Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [2]

menanti sampai peronda lewat, kemudian cepat sekali ia menggunakan pedangnya membongkar tembok ! Pedangnya
bukanlah pedang biasa, melainkan pedang pusaka, pedang buatan daerah Go-bi, terbuat daripada logam baja biru
dan oleh ayahnya diberi nama Toa-hong-kiam (Pedang Angin Badai), karena Pat-jiu Sin-ong memberikan pedang itu
kepada puterinya ketika menurunkan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut. Pedang baja biru ini dapat dipergunakan untuk
memotong besi dan baja. Apalagi tembok yang terbuat daripada bata itu, dengan mudah saja dapat ditembusi
Toa-hong-kiam. Belum lima menit, Lu Sian telah berhasil membuat lubang yang cukup dimasuki tubuhnya. Di lain
saat tubuhnya berkelebat menyelinap masuk dan bagaikan seekor kucing ia sudah berloncatan cepat menghilang di
antara kegelapan malam, mendekam di tempat gelap sambil memperhatikan keadaan di dalam benteng.
Benteng itu cukup luas, kiranya cukup untuk menampung ribuan orang bala tentara. Di dalamnya selain terdapat
lapangan luas untuk berlatih para perajurit, juga terdapat bangunan-bangunan kecil berjajar yang agaknya
menjadi tempat bermalam para perajurit. Ada pula bangunan terbuka yang dipakai sebagai dapur, lalu
kandang-kandang kuda dan gudang-gudang perlengkapan. Di tengah sendiri terdapat empat buah bangunan besar yang
bentuknya kembar. Tak salah lagi, di sinilah tempat para perwiranya. Maka tanpa ragu-ragu Lu Sian lalu
berindap-indap menghampiri empat bangunan ini karena memang kedatangannya ini terdorong oleh rasa hatinya ingin
mengintai dan menyelidiki keadaan Jenderal Muda Kam Si Ek ! Di sudut lubuk hatinya memang ia tak pernah
melupakan Kam Si Ek, pemuda gagah perkasa dan ganteng yang pernah menggetarkan hatinya di atas panggung adu
ilmu. Sayangnya pemuda itu tidak mau melayaninya mengadu kepandaian. Namun sikapnya yang gagah dan keras,
wajahnya yang membay! an! gkan kejantanan, telah menggerakkan hati Lu Sian sehingga ketika dalam perjalanan ini
ia mendengar disebutnya nama Kam Si Ek, sekaligus bangkit hasrat hatinya untuk menemuinya dan mempelajari
keadaannya, kalau perlu mencoba kepandaiannya !
Melihat bendera tanda pangkat jenderal di depan sebuah di antara empat gedung, hati Lu Sian berdebar. Ia
menyelinap ke belakang gedung ini, kemudian menggerakkan tubuhnya melayang naik ke atas genteng sebelah
belakang, dan dengan hati-hati ia merayap di atas genteng menuju ke bagian tengah. Ketika ia melihat sinar api
penerangan yang besar dan mendengar suara orang, ia membuka genteng dan mengintai ke bawah. Betapa girang
hatinya ketika ia melihat orang yang dicari-carinya, yaitu Kam Si Ek sendiri, berada di dalam sebuah ruangan
besar di bawahnya ! Biarpun seorang jenderal, Kam Si Ek ternyata berpakaian biasa, mungkin karena tidak sedang
dinas. Pakaiannya serba biru dan rambutnya digelung ke atas, diikat sutera kuning. Tubuhnya yang tegap itu
kelihatan gagah dan penuh tenaga. Ia duduk menghadapi meja besar yang penuh hidangan
Yang membuat hati Lu Sian kaget dan tak senang adalah ketika ia melihat tiga orang gadis cantik yang pernah di
lihatnya. Kini tiga orang gadis itu mengenakan pakaian yang lebih mewah lagi, biarpun warna pakaiannya tetap
sama, yaitu yang pertama serba merah, yang kedua serba kuning dan yang ketiga serba hijau. Rambut mereka
digelung rapi dan dihias emas permata mahal. Muka mereka dilapisi bedak, bibir dan pipi ditambah warna merah
dan bau minyak wangi mereka sampai tercium oleh Lu Sian yang mendekam di atas genteng !
Pada saat itu, dengan sikap gagah dan suara tegas Kam Si Ek berkata. Tidak bisa ! Siauwte (aku) bukanlah
seorang penghianat ! Sejak dahulu, nenek moyangku adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, yang
rela mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa, yang menduduki kedudukan tinggi di dalam kentaraan tanpa
pamrih untuk pribadinya, melainkan semata untuk berbakti kepada negara dan bangsa ! Kedatangan Sam-wi Lihiap
(Pendekar Wanita Bertiga) saya terima dengan penuh kehormatan, akan tetapi kalau Sam-wi mengajak siauwte
sekongkol dengan Cu Bun, terpaksa saya menolak keras!
Dengan suara manis sekali Si Pakaian Merah yang tertua di antara mereka bertiga, berkata halus, Kami bertiga
Enci Adik sudah cukup mengenal kegagahan dan kesetiaan keluarga Kam. Kami mana berani membujuk Goan-swe
(Jenderal) untuk bersekongkol dengan penghianat atau pemberontak ? Akan tetapi, bukankah bekas Gubernur Cu Bun
kini telah menjadi raja dari kerajaan Liang yang sudah berdiri belasan tahun lamanya ? kini terjadi perebutan
kekuasaan, dan raja tidak dapat membiarkan mereka yang memisahkan diri, tidak mau tunduk kepada kekuasaan
kerajaan baru, yaitu Kerajaan Liang yang menggantikan Kerajaan Tang. Karena itu, kami mengajak kepada Goan-swe
untuk berjuang bersama, menghalau para pemberontak, terutama sekali bangsa buas dari luar yang hendak
menggunakan kesempatan ini untuk mengganas.
Maaf, siaute terpaksa membantah, memang benar bahwa Gubernur Cu Bun berhasil menumbangkan Kerajaan Tang belasan
tahun lalu. Akan tetapi, berhasil atau tidaknya sebuah kerajaan baru tergantung daripada dukungan rakyat. Dan
untuk mendapat dukungan rakyat, terutama sekali rakyat harus diberi kehidupan yang tentram, penghasilan yang
wajar dan sumber hidup yang layak. Akan tetapi apakah buktinya ? Rakyat menjadi korban selalu. Dimana-mana
timbul kejahatan, perebutan kekuasaan, kehidupan rakyat tidak aman, masih ditekan pajak, diperas oleh
lintah-lintah darat yang berupa raja-raja kecil di dusun-dusun, masih diganggu oleh para tentara kerajaan yang
buas melebihi perampok. Buktinya ? Sam-wi dapat melihat betapa banyaknya penduduk dusun mengungsi, bingung
mencari tempat aman sehingga di dalam benteng ini saja kami terpaksa menampung seratus orang lebih pengungsi.
Bukankah ini sudah membuktikan bahwa Kerajaan Liang tidak didukung rakyat ? Dan selama pemerintahan ti! da! k
mendapat dukungan rakyat, saya yakin takkan berhasil dan lekas runtuhlah pemerintahan itu.Muka jenderal muda
itu menjadi merah, bicaranya penuh semangat dan wajahnya yang tampan gagah itu mengeluarkan wibawa seperti
seekor harimau yang menakutkan.
Kam-goanswe yang perkasa,kata Nona kedua yang berpakaian kuning. Bolehkah saya bertanya, Goanswe ini sebetulnya
mengabdi kepada siapakah ? Dahulu keluarga Goanswe mengabdi kepada Kaisar Tang yang terakhir. Setelah kaisar
jatuh, Goanswe mengabdi kepada siapa ? Kalau Goanswe tidak mengakui kekuasaan Raja Liang, apakah Goanswe
mengabdi kepada gubernur Li?
Kam Si Ek kini berdiri dari bangkunya. Tubuhnya yang tinggi tegap itu seakan-akan makin besar. Ia mengepal
tinjunya dan berkata. Aku hanya mengabdi kepada tanah air dan bangsa ! Siapa saja yang mengganggu rakyatku,
akan kulawan ! Bangsa apa saja yang berani memasuki tanah airku akan kuhancurkan ! Aku tidak mengabdi kepada
Raja Liang, dan terhadap Gubernur Li Ko Yung yang menjadi teman seperjuanganku dahulu, dia tetap teman baik
asal saja dia tidak menyeleweng daripada jalan benar.
Nona paling muda yang berbaju hijau mengedipkan matanya kepada kedua orang encinya, lalu bangkit berdiri
menghampiri Kam Si Ek. Ia menuangkan arak dan menjura kepada jenderal muda itu sambil berkata, suaranya halus
merdu penuh rayuan.
Maaf, maafKam-goanswe. Harap maafkan kedua enciku yang seakan-akan lupa bahwa saat ini bukanlah saat untuk
bicara tentang urusan negara yang berat-berat. Kasihan sekali suasana menjadi begini panas, sebaliknya masakan
menjadi dingin. Kam-goanswe, mari kita lanjutkan makan minum sambil membicarakan hal-hal yang menyenangkan.
Sudilah kau menerima secawan arak dariku sebagai cawan minta maaf!Ia melangkah maju, Tergopoh-gopoh Kam Si Ek
balas menjura dan ia pun tersenyum.
Hihiap benar, maaf. Aku sampai lupa diri.Ia menerima cawan itu dan sekali tenggak habislah isinya. Si Baju
Hijau tersenyum manis dan menuangkan arak lagi. Untuk kedua kalinya kuharap kau suka menerima secawan sebagai
tanda persahabatanDengan sikap yang amat mesra ia menyerahkan cawan dan dalam kesempatan ini jari-jarinya yang
halus menyentuh tangan Kam Si Ek. Pemuda itu kelihatan bingung dan kikuk, alisnya yang berbentuk golok dan
hitam itu bergerak-gerak, agaknya ia ragu-ragu bagaimana harus menghadapi wanita yang tiba-tiba berubah sikap
ini.
Cukup cukup katanya dan merenggut cawan arak itu agar tidak terlalu lama tangannya terpegang jari-jari halus
mungil.
Ah, Kam-goanswe, masa tidak mau menerima penghormatanku?Si Baju Hijau berkata manja dan berdiri makin mendekat
sehingga sebagian tubuhnya merapat, dadanya sengaja menyentuh lengan kiri Kam Si Ek. Hampir saja pemuda ini
meloncat pergi, akan tetapi sebagai tuan rumah ia masih mempertahankan diri, hanya mengisar kaki menjauhi lalu
berkata, Baiklah, kehormatan yang diberikan Lihiap kuterima!Ia minum lagi arak dari cawannya.
Akan tetapi alangkah terkejut dan kikuknya ketika ia melihat nona muda cantik berpakaian hijau ini tidak
kembali ke bangkunya di seberang, melainkan menyeret sebuah bangku dan duduk di sampingnya ! Ini dilakukan
sambil tersenyum-senyum, matanya mengerling tajam penuh arti.
Daripada berdebat yang bukan-bukan, yang sebetulnya tidak ada artinya sama sekali, bukankah lebih baik kita
berteman ? Kam-goanswe, kami sudah lama mendengar nama besarmu, sudah lama mengagumi Jenderal Muda Kam Si Ek
yang gagah perkasa dan menjadi idaman setiap orang wanita di propinsi Shan-si ! Kami bertiga enci adik tidak
mempunyai niat buruk terhadap jenderal, melainkan hendak membantu usahamu, hendak menyerahkan jiwa raga
mengabdi kepadamu, Kam-goanswe! Sambil berkata demikian, dengan lagak genit si baju hijau ini menggeser
bangkunya sampai mepet dengan bangku Kam Si Ek.
Si Baju Merah dan kuning segera tertawa-tawa dan mengitari meja, menarik bangku dan mengisi cawan arak. Betul
sekali kata adikku yang bungsu. Kam-goanswe, kami menyerahkan jiwa raga asal kau suka kami temani! kata yang
tertua sambil menyerahkan secawan arak dan tangan kirinya memegang pundak pemuda tampan itu.
Percayalah, kami bertiga sanggup mengangkatmu menjadi yang dipertuan di daerah ini.Kata si baju kuning yang
memeluk leher Kam Si Ek dari belakang !

Dirayu dan dikeroyok tiga orang gadis-gadis cantik yang berbau harum ini, sejenak Kam Si Ek tertegun saking
kaget dan herannya. Kemudian ia serentak bangkit dari bangkunya, melangkah mundur tiga tindak, mukanya merah
sekali dan ia berkata, suaranya keren.
sam-wi ini apa maksudnya bersikap seperti ini? Maksud kami sudah jelas, masa Goanswe tidak tahu ? Sudah lama
kami kagum dan sekarang begitu berjumpa kami jatuh cinta, apakah kau tidak menghargai perasaan suci kami ini
?kata Si Baju Merah tanpa malu-malu lagi.
Kam-goanswe, ribuan orang pemuda tergila-gila kepada kami dan semua kami tolak, sekarang melihatmu, kami
bertiga sekaligus jatuh hati. Bukankah ini jodoh yang baik sekali ?kata Si Baju Kuning.
Dengan kepandaian kami bertiga digabung kepandaianmu, apa sukarnya merampas kedudukan raja di waktu orang
pandai sedang memperebutkan kekuasaan ini ? Goanswe mempunyai tentara yang cukup banyak dan kuat.Kata Si Baju
Hijau.
Gila!Kam-goanswe berseru marah. Pergilah kalian ! Pergi dan jangan ganggu aku lagi. Pergi !Kam Si Ek marah
bukan main, akan tetapi kemarahan ini agaknya belum menyamai kemarahan Liu Lu Sian yang mengintai di atas
genteng. Gadis ini marah sekali kepada tiga orang perempuan yang dianggap tak tahu malu itu. Juga disamping
kemarahannya ia pun kagum kepada Kam Si Ek ! Sungguh jantan ! Sungguh gagah dan keras hati, tidak tunduk oleh
gadis-gadis cantik yang tergila-gila kepadanya.
Dinggg!!Tampak kilatan tiga batang pedang yang dicabut berbareng oleh tiga orang gadis jelita itu.
Pilihan kami hanya dua. Kau menerima kerja sama dengan kami atau kau serahkan kepalamu untuk kami hadiahkan
kepada Raja Muda Kerajaan Liang!
Bagus!Kam Si Ek melangkah mundur dua tindak dan mencabut goloknya yang berkilauan saking tajamnya. Telunjuk
tangan kirinya menuding dan ia berkata bengis, Kalian tiga orang wanita muda tak tahu malu. Kalian datang
mengaku sebagai See-liong-sam-ci-moi (Tiga Enci Adik Naga Barat), berlagak pendekar wanita yang bermaksud
membantu karena melihat kesengsaraan rakyat dalam jaman perang perebutan kekuasaan. Aku menerima kalian dengan
baik dan hormat. Kiranya kalian mengandung maksud hati yang kotor dan hina. Kalau aku memberi tanda, alangkah
mudahnya anak buahku yang ribuan orang banyaknya datang menangkap kalian untuk dijatuhi hukuman mati. Akan
tetapi aku Kam Si Ek seorang laki-laki sejati, tidak mengandalkan jumlah orang banyak. Majulah, dan sudah
sepatutnya golokku mengakhiri riwayat kalian yang tersesat ke dalam jurang kenistaan!
"Manusia sombong!" Si Baju Merah meloncat dan bagaikan kilat menyambar pedangnya menusuk, berikut tubuhnya yang
melayang ke depan, benar-benar seperti seekor naga menyambar. Hebat serangan ini, akan tetapi Kam Si Ek yang
sudah siap dengan goloknya, menangkis keras.
"Tranggg!!" Wanita baju merah itu terpental ke samping, akan tetapi dengan gerakan indah ia membuat loncatan
salto dua kali. Adapun kedua orang adiknya juga sudah menerjang maju dengan loncatan-loncatan tinggi dan
menyerang dengan pedang selagi tubuh mereka masih di udara. Kam Si Ek terkejut sekali. Tiga orang wanita ini
benar-benar patut dijuluki Naga Barat, karena gerakan mereka benar-benar lincah dan cepat laksana naga
menyambar. Ia cepat mengelak sambil memutar golok sehingga berhasil menangkis tusukan pedang dari kanan kiri.
Akan tetapi tiga orang enci adik itu sudah mendesaknya dengan serangan pedang bertubi-tubi. Kam Si Ek cepat
memutar goloknya dan mainkan ilmu silat keturunan keluarga Kam.Pertahanannya kuat sekali, namun didesak oleh
tiga batang pedang yang bekerja sama baik sekali, ia hanya mampu menangkis sambil berloncatan ke sana ke mari,
sebentar saja terdesak hebat.
Namun, sebagai seorang jantan Kam Si Ek berpegang kepada kata-katanya. Ia tidak mau berteriak minta bantuan
para penjaga yang berada di luar gedung itu dan tetap mempertahankan diri dengan goloknya. Sewaktu pedang Si
Baju Merah menusuk tenggorokan dan ia menangkis dengan golok, pedang Si Baju Kuning sudah membabat penggangnya.
Cepat ia bergerak dengan jurus Burung Walet Membalikkan Tubuh, membuat gerakan memutar untuk mengelak sambil
memutar goloknya melindungi tubuh belakang. Ia berhasil mengelak dan sekaligus menangkis babatan pedang Si Baju
Hijau tepat pada waktunya. Akan tetapi kembali pedang Si Baju Merah sudah menerjang datang, disusul dua buah
pedang yang lain ! Karena ketiga orang gadis lihai itu kini menghujankan serangan di tiga bagian, yaitu bawah
tengah dan atas, maka sibuk jugalah Kam Si Ek. Dengan ilmu golok emasnya yang diputar merupakan benteng
melindungi tubuhnya, ia hanya dapat melindungi bagian atas dan tengah saja, sehingga menghadapi penyerangan
pedang d! i ! bagian bawah, ia harus meloncat-loncat yang membuat gerakan pemutaran goloknya terganggu. Setelah
lewat tiga puluh jurus, pemuda ini mulai berputar-putar dan terdesak ke sana ke mari, semua jalan keluar telah
dihadang oleh tiga orang gadis yang tertawa-tawa mengejek.
"Jenderal sombong, daripada mati di ujung pedang, bukankah lebih baik kau memeluk tiga orang gadis jelita ? Ah,
alangkah goblok engkau ! Mana bisa engkau melawan See-liong-sam-ci-moi ? Kami benar-benar mencintaimu,
Kam-goanswe !"
"Lebih baik aku mati !" teriak Kam Si Ek ganas dan melihat kesempatan selagi Si Baju Merah bicara, golok
emasnya menyambar dengan pembalasan serangan dahsyat. Namun tiga batang pedang sudah menangkisnya dan kembali
ia terkepung tiga gulungan sinar berkilau yang mematikan semua jalan ke luar itu.
Liu Lu Sian yang menonton dari atas genteng, segera mengetahui bahwa biarpun Kam Si Ek memiliki tenaga yang
cukup kuat, namun di bidang ilmu silat agaknya belum dapat diandalkan benar, jauh di bawah tingkat tiga orang
gadis itu. Kemarahannya memuncak dan kekagumannya terhadap Kam Si Ek juga memuncak. Ia segera mengambil
jarum-jarum rahasianya dan tiga kali tangannya bergerak disertai pengerahan sin-kang yang sepenuhnya. Senjata
rahasia jarum ini adalah ajaran ayahnya, penggunaannya amat sukar karena jarum-jarum itu kecil dan ringan
sekali, harus disambitkan dengan sin-kang tertentu baru dapat meluncurcepat melebihi anak panah. Dan sekali
jarum-jarum ini meluncur, sama sekali tidak mendatangkan suara, kalaupun ada, suara itu halus sekali sukar
ditangkap telinga.
Hebat sekali kesudahannya. Terdengar jerit melengking dan tiga orang gadis iti seperti disambar petir. Si Baju
Merah melepaskan pedangnya dan berputar-putar seperti mabok, disusul Si Baju Kuning yang melemparkan pedang dan
mencekik lehernya sendir, kemudian Si Baju Hijau terjungkal dan melingkar-lingkar di atas lantai. Tiga orang
gadis itu berkelojotan di atas lantai dan beberapa menit kemudian tak bergerak lagi. Si Baju Merah kemasukan
jarum tepat di ubun-ubunnya, Si Baju Kuning terkena lehernya dan Si Baju Hijau terserang dadanya. Jarum-jarum
itu mengandung racun kelabang yang gigitannya menewaskan seketika, maka bukan main hebatnya.
Kam Si Ek berdiri dengan golok melintang di depan dada, matanya terbelalak lebar. Pada saat itu berkelebat
bayangan memasuki pintu dan muncullah seorang wanita berpakaian serba putih, wajahnya cantik dan terang,
usianya sebaya dengan Kam Si Ek. Wanita ini memegang sebatang pedang dan tangan kirinya menjambak rambut dua
orang laki-laki berpakaian tentara lalu ia mendorong dua orang itu sehingga terguling di atas lantai, terus
berlutut di situ dengan tubuhmenggigil.
