mereka mendadak melempem seperti kayu bakar terendam air? Mereka merasa
yakin bahwa pukulan mereka mengandung tenaga sepenuhnya, hal ini terasa
benar. Akan tetapi mengapa kakek yang punggungnya membawa alat yang-khim
ini seperti tidak merasakan sesuatu.
“Belum, belum cukup!” Pak-kek Sian-ong membentak.
“Rasakan ini!” Lak-kek Sian-ong menyambung. Mereka lalu serentak maju
dan kini mereka menyerang Bu Kek Siansu. Pukulan mereka ini hebat
sekali. Batu hawa pukulannya saja mampu merobohkan lawan, bahkan Suling
Emas sendiri, seorang pendekar sakti, tadi juga digencet oleh hawa
pukulan mereka. Apalagi kalau pukulan itu langsung mengenai kulit lawan,
dapat dibayangkan bahayanya!
Akan tetapi, tepat seperti yang
dikatakannya tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak melawan, tidak
menangkis maupun mengelak. Ia berdiri tenang dan tegak, memandang dengan
sinar mata orang tua yang menghadapi kenakalan kanak-kanak.
“Buk-buk-plak!” Beberapa kali secara bertubi-tubi telapak tangan kedua
orang kakek aneh itu mengenai tubuh Bu Kek Siansu. Namun seperti juga
tadi, Bu Kek Siansu sama sekali tidak bergeming. Bahkan kedua orang
kakek itu yang menjadi pucat dan mundur-mundur dengan jerih karena
ketika menampar dan mendorong tadi, mereka merasa bahwa tubuh kakek
sakti itu “kosong” sehingga pukulan-pukulan mereka seperti batu-batu
berat yang tenggelam ke dalam laut dan tidak meninggalkan bekas.
“Mengapa kalian mundur? Sudah puaskah sekarang kalian memukulku? Kalau
belum puas, boleh ditambah lagi kelak dengan mencari aku di
puncak-puncak gunung. Cari saja di mana adanya Bu Kek Siansu....”
Tiba-tiba kakek sakti ini lenyap dari depan dua orang kakek aneh yang
tiba-tiba terbelalak matanya ketika mendengar nama Bu Kek Siansu itu,
dan biarpun sudah lenyap bayangannya, namun masih terdengar suara kakek
sakti itu melanjutkan kata-katanya “.... bahagialah orang yang sadar
akan kekurangan, kelemahan dan kebodohan sendiri.”
Pak-kek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sejenak tertegun seperti patung, kemudian
mereka mengeluh panjang dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat
itu.
“Omitohud.... pinni (aku) merasa bahagia sekali mendapat
kesempatan untuk bertemu kakek sakti Bu Kek Siansu dan mendengar
suaranya....” Kui Lan Nikouw merangkap sepuluh jari di depan dada dan
memuji-muji sebentar, kemudian ia membuka mata memandangi ketiga orang
keponakannya sambil berkata. “Dan amat menggirangkan hatiku bertemu
dengan Sian Eng dan Lin Lin pula di sini. Hal yang tak terduga-duga sama
sekali. Akan tetapi di manakah adanya Bu Song? Benarkah dia tadi Bu
Song?”
Agaknya saking tertarik oleh peristiwa munculnya kakek
sakti Bu Kek Siansu tadi, Lin Lin dan Sian Eng juga begitu terpesona
sehingga mereka seakan-akan melupakan Suling Emas. Baru sekarang mereka
menoleh dan mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan kaget.
Lebih-lebih Lin Lin yang menjadi bingung sekali, Bu Song? Kakak tirinya
yang sulung? Mengapa bibi guru ini menyebut-nyebut nama Bu Song?
Tiba-tiba muncul banyak orang dari balik gerombolan pepohonan, yaitu
tokoh kang-ouw yang sengaja datang hendak menonton pertandingan puncak
antara tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai dan bahkan ada beberapa orang di
antara mereka yang tewas. Dari dalam gelap berkelebat bayangan orang
mendekati Lin Lin sambil berkata.
“Suling Emas diculik seorang wanita baju hijau, kulihat lari ke arah sana!”
Mendengar ini, bagaikan kilat menyambar cepatnya, Lin Lin berkelebat ke
arah itu, mengejar. Hatinya pasan bukan main. Bukankah wanita baju
hijau itu wanita yang dipukulnya di tanah kuburan, yang kemudian dibawa
pergi oleh Suling Emas? Dia tadi mati-matian membantu dan membela Suling
Emas, akan tetapi wanita siluman itu malah yang sekarang menggondol
kekasihnya!
“Tunggu, Lin-moi....! Aku tahu....” akan tetapi Lin Lin sudah tak mendengarnya karena sudah lari terbang cepat sekali.
Sian Eng yang kini berada dalam keadaan “normal” memegang tangan kakaknya dan bertanya, “Apa yang kau ketahui, Sin-ko?”
“Tadi ada wanita baju hijau memondong Bu Song koko, ketika kukejar, dia
bilang hendak menolong Koko, membawanya kepada Kim-sim Yok-ong untuk
diobati.”
“Ah, mari kita kejar....!” dan tiba-tiba saja Bu Sin
merasa tangannya dipegang adiknya dan di lain detik tubuhnya telah
terseret seperti terbang cepatnya, mengagetkan dan mengherankan hati Bu
Sin yang benar-benar tidak mengerti bagaimana adiknya ini sekarang
memiliki tenaga dan gin-kang begini hebat. Seperti mereka, para tokoh
kang-ouw yang tadinya menjadi “penonton” kini mengelilingi Kui Lan
Nikouw dan ramai membicarakan dan memuji-muji Lin Lin dan Sian Eng yang
demikian berani dan gagah. Juga mereka tiada habisnya membicarakan Bu
Kek Siansu yang selama hidup mereka baru sekali itu mereka lihat dan
buktikan kesaktiannya yang tak dapat diukur lagi tingkatnya. Ketika
mereka membicarakan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, timbul
kekhawatiran besar di hati para tokoh ini karena mereka maklum kalau
Suling Emas saja tidak mampu mengalahkan mereka berdua, siapa lagi yang
akan dapat menahan mereka kalau mereka mengacau di dunia kang-ouw?
Satu-satunya manusia yang dapat menghadapi mereka kiranya hanya Bu Kek
Siansu, akan tetapi kakek sakti ini bukan manusia biasa dan tadi pun
tidak mau menurunkan tangan keras terhadap kedua kakek iblis itu.
“Harap Cu-wi jangan khawatir akan hal itu,” akhirnya Kui Lan Nikouw
berkata dengan suaranya yang halus dan tenang, “Betapapun tingginya uap
air terbang ke angkasa, akhirnya akan runtuh kembali ke bumi menjadi
hujan. Betapapun pandai dam jahatnya manusia menyeleweng daripada
kebenaran, akhirnya ia pun akan runtuh dan pasti ada yang
mengalahkannya. Kita serahkan saja kepada Yang Maha Kuasa. Maafkan,
Cu-wi sekalian, pinni tidak dapat melayani Cu-wi (Anda sekalian) lebih
lama bercakap-cakap karena pinni harus menyusul dan mencari
keponakan-keponakan pinni tadi.” Kui Lan Nikouw lalu menjura dengan
hormat dam meninggalkan orang-orang yang masih ramai membicarakan
peristiwa hebat tadi sampai pagi hari.
***
“Nona, lepaskan aku....”
Tan Lian kaget dan juga girang. Ia tadinya lari memondong tubuh Suling
Emas yang pingsan. Mendengar kata-kata ini, ia segera menurunkan Suling
Emas dengan hati-hati di atas rumput. Kemudian ia sendiri berlutut dam
memegangi lengan pendekar itu.
“Kau tidak apa-apa? Ah syukur
kepada Tuhan. Aku.... aku tadi khawatir sekali.... kalau.... kalau kau
mati.... aku pun tidak mau hidup lagi....” Gadis ini lalu menelungkupkan
mukanya di atas dada Suling Emas sambil menangis!
Suling Emas dengan gerakan halus mendorong pundak gadis itu, lalu ia bangkit duduk, malah terus berdiri.
“Nona Tan, harap kau suka sadar dan ingat! Insyaflah bahwa kau terseret
oleh nafsu perasaan yang tidak benar. Ah, mengapa kau selemah ini?”
Tan Lian kaget, seakan-akan disiram air dingin kepalanya. Ia pun
meloncat berdiri dan menghadapi Suling Emas. Untung sinar bulan agak
kemerahan sehingga menyembunyikan warna merah pada sepasang pipinya.
“Apa.... apa maksudmu?”
Suling Emas menarik napas panjang. Berat rasa hati dan lidahnya untuk
bicara akan tetapi ia maklum bahwa betapapun juga akibatnya, ia harus
bicara secara terus terang kepada nona ini. Pura-pura tidak tahu hanya
akan menambah berat penanggungan batin nona yang patut dikasihani itu.
“Nona,” suaranya perlahan dan agak tersendat, “terus terang saja, aku
telah tahu akan semua isi hatimu yang kaucurahkan di depan Kim-sim
Yok-ong. Aku tahu akan semua persoalanmu dan tahu pula akan niat hatimu.
Aku merasa terhormat sekali, Nona, dengan maksudmu untuk.... untuk
mengubah ikatan permusuhan orang tua kita dengan ikatan.... ikatan jodoh
antara kita. Akan tetapi hal itu tidak mungkin, Nona. Bukan sekali-kali
karena aku tidak menghargai perasaan hatimu, akan tetapi.... aku....
aku tidak dapat menerima itu dan.... dan hendaknya kau ingat pula akan
tunanganmu! Mana mungkin kita akan demikian tidak mengenal aturan
sehingga mementingkan kesenangan diri sendiri dengan mengesampingkan
perasaan orang lain yang terluka? Nona, kau kembalilah kepada
tunanganmu, dan antara kita.... biarlah kita tetap menjadi sahabat atau
saudara. Kita lenyapkan permusuhan antara orang tua kita dengan
kesadaran, bukan dengan.... dengan ikatan jodoh....”
Selama
bicara, Suling Emas tidak berani menentang muka nona itu. Dan memang
hebat akibat kata-kata ini yang tiap kata merupakan ujung pisau beracun
yang menikam jantung Tan Lian. Dengan muka pucat dan tubuh gemetar nona
itu beberapa kali membuka mulutnya tanpa ada suara yang keluar. Akhirnya
ia dapat memaksa mulutnya bertanya.
“Kau.... kau
menolakku....?” Tidak ada tikaman yang lebih hebat dan parah akibatnya
bagi seorang gadis daripada tikaman berupa penolakan cinta kasih oleh
seorang pemuda!
“Bukan begitu, Nona. Aku menolak karena tidak
mungkin melaksanakan maksud hatimu itu. Aku.... aku tidak mempunyai niat
untuk berumah tangga, di samping itu, kita harus ingat kepada
tunanganmu....”
“Cukup....! Kau.... kau dua kali menghancurkan
hatiku, membasmi harapanku....! Ahhh....!” Gadis itu lalu lari
sejadi-jadinya sehingga tidak melihat adanya sebatang pohon yang
ditabraknya begitu saja. Ia roboh terguling, merangkak bangun dan lari
lagi sambil menangis.
Seluruh urat syaraf di tubuh Suling Emas
bergerak mendorongnya hendak mengejar dan menghibur, namun ia
mengeraskan hati. Lebih baik begini, pikirnya, lebih baik dia
membenciku daripada aku harus memberi harapan yang kelak akan lebih
menghancurkan hatinya. Biarlah ia pergi dengan marah, karena hanya jalan
inilah yang akan mengurangi kepatahan hati gadis itu agaknya, biarlah
dia membenciku, pikirnya. Akan tetapi segera terasa dadanya sesak dan
cepat-cepat ia mengerahkan tenaga untuk menahan rasa nyeri yang
menyesak dada, kemudian ia lalu berlari cepat menuju ke pondok Kim-sim
Yok-ong.
“Wah, kau terluka berat....!” seru Kim-sim Yok-ong dan
begitu Suling Emas merebahkan dirinya di atas bangku panjang, tabib
sakti itu cepat-cepat membuka baju atas pendekar itu dan memeriksanya.
“Aiiihhh! Dua orang kakek iblis itu lagi-lagi yang menurunkan tangan
kejamnya!” serunya kaget. “Dua macam tenaga Im dan Yang menyerangmu.
Hebat.... ganas! Baiknya tenaga sin-kang dalam tubuhmu cukup kuat,
Kim-siauw-eng. Mudah-mudahan aku akan berhasil menolongmu. Tunggulah
sebentar, aku membakar jarum-jarumku.”
Suling Emas telentang dan
mengatur napasnya. Dadanya makin sesak dan ia harus mengakui kehebatan
bekas tangan kedua orang lawannya. Ia menjadi penasaran sekali, karena
ia diam-diam merasa bahwa andaikata ia tidak terpengaruh oleh racun
jahat Siang-mou Sin-ni, kiranya belum tentu ia akan terluka oleh
pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Rasa sesalnya
ini merugikannya, karena dadanya makin sesak dan untuk kedua kalinya
Suling Emas roboh pingsan setelah mengeluh panjang.
Kim-sim
Yok-ong mendengar keluhan dan menengok. Ia cepat menghampiri dan
memeriksa. Ia cepat menghampiri dan memeriksa, mencium pernapesan Suling
Emas, lalu menggeleng-geleng kepalanya, “Luar biasa sekali. Sepantasnya
ini hasil kerja Siang-mou Sin-ni, racun darah yang luar biasa jahatnya.
Hemmm, pendekar yang begini gagah tak boleh mati sebelum iblis-iblis
berupa manusia itu lenyap dari muka bumi.” Ia kembali kepada
jarum-jarumnya. Dengan tekun tabib sakti itu membuat persiapan-persiapan
dengan jarumnya dan sementara itu, malam sudah berganti pagi. Matahari
mulai menyinar, menerobos masuk melalui jendela ruangan yang dibukanya
lebar-lebar.
Mendadak berkelebat sesosok bayangan orang dan Lin
Lin sudah memasuki pondok itu. Begitu melihat Suling Emas telentang di
atas bangku panjang dengan muka pucat dan mata meram, ia meloncat dekat.
Kemudian ia melihat kakek yang sedang membakar jarum, dan melihat
banyak bahan-bahan obat di situ. Seketika harapannya timbul dan ia
segera menegur.
“Kakek yang baik bagaimana dengan dia....? Ah,
tolonglah dia, Kek.... kausembuhkan dia dan aku akan berlutut seribu
kali kepadamu....”
Sepasang mata Kim-sim Yok-ong bersinar-sinar.
“Nona cilik, tanpa kauminta aku pun memang sedang berusaha
mengobatinya. Upah berupa penghormatanmu sampai seribu kali itu terlalu
melelahkan. Aku tidak pernah minta upah untuk usahaku mengobati orang.”
Setelah berkata demikian, Kim-sim Yok-ong melanjutkan pekerjaannya
membakari jarum.
Lin Lin dapat menduga bahwa kakek itu tentulah
seorang tabib pandai, akan tetapi ia diam-diam merasa curiga. Tadi ia
mendengar dari seorang diantara penonton pertandingan bahwa Suling Emas
dibawa lari seorang gadis berbaju hijau, akan tetapi mengapa sekarang ia
temukan di dalam pondok ini dalam keadaan pingsan? Kemana perginya
gadis baju hijau? Siapa tahu, kakek ini masih ada hubungannya dengan
gadis baju hijau itu. Berpikir begini, Lin Lin segera memasuki ruangan
dan kamar lain, mencari-cari dan melakukan pemeriksaan! Hatinya lega
ketika mendapatkan kenyataan bahwa pondok itu memang tidak
menyembunyikan si nona baju hijau. Ketika ia kembali ke ruangan
pengobatan, kakek itu masih sibuk dengan jarum-jarumnya sedangkan wajah
Suling. Emas dalam pandangan Lin Lin makin pucat saja! Mulai
bingunglah Lin Lin.
“Kek, lekaslah, Kek.... mengapa kau
berlambat-lambat benar? Jangan-jangan dia takkan dapat kau tolong lagi.
Lihat, dia begini pucat....!” Lin Lin meraba-raba muka Suling Emas
dengan jari-jari tangannya, meraba-raba dadanya dan ingin ia menangis di
atas dada itu.
Ketika Kim-sim Yok-ong menengok dan menyaksikan
keadaan Lin Lin demikian itu, ia segera bertanya, “Nona, apamukah
Suling Emas?”
“Bukan apa-apa, akan tetapi kalau aku hidup dia
harus hidup pula, sebaliknya kalau dia mati aku pun tidak mau hidup
lagi. Kek, kau harus tahu, kalau kau dapat menyembuhkan dia, kau pun
akan hidup, sebaliknya kalau dia mati kau pun akan ikut kami!”
Sejenak sepasang mata kakek ini terbelalak, kemudian ia
menggeleng-geleng kepalanya. Wah, bocah ini memiliki sifat liar,
pikirnya, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi, dia mencinta Suling
Emas. Teringat ia akan Tan Lian yang juga mencinta pendekar itu. Kembali
Yok-ong menghela napas. Sungguh ruwet liku-liku cinta kasih dan
diam-diam ia merasa kasihan kepada Suling Emas. Dicinta dara-dara
“nekat” macam Tan Lian dan apalagi Lin Lin, benar-benar berabe!
Setelah selesai membakari jarum-jarumnya, Kim-sim Yok-ong lalu berjalan
menghampiri Suling Emas dan mulailah ia menusuk-nusukkan jarum-jarum
emas dan peraknya ke dada, leher, pundak dan bagian pusar. Lin Lin hanya
menonton dari pinggir dengan hati penuh ketegangan, pandang matanya
tidak pernah meninggalkan wajah Suling Emas yang masih pucat. Akan
tetapi, sepuluh menit kemudian terdengar pendekar ini mengeluh panjang
dan wajahnya mulai merah. Diam-diam Lin Lin girang bukan main.
Pada saat itu terdengar suara di luar pondok, “Ah, di sini agaknya!”
Ketika Lin Lin menengok, makin girang hatinya karena yang datang adalah
Sian Eng bersama Bu Sin. Dua orang ini tersenyum girang dan hendak
menegurnya dengan kata-kata. Akan tetapi Lin Lin cepat menaruh telunjuk
di depan mulut, mencegah mereka mengeluarkan suara berisik. Bu Sin dan
Sian Eng ketika melihat tanda ini dan melihat seorang kakek sedang
mengobati Suling Emas dengan tusukan-tusukan jarum, segera melangkah
maju dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara. Tiga orang muda itu
segera berdiri mengelilingi Suling Emas yang terlentang di atas meja,
sedangkan Kim-sim Yok-ong membungkuk dan mulai mencabuti jarum-jarumnya.
Setiap kali jarum dicabut, Suling Emas mengeluh dan setelah jarum
terakhir di lehernya dicabut, mulailah ia membuka kedua matanya. Ia
mula-mula memandang wajah Kim-sim Yok-ong, lalu memandang Lin Lin,
kemudian Sian Eng dan Bu Sin. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya
sejenak, lalu mengeluh lagi, “Kepalaku.... ah, pusing....”
“Bagus, itu tandanya dua hawa pukulan yang bertentangan itu sudah mulai
bergerak keluar. Lekas kau menelungkup. Bagian belakang tubuhmu
mendapat giliran ditusuk!” kata Kim-sim Yok-ong dengan wajah berseri.
Tanpa diperintah dua kali Suling Emas segera menelungkup di atas bangku
itu, dikelilingi adik-adiknya dan si tabib sakti yang memegang jarum
dengan jepitan telunjuk dan ibu jari tangan kiri, siap menusukkan ke
jalan darah tertentu.
Sian Eng yang keadaannya normal kembali
tiba-tiba teringat akan pelajaran yang ia baca di dalam gua di bawah
tanah. Tiba-tiba ia berseri-seri, sepasang matanya bersinar-sinar dan
tangannya diangkat ke atas, jari-jarinya bergerak-gerak lalu meluncur ke
atas punggung Suling Emas, menotoknya secara aneh sampai tiga kali
beruntun, mendahului jarum di tangan Kim-sim Yok-ong! Totokan aneh itu
dengan jitu mengenai pusat jalan darah di tengkuk, punggung dan
pinggang.
“Auuuhhhhh....!” Suling Emas mengeluh dan membalikkan kepala menoleh.
“Hebat....! Luar biasa....!” Kim-sim Yok-ong berseru.
“Enci Sian Eng....!” Lin Lin berseru, terkejut dan marah.
“Eng-moi, apa yang kaulakukan....?” Bu Sin juga membentak.
Akan tetapi secara tiba-tiba keadaan Sian Eng sudah berubah, kini ia
menoleh ke arah jendela yang terbuka, matanya liar, mukanya merah padam
dan mendadak ia mengeluarkan lengking aneh sekali yang seolah-olah
menggetarkan seisi ruangan itu, disusul tubuhnya yang berkelebat
melayang keluar jendela.
“Enci Eng....!” Lin Lin loncat mengejar.
“Sian Eng...., tunggu....!” Bu Sin juga mengejar.
Sementara itu Kim-sim Yok-ong berdiri terbelalak keheranan melihat
Suling Emas sudah dapat meloncat turun dan hendak mengejar pula. Akan
tetapi Suling Emas ingat bahwa ia berada dalam keadaan setengah
telanjang, maka ia tidak jadi lari mengejar, melainkan cepat-cepat ia
menyambar baju dan memakainya.
“Hebat, gadis itu.... ia memiliki
tenaga dan ilmu mujijat! Im-yang Tiam-hoat (Ilmu Menotok Im Yang)
seperti itu hanya dimiliki ketua Siauw-lim-si....” kata si tabib sakti
itu.
“Dia adikku, harus kukejar. Ada sesuatu yang tidak wajar
terjadi....” kata Suling Emas dan ia pun melompat keluar jendela. Akan
tetapi ia mengeluh dan melompat masuk lagi, lalu duduk bersila
mengerahkan sin-kang. Ketika melompat tadi, dadanya kembali sesak
rasanya.
“Kau sudah sembuh sama sekali oleh totokan Im-yang
Tiat-hoat tadi, akan tetapi luka di dalam dadamu belumlah sembuh benar.
Tak boleh kau bergerak mengeluarkan tenaga dalam sebelum istirahat dan
minum obat,” kata Kim-sim Yok-ong. Suling Emas menarik napas panjang.
Hebat memang akibat pukulan dua orang kakek itu. Ia sudah sembuh, akan
tetapi sekali mengeluarkan tenaga gin-kang atau lwee-kang, lukanya akan
terasa nyeri. Sedikitnya ia harus beristirahat dua hari sehingga
lukanya sembuh betul.
Sementara itu, Lin Lin yang mengejar
dengan cepat, ternyata tidak dapat melihat bayangan Sian Eng. Begitu
cepatnya dan begitu anehnya gerakan Sian Eng sehingga dalam sekejap mata
saja lenyaplah encinya itu. Namun Lin Lin tetap mengejar dengan hanya
mengira-ngirakan arah yang dapat ditempuh encinya. Karena pengejaran
yang dilakukan secara kira-kira ini, maka jurusan yang diambil Lin Lin
berbeda dengan jurusan yang diambil oleh Bu Sin. Dalam mengejar
saudara mereka itu kedua orang muda ini berpencar.
Setelah
melalui dua buah hutan di lereng Thai-san tanpa menemukan jejak Sian
Eng, Lin Lin tiba-tiba teringat akan keadaan Suling Emas dan ia
menghentikan pengejarannya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan diri
Suling Emas. Sudah sembuhkah dia? Ataukah totokan Sian Eng, yang aneh
tadi malah membahayakan keselamatan nyawanya? Lin Lin merasa khawatir
sekali dan akhirnya ia berlari kembali menuju ke pondok Kim-sim Yok-ong.
Kiranya ia telah menghabiskan waktu beberapa jam dalam pengejaran itu
dan karena ia belum hafal akan daerah hutan-hutan Gunung Thai-san ini,
ia mulai menjadi bingung ke mana ia harus mencari pondok Kim-sim
Yok-ong! Lin Lin mengingat-ingat jalan yang ditempuhnya tadi dan
beberapa kali ia meloncat naik ke puncak pohon tinggi untuk mencari-cari
pondok si tabib sakti.
***
“Locianpwe.... tolonglah....! Selamatkan dia!”
Suara setengah menangis ini membangunkan Suling Emas daripada
samadhinya. Ia membuka mata dan bangkit berdiri. Kim-sim Yok-ong
sedang sibuk mencari daun-daun dan akar-akar obat di sebelah belakang,
maka agaknya tidak mendengar suara orang di depan pondok itu. Suling
Emas melangkah keluar pintu pondok dan melihat seorang pemuda kurus
pucat berlutut di depan pintu pondok sambil menangis. Karena memang
Suling Emas mengintai dari tempat jauh ketika pemuda ini untuk pertama
kali datang ke pondok, maka ia mengenal bahwa pemuda ini adalah tunangan
Tan Lian, pelajar yang bernama Thio San itu.
“Apakah yang
terjadi? Ceritakan!” Suling Emas bertanya, di dalam hatinya ia merasa
amat tidak enak dan kasihan karena ia merasa dirinya menjadi “gara-gara”
kesengsaraan hati pemuda ini.
Thio San, pemuda itu mengangkat
muka dan ia agak bingung melihat seorang laki-laki gagah yang tak
dikenalnya. Ia mengharapkan pertolongan tabib sakti, bukan orang muda
ini.
“Jangan ragu-ragu, sahabat. Aku tahu bahwa kau adalah
tunangan Nona Tan Lian. Saudara Thio San, apakah yang terjadi? Aku
adalah sahabat baik tunanganmu itu, ceritakanlah apa yang terjadi, aku
menolongmu.”
Pada saat itu, Kim-sim Yok-ong berjalan mendatangi
dari belakang. Melihat kakek itu muncul, Thio San menangis lagi dan
berkata, “Locianpwe, tolonglah dia! Dia.... dia hendak menjadi nikouw,
hendak menggunting rambutnya, dan hendak bunuh diri! Saya tidak kuasa
menahannya....!”
Mendengar ini, Suling Emas cepat menyambar
tangan pemuda itu dan menariknya pergi. “Cepat, antarkan aku
kepadanya!” Jantung Suling Emas berdebar-debar tegang, dan ia merasa
khawatir sekali. Sedikit pun tak pernah ia menyangka bahwa hati Tan
Lian akan sekeras itu, tak mengira bahwa gadis itu akan menempuh jalan
nekat. Sambil berjalan setengah berlari biasa, tak berani ia berlari
cepat, pikiran Suling Emas membayangkan keadaan Tan Lian. Mula-mula
gadis itu bersumpah hendak membalaskan dendam ayahnya, kemudian gadis
itu kecewa karena tidak mampu mengalahkannya, bahkan lebih celaka lagi,
gadis itu jatuh cinta kepadanya. Kemudian, di depan makam ayahnya, Tan
Lian bersumpah hendak memusuhi anak isteri Suling Emas, kemudian melihat
kenyataan bahwa Suling Emas tidak beristeri, lalu timbul kembali cinta
kasihnya dan berhasrat menghabiskan permusuhan dengan perjodohan. Akan
tetapi kembali harapan ini buyar ketika Suling Emas dengan terus terang
menyatakan tak dapat menerimanya.
Ia dapat membayangkan betapa
hancur hati gadis itu. Kecewa, menyesal, malu, merasa terhina dan gadis
yang tadinya merupakan seorang pendekar wanita, keturunan pendekar
besar mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, anak berbakti, kini telah
mengambil keputusan nekat untuk menjadi nikouw, bahkan hendak membunuh
diri. Dan semua ini dialah yang menjadi gara-garanya. Kalau Tan Lian
berhasil membunuhnya, atau kalau dia mau menerimanya sebagai isterinya,
tentu takkan terjadi hal-hal ini. Akan tetapi itu bukanlah merupakan
jalan keluar yang baik. Apalagi menerima gadis itu menjadi isterinya.
Bukankah itu berarti merebut hak orang lain? Dan dia pun tidak ada rasa
kasih terhadap Tan Lian! Sayang, seorang gadis yang baik, seorang anak
yang berbakti!
Berbakti! Kata-kata ini mendatangkan ilham bagi
Suling Emas. Inilah agaknya senjata yang dapat ia pergunakan untuk
memecahkan persoalan Tan Lian ini.
“Mari cepat, di mana dia?”
“Di depan itu, di balik gunung-gunungan batu, di tepi jurang!” kata
Thio San, suaranya gemetar penuh kegelisahan. Dia ini calon suami yang
amat baik, pikir Suling Emas. Dengan hati penuh cinta kasih murni,
pemuda ini akan dapat mendatangkan bahagia di hati Tan Lian.
Benar saja, ketika mereka memutari gunung-gunungan batu, tampaklah Tan
Lian duduk menangis, berlindung dari teriknya matahari di bawah batu
yang menonjol, jurang curam yang luas terbentang tak jauh di depan.
“Lian-moi.... Thio San berseru dengan isak tertahan.
Tan Lian mengangkat mukanya dan ia meloncat karena kaget melihat Suling
Emas datang bersama tunangannya. Adapun Suling Emas berdiri seperti
patung, hatinya serasa tertusuk melihat gadis itu. Muka gadis itu pucat
sekali, kedua pipinya basah air mata, matanya kemerahan dan kepalanya
gundul plontos. Rambut yang tadinya gemuk hitam dan panjang, yang ia
lihat diurai ketika gadis itu bersumpah di depan makam ayahnya, kini
lenyap sama sekali. Wajah itu tetap cantik, dan kegundulan kepalanya
sama sekali tidak mengakibatkan lucu, melainkan mendatangkan rasa iba.
“Kau.... kaubawa dia datang bersamamu? Kau.... kalian terlalu
menghinaku! Apa gunanya hidup lagi?” Gadis itu lalu beriari cepat menuju
ke tepi jurang, siap hendak meloncat.
“He, tunggu dulu, Nona!
Dengar dulu omonganku....!” Suling Emas berlari maju dan Thio San juga
lari mengejar dengan kedua lengan dikembangkan, wajahnya makin pucat.
Di tepi jurang, Tan Lian menoleh, kedua tangannya sudah berkembang siap
meloncat ke dalam mulut maut yang ternganga lebar di bawah kakinya.
“Jangan dekat! Aku akan meloncat dan tak seorang pun dapat mencegahku.
Mau bicara apa, boleh bicara, tapi jangan mendekat!”
Dengan hati
tegang terpaksa Suling Emas menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa
kalau ia mendekat lagi, gadis nekat ini akan meloncat turun tanpa
mendengarkan lagi kata-katanya. Hatinya perih melihat titik-titik air
mata menetes dan sepasang mata yang lebar, jeli itu memandang kepadanya
penuh sesal.
