“Adakah Ratu Khitan itu dahulu pernah menjadi kekasihmu?” Kwi Lan menyerangnya dengan langsung dan tajam.
Kalamenjing di leher Suling Emas bergerak-gerak naik turun ketika ia
menelan ludah seperti menelan kembali jantungnya yang meloncat naik ke
tenggorokannya. Takkuasa ia menjawab dan tanpa ia sadari, ia mengangguk
sungguhpun hatinya mulai dikuasai kemarahan mendengar akan
pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini.
Alangkah
kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki
seperti orang marah sekali dan suara gadis itu bercampur isak. “Kalau
kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu, kenapa sekarang kau
berada di sini dan meninggalkan dia?” Ucapan ini disertai pandang mata
yang tajam menusuk melebihi sepasang pedang pusaka sehingga Suling Emas
melangkah mundur setindak. Akan tetapi pendekar besar ini sudah dapat
menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat wajahnya yang
pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar
berpengaruh, kedua tangannya dikepalkan. Gadis ini terlalu lancang,
terlalu kurang ajar. Biarpun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian
Eng sekalipun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak
berhak bersikap seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara
demikian kurang ajar!
“Bocah kurang ajar tak tahu kesopanan!”
bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya ditudingkan ke
arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh tantangan. “Lancang
benar mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu
Khitan? Ada sangkut-paut apakah dengan dirimu?”
Suling Emas
yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apalagi pada saat itu
setelah kemarahannya bangkit dan semua tenaga sin-kang terkumpul di
dadanya. Lawan yang tangguh sekalipun akan tergetar. Gadis ini sama
sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia melangkah maju
setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia
menudingkan telunjuk ke arah muka gadis itu, kini gadis itu menudingkan
telunjuknya ke hidung sendiri sambll menjawab ketus.
“Huh, mau
tahu? Dia adalah Ibu kandungku!” Setelah berkata demikian, sambil
mendengus seperti sapi betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan
meloncat pergi dari tempat itu.
Jawaban ini seperti halilintar
menyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati
Suling Emas sehingga ia berdiri terlongong dengan muka pucat, memandang
ke arah lenyapnya bayangan gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap,
barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru. “Heii,
tunggu jangan lari....”
Akan tetapi baru saja ia menggerakkan
kaki hendak lari mengejar, ia mendengar suara dua orang Panglima Khitan
yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah
siuman kembali, “Tai-hiap....!”
Suling Emas menahan kakinya dan
menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah Panglima-panglima
Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar
keterangan tentang Lin Lin dan.... gadis yang mengaku anaknya itu. Maka
ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu ia pun
merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis
itu memberi penjelasan. Hatinya tenang kembali dan karena kini tidak
ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka, ia membuka saputangan
yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu melihat wajah di
balik saputangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi girang. Dahulu
pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu mereka di Khitan dan
kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan diri
berlutut.
“Terima kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap,
terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa Taihiap masih belum
melupakan sahabat-sahabat dari Khitan.” kata Hoan Ti-ciangkun yang
berjenggot panjang.
Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun
kedua panglima tua itu. “Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku ingin
membicarakan hal penting.”
Setelah mereka bangkit kemudian
bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling Emas
menceritakan maksud hatinya.
“Pertama-tama kuharap Ji-wi
berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka rahasiaku kepada siapapun juga.
Hanya kepada Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin
minta pertolongan Ji-wi. Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku
sebagai Suling Emas?”
Dua orang panglima itu saling pandang, kemudian mengangguk. “Kami berjanji.” kata mereka berbareng.
“Juga takkan membuka rahasia kepada ratu kalian?”
Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak,
akan tetapi, mengingat bahwa mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh
Suling Emas dan permintaan itu pun tidak melanggar sesuatu, mereka
kembali menyatakan setuju.
Lega hati Suling Emas. Ia ingat
kembali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini
takkan mungkin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah
dari Khitan, jujur dan setia. “Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah
Ji-wi ini Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantu-pembantu
utama Panglima Kayabu?”
Kembali dua orang panglima itu
mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima Besar
Kayabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka
pun tahu bahwa Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena
itu, kedudukan Suling Emas di mata mereka seperti seorang Pangeran
Khitan yang harus mereka hormati. Hanya saja, mereka tidak menyebut
pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu tidak suka disebut
demikian.
“Ji-wi Ciangkun.” katanya, “Semenjak meninggalkan
Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di istana. Sukakah
kalian memberi penjelasan kepadaku tentang keadaan ratu kalian? Tentu
kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya?
Apakah ratumu itu sudah mempunyai putera?”
Dua pasang mata itu
berseri gembira. “Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang
berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini, mempunyai seorang putera yang
gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu yang kami hormati dan
cinta.”
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas,
jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya
berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya.
Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri
menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali
bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke
Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia
lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan
berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi
seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini.
Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan
cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di
hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam, biarpun Suling
Emas berhasil menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah
rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan
menggunakan saputangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik
napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi
memandangnya dengan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat
seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk
sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?
“Ji-wi
Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini
benar-benar mengagetkan hatiku. Ah, betapa sudah amat lamanya aku
tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga
aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang
Pangeran Khitan yang gagah perkasa.”
Kini tiba giliran dua orang
Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang kemudian
kembali memandang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan
Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah.... tak pernah menikah!” Dalam
kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikatakan
menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan. Akan tetapi Loan Ti
Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga
demikian, maka ia juga cepat menyambung.
“Ah, kami yang keliru,
Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan adapun
putera beliau itu adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu
itu dahulu adalah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima
tahun diangkat anak secara resmi oleh ratu kami.”
Keterangan
ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu
besar yang tadi menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan
senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak,
“Ha-ha-ha-ha....!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan
tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap
aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi Ciangkun,
aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang
bernama Pangeran Talibu. Dan.... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua orang panglima itu benarbenar heran. “Puterinya? Puteri
siapakah, Tai-hiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali
Pangeran Talibu!”
“Hee....? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam.... dan.... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan muai meragukan kewarasan
otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya.
Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin
tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan
kesetiaan dan kecintaan hati ratu itu kepadanya. Kemudian, tentang
pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa, sebagai
pangeran, juga hal yang tidak mengherankan. Akan tetapi gadis itu,
Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku
murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu
muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin
kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN
RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin? Sampai
lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap
saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan
kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun,
Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan. Kalau tidak ada
urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk
merobek kembali luka yang sudah hampir kering? Betapapun besar
keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap
hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu
yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah kalau begitu, aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian
yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan berkunjung ke Khitan, akan
tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang
lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang panglima
itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka membantu Tai-hiap.”
jawab Hoan Ti Ciangkun, “akan tetapi...., bagaimana caranya?”
“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak
menghendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu-satunya hanya menyamar.
Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek
kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai
seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian
membantuku?”
Dua orang panglima itu menganggukangguk tanda setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat
aku sebagai pembantu, menjadi seorang perwira penjaga benteng.”
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk sungguhpun di dalam hatinya ia
merasa heran. Memang aneh-aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini,
pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti menyamar
seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari
kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut
dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini sebagai
lelucon.
Setelah berunding, kedua orang panglima itu mencarikan
alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika
mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi
seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh
tahun lebih.
***
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang
ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan
dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang
dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah
pula ia lupa itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda
perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang
membawa lari Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan.
Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek
Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama
lengkapnya Kiang Liong pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk
melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis
remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir
mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek
Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak
mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan
pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-kim yang tadi ia
gantungkan pada sebatang pohon. Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan
seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih
suka bermain yang-kim. Yang-kim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor
binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-kim ini hanya
untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan
sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biarpun Kiang Liong
seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota
raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan
perjalanan seorang pemuda bangsawan pergi melancong, akan tetapi lebih
merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas
yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan
barat, darimana muncul ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar.
Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau Kwang Yin, seorang
panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang
kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan
menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang
tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Kerajaan
Khitan di timur laut dan utara. Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh
kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan.
Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa
pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari
tuanya. Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan
tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan
dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah
kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik
inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan
sedemikian lemahnya sehingga tidak lagi kerajaan ini mempergunakan
senjata untuk menjaga keselamatan negara, melainkan menggunakan emas
dan perak untuk “menyogok” dan menawan hati calon musuh sehingga si
musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka
timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada kerajaan-kerajaan lain,
terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu cerita ini terjadi,
Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung
(998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal
sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha
mempengaruhi dan merobah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi
keuntunganpribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah
orang-orang pilihan Tuhan yang bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi
kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan
sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyusun
kekuatan untuk melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar.
Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak
membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib
yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap
ancaman-ancaman yang selalu mengelilingi kerajaannya, tidak melihat
betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan
kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap
munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini
adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul
dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji.
Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik
Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu
mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan
bangsa Hsi-shia ini terdapa banyak orang pandai dan sakti dari barat
dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari
pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal
batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para
panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat
akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian
dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan
penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong melakukan perjalanan,
keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang
Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek
Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka
mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah
terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak
tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi
terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi kecepatan Hauw
Lam, menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat, tiada gunanya
mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih
baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat,
biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke
mana kausuka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu
aku akan turun tangan membantu.... eh, siapa nama Nona tadi?”
“Mutiara Hitam.”
“Mutiara Hitam...., tentu dia bukan sembarang orang dan biarpun dia
sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk
mencelakainya.”
“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita
akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!”
kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat
mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu.
“Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi
Mutiara Hitam menyebutku Si Berandal!”
Setelah menjura, Hauw Lam
lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri
dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada
diri sendiri. “Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan
tidak akan gagal, dia anak baik....” Sambil bicara seorang diri pemuda
yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang
mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang
melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong
mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa
Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi
ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan
Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang
banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang
mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah
melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak
menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya
gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan
bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia
berbondong-bondong menuju ke selatan. Tak seorang pun di antara
penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak
dilakukan barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas tampak
bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta
benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada
dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak,
pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikkan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia
mengikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali
ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak
begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat
wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah
menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang
Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan
begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati
harumnya. Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering
berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia
untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat.
Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut
taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin
menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya
gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan
makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui.
Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang
perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta
berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini
terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya
tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus
dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis
tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa. Namun
tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang
berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang
Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah menyembah-nyembah
penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk
dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggauta barisan
juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini
merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia
mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati
Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa
barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao adalah
kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan
Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa
di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung
ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir
sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat
perjalanannya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah
Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang
mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja
Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota
raja dan di mana terjadi perang sampai hampir sebulan lamanya. Akan
tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut
berita yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong
menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus berbatu,
tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelahdepan. Ia merasa
curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu
tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun.
Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana,
diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah. Ia mempercepat
jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu
besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan
asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik jelita dan bersikap
gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan
menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh
orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono
dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah,
maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum
menentukan apakah ia perlu turun tangan menolong.
Dua orang
gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang
di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia
kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya
yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas
tahun, pakaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang
punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan
galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir keluar dari negeri kami,
masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sungguh kebetulan,sekali,
sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”
“Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak
penasaran arwah orang tua kita.” kata gadis yang berpakaian kuning.
Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang
masing-masing.
“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis,
kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!”
Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah,
berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan
mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti
segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan
lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua
gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit
kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang diantaranya
adalah Si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun
tangan, gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam. sekejap mata
saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa.
Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang
Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali dan kalau tadinya
mereka bergembira hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka
menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok
melengkung lebar dari pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari
tempat pengintaiannya tidak bergerak, ia maklum bahwa menghadapi
pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan
kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang
kagum. Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua
orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi
dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup
mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua
Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis
yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian
ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta
petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah
puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu
Ketua Bengkauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua
tahun lebih muda, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul
betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih
galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah
itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap
lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia
mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah.
Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu,
ia sudah dapat menduganya. Tentu dua orang gadis itu kehilangan orang
tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao.
Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin,
memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama
Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu
kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di
medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar
untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia
tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali
tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat
menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun
tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.
Dua
orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang
mereka yang berwarna putih berkilauan seperti perak, menyambar-nyambar
dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang
mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu
singkat saja belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar,
bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.
“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil
memutar pedang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari. Siang
Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang
lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia
yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang
itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu
mati-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah
saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang
menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang
seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga
kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak
dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi!
Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka
kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam
dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,
“Adik-adik....! Cukuplah....!”
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas,
membalikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru.
Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang
berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh
teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada
gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim
tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak
pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.
“Liong-twako (Kakak
Liong)....!” mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri
Kiang Liong, wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah
lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang
Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai
mengamuk.
“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?”
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil
menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun
yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu
pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas
tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya.
Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan
tetapi yang lebih tua hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil
berkata,
“Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako....! Mereka ini
adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang
telah menyerbu Nan-cao.... dan.... dan.... dalam pertempuran.... Ayah
dan Ibu kami telah gugur....”
Kiang Liong mengangguk-angguk.
Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia
akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat
mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.
“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda
kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan
Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian
dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat
dan sungguhpun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian
beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah mendengar bahwa bangsa
Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan
orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan pemuda itu
tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan
semangat, apalagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan
keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri yang gagah
perkasa dan masih cucu Ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh
di luar dugaan Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur
dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain
saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu. Kemudian Siang Hui yang
kini berkata dengan suara penuh duka.
“Liong-twako, malapetaka
itu lebih hebat daripada yang kauduga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang
gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun
terculik dan.... Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan
Beng-kauw juga tewas di tangan musuh....“
“Apa....” Kini Kiang
Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat.
“Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti
Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?”
“Diantara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya
mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu
Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan barisan Hsi-hsia
dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah
pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian
lihai, dipimpin oleh seorang wanita setengah tua yang cantik dan
berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya
buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang
berhasil menewaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk
Ayah Bunda kami. Liong-twako, kautolonglah, bantulah kami untuk membalas
dendam dan menolong adik kami Han Ki.”
“Tentu aku suka membantu
kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian
hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang
hebat itu agak berseri, “Ahhh, jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak
gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”
Siang Kui menggeleng kepala
dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun
lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di Puncak
Tai-liang-san, maka terhindar dari malapetaka. Hanya beliau yang dapat
membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako.
Musuh amat kuat dan biarpun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari
Nan-cao, namun mereka masih berkeliaran di sekitar tapal batas barat.
Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya
memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan
nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di
Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”
Tiba-tiba
Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang
gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih,
terhuyung-huyung.
“Eh, ada apa, Twako....?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya
kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang
menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa
tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan
kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi
korban. Mereka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa
ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja
sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu
tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda,
kautangkas juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah seorang
kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun
lagi. Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit
keriput, bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengannya terlindung
selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjang-panjang
seperti kuku setan, melengkung runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu.
Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada
dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya menggendong bambu besar
dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam
menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan
terbahak-bahak, akan tetapi mukanya, terutama matanya, sama sekali
tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini
adalah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka
ia menjura dan bertanya.
“Agaknya saya berhadapan dengan
seorang Cian-pwe. Selamanya, belum pernah saya Kiang Liong dan kedua
orang adik saya ini bertemu dengan Cian-pwe, mengapakah begitu bertemu
Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”
“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang
Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang
banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu dengan dua
orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Bengkauw? Kalau bukan,
lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua
orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan
Beng-kauw!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam
menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo,
seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm, Locianpwe yang
berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek
Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempunyai kehormatan untuk
menjadi anggauta Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan
Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang
muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu
kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!”
“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan
hidup?” Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang
maju. Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya
hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada
sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun
sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya!
Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia
menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali tubruk ia akan mampu
merobohkan lawannya yang masih muda. Akan tetapi perkiraannya jauh
meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan
pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya
mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin
Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di
belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah
senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil
bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil kayu!
Sebetulnya
kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan
bersikap curang, melihat lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak
melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi, serangan pertama tadi
membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan
sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini
seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak
segan-segan lagi untuk mencabut keluar sepasang pensilnya. Juga gerakan
kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang
lawan yang amat tangguh tidak di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam
yang lihai itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo ketika melihat
betapa gerakan pemuda itu sedemikian cepatnya dan kemudian melihat
sepasang senjata di tangan Si Pemuda, juga terkejut bukan main. Senjata
itu saja sudah merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan
sembarangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja
dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil
ringan serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu
tanding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian
Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh
Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena
merasa dirinya memiliki kepandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka
tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda,
sungguhpun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di
tanganku. Kaulihat kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia menerjang maju
dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi. Ternyata
ilmu silatnya tangan kosong dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang
bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu
terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak
terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk
cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga
dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang
muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda
itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan
diri dari rangsangan serangannya, bahkan balas menyerang karena
sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan
totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan
dekat siku. Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong
berbalik menyerang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan
mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat
dan tepat sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda
itu menjadi berbalik kenyataannya sehingga dia sendiri yang terdesak
dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan
tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
“Heh-heh, kau berani mati!” bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya
tiba-tiba merobah gerakan. Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak
langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil
lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat
apabila Kiang Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena
cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan macam ini, keadaan
kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak.
Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung
pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasaran
totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti
monyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya
kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan
biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat
membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang runcing
itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pansil bulu di tangan
kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat
menotok dengan pensil kayu di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan
tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh
pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan
kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong. Pemuda ini
tidak membiarkan dirinya dicengkeram, cepat ia menggeser kaki ke kanan
sehingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu
secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak menendang ke
arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang
Liong kaget dan menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke
arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher
kanan lawan.
“Breettt....! Takkk....!”
Siauw-bin Lo-mo
berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat
memutar kedua senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan.
Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit
dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil
mengerahkan sin-kang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah
pinggang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia
mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula
ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima
dengan pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena
tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sin-kang
murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung
ke belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah
ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu
lagi Kiang Liong lalu merobah gerakan. Kini ia menerjang maju dan
sepasang senjatanya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian
mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf
di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak
menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya
hebat sekali. Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi
coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia
menangkis dengan kedua tangannya bahkan berusaha merampas sepasang
pensil yang amat lihai itu, namun sia-sia hasilnya malah hampir saja ia
terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret
seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan maut
dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi
tenaga yang keluar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan
berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa
di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi
seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, jangankan hendak mengalahkannya
atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu.
Hal ini
tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang
Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas
kepadanya! Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan
oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling
Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang disesuaikan
dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah menguasai sastra
secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan
mampu menguasai Hong-in Bun-hoat. Tentu saja ia harus memiliki dasar
ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biarpun Kiang Liong adalah
seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu
silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu menguasai delapan
bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini
sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman
bertahun-tahun seperti Suling Emas. Betapapun, yang delapan bagian ini
sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi
sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui
menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan
kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan
tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat
kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika
mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa
kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan
sepasang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha
mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat
keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu.
Dalam pandang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang
menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya membuat ia sibuk dan
akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri,
Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama
hidupnya ia bertanding melawan seorang pemuda tanpa ketawa mengejek.
Rasa penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat
dari keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar
dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua
“telur” itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara meledak
dua kali dan asap putih tebal menyelimuti sekelilingnya.
Kiang
Liong terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal
bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan
napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan
totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa
Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama
asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap
ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi, kakek aneh ini sekarang
sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan
begitu ia membuka sumbat bambu itu dari dalam bambu keluar asap hitam
yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah
semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan
memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan
keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya
dikebutkan dengan pengerahan tenaga sin-kang asap itu buyar tidak jadi
menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa
dirinya dikurung asap-asap beracun. Kiang Liong cepat mengerahkan
gin-kangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat lagi ke
mana perginya lawan. Ia meloncat cepat keluar dari kurungan asap.
Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya
sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang,
ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya
lagi!
“Kui-moi....! Hui-moi....!” Ia memanggil dengan suara
nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir
sekali. Mungkinkan Si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam
gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah,
tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak
mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu
sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apalagi kalau diingat bahwa dua
orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan
melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong
menyelidiki keadaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan
rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak
terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol
sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.
“Siauw-bin Lo-mo
kakek iblis!” teriaknya marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo
maju dan lanjutkan pertandingan. Tak ada, gunanya bersikap pengecut
dan melarikan gadis-gadis itu!”
Betapapun kerasnya ia berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat
dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san
di lembah Sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek
iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan
Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw.
Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang
direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan
terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan
nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib
para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw
terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw
Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya
kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai
hubungan yang amat erat dengan Bengkauw. Di samping semua itu, kekuatan
Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya
Kerajaan Nan-cao kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong
mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui,
Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan,
bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah
lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar, kekuatan yang
telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua
Beng-kauw yang amat sakti, sampai tewas menghadapi kekuatan ini,
terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan
tetapi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus
cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anakanak pamannya, Kam Bu
Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung
Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo.
Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang
selalu tertawa itu melakukan perjalanan menuju ke Pegunungan
Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa
bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri
saja. Kalau begitu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui?
Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu teman-teman
Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri
saja? Karena penasaran ia mengejar terus sampai ke kaki Pegunungan
Kao-likung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung
karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi
tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu
pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang
telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu,
katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-likung-san di
lembah Sungai Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang
dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran akhirnya ia dapat melihat
sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai
itu jauh di bawah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru
dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar
suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa
batang anak panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia
meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki
tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah
merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang
yang mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui, maka Kiang Liong cepat
menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu
tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka
ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangkasangka ia
mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia
menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu
pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik,
kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian
karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku
ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta
kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang
beberapa hari yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw
mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah
sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu
serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan
mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini
mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan
membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain
dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan
terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan
ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang
ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan
tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih
dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang
lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak
menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki
tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu
bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata
mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak
disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan
menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pendeta berkepala
gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut
menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk
memancing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-hsia menyerbu, tidak
peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan
perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti
ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap,
begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih
berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan
hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat
memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya.
Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan
tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kakinya, ia menahan kaki
itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri
dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia
tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa
dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan
suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum.
Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan
tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong
melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan
teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan
tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini
muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa
orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan
anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak
panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka
semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi
pengeroyokan demikian banyak orang sendirian saja. Pada saat itu, dari
sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka
bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar
hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya
berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia
itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia
memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin
heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus
indah.
“Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!”
Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak
ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini,
belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari
turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya.
Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong
yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata
bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun.
Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui
cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah
itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan
akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai
dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia
mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya puluhan
orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena
tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan
tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun
secepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia
sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika
tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung
kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan
yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat
lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun, pula mengejarnya.
Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang
senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan
mengerikan dan sambarannya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong
menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia
menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk
memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia
merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung tenaga yang jauh
lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa
tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya
ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia
melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni
tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan
tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya
dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini
berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia
tidak melihat tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar
suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia
melihat seorang wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu
berdiri di balik sebuah batu besar.
Memang banyak terdapat
batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar
ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gunung. Ia
tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat
yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang
memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu
lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata
para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing,
karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah
lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya,
terdengar suara halus.
”Ke sini.... masuk ke guha ini....!”
Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan
batu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang
bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah
yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki
celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di
sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini
remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh
ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia masuk terus. Dalam
keadaan remang-remang mereka berhadapan dan wajah wanita itu cantik
manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa
lagi di mana dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt.... belum waktunya bicara.” wanita itu berbisik, suaranya halus
dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia
mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah
di sini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung
pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat
harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri
begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut
yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini
adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian
ditolong oleh Mutiara Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika
hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini.
Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari
Siang-mou Sin-ni!
“Kau.... kau.... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt, mereka tentu sudah dekat....!” Wanita itu berbisik lagi dan kini
hawa yang hangat dari mulut wanita itu menyentuh pipinya. Agaknya
saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
Kiang Liong
teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang.
“Bersembunyi pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita.” ia
pun berbisik dan siap untuk menerjang keluar.
Dua buah tangan
yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak,
Kongcu. Kau di sinilah aku yang akan menahan mereka. Kaulihat saja,
jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah keluar
dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia harus
melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka
saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan
keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung
hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah
menyelinap keluar. Karena betapapun juga ia belum mengenal betul wanita
itu dan belum tahu akan wataknya, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu
murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong
lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai keluar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat
pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang
Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong berdebar dan
kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam
memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh
dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis cantik manis itu
melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara
nyaring menegur ke bawah,
“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang
lebih dan yang bersikap garang jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka
memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika
melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka
mengangkat kedua tangan depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian
seorang di antara mereka menjawab.
“Kiranya Kouwnio (Nona) yang
berada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang
pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan
sudah membunuh beberapa orang anggauta pasukan. Kami melihat dia tadi
lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu agak
sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata
tajam penuh selidik.
“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu.”
kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia sudah
melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk
melalui dua bongkah batu besar.
Lima orang itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi.
“Akan tetapi, Kouwnio. Ada di antara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“
“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih
bersikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan
sederajat. Aku sebagai murid kepala dari Guruku berarti mempunyai
derajat lebih tinggi daripada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw
Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol
dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Beranikah kalian
menghina murid Guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan
pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat
wajahnya dan mereka menundukkan muka.
Akan tetapi pasukan yang
terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran.
Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu, sungguhpun para
pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya,
namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik
ini. Bahkan diam-diam seringkali mereka membicarakan wanita ini dalam
sendau gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani
menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang dikejar lari ke
jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi lari ke sini!”
“Masa harus membiarkan dia lari?”
“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po
Leng In mendongkol dan juga, khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan
kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu,
juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya.
Akan tetapi, apa pun yanp terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan
pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!” Bentaknya ketika
melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti
menghina Guruku! Siapa menghina Guruku berarti akan mampus di tanganku!
Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras daripada batu ini?”
Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya
yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak
sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung
rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan.... pinggir batu yang
dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan-akan dipukul
dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi
merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama
hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apalagi rambut
wanita yang halus lemas dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka
menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang
mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang-orang
biasa. Andaikata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihormati
kepala mereka dan andaikata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan
melawannya dan tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul
keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.
“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami tadi?”
“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada
karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa
kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi maaf, Kouwnio.” kata pendeta itu yang segera memberi
komando kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin
ia akan dapat menghilang begitu saja!”
Setelah lima orang
pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergimencari ke jurusan
lain, barulah Po Leng In berani memasuki guha kecil itu. Ia tersenyum
kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang.
“Terpaksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini,
Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar guha ini dan kita dapat
bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil
tersenyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari
tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat
lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita
bercakap-cakap.””
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk
di mulut guha, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat
wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari,
dan bentuk tubuh yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.
“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou
Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku mendengar percakapan tadi,
agaknya gurumu Siang-mo Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala
para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah Gurumu dan Bouw Lek Couwsu
itu yang telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar dugaanmu, Kongcu.
“Dan tahukah engkau siapa aku?”
Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu.
Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku
tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama
sekali bahwa.... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan
sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong
berpikir sejenak, kemudian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah
Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau
berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan
para pendeta Tibet dan anak buahnya.
Sungguhpun aku merasa
bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak
begitu perlu kaulakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi.... tanpa petunjukku
bagaimana mungkin kau akan dapat pergi memasuki markas para pendeta
Tibet dan menolong tiga orang cucu Ketua Bengkauw itu?”
Kiang
Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi
tangannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan
hangat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”
Po Leng In tersenyum dan ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong
yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya
bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas
menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu
memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan
perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum, Kiang
Liong adalah seorang pemuda tampan putera pangeran pula. Di kota raja
namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya
dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak
perhatian wanita-wanita cantik! Dia bukan seorang mata keranjang yang
suka mengganggu wanita, apalagi menggunakan kepandaian dan ketampanan
memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah melakukan hal buruk ini.
Akan tetapi, ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena
ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya
dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua
lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya
sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan
keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik amat
berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka
untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!
“Aku tahu, Kongcu
karena selama ini aku mengikutimu. Apa kaukira aku dapat melupakan
engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang
cucu laki-laki Ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang
gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa
bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain
amat sukar untuk menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan
para pembantunya amat kuat, belum lagi diingat bahwa Guruku juga berada
di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?”
Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang
merah itu tersenyum menantang.
“Ah, sungguh kau baik sekali,
Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong
mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi
pertolonganmu itu!”
“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa
besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni,
ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau
aku menipu dan menjebakmu?”
“Aku memang merasa heran sekali
mengapa engkau melakukan semua ini untukku? Tak mungkin kalau hanya
untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang
Siang-mou Sin-ni, dan biarpun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun
sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi,
bahkan akan membelakangi Gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona,
katakanlah terus terang, apa yang kaukehendaki dan mengapa kau
membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet
rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya
di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang
panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar
ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya
memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.
“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti Guruku dan aku,
kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andaikata yang menolongku
tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi,
engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang pemuda
yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau
tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh seperti gunung.
Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta
kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu,
akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untukmu!” Dengan sikap
manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu
kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biarpun
muka mereka sudah saling berdekatan sehingga napas wanita itu sudah
menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan
tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini
menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus
kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak
tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat
banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita
dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap
teguh dan tenang, tak pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya
sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biarpun Kiang Liong seorang
pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia
bukan seorang lemah.
“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In,
betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki
dari tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”
“Betul...., betul...., aku bersumpah....” Po Leng, In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
“Dan kau benar-benar menghendaki aku....?”
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang
Liong melepaskan jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada
Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.
Semalam
itu mereka berdua tidak keluar dari dalam guha yang lebarnya hanya
satu meter itu, Po Leng In yang mabuk cinta dan seolah-olah menjadi
makin lemas di tangan Kiang Liong, menceritakan semua keadaan orang
Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta
Tibet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu. Pendeta jubah
merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan
merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para
pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang
pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek
Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan
pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan ilmu
kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia yang
gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan
yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu
mencari kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia menganggap
Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu
mengalihkan perhatian kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud
menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar pengaruh dan kekuasaan. Dalam
usahanya ini, Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas
kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni! Kalau Siang-mou Sin-ni adalah
seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu
biarpun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan
gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka
mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia
kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang
sudah bertahun-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak
Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang
gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Karena pada dasarnya memang
berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan
Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong
di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas
kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak
disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka
yang telah putus selama bertahun-tahun.
“Beng-kauw boleh jadi
amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi
serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh Guruku, mana mereka mampu
mempertahankan diri? Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang
memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa Ketua Beng-kauw den
beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki
itu amat disuka oleh Guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan
Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena sesungguhnya bukan itulah yang
diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi
musuh besarnya.”
Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia
menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum
pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini,
penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po
Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta
untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah
yang jatuh dan menjelang pagi ia menjadi penurut dan patuh kepada
laki-laki itu seperti seekor domba yang lemah.
“Koko...., akan
kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu.... biarpun
untuk itu aku harus mempertaruhkan nyawa....“ bisiknya sambil
merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di
permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam guha batu. Wajah
Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun
menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah
keluar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan
sama sekali tidak tampak perubahan.
“Mari, Koko. Mari kita
berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah jangan kaupandang rendah
kepandaian Bouw Lek Couwsu, apalagi kepandaian Gurumu.”
Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian Gurumu dan aku tidak takut.”
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu
yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu
bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi Guruku sekarang bukan
seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kangouw. Engkau tentu
tidak pernah mendengar. bahwa Guruku kini telah dan sedang memperdalam
ilmu mujijat Hun-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk
menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng
In, dan mendorongnya agak menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan
bertanya, suaranya keras.
“Apa kaubilang? Diculik untuk.... kau maksudkan....?”
“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!” Setelah berkata demikian,
Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka
berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou Sin-ni dan
Bouw Lek Couwsu. Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju
ke tempat yang amat berbahaya, seperti guha singa dan telaga naga, akan
tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan
itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng
In bercerita bahwa Bouw Lek Couwsu adalah seorang tokoh tua yang
percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari
gadis-gadis muda, maka tahulah ia malapetaka hebat sekali mengancam pula
keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po
Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang
amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat
yang mujijat, diperlukan seorang anak laki-laki yang bertulang bersih
dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama
sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki
menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum
pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi
syarat. Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang
berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-laki yang
benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mau Sin-ni
sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe
dilakukan dengan cara yang amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan,
sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan
sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi
sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan
sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain
kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam
tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot keluar dan pindah ke tubuh orang
yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah
pernah mendengar penuturan suhunya tentang pelbagai ilmu hitam, tentu
saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga
orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
***
Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal
bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan penasaran. Ia telah bertemu
dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya menyaksikan
sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa
pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula
orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justeru hal inilah
yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan,
kekecewaan, kemarahan dan penasaran. Kalau pendekar sakti ini kekasih
ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Mengapa Suling Emas
meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula
ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri
Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain.
Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu
kandungnya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya,
kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka
menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang
dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah
berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya
karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat melarikan
diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran
mengapa begitu. Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang
rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari
pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih
menarik daripada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang
daripada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat daripada
Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan senangnya melakukan
perjalanan bersama Suling Emas tentu akan terasa aman dan tenteram di
samping seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang
sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi dia sudah
menghina Ibuku....! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi
Ratu di Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih.... hemmm, tentu
kekasih yang tidak setia, buktinya Ibuku telah ditinggalkannya!”
Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan
pergi, ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling
Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang
muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau teringat
kepada Si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak
menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa
lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya Si Berandal itu?
Sambil
bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan
perjalanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang
menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena Kwi Lan juga
bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah dusun
Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat
langkahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang
baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi. Hati Kwi
Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara mereka di
dahinya terhias mutiara. Seorang anggauta Thian-liong-pang, seorang di
antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apakah orang-orang Thian-liong-pang
itu datang ke tempat ini,pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan
mereka, tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan
tidak takut. Ia bukan mencari perkara melainkan ia bermaksud melanjutkan
perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu dan untuk memenuhi
maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang
menghadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena merupakan
pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat
pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak
melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah
mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjutkan perjalanan
melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga
tidak bertanya-tanya tentang mereka. Karena dusun itu banyak dilewati
orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena pada masa di
mana perang selalu mengancam daerah perbatasan semua orang, juga
wanita-wanita membawa pedang, maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat
mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah karena terpesona
oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan
seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang
tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini, langsung pergi ke pantai
untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia
lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan
kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani
orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak
akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar
ringkik kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik
dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm,
agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa
orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam
di dalam sebuah kelenteng?
“Ah, peduli amat dengan mereka!”
Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki
meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak
perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan
membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah
laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah
hendak menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang
terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para
tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti
ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu
sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau....
minggir!”
Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan
mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para
pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi
marah. Seorang di antara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa
keranjang ikan yang dipanggulnya, meloncat bangun.
“Dari mana datangnya dua ekor kerbau....?”
Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang
di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan....
Si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai! Dua orang laki-laki tinggi
besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang
dan berkata,
“Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat
betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan
menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki
mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu
menggerakkan kaki kanannya, terdengar jeritjerit kesakitan dan empat
orang nelayan itupun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka
meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini
sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada lagi?” Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi
gentar. Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan
mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maafkan kami, Tuan.
Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena
tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah
yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang
usianya empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak puas dan
bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di
antara mereka yang brewok. “Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk
kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding ke arah sebuah perahu
kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di
antara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru
agaknya belum lama diturunkan di sungai.
“Ahh, Ji-wi hendak
menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat
disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengantin....”
“Apa kaubilang? Kami berani bayar sewanya dan siapapun juga tidak boleh
mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau
tidak.... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”
Nelayan tua itu menjadi pucat wajahnya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, “Baik...., baik.... dan sewanya....“
“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!” Dua orang
tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah.
Mereka melangkah masuk dan.... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan
sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum manis! Kiranya Kwi Lan
yang tadi mengikuti percekcokan, menjadi tak senang dengan sikap dua
orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih
oleh dua orang itu secara paksa.
“Eh, mau apa kalian berdua
longak-longok seperti monyet memasuki perahu yang sudah kusewa ini tanpa
ijin!” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.
Sejenak dua
orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis
dalam perahu dan mendengar bentakan itu, mereka terkejut dan saling
pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat
menenangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong
terlongong. “Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi pengantin?
Cantik benar!”
“Bu.... bukan, bukan dia.... saya tidak mengenalnya...., Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?”
“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu
menyewanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu
lain untuk disewa atau.... mereka ini boleh terjun ke air!”
Pada
waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di
pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di
gagang pedang itu, mereka terkejut.
“Mu.... Mutiara Hitam....?” teriak mereka sambil mencabut golok.
“Hemm, kiranya orang-orang Thian-liong-pang yang tak kenal mampus!”
seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat duduknya. Melihat gerakan dua
orang yang menerjangnya ini, ia memandang rendah. Ketika mereka sudah
menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan,
secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia
menggunakan kedua tangan untuk menekan papan perahu sehingga kedua
kakinya dapat melakukan tendangan sekaligus. Tepat sekali ujung kedua
sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu. Terdengar suara
“krekk!” dan sambungan lutut kanan mereka terlepas. Tentu saja mereka
itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu,
kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada mereka. Tak
dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar
masuk ke dalam sungai!
Biarpun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa
saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir
mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil
mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat
duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melemparkan dua orang
lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya!
Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini
dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka
berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat
sambil menyumpah-nyumpah!
Seketika Kwi Lan dirubung para
nelayan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk
mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan
tersenyum dan berkata,
“Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan
karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan
kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso.”
Pada saat
itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan
bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil
Ban-hok-tong. “Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua
orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak.”
“Tak perlu melayani mereka.”
“Tapi.... harap Lihiap (Pendekar Wanita) sudi mengasihani kami,” kata
nelayan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas
dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah
yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan kemarahan mereka!”
“Huh, apa peduliku!” Kwi Lan mendengus. Memang ia tidak suka
mengacuhkan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan
dirinya.
“Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan dipukuli, dibunuh....!” kata seorang nelayan lain.
“Peduli apa? Kalau kalian begitu lemah dan tidak becus melakukan
perlawanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan
menjawab jengkel karena merasa terganggu.
“Tapi.... semua ini
terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” Si Nelayan Tua
menyambung. “Saya mendengar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani
menanggung segala akibatnya....”
“Cukup!” Kwi Lan membentak
marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini
akan kuhajar habis mereka itu!”
Setelah berkata demikian Kwi Lan
merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran
dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan
mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para
hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi mereka.
Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan
mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka
bergantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayanl gadis ini
dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati
gemblra.
Benar juga, pikirnya, dia harus bertanggung jawab.
Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiarkan ia
lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang
pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi
mereka di darat. Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan
geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan
menghajar mereka dan mengusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran
ini, legalah hati Kwi Lan dan setelah makan kenyang, ia pun tidur di
atas perahu dengan nyenyaknya.
Malam itu terang bulan. Tiada
awan mengotori udara sehingga sinar bulan sepenuhnya menerangi bumi.
Bagaikan seekor burung hantu, tubuh Kwi Lan berkelebat diantara sinar
bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis perkasa ini meloncat
ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wuwungan dan
mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram,
tentu mereka siap sedia menyambutku, dan sudah siap memasang jebakan.
Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali
ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga
menimbulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya. Namun
tidak terjadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang.
Dari atas genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman
belakang yang luas dan terkejutlah ia ketika melihat beberapa orang
hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki
yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu
seorang demi seorang.
Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau
sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula
hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang Thian-liong-pang?
Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu
kalau bukan seorang di antara anggauta dari Thian-liong-pang? Kwi Lan
mengeluarkan jarumnya dan sekali tangannya bergerak, sinar hijau
menyambar ke arah leher orang yang sedang memeriksa mayat-mayat itu.
Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh
mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu runtuh oleh lengan
bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ketika mendengar
orang itu berkata,
“Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”
Kwi Lan mengenal suara ini dan ketika orang itu kini berdiri sambil membalikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.
“Yu Siang Ki....!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya.
Pemuda itu memang Yu Siang Ki yang mengempit tongkatnya. Caping
bututnya tergantung di belakang punggung.
Kalau Kwi Lan berseri
wajahnya karena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu
Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang matanya memandang
penuh teguran.
“Kenapa mereka....?”
“Kwi Lan, betapa pun
kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat
sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang
sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak
berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki
dasar yang ganas dan....”
“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan
tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang
Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?”
Kwi Lan memotong dengan marah. Sepasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu.
Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya
tetap kering. “Kwi Lan, kalau kau membasmi dan membunuhi orang-orang
jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah
mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak
jahat dan tidak berdosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji?
Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong
ini? Sungguh aku tidak mengerti....!”
“Apa kaubilang?” Kwi Lan
kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti
lagi akan sikapmu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh
yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku
membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”
Siang Ki
terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita
tersinar cahaya bulan, penuh selidik. “Ah, mengapa kau menyangkal?
Mereka itu kaubunuh....!”
“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet.
Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu
menggunakan alasan yang bukan-bukan, tuduhan dan fitnah yang
bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!”
Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedangnya siap di
depan dada dan ia sudah memasang kuda-kuda, matanya mencorong seperti
mata harimau.
Akan tetapi Siang Ki tidak melayaninya, bahkan
pemuda ini kelihatan melongo, terheran dan ragu-ragu. “Kwi Lan, aku
sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku mengenal
jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kaupergunakan untuk menyerangku
tadi. Kaulihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum
hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”
Kagetlah Kwi Lan.
Kemarahannya lenyap seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia
lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok, memeriksa.
Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa leher empat mayat itu
benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat
ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran.
Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang
jarum dari leher mayat.
“Aiihhh.... aneh sekali....!” Ia berseru
ketika melihat jarum hijau di ujung pedangnya. Jarum itu serupa benar
dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga
hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarumnya. Inilah jarumnya,
tak salahlagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah
gadis ini, Siang Ki mulai percaya.
“Kwi Lan, agaknya ada orang
yang mencuri jarum-jarummu dan mempergunakannya untuk membunuh
hwesio-hwesio ini.” katanya sambil maju mendekat.
Kwi Lan
menggeleng kepala dan mengingat-ingat. “Tak mungkin.” katanya kemudian
penuh keyakinan. “Jarum-jarumku tidak pernah terpisah dari badan,
selalu berada di saku dalam bajuku. Siapa dapat mencurinya?”
“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau....“
“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pantas saja kau menuduh aku....“
“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetulan lewat di sini, curiga terhadap
rombongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara diam-diam. Aku
tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai
Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku
menyembunyikan diri. Malam ini aku datang menyelidik, melihat
hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang-orang Thian-liong-pang tidak
kelihatan seorang pun di sini.”
“Hemm, tentu ada hubungannya antara mereka dengan kematian para hwesio ini.”
Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal, “Aku meragukan hal ini,
Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwesio-hwesio ini, mengapa
menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang
serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”
Kwi Lan
mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan.
Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik
napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.
“Mengapa?”
“Mereka sudah membunuh hwesio-hwesio tak berdosa!” kata Siang Ki
sewajarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat
pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?
“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini.” jawab Kwi Lan seenaknya.
Kerut di kening Siang Ki makin mendalam. Ia kagum akan kecantikan dan
kelihatan gadis ini, namun kecewa melihat sikap dan wataknya. “Akan
tetapi mereka telah menggunakan senjata rahasia seperti milikmu, itu
berarti mencemarkan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan
senjatamu.”
“Hemm, justeru karena itu aku tidak mau mengejar.
Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu mereka akan
datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan
kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan
perjalananku.”
“Ke mana?”
“Ke utara.”
Wajah Yu Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”
“Hemmm? Benarkah?” Kwi Lan kurang percaya, menyangka bahwa pemuda ini
mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.
“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”
Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini. “Kenapa mencari ke utara?”
“Menurut laporan anak buahku, Locianpwe itu menuju ke utara. Ada
kepentingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”
Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?
“Kalau kau tidak keberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama.”
Kwi Lan tersenyum. “Mengapa keberatan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”
“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan tertawa geli.
“Mari ke perahuku. Kuharap saja mereka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”
Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah
dengan munculnya hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh
hwesio-hwesio itu? Andaikata orang-orang Thian-liong-pang, apakah
maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah
berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan
sebentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi
Lan.
“Aku mau tidur.” kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur
telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya. Sejenak
Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum
bukan hanya oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian
polos dan wajar. Ah, ada remaja yang jujur dan bersih, tidak
berpura-pura, liar seperti bunga mawar hutan, pikirnya terharu.
“Aku duduk menjaga di luar.” katanya dengan suara tergetar sambil duduk
di atas papan melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang
bermain-main di dalam air sungai.
Sinar bulan dan keadaan yang
sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pelabuhan sungai itu sunyi sekali
karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa
takut dan menghentikan kegiatan pekerjaan malam. Mereka menduga bahwa
tentu akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan
para penjahat yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.
Siang. Ki
berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu
karena peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu
tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis
anggauta perkumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang
memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai
untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek
pengemis itu pulang dengan babak-belur. Mereka telah bertemu dengan
Suling Emas itu dan ternyata berbeda dengan Suling Emas yang telah
menyamar sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini
berpakaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di
depan dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun berkepandaian tinggi
sehingga Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan
dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo
datang sendiri menandinginya! Mendengar ini, panas hati Yu Siang Ki.
Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan, menemui Suling Emas ini
sebagai wakil ayahnya, Yu Kiang Tianglo. Ia menjadi bingung, tidak tahu
mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang pernah menyamai
sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang sekarang. Akan tetapi
nyatanya, dalam belasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena
inilah Yu Siang Ki lalu mengambil keputusan untuk pergi mencari Suling
Emas pertama, untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!
Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan, yang di
atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang
membingungkan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya
sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah terdengar melakukan
kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk
Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang
cukuplah bagi Suling Emas ke dua itu!
Kembali ia menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki bersenandung.
“Bulan terapung di angkasa
bermain dengan mega
tak mungkin terbang menjangkaunya!
Bulan
tenggelam di air
bercanda dengan gelombang
tak mungkin menyelaminya!”
Kembali Siang Ki menarik napas panjang. Dua orang Suling Emas itu
seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana
palsu? Keduanya sakti, dan sukar menyelidiki keadaannya.
“Ah.... kau.... kau gagah....”
Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan
dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hatinya berdebar. Tak salahkah
pendengarannya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu menyebutnya
gagah? Tak salahkah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan
seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa disadarinya lagi
Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu.
Sinar bulan tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung
dalam cuaca remang-remang. Bergerak-gerakan bulu mata panjang lentik
itu? Sampai lama Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu.
Bibir gadis ini seperti tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut
dan tangan kanan di bawah dagu. Rambutnya harum hitam halus yang dikucir
dua itu terletak di atas dada, kanan kiri, ikut bergerak-gerak turun
naik bersama dadanya. Ada dorongan hasrat yang amat kuat merangsang
dari dalam dada Siang Ki, membuat ia membungkuk dan hampir saja ia
mencium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan keteguhan hatinya
menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup
sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini,
menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya.
Pekerjaan hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa!
Dua
macam perasaan berperang di hati Siang Ki, yang satu mendorong yang
lain menahan. Untung pada saat itu perasaannya yang tajam dapat merasa
betapa perahu bergoyang sedikit. Cepat ia menoleh dan tampaklah dua
orang laki-laki meloncat ke atas perahu. Gerakan mereka ringan bagai
burung, membuktikan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki,
ilmu kepandaian tinggi. Bayangan beberapa orang lagi tampak berloncatan
di perahu-perahu yang berada di pelabuhan, juga di pantai tak jauh dari
situ. Perahunya telah terkepung! Seorang di antara dua laki-laki yang
sudah meloncat ke perahu itu dahinya berhias mutiara, itulah salah
seorang di antara Cap-ji-liong, jago-jago Thian-liong-pang yang tersohor
lihai!
“Kau gagah Suling Emas....!” Kembali terdengar suara Kwi
Lan barbisik dan Siang Ki yang masih menoleh ke belakang itu seperti
ditusuk jantungnya. Kiranya gadis ini tadi bukan memuji dia yang gagah,
melainkan memuji Suling Emas di dalam mimpi! Dengan muka merah saking
malu mengingat akan sikap dan persangkaannya sendiri tadi, Siang Ki
meloncat bangun sambil menyambar tongkatnya.
“Kalian siapa dan
mau apa mengganggu kami?” bentaknya sambil melintangkan tongkat di
depan dada. Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang itu sudah mencabut
golok masing-masing, menerjang maju sambil berteriak,
“Kepung! Tangkap sepasang anjing muda ini!”
Siang Ki marah sekali, tongkatnya berkelebat dan saking dahsyatnya
serangan tongkatnya, dua orang itu berseru kaget dan meloncat mundur,
keluar dari perahu! Yu Siang Ki menoleh dulu sebelum mengejar, dan
melihat betapa Kwi Lan sudah bangkit duduk mengucek-ucek mata, ia
berseru.
“Kwi Lan, setan-setan itu sudah datang hayo bantu aku
basmi mereka!” Setelah berseru demikian, pemuda ini dengan gerakan gesit
telah melayang keluar dari perahu ke darat. Sebentar saja ia sudah
dikepung dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang
mengepungnya adalah dua belas orang yang memakai mutiara di dahinya.
Kedua belas orang Cap-ji-liong, jagoan dari Thian-liong-pang lengkap
berada di situ! Dan di samping dua belas orang ini masih ada sedikitnya
tiga puluh orang laki-laki tinggi besar yang merupakan anak buah
mereka dan kesemuanya sudah siap dengan senjata di tangan. Hebat,
pikirnya dengan hati kecut.
Akan tetapi karena keadaan
mendesak, ia tidak mau banyak cakap lagi dan cepat ia menggerakkan
tongkatnya yang panjang sambil berteriak. ”Kiranya dua belas ekor cacing
dari Thian-liong-pang yang datang. Kalian mau apa?”
“Tranggg....!” Tongkatnya tertangkis oleh sepasang pedang panjang di
tangan seorang yang brewok, tinggi besar dan bermata lebar. Inilah Ma
Kiu, atau Thian-liong-pangcu, ketua perkumpulan itu, juga merupakan
orang pertama atau pimpinan Cap-ji-liong yang tersohor. Siang Ki sudah
pernah mendengar tentang orang ini, akan tetapi belum pernah bertemu.
Kini ia dapat menduganya dan pantas saja tangkisan tadi demikian kuat,
pikirnya. Makin tidak enak hatinya karena ia maklum bahwa kali ini ia
menghadapi banyak lawan pandai.
“Orang muda, siapa pun adanya
engkau, jangan mencampuri urusan kami. Pergilah kalau kau ingin
selamat. Kami hanya membutuhkan Mutiara Hitam!” kata Ma Kiu yang marah
sekali mengingat akan semua perbuatan Mutiara Hitam yang pernah
mengacaukan Thian-liong-pang bersama seorang pemuda berandalan bernama
Tang Hauw Lam. Tadinya ketika ia mendapat laporan, hatinya girang,
menyangka bahwa Mutiara Hitam yang dilaporkan bersama seorang pemuda di
perahu itu tentulah Tang Hauw Lam. Kiranya pemuda tampan itu hanya
pengemis muda yang tidak dikenalnya. Sebagai Ketua Thian-liong-pang
yang merasa derajatnya jauh lebih tinggi, tentu saja Ma Kiu tidak mau
melayani pengemis muda ini maka mengeluarkan ucapan seperti itu.
Panas juga hati Siang Ki mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa Ketua
Thian-liong-pang ini, memandang rendah kepadanya, maka sambil
mengangkat dada ia menjawab.
“Kalau tak salah dugaanku, engkau
tentulah yang bernama Ma Kiu, yang menjadi pimpinan Cap-ji-liong dan
juga menjadi Ketua Thian-liong-pang.”
“Orang jembel sudah mengenal tidak lekas pergi!” bentak seorang di antara Cap-ji-liong.
“Thian-liong-pangcu! Biarpun jalan kita bersimpangan, namun sudah lama
aku mendengar tentang Thian-liong-pang dan Cap-ji-liong. Ketahuilah,
aku adalah pangcu dari Khong-sim Kai-pang! Dan Mutiara Hitam adalah
sahabatku. Kuharap, mengingat akan kedudukan kita bersama, engkau suka
melihat mukaku dan tidak mengganggunya. Kalau engkau berkeras, marilah
kita sama-sama pangcu dari perkumpulan besar melihat siapa di antara
kita yang lebih unggul!”
Ma Kiu dan sute-sutenya terkejut dan
memandang lebih teliti. Kiranya pengemis muda ini adalah Pangcu dari
Khong-sim Kai-pang. Tentu saja mereka sudah mendengar akan sepak terjang
pangcu baru ini, betapa Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan pangcu
muda ini telah membasmi golongan pengemis baju bersih yang tadinya
menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah Kang-hu.
Karena para pengemis golongan baju bersih adalah sekutu
Thian-liong-pang, maka tentu saja dua belas orang Cap-ji-liong ini
menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.
“Ah, kiranya engkau jembel
muda pengacau itu? Bagus kau datang menyerahkan diri!” Ma Kiu
membentak dan sepasang pedangnya berkelebat menyambar, Siang Ki yang
sudah siap cepat menggerakkan tongkat, sekaligus menangkis sepasang
pedang itu dan membalikkan tongkat mengirim serangan dengan tusukan ke
arah perut yang gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan dan pada saat itu,
sebelas orang sutenya yang menyaksikan gerakan cepat Siang Ki, segera
maju mengeroyok!
“Dua belas ekor cacing Thian-liong-pang tak
tahu malu!” terdengar bentakan Kwi Lan disusul sinar hijau pedang
Siang-bhok-kiam. Gadis ini sudah melompat maju dan begitu ia memutar
pedangnya, empat batang pedang lawan telah dapat tertolak mundur
berikut pemiliknye. Akan tetapi pada saat itu anak buah yang bertubuh
tinggi besar dan mereka ini adalah bekas-bekas bajak sungai yang sudah
takluk kepada Siauw-bin Lomo, kini maju mengepung Kwi Lan!
“Bagus, makin banyak makin baik! Memang pedangku sudah haus darah!”
teriak gadis itu sambil membabat ke sekelilingnya. Hebat bukan main
gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya yaitu para
bajak, hanya mengandalkan tenaga besar dan kekasaran saja, maka dalam
sekejap mata terdengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh
mandi darah!
Kalau Kwi Lan dengan enaknya membabati para
pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang benar-benar menghadapi
pengeroyokan berat. Cap-ji-liong terdiri dari orang-orang pandai dan
mereka ini bergerak bukan sembarangan, melainkan menurut aturan dalam
bentuk barisan yang amat rapi dan kuat. Tingkat kepandaian Yu Siang Ki
sudah tinggi dan andaikata Cap-ji-liong maju seorang demi seorang,
biarpun Ma Kiu sendiri takkan dapat menangkan pemuda ini. Akan tetapi
begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam bentuk barisan yang mengurung
rapat, Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak hebat. Dua belas orang
itu menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan mereka itu bagi
Siang Ki amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah, maka pemuda
ini hanya dapat memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata
para pengeroyok yang rata-rata memiliki tenaga lwee-kang cukup besar.
Biarpun ia sedang mengamuk, Kwi Lan tidak melepaskan perhatiannya
terhadap Siang Ki yang ia tahu menghadapi pengeroyokan Cap-ji-liong
yanglihai . Maka ia dapat melihat betapa pemuda itu betapa pun lihainya,
repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman senjata-senjata lawan.
Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang pengeroyok terdepan
lalu sekali meloncat ia sudah tiba di luar barisan Cap-ji-liong yang
mendesak Siang Ki. Pedangnya berkelebat menyerbu barisan Cap-ji-liong
dari belakang sehingga tiga orang anggauta barisan terpaksa membalikkan
tubuh dan menangkis, kemudian secara teratur sekali mereka bergerak
diikuti teman-temannya dan di lain saat Kwi Lan telah terkurung pula
bersama Siang Ki!
“Siang Ki, mari kita basmi cacing-cacing yang
menjemukan ini!” seru Kwi Lan marah sambil memutar pedangnya menerjang
kepungan. Akan tetapi barisan itu teratur rapi sekali dan betapapun
lihainya pedang Kwi Lan, karena sekaligus ditangkis oleh sedikitnya
tiga senjata secara berbareng, ia kalah tenaga dan berbalik ia pun
dijadikan sasaran hujan senjata!
“Kwi Lan, kita berdua beradu
punggung!” Siang Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan maksud
temannya segera membelakangi pemuda itu dan kini mereka berdiri saling
membelakangi. Dengan demikian, kedudukan mereka lebih kuat dan tidak
perlu lagi mereka membagi perhatian ke belakang karena bagian belakang
masing-masing telah terlindung sehingga perhatian dapat dicurahkan ke
depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga oleh kedua orang muda perkasa
ini. Benar saja, setelah beradu punggung, dua orang muda ini dapat
melawan lebih ringan dan biarpun kadang-kadang para pengepungnya
berlari-lari memutari mereka, kedua orang muda ini tidak usah ikut
berlari-lari takut diserang dari belakang lagi. Mereka melayani dengan
tenang dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang, sungguhpun
serangan mereka kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak
lawan. Diam-diam Siang Ki menjadi gelisah karena balasan lawan
benar-benar hebat. Andaikata dia dan Kwi Lan dapat bertahan
mengandalkan kegesitan, tenaga dan ilmu silat mereka yang lebih tinggi
tingkatnya, namun sampai berapa lama mereka mampu bertahan? Di luar
barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini masih terdapat puluhan
orang anak buah mereka.
Ma Kiu yang memimpin sute-sutenya ketika
melihat betapa barisannya tidak berdaya menghadapi dua orang muda yang
benar-benar lihai itu, menjadi penasaran dan marah sekali. Tak
disangkanya bahwa Ketua Khong-sim Kai-pang yang masih mudaini ternyata
juga amat lihai sehingga diam-diam ia harus meragukan kepandaiannya
sendiri apakah ia akan sanggup menghadapi orang muda itu satu lawan
satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa rahasia perkumpulannya.
Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu lalu berlari-lari
mengelilingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu menjadi
makin jauh.
“Awas....!” Siang Ki berseru keras dan Kwi Lan yang
sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari
sambaran senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang
berbentuk bintang. Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar
saja di sekitar mereka berdiri berserakan senjata rahasia musuh.
Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw yang menyambar bagaikan hujan,
kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak buah bajak. Sibuk sekali
Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata rahasia ini.
“Kwi Lan.... kau larilah.... lekas serbu sayap kiri... aku membantu dan
melindungimu, kau harus lari....!” Terdengar Siang Ki berkata dengan
napas memburu. Ketika Kwi Lan melirik tanpa menghentikan putaran
pedangnya, ia terkejut melihat pemuda itu terluka pundak kirinya
sehingga mengeluarkan darah.
“Huh, enak kau bicara! Kaukira aku pengecut yang takut mampus? Kaulihat!”
Sambil berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan bergerak menyambitkan
jarum-jarumnya ke sebelah kanan. Sinar hitam menyambar dan terdengarlah
jerit-jerit kesakitan disusul robohnya lima anggauta bajak yang menjadi
korban sambaran jarum-jarum hijau beracun.
Akan tetapi gerakan
ini hampir mencelakakan Kwi Lan juga karena dengan gerak serangannya
ini, putaran pedangnya kurang kuat dan kalau ia tidak cepat meloncat ke
kiri, tentu ia menjadi korban sambaran sebuah di antara puluhan senjata
rahasia.
“Tiada guna.... mereka terlalu banyak dan lihai. Lekas kau lari selagi ada kesempatan Kwi Lan.”
“Ih, kalau kau takut, kau larilah. Aku tidak takut, akan kulawan sampai mampus!”
“Aku tidak takut, aku ingin kau menyelamatkan diri, jangan pikirkan diriku....”
“Eh, orang bernama Yu Siang Ki! Apakah kau mau menjadi orang gagah sendiri dan aku harus menjadi pengecut?
Tidak, kalau kita lari, harus lari bersama, kalau melawan terus harus
berdua!” jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suaranya jelas memperdengarkan
kemarahan.
“Ah, kau bodoh!” kata Siang Ki sambil memutar
tongkat dan mengebutkan lengan baju lalu melompat tinggi. Biarpun sudah
terluka ternyata ia masih gesit sekali. “Bukan berani atau takut,
melainkan kita harus gunakan otak! Kalau melawan terus dan keduanya
mati, siapa akan tolong? Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada
kau yang menolongku. Kenapa nekat? Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku
bantu kau melarikan diri!”
Kwi Lan menjadi gemas sekali. Sambil
memutar pedang menangkis senjata rahasia, ia berhasil menangkap sebuah
peluru bintang dan cepat mengembalikannya dengan sambitan kuat. Kembali
terdengar jerit seorang anggauta bajak roboh dan tewas.
“Aku
punya rencana. Hayo kaulindungi aku!” bentaknya kepada Siang Ki,
kemudian tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membantah, ia
sudah meloncat dan menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke kanan. Yang
mengurung di sebelah kiri adalah anggauta-anggauta termuda Cap-ji-liong
dan ketika bertempur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa sayap kiri
ini yang paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu
sayap kanan di mana terdapat Ma Kiu, Ketua Thian-liong-pang yang tentu
saja paling kuat di antara adik-adiknya! Karena melihat Kwi Lan sudah
menyerbu, tentu saja ia pun tak dapat mencegah cepat ia melindungi gadis
itu dari dekat.
Ma Kiu terkejut dan cepat ia bersama
adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan sekaligus tiga orang
menangkis sedangkan tiga orang lain membalas dengan serangan dari kanan
kiri. Akan tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini, bahkan ia
terus menerjang maju ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang
bertubi-tubi! Melihat ini, tiga orang anggauta Cap-ji-liong menjadi
girang dan mengira bahwa serangan mereka tentu akan mengenai sasaran.
“Trang-trang-trang....!” Tangkisan tongkat Siang Ki amat kerasnya
sehingga golok dan pedang yang mengancam Kwi Lan itu sampai terpental
dari tangan pemegangnya. Akan tetapi karena Siang Ki sudah terluka dan
dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu banyak tenaga maka ketika
ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar punggung, ia tidak
dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman ruyung! Siang
Ki mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat. Robohlah orang
Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya terkena
sodokan tongkat! Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang matanya
oleh hantaman ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat
itu, dua buah peluru bintang yang mengandung racun telah menyambar dan
mengenai dada dan lehernya! Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih
terpegang erat-erat.
Pada saat yang hampir berbareng, Kwi Lan
yang menyerang Ma Kiu juga telah berhasil. Dengan gerakan seperti burung
walet terbang miring, gadis itu melompat menghindarkan sambaran
sepasang pedang Ma Kiu, Kemudian dari samping atas tangan kirinya
bergerak dan tanpa dapat dicegah lagi jari-jari tangannya yang kecil
halus namun kuat dan cekatan itu telah menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu
mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua pedangnya terlepas. Sebelum
adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi Lan sudah meloncat
turun, menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang pingsan itu,
menodongkan pedangnya ke dada Ketua Thianliong-pang ini sambil
membentak.
“Mundur semua atau kurobek perut Ketua Thian-liong-pang!”
Ancaman yang dikeluarkan dengan suara nyaring penuh amarah ini
berhasil. Orang-orang Thian-liong-pang yang tadinya sudah menggerakkan
senjata hendak membunuh Siang Ki yang sudah tak berdaya itu menarik
kembali senjata masing-masing, juga mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan
kini terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi sepuluh orang Cap-ji-liong
yang belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki yang sudah pingsan.
Mereka bukan orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh di tangan
gadis itu, mereka pun mengurung dan menawan Siang Ki.
“Bebaskan
kawanku itu, baru aku akan membebaskan Ketua Thian-liong-pang!” kembali
Kwi Lan membentak dan pedangnya masih ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.
Seorang di antara sepuluh anggauta Cap-ji-liong yang bertubuh kurus
bermuka pucat, melangkah maju mewakili teman-temannya. Ia melihat betapa
banyaknya anak buah bajak yang roboh menjadi korban nona perkasa itu,
dan melihat pula betapa nyawa ketuanya terancam bahaya maut! Akan tetapi
ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu bergerak-gerak, tanda bahwa
ketuanya itu tidak pingsan! Memang dalam hal ini Kwi Lan kurang
menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu berjuluk
Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar), memiliki gwa-kang yang bukan main
kuatnya sehingga jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh
otot-otot baja dan kulit besi! Tadi ketika terkena totokan, Ketua
Thian-liong-pang ini hanya puyeng sebentar akan tetapi jalan darahnya
tidaklah terhenti seperti yang disangka Kwi Lan. Ia hanya setengah
pingsan sebentar saja dan kini ia sudah sadar kembali. Akan tetapi
dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa sedikit saja ia
bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk dadanya.
“Hemm, Mutiara Hitam.” kata anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat
tadi, “keadaanmu tidak menguntungkan akan tetapi kau masih membuka mulut
besar! Kau boleh mengancam ketua kami akan tetapi kami pun dapat
mengancam nyawa kawan baik dan kekasihmu ini. Ha-ha-ha!”
Wajah
Kwi Lan menjadi merah sekali, pandang matanya melotot dan ia membentak,
“Baik, kau boleh bunuh dia, akan tetapi selain ketuamu ini kubunuh,
juga semua orang Thian-liong-pang takkan kubiarkan hidup!” Tiba-tiba
anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring dan mereka
berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu menggerakkan tubuh
bergulingan menjauhi Kwi Lan!
Gadis itu kaget sekali. Kalau ia
menghadapi penyerbuan mereka, tentu Ketua Thian-liong-pang itu terlepas
dari tangannya. Sebaliknya kalau ia mengejar dan menyerang Ma Kiu yang
bergulingan, tentu ia akan menjadi korban serbuan sepuluh orang
Cap-ji-liong! Tentu saja yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya
sendiri, karena kalau ia roboh, berarti Siang Ki takkan dapat tertolong
lagi. Dengan geram ia memutar pedangnya menyambut serbuan sepuluh orang
anggauta Cap-ji-liong itu. Demikian hebat gerakan pedangnya yang
dirangsang kemarahan sehingga tubuhnya berkelebat lenyap dan gerakan
pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis senjata yang
mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang pengeroyok.
Sungguhpun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja namun
dua orang anggauta Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher.
Segera Kwi Lan dikurung oleh sisa anggauta Cap-ji-liong dan anak buah
Thian-liong-pang yang amat banyak. Terdengar suara Ma Kiu marah sekali,
“Seret ketua jembel itu dan bawa pergi! Siapkan barisan Am-gi (Senjata
Rahasia), keroyok iblis betina ini!”
Makin bingung dan gelisah
hati Kwi Lan mendengar perintah yang dikeluarkan Ketua Thian-liong-pang
ini. Ia masih dan belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andaikata ia
menurut nasihat Yu Siang Ki dan menyelamatkan diri, agaknya tidak
terlalu sukar bagi Kwi Lan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan
malam. Namun gadis ini luar biasa beraninya dan juga tak dapat menahan
kemarahannya. Melihat betapa temannya terancam bahaya maut, ia tidak
pedulikan lagi akan keselamatan diri sendiri, terus saja mengamuk
seperti seekor naga sakti.
Namun Ma Kiu yang maklum akan
kelihaian gadis ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan dalam keadaan
hidup, lalu mengatur barisan. Mereka lalu mengeluarkan tambang-tambang
yang diayun-ayun untuk menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di samping itu
hujan senjata rahasia membuat Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia
harus menghindarkan diri dari hujan senjata, ia pun harus berloncatan
karena kakinya diancam oleh ayunan tambang-tambang yang dipegangi para
pengeroyok dari depan dan belakang serta kiri kanan. Kini ia terkepung
rapat dan andaikata ia mempunyai maksud hati untuk melarikan diri
sekalipun sudah tak mungkin lagi, sudah terlambat.
Sementara
itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak siasat, diam-diam sudah mengambil
jaring yang berada di tepi sungai, jaring para nelayan dijemur di tepi
sungai. Diam-diam Ketua Thian-liong-pang ini mengatur siasat dan
alangkah kaget hati Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali jaring
melayang dari atas menyelimutinya. ia berusaha memutar pedang membela
diri. Banyak jaring yang robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba
kakinya terasa sakit tertusuk senjata rahasia anak panah, sehingga ia
terhuyung-huyung. Pada saat itu, beberapa buah jaring menutup tubuhnya,
dan ada tambang melibat kakinya dan menjegalnya. Betapa pun kuatnya
Kwi Lan, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terguling.
Para anggauta Thian-liong-pang bersorak-sorak dan sebentar saja tubuh
Kwi Lan sudah dilibatlibat jaring. Ia tertawan dalam libatan
jaring-jaring itu dan hanya mampu memaki-maki akan tetapi sama sekali
tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu memimpin orang-orangnya membawa pergi
Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang tawanan penting. Masih untung
bagi dua orang muda itu. Kwi Lan adalah gadis yang pernah mengacau
Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku sebagai utusan Pak-sin-ong
mengirim kuda hitam, maka ia bukan orang biasa dan oleh Ma Kiu akan
dibawa dan dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini hendak
mengadakan hubungan dengan barisan Hsi-hsia. Adapun Yu Siang Ki adalah
Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi musuh besar Bu-tek Siu-lam karena
pemuda ini berani memusuhi para pengemis baju bersih, maka juga
merupakan orang penting yang patut dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo
untuk diambil keputusan nasibnya. Selain ini, juga Ma Kiu yang melihat
kecantikan Kwi Lan, merasa sayang kalau membunuh gadis ini secara begitu
saja!
Rombongan orang Thian-liong-pang ini lalu pergi
meninggalkan desa Ci-chung sebagian naik kuda dan ada yang berjalan
kaki mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta tawanan yang
bentuknya seperti kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu Siang
Ki yang pingsan dan Kwi Lan yang memaki-maki di sepanjang jalan.
***
Lembah Sungai Nu-kiang yang meluncur turun dari lereng Gunung
Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat
strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta Tibet yang
memimpin sisa pasukan Hsi-hsia. Lembah ini penuh dengan hutan-hutan
liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat
menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di
samping ini semua, keadaan daerah pegunungan yang amat sukar didatangi
orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk
datang menyerbu.
Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw
Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan
pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah dibangun pondok-pondok darurat
yang cukup besar. Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena
dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara
untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung. Akan tetapi Bouw
Lek Couwsu yang suka dengan markas baru ini, hanya menyerahkan
penyerbuan atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri
beristirahat di markas baru ini, ditemani Siang-mou Sin-ni yang
biarpun tua namun masih kelihatan cantik dan menyenangkan hatinya,
apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini disampingnya
merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya
menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang wajahnya masih tampan
ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membunuh tokoh-tokoh
Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.
Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul
mundur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidaklah terlalu kecewa. Pertama,
ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar
adalah Kerajaan Sung. Ke dua, ia telah berhasil membunuh Ketua
Beng-kauw dan para tokohnya sehingga ia dapat membalas kekalahannya
dahulu. Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam
penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak
wanita muda. Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya
sebagai kedok belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan
yang tercantik, sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek
ini akan dapat bersenang-senang sepuas hatinya.
Juga Siang-mou
Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya,
menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera bungsu
Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat
tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih
sehingga terpenuhilah kebutuhannya untuk menyempurnakan ilmunya
Hun-beng-to-hoat! Siang-mo Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk
menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi
makan minum secukupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia
campuri obat untuk memperkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia
“pergunakan” untuk keperluan ilmunya.
Akan tetapi tidaklah mudah
membujuk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan
dibawa ke dalam rimba lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu
memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak
pernah menangis lagi sejak ditangkap, namun tidak mengenal takut dan
selalu menolak apabila diberi makan. Setidaknya, ia menerima makanan
dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau tidak ada
penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak kelaparan
saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan minuman yang lezat
dan berlebihan, ditunggu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin
segar, melainkan makin kurus dan pucat.
Setengah bulan
kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki
kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar.
Melihat masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai
panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki
sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah yang
bersama pendeta gundul berkaki buntung, yang membunuh ayah bundanya
dan wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya
sambil berlari seperti terbang cepatnya ke tempat ini.
Melihat
wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar
tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh
tempat tidur, lalu ia duduk di pembaringannya. Matanya tak pernah
berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping
kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak
mungkin berniat baik terhadap dirinya.
Sejenak Siang-mou Sin-ni
memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum,
menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis.
“Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan? Ah, mengapa kau mengecewakan
hatiku? Kau tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga tubuhmu makin
kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu? Aku sayang padamu, Han Ki.”
“Kalau sayang kenapa kaubunuh Ayah bundaku? Tidak, kau jahat dan biarkan
aku pergi dari sini” Sambil berkata demikian, Han Ki yang melihat
betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu
mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri.
Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah
menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat
dan sebentar saja ia sudah lari keluar menerobos pintu.
Akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya terbetot ke belakang, bahkan melayang kembali
ke dalam kamar. Han Ki meronta dan kaget sekali melihat betapa
tubuhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum memabokkan,
kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.
“Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus”
Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup,
membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangannya tak dapat bergerak. Ia
tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut
yang amat kuat. Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya,
mengelus-elus kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher,
mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih sayang. Namun
sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati Han Ki,
seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang
menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia
tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan
mata terbelalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia
merasa betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu
menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh
gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan yanci. Ia makin serem
dan ngeri.
“Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan ganteng.
Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu
dahulu pernah menjadi kekasihku, tahukah kau anak baik? Dia amat cinta
kepadaku.... hi-hik”
“Bohong....!” Han Ki tidak begitu mengerti
akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta
iblis betina ini, mana ia mau percaya?
“Hi-hi-hik, siapa
bohong? Kau lebih tampan dari dia, hem.... kulitmu lebih halus, darahmu
lebih bersih dan murni.... hemmm....!” Tiba-tiba wanita itu mencium
dahinya, pipinya hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium
mulutnya!
Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita
itu akan menggigiti dan seperti seekor serigala akan memakannya. Ia
merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah. Ketika Siang-mo
Sin-ni mencium mulutnya seperti orang gila, atau lebih mirip dengan
seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa
dada di mana tubuhnya menempel itu terengah-engah, merasa betapa mulut
yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang
membelit tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan marahnya, ia
menggunakan kesempatan selagi rambut yang membelitnya itu mengendur,
ia meronta sekuat tenaga sambil menarik mukanya ke belakang
Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya
merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan
terdorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan....
menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni! Mulutnya bertemu kulit leher
yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat
tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya
biarpun ia dipukul sampai mati!
“Aiihhh....!” Siang-mou Sin-ni
menjerit lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi, bahkan jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya.
Dialah seorang di antara Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang
tersohor puluhan tahun, yang bahkan dialah satu-satunya orang di antara
Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya amat hebat bahkan
mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya mempergunakan rambut
panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu menghadapinya, belum
lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam pukulan
darah beracun, bukan main kejinya. Akan tetapi karena dalam detik-detik
tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh nafsu binatang karena
mengilar akan kemurnian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia
berada dalam keadaan seorang mabok dan pada detik-detik itu, semua
tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang dikuasai
oleh nafsu binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan
akan kenikmatan menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk
menyempurnakan ilmu yang sedang dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa
gigitan Han Ki dengan tepat mengenai sasaran, bahkan kulit
tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam keadaan biasa,
bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok!
Betapapun juga, sebagai seorang berilmu tinggi, hanya sedetik
Siang-mou Sinni terkejut. Kalau saja ia bukan orang yang memiliki
kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali
menggerakkan jari tangan membunuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa
ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut,
melainkan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah
itu mengeluh dan gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya
karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan.
Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokannya dan tersenyum memandang anak itu.
“Hebat,” bisiknya, “kulit leherku sampai pecah-pecah terluka.” Ia lalu
melangkah keluar dan memanggil penjaga yang datang berlarian. “Jaga
baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua hidangandariku untuknya
harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam mulutnya secara
paksa.”
Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia
bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi. Ia
merasa beruntung masih hidup, dan semalam itu ia duduk termenung
memikirkan pengalamannya. Yang selalu terngiang di telinganya adalah
pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih
iblis betina itu! Ia tidak sudi untuk mempercepat hal ini, akan tetapi
entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.
Tentu saja
anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi
kepada mendiang ayahnya, seorang pendekar dan menantu Ketua Beng-kauw.
Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah
Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis betina ini dahulu akan tetapi kekasih
paksaan karena Kam Bu Sin melayani semua kehendak dan nafsu iblis
Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki obat
perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!
Pada
keesokan harinya, seperti biasa, pagi-pagi sekali orang sudah mengantar
makanan lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang
mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.
“Kaumakan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara
paksa.” hwesio itu mengancam sambil menyeringai, tampak giginya yang
besar-besar dan berwarna kuning dekil. Melihat gigi besar-besar kuning
dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di
mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu
makan sama sekali biarpun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah
terhadap Siang-mou Sin-ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak
mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.
“Aku tidak sudi. Kaumakan sendiri!” ia menjawab sambil membuang muka.
“Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku
menjejalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel!” bentak hwesio itu
dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih,
mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini mendekat. Ia tidak
pedulikan Han Ki meronta-ronta, mendudukkan anak itu dipangkuannya
dan menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut
Han Ki secara paksa. Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki
tenaga besar dan berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka
mulut, kemudian ia menjejalkan makanan itu dalam mulut Han Ki. Bocah
ini tersedak-sedak, terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan
sampai menutup leher dan menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia
terpaksa harus menelannya! Percuma saja ia meronta-ronta, dan percuma
saja ia berusaha untuk tidak menelan makanan, karena hal ini tidak
mungkin. Akhirnya semua makanan semangkok penuh itu terjejal ke mulut
dan memasuki perutnya! Masakan ini memang lezat dan hal ini sudah
diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula, akan tetapi dijejal
seperti ini lenyaplah rasa lezatnya. Ketika hwesio itu selesai
menjejalkan makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas
ranjang, dua butir air mata meloncat keluar dari mata Han Ki yang
melotot dan hinggap di atas keduapipinya. Ia memandang hwesio itu dengan
mata melotot penuh kebencian. Akan tetapi hwesio itu
mengebut-ngebutkan bajunya dan berkata.
“Aku masih ingin sekali
menjejalkan makanan beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu
robek. Ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, hwesio itu keluar dari
kamar. Penjaga segera datang, mengambil mangkok dan menutup pintu lalu
menguncinya.
Setelah berada seorang diri, Han Ki duduk
terlongong. Hampir ia menangis menggerung-gerung kalau saja hatinya
tidak menahannya. Ia tidak mau menangis, apalagi di depan hwesio itu.
Ia tidak mau memberi kesenangan pada musuh-musuhnya dengan tangisnya!
Akan tetapi Han Ki seorang anak yangcerdik. Ia pun maklum bahwa kalau ia
tidak mau makan, tentu hwesio itu memenuhi ancamannya dan kalau sampai
dijejali lagi, berarti ia mengalami penghinaan dan agaknya hal itu
menyenangkan hati Si Hwesio bengis. Inilah sebabnya maka mulai saat itu,
setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia segera memakannya dengan
sukarela sampai habis.
Luar biasa sekali hasilnya. Dalam waktu
sepekan saja tubuh Han Ki menjadi gemuk, dagingnya penuh, kedua
pipinya kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam! Inilah
hasil obat kuat dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni
sendiri. Obat yang mengandung hawa panas, memanaskan darah dan
menguatkan tulang, menambah sumsum.
Han Ki merasa sehat dan
kuat, hanya ia seringkali kepanasan sampai sering ia membuka bajunya di
waktu siang, tidak kuat karena merasa tubuhnya seolah-olah terbakar.
Dan kini yang membawa datang makanan bukan lagi hwesio bengis. Agaknya
karena Han Ki tidak pernah menolak untuk makan hidangan, Siang-mou
Sin-ni tidak mau lagi menggunakan hwesio untuk mengancam, dan kini
masakan dibawa datang oleh penjaga biasa. Penjaga itu seorang Hsi-hsia,
biarpun cukup kuat dan galak, akan tetapi tidak mempunyai watak sadis
(suka menyiksa) seperti hwesio itu.
Malam itu Si Penjaga kembali
datang membawa makanan untuk Han Ki. “Mungkin malam ini yang terakhir
kau di sini.” kata Si Penjaga sambil lalu. Berdebar jantung Han Ki
mendengar ini.
“Mengapa? Aku hendak diapakan?” tanyanya.
Penjaga itu tertawa mengejek. “Apa lagi? Kau anak musuh, tidak
disembelih sejak dulu sudah untung! Ha-ha, agaknya Sin-ni suka
kepadamu. Entah bagaimana aku tidak tahu.... heh-heh, menurut
pikiranku, kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?”
Tentu saja Han Ki tidak mengerti maksudnya, akan tetapi ia dapat
menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik atas dirinya.
Harus sekarang kulaksanakan, pikirnya. Untung atau buntung. Hidup atau
mati, tidak ada pilihan lagi.
“Paman yang baik, apa pun yang
akan terjadi, sampai mati aku tidak akan melupakan kebaikanmu.” Han Ki
sengaja terisak-isak seperti bocah terharu dan menangis.
Belasan
hari lamanya, Si Penjaga diam-diam amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah
berusia sebelas tahun menjadi tawanan, namun tak pernah menangis, tak
pernah mengeluh, tak pernah ketakutan. Maka kini melihat Han Ki
menangis di depannya dan menyatakan tidak melupakan kebaikannya, ia
tentu saja terheran-heran.
“Huh? Apa maksudmu?”
“Selama
ini kau telah menjaga diriku, Paman. Aku tidak punya apa-apa, hanya ini
kubawa dari rumah orang tuaku, akan kutinggalkan kepadamu sebagai
kenangkenangan dan balas budi....“ Dari balik bajunya, Han Ki
mengeluarkan sebuah benda yang macamnya seperti sehelai tambang, akan
tetapi sesungguhnya adalah baju dalamnya yang terbuat daripada sutera
putih dan yang selama ini ia pilin-pilin menjadi seperti tali. Tadinya
ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas, akan tetapi
ketika ia bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan untuk
menyelamatkan diri dengan tali istimewa ini.
“Huh? Apa ini....?” Orang Hsi-hsia yang belum banyak mengerti tentang benda-benda milik orang kota, memandang heran.
“Inilah kalung jimat para bangsawan di Nan-cao, Paman. Sebagai cucu
Ketua Beng-kauw, aku selalu memakai kalung ini. Kau diamlah, biar aku
memakaikannya kepadamu, Paman, dan kau akan tahu nanti bagaimana besar
manfaatnya.” Tanpa menanti jawaban. Han Ki memutari tubuh penjaga itu
dan berdiri di belakangnya.
Orang Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.
“Beginilah pakainya, Paman.” Han Ki lalu menggunakan kedua tangan
memegangi kedua ujung tali sutera itu, mengalungkan secepatnya di
leher penjaga, kemudian ia membelit-belit kedua ujung pada lengannya dan
menarik sekuat tenaga!
Orang Hsi-hsia itu terkejut, meronta
hebat, namun Han Ki sekarang sudah menempelkan tubuh pada punggungnya
seperti seekor lintah, kedua kakinya mengempit pinggang, kedua tangan
sekuat tenaganya menarik ujung tali. Semenjak kecil Han Ki telah
digembleng orang tuanya maka ia telah memiliki dasar tenaga dalam.
Namun, andaikata ia tidak kebetulan diberi makan obat yang dicampurkan
dalam masakan oleh Siang-mou Sin-ni, kiranya tenaga anak berusia sebelas
tahun ini belum tentu akan dapat mencekik Si Penjaga yang kuat.
Kebetulan sekali, pengaruh obat Siang-mou Sin-ni luar biasa hebatnya,
membuat tenaga dalam anak itu bertambah kuat beberapa kali lipat!
Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat berteriak dan tak
dapat bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh anak itu
tetap lengket di punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya
mendelik, lidahnya terjulur keluar.
Setelah penjaga itu tidak
berkutik lagi, barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu meloncat
menjauhi. Seluruh tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas yang
menyelubungi tubuhnya, juga karena tegang dan tadi mengerahkan tenaga.
Ia memegangi kedua kaki penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa
heran mengapa tubuh penjaga itu demikianringan. Ia tidak tahu bahwa
bukan tubuh Si Penjaga yang ringan, melainkan tenaganya yang kini
menjadi amat kuat. Diseretnya mayat itu ke bawah pembaringannya dan
ditariknya tilam pembaringan ke bawah sehingga menutupi kolong
pembaringannya. Kemudian ia mengatur letak guling bantal, ditutupnya
dengan selimut sehingga sepintas lalu tampak seolah-olah ia tidur dan
berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Setelah itu, dengan cepat
namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan
mengancingkannya dari luar.
Ia tidak tahu sama sekaii bahwa
tempat ia ditahan itu merupakan kamar belakang dari bangunan yang
menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni! Bangunan
ini biarpun dibuat secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw Lek
Couwsu tinggal ditemani gadis-gadis rampasan yang menempati beberapa
buah kamar-kamar besar ini, Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.
Karena dari kamar tahanan itu tidak ada jalan keluar kecuali melalui
ruangan belakang dan yang pertama-tama menembus ke kamar Siang-mou
Sin-ni yang selalu ingin berdekatan dengan kamar tahanan calon
korbannya, maka ketika Han Ki menyelinap keluar dan berjalan melalui
lorong dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar Siang-mou Sin-ni
seperti seekor kelinci mendekati sarang macan! Tiba-tiba suara ketawa
cekikikan membuat ia berhenti bergerak dan merasa jantungnya seakan-akan
copot karena suara ketawa itu ia kenal sebagai suara Siang-mou Sin-ni.
Suara itu keluar dari jendela yang tepat berada di pinggir kepalanya,
jendela kamar Siang-mou Sin-ni! Dengan jantung berdebar Han Ki lalu
mengintai dari celah-celah daun jendela, menahan napas. Untung bahwa ia
bertelanjang kaki sehingga tapak kakinya tidak menerbitkan suara.
Sedikit saja ada suara, tentu takkan terlepas dari telinga Siang-mou
Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada di kamar itu.
“Hi-hi-hik,
kau bajul buntung tua bangka tak bermalu!” Terdengar suara Siang-mou
Sin-ni. Han Ki yang mengintai kini melihat kakek yang kaki kirinya
buntung dan bertubuh tinggi besar berjubah merah, sedang duduk bersila
di atas pembaringan yang indah. Kakek ini tersenyum-senyum dan wajahnya
yang tampan itu masih kelihatan muda dan sehat. Tangan kanannya memegang
sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou Sin-ni rebah dengan kepala di
atas pangkuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang panjang terurai sampai ke
lantai. Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit dan manja, lalu
menyambung kata-katanya.
“Kau sudah tua bangka akan tetapi
hatimu lebih muda daripada orang yang paling muda! Masih kurangkah
perempuan muda yang kaukeram di sini? Masa kau menginginkan pula dua
orang dara itu?”
Bouw Lek Couwsu yang sudah mendekatkan cawan
emas pada bibirnya, menunda minumnya dan memandang wajah yang
menengadah di atas pangkuannya, tersenyum dan berkata.
“Kim Bwee, setua ini kau masih cemburu?” Ia tertawa bergelak.
Siang-mou Sin-ni cepat bangkit duduk dan matanya mendelik. “Tua bangka
menyebalkan! Aku cemburu padamu? Huh, memalukan! Kau tahu aku tidak
cemburu, aku tidak peduli kau akan mengumpulkan ribuan perempuan seperti
juga kau tidak cemburu dan peduli kalau aku mengumpulkan ribuan
pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua orang dara itu adalah puteri Kam
Bu Sin, mereka itu adalah cucu-cucu Ketua Beng-kauw yang sudah
berhasil kita bunuh. Mereka tadinya, dapat lolos, sekarang dapat
tertawan oleh murid-muridmu, itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh
mereka? Makin lama mereka dibiarkan hidup, makin banyak pula kesempatan
bagi mereka untuk lolos. Lebih baik kita singkirkan bahaya di hari
depan kita.”
“Hemmm, omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan
tetapi, aku merasa sayang untuk membunuh mereka begitu saja. Seperti
juga bocah laki-laki yang akan kauambil darah dan sumsumnya, dua orang
dara itu adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki tulang yang baik
dan darah bersih, juga.... hemm, amat cantik jelita. Malam ini, aku
janji padamu, mereka akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok
masih belum terlambat untuk membunuh mereka.”
“Huh, dasar mata keranjang. Akan kulihat besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri yang akan turun tangan!”
Bouw Lek Couwsu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Siang-mou Sin-ni
sambil tertawa ia mendekatkan cawan emas pada bibirnya, tetapi kembali
ia menunda karena Siang-mou Sin-ni berkata mencela.
“Kau akan mencelakai dirimu dengan minuman seperti itu!”
“Ha-ha-ha, mana bisa celaka? Darah ular salju amat besar khasiatnya,
tentu saja terutama sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli Im-kang aku
membutuhkan racun dingin untuk memperkuat tenagaku, tidak seperti kau
yang suka akan yang panas-panas, ha-ha-ha!”
Pada saat itu
terdengar pintu terketok dari luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai
dan mendengarkan dengan wajah pucat dan tubuh menggigil saking
gelisahnya mendengar dua orang kakak perempuannya juga tertawan, menjadi
makin kaget dan cepat-cepat ia menarik kepalanya, mendekam di bawah
jendela yang gelap. Ia hanya mendengarkan sambil menahan napas. Akan
tetapi ternyata bahwa yang datang memasuki kamar itu adalah seorang
pendeta jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu dan mereka bicara dalam
bahasa Tibet yang sama sekali tidak dimengerti Han Ki. Kemudian
terdengar Bouw Lek Couwsu memaki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru
marah.
“Mari kita lihat bagaimana macamnya iblis itu!”
Terdengar mereka meninggalkan kamar. Setelah keadaan di situ sunyi,
barulah Han Ki berani menggerakkan lehernya mengintai. Kamar itu
kosong. Hatinya berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di mana?
Dengan hati-hati ia lalu naik ke atas jendela, lalu memasuki kamar
itu. Tubuhnya masih gemetar dan jantungnya masih berdebar. Lehernya
seperti dicekik, amat kering dan haus. Keadaan sudah amat sunyi dan
agaknya ia akan dapat melarikan diri, akan tetapi ia mendengar bahwa
dua orang kakaknya tertawan, lenyaplah keinginan hatinya untuk
melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan mencari dimana kedua orang
kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolong nya!
Bau harum
sedap menarik perhatiannya. Cawan emas itu masih di atas meja dan
isinya penuh. Agahnya Bouw Lek Couwsu tidak sempat meminumnya, keburu
datang pelapor yang membuatnya marah-marah dan meninggalkan kamar.
Mencium bau sedap dan melihat isi cawan yang kuning kemerahan dan
jernih, makin kering rasa tenggorokannya. Sebagai putera pendekar yang
dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan arak, karena
seringkali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat
tulang-tulangnya dan membersihkan darahnya. Dalam keadaaan gelisah ia
menjadi haus sekali melihat arak dalam cawan emas itu tak dapat ia
menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu menyambar
cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan manis! Rasa enak
membuat ia minum terus sampai cawan itu kosong. Ketika ia melempar
kembali cawan ke atas meja, ia mengeluh dan terhuyung-huyung ke kanan
kiri.
Tubuhnya terasa aneh sekali, sebentar terasa panas yang
selama ini memenuhi tubuhnya menjadi makin panas seperti terbakar, akan
tetapi di lain saat menjadi dingin sampai giginya atas bawah saling
beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di dalam dada dan seluruh
tubuhnya terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga raksasa yang
membuat tubuh anak itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han Ki
dalam keadaan pingsan di atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni!
Apakah yang terjadi pada anak ini? Dia menjadi korban pengaruh dua
macam obat yang bertentangan! Mula-mula ia dijejali makanan yang
mengandung hawa panas luar biasa, yang membuat darahnya seolah-olah
mendidih dan tubuhnya menjadi panas sekali. Kemudian, tanpa ia ketahui,
ia minum obat dalam cawan emas, obat yang disangkanya arak biasa.
Padahal obat itu adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat yang mengandung hawa
dingin luar biasa karena terbuat daripada darah ular salju. Dengan
demikian, dua macam obat berbahaya, yang memiliki daya kekuatan luar
biasa, panas dan dingin, bertemu di dalam tubuhnya, diserap oleh
darahnya yang menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan. Darahnya
keracunan secara hebat sekali.
Ketika akan roboh pingsan, dari
mulut anak ini keluar bisikan. “Aku harus menolong kedua enciku (kakak
perempuanku) .... harus kutolong mereka....!”
Seperti kita
ketahui atau dapat menduga, dua orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan
Kam Siang Hui, telah lenyap ketika mereka sedang menonton pertandingan
antara Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong. Pada saat Siauw-bin Lo-mo
meledakkan senjata rahasianya yang mengeluarkan asap tebal, dua orang
gadis itu secara tiba-tiba roboh tertotok. Mereka kaget dan heran sekali
karena tidaklah sembarang orang mampu merobohkan mereka begitu mudah
dengan serangan gelap dari belakang. Akan tetapi ketika mereka melihat
bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan adalah searang
pendeta gundul jubah merah yang berkaki satu, tahulah mereka bahwa
nyawa mereka terancam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar
mereka, Bouw Lek Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan
kakek mereka! Ketika kakek itu tidak segera membunuh mereka dan
menjebloskan mereka ke dalam kamar tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh
hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa nasib
yang lebih mengerikan daripada maut sendiri yang tengah menanti mereka.
Namun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil keputusan
bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan
mengadu nyawa.
***
“Ke sini jalannya,” Po Leng In
berbisik sambil menarik tangan Kiang Liong yang digandengnya. Mereka
menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah merunduk dan mendaki
naik lereng gunung itu. “Sekeliling puncak terjaga kuat, hanya bagian
ini yang tidak terjaga karena sukar dilewati.” Setelah berbisik
demikian, karena muka mereka saling berdekatan, Po Leng In merangkul
leher dan mencium.
“Sudah, bukan saatnya bersenang-senang!” Kiang Liong mencela sambil menjauhkan mukanya.
Po Leng In menarik napas panjang. “Liong-koko...., bisiknya dengan
suara mesra dan manja, “Aku.... aku cinta padamu...., selamanya aku tak
ingin berpisah dari sampingmu....”
“Huh, cukuplah. Kita
bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau berjanji untuk
membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita
bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat.”
“Tapi....”
“Cukup sudah! Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam
jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan
hidup masingmasing, hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?”
Wajah yang cantik itu menjadi muram, mulutnya yang tadinya tersenyum
bahagia itu kini menjadi pahit. “Aku tahu.... aku harus tahu diri....“
Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian
menudingkan telunjuknya ke depan. “Lewat lereng berbatu-batu itu dan
kita akan berada di wilayah kediaman mereka. Lihat itu Sungai Nu-kiang
sudah tampak.”
Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk
wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku, berwarna
putih dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu,
tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi markas para pendeta jubah
merah. Di sanalah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan
diam-diam Kiang Liong berdoa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan
selamat.
Tiba-tiba Po Leng In memegang lengannya. “Sst, Koko, lihat....!”
Tempat mereka berdiri merupakan lereng yang tinggi dan dari situ
mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur Gunung
Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki
bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah
rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik.
Po Leng In mengeluarkan suara melengking tinggi, mengagetkan Kiang
Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih. “Apa
yang kaulakukan?”
“Aku memberi peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas.”
“Eh, apa maksudmu? Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyukarkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?”
Po Leng In menggeleng kepalanya. “Sebaliknya malah. Jika para penjahat
melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua
perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam keributan,
apalagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang diperhatikan
dan kau dapat bergerak leluasa.”
Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu. “Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas.”
Po Leng In menggeleng kepalanya. “Jangan, kau menanti di sini sampai gelap. Aku harus pergi dulu.”
Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya. “Leng In, apa sebetulnya
kehendakmu?” pertanyaan ini disertai pandang mata penuh selidik dan
curiga.
“Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku,
kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhianatan atau aku
akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin terhadapmu.
Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, Guruku dan yang
lain-lain akan tahu bahwa aku telah datang. Kalau aku tidak lekas-lekas
menemui mereka, apa kaukira mereka takkan menjadi curiga? Aku harus
segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun puncak
menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus,
melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat
bangunan-bangunan di puncak, carilah bangunan yang paling besar di
tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka
itu ditawan dalam bangunan di samping kanannya, tempat tinggal Guruku.
Kurasa, hanya penjaga-penjaga lemah saja yang akan menghalangimu.”
“Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu.”
Po Leng In tiba-tiba merangkulnya. “Koko, kau.... kau takkan melupakan Po Leng In, bukan....?”
Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih.
“Aku akan tetap mengenangmu sebagai sahabat, kecuali.... kecuali kalau
kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang,
terpaksa aku menentang kau dan Gurumu.”
Po Leng In terisak,
melepaskan rangkulannya lalu lari ke depan, menuju ke puncak. “Gadis
yang hebat,” Kiang Liong berkata seorang diri, “sayang terjerumus
menjadi murid iblis betina itu.”
Ia duduk terlindung pohon-pohon
kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat memandang ke bawah, ke
sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa adanya
rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang
berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal
kakek yang kurus, yang berjalan di depan rombongan itu. Kakek itu
menggendong bambu di punggung, pinggangnya dilingkari dompet-dompet
tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin
Lo-mo! Teringat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan
ketajaman pandang matanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang
untuk melihat lebih jelas siapa yang berada di dalam kereta kerangkeng
itu. Tidak tampak jelas, namun hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua
orang dalam dua buah kerangkeng itu.
Kiang Liong tak dapat
menduga bahwa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu, yang seorang
adalah Mutiara Hitam! Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di
dalam kereta kerangkeng itu. Rombongan itu adalah orang-orang
Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini
herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan
perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo. Ke
Gunung Kao-likung-san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lomo telah menanti
dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini
menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.
“Yang
seorang Ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan
kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci melihat betapa musuh mudanya
terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku
lebih tinggi daripadanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari
Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini? Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik.
Kudengar Bouw Lek Couwsu paling suka gadis cantik, kebetulan sekali
karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu
akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha!”
Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong
dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya
untuk mengunjungi, pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu
karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang sudah
membasmi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya.
Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat
kalau dapat ditarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila
perlu juga patut dibasmi kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong
dari Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia
tidak takut menghadapinya andaikata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap
tidak bersahabat.
Siauw-bin Lo-mo yang belum mengenal watak
Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet, juga tidak
menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni orang terakhir
Thian-te Liok-kwi, dengan hati besar memimpin rombongannya mendaki
lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ketika rombongan tiba di
padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena
tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintahkan rombongannya
berhenti.
“Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak.” katanya.
Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara
lengking tinggi yang datangnya dari bawah puncak, lengking aneh yang
mengingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang
menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Chengliong-san. Lengking
gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni. Salahkah
pendengarannya? Akan tetapi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu
karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak
buahnya. Di antara sinar obor yang dipasang anak buahnya, ia melihat
beberapa orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak
panah menyerang mereka.
Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia
melompat ke depan, menyampok anak-anak panah yang menyambar ke arahnya,
mengerahkan khikang dan berseru keras.
“Tahan anak panah! Di
sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin
Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan
sungai, bermaksud mengunjungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasukan
Hsi-hsia!”
Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di
empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba
tampak api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu muncul puluhan
orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang
hwesio berjubah merah yang berwajah keren. Tempat itu sudah terkurung!
Seorang di antara mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan
berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau besar dan logatnya kaku.
“Nama Siauw-bin Lo-mo sudah terkenal, akan tetapi belum cukup besar
untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin.
Apakah gerangan niat yang dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak
buahnya?”
“Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah
mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo! Kalau kami datang dengan maksud
hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku datang
dengan hati terbuka, ingin bersahabat dengan Bouw Lek Couwsu dan
membawa hadiah dara jelita untuk Couwsu!”
“Tidak ada perintah
dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah, boleh serahkan kepada
kami dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka
meninggalkan gunung sebagai sahabat.”
“Ha-ha-ha-ha! Para
pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata kepada Siauw-bin Lo-mo.
Akan tetapi karena kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah
kalian boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam
kerangkeng itu untuk dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi
hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon
berjumpa besok pagi.”
Pendeta jubah merah itu kelihatan
ragu-ragu. Betapapun juga, ia tidak berani memandang ringan Siauw-bin
Lo-mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan
agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia
pergi menghadap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa
seorang gadis muda cantik yang memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya
dan mohon persetujuannya menerima permintaan Siauw-bin Lo-mo yang
sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya takkan marah.
“Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak
menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan
dapat menerima permintaan yang layak ini.” katanya dan ia pun sudah
menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui
kakek itu sebagai seorang sakti.
Lega hati Siauw-bin Lo-mo.
Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar
untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta
Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang
kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului
dengan lengkingan tinggi.
“Tidak mungkin! Para Lo-suhu jangan
kena dikelabuhi oleh kakek kurus kering yang jahat ini! Namanya
Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan
palsu!”
Siauw-bin Lo-mo terbelalak memandang dengan penuh
kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid
Siang-mou Sin-ni yang bernama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di
bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambutnya yang
hanya tinggal separuh itu tergantung di depan dada.
“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kaumaksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.
“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik.
Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu
dengar baikbaik, aku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya.”
Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin
Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.
“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar
dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua
pertanyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah
bertemu dengan aku?”
“Benar, pernah aku melihat Nona di
Cheng-liong-san.” jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir
karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek
Couwsu.
“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk
menjawab sebetulnya. Bukankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong,
Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk
apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”
Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga. “Memang benar dan akulah orang pertamanya!”
“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku
untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam
menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir
membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu
malah engkau lalu pergi, betul?”
Siauw-bin Lo-mo masih tidak
mengerti apa artinya semua itu dan apa hubungan dengan Bouw Lek Couwsu
serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini
melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat
menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu
menjawab.
“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”
“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kaubilang? Akan tetapi kau tadi
mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok
Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa
bilang apa-apa, melihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang
apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?”
“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”
“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!” Setelah
berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang
Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat
menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh
mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang
pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget
dan meloncat mundur.
Sementara itu, para hwesio jubah merah
yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou
Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpengaruh dan serentak mereka maju
menerjang dengan senjata mereka.
“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta
Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!” Siauw-bin Lo-mo tertawa
bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu
silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi,
setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.
Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan
rampok, yang melihat betapa datuk mereka diserang dan dikeroyok, segera
berteriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula
dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan
liar, sambil mengeluarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan
senjata masing-masing. Terjadilah perang kecil yang dahsyat dan seru di
antara sinar-sinar obor.
Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang
sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban
di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja
Siauw-bin Lo-mo yang cerdik tidak cepat berseru nyaring. “Hajar
kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”
Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa
orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas.
Melihat hebatnya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah
merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pelaporan
kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw
Lek Couwsu yang sedang bersenang-senang dengan Siang-mou Sin-ni di
dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou
Sin-ni.
Kwi Lan yang terkurung dalam kerangkeng tidak luka
parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan.
Ketika sadar dan mendapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian
pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat
bangkit dan meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan
berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung
dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh
Cap-ji-liong.
Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki
mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia
menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi
tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal
untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini
ia sendiri tertawan sehingga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong
bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.
Kwi Lan
meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki
tangannya, kalau ia mau, dapat ia patahkan. Namun kerangkeng itu cukup
kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerangkeng terdapat tokoh-tokoh
Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk meloloskan diri pada
waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang
jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia bertambah
kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki
tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja.
Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas
musuh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen
ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti kesempatan dan saat
baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu
Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya ketika di kaki
Gunung Kao-likung-san, rombongan orang Thian-liong-pang ini bertemu
dengan Siauw-bin Lo-mo yang agaknya memang sudah menanti di situ.
Dengan adanya kakek ini, lenyaplah harapannya untuk dapat membebaskan
diri!
Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil
keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka
dapat dibayangkan betapa tegang dan gembira hatinya ketika ia melihat
munculnya kesempatan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta
jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan
anak buahnya.
Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu
pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Setelah
beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya.
Tanpa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.
Seorang
di antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng,
berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba
lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu
rampok itu sudah tercengkeram lengannya, ditarik ke kerangkeng dan
sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah meninggalkan raganya
karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi
Lan.
Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang
lain melihat betapa temannya tewas, cepat maju mengurung kerangkeng
Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan berkepandaian tinggi,
namun bertangan kosong menghadapi ancaman tombak, dari enam penjuru ini
sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya
juga. Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit kesakitan
dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar
halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa
muka seorang di antara perampok yang diterangi sinar obor, menjadi
hijau ketika orang ini toboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau
dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata rahasianya
yang kantungnya kini dipegang seorang di antara para perampok, bersama
pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi
hwesio-hwesio dalam kelenteng mempergunakan jarum-jarum hijau!
Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan
terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua berjenggot, pakaiannya
sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus,
sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi. Orang
ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambutnya
digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang
sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat, sebuah kantong
kulit. Agaknya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang
merobohkan para penjaga kerangkeng.
Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga terdengar suara keras dan jebollah kerangkeng itu.
“Engkau hebat sekali, Adik manis!” kata gadis itu melihat cara Kwi Lan
menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia
menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung
tubuh Yu Siang Ki.
“Jangan ganggu dia!” Kwi Lan menyambar
cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat
sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi
gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerangkeng, maka tentu
serangannya akan mengenai sasaran.
“Desss....!” Tubuh Kwi Lan
terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Kakek kurus yang
menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika
berseru, “Ihhh....! inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali....!”
Akan tetapi Kwi Lan tidak mempedullkan kakek ini karena perhatiannya
tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan
gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata
dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat? beberapa orang
hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah melepaskan
belenggu tangan Yu Siang Ki.
“Siapa kalian? Mau apa....?” tanyanya gagap.
“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas
lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kaujaga dibelakangku, biar
kugendong dia!”
Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki-laki kurus
itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda
itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang
disebut Goat itu pun dengan pedang terhunus melompat di belakangnya,
melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.
Kwi Lan cepat
mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah
menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung
hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini
mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah.
Timbul keinginan hatinya untuk membantu Po Leng In karena dianggapnya
bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka
kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan
keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini
dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau
pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak
cakap lagi Kwi Lan lalu melompat dan lari mengejar bayangan dua orang
yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.
***
“Tahan, senjata....!”
Bentakan ini keras luar biasa, seakan-akan menggetarkan Gunung
Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil
membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat
orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya
oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.
Para hwesio jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata
masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah
kepada anak buahnya untuk menghentikan pertandingan.
Mereka
berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat
banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki
satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat
dengan kepala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di
dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang,
berambut terurai panjang. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya,
bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang
berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas.
Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya
karena biarpun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini,
sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni,
seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu. Ia
memang mendengar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni seorang yang masih
hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita
sakti ini sudah mengasingkan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini
mengertilah Siauw-bin Lo-mo mengapa Po Leng In bersekutu dengan hwesio
jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek
Couwsu!
“Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu
berkenan keluar sendiri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar
bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah
Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?” Siauw-bin
Lo-mo menegur sambil mendekati Bouw Lek Couwsu.
Bouw Lek
Couwsu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di
sekeliling tempat itu. Ia melihat beberapa orang anak buahnya terluka
dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang puntewas. Ia
mengangguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil berkata,
menggerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.
“Pinceng
pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan
kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini
sengaja hendak mencoba kepandaianku?”
“Ho-ho-ha-ha-ha! Sama
sekali tidak. Salah mengerti.... salah mengerti! Mana bisa aku begitu
tak tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal
orang gagah. Aku sengaja datang untuk berkenalan dan bersahabat, dan
sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara
jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk Mutiara Hitam, untuk
dipersembahkan kepada Bouw Lek Couwsu....“
Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan berkata, suaranya gugup.
“Locianpwe...., dalam keributan.... dua orang tawanan telah lolos....!”
“Apa?” Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan
marah sekali. “Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!” Ia lalu
menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah melihat Cap-ji-liong berkelebat
pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata, “Maaf,
Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan mempersembahkan
kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap.”
Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul
anak buahnya.
“Hemm, iblis tua itu mencurigakan!” kata Siang-mou Sin-ni.
“Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!” kata Po Leng
In. “Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara
Bu-tek Ngosian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di
Cheng-liong-san.”
“Hemm, harus diberi hajaran!” Siang-mo Sin-ni
sudah siap untuk mengejar ketika tiba-tiba terdengar suara tanduk
ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan
Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.
“Agaknya di puncak terjadi
hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan
Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya
besok.”
Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana
terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In menjadi pucat. Ia
dapat menduga apa maknanya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak
itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan penjaga.
Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul
gurunya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang
juga berlari-lari naik.
Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang
Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai
cuaca menjadi gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia
lalu mendaki ke puncak melalui lereng berbatu. Gerakannya cepat sekali
akan tetapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.
Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para
pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang
terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat
persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang
buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang
wanita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka
inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Biarpun hanya mendengar
keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat gerakan mereka berdua
demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah
hatinya ketika malihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa
orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera
meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah
karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa
Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi keributan di
bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing keributan
dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di
puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu
terjaga rapat itu.
Gerakan Kiang Liong memang amat cepat
sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia
meloncat ke dalam dan bergerak menyelinap di antara bangunan-bangunan
di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja. Betapapun
juga, ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok
bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po Leng In, ia menghadapi
kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri,
belakang maupun atas! Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan
mengatur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat
tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman
Siang-mou Sin-ni, mempunyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga
empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di
atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya
penjaga di atas genteng merupakan penjaga berkepandaian tinggi karena
mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Adapun penjaga lain adalah
orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.
Kiang Liong lalu mengumpulkan
beberapa buah batu kecil, kemudian menyelinap ke sebelah kiri
bangunan itu. Beberapa detik kemudian, tiga orang penjaga di sebelah
kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara
karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka
roboh pingsan tanpa mengetahui sebabnya. Cepat bagaikan bayangan setan,
Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga
itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah
gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada
penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu beberapa
menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah
tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.
Tepat
seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua
orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki
ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat
saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak
merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka
terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi
kesempatan. Tubuhnya berkelebat cepat melayang naik ke atas genteng.
Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya,
menyambutnya dengan usaha perlawanan.
Namun sia-sia, tingkat
kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk menandingi pemuda sakti
ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok
lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tubuh
para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.
Akan tetapi,
Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan
kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena betapapun
dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang
gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu
mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu.
Ketika
empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata terbelalak
ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, “Aku tidak
akan menyusahkan kalian, aku datang untuk menolong dua orang tawanan,
dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana
mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera.”
Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking
takutnya tak seorang pun dari mereka dapat menjawab! Dan pada saat itu
kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan
cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak
dirobohkan berbahaya, untuk menyerang mereka ia tidak tega karena
mereka itu adalah wanita-wanita lemah!
“Hayo lekas beritahukan
di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku
bunuh kalian!” ia sengaja mengancam.
“Ampun.... mereka.... mereka di sana.... di kamar belakang....!” Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.
“Lekas bawa aku ke sana!”
Pelayan itu terhuyung-huyung ketakutan, akan tetapi dapat berjalan
menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang.
Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintunya bercat merah,
daun pintunya tertutup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja
daun pintu itu terbuka dan.... Kiang Liong mengeluarkan suara mengutuk
ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua
Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan
telanjang! Melihat tumpukan pakaian mereka di atas pembaringan, Kiang
Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang
mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.
“Lekas pakai
pakaian kalian!” bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat
kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka
merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.
“Untung kau datang tepat pada waktunya, Liong-twako.” kata Siang Kui dengan suara terharu.
“Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-monyet gundul itu!” seru Siang Hui penuh kemarahan.
Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka,
melihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa
kedatangannya belum terlambat.
“Siauw-moi, jangan bicara tentang
menghajar mereka. Jumlah mereka banyak sekali, yang paling penting
sekarang, di mana adanya Han Ki adik kalian?”
Barulah enci
adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. “Kami berdua begitu
terculik, selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di
antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya
Han Ki. Mari kita cari.” kata Siang Kui penuh semangat.
Kiang
Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari dalam
kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan
ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui
memilih sebatang pedang dan begitu tangan mereka memegang senjata, dua
orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan
untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi
keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh
mereka.
Melihat sikap ini, Kiang Liong berbisik. “Lekas kalian
lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang
pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri
keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian....“
“Mana bisa begini?” Siang Hui mencela. “Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!”
“Biarkan kami berdua membantumu, Twako.” Siang Kui juga berkata nadanya mendesak.
“Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya
sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebetulan ada musuh menyerbu
sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sendiri agaknya
belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat
kutolong tentu aku ikut melarikan diri bersama kalian. Akan tetapi
sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.”
“Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!” kata Siang Hui.
Kiang Liong habis sabar. “Kalian harus mengerti, kepandaian mereka
hebat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih
harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua.”
“Kami tidak takut mati!” Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.
Kiang Liong melotot. “Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan
dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap
dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian
Ayah Bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?”
Dua orang
gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian
bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat keluar dan menghilang di
dalam gelap. Hanya terdengar mereka meninggalkan isak tertahan. Kiang
Liong tersenyum geli. “Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa
dan berani mati.” Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu
Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam
Han Ki, maka cepat ia menyelinap keluar dari bangunan besar itu dan
mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan dengan
tubuh menggigil dan muka pucat.
“Aku tidak akan ganggu kalian.
Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak
laki-laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!”
Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. “Kami
tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni....“
“Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?”
Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah
kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda
baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mereka. Para pelayan itu
cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan tetapi dua orang
di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki mereka menggigil
namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan
suara terputus-putus mereka lalu menceritakan tentang serbuan pemuda
pakaian putih.
Ributlah para penjaga, dan para pendeta jubah
merah lalu membunyikan tanda tiupan tanduk untuk memberi tahu para
tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan
senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi
tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.
Kiang Liong yang berhasil
memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan
tandukitu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu
merupakan tanda bahaya dan persiapan pihaklawan. Ia harus segera
menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari
keluar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya, tempat tawanan adalah di
bagian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang pintunya
tertutup didobraknya, namun ia tidak dapat menemukan anak itu.
“Han Ki....! Kam Han Ki....!”
Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena
suara Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat kuat. Namun tidak
ada jawaban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu
Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan
pingsan!
Suara tapak kaki banyak orang menyatakan bahwa rumah
itu telah terkurung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah melalui
jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam menyambutnya
seperti hujan.
bersambung 6...................
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar