Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su- 17 v

orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di
tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam jarak yang cukup jauh dan mereka memandang permukaan rawa
dengan wajah membayangkan kengerian.

Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu. "Saya
hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika dia ditanya
oleh teman-temannya, "dan ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami berlompatan dari tempat
ini ke pulau itu. Setiap lompatanya membawanya ke tanah keras dan aman, akan tetapi tentu saja aku tidak bisa
mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke tanah kiri, kadang-kadang membalik lagi." "Hemmm, tentu merupakan
jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil meraba-raba dagunya yang berjenggot
panjang. "Dan menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang
jalan penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya, sampai saya
merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki, sedangkan tanah yang kelihatan kering
di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali.

Ketika pulang ke Bu-tong-san,
Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh jalan ini sendirian saja karena dia pun
tidak dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu." "Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang?
Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita
berempat mengikuti dari belakang, menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andaikata kau salah
jalan dan masuk perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitupun boleh, akan kucoba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung tali, Koko,
karena aku ngeri!" "Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" Tiba-tiba Tan Goan Kok berkata
dengan suaranya yang parau dan nyaring. "Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah.
"Pula, kalau Liem-koko yang memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andaikata aku terjeblos,
tentu akan dapat cepat ditariknya naik lagi." "Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu
diketahui mereka, tentu akan menjadi bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang
disembunyikan orang? Kita harus mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan
maling." Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini.

Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil
mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu sebagai
tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi dilanjutkan, dan sampai
terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat mereka memandang rendah saja. Akan
tetapi, betapapun banyak pengalaman mereka dan betapapun tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka
menghadapi kesukaran seperti sekarang ini. Akhirnya Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, mengeluarkan
suara mengomel, kemudian berkata, "Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari
ikan di rawa-rawa seperti ini!" Empat orang kawanannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan
penuh harapan. "Lekas katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya. "Mereka menggunakan
bambu-bambu sebagai perahu." "ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di
tengah jalan kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang
ke rawa dengan alis berkerut. "Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing
menggunakan sebatang bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi teman temannya
sudah dapat menangkap maksudnya. "Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur
melalui apa saja!" Tan Goan Kok berteriak girang. "Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati,
benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang, kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin menjadi
bahaya tertawan lagi. Betapapun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata
Pat-jiu Mo-kai yang bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya. Tak lama kemudian,
tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui orang itu. Dilihat dari
jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau orang melihat dari dekat
barulah tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua ujungnya telah diperuncing dan
mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka injak itu meluncur ke tengah. Orang yang tidak
memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk menyebrang menggunakan cara seperti ini. Bambu sebatang
yang diinjak kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat berputar sehingga kaki dapat
terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolah olah melekat pada batang bambu itu tidak
dapat berputar, dan dengan ginkang mereka lima orang lihai kepercayaan An Lu Shan itu dapat memperingan tubuh
mereka dan bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini
sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari
Pulau Es! Diam-diam, dari tempat persembunyian mereka, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum
ketika lima orang itu meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan
sebatang bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa lain
yang menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera melaporkan kepada
Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu. Kedua orang wanita sakti ini segera berunding
sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah
sekali. "Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!" "Ahhh, The-lihiap, mengapa marah?
Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu, melainkan seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya.
Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan, amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata
Kiam-mo Cai-li. The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus
dikesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana.
Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana untuk menghadapi lima orang itu, utusan-utusan An Lu
Shan dimana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu memberi nasihat-nasihat sehingga
keduanya dapat mengatur siasat. Biarpun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak
ular berbisa, saling bantu membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang
itu berhasil juga melompat ke atas pulau dimana telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan menyambut
mereka. Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Pat-jiu Mo-kai segera
tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An
Goan-swe!" Seorang di antara anggauta pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju
dan memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat datang
berkunjung maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah memperlihatkan kegagahan
yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silahkan Cuwi semua ikut dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)."
Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguhpun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan ratu itu.
Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima mereka sebagai
seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak banyak cakap melainkan
mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau dimana terdapat bangunan- bangunan yang kuat dan cukup indah. Lima
orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin, Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat
Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas. Agak pucat muka Swi Nio dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki
yang membalas dengan genggaman seolah olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio
merasa takut karena dia sudah mengenal watak subonya yang keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subonya
itu. Dia tahu bahwa andai kata subonya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat itu.
"Ibu, itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan
telunjuknya ke muka Swi Nio. Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi, dan dia maju menjatuhkan diri
berlutut sambil berkata, "Subo, teecu harap subo sudi mengampunkan teecu." The Kwat Lin memandang tajam sejenak
lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang
laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap siap siaga dan kalau dia menurutkan hati panas turun tangan
mengganggu muridnya itu, tentu empat orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati matian. Hal ini sama
sekali tidak diharapkannya dan sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li, maka dia menekan perasaannya
dan berkata,"Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi kepercayaan An Goanswe, tidak terlalu mengecewakan." Lega
bukan main hati Swi Nio dan dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik saja,
bukan?" An Bu Ong yang biarpun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan bibirnya,
mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng dibunuh orang, dan ibu
sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!" "Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat
Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah engkau bahwa kakakmu telah tewas?" Swi Nio
mengangguk dan air matanya bercucuran dan segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal itu, Subo." "Kalau
begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi Nio, dan baik
sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan An Goanswe, ya?" Swi
Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan penunjuk jalan saja
bersama....dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi merah. "Siapa dia?" The Kwat
Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki yang cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...." "Aku bukan
Ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!"jawab Kwat Lin ketus. "Maaf, saya bernama Liem Toan Ki
dan Bu-moi adalah calon istri saya." "Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang
membawa minggat Suci!" tibatiba Bu Ong berkata. Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia
terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang dahulu menjadi petugas An Goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan
kemudian mengajak pergi Bu-moi yang sekarang menjadi calon istri saya." The Kwat Lin mengerutkan alisnya.
Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas Ketua Bu-tong-pai dan sebagai guru Swi Nio, akan
tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li, maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya,
"Benarkah kau menjadi calon isterinya?" Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta,
akan tetapi teecu dan dia berjanji hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu
setelah kerajaan sekarang jatuh dan dikuasai An Goanswe." "Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini
hanya membantu, siapa yang menjadi utusan An Goanswe menghadap padaku?" "Mereka inilah," Swi Nio menunjuk
kepada tiga orang teman-temannya. Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiongitu
adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan An Goanswe. The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga
orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka dengan matanya. Pat-jiu Mo-kai yang tertua dan dianggap
pemimpin rombongan apalagi karena dia yang pandai bicara dibandingkan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur,
apalagi dengan Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut, segera tertawa. "Ha-ha-ha, kami bertiga pun
hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An Goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan untuk menjadi
utusan Beliau menghadap Toannio The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau Es dan Ketua Bu-tong-pai,
juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw sebagai seorang wanita yang amat lihai
dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat menjadi tamu-tamu di Rawa Bangkai ini." Kiam-mo Cai-li Liok
Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu apakah kedatangan Cuwi ada
hubungannya dengan pesan kami kepada An Goanswe" "Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An
Goanswe untuk menghadap Jiwi dan untuk bicara dengan Jiwi. An Goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai
jawaban An Goanswe mengutus kami untuk bicara." "Lalu bagaimana keputusan An Goanswe tentang ajakan kami untuk
bekerja sama?" The Kwat Lin bertanya. "An Goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An
Goanswe menerima dengan kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An Goanswe merasa kagum,
terutama sekali melihat siasat gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang
menjadi kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan
karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu berahinya. Kami diutus oleh An Goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenaga-tenaga bantuan di
dalam kota raja dan kalau mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan penyerbuan ke kota raja apabila saatnya
yang tepat tiba, maka An Goanswe akan berterima kasih sekali." Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan
oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu menjadi girang sekali sungguhpun kegirangan itu tidak
terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan
membantu dari dalam seperti yang diusulkan An Goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita
rencanakan siasat-siasatnya bersama." The Kwat Lin berkata. "Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar
dapat kami sampaikan kepada An Goanswe terlebih dahulu kami harus menyampaikan semua pesan Beliau untuk Jiwi.
Selain usul itu juga An goanswe mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang
amat rumit, sulit, dan berbahaya. Hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang
akan dapat berhasil dan An Goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi panas.
"Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian hendak menguji kepandaian kami?" Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang
melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke tengah ruangan yang luas itu sambil berkata,
"Memang sudah seharusnya demikian! An Goanswe adalah seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan
menguji setiap orang sekutu atau pembantunya. Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian.
Siapakah di antara Cuwi berlima yang hendak menguji?" Dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan
memandang ke arah lima orang utusan itu. Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang
sudah maklum akan kehebatan ilmu kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu mengerti bahwa dia bukanlah
tandingannya. Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun itu masih cantik menarik dan memegang sebatang
payung, berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit. Ilmu
kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya, dan di dalam rombongan itu dia merupakan orang ke dua
yang terpandai. "Biarlah pinto yang akan menguji," katanya. Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi
tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu adalah mereka bertiga, dan dia mendengar bahwa kepandaian bekas
Ratu Pulau Es itu lebih hebat daripada kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang
menghadapi Kiam-mo Cai-li sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin. Kiam-mo Cai-li memandang tosu
itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku hanya mampu menandingi Siok Tojin,
agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es dan akan menjadi kepercayaan An Goanswe, akan
tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. kalau sampai dalam
sepuluh jurus aku tidak mampu mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biarpun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk wanita yang
merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat tangkas, hebat dan
kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya dalam sepuluh jurus? Namun The
Kwat Lin yang dengan pandang matanya yang tajam dapat menilai orang, tenang-tenang saja. Juga Kiam-mo Cai-li
bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai kepandaian tosu itu dari
gerakanya maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh jurus. Siok Tojin mengerutkan alisnya,
perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor
kerbau diikat hidungnya, manusia diikat mulutnya!" Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li
tidak memenuhi janji yang diucapkan dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian,
tangan kananya bergerak dan tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya. "Tentu saja mulutku
dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus! Kiam-mo Cai-li berkata sambil
mengejek dan tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan dipakainya, sedangkan tangan kirinya
diraba-raba sanggul rambutnya, seperti merapikan padahal diamdiam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.


"Ehhh.... celaka.....!!" Siok Tojin berseru, akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan
ke tiga ini? Kedua tangannya telah menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak....!!" Seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali, membuat
ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung rambut yang
terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala. "Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo
Cai-li bertanya. Sambil menundukan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah." Dan memang dia
tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan dalam lima enam
jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kakau tidak, tentu ujung rambut itu dapat
melakukan totokan maut yang akan menewaskannya. Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang
menancap di depan kaki Siok Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu
itu dari totokan. Siok tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia
menlangkah mundur ke tempat teman-temannya. "Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai,
kukunya berbahaya, rambutnya hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing
kemarahan Siok Tojin! Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang
membutuhkan kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. (Kionghi (Selamat)! An Goanswe tentu akan girang
sekali mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-lil!" Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum
girang. Aihh, Loenghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu memuji! katanya dengan bangga dan girang. "Sekarang untuk
melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An Goanswe, kuharap The-toanio suka memperlihatkan kepandaian," kata
pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya. "Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang
harus maju melayani Toanio." The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata
tajam penuh selidik, kemudian dengan suar tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An Goanswe untuk
menguji kami?" "Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....." "maka tinggal engkau dan Tan
Lo-enghiong itu. Nah, kaulihat Tan Lo-enghiong juga telah membawa senjatanya, membawa sebatang toya, maka
sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!" Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio,
apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing
kemarahanku!" The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa
siasat pun, menghadapi kalian berdua aku masih sanggup." Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan
dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis tua itu!" Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak
belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya memiliki kepandaian yang hebat sekali. Akan tetapi The Kwat
Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi musuh, dan pertandingan ini
hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!" Han BU Ong cemberut lalu berkata, "Apalagi hanya
dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak lebih dianggap seperti bocah biasa, dan
tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka. Lenyaplah
keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan Tan Goan Kok merupakan
orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju bersama menghadapi kelihaian Toanio?"
Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakan tangan kirinya, "Majulah, jangan
sungkan-sungkan!" Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki
kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!" Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk.
"Hati-hatilah, Tan-sicu." Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan kiri The Kwat Lin. Pat-jiu
Mo-kai memegang tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang, tongkat itu menuding ke
depan dari dadanya, lurus ke depan, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar, kedua kaki ditekuk
sedikit, agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan, kuda-kudanya
kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak bergoyang. Melihat dua
orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Angbwe- kiam dan melangkah maju
sambil berkata, Nah silahkan kalian mulai!" "Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau
kami mulai, silahkan Toanio mulai," kata Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan
maju menyerang lebih dulu agar dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.
The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya dan Pat-jiu Mo-kai
kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar
yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak, pedang itu telah menyerang
mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka terkejut sekali dan cepat menggerakkan
tongkat dan toya untuk menangkis. "Trang...! Cringggg....!!" Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke
belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan
hampir saja senjata mereka terlepas. Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan
mereka karena dia memang hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang
itu maju dari kanan kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas. Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di
antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel itulah yang lebih lihai maka dia selalu mendahulukan
tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok
yang kasar itu hanyalah menggandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin
mudah dia menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup membuat
telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia yakin akan ukuran
tenaga kedua orang lawannya, Tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali pedangnya dan menghadapi kedua lawan
itu dengan tangan kosong. Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan pat-jiu Mo-kai berseru,
Heiii, The-toanio. Kami belum kalah mengapa engkau mengakhiri pertandingan?" "Siapa Mengakhiri? lanjutkanlah
serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak." "Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah
mengalahkan kalian!" Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakan senjata
mereka untuk menyerang. Tongkat pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan
Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu sama sekali
tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit. "Bukkk! Bukkkk!!" Tongkat itu dengan
kerasnya menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha, akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh
terguling dalam keadaan lemas tertotok! "Horeeee....!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan
saja setelah ibunya menyimpan pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan. Sementara itu, The Kwat Lin
cepat membebaskan totokannya dan dua orang kakek itu dapat bangkit sambil memungkut senjata mereka dan
memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu. Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat
dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, namun kenyataannya memang demikian dan mengingat akan siasat lawan ini,
mereka bergidik dan kagum sekali. Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin
mengukur sampai di mana kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja
menerima hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnnya, kemudian pada saat kedua
senjata itu tiba di tubuhnya, menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat lawan tidak
mengelak dan menerima pukulan, cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan berhasil menotok
roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena hantaman dua kali itu akan
menotok mereka! "Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama
hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The toanio memiliki kelihaian yang amat
luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An Goanswe," kata pat-jiu Mo-kai. The Kwat Lin dan
Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukan para utusan itu, maka pesta lalu diadakan untuk menyambut
utusan-utusan An Lu Shan dan sambil makan minum mereka lalu merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja
sama. Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada The
Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An Goanswe ini." The Kwat
Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang terisi emas dan perak dalam jumlah
yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai
sambil berkata, "kami tidak mempunyai apa-apa untuk dipersembahkan kepada An Goanswe sebagai tanda persahabatan
ini, harap Mo-kai suka menerima dan menyampaikan kepada Beliau." Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu dan mereka
berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa.
Biarpun mereka bukanlah ahli, namun pengalaman mereka membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu dapat
menduga bahwa harga kalung ini tidak kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberitahukan kepada An Goanswe bahwa kami sama sekali tidak membutuhkan
harta benda, melainkan hendaknya An Goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu Pulau Es dan puteraku adalah
seorang Pangeran, sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita
berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan
kami." Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk
kedudukan tinggi bagi puteranya. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Lui Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib
sengsara, ibu dari Swat Hong itu. Seoerti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es,
naik perahu dan mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke
Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atau diri Liu Bwee. Sambil menahan
tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu secepatnya meninggalkan Pulau Es.
Akan tetapi, biarpun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah
orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu?
Karena tidak mengenal jalan, Lui Bwee menjadi bingung, apalagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.
Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu, akan tetapi karena tidak tahu di
mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu, asal
meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat tercinta, dan
terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya. Setelah sehari semalam berputaran tanpa
tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang
dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak
terdapat di situ, tanpa makan tanpa tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang
subur. Dia mencari makanan untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar, kemudian melihat bahwa pulau ini cukup
subur dan baik hawanya, dia mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari
akhir. Dia sudah merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka. Mulailah
Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan muda sekali itu
mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia sudah menemukan ketentraman
batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa.
Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk. Badai inilah yang membasahi Pulau Es dan badai ini mengamuk
juga di pulau kosong di mana Liu Bwee bertapa itu. Hebat bukan main dan biarpun Liu Bwee tadinya sudah
bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya,
Liu Bwee berhasil menyambar ujung ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat
dan dia berhasil naik ke puncak pohon kecil yang menyelamatkanya. Akan tetapi, air bergelombang dari arah laut
dan dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan yang
amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam. Betapapun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka
makin lama makin lemaslah tubuhnya karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali
ombak datang bergulung, hampir menenggelamkan pohon itu dan selain dia harus berpengang kuat-kuat mengerahkan
sinkangnya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena iar menghantam seluruh
tubuh dan mukanya. "Celaka...." pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan
dirinya dari serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...." Liu Bwee melihat ke
kanan kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di mana dia berlindung ini
tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang tinggi di sana itu, tentu dia akan
aman dan air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang serangan air, Liu Bwee memejamkan mata, menahan
napas dan berpegang eraterat, maklum bahwa yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat. "Haiiii....!
Yang di sana itu.....! Berpeganglah kuat-kuat....! Aku akan berusaha menolongmu....!!" Teriakan suara laki-laki
ini datang dari arah pohon tinggi tadi. Liu Bwee membuka matanya, melihgat sinar hitam kecil menyambar dari
pohon besar itu, akan tetapi pada saat itu, air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh....!" Betapapun kuat kedua tangannya Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu
lebih dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa
dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...." bisiknya. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa
nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubunya
telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar
kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia maklum bahwa ada orang menolongnya maka bangkit kembali semangatnya
untuk melawan maut, mempertahankan hidupnya. Lui Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak
sampai tengelam dan membiarkan dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu.
Napasnya terengah-engah hampir putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman
air yang bertubi-tubi tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya dan selain menariknya
ke arah pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang
hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali dan diam-diam
dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak olehnya itu. Dengan seluruh
tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak sampai tenggelam.
"Pertahankanlah.... sebentar lagi...." terdengar suara laki-laki tadi dari pohon dan Liu Bwee merasa betapa
tubuhnya di tarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang lagi gelombang yang amat
dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang bergulung-gulung dari depan
seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya. "Cepat.... cepatlah!" Dia merintih dan dalam
keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah pohon itu.
Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat, menyambarnya, tubuhnya diangkat ke atas pohon tepat
pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak sadarkan diri! "Aneh....!"
Lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata "aneh" itu. Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening
dan tenaganya habis maka dia tidak membuka mata dan membiarkan saja ketika measa betapa ada telapak tangan
hangat menyentuh tengkuknya dan dari telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan yang membantu
peredaran jalan darahnya, memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan. "Aneh sekali....!" Kini Liu Bwee
teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia membuka matanya dan
menggerakan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit karena tubuhnya limbung dan kalau
laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh terguling dari atas batang pohon yang
besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih berguncang. "Ahhhh....!" Dia berkata lalu
mengangkat muka memandang. Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih duduk di atas dahan
di depannya. Laki-laki itu berwajah gagah sekali, alisnya tebal matanya lebar dan air mukanya yang penuh
goresan tanda penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati, tubuhnya tegap dan pakaiannya
bersih dan rapi, di punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka
membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata"aneh" dan tentu
laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali mereka berdua.
"Engkaulah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi
pertolonganmu." Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu. Laki-laki itu mengelus
jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee kemudian berkata, "Harap jangan berkata demikian. Dalam
keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh tenaga manusia manapun, sudah
sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm... sungguh aneh sekali....!" "In-kong (Tuan
Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee. Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus
jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkan-sungkan, seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh
dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat
seorang wanita yang masih muda dan cantik jelita." Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu
bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah sekali dan diam-diam dia memaki dirinya sendiri. Huh, apa artinya kau
bertapa sampai berbulan-bulan kalau sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau merasa berdebar
dan girang, demikian dia memaki dalam hatinya. Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan
cepat bertanya, "Bagaimana Inkong bisa tiba di temapt ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali
aku seorang." "Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toa-nio...." Kembali wajah Liu Bwee menjadi mereh
mendengar sebutan nyonya besar ini, laki-laki itu terlalu merendahkan diri. "Aku adalah seorang perantau di
antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah mendarat di sini karena tidak
menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat
engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu." "Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk
datang menolongku." "Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara
seribu orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau
malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....." "Aku tidak muda lagi, usiaku
sudah tiga puluh lima tahun...." "Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...." dan mata
laki-laki itu bercahaya penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian
tinggi, bukan orang sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan
merasa heran?" "Aku sedang mencari puteriku yang hilang...." "Ah...!" Laki-laki itu terkejut dan memandang
penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya? Aku akan membantumu mencarinya." Dia bicara dengan suara
mengandung keperihatinan dan perasaan iba yang jelas sekali nampak sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan
berterima kasih. Jelas baginya bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguhpun
kehadirannya di bagian dunia yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh. "Dia sudah dewasa, sekitar
enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...." "Ahhhh??" Kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan
matanya terbelalak memandang Liu Bwee. "She Han....? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?" "Dia anaknya...." Liu
Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara maka dia menahan katakatanya. Laki-laki itu terkejut
dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya. Matanya memandang Liu Bwee
dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak
Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...." Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat
bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui
semuanya. Apalagi karena memang penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam
hatinya yang membutuhkan jalan keluar. Selain ini, sebutan "paduka" amat menyakitkan telinganya. Maka dia
kembali menarik napas panjang. "Itu sudah lalu.... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang
buangan....." "Apa....? Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?" Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya,
menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa
akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang Ke Pulau Neraka! "Puteriku Han Swat Hong, menjadi
marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima hukuman buang di Pulau Neraka. Aku
mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke pulau ini dan karena merasa putus harapan, aku
lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya
Thian masih hendak memperpanjang hukumanku makan aku dapat kauselamatkan...." Tak tertahankan lagi, Liu Bwee
menutupi mukanya dan menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak. "Krekkk! Krekkk!" ranting kayu
di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya di tangan kanannya. "Kejam! Jahat
sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di
Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan
tetapi mereka sendiri, Si penghukum itu, melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya
benar! Betapa menjemukan! Aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!" Liu
Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "Inkong, engkau siapakah dan
mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?" "Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari
ketua di Pulau Neraka." "Ohhh....!!" Kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak
mengira bahwa penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es! "Harap Paduka jangan khawatir...." "In-kong,
jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti engkau
pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang menjadi orang
buangan." "Hem, baiklah Liu-toanio. Dan akupun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja
aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan
keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas
tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara
pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram. "Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa
yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya. Ouw Sian Kok menghela
napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah merobah jalan hidupnya sama
sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di
situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera
Ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami
mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku.
Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku.... aku lalu pergi meninggalkan ayah , anakku, dan Pulau Neraka
sampai sekarang." Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang.
Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa besar
persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sunguhpun suaminya masih hidup akan tetapi
apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama
benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat
Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya. "Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil
menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu. Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba
mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan
kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas
wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu
dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai
berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan
segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat
wajah yang cantik itu, dengan air mata yang masih menepel di pipi, kini terenyum dan berseri-seri. "Mari kita
turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti
serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya. Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi
pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai
mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu
masih berada di situ.Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas. "Liu-toanio, mari kita
berangkat." "Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya. "Ke Pulau Es." "Apa....?
Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan
saja." "liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah
berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu,
Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup
sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu
yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan nyawaku untuk
itu." Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut
saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata,
"Ouw-twako.... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian?
Mengapa engkau begini baik kepadaku?" Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali
sehingga perahu itu melucur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya
seolah-olah raksasa yang habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab
tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku
yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan.Siapa lagi kalau bukan aku
yang membantumu, Toanio?" Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah
dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah
tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana.
Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang
memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan hatinya, apalagi mendengar betapa
laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi
terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi. Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di
dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati
kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti
yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu
sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut.
Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon
maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu." Liu Bwee menggigit bibirnya.
Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati. "Tidak ada
yang harus dimaafkan," katanya lirih. "Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi,
sekali ini dia tidak dapat menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu.
Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu,
akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau
tidak marah kepadaku, Toanio." Perahu didayungnya kuat-kuat dan perahu itu meluncur cepat sekali menuju ke
tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah didatanginya, namun sudah diketahui di mana letaknya, karena
sering kali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah
dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia
tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya. Dua hari dua malam
meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang
mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan
perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee. "Mengapa begitu sunyi? dan begitu bersih licin? Ouw-twako,
cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apaapa di sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena
melihat pulau di mana dia di besarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya
dengan suaminya dan dengan selir suaminya. Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat.
Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak
tampak seorang pun? Tak lama kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini
pun terheran-heran mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini
sunyi senyap. Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan
tertahan dan mukanya menjadi pucat sekali . "Apa.... apa yang terjadi.....? Dan bangunan-bangunan mereka.....
mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak..... ahhh..." Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari
mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa khawatir sekali. Seperti seorang mabok, Liu Bwee
berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian
Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi. "Ke mana...?
Mereka semua ke mana ....?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu megah dan kini kosong
dan sunyi itu. Melihat wajah yang pucat itu, mata yang terbelalak liar, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan
memegang lengan Liu Bwee, ditariknya keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok berkata
suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita alami di pulau
kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai sehebat itu. Pulau Es ini
tidak begitu jauh dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun dilanda badai." Bagaikan
kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikan tubuh memandang pria itu, matanya terbelalak. "Ahhh....!
Kau benar....! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya Tuhan....!" Liu Bwee mendekap
mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan menangis sesenggukan. "Aku khawatir
sekali, Tonio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau ini, melainkan juga para
penghuninya. kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan
kedahsyatan badai seperti itu?" "Kau benar... ah... suamiku.... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah
kalian tewas semua? Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" Seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati
istana, meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik. Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali akan tetapi
karena dia maklum akan kehancuran hati bekas permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga,
mendiamkannya saja. "Ohhh.... mereka semua tewas? Semua tewas....? Siapa percaya.... suamiku begitu gagah
perkasa, berilmu tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok
seolah-olah dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu. Tiba-tiba jari tangannya
menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya bergerak membaca tulisan yang
dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir batu itu dengan jari tangannya! "Sin Liong
dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah kalian mencari wanita
jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia keturunan Kai-ong." "Ohhh....!!" Liu
Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang

bersambung 18...........

0 komentar:

Posting Komentar