Selasa, 14 Mei 2013

mutiara hitam [ 5 ]

“Adakah Ratu Khitan itu dahulu per­nah menjadi kekasihmu?” Kwi Lan me­nyerangnya dengan langsung dan tajam.

Kalamenjing di leher Suling Emas ber­gerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti menelan kembali jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Takkuasa ia menjawab dan tanpa ia sadari, ia mengangguk sungguhpun hatinya mulai dikuasai kemarahan mendengar akan pertanyaan-pertanyaan yang lancang kurang ajar ini.

Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki seperti orang marah sekali dan sua­ra gadis itu bercampur isak. “Kalau kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu, kenapa sekarang kau berada di sini dan meninggalkan dia?” Ucapan ini disertai pandang mata yang tajam menusuk melebihi sepasang pedang pusa­ka sehingga Suling Emas melangkah mun­dur setindak. Akan tetapi pendekar besar ini sudah dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat wajahnya yang pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar berpengaruh, kedua tangannya di­kepalkan. Gadis ini terlalu lancang, ter­lalu kurang ajar. Biarpun gadis ini murid Sian Eng, atau anak Sian Eng sekalipun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak bersikap seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian kurang ajar!

“Bocah kurang ajar tak tahu kesopan­an!” bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya ditudingkan ke arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh tantangan. “Lancang benar mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu Khitan? Ada sangkut-paut apakah dengan dirimu?”

Suling Emas yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apalagi pada saat itu setelah kemarahannya bangkit dan semua tenaga sin-kang terkumpul di dadanya. Lawan yang tangguh sekalipun akan tergetar. Gadis ini sama sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia melangkah maju setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia menudingkan telunjuk ke arah muka gadis itu, kini gadis itu menuding­kan telunjuknya ke hidung sendiri sambll menjawab ketus.

“Huh, mau tahu? Dia adalah Ibu kan­dungku!” Setelah berkata demikian, sambil mendengus seperti sapi betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan me­loncat pergi dari tempat itu.

Jawaban ini seperti halilintar me­nyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati Suling Emas sehingga ia berdiri terlongong de­ngan muka pucat, memandang ke arah lenyapnya bayangan gadis itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru. “Heii, tunggu jangan lari....”

Akan tetapi baru saja ia menggerak­kan kaki hendak lari mengejar, ia men­dengar suara dua orang Panglima Khitan yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah siuman kembali, “Tai-hiap....!”

Suling Emas menahan kakinya dan menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah Panglima-panglima Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar keterangan ten­tang Lin Lin dan.... gadis yang mengaku anaknya itu. Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu ia pun merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu memberi penjelasan. Hatinya tenang kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka, ia membuka saputangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu melihat wajah di balik saputangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas menjadi tamu ratu mereka di Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan diri berlutut.

“Terima kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap, terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa Tai­hiap masih belum melupakan sahabat-sahabat dari Khitan.” kata Hoan Ti­-ciangkun yang berjenggot panjang.

Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun kedua panglima tua itu. “Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku ingin mem­bicarakan hal penting.”

Setelah mereka bangkit kemudian bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling Emas menceritakan maksud hatinya.

“Pertama-tama kuharap Ji-wi berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka raha­siaku kepada siapapun juga. Hanya kepa­da Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin minta pertolongan Ji-wi. Maukah Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai Suling Emas?”

Dua orang panglima itu saling pan­dang, kemudian mengangguk. “Kami ber­janji.” kata mereka berbareng.

“Juga takkan membuka rahasia kepada ratu kalian?”

Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi, mengingat bahwa mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh Suling Emas dan permintaan itu pun tidak me­langgar sesuatu, mereka kembali menya­takan setuju.

Lega hati Suling Emas. Ia ingat kem­bali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini takkan mung­kin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah dari Khitan, jujur dan setia. “Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi ini Loan Ti Ciang­kun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantu-pembantu utama Panglima Kayabu?”

Kembali dua orang panglima itu mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima Besar Ka­yabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka pun tahu bahwa Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena itu, kedu­dukan Suling Emas di mata mereka se­perti seorang Pangeran Khitan yang ha­rus mereka hormati. Hanya saja, mereka tidak menyebut pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu tidak suka disebut demikian.

“Ji-wi Ciangkun.” katanya, “Semenjak meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di istana. Su­kakah kalian memberi penjelasan kepada­ku tentang keadaan ratu kalian? Tentu kalian tahu bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya? Apakah ratumu itu sudah mempunyai putera?”

Dua pasang mata itu berseri gembira. “Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang berkunjung ke Khitan. Ratu kami kini, mempunyai seorang putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu yang kami hormati dan cinta.”

Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas, jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening, pandang matanya ber­kunang. Berbagai macam dugaan dan per­tanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi ke Khitan untuk memaki-maki be­kas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!

Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cem­buru dan karena perang yang semacam ini terlalu sering terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu den­dam, biarpun Suling Emas berhasil me­nguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatuk-batuk dan meng­gunakan saputangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya de­ngan terheran. Siapa takkan menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-ba­tuk sedemikian parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?

“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini be­nar-benar mengagetkan hatiku. Ah, beta­pa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang gagah perkasa.”

Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, sa­ling pandang kemudian kembali meman­dang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak pernah.... tak pernah me­nikah!” Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya dikata­kan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan. Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu menger­ti mengapa Suling Emas menduga demi­kian, maka ia juga cepat menyambung.

“Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami tidak menikah dan adapun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesung­guhnya, Pangeran Talibu itu dahulu ada­lah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak se­cara resmi oleh ratu kami.”

Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebong­kah batu besar yang tadi menindih jan­tungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha....!” Dan dua titik air mata me­loncat ke atas pipinya.

Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.

“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai se­orang putera yang bernama Pangeran Talibu. Dan.... siapakah namanya puteri­nya?”

Kini dua orang panglima itu benar­benar heran. “Puterinya? Puteri siapakah, Tai-hiap? Ratu kami tidak mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Tali­bu!”

“Hee....? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam.... dan.... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara Hitam?”

Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan muai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini. Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya. Kalau Lin Lin tidak me­nikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecin­taan hati ratu itu kepadanya. Kemudian, tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang perkasa, sebagai pangeran, juga hal yang tidak menghe­rankan. Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa menga­ku sebagai anak Lin Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIM­PAN RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin? Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat menduga rahasia apa gerang­an yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan. Kalau tidak ada urusan penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk me­robek kembali luka yang sudah hampir kering? Betapapun besar keinginan hati­nya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.

“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”

Dua orang panglima itu mengangguk.

“Baiklah kalau begitu, aku akan me­menuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku akan ber­kunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”

Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka mem­bantu Tai-hiap.” jawab Hoan Ti Ciang­kun, “akan tetapi...., bagaimana cara­nya?”

“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak meng­hendaki sebagai Suling Emas. Jalan satu­-satunya hanya menyamar. Kalian cerita­kan kepada ratu kalian tentang penye­rangan Thai-lek kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”

Dua orang panglima itu mengangguk­angguk tanda setuju.

“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu, menjadi seorang per­wira penjaga benteng.”

Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk sungguhpun di dalam hatinya ia merasa heran. Memang aneh-aneh sikap orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hen­dak mengunjungi adik angkat saja me­ngapa mesti menyamar seperti ini? Na­mun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini se­bagai lelucon.

Setelah berunding, kedua orang pang­lima itu mencarikan alat-alat yang di­butuhkan untuk penyamaran Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah men­jadi seorang kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.

***

Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupa itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan dua orang pemuda perkasa yang melaku­kan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan.

Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thai-lek Kauw-ong di situ, lalu berseru dan meng­ajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong pemuda perkasa murid Su­ling Emas itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian. Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran setelah ia mengambil alat musik yang-kim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon. Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia lebih suka ber­main yang-kim. Yang-kim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-kim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.

Biarpun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung, akan tetapi perjalanannya kali ini bukan me­rupakan perjalanan seorang pemuda bang­sawan pergi melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, dari­mana muncul ancaman baru bagi kese­lamatan Kerajaan Sung.

Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan Sung didirikan oleh Cau Kwang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao di Yu-nan dan Keraja­an Khitan di timur laut dan utara. Se­lama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke dua yaitu Kaisar Sung Thai Cung menje­lang hari tuanya. Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.

Sikap atau politik inilah yang menye­babkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian lemahnya se­hingga tidak lagi kerajaan ini memper­gunakan senjata untuk menjaga kesela­matan negara, melainkan menggunakan emas dan perak untuk “menyogok” dan menawan hati calon musuh sehingga si musuh tidak tega atau segan untuk me­nyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti kepada keraja­an-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khi­tan.

Pada waktu cerita ini terjadi, Keraja­an Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung (998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar perta­ma dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan, anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merobah atau mem­belokkan Agama Buddha dan Tao demi keuntunganpribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang­-orang pilihan Tuhan yang bertugas seba­gai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apalagi menyu­sun kekuatan untuk melindungi negara daripada ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa kerajaannya tidak membu­tuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!

Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-an­caman yang selalu mengelilingi kerajaan­nya, tidak melihat betapa banyak ke­kuatan-kekuatan yang mengilar meng­inginkan kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bang­sa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji. Mereka melihat akan kelemah­an Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapa banyak orang pan­dai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah mulai memperlihatkan kepandaian­nya untuk mencari pengaruh dan kekua­saan di antara penduduk pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.

Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong me­lakukan perjalanan, keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.

Kini Kiang Liong dan Hauw Lam me­lakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka menge­jar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauw-ong. Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kece­patan geraknya untuk mengimbangi kece­patan Hauw Lam, menarik napas panjang dan berkata.

“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh melanjutkan pengejaranmu ke mana kausuka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu aku akan turun tangan membantu.... eh, siapa nama Nona tadi?”

“Mutiara Hitam.”

“Mutiara Hitam...., tentu dia bukan sembarang orang dan biarpun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”

“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Te­rima kasih atas bantuanmu dan sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku Si Berandal!”

Setelah menjura, Hauw Lam lalu me­lompat dan melanjutkan pengejaran ke utara. Kiang Liong berdiri dan terse­nyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri. “Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mu­dah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik....” Sambil bicara seorang diri pe­muda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ dan meninggalkan jejak.

Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan, bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Adapun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.

Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondong-bondong me­nuju ke selatan. Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak di­lakukan barisan itu dan ke mana pergi­nya. Hanya yang jelas tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan be­gitu saja. Tidak ada dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang, perampokan, perkosaan dan penculikkan.

Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia meng­ikuti jejak barisan bangsa Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga­-bunga yang dicampakkan begitu saja ke dalam lumpur setelah habis diisap madu­nya dan dinikmati harumnya. Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat. Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa jauhnya gerakan mereka mengan­cam Kerajaan Sung.

Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun­-dusun yang dilalui. Menurut berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-per­wira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh serombongan pendeta ber­jubah merah. Di tengah-tengah para pen­deta berjubah merah ini terdapat sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan adakalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa. Namun ti­dak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah me­nyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para per­wira tunduk dan taat kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggauta barisan juga taat kepada pimpinan para perwira. Pendeknya, barisan ini merupa­kan barisan yang amat kuat.

Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong. Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao? Kerajaan Nan-cao ada­lah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan Khitan. Dan dia sendiri bersahabat de­ngan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia sudah hampir se­bulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanan­nya.

Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa bala tentara Nan-cao me­nyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir se­bulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita yang didengarnya.

Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, me­masuki daerah yang tandus berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelahdepan. Ia merasa curiga. Daerah tandus ini tidak ditinggali manusia, tanah­nya terlalu tandus dan dari puncak pe­gunungan tadi ia tidak melihat adanya dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawa-tawa dan suara wanita marah-marah. Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang cantik je­lita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apa­kah ia perlu turun tangan menolong.

Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Se­orang di antara mereka, yang wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia ku­rang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pa­kaiannya serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, mem­buat ia tampak gagah sekali. Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.

“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir keluar dari negeri kami, masih berani berkeliaran di sini. Hemm, sung­guh kebetulan,sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”

“Betul, Adikku. Kita harus bunuh an­jing-anjing ini agar tidak penasaran ar­wah orang tua kita.” kata gadis yang berpakaian kuning. Mereka berdua meng­gerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masing-masing.

“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jago-jago dari Hsi-hsia!” Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.

Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang diantaranya ada­lah Si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu sudah mulai turun ta­ngan, gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam. sekejap mata saja dua orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa. Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh ge­rombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi kaget sekali dan kalau tadinya mereka bergembira hendak meng­ganggu dan berkurang ajar, kini mereka menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari pinggang.

Kiang Liong yang menonton dari tem­pat pengintaiannya tidak bergerak, ia maklum bahwa menghadapi pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam ta­hun yang lalu ketika ia berkunjung ke Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong, mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.

Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu Ketua Beng­kauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih mu­da, bernama Kam Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui, sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.

Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat men­duganya. Tentu dua orang gadis itu ke­hilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi, juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal Ketua Beng-kauw dan memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang, berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.

Betapapun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan. Maka ia hanya menonton, walaupun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam bahaya.

Dua orang gadis itu mengamuk se­perti dua ekor naga. Gulungan sinar pe­dang mereka yang berwarna putih ber­kilauan seperti perak, menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orang-orang kasar yang mengandal­kan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja belas­an orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh hendak melarikan diri.

“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil memutar pe­dang mendesak maju, merintangi mereka yang hendak lari. Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari itu, punggung mereka tertusuk sen­jata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berte­riak-teriak liar mereka menyerbu mati­-matian, namun kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan mereka. Dua puluh satu orang menggeletak ma­lang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi! Biarpun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun tetap saja ia menganggap­nya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,

“Adik-adik....! Cukuplah....!”

Siang Kui dan Siang Hui yang muka­nya masih kemerahan dan beringas, mem­balikkan tubuh dengan sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula me­reka pangling melihat seorang pemuda berpakaian putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda itu, mereka segera mengenal orangnya.

“Liong-twako (Kakak Liong)....!” me­reka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong, wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi di­pakai mengamuk.

“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) me­ngapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi ke manakah?”

Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan be­las tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang Liong yang menepuk-nepuk pundaknya. Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi yang lebih tua hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata,

“Ah, engkau tidak tahu, Liong-twa­ko....! Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi­-hsia yang telah menyerbu Nan-cao.... dan.... dan.... dalam pertempuran.... Ayah dan Ibu kami telah gugur....”

Kiang Liong mengangguk-angguk. Un­tung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu ia akan ter­kejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk membangkitkan semangat.

“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut ber­duka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguh­pun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku sudah men­dengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang me­nyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur. Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”

Ucapan pemuda itu tentu akan men­jadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apalagi kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan ke­turunan suami isteri yang gagah perkasa dan masih cucu Ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar duga­an Kiang Liong. Mereka itu hanya se­bentar saja terhibur dan sinar mata me­reka bercahaya penuh semangat, akan tetapi di lain saat mereka telah me­nangis lagi tersedu-sedu. Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara pe­nuh duka.

“Liong-twako, malapetaka itu lebih hebat daripada yang kauduga. Tidak ha­nya Ayah Bunda kami yang gugur, bah­kan Han Ki, adik kami yang baru berusia sebelas tahun terculik dan.... Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw juga tewas di tangan mu­suh....“

“Apa....” Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat. “Bagaimanakah orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para pimpinan Beng-kauw?”

“Diantara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan ke­kalahan barisan Hsi-hsia dan lebih meng­utamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendeta-pendeta berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh se­orang wanita setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil me­newaskan Kong-kong dan para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kautolonglah, bantulah kami untuk membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki.”

“Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”

“Tadinya kami hendak pergi meng­hadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab Siang Kui.

Wajah Kiang Liong yang tadinya men­jadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri, “Ahhh, jadi Lo­cianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”

Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun lebih meng­undurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di Puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari malapetaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liong-twako. Musuh amat kuat dan biarpun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun mereka masih ber­keliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di Pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang.”

Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak ke­dua orang gadis itu sehingga mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.

“Eh, ada apa, Twako....?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.

Akan tetapi Kiang Liong sudah me­loncat sambil membalikkan tubuhnya kedua tangannya menangkis dan runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang me­nyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam me­nyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada Kiang Liong yang mendorong mere­ka, tentu mereka menjadi korban. Me­reka memandang dengan mata terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka keta­hui. Hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata raha­sia itu tentulah orang yang amat lihai.

“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kautangkas juga!” Terdengar suara ter­kekeh-kekeh dan muncullah seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi. Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput, bajunya tak berlengan, kedua pergelangan lengan­nya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjang-pan­jang seperti kuku setan, melengkung runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompet­nya kecil berjajar. Punggungnya meng­gendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini keli­hatan menghitam menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi muka­nya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguh-sungguh.

Kiang Liong bersikap tenang. Ia mak­lum bahwa orang didepannya ini ada­lah seorang berilmu tinggi dan agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia men­jura dan bertanya.

“Agaknya saya berhadapan dengan seorang Cian-pwe. Selamanya, belum pernah saya Kiang Liong dan kedua orang adik saya ini bertemu dengan Cian-pwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan Locianpwe?”

“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku ber­temu dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Beng­kauw? Kalau bukan, lekas pergi jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”

Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?

“Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai. Saya tidak mempu­nyai kehormatan untuk menjadi anggauta Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para pimpinan Beng-kauw adalah orang-­orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui mayat saya!”

“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil terkekeh-kekeh ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju. Gerak­an Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya. Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berba­haya! Tubrukannya liar ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bah­wa sekali tubruk ia akan mampu me­robohkan lawannya yang masih muda. Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pen­sil kayu!

Sebetulnya kalau menurutkan watak­nya sebagai seorang pendekar yang eng­gan bersikap curang, melihat lawan ber­tangan kosong, Kiang Liong hendak me­layani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi, serangan pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut keluar sepasang pensilnya. Juga gerakan kakek ini amat cepat, menanda­kan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh tidak di sebe­lah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!

Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo ketika melihat betapa gerakan pemuda itu se­demikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan Si Pemuda, juga terkejut bukan main. Senjata itu saja sudah merupakan bukti bahwa pe­muda ini benar-benar bukan lawan sem­barangan karena hanya orang yang tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mem­pergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil ringan serta lemah sen­jatanya, makin tinggilah kepandaian orang.

Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tan­ding, kecuali ketika ia terpaksa mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Beng-kauw inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki ke­pandaian tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda, sungguhpun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.

“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tangan­ku. Kaulihat kelihaianku! Ha-ha-ha!” Kini ia menerjang maju dengan gerakan ter­atur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi. Ternyata ilmu silatnya tangan kosong dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpen­tang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan secara tidak terduga-duga. Agak­nya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.

Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsangan serangannya, bahkan balas menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan de­kat siku. Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menye­rang karena sebelum setiap pukulan dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat sasarannya. Keya­kinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataan­nya sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung pergelangan ta­ngan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!

“Heh-heh, kau berani mati!” bentak­nya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merobah gerakan. Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menye­rang tubuh lawan, melainkan berusaha mencengkeram pensil lalu disusul ceng­keraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apabila Kiang Liong me­narik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan sia­sat gerakan macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat menyulitkan sasar­an totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti mo­nyet, akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang mela­kukan tendangan-tendangan berantai, bukan tendangan biasa, melainkan ten­dangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat membentuk cakar garuda!

Lima jari kuku tangan kiri yang run­cing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pansil bulu di tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelak­kan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu di tangan kiri meng­arah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerak­an tangan kanan dengan cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong. Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram, cepat ia menggeser kaki ke kanan se­hingga tubuhnya miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak ter­sangka-sangka kaki kiri lawannya ber­gerak menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali da­tangnya. Kiang Liong kaget dan mengge­rakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat kilat menotok ke leher kanan lawan.

“Breettt....! Takkk....!”

Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua senjata­nya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil mengerahkan sin-kang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah ping­gang kanan Kiang Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyong­kan tubuh ke belakang sehingga otomatis totokannya yang semula ditujukan ke le­her lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan pundak itu tidak menge­nai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu adalah tenaga sin-kang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke belakang dengan muka berubah.

Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu merobah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjata­nya itu dipegang seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia mengge­rakkan sepasang pensil seperti menulis huruf-huruf di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensil-pensilnya di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali. Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali. Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya bahkan berusaha merampas se­pasang pensil yang amat lihai itu, namun sia-sia hasilnya malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak disangkanya. Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata meru­pakan serangan-serangan maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang ke­luar dari gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini meng­hadapi seorang pemuda saja ia sudah kewalahan, jangankan hendak mengalah­kannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar biasa itu.

Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepa­danya! Itulah Ilmu Silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian di­turunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini adalah gerakan silat tinggi yang di­sesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Ha­nya orang yang sudah menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu menguasai Hong-in Bun-hoat. Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biarpun Kiang Liong adalah seorang pe­lajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun ia hanya mampu me­nguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini sampai sepuluh bagian atau se­luruhnya membutuhkan pengalaman ber­tahun-tahun seperti Suling Emas. Betapa­pun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo menjadi sibuk dan terdesak hebat.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pan­dang mata kagum. Menyaksikan kehebat­an sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka ma­sih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepa­sang pensilnya.

Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang berge­rak-gerak secara aneh itu. Dalam pan­dang matanya, kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya membuat ia sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri, Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidup­nya ia bertanding melawan seorang pemu­da tanpa ketawa mengejek. Rasa penasar­an dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba ia meloncat dari keadaan ber­gulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam sebesar telur angsa, kemudian ia mem­banting dua “telur” itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar suara mele­dak dua kali dan asap putih tebal me­nyelimuti sekelilingnya.

Kiang Liong terkejut dan dapat men­duga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi, kakek aneh ini sekarang sudah mengambil bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia mem­buka sumbat bambu itu dari dalam bam­bu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.

Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat. Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya dikebutkan dengan pengerahan tenaga sin-kang asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa dirinya dikurung asap-asap bera­cun. Kiang Liong cepat mengerahkan gin-kangnya karena pada saat itu ia su­dah tidak dapat melihat lagi ke mana perginya lawan. Ia meloncat cepat keluar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!

“Kui-moi....! Hui-moi....!” Ia memang­gil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya menjadi khawatir sekali. Mungkinkan Si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya. Apalagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki ke­adaan sekeliling tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan dipermainkan lawan.

“Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!” teriak­nya marah. “Kalau engkau memang laki­-laki, hayo maju dan lanjutkan pertan­dingan. Tak ada, gunanya bersikap penge­cut dan melarikan gadis-gadis itu!”

Betapapun kerasnya ia berteriak, tia­da jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.

Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah Sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pa­sukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao. Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi menolong dua orang gadis itu dan adiknya.

Wajah yang tampan itu menjadi mu­ram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpin­an Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang malapetaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng­kauw. Di samping semua itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nan-cao kelak?

Teringat akan ini, Kiang Liong mem­percepat larinya. Ia maklum bahwa tu­gasnya menolong Siang Kui, Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, me­lainkan kekuatan yang amat besar, ke­kuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali Ketua Beng-kauw yang amat sakti, sam­pai tewas menghadapi kekuatan ini, te­rang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu mengalahkan mereka. Akan teta­pi, betapapun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat mengejar dan berusaha menolong anak­anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!

Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu me­lakukan perjalanan menuju ke Pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang di­duganya. Akan tetapi ia merasa bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begi­tu, ke manakah perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik me­reka? Kalau yang menculik itu teman-teman Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia mengejar te­rus sampai ke kaki Pegunungan Kao-li­kung-san.

Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu amat sunyi tidak ada penduduk dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di Pegunungan Kao-li­kung-san di lembah Sungai Nu-kiang.

Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berpu­taran akhirnya ia dapat melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di ba­wah, tampak kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih mena­brak batu-batu.

Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak panah me­nyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar, dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah. Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang me­ngeroyok Siang Kui dan Siang Hui, ma­ka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga girang karena tanpa disangka­sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang ia menghadapi hwesio itu dan berkata.

“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”

Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat kaku.

“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada keperluan menghadap pimpinan kami?”

“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari yang lalu kalian culik.”

“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah sikapnya menjadi ga­lak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.

Kini mengertilah Kiang Liong menga­pa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian keluarga mereka dan terculik­nya adik mereka, juga orang-orang Hsi-­hsia ini amat kejam dan ganas, seperti iblis-iblis yang haus darah. Bahkan ge­rakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biarpun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.

Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mam­pu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan golok mereka. Pen­deta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.

Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk meman­cing para pengeroyoknya. Tiga orang Hsi-­hsia menyerbu, tidak peduli akan sesuatu agaknya dan mereka ini benar-benar merupakan perajurit-perajurit yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat. Kiang Liong sudah siap, begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya me­nyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun roboh! Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke arah kaki­nya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.

Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan, begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam. Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring sekali dan diam-diam Kiang Liong men­jadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam cengkeraman maut, akan tetapi hwesio dalam usaha terakhir, bukan berteriak minta tolong melainkan mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-te­mannya! Sampai dekat ajal pun hwesio ini masih melakukan tugasnya!

Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujan­kan anak panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguhpun ia merasa sangsi apakah ia akan sanggup menghadapi pe­ngeroyokan demikian banyak orang sen­dirian saja. Pada saat itu, dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin he­ran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan halus indah.

“Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!”

Kiang Liong merasa heran, akan te­tapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Adapun puluhan orang yang berlari-lari turun dari atas itu, sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun. Ia menahan napas mengumpulkan se­mangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang amat curam dan seolah-olah tiada batas­nya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas kepalanya. Agaknya pu­luhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena tidak melihatnya maka terus berlari me­lewati pohon.

Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun se­cepatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergan­tung kepada sebatang akar dan mengayun tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah me­rayap turun, pula mengejarnya. Kemudian hwesio-hwesio itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia me­nyambar ke bawah. Suara senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambaran­nya amat cepat. Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengan­dung tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh dipandang ringan. Apalagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan penge­rahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah. Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat tempat sembunyi yang baik.

Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang wanita can­tik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar.

Memang banyak terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang gugur dan longsor dari lereng gu­nung. Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat boleh jadi wanita inilah yang memberi petun­juk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari­-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.

”Ke sini.... masuk ke guha ini....!”

Suara itu datang dari sebuah guha yang terbentuk oleh tumpukan ba­tu-batu besar. Sebetulnya bukan guha melainkan batu-batu besar yang bertum­puk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah yang sebesar tu­buh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga celah-celah itu dan di sebe­lah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat de­ngan tangan agar ia masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berha­dapan dan wajah wanita itu cantik ma­nis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan kapan.

“Nona siapakah dan mengapa....”

“Ssstt.... belum waktunya bicara.” wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulut­nya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau sembunyilah di sini. Musuh terlalu ba­nyak dan lihai....“

Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi bau yang amat harum telah menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu ber­diri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutia­ra Hitam dan Si Berandal atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po Leng In wanita berpakaian merah yang berambut panjang dari Siang-mou Sin-ni!

“Kau.... kau.... murid Siang-mou Sin­-ni....”

“Sstt, mereka tentu sudah dekat....!” Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu me­nyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.

Kiang Liong teringat lagi akan ke­adaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang. “Bersembunyi pun per­cuma, tentu mereka akan dapat mene­mukan kita.” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang keluar.

Dua buah tangan yang kecil dan ber­kulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu. Kau di sinilah aku yang akan menahan mereka. Kaulihat saja, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita itu melangkah keluar dan karena tadinya ia berada di sebelah dalam untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit, jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan keras mepet di tubuh­nya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap keluar. Karena betapapun juga ia belum mengenal betul wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apalagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siang-mou Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu ber­gerak mendekati mulut celah-celah batu untuk mengintai keluar.

Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jan­tung Kiang Liong berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah, gadis can­tik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring menegur ke bawah,

“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepenting­an apakah?”

Aneh sekali lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap garang jelas memperli­hatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka mengangkat kedua tangan depan dada sebagai tanda meng­hormat, kemudian seorang di antara me­reka menjawab.

“Kiranya Kouwnio (Nona) yang ber­ada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang pemuda berpa­kaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh bebe­rapa orang anggauta pasukan. Kami me­lihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.

“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu.” kata Po Leng In, suaranya ber­sungguh-sungguh dan kini ia sudah me­layang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu besar.

Lima orang itu saling pandang, ke­mudian yang tertua bicara lagi.

“Akan tetapi, Kouwnio. Ada di an­tara kami yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“

“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih ber­sikap sabar. Hemmm! Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari Guruku berarti mempunyai derajat lebih tinggi daripada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak per­caya kepadaku? Beranikah kalian meng­hina murid Guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan pengaruh­nya benar-benar hebat. Lima orang hwe­sio itu menjadi pucat wajahnya dan me­reka menundukkan muka.

Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka menganggap wanita muda ini sebagai tamu, sungguhpun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda yang cantik ini. Bahkan diam-diam seringkali mereka membicarakan wanita ini dalam sendau­ gurau yang kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang di­kejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut

“Musuh tadi lari ke sini!”

“Masa harus membiarkan dia lari?”

“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”

Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga, khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi, apa pun yanp terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.

“Berhenti!” Bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak per­caya kepadaku berarti menghina Guruku! Siapa menghina Guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras daripada batu ini?”

Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti pecut. Ujung rambut meng­hantam batu dengan lecutan keras dan.... pinggir batu yang dihantam rambut ini pecah dan remuk berhamburan seakan­-akan dipukul dengan senjata tajam!

Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apalagi rambut wanita yang halus lemas dan harum dapat menghan­curkan batu! Mereka menjadi takjub me­mandang dengan mata terbelalak, bahkan ada yang mengeluarkan lidah.

Lima orang pendeta itu bukan orang­-orang biasa. Andaikata mereka tidak merasa segan terhadap tamu yang dihor­mati kepala mereka dan andaikata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya dan tidak menjadi gen­tar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu lalu menjura.

“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan larinya buronan kami tadi?”

“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”

“Sekali lagi maaf, Kouwnio.” kata pendeta itu yang segera memberi koman­do kepada pasukannya. “Hayo kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”

Setelah lima orang pendeta itu ber­sama pasukannya beramai-ramai pergimencari ke jurusan lain, barulah Po Leng In berani memasuki guha kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan sikap tegang. “Ter­paksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar guha ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil ter­senyum manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.””

Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut guha, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh yang mem­bayang di dalam pakaian merah yang tipis.

“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru dugaanku men­dengar percakapan tadi, agaknya gurumu Siang-mo Sin-ni yang membantu Bouw Lek Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah Gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang telah mem­basmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”

Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar dugaanmu, Kongcu.

“Dan tahukah engkau siapa aku?”

Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Beng-kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bah­wa.... bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”

Kiang Liong berpikir sejenak, kemu­dian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya.

Sungguhpun aku merasa bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kaulakukan karena aku tidak takut menghadapi mereka.”

“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi.... tanpa petunjukku bagai­mana mungkin kau akan dapat pergi me­masuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu Ketua Beng­kauw itu?”

Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi ta­ngannya bergerak memegang tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.

“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”

Po Leng In tersenyum dan ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya, kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wa­jahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya ter­senyum, Kiang Liong adalah seorang pe­muda tampan putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhan­nya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia bu­kan seorang mata keranjang yang suka mengganggu wanita, apalagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia tidak pernah me­lakukan hal buruk ini. Akan tetapi, ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tan­da-tanda mencinta, ia akan menerima dengan kedua lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila ke­padanya sehingga ia amat terkenal di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan ke­luarga orang tuanya, mereka yang mem­punyai isteri-isteri cantik amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan ke­pada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan pemuda ganteng ini!

“Aku tahu, Kongcu karena selama ini aku mengikutimu. Apa kaukira aku dapat melupakan engkau begitu saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki Ketua Beng-kauw yang tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo. Tanpa ban­tuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk menyelundup ke dalam mar­kas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi di­ingat bahwa Guruku juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan bantuanku?” Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu tersenyum menantang.

“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”

“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan menjebakmu?”

“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku? Tak mungkin kalau hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni, dan biarpun baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi Gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah terus terang, apa yang kaukehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong memandang tajam penuh selidik.

Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala, rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang halus dan harum itu.

“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti Guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli tentang budi. Andaikata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan tetapi, engkau lain lagi. Begi­tu bertemu, aku tahu bahwa engkau se­orang pemuda yang selain ganteng, juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Eng­kau tenang, tidak ceroboh, berpengalam­an dan berhati teguh seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepada­mu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa untuk­mu!” Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biarpun muka mereka sudah saling ber­dekatan sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak tertarik menjauh.

Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah cantik jelita dan cumbu rayu yang akan men­cairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak pernah ia diroboh­kan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biarpun Kiang Liong seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.

“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku me­layani cinta kasihmu?”

“Betul...., betul...., aku bersumpah....” Po Leng, In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.

“Dan kau benar-benar menghendaki aku....?”

Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan jambakannya, dia men­jatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil memeluknya.

Semalam itu mereka berdua tidak ke­luar dari dalam guha yang lebarnya ha­nya satu meter itu, Po Leng In yang mabuk cinta dan seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong, menceritakan semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Ti­bet jubah merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu. Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandai­an yang dahsyat dan merupakan pendeta yang murtad di Tibet sehingga ia di­musuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi­-hsia yang gagah berani dan ulet, bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah Bouw Lek Couwsu men­cari kesempatan memukul musuh-musuh­nya.

Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian kepada Kera­jaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memper­besar pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini, Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga bekas kekasih­nya, yaitu, Siang-mou Sin-ni! Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek Couwsu biarpun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahun­-tahun tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihan­cur-binasakan oleh Suling Emas dan para orang gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama bertahun-tahun.

“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan te­tapi menghadapi serbuan Bouw Lek Couwsu dibantu oleh Guruku, mana me­reka mampu mempertahankan diri? Di antara para pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa Ketua Beng-kauw den beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh Guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal kare­na sesungguhnya bukan itulah yang diuta­makan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang menjadi musuh besarnya.”

Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya belum pernah Po Leng In bertemu dan menda­patkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan, penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan keahliannya dalam bercinta untuk men­jatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang jatuh dan men­jelang pagi ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor dom­ba yang lemah.

“Koko...., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu.... biarpun untuk itu aku harus mem­pertaruhkan nyawa....“ bisiknya sambil merangkul.

Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari dalam guha batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah keluar ia menggandeng tangan Kiang Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.

“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah jangan kau­pandang rendah kepandaian Bouw Lek Couwsu, apalagi kepandaian Gurumu.”

Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian Gurumu dan aku tidak takut.”

Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi Guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kang­ouw. Engkau tentu tidak pernah men­dengar. bahwa Guruku kini telah dan se­dang memperdalam ilmu mujijat Hun­-beng-to-hoat (Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“

Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak menjauh, me­mandang wajahnya penuh selidik dan ber­tanya, suaranya keras.

“Apa kaubilang? Diculik untuk.... kau maksudkan....?”

“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”

“Celaka! Mari kita cepat-cepat meno­longnya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyi­an Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couw­su. Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti guha singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek Couw­su adalah seorang tokoh tua yang per­caya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia malapetaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui dan Siang Kui!

Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupa­kan latihan ilmu hitam yang amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memper­dalam Hun-beng-to-hoat yang mujijat, di­perlukan seorang anak laki-laki yang ber­tulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya masih kurang sempurna karena belum pernah ia men­dapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki merupakan seorang anak laki-­laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mau Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe di­lakukan dengan cara yang amat mengeri­kan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali ka­rena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi sedikit tersedot keluar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!

Kiang Liong yang sudah pernah men­dengar penuturan suhunya tentang pel­bagai ilmu hitam, tentu saja menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau perlu ia akan memper­taruhkan nyawanya!

***

Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka dan pena­saran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya menyaksikan sepak terjang pen­dekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justeru hal inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan, kemarahan dan penasaran. Kalau pen­dekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Me­ngapa Suling Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan orang lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandung­nya. Ia berayah Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya, tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!

Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak tahu bagaimana akan dapat me­larikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa heran mengapa begitu. Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih menarik daripada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang daripada Tang Hauw Lam yang berandalan dan lucu, lebih hebat daripada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan se­nangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas tentu akan terasa aman dan tenteram di samping seorang pen­dekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!

“Ah, tapi dia sudah menghina Ibuku....! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di Khitan, akan te­tapi juga sebagai kekasih.... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya Ibuku telah ditinggalkannya!”

Kwi Lan meloncat bangun, memban­ting-banting kakinya lalu berjalan pergi, ia akan mencari ibunya ke Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia ber­muram kalau teringat kepada Si Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Bu-tek Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya Si Berandal itu?

Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perja­lanannya dan beberapa hari kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Ka­rena Kwi Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan ada­lah dusun Ci-cung yang terletak di tepi sungai, maka ia pun mempercepat lang­kahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi. Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara me­reka di dahinya terhias mutiara. Seorang anggauta Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apa­kah orang-orang Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini,pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka, tentu akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara melainkan ia bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu dan untuk memenuhi maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang meng­hadangnya!

Dusun itu ternyata ramai karena me­rupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai. Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu melanjut­kan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanya-tanya tentang me­reka. Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan per­jalanan, dan karena pada masa di mana perang selalu mengancam daerah perba­tasan semua orang, juga wanita-wanita membawa pedang, maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang. Kalau orang memandangnya, adalah ka­rena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di dalam dusun ini, langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.

Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di depan ke­lenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan ke­lenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di sebelah be­lakang kelenteng sehingga hatinya ter­tarik dan teringatlah ia akan belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini, pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam sebuah kelenteng?

“Ah, peduli amat dengan mereka!” Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muat­an. Mereka yang sibuk di pelabuhan itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.

Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau.... minggir!”

Dua orang laki-laki tinggi besar ber­jalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah. Seorang di antara ne­layan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggul­nya, meloncat bangun.

“Dari mana datangnya dua ekor ker­bau....?”

Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan.... Si Nelayan terlempar jatuh ke dalam sungai! Dua orang laki-laki tinggi besar itu ber­diri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan berkata,

“Hayo, siapa lagi yang berani?”

Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah. Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi begitu dua orang itu meng­gerakkan kaki kanannya, terdengar jerit­jerit kesakitan dan empat orang nelayan itupun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.

“Masih ada lagi?” Mereka berdua me­nantang dan semua nelayan menjadi gen­tar. Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.

“Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”

Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu terse­nyum menyeringai, tampak puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang brewok. “Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di antara perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru agaknya belum lama diturunkan di sungai.

“Ahh, Ji-wi hendak menyewa perahu? Baiklah, akan tetapi perahu merah itu tak mungkin dapat disewakan karena besok akan dipakai mengantar pengan­tin....”

“Apa kaubilang? Kami berani bayar sewanya dan siapapun juga tidak boleh mendahului kami. Pendeknya, sediakan perahu itu besok pagi-pagi, kalau tidak.... kau yang akan kami lemparkan ke dalam sungai!”

Nelayan tua itu menjadi pucat wajah­nya, akan tetapi sambil membungkuk-bungkuk ia berkata, “Baik...., baik.... dan sewanya....“

“Berapa pun akan kami bayar! Kami hendak memeriksanya dulu!” Dua orang tinggi besar itu diantar oleh nelayan tua menuju ke perahu cat merah. Mereka melangkah masuk dan.... tercenganglah mereka melihat Kwi Lan sudah duduk di dalam perahu itu sambil tersenyum ma­nis! Kiranya Kwi Lan yang tadi mengikuti percekcokan, menjadi tak senang dengan sikap dua orang itu, maka diam-diam ia lalu memasuki perahu cat merah yang dipilih oleh dua orang itu secara paksa.

“Eh, mau apa kalian berdua longak-longok seperti monyet memasuki perahu yang sudah kusewa ini tanpa ijin!” kata Kwi Lan sambil tersenyum mengejek.

Sejenak dua orang tinggi besar itu tertegun. Mereka kagum akan kecantikan gadis dalam perahu dan mendengar ben­takan itu, mereka terkejut dan saling pandang. Kemudian seorang di antara mereka yang brewok tadi dapat mene­nangkan hatinya lalu menoleh kepada nelayan tua yang juga bengong terlo­ngong. “Eh, Paman tua, apakah ini yang akan menjadi pengantin? Cantik benar!”

“Bu.... bukan, bukan dia.... saya tidak mengenalnya...., Nona, siapakah kau dan mau apa kau di sini?”

“Paman tua, aku lebih dulu memasuki perahu ini, berarti aku lebih dulu menye­wanya. Dua orang kasar seperti monyet ini boleh mencari perahu lain untuk disewa atau.... mereka ini boleh terjun ke air!”

Pada waktu itu, dua orang tinggi besar tadi sudah melihat gagang pedang di pinggang Kwi Lan dan ketika melihat sebuah mutiara hitam bersinar di gagang pedang itu, mereka terkejut.

“Mu.... Mutiara Hitam....?” teriak me­reka sambil mencabut golok.

“Hemm, kiranya orang-orang Thian­-liong-pang yang tak kenal mampus!” seru Kwi Lan tanpa bangkit dari tempat du­duknya. Melihat gerakan dua orang yang menerjangnya ini, ia memandang rendah. Ketika mereka sudah menubruk maju diikuti teriakan kaget dan ngeri dari kakek nelayan, secepat kilat kedua kaki Kwi Lan bergerak menendang ke depan. Ia menggunakan kedua tangan untuk me­nekan papan perahu sehingga kedua kakinya dapat melakukan tendangan sekali­gus. Tepat sekali ujung kedua sepatunya mencium sambungan lutut dua orang lawan itu. Terdengar suara “krekk!” dan sambungan lutut kanan mereka terlepas. Tentu saja mereka itu seketika ambruk dan sebelum tubuh mereka menyentuh papan perahu, kembali kedua kaki Kwi Lan bergerak, kini mendorong dada me­reka. Tak dapat dicegah lagi tubuh dua orang laki-laki tinggi besar itu terlempar masuk ke dalam sungai!

Biarpun bagi Kwi Lan peristiwa ini biasa saja, namun bagi para nelayan merupakan hal yang amat hebat. Hampir mereka tak dapat percaya betapa hanya dengan dua buah kaki yang kecil mungil, tanpa menggerakkan tangan dan tanpa bangkit dari tempat duduknya, gadis remaja cantik manis itu mampu melem­parkan dua orang lawan kuat ke dalam sungai dengan tulang lutut terlepas sambungannya! Mereka bersorak-sorai dan mentertawai dua orang laki-laki tadi yang kini dengan susah payah berenang ke tepi sungai. Lenyaplah kegagahan mereka berdua yang terpaksa harus pergi dengan sebelah kaki meloncat-loncat sambil menyumpah-nyumpah!

Seketika Kwi Lan dirubung para ne­layan yang kagum. Mereka berbondong menawarkan perahu mereka untuk mengantar gadis ini melakukan pelayaran ke utara, akan tetapi Kwi Lan tersenyum dan berkata,

“Aku hanya membutuhkan sebuah perahu dan karena yang kupilih perahu merah ini, maka perahu inilah yang akan kusewa. Sudah, kalian pergilah, aku ingin mengaso.”

Pada saat itu, seorang nelayan datang berlari-lari dan melaporkan kepada Kwi Lan bahwa dua orang tinggi besar itu lari terpincang-pincang ke dalam kuil Ban-hok-tong. “Harap Nona hati-hati, bahaya besar mengancam. Kiranya dua orang itu temannya banyak sekali dan galak-galak.”

“Tak perlu melayani mereka.”

“Tapi.... harap Lihiap (Pendekar Wa­nita) sudi mengasihani kami,” kata ne­layan tua. “Lihiap sudah menyaksikan sendiri betapa mereka itu ganas dan kejam terhadap kami. Kalau Lihiap pergi dari sini, tentu kamilah yang akan dijadikan korban untuk melampiaskan ke­marahan mereka!”

“Huh, apa peduliku!” Kwi Lan men­dengus. Memang ia tidak suka mengacuh­kan urusan orang lain yang tiada sangkut pautnya dengan dirinya.

“Tapi, Lihiap.... kami akan dibasmi.... akan dipukuli, dibunuh....!” kata seorang nelayan lain.

“Peduli apa? Kalau kalian begitu le­mah dan tidak becus melakukan perla­wanan sampai terbunuh, adalah salah kalian sendiri!” Kwi Lan menjawab jeng­kel karena merasa terganggu.

“Tapi.... semua ini terjadi gara-gara Lihiap merobohkan dua orang itu!” Si Nelayan Tua menyambung. “Saya mende­ngar bahwa seorang gagah sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya....”

“Cukup!” Kwi Lan membentak marah. “Aku tunda perjalananku sampai besok dan kalian lihat malam ini akan kuhajar habis mereka itu!”

Setelah berkata demikian Kwi Lan merebahkan dirinya di atas papan perahu, dan para nelayan bubaran dengan hati lega, akan tetapi juga masih khawatir. Menurut penyelidikan mereka, jumlah pendatang di kelenteng itu ada belasan orang dan para hwesio di Ban-hok-tong sendiri kelihatan takut menghadapi me­reka. Bagaimana kalau pendekar wanita muda ini sampai kalah? Tentu mereka akan mendapat bagian pahit pula. Betapa pun juga, karena harapan mereka ber­gantung kepada kesanggupan Kwi Lan, mereka lalu melayanl gadis ini dengan hidangan dan minuman yang diterima oleh Kwi Lan dengan hati gemblra.

Benar juga, pikirnya, dia harus bertang­gung jawab. Apalagi, jelas rombongan Thian-liong-pang itu tidak akan membiar­kan ia lolos begitu saja. Daripada menghadapi mereka di atas air sungai yang pernah membuat ia hampir tewas dahulu, lebih baik sekarang menghadapi mereka di darat. Turun tangan di waktu siang hanya akan menimbulkan geger di dalam dusun ini, maka lebih baik malam nanti turun tangan menghajar mereka dan me­ngusir mereka dari dalam dusun. Dengan pikiran ini, legalah hati Kwi Lan dan se­telah makan kenyang, ia pun tidur di atas perahu dengan nyenyaknya.

Malam itu terang bulan. Tiada awan mengotori udara sehingga sinar bulan se­penuhnya menerangi bumi. Bagaikan se­ekor burung hantu, tubuh Kwi Lan ber­kelebat diantara sinar bulan. Dengan pedang terhunus di tangannya, gadis per­kasa ini meloncat ke atas genteng kuil Ban-hok-tong, mendekam di atas wu­wungan dan mengintai ke bawah. Sunyi sepi di kelenteng itu. Hemm, pikirnya geram, tentu mereka siap sedia menyam­butku, dan sudah siap memasang jebakan. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Dengan gerakan yang lincah sekali ia lalu berlari di atas genteng, sengaja memberatkan tubuhnya sehingga menim­bulkan bunyi pada genteng, agar musuh muncul menyerangnya. Namun tidak ter­jadi apa-apa dan Kwi Lan terus berlari menuju ke belakang. Dari atas genteng di belakang bangunan, ia dapat melihat halaman belakang yang luas dan terkejut­lah ia ketika melihat beberapa orang hwesio sudah menjadi mayat berserakan di halaman itu. Seorang laki-laki yang mengempit tongkat membungkuk dan agaknya memeriksa mayat-mayat itu seorang demi seorang.

Kwi Lan menjadi heran sekali, tidak mau sembarangan turun tangan. Siapakah laki-laki itu dan mengapa pula hwesio-hwesio itu tewas? Ke mana perginya orang-orang Thian-liong-pang? Tentu laki-laki itu yang membunuh para hwesio, dan siapa lagi orang itu kalau bukan seorang di antara anggauta dari Thian-liong-pang? Kwi Lan mengeluarkan jarumnya dan se­kali tangannya bergerak, sinar hijau me­nyambar ke arah leher orang yang se­dang memeriksa mayat-mayat itu.

Akan tetapi Kwi Lan terkejut melihat orang itu tanpa menoleh mengibaskan tangannya sehingga jarum-jarum itu run­tuh oleh lengan bajunya yang lebar, kemudian lebih kaget lagi Kwi Lan ke­tika mendengar orang itu berkata,

“Kwi Lan Siauw-moi, kau turunlah. Jarum-jarummu sudah terlalu banyak membunuh orang tak berdosa!”

Kwi Lan mengenal suara ini dan ke­tika orang itu kini berdiri sambil mem­balikkan tubuh ia mengenal wajah yang tampan itu.

“Yu Siang Ki....!” Cepat ia melayang turun sambil membawa pedangnya. Pe­muda itu memang Yu Siang Ki yang me­ngempit tongkatnya. Caping bututnya tergantung di belakang punggung.

Kalau Kwi Lan berseri wajahnya ka­rena pertemuan yang tak terduga-duga ini, sebaliknya Yu Siang Ki memandang dengan wajah keruh dan sepasang mata­nya memandang penuh teguran.

“Kenapa mereka....?”

“Kwi Lan, betapa pun kagum hatiku terhadapmu, namun sungguh aku kecewa dan menyesal melihat sepak terjangmu yang terlalu ganas. Kau terlalu mudah membunuh orang sehingga kadang-kadang kau tidak segan-segan membunuh orang-orang tak berdosa seperti mereka ini. Kwi Lan, aku tidak percaya kau memiliki dasar yang ganas dan....”

“Ihhhh, apa-apaan ini tiada hujan tiada angin suaramu menyambar-nyambar laksana kilat bergeluduk? Siang Ki, apa maksudmu memberi kuliah kepadaku?”

Kwi Lan memotong dengan marah. Se­pasang matanya kini menyambar seperti api, penuh selidik ke arah wajah yang tampan itu.

Akan tetapi Siang Ki tidak mundur. Wajahnya tetap muram dan suaranya tetap kering. “Kwi Lan, kalau kau mem­basmi dan membunuhi orang-orang jahat, aku masih dapat mengerti. Akan tetapi hwesio-hwesio ini, bukankah mereka itu orang-orang yang menjalani hidup suci, sama sekali tidak jahat dan tidak ber­dosa? Mengapa kau membunuh mereka ini secara keji? Apa sebabnya kau membunuh empat orang hwesio pengurus kuil Ban-hok-tong ini? Sungguh aku tidak mengerti....!”

“Apa kaubilang?” Kwi Lan kembali memotong. “Kalau kau tidak mengerti, aku lebih tidak mengerti lagi akan sikap­mu yang aneh ini. Gilakah engkau, Siang Ki? Kau menuduh yang bukan-bukan. Aku tidak membunuh hwesio-hwesio itu! Kalau aku membunuh mereka, perlu apa aku takut mengaku padamu?”

Siang Ki terheran, kini dialah yang menatap wajah gadis itu yang cantik jelita tersinar cahaya bulan, penuh se­lidik. “Ah, mengapa kau menyangkal? Mereka itu kaubunuh....!”

“Siang Ki! Tak usah banyak cerewet. Kalau kau memang ingin memusuhiku, jangan kira aku takut. Tak perlu meng­gunakan alasan yang bukan-bukan, tuduh­an dan fitnah yang bukan-bukan. Kalau memang kau hendak menantang, hayo, aku sudah siap!” Setelah berkata demikian, gadis ini meloncat mundur, pedang­nya siap di depan dada dan ia sudah me­masang kuda-kuda, matanya mencorong seperti mata harimau.

Akan tetapi Siang Ki tidak melayani­nya, bahkan pemuda ini kelihatan me­longo, terheran dan ragu-ragu. “Kwi Lan, aku sama sekali tidak menuduh yang bukan-bukan. Ada buktinya. Aku menge­nal jarum-jarum hijaumu yang lihai, yang kaupergunakan untuk menyerangku tadi. Kaulihat, empat orang hwesio itu semua tewas karena jarum-jarum hijaumu. Lihat baik-baik leher mereka!”

Kagetlah Kwi Lan. Kemarahannya lenyap seketika, terganti keheranan yang amat sangat. Ia lalu meloncat, mendekati empat mayat itu dan berjongkok, meme­riksa. Alangkah heran dan kagetnya ke­tika melihat betapa leher empat mayat itu benar-benar menunjukkan tanda-tanda keracunan, yang hanya dapat ditimbulkan oleh jarum-jarum hijaunya! Hati gadis ini menjadi penasaran. Ia menggunakan ujung pedangnya, menusuk dan mengorek keluar sebatang jarum dari leher mayat.

“Aiihhh.... aneh sekali....!” Ia berseru ketika melihat jarum hijau di ujung pe­dangnya. Jarum itu serupa benar dengan jarumnya dan warna hijau itu tak salah lagi adalah racun bunga hijau yang ia pergunakan untuk meracun jarum-jarum­nya. Inilah jarumnya, tak salahlagi. Ia bangkit berdiri, wajahnya berubah. Melihat wajah gadis ini, Siang Ki mulai per­caya.

“Kwi Lan, agaknya ada orang yang mencuri jarum-jarummu dan mempergu­nakannya untuk membunuh hwesio-hwesio ini.” katanya sambil maju mendekat.

Kwi Lan menggeleng kepala dan mengingat-ingat. “Tak mungkin.” katanya kemudian penuh keyakinan. “Jarum-ja­rumku tidak pernah terpisah dari badan, selalu berada di saku dalam bajuku. Sia­pa dapat mencurinya?”

“Akan tetapi buktinya, hwesio-hwesio ini tewas karena jarum-jarum hijau....“

“Benar, tak dapat disangkal lagi. Pan­tas saja kau menuduh aku....“

“Maafkan aku, Kwi Lan. Aku kebetul­an lewat di sini, curiga terhadap rom­bongan orang-orang Thian-liong-pang, mengikuti secara diam-diam. Aku tahu akan perbuatanmu menghajar orang-orang Thian-liong-pang di sungai Siang tadi, akan tetapi karena aku sedang menyelidiki mereka, aku menyembunyikan diri. Ma­lam ini aku datang menyelidik, melihat hwesio-hwesio ini sudah tewas dan orang­-orang Thian-liong-pang tidak kelihatan seorang pun di sini.”

“Hemm, tentu ada hubungannya anta­ra mereka dengan kematian para hwesio ini.”

Yu Siang Ki mengerutkan keningnya yang tebal, “Aku meragukan hal ini, Kwi Lan. Kalau mereka yang membunuh hwe­sio-hwesio ini, mengapa menggunakan jarum-jarummu atau lebih tepat lagi.... jarum-jarum yang serupa dengan jarum-jarummu? Mari kita kejar mereka!”

Kwi Lan mengangkat mukanya dan sepenuhnya muka itu kini tertimpa sinar bulan. Alangkah cantik jelita muka ini. Siang Ki meramkan mata dan menarik napas panjang sambil menekan isi dada yang bergerak-gerak.

“Mengapa?”

“Mereka sudah membunuh hwesio­-hwesio tak berdosa!” kata Siang Ki sewa­jarnya. Bukankah wajar seorang pendekar menjadi marah melihat pembunuhan atas orang-orang tak berdosa?

“Hemm, bukan urusanku. Aku tidak mengenal hwesio-hwesio ini.” jawab Kwi Lan seenaknya.

Kerut di kening Siang Ki makin men­dalam. Ia kagum akan kecantikan dan kelihatan gadis ini, namun kecewa meli­hat sikap dan wataknya. “Akan tetapi mereka telah menggunakan senjata raha­sia seperti milikmu, itu berarti mence­markan nama baikmu. Siapa tahu mereka sengaja memalsukan senjatamu.”

“Hemm, justeru karena itu aku tidak mau mengejar. Mereka tentu melakukan hal ini menurut rencana dan tentu me­reka akan datang mencari aku kalau tiba saatnya. Aku mau menanti di perahu dan kalau sampai besok mereka tidak datang aku akan melanjutkan perjalananku.”

“Ke mana?”

“Ke utara.”

Wajah Yu Siang Ki berseri. “Aihh, mengapa begini kebetulan? Aku pun hendak ke utara.”

“Hemmm? Benarkah?” Kwi Lan ku­rang percaya, menyangka bahwa pemuda ini mencari-cari alasan untuk melakukan perjalanan bersamanya.

“Mengapa tidak? Aku hendak mencari Suling Emas.”

Berdebar jantung Kwi Lan mendengar ini. “Kenapa mencari ke utara?”

“Menurut laporan anak buahku, Lo­cianpwe itu menuju ke utara. Ada kepen­tingan besar sekali yang memaksa aku mencarinya ke utara.”

Kwi Lan melamun. Suling Emas ke utara? Hendak bertemu ibu kandungnya, Ratu Khitan?

“Kalau kau tidak keberatan, kita da­pat melakukan perjalanan bersama.”

Kwi Lan tersenyum. “Mengapa kebe­ratan? Asal kau tidak lagi menuduh aku dengan fitnah yang bukan-bukan seperti tadi.”

“Maafkan aku sekali lagi, Siauw-moi.” Yu Siang Ki menjura dan Kwi Lan ter­tawa geli.

“Mari ke perahuku. Kuharap saja me­reka akan muncul agar enak kita berdua mengganyang mereka di perahu!”

Namun Yu Siang Ki tidak segembira Kwi Lan. Hatinya tetap merasa gelisah dengan munculnya hal yang merupakan teka-teki ini. Siapa pembunuh hwesio-hwesio itu? Andaikata orang-orang Thian­-liong-pang, apakah maksudnya? Namun ia tidak sempat bicara lagi karena Kwi Lan sudah berkelebat dan meloncat jauh dari tempat itu. Cepat ia mengejar dan se­bentar saja mereka sudah berada di perahu cat merah yang disewa Kwi Lan.

“Aku mau tidur.” kata Kwi Lan dan terus saja ia tidur telentang di atas papan perahu berbantal bungkusan pakaiannya. Sejenak Siang Ki tertegun memandang tubuh yang melintang di depannya, kagum bukan hanya oleh keindahan bentuk tubuh, juga oleh sikap yang demikian polos dan wajar. Ah, ada remaja yang jujur dan bersih, tidak berpura-pura, liar seperti bunga mawar hutan, pikirnya terharu.

“Aku duduk menjaga di luar.” katanya dengan suara tergetar sambil duduk di atas papan melintang di kepala perahu, memandangi bulan purnama yang ber­main-main di dalam air sungai.

Sinar bulan dan keadaan yang sunyi itu membuat Siang Ki melamun. Pela­buhan sungai itu sunyi sekali karena setelah peristiwa yang terjadi siang tadi, semua nelayan merasa takut dan meng­hentikan kegiatan pekerjaan malam. Me­reka menduga bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang hebat antara nona perkasa itu dengan para penjahat yang bermalam di Kuil Ban-hok-tong.

Siang. Ki berkali-kali menarik napas panjang. Ia terpaksa meninggalkan Kang-hu karena peristiwa yang amat penting telah terjadi. Mula-mula berita itu tidak dipercayanya. Berita yang didengar dari beberapa orang pengemis anggauta per­kumpulannya bahwa di daerah selatan muncul Suling Emas yang memusuhi para pengemis. Mula-mula ia mengutus Gak-lokai dan Ciam-lokai untuk menyelidiki berita yang tak masuk akal itu. Dan dua orang kakek pengemis itu pulang dengan babak-belur. Mereka telah bertemu de­ngan Suling Emas itu dan ternyata ber­beda dengan Suling Emas yang telah me­nyamar sebagai Yu Kang Tianglo! Akan tetapi Suling Emas yang baru ini berpa­kaian seperti Suling Emas dengan tanda gambar sulaman suling di depan dadanya. Hebatnya, Suling Emas baru ini pun ber­kepandaian tinggi sehingga Gak-lokai dan Ciam-lokai tidak mampu menandinginya dan dirobohkan. Bahkan Suling Emas itu menantang agar supaya Yu Kang Tianglo datang sendiri menandinginya! Mendengar ini, panas hati Yu Siang Ki. Maka ia lalu melakukan perjalanan ke selatan, me­nemui Suling Emas ini sebagai wakil ayahnya, Yu Kiang Tianglo. Ia menjadi bingung, tidak tahu mana yang tulen mana yang palsu antara Suling Emas yang pernah menyamai sebagai mendiang ayahnya dengan Suling Emas yang se­karang. Akan tetapi nyatanya, dalam be­lasan jurus saja ia roboh oleh orang ini! Karena inilah Yu Siang Ki lalu mengam­bil keputusan untuk pergi mencari Suling Emas pertama, untuk dimintai tolong menghadapi Suling Emas kedua ini!

Kini duduk melamun di kepala perahu, memandang sepasang bulan, yang di atas dan di dalam air, teringatlah ia akan sepasang Suling Emas yang membingung­kan hatinya. Suling Emas kedua ini selain lihai juga agaknya sengaja memusuhi pihak pengemis, namun tak pernah ter­dengar melakukan kejahatan dan tidak pula melukai berat kepada para pengemis termasuk Gak-lokai berdua dan dirinya sendiri. Agaknya asal dapat menang cu­kuplah bagi Suling Emas ke dua itu!

Kembali ia menarik napas panjang memandangi dua bulan berganti-ganti, lalu tanpa disadarinya Yu Siang Ki ber­senandung.

“Bulan terapung di angkasa
bermain dengan mega
tak mungkin terbang menjangkau­nya!
Bulan
tenggelam di air
bercanda dengan gelombang
tak mungkin menyelaminya!”

Kembali Siang Ki menarik napas pan­jang. Dua orang Suling Emas itu seperti dua bulan ini, bulan dan bayangannya, yang mana tulen dan mana palsu? Ke­duanya sakti, dan sukar menyelidiki ke­adaannya.

“Ah.... kau.... kau gagah....”

Siang Ki terkejut dan menoleh. Ia melihat Kwi Lan menggeliat perlahan dan mulut gadis itu berbisik-bisik. Hati­nya berdebar. Tak salahkah pendengaran­nya bahwa gadis itu dengan suara bisik merayu menyebutnya gagah? Tak salah­kah penglihatannya bahwa gadis itu menggeliat dan seolah-olah mengharapkan dia datang membelainya? Tanpa disadari­nya lagi Siang Ki melangkah maju mendekati tubuh yang masih tidur telentang itu. Sinar bulan tertutup atap perahu sehingga wajah gadis itu terlindung da­lam cuaca remang-remang. Bergerak­-gerakan bulu mata panjang lentik itu? Sampai lama Siang Ki berdiri menatap wajah yang amat cantik itu. Bibir gadis ini seperti tersenyum menantang, tangan kiri di atas perut dan tangan kanan di bawah dagu. Rambutnya harum hitam halus yang dikucir dua itu terletak di atas dada, kanan kiri, ikut bergerak-ge­rak turun naik bersama dadanya. Ada dorongan hasrat yang amat kuat merang­sang dari dalam dada Siang Ki, membuat ia membungkuk dan hampir saja ia men­cium pipi dan bibir itu, namun kesadaran dan keteguhan hatinya menahannya. Dia seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang hidup sebagai seorang pendekar. Tak mungkin melakukan hal sekeji ini, menggunakan kesempatan selagi seorang dara tidur untuk menciumnya. Pekerjaan hina! Sama dengan mencuri, sama dengan memperkosa!

Dua macam perasaan berperang di hati Siang Ki, yang satu mendorong yang lain menahan. Untung pada saat itu pe­rasaannya yang tajam dapat merasa betapa perahu bergoyang sedikit. Cepat ia me­noleh dan tampaklah dua orang laki-laki meloncat ke atas perahu. Gerakan me­reka ringan bagai burung, membuktikan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang memiliki, ilmu kepandaian tinggi. Bayangan beberapa orang lagi tampak berloncatan di perahu-perahu yang berada di pelabuhan, juga di pantai tak jauh dari situ. Perahunya telah terkepung! Seorang di antara dua laki-laki yang sudah meloncat ke perahu itu dahinya berhias mutiara, itulah salah seorang di antara Cap-ji-liong, jago-jago Thian-liong-pang yang tersohor lihai!

“Kau gagah Suling Emas....!” Kembali terdengar suara Kwi Lan barbisik dan Siang Ki yang masih menoleh ke bela­kang itu seperti ditusuk jantungnya. Kiranya gadis ini tadi bukan memuji dia yang gagah, melainkan memuji Suling Emas di dalam mimpi! Dengan muka merah saking malu mengingat akan sikap dan persangkaannya sendiri tadi, Siang Ki meloncat bangun sambil menyambar tongkatnya.

“Kalian siapa dan mau apa meng­ganggu kami?” bentaknya sambil melin­tangkan tongkat di depan dada. Akan tetapi sebagai jawaban, dua orang itu sudah mencabut golok masing-masing, menerjang maju sambil berteriak,

“Kepung! Tangkap sepasang anjing muda ini!”

Siang Ki marah sekali, tongkatnya berkelebat dan saking dahsyatnya serang­an tongkatnya, dua orang itu berseru kaget dan meloncat mundur, keluar dari perahu! Yu Siang Ki menoleh dulu se­belum mengejar, dan melihat betapa Kwi Lan sudah bangkit duduk mengucek-ucek mata, ia berseru.

“Kwi Lan, setan-setan itu sudah da­tang hayo bantu aku basmi mereka!” Setelah berseru demikian, pemuda ini dengan gerakan gesit telah melayang keluar dari perahu ke darat. Sebentar saja ia sudah dikepung dan alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang mengepungnya adalah dua belas orang yang memakai mutiara di dahinya. Kedua belas orang Cap-ji-liong, jagoan dari Thian-liong-pang lengkap ber­ada di situ! Dan di samping dua belas orang ini masih ada sedikitnya tiga puluh orang laki-laki tinggi besar yang merupa­kan anak buah mereka dan kesemuanya sudah siap dengan senjata di tangan. Hebat, pikirnya dengan hati kecut.

Akan tetapi karena keadaan mende­sak, ia tidak mau banyak cakap lagi dan cepat ia menggerakkan tongkatnya yang panjang sambil berteriak. ”Kiranya dua belas ekor cacing dari Thian-liong-pang yang datang. Kalian mau apa?”

“Tranggg....!” Tongkatnya tertangkis oleh sepasang pedang panjang di tangan seorang yang brewok, tinggi besar dan bermata lebar. Inilah Ma Kiu, atau Thian-liong-pangcu, ketua perkumpulan itu, juga merupakan orang pertama atau pimpinan Cap-ji-liong yang tersohor. Siang Ki sudah pernah mendengar ten­tang orang ini, akan tetapi belum pernah bertemu. Kini ia dapat menduganya dan pantas saja tangkisan tadi demikian kuat, pikirnya. Makin tidak enak hatinya ka­rena ia maklum bahwa kali ini ia meng­hadapi banyak lawan pandai.

“Orang muda, siapa pun adanya eng­kau, jangan mencampuri urusan kami. Pergilah kalau kau ingin selamat. Kami hanya membutuhkan Mutiara Hitam!” kata Ma Kiu yang marah sekali mengingat akan semua perbuatan Mutiara Hitam yang pernah mengacaukan Thian-liong-pang bersama seorang pemuda be­randalan bernama Tang Hauw Lam. Tadi­nya ketika ia mendapat laporan, hatinya girang, menyangka bahwa Mutiara Hitam yang dilaporkan bersama seorang pemuda di perahu itu tentulah Tang Hauw Lam. Kiranya pemuda tampan itu hanya penge­mis muda yang tidak dikenalnya. Sebagai Ketua Thian-liong-pang yang merasa derajatnya jauh lebih tinggi, tentu saja Ma Kiu tidak mau melayani pengemis muda ini maka mengeluarkan ucapan seperti itu.

Panas juga hati Siang Ki men­dengar ucapan itu. Ia tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang ini, memandang rendah kepadanya, maka sambil meng­angkat dada ia menjawab.

“Kalau tak salah dugaanku, engkau tentulah yang bernama Ma Kiu, yang menjadi pimpinan Cap-ji-liong dan juga menjadi Ketua Thian-liong-pang.”

“Orang jembel sudah mengenal tidak lekas pergi!” bentak seorang di antara Cap-ji-liong.

“Thian-liong-pangcu! Biarpun jalan ki­ta bersimpangan, namun sudah lama aku mendengar tentang Thian-liong-pang dan Cap-ji-liong. Ketahuilah, aku adalah pangcu dari Khong-sim Kai-pang! Dan Mutiara Hitam adalah sahabatku. Kuha­rap, mengingat akan kedudukan kita ber­sama, engkau suka melihat mukaku dan tidak mengganggunya. Kalau engkau ber­keras, marilah kita sama-sama pangcu dari perkumpulan besar melihat siapa di antara kita yang lebih unggul!”

Ma Kiu dan sute-sutenya terkejut dan memandang lebih teliti. Kiranya penge­mis muda ini adalah Pangcu dari Khong-sim Kai-pang. Tentu saja mereka sudah mendengar akan sepak terjang pangcu baru ini, betapa Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan pangcu muda ini telah membasmi golongan pengemis baju bersih yang tadinya menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah Kang-hu. Karena para pengemis golongan baju bersih adalah sekutu Thian-liong-pang, maka tentu saja dua belas orang Cap-ji-liong ini menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.

“Ah, kiranya engkau jembel muda pengacau itu? Bagus kau datang menye­rahkan diri!” Ma Kiu membentak dan sepasang pedangnya berkelebat menyam­bar, Siang Ki yang sudah siap cepat menggerakkan tongkat, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan membalikkan tongkat mengirim serangan dengan tusuk­an ke arah perut yang gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan dan pada saat itu, sebelas orang sutenya yang menyaksikan gerakan cepat Siang Ki, segera maju mengeroyok!

“Dua belas ekor cacing Thian-liong-pang tak tahu malu!” terdengar bentakan Kwi Lan disusul sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam. Gadis ini sudah melom­pat maju dan begitu ia memutar pedang­nya, empat batang pedang lawan telah dapat tertolak mundur berikut pemilik­nye. Akan tetapi pada saat itu anak buah yang bertubuh tinggi besar dan me­reka ini adalah bekas-bekas bajak sungai yang sudah takluk kepada Siauw-bin Lo­mo, kini maju mengepung Kwi Lan!

“Bagus, makin banyak makin baik! Memang pedangku sudah haus darah!” teriak gadis itu sambil membabat ke sekelilingnya. Hebat bukan main gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya yaitu para bajak, hanya mengandalkan tenaga besar dan kekasar­an saja, maka dalam sekejap mata ter­dengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh mandi darah!

Kalau Kwi Lan dengan enaknya mem­babati para pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang benar-benar menghadapi pengeroyokan berat. Cap-ji-liong terdiri dari orang-orang pandai dan mereka ini bergerak bukan sembarangan, melainkan menurut aturan dalam bentuk barisan yang amat rapi dan kuat. Tingkat kepan­daian Yu Siang Ki sudah tinggi dan an­daikata Cap-ji-liong maju seorang demi seorang, biarpun Ma Kiu sendiri takkan dapat menangkan pemuda ini. Akan te­tapi begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam bentuk barisan yang mengurung rapat, Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak hebat. Dua belas orang itu menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan mereka itu bagi Siang Ki amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah, maka pemuda ini hanya dapat memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata para pengero­yok yang rata-rata memiliki tenaga lwee-kang cukup besar.

Biarpun ia sedang mengamuk, Kwi Lan tidak melepaskan perhatiannya ter­hadap Siang Ki yang ia tahu menghadapi pengeroyokan Cap-ji-liong yanglihai . Maka ia dapat melihat betapa pemuda itu betapa pun lihainya, repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman sen­jata-senjata lawan. Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang pengeroyok terdepan lalu sekali meloncat ia sudah tiba di luar barisan Cap-ji-liong yang mendesak Siang Ki. Pedangnya berkelebat menyerbu barisan Cap-ji-liong dari bela­kang sehingga tiga orang anggauta barisan terpaksa membalikkan tubuh dan menangkis, kemudian secara teratur se­kali mereka bergerak diikuti teman-te­mannya dan di lain saat Kwi Lan telah terkurung pula bersama Siang Ki!

“Siang Ki, mari kita basmi cacing-cacing yang menjemukan ini!” seru Kwi Lan marah sambil memutar pedangnya menerjang kepungan. Akan tetapi barisan itu teratur rapi sekali dan betapapun lihainya pedang Kwi Lan, karena sekali­gus ditangkis oleh sedikitnya tiga senjata secara berbareng, ia kalah tenaga dan berbalik ia pun dijadikan sasaran hujan senjata!

“Kwi Lan, kita berdua beradu pung­gung!” Siang Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan maksud temannya segera membelakangi pemuda itu dan kini mereka berdiri saling membelakangi. Dengan demikian, kedudukan mereka lebih kuat dan tidak perlu lagi mereka membagi perhatian ke belakang karena bagian belakang masing-masing telah ter­lindung sehingga perhatian dapat dicurah­kan ke depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga oleh kedua orang muda perkasa ini. Benar saja, setelah beradu punggung, dua orang muda ini dapat melawan lebih ringan dan biarpun kadang-kadang para pengepungnya berlari-lari memutari me­reka, kedua orang muda ini tidak usah ikut berlari-lari takut diserang dari belakang lagi. Mereka melayani dengan tenang dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang, sungguhpun se­rangan mereka kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak lawan. Diam-diam Siang Ki menjadi gelisah karena balasan lawan benar-benar hebat. Andaikata dia dan Kwi Lan dapat ber­tahan mengandalkan kegesitan, tenaga dan ilmu silat mereka yang lebih tinggi tingkatnya, namun sampai berapa lama mereka mampu bertahan? Di luar barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini masih terdapat puluhan orang anak buah mereka.

Ma Kiu yang memimpin sute-sutenya ketika melihat betapa barisannya tidak berdaya menghadapi dua orang muda yang benar-benar lihai itu, menjadi pena­saran dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa Ketua Khong-sim Kai-pang yang masih mudaini ternyata juga amat lihai sehingga diam-diam ia harus meragukan kepandaiannya sendiri apakah ia akan sanggup menghadapi orang muda itu satu lawan satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa rahasia perkumpulannya. Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu lalu berlari-lari mengeli­lingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu menjadi makin jauh.

“Awas....!” Siang Ki berseru keras dan Kwi Lan yang sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang ber­bentuk bintang. Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar saja di sekitar mereka berdiri berserakan senjata rahasia musuh.

Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw yang menyambar bagaikan hujan, kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak buah bajak. Sibuk sekali Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata rahasia ini.

“Kwi Lan.... kau larilah.... lekas serbu sayap kiri... aku membantu dan melin­dungimu, kau harus lari....!” Terdengar Siang Ki berkata dengan napas memburu. Ketika Kwi Lan melirik tanpa menghentikan putaran pedangnya, ia terkejut melihat pemuda itu terluka pundak kiri­nya sehingga mengeluarkan darah.

“Huh, enak kau bicara! Kaukira aku pengecut yang takut mampus? Kaulihat!”

Sambil berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan bergerak menyambitkan jarum-ja­rumnya ke sebelah kanan. Sinar hitam menyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan disusul robohnya lima anggauta bajak yang menjadi korban sambaran jarum-jarum hijau beracun.

Akan tetapi gerakan ini hampir men­celakakan Kwi Lan juga karena dengan gerak serangannya ini, putaran pedangnya kurang kuat dan kalau ia tidak cepat meloncat ke kiri, tentu ia menjadi kor­ban sambaran sebuah di antara puluhan senjata rahasia.

“Tiada guna.... mereka terlalu banyak dan lihai. Lekas kau lari selagi ada ke­sempatan Kwi Lan.”

“Ih, kalau kau takut, kau larilah. Aku tidak takut, akan kulawan sampai mam­pus!”

“Aku tidak takut, aku ingin kau me­nyelamatkan diri, jangan pikirkan diri­ku....”

“Eh, orang bernama Yu Siang Ki! Apakah kau mau menjadi orang gagah sendiri dan aku harus menjadi pengecut?

Tidak, kalau kita lari, harus lari bersa­ma, kalau melawan terus harus berdua!” jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suara­nya jelas memperdengarkan kemarahan.

“Ah, kau bodoh!” kata Siang Ki sam­bil memutar tongkat dan mengebutkan lengan baju lalu melompat tinggi. Biar­pun sudah terluka ternyata ia masih gesit sekali. “Bukan berani atau takut, melainkan kita harus gunakan otak! Ka­lau melawan terus dan keduanya mati, siapa akan tolong? Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada kau yang meno­longku. Kenapa nekat? Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku bantu kau melarikan diri!”

Kwi Lan menjadi gemas sekali. Sam­bil memutar pedang menangkis senjata rahasia, ia berhasil menangkap sebuah peluru bintang dan cepat mengembalikan­nya dengan sambitan kuat. Kembali terdengar jerit seorang anggauta bajak roboh dan tewas.

“Aku punya rencana. Hayo kaulindungi aku!” bentaknya kepada Siang Ki, kemu­dian tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membantah, ia sudah meloncat dan menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke kanan. Yang mengurung di sebelah kiri adalah anggauta-anggauta termuda Cap-ji-liong dan ketika bertem­pur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa sayap kiri ini yang paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu sayap kanan di mana terdapat Ma Kiu, Ketua Thian-liong-pang yang tentu saja paling kuat di antara adik­-adiknya! Karena melihat Kwi Lan sudah menyerbu, tentu saja ia pun tak dapat mencegah cepat ia melindungi gadis itu dari dekat.

Ma Kiu terkejut dan cepat ia bersa­ma adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan sekaligus tiga orang menangkis sedangkan tiga orang lain mem­balas dengan serangan dari kanan kiri. Akan tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini, bahkan ia terus menerjang maju ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang bertubi-tubi! Melihat ini, tiga orang anggauta Cap-ji-liong menjadi girang dan mengira bahwa se­rangan mereka tentu akan mengenai sasaran.

“Trang-trang-trang....!” Tangkisan tongkat Siang Ki amat kerasnya sehingga golok dan pedang yang mengancam Kwi Lan itu sampai terpental dari tangan pemegangnya. Akan tetapi karena Siang Ki sudah terluka dan dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu banyak tenaga maka ketika ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar punggung, ia tidak dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman ruyung! Siang Ki mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat. Robohlah orang Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya terkena sodokan tongkat! Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang matanya oleh hantaman ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat itu, dua buah peluru bintang yang mengan­dung racun telah menyambar dan menge­nai dada dan lehernya! Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih terpegang erat-erat.

Pada saat yang hampir berbareng, Kwi Lan yang menyerang Ma Kiu juga telah berhasil. Dengan gerakan seperti burung walet terbang miring, gadis itu melompat menghindarkan sambaran se­pasang pedang Ma Kiu, Kemudian dari samping atas tangan kirinya bergerak dan tanpa dapat dicegah lagi jari-jari tangan­nya yang kecil halus namun kuat dan cekatan itu telah menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua pedangnya terlepas. Se­belum adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi Lan sudah meloncat turun, menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang pingsan itu, meno­dongkan pedangnya ke dada Ketua Thian­liong-pang ini sambil membentak.

“Mundur semua atau kurobek perut Ketua Thian-liong-pang!”

Ancaman yang dikeluarkan dengan suara nyaring penuh amarah ini berhasil. Orang-orang Thian-liong-pang yang tadi­nya sudah menggerakkan senjata hendak membunuh Siang Ki yang sudah tak ber­daya itu menarik kembali senjata masing-masing, juga mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan kini terpaksa melang­kah mundur. Akan tetapi sepuluh orang Cap-ji-liong yang belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki yang sudah pingsan. Mereka bukan orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh di tangan gadis itu, mereka pun mengurung dan menawan Siang Ki.

“Bebaskan kawanku itu, baru aku akan membebaskan Ketua Thian-liong-pang!” kembali Kwi Lan membentak dan pe­dangnya masih ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.

Seorang di antara sepuluh anggauta Cap-ji-liong yang bertubuh kurus bermuka pucat, melangkah maju mewakili teman-temannya. Ia melihat betapa banyaknya anak buah bajak yang roboh menjadi korban nona perkasa itu, dan melihat pula betapa nyawa ketuanya terancam bahaya maut! Akan tetapi ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu bergerak-gerak, tanda bahwa ketuanya itu tidak pingsan! Memang dalam hal ini Kwi Lan kurang menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar), memi­liki gwa-kang yang bukan main kuatnya sehingga jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh otot-otot baja dan kulit besi! Tadi ketika terkena totokan, Ketua Thian-liong-pang ini hanya puyeng sebentar akan tetapi jalan darahnya ti­daklah terhenti seperti yang disangka Kwi Lan. Ia hanya setengah pingsan se­bentar saja dan kini ia sudah sadar kembali. Akan tetapi dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa sedikit saja ia bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk dadanya.

“Hemm, Mutiara Hitam.” kata ang­gauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat tadi, “keadaanmu tidak menguntungkan akan tetapi kau masih membuka mulut besar! Kau boleh mengancam ketua kami akan tetapi kami pun dapat mengancam nyawa kawan baik dan kekasihmu ini. Ha-ha-ha!”

Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, pandang matanya melotot dan ia mem­bentak, “Baik, kau boleh bunuh dia, akan tetapi selain ketuamu ini kubunuh, juga semua orang Thian-liong-pang takkan kubiarkan hidup!” Tiba-tiba anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring dan mereka berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu meng­gerakkan tubuh bergulingan menjauhi Kwi Lan!

Gadis itu kaget sekali. Kalau ia meng­hadapi penyerbuan mereka, tentu Ketua Thian-liong-pang itu terlepas dari tangan­nya. Sebaliknya kalau ia mengejar dan menyerang Ma Kiu yang bergulingan, ten­tu ia akan menjadi korban serbuan sepuluh orang Cap-ji-liong! Tentu saja yang ter­penting adalah menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau ia roboh, berarti Siang Ki takkan dapat tertolong lagi. Dengan geram ia memutar pedangnya menyambut serbuan sepuluh orang ang­gauta Cap-ji-liong itu. Demikian hebat gerakan pedangnya yang dirangsang ke­marahan sehingga tubuhnya berkelebat lenyap dan gerakan pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis senjata yang mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang pengeroyok. Sung­guhpun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja namun dua orang anggauta Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher.

Segera Kwi Lan dikurung oleh sisa anggauta Cap-ji-liong dan anak buah Thian-liong-pang yang amat banyak. Ter­dengar suara Ma Kiu marah sekali, “Se­ret ketua jembel itu dan bawa pergi! Siapkan barisan Am-gi (Senjata Rahasia), keroyok iblis betina ini!”

Makin bingung dan gelisah hati Kwi Lan mendengar perintah yang dikeluarkan Ketua Thian-liong-pang ini. Ia masih dan belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andaikata ia menurut nasihat Yu Siang Ki dan menyelamatkan diri, agaknya tidak terlalu sukar bagi Kwi Lan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan ma­lam. Namun gadis ini luar biasa berani­nya dan juga tak dapat menahan kema­rahannya. Melihat betapa temannya ter­ancam bahaya maut, ia tidak pedulikan lagi akan keselamatan diri sendiri, terus saja mengamuk seperti seekor naga sakti.

Namun Ma Kiu yang maklum akan kelihaian gadis ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan dalam keadaan hidup, lalu mengatur barisan. Mereka lalu me­ngeluarkan tambang-tambang yang di­ayun-ayun untuk menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di samping itu hujan sen­jata rahasia membuat Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia harus menghindar­kan diri dari hujan senjata, ia pun harus berloncatan karena kakinya diancam oleh ayunan tambang-tambang yang dipegangi para pengeroyok dari depan dan belakang serta kiri kanan. Kini ia terkepung rapat dan andaikata ia mempunyai maksud hati untuk melarikan diri sekalipun sudah tak mungkin lagi, sudah terlambat.

Sementara itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak siasat, diam-diam sudah mengambil jaring yang berada di tepi sungai, jaring para nelayan dijemur di tepi sungai. Diam-diam Ketua Thian­-liong-pang ini mengatur siasat dan alang­kah kaget hati Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali jaring melayang dari atas menyelimutinya. ia berusaha memutar pedang membela diri. Banyak jaring yang robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terasa sakit tertusuk senjata rahasia anak panah, sehingga ia terhu­yung-huyung. Pada saat itu, beberapa buah jaring menutup tubuhnya, dan ada tambang melibat kakinya dan menjegal­nya. Betapa pun kuatnya Kwi Lan, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terguling. Para anggauta Thian-liong-pang bersorak-sorak dan se­bentar saja tubuh Kwi Lan sudah dilibat­libat jaring. Ia tertawan dalam libatan jaring-jaring itu dan hanya mampu me­maki-maki akan tetapi sama sekali tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu memimpin orang-orangnya membawa pergi Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang ta­wanan penting. Masih untung bagi dua orang muda itu. Kwi Lan adalah gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku sebagai utusan Pak-sin-ong mengirim kuda hitam, maka ia bukan orang biasa dan oleh Ma Kiu akan dibawa dan dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini hendak meng­adakan hubungan dengan barisan Hsi-­hsia. Adapun Yu Siang Ki adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi musuh besar Bu-tek Siu-lam karena pemuda ini berani memusuhi para pengemis baju bersih, maka juga merupakan orang pen­ting yang patut dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo untuk diambil keputusan nasibnya. Selain ini, juga Ma Kiu yang melihat kecantikan Kwi Lan, merasa sayang kalau membunuh gadis ini secara begitu saja!

Rombongan orang Thian-liong-pang ini lalu pergi meninggalkan desa Ci-chung sebagian naik kuda dan ada yang berja­lan kaki mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta tawanan yang bentuk­nya seperti kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu Siang Ki yang pingsan dan Kwi Lan yang memaki-maki di sepanjang jalan.

***

Lembah Sungai Nu-kiang yang melun­cur turun dari lereng Gunung Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia. Lembah ini penuh de­ngan hutan-hutan liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di samping ini semua, keadaan daerah pegu­nungan yang amat sukar didatangi orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk datang menyer­bu.

Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah dibangun pondok-pondok daru­rat yang cukup besar. Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu yang suka dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di mar­kas baru ini, ditemani Siang-mou Sin­-ni yang biarpun tua namun masih keli­hatan cantik dan menyenangkan hatinya, apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini disampingnya merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang wajah­nya masih tampan ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membu­nuh tokoh-tokoh Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.

Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul mun­dur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidak­lah terlalu kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar adalah Keraja­an Sung. Ke dua, ia telah berhasil mem­bunuh Ketua Beng-kauw dan para tokoh­nya sehingga ia dapat membalas keka­lahannya dahulu. Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita muda. Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik, sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat berse­nang-senang sepuas hatinya.

Juga Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih sehingga terpenuhilah kebutuhan­nya untuk menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat! Siang-mo Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi makan minum secu­kupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia campuri obat untuk mem­perkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia “pergunakan” untuk keperluan ilmunya.

Akan tetapi tidaklah mudah membu­juk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan dibawa ke dalam rimba lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah menangis lagi sejak ditangkap, namun tidak mengenal takut dan selalu menolak apabila diberi makan. Setidaknya, ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan mi­numan yang lezat dan berlebihan, ditung­gu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin segar, melainkan makin kurus dan pucat.

Setengah bulan kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah yang bersama pende­ta gundul berkaki buntung, yang membu­nuh ayah bundanya dan wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari seperti terbang cepatnya ke tempat ini.

Melihat wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh tempat tidur, lalu ia duduk di pemba­ringannya. Matanya tak pernah berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin berniat baik ter­hadap dirinya.

Sejenak Siang-mou Sin-ni memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis.

“Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan? Ah, mengapa kau mengecewakan hatiku? Kau tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu? Aku sa­yang padamu, Han Ki.”

“Kalau sayang kenapa kaubunuh Ayah bundaku? Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi dari sini” Sambil berkata de­mikian, Han Ki yang melihat betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri. Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat dan sebentar saja ia sudah lari keluar mene­robos pintu.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya ter­betot ke belakang, bahkan melayang kembali ke dalam kamar. Han Ki meron­ta dan kaget sekali melihat betapa tu­buhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.

“Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus”

Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup, membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangan­nya tak dapat bergerak. Ia tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut yang amat kuat. Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata terbe­lalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan yanci. Ia makin serem dan ngeri.

“Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu dahulu pernah menjadi kekasih­ku, tahukah kau anak baik? Dia amat cinta kepadaku.... hi-hik”

“Bohong....!” Han Ki tidak begitu mengerti akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta iblis betina ini, mana ia mau percaya?

“Hi-hi-hik, siapa bohong? Kau lebih tampan dari dia, hem.... kulitmu lebih halus, darahmu lebih bersih dan murni.... hemmm....!” Tiba-tiba wanita itu men­cium dahinya, pipinya hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya!

Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita itu akan menggi­giti dan seperti seekor serigala akan me­makannya. Ia merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah. Ketika Siang-mo Sin-ni mencium mulutnya se­perti orang gila, atau lebih mirip dengan seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa dada di mana tubuhnya menempel itu ter­engah-engah, merasa betapa mulut yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan ma­rahnya, ia menggunakan kesempatan se­lagi rambut yang membelitnya itu me­ngendur, ia meronta sekuat tenaga sam­bil menarik mukanya ke belakang

Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan ter­dorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan.... menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni! Mulutnya bertemu kulit leher yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya biarpun ia dipukul sampai mati!

“Aiihhh....!” Siang-mou Sin-ni men­jerit lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang di antara Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun, yang bahkan dialah satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu menghadapinya, be­lum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam pukulan darah beracun, bukan main kejinya. Akan tetapi karena dalam detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh naf­su binatang karena mengilar akan kemur­nian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia berada dalam keadaan se­orang mabok dan pada detik-detik itu, semua tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang di­kuasai oleh nafsu binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurna­kan ilmu yang sedang dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok!

Betapapun juga, sebagai seorang ber­ilmu tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sin­ni terkejut. Kalau saja ia bukan orang yang memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali menggerakkan jari tangan membu­nuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut, melain­kan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah itu menge­luh dan gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan.

Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokan­nya dan tersenyum memandang anak itu.

“Hebat,” bisiknya, “kulit leherku sam­pai pecah-pecah terluka.” Ia lalu melang­kah keluar dan memanggil penjaga yang datang berlarian. “Jaga baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua hidangan­dariku untuknya harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam mulutnya se­cara paksa.”

Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi. Ia merasa beruntung masih hidup, dan se­malam itu ia duduk termenung memikir­kan pengalamannya. Yang selalu terngi­ang di telinganya adalah pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih iblis betina itu! Ia tidak sudi untuk mempercepat hal ini, akan tetapi entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.

Tentu saja anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi kepada mendiang ayahnya, seorang pen­dekar dan menantu Ketua Beng-kauw. Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis betina ini dahulu akan tetapi kekasih paksaan kare­na Kam Bu Sin melayani semua kehen­dak dan nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki obat perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!

Pada keesokan harinya, seperti biasa, pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.

“Kaumakan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara paksa.” hwesio itu mengancam sambil menye­ringai, tampak giginya yang besar-besar dan berwarna kuning dekil. Melihat gigi besar-besar kuning dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu makan sama sekali biar­pun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah terhadap Siang-mou Sin­-ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.

“Aku tidak sudi. Kaumakan sendiri!” ia menjawab sambil membuang muka.

“Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku menje­jalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel!” bentak hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih, mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini men­dekat. Ia tidak pedulikan Han Ki meron­ta-ronta, mendudukkan anak itu dipang­kuannya dan menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut Han Ki secara paksa. Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki tenaga besar dan berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka mulut, kemudian ia menjejalkan makanan itu da­lam mulut Han Ki. Bocah ini tersedak-se­dak, terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan sampai menutup leher dan menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia terpaksa harus menelannya! Percuma saja ia meronta-ronta, dan per­cuma saja ia berusaha untuk tidak mene­lan makanan, karena hal ini tidak mung­kin. Akhirnya semua makanan semangkok penuh itu terjejal ke mulut dan mema­suki perutnya! Masakan ini memang lezat dan hal ini sudah diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula, akan tetapi dijejal seperti ini lenyaplah rasa lezat­nya. Ketika hwesio itu selesai menjejal­kan makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas ranjang, dua bu­tir air mata meloncat keluar dari mata Han Ki yang melotot dan hinggap di atas keduapipinya. Ia memandang hwesio itu dengan mata melotot penuh kebencian. Akan tetapi hwesio itu mengebut-ngebut­kan bajunya dan berkata.

“Aku masih ingin sekali menjejalkan makanan beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu robek. Ha-ha-ha!” Setelah berkata demikian, hwesio itu keluar dari kamar. Penjaga segera da­tang, mengambil mangkok dan menutup pintu lalu menguncinya.

Setelah berada seorang diri, Han Ki duduk terlongong. Hampir ia menangis menggerung-gerung kalau saja hatinya tidak menahannya. Ia tidak mau mena­ngis, apalagi di depan hwesio itu. Ia tidak mau memberi kesenangan pada musuh-musuhnya dengan tangisnya! Akan tetapi Han Ki seorang anak yangcerdik. Ia pun maklum bahwa kalau ia tidak mau makan, tentu hwesio itu memenuhi an­camannya dan kalau sampai dijejali lagi, berarti ia mengalami penghinaan dan agaknya hal itu menyenangkan hati Si Hwesio bengis. Inilah sebabnya maka mulai saat itu, setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia segera memakan­nya dengan sukarela sampai habis.

Luar biasa sekali hasilnya. Dalam waktu sepekan saja tubuh Han Ki menja­di gemuk, dagingnya penuh, kedua pipi­nya kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam! Inilah hasil obat kuat dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni sendiri. Obat yang mengandung hawa panas, memanaskan darah dan menguatkan tulang, menambah sumsum.

Han Ki merasa sehat dan kuat, hanya ia seringkali kepanasan sampai sering ia membuka bajunya di waktu siang, tidak kuat karena merasa tubuhnya seolah­-olah terbakar. Dan kini yang membawa datang makanan bukan lagi hwesio be­ngis. Agaknya karena Han Ki tidak per­nah menolak untuk makan hidangan, Siang-mou Sin-ni tidak mau lagi menggu­nakan hwesio untuk mengancam, dan kini masakan dibawa datang oleh penjaga biasa. Penjaga itu seorang Hsi-hsia, biarpun cukup kuat dan galak, akan te­tapi tidak mempunyai watak sadis (suka menyiksa) seperti hwesio itu.

Malam itu Si Penjaga kembali datang membawa makanan untuk Han Ki. “Mungkin malam ini yang terakhir kau di sini.” kata Si Penjaga sambil lalu. Ber­debar jantung Han Ki mendengar ini.

“Mengapa? Aku hendak diapakan?” tanyanya.

Penjaga itu tertawa mengejek. “Apa lagi? Kau anak musuh, tidak disembelih sejak dulu sudah untung! Ha-ha, agak­nya Sin-ni suka kepadamu. Entah ba­gaimana aku tidak tahu.... heh-heh, me­nurut pikiranku, kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?”

Tentu saja Han Ki tidak mengerti maksudnya, akan tetapi ia dapat men­duga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik atas dirinya. Harus se­karang kulaksanakan, pikirnya. Untung atau buntung. Hidup atau mati, tidak ada pilihan lagi.

“Paman yang baik, apa pun yang akan terjadi, sampai mati aku tidak akan me­lupakan kebaikanmu.” Han Ki sengaja terisak-isak seperti bocah terharu dan menangis.

Belasan hari lamanya, Si Penjaga diam-diam amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah berusia sebelas tahun menjadi tawanan, namun tak pernah menangis, tak pernah mengeluh, tak pernah keta­kutan. Maka kini melihat Han Ki me­nangis di depannya dan menyatakan tidak melupakan kebaikannya, ia tentu saja terheran-heran.

“Huh? Apa maksudmu?”

“Selama ini kau telah menjaga diriku, Paman. Aku tidak punya apa-apa, hanya ini kubawa dari rumah orang tuaku, akan kutinggalkan kepadamu sebagai kenang­kenangan dan balas budi....“ Dari balik bajunya, Han Ki mengeluarkan sebuah benda yang macamnya seperti sehelai tambang, akan tetapi sesungguhnya ada­lah baju dalamnya yang terbuat daripada sutera putih dan yang selama ini ia pi­lin-pilin menjadi seperti tali. Tadinya ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas, akan tetapi ketika ia bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan untuk menyelamatkan diri dengan tali istimewa ini.

“Huh? Apa ini....?” Orang Hsi-hsia yang belum banyak mengerti tentang benda-benda milik orang kota, meman­dang heran.

“Inilah kalung jimat para bangsawan di Nan-cao, Paman. Sebagai cucu Ketua Beng-kauw, aku selalu memakai kalung ini. Kau diamlah, biar aku memakaikan­nya kepadamu, Paman, dan kau akan tahu nanti bagaimana besar manfaatnya.” Tanpa menanti jawaban. Han Ki memutari tubuh penjaga itu dan berdiri di be­lakangnya.

Orang Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.

“Beginilah pakainya, Paman.” Han Ki lalu menggunakan kedua tangan meme­gangi kedua ujung tali sutera itu, me­ngalungkan secepatnya di leher penjaga, kemudian ia membelit-belit kedua ujung pada lengannya dan menarik sekuat tena­ga!

Orang Hsi-hsia itu terkejut, meronta hebat, namun Han Ki sekarang sudah menempelkan tubuh pada punggungnya seperti seekor lintah, kedua kakinya mengempit pinggang, kedua tangan se­kuat tenaganya menarik ujung tali. Se­menjak kecil Han Ki telah digembleng orang tuanya maka ia telah memiliki dasar tenaga dalam. Namun, andaikata ia tidak kebetulan diberi makan obat yang dicampurkan dalam masakan oleh Siang-mou Sin-ni, kiranya tenaga anak berusia sebelas tahun ini belum tentu akan dapat mencekik Si Penjaga yang kuat. Kebetul­an sekali, pengaruh obat Siang-mou Sin-ni luar biasa hebatnya, membuat tenaga dalam anak itu bertambah kuat beberapa kali lipat! Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat berteriak dan tak dapat bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh anak itu tetap lengket di punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya mendelik, li­dahnya terjulur keluar.

Setelah penjaga itu tidak berkutik lagi, barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu meloncat menjauhi. Seluruh tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas yang menyelubungi tubuhnya, juga karena tegang dan tadi mengerah­kan tenaga. Ia memegangi kedua kaki penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa heran mengapa tubuh penjaga itu demikianringan. Ia tidak tahu bahwa bukan tubuh Si Penjaga yang ringan, me­lainkan tenaganya yang kini menjadi amat kuat. Diseretnya mayat itu ke ba­wah pembaringannya dan ditariknya tilam pembaringan ke bawah sehingga menutupi kolong pembaringannya. Kemudian ia meng­atur letak guling bantal, ditutupnya de­ngan selimut sehingga sepintas lalu tam­pak seolah-olah ia tidur dan berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Sete­lah itu, dengan cepat namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan mengancingkannya dari luar.

Ia tidak tahu sama sekaii bahwa tem­pat ia ditahan itu merupakan kamar be­lakang dari bangunan yang menjadi tem­pat tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni! Bangunan ini biarpun dibuat secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw Lek Couwsu tinggal dite­mani gadis-gadis rampasan yang menem­pati beberapa buah kamar-kamar besar ini, Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.

Karena dari kamar tahanan itu tidak ada jalan keluar kecuali melalui ruangan belakang dan yang pertama-tama me­nembus ke kamar Siang-mou Sin-ni yang selalu ingin berdekatan dengan ka­mar tahanan calon korbannya, maka ke­tika Han Ki menyelinap keluar dan ber­jalan melalui lorong dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar Siang-mou Sin­-ni seperti seekor kelinci mendekati sa­rang macan! Tiba-tiba suara ketawa cekikikan membuat ia berhenti bergerak dan merasa jantungnya seakan-akan copot karena suara ketawa itu ia kenal sebagai suara Siang-mou Sin-ni. Suara itu keluar dari jendela yang tepat berada di pinggir kepalanya, jendela kamar Siang-mou Sin-ni! Dengan jantung berdebar Han Ki lalu mengintai dari celah-celah daun jendela, menahan napas. Untung bahwa ia berte­lanjang kaki sehingga tapak kakinya tidak menerbitkan suara. Sedikit saja ada sua­ra, tentu takkan terlepas dari telinga Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada di kamar itu.

“Hi-hi-hik, kau bajul buntung tua bangka tak bermalu!” Terdengar suara Siang-mou Sin-ni. Han Ki yang meng­intai kini melihat kakek yang kaki kiri­nya buntung dan bertubuh tinggi besar berjubah merah, sedang duduk bersila di atas pembaringan yang indah. Kakek ini tersenyum-senyum dan wajahnya yang tampan itu masih kelihatan muda dan sehat. Tangan kanannya memegang sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou Sin-ni rebah dengan kepala di atas pang­kuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang panjang terurai sampai ke lantai. Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit dan manja, lalu menyambung kata-katanya.

“Kau sudah tua bangka akan tetapi hatimu lebih muda daripada orang yang paling muda! Masih kurangkah perempuan muda yang kaukeram di sini? Masa kau menginginkan pula dua orang dara itu?”

Bouw Lek Couwsu yang sudah men­dekatkan cawan emas pada bibirnya, menunda minumnya dan memandang wa­jah yang menengadah di atas pangkuan­nya, tersenyum dan berkata.

“Kim Bwee, setua ini kau masih cem­buru?” Ia tertawa bergelak.

Siang-mou Sin-ni cepat bangkit duduk dan matanya mendelik. “Tua bangka me­nyebalkan! Aku cemburu padamu? Huh, memalukan! Kau tahu aku tidak cemburu, aku tidak peduli kau akan mengumpulkan ribuan perempuan seperti juga kau tidak cemburu dan peduli kalau aku mengumpulkan ribuan pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua orang dara itu adalah puteri Kam Bu Sin, mereka itu adalah cu­cu-cucu Ketua Beng-kauw yang sudah ber­hasil kita bunuh. Mereka tadinya, dapat lolos, sekarang dapat tertawan oleh murid-muridmu, itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh mereka? Makin lama mereka dibiarkan hidup, makin banyak pula kesempatan bagi mereka untuk lo­los. Lebih baik kita singkirkan bahaya di hari depan kita.”

“Hemmm, omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan tetapi, aku merasa sa­yang untuk membunuh mereka begitu saja. Seperti juga bocah laki-laki yang akan kauambil darah dan sumsumnya, dua orang dara itu adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki tulang yang baik dan darah bersih, juga.... hemm, amat cantik jelita. Malam ini, aku janji padamu, mereka akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok masih belum terlambat untuk membunuh mereka.”

“Huh, dasar mata keranjang. Akan kulihat besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri yang akan turun tangan!”

Bouw Lek Couwsu mendekatkan mu­kanya dan mencium pipi Siang-mou Sin-ni sambil tertawa ia mendekatkan cawan emas pada bibirnya, tetapi kembali ia menunda karena Siang-mou Sin-ni berkata mencela.

“Kau akan mencelakai dirimu dengan minuman seperti itu!”

“Ha-ha-ha, mana bisa celaka? Darah ular salju amat besar khasiatnya, tentu saja terutama sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli Im-kang aku membutuhkan racun dingin untuk memperkuat tenagaku, tidak seperti kau yang suka akan yang panas-panas, ha-ha-ha!”

Pada saat itu terdengar pintu terke­tok dari luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan dengan wa­jah pucat dan tubuh menggigil saking gelisahnya mendengar dua orang kakak perempuannya juga tertawan, menjadi makin kaget dan cepat-cepat ia menarik kepalanya, mendekam di bawah jendela yang gelap. Ia hanya mendengarkan sam­bil menahan napas. Akan tetapi ternyata bahwa yang datang memasuki kamar itu adalah seorang pendeta jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu dan mereka bicara dalam bahasa Tibet yang sama sekali tidak dimengerti Han Ki. Kemu­dian terdengar Bouw Lek Couwsu me­maki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru marah.

“Mari kita lihat bagaimana macam­nya iblis itu!” Terdengar mereka mening­galkan kamar. Setelah keadaan di situ sunyi, barulah Han Ki berani menggerak­kan lehernya mengintai. Kamar itu ko­song. Hatinya berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di mana? De­ngan hati-hati ia lalu naik ke atas jen­dela, lalu memasuki kamar itu. Tubuh­nya masih gemetar dan jantungnya masih berdebar. Lehernya seperti dicekik, amat kering dan haus. Keadaan sudah amat sunyi dan agaknya ia akan dapat melari­kan diri, akan tetapi ia mendengar bah­wa dua orang kakaknya tertawan, lenyap­lah keinginan hatinya untuk melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan mencari dimana kedua orang kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolong nya!

Bau harum sedap menarik perhatian­nya. Cawan emas itu masih di atas meja dan isinya penuh. Agahnya Bouw Lek Couwsu tidak sempat meminumnya, ke­buru datang pelapor yang membuatnya marah-marah dan meninggalkan kamar. Mencium bau sedap dan melihat isi ca­wan yang kuning kemerahan dan jernih, makin kering rasa tenggorokannya. Se­bagai putera pendekar yang dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan arak, karena seringkali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat tu­lang-tulangnya dan membersihkan darah­nya. Dalam keadaaan gelisah ia menjadi haus sekali melihat arak dalam cawan emas itu tak dapat ia menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu menyambar cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan manis! Rasa enak membuat ia minum terus sampai cawan itu kosong. Ketika ia melempar kembali cawan ke atas meja, ia menge­luh dan terhuyung-huyung ke kanan kiri.

Tubuhnya terasa aneh sekali, sebentar terasa panas yang selama ini memenuhi tubuhnya menjadi makin panas seperti terbakar, akan tetapi di lain saat men­jadi dingin sampai giginya atas bawah saling beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di dalam dada dan seluruh tubuhnya terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga raksasa yang membuat tubuh anak itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han Ki dalam keada­an pingsan di atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni!

Apakah yang terjadi pada anak ini? Dia menjadi korban pengaruh dua macam obat yang bertentangan! Mula-mula ia dijejali makanan yang mengandung hawa panas luar biasa, yang membuat darahnya seolah-olah mendidih dan tubuhnya men­jadi panas sekali. Kemudian, tanpa ia ketahui, ia minum obat dalam cawan emas, obat yang disangkanya arak biasa. Padahal obat itu adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat yang mengandung hawa dingin luar biasa karena terbuat daripada darah ular salju. Dengan demikian, dua macam obat berbahaya, yang memiliki daya kekuatan luar biasa, panas dan dingin, bertemu di dalam tubuhnya, di­serap oleh darahnya yang menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan. Darah­nya keracunan secara hebat sekali.

Ketika akan roboh pingsan, dari mulut anak ini keluar bisikan. “Aku harus me­nolong kedua enciku (kakak perempuan­ku) .... harus kutolong mereka....!”

Seperti kita ketahui atau dapat men­duga, dua orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, telah lenyap ketika mereka sedang menonton pertandingan antara Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong. Pada saat Siauw-bin Lo-mo meledakkan senjata rahasianya yang mengeluarkan asap tebal, dua orang gadis itu secara tiba-tiba roboh tertotok. Mereka kaget dan heran sekali karena tidaklah sembarang orang mampu me­robohkan mereka begitu mudah dengan serangan gelap dari belakang. Akan teta­pi ketika mereka melihat bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan adalah searang pendeta gundul jubah merah yang berkaki satu, tahu­lah mereka bahwa nyawa mereka teran­cam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar mereka, Bouw Lek Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan kakek mereka! Ketika kakek itu tidak segera membunuh mereka dan menjebloskan mereka ke dalam ka­mar tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa nasib yang lebih mengerikan daripada maut sendiri yang tengah menanti mereka. Na­mun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil keputusan bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan mengadu nyawa.

***

“Ke sini jalannya,” Po Leng In berbi­sik sambil menarik tangan Kiang Liong yang digandengnya. Mereka menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah me­runduk dan mendaki naik lereng gunung itu. “Sekeliling puncak terjaga kuat, ha­nya bagian ini yang tidak terjaga karena sukar dilewati.” Setelah berbisik demi­kian, karena muka mereka saling ber­dekatan, Po Leng In merangkul leher dan mencium.

“Sudah, bukan saatnya bersenang-se­nang!” Kiang Liong mencela sambil men­jauhkan mukanya.

Po Leng In menarik napas panjang. “Liong-koko...., bisiknya dengan suara mesra dan manja, “Aku.... aku cinta pa­damu...., selamanya aku tak ingin berpi­sah dari sampingmu....”

“Huh, cukuplah. Kita bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau ber­janji untuk membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat.”

“Tapi....”

“Cukup sudah! Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan hidup masing­masing, hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?”

Wajah yang cantik itu menjadi mu­ram, mulutnya yang tadinya tersenyum bahagia itu kini menjadi pahit. “Aku tahu.... aku harus tahu diri....“ Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian menudingkan telunjuknya ke depan. “Lewat lereng berbatu-batu itu dan kita akan berada di wilayah kediam­an mereka. Lihat itu Sungai Nu-kiang sudah tampak.”

Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku, ber­warna putih dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu, tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi mar­kas para pendeta jubah merah. Di sana­lah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam Kiang Liong ber­doa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan selamat.

Tiba-tiba Po Leng In memegang le­ngannya. “Sst, Koko, lihat....!”

Tempat mereka berdiri merupakan le­reng yang tinggi dan dari situ mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur Gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik.

Po Leng In mengeluarkan suara me­lengking tinggi, mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih. “Apa yang kaulakukan?”

“Aku memberi peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas.”

“Eh, apa maksudmu? Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyu­karkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?”

Po Leng In menggeleng kepalanya. “Sebaliknya malah. Jika para penjahat melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam keributan, apalagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa.”

Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu. “Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas.”

Po Leng In menggeleng kepalanya. “Jangan, kau menanti di sini sampai ge­lap. Aku harus pergi dulu.”

Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya. “Leng In, apa sebetulnya ke­hendakmu?” pertanyaan ini disertai pan­dang mata penuh selidik dan curiga.

“Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku, kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhia­natan atau aku akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin ter­hadapmu. Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, Guruku dan yang lain-lain akan tahu bahwa aku telah da­tang. Kalau aku tidak lekas-lekas menemui mereka, apa kaukira mereka tak­kan menjadi curiga? Aku harus segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus, melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat ba­ngunan-bangunan di puncak, carilah ba­ngunan yang paling besar di tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu ditawan da­lam bangunan di samping kanannya, tem­pat tinggal Guruku. Kurasa, hanya pen­jaga-penjaga lemah saja yang akan meng­halangimu.”

“Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu.”

Po Leng In tiba-tiba merangkulnya. “Koko, kau.... kau takkan melupakan Po Leng In, bukan....?”

Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih. “Aku akan tetap mengenangmu sebagai saha­bat, kecuali.... kecuali kalau kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang, terpaksa aku me­nentang kau dan Gurumu.”

Po Leng In terisak, melepaskan rang­kulannya lalu lari ke depan, menuju ke puncak. “Gadis yang hebat,” Kiang Liong berkata seorang diri, “sayang terjerumus menjadi murid iblis betina itu.”

Ia duduk terlindung pohon-pohon kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat me­mandang ke bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa adanya rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang kurus, yang berja­lan di depan rombongan itu. Kakek itu menggendong bambu di punggung, ping­gangnya dilingkari dompet-dompet tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin Lo-mo! Ter­ingat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan ketajaman pandang ma­tanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk melihat lebih jelas siapa yang berada di dalam kereta ke­rangkeng itu. Tidak tampak jelas, namun hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua orang dalam dua buah kerangkeng itu.

Kiang Liong tak dapat menduga bah­wa yang berada di dalam kereta kerang­keng itu, yang seorang adalah Mutiara Hitam! Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di dalam kereta kerang­keng itu. Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo. Ke Gunung Kao-likung­-san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lo­mo telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.

“Yang seorang Ketua Khong-sim Kai-pang! Bagus, bagus. Ha-ha-ha, tentu akan kecut muka Bu-tek Siu-lam si banci me­lihat betapa musuh mudanya terjatuh ke tanganku. Ini merupakan sebuah jasa yang mengangkat aku lebih tinggi dari­padanya, memungkinkan aku menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian! Dan gadis ini? Mutiara Hitam? Ha-ha-ha, dia cantik. Kudengar Bouw Lek Couwsu pa­ling suka gadis cantik, kebetulan sekali karena aku tidak membawa oleh-oleh untuknya. Hadiah seperti ini tentu akan menyenangkan pemimpin orang-orang Hsi-hsia. Ha-ha-ha-ha!”

Demikianlah, dengan girang Siauw-bin Lo-mo lalu memimpin Cap-ji-liong dan beberapa orang pentolan perampok dan bajak yang menjadi anak buahnya untuk mengunjungi, pimpinan pendeta jubah merah, yaitu Bouw Lek Couwsu karena ia sudah mendengar akan sepak terjang pendeta itu yang sudah membas­mi Beng-kauw dan ingin bersahabat untuk memperkuat kedudukannya. Tokoh yang sudah berhasil membunuh Beng-kauw patut dijadikan sahabat kalau dapat di­tarik untuk menguntungkan kedudukannya, sebaliknya bila perlu juga patut dibasmi kalau membahayakan! Dibantu oleh Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan para kepala bajak dan rampok, tentu saja ia tidak takut menghadapinya andaikata Bouw Lek Couwsu memperlihatkan sikap tidak bersahabat.

Siauw-bin Lo-mo yang belum menge­nal watak Bouw Lek Couwsu dan para pendeta jubah merah dari Tibet, juga tidak menduga bahwa di situ terdapat pula Siang-mou Sin-ni orang terakhir Thian-te Liok-kwi, dengan hati besar memimpin rombongannya mendaki lereng Gunung Kao-likung-san. Akan tetapi ke­tika rombongan tiba di padang rumput yang berada di lereng itu, hari sudah mulai gelap. Karena tidak mengenal daerah ini, Siauw-bin Lo-mo memerintah­kan rombongannya berhenti.

“Besok kita lanjutkan pendakian ke puncak.” katanya.

Akan tetapi keadaan yang sunyi dan aman itu segera terganggu oleh suara lengking tinggi yang datangnya dari ba­wah puncak, lengking aneh yang meng­ingatkan Siauw-bin Lo-mo akan wanita muda yang pernah datang menemui para tokoh Bu-tek Ngo-sian di puncak Cheng­liong-san. Lengking gadis baju merah yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni. Salahkah pendengarannya? Akan teta­pi kakek ini tidak sempat memikirkan hal itu karena tiba-tiba terdengar pekik kesakitan dan kemarahan di antara anak buahnya. Di antara sinar obor yang dipa­sang anak buahnya, ia melihat beberapa orang perampok roboh dan kini tampaklah olehnya hujan anak panah menyerang mereka.

Siauw-bin Lo-mo kaget sekali. Ia melompat ke depan, menyampok anak­-anak panah yang menyambar ke arahnya, mengerahkan khikang dan berseru keras.

“Tahan anak panah! Di sini aku, Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, memimpin Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang dan orang-orang gagah dari hutan sungai, bermaksud mengun­jungi Bouw Lek Couwsu pemimpin pasu­kan Hsi-hsia!”

Suara Siauw-bin Lo-mo amat nyaring dan bergema di empat penjuru. Seketika terhentilah hujan anak panah dan tiba-tiba tampak api obor yang banyak sekali menerangi tempat itu muncul puluhan orang pasukan Hsi-hsia, pasukan panah yang dipimpin oleh belasan orang hwesio berjubah merah yang berwajah keren. Tempat itu sudah terkurung! Seorang di antara mereka, pendeta jubah merah, melangkah maju dan berkata kepada Siauw-bin Lo-mo, suaranya parau besar dan logatnya kaku.

“Nama Siauw-bin Lo-mo sudah ter­kenal, akan tetapi belum cukup besar untuk berlancang datang membawa anak buah ke wilayah kami tanpa ijin. Apakah gerangan niat yang dikandung di hati Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya?”

“Ha-ha-heh-heh, bagus sekali kalau orang telah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo! Kalau kami datang dengan maksud hati buruk, tentu tidak datang secara terang-terangan. Aku da­tang dengan hati terbuka, ingin bersaha­bat dengan Bouw Lek Couwsu dan mem­bawa hadiah dara jelita untuk Couwsu!”

“Tidak ada perintah dari Couwsu untuk menerima tamu. Kalau ada hadiah, boleh serahkan kepada kami dan selanjutnya kami harap Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya suka meninggalkan gunung seba­gai sahabat.”

“Ha-ha-ha-ha! Para pendeta Tibet benar-benar tidak memandang mata ke­pada Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi kare­na kedatanganku memang bukan berniat buruk, biarlah kalian boleh membawa gadis jelita yang menjadi tawanan di dalam kerangkeng itu untuk dipersembah­kan kepada Bouw Lek Couwsu diiringi hormatku. Juga harap disampaikan bahwa aku Siauw-bin Lo-mo mohon berjumpa besok pagi.”

Pendeta jubah merah itu kelihatan ragu-ragu. Betapapun juga, ia tidak be­rani memandang ringan Siauw-bin Lo­-mo yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang tokoh sakti dan agaknya permintaannya ini cukup pantas untuk dipertimbangkan. Kalau ia pergi mengha­dap Bouw Lek Couwsu, menyampaikan persembahan berupa seorang gadis muda cantik yang memang ia tahu menjadi kesukaan ketuanya dan mohon persetu­juannya menerima permintaan Siauw­-bin Lo-mo yang sudah merendahkan diri untuk menghadap, agaknya ketuanya tak­kan marah.

“Hemm, asal cianpwe suka berjanji akan menjaga agar anak buahmu tidak menimbulkan kekacauan dan tidak pergi dari tempat ini, agaknya kami akan da­pat menerima permintaan yang layak ini.” katanya dan ia pun sudah menyebut cianpwe kepada Siauw-bin Lo-mo sebagai tanda bahwa ia mengakui kakek itu se­bagai seorang sakti.

Lega hati Siauw-bin Lo-mo. Setelah melakukan perjalanan jauh tentu saja ia cukup cerdik dan sabar untuk mengalah dan sedikit merendah terhadap pemimpin pendeta-pendeta Tibet yang sekaligus juga merupakan pimpinan bala tentara Hsi-hsia yang kuat itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras yang didahului dengan lengkingan tinggi.

“Tidak mungkin! Para Lo-suhu jangan kena dikelabuhi oleh kakek kurus kering yang jahat ini! Namanya Siauw-bin Lo-mo, mukanya tersenyum-senyum akan tetapi hatinya busuk dan palsu!”

Siauw-bin Lo-mo terbelalak meman­dang dengan penuh kemarahan. Ternyata yang muncul adalah gadis berpakaian merah, murid Siang-mou Sin-ni yang ber­nama Po Leng In. Tampak cantik dan gagah di bawah sinar banyak obor, tangannya memegang pedang dan rambut­nya yang hanya tinggal separuh itu ter­gantung di depan dada.

“Po-kouwnio (Nona Po), apakah yang kaumaksudkan dengan ucapan itu?” tanya hwesio tinggi besar muka merah.

“Maksudku, dia ini adalah orang jahat yang tidak mempunyai niat baik. Kalau berniat baik, masa ia membawa-bawa pasukan? Nah, para Lo-suhu dengar baik­baik, aku akan mengajukan beberapa per­tanyaan kepadanya.” Setelah berkata demikian, Po Leng In melangkah maju mendekati Siauw-bin Lo-mo sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung kakek itu.

“Heh, Siauw bin Lo-mo, kalau kau benar-benar sebagai seorang tokoh besar dan maksud kedatanganmu baik-baik, tentu kau akan menjawab semua perta­nyaanku dengan sebenar dan sejujurnya. Bukankah engkau pernah bertemu dengan aku?”

“Benar, pernah aku melihat Nona di Cheng-liong-san.” jawab Siauw-bin Lo-mo, sedikit pun tidak khawatir karena ia memang tidak tahu akan hubungan guru nona ini dengan Bouw Lek Couwsu.

“Bagus, engkau ternyata masih cukup berani untuk menjawab sebetulnya. Bu­kankah engkau bersama dengan Thai-lek Kauw-ong, Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, dan seorang tokoh lain lagi membentuk apa yang kalian sebut Bu-tek Ngo-sian?”

Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk bangga. “Memang benar dan akulah orang pertamanya!”

“Bagus! Sekarang katakan, ketika aku muncul di sana mewakili Guruku untuk menghadiri pertemuan puncak, engkau melihat Bu-tek Siu-lam menangkapku dan menghinaku, menghina nama baik Guruku, dan hampir membunuhku. Betulkah? Dan engkau sama sekali tidak mencampuri urusan itu malah engkau lalu pergi, be­tul?”

Siauw-bin Lo-mo masih tidak menger­ti apa artinya semua itu dan apa hu­bungan dengan Bouw Lek Couwsu serta para hwesio jubah merah ini. Namun sebagai seorang cerdik, kini melihat munculnya Po Leng In di antara para hwesio jubah merah, ia dapat menduga tentu ada hubungan baik di antara mereka itu. Maka ia lalu menjawab.

“Yang menghinamu adalah Bu-tek Siu-lam, tidak ada sangkut pautnya dengan aku.”

“Bagus, tidak ada sangkut-pautnya kaubilang? Akan tetapi kau tadi mengaku bahwa Bu-tek Siu-lam adalah sekutumu, saudaramu dalam kelompok Bu-tek Ngo-sian! Engkau melihat Guruku diperhina nama baiknya tanpa bilang apa-apa, me­lihat aku hampir dibunuh kau pun tidak bilang apa-apa, sekarang masih berani datang dengan maksud baik?”

“Eh-eh, apa sangkut-pautnya dirimu atau Gurumu dengan kunjunganku pada Bouw Lek Couwsu? Aku....”

“Tutup mulutmu! Engkau tentu datang sebagai pembela Beng-kauw!” Setelah berkata demikian, serta-merta Po Leng In lalu menerjang maju, menyerang Siauw-bin Lo-mo dengan pedangnya yang bergerak cepat seperti kilat menyambar. Namun dengan mudah sekali Siauw-bin Lo-mo miringkan tubuh mengelak, bahkan sekali tangannya diulur ke depan, hampir saja gagang pedang di tangan Po Leng In dapat dirampasnya. Gadis itu berseru kaget dan meloncat mundur.

Sementara itu, para hwesio jubah me­rah yang mendengar betapa kakek ini berani menghina nama baik Siang-mou Sin-ni, tentu saja sudah menjadi terpe­ngaruh dan serentak mereka maju mener­jang dengan senjata mereka.

“Ha-ha-ha! Pendeta-pendeta Tibet mudah dibujuk murid Siang-mou Sin-ni!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak dan kedua tangan dan kakinya bergerak-gerak dengan ilmu silatnya yang dahsyat dan aneh. Dua orang hwesio yang ilmunya tinggi, setingkat dengan ilmu Po Leng In, kena ditendang mencelat.

Adapun Cap-ji-liong tokoh-tokoh Thian-liong-pang, para ketua bajak dan rampok, yang melihat betapa datuk me­reka diserang dan dikeroyok, segera ber­teriak marah dan menyerbu, diikuti anak buah mereka. Demikian pula dari pihak anak buah para pendeta, yaitu orang Hsi-hsia yang berani dan liar, sambil menge­luarkan teriakan lantang lalu maju menggerakkan senjata masing-masing. Terjadi­lah perang kecil yang dahsyat dan seru di antara sinar-sinar obor.

Di bawah pimpinan Siauw-bin Lo-mo yang sakti, Cap-ji-liong mengamuk hebat dan tentu akan banyak jatuh korban di tangan Siauw-bin Lo-mo dan dua belas orang naga itu kalau saja Siauw-bin Lo­-mo yang cerdik tidak cepat berseru nya­ring. “Hajar kerbau-kerbau dungu ini, akan tetapi jangan bunuh mereka!”

Inilah sebabnya maka orang-orang Hsi-hsia yang roboh, juga beberapa orang hwesio jubah merah, hanya terluka saja dan tidak sampai tewas. Melihat hebat­nya sepak terjang para penyerbu, seorang hwesio jubah merah cepat-cepat lari naik seperti terbang cepatnya, membuat pela­poran kepada Bouw Lek Couwsu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Lek Couwsu yang sedang bersenang-se­nang dengan Siang-mou Sin-ni di dalam kamar iblis betina ini, segera lari keluar ditemani Siang-mou Sin-ni.

Kwi Lan yang terkurung dalam ke­rangkeng tidak luka parah seperti Yu Siang Ki yang sampai lama berada dalam keadaan pingsan. Ketika sadar dan men­dapatkan kedua tangannya terbelenggu, demikian pada kedua kakinya, dan ia meringkuk di dalam kerangkeng, Kwi Lan cepat bangkit dan meneliti keadaannya. Ia melihat Siang Ki yang masih pingsan berada dalam kerangkeng lain, tak jauh dari kerangkeng yang mengurung dirinya, didorong-dorong oleh beberapa orang, dan dijaga oleh Cap-ji-liong.

Sekarang tahulah Kwi Lan mengapa Siang Ki mendesaknya untuk melarikan diri. Pemuda itu ternyata benar. Kalau ia menurut nasihatnya dan membebaskan diri, biarpun Siang Ki menjadi tawanan, namun dia sendiri masih bebas dan tentu akan dapat mencari akal untuk menolong Siang Ki. Akan tetapi, segala hal telah terlanjur, kini ia sendiri tertawan sehing­ga tidak saja Siang Ki tak dapat ditolong bahkan keselamatannya sendiri terancam malapetaka hebat.

Kwi Lan meneliti tubuhnya. Tidak terluka parah. Juga belenggu pada kaki tangannya, kalau ia mau, dapat ia patah­kan. Namun kerangkeng itu cukup kuat, dan terutama sekali di sekeliling kerang­keng terdapat tokoh-tokoh Cap-ji-liong. Tidak ada harapan baginya untuk melo­loskan diri pada waktu itu. Saking jengkelnya, Kwi Lan lalu memaki-maki di sepanjang jalan. Ia amat marah, akan tetapi pengalaman ini membuat ia ber­tambah kecerdikannya dan ia tidak mau melepaskan atau mematahkan belenggu kaki tangannya pada saat itu karena maklum bahwa hal ini akan percuma saja. Pedang Siang-bhok-kiam dan jarum hijau dalam kantung telah dirampas mu­suh dan di sekeliling kerangkeng terdapat Cap-ji-liong yang kosen ditambah banyak kepala bajak dan rampok. Ia menanti ke­sempatan dan saat baik untuk dapat meloloskan diri dengan berhasil sambil menolong Yu Siang Ki. Akan tetapi, alangkah kaget dan kecewa hatinya keti­ka di kaki Gunung Kao-likung-san, rom­bongan orang Thian-liong-pang ini berte­mu dengan Siauw-bin Lo-mo yang agak­nya memang sudah menanti di situ. De­ngan adanya kakek ini, lenyaplah harap­annya untuk dapat membebaskan diri!

Kwi Lan tadinya sudah merasa putus asa dan sudah mengambil keputusan untuk memberontak malam hari itu, nekat mengadu nyawa. Maka dapat diba­yangkan betapa tegang dan gembira hati­nya ketika ia melihat munculnya kesem­patan yang baik sekali yaitu pada waktu para pendeta jubah merah yang didahului oleh Po Leng In menyerang Siauw-bin Lo-mo dan anak buahnya.

Kwi Lan segera mengenal Po Leng In dan begitu pertempuran dimulai diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya. Sete­lah beberapa kali membetot dan menarik, putuslah belenggu kedua tangannya. Tan­pa banyak kesukaran, ia membebaskan kedua kakinya.

Seorang di antara kepala rampok yang ditugaskan menjaga kedua kerangkeng, berseru kaget dan cepat menghampiri kerangkeng Kwi Lan. Namun tiba-tiba lengan tangan Kwi Lan menyambar dari dalam kerangkeng dan tahu-tahu rampok itu sudah tercengkeram lengannya, dita­rik ke kerangkeng dan sebelum orang itu mampu berteriak, nyawanya sudah me­ninggalkan raganya karena pukulan Siang-tok-ciang yang amat dahsyat dari tangan kiri Kwi Lan.

Penjaga kerangkeng semua ada tujuh orang. Enam orang yang lain melihat be­tapa temannya tewas, cepat maju me­ngurung kerangkeng Kwi Lan dengan tombak di tangan. Biarpun Kwi Lan ber­kepandaian tinggi, namun bertangan ko­song menghadapi ancaman tombak, dari enam penjuru ini sedangkan dirinya masih dikurung di dalam kerangkeng, amat berbahaya juga. Pada saat itu, enam orang perampok ini sudah menjerit ke­sakitan dan roboh bergulingan. Kwi Lan hanya melihat sinar menyambar, sinar halus. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika melihat betapa muka seorang di antara perampok yang dite­rangi sinar obor, menjadi hijau ketika orang ini toboh. Itulah tanda bahwa dia terkena racun hijau dari senjata rahasia jarum. Jarum hijau, seperti senjata raha­sianya yang kantungnya kini dipegang seorang di antara para perampok, bersa­ma pedang Siang-bhok-kiam. Kini ia akan melihat orang yang telah membunuhi hwesio-hwesio dalam kelenteng memper­gunakan jarum-jarum hijau!

Ketika dua orang berkelebat datang mendekati kerangkeng, Kwi Lan terkejut. Yang seorang adalah laki-laki tua ber­jenggot, pakaiannya sederhana, usianya tentu sudah enam puluh tahun, tubuhnya kecil kurus, sepasang matanya bersinar lembut, punggungnya membawa pundi-pundi. Orang ke dua adalah seorang gadis amat cantik, senyumnya manis, rambut­nya digelung ke atas, usianya sebaya dengannya. Kedua orang ini memegang sebatang pedang dan di pinggang gadis itu terdapat, sebuah kantong kulit. Agak­nya gadis itulah yang tadi melepaskan jarum-jarum hijau yang merobohkan para penjaga kerangkeng.

Kwi Lan mengerahkan tenaganya, menghantam kerangkengnya sehingga ter­dengar suara keras dan jebollah kerang­keng itu.

“Engkau hebat sekali, Adik manis!” kata gadis itu melihat cara Kwi Lan menjebol kerangkengnya. Akan tetapi sambil berkata demikian ia menggunakan pedangnya untuk dibabatkan ke arah kerangkeng yang mengurung tubuh Yu Siang Ki.

“Jangan ganggu dia!” Kwi Lan me­nyambar cepat, mengirim pukulan Siang-tok-ciang ke arah gadis cantik itu. Hebat sekali serangannya dan karena hal ini ia lakukan dari belakang selagi gadis itu membabatkan pedangnya ke arah kerang­keng, maka tentu serangannya akan me­ngenai sasaran.

“Desss....!” Tubuh Kwi Lan terhuyung mundur dan lengannya terasa sakit. Ka­kek kurus yang menangkisnya itu pun terhuyung mundur dan berubah wajahnya ketika berseru, “Ihhh....! inikah Siang-tok-ciang? Keji sekali....!”

Akan tetapi Kwi Lan tidak mempe­dullkan kakek ini karena perhatiannya tertuju kepada keselamatan Yu Siang Ki yang ia sangka akan dicelakakan gadis cantik itu. Ketika ia membalikkan tubuh memandang, ternyata dugaannya keliru karena kini gadis itu telah membabat? beberapa orang hwesio jubah merah putus kerangkeng dan bahkan sudah me­lepaskan belenggu tangan Yu Siang Ki.

“Siapa kalian? Mau apa....?” tanyanya gagap.

“Nona, kami datang menolong kalian. Selagi ada kesempatan tidak lekas lari mau tunggu apalagi? Goat-ji (Anak Goat) kaujaga dibelakangku, biar kugendong dia!”

Tanpa pedulikan Kwi Lan lagi, laki­-laki kurus itu lalu melompat ke dekat kerangkeng Siang Ki, menyambar tubuh pemuda itu dan memanggulnya, kemudian melompat hendak lari. Gadis cantik yang disebut Goat itu pun dengan pedang ter­hunus melompat di belakangnya, melindungi kakek yang menggendong pemuda itu.

Kwi Lan cepat mengambil pedang dan kantong jarumnya dari tubuh penjaga yang sudah menjadi mayat, kemudian berpaling menonton pertempuran yang berlangsung hebat. Ia melihat betapa Po Leng In terdesak hebat biarpun gadis ini mengeroyok Siauw-bin Lo-mo dengan beberapa orang Hwesio jubah merah. Timbul keinginan hatinya untuk memban­tu Po Leng In karena dianggapnya bahwa munculnya Po Leng In merupakan pertolongan baginya, membuka kesempatan baginya untuk membebaskan diri. Akan tetapi ia teringat akan keselamatan Yu Siang Ki. Pemuda ini dalam keadaan luka-luka parah, kini dibawa lari dua orang yang sama sekali tak dikenalnya. Bagaimana kalau pemuda itu terjatuh di tangan musuh? Berpikir demikian, tanpa banyak cakap lagi Kwi Lan lalu melom­pat dan lari mengejar bayangan dua orang yang membawa lari tubuh Yu Siang Ki.

***

“Tahan, senjata....!”

Bentakan ini keras luar biasa, seakan­-akan menggetarkan Gunung Kao-likung-san. Apalagi bagi anak buah Siauw-bin Lo-mo karena sambil membentak, Bouw Lek Couwsu melakukan gerakan mendorong sehingga empat orang anggauta Cap-ji-liong terpental dan terhuyung-huyung mundur hanya oleh hawa pukulan yang amat kuat, keluar dari dorongannya tadi.

Para hwesio jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia cepat menarik senjata masing-masing dan melompat mundur. Siauw-bin Lo-mo juga memberi perintah kepada anak buahnya untuk menghentikan pertandingan.

Mereka berdiri saling berhadapan, saling pandang di bawah sinar obor yang amat banyak, Siauw-bin Lo-mo melihat seorang hwesio tinggi besar berkaki satu, memegang sebatang tongkat kuningan yang amat besar dan berat dengan ke­pala tongkat berukirkan patung Buddha yang amat indah. Di dekat kakek ini berdiri seorang wanita yang amat cantik dan garang, berambut terurai panjang. Wanita ini sukar ditaksir berapa usianya, bibirnya manis tersenyum-senyum akan tetapi matanya membuat orang berdiri bulu tengkuknya karena sinar mata itu amat keji dan ganas. Melihat wanita ini jantung Siauw-bin Lo-mo berdebar saking kagetnya karena biarpun selamanya ini belum pernah bertemu dengan wanita ini, sekarang ia dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Siang-mou Sin-ni, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah terbasmi habis itu. Ia memang mende­ngar kabar bahwa hanya Siang-mo Sin-ni seorang yang masih hidup di antara Thian-te Liok-kwi, akan tetapi menurut berita, wanita sakti ini sudah mengasing­kan diri di pulau kosong di laut selatan. Kini mengertilah Siauw-bin Lo-mo meng­apa Po Leng In bersekutu dengan hwesio jubah merah, kiranya gurunya berada di tempat ini, bersama Bouw Lek Couwsu!

“Ha-ha-ho-ho-ho! Terima kasih bahwa Bouw Lek Couwsu berkenan keluar sen­diri menyambut. Sungguh merupakan kehormatan besar bagiku. Tidak kelirukah dugaanku bahwa sahabat yang perkasa ini adalah Bouw Lek Couwsu, pemimpin pasukan Hsi-hsia yang gagah berani?” Siauw-bin Lo-mo menegur sambil mende­kati Bouw Lek Couwsu.

Bouw Lek Couwsu mengerutkan alis­nya yang tebal, lalu matanya menyapu keadaan di sekeliling tempat itu. Ia me­lihat beberapa orang anak buahnya ter­luka dan dirawat teman-temannya, akan tetapi tak seorang puntewas. Ia meng­angguk-angguk dan kembali memandang Siauw-bin Lo-mo sambil berkata, meng­gerakkan tongkat kuningan itu di depan dada.

“Pinceng pernah mendengar nama besar Siauw-bin Lo-mo. Apakah Lo-mo mengandalkan kepandaian tidak memandang mata kepada pinceng (aku) dan malam ini sengaja hendak mencoba ke­pandaianku?”

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sama sekali tidak. Salah mengerti.... salah mengerti! Mana bisa aku begitu tak tahu diri membentur gunung? Aku Siauw-bin Lo-mo selamanya mengenal orang gagah. Aku sengaja da­tang untuk berkenalan dan bersahabat, dan sebagai bukti kemauan baikku, aku datang membawa hadiah seorang dara jelita yang liar, bukan sembarangan dara berjuluk Mutiara Hitam, untuk dipersem­bahkan kepada Bouw Lek Couwsu....“

Pada saat itu Ma Kiu sudah lari menghampiri Siauw-bin Lo-mo dan ber­kata, suaranya gugup.

“Locianpwe...., dalam keributan.... dua orang tawanan telah lolos....!”

“Apa?” Sekali ini Siauw-bin Lo-mo lupa ketawanya dan mukanya kelihatan marah sekali. “Goblok kau! Hayo lekas kejar sampai dapat!” Ia lalu menjura kepada Bouw Lek Couwsu setelah meli­hat Cap-ji-liong berkelebat pergi untuk mengejar tawanan yang lolos, menjura dan berkata, “Maaf, Couwsu, aku harus menangkap kembali tawanan itu dan mempersembahkan kepadamu sebagai bukti niat baikku. Besok aku naik untuk menghadap.” Tanpa menanti jawaban, Siauw-bin Lo-mo lalu berkelebat pergi menyusul anak buahnya.

“Hemm, iblis tua itu mencurigakan!” kata Siang-mou Sin-ni.

“Dia, memang jahat dan sama sekali tidak boleh dipercaya!” kata Po Leng In. “Sudah teecu (murid) laporkan bahwa dia adalah seorang di antara Bu-tek Ngo­sian yang membiarkan saja ketika teecu dihina di Cheng-liong-san.”

“Hemm, harus diberi hajaran!” Siang­-mo Sin-ni sudah siap untuk mengejar ke­tika tiba-tiba terdengar suara tanduk ditiup dari puncak. Itulah tanda rahasia yang digunakan oleh pasukan Hsi-hsia untuk memberi tanda bahaya.

“Agaknya di puncak terjadi hal yang tidak baik. Marilah, Kim Bwe, kita lihat ke atas. Urusan Siauw-bin Lo-mo kita tunda sampai besok, kita lihat apa kehendaknya besok.”

Ketika dua orang sakti itu dengan gerakan cepat laksana terbang berkelebat ke arah puncak, wajah Po Leng In men­jadi pucat. Ia dapat menduga apa makna­nya tanda bahaya yang ditiup orang di puncak itu. Tentu Kiang Liong sudah turun tangan dan agaknya ketahuan pen­jaga. Dengan jantung berdebar tak enak ia lalu berlari cepat pula menyusul guru­nya dan Bouw Lek Couwsu, mendahului para pendeta jubah merah yang juga ber­lari-lari naik.

Dugaan Po Leng In memang tepat. Kiang Liong yang ditinggalkan wanita ini di lereng gunung itu, menanti sampai cuaca menjadi gelap dan tepat seperti yang dipesankan Po Leng In. Ia lalu mendaki ke puncak melalui lereng ber­batu. Gerakannya cepat sekali akan te­tapi ia berlari naik dengan amat hati-hati dan waspada.

Begitu tiba di puncak, hatinya girang melihat keributan dan melihat para pendeta baju merah berlari-larian keluar masuk pintu gerbang yang terjaga kuat oleh orang-orang Hsi-hsia. Kemudian dari tempat persembunyiannya di luar tembok, ia melihat pula pendeta baju merah yang buntung kaki kirinya berkelebat cepat keluar tembok bersama seorang wa­nita cantik berambut panjang. Ia dapat menduga bahwa tentu mereka inilah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin­-ni. Biarpun hanya mendengar keterangan dari Po Leng In, namun kini melihat ge­rakan mereka berdua demikian cepat, ia tahu bahwa dua orang itu amat sakti. Maka legalah hatinya ketika malihat dua orang ini berlari turun diikuti beberapa orang pendeta baju merah dan sepasukan orang-orang Hsi-hsia. Ia segera meloncat ke atas tembok pada saat peronda dan penjaga sedang lengah karena keributan yang terjadi di bawah puncak. Makin terasa olehnya jasa Po Leng In, karena ia maklum bahwa andaikata tidak terjadi keributan di bawah puncak, andaikata Po Leng In tidak sengaja memancing ke­ributan dan memancing keluar dua orang sakti itu serta menimbulkan kesibukan di puncak, akan sukarlah baginya untuk dapat melompati tembok yang selalu terjaga rapat itu.

Gerakan Kiang Liong memang amat cepat sehingga tubuhnya sukar diikuti pandangan mata orang biasa. Ketika ia meloncat ke dalam dan bergerak menye­linap di antara bangunan-bangunan di situ, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan putih saja. Betapapun juga, ketika ia tiba di bangunan terbesar di tengah-tengah kelompok bangunan itu, seperti yang ditunjuk oleh Po Leng In, ia menghadapi kesulitan. Bangunan ini terjaga, baik di bagian depan, kanan kiri, belakang maupun atas! Dengan hati-hati sekali Kiang Liong mengintai dan menga­tur siasat. Agaknya bangunan besar-besar yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwsu dan para selirnya, juga termasuk tempat kediaman Siang-mou Sin-ni, mem­punyai penjaga-penjaga tetap. Di depan terjaga empat orang, di belakang, kanan dan kiri masing-masing tiga orang dan di atas genting tampak menjaga dua orang. Dari semua penjaga itu, agaknya penjaga di atas genteng merupakan penjaga ber­kepandaian tinggi karena mereka adalah dua orang pendeta jubah merah. Adapun penjaga lain adalah orang-orang Hsi-hsia tinggi besar.

Kiang Liong lalu mengumpulkan bebe­rapa buah batu kecil, kemudian menye­linap ke sebelah kiri bangunan itu. Be­berapa detik kemudian, tiga orang penja­ga di sebelah kiri rumah besar itu roboh dan tak sempat mengeluarkan sedikit pun suara karena tengkuk mereka disambar batu-batu kecil yang membuat mereka roboh pingsan tanpa mengetahui sebab­nya. Cepat bagaikan bayangan setan, Kiang Liong melompat keluar dan sekaligus mengempit tiga tubuh penjaga itu dibawa ke tempat gelap, ditotok lumpuh dan disembunyikan di bawah gerombolan pohon kembang. Berturut-turut ia lakukan hal seperti pada penjaga di kanan, depan dan belakang sehingga dalam waktu be­berapa menit saja tiga belas orang Hsi-hsia yang menjaga rumah itu sudah rebah tumpang-tindih dalam keadaan pingsan di bawah pohon.

Tepat seperti dugaan Kiang Liong, dua orang penjaga di atas rumah, yaitu dua orang pendeta jubah merah, ternyata adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, tidak seperti tiga belas orang Hsi-hsia yang hanya kuat saja. Buktinya, sambitan kerikil, dari tangan Kiang Liong itu tidak merobohkan dua orang hwesio jubah merah ini, hanya membuat mereka terhuyung-huyung saja di atas genteng. Kiang Liong tidak mau memberi kesempatan. Tubuhnya berkele­bat cepat melayang naik ke atas gen­teng. Dua orang pendeta jubah merah yang masih belum pulih kagetnya, me­nyambutnya dengan usaha perlawanan.

Namun sia-sia, tingkat kepandaian mere­ka masih terlalu rendah untuk menan­dingi pemuda sakti ini. Dua kali tangan Kiang Liong bergerak dan mereka sudah tertotok lumpuh dan di saat lain tubuh mereka sudah dilempar di tumpukan tu­buh para penjaga lain dalam keadaan pingsan dan lumpuh.

Akan tetapi, Kiang Liong tertegun dan mau tidak mau harus mengagumi kesetiaan dan kegagahan para penjaga dan dua orang pendeta itu karena beta­papun dipaksa dan diancamnya, ketika ia mencari keterangan tentang dua orang gadis tawanan, mereka itu tetap membungkam! Terpaksa Kiang Liong lalu mencari sendiri, menyelinap ke dalam bangunan besar itu.

Ketika empat orang pelayan wanita menyambut munculnya dengan mata ter­belalak ketakutan, Kiang Liong cepat mengangkat tangan dan berkata, “Aku tidak akan menyusahkan kalian, aku da­tang untuk menolong dua orang tawanan, dua orang gadis yang ditawan oleh Bouw Lek Couwsu. Beritahu di mana mereka dan aku akan membawa pergi mereka dari sini dengan segera.”

Dengan tubuh gemetar empat orang pelayan itu berlutut dan saking takutnya tak seorang pun dari mereka dapat men­jawab! Dan pada saat itu kembali bermunculan wanita-wanita pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik, diam-diam Kiang Liong mengeluh dalam hatinya. Tidak dirobohkan berbahaya, untuk me­nyerang mereka ia tidak tega karena mereka itu adalah wanita-wanita lemah!

“Hayo lekas beritahukan di mana adanya dua orang gadis tawanan itu. Kalau tidak, terpaksa aku bunuh kalian!” ia sengaja mengancam.

“Ampun.... mereka.... mereka di sana.... di kamar belakang....!” Seorang pelayan akhirnya dapat menjawab.

“Lekas bawa aku ke sana!”

Pelayan itu terhuyung-huyung keta­kutan, akan tetapi dapat berjalan menuju ke ruang belakang, diikuti oleh Kiang Liong dari belakang. Akhirnya mereka tiba di depan sebuah kamar yang pintu­nya bercat merah, daun pintunya tertu­tup. Dengan pengerahan tenaganya, sekali dorong saja daun pintu itu terbuka dan.... Kiang Liong mengeluarkan suara mengu­tuk ketika ia melihat Siang Kui dan Siang Hui, dua orang gadis cucu Ketua Beng-kauw yang cantik itu, terbelenggu di atas pembaringan dalam keadaan te­lanjang! Melihat tumpukan pakaian mere­ka di atas pembaringan, Kiang Liong cepat meloncat dekat dan sebentar saja semua belenggu yang mengikat dua orang gadis itu sudah dipatahkan.

“Lekas pakai pakaian kalian!” bisiknya sambil membalikkan tubuh, tidak mau melihat kakak beradik yang telanjang itu. Siang Kui dan Siang Hui dengan muka merah sekali cepat-cepat mengenakan pakaian mereka.

“Untung kau datang tepat pada wak­tunya, Liong-twako.” kata Siang Kui dengan suara terharu.

“Terima kasih, Twako. Mari sekarang kita hajar sampai mampus monyet-mo­nyet gundul itu!” seru Siang Hui penuh kemarahan.

Kiang Liong menoleh menghadapi mereka. Mendengar ucapan mereka, me­lihat sikap dan keadaan mereka, hatinya lega. Ia maklum bahwa kedatangannya belum terlambat.

“Siauw-moi, jangan bicara tentang menghajar mereka. Jumlah mereka ba­nyak sekali, yang paling penting seka­rang, di mana adanya Han Ki adik ka­lian?”

Barulah enci adik itu teringat dan mereka menjadi bingung. “Kami berdua begitu terculik, selalu dikeram ke dalam kamar ini dan tak seorang pun di antara pelayan ada yang mau membuka mulut memberi tahu di mana adanya Han Ki. Mari kita cari.” kata Siang Kui penuh semangat.

Kiang Liong menggeleng kepala, lalu menarik tangan mereka keluar dari da­lam kamar itu, terus ke ruang depan. Di ruangan ini terdapat rak senjata dan ia menyuruh kakak beradik itu memilih senjata. Siang Kui dan Siang Hui memilih sebatang pedang dan begitu tangan me­reka memegang senjata, dua orang nona ini kelihatan bersemangat sekali. Mereka sudah gatal tangan untuk mengamuk dan mengadu nyawa dengan orang yang telah membasmi keluarga mereka dan bahkan telah menculik mereka, nyaris membunuh mereka.

Melihat sikap ini, Kiang Liong ber­bisik. “Lekas kalian lari dari sini, ambil jalan dari kiri bangunan ini. Di sana ada sebatang pohon, kalian loncati pagar tembok melalui pohon itu dan melarikan diri keluar. Aku akan mencari Han Ki baru menyusul kemudian....“

“Mana bisa begini?” Siang Hui men­cela. “Aku tidak mau lari, aku akan mengadu nyawa dengan monyet-monyet gundul itu!”

“Biarkan kami berdua membantumu, Twako.” Siang Kui juga berkata nadanya mendesak.

“Ji-wi Siauw-moi harap jangan salah mengerti. Keadaan di sini berbahaya sekali dan amat kuat. Kalau tidak kebe­tulan ada musuh menyerbu sehingga semua tokoh di sini terpancing keluar, aku sen­diri agaknya belum tentu dapat menolong kalian dengan mudah. Kalau Han Ki sudah dapat kutolong tentu aku ikut me­larikan diri bersama kalian. Akan tetapi sekarang aku harus mencari Han Ki lebih dulu.”

“Justeru untuk adik kami itu kami harus bantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa!” kata Siang Hui.

Kiang Liong habis sabar. “Kalian harus mengerti, kepandaian mereka he­bat, aku sendiri belum tentu dapat menang menandingi mereka, masih harus melindungi kalian, berarti kita semua berempat akan binasa semua.”

“Kami tidak takut mati!” Siang Kui dan Siang Hui berseru saling mendahului.

Kiang Liong melotot. “Kalau aku bekerja sendirian, lebih besar harapan dapat menolong adikmu. Kalian hendak menggangguku? Ingin semua ditangkap dan semua mati sehingga tidak akan ada orang yang membalas kematian Ayah Bunda kalian? Masih tidak cepat-cepat pergi?”

Dua orang gadis itu seketika menjadi pucat wajahnya, saling pandang kemudian bagaikan dua ekor ayam digebah, mereka meloncat keluar dan menghilang di dalam gelap. Hanya terdengar mereka mening­galkan isak tertahan. Kiang Liong terse­nyum geli. “Dasar puteri-puteri Paman Bu Sin gagah perkasa dan berani mati.” Ia memuji, hatinya perih teringat akan kematian Kam Bu Sin dan Isterinya yang begitu menyedihkan. Segera ia teringat akan Kam Han Ki, maka cepat ia me­nyelinap keluar dari bangunan besar itu dan mendatangi para pelayan wanita yang berkumpul di sebuah ruangan de­ngan tubuh menggigil dan muka pucat.

“Aku tidak akan ganggu kalian. Akan tetapi kalian harap memberi tahu, di mana adanya Kam Han Ki, anak laki-­laki kecil yang diculik dan dibawa ke sini sebagai tawanan!”

Setelah ribut bicara sendiri akhirnya seorang pelayan berkata. “Kami tidak tahu orang gagah. Yang menahannya adalah Siang-mou Sin-ni....“

“Di mana kamar Siang-mou Sin-ni?”

Pelayan itu hanya dapat menudingkan telunjuknya pada bangunan sebelah kanan bangunan besar itu. Tampak bayangan putih berkelebat dan pemuda baju putih itu sudah lenyap dari depan mata mere­ka. Para pelayan itu cepat berlutut dan saling peluk penuh rasa takut. Akan te­tapi dua orang di antara mereka lalu berlari keluar, biarpun kaki mereka menggigil namun akhirnya mereka sampai juga ke tempat penjaga. Di sini dengan suara terputus-putus mereka lalu men­ceritakan tentang serbuan pemuda pakaian putih.

Ributlah para penjaga, dan para pen­deta jubah merah lalu membunyikan tan­da tiupan tanduk untuk memberi tahu para tokoh yang sedang turun puncak menghadapi lawan. Sebagian pula dengan senjata di tangan lalu menyerbu, lari ke arah bangunan yang menjadi tempat tinggal Siang-mou Sin-ni.

Kiang Liong yang berhasil memasuki tempat tinggal Siang-mou Sin-ni, kaget mendengar suara tiupan tandukitu. Ia maklum bahwa bahaya mengancamnya, bahwa suara itu merupakan tanda bahaya dan persiapan pihaklawan. Ia harus se­gera menemukan Han Ki. Rumah itu kosong, agaknya para pelayan sudah lari keluar. Ia cepat menuju ke belakang. Biasanya, tempat tawanan adalah di ba­gian belakang. Kamar-kamar di belakang dimasukinya, yang pintunya tertutup di­dobraknya, namun ia tidak dapat mene­mukan anak itu.

“Han Ki....! Kam Han Ki....!”

Teriakan panggilan berkali-kali ini menggema di sekitar puncak karena sua­ra Kiang Liong didorong oleh khi-kang yang amat kuat. Namun tidak ada ja­waban. Tentu saja Han Ki tak dapat menjawab karena pada saat itu Han Ki menggeletak di dalam kamar Siang-mou Sin-ni dalam keadaan pingsan!

Suara tapak kaki banyak orang me­nyatakan bahwa rumah itu telah terku­rung. Ia lalu melayang keluar dari dalam rumah melalui jendela. Dalam sekejap mata, belasan buah senjata tajam me­nyambutnya seperti hujan.



bersambung 6...................

0 komentar:

Posting Komentar