tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang mengandung cengkeraman maut!
“Hayaaaaa! Bu Sin, kau benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang!
Baiklah kalau kau sudah bosan hidup!” Dengan gerakan lincah dan mudah
saja wanita ini mengelak daripada dua pukulan Bu Sin itu, kemudian ia
berseru keras dan tubuhnya tahu-tahu sudah mencelat ke belakang sampai
lima meter jauhnya. Bu Sin yang menjadi penasaran mengejar dan kembali
menerjang, akan tetapi iblis betina itu menggoyang kepalanya dan Bu Sin
merasa gelap pandang matanya ketika rambut yang hitam panjang itu
melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum sekali baunya.
Pemuda ini berusaha untuk menghindarkan diri dengan melompat ke
samping, namun tiba-tiba gerakannya tertahan dan sama sekali la tak
mampu berkutik oleh karena bagaikan ular-ular hidup, rambut-rambut itu
telah melibat kaki tangan dan lehernya! Ia merasa seakan-akan ia
diringkus oleh banyak tangan yang halus dan harum, dan betapapun ia
mengerahkan tenaganya, ia tetap saja tak mampu bergerak!
“Hi-hi-hi! Orang bagus berhati baja! Kau mau bilang apa sekarang?”
Wanita itu berdiri di depan Bu Sin, kurang lebih satu meter dekatnya,
matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah menyeringai memperlihatkan
deretan gigi putih berkilauan dan kecil-kecil.
“Siang-mou
Sin-ni iblis betina! Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh
boleh lekas bunuh, siapa takut mampus?” bentak Bu Sin.
“Tentu
kubunuh.... wah, aku memang haus dan darahmu tentu enak sekali, darah
seorang keturunan jenderal, gagah perkasa dan satria utama! Mendekatlah
manis, serahkan lehermu kepadaku, biar kupilih jalan darahmu untuk
kuhisap....!”
Bu Sin tetap hendak mempertahankan diri terhadap
tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti seekor lalat terlibat dalam
sarang laba-laba, ia bisa meronta namun tak dapat melepaskan diri.
Tarikan rambut-rambut itu makin kuat, dan tenaganya sendiri makin lemah
sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser maju mendekati bibir
merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu, agaknya senang sekali
dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin, wanita iblis itu terkekeh
senang.
“Hi-hik, cobalah, berontaklah kalau mampu lolos, hi-hik.
Hayo kerahkan tenagamu, baik sekali.... darahmu menjadi kencang
jalannya!”
Bu Sin meronta-ronta dan memaki-maki, namun sia-sia
belaka. Kini ia sudah dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni dan ketika
wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya, diam-diam Bu Sin merasa
ngeri sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada lehernya, kemudian
bibir yang lunak basah dan panas itu menempel kulit leher. Bu Sin hanya
dapat meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia maklum
bahwa terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba
bibir yang menempel lehernya itu merenggang dan.... Siang-mou Sin-ni
terisak!
“Tidak.... tidak.... aku tidak bisa membunuhmu! Aku
terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin, mengapa kau tidak mau membalas
cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku mencinta laki-laki seperti
kepadamu! Bu Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan menjadi isterimu,
akan melayanimu, akan menurunkan kepandaian kepadamu.”
“Iblis! Bunuhlah aku, tak perlu kau merayu dengan kata-katamu yang berbisa!”
Siang-mou Sin-ni memeluknya, menciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata.
Ngeri dan jijik hatinya. Perasaannya seperti seorang yang dibelit dan
dibelai seekor ular!
“Dengar, Bu Sin. Kalau kau menjadi suamiku,
aku akan membawamu ke Hou-ha, aku akan merampas kedudukan kaisar
untukmu. Dengar ini! Kau akan kujadikan kaisar!”
Bu Sin terkejut
dan sejenak pikirannya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas
jenderal, tentu saja ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita
muluk. Menjadi kaisar merupakan tawaran yang mendebarkan jantungnya
dan hampir melemahkan pertahanan hatinya. Alangkah akan mulia dan senang
hatinya. Menjadi kaisar, disembah dan ditaati orang senegara, nama
ayahnya akan terjunjung tinggi! Akan tetapi segera ia ingat akan wanita
iblis di sampingnya, dan kegembiraannya lenyap. Biarpun ia menjadi
kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan menjadi kaisar
yang hanya akan mencelakakan rakyat. Wanita ini bukan manusia,
melainkan iblis bertubuh manusia. Teringat ia akan dongeng tentang
Kaisar Tiu Ong yang biarpun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya
menjadi seorang kaisar lalim karena godaan Tiat Ki, seorang wanita
cantik yang kemasukan iblis, seekor siluman rase yang menjelma menjadi
wanita cantik jelita yang keji dan ganas. Bu Sin mengkirik saking
jijiknya dan semua lamunan tadi lenyap, kemarahannya memuncak.
“Siluman hina! Bunuh saja aku!” bentaknya.
Tangis Siang-mou Sin-ni terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia
juga marah. “Tentu kau akan kubunuh,” katanya dengan suara dingin,
“akan tetapi kubunuh perlahan-lahan, biar kau tahu rasa! Aku akan
membunuhmu sekerat demi sekarat, akan kusiksa kau sampai kau merasa
menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu! Darahmu kuhisap sedikit
demi sedikit!” Dengan suara makin kejam wanita ini kembali mendekatkan
mukanya. Kilauan gigi putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya
merasakan sentuhan bibir lunak basah dan panas, kemudian terasa leher
itu dikecup, terasa nyeri ketika gigi-gigi kecil meruncing itu menggigit
dan....
“Tar-tar-tar!” Terdengar suara keras di udara dan
sepasang bola baja kecil menyambar kepala Siang-mou Sin-ni. Iblis betina
ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari leher Bu Sin, menoleh.
“Siang-mou Sin-ni iblis jahanam! Keji sungguh kau!” terdengar bentakan
wanita yang marah sekali. “Bu Sin koko, jangan takut, aku datang!”
Kembali sepasang bola baja yang berada di ujung cambuk itu menyambar,
mengarah jalan darah di punggung Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke
arah kepala tadi tidak dilanjutkan karena agaknya Liu Hwee, gadis yang
baru datang itu, takut kalau-kalau membahayakan kepala Bu Sin.
Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni
tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang bola baja itu ia
cukup maklum bahwa gadis aneh ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Apalagi diingat bahwa gadis ini adalah puteri ketua Beng-kauw, tentu
saja lihai. Siang-mou Sin-ni marah sekali, memekik liar dan tiba-tiba
rambutnya yang tadi membelit-belit tubuh Bu Sin melepaskan pemuda itu
menyambar ke belakang, sebagian menangkis senjata lawan, sebagian lagi
menyambar ke arah jalan darah membalas serangan!
Adapun Bu Sin
yang dilepas oleh libatan rambut-rambut itu, terhuyung-huyung. Akan
tetapi hanya sebentar, karena ia segera dapat memulihkan tenaganya.
Tangannya meraba leher dan ternyata lehernya berdarah sedikit. Untung
Liu Hwee datang, kalau tidak....!
“Adik Liu Hwee, mari kita basmi siluman betina jahat ini!” bentaknya.
Pada saat itu, Liu Hwee sudah memutar senjatanya merupakan bentuk
payung hitam yang menangkis semua serangan rambut Siang-mou Sin-ni.
Begitu bertemu dengan gulungan sinar senjata berupa payung ini, rambut
Siang-mou Sin-ni kena dikebut bertebaran sehingga iblis itu terkejut
sekali. Hebat juga puteri Beng-kauw ini!
“Bu Sin koko,
kaupakailah ini!” Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan
sebatang pedang. Tentu saja Bu Sin girang bukan main. Dalam menerima
pedang itu, jari-jari tangannya bersentuhan dengan jari-jari tangan Liu
Hwee. Keduanya saling pandang sejenak, dan dalam waktu beberapa detik
ini saja, pandang mata mereka sudah penuh dengan pernyataan hati
masing-masing. Pandang mata mesra dan dalam pandang mata ini tersimpul
semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa mereka akan
sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.
“Terima kasih, Moi-moi. Mari kita gempur dia!”
Siang-mou Sin-ni berdiri memandang. Ia dapat melihat dan dapat
merasakan apa yang terkandung dalam sikap kegembiraan mereka dan
pandang mata yang mesra itu. Kemarahannya memuncak dan ia begitu
terserang panas hati sehingga ia hanya berdiri tegak, seakan-akan lupa
bahwa ia berhadapan dengan dua orang lawan yang harus segera ia terjang.
“Kalian.... ah, keparat. Bocah she Liu kau.... kau mencinta Bu Sin....!”
Seketika wajah Liu Hwee menjadi merah, matanya berkilat menyambar.
“Siang-mou Sin-ni, kami fihak Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi
dengan dirimu! Dan mengingat bahwa kau pernah menjadi murid mendiang
enci Lu Sian, biarlah kumaafkan kata-katamu. Harap kau suka pergi
meninggalkan kami!” Biarpun Liu Hwee baru berusia sembilan belas tahun,
akan tetapi sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, ia mempunyai sikap
agung dan berwibawa.
Akan tetapi Siang-mou Sin-ni tidak
memperhatikan dia, melainkan memandang ke arah Bu Sin sambil membentak.
“Dan kau.... kau manusia tak kenal budi, kau.... kau mencinta bocah
Beng-kauw ini!”
Seperti juga Liu Hwee, wajah Bu Sin menjadi
merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah dua kali ada orang
mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama adalah wanita
iblis yang lebih dahsyat daripada Siang-mou Sin-ni yang berkata
demikian, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu Suling Emas.
Kedua kalinya adalah si iblis wanita ini!
“Siluman jahat, kami
saling mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak ada
harganya untuk menyebut-nyebut hal itu!” bentak Bu Sin marah.
Siang-mou Sin-ni menjerit keras, jeritan melengking tinggi dan hampir
saja Bu Sin tak kuat mempertahankan karena isi dadanya berguncang hebat.
Cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang yang ia latih dari kakek sakti, dan
sebentar saja pengaruh jeritan itu lenyap.
“Kalian harus
mampus, akan kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling
mencintai, ya? Memang betul, kalau akan menjadi satu, akan tetapi
setelah menjadi daging hancur, hi-hik!” Wanita itu kini mengeluarkan
senjatanya yang istimewa, yaitu yang-khim yang dulu ia rampas dari
tangan Bu Kek Siansu. Sambil memekik keras ia menerjang maju, rambut
kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim yang digerakkan
secara dahsyat sekali.
“Bu Sin koko, hati-hati....!” Liu Hwee
berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis ini merasa gelisah dan
ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis ini yang luar
biasa saktinya.
Sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, tentu
saja ilmu kepandaian Liu Hwee sudah hebat. Gin-kangnya tinggi,
gerakannya cepat sekali, tenaga dalamnya juga sudah mencapai tingkat
tinggi sehingga senjatanya yang berupa cambuk yang kedua ujungnya
dipasang bola baja itu digerakkan dengan kecepatan yang sukar dilawan.
Senjata macam ini merupakan senjata yang paling sukar dipelajari, akan
tetapi apabila sudah matang gerakkannya, senjata ini bergerak otomatis,
seakan-akan menjadi satu dengan kedua tangan, dan amat berbahaya.
Betapapun juga, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni, ia masih kalah
beberapa tingkat. Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Enam Iblis,
kepandaiannya aneh dan tinggi. Selain itu, iblis betina ini telah
hampir berhasil dalam menciptakan ilmunya yang mujijat dan keji yaitu
Ilmu Tok-hoat-lek (Ilmu Gaib Darah Beracun) yang diciptakan dengan cara
menyedot habis darah seorang korban. Entah sudah berapa puluh orang
korban yang disedot habis darahnya oleh iblis wanita ini! Selain
memiliki ilmu setan yang hampir selesai dipelajarinya ini, ia pun
memiliki ilmu menggunakan rambut panjang yang ampuhnya melebihi segala
macam senjata. Di samping ini, ia berhasil merampas yang-khim dari
tangan Bu Kek Siansu dan senjata aneh ini merupakan tambahan kesaktian
baginya.
Karena perbedaan tingkat kepandaian ini, dalam
pertempuran itu Liu Hwee selalu tertindih dan terdesak. Sepasang bola
bajanya yang menyambar-nyambar itu selalu terbentur kembali, bahkan kini
yang-khim dan rambut lawan mulai mengurung dan mendesaknya. Bantuan Bu
Sin tidak ada artinya bagi Liu Hwee. Pemuda ini memang benar memiliki
tenaga sakti yang murni, hasil latihan kakek sakti, akan tetapi tenaga
itu hanya dapat dipergunakan untuk menjaga diri. Dalam menyerang, karena
ilmu silat yang dimiliki Bu Sin adalah ilmu silat biasa saja, maka
serangan-serangannya tidak diacuhkan oleh Siang-mou Sin-ni, selalu
terbentur dan gagal oleh rambut yang hitam panjang.
Siang-mou
Sin-ni adalah seorang wanita yang berwatak kejam. Wataknya ini mungkin
hampir sama dengan watak seekor kucing yang suka sekali mempermainkan
dan menyiksa tikus sebelum memakannya, atau seekor laba-laba yang suka
menikmati korbannya yang meronta-ronta hendak membebaskan diri dengan
sia-sia. Demikian pula, dalam menghadapi Liu Hwee dan Bu Sin, wanita
iblis itu mempermainkan mereka, mengejek dan tidak segera merobohkan
mereka, karena dalam mengejek dan mempermainkan ini, ia mengalami
kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa.
“Kalian saling
mencinta, ya? Hu-huh, ingin menjadi suami isteri dan membangun rumah
tangga bahagia, memiliki banyak putera-puteri? Hi-hik, takkan tercapai
maksud kalian!”
“Keparat, tutup mulutmu yang kotor!” Liu Hwee
membentak, sepasang bolanya menyambar. Siang-mou Sin-ni tertawa,
rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena dilibat
rambut. Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia
memukulkan tangannya ke depan dengan pengerahan tenaga sakti. Inilah
pukulan jarak jauh yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.
“Wuuuuuttttt!” Angin pukulan dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat mengenai sasaran.
“Uuugghhh!” Dari mulut iblis betina itu tersembur darah segar yang
langsung menyambar ke arah muka Liu Hwee! Tadinya Liu Hwee girang,
mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira darah yang tersembur
keluar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat sekali. Ia sudah
berusaha mengelak, namun tiba-tiba ia menjadi pening dan biarpun darah
itu tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir kepala, namun
cukup membuat gadis ini terhuyung-huyung, pandang matanya gelap. Ia
tidak tahu bahwa itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang
tidak tahu mengira bahwa Siang-mou Sin-ni terkena pukulan sampai muntah
darah, padahal ilmu mujijat ini selain dipergunakan untuk menahan
pukulan, juga sekaligus dipergunakan untuk menyerang lawan dengan darah
yang langsung keluar dari dalam mulut, darah yang mengandung racun
berbahaya!
“Ibils keji!” Bu Sin menerjang maju menusukkan
pedangnya. Kembali Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia menerima
tusukan pedang itu dengan perutnya!
“Cappppp!” Bu Sin girang
karena mengira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang dibencinya.
Akan tetapi mendadak wanita itu terkekeh, rambutnya bergerak menangkap
tubuh Bu Sin, diangkat ke atas lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri
Liu Hwee yang sedang terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi, kedua
orang muda itu terbanting dan roboh tumpang tindih!
“Eh.... maaf.... Moi-moi....” Bu Sin mengeluh.
“Tidak apa, Koko.... siluman ini memang lihai....”
Bu Sin sudah kehilangan pedang yang “menancap” di perut Siang-mou
Sin-ni. Namun ia menjadi nekat. Bersama dengan Liu Hwee ia melompat
bangun, siap menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi tiba-tiba
Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan.... pedang yang dikira menancap di
perutnya itu melayang bagaikan anak panah cepatnya menuju dada Bu Sin!
“Koko, awas....!” Liu Hwee mendorong Bu Sin dari samping. Terdengar
kain terobek dan pedang itu ternyata telah merobek baju Bu Sin di bagian
lambungnya. Kurang cepat sedikit saja Liu Hwee mendorong, bukan baju
yang akan terobek, melainkan dada atau lambung!
“Iblis
keji....!” Dengan wajah pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia
menyerang lagi dengan sepasang bola bajanya. Adapun Bu Sin cepat lari
dan mencabut pedangnya yang menancap pada sebatang pohon. Kemudian ia
menghampiri tempat pertempuran dan membantu Liu Hwee lagi dengan
mati-matian.
“Hi-hik, saling mencinta berarti bodoh, boleh mati bersama!”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu
Hwee telah lekat dengan kawat-kawat alat musik yang-khim. Betapapun Liu
Hwee membetotnya, sia-sia saja karena dengan tenaga “menyedot” Siang-mou
Sin-ni telah membuat bola-bola itu melibat-libat kawat, kemudian
rambutnya bergerak seperti puluhan cambuk ke depan!
Bu Sin
berusaha menolong temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya
rambut-rambut itu, dengan maksud membabatnya sambil mengerahkan tenaga
sakti. Namun Siang-mou Sin-ni sekarang telah tahu bahwa pemuda ini entah
bagaimana caranya telah memiliki tenaga sakti yang hebat, maka ia
tidak melawan keras dengan keras karena khawatir kalau-kalau rambutnya
akan terbabat putus. Ia menggunakan tenaga lemas, rambutnya bertemu
pedang terus membelit, bahkan membelit juga pergelangan tangan Bu Sin.
Pemuda ini berseru keras karena merasa betapa pergelangan tangannya
seakan-akan hendak patah. Pedangnya terlepas dari pegangan dan di lain
saat ia telah dilucuti, seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini berdiri
tanpa senjata, menghadapi lawan yang terkekeh dan menggerak-gerakkan
kepala sehingga rambutnya menyambar-nyambar mengerikan.
“Hi-hik, kalian saling mencinta, ya? Hi-hi-hik, sehidup semati, senasib
sependeritaan!” Siang-mou Sin-ni terus mengejek dengan suaranya yang
nyaring diselingi kekehnya yang menyeramkan.
Kini rambut
kepalanya menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu.
Kasihan sekali Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak
dari hujan serangan ini karena rambut kepala yang hitam panjang dan
gemuk itu berubah menjadi puluhan batang cambuk yang kuat. Mereka dapat
mengerahkan sin-kang untuk menjaga diri, namun mereka tak mungkin dapat
menjaga pakaian mereka yang mulai robek-robek! Liu Hwee maklum bahwa ia
akan terhina kalau sampai pakaiannya robek semua dan membuatnya menjadi
telanjang bulat, maka dengan nekat ia berusaha untuk menyambar
rambut-rambut itu. Akhirnya ia berhasil mencengkeram segenggam rambut,
mengerahkan tenaganya dan menarik sekuatnya.
***
Siang-mou Sin-ni menjerit karena segenggam rambutnya telah jebol dari
kulit kepala. Ia seperti setan sekarang. Rasa nyeri membuatnya marah
sekali dan di lain saat kedua tangan Liu Hwee telah dibelit rambut
sampai tak dapat bergerak tagi, lalu cambuk-cambuk rambut itu
melecut-lecut tubuhnya dari segenap penjuru! Gadis ini hanya dapat
meramkan mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut, akan tetapi
pakaiannya mulai robek-robek tidak karuan. Betapa hancur hati Bu Sin
menyaksikan gadis yang merampas kasih sayangnya itu mengalami siksaan
itu. Namun apa dayanya? Ia sendiri juga tidak terlepas daripada siksaan
cambuk-cambuk rambut yang halus dan harum itu, tetapi yang melecut
dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan sedikit saja ia mengurangi
pengerahan sin-kang, kulitnya tentu akan robek-robek pula.
“Bocah she Liu, bersiaplah untuk mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.
“Siang-mou Sin-ni, aku tidak takut mampus! Akan tetapi, sekali kau
berani mengganggu kami, ayah pasti akan mencarimu dan mencabuti semua
urat dari dalam tubuhmu!”
“Hi-hi-hik, siapa takut terhadap Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja datang, kubikin mampus sekalian!”
Gugup sekali hati Bu Sin sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek
kulitnya karena saking gugup dan bingung melihat gadis yang dicintanya
terancam, pengerahan tenaganya mengendur. “Siang-mou Sin-ni, kalau kau
berani mengganggu dia, kakakku Suling Emas tentu akan menghancurkan
kepalamu!”
Siang-mou Sin-ni mendengus, “Huh, siapa takut Suling
Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh sekarang juga bocah she Liu kekasihmu
ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis betina itu mengangkat tangan
kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.
Akan tetapi tiba-tiba
ia menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini
tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya
ada orang yang tadi menariknya ke atas dengan cara mencengkeram
rambut-rambutnya, dan kini orang telah mengikatkan ujung rambutnya pada
batang pohon yang tinggi di atasnya! Ketika ia melirik ke atas dengan
heran, ternyata yang melakukan perbuatan ini bukan lain adalah....
Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni hendak melepaskan diri, akan
tetapi tiba-tiba berkelebat sinar kuning dan punggungnya telah
tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!
“Siang-mou Sin-ni, di mana-mana kau hanya membikin onar!” seru Suling
Emas dengan suara dingin dan marah ketika ia melirik ke arah Liu Hwee
yang kini berlutut di tanah dengan muka merah sambil berusaha menutupi
tubuhnya yang setengah telanjang, dan Bu Sin yang juga robek-robek
pakaiannya, bahkan mandi darah oleh lecutan-lecutan tadi.
“Twako....!” seru Bu Sin dengan girang sekali.
Suling Emas tidak dapat menjawab karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni
sudah memaki-makinya. “Suling Emas, kau pengecut hina-dina! Kau
menyerangku dengan cara pengecut! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding
sampai selaksa jurus! Cih, kau laki-laki apa? Pengecut tak tahu malu!”
Akan tetapi Suling Emas tidak melayaninya, bahkan tangannya meraih
dan.... seketika pakaian luar Siang-mou Sin-ni terlepas dari tubuhnya,
membuat iblis betina ini menjadi setengah telanjang karena yang
menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!
“Heee, setan
neraka! Mau apa kau dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus
dan ragu-ragu, “Suling Emas.... kalau kau.... suka kepadaku, kenapa
tidak menanti sampai kita berdua saja....? Mau apa kau melepaskan
pakaianku!”
“Huh, perempuan hina!” Suling Emas mendengus marah,
lalu melompat dari atas pohon, menyerahkan pakaian itu kepada Bu Sin
sambil berkata, “Kauberikan ini kepada Bibi Kecil Liu Hwee, kemudian
kau bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”
Bu Sin menerima pakaian
itu lalu menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah yang
memegang kesopanan, ia membuang muka tidak mau memandang Liu Hwee yang
setengah telanjang itu, menyodorkan pakaian sambil berkata.
“Hwee-moi, cepat pakailah ini!”
Dengan cepat dan lega hati Liu Hwee lalu menyambar pakaian itu dan
sebentar saja ia sudah memakai pakaian Siang-mou Sin-ni yang serba
hitam. Untung baginya, bentuk tubuh iblis betina itu ramping dan sama
dengan tubuhnya sehingga pakaian itu pas betul.
“Bu Song, kaubunuh saja perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling Emas.
“Hi-hik, kau yang pengecut tak tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian akan kubunuh mampus semua!”
“Bibi Kecil Liu Hwee, harap kau dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat
kembali ke Nan-cao. Iblis ini biar aku yang menghadapinya. Setelah aku
dapat menolong Lin Lin, tentu aku akan kembali ke Nan-cao pula. Eh, Bu
Sin, di mana adanya Sian Eng? Kenapa tidak bersamamu?”
Dengan
kening berkerut Bu Sin menceritakan pengalamannya di dalam terowongan
rahasia, betapa mereka menjadi tawanan Hek-giam-lo kemudian betapa Siang
Eng dibawa lari oleh Suma Boan dan dia sendiri diculik Siang-mou
Sin-ni.
“Hemmm, sudahlah. Agaknya kali ini aku takkan bisa
mengampunkannya lagi!” kata Suling Emas dengan suara gemas. “Kalian
lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku di sana. Terlalu banyak orang
jahat memusuhi kita dan tak mungkin dapat membagi diri untuk mengamati
kalian. Aku pasti akan dapat mencari Sian Eng, Lin Lin, dan membawa
kembali tongkat Beng-kauw.”
“Paman Guru Kauw Bian Cinjin juga
sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali tongkat pusaka,”
kata Liu Hwee menerangkan.
Suling Emas mengangguk-angguk,
“Bagus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan. Sekarang kalian
lekaslah kembali ke Nan-cao.”
Liu Hwee dan Bu Sin tidak
membantah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee
berhenti dan berkata.
“Bu Sin koko, cukup jauh kita berlari. Mari sekarang kita kembali.”
Bu Sin memandang heran. “Hwee-moi, apa maksudmu?”
Gadis itu tersenyum dan dunia ini serasa lebih cemerlang dan indah bagi
Bu Sin. Semenjak jaman purba sampai jaman sekarang, senyum seorang
gadis selalu mendatangkan keajaiban bagi pria yang mencintanya,
keajaiban yang indah, seindah bunga mekar tersiram embun di waktu pagi,
atau matahari mengintai di ufuk timur mengusir kemuraman subuh. Untuk
senyum inilah seorang yang mabuk cinta siap sedia mengorbankan apa saja!
“Koko, betulkah hatimu rela begitu saja kalau kita berdua kembali ke
Nan-cao sedangkan tugas sedemikian banyaknya yang harus diurus oleh
kakakmu? Kedua orang adikmu terancam bahaya, tongkat pusaka terampas
musuh, bagaimana mungkin kita pulang begitu saja tanpa memberi bantuan
sedikit pun juga?”
“Cocok dengan isi hatiku, Moi-moi. Aku pun
merasa tidak enak sekali kalau harus pergi begitu saja berpeluk tangan,
bukanlah sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi
Song-twako yang memerintah, bagaimana aku dapat membantah?”
Kembali Liu Hwee tersenyum. “Kakakmu itu memang lihai sekali, agaknya
dengan orang seperti dia turun tangan, semua urusan pasti akan beres.
Akan tetapi, aku sama sekali tidak setuju kalau harus tinggal diam
saja. Tadi pun aku hendak membantahnya, akan tetapi tidak baik di depan
iblis betina itu kalau kita saling bantah. Karena itu aku tadi diam
saja. Sekarang, mari kita kembali dan mengambil jalan kita sendiri,
mencari kedua orang adikmu. Biarlah kita berlumba dengan Suling Emas!”
Gembira sekali hati Bu Sin, kegembiraan bertumpuk-tumpuk karena tidak
saja ia gembira dapat membantu untuk menolong kedua orang adiknya, juga
ia senang sekali dapat melakukan perjalanan ini bersama Liu Hwee, dapat
sama-sama menempuh bahaya!
“Bagus! Mari kita berangkat, Moi-moi!”
Mereka kini berlari ke arah timur, akan tetapi belum lama mereka berlari kembali Liu Hwee berhenti.
“Perempuan tadi, dia.... dia agaknya amat mencintamu, Koko!”
“Huh, iblis betina itu!” Bu Sin mendengus, mukanya berubah merah sekali.
“Tadi.... tapi dia cantik sekali, Sin-ko, dan di dunia ini, entah
berapa banyaknya pria yang tergila-gila dan jatuh hati kepadanya.”
“Uhhh, kecantikan iblis seperti keindahan warna kulit seekor ular
beracun. Sudahlah, kita tak perlu bicara tentang dia, aku jijik kalau
mengingat dia!” kata Bu Sin.
Liu Hwee tersenyum. “Syukurlah
kalau begitu. Aku sudah khawatir sekali. Sin-ko, di dunia ini hanya ada
dua orang wanita yang benar-benar hebat dan sukar dapat dilawan oleh
laki-laki yang bagaimana gagah pun. Pertama adalah mendiang enci Lu
Sian, ke dua adalah Coa Kim Bwee atau Siang-mou Sin-ni itulah. Senjata
mereka yang paling mengerikan adalah kecantikan mereka.”
“Kurasa
terdapat perbedaan besar antara encimu yang menjadi ibu kandung Bu Song
twako itu dengan iblis betina Siang-mou Sin-ni. Hwee-moi, mari kita
lanjutkan perjalanan dan kalau boleh, aku ingin sekali mendengar
penuturanmu tentang riwayat hidup mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian
yang hebat itu.”
Liu Hwee tersenyum lalu menggerakkan kaki, dan
mereka berdua kini melanjutkan perjalanan biasa. Liu Hwee mulai
menuturkan riwayat mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang luar biasa
dan hebat, akan tetapi yang hanya diketahui sebagian saja oleh Liu Hwee
(riwayat ini dituturkan dengan jelas dalam cerita SULING EMAS).
Sementara itu, setelah kedua orang muda itu pergi, Suling Emas lalu
menggunakan sulingnya membebaskan totokannya pada tubuh Siang-mou
Sin-ni. Setelah jalan darahnya bebas, dengan mudah saja wanita itu dapat
melepaskan diri dari atas cabang pohon di mana rambutnya yang panjang
tadi diikatkan oleh Suling Emas. Dapat dibayangkan betapa hebat
kemarahan wanita ini yang sekarang berdiri di depan Suling Emas hanya
dengan pakaian dalam yang serba ringkas, pendek, dan terbuat daripada
sutera merah! Kalau saja sepasang matanya tidak menyala-nyala liar,
mukanya tidak membayangkan kemarahan yang tak dapat dikendalikannya
lagi, agaknya Siang-mou Sin-ni akan kelihatan amat menggairahkan dalam
pakaian seperti itu dan rambut yang hitam panjang riap-riapan membantu
pakaian dalam yang kurang cukup menutupi bagian-bagian tubuhnya itu.
“Keparat....! Jahanam....! Kau.... kau.... terlalu menghinaku.... kau
harus mampus....!” Kata-katanya sukar sekali keluar di antara dengus
napasnya yang panas, kedua kakinya bergerak maju perlahan-lahan, kedua
tangannya berkembang, jari-jari tangannya seperti kuku harimau hendak
mencengkeram, ujung rambutnya yang terlalu panjang terseret di atas
tanah.
Suling Emas mengerutkan keningnya dan melangkah mundur.
“Siang-mou Sin-ni, ingat! Kini belum waktunya kita mengadu kepandaian
untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tunggu nanti tiba saatnya di
puncak Thai-san, aku akan mewakili mendiang ibu kandungku. Kita lihat
siapa yang lebih kuat.”
“Tidak peduli! Kau harus mampus sekarang juga. Kau terlalu menghinaku!”
“Hemmm, kau sombong. Dengan apa kau hendak membunuhku? Dengan
rambutmu? Ataukah dengan alat khim yang kaucuri dari Bu Kek Siansu? Ah,
tidak akan ada gunanya, Siang-mou Sin-ni. Lebih baik kau bertapa lagi
memperdalam ilmumu, agar kelak di puncak Thai-san kau dapat melayaniku
sedikitnya seratus jurus!”
“Suling Emas, kaulah yang sombong! Kaukira aku tidak memiliki ilmu untuk membunuhmu? Nah, kauterimalah ini!”
Tiba-tiba sekali wanita itu membuka mulutnya dan sinar merah yang
panjang kecil bagaikan seekor ular merah menyambar dari dalam mulut itu
ke arah Suling Emas. Pendekar ini terkejut juga, tidak mengira bahwa
wanita iblis ini memiliki kepandaian seaneh ini yang selamanya belum
pernah ia lihat atau dengar. Cepat ia miringkan kepala, tidak berani
menyambut benda yang menyambar ke arah mukanya itu. Benda itu menyambar
lewat kepalanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba
pandang matanya berkunang dan napasnya menjadi sesak. Kiranya benda
berupa sinar merah itu adalah darah. Darah hidup! Darah yang mempunyai
pengaruh hebat sekali, yang membuatnya tiba-tiba menjadi pening. Sebelum
Suling Emas dapat mengusir kepeningannya, tiba-tiba angin bertiup dari
depan, alat musik khim sudah menghantam ke arah kepalanya dibarengi
suara kekeh tertawa yang seram.
“Aiiihhhhh....!” Suling Emas
mengumpulkan semangat, menjatuhkan diri ke kiri sehingga sambaran alat
khim itu tidak mengenai dirinya, akan tetapi pada saat itu, selagi ia
masih nanar, tahu-tahu tubuhnya sudah terlibat oleh rambut yang amat
kuat, yang melihat kaki tangan dan lehernya bagaikan puluhan ekor ular
yang mengeroyoknya!
Suling Emas maklum bahwa nyawanya berada
dalam bahaya maut. Cepat ia mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya dan
seketika lenyaplah kepeningan kepalanya. Dengan gerakan menggoyang
tubuh sambil mengembangkan tangan kaki. Terdengar Siang-mou Sin-ni
memekik penuh kekecewaan melihat calon korbannya dapat terlepas begitu
cepatnya. Di lain saat Suling Emas sudah memegang suling dan kipasnya.
“Iblis betina, kiranya kau mempunyai ilmu setan yang jahat. Akan tetapi
jangan harap kau dapat mengakali aku lagi. Hayo majulah!”
Dengan sikap tenang penuh wibawa Suling Emas berdiri tegak dengan
sepasang senjatanya yang amat terkenal itu di kedua tangan, matanya
menatap tajam. Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, maklum bahwa ilmunya
Tok-hiat-hoat-lek masih belum cukup kuat untuk merobohkan Suling Emas,
namun ia merasa gembira sekali karena biarpun ilmunya belum matang
betul, namun ia tadi sudah hampir dapat mengalahkan Suling Emas.
Andaikata ilmunya sudah matang, tentu tidak semudah itu Suling Emas
menyadarkan diri dan sudah mampus di tangannya. Ia tertawa dan sekali
berkelebat tubuhnya mencelat jauh pergi dari tempat itu. Suara ketawanya
masih terdengar jelas seperti suara kuntilanak, disusul kata-katanya
mengejek, “Suling Emas, kautunggu saja, di puncak Thai-san aku takkan
gagal lagi seperti tadi!”
Sejenak Suling Emas termenung. Ia
teringat betapa dahsyat ilmu yang dipergunakan Siang-mou Sin-ni tadi.
Hampir saja ia menjadi korban. Kalau tadi ia tidak lekas-lekas dapat
menguasai dirinya dan melenyapkan kepeningannya, tentu ia sudah menjadi
korban. Diam-diam ia bergidik. Ilmu semburan darah segar tadi
benar-benar mengerikan dan kelak ia harus berlaku hati-hati sekali
apabila berhadapan dengan iblis betina itu.
***
Dengan
amat tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga
belas helai kertas tipis yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka
Beng-kauw itu. Memang segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan. Ketika
masih hidup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas
jurus ilmu silat sakti ini yang merupakan inti sari daripada isi tiga
buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih jurus-jurus yang dapat
mengatasi isi kitab itu, karena ketika menciptakan ilmu ini, Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk menurunkannya kepada Beng-kauw
untuk menghadapi puterinya yang murtad. Dengan demikian, ilmu ini ia
tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biarpun sudah lama tongkat
pusaka yang dijadikan tempat penyimpanan wasiat ini berada di tangan
Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan
oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja
sama sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya.
Bukankah ini jodoh namanya?
Karena ia termasuk seorang anak yang
cerdas, Lin Lin segera dapat menghafal wasiat ini di luar kepala, dan
ia dapat menduga bahwa ilmu mujijat ini tak boleh sekali-kali diketahui
orang lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu selama lima belas hari
di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis
itu dan menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.
“He, apakah
itu?” bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin
Lin. Betapapun juga, iblis hitam ini merasa curiga karena selama
setengah bulan ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak pernah
memperdengarkan protes atau memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba
gadis itu keluar dan menebarkan potongan-potongan kertas banyak sekali
ke sungai.
Akan tetapi ia terlambat mencegah atau memeriksa
karena potongan-potongan kertas yang amat kecil-kecil itu sudah
melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang melayang
lalu hingap di atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya
berkelebat dan bagaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke
permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya,
tubuh itu membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas
berada di tangannya.
Diam-diam Lin Lin kagum bukan main.
Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat sekali.
Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono, biarpun sudah memiliki
hafalan ilmu mujijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka
Beng-kauw. Dengan sepasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang
Hek-giam-lo yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu. Lin Lin
tadi sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek
itu hanya merupakan potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf
di tiap potongan kertas, akan tetapi apa artinya? Dan untuk dapat
mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta memasangnya kembali
seperti semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!
“Apa ini....?” Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan ingin tahu sekali.
“Kenapa kau tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang
terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa
tidak bisa menduga apa adanya surat yang kurobek-robek menjadi
potongan-potongan kecil itu?” Suara Lin Lin mengejek dan mempermainkan
karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul kembali kejenakaan dan
kelincahannya.
“Tuan Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah
diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri dan membawa Paduka
sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri harus
hamba jaga teliti dan tidak boleh sekali ada rahasia. Surat apakah,
tadi?”
Lin Lin tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan.
“Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak dapat menduga?
Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi tahu.
Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari.... kekasihku. Nah,
puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!” Lin Lin
bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo
mendongkol juga.
“Paduka maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?”
Lin Lin menghela napas panjang dan seketika ia menghampiri pinggir
perahu dan pandang matanya mencari-cari ke tepi pantai. Disebutnya nama
pemuda itu mengingatkan ia akan penderitaan Bok Liong yang mati-matian
membelanya.
“Bukan, bukan dia. Liong-twako adalah seorang yang
amat baik, gagah perkasa dan ia amat mencintaku. Akan tetapi bukan
dia....” Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi hatinya
berbisik, “Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia orang yang
kucinta....”
“Kau mencari dia?” kini suara Hek-giam-lo yang
penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut sekali. Selama setengah bulan ia
bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana jadinya dengan Bok Liong?
Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan dibunuh oleh
Hek-giam-lo.
“Di mana dia? Kauapakan Lie Bok Liong twako?” bentaknya dengan mata terbuka lebar.
“Paduka cukup cerdik, mengapa tidak menduga sendiri?” Kini Hek-giam-lo yang mengejeknya.
Lin Lin membanting-banting kakinya. “Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang
iblis yang tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan di dunia
ini, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau terlalu sombong untuk bersikap
pengecut dan membohong terhadap seorang gadis cilik macam aku! Nah,
apakah kau telah membunuh Lie Bok Liong?”
Hek-giam-lo
menggeleng kepalanya. “Orang macam dia, perlu apa aku membunuhnya? Dia
sudah mau mampus dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya,
pelukis sinting itu tidak datang dan membawanya pergi.”
Berseri wajah Lin Lin. “Apa kaubilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya? Mengapa dia tidak membunuhmu?”
Hek-giam-lo mendengus marah. “Badut tolol itu mana berani? Dia datang membawa pergi muridnya, tergesa-gesa dan ketakutan.”
“Kau bohong, aku tidak percaya!”
Hek-giam-lo hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan
Lin Lin ke kepala perahu. Lin Lin menoleh ke sana ke mari, akan tetapi
pandang mata para anak buah perahu yang mentertawakannya membuat ia
gemas dan dengan marah ia kembali memasuki bilik perahu. Hatinya panas
dan ingin ia memberontak dan pergi dari perahu. Akan tetapi ia tidak
bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih masak-masak, pula di
atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali perahu
digulingkan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan
pula. Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.
Dengan
makin tekun Lin Lin mulai melatih diri, siang malam ia melatih diri.
Bukan main girang hatinya ketika pada setiap gerakan pukulan, terasa ada
angin pukulan yang antep dan dahsyat menyambar keluar dari tangannya
yang terbuka. Dinding bilik perahu sampai berguncang dan hal inilah yang
membuat Hek-giam-lo menjadi curiga sekali dan malam itu, menjelang
subuh, mendadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan menerobos masuk.
Baiknya ketika itu Lin Lin sudah melatih jurus yang ke sembilan. Jurus
ini dilakukan dengan duduk, merupakan pukulan jarak jauh yang dilakukan
sambil duduk. Pukulan kedua tangan itu merupakan gerakan lingkaran
sehingga angin pukulannya memutari tubuhnya dapat menghantam lawan yang
berada di manapun juga tanpa mengubah kedudukan tubuh yang duduk. Untuk
melatih jurus ini, Lin Lin duduk di atas pembaringannya, maka ketika
tiba-tiba pintu biliknya terbuka, ia tidak menjadi gugup, melainkan
menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap seperti orang bersamadhi,
sikap yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat tinggi apalagi
waktu menjelang subuh adalah waktu terbaik untuk bersamadhi.
Melihat “tuan puteri” itu duduk bersamadhi, sama sekali tidak bergerak,
Hek-giam-lo tidak berani mengganggu. Akan tetapi getaran-getaran pada
dinding bilik sekarang berhenti. Makin curigalah iblis itu. Ia menutup
pintu bilik dan melompat keluar, menyelidik di sekeliling perahu,
bahkan ia menyelidiki ke darat. Akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu.
Kecurigaan Hek-giam-lo ini yang mengganggu latihan Lin Lin. Pada
keesokan harinya, secara mendadak Hek-giam-lo menghentikan perahu, lalu
mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan ke utara melalui
darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga, tidak hanya pada diri Lin Lin,
melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai yang hendak merampas Lin
Lin dan tongkat pusaka Beng-kauw daripadanya. Hal ini mungkin saja,
apalagi setelah muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari
pantai.
“Aku tidak mau melakukan perjalanan di darat!” Lin Lin
membentak marah. “Lebih enak melalui air, tidak lelah dan dapat tidur
nyenyak!”
“Tidak bisa, Tuan Puteri. Air sungai ini akan membawa
kita ke laut, sedangkan Khitan letaknya bukan di laut. Kita harus
mendarat sekarang juga. Jangan khawatir, untuk Paduka, hamba akan
menyediakan seekor kuda yang baik.”
Tentu saja keberanian yang
diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya ia ingin
melakukan perjalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya.
Dengan perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah
pengawasan Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk
berlatih.
Namun Lin Lin cukup cerdik untuk membantah terus
karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan. Selain itu, biarpun ia
kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah kesempatan
baginya untuk melarikan diri, sungguhpun ia takkan sembrono melakukan
hal ini kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.
Kesempatan
ini tak pernah ia dapatkan karena Hek-giam-lo selalu mengawalnya
sendiri dengan hati-hati dan teliti sekali. Ia diberi seekor kuda
pilihan yang baik sedangkan Hek-giam-lo berjalan cepat di belakangnya.
Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan kudanya itu akan percuma, tidak
saja di situ terdapat banyak kuda-kuda yang cepat, akan tetapi juga
orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat ditinggal lari di atas
kuda. Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan sia-sia belaka dan
akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang baik. Kini
biarpun ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan
Hek-giam-lo sendiri, selalu bersikap menghormat. Ia selalu diberi
hidangan yang lezat dan selalu diperhatikan keperluannya.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu sore, tibalah mereka di perbatasan
yang menjadi wilayah bangsa Khitan. Suku bangsa Khitan adalah bangsa
perantauan di sebelah utara, sering kali berpindah wilayah sesuai dengan
keadaan dan musim. Mereka terkenal sebagai bangsa yang gagah berani
dan pandai menunggang kuda, pandai melakukan perang.
Hek-giam-lo menghentikan rombongannya dan menyuruh orang-orangnya
mendirikan kemah di tempat itu, yaitu di sebuah padang rumput yang
luas. Ia sendiri lalu menunggang kuda untuk mengabarkan kepada rajanya
tentang kedatangan Puteri Yalina! Pada waktu itu, karena tekun
mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin sudah pandai
berbahasa Khitan. Memang ada hubungan darah, maka bahasa ini baginya
amat mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo dan
terbukalah kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggaikan
rombongan itu!
Akan tetapi pada saat Hek-giam-lo pergi,
datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata adalah dayang-dayang
yang serta-merta melayaninya. Mereka ini terdiri dari selosin orang
wanita muda yang cantik, mereka datang membawa makanan asing yang enak,
membawa pakaian-pakaian indah dan perhiasan untuk Sang Puteri Yalina,
calon permaisuri!
Memang watak Lin Lin nakal dan ingin sekali
ia mencoba pakaian itu. Maka ketika ia didandani, ia menurut saja.
Akhirnya ia tertawa sendiri cekikikan ketika melihat bayangannya di
cermin. Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang pakaiannya
aneh beraneka warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat daripada
emas penuh batu permata!
“Pantaskah aku memakai ini?” tanyanya
dalam bhhasa Khitan kepada para dayang yang tertawa-tawa gembira
melihat puteri itu cekikikan di depan cermin.
Mereka serentak
menjatuhkan diri berlutut dan menghujani Lin Lim dengan pelbagai pujian.
Lin Lin merasa bangga sekali. Alangkah senangnya menjadi ratu,
pikirnya. Dilayani, dihormati, dan menjadi orang terpenting di antara
bangsa yang mempunyai laki-laki gagah dan wanita cantik ini. Akan tetapi
ketika ia teringat bahwa ia akan dijadikan permaisuri oleh paman
tirinya sendiri, yang bernama Kubakan dan sekarang menjadi Raja Khitan,
ia bergidik dan cepat-cepat ia melepaskan pakaian asing itu, mengenakan
pakaian sendiri. Ia tidak mempedulikan protes para dayang itu, bahkan
lalu meloncat keluar dari perkemahan dengan maksud hendak lari.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selosin orang dayang yang muda-muda
dan cantik itu tiba-tiba mengejar dan mengurungnya dengan pedang di
tangan. Mereka ternyata bukanlah dayang biasa, melainkan gadis-gadis
yang terlatih baik dan kini mereka membentuk barisan pedang yang
mengurung Lin Lin dengan gerakan yang cekatan dan sigap.
“Harap
Tuan Puteri jangan pergi meninggalkan perkemahan ini. Hamba semua telah
menerima perintah Sri Baginda untuk menjaga Paduka, Lo-ciangkun
(Panglima Tua) tadi memesan bahwa kalau perlu hamba semua harus
mempergunakan kekerasan mencegah Paduka pergi.” Kata seorang di antara
mereka.
“Perempuan rendah! Bukankah aku ini ratumu? Berani kau menghalangi kehendakku?” gertak Lin Lin dengan marah.
“Ampun, Tuan Puteri. Paduka adalah calon ratu dan hamba sekalian tentu
saja mentaati semua perintah Paduka. Akan tetapi lebih dulu hamba harus
mentaati Sri Baginda, kemudian Lo-ciangkun, baru Paduka.”
“Kalian berani? Hemmm, agaknya sudah bosan hidup. Majulah!” tantang Lin
Lin, akan tetapi selosin dayang itu tidak bergerak, hanya tetap
mengurung.
“Mana hamba berani menyerang Paduka? Hanya kalau Paduka hendak melarikan diri, terpaksa hamba sekalian harus mencegah.”
“Oh, begitukah? Nah, aku mau pergi, hendak kulihat kalian bisa berbuat
apa!” Sambil berkata demikian Lin Lin meloncat ke kiri menerjang dua
orang dayang yang menjaga di situ. Akan telapi dengan gerakan cepat
sekali mereka menggerakkan pedang, merupakan dinding pedang yang
menghalangi perginya. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa dua belas
orang dayang ini merupakan tenaga-tenaga terlatih baik dan agaknya
mereka betul-betul akan menyerangnya kalau ia bersikeras melarikan diri
dari tempat itu. Dan pada saat itu, sudah datang pula para orang Khitan
berlari-lari, jumlah mereka lebih dari dua puluh orang!
Bangkit
kemarahan di hati Lin Lin. Sebetulnya ia tidak mempunyai rasa benci
kepada orang-orang Khitan karena setelah ia menjadi tawanan Hek-giam-lo
beberapa lamanya, ia mendapat kesan yang amat baik terhadap orang-orang
Khitan. Mereka adalah orang-orang yang berani, jujur, dan amat setia.
Mereka hanya melakukan perintah atasan mereka dan semua tugas mereka
jalankan dengan taruhan nyawa.
“He, dengarlah kalian semua!”
serunya sambil mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tongkat
Beng-kauw berada di tangan kirinya. “Aku Puteri Yalina amat suka
kepada bangsaku, akan tetapi aku benci kepada paman tiriku Kubakan yang
menjadi raja lalim dan hendak memperisteri aku, keponakannya sendiri!
Aku juga benci kepada Lo-ciangkun Hek-giam-lo yang kejam! Dengarlah,
aku bersedia menjadi ratu kalian kalau kedua orang itu sudah tidak ada.
Demi arwah ibuku, Puteri Tayami yang gagah perkasa, dan demi arwah
kakekku, Raja Kulukan yang bijaksana, aku suka menjadi Ratu Khitan
asalkan kedua orang jahat itu sudah tewas! Sekarang, terserah kepada
kalian, adakah yang masih hendak menangkap aku? Boleh maju!”
Beberapa orang dayang dan beberapa orang penjaga ketika menyaksikan Lin
Lin berdiri sambil mengucapkan kata-kata ini penuh wibawa, serta-merta
menjatuhkan diri berlutut. Bahkan disebutnya nama-nama mendiang Kulukan
dan Tayami membuat beberapa orang dayang menangis.
“Hamba setia kepada Puteri Yalina!” teriakan-teriakan ini terdengar riuh-rendah.
Akan tetapi tidak semua dayang dan tidak semua penjaga berlutut dan
menyatakan setianya, bahkan sebagian besar merasa lebih taat kepada
Raja Kubakan dan lebih takut kepada Hek-giam-lo. Jumlah mereka yang
menentang Lin Lin ini ada dua pertiga bagian dan kini sembilan orang
dayang menerjang maju dengan pedang-pedang mereka menyerang Lin Lin!
“Trang-cring-tranggggg....!” Terdengar jerit kesakitan dan
pedang-pedang beterbangan ketika Lin Lin menggerakkan pedang dan tongkat
Ceng-kauw, diputar untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sin-kang.
Tidak hanya pedang sembilan orang dayang itu runtuh beterbangan, juga
sebagian ada yang terguling roboh karena hebatnya tenaga tangkisan Lin
Lin, sebagian meloncat mundur dengan muka pucat. Lin Lin sendiri
terheran-heran. Bagaimana tangkisannya bisa begitu hebat? Sama sekali ia
tidak menduga bahwa semua ini adalah berkat ilmu baru yang
didapatkannya, yaitu ilmu dari lembaran-lembaran rahasia di dalam
tongkat Beng-kauw.
Namun sembilan orang dayang itu, seperti
juga para petugas lain, amat setia kepada tugasnya. Biarpun pedang
mereka sudah hilang dan mereka semua maklum bahwa tuan puteri yang
mereka harus cegah perginya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi daripada mereka, mereka tidak mundur dan kini dengan tangan
kesong mereka menubruk maju dengan maksud menangkap Lin Lin.
Lin Lin tidak tega untuk menggunakan senjata menghadapi mereka, maka ia
cepat menyimpan pedangnya yang tadi membuat banyak orang Khitan
berlutut karena pedang itu adalah Pedang Besi Kuning yang dahulu menjadi
pusaka keramat Kerajaan Khitan, kemudian dengan dorongan tangan
kanannya ia menerima serangan para dayang itu.
“Wuuuttttt....!”
Dari tangan kanan Lin Lin menyambar angin pukulan dahsyat karena gadis
ini sudah menggunakan tenaga dari ilmunya yang baru yang pernah
dilatihnya dalam perahu dan yang angin pukulannya menggetarkan dinding
sehingga pernah Hek-giam-lo menjadi curiga.
Hebat akibatnya.
Sembilan orang dayang itu seperti daun-daun kering tertup angin,
mereka terlempar dan menjerit kesakitan. Ketika mereka terbanting
roboh, hanya enam orang saja yang mampu merangkak bangun dengan muka
pucat dan lemah, sedangkan yang tiga orang lagi, yang paling depan, tak
dapat bangun lagi karena mereka telah tewas dengan mulut, hidung dan
telinga mengeluarkan darah!
Alangkah kagetnya hati Lin Lin. Ia
sampai berdiri melongo dan tercengang, hatinya dipenuhi rasa menyesal
dan rasa girang. Ia menyesal karena tanpa ia sengaja ia telah melukai
para dayang, bahkan membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi
juga girang karena mendapat kenyataan bahwa ilmu mujijat yang ia dapat
dari dalam tongkat Beng-kauw itu ternyata merupakan ilmu yang ampuh!
Hatinya menjadi besar sekali dan ia kini menghadapi para penjaga yang
belasan orang banyaknya itu dengan bentakan nyaring.
“Yang
berani kurang ajar terhadapku sudah terhukum! Mundur kalian semua, kalau
tidak, calon ratumu akan turun tangan besi. Aku sayang kepada mereka
yang taat, akan tetapi aku harus membasmi mereka yang mencoba menahan
kepergianku!”
Sejenak para perajurit Khitan itu tertegun.
Mereka terheran-heran melihat betapa gadis ini yang tadinya, biarpun
cukup lihai, namun masih dapat mereka atasi, kini mendadak memiliki ilmu
pukulan yang demikian dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat yang
mengerti akan ilmu silat tinggi, belasan orang Khitan itu mengenal ilmu
pukulan dahsyat, maka diam-diam mereka menyesal sekali mengapa
Hek-giam-lo sudah pergi dari situ. Biarpun mereka dapat mengandalkan
tenaga banyak teman, namun dengan ilmu pukulan sakti seperti itu,
agaknya sukar mencegah gadis ini melarikan diri. Mereka tidak takut
terhadap Lin Lin biarpun gadis itu memiliki ilmu dahsyat, mereka jauh
lebih takut dan ngeri kalau sampai gadis ini lenyap, takut akan
kemarahan dan hukuman yang akan dijatuhkan Hek-giam-lo terhadap
mereka!
“Tuan Puteri, hamba sekalian harus mencegah kepergian
Paduka dengan taruhan nyawa!” teriak seorang penjaga dan mereka lalu
maju mengurung Lin Lin, merupakan pagar manusia yang tak dapat dilalui
begitu saja tanpa membuka jalan berdarah!
Lin Lin menarik napas panjang. “Kalian keras kepala!”
Setelah berkata demikian, Lin Lin kembali mengayun tangan kanannya
mengirim pukulan jarak jauh. Kali ini dua orang laki-laki terguling
roboh dan beberapa orang lagi terhuyung-huyung. Akan tetapi dari kanan
kiri dan belakang mereka mendesak maju, siap untuk merobohkan Lin Lin
atau kalau mungkin menangkapnya. Kembali Lin Lin mengirim pukulan,
kini malah tongkat Beng-kauw di tangan kiri ia pergunakan untuk menyapu
kaki mereka. Ada beberapa orang lagi roboh, dan dua orang malah patah
tulang kaki mereka terbabat tongkat pusaka Beng-kauw.
“Mundur
kalian! Hemmm, apakah kalian sudah bosan hidup?” bentak Lin Lin karena
mereka demikian nekat sudah menyerbu lagi sehingga ia tidak melihat
jalan keluar. Kembali beberapa orang ia robohkan dan ia sudah
menggerakkan kaki meloncat keluar dari kepungan melalui tempat mereka
yang sudah roboh ketika tiba-tiba para pengeroyoknya terpelanting dan
terdengar suara orang mendengus marah.
Lin Lin berdiri tegak
dan memandang kepada Hek-giam-lo yang sudah berdiri di depannya!
Berdebar jantung gadis ini, akan tetapi ia sama sekali tidak takut,
malah ia menentang pandang mata Hek-giam-lo dengan pandangan menantang.
“Tuan Puteri, Sri Baginda sudah mengirim joli untuk menjemput Paduka,
kenapa Paduka membikin ribut di sini? Apa yang Paduka kehendaki?” Kini
suara Hek-giam-lo malah lebih hormat daripada yang sudah-sudah, agaknya
hal ini karena mereka sudah dekat dengan Raja Khitan, akan tetapi di
dalam suara ini pun terkandung kemarahan tertahan.
“Aku mau
pergi dari sini! Aku tidak sudi dijadikan isteri paman tiriku! Tua
bangka tak tahu malu dia, dan kau tidak tahu diri, hendak memaksa aku
menjadi isteri seorang kakek. Hemmm, andaikata kakekku masih hidup, atau
ibuku, kau tentu akan dihajar, Hek-giam-lo!”
Kembali iblis hitam itu mendengus. “Tangkap dia!” bentaknya kepada para pembantunya.
Karena Hek-giam-lo sudah hadir di situ, orang-orang itu menjadi lega
hatinya. Kalau sebelum iblis itu datang Lin Lin sampai terlepas dari
tangan mereka, pasti mereka akan mengalami hukuman siksa sampai mati
yang amat mengerikan, akan tetapi sekarang Hek-giam-lo berada di situ,
berarti iblis itulah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Pula, kehadiran
iblis ini membesarkan hati mereka, membuat mereka tidak takut akan
kelihaian sang puteri. Serentak mereka maju mendesak, hendak menangkap
Lin Lin.
Lin Lin kembali mengayun tangannya, kini ia tidak
hendak menyembunyikan lagi ilmunya. Terdengar Hek-giam-lo mendengus
keras dan iblis ini pun menggerakkan tangannya sehingga angin pukulan
yang dahsyat menyambar ke arah Lin Lin, bertemu dengan angin pukulan Lin
Lin. Akibatnya, Lin Lin terdorong dan terjengkang ke belakang, akan
tetapi Hek-giam-lo juga terhuyung-huyung. Hal ini membuat Hek-giam-lo
kaget setengah mati. Dari mana tiba-tiba gadis itu memiliki sin-kang
yang sedemikian hebatnya? Ia berseru keras dan melompat maju, ketika itu
Lin Lin juga sudah bangkit kembali dan memutar kedua senjatanya, yaitu
Pedang Besi Kuning dan tongkat Beng-kauw.
“Semua mundur,
biarkan aku menghadapinya!” Hek-giam-lo membentak ketika tiga orang
pembantunya dalam sekejap mata saja roboh oleh kedua senjata Lin Lin.
Kini Hek-giam-lo sendiri yang maju dan berhadapan dengan Lin Lin yang
memandangnya penuh ketabahan. Lin Lin sama sekali tidak jerih. Kalau
sebelum ia mendapatkan ilmu muiijat saja ia sama sekali tidak takut,
apalagi sekarang. Ilmu itu membuat ia laksana seekor harimau betina
mendapat sayap.
“Hek-giam-lo, kaukira aku takut kepadaku?”
katanya dan kini ia menggerakkam kedua senjatanya dengan gerakan ilmu
silat yang ia pelajari dari dalam gulungan-gulungan kertas.
Dua
sinar berkilauan menyambar, bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi
bersuitan. Hek-giam-lo terkejut dan melompat mundur, kedua lengan
bajunya bergerak ke depan untuk menangkis.
“Heh, dari mana kau mendapatkan ilmu ini?” bentaknya.
Lin Lin tidak menjawab hanya tertawa mengejek sambil menerjang maju
lagi. Sayang sekali bahwa dia kurang latihan sehingga biarpun kedua
senjatanya mengeluarkan hawa pukulan yang berdesir-desir, namun ia
belum mampu mengerahkan tenaga sepenuhnya dan gerakan-gerakannya masih
kaku. Namun tak dapat disangkal lagi bahwa terjangannya ini dahsyat
sekali sehingga diam-diam Hek-giam-lo menjadi kaget dan kagum. Tokoh
sakti ini pun mengerti bahwa jika ilmu gadis ini terlatih baik, tentu
gadis ini akan merupakan lawan yang berat dan sedikitnya setingkat
dengan kepandaiannya!
Hek-giam-lo adalah seorang yang cerdik.
Ia dapat menduga bahwa ilmu aneh ini tentu didapatkan oleh Lin Lin
selama menjadi tawanan di dalam perahu dan ia teringat akan desir angin
pukulan pada tengah malam itu di perahu. Kini ia mengerti bahwa pada
waktu itu, tentu Lin Lin yang sedang berlatih. Dari mana gadis ini
mendapatkan ilmu itu? Gadis itu tidak bertemu siapapun juga, tidak
pernah meninggalkan perahu. Tongkat itu? Tongkat pusaka Beng-kauw! Tentu
di situlah rahasia ilmu itu.
Dengan gembira karena ingin sekali
mendapatkan ilmu aneh ini yang pasti akan dapat menambah kelihaiannya,
Hek-giam-lo mempergunakan gin-kangnya menyelinap di antara sambaran
sinar senjata, lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu
sabit bergagang panjang yang amat tajam.
“Serahkan tongkat
pusaka Beng-kauw!” bentaknya sambil menyerang dengan sabitnya.
Gerakannya hebat, tenaganya mujijat sekali sehingga Lin Lin terpaksa
meloncat mundur karena silau menyaksikan kelebatan sinar senjata lawan.
Namun ia berhasil menangkis senjata lawan dengan senjatanya sendiri
yang membuatnya kembali terhuyung-huyung dan telapak tangannya terasa
sakit sekali. Namun hal ini saja sudah membuat Hek-giam-lo
terheran-heran. Hanya ahli silat kelas tinggi saja yang mampu
mempertahankan terjangannya tadi dengan akibat hanya terhuyung-huyung.
Tadinya ia memperhitungkan bahwa sedikitnya gadis itu akan melepaskan
sepasang senjatanya!
Karena penasaran kembali ia menerjang
dengan sabitnya. Dalam pertandingan, apalagi kalau menemui lawan
tangguh, Hek-giam-lo lupa segala. Karena Lin Lin dapat menangkis
terjangannya tadi membuat ia lupa dan bersemangat sehingga kini ia
menerjang dengan serangan maut tanpa mempedulikan apakah gadis calon
ratu, calon permaisuri rajanya itu akan mampu menangkisnya.
“Tranggg....!” Lin Lin kembali berhasil menangkis dengan pedangnya,
dibantu pula dengan tongkat, namun kini ia terguling. Alangkah heran
hati Hek-giam-lo karena begitu terguling, gadis itu sudah meloncat lagi,
malah kini membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah ganasnya.
Ia sampai memekik kaget dan memutar senjatanya untuk menangkis. Adapun
Lin Lin yang bangkit semangatnya karena hawa sin-kangnya kini ternyata
mampu bertahan terhadap