"Eh, Sute siapa mereka ini ... ah, bukankah ini See-liong-sam-ci-moi yang menjadi tamu kita ? Dan ... ah,
mereka sudah tewas dan ... kau memegang golok ! Apa yang terjadi, Sute ?"
Kam Si Ek menggunakan tangan kirinya menggosok mata lalu menyusut peluh di dahinya, menggeleng-geleng kepala.
"Bukan aku yang membunuh mereka, Suci. Tapi mereka patut tewas, mereka mempunyai niat busuk terhadap aku. Akan
tetapi ....agaknya ada orang pandai membantu dan membunuh mereka.."
Wanita itu membanting-banting kakinya. "Celaka ! Mereka adalah tamu-tamu kita, mana patut tewas di sini ? Kalau
ada orang yang membunuh mereka secara bersembunyi, belum tentu berniat baik. Kita harus cari dia untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya!" Wanita baju putih itu meloncat keluar lagi. "Nanti dulu, Suci. Dua orang
ini ... ada apakah ?"
"Hemm, sialan benar. Dia dan lima orang lain melakukan pemerasan kepada beberapa orang pengungsi, malah
mengganggu wanita. Yang lima kulukai, yang dua ini pemimpinnya, kubawa ke sini untuk kau adili."
"Jahanam !" Kam Si Ek menggerakkan kakinya menendang dan dua orang yang sial itu terlempar, kepala mereka
membentur tembok,pecah dan tewas seketika. Beginilah watak Kam Si Ek yang benci akan
penyelewengan-penyelewengan. Akan tetapi kakak seperguruannya, wanita baju putih itu sudah meloncat pergi ke
luar untuk mencari pembunuh See-liong-sam-ci-moi. Kam Si Ek juda cepat lari ke luar setelah menyambar gendewa
dan anak panahnya. Dalam ilmu silat boleh jadi dia kurang pandai, akan tetapi ilmu panahnya terkenal di seluruh
Shansi, di samping ilmunya mengatur siasat perang dan ilmu menunggang kuda.
Ketika Kam Si Ek tiba di luar gedung, ia melihat para penjaga sudah ribut-ribut memandang ke atas. Ketika ia
berdongak, ia melihat bahwa sucinya telah bertanding pedang dengan hebatnya melawan seorang gadis yang
gerakannya lincah sekali. Bulan malam itu menerangi jagat, akan tetapi dari bawah ia tidak dapat melihat siapa
adanya gadis yang bertanding melawan enci seperguruannya itu.
"Goblok !" terdengar wanita itu memaki, suaranya nyaring dan merdu, melengking menembus kesunyian malam.
"Beginikah kalian membalas pertolongan orang ?"
"Kau harus menyerah, tak boleh sembarangan membunuh orang di tempat kami," jawab sucinya dengan suaranya yang
tegas.
Pada saat itu, entah mengapa , tiba-tiba sucinya kehilangan keseimbangan tubuhnya, terhuyung di atas genteng
dan sesosok bayangan yang bergerak seperti terbang telah menyambar tubuh wanita itu.
Lu Sian kaget melihat lawannya wanita baju putih itu tiba-tiba menghentikan penyarangannya dan terhuyung,
kemudian ia lebih kaget lagi ketika tubuhnya tibq-tibq menjadi lemas dan tahu-tahu ia telah disambar orang dan
dipanggul pergi ! Ketika melihat bahwa yang memanggulnya adalah Kwee Seng, ia meronta-ronta, namun tidak
berhasil melepaskan diri. Ingin ia menusukkan pedangnya pada punggung pemuda ini, namun totokan tadi membuat
tubuhnya terlalu lemas.
Kam Si Ek sudah sejak tadi merasa berhutang budi kepada wanita yang ternyata telah menolongnya kalau tidak
segera tertolong, rasanya ia takkan mampu menangkan See-liong-sam-ci-moi. Tadinya ia sudah hendak meloncat naik
mencegah sucinya menyerang wanita itu, sekarang melihat seorang laki-laki muda berpakaian pelajar memondong
wanita itu, ia menyangka bahwa tentulah pemuda itu, seorang jahat. Cepat ia memberi aba-aba untuk menyerang
pemuda itu dengan anak panah, sedangkan ia sendiri pun lalu mementang gendawanya.
Akan tetapi pemuda itu hanya menengok sambil tersenyum. Wajah yang tampan itu tersinar bukan dan hatinya Kam Si
Ek tercengang. Pemuda itu tampan bukan main dan senyumnya manis sekali ! Tentu sebangsa jai-hwa-cat (penjahat
cabul) yang hendak melarikan gadis dengan maksud kotor dan rendah !
"Lihat panah !" bentaknya dan sekali gendawanya menjepret, lima batang anak panah menyambar ke arah tubuh
belakang Kwee Seng !
"Bagus !" Kwee Seng yang masih menengok itu tersenyum lebar dan memuji, karena kepandaian melepas panah itu
benar-benar hebat. Lima anak panah itu menuju ke lima bagian jalan darah di punggung dan kakinya, dan dengan
kecepatan yang luar biasa !
Cepat tangan kirinya mencabut kipasnya dan ia harus mengerahkan lwee-kangnya untuk mengebut dan meruntuhkan
anak-anak panah itu. Akan tetapi kini para perajurit panah sudah pula ikut melepaskan anak panah, sedangkan Kam
Si Ek dengan kecepatan luar biasa sudah pula menghujankan anak panahnya. Terpaksa Kwee Seng kembali mengebut
sambil mengerahkan sin-kang-nya, kemudian sekali berkelebat tubuhnya sudah meloncat jauh, kemudian berlari
cepat setelah tubuhnya melayang turun dan sekali ia menggerakkan kakinya, ia telah meloncat ke atas tembok
benteng. Hujan anak panah lagi dari kanak kiri, namun pelepasan anak panah oleh para perajurit itu tentu saja
tidak begitu di hiraukan oleh Kwee Seng. Sekali kipasnya mengebut, angin kebutannya sudah membuat semua anak
panah menyeleweng arahnya atau runtuh ke bawah. Kemudian ia meloncat keluar tembok dan lenyap !
"Suci ... ! Dimana kau ... ?" Kam Si Ek berseru, akan tetapi ia tidak melihat kakak seperguruannya itu. Namun
ia mempunyai banyak pekerjaan, maka ia tidak mencarinya lagi, melainkan cepat mengatur anak buahnya untuk
melakukan penjagaan yang lebih kuat dan memerintah orang-orang untuk mengurus lima buah mayat yang menggeletak
di lantai ruangan gedung. Malam itu juga ia mengadili lima orang lain yang dilukai encinya dan menggunakan
kesempatan ini untuk mengancam para tentara dengan hukuman berat apabila ada yang berani melakukan
penyelewengan. Kemudian ia masuk ke dalam kamarnya dan duduk termenung. Ia maklum bahwa tidak semua anggota
bala tentaranya setia kepadanya, karena sesungguhnya, ia tidak mampu memberi belanja yang cukup kepada mereka.
Banyak diantara mereka yang diam-diam ingin rupanya dia mengabdi kepada Raja Liang atau kepada Gubernur Li yang
juga sudah mengangkat diri sendiri sebagai raja muda di Shan-si.
"Tidak," bantah suara hatinya, "sebelum muncul pemimpin yang betul-betul akan membuat rakyat Shan-si khususnya
hidup aman tentran dan makmur, aku tidak akan mengabdi kepada siapapun juga !"
Sementara itu, Lu Sian terus meronta-ronta, kedua kakinya di gerak-gerakkan danakhirnya Kwee Seng menurunkannya
di dalam hutan tempat mereka tadi beristirahat sambil membebaskan totokannya. Dengan pedang di depan dada Lu
Sian meloncat maju dan membentak.
"Kwee Seng, kali ini kau terlalu ! Mengapa kau mengganggu urusanku ? Apakah kau hendak pamer kepandaianmu ?"
"Eh, Sian-moi ..., aku hanya hendak mencegah kau menimbulkan keributan di tempat orang, aku ... aku hanya
bermaksud menolongmu ... "
"Siapa butuh pertolongan mu? Siapa sudi ? Kwee Seng, agaknya di samping kelemahan hatimu, kau juga memiliki
kesombongan memandang rendah orang lain. Apa yang kulakukan, kau peduli apakah ?"
"Sian-moi, mengapa kau berkata demikian ? Bagaimana aku dapat tidak mempedulikan apa yang kau lakukan ?
Sian-moi ... kau sudah tahu akan perasaan hatiku, tak perlu kusembunyikan lagi. Aku cinta padamu ! Nah,
sekarang terlepaslah sudah ganjalan hatiku. Aku mencintaimu, tentu saja aku tak dapat membiarkanmu terancam
bahaya atau melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Kam Si Ek seorang patriot sejati, seorang gagah perkasa,
tak boleh diganggu..."
"Cukup ! Biar seribu kali kau mencintaku, kau belum berhak untuk mengurusi persoalanku. Aku bukan apa-apamu,
tahu ? Kau boleh mencintaku sampai mampus, akan tetapi aku tidak mencintaimu ! Dengar baik-baik, Kwee Seng, aku
tidak cinta kepadamu ! Kau memang tampan, kau memang gagah perkasa, memiliki kesaktian tinggi melebihi aku,
akan tetapi kau lemah ! Kau bukan laki-laki sejati, hatimu lemah, mudah jatuh. Kaukira aku cinta kepadamu ? Ihh
! Aku suka ikut bersamamu karena mengharapkan kepandaianmu yang kaujanjikan kepadaku di depan ayah. Nah kau
dengar sekarang ? Setelah kauketahui pendirianku, apakah kau kini hendak menarik janjimu lagi seperti layaknya
seorang pengecut ?"
Bukan main hebatnya serangan ini bagi Kwee Seng, seakan-akan ribuan batang jarum berbisa menusuk-nusuk
jantungnya. Wajahnya sebentar pucat sebentar merah, tubuhnya gemetar, bibirnya menggigil, matanya sayu dan dua
butir air mata membasahi pipinya. Kemudian ia menggertak gigi mengeraskan perasaan, menguatkan hatinya,
mengepal tangan dan berkata sambil menengadahkan muka ke langit.
"Bagus sekali ! Memang kau patut menjadi puteri Pat-jiu- Sin-ong ! Aku yang bodoh. Ha-ha-ha, aku yang tolol.
Orang macamku mana berharga menjatuhkan hati padamu ? Tidak, Liu Lu Sian, aku tidak menarik janjiku ! Kapan
saja kau minta, akan kuturunkan ilmuku yang kupakai mengalahkan kau di panggung Beng-kauw ketika itu. Memang
aku cinta kepadamu, dan kau tidak mencintaiku sama sekali. Ha-ha-ha, biarlah, biar dirasakan oleh hati yang
rakus ini, oleh pikiran yang pendek dan tak tahu diri ini, Si Cebol merindukan bulan, ha-ha-ha!"
Senang bukan main hati Liu Lu Sian. Memang beginilah watak gadis puteri Beng-kauwcu ini. Mungkin karena
semenjak kecil terlalu dimanja, atau memang memiliki watak aneh keturunan ayahnya yang terkenal sebagai tokoh
aneh di dunia kang-ouw, gadis ini suka sekali melihat laki-laki, sebanyak-banyaknya, jatuh hati kepadanya. Suka
Ia menggoda, menonjolkan kejelitaannya agar mereka makin dalam terperosok, kemudian akan ia kecewakan mereka,
akan ia permainkan mereka dan melihat mereka menderita, ia akan mentertawakannya !
"Untung engkau masih belum terlalu rendah untuk menarik kembali janjimu. Kwee Seng, aku menuntut janjimu itu
pada besok malam, tepat tengah malam, di sini juga. Aku akan menjumpaimu di sini dan ... "
"Tidak, Liu Lu Sian. Tempat ini kurang sepi, mungkin ada orang lewat dan akan melihat kita. Kau lihat bukit di
sana itu. Tampaknya sukar didatangi, terjal dan liar. Jangan kira mudah menerima ilmu. Aku hanya mau menurunkan
ilmuku kepadamu di puncak bukit itu. Besok malam tengah malam tepat, aku menantimu di sana !"
Lu Sian menengok ke arah timur. Matahari mulai muncul dan tampaklah bayangan sebuah bukit yang tak berapa jauh
dari tempat itu. Bukit yang bentuknya aneh, puncaknya mencuat tinggi bentuknya seperti kepala naga atau kepala
mahluk aneh.
"Baik, besok malam aku akan berada di pumcak itu!" Setelah berkata demikian, Lu Sian meloncat ke atas kudanya
dan melarikan kuda itu pergi meninggalkan Kwee Seng.
Pemuda itu berdiri tegak seperti patung, mendengarkan derap kaki kuda yang yang makin lama makin jauh, lalu ia
meramkan matanya, serasa perih hatinya, serasa jantungnya dirobek dan serasa semangatnya terbang melayang
mengikuti suara derap kaki kuda yang membawa lari Lu Sian, gadis yang selama ini memenuhi hatinya. Tiba-tiba ia
tertawa dan menampar kepalanya sendiri. "Ha-ha-ha, tolol ! Gila perempuan!!" Kwee Seng lalu mengambil guci
araknya dan minum dari guci araknya dan minum dari guci itu tanpa takaran lagi. Arak menggelok memasuki
kerongkongannya.
Tiba-tiba ia berhenti minum dan menengok memandang ke arah gerombolan pohon kembang kecil yang belim kebagian
sinar matahari pagi, masih gelap. Biarpun perasaannya terganggu batinnya terpukul hebat, namun telinga pemuda
ini masih amat tajam, perasaannya masih amat peka terhadap bahaya. Ia mendengar ferakan orang disitu, maka
tegurnya, "Siapakah mengintai disitu?"
Sesosok bayangan putih berkelebat keluar dari belakang pohon-pohon dan seorang gadis berdiri di hadapan Kwee
Seng dengan muka merah dan sinar mata membayangkan rasa malu. Gadis ini cepat menjura dengan hormat sambil
berkata.
"Harap Taihiap sudi memaafkan. Sesungghnya bukan maksud saya untuk mengintai, akan tetapi keadaan tadi membuat
saya tidak berani untuk keluar memperkenalkan diri."
Kwee Seng cepat membalas penghormatan gadis yang memakai pakaian serba putih ini. Gadis bermata jernih, bermuka
terang dan bersikap gagah, yang belum pernah ia kenal. Akan tetapi ia segera teringat bahwa gadis inilah
agaknya Si Bayangan Putih yang bertempur melawan Lu Sian di atas genteng benteng tadi.
"Hemm, kalau sudah lama Nona mengintai, agaknya tak perlu lagi memperkenalkan diri, tentu Nona sudah mengetahui
segalanya!" kata Kwee Seng dengan hati mengkal karena adegan Lu Sian yang amat memalukan, yang merendahkan
dirinya.
"Sekali lagi maaf, Taihiap. Sesungguhnya saya melihat dan mendengar semua dan sekarang tahulah saya bahwa gadis
lihai yang secara aneh mendatangi benteng adik seperguruanku itu bukan lain adalah Nona Liu Lu Sian puteri
Beng-kauwcu yang amat terkenal. Sungguh merupakan hal yang tidak pernah kami duga, dan andaikata dia datang
memperkenalkan diri secara wajar, sudah pasti kami akan menyambutnya dengan segala kehormatan. Akan tetapi,
nasi sudah menjadi bubur dan saya merasa bersalah terhadap Kwee-taihiap yang amat saya kagumi karena
kesaktiannya. Oleh karena itu, saya peresilakan Kwee-taihiap sudi singgah di benteng kami untuk mempererat
persahabatan dan untuk menambahkan pengetahuan kami yang dangkal."
Diam-diam Kwee Seng kagum. Biarpun hanya seorang wanita, seorang gadis muda, namun nona ini benar-benar jauh
bedanya dengan wanita-wanita yang ia temui. Nona ini membayangkan otak tajam, pandangan luas, sopan-santun dan
hati-hati, seperti sikap orang yang sudah banyak pengalaman. Ia lalu teringat bahwa ia belum menanyakan nama,
dan sebagai seorang yang begitu luas pandangannya seperti nona ini, tentu saja tak mungkin akan memperkenalkan
nama kalau tidak ditanya.
"Terima kasih, Nona baik sekali. Setelah nona mengetahui namaku, agaknya boleh juga aku mengenal nama nona yang
terhormat?"
"Saya yang bodoh bernama Lai Kui Lan, membantu perjuangan Kam-sute (Adik Seperguruan Kam). Saya murid tunggal
dari mendiang ayah Kam-sute, akan tetapi saya yang bodoh tak dapat mewarisi sepersepuluhnya dari ilmu silat
keluarga Kam."
Kembali jawaban yang mengagumkan hati Kwee Seng. Ah, kalau saja Liu Lu Sian mempunyai watak dan sikap seperti
nona baju putih ini, pikirnya.
"Sekali lagi terima kasih atas undangan Nona Liu yang manis budi. Akan tetapi, sebetulnya saya tidak ingin
mengganggu ketenteraman Nona dan Kam-goanswe. Tadi pun saya hanya bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang
mendatangkan kekacauan, maka maafkan kalau tadi saya melakukan kesalahan turun tangan terhadap Nona, karena
maksud saya hanya menghentikan pertandingan."
Kui Lan menundukkan mukanya dan pipinya merah sekali. Akan tetapi ia menjawab dengan sikap sederhana merendah,
"Ilmu kepandaian Kwee-taihiap telah membukla mata saya. Saya ulangi lagi, atas nama Kam-sute juga, kami
persilakan Kwee-taihiap untuk singgah dan menerima penghormatan kami."
"Tidak bisa, Nona Lai. Terima kasih. Saya harus pergi sekarang juga." Setelah berkata demikian, Kwee Seng
mengangkat kedua tangan memberi hormat, lalu melompat ke atas kudanya dan meninggalkan guci araknya yang sudah
kosong. Hatinya yang penuh rasa nelangsa itu agaknya membuat ia tidak pedulian, sehingga guci arak kosong tidak
pula dibawanya.
Setelah pemuda itu pergi, Lai Kui Lan berdiri termenung di tempat itu. Berkali-kali ia menarik napas panjang,
kemudian pandang matanya bertemu dengan guci arak. Ia melangkah maju, membungkuk dan mengambil guci arak itu.
Tanpa ia sadar, ia menekankan guci arak kosong itu pada dadanya, dan ia meramkan matanya seakan-akan guci arak
yang tadi ia lihat diminum oleh Kwee Seng itu mewakili diri pemuda sakti yang telah membuat jantungnya
menggetar-getar itu. Kalau Lu Sian memandang rendah dan menghina Kwee Seng, sebaliknya Lai Kui Lan ini
sekaligus jatuh cinta saking kagumnya melihat Kwee Seng dalam segebrakan merobohkan dia !
Memang aneh-aneh di dunia ini, apa lagi kalau menyangkut asmara yang mengamuk di hati orang-orang muda. Lai Kui
Lan yang berwatak gagah dan polos ini sekali jumpa jatuh dan mencintai Kwee Seng, akan tetapi yang dicintanya
tidak tahu akan hal ini karena Kwee Seng kegilaan Liu Lu Sian. Sebaliknya Lu Sian tidak mau membalas cinta
kasih Kwee Seng dan gadis liar ini kagum kepada Kam Si Ek !
Ketika Lai Kui Lan sadar kembali akan keadaan dirinya, mukanya menjadi makin merah dan beberapa butir air mata
terlontar keluar dari pelupuk matanya. Teringat akan keadaan Kwee Seng ia bergidik. Kasihan sekali pendekar
itu. Jatuh cinta kepada puteri Beng-kauwcu. Ia sudah mendengar akan Liu Lu Sian puteri Beng-kauwcu, gadis
jelita dan perkasa yang sudah menjatuhkan hati entah berapa banyak pemuda. Ia mendengar pula tentang para muda
yang menjadi korban di Beng-kauw. Dan kini agaknya pendekar sakti Kwee Seng menjadi korban pula. Kemudian ia
teingat akan sutenya, Kam Si Ek. Ada persamaan antara Liu Lu Sian dan Kan Si Ek. Sutenya itu pun menjadi
rebutan para gadis, membuat banyak gadis tergila-gila, akan tetapi sutenya tetap tidak mau menerima cinta
seorang di antara mereka. Banyak pula yang menjadi korban asmara, di antaranya tiga orang enci adik
See-liong-sam-ci-moi-itu !
Teringat pula akan janji Kwee Seng untuk menurunkan ilmu pada besok tengah malam di puncak bukit sebelah timur,
ia merasa ngeri. Bukit itu terkenal dengan nama Liong-kui-san (Bukit Siluman Naga), biarpun bukan sebuah di
antara gunung-gunung besar, namun di daerah itu amat terkenal sebagai bukit yang sukar didatangi orang, serem
dan dikabarkan banyak setannya. Kam Si Ek sendiri melarang anak buahnya naik gunung itu, karena memang
keadaannya amat berbahaya dan harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat puncak bukit itu kelihatan aneh.
Banyak jurang-jurang yang tak terukur dalamnya, dan di sana mengalir pula sungai yang deras airnya, sungai yang
sumbernya dari dalam gunung dan yang kemudian menggabung dengan sungai Wu-kiang. Sungai ini pun oleh penduduk
diberi nama Liong-hiat-kiang (Sungai Darah Naga), karena pada saat tertentu sinar matahari membuat sungai itu
kelihatan kemerahan seperti darah !
Kemudian Lai Kui Lan mengeluh dan berjalan dengan langkah gontai sambil mendekap guci arak. Semangatnya
seolah-olah melayang pergi mengikuti bayangan Kwee Seng Si Pendekar Muda yang sakti dan tampan !
Kwee Seng yang merana hatinya oleh ppengakuan Liu Lu Sian yang tidak membalas cintakasihnya, membalapkan
kudanya menjauhi letak benteng Jendral Kam Si Ek. Karena teringat akan janjinya kepada Liu Lu Sian, ia lalu
membelokkan kudanya ke arah timur dan hatinya lega ketika memasuki sebuah dusun tak jauh dari kaki gunung,
sebuah dusun yang cukup ramai, bahkan di situ terdapat sebuah rumah penginapan sederhana yang membuka pula
sebuah restoran. Untung baginya, rumah penginapan itu dalam keadaan kosong tidak ada tamu sehingga keadaan
sunyi dan ia tidak benyak menunggu.
Kwee Seng menjual kudanya dengan perantaraan pengurus hotel, kemudian ia minum mabok-mabokan sambil
bernyanyi-nyanyi untuk mengusir pergi kerinduan dan kesedihan hatinya. Sebentar saja para pelayan hotel
memberinya nama Sastrawan Pemabok ! Dalam maboknya Kwee Seng menyanyikan sajak-sajak romantis ciptaan penyair
terkenal Li Tai Po.
Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan, memandang sinar matahari yang mulai
lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat
arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna
indah sekali sambil sekali-kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka
sambil mengangkat muka dan menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu,
Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja rontokan daun bunga memenuhi lipatan bajuku mabok
kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya
serasa ringan dan hendak melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap
suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik ke sebelah
kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..." Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi
diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah
penginapan ?
Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung,
melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu.
Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek ! Pakaiannya
masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan
pada diri gadis ini. Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu
sama sekali tidak menengok ke arahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak mungkin
tidak melihatnya karena di tempat itu tidak ada orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan
semangat, tidak sewajarnya ! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang
penuh curiga kepadanya.
Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak
ke arah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda
sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang
tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala
yang bentuknya lain daripada biasa. Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah
orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan
sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa
gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba
yang dituntun ke penjagalan.
Seekor domba yang dituntun ke penjagalan ! Kalimat ini seakan-akan berdengung di telinga Kwee Seng, membuatnya
termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang
berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee
Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang di telinganya. Mungkin, bisik
hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih
domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh
seperti orang terkena sihir ? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar ?
Makin gelap keadaan cuaca di luar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya
pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang
pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di
lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam,
Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian. Hal ini ia lakukan dengan guci
arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus
menguatkan hati dengan minum arak.
Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan
kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya ! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang di atas
pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa
gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat
gadis itu menjadi gagu ! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya ! Menceritakan bahwa keadaan gadis
seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda
tadi, duduk di tepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.
"Nona yang baik, mengapa kau menangis?" Dengan gerakan halus dan mesra pemuda itu mengusap-usap kedua pipi yang
penuh air mata. "Aku tertarik oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari
Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri kepadaku berikut
hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima!
Dengan ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah
kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak
ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi
kekasihku..." Pemuda itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu.
Tiba-tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium karena tengkuknya terasa
panas dan sakit. Matanya jelilatan ke sana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak.
Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia mendekatkan tangannya ke depan hidung, ia berseru kaget.
"Keparat, siapa berani main-main dengan aku?" "Penjahat cabul jahanam! Di tempat umum kau berani melakukan
perbuatan biadab, sekarang beremu dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!" terdengar suara
Kwee Seng dari atas genteng.
Bayisan bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke luar dari jendela kamar dan beberapa menit
kemudian ia sudah meloncat naik ke atas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang di atas genteng yang sunyi
itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang sudah berada di tangan
kanannya.
"Heeeei! Jahanam cabul, aku di sini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang berani!" Tahu-tahu Kwee Seng suah
berada agak jauh dari tempat itu, melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang Khitan ini
makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan terjadilah kejar-kejaran di malam
gelap itu, menuju ke luar dusun. Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya.
Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali,
mukanya merah matanya jalang, pedang di tangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia
makin marah.
"Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang dan mencampuri urusan
pribadi orang lain?" Bayisan membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri di depannya
bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan
terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal
sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai. Kwee Seng tertawa. "Aku orang biasa saja, tidak seperti
engkau ini, Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San? Belum pernah aku
mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama
Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat cabul) aku belum pernah!"
"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan, kau mendengarnya atau belum bukan urusanku.
Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah
kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi
tawananku!"
"Heh-heh-heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu wanita, aku tidak!
Kau penjahat cabul, aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang
tidak cinta kepadaku!" kalaimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng
selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!" Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari
mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya.
Di lain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini. "Akhh, keparat! Jadi kau ini
Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang
kau tak mungkin terlepas dari tanganku!" setelah berkata demikian, Bayisan menuyerang hebat dengan pedangnya.
Pedang itu digerakkan ke atas akan tetapi dari atas menyambar ke bawah dengan bacokan ke arah kepala, kemudian
disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan
dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada!
Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua meter sambil
meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata
keranjang!"
Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan permainan pedangnya benar-benar hebat.
Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia, agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi
ilmu silat bagian yang paling tinggi, di samping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai di
daerah utara dan barat. Pedang di tangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan angin yang
ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan.
Diam-diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan ilmu kepandaian sehebat
ini, maka amatlah saying kepandaian begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang
dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapt menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang memang
terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa yang kuat dan pengelana yang ulet. Menghadapi pedang Bayisan yang tak
boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas di tangan kir, barulah ia
menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu.
Sebaliknya, Bayisan kaget sekali. Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama
Kwee Seng yang berjuluk Kim-o-eng. Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka sungguh
kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas di tangan mampu menghadapi pedangnya, malah
kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali! Celaka, pikirnya,
andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali.
Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia
tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu
kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri
daripada totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng,sukarlah untuk menangkapnya
lagi. Ia akan menderi! ta! rugi dua kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, ke dua,
rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali.
Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan tinggi hampir merupakan
suara lengking memekakkan telinga, kemudian pedangnya bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang
anak panah. Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau
pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik
semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja ! Apalagi
lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu. Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya.
Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia
mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan
tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak
dan jarum-jarum hitam itu lewat di depan mukanya. Jarum-jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum beracun
milik Liu Lu Sian ! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi
sambil berkata.
"Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk ... " Hanya sampai di sini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba
ia terguling roboh dan tubuhnya lemas ! Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan dari mulutnya
dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya melompat seperti kilat menyambar dengan
cepatnya sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya.
Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di lain
saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren
berpengaruh.
"Bayisan ? Kau terhitung apa dengan Kalisani?" Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap
pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa
ragu-ragu ia berkata, "Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur. "Ho-ho-ha-ha ! Kau hendak menggunakan nama Kalisani untuk
menakut-nakuti aku ? Aha, lucu ! Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang mukanya, aku
mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang
mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!" Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini
meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang di atas pembaringan, air matanya
bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah dapat mulai bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat menggunakan
ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan
kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya
berapi-api memandang ke sana ke mari, mencari-cari. "Mana dia ? Mana jahanam terkutuk itu ? Aku hendak mengadu
nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia sekarang terbaring di sana, tertotok
gagang kipasku. Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga
memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona..."
Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri di depan pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng
kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus. "Ah, apa-apaan ini Nona ?Mari bangkit dan duduklah,
kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk di atas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak
araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku..." "Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku
menolong jiwamu?"
"Kwee-taihiap bagaimana bisa bilang begitu ? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat daripada
maut..." Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus air matanya dengan saputangan. "Sampai mati aku Lai Kui
Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..." Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar matanya menatap
wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih.
Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi. "Lupakanlah saja, Nona, dan
berterima kasih kepada Tuhan bahwa kejahatan selalu pasti akan hancur."
"Ah, di mana dia ? Aku harus membunuhnya ! Dia tertotok di luar dusun?" Setelah berkata demikian, gadis itu
cepat ke luar dan berlari di dalam gelap.
Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut di bunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak
kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu
membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat
bahwa ketika Lai Kui Lan tiba di luar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa
kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya.
Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai
kertas bertulis di atas meja. Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama di tempat ini,
lebih baik kembali.
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas
panjang, lalu meloncat keluar lagi dan berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa
diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan Bayisan.
Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur
dengan nyenyak.
Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa
tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat
sukar dilalui. Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan
jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat
seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah
terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan
pendakiannya.
Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit. Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas
meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan di sebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar,
adapun di sebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya
karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur,
terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya.
Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa
ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang
sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat
bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan. Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan
perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat
mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona
itu tentu ingin pula melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian
seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin
timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari
t! ur! un lagi menyongsong Kui Lan.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri di depannya, tak
jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh... ah... Kwee-taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang
bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap di sana, aku... aku lalu datang ke sini karena
kau tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini." Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap
sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu ? Akan tetapi biarlah, karena kulihat
bahwa orang yang hendak kujumpai di sini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku
bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan ? Duduklah biar enak kita bicara."
Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk di atas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk di atas
tanah.
"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu." Ia mulai bicara, suaranya menggetar, "aku tak dapat
menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima
undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa
dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda." Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari
Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk
membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu kami
bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main,orang Khitan keparat itu. Demikianlah,
dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat
bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke
benteng, berkenalan dengan Suteku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau balau
ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun
kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan nama yang baik dan mana yang buruk."
Di dalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah seorang yang amat cinta kepada
negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah
kalau menolak terus.
"Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku di sini, aku akan singgah di benteng Jenderal Kam."
"Terima kasih, Taihiap, terima kasih...!" Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan menjura, berkali-kali.
"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada di sini, aku pesan, kau bersembunyilah
dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali memperlihatkan diri, apapun juga yang terjadi. Maukah kau
memenuhi permintaanku ini?"
Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi karena muka itu
tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui Lan,
mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main
jelitanya gadis ini. Di bawah sinar bulan yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari
khayangan. Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.
"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada di sini, siap menerima ilmu seperti yang kau
janjikan dahulu." Kata Liu Lu Sian, akan tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena terdengar dingin,
alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan kemesraan. Ia tahu bahwa
gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau
menggunakan sebutan moi-moi (adinda), karena kuatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan Si Gadis dan
akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergila-gila kepada Lu Sian.
"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah Ilmu Silat Pat-sian-kun
biasa saja."
"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas
beri ajaran!"
Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata, "Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat itu." Ia lalu bersilat
dengan gerakan lambat dan memang ia mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hwat dengan tangan kosong, akan tetapi
jelas bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat ini ada enam puluh jurus
banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya
meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi seluruhnya dan
mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan enam
belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata.
"Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian, Sudahkah kau memperhatikan gerakannya ?
Harap kau coba latih, mana yang kurang jelas akan kuberi penjelasan."
"Ah, kau membohongi aku!" Lu Sian berseru marah. "Ilmu silat macam itu saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah
lihai daripada Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Ayah ! Mana bisa kaukalahkan aku dengan ilmu itu ? Kwee Seng, aku tahu,
setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya dengan menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk
menghinaku!"
Gemas hati Kwee Seng, dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam kepada orang yang tidak menjadi pilihan
hatinya. "Lu Sian, sipa membohongimu ? Ketika aku menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan ilmu lain kecuali
ini!"
"Aku tidak percaya ! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang." Kwee Seng mengambil sebuah ranting pohon yang berada di tempat
itu. "Kau mulailah dan lihat baik-baik, aku hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!"
Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan jurus berbahaya dari ilmu pedang
ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi
Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa).
Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk ke arah dadanya dengan kecepatan luar biasa, Kwee Seng menggeser
kakinya ke kiri lalu ranting di tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas dan menekan
pedang lawan itu ke bawah disertai tenaga sin-kang. Pedang Lu Sian tertekan dan tertempel seakan-akan berakar
pada ranting itu ! Betapapun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia-sia belaka.
"Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka Pintu) dan dapat dilanjutkan
dengan serangan jurus ke delapanPat-sian-hian-hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga), pedang menyambar sesuka hati,
boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh aku hanya menyerang bahu." Tiba-tiba ranting yang tadinya
menekan pedang itu lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang telepas dari tekanan ini meluncur ke
atas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian !
Lu Sian meringis, tidak sakit, akan tetapi amat penasaran. "Coba hadapi ini!" teriaknya dan pedangnya membuat
lingkaran-lingkaran lebar, dari dalam lingkaran itu ujung pedang menyambar-nyambar laksana burung garuda
mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus ke lima yang disebut Pat-sian-hut-si (Delapan Dewa Kebut Kipas) untuk
melindungi diri." Kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting di tangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar
bulat melindungi tubuh atasnya dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke empat belas yang disebut Delapan Dewa
Menari Payung!" Tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah lebar seperti payung dan tahu-tahu dari sebelah
bawah, ranting telah meluncur dan menyabet paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara "plak!" keras. Kalu saja
ranting itu merupakan pedang tentu putus paha gadis itu !
"Aduh ...!" Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan sakit. "Kwee Seng, kau kurang
ajar...!"
"Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak ! Kau akali aku ! Aku minta kau ajarkan ilmu-ilmi silatmu yang terkenal, seperti Lo-hai-san-hoat (Ilmu
Kipas Menaklukan Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan
Bian-sin-kun (Tangan Sakti Kapas)!"
Kwee seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu-ilmu silat rahasia simpanannya itu ? Ia menjadi
curiga. Kalau Pat-jiu Sin-ong mungkin tahu, akan tetapi nona ini ? Suaranya keren berwibawa ketika ia menjawab.
"Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan kau Pat-sian-kun, dan kau
harus menerima apa yang hendak kuberikan kepadamu."
"Kau hendak melanggar janji??" "Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang
dapat mengalahkan ilmu pedangmu itu, dan kurasa Pat-sian-kun yang dapat menjadi Pat-sian Kiam-hoat dapat
mengalahkan ilmu pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!"
"Hoa-ha-ha-ha ! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh keterlaluan sekali!"
Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu Sin-ong sudah berdiri disitu, tinggi besar dan bertolak
pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng memberi hormat sambil berkata, "Ah, kiranya Beng-kauwcu telah berada
disini!" Akan tetapi di dalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu Sian mengenal semua
ilmu simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya
untuk menjajaki kepandaiannya dan kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya. "Beng-kauwcu, apa maksudmu dengan
mengatakan bahwa aku menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
"Ha-ha-ha ! Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat menangkan Pat-mo Kiam-hoat ! Tentu saja kau dapat
menangkan Lu Sian karena memang tingkat kepandaianmu agak lebih tinggi daripada tingkatnya." Dengan ucapan
"agak lebih tinggi" ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda itu
mendengarkan dengan tenang dan sabar. "Andaikata aku yang mainkan Pat-mo Kiam-hoat, apakah kau juga masih
berani bilang dapat mengalahkannya dengan Pat-sian-kun?"
"Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani main-main denganmu? Kita sama-sama tahu bahwa ilmu silat sama
sekali bukan merupakan syarat mutlak untuk menangkan pertandingan, melainkan tergantung daripada kemahiran
seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu kalau si pemainnya kurang menguasai ilmu itu, dapat kalah oleh
seorang ahli mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi dengan Pat-sian-kun, hal ini
kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan
kepadanya Pat-sian-kun, apalagi yang harus diperbincangkan?"
"Orang muda she Kwee ! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!" Si Ketua Beng-kauw membentak, suaranya
mengguntur sehingga bergema di seluruh punucak, membikin kaget burung-burung yang tadinya mengaso di pohon.
Dari jauh terdengar auman binatang-binatang buas yang merasa kaget pula mendengar suara aneh ini.
"Pa-jiu Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu." Jawab Kwee Seng, tetap tenang.
"Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang sekali kalau kau menjadi suami anakku.
Akan tetapi kau pura-pura menolak ketika berada di sana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan
perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang mempunyai mantu engkau. Dalam perjalanan
ini kau jatuh cinta kepaa Lu Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda lemah. Ini masih kumaafkan karena
memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi suaminya. Akan tetapi Lu Sian meliha kelemahanmu dan tidak mau
membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau yang katanya mencintainya mati-matian,
ternyata hanya hendak menipunya, karena kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu simpananmu ?
Inilah penghinaan ke dua!"
Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam mengawasi gerak-geriknya. Ia
menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku curang
dan tak tahu malu.
"Pat-jiu Sin-ong ! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati ! kau menganggap aku menipu, aku menganggap kau
dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu
untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena
Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku hanya dapat menurunkan
Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!" Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sing-ong
yang telah dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu di tangannya sudah ada
sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani
tokoh ini merantau sampai jauh ke barat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan begitu Pat-sian-kiam !" teriaknya.
Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena berarti
merupakan pertempuran selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia berkesudahan seri, tiada yang kalah atau
menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia
bertanding pedang ! Dia tidak mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang. Akan
tetapi sulingnya tidak ada lagi ! Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin
yang kuat sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena
ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan ! Dengan sikap tenang Kwee Seng
mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil berkata.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku,
silakan."
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Pat-mo-kun ! Lu
Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!" Lu Sian meloncat mundur, menonton dari
pinggir jurang.
Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya di atas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini.
Pedangnya yang diputar di atas kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk
pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang melebihi sinar bulan terangnya
"Kwee Seng, inilah jurus ke tiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!" teriak pat-jiu-Sin-ong, disusul dengan
menyambarnya sinar terang ke arah Kwee Eng.
Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja gerakannya ada
persamaan dan Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan
oleh pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian. Jurus apa saja kalau diperagakan oleh
tangan kakek Ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya. Sekali pandang ia tahu
bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun, jurus ke sebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang
sudah ia ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan tenaganya ia menggerakkan
ranting di tangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat
rantingnya berhasil menangkis pedang.
"Krakkkk!" Ranting itu patah menjadi dua. Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng ! Apa kaukira dapat mempermainkan aku hanya
dengan sepotong ranting saja seperti yang kaulakukan kepada Lu Sian?"
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong." Jawab Kwee Seng dengan sikap tenang, akan
tetapi diam-diam ia senang juga karena ternyata Ketua Beng-kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadang-kadang
kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena
senjata lawan yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kaupinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-sian-kun dapat
mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan
dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah
Kwee Seng.Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan" oleh pedang terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee
Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus
ke tujuh Pat-mo-kun!" kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat ke arah iga kiri Kwee Seng
dilanjutkan dengan putaran pedang membalik ke atas menusuk mata kanan.
Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang rendah
kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun. Kalau ia tidak memperhatikan
kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar pedang
pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak di pakai. Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan
pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga
sin-kangnya. Dua kali serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental
seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga
sin-kangnya, maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang
sama sekali tidak menyangkanya. Pat-jiu Sin-ong diam-diam kaget juga,karena ia tiidak mengira bahwa serangan
pertamanya itu se! ak! an-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan merupakan serangan
lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat
mematikan!
Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan pedangnya untuk membuka
kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung membabat
leher! Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini bainya mudah saja menghindari
diri daripada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat
Pat-sian-kun ini. Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun dimainkan seperti
ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali dan benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan
serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis
dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung menjadi jurus
lain yang melanjutkan serangan!
Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi yang
berada di bawah kaki, gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat mengerahkan
sin-kangnya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin kagum. Kakek ini
bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara
Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari Ketua Beng-kauw. Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat
kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya mereka yang tidak memiliki
ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa jantungnya dan tewas seketika ! Ia dapat melindungi jantung dan
perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan
kesempatan melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasa! rk! an pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapapun
juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus
menggunakan ini, biar andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun !
Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan pedangnya ke arah pusar lawan dengan jurus
Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan) berkata, "Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus
kaubantu dengan Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan pat-sian-kun?"
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan ke arah pusar sambil menjawab. "Pat-mo
Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah terpental dan membentuk jurus
Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk ke arah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan
susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas. Karena jelas bahwa
Pat-mo-kun selalu "tertindih" oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat
dadanya serasa akan meledak ! Ia menggereng dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya
untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun. Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar terang,
berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat
sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu.
Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan dengan dasar
Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya
yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang.
Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan
"menggulung" lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong !
Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan di lain
pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan
pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena delapan
puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu
membalas serangan yang tiada artinya.
Makin lama pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena
benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali,
tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali kalau
puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti
dulu ! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng ! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itupun belum cukup menjadi alasan untukmu
menurunkannya kepada anakku ! Apa artinya Pat-sian-kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat mengalahkan
ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu
macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!" Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian
hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng ! Di samping gelombang
gulungan sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang
dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali !
"Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran ? Hati boleh panas kepala harus tetap dingin!" Kwee Seng
sibuk sekali memutar pedangnya untuk melindungi diri sambil mengucapkan kata-kata memperingatan.
"Ha-ha-ha, orang muda, kau mulai takut?"
Kata-kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali Kwee Seng. Mendengar ia disangka takut,
hatinya panas sekali. "Siapa takut?" bentaknya dan pandangnya berkelebat-kelebat dalam usaha membalas serangan.
Namun, Pak-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang serangan ilmu pedang itu apalagi masih
dibantu dengan sambaran angin pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus mempertahankan
dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat, dan biarpun ia mampu membendung gelombang serangan, namun ia terdesak dan
harus mundur-mundur ke arah jurang hitam !
"Ha-ha-ha, Kim-mo-eng ! Begini sajakah kepandaianmu ? Apakah kau hanya mengandalkan Pat-sian-kun untuk menjagoi
dan mengangkat nama sebagai seorang pendekar sakti ? Ha-ha-ha, sungguh lucu!" Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak.
Kwee Seng biarpun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia tetap masih seorang pemuda yang kalau
dibandingkan dengan pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama sekali
bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat pilihan untuk mendesaknya dan sengaja pula
memanaskan hatinya agar ia suka menggunakan ilmu simpanannya. Kakek yang haus akan ilmu silat itu menggunakan
semua ini untuk memancing keluar ilmu-ilmu simpanannya ! Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka mendengar
ejekan itu ia lalu berseru keras dan tiba-tiba angin yang mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan
kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya ! Kini ia merasa dirinya lengkap ! Tangan kanan memegang pedang
mainkan Pat-sia Kiam-hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lo-hai-san-hoat ! Bukan main
hebatnya.
Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga ia dijuluki Kim-mo-eng,
hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena ia tidak
ingin terdesak terus ke pinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter di belakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah
gerakan pedangnya dan kini pedangnya mulai main Ilmu pedang Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena
ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari daripada ilmu pedang simpanannya. Melihat
pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong menjadi girang sekali. Ia tahu
bahwa mengalahkan pemuda ini bukan merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat mengalahkannya
cepat-cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang benar-benar merupakan ilmu pilihan.
Hebat pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia menemui
tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, ketua
Beng-kauw ini lebih kuat sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia tidak
mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin
mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing, cepat-cepat
mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu silat lainnya.
Melihat perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa dan timbullah kemarahannya
sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa mengandalkan
Cap-jit-seng-kiam lagi. Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang.
Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang. Tadi
ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi
mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat halus menghujaninya,
cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang
jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali. Pundaknya seketika menjadi kaku dan
setengah lumpuh, juga rasa gatal membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung ke
belakang dan terpaksa melepaskan pedang di tangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh dan pada saat itu, kembali
ia dihujani jarum yanglebih banyak lagi. Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum
itu amat berbahaya, menyampok dengan kipa! sn! ya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa ketika ia
terhuyung-huyung ke belakang tadi ia telah mendekati jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat
ke belakang sambil menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri daripada penyerangan jarum-jarum
rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke dalam jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa
dapat ditahannya ! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari ke
tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut keparat!" bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya ke arah bayangan hitam yang
tadi menyerangkan jarum-jarum rahasianya ke arah Kwee Seng.
"Locianpwe, saya membantumu..." Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang Khitan, mengelak sambil
memprotes. Akan tetapi pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini.
"Siapa butuh bantuanmu ? Kau pengecut curang patut mampus!" Pedangnya menyambar lagi akan tetapi alangkah
herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan ! Ini tandanya
bahwa orang muda ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa kau?" bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik perhatiannya, membuatnya ingin
tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak sampai dua kali ini.
"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng..."
"Keparat orang Khitan ! Kau telah bersikap pengecut!" Kembali pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat.
Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia tidak boleh main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat ke
belakang dan melarikan diri dalam gelap, Pat-jiu Sin-ong mengejar sambil memaki-maki.
Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang hitam yang hanya
dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis pakain putih lari ke tepi jurang sambil menangis dan
ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi di atas genteng
gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam Si Ek ! Pada saat itu,
Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya dengan pipi basah air mata ia mendamprat Lu Sian.
Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang di kaguminya, menjawab halus, "Cici
yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku yang membuat
Kwee Seng terjerumus ke dalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang
dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?"
Tiba-tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan menabahkan hati ia
berkata, "Kwee-taihiap telah menolongku daripada Si Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan
kehormatan kepada Kwee-taihiap ! Biarpun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam kepadanya namun
aku... aku... ah..." Ia menangis lagi.
"Cici ! Kau cinta padanya?" Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan juga pada gadis ini.
"Ya ! Aku cinta padanya ! Aku... aku... takkan sudi berjodoh dengan orang lain ! Sekarang ia telah tewas...ah,
apa lagi yang kuharapkan di dunia ini ? Aku... aku akan berdoa selamanya untuk arwahnya..." Sambil terisak Kui
Lan lalu membalikkan tubuh dan lari menuruni puncak dengan cepat sekali.
Lu Sian menarik napas panjang, diam-diam ia menyesal pula akan kesudahan pertandingan antara ayahnya dan Kwee
Seng. Ia tidak membalas cinta kasih Kwee Seng karena hatinya sendiri sudah tercuri oleh kegagahan dan
kejantanan kam Si Ek, akan tetapi ia pun tidak bisa membenci Kwee Seng, tidak menghendaki pendekar itu mati
secara begitu menyedihkan.
Setelah malam mulai berganti fajar, ayahnya muncul. Lu Sian cepat menyongsong ayahnya dengan penuh harapan
ayahnya dapat menangkap dan membunuh Bayisan yang mencurangi Kwee Seng. Akan tetapi wajah ayahnya muram dan
terdengar ayahnya berkata marah. "Iblis jahanam Bayisan itu ! Kepandainnya boleh juga, ilmu lari cepatnya hebat
dan ia menggunakan kegelapan malam menghilang dari kejaranku. Lu Sian, kau seorang gadis yang goblok sekali!"
Lu Sian membelalakkan matanya, terheran-heran mendengar teguran ayahnya. Akan tetapi, kalau ayahnya sedang
marah, gadis ini tak berani banyak bicara, maklum bahwa kalau ayahnya marah sukar untuk dikendalikan.
"Kau menolak Kwee Seng sama dengan membuang mutiara ke dalam laut, apakah kau hendak memilih batu kali ? Di
mana di dunia ini ada calon suami yang lebih baik dan gagah daripada Kwee Seng ? Siapapun juga yang kau pilih,
aku tentu tidak akan merasa cocok setelah kau menolak Kwee Seng."
"Ayah, dalam soal perjodohan, aku ingin memilih sendiri. Aku tidak cinta kepada Kwee Seng, betapapun gagah dan
pandai dia!"
"Huh ! Kau keras kepala dan sombong ! Tidak akan Kwee Seng ke dua di dunia ini."
"Tidak ada Kwee Seng ke dua memang, akan tetapi pasti ada yang melebihi dia!"
"Tak mungkin ! Sudah, mari kita pulang saja. Kejadian ini benar-benar membikin hatiku penuh kekecewaan dan
penyesalan."
"Ayah, kau menyesal karena kau tidak dapat menguras kepandaian simpanan Kwee Seng. Kau tidak peduli tentang
perjodohanku, asal kau dapat menambah ilmu-ilmu yang kau kumpulkan!"
Karena rahasianya ditebak tepat oleh puterinya, Pat-jiu Sin-ong menjdi marah. "Kau anak kecil tahu apa ? Betapa
pun sukaku mengumpulkan ilmu, namun aku masih memikirkan calon suamimu. Kalau kau berjodoh dengan Kwee Seng,
berarti sekali panah mendapatkan dua ekor harimau. Pertama, kau mendapat jodoh pemuda paling hebat di dunia, ke
dua, setelah ia menjadi suamimu, berarti ia menjadi keluarga kita dan ilmu-ilmunya juga menjadi ilmu keluarga
kita yang akan membikin Beng-kauw makin bersinar. Tolol kau. Hayo pulang!"
"Tidak, Ayah. Aku belum ingin pulang. Aku ingin berkelana." Bantah Lu Sian yang sebenarnya ingin mendekati Kam
Si Ek pujaan hatinya.
Pat-jiu Sin-ong melotot, akan tetapi hatinya sudah terlalu kecewa untuk memusingkan urusan ini. Sudah terlalu
sering puterinya ini berkelana seorang diri dan ia pun tidak kuatir karena puterinya memiliki kepandaian yang
lebih daripada cukup untuk menjaga diri.
"Sesukamulah, anak bandel. Akan tetapi kalau dalam waktu setahun kau tidak pulang membawa jodohmu yang
setimpal, kau akan kucari dan kuseret pulang, kukurung dalam kamar sampai lima tahun tak boleh keluar.
Sebaliknya kalau kau pulang membawa jodoh yang menyebalkan, akan kubunuh laki-laki itu dan kau akan kujodohkan
dengan seorang anggota Beng-kauw pilihanku sendiri. Nah, kau dengar baik-baik pesanku itu!" Setelah berkata
demikian, kakek itu mendengus dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.
Sejenak Liu Lu Sian tertegun. Betapa pun besar rasa sayang ayahnya terhadap dirinya, namun ayahnya berwatak
keras dan ucapannya tadi tentu akan dipegang teguh. Bagaimana kalau kelak ayahnya tidak menyetujui pilihannya ?
Ah, bagaimana nanti sajalah, demikian ia menghibur hati. Lalu ia memungut pedangnya yang tadi dilepaskan oleh
Kwee Seng, sejenak berdiri di tepi jurang melongok ke bawah, bergidik melihat jurang yang hitam tak berdasar
dan mendengar suara berkericiknya air jatuh di bawah, lalu ia menarik napas panjang dan berjalan pergi
meninggalkan puncak itu
Ketika tubuhnya melayang ke bawah dengan kelajuan yang menyesakkan napas, Kwee Seng maklum bahwa nyawanya
terancam maut yang ia sendiri tak mungkin dapat menolong. Ia terjatuh di tempat yang tak ia ketahui betapa
dalamnya, yang gelap pekat tak tampak sesuatu di sekelilingnya. Oleh karena itu, ia tidak berani menggerakkan
tubuh dan menyerahkan nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Suatu sikap yang baik sekali dan patut dicontoh. Memang, sepandai-pandainya manusia, sekali-kali ia akan
mengalami hal yang membuat ia sama sekali tidak mampu berdaya, dan di mana ikhtiar dan usaha sudah tiada
gunanya lagi, memang jalan terbaik menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa keraguan lagi, sebulat-bulatnya.
Tepatlah kata para bijaksana bahwa segala sesuatu di dunia ini, kesudahannya berada dalam kekuasaan Tuhan.
Apabila Tuhan menghendaki seseorang mati, biarpun si orang bersembunyi di lubang semut, maut pasti akan tetap
akan datang menjemput. Sebaliknya, apabila Tuhan menghendaki seseorang tetap hidup, biarpun seribu bahaya
datang mengurung, pasti ada jalan orang itu akan tertolong.
Kwee Seng sudah hampir pingsan karena napasnya sesak, kepalanya pening dan semangatnya serasa melayang-layang.
Betapapun tabahnya, namun malapetaka yang dihadapinya ini membuatnya merasa ngeri, membayangkan apa yang akan
menyambut tubuhnya yang pasti akan terbanting hancur luluh pada dasar jurang. Terlalu lama rasanya ia menanti,
terlalu lama rasanya maut mempermainkan dirinya, tidak segera datang menjangkau. Ya Tuhan, bisiknya, mengapa
sebelum mati hamba-Mu ini harus mengalami siksaan begini mengerikan ?
Tiba-tiba... "byuuurr!!" tubuhnya terhempas ke dalam air yang amat dingin. Sebagai seorang ahli silat yang ilmu
kepandaiannya sudah amat tinggi, tubuh Kwee Seng segera membuat reaksi, bergerak membalik mengurangi tamparan
air. Namun tetap saja ia merasa betapa kulit punggungnya seperti pecah-pecah, nyeri, perih dan panas rasanya.
Untung baginya air itu cukup dalam sehingga ketika tubuhnya tenggelam, ia cepat menendang ke bawah dan tubuhnya
muncul lagi ke permukaan air. Masih gelap pekat di situ, dan tiba-tiba Kwee Seng merasa serem dan terkejut
karena tubuhnya terseret arus air yang bukan main kuatnya. Kembali ia menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Sekali
tadi Tuhan telah menyelamatkannya, ini alamat baik, pikirnya. Ia hanya menggerakkan kaki tangan agar tubuhnya
jangan tenggelam. Arus air itu kuat bukan main, tubuhnya dibawa berputar-putar sampai kepalanya menjadi pening.
Kembali rasa takut mencekam hatinya. Ia berputaran, hal ini berarti bahwa ia terbawa oleh pusaran air ya! ng!
kuat. Benar dugaannya, makin lama makin cepat ia berputaran dan tiba-tiba tubuhnya tanpa dapat ia pertahankan
lagi, disedot ke dalam air !
Kwee Seng sudah siap. Ia mengambil napas cukup banyak dan ketika ia berada di bawah air ia menggerakkan kaki
tangannya kuat-kuat sehingga ia berhasil bebas daripada pusaran air di bawah yang tidak sekuat di atas. Kini
tubuhnya hanyut oleh arus dan ketika ia menggerakkan kakinya muncul kembali di permukaan air, hatinya girang
melihat bahwa kini ia terbawa oleh air sungai yang sempit dan kuat arusnya, akan tetapi yang tidak begitu gelap
lagi sehingga ia dapat melihat. Kanan kiri merupakan tebing tinggi, mungkin ada lima ratus meter tingginya,
tebing batu gunung yang hijau berkilau dan licin rata. Akan tetapi sungai kecil itu ternyata cukup dalam, kalau
tidak, arus yang kuat itu pasti akan menghantamkannya pada batu-batu.
Karena tidak ada tempat untuk mendarat, diapit-apit tebing tinggi, terpaksa Kwee Seng membiarkan dirinya
hanyut. Ada seperempat jam ia hanyut dan tiba-tiba ia mengeluarkan seruan kaget, wajahnya pucat dan hatinya
ngeri.
Betapa tidak akan ngeri hatinya melihat bahwa tak jauh di depannya, air itu tertumbuk pada tebing lain yang
juga tinggi dan kiranya air itu memasuki terowongan di dalam tebing ! Bagaimana akalnya ? Untuk mendarat tidak
mungkin, kanan kiri tebing tinggi dan licin, di depan pun tebing yang sama, menahan arus air tak mungkin !
Celaka, pikirnya, kali ini aku akan dibanting hancur oleh arus air kepada tebing di depan ! Akan tetapi ia
tidak mau menyerah kepada maut begitu saja selama ia masih dapat berikhtiar. Ia cepat mengambil napas sampai
memenuhi rongga dadanya, kemudian ia menyelam sedalam mungkin.
Ikhtiarnya ini menyelamatkannya dari cengkraman maut. Arus air pecah-pecah bagian atasnya menghantam tebing,
akan tetapi di bagian bawah dengan kecepatan luar biasa menerobos ke dalam sebuah lubang yang lebar garis
tengahnya kurang lebih dua meter. Kalau saja terowongan di dalam perut gunung ini terlalu panjang, tentu Kwee
Seng takkan tertolong lagi nyawanya. Ia terseret arus yang amat cepat, ia hanya menahan napas meramkan mata,
sedapat mungkin mengerahkan sin-kang di tubuhnya karena tubuhnya mulai terbentur-bentur batu. Kalau ia bukan
seorang gemblengan, tentu sudah remuk tulang-tulangnya. Akan tetapi siksaan alam ini terlalu hebat dan ia sudah
hampir pingsan ketika tiba-tiba ia melihat cahaya terang di atas. Cepat ia menggerakkan kedua kakinya yang
terasa sakit-sakit itu dan tubuhnya mumbul ke atas. Ia masih berada dalam terowongan yang amat besar, merupakan
gua panjang yang amat menyeramkan. Air mengalir di tengah terowongan, kini air makin melebar dan makin dangkal.
Di! a! tas bergantungan batu-batu yang meruncing seperti tombak besar, dinding yang hijau berkilauan terkena
cahaya matahari yang entah menembus dari mana. Karena air amat dangkal akhirnya tubuhnya yang lemas itu
tersangkut pada batu.
Kwee Seng mengeluh, kepalanya puyeng, tubuhnya sakit-sakit semua, lemas dan tangan kanannya kaku lumpuh akibat
racun jarum yang masih menancap didalam pundak kanannya. Rambut awut-awutan menutupi muka, pakaiannya yang
basah kuyup itu tidak karuan macamnya, robek sana-sini. Ia mengerahkan tenaganya untuk bangkit berdiri. Kiranya
air hanya tinggal sepaha dalamnya. Ketika ia merangkak minggir, air makin dangkal akan tetapi ia beberapa kali
terjatuh dan kakinya tersangkut batu. Air yang amat jernih, akan tetapi pandang mata Kwee Seng amat gelap,
pikirannya amat keruh. Ia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ berdiri seorang wanita tua, seorang nenek-nenek
yang memandang ke arahnya pwnuh perhatian. Nenek ini tubuhnya kecil kurus, mukanya amat tua penuh keriput,
pakaiannya bersih akan tetapi penuh tambalan. Mata nenek ini terang jernih bersinar-sinar.
"Sungguh aneh seorang manusia terbawa arus maut bisa sampai ke sini dalam keadaan masih hidup!" Nenek itu
berkata penuh keheranan, akan tetapi ia segera melangkah, gerakannya cepat dan cekatan sekali ketika ia melihat
Kwee Seng mengeluh panjang dan terguling roboh di tepi sungai, tak bergerak lagi karena sudah pingsan.
Amatlah mengherankan dan mengagumkan betapa nenek-nenek tua renta yang kurus itu setelah memeriksa nadi tangan
Kwee Seng, lalu mengangkat tubuh Kwee Seng bagaikan mengangkat tubuh seorang bayi saja, begitu mudah dan
ringan, lalu membawa tubuh Kwee Seng ke sebuah ruangan di bawah tanah yang tak jauh dari sungai itu, melalui
terowongan yang berlika-liku. Dengan hati-hati nenek itu merebahkan tubuh Kwee Seng di atas pembaringan batu,
kemudian sekali lagi memeriksa tubuhnya. Ia mengeluarkan suara kaget ketika melihat betapa pundak kanan Kwee
Seng berwarna hitam.
"Aihhh, kejamnya orang yang menggunakan jarum beracun!" serunya, cepat-cepat ia mengambil obat dari pojok di
mana terdapat meja dan lemari batu, kemudian ia menggunakan sebatang pisau merobek kulit pundak Kwee Seng,
mengeluarkan jarum hitam yang bersarang di situ. Dengan beberapa kali pijatan di sekitar pundak ia mengeluarkan
darah hitam dan menempelkan sebuah batu yang warnanya putih dan ringan sekali, besarnya sekepalan tangan. Aneh
bukan main, batu putih ringan itu dalam sekejap mata menjadi berubah hitam dan berat, dan kiranya darah yang
berada di sekitar luka telah disedot oleh batu itu ! Setelah mencuci batu dan mengeringkannya kembali di atas
api, nenek itu kembali menggunakan batu mujijat untuk menyedot darah. Sampai lima kali hal ini dilakukan,
setelah batu itu warnanya berubah merah, barulah ia berhenti, menggunakan obat bubuk dituangkan ke dalam luka
dan membalut luka itu dengan sehelai kain sutera yang agaknya adalah sebuah ikat pinggang.
Tekanan batin dan penderitaan lahir yang dialami Kwee Seng agaknya memang hebat sehingga ia seakan-akan keluar
kembali dari lubang kubur, terlepas dari cengkraman maut yang mengerikan, sehingga ketika ia roboh pingsan itu,
selama tiga hari tiga malam ia tetap dalam keadaan tidak sadar. Ia tidak tahu betapa luka-lukanya dirawat
secara tekun oleh seorang nenek tua, tidak tahu betapa setiap hari nenek itu menjaga dan merawatnya siang
malam, tidur sambil duduk bersila di dekat pembaringan batu.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Kwee Seng siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan
lemah, ketika ia membuka matanya, ia melihat langit-langit batu yang kasar. Pandang matanya terus menjalari
dinding batu itu yang penuh dengan tulisan lebih tepat ukiran karena dinding itu penuh tulisan huruf yang
agaknya diukir. Huruf-hurufnya halus dan indah, jelas membayangkan tulisan tangan wanita, dan sekilas pandang
tahulah ia bahwa tulisan-tulisan itu merupakan syair-syair yang amat indah pula walaupun mengandung peluapan
hati berduka. Ketika mendapat kenyataan bahwa ia rebah di atas pembaringan batu di dalam sebuah "kamar" batu
seperti gua, teringatlah Kwee Seng dan cepat ia bangkit duduk. Pada saat itu ia melihat seorang nenek duduk
bersila di atas lantai, dekat pembaringan batu.
"Tubuhmu masih lemah, engkau masih perlu beristirahat lebih lama lagi. Berbaringlah, aku akan masak ikan dan
sayur untukmu."
Suara itu halus sekali, teratur dan sopan-santun. Kwee Seng terbelalak kaget. Nenek ini bukan orang
sembarangan, itu sudah jelas. Akan tetapi, di samping ini, nenek itu membayangkan sifat seorang terpelajar
tinggi, seorang yang tahu akan tata susila dan sopan santun, sama sekali berbeda dengan sikap orang-orang
kang-ouw, pantasnya seorang nenek yang biasa hidup di dalam istana raja-raja !
Ketika merasa pundaknya sakit dan ketika diliriknya ia melihat pundaknya sudah dibalut, dan tidak ada rasa kaku
maupun gatal tanda bahwa pengaruh racun sudah lenyap, tahulah Kwee Seng bahwa nenek ini merupakan penolongnya.
Cepat ia turun dari pembaringan, mengeluh karena hampir saja ia terjungkal saking lemahnya tubuh, kemudian ia
terpaksa berlutut karena nenek itu tetap duduk bersila.
"Locianpwe (Orang Tua Yang Mulia) telah sudi memberi pertolongan kepada saya orang muda yang menderita, saya
Kwee Seng takkan melupakan budi kebaikan ini."
Nenek itu tertawa dan menggunakan punggung tangan kanan menutupi mulutnya, gerakan khas wanita sopan yang tak
pernah mau tertawa secara terbuka di depan siapapun juga. Kemudian terdengar pula suaranya yang halus dengan
gaya bahasa yang biasa dipergunakan oleh para bangsawan, "Saling tolong tidak mengenal tua dan muda, dan akupun
tidak bermaksud menolongmu, melainkan kaulah yang datang dan membutuhkan pertolonganku. Air itu disebut Arus
Maut, mahluk berjiwa apapun juga yang terseret ke dalam Neraka Bumi ini, tentu telah tak bernyawa lagi. Akan
tetapi engkau terseret masuk dalam keadaan bernyawa. Ahhh, entah setan yang mana mengirim engkau datang
kepadaku untuk menemaniku!"
"Maaf, Locianpwe, saya kira bukan setan yang Locianpwe maksudkan. Tentu Tuhan yang telah melindungi saya..."
"Sudah terlalu lama dahulu aku menggantungkan nasibku kepada Tuhan, terlalu banyak hati ini memohon, terlalu
sering mulut ini menyebut, akan tetapi buktinya.... Ah, kalau toh ada Tuhan itu sama sekali tidak peduli kepada
diriku...." Bukan main pahitnya suara dalam kata-kata ini dan Kwee Seng dapat menduga bahwa nenek ini tentu
telah mengalami penderitaan hidup yang amat luar biasa sehingga hatinya seakan-akan menjadi beku dan penuh
penyesalan mengapa hidupnya selalu menderita seakan-akan Tuhan tidak mempedulikannya. Karena menghadapi seorang
nenek yang agaknya sakti dan malah menjadi penolongnya, ia tidak mau membantah lagi walaupun ia merasa
penasaran dan terheran-heran mengapa seorang nenek tua yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, begitu
dangkal pandangannya tentang kebesaran dan keadilan Tuhan.
"Bolehkah saya mengetahui nama Locianpwe yang mulia?" akhirnya ia bertanya.
"Ah, aku sendiri tidak tahu siapa namaku, akan tetapi karena kau sudah berada di sini menemaniku, biarlah kelak
kau yang memilihkan nama untukku. Sipa saja terserah kepadamu." Kembali nenek itu menutupi mulut menahan suara
tawanya, kemudian ia bangkit berdiri, gerakannya ringan dan cekatan, "Ah, sampai lupa aku. Kau tentu lapar,
untung pada musim seperti ini, daun kelabang di bawah Guha Seratus Golok tumbuh dengan suburnya. Daun kelabang
merupakan sayur yang selain enak juga dapat mempercepat kembalinya kesehatanmu, dan dimasak dengan ikan ekor
putih bukan main lezatnya." Setelah berkata demikian, nenek itu pergi meninggalkannya.
Kwee Seng memandang dengan melongo. Tadi ia berlutut di depan nenek itu yang duduk bersila, mereka berhadapan
dalam jarak satu meter sehingga jelas ia dapat mencium keharuman dari tubuh nenek itu. Hal ini tentusaja amat
janggal, seorang nenek berbau harum ? Apakah memakai minyak bunga ? Dan mata nenek itu. Bukan main ! Diam-diam
meremang bulu tengkuk Kwee Seng, bergidiklah dia. Tak mungkin nenek itu manusia. Ah, masih hidupkah dia ?
Ataukah sebetulnya sudah mati dan inikah keadaan neraka dimana ia dihukum dan diharuskan tinggal bersama
seorang iblis betina ? Nenek tadi menyebut air itu Arus Maut dan tempat ini disebutnya Neraka Bumi !
Gerak-geriknya memang seperti manusia yang berilmu, akan tetapi suaranya begitu halus, matanya seperti mata...
ah, sukar mencari perbandingan, pendeknya begitu jernih, begitu tajam, bagian putihnya tiada cacat, bagian
hitamnya berkilau seakan menyinarkan api. Serasa ia mengenal mata ini ! Ah, tak mungkin !
Tiba-tiba nenek itu membalikkan tubuh dan dari jauh ia berkata, suaranya bergema di seluruh ruangan, "Oya, di
ruangan paling kiri terdapat kamar kitab, kalau kau suka kau boleh membaca kitab yang mana saja. Kitab-kitab
tua yang sukar sekali dibaca, aku sendiri ogah membacanya!"
Suara ini menyadarkan Kwee Seng daripada lamunannya. Mengapa ia harus merasa ngeri ? Manusia maupun setan,
nenek itu telah membuktikan niat baik terhadap dirinya. Telah menolongnya, mengangkatnya dari sungai, merawat
lukanya sampai sembuh, dan kini malah bersiap menyediakan makanan untuknya. Kitab-kitab kuno ? Lebih baik
melihat-lihat daripada duduk menanti orang masak, karena teringat akan masakan, perutnya yang perih akan makin
terasa. Ia bangkit berdiri, menahan napas dan mengumpulkan kembali kekuatannya. Kwee Seng merasa betapa
lemahnya tubuh, seakan-akan habis semua tenaganya. Hemm, untung nenek itu berniat baik, kalau mengandung niat
jahat terhadapnya, dalam keadaan seperti ini, tentu ia takkan mampu mengadakan perlawanan sama sekali. Dengan
terhuyung-huyung ia menyeret kedua kakinya menuju ke kiri melalui jalan terowongan mencari kamar kitab-kitab
itu.
Ketika memasuki kamar dalam tanah paling kiri, ia berseru heran dan kagum. Dinding kamar itu merupakan rak buku
dan di situ berdiri banyak sekali kitab yang berjajar rapi. Sekilas pandang ia menaksir bahwa di situ terdapat
tidak kurang dari seratus buah kitab yang tebal ! Sebelum menjadi ahli silat, Kwee Seng adalah seorang kutu
buku (penggemar bacaan), apalagi kitab-kitab kuno yang mengandung filsafat-filsafat berat. Kini melihat kitab
kuno berderet-deret rapi, ia seperti seorang kelaparan melihat daging segar. Lupa ia akan semua kelemahan
tubuhnya, setengah tubuhnya, setengah meloncat ia mendekati rak buku batu itu dan jari-jari tangannya gemetar
ketika ia memeriksa judul-judul buku. Ternyata kitab-kitab itu adalah kitab-kitab mengenai Agama To, sebagian
pula merupakan kitab dongeng-dongeng raja-raja jaman dahulu, kitab berisi syair-syair para pujangga kuno.
Sampai bingung Kwee Seng akan melihat bacaan mana yang akan ia dahulukan. Karena ingin sekali tahu semua kitab
itu, ia tidak mau mengambil sebuah diantaranya, melainkan ia membuka lembaran pertama dari semua kitab untuk
mengetahui judulnya. Dua buah kitab amat menarik hatinya, yaitu kitab Siulian (Meditasi) dan yang sebuah lagi
kitab tentang rahasia letak dan gerakan-gerakan bintang-bintang.
Yang mula-mula ia buka dan baca adalah kitab tentang samadhi itu dan alangkah girang hatinya ketika ia mendapat
kenyataan bahwa kitab kuno itu benar-benar merupakan kitab rahasia yang amat berharga, di mana dijelaskan
tentang pelbagai ilmu samadhi, cara-caranya dan segala yang berhubungan dengan samadhi mengenai peredaran jalan
darah, pernapasan dan lain-lain. Ia pernah melatih diri bersamadhi untuk melatih lwee-kang dan memperkuat
sin-kangnya, akan tetapi pelajaran yang ia dapat dahulu amatlah dangkal dan tak berarti kalau dibandingkan
dengan isi kitab ini. Bagaikan seorang miskin menemukan sebuah batu permata yang tak ternilai harganya, Kwee
Seng membawa kitab Samadhi dan Perbintangan itu keluar dari kamar kitab dan kembali ke ruangan tadi. Betapapun
juga, ia harus minta ijin dulu dari Si Pemilik Kitab. Mengingat ini, ia tercengang. Ternyata wanita itu bukan
sembarang orang ! Dengan memiliki kitab-kitab seperti ini, jelas bahwa nenek itu adalah seorang yang memiliki
ilmu yang amat tinggi ! Heran ia memikirkan, siapa gerangan nenek itu yang mengaku tidak punya nama, bahkan
minta ia kelak yang memilihkan nama untuknya !
Ia sedang tekun membalik-balik lembaran kitab Samadhi ketika nenek itu yang muncul membawa mangkok-mangkok batu
dengan masakan yang masih mengebul dan masih menyiarkan bau yang sedap-sedap aneh. Cepat Kwee Seng menutup
kitabnya dan berlutut lagi sambil berkata, "Mohon maaf sebanyaknya bahwa saya berani lancang mengganggu
Locianpwe yang budiman, berani pula memasuki kamar kitab yang terahasia mengambil dua buah kitab ini. Apabila
Locianpwe memperkenankan, saya mohon pinjam dua ini untuk saya baca."
Nenek itu tak bergerak kulit mukanya, menaruh mangkok-mangkok masakan di atas meja batu, lalu menghadapi Kwee
Seng, memandang ke arah dua kitab itu, "Hemm, bangkitlah. Tak enak melihat kau sedikit-sedikit berlutut seperti
itu. Kita berdua seakan-akan hidup di dunia tersendiri, terpisah dari dunia ramai, mengapa harus memakai banyak
tatacara yang palsu? Kwee Seng, duduklah dan mari kita makan. Kau memilih kitab-kitab itu ? Hemm, kitab tentang
Samadhi dan kitab Perbintangan ? Ah, justeru dua kitab itu yang aku sendiri paling tidak doyan (tidak suka)!
Terlalu ruwet dan kalimat-kalimatnya amat kuno, pengertianku tentang sastra tidak sampai di situ. Kau bacalah,
dan boleh memiliki dua kitab itu."
Bukan main girangnya hati Kwee Seng. "Locianpwe amat mulia, terima kasih atas pemberian ...." "Siapa memberi ?
Kitab-kitab itu sudah berada di sini sebelum aku lahir ! Mari kita makan, perutmu kosong dan kita lanjutkan
bicara nanti saja."
Untuk menghormati ajakan orang yang demikian manis budi, Kwee Seng tidak banyak cakap lagi, lalu menghadapi
hidangan. Ternyata masakan itu adalah masakan ikan yang gemuk bersama sayur-sayuran yang berwarna hitam.
Kelihatannya sayur itu menjijikkan, terasa gurih dan sedap. Tanpa malu-malu lagi Kwee Seng makan dengan
lahapnya dan mendapat kenyataan bahwa perutnya menjadi hangat dan badannya terasa segar setelah makan hidangan
aneh itu.
Sehabis makan Kwee Seng hendak membantu Si Nenek mencuci mangkok batu, akan tetapi cepat-cepat Si Nenek
mencegahnya, "Mencuci mangkok adalah pekerjaan wanita, kalau kau membantu dan canggung sampai membikin pecah
mangkok batu, aku harus bersusah payah membuat lagi." Nenek itu lalu pergi lagi dan ketika Kwee Seng
mengikutinya,ternyata Neraka Bumi ini merupakan tempat tinggal yang lengkap juga. Ada air mancur yang jernih,
dan disuatu sudut tumbuh bermacam sayuran aneh yang daun-daunnya berwarna hitam kehijauan, ada yang kemerahan.
Tidak kekurangan kayu bakar di situ, agaknya dari kayu-kayu dan ranting-ranting yang terbawa aliran Arus Maut,
ditampung dan dikeringkan di tempat itu, di mana terdapat sinar matahari menyinar masuk melalui tebing yang tak
dapat diperkirakan tingginya.
Jalan lain untuk keluar dari Neraka Bumi ini tidak ada sama sekali ! Mereka telah terkurung hidup-hidup dan
agaknya hanya melalui terowongan air itu saja jalan keluar masuk neraka ini ! Untuk memasukinya saja
mempertaruhkan nyawa, apalagi keluarnya, harus melawan arus yang begitu deras, agaknya tidak mungkin lagi.
Mendapat kenyataan ini, Kwee Seng lesu dan duka, akan tetapi kalau ia teringat akan derita hidup karena putus
cinta, ditolak kasihnya oleh Liu Lu Sian, ia tidak ingin lagi kembali ke dunia ramai.
Tempat itu biarpun menyeramkan dan sederhana, namun cukup enak untuk menjadi tempat tinggal. Makanan cukup, air
cukup, sinar matahari pun tidak kurang, dan di situ terdapat seorang nenek yang merawatnya begitu teliti penuh
perhatian seperti seorang nenek merawat cucunya sendiri. Masih terdapat ratusan lebih kitab kuno tebal-tebal
yang agaknya tak mungkin dapat habis biarpun ia baca setiap hari sampai selama ia hidup. Mau apa lagi ?
Namun ternyata kitab Samadhi itu amat menarik perhatian Kwee Seng. Makin dibaca makin menarik, makin di
pelajari makin sulit. Akan tetapi, setiap kali ia mencoba bersamadhi menurut petunjuk-petunjuk isi kitab, Kwee
Seng mendapat kenyataan bahwa hasilnya luar biasa. Tenaga dalamnya cepat pulih kembali, behkan ia merasa betapa
dengan latihan menurut kitab itu, tenaganya menjadi makin kuat, pikirannya makin jernih dan tubuhnya terasa
nyaman selalu. Makin tekunlah ia mempelajari isi kitab dan kadang-kadang saja ia membaca kitab ke dua tentang
perbintangan. Kitab ini pun menarik hatinya karena setelah membaca tentang pergerakan bintang-bintang ia
mendapat pandangan yang luas tentang ilmu silat, apalagi tentang ilmu pedangnya Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang
Tujuh Belas Bintang) !
Nenek itu jarang sekali bicara, namun dalam sikap diamnya, nenek itu kelihatan amat memperhatikan segala
keperluannya. Bahkan pakaiannya yang robek-robek itu telah ditambali oleh Si Nenek. Seringkali Kwee Seng
memutar otak untuk menerka siapa gerangan nenek ini yang tak pernah mau mengaku namanya maupun riwayatnya.
Ketika Kwee Seng mencoba untuk mendesak, nenek itu bersungut-sungut dan menjawab dengan suara kesal. "Sudahlah,
kausebut saja aku nenek, habis perkara. Aku tidak suka kausebut sebut locianpwe segala. Orang macam aku ini ada
kepandaian apa sih?"
Tertegun Kwee Seng kadang-kadang menyaksikan sikap nenek ini. Begitu mudah ngambul dan marah, kadang-kadang
diam termenung seperti orang menyedihkan sesuatu. Untuk menyenangkan hatinya terpaksa ia menghilangkan
panggilan locianpwe dan memanggilnya nenek. Anehnya kadang nenek itu tertawa menutupi mulutnya mendengar
sebutan ini. Dan yang amat membingungkan hati Kwee Seng, setiap kali nenek itu memandangnya dengan mata bening
jernih memancarkan semangat bernyala-nyala dan amat tajam, ia merasa seakan-akan pernah melihat mata macam ini.
Akan tetapi entah kapan dan di mana, ia tidak dapat ingat lagi karena memang rasanya baru pertama kali ini ia
bertemu dengan seorang nenek yang begini aneh.
Dengan mendapat hiburan kitab samadhi itu waktu tidak terasa lagi oleh Kwee Seng. Saking tekunnya ia melatih
diri dalam samadhi dan memperdalam ilmu silatnya dari kitab Perbintangan, tak terasa lagi ia telah terkurung di
dalam Neraka Bumi itu selama hampir seribu hari ! Tiga tahun lewat tanpa terasa oleh Kwee Seng yang semakin
girang menyaksikan kemajuan ilmu silatnya. Tenaga sin-kangnya hebat sekali sehingga ketika ia mencoba kedua
tangannya, hawa pukulannya sanggup menahan aliran air yang deras untuk beberapa detik ! Dengan latihan-latihan
berdasarkan ilmu perbintangan, ia dapat menggunakan dua buah ranting untuk "mendaki" naik sepanjang dinding
tebing yang licin dan keras dengan cara menancap-nancapkan dua ranting itu secara bergantian, merayap seperti
seekor kelabang !
Hubungannya dengan nenek itu makin akrab dan selama itu Si Nenek memperlihatkan sikap yang penuh kasih sayang,
benar-benar ia merasa seperti dekat dengan seorang nenek sendiri, atau bahkan dengan ibu sendiri ! Tidaklah
mengherankan ketika pada suatu hari Kwee Seng menyatakan keinginannya untuk mencari jalan keluar, nenek itu
menangis tersedu-sedu !
"Kalau kau pergi ... aku... aku mati saja..." Si Nenek berkata dalam tangisnya.
"Nenek, mengapa begitu?" Kwee Seng menghibur. "Percayalah, kalau aku bisa mendapatkan jalan keluar, tentu kau
akan kuajak keluar dari neraka ini dan..."

"Tidak...! Tidak...! Mau apa aku mencari derita di dunia ramai ? Aku mau mati di sini!"
Kwee Seng terharu, melangkah maju dan menyentuh pundak nenek itu. "Harap kau jangan berpendirian begitu,
Nek...!"
"Jangan sentuh aku!" Tiba-tiba nenek itu menggerakkan pundaknya dan Kwee Seng merasa betapa dari pundak itu
keluar tenaga dorongan yang cukup hebat. Ia merasa heran. Memang hebat tenaga dorongan pundak yang hanya
digerakkan begitu saja, akan tetapi ia harus akui bahwa tenaga itu tidaklah sehebat yang ia sangka. Tenaga
murni dari sin-kang nenek ini agaknya tidak akan melebihi tenaga sin-kangnya sendiri. Hal ini amatlah
mengherankan.
"Nenek yang baik. Aku harus mengaku bahwa aku telah menerima budimu bertumpuk-tumpuk, sampai mati pun aku
takkan mampu membalas budimu. Oleh karena itu, perkenankanlah aku mencari jalan keluar dan membawamu di dunia
ramai, dan aku bersumpah akan menganggap kau sebagai nenek atau ibu sendiri, dan aku akan berbakti kepadamu,
merawatmu, menjagamu untuk membalas budi..."
"Cukup ! Aku tak mau dengar lagi!" Nenek itu lalu meninggalkannya dengan sikap marah. Kwee Seng duduk
terlongong, terheran-heran. Akan tetapi sikap nenek itu tentu saja tidak memadamkan niatnya untuk mencari jalan
keluar. Betapa pun besar ia berhutang budi, masa ia yang masih muda mengubur diri sampai mati di tempat itu ?
Tiba-tiba terdengar suara berkerosokan hebat di sebelah atas, dan keadaan menjadi gelap. Cepat-cepat Kwee Seng
menyalakan lampu dari minyak yang dikumpulkan dari ikan sehingga keadaan di situ menjadi remang-remang. Nenek
itu datang berjalan perlahan.
"Suara apakah itu, Nek?" "Hujan ! Agaknya akan datang musim hujan besar. Dulu pernah sampai tiga puluh hari
lebih tidak cahaya matahari, gelap di sini dan Arus Maut mengalir deras mengamuk, membabi buta."
"Wah, celaka ! Tentu di sini terendam air, Nek?"
"Jangan kuatir. Air itu membanjir ke depan, terus keluar melalui terowongan. Tak pernah banjir di sini, akan
tetapi sukar menangkap ikan. Maka sebelum banjir besar dan gelap datang, kita harus banyak mengumulkan ikan
untuk bahan makan, juga mengumpulkan sayur."
Tiga hari mereka kerja keras, setiap saat menangkap ikan dan mengumpulkan kayu bakar, sayur-sayur. Kemudian
tibalah musim gelap dan hujan yang dikuatirkan. Air yang mengalir ke dalam terowongan itu menjadi liar dan
besar, batu-batu diterjangnya hanyut, suaranya memenuhi ruangan itu, bergema menakutkan. Lubang di atas melalui
tebing-tebing tinggi itu tidak dijenguk matahari lagi. Gelap pekat, hanya diterangi lampu minyak yang hanya
kadang-kadang kalau perlu saja dinyalakan, harus seringkali dipadamkan, apalagi di waktu mereka tidur, untuk
menghemat minyaknya. Si Nenek tidak marah-marah lagi. Dalam keadaan terancam itu mereka seringkali duduk
bercakap-cakap.
Pada hari ke empat, di dalam gelap pekat karena lampu sudah dipadamkan, nenek itu bertanya suaranya halus
menggetar penuh perasaan, "Kwee Seng, apakah masih ada niat hatimu untuk keluar dari sini?"
Kwee Seng terharu. Suara itu menggetar, jelas bahwa nenek itu amat kuatir ditinggalkan. "Sesungguhnya, Nek. Aku
yang masih muda tak mungkin harus mengubur di sini terus selamanya. Aku akan keluar dan tentu saja besar
harapanku untuk mengajakmu keluar. Kau memiliki kepandaian, tentu dapat pula keluar bersamaku."
Hening sejenak. Ingin sekali Kwee Seng dapat melihat wajah nenek itu atau lebih tepat melihat matanya, karena
wajah nenek yang keriputan itu tak pernah membayangkan isi hatinya. Akan tetapi matanya dapat membayangkan.
Namun di dalam gelap itu ia hanya menanti, tak dapat melihat apa-apa.
"Kwee Seng..." tertahan lagi. "Ya, Nek ? Ada apa ?" "Kau bilang hendak merawatku selama aku hidup. Akan tetapi
aku tidak tahu orang macam apa kau ini, dari mana asalmu dan bagaimana kau sampai dapat tiba di tempat ini.
Belum pernah kau bercerita tentang dirimu."
Kwee Seng tersenyum di dalam gelap. Memang tak pernah ia bercerita. Bukankah nenek itu pun tak pernah
menanyakan dan tak pernah pula menceritakan tentang dirinya ? Pertanyaan nenek itu merupakan harapan. Agaknya
Si Nenek hendak menimbang-nimbang untuk ia ajak keluar di dunia ramai !
"Aku seorang yatim piatu, Nek. Orang tuaku meninggal sejak aku masih kecil. Aku hidup mengabdi kepada
orang-orang, menjadi buruh tani, menggembala kerbau. Di dunia ini tidak ada seorang pun keluargaku. Aku seorang
mahasiswa gagal, kepalang tanggung. Siucai (lulusan mahasiswa) bukan, buta huruf pun bukan. Lebih senang ilmu
silat, itu pun serba tanggung-tanggung."
"Ilmu silatmu hebat, kepandaianmu luar biasa, ini aku tahu." Bantah Si Nenek.
"Ah, agaknya mendapat sedikit kemajuan berkat dua buah kitab yang kau pinjamkan, Nek." Kemudian Kwee Seng
menceritakan semua pengalamannya, karena makin banyak ia bicara, makin terlepas lidahnya. Ia menganggap
seakan-akan ia berhadapan dengan neneknya atau ibunya sendiri. Segala dendam dan sakit hati ia keluarkan, ia
tumpahkan karena justeru selama ini ia membutuhkan seorang yang dapat ia ceritakan untuk menumpahkan semua
dendam dan sakit hati. Ia bercerita tentang Ang-siauw-hwa, kembangnya pelacur di see-ouw yang bernama Khu Kim
Lin itu, ia bercerita pula tentang Liu Lu Sian yang menampik cinta kasihnya. Ia menuturkan pertempurannya
melawan Pat-jiu Sin-ong yang mengakibatkan ia terjungkal ke dalam Arus Maut dan yang menyeretnya ke dalam
Neraka Bumi itu.
"Nah, begitulah riwayatku, Nek. Nek, apakah kau tertidur?" Kwee Seng mendongkol dan bertanya agak keras. Ia
bercerita dua jam lebih, mulutnya sampai lelah, akan tetapi nenek itu diam saja, agaknya sudah tertidur pulas !
Akan tetapi ternyata tidak. Ia mendengar suara nenek itu menjawab, suara yang serak seperti orang menangis.
"Nek, mengapa kau menangis?" "Aku... aku kasihan kepadamu, Kwee Seng. Orang macam Liu Lu Sian itu mana pantas
kaucinta ? Agaknya... agaknya lebih patut kau mencinta Ang-siauw-hwa."
"Hemm, memang agaknya begitu. Dan terus terang saja, aku mengalami kebahagiaan yang takkan terlupa olehku
selamanya bersama Ang-siauw-hwa, walaupun hanya satu malam. Ah, siapa sangka, ia meninggal dunia dalam usia
muda..."
"Kurasa lebih baik begitu. Dia sudah menjadi pelacur, apakah baiknya ? Hina sekali itu ! Lebih baik mati ! Akan
tetapi, apakah... kau dapat mencintanya andai kata ia tidak mati?"
"Hemm, kurasa... hal itu mungkin. Dia wanita yang hebat ! Dan wataknya... ah, jauh lebih menyenangkan daripada
Liu Lu Sian..."
Hening pula sejenak, akan tetapi Kwee Seng masih mendengar nenek itu terisak-isak menangis, ia mendiamkannya
saja, mengira bahwa nenek itu masih terharu mendengar riwayat hidupnya yang memang tidak menyenangkan. Ia pun
menjadi terharu. Nenek ini sudah amat mencintainya, seperti kepada anak sendiri, atau cucu sendiri sehingga
mendengar semua penderitaannya, nenek ini menjadi amat berduka ! Akan tetapi setelah lewat satu jam nenek itu
masih saja terisak-isak, Kwee Seng menjadi kuatir juga.
"Nek, apa kau menangis ? Sudahlah, harap jangan menangis, menyedihkan hati, Nek."
Akan tetapi nenek itu tetap menangis. Kwee Seng curiga dan khawatir. Jangan-jangan nenek yang sudah tua renta
ini jatuh sakit karena kesedihannya. Ia mencetuskan batu api dan membakar daun kering, menyalakan pelita. Akan
tetapi begitu lampu menyala, menyambarlah angin yang kecil akan tetapi keras dan api itu pun padam. Kiranya Si
Nenek meniupnya dari jauh, memadamkan api.
Kwee Seng mengangkat pundak. "Nek, kau mengkuatirkan hatiku karena menangis sejak tadi. Diamlah, Nek. Apakah
kau sakit?"
Tidak ada jawaban pula, akan tetapi suara isak itu mengendur dan mereda, akhirnya terdiam. Lega hati Kwee Seng
dan ia sudah merebahkan diri telentang, bermaksud untuk beristirahat dan tidur. Akan tetapi beberapa menit
kemudian terdengar suara Si Nenek, agak jauh dari tempat ia berbaring.
"Kwee Seng..." "Ya, Nek. Ada apa?" "Kalau kau keluar dari sini..." berhenti seakan sukar dilanjutkan. "Ya....?"
Kwee Seng mendesak. ".... Aku tidak akan ikut. Tapi aku hanya mempunyai sebuah permintaan..." "Ya... ?
Permintaan apa, Nek ? Tentu aku siap untuk melaksanakan semua permintaanmu."
"Kwee Seng, bukankah kau bilang bahwa kau berhutang budi kepadaku dan sanggup untuk membalas budi dengan
merawatku selamanya?"
"Betul, Nek, betul. Karena itu kau harus ikut..."
"Tak perlu kau lakukan hal itu. Tak perlu bersusah payah merawatku selama hidup. Sebagai gantinya, aku hanya
minta sedikit.."
"Apa, Nek ? Katakanlah." Hening kembali sampai lama, menegangkan hati Kwee Seng yang makin tidak mengerti akan
keanehan nenek itu.
"Ya, Nek ? Bagaimana kehendakmu?" "Kwee Seng, keadaan hujan dan gelap ini akan makan waktu sedikitnya lima
belas hari lagi."
"Ya, betul agaknya. Lalu?" "Selama itu kau tidak boleh mencoba keluar..."
Kwee Seng tertawa. Hanya inikah permintaannya ? Gila benar. Mengapa bersusah-susah mengucapkannya ? "Ha-ha-ha !
Tentu saja, Nek. Tidak usah meminta pun bagaimana aku dapat keluar kalau Arus Maut begitu hebat mengamuk?"
"Selama gelap dan hujan kau tinggal di sini dan..." "Ya... ??" Kwee Seng mulai tidak sabar. ".... dan ... kita
menjadi suami isteri sampai hujan berhenti!"
"Apa ??" Kini Kwee Seng terloncat ke atas dan jatuh berdebuk di atas tanah. Begitu saja ia terguling dari atas
pembaringan batu, saking kagetnya. Ia terhenyak di atas lantai, terlongong keheranan, seketika menjadi bisu tak
dapat mengeluarkan suara. Setelah lidahnya tidak kaku lagi, suara yang dapat keluar dari mulutnya hanya, "...
apa ...? ?... ah... bagaimana...?" Ia tidak percaya kepada telinganya sendiri.
Suara nenek itu penuh kegetiran, terdengar lirih mengandung rasa malu. "Hanya itu permintaanku. Kita menjadi
suami isteri sampai pada saat kau berhasil keluar dari sini, yaitu setelah hujan berhenti."
Kwee Seng meloncat berdiri, mengepal tinjunya, mengerutkan keningnya. "Apa ?? Gila ini ! Tak mungkin!!"
Sunyi sejenak, lalu terdengar nenek itu tersedu-sedu menangis, ditahan-tahan sehingga suara tangisnya tertutup,
agaknya kedua tangan nenek yang kecil itu menutupi mulut dan hidung agar sedu sedannya tidak terlalu keras.
Kemudian terdengar suara nenek itu makin jauh dari situ, diantara tangisnya, "Ah, aku tahu...kau tentu
menolak..."
Kwee Seng terduduk di atas pembaringan batu, ada sejam lebih tak bergerak-gerak, seakan-akan ia sudah pula
berubah menjadi batu. Suara sedu-sedan nenek itu seakan-akan pisau menusuk-nusuk jantungnya. Apakah nenek itu
sudah menjadi gila ? Nenek-nenek yang melihat keriput di mukanya tentu berusia enam puluh tahun kurang lebih,
bagaimana ingin menjadi isterinya ? Mana ia sudi melayani kehendak nenek yang gila-gilaan ini ? Menjemukan
sekali ! Sialan ! Kwee Seng mengumpat diri sendiri. Ada wanita yang mencintanya, seorang nenek-nenek hampir
mati ! Mana mungkin ia membalas cinta seorang nenek-nenek yang buruk rupa ? Teringat ia akan Ang-siauw-hwa.
Teringat pula Liu Lu Sian.
Gadis puteri Beng-kauw itu pun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang
menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci,
sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu
hari ! Dan dia menolak cinta nenek itu. Menolak begitu saja ! Padahal nenek itu pun hanya menghendaki
pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya ! Ah, betapa sakit hati nenek itu, dapat ia membayangkannya.
Ia menjadi seorang yang tak kenal budi ! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya
ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu. Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman
manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati ! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian
pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah
mengalami dewasa di dunia ramai ! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul
keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya ! Ah, betapa bodohnya.
Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini ? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara
manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki
lebih daripada itu.

Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek
itu tetap terdengar olehnya makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama
Ang-siauw-hwa. Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas
cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan
cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih
sayang, mata yang..! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu ! Mata nenek itu ! Itulah mata Ang-siauw-hwa ! Tak
salah lagi. Mata Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya
dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa ! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila Si
Nenek memandangnya.
"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya
persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu
pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau
orang sudah mencinta, apa artinya usia ? Apa artinya keburukan rupa ?
Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di
kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh
dalam "rumah tinggal" itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya ! Aku
membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini !
Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani
menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua,
karena untuk melakukan "sandiwara" yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa
melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya
ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.
"Nek... aku datang..." "... pergi ! Mau apa lagi kau datang ? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku..., demi
setan... akan kubunuh kau!"
"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu ? Aku datang
kepadamu untuk... untuk memenuhi permintaanmu..."
Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee
Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas ! Kemudian tedengar
gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.
"Apa...? Kau.. kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?"
"Ya!" jawab Kwee Seng dengan suara penuh keyakinan. "Karena inilah cara terbaik untuk menyenangkan hatimu,
untuk membalas budimu. Aku menerima permintaanmu dengan kesungguhan hati, walaupun kita sama tahu bahwa aku
tidak mencintamu." Hal inilah yang mengganggu perasaan hati Kwee Seng tadi, maka kini ia terpaksa
mengucapkannya agar ia tidak merasa seperti seorang penipu.
"Ah, terimakasih...!" Nenek itu tahu-tahu sudah merangkulnya dan menangis, mendekapkan muka pada dadanya,
berbisik-bisik, "Terimakasih... Kwee-koko (Kanda Kwee)... sekarang matipun aku tidak akan penasaran lagi..."
Girang rasa hati Kwee Seng. Ternyata dugaannya cocok. Nenek ini ingin mendapatkan kenang-kenangan manis untuk
dibawa mati. Biarlah ia memenuhi hasrat hati ini, bukan menipu, melainkan bersandiwara, karena bukankah tadi ia
sudah menyatakan sejujurnya bahwa ia memenuhi permintaan ini hanya untuk membalas budi, sama sekali bukan
karena cinta ? Betapapun juga, meremang bulu tengkuknya mendengar suara halus nenek itu menyebutnya "kakanda"!
"Niocu.." katanya perlahan sambil mengelus rambut di kepala yang bersandar di dadanya. Menggigil tubuh yang
bersandar dan merapat padanya itu ketika mendengar sebutan "niocu". "Karena keadaan tidak mengijinkan, maka
kita menikah tanpa upacara. Biarlah Tuhan yang menyaksikan pernikahan kita tanpa upacara ini, menyaksikan bahwa
pada saat ini aku, Kwee Seng menyatakan dirimu sebagai isteriku."
"Dan aku, Nenek Neraka Bumi, pada saat ini menyatakan bahwa kau menjadi suamiku... ah, Koko, betapa rindu
hatiku selama tiga tahun ini ! Hampir gila aku dibuatnya, melihat engkau sama sekali tidak pernah pedulikan
aku...!" Nenek itu memeluknya makin erat.
Biarpun keadaan di situ amat gelap, Kwee Seng masih meramkan matanya ! Akan tetapi hidungnya kembang-kempis,
bau harum yang selalu ia rasakan apabila nenek itu mendekatinya, kini makin menghebat. Sedap harum mengusir
rasa muak dan jijik yang tadinya mulai menggerogoti hatinya. Dan lengan yang merangkulnya begitu halus ! Begitu
halus dan hangat. Dan ia teringat betapa sepasang mata nenek ini amat indahnya. Di dalam gelap itu,
terbayanglah oleh Kwee Seng akan semua kemesraan yang baru pertama kali dialaminya selama hidupnya, yaitu
ketika ia berjumpa dengan Ang-siauw-hwa. Hatinya tergerak dan tanpa ia sadari, ia balas memeluk dan ia
menundukkan mukanya. Tanpa ia ketahui, nenek itu pun sedang menghadapkan muka kepadanya, sehingga muka mereka
bertemu.
Kwee Seng tersentak kaget. Muka itu halus kulitnya seperti muka Ang-siauw-hwa ketika dahulu ia menciumnya. Ah,
Kwee Seng, kau sudah menjadi gila, ia mengumpat diri. Ini nenek, tua bangka bermuka keriputan, hampir mati !
Pikirannya dan perasaannya membantah, namun kenyataannya, ia bukan seorang nenek yang sudah tua, melainkan
dalam perasannya ia memeluk Ang-siauw-hwa ! Beberapa kali ia menciumi muka wanita dalam pelukannya ini,
tangannya meraba-raba membelai muka, rambut dan leher. Ia yakin, ini Ang-siauw-hwa ! Akan tetapi Ang-siauw-hwa
sudah meninggal dunia ! Mana mungkin ?
"Kwee-koko... ah, betapa cintaku kepadamu..." Nenek itu berbisik-bisik dan terisak penuh kebahagiaan dan haru.
Suaranya pun suara Ang-siauw-hwa ! "Kwee-koko, betapa rindunya aku kepadamu..."
Kwee Seng teringat akan batu api dan pelita yang ia letakkan di atas lantai. Tangannya meraba-raba dan lain
saat ia telah mencetuskan batu api sehingga bunga api berpijar-pijar memberi penerangan sekilatan saja. Namun
sinar terang sekilat itu cukuplah sudah. Tangannya menggigil. Dalam kilatan sinar bunga api itu ia melihat muka
yang halus, cantik jelita, hidung mancung bibir merah mata indah. Muka Ang-siauw-hwa!
"Koko, jangan nyalakan pelita, aku... malu..." Dalam gelap Kwee Seng terbelalak. Akan tetapi ia segera memeluk
wanita itu, penuh kasih sayang, penuh kerinduan yang selama ini ditekan-tekannya.
"Kekasihku..., kau.. kau Kim Lin... Ang-siauw-hwa... alangkah rinduku kepadamu!"
Kwee Seng menjadi seperti gila. Ia menumpahkan seluruh rasa rindu dan cintanya, bahkan cinta kasihnya yang
pernah ia kandung terhadap diri Liu Lu Sian, ia tumpahkan kepada nenek itu ! Kesadarannya kadang-kadang
memperingatkannya bahwa yang berada dalam pelukannya adalah seorang nenek akan tetapi ia tidak mau menerima
peringatan ini, karena menurut perasaannya ia berkasih-kasihan mesra dengan seorang wanita muda yang dalam
anggapannya kadang-kadang seperti Ang-siauw-hwa dan kadang-kadang seperti Liu Lu Sian !
Memang di dunia, tiada yang sempurna kecuali Tuhan. Apalagi manusia, mahluk yang banyak sekali melakukan
penyelewengan-penyelewengan, mahluk yang selemah-lemahnya, setiap orang manusia tentu ada saja kelemahannya di
samping kebaikan-kebaikannya. Pemuda ini dahulunya tidak suka minum arak, mencium arak pun menimbulkan rasa
muak. Akan tetapi setelah ia terguncang batinnya oleh Lu Sian di dalam pesta Beng-kauw, ia menjadi pemabok,
minum tanpa batas lagi, tenggelam ke dalam nafsunya, seperti orang mabok, lupa daratan lupa segalanya. Lupa
bahwa ia barkasih-kasihan dengan seorang nenek ? Dalam anggapannya, ia memperisteri seorang wanita yang muda
dan cantik jelita ! Inilah kelemahan Kwee Seng, pendekar muda yang sakti itu. Perasaannya terlalu halus,
terlalu lemah, mudah terpengaruh.
Belasan hari lamanya dalam gelap gulita itu ia berkasih-kasihan dengan nenek Neraka Bumi yang dianggapnya
seorang gadis jelita setengah Ang-siauw-hwa setengah Liu Lu Sian ! Tak pernah nenek itu membolehkan dia
menyalakan pelita. Tak pernah Kwee Seng meninggalkan kamar kitab, dilayani nenek itu yang bergerak cepat
menyediakan segala kebutuhan makan mereka, semua dilakukan di dalam gelap. Akan tetapi Kwee Seng merasa
bahagia, tak pernah teringat pula olehnya tentang diri nenek tua renta yang berkeriputan kedua pipinya.
Dua pekan lewat dengan cepatnya bagi dua orang mahluk yang berkasih-kasihan itu. Malam itu Kwee Seng tidur
dengan nyenyaknya, tidur dengan senyum menghias bibirnya, dengan bayangan kepuasan batin menyelimuti wajahnya.
Ia mimpi tentang rumah gedung seperti istana, di mana ia tidur dalam sebuah kamar yang terhias indah, di atas
pembaringan dari kayu cendana berukir, di samping isterinya, seorang puteri yang cantik jelita ! Hawa udara
amat dingin, menyusup ke tulang sum-sum, membuatnya setengah sadar. Ketika membuka matanya sedikit, ia melihat
keadaan remang-remang, teringat ia akan isteri dalam mimpi, tangannya meraba-raba dan menyentuh rambut halus di
dekatnya, ia membalik dan memeluk isterinya puteri cantik jelita, menarik napas panjang penuh kebahagiaan.
Tiba-tiba Kwee Seng teringat dan kaget. Ia tidak mimpi ! Ia berada dalam kamar kitab bersama isterinya. Dan
mengapa keadaan tidak gelap lagi ? Ada cahaya memasuki kamar. Ah, musim gelap dan banjir sudah berhenti ! Ia
dapat melihat tangannya, dapat melihat rambut hitam halus yang melibat-libat tangan dan lehernya, dapat melihat
kepala yang ia dekap di dadanya. Kegelapan yang mengerikan telah pergi !
Ia melompat bangun, bukan main gembiranya. Saking gembiranya, ia hendak memeluk isterinya, hendak memberi tahu
bahwa kegelapan sudah pergi. Ia membungkuk dan... tiba-tiba ia terbelalak dan tubuhnya mencelat mundur
seakan-akan dipagut ular berbisa. Yang tidur melingkar karena hawa dingin, tidur pulas dengan napas panjang,
rambut hitam gemuk terurai kacau, pakaian tambalan, ternyata sama sekali bukan gadis jelita seperti yang ia
anggap selama belasan hari ini, melainkan seorang nenek tua bermuka penuh keriput !
Teringatlah Kwee Seng akan segala hal yang selama ini tertutup oleh gelora nafsunya sendiri. Sadarlah ia bahwa
selama belasan hari ini ia berkasih-kasihan dengan seorang nenek-nenek ! Bukan lagi mengorbankan diri untuk
menyenangkan hati nenek-nenek itu, bukan lagi mengorbankan diri untuk membalas budi, sama sekali bukan, karena
selama belasan hari ini dialah yang memperlihatkan kasih sayang yang mesra ! Dialah yang seakan-akan
tergila-gila, dan ternyata ia telah tergila-gila kepada seorang nenek-nenek !
Mendadak Kwee Seng tertawa dan kedua tangannya menampari mukanya sendiri, "Plak-plak-plak-plak!" Begitu terus
menerus berkali-kali sampai kedua pipinya menjadi merah biru dan bengkak-bengkak, kemudian ia lari keluar dari
kamar itu sambil masih terus tertawa-tawa. Cepat sekali ia lari seperti dikejar setan. Memang ia dikejar setan.
Setan bayangan pikirannya sendiri. Kesadaran yang telah membuka matanya kini berubah menjadi setan yang
mengejar-ngejarnya, yang mengejeknya, sehingga ia malu ! Malu dan harus ia pergi dari situ cepat-cepat. Begitu
cepat larinya sehingga ia tidak mendengar lagi seruan jauh di belakangnya, seruan suara halus
memanggil-manggilnya. Begitu tiba di tepi sungai di dalam terowongan, yaitu Arus Maut yang sudah mulai menurun
airnya dan tidak begitu ganas lagi, tanpa berpikir panjang Kwee Seng yang lari ketakutan terhadap kejaran setan
itu segera meloncat ke tengah.
"Byuuur!" Air muncrat tinggi. Akan tetapi biarpun ia sudah terjun ke dalam air dan menyelam di dalam air
dingin, tetap saja bayangan itu mengejar-ngejarnya dan mengejeknya, Kwee Seng meramkan mata, menggerakkan kaki
tangannya melawan arus air sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.
Ia tidak tahu betapa di pinggir sungai itu, seorang wanita berlutut dan menangis, memanggil-manggil namanya
dengan suara mengharukan, seorang wanita yang rambutnya riap-riapan; rambut yang hitam halus dan panjang,
seorang wanita yang pakaiannya tambal-tambalan, yang mukanya basah air mata, muka yang cantik jelita kedua
pipinya kemerahan hidungnya mancung bibirnya merah matanya jernih, muka yang muda dan jelita. Kwee Seng tidak
sempat melihat betapa wanita muda yang cantik ini menangis, di tangan kanannya tergenggam gagang kipasnya yang
dahulu rusak ketika ia terseret arus dan tinggal gagangnya saja, tidak sempat melihat betapa tangan kiri wanita
jelita itu tergenggam sebuah topeng daripada kulit yang amat halus buatannya, topeng seorang nenek-nenek tua
renta..!
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian yang sesungguhnya merupakan tokoh penting, kalau tidak yang
terpenting, dalam cerita ini. Sebelum kita melupakan gadis perkasa yang sudah mendatangkan banyak gara-gara
karena kecantikan dan kegagahannya ini, marilah kita mengikuti perjalanan dan pengalamannya yang amat menarik.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan, Liu Lu Sian tidak mau ikut pulang dengan ayahnya, Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, yang memeberi waktu satu tahun kepadanya untuk merantau dan "memilih suami". Gadis itu masih
berdiri termangu-mangu di atas puncak bukit, memandang ke arah jurang dimana Kwee Seng terjungkal dan lenyap.
Betapapun juga, ia merasa kasihan kepada Kwee Seng yang ia tahu amat mencintanya. Untuk penghabisan kali ia
menjenguk ke jurang hitam itu dan berkata lirih. "Salahmu dan bodohmu sendiri, mudah saja menjatuhkan hati
terhadap setiap gadis cantik." Kemudian ia menyimpan pedangnya dan berlari menuruni puncak bukit. Ia kembali
menuju ke benteng, akan tetapi tidak langsung ke sana, melainkan berkuda memasuki sebuah dusun yang masih ramai
karena penduduknya mengandalkan keamanan dusun mereka dengan benteng yang letaknya tidak jauh dari situ.
Sewaktu Lu Sian makan dalam sebuah warung untuk sekalian beristirahat menentramkan pikirannnya yang terguncang
dan sambil makan ia mengenangkan keadaan Jenderal Kam Si Ek yang amat menarik hatinya, ia mendengar derap kaki
banyak kuda memasuki dusun. Pelayan warung kelihatan gugup sekali dan di luar terdengar orang berteriak-teriak.
Tadinya Lu Sian tidak mempedulikan keadaan ini, akan tetapi ketika derap kaki kuda, mendekat, ia kaget sekali
mendengar gemuruh kaki kuda, menandakan bahwa yang datang adalah pasukan yang banyak jumlahnya. Dan ketika ia
menengok ke jalan, orang-orang sudah lari cerai-berai bersembunyi.
"Ada apakah, Lopek?" tanyanya kepada tukang warung yang juga kelihatan takut.
"Nona, tidak ada waktu lagi bicara panjang. Aku harus segera barsembunyi dan kalau nona sayang keselamatanmu,
sebaiknya ikut bersembunyi pula."
"Ada apakah ? Barisan apa yang datang itu?"
"Entah barisan apa. Akan tetapi terang bahwa ada pasukan berkuda yang banyak sekali lewat kampung ini, dan pada
saat seperti sekarang ini, semua pasukan merupakan perampok-perampok yang jahat, apalagi kalau melihat wanita
cantik." Setelah berkata demikian, tukang warung itu tanpa menanti Lu Sian lagi sudah lari melalui pintu belakang !

Lu Sian tersenyum mengejek dan melanjutkan makannya. Apa yang perlu ia takutkan ? Pasukan itu boleh jadi ganas
dan menggangu orang baik-baik, akan tetapi terhadap dia, mereka akan bisa apakah ? Boleh coba-coba ganggu kalau
hendak berkenalan dengan pedangnya ! Akan tetapi ketika mendengar derap kaki kuda itu sudah dekat, ia tidak
dapat menahan keinginan hatinya untuk ke luar warung menonton.
Kiranya pasukan yang cukup besar, lebih dari lima puluh orang pasukan berkuda, dengan kuda yang bagus-bagus,
dipimpin oleh seorang komandan muda yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam. Pada saat Lu Sian keluar, ia
melihat seorang menyimpangkan kudanya ke pinggir jalan dimana terdapat seorang wanita muda sedang
membetot-betot tangan puteranya yang berusia tiga tahun. Anak ini agaknya senang melihat begitu banyaknya orang
berkuda dan menangis tidak mau ikut ibunya. Wanita itu masih muda, usianya takkan lebih dua puluh lima tahun.
Wajahnya lumayan kulitnya kuning bersih.
"Aihh, manis kau tinggalkan saja anak nakal itu dan mari ikut denganku, malam ini bersenang-senang denganku.
Ha-ha-ha!" Penunggang kuda itu membungkukan tubuhnya ke kiri dan tangannya yang berlengan panjang itu sudah
diayun hendak menyambar pinggang wanita muda yang menjerit ketakutan.
"Tar-tar!" Dua kali cambukan mengenai lengan tentara yang hendak berbuat tidak sopan itu, disusul bentakan
nyaring, "Mundur kau ! Masuk barisan kembali ! Di wilayah Kam-goanswe, apakah kau berani hendak mencemarkan
namaku ? Orang tolol!" Kiranya yang mencambuk dan membentak itu adalah Si Opsir Muda. Wanita itu cepat-cepat
menggendomg anaknya yang menangis dan lenyap ke belakang sebuah rumah.
Akan tetapi mata opsir tinggi besar hitam itu kini mengerling ke arah Lu Sian, jelas bayangan matanya penuh
kekaguman dan kekurangajaran. Akan tetapi agaknya si opsir menahan napsunya dan melanjutkan kudanya, memimpin
barisannya menuju ke benteng. Hanya sekali lagi ia menengok dan tersenyum kepada Lu Sian. Juga hampir semua
anggota barisan menengok ke arahnya, tersenyum-senyum menyeringai. Muak rasa hati Lu Sian dan ia masuk kembali
ke dalam warung. Akan tetapi kejadian itu membuat ia duduk termenung, lenyap nafsu makannya.
Kam Si Ek agaknya amat disegani oleh para tentara pikirnya. Benar-benar seorang muda yang mengagumkan. Akan
tetapi mengapa pemuda seperti itu suka menjadi seorang jenderal, padahal sebagian besar anak buahnya terdiri
dari orang-orang yang suka mempergunakan kedudukan dan kekuasaan serta kekuatan menindas Si Lemah ? Ia harus menguji kepandaiannya.
Setelah rombongan tentara itu lenyap berangsur-angsur penduduk kembali ke rumah masing-masing jalan penuh lagi
oleh orang-orang yang hilir mudik. Pemilik warung juga datang kembali dan ia terheran-heran melihat Lu Sian
masih duduk di situ, "Eh, kau masih berada di sini, Nona ? Hebat, benar-benar Nona memiliki ketabahan yang luar
biasa. Untung bahwa dusun ini dekat dengan benteng Kam-goanswe, kalau tidak, tentu sudah rusak binasa dusun ini
sejak lama seperti dusun-dusun lain yang dilewati rombongan seperti itu."
"Lopek (Paman Tua), apakah semua tentara selalu berbuat kejahatan seperti itu terhadap rakyat?"
"Boleh dibilang semua. Tergantung kepada komandannya. Kalau si komandan baik, anak buahnya pun baik. Ah, kalau
saja semua perwira seperti Jenderal Kam, tentu hidup ini akan lebih aman dan tenteram. Semoga orang seperti
Kam-goanswe diberi panjang umur!"
Lu Sian termenung. Orang muda seperti Kam Si Ek memang sukar dicari keduanya. Dalam hal ilmu silat, tentu saja
tidak mungkin dapat mengalahkan Kwee Seng. Akan tetapi dalam hal-hal lain Kam Si Ek jauh menang kalau
dibandingkan dengan Kwee Seng. Teringat ia penuh kekaguman betapa Kam Si Ek menghadapi rayuan tiga orang wanita
cantik. Dan ia merasa jantungnya berdebar ketika ia teringat ucapan Kam Si Ek sebulan lebih yang lalu ketika
panglima muda itu naik ke panggung di pesta Beng-kauw untuk menolong seorang pemuda yang kalah. Masih terngiang
di telinganya kata-kata Kam Si Ek ketika itu, "Hanya Tuhan yang tahu betapa inginnya hatiku menjadi pemenang
.... Akan tetapi .... Bukan beginilah caranya. Maafkan, Nona, biarlah aku mengaku kalah terhadapmu." Itulah
kata-katanya, kata-kata yang jelas merupakan pengakuan bahwa pemuda ganteng itu juga "ada hati" terhadapnya.
Malam hari itu, dengan mengenakan pakaian ringkas akan tetapi setelah menghias diri serapi-rapinya, Lu Sian
membawa pedangnya, berlari cepat menuju ke benteng Kam Si Ek. Ia menjadi heran dan juga lega melihat bahwa
penjagaan di sekitar benteng sekarang sama sekali tidaklah sekuat kemarin, bahkan beberapa orang penjaga yang
berada di pintu benteng, kelihatan sedang bermain kartu di bawah sinar pelita reng. Dengan mudah Lu Sian lalu
melompati tembok benteng melalui sebatang pohon, dan beberapa menit kemudian ia telah berloncatan ke atas
genteng.
Akan tetapi ketika ia berada di atas genteng gedung tempat tinggal Kam Si Ek yang berada di tengah-tengah
kumpulan bangunan itu, ia mendengar suara orang berkata-kata dengan keras, seperti orang bertengkar. Cepat ia
berindap dan dengan hati-hati melayang ke bawah memasuki gedung dari belakang, dan di lain saat ia mengintai
dari sebuah jendela ke dalam ruangan di mana terjadi pertengkaran. Ia melihat seorang wanita berpakaian serba
putih yang bukan lain adalah Lai Kui Lan kakak seperguruan Kam Si Ek. Kui Lan berdiri di tengah ruangan sambil
bertolak pinggang, mukanya kemerahan metanya berapi-api marah sekali. Di hadapannya duduk tiga orang perwira,
dengan muka tertawa-tawa mengejek. Seorang di antaranya, yang duduk di tengah bukan lain adalah komandan
pasukan yang tadi dilihat Lu Sian ketika pasukan lewat di dusun.
"Lai Li-hiap , sebagai bekas pembantu Sutemu, saya harap Li-hiap (Nona Yang Gagah) suka ingat bahwa urusan
mengenai ketentaraan adalah urusan kami, Li-hiap tidak berhak mencampurinya." Kata perwira yang duduk di kiri.
"Betul, sudah cukup lama kami terpaksa bersabar dan tak berkutik di bawah kekerasan Kam-goanswe. Sekarang
Phang-ciangkun (Panglima Phang) yang memegang komando di benteng ini, Lai-hiap tidak berhak mencampuri urusan
kami!" kata perwira ke dua yang duduk di sebelah kanan. "Sudah terlalu banyak Li-hiap biasanya mencampuri
urusan ketenteraan, sewenang-wenang menghukum anak buah kami padahal biarpun Li-hiap adalah kakak sepergurun
Kam-goanswe namun Li-hiap tetap seorang biasa, bukan anggauta ketentaraan."
Makin marahlah Lai Kui Lan. Ia menuding telunjuknya ke arah dua orang bekas pembntu adik seperguruannya itu.
"Kalian manusia-manusia yang pada dasarnya sesat ! Suteku menjalankan disiplin keras, menghukum tentara
menyeleweng, itu sudah semestinya ! Dan aku membantu Suteku menegakkan nama baik benteng ini, mencegah anak
buah melakukan penganiayaan kepada rakyat, juga sudah merupakan kewajiban setiap orang gagah. Di depan Sute,
kalian berpura-pura baik, sekarang , baru setengah hari Sute pergi memenuhi panggilan gubernur untuk menghadapi
bahaya serangan bangsa Khitan, kalian sudah memperlihatkan sifat asli kalian yang buruk ! Membiarkan anak buah
kalian menculik wanita, merampas harta benda rakyat. Orang-orang macam kalian ini mana patut memimpin tentara ?
Pantasnya dikirim ke neraka !"
Dua orang perwira itu marah dan bangkit berdiri sambil mencabut golok mereka, sedangkan Kui Lan masih berdiri
tegak tanpa mencabut senjata, memandang dengan senyum mengejek karena ia sudah maklum sampai di mana kepandaian
kedua orang bekas pembantu sutenya itu. Akan tetapi komandan baru benteng itu, Phang-ciangkun yang tinggi besar
dan berkulit hitam itu segera berdiri, tertawa dan menjura kepada Kui Lan
"Nona, betapapun juga, kedua orang saudara ini berkata benar bahwa semenjak saat berangkatnya Sutemu tadi,
secara sah akulah yang menjadi komandan di sini dan bertanggung jawab terhadap semua peristiwa. Nona, sebagai
seorang yang sudah lama hidup di dalam benteng, tentu Nona tahu akan peraturan-peraturan di sini, tahu bahwa
segala apa yang terjadi adalah tanggung jawab sepenuhnya daripada komandan benteng. Mengapa Nona sekarang
hendak turun tangan sendiri ? Bukankah ini berarti Nona melakukan pemberontakan dan sama sekali tidak memandang
mata kepada komandan barunya ? Nona, harap nona suka bersabar dan daripada kita bertengkar yang hanya akan
menimbulkan hal-hal tidak baik dan memalukan kalau terdengar anak buah, lebih baik mari kita bergembira, makan
minum bersama dan bersenang-senang!" Setelah demikian, komandan muda itu memandang kepada Kui Lan dengan sinar
mata bercahaya, muka berseri-seri mulut tersenyum, jelas membayangkan maksud hati yang kurang ajar.
Hampir meledak rasa dada Kui Lan saking marahnya. Akan tetapi ia tahu bahwa sutenya sendiri akan marah kalau ia
menimbulkan keributan di dalam kekuasaan komandannya, maka ia segera berkata keras, "Aku akan menyusul Sute,
akan kuceritakan semua dan awaslah kalian kalau dia kembali!" Setelah berkata demikian, ia membalikkan tubuhnya
dan meloncat keluar dari dalam rumah itu.
Tiga orang perwira itu tertawa-tawa bergelak. "Ha-ha-ha, perempuan galak itu pergi! Baik sekali ! Dia memang
akan mendatangkan kesulitan saja kalau tetap tinggal di sini. Dia hendak menyusul Kam Si Ek ? Ha-ha-ha!" kata
seorang yang duduk di kiri.
Temannya, yang duduk di kanan berkata pula sambil tertawa, "Begitu datang ke kota, Kam Si Ek akan terjeblos ke
dalam perangkap. Sucinya menyusul, biarlah ditangkap sekali. Phang-ciangkun, mari kita bersenang-senang makan
minum sepuasnya, dan anak buah kami tadi berhasil menangkap beberapa ekor anak ayam, kau boleh pilih yang
paling mungil, ha-ha-ha!"
Mereka bertiga tertawa-tawa gembira, akan tetapi hanya sebentar karena secara tiba-tiba saja mereka berhenti
tertawa, berdiri dan mencabut senjata. Di depan mereka telah berdiri seorang gadis yang cantik jelita dan gagah
perkasa. Gadis yang bertubuh ramping padat, berpakaian indah tapi ringkas sehingga mencetak bentuk tubuhnya,
rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas, diikat dengan pita sutera kuning, wajahnya jelita sekali dengan
sepasang mata bintang, hidung mancung dan bibir merah. Begitu dia muncul, ruangan itu penuh bau yang harum
semerbak. Di tangannya tampak sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya, gagang pedang berupa kepala
naga.
Tiga orang perwira itu berdiri ternganga, tidak hanya kaget melihat tadi ada sinar berkelebat dan ternyata
berubah menjadi seorang gadis, kan tetapi juga terpesona, kagum menyaksikan kecantikan yang tiada taranya ini.
Phang-ciangkun agaknya teringat akan gadis ini, gadis yang siang tadi keluar dari sebuah rumah makan. Ia adalah
seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran, seorang yang sudah mengeras oleh tempaan pengalaman, maka
cepat ia dapat menenteramkan hatinya, malah segera tertawa dan berkata.
"Ah, Nona yang cantik seperti bidadari ! Kau sudah menyusul datang ? Apakah hendak menemaniku makan minum?"
Akan tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget karena tahu-tahu meja di depannya telah melayang ke arahnya. Tidak
tampak siapa yang melakukan ini, hanya kelihatan gadis jelita itu sedikit menggerakkan kaki. Dengan goloknya,
Phang-ciangkun menangkis dan membacok meja yang pecah menjadi dua sedangkan dia sendiri melompat ke pingir,
akan tetapi tetap saja ada kuah sayur asin yang menyambar ke mukanya, membuat matanya pedas sekali. Dua orang
temannya berseru marah dan meloncat maju dengan golok di tangan, menerjang Lu Sian.
"Tahan!" teriak Phang-ciangkun, yang betapapun juga, merasa sayang kepada gadis yang luar biasa cantiknya ini,
tidak ingin melihat gadis itu terbunuh dan ingin menawannya hidup-hidup. Dua orang temannya menahan golok dan
meloncat mundur.
"Nona, kau siapakah ? Dan apa sebabnya kau datang mengamuk ? Tidak ada permusuhan di antara kita!"
Dengan telunjuknya yang kecil runcing Lu Sian menuding ke arah muka hitam itu. "Ihh, manusia keparat ! Kau
masih bisa bilang tidak ada permusuhan ? kau menipu Kam Si Ek, kemudian merampas kedudukannya, menghina
sucinya. Dan kau masih bilang tidak ada apa-apa?"
"Eh, kau apanya Kam Si Ek?" "Tak usah kau tahu!" jawab Lu Sian dan tahu-tahu pedangnya berkelebat menjadi sinar
berkilauan yang bergulung-gulung dan menyambar ke arah Phang-ciangkun. Perwira ini kaget bukan main. Itulah
sinar pedang yang luar biasa, tanda bahwa pemainnya adalah seorang kiam-hiap (pendekar pedang) yang mahir. Ia
cepat memutar golok besarnya, dan dua orang perwira pembantunya juga meloncat dari kanan kiri membantunya. Akan
tetapi mereka itu hanyalah orang-orang kasar yang pandai memerintah anak buah, menggunakan kekuasaan dan
kekasaran untuk bertindak sewenang-wenang, yang hanya berani dan sombong karena mengandalkan anak buah banyak.
Mana bisa mereka menghadapi pedang Toa-hong-kiam di tangan Liu Lu Sian, dara perkasa yang telah digembleng
secara luar biasa sejak kecil oleh ayahnya ? Tak sampai sepuluh jurus, Phang-ciangkun sudah terjungkal dengan
leher terputus, dan dua orang perwira pun terjungkal, seorang tertembus dadanya oleh pedang, yang seorang lagi
sengaja dirobohkan dengan sebuah totokan pada lambungnya. Sebelum roboh tiga orang itu sempat berteriak-teriak
memanggil bala bantuan, akan tetapi ketika penjaga di luar gedung menyerbu ke dalam, mereka hanya melihat
Pang-ciangkun dan seorang perwira pembantunya menggeletak tak bernyawa lagi, sedangkan perwira pembantu lainnya
telah lenyap. Para penjaga berserabutan lari mencari dan mengejar, ada yang melaui jendela yang terbuka, ada
yang melalui pintu depan dan belakang. Kentong dan gebreng dipukul bertalu-talu karena tadinya mereka itu semua
bersenang-senang karena mereka terbebas daripada tindakan disiplin keras dari Kam Si Ek.
Dengan cepat sekali Liu Lu Sian melarikan diri dari benteng sambil mengempit tubuh perwira yang dirobohkan
dengan totokan tadi. Setelah tiba di dalam hutan yang sunyi dan gelap, ia membanting perwira itu ke atas tanah
sambil membebaskan totokannya dengan ujung sepatu yang menendang. Perwira itu mengerang kesakitan dan ia segera
berlutut minta-minta ampun. Memang sebenarnyalah, hanya seorang pengecut yang biasa bertindak sewenang-wenang
apabila kebetulan kekuasaan berada di tangannya, akan tetapi begitu kekuasaannya lenyap dan ia terancam bahaya,
ia tidak akan merasa malu-malu untuk memperlihatkan sifat pengecutnya.
"Hayo lekas ceritakan, rencana jahat apa yang dilakukan komplotan Phang-ciangkun untuk mencelakakan Kam Si Ek !
Sekali kau membohong, pedangku akan memenggal lehermu!"
Merasa betapa pedang yang dingin menempel di tengkuknya, dengan suara tergagap-gagap perwira itu berkata,
"Ampunkan saya, Lihiap (Pendekar Wanita), saya... saya hanya orang bawahan, tidak ikut-ikut...! Yang mengatur
semua adalah Phang-ciangkun dan teman-temannya di Shan-si. Karena iri terhadap nama besar dan kekuasaan
Kam-goanswe, untuk diajak berunding mengenai urusan negara. Kesempatan ini dipergunakan Phang-ciangkun yang
mengundang Kam-goanswe ke ibu kota, akan tetapi di sana ia telah bersekongkol dengan teman-temannya untuk
menangkap Kam-goanswe dan melaporkan kepada Gubernur bahwa Kam-goanswe tidak mau menghadap dan malah
merencanakan pemberontakan."
"Hemm, keji!" Lu Sian makin keras menempelkan pedangnya. Hayo katakan di mana Kam Si Ek akan di tahan !"
"Saya... saya tidak tahu betul, hanya ... hanya mendengar dari Phang-ciangkun bahwa pencegatan akan dilakukan
di kota Poki dan mereka bermarkas dalam Kelenteng Tee-kong-bio di kota itu ... dan ... ahh!!" jerit terakhir
ini mengiringkan nyawanya yang melayang ketika pedang Yoa-hong-kiam memisahkan kepala dari badannya.
Lu Sian berlari pulang ke rumah penginapan, akan tetapi alangkah marahnya ketika mendapat kenyataan bahwa
pasukan tentara yang tadinya mengejarnya telah mendatangi rumah penginapan, merampas kuda dan pakaiannya,
bahkan memukuli Si Pemilik rumah penginapan dan merampas harta benda orang itu pula.
Penduduk sudah mendengar akan kehebohan di dalam benteng, tentang terbunuhnya ciangkun baru. Mereka merasa
kuatir sekali karena Jenderal Kam sudah pergi, dan diam-diam mereka mengharapkan bantuan Lu Sian. Maka ketika
gadis ini muncul, mereka itu, terutama sekali orang-orang tua para gadis yang terculik ke dalam benteng,
berlutut mohon bantuan Lu Sian untuk membebaskan gadis-gadis itu. Tanpa menjawab Lu Sian lenyap ke dalam gelap,
dengan hati panas ia kembali ke benteng !
Tak lama kemudian, menjelang tengah malam, kembali timbul geger di dalam benteng. Kandang kuda kebakaran,
belasan orang penjaga tewas dan kuda yang paling baik, tunggangan Phang-ciangkun sendiri, seekor kuda pilihan,
telah lenyap ! Akan tetapi, Lu Sian sama sekali tidak peduli tentang nasib gadis-gadis yang tertawan. Memang
demikianlah watak Liu Lu Sian. Ia terlalu mementingkan diri sendiri, dan hanya mau turun tangan mati-matian
untuk membela kepentingan sendiri atau kepentingan orang yang ia cinta. Urusan orang lain ia sama sekali tidak
peduli.
Kota Poki adalah sebuah kota di propinsi Shan-si, kota yang cukup besar dan ramai. Tembok kotanya tinggi dan
keadaan kota itu cukup subur dan makmur karena selain letaknya di kaki gunung Cin-ling-san, juga di sebelah
selatan kota ini mengalir Sungai Wei-ho yang airnya cukup untuk keperluan para petani di daerah itu. Pintu
gerbang-pintu gerbang kota selalu terbuka lebar dan orang-orang hilir mudik keluar masuk pintu gerbang,
berikut-kereta-kereta yang membawa banyak dagangan. Selain ini, juga sebagai kota pelabuhan sungai, banyak
barang mengalir masuk atau keluar melalui jalan sungai, menambah kesibukan para pedagang di dalam kota.
Lu Sian tidak mau memasuki kota itu dengan kudanya. Selain kuda yang ia tunggangi adalah kuda milik
Pang-ciangkun yang mungkin akan dikenal orang, juga kedatangannya ke kota itu adalah untuk menyelidiki Kam Si
Ek. Ia menitipkan kudanya pada seorang petani yang tinggal di dusun sebelah selatan kota, kemudian ia
melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Sebuah perahu menyeberangkannya ke kota Poki dan ia memasuki kota
yang ramai itu sambil berjalan perlahan.
Akan tetapi, ke manapun juga Liu Lu Sian pergi dan dimanapun ia berada, selalu gadis ini menjadi perhatian
orang. Tak lama sesudah ia masuk kota Poki, segera ia menjadi pusat perhatian, terutama laki-laki, yang
terpesona oleh kecantikannya yang luar biasa. Lu Sian tidak pedulikan mereka ini sungguhpun keadaan macam ini
selau mendatangkan rasa bangga di dalam hatinya. Yakin akan kecantikannya yang membikin semua orang laki-laki
menoleh untuk mengaguminya, Lu Sian berjalan dengan langkah cepat, lalu masuk ke dalam rumah penginapan yang
cukup besar, memesan kamar. Setelah berada di rumah penginapan, bebaslah ia daripada perhatian orang di jalan,
sungguhpun beberapa orang tamu penginapan dan para pelayan tetap saja menatapnya dengan pandang mata serigala
jantan kelaparan !
Karena tidak ingin menarik perhatian banyak orang, Lu Sian memanggil seorang pelayan mendekati kamarnya,
seorang pelayan yang sudah setengah tua dan berwajah jujur.
"Paman pelayan, tahukah kau dimana letaknya Klenteng tee-kong bio di kota ini ? Aku hendak pergi bersembahyang
ke sana."
Muka yang membayangkan kejujuran itu berkerut-kerut, lalu Si Pelayan menengok ke kanan kiri lebih dulu, baru
menjawab dengan suara perlahan. "Nona, kalau hendak bersembahyang, banyak kelenteng-kelenteng ternama di kota
ini. Mengapa harus ke sana? Lebih baik ke Kwan-im-bio di sebelah timur jembatan besar, atau ke Hai-ong-bio di
dekat sungai atau..."
"Tidak, aku hanya ingin bersembahyang ke Tee-kong-bio." Jawab Lu Sian yang sudah menduga bahwa agaknya
Tee-kong-bio merupakan tempat yang tidak menyenangkan hati pelayan itu, maka cepat disambungnya. Aku hendak
bersembahyang membayar kaul, maka harus ke Tee-kong-bio. Di manakah letaknya kelenteng itu?" Memang tentu saja
tidak sukar mencari kelenteng di dalam kota sebesar Poki saja, akan tetapi daripada bertanya-tanya orang di
jalan dan menarik perhatian, lebih baik kalau sudah mengetahui tempatnya sehingga dapat langsung ke sana.
"memang, Siocia (Nona), bukan sekali-kali saya hendak mencampuri urusan nona. Akan tetapi sungguh-sungguh
keadaan kelenteng itu tidak cocok untuk didatangi seorang tamu seperti nona. Kelenteng itu selalu sunyi, tak
pernah ada pengunjungnya, tidak terawat sehingga hampir merupakan sebuah kelenteng kuno yang sudah tak terpakai
lagi. Yang datang ke situ hanyalah orang-orang gelandangan, hwesio-hwesio yang suka minta derma paksa dan...
ah, sudahlah, saya sudah bercerita cukup. Kelenteng itu letaknya di sebelah utara kota, dekat pintu gerbang,
tempat yang sunyi. Sebaiknya Nona jangan pergi ke sana..."
"Cukup, aku dapat menjaga diri. Terima kasih atas keteranganmu." Kata Lu Sian yang merasa tak sabar lagi
mendengar ucapan Si Pelayan. Pelayan itu melihat sinar mata marah dari Lu Sian, membalikkan tubuhnya dan pergi
sambil mengangkat pundak.
Karena amat menguatirkan nasib Kam Si Ek, siang itu juga Lu Sian ke luar dari rumah penginapan. Ia hanya
membawa pedangnya yang disarungkan di punggung. Kembali banyak pasang mata laki-laki menoleh ke arahnya, bahkan
banyak yang berhenti berjalan dan mengikutinya dengan pandang mata kagum. Akan tetapi Lu Sian tidak
menghiraukan mereka, mulutnya memperlihatkan senyum mengejek. Ketika ia lewat di jalan yang menuju ke utara,
jalan yang agak sunyi, ia melihat sekelompok orang muda terdiri dari lima orang yang tadinya bercakap-cakap di
pinggir jalan, saling berbisik ketika melihatnya, kemudian mereka itu sengaja berdiri di tengah jalan sikap
yang menjemukan. Melihat mereka itu ia tidak takut biarpun ia membawa-bawa pedang, agaknya mereka itu terdiri
dari orang-orang yang mengandalkan diri sendiri, agaknya mereka tahu sedikit akan ilmu silat maka hendak
menggodanya.
Lu Sian tidak mau membuang banyak waktu dengan urusan-urusan kecil. Ia menghadapi urusan besar hendak mencari
dan menolong Kam Si Ek, apa gunanya melayani segala macam laki-laki kurang ajar seperti mereka itu ! Ia
mengerahkan lwee-kangnya dan terus melangkah dengan tindakan gagah, sama sekali tidak melirik ke arah mereka.
Sebaliknya, lima orang laki-laki itu membuka mata lebar, mengeluarkan suara tak menentu dan seperti dikomando
mereka lalu menyingkir ke pinggir jalan dengan mata masih melotot lebar dan mulut ternganga. Siapa orangnya
yang tak menjadi gentar melihat seorang gadis cantik yang berpedang di punggungnya, berjalan seenaknya akan
tetapi bekas telapak kakinya membuat tanah yang diinjaknya ambles sampai sejengkal dalamnya ? Seekor gajah pun
takkan meninggalkan tapak kaki seperti itu di atas jalan yang banyak batunya !
Lu Sian mempercepat jalannya ketika kelenteng itu sudah tampak dari jauh. Genteng-gentengnya banyak yang pecah
dan sepasang ukiran naga di atas genteng kelenteng itu pun sudah luntur warnanya dan mustika naga di tengah
yang diperebutkan dua ekor naga itu sudah pecah-pecah pula. Tembok bangunan kelenteng juga sudah tampak
batanya. Agaknya kelenteng Tee-kong-bio ini dahulunya besar juga, akan tetapi karena tidak terawat, maka
menjadi amat buruk. Pekarangannya luas, bahkan di belakangnya juga terdapat kebun yang luas, bangunannya besar,
akan tetapi di depan kelenteng sudah tidak tampak asap hio (dupa) mengebul seperti sudah menjadi tanda pada
tiap rumah kelenteng. Namun, di tembok besar masih terdapat ukiran dengan huruf-huruf besar yang juga sudah
lenyap warnanya, yaitu huruf TEE KONG BIO (Kelenteng Malaikat Bumi).
Dilihat dari depan, kelenteng itu demikian sunyi seakan-akan tidak ada penghuninya. Pintu depannya yang terdiri
dari sepasang daun pintu amat besar dan tebal, juga tertutup. Tanpa ragu-ragu lagi Lu Sian memasuki pekarangan
dan sesampainya di depan pintu, ia menggunakan tangannya mendorong. Terdengar suara berkerit seperti biasa
bunyi daun pintu yang lama tidak dibuka tutup. Lu Sian menanti sebentar, akan tetapi suasana tetap lengang,
tidak ada sambutan pada suara daun pintu itu. Kiranya hanya daun pintu yang terdepan itu daja yang terkunci.
Dari luar kin tampak jendela-jendela dan daun-daun pintu sebelah dalam terbuka belaka, ada yang terbuka separuh
ada yang terbuka seluruhnya. Akan tetapi jelas bahwa tempat ini pernah dikunjungi orang-orang, malah bekas
telapak kaki pada debu di lantai masih baru. Keadaan di dalamnya sama dengan keadaan di luar, penuh debu dan
kotor tidak terpelihara. Di sana-sini tampak kertas-kertas butut, ada pula tikar-tikar butut. Meja toapekong
(arca kelenteng) tidak tertutup kain lagi, dan tempat toapekong juga kosong. Hanya arca-arca yang sudah hampir
rusak, singa-singaan batu yang tiada harganya, masih tetap di tempatnya. Barang-barang lain yang berharga tidak
tampak lagi.
Dengan penuh ketabahan Lu Sian melangkah masuk. Ruangan tengah juga kosong, tidak tampak manusia. Dengan
hati-hati ia melangkah lagi. Terdengar suara gerakan di sebelah kelenteng. Ia waspada dan mencabut pedangnya
dengan tangan kanan, lalu memasuki sebuah kamar di ruangan tengah itu. Di atas meja yang terbuat daripada bata
tampak sebuah pot kembang di mana tumbuh kembang yang masih segar, dan di sudut ruangan terdapat sebuah arca
singa. Selain itu kosong, tidak tampak apa-apa lagi. Lu Sian melangkah di ambang pintu yang tak berdaun lagi,
memasuki kamar.
"Wer-wer-wer ......!!" Tiga buah benda melayang cepat mengarah leher dan dadanya. Lu Sian cepat miringkan
tubuhnya dan tiga batang pisau menancap pada dinding di belakangnya. "Hui-to (Golok Terbang)!" Lu Sian berseru
kaget karena maklum bahwa hanya orang-orang pandai saja yang dapat melontarkan golok terbang sekaligus tiga
buah secara demikian kuat. Ia maklum menghadapi lawan tangguh.
"Hanya pengecut saja yang menyerang orang secara menggelap!" bentaknya marah.
Dari arah dalam terdengar orang tertawa disusul jawaban, "Hanya pengecut saja yang memasuki tempat orang tanpa
permisi!"
Merah sepasang pipi Lu Sian. Ia maklum akan kebenaran kata-kata itu. Akan tetapi sebagai seorang yang wataknya
tidak mau kalah, ia membentak, "Kalau kau bukan pengecut, keluarlah!"
Terdengar daun pintu berkerit dan muncullah seorang laki-laki yang sama sekali tidak disangka-sangka oleh Lu
Sian. Ia mengira bahwa penyerangnya tentu seorang hwesio yang biasanya mendiami kelenteng, atau orang jahat
yang telah menculik Kam Si Ek. Akan tetapi yang muncul adalah seorang pemuda yang tampan, berkepala kecil
bertopi batok, wajahnya yang muda dan tampan membayangkan kelicikan, terutama pada mulutnya yang tersenyum
mengejek dan matanya yang seperti mata burung hantu. Juga pemuda itu tercengang ketika bertemu dengan Lu Sian,
benar-benar tercengang sampai memandang dengan melongo.
"Aduhai, Kwam Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang cantik jelita agaknya yang datang berkunjung..!" katanya, masih
terpesona.
Sebaliknya, Lu Sian marah dan mendongkol sekali. "Cih, tak tahu malu ! mengaku-aku ini tempat kediamanmu
sedangkan tempat ini adalah sebuah kelenteng tua yang sudah kosong dan kau sama sekali bukan pendeta!"
Orang itu segera menjura, sikapnya manis dibuat-buat, matanya tetap mengincar wajah cantik dan mulutnya
tersenyum. "Bukan, Nona. Sama sekali aku bukan pendeta, melainkan seorang pemuda, berdarah bangsa Khitan yang
gagah berani, namaku Bayisan..."
"Tak peduli namamu anjing atau kucing aku tidak sudi mengenalnya ! Yang jelas, serangan gelapmu tadi tak
mungkin dapat kudiamkan saja tanpa terbalas!" Sambil berkata demikian, Lu Sian melangkah maju, pedangnya siap
menerjang.
Akan tetapi pemuda itu tetap bersikap tenang, bahkan tertawa lebar.
"Aku tadi tidak tahu bahwa yang datang adalah seorang dara perkasa yang cantik jelita, kalau aku tahu, mana aku
tega menyerang dengan hui-to ? Untung kau demikian pandai mengelak, kalau tidak... ah, sayang sekali kalau
mukamu sampai lecet."
"Keparat bermulut busuk!" Lu Sian marah dan pedangnya bergerak mengeluarkan suara berdesing. Bayisan cepat
meloncat mundur dengan wajah kaget sekali. Pedang itu menyambar hebat, menyerempet meja batu yang menjadi
terbelah dua seperti agar-agar terbabat pisau tajam saja !
"Kau... kau... puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ! Kau puteri Ketua Beng-kauw yang bernama Liu Lu Sian!"
Diam-diam Lu Sian terkejut. Begini hebatkah kepandaian orang asing ini sehingga melihat sekali gerakan
pedangnya saja sudah dapat mengenalnya ? Ia terkejut dan heran, terpaksa menunda serangannya, membentak. "Hemm,
kau sudah tahu siapa aku, tidak lekas berlutut?"
Akan tetapi Bayisan malah tertawa girang sampai terbahak-bahak. "Bagus ! Bagus sekali ! Karena terhalang urusan
penting, aku tidak sempat datang mengunjungi pesta Beng-kauw dan mencoba untuk memetik bunga dewata dari
Beng-kauw ! Sekarang bertemu di sini, bukankah ini jodoh namanya ? Sudah lama aku mendengar bahwa puteri
Beng-kauw memiliki ilmu kepandaian hebat, apalagi ilmu pedangnya, dan memiliki kecantikan yang tiada bandingya
di dunia. Sudah terlalu banyak aku melihat wanita cantik, akan tetapi tidak ada seorang pun yang boleh dikata
tiada bandingnya. Akan tetapi melihat kau, benar-benar tak pernah aku melihat lain wanita yang dapat
menyamaimu, maka terang bahwa kau tentulah Liu Lu Sian ! Aha, kebetulan sekali!"
Akan tetapi ucapan ini sudah membuat Lu Sian tak dapat menahan kemarahannya lagi. Juga ia menjadi lega karena
ternyata dari ucapannya itu bahwa Bayisan bukan mengenalnya dari sekali gerakan pedangnya tadi, melainkan dari
dugaan tentang ilmu pedang dan kecantikannya. Maka sambil berseru keras ia menggerakkan pedangnya lagi sambil
melangkah maju dan menusukkan pedangnya se arah dada lawan.
Bayisan cepat mengelak, miringkan badan ke bawah. Akan tetapi pedang Lu Sian yang bergerak aneh sudah mengejar
dengan lanjutan serangan membabat ke arah leher. Cepatnya bukan main ! Bayisan terkejut, cepat ia menggulingkan
diri ke bawah dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, sambil berguling ia melepaskan sebatang hui-to ke
arah lawan.
"Tranggg!" Lu Sian menangkis hui-to lawan dan sekarang Bayisan sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di
tangan sambil tertawa.
"Hebat ilmu pedangmu dan hebat kecantikanmu ! Kau patut menjadi isteri Panglima Bayisan, mari juitaku, mari
ikut aku ke Khitan. Kita berdua akan dapat merebut kekuasaan di sana dan hidup bahagia..."




bersambung........3

0 komentar:

Posting Komentar