“Nona Tan, ingat dan sadarlah. Pikiriah
masak-masak. Apa kau tidak kasihan kepada Saudara Thio San, tunanganmu
ini? Dia amat mencintamu, mencinta dengan murni, dengan sepenuh jiwa
raganya. Nona, dia bersedia melupakan segala-galanya, bersedia,
menerimamu dan melanjutkan perjodohan kalian. Tak seorang pun laki-laki
di dunia ini yang dapat mencintamu seperti dia....”
Sepasang
mata itu terbelalak memandangnya, bibir yang gemetar itu berkata lemah,
“Dia.... dia....?” Tertusuklah hati Suling Emas oleh pandang mata dan
kata-kata ini. Ia maklum apa artinya itu. Pandang mata dan dua kata itu
merangkai pertanyaan tek berbunyi, “Mengapa dia dan dia saja, mengapa
bukan engkau?”
“Sudahlah, pergilah kalian. Atau.... barangkali
kalian ingin melihat aku terjun?” Kembali Tan Lian siap untuk terjun
ke depan.
“Lian-moi....! Kalau kau bertekad hendak mati, biarlah
aku menemanimu ke alam baka!” teriak Thio San. Teriakan ini agaknya
meragukan Tan Lian.
Melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk menghalangi maksud gadis keras hati itu, tiba-tiba suling Emas berkata keras.
“Nona Tan Lian, kau ternyata adalah seorang anak yang paling murtad dan
tidak berbakti di dunia ini! Arwah ayahmu pasti akan merasa malu
sekali!”
Cepat sekali Tan Lian membalikkan tubuhnya. Matanya
memandang penuh kemarahan kepgda Suling Emas. “Suling Emas! Tutup
mulutmu! Kau sudah menghinaku, apakah kau juga hendak menghina ayah?
Tak boleh kausebut-sebut nama ayah, dan aku.... karena baktiku kepada
ayah maka sampai begini!”
Suling Emas sengaja tersenyum
mengejek. “Huh, orang seperti engkau ini masih mengaku berbakti kepada
ayah? Kau durhaka dan tidak berbakti. Orang seperti Saudara Thio San
ini, barulah bisa disebut setia dan berbakti. Ia berbakti dan
menjunjung tinggi perintah ayahnya untuk menjadi jodohmu dan ia setia
kepadamu sampai mati. Akan tetapi engkau? Huh, kau durhaka terhadap
ayah, masih pura-pura merasa diri berbakti? Memalukan!”
“Jahanam, tutup mulutmu! Buktikan apa yang kaukatakan tidak berbakti
itu, kalau kau tidak dapat membuktikan, hemmm.... aku akan mengadu nyawa
denganmu!”
Suling Emas tertawa memanaskan hati. “Kau sudah
bersumpah membalaskan dendam ayahmu, tidak terlaksana. Hal itu masih
bisa dimengerti karena ibuku yang hendak kaubalas sudah meninggal dunia,
pula untuk membalas dendam itu kepadaku, memang kau tidak mampu
menangkan aku. Akan tetapi ayahmu telah memilih Thio San menjadi
jodohmu. Perintah ayahmu ini bukan tak dapat kaupenuhi, karena Thio San
masih ada dan pemuda itu mencintamu. Mengapa kau mengingkarinya? Mengapa
kau hendak melanggar janji perjodohan yang ditentukan ayahmu?
Bukankah dengan demikian berarti kau menyeret ayahmu ke jurang
kehinaan, sebagai orang yang mengingkari janji ikatan jodoh? Huh-huh,
kukira kalau kau sekarang meloncat terjun ke dalam jurang itu dan
mampus, arwahmu akan disambut penuh kemarahan dan kebencian oleh arwah
ayahmu. Nah, kau loncatlah, biar kulihat!” Suling Emas berdiri tegak
sambil memangku tangan.
“Kurang ajar!” Thio San berteriak sambil
berlari menghampiri Suling Emas. Kemarahannya membuat wajah pemuda ini
merah padam, “Kau kurang ajar sekali. berani mengeluarkan kata-kata
menghina seperti itu kepada Lian-moi. Biarpun kau seorang pendekar yang
pandai ilmu silat, biarlah aku yang mengadu nyawa denganmu untuk
mencuci penghinaanmu!” Setelah berkata demikian Thio San menggerakkan
kedua tangannya, bertubi-tubi memukuli muka dan dada Suling Emas yang
menerima semua pukulan itu tanpa melawan dan dengan mata tidak
berkedip.
“San-koko.... jangan....!” Thio San yang tadinya sudah
merasa betapa sia-sia memukuli “manusia baja” yang seperti tidak
merasakan pukulannya dan yang sebaliknya malah membuat kedua tangannya
sakit itu, tercengang dan cepat menengok mendengar sebutan “koko” dari
tunangannya. Ia melihat tunangannya itu menangis tersedu-sedu menutupi
muka dengan kedua tangan.
“Lian-moi, dia kurang ajar!”
“.... tidak.... dia benar.... Ya Tuhan.... ayah, ampunkan anakmu ini, ayah....!”
Thio San cepat maju memeluk tubuh tunangannya yang terhuyung-huyung
hendak roboh. Gadis itu makin tersedu-sedu di atas dada tunangannya.
“Koko.... kau.... pun maafkanlah aku....” isaknya. Thio San hanya dapat
mengusap pundak gadis pujaan hatinya dengan air mata bercucuran. Ketika
ia menengok, ia melihat Suling Emas sudah melangkah pergi dari situ
dengan wajah berseri dan bibir tersenyum. Thio San mengejap-ngejapkan
matanya menahan haru yang menguasai hatinya. Ia takkan melupakan
pendekar itu, selama hidupnya. Tahulah ia sekarang bahwa sesungguhnya
nyawa Tan Lian tertolong oleh Suling Emas, bukan hanya nyawa Tan Lian,
melainkan juga nyawanya, kebahagiaan hidupnya! Cepat-cepat ia lalu
memapah dan merangkul Tan Lian, diajak pergi meninggalkan jurang yang
tetap menganga dan sunyi, seakan-akan merenungi peristiwa itu tanpa
perasaan apa-apa.
Suling Emas berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguhpun tadi ia berhasil mencegah
Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan kembali dua buah
hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng, namun semua
hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biarpun ia
berhasil membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar,
kepada orang yang berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan
kembali dendam gadis itu sebagai pelaksanaan daripada kebaktian
terhadap ayahnya. Sumpah di depan kuburan yang tadinya terselimut oleh
rasa cinta, kini muncul kembali berupa ancaman terhadap keluarga Suling
Emas!
Berkali-kali Suling Emas menarik napas panjang dan karena
perjalanan ini sedikit banyak mempergunakan tenaga, ia merasa dadanya
sakit kembali. Dalam keadaan melamun dan nelangsa ini ia tidak tahu
bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu bahwa udara yang tadinya
terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai bertiup. Baru setelah
ada daun-daun gugur yang tertiup angin keras menghantam mukanya, dan
kain kepalanya hampir terlepas terbang dari kepalanya, ia sadar dan
kaget. Ternyata cuaca sudah menjadi agak gelap dan udara yang tadinya
tenang menjadi liar karena angin bertiup keras. Sebentar lagi turun
hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke arah gunung batu di mana terdapat
banyak gua-gua batu untuk berlindung.
“Suling Emas....!”
Di dalam gua ia membalikkan tubuh. Kiranya Lin Lin yang memanggilnya
dan kini gadis itu yang berlari cepat sudah masuk gua, serta-merta
gadis ini merangkul dan menangis, membenamkan muka ke dadanya! Suling
Emas memejamkan dan mendongak ke ataS, sekuat tenaga berusaha menekan
guncangan hatinya, namun sia-sia.
“Ah, betapa gelisah dan
khawatir hatiku tadi.... aku sedang mengejar Enci Sian Eng ketika aku
teringat akan keadaanmu. Aku hendak kembali ke pondok namun sesat
jalan. Aku.... aku gelisah dan melihat kau berjalan dengan muka pucat
bersama pemuda itu, aku heran dan mengikuti.... pertemuanmu dengan gadis
baju hijau yang aneh. Ah, Suling Emas, betapa khawatir hatiku. Dia....
dia mencintamu dan.... ah syukurlah. Kini aku bahagia. Kiranya kau hanya
mencinta aku seorang, seperti juga aku hanya mencinta engkau seorang di
dunia ini....!”
Suling Emas tidak menjawab, tidak mampu
menjawab karena jantungnya yang berdebar-debar seakan-akan hendak pecah
itu mencekik tenggorokannya. Karena itu ia hanya dapat menggelengkan
kepalanya keras-keras. Gerakan ini agaknya terasa oleh Lin Lin yang
segera mengangkat muka memandang. Suling Emas menunduk, muka mereka
berdekatan, dua pasang mata saling pandang. Kembali Suling Emas
menggeleng kepala dan pandang matanya sayu.
Lin Lin memeluk
lebih erat lagi. “Kenapa kau menggeleng kepala? Apa maksudmu hendak
menyangkal? Suling Emas, betapapun kau hendak berpura-pura, hatimu tidak
akan dapat menipuku, tidak akan menipumu. Debar jantungmu meneriakkan
betapa kau mencintaku. Ah, jangan kaugoda aku....!” Kembali Lin Lin
membenamkan mukanya pada dada yang bidang itu. Sejenak Suling Emas
tenggelam ke dalam alam perasaan indah dan nikmat yang membuat ia
membelai-belai rambut hitam halus dan menciuminya penuh nafsu. Biarpun
mereka tak berkata-kata, dengan muka Lin Lin terbenam di dada Suling
Emas dan muka Suling Emas terbenam di rambut Lin Lin, namun keduanya
sama-sama tenggelam dalam kebahagiaan yang hanya dapat dirasakan oleh
mereka yang terbuai asmara. Mereka tidak menghiraukan bahkan tidak
tahu betapa angin makin keras mengamuk di luar gua.
“Koko (kanda).... sebetulnya siapakah namamu?” Lin Lin berbisik lirih.
Akan tetapi bagi Suling Emas, bisikan lirih ini seakan-akan merupakan
halilintar menyambar kepalanya yang menghancurkan semua mimpi indah dan
menyeretnya kembali kepada kenyataan. Dengan halus akan tetapi pasti ia
memegang kedua pundak Lin Lin dan mendorong gadis itu sehingga terlepas
dari padanya kemudian ia melangkah mundur dan memutar tubuhnya
membelakangi Lin Lin sambil berseru keras, “Tidak.... tidak
mungkin....!”
Tentu saja Lin Lin terkejut sekali dan memandang
dengan muka pucat dan hati khawatir. “Ada apakah? Apa yang tidak
mungkin....?” katanya sambil memegang lengan Suling Emas, akan tetapi
pendekar ini tetap membuang muka dan kedua matanya dipejamkan.
“Tak mungkin kita lanjutkan kegilaan ini. Lin Lin, aku.... betapapun
perih rasa hatiku, aku.... aku tak mungkin begitu gila untuk menerima
perasaanmu yang murni. Tak mungkin!” Kata-kata terakhir ini keluar dari
mulut Suling Emas seperti keluhan dengan suara gemetar dan parau.
Lin Lin tersentak bagaikan disambar petir. Dua titik air mata meloncat
turun di atas pipinya yang pucat dan sepuluh jari tangannya
bergerak-gerak saling remas membayangkan hati yang bingung, perih dan
gelisah.
“Kenapa....? Kenapa....? Suling Emas, bukankah kau
mencintaiku? Sejak pertama kali kita bertemu di kota raja.... sikapmu
selama ini.... pengakuanmu di depan gadis tadi.... bukankah itu semua
membuktikan bahwa kau pun mencintaiku seperti aku mencintamu?
Ataukah.... aku telah salah duga? Suling Emas, katakanlah, sebagai
seorang laki-laki yang gagah, katakanlah, apakah kau menolak kasihku?
Apakah kau tidak.... tidak mencintaku seperti yang kuduga?”
Suling Emas bersedakap memangku lengan, ia masih membuang muka dengan
mata terpejam karena tidak kuasa ia memandang wajah gadis yang bicara
dengan suara begitu tergetar memilukan. Akhirnya ia dapat menjawab,
suaranya lirih dan tersendat-sendat menahan goncangan hati.
“Adik Lin Lin, semata-mata bukan aku menolak cinta kasihmu, bukan pula
membencimu, akan tetapi justeru aku sangat menyayangkan nasibmu kelak
apabila kau menjadi jodohku. Lin Lin, engkau cantik jelita, muda remaja,
engkau berhak memperoleh seorang suami yang lebih segala-galanya
daripada aku. Masih banyak kesempatan bagimu untuk bertemu jodoh yang
tampan dan gagah perkasa, seorang satria sejati yang tepat menjadi teman
hidupmu selamanya. Aku.... ah, aku sudah tua untukmu, Lin Lin!”
Di belakang punggungnya, Suling Emas mendengar isak tangis Lin Lin. Ia
mengeraskan hatinya. Apa yang ia ucapkan tadi adalah suara hatinya. Lin
Lin adalah adiknya, sungguhpun bukan adik kandung dan berasal dari
orang lain, namun gadis ini sudah menggunakan she (keturunan) ayahnya,
bernama Kam Lin, adik Kam Bu Song, dia sendiri! Ayahnya sudah meninggal
dunia, berarti dia sebagai putera sulung menjadi pengganti ayahnya. Dia
adalah kakak Lin Lin, juga wakil ayah Lin Lin. Dia yang berkewajiban
mencarikan jodoh untuk adiknya ini, jodoh yang tepat. Mana mungkin dia
sendiri terlibat cinta kasih dengan Lin Lin! Mana mungkin dia
memperisteri Lin Lin, mengambilnya sendiri menjadi jodohnya. Dunia akan
mentertawakannya, arwah ayahnya akan mengutuknya, Thian akan
menghukumnya. Kalau saja Lin Lin bukan bernama Kam Lin, bukan adik
angkatnya, agaknya ia akan membuka kedua lengannya, karena hanya pada
Lin Lin ia melihat pengganti Suma Ceng!
“Tidak....! Kau tidak
tua bagiku. Aku tidak sudi menjadi jodoh orang lain. Aku hanya
mencintaimu seorang! Suling Emas, apakah cinta kasih murni mengenal
usia? Ah, Suling Emas, aku yakin betul akan cinta kasihmu, mengapa kau
harus berpura-pura, menipu diri sendiri? Mengapa kau hendak merenggut
pertalian kasih antara kita, rela merobek hatimu sendiri dan
menghancurkan hatiku, hanya karena alasan usia? Tak tahukah engkau bahwa
sikapmu ini mengakibatkan hati kita robek-robek berdarah, dan selama
hidup akan menyiksa kita sendiri? Aku hanya mencinta engkau seorang, dan
kau pun cinta kepadaku.... ah, aku mohon kepadamu.... jangan patahkan
ikatan suci ini.... Suling Emas....!” Lin Lin menangis sesenggukan dan
tiba-tiba ia berlutut dan merangkul kedua kaki Suling Emas!
“Jangan....! Jangan begitu....!” Suling Emas berseru kaget sambil melangkah mundur.
“Biarlah! Kaulihat. Demi cinta kasihku kepadamu, aku berlutut dan
bermohon kepadamu! Aku merendahkan diri, aku bersikap hina, karena....
karena cintaku. Kau telah mengenalku, kalau bukan demi cintaku, lebih
baik aku mati daripada merendahkan diri seperti ini....!” Tiba-tiba Lin
Lin mengangkat mukanya dan berteriak, “Suling Emas....!” Akan tetapi
pendekar itu sudah lenyap, tidak berada di dalam gua lagi. Dengan isak
tertahan Lin Lin melompat keluar, disambut angin dan air hujan. Matanya
sukar dibuka dan lebih sukar lagi melakukan pengejaran dalam keadaan
seperti itu.
“Suling Emas....!” Berkali-kali ia menjerit,
memanggil-manggil dan lari ke sana ke mari mencari pendekar itu sambil
menangis. Air matanya bercucuran menyaingi air hujan. Beberapa jam
kemudian tubuh Lin Lin menggeletak pingsan di antara siraman air hujan.
***
“Lin-moi....!” Bu Sin terkejut bukan main ketika melihat tubuh Lin Lin
seperti telah tak bernyawa lagi itu di atas rumput. Cepat-cepat ia
memondong tubuh adiknya dan berlari kembali ke pondok Kim-sim Yok-ong.
“Locianpwe.... tolonglah.... tolonglah adikku ini....! Kudapatkan dia
seperti ini di dalam hutan....!” Bu Sin berkata dengan suara gugup
kepada kakek tabib yang sedang duduk di ruangan dalam.
Kim-sim
Yok-ong menghampiri Lin Lin yang rebah di atas bangku panjang di mana
tadinya Suling Emas berbaring. Wajah Lin Lin pucat sekali seperti
mayat, dadanya tidak bergerak seakan-akan sudah tak bernapas lagi. Hal
inilah yang membuat Bu Sin kebingungan. Setelah menyentuh nadi
pergelangan tangan gadis itu, Yok-ong menggeleng-gelengkan kepalanya
dan menarik napas panjang, diawasi oleh Bu Sin yang menjadi amat
gelisah.
“Hemmm.... di dunia ini banyak terjadi hal-hal aneh!
Entah mengapa adikmu ini sekaligus dapat terserang perasaan malu, kecewa
dan duka secara berbareng. Padahal kulihat dia tadi demikian lincah
gembira. Akan tetapi jangan khawatir, dia tidak apa-apa.”
Bu Sin
lega hatinya, namun ia sendiri terheran mendengar keterangan itu. Lin
Lin merasa malu, kecewa dan berduka? Apa sebabnya? Ia memang sudah
terheran-heran melihat Lin Lin. Adiknya ini tiba-tiba memiliki
kepandaian yang hebat, demikian pula Sian Eng. Apakah yang terjadi
dengan kedua orang adjknya? Ia belum mendapat kesempatan untuk
bercakap-cakap. Kini Sian Eng secara aneh sekali telah pergi entah ke
mana, dan Lin Lin.... mengapa bisa begini?
“Tak usah kau
khawatir, Yok-ong bilang dia akan sembuh dua tiga hari setelah
beristirahat!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan Bu Sin segera
menengok, kiranya bibi gurunya, Kui Lan Nikouw yang berada di situ. Kui
Lan Nikouw memang tiba di pondok Yok-ong setelah orang-orang muda itu
pergi. Sebagai seorang beribadat, melihat keadaan Yok-ong, Kui Lan
Nikouw menjadi kagum sekali dan tanpa diminta ia lalu membantu merajang
akar dan daun obat di sebelah belakang pondok sambil menanti kembalinya
para keponakannya.
Nikouw ini biarpun ilmu silatnya tidak
sangat tinggi, namun ia merupakan tokoh yang terkenal pula di
Cin-ling-san dan tubuhnya masih kuat. Biarpun ia hanya berdiam di
Cin-ling-san, bertapa dan mengajarkan ilmu batin menurut pelajaran
Agama Buddha. Akan tetapi setelah lama ketiga orang murid keponakannya
meninggalkan Ting-chun, ia merasa khawatir juga, lalu pada suatu hari
ia meninggalkan Cin-ling-san, mencari keponakan-keponakannya ke kota
raja.
Secara kebetulan sekali di tengah perjalanan ia bertemu
dengan Bu Sin yang hendak mengunjungi Cin-ling-san untuk memberi laporan
kepada bibi gurunya tentang mereka bertiga, juga sekalian untuk
membicarakan rencana perjodohannya dengan Liu Hwee, puteri dari
Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw). Girang hati nikouw ini mendengar tentang
rencana perjodohan, akan tetapi di samping kegirangannya, ia pun merasa
gelisah memikirkan Sian Eng dan Lin Lin, maka ia menegur keponakannya
ini, “Sin-ji (anak Sin), mengapa kau tidak menanti adik-adikmu sehingga
dapat pulang bersama mereka? Kau benar-benar terlalu memikirkan
kepentingan sendiri. Kurasa, yang dapat menolong kita mendapatkan
adik-adikmu hanyalah Bu Song yang kini ternyata menjadi Suling Emas,
pendekar besar yang namanya sampai bergema di Cin-ling-san. Pinni (aku)
mendengar pula tentang pertandingan besar antara Thian-te Liok-koai di
Thai-san. Kurasa Suling Emas akan hadir pula di sana, maka sebaiknya
kita langsung ke sana menemuinya. Setelah kita berjumpa dengan Sian Eng
dan Lin Lin, baru kita beramai pergi kepada Beng-kauwcu untuk meminang
puterinya.”
Demikianlah, secara kebetulan sekali Kui Lan Nikouw
dan Bu Sin muncul ketika terjadi pertandingan hebat di puncak Thai-san,
di mana Kui Lan Nikouw roboh oleh hawa pukulan dua orang kekek sakti
karena hendak menyelamatkan Bu Sin, akan tetapi secara mujijat nikouw
ini ditolong oleh Bu Kek Siansu. Nikouw ini tadinya gembira sekali
karena tepat seperti dugaannya, ia dapat bertemu dengan Suling Emas di
puncak Thai-san, bahkan bukan hanya dengan keponakannya yang telah lama
hilang ini, juga malah bertemu pula dengan Sian Eng dan Lin Lin yang
telah memiliki kepandaian yang ajaib sekali. Akan tetapi kegembiraannya
hanya sebentar saja karena sekarang kembali kedua orang keponakannya itu
telah lenyap, bahkan kemudian Bu Sin kembali dengan Lin Lin yang berada
dalam keadaan pingsan, bahkan seperti telah mati. Baiknya ada Kim-sim
Yok-ong yang memberi jaminan bahwa Lin Lin tidaklah berbahaya
keadaannya.
Sampai dua hari dua malam Lin Lin tidak sadarkan
diri. Tak pernah membuka mata dan kadang-kadang ia mengigau tentang
hal-hal yang tak dimengerti sama sekali oleh Kui Lan Nikouw maupun Bu
Sin yang dengan hati-hati menjaganya. Ia sering kali mengigau tentang
usia tua, tentang cinta yang bernoda darah, tentang ratu-ratu dan
puteri-puteri. Sering kali ia menjerit, “Bukan karena tua, akan tetapi
karena kau mencinta wanita lain!”
Hanya sedikit bubur encer yang
memasuki perutnya, disuapkan ke dalam mulutnya oleh Kui Lan Nikouw.
Tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat sekali, dan biarpun kedua
matanya meram, akan tetapi banyak air mata keluar dari sepasang
matanya.
Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali ia membuka matanya, menengok ke kanan kiri, tampaknya bingung.
“Sin-ko....! Sukouw....!” Akhirnya ia berseru ketika mengenal dua orang
yang duduk di pinggir dipan. Ia bangkit duduk dan menubruk bibi gurunya
sambil menangis.
Kui Lan Nikouw mengelus-elus rambutnya, penuh
kesabaran, “Kau berbaringlah saja, anak baik. Kau sudah sembuh, hanya
perlu beristirahat.”
“Lin-moi, aku mendapatkan kau rebah pingsan di dalam hutan. Apakah gerangan yang terjadi?”
Kui Lan Nikouw memberi isyarat dengan matanya kepada Bu Sin, akan
tetapi pemuda ini sudah terlanjur bicara, maka nenek ini menoleh kepada
Lin Lin dengan khawatir. Menurut anggapannya, tidak tepat saatnya untuk
bicara tentang itu selagi Lin Lin baru saja sadar. Akan tetapi Lin Lin
hanya mengerutkan kening, menggeleng kepala, matanya sayu. Ini pun
hanya sebentar karena tiba-tiba matanya mengerling kepada Kui Lan Nikouw
dan kembali merangkulnya.
“Ah, girang sekali bertemu denganmu, Sukouw. Bagaimanakah Sukouw bisa muncul di sini? Seperti dalam mimpi saja!”
Lega hati Kui Lan Nikouw. Kiranya Lin Lin masih biasa seperti dulu,
ramah dan lincah. “Nanti kuceritakan, Lin Lin. Sekarang kau rebahlah,
kau perlu beristirahat kata Kim-sim Yok-ong.”
“Ah, Si Raja Obat
itukah yang menolongku? Benar-benar dia patut disebut Raja Obat, dan
tentang hatinya emas atau bukan, perlu diselidiki dulu.” Ia tersenyum
dan sudah mendapatkan kegembiraannya kembali. “Aku tidak merasa sakit
apa-apa, Sukouw, hanya.... lemas dan.... dan lapar sekali! Kalau begini
rasanya aku sanggup menghabiskan nasi sepanci dan ayam gemuk tiga ekor,
bakmi dua kati!” Gadis ini tertawa dan Kui Lan Nikouw juga tertawa.
“Bocah nakal! Dua hari ini kaubikin hatiku penuh kekhawatiran saja.”
Nikouw ini girang bukan main. Akan tetapi biarpun mulutnya tersenyum,
di dalam hatinya Bu Sin tidak puas. Ia terlampau kenal watak Lin Lin
yang memang mudah sekali berduka dan gembira, mudah menangis mudah
tertawa semenjak kecilnya. Akan tetapi kini ia melihat betapa di balik
wajah berseri dan senyum melebar itu terdapat awan gelap yang membayang
dari kesayuan mata adik angkatnya ini, mata sayu lesu yang hanya dapat
timbul karena kedukaan yang menindih hati. Maka diam-diam ia merasa
prihatin dan kasihan kepada Lin Lin, namun ia tidak berani bertanya
karena ia mengenal watak Lin Lin yang takkan mau bercerita kalau tidak
atas kehendaknya sendiri.
Ditemani oleh Kim-sim Yok-ong, Lin
Lin bersama kakaknya dan bibi gurunya lalu makan masakan tanpa daging
yang dimasak oleh Kui Lan Nikouw. Selesai makan mereka bicara tentang
peristiwa yang lalu terutama sekali tentang keadaan dan sikap Sian Eng
yang amat aneh.
“Sungguh aku merasa heran sekali melihat Enci
Sian Eng. Mengapa ia melarikan diri dan apakah yang terjadi atas
dirinya maka ia berubah seaneh itu?” kata Lin Lin.
“Kau sendiri
pun aneh, Lin-moi. Kulihat kau telah memiliki ilmu yang hebat sehingga
berdua dengan Sian Eng kau mampu melawan tokoh-tokoh iblis. Bagaimana
kau bisa mendapatkan kemajuan dalam waktu singkat dan memiliki ilmu yang
luar biasa?”
Lin Lin tersenyum. “Ah, kebetulan saja aku
mendapatkan warisan ilmu yang tak dapat kuceritakan dari mana asalnya.
Enci Sian Eng lebih hebat, dan menjadi begitu aneh, seakan-akan
kumelihat sinar yang tidak sewajarnya dari mukanya.”
“Sayang
sekali, Bu Song juga ikut pergi dan tidak kembali sampai sekarang. Belum
sempat aku bercakap-cakap dengan keponakanku itu. Ah, kurasa dia lebih
mengetahui akan keadaan Sian Eng yang aneh,” kata Kui Lan Nikouw.
“Siapa katamu, Sukouw? Kakak Bu Song....? Di mana dia....? Siapa....?”
Lin Lin bertanya dengan muka terheran-heran. Sudah dua kali ia mendengar
disebutnya nama kakaknya yang sampai kini belum ia lihat itu.
Bu Sin tertawa. “Kasihan kau, Lin-moi. Sampai sekarang pun kau belum
tahu dan belum dapat menduga? Aku dan Sian Eng sudah tahu. Yah, mungkin
karena kau selalu terpisah dariku, maka kau tidak tahu akan rahasia
ini. Suling Emas, pendekar itu, dialah sebetulnya kakak Kam Bu Song yang
kita cari-cari!”
“Prakkk!” Pecahlah cangkir yang berada di
tangan Lin Lin. Gadis ini bangkit berdiri, matanya terbelalak lebar
ketika ia memandang kepada Bu Sin dengan sinar mata tak percaya.
Kemudian ia memandang Kui Lan Nikouw dengan mata bertanya.
“Dia....? Kakakku....?”
Bu Sin tertawa gembira melihat keheranan dan kekagetan Lin Lin ini.
Akan tetapi Kui Lan Nikouw memandang dengan kening berkerut, karena
sekarang nenek inilah yang dapat melihat bahwa gadis itu tidak hanya
heran dan kaget saja. Ia segera berkata menerangkan.
“Tentu saja
dia kakakmu, Lin Lin! Bu Song adalah putera sulung ayahmu dengan Liu Lu
Sian. Kemudian Bu Sin dan Sian Eng adalah anak-anak ayahmu yang ke dua
dan ke tiga, dari ibu mereka yaitu Souw Bwe Hwa sedangkan kau sendiri
adalah....”
“Anak pungut! Aku hanya anak angkat!” Lin Lin berseru keras.
Kini Bu Sin memandang kaget. “Biarpun anak angkat, akan tetapi kau seperti anak ayah ibu sendiri, Lin-moi. Kau adik kami....!”
“Adik angkatnya! Sebetulnya orang lain!” Lin Lin kembali bersitegang sambil menggigit bibirnya yang gemetar.
“Hushhh! Mengapa kau bicara begitu?” Kui Lan Nikouw menegur. “Lin Lin,
kau juga puteri ayahmu, biarpun anak angkat akan tetapi kau sah menjadi
keluarga Kam. Kau she (bernama keturunan) Kam dan namamu Lin....”
“Bukan!” Lin Lin sudah meloncat sekarang, dan sinar keemasan
berkilauan ketika ia mencabut pedangnya. Pedang Besi Kuning! Melihat
ini, Bu Sin dan Kui Lan Nikouw juga bangkit berdiri dengan muka pucat.
Hanya Kim-sim Yok-ong yang tetap duduk tenang, hanya melirik sedikit ke
arah Lin Lin, agaknya kejadian seperti ini sama sekali tidak aneh
baginya karena ia telah mengetahui dasar-dasarnya.
“Bukan! Aku
bukan apa-apa kalian, bukan apa-apanya Bu Song! Aku tidak punya she Kam,
dan namaku adalah Yalina! Puteri Mahkota, Puteri Khitan, yang mulia
Puteri Yalina! Aku bukan apa-apa kalian. Aku bukan adiknya, bukan
adiknya....!” Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan lari keluar dari dalam
pondok, pedangnya berkilauan.
“Lin-moi....!” Bu Sin hendak mengejar akan tetapi lengannya dipegang Kui Lan Nikouw.
