat, mendahului
sumoinya melompat keluar dan menghampiri para tamu yang tampak ribut.
Di tengah taman itu berdiri seorang pengemis muda yang jangkung tampan,
memakai sebuah topi lebar yang butut, akan tetapi dihias bunga memegang
sebatang tongkat, berdiri dengan tegak, berhadapan dengan dua orang
wanita enci adik she Chi. Dua orang gadis inilah yang ribut-ribut dan
memaki-maki.
“Jembel busuk! Jembel kelaparan! Kau tidak tahu
dengan siapa kau berhadapan, ya? Kami bukanlah gadis-gadis macam iblis
tadi yang boleh kaupermainkan....“ bentak gadis muda she Chi, sedangkan
encinya sudah meraba gagang pedangnya.
Pengemis muda itu bukan
lain adalah Yu Siang Ki. Dia tadi melihat munculnya Kwi Lan dan sudah ia
duga bahwa gadis itu tentu menimbulkan keributan sesuai dengan
wataknya. Ketika ia melihat Kwi Lan mempermainkan lima orang wanita
cantik yang duduk semeja dengan Suma Kiat, diam-diam ia tertawa. Memang
lima orang wanita itu patut diberi sedikit hajaran. Dia sudah mendengar
siapa adanya lima orang wanita itu. Akan tetetapi ketika ia melihat
Kwi Lan pergi ke dalam gedung bersama Suma Kiat yang disebut suheng oleh
Kwi Lan, timbullah kekhawatirannya dan hatinya menjadi jengkel sekali.
Jengkel melihat kenyataan bahwa temannya yang dianggap adik angkat,
wanita yang pernah merebut cinta kasihnya itu ternyata adik seperguruan
pemuda bangsawan memuakkan ini. Jengkel pula karena Kwi Lan tidak
mempedulikannya, bahkan kini masih bersama pemuda itu. Ia khawatir
sekali. Pada saat itulah ia mendengar betapa lima orang wanita yang
merasa terhina oleh Kwi Lan, mengeluarkan kata-kata memaki-maki Kwi Lan
secara kasar sekali.
Yu Siang Ki tentu tidak begitu mudah
mencari keributan, apalagi mengingat bahwa di situ adalah tempat tinggal
Kiang-kongcu murid Suling Emas! Akan tetapi karena ia merasa khawatir
akan keadaan Kwi Lan yang masuk ke dalam gedung bersama pemuda sombong
tadi, kini melihat adanya kesempatan untuk menarik perhatian Kwi Lan
keluar dari gedung. Tanpa ragu lagi ia lalu bangkit berdiri dari tempat
duduknya setelah berbisik kepada para pengemis lainnya. “Jangan heran
akan sikapku....!”
Sambil memandang lima orang gadis itu, ia membentak, suaranya nyaring.
“Kuharap kalian berlima tahu diri dan tidak membuka mulut sembarangan
mengeluarkan kata-kata kotor menghina Kam-lihiap. Tidak sadarkah bahwa
tadi Kam-lihiap telah mengampuni jiwa anjing kalian?”
Ucapan ini
sungguh hebat dan pedas. Biarpun mereka berlima itu wanita, namun
tokoh-tokoh kota raja tahu belaka bahwa ilmu kepandaian mereka tidak
boleh dipandang rendah. Apalagi tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan
yang amat berpengaruh karena perguruan mereka. Dan kini seorang
pengemis muda yang tidak terkenal berani mengeluarkan ucapan yang
demikian pedas! Juga lima orang itu terkejut, wajah mereka berubah merah
dan tak dapat ditahan lagi kemarahan orang termuda dari Chi Ci-moi
yang bernama Chi Bwee, meloncat bangun menghadapi Yu Siang Ki dan
memaki-makinya seperti tadi.
Siang Ki tersenyum mendengar
maki-makian ini, kemudian menambah panasnya api yang ia kobarkan. “Kam
Kwi Lan bukanlah iblis betina, melainkan seorang wanita gagah perkasa,
seorang pendekar, tidak seperti kalian ini lima ekor tikus betina yang
genit....“
“Jembel busuk mau mampus!” bentak Chi Leng, enci Chi
Bwee yang sudah mencabut pedang dan dengan gerakan kilat pedangnya
menyambar dengan sebuah tusukan ke dada Siang Ki.
“Wuuuuttt....!” Tusukan itu mengenai angin karena tubuh Siang Ki doyong
ke belakang. Pemuda ini tanpa merobah kedudukan kakinya telah mampu
mengelak dengan amat mudahnya. Ia tertawa mengejek.
“Gadis galak dan canggung macam engkau ini berani menghina Kam-lihiap? Sungguh menjemukan!”
“Enci, mari kita bunuh jembel ini!” Chi Bwee juga sudah mencabut
pedangnya dan membacok. Namun kembali bacokannya mengenai angin.
“Hayo, kalian yang tiga orang lagi tidak ikut maju? Maju dan
keroyoklah, perempuan-perempuan macam kalian mana ada kepandaian?” Siang
Ki mengejek terus. Marahlah tiga orang murid kepala Ang-lian Bu-koan.
Mereka pun dapat menduga bahwa dari gerakan pemuda jembel ini, dua
orang enci adik Chi sama sekali bukan tandingannya. Mereka mencabut
pedang dan bergeraklah lima orang gadis ini menyerang kalang-kabut!
Biarpun dibandingkan dengan Siang Ki, tingkat ilmu silat mereka masih
jauh, namun karena mereka maju bersama dan mengeroyok dengan nafsu
membunuh, Siang Ki tidak berani memandang rendah. Tangan kirinya
menyambar topinya, sambil bergerak dengan lincah ia mengayun topi dan
tangan kanan.
“Siuut-siuut-bret-bret....!” Terdengar lima orang
itu menjerit kaget dan di lain saat rambut mereka yang digelung rapi itu
sudah terlepas semua ikatannya, cerai-berai dan awut-awutan karena
pita rambutnya telah putus oleh renggutan jari tangan Yu Siang Ki.
Mereka hanya merasa betapa pandang mata mereka gelap karena muka mereka
tiba-tiba tertutup topi lebar yang baunya apek oleh keringat, kemudian
merasa rambut mereka terlepas ikatannya. Ketika mereka memandang,
pita-pita rambut mereka telah berada di tangan Siang Ki yang
tertawa-tawa.
Bukan main kaget dan marah hati mereka. Kaget
karena tidak mengira bahwa jembel muda ini benar-benar luar biasa
lihainya dan marah karena peristiwa yang terjadi di depan banyak tokoh
kang-ouw itu merupakan penghinaan bagi mereka. Kemarahan inilah yang
membuat mereka lupa diri, lupa akan pesan guru-guru mereka bahwa
menghadapi seorang yang jauh lebih lihai, tiada gunanya berlaku nekat
karena takkan dapat menang. Dengan gerakan ganas mereka sudah menyerbu
lagi mengeroyok Siang Ki. Pemuda ini menjadi girang karena usahanya
memancing Kwi Lan keluar berhasil. Ia sudah melihat gadis itu muncul
keluar di belakang Suma-kongcu, maka hatinya menjadi lega dan ia
berniat mengakhiri perkelahian dan meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi pada saat itu, Suma Kiat sudah datang berlari seperti
terbang cepatnya. Pemuda ini marahsekali. Ia tidak mengenal Si Pemuda
Jembel, sebaliknya ia sudah beramah-tamah dan menerima janji-janji
senyum dan kerling manis lima orang wanita cantik itu, tentu saja tanpa
pikir-pikir panjang lagi ia sudah memihak lima orang wanita itu.
Gerakannya aneh dan luar biasa sekali cepatnya, tahu-tahu ia sudah
terjun ke dalam pertandingan dan mengirim pukulan hebat ke arah Yu
Siang Ki.
“Suheng.... jangan....!” Kwi Lan melompat dan mengejar kakak seperguruannya.
Akan tetapi Suma Kiat tidak mempedulikannya dan sudah menghantam ke
arah dada Yu Siang Ki. Ketua pengemis yang muda ini sedang sibuk
mengelak dan menangkis keroyokan lima batang pedang dengan kebutan
topinya, ketika secara mendadak ada angin menyambar keras sekali dari
arah depan. Belum tiba pukulannya, anginnya sudah datang menghantam
dengan hawa amat panas! Kagetlah ia mengenal pukulan ampuh ini. Cepat
ia menangkis dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanan yang memegang
topi juga digerakkan menampar atau mengebut ke arah tiga batang pedang
yang menyambar ke arahnya.
“Wuuuuttt.... plakkk....!” Karena Yu
Siang Ki membagi tenaga sin-kangnya untuk mengebut pedang dan menangkis,
maka tangkisannya itu tidak dilakukan dengan sepenuh tenaganya. Ia
tidak menduga bahwa pemuda bangsawan itu dapat melakukan pukulan yang
demikian ganas dan kuat, maka ketika kedua lengan bertemu Yu Siang Ki
merasa betapa serangkum hawa panas menembus sampai ke dadanya dan ia
terhuyung-huyung dengan wajah pucat!
Suma Kiat tertawa mengejek
dan sudah menyambar lagi ke depan, mengirim pukulan lebih ganas kepada
Siang Ki yang sedang terhuyung-huyung ke belakang.
“Suheng.... mundur kau....!”
Suma Kiat melihat sinar hijau berkelebat dan tahulah ia bahwa
Siang-bhok-kiam di tangan sumoinya telah mengancam pundaknya. Namun ia
tidak percaya bahwa sumoinya akan berani atau mau melukainya, maka ia
tidak ambil peduli dan melanjutkan pukulannya ke arah Siang Ki.
“Brettt....! Aduhhh....! Heeee, Sumoi, gilakah engkau? Berani kau
melukai aku?” bentak Suma Kiat. Pundak kirinya mengucurkan darah karena
tepi pundak telah tertusuk pedang merobek baju dan kulit dagingnya. Ia
menutupi luka di pundak kiri dengan tangan kanan, memandang sumoinya
dengan mata terbelalak heran. Sungguh di luar dugaannya bahwa sumoinya
benar-benar berani melukai pundaknya, dan hal ini dilakukan hanya untuk
membela seorang.... pengemis!
Dengan pedang di tangan dan muka
merah saking marahnya, Kwi Lan menjawab dan menentang pandang mata
suhengnya. “Suheng! Perempuan-perempuan itu telah menghinaku dan Yu
Pangcu ini telah membelaku karena di antara kami ada tali persahabatan
yang erat. Akan tetapi engkau malah membela perempuan-perempuan tak
tahu malu ini dan hendak mencelakainya. Aku sudah minta kau mundur, tapi
kau memaksa maju sehingga terluka pedangku. Pendeknya, siapapun juga
tidak boleh mencelakakannya!” Sikap Kwi Lan garang sekali, pedangnya
melintang di depan dada.
“Ha-ha-ha, sungguh lucu! Sumoi jadi kau
sekarang telah menjadi Inang pengasuh jembel cilik ini? Menjadi
pelindung pengemis kelaparan ini?”
Siang Ki telah menyambar
tongkatnya yang tadi ia sandarkan di meja. Gerakannya cepat sekali dan
kini ia sudah berdiri di depan Kwi Lan, memandang Suma Kiat dengan
pandang mata penuh wibawa, suaranya nyaring ketika berkata.
“Sungguh omongan yang tidak patut keluar dari mulut seorang gagah. Lebih
tidak patut lagi keluar dari mulut Suheng dari Kam-lihiap! Aku Yu Siang
Ki tidak pernah minta dilindungi Kam-lihiap dan jangan kira bahwa aku
takut menghadapi engkau, Suma-kongcu.”
Suma Kiat marah sekali,
akan tetapi melihat sumoinya masih berdiri dengan pedang di tangan, ia
ragu-ragu untuk bergerak maju. Ia sudah cukup mengenal watak sumoinya
yang ganas dan diam-diam ia pun maklum bahwa sekali sumoinya marah dan
melawannya, belum tentu ia mampu mengalahkan sumoinya itu. Dan kini
jelas tampak sikap sumoinya itu membela Si Pengemis ini!
Pada
saat yang menegangkan itu, di mana kedua pihak agaknya siap untuk
bertanding dan selagi semua tamu memandang penuh perhatian dan
ketegangan, tiba-tiba terdengar suara yang halus namun nyaring
berwibawa.
“Hemm, apakah yang terjadi di sini?” Semua orang
menengok dan dari dalam gedung itu muncul seorang pemuda tinggi tegap
yang berpakaian putih dan di punggungnya tampak sebuah yang-kim yang
bentuknya seperti kepala naga. Pemuda ini bukan lain adalah Kiang Liong!
Dan di samping pemuda itu berjalan seorang gadis cantik jelita
berpakaian indah dan gadis ini adalah Puteri Mimi!
Bagaimanakah
Kiang Liong bisa muncul pada saat itu dan mengapa pula bersama Puteri
Mimi? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita mengikuti perjalanan
Kiang Liong agar jalannya cerita menjadi lancar.
Seperti telah
kita ketahui, pemuda murid Suling Emas ini telah berhasil diobati dan
diselamatkan oleh Song Goat yang cantik manis. Setelah tubuh Kiang Liong
di “rebus” dalam air yang dimasuki obat, air dalam tahang berubah hitam
dan tubuh bagian bawah berubah putih dan normal kembali.
Untung
bahwa pengobatan ini telah selesai dan berhasil dengan baik ketika Song
Goat mendengar suara hiruk-pikuk di luar kedai. Melihat betapa pemilik
kedai dan penduduk dusun itu hendak menyerbu masuk dan mendengar betapa
ia disangka siluman, Song Goat tertawa lalu berkata.
“Kongcu, sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kasihan mereka itu yang bodoh.”,
Kiang Liong membelakangi gadis itu dan mengenakan pakaiannya, kemudian
baru ia menghadapi Song Goat dan menjura sampai dalam. “Nona Song, kau
telah menyelamatkan nyawaku. Aku Kiang Liong selama hidupku takkan
melupakanmu dan amat berterima kasih kepadamu. Orang-orang itu benar
kurang ajar, berani menganggap Nona sebagai siluman. Terlalu! Biar
kuhajar mereka agar kapok!”
“Ah, mengapa kau berpemandangan
sepicik itu, Kongcu. Mereka adalah orang-orang yang jalan pikirannya
amat sederhana dan bodoh percaya akan tahyul. Kita tidak semestinya
marah kepada mereka, sebaliknya aku kasihan kepada mereka. Kongcu, hanya
orang-orang yang berpikiran sederhana dan bodoh sajalah yang masih
dapat diharapkan kebaikannya di dunia yang penuh orang pintar ini. Orang
yang sederhana memang bodoh, akan tetapi jujur dan setia, tidak seperti
orang-orang pintar yang terlalu pintar sampai lupa akan kejujuran dan
kesetiaan! Marilah kita pergi!” Suara gadis itu terdengar penuh
kedukaan dan ia sudah berkelebat keluar melalui jendela.
Sejenak
Kiang Liong tertegun. Ia banyak mempelajari filsafat dan pelajaran
keagamaan, maka mendengar ucapan gadis itu ia tertegun. Gadis yang
cantik manis, gadis yang berbudi, gadis yang patah hati! Tanpa berkata
sesuatu, setelah menyambar sepasang pit dan yang-kimnya, ia pun
melompat keluar jendela menyusul Song Goat.
Mereka berdua
berlari cepat tanpa bicara. Berapa kali Kiang Liong melirik ke arah
gadis itu dan melihat betapa wajah yang cantik itu terselubung
kekeruhan tanda bahwa hati gadis itu berduka. Ia merasa heran sekali
dan setelah mereka berlari jauh dari dusun, mendaki sebuah bukit dan
melalui padang rumput yang luas. Kiang Liong tak dapat menahan
kesunyian di antara mereka.
“Nona Song, harap berhenti dulu.”
Song Goat mengerling kepadanya lalu berhenti. Mereka, tanpa bicara
menghampiri sebuah pohon besar di tepi jalan. Tempat itu teduh dan amat
sejuk hawanya. Enak duduk di bawah pohon teduh ini setelah berlari di
bawah sinar matahari yang sudah naik tinggi.
Mereka duduk
berhadapan, di atas akar-akar pohon yang menonjol keluar dari permukaan
tanah. Masih tidak bicara. Song Goat menyapu dengan pandang matanya ke
depan, melihat pemuda itu memandangnya penuh selidik, kedua pipinya
menjadi kemerahan dan menunduk. Kemudian tanpa mengangkat mukanya ia
bertanya.
“Kongcu, mengapa kau menyuruh aku berhenti?”
Kiang Liong tersenyum. Makin tertarik hatinya ketika ia menatap wajah
yang tunduk itu. Dara cantik manis, memiliki hati yang baik akan tetapi
patah-patah dan...., pemalu! Berdebar jantungnya, timbul rasa kasih
dan suka di hatinya.
“Nona Song, aku hanya ingin bercakap-cakap denganmu.”
Kini Song Goat mengangkat mukanya dan cepat-cepat ia menundukkan
pandang matanya ke tanah ketika melihat sinar mata tajam yang
seolah-olah hendak menjenguk isi hatinya. “Bicara tentang apakah,
Kongcu? Engkau sudah sembuh, dan engkau dapat melanjutkan perjalananmu.
Jalan kita bersimpangan....”
“Ah, Song-kouwnio, apakah kau
menganggap aku seorang yang demikian rendah dan tidak ingat budi? Kau
sudah merenggut nyawaku dari cengkeraman maut. Engkau telah
menyelamatkan aku dan sampai mati sekalipun, budimu yang besar tidak
akan dapat kulupakan, Betapa mungkin setelah kini kau menyelamatkan aku,
akan kutinggalkan saja kau? Tidak, aku tidak serendah itu, Nona.
Pohon-pohonyang disiram, dipupuk dan dirawat akan membalas dengan
bunga-bunga indah dan buah-buah lezat. Kuda dan anjing yang dipelihara
akan membalas dengan kesetiaan. Mana aku Kiang Liong kalah oleh pohon
atau binatang?”
Mau tidak mau Song Goat tersenyum kecil.
Benar-benar pemuda yang pandai merayu hati pikirnya. Hati siapa tidak
merasa nikmat mendengar ucapan seperti itu? Pemuda yang berkepandaian
amat tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia sendiri, bahkan lebih tinggi
daripada tingkat ayahnya maupun semua tokoh yang pernah dijumpainya.
Makin keras debar jantung Song Goat ketika ia mengangkat muka. Mereka
bertemu pandang. Pandang mata pemuda itu amat tajam, halus, dan mesra.
Bagaikan sinar matahari, hangat-hangat menembus jantung gadis itu.
“Kiang-kongcu, kalau engkau mau berterima kasih, harus kepada Ayah,
karena sedikit kepandaian pengobatan ini kudapat dari Ayah....“
“Ah, benar! Betapa kurang hormat aku kepada Song-locianpwe. Di manakah
adanya ayahmu, Nona? Bawalah aku kepadanya agar aku dapat menghaturkan
terima kasihku.”
Tiba-tiba Song Goat yang duduk bersandar
pohon itu membungkukkan punggung, menyembunyikan muka di kedua tangan
dan menangis tersedu-sedu. Sikap pemuda ini yang amat halus dan mengenal
budi, pertanyaannya yang mengingatkan ia kepada ayahnya, menyeretnya
kembali kepada peristiwa yang amat menyakitkan hatinya, bergema kembali
ditelinganya suara Yu Siang Ki tunangannya yang secara berterang
menyatakan pembelaan dan cinta kasihnya kepada Kwi Lan. Rasa sakit hati
yang ditahan-tahan, ditekan-tekan dan dibendungnya selama ini sekarang
pecah oleh pertanyaan dan sikap Kiang Liong, pecah dan membanjir
sebagai tangis yang membuat air matanya berderai melalui celah-celah
jari tangannya yang menutupi muka.
Sebuah lengan yang kuat
melingkar punggungnya dengan halus penuh hiburan. Bisikan suara yang
halus terdengar dekat telinganya. “Kouwnio, mengapa berduka? Mengapa
menangis? Hanya manusia kejam berhati iblis saja yang tega membuatmu
berduka. Ceritakanlah kepadaku, Nona, dewi penolongku, dan aku sudah
siap dengan jiwa ragaku untuk membantumu.”
Sentuhan jari tangan
yang halus menghibur, bisikan yang mengandung ucapan manis ini
seakan-akan menjebolkan bendungan terakhir sehingga membanjirlah air
mata dari sepasang mata yang sayu itu. Terisak-isak Song Goat menangis
dan tanpa ia sadari lagi kini menyandarkan kepala di dada Kiang Liong,
dan baju pemuda itu sampai basah semua oleh air matanya!
Kiang
Liong yang banyak mengenal watak wanita, tidak mengganggunya dan
membiarkan gadis itu menangis tersedusedu. Tangis adalah obat terbaik
untuk menguras semua duka dan dendam yang meracuni hati. Dengan penuh
kasih sayang ia mengelus-elus rambut yang halus itu, bahkan
perlahan-lahan ia menundukkan muka dan mencium ubun-ubun kepala dengan
rambut halus dan harum itu sambil memejamkan matanya. Gadis yang luar
biasa dan pantas dicinta sepenuh hati, pikirnya akan tetapi ia berlaku
hati-hati agar gadis itu tidak merasa terhina. Kiang Liong seorang
pemuda romantis, mudah terjaring cinta, namun ia bukan seorang kasar.
Akhirnya reda juga banjir kedukaan yang menggelora di hati Song Goat.
Seperti seorang terbangun dari mimpi, gadis itu baru sadar bahwa ia
merebahkan diri di atas dada yang bidang itu, baru sadar bahwa ia
berada di dalam pelukan Kiang Liong bahkan membatas pelukannya, dan baru
tampak olehnya betapa baju yang menutupi dada pemuda itu sudah basah
semua oleh air matanya.
“Aiiihhh....“ Ia merenggut tubuhnya terlepas dari pelukan, lalu duduk menjatuhkan diri. “Aiiihhh....”
“Kenapa, Nona?” Kiang Liong bertanya, tersenyum ramah. Dua pasang mata
bertemu pandang, kasih sayang dan kemesraan dalam pandang mata Kiang
Liong itu mendatangkan rasa jengah yang mendalam sehingga akhirnya Song
Goat menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.
“Ahh, Kiang-kongcu, maafkan.... maafkan aku.... yang lupa diri....“
“Tidak ada yang perlu dimaafkan Nona. Aku akan merasa bahagia sekali
kalau dapat menolongmu. Ceritakanlah, apa yang membuat kau begini
berduka dan sakit hati?”
Song Goat merenungi tanah di depan kakinya menarik napas panjang kemudian hanya menggeleng kepala tanpa jawaban.
Kiang Liong meraih maju dan memegang tangan yang dingin dan halus itu.
Dikepalnya jari-jari tangan Song Goat dan diguncangnya sambil berkata.
“Nona Song, aku berterima kasih kepadamu, aku kagum dan suka kepadamu.
Apakah kau masih tidak percaya padaku?”
Song Goat mengangkat
mukanya yang berlinang air mata dan kembali dua pasang mata bertemu
pandang. Melihat betapa wajah yang tampan itu dengan penuh kejujuran dan
kemesraan memandangnya. Song Goat berdebar jantungnya. Tanpa ia sadari
jari-jari tangannya bergerak dan membalas tekanan Kiang Liong. Alangkah
mudahnya menjatuhkan hati kepada pemuda seperti ini. Alangkah mudahnya
menyerahkan jiwa raga kepada pemuda seperti ini, kalau saja.... kalau
saja.... Song Goat cepat mengusir perasaan ini dan rasa malu membuat
leher dan mukanya menjadi merah dan panas, kemudian ia menarik
tangannya perlahan-lahan. Kiang Liong melepaskan tangan itu, tidak mau
memaksanya sungguhpun ia tahu betapa tangan kecil itu tadi membalas
remasannya sebagai jawaban suara hati.
“Nona Song, siapa yang menyakitkan hatimu? Dan di mana adanya ayahmu, Song-locianpwe?”
Dengan muka tunduk Song Goat menjawab lirih. “Aku.... meninggalkan Ayahku....!”
“Kenapa? Di mana dia?”
Kembali Song Goat menghela napas dan kini ia mengangkat muka. Mereka
berpandangan dan Song Goat berkata. “Kiang-kongcu, urusan ini sebenarnya
merupakan rahasia pribadi, akan tetapi.... biarlah kau menjadi
satu-satunya orang yang akan mendengarnya. Aku percaya kepadamu.... dan
biarlah kau seorang yang menjadi penumpahan rasa duka hatiku, karena
kalau hal ini tidak kutumpahkan, tentu akan meracuni hatiku,
Kiang-kongcu, aku.... aku telah dihina dan dikhianati.... tunanganku
sendiri.”
Kiang Liong mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
“Hemm? Apakah dia seorang yang buta? Kalau tidak buta matanya, tentu
buta hatinya sehingga ia tega berbuat keji terhadapmu. Siapa dia,
Nona?”
Dengan suara lirih Song Goat lalu menceritakan betapa
sejak kecil ia telah dijodohkan oleh ayah dan sahabat ayahnya,
dijodohkan dengan putera sahabat ayahnya itu. Belasan tahun ia ikut
merantau, mencari tunangannya, kemudian menceritakan betapa ia dan
ayahnya berhasil menolong tunangannya, kemudian betapa tunangannya itu
di depannya menyatakan cinta kasihnya kepada seorang gadis lain
sehingga ia menjadi malu dan kecewa lalu melarikan diri.
Kiang
Liong mendengarkan dengan sabar dan tidak pernah mengganggunya, akan
tetapi setelah selesai cerita gadis itu, ia bertanya, suaranya
mengandung ketegangan. “Nona Song, kau bilang nama tunanganmu itu Yu
Siang Ki, Pangcu dari Khong-sim Kai-pang? Apakah dia seorang pengemis
muda yang bertopi lebar terhias bunga, dan memegang tongkat. Wajahnya
tampan tubuhnya tinggi?”
Song Goat mengangguk. “Apakah Kongcu sudah mengenal dia?”
“Hemm, kenal baik sih tidak, akan tetapi aku pernah mendengar namanya.
Dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik, mengapa tega melakukan
kekejian kepadamu? Dan siapakah wanita yang dicintanya?”
“Seorang gadis yang hebat, julukannya Mutiara Hitam, namanya Kam Kwi Lan....”
“Ahhhh....! Dia....?” Terbayang di depan mata Kiang Liong seorang gadis
yang cantik jelita, lincah dan ganas, dan ia kini tidak merasa heran
bahwa tunangan gadis ini telah jatuh cinta kepada Mutiara Hitam. Memang
gadis itu terlalu hebat untuk dijadikan sahabat biasa. Pemuda jenaka
bernama Tang Hauw Lam yang ia jumpai bersama Mutiara Hitam dahulu itu
pun sudah tergila-gila kepada Mutiara Hitam!
“Eh, kau sudah mengenal pula Adik Kwi Lan, Kongcu?”
“Hemm, kenal sih tidak, dia gadis aneh dan binal. Akan tetapi pernah
aku bertemu dengannya. Memang dia cantik dan lihai, akan tetapi
tunanganmu itu sungguh tak tahu diri, tidak mengenal budi dan tidak
bijaksana kalau dia melukai hatimu dengan pernyataan cintanya kepada
wanita lain di depanmu.”
Song Goat menarik napas panjang. “Tak
dapat kupersalahkan dia, Kongcu. Dia menyatakan cinta kasih kepada Adik
Kwi Lan tanpa ia ketahui bahwa ia telah ditunangkan dengan aku. Dan dia
menyatakan cinta kasih itu dalam keadaan terdesak untuk menolong
keselamatan Adik Kwi Lan.” Song Goat lalu menceritakan tentang
munculnya seorang wanita aneh berkerudung yang ternyata adalah guru
Mutiara Hitam dan betapa Yu Siang Ki mengaku cinta kepada Kwi Lan dalam
pembelaannya ketika melihat Kwi Lan terancam maut di tangan gurunya
sendiri.
Mendengar semua ini, Kiang Liong mengangguk-angguk.
“Setelah mendengarkan pengakuan itu, bagaimana aku mempunyai muka untuk
bertemu kembali dengan dia, Kongcu? Apalagi harus bicara tentang jodoh!
Jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari rasa terhina dan malu
hanyalah melarikan diri seperti yang kulakukan sekarang.”
Kiang Liong maklum akan keadaan gadis ini yang ruwet dan ia merasa
kasihan sekali. Tiba-tiba ia memegang tangan yang kecil itu. Sejenak
tangan itu gemetar seperti seekor anak ayam dalam genggaman, akan tetapi
tidak ditarik lepas.
“Nona, apakah kau mencinta Yu Siang Ki?”
Dua pasang mata bertemu. Song Goat meragu, lalu menggeleng kepala,
menunduk dan menarik tangannya. “Aku.... aku tidak tahu.... dia memang
gagah dan baik, akan tetapi aku baru saja bertemu dengannya....,
dan.... mendengar pengakuannya terhadap Kwi Lan, rasanya.... rasanya
aku tidak mencintanya....“
Kembali tangan kanan Song Goat
dipegang dan diremas tangan Kiang Liong yang menggeser dekat. “Dewiku,
kalau begitu mengapa berduka? Kalau pengemis bodoh itu tidak dapat
menghargaimu dan kau pun tidak mencintanya, mengapa harus berduka?
Engkau sebaliknya harus bersyukur telah terbebas daripadanya. Terus
terang saja, aku bersedia sepenuh hati, sepenuh jiwa ragaku untuk
mencintamu, dan cinta kasihku akan jauh melampaui cinta kasih pengemis
bodoh itu!”
Song Goat mendengar ucapan ini memejamkan matanya
dan air matanya berlinang di ataspipi. Ia seperti mabok dan mandah saja
ketika Kiang Liong menariknya, memeluknya erat-erat, bahkan ia hanya
meramkan mata ketika pemuda itu mengecupi air mata dari kedua pipinya.
Ia merasa seolah-olah diterbangkan ke angkasa dan terayun-ayun nikmat,
merasa aman sentosa dalam pelukan sepasang lengan yang kuat itu,
bisikan-bisikan merdu merayu dari mulut Kiang Liong bagaikan nyanyian
dewata. Sejenak ia hampir lupa diri, hampir mabok madu asmara. Akan
tetapi ketika merasa betapa bibir pemuda itu dengan penuh kasih sayang
dan mesra mendekati dan menyentuh bibirnya, ia terhenyak kaget dan
menggerakkan kedua lengannya yang tadi merangkul leher pemuda itu untuk
mendorong dada Kiang Liong, merenggutkan dirinya terlepas dan meloncat
berdiri. Mukanya pucat sekali dan kedua kakinya menggigil.
“Tidak....! Tidak....!” keluhnya berkali-kali.
Kiang Liong juga meloncat berdiri di depan gadis itu, memandang penuh
pertanyaan. Akan tetapi ia tidak mau memaksa dan hanya memandang penuh
selidik. Melihat pandang mata ini, Song Goat merasa bersalah. Dia tadi
seperti hendak menyerahkan diri, kini merenggut lepas, seolah-olah ia
mempermainkan cinta kasih orang!
“Kiang-kongcu, kaumaafkan aku.
Sesungguhnya, akan merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar sekali
bagi seorang dara bodoh dan buruk lagi miskin seperti aku ini untuk
mendapatkan cinta kasih seorang Kongcu sepertimu. Ah, betapa aku akan
dapat menolak cinta kasihmu, Kongcu? Aku akan bahagia sekali!”
Kiang Liong tersenyum dan hendak meraih dan memeluk gadis itu lagi, akan
tetapi Song Goat mengelak dan cepat-cepat menyambung kata-katanya.
“Akan tetapi.... jelek-jelek aku bukanlah seorang yang tidak memiliki
kesetiaan seperti Yu Siang Ki. Aku tidak mau menjadi seorang anak murtad
dan tidak berbakti. Aku tidak mau memutuskan tali perjodohan yang sudah
dipastikan oleh orang tuaku semenjak aku kecil. Sejak dahulu aku sudah
menganggap diriku menjadi isteri Yu Siang Ki dan kalau dia sekarang
memutuskan tali perjodohan, tiada lain jalan bagiku kecuali masuk
menjadi nikouw (pendeta wanita)!”
“Moi-moi....!”
“Tidak,
jangan sentuh aku lagi, Kongcu! Ingat, aku isteri orang lain! Engkau
seorang pendekar muda yang sudah terkenal dan aku yakin seorang
pendekar akan menjunjung tinggi kesusilaan dan menjaga peraturan. Engkau
budiman, lebih baik tunjukkan kepadaku kelenteng yang baik untuk aku
mengabdi kepada agama.” Song Goat menghapus air matanya yang kembali
berderai itu dengan ujung bajunya.
Kiang Liong menghela napas
panjang, hatinya terharu. Bukan wataknya untuk memaksakan cintanya
terhadap wanita, maka ia lalu berkata. “Nona Song, aku mengerti akan
pendirianmu. Baiklah, Kuil Pek-lian-si di lereng Bukit Cin-ling-san
diketuai oleh Fang-nikouw yang menjadi sahabat baikku. Kau dapat datang
ke sana dan menjadi murid Fang-nikouw mempelajari keagamaan, akan tetapi
kau berjanjilah bahwa sebelum satu tahun, engkau tidak akan menjadi
nikouw. Aku akan menemui Yu Siang Ki dan kalau dalam satu tahun dia
tidak mencarimu, anggap saja usahaku gagal dan sesukamulah kalau kau
hendak menjadi nikouw. Kauserahkan suratku kepada Fang-nikouw.”
Pemuda itu lalu mengeluarkan pena bulunya, mengambil sehelai saputangan
putih dan menggunakan getah pohon sebagai tinta, mencorat-coret
beberapa belas huruf di atas saputangan lalu memberikannya kepada Song
Goat.
“Terima kasih, Kongcu. Engkau baik sekali. Selama hidupku, aku tidak akan melupakan budimu.”
“Aihhh, Song-moi, engkau benar-benar membikin hatiku terasa perih. Akan
tetapi apa boleh buat, urusanmu memang ruwet. Kau berjanjilah akan
menanti sampai satu tahun.”
“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah. Semoga Thian memberkahimu.”
Dengan pandang mata sayu Kiang Liong melihat gadis itu pergi. Banyak
sudah ia mengenal gadis cantik, akan tetapi baru Song Goat ini yang
mendatangkan rasa iba besar di hatinya. Kemudian, setelah bayangan
gadis itu lenyap, ia pun melanjutkan perjalanan. Tentu saja ia menuju
pulang ke kota raja karena ia menghadapi urusanbesar. Ia harus melapor
sendiri kepada Kaisar agar Kerajaan Sung dapat bersiap-siap menghadapi
ancaman bangsa Hsi-hsia yang makin mengganas. Di sepanjang perjalanan,
hanya dua wajah yang selalu terbayang di depan matanya. Wajah Po Leng
In dan wajah Song Goat. Dua orang gadis yang amat berbeda wataknya, akan
tetapi yang kedua-duanya telah melepas budi kepadanya.
“Baiklah, Kongcu, dan selamat berpisah. Semoga Thian memberkahimu.”
Ketika ia tiba di lembah Sungai Kuning, di kaki Bukit Fu-niu-san di
sebelah selatan kota raja, senja telah mendatang. Ia mempercepat larinya
karena tidak ingin kemalaman di jalan, ingin bermalam di sebuah dusun
yang ia tahu berada di depan, kurang lebih dua puluh li lagi jauhnya.
Akan tetapi perhatiannya tertarik oleh keributan yang terjadi di
pinggir hutan di sebelah depan. Dari jauh sudah kelihatan bahwa di
pinggir hutan itu terjadi perang kecil yang dilakukan oleh empat lima
puluh orang. Hatinya berdebar keras. Dari jauh tampak bahwa yang
bertanding adalah orang-orang Hsi-hsia, hal ini dapat dilihat dari
adanya beberapa hwesio jubah merah yang bergerak cepat dan tangkas.
Sedangkan pihak lawan adalah orang-orang berseragam, seperti pasukan
yang pada saat itu keadaannya terdesak karena selain kalah banyak, juga
kelihatan para hwesio jubah merah itu membuat mereka repot
mempertahankan diri. Kiang Liong menjadi cemas sekali. Adakah pasukan
Hsi-hsia sudah mulai menyerbu dan berada begini dekat dari kota raja?
Adakah pasukan yang terancam itu pasukan pengawal dari kota raja? Dari
jauh tidak tampak jelas, maka ia segera mempercepat larinya menuju ke
tempat pertempuran.
Setelah dekat, ia terheran-heran. Kiranya
pasukan yang terdiri dari belasan orang itu adalah orang-orang Khitan!
Beberapa orang Khitan sudah menggeletak mandi darah dan belasan orang
sisanya melakukan perlawanan mati-matian. Orang-orang Khitan ini tidak
pandai silat, akan tetapi mereka biasa bertempur dan memiliki keberanian
serta kenekatan yang amat besar. Namun orang-orang Hsi-hsia di bawah
pimpinan lima orang hwesio jubah merah itu terlampau kuat bagi
orang-orang Khitan ini. Dan yang mengagumkan hati Kiang Liong adalah
ketika ia melihat seorang gadis remaja mengamuk melawan dua orang hwesio
jubah merah. Bukan main gadis remaja ini. Cantik jelita, memiliki
kecantikan khas Khitan yang berbeda dengan kecantikan orang-orang
daerah, memakai pakaian serba indah dan hebatnya, permainan pedang gadis
itu jelas merupakan ilmu pedang yang bertingkat tinggi! Sayangnya gadis
itu agaknya belum banyak pengalaman bertanding, karena kalau ia lebih
berpengalaman, Kiang Liong yakin bahwa dua orang hwesio jubah merah ini
tentu takkan dapat bertahan lama.
Apalagi ia telah mengenal
bahwa pasukan itu adalah pasukan Khitan yang pada waktu itu merupakan
bangsa sahabat, andaikata pasukan tak terkenal sekalipun, tentu Kiang
Liong tidak ragu-ragu untuk membantunya melawan orang-orang Hsi-hsia dan
hwesio-hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu ini. Terutama sekali melihat
gadis cantik jelita itu, hatinya kagum dan ingin berkenalan. Amatlah
baik kesempatan itu. Kalau dia membantunya merobohkan musuh-musuh gadis
itu, tentu mereka akan dapat berkenalan dengan baik! Akan tetapi gadis
itu tidak membutuhkan bantuan pada saat itu karena permainan pedangnya
dapat mengatasi dua orang pengeroyoknya. Yang amat membutuhkan bantuan
adalah pasukan Khitan itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia melompat
maju, menyerbu dengan cepat. Bagaikan seekor burung rajawali menyerbu
serombongan tikus saja, begitu kaki tangannya bergerak, empat orang
Hsi-hsia memekik dan roboh terguling.
Seketika berubah keadaan
perang kecil itu. Apalagi ketika hwesio-hwesio jubah merah itu memandang
dan mengenal Kiang Liong, mereka menjadi gentar sekali. Kiang Liong
terus menerjang dan dalam waktu singkat saja, belasan orang Hsi-hsia
sudah roboh terguling. Para perajurit pengawal bangsa Khitan timbul
semangat mereka melihat bala bantuan yang lihai ini. Mereka mengeluarkan
pekik kemenangan lalu menyerbu makin hebat. Orang-orang Hsi-hsia mawut,
sebagian roboh binasa, yang lain melarikan diri. Lima orang pendeta
jubah merah yang memimpin mereka, termasuk yang mengeroyok dara jelita
tadi, sudah lebih dulu melarikan diri masuk ke dalam hutan dan
berlindung kepada kegelapan malam yang mulai timbul.
“Cianbu
(Kapten), syukur kau dan pasukanmu tiba tepat pada saatnya, kalau tidak
tentu aku sudah mereka tawan!” Dara remaja itu berkata sambil
menyarungkan pedangnya, wajahnya sedikit pun tidak membayangkan
kecemasan atau kekagetan sungguhpun ia baru saja terlepas daripada
bahaya besar.
Kapten yang memimpln pasukan pengawal itu memberi
hormat dengan membungkuk dalam-dalam di depan dara itu dan meletakkan
tangan kanan di depan dada, kemudian berkata. “Rasa syukur dan terima
kasih sepatutnya diberikan kepada Kiang-kongcu ini, karena kalau
Kiang-kongcu tidak datang tepat pada saatnya, bukan hanya hamba
sepasukan akan terbasmi, juga Paduka Puteri tidak akan tertolong.”
Berkata demikian, kepala pengawal itu menunjuk ke arah Kiang Liong.
Hal ini tidak mengherankan hati Kiang Liong. Ia tahu bahwa Kerajaan
Khitan mempunyai banyak mata-mata dan tentu saja namanya sudah dikenal
baik oleh para perwira Khitan, bahkan wakil-wakil Kerajaan Khitan yang
berada di kota raja merupakan seorang di antara sahabat-sahabatnya. Ia
hanya kaget mendengar betapa dara itu disebut Paduka Puteri oleh Si
Kapten, maka ia menduga-duga siapa gerangan puteri jelita ini.
“Cianbu terlalu memuji....“ Ia berkata sambil menjura di depan dara itu yang memandangnya dengan sepasang mata bintang.
“Ah, kiranya engkau ialah Kiang-kongcu yang dikatakan murid.... Suling Emas.....?”
Di dalam hatinya Kiang Liong merasa bangga. Kenyataan bahwa dia murid
Suling Emas, tidak membanggakan hatinya kalau yang memujinya orang
biasa, akan tetapi keluar dari sepasang bibir yang indah ini....!
“Saya orang She Kiang hanya seorang bodoh dan hanya dapat sedikit mempelajari ilmu Guru saya yang mulia.” katanya merendah.
Dara itu tersenyum, pandang matanya melamun. “Sudah sering aku
mendengar dari Ayahku tentang kesaktian Paman Suling Emas. Aku pun
pernah mendengar penuturan Pangeran Mahkota tentang dirimu, juga Ayah
mengenal namamu.”
Kiang Liong memandang wajah ayu itu,
mengingat-ingat. Kemudian ia teringat akan cerita bahwa Panglima Besar
Kerajaan Khitan yang ia kenal, yaitu Panglima Kayabu yang gagah perkasa
dan pandai mengatur barisan, mempunyai seorang puteri yang cantik jelita
dan pandai ilmu silat.
“Ah, kiranya saya berhadapan dengan Puteri Mimi, puteri dari Panglima Kayabu yang terhormat?”
Puteri Mimi tersenyum, giginya berkilat putih dan indah seperti
mutiara disusun dan senyumnya seakan-akan menerangi cuaca yang sudah
mulai gelap itu. “Dugaanmu benar, Kongcu. Dan hal ini membuktikan
ketajaman matamu dan kecerdikanmu, belum pernah jumpa dapat menduga
tepat.” Kemudian puteri jelita itu memandang kepala pengawal dan
berkata.
“Cianbu, bagaimana kau dan pasukanmu dapat muncul
secara kebetulan? Ataukah memang kau sengaja mengikuti perjalananku?”
Pertanyaan terakhir ini mengandung penasaran dan kemarahan.
Kepala pengawal itu kembali memberi hormat seperti tadi, menjura
dalam-dalam, baru menjawab. Jawabannya singkat sekali dan tegas seperti
kalau ia membuat laporan kepada atasannya.
“Hamba mendapat
pelaporan rahasia dari para penyelidik bahwa Pangeran Mahkota telah
ditawan pimpinan Hsi-hsia. Hamba memimpin pasukan mengejar Paduka karena
khawatir akan terjadi hal serupa.”
“Apa....? Pangeran Talibu
tertawan....?” Puteri Mimi menjadi kaget sekali. “Mengapa orang-orang
Hsi-hsia menawan Pangeran? Dan dibawa ke mana?” Wajah puteri ini
sekarang menjadi pucat dan ia cemas sekali.
Kepala pengawal itu
menggeleng kepala. “Mengapa Pangeran ditawan belum dapat hamba ketahui,
hal itu sedang diselidiki. Dan hamba hanya tahu bahwa Pangeran ditawan
di luar kota Lok-yang, juga belum diketahui dibawa ke mana.
Orang-orang kita sedang sibuk mencari dan menyelidik, dan tentu saja
kita amat mengharapkan bantuan Kerajaan Sung....” Ia menoleh ke arah
Kiang Liong.
“Hemm, aku agaknya tahu mengapa Pangeran Talibu
ditawan orang-orang Hsi-hsia dan tentu saja kami akan membantu sekuat
tenaga untuk membebaskannya karena kejadian itu terjadi di wilayah
Kerajaan Sung.” kata Kiang Liong. “Harap Puteri beristirahat saja di
rumahku agar terjaga keamanannya, adapun Cianbu kuharap membantu
teman-teman melakukan penyelidikan. Hanya pesanku, orang-orang Hsi-hsia
dipimpin oleh Bouw Lek Couwsu dan hwesio-hwesio jubah merah, di antara
mereka banyak terdapat orang-orang pandai, maka harap jangan
tergesa-gesa turun tangan. Aku yakin bahwa orang-orang Hsi-hsia tidak
akan membunuh Pangeran Talibu.”
“Kiang-kongcu, agaknya kau banyak mengerti akan urusan ini. Sebetulnya mengapakah mereka menawan Pangeran?” tanya Puteri Mimi.
Kiang Liong tersenyum. “Tidak banyak waktu untuk bicara, Puteri. Marilah kita berangkat dan kelak kuceritakan kepadamu.”
Puteri Mimi lalu memberi perintah kepada kepala pengawal untuk memenuhi
permintaan Kiang Liong tadi. Berangkatlah pasukan itu pergi, juga Sang
Puteri lalu bersama Kiang Liong meloncat ke atas punggung dua ekor kuda
yang disediakan oleh kepala pasukan.
Karena dapat menduga
bahwa Bouw Lek Couwsu pada saat itu tentu telah mempunyai banyak kaki
tangan yang disebar sebagai mata-mata di kota raja, maka Kiang Liong
membawa Puteri Mimi memasuki kota raja lewat tengah malam. Ia sudah
dikenal oleh semua penjaga pintu gerbang, maka dapat masuk tanpa
kesukaran. Kemudian menjelang pagi ia memasuki gedung tempat tinggal
ayahnya melalui sebuah pintu rahasia yang hanya diketahui olehnya dari
belakang rumah.
Ketika pagi itu, sudah agak siang, ia bangun, ia
melihat bahwa di taman samping diadakan pesta. Ia membawa Puteri Mimi
yang bermalam di sebuah kamar tamu kepada ayah bundanya dan dengan
singkat menceritakan pengalamannya, memperkenalkan Puteri Mimi kepada
orang tuanya. Sebagai seorang pangeran, tentu saja Pangeran Kiang
menerima puteri Panglima Khitan itu dengan hormat dan ramah, juga
ibunya amat suka kepada gadis yang cantik jelita ini. Kemudian, dari
ibunya ia mendengar tentang kunjungan Suma Kiat yang mengaku putera
tunggal mendiang kakak ibunya, Suma Boan.
“Bagaimana ini, Ibu?
Mengapa secara mendadak muncul seorang keponakan Ibu? Kenapa Ibu tidak
pernah bercerita bahwa mendiang Paman Suma Boan meninggalkan seorang
putera?” Kiang Liong bertanya.
“Hemm, aku pun heran sekali
melihat Ibumu, Liong-ji (Anak Liong).” kata Pangeran Kiang dengan muka
cemberut. “Aku pun baru sekarang mendengar akan hal itu, padahal
setahuku, Pamanmu Suma Boan tidak pernah menikah dan tidak pernah punya
putera. Kalau saja kau melihat ibu pemuda itu.... hiihh, mengerikan
sekali, seperti iblis betina.”
“Ah, terlalu sekali. Tidak
sepatutnya kau mengeluarkan kata-kata seperti itu!” Suma Ceng, ibu Kiang
Liong memandang suaminya dengan pandang mata penuh teguran. “Kau
sendiri dahulu menjadi sahabat baik kakakku Suma Boan, apakah kau tidak
melihat betapa Suma Kiat ini mirip sekali dengan Kakakku dahulu? Pula,
kita pernah mendengar tentang urusannya dengan Kam Sian Eng. Memang Kam
Sian Eng mengerikan, akan tetapi.... ah, dia seorang yang berilmu
tinggi, dan tidak waras, apalagi dia masih adik tiri Suling Emas,
apakah kau masih bersangsi?”
Makin keruh wajah Pangeran Kiang.
“Huh, segala yang menyangkut nama Suling Emass selalu benar dan baik,
sebaliknya pendapatku tidak pernah ada yang benar. Sialan!”
“Eh, bukan begitu. Aku hanya bicara sebenarnya dan....“
“Sudahlah!” Pangeran Kiang membanting kaki dan meninggalkan kamar.
Kiang Liong menjadi sedih dan juga malu karena ayah bundanya bertengkar
di depan Puteri Mimi. Sungguh memalukan dan menyedihkan. Sudah
seringkali ia mendengar ayah dan ibunya bertengkar dan selalu dalam
pertengkarannya ini dibawa-bawa nama gurunya, Suling Emas. Dahulu ketika
dia diambil murid Suling Emas pun menjadi bahan percekcokan antara ayah
dan ibunya. Ia menghela napas panjang dan berkata.
“Sesungguhnya, bagaimanakah ia datang dan mau apa? Sekarang, eh,
wanita yang menjadi ibunya itu ke mana, apakah berada di sini pula?”
Suma Ceng yang biarpun usianya sudah mendekati lima puluh masih tampak
cantik dan halus itu, menarik napas panjang, memegang dan menarik
tangan Puteri Mimi menundukkan gadis itu di dekatnya sambil berkata.
“Puteri harap kaumaafkan kami yang tidak tahu sopan-santun. Tentu
membikin kau merasa tidak enak sekali.”
Mimi biarpun masih gadis
remaja, namun ia terdidik sejak kecil dan hidup di kalangan orang-orang
besar, maka ia pandai membawa diri. Ia mengelus-elus tangan nona yang
halus itu, kagum akan kecantikannya, lalu tersenyum dan berkata.
“Bibi yang baik, panggil saja aku Mimi, dan sungguh mati apa yang
terjadi dan terucapkan tadi, sekarang pun aku sudah lupa lagi.”
Suma Ceng memandang wajah yang jelita itu dengan pandang mata kagum dan
senang. Kemudian berkata, suaranya halus dan matanya sayu termenung.
"Aahhh, kau tentu dekat dengan Ratu Khitan, Mimi. Mendengar pun tidak
mengapa, karena wanita yang dibicarakan tadi, Kam Sian Eng, adalah enci
angkat ratumu di Khitan." Kemudian ia memandang putera sulungnya,
"Liong-ji, ketika pamanmu Suma Boan dahulu meninggal dunia, di luar tahu
siapapun juga ia meninggalkan Kam Sian Eng dalam keadaan mengandung.
Semenjak itu Kam Sian Eng menghilang dan beberapa hari yang lalu di
waktu malam dia muncul secara tiba-tiba di sini bersama puteranya, Suma
Kiat. Ia minta supaya aku menerima Suma Kiat tinggal untuk sementara di
sini dan memperkenalkannya kepada para pembesar di kota raja. Tentu saja
aku tidak dapat menolak permintaannya dan pagi hari ini kami
memperkenalkan Suma Kiat melalui pesta umum kepada para tamu. Ayahmu
tidak setuju, maka terpaksa Suma Kiat sendiri yang menjadi wakil dalam
pesta."
Kiang Liong menghela napas panjang. Sudah lama ia tahu
bahwa tentu ada rahasia aneh terselip dalam rumah tangga ibunya, dan di
dalam rahasia ini, gurunya memegang peran yang tidak kecil. Gurunya
sendiri belum pernah mau bertemu dengan ayah ibunya. Dan ibunya amat
sayang kepadanya, melebihi sayangnya kepada dua orang adiknya, Kiang
Sun dan Kiang Hoat. Akan tetapi ayahnya jauh lebih sayang kepada dua
orang adiknya. Rahasia apakah? Dia tidak tahu dan tidak pernah ibunya
mau bicara tentang itu. Kini adiknya Kiang Sun yang sudah berusia dua
puluh tiga tahun, sudah menikah dan bahkan tinggal jauh di selatan, di
Socouw. Adapun Kiang Hoat adiknya yang bungsu, menjadi siucai
(sastrawan)yang pandai, akan tetapi pekerjaannya sehari-hari hanya
mengejar wanita-wanita cantik dan menghambur-hamburkan uang saja.
"Kalau begitu.... Bibi Kam Sian Eng itu tidak tinggal di sini?"
"Tidak, bahkan ia datang, bicara singkat lalu pergi lagi menghilang
seperti.... seperti setan. Tidak terlalu menyalahkan Ayahmu kalau
mengatakan dia iblis betina. Memang mengerikan sekali, Liongji.
Tentang kepandaiannya, aku tidak heran karena sudah banyak kumelihat
orang-orang sakti seperti Suling.... eh, Gurumu sehingga melihat orang
berkelebat lalu lenyap bukan hal baru bagiku. Akan tetapi ia
menyembunyikan mukanya dalam kerudung hitam, pakaiannya serba putih, dan
sikapnya.... hih, menyeramkan!"
Kiang Liong tidak merasa heran
kalau adik tiri gurunya seperti itu lihai dan anehnya, hal itu tidak
mengherankan. Hemm, pemuda yang kini mewakili tuan rumah berpesta di
taman, adalah saudara misan dengannya. Dan melihat ibu pemuda itu
sakti, tentu pemuda yang bernama Suma Kiat itu lihai pula. Hal ini
menggembirakan hatinya, karena biarpun ia mempunyai dua orang adik namun
mereka itu sama sekali tidak mengerti Ilmu silat. Ayahnya lebih senang
anak-anaknya belajar ilmu surat daripada ilmu silat. Teringat akan
adiknya, ia lalu bertanya.
"Adik Hong ke mana, Ibu? Apakah ikut berpesta di samping?"
Ibunya cemberut. "Ah, bocah nakal itu, hatiku susah sekali memikirkan
dia! Seorang siucai pemogoran! Kini tergila-gila kepada anak pemilik
rumah makan di barat kota! Merengek minta dikawinkan dengan anak itu.
Anak pemilik restoran! Wah benar-benar anak itu membikin malu orang
tua!"
Kiang Liong tertawa, dan ibunya memandang marah. "Kenapa tertawa?"
"Ha-ha, Ibu benar aneh. Kalau anak pemilik restoran, mengapa sih? Kan
dia juga perempuan tulen? Kalau memang Adik Hoat mencintanya...."
"Cinta? Ah, cinta hanya awal bencana dan duka! Aku akan merasa bahagia
sekali kalau dia mencinta seorang gadis seperti.... Mimi ini...."
"Ihhh.... Bibi membikin aku malu saja!" Puteri Mimi menjauhkan diri dan tersenyum jengah.
"Ha-ha-ha! Ibu tidak usah marah-marah, maafkan kalau pendapat saya,
keliru." Kiang Liong berlutut dan memeluk kedua kaki ibunya dengan
sikap manja. Ibunya menundukkan muka dan mengelus kepala puteranya.
Puteranya ini menjadi buah hatinya, putera inilah keturunan dari pria
yang dicintanya, putera Suling Emas!
"Sudahlah, kau sendiri terlalu nakal, sudah begini tua tidak juga mau menikah."
"Sabar dulu, Ibu. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan. Apalagi
sekarang, aku harus cepat-cepat menghadap Kaisar untuk menyampaikan
hasil penyelidikanku, bahkan harus cepat-cepat bertindak untuk
menyelamatkan kerajaan, juga untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan yang
kini tertawan orang-orang Hsi-hsia."
Seketika wanita itu
menjadi serius. "Aihhh, ada urusan begini besar mengapa kau tadi bicara
tentang urusan pribadi saja? Liong-ji, cukuplah tentang urusan kita
sendiri, kau harus lekas menghadap kaisar dan selesaikan urusan penting
itu."
Pada saat itulah terdengar suara ribut-ribut di samping
gedung, dari arah taman di mana sedang berlangsung pesta. mendengar ini,
Kiang Liong lalu melompat dan melangkah keluar, diikuti Puteri Mimi
yang juga ingin mengetahui apa yang terjadi di sana.
Demikianlah, seperti telah kita ketahui di bagian depan cerita ini,
ketika Kiang Liong tiba di taman dan menyaksikan keributan yang
terjadi, ia menegur dengan suara penuh wibawa.
"Hemmm, apakah yang terjadi di sini?"
"Kiang-kongcu datang....!" Seruan ini keluar dari mulut beberapa orang
sekaligus dan semua mata kini memandang ke arah Kiang Liong. Dengan
pandang matanya yang tajam Kiang Liong menyapu wajah orang-orang yang
kelihatan menimbulkan keributan. Tertegun hatinya ketika ia mengenal
Mutiara Hitam, juga ia dapat menduga bahwa pengemis muda bertopi itu
tentulah ketua baru Khong-sim Kai-pang yang sudah banyak didengarnya.
Melihat pemuda itu, teringatlah ia akan Song Goat dan timbul rasa tidak
senang di hatinya, apalagi melihat munculnya pengemis muda itu bersama
Mutiara Hitam! Hatinya makin sebal melihat seorang pemuda berpakaian
serba mewah yang ia dapat menduga tentulah saudara misannya, akan tetapi
ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang penuh perhatian.
Suma Kiat adalah seorang yang wataknya aneh, namun harus diakui bahwa
di balik keanehannya, ia memiliki kecerdikan luar biasa. Mendengar
seruan orang-orang itu, ia segera menghadapi Kiang Liong dan menarik
muka semanis-manisnya, menjura dengan penuh hormat sambil berkata.
"Kiang-piauw-heng (Kakak Misan Kiang), aku adikmu Suma Kiat mohon maaf
sebesarnya bahwa aku tidak dapat mencegah kekacauan dalam pesta ini yang
ditimbulkan oleh jembel busuk ini!" Setelah berkata demikian, ia
kembali menggunakan tangan kanan menutupi luka di pundak kirinya.
Kiang Liong hanya mengangguk kepada Suma Kiat sebagai balasan, lalu
bertanya, suaranya tetap tenang. "Siapakah yang mengacau dan apa
sebabnya?"
Dengan muka seperti hendak menangis Suma Kiat lalu
menunjuk Yu Siang Ki dan berkata. "Jembel busuk inilah yang mengacau.
Dia berani menghina tamu-tamu kita, tamu wanita lagi. Aku tentu sudah
dapat memukul mampus padanya kalau saja Sumoiku ini tidak mencampuri dan
melukai pundakku!"
Kiang Liong tertegun dan merasa amat heran,
akan tetapi hanya di dalam hatinya saja. Sungguh tak
disangka-sangkanya. Mutiara Hitam ini sumoi dari Suma Kiat? Murid
wanita aneh bernama Kam Sian Eng yang menurut ibunya tadi masih adik
tiri gurunya sendiri? Jadi kalau begitu Mutiara Hitam ini bukan orang
lain, masih terhitung adik seperguruan dengannya. Ia menjadi bingung
dan sejenak kesima tak dapat berkata. Kemudian ia memandang Yu Siang Ki,
pandang matanya penuh selidik dan ia harus mengaku bahwa pemuda tampan
yang berpakaian penuh tambalan ini memiliki wibawa besar dan sinar mata
tajam juga. Pemuda bertopi lebar itu amat tenang, membayangkan keagungan
seorang ketua. Ia lalu teringat bahwa ia sebagai tuan rumah, maka ia
segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat. Gerakan ini
membuat wajah Yu Siang Ki berseri sedikit, kemudian ia pun balas
menghormat.
"Pesta kecil ini diadakan untuk menyambut
kedatangan Adik misanku ini, dan siapa pun yang suka boleh datang. Saya
rasa para pelayan kami sudah cukup terlatih untuk menyambut setiap orang
tamu sebagaimana mestinya. Akan tetapi, belum pernah terjadi ada tamu
menghina tamu lain, apalagi tamu-tamu wanita. Sungguh hal yang amat
tidak patut dan mengecewakan. Harap saja sobat sudi memberi penjelasan."
Sebelum Yu Siang Ki sempat menjawab, lima orang wanita yang tadi
dikalahkan Siang Ki sudah berebut maju dan seorang di antara mereka
berkata, "Mula-mula adalah Si Bocah Iblis ini yang menghina kami,
Kiang-kongcu. Tanpa sebab ia membalikkan meja dan menyiram kami dengan
kuwah panas. Kemudian setelah kami dapat menahan diri karena ternyata
dia sumoi dari Suma-kongcu, Si Jembel busuk ini bikin gara-gara dan
menyerang kami!"
Kiang Liong menoleh kepada mereka dan tersenyum
masam. Ia tentu saja mengenal mereka, gadis yang cantik dan dan genit
ini yang selalu mengejar-ngejarnya, dan tahu pula bahwa orang-orang
seperti mereka ini hanya tepat dijadikan teman bersenang-senang, namun
tidak boleh didengar omongannya dalam urusan besar.
"Harap
kalian pergilah agar tidak menambah keruh suasana. Aku akan membereskan
urusan ini. Pergilah!" Suara dan pandang mata Kiang Liong membuat lima
orang wanita itu mundur dan dengan bersungut-sungut mereka lalu pergi
dari dalam taman itu, bersumpah untuk membalas dendam kepada Kwi Lan dan
Siang Ki.
Kiang Liong kembali menghadapi Siang Ki. "Nah, sobat,
bagaimana penjelasanmu? Kuulangi lagi bahwa sebagai seorang tamu,
adalah amat tidak pantas melakukan pengacauan dan menghina tamu-tamu
lain."
"Kiang-kongcu, sudah amat lama saya mendengar nama besar
Kiang-kongcu sebagai seorang Enghiong (pendekar) yang gagah. Akan tetapi
keadaan dalam pesta ini benar-benar membuat hati saya kecewa. Terus
terang saja, lima orang wanita itu bukanlah manusia-manusia yang patut
menjadi tamu Kiang-kongcu. Saya telah turun tangan menghajar mereka,
kalau hal ini dianggap salah, saya bersedia menerima
pertanggungan-jawabnya."
Diam-diam Kiang Liong kagum mendengar
jawaban itu. Jawaban yang sederhana namun sekaligus menonjolkan sifat
gagah pemuda itu yang tidak suka menceritakan peristiwa itu untuk
membela diri sendiri dengan jalan menyalahkan orang lain. Juga
membayangkan keangkuhan seorang ketua perkumpulan pengemis yang
mengaku telah menghajar orang dan kalau dianggap salah, suka menerima
pertanggunganjawabnya! Namun jawaban ini pun mengandung tantangan
terhadap dirinya sebagai tuan rumah. Kiang Liong seorang laki-laki
sejati, betapapun juga Suma Kiat adalah adik misannya dan kini adiknya
itu terluka, Si Pembuat Onar berdiri di depannya menantang!
"Hemm, sombong sekali! Sobat, kau hendak mempertanggungjawabkan
perbuatanmu berarti kau menantang aku sebagai tuan rumah. Marilah kita
selesaikan urusan ini secara laki-laki!" Pandang mata Kiang Liong tajam
menusuk.
Yu Siang Ki berdiri tegak, keningnya berkerut dan ia
menjawab dengan lantang dan gagah. "Aku Yu Siang Ki sebagai seorang
gagah mengenal kegagahan, menjunjung tinggi persahabatan dan tahu mana
baik mana buruk. Sebagai Ketua Khong-sim Kai-pang harus mempertahankan
nama. Sudah lama mendengar akan kegagahan Kiang-kongcu sebagai murid
pendekar sakti Kim-siauw-eng (Suling Emas), maka kalau Kongcu
menantangku untuk mengadu kepandaian aku orang she Yu tentu saja tidak
berani berlaku kurang ajar dan ceroboh, membentur Gunung Thai-san.
Akan tetapi, kalau Kiang-kongcu bertindak sebagai pembela lima orang
wanita tadi, berarti Kongcu membela yang sesat dan aku siap untuk
menerima pelajaran dari Kiang-kongcu!"
Dua orang muda yang sama
tinggi, sama tampan dan gagah itu kini berdiri saling berhadapan, wajah
mereka serius, pandang mata berkilat, siap untuk bertanding seperti
dua ekor ayam jantan berlagak. Semua tamu menjadi tegang, apalagi
setelah mendengar bahwa jembel muda itu adalah Ketua Khong-sim Kai-pang
yang baru! Mereka mengharapkan untuk menonton sebuah pertandingan yang
hebat antara dua orang jago muda yang berilmu tinggi.
"Piauw-heng, untuk memukul seekor anjing kotor, perlu apa menggunakan
tongkat besar? Harap Piauw-heng jangan mencapaikan diri, untuk membikin
mampus anjing ini, adikmu ini masih cukup kuat. Tadi pun kalau tidak
dihalangi Sumoi, anjing ini sudah kuhajar sampai mampus!" kata Suma Kiat
berlagak sambil memegangi pundaknya yang masih mengucurkan darah.
"Kiang-kongcu, maafkan kalau aku mencampuri urusan yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku, tiba-tiba Puteri Mimi menghampiri Kiang
Liong dan menyentuh pundaknya. Sejak tadi puteri ini mendengar dan
melihat dengan penuh perhatian, ia amat kagum menyaksikan sikap Yu Siang
Ki, juga amat heran dan kagum melihat Kwi Lan yang cantik jelita dan
gagah. Mendengar ucapan Siang Ki tadi, puteri ini pun kagum dan dapat
menghargai kegagahan orang muda yang ia anggap menyamar dalam pakaian
jembel itu.
Melihat majunya Puteri Mimi, terpaksa Kiang Liong
mengalihkan perhatiannya dan menoleh. Ia melihat betapa dua pipi yang
halus itu kemerahan mata yang jeli itu bersinar-sinar dan diam-diam ia
menjadi kagum. "Ada petunjuk apakah, Puteri?" Kini semua orang
memperhatikan Mimi karena dandannya, kecantikannya, dan suaranya yang
asing namun sedap didengar.
"Kiang-kongcu, mereka yang
ribut-ribut semua adalah tamu. Keributan yang terjadi di antara tamu
tentu ada sebabnya. Tanpa menyelidiki sebabnya lalu berpihak, amat
tidak bijaksana. Sebagai tuan rumah, sebaiknya bersikap adil dan
menyelidiki lebih dulu apa sebab keributan, baru mengambil keputusan
yang bijaksana dan adil. Menurutkan hati panas melupakan pertimbangan
pikiran akan menimbulkan penyesalan yang sudah terlambat. Harap
Kiang-kongcu mendahulukan kesadaran."
Tidak hanya Kiang-liong
dan Yu Siang Ki yang menjadi heran dan kagum sekali, juga semua orang
yang mendengar ini tercengang. Amat sukar diharapkan ucapan seperti itu
keluar dari sepasang bibir mungil dari seorang dara remaja seperti
Puteri Mimi.
Kalau semua mata memandang kagum kepada Putera
Mimi, sebaiknya Kwi Lan yang sejak tadi sudah amat marah, kini tak dapat
menahan kegemasan hatinya. Ia melangkah maju, pedang di tangan kanan,
berdiri di depan Yu Siang Ki membelakangi pemuda ini, menghadapi Kiang
Liong, sikap dan pandang matanya penuh tantangan! Suaranya nyaring
tinggi menyambar telinga semua orang, langsung menusuk jantung mereka
dengan kata-kata yang tajam.
"Orang she Kiang! Apakah karena
engkau menjadi murid Suling Emas engkau lalu boleh berlagak sombong
seperti seorang pangeran dari langit? Kalau segala macam urusan kecil
hendak dibereskan secara begini sukar olehmu, apalagi urusan besar!
Ketahuilah dan dengar baik-baik. Yang menghina lima orang pelacur tadi
adalah aku, Mutiara Hitam! Yang melukai adik misanmu ini adalah aku
pula, Mutiara Hitam! Yu Siang Ki ini hanya turun tangan karena
perempuan-perempuan rendah tadi menghinaku. Akan tetapi yang menjadi
biang keladi adalah aku. Kalau kau mau berlagak seperti hakim dan
memberi hukuman, hayo hukumlah aku. Mutiara Hitam berani berbuat
berani bertanggung jawab! Orang she Kiang, aku mendengar bahwa Suling
Emas seorang pendekar besar dan patriot, akan tetapi muridnya mengapa
mengumpulkan kaum pemberontak? Hayo majulah kau boleh mengandalkan
kedudukan dan nama Gurumu, akan tetapi jangan kira aku takut!"
Wajah semua orang menjadi pucat. Mereka yang memang mempunyai
persekutuan untuk membantu gerakan bangsa Hsi-hsia, menjadi pucat
karena khawatir, sebaliknya yang tidak tahu apa-apa, menjadi pucat
karena ucapan yang keluar dari mulut gadis ini benar-benar merupakan
penghinaan hebat!
"Kwi Lan, apakah kau sudah menjadi gila?
Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan tidak karuan?" Yu Siang Ki
menegurnya, wajah pemuda ini pun menjadi pucat. Ia maklum bahwa kali
ini gadis liar ini telah membuat onar dan kekacauan hebat sekali. Akan
tetapi yang ditegur sama sekali tidak mempedulikannya, bahkan sinar
matanya seakan-akan mengejek dan berkata. "Jangan turut campur!"
Wajah Kiang Liong sebentar merah sebentar pucat. Hebat penghinaan ini!
Kalau diucapkan tidak di tempat umum, masih belum hebat dan mungkin ia
dapat menerimanya sambil tersenyum. Akan tetapi ucapan yang amat
menghinanya itu diucapkan di depan banyak tamu. Suaranya agak gemetar
karena menahan amarah ketika ia bertanya.
"Mutiara Hitam,
sungguh lancang mulutmu!" Kalau engkau masih Sumoi dari adik misanku
Suma Kiat berarti kau bukan orang lain, akan tetapi mengapa kau berani
bersikap begini kurang ajar? Kau menuduh dan memfitnah yang
bukan-bukan. Siapa mengumpulkan kaum pemberontak? Apa maksudmu?"
Kwi Lan, tersenyum mengejek. Cuping hidungnya yang tipis
berkembang-kempis. "Masih berpura-pura lagi? Apa kau menghendaki aku
menelanjangi kedokmu dan menunjuk tokoh pemberontak?"
Sepasang
mata Kiang Liong mengeluarkan sinar berkilat. Sudah gatal-gatal
tangannya untuk menerjang maju, menghajar gadis yang liar ini. Akan
tetapi ia masih dapat menekan hatinya dan membentak, "Boleh! Coba
hendak kulihat siapa orangnya!"
"Kaulihat baik-baik!" Kwi Lan
yang masih memegang pedang itu menyapu taman dengan pandang matanya
kemudian melangkah dan menghampiri meja di mana duduk tiga orang hwesio.
"Sumoi.... jangan....!" Suma Kiat berseru.
Akan tetapi dengan langkah lebar, Kwi Lan sudah tiba di depan meja tiga
orang hwesio itu dan sekali tendang, meja itu mencelat dan menimpa tiga
orang hwesio tadi.
"Brakkk....!" Hwesio kurus berjubah kuning
itu dengan tangan kirinya menyampok dan meja itu pecah. Sambil
menghantam hwesio itu meloncat dan berdiri tegak memandang Kwi Lan.
"Omitohud, apakah Nona ini menjadi gila?"
Kwi Lan tertawa, menuding dengan pedangnya. "Apakah engkau yang bernama Cheng Kong Hosiang?"
"Sumoi, jangan....!" Kembali Suma Kiat berseru.
Cheng Kong Hosiang menjadi beringas pandang matanya. Kakek ini
mencium bahaya, akan tetapi ia memandang rendah gadis ini. Ia seorang
yang memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi
seorang gadis remaja.
"Pinceng benar Cheng Kong Hosiang, Nona mau apa dan...."
Belum habis ucapannya, tubuh Kwi Lan menerjang maju. Dua orang hwesio
tinggi besar yang duduk di kanan kiri Cheng Kong Hosiang adalah
murid-murid hwesio tua ini, mereka pun pandai ilmu silat dan, melihat
gadis itu sudah menerjang maju, mereka segera menyambut dari kanan kiri
bersenjatakan tongkat. "Trang-trang.... wuuut-wuuut, aduhhh....!"
Cepat luar biasa gerakan Kwi Lan. Dengan pedang Siang-bhok-kiam di
tangan kanan, ia menangkis dan menempel dua tongkat itu sehingga tak
dapat ditarik kembali, kemudian dengan gerakan memutar amat kuat, ia
membuat dua batang tongkat ikut berputaran sampai terlepas dari tangan
pemegangnya, kemudian secara mendadak tangan Kwi Lan bergerak, dua kali
memukul dan robohlah dua orang hwesio itu dengan tulang pundak
patah-patah!
Cheng Kong Hosiang sudah menyambar tongkatnya yang
panjang dan berat, namun gerakan Kwi Lan lebih cepat daripadanya. Tubuh
gadis ini seperti lenyap, berubah menjadi bayangan yang didahului
sinar pedang kehijauan.
"Sumoi, tahan....!" Kembali terdengar
suara Suma Kiat yang sudah dekat di belakangnya. Melihat sumoinya nekat
dan hendak membuka rahasia hwesio itu, Suma Kiat marah sekali dan
mengirim pukulan maut dari belakang. Pukulan ini adalah pukulan jarak
jauh yang mengandung hawa beracun dan betapa pun lihainya Kwi Lan,
kaarena ia menujukan perhatiannya kepada hwesio di depannya, agaknya
sukar baginya untuk menghindarkan diri dari pukulan maut suhengnya.
Dan kalau pukulan itu sampai mengenai lambungnya, sukar pula nyawanya dapat ditolong!
"Dukk....!"
Suma Kiat terhuyung ke belakang, mulutnya menyeringai menahan nyeri,
seluruh lengan kanannya terasa lumpuh dan dadanya sesak. Bukan karena
tangkisan Kiang Liong, melainkan karena hawa pukulannya sendiri
membalik ketika pukulannya tadi tertahan oleh lengan Kiang Liong.
Melihat betapa adik misannya mengirim pukulan dari belakang seganas
dan sekeji itu, Kiang Liong sudah cepat bergerak menangkis. Diam-diam
pemuda ini menjadi makin tidak senang kepada adik misannya. Terhadap
seorang sumoi saja sudah dapat bersikap sekeji dan securang itu.
Andaikata Mutiara Hitam ini benar bersalah dalam hal keributan ini
sekalipun, ia tetap tidak akan membiarkan adik misannya atau orang lain
merobohkannya secara curang. Sinar matanya yang amat tajam membuat Suma
Kiat tak berani membuka mulut, kemudian mereka berdua, seperti juga
semua orang, kembali menonton pertandingan antara Mutiara Hitam dan
Cheng Kong Hosiang.
Yu Siang Ki juga menyaksikan peristiwa yang
terjadi amat cepatnya itu dan ia makin tidak mengerti akan sikap Kiang
Liong. Tadi memperlihatkan sikap bermusuhan, akan tetapi sekarang
melindungi Mutiara Hitam. Dan Kwi Lan mengapa bersikap seperti itu? Ia
merasa dihadapkan sebuah teka-teki. Benarkah apa yang dituduhkan gadis
itu? Bahwa Kiang Liong bersekongkol dengan para pemberontak? Ah, rasanya
tidak mungkin. Dan siapakah hwesio bernama Cheng Kong Hosiang yang
diserang Kwi Lan? Ia memandang penuh perhatian, siap untuk membantu Kwi
Lan apabila gadis itu terancam bahaya.
Hwesio kurus itu memang
lihai sekali. Tongkatnya terbuat daripada baja kebiruan yang kuat dan
berat, sedangkan ilmu tongkatnya juga luar biasa kuatnya. Tongkat di
tangannya diputar cepat sehingga lenyap bentuknya, berubah menjadi
gulungan sinar biru yang menyilaukan mata. Kwi Lan sendiri sudah lenyap
bayangannya, tergulung oleh sinar pedangnya yang kehijauan. Namun
pertahanan hwesio tua itu benar amat tangguh. Ke manapun juga sinar
pedangnya menyerang, selalu dapat ditangkisnya dengan tongkat sehingga
pertandingan itu menjadi makin seru dan sengit. Belasan serangan
hwesio itu juga tak pernah berhasil karena gerakan Kwi Lan amat gesit.
"Trang! Trang....!" Dua kali tongkat dan pedang bertemu dan kedua orang
yang bertanding seru itu mencelat mundur sampai tiga meter lebih.
Tahan!" seru Cheng Kong Hosiang, menghapus peluh di dahinya dengan
ujung baju lengan kiri, sikapnya bengis. "Nona, pinceng adalah tamu
Kiang-kongcu dan pinceng cukup menghormat tuan rumah, tidak sudi
mengacau di dalam taman ini. Kalau kau tidak memandang mata kepada
Kiang-kongcu dan tetap hendak menantang pinceng, bukan di sini
tempatnya!"
Kwi Lan tersenyum mengejek. "Wah, kau tua bangka
gundul benar pandai mencari muka kepada tuan rumah yang menjadi
sekutumu! Eh, Cheng Kong Hosiang, apa kaukira aku tidak mengerti akan
rahasia busukmu? Engkau adalah utusan Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa
Hsi-hsia. Engkau bertugas mengadakan persekutuan busuk dengan kaum
pengkhianat dan pemberontak di kota raja. Sebagian besar bangsawan dan
pembesar yang hadir di sini...."
"Trang-trang....!" Tongkat itu
menyambar hebat dan Kwi Lan yang menangkis dua buah serangan itu
sampai merasa tergetarpundaknya. Ia menjadi marah dan menggerakkan
pedangnya membalas serangan lawan. Kedua orang itu kembali sudah
bertanding secara hebat.
Berubah wajah Siang Ki mendengar
ucapan Kwi Lan tadi. Ah, kiranya gadis itu sudah bertindak dengan dasar
yang demikian penting. Betulkah apa yang diucapkan gadis itu? Ia melirik
kepada para tokoh pengemis dan mereka bersiap-siap. Sementara itu,
para pembesar yang mendengar ucapan Kwi Lan, menjadi pucat wajahnya dan
bangkitlah mereka, kemudian secara tergesa-gesa dan diam-diam mereka
bergerak hendak pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.
"Berhenti! Semua tidak boleh, meninggalkan tempat ini!" bentak Kiang
Liong yang cepat memberi isyarat kepada penjaga, kemudian membisikkan
perintah agar Si Penjaga cepat pergi mengundang komandan pengawal istana
dan pasukannya. Ia sendiri menjaga di pintu dan menonton pertempuran
dengan hati tegang. Sejak tadi ia sudah merasa heran melihat betapa
hwesio tua itu amat lihai serta memiliki ilmu silat yang didasari
gerakan kaki pat-kwa, persis seperti ilmu silat Bouw Lek Couwsu yang
lihai. Kini mendengar ucapan Kwi Lan, kecurigaannya makin hebat.
Tuduhan gadis itu bukan hal yang tidak boleh jadi, mengingat betapa Bouw
Lek Couwsu berniat keras untuk menghubungi para pembesar khianat.
Kwi Lan maklum bahwa ia telah membongkar rahasia besar dan tentu saja
hwesio ini akan berusaha keras untuk membunuhnya. Bahkan mungkin kaki
tangan hwesio ini termasuk suhengnya akan mencelakakannya. Akan tetapi
hatinya agak lega melihat betapa tadi pukulan suhengnya digagalkan
oleh Kiang Liong. Kalau sampai terjadi pertempuran besar, yang ia
khawatirkan hanya Kiang Liong yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian
yang jauh lebih tinggi daripadanya. Maka melihat sikap Kiang Liong tadi,
hatinya lega, pula dugaannya bahwa Kiang Liong ikut pula berkhianat,
kini menipis. Ia harus dapat menghalau hwesio ini lebih dulu, pikirnya.
Akan tetapi tidaklah mudah mengalahkan hwesio ini yang sesungguhnya
adalah murid kepala Bouw Lek Couwsu sendiri.
Kwi Lan menjadi
penasaran. Pertahanan hwesio itu benar amat kuat, sukar ditembusi
pedangnya. Ia harus menggunakan akal. Dalam satu dua detik saja ia
sudah mendapatkan akal ini. Kalau lawannya yang merupakan seorang
berilmu dan sudah memiliki pengalaman matang dalam
pertandingan-pertandingan itu dibiarkan terus mempertahankan diri
agaknya dalam waktu selama seratus jurus belum tentu ia akan bisa
mendapatkan kemenangan. Jalan satu-satunya hanya memancing agar kakek
itu menyerang, karena pertahanan seseorang sudah pasti akan menjadi
lebih lemah jika dipergunakan untuk menyerang. Artinya setiap serangan
membuka lowongan atau kelemahan dalam pertahanan.
Tiba-tiba Kwi
Lan menusukkan pedangnya ke arah dada lawan. Sengaja ia membuat
gerakannya itu agak miring dengan kedudukan kaki yang tidak cukup kuat.
Tongkat lawan menangkis dan Kwi Lan berseru keras dan kaget, pedangnya
terlepas dari pegangan! Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget pula,
bahkan Suma Kiat juga mengeluarkan seruan, akan tetapi seruan girang. Ia
maklum bahwa betapa pun lihainya, Cheng Kong Hosiang akhirnya tidak
akan dapat menandingi kehebatan sumoinya dan tentu akan roboh. Kini
melihat berobahnya jalannya pertandingan, diam-diam ia merasa girang.
Ia mencinta sumoinya, akan tetapi kalau sumoinya menghalang jalan menuju
tercapainya cita-citanya, ia tidak segan-segan bergembira melihat
sumoinya terancam bahaya maut! Hanya Kiang Liong yang tetap tenang,
berdiri tegak matanya tak pernah berkedip memandang jalannya
pertandingan. Pemuda ini sudah terlalu hebat digembleng oleh Suling Emas
untuk tidak melihat dasar gerakan Kwi Lan itu.
Akan tetapi
Cheng Kong Hosiang yang melihat pedang lawannya terlepas, tidak
memikirkan lagi kemungkinan lain. Dalam detik itu, kemenangan sudah
terbayang olehnya. Gadis ini harus dibunuh karena terlalu berbahaya.
Tongkatnya berkelebat dalam serangannya, menghantam ke arah kepala Kwi
Lan. Gadis ini miringkan tubuh menundukkan kepala, sengaja membiarkan
ujung tongkat menyerempet pundaknya!
Di dalam hatinya, Kiang
Liong tertegun. Memang siasat ini hebat, akan tetapi terlalu
berbahaya. Gadis ini bukan main, memiliki ketabahan yang sukar dicari
tandingnya. Meleset sedikit saja perhitungannya, terlambat seperempat
detik saja gerakannya, kepalanya akan hancur dipukul tongkat. Namun, Kwi
Lan selain tabah juga tenang dan cerdik, perhitungannya takkan
meleset. Pada saat ia merasa pundak kanannya nyeri diserempet ujung
tongkat, tangan kirinya sudah menghantam ke depan. Itulah pukulan
Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
"Auuuggghhh....!" Pukulan
itu agaknya tidak terlalu keras, akan tetapi tubuh Cheng Kong Hosiang
terpelanting ke belakang, dan kakek ini bergulingan dan
menggeliat-geliat kesakitan karena seluruh isi perutnya seperti
ditusuk-tusuk.
"Sumoi, kau terlalu....!" Suma Kiat lari
menghampiri Kwi Lan yang sudah siap sedia melawan suhengnya, akan
tetapi pemuda itu sama sekali tidak menyerangnya, melainkan berlutut di
dekat tubuh Cheng Kong Hosiang yang masih menggeliat-geliat. "Lo-suhu,
bagian mana yang terasa sakit? Coba kuperiksanya....!" Pemuda ini meraba
dada, meraba perut dan pendeta tua itu tidak merintih lagi, bahkan
tidak bergerak lagi.
"Piauw-te (Adik Misan), minggirlah!" Kiang Liong membentak Suma Kiat.
Pemuda ini hendak memeriksa dan memaksa hwesio itu membuka rahasia,
akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia memeriksa, Cheng Kong Hosiang
ternyata sudah tak bernyawa lagi. Ia bangkit berdiri, dan menatap wajah
adik misannya dengan pandang mata tajam menusuk akan tetapi Suma Kiat
hanya menyeringai saja.
Pada saat itu, terdengar hiruk-pikuk di
luar taman dan masuklah seorang komandan berpakaian gagah memimpin
sepasukan pengawal sendiri dari tiga losin orang. Komandan itu segera
melangkah lebar menghampiri Kiang Liong, sedangkan para anak buahnya
dengan rapi menjaga di pintu keluar.
"Hemm, tidak ada perlunya
kita berada di sini lebih lama lagi. Siang Ki, mari kita pergi!" kata
Kwi Lan yang sudah menyimpan pedangnya.
Yu Siang Ki mengangguk.
Memang ia ingin sekali bicara dengan Kwi Lan mengenai tuduhan yang
dilontarkan oleh gadis tadi. Para tokoh kai-pang yang berada di sini
ikut bergerak. Komandan pengawal menghadang dan memandang kepada Kiang
Liong dengan pandang mata bertanya, menanti perintah. Akan tetapi Kiang
Liong berkata halus, "Biarkan mereka pergi!"
Yu Siang Ki
merasa sungkan juga mendengar ucapan Kiang Liong ini. Ia merangkap kedua
tangan di depan dada lalu menjura kepada Kiang Liong sambil berkata.
"Kiang-kongcu, maafkan kelakuan saya tadi."
"Hemm, tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalau kau ingin minta maaf,
pergilah ke lereng Bukit Cin-lin-san, di Kuil Pek-lian-si. Di sana ada
seorang calon nikouw yang akan mempertimbangkan apakah kau dapat
dimaafkan atau tidak." Setelah berkata demikian, Kiang Liong membalikkan
tubuh, tidak mempedulikan lagi kepada Ketua Khong-sim Kai-pang ini. Yu
Siang Ki tercengang, tidak mengerti, akan tetapi karena Kiang Liong
sudah membelakanginya dan bercakap-cakap dengan komandan pengawal, dan
karena Kwi Lan sudah menarik tangannya, terpaksa ia mengikuti gadis itu
keluar dari taman bersama para tokoh pengemis.
"Kwi Lan, apakah artinya semua ucapanmu tentang persekutuan...."
"Ssst, diam dan mari kita keluar kota raja. Ada pekerjaan penting untuk
kita. Kita harus pergi menolong Pangeran Mahkota Khitan yang tertawan
oleh Bouw Lek Couwsu!"
"Apa....? Bagaimana? Di mana?"
"Sstt, mari ikut saja, nanti kujelaskan."
"Mengapa kau tergesa-gesa seperti orang ketakutan?"
"Hemm, kau benar cerewet. Aku memang takut!"
"Takut siapa?"
"Bodoh, Guruku tentu. Kalau dia datang aku takkan terlepas dari kematian dan Pangeran Mahkota Khitan takkan tertolong."
"Ah, Gurumu marah karena kau membunuh hwesio itu?"
Kwi Lan menghentikan larinya memandang pemuda itu dan membanting kaki.
"Siang Ki, kau benar cerewet! Dan bodoh. Hwesio itu dibunuh Suheng, apa
kau tidak tahu? Suheng bersekutu dengan hwesio itu dan para pembesar
Sung yang khianat. Ini bukan urusanku, yang penting aku harus
menyelamatkan Putera Mahkota Khitan. Kau mau membantuku? Baik, sekarang
lebih baik kaukumpulkan rekan-rekanmu yang memiliki kepandaian,
kemudian menyusulku pergi ke lembah Sungai Kuning di sebelah barat
Lok-yang, di kaki Gunung Fu-niu-san. Di sanalah markas Bouw Lek Couwsu
dan barisan mata-matanya, dan di sana Pangeran Mahkota ditawan. Nah,
sampai jumpa di sarang musuh!" Kwi Lan lalu melompat dan lari
meninggalkan Siang Ki dan kawan-kawannya yang berdiri melongo saking
kaget dan herannya. Mendengar penuturan Kwi Lan ini, ia teringat akan
pesan Kiang-kongcu dan tiba-tiba wajahnya berobah. Seorang calon
nikouw? Yang akan mempertimbangkan permintaan maafnya? Ah, tentu saja.
Siapa lagi kalau bukan Nona Song Goat yang dimaksudkan oleh
Kiang-kongcu. Tunangannya itu, dalam keadaan sakit hati dan merasa
terhina, tentu mengambil keputusan untuk menjadi seorang nikouw! Dan
agaknya Kiang-kongcu pernah berjumpa dengan Song Goat maka memberi pesan
seperti itu. Akan tetapi, urusan yang. dikemukakan Kwi Lan amat besar.
Biarpun ia tidak peduli tentang nasib Pangeran Khitan, akan tetapi
kalau Kwi Lan seorang diri menyerbu ke sana, hal ini amat berbahaya bagi
gadis itu. Dia harus menyusul dan membawa pasukan pengemis yang cukup
kuat.
"Mari kita kumpulkan teman-teman!" katanya dan
barangkatlah mereka mempersiapkan pasukan pengemis yang kuat. Mereka
mengumpulkan teman-teman ini dari kota raja dan Lok-yang. Setelah
lengkap, Siang Ki memimpin tiga puluh orang tokoh kai-pang, dengan
berpencar agar tidak menarik perhatian, berangkat menuju ke tempat yang
ditunjuk oleh Kwi Lan.
***
Semua tamu yang hadir dalam
pesta penyambutan Suma Kiat, digiring oleh pasukan pengawal istana.
Setelah diperiksa, ditanya seorang demi seorang, mereka itu tidak ada
yang mengaku kenal dengan Cheng Kong Hosiang. Bahkan semua menyatakan
tidak mengenal Suma Kiat, dan hanya datang hadir karena mengingat
Pangeran Kiang dan terutama sekali mengingat nama Kiang-kongcu!
Diam-diam Kiang Liong berunding dengan pembesar yang berwenang, lalu
membebaskan mereka semua, akan tetapi semenjak saat itu, gerak-gerik
semua pembesar ini selalu diawasi. Kemudian Kiang Liong menghadap Kaisar
dan menceritakan pengalamannya dalam penyelidikan gerakan orang-orang
Hsi-hsia. Kaisar menerima laporan ini dengan sabar, kemudian
menjatuhkan perintah kepada semua panglimanya agar berusaha keras
mencegah pecahnya perang.
"Betapa pun kecilnya, perang tetap
merupakan malapetaka bagi rakyat. Oleh karena itu, sedapat mungkin harus
dihindarkan. Hubungilah bangsa Hsi-hsia dan selidiki apa kehendak
mereka. Kalau hanya harta benda yang mereka kehendaki, kami lebih suka
mengorbankan sebagian harta benda daripada mendatangkan malapetaka
bagi rakyat!"
Perintah kaisar inilah yang kelak mencelakakan
Kerajaan Sung sendiri. Karena perintah semacam ini yang sering kali
dikeluarkan oleh Kaisar yang suka damai dan anti perang ini, kedudukan
Kerajaan Sung menjadi makin lemah sehingga akhirnya tidak kuat bertahan
ketika malapetaka tiba. Perintah ini pula yang membuat bangsa Hsi-hsia
yang tidak berapa besar itu menjadi makin kuat dan kelak merupakan
ancaman yang sama besarnya dengan bangsa Khitan!
Kiang Liong
kecewa sekali mendengar perintah ini. Namun tentu saja tak seorang di
antara para panglima berani membangkang. Dengan hati gelisah Kiang Liong
kembali ke rumah orang tuanya. Bagaimana caranya untuk menolong
Pangeran Mahkota Khitan kalau kaisar melarang dipergunakannya kekerasan
terhadap orang-orang Hsi-hsia? Dan dimanakah adanya Pangeran Khitan
yang tertawan itu? Ia teringat akan peristiwa di dalam taman. Melihat
betapa Suma Kiat diam-diam membunuh Cheng Kong Hosiang dan melihat pula
sikap Suma Kiat ketika Mutiara Hitam menghamburkan dakwaan-dakwaan yang
hebat itu.
Malam itu ia mengajak Suma Kiat ke kamarnya,
mengunci pintu kamarnya dan dengan wajah bengis ia berkata, "Nah,
sekarang kau harus menceritakan semua rahasiamu, Piauw-te!"
Suma
Kiat memandang kakak misan ini, menyeringai dan duduk di atas kursi,
tanpa berkata sesuatu ia menuangkan arak yang tersedia di meja ke dalam
sebuah cawan dan minum dengan mata mengerling penuh ejekan. Setelah
cawan itu kering, ia meletakkannya di atas meja, perlahan-lahan dan
tidak tergesa-gesa, barulah ia menoleh dan menjawab.
"Piauw-heng, aku tidak punya rahasia apa-apa."
"Suma Kiat! Orang lain boleh kaubohongi akan tetapi aku tidak! Kaukira
aku tidak tahu akan kebingunganmu ketika kau melihat Mutiara Hitam
hendak membuka rahasia di dalam taman? Dan.... kau membunuh Cheng Kong
Hosiang, tentu hendak menutup mulutnya, bukan?"
"Ha-ha-ha,
Piauw-heng. Kau benar-benar tidak adil. Mengapa kau membela Sumoi,
membela pengemis itu dan orang-orang lain, sebaliknya menekan adik
misan sendiri? Sungguh engkau seorang kakak tak patut dibanggakan.
Sekarang kau malah membentak dan menuduh yang bukan-bukan kepadaku.
Hemm, agaknya kau tidak suka dan iri karena aku datang di sini, ya? Kau
tidak suka melihat kenyataan bahwa aku putera Pamanmu? Akan kulihat apa
kata Bibi kalau kuceritakan hal ini kepadanya!" Suma Kiat bangkit dari
tempat duduknya, hendak pergi ke pintu.
Akan tetapi dengan
sebuah loncatan kilat, tubuh Kiang Liong berkelebat dan sudah berada di
ambang pintu. Wajahnya bengis, mulutnya tersenyum dingin, menyembunyikan
hati yang panas oleh marah. Suaranya mendesis perlahan, "Suma Kiat,
jangan kau mempermainkan aku! Engkau telah membunuh Cheng Kong Hosiang
yang agaknya benar seorang penghubung dan pembantu Bouw Lek Couwsu.
Engkau bersekongkol dengan pemberontak dan musuh, mempergunakan tempat
kami, mengotorkan dan mencemarkan nama baik keluarga kami. Hayo
ceritakan, sampai berapa jauhnya kau melakukan kesesatan ini? Tahukah
kau tentang penawanan Putera Mahkota Khitan? Jawab sejujurnya kalau kau
tidak ingin aku menggunakan kekerasan terhadapmu!"
Tiba-tiba
berubah sikap Suma Kiat. Ia berdiri tegak, bertolak pinggang dan mukanya
membayangkan kemarahan yang membuat wajah yang tampan itu menjadi
ganas. Bibirnya tersenyum mengejek, setengah menyeringai dan matanya
disipitkan, dari mana menyambar keluar sinar mata yang tajam dan aneh.
Kemudian ia tertawa, kepalanya didongakkan dan perutnya bergerak-gerak,
suara ketawa yang panjang bergelak, akan tetapi yang tersentak
berhenti secara tiba-tiba dan wajahnya sama sekali tidak ikut tertawa.
Ketawa iblis, atau ketawanya seorang yang tidak waras otaknya!
"Kiang Liong! Engkau terlalu! Apa kaukira aku ini orang bawahanmu
sehingga boleh kauperintah begitu saja? Kau lupa agaknya bahwa aku ini
seorang tamu, bahwa aku ini keponakan Ibumu. Semua orang boleh jadi
gentar terhadap namamu, akan tetapi aku, Suma Kiat, selama hidupku belum
pernah takut kepada siapapun juga. Kau tidak perlu menggertak dengan
omong kosong, boleh gunakan kekerasan, aku tidak takut!"
Setelah
berkata demikian, dengan membusungkan dada Suma Kiat melenggang terus
hendak keluar, tidak mempedulikan Kiang Liong yang menghadang di pintu.
Kiang Liong membentak, "Bocah setan, jangan harap dapat keluar dari
kamar ini sebelum kau mengaku!" Sambil membentak tangan kanan Kiang
Liong mendorong kembali tubuh Suma Kiat ke dalam kamar.
Suma
Kiat tertawa, cepat miringkan tubuh dan secara tiba-tiba kepalan tangan
kirinya menyambar dengan pukulan keras ke leher Kiang Liong, sedangkan
seperempat detik berikutnya, tangan kanannya menyusul dengan pukulan
jari-jari terbuka ke arah lambung. Pukulan ke dua inilah pukulan maut,
pukulan Siang-tok-ciang yang beracun dan amat ganas!
"Plak-plak....!" Tangkisan Kiang Liong cepat sekali dan bertenaga besar
karena pemuda ini sudah tahu akan kelihaian adik misannya sehingga
melihat pukulan maut itu ia menjadi marah dan menangkis dengan
pengerahan sin-kang disalurkan ke tangannya. Tubuh Suma Kiat terlempar
dan menabrak dinding sedangkan dengan kaget Kiang Liong merasa betapa
lengannya yang menangkis menjadi panas sekali.
Hanya beberapa
detik saja Suma Kiat menjadi nanar karena terbanting ke dinding. Ia
sudah meloncat bangun lagi, mukanya merah sekali, mulutnya tersenyum
menyeringai. "Piauw-heng, kau benar-benar mengajak berkelahi?"
"Huh, bukan aku yang mengajak berkelahi, melainkan engkau yang
memancing keributan. Tinggal kaupilih, mengaku terus terang ataukah
harus kuberi hajaran lebih dulu!" jawab Kiang Liong, suaranya bengis
pandang matanya tajam.
Suma Kiat tersenyum dan menjura. "Ah,
Kakak Misanku yang baik, mana Adikmu berani kurang ajar kepadamu? Harap
kau suka maafkan dan marilah kita bicara secara baik-baik." Sambil
berkata demikian Suma Kiat mendekati Kiang Liong. Pemuda ini pada
hakekatnya juga tidak suka bertentangan dengan keponakan ibunya, karena
hal ini tentu akan menyusahkan hati ibunya. Maka ia bersikap sabar,
menekan kemarahannya dan berkata,
"Begitulah yang kukehendaki, Piauwte. Sekarang kauceritakan baik-baik tentang...."
"Wuuuutt.... dukkkk....!" Tubuh Kiang Liong terjengkang ke belakang dan
bergulingan di lantai. Pukulan Suma Kiat datangnya terlalu tiba-tiba
dan terlalu cepat sehingga dia yang tidak menyangka-nyangka tidak
sempat menangkis, bahkan mengelak pun terlambat. Masih untung bahwa
pukulan yang menghantam ulu hatinya itu menjadi meleset karena Kiang
Liong melempar diri ke belakang, namun tetap saja dada kanannya terkena
pukulan. Hanya karena sin-kang pemuda ini sudah mendekati tingkat
tertinggi saja yang menyelamatkan nyawanya. Isi dadanya seperti dibakar,
napasnya sesak dan sambil mengguling-gulingkan tubuhnya ia menahan
napas mengerahkan sin-kang yang ia desakkan dari pusar ke dada. Ia tahu
bahwa ia terluka, sungguhpun tidak berat danberbahaya. Ia menahan
kemarahannya dan terus bergulingan, karena ia tahu kalau kemarahan
menguasai hati dan menyesak di dada, lukanya akan menjadi berbahaya.
"Heh-heh, kau mencari celaka sendiri, Kiang Liong!" Terdengar suara
Suma Kiat mengejek dan angin pukulan yang keras secara bertubi-tubi
menyambar ke arah Kiang Liong, menutup jalan keluar dari empat jurusan.
Kiang Liong yang sedang bergulingan itu berhasil menyambar kaki sebuah
kursi dan cepat ia melempar kursi itu ke atas sambil menyusul dengan
lompatan yang disebut gaya Kim-eng-hoan-sin (Garuda Emas Membalikkan
Tubuh), cepat sekali menyusul di belakang bayangan kursi yang
dilontarkannya.
"Kraakkk.... bruukk!" Kursi yang terbuat dari
kayu yang tebal dan berat itu hancur berkeping-keping karena terhimpit
hawa pukulan Suma Kiat yang menyambar dari kanan kiri.
"Aihhh....!" Suma Kiat terkejut, tidak mengira bahwa lawannya yang sudah
hampir kalah itu dapat menyelamatkan diri dengan pertolongan sebuah
kursi. Namun ia tidak dapat terlalu lama berheran, karena Kiang Liong
kini sudah menyambar ke depan dan menggunakan kedua tangannya, yang
kanan menimpa dari atas, yang kiri mendorong dari bawah. Inilah pukulan
tangan kosong yang diambil dari gerakan Ilmu Silat Lo-hai-san-hoat
(Ilmu Kipas Mengacau Lautan), sebuah ilmu silat Suling Emas yang luar
biasa ampuhnya. Tangan kanan menimpa dengan kekuatan berdasarkan tenaga
gwa-kang (tenaga keras/luar) sedangkan tangan kiri mendorong dari bawah
dengan tenaga lwee-kang (tenaga dalam).
Suma Kiat memang telah
mempelajari pelbagai ilmu silat yang aneh-aneh, namun dalam hal tenaga
dalam dan pengalaman, ia masih ketinggalan jauh oleh Kiang Liong. Ia
terkejut dan menggunakan kedua tangannya untuk menahan dan menangkis
dua pukulan itu. Inilah kesalahannya. Tangan kanan Kiang Liong tiba
lebih dulu dan melihat sambarannya. Suma Kiat juga menangkis dengan
tenaga gwa-kang, akan tetapi setengah detik berikutnya, pukulan tangan
kiri Kiang Liong yang ditangkisnya itu ternyata menggunakan tenaga yang
berlawanan, yakni tenaga dalam. Suma Kiat terkejut, namun terlambat.
Lengannya seperti ditempel, lekat dan tahu-tahu tangan Kiang Liong sudah
menangkap pergelangan tangannya dan sekali Kiang Liong membuat gerakan,
menyendal, tubuh Suma Kiat terlempar ke atas menabrak langitlangit
kemudian terbanting jatuh ke atas lantai!
Suma Kiat mengeluh,
kepalanya yang terbentur pada langit-langit membuatnya pening. Ketika ia
membuka mata, lantai terasa berputaran. Ia meramkan matanya lagi,
mengaduh,, merintih dan menarik napas dalam-dalam. Ia sudah pasrah
karena kalau saat itu lawannya menyusul dengan serangan baru, ia tentu
takkan dapat mengelak atau menangkis. Ia menanti maut. Namun pukulan
itu tidak kunjung tiba. Ketika ia membuka matanya perlahan-lahan, ia
melihat Kiang Liong masih berdiri tegak, bertolak pinggang, kedua kaki
terpentang lebar, sikapnya menyeramkan dan menakutkan hati Suma Kiat.
Tiba-tiba Suma Kiat menangis! Menangis sesenggukan, terisak-isak dan
bergulingan di atas lantai, seperti seorang anak, kecil menangis rewel.
"Uhuuk-hu-huuukk.... Piauw-heng, kau benar kejam sekali....
u-hu-huuk.... kalau memang kau tega kepada adik misan, kaubunuhlah aku
sekarang juga.... u-huhuuukk....!"
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Ia teringat akan ucapan ayah bundanya tentang Kam Sian Eng, ibu pemuda ini.
Menurut penuturan ibunya, mungkin sekali Kam Sian Eng itu seorang
wanita yang selain aneh, juga tidak waras otaknnya. Dan bukan aneh
kalau puteranya ini juga agak miring, tidak waras. Ataukah
berpura-pura? Ia menghela napas dan duduk di atas sebuah kursi.
"Sudahlah, tidak perlu banyak tingkah. Bangkit dan lekas kauceritakan semua rahasia itu." katanya dengan hati sebal.
Suma Kiat menghapus air matanya, kemudian meringis kesakitan. Untung
bahwa Kiang Liong tadi tidak bermaksud mencelakakannya, dan hanya
menggunakan kekuatan sin-kang untuk melontarkannya. Rasa nyeri yang
dideritanya kini hanya akibat terbanting, hanya merupakan luka lecet dan
benjol belaka. Dengan terpincang-pincang buatan Suma Kiat menghampiri
kakak misannya, menggerakan pinggul sehingga pedangnya terputar agak
dekat ke pinggang.
"Piauw-heng, kau benar-benar terlalu kejam.
Apakah kesalahanku maka kau memukulku begini rupa? Memang aku bunuh
Cheng Kong Hosiang, hwesio jahat dan beracun mulutnya itu. Coba saja
kaupikir, Piauw-heng. Siapa yang tidak menjadi marah. Dia berani
membujuk-bujuk aku untuk bersekongkol dengannya. Katanya.... kelak
kalau bangsa Hsi-hsia menyerbu ke kota raja, aku supaya membantu gerakan
itu. Nah, apa ini tidak menjengkelkan? Aku tidak tahu apa-apa tentang
pemberontakan, tentang persekongkolan gelap. Aku hanya suka kepada....
eh, sahabat-sahabatmu yang cantik itu. Apalagi enci adik Chi itu.
Kaubagi mereka untukku, ya, Piauw-heng?"
Kiang Liong mendongkol
bukan main. Ia tahu bahwa adik misannya ini membohong. Ia sudah
mendongkol oleh sikap Kaisar yang tidak berniat membasmi ancaman bangsa
Hsi-hsia, kini setelah ada harapan memperoleh keterangan tengang
ditawannya Pangeran Mahkota Khitan, Suma Kiat mempermainkannya. Kalau
tidak ingat ibunya, ingin ia sekali pukul merobohkan adik misan yang
tidak patut ini!
"Suma Kiat!" bentaknya marah. "Tak perlu kau
berpura-pura lagi. Aku bukan anak kecil yang dapat kaubodohi dengan
sandiwaramu. Hayo katakan, di mana adanya Pangeran Mahkota Khitan yang
ditawan oleh Bouw Lek Couwsu, di mana markas orang-orang Hsi-hsia, kalau
tidak mengaku.... hemm.... engkau tentu akan kuhajar!" Kiang Liong
melangkah maju, mengamangkan tinjunya, mengancam.
"Eh.... eh....
ohh.... Piauw-heng kaubunuhlah saja aku...." Kembali Suma Kiat
menangis menggerung-gerung! Kiang Liong menjadi gemas dan makin marah.
Celaka, pikirnya, kalau anak edan ini makin keras menangis, tentu akan
terdengar oleh ibunya. Lebih baik kutotok dia agar tidak dapat banyak
tingkah. Ia melangkah maju dan.... sinar putih yang menyilaukan mata
menyambarnya ketika tahu-tahu Suma Kiat sudah mencabut pedang dan
menyerangnya secepat kilat!
Kiang Liong terkejut bukan main.
Serangan pedang ini amat cepat dan dilakukan dari jarak dekat secara tak
tersangka-sangka. Untuk mencabut senjata pensilnya sudah tidak keburu
lagi, maka tiada lain jalan bagi Kiang Liong kecuali mengerahkan tenaga
gin-kang dan tubuhnya mencelat ke belakang. Akan tetapi sinar pedang
putih itu terus menyambar diikuti bunyi dengus Suma Kiat yang agaknya
mentertawakan.
"Crak-crak....!" Sebuah meja besar pecah menjadi
beberapa potong kena sambar sinar pedang Suma Kiat ketika tubuh Kiang
Liong menyelinap ke belakang meja.
Beberapa detik ini sudah
cukup bagi Kiang Liong. Ketika pedang Suma Kiat bertemu dengan meja yang
mewakili dirinya, ia sudah mencabut sepasang pensilnya dan kini ia
meloncat melampaui meja sambil menyerang! Suma Kiat tidak gentar
melihat bahwa kakak misannya hanya memegang sepasang senjata pensil
yang hanya satu kaki lebih panjangnya itu. Ia tertawa dan pedangnya
diputar cepat, membentuk gulungan sinar putih
"Cring-cring....
trang-trang-trang....!" Berkali-kali pedang yang bersinar putih itu
bertemu denpan sepasang pensil dikedua tangan Kiang Liong. Barulah Suma
Kiat menjadi terkejut ketika tangan kanannya terasa hampir lumpuh setiap
kali pedangnya bertemu dengan kedua pensil kakak misannya. Ia jauh
kalah kuat tenaganya dan ia menjadi bingung karena dua pensil itu
mengandung tenaga yang berlawanan dan lebih membingungkan lagi,
berubah-ubah. Kalau dalam bentrokan pertama pensil kiri mengandung
tenaga kasar, dalam bentrokan ke dua mengandung tenaga lemas, dan
demikian sebaliknya dengan pensil kanan. Orang yang sudah dapat mengatur
tenaga berubah-ubah seperti itu, benar-benar merupakan lawan yang amat
tangguh.
Betapa pun Suma Kiat mengeluarkan semua ilmu pedangnya
yang aneh, tetap saja ia terkurung dan terhimpit oleh sinar
sepasangpensil. Ia terdesak mundur dan hanya mampu memutar pedang
melindungi tubuhnya. Andaikata Suma Kiat bukan adik misan Kiang Liong
melainkan seorang musuh yang boleh dibunuh, tentu saja ia sudah roboh
binasa karena dengan kelebihan ilmunya, dengan mudah Kiang Liong dapat
membunuh Suma Kiat. Akan tetapi Kiang Liong tidak ingin membunuhnya,
hanya ingin merobohkan dan menaklukkannya, maka hal ini memakan waktu
agak lama dan tidaklah mudah, sama dengan orang hendak menangkap
hidup-hidup seekor harimau ganas. Kiang Liong sedang menanti kesempatan
untuk menotok adik misannya.
Tiba-tiba terdengar suara lengking
nyaring menyeramkan. Mendengar ini Kiang Liong terkejut, akan tetapi
Suma Kiat dengan suara girang berseru. "Ibu, tolonglah!" Angin yang
keras menyambar masuk dari jendela dan.... lampu dinding dalam kamar itu
seketika menjadi padam! Kiang Liong kaget, tidak melanjutkan
serangannya dan meloncat mundur. Akan tetapi dari depan, pedang Suma
Kiat menerjangnya dengan hebat. Kagetlah Kiang Liong dan ia menangkis.
Pertemuan pedang dengan pensil di tangannya menciptakan bunga api yang
tampak jelas di dalam kamar gelap ini. Kembali Suma Kiat menyerangnya.
Kiang Liong menangkis kembali hanya mengandalkan ketajaman
pendengarannya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa lawannya jauh lebih
tajam pandangan matanya di dalam gelap daripada dia. Suma Kiat semenjak
kecil hidup di dalam istana bawah tanah, sudah biasa dengan kegelapan.
Matanya amat tajam di dalam gelap, inilah sebabnya mengapa setelah
kamar menjadi gelap ia dapat menyerang bertubi-tubi sehingga mengejutkan
Kiang Liong.
Karena tidak ingin "salah tangan" dalam gelap itu
sehingga ia membunuh atau mendatangkan luka berat pada adik misannya,
pada saat pedang Suma Kiat menyambar dari depan, ia cepat "menangkap"
pedang itu dengan §epasang pensilnya dengan cara menjepit pedang itu
dengan dua pensil yang disilangkan. Suma Kiat terengah-engah berusaha
menarik kembali pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedang itu seperti
lekat pada sepasang pensil.
