Jumat, 31 Mei 2013

pedang kayu harum [ 32 ]

oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut
pautnya dengan Kun-lun-pai, maka di kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada
hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap dipersilahkan menempati Kiam-kok-san karena
Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi kelak, kalau Taihiap tidak lagi
berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong berada di wilayah kami.
Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan
berkahNya.” Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan setelah menjura ke
arah Sin-jiu Kiam-ong lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi
laporan kepada Thian seng Cinjin.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong diajak mendaki puncak Kiam-
kok-san sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu
adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan....!
Segala peraturan yang dibuat manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat
kaki tangannya sendiri. Eh, namamu memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang
kita berjodoh....auggghhh....!" Kakek itu memegangi dadanya dan kakinya terhuyung.
"Eh...kenapa? Suhu..... Suhu terluka...?"
Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ah, tidak seberapa hebat.
Tahukah engkau bahwa ketika engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa seolah-
olah engkau ini cucuku sendiri? Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah,
bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih tepat menjadi muridku. Hemmm...., akan kuberikan
seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Mari kita naik ke
Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak banyak. Aku...setan
laknat tiga iblis itu.... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah di punahkan Siang-bhok-
kiam, akan tetapi...ah, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-
mudahan tidak terlambat...."

Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhunya, namun dengan patuh dia lalu
mengikuti suhunya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-
ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia
menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka
memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir
menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan
gigi bawah namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali. Ketika suhunya
melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada
di puncak batu pedang, dan bahwa puncaknya tidak meruncing seperti tampaknya dari bawah
dan halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawah. Puncak
itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu lebar berbentuk segi
empat seolah-olah tadinya puncak itu meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima
puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi
rumput dan lumut hijau muda.

Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian
dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan
tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking
dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya!

Keng Hong sadar di dekat api unggun, ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya
bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.
"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang
panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak
panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau.”

Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak
terasa sama sekali olehnya. Kalau tidak ada telapak tangan gurunya menempel di

0 komentar:

Posting Komentar