tidak kucegah, agaknya adikku itu sudah dibunuhnya malam hari itu juga.
Baiknya dapat kudinginkan hatinya, adikku diampuni dan Bu Song
dimasukkan dalam penjara. Sebagai seorang yang dianggap tak kenal budi,
sudah ditolong oleh Ayah sampai tiga tahun lebih, kiranya membalas
dengan penghinaan yang mencemarkan nama baik keluarga. Ayah tak dapat
mengampuninya, lalu menyerahkan kepadaku untuk membunuh Bu Song....”
“Ahhhhh....!” Sian Eng menghentikan langkahnya, membalik dan memandang wajah Suma Boan dengan mata berapi.
Suma Boan menggelengkan kepalanya. “Tidak, Adik Sian Eng. Jangan kau
sangka bahwa aku mau begitu saja membunuh seorang yang sudah tiga tahun
menjadi sahabat baikku? Tidak! Tentu saja di depan Ayah aku tidak
berani membantah, karena aku pun dapat menyelami perasaan Ayah dan
secara jujur aku harus membenarkan hukuman itu. Namun, betapapun juga,
aku tidak tega untuk melakukan perintah Ayah. Aku lalu mendatangi Bu
Song di kamar tahanan, dan berunding dengannya. Aku hendak menjalankan
siasat, menyuruh teman-teman dari luar kota yang pandai untuk tiga hari
kemudian, malam-malam menyerbu dan membebaskan Bu Song. Dengan akal
demikian Bu Song akan tertolong dan aku sendiri tidak disalahkan Ayah
karena memang tahanan diserbu penjahat-penjahat pandai.” Kembali pemuda
bangsawan itu berhenti, menjadi ragu-ragu.
“Kemudian
bagaimana.... Koko?” Diam-diam Suma Boan tersenyum girang karena jalan
ceritanya telah membuat hati gadis itu kembali mesra terhadapnya,
sehingga menyebutnya koko (kanda) dengan suara demikian merdu dan mesra.
Tentu saja Sian Eng takkan berani menyebutnya koko kalau saja ia tidak
mendahului menyebut gadis itu adik.
“Untuk memudahkan rencanaku
itu, pada malam hari ke tiganya, di depan Ayah aku mencambuki Bu Song
dan mengikatnya pada balok bersilang....”
“Seperti yang kaulakukan terhadap kakakku Bu Sin itu? Apakah kau juga menyiksa kakak Bu Song dengan anak panahmu?”
Bukan main kagetnya hati Suma Boan mendengar pertanyaan ini. Hampir
saja ia melompat menjauhi, seakan-akan pertanyaan itu merupakan seekor
ular berbisa yang menyerangnya tiba-tiba. Akan tetapi melihat sikap Sian
Eng masih biasa, hanya pada suaranya terkandung kegetiran, ia dapat
menguasai perasaannya dan berkata.
“Dari mana kau bisa tahu tentang kakakmu Bu Sin? Apakah kau sudah berjumpa dengannya?”
“Belum. Akan tetapi aku mendengar dari Suling Emas....”
“Ahhh! Kiranya dia pula yang telah membawa pergi Bu Sin? Heran sekali....!”
“Mengapa heran? Dia seorang pendekar yang sakti.”
“Aneh sekali.... dia benar-benar orang aneh....” Suma Boan berkata lirih, kepada diri sendiri.
“Memang dia aneh, akan tetapi sakti dan kalau tidak ada dia, agaknya aku dan Kakak Bu Sin tentu telah tewas.”
“Kau tidak tahu akan urusannya, Moi-moi. Dengarlah baik-baik, dan kau
akan mengerti mengapa aku menjadi marah dan benci kepada Bu Song
sehingga ketika kau dan Bu Sin muncul, aku tidak dapat menahan
kemarahanku. Telah kuceritakan tadi, aku menyiksa Bu Song hanya untuk
main sandiwara di depan Ayah saja. Terang saja aku hanya mencambukinya
agar Ayah percaya. Lalu aku dan Ayah pergi meninggalkan Bu Song terikat
di taman dan aku mengerti bahwa menjelang tengah malam, tentu
teman-temanku yang sudah siap akan datang menyerbu dan membawanya lari
keluar kota. Akan tetapi, apa yang terjadi? Teman-temanku benar
menyerbu, akan tetapi.... Bu Song sudah tidak ada lagi di sana!
Kegagalan ini membuka rahasiaku sehingga Ayah marah bukan main kepadaku
dan hampir aku diusirnya kalau saja Ibu tidak turut campur. Nah, karena
melanggar janji dalam rencana itulah aku menjadi benci kepada Su Song.
Apalagi setelah beberapa tahun kemudian, adikku sudah menikah dengan
pangeran tunangannya, Bu Song secara sembunyi muncul lagi dan bahkan
berani mengunjungi taman adikku, mengadakan pertemuan di sana!”
“Apa....?” Sian Eng berseru dengan hati tidak karuan. Heran, penasaran,
juga terharu sekali. Demikian besarkah cinta kasih kakaknya terhadap
Suma Ceng sehingga kakaknya tidak melihat kenyataan bahwa kekasihnya itu
sudah menjadi isteri orang lain?
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Itulah sebabnya mengapa aku tidak dapat menahan sabar lagi ketika
melihat kau dan Bu Sin muncul dan mengaku sebagai adik dari Bu Song.
Apalagi terhadap Bu Sin yang ketika kuceritakan hal ini malah membela
kakaknya, sehingga kemarahanku menjadi-jadi. Baiknya aku masih ingat
dan tidak membunuhnya, dan bukan main bingung hatiku ketika melihat kau
lenyap. Syukur kau telah tertolong dari tangan Hek-giam-lo yang
mengerikan.”
“Kalau begitu.... agaknya.... Kakak Bu Song memang
keterlaluan. Kalau kekasihnya, adikmu itu sudah menjadi isteri orang
lain, tidak semestinya ia datang mengunjunginya. Akan tetapi, bagaimana
kau bisa tahu bahwa kita akan dapat bertemu dengan dia di Nan-cao?”
Suma Boan tersenyum penuh rahasia. “Dia mempunyai hubungan dengan
Kerajaan Nan-cao, kita pasti akan bertemu dengannya di sana. Kau
percayalah kepadaku Adik Sian Eng.”
“Kalau aku tidak percaya kepadamu, masa aku suka ikut?”
Mereka memasuki pekarangan sebuah gedung indah. Beberapa orang penjaga
segera maju menghadang, akan tetapi mereka cepat memberi hormat ketika
melihat Suma Boan membuka pintu depan dan seorang di antara mereka
berlari-lari ke dalam untuk melaporkan kedatangan mereka. Suma Boan
mengajak Sian Eng terus ke dalam, malah dengan ramah ia menggandeng
tangan gadis itu.
Di ruangan tengah mereka disambut oleh seorang
wanita yang cantik sekali dan mengenakan pakaian mewah. Sejenak Sian
Eng tercengang dan kagum. Wanita itu lebih tua beberapa tahun
daripadanya, wajahnya yang cantik jelita membayangkan keagungan,
rambutnya yang panjang hitam itu digelung indah dan dihias permata mutu
manikam. Sepasang matanya yang bersinar-sinar, dagunya yang runcing dan
tubuhnya yang langsing padat mengingatkan ia akan Lin Lin. Akan tetapi,
tentu saja berlainan sekali karena Lin Lin mempunyai kecantikan yang
asing, sedangkan wanita ini adalah seorang yang cantik seperti dewi
dalam gambar. Ia cepat-cepat menjura dengan hormat ketika wanita itu
berkata, suaranya halus dengan gerak-gerik yang lemah gemulai.
“Twako (Kakak), malam-malam begini kau datang mengunjungiku, dari manakah dan ada keperluan apa? Dan adik ini, siapakah?”
Sian Eng kini memandang sekali lagi, dengan penuh perhatian setelah
mengerti bahwa inilah kiranya wanita yang menjadi kekasih hati
kakaknya. Ah, pantas saja kakak sulungnya tergila-gila, karena memang
wanita ini hebat. Diam-diam ia menaruh kasihan kepada kakaknya, juga
kepada wanita ini, yang ternyata telah gagal dalam percintaan.
“Ceng-moi (Adik Ceng) aku mempunyai urusan di kota raja sehingga agak
terlambat datang ke sini. Besok pagi-pagi aku akan berangkat ke selatan,
menghadiri pesta Agama Beng-kauw di Nan-cao bersama Nona Sian Eng ini.
Maafkan kalau aku mengganggu, tapi mana suamimu?”
Pandang mata
Sian Eng yang tajam menangkap wajah yang tiba-tiba muram itu, dan
suaranya yang halus merdu tadi berubah tergetar membayangkan batin yang
tertekan, “Ah.... dia tidak berada di rumah, semenjak sore tadi pergi
bersama teman-temannya....” kemudian suaranya meninggi, wajahnya berseri
lagi seakan-akan ia memaksa diri melupakan hal itu dan mengubah
percakapan. “Adik ini tentu lihai sekali ilmu pedangnya. Adik, kau murid
siapakah. Twako, biarkan dia tidur bersamaku agar kami dapat
bercakap-cakap, kau sendiri pakailah kamar di sebelah timur. Akan
kuperintahkan pelayan membereskannya.”
Suma Boan tersenyum,
menyatakan baik lalu meninggalkan dua orang wanita itu. Akan tetapi
sebelum lenyap di ruangan lain, terdengar suaranya. “Asal kau tahu saja
bahwa Adik Sian Eng adalah adik dari Bu Song.”
Suma Ceng menahan
seruannya dengan menaruh tangan kiri di depan mulut, matanya
terbelalak memandang Sian Eng, wajahnya menjadi pucat! Sian Eng makin
kasihan melihat ini dan maklumlah ia bahwa biarpun wanita ini sudah
bersuamikan orang lain namun tetap mencinta kakaknya. Ia cepat
memegang tangan Suma Ceng dan berkata, “Enci, harap kau jangan kaget.
Pertemuan ini tidak kusengaja, hanya kebetulan saja. Baru saja aku
mendengar tentang kakakku dan kau. Selama hidupku belum pernah aku
bertemu dengan Kakak Bu Song dan sekarang aku sedang mencarinya.
Suma-kongcu menyatakan bahwa kalau aku ikut dengannya ke Nan-cao, pasti
aku akan dapat bertemu dengan Kakak Bu Song di sana.”
Suma Ceng
menarik tangan Sian Eng. “Adik Sian Eng, marilah kita bicara di dalam
kamarku....!” Dari suaranya, tahulah Sian Eng bahwa wanita itu menahan
isak, agaknya menjadi amat terharu. Maka ia pun mengikutinya dengan
hati berdebar karena ia merasa yakin bahwa dari mulut yang mungil ini ia
akan dapat mendengar banyak tentang diri kakaknya.
***
“Heeeiiiii! Dengar kalian semua! Aku Si Suling Emas selamanya tidak
pernah bermusuhan dengan orang-orang Nan-ping maupun Nan-han dan
kerajaan-kerajaan di selatan lainnya. Mundurlah dan biarkan kami lewat,
kami sedang menuju ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw di
sana. Mundur, aku tidak suka membunuh kalian!” Biarpun teriakan Suling
Emas itu bagaikan halilintar dan sulingnya digerakkan menjadi
segulungan awan kuning yang hebat, ditambah pula di sebelahnya terdapat
Lin Lin yang juga menggerakkan pedangnya sehingga gulungan sinar kuning
yang lebih muda menyilaukan mata dan mengandung hawa dingin mengancam
para pengurung, namun puluhan orang yang mengurung mereka itu tidak mau
mundur, malah mendesak makin hebat.
“Jangan kira aku takut,
tikus-tikus tak tahu diri!” Suling Emas membentak dan terdengarlah bunyi
senjata yang patah-patah ketika sulingnya bergerak membabat pedang dan
golok yang malang-melintang di depannya, “Lin Lin, serang dan robohkan
mereka, tapi jangan bunuh!”
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin
banyak dan mereka berteriak-teriak, “Bunuh anjing pengkhianat! Jangan
percaya omongan anjing penjilat Sung Utara!”
Suling Emas dan Lin
Lin dalam perjalanan mereka tiba di luar kota Ban-in di pinggir Sungai
Yang-ce-kiang, dan di tempat inilah mereka dihadang kemudian dikeroyok
oleh banyak sekali orang yang kesemuanya mahir ilmu silat dan membawa
senjata. Hal ini saja cukup membayangkan bahwa mereka ini memang sudah
berjaga di situ, dan bahwa pencegatan terhadap Suling Emas dan Lin Lin
memang sudah diatur lebih dulu.
Biarpun puluhan orang pengeroyok
itu adalah orang-orang yang melihat gerakan-gerakannya, ternyata pandai
mainkan senjata tajam, namun mereka bukanlah lawan Lin Ling apalagi
Suling Emas. Sebentar saja, golok-golok dan pedang-pedang
berpelantingan, dan tubuh-tubuh terluka roboh saling tindih. Tiba-tiba
terdengar suara gerengan yang menggetarkan bumi. Agaknya suara ini
merupakan komando karena para pengeroyok makin nekat dan mendesak,
kemudian muncullah di antara para pengeroyok itu dua orang yang
hebat-hebat. Mereka adalah dua orang laki-laki tua yang hampir
telanjang. Hanya cawat dan celana yang menutupi tubuh mereka. Biarpun
keduanya sama menjijikkan seperti binatang atau manusia hutan yang
liar, namun keadaan mereka jauh berbeda. Yang seorang bertubuh gemuk
dan di tengkuknya terdapat daging punuk yang besar seperti punuk di
punggung sapi jantan. Kedua lengannya panjang berbulu, kelihatan kuat
sekali sedangkan sepuluh jari tangannya berkuku panjang dan kotor.
Kepalanya gundul, mata dan mulutnya membayangkan kebuasan yang
mengerikan. Orang ke dua tinggi kurus, juga tak berbaju, hanya
bercawat, juga gundul dan mukanya sama buas dan mengerikan. Kita pernah
bertemu dengan yang tinggi kurus itu, karena ia bukan lain adalah
Tok-sim Lo-tong, sahabat baik It-gan Kai-ong yang melakukan perjalanan
bersama Suma Boan. Adapun yang gendut itu juga bukan tokoh sembarangan,
karena dia adalah kakak Si Tinggi Kurus, berjuluk Toat-beng Koai-jin
(Manusia Aneh Pencabut Nyawa)! Seperti juga Tok-sim Lo-tong, Toat-beng
Koai-jin ini termasuk seorang di antara Thian-te Liok-koai Si Enam
Jahat.
Melihat munculnya dua orang kakak beradik ini, kagetlah
Suling Emas, akan tetapi ia pun menjadi marah sekali. “Aha, kiranya
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dua manusia buas yang berdiri di
belakang semua ini? Kalian mau apa?”
“Heh-heh, Suling Emas,
menyerah kau dan gadis itu!” Toat-beng Koai-jin menggeram, air liurnya
menetes dari pinggir mulut. Lin Lin mengkirik penuh kengerian.
“Suling Emas, menyerahlah menjadi tawananku kalau mau selamat!” Si
Tinggi Kurus Tok-sim Lo-tong mengeluarkan suaranya yang tak enak
didengar.
Tiba-tiba Suling Emas tersenyum lebar dan Lin Lin
yang menoleh kepadanya menjadi bengong. Baru kali ini ia melihat Suling
Emas tersenyum lebar. Wajahnya berubah sekali, kemuraman lenyap,
wajah itu berseri-seri menjadi amat tampan. Alangkah inginnya dapat
melihat Suling Emas seperti itu selalu!
“Kalian kira aku manusia macam apa, bisa kalian ancam untuk menyerah?”
“Heh-heh, aku tahu kau tentu melawan. Lebih baik lagi, tinggal
menyeret bangkaimu kubawa pulang!” Toat-beng Koai-jin terkekeh lalu
menerjang maju, menubruk Lin Lin. Gerakannya kelihatan lambat, tubuhnya
begitu besar dan kaku akan tetapi entah bagaimana, tubrukan ini hampir
tak terhindarkan oleh Lin Lin! Baiknya ia cepat mengayun pedang yang
menjadi sinar kuning berkelebat di depan tubuhnya, merupakan senjata
yang amat kuat dan agaknya Toat-beng Koai-jin maklum pula akan keampuhan
pedang pusaka ini maka ia menggeram dan mengubah gerakan menubruk
menjadi gerakan mencengkeram dari samping bawah!
Sementara itu,
Tok-sim Lo-tong juga sudah mengeluarkan senja istimewa, yaitu seekor
ular yang besar dan panjang. Ular dilibatkan di leher dan pinggang, ia
sendiri memegang leher ular dan bersilatlah ia dengan kacau-balau
menerjang Suling Emas. Biarpun kelihatannya ia berjingkrak dan bersilat
kacau-balau seperti itu, namun Suling Emas yang sudah mengenalnya maklum
bahwa Si Tinggi Kurus ini amat hebat kepandaiannya. Justeru di dalam
kekacau-balauan gerakan inilah terletak kekuatannya, apalagi “senjata”
ular hidup itu bisa mulur dan mengkeret, amat sukar diduga
perkembangannya. Angin pukulan yang menyambar-nyambar disertai bau amis
dan berbisa, membayangkan teraga sin-kang yang mujijat, bercampuran
dengan hawa ilmu hitam dan hawa beracun. Di samping ini, masih banyak
sekali orang yang mengeroyok Suling Emas dari kanan kiri dan
belakangnya.
Mendapat lawan Tok-sim Lo-tong yang lihai ditambah
banyak pengeroyok itu sama sekali tidak membikin gentar hati Suling
Emas, akan tetapi yang membuat ia khawatir sekali adalah keadaan Lin
Lin. Ia maklum bahwa betapapun lihainya Lin Lin dengan ilmu warisan
dari Kim-lun Seng-jin, namun gadis itu masih jauh belum cukup kuat untuk
menandingi seorang lawan yang seperti Toat-beng Koai-jin, seorang di
antara Thian-te Liok-koai.
“He, Toat-beng Si Lembu Edan, tidak
malukah kau melawan seorang gadis cilik? Hayo kau sekalian maju
mengeroyokku!” bentak Suling Emas seraya mainkan sulingnya sedemikian
rupa sehingga gulungan sinar sulingnya itu menahan semua pengeroyok.
Akan tetapi, kiranya malah Lin Lin yang menjawab, “Siapa gadis cilik?
Aku bukan kanak-kanak lagi. Monyet gundul liar menjemukan, jangan
dengarkan dia, hayo kaulayani pedangku kalau memang berani! Lihat, ujung
pedangku akan mendodet perutmu yang gendut kebanyakan makan itu!” Lin
Lin menerjang hebat sambil memutar pedangnya dan dengan hati-hati,
karena maklum akan kelihaian lawan, ia mainkan ilmunya Khong-in-liu-san
sambil mengerahkan tenaga sakti dengan Ilmu Khong-in-ban-kin.
Toat-beng Koai-jin yang tadinya memandang rendah dan menyerbu gadis itu
sambil tertawa-tawa, diam-diam kaget juga karena ini. Biarpun ia
kelihatan buas dan liar seperti orang hutan, namun dalam hal ilmu silat
di dunia kang-ouw, sebagian besar telah dikenalnya, maka ia mengenal
pula Ilmu Khong-in (Awan Kosong) ini.
“Heh, kau murid Kim-lun
Seng-jin? Bagus, tentu gurih dagingmu dibakar setengah matang. Heh-heh!”
Tiba-tiba kakek liar ini menyambar dua orang pengeroyok suling Emas,
memegang pada kakinya dan menggunakan dua “senjata hidup” ini menerjang
Lin Lin.
Lin Lin kaget setengah mati. Terpaksa ia menggerakkan
pedang menangkis. “Crak! Crak!” Darah menyembur karena tubuh dua orang
itu terbabat putus oleh pedangnya! Kakek itu tertawa-tawa dan....
menggelogok darah yang tersembur keluar itu ke dalam mulutnya, seperti
orang kehausan minum air es! Kemudian ia melemparkan dua mayat itu dan
sekali lagi ia menyambat kaki dua orang pengeroyok.
Lin Lin
meramkan matanya melihat kakek itu minum darah, wajahnya menjadi pucat
dan kakinya menggigil. Tapi kembali Toat-beng Koai-lojin sudah
menerjagnya dengan dua “senjata hidup”. Lin Lin kewalahan, terpaksa
kembali ia menangkis dan kembali dua orang itu mati seketika dengan
perut dan dada terbelah. Tangan Lin Lin yang memegang pedang gemetar
dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, tiba-tiba kakek itu telah
menubruknya dan sebuah ketukan keras pada pergelangan tangannya membuat
Lin Lin terpaksa melepaskan pedangnya. Tubuhnya tiba-tiba menjadi
lemas dan ia sudah disambar oleh Toat-beng Koai-jin yang tertawa
terkekeh-kekeh sambil membawa lari tubuh tin Lin yang lemas.
“Toat-beng Koai-jin, kalau kau mengganggu dia, aku bersumpah akan
menyiksamu dan memotong-motong dagingmu sekerat demi sekerat!” Bentakan
Suling Emas ini keras sekali dan tiba-tiba sulingnya melakukan
gerakan-gerakan aneh sekali, begitu halus akan tetapi mengandung
kekuatan yang bukan main sehingga dalam sekejap mata enam orang
pengeroyok terguling roboh sedangkan Tok-sim Lo-tong sendiri terdorong
mundur sampai lima langkah.
“Ihhhhh.... ilmu apakah ini....?”
Tok-sim Lo-tong berseru kaget, akan tetapi ia mendesak lagi, dibantu
oleh para pengeroyok yang nekat, menghalangi Suling Emas mengejar
Toat-beng Koai-jin. Memang hebat gerakan Suling Emas tadi. Dalam
kemarahan dan kegelisahannya melihat Lin Lin tertawan, ia tadi mainkan
jurus dari ilmu silat yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Girang hatinya
melihat hasil ini, dan tahulah ia bahwa ilmu silat sastra ini sama
sekali tidak dikenal Tok-sim Lo-tong sehingga tentu saja hasilnya amat
baik. Cepat sulingnya bergerak lagi, membuat huruf KOK (Negara). Huruf
ini mengandung gerakan dalam yang rumit, akan tetapi dilingkari
garis-garis segi empat yang melengkung. Kembali empat orang pengeroyok
roboh dan ketika tubuh Suling Emas melayang dalam pembuatan gerakan
melingkar, tahu-tahu ia telah bebas dari pengepungan dan cepat ia
berkelebat mengejar ke arah larinya Toat-beng Koai-jin. Akan tetapi yang
dikejar telah lenyap, tidak tampak bayangannya lagi.
Suling
Emas memasuki kota Ban-sin, langsung menuju ke rumah Ouw-kauwsu, seorang
guru silat di kota itu yang dikenalnya. Ouw-kauwsu terkejut dan
girang bukan main melihat munculnya pendekar sakti ini. Cepat ia
menjura dengan hormat dan dengan wajah berseri-seri ia berkata. “Wahai,
tak pernah mimpi siauwte akan menerima kehormatan besar dengan
kunjungan Taihiap (Pendekar Besar)!”
“Ouw-kauwsu, ada urusan
penting. Maaf, aku ingin singkat saja. Tahukah kau di mana aku dapat
menjumpai Toat-beng Koai-jin? Lekas, sekarang juga!”
Berubah
wajah Ouw-kauwsu, terang bahwa dia menjadi ketakutan. “Memang.... memang
kulihat dia dalam bulan ini berada di Ban-sin, biasanya dia di.... di
dalam kuil....”
“Heh-heh-heh, Suling Emas. Tak usah repot-repot,
aku sudah berada di sini!” tiba-tiba terdengar suara keras dan parau.
Suling Emas dan Ouw-kauwsu cepat memutar tubuh dan.... kiranya manusia
iblis yang dijadikan bahan percakapan itu telah berada di situ, duduk
nongkrong di atas tiang melintang dekat langit-langit rumah sambil
menggerogoti daging dari tulang paha, entah paha apa!
Dan pada
saat itu juga, terdengar suara orang mengomel, “Nanti dulu....
tenanglah, kauajak aku berlari-lari. Kalau betul dia Suling Emas, mau
apakah? Mau suruh dia tiup suling? Eh, tidak enak memasuki rumah orang
seperti ini. Heee, tuan atau nyonya rumah. ke mana kalian? Wah, agaknya
rumah kosong....”
Munculiah orangnya yang berkata-kata itu.
Kiranya dia seorang kakek pendek, kumis dan jenggotnya jarang,
sikapnya lucu dan selalu terkekeh. Di belakangnya berjalan seorang
gadis cantik yang bukan lain adalah Sian Eng. Begitu memasuki ruangan
itu, kakek lucu ini melihat Suling Emas dan Ouw-kauwsu berdongak
memandang ke atas. Ia pun ikut memandang dan tiba-tiba ia berseru kaget.
“Eh, eh, anak nakal.... kenapa kau naik ke sana? Hayo turun lekas....
wah, kalau jatuh bisa pecah punukmu. Turun.... turun....!” Ia
menggapai-gapai tangannya menyuruh turun. Akan tetapi Toat-beng Koai-jin
hanya memandang sambil menyeringai dan melanjutkan kesibukannya yaitu
menggerogoti daging.
Kakek pendek itu makin gugup. “Kau tidak
turun? Celaka.... wah, aku paling ngeri melihat orang jatuh dari tempat
tinggi.... hayo turunlah....!” Ia lalu menghampiri tiang dan mulailah ia
memanjat ke atas seperti seorang kanak-kanak memanjat pohon kelapa!
Setelah ia tiba di atas, hampir sama tingginya dengan tempat di mana
Toat-beng Koai-jin duduk nongkrong matanya terbelalak ketakutan.
“Kau makan apa itu? Hiiiiihhh, daging itu masih mentah! Lihat ada
darahnya, wah-wah, kau memang bocah nakal. Bisa kembung perutmu. Eh,
bukankah kau ini si nakal Toat-beng Koai-jin? Ya, kukenal punukmu itu!
Ihhh, tentu daging manusia yang kaumakan. Wah, serem.... serem....!”
Bagaimanakah Sian Erg bisa datang bersama kakek pendek yang lucu ini
dan siapakah gerangan kakek itu? Seperti telah kita ketahui, Sian Eng
pergi bersama Suma Boan ke gedung indah milik adik Suma Boan yang
bernama Suma Ceng. Seperti telah diduga oleh Sian Eng, setelah berada di
dalam kamar berdua dengan bekas kekasih kakaknya ini, ia mendengar
banyak tentang diri Bu Song. Kiranya cerita yang ia dengar dari Suma
Ceng tiada bedanya dengan yang sudah didengarnya dari Suma Boan, hanya
tentu saja, dari mulut Suma Ceng terdengar berlainan. Terang bahwa
nyonya muda cantik ini benar-benar mencintai Bu Song.
“Dia
meninggalkan aku....” Suma Ceng mengakhiri ceritanya sambil menghapus
air matanya. “Tapi.... untung Boan-ko (Kakak Boan) menolongnya dan ia
tidak sampai tewas. Aku dipaksa kawin.... sekarang sudah tiga orang
anakku.... suamiku baik terhadapku.... aku berusaha melupakannya sedapat
mungkin, tapi.... tapi....” kembali ia menangis perlahan, “yang
menyedihkan hatiku, aku tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang, di mana
ia berada.... kalau saja dia sudah menikah dengan gadis lain dan hidup
bahagia.... akan terobatilah hatiku....”
Sian Eng ikut menangis.
Terharu hatinya mendengar cerita yang menyedihkan tentang asmara gagal
yang diderita nyonya muda ini dan kakaknya.
“Betapapun juga,
kau sudah berumah tangga, sudah berputera, harap jangan memikirkan
kakakku lagi,” kata Sian Eng. “Dan kurasa kakakku juga berusaha
melupakan peristiwa itu....”
“Tak mungkin! Bu Song takkan dapat
melupakan aku, sampai mati pun takkan ia dapat melupakan aku! Kami....
kami.... ah....!” kembali nyonya muda itu menangis sedih. “Siapa
tahu.... ia malah telah membawa cinta kasihnya ke balik kubur....”
terisak-isak ia kini, “kalau aku tahu.... ah, aku pun lebih baik
mati....”
***
Terkejut juga hati Sian Eng. Bukan main! Kiranya cinta kasih antara mereka itu sudah demikian hebat.
“Enci yang baik, harap kautenangkan hatimu. Kakakku Bu Song belum mati
dan besok aku diajak oleh Suma-kongcu menyusulnya. Aku akan sampaikan
pesanmu kepadanya kalau aku bertemu dengan kakakku, akan kubujuk dia
supaya menikah dengan gadis lain.”
Mata yang agak merah karena
tangis itu memandangnya. “Betulkah? Benar-benar Boan-ko tahu di mana
adanya Bu Song? Hati-hati, Adik Sian Eng.... dia.... kakakku itu....”
Melihat keraguan ini, Sian Eng timbul curiga. “Ada apa dengan kakakmu?”
“Dia baik, baik sekali kepadaku dan aku amat sayang kepadanya. Kami
hanya berdua saudara dan dia amat sayang pula kepadaku. Tapi....
tapi.... ah, bagaimana aku bisa membiarkan adik Bu Song menjadi korban?
Adik Sian Eng, terus terang saja, betapapun sayangku kepada kakakku,
akan tetapi harus kuakui bahwa dia itu.... dia mudah terjatuh oleh
wanita cantik. Dan kau amat cantik, adikku, kau cantik menarik. Aku
khawatir kalau-kalau kau menjadi korbannya. Sudah terlalu banyak
gadis-gadis tak berdosa jatuh ke tangan kakak kandungku. Kau adik Bu
Song, aku harus memperingatkanmu, jangan kau bergaul dengannya.
Kecuali....” wajahnya menjadi bersinar, “ah, alangkah baiknya. Kecuali
kalau ia betul-betul cinta kepadamu dan mau mengambilmu sebagai isteri.
Ah, benar! Ini bagus sekali. Aku gagal berjodoh dengan Bu Song,
sekarang sebagai gantinya adiknya berjodob dengan kakakku, bukankah ini
baik sekali?”
Merah wajah Sian Eng. “Ah, Cici, omongan apakah
ini? Siapa yang berpikir tentang jodoh?” Sampai di sini percakapan
mereka berakhir dan malam hari itu Sian Eng tak dapat tidur nyenyak
biarpun ia mendapatkan kamar yang indah dan tempat tidur yang mewah.
Hatinya merasa tidak enak.
Akan tetapi Suma Boan ternyata
pintar sekali mengambil hati. Ia memperlihatkan sikap sopan dan
menghormat sehingga Sian Eng mulai percaya lagi kepadanya. Peringatan
Suma Ceng sudah hampir lenyap bekasnya di hati, sungguhpun ia selalu
masih berhati-hati dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Perjalanan jauh
itu dilakukan dengan penuh kegembiraan karena sikap Suma Boan yang
baik, dan makin kagumlah Sian Eng ketika melihat betapa hampir di setiap
kota dan dusun, putera pangeran ini agaknya mempunyai sahabat-sahabat
yang amat hormat dan tunduk terhadapnya.
Akhirnya tibalah mereka
di kota Ban-sin dan Suma Boan mengajaknya bermalam di kota ini. Juga di
sini Suma Boan mempunyai banyak hubungan. Malah ia diterima oleh
seorang pembesar, dipersilakan bermalam di sebuah rumah gedung yang
dijaga oleh perajurit-perajurit, diperlakukan dengan segala kehormatan.
Yang membuat Sian Eng kaget bukan main adalah ketika ia melibat
bayangan It-gan Kai-ong si raja pengemis yang mengerikan itu! Ia melihat
pengemis tua ini tanpa sengaja. Ketika itu ia sudah memasuki kamarnya
dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur, karena ia merasa amat
lelah. Tiba-tiba ia mendengar suara Suma Boan di belakang rumah. Selama
ini kecurigaannya terhadap Suma Boan sudah hilang dan makin lama makin
baiklah kesan di hatinya terhadap putera pangeran ini. Kini mendengar
suaranya, tiba-tiba timbul keinginan hatinya untuk mengajaknya
bercakap-cakap! Ia turun dari pembaringan, membuka pintu kamar dan di
saat itulah ia mendengar suara parau yang membuat bulu tengkuknya
berdiri.
“Sungguh kau sembrono sekali!” kata suara parau itu.
“Dia hanya berada beberapa puluh li di belakangmu dan kau masih tidak
tahu!”
“Tapi, Suhu, Locianpwe Tok-sim Lo-tong juga tidak memberi tahu sesuatu!” terdengar suara Suma Boan, membantah.
“Uh, dasar sembrono! Biar kusiapkan sambutan, untungnya ada Toat-beng
Koai-jin di sini. Hati-hati, jaga baik-baik gadis itu, mungkin bisa
dipergunakan untuk menundukkannya!”
Sian Eng cepat menyelinap ke
balik daun pintu sambil mengintai. Dugaannya tidak keliru, tak lama
kemudian ia melihat bayangan It-gan Kai-ong berjalan terbongkok-bongkok
bersandarkan tongkat bututnya. Di bawah sinar lampu yang suram muram
itu kakek ini tampak makin buruk saja, dengan mata satunya yang berair
dan terhias kotoran kuning di ujung, rambutnya yang riap-riapan dan
mulutnya yang hanya bergigi satu. Sian Eng bergidik dan kedua kakinya
gemetar. Sukar untuk mengatakan siapa yang lebih mengerikan antara
It-gan Kai-ong, Hek-giam-lo, dan Tok-sim Lo-tong, juga wanita iblis
Siang-mou Sin-ni!
Munculnya It-gan Kai-ong ini tentu saja
membuyarkan lamunan Sian Eng dan membatalkan niatnya untuk menemui Suma
Boan. Akan tetapi agaknya putera pangeran itu mengalami dorongan hasrat
hati yang sama. Buktinya, tidak lama setelah Sian Eng kembali melempar
diri ke atas pembaringan, daun pintu kamarnya diketok orang. Ketika Sian
Eng yang berdebar-debar hatinya membuka daun pintu, kiranya Suma Boan
yang berdiri di situ sambil tersenyum! Bukan main lega hati Sian Eng,
karena tadinya ia sudah merasa cemas dan ngeri, takut kalau-kalau ia
akan berhadapan dengan It-gan Kai-ong. Kelegaan hatinya ini memancing
senyum manisnya.
“Sian Eng moi-moi, kau belum tidur?”
Sian Eng menggeleng kepala. Pertanyaan tentang It-gan Kai-ong berada di ujung bibir, akan tetapi ia tahan.
“Apakah kedatanganku ini mengganggumu?” tanya pula Suma Boan dengan suara halus.
“Tidak sama sekali. Kenapa kau begini sungkan, Koko? Dan kelihatan gugup? Ada apakah?”
Senyum Suma Boan melebar, tetapi suaranya gemetar ketika ia menjawab.
“Tidak apa-apa.... hanya aku.... ah, sudah beberapa malam aku tak dapat memejamkan mata, Moi-moi.”
“Kenapa? sakitkah engkau?” tanya Sian Eng, memandang tajam.
Suma Boan mengangguk-angguk. “Memang sakit, tapi bukan tubuhku yang
sakit, melainkan hatiku. Moi-moi.... Sian Eng.... hatiku menderita
rindu, mataku tak dapat tidur karena selalu terbayang wajahmu. Ah,
alangkah cantik manis engkau, Moi-moi, dam aku tergila-gila kepadamu,
aku cinta padamu....”
Seketika kedua kaki Sian Eng menggigil,
mukanya panas rasanya tapi tangan kaki merasa dingin, jantungnya
berdegupan sehingga degup jantung itu terdengar berdentam-dentam di
kedua telinganya, darahnya berdenyutan sampai terasa hampir memecahkan
urat-urat di pelipisnya, ia menunduk, tak berani memandang, mulutnya
setengah tersenyum setengah menangis.
Sian Eng masih dalam
keadaan setengah sadar ketika ia merasa betapa pundaknya dirangkul
orang, betapa rambut di kepalanya diciumi orang dan betapa Suma Boan
memeluknya sambil berbisik-bisik tak tentu ujung pangkal atau pun
isinya. Sejenak Sian Eng memejamkan matanya, menyandarkan kepala pada
dada pemuda itu, merasa bahagia dan napasnya terengah-engah sesak. Aku
juga cinta padamu, bisik suara hatinya. Akan tetapi tiba-tiba telinganya
mendengar bisikan-bisikan, itulah suara Suma Ceng ketika bicara
kepadanya di dalam kamar. “.... aku khawatir kalau-kalau kau menjadi
korbannya.... sudah terlalu banyak gadis-gadis tak berdosa jatuh oleh
kakak kandungku....”
Dan tiba-tiba Sian Eng merasa betapa kurang
ajar kedua tangan Suma Boan. Ia meronta dan tangannya menampar, tepat
mengenai pipi Suma Boan, kemudian ia melompat ke belakang. Melihat
betapa pemuda yang sebetulnya telah merebut hatinya itu berdiri bengong
dengan muka pucat, dan pipi yang ditamparnya tadi merah sekali, Sian Eng
menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis.
“.... kenapa Moi-moi....? Kenapa kau menamparku? Bukankah.... bukankah kau juga cinta kepadaku seperti cintaku kepadamu?”
Dengan mata berlinang air mata Sian Eng memandang, kemudian terdengar
ucapannya terpitus-putus, “.... cintaku bukan untuk.... untuk....
menjadi permainanmu.... aku bukan.... bukan perempuan.... yang boleh
kauperlakukan sesukamu.... yang boleh kauhina....”
Suma Boan
menarik napas panjang, “Eng-moi, kau aneh...., biarlah kaupikir dan
pertimbangkan betapa tidak adilnya sikapmu terhadap aku yang mencintamu
sepenuh hati....” setelah berkata demikian, Suma Boan keluar dari kamar
sambil menutupkan daun pintunya.
Sian Eng tak kuasa menahan
kakinya yang lemas gemetar. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan,
duduk termenung mendengarkan langkah kaki Suma Boan yang makin lama
makin menjauhi kamarnya. Kemudian ia merebahkan diri tertelungkup dan
menangis di atas bantal.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali Suma Boan sudah terdengar memaki-maki para penjaga yang berdiri
dengan muka pucat dan saling pandang. “Kalian tikus-tikus goblok! Apa
kerja kalian malam tadi? Tidur semua, ya?”
“Ampun, Suma-kongcu, mana kami berani tidur? Tak sedikit pun kami tidur dan....”
“Bohong!” Suma-kongcu menggerakkan tangannya dan pembicara itu roboh
tersungkur. “Orang luar telah memasuki gedung, nona dibawa pergi dan
kalian bilang tidak tidur? Pemalas! Goblok!”
“Eh, eh, apakah
yang terjadi?” Suara serak ini disusul muncuinya It-gan Kai-ong. Melihat
gurunya, Suma Boan menjadi agak tenang, akan tetapi kemurungan masih
membayangi mukanya yang tampan.
“Suhu, semalam ada musuh
mendatangi rumah ini dan membawa pergi Sian Eng. Sungguh teecu (murid)
tak dapat menduga siapa dia. Akan tetapi dia meninggalkan tanda tapak
kaki di tembok!”
“Apa katamu? Tapak kaki di tembok?” Si Raja
Pengemis bertanya heran. Memang luar biasa keterangan Suma Boan tadi.
Mana bisa ada telapak kaki di atas tembok?
“Mari, harap Suhu
periksa sendiri!” Pemuda itu mendahului suhunya menuju ke ruangan
tengah. Dan di atas tembok, dekat kamar Sian Eng, di atas sebuah meja
kecil, terdapat beberapa tapak kaki berlumpur di atas tembok.
“Inilah tanda itu, Suhu, Bukankah ini penghinaan yang amat besar? Entah
tapak kaki siapa ini?” kata Suma Boan sambil menudingkan telunjuk
kirinya ke arah tembok.
Beberapa orang penjaga yang tadi
dimaki-maki Suma Boant memandang juga dengan muka pucat. Pantasnya,
hanya kaki binatang merayap sebangsa cecak yang dapat meninggalkan jejak
di atas tembok. Akan tetapi, jejak yang tampak jelas di atas tembok itu
adalah jejak kaki manusia! Kaki yang pendek, jari-jarinya terbentang
seperti biasanya jari kaki orang yang tak pernah pakai sepatu. Jejak
kaki itu kanan-kiri berjalan rapi seperti jejak orang berjalan dengan
langkah pendek-pendek. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang manusia
berjalan di atas tembok seperti cecak?
Mata tunggal It-gan
Kai-ong melotot sebentar memandang tapak kaki itu. “Hu-huh,
Pek-houw-yu-chong (ilmu merayap di tembok seperti cecak) tingkat
tinggi. Manusia sombong bermaksud menakut-nakutimu atau memang hendak
memamerkan kepandaiannya yang tidak seberapa ini. Orangnya pendek, tak
pernah pakai sepatu....” Tiba-tiba It-gan Kai-ong berhenti bicara,
matanya bersinar-sinar.
“Pendek tak bersepatu? Hanya Kim-lun
Seng-jin tokoh sakti yang pendek dan tak pernah bersepatu!” Suma Boan
berkata. Gurunya mengangguk. Tapi segera menggelengkan kepala, alisnya
berkerut.
“Sudah tentu dia bisa melakukan hal ini, akan tetapi
kurasa bukan dia. Kim-lun Seng-jin biarpun suka bergurau, akan tetapi
tidak seperti anak kecil meninggalkan jejak kaki di sini. Tentu seorang
tokoh lain yang gila....” It-gan Kai-ong kelihatan marah dan
menyumpah-nyumpah di dalam mulutnya.
Ke manakah perginya Sian
Eng? Ketika malam itu ia menangis di atas pembaringannya, tiba-tiba ia
mendapat perasaan bahwa ada sesuatu terjadi, bahwa dia tidak sendirian
di dalam kamarnya. Ia mengangkat mukanya dari bantal dan dari balik air
matanya ia mengerling. Alangkah kagetnya ketika ia melihat bayangan
seorang laki-laki tua pendek tersenyum-senyum di tengah kamar,
memandangnya. Sian Eng merasa seperti mimpi, digosok-gosoknya kedua
matanya, lalu ia bangkit dan duduk. Bayangan itu masih ada, malah kini
ia dapat memandang jelas di bawah sinar lampu meja. Benar seorang
laki-laki yang tua, pendek dan tersenyum-senyum. Sepasang mata yang
jenaka, kumis panjang kaku menunjuk ke kanan kiri, jenggotnya jarang
terurai ke bawah. Sama sekali bukan seorang kakek yang menyeramkan
seperti It-gan Kai-ong, namun caranya memasuki kamar cukup aneh
sehingga menyeramkan. Akan tetapi, sepasang mata itu terang bukanlah
mata orang jahat.
“Siapakah.... kau....? Bagaimana bisa masuk....?” Sian Eng memandang ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup.
“Heh-heh, Nona Kam Sian Eng. Kau benar-benar bocah yang bodoh dan
nakal. Mana bisa kau mengharapkan kebaikan dari seorang macam Suma Boan?
Kau berada dalam bahaya, marilah ikut denganku.”
“Kau siapa? Apa artinya semua ini?”
Kakek itu tersenyum dan wajahnya benar-benar lucu kalau ia tersenyum,
seperti senyum seorang badut. “Aku siapa? Panggil saja Empek Gan. Lie
Bok Liong itu muridku. Di sini kau terancam bahaya besar, mari ikut
denganku keluar. Tiada banyak waktu lagi.” Sambil berkata demikian kakek
itu menggerakkan tangannya dan gadis ini merasa tubuhnya melayang
keluar dari jendela kamar yang ditendang terbuka oleh kakek itu sambil
melayang dan menariknya. Ia terkejut bukan main, maklum bahwa kakek ini
seorang sakti yang luar biasa. Akan tetapi hatinya lega mendengar bahwa
kakek ini adalah guru Lie Bok Liong sahabat baik adiknya itu. Hatinya
merasa berat meninggalkan tempat itu, atau lebib tepat, meninggalkan
Suma Boan. Akan tetapi kalau ia teringat akan peristiwa tadi, betapa
dengan penuh nafsu putera pangeran itu merayunya, ia menggigil.
Benar-benar berbahaya. Bagaimana kalau ia tidak kuat menahan? Tentu ia
menjadi korban! Berpikir sampai di sini, tiba-tiba mukanya menjadi merah
sekali. Siapa tahu, kakek aneh ini tadi melihat semua adegan memalukan
itu!
Tanpa ia ketahui tujuannya, ia menurut saja dibawa pergi
Empek Gan. Akhirnya mereka memasuki sebuah kelenteng tua yang sudah
rusak. Kelenteng yang amat menyeramkan, penuh sarang laba-laba dan
agaknya hanya patut dijadikan tempat tinggal para siluman dan setan.
Akan tetapi Sian Eng tidak merasa takut, tidak merasa serem seperti
ketika ia ditawan Hek-giam-lo. Empek Gan ini ternyata telah membersihkan
ruangan samping kelenteng itu, buktinya lantainya bersih dan di situ
tidak ada sarang laba-laba.
“Nah, kita melewatkan malam di sini.
Nona, ketahuilah. Muridku ditangisi adikmu yang nakal, yang minta
supaya muridku mencarimu sampai dapat. Ketika muridku mendengar bahwa
kau pergi bersama Suma Bom dan si badut Tok-sim Lo-tong, ia mencari aku
dan memaksa si tua ini turun tangan. Aku sudah lama mengikuti
perjalananmu dan baru malam ini turun tangan setelah melihat betapa
besarnya bahaya yang mengancam dirimu. Besok kita melanjutkan
perjalanan, malam ini kau boleh mengaso. Tentu saja tidak seenak tidur
di kamar dalam gedung itu, akan tetapi di sini kau lebih aman. Aku sudah
tua, tidak bisa lagi membedakan mana cantik mana buruk, heh-heh!”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah bangun. Memang
semalam ia hampir tak dapat memejamkan matanya di dalam kelenteng itu.
Pikirannya kacau-balau dan resah kalau ia teringat akan Suma Boan.
Dengan girang ia mendapatkan sebuah mata air di belakang kelenteng dan
setelah mencuci muka dan tubuh sehingga terasa segar, Sian Eng kembali
ke dalam kelenteng, akan tetapi, kakek pendek lucu itu ternyata masih
mendengkur. Ia tidak berani mengganggu, dan menanti. Akan tetapi sampai
matahari naik tinggi, kakek itu belum juga bangun. Akhirnya habislah
kesabaran Sian Eng.
“Empek Gan.... Empek Gan....! Bangunlah!” Ia mengguncang-guncang lengan kakek itu.
Kakek itu kaget, geragapan bangun. “Ada apa....? Kebakaran....? Dunia
kiamat? Celaka.... aku masih ingin hidup!” Ia melompat dan lari ke sana
ke mari, kelihatan bingung sekali sehingga Sian Eng menjadi geli
melihatnya.
“Tidak ada apa-apa, Lopek,” katanya membantah.
Kakek itu menjatuhkan diri duduk di atas lantai, bersandar tembok,
terengah-engah dan mengusap-usap kedua mata dengan belakang tangan
seperti kebiasaan anak kecil kalau bangun tidur. “Aduh ampuuuuun....
sampai kaget setengah mampus hatiku. Puluhan tahun hidupku ayem
tenterem, sekali dekat wanita, tidur saja tidak nyenyak lagi! Beratnya
orang membela murid.... heeeiiii! Mana Bok Liong? Bocah tolol itu belum
juga muncul? Nona, kau melihat dia?”
Sian Eng mendongkol bukan
main mendengar kata-kata kakek itu tentang wanita. Akan tetapi maklum
bahwa kakek ini termasuk orang aneh. Ia tidak mau melayani dan
pertanyaan terakhir ia jawab dengan gelengan kepala.
“Wah-wah,
betul-betul dia tidak muncul? Celaka.... tentu ada apa-apa. Tak mungkin
dia berani tidak mentaati perintahku dan memenuhi janji. Wah, sudah
siang, hayo kita pergi!”
Kali ini Empek Gan tidak menarik tangan
Sian Eng seperti malam tadi. Mereka berjalan keluar dari kelenteng dan
Sian Eng mengikuti ke mana kakek itu pergi. Tiba-tiba berkelebat
bayangan orang, Sian Eng memandang ke depan dan jantungnya berdebar
ketika ia melihat jubah hitam dan topi sastrawan.
“Suling Emas....! Dia Suling Emas.... mari kejar dia!” Sian Eng lalu lari mengejar.
Kakek Gan mengomel, “Wah-wah, pagi-pagi belum sarapan kauajak balapan
lari. Dengar perutku mengeluh panjang pendek. Tak usah kejar....” Akan
tetapi kedua kakinya yang pendek itu terpaksa mengikuti Sian Eng yang
menggunakan ilmu lari cepat mengejar Suling Emas.
“Dia Suling
Emes, aku mau bertanya tentang kakakku....!” Sian Eng tidak pedulikan
omelan kakek itu dan terus mengejar. Ketika melihat Suling Emas yang
sudah jauh itu lenyap ke dalam sebuah rumah yang sunyi, Sian Eng
berhenti di depan rumah itu, meragu sebentar lalu tanpa banyak cakap
lagi ia juga memasuki pekarangan rumah yang sunyi dan terus menerobos
pintu depan untuk mencari Suling Emas. Dari belakangnya Empek Gan
berteriak-teriak mencela.
Seperti sudah diceritakan di bagian
depan, begitu memasuki ruangan rumah yang ternyata adalah rumah guru
silat Ouw-kauwsu, seorang guru silat di kota Ban-sin yang cukup
terkenal, mereka berdua melihat adegan yang aneh, yaitu Ouw-kauwsu
berdiri bengong. Suling Emas berdiri dengan alis berkerut memandang ke
atas di mana seorang kakek seperti anak hutan sedang duduk di atas balok
tiang melintang dekat atap rumah sambil makan daging paha yang
digerogoti. Melihat ini Empek Gan berlari menghampiri tiang dan memanjat
tiang itu seperti seekor kera memanjat kelapa, berteriak-teriak
menyuruh turun kakek seperti orang hutan itu.
“Wah, aku kenal
kau sekarang. Tak salah lagil! Gundul pacul, punuknya seperti lembu
jantan, mukanya buruk seperti monyet, perutnya gendut seperti babi,
telanjang hanya pakai cawat, permakan daging manusia. Betul, biar
selamanya belum pernah bertemu, tapi aku sudah banyak mendengar tentang
dirimu. Kau Toat-beng Koai-jin!” Empek Gan berteriak-teriak sambil
memandang dengan wajah memperlihatkan kengerian.
Memang betul
ucapan Empek Gan yang tampak ketakutan itu. Kakek liar itu adalah
Toat-beng Koai-jin Si Orang Aneh Pencabut Nyawa! Biarpun dia kelihatan
seperti orang hutan, namun seperti juga adiknya, Tok-sim Lo-tong, kakek
ini memiliki kepandaian yang hebat sekali. Dia termasuk seorang di
antara Thian-te Liok-koai, dan julukan sebagai seorang di antara Si Enam
Jahat itu memang patut baginya mengingat bahwa ada kalanya kakek liar
ini betul-betul makan daging manusia seperti yang dituduhkan Empek Gan
tadi. Biarpun ia hidup seperti orang liar, namun tidak biasa Toat-beng
Koai-jin mendengar maki-makian yang ditujukan kepada dirinya. Sedikit
saja orang berani menyinggungnya, jangan harap dia mau mengampuni nyawa
orang itu, apalagi sekarang ada orang pendek ketakutan ini berani
memaki-makinya seperti itu. Toat-beng Koai-jin terbahak-bahak dan inilah
menjadi tanda bahwa dia sedang marah besar!
“Cacing perut!
Makanlah ini!” Tangannya yang besar berbulu itu bergerak. Tulang paha
yang sudah tak berdaging lagi itu ia lontarkan ke arah Empek Gan yang
masih memeluk tiang dengan kaki tangannya. Tulang itu menghantam pinggir
tiang, terdengar suara keras dan balok itu somplak seperti dihantam
kapak! Tidak hanya membelah kayu, tulang itu terus menghantam pundak
Empek Gan dan.... tubuh Empek Gan melorot turun, akhirnya pantatnya
terbanting menghantam lantai sampai mengeluarkan suara seperti kasur
digebuk.
Empek Gan meringis kesakitan, bangun berdiri dan
menepuk-nepuk pantatnya, agaknya untuk menghilangkan rasa sakit. Debu
mengebul ketika celana belakangnya itu ia tepuk-tepuk. Karena kebetulan
sekali Sian Eng berdiri di belakangnya, gadis ini melangkah mundur
dengan kening berkerut. Celaka pikirnya, ia telah salah sangka. Kakek
ini sama sekali bukanlah orang sakti. Mungkin hanya pandai lari cepat
saja. Buktinya, sekali disambit tulang sudah roboh. Sungguh tak tahu
malu!
Empek Gan sudah mengomel. “Calaknya! Cocok dengan
ujudnya!” Ia menoleh kepada Suling Emas dan berkata menyeringai,
“Hati-hati kalau kau berurusan dengan monyet hutan liar itu!”
Toat-beng Koai-jin menyumpah-nyumpah. “Cacing busuk, jangan lari kau!”
Empek Gan tertawa membalikkan tubuhnya membelakangi Toat-beng Koai-jin
sambil menggoyang-goyang kibul dan berkata, “Beginikah gerakan cacing?
Ho-ho, sebentar lagi mau mampus masih suka maki-maki orang!” Setelah
berkata demikian, kakek ini menggerakkan kedua kakinya lari keluar dari
rumah itu sambil menoleh ke arah Suling Emas dan berkata, “Jaga Nona
ini baik-baik, jangan sampai dia dirayu palsu oleh Suma Boan lagi!”
Sian Eng menjadi makin mendongkol, akan tetapi Suling Emas tidak
pedulikan kakek itu, juga agaknya tidak peduli kepadanya, buktinya
menengok pun tidak. Suling Emas menghadapi kakek liar di atas itu sambil
berkata, suaranya serius penuh ancaman.
“Toat-beng Koai-jin,
biarpun di antara kau dan aku tidak pernah terjadi pertentangan karena
kita masing-masing mengikuti jalan sendiri, akan tetapi hari ini kau
telah melanggarnya. Lekas kau bebaskan dan kembalikan nona yang
kauculik, kalau tidak, aku Suling Emas tidak akan berlaku
sungkan-sungkan lagi. Dengar baik-baik, kalau kau mengganggu nona itu,
aku bersumpah takkan berhenti sebelum dapat merobek tubuhmu menjadi
empat potong!”
Toat-beng Koai-jin mendengus marah. “Suling Emas,
kau bocah kemarin sore yang masih ingusan, sombong amat ucapanmu. Sudah
lama aku ingin mencoba kepandaianmu, dan hari ini adalah hari baikku,
aku belum ganggu nona cilik itu, tunggu sampai aku menangkapmu untuk
kupanggang bersama, heh-heh!”
“Ouw-kauwsu, aku minta tolong
kepadamu, bawa keluar nona ini ke tempat aman!” kata Suling Emas,
maklum bahwa ia akan menghadapi lawan-lawan tangguh sehingga kehadiran
Sian Eng hanya akan merupakan gangguan belaka. “Kau ikutlah bersama
Ouw-kauwsu, tunggu aku selamatkan adikmu.”
Sian Eng diam-diam
terkejut dan dapat menduga bahwa yang diculik oleh manusia liar itu
tentulah Lin Lin. Maka tanpa banyak cakap lagi ia mengangguk dan
bergerak mengikuti guru silat yang wajahnya sudah pucat karena gelisah
itu. Akan tetapi begitu keduanya keluar pintu, terdengar pekik
mengerikan dan tubuh Sian Eng terhuyung ke belakang, masuk kembali ke
ruangan itu disusul tubuh Ouw-kauwsu yang terlempar dan roboh di atas
lantai dalam keadaan tak bernyawa lagi, pada pipinya terdapat luka
kehitaman!
Toat-beng Koai-jin tertawa bergelak dan tubuhnya yang
besar gendut itu melayang turun dengan amat ringannya. Biarpun tubuhnya
gendut dan gerakannya kelihatan kaku, akan tetapi ternyata ia gesit dan
cepat sekali. Begitu kedua kaki menyentuh lantai, kedua tangannya sudah
bergerak menerjang Suling Emas, dari kuku-kuku jarinya yang panjang itu
terdengar bunyi bercuitan!
“Sian Eng, jangan keluar, di sini
saja!” pesan Suling Emas dan tubuhnya berkelebat lenyap, berubah menjadi
bayangan yang berkelebatan di sekeliling tubuh Toat-beng Koai-jin.
Kiranya dua orang sakti itu sudah saling terjang dengan hebatnya! Sian
Eng menyelinap ke sudut ruangan itu, memandang penuh kekhawatiran. Ia
cemas sekali, takut kalau-kalau Suling Emas kalah sedangkan dia sendiri
tidak berdaya membantu karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih
jauh ketinggalan dan kalau ia membantu, hal itu malah akan membikin
repot Suling Emas saja.
Suling Emas adalah seorang pendekar
besar yang menjunjung tinggi kegagahan. Ia merasa khawatir sekali akan
keselamatan Lin Lin, juga kini harus menjaga keselamatan Sian Eng,
sedangkan lawannya yang sakti Toat-beng Koai-jin ini masih dibantu oleh
orang-orang jahat dan sakti lain yang berada di luar pintu rumah!
Tentu saja ia tahu bahwa tewasnya Ouw-kauwsu adalah karena serangan dari
luar rumah, dan melihat luka hitam di mukanya itu, agaknya itulah hasil
kerja Tok-sim Lo-tong, yaitu gigitan ular berbisa. Biarpun demikian,
namun melihat betapa Toat-beng Koai-jin hanya seorang diri saja
menghadapinya dengan tangan kosong, ia tidak sudi menggunakan senjata
yang paling ia andalkan, yaitu sulingnya. Ia pun menghadapi lawan ini
dengan tangan kosong pula.