"Suma Kiat, lepaskan pedangmu!" Dengan suara tegas Kiang Liong berkata.
Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut bukan main. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu ada hawa pukulan menyambar ke arah tengkuknya. Ia
menjadi serba susah. Melepaskan jepitan pedang Suma Kiat berarti memberi
kesempatan kepada adik misan yang gila itu untuk menyerangnya lagi.
Tidak melepaskannya, ia terancam pukulan hebat yang kini sudah tiba.
Kiang Liong mengerahkan tenaga, memutar sepasang pensil dan terdengar
suara seruan kaget Suma Kiat karena pedangnya sudah terampas, secara
paksa direnggut lepas dari tangannya oleh tenaga putaran yang hebat.
Pada saat itu, Kiang Liong terpaksa menerima tamparan dari belakang yang
mengenai pundaknya karena ia sudah miringkan tubuh dan mengerahkan
sin-kang ke arah pundak. Ia percaya bahwa tenaga sin-kangnya dapat
melindungi pundak yang terpukul oleh lawan yang tidak kelihatan.
"Plakk....!”
Pukulan yang merupakan tamparan telapak tangan halus itu tidak keras,
akan tetapi ternyata tubuh Kiang Liong terguling roboh, sepasang pensil
yang masih menjepit pedang Suma Kiat terlepas dari kedua tangan, jatuh
berkerontangan di atas lantai kamar.
Suma Kiat menyalakan lampu dinding, menyeringai kepada wanita berkerudung hitam sambil berkata. "Untung kau datang, Ibu."
"Goblok! Menghadapi senjata sepasang pensil jangan mau bertempur
dekat!" gumam wanita itu yang bukan lain adalah Kam Sian Eng. Melihat
wanita ini, Kiang Liong dapat menduga siapa adanya dan ia merasa serem
juga. Di dalam hati ia mentertawai ucapan wanita itu. Memang
kata-katanya mengandung kebenaran, yaitu bahwa keampuhan senjata pit
adalah untuk pertempuran jarak dekat, akan tetapi mengingat akan
tingkat Suma Kiat, tetap saja ia akan dapat mengalahkan adik misan itu
biarpun menggunakan siasat pertempuran jarak jauh. Akan tetapi ia tidak
dapat berpikir lebih panjang lagi karena rasa nyeri di pundaknya membuat
ia terpaksa mengerahkan tenaga melawannya. Baru saja ia memejamkan
mata mengatur pernapasan, tiba-tiba belakang lehernya ditotok. Kagum
juga hatinya karena wanita itu dapat menotoknya tanpa ia ketahui sama
sekali, tanda bahwa gerakannya amat ringan. Ia kini tidak dapat bergerak
pula menjadi lemas karena yang tertotok adalah jalan darah yang
berpusat di punggung. Maka ia hanya dapat rebah telentang sambil
memandang ibu dan putera yang gila itu.
"Bagus, Ibu. Kita bawa
Kiang Liong kepada Couwsu, tentu dia akan girang sekali. Kiang Liong ini
menggagalkan pertemuan dan persekutuan bahkan membahayakan kedudukan
para pembantu di kota raja."
Sian Eng mengangguk. Sepasang sinar
mata yang amat tajam menembus kerudung hitam, membuat Kiang Liong
tertegun dan ngeri. Mata itu bukan mata orang biasa! Mata itu kehilangan
perasaan, kehilangan ketenangan dan kesadaran. Mata orang yang sudah
gila atau mata iblis!
"Kaubawa dia dan mari kita pergi!" katanya lirih.
"Heh-heh-heh, nanti dulu, Ibu. Masih ada lagi yang harus kubawa bersama
kita. Aku tanggung Bouw Lek Couwsu akan lebih senang hatinya dan yang
akan kubawa ini merupakan tanggungan akan bala bantuan Khitan,
Heh-heh!"
"Siapa?"
"Puteri Panglima Besar Khitan. Kau
tunggu sebentar, Ibu." Suma Kiat menyarungkan pedangnya yang tadi
terampas Kiang Liong, mengebut-ngebutkan bajunya dan meloncat keluar
dari dalam kamar.
Di ruangan tengah Suma Kiat bertemu dengan
Suma Ceng yang berjalan tergesa-gesa bersama Puteri Mimi. "Kiat-ji
(Anak Kiat), apakah yang terjadi? Aku mendengar suara ribut-ribut.
Apakah.... kau bertengkar lagi? Mana Liong-ji?"
"Heh-heh-heh, anakmu sudah mampus!" Suma Kiat terkekeh kurang ajar dan matanya melahap Puteri Mimi yang jelita.
"Apa....? Di mana dia....?" Suma Ceng menjerit.
Akan tetapi dengan lebih kurang ajar lagi Suma Kiat mendorong dengan
tangan kanannya ke arah dada bibinya sambil membentak. "Pergilah kau!"
Nyonya Kiang itu cukup mengenal ilmu silat sehingga ia cepat miringkan
tubuh mengelak dari dorongan kurang ajar itu. Akan tetapi tidak cukup
mengenal kecurangan dan kelihaian keponakannya. Dengan sabetan kaki
yang amat cepat, Suma Kiat menyerang. Kedua kaki nyonya itu tersabet,
terangkat dan tubuhnya terbanting ke lantai. Kepalanya membentur
lantai dan nyonya ini pingsan!
"Kau jahat!" Mimi membentak marah, sepasang matanya yang indah lebar itu terbelalak.
"Heh-heh, tidak kepadamu, manis." Suma Kiat terkekeh, tangannya menjangkau hendak menangkap.
Akan tetapi Puteri Mimi bukan seorang wanita lemah. Cepat ia mengelak
dan tangan kirinya yang dikepal keras menghantam dada Suma Kiat, disusul
tendangan kaki kanannya.
"Heh-heh, kau gesit juga, manis!" Suma Kiat dengan gerakan seenaknya mengelak dan berusaha menangkap lagi.
Namun Mimi dengan nekat melakukan perlawanan, mengirim pukulan-pukulan
dan tendangan-tendangan mengarah bagian berbahaya dan lemah dari tubuh
lawan.
Terdengar suara ribut-ribut, tanda para penghuni rumah
sudah terbangun semua oleh suara hiruk-pikuk ini. Suma Kiat cukup
cerdik, tidak mau melayani gadis itu lebih lama lagi. Tiba-tiba ia
berseru dan tangannya menyelonong, mengirim pukulan yang amat kuat ke
arah muka Mimi. Gadis ini terkejut dan cepat berusaha menangkis, akan
tetapi ternyata pukulan ini hanya gertakan belaka dan di lain saat
tubuh Mimi sudah menjadi lemas karena tertotok oleh tangan kiri Suma
Kiat. Mimi mengeluh dan tubuhnya yang akan roboh itu disambar oleh Suma
Kiat dan dipanggulnya, dibawa lari ke arah kamar Kiang Liong.
Melihat Suma Kiat kembali membawa tubuh seorang gadis Khitan yang
cantik, Sian Eng tidak berkata apa-apa. Wanita ini lalu menyambar tubuh
Kiang Liong, dikempit dengan lengan kirinya, kemudian berkata singkat.
"Hayo pergi, ikuti aku!"
Bagaikan bayangan dua setan, ibu dan
anak ini menghilang melalui jendela dan terus melompat ke atas genteng,
berlari-lari dan lenyap ditelan kegelapan malam. Di dalam gedung menjadi
gempar. Pangeran Kiang dan para pelayan serta pengawal menjadi kaget
dan gelisah melihat Nyonya Kiang pingsan di ruangan tengah. Lebih kaget
lagi mereka melihat bahwa Puteri Mimi telah lenyap, demikian pula
Kiang Liong lenyap dari dalam kamarnya yang kacau-balau keadaannya.
Setelah Nyonya Kiang siuman, barulah Pangeran Kiang mendengar akan
perbuatan Suma Kiat. Ia menghela napas panjang dan mengomel.
“Ah, tidak disangkanya dia menurun ayahnya....!” Tentu saja Pangeran
Kiang ini kenal akan Suma Boan yang memang amat jahat. Mendengar ucapan
suaminya, Nyonya Kian atau Suma Ceng bangkit dan berkata ketus.
“Perlu apa memburuk-burukkan nama Kakakku yang sudah mati? Lebih baik
kau cepat-cepat berusaha, mengerahkan pengawal untuk mencari Liong-ji
dan Puteri Mimi!”
Pangeran Kiang menggerakkan pundak, akan
tetapi ia keluar dari kamar isterinya untuk mengerahkan pasukan
pengawal. Lenyapnya Kiang Liong tidaklah amat menggelisahkan hatinya.
Pertama karena ia tahu akan kelihaian Kiang Liong sehingga lenyapnya
tidak perlu dikhawatirkan. Ke dua karena ia memang kurang peduli akan
pemuda itu yang menurut hukum adalah putera sulungnya akan tetapi yang
ia ketahui dengan yakin di dalam hati bukanlahketurunannya. Ia maklum
akan permainan asmara antara isterinya dan Suling Emas, maka melihat
sikap dan wajah Kiang Liong, melihat pula betapa Suling Emas amat
mencinta pemuda itu, ia merasa yakin bahwa pemuda itu adalah keturunan
Suling Emas. Akan tetapi ia terlampau mencinta isteri, maka ia tidak
pernah membicarakan hal ini.
Sementara itu, Kiang Liong dan Mimi
dibawa lari Kam Sian Eng dan Suma Kiat. Semalam suntuk mereka berlari
seperti terbang cepatnya menuju ke barat. Mereka melewati kota
Lok-yang, terus ke barat sampai mereka tiba di luar sebuah hutan besar
di kaki Bukit Fu-niu-san di lembah Sungai Kuning.
Malam telah
terganti pagi dan matahari telah bersinar cemerlang. Mereka berhenti di
luar hutan dan Kiang Liong yang sudah tertotok lemas kembali dilempar
oleh wanita berkerudung itu sehingga rebah telentang di atas tanah.
Suma Kiat duduk di bawah pohon, tubuh Mimi dipangkunya.
“Ibu, kenapa berhenti?”
“Kita menanti penjemputan. Tempat ini penuh rahasia, amat berbahaya.”
Kata ibunya. Puteri Mirni mengeluh dan bergerak perlahan, berusaha
melepaskan diri dari atas pangkuan dan dari lengan Suma Kiat yang
memeluknya. Melihat bahwa puteri ini sudah bebas dari totokan, Suma
Kiat, tertawa. “Ha-ha-ha, manis. Tenanglah, karena aku tidak akan
menyusahkanmu. Sebaliknya, engkau akan menikmati banyak kesenangan
dengan aku, ha-ha!”
Suma Kiat memeluk erat dan mendekatkan
mukanya hendak mencium. Puteri Mimi meronta-ronta, namun tenaga pemuda
itu jauh lebih kuat.
Kam Sian Eng duduk bersila, memejamkan
mata, sama sekali tidak mengacuhkan perbuatan anaknya itu. Hanya Kiang
Liong yang menatap dengan sepasang mata mengeluarkan cahaya berapi.
Pemuda ini mengerahkan tenaga, namun totokan wanita berkerudung hitam
itu benar hebat, membuat kaki tangannya lumpuh dan ia hanya dapat
membentak keras.
“Suma Kiat! Demi Tuhan, kalau kau mengganggu puteri itu, aku pasti akan membunuhmu!”
Suma Kiat mengangkat muka memandang sambil menyeringai. Melihat sinar
mata Kiang Liong, ia tertawa. “Ha-ha, Piauw-heng, apakah kau cemburu dan
iri?” Ia mengejek, akan tetapi agaknya sinar mata Kiang Liong yang
menyeramkan itu membuat ia kederjuga. Ia tahu betapa lihainya kakak
misannya itu maka lenyaplah untuk sementara gelora nafsunya. Ia
mendorong tubuh Mimi dari atas pangkuan. Gadis ini terjungkal dan jatuh
ke atas tanah, rebah miring. Biarpun ia sudah dapat bergerak, namun ia
pura-pura tak berdaya dan terus rebah miring, di dalam hati merasa lega
bahwa untuk sementara ia terbebas daripada penghinaan. Akan tetapi
tentu saja ia amat cemas, apalagi mengingat bahwa Pangeran Mahkota
Khitan tertawan musuh, dan kini dia sendiri, bahkan Kiang Liong,
satu-satunya orang yang dapat ia harapkan juga tertawan!
Mereka
tidak lama menanti. Dari dalam hutan terdengar suara seperti lolong
srigala susul-menyusul, makin lama makin dekat dan tak lama kemudian
muncullah dua belas orang hwesio jubah merah yang segera memberi hormat
kepada Kam Sian Eng. Seorang di antara mereka, yang bermuka hitam,
segera berkata.
“Maafkan pinceng sekalian yang agak lambat
menyambut, Couwsu memerintahkan pinceng untuk menyambut Toanio dan
mempersilakan Toanio menjumpai Couwsu.”
Kam Sian Eng bangkit,
tak menjawab hanya menggerakkan tangan kepada Suma Kiat, memberi tanda
agar puteranya mengikutinya. Kemudian ia menyambar dan mengempit tubuh
Kiang Liong. Suma Kiat memondong Puteri Mimi lalu mengikuti ibunya,
diiringkan dua belas orang hwesio jubah merah, memasuki hutan yang besar
dan gelap. Hwesio muka hitam sebagai penunjuk jalan membawa mereka
berjalan melalui pohon-pohon besar menerjang alang-alang dan
berputar-putaranan. Sungguh jalan yang amat sulit bagi orang luar dan
hanya jalan inilah yang dapat dilalui dengan aman. Mengambil jalan lain
berarti harus menghadapi bahaya jebakan-jebakan rahasia, pasukan-pasukan
terpendam dan hujan anak panah!
***
Setelah berpisah
dari Yu Siang Ki yang akan mengumpulkan teman-teman para tokoh Kai-pang,
Kwi Lan melanjutkan perjalanan melanjut perjalanan seorang diri menuju
kebarat. Ia melakukan perjalanan cepat sekali dan ia tiba di kaki bukit
Fu-niu-san pada sore hari menjelang senja. Jantungnya berdebar keras.
Ia belum pernah melihat Putera Mahkota Khitan, akan tetapi
karena Pangeran Mahkota itu adalah putera angkat ibu kandungnya, maka
berarti saudara angkatnya pula. Ia hanya tahu bahwa putera angkat ibunya
itu bernama Pangeran Talibu. Biasanya Ia tak senang dan iri kalau
teringat akan pangeran ini, akan tetapi mendengar Pangeran ini tertawan
oleh Bouw Lek Couwsu, ia menjadi gelisahsekali. Ia sendiri menjadi heran
mengapa ia menjadi begini? Jantungnya terasa bergetar penuh kecemasan
dan hasrat satu-satunya yang memenuhi hatinya hanya pergi menolong dan
membebaskan Pangeran itu daripada ancaman orang-orang Hsi-hsia! Ibu
kandungnya, Ratu Khitan, tentu susah sekali hatinya kalau sampai
Pangeran Mahkota ini tertimpa bencana. Kini, ia dapat menggambarkan
betapa keadaan ibu kandungnya itu. Melihat watak gurunya, sudah pasti
ia dahulu dipisahkan secara paksa oleh gurunya dari Ibu kandungnya. Dan
tentu saja ibu kandungnya mengangkat seorang putera yang menjadi
penggantinya. Ibu kehilangan dia, anak kandung, kalau sekarang harus
kehilangan lagi putera angkat, alangkah akan hancur hatinya.
Hutan yang lebar dan gelap itu tidak menjadikannya gentar. Kwi Lan
seorang gadis yang tak pernah mengenal takut. Pula ia sudah terbiasa di
dalam gelap. Tidak percuma ia sejak kecil dahulu tinggal di dalam istana
bawah tanah. Dengan hati tabah, Kwi Lan mencabut pedangnya kemudian
memasuki hutan. Ada sebuah lorong kecil di dalam hutan itu dan jalan
inilah yang ia ambil. Sunyi sekali keadaan dalam hutan, sunyi dan gelap,
bahkan angin sedikit pun tak ada bertiup.
Jalan kecil itu penuh
daun kering. Baru kurang lebih seratus langkah ia berjalan dengan
hati-hati, tiba-tiba kakinya menginjak alat rahasia yang tersembunyi di
bawah tumpukan daun kering. Terdengar bunyi berciutan dari kanan kiri
dan puluhan batang anak panah menyambar ke arahnya dari pohon-pohon dan
di kanan kiri, anak panah yang meluncur dari busur digerakkan oleh
alat-alat rahasia secara otomatis! Kwi Lan tidak mau bertindaksembrono.
Ia berdiri tegak dan tetap di tempatnya, hanya memutar pedangnya
menjadi segulung sinar melindungi tubuhnya. Semua anak panah terpukul
runtuh dan akhirnya hujan anak panah itu pun berhenti.
Kwi Lan
amatcerdik. Ia dapat menduga bahwa kiranya bukan hanya ini tempat yang
mengandung rahasia serangan atau jebakan gelap. Ia memandang ke
sekeliling. Kalau ia mengambil jalan liar, besar sekali bahayanya ia
akan tersesat di dalam hutan ini, apalagi malam hampir tiba. Kalau
melalui jalan kecil ini ia akan menghadapi bahaya jebakan-jebakan
rahasia yang lebih berbahaya lagi. Ia memandang ke atas dan matanya yang
indah berseri-seri. Itulah jalan yang paling tepat, pikirnya dan
sekali ia mengenjotkan kaki pada tanah dan mengayun tubuh, tubuhnya
yang ramping itu melayang ke arah pohon. Kemudian mulailah ia
melanjutkan perjalanan melalul “jalan atas” yaitu berloncatan dari pohon
ke pohon! Hal ini tidak terlalu sukar ia lakukan karena pohon-pohon di
situ amat lebat, sambung-menyambung di kanan kiri jalan kecil yang dari
atas nampak putih. Dengan enaknya Kwi Lan terus berloncatan sehingga
dalam waktu singkat ia sudah masuk ke dalam hutan, melampaui lebih
seratus batang pohon besar.
Tiba-tiba ketika ia meloncat ke
sebuah pohon besar, ada bayangan hitam lebar seperti layar menyambar ke
arahnya. Cepat ia menggerakkan pedangnya ke depan, diputar sambil
mengerahkan tenaga.
“Cring-cring.... brettt....!”
Ketika
ia memandang, kiranya yang menyambarnya adalah sehelai jala yang
dalamnya dilengkapi dengan kaitan-kaitan baja! Ia bergidik dan marah
sekali, apalagi ketika melihat lima ekor monyet sebesar manusia,
berlompatan dan menyerangnya dari lima penjuru. Gerakan
binatang-binatang ini tentu saja amat tangkas. Sambil cecowetan mereka
menyerbu, menggerakkan kedua lengan yang panjang berbulu.
Kwi
Lan boleh jadi pandai ilmu silat dan andaikata ia dikeroyok di atas
tanah, jangankan hanya oleh lima ekor monyet, biar oleh lima puluh ekor
monyet sekalipun ia tidak akan gentar. Kini ia berada di atas
dahan-dahan pohon yang tentu saja merupakan “daerah” monyet.
Binatang-binatang itu tentu saja dapat bergerak lebih leluasa dan gesit.
Betapapun juga, Kwi Lan tidak kehilangan akal. Tangan kirinya sudah
merogoh saku dan sekali tangan kirinya bergerak, sinar hijau menyambar.
Itulah jarum-jarum hijau! Lima ekor monyet itu tak dapat mengelak dan
dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Kwi Lan ketika mendengar
betapa “monyet-monyet” itu mengeluarkan suara mengaduh seperti manusia!
Kiranya mereka adalah manusia-manusia yang menyamar sebagai monyet,
agaknya untuk mengawasi daerah itu sekalian menjadi penjaga. Setelah
mendapat kenyataan bahwa mereka itu manusia, Kwi Lan menjadi makin
tabah. Lima orang Itu masih berusaha bergantung pada dahan-dahan pohon.
Kwi Lan menerjang maju, lima kali Siang-bhok-kiam berkelebat dan lima
orang itu terpelanting ke bawah tanpa dapat mengeluh lagi karena mereka
semua telah tewas!
Akan tetapi pada saat itu, terdengar
ledakan keras dan.... pohon besar di mana Kwi Lan berada itu tiba-tiba
roboh! Kwi Lan tentu saja menjadi kaget dan panik. Hendak meloncat
turun, takut tertimpa dahan-dahan pohon raksasa ini. Kalau tidak, juga
terdapat bahaya terbanting bersama pohon. Biarpun terancam bahaya maut,
gadis ini masih tidak kehilangan akal. Ia mempergunakan pandang matanya
yang tajam dan terbiasa di tempat gelap, mengikuti robohnya pohon itu
sambil berpegang kuat-kuat pada dahan. Setelah tahu arah pohon roboh, ia
cepat menyelinap dan berpindah pada dahan sebelah atas sehingga ia
berada di dahan yang akan menjadi bagian teratas apabila pohon itu sudah
rebah di tanah. Kemudian, sambil mengerahkan seluruh ginkangnya,
sebelum pohon itu menimpa tanah, ia sudah mengenjot tubuhnya ke depan,
melampaui pohon itu dan melayang turun ke atas tanah sambil menyambar
ujung dahan terpanjang.
Untung sekali bahwa dalam seperempat
detik terakhir ia ingat untuk menyambar ujung ranting dari dahan
terpanjang pohon itu, karena begitu kedua kakinya turun menginjak
tanah yang tertutup daun-daun kering, tiba-tiba tanah itu bergoyang dan
tubuhnya terjeblos ke dalam lubang sumur yang amat lebar dan dalam! Kwi
Lan menahan napas, mengerahkan tenaga menarik tubuhnya ke atas dengan
bantuan ujung ranting pohon. Tubuhnya mencelat keluar dari sumur dan ia
tidak berani lagi turun ke atas tanah yang banyak jebakannya melainkan
memeluk dahan terendah sebatang pohon terdekat!
Kini ia
“nongkrong” di atas dahan mengeluarkan saputangan dan menghapus dahi dan
leher yang penuh dengan keringat dingin. Tangan yang dipergunakan
untuk menghapus keringat itu agak gemetar, jantungnya berdebar-debar.
Bukan main, pikirnya. Kini terdengar suara hiruk pikuk yang datangnya
dari tengah hutan. Bahaya baru lagi mengancam pikir Kwi Lan. Ia berada
terlalu dekat dengan mayat lima orang itu, dan hal ini berbahaya. Para
penjaga tentu akan memeriksa sekeliling tempatini. Ia tidak takut
menghadapi mereka, akan tetapi ia gentar juga mengingat akan banyaknya
alat rahasia yang demikian berbahaya. Di samping ini, ia tidak ingin
bertempur dengan mereka sebelum dapat menemukan dan menolong Pangeran
Mahkota. Lebih baik ia bersembunyi. Akan tetapi soalnya yang repot, di
mana tempat sembunyi?
Kwi Lan memandang kesekeliling. Ia tidak
mempercayai jalan kecil itu. Tentu banyak jebakan. Bersembunyi di pohon
juga tidak aman. Buktinya tadi ia bertemu lima orang yang menyamar
sebagai monyet. Dari atas pohon ia melihat tak jauh dari situ terdapat
sebuah jurang. Ia lalu berloncatan mendekati jurang ini melalui
pohon-pohon menjauhi jalan kecil. Kemudian dengan hati-hati sekali ia
turun dari pohon, tidak berani meloncat. Ia masih berpegang kepada
batang pohon ketika kakinya turun ke tanah, kemudian ia melangkah maju
perlahan-lahan menggunakan sebatang ranting sebagal tongkat. Ia
menekan tanah di depan tongkat lebih dulu sebelum kakinya menginjak.
Akan tetapi ternyata bagian yang liar ini tidak ada jebakannya. Suara
manusia terdengar makin mendekat dan akhirnya tampaklah obor yang cukup
banyak. Malam telah tiba. Kwi Lan menelungkup di pingir jurang. Jurang
yang kecil, lebih mirip sebuah sumur besar yang dindingnya batu karang.
Perlahan-lahan ia merayap turun, berpegang kepada akar-akar pohon dan
batu-batu menonjol.” Akhirnya ia berhenti dan bersembunyi di bawah
sebuah batu yang menonjol, terlindung dari atas oleh batu itu. Tempat ia
bersembunyi itu tidak berapa jauh dari tempat pohon roboh tadi dan ia
mulai mendengar jejak kaki banyak orang dan suara mereka, ada yang
berbahasa daerah yang ia mengerti.
“Siapa yang terjebak? Di mana dia?” terdengar suara yang parau,
“Tidak ada bayangan seorang setan pun!” seru suara yang lain, suara tinggi.
“Wah, mereka ini tewas....!”
“Bawa obor, biarkan pinceng memeriksanya!”
Kwi Lan tersenyum. Girang hatinya bahwa ia memasuki tempat yang benar.
Itulah suara orang Hsi-hsia dan yang terakhir tentulah seorang hwesio
jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu. Tak salah lagi, di sini markas
baru Bouw Lek Couwsu, dan menurut suhengnya, di sinilah Pangeran Mahkota
tertawan. Ia memutar otaknya. Agaknya penjagaan di daerah ini pasti
amat kuat, jauh lebih kuat daripada markas Bouw Lek Couwsu di Bukit
Kao-likung-san di lembah Nukiang dahulu, karena selain markas ini dekat
kota raja Kerajaan Sung, juga pengalaman di Kao-likung-san yang
dibasmi orang-orang Beng-kauw tentu membuat Bouw Lek Couwsu kini
berhatihati. Apa akal untuk dapat menemukan Pangeran Mahkota yang
ditawan?
Suara orang-orang di sebelah atas makin ribut. Benar
saja, mereka kini mencari-carinya. Mereka sudah tahu bahwa lima orang
anak buah yang menyamar sebagai monyet itu tewas oleh tangan manusia,
terluka jarum dan tewas oleh bacokan pedang. Makin jeias suara mereka
ketika mendekat dan tak lama kemudian Kwi Lan mendengar menyambarnya
puluhan senjata rahasia dan anak panah ke dalam jurang atas sumur di
mana ia bersembunyi. Kalau ia bersembunyi di dasar jurang itu, tentu
tubuhnya dihujani senjata rahasia. Akan tetapi di bawah batu besar yang
menonjol ini, ia terlindung dan aman!
“Kalau dia bersembunyi
di bawah tentu mampus!” terdengar seorang berkata. Kemudian suara mereka
makin menjauh. Kwi Lan maklum bahwa bahaya telah lewat, maka ia cepat
merayap naik. Dari tepi jurang ia mengintai. Lima buah mayat itu telah
mereka angkut dan masih ada beberapa orang berkeliaran mencari-cari di
sekitar tempat itu, dengan obor di tangan, Kwi Lan menyelinap dan
berindap-indap membayangi seorang tinggi besar, bangsa Hsi-hsia yang
mencari sendirian ke jurusan barat. Orang Hsi-hsia ini memandang ke
kanan kiri, sebuah obor di tangan kiri dan sebuah golok di tangan kanan.
Ia membabati alang-alang dengan goloknya, mencari-cari. Tiba-tiba dua
batang jari yang kecil namun kuatnya laksana baja menotok lehernya dan
seketika orang Hsi-hsia itu lumpuh dan pingsan. Bagaikan iblis sendiri
bayangan Kwi Lan berkelebat dekat, menerima obor dan golok yang terlepas
dari tangan orang Hsi-hsia itu, membuang golok dan menangkap dengan
korbannya, lalu memadamkan obor, mengempit tubuh yang gemas itu dan
membawanya naik ke atas pohon. Ia merasa yakin bahwa kini pohon
merupakan tempat sembunyi yang aman setelah orang-orang itu tadi mencari
dengan teliti. Makin dekat tempat pohon tumbang makin baik karena kini
mereka berpencar mencari ke tempat yang agak jauh.
“Jawab saja
dengan angguk.” bisik Kwi Lan dekat orang Hsi-hsia yang ditawannya
setelah ia menotok urat gagu orang itu. “Kau tahu di mana Pangeran
Mahkota Khitan ditawan?”
Orang itu menggeleng kepalanya.
“Jangan kau bohong. Kalau kau mau mengantarku ke tempat tawanan itu, kau takkan kubunuh.”
Kembali orang itu menggeleng kepala, kini dengan keras. Ketika Kwi Lan
memandang di bawah sinar bulan yang bersinar melalui celah-celah daun
pohon, ia melihat betapa orang itu memandang kepadanya dengan mata
melotot penuh kebencian. Sebuah muka yang membayangkan keras hati dan
keras kepala, sedikit pun tidak takut atau tunduk. Ia menjadi gemas dan
sadar akan kekeliruannya. Mengapa ia menawan seorang Hsi-hsia? Tentu
saja, orang Hsi-hsia akan membela pemimpinnya dengan taruhan nyawa,
menganggap diri sendiri seorang patriot, seorang pahlawan! Ia melihat,
banyak tadi orang sebangsanya, bukan orang Hsi-hsia. Kalau orang Han
sudah membantu Hsi-hsia menentang kerajaan sendiri, dia adalah seorang
pengkhianat. Dan biasanya, seorang pengkhianat adalah seorang
pengecut, hanya berjuang untuk uang dan kedudukan. Orang yang berjuang
untuk cita-cita bangsa, bangsa apapun, juga, adalah seorang patriot yang
tentu tidak takut mati. Sebaliknya seorang yang berjuang untuk harta
dan kedudukan sehingga rela menjadi pengkhianat bangsa, tentu seorang
pengecut besar. Orang seperti itu tentu takut mati. Sadar akan
kekeliruannya ini Kwi Lan lalu menotok tubuh tawanannya sehingga menjadi
lumpuh, dan Ia menjepitkan tubuh itu di antara dua dahan bercabang,
kemudian dengan gerakan tangan ia merayap turun daripohon. ia berlaku
hati-hati, tidak berani sembarangan meloncat.
Setelah mencari
dengan hati-hati, menyelinap di antara alang-alang dan pohon-pohon,
akhirnya ia melihat seorang laki-laki tinggi kurus, berpakaian seperti
pengemis penuh tambalan, membawa obor dan pedang mencari-cari seperti
orang Hsi-hsia tadi. Kwi Lan merunduk sampai dekat, kemudian bergerak
cepat seperti tadi, membikin orang itu tidak berdaya dan pingsan dengan
sebuah totokan di belakang telinga. Kembali ia membawa orang itu naik ke
atas pohon.
Tepat dugaannya, pengemis baju bersih yang berjiwa
khianat ini menjadi ketakutan, apalagi ketika ia mengenal bahwa yang
menawannya adalah Mutiara Hitam yang sudah amat terkenal di antara kaum
sesat dunia pengemis. Wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, akan tetapi
ia tidak berani berteriak minta tolong karena tak dapat bersuara akibat
totokan pada urat gagunya.
“Bawa aku ke tempat tahanan Pangeran
Mahkota Khitan, dan kau tidak akan kubunuh.” desis Kwi Lan sambil
menempelkan pedangnya di leher orang itu. Si Pengemis terbelalak,
mengangguk-angguk.
“Akan kubebaskan totokanmu dan kau boleh
berteriak minta tolong, akan tetapi pedangku akan menembus lehermu
sebelum ada kawanmu yang datang untuk menolongmu!” Kembali orang itu
menggeleng-geleng kepala dan dengan sebuah totokan Kwi Lan
membebaskannya.
“Ampunkan aku, Li-hiap....”
“Sst, jangan banyak cerewet,” bisik Kwi Lan. “Hayo bawa aku ke tempat itu.”
Mereka turun dari pohon, Kwi Lan terus mengikuti orang ini dengan ujung
pedang ditodongkan di punggung. Pengemis itu lalu mengambil jalan
simpangan, melalui alang-alang dan kumpulan pohon yang besar dan liar,
jauh dari jalan kecil yang penuh jebakan.
Sampai lima kali orang
itu menyuruh Kwi Lan berhenti di tempat-tempat tertentu, berbisik
bahwa tempat itu terjaga oleh seorang dua orang penjaga. Kwi Lan
menotoknya lumpuh, kemudian merayap ke tempat penjagaan. Pedangnya
bekerja cepat dan di setiap tempat penjagaan rahasia ini dua atau tiga
orang penjaganya roboh binasa semua sebelum mereka sempat bergerak.
Akhirnya, lima tempat penjagaan rahasia dapat dilalui dan mereka kini
menuju ke tepi Sungai Huang-ho, sebuah daerah yang berbatu-batu besar.
Kwi Lan biarpun melakukan perjalanan malam gelap, hanya diterangi bulan
sepotong, namun ia mencatat jalan liar ini di dalam ingatannya. Kalau
sudah berhasil membebaskan Pangeran Mahkota, jalan ini akan membawa
mereka keluar dari sarang Bouw Lek Couwsu.
“Di sanalah tempat
tahanan itu, Lihiap. Di dalam guha, yang tampak dari sini itu.”
pengemis yang ditawan itu berbisik, suaranya gemetar dan dengan ujung
bajunya ia menghapus peluh. Mereka telah melakukan perjalanan yang amat
sukar dan amat lambat sehingga malam telah menjelang pagi ketika mereka
tiba di tempat ini. Kwi Lan menggerakkan jari tangannya menotok
tawanannya. Orang itu mengeluarkan suara keluhan dan roboh tak mampu
bergerak lagi, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak
memandang penuh rasa takut. Nyawanya berada di ujung rambut. Andaikata
ia terbebas dari kematian di tangan gadis ini, kalau hwesio jubah merah
tahu akan perbuatannya membawa Mutiara Hitam ke sini, ia pasti akan
mengalami kematian yang lebih hebat lagi.
Dengan amat hati-hati
Kwi Lan merayap di bawah rumput tinggi, mendekati bukit-bukit batu yang
berbaris di sepanjang tepi sungai. Setelah tiba di barisan batu itu,
ia meloncat dan menyelinap di belakang batu, lalu perlahan-lahan ia
bergerak mendekati guha batu yang tadi ditunjukkan dari jauh oleh
tawanannya. Tiba-tiba ia berhenti dan menyelinap di belakang batu,
mengintai. Jantungnya berdebar keras karena tegang. Kiranya di depan
guha yang cukup besar itu terdapat lima orang penjaga! Dan melihat
keadaan mereka, ia dapat menduga bahwa lima orang yang bertugas menjaga
tempat tahanan Ini tentulah bukan orang-orang biasa. Tiga orang hwesio
jubah merah yang bersenjata pedang, seorang bangsa Hsi-hsia yang tinggi
besar dan memegang sebuah penggada yang mengerikan karena selain besar
dan berat juga dihias duri-duri runcing, sedangkan orang ke lima adalah
seorang kecil pendek yang memegang toya. Melihat tambal-tambalan pada
pakaian orang ini jelas bahwa dia seorang tokoh kai-pang yang sesat.
Kwi Lan mengintai, hatinya berguncang. Tentu saja ia tidak gentar.
Akan tetapi tampaknya lima orang itu cukup tangguh. Kalau ia melompat
keluar dan dikeroyok lima, tentu tidak dapat mencapai kemenangan secara
cepat dan kalau ia tidak bekerja cepat dan keburu datang bala bantuan
atau Bouw Lek Couwsu muncul sendiri, usahanya tentu akangagal. Ia mulai
menyesal mengapa tidak datang bersama Yu Siang Ki. Kalau ada pemuda itu
di sampingnya tentu akan lebih kuat keadaannya dan lebih banyak harapan
akan berhasil. Apalagi kalau Kiang Liong ikut membantu. Pemuda hebat!
Pemuda lihai luar biasa. Tiba-tiba Kwi Lan mencubit telinganya sendiri.
Hatinya gemas. Mengapa tiada hujan tiada angin ia teringat dan
mengenang pemuda itu? Ih, pemuda sombong. Tidak memandang mata
kepadanya! Padahal semua pemuda, yang tampan-tampan dan gagah-gagah,
seorang demi serang jatuh cinta kepadanya! Mula-mula Tang Hauw Lam Si
Berandal! Hampir ia tertawa ketika teringat kepada Hauw Lam. Kemudian
Siang Koan Li, dan Yu Siang Ki. Akan tetapi Kiang Liong ini tidak
memandang sebelah mata kepadanya! Si Sombong, mentang-mentang menjadi
murid Suling Emas lalu besar kepala!
Kwi Lan makin gemas.
Menghadapi tugas berat, mengapa ia masih melamun yang bukan-bukan?
Salahnya orang she Kiang itu! Ia mengusir semua kenangan, kemudian
menjemput batu kecil, dilemparkan ke sebelah kanannya, kurang lebih dua
puluh meter jauhnya dari mulut guha.
“Eh, apa itu?” Seorang di
antara mereka bangkit berdiri, yakni hwesio jubah merah yang kepalanya
besarsekali. Ia mencabut pedang lalu menggerutu. “Biar pinceng periksa,
siapa tahu ada musuh.”
“Benar, mari kita periksa, Suheng.” kata hwesio kedua yang kurus kering seperti cecak mati sambil mencabut pedangnya pula.
Kwi Lan siap dengan jarum-jarumnya, mendekam di belakang sebuah batu
besar. Ketika ia mendengar jejak kaki dua orang hwesio ini sudah datang
dekat, lewat di depan batu besar, ia membiarkan mereka lewat beberapa
langkah, kemudian tiba-tiba ia menyerang dengan jarum-jarum hijau dari
belakang!
Hebat bukan main serangan ini. Jarum-jarum hijau itu
adalah senjata-senjata rahasia yang halus sekali, dilontarkan dengan
tenaga sin-kang sehingga hampir tak mengeluarkan suara, saking cepatnya
hanya tampak sinar kehijauan. Apalagi dilontarkan dari jarak dekat dan
dari belakang Si Korban, benar-benar amat berbahaya. Dua orang hwesio
itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu, akan tetapi menghadapi
serangan gelap seperti ini mereka tidak dapat menyelamatkan diri.
Biarpun mereka yang telah memiliki gerak reflek lumayan, namun ketika
mengelak masih kurang cepat sehingga dua tiga batang jarum telah
menyusup ke dalam kulit memasuki daging meracuni darah. Dua orang hwesio
ini menjerit, terhuyung-huyung dan sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam
dua kali bergerak, menamatkan riwayat dua orang hwesio ini. Setelah
membunuh dua orang lawannya, Kwi Lan cepat menyelinap kembali ke
belakang batu besar.
Tiga orang penjaga yang lain terkejut
sekali, dengan lompatan-lompatan jauh mereka menyerbu. Kwi Lan
mempergunakan kesempatan ini untuk memutar batu besar, lalu cepat ia
lari memasukiguha. Ia melihat seorang pemuda yang tampan, tubuh dari
pinggang ke atas telanjang, berdiri dengan terbelenggu. Pemuda ini
setengah pingsan, bersandar pada dinding batu, tubuhnya yang kuat dan
berkulit putih bersih itu penuh dengan luka-luka bekas cambukan. Namun
wajah yang tampan itu masih membayangkan kegagahan dan keagungan,
sedikit pun tidak kelihatan takut atau khawatir.
Kwi Lan memegang pundaknya, mengguncangnya perlahan. “Eh, sadarlah!”
Pemuda itu membuka matanya, memandang heran, seakan-akan tidak percaya
akan pandang matanya sendiri. Sinar matanya yang tajam itu seperti
bertanya apakah ia dalam mimpi.
“Jawablah, apakah engkau ini Pangeran Mahkota Khitan yang bernama Pangeran Talibu?”
Pemuda itu sejenak memandang tajam, lalu balas bertanya. “Engkau siapakah, Nona? Bagaimana kau bisa....”
“Tidak penting aku siapa, yang penting, apa kau benar Pangeran Mahkota Talibu?” Suaranya gemas dan tidak sabaran.
Pemuda itu menahan senyum yang mengembang di bibirnya, lalu
mengangguk. “Aku mengenalmu! Ya.... Aku mengenalmu. Kau tidak, asing
bagiku.... tapi di mana dan kapankah? Nona, kau siapakah?”
“Wah, kau cerewet benar, apakah pangeran-pangeran memang cerewet? Aku datang untuk menolongmu.”
Pemuda itu tiba-tiba membelalakkan matanya dan berseru. “Nona, awas....!”
Kwi Lan yang sudah lega hatinya karena yakin bahwa pemuda inilah
Pangeran Mahkota Khitan yang harus ditolongnya, cepat membalikkan tubuh
dan pedang Siang-bhok-kiam sudah berada ditangan kanannya. Kiranya tiga
orang itu, sisa para penjaga sudah kembali ke situ dan berdiri di depan
guha dengan senjata di tangan dan sikap mengancam. Melihat ini,
Pangeran Talibu mengeluh, memejamkan mata dan berkata lirih.
“Nona, kenapa kau mengorbankan diri untukku? Kenapa....?” Ia tidak
berani menoleh, tidak tega menyaksikan nona ini dikeroyok para penjaga
yang ia tahu amat lihai. Di samping kekhawatirannya, ia pun masih
mengingat-ingat di mana dan kapan ia pernah melihat nona ini.
Wajah yang jelita itu bukan asing baginya, wajah yang amat dikenalnya, akan tetapi ia tidak ingat kapan dan di mana.
Pangeran Talibu makin merapatkan matanya, keningnya berkerut ketika ia
mendengar suara “cring-cring-trang-trang!” bertemunya senjata tajam,
diseling bentakan marah tiga orang penjaga yang mengeroyok nona itu. Ia
tahu betapa lihai para penjaga itu, terutama sekali hwesio-hwesio jubah
merah. Seorang gadis remaja seperti tadi mana akan mampu bertahan
melawan pengeroyokan mereka? Melawan seorang di antara mereka saja sudah
cukup berat. Kecuali kalau dara itu memiliki ilmu kehebatan sehebat
ibunya. Ibunya. Teringatlah ia sekarang. Gadis itu mirip benar dengan
ibunya! Hanya bedanya tua dan muda. Mata itu, bibir itu! Ia menjadi
makin heran dan makin khawatir. Sepuluh menit sudah lewat. Suara
pertempuran sudah berhenti. Ah, tentu gadis yang mirip ibunya itu sudah
menggeletak menjadi mayat. Atau tertawan. Ih, kalau ia teringat akan
nasib lima orang gadis yang jatuh ke tangan Bouw Lek Couwsu, Butek
Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia menjadi ngeri. Lebih baik dara ini mati
saja daripada tertawan hidup-hidup!
Talibu membuka matanya
dan.... ia terbelalak heran dan juga kagum. Tiga orang penjaga sudah
menggeletak di depan guha, tak bernyawa lagi! Adapun dara itu sejenak
memandang ke sekeliling depan guha, kemudian meloncat masuk ke dalam
guha, gerakannya seperti seekor burung, demikian ringan dan lincah.
Wajahnya tetap tenang dan napasnya biasa saja seakan-akan bukan seperti
orang yang baru saja dikeroyok tiga lawan berat!
“Tahanlah, aku
akan melepaskan belenggu!” bisik Kwi Lan dan sinar hijau berkelebat
ketika ia menggerakkan pedangnya. Terdengar suara nyaring empat kali.
Pangeran Talibu menggigit bibir karena setiap kali pedang membabat
belenggu, ia merasa kulit tangan atau kakinya panas dan sakit. Akan
tetapi kini ia telah bebas, belenggu yang mengikat kaki tangannya sudah
putus semua. Ia menjadi makin kagum, memandang Kwi Ian dengan sepasang
mata bersinar-sinar.
“Nona, kau....”
“Sstt, mari kita
lari!” Kwi Lan menyambar tangan Pangeran itu dan ditariknya keluar
dari guha, diajak lari cepat meninggalkan guha. Tak jauh dari guha
Talibu melihat mayat dua orang hwesio jubah merah, maka mengertilah ia
mengapa hanya ada tiga orang penjaga yang tadi mengeroyok gadis perkasa
ini. Kiranya yang dua orang sudah dipancing keluar dan dibunuh pula.
Talibu lalu mengambil sebatang pedang milik hwesio itu, barulah ia
mengikuti Kwi Lan sambil berkata.
“Nona, kau benar hebat! Aku kagum dan berterima kasih....”
““Sssttt, jangan cerewet! Kita belum bebas!” bisik Kwi Lan galak.
Talibu yang berjalan berindap-indap di belakang gadis ini mau tak mau
tersenyum. Gadis ini hebat, memiliki ilmu silat tinggi dan ketabahan
yang luar biasa. Juga galaknya tidak kepalang. Baru sekali ini selama
hidupnya ia dimaki-maki cerewet beberapa kali oleh seorang gadis
remaja. Dia, putera Ratu Khitan, Pangeran Mahkota yang disembah-sembah
rakyatnya, kini dicerewet-cerewetkan oleh seorang gadis jelita yang
galak!
Akan tetapi belum lama mereka pergi, baru tiba di daerah
hutan, terdengar bunyi terompet dan dari empat penjuru muncullah
pasukan Hsi-hsia yang mengurung mereka. Pangeran Talibu tertawa,
membuat Kwi Lan terheran dan gadis ini menoleh, memandang Pangeran itu,
khawatir kalau-kalau dalam keadaan terancam pangeran itu menjadi gila
karena takut. Akan tetapi Pangeran yang tak berbaju, tubuhnya luka-luka
itu berdiri tegak dengan sikap gagah, pedang yang dipungutnya tadi
melintang di depan dada, matanya bersinar-sinar, wajahnya amat tampan.
Pangeran itu membalas pandang mata Kwi Lan dan berkata.
“Bagus! Seperti inilah selayaknya seorang pangeran tewas! Tidak mati
konyol dalam guha sebagai tawanan. Mati dalam medan perang adalah mati
nikmat, mati terhormat. Namun, kalau Tuhan menghendaki dan aku akan
dapat terbebas daripada ancaman ini sehingga dapat melanjutkan hidup,
percayalah, aku Talibu selama hidupku tidak akan pernah melupakan
engkau! Sekarang aku tidak peduli lagi. Andaikata kita berdua takkan
dapat lolos, bagi aku, mati dalam bertanding di sampingmu merupakan
kehormatan besar. Ha-ha-ha!”
Kwi Lan memandang dengan mata
berseri. Sungguh patut menjadi seorang pangeran. Patut menjadi putera
angkat ibu kandungnya. Patut menjadi kakak angkatnya. Pemuda ini
memiliki semangat pendekar, jiwa satria, dan amat tampan! Ia pun
tersenyum dan berkata lirih.
“Pangeran Talibu, selama nyawa saya
belum meninggalkan badan, selalu masih ada harapan untuk hidup. Mari
kita menghajar anjing-anjing Hsi-hsia itu!”
“Bagus! Kau hebat
sekali, Nona. Marilah kita mati bersama atau bebas!” Pangeran Talibu
berseru penuh semangat sambil menerjang maju, memutar pedangnya.
Melihat gerakan pedang Pangeran itu, Kwi Lan maklum bahwa orang-orang
Hsi-hsia untuk sementara tidak mungkin dapat merobohkannya, maka ia pun
lalu meloncat maju memutar pedangnya, tidak jauh dari Sang Pangeran
karena ia harus memasang mata melindungi Pangeran itu dari marabahaya.
Begitu enam orang memapaki pedangnya, Kwi Lan membuat gerakan menyilang
dengan pedang agak ke bawah dan robohlah tiga orang lawan dengan perut
terobek pedang!
Tiba-tiba terdengar suara bergelak ketawa dan
Kwi Lan cepat-cepat meloncat mundur ketika ada angin hebat menyambar
dari kanan kiri. Kiranya Siauw-bin Lo-mo telah berdiri di depannya dan
tadi mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
“Kakek busuk! Mari kita mengadu nyawa!” bentak Kwi Lan yang menjadi marah sekali melihat musuh besarnya Ini.
“Heh-heh-heh, kau masih belum kapok?” Siauw-bin Lo-mo mengejek dan
cepat menubruk maju. Kwi Lan menyambar dengan tusukan pedang, akan
tetapi sambil membuang diri ke kiri, kakek itu maju terus, tangannya
menjangkau dan hampir saja pundak Kwi Lan kena dicengkeram! Hebat bukan
main dan aneh gerakan kakek lihai ini. Kwi Lan berlaku hati-hati, tidak
memberi kesempatan kepada kakek bertangan kosong itu untuk mendekati
dirinya dengan jalan memutar pedang ke mana pun bayangan kaki itu
berkelebat. Dengan gerakannya yang lincah dan ilmu pedang yang ganas,
untuk sementara Kwi Lan dapat, bertahan terhadap desakan kakek ini,
akan tetapi hatinya gelisah karena ia kini sama sekali tidak dapat
membagi perhatiannya untuk melindungi Pangeran Talibu.
“Pangeran, kau larilah!” bentak Kwi Lan nyaring sambil menubruk dengan
pedangnya yang diputar membentuk lingkaran panjang. Namun Siauw-bin
Lo-mo sambil terkekeh-kekeh dapat menghindarkan diri dan membalas
dengan sebuah tendangan kuat yang dipapaki sabetan pedang dengan gemas
oleh Kwi Lan. Kembali kakek itu dapat menghindarkan diri.
Serang-menyerang terjadi dan Kwi Lan terpaksa harus mencurahkan seluruh
perhatiannya terhadap kakek ini.
Siauw-bin Lo-mo diam-diam
menjadi gemassekali. Ia ingin menangkap hidup-hidup nona ini, untuk
dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu sebagai tebusan tempo hari ketika
ia kehilangan gadis yang sudah menjadi tawanannya. Setelah melayani
Kwi Lan selama lima puluh jurus dan melihat betapa Pangeran Talibu juga
belum dapat tertawan kembali, ia mendapatkan akalbaik. Ia tahu bahwa
orang-orang Hsi-hsia dan para hwesio anak buah Bouw Lek Couwsu tidak
berani membunuh Pangeran Talibu yang merupakan tawanan penting, dan
untuk menangkap hidup-hidup Pangeran yang nekat itu pun bukan hal mudah
bagi mereka.
“Kalian kepung gadis ini!” Tiba-tiba ia berseru dan
tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik beberapa kali melewati
kepala hwesio-hwesio jubah merah yang sudah datang menerjang Kwi Lan,
kemudian turun di depan Pangeran Talibu sambil terkekeh menyeramkan.
Pangeran Talibu terkejut, cepat menusukkan pedangnya ke dada kakek
itu, Siauw-bin Lo-mo hanya miringkan tubuh kemudian secepat kilat ia
sudah menangkap pergelangan tangan Pangeran itu, merampas, pedangnya,
kemudian sekali kakinya menendang lutut, Pangeran Talibu roboh.
Siauw-bin Lo-mo menempelkan ujung pedang di dada Pangeran Talibu sambil
berseru.
“Mundur semua! Lepaskan bocah itu!”
Namun
sebelum para pengeroyok mundur, Kwi Lan sudah berhasil merobohkan empat
orang hwesio jubah merah dengan pedangnya yang ganas. Kini ia membalik
memandang ke arah suara Siauw-bin Lo-mo dan pucatlah wajahnya ketika
melihat Pangeran Talibu sudah roboh dan ditodong pedang.
“Heh-heh-heh, bocah nakal. Lekas kaulepaskan pedang dan menyerah. Kalau
tidak, sebelum aku mengambil nyawamu, Pangeran ini akan kutusuk sampai
tembus jantungnya!”
Kwi Lan ragu-ragu. Ia maklum akan kelihaian
kakek itu dan harus ia akui bahwa dia sendiri belum tentu dapat
mengatasinya. Dan ia tahu pula betapa kejam hati Si Kakek yang tentu
tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Pangeran Talibu. Hatinya menjadi
lemas dan ia berdiri dengan tubuh lemas.
“Nona, kau larilah!
Jangan mendengarkan ocehan kakek ini. Kematian bagi Talibu bukan
apa-apa! Lari dan lawanlah, Jangan menyerah!” Talibu berteriak-teriak
akan tetapi sebuah tendangan pada dagunya membuat ia pingsan!
“Heh-heh-heh, Nona, kau menghendaki aku menusuk jantungnya?” Siauw-bin
Lomo mengguratkan ujung pedang pada dada yang telanjang itu
dan....kulit Pangeran Talibu di dada robek sedikit, memperlihatkan garis
merah memanjang. Kwi Lan merasa pusing, terpaksa melepaskan pedangnya
dan berkata lemah, “Siauw-bin Lo-mo, kau jahanam tua bangka, lepaskan
dia!”
“Heh-heh-heh, aku tidak akan membunuhnya kalau kau menyerah. Hayo belenggu dia!”
Empat orang hwesio jubah merah menghampiri Kwi Lan dan membelenggu
kedua tangan gadis itu. Kwi Lan tidak melawan. Ia harus berani menyerah
untuk menyelamatkan nyawa Pangeran Talibu. Seorang Hsi-hsia tinggi besar
yang merasa benci dan marah kepada gadis yang telah membunuh banyak
kawannya ini, menyeringai dan datang mendekati Kwi Lan, tangannya
menjangkau untuk meraba dada gadis itu. Sudah biasa bagi orang-orang
peperangan ini apabila pasukan mereka menawan seorang wanita, siapa saja
di antara anggauta pasukan boleh mempermainkan si tawanan. Orang
Hsi-hsia tinggi besar ini pun tidak terkecuali. Melihat kecantikan Kwi
Lan dan mengingat betapa gadis ini sudah menjatuhkan korban banyak di
antara temannya, ia hendak menjadi orang pertama menghina dan
mempermainkan gadis jelita yang lihai ini.
“Heh, mundur....!”
Namun seruan Siauw-bin Lo-mo ini terlambat. Kalau kakek ini mau tentu
saja ia akan dapat menyelamatkan orang Hsi-hsia itu, akan tetapi tentu
saja ia tidak sudi merendahkan diri menolong seorang perajurit Hsi-hsia
biasa yang baginya tidak lebih seekor kucing atau anjing.
Pada
saat jari tangan kurang ajar itu menyentuh dada, kaki Kwi Lan bergerak
dengan kecepatan yang sukar diduga, tepat menghantam pusar orang
Hsi-hsia itu yang hanya sempat mengeluarkan suara “Hekkk!” lalu tubuhnya
terlempar dan roboh tak dapat bergerak lagi. Isi perutnya berantakan
karena tendangan Kwi Lan tadi mengandung tenaga sinkang yang hebat!
Setelah menendang, gadis itu tetap tenang hanya menyapu semua orang
dengan pandang mata dingin, yang agaknya bertanya atau menantang siapa
lagi berani kurang ajar terhadap dirinya. Keadaan tegang dipecahkan
suara ketawa Siauw-bin Lo-mo.
“Heh-heh-heh, orang goblok macam
dia sudah sepatutnya mampus! Hayo bawa tawanan menghadap Couwsu!” Ia
sendiri lalu memegang dengan dan menarik Kwi Lan, sedangkan Pangeran
Talibu yang pingsan dipanggul oleh seorang hwesio jubah merah.
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, memang sudah takdirnya engkau bernasib baik.
Lihat siapa yang kutawan untukmu ini. Si Mutiara Hitam! Ha-ha-ha,
kutanggung selama hidupmu belum pernah kau menikmati bunga liar sehebat
ini!” kata Siauw-bin Lo-mo kepada Bouw-Lek Couwsu yang sedang duduk
bercakap-cakap ditemani Bu-tek Siu-lam dan Thai-lek Kauw-ong serta
Jin-cam Khoa-ong. Memang Bouw Lek Couwsu selain lihai ilmunya juga amat
cerdik. Dalam usahanya memperluas daerah kekuasaan dan menggerakkan
bangsa Hsi-hsia menyerbu Kerajaan Sung, ia telah dapat pula menempel
kelima orang Bu-tek Ngo-sian. Tentu saja lima orang sakti ini suka
sekali bersekutu dengan Bouw Lek Couwsu, oleh karena, kecuali Thai-lek
Kauw-ong seorang, mereka semua pun bercita-cita untuk mengangkat diri
sendiri menjadi seorang yang berkedudukan tinggi. Dengan bersekutu
dengan Bouw Lek Couwsu mereka mendapatkan sekutu yang kuat dengan
barisan orang-orang tangguh.
Sian Eng sendiri tidak bersekongkol
dengan pemimpin Hsi-hsia ini karena wanita ini mempunyai cita-cita
yang lebih tinggi lagi, yaitu apabila bala tentara Hsi-hsia berhasil
mengalahkan Kerajaan Sung, ia akan mengangkat puteranya, Suma Kiat,
menjadi kaisar baru. Betapa tidak? Suma Kiat adalah putera Suma Boan
yang masih keturunan Pangeran! Inilah sebabnya mengapa Kam Sian Eng
menempatkan puteranya di kota raja di rumah Pangeran Kiang, kemudian
mengusahakan persekutuan di antara pembesar-pembesar Kerajaan Sung.
Adapun Bu-tek Siu-lam, tokoh sakti banci itu, adalah seorang dari dunia
barat yang sengaja bertualang untuk mencari kesempatan baik guna
menempatkan dirinya dalam kedudukan yang tinggi. Tadinya ia hanya ingin
menguasai para pengemis dan ingin menjadi raja pengemis, akan tetapi
kini melihat kesempatan terbuka untuk memperoleh kedudukan ynng lebih
tinggi lagi, ia segera menerima penawaran Bouw Lek Couwsu untuk
bersekutu dan mengerahkan barisan pengemis baju bersih untuk membantu
Hsi-hsia apabila saat penyerbuan tiba. Ia yakin bahwa kalau gerakan ini
berhasil, kelak ia sedikitnya tentu akan menjadi seorang pangeran!
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang perampok sejak kecil, kini pun ia telah
menjadi datuk para perampok dan bajak. Setelah terbuka kesempatan untuk
memiliki jabatan atau kedudukan tinggi, tentu saja ia pun senang
membantu Bouw Lek Couwsu. ia sudah tua dan sudah waktunya hidup
bergelimang kesenangan dan kemewahan, hidup dimuliakan orang sampai
matinya. Ia pun mengerahkan anak buahnya, para perampok dan bajak, juga
orang-orang Thian-liong-pang, untuk membantu usaha Bouw Lek Couwsu
bahkan berjanji kelak akan bergerak dari dalam bersama para pengemis
anak buah Bu-tek Siu-lam.
Jin-cam Khoa-ong sudah tentu saja
mendukung usaha Bouw Lek Couwsu sepenuh hati. Seperti diketahui, Algojo
Manusia ini juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara), menjadi
musuh Kerajaan Khitan dan dianggap sebagai seorang pengkhianat bangsa
Khitan. Ia pun menyatakan ingin membantu Hsi-hsia dengan janji bahwa
kalau usaha Hsi-hsia ini berhasil, kelak ia akan diberi pinjam tentara
dan perlengkapan untuk menyerbu Khitan dan merampas singgasana Ratu
Khitan yang menjadi musuh besarnya.
Hanya Thai-lek Kauw-ong
seorang yang tidak mempunyai cita-cita. Ia datang ke markas Bouw Lek
Couwsu karena terbujuk teman-temannya dan terutama sekali karena tidak
mau kalah dengan empat orang temannya yang katanya sedang mengusahakan
pekerjaan penting dan besar. Ia sendiri tidak peduli siapa yang akan
menjadi kaisar, akan tetapi kalau empat orang kawannya yang tergabung
dalam Bu-tek Ngo-sian semua berjasa, dan ia sendiri berpeluk tangan
tentu namanya akan kalah dan ia tidak patut menjadi orang pertama dari
Bu-tek Ngo-sian. Inilah sebabnya mengapa ia suka datang menjadi tamu
Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi ia tidak pernah ikut bicara tentang urusan
pemberontakan, hanya menikmati hidangan yang serba lezat. Bouw Lek
Couwsu sendiri yang cerdik juga tidak mau mengajak kakek raja monyet ini
untuk merundingkan soal politik, karena ia hanya mengharapkan bantuan
tenaga kakek sakti itu apabila menghadapi musuh-musuh tangguh kelak. Apa
lagi kalau diingat bahwa Thsi-lek Kauw-ong tidak mempunyai seorang pun
pengikut atau anak buah. Kini kelima Bu-tek Ngo-sian sudah lengkap
sendiri di belakangnya, bahkan sudah berkumpul di markas Sian-toanio
yang lebih aktip bersama puteranya untuk mengumpulkan dan memperkuat
persekutuannya dengan pembesar-pembesar kota raja.
Ketika
Siauw-bin Lo-mo datang membawa tawanan Mutiara Hitam, ia menjadi girang
dan juga terkejut mendengar laporan tentang usaha Mutiara Hitam untuk
membebaskan Pangeran Talibu. Ah, ia terlalu sembrono, terlalu percaya
kepada alat-alat rahasia dan penjagaan anak buahnya. Ternyata masih ada
yang menyelundup dan hampir saja membebaskan tawanan penting itu. Ia
telah menggunakan pelbagai usaha untuk memaksa Pangeran Talibu menulis
surat kepada Ratu Khitan, bahkan sudah menyiksanya, namun pangeran yang
keras hati itu tetap tidak mau menuruti permintaannya. Pangeran itu
ditahan dalam guha juga dalam rangka penyiksaan agar Pangeran itu
tunduk. Siapa kira malah hampir dibebaskan Mutiara Hitam.
Bouw
Lek Couwsu adalah seorang laki-laki tua, seorang pendeta yang diwaktu
mudanya terlalu banyak mengejar ilmu, mengekang nafsu dan karena pada
dasarnya ia memang seorang hamba nafsu, setelah tua pengekangannya
jebol dan jadilah ia seorang sakti yang gila nafsu, gila perempuan.
Melihat Mutiara Hitam yang selain muda remaja dan cantik jelita, juga
lihai ilmu silatnya, ia sudah mengeluarkan air liur. Akan tetapi di
samping sifatnya yang mata keranjang, ia amat cerdik dan ambisinya besar
sekali untuk kedudukan yang tertinggi. Ambisi ini agaknya lebih besar
daripada nafsunya, sehingga begitu melihat Mutiara Hitam yang jelita
dan melihat Pangeran Talibu yang masih pingsan, timbul sebuah akalnya
untuk menundukkan. Pangeran Talibu.
“Bagus!” jawabnya kepada
Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa bergelak. “Sekali ini pinceng benar-benar
berterima kasih kepadamu, Lo-mo.” Kemudian ia berkata kepada muridnya,
“Masukkan mereka berdua dalam kamar tahanan di belakang, jaga yang kuat
jangan sampai ada kemungkinan didatangi orang luar!”
Setelah
Kwi Lan dan Pangeran Talibu dibawa pergi, Bouw Lek Couwsu membicarakan
rencananya terhadap Kwi Lan dan Talibu kepada empat orang kakek sakti
dan tertawalah mereka. Bahkan Thai-lek Kauw-ong mengangguk-anggukkan
kepalanya yang gundul sambil berkata.
“Demi Iblis! Engkau benar-benar pintar sekali, Couwsu!”
Bouw Lek Couwsu tertawa. “Memang, sesungguhnya sayang sekali melepaskan
bunga ini kepada seorang Hsi-hsia, sama dengan melemparkan daging
pilihan untuk seekor anjing buduk. Akan tetapi, makin buruk si anjing,
makin sakit hati Talibu dan makin besar kemungkinan ia menyerah!
Ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh, Couwsu. Rencanamu ini baik sekali, akan
tetapi harus cepat-cepat kaulaksanakan. Karena kalau sampai
Sian-toanio keburu datang, tak mungkin hal itu dilaksanakan lagi, bahkan
kiraku, Mutiara Hitam harus dibebaskan.”
“Mengapa?” Bouw Lek Couwsu bertanya heran.
“Heh-heh, Mutiara Hitam itu adalah murid Sian-toanio.”
Semua orang terkejut mendengar ini. Keadaan menjadi sunyi. Bouw Lek
Couwsu mengerutkan kening lalu memandang Siauw-bin Lo-mo. “Eh, Lo-mo.
Apa artinya ini? Kalau kau sudah tahu dia murid Sian-toanio, mengapa
kau sengaja menawannya dan memberikannya kepadaku? Apakah kau sengaja
hendak mengadu aku dengan Sian-toanio?”
Siauw-bin Lo-mo
terkekeh, “Couwsu, kau benar-benar pelupa sekali. Berapa kali Mutiara
Hitam menentangmu? Berapa kali menentangku? Bahkan sekarang dia datang
untuk membebaskan Talibu. Bukankah dia termasuk musuh yang berbahaya?
Kalau muridnya seperti itu, kita harus berhati-hati terhadap gurunya.
Siapa tahu hati macam apa yang ada di balik kedok kerudung hitam
mengerikan itu? Kau harus hati-hati, Couwsu”
Bouw Lek Couwsu
masih mengerutkan kening, meraba-raba dagunya, berpikir lalu
mengangguk-angguk. “Hemmm, memang diam-diam aku sudah menaruh curiga
kepada wanita itu. Kalau dapat menariknya sebagai kawan, baik, kalau
sebagal lawan, amat berbahaya. Memang kita harus berhati-hati dan
rencana ini harus cepat-cepat dikerjakan, sekarang juga!”
Kalau
Kwi Lan dan Talibu mendengar apa yang mereka rencanakan tentu hati kedua
orang muda ini menjadi cemas sekali. Akan tetapi mereka tidak
mendengar apa-apa ketika mereka digusur dan dimasukkan ke dalam sebuah
kamar tahanan yang luas. Kamar ini merupakan ruangan yang lebarnya
sepuluh meter, kosong tidak ada perabot sebuah pun. Lantainya dari batu
putih yang bersih dingin, dindingnya dari tembok tebal, atapnya pun
dilapisi jeruji besi yang amat kuat. Sebuah jendela di samping
dilindungi jeruji besi sebesar lengan manusia, pintunya juga besi dan
bagian atasnya ada jeruji pula. Setelah Kwi Lan yang dibelenggu kedua
tangannya dan Talibu yang masih pingsan itu didorong masuk, pintu
ditutup kembali dan dikunci dari luar. Dua pasang mata penjaga untuk
beberapa lama memandang ke arah Kwi Lan dengan pandang mata kurang ajar,
mulut mereka menyeringai kemudian mereka bicara dalam bahasa Hsi-hsia,
tertawa-tawa dan lenyap dari balik jeruji pintu.
Kwi Lan duduk
di atas lantai, memandang Pangeran Talibu yang rebah telentang di
dekatnya. Kembali jantungnya berdebar. Wajah Pangeran ini telah
menggetarkan perasaannya, membuat darahnya berdenyut lebih cepat
daripada biasa. Ia telah rela menyerah, rela ditawan untuk
menyelamatkan nyawa pemuda yang baru sekarang ia jumpai ini. Alangkah
anehnya ini. Biasanya ia tidak peduli akan keadaan orang lain. Mengapa
ia menjadi takut dan ngeri melihat
bersambung 8 ................
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar