Sabtu, 25 Mei 2013

pedang kayu harum [14]

mengakibatkan perpecahan dan keributan. Juga di dunia persilatan terjadi perpecahan sebagai
akibat daripada pendapat yang berlawanan terhadap perang saudara yang timbul di kerajaan
Beng yang baru itu. Ada yang pro utara (Raja Muda Yung Lo), ada pula yang pro selatan
(Kaisar Hui To) maka diantara mereka terjadilah perang sendiri.

Akan tetapi banyak pula golongan tokoh persilatan yang mengundurkan diri, tidak mau
mencampuri segala pertentangan dan peperangan itu. Di antara mereka ini adalah Kun-lun-pai
yang dipimpin oleh tosu-tosu yang insyaf akan buruknya pertentangan dan peperangan antara
saudara sebangsa. Thian Seng Cinjin, tosu tua berusia seratus tahun yang pada waktu ini
menjadi ketua Kun-lun-pai, mengeluarkan larangan keras bagi semua anak murid Kun-lun-pai
untuk melibatkan diri dalam perang saudara itu. Bahkan ketua ini memanggil semua tokoh-
tokoh Kun-lun-pai untuk diajak berkumpul di puncak Kun-lun yang menjadi pusat dari
perkumpulan ini dan bersama-sama melakukan samadhi sebagai latihan dan sebagai
keprihatinan, dan di samping ini, sang ketua memperdalam pengetahuan mereka tentang
pelajaran dalam Agama To (Taoism).

"Murid-murid Kun-lun-pai yang baik," demikian antara lain Thian Seng Cinjin berkata sambil
memandang murid-muridnya yang duduk bersila di sekeliling depannya. "Dalam keadaan
seperti sekarang ini, camkanlah pelajaran ke lima puluh tujuh." Kemudian kakek ini
bersenandung membaca isi pelajaran yang mengandung makna dalam sekali.
"Dengan keadilan negara dapat diatur dengan siasat peperangan dapat dilakukan, namun
hanya dengan mengekang diri (tak bertindak) dunia dapat dimenangkan.

Bagaimana kami tahu yang sedemikian itu?

Karena ini:
Makin banyak larangan orang makin menderita, makin banyak dipergunakan senjata, makin
banyak timbul kekacauan, makin banyak kepintaran, makin banyak perbuatan yang aneh-
aneh, makin banyak hukum diundangkan, makin banyak terjadi pelanggaran.
Maka Orang Bijaksana berkata: Kami mengekang diri (tak bertindak), rakyat berubah ke arah
kebaikan, kami suka akan ketenangan, rakyat tenteram dan damai. Kami tidak bertindak,
rakyat hidup makmur, kami tidak berkehendak, rakyat pun bersahaja dan jujur.
Selanjutnya dengan suara penuh kesabaran, Thian Seng Cinjin memberi wejangan kepada
murid-murid Kun-lun-pai, menegaskan bahwa sebagai penganut To dan murid Kun-lun-pai
yang gagah perkasa dan bijaksana mereka harus menyerahkan segala peristiwa kepada
kekuasaan alam berdasarkan kewajaran. Hanya bergerak untuk menghadapi dan
menanggulangi keadaan sebagai akibat. Jangan sekali-kali menjadi sebab timbulnya sesuatu
ketegangan. Hal ini hanya mudah dicapai dengan sikap diam dan tidak mencampuri urusan
yang tidak menyangkut diri pribadi. Karena pendirian inilah maka Thian Seng Cinjin
melarang murid-muridnya terlibat dalam perang saudara, karena sekali mereka turun tangan,
mereka akan makin mengeruhkan suasana dan memperbesar penyembelihan antara saudara
sebangsa.

Semua wejangan dan percakapan yang terjadi di ruangan belajar yang luas itu didengarkan
penuh perhatian oleh seorang anak laki-laki yang sedang bekerja membersihkan jendela-
jendela dan pintu-pintu dengan kain kuning. Anak laki-laki ini berusia kurang lebih dua belas
tahun, berwajah tampan dan berpakaian sederhana, dari kain kasar. Yang menarik pada anak
ini adalah sepasang matanya, karena pandang matanya amat tajam, dengan biji mata yang
terang jarang bergerak, membayangkan pikiran yang dalam, pandangan luas dan penuh
pengertian.

Bocah yang menjadi kacung (pelayan) di kuil besar Kun-lun-pai ini adalah Cia Keng Hong,
dan sudah dua tahun dia berada di kuil itu. Dia adalah seorang anak yatim piatu, karena
keluarganya, ayah-bundanya dan saudara-saudaranya, semua telah tewas ketika perang
saudara mulai pecah. Mendiang ayahnya adalah seorang thungcu (lurah) di dusun Kwi-bun

0 komentar:

Posting Komentar