Toat-beng Koai-jin dan adiknya,
Tok-sim Lo-tong, sebetulnya adalah doa orang penghuni pulau koong di
Lam-hai (Laut Selatan). Tadinya mereka berdua adalah kacung atau
pelayan-pelayan cilik seorang tokoh besar di jaman Tang, seorang
panglima yang tidak sudi menghambakan diri kepada musuh setelah Kerajaan
Tang jatuh. Ia melarikan diri ke selatan dan mengasingkan diri di
pulau kosong, hanya ditemani dua orang kacungnya. Panglima ini berilmu
tinggi dan sampai mati ia tinggal di dalam pulau itu, tak pernah
meninggalkan pulau. Semua ilmunya ia turunkan kepada dua orang
kacungnya yang mendapat kemajuan sesuai dengan bakatnya masing-masing.
Akan tetapi, agaknya karena mereka tak pernah bergaul dengan dunia
ramai, juga karena di pulau itu banyak terdapat binatang-binatang
berbisa, kedua orang bersaudara ini hidup seperti tidak normal lagi.
Mereka menjadi korban gigitan serangga-serangga berbisa yang meracuni
otak mereka sehingga hidup mereka menjadi liar seperti
binatang-binatang hutan. Puluhan tahun kedua orang kakak beradik ini
hidup di pulau setelah majikan dan guru mereka meninggal dunia. Usia
mereka sudah lima puluhan tahun lebih ketika pada suatu hari secara
kebetulan ada sebuah perahu dagang yang terdampar ke pulau itu setelah
dipermainkan ombak dan badai. Dapat dibayangkan betapa ngeri hati para
penumpang perahu yang tiga puluh orang lebih jumlahnya itu ketika mereka
melihat dua orang kakek gila yang telanjang bulat itu. Dua orang kakek
itu segera menyerang mereka dan dalam waktu singkat saja, tiga puluh
orang lebih telah tewas oleh mereka berdua!
Kemudian mereka
secara ngawur mengembangkan layar dan berlayarlah mereka ke tengah
samodera. Karena tidak biasa, mereka mabuk laut, mengamuk dan merusak
isi perahu, kemudian roboh telentang di dalam perahu, pingsan! Angin dan
ombak yang kini mengemudikan perahu dan akhirnya mereka terdampar ke
darat. Saat itulah mulai muncul dua orang sakti yang aneh di dunia
kang-ouw. Sepuluh tahun lebih mereka berdua berkeliaran dan kemudian
dunia persilatan mengenal mereka sebagai dua orang sakti jahat dan
menggolongkan mereka dengan pentolan-pentolan dunia hitam lainnya
sehingga terkenallah nama Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sebagai
dua orang di antara si enam jahat!
Ilmu silat yang menjadi
dasar dari kepandaian mereka adalah ilmu silat campuran dari barat dan
utara. Akan tetapi karena mereka hidup puluhan tahun sebagai orang
liar, di antara binatang-binatang dan serangga-serangga beracun, maka
hawa pukulan dari sin-kang mereka bercampur dengan hawa beracun yang
amat jahat. Apalagi Toat-beng Koai-jin mempunyai kesukaan liar, yaitu
makan daging manusia. Ini menambah hawa beracun di dalam tubuhnya dan
membuat ia makin ganas dan berbahaya sekali. Sedangkan adiknya, Tok-sim
Lo-tong, terkenal hebat permainannya yang mengerikan, yaitu dengan
ular-ular beracun yang menjadi sahabat-sahabat baiknya, bahkan
senjatanya pun seekor ular.
Suling Emas sudah banyak mendengar
tentang dua orang liar ini, akan tetapi baru kali ini ia berkesempatan
mengadu ilmu. Oleh karena ia harus memikirkan keselamatan Sian Eng dan
juga harus menolong Lin Lin yang belum diketahui bagaimana nasibnya, ia
tidak mau berlaku lambat. Begitu merasa betapa tenaga yang dipergunakan
lawannya mengeluarkan hawa panas dan bau amis menjijikkan, ia cepat
mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya, lalu ia mainkan ilmu silat
yang ia dapat dari suhunya, yaitu mendiang Kim mo Taisu. Sebetulnya
ilmu ini adalah ilmu yang harus dimainkan dengan sebatang kipas pelajar,
yaitu ilmu silat yang disebut Lo-hai-san-hoat (Ilmu Silat Kipas
Pengacau Lautan). Akan tetapi karena lawannya bertangan kosong, maka
Suling Emas juga bertangan kosong mainkan Ilmu Silat Pengacau Lautan
ini.
Hebat memang kepandaian Toat-beng Koai-jin. Yang amat
berbahaya adalah kuku-kuku jari tangannya. Biarpun ia tidak bersenjata,
namun memiliki kuku-kuku panjang seperti itu, sama saja dengan
memegang atau menggunakan sepuluh buah pedang-pedang kecil! Setiap buah
jari mempunyai kuku panjang dan bukan hanya kuku runcing, melainkan
kuku yang mengandung hawa beracun sehingga sekali saja kulit terkena
guratan sebuah di antara kuku-kuku ini, akan melepuh kulit itu dan akan
keracunan darahnya! Semua ini dipergunakan dengan gerakan cepat dan
lincah, ditambah lagi dengan gerengan-gerengan seperti seekor singa dan
muncratnya air ludah serta peluh yang memuakkan baunya!
Hampir
Suling Emas tidak tahan menghadapi ini, terutama bau itu. Beberapa kali
ia terpaksa melompat mundur untuk menyedot hawa segar. Akhirnya ia
berseru keras, “Toat-beng Koai-jin, lekas kaukembalikan nona yang
kauculik. Kalau tidak, terpaksa aku membunuhmu. Aku tiada waktu lebih
lama lagi untuk bermain-main denganmu!”
Sambil berkata
demikian, Suling Emas mengeluarkan sebuah kipas yang dipegangnya dengan
tangan kiri. Hanya kipasnya yang akan dapat membantunya mengusir bau
memuakkan itu. Ia masih sungkan mengeluarkan sulingnya, melihat betapa
lawannya tetap bertangan kosong.
Melihat bahwa lawannya hanya
mengeluarkan kipas kain sutera yang halus dan kecil saja, Toat-beng
Koai-jin tertawa ha-hah-he-heh, kemudian menubruk lagi melancarkan
serangan-serangan dahsyat. Akan tetapi, sekarang Suling Emas bersilat
Lo-hai-san-hoat dengan kipas di tangan, dan karena ilmu silat itu
memang ilmu silat kipas, tentu saja kehebatannya lipat dua kali
daripada tadi ketika ia mainkan dengan tangan kosong. Seketika tampak
gulungan sinar putih yang kadang-kadang menutupi pandangan mata
Toat-beng Koai-jin, malah kakek liar ini merasa sesak napasnya oleh
tiupan angin dari kipas itu. Tidak saja semua bau busuk dikembalikan ke
hidungnya sendiri, akan tetapi ditambah pula dengan angin kebutan
kipas yang dilakukan dengan tenaga sin-kang seorang ahli. Dua kali sudah
pundak Toat-beng Koai-jin kena disentuh ujung gagang kipas, sakitnya
bukan kepalang. Diam-diam Suling Emas terkejut dan kagum. “Sentuhannya”
dengan ujung gagang kipas itu sebetulnya adalah totokan yang pasti akan
merobohkan lawan. Akan tetapi kakek liar ini hanya menyeringai
kesakitan saja, sama sekali tidak roboh malah maju makin nekat! Kiranya
kakek ini telah kebal kulitnya dan agaknya pandai pula memindahkan
jalan darah.
Betapapun juga, setelah Suling Emas mainkan
kipasnya, Toat-beng Koai-jin terdesak hebat. Berkali-kali ia menggereng
marah, namun semua tubrukan, cakaran hantaman dan tendangannya hanya
mengenai angin belaka.
“Manusia liar, robohlah!” Secepat kilat,
kipas itu bergulung-gulung sinarnya menutupi pandang mata lawan dan
tangan kiri Suling Emas sudah menyerang dengan jari tangan terbuka ke
arah ulu hati yang telanjang itu. Akan tetapi, Toat-beng Koai-jin
benar-benar hebat kepandaiannya. Begitu jari tangan Suling Emas yang
mengandung tenaga sin-kang amat kuat itu menyentuh kulit dadanya, tubuh
bagian ini secara tiba-tiba dapat di“tarik” masuk dan mulutnya
menyemburkan uap ke depan, disusul pukulan kedua tangan!
“Ihhhhh!” Suling Emas terpaksa mengipaskan kipasnya ke depan untuk
mengebut pergi semburan uap bacin itu, lengannya dengan mudah menangkis
pukulan lawan dan sebelum lawan mendesak terus, gerakan Suling Emas
berubah. Ia telah menggunakan gerakan ilmu silat sakti Hong-in-bun-hoat
yaitu jurus ilmu silat huruf yang ia terima dari Bu Kek Siansu. Dengan
gerakan jurus ilmu silat sakti ini, yang ia lakukan dengan menuliskan
huruf LANGIT, sekaligus ia telah menyerang sampai empat kali. Serangan
terakhir merupakan gerakan bertentangan karena baru saja ia menyerang
dengan arah ke kiri bawah, sekarang tiba-tiba kipasnya menerjang dari
atas ke bawah kanan.
“Auuuhhhhh....!” Perubahan-perubahan yang
amat cepat dan aneh dari jurus ini tak dapat diikuti dan diduga oleh
Toat-beng Koai-jin, maka biarpun ia sudah mengelak dan menangkis tidak
urung pahanya terpukul gagang kipas. Kelihatannya perlahan saja, akan
tetapi kalau saja bukan Toat-beng Koai-jin yang menerima hantaman ini,
tentu tulang pahanya akan remuk. Kakek liar ini hanya mengeluh dan
tubuhnya bergulingan, akan tetapi ia sudah dapat melompat berdiri lagi
lalu meloncat ke atas, membobol genteng melarikan diri.
“Iblis jahat, lari ke mana kau?”
Suling Emas mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan Sian Eng.
Selagi ia ragu-ragu, tak tega meninggaikan Sian Eng seorang diri, dari
pintu muncullah Tok-sim Lo-tong dan beberapa orang pengeroyoknya tadi.
“Keparat pengecut!” Suling Emas marah sekali. “Jangan anggap aku
keterlaluan kalau sekarang aku tidak mau memberi ampun lagi!” Setelah
berkata demikian tangannya bergerak dan tampaklah sinar kuning
bergulung-gulung dengan sinar putih. Sinar kuning adalah sinar sulingnya
sedangkan yang putih adalah sinar kipasnya. Ia tidak memberi
kesempatan lawan-lawannya maju, mendahului menerjang ke pintu dan
sekaligus tiga orang pengeroyok roboh binasa sebelum mereka sempat
bergerak. Tok-sim Lo-tong hanya tertawa serak, lalu menyelinap pergi.
Juga para pengikutnya pergi dengen cepat. Sebentar saja tidak tampak
lagi lawan di situ.
“Mari kita kejar kakek liar tadi untuk
menolong adikmu!” kata Suling Emas, menyambar lengan tangan Sian Eng
untuk diajak lari cepat mengejar Toat-beng Koai-jin.
“Nanti
dulu, aku tadi melihat kakek itu melemparkan ini....” kata Sian Eng,
membungkuk dan hendak mengambil sebuah sampul surat.
Akan
tetapi tiba-tiba Suling Emas menggerakkan tangannya dan.... tubuh Sian
Eng terdorong mundur sampai terhuyung-huyung. “Kau.... kau....!” Gadis
itu berseru marah.
“Hemmm, lupa lagikah akan pengalaman di
Khitan dahulu?” Suling Emas mengomel, lalu membungkuk dan mengambil
sampul surat itu. Sian Eng terkejut dan teringat, mukanya berubah pucat
dan ia merasa ngeri sekali ketika melihat jari-jari tangan Suling Emas
menjepit hancur leher seekor ular hitam yang keluar dari sampul itu!
Kiranya Suling Emas telah menolong nyawanya, karena kalau dia yang tadi
mengambil sampul, tentu ia akan tergigit ular yang ia duga seekor ular
berbisa yang amat jahat itu. Setelah melempar bangkai ular dengan tak
acuh, Suling Emas menarik keluar sehelai kertas bersurat dari dalam
sampul. Alis yang tebal itu bergerak-gerak ketika matanya menari-nari
membaca huruf-huruf yang tertulis di atas kertas. Matanya makin
berapi-api dan diam-diam Sian Eng menjadi takut. Ia tahu bahwa pendekar
itu marah sekali. Kemudian Suling Emas menarik napas panjang dan
berkata.
“Tak mungkin mencari di mana adikmu disembunyikan. Akan
tetapi sementara ini dia aman. Untuk menolongnya, jalan satu-satunya
hanya ke Nan-cao. Mari kita pergi, dan sekarang ceritakan bagaimana kau
dapat pergi bersama Suma Boan.” Kata-katanya terdengar ketus dan marah.
Sian Eng mendongkol sekali. Apa peduilmu, bisik hatinya, kau seperti
seorang ayah atau kakak saya. Namun ia tidak berani membantah dan sambil
berjalan di samping Suling Emas, ia menceritakan betapa Suma Boan
mencari Lin Lin dan Lie Bok Liong, kemudian bertemu dengannya. Betapa
Suma Boan berjanji kepadanya akan mempertemukan dengan kakaknya, Kam Bu
Song, kalau mau pergi bersamanya ke Nan-cao.
“Bagaimana dia bisa tahu bahwa kau akan bertemu dengan kakakmu di Nan-cao?” tanya Suling Emas sambil lalu.
“Dia bilang bahwa Kakak Bu Song mempunyai hubungan dengan Nan-cao,
karena itu aku pasti akan dapat bertemu dengannya di sana. Maka aku lalu
ikut dengan dia sampai di sini.”
“Kemudian, mengapa kau bisa muncul bersama kakek lucu itu?”
“Empek Gan itu? Lucu? Aku tidak senang padanya!”
Tiba-tiba Suling Emas berhenti melangkah, memandang dengan mata
terbelalak kepada Sian Eng. “Kau bilang Empek Gan? Dia....? Pantas! Aku
sudah heran dan menduga-duga siapa gerangan kakek lucu yang luar biasa
lihainya itu.... ah, kiranya Empek Gan. Dia muncul pula di sini, aha,
akan ramai di Nan-cao.” Agaknya saking gembira dan herannya mendengar
bahwa kakek pendek tadi Empek Gan adanya, Suling Emas tidak mendesak
lagi dengan pertanyaan mengapa Sian Eng meninggalkan Suma Boan dan
gadis ini menjadi lega hatinya, karena ia pun tidak suka bercerita
tentang rahasia asmara itu.
“Kenapa kita tidak jadi mengejar kakek liar tadi? Bukankah Lin Lin telah diculiknya?”
“Tidak, percuma. Mereka sengaja menahan Lin Lin untuk memaksaku....”
Suling Emas menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.
“Mereka? Siapa? Surat itu dari siapakah?”
“Siapa lagi? Dari Suma Boan tentu!”
Wajah Sian Eng terasa panas sekali, kemudian dingin sampai ke ujung
hidungnya. Jantungnya berdebar dan hampir ia pingsan kalau saja ia
tidak cepat menekan perasaannya. Kiranya Lin Lin diculik atas perintah
Suma Boan! Betulkah ini? Tapi.... tapi dia selama dalam perjalanan ini
baik sekali terhadapnya, hanya malam tadi....!
“Kau kenapa?”
Sian Eng menggeleng kepala, tidak berani bersuara karena maklum bahwa
suaranya tentu akan terdengar gemetaran bercampur isak. Ia hanya
mempercepat langkahnya dan agaknya Suling Emas senang melihat ini dan ia
pun mempercepat langkahnya sehingga sebentar saja mereka sudah keluar
dari kota Ban-sin.
***
Lin Lin berusaha meronta dan
melepaskan belenggu yang mengikat kedua pergelangan tangannya, namun
sia-sia belaka. Ia memandang ke arah Lie Bok Liong yang terikat seperti
seekor babi di atas sebatang balok melintang, tingginya kurang lebih
satu meter dari tanah. Ingin ia menjerit minta tolong, namun sia-sia
karena mulutnya ditutup saputangan yang diikatkan erat sekali ke
belakang kepalanya sehingga untuk bernapas saja amatlah sukar.
Seperti diketahui, ketika ia dan Suling Emas dikeroyok oleh Tok-sim
Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, dan banyak lagi orang-orang yang
kepandaiannya cukup kuat, ia telah kena ditawan oleh Toat-beng Koai-jin
dan dibawa lari pergi dari gelanggang pertandingan. Ia berusaha untuk
melepaskan diri atau memukul, akan tetapi tubuhnya lemas semua, kaki
tangannya tak dapat digerakkan lagi. Hampir ia pingsan ketika tubuhnya
dipondong oleh kakek liar itu. Karena ia tidak dapat bergerak, terpaksa
ia menahan penderitaan luar biasa ketika mukanya terletak di atas
punggung yang ada dagingnya menonjol besar (punuk), berkeringatan dan
baunya apek bukan buatan itu! Kalau saja ia tidak tertotok lumpuh, tentu
Lin Lin sudah muntah-muntah. Baiknya kakek itu larinya cepat sekali
seperti terbang, sebetulnya bukan lari lagi melainkan melayang dari
pohon ke pohon seperti seekor binatang yang gesit. Kecepatan ini
mempersingkat penderitaannya karena selain angin yang bertiup
mengurangi bau kecut, juga tentu akan segera sampai di tempat tujuan.
Mereka memasuki hutan dan tiba-tiba muncul seorang pemuda yang
membentak dengan suara nyaring, “Iblis tua, lepaskan gadis itu!”
Lin Lin girang bukan main ketiika mengenal suara ini. Siapa lagi kalau
bukan Lie Bok Liong, sahabat baiknya! Akan tetapi kegirangannya tidak
berlangsung lama, segera terganti kekhawatiran. Tingkat kepandaian Bok
Liong sebanding dengan tingkatnya, mana mampu menghadapi kakek sakti
yang seperti ibils ini? Benar saja dugaannya, biarpun Bok Liong sudah
menerjang dengan pedang Goat-kong-kiam yang berhawa dingin, kakek itu
enak saja melayaninya dengan tangan kosong, bahkan dengan tubuh Lin Lin
tak pernah terlepas dari atas pundaknya!
Seperti juga Lin Lin,
pemuda itu tak dapat bertahan lama menghadapi kakek sakti ini. Apalagi
karena Bok Liong amat terbatas gerakannya, terbatas oleh
kekhawatirannya kalau-kalau ujung pedangnya mengenai tubuh Lin Lin.
Tiba-tiba ia berseru keras dan mundur dengan muka pucat. Kakek itu telah
menyodorkan tubuh Lin Lin untuk menangkis sambaran pedangnya. Bok Liong
cepat menarik pedangnya dan pada saat itu, tangan kiri Toat-beng
Koai-jin bergerak mengirim pukulan jarak jauh yang membuat Bok Liong
terjengkang bergulingan. Ketika ia berusaha bangkit kembali, tubuhnya
sudah lemas tertotok dan di lain saat, kakek itu sudah menyeretnya di
sepanjang jalan, menjambak rambutnya dan menarik sambil memondong tubuh
Lin Lin. Kakek itu memasuki hutan sambil tertawa-tawa.
Di
bagian hutan yang gelap dan penuh pohon liar, ia melemparkan tubuh Lin
Lin ke atas tanah, mengambil akar lemas dari sebatang pohon dan mengikat
kaki tangan gadis itu ke belakang. Kemudian ia pun merenggut sehelai
saputangan dari baju Bok Liong, menggunakan saputangan ini menutup dan
mengikat mulut Lin Lin. Setelah ini selesai, tangannya bergerak dan
terdengar kain robek-robek ketika baju dan celana luar pemuda itu ia
renggut secara kasar. Sebentar saja Bok Liong berada dalam keadaan
setengah telanjang. Hanya sebuah celana dalam saja yang masih menutupi
tubuhnya. Tentu saja Lin Lin di samping rasa takut dari gelisah, juga
menjadi jengah dan tidak berani memandang langsung, hanya
mengerling-ngerling untuk melihat apa yang akan dilakukan kakek gila
itu.
“Heh-heh-heh, kau masih muda, jejaka tulen, dagingmu tentu
masih gurih!” Kakek ini lalu mematahkan batang pohon dengan kedua
lengannya yang kuat, mengikat tubuh Bok Liong pada batang pohon atau
balok itu seperti mengikat babi saja, kemudian balok berikut tubuh Bok
Liong yang setengah telanjang itu ia palangkan pada dua batang pohon
lain sehingga tubuh Bok Liong tergantung. Kemudian kakek itu
mengumpulkan daun dan kayu kering di bawah tubuh Bok Liong dan andaikata
mulut Lin Lin tidak diikat, tentu gadis ini sudah menjerit-jerit
memanggil Suling Emas karena ia sekarang dapat menduga apa yang hendak
dilakukan oleh kakek gila ini. Agaknya kakek gila ini membuat masakan
yang paling aneh di dunia ini, bukan panggang bebek, panggang ayam, atau
panggang babi, melainkan panggang daging manusia hidup! Bok Liong akan
dipanggang hidup-hidup! Tiba-tiba terdengar suara seperti anjing hutan
menggonggong dari jauh, kakek itu menyumpah-nyumpah, “Jahanam,
mengganggu saja. Ah, terpaksa ditunda sebentar.” Ia bangkit berdiri,
menepuk-nepuk tubuh bagian atas Bok Liong yang tegap dan berdaging,
mengecap-ngecapkan mulutnya yang mengeluarkan air liur.
“Sayang-sayang...., biar ditunda sebentar, heh-heh!” Tubuhnya berkelebat
dan dalam sekejap mata saja kakek itu sudah lenyap dari situ.
Lin Lin takut setengah mati. Takut dan ngeri. Mana bisa ia menjadi
penonton? Menonton Bok Liong dipanggang hidup-hidup kemudian dagingnya
diganyang kakek liar itu? Ia melirik ke arah Bok Liong. Pemuda ini sama
sekali tidak bergerak, tubuhnya tergantung di atas balok seperti telah
mati. Agaknya pingsan, Lin Lin kembali berusaha mati-matian untuk
membebaskan diri daripada belenggu akar pohon. Akan tetapi ternyata
akar pohon itu istimewa kuatnya. Matanya melirik ke sana ke mari,
mencari-cari. Ia harus bertindak cepat, harus depat membebaskan diri
sebelum siluman itu kembali, harus dicegah siluman itu memanggang tubuh
Bok Liong.
Dengan hati penuh kengerian dan ketegangan, Lin Lin
menggulingkan tubuhnya ke arah sebuah batu besar tak jauh dari situ. Ia
melihat batu itu mempunyai begian-begian yang tajam. Karena kaki
tangannya diikat, ia hanya dapat mencapai batu dengan cara menggulingkan
tubuh, lalu sedikit demi sedikit menggeser tubuh mendekatkan kedua
pergelangan tangan yang dibelenggu di belakang tubuhnya kepada bagian
batu yang tajam. Ia menggosok-gosokkan akar yang mengikat tangan itu
pada batu sambil mengerahkan tenaga. Benar-benar kuat sekali akar itu,
ulet bukan main. Kini ia tidak melihat Lie Bok Liong lagi, terhalang
batu. Ada seperempat jam ia berusaha mematahkan pengikat tangannya dan
ia hampir berhasil. Peluhnya bercucuran dan hatinya makin tegang. Kalau
sudah bebas dari belenggu, ia akan membebaskan Bok Liong dan mengajaknya
melarikan diri.
Akan tetapi tiba-tiba Lin Lin merasa tubuhnya
lemas, tenaganya lenyap sama sekali ketika ia melihat bayangan Toat-beng
Koai-jin mendatangi dari jauh! Mata Lin Lin terbelalak, harapannya
lenyap bagaikan embun terbakar matahari. Tentu saja ia tidak
melanjutkan usahanya, malah dengan tubuh terasa lelah dan lemas ia
bersandar kepada batu besar itu, menyerahkan nasib ke tangan Tuhan
karena dia sendiri sudah tak berdaya. Dilihatnya kakek liar itu dengan
gerakan cepat mendatangi, di kedua tangannya membawa dua potong kayu
kering yang digosok-gosok sampai mengeluarkan api! Setelah api menyala
dan kakek itu datang dekat, dilemparkannya kayu berapi itu ke tumpukan
daun dan kayu yang berada di bawah tubuh Bok Liong. Sebentar saja daun
kering itu terbakar! Lin Lin membuang muka, menengok ke lain jurusan dan
matanya tak dapat ditahannya lagi mengucurkan air mata. Kasihan
Liong-twako, pikirnya.
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana?”
tiba-tiba suara kakek itu terdengar dekat dan Lin Lin merasa pundaknya
dicengkeram lalu tubuhnya diangkat dan dilempar kembali ke tempat
semula. Kakek itu sendiri menjatuhkan diri duduk di atas batu sambil
terkekeh-kekeh berkata.
“Ha-ha, kau mau melarikan diri? Tak
mungkin, bocah tolol. Akar yang mengikat kaki tanganmu itu berlumur
racun kelabang hijau, sekali melukai kulitmu kau akan mampus! Kaulihat
baik-baik sahabatmu ini, lihat betapa kulitnya makin lama merah diciumi
api, makin lama makin matang dan baunya gurih. Heh-heh, kalau sudah
masak nanti, boleh kaupilih bagian mana yang paling gurih untukmu....
ha-ha!”
Toat-beng Koai-jin memandang ke arah Lin Lin sambil
tertawa-tawa dan air liurnya muncrat-mucrat dari mulutnya yang lebar,
bibirnya yang tebal dan giginya yang besar-besar. Dengan hati berdebar
penuh kengerian Lin Lin mengerling ke arah Bok Liong dan tiba-tiba
matanya terbetalak lebar. Yang terikat seperti babi kebiri hendak
dipanggang hidup-hidup itu sama sekali bukan Bok Liong! Tadi memang Bok
Liong yang diikat di situ, akan tetapi sekarang sama sekali bukan pemuda
itu, biarpun keadaannya juga sama, setengah telanjang. Bukan Bok Liong
melainkan seorang kakek yang pringas-pringis (menyeringai) dan matanya
meram melek seakan-akan keenakan tiduran di atas nyala api yang hangat!
Agaknya sikap dan wajah Lin Lin yang jelas membayangkan kekagetan dan
keheranan ini menarik perhatian Toat-beng Koai-jin, kakek ini segera
menengok ke arah “panggangannya” dan alangkah kagetnya ketika ia bertemu
dengan muka yang meringis, muka yang berjenggot jarang berkumis
panjang, tubuh yang pendek, bukan lain adalah si kakek lucu yang tadi ia
jumpai di rumah Ouw-kauwsu!
Kakek yang menggantikan kedudukan
Bok Liong di atas api itu terkekeh dan berkata, “Ahhhhh.... nikmatnya!
Hangat dan enak! He, Toat-beng Koai-jin, apakah kau sudah begitu
kelaparan sehingga kau doyan dagingku yang alot dan kulitku yang keras?
Hati-hati kau, daging tuaku sudah demikian alotnya sehingga kaupanggang
seratus tahun pun takkan bisa menjadi empuk!”
“Demi Iblis!
Siapakah kau ini orang gila?” Toat-beng Koai-jin sudah melompat berdiri
dan siap bertempur. Kakek ini sekarang baru insyaf bahwa orang lucu
yang sikapnya gila-gilaan itu sebenarnya memiliki kepandaian hebat.
Maka tahulah ia bahwa ia menghadapi lawan yang tangguh.
“Hua-ha-hah, Toat-beng Koai-jin, kita memang baru tadi saling berjumpa.
Tak perlu tanya namaku, tapi kau sudah melakukan dosa besar terhadapku.
Kau tua bangka yang tak lama lagi mampus, tidak tahu malu, beraninya
hanya mengganggu orang-orang muda yang masih hijau. He, pemakan
bangkai, tahukah kau bahwa pemuda yang akan kaupanggang hidup-hidup tadi
adalah muridku?”
Toat-beng Koai-jin menggereng seperti seekor
singa kelaparan. “Bagus! Mari tua sama tua mengadu kepandaian!” serunya
sambil menerjang maju, sepuluh buah kuku-kuku yang runcing tajam itu
mencengkeram.
“Tak tahu malu!” Empek Gan, kakek lucu itu,
berseru. Benar-benar sepak terjang Toat-beng Koai-jin kali ini amat
licik, masa menerjang lawan yang masih terikat dan terpanggang di atas
api? Empek Gan cepat menggulingkan dirinya dan kaki tangannya bergerak,
kayu-kayu dan daun-daun yang masih terbakar itu kini terbang berhamburan
ke arah Toat-beng Koai-jin!
Si kakek liar terkejut bukan main,
cepat ia mengibaskan kedua lengannya. Biarpun serangan kakek pendek itu
tidak berbahaya, namun api merupakan senjata yang tak terlawan dan
sedikit banyak tentu akan melukai kulitnya. Ketika kayu dan daun yang
menyala itu runtuh semua, Empek Gan kini telah berdiri tegak, telah
memakai pakaiannya dengan lengkap. Benar-benar kakek yang luar biasa,
pikir Lin Lin yang masih duduk sambil menonton dengan hati tertarik.
Begitu mendengar bahwa kakek itu adalah guru sahabatnya, guru Lie Bok
Liong, hatinya begitu girang sehingga ia lupa akan penderitaannya
sendiri. Kalau orang aneh itu guru Bok Liong, berarti bahwa sahabatnya
itu tentu telah tertolong, dan dia sendiri juga ada harapan besar
tertolong. Apalagi ketika melihat betapa kakek pendek yang aneh dan lucu
itu dapat menyerang lawannya dengan api kemudian dalam sekejap mata
saja sudah memakai kembali pakaiannya, ia makin heran dan kagum.
Segera kedua orang kakek sakti itu bertempur hebat. Entah dari mana
dapatnya, Gan-lopek atau Empek Gan sudah memegang hek-mou-pit (pensil
bulu hitam) di tangan kanan dan pek-mou-pit (pensil bulu putih) di
tangan kirinya dan ketika kedua tangannya bergerak, yang tampak hanya
dua gulungan sinar putih dan hitam yang kecil panjang dan kuat, saling
libat dan kemudian bersama-sama menerjang Toat-beng Koai-jin.
“Ho-ho, tahan dulu! Kiranya kau Ini si badut gila Gan-lopek?” terdengar
Toat-beng Koai-jin berseru kaget, akan tetapi ia sendiri tidak
menghentikan gerakannya.
“Hi-hi-hik, setan bangkotan pemakan
bangkai! Kita sama-sama tua, sama-sama terkenal sebagai tua bangka gila,
hayo keluarkan semua kepandaianmu, kerahkan segala kekuatanmu, selagi
aku ada kegembiraan untuk melayanimu!” Sepasang senjatanya, pencil butu
hitam dan putih, bergerak secara aneh, seperti orang sedang melukis,
akan tetapi nyatanya si kakek liar menjadi sibuk sekali menghindar ke
sana ke mari, malah lalu mundur-mundur sampai mepet batu besar. Sinar
hitam dan putih terus mengurung dirinya, kakek liar itu mendengus-dengus
dan akhirnya menggereng-gereng lalu melarikan diri, atau bertempur
sambil berlari, dikejar terus oleh Gan-lopek yang masih terdengar
suaranya terkekeh-kekeh.
“Lin-moi, kau mengalami banyak kaget?”
Lin Lin terkejut, cepat menengok dan giranglah hatinya melihat bahwa
yang menegurnya itu adalah Lie Bok Liong. Pemuda ini sudah memakai
pakaian lagi, akan tetapi masih tampak betapa pakaiannya robek di
sana-sini. Cepat Bok Liong membebaskan Lin Lin daripada ikatan kaki
tangan dan mulut.
“Berbahaya sekali....” Lin Lin mengeluh, “Twako, siapa menolongmu?”
“Suhu....”
“Wah, Suhumu hebat! Memang badut dia, tapi hebat!”
Muka Bok Liong menjadi merah, ia tersenyum dan menjawab, “Memang Suhu
paling suka main-main. Menurut kata Suhu sendiri, hidup ini adalah main
sandiwara, dunia ini panggungnya dan kita manusia anak-anak wayangnya.
Bagi Suhu, main sandiwara yang paling menyenangkan adalah menjadi
pelawak, hidup satu kali harus pandai tertawa dan mengajak orang lain
tertawa, tak perlu mengisinya dengan tangis. Lihat, setelah Suhu
menggantikan aku dipanggang, dalam bertempur melawan Toat-beng
Koai-jin yang lihai itu pun Suhu masih main-main!” Dalam kata-katanya
ini jelas terdengar bahwa ia merasa bangga sekali akan kelihaian
gurunya. Lin Lin memandang dan ia menjulurkan lidahnya keluar saking
kagumnya. Memang hebat Gan-lopek, lawannya demikian sakti, akan tetapi
masih ada kesempatan untuk membadut dan memamerkan keahliannya, yaitu
melukis! Bagaimana tidak mengagumkan? Di atas batu karang di mana tadi
Toat-beng Koai-jin bertempur membelakangi batu, tampak lukisan hitam
putih yang amat hidup, yaitu lukisan Toat-beng Koai-jin sendiri! Begitu
bagus lukisan ini, persis aselinya, punuknya, gendutnya, air liurnya
yang muncrat-muncrat!
“Wah, Suhumu jago menggambar! Kau tentu pandai pula, Twako?”
“Ah, kepandaian Suhu melukis memang tiada bandingnya, akan tetapi ilmu
itu tak pernah diturunkannya kepada siapa pun juga. Suhu amat pelit
dengan ilmunya melukis ini, katanya, kalau diturunkan kepada murid,
tiada artinya malah merugikan. Kalau muridnya menjual hasil gambarannya
bukankah itu meremehkan dirinya? Kalau tidak pun apa gunanya?”
“Twako, apakah kau sudah berhasil menemukan Enci Sian Eng?”
Bok Liong mengangguk. “Baru saja aku mendengar dari Suhu. Kau tahu,
setelah kuselidiki, ternyata Nona Sian Eng ikut bersama Suma Boan pergi
menuju ke Nan-cao pula, dan....”
“Apa? Bagaimana? Enci Sian Eng ikut Suma Boan? Mana mungkin! Tentu diculik!”
Bok Liong menggeleng kepala. “Aku pun masih heran, tapi kenyataannya
encimu itu melakukan perjalanan bersama Suma Boan. Karena mereka berdua
dikawani Tok-sim Lo-tong yang amat lihai, sedangkan kepandaian Suma
Boan sendiri pun sudah terlalu tinggi bagiku, maka terpaksa aku lalu
mohon bantuan Suhu. Kami mengejar dan sampai di sini, Suhu turun tangan
mengajak pergi encimu dari samping Suma Boan.”
“Di mana sekarang
Enci Sian Eng?” Lin Lin bertanya, hatinya penuh penasaran dan tak
mengerti mengapa encinya bisa melakukan perjalanan bersama putera
pangeran itu.
“Baru saja Suhu memberi tahu bahwa Nona Sian Eng kini sudah berada dengan Suling Emas, melakukan perjalanan ke Nan-cao.”
“Kalau begitu mari kita cepat menyusul ke sana, Twako. Wah, tadinya
kuharapkan kau dapat bertemu dengan Enci Eng dan melakukan perjalanan
bersamanya, siapa kira, sekarang malah aku yang melakukan perjalanan
bersamamu, sedangkan Enci Eng kembali bersama.... eh, dia!” Diam-diam
Lin Lin mendongkol dan teringat akan pedangnya, ia makin gemas. “Celaka,
pedangku lenyap ketika bertanding melawan kakek ibils yang gila tadi!”
“Kalau perlu kau boleh pakai pedangku ini, Moi-moi. Mari kita
berangkat, siapa tahu kalau kita melakukan perjalanan cepat, akan dapat
menyusul mereka.”
Berangkatiah dua orang muda ini, menuju ke
Nan-cao yang tidak jauh lagi dari situ. Lin Lin menjadi pendiam kali
ini, tidak saja ia masih bingung dan heran memikirkan bagaimana encinya
dapat melakukan perjalanan bersama Suma Boan, juga diam-diam ia merasa
penasaran karena sikap Suling Emas terhadapnya masih terlalu dingin
dan tidak acuh. Alangkah jauh bedanya antara sikap Suling Emas
terhadapnya dan sikap Lie Bok Liong. Kalau saja sikap Suling Emas
terhadapnya semanis sikap Bok Liong, ah....! Andaikata begitu, ada apa?
Tidak apa-apa, hanya.... alangkah akan senang hatinya!
***
Tiongkok pada masa itu masih dalam keadaan terpecah-pecah menjadi
banyak sekali kerajaan-kerajaan kecil di samping beberapa buah kerajaan
besar. Kerajaan Sung setelah dapat mempersatukan Lima Dinasti yang
batasnya dari utara sampai ke tembok besar, dari selatan sampai ke
Sungai Yang-ce-kiang, dari barat sampai ke Propinsi Kan-su dan ke timur
sampai ke laut, merupakan kerajaan terbesar. Seperti diketahui, pendiri
Kerajaan Sung Cau Kwan Yin, hanya berhasil menyatukan lima kerajaan
utara itu. Akan tetapi kerajaan-kerajaan kecil di selatan Sungai
Yang-ce-kiang, masih amat banyak. Di luar tembok besar sebelah utara
terus ke timur masih dalam kekuasaan bangsa Khitan yang amat kuat. Di
Se-cuan terdapat Kerajaan Shu, di sebelah timurnya ada kerajaan kecil
yang disebut Nan-ping sebelah timur lagi Kerajaan Nan-tang, lalu
disambung Kerajaan Wu-yueh di pantai timur. Di sebelah selatan Kerajaan
Nan-ping dan Kerajaan Shu inilah terdapat Kerajaan Nan-cao, di sebelah
selatan lagi Kerajaan Nan-han dan Kerajaan Min.
Cao Kwan Yin
atau setelah menjadi kaisar berjuluk Kaisar Sung Thai Cu, tidak berhasil
menundukkan kerajaan-kerajaan di selatan ini dan biarpun Kerajaan Sung
tidak lagi melakukan perang secara terbuka, akan tetapi sering kali
terjadi bentrok dan di antara mereka terjadilah “perang dingin”.
Akan tetapi kaisar pertama dari Kerajaan Sung ini adalah seorang yang
amat bijaksana. Pada tahun pertama dari pemerintahannya, ia pada suatu
pagi yang cerah mengumpulkan semua jenderal-jenderainya yang telah
berjasa dalam membantunya mendirikan Kerajaan Sung, berkatalah Sang
Kaisar ini!
“Para panglimaku, setiap malam aku tidak dapat tidur nyenyak.”
Tentu saja para panglima itu terheran dan bertanya apa yang menyebabkan demikian.
“Jelas sekali sebabnya,” jawab Kaisar Sung Thai Cu. “Siapakah di antara kalian yang tidak merindukan singgasana dan mahkotaku?”
***
Para panglima itu berlutut dan membantah. Seorang di antara mereka yang
tertua mewakili teman-temannya, “Duhai Sri Baginda yang mulia. Tuhan
telah menentukan Paduka menjadi Kaisar, bagaimana Paduka masih
menyangsikan hal ini? Siapakah di antara hamba sahaya yang berani
menentang dan memiliki hati khianat?”
“Aku percaya akan
kesetiaan hati kalian, para panglimaku yang gagah. Akan tetapi,
andaikata pada suatu pagi yang buruk, seorang di antara kalian
dibangunkan dari tidur dan dipaksa mengenakan pakaian kuning (pakaian
raja), betapapun tidak setuju hatimu bagaimana kamu akan dapat
menghindarkan pemberontakan?”
Sibuklah para panglima itu
menghibur dan menjamin bahwa tak seorang pun di antara mereka memiliki
hati seperti itu, juga tidak ada di antara mereka yang cukup berharga
untuk menjadi kaisar. Kemudian yang tertua berkata dengan sembah.
“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Apabila hal itu mengganggu
ketenteraman hati Paduka, mohon Paduka mengambil langkah-langkah yang
Paduka anggap terbaik untuk mencegah terjadinya kemungkinan itu. Hamba
sekalian akan taat dan tetap setia kepada Paduka yang mulia.”
Kaisar Sung Thai Cu tersenyum, mengelus-elus jenggotnya yang hitam lalu
bersabda, suaranya nyaring dan kata-katanya lancar karena memang hal
ini sudah direncanakan lebih dahulu.
“Hidup di dunia ini amatlah
pendek. Yang disebut bahagia adalah memiliki harta dan kesempatan untuk
menikmati hidup, kemudian meninggalkan kemuliaan itu kepada anak cucu.
Karena itu, para panglimaku yang setia, pilihlah jalan ke arah
kebahagiaan ini. Kalian kuperkenankan melepas pakaian panglima,
mengundurkan diri ke daerah pedalaman, di sana memilih tempat tinggal
yang paling menyenangkan, menikmati hidup di hari tua penuh
ketenteraman. Bukankah ini jauh lebih baik daripada hidup tak
berketentuan nasibnya dan selalu di lingkungan bahaya? Dengan demikian,
di antara kita tidaklah terdapat bayangan kecurigaan, tidak akan ada
fitnah-memfitnah, curiga mencurigai. Kita akan saling mengikat dengan
pernikahan-pernikahan antara keturunan kita sehingga antara raja dan
pembantunya terdapat persababatan dan persatuan yang kokoh kuat.”
Mendengar ini, para jenderal dan panglima segera tentu saja, menyatakan
persetujuan mereka dan pada hari-hari berikutnya, mereka mengajukan
surat permohonan pengunduran diri. Kaisar menerima semua permohonan ini,
membagi-bagi tanah dan jasa kehormatan berupa hadiah-hadiah dan titel.
Demikian, dengan cara yang cerdik dan halus ini Sung Thai Cu
membersihkan istana daripada kemungkinan-kemungkinan terjadi perebutan
kekuasaan dan pemberontakan-pemberontakan. Dan agaknya siasat yang
dijalankan kaisar pertama Kerajaaan Sung ini menarik dan menundukkan
pula hati raja-raja kecil yang berkuasa di luar daerah yang dikuasai
Kerajaan Sung. Mereka merasa suka dan memperlihatkan sikap damai,
kecuali Kerajaan Khitan, Nan-cao, dan Wu-yueh yang agaknya merasa bahwa
mereka terlampau kuat untuk bersikap mengalah terhadap Kerajaan Sung!
Sungguhpun Sung Thai Cu memiliki banyak keturunan, di antaranya adalah
putera-putera, namun mereka itu masih kecil-kecil. Karena itulah,
mentaati perintah yang dipesankan ibu suri menjelang kematiannya, yang
diangkat menjadi pangeran mahkota, yaitu calon pengganti kaisar,
adalah adik kaisar sendiri yang kelak terkenal dengan sebutan Sun Thai
Cung, kaisar ke dua. Ahala Sung. peristiwa ini pun tercatat dalam
sejarah, merupakan pelajaran yang amat baik bagi para kaisar khususnya
dan para pemimpin negara pada umumnya dan dianggap sebagai
kebijaksanaan ibu suri. Beginilah kurang lebih percakapan yang terjadi
di dalam kamar ibu suri ketika ibunda kaisar ini berada di ambang
kematian karena usia tua.
“Puteraku Baginda, apakah yang menyebabkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan?”
Sebagai seorang anak berbakti yang selalu menjunjung tinggi nama baik
dan nama besar leluhurnya, Kaisar Sung Thai Cu menjawab, “Ibunda yang
mulia, ananda menerima anugerah Tuhan dengan kemuliaan ini semata-mata
mengandalkan kebijaksanaan dan budi kebaikan yang sudah ditanam oleh
para leluhur kita, terutama sekali karena kebijaksanaan Ibunda.”
Senang juga hati nenek yang sudah lemah jasmaninya namun masih amat
kuat ingatannya itu. “Anak baik, selalu berusaha mengangkat tinggi orang
tua....! Puteranda sayang, bukan.... bukan aku, bukan pula leluhurmu
yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan.
Satu-satunya sebab yang memungkinkan puteranda hari ini menjadi Kaisar
Kerajaan Sung Utara, bukan lain adalah karena kebodohan kaisar terakhir
dari Kerajaan Cao! Puteranda harus dapat belajar dari sejarah, harus
dapat mengenal kelemahan bekas lawan agar diri sendiri jangan sampai
mengulangi kebodohan dan kelemahan bekas lawan itu. Kaisar terakhir dari
Cou telah begitu bodoh untuk menyerahkan tahta kerajaan kepada
puteranya yang masih kecil untuk menggantikan kedudukannya. Kebodohan
itulah yang memungkinkan puteranda berhasil menduduki tahta kerajaan.
Tak mungkin sekarang puteranda akan mengulangi kebodohan seperti itu.”
Inilah ucapan ibu suri yang sudah berada di ambang kematian itu. Kaisar
tertegun dan termenung. Terbayanglah ia akan sejarah Lima Wangsa yang
telah lalu. Setelah Kerajaan Tang roboh oleh pemberontak, lahirlah
Kerajaan Liang yang hanya bertahan selama tujuh belas tahun. Segera
digulingkan oleh seorang panglima perang lain yang mendirikan Kerajaan
Tang Muda yang lebih pendek lagi umurnya, hanya empat belas tahun.
Kemudian diganti oleh Kerajaan Cin Muda, hanya dua belas tahun umurnya.
Kerajaan ke empat yang menggantikannya adalah Kerajaan Han Muda,
kerajaan ini malah hanya empat tahun umurnya dan kemudian sekali,
lahirlah Kerajaan Cao yang bertahan hanya sepuluh tahun lamanya.
Demikianlah sedikit sejarah tentang Lima Wangsa yang terbayang di dalam
ingatan Kaisar Sung Thai Cu. Semua kaisar dari Lima Wangsa itu adalah
panglima-panglima perang belaka, yang memperebutkan kedudukan dan
saling menggulingkan.
Memang tepat ucapan ibunya. Kaisar
terakhir dari Kerajaan Cao telah menyerahkan kedudukannya kepada
puteranya yang masih kecil, di bawah pimpinan ibu tiri. Itulah yang
memungkinkan dia, dahulu masih Jenderal Cao Kwan Yin, melakukan
pemberontakan dan merampas singgasana. Pengalamannya ini pula yang
membuat Cao Kwan Yin setelah menjadi Kaisar Sung Thai Cu, selalu gelisah
dan menyindirkan keadaannya kepada para panglimanya. Karena
sesungguhnya, pemberontakan itu terjadi karena dia “terpaksa” pula.
Pada pagi hari, para panglima membangunkannya dari tidur dan
“memaksanya” mengenakan pakaian kuning, pakaian raja. Dia diangkat
sebagai raja atau kaisar baru dan terjadilah pemberontakan melawan
Kerajaan Cao yang dirajai seorang anak-anak itu.
Dan ini
sebabnya mengapa pangeran mahkota dari Kerajaan Sung bukan putera
kaisar, melainkan adiknya. Dan ini pula yang membuat kaisar pertama
Kerajaan Sung ini dikenal sebagai seorang kaisar bijaksana, tidak
mementingkan diri atau keturunan sendiri.
Cukup kiranya
sekelumit tentang keadaan Kerajaan Sung Utara yang mempunyai ibu kota
atau kota raja di Kai-teng (sebuah kota di Propinsi Ho-nan), dan marilah
kita meninjau keadaan Kota Raja Nan-cao di sebelah selatan yang sedang
menghadapi perayaan besar itu.
Kerajaan kecil yang wilayahnya
meliputi satu propinsi ini keadaannya lebih tenteram daripada
kerajaan-kerajaan lain yang berada di seluruh negeri. Rakyatnya tunduk
kepada pimpinan dan jarang terjadi kejahatan-kejahatan yang menyolok.
Hal ini sesungguhnya adalah berkat pengaruh Agama Beng-kauw yang boleh
dibilang menguasai pimpinan kerajaan. Raja sendiri bukan hanya pemeluk
Agama Beng-kauw, akan tetapi lebih daripada itu, malah terhitung
keponakan dari ketua Beng-kauw dan juga amat tekun serta aktip dalam
memajukan agama ini. Ketua Beng-kauw sendiri atau disebut kauwcu (ketua
agama) mempunyai kedudukan tinggi di dalam istana karena dia menjadi
koksu (guru atau penasehat negara). Ketua Beng-kauw bernama Liu Mo, adik
dari mendiang Pat-jiu Sin-ong (Raja Sakti Lengan Delapan) Liu Gan yang
sudah meninggal dunia seribu hari yang lalu dan yang akan diperingati
kematiannya tak lama lagi. Seperti juga mendiang kakaknya, Liu Mo ini
memiliki kesaktian dan boleh dibilang untuk waktu itu, ia adalah tokoh
nomor satu di Nan-cao, dihormati oleh raja sendiri dan ditakuti oleh
semua orang.
Usia Liu Mo sudah amat tua, tak seorang pun di
Nan-cao dapat mengetahui berapa tuanya, akan tetapi tubuhnya masih
kelihatan sehat dan wajahnya masih segar dan penuh semangat, biarpun ia
terkenal sebagai seorang yang pendiam dan hanya bicara seperlunya saja.
Ada yang mengatakan bahwa usianya tentu lebih dari seratus tahun. Tak
seorang pun dapat membuktikan kebenaran atau kebohongan kata-kata ini.
Akan tetapi Liu Mo tidak peduli akan usianya dan buktinya, ia mempunyai
empat orang isteri yang cantik-cantik! Hanya seorang di antara
isteri-isterinya, yang paling tua, mempunyai anak seorang, Liu Hwee,
anak perempuan tunggal ini telah menjadi seorang gadis remaja yang
cantik jelita dan mewarisi kepandaian ayahnya. Selain terkenal akan
kecantikan dan kelihaiannya, juga Lie Hwee ini tidak kalah semangatnya.
Untuk memperkuat kedudukan ayahnya dan juga menjaga keamanan di
istana, Liu Hwee telah membentuk sepasukan pengawal wanita yang terdiri
daripada seratus orang gadis-gadis muda dan cantik, yang kesemuanya
telah ia latih ilmu silat, ilmu pedang, ilmu panah dan menunggang kuda!
Kerajaan-kerajaan tetangga juga tidak ada yang berani mengganggu
Nan-cao. Puluhan tahun yang lalu, beberapa buah negara kerajaan tetangga
pernah mencoba untuk memusuhi kerajaan kecil ini, namun mereka kena
gigit buah masam. Nan-cao yang ketika itu dipimpin oleh Pat-jiu Sin-ong
Liu Gan sebagai ketua Beng-kauw dan koksu, melakukan perlawanan dan para
penyerbu itu dipukul hancur. Semenjak itu, tidak ada yang berani
mencoba-coba lagi dan Nan-cao di bawah sinar gemilang Agama Beng-kauw
dipandang sebagai negara kecil yang kuat.
Mendiang Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan sebetulnya adalah tokoh pertama yang membawa masuk Agama
Beng-kauw ini dari daerah barat. Dia memang keluarga kerajaan, seorang
pangeran yang lebih suka mengejar ilmu daripada mengejar kemuliaan dan
kedudukan. Puluhan tahun ia menghilang ke barat dan setelah kembali, ia
telah menjadi seorang pendeta atau ahli Agama Beng-kauw dan memasukkan
agama ini ke dalam negerinya. Tentu saja pada permulaannya ia
ditentang, akan tetapi segera para penentangnya itu roboh seorang demi
seorang oleh kesaktiannya yang hebat. Akhirnya ia terkenal sebagai
tokoh paling sakti di Nan-cao dan agamanya diterima, ia menjadi kauwcu
(ketua agama) dan sekaligus diangkat menjadi koksu oleh raja yang masih
keponakannya sendiri.
Pernah diceritakan sedikit dalam cerita
ini tentang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Seperti juga adiknya, mendiang Liu
Gan ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang juga amat sakti dan
terkenal dengan julukannya, Tok-siauw-kui (Setan Cilik Beracun).
Namanya Liu Lu Sian, cantik jelita, liar dan ganas. Hampir tiga puluh
tahun yang lalu, ketika Tok-siauw-kui Lio Lu Sian masih seorang gadis
remaja berusia dua puluh tahun, cantik jelita dan lihai, ia terlibat
dalam cinta asmara dengan Kam Si Ek, seorang panglima yang muda dan
gagah perkasa dan yang bertugas di Shan-si.
Mula-mula Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan tidak setuju akan pilihan puterinya, karena ia selalu
bermimpikan seorang mantu raja. Akan tetapi karena Liu Lu Sian keras
hati dan nekat, akhirnya ayahnya mengalah dan menikahlah Liu Lu Sian
dengan Kam Si Ek. Tentu saja hal ini menggegerkan dunia kang-ouw. Nama
Tok-siauw-kui amat terkenal, banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang
tergila-gila kepadanya. Bagaimana sekarang memilih suami seorang
seperti Kam Si Ek, seorang jenderal yang kepandaiannya tidak banyak
artinya?
Namun tak seorang pun berani menyatakan kekecewaan
mereka secara berterang, apalagi menentangnya. Dengan bantuan isterinya
yang memiliki kepandaian jauh melebihinya, Kam Si Ek mendapat kemajuan
dalam tugasnya. Dalam memukul mundur suku bangsa Khitan, berkali-kali
isterinya ini memberikan bantuan. Agaknya kehidupan mereka penuh
bahagia, saling mencinta.
Akan tetapi, siapa saja yang mengira
bahwa kesenangan atau kesusahan duniawi ini kekal abadi, dia akan
kecewa. Susah senang hanyalah permainan perasaan belaka dan semua
“permainan” ini tidaklah kekal adanya. Demikian pun dengan hidup. Susah
senang tergantung yang menjalani dan yang merasakannya berdasarkan
penerimaannya sendiri. Baik buruknya keadaan rumah tangga, tergantung
daripada si suami dan isteri sendiri karena rumah tangga ibarat bangunan
yang dibangun oleh suami isteri. Pembangunan yang gawat ini
membutuhkan pencurahan segala kemampuan yang ada, membutuhkan pengertian
dan kesabaran agar bangunan yang dibangun itu menjadi kokoh kuat, tak
lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan, bagaikan batu karang nan kokoh,
kuat menahan hantaman ombak samudera kehidupan. Sebaliknya, kalau
suami isteri membangun benteng rumah tangganya secara “sambil lalu”
saja, hanya dengan kegairahan dan semangat pada permulaannya saja, buta
oleh nafsu yang selalu dibakar oleh renungan yang muluk-muluk dan
indah-indah namun segera padam oleh kenyataan yang kadang-kadang
berlawanan dengan renungan muluk, maka rumah tangganya, umpama batu
karang, bukanlah batu karang yang kokoh kuat. Rumah tangganya akan mudah
pecah, seperti batu karang pasir yang mudah digerogoti air laut
sehingga bolong-bolong kemudian pecah, hancur berantakan!
Alangkah bahagianya suami isteri yang membentuk rumah tangganya dengan
berhasil tadi. Ada suka dinikmati bersama, ada duka dipikul berdua. Suka
dibagi makin bertambah duka dibagi serasa ringan. Suka si isteri suka
si suami, duka si suami duka isteri. Kalau sudah begini, barulah rumah
tangga bahagia namanya dan dari rumah tangga inilah lahirnya anak-anak
yang baik, calon-calon manusia yang jiwanya berlandaskan cinta kasih
penuh pengorbanan.
Sayang tidak demikian dengan Jenderal Kam Si
Ek dan Liu Lu Sian. Dua orang ini saling mencinta, saling tergila-gila.
Hal yang lumrah, Kam Si Ek seorang pemuda tampan dan gagah perkasa,
perempuan mana yang takkan tergila-gila? Sebaliknya, Liu Lu Sian
terkenal cantik jelita dan lihai, pemuda mana takkan tergila-gila?
Inilah yang disebut cinta buta, cinta nafsu, cinta yang berdasarkan
kecantikan atau ketampanan muka, berdasarkan nafsu berahi yang timbul di
kala orang menyaksikan keindahan muka dan tubuh lain jenis. Dan cinta
yang dibutakan oleh nafsu ini, seperti menjadi sifat nafsu sendiri,
dikobar-kobarkan oleh renungan muluk-muluk, kemudian padam kalau sudah
menjadi kenyataan. Jika nafsu masih menyala, berkobar-kobar oleh
renungan muluk dan indah, yang tampak hanya yang indah-indah saja,
seperti api yang berkobar selalu indah dipandang, kalau tangan sudah
tersentuh hangus baru sadar bahwa di balik yang indah itu belum tentu
menyenangkan! Dalam buaian cinta nafsu, segala yang tampak pada diri si
dia hanya indah semata, segi buruknya tersembunyi atau disembunyikan,
tak tampak atau sengaja tidak dilihat. Kalau tujuan cinta nafsu sudah
tercapai dalam pernikahan, baru tampak segi-segi buruknya dan kagetlah
si perenung, ngerilah si korban cinta nafsu. Inilah yang disebut cinta
buta, sebetulnya cinta nafsu yang membuat mata orang menjadi buta! Bumi
langit bedanya dengan cinta murni, cinta dengan mata melek yang melihat
kebaikan, juga keburukan daripada yang dicinta, biar baik biar buruk
tetap dicinta dan berusaha memperbaiki segala keburukan yang dicinta.
Inilah cinta, siap sedia berkorban, demi kebahagiaan yang dicinta,
bukan semata cinta karena cantik atau tampan. Melihat setangkai kembang
mawar harum, tangan memetik hidung menciumi, membelai-belai, kemudian si
kembang layu dan si pemetik membuangnya jijik. Inilah sifat cinta
nafsu, cinta buta, cinta berahi!
Setelah Liu Lu Sian melahirkan
seorang putera, mulailah cinta kasih di antara mereka melayu, seperti
kembang mawar tadi. Timbul percekcokan-percekcokan kecil yang segera
berkembang menjadi percekcokan besar. Dan kalau suami isteri sudah
cekcok, lenyaplah segala yang indah-indah, hanya yang buruk-buruk saja
tampak. Isteri secantik bidadari berubah seperti kuntilanak, suami
tampan dan menyenangkan berubah menjadi keledai yang menjijikkan.
Lenyaplah cinta, pergi tanpa bekas. Pergi? Bukan, melainkan pian-hoa
(malih rupa) menjadi benci! Memang, cinta dan benci saudara kembar,
bersifat Im dan Yang!
Memang pada dasarnya, watak kedua orang
ini jauh berbeda. Liu Lu Sian terlalu lama, semenjak kanak-kanak,
berkecimpung di dunia kang-ouw dan bergaul dengan tokoh-tokoh dunia
hitam. Malah ia sendiri memiliki watak liar dan ganas, sampai-sampai
mendapat julukan Setan Cilik Beracun. Sebaliknya, Kam Si Ek adalah
seorang berdarah pendekar, berdarah patriot dan semenjak kecil hanya
melihat perbuatan-perbuatan gagah perkasa, mendengar hal-hal yang
menentang kejahatan. Inilah pokok pangkal pertentangan rumah tangga
mereka. Memang sesungguhnyalah, persesuaian watak jadi lebih penting
dalam pembangunan rumah tangga daripada cinta nafsu yang membuta.
Percekcokan antara Kam Si Ek dan isterinya, berlarut-larut dan berakhir
dengan lolosnya Liu Lu Sian dari rumah suaminya. Wanita ini rela
meninggalkan suami dan putera, demi untuk kebebasan dirinya. Wanita yang
sebelum menikah hidup bebas lepas seperti seekor kuda liar di lereng
bukit itu, merasa seperti diikat hidungnya oleh kendali pernikahan,
seperti terkurung oleh kandang sempit berupa rumah tangga. Sekarang
setelah minggat dari rumah suaminya ia bebas lepas seperti seekor kuda
liar lagi, terasa bahagia sekali, lupa akan putera tunggalnya yang
dikandungnya selama sembilan bulan dan yang ia lahirkan dengan taruhan
nyawa.
Seperti telah kita ketahui di bagian depan, putera yang
ditinggalkan itu adalah Kam Bu Song yang dicari-cari oleh ketiga orang
adiknya sehingga terjadi cerita ini. Dan semenjak itu, orang tidak
mendengar lagi nama Liu Lu Sian. Akan tetapi, Kam Si Ek menikah lagi dan
seperti yang kita ketahui, dari isteri baru ini mendapat anak Kam Bu
Sin dan Kam Sian Eng.
Setelah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan meninggal
dunia, tiga tahun yang lalu, maka kedudukan ketua Beng-kauw dan
sekaligus Koksu Kerajaan Nan-cao jatuh ke tangan adiknya, Liu Mo yang
dalam hal kesaktian hampir menyamai kelihaian kakaknya. Sesungguhnya,
Liu Mo malah lebih tekun daripada kakaknya dalam hal kebatinan dan
wataknya tidaklah sekeras dan seaneh mendiang Liu Gan. Kalau Liu Gan di
waktu hidupnya seakan-akan tidak peduli lagi kepada puterinya yang telah
menikah dengan Kam Si Ek adalah Liu Mo setelah menjadi ketua Beng-kauw,
berusaha untuk mencari keponakannya itu.
Demikianlah keadaan
para tokoh pimpinan Beng-kauw yang juga merupakan tokoh paling
berpengaruh di Nan-cao. Pada waktu itu, seluruh Kota Raja Nan-cao sudah
siap menyambut datangnya hari besar untuk merayakan ulang tahun Agama
Beng-kauw dan juga sekaligus memperingati seribu hari wafatnya Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan.
Bangunan-bangunan besar dan bangunan-bangunan
darurat disediakan untuk tempat penginapan para tamu agung dari seluruh
pelosok. Kerajaan Nan-cao adalah sebuah kerajaan kecil namun kaya raya
dan kuat, sedangkan Agama Beng-kauw adalah agama yang dipimpin oleh
tokoh besar dan di situ terdapat banyak ahli-ahli yang ternama di dunia
kang-ouw. Maka perayaan ini tentu akan dihadiri oleh utusan-utusan
kerajaan lain, juga oleh tokoh-tokoh dunia kang-ouw serta partai-partai
persilatan besar.
Di depan pintu gerbang dibangun sebuah gedung
penerimaan tamu. Semua tamu dipersilakan memasuki gedung ini untuk
diadakan penyambutan kemudian diatur pembagian tempat penginapan di
lingkungan istana. Bukan pengawal-pengawal biasa yang ditugaskan untuk
melakukan penyambutan ini, melainkan tokoh-tokoh Nan-cao yang cukup
penting.
Sebagai kepala rombongan menyambut bagian pria adalah
Kauw Bian Cinjin, seorang pendeta Beng-kauw yang tinggi kedudukannya,
masih sute sendiri dari ketua Beng-kauw. Pakaian Kauw Bian Cinjin
sederhana sekali, dari mori putih yang mangkak, potongannya lebar dan
terlalu besar, rambutnya yang panjang digelung ke atas dan diikat dengan
tali serat, sepatunya dari rumput, di punggungnya tampak sebuah topi
caping lebar yang tergantung dari leher. Ujung sebatang cambuk
tersembul dari bawah caping. Cambuk ini adalah cambuk tukang gembala
kerbau, kelihatannya cambuk biasa, akan tetapi sesungguhnya ini adalah
sebatang cambuk sakti yang amat ampuh, senjata yang paling diandalkan
pendeta Beng-kauw itu, sederhana sekali kelihatannya kakek ini, namun di
dalam kesederhanaannya tersembunyi kekuatan dan wibawa yang besar.
Dalam tugasnya sebagai penyambut tamu pria, Kam Bian Cinjin dibantu oleh
beberapa orang tokoh Beng-kauw lainnya.
Adapun penyambut tamu
wanita dilakukan oleh serombongan penyambut wanita yang dikepalai oleh
seorang gadis yang cantik dan kelihatan gagah perkasa dengan gerak-gerik
gesit sekali. Gadis itu bertubuh langsing padat rambutnya dibungkus
saputangan lebar berwarna merah, pakaiannya dari sutera halus akan
tetapi ada keanehan pada pakaian gadis cantik ini. Potongan bajunya
biasa saja, akan tetapi warna lengan bajunya berbeda, yang kiri hitam
yang kanan putih! Juga sepasang sepatunya berlainan warna, satu hitam
dan satu putih. Benar-benar warna pakaian yang aneh sekali, dan yang
mengherankan orang, warna berlawanan ini sama sekali tidak mendatangkan
pemandangan janggal, malah menambah keluwesan gadis itu! Memang betul
kata orang bahwa wanita cantik memakai apa pun juga tetap tampak cantik
menarik. Pada pinggang yang kecil ramping itu terlibat tali hitam kecil
yang aneh bentuknya, dan di kanan kiri pinggang, pada ujung tali-tali
itu, tergantung dua butir bola baja berkembang totol-totol. Sepintas
pandang orang akan menyangka bahwa yang berbelit-belit pada pinggang itu
tentulah sebatang ikat pinggang atau hiasan yang aneh. Padahal
sebetulnya bukan demikian. Benda itu adalah senjata ampuh dari Si Gadis
manis merupakan sepasang cambuk lemas yang ujungnya terdapat bola-bola
itu. Dan kalau Si Gadis manis sudah mainkan senjata sepasang ini, jarang
ia menemui lawan karena dia bukan lain adalah Liu Hwee, puteri tunggal
ketua Beng-kauw!
Banyak sudah tamu-tamu yang datang biarpun
pesta itu baru akan dimulai tiga hari kemudian. Setiap orang tamu tentu
membawa barang sumbangan berupa tanda mata yang serba indah. Harus
diketahui bahwa para undangan itu merupakan tokoh-tokoh besar, malah
semua kerajaan di seluruh negara mengirim sumbangan berupa barang-barang
indah yang mahal harganya dan jarang terdapat. Semua barang sumbangan
ini dikumpulkan dalam sebuah ruangan tersendiri, sehingga bagi para
tamu, melihat-lihat barang sumbangan ini saja sudah merupakan kesenangan
tersendiri.
Kerajaan Sung di utara yang diwakili oleh seorang
panglima tua menyumbang sepeti penuh emas permata. Petinya saja terbuat
daripada kayu cendana yang diukir indah, ukiran gambar naga dan burung
dewata! Kepala suku bangsa Khitan mengirim sumbangan berupa bulu biruang
yang hanya hidup di kutub utara, dibawa oleh seorang pembesar tinggi
bangsa Khitan. Tentu saja Hek-giam-lo mengawal utusan ini, hanya saja
tokoh hitam ini belum menampakkan diri, agaknya segan ia bertemu dengan
orang banyak dan menjadi tontonan! Kerajaan Wu-yue di pantai mengirim
bingkisan berupa mutiara-mutiara laut yang amat indah dan besar-besar,
sedangkan Kerajaan Hou-han yang diam-diam mencoba untuk mengadakan
persekutuan rahasia dengan Nan-cao guna bersama menentang Sung Utara,
mengirim sebuah kendaraan dari emas untuk ketua Beng-kauw! Seperti
halnya dengan Kerajaan Khitan, kerajaan-kerajaan lain ini juga diam-diam
diperkuat dengan jagoan masing-masing. Wu-yue dikawal oleh It-gan
Kai-ong sedangkan Kerajaan Hou-han tentu saja diam-diam dikawal oleh
Siang-mou Sin-ni.
Banyak juga di antara para tamu yang membawa
hadiah atau sumbangan yang kecil bentuknya dan tidak banyak jumlahnya,
menanti sampai hari pesta tiba agar dapat menyerahkan bingkisan di depan
Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) sendiri sambil mengucapkan selamat. Di
antara mereka ini termasuk Lui-kong-sian Suma Boan, putera pangeran dari
kota An-sui itu. Biarpun ia termasuk seorang tokoh, seorang putera
pangeran Kerajaan Sung Utara, namun ia tidak mewakili kaisar, melainkan
datang atas namanya sendiri. Suma Boan seorang tokoh yang populer,
banyak hubungannya, maka ia pun kebagian undangan dari Beng-kauw. Di
samping Suma Boan, banyak pula tokoh-tokoh besar yang karena miskin,
maka mereka ini pun membawa sumbangan “kecil” sehingga belum pula mereka
serahkan, menanti saat munculnya Beng-kauwcu sendiri.
Seperti
dapat kita ketahui dari pertemuan yang lalu, di antara para tokoh besar
persilatan terdapat pertentangan-pertentangan, bukan hanya karena
urusan pribadi melainkan juga karena urusan kerajaan yang mereka bela.
Akan tetapi sebagai tamu daripada Beng-kauw, mereka ini diperlakukan
sama rata dan mereka pun menghormati Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao,
maka tidak ada yang memperlihatkan sikap bermusuhan secara berterang
satu kepada yang lain agar tidak menjadi pengacau dalam perayaan di
negara orang lain.
Betapapun juga, karena memang di dalam hati
sudah mengandung kebencian satu kepada yang lain, tak dapat dicegah
timbulnya peristiwa-peristiwa menegangkan di kala dua orang atau dua
golongan bertemu muka di mana terjadi saling mengejek dan saling
menyindir. Akan tetapi, seperti telah diterangkan tadi, karena mereka
memandang muka Beng-kauw dan Kerajaan Nan-cao sebagai tuan rumah, mereka
menekan kemarahan dan saling menantang untuk membereskan urusan melalui
kepalan tangan nanti setelah keluar dari Nan-cao!
Pada hari
yang ditentukan. Ibu Kota Nan-cao sudah dihias dengan amat indahnya.
Suasana pesta tidak saja menonjol di istana, yang menjadi pusat
perayaan, akan tetapi juga di jalan-jalan yang bersih dan tidak tampak
orang bekerja seperti biasa, tampak pada wajah semua penduduk yang
terhias senyum, pada pintu-pintu rumah yang ditempeli kertas-kertas
berwarna, terutama merah, pada lampu-lampu beraneka ragam yang menjadi
lambang Terang, sifat daripada Agama Beng-kauw.
Di istana
sendiri, para tamu sudah keluar pagi-pagi dari pesanggrahan atau gedung
penginapan para tamu, berkumpul di ruangan besar di depan istana yang
dapat menampung ribuan orang tamu. Raja Nan-cao sendiri bersama para
pengiringnya telah hadir, duduk di tempat kehormatan, wajah raja yang
sudah berusia lima puluh tahun ini berseri-seri, tampak bangga sekali
karena memang patut dibanggakan Kerajaan Nan-cao yang kecil itu ternyata
menerima banyak wakil negara lain yang membuktikan bahwa Nan-cao adalah
sebuah kerajaan yang terpandang tinggi.
Di sebelah kanan raja
ini duduklah seorang kakek yang tinggi tegap, wajahnya tampan terhias
keriput-keriput yang dalam, akan tetapi sepasang matanya masih tajam dan
berpengaruh, sikapnya ketika duduk tampak agung, tidak kalah oleh raja
yang duduk di sampingnya, duduknya tegak dan wajahnya yang agak
tersenyum itu jarang bergerak, tidak menoleh ke kanan kiri seperti
wajah patung dewa. Pakaiannya serba kuning sederhana, tangan kirinya
memegang sebatang tongkat yang pada gagangnya nampak sebuah bola putih
yang mengeluarkan sinar, di depan jidatnya yang terbungkus ikat kepala
pendeta itu terdapat sebuah mutiara yang bersinar-sinar seperti
menyala. Bagi yang mengenal benda-benda bersinar ini tentu tahu bahwa
itu adalah sebangsa ya-beng-cu (batu mustika yang bersinar di waktu
malam) yang amat besar dan tak ternilai harganya. Dua perhiasan pada
jidat dan gagang tongkat ini sama sekali bukan tanda kemewahan,
melainkan sebagai tanda bahwa dia itu adalah ketua Beng-kauw, atau Agama
Terang. Kakek inilah Beng-kauwcu Liu Mo yang tak pernah muncul di dunia
kang-ouw dan jarang dapat ditemui orang, namun yang namanya cukup
terkenal karena kakek ini adalah adik Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang amat
sakti.
Ruangan tamu telah penuh tamu, akan tetapi di bagian tamu
kehormatan, masih terdapat banyak kursi kosong. Di bagian tamu
kehormatan ini tampak wakil-wakil dari Kun-lun-pai, Siauw-lim-pai,
Bu-tong-pai, Go-bi-pai dan beberapa perkumpulan persilatan besar
lainnya. Akan tetapi di antara Thian-te Liok-koai si Enam Iblis dari
Dunia, hanya kelihatan Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, dan It-gan
Kai-ong saja. Yang tiga lagi belum kelihatan batang hidungnya sehingga
semua tokoh di situ dengan hati berdebar-debar menanti untuk dapat
menyaksikan bagaimana macamnya iblis-iblis dunia yang jahat dan
terkenal itu selengkapnya. Banyak di antara mereka yang sudah pernah
melihat Toat-beng Koai-jin, akan tetapi jarang yang sudah melihat
Hek-giam-lo dan lebih jarang lagi yang pernah bertemu dengan
Cui-beng-kui si Setan Pengejar Roh! Biarpun kini di antara yang enam itu
baru hadir tiga tokoh iblis, namun cukup mendatangkan rasa ngeri di
hati para tamu. Tok-sim Lo-tong cukup mengerikan dengan tubuhnya yang
tinggi kurus hampir telanjang, It-gan Kai-ong lebih menjijikkan lagi
mukanya sedangkan Siang-mou Sin-ni biarpun cantik manis dan sedap
dipandang, namun sinar matanya, tarikan senyum manis bibirnya, dan
sikapnya membuat para tamu meremang bulu tengkuknya, apalagi kalau
diingat betapa bibir yang merah basah dan manis itu kabarnya entah sudah
berapa banyak menyedot darah dari leher seorang korban sampai korban
itu mati lemas kehabisan darah!
Seakan-akan tiada habisnya para
tamu berantri menyerahkan sumbangan mereka di depan ketua Beng-kauw dan
Raja Nan-cao sehingga barang sumbangan yang sudah bertumpuk-tumpuk itu
menjadi makin banyak saja. Juga para tamu yang baru tiba membanjiri
ruangan itu, diterima oleh Kauw Bian Cinjin dan Liu Hwee yang
membagi-bagi tempat duduk sesuai dengan tingkat dan kedudukan mereka.
Liu Hwee yang bertugas menerima tamu wanita, memandang kagum kepada Lin
Lin yang datang bersama Lie Bok Liong. Bok Liong disambut oleh Kauw
Bian Cinjin sedangkan Lin Lin disambut oleh Liu Hwee dengan ramah.
Karena Lie Hwee belum mengenal Lin Lin, maka ia bingung untuk memberi
tempat duduk golongan mana kepada dara muda yang kelihatan gagah ini.
Akan tetapi sambil tertawa Lin Lin berkata, “Enci yang baik, tak usah
repot-repot, aku bukanlah tamu undangan. Kedatanganku ini hanya untuk
mencari saudara-saudaraku dan....” tiba-tiba matanya memandang ke dalam
dan wajahnya berseri-seri, lalu disambungnya kata-kata yang terputus
tadi, “Nah, itu dia.... merekalah yang kucari....”
Tanpa
mempedulikan para penyambut lagi, juga tidak peduli lagi kepada Bok
Liong, Lin Lin terus saja menerobos masuk dan dengan langkah lebar ia
menuju ke deretan kursi tamu kehormatan di mana terdapat Suling Emas
dan Sian Eng! Tentu saja sikap Lin Lin yang lancang dan “blusukan” tanpa
aturan ini menarik perhatian para tamu. Bahkan Beng-kauwcu Liu Mo
sendiri menoleh kepada Suling Emas yang duduk tak jauh dari situ.
Tampak Suling Emas menggerak-gerakkan bibir seperti berbisik-bisik
kepada ketua Beng-kauw itu. Sementara itu, Sian Eng sudah menyambut
adiknya dan mereka berpelukan sambil bercakap-cakap. Kemudian Suling
Emas berkata lirih.
“Lin Lin, harap tahu aturan sedikit. Beri hormat kepada Sri Baginda dan Ketua Beng-kauw!”
Sian Eng yang lebih mengenal aturan daripada Lin Lin, segera menarik
tangan adiknya itu, memberi hormat kepada Raja Nan-cao dan Beng-kauwcu
yang diterima oleh mereka dengan sikap manis namun dingin. Lin Lin
mengerling ke arah kakek berjubah kuning itu, terpesona oleh mutiara di
jidat dan gagang tongkat. Ia melangkah maju, memandang teliti dan
bertanya.
“Kauwcu, apakah ini yang disebut orang ya-beng-cu?”
Sian Eng hendak mencegah namun sudah terlambat dan ia memandang
khawatir. Suling Emas menundukkan mukanya yang berubah merah, entah
marah entah malu. Sejenak Beng-kauwcu Liu Mo tertegun, dan Raja Nan-cao
yang duduk di sebelah kirinya menahan gelak tawa. Ketua agama itu yang
mengharap agar gadis ini menjadi puas dan segera mengundurkan diri,
mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Lin Lin tadi. Akan tetapi
ternyata Lin Lin tidak segera mundur, malah menjadi makin berani.
“Kauwcu, bagus sekali ya-beng-cu itu, ya, dan besar, pula terang. Wah,
senang ya punya mustika seperti itu? Kalau masuk ke tempat gelap tidak
usah membawa lampu!”
Raja Nan-cao tidak dapat menahan
ketawanya. “Ha-ha, berdekatan dengan dara seperti ini, hidup akan lebih
panjang. Nona, kalau kau suka berjanji selamanya akan berada di sini,
kami suka memberi hadiah beberapa butir ya-beng-cu kepadamu.”
Wajah Lin Lin berseri, akan tetapi keningnya lalu berkerut. “Wah, senang sekali.... tapi, selamanya di sini? Tidak mungkin!”
“Lin Lin, jangan kurang ajar. Mundur kau!” Suling Emas membentak lirih.
Lin Lin menengok kepadanya, cemberut dan meruncingkan mulut mengejek,
lalu menjura kepada Raja Nan-cao dan Ketua Beng-kauw.
“Terima
kasih atas keramahan Ji-wi (Kalian Berdua)!” Ia lalu melangkah lebar
mendekati Suling Emas, duduk di sampingnya dan menghujani dengan
pertanyaan-pertanyaan.
“Bagaimana kau bisa bertemu dengan Enci
Eng? Mengapa kau membiarkan saja aku diculik orang? Kau tahu, aku hampir
dipanggang hidup-hidup dan dagingku yang setengah matang dimakan, tahu?
Hiiihhhhh, hampir aku mengalami bencana paling hebat. Bayangkan saja,
dibakar hidup-hidup dan kau enak saja jalan-jalan bersama Enci Eng....”
“Hush, Lin-moi! Omongan apa itu? Kau tidak tahu, aku dan Taihiap
sendiri hampir tertimpa bencana. Jangan sembarangan kau menyalahkan
orang lain.”
Lin Lin menatap wajah Suling Emas yang tidak
menengok kepadanya. “Betulkah? Ah, kalau begitu maaf, ya? Sri Baginda
dan Kauwcu di sini amat baik dan aneh. Apakah kau banyak tahu tentang
mereka? Ingin aku mendengar cerita tentang Beng-kauw, agama apakah itu?”
“Sssttt, kau lihat. Banyak tamu memandang kita. Bukan waktunya bicara.
Kaulihat dia itu, Siang-mou Sin-ni, tapi mana kakakmu Bu Sin?”
Lin Lin teringat akan kakaknya, menengok. Sejenak ia menatap wajah
cantik yang namanya amat terkenal sebagai seorang di antara Liok-koai
dan ia tercengang. Wanita begitu cantik jelita, rambutnya hitam panjang,
biarpun bebas riap-riapan namun harus diakui amat indah, malah
menonjolkan kecantikan aseli. Wanita seperti itu disebut iblis jahat?
Dan diakah yang menahan kakaknya, Bu Sin?
“Aku akan tanya
kepadanya!” Lin Lin sudah bangkit dari kursinya, hendak langsung
menghampiri Siang-mou Sin-ni dan bertanya terang-terangan tentang
kakaknya. Melihat ini, Suling Emas menggerakkan tangannya, memberi
isyarat kepada Sian Eng. Sian Eng maklum dan cepat ia pun berdiri dan
menyambar lengan adiknya, terus ditarik dekat dan diajak duduk di kursi
sebelahnya.
“Lin Lin, jangan bikin kacau. Kita ini tamu, malah
tamu yang tidak diundang. Kita harus menghormati tuan rumah yang begitu
ramah. Kalau kau bikin ribut, kan memalukan sekali? Biarlah kita
serahkan kepada Taihiap. Pula, wanita itu lihai bukan main, jangan kau
berlaku sembrono.”
Lin Lin dapat dibujuk dan mereka saling
menceritakan pengalaman masing-masing semenjak berpisah. Tentu saja Sian
Eng tetap merahasiakan perasaan hatinya terhadap Suma Boan. Ia hanya
menceritakan bahwa Suma Boan mengajaknya ke Nan-cao karena di tempat ini
tentu akan muncul kakaknya, yaitu Kam Bu Song!
Lin Lin gembira
sekali. “Betulkah itu? Wah, kalau begini hebat! Dia....” ia mengerling
ke arah Suling Emas, “dia ini berjanji akan mencarikan musuh besar kita
di sini. Kalau betul di sini kita bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song,
berarti sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat. Apalagi kalau Kakak Bu
Sin selamat dan dapat muncul pula. Alangkah baiknya.”
“Karena
itu, kita menanti gerakan Taihiap, jangan bertindak sendiri secara
sembrono. Jangan-jangan malah akan menggagalkan semuanya.”
Pada
saat itu, dari luar terdengar suara orang tertawa dan Kauw Bian Cinjin
muncul mengiringkan seorang kakek pendek yang menimbulkan tertawa itu.
Kiranya dia ini adalah Gan-lopek, kakek lucu itu. Tidak hanya tingkah
lakunya dan sikapnya yang lucu, akan tetapi yang membuat para tamu
tertawa adalah benda yang dibawanya. Ia membawa sebuah pigura, akan
tetapi bukanlah lukisan yang berada di atas kain putih, melainkan kain
putih yang kosong. Akan tetapi mulutnya tiada hentinya mengoceh. “Aku
membawa sumbangan terindah untuk Beng-kauwcu. Lukisan terindah tiada
bandingnya di seluruh dunia!” Sambil berkata demikian ia
mengacung-acungkan pigura itu di tangan kanan dan sepoci tinta bak hitam
di tangan kiri.
Kauw Bian Cinjin agaknya mengenal tokoh ini,
maka biarpun kakek pendek itu kelihatannya malah tidak normal otaknya,
ia menyambut penuh kehormatan malah ia antarkan sendiri sampai di
ruangan tengah, baru ia tinggalkan keluar pula.
Sambil tertawa
ha-hah-he-heh Empek Gan menoleh ke kanan kiri, mengangguk-angguk kepada
para tamu seperti tingkahnya seorang pembesar yang memasuki ruangan di
mana para hadirin menghormatinya, kemudian ia melangkah langsung ke
hadapan Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao.
Akan tetapi ia tidak
segera maju memberi hormat, melainkan menengok ke kanan kiri dengan
sinar mata mencari-cari. Sikapnya yang seperti orang tolol ini memancing
gelak tawa para tamu muda. Akan tetapi Gan-lopek tidak peduli, lalu ia
mengomel.
“Di mana sih ditaruhnya meja sembahyang? Paling
penting aku harus menghormat abu jenazah Pat-jiu Sin-ong, mendiang
orang tua yang hebat itu!”
Mendengar ini, terdengar Liu Mo ketua
Beng-kauw berkata lembut, “Gan-sicu, hari ini sengaja kami merayakan
ulang tahun Beng-kauw, untuk penghormatan abu mendiang Pat-jiu Sin-ong
baru dilakukan besok di dalam kuli istana.”
“Ohhhhh, begitukah?
Tidak apalah. Nah, Beng-kauwcu dan Baginda Raja Nan-cao, perkenankan aku
orang she Gan yang bodoh ikut mengucapkan selamat kepada Beng-kauw dan
aku orang she Gan yang miskin hanya dapat memberi hadiah lukisan yang
akan kubuat sekarang juga.”
“Gan-sicu, keahlianmu melukis
terkenal di seluruh jagat. Lukisanmu merupakan hadiah yang tak ternilai
harganya. Akan tetapi, kau membikin kami menjadi tidak enak, karena
membikin kau repot saja,” kata Beng-kauwcu tanpa mengubah air mukanya.
Akan tetapi Raja Nan-cao, seorang yang amat suka akan kesenian,
terutama seni sastra, sajak dan lukis. Dengan wajah berseri segera
berkata, “Silakan.... silakan....”
Empek Gan tanpa banyak
sungkan lagi lalu merentang kain putih itu di atas lantai, kemudian ia
memasukkan jari-jari tangan kanannya ke dalam poci terisi tinta bak
yang hitam kental. Ketika ia mencabut kembali jari tangannya, tentu saja
tangan kanan itu hitam semua. Tiba-tiba ia memasang kuda-kuda dan
tubuhnya tergetar semua, matanya tajam memandang ke atas kain putih,
makin lama sepasang mata itu makin melotot lebar. Di sana-sini sudah
terdengar tamu bergelak tawa dan menganggap sikap kakek pendek itu
seperti seorang badut yang miring otaknya. Akan tetapi mereka yang sudah
mendengar nama Gan-lopek sebagai seorang sakti aneh yang pandai
melukis, menonton dengan degup jantung berdebar penuh ketegangan karena
sekarang mereka mendapat kesempatan menyaksikan orang sakti itu
mendemonstrasikan keahliannya melukis.
Empek Gan mengeluarkan
suara keras seperti harimau menggereng dan tangan kanannya menyambar ke
bawah, ke atas kain putih, kemudian jari-jari tangannya bergerak cepat
sekali, coret sana coret sini, melompat mundur dengan mata melotot,
menubruk maju lagi dan kembali jari-jari tangannya mencoret sana-sini.
Berkali-kali tangan kanannya masuk ke dalam poci terisi bak hitam, dan
berkali-kali ia melompat maju mundur. Maju untuk melukis dengan
coretan-coretan jari tangan yang digerakkan dengan tenaga sin-kang
sepenuhnya sehingga jari-jari tangan itu menggetar, melompat mundur
untuk meneliti dan memandang hasil coretannya dengan penuh perhatian.
Para tamu yaNg hanya berani menonton dari tempat duduk masing-masing,
agak jauh dari situ, tidak dapat melihat jelas. Akan tetapi para tamu
yang duduk di golongan tamu agung, lebih dekat dan karenanya mereka
dapat menikmati demonstrasi yang memang luar biasa ini. Mula-mula
coretan-coretan itu tidak dapat diduga akan berbentuk apa, akan tetapi
lambat laun mulailah tampak bentuk yang amat hidup dan indah luar
biasa dari seekor harimau! Mata harimau yang seakan-akan bergerak
hidup, mulut yang seakan-akan gemetar meringis dengan taringnya yang
runcing dan lidahnya yang menjulur ke luar. Kulitnya lorek-lorek
seakan-akan tampak bulunya. Begitu indah harimau itu, seperti seekor
binatang hidup saja, hanya bedanya tidak bernapas. Dan semua itu dibuat
hanya dengan dua warna, hitam dan putih saja dan hanya mempergunakan
jari-jari tangan. Benar-benar hasil seni yang mendekati penciptaan!
“Bagus.... indah sekali....!” Raja Nan-cao seorang penggemar lukisan
telah berseru girang berkali-kali, menahan diri untuk tidak bangkit
mendekati dan memandang lebih jelas.
Gan-lopek tiba-tiba
mengangkat poci yang kini tinggal sedikit baknya itu, lalu menuang
isinya ke dalam mulutnya seperti seorang pemabuk minum arak yang wangi!
Tentu saja hal ini menimbulkan keheranan besar, bahkan raja sendiri
sampai memandang bengong dan menahan seruan. Hanya tokoh-tokoh besar
yang termasuk orang-orang sakti, juga ketua Beng-kauw, memandang dengan
tenang.
Gan-lopek berlutut lagi menghadapi lukisannya dan kini
mulutnya menyembur-nyemburkan uap hitam ke arah gambar itu. Memang hebat
kakek lucu ini dan cara melukisnya juga istimewa. Semburan uap hitam
itu demikian tepatnya menempel pada kain putih di sebelah atas lukisan
harimau, membentuk sebuah lingkaran bulat dan biarpun hanya merupakan
titik-titik hitam di atas bulatan putih, jelas bahwa semburan itu telah
menciptakan sebuah matahari yang gemilang!
Gan-lopek kini
bangkit berdiri, wajahnya agak pucat dan napasnya agak memburu, akan
tetapi ketika ia tertawa, tak setitik pun warna hitam berada di dalam
mulutnya! Ia mengambil lukisan itu dari atas lantai, lalu
mempersembahkannya kepada Beng-kauwcu sambil berkata.
“Kauwcu yang baik, terimalah persembahanku yang tidak berharga ini!”
“Terima kasih, Gan-sicu, terima kasih,” kata Beng-kauwcu Liu Mo sambil menerima lukisan itu.
“Indah sekali, harap gantungkan di dinding agar semua orang dapat
menikmati keindahannya,” kata Raja Nan-cao dengan wajah berseri.
Beng-kauwcu memberi tanda dengan gerakan mata. Dua orang anak murid
segera maju, menerima lukisan pada dinding, agak tinggi sehingga semua
orang dapat memandang. Semua mata tertuju ke arah lukisan dan semua
mulut mengeluarkan pujian. Bahkan orang-orang yang tadi mentertawai
Gan-lopek, kini menjadi keheran-heranan. Lukisan itu merupakan seekor
harimau yang amat besar dan ganas, terbayang kekuatan yang menakutkan
dan sepasang mata yang seakan-akan mengandung pengaruh melumpuhkan
lawan. Harimau ini dalam keadaan siap menerjang maju, di bawah sinar
matahari yang gemilang menyilaukan mata. Sungguh sukar dipercaya
lukisan seindah itu dilukiskan hanya dengan coret-coret jari tangan dan
semburan mulut saja!
Selagi orang-orang mengagumi kakek aneh itu
dan lukisannya, tampak seorang pemuda melangkah maju. Dengan sikap
angkuh ia memandang kepada Empek Gan, melirik sekilas pandang ke arah
lukisan harimau, lalu ia menjura di depan Raja Nan-cao dan Ketua
Beng-kauw.
“Hamba Suma Boan mewakili keluarga Suma di An-sui.
Mengingat akan hubungan yang amat erat antara Kerajaan Nan-cao dan
kerajaan besar Sung di utara, kami keluarga Suma yang masih terhitung
keluarga Kaisar di Sung Utara, menghaturkan selamat kepada Agama
Beng-kauw, terutama kepada Beng-kauwcu dan kepada Sri Baginda dengan
harapan semoga hubungan antara selatan dan utara akan menjadi lebih erat
lagi.” Sampai di sini, Suma Boan berhenti sebentar dan banyak kepala
para tamu mengangguk-angguk sebagai tanda setuju dan kagum akan
kepandaian orang muda itu berpidato.
“Kami sekeluarga Suma di
An-sui tidak memiliki sesuatu yang amat mahal harganya, melainkan hanya
sebuah lukisan kuno yang selama puluhan tahun ini menjadi penghias rumah
kami sebagai barang pusaka, sekarang dengan hati rela kami menghaturkan
kepada Beng-kauwcu dan Sri Baginda agar menjadi kenang-kenangan.”
Dengan bangga Suma Boan membuka gulungan lukisan yang tadi dibawanya,
memperlihatkan kepada tuan rumah.
“Wah, ini lukisan pelukis besar Yen Li Pun tiga ratus tahun yang lalu!” seru Raja Nan-cao.
Sambil tersenyum Suma Boan berkata, “Sri Baginda ternyata
berpemandangan tajam sekali, dapat mengenal barang pusaka. Hal ini
menandakan bahwa Sri Baginda memiliki pengetahuan yang amat tinggi
tentang seni lukis. Untuk lukisan ini, hamba mempunyai sajak untuk
menerangkannya, mohon supaya lukisan ini digantung di tempat yang
layak.”
Kini raja sendiri yang memberi perintah kepada dua
orang pengawal untuk menggantungkan lukisan itu dan karena tempat yang
paling baik adalah di dinding yang sekarang terhias lukisan harimau
buatan Gan-lopek, terpaksa lukisan itu digantung di sebelah lukisan
Gan-lopek. Setelah digantung, barulah para tamu dapat melihat lukisan
itu dan semua orang berseru kagum. Lukisan itu melukiskan seekor kuda
yang amat indah dan gagah, kuda yang berlari cepat sehingga bulu pada
leher dan ekornya melambai-lambai indah sekali. Seakan-akan para tamu
melihat keempat kaki kuda itu bergerak lari cepat dan telinga mendengar
derap dari jauh!
Ukuran lukisan kuda ini lebih besar daripada
lukisan harimau dan biarpun cara melukis harimau itu aneh sekali, akan
tetapi dalam hal keindahan, kiranya sukar menandingi lukisan kuda ini
yang menggunakan warna aseli. Dengan gaya angkuh dan mengejek Suma Boan
mengerling ke arah Gan-lopek, lalu ia berkata.
“Perkenankan hamba mengucapkan sajak sebagai timpalan lukisan pusaka itu.”
Raja yang suka akan lukisan dan sajak, segera berseru, “Silakan, orang muda yang pintar, silakan.”
Suma Boan berdiri tegak, mengangkat dada, mengerling sejenak ke arah
Lin Lin dan Sian Eng yang duduk dekat Suling Emas, lalu mengucapkan
sajak dengan suara nyaring.
“Kuda sakti, lambang keindahan,
kegagahan, dan kecepatan! Semoga Nan-cao di bawah bimbingan Beng-kauw,
akan maju secepat larinya kuda sakti!”
“Bagus!” Raja bertepuk
tangan memuji dan banyak di antara para tamu ikut pula memuji sambil
bertepuk tangan, membuat Suma Boan makin bangga dan dadanya makin
membusung. Ketika tepuk tangan sudah mereda, tiba-tiba terdengar suara
keras dan nyaring. Semua orang menengok ke arah Gan-lopek karena tak
salah lagi pendengaran mereka, itu adalah suara.... kentut! Ada yang
sampai pucat mukanya mendengar ini, karena perbuatan Gan-lopek kali ini
benar-benar merupakan sebuah kekurangajaran yang melewati batas! Suma
Boan juga sampai pucat mukanya, bukan karena kaget melainkan karena
marah. Ia merasa dihina bahwa sajak yang dideklamasikan tadi disambut
dengan bunyi kentut oleh Gan-lopek!
“Gan-lopek, apa kau
memandang rendah kepada sajakku tadi?” Suma Boan memancing kakek itu
yang masih duduk di lantai. Kakek itu bangkit berdiri dan tersenyum
lebar. Pemuda she Suma itu memang cerdik sekali, kata-katanya sengaja
ia ucapkan untuk memancing. Sajaknya tadi merupakan pujian terhadap
Nan-cao dan Beng-kauw, maka kalau kakek pendek ini berani memandang
rendah, berarti Gan-lopek memandang rendah Nan-cao dan Beng-kauw pula
dan ia pasti akan mempergunakannya untuk menekan kakek yang menyakitkan
hatinya ini.
Gan-lopek tertawa bergelak. “Bocah, siapa memandang
rendah? Kentutku tadi hanya memperingatkan bahwa begitu kau muncul
dengan gambarmu, aku lalu dianggap seperti angin saja. Ha-ha-ha, kaulah
orangnya yang menghina Nan-cao dan Beng-kauw dengan lukisan itu!” Ia
menuding ke arah gambar kuda.
Beng-kauwcu Liu Mo memang sudah
maklum bahwa di antara para tamunya terdapat pertentangan-pertentangan,
akan tetapi ucapan Gan-lopek kali ini benar-benar membuat ia tidak
mengerti.
“Gan-sicu, lukisan ini adalah lukisan aseli dari
pelukis besar Yen Li Pun, merupakan pemberian yang amat bernilai, sama
sekali tidak menghina kami!” Ketua Beng-kauw biarpun termasuk orang
sakti yang aneh, namun sebagai kepala agama, tentu saja ia tidak
berandalan dan ugal-ugalan, apalagi dibandingkan dengan Empek Gan yang
aneh itu. Tadi mendengar Empek Gan menyambut sajak yang dideklamasikan
oleh pemuda itu dengan bunyi kentut, ia merasa tak senang, sekarang
mendengar kata-kata Empek Gan yang menuduh pemuda itu menghina
Beng-kauw, tentu saja ia tidak setuju.
“Heh-heh-heh, penghinaan tidak langsung, tentu saja Kauwcu tidak tahu.”
“Gan-lopek, jangan menuduh sembarangan! Kau yang membuang kentut di
depan orang-orang terhormat, kaulah yang menghina semua orang, bagaimana
kau bisa menyebar fitnah kepadaku?” Suma Boan menudingkan telunjuknya.
“Melepas kentut apa salahnya? Ini tandanya jujur! Siapa di antara semua
orang yang hadir di sini tak pernah kentut? Kalau angin sudah datang,
tidak dilepas, bukankah mendatangkan perut kembung dan penyakit? Kalau
dilepas perlahan-lahan agar jangan berbunyi dan jangan diketahui orang,
itu pura-pura dan palsu namanya. Tidak ada bunyinya, tahu-tahu menyerang
hidung orang lain sampai membikin hidung menjadi hijau! Orang kentut
bukan menghina karena semua orang juga suka kentut. Tapi lukisanmu itu.
Hemmm, Kauwcu, sama sekali bukan berarti bahwa aku memandang rendah
lukisan Yen Li Pun. Aku kagum akan lukisannya dan dibandingkan dengan
dia, aku bukan apa-apa. Akan tetapi kalau orang sudah menyamakan Nan-cao
dan Beng-kauw seperti kuda, benar-benar membikin panas perutku! Kuda
itu binatang apakah? Boleh liar ganas dan sakti, akhirnya hanya akan
menjadi binatang tunggangan manusia! Dan senjatanya hanya pada kakinya
yang dapat berlari cepat. Bukankah itu sifat pengecut yang hanya pandai
lari karena tidak berani menentang lawan? Apakah Nan-cao boleh disamakan
dengan kuda yang boleh ditunggangi orang lain dan akan lari
tunggang-langgang dengan kecepatan kilat kalau diserang musuh?”
Beng-kauwcu Liu Mo tertawa. Para tamu terheran karena tak pernah
mengira bahwa wajah yang serius seperti patung itu dapat tertawa.
“Gan-sicu, kau lucu sekali! Lucu dan berbahaya, akan tetapi kami sama
sekali tidak menganggap Suma-kongcu ini menghina kami. Kau pandai
memutarbalikkan arti sesuatu. Dan bagaimanakah artinya lukisanmu itu,
kalau kami boleh mendengar keterangannya?”
“Nan-cao dan
Beng-kauw disamakan dengan binatang yang kejam dan ganas!” Suma Boan
berseru, tak dapat menahan kemarahannya akan tetapi hatinya lega, juga
mendengar kata-kata ketua Beng-kauw, karena tadinya ia sudah merasa
bingung dan kaget mendengar tuduhan Gan-lopek yang hebat.
Kini
Gan-lopek yang tersenyum-senyum, lalu berkata nyaring, “Harimau terkenal
sebagai raja di antara sekalian binatang hutan! Terkenal akan
keberaniannya, tak pernah mundur menghadapi siapa pun juga. Itulah
sifat-sifat yang patut dimiliki oleh Nan-cao, biarpun besar tubuh
harimau tidak sebesar kuda, namun kecil-kecil memiliki keberanian yang
besar. Harimau siap menerjang lawan jahat di bawah naungan matahari yang
terang benderang. Apakah yang lebih terang daripada matahari? Beng-kauw
adalah Agama Terang, maka boleh diumpamakan Sang Matahari yang
menaungi harimau Nan-cao. Nah, itulah arti lukisanku yang buruk,
Kauwcu!”
Tepukan tangan menyambut keterangan ini, dilakukan oleh
sementara tamu yang merasa kagum dan suka kepada Empek Gan. Akan tetapi
Suma Boan makin mendongkol dan ia berkata mengejek. “Gan-lopek boleh
jadi pandai dalam ilmu silat, boleh jadi pandai dalam hal melukis, akan
tetapi tak mungkin ia lebih pandai dari mendiang Yen Li Pun pelukis
besar, dan dalam hal sastra dan sajak, aku yang muda berani bertanding
dengan dia!”
Inilah sebuah tantangan yang terang-terangan,
dilakukan di depan Raja Nan-cao yang suka akan sajak dan di depan
Beng-kauwcu pula! Bukan tantangan silat, melainkan tantangan mengadu
kepandaian bun (sastra). Tentu saja Suma Boan seorang yang amat cerdik
sudah cukup tahu bahwa biarpun pandai melukis, Empek Gan ini bukanlah
seorang ahli sastra, apalagi ahli sajak!
Biarpun tantangan Suma
Boan itu bukanlah tantangan mengadu ilmu silat, melainkan tantangan
mengadu ilmu sastra, namun bahayanya tidak kalah hebat. Malah agaknya
lebih hebat karena dalam mengadu ilmu silat, yang kalah mungkin akan
tewas! Sebaliknya, dalam mengadu ilmu sastra, biarpun yang kalah tidak
akan terluka apalagi mati, namun ia akan menjadi buah tertawaan dan nama
besarnya akan dijadikan bahan ejekan.
Akan tetapi, Gan-lopek
adalah seorang sakti yang aneh. Memang dalam hal ilmu sastra, biarpun
pernah ia mempelajarinya, pengetahuannya tidaklah begitu mendalam
seperti pengetahuannya tentang seni lukis. Namun ia memiliki kelebihan
yang sering kali menguntungkan dirinya, yaitu di samping ilmu
kepandaiannya yang tinggi, ia juga pandai sekali berkelakar dan pandai
pula bicara. Dengan tiga ilmunya ini, di samping ilmu-ilmu yang lain,
yaitu ilmu silat, ilmu seni lukis dan melawak, biasanya ia dapat
menyelamatkan diri daripada ancaman bahaya. Kini menghadapi tantangan
Suma Boan, tidak ada jalan lain baginya selain menerimanya. Menolak
berarti kalah dan mengorbankan namanya sebagai pecundang, karena tentu
seluruh dunia akan segera mendengar betapa Empek Gan yang terkenal
pandai itu sekarang “mati kutu” terhadap Suma Boan!
“Ho-hah,
omonganmu lebih jahat dari pada kentut! Terlalu keras dan bau! Bocah
macam engkau ini menantang tua bangka macam aku mengadu kepandaian
tentang sastra dan sajak? Ho-ho, biar semua gurumu kaupanggil ke sini,
aku tidak takut menghadapi mereka. Kau ini apa? Kutanggung menulis pun
belum jelas, apalagi merangkai kata-kata dalam kalimat atau sajak, pasti
belum becus. Berani aku mempertaruhkan kepalaku yang lapuk ini kalau
kau mampu merangkai empat buah huruf yang kupilih menjadi sebaris
kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran. Hayo, berani tidak
kau?”
Suma Boan bukanlah seorang pemuda bodoh. Pengertiannya
tentang sastra dan sajak, sungguhpun belum boleh dibandingkan dengan
sastrawan-sastrawan dan para penyair, namun ia yakin takkan kalah oleh
Empek Gan ini. Apalagi merangkai empat buah huruf saja, menjadi sebaris
kalimat, apa sukarnya? Empat buah huruf itu kalau diatur bergiliran
letaknya, diubah-ubah, dapat menjadi dua puluh empat baris kalimat
yang berlainan. Apakah sukarnya memilih di antara dua puluh empat baris
kalimat itu yang merupakan kalimat paling berarti dan mengandung
kebenaran? Segera ia menjura kepada Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sambil
berkata.
“Mohon maaf sebanyaknya, terpaksa hamba melayani kakek
buta huruf yang pura-pura pintar ini.” Kemudian setelah raja dan ketua
Beng-kauw yang juga amat tertarik ingin menyaksikan pertandingan yang
lucu dan tidak berbahaya ini mengangguk tanda setuju, Suma Boan lalu
menoleh ke arah para tamu dan berkata nyaring. “Mohon Cu-wi sekalian
sudi menjadi saksi. Gan-lopek yang terhormat ini mempertaruhkan
kepalanya kalau siauwte dapat merangkai empat buah huruf yang ia pilih
menjadi sebaris kalimat yang mempunyai arti dan mengandung kebenaran.
Bukankah begitu, Gan-lopek?”
“Betul, betul!” Gan-lopek
mengangguk-angguk. “Kalau kau betul dapat dan kalimat itu oleh hadirin
dianggap mengandung arti dan kebenaran, aku akan menyerahkan kepalaku
agar kaupakai dalam sembahyangan roh leluhurmu!”
“Gan-lopek, mulailah! Keluarkan empat buah hurufmu itu yang merupakan empat buah kata-kata!” Suma Boan menantang.
Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun
suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali,
memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah
kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek. Juga Suling Emas,
sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang
penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak
terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa
sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan
dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara
Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata, “Bocah she Suma, enak
saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau
bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau
kalah?”
***
Suma Boan tersenyurn mengejek. “Kakek she
Gan! Semua orang terhormat yang hadir di sini mendengar belaka bahwa kau
sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan
tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu
menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau
sebagai guru!”
“Ho-hah, boleh.... boleh.... akan tetapi aku
sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol
seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga
hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf
TAHI!”
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang
terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti
tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar
berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat
dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat.
Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak
mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan
kata-kata “tahi” ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!
Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah
berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini
mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu
merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar
untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan,
memperlihatkan dua buah jari tangan. “Sekarang huruf nomor dua, yaitu
huruf MAKAN!”
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek
ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya
rangkaian yang berarti hanya “makan tahi”! Benar-benar orang sinting
dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti
hainya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan
keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja,
akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah menanti
sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang, “Huruf nomor tiga adalah KUDA
dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang
kauputar-putarlah otakmu, kaurangkai empat huruf itu menjadi sajak atau
kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau
menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku
sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!”
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak
dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat
huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi
kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam
kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu
pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA.
Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah
mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai
lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi
dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk
menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!” seru Suma Boan
dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut
pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua
tangannya ke atas dan berseru. “Harap hadirin jangan berisik!” Suaranya
perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat
semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir
di situ diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek
Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan
lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga
khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”
Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab, “Empek Gan, empat huruf yang
kauajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat
merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.” Semua orang yang hadir
mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara mereka yang berpikir
demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir
mereka. “Akan tetapi, di antara yang dua puluh empat macam kalimat,
hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah
salah satu di antara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI
KUDA!” Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan
penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang
memenuhi ruangan.
“Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?”
“Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya.
“Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan
ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka
makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke
arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah
tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau?
Hoa-ha-ha!”
“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak
Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir
menjadi saksi!”
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia
tertawa sampai keluar air matanya. “Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah,
kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah
huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG
KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya
akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini
tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, di
antara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung
kebenaran?” Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali
terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk
mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba
terdengar seruan nyaring, “Jawaban itu bohong!” Demikian nyaring tapi
merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang.
Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke
atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi
nyaring sekali.
“Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda
makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya
daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk
ke atas seperti saya ini!” Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum
manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas. Serentak semua tamu,
sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda
yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira,
“Betul....! Ucapan Nona betul!”
Memang sesungguhnya, siapa tidak
tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara
seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan
tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang
sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak
benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam, “Nah,
Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul.
Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku
mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
“Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kaukira aku mudah
kautipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat
hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga
mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri
belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan
yang tak dapat dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di
laut?”
“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa
menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau
apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
“Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kaurangkai kalimat dari empat
hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku
kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau
menyerahkan kepalaku kepadamu!” Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan
ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan
karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat
yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang
memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak
seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas
sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening
dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng
kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang
jagoan sastra tidak sanggup pula.
“Betulkah? Dengar baik-baik
kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh
perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat
yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat
itu berbunyi begini....” Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua
mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik,
bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut
mengganggu pendengaran.
“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan
berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah
ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah
dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga
kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang
lemah, termasuk kuda!”
“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”
“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”
“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kautinggalkan!”
Orang-orang berteriak-teriak, “Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan
berteriak-teriak mengejek, “Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN
KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kaulupakan.
TAHI-nya bagaimana?”
Empek Gan tertawa, “Cu-wi sekalian
dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, di sini
untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.... kuberikan
kepadamu. Suma Boan. Kaumakanlah, itu bagianmu!”
Sejenak hening,
banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah
suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai
jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan.
Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada
akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang
sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan.
Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang
dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma
Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam,
tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya. Suara
ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata
pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan
kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat
serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke
atas, memegangi perutnya yang bundar kecil. Sedangkan penyerangan itu
merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan
melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat
segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu
menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan
serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti
tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari
badan!
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi
Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan
matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa
terpingkal-pingkal. “Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa
kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak
hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ
memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan,
pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya
tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu
sekali. Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan
tak pernah mengenai sasarannya! Mula-mula Lin Lin merasa ngeri
menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan.
Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit
daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan
mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa.
Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
“Hi-hik, pantas saja
Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil
memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling
Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru
gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika
kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di
sebelah selatan. Penduduk aseli pulau ini suka sekali akan tari-tarian,
memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena
semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu
menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan
tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang
diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian
itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna
kalau disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan
main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun setalu makan angin
belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana,
tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan
sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!
“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?”
tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biarpun
suara itu parau dan tak enak didengar.
“Heh-heh! It-gan Kai-ong,
bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik
nama gurunya, heh-heh-heh....” kata Empek Gan sambil memandang ke arah
It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum
kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu
Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang
mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata, “Kauwcu
mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi
kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima
kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang
membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat
tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin,
lalu tertawa!
“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin
menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau
bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah,
apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut
tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya,
kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para
tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka
terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi
selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat
duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan
para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka
bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan
yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa
menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat
akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah
bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang
menonton para tamu yang seorang demi seorang memberi selamat dan
menyerahkan barang sumbangan. Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri.
Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini
kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak
tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau
Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau
terpaksa ia hanya menyebut “Suling Emas” begitu saja, sebutan yang
sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung
yang bidang itu.
“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)....” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang. “Kau? Kau bilang apa tadi?”
Lin Lin tersenyum. “Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu.
Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau
Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih janji!”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak
mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau
pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat.... eh, kau melihat apa?”
Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan
sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh
dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan
tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan
pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang. Gadis
itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua
Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu,
Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan
menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa
disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis
puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke sinilah....!”
Lin Lin
tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas
sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan
Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan
tubuh lalu menghampiri encinya.
“Lin-moi, kau sudah tahu,
kedatanganku ke sini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan
bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku
percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang macam itu kaupercaya, Enci Eng?”
“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka
agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan
Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui
Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan
yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan
demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw,
atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia
menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”
“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau
begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....” Tiba-tiba
Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya
Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
“Jangan, Lin-moi.
Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu
Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.... eh, Lin-moi, kau ke mana....?”
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena
ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain
Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi.
Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu
karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang
tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw.
Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin
keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu
menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua
orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu di mana sedang berlangsung
upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat. Lin Lin berjalan
terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada
bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak
beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan,
entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada
sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ
yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah
tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap,
perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan
mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia
menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada
di belakang pondok ke dua.... dadanya makin panas seperti terbakar
ketika, ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee.
Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap
percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia
hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti.
Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
“.... ah, kau terlalu lemah....”
“.... cintaku takkan kunodai darah....” terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak
berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi
pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki
baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya. Agaknya Suling Emas dan
gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau di
antara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian
dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin
kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan
kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling
Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya
pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa
gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu
tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu
membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget,
matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah
berdiri seorang.... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan!
Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut.
Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera
ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang
iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia
berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah
Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
“Harap jangan berteriak....” suara serak mendesis itu keluar dari mulut tengkorak yang tidak bergerak.
“Hemmm, apa perlunya berteriak? Aku tidak takut padamu, Hek-giam-lo,”
kata Lin Lin, malah dagunya yang runcing itu ia angkat, bibirnya
tersenyum mengejek.
“Kau kenal padaku....?” Dalam suara yang menyeramkan itu terdengar bayangan heran.
“Siapa tidak mengenal Hek-giam-lo kaki tangan Kerajaan Khitan yang buas
dan suka berlaku sewenang-wenang? Hemmm, agaknya tidak begitulah
keadaan Khitan di waktu ibuku masih hidup, di waktu Raja Besar Kulukan
masih berkuasa. Hek-giam-lo, kau secara sewenang-wenang telah mengubur
hidup-hidup enci angkatku dan juga gadis-gadis lain. Hemm, kalau kakekku
Raja Besar Kulukan masih hidup, apa kau berani berbuat seperti itu
jahatnya?”
Tercenganglah Hek-giam-lo, biarpun tidak dapat
dilihat pada mukanya, namun melihat ia diam tak bergerak, jelas bahwa ia
tertegun. “Kau.... kau.... betulkah kau orang yang kucari-cari....?
Sudah berkali-kali aku keliru....”
“Hek-giam-lo, kau berhadapan
dengan puteri keturunan langsung dari Kakek Kulukan. Ibuku adalah Puteri
Mahkota Tayami yang gagah perkasa, dan aku adalah Puteri Yalin!”
Tiba-tiba sikap Lin Lin berubah sama sekali, ia kelihatan agung dan
angkuh, sikap seorang puteri raja aseli. Entah dari mana datangnya sikap
ini, akan tetapi Lin Lin merasa bahwa sudah semestinya ia bersikap
seperti ini, sikap seorang junjungan terhadap hamba sahayanya!
Seluruh tubuh Hek-giam-lo yang mengerikan itu tiba-tiba menggigil dan
seperti orang yang tiba-tiba menjadi lemas, kedua kakinya ditekuk dan ia
sudah berlutut! Akan tetapi suaranya masih membayangkan keraguan ketika
ia berkata.
“Be.... betulkah ini....? Tidak tertipu lagikah.... tidak keliru lagikah....?”
“Hek-giam-lo! Aku tahu kau orang kepercayaan paman tiriku, Kubukan
Raja Khitan sekarang. Beranikah kau, yang hanya seorang hamba, tidak
percaya kepada aku, puteri yang sebetulnya menjadi puteri mahkota?
Apakah aku harus membuka bajuku memperlihatkan tanda merah pada
punggungku kepadamu? Berani kau menghina aku seperti itu?” Bukan main
sikap Lin Lin ini. Agaknya darah ibunya yang membuat ia seperti itu dan
sekiranya Bu Sin dan Sian Eng menyakslkan sikapnya dan mendengar
kata-katanya ini, tentu kedua orang saudara angkat itu akan
terheran-heran.
“Ampun, Tuan Puteri! Ampunkan hamba, Tuan
Puteri Yalin yang mulia! Alangkah bahagia hati hamba telah dapat
menemukan Tuan Puteri yang telah belasan tahun dicari-cari. Marilah
hamba antarkan Tuan Puteri pulang kepada bangsa kita, menghadap paman
Paduka.”
Diam-diam Lin Lin terkejut juga. Dia seorang gadis yang
cerdik sekali, dan maklumlah ia bahwa seorang aneh dan sakti seperti
Hek-giam-lo ini, takn mungkin dapat ia pengaruhi hanya mempergunakan
kedudukannya. Ia sudah mendengar cerita encinya tentang tokoh ini dan ia
tahu bahwa mau ataupun tidak, ia pasti akan dibawa ke Khitan oleh si
tengkorak hidup. Bukannya ia tidak suka, sebaliknya, ada sesuatu yang
mendorong hatinya, yang membuat ia ingin sekali mengunjungi bangsa
Khitan, seakan-akan ada panggilan darah yang secara gaib
memanggil-manggilnya. Akan tetapi tidak sekarang, pula ia merasa berat
untuk.... berpisah dari Suling Emas! Menolak permintaan Hek-giam-lo,
berarti ia akan dibawa ke utara secara paksa dan hal ini amatlah tidak
baik, berarti menghilangkan atau mengurangi sikap yang demikian tunduk
dari tokoh ini terhadapnya.
“Tentu saja, Hek-giam-lo. Aku pun
ingin sekali mengunjungi Pamanku, dan melihat kampung halaman serta
keluarga Ibuku. Akan tetapi apa perlunya tergesa-gesa? Kelak kalau sudah
selesai semua urusanku, aku pasti akan pergi ke utara bertemu
Paman....”
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Paman Paduka sudah amat
mengharap-harap dan perintahnya, kapan saja hamba bertemu dengan Paduka,
harus hamba ajak Paduka pulang. Karena itu, marilah sekarang juga kita
berangkat.”
Lin Lin berdebar jantungnya. Tak salah dugaannya,
manusia iblis ini tentu akan memaksanya berangkat sekarang juga. Ia
harus mencari akal....
“Sekarang? Tapi kita masih berada di sini sebagai tamu.... perayaan Beng-kauw masih belum habis....”
“Ampun, Tuan Puteri. Urusan kita jauh lebih penting daripada urusan
negara Nan-cao dan Beng-kauw. Diketemukannya kembali Tuan Puteri
merupakan kejadian yang maha penting bagi bangsa kita, hal-hal lain sama
sekali tidak ada artinya, apalagi urusan negara lain...., marilah kita
berangkat, Tuan Puteri Yalin!” Tubuh yang mengerikan itu bergerak maju.
“Ijinkan hamba memondong Paduka agar perjalanan dapat dilakukan cepat,
Tuan Puteri.”
Lin Lin bergidik. Ia dapat merasa betapa di balik
sikap dan kata-kata menghormat ini tersembunyi ancaman dan paksaan yang
tak boleh dibantah lagi. Ia menjadi serba salah. Untuk melawan, berarti
ia akan menghilangkan keagungan sebagai puteri mahkota, dan ia takkan
senang juga kalau melihat tokoh aneh dan sakti ini kehilangan sikapnya
yang begitu merendah dan menghormat terhadapnya.
“Hek-giam-lo,
aku memang juga amat ingin segera bertemu dengan Paman dan semua
keluargaku di Khitan. Akan tetapi, Hek-giam-lo, sebagai seorang Puteri
Mahkota Khitan, mana bisa aku mendiamkan saja orang menghinaku tanpa
membalas?”
Sepasang mata di balik kedok tengkorak itu
memancarkan cahaya yang membuat bulu tengkuk Lin Lin meremang.
Seakan-akan ia melihat ada sinar api keluar dari situ.
“Tuan
Puteri Yalin, siapakah gerangan berani menghina Paduka? Jangan
khawatir, hamba Hek-giam-lo yang akan menghukumnya, sekarang juga!
Harap Paduka sebutkan, siapa si bedebah itu?”
“Ada dua orang
yang telah menghinaku, Hek-giam-lo. Pertama adalah tuan rumah di
Nan-cao ini. Kau tidak tahu, tadi ketika aku mengagumi permata
ya-beng-cu yang berada di ujung tongkat ketua Beng-kauw, Raja Nan-cao
menyatakan bahwa kalau aku mau tinggal di sini selamanya, aku akan
diberi hadiah permata ya-beng-cu. Nah, kaupikir, apakah ini bukan
penghinaan besar? Aku, Puteri Mahkota Khitan, pujaan bangsa Khitan yang
terkenal gagah perkasa, disuruh tinggal di sini, selamanya? Bukankah
itu berarti bahwa aku akan dijadikan budak atau selir? Hek-giam-lo,
kaurampas tongkat Beng-kauw itu untukku. Dengan membawa tongkat itu,
baru aku mau pergi ke Khitan dan hal ini selain akan memberi hajaran
kepada Beng-kauwcu dan Nan-cao, juga akan membuka mata dunia akan
kebesaran Khitan yang tak boleh dipermainkan bangsa lain.”
“Tongkat Beng-kauwcu....?” Terang bahwa Hek-giam-lo, biarpun dia seorang
tokoh besar malah seorang di antara enam iblis, kaget juga mendengar
perintah ini.
“Kenapa? Apakah kau takut? Ihhh, jagoan Khitan takut terhadap ketua Bengkauw?”
“Hamba tidak takut terhadap siapapun juga. Akan tetapi tongkat itu
adalah lambang kekuasaan ketua Beng-kauw, juga sekaligus merupakan
barang keramat dari Kerajaan Nan-cao. Kalau kita ambil, bukankah hal itu
akan menimbulkan sengketa antara Khitan dan Nan-cao?”
“Khitan
tidak bermaksud bermusuhan dengan negeri lain, akan tetapi juga tidak
sudi menelan penghinaan begitu saja! Tongkat itu hanya kita pinjam dan
kita bawa ke Khitan. Kalau Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao sudah
menginsyafi kesalahan mereka yang menghinaku, baru kita kembalikan dan
kita juga menyatakan maaf. Dengan demikian, baru kejayaan negara dapat
dipertahankan. Kalau tidak, bagaimana kelak rendahnya nama Khitan kalau
terdengar bahwa Raja Nan-cao pernah membujuk Puteri Mahkota Khitan
menjadi bujang atau selir?”
Kena juga akhirnya tokoh iblis ini
“dibakar” oleh Lin Lin yang memang semenjak kecil pandai sekali bicara.
Tampak si kedok tengkorak itu mengangguk-angguk, kemudian berkata
singkat. “Tuan Puteri betul, hamba menurut, tongkat akan hamba curi.”
“Bagus! Sekarang musuhku yang ke dua, Hek-giam-lo. Kau tahu, aku sedang
mencari seorang musuh besarku, yaitu pembunuh ayah bunda angkatku di
kaki Gunung Cin-ling-san tahun yang lalu. Menurut persangkaanku,
pembunuhnya tentulah Suling Emas, biarpun ia menyangkal. Kautangkap dia,
jadikan tawanan dan kita bawa bersama ke Khitan.”
Suara ah-uh-ah-uh yang keluar dari mulut di balik tengkorak itu menyetop kata-kata Lin Lin lebih lanjut.
“Kenapa, Hek-giam-lo? Kau takut kepada Suling Emas ini? Aku sih tidak takut!”
“Hamba juga tidak takut, akan tetapi.... urusan ini.... tidaklah begitu
mudah, malah agaknya lebih sukar daripada mengambil tongkat
Beng-kauwcu. Siapakah ayah pungut Paduka yang terbunuh itu?”
“Ayah angkatku adalah Jenderal Kam Si Ek di....”
Tiba-tiba tubuh berselubung hitam itu bergoyang-goyang, entah bagaimana
tarikan muka di belakang kedok itu, akan tetapi yang terang
kata-katanya terdengar amat ketus, “Kam Si Ek? Musuh besar kita itu!
Tuan Puteri Yalin, Kam Si Ek itulah pembunuh banyak bangsa kita. Dialah
musuh besar orang Khitan!”
Sejenak Lin Lin bingung, akan tetapi
gadis yang cerdik ini teringat akan cerita yang pernah ia dengar, baik
dari bibi gurunya maupun dari kakek Kim-lun Seng-jin, betapa mendiang
ayah angkatnya itu dahulu memimpin pasukan menggempur bangsa Khitan dan
bahwa dia sendiri mungkin sekali dipungut anak dalam peperangan itu di
mana ibunya gugur. Hanya sejenak ia bingung, kemudian berkata.
“Sudahlah kalau begitu, sekarang kau pergilah curi tongkat pusaka itu,
aku akan menanti di sini.” Tentu saja tiada niat di hati Lin Lin untuk
menanti di tempat itu. Ia hanya ingin supaya mahluk yang mengerikan ini
pergi meninggalkannya.
“Paduka akan berangkat sekarang juga....”
Ucapan Si Tengkorak Hitam itu benar-benar membuat wajah Lin Lin menjadi pucat.
“Apa kau bilang? Lebih dulu ambil tongkat....” Akan tetapi Hek-giam-lo
tidak mempedulikannya. Tengkorak Hitam ini berdongak ke atas dan
tiba-tiba terdengar suara yang amat tinggi, hampir tidak kedengaran,
terdengar terus-menerus dan sambung-menyambung.
“Mau apa kau?
Hek-giam-lo, apa yang kau lakukan ini....?” berkali-kali Lin Lin
bertanya. Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengangkat tangan kiri ke atas
dan suara yang keluar dari balik kedoknya tak pernah berhenti. Lin Lin
tiba-tiba merasa betapa jantungnya seperti berdetik, tubuhnya panas
dingin dan kepalanya pening. Ia sudah bergoyang-goyang dan hampir
terhuyung karena kedua kakinya juga menjadi lemas, telinganya seperti
penuh dengan suara mendesis tinggi. Terkejutlah Lin Lin dan ia dapat
menduga bahwa iblis di depannya ini tentulah mengeluarkan suara yang
mengandung penuh tenaga khi-kang tinggi semacam ilmu ho-kang (auman)
yang hanya dapat dilakukan oleh orang sakti yang amat tinggi ilmunya.
Cepat Lin Lin meramkan kedua matanya dan menahan napas, memusatkan
panca indera, mengerahkan sin-kang untuk diputar-putar di seluruh tubuh
melindungi dirinya daripada serangan tak langsung tapi cukup hebat itu.
Benar saja, segera semua rasa tidak enak tadi lenyap, tapi ia kini
dapat mendengar suara mendesis tinggi yang bergema di seluruh penjuru,
seakan-akan dunia ini penuh oleh suara itu. Dan lapat-lapat terdengar
desis yang agak rendahan dari sebelah barat, seakan-akan ada yang
menjawab suara Hek-giam-lo itu.
Lewat sepuluh menit kemudian,
suara mendesis-desis itu berhenti. Lin Lin membuka kedua matanya dan....
bukan Hek-giam-lo yang kini berada di depannya, melainkan seorang kakek
yang buntung kedua kakinya! Kakek ini usianya tentu lebih enam puluh
tahun, wajahnya biasa saja, alisnya tebal kasar dan mulutnya selalu
tersenyum mengejek. Kakek ini berdiri di atas kedua tongkatnya yang
berfungsi sebagai pengganti kaki tongkat dari logam putih yang terkempit
di kedua ketiaknya.
“Kau.... kau siapa?” Lin Lin bertanya gugup
dan memandang ke sana ke mari mencari Hek-giam-lo yang tiba-tiba
lenyap. Apakah Hek-giam-lo membuang kedok dan selubung hitamnya dan
menjadi kakek ini? “Mana Hek-giam-lo?”
Kakek itu membungkukkan
tubuhnya. “Tuan Puteri Yalin, hambamu ini adalah Pak-sin-tung (Tongkat
Sakti Utara) yang bertugas mengantar Paduka kembali ke Khitan. Adapun
Suheng (Kakak Seperguruan) Hek-giam-lo pergi untuk melaksanakan
perintah Paduka. Marilah, Tuan Puteri, tak baik berlama-lama di sini,
Suheng memesan agar supaya hamba mengajak Paduka sekarang juga.”
Sejenak Lin Lin tertegun. Ah, kiranya suara mendesis-desis tadi adalah
suara Hek-giam-lo memanggil sutenya ini untuk mewakilinya mengantar dia
ke utara. Celaka, tak disangkanya Hek-giam-lo demikian cerdiknya dan
mempunyai pembantu. Dengan sinar mata tajam penuh selidik Lin Lin
menatap kakek di depannya itu. Seorang kakek yang kedua kakinya buntung,
agaknya di ales lutut. Mengerikan dan juga menimbulkan kasihan. Kakek
begini disuruh mengantarnya ke Khitan? Hemmm, apa susahnya memisahkan
diri, meninggalkan kakek ini? Tentu sebagai sute dari Hek-giam-lo,
Pak-sin-tung ini memiliki ilmu kepandaian pula, dan menilik julukannya,
tentu ahli main tongkat. Namun, betapa seorang yang tidak mempunyai kaki
dapat bersilat dengan baik? Agaknya terhadap orang ini tidak perlu
dikhawatirkan.
“Baiklah, Pak-sin-tung. Mari kita berangkat.”
kata Lin Lin, di dalam hatinya mengambil keputusan kalau mereka sudah
tiba di luar kota yang sunyi di mana tidak ada Hek-giam-lo yang akan
merintanginya, ia akan melarikan diri dari pengawasan si buntung ini.
Akan tetapi, melihat senyum mengejek pada wajah kakek ini, Lin Lin
merasa tidak enak hati sekali.
“Mari, Tuan Puteri, hamba iringkan. Kita keluar dari pintu utara saja.”
Berangkatlah kedua orang ini. Pintu gerbang kota raja sebelah utara ini
memang sunyi, juga merupakan daerah pegunungan. Girang hati Lin Lin.
Agaknya kakek ini menghendaki perjalanan yang paling pendek, akan tetapi
sungguh kebetulan bagi Lin Lin yang menghendaki tempat sunyi di mana
ia dapat melarikan diri tanpa ada yang menghalanginya. Akan tetapi,
melihat betapa sepasang tongkat itu mewakili fungsi kaki demikian
baiknya, malah lebih baik agaknya, begitu cepat dan ringan serta gesit,
diam-diam Lin Lin merasa gelisah juga. Memang kakek itu “berjalan” agak
terpincang-pincang dan terbongkok-bongkok, akan tetapi harus ia akui
amat cepat. Setelah tiba di jalan sunyi Lin Lin sengaja mengerahkan
kepandaiannya berlari cepat. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia
melihat betapa kakek buntung itu dengan enak saja dapat bergerak cepat
di belakangnya, sedikit pun tidak ketinggalan!
Ketika ia
menoleh, kakek itu tersenyum lebar dan berkata, “Untung sekali Paduka
dapat berlari secepat ini, kalau tidak, terpaksa hambamu ini akan
menggendong Paduka agar perjalanan dilakukan lebih cepat.”
Lin
Lin tidak menjawab. Mereka melalui pintu gerbang yang dijaga oleh
beberapa orang tentara Nan-cao. Karena hari itu adalah hari besar dan
para penjaga maklum akan banyaknya tamu-tamu aneh dari luar kota,
mereka tidak mengganggu Pak-sin-tung dan Lin Lin, akan tetapi tak dapat
dicegah lagi pandang mata mereka melotot penuh kekaguman memandang Lin
Lin yang cantik jelita. Agar tidak memancing keonaran, Lin Lin pura-pura
tidak melihat pandang mata kurang ajar itu, malah ia melangkah makin
cepat keluar dari Kota Raja Kerajaan Nan-cao.
Sebentar saja
mereka sudah tiba di luar tembok kota dan Lin Lin segera mempergunakan
ilmunya Khong-in-ban-kin untuk berlari cepat dengan maksud meninggalkan
Pak-sin-tung.
“Heiiiii! Wah, ilmu lari cepat Paduka ini hebat
sekali....!” seru si buntung kaki itu, akan tetapi alangkah kaget hati
Lin Lin ketika melihat betapa kakek buntung itu tetap saja dapat
mengikutinya.
“Pak-sin-tung, aku tidak mau berangkat sekarang!”
Tiba-tiba Lin Lin berhenti berlari. Mereka sudah jauh dari tembok kota,
akan tetapi tembok itu masih tampak dari situ.
“Apa maksud Paduka?”
“Kau pergilah sendiri, aku tidak mau pergi ke Khitan sekarang. Aku
masih banyak urusan yang harus kuselesaikan sendiri. Kelak saja aku
pasti akan datang ke Khitan berkunjung kepada Paman Baginda.”
Akan tetapi senyum mengejek itu tak pernah meninggalkan muka
Pak-sin-tung, malah ia berkata dengan suara tenang. “Ampun Tuan Puteri.
Hamba sudah menerima tugas, harus membawa Paduka ke Khitan, apa pun
yang akan terjadi.”
“Kalau aku tidak mau?” bentak Lin Lin.
“Terpaksa akan hamba dukung sampai ke Khitan.”
“Srattt!” Lin Lin sudah mencabut pedangnya yang tadi ia terima kembali
dari tangan Suling Emas di tempat pesta. Pedangnya itu dahulu lenyap
ketika ia bertanding melawan Toat-beng Koai-jin, akan tetapi ketika ia
bertemu dengan Suling Emas, kiranya pedang itu dibawa oleh pendekar itu
dan dikembalikan kepadanya.
“Pak-sin-tung, kau boleh coba kalau bisa!” Kini Lin Lin menantang.
“Pedang pusaka Besi Kuning....!” Pak-sin-tung meratap, wajahnya pucat
dan kedua tongkatnya melangkah-langkah mundur. “Tidak.... hamba tidak
berani.... tidak berani....”
Besar hati Lin Lin dan sekarang
tahulah ia bahwa Kakek Kim-lun Seng-jin tidak bohong ketika berkata
bahwa Pedang Besi Kuning itu dahulunya adalah pusaka Khitan. Agaknya
kakek buntung ini mengenal pusaka itu dan karenanya menjadi ketakutan.
Akan tetapi ia harus memperlihatkan kelihaiannya di samping pengaruh
pedang pusaka itu, maka ia membentak.
“Kau masih berani membantah perintah junjunganmu? Rasakan ini!” Dengan gerakan cepat Lin Lin menerjang dengan pedangnya.
“Ti.... tidak, hamba tidak berani....” Kakek buntung itu meloncat ke
atas, tongkatnya bergerak-gerak dan ke manapun juga pedang itu
menerjang, selalu dapat dihalau tongkat. Hebat sekali kakek ini,
biarpun kedua kakinya buntung, namun kelincahan gerakannya tidak kalah
oleh orang yang berkaki utuh. Pertemuan senjata pedang dengan tongkat
itu saja sudah membuktikan kepada Lin Lin bahwa kakek buntung ini
benar-benar tak boleh dipandang rendah, karena setiap kali bertemu
senjata, tangannya menjadi tergetar hebat, padahal ia sudah mengerahkan
Khong-in-ban-kin!
“Ampun, Tuan Puteri, hamba percaya sekarang, harap jangan marah....”
Lin Lin seorang cerdik. Ia maklum bahwa kalau dilanjutkan mendesak
kakek ini, dalam pertempuran sungguh-sungguh, belum tentu ia akan mampu
menang, apalagi kalau datang jago-jago lain dari Khitan, siapa tahu?
Orang-orang sakti yang begini lihai, sebaiknya ditarik menjadi kawan
daripada didesak menjadi lawan. Ia membutuhkan bantuan mereka, terutama
bantuan Hek-giam-lo, untuk.... menawan Suling Emas! Hasrat hati ini
timbul ketika ia mulai merasa cemburu terhadap Liu Hwee dan sekaligus
timbul bencinya terhadap Beng-kauw. Terhadap Suling Emas ia juga benci,
bukan benci kepada orangnya, melainkan benci kalau mengingat betapa
pendekar itu mencinta orang lain. Ia ingin memberi “hajaran” kepada
Suling Emas, ingin menawannya, membawanya ke Khitan. Di samping ini,
juga dengan bantuan jagoan-jagoan Khitan ini ia ingin menemukan dan
menghukum pembunuh ayah bunda angkatnya, ingin pula menemukan kakak
angkatnya, Kam Bu Song.
“Pak-sin-tung, kalau kau menurut
perintahku dan tidak melawang aku pun mana suka bertentangan dengan
orang sendiri? Percayalah, aku ingin sekali pergi menghadap Paman
Baginda di Khitan. Akan tetapi, aku baru mau pergi setelah semua
urusanku di sini selesai. Dan aku mengharapkan bantuanmu, bantuan
Hek-giam-lo dan saudara-saudara lain lagi untuk menyelesaikan urusanku
itu. Bagaimana? Apakah selain kau dan Hek-giam-lo, masih ada teman-teman
lain yang dapat membantuku di sini?”
Kini kakek buntung itu
duduk di atas tanah, kedua tongkatnya dilonjorkan kanan kiri tubuhnya,
matanya memandang takjub kepada Pedang Besi Kuning di tangan Lin Lin.
“Ajaib....” katanya perlahan. “.... pedang pusaka Besi Kuning sudah
berada di tangan Paduka pula.... ajaib.... agaknya inilah isyarat dan
tanda dari langit....”
“Apa maksudmu? Pak-sin-tung, kau tidak menjawab pertanyaanku, bicara tidak karuan!”
“Maaf, Tuan Puteri. Hamba bersumpah akan membantu Paduka dengan setia,
akan mentaati semua perintah Paduka. Sri Baginda telah mengutus
Pek-bin-ciangkun (Perwira Muka Putih), mewakili Khitan memberi selamat
kepada Nan-cao dan Beng-kauw sambil menyerahkan barang sumbangan.
Hambamu ini dan Suheng Hek-giam-lo mengawal secara sembunyi. Juga seregu
pasukan pendam terdiri dari dua losin orang perajurit pilihan mengawal
secara berpencar dan sembunyi, semua siap mentaati perintah Paduka.”
“Bagus! Panggil mereka berkumpul di sini, aku hendak memberi penjelasan tentang rencanaku, supaya jangan gagal.”
Pak-sin-tung mengangguk-angguk, lalu mulutnya diruncingkan dan
terdengarlah desis yang makin lama makin tajam sehingga kembali Lin
Lin, seperti halnya ketika Hek-giam-lo tadi memanggil Pak-sin-tung,
merasa dadanya sesak. Cepat gadis ini meramkan mata dan mengerahkan
sin-kang untuk melawan getaran hebat itu. Ada seperempat jam suara itu
mendesis-desis dan tiba-tiba terhenti. Lin Lin mendengar gerakan banyak
orang dan ketika ia membuka matanya, kiranya di situ sudah berkumpul dua
puluh empat orang laki-laki yang beraneka ragam pakaiannya. Ada yang
berpakaian seperti pedagang, pengemis, pelajar, dan lain-lain, akan
tetapi kesemuanya bersikap gagah perkasa dan kini mereka sudah berlutut
dengan hormat di depannya dengan barisan berjajar di belakang
Pak-sin-tung!
“Hamba sekali sudah berkumpul dan siap menanti
perintah Tuan Puteri Yalin!” kata Pak-sin-tung. Tak dapat dicegah oleh
Lin Lin rasa bangga dan mekar di dalam dadanya. Inilah hebat,
pikirnya dan yang luar biasa adalah kenyataan bahwa tidak merasa hal
ini aneh, malah seperti sudah sewajarnya dan sudah seharusnya demikian!
“Kalian semua dengarlah baik-baik,” katanya sambil memasukkan Pedang
Besi Kuning ke dalam sarungnya. “Untuk menjunjung nama besar Khitan dan
memberi peringatan kepada Nan-cao negara kecil ini agar lain kali tidak
berani memandang rendah kepada kita, aku telah memerintahkan
Hek-giam-lo untuk mencuri atau merampas tongkat ya-beng-cu dari tangan
Beng-kauwcu. Sekarang aku minta kalian membantuku untuk dua urusan lain,
pertama, menangkap dan menawan Suling Emas hidup-hidup, kita bawa dia
ke Khitan.” Lin Lin tidak pedulikan betapa orang-orang itu saling
pandang dengan muka kaget, malah ia melanjutkan kata-katanya, “Ke dua,
kalian bantu aku menangkap Suma Boan putera pangeran dari Kerajaan Sung
itu untuk dipaksa mengaku siapa sebetulnya orang yang bernama Kam Bu
Song, dan di mana sekarang ia berada. Setelah ia menunjukkan di mana
adanya Kam Bu Song, kalian boleh siksa ia sekedarnya tapi tak usah
dibunuh, lalu dilepaskan dia kembali. Mengerti?”
“Hamba
mengerti, Tuan Puteri,” jawab Pak-sin-tung mewakili anak buahnya.
“Biarlah hamba yang menemani Paduka, adapun saudara-saudara ini siap
secara bersembunyi, tentu sewaktu-waktu dapat datang jika hamba
panggil.”
“Baiklah, Pak-sin-tung. Dan mari kita kembali ke kota
raja.” Dua puluh empat orang itu tetap berlutut ketika Lin Lin dan
Pak-sin-tung berangkat, kembali ke pintu gerbang dari mana tadi mereka
keluar.
***
Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang kini
berubah menjadi seorang Puteri Khitan yang berpengaruh itu, untuk
menengok keadaan Kam Bu Sin yang sudah terlalu lama kita tinggalkan.
Kenapa Siang-mou Sin-ni muncul di Nan-cao seorang diri saja? Bukankah
tadinya Bu Sin berada di dalam cengkeramannya dan pemuda itu menjadi
seperti boneka hidup dan barang permainan Siang-mou Sin-ni setelah
diminumi racun perampas semangat?
Memang demikianlah, Siang-mou
Sin-ni yang merasa sayang akan ketampanan dan kegagahan Bu Sin, tidak
membunuh pemuda ini seperti yang biasa ia lakukan, melainkan mengambil
pemuda itu sebagai teman dan kekasihnya. Tadinya ia bermaksud membawa
Bu Sin ikut dengannya ke Nan-cao dan di sana akan ia pergunakan sebagai
bukti daripada kelihaiannya bahwa ia telah dapat menundukkan putera
dari Jenderal Kam yang terkenal. Akan tetapi pada suatu hari ketika ia
bersama Bu Sin berjalan melalui sebuah hutan di lereng Gunung Burung
Dara, tiba-tiba ia mendengar suara alat musik khim. Ia kaget dan heran
sekali, apalagi ketika mendadak Bu Sin roboh pingsan dan ia sendiri
merasa dadanya tergetar hebat. Cepat Siang-mou Sin-ni mengeluarkan
sebuah alat musik khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu,
cepat ia duduk bersila dan mainkan alat musik yang diletakkan di
depannya. Terdengar bunyi nyaring suara kawat-kawat khim itu dan
terjadilah “perang” antara suara khim pertama dan suara khim yang
dimainkan Siang-mou Sin-ni.
Iblis wanita rambut panjang ini
ternyata dahulu tidak sia-sia belaka merampas khim dari Bu Kek Siansu.
Karena ia seorang berilmu tinggi dan memiliki kecerdasan luar biasa, ia
telah mempelajari alat musik ini dan menggabungkan kesaktiannya ke
dalam permainannya sehingga alat yang sebetulnya merupakan alat kesenian
untuk menghibur hati duka lara ini dapat ia pergunakan sebagai senjata
yang ampuh sekali. Banyak sudah lawan-lawan lihai roboh oleh bunyi
khimnya yang dapat dimainkan sedemikian rupa sehingga merupakan
“jurus-jurus” yang dapat merusak semangat, membikin putus urat syaraf
mengaduk berantakan isi perut dan menghancurkan isi dada lawan!
Betullah kata-kata para budiman bahwasanya apa pun alat kebaikan atau
pun kejahatan, tergantung daripada si pemakai.
Akan tetapi
alangkah kaget hati Siang-mou Sin-ni ketika semua jurus suara khimnya
yang menerjang dan menyerang ganas itu, mental kembali oleh suara khim
yang halus lembut penuh damai dan yang suaranya mendatangkan ketenangan
itu. Ia mengerahkan semangat dan sin-kang, menyentil kawat-kawat khimnya
lebih tekun dan lebih keras. Akan tetapi tiba-tiba “cringgg!” sebatang
kawat khimnya putus!
“Keparat....!” Siang-mou Sin-ni melompat
dan bagaikan kilat menyambar tubuhnya melesat ke arah suara khim,
rambutnya berkibar tertiup angin, siap untuk mencekik dan mencambuk
lawan. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti, tertegun berdiri dan mukanya
berubah pucat. Kiranya yang duduk bersila di bawah pohon besar yang
mainkan khim dengan tenang sambil menundukkan kepala, adalah Bu Kek
Siansu! Bagaimanakah kakek yang dulu sudah terjerumus ke jurang itu
dapat berada di sini? Siang-mou Sin-ni adalah seorang tokoh sakti,
seorang yang dijuluki iblis wanita, akan tetapi sekarang ia menjadi
pucat ketakutan.
“Kau.... kau.... setan....!” teriaknya,
membalikkan tubuh dan.... lari meninggalkan kakek itu, kembali menuju ke
tempatnya tadi. Tangan kirinya menyambar alat khimnya yang putus
sehelai kawatnya, tangan kanan menyambar tubuh Bu Sin yang masih
menggeletak pingsan. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara khim yang
melengking tinggi dan.... Siang-mou Sin-ni terjungkal seperti didorong
tenaga mujijat dari samping. Ia berteriak marah, menyimpan khim-nya,
kemudian menubruk maju lagi untuk memondong tubuh Bu Sin. Untuk kedua
kalinya terdengar suara khim melengking dan kembali ia roboh
terjengkang.
“Kurang ajar....!” Siang-mou Sin-ni berteriak lagi
dengan marah, kini ia meloncat bangun, rambutnya bergerak menyambar ke
arah tubuh Bu Sin yang sudah bergerak-gerak siuman dari pingsannya.
Kembali terdengar suara khim dan kini amat nyaring. Rambut panjang yang
sudah menyambar ke depan untuk merenggut tubuh Bu Sin itu tiba-tiba
seperti tertiup angin keras, berkibar dan membalik menyerang muka
Siang-mou Sin-ni sendiri. Wanita ini menjerit kaget, cepat meloncat ke
belakang berjungkir balik beberapa kali, kemudian sambil mengeluarkan
suara melengking setengah tertawa setengah menangis seperti kuntilanak
kesiangan, ia lari meninggalkan tempat itu!
Suara khim berhenti
dan tubuh kakek tua renta Bu Kek Siansu nampak mendatangi, kedua kakinya
melangkah perlahan menghampiri Bu Sin. Sebuah alat musik khim yang amat
sederhana dan tua tersembul keluar dari balik punggungnya yang agak
bongkok. Kemudian ia berdiri di dekat Bu Sin, memandang pemuda itu yang
bergerak perlahan dan mulai bangkit. “Kasihan....” bibir itu berbisik,
“anak baik, putera seorang patriot ternama, begini nasibnya....”
Bu Sin menengok, sepasang matanya yang sayu memandang, tidak mengenal
kakek itu. “Mana.... mana dia....?” bibirnya yang agak pucat bertanya,
suaranya agak gemetar, mengandung takut dan mesra.
Bu Kek Siansu
menggeleng-geleng kepala. Sekali pandang saja kakek sakti ini maklum
sudah apa yang telah menimpa diri pemuda ini. Tangannya bergerak
menyentuh tengkuk Bu Sin, menekan sebentar lalu berbisik lagi. “Belum
terlambat.... anak baik, kauikutilah aku....”
Seperti linglung
Bu Sin bangkit berdiri. Biarpun ia telah menjadi korban racun perampas
semangat, namun sikap hormatnya terhadap seorang tua yang patut dihormat
tetap ada padanya. Ia segera mengangkat tangan dan membungkuk sambil
bertanya, “Bolehkah saya bertanya siapakah Locianpwe yang mulia? Dan
saya berada di mana, apa yang telah terjadi?” Ia mengerutkan keningnya,
mengingat-ingat namun ia masih lupa segala. Sentuhan pada tengkuknya
oleh Bu Kek Siansu tadi sudah banyak menolong, namun belum mampu
menyembuhkannya sama sekali.
“Kau menjadi korban Siang-mou
Sin-ni. Telanlah ini, kau akan dapat mengingat kembali.” Kakek itu
mengeluarkan sebutir obat bulat sebesar kacang tanah berwarna kuning.
Bu Sin menerimanya dan menelannya, terasa amat pahit, akan tetapi ia
tetap menelannya. Tiba-tiba kepalanya menjadi pening, perutnya terasa
panas seperti terbakar dan pemuda ini terhuyung-huyung lalu jatuh
terduduk. Kepalanya terasa berputaran sehingga ia menggunakan kedua
tangan memegangi kepalanya, bibirnya mengeluh. Entah berapa lamanya ia
berhal seperti ini ia sendiri tidak tahu. Tiba-tiba ia melompat bangun
dan berseru.
“Iblis betina, boleh kaubunuh aku, jangan harap aku sudi tunduk kepadamu!”
Akan tetapi terpaksa Bu Sin harus meramkan matanya karena kembali ia
merasa pusing. Ketika ia membuka kedua matanya, ia melihat seorang kakek
tua renta di depannya yang memandang dengan senyum penuh kesabaran.
Teringatlah ia sekarang. Kakek ini telah memberi obat kepadanya, dan
dia.... dia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, disiksa hampir
mati. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut, dapat menduga bahwa
tentu kakek ini yang telah menolongnya dari tangan Siang-mou Sin-ni,
sungguhpun ia tidak tahu bagaimana caranya.
“Locianpwe tentu
telah membebaskan teecu dari tangan Siang-mou Sin-ni. Teecu menghaturkan
terima kasih....” Ia berhenti dan mengerang. Tubuhnya serasa lemas dan
dadanya agak sakit.
“Anak baik, mari kau ikut denganku agar
kesehatanmu pulih kembali.” Kakek itu mengulurkan tangan dan di lain
saat tubuh Bu Sin sudah ia bawa pergi dari situ. Bu Sin hanya merasa
betapa tubuhnya seperti melayang cepat sekali, kedua telinganya
mendengar suara angin dan matanya pedas, tak dapat dibuka, hidungnya
sukar bernapas karena angin sehingga ia meramkan mata dan membalikkan
muka agar dapat membelakangi angin.
“Kita sudah sampai!” Suara
halus kakek itu menyadarkannya. Bu Sin merasa seperti baru bangun tidur
dari mimpi. Ia membuka matanya dan kiranya ia sudah berdiri di depan
air terjun yang amat bening dan air yang terjun itu seperti perak, putih
berkilauan tertimpa sinar matahari. Kembali ia menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu yang kini ia tahu tentulah seorang tua yang
memiliki kesaktian luar biasa.
“Locianpwe, teecu mengerti bahwa
Locianpwe menolong teecu. Teecu sendiri tidak mengerti mengapa tubuh
teecu terasa sakit-sakit dan lemas, dan mengapa pula Locianpwe membawa
teecu ke tempat ini? Mohon petunjuk....”
“Orang muda, kau telah
menjadi korban keganasan Siang-mou Sin-ni, kau diberi minum racun
perampas semangat dan selama beberapa pekan kau menjadi barang
permainannya. Baiknya di dalam sanubarimu sebelum kau minum racun kau
telah mempunyai perasaan tidak suka dan membencinya, dan hatimu tidak
dikotori nafsu, maka masih dapat tertolong. Hanya sin-kang di dalam
tubuh yang menjadi lemah. Orang muda, sekarang katakan, apakah
cita-cita yang terkandung dalam hatimu?”
Bu Sin diam-diam
terkejut sekali mendengar bahwa dia telah menjadi korban Siang-mou
Sin-ni. Ia dapat menduga apa artinya “menjadi permainannya” dan ia
merasa malu, juga gemas terhadap iblis wanita itu. “Locianpwe, mohon
Locianpwe sudi menolong teecu. Teecu telah terpisah dari dua orang adik
teecu yang masih belum teecu ketahui bagaimana nasibnya. Teecu masih
belum dapat menemukan musuh besar yang telah membunuh ayah bunda
teecu. Teecu juga masih belum berhasil mencari kakak teecu untuk
memenuhi pesan Ayah. Sekarang ditambah lagi dengan perbuatan Siang-mou
Sin-ni si iblis betina yang harus teecu balas! Akan tetapi teecu yang
begini lemah dan bodoh, bagaimana akan dapat memenuhi tugas itu semua?
Mohon Locianpwe sudi menolong.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku akan lebih suka kalau kau melepaskan semua itu dan ikut dengan
aku ke puncak untuk menjadi seorang pertapa.
***
“Akan
tetapi, hal demikian tak dapat dipaksa, harus keluar dari dalam sanubari
sendiri. Orang muda, aku bersedia membantumu, akan tetapi berhasil atau
tidaknya seluruhnya tergantung kepadamu sendiri. Kalau hatimu cukup
kuat, kalau kemauanmu cukup keras, kalau kau tahan menderita dan tidak
takut menghadapi maut dalam mengejar cita-cita, agaknya Tuhan pasti akan
mengabulkannya. Nah, kau duduklah di atas batu itu, biarkan air terjun
itu menimpa di atas kepalamu, duduk bersila dan curahkan perhatianmu
kepada apa yang akan kuajarkan kepadamu. Mulailah!”
Bu Sin sudah
membulatkan tekadnya. Ia maklum bahwa kakek ini bukan manusia biasa dan
hanya dengan pertolongan kakek ini ia dapat mengharapkan semua
cita-citanya tercapai. Hanya ada dua jalan terbuka baginya. Berhasil
atau mati. Bukankah ia baru saja terbebas daripada kematian yang amat
hebat di tangan Siang-mou Sin-ni? Apa artinya lagi kematian baginya?
Tanpa ragu-ragu ia lalu melompat ke atas batu besar yang tengahnya
menjadi berlobang karena terus menerus ditimpa air terjun. Lalu ia duduk
bersila, menyatukan panca indera dan membuka telinganya untuk
mendengarkan.
Akan tetapi, air yang menimpa kepalanya
mendatangkan suara bergemuruh yang memekakkan kedua telinganya di
samping mendatangkan rasa dingin yang menyusup ke tulang sumsum.
Mula-mula memang terasa segar dan enak, akan tetapi lambat-laun rasa
dingin hampir tak tertahankan lagi, kepalanya terasa sakit seperti
ditimpa batu godam ratusan kati beratnya. Bu Sin meramkan matanya,
wajahnya pucat sekali dan hampir ia tidak kuat menahan, tubuhnya sudah
bergoncang.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia mendengar
suara kakek tadi, dekat sekali suara itu, berbisik-bisik di dekat
telinganya, “Orang muda, kerahkan sisa tenaga dari pusar, biarkan
berkumpul dan desak ke atas melalui dada, terus salurkan ke jalan darah
tiong-cu-hiat.”
Otomatis Bu Sin melakukan perintah ini, akan
tetapi karena ia merasa amat lemah, sukar baginya untuk menyalurkan
tenaga dalam ke arah jalan tiong-cu-hiat di belakang leher. Mendadak
belakang lehernya itu seperti disentuh sesuatu dan aneh, dengan mudah
kini tenaga dalamnya menjalar ke tiong-cu-hiat! Girang hatinya karena
kakek sakti itu membantunya.
“Lindungi tiong-cu-hiat dengan sisa
sin-kang itu agar kuat menahan serangan air. Kini mulailah mengatur
pernapasan menurut aturan Im Yang, sedot masuk berikut hawa pukulan air,
kumpul di dada, tekan ke pusar sambil keluarkan napas.” Dengan
kata-kata yang halus berbisik-bisik dan seperti diucapkan dekat kedua
telinga Bu Sin, kakek itu mulai menurunkan ilmunya kepada Bu Sin yang
mendengarkan dengan amat tekun.
Seluruh perhatiannya tercurah
kepada semua kata-kata ini sehingga ia lupa akan segala hal lainnya,
bahkan ia tidak tahu lagi di mana ia berada, apa yang terjadi dengannya,
dan dia tidak lagi merasai pukulan air yang menimpa di atas kepalanya.
Begitu tekun Bu Sin mendengarkan wejangan kakek tua renta itu yang
dengan sabar sekali mengulangi ajaran-ajarannya. Pemuda ini sampai tidak
tahu lagi keadaan sekelilingnya, tidak tahu bahwa siang telah berganti
malam dan malam berganti siang lagi. Tidak tahu bahwa kakek itu sudah
tidak membisikkan pelajaran-pelajaran lagi, akan tetapi bahwa yang
didengarnya sekarang hanyalah gema suara kakek itu yang seakan-akan
masih terus berbisik-bisik di dekat telinganya mengulang pelajaran gaib
tentang siulan dan membentuk sin-kang di tubuh, pelajaran yang sudah
dihafalnya benar-benar.
Setelah suara itu makin menghilang,
barulah perlahan-lahan ia sadar bahwa kakek itu tidak berbisik lagi dan
mulailah ia sadar akan keadaan di sekelilingnya, akan keadaan dirinya.
Akan tetapi, begitu panca inderanya buyar, hampir ia terjungkal karena
kepalanya serasa pecah dan air yang menimpa kepalanya serasa bukan air
lagi melainkan ratusan ribu batang jarum-jarum yang runcing! Cepat ia
mengerahkan hawa dalam tubuh seperti tadi sebelum buyar dan lenyaplah
rasa sakit di kepalanya. Akan tetapi kini rasa dingin yang amat hebat
menyusup ke dalam tubuhnya. Ia menggigil kedinginan, giginya sampai
berbunyi, perutnya serasa kaku dan mengkal. Cepat ia mengingat isi
pelajarannya itu, ia berhasil mengatasi serangan hawa dingin. Akan
tetapi karena belum pandai benar ia menjalankan ilmu itu, hawa dingin
segera terganti hawa panas yang amat luar biasa. Dadanya serasa sesak,
sukar bernapas, perutnya seperti dibakar api neraka, telinganya
terngiang-ngiang dan kepalanya serasa hampir meledak. Kembali dengan
mengingat pelajaran tadi, ia berhasil menundukkan rasa panas ini.
Bu Sin dengan kebulatan tekad yang luar biasa, terus melatih diri
dengan ilmu yang ia terima dari kakek sakti. Entah berapa kali cuaca di
balik pelupuk matanya menjadi gelap pekat dan terang kembali, ia tidak
ingat lagi, juga tidak memperhatikan. Makin lama ia merasa tubuhnya
makin nyaman dan ringan, ingatannya menjadi terang, dadanya lapang dan
ia merasa bahwa tenaga di dalam tubuhnya pulih kembali, malah kini lebih
kuat daripada biasa. Hanya kelemahan karena terlalu lama tidak mengisi
perutnya yang terasa olehnya, kelemahan yang wajar. Karena khawatir
kalau-kalau kelemahan ini akan membuatnya tidak kuat menahan, beberapa
kali Bu Sin membuka mulutnya dan menerima percikan air memasuki mulutnya
untuk diminum. Akan tetapi kebutuhan jasmaninya tidak dapat hanya
ditutup oleh air tawar itu. Akhirnya ia membuka mata. Dari balik air
yang muncrat setelah menyiram kepalanya, ia memandang. Tidak tampak
bayangan kakek tua. Hati-hati ia membuka lipatan tangan dan kakinya.
Kini tubuhnya gemetar, bukan main lemah dan lunglai tubuhnya akibat
perut kosong berhari-hari. Baru kini terasa hebatnya badan menanggung
kelaparan. Hampir saja ia dibuai oleh kelemahannya dan kalau ia tidak
cepat-cepat membuang diri ke kanan lalu merangkak turun dari atas
batu, kiranya ada bahayanya ia terjungkal ke kiri atau ke depan, ke
dalam air!
Bu Sin bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar. Ia
mengingat-ingat, memandang ke arah air terjun yang kini kembali menimpa
batu yang tadi menjadi tempat duduknya. Mimpikah ia? Di mana adanya
kakek itu? Tidak, ia tidak mimpi, pikirannya terang sekali. Ia ingat
semuanya. Ingat bahwa ia tadinya menjadi tawanan Siang-mou Sin-ni, dan
menurut kakek sakti itu, ia minum racun perampas semangat dan dijadikan
permainan oleh si iblis betina. Untung ada kakek sakti itu yang
menolongnya, kemudian kakek sakti itu yang menurunkan ilmu siulian yang
ajaib sehingga ia tahan bersamadhi di bawah air terjun sampai
berhari-hari lamanya. Entah berapa hari, ia tidak dapat menghitungnya
karena ia tekun dalam bersamadhi sambil mencurahkan segala daya
ingatannya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu itu.
Tak
perlu bersusah payah mencari kakek itu, pasti tidak akan dapat
bertemu. Sayang ia tidak tahu nama kakek itu. Yang perlu sekarang
mencari adik-adiknya. Ia sendiri tidak tahu di mana ia berada. Harus ia
selidiki hal ini dan sekarang yang paling perlu adalah mencari pengisi
perut atau kalau terlambat ia akan mati kelaparan. Hutan di depan itu
penuh pohon, tentu ada bahan pengisi perut, buah-buahan, binatang hutan,
atau setidaknya tentu ada daun-daun muda!
Tak lama kemudian,
dengan hati lapang Bu Sin sudah menggerogoti buah-buah yang segar dan
manis dan perutnya menerima dengan lahapnya, seakan-akan tidak mengenal
kenyang. Agaknya akan berbahaya bagi Bu Sin kalau ia melanjutkan
makannya, mengisi sepenuhnya perut yang sudah terlalu lama dikosongkan
itu. Baiknya sebelum terlalu banyak ia makan, tiba-tiba ia mendengar
auman yang menggetarkan hutan, disusul pekik kesakitan seorang manusia.
Cepat reaksi Bu Sin. Buah di tangannya yang belum sempat digigit ia
buang dan tubuhnya sudah berlari cepat sekali ke arah utara. Untung
tidak terlalu jauh tempat itu, atau mungkin karena lari cepat Bu Sin
kini memperoleh kemajuan secara menakjubkan dan tidak disadari oleh
orangnya sendiri. Ia melihat seorang laki-laki berpakaian ringkas
seperti seorang pemburu, sedang bergulat mati-matian melawan seekor
harimau. Bukan bergulat dalam perkelahian lagi namanya, melainkan
bergulat untuk memperpanjang hidupnya atau lebih tepat, untuk menahan
mulut yang penuh taring meruncing itu merobek tubuhnya. Darah sudah
memenuhi sekitar dada, pundak dan kedua lengan, namun pemburu itu dengan
kedua tangannya mati-matian mendorong moncong harimau. Perlawanan yang
sia-sia. Melihat sebatang tombak masih menancap di perut harimau,
tahulah Bu Sin bahwa pemburu itu kurang tepat menombak harimau sehingga
binatang itu tidak roboh, sebaliknya sempat menubruk dan agaknya si
pemburulah yang akan tewas terlebih dahulu kalau ia tidak segera turun
tangan.
Bu Sin melompat dekat, tangannya diayun dan....
“krakkk!” tubuh harimau terguling, kepalanya pecah. Laki-laki itu
merangkak keluar dari bawah perut harimau, terbelalak keheranan. Juga Bu
Sin berdiri terbelalak keheranan. Bagaimana mungkin dengan sekali pukul
saja ia berhasil membunuh seekor harimau besar? Bukan hanya membunuh,
lebih tak masuk di akal lagi, memecahkan kepalanya! Tiba-tiba pemuda ini
menjatuhkan diri berlutut, menumbuk-numbukkan dahinya pada tanah sambil
berkata berulang-ulang. “Locianpwe, beribu terima kasih atas kurnia
Locianpwe....”
Si pemburu yang sudah bangkit duduk, makin
melebarkan mata dan mulutnya. Akhirnya ia mengeluh dan roboh pingsan. Ia
banyak kehilangan darah, lalu melihat munculnya seorang pemuda yang
sekali pukul memecahkan kepala harimau, ditambah lagi melihat pemuda
penolongnya itu tiba-tiba berlutut dan seakan-akan menghaturkan terima
kasih kepadanya, atau kepada bangkai harimau. Hal ini terlalu banyak
baginya, terlalu hebat, tak tertahankan sehingga ia roboh pingsan!
Bu Sin baru sadar akan terluapnya kegembiraan dan rasa syukurnya ketika
mendengar pemburu itu mengeluh dan melihatnya roboh pingsan. Cepat ia
bangkit dan menghampiri. Tidak hebat luka-luka itu, hanya di pundak
kanan yang agak besar, akan tetapi darah keluar terlalu banyak. Bu Sin
cepat merobek baju pemburu itu untuk membalut luka di pundak dan menotok
jalan darah. Kemudian mencari air menyiram muka pemburu itu yang
segera siuman kembali, menggosok-gosok mata sambil bangkit duduk,
pandang matanya bertemu dengan bangkai harimau, bergidik dan menoleh
memandang Bu Sin, matanya terbelalak dan agaknya ia akan roboh pingsan
lagi kalau saja Bu Sin tidak segera memegang pundaknya dan berkata.
“Tidak ada bahaya lagi, sahabat. Tenanglah, harimau itu sudah mati.”
“Kau.... kau.... manusiakah kau....?”
Mau tidak mau Bu Sin tersenyum dan mengangguk-angguk. “Kau gagah sekali
sobat. Sudah berada di ambang maut masih melakukan perlawanan hebat.
Kau seorang pemburu, bukan? Kebetulan aku lewat dan sempat membantumu.”
kata Bu Sin merendah karena ia maklum betapa orang ini kagum kepadanya.
Pemburu itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Sin yang segera mengangkatnya bangun.
“Tak perlu segala kekosongan ini!” katanya. “Marilah kita bicara secara
sewajarnya. Aku tidak akan lama mengganggumu, hanya ingin bertanya,
tempat apakah ini? Hutan mana dan berada di daerah mana? Aku.... aku
tersesat jalan, harap kau sudi memberi petunjuk.”
Orang itu
kelihatan tertegun. “Taihiap (Pendekar Besar) tentu hendak berkunjung ke
kota raja untuk menghadiri pesta perayaan Beng-kauw, bukan? Wah, kalau
tidak cepat-cepat, Taihiap bisa terlambat. Pesta dimulai esok hari dan,
dari sini ke Kota Raja Nan-cao masih jauh, dua hari perjalanan!”
Kaget hati Bu Sin ia sudah berada di dekat Kota Raja Nan-cao di
selatan? Hebat! Kiranya iblis betina itu membawanya ke Nan-cao! Tentu
ada maksud tertentu. Lebih baik ia teruskan kunjungan ke Nan-cao. Ia
mengangguk dan berkata.
“Betul, aku hendak ke Nan-cao. Masih
dua hari perjalanan? Tolong kautunjukan jalannya agar aku tidak sesat
lagi.” Pemburu itu lalu memberi petunjuk, menggurat-gurat tanda gunung
dan sungai di atas tanah.
“Terima kasih, sekarang juga aku akan berangkat agar tidak terlambat.” Ia bangkit berdiri.
“Nanti dulu, Taihiap. Kau telah menolong nyawaku, bolehkah saya
mengetahui nama besar Taihiap? Saya seorang pemburu, Lai Teng nama
saya, dan....” akan tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya karena
pemuda di depannya sudah berkelebat pergi dan sebentar saja sudah amat
jauh. Ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak kagum sampai
bayangan Bu Sin lenyap diantara pohon-pohon.
Bu Sin benar-benar
merasa girang sekali ketika ia mendapat kenyataan bahwa keadaan dirinya
jauh berbeda daripada dahulu. Kalau saja tadi ia tidak memukul kepala
harimau, agaknya ia tidak atau belum dapat mengetahui perubahan ini.
Sekarang, ia dapat berlari cepat, demikian ringan tubuhnya. Sebagai
seorang yang cerdik dan memiliki darah pendekar, tentu saja ia tahu
bahwa semua ini adalah hasil daripada ilmu siulian ajaib yang ia
terima dari kakek tua renta tak bernama itu.
Dengan melakukan
perjalanan cepat tiada pernah mengaso, pada keesokan harinya menjelang
senja sampailah ia di perbatasan Nan-cao. Ia tidak mengenal jalan, maka
tanpa ia sadari ia telah memasuki tanah kuburan yang amat luas, dengan
kuburan yang angker dan indah-indah bangunan nisannya, malah ada yang
dihias lukisan atau ukiran pada batu-batu nisan. Inilah tanah pekuburan
para pembesar dan keluarga raja di Nan-cao.
Tiba-tiba Bu Sin
menyelinap dan bersembunyi di balik sebuah kuburan besar yang letaknya
di pinggir jalan. Dari depan ia melihat tiga orang laki-laki berjalan
cepat sekali, kemudian setelah sampai di daerah kuburan, mereka
memperlambat jalan dan bercakap-cakap. Seorang di antara mereka, yang
kumisnya tipis panjang dan matanya juling, menggendong sebuah karung
hitam di punggungnya, memegangi mulut karung yang diikat dengan kedua
tangan, tampaknya berat isi karungnya itu. Yang dua orang lagi adalah
orang-orang setengah tua yang wajahnya membayangkan kekejaman, apalagi
orang ke tiga yang mukanya cacat, bolong-bolong oleh penyakit cacar.
Orang ke dua kepalanya besar dan ada jendolan daging di atas dahinya.
Yang menyolok adalah bawah ketiga orang laki-laki ini semua berpakaian
pengemis.
“Ha di sinilah tempatnya. Pangcu (Ketua) berpesan agar
kita menanti di sini sampai datang Suma-kongcu. Ihhh, memilih tempat
saja di tanah kuburan. Ngeri juga!” kata orang bermata juling sambil
menurunkan karung hitam dari punggung, meletakkahnya di atas tanah.
Karung itu terguling akan tetapi isinya tidak keluar karena mulut karung
diikat. Mereka lalu berjongkok dan menghapus peluh, agaknya mereka tadi
telah berlari-lari cepat. Apalagi si penggendong karung peluhnya
membasahi leher dan mukanya.
“Loheng (Kakak), tak enak menanti
di tempat angker begini, tanpa ada pemandangan yang elok. Kita buka
saja karung itu, agar mata kita dapat menikmati pemandangan yang
menyegarkan semangat, heh-heh!” kata pengemis bermuka bopeng, yang
paling muda di antara mereka.
“Sam-te, jangan main-main kau!”
cela si kepala besar, “Kau tentu maklum apa maunya Suma-kongcu menculik
si cantik ini. Kalau kau mengganggunya dan hendak mendahului
Suma-kongu, apakah kau tidak takut kepalamu akan terpisah dari leher?”
“Wah, Suheng (Kakak Seperguruan), aku bukan seorang tolol. Mana aku
berani mengganggunya? Dia hidangan orang-orang seperti Suma-kongcu, mana
cocok untukku? Paling-paling orang seperti kita ini mendapat sisanya.
Hi-hi, pernah dulu aku diberi sisa oleh Suma-kongcu, anak dari Kiang-si
itu. Wah.... berabe, baru tiga hari dia bunuh diri!” kata lagi si
bopeng.
“Ha-ha, agaknya takut melihat bopengmu!” kata si juling.
“Loheng, kau sendiri apa mengira dirimu bagus? Matamu juling, mukamu pucat, kumismu seperti kumis monyet....!”
“Tapi tidak bolong-bolong seperti kulit mukamu yang dimakan rayap....!”
“Sttt, sudahlah!” tegur si kepala besar. “Kalian ini kalau ada
perempuan cantik, selalu berebut tampan dan saling memburukkan. Sam-te,
memang tidak baik membuka karung, biarpun aku sendiri tadi kagum
menyaksikan nona yang begini jelita, akan tetapi jangan lupa bahwa dia
pun lihai bukan main. Kalau tidak ada Pangcu, kurasa belum tentu kongcu
mampu menawannya.”
“Takut apa, Loheng? Biarpun dia lihai, akan
tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak
hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di
kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang
tanggung,” Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan
membuka tali pengikat mulut karung. “Pula, sudah terlalu lama ia
dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka
kita, mendapat marah dari Kongcu!” Kedua temannya yang tadinya hendak
melarangnya, ketika mendengar ucapan terakhir ini saling pandang,
kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng
mengeluarkan isi karung itu.
Apakah isinya? Bu Sin yang sudah
dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh
seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua
matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut
yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas,
sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari
kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam
lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih,
demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu
menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang
ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.
“Coba lihat, alangkah manisnya!” kata si juling.
“Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.
“Suheng, suheng...., a.... aku.... kan boleh ya aku.... menciumnya satu
kali saja?” kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang
matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.
“Sam-te, jangan gila kau!” seru si kepala besar.
Si juling tertawa menyeringai. “Mencium sih tidak ada halangannya,
biarpun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini
pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?”
Bu Sin tak dapat
menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar dari tempat sembunyinya
sambil membentak. “Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis,
benar-benar sudah bosan hidup!”
Tiga orang itu kaget sekali dan
dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si
mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki
kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan, ketika dapat merangkak bangun,
matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak
dan ia terbatuk-batuk. Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat
menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri
menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah menyambar tongkatnya,
sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.
“Bocah
jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-cao (Ular
Tanduk Besi)?” seru si kepala besar yang mempunyai “tanduk” daging di
jidatnya.
“Tak perlu tahu aku siapa, lekas kalian minggat dan
tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!” bentak Bu Sin,
hampir tidak kuat menahan kemarahannya.
Si kepala besar yang
berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya
yang bermuka bopeng. “Sam-te, kaumasukkan lagi dia ke dalam karung agar
leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini.” Setelah
berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat
seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.
Si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok,
mendengar perintah ini, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata
berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih
pingsan, “Heh-heh.... pipimu begini halus....!” Ia pikir tidak ada
salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka
ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk
memberi ciuman kurang ajar.
“Plakk! Ngekkk....!” Si muka bopeng
memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan
melompat ke samping. Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu
telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga
si bopeng yang roboh
bersambung ....................5
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar