Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [ 4 ]

tidak kucegah, agak­nya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga. Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi, sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat mengampuni­nya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song....”

“Ahhhhh....!” Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata berapi.

Suma Boan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau sang­ka bahwa aku mau begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun menjadi sahabat baikku? Tidak! Tentu saja di depan Ayah aku tidak berani membantah, karena aku pun dapat menyelami perasa­an Ayah dan secara jujur aku harus mem­benarkan hukuman itu. Namun, betapapun juga, aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu mendatangi Bu Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak menjalankan sia­sat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga hari kemudian, malam-malam menyerbu dan mem­bebaskan Bu Song. Dengan akal demi­kian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.

“Kemudian bagaimana.... Koko?” Di­am-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya, sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra. Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak men­dahului menyebut gadis itu adik.

“Untuk memudahkan rencanaku itu, pada malam hari ke tiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song dan meng­ikatnya pada balok bersilang....”

“Seperti yang kaulakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?”

Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat menguasai perasaan­nya dan berkata.

“Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah ber­jumpa dengannya?”

“Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas....”

“Ahhh! Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali....!”

“Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”

“Aneh sekali.... dia benar-benar orang aneh....” Suma Boan berkata lirih, kepada diri sendiri.

“Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”

“Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan kemarahanku. Telah ku­ceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya men­cambukinya agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat di taman dan aku mengerti bah­wa menjelang tengah malam, tentu teman-temanku yang sudah siap akan da­tang menyerbu dan membawanya lari keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar menyerbu, akan tetapi.... Bu Song sudah tidak ada lagi di sana! Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main kepadaku dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah, karena melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Su Song. Apalagi setelah beberapa tahun kemudi­an, adikku sudah menikah dengan pange­ran tunangannya, Bu Song secara sem­bunyi muncul lagi dan bahkan berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan di sana!”

“Apa....?” Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran, juga terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap Suma Ceng sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu sudah menjadi isteri orang lain?

Suma Boan mengangguk-angguk. “Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song. Apalagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini ma­lah membela kakaknya, sehingga kema­rahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat dan tidak membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau lenyap. Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang mengerikan.”

“Kalau begitu.... agaknya.... Kakak Bu Song memang keterlaluan. Kalau ke­kasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”

Suma Boan tersenyum penuh rahasia. “Dia mempunyai hubungan dengan Kera­jaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya di sana. Kau percayalah ke­padaku Adik Sian Eng.”

“Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”

Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang di antara mereka berlari-lari ke dalam untuk melaporkan keda­tangan mereka. Suma Boan mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng tangan gadis itu.

Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun daripada­nya, wajahnya yang cantik jelita mem­bayangkan keagungan, rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi, tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.

“Twako (Kakak), malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapakah?”

Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang men­jadi kekasih hati kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.

“Ceng-moi (Adik Ceng) aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak terlambat datang ke sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan, menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini. Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?”

Pandang mata Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang tertekan, “Ah.... dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi bersama teman-temannya....” kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid siapakah. Twako, biar­kan dia tidur bersamaku agar kami dapat bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan kuperin­tahkan pelayan membereskannya.”

Suma Boan tersenyum, menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya. “Asal kau tahu saja bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”

Suma Ceng menahan seruannya de­ngan menaruh tangan kiri di depan mu­lut, matanya terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah ber­suamikan orang lain namun tetap men­cinta kakaknya. Ia cepat memegang ta­ngan Suma Ceng dan berkata, “Enci, harap kau jangan kaget. Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku mendengar tentang kakak­ku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya. Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana.”

Suma Ceng menarik tangan Sian Eng. “Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam kamarku....!” Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya de­ngan hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.

***

“Heeeiiiii! Dengar kalian semua! Aku Si Suling Emas selamanya tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Nan-ping maupun Nan-han dan kerajaan-kera­jaan di selatan lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat, kami sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw di sana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian!” Biarpun teriakan Suling Emas itu ba­gaikan halilintar dan sulingnya digerak­kan menjadi segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam para pengurung, namun puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau mundur, malah mendesak makin hebat.

“Jangan kira aku takut, tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi senjata yang pa­tah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan golok yang malang-melintang di depannya, “Lin Lin, serang dan robohkan mereka, tapi jangan bunuh!”

Akan tetapi jumlah pengeroyok makin banyak dan mereka berteriak-teriak, “Bunuh anjing pengkhianat! Jangan percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”

Suling Emas dan Lin Lin dalam perjalanan mereka tiba di luar kota Ban­-in di pinggir Sungai Yang-ce-kiang, dan di tempat inilah mereka dihadang kemu­dian dikeroyok oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini me­mang sudah berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin memang sudah diatur lebih dulu.

Biarpun puluhan orang pengeroyok itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apalagi Suling Emas. Se­bentar saja, golok-golok dan pedang-pedang berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba terdengar suara gerengan yang meng­getarkan bumi. Agaknya suara ini merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak, kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang hebat-hebat. Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang ham­pir telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun keduanya sama menjijikkan seperti bina­tang atau manusia hutan yang liar, na­mun keadaan mereka jauh berbeda. Yang seorang bertubuh gemuk dan di tengkuk­nya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan ko­tor. Kepalanya gundul, mata dan mulut­nya membayangkan kebuasan yang me­ngerikan. Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan ber­sama Suma Boan. Adapun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan, ka­rena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam Jahat.

Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali. “Aha, kiranya Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di belakang semua ini? Kalian mau apa?”

“Heh-heh, Suling Emas, menyerah kau dan gadis itu!” Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengeri­an.

“Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat!” Si Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak didengar.

Tiba-tiba Suling Emas tersenyum le­bar dan Lin Lin yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia me­lihat Suling Emas tersenyum lebar. Wa­jahnya berubah sekali, kemuraman le­nyap, wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat melihat Suling Emas seperti itu selalu!

“Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”

“Heh-heh, aku tahu kau tentu me­lawan. Lebih baik lagi, tinggal menyeret bangkaimu kubawa pulang!” Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat mengayun pedang yang menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan pedang pusaka ini maka ia menggeram dan me­ngubah gerakan menubruk menjadi gerak­an mencengkeram dari samping bawah!

Sementara itu, Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senja istimewa, yaitu seekor ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau menerjang Suling Emas. Biarpun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum bahwa Si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatan­nya, apalagi “senjata” ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis dan berbisa, membayangkan teraga sin-kang yang mujijat, bercampuran dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan belakangnya.

Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling Emas, akan tetapi yang mem­buat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihai­nya Lin Lin dengan ilmu warisan dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk menandingi se­orang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di antara Thian-te Liok-koai.

“He, Toat-beng Si Lembu Edan, tidak malukah kau melawan seorang gadis ci­lik? Hayo kau sekalian maju mengeroyok­ku!” bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian rupa sehingga gu­lungan sinar sulingnya itu menahan se­mua pengeroyok.

Akan tetapi, kiranya malah Lin Lin yang menjawab, “Siapa gadis cilik? Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan dengarkan dia, hayo kaulayani pedangku kalau memang berani! Lihat, ujung pedangku akan men­dodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu!” Lin Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati, karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.

Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga karena ini. Biarpun ia kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun dalam hal ilmu silat di dunia kang-ouw, sebagian besar te­lah dikenalnya, maka ia mengenal pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.

“Heh, kau murid Kim-lun Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh!” Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok suling Emas, memegang pada kakinya dan menggunakan dua “senjata hidup” ini menerjang Lin Lin.

Lin Lin kaget setengah mati. Ter­paksa ia menggerakkan pedang menangkis. “Crak! Crak!” Darah menyembur karena tubuh dua orang itu terbabat putus oleh pedangnya! Kakek itu tertawa-tawa dan.... menggelogok darah yang tersembur ke­luar itu ke dalam mulutnya, seperti orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pe­ngeroyok.

Lin Lin meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya men­jadi pucat dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah me­nerjagnya dengan dua “senjata hidup”. Lin Lin kewalahan, terpaksa kembali ia me­nangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan perut dan dada terbelah. Ta­ngan Lin Lin yang memegang pedang geme­tar dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah menubruknya dan sebuah ketukan keras pada perge­langan tangannya membuat Lin Lin ter­paksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas dan ia sudah di­sambar oleh Toat-beng Koai-jin yang ter­tawa terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh tin Lin yang lemas.

“Toat-beng Koai-jin, kalau kau meng­ganggu dia, aku bersumpah akan menyik­samu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat!” Bentakan Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba sulingnya melakukan gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong mun­dur sampai lima langkah.

“Ihhhhh.... ilmu apakah ini....?” Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu oleh para pe­ngeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar Toat-beng Koai-jin. Me­mang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi main­kan jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya me­lihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat baik. Cepat sulingnya ber­gerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari garis-garis segi empat yang melengkung. Kem­bali empat orang pengeroyok roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang da­lam pembuatan gerakan melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.

Suling Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota itu yang di­kenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan gi­rang bukan main melihat munculnya pen­dekar sakti ini. Cepat ia menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata. “Wahai, tak pernah mimpi siauw­te akan menerima kehormatan besar dengan kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”

“Ouw-kauwsu, ada urusan penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”

Berubah wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan. “Memang.... memang kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di.... di dalam kuil....”

“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot, aku sudah berada di sini!” tiba-tiba terdengar suara keras dan pa­rau. Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan.... kiranya manusia iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa!

Dan pada saat itu juga, terdengar suara orang mengomel, “Nanti dulu.... tenanglah, kauajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau apakah? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah. ke mana kalian? Wah, agaknya rumah kosong....”

Munculiah orangnya yang berkata-kata itu. Kiranya dia seorang kakek pen­dek, kumis dan jenggotnya jarang, sikap­nya lucu dan selalu terkekeh. Di bela­kangnya berjalan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.

“Eh, eh, anak nakal.... kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas.... wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun.... turun....!” Ia menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan ke­sibukannya yaitu menggerogoti daging.

Kakek pendek itu makin gugup. “Kau tidak turun? Celaka.... wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat tinggi.... hayo turunlah....!” Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa! Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ke­takutan.

“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah! Lihat ada darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh, bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu! Ihhh, tentu daging manusia yang kaumakan. Wah, serem.... serem....!”

Bagaimanakah Sian Erg bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng pergi ber­sama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di dalam kamar ber­dua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, ha­nya tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.

“Dia meninggalkan aku....” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus air matanya. “Tapi.... untung Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia ti­dak sampai tewas. Aku dipaksa kawin.... sekarang sudah tiga orang anakku.... suamiku baik terhadapku.... aku berusaha melupakannya sedapat mungkin, tapi.... tapi....” kembali ia menangis perlahan, “yang menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, di mana ia berada.... kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup bahagia.... akan terobatilah hatiku....”

Sian Eng ikut menangis. Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal yang diderita nyo­nya muda ini dan kakaknya.

“Betapapun juga, kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan kakakku lagi,” kata Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha me­lupakan peristiwa itu....”

“Tak mungkin! Bu Song takkan dapat melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku! Kami.... kami.... ah....!” kembali nyonya muda itu menangis sedih. “Siapa tahu.... ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....” terisak-isak ia kini, “kalau aku tahu.... ah, aku pun lebih baik mati....”

***

Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main! Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat.

“Enci yang baik, harap kautenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan pesanmu kepadanya kalau aku bertemu dengan kakakku, akan kubujuk dia supaya menikah dengan gadis lain.”

Mata yang agak merah karena tangis itu memandangnya. “Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng.... dia.... kakakku itu....”

Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”

“Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi.... tapi.... ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban? Adik Sian Eng, terus terang saja, betapapun sayangku kepada kakak­ku, akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu.... dia mudah terjatuh oleh wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu Song, aku harus memperingatkanmu, ja­ngan kau bergaul dengannya. Kecuali....” wajahnya menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya. Kecuali kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri. Ah, benar! Ini bagus se­kali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song, sekarang sebagai gantinya adiknya ber­jodob dengan kakakku, bukankah ini baik sekali?”

Merah wajah Sian Eng. “Ah, Cici, omongan apakah ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?” Sampai di sini percakap­an mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak biarpun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah. Hatinya me­rasa tidak enak.

Akan tetapi Suma Boan ternyata pin­tar sekali mengambil hati. Ia memper­lihatkan sikap sopan dan menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguh­pun ia selalu masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Per­jalanan jauh itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.

Akhirnya tibalah mereka di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh seorang pembesar, diper­silakan bermalam di sebuah rumah ge­dung yang dijaga oleh perajurit-perajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.

Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu! Ia melihat pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya dan langsung mem­baringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah. Selama ini kecurigaannya ter­hadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini men­dengar suaranya, tiba-tiba timbul ke­inginan hatinya untuk mengajaknya ber­cakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di saat itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya berdiri.

“Sungguh kau sembrono sekali!” kata suara parau itu. “Dia hanya berada be­berapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak tahu!”

“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara Suma Boan, membantah.

“Uh, dasar sembrono! Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa dipergunakan untuk menundukkannya!”

Sian Eng cepat menyelinap ke balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama kemudian ia me­lihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang suram muram itu kakek ini tampak ma­kin buruk saja, dengan mata satunya yang berair dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wa­nita iblis Siang-mou Sin-ni!

Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan yang berdiri di situ sambil tersenyum! Bukan main lega hati Sian Eng, karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing senyum manisnya.

“Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?”

Sian Eng menggeleng kepala. Per­tanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.

“Apakah kedatanganku ini mengganggu­mu?” tanya pula Suma Boan dengan su­ara halus.

“Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”

Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab.

“Tidak apa-apa.... hanya aku.... ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”

“Kenapa? sakitkah engkau?” tanya Sian Eng, memandang tajam.

Suma Boan mengangguk-angguk. “Me­mang sakit, tapi bukan tubuhku yang sakit, melainkan hatiku. Moi-moi.... Sian Eng.... hatiku menderita rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu terbayang wajahmu. Ah, alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dam aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu....”

Seketika kedua kaki Sian Eng meng­gigil, mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya berdegup­an sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa ham­pir memecahkan urat-urat di pelipisnya, ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya setengah tersenyum setengah menangis.

Sian Eng masih dalam keadaan se­tengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun isinya. Sejenak Sian Eng me­mejamkan matanya, menyandarkan kepala pada dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. Aku juga cinta padamu, bisik suara hatinya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya men­dengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara kepadanya di dalam kamar. “.... aku khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya.... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh kakak kandungku....”

Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar, tepat mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.

“.... kenapa Moi-moi....? Kenapa kau menamparku? Bukankah.... bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku ke­padamu?”

Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar ucapannya terpitus-putus, “.... cintaku bukan untuk.... untuk.... menjadi permainanmu.... aku bukan.... bukan perempuan.... yang boleh kauperlakukan sesukamu.... yang boleh kauhina....”

Suma Boan menarik napas panjang, “Eng-moi, kau aneh...., biarlah kaupikir dan pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu sepenuh hati....” setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar sam­bil menutupkan daun pintunya.

Sian Eng tak kuasa menahan kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri terte­lungkup dan menangis di atas bantal.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi se­kali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri dengan muka pucat dan saling pandang. “Kalian tikus-tikus goblok! Apa kerja kalian ma­lam tadi? Tidur semua, ya?”

“Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”

“Bohong!” Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh ter­sungkur. “Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan kalian bilang tidak tidur? Pemalas! Goblok!”

“Eh, eh, apakah yang terjadi?” Suara serak ini disusul muncuinya It-gan Kai-ong. Melihat gurunya, Suma Boan men­jadi agak tenang, akan tetapi kemurung­an masih membayangi mukanya yang tampan.

“Suhu, semalam ada musuh mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid) tak dapat men­duga siapa dia. Akan tetapi dia mening­galkan tanda tapak kaki di tembok!”

“Apa katamu? Tapak kaki di tem­bok?” Si Raja Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi. Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?

“Mari, harap Suhu periksa sendiri!” Pemuda itu mendahului suhunya menuju ke ruangan tengah. Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja kecil, terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.

“Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah ta­pak kaki siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah tembok.

Beberapa orang penjaga yang tadi dimaki-maki Suma Boant memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya, hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak di atas tembok. Akan tetapi, jejak yang tampak jelas di atas tembok itu adalah jejak kaki manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang seperti biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai se­patu. Jejak kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan langkah pendek-pendek. Akan tetapi ba­gaimana mungkin seorang manusia ber­jalan di atas tembok seperti cecak?

Mata tunggal It-gan Kai-ong melotot sebentar memandang tapak kaki itu. “Hu-huh, Pek-houw-yu-chong (ilmu me­rayap di tembok seperti cecak) tingkat tinggi. Manusia sombong bermaksud me­nakut-nakutimu atau memang hendak memamerkan kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek, tak pernah pakai sepatu....” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara, matanya bersinar-sinar.

“Pendek tak bersepatu? Hanya Kim-lun Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah bersepatu!” Suma Boan ber­kata. Gurunya mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya berkerut.

“Sudah tentu dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biarpun suka bergurau, akan tetapi tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu seorang tokoh lain yang gila....” It-gan Kai-ong kelihatan marah dan menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.

Ke manakah perginya Sian Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pem­baringannya, tiba-tiba ia mendapat pe­rasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum di tengah kamar, me­mandangnya. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini ia dapat meman­dang jelas di bawah sinar lampu meja. Benar seorang laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang jenaka, kumis panjang kaku menun­juk ke kanan kiri, jenggotnya jarang ter­urai ke bawah. Sama sekali bukan se­orang kakek yang menyeramkan seperti It-gan Kai-ong, namun caranya mema­suki kamar cukup aneh sehingga menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah mata orang jahat.

“Siapakah.... kau....? Bagaimana bisa masuk....?” Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.

“Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan? Kau berada dalam bahaya, marilah ikut de­nganku.”

“Kau siapa? Apa artinya semua ini?”

Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum, seperti senyum seorang badut. “Aku si­apa? Panggil saja Empek Gan. Lie Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi.” Sambil berkata demikian kakek itu menggerakkan ta­ngannya dan gadis ini merasa tubuhnya melayang keluar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil melayang dan menariknya. Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa ka­kek ini adalah guru Lie Bok Liong sa­habat baik adiknya itu. Hatinya merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebib tepat, meninggalkan Suma Boan. Akan tetapi kalau ia teringat akan pe­ristiwa tadi, betapa dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya, ia meng­gigil. Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia menjadi korban! Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah sekali. Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan itu!

Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan agaknya hanya patut di­jadikan tempat tinggal para siluman dan setan. Akan tetapi Sian Eng tidak me­rasa takut, tidak merasa serem seperti ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ tidak ada sarang laba-laba.

“Nah, kita melewatkan malam di sini. Nona, ketahuilah. Muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta supaya mu­ridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa kau pergi bersama Suma Bom dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku dan me­maksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan perjalan­an, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh!”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu. Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan. Dengan girang ia men­dapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali ke dalam kelenteng, akan tetapi, kakek pendek lucu itu ternyata masih mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah kesabaran Sian Eng.

“Empek Gan.... Empek Gan....! Bangunlah!” Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu.

Kakek itu kaget, geragapan bangun. “Ada apa....? Kebakaran....? Dunia kiamat? Celaka.... aku masih ingin hidup!” Ia melompat dan lari ke sana ke mari, kelihatan bingung sekali se­hingga Sian Eng menjadi geli melihatnya.

“Tidak ada apa-apa, Lopek,” katanya membantah.

Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok, terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur. “Aduh ampuuuuun.... sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem tenterem, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi! Beratnya orang membela murid.... heeeiiii! Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum juga muncul? Nona, kau melihat dia?”

Sian Eng mendongkol bukan main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita. Akan tetapi maklum bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.

“Wah-wah, betul-betul dia tidak muncul? Celaka.... tentu ada apa-apa. Tak mungkin dia berani tidak mentaati pe­rintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah siang, hayo kita pergi!”

Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan keluar dari kelenteng dan Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.

“Suling Emas....! Dia Suling Emas.... mari kejar dia!” Sian Eng lalu lari mengejar.

Kakek Gan mengomel, “Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kauajak balapan lari. Dengar perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar....” Akan tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.

“Dia Suling Emes, aku mau bertanya tentang kakakku....!” Sian Eng tidak pedulikan omelan kakek itu dan terus mengejar. Ketika melihat Suling Emas yang sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng ber­henti di depan rumah itu, meragu se­bentar lalu tanpa banyak cakap lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari bela­kangnya Empek Gan berteriak-teriak mencela.

Seperti sudah diceritakan di bagian depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata adalah rumah guru silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang cukup terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke atas di mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di atas balok tiang melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa, berteriak-teriak menyuruh turun kakek seperti orang hutan itu.

“Wah, aku kenal kau sekarang. Tak salah lagil! Gundul pacul, punuknya seperti lembu jantan, mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti babi, telanjang hanya pakai cawat, permakan daging manusia. Betul, biar selamanya belum pernah bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin!” Empek Gan berteri­ak-teriak sambil memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.

Memang betul ucapan Empek Gan yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah Toat-beng Koai-jin Si Orang Aneh Pencabut Nyawa! Biarpun dia kelihatan seperti orang hutan, namun seperti juga adiknya, Tok-sim Lo-tong, kakek ini memiliki kepandaian yang hebat sekali. Dia termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai, dan julukan sebagai seorang di antara Si Enam Jahat itu memang patut baginya mengingat bahwa ada kalanya kakek liar ini betul-betul makan daging manusia seperti yang dituduhkan Empek Gan tadi. Biarpun ia hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng Koai-jin mendengar maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit saja orang berani menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa orang itu, apalagi sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani memaki-makinya seperti itu. Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah men­jadi tanda bahwa dia sedang marah be­sar!

“Cacing perut! Makanlah ini!” Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha yang sudah tak berdaging lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang masih memeluk tiang dengan kaki tangannya. Tulang itu menghantam pinggir tiang, terdengar suara keras dan balok itu somplak seperti dihantam ka­pak! Tidak hanya membelah kayu, tulang itu terus menghantam pundak Empek Gan dan.... tubuh Empek Gan melorot turun, akhirnya pantatnya terbanting menghan­tam lantai sampai mengeluarkan suara seperti kasur digebuk.

Empek Gan meringis kesakitan, bangun berdiri dan menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk menghilangkan rasa sakit. Debu mengebul ketika celana belakangnya itu ia tepuk-tepuk. Karena kebetulan sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini melangkah mundur dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah sangka. Kakek ini sama sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari cepat saja. Buktinya, sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu malu!

Empek Gan sudah mengomel. “Calak­nya! Cocok dengan ujudnya!” Ia menoleh kepada Suling Emas dan berkata menyeringai, “Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan liar itu!”

Toat-beng Koai-jin menyumpah-nyum­pah. “Cacing busuk, jangan lari kau!”

Empek Gan tertawa membalikkan tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin sambil menggoyang-goyang kibul dan berkata, “Beginikah gerakan cacing? Ho-ho, sebentar lagi mau mampus masih suka maki-maki orang!” Setelah berkata demikian, kakek ini menggerakkan kedua kakinya lari keluar dari rumah itu sam­bil menoleh ke arah Suling Emas dan berkata, “Jaga Nona ini baik-baik, jangan sampai dia dirayu palsu oleh Suma Boan lagi!”

Sian Eng menjadi makin mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak pedulikan kakek itu, juga agaknya tidak peduli kepadanya, buktinya menengok pun tidak. Suling Emas menghadapi kakek liar di atas itu sambil berkata, suaranya serius penuh ancaman.

“Toat-beng Koai-jin, biarpun di antara kau dan aku tidak pernah terjadi perten­tangan karena kita masing-masing meng­ikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau telah melanggarnya. Lekas kau bebaskan dan kembalikan nona yang kauculik, kalau tidak, aku Suling Emas tidak akan berlaku sungkan-sungkan lagi. Dengar baik-baik, kalau kau mengganggu nona itu, aku bersumpah takkan berhenti sebelum dapat merobek tubuhmu menjadi empat potong!”

Toat-beng Koai-jin mendengus marah. “Suling Emas, kau bocah kemarin sore yang masih ingusan, sombong amat ucapanmu. Sudah lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan hari ini adalah hari baikku, aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku menangkapmu untuk kupanggang bersama, heh-heh!”

“Ouw-kauwsu, aku minta tolong ke­padamu, bawa keluar nona ini ke tempat aman!” kata Suling Emas, maklum bahwa ia akan menghadapi lawan-lawan tangguh sehingga kehadiran Sian Eng hanya akan merupakan gangguan belaka. “Kau ikutlah bersama Ouw-kauwsu, tunggu aku selamatkan adikmu.”

Sian Eng diam-diam terkejut dan dapat menduga bahwa yang diculik oleh manusia liar itu tentulah Lin Lin. Maka tanpa banyak cakap lagi ia mengangguk dan bergerak mengikuti guru silat yang wajahnya sudah pucat karena gelisah itu. Akan tetapi begitu keduanya keluar pin­tu, terdengar pekik mengerikan dan tu­buh Sian Eng terhuyung ke belakang, masuk kembali ke ruangan itu disusul tubuh Ouw-kauwsu yang terlempar dan roboh di atas lantai dalam keadaan tak bernyawa lagi, pada pipinya terdapat luka kehitaman!

Toat-beng Koai-jin tertawa bergelak dan tubuhnya yang besar gendut itu melayang turun dengan amat ringannya. Biarpun tubuhnya gendut dan gerakannya kelihatan kaku, akan tetapi ternyata ia gesit dan cepat sekali. Begitu kedua kaki menyentuh lantai, kedua tangannya sudah bergerak menerjang Suling Emas, dari kuku-kuku jarinya yang panjang itu ter­dengar bunyi bercuitan!

“Sian Eng, jangan keluar, di sini saja!” pesan Suling Emas dan tubuhnya berkelebat lenyap, berubah menjadi ba­yangan yang berkelebatan di sekeliling tubuh Toat-beng Koai-jin. Kiranya dua orang sakti itu sudah saling terjang de­ngan hebatnya! Sian Eng menyelinap ke sudut ruangan itu, memandang penuh ke­khawatiran. Ia cemas sekali, takut kalau-kalau Suling Emas kalah sedangkan dia sendiri tidak berdaya membantu karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih jauh ketinggalan dan kalau ia membantu, hal itu malah akan membikin repot Suling Emas saja.

Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang menjunjung tinggi kegagahan. Ia merasa khawatir sekali akan kesela­matan Lin Lin, juga kini harus menjaga keselamatan Sian Eng, sedangkan lawan­nya yang sakti Toat-beng Koai-jin ini masih dibantu oleh orang-orang jahat dan sakti lain yang berada di luar pintu ru­mah! Tentu saja ia tahu bahwa tewasnya Ouw-kauwsu adalah karena serangan dari luar rumah, dan melihat luka hitam di mukanya itu, agaknya itulah hasil kerja Tok-sim Lo-tong, yaitu gigitan ular berbisa. Biarpun demikian, namun melihat betapa Toat-beng Koai-jin hanya seorang diri saja menghadapinya dengan tangan kosong, ia tidak sudi menggunakan sen­jata yang paling ia andalkan, yaitu su­lingnya. Ia pun menghadapi lawan ini dengan tangan kosong pula.

Toat-beng Koai-jin dan adiknya, Tok-sim Lo-tong, sebetulnya adalah doa orang penghuni pulau koong di Lam-hai (Laut Selatan). Tadinya mereka berdua adalah kacung atau pelayan-pelayan cilik se­orang tokoh besar di jaman Tang, seorang panglima yang tidak sudi menghambakan diri kepada musuh setelah Kerajaan Tang jatuh. Ia melarikan diri ke selatan dan mengasingkan diri di pu­lau kosong, hanya ditemani dua orang kacungnya. Panglima ini berilmu tinggi dan sampai mati ia tinggal di dalam pulau itu, tak pernah meninggalkan pu­lau. Semua ilmunya ia turunkan kepada dua orang kacungnya yang mendapat kemajuan sesuai dengan bakatnya masing-masing.

Akan tetapi, agaknya karena mereka tak pernah bergaul dengan dunia ramai, juga karena di pulau itu banyak terdapat binatang-binatang berbisa, kedua orang bersaudara ini hidup seperti tidak normal lagi. Mereka menjadi korban gigitan serangga-serangga berbisa yang meracuni otak mereka sehingga hidup mereka men­jadi liar seperti binatang-binatang hutan. Puluhan tahun kedua orang kakak beradik ini hidup di pulau setelah majikan dan guru mereka meninggal dunia. Usia mereka sudah lima puluhan tahun lebih ketika pada suatu hari secara kebetulan ada sebuah perahu dagang yang terdampar ke pulau itu setelah dipermainkan ombak dan badai. Dapat dibayangkan betapa ngeri hati para penumpang perahu yang tiga puluh orang lebih jumlahnya itu ketika mereka melihat dua orang kakek gila yang telanjang bulat itu. Dua orang kakek itu segera menyerang mereka dan dalam waktu singkat saja, tiga puluh orang lebih telah tewas oleh mereka berdua!

Kemudian mereka secara ngawur me­ngembangkan layar dan berlayarlah mereka ke tengah samodera. Karena tidak biasa, mereka mabuk laut, mengamuk dan merusak isi perahu, kemudian roboh telentang di dalam perahu, pingsan! Angin dan ombak yang kini mengemudi­kan perahu dan akhirnya mereka ter­dampar ke darat. Saat itulah mulai mun­cul dua orang sakti yang aneh di dunia kang-ouw. Sepuluh tahun lebih mereka berdua berkeliaran dan kemudian dunia persilatan mengenal mereka sebagai dua orang sakti jahat dan menggolongkan mereka dengan pentolan-pentolan dunia hitam lainnya sehingga terkenallah nama Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sebagai dua orang di antara si enam jahat!

Ilmu silat yang menjadi dasar dari kepandaian mereka adalah ilmu silat campuran dari barat dan utara. Akan tetapi karena mereka hidup puluhan ta­hun sebagai orang liar, di antara bina­tang-binatang dan serangga-serangga beracun, maka hawa pukulan dari sin-kang mereka bercampur dengan hawa beracun yang amat jahat. Apalagi Toat-beng Koai-jin mempunyai kesukaan liar, yaitu makan daging manusia. Ini menambah hawa beracun di dalam tubuhnya dan membuat ia makin ganas dan berbahaya sekali. Sedangkan adiknya, Tok-sim Lo-tong, terkenal hebat permainannya yang mengerikan, yaitu dengan ular-ular be­racun yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, bahkan senjatanya pun seekor ular.

Suling Emas sudah banyak mendengar tentang dua orang liar ini, akan tetapi baru kali ini ia berkesempatan mengadu ilmu. Oleh karena ia harus memikirkan keselamatan Sian Eng dan juga harus menolong Lin Lin yang belum diketahui bagaimana nasibnya, ia tidak mau berlaku lambat. Begitu merasa betapa te­naga yang dipergunakan lawannya menge­luarkan hawa panas dan bau amis men­jijikkan, ia cepat mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya, lalu ia mainkan ilmu si­lat yang ia dapat dari suhunya, yaitu men­diang Kim mo Taisu. Sebetulnya ilmu ini adalah ilmu yang harus dimainkan dengan sebatang kipas pelajar, yaitu ilmu silat yang disebut Lo-hai-san-hoat (Ilmu Silat Kipas Pengacau Lautan). Akan tetapi karena lawannya bertangan kosong, maka Suling Emas juga bertangan kosong mainkan Ilmu Silat Pengacau Lautan ini.

Hebat memang kepandaian Toat-beng Koai-jin. Yang amat berbahaya adalah kuku-kuku jari tangannya. Biarpun ia ti­dak bersenjata, namun memiliki kuku-kuku panjang seperti itu, sama saja de­ngan memegang atau menggunakan se­puluh buah pedang-pedang kecil! Setiap buah jari mempunyai kuku panjang dan bukan hanya kuku runcing, melainkan kuku yang mengandung hawa beracun sehingga sekali saja kulit terkena guratan sebuah di antara kuku-kuku ini, akan melepuh kulit itu dan akan keracunan darahnya! Semua ini dipergunakan dengan gerakan cepat dan lincah, ditambah lagi dengan gerengan-gerengan seperti seekor singa dan muncratnya air ludah serta peluh yang memuakkan baunya!

Hampir Suling Emas tidak tahan menghadapi ini, terutama bau itu. Be­berapa kali ia terpaksa melompat mundur untuk menyedot hawa segar. Akhirnya ia berseru keras, “Toat-beng Koai-jin, lekas kaukembalikan nona yang kauculik. Kalau tidak, terpaksa aku membunuhmu. Aku tiada waktu lebih lama lagi untuk ber­main-main denganmu!”

Sambil berkata demikian, Suling Emas mengeluarkan sebuah kipas yang dipegang­nya dengan tangan kiri. Hanya kipasnya yang akan dapat membantunya mengusir bau memuakkan itu. Ia masih sungkan mengeluarkan sulingnya, melihat betapa lawannya tetap bertangan kosong.

Melihat bahwa lawannya hanya me­ngeluarkan kipas kain sutera yang halus dan kecil saja, Toat-beng Koai-jin ter­tawa ha-hah-he-heh, kemudian menubruk lagi melancarkan serangan-serangan dah­syat. Akan tetapi, sekarang Suling Emas bersilat Lo-hai-san-hoat dengan kipas di tangan, dan karena ilmu silat itu me­mang ilmu silat kipas, tentu saja ke­hebatannya lipat dua kali daripada tadi ketika ia mainkan dengan tangan kosong. Seketika tampak gulungan sinar putih yang kadang-kadang menutupi pandangan mata Toat-beng Koai-jin, malah kakek liar ini merasa sesak napasnya oleh tiup­an angin dari kipas itu. Tidak saja semua bau busuk dikembalikan ke hidungnya sendiri, akan tetapi ditambah pula de­ngan angin kebutan kipas yang dilakukan dengan tenaga sin-kang seorang ahli. Dua kali sudah pundak Toat-beng Koai-jin kena disentuh ujung gagang kipas, sakit­nya bukan kepalang. Diam-diam Suling Emas terkejut dan kagum. “Sentuhannya” dengan ujung gagang kipas itu sebetulnya adalah totokan yang pasti akan meroboh­kan lawan. Akan tetapi kakek liar ini hanya menyeringai kesakitan saja, sama sekali tidak roboh malah maju makin nekat! Kiranya kakek ini telah kebal kulitnya dan agaknya pandai pula me­mindahkan jalan darah.

Betapapun juga, setelah Suling Emas mainkan kipasnya, Toat-beng Koai-jin terdesak hebat. Berkali-kali ia meng­gereng marah, namun semua tubrukan, cakaran hantaman dan tendangannya hanya mengenai angin belaka.

“Manusia liar, robohlah!” Secepat kilat, kipas itu bergulung-gulung sinarnya menutupi pandang mata lawan dan ta­ngan kiri Suling Emas sudah menyerang dengan jari tangan terbuka ke arah ulu hati yang telanjang itu. Akan tetapi, Toat-beng Koai-jin benar-benar hebat kepandaiannya. Begitu jari tangan Suling Emas yang mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyentuh kulit dadanya, tubuh bagian ini secara tiba-tiba dapat di“ta­rik” masuk dan mulutnya menyemburkan uap ke depan, disusul pukulan kedua tangan!

“Ihhhhh!” Suling Emas terpaksa mengipaskan kipasnya ke depan untuk me­ngebut pergi semburan uap bacin itu, lengannya dengan mudah menangkis pu­kulan lawan dan sebelum lawan mendesak terus, gerakan Suling Emas berubah. Ia telah menggunakan gerakan ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat yaitu jurus ilmu silat huruf yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Dengan gerakan jurus ilmu silat sakti ini, yang ia lakukan dengan me­nuliskan huruf LANGIT, sekaligus ia te­lah menyerang sampai empat kali. Se­rangan terakhir merupakan gerakan bertentangan karena baru saja ia menyerang dengan arah ke kiri bawah, sekarang tiba-tiba kipasnya menerjang dari atas ke bawah kanan.

“Auuuhhhhh....!” Perubahan-perubahan yang amat cepat dan aneh dari jurus ini tak dapat diikuti dan diduga oleh Toat-beng Koai-jin, maka biarpun ia sudah mengelak dan menangkis tidak urung pahanya terpukul gagang kipas. Kelihatannya perlahan saja, akan tetapi kalau saja bukan Toat-beng Koai-jin yang menerima hantaman ini, tentu tulang pahanya akan remuk. Kakek liar ini ha­nya mengeluh dan tubuhnya bergulingan, akan tetapi ia sudah dapat melompat berdiri lagi lalu meloncat ke atas, membobol genteng melarikan diri.

“Iblis jahat, lari ke mana kau?”

Suling Emas mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng. Se­lagi ia ragu-ragu, tak tega meninggaikan Sian Eng seorang diri, dari pintu muncullah Tok-sim Lo-tong dan beberapa orang pengeroyoknya tadi.

“Keparat pengecut!” Suling Emas ma­rah sekali. “Jangan anggap aku keterlalu­an kalau sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!” Setelah berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah sinar kuning bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar sulingnya sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya. Ia tidak memberi kesem­patan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat bergerak. Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyeli­nap pergi. Juga para pengikutnya pergi dengen cepat. Sebentar saja tidak tam­pak lagi lawan di situ.

“Mari kita kejar kakek liar tadi un­tuk menolong adikmu!” kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.

“Nanti dulu, aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini....” kata Sian Eng, membungkuk dan hendak mengambil se­buah sampul surat.

Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan.... tubuh Sian Eng terdorong mundur sampai terhuyung-huyung. “Kau.... kau....!” Gadis itu berseru marah.

“Hemmm, lupa lagikah akan pengalaman di Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil sampul surat itu. Sian Eng ter­kejut dan teringat, mukanya berubah pucat dan ia merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas menjepit hancur leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu! Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang ia duga seekor ular berbisa yang amat jahat itu. Setelah melempar bangkai ular dengan tak acuh, Suling Emas menarik keluar sehelai kertas bersurat dari dalam sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika matanya menari-nari mem­baca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya makin berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan berkata.

“Tak mungkin mencari di mana adikmu disembunyikan. Akan tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya, jalan satu-satunya hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan bagaimana kau dapat pergi bersama Suma Boan.” Kata-katanya terdengar ketus dan marah. Sian Eng mendongkol sekali. Apa peduilmu, bisik hatinya, kau seperti seorang ayah atau kakak saya. Namun ia tidak berani membantah dan sambil ber­jalan di samping Suling Emas, ia men­ceritakan betapa Suma Boan mencari Lin Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa Suma Boan ber­janji kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu Song, kalau mau pergi bersamanya ke Nan-cao.

“Bagaimana dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.

“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao, karena itu aku pasti akan dapat bertemu dengannya di sana. Maka aku lalu ikut dengan dia sampai di sini.”

“Kemudian, mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”

“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”

Tiba-tiba Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata terbelalak kepada Sian Eng. “Kau bilang Empek Gan? Dia....? Pantas! Aku sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa lihainya itu.... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula di sini, aha, akan ramai di Nan-cao.” Agaknya saking gembira dan heran­nya mendengar bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak lagi dengan pertanyaan meng­apa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan gadis ini menjadi lega hatinya, ka­rena ia pun tidak suka bercerita tentang rahasia asmara itu.

“Kenapa kita tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”

“Tidak, percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku....” Suling Emas menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

“Mereka? Siapa? Surat itu dari si­apakah?”

“Siapa lagi? Dari Suma Boan tentu!”

Wajah Sian Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung hidung­nya. Jantungnya berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia tidak cepat me­nekan perasaannya. Kiranya Lin Lin di­culik atas perintah Suma Boan! Betulkah ini? Tapi.... tapi dia selama dalam perjalanan ini baik sekali terhadapnya, ha­nya malam tadi....!

“Kau kenapa?”

Sian Eng menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa suaranya tentu akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya mempercepat langkahnya dan agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar saja mereka sudah keluar dari kota Ban-sin.

***

Lin Lin berusaha meronta dan me­lepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangannya, namun sia-sia belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang terikat seperti seekor babi di atas sebatang balok melintang, tingginya kurang lebih satu meter dari tanah. Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia karena mulutnya ditutup saputangan yang diikatkan erat sekali ke belakang kepalanya sehingga untuk bernapas saja amatlah sukar.

Seperti diketahui, ketika ia dan Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, dan banyak lagi orang-orang yang kepandaiannya cukup kuat, ia telah kena ditawan oleh Toat-beng Koai-jin dan dibawa lari pergi dari gelanggang pertandingan. Ia berusaha untuk melepaskan diri atau memukul, akan tetapi tubuhnya lemas semua, kaki tangannya tak dapat digerakkan lagi. Hampir ia pingsan ketika tubuhnya dipondong oleh kakek liar itu. Karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa ia me­nahan penderitaan luar biasa ketika mukanya terletak di atas punggung yang ada dagingnya menonjol besar (punuk), berkeringatan dan baunya apek bukan buatan itu! Kalau saja ia tidak tertotok lumpuh, tentu Lin Lin sudah muntah-muntah. Baiknya kakek itu larinya cepat sekali seperti terbang, sebetulnya bukan lari lagi melainkan melayang dari pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit. Kecepatan ini mempersingkat pen­deritaannya karena selain angin yang bertiup mengurangi bau kecut, juga tentu akan segera sampai di tempat tujuan.

Mereka memasuki hutan dan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang mem­bentak dengan suara nyaring, “Iblis tua, lepaskan gadis itu!”

Lin Lin girang bukan main ketiika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau bukan Lie Bok Liong, sahabat baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak berlang­sung lama, segera terganti kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok Liong sebanding dengan tingkatnya, mana mampu menghadapi kakek sakti yang seperti ibils ini? Benar saja dugaannya, biarpun Bok Liong sudah menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam yang berhawa dingin, kakek itu enak saja melayaninya dengan ta­ngan kosong, bahkan dengan tubuh Lin Lin tak pernah terlepas dari atas pundaknya!

Seperti juga Lin Lin, pemuda itu tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apalagi karena Bok Liong amat terbatas gerakannya, terbatas oleh ke­khawatirannya kalau-kalau ujung pedang­nya mengenai tubuh Lin Lin. Tiba-tiba ia berseru keras dan mundur dengan muka pucat. Kakek itu telah menyodorkan tubuh Lin Lin untuk menangkis sambaran pedangnya. Bok Liong cepat menarik pedangnya dan pada saat itu, tangan kiri Toat-beng Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang membuat Bok Liong terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali, tubuhnya sudah lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di sepanjang ja­lan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh Lin Lin. Kakek itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.

Di bagian hutan yang gelap dan penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin Lin ke atas tanah, mengambil akar lemas dari sebatang pohon dan mengikat kaki tangan gadis itu ke belakang. Kemudian ia pun merenggut sehelai saputangan dari baju Bok Liong, menggunakan saputangan ini menutup dan mengikat mulut Lin Lin. Setelah ini selesai, tangannya bergerak dan terdengar kain robek-robek ketika baju dan celana luar pemuda itu ia reng­gut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada dalam keadaan setengah te­lanjang. Hanya sebuah celana dalam saja yang masih menutupi tubuhnya. Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dari gelisah, juga menjadi jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya mengerling-ngerling untuk melihat apa yang akan dilakukan kakek gila itu.

“Heh-heh-heh, kau masih muda, jejaka tulen, dagingmu tentu masih gurih!” Ka­kek ini lalu mematahkan batang pohon dengan kedua lengannya yang kuat, meng­ikat tubuh Bok Liong pada batang pohon atau balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian balok berikut tubuh Bok Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua batang pohon lain se­hingga tubuh Bok Liong tergantung. Ke­mudian kakek itu mengumpulkan daun dan kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andaikata mulut Lin Lin tidak diikat, tentu gadis ini sudah menjerit-jerit memanggil Suling Emas karena ia sekarang dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh kakek gila ini. Agaknya kakek gila ini membuat masakan yang paling aneh di dunia ini, bukan panggang bebek, panggang ayam, atau panggang babi, melainkan panggang daging manusia hidup! Bok Liong akan dipanggang hidup-hidup! Tiba-tiba terdengar suara seperti anjing hutan menggonggong dari jauh, kakek itu menyumpah-nyumpah, “Jahanam, mengganggu saja. Ah, terpaksa ditunda sebentar.” Ia bangkit berdiri, menepuk-nepuk tubuh bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging, mengecap-ngecap­kan mulutnya yang mengeluarkan air liur. “Sayang-sayang...., biar ditunda sebentar, heh-heh!” Tubuhnya berkelebat dan dalam sekejap mata saja kakek itu sudah lenyap dari situ.

Lin Lin takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi penon­ton? Menonton Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama sekali tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok seperti telah mati. Agaknya ping­san, Lin Lin kembali berusaha mati-mati­an untuk membebaskan diri daripada be­lenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata akar pohon itu istimewa kuatnya. Mata­nya melirik ke sana ke mari, mencari-cari. Ia harus bertindak cepat, harus depat membebaskan diri sebelum siluman itu kembali, harus dicegah siluman itu memanggang tubuh Bok Liong.

Dengan hati penuh kengerian dan ke­tegangan, Lin Lin menggulingkan tubuh­nya ke arah sebuah batu besar tak jauh dari situ. Ia melihat batu itu mempunyai begian-begian yang tajam. Karena kaki tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan tubuh, lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan kedua pergelangan tangan yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian batu yang tajam. Ia menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu pada batu sambil mengerahkan tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu, ulet bukan main. Kini ia tidak melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang batu. Ada seperempat jam ia berusaha mematahkan pengikat tangannya dan ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan hatinya makin tegang. Kalau sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok Liong dan mengajaknya melarikan diri.

Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia melihat bayangan Toat-beng Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin terbelalak, harapannya lenyap bagaikan embun terbakar mata­hari. Tentu saja ia tidak melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan karena dia sendiri sudah tak berdaya. Dilihatnya kakek liar itu dengan gerakan cepat mendatangi, di kedua tangannya membawa dua potong kayu kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan api! Setelah api menyala dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun kering itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan dan matanya tak dapat ditahannya lagi mengucurkan air mata. Kasihan Liong-twako, pikirnya.

“Heh-heh, kau hendak lari ke mana?” tiba-tiba suara kakek itu terdengar de­kat dan Lin Lin merasa pundaknya di­cengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke tempat semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil terkekeh-kekeh ber­kata.

“Ha-ha, kau mau melarikan diri? Tak mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu itu berlumur racun kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kaulihat baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya ma­kin lama merah diciumi api, makin lama makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah masak nanti, boleh kau­pilih bagian mana yang paling gurih untukmu.... ha-ha!”

Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar, bibirnya yang tebal dan giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba matanya terbetalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda itu, biarpun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!

Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin, kakek ini segera menengok ke arah “panggangannya” dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia jumpai di rumah Ouw-kauwsu!

Kakek yang menggantikan kedudukan Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh.... nikmatnya! Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras? Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kaupanggang seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”

“Demi Iblis! Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri dan siap bertempur. Ka­kek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu yang sikapnya gila-gilaan itu se­benarnya memiliki kepandaian hebat. Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.

“Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa. Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah me­lakukan dosa besar terhadapku. Kau tua bangka yang tak lama lagi mampus, ti­dak tahu malu, beraninya hanya meng­ganggu orang-orang muda yang masih hijau. He, pemakan bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kaupanggang hidup-hidup tadi adalah muridku?”

Toat-beng Koai-jin menggereng seper­ti seekor singa kelaparan. “Bagus! Mari tua sama tua mengadu kepandaian!” seru­nya sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu men­cengkeram.

“Tak tahu malu!” Empek Gan, kakek lucu itu, berseru. Benar-benar sepak ter­jang Toat-beng Koai-jin kali ini amat licik, masa menerjang lawan yang masih terikat dan terpanggang di atas api? Empek Gan cepat menggulingkan dirinya dan kaki tangannya bergerak, kayu-kayu dan daun-daun yang masih terbakar itu kini terbang berhamburan ke arah Toat-beng Koai-jin!

Si kakek liar terkejut bukan main, cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biarpun serangan kakek pendek itu tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya. Ketika kayu dan daun yang menyala itu runtuh se­mua, Empek Gan kini telah berdiri te­gak, telah memakai pakaiannya dengan lengkap. Benar-benar kakek yang luar biasa, pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati tertarik. Begitu mendengar bahwa kakek itu ada­lah guru sahabatnya, guru Lie Bok Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya sendiri. Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar tertolong. Apalagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu itu dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata saja sudah memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.

Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana dapat­nya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil bulu hi­tam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di tangan kirinya dan ketika kedua tangannya bergerak, yang tampak hanya dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.

“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau Ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak menghentikan gerakannya.

“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka gila, hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi aku ada ke­gembiraan untuk melayanimu!” Sepasang senjatanya, pencil butu hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis, akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali meng­hindar ke sana ke mari, malah lalu mun­dur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar suaranya terkekeh-kekeh.

“Lin-moi, kau mengalami banyak ka­get?”

Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin daripada ikatan kaki tangan dan mulut.

“Berbahaya sekali....” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”

“Suhu....”

“Wah, Suhumu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”

Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab, “Memang Suhu paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya. Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenang­kan adalah menjadi pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu meng­gantikan aku dipanggang, dalam bertem­pur melawan Toat-beng Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!” Dalam kata-katanya ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian gurunya. Lin Lin memandang dan ia menjulurkan lidahnya keluar sa­king kagumnya. Memang hebat Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi masih ada kesempatan untuk membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu melukis! Bagaimana tidak mengagumkan? Di atas batu karang di mana tadi Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi batu, tampak lukisan hitam putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu bagus lukisan ini, persis aselinya, punuknya, gendutnya, air liurnya yang muncrat-muncrat!

“Wah, Suhumu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”

“Ah, kepandaian Suhu melukis me­mang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit dengan ilmunya melukis ini, katanya, kalau di­turunkan kepada murid, tiada artinya malah merugikan. Kalau muridnya men­jual hasil gambarannya bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”

“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”

Bok Liong mengangguk. “Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu, setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi me­nuju ke Nan-cao pula, dan....”

“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu di­culik!”

Bok Liong menggeleng kepala. “Aku pun masih heran, tapi kenyataannya enci­mu itu melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua di­kawani Tok-sim Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai di sini, Suhu turun tangan mengajak pergi encimu dari samping Suma Boan.”

“Di mana sekarang Enci Sian Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh pena­saran dan tak mengerti mengapa encinya bisa melakukan perjalanan bersama putera pangeran itu.

“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”

“Kalau begitu mari kita cepat me­nyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya ku­harapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan bersama­nya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama.... eh, dia!” Diam-diam Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka, pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”

“Kalau perlu kau boleh pakai pedang­ku ini, Moi-moi. Mari kita berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan per­jalanan cepat, akan dapat menyusul mereka.”

Berangkatiah dua orang muda ini, menuju ke Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali ini, tidak saja ia masih bingung dan he­ran memikirkan bagaimana encinya dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa pena­saran karena sikap Suling Emas terhadap­nya masih terlalu dingin dan tidak acuh. Alangkah jauh bedanya antara sikap Su­ling Emas terhadapnya dan sikap Lie Bok Liong. Kalau saja sikap Suling Emas terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah....! Andaikata begitu, ada apa? Tidak apa-apa, hanya.... alangkah akan senang hatinya!

***

Tiongkok pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan besar. Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang batasnya dari utara sampai ke tembok besar, dari selatan sampai ke Sungai Yang-ce-kiang, dari barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke timur sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar. Seperti diketahui, pendiri Kerajaan Sung Cau Kwan Yin, hanya berhasil menyatu­kan lima kerajaan utara itu. Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai Yang-ce-kiang, masih amat banyak. Di luar tembok besar sebelah utara terus ke timur masih dalam kekuasaan bangsa Khitan yang amat kuat. Di Se-cuan ter­dapat Kerajaan Shu, di sebelah timurnya ada kerajaan kecil yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan Nan-tang, lalu disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan Kera­jaan Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di sebelah selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.

Cao Kwan Yin atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini dan biarpun Kera­jaan Sung tidak lagi melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali terjadi bentrok dan di antara mereka terjadilah “perang dingin”.

Akan tetapi kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang amat bijaksana. Pada tahun pertama dari pe­merintahannya, ia pada suatu pagi yang cerah mengumpulkan semua jenderal-jenderainya yang telah berjasa dalam membantunya mendirikan Kerajaan Sung, berkatalah Sang Kaisar ini!

“Para panglimaku, setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak.”

Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.

“Jelas sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”

***

Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang tertua mewakili teman-temannya, “Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani menentang dan memiliki hati khianat?”

“Aku percaya akan kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi, andaikata pada suatu pagi yang buruk, seorang di antara kalian dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian raja), betapapun tidak setuju hatimu bagaimana kamu akan dapat menghindarkan pemberontakan?”

Sibuklah para panglima itu menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah.

“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apabila hal itu mengganggu ketenteram­an hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang Paduka ang­gap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”

Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, meng­elus-elus jenggotnya yang hitam lalu bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal ini sudah direncanakan lebih dahulu.

“Hidup di dunia ini amatlah pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu. Karena itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah kebahagiaan ini. Kalian kuperkenan­kan melepas pakaian panglima, mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat tinggal yang paling me­nyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik daripada hidup tak berketentu­an nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian, di antara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat.”

Mendengar ini, para jenderal dan panglima segera tentu saja, menyatakan persetujuan mereka dan pada hari-hari berikutnya, mereka mengajukan surat permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini, mem­bagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.

Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu membersih­kan istana daripada kemungkinan-kemung­kinan terjadi perebutan kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agak­nya siasat yang dijalankan kaisar per­tama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan pula hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang di­kuasai Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai, kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung!

Sungguhpun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah, mentaati pe­rintah yang dipesankan ibu suri men­jelang kematiannya, yang diangkat men­jadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar, adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sun Thai Cung, kaisar ke dua. Ahala Sung. peristiwa ini pun tercatat dalam sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya dan para pemim­pin negara pada umumnya dan dianggap sebagai kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kai­sar ini berada di ambang kematian ka­rena usia tua.

“Puteraku Baginda, apakah yang me­nyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”

Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab, “Ibunda yang mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah ditanam oleh para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda.”

Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat kuat ingatannya itu. “Anak baik, selalu berusaha mengangkat tinggi orang tua....! Puteranda sayang, bukan.... bukan aku, bukan pula leluhurmu yang memungkin­kan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir dari Kerajaan Cao! Puteranda harus da­pat belajar dari sejarah, harus dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari Cou telah be­gitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada puteranya yang masih kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan. Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan seperti itu.”

Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang telah lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas tahun. Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya. Kerajaan ke empat yang menggantikan­nya adalah Kerajaan Han Muda, kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali, lahirlah Kerajaan Cao yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya. Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu ada­lah panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan kedudukan dan sa­ling menggulingkan.

Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar terakhir dari Kerajaan Cao telah me­nyerahkan kedudukannya kepada putera­nya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kwan Yin, melakukan pemberontakan dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang membuat Cao Kwan Yin setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah dan menyindirkan keadaannya kepada para panglimanya. Karena sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia “ter­paksa” pula. Pada pagi hari, para pang­lima membangunkannya dari tidur dan “memaksanya” mengenakan pakaian ku­ning, pakaian raja. Dia diangkat sebagai raja atau kaisar baru dan terjadilah pem­berontakan melawan Kerajaan Cao yang dirajai seorang anak-anak itu.

Dan ini sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan pu­tera kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama Ke­rajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak mementingkan diri atau keturunan sendiri.

Cukup kiranya sekelumit tentang ke­adaan Kerajaan Sung Utara yang mem­punyai ibu kota atau kota raja di Kai-teng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah kita meninjau keadaan Kota Raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang menghadapi perayaan besar itu.

Kerajaan kecil yang wilayahnya me­liputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram daripada kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk kepada pimpinan dan jarang ter­jadi kejahatan-kejahatan yang menyolok. Hal ini sesungguhnya adalah berkat pe­ngaruh Agama Beng-kauw yang boleh dibilang menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih daripada itu, malah terhitung keponakan dari ke­tua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam memajukan agama ini. Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua agama) mempunyai ke­dudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi koksu (guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan Delapan) Liu Gan yang sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati ke­matiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan di­takuti oleh semua orang.

Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih kelihatan sehat dan wajahnya ma­sih segar dan penuh semangat, biarpun ia terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja. Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau ke­bohongan kata-kata ini. Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan bukti­nya, ia mempunyai empat orang isteri yang cantik-cantik! Hanya seorang di antara isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee, anak perempuan tunggal ini telah men­jadi seorang gadis remaja yang cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan kecantikan dan ke­lihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya. Untuk memperkuat kedu­dukan ayahnya dan juga menjaga keaman­an di istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri daripada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!

Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga pernah men­coba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw dipandang sebagai negara kecil yang kuat.

Mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang pangeran yang lebih suka mengejar ilmu daripada mengejar kemuliaan dan kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kem­bali, ia telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan me­masukkan agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia diten­tang, akan tetapi segera para penentang­nya itu roboh seorang demi seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia men­jadi kauwcu (ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih keponakannya sendiri.

Pernah diceritakan sedikit dalam ce­rita ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan ter­kenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik Beracun). Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Ham­pir tiga puluh tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, se­orang panglima yang muda dan gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.

Mula-mula Pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras hati dan nekat, akhirnya ayahnya menga­lah dan menikahlah Liu Lu Sian dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini meng­gegerkan dunia kang-ouw. Nama Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang tergila-gila kepada­nya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang seperti Kam Si Ek, seorang jen­deral yang kepandaiannya tidak banyak artinya?

Namun tak seorang pun berani me­nyatakan kekecewaan mereka secara berterang, apalagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek men­dapat kemajuan dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka pe­nuh bahagia, saling mencinta.

Akan tetapi, siapa saja yang mengira bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal abadi, dia akan kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasa­an belaka dan semua “permainan” ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah senang tergantung yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan penerimaannya sendiri. Baik buruknya keadaan rumah tangga, tergan­tung daripada si suami dan isteri sendiri karena rumah tangga ibarat bangunan yang dibangun oleh suami isteri. Pem­bangunan yang gawat ini membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada, membutuhkan pengertian dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi kokoh kuat, tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang nan kokoh, kuat menahan hantaman om­bak samudera kehidupan. Sebaliknya, kalau suami isteri membangun benteng rumah tangganya secara “sambil lalu” saja, hanya dengan kegairahan dan se­mangat pada permulaannya saja, buta oleh nafsu yang selalu dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan indah-indah namun segera padam oleh kenyataan yang kadang-kadang berlawanan dengan renungan muluk, maka rumah tangganya, umpama batu karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat. Rumah tangganya akan mudah pecah, seperti batu karang pasir yang mudah digerogoti air laut sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!

Alangkah bahagianya suami isteri yang membentuk rumah tangganya de­ngan berhasil tadi. Ada suka dinikmati bersama, ada duka dipikul berdua. Suka dibagi makin bertambah duka dibagi se­rasa ringan. Suka si isteri suka si suami, duka si suami duka isteri. Kalau sudah begini, barulah rumah tangga bahagia namanya dan dari rumah tangga inilah lahirnya anak-anak yang baik, calon-calon manusia yang jiwanya berlandaskan cinta kasih penuh pengorbanan.

Sayang tidak demikian dengan Jende­ral Kam Si Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling mencinta, saling tergila-gila. Hal yang lumrah, Kam Si Ek se­orang pemuda tampan dan gagah perkasa, perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu Sian terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila? Inilah yang disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang ber­dasarkan kecantikan atau ketampanan muka, berdasarkan nafsu berahi yang timbul di kala orang menyaksikan ke­indahan muka dan tubuh lain jenis. Dan cinta yang dibutakan oleh nafsu ini, se­perti menjadi sifat nafsu sendiri, dikobar-kobarkan oleh renungan muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah menjadi kenyataan. Jika nafsu masih menyala, berkobar-kobar oleh renungan muluk dan indah, yang tampak hanya yang indah-indah saja, seperti api yang berkobar se­lalu indah dipandang, kalau tangan sudah tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik yang indah itu belum tentu me­nyenangkan! Dalam buaian cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si dia ha­nya indah semata, segi buruknya ter­sembunyi atau disembunyikan, tak tam­pak atau sengaja tidak dilihat. Kalau tujuan cinta nafsu sudah tercapai dalam pernikahan, baru tampak segi-segi buruknya dan kagetlah si perenung, ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang disebut cinta buta, sebetulnya cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi buta! Bumi langit bedanya dengan cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat kebaikan, juga keburukan daripada yang dicinta, biar baik biar buruk tetap dicinta dan berusaha memperbaiki segala keburukan yang dicinta. Inilah cinta, siap sedia berkorban, demi kebahagiaan yang di­cinta, bukan semata cinta karena cantik atau tampan. Melihat setangkai kembang mawar harum, tangan memetik hidung menciumi, membelai-belai, kemudian si kembang layu dan si pemetik membuang­nya jijik. Inilah sifat cinta nafsu, cinta buta, cinta berahi!

Setelah Liu Lu Sian melahirkan se­orang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percek­cokan kecil yang segera berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah cekcok, lenyaplah se­gala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja tampak. Isteri secantik bida­dari berubah seperti kuntilanak, suami tampan dan menyenangkan berubah men­jadi keledai yang menjijikkan. Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa (malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci saudara kembar, bersifat Im dan Yang!

Memang pada dasarnya, watak kedua orang ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak, ber­kecimpung di dunia kang-ouw dan ber­gaul dengan tokoh-tokoh dunia hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek adalah seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil ha­nya melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang menen­tang kejahatan. Inilah pokok pangkal per­tentangan rumah tangga mereka. Memang sesungguhnyalah, persesuaian watak jadi lebih penting dalam pembangunan rumah tangga daripada cinta nafsu yang mem­buta.

Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya, berlarut-larut dan berakhir dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela meninggalkan suami dan putera, demi untuk kebebasan dirinya. Wanita yang sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di lereng bukit itu, merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan, seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda liar lagi, te­rasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang dikandungnya selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan de­ngan taruhan nyawa.

Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang ditinggalkan itu ada­lah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang adiknya sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang tidak mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi, Kam Si Ek menikah lagi dan se­perti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng.

Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan me­ninggal dunia, tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan sekali­gus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya, Liu Mo malah lebih tekun daripada kakaknya dalam hal kebatinan dan wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah menikah dengan Kam Si Ek adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw, berusaha untuk mencari keponakannya itu.

Demikianlah keadaan para tokoh pim­pinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Bangunan-bangunan besar dan bangun­an-bangunan darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai persilatan besar.

Di depan pintu gerbang dibangun se­buah gedung penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di lingkungan istana. Bukan pengawal-penga­wal biasa yang ditugaskan untuk me­lakukan penyambutan ini, melainkan to­koh-tokoh Nan-cao yang cukup penting.

Sebagai kepala rombongan menyambut bagian pria adalah Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya, masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan terlalu besar, rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan tali serat, sepatunya dari rumput, di pung­gungnya tampak sebuah topi caping lebar yang tergantung dari leher. Ujung se­batang cambuk tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah cambuk tu­kang gembala kerbau, kelihatannya cam­buk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan pendeta Beng-kauw itu, sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar. Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.

Adapun penyambut tamu wanita di­lakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat rambutnya di­bungkus saputangan lebar berwarna me­rah, pakaiannya dari sutera halus akan tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan bajunya biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya ber­beda, yang kiri hitam yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatang­kan pemandangan janggal, malah me­nambah keluwesan gadis itu! Memang betul kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis ma­nis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola itu. Dan kalau Si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal ketua Beng-kauw!

Banyak sudah tamu-tamu yang datang biarpun pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu membawa barang sumbangan berupa tan­da mata yang serba indah. Harus dike­tahui bahwa para undangan itu merupa­kan tokoh-tokoh besar, malah semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang indah yang mahal harganya dan jarang ter­dapat. Semua barang sumbangan ini di­kumpulkan dalam sebuah ruangan ter­sendiri, sehingga bagi para tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan tersendiri.

Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan bu­rung dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu biruang yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agak­nya segan ia bertemu dengan orang ba­nyak dan menjadi tontonan! Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim bingkisan be­rupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar, sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara, mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Se­perti halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan Kai-ong se­dangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh Siang-mou Sin-ni.

Banyak juga di antara para tamu yang membawa hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya, menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan selamat. Di antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari kota An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer, banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di samping Suma Boan, ba­nyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin, maka mereka ini pun membawa sumbangan “kecil” sehingga belum pula mereka serahkan, menanti saat muncul­nya Beng-kauwcu sendiri.

Seperti dapat kita ketahui dari per­temuan yang lalu, di antara para tokoh besar persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela. Akan tetapi sebagai tamu daripada Beng-kauw, mere­ka ini diperlakukan sama rata dan me­reka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao, maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di negara orang lain.

Betapapun juga, karena memang di da­lam hati sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah timbulnya peristiwa-peristiwa menegang­kan di kala dua orang atau dua golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui kepalan tangan nanti se­telah keluar dari Nan-cao!

Pada hari yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indah­nya. Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang ber­sih dan tidak tampak orang bekerja se­perti biasa, tampak pada wajah semua penduduk yang terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang men­jadi lambang Terang, sifat daripada Aga­ma Beng-kauw.

Di istana sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para pe­ngiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan, wajah raja yang sudah ber­usia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.

Di sebelah kanan raja ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajah­nya tampan terhias keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak tersenyum itu jarang bergerak, tidak me­noleh ke kanan kiri seperti wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning seder­hana, tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti me­nyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya. Dua perhiasan pada jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan, melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat sakti.

Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat me­nyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan terkenal itu selengkapnya. Banyak di antara mereka yang sudah pernah melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh! Biarpun kini di antara yang enam itu baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatang­kan rasa ngeri di hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang tinggi kurus hampir telan­jang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap di­pandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan sikapnya membuat para tamu meremang bulu teng­kuknya, apalagi kalau diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah berapa banyak menyedot darah dari leher seorang kor­ban sampai korban itu mati lemas ke­habisan darah!

Seakan-akan tiada habisnya para tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.

Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang kagum kepada Lin Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah. Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini. Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata, “Enci yang baik, tak usah repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk mencari saudara-saudaraku dan....” tiba-tiba matanya memandang ke dalam dan wajahnya berseri-seri, lalu disambung­nya kata-kata yang terputus tadi, “Nah, itu dia.... merekalah yang kucari....”

Tanpa mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia me­nuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas dan Sian Eng! Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan “blusukan” tanpa aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo sendiri menoleh ke­pada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ. Tampak Suling Emas meng­gerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik kepada ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling Emas berkata lirih.

“Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”

Sian Eng yang lebih mengenal aturan daripada Lin Lin, segera menarik tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan bertanya.

“Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”

Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang kha­watir. Suling Emas menundukkan muka­nya yang berubah merah, entah marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera meng­undurkan diri, mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi ternyata Lin Lin tidak se­gera mundur, malah menjadi makin bera­ni.

“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah, senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak usah mem­bawa lampu!”

Raja Nan-cao tidak dapat menahan ketawanya. “Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih pan­jang. Nona, kalau kau suka berjanji se­lamanya akan berada di sini, kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”

Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut. “Wah, senang sekali.... tapi, selamanya di sini? Tidak mungkin!”

“Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih. Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek, lalu men­jura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Terima kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!” Ia lalu melangkah lebar mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan pertanyaan-pertanyaan.

“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu? Hiiihhhhh, hampir aku mengalami benca­na paling hebat. Bayangkan saja, dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng....”

“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sem­barangan kau menyalahkan orang lain.”

Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak menengok kepadanya. “Betul­kah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu ten­tang mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”

“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu me­mandang kita. Bukan waktunya bicara. Kaulihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”

Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang, biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat? Dan diakah yang menahan kakak­nya, Bu Sin?

“Aku akan tanya kepadanya!” Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak lang­sung menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang kakak­nya. Melihat ini, Suling Emas menggerak­kan tangannya, memberi isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan menyambar lengan adik­nya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi sebelahnya.

“Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau berlaku sem­brono.”

Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!

Lin Lin gembira sekali. “Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song, berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”

“Karena itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”

Pada saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cin­jin muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu. Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu tertawa adalah ben­da yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh. “Aku membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada bandingnya di se­luruh dunia!” Sambil berkata demikian ia mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam di tangan kiri.

Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini, maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otak­nya, ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di ru­angan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.

Sambil tertawa ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada para tamu seperti ting­kahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di mana para hadirin menghor­matinya, kemudian ia melangkah langsung ke hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.

Akan tetapi ia tidak segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak pe­duli, lalu ia mengomel.

“Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling penting aku harus meng­hormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, men­diang orang tua yang hebat itu!”

Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua Beng-kauw berkata lembut, “Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan ulang tahun Beng-kauw, untuk penghor­matan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong baru dilakukan besok di dalam kuli istana.”

“Ohhhhh, begitukah? Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang akan kubuat sekarang juga.”

“Gan-sicu, keahlianmu melukis terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu me­rupakan hadiah yang tak ternilai harga­nya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.

Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian, terutama seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wa­jah berseri segera berkata, “Silakan.... silakan....”

Empek Gan tanpa banyak sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci ter­isi tinta bak yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja tangan kanan itu hitam se­mua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih, makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah ter­dengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu mendemonstrasikan keahliannya melukis.

Empek Gan mengeluarkan suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata me­lotot, menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini. Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan te­naga sin-kang sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.

Para tamu yaNg hanya berani menon­ton dari tempat duduk masing-masing, agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka dapat menikmati de­monstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi lambat laun mulailah tampak ben­tuk yang amat hidup dan indah luar bi­asa dari seekor harimau! Mata harimau yang seakan-akan bergerak hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis de­ngan taringnya yang runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek seakan-akan tampak bulunya. Be­gitu indah harimau itu, seperti seekor binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan jari-jari ta­ngan. Benar-benar hasil seni yang men­dekati penciptaan!

“Bagus.... indah sekali....!” Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit mendekati dan memandang lebih jelas.

Gan-lopek tiba-tiba mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi! Tentu saja hal ini menimbul­kan keheranan besar, bahkan raja sendiri sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan tenang.

Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam itu demikian tepatnya menem­pel pada kain putih di sebelah atas lu­kisan harimau, membentuk sebuah ling­karan bulat dan biarpun hanya merupa­kan titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah menciptakan sebuah matahari yang gemi­lang!

Gan-lopek kini bangkit berdiri, wajah­nya agak pucat dan napasnya agak mem­buru, akan tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.

“Kauwcu yang baik, terimalah per­sembahanku yang tidak berharga ini!”

“Terima kasih, Gan-sicu, terima ka­sih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.

“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat menik­mati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri. Beng-kauwcu mem­beri tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid segera maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehing­ga semua orang dapat memandang. Se­mua mata tertuju ke arah lukisan dan semua mulut mengeluarkan pujian. Bah­kan orang-orang yang tadi mentertawai Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan. Lukisan itu merupakan seekor harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pe­ngaruh melumpuhkan lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar di­percaya lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan semburan mulut saja!

Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.

“Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui. Mengingat akan hubung­an yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhi­tung keluarga Kaisar di Sung Utara, menghaturkan selamat kepada Agama Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat lagi.” Sam­pai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala para tamu mengang­guk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan kepandaian orang muda itu berpidato.

“Kami sekeluarga Suma di An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan.” Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya, memperlihatkan kepada tuan rumah.

“Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja Nan-cao.

Sambil tersenyum Suma Boan berkata, “Sri Baginda ternyata berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk me­nerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang layak.”

Kini raja sendiri yang memberi perin­tah kepada dua orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang paling baik adalah di din­ding yang sekarang terhias lukisan hari­mau buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan itu dan se­mua orang berseru kagum. Lukisan itu melukiskan seekor kuda yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat se­hingga bulu pada leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar derap dari jauh!

Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada lukisan harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini yang menggunakan warna aseli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan me­ngerling ke arah Gan-lopek, lalu ia ber­kata.

“Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”

Raja yang suka akan lukisan dan sa­jak, segera berseru, “Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”

Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan sajak dengan suara nyaring.

“Kuda sakti, lambang keindahan, kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw, akan maju secepat larinya kuda sakti!”

“Bagus!” Raja bertepuk tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.... kentut! Ada yang sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati batas! Suma Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget me­lainkan karena marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek!

“Gan-lopek, apa kau memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu yang masih duduk di lantai. Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya se­ngaja ia ucapkan untuk memancing. Sa­jaknya tadi merupakan pujian terhadap Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang ren­dah, berarti Gan-lopek memandang ren­dah Nan-cao dan Beng-kauw pula dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan hatinya ini.

Gan-lopek tertawa bergelak. “Bocah, siapa memandang rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kau­lah orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia me­nuding ke arah gambar kuda.

Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan, akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak mengerti.

“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan aseli dari pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak berandalan dan ugal-ugalan, apalagi dibandingkan dengan Em­pek Gan yang aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang di­deklamasikan oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang, se­karang mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.

“Heh-heh-heh, penghinaan tidak lang­sung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”

“Gan-lopek, jangan menuduh semba­rangan! Kau yang membuang kentut di depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.

“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua orang yang hadir di sini tak pernah ken­tut? Kalau angin sudah datang, tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang, itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu. Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda itu bina­tang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan dengan kuda yang boleh di­tunggangi orang lain dan akan lari tung­gang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”

Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah me­ngira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa. “Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama sekali tidak mengang­gap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu, kalau kami boleh mendengar keterangan­nya?”

“Nan-cao dan Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.

Kini Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan keberani­annya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun be­sar tubuh harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang terang benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari? Beng-kauw adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang me­naungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk, Kauwcu!”

Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. “Gan-lopek boleh jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding dengan dia!”

Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan, dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak!

Biarpun tantangan Suma Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan mengadu ilmu sas­tra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mung­kin akan tewas! Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun yang kalah tidak akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama besarnya akan dijadikan bahan ejekan.

Akan tetapi, Gan-lopek adalah se­orang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun pernah ia mem­pelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu kepandai­annya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai pula bicara. De­ngan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain, yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia da­pat menyelamatkan diri daripada ancam­an bahaya. Kini menghadapi tantangan Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal pandai itu sekarang “mati kutu” terhadap Suma Boan!

“Ho-hah, omonganmu lebih jahat dari­ pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kaupanggil ke sini, aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak kau?”

Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh dibanding­kan dengan sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh Empek Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran letaknya, di­ubah-ubah, dapat menjadi dua puluh em­pat baris kalimat yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil berkata.

“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek buta huruf yang pura-pura pintar ini.” Kemudian setelah raja dan ketua Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertan­dingan yang lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang ter­hormat ini mempertaruhkan kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Bukankah begitu, Gan-lopek?”

“Betul, betul!” Gan-lopek mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kali­mat itu oleh hadirin dianggap mengan­dung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku agar kaupakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”

“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan em­pat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan menantang.

Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.

Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, “Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa me­menuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”

***

Suma Boan tersenyurn mengejek. “Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”

“Ho-hah, boleh.... boleh.... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”

Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerut­kan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu ba­nyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata “tahi” ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila! Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.

Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, mem­perlihatkan dua buah jari tangan. “Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”

Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya “makan tahi”! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti hainya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Em­pek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.

Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kauputar-putarlah otakmu, kaurangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengan­dung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau meneri­mamu, hoh-hoh!”

Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.

“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.

Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!” Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.

“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”

Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang kauajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.” Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka. “Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaan­mu itu tentulah salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!” Hening di ruang­an itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan.

“Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?”

“Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”

Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya. “Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gam­bar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka ma­kan tahi harimau? Hoa-ha-ha!”

“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”

Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya. “Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di antara yang hadir siapa bisa bilang bah­wa dua kalimat itu mengandung kebenar­an?” Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara be­risik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan meng­gerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.

“Jawaban Suma Boan itu bohong se­mua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makan­annya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira, “Betul....! Ucapan Nona betul!”

Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataan­nya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bah­wa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak benar.

Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam, “Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”

Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.

“Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kaukira aku mudah kau­tipu begitu saja? Terus terang saja ku­katakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa menge­mukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa ba­nyaknya ikan di laut?”

“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”

Meledak suara orang tertawa men­dengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.

“Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kaurangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa me­lakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan ke­palaku kepadamu!” Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan be­nar.

Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin men­dengarkan jawaban Empek Gan. Tak se­orang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.

“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bo­cah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini....” Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.

“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau me­mang suka makan binatang-binatang le­mah, termasuk kuda!”

“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”

“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak be­tulkah itu?”

“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kautinggalkan!”

Orang-orang berteriak-teriak, “Ya, TAHI-nya bagaimana?”

Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan ber­teriak-teriak mengejek, “Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan te­tapi TAHI-nya kaulupakan. TAHI-nya bagaimana?”

Empek Gan tertawa, “Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kaumakanlah, itu bagianmu!”

Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bang­ku, memegangi perutnya dan terus ter­tawa.

Sungguh tidak ada yang mengira bah­wa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nya­man rasanya bagi telinga yang bersangkut­an. Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang di­maksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang me­nusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan!

Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”

Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini mem­belakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali. Dan hanya dengan ge­rakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya! Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyak­sikan pedang itu berkelebatan di sekeli­ling pantat Empek Gan. Sedikit saja me­nyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di bela­kang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin ter­tawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.

“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.

Suling Emas juga tersenyum dan meng­angguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk aseli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!

Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan me­nabas, namun setalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mun­dur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!

“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?” tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetar­kan anak telinga, biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.

“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh....” kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.

Melihat bahwa suasana menjadi te­gang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil ber­kata, “Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”

Empek Gan menyengir sambil meman­dang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. De­ngan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!

“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan ter­tawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kira­nya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”

Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!

Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.

Lin Lin setelah puas tertawa me­nyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Pera­saan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanya­lah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut “Suling Emas” begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.

“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)....” akhirnya ia berkata perlahan.

Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang. “Kau? Kau bilang apa tadi?”

Lin Lin tersenyum. “Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”

“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”

“Aku menagih janji!”

“Janji apa?”

“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat.... eh, kau melihat apa?” Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang. Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dada­nya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, me­nantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya me­langkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.

“Lin-moi, ke sinilah....!”

Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas se­hingga hampir saja ia menimbulkan ke­ributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia me­nengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri encinya.

“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatangan­ku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”

“Ah, orang macam itu kaupercaya, Enci Eng?”

“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”

“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.

“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.... eh, Lin-moi, kau ke mana....?”

Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya me­rasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!

Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada se­suatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah tiga buah pon­dok itu.

Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan men­dengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok ke dua.... dadanya makin panas seperti terbakar ketika, ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.

“.... ah, kau terlalu lemah....”

“.... cintaku takkan kunodai darah....” terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tem­pat itu.

Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi me­rupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pi­pinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?

Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang.... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.

“Harap jangan berteriak....” suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.

“Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,” kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya tersenyum mengejek.

“Kau kenal padaku....?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayang­an heran.

“Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah keada­an Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan masih ber­kuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani ber­buat seperti itu jahatnya?”

Tercenganglah Hek-giam-lo, biarpun tidak dapat dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia tertegun. “Kau.... kau.... betulkah kau orang yang kucari-cari....? Sudah berkali-kali aku keliru....”

“Hek-giam-lo, kau berhadapan dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalin!” Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan angkuh, sikap seorang puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya sikap ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap se­perti ini, sikap seorang junjungan ter­hadap hamba sahayanya!

Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang me­ngerikan itu tiba-tiba menggigil dan seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika ia berkata.

“Be.... betulkah ini....? Tidak tertipu lagikah.... tidak keliru lagikah....?”

“Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan Ra­ja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya men­jadi puteri mahkota? Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada punggungku kepadamu? Be­rani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyakslkan sikapnya dan mendengar kata-katanya ini, tentu kedua orang sau­dara angkat itu akan terheran-heran.

“Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan ham­ba, Tuan Puteri Yalin yang mulia! Alang­kah bahagia hati hamba telah dapat menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah hamba antar­kan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman Paduka.”

Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti Hek-giam-lo ini, takn mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita encinya tentang tokoh ini dan ia tahu bahwa mau ataupun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si tengkorak hidup. Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat untuk.... berpisah dari Suling Emas! Menolak per­mintaan Hek-giam-lo, berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak baik, berarti menghilang­kan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk dari tokoh ini terhadapnya.

“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu Paman....”

“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka, harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita berangkat.”

Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya, manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia harus mencari akal....

“Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu.... perayaan Beng-kauw masih belum habis....”

“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting daripada urusan negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama sekali tidak ada artinya, apalagi urusan negara lain...., marilah kita berangkat, Tuan Puteri Yalin!” Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju. “Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat, Tuan Puteri.”

Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik sikap dan kata-kata meng­hormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan, berarti ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya yang begitu merendah dan menghormat ter­hadapnya.

“Hek-giam-lo, aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa membalas?”

Sepasang mata di balik kedok teng­korak itu memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang. Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.

“Tuan Puteri Yalin, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan kha­watir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga! Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”

“Ada dua orang yang telah menghina­ku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao menya­takan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kaupikir, apa­kah ini bukan penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bu­kankah itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo, kaurampas tongkat Beng-kauw itu untuk­ku. Dengan membawa tongkat itu, baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain.”

“Tongkat Beng-kauwcu....?” Terang bahwa Hek-giam-lo, biarpun dia seorang tokoh besar malah seorang di antara enam iblis, kaget juga mendengar perintah ini.

“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Beng­kauw?”

“Hamba tidak takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi tongkat itu adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu akan menimbulkan seng­keta antara Khitan dan Nan-cao?”

“Khitan tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan kita juga menyata­kan maaf. Dengan demikian, baru ke­jayaan negara dapat dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan menjadi bujang atau selir?”

Kena juga akhirnya tokoh iblis ini “dibakar” oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara. Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata singkat. “Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”

“Bagus! Sekarang musuhku yang ke dua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku, pembunuhnya tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal. Kautangkap dia, jadikan tawan­an dan kita bawa bersama ke Khitan.”

Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.

“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”

“Hamba juga tidak takut, akan tetapi.... urusan ini.... tidaklah begitu mudah, malah agaknya lebih sukar daripada mengambil tongkat Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang ter­bunuh itu?”

“Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di....”

Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana ta­rikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang kata-katanya terde­ngar amat ketus, “Kam Si Ek? Musuh besar kita itu! Tuan Puteri Yalin, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah musuh besar orang Khitan!”

Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik dari bibi gurunya maupun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.

“Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu, aku akan menanti di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya mahluk yang mengerikan ini pergi meninggalkan­nya.

“Paduka akan berangkat sekarang juga....”

Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat.

“Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat....” Akan tetapi Hek-giam-lo tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan tiba-tiba ter­dengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran, terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.

“Mau apa kau? Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini....?” berkali-kali Lin Lin bertanya. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas dingin dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti penuh dengan suara mendesis tinggi. Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang mengandung penuh tenaga khi-kang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman) yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya. Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, me­musatkan panca indera, mengerahkan sin-kang untuk diputar-putar di seluruh tubuh melindungi dirinya daripada se­rangan tak langsung tapi cukup hebat itu. Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini dapat men­dengar suara mendesis tinggi yang ber­gema di seluruh penjuru, seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar desis yang agak rendah­an dari sebelah barat, seakan-akan ada yang menjawab suara Hek-giam-lo itu.

Lewat sepuluh menit kemudian, suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan.... bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit di kedua ketiaknya.

“Kau.... kau siapa?” Lin Lin bertanya gugup dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan men­jadi kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”

Kakek itu membungkukkan tubuhnya. “Tuan Puteri Yalin, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun Suheng (Kakak Seper­guruan) Hek-giam-lo pergi untuk melak­sanakan perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini, Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga.”

Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kira­nya suara mendesis-desis tadi adalah suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan mem­punyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung, agaknya di ales lutut. Mengerikan dan juga menimbul­kan kasihan. Kakek begini disuruh me­ngantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo, Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya, tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki da­pat bersilat dengan baik? Agaknya ter­hadap orang ini tidak perlu dikhawatir­kan.

“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.” kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan merin­tanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini. Akan tetapi, melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini, Lin Lin merasa tidak enak hati sekali.

“Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”

Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin. Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi sungguh ke­betulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi, melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demi­kian baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit, diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Me­mang kakek itu “berjalan” agak terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui amat cepat. Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin se­ngaja mengerahkan kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!

Ketika ia menoleh, kakek itu ter­senyum lebar dan berkata, “Untung se­kali Paduka dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”

Lin Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh be­berapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan para pen­jaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota, mereka tidak meng­ganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin cepat keluar dari Kota Raja Ke­rajaan Nan-cao.

Sebentar saja mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan Pak-sin-tung.

“Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat sekali....!” seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat mengikutinya.

“Pak-sin-tung, aku tidak mau berang­kat sekarang!” Tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota, akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.

“Apa maksud Paduka?”

“Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”

Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang. “Ampun Tuan Puteri. Hamba sudah me­nerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun yang akan terjadi.”

“Kalau aku tidak mau?” bentak Lin Lin.

“Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.”

“Srattt!” Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu dan dikembalikan kepadanya.

“Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.

“Pedang pusaka Besi Kuning....!” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak.... hamba tidak berani.... tidak berani....”

Besar hati Lin Lin dan sekarang ta­hulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan. Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh pedang pusaka itu, maka ia membentak.

“Kau masih berani membantah perin­tah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.

“Ti.... tidak, hamba tidak berani....” Kakek buntung itu meloncat ke atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke mana­pun juga pedang itu menerjang, selalu dapat dihalau tongkat. Hebat sekali ka­kek ini, biarpun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bah­wa kakek buntung ini benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali bertemu senjata, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah menge­rahkan Khong-in-ban-kin!

“Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah....”

Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu menang, apalagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu? Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan daripada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama bantuan Hek-giam-lo, untuk.... menawan Suling Emas! Hasrat hati ini timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci, bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi “hajaran” kepada Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini, juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak angkatnya, Kam Bu Song.

“Pak-sin-tung, kalau kau menurut perintahku dan tidak melawang aku pun mana suka bertentangan dengan orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman Baginda di Khi­tan. Akan tetapi, aku baru mau pergi setelah semua urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, ban­tuan Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman lain yang dapat membantuku di sini?”

Kini kakek buntung itu duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya, matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin. “Ajaib....” katanya perlahan. “.... pedang pusaka Besi Kuning sudah berada di tangan Paduka pula.... ajaib.... agaknya inilah isyarat dan tanda dari langit....”

“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”

“Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia, akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan. Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu pasukan pendam terdiri dari dua losin orang perajurit pilihan mengawal secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”

“Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”

Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan terdengarlah desis yang makin lama makin tajam se­hingga kembali Lin Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung, merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerah­kan sin-kang untuk melawan getaran he­bat itu. Ada seperempat jam suara itu mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan banyak orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang berpakaian seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut dengan hormat di depannya de­ngan barisan berjajar di belakang Pak-sin-tung!

“Hamba sekali sudah berkumpul dan siap menanti perintah Tuan Puteri Ya­lin!” kata Pak-sin-tung. Tak dapat di­cegah oleh Lin Lin rasa bangga dan me­kar di dalam dadanya. Inilah hebat, pi­kirnya dan yang luar biasa adalah ke­nyataan bahwa tidak merasa hal ini aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan su­dah seharusnya demikian!

“Kalian semua dengarlah baik-baik,” katanya sambil memasukkan Pedang Besi Kuning ke dalam sarungnya. “Untuk men­junjung nama besar Khitan dan memberi peringatan kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak berani meman­dang rendah kepada kita, aku telah me­merintahkan Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat ya-beng-cu dari tangan Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku untuk dua urusan lain, pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hidup-hidup, kita bawa dia ke Khitan.” Lin Lin tidak pedulikan be­tapa orang-orang itu saling pandang de­ngan muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya, “Ke dua, kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera pangeran dari Kerajaan Sung itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama Kam Bu Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia menunjuk­kan di mana adanya Kam Bu Song, kali­an boleh siksa ia sekedarnya tapi tak usah dibunuh, lalu dilepaskan dia kem­bali. Mengerti?”

“Hamba mengerti, Tuan Puteri,” ja­wab Pak-sin-tung mewakili anak buah­nya. “Biarlah hamba yang menemani Paduka, adapun saudara-saudara ini siap secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba panggil.”

“Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota raja.” Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka keluar.

***

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini berubah menjadi seorang Puteri Khi­tan yang berpengaruh itu, untuk mene­ngok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan. Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah diminumi racun perampas se­mangat?

Memang demikianlah, Siang-mou Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia ber­maksud membawa Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia perguna­kan sebagai bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan pu­tera dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari ketika ia bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Sian­su, cepat ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan terjadilah “perang” antara suara khim pertama dan suara khim yang dimainkan Siang-mou Sin-ni.

Iblis wanita rambut panjang ini ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu. Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia telah mempelajari alat musik ini dan meng­gabungkan kesaktiannya ke dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata yang ampuh sekali. Ba­nyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan “jurus-jurus” yang dapat merusak sema­ngat, membikin putus urat syaraf meng­aduk berantakan isi perut dan meng­hancurkan isi dada lawan! Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau pun kejahatan, ter­gantung daripada si pemakai.

Akan tetapi alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara khim yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba “cringgg!” sebatang kawat khimnya putus!

“Keparat....!” Siang-mou Sin-ni melompat dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim, rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk lawan. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek Siansu! Bagaimana­kah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti, seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi pucat ketakutan.

“Kau.... kau.... setan....!” teriaknya, membalikkan tubuh dan.... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih menggeletak pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang melengking tinggi dan.... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya, kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh terjengkang.

“Kurang ajar....!” Siang-mou Sin-ni berteriak lagi dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari ping­sannya. Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kun­tilanak kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!

Suara khim berhenti dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat sederhana dan tua tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang bergerak perlahan dan mulai bangkit. “Kasihan....” bibir itu berbisik, “anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”

Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal kakek itu. “Mana.... mana dia....?” bibirnya yang agak pucat bertanya, suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.

Bu Kek Siansu menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum sudah apa yang telah me­nimpa diri pemuda ini. Tangannya ber­gerak menyentuh tengkuk Bu Sin, me­nekan sebentar lalu berbisik lagi. “Belum terlambat.... anak baik, kauikutilah aku....”

Seperti linglung Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil bertanya, “Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan saya berada di mana, apa yang te­lah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya, mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak me­nolong, namun belum mampu menyem­buhkannya sama sekali.

“Kau menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat meng­ingat kembali.” Kakek itu mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.

Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya men­jadi pening, perutnya terasa panas seper­ti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia mengguna­kan kedua tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun dan berseru.

“Iblis betina, boleh kaubunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”

Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek tua renta di depannya yang memandang de­ngan senyum penuh kesabaran. Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan dia.... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni, sungguhpun ia tidak tahu bagaimana caranya.

“Locianpwe tentu telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan dadanya agak sakit.

“Anak baik, mari kau ikut denganku agar kesehatanmu pulih kembali.” Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hi­dungnya sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan mem­balikkan muka agar dapat membelakangi angin.

“Kita sudah sampai!” Suara halus kakek itu menyadarkannya. Bu Sin me­rasa seperti baru bangun tidur dari mim­pi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang memiliki kesaktian luar biasa.

“Locianpwe, teecu mengerti bahwa Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan meng­apa pula Locianpwe membawa teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk....”

“Orang muda, kau telah menjadi kor­ban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak di­kotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam tubuh yang men­jadi lemah. Orang muda, sekarang kata­kan, apakah cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”

Bu Sin diam-diam terkejut sekali men­dengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya “menjadi permainannya” dan ia merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu. “Locianpwe, mohon Locian­pwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih belum dapat me­nemukan musuh besar yang telah mem­bunuh ayah bunda teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk memenuhi pesan Ayah. Se­karang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua? Mohon Locianpwe sudi menolong.”

Kakek itu menarik napas panjang. “Aku akan lebih suka kalau kau melepas­kan semua itu dan ikut dengan aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa.

***

“Akan tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”

Bu Sin sudah membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya? Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang te­ngahnya menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk men­dengarkan.

Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum. Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan mata­nya, wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah bergoncang.

Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat telinganya, “Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salur­kan ke jalan darah tiong-cu-hiat.”

Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak bela­kang lehernya itu seperti disentuh se­suatu dan aneh, dengan mudah kini te­naga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena kakek sakti itu membantunya.

“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air, kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas.” Dengan kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan de­kat kedua telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang mendengarkan dengan amat tekun.

Seluruh perhatiannya tercurah kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya, bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya, dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.

Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah tidak membisik­kan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang didengarnya sekarang hanya­lah gema suara kakek itu yang seakan-akan masih terus berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib ten­tang siulan dan membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah dihafalnya benar-benar.

Setelah suara itu makin menghilang, barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya. Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing! Cepat ia mengerahkan hawa dalam tubuh se­perti tadi sebelum buyar dan lenyaplah rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedi­nginan, giginya sampai berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia meng­ingat isi pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan tetapi karena belum pandai benar ia menjalankan ilmu itu, hawa dingin segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak, sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api ne­raka, telinganya terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kem­bali dengan mengingat pelajaran tadi, ia berhasil menundukkan rasa panas ini.

Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih kuat daripada biasa. Hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi perutnya yang terasa olehnya, kelemahan yang wajar. Karena khawatir kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan kakinya. Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak cepat-cepat mem­buang diri ke kanan lalu merangkak tu­run dari atas batu, kiranya ada bahaya­nya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke dalam air!

Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia mengingat-ingat, me­mandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa batu yang tadi men­jadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat semuanya. Ingat bahwa ia tadinya men­jadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan me­nurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan per­mainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti itu yang menolongnya, ke­mudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang ajaib sehingga ia tahan bersamadhi di bawah air terjun sampai berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya karena ia tekun dalam bersamadhi sambil mencurahkan segala daya ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.

Tak perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat ber­temu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia selidiki hal ini dan se­karang yang paling perlu adalah mencari pengisi perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan, atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!

Tak lama kemudian, dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia. Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sem­pat digigit ia buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara. Un­tung tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin kini memperoleh kemajuan secara menakjub­kan dan tidak disadari oleh orangnya sendiri. Ia melihat seorang laki-laki ber­pakaian ringkas seperti seorang pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan kedua tangannya mati-matian mendorong moncong hari­mau. Perlawanan yang sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau, tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga binatang itu tidak ro­boh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun tangan.

Bu Sin melompat dekat, tangannya diayun dan.... “krakkk!” tubuh harimau terguling, kepalanya pecah. Laki-laki itu merangkak keluar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul saja ia berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh, lebih tak masuk di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil berkata berulang-ulang. “Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia Locianpwe....”

Si pemburu yang sudah bangkit duduk, makin melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!

Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia bang­kit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pem­buru itu yang segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk, pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, bergidik dan menoleh memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.

“Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati.”

“Kau.... kau.... manusiakah kau....?”

Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kau gagah sekali sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat. Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu.” kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya.

Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun.

“Tak perlu segala kekosongan ini!” katanya. “Marilah kita bicara secara se­wajarnya. Aku tidak akan lama meng­ganggumu, hanya ingin bertanya, tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku.... aku tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk.”

Orang itu kelihatan tertegun. “Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan, dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!”

Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja Nan-cao di selatan? Hebat! Kiranya iblis betina itu mem­bawanya ke Nan-cao! Tentu ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjung­an ke Nan-cao. Ia mengangguk dan ber­kata.

“Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih dua hari perjalanan? Tolong kautunjukan jalannya agar aku tidak sesat lagi.” Pem­buru itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung dan sungai di atas tanah.

“Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia bangkit berdiri.

“Nanti dulu, Taihiap. Kau telah me­nolong nyawaku, bolehkah saya menge­tahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama saya, dan....” akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sam­pai bayangan Bu Sin lenyap diantara pohon-pohon.

Bu Sin benar-benar merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya jauh berbeda dari­pada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui pe­rubahan ini. Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu bahwa se­mua ini adalah hasil daripada ilmu siuli­an ajaib yang ia terima dari kakek tua renta tak bernama itu.

Dengan melakukan perjalanan cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.

Tiba-tiba Bu Sin menyelinap dan ber­sembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya di pinggir jalan. Dari de­pan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka mem­perlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang kumisnya tipis panjang dan matanya juling, meng­gendong sebuah karung hitam di punggung­nya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi orang ke tiga yang mukanya ca­cat, bolong-bolong oleh penyakit cacar. Orang ke dua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya. Yang menyolok adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian pengemis.

“Ha di sinilah tempatnya. Pangcu (Ketua) berpesan agar kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat saja di tanah kuburan. Ngeri juga!” kata orang bermata juling sambil menurunkan karung hitam dari punggung, meletakkahnya di atas tanah. Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi telah berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong ka­rung peluhnya membasahi leher dan mukanya.

“Loheng (Kakak), tak enak menanti di tempat angker begini, tanpa ada peman­dangan yang elok. Kita buka saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang menyegarkan sema­ngat, heh-heh!” kata pengemis bermuka bopeng, yang paling muda di antara me­reka.

“Sam-te, jangan main-main kau!” cela si kepala besar, “Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hen­dak mendahului Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?”

“Wah, Suheng (Kakak Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku berani mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana cocok untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya. Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si itu. Wah.... berabe, baru tiga hari dia bunuh diri!” kata lagi si bopeng.

“Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu!” kata si juling.

“Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet....!”

“Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap....!”

“Sttt, sudahlah!” tegur si kepala besar. “Kalian ini kalau ada perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te, memang tidak baik membuka karung, biarpun aku sendiri tadi kagum menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu mampu menawannya.”

“Takut apa, Loheng? Biarpun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin me­lihatnya agar pemandangan buruk di ku­buran ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,” Sambil berkata demikian, si bo­peng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung. “Pula, sudah ter­lalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kong­cu!” Kedua temannya yang tadinya hen­dak melarangnya, ketika mendengar ucap­an terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluar­kan isi karung itu.

Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut me­lihat mereka menarik keluar tubuh se­orang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, ter­buat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.

“Coba lihat, alangkah manisnya!” kata si juling.

“Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.

“Suheng, suheng...., a.... aku.... kan boleh ya aku.... menciumnya satu kali saja?” kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.

“Sam-te, jangan gila kau!” seru si kepala besar.

Si juling tertawa menyeringai. “Mencium sih tidak ada halangannya, biarpun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?”

Bu Sin tak dapat menahan kemarah­annya lagi. Ia melompat keluar dari tem­pat sembunyinya sambil membentak. “Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis, benar-benar sudah bosan hidup!”

Tiga orang itu kaget sekali dan de­ngan gerakan ahli mereka sudah melom­pat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan, ketika dapat me­rangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napas­nya sesak dan ia terbatuk-batuk. Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah me­nyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.

“Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-cao (Ular Tanduk Besi)?” seru si kepala besar yang mempunyai “tanduk” daging di jidatnya.

“Tak perlu tahu aku siapa, lekas kali­an minggat dan tinggalkan nona ini se­belum kuantar kalian ke neraka!” bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.

Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu ber­kata kepada temannya yang bermuka bopeng. “Sam-te, kaumasukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita mem­beri hajaran kepada bocah lancang ini.” Setelah berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.

Si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mende­ngar perintah ini, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan, “Heh-heh.... pipimu begini halus....!” Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.

“Plakk! Ngekkk....!” Si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping. Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh

bersambung ....................5

0 komentar:

Posting Komentar