“Takkan ada gunanya, Sin-ji. Sejak dulu aku sudah menduga bahwa
sewaktu-waktu ia akan memenuhi panggilan darahnya. Memang dia berdarah
bangsawan Khitan. Kau tidak lihat sikapnya tadi? Begitu agung seperti
puteri! Biarkanlah, hatinya keras sekali dan kepandaiannya juga luar
biasa, percuma saja dihalangi kehendaknya.”
“Korban asmara
lagi....” Kim-sim Yok-ong bicara perlahan seperti orang bicara kepada
dirinya sendiri. “Penyakit orang muda yang amat sukar diobati. Percuma
saja aku disebut Raja Obat, terhadap penyakit yang satu ini aku
benar-benar angkat tangan....” lalu ia menarik napas panjang dan
meninggalkan meja, memasuki kamarnya untuk mengaso.
Bu Sin hanya
dapat saling pandang dengan bibi gurunya, tidak mengerti apa yang
dimaksudkan oleh Raja Obat itu. Yang paling bingung dan sedih adalah Bu
Sin. Kembali ia harus berpisah dari Sian Eng dan Lin Lin. Perpisahan
yang amat aneh dan luar biasa. Sian Eng lenyap tak meninggalkan bekas
sehingga sukar baginya untuk mencarinya. Akan tetapi Lin Lin biarpun
pergi secara aneh dan tidak sewajarnya, dapat ia duga bahwa adiknya,
adik angkat, yang luar biasa ini besar sekali kemungkinannya pergi ke
Khitan! Hanya Suling Emas yang dapat ia harapkan! Suling Emas, atau
kakaknya, Kam Bu Song seoranglah yang dapat ia harapkan bantuannya untuk
mencari kedua orang adiknya itu. Akan tetapi, Suling Emas juga lenyap
tak berbekas, ke mana ia harus mencarinya?
Sementara itu, Lin
Lin berlari-lari seperti orang gila, tidak peduli ke mana kakinya
bergerak membawanya, berlari sambil mengulang kata-kata, “Dia bukan
kakakku.... dia bukan kakakku....!” Sampai malam gelap tiba, gadis ini
terus berlari meninggalkan Pegunungan Thai-san dan akhirnya tibalah ia
di sebuah hutan di kaki gunung bagian utara. Malam yang gelap tidak
memungkinkan ia melanjutkan larinya. Ia menjatuhkan diri di atas rumput
dan duduk termenung. Tidak menangis lagi, namun beberapa kali ia masih
terisak, sedu-sedan menyelingi napasnya yang terengah-engah karena
berjam-jam lari cepat tadi melelahkannya. Pikirannya penuh dengan
bayangan Suling Emas, penuh dengan persoalan Suling Emas.
***
Sambil menyadarkan tubuhnya pada sebatang pohon, Lin Lin merenung. Ia
merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya. Hal ini jelas dapat ia
tangkap dari pandang mata, dari kata-kata, maupun dari gerak dan
belaiannya kemarin. Ia tahu bahwa Suling Emas memaksa diri menjauhinya,
memaksa diri memutus rasa cinta kasih. Apakah sebabnya? Inilah yang
menjadi bahan pemikirannya. Karena mereka masih bersaudara? Hanya
namanya saja saudara! She Kam yang ia pakai bukanlah she-nya yang aseli.
Ia tidak berdarah Kam! Tidak dari ayah, juga tidak dari ibu, tidak
menghubungkan pertalian darah antara dia dan Suling Emas. Apakah karena
Suling Emas betul-betul merasa telah tua? Ini pun tidak betul, karena
biarpun ada selisih usia antara dia dan Suling Emas, namun pendekar itu
belumlah tua, baru tiga puluh tahun lebih. Lalu, apa sebabnya dia
menolaknya. Karena di sana ada wanita lain! Tapi.... ia yakin bahwa
Suling Emas mencintanya.
Tiba-tiba ia teringat dan meloncat
bangun! Mengapa ia hanya mengingat akan Suling Emas? Sehingga ia lupa
akan Kam Bu Song? Ah, sekarang tahulah dia. Pernah ia mendengar tentang
hubungan asmara antara kakaknya itu, Kam Bu Song pernah bercinta dengan
puteri bangsawan adik Suma Boan. Dan Kam Bu Song adalah Suling Emas!
Ah, mengapa ia begini tolol? Teringat ia sekarang akan perjumpaannya
yang pertama kali dengan Suling Emas. Di dalam gedung perpustakaan di
istana kaisar. Perjumpaan pertama di tempat yang agak gelap itu, di
mana serta-merta Suling Emas memeluk dan menciumnya, kemudian kaget dan
minta maaf, bukankah ini jelas membuktikan bahwa Suling Emas menyangka
dia wanita lain, wanita yang menjadi kekasihnya, yang biasa
dipeluk-ciumnya dan biasa mengadakan pertemuan rahasia dengannya? Ah,
mengapa ia begitu bodoh? Terang bahwa Suling Emas mencinta wanita lain,
tak salah lagi, wanita itu tentulah adik Suma Boan!
Berpikir
sampai di sini, muka Lin Lin menjadi merah padam. Alangkah memalukan!
Ia mencinta orang yang selama ini dicari-carinya sebagai kakaknya! Dan
ia bertepuk sebelah tangan. Orang yang dicintanya sama sekali tidak
membalas, karena telah mencinta orang lain. Benar-benar ia telah
merendahkan diri sampai sehina-hinanya. Ia merasa malu sekali.
“Aku harus pergi jauh. Aku harus kembali ke Khitan. Aku takkan mau
bertemu muka dengan dia lagi, kecuali kalau aku sudah menjadi ratu di
Khitan! Baru aku suka bertemu dengan dia, sebagai ratu bukan sebagai
adiknya, apalagi sebagai.... kekasihnya. Tapi sebelum ke Khitan.... aku
harus melenyapkan wanita itu, wanita yang berani menolak cinta kasih
Suling Emas, wanita yang berani merampas hati Suling Emas, wanita yang
menjadi penghalang kebahagiaannya!” Berpikir demikian, hati panas
membuat Lin Lin lupa akan kelelahannya dan bangkitlah ia, lalu
melanjutkan perjalanan di waktu malam, keluar masuk hutan.
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kakinya dan kepalanya dimiringkan. Ia
mendengar suara aneh. Lengking tinggi berkali-kali menggema di malam
gelap. Hatinya berdebar. Suara sulingkah itu? Ia ragu-ragu. Ia tidak
sudi bertemu kembali dengan Suling Emas sebelum ia menjadi ratu di
Khitan. Akan tetapi.... sebelum ia pergi jauh, apa salahnya satu kali
lagi saja melihat wajahnya? Keraguan meliputi hati Lin Lin, akibat
daripada dua macam perasaan yang bertentangan. Namun akhirnya kakinya
melangkah, seakan-akan di luar kesadarannya, menuju ke arah suara
melengking-lengking, Pedang Besi Kuning sudah berada di dalam
tangannya.
Ketika tiba di tempat itu, Lin Lin tertegun. Di
sebuah tempat terbuka, di bawah sinar bintang-bintang yang
remang-remang, ia melihat pertempuran yang hebat dan ia tersentak kaget.
Siang-mou Sin-ni agaknya yang sedang bertanding, melawan seorang kakek
bongkok yang bukan lain adalah It-gan Kai-ong! Akan tetapi mana mungkin?
Bukankah Siang-mou Sin-ni sudah tewas, terjerumus ke dalam jurang, mati
di tangan Suling Emas? Dan suara melengking-lengking itu keluar dari
mulut Siang-mou Sin-ni. Akan tetapi, biarpun wanita itu bertanding
dengan rambut terurai, rambut itu tidak sepanjang Siang-mou Sin-ni dan
wanita ini bertanding tanpa menggunakan rambutnya seperti keistimewaan
Siang-mou Sin-ni! Apakah wanita baju hijau? Pernah ia melihat wanita
baju hijau itu berurai rambut ketika bersumpah di depan makam ayahnya.
Akan tetapi wanita itu baru-baru ini ia lihat tidak berambut lagi, sudah
gundul seperti seorang nikouw! Siapakah gerangan wanita ini?
Ia
mendekati dan melihat betapa wanita itu gerakan-gerakannya dahsyat dan
aneh luar biasa, It-gan Kai-ong merupakan lawan yang berat, tongkatnya
menyambar-nyambar mendatangkan angin keras. Akan tetapi gerakan kakek
itu lamban, dan teringatlah Lin Lin bahwa kakek pengemis mata satu ini
pun sudah terluka parah. Kalau tidak terluka, agaknya wanita itu bukan
lawannya. Lin Lin makin mendekat dan alangkah kaget dan marahnya ketika
ia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Sian Eng!
“Enci
Sian Eng, jangan takut. Kubantu kau menghajar mampus iblis ini!” setelah
berkata demikian, tubuhnya berkelebat ke depan, didahului sinar kuning
emas pedangnya yang sudah menerjang It-gan Kai-ong dengan ganas. Maklum
akan kelihaian lawan, serta-merta Lin Lin mainkan jurus-jurus yang ia
pelajari dari ilmu rahasia dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Hebat
gerakannya itu, biarpun belum matang sekali namun karena jurus-jurus
itu adalah jurus sakti yang khusus diciptakan oleh mendiang pendiri
Beng-kauw, Pat-jiu Sin-ong, maka hebatnya bukan main. Begitu pedangnya
bergerak, It-gan Kai-ong berseru, “Uhhhhh!” Dan kakek ini terhuyung ke
belakang, hampir saja perutnya termakan ujung pedang.
“Bagus,
Lin-moi adikku! Mari bantu aku bikin mampus anjing ini!” teriak Sian Eng
dengan gembira dan kedua tangannya melakukan serangan hebat, dengan
jari-jari terbuka mencengkeram ke arah dada kakek itu. Lin Lin tertegun
karena melihat betapa kedudukan kaki dan gerakan tangan encinya itu
mirip sedikit dengan ilmu barunya! Hal ini sebenarnya tidak aneh karena
sebuah di antara kitab yang dipelajari Sian Eng di dalam gua adalah
kitab ilmu silat Beng-kauw peninggalan Tok-siauw-kui yang tentu saja
dasarnya sama dengan ilmu yang ia warisi dari Pat-jiu Sin-ong. Karena
ini ia menjadi gembira dan mainkan pedangnya. Secara aneh sekali,
gerakan mereka seimbang dan setelah mereka menyerang bersama, maka
serangan itu merupakan rangkaian yang cocok dan daya serangannya hebat
bukan main. It-gan Kai-ong yang sudah terluka parah dalam
pertandingannya melawan Suling Emas beberapa hari yang lalu, menjadi
terkejut sekali. Biarpun dua orang gadis itu sudah mewarisi ilmu-ilmu
kesaktian yang luar biasa, namun andaikata ia tidak terluka parah,
agaknya tidaklah mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkannya. Akan
tetapi, apa hendak dikata, ia terluka hebat dan luka itu belum sembuh,
maka sekarang ia menghadapi keroyokan ini dengan berat. Beberapa kali
ia terhuyung dan pada saat ia menangkis Pedang Besi Kuning dengan
tongkat yang ia buat dari dahan pohon, kedua senjata itu saling tempel
tak dapat dipisahkan lagi. Inilah saat yang celaka bagi It-gan Kai-ong
karena pada detik berikutnya, pukulan tangan kanan Sian Eng dengan hebat
menghantam lambungnya.
“Blukkk....!” It-gan Kai-ong memekik
aneh dan mulutnya menyemburkan darah segar, lalu tubuhnya terjengkang ke
belakang. Pedang Besi Kuning yang sudah terlepas dari tempelan
tongkat, menyambar dan sebuah bacokan membuat pundak kiri It-gan
Kai-ong hampir putus. Kakek itu roboh dan pingsan seketika.
“Adikku, pinjamkan pedangmu sebentar!” kata Sian Eng dengan suara
bersorak, kemudian ia menerima Pedang Besi Kuning itu dan.... sambil
tertawa-tawa seperti orang gila Sian Eng lalu menghujani tubuh It-gan
Kai-ong dengan bacokan dan tusukan sehingga dalam sekejap mata saja
tubuh kakek itu hancur tidak karuan macamnya lagi.
“Sudah, Enci
Eng....!” Lin Lin merasa ngeri dan memalingkan mukanya. Ia merasa
ngeri dan heran mengapa encinya meniadi begitu ganas. “Cukup! Dia sudah
mati....!”
Akan tetapi Sian Eng terus membacok-bacok sambil
tertawa-tawa sampai tubuh itu tidak merupakan tubuh manusia lagi,
melainkan merupakan daging cacahan yang mengerikan. Tiba-tiba ia
berhenti membacok, melempar pedangnya ke atas tanah lalu.... gadis ini
menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis tersedu-sedu, sedih
sekali.
Lin Lin sejenak terkesima. Kemudian ia mengambil
pedangnya, membersihkannya dengan rumput dan menyarungkannya. Setelah
itu ia mendekati Sian Eng, berlutut, merangkulnya dan membujuk.
“Sudahlah, Enci Eng. Mengapa kau agaknya begitu membencinya? Mengapa
pula kau melarikan diri secara aneh? Ada rahasia apakah yang terjadi
padamu? Ceritakanlah kepada adik....” sampai di sini Lin Lin teringat
dan menyambung, “ceritakan kepadaku, apa yang kaususahkan.”
Mendengar ini, Sian Eng menangis makin keras sampai tubuhnya
berguncang-guncang sesenggukan ketika ia membenamkan mukanya pada
rangkulan Lin Lin. Akhirnya tangisnya mereda dan ia dapat bicara, “Lin
Lin, aku menangis saking girang hatiku dapat membunuh anjing ini. Dapat
membunuh.... gurunya dan sekarang aku akan mencarinya. Sebelum aku dapat
membunuhnya, aku tidak mau berhenti!”
Lin Lin belum dapat mengerti. “Membunuh siapa, Enci Eng?”
“Siapa lagi kalau bukan murid anjing ini?”
Lin Lin terkejut, terheran. Setahunya murid It-gan Kai-ong adalah Suma
Boan. Memang mereka semua membenci Suma Boan, akan tetapi mengapa
agaknya encinya membenci secara luar biasa? “Kaumaksudkan, Suma Boan?”
Tiba-tiba meledak lagi tangis Sian Eng. “Betul! Anjing biadab itu!
Keparat jahanam Suma Boan, kautunggulah pembalasanku!” Ia
berteriak-teriak.
Diam-diam Lin Lin girang. Dia sendiri
bermaksud mencari adik perempuan Suma Boan yang ia anggap telah merampas
kekasihnya. Akan tetapi di samping kegirangannya mendapat teman
encinya pergi ke kota raja, ia pun merasa heran bukan main.
“Enci Sian Eng, memang Suma Boan itu bukan manusia baik-baik dan sudah
sepatutnya kita membencinya. Akan tetapi, kausebut-sebut tentang
pembalasan. Apakah artinya itu?”
Sian Eng merangkul Lin Lin.
Pada saat itu, ia telah kembali normal. Lin Lin merapikan rambut
encinya, mengatur dan menyanggulkannya kembali.
“Lin-moi, dia.... dia.... ah, tadinya aku.... aku telah gila. Aku.... aku mencintanya....”
“Hemmm....?” Tapi Lin Lin menindas keheranannya, “Apa anehnya dengan
itu? Wajar, Enci. Memang hati ini tidak dapat dikuasai kalau sudah
menjatuhkan pilihannya.”
“Tapi dia menipuku! Dia mengkhianatiku! Ah.... Lin-moi, pilihanku keliru....!”
Sambil menangis Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya, mulai
dia diperalat oleh Suma Boan mencari ilmu warisan Tok-siauw-kui sampai
peristiwa di dalam perahu di mana ia dinodai oleh pemuda bangsawan yang
berwatak kotor itu.
Berdiri sepasang alis Lin Lin, ia
mempertemukan giginya dengan penuh kegemasan sambil berkata, “Bedebah!
Dia patut dibasmi! Mari kubantu kau, Enci Sian Eng. Kita cari dia di
kota raja dan kita bunuh anjing itu, setelah itu, kita langsung pergi ke
istana karena aku pun harus membunuh adik perempuan Suma Boan.”
Kini Sian Eng yang memandangnya dengan mata terbelalak heran. Saking
kaget dan herannya, Sian Eng lupa akan tangisnya dan dengan mata merah
dan pipi masih basah air mata ia menatap wajah adiknya, bertanya, “Suma
Ceng? Mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng? Aku pernah bertemu
dengannya, dia itu biarpun adik dari Suma Boan, namun wataknya baik
sekali, berbeda dengan kakaknya. Pula, dia adalah bekas kekasih kakak
Kam Bu Song yang sampai sekarang masih mencintanya.”
“Justeru itulah sebabnya mengapa aku harus membunuhnya!”
“Apa? Karena ia mencinta kakak Bu Song?”
“Karena ia berani mencinta Suling Emas!”
“Eh, Lin-moi. Bagaimana itu? Apa salahnya itu? Mengapa kau marah melihat Suma Ceng mencinta....”
“Karena aku mencinta Suling Emas!” ucapan Lin Lin ini terdengar keras.
Sian Erg melongo dan sejenak tak dapat mengeluarkan kata-kata. Kemudian
ia memegang lengan adiknya dan mengguncang-guncang, seakan-akan ia
hendak membangunkan adiknya daripada tidur dan mimpi buruk.
“Lin-moi....! Gilakah kau? Suling Emas adalah Kam Bu Song!”
“Aku tahu!” jawabnya dingin.
Sian Eng makin bingung. “Kau tahu dan kau bilang mencintanya? Suling Emas atau Kam Bu Song adalah kakakmu....”
“Bukan! Sekali lagi bukan kakakku! Pertalian apakah yang mengikat
persaudaraan kami? Dia itu kakak tiriku, memang betul. Kalian seayah
lain ibu. Akan tetapi aku? Aku adalah Yalina, Puteri Yalina, Puteri
Mahkota Khitan! Dia itu, juga kau, dengan aku adalah orang lain,
berlainan darah. Mengapa aku tidak boleh mencinta Suling Emas?”
Hening sejenak. Agaknya Sian Eng terpukul mendengar kenyataan yang
benar-benar mengguncangkan hatinya ini. Sama sekali tak pernah
disangkanya akan terjadi keruwetan cinta kasih semacam ini. Tadinya ia
mengira bahwa dialah orang paling tidak beruntung di dunia ini, yang
menjatuhkan hati secara keliru. Kiranya sekarang terjadi pertalian
asmara yang lebih aneh pada diri Lin Lin.
“Hemmm, begitukah?
Kau mencinta Suling Emas. Lalu, mengapa kau hendak membunuh Suma Ceng?
Dia sudah bersuami orang lain, sudah mempunyai anak, mengapa diganggu
lagi? Bagaimana sikap Suling Emas terhadap cintamu?”
Ditanya
begini, tiba-tiba Lin Lin menangis! Keadaan menjadi terbalik sama
sekali. Sekarang Lin Lin yang menangis dan Sian Eng memeluknya,
menghiburnya. Kemudian, di antara isak tangisnya, Lin Lin yang
menceritakan pengalamannya, betapa secara aneh Suling Emas menolak
cintanya dengan alasan sudah tua, alasan yang sama sekali tidak
dipercayanya karena ia yakin bahwa kakak angkatnya itu juga mencintanya.
“Tentu karena gara-gara Suma Ceng itulah maka ia tidak membalas
cintaku, atau lebih tepat ia memaksa diri memutuskan pertalian asmara
denganku. Enci Sian Eng, biarpun kita bukan saudara sedarah, namun
semenjak kecil kita berkumpul. Aku akan membantumu membunuh Suma Boan,
kemudian kau membantu aku membunuh Suma Ceng. Setelah itu, aku akan
pergi ke Khitan untuk merampas kedudukan ratu yang menjadi hakku. Nah,
bagaimana? Apakah kau mau ikut denganku? Aku akan tetap menganggapmu
sebagai kakakku sendiri. Biarlah kita yang menderita karena asmara ini
bersama-sama menghadapi segala hal, sehidup semati.”
Sian Eng
terharu, merangkulnya dan kedua orang gadis itu bertangisan. Kemudian
mereka meninggalkan tempat itu tempat yang amat menyeramkan karena di
situ terdapat onggokan daging tulang dan darah It-gan Kai-ong yang sudah
tidak dapat disebut mayat lagi, dan tak lama setelah kedua orang gadis
itu pergi, burung-burung liar beterbangan datang untuk menyantap
hidangan yang lezat bagi mereka ini!
***
Sementara itu,
terjadi perubahan besar di Kota Raja Kerajaan Sung. Kaisar Sung Thai
Cu, Kaisar Kerajaan Sung pertama, telah menyerahkan tahta kerajaan
kepada adiknya sendiri yang berjuluk Kaisar Sung Thai Cung juga
melanjutkan politik pemerintahan kakaknya, namun dibandingkan dengan
Sung Thai Cu kaisar ke dua ini lebih berhasil kemudian Sung Thai Cung
berani mempergunakan tangan besi terhadap para pejabat tinggi yang
melakukan penyelewengan, tidak mudah dijilat oleh sikap memuji-muji, dan
di samping ini, memperkuat pasukan kerajaan dalam persiapan menggempur
kerajaan-kerajaan kecil yang sampai saat itu belum juga mau tunduk dan
belum mengakui kekuasaan Kerajaan Sung.
Berbeda dengan jaman
kerajaan yang sudah-sudah, terutama di jaman Kerajaan Tang yang sering
kali terjadi perebutan kekuasaan dan perang saudara di kala tahta
kerajaan berpindah tangan, pemindahan kekuasaan dan penggantian kaisar
kali ini terjadi dengan aman dan tidak terjadi sesuatu keributan. Hal
ini adalah karena kebijaksanaan Kaisar Sung Thai Cu yang dalam hal ini
melaksanakan anjuran ibunya, yaitu menyerahkan kekuasaan dan mengangkat
adiknya sendiri sebagai penggantinya. Andaikata ia tidak bijaksana dan
memaksa untuk mewariskan tahta kerajaan kepada putera-puteranya yang
kurang pengalaman, pasti hal ini akan menimbulkan kekeruhan,
mendatangkan perebutan kekuasaan dan perang saudara, seperti yang
sudah-sudah.
Kaisar yang baru, Sung Thai Cung, adalah seorang
yang luas pandangan dan bijaksana. Namun tindakannya yang pertama,
yaitu membersihkan petugas-petugas negara yang korup dan nyeleweng,
sedikit banyak menimbulkan keributan pula dari para pembesar yang
melakukan perlawanan. Betapapun juga, mereka ini semua dapat
ditundukkan dan diseret ke dalam penjara, bahkan banyak di antaranya
yang diberi hukuman mati. Biarpun peristiwa pembersihan ini melegakan
hati rakyat, namun mengubah suasana di kota raja. Karena terlalu banyak
pembesar korup dibunuh, dan juga karena memang hampir semua petugas
tadinya menyeleweng, banyak di antara mereka yang melarikan diri
sebelum tertangkap, dan mereka yang masih berani tinggal di kota raja
dengan harapan takkan diketahui dosa-dosa mereka yang lalu, tidak pernah
berani keluar rumah, takut ada jari telunjuk menudingnya. Inilah yang
membuat kota raja menjadi sunyi. Tidak ada lagi pembesar, lama maupun
baru, yang berani berfoya-foya dan berpelesir seperti yang sudah-sudah.
Keadaan di kota raja ini mempengaruhi pula keadaan kota-kota besar
lain, terutama sekali yang berdekatan dengan kota raja, seperti kota
An-sui. Kota ini pun menjadi sepi dan banyak pembesarnya melarikan diri
atau ditangkap.
Gedung besar Pangeran Suma Kong tetap berdiri
megah dan pangeran tua ini tidak mau melarikan diri. Memang ia dahulu
terkenal sebagai seorang pangeran yang korup dan banyak makan uang
negara. Akan tetapi sudah bertahun-tahun ia tidak memegang tugas lagi
karena dipecat dan tidak diperbolehkan bertempat tinggal di kota raja
oleh kaisar pertama. Selain merasa bahwa dia sekarang sudah “bersih”,
juga dengan adanya Suma Boan yang amat terkenal, tentu saja keluarga
bangsawan Suma ini tidak merasa takut. Bahkan Suma Boan mengumpulkan
anak buahnya, yaitu para buaya dan tukang pukul yang memiliki
kepandaian, untuk menjaga gedungnya siang malam. Di luar gedung, di
setiap pintu, di atas genteng di sebelah kanan kiri dan belakang, semua
terjaga dengan kuat siang malam sehingga gedung Pangeran Suma itu
seakan-akan berubah menjadi sebuah benteng.
Setiap hari para
penjaga yang bertugas menjaga di pekarangan depan yang luas dari gedung
itu, melewatkan waktu menganggur dengan latihan-latihan ilmu silat atau
olah raga lain yang maksudnya selain untuk berlatih juga sebagai “pamer
kekuatan” untuk membangun ketabahan sendiri dan untuk mengecilkan hati
golongan yang hendak memusuhi Pangeran Suma. Di situ terdapat delapan
belas macam senjata dan juga besi-besi dan batu-batu besar yang mereka
angkat dan lempar-lemparkan ke atas untuk mendemonstrasikan tenaga
mereka. Penjagaan yang amat ketat ini dilakukan siang malam sehingga
keluarga itu seakan-akan mempunyai barisan sendiri yang terdiri dari
seratus orang lebih yang melakukan penjagaan secara bergiliran.
Pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa, belasan orang penjaga di
pekarangan depan itu bermain-main di pekarangan, mengangkat besi dan
melempar-lempar batu, ada pula yang bermain silat dengan pelbagai
senjata. Di antara mereka, yang mempunyai bentuk tubuh kuat dan menjadi
ahli gwa-kang (tenaga luar), sengaja membuka baju untuk memamerkan
otot-otot yang besar melingkar-lingkar di tubuh mereka. Kelebatan
senjata tajam menyilaukan mata. Para penjaga yang bertugas di atas rumah
juga ikut menonton sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa.
Munculnya Sian Eng di depan pintu pekarangan itu sekaligus menghentikan
semua kegiatan olah raga. Semua mata mengincar keluar dan senyum lebar
menghias semua mulut para penjaga itu, senyum dan pandang mata kurang
ajar karena memang pemandangan di pagi hari ini menyedapkan mata.
Pakaian Sian Eng yang ringkas membungkus tubuh yang langsing padat,
wajah yang cantik jelita dengan hiasan rambut yang hitam halus disanggul
ke atas, gerakan yang lemah gemulai, semua ini merupakan daya penarik
yang mengagumkan hati semua laki-laki.
Sudah lazim di dunia ini,
apabila melihat seorang wanita cantik, timbul kegembiraan di hati pria.
Kalau pria itu hanya sendirian, tentu tidak berani ia mengumbar
kekurangajarannya dan akan menyimpan kekagumannya dalam pandang mata dan
senyum. Kalau pria itu memang berwatak bersih, ia hanya akan menyimpan
kekagumannya di dalam hati. Akan tetapi kalau banyak laki-laki yang
memang wataknya kasar sedang berkumpul, tentu akan timbul
kekurangajaran mereka dan mulailah para penjaga ini tertawa-tawa.
“Aduhhhhh.... cantiknya....!”
“Wahai.... siapakah begitu bahagia memiliki bidadari ini?”
Demikian bermacam-macam teriakan yang terdengar dari mulut mereka,
bahkan di antara mereka ada yang mulai pula melempar-lempar batu dan
mengangkat-angkat besi berat untuk pamer dan berusaha menarik perhatian
gadis cantik ini. Namun Sian Eng tidak pedulikan itu semua, kakinya
langsung melangkah masuk dengan tenang.
Melihat gadis itu
betul-betul memasuki pekarangan, kegembiraan mereka memuncak dan
seorang di antara mereka, komandan jaga, segera melangkah maju
bertanya, suaranya digagah-gagahkan, “Nona, kau hendak mencari siapakah?
Siapa diantara kita yang hendak kau jumpai? Heee, teman-teman! Adakah
di antara kalian yang mengenal Nona ini?” kata-kata ini diteriakkan si
komandan jaga dengan nada tidak percaya.
“Aku....!”
“Aku kenalannya!”
“Ah, akulah sahabat baiknya!”
“Heee, jangan mengacau! Dia tentu memilih aku!” teriak pula seorang penjaga yang bertugas di atas genteng.
“Pilihlah aku, Nona. Habis bulan semua gajiku akan kuserahkan padamu
seluruhnya!” teriak pula seorang yang tubuhnya tinggi besar.
“Ha-ha, jangan percaya! Tentu sebagian sudah ia selundupkan ke tangan isterinya yang pertama!”
Ramailah suara para penjaga, bahkan banyak diantaranya yang
mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak sopan. Akan tetapi Sian Eng tetap
tenang tidak mempedulikan mereka, bahkan tersenyum sedikit, senyum
yang sebenarnya merupakan senyum sedih akan tetapi karena memang ia
manis sekali kalau tersenyum, maka senyum ini mendatangkan
teriakan-teriakan baru yang lebih riuh. Sian Eng menanti sampai
hiruk-pikuk itu reda, baru ia berkata.
“Aku ingin bertemu dengan Suma Boan.”
Semua suara sirap seketika dan semua mata memandang penuh curiga, penuh
selidik. Semua penjaga ini mengenal belaka kongcu mereka dan mengenal
pula wanita-wanita yang mempunyai hubungan dengan putera pangeran itu.
Akan tetapi mereka belum pernah melihat Sian Eng, oleh karena itu mereka
menjadi curiga.
“Mengapa mencari Suma-kongcu? Apakah kau kenal dia?” tanya si komandan matanya memandang penuh selidik.
Sian Eng mengangguk, “Aku kenal dia, harap suka panggil dia keluar.”
Seorang penjaga yang bertelanjang dada, yang tubuhnya tegap dan kuat,
melangkah maju. “Nona cantik, mengapa mencari Kongcu? Apakah kita ini
tidak cukup hebat? Kau tinggal pilih. Lihatlah aku, hemmm, kalau kau
menjadi kekasihku, kau akan aman. Lihat betapa kuatnya aku!” Ia lalu
membungkuk, kedua lengannya bergerak mengangkat sebuah batu besar.
Otot-otot di tangannya melingkar-lingkar dan menonjol keluar ketika ia
melemparkan batu itu ke atas, disambut dan dilemparkan lagi
berkali-kali, seakan-akan seorang anak kecil bermain-main dengan sebuah
bola karet yang ringan. Akhirnya ia membanting batu seberat seratus kati
lebih itu ke atas tanah, ke depan Sian Eng, sambil mengangkat dada
dengan penuh kebanggaan.
Sejak tadi sebetulnya hati Sian Eng
sudah panas dan marah, akan tetapi ditahan-tahannya. Pikirannya sedang
normal maka ia dapat mempergunakan kesabarannya, apalagi memang
kedatangannya ini sudah ia rencanakan bersama Lin Lin. Mereka sudah
beberapa malam mengitari gedung akan tetapi tidak melihat jalan aman
untuk memasuki gedung. Demikian ketat penjagaan di situ dan mereka
berdua maklum bahwa menghadapi Suma Boan saja sudah berat, apalagi
kalau dikeroyok banyak penjaga dan siapa tahu di dalam gedung itu
bersembunyi pula orang-orang sakti yang membantu Suma Boan. Akan tetapi
menyaksikan lagak orang-orang ini, Sian Eng hampir tidak kuat menahan
kesabaran hatinya. Ia melangkah maju mendekati tempat itu, kaki kirinya
bergerak dan.... batu besar itu terlempar ke arah penjaga bertelanjang
dada yang sedang membusungkan dadanya itu.
“Uhhhhh....!” Orang
itu berseru kaget, terpaksa menerima batu itu, namun ia tidak kuat
menahan dan tubuhnya terlempar ke belakang sampai beberapa meter. Untung
batu itu segera ia lempar ke samping sehingga tidak menimpa dadanya,
namun hantaman tadi cukup membuat ia terengah-engah dan dari mulutnya
keluar darah!
Ributlah para penjaga itu. Makin curiga mereka
karena ternyata bahwa gadis cantik ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Akan tetapi Sian Eng segera berkata dengan suara ketus. “Aku adalah
kenalan baik Suma Boan, apakah kalian masih berani main-main? Tunggu
saja kalau Kongcu kalian melihat kekurangajaran kalian, aku akan minta
dia memenggal kepala kalian seorang demi seorang!”
Kata-kata
ini berpengaruh sekali. Mereka segera mundur dengan muka pucat dan
komandan jaga segera mengedipkan mata kepada kawan-kawannya, kemudian
ia sendiri berkata, “Maaf, karena kami tidak mengenal Nona, maka berani
bersikap kasar. Harap Nona tunggu sebentar, saya akan melaporkan
kepada Suma-kongcu.”
Sian Eng hanya mengangguk, kemudian ia
menghampiri penjaga yang masih duduk terengah-engah. “Kau tidak lekas
berlutut?” bentaknya.
Penjaga yang sial ini sudah mendengar juga
tadi pengakuan gadis lihai ini sebagai kenalan baik Suma-kongcu, maka
dengan menahan rasa sakit dan hati penuh rasa takut akan kemarahan
majikannya, ia segera berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala minta
ampun. Tiba-tiba mereka semua, para penjaga itu, menjadi ngeri den
merasa serem karena gadis cantik itu tertawa meleking aneh dan terdengar
bukan seperti suara ketawa manusia. “Pergilah!” kaki Sian Eng bergerak
dan penjaga itu terlempar beberapa meter jauhnya, bergulingan seperti
sebuah bola ditendang. Anehnya, ia merasa dadanya tidak sesak lagi,
maka cepat ia meloncat berdiri, mengangguk dengan hormat dan
mengundurkan diri!
“Moi-moi....!” Pada saat itu Suma Boan muncul
dari pintu samping. Ketika menerima laporan bahwa seorang gadis cantik
yang amat lihai datang mencarinya, Suma Boan menjadi curiga dan
mengintai dengan jalan memutar, dari pintu samping. Akan tetapi begitu
melihat bahwa yang datang adalah Sian Eng, hatinya berdebar keras.
Tentu saja ia menjadi curiga dan menyangka buruk. Akan tetapi, karena
Sian Eng hanya datang seorang diri, timbul ketabahan hatinya, dan pula
memang ia merasa suka kepada gadis cantik yang ia tahu amat mencintanya
ini. Maka dengan hati berdebar dan sikap waspada, pemuda ini lalu
muncul dan memanggil dengan suara penuh kasih sayang, wajah berseri,
akan tetapi sinar matanya penuh selidik menatap wajah yang cantik
jelita dan agak pucat itu.
“Koko....!” Sian Eng juga berseru
dengan suara tertahan, seakan-akan ia merasa girang dan terharu, mukanya
tiba-tiba menjadi merah seperti orang malu dan jengah. “Aku.... aku
ingin bicara penting denganmu....!”
Berdebar-debar jantung Suma
Boan. Akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, ingin ia
menjenguk isi hati gadis itu. Ia tahu bahwa Sian Eng mencintanya, akan
tetapi tahu pula bahwa gadis itu bisa mendendam kepadanya dan bisa
membenci karena perbuatannya terhadap gadis itu di dalam perahu. Tentu
saja ia tidak mencinta dengan setulus dan sejujurnya hati terhadap Sian
Eng, melainkan mencintanya karena gadis itu memang cantik jelita. Bagi
seorang laki-laki semacam Suma Boan, ia selalu jatuh cinta kepada wanita
cantik, berapapun banyaknya, cinta yang berdasarkan nafsu berahi, cinta
yang berdasarkan ingin menyenangikan diri sendiri. Di samping
kecantikan Sian Eng, juga gadis ini telah menemukan kitab-kitab
peninggalan Tok-siauw-kui yang amat ia inginkan.
Namun Suma Boan
adalah seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya, pula ia
terkenal cerdik, maka ia masih saja menaruh curiga. Tentu saja ia cukup
percaya akan kepandaian sendiri, tahu bahwa Sian Eng seorang diri saja
takkan mampu berbuat buruk terhadapnya, akan tetapi ia sudah membuktikan
keadaan aneh gadis ini yang seakan-akan telah menemukan ilmu dan
memilikinya secara hebat, sungguhpun belum sempurna benar.
“Koko, aku mau bicara tentang.... kitab....” Seketika wajah Suma Boan
berseri. Keinginannya mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui
amat besar, apalagi pada waktu sekarang setelah keadaan pemerintahan di
kota raja terjadi perubahan dan ia merasa betapa kedudukan keluarga
ayahnya terancam, ia ingin sekali mendapatkan kitab-kitab itu dan
mewarisi kepandaian yang akan membuat ia menjadi seorang jagoan nomor
satu yang ditakuti semua lawan.
“Moi-moi...., aku girang sekali
kau datang. Marilah kita bicara di dalam....!” Ia melangkah maju,
memegang lengan Sian Eng dan menggandengnya. Sian Eng menurut saja dan
berjalanlah mereka bergandengan tangan menuju ke ruangan dalam, melewati
pagar penjaga yang berdiri tegak tanpa berkedip. Suma Boan yang
menggandeng dan merapatkan tubuhnya merasa betapa jantung di dalam dada
gadis itu berdebar-debar keras. Diam-diam ia merasa bahagia sekali
karena mengira bahwa gadis ini terlalu girang bertemu dengannya.
Setelah mereka memasuki ruangan sebelah dalam, Suma Boan segera
menarik gadis itu ke dalam sebuah kamar tamu yang indah, tiba-tiba ia
memeluk Sian Eng dan menciuminya. Sejenak Sian Eng menurut saja,
kemudian perlahan ia merenggutkan dirinya, terlepas dari pelukan Suma
Boan yang makin merasa yakin bahwa gadis ini tidak marah atau benci
kepadanya.
“Moi-moi, kekasihku yang tercinta,” bisik Suma Boan,
masih memegangi kedua tangan gadis itu, “alangkah rinduku kepadamu! Kau
datang seperti seorang bidadari dari sorga yang turun ke dunia untuk
menghibur hatiku. Moi-moi, aku tidak akan melepaskanmu lagi, jangan kau
pergi meninggaikan aku lagi. Mari kita hidup bahagia di rumahku ini!”
“Suma-koko, kau sudah mengenal hatiku. Perkara itu belum waktunya kita
bicarakan. Kedatanganku ini membawa urusan yang amat penting. Lepaskan
tanganmu dan mari kita bicara baik-baik.” Sian Eng menarik tangannya.
Suma Boan tersenyum dan sengaja menekan jantungnya yang berdebar saking
girangnya, karena di depan gadis ini ia harus menyembunyikan
perasaannya bahwa ia jauh lebih “cinta” pada kitab-kitab pusaka
peninggalan Tok-siauw-kui daripada diri gadis ini.
“Marilah,
Adik Sian Eng, kita duduk di sana.” Ia menarik Sian Eng dan keduanya
lalu duduk di atas dipan yang terdapat di kamar itu. Suma Boan tetap
tidak melepaskan gadis itu, duduk di sampingnya sambil memeluknya. Sian
Eng tidak menolak lagi dan ia berkata perlahan.
“Koko, kau tentu
maklum akan perasaan seorang gadis. Saking kaget dan duka hatiku,
ketika di dalam perahu dahulu....” suaranya tersendat dan kedua pipinya
menjadi merah sekali, “secara tidak sadar aku menyerangmu dan kemudian
melarikan diri. Baru kemudian aku merasa betapa.... aku tak dapat hidup
terpisah dari padamu, maka.... maka aku datang ke sini....”
Girang sekali hati Suma Boan. Ia mengelus-elus rambut kepala gadis itu
lalu berkata, “Aku tahu, Moi-moi. Aku.... aku lupa daratan waktu itu
saking besarnya cintaku kepadamu. Tentang kitab-kitab itu.... eh,
bukankah kau tadi bilang mau bicara tentang kitab?”
Wajah Sian
Eng berseri dan ia tersenyum lebar. “Kitab-kitab? Ah, belum kuceritakan
kepadamu bahwa setelah aku pergi dari perahu, aku memasuki lagi gua
rahasia dan mengambil semua kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Kau tahu
kitab-kitab apa yang kudapatkan? Kitab rahasia dari Siauw-lim-pai,
kitab ilmu pedang dari Kun-lun, kitab rahasia tentang ilmu kesaktian
Beng-kauw, ada pula kitab yang mengajarkan ilmu-ilmu mujijat tentang
melawan maut, malah ada kubaca sepintas lalu judul sebuah kitab yang
mengajarkan ilmu menghilang dan terbang!”
Seperti seorang
kelaparan mendengar cerita tentang makanan-makanan lezat, Suma Boan
menelan ludah, akan tetapi sebagai seorang yang cerdik ia menahan gelora
hatinya ini dan cepat memeluk Sian Eng. “Ah, kekasihku yang baik.
Sesungguhnya, soal kitab itu bagiku hanya soal kecil. Yang penting,
yang selalu kurindukan, yang selalu kuimpikan, adalah dirimu, Adik
Sayang! Akan tetapi aku khawatir sekali karena kau sudah mendapatkan
kitab-kitab itu, tentu kau menjadi incaran orang-orang dunia kang-ouw.
Akan lebih aman kalau kau tinggal bersamaku di sini, beserta kitab-kitab
itu yang boleh kita pelajari bersama. Kita kelak akan menjadi suami
isteri yang paling hebat di kolong langit! Di manakah sekarang
kitab-kitab itu? Mari kita ambil dan bawa ke sini, Moi-moi.”
Sian Eng tersenyum manis, biarpun hatinya penuh kebencian ketika pemuda
yang ia cinta akan tetapi yang menghancurkan cinta kasihnya dengan
pengkhianatan itu menciuminya mesra. “Itulah sebabnya aku datang,
Koko. Kitab-kitab itu kusembunyikan di tempat rahasia. Akan tetapi aku
tidak berani mengambilnya sendiri dan membawanya ke sini. Kau benar,
kalau sampai ketahuan orang kang-ouw, tentu mereka akan berusaha
merampasnya. Marilah kau ikut denganku ke tempat itu, tidak jauh, kita
bersama mengambil kitab-kitab itu dan membawanya ke sini. Akan
tetapi.... apakah betul kau akan tetap setia kepadaku?” Sian Eng
pura-pura memandang penuh curiga.
“Ah, Sian Eng, kekasihku,
apakan kau masih tidak percaya kepadaku?” Tiba-tiba pemuda itu berlutut
di depan Sian Eng, merangkul kedua kakinya! Sejenak sepasang mata yang
bagus itu mengeluarkan sinar berapi. Alangkah inginnya ia menggerakkan
tangan, sekali pukul ubun-ubun kepala yang tunduk di depannya itu ia
akan dapat membunuh Suma Boan. Akan tetapi ia teringat akan banyaknya
penjaga dan ia tentu akan terkurung dan berada dalam bahaya.
“Mari kita pergi sekarang, Koko.”
“Sekarang? Mengapa tergesa-gesa? Pula, berbahaya sekali mengambilnya di
waktu siang. Lebih baik malam nanti kita pergi, Adikku.”
Karena tahu bahwa kalau ia mendesak, Suma Boan pasti akan menaruh curiga, gadis itu terpaksa menyetujui.
Pula, memang lebih baik pergi di waktu malam untuk melaksanakan
rencananya yang sudah ia atur dengan Lin Lin ini. Ia harus berani
berkorban, demi maksud hatinya membalas dendam. Hatinya perih dan makin
sakit, akan tetapi Sian Eng rela menjadi permainan Suma Boan sebelum ia
mendapat kesempatan menghancurkan orang yang telah membasmi kebahagiaan
hatinya. Ia terpaksa menuruti kehendak Suma Boan terpaksa ia menyerah
dan menahan-nahan kemuakan hatinya ketika Suma Boan membuktikan “cinta
kasihnya”, yang sesungguhnya bukan lain hanya terdorong nafsu
semata-mata. Makin bencilah hati Sian Eng, dan ketika hari terganti
malam Suma Boan menggandeng tangannya keluar dari gedung, hampir Sian
Eng tak kuat menahan kebenciannya. Baru setelah mereka berjalan di
dalam gelap, gadis ini mencucurkan air mata yang cepat-cepat ia usap
dengan ujung lengan bajunya.
Suma Boan kini percaya betul
kepada Sian Eng. Siang tadi, gadis ini menyerah ikhlas kepadanya, tanda
bahwa gadis ini benar-benar datang karena cintanya. Penyerahan gadis
inilah menjadi bukti baginya bahwa di balik kedatangan Sian Eng tidak
ada rahasia apa-apa. Kalau tadinya ia menaruh curiga dan menyangka akan
adanya jebakan, maka dengan penyerahan diri Sian Eng kepadanya, maka
kecurigaan itu lenyap sama sekali. Kini ia yakin bahwa Sian Eng
benar-benar mencintanya, benar-benar datang hendak menyerahkan diri
sambil membawa kitab-kitab yang berharga. Maka dapat dibayangkan betapa
bahagia rasa hati putera pangeran ini.
Mereka memasuki hutan
yang letaknya di sebelah barat kota An-sui. Hutan yang tidak terlalu
luas akan tetapi cukup gelap karena pohon-pohon besar memenuhi hutan
itu.
“Baik sekali kau tidak mengajak pengawal, Koko. Urusan ini lebih baik tidak diketahui orang lain.”
“Memang betul, Moi-moi. Kalau saja kau tidak membuktikan cinta kasihmu
yang besar siang tadi, tentu aku akan mengajak pengawal-pengawal.
Maklumlah, bukan aku kurang percaya kepadamu, akan tetapi perubahan di
kota raja membuat musuh-musuhku mencari kesempatan untuk menghancurkan
aku. Di manakah gua itu, Adikku?”
“Di sebelah sana, sudah
dekat. Mari!” Di dalam gelap itu, dengan “mesra” Sian Eng menggandeng
tangan Suma Boan dan diajaknya berlari menuju ke tengah hutan. Tak lama
kemudian mereka berhenti di depan sebuah gua yang depannya tertutup oleh
rumput alang-alang. Sian Eng menarik tangan Suma Boan, diajak memasuki
gua yang gelap itu sambil menyingkap alang-alang yang tinggi
menyembunyikan gua.
“Mari masuk, kusembunyikan di dalam situ.”
Mereka lalu memasuki gua yang cukup besar itu dengan jalan
berindap-indap. Suma Boan mulai curiga dan bersikap waspada, akan
tetapi karena tidak mendengar suara apa-apa, ia ikut dengan Sian Eng
melangkah masuk ke dalam gua. Setelah mereka melangkah maju sejauh lima
meter, mereka bertemu dengan dinding gua.
“Di mana kitab-kitabnya?” Suma Boan berbisik.
Akan tetapi tiba-tiba Sian Eng merenggutkan tangannya. Suma Boan kaget.
Gua itu gelap, ia melihat bayangan Sian Eng menjauhkan dirinya.
“Moi-moi.... di mana kau? Mana kitabnya....?”
Tiba-tiba matanya silau oleh sinar api yang dibuat orang dari luar dan
beberapa detik kemudian, Lin Lin yang membawa obor di tangannya telah
meloncat masuk, obor di tangan kiri, pedang bersinar kuning di tangan
kanan! Juga Sian Eng menyambar sebuah obor, dinyalakannya dan menaruh
obor itu di sudut gua. Keadaan menjadi terang menyeramkan.
Suma
Boan berdiri terbelalak. Matanya mencari-cari dan ternyata gua itu
kosong sama sekali. Luasnya lima meter persegi. Di depannya kini berdiri
dua orang gadis berdampingan dan menutup jalan keluar. Lin Lin dengan
pedang bersinar kuning di tangannya. Sian Eng dengan kedua tangan
terbuka, jari tangannya menegang, matanya terbelalak penuh kebencian.
Diam-diam Suma Boan merasa ngeri juga, akan tetapi karena ia seorang
laki-laki yang tabah dan berilmu tinggi, ia dapat menekan perasaannya
dan pura-pura tidak dapat menduga kehendak mereka.
“Moi-moi.... adikku Sian Eng yang manis, mengapa tiba-tiba adikmu ini muncul? Dan manakah kitab-kitab yang kaujanjikan?”
“Suma Boan manusia iblis! Kematian sudah di depan mata, masih pura-pura
tidak tahu akan dosa-dosamu?” bentak Sian Eng dengan suara gemetar
saking menahan kemarahan yang meluap-luap, kemarahan dan kebencian yang
selama ini memenuhi dadanya, yang selalu ditahan-tahan dan ditutupi
sikap kasih sayang untuk dapat memancing dan menipu Suma Boan.
“Apa....? Eng-moi.... apakah maksudmu? Bukankah kau juga mencintaku
seperti aku mencintamu? Bukankah tadi.... kau menyerahkan diri
sepenuhnya dengan rela dan suka kepadaku?”
“Tutup mulutmu yang
kotor!” bentak Sian Eng sambil melangkah maju penuh ancaman. “Ooooohhh,
betapa bencinya aku! Makin benci mendengar kata-katamu. Suma Boan
manusia berhati binatang, perbuatanmu yang biadab terhadap diriku di
dalam perahu telah menodai cinta kasihku, telah merobek-robek hatiku,
telah mengubah cintaku menjadi benci yang sebesar-besarnya. Aku ingin
mengganyang jantungmu, ingin kuhirup darahmu kukeluarkan isi perutmu!”
Suma Boan kaget bukan main, merasa ngeri dan gentar. Mulai menyesallah
hatinya mengapa ia terburu-buru menodai gadis ini yang ternyata tadinya
benar-benar mencintanya. Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan
melihat bahwa yang menentangnya hanya dua orang gadis ini, tentu ia
segera dapat mengusir rasa jerihnya. Ia tersenyum mengejek dan berkata.
“Hemmm, Sian Eng. Dengan kepandaianmu dan dibantu adikmu, apa kaukira
akan mudah saja mengalahkan aku? Kau tahu, tingkat ilmu kepandaianku
jauh melebihimu. Juga jauh melebihi kepandaian adikmu. Insyaflah akan
hal ini dan kalian ini nona-nona manis, sayang sekali kalau sampai
tewas di tanganku. Lebih baik kalian hayo ikut denganku, hidup penuh
kesenangan di istanaku sambil memperdalam ilmu silat....”
“Laki-laki ceriwis....!” Lin Lin membentak dan pedangnya berubah menjadi
sinar kuning, menyambar ke arah leher Suma Boan. Pemuda ini terkejut.
Tak disangkanya gerakan Lin Lin demikian cepatnya maka ia segera
mengelak dengan meliukkan tubuh ke bawah sambil mendorong dengan
tangannya ke arah siku yang memegang pedang ketika pedang itu lewat di
atas kepalanya. Namun Lin Lin yang bersilat dengan ilmu saktinya yang
baru, yaitu Cap-sha Sin-kun, segera dapat merubah letak pedangnya yang
kini membalik ke bawah, menyambar dengan gerakan pergelangan tangan
sehingga tangan Suma Boan yang tadinya hendak mencengkeram siku, kini
berbalik disambar mata pedang!
“Aaaiiihhh!” Suma Boan yang sudah
menarik lengannya itu kini menjerit sambil melompat ke atas dan
berjungkir balik ke belakang karena kembali sinar pedang Lin Lin yang
tadi dapat dielakkannya itu sudah berubah menjadi segulungan sinar
kuning yang berpusing di sekitar dada dan lehernya! Hanya dengan cara
berjungkir balik seperti tadi maka ia selamat.
“Bersiaplah
menerima hukuman!” bentak Sian Eng dan kembali Suma Boan terkejut
sekali karena tiba-tiba angin menyambar berputaran dari arah Sian Eng
ketika gadis itu menerjangnya dengan pukulan yang gerakan-gerakannya
aneh sekali. Suma Boan baru saja terbebas dari ancaman maut pedang Lin
Lin, kini ia cepat menggerakkan tubuhnya miring ke kiri sambil
mengibaskan tangannya dengan tenaga sin-kang sepenuhnya untuk
menangkis.
“Wuuuttt! Wuuuttttt!” Angin pukulan kedua fihak yang
disertai tenaga sin-kang itu saling sambar dan baiknya Suma Boan adalah
seorang jagoan yang terlatih maka biarpun ia merasa tergetar oleh hawa
pukulan mujijat dari Sian Eng, namun tidak membuatnya roboh dan
tangkisannya tadi berhasil.
“Singgg....!” Kembali sinar kuning
pedang Lin Lin menyambar, disusul pukulan Sian Eng yang tidak kalah
mengerikan daripada sambaran pedang. Kedua orang gadis itu
menerjangnya susul-menyusul dan bertubi-tubi dengan kecepatan yang luar
biasa dan gerakan yang amat aneh.
“Kalian hendak mengadu nyawa?
Boleh!” Akhirnya Suma Boan memekik marah karena ia tidak melihat jalan
keluar lagi. Betapapun juga, dalam hal ilmu silat, ia lebih banyak
pengalaman kalau dibandingkan dengan dua orang gadis ini. Maka cepat ia
mengerahkan tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang ia dapat
dari beberapa orang guru pandai, di antaranya terutama sekali It-gan
Kai-ong. Bertahun-tahun putera pangeran ini menjagoi daerah An-sui,
bahkan namanya terkenal sampai di kota raja, ditakuti orang dan
pengaruhnya besar sekali. Saking lihainya, ia sampai mendapat julukan
Lui-kong-sian atau Dewa Geledek karena pukulan tangannya selalu ampuh
dan sekali pukul cukup untuk mengantar nyawa lawan ke akherat. Entah
berapa banyaknya lawan yang sudah terbunuh oleh pukulannya. Ketenaran
namanya dan kehebatan ilmunya inilah yang membuat Suma Boan menjadi
manusia sombong, memandang rendah orang lain, dan ke manapun ia pergi,
ia tidak pernah membawa senjata karena ia menganggap bahwa kedua
pukulannya sudah cukup untuk mengalahkan musuh yang bagaimanapun juga.
Di antara banyak macam kepandaiannya menggunakan tangan kosong, yang
paling hebat adalah ilmu pukulan yang ia pelajari dari It-gan Kai-ong
yaitu yang disebut Ho-tok-ciang (Tangan Racun Api). Pukulan ini kalau
dipergunakan, hebatnya bukan kepalang karena dapat membuat badan lawan
yang terpukul menjadi hangus! Jarang sekali Suma Boan menggunakan ilmu
pukulan ini, karena sungguhpun hebat akibatnya kalau mengenai tubuh
lawan, juga merugikan diri sendiri karena pengerahan sin-kang di
tubuhnya yang dibarengi dengan penggunaan racun yang panas seperti api,
dapat merangsang dirinya sendiri sehingga dapat mendatangkan luka pada
kedua lengannya.
Menghadapi pengeroyokan Lin Lin dan Sian Eng
yang mempunyai gerakan-gerakan aneh mujijat itu, mula-mula Suma Boan
menggunakan semua ilmu silat yang ada untuk melawan. Namun baru dua
puluh jurus lewat saja ujung pedang Lin Lin sudah menggurat pahanya dan
pukulan Sian Eng yang ditangkisnya meleset mengenai pundak sehingga
membuatnya terhuyung-huyung. Kagetlah Suma Boan dan tahulah ia sekarang
bahwa ia berada dalam bahaya. Kiranya dua orang gadis ini bukanlah Lin
Lin dan Sian Eng setahun yang lalu, jauh selisihnya. Dua orang gadis
ini mainkan ilmu silat yang amat aneh, ganas dan selain itu, tenaga
mereka secara ajaib telah menjadi berpuluh kali lebih kuat daripada
dahulu.
“Hiaaattt!” Ketika Sian Eng menerjang lagi, Suma Boan
memekik dan meloncat ke kanan sampai mepet dinding gua. Secepat kilat
pemuda ini mengeluarkan racun dari sakunya dan digosok-gosokkan kedua
telapak tangannya dengan racun bubuk itu sehingga bubuk itu hancur
memasuki telapak tangannya. Ketika ia membuka kedua lengannya, telapak
tangan itu kelihatan menyala! Menyala dan mengeluarkan asap seperti
arang dibakar. Hawa panas segera memenuhi gua.
“Awas tangannya,
Enci!” Lin Lin berseru dengan kaget. Akan tetapi gadis ini tidaklah
menjadi gentar sungguhpun lawan menggunakan ilmu yang begitu aneh.
Malah khawatir kalau-kalau Sian Eng celaka oleh tangan api itu, Lin Lin
sudah menerjang maju lebih dulu, memutar pedangnya dan sekaligus ia
menggunakan jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat),
sebuah di antara tiga belas jurus ilmu saktinya.
Sian Eng juga
mengeluarkan suara melengking tinggi, tubuhnya mencelat ke atas dan dari
atas ia menyambar turun dengan kedua tangan terbuka jari-jarinya
seperti hendak mencengkeram kepala lawannya.
Di antara kedua
orang pengeroyoknya, Sian Englah yang amat dibuat ngeri oleh Suma Boan.
Ia maklum bahwa gadis ini menaruh kebencian besar kepadanya, menaruh
dendam yang hanya dapat diredakan oleh darah dan nyawa. Oleh karena
itu, begitu melihat datangnya serangan mereka yang demikian
dahsyatnya, Suma Boan segera mendahului menggempur Sian Eng yang
menyambar turun dari atas dengan dorongan kedua tangannya yang
mengandung tenaga Ho-tok-ciang. Melihat ini, Sian Eng nekat. Ia segera
mengerahkan tenaga menurut ajaran kitab-kitab yang ia temukan di gua
rahasia bawah tanah, lalu memekik tinggi. Belum juga kedua pasang tangan
itu bertemu, hawanya sudah menyusup ke tulang sumsum. Sian Eng merasa
betapa hawa panas memasuki kedua lengannya, sebaliknya Suma Boan kaget
sekali karena serasa kedua lengannya dingin dengan mendadak.
Tiba-tiba mata Suma Boan menjadi silau oleh cahaya kuning. Ia menjerit
dan cepat mempergunakan tangan kiri untuk mencengkeram pedang Lin Lin
yang menyambar. Kalau tangannya sudah dimasuki tenaga Ho-tok-ciang
macam itu, ia tidak takut untuk menangkis atau mencengkeram senjata
tajam.
Gerakan inilah yang mencelakakan Suma Boan. Andaikata ia
menggunakan seluruh tenaganya menyambut Sian Eng, tentu gadis itu akan
kalah kuat dan celaka oleh hebatnya hawa pukulan Ho-tok-ciang. Atau
andaikata ia menggunakan kedua tangannya dan mengerahkan seluruh tenaga
untuk menyambut pedang Lin Lin, tentu pedang itu akan terampas dan Lin
Lin akan menemui bahaya maut. Akan tetapi setelah Suma Boan membagi
perhatian dan tenaga, juga membagi kedua tangannya, kini berbalik ia
yang kalah kuat.
Terdengar jerit mengerikan ketika mereka
bertiga itu dalam detik yang sama saling berbenturan. Siang Eng
terhuyung mundur, juga Lin Lin terhuyung mundur, akan tetapi Suma Boan
terlempar ke belakang, dan hanya dapat berdiri sambil bersandar dinding
gua. Tangan kanannya lumpuh, tangan kirinya luka berdarah dan hilang
dua buah jarinya. Sejenak ia tertegun, akan tetapi tiba-tiba rasa sakit
dari kedua tangannya tak tertahankan lagi. Tangan kanannya yang kalah
kuat ketika bertemu dengan kedua tangan Sian Eng, membuat tenaga
beracun Ho-tok-ciang membalik dan kini rasa panas berselubung rasa
dingin akibat hawa pukulan Sian Eng memasuki dan menjalar perlahan-lahan
dalam lengannya. Bukan main nyerinya, sampai seperti menusuk-nusuk
jantung. Adapun tangan kirinya yang termakan Pedang Besi Kuning, juga
terasa perih dan gatal. Pedang Besi Kuning adalah pedang pusaka yang
tidak beracun, akan tetapi mengandung khasiat anti racun. Karena lengan
kiri Suma Boan tadinya penuh hawa beracun, begitu termakan oleh pedang
ini, maka hawa yang anti racun itu memerangi racun di tangan itu, maka
mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa.
“Aduh.... aduh.... mati
aku.... aduh tanganku....!” Suma Boan tidak kuat menahan. Tubuhnya
terguling, ia merintih-rintih lalu bergulingan ke sana ke mari seperti
cacing kepanasan, mengaduh-aduh dan minta-minta ampun. Pakaiannya robek
semua ketika ia bergulingan, mukanya menjadi kotor dan matanya
mendelik mulutnya berbusa.
“Lin-moi, pinjam pedangmu!”
Lin Lin yang pernah menyaksikan kekejaman hati Sian Eng ketika mereka
membunuh It-gan Kai-ong, merasa ngeri dan ragu-ragu untuk memberikan
pedangnya. Akan tetapi mendadak tangan kiri Sian Eng mencengkeram ke
arah mukanya dengan ganas. Lin Lin terkejut sekali dan mengelak, akan
tetapi pada detik selanjutnya Pedang Besi Kuning sudah terampas dari
tangannya. Terpaksa ia hanya dapat berdiri memandang dengan hati ngeri.
“Eng-moi.... jangan.... ampunkan aku!”
“Ampun? Hi-hi-hik, ampun kau bilang?” Pedang itu berkelebat dan “crok!
crok!” dua kali pedang menyambar putuslah kedua lengan Suma Boan
sebatas pundak!
“Aduhhh....!” Suma Boan menjerit dan
bergulingan. Darah bercucuran keluar dari kedua pundaknya yang buntung.
Celaka baginya, pemuda bangsawan ini telah melatih diri sedemikian
rupa sehingga daya tahan tubuhnya amat kuat. Lain orang tentu sudah
roboh pingsan dan takkan merasakan sakit lagi. Akan tetapi dia tidak
pingsan dan dapat dibayangkan betapa hebat penderitaan yang ia rasakan.
“Hi-hi-hik! Kau jadi buntung! Hayo coba kulihat apakah kau masih mampu
berbuat keji kepada wanita!” Kembali Sian Eng sambil tertawa-tawa
menyeramkan menggerakkan pedangnya membacok Suma Boan yang ketakutan
itu mukanya pucat penuh peluh. Ia masih mampu menggulingkan ke sana ke
mari untuk membebaskan diri daripada bacokan pedang. Namun pedang itu
membayanginya terus dan akhirnya “crok! crok!” disusul jeritan panjang
dari mulut Suma Boan.
“Aduh.... ampun.... ampun....!” Biarpun
kedua kakinya sudah terbacok putus sebatas paha, tubuh Suma Boan masih
mampu bergerak-gerak dan sepasang matanya melotot seakan-akan hendak
meloncat keluar dari dalam rongga matanya.
“Hi-hi-hi-hik! Kau
begitu ingin menjadi jago nomor satu di dunia dan untuk itu kau rela
menipuku? Nah, setelah kaki tanganmu buntung, apa kau masih ingin
menjadi jagoan?”
“Eng.... moi...., ampun....” Suma Boan masih
dapat mengeluarkan kata-kata dengan suara serak. Akan tetapi agaknya
sebutan terhadap dirinya ini menambah keganasan Sian Eng karena kembali
pedangnya menyambar dan terbukalah perutnya. Tangan kiri Sian Eng
menyusul, cepat membetot keluar jantung yang basah oleh darah sehingga
tangan kirinya berlepotan darah. Tubuh Suma Boan berkelojotan sebentar
lalu diam terkulai. Sian Eng tertawa-tawa lagi sambil menjilati darah di
tangannya kemudian ia makan jantung itu. “Hi-hik, kuminum darahmu,
kuganyang jantungmu....!”
“Enci Sian Eng....!” Lin Lin menjerit
penuh kengerian sambil melompat mendekati, tangannya merampas pedang.
“Enci Eng, apakah kau telah menjadi gila? Kau kejam dan liar!”
Jantung itu sudah memasuki perut Sian Eng. Kini ia menunduk, memandang
tubuh Suma Boan yang sudah tidak karuan macamnya, kaki tangan buntung,
perut robek dan isinya berceceran keluar. Tiba-tiba Sian Eng menubruk
dan menangis sambil memeluk Suma Boan.
“Suma-koko.... kenapa
kau menyia-nyiakan cintaku....?” Ia menangis menggerung-gerung, membuat
Lin Lin berdiri tertegun dengan bulu roma berdiri. Hatinya tidak karuan
rasanya. Jelas bahwa encinya ini tidak beres lagi otaknya.
“Enci Sian Eng, ingatlah! Dia memang jahat, akan tetapi kita sudah berhasil membunuhnya. Mari kita pergi dari sini!”
Tiba-tiba Sian Erg mengangkat mukanya yang basah air mata, lalu
membentak, “Pergi dari sini? Tak tahukah kau bahwa aku tak dapat
meninggalkan kekasihku? Dialah satu-satunya pria yang kucinta. Kau
pergilah, jangan ganggu kami!”
Lin Lin menggeleng kepalanya.
Watak encinya suaah amat berubah dan kalau ia menggunakan kekerasan
tentu encinya akan mengamuk. Ia ngeri memikirkan akibatnya kalau mereka
berdua sampai bentrok. Biarpun ia menguasai ilmu silat tinggi, namun
encinya juga mewarisi ilmu yang biarpun sama halnya dengan dia sendiri,
belum masak latihannya, namun harus ia akui bahwa encinya memiliki ilmu
yang aneh mujijat. Pertempuran antara mereka akan hebat sekali
akibatnya. Maka dengan perasaan ngeri, apa boleh buat ia meninggalkan
tempat itu, cepat lari menuju ke kota raja. Biarlah, kalau encinya sudah
kumat penyakit gilanya, ia akan pergi sendiri mencari Suma Ceng, wanita
yang menjadi kekasih Suling Emas, yang menghalangi pertalian kasih
antara dia dan Suling Emas.
Karena Lin Lin melakukan perjalanan
cepat sekali maka pada keesokan harinya pada senja hari ia telah tiba di
kota raja. Sungguh pun kini kaisar yang memegang tampuk kerajaan sudah
diganti, namun keadaan di kota raja tampaknya biasa saja, tidak ada
perubahan. Bahkan Lin Lin melihat bahwa di dalam kota tidak tampak
berkeliaran anggauta-anggauta pasukan seperti keadaan dulu. Hal ini
memang satu-satunya perubahan yang diadakan oleh kaisar yang baru, yaitu
Sung Thai Cung. Setelah kalsar baru ini menggantikan kedudukan
kakaknya, ia memperkuat keadaan pasukannya dan memperkuat penjagaan
tapal batas atau wilayah Kerajaan Sung, mengerahkan seluruh balatentara
yang ada untuk menjaga di perbatasan dan mencegah gangguan dari
kerajaan tetangga.
Malam hari itu, dengan menggunakan ilmunya,
Lin Lin berkelebat di atas genteng rumah gedung besar Pangeran Kiang,
suami Suma Ceng. Mudah saja bagi Lin Lin mendapatkan rumah Pangeran
Kiang karena ketika ia bertanya tentang rumah ipar dari Suma Boan, tidak
ada orang di kota raja yang tidak tahu. Seperti juga dahulu, rumah
gedung ini masih indah dan mewah. Akan tetapi keadaannya sunyi, padahal
waktu itu malam baru saja tiba dan bulan hampir penuh menghias angkasa
menciptakan malam indah. Tiba-tiba Lin Lin yang berada di atas genteng
rumah itu mendengar suara anak-anak yang bermain-main sambil
tertawa-tawa. Cepat ia melompat ke arah belakang dan ternyata dalam
sebuah taman tampak tiga orang anak sedang bermain-main, diasuh oleh dua
orang pelayan. Adapun di dekat kolam ikan duduk seorang wanita cantik
yang termenung memandang bayangan bulan di dalam air. Hanya
kadang-kadang saja wanita ini menoleh ke arah anak-anak yang
bermain-main dengan gembira, akan tetapi segera ia tenggelam pula dalam
lamunannya.
Dari atas genteng, Lin Lin memperhatikan wanita
itu. Lampu taman yang diselubungi kertas berwarna-warni menjatuhkan
cahayanya pada wajah yang ayu dan tubuh yang bentuknya ramping, gerak
gerik yang halus. Makin panas hati Lin Lin. Kalau benar inilah wanita
yang bernama Suma Ceng pantas kalau Suling Emas jatuh cinta. Wanita ini
cantik dan memiliki sikap agung seperti biasa dimiliki puteri bangsawan.
Tentu saja Suling Emas memilih wanita ini daripada dia. Dia seorang
gadis kang-ouw yang kasar dan liar! Makin dipandang, makin panas hati
Lin Lin dan tiba-tiba tubuhnya sudah melayang turun dan langsung ia
lari ke depan wanita itu.
Wanita itu memang betul Suma Ceng
adanya. Semenjak peristiwa dengan Suling Emas yang menyerang suaminya
dan ia membela suaminya mati-matian, sering kali wanita ini duduk
melamun. Kadang-kadang ia menyesali perbuatannya karena sesungguhnya,
harus ia akui di dalam hati bahwa cintanya terhadap pendekar itu tak
pernah lenyap, tak pernah luntur dari hatinya, maka perlawanannya
terhadap Suling Emas untuk membela suaminya itu tentu saja
menghancurkan hatinya. Ia maklum bahwa perbuatannya itu tentu merupakan
tusukan yang menyakitkan hati terhadap bekas kekasihnya. Akan tetapi,
pikiran ini segera ia usir dengan kesadaran bahwa sesungguhnya hal itu
merupakan jalan terbaik baiknya. Lebih baik membiarkan Suling Emas pergi
dan membencinya, tidak akan kembali lagi selamanya agar pendekar itu
dapat melupakannya, tidak tersiksa lagi hatinya. Juga dia sendiri dapat
menjaga nama baik sebagai seorang isteri yang setia kepada suaminya.
Dan yang jelas, semenjak peristiwa itu terjadi, suaminya, Pangeran
Kiang, bersikap manis dan baik kepadanya.
Ketika Suma Ceng
melihat berkelebatnya orang dan secara tiba-tiba melihat seorang gadis
berdiri di depannya, ia kaget sekali dan cepat bangkit berdiri. Tadinya
ia kaget dan mengira Suling Emas yang datang lagi, akan tetapi setelah
melihat bahwa yang datang seorang gadis, ia terheran-heran. Akan tetapi
ketabahannya kembali ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang
gadis muda yang cantik sekali. Dengan senyum tenang Suma Ceng bertanya.
“Siapakah kau dan apa kehendakmu datang secara begini?”
Lin Lin meraba gagang pedang, sejenak ia menentang pandang mata wanita
itu sehingga dua pasang mata yang sama jeli dan sama tajam itu saling
tatap penuh selidik. Kemudian Lin Lin bertanya, suaranya lantang.
“Apakah kau yang bernama Suma Ceng?”
Suma Ceng mengerutkan keningnya. Sebagai seorang nyonya yang selalu
menjunjung tinggi nama suaminya, segera ia menjawab, “Aku adalah Nyonya
Pangeran Kiang dan siapakah kau?”
***
“Tapi dulu sebelum menikah bernama Suma Ceng?” Lin Lin mendesak lagi.
Terpaksa Suma Ceng mengangguk. “Betul, dahulu aku bernama Suma Ceng, dan kau mau apakah tanya-tanya nama kecil orang lain?”
“Srettt!” Pedang Besi Kuning sudah berada di tangan Lin Lin.
“Mau membunuh engkau!” bentak Lin Lin dan pedangnya berubah menjadi
sinar kuning yang menyambar ke arah leher Suma Ceng. Gerakan ini
demikian cepat dan tidak terduga sehingga nyonya muda itu biarpun pandai
silat tak sempat untuk menyelamatkan diri lagi, hanya berdiri terkesima
dengan mata terbuka lebar. Pedang Besi Kuning menyambar ganas!
“Tranggggg!” Lin Lin terpental ke belakang berputar-putar sampai lima
kali putaran baru ia dapat menghentikan kakinya ketika pedangnya
bertemu dengan sesuatu yang amat hebat tenaganya, membuat pedangnya itu
terpental dam membawa pula dirinya berputaran. Ia kaget dan marah
sekali, namun tidak gentar karena ia memang sudah siap untuk bertempur
mati-matian dalam usahanya membunuh wanita yang dibencinya. Cepat ia
meloncat dan membalikkan tubuh, siap dengan pedang di depan dada. Tapi
mendadak tubuhnya gemetar, wajahnya pucat dan tangan yang memegang
pedang menggigil. Kiranya yang menangkis pedangnya, yang kini berdiri
tegak di depan Suma Ceng, dengan suling di tangan, yang memandangnya
dengan kening berkerut dan mata sayu, adalah.... Suling Emas!
“Lin Lin, terlalu sekali engkau.... hendak membunuh orang yang tidak
bersalah apa-apa?” Suling Emas menegur sambil menggeleng-geleng
kepalanya, wajahnya yang tampan itu kelihatan sedih sekali.
Teguran ini meledakkan gunung berapi kemarahan yang mendesak di hati Lin
Lin. Tiba-tiba saja air matanya keluar bercucuran dan ia menudingkan
pedangnya ke arah Suling Emas. “Kau....! Kau....! Kau yang telah
menghinaku.... kini membela dia....! Ah, aku benci padamu! Benci....!”
Sambil terisak menangis Lin Lin meloncat dan lari pergi secepatnya.
“Lin Lin, tunggu....!” Suling Emas mengejar. Di taman itu tinggal Suma
Ceng yang berdiri terlongong, sedangkan anak-anaknya ketakutan dan dua
orang pelayan sibuk menghibur mereka dengan muka pucat karena takut
pula.
“Mari kita masuk, dan jangan ceritakan kepada siapapun
juga tentang peristiwa tadi,” akhirnya Suma Ceng berkata, kemudian
ketika berada di dalam kamarnya, tak tertahankan lagi nyonya ini
menjatuhkari diri di atas pembaringan dan menelungkup sambil menangis.
“Lin Lin, tunggu....!” Suling Emas berteriak dan mempercepat
pengejarannya. Lin Lin seperti orang gila, berlari cepat sekali karena
ia mengerahkan ilmu lari berdasarkan tenaga yang ia peroleh dari latihan
ilmunya yang baru di bawah petunjuk Empek Gan. Betapapun juga,
latihannya yang masih belum masak itu tidak memungkinkan ia dapat
melarikan diri daripada pengejaran Suling Emas. Akhirnya, jauh di luar
kota raja, ia dapat disusul oleh Suling Eruas yang mendahuluinya dan
membalik, menghadang di tengah jalan.
“Lin-moi, berhenti sebentar, mari kita bicara baik-baik....”
Dengan air mata membasahi pipinya, Lin Lin melintangkan pedangnya di
depan dada dan matanya yang tajam menatap wajah pendekar itu sambil
berkata ketus, “Bicara apa lagi? Kau sudah puas menghinaku dua kali!
Kau menyusul aku apakah hendak menghina lagi dan melihat aku mampus?”
air matanya makin deras bercucuran.
Dengan suara sedih Suling
Emas berkata, “Lin Lin.... Lin-moi, mengapa kau berkata demikian? Tidak
sekali-kali aku berani menghinamu. Ah, Lin Lin, tidak tahukah kau betapa
hancur hatiku menghadapi semua ini? Kau agaknya tahu sekarang,
bahwa.... bahwa aku adalah kakakmu sendiri. Tidak saja aku jauh lebih
tua darimu, tapi juga aku.... aku adalah kakakmu, Lin Lin. Aku tidak
menghina....”
“Cukup!” Lin Lin membentak di antara isak
tangisnya, “Katakanlah bahwa kau memandang aku sebagai seorang gadis
yang tak tahu malu, seorang gadis yang rendah! Kau bukan kakakku, ini
kau pun tahu jelas. Aku seorang puteri Khitan, aku hanya anak pungut
ayahmu, aku bukan she Kam! Kita bukan sedarah dadaging, bukan
seketurunan. Tentang usia.... sudahlah, tentu saja kau menganggap aku
seorang gadis tak berharga! Kau.... kau mencinta Suma Ceng yang sudah
bersuami dan mempunyai anak. Ah, mengapa kau tidak bunuh saja aku?”
Kembali Lin Lin menangis.
Suling Emas menarik napas panjang.
“Kau betul. Memang aku pernah mencintanya, mencintanya sebelum ia
menikah dengan Pangeran Kiang. Namun kami tidak beruntung, dan dia
sudah bahagia di samping suaminya, aku.... aku sudah melupakan
perhubungan kami yang lalu. Karena inilah Lin-moi.... karena aku merasa
bahwa aku sudah pernah mencinta orang lain, ditambah lagi kenyataan
bahwa kau sejak kecil menjadi puteri ayahku, diperkuat dengan kenyataan
bahwa aku jauh lebih tua daripadamu, bagaimanapun juga.... tak mungkin
aku mau merusak hidupmu. Kau masih muda, jelita, dan perkasa, lagi pula
kau Puteri Khitan. Banyak di dunia ini pria yang jauh melebihi aku
segala-galanya, menantimu....”
“Cukup! Kau hendak menambah luka
di hatiku? Kau sengaja menghancurkan hatiku yang sudah sakit ini?
Alangkah kejamnya kau! Alangkah bencinya aku kepadamu!” Lin Lin
menggerakkan pedangnya dengan ancaman hendak menusukkan senjata ini di
dada Suling Emas.
“Bagus begitu.... kau tusuklah dada ini!
Lebih baik begitu, Lin-moi. Untuk apa aku hidup lebih lama lagi kalau
hidupku hanya mendatangkan sengsara bagi banyak orang?” Suling Emas
berhenti sejenak, meramkan matanya membayangkan wajah Suma Ceng, juga
wajah Tan Lian yang menjadi korban asmara, kemudian ia membuka lagi
matanya. “Sudah kupenuhi kewajibanku mewakili ibu menghadapi Thian-te
Liok-koai, sudah kupenuhi kewajibanku bertemu dengan adik-adikku seperti
pesan ayah. Kautusuklah dadaku!”
Karena Lin Lin memegang
pedangnya dengan gerakan menusuk, maka ketika Suling Emas menubruk ke
depan, tak dapat dicegah lagi pedangnya menusuk dada Suling Emas. Lin
Lin terkejut dan membuang muka sambil menutupinya dengan tangan kiri.
Tangannya yang memegang pedang gemetar sehingga pedang itu menyeleweng,
menggores kulit dada kemudian ujung pedang menancap di pundak kanan
Suling Emas!
Ketika merasa betapa pedangnya menusuk daging, Lin
Lin menjerit kecil dan menarik pedangnya, berdiri terbelalak dengan
muka pucat. Suling Emas masih berdiri, mulutnya tersenyum sedih, darah
mengucur keluar membasahi bajunya.
“Mengapa kepalang tanggung,
adikku? Tusuklah lagi, yang tepat.... ini dadaku, aku rela mati untuk
membebaskanmu dari derita....”
Makin besar mata Lin Lin
terbelalak, kemudian ia menjerit lagi dan terisak lari meninggalkan
tempat itu. Suling Emas terhuyung-huyung kemudian roboh pingsan.
***
“Berhenti! Menyerahlah untuk menjadi tawanan kami!” terdengar bentakan
keras dan belasan orang berloncatan keluar dari balik pohon dan segera
mereka mengurung Lin Lin yang berdiri tenang. Sekali pandang tahulah
Lin Lin bahwa ia dikurung oleh para perajurit Khitan, bahkan di
antaranya ada yang ia kenal sebagai perwira-perwira yang pernah ikut
rombongan ke Nan-cao menghadiri perayaan Beng-kauw. Dan di belakang
belasan orang ini muncul pula rombongan yang merupakan pasukan
berjumlah lima puluh orang lebih, lengkap dengan senjata tajam. Sikap
mereka rata-rata galak dan tangkas, dan memang suku bangsa Khitan
terkenal sebagai orang-orang yang berjiwa gagah perkasa, sudah biasa
akan kesulitan hidup yang membuat mereka kuat lahir batin.
Namun
menghadapi pengurungan banyak orang itu Lin Lin tidak menjadi gentar.
Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa mereka ini adalah orang-orangnya,
bukan musuh. Maka sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang ia
menghardik.
“Kalian ini mau apa? Mengapa hendak menawan aku?
Tidak tahukah siapa aku? Aku adalah Puteri Yalina, puteri mahkota yang
berhak akan mahkota Kerajaan Khitan!”
Sikapnya yang agung dan
kata-katanya yang mantap ini meragukan para perajurit. Akan tetapi
seorang komandan berkata keras, biarpun kata-katanya tidak kasar. “Kami
hanya menerima perintah dari Lo-ciangkun, bahwa apabila Nona muncul di
wilayah ini, kami harus menawan Nona.”
Lin Lin tahu siapa yang
dimaksudkan dengan Lo-ciangkun (panglima tua) itu. Ia tersenyum
mengejek. “Hemmm, siapa takut iblis Hek-giam-lo? Kalian ini bangsa
Khitan yang terkenal gagah perkasa, yang sejak dahulu setia kepada nenek
moyangku, menjadi abdi-abdi setia dari kakekku, raja besar Kulukan,
mengapa sekarang bersikap pengecut, tunduk kepada perintah seorang
iblis seperti Hek-giam-lo?”
“Kami bukan pengecut!” bantah
komandan itu dengan muka merah. “Akan tetapi kami harus tunduk terhadap
perintah Lo-ciangkun yang menjadi kepercayaan sri baginda. Kalau kami
tidak melakukan perintah, tentu kami dihukum mati. Sudah banyak
contohnya pembangkang yang dihukum mati secara mengerikan. Oleh karena
itu selain kami takut dihukum, juga kami sayangkan kalau sampai Nona
menerima hukuman dari Lo-ciangkun.”
“Hemmm, siapa takut? Kalian
tahu betapa kejamnya iblis Hek-giam-lo, kejam dan menjadi tokoh penjahat
di dunia yang hanya menodai nama besar Khitan! Apakah dahulu kakekku,
raja besar Kulukan sekejam itu? Baru sekarang, setelah paman tiriku
Kubakan menjadi raja dan dibantu Hek-giam-lo, terjadi
kekejaman-kekejaman. Hek-giam-lo adalah pengkhianat. Dahulu juga
seorang panglima kakekku, akan tetapi karena berdosa kepada mendiang
ibuku, maka mukanya menjadi seperti iblis, dan dia membantu paman tiriku
yang tidak berhak akan kedudukan raja. Lihat, kalau aku yang mewarisi
mahkota yang menjadi hakku, aku tidak akan berlaku kejam. Kalian sudah
menghinaku, hendak menawanku, akan tetapi aku tidak akan membunuh
kalian.”
Mau tidak mau komandan itu tersenyum. “Nona,
Lo-ciangkun mengandalkan kepandaiannya yang setinggi langit. Nona hendak
mengandalkan apa untuk melakukan kekejaman?”
“Eh, kau memandang
rendah? Keparat! Lihat baik-baik!” Dengan kecepatan kilat Lin Lin
menggerakkan tubuhnya, melakukan jurus sakti memukul dan menendang ke
depan. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan.... enam orang Khitan
berikut komandan tadi berjungkir-balik dan jatuh tumpang tindih, tanpa
mereka ketahui mengapa mereka dapat jatuh bangun seperti itu!
“Nah, kaukira aku tidak dapat menyiksa kalian dan membunuh kalian
secara kejam kalau kukehendaki? Akan tetapi biarpun kalian keterlaluan,
aku tetap memaafkan kalian karena kalian adalah bangsaku dan
orang-orangku. Bangunlah!”
Enam orang itu meringis-ringis dan
bangun, akan tetapi kesetiakawanan mereka membuat pasukan itu bergerak
dan merapatkan pengepungan. Melihat enam orang kawan mereka dirobohkan
Lin Lin, mereka yang tidak mendengar kata-kata Lin Lin tadi kini maju
mendesak dan siap untuk mengeroyok gadis itu dalam kepungan itu. Melihat
ini Lin Lin membentak.
“Mundur kalian! Benar-benarkah kalian
ini akan melupakan darah nenek moyangku dan membantu pengkhianat? Belum
cukupkah bukti tadi bahwa aku cukup kuat akan tetapi tidak mau membunuh
kalian yang kusayang sebagai rakyatku? Awas, kalau memang kalian ini
hanya terdiri dari orang-orang yang hanya tunduk kalau diperlakukan
kejam, jangan salahkan aku terpaksa menggunakan kekerasan!”
Akan tetapi orang-orang Khitan itu tidak mengenal takut. Mereka mendesak
makin dekat dan sikap mereka mengancam. Tiba-tiba mata mereka menjadi
silau oleh sinar kuning terang yang bergulung-gulung ketika Lin Lin
mencabut pedangnya dan menggerak-gerakkannya dengan cepat di atas
kepalanya.
“Mundur! Kalian tidak melihat ini? Pedang pusaka Besi
Kuning, pedang mendiang ibuku Puteri Tayami, siapa berani melawan ini?
Hayo maju, siapa maju akan kupenggal kepalanya!”
Semua orang
Khitan mengenal belaka pedang ini. Mereka yang masih muda dan belum
pernah menyaksikan pedang ini, setidaknya pernah mendengar dongeng
bermacam-macam tentang pedang ini yang katanya dahulu adalah pemberian
raja dewa kepada nenek moyang Raja Khitan. Mereka serentak mundur dan
muka mereka menjadi pucat.
“Kalian tahu, hanya pedang pusaka
inilah yang menjadi tanda. Siapa memegangnya dialah yang patut menjadi
raja di Khitan. Dahulu pedang ini terlepas dari tangan Kubakan, terampas
oleh Kaisar Sung. Raja macam apa dia itu sehingga melepaskan pusaka
kerajaan? Dia tidak patut menjadi raja dan dia hanyalah anak dari selir
kakek Kulukan. Ibukulah puteri mahkota, dan karena aku anaknya, maka
akulah keturunan langsung dari kakek Kulukan, dan aku, Puteri Yalina,
yang berhak memakai mahkota Kerajaan Khitan. Hayo, siapa berdiri di
fihakku dan siapa berani menentangku?” Sambil berkata Lin Lin
mengacungkan pedangnya ke atas, berdiri tegak dan sikapnya gagah dan
agung. Anehnya biarpun belum banyak ia mempelajari bahasa Khitan ketika
ia ditawan Hek-giam-lo, namun kini dia dapat bicara dengan lancar
dalam bahasa itu. Memang panggilan darah agaknya yang membuat ia merasa
tidak asing dengan suku bangsa dan bahasa Khitan. Apalagi ia adalah
keturunan dari orang-orang yang berdarah Kerajaan Khitan.
Pada
saat orang-orang Khitan itu ragu-ragu dan tidak tahu harus bersikap
bagaimana terhadap gadis ini, tiba-tiba di bagian kiri orang-orang itu
bergerak minggir, memberi jalan kepada rombongan yang datang. Di antara
mereka ada yang berkata dengan suara membayangkan kelegaan hati.
“Bagus, Pek-bin-ciangkun tiba! Hanya dialah yang dapat memberi keputusan, kita ini perajurit biasa yang tunduk perintah!”
Lin Lin cepat menengok dan ia melihat bahwa yang datang betul adalah
Panglima Khitan yang terkenal itu, yang dahulu mewakili Kerajaan Khitan
ketika datang pada pesta Beng-kauw. Panglima yang berwajah putih ini
datang bersama belasan orang perwira pembantunya dan mereka semua
memandang ke arah Lin Lin dengan pandang mata penuh selidik dan wajah
keren. Namun Lin Lin tidak menjadi gentar dan ia cepat menghadapi
Pek-bin-ciangkun dengan sikap agung dan gagah. Sengaja ia tidak
mengucapkan kata-kata seakan-akan sikap seorang puteri yang menerima
laporan dari panglimanya!
Pek-bin-ciangkun tentu saja mengenal
siapa Lin Lin dan panglima ini sudah pula mendengar tentang asal-usul
gadis ini. Maka ia bersikap hormat sungguhpun ia tidak merendahkan diri.
Tadi ia sudah menerima laporan lengkap, bahkan ucapan Lin Lin yang
terakhir tadi didengarnya pula. Hal ini mengejutkan hatinya. Terang
bahwa gadis keturunan langsung dari raja lama ini menuntut haknya dan
kalau gadis ini berhasil menghasut, pasti akan terjadi perang saudara!
“Nona, kami sudah mendengar semua laporan dan mendengar pula ucapan
Nona yang amat berbahaya. Ketahuilah, Nona. Kami hanya menjalankan tugas
kami, taat kepada perintah raja besar kami. Lebih baik Nona menurut
saja kami bawa menghadap raja dan percuma membujuk kami yang semenjak
dahulu merupakan perajurit-perajurit setia sampai mati terhadap
junjungan kami.” Ucapan yang bersemangat dan gagah ini berhasil
menggugah semangat para perajurit dan menghilangkan keraguan mereka.
Lin Lin melihat hal ini menjadi gemas. Dengan sinar mata tajam ia
menentang wajah Pek-bin-ciangkun dan berkata lantang.
“Pek-bin-ciangkun! Melihat usiamu yang sudah lanjut, tentu kau dahulu
pernah mengenal ibuku. Tahukah kau siapa mendiang ibuku?”
Sambil
menunduk hormat panglima itu menjawab. “Ibunda Nona yang mulia adalah
mendiang Puteri Mahkota Tayami yang gagah perkasa.”
“Dan kau tentu tahu pula siapakah kakekku, ayah dari ibuku?”
Kembali panglima itu membungkuk lebih hormat lagi, “Beliau adalah
mendiang raja terbesar kami yang amat mulia, yaitu mendiang Kulukan
yang besar!”
“Hemmm, agaknya ingatanmu masih baik. Dan kau tahu,
rajamu yang sekarang itu, Raja Kubakan, dia itu terhitung apa dengan
aku....?”
“Dengan Nona, beliau terhitung paman tiri, karena sri baginda adalah putera mendiang Maha Raja Kulukan dari seorang selir.”
“Hemmm, paman tiri, namun masih ada hubungan darah, masih sama-sama
keturunan kakek Raja Kulukan, sungguhpun ibuku puteri permaisuri dan
dia hanya putera selir. Akan retapi tahukah kalian semua apa maksud
hati paman tiriku itu hendak menangkapku? Aku hendak dipaksanya menjadi
isterinya! Bukankah amat gila ini? Tidakkah jelas menunjukkan betapa
bejat moral Kubakan yang kini menjadi raja kalian, raja yang tak
berhak?”
“Kami tidak mau mencampuri urusan pribadi orang lain,
apalagi urusan pribadi raja kami yang kami junjung tinggi,” bantah
Pek-bin-ciangkun sambil mengerutkan keningnya.
“Bagus!” Lin Lin berseru marah sambil melintangkan pedangnya. “Kau juga tidak memandang pedang pusaka ini?”
Pek-bin-ciangkun menghela napas panjang. “Tentu saja, kami menaruh
hormat kepada pedang pusaka yang sudah banyak berjasa terhadap bangsa
kita itu. Akan tetapi, sebagai kepala pasukan pengawal raja, kami harus
mentaati perintah yang diberikan atasan kami, yaitu yang terhormat
Lo-ciangkun. Menyerahlah Nona, kami akan memperlakukanmu dengan hormat
dan baik.”
Lin Lin mengedikkan kepalanya, matanya bersinar-sinar
marah. “Kalau kalian tunduk dan menjadi kaki tangan Hek-giam-lo si
iblis jahanam, biarlah sekarang mengeroyok dan membunuhku. Aku tidak
takut!”
“Ah, Nona Muda. Sesungguhnya kami bukan tidak tahu bahwa
kau adalah tuan puteri, keturunan langsung dari Yang Mulia Kulukan.
Kami merasa sayang dan segan untuk memusuhimu. Akan tetapi apakah daya
seorang anak perempuan muda seperti kau ini? Apakah artinya melawan
dengan kekerasan? Siapa tidak tahu bahwa Lo-ciangkun memiliki kesaktian
yang tak terlawan? Kuharap saja kau dapat menyadari hal ini dan mari
ikut kami menghadap raja. Mungkin hubungan darah kekeluargaan akan
menyelamatkan dirimu.”
“Aku tidak takut terhadap Hek-giam-lo si
iblis! Aku tidak takut kepada si muka buruk Bayisan itu, seorang perwira
yang berani menghina mendiang ibuku. Suruh dia datang, biar kami
mengadu nyawa di sini!” teriaknya nekat.
“Bayisan....? Apa maksudmu, Nona?” tanya Pek-bin-ciangkun dengan suara kaget.
“Siapa lagi kalau bukan Hek-giam-lo? Dia adalah Bayisan, apakah kalian
masih pura-pura tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan, dahulu
perwira kakek Raja Kulukan yang berani menghina ibuku?”
“Aaahhh....!” Jelas sekali kelihatan Pek-bin-ciangkun kaget bukan main,
wajahnya yang putih itu mendadak menjadi merah dan matanya terbelalak
tak percaya. Bukan panglima ini saja yang terkejut, juga semua perwira
yang mengiringkannya kelihatan kaget dan para perajurit juga ribut
mendengar ucapan Lin Lin itu. Suasana menjadi gaduh karena mereka kini
saling bicara sendiri dan keadaan baru tenang kembali setelah
Pek-bin-ciangkun membentak, menyuruh mereka diam. Kemudian panglima ini
menghadapi Lin Lin dan bertanya.
“Nona, semenjak kecil Nona
terpisah dari lingkungan kami, bagaimana Nona bisa mengatakan bahwa
lo-ciangkun adalah.... Bayisan?” Panglima yang sudah banyak pengalaman
ini tidak mau percaya begitu saja.
Sebaliknya, menyaksikan
sikap mereka yang kaget dan mendengar pertanyaan Pek-bin-ciangkun yang
demikian sungguh-sungguh, diam-diam Lin Lin menjadi heran tak mengerti.
Mengapa mereka semua tidak tahu bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan seperti
yang ia dengar dari iblis itu sendiri, dan mengapa pula hal itu membuat
mereka kaget? Tentu ada rahasia yang hebat, yang ia tidak ketahui.
Dengan hati berdebar penuh harapan Lin Lin bergantung kepada kesempatan
ini, lalu ia bercerita dengan suara sungguh-sungguh.
“Pek-bin-ciangkun, memang tadinya aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi
ketika aku menjadi tawanan Hek-giam-lo dan kutanya mengapa dia begitu
membenciku, dia membuka kedok iblisnya, memperlihatkan muka yang lebih
buruk mengerikan daripada kedoknya sendiri, muka yang rusak sama sekali.
Hanya sebentar dia memperlihatkan mukanya yang rusak sambil mengaku
bahwa namanya Bayisan, dan bahwa di waktu mudanya dahulu ia jatuh
cinta kepada ibuku, akan tetapi ibu menolaknya. Menurut cerita dia, ibu
malah menyiram mukanya dengan racun yang membuat mukanya menjadi
terbakar dan rusak. Akan tetapi aku dapat menduga bahwa tentu ia
bermaksud hendak kurang ajar terhadap ibu, maka ibuku melakukan hal itu
kepadanya.”
Kembali suasana menjadi gaduh. Dan akhirnya
Pek-bin-ciangkun berkata, suaranya berubah lunak dan panggilannya juga
berubah, “Tuan Puteri Yalina, kami mohon maaf atas kekasaran kami tadi
dan mulai saat ini, hamba dan sekalian anak buah hamba berdiri di
belakang Paduka untuk menggempur pengkhianat Bayisan beserta raja paman
tiri Paduka yang ternyata telah menipu kami semua, mempergunakan
pengkhianat untuk membunuh ayah sendiri dan merampas tahta kerajaan.”
Setelah berkata demikian, Pek-bin-ciangkun menjatuhkan diri berlutut di
depan Lin Lin. Para perwira lainnya juga ikut berlutut, sedangkan para
perajurit sambil berteriak, “Hidup Tuan Puteri Yalina. Puteri Mahkota
Khitan!”
Sejenak Lin Lin berdiri tegak. Pedang Besi Kuning di
tangan kanan, tangan kiri bertolak pingang, kepala dikedikkan, dada
dibusungkan dan matanya menyambar-nyambar ke kanan kiri penuh wibawa.
Kemudian ia berkata lantang, “Harap kalian suka berdiri. Syukurlah bahwa
kalian dapat memilih fihak yang benar untuk bersama menghancurkan fihak
yang salah. Aku minta Pek-bin-ciangkun suka mengumpulkan para perwira
untuk mengatur siasat bersamaku.”
Pek-bin-ciangkun bangkit
berdiri, diturut oleh semua anak buahnya yang ternyata berjumlah
seratus orang lebih. Kini mereka berkumpul dan berdiri di sekeliling
tempat itu dengan harapan baru. Sudah terlalu lama mereka bekerja di
bawah tekanan yang menakutkan dari Hek-giam-lo yang mempunyai kekuasaan
tertinggi, agaknya malah lebih tinggi daripada raja sendiri.
Pek-bin-ciangkun mengajak perwira yang semua ada enam belas orang untuk
mengadakan perundingan dengan Lin Lin di bawah pohon-pohon yang rindang
daunnya, setelah ia memperkenankan para anak buahnya untuk
beristirahat sambil berjaga-jaga.
“Ciangkun, terus terang saja,
aku tidak tahu mengapa setelah Ciangkun dan semua saudara mendengar
bahwa Hek-giam-lo adalah Bayisan, Ciangkun lalu tiba-tiba menyatakan
mendukung aku? Ada rahasia apakah di balik semua ini?”
Pek-bin-ciangkun menarik napas panjang. “Tuan Puteri tidak tahu, memang
sepantasnya tidak tahu karena hal itu terjadi sewaktu Paduka masih amat
kecil dan ibu Paduka belum meninggal dunia. Bayisan dahulunya adalah
seorang Panglima Khitan yang terkenal gagah perkasa. Seperti telah ia
akui di depan Paduka, dia tergila-gila kepada Puteri Mahkota Tayami,
tetapi ditolaknya dan seperti kenyataannya, ibunda Paduka telah menikah
dengan seorang perwita rendahan yang gagah perkasa. Nah, agaknya ia
menaruh dendam, apalagi karena Maha Raja Kulukan sendiri tidak
menyetujui niatnya mengawini Puteri Tayami. Diam-diam ia lalu melakukan
pengkhianatan dan pada suatu malam, Sri Baginda Kulukan meninggal dunia
dalam kamarnya. Oleh puteranya, Sri Baginda Kubakan yang sekarang,
ketika itu masih seorang pangeran, dikabarkan bahwa sri baginda tua
meninggal karena penyakit. Akan tetapi hamba dan para perwira yang tahu
akan ilmu silat tinggi, mengerti bahwa meninggalnya sri baginda karena
pukulan jarak jauh yang beracun. Kami sudah menduga bahwa hal itu tentu
dilakukan oleh Bayisan, akan tetapi ketika kami mencarinya, ia telah
lenyap tak meninggaikan jejak. Kiranya pada malam hari itu juga ia
berani mati hendak mengganggu Puteri Tayami sehingga disiram racun pada
mukanya. Karena itulah kami sekalian mengira bahwa dia pergi takkan
kembali lagi, karena malu dan takut akan pembalasan kami.”
Lin
Lin mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa tidak sabar ketika
panglima itu berhenti sebentar untuk mengingat-ingat peristiwa yang
telah puluhan tahun terjadi itu (baca ceritaSuling Emas).
“Sementara itu, bangsa kita selalu mengadakan perang dengan Kerajaan
Hou-han, dan yang menjadi calon ratu bukan lain adalah Puteri Mahkota
Tayami. Akan tetapi, ibunda Paduka tewas di medan pertempuran secara
aneh karena anak panah yang membunuhnya kami kenal sebagai anak panah
yang biasa dipergunakan oleh Bayisan yang menghilang! Dan beberapa
tahun kemudian, setelah paman tiri Paduka, Kubakan menjadi raja,
muncullah Hek-giam-lo yang kami sebut lo-ciangkun, menjadi panglima
tertinggi yang amat berkuasa. Karena dia sakti, dan raja amat percaya
kepadanya, maka kami tidak berani bertanya-tanya siapa adanya
Hek-giam-lo. Siapa kira, dia adalah Bayisan yang berkhianat!”
Pek-bin-ciangkun tampak marah sekali.
Akan tetapi lebih hebat
adalah kemarahan Lin Lin. Kiranya Hek-giam-lo adalah pembunuh ibunya!
Makin besarlah hasrat hatinya hendak membasmi Hek-giam-lo dan merampas
tahta Kerajaan Khitan, “Hemmm, bagus sekali! Kalau begitu mari kita
serbu kerajaan dan bunuh Hek-giam-lo si pengkhianat!”
“Sabarlah, Tuan Puteri. Hek-giam-lo amat sakti. Bagaimana kita mampu melawannya?”
“Jangan takut, percayalah kepadaku. Aku mampu menandinginya, dan
andaikata aku kalah dan tewas, berarti aku sudah berjasa, mati untuk
bangsaku dalam usaha membasmi pengkhianat!” jawab Lin Lin dengan gagah.
Pada saat itu terdengar suara terompet dan gaduh. Ternyata muncul
serombongan pasukan yang dipimpin oleh seorang pemuda yang bermuka
putih, pemuda yang tampan dan gagah sekali. Begitu dekat, pemuda yang
membawa golok besar ini dari atas kudanya berseru, “Hei, kaum
pemberontak. Menyerahlah kalian sebelum aku terpaksa menggunakan
kekerasan atas nama sri baginda!”
Semua orang terkejut,
lebih-lebih Pek-bin-ciangkun yang melihat bahwa pemuda itu bukan lain
adalah Kayabu, puteranya dan juga anak tunggalnya. Kayabu ini juga
memakai nama bangsa Han, dan ia memilih nama Liao yang kelak menjadi
nama Kerajaan Khitan. Liao Kayabu ini seorang pemuda berusia dua puluh
lima tahun, gagah perkasa dan tampan, ahli main golok dan anak panah,
semenjak muda digembleng ayahnya, malah dalam perantauannya ia belajar
ilmu silat tinggi dari para pertapa di sepanjang pegunungan utara.
“Kayabu, apa artinya ini? Tak tahukah kau bahwa ayahmu berada di sini?” bentak Pek-bin-ciangkun dengan suara lantang.
Pemuda gagah itu sejenak memandang ayahnya, kemudian ia melompat turun
dari atas kudanya, berlari menghampiri Pek-bin-ciangkun dan menjatuhkan
diri berlutut. “Ayah, sebagai anakmu, aku menghormat dan menjunjung
tinggi padamu. Sebagai anakmu, aku harap hendaknya Ayah suka sadar dan
insyaf, bahwa Ayah telah terseret oleh bujukan orang untuk turun
berkhianat. Ayah, semenjak kecil aku mendapat didikan Ayah yang terutama
menekankan agar supaya aku menjadi seorang gagah yang selalu mencinta
bangsa dan setia kepada rajanya. Pelajaran Ayah ini sudah berakar di
dalam hatiku. Untuk membela bangsaku dan bersetia kepada bangsaku, aku
siap menerima kematian, siap mengorbankan apa pun juga. Akan tetapi,
hari ini aku mendengar laporan bahwa Ayah berkumpul dengan orang-orang
yang hendak memberontak, yang berarti mengkhianati bangsa dan raja.
Ayah, sekali lagi, sebagai puteramu, aku mohon Ayah suka sadar dan
menarik diri keluar dari persekutuan jahat ini!”
Muka Pek-bin-ciangkun sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Lin Lin memandang dengan hati tegang.
“Kayabu, kau tidak mengerti. Ayahmu tetap seorang yang selalu setia
terhadap bangsa dan kerajaan. Ketahuilah bahwa gerakan yang akan
diadakan oleh ayahmu adalah justeru gerakan membasmi pengkhianat yang
semenjak puluhan tahun merajalela dan baru sekarang diketahui dan akan
diberantas. Ketahuilah, bahwa lo-ciangkun sebetulnya adalah si
pengkhianat Bayisan, dan sri baginda yang sekarang ini malah
mempergunakan tenaganya. Karena itu, tak dapat diragukan lagi bahwa
kematian sri baginda tua maupun Puteri Tayami adalah hasil
pengkhianatannya yang dibantu oleh Bayisan.”
Para perajurit
dalam pasukan yang baru datang, menjadi gaduh mendengar ini, pasukan tak
dapat diatur lagi dan mereka saling bicara sendiri dengan ramai. Liao
Kayabu bangkit berdiri dan suaranya nyaring mengatasi suara gaduh
lainnya.
“Pek-bin-ciangkun! Aku sekarang bicara sebagai seorang
hamba Kerajaan Khitan yang setia! Aku tidak tahu dan tidak ambil peduli
akan dongeng tentang pengkhianatan jaman dahulu, akan tetapi
kenyataannya sekarang, au bekerja sebagai panglima di dalam Kerajaan
Khitan, karena itu aku harus setia kepada raja dan bangsa. Siapapun
juga yang mempunyai niat memberontak, dia adalah musuhku. Pemberontakan
berarti pengkhianatan, baik terhadap raja maupun terhadap bangsa, karena
itu, sudah menjadi kewajibanku untuk membasminya dengan taruhan
nyawa!”
Dengan golok melintang di depan dada, Kayabu berdiri
tegak menentang pandang mata ayahnya dan juga Lin Lin. Gadis ini
diam-diam kagum sekali. Pemuda ini benar-benar gagah perkasa, pikirnya,
dan kesetiaannya terhadap Kubakan bukanlah kesetiaan karena dorongan
perasaan pribadi, bukan pula dengan pamrih mencari kemuliaan duniawi,
melainkan kesetiaan yang jujur dan bersih dari seorang panglima yang
gagah perkasa terhadap negara dan bangsanya. Akan tetapi,
Pek-bin-ciangkun marah sekali.
“Anak durhaka! Kau hendak melawan
ayahmu sendiri?” Orang tua ini sudah melangkah maju dan mencabut
pedangnya yang panjang. “Sejak kau kecil aku mendidik dan membangunmu,
biarlah sekarang aku sendiri yang membasmimu!”
“Ciangkun, tahan
dulu!” tiba-tiba Lin Lin berseru dan sekali tubuhnya berkelebat ia
sudah melewati Panglima Muka Putih ini dan berkata, “Puteramu ini
seorang panglima sejati yang gagah, harus dihadapi dengan kegagahan
pula. Biarlah aku yang menghadapinya. Setujukah kau?”
Pek-bin-ciangkun mengerutkan keningnya, akan tetapi karena ia
menganggap Lin Lin sebagai junjungan baru calon ratu di Khitan, tentu
saja ia merasa tidak enak kalau membantah. Ia menunduk dan menjawab,
“Terserah kepada kebijaksanaan Tuan Puteri. Akan tetapi harap Paduka
berhati-hati karena bocah ini kepandaiannya cukup tinggi sehingga hamba
sendiri pun belum tentu dapat mengalahkannya.”
Biarpun dalam
ucapan ini Pek-bin-ciangkun memberi peringatan agar junjungannya
berhati-hati, namun mengandung pula kebanggaan seorang ayah terhadap
puteranya.
Lin Lin mengangguk, tersenyum manis. “Aku mengerti.”
Kemudian ia membalikkan tubuhnya menghadapi Kayabu yang masih berdiri
tegak dengan sikap menantang.
“Kayabu, kau seorang panglima
yang dipercaya dan setia kepada Sri Baginda Kubakan agaknya. Apakah ini
berarti bahwa kau adalah kaki tangan Hek-giam-lo si iblis busuk?”
“Aku seorang perajurit, seorang ksatria, tidak ada sangkut-pautnya
dengan lo-ciangkun, melainkan mengabdi kepada negara dan bangsa!”
“Bagus! Karena kalau kau kaki tangan Hek-giam-lo, biarpun dengan hati
menyesal karena kau putera Pek-bin-ciangkun, tentu kau akan kubunuh.
Ketahuilah, aku adalah Puteri Mahkota Yalina, dan sri baginda yang
sekarang adalah paman tiriku yang merampas tahta kerajaan dengan cara
yang curang dan jahat. Akan tetapi kau tentu tidak peduli akan hal itu
semua. Sekarang, sebagai musuh, melihat ayahmu berada di fihakku, apakah
kau tidak mau menakluk?”
“Aku seorang perajurit sejati. Sebelum kalah atau mati takkan menakluk!”
Lin Lin tersenyum. “Hemmm, bagaimana seandainya aku mengalahkan kau dan golokmu itu?”
Pemuda itu nampak terkejut, lalu menggelengkan kepala. “Tak mungkin!”
Lalu ia menyambung. “Di antura kalian semua, kiranya hanya ayahku yang
akan mampu menandingi aku. Nona, lebih baik kau pergilah jauh-jauh dari
Khitan dan hentikan semua niat memberontak ini agar ayahku jangan
terseret-seret.”
“Haiii.... Kayabu, kau benar-benar memandang
rendah kepadaku! Majulah, kutanggung paling lama tiga belas jurus aku
akan mampu mengalahkan kau!”
Terbelalak mata Kayabu dan ributlah
semua perajurit mendengar ini. Kayabu terkenal sebagai seorang ahli
golok yang pandai. Biarpun kepandaiannya tidak sehebat Hek-giam-lo,
namun ia terhitung Panglima Khitan yang pilihan dan mengalahkan panglima
ini dalam waktu tiga belas jurus sama sukarnya dengan merobohkan sebuah
gunung agaknya. Diam-diam Pek-bin-ciangkun sendiri mengerutkan
keningnya. Ia bersimpati kepada Puteri Yalina dan mau membantu karena
ingin pula menumpas Bayisan yang menjadi Hek-giam-lo serta mengakhiri
pengkhianatan Kubakan. Akan tetapi kalau yang ia bela adalah seorang
puteri muda yang begini sombong, yang bersumbar akan mengalahkan
puteranya dalam waktu tiga belas jurus, benar-benar keterlaluan dan
kelak gadis ini tentu akan menjadi seorang ratu yang sembrono sekali.
Melihat puteranya sambil tersenyum-senyum melangkah maju menghadapi Lin
Lin dengan sikap hendak bersungguh-sungguh, panglima tua ini berseru,
“Kayabu, jangan kurang ajar kau terhadap Sang Puteri Yalina!”
“Aku ditantang, dan memang musuhnya. Mengapa kurang ajar? Sudah
semestinya musuh saling menantang dan siapa kalah harus tunduk. Nona,
agaknya kaulah yang mengepalai pemberontakan ini, dan kau pula yang
mempengaruhi ayahku dan teman-teman untuk memberontak. Setelah sekarang
menantangku, hendak merobohkan aku dalam waktu tiga belas jurus,
marilah kita membuat janji. Kalau betul kau mampu mengalahkan aku dalam
waktu tiga belas jurus, aku akan menyerah tanpa syarat! Akan tetapi,
bagaimana kalau dalam waktu itu kau tidak mampu mengalahkan aku?”
“Kalau aku tidak manipu, akulah yang akan menyerah tanpa syarat dan akan menghentikan niatku membasmi Hek-giam-lo dam Kubakan!”
“Tuan Puteri....!” Pek-bin-ciangkun berseru kaget, Hebat janji yang
keluar dari mulut Lin Lin itu, karena sekali berjanji, kalau betul tidak
mampu mengalahkan Kayabu dalam tiga belas jurus, akan hancurlah semua
cita-cita tadi. “Kayabu mundur kau! Kalau kau lanjutkan, aku takkan
mengakuimu sebagai anak lagi!” Saking khawatirnya, Pek-bin-ciangkun
berkata demikian.
“Ciangkun, biarkanlah. Pula, kalau kau dan
teman-teman yang lain tidak menyaksikan kepandaianku, mana kalian bisa
percaya atas bimbinganku?”
“Tidak, Tuan Puteri. Biarlah hamba
yang menghadapi anak hamba yang durhaka ini! Kalau dia kalah, akan
hamba bunuh, dan kalau hamba yang kalah, hamba rela mati dalam tangan
anak kandung yang durhaka, Kayabu, hayo lawan bapakmu sendiri!”
Pek-bin-ciangkun sudah meloncat ke depan akan tetapi tiba-tiba, entah
bagaimana, tubuhnya itu mundur sendiri seakan-akan ada tenaga tak tampak
yang menariknya dari belakang. Ia menoleh dan melihat Lin Lin
tersenyum. Kiranya gadis itu yang tadi menariknya dengan penggunaan
tenaga jarak jauh yang amat hebat!
“Ciangkun, tak tahukah kau
bahwa majuku ini karena aku sayang kalau kalian ayah dan anak saling
gempur? Anakmu seorang gagah perkasa, tidak semestinya dimusnahkan.
Minggirlah!”
Mendengar kata-kata ini dan melihat bukti betapa
lihainya Lin Lin yang mendemonstrasikan tenaga saktinya tadi, terpaksa
Pek-bin-ciangkun mengundurkan diri dan menonton dari samping dengan hati
cemas.
“Kayabu, kau majulah dan hitunglah jurus-jurus yang
kupergunakan. Awas seranganku!” Lin Lin merasa yakin akan dapat
mengalahkan lawannya dalam tiga belas jurus. Tentu saja yang ia
maksudkan dengan tiga belas jurus itu adalah jurus-jurus sakti yang ia
warisi dari Pat-jiu Sin-ong! Kalau ia mengandalkan ilmu silat biasa,
tentu saja tiga belas jurus merupakan waktu yang terlampau sedikit untuk
mengalahkan seorang panglima muda yang kelihatannya begitu gagah
perkasa. Namun, ia amat percaya akan keampuhan tiga belas jurus sakti
peninggaian Pat-jiu Sin-ong, maka ia sengaja menantang untuk
memperlihatkan kelihaiannya sehingga para pengikutnya akan percaya
kepadanya. Apalagi kalau diingat bahwa dia tadi sudah menyatakan sanggup
menghancurkan Hek-giam-lo si iblis sakti, kalau ia tidak
mendemonstrasikan kepandaian yang sakti, tentu mereka itu takkan mau
percaya.
“Aku sudah siap!” jawab Kayabu dengan suara lantang.
Pemuda ini merasa penasaran dan juga marah. Kalau saja ia tidak
menghadapi pemberontakan yang serius dan yang harus diberantasnya
dengan segera, tentu ia tidak sudi menerima tantangan yang amat
menghina ini. Dia, Liao Kayabu, seorang jagoan besar di Khitan, hanya di
“hargai” semahal tiga belas jurus saja oleh seorang gadis muda jelita?
Benar-benar penghinaan yang amat hebat! Kali ini baginya juga merupakan
ujian. Ia harus memperlihatkan kepandaiannya terhadap gadis yang amat
cantik jelita ini, yang agaknya adalah puteri keponakan sri baginda
sendiri yang baru muncul sekarang. Bukankah kalau ia sanggup bertahan
sampai tiga belas jurus, pemberontakan itu sekaligus dapat dipadamkan
tanpa pertumpahan darah lagi? Ia harus dapat bertahan, tidak saja
bertahan sampai tiga belas jurus, bahkan ia harus berbalik dapat
menangkap gadis cantik ini.
“Awas serangan pertama....! Lin Lin
berseru sambil menggerakkan Pedang Besi Kuning yang berubah menjadi
gulungan sinar keemasan. Hampir saja Kayabu tertawa menyaksikan serangan
jurus pertama itu. Itu sama sekali bukan merupakan serangan, mengapa
dimasukkan sebagai jurus serangan? Ia melihat gadis itu menggerakkan
pedang ke depan dada dan tangan kiri merangkap tangan kanan merupakan
sembah di depan dada, kemudian kedua lengan dikembangkan ke atas kepala
dengan pedang dibalik masuk ke belakang lengan kanan, seperti gerakan
orang yang menengadah dan memohon berkah dari Thian Yang Maha Kuasa.
Inikah jurus serangan? Akan tetapi sesunggqhnyalah, inilah jurus
pertama atau jurus pembukaan dari tiga belas jurus ilmu sakti yang oleh
Lin Lin disebut Co-sha Sin-kun.
Tiba-tiba Kayabu berseru keras
dan terkejut bukan main. Cepat-cepat ia mengubah kedudukan kakinya dan
memasang kuda-kuda yang amat kuat karena dari arah Lin Lin datang hawa
pukulan yang seperti angin gunung bertiup perlahan. Bukan merupakan
serangan langsung, akan tetapi karena hawa pukulan atau angin ini
timbul hanya karena gadis itu menggerakkan lengan ke atas, benar-benar
mengejutkan sekali. Baru bergerak seperti itu saja sudah mengandung
hawa pukulan yang terasa dalam jarak tiga meter, apalagi kalau
dipergunakan untuk memukul! Kayabu sama sekali tidak tahu bahwa jurus
pertama ini memang bukan jurus serangan, melainkan jurus untuk
mengumpulkan hawa murni dan mengerahkan sin-kang!
“Jurus ke
dua....!” kembali Lin Lin berseru dan kembali Kayabu menjadi geli karena
jurus ke dua ini dimainkan dengan amat lambat sehingga Pedang Besi
Kuning itu jelas sekali bergerak menusuk ke arah pundak kirinya. Kayabu
biarpun merasa geli menyaksikan jurus-jurus yang lucu dan tidak ada
bahayanya sama sekali ini, tidak mau memandang rendah. Dia seorang
pemuda yang cukup hati-hati dan banyak pengalamannya dalam pertandingan,
maka menghadapi tusukan lambat ke arah pundaknya ini ia cepat
menggerakkan golok besarnya. Tentu saja mudah baginya untuk mengelak.
Akan tetapi menurut pengalamannya, biasanya serangan yang lambat itu
hanyalah merupakan pancingan dan serangan sesungguhnya baru akan datang
setelah yang diserang mengelak. Inilah sebabnya sengaja Kayabu tidak
mau mengelak, melainkan ia menggerakkan goloknya untuk menangkis sambil
mengerahkan seluruh tenaganya karena ia berniat mengakhiri pertempuran
tak seimbang ini dengan memukul runtuh pedang gadis itu.
“Cringgg....!”
Kayabu mengeluh dan meloncat ke belakang. Sabetan goloknya tadi keras
sekali, akan tetapi ia merasa betapa telapak tangannya seperti dibeset
kulitnya oleh gagang goloknya sendiri. Kiranya dengan sin-kang yang
mujijat, gadis itu telah membuat Pedang Besi Kuning yang ditusukkan
dengan lambat itu tergetar amat kuat dan halus sehingga tidak tampak.
Maka begitu golok lawan membentur pedangnya, getaran kuat ini menjalar
melalui golok dan sampai ke gagang, membuat telapak tangan lawan
menjadi panas dan sakit-sakit. Makin keras Kayabu menangkis, makin keras
pula telapak tangannya terkena getaran. Pemuda Khitan itu cepat
mengatur keseimbangan tubuhnya dan siap-siap menghadapi serangan
selanjutnya. Kini ia tidak berani memandang ringan sama sekali, bahkan
timbul rasa ngeri dan khawatir di hatinya.
“Awas jurus ke
tiga....!” Lin Lin berseru dan pandang mata Kayabu berkunang-kunang
karena tiba-tiba gadis itu lenyap sama sekali, terbungkus oleh gulungan
sinar pedang kuning yang mendatangkan angin berpusing-pusing. Gadis
itu seakan-akan telah berubah menjadi angin puyuh yang berputar-putar
makin mendekatinya! Kayabu tidak tahu bahwa Lin Lin telah mengeluarkan
jurus yang amat hebat dari ilmu sakti Cap-sha Sin-kun, yaitu jurus yang
disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat). Karena tidak
tahu harus bagaimana menghadapi gulungan sinar kuning yang berpusing
itu, Kayabu lalu mengeluarkan seruan keras goloknya berkelebat membacok
ke depan.
“Wesss.... wesss....!” Aneh sekali, sinar goloknya
membabat gulungan sinar, seakan-akan membabat bayangan saja, tidak
mengenai apa-apa. Dan tiba-tiba dari dalam gulungan sinar kuning itu
menyambar ujung Pedang Besi Kuning seakan-akan kilat cepatnya.
“Aiiihhhhh!” Kayabu menjerit dan goloknya terlepas karena kulit
tangannya tergores pedang dan sebelum ia tahu apa yang terjadi, lutut
kakinya terkena totokan ujung sepatu Lin Lin dan tak tertahankan lagi
ia roboh tertelungkup!
Pek-bin-ciangkun dan para perwira lainnya
memandang dengan bengong. Kejadian itu bagi mereka teramat aneh. Para
perajurit yang merasa simpati kepada Lin Lin bersorak gemuruh,
sedangkan Kayabu bangkit berdiri dengan muka merah.
“Bagaimana, Kayabu? Sudah puaskah kau ataukah kau hendak melanjutkan percobaanmu?”
“Aku bukanlah seorang yang buta dan nekat. Aku tahu bahwa kepandaian
Nona amat tinggi dan aku bukan lawan Nona. Setelah aku kalah, silakan
Nona gerakkan pedang itu membunuhku!”
“Tidak, Kayabu. Aku tidak
akan membunuhmu, malah aku minta sukalah kau membantuku menumbangkan
kedudukan paman tiriku yang dibantu oleh iblis Hek-giam-lo untuk
melepaskan bangsa kita daripada penindasan si lalim.”
Sepasang
mata pemuda itu seakan-akan mengeluarkan kilat. “Aku adalah seorang
perajurit sejati, bagiku tidak ada pilihan lain, mati dalam perjuangan
atau menang. Tak perlu kau membujukku, setelah kalah, mati bukan apa-apa
bagiku!” Sambil berkata demikian, pemuda ini menggerakkan goloknya ke
arah lehernya sendiri.
“Kayabu....!” Pek-bin-ciangkun memekik
penuh kekhawatiran. Sebagai seorang pendekar gagah, ia tidak khawatir
atau ngeri melihat putera tunggalnya menghadapi maut, akan tetapi ia
benar-benar akan merasa hancur hatinya kalau puteranya itu tewas
membunuh diri, suatu perbuatan yang dianggap pengecut dan rendah. Sama
sekali ia tidak menyangka puteranya akan melakukan perbuatan itu
sehingga tidak ada kesempatan lagi bagi Pek-bin-ciangkun untuk
mencegahnya. Akan tetapi, sinar kuning menyambar dari tangan Lin Lin,
terdengar suara keras dan golok di tangan Kayabu patah-patah dan
terlempar sampai jauh. Pemuda itu mencelat mundur dengan muka pucat.
Pek-bin-ciangkun melangkah maju dan melayangkan tangannya menampar pipi
puteranya dua kali sehingga pipi itu menjadi merah dan dari ujung
bibirnya keluar sedikit darah.
“Huh, anak durhaka! Apakah kau
hendak meninggalkan aib pada ayahmu dengan cara pengecut? Membunuh
diri? Ihhh, Kayabu, sampai hatikah kau melakukan hal itu di depan
ayahmu?” Suara orang tua ini menjadi serak dan dari matanya yang melotot
lebar itu keluar beberapa butir air mata.
Kayabu menjatuhkan
dirinya berlutut di depan kaki ayahnya. “Ayah, ampunkan anakmu yang lupa
dan gila karena kekecewaan. Bukan hanya kecewa karena anak tidak dapat
memenuhi tugas sebagaimana mestinya, melainkan terutama melihat ayah
sebagai junjungan dan pujaanku ternyata hendak menjadi pengkhianat dan
membantu pemberontak. Ayah, di manakah kegagahan kita dan bagaimana kita
kelak dapat mempertanggungjawabkannya di depan nenek moyang kita?”
Pek-bin-ciangkun memegang pundak anaknya dan ditariknya berdiri. Mereka
berhadapan muka, ayah dan anak yang sama tingginya ini, saling
bertentang pandang sampai beberapa lama, kemudian si ayah berkata, “Kau
keliru, yang kautuduhkan itu sesungguhnya kebalikan daripada kenyataan.
Sekarang ini ayahmu bukan berdiri di fihak pemberontak atau
pengkhianat, bahkan sebaliknya daripada itu. Ketahuilah, Kayabu, yang
selama ini kita bela, sesungguhnya adalah fihak pengkhianat. Kita
terpaksa membela pengkhianat karena dia yang berhak telah melenyapkan
diri. Dan sekarang, Tuan Puteri Mahkota Yalina yang berhak akan tahta
kerajaan, telah muncul kembali. Aku dahulu adalah panglima dari
kakeknya, kemudian ibunya, setelah kedudukan terampas oleh paman tirinya
dan dia sendiri lenyap, terpaksa aku membantu pengkhianat. Sekarang
tiba waktunya untuk membasmi para pengkhianat.” Selanjutnya panglima
tua itu menceritakan puteranya tentang semua peristiwa yang terjadi
belasan tahun yang lalu, juga tentang Hek-giam-lo yang sesungguhnya
adalah Bayisan, panglima pengkhianat yang melarikan diri (baca
ceritaSuling Emas).
Terbukalah mata Kayabu. Mulai ia dapat
melihat siapa sesungguhnya gadis cantik jelita yang berpakaian seperti
gadis Han, yang memiliki kesaktian yang luar biasa itu. Tahulah ia
sekarang mengapa Panglima Khitan yang paling dipercaya oleh raja, yang
merupakan orang terkuat dan boleh dibilang paiing berkuasa di Khitan,
dijadikan pembantu oleh raja padahal orang itu terkenal sebagai seorang
iblis yang jahat. Hek-giam-lo berlaku sewenang-wenang dan kejam
terhadap bangsanya sendiri, akan tetapi maklum betapa saktinya
Hek-giam-lo, dia tak dapat berbuat sesuatu selain mengadu kepada ayahnya
yang hanya menggeleng kepala, bahkan melarangnya menentang Hek-giam-lo
yang sakti dan jahat.
Pemuda yang dapat berpikir panjang ini
segera menjatuhkan diri berlutut di depan Lin Lin sambil berkata,
“Maafkan hamba yang tidak mau melihat kenyataan dan telah bersikap tidak
pantas terhadap Tuan Puteri....”
“Awasss....!” Tiba-tiba kaki
Lin Lin menendang pundak Kayabu, membuat pemuda itu terlempar
bergulingan sampai enam meter lebih jauhnya. Semua orang kaget sekali,
terutama Kayabu sendiri dan juga Pek-bin-ciangkun. Mereka terkejut dan
kecewa, mengira bahwa Lin Lin tiada bedanya dengan Hek-giam-lo, yang
berwatak ganas dan kejam, tak dapat memberi ampun kepada orang lain.
Akan tetapi, keraguan dan kekecewaan ini segera lenyap terganti
kekaguman dan kegirangan ketika Lin Lin membungkuk dan memungut tiga
batang benda hitam yang menancap di atas tanah, tepat di mana tadi
Kayabu berlutut. Ternyata itu adalah tiga buah pisau hitam yang entah
bagaimana tahu-tahu telah berada di situ tanpa terlihat orang lain,
kecuali Lin Lin tentu saja, yang telah berhasil menyelamatkan Kayabu.
“Kebetulan sekali, belum dicari sudah datang! Hek-giam-lo iblis busuk,
keluarlah terima binasa!” teriak Lin Lin sambil melompat ke kiri dengan
pedang di tangan dan tangan kirinya bergerak menyambitkan tiga batang
pisau hitam tadi ke semak-semak. Akan tetapi tiga batang pisau itu
lenyap ke dalam semak-semak tanpa mendatangkan akibat apa-apa.
Hek-giam-lo memang hebat. Baru saja ia menyambitkan pisau-pisaunya dari
semak-semak itu untuk membunuh Kayabu, tahu-tahu ia sudah lenyap dari
situ dan tiba-tiba keadaan sebelah kanan menjadi ribut. Ketika Lin Lin
meloncat ke bagian ini, wajahnya menjadi merah saking marahnya karena
tanpa ada yang tahu apa yang menjadi sebab, dua belas orang perajurit
telah menggeletak mati dengan muka hitam seluruhnya, tanda terkena racun
yang amat jahat!
“Keparat Hek-giam-lo! Pengecut kau! Hayo keluar dan bertanding seribu jurus melawanku!”
Akan tetapi terpaksa Lin Lin cepat memutar pedangnya ketika telinganya
menangkap desir angin senjata rahasia dari arah belakang. Terdengar
bunyi “ting-ting-ting” ketika pedangnya berhasil menyampok pergi
belasan batang jarum hitam, akan tetapi kembali ada enam orang perajurit
terjungkal roboh dan mati seketika!
Lin Lin makin marah. Gadis
ini berkelebatan ke sana ke mari untuk mencari tempat persembunyian
musuhnya, namun Hek-giam-lo benar-benar jahat dan licin. Agaknya iblis
ini sengaja hendak mempermainkan Lin Lin dan para pengikutnya.
Berturut-turut roboh para perajurit dan sebagian daripada para perwira.
Setiap kali roboh tentu enam orang dan dalam waktu beberapa menit saja
sudah tiga puluh enam orang roboh binasa dalam keadaan mengerikan!
“Berpencar....! Masing-masing berlindung....!” Kayabu berteriak nyaring
dan bersama ayahnya yang banyak pengalaman dalam pertempuran, pemuda
ini mengatur sisa orang-orangnya. Dalam sekejap mata saja para perajurit
yang tadinya kebingungan dan kacau-balau kehilangan pimpinan itu,
berserabutan dan lenyap dari pandangan mata, berlindung dan bersembunyi
di balik pohon-pohon dan semak-semak. Tinggai Lin Lin seorang diri yang
masih tinggal berdiri tegak di situ sambil memaki-maki dan
menantang-nantang. Tiba-tiba dari arah depan terdengar deru angin
senjata rahasia dan cepat gadis ini memutar pedangnya. Hujan senjata
rahasia berupa pisau-pisau dan jarum-jarum beracun itu dengan gencar
menyambar datang, namun semua dapat ditangkis oleh gulungan sinar kuning
yang merupakan benteng sinar yang melindungi tubuh Lin Lin. Sambil
menangkis, Lin Lin memaki-maki.
“Hek-giam-lo iblis jahanam! Hayo
keluarlah kau kalau memang laki-laki! Inilah anak tunggal Puteri
Tayami. Aku Puteri Mahkota Yalina, hayo kaulawanlah kalau memang gagah.
Jangan main sembunyi dan melepas senjata rahasia seperti seorang
pengecut rendah!”
Akan tetapi tidak pernah ada jawaban dan hujan
senjata rahasia pun berhenti. Tiba-tiba kesunyian itu terpecah oleh
lengking tinggi dan kagetlah Lin Lin karena pendengarannya yang tajam
menangkap suara angin pukulan. Desir angin pukulan seperti itu hanya
dapat terdengar kalau ada tokoh-tokoh sakti mengadu kepandaian. Cepat
gadis ini melompat dari tempat itu menuju ke arah suara. Benar saja
dugaannya, tak jauh dari situ, terhalang oleh pohon-pohon rindang,
tampak tiga orang tengah bertanding hebat. Dan Lin Lin kaget bukan main
ketika mengenal mereka. Yang sedang bertanding hebat itu bukan lain
adalah Hek-giam-lo yang dikeroyok oleh dua orang, Gan-lopek dan Lie Bok
Liong!
Hek-giam-lo memang hebat sekali. Sebetulnya iblis ini
masih belum sembuh dari lukanya yang hebat ketika ia bertanding
menghadapi Suling Emas di puncak Thai-san. Luka akibat pukulan Suling
Emas yang bagi lain orang tentu akan mengakibatkan maut itu, bagi
Hek-giam-lo hanya mendatangkan luka sebelah dalam yang amat hebat dan
membutuhkan pengobatan dan istirahat lama. Namun, keadaannya yang
terluka hebat ini tidak mengurangi keganasannya sehingga ketika ia
mendengar tentang maksud pemberontakan orang-orang Khitan yang dipimpin
oleh Lin Lin, iblis ini segera keluar dan turun tangan, berhasil dengan
jarum-jarum hitamnya membunuh sampai tiga puluh enam orang banyaknya.
Bahkan ketika dia menghujankan senjata rahasia kepada Lin Lin dan
tiba-tiba muncul Gan-lopek dan Lie Bok Liong yang menyerangnya, iblis
ini masih sanggup untuk melakukan perlawanan yang hebat. Gan-lopek
tokoh kang-ouw kawakan yang selalu bergembira dan lucu itu, sebagaimana
diceritakan di bagian depan, berpisah dari Lin Lin ketika mereka tiba
di pucak Thai-san karena Lin Lin membantu Suling Emas dan bertemu
dengan saudara-saudaranya. Merasa bahwa dia adalah “orang luar”, kakek
ini menjauhkan diri. Akan tetapi kemudian ia berjumpa dengan muridnya,
Lie Bok Liong, dan alangkah kecewa dan menyesal hatinya ketika melihat
muridnya yang terkasih itu menderita batin. Apalagi ketika ia mendengar
pengakuan Lie Bok Liong tentang penolakan kasih sayang Lin Lin, kakek
ini tidak mau mengerti.
“Ah, tak mungkin!” bantahnya. “Lin Lin suka kepadamu, ini aku tahu benar!”
“Suka tidak sama dengan cinta, Suhu....”
“Apa bedanya? Dari suka menjadi cinta. Hayo, mana dia? Mana gadis liar itu?”
“Teecu (murid) khawatir bahwa dia sudah berangkat ke Khitan, Lin-moi
memiliki hasrat besar untuk menuntut kembali haknya atas mahkota
Kerajaan Khitan.”
“Wah-wah, bocah lancang dia! Mana dia mampu
menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan seorang diri? Dia bisa
celaka. Hayo, Bok Liong, kita harus menyusulnya.”
Demikianlah,
guru dan murid ini muncul di Khitan. Kebetulan sekali pada hari itu
mereka menyaksikan Hek-giam-lo secara pengecut menyerang Lin Lin dari
tempat sembunyi dengan senjata-senjata rahasia. Tanpa banyak cakap lagi
Gan-lopek lalu menerjang iblis itu dengan senjatanya yang istimewa,
yaitu Hek-pek-mou-pit (Pensil Bulu Hitam dan Putih). Terjadilah
pertandingan hebat dan mati-matian antara dua orang sakti. Hek-giam-lo
memang menderita luka dalam, namun ketika menyambut terjangan
Gan-lopek, gerakannya masih hebat, senjatanya yang mengerikan, sabit
tajam panjang itu, menyambar-nyambar seperti seekor naga siluman
mengamuk di angkasa raya. Menyaksikan kehebatan iblis ini, Bok Liong
tidak mau tinggal diam, lalu mencabut Gwat-kong-kiam dan menyerbu dengan
hebat. Karena maklum akan keganasan dan kelihaian si iblis hitam,
apalagi karena ia maklum pula akan isi hati Bok Liong yang tidak mau
ketinggalan dalam usaha membantu dan menolong Lin Lin, maka Gan-lopek
tidak melarangnya melakukan pengeroyokan terhadap Hek-giam-lo.
Melihat Bok Liong, Lin Lin merasa tertusuk hatinya. Terharu sekali ia
melihat pemuda ini, yang pernah secara terus terang menyatakan cinta
kasihnya kepadanya, dan dengan tegas ia menolaknya. Entah berapa kali
sudah pemuda gagah perkasa ini menolongnya, membelanya, membantunya
tanpa menghiraukan keselamatannya sendiri. Betapa mulianya hati pemuda
ini, betapa gagahnya sehingga tidak takut-takut menghadapi Hek-giam-lo
dan anak buahnya untuk menolongnya, sungguhpun pemuda itu cukup maklum
bahwa kepandaiannya tidak akan mampu dipakai menghadapi Hek-giam-lo.
Cinta kasih murni yang amat mengharukan hatinya. Dan kini pemuda itu
muncul lagi, membelanya lagi, malah bersama gurunya.
Lin Lin
berdiri terbelalak kagum. Tak tahu ia bagaimana ia harus berbuat. Ia
maklum bahwa Gan-lopek adalah seorang tokoh sakti dan kini menghadapi
Hek-giam-lo dengan bantuan muridnya sendiri. Apakah ia harus pula bantu
mengeroyok? Pengalamannya selama merantau dan bergalang-gulung dengan
para tokoh kang-ouw yang sakti mendatangkan pengertian bahwa membantu
seorang tokoh sakti bertanding dapat diartikan menghinanya!
Pertandingan itu hebat sekali. Hek-giam-lo agaknya mengerahkan seluruh
tenaganya, terbukti dari bunyi lengking yang panjang bersambung-sambung
dari kerongkongannya, sedangkan senjata sabitnya menyambar-nyambar cepat
sekali dan mengeluarkan angin bercuitan. Akan tetapi permainan sepasang
pena bulu di tangan Gan-lopek amat kokoh kuat dan tenang, sungguhpun
sinar senjata sabit yang gilang-gemilang itu seakan-akan mengurung dan
menyelimutinya, bahkan menekannya. Bok Liong juga mainkan pedangnya
dengan sekuat tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Mengagumkan
sekali betapa guru dan murid ini dapat main bersama. Gerakan mereka
begitu mirip dan biarpun senjata mereka berbeda, namun kerja sama mereka
amat baik, isi mengisi, bantu-membantu.
Hek-giam-lo memang amat
sakti. Andaikata ia tidak menderita luka dalam, apalagi kalau Bok Liong
tidak membantu, agaknya Gan-lopek sendiri tak dapat bertahan
melawannya. Kini, keadaannya yang terluka dan ditambah pengeroyokan Bok
Liong yang sudah memiliki kepandaian tinggi, membuat pertandingan itu
menjadi seimbang, malah boleh dikata Hek-giam-lo banyak tertekan
sungguhpun sabitnya kelihatan garang dan amat berbahaya.
Melihat
ini, Lin Lin menjadi tidak sabar. Ia ingin terjun ke dalam gelanggang
pertandingan, ingin ia dengan tangannya sendiri membunuh iblis yang
dahulu pernah membunuh kakeknya, menghina ibunya dan mencemarkan nama
baik bangsa Khitan. Akan tetapi sebelum ia sempat bergerak, tiba-tiba
terdengar bunyi terompet dan disusul sorakan keras.
“Basmi
pemberontak! Hancurkan pemberontak!” Dari arah utara muncullah banyak
sekali pasukan Khitan dengan senjata di tangan menyerbu.
“Pasukan siaaaaappp! Dengan darah dan jiwa kita bela Puteri Yalina,
keturunan langsung Raja Besar Kulukan! Basmi pengkhianat Bayisan dan
Kubakan!” demikian terdengar teriakan-teriakan keluar dari mulut Kayabu
dan ayahnya, Pek-bin-ciangkun yang sudah mempersiapkan pasukannya pula.
Terjadilah perang tanding hebat antara mereka. Melihat ini, Lin Lin
tidak jadi membantu Gan-lopek, melainkan ia sendiri memimpin para
pendukungnya menghadapi penyerbuan tentara pengawal kerajaan. Hebat
sepak terjang gadis ini. Tubuhnya lenyap terbungkus sinar kuning emas
dan ke manapun juga sinar ini menyambar, terdengar teriakan-teriakan
dan senjata terlempar dari tangan disusul robohnya tentara musuh yang
terluka tangan atau kakinya. Akan tetapi tak seorang pun yang tewas di
tangan Lin Lin, karena gadis ini merasa tidak tega membunuhi tentara
bangsanya sendiri.
Jumlah pasukan pengawal yang berpihak
Hek-giam-lo sebetulnya lebih besar. Maklum karena memang tadinya semua
pasukan Khitan merupakan anak buah Hek-giam-lo, suka atau pun tidak.
Akan tetapi ketika pasukan itu melihat bahwa “pemberontak” itu dipimpin
oleh Pek-bin-ciangkun dan Kayabu, dua orang tokoh yang mereka hormati,
mereka menjadi ragu-ragu. Tak seorang pun diantara mereka yang suka
kepada Hek-giam-lo, kecuali beberapa orang perwira dan pasukan yang
memang dipergunakan oleh Hek-giam-lo dan yang mengenyam pula hasil
kejahatan dan kekejaman iblis ini. Oleh karena itu, timbullah kekacauan
yang hebat ketika sebagian dari tentara ini membalik dan malah membantu
gerakan Pek-bin-ciangkun. Lebih-lebih setelah mereka menyaksikan sepak
terjang Lin Lin yang mereka dengar adalah Puteri Mahkota Yalina yang
sejak kecil lenyap dan disangka mati. Sepak terjang Lin Lin yang hebat
itu selain mendatangkan rasa gentar juga mendatangkan rasa kagum dan
suka karena ternyata bahwa tak seorang pun yang roboh di bawah tangan
gadis ini tewas.
Melihat keadaan berbalik untuk keuntungan
fihaknya, Lin Lin segera teringat kepada Hek-giam-lo yang masih
bertanding melawan pengeroyokan Gan-lopek dan Bok Liong. Hampir gadis
ini menjerit ketika memandang ke arah pertempuran itu. Terjadi
perubahan hebat dan pertandingan itu kini menjadi pergulatan
mati-matian. Kiranya dengan gerakan yang hebat bukan main Hek-giam-lo
yang cerdik itu telah mendesak Bok Liong, berniat merobohkan dulu lawan
yang lebih lemah ini agar ia dapat memusatkan kepandaian dan tenaganya
untuk mengalahkan Gan-lopek.
***
Pada saat Bok Liong
menangkis sebuah sambaran maut sabit, pedang pemuda yang bersinar kuning
itu bertemu sabit dan.... terus menempel lekat tak dapat ditarik
kembali. Bok Liong merasa tiba-tiba lengannya panas dan kejang. Terpaksa
ia hendak melepaskan gagang pedangnya, namun alangkah kagetnya ketika
ia mendapatkan kenyataan bahwa hal ini pun tidak mungkin. Telapak
tangannya seakan-akan sudah lekat pula dengan gagang pedangnya,
seakan-akan gagang pedang itu sudah “berakar” ke dalam tangannya. Rasa
panas dan sakit makin menghebat sehingga pemuda itu mengeluh.
Melihat ini, Gan-lopek kaget sekali. Ia maklum bahwa iblis hitam itu
lihai bukan main, memiliki hawa sakti yang telah dilatih dengan racun
sehingga setiap serangannya kalau mengenai sasaran merupakan tangan
maut. Ia maklum bahwa muridnya terancam bahaya maut dan terlambat
sedikit saja usaha pertolongan, tentu takkan tertolong lagi. Oleh karena
itu, sejenak ia melupakan Hek-giam-lo dan cepat ia memindahkan mouw-pit
putih ke tangan kanan, tangan kirinya yang kosong memegang pangkal
lengan muridnya sambil mengerahkan sin-kang untuk melawan penyaluran
hawa serangan Hek-giam-lo, sedangkan tangan kanan yang memegang sepasang
pena bulu itu ia hantamkan ke arah sabit.
“Cringgggg....
Plakkk....!” Peristiwa itu terjadi hanya beberapa detik saja. Dengan
bantuan tenaga sin-kang suhunya, Bok Liong berhasil melepaskan gagang
pedangnya dan terlepas dari bahaya maut. Adapun hantaman sepasang pena
bulu itu tepat mengenai sabit, demikian hebatnya sehingga baik sepasang
pena bulu maupun senjata sabit itu patah-patah. Akan tetapi agaknya
Hek-giam-lo yang cerdik menggunakan saat yang tepat itu untuk
menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga yang mengandung penuh
Hek-in-tok (Racun Uap Hitam) memukul punggung Gan-lopek dengan telapak
tangan. Pada saat tepukan itu mengenai punggung, dari dalam lengan
bajunya yang kiri melayang sebatang hui-to (pisau terbang) yang
menancap sampai ke gagangnya di punggung Gan-lopek pula!
Gan-lopek kelihatan terkejut, terhuyung dan memandang Hek-giam-lo, lalu tertawa bergelak dan roboh terguling!
“Iblis keparat!” Lin Lin menerjang maju, menyesal mengapa tidak sejak
tadi ia turun tangan. Adapun Bok Liong yang menyaksikan gurunya roboh,
cepat memungut pedangnya dan menerjang lagi dengan nekat.
Biarpun ia telah berhasil merobohkan Gan-lopek, Hek-giam-lo harus
menebusnya dengan mahal. Ia menderita luka dalam yang hebat, kini ia
harus mengerahkan tenaga sin-kang dari dalam tubuhnya yang membutuhkan
pengerahan sekuatnya, maka luka di dalam dadanya menjadi menghebat,
membuat ia merasa darah naik ke dalam kerongkongannya dan tak
tertahankan lagi ia muntah darah. Pada saat itu, Lin Lin datang
menerjangnya. Karena Hek-giam-lo sudah bertangan kosong, cepat ia
menggerakkan lengan kiri. Belasan batang hui-to atau pisau terbang
menyambar ke depan, sebagian besar ke arah Lin Lin dan beberapa buah ke
arah Bok Liong. Namun semua dapat dipukul runtuh oleh kedua orang muda
itu.
Sinar kuning bergulung-gulung menyambarnya. Hek-giam-lo
yang sudah lemah dan berkunang-kunang matanya itu mengangkat lengan
kanan menangkis.
“Crakkk!” Putuslah lengan itu dan darah
menyembur dari pangkal lengan yang putus. Lin Lin mendesak terus.
Kembali Hek-giam-lo menangkis dengan tangan kiri, dan sekali lagi
putuslah lengan kirinya. Ia mendengus-dengus aneh, akan tetapi tak
seorang pun tahu apa yang ia ucapkan karena pada saat itu gulungan sinar
pedang kuning emas sudah membabatnya dan robohlah Hek-giam-lo dengan
dua tusukan di dadanya dan sebuah babatan pada lehernya membuat leher
itu hampir putus pula!
Para perajurit yang dipimpin
Pek-bin-ciangkun bersorak gembira. Adapun para perajurit yang menjadi
anak buah Hek-giam-lo menjadi kecil hati dan melawan sambil mundur.
Saat itulah dipergunakan Pek-bin-ciangkun untuk berseru lantang.
“Orang-orang gagah bangsa Khitan, dengarlah baik-baik! Yang mampus itu,
Hek-giam-lo si iblis kejam adalah pengkhianat yang puluhan tahun kita
benci dan kita cari-cari, kita sangka sudah binasa. Dia adalah Bayisan!
Bersama Kubakan, dia membunuh sri baginda tua Kulukan dan merampas
kedudukan sebagai raja. Kalau kalian membelanya berarti kalian membela
pengkhianat bangsa. Sudah semestinya kita membantu Puteri Mahkota
Yalina untuk menumbangkan kekuasaan jahat membangun Kerajaan Khitan
yang kuat dan besar, seperti dahulu!”
Ucapan yang nyaring ini
ternyata besar sekali pengaruhnya. Banyak di antara para pasukan itu
yang segera membuang senjata dan menggabungkan diri. Memang ada yang
masih setia kepada Raja Kubakan, namun kekuatan mereka tidak ada artinya
lagi dan pertempuran dilanjutkan dalam keadaan berat sebelah.
Lin Lin untuk sejenak tidak mempedulikan semua itu. Bersama Bok Liong
ia berlutut di dekat tubuh Gan-lopek yang sudah payah. Muka kakek ini
perlahan-lahan sudah berubah kehitaman, akan tetapi kakek sakti ini
masih dapat tersenyum-senyum.
Bok Liong pendekar muda yang gagah
itu kali ini tak dapat menahan diri menangisi gurunya karena ia maklum
bahwa tak mungkin suhunya tertolong lagi. Dengan lengan kiri menyangga
leher suhunya, ia hanya dapat berbisik-bisik menyebut nama suhunya
dengan putus harapan.
“Eh, mengapa knu menangis, muridku? Apa
kaukira kelak kau sendiri takkan mati juga? Kalau kau menangisi orang
mati, berarti kau menangisi dirimu sendiri. Eh, Lin Lin bocah nakal!
Kau benar-benar tidak percuma hidup, sudah banyak menimbulkan geger.
Sebelum aku mati, kau bilanglah dulu secara jujur, apakah kau suka dan
sayang kepada muridku Bok Liong ini?”
Lin Lin juga berlinang air
mata. Mendengar pertanyaan ini, tanpa ragu-ragu ia menjawab, “Tentu
saja aku sayang dan suka kepada Liong-twako!”
“Ha-ha-ha! Nah,
apa kataku, Bok Liong? Dia suka padamu!” Gan-lopek terbatuk-batuk
karena ketika tertawa tadi dadanya terasa sesak sekali, kemudian ia
menggigit bibir menahan rasa nyeri yang secara mendadak terasa di
seluruh tubuhnya. Tadi ia dapat menahan rasa nyeri karena ia
mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi setelah bicara, ia lupa akan ini
dan serentak pengaruh racun membuat ia kesakitan.
“Tapi.... tapi....” Bok Liong kebingungan, sebagian karena kata-kata itu, sebagian pula karena melihat keadaan suhunya.
“Heh....” Gan-lopek menghela napas. “Kau masih penasaran? Lin....
Lin.... jawab lagi...., apakah.... apakah kau.... suka menjadi....
isteri muridku ini....?” Gan-lopek tak dapat bicara dengan baik lagi,
sudah tersendat-sendat dan sukar.
Bukan main kagetnya hati Lin
Lin mendengar pertanyaan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek
ini akan bertanya tentang perjodohan. Tentu Bok Liong sudah bercerita
kepada gurunya tentang penolakannya. Sebetulnya ia merasa tidak tega
terhadap Gan-lopek yang sudah mendekati kematiannya ini, tidak tega
mengecewakan hatinya. Akan tetapi, tidak mungkin ia dapat berbohong
dalam menjawab tentang perjodohan, apalagi Bok Liong sendiri berada di
situ. Pemuda itu menundukkan mukanya yang pucat seperti orang terdakwa
menanti dijatuhkannya keputusan hukuman. Ia harus berterus terang
sehingga urusan yang tidak menyenangkan ini segera selesai.
“Tidak, Empek Gan, aku tidak suka menjadi isterinya karena kuanggap Liong-twako seperti kakakku sendiri.”
Bok Liong tidak heran mendengar ini, akan tetapi sepasang mata
Gan-lopek yang tadinya sudah meram itu mendadak terbuka lagi dan
memandang dengan melotot lebar. “Apa....? Kau.... kau tidak mau....? Kau
nakal.... sebelum aku mati.... hayo bilang laki-laki mana yang
kauharapkan menjadi suamimu....?”
Sambil menundukkan mukanya Lin
Lin menjawab, perlahan akan tetapi cukup jelas untuk Gan-lopek, bahkan
merupakan halilintar menyambar ke dalam telinga Bok Liong, “Suling
Emas....!”
“Suhu.... Suhu....!” Bok Liong tiba-tiba memeluk
gurunya yang sudah putus napasnya dengan mata masih terbelalak lebar.
Lin Lin menahan isaknya, hatinya terharu dan penuh iba. Akan tetapi
apakah yang dapat ia lakukan?
“Liong-twako, dia sudah meninggal, biar kusuruh atur pemakamannya....” katanya perlahan.
Akan tetapi Bok Liong menggeleng-geleng kepala, membungkuk dan
memondong jenazah gurunya, bangkit berdiri, memandang sejenak kepada
Lin Lin dengan air mata bercucuran, kemudian ia membalikkan tubuh dan
melangkah pergi. Gadis itu pun memandang dengan air mata berlinang akan
tetapi ia menguatkan hati dan tidak menahan karena maklum bahwa inilah
yang terbaik. Ia merasa kasihan sekali kepada Bok Liong dan berjanji
dalam hatinya bahwa selamanya ia akan menganggap Bok Liong sebagai
kakaknya sendiri. Ia hanya mengharapkan mudah-mudahan kelak akan tiba
saat dan kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Bok Liong
terhadap dirinya.
Sementara itu pertempuran sudah selesai.
Sebagian besar pasukan istana menyerah dan takluk, sebagian pula
melarikan diri. Lin Lin segera mengumpulkan pasukannya, kemudian
memerintahkan kepada Pek-bin-ciangkun untuk melakukan penyerbuan ke
istana.
“Kalau Paman tiriku mau menyerah dengan baik-baik,
jangan ganggu dia. Aku akan memberi kesempatan kepadanya untuk memilih,
pergi dari Khitan atau menjadi seorang tahanan selamanya dengan
perlakuan baik. Akan tetapi kalau dia melawan, kita gempur!”
Dengan sorak gemuruh pasukan pendukung Lin Lin berangkat menuju istana
dan di sepanjang jalan, pasukan ini bertambah besar jumlahnya karena
pasukan lain yang mendengar tentang pemberontakan ini dan tentang
tewasnya Hek-giam-lo yang ternyata adalah pengkhianat Bayisan, ikut
bergabung. Apalagi pasukan di bawah perwira-perwira tua yang mengenal
Bayisan, tentu saja bersimpati kepada Puteri Yalina, anak dari Puteri
Tayami yang mereka kagumi.
Tidak ada perlawanan berarti di
sepanjang jalan. Baru setelah pasukan tiba di depan istana, dari halaman
istana para pasukan pengawal mengadakan perlawanan. Segera terjadi
pertempuran hebat, namun tidak lama pula jalannya pertempuran karena
hanya beberapa orang saja fihak musuh yang melakukan perlawanan
sungguh-sungguh, yaitu mereka yang masin terhitung keluarga raja
sendiri. Adapun para perwira lain juga hanya setengah hati saja
melakukan perlawanan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa
menyeramkan dan barisan depan menjadi kacau. Barisan tengah mendesak ke
belakang dan kelihatan beberapa orang perajurit dengan muka pucat
melarikan diri. “Ada setan....!” terdengar teriakan. “Iblis sendiri
membantu sri baginda, kita celaka!” disusul teriakan lain.
Lin
Lin kaget sekali. Selagi ia hendak berlari ke depan, tiba-tiba ia
terhenti dan terbelalak memandang ke depan, Kayabu datang sambil
memondong tubuh ayahnya. Pek-bin-ciangkun telah terluka hebat sekali.
Dari mata, hidung, mulut, telinga keluar darah segar!
“Ahhh, siapa melukainya?” teriak Lin Lin terkejut.
“Tuan Puteri, kita terjebak!” kata Kayabu gelisah. “Sri baginda
mendatangkan bala bantuan dua orang iblis yang luar biasa sekali
kepandaiannya. Dari jauh mereka memukul-mukul dan barisan kita
kocar-kacir. Ayah sendiri terkena pukulan jarak jauh dan beginilah
akibatnya.”
Dengan pedang di tangan Lin Lin berseru keras dan
tubuhnya sudah berkelebat lenyap karena secepat kilat ia sudah berlari
ke depan. Ia melihat barisannya sudah mundur ketakutan sehingga halaman
istana itu kosong kembali, kecuali barisan pengawal yang berjaga di
kiri, sedangkan di tengah terbuka tidak terjaga. Ketika Lin Lin berlari
dekat, ia melihat bahwa di bagian tengah ini berdiri dua orang kakek.
Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mengenal mereka. Bukan
lain mereka ini adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang
kakek sakti yang belum lama ini juga telah mendatangkan geger di puncak
Thai-san!
Lin Lin adalah seorang gadis yang tidak mengenal
takut. Ia tahu betul bahwa dua orang kakek itu adalah orang-orang
sakti yang sukar dikalahkan. Di puncak Thai-san, hanya setelah Bu Kek
Siansu muncul saja dua orang kakek ini dapat diusir. Akan tetapi,
mengingat betapa dua orang kakek ini hampir saja menewaskan Suling Emas,
ia menjadi marah dan memandang penuh kebencian.
“Kailan iblis
tua bangka!” bentaknya sambil menudingkan pedang. “Mau apa kalian muncul
di Khitan? Apakah kau sudah menjadi kaki tangan paman tiriku si
pengkhianat?”
Lam-kek Sian-ong si muka merah tertawa. “Ha-ha-ha,
kita bertemu lagi dengan si gadis liar yang berilmu aneh, Pek-bin Twako
(Kakak Muka Putih)!”
“Hemmm, menyebalkan sekali, Ang-bin-siauwte (Adik Muka Merah), bereskan saja bocah itu!”
“Ha-ha-hah, jangan, Twako. Sayang! Lihat, alangkah cantik dan agungnya.
Siapa kira, dia berdarah Raja Khitan! Kalau kita menjadi sepasang raja
di sini, dan dia menjadi pelayan kita, bukankah hebat?”
Lin Lin
tak dapat menahan kemarahannya lagi. “Kalian ini dua iblis tua bangka
bermulut kotor, lekas pergi dari sini sebelum pedangku bicara dan
sebelum kukerahkan barisanku untuk membasmi kalian!”
Akan tetapi
baru saja Lin Lin berhenti bicara, dari dalam istana berlari-lari
keluar pengawal raja sendiri sambil membawa senjata dan langsung mereka
ini menerjang dua orang kakek itu sambil berteriak-teriak. “Pembunuh
raja! Kepung...., tangkap....!” Dua orang kakek itu saling pandang, lalu
tertawa dan sekali mereka menggerakkan kedua lengan, para pengawal
raja itu terlempar dan roboh tak dapat bangun lagi. Bagaikan nyamuk
menyerbu api, para pengawal itu roboh bergelimpangan dan
tumpang-tindih. Dua orang kakek itu dengan sikap acuh tak acuh
merobohkan mereka dan dengan kaki, mereka itu menendangi mayat-mayat itu
ke arah halaman depan.
Lin Lin terkejut dan heran. Tadinya ia
menyangka bahwa paman tirinya mempergunaken dua orang kakek sakti ini.
Siapa kira, paman tirinya malah agaknya sudah terbunuh oleh mereka.
Jelas sekarang bahwa mereka ini hendak merampas kedudukan raja di
Khitan! Kemarahannya meluap di hati Lin Lin dan dengan gerakan cepat ia
nekat menyerbu ke depan sambil berteriak, “Iblis-iblis busuk,
mampuslah!”
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya yang berpusing dengan
jurus Soan-hong-ci-thian itu tahu-tahu tertahan oleh dorongan tenaga
sakti dari Lam-kek Sian-ong yang menggerakkan kedua tangannya ke depan
dada, kemudian kakek itu membuat gerakan memutar dengan kedua lengannya
dan tubuh Lin Lin ikut pula terputar-putar seperti kitiran angin! Gadis
yang kurang pengalaman itu ternyata terlambat melihat sehingga ia
membiarkan dirinya “terlibat” hawa pukulan yang luar biasa itu.
“Ang-bin-siauwte, mengapa main-main dengan dia? Habiskan saja agar lekas beres!” Si Muka Putih mencela.
“Ha-ha-ha, tidak, Twako. Aku sayang kepadanya!”
“Apa....? Setua kau ini masih....”
“Ah, tidak, Twako. Jangan salah sangka. Aku hanya suka melihat dia
ini, patut menjadi muridku, murid kita. Begitu garang, begitu galak dan
tabah!”
“Kau takkan menurunkan kepandaian kepada orang lain.
Biar kuhabiskan dia!” bentak si muka putih dan ketika tangannya
bergerak, sinar putih seperti perak yang berhawa dingin sekali menyambar
ke arah tubuh Lin Lin yang masih berputar-putar di bawah pengaruh
kekuatan tangan si muka merah.
“Dua iblis tua bangka mengeroyok gadis remaja, sungguh tak tahu malu!” tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Lin-moi, jangan takut, aku datang membantumu!” terdengar suara lain.
Kiranya yang muncul adalah empat orang, yaitu Kauw Bian Cinjin, Suling
Emas, Bu Sin, dan Liu Hwee! Begitu tiba, Suling Emas cepat menyambar
dengan sulingnya menangkis sinar perak yang mengancam nyawa Lin Lin.
Terdengar suara keras dan sinar perak itu runtuh ke bawah, ternyata itu
adalah sebutir batu putih yang dingin. Sementara itu, Kauw Bian Cinjin
sudah memutar pecutnya yang menyambar sambil mengeluarkan suara keras
mengancam kepala Lam-kek Sian-ong!
“Bagus, bagus! Makin banyak
lawan tangguh, makin menggembirakan!” Lam-kek Sian-ong si muka merah
tertawa-tawa dan terpaksa ia melepaskan Lin Lin yang cepat menggerakkan
Pedang Besi Kuning membantu Kauw Bian Cinjin mendesak kakek sakti itu.
Liu Hwee juga tidak mau tinggal diam. Cepat ia memutar senjatanya
berupa joan-pian berujung bola baja, mengeroyok Lam-kek Sian-ong
setelah memesan kepada tunangannya Bu Sin, agar tidak ikut mengeroyok
kakek sakti itu karena terlampau berbahaya mengingat bahwa tingkat
kepandaian Bu Sin masih belum tinggi benar.
Sementara itu,
Suling Emas sudah menghantam melawan kakek muka putih, Pak-kek Sian-ong.
Pertempuran yang sunyi, tidak bersuara, namun hebat bukan main. Kakek
muka putih ini telah memegang sebatang pedang yang putih pula,
berkilauan dan mengeluarkan hawa dingin. Namun suling di tangan Suling
Emas bergulung-gulung seperti naga kuning emas bermain di angkasa,
sedikit pun tidak mau mengalah terhadap gulungan sinar putih. Memang
Suling Emas mendongkol sekali kepada kedua orang kakek ini, teringat
ketika ia dipermainkan, dikeroyok dua dan hampir saja ia binasa. Kini
terbuka kesempatan baginya untuk mengadu satu lawan satu, maka ia
mengerahkan segenap tenaganya dan mainkan ilmu silatnya yang paling
aneh dan hebat, yaitu gabungan dari tiga macam ilmu silat sakti, yaitu
Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa), Lo-hai-san-hoat (Ilmu
Kipas Pengacau Lautan) dua macam ilmu yang ia warisi dari gurunya,
yaitu Kim-mo Taisu, dan digabung dengan ilmu sakti yang ia warisi dari
Bu Kek Siansu, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Silat Huruf Angin dan Awan).
Dengan permainan gabungan yang luar biasa ini, biarpun Pak-kek Sian-su
merupakan tokoh yang sukar dicari bandingannya pada jaman itu, namun
ia menjadi sibuk juga dan akhirnya hanya dapat mempertahankan diri
dengan jurus-jurus sakti yang dikerahkan untuk menyelamatkan diri saja.
Kakek muka merah, Lam-kek Sian-ong menghadapi pengeroyokan yang berat,
yaitu Lin Lin, Liu Hwee, dan Kauw Bian Cinjin. Dua orang tokoh
Beng-kauw ini memang memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, apalagi Kauw
Bian Cinjin. Akan tetapi tingkat mereka berdua sesungguhnya masih kalah
kalau dibandingkan dengan Lam-kek San-ong yang memang betul-betul
sakti itu, dengan dasar tenaga Yang-kang, sehingga setiap pukulannya
membawa hawa yang amat panas. Namun, kedua orang tokoh ini menjadi kaget
dan terheran-heran bahwa masuknya Lin Lin yang mainkan pedang Besi
Kuning itu seakan-akan menjadi pelengkap daripada kekurangan atau
kekalahan mereka terhadap Lam-kek Sian-ong. Mereka terkejut mengenal
dasar gerakan Lin Lin yang sama dengan ilmu silat Beng-kauw, bahkan
gerakan pedang itu demikian hebatnya sehingga mereka berdua, biarpun
bersenjatkan dua macam senjata, seakan-akan terseret dan terpengaruh
oleh gerakan pedang Lin Lin dan membuat mereka terpaksa bergerak menurut
gulungan sinar pedang itu yang seolah-olah “memimpin” mereka. Tentu
saja mereka menjadi heran dan juga girang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong
yang menjadi kaget setengah mati! Seperti halnya Pak-kek Sian-ong yang
terdesek oleh Suling Emas, ia sendiri pun terdesak oleh pengeroyokan
tiga orang itu dan hanya mampu menangkis saja!
Lewat seratus
jurus, dua orang kakek sakti itu maklum bahwa tiada harapan lagi bagi
mereka, apalagi kalau diingat bahwa di situ terdapat ratusan orang
perajurit yang sudah siap untuk melakukan pengeroyokan begitu menerima
komando. Lin Lin memang sengaja tidak mau mengerahkan pasukan karena
maklum bahwa biarpun hal ini akan mendatangkan kemenangan, namun
perajurit-perajurit itu tentu banyak yang akan menjadi korban.
Tiba-tiba kedua orang kakek itu dengan berbareng mengeluarkan bentakan
keras sekali, bentakan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga khi-kang.
Beberapa orang perajurit terjungkal, bahkan yang terlalu dekat roboh
tak dapat bangkit lagi! Suling Emas mengeluarkan bunyi melengking
tinggi dan memperhebat desakannya, akan tetapi Kauw Bian Cinjin tampak
terhuyung mundur karena Lam-kek Sian-ong sengaja melakukan pukulan
hebat yang khusus ia tujukan kepada kakek Beng-kauw ini. Melihat Kauw
Bian Cinjin terhuyung, Lin Lin menerjang dengan jurus ampuh dari ilmu
Cap-sha-sin-kun, pedangnya tertangkis pedang merah di tangan Lam-kek
Sian-ong, namun masih dapat menyerempet pundak kakek itu.
“Twako, mari pergi....!” Lam-kek Sin-ong berseru, tubuhnya melesat den
sekaligus ia menerjang Suling Emas yang mendesak saudaranya. Tentu saja
Suling Emas maklum betapa bahayanya dikeroyok dua orang kakek ini. Baru
seorang Pak-kek Sian-ong saja ia hanya mampu mendesak belum mampu
mengalahkan, apalagi kalau Lam-kek Sian-ong datang mengeroyok. Terpaksa
ia melompat mundur sambil memutar sulingnya. Kesempaten baik ini
dipergunakan oleh kedua orang kakek sakti untuk berkelebat pergi dari
tempat itu.
Dalam kemarahannya, Lin Lin yang tidak kenal takut
itu meloncat pula melakukan pengejaran. Akan tetapi tiba-tiba ia
berhenti, tangannya ada yang memegang. Ketika ia cepat menoleh, kiranya
yang memegang pergelangan tangganya adalah Suling Emas!
“Lin-moi, jangan mengejar mereka, berbahaya sekali. Biarlah aku membentumu....”
Lin Lin mengibaskan tangannya terlepas dari pegangan Suling Emas.
Matanya terbelalak penuh kemarahan karena munculnya pendekar ini
mengingatkan ia akan segala pengalamannya yang pahit dan mematahkan
hatinya, terutama sekali ketika Suling Emas membela Suma Ceng. Tak
tertahankan lagi tangan kirinya bergerak menampar pipi kanan Suling Emas
yang tidak mengelak dan hanya memandang dengan mata sedih. “Plakkk!”
Tangan kiri Lin Lin meninggalkan tapak tangan kemerahan pada pipi
Suling Emas.
“Lin Lin! Gila engkau?” Bu Sin membentak marah sambil lari menghampiri.
“Pergi....! Pergi....!” Lin Lin berteriak-teriak sambil melarikan diri air matanya mulai bercucuran membasahi pipinya.
“Lin Lin, tunggu....!” Bu Sin mengejar, sedangkan Suling Emas setelah
berdiri dengan muka pucat dan seperti kehilangan semangat, akhirnya
ikut pula mengejar di belakang Bu Sin.
Lin Lin berlari
secepatnya ke arah utara, tidak peduli betapa daerah ini makin sukar
dilalui, merupakan padang rumput yang makin lama makin jarang pohonnya,
hanya rumput-rumput belaka dan di sana sini mulai tertutup pasir.
Karena tempat ini terbuka, mulailah terasa angin bertiup keras dari arah
depan, menyesakkan napas. Namun Lin Lin tidak merasakan ini semua dan
berlari terus mendaki bagian yang menanjak. Ah, mengapa dia datang?
Mengapa aku mesti berjumpa kembali dengan dia? Aku benci dia! Ah, aku
benci dia....! Keluhnya sambil menangis, karena betapa ia mengeraskan
hati memaksa diri mengaku benci, perasaannya tahu bahwa ia membohongi
dirinya sendiri. Ia mencinta Suling Emas, demikian mencintanya sehingga
ia menjadi benci karena Suling Emas tidak membalas cinta kasihnya!
“Lin-moi, tunggu!” Kembali Bu Sin berteriak keras dengan napas
terengah-engah karena ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk
dapat mengejar Lin Lin yang lari seperti terbang, apalagi angin mulai
mengamuk di padang rumput itu, membawa terbang butiran-butiran pasir,
“Lin-moi, mari kita bicara! Inilah Kakak Bu Song yang kita cari-cari!
Berhentilah dulu!”
Mendengar ini, makin deras air mata Lin Lin
mengucur di sepanjang pipinya, dan makin cepat pula kedua kakinya
berlari menjauhi dua orang itu. Bukan kakakku, pikirnya sedih, bukan
karena aku adiknya. Apa artinya adik angkat, lain ibu lain ayah? Aku
orang lain. Hanya karena dia.... dia mencintai wanita yang sudah punya
suami dan anak-anak! Ah, alangkah benciku!
Sementara itu, Suling
Emas sudah memegang lengan Bu Sin dari belakang. “Sin-te (Adik Sin),
kau kembalilah. Biarkan aku membereskan urusan ini. Percayalah
kepadaku!”
Karena memang merasa tidak sanggup menyusul Lin Lin
dan juga merasa ragu apakah ia akan dapat mengatasi watak adik angkatnya
yang kukoai (luar biasa) itu, Bu Sin berhenti dan tidak mengejar lagi.
Suling Emas lalu mengerahkan kepandaiannya dan bagaikan terbang ia lari
mengejar, mendaki jalan tanjakan. Angin makin hebat bertiup, merontokkan
daun-daun beberapa batang pohon yang sudah setengah gundul. Rumput
tebal yang tinggi bergerak-gerak menyabet kaki seperti lecutan cambuk.
Akhirnya Suling Emas dapat menyusul Lin Lin di puncak bukit itu, puncak
yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali sehingga angin bertiup
kencang membuat mereka sukar bernapas, membuat pakaian mereka
berkibar-kibar.
“Lin Lin, untuk terakhir kali, mari kita bicara.
Kalau kemudian kau masih penasaran kau boleh bunuh aku di sini juga!”
Suling Emas menangkap lengan Lin Lin dan tidak mau melepaskannya lagi.
Gadis itu membalikkan tubuh, tangannya meraba gagang pedang, mukanya
penuh air mata. Sejenak mereka bertemu pandang, kemudian dengan terisak
Lin Lin merangkul pinggang dan membenamkan mukanya di dada Suling Emas!
Pendekar ini menahan napas, berdongak sambil meramkan mata. Tak terasa
lagi pendekar sakti yang berhati baja ini menitikkan dua butir air mata.
Baju di bagian dada Suling Emas sudah basah oleh air mata Lin Lin dan
rambut gadis itu tertiup angin melambai-lambai dan menyapu-nyapu muka
pendekar itu. Suling Emas memeluk pundaknya dan membelai rambutnya.
“Lin Lin, dengarlah baik-baik. Tiada guna kita lanjutkan semua ini. Kau tahu bahwa tidak mungkin kita berjodoh....”
Lin Lin mengangkat mukanya yang basah. “Kenapa tidak mungkin....?
Kita.... kita saling mencinta. Katakanlah bahwa kau tidak mencintaku!
Katakanlah! Kalau kau tidak mencintaiku, baru aku menerima nasib, akan
tahu diri....!”
Suling Emas menggeleng-geleng kepalanya. Tentu
saja mudah bagi mulutnya untuk mengatakan hal ini, akan tetapi kalau ia
katakan bahwa ia tidak mencinta Lin Lin maka itu berarti bahwa ia
membohong, membohongi Lin Lin dan membohongi diri sendiri! “Lin-moi, kau
tahu bahwa aku pun mencintamu, adikku. Aku mencintaimu walaupun cinta
kasihku ini tidak ada harganya. Sudah terlampau banyak aku menimbulkah
peristiwa duka oleh cintaku. Cinta kasihku bernoda darah, Lin-moi. Aku
tidak mau menyeretmu ke dalam kutukan ini, karena.... karena besarnya
cintaku kepadamu. Aku tahu bahwa kau tidak peduli tentang usia, dan aku
tahu bahwa cintamu kepadaku murni. Namun.... betapapun besar aku
mencintamu, aku tetap tak dapat menerimanya, adikku. Dunia kong-ouw
memusuhiku, hidupku selalu terancam bahaya, dan mereka semua sudah tahu
bahwa kau adalah Kam Lin, adik angkatku. Mana mungkin kakak mengawini
adik angkat sendiri? Alangkah akan hinanya nama kita, nama keluarga
kita. Kau akan sengsara lahir batin kalau menjadi jodohku. Selain itu,
kau pun harus ingat. Kau seorang puteri mahkota, bahkan kau calon ratu
Khitan. Kau harus ingat akan tugas suci ini, ingat akan bangsamu. Jauh
lebih mulia bagi seorang manusia untuk berbakti kepada bangsanya
daripada menuruti nafsu hatinya.”
Biarpun angin menderu keras,
namun karena Suling Emas mempergunakan khikang dalam suaranya, Lin Lin
dapat mendengar jelas. Ia makin terharu. Semua kata-kata itu menikam ulu
hatinya dan mau tak mau ia harus mengakui kebenarannya. Matanya serasa
terbuka oleh kata-kata itu, mata hati yang selama ini seperti buta oleh
cinta. Akan tetapi, teringat akan Suma Ceng ia masih meragu.
“Apakah.... apakah semua itu bukan hanya kaugunakan untuk menghiburku?
Apakah tidak tepat kalau kau.... tak dapat menerima persembahan hatiku
karena kau sudah mencinta orang lain, mencintai Suma Ceng?”
Suling Emas memegang dagu gadis itu, diangkatnya mukanya agar menentang
mukanya sendiri. “Kaupandanglah mataku, Lin-moi. Adakah mataku
membayangkan kebohongan? Memang, dahulu aku pernah mencintai Suma Ceng,
akan tetapi cinta itu tercabut akarnya meninggalkan luka di hati
setelah ia menikah dengan orang lain. Banyak sudah hatiku terluka
karena cinta gagal, dan aku tidak mau mengorbankan dirimu hanya untuk
mengobati hatiku. Aku.... aku amat mencintamu, adikku, karena itulah,
aku rela berkorban patah hati sekali lagi dan kali ini yang paling
parah. Dengarlah, aku bersumpah takkan menikah dengan gadis lain, aku
ingin mengikuti jejak mendiang suhu Kim-mo Taisu dan jejak locianpwe Bu
Kek Siansu. Aku hanya memujikan semoga engkau mendapatkan seorang jodoh
yang baik, adikku.”
“Ah.... Suling Emas.... aku mencintamu aku tidak akan menikah dengan orang lain aku bersump....”
Tiba-tiba Suling Emas menutup bibir yang akan bersumpah itu dengan
tangannya, kemudian ia tersenyum dan mencium dahi Lin Lin dengan mesra
dan penuh kasih sayang. “Tak perlu bersumpah, adikku. Dan aku percaya
akan cintamu seperti engkau percaya pula akan cintaku. Biarlah perasaan
kita ini menjadi rahasia kita dan membahagiakan kita bahwa betapapun
juga, kita saling mencinta. Nah, keringkanlah air matamu, adikku, dan
bersiaplah engkau memimpin bangsamu. Lihat, mereka datang menjemputmu.”
Sekali lagi Suling Emas mencium gadis itu lalu melepaskan pelukannya.
Lin Lin terisak dan menengok. Betul saja, dari bawah tampak rombongan
pasukan Khitan yang dipimpin oleh Kayabu. Mereka itu berkuda, kelihatan
keren dan garang. Tampak pula Kauw Bian Cinjin, Liu Hwee dan Bu Sin di
antara rombongan ini. Lin Lin merasa bangga hatinya dan diam-diam ia
menghapus air matanya, lalu bergandengan tangan dengan Suling Emas
menuruni puncak bukit. Ketika mereka saling lirik, keduanya tersenyum
dan di dalam kerling mata mereka terbayang haru dan bahagia.
Kayabu segera meloncat turun dari kudanya, diikuti semua pasukan dan
mereka memberi hormat dengan membungkuk di depan Lin Lin. “Hamba
melapor bahwa pasukan kita berhasil menang dan menduduki Istana. Kini
para panglima menanti Paduka untuk menerima perintah selanjutnya.”
Lin Lin mengangguk dengan sikap agung, lalu meloncat ke atas kuda yang
sengaja dibawa untuknya. Suling Emas juga mendapatkan seekor kuda.
Beramai-ramai mereka menuruni bukit itu. Lin Lin di depan bersama
Suling Emas, Bu Sin dan Liu Hwee. Kauw Bian Cinjin agak di belakang. Di
tengah perjalanan, Lin Lin bercakap-cakap dengan Bu Sin tentang Sian
Eng. Ternyata, Sian Eng menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tak seorang
pun tahu ke mana perginya gadis itu yang sudah berubah menjadi seorang
yang aneh.
Pengangkatan Puteri Yalina sebagai Ratu Khitan
dilakukan dengan suasana meriah sekali. Suling Emas, Bu Sin, Liu Hwee,
dan Kam Bian Cinjin merupakan tamu-tamu agung yang menghadiri perayaan
ini. Ratu Yalina mengangkat Kayabu sebagai panglima tertinggi,
menggantikan kedudukan Pek-bin-ciangkun yang tewas dalam pertempuran.
Atas petunjuk Kayabu, Yalina mengangkat pula banyak panglima-panglima
Khitan, diberi kedudukan sesuai dengan kepandaian masing-masing. Sekali
lagi, Khitan menjadi bangsa yang kuat di bawah pimpinan seorang ratu
yang bijaksana dan mencinta bangsanya, terlepas dari kekejaman dan
kelaliman seorang raja murka seperti Kubakan yang ternyata tewas oleh
Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.
Setelah upacara
pengangkatan selesai, para tamu agung minta diri. Kauw Bian Cinjin
mendapatkan kembali tongkat Beng-kauw. Tentang isi tongkat, yaitu
rahasia peninggalan Pat-jiu Sin-ong, tidak disebut-sebut. Rahasia ini
hanya diketahui oleh Lin Lin dan Suling Emas belaka, karena
catatan-catatan itu sudah terlanjur dimusnahkan Lin Lin.
Dengan
menahan keharuan hatinya, Lin Lin mengantar keberangkatan para tamu
agung itu. Ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Suling
Emas, tak terasa lagi bulu matanya menjadi basah oleh air mata. Akan
tetapi bibirnya tersenyum membayangkan kebahagiaan akan rahasia yang
tersimpan di dalam hatinya dan hati Suling Emas, bahwa mereka saling
mencinta dengan kasih sayang yang murni, dengan pengorbanan.
Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina dengan pakaian indah dan Pedang
Besi Kuning menghias pinggangnya, berdiri mengantar tamunya sampai
derap kaki kuda mereka tak terdengar lagi setelah lama bayangan mereka
tak tampak. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan dengan bangga melihat
pasukannya berdiri siap di depannya, siap menanti setiap perintahnya. Ia
berjanji akan memimpin bangsanya ke arah kemuliaan dan kebesaran.
Demikianlah, kisah CINTA BERNODA DARAH ini berakhir sampai di sini
dengan catatan bahwa di antara tiga saudara yang turun dari
Cin-ling-san, hanya Kam Bu Sin seoranglah yang berhasil dalam
perjodohannya. Beberapa bulan kemudian, Kam Bu Sin melangsungkan
pernikahannya dengan Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw, dilakukan dengan
upacara yang amat meriah. Hanya sayangnya bagi Bu Sin, di antara
saudaranya, hanya Suling Emas saja yang menghadiri perayaan itu. Sian
Eng tetap tak pernah muncul, sedangkan Lin Lin yang sibuk dengan
tugasnya yang baru, hanya mengirim barang-barang berharga sebagai
sumbangan.
Setelah Bu Sin menikah, Suling Emas juga melenyapkan
diri dari dunia ramai. Hanya kadang-kadang saja ia muncul di Nan-cao,
akan tetapi sebentar saja lalu pergi lagi tanpa ada yang tahu ke mana
perginya dan di mana tempat tinggalnya yang tetap.
Apakah hanya
berakhir sampai di sini saja riwayat tokoh-tokoh seperti Lin Lin, Suling
Emas, dan Sian Eng? Berakhir dengan menyedihkan karena mereka gagal
dalam asmara dan menderita? Pembaca budiman, selama manusia ini masih
berada di atas tanah, belum masuk ke dalam tanah, takkan pernah
peristiwa berhenti mengejarnya. Cerita mengenai diri manusia, selama
manusia itu masih hidup, takkan pernah habis dan barulah riwayat manusia
benar-benar tamat kalau dia sudah masuk ke dalam tanah. Oleh karena
itu, riwayat tentang diri Suling Emas, tentang diri Lin Lin, tentang
Sian Eng dan juga Lie Bok Liong, sekali waktu akan dapat anda nikmati
pula apabila pengarangnya telah siap dengan rangkaian cerita lain yang
merupakan sambungan daripada cerita CINTA BERNODA DARAH. Tunggulah
saatnya, dan anda pasti akan berjumpa pula dengen mereka dan.... dalam
keadaan yang lebih menyenangkan!
Mengapa Suling Emas menjadi
nekat merusak kebahagiaannya sendiri, padahal kebahagiaan itu sudah
berada di depan mata, sudah menggapainya dalam bentuk cinta kasih timbal
balik dengan Lin Lin? Mengapa ia menolak uluran tangan kebahagiaan
cinta kasih? Hal ini akan terjawab apabila anda membaca cerita SULING
EMAS, di mana anda akan menjumpai Suling Emas atau Kam Bu Song semenjak
kecilnya, menjumpai pula pengalaman-pengalaman hebat dengan asmara
berliku-liku dari ibunya, yaitu Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang cantik
jelita, gagah perkasa dan genit. Anda akan bertemu dengan tokoh-tokoh
hebat seperti guru Suling Emas yang berjuluk Kim-mo Taisu, bertemu
dengan ayah Suling Emas yang tampan perkasa, Jenderal Kam Si Ek yang
menjadi perebutan antara gadis-gadis cantik dengan tokoh-tokoh
kang-ouw yang terlibat urusan ruwet dengan Tok-siauw-kui sehingga
terjadi permusuhan yang akhirnya menimpa diri Suling Emas. Dalam cerita
SULING EMAS ini akan diceritakan pula tentang masa mudanya Hek-giam-lo,
It-gan Kai-ong, Tok-sim Lo-tong, Toat-beng Koai-jin, Siang-mou Sin-ni,
dan Cui-beng-kui, pendeknya keenam Thian-te Liok-koai akan muncul di
masa mudanya!
Akhirnya, anda akan menikmati kisah asmara antara
Suling Emas dengan cinta pertamanya, kemudian dengan Suma-Ceng. Tak
ketinggalan kisah menarik dari ibu Lin Lin, yaitu Puteri Tayami.
Demikianlah, semoga cerita CINTA BERNODA DARAH berhasil dalam
menghidangkan cerita hiburan sehat bagi para pembaca budiman. Sampai
jumpa di lain cerita!
TAMAT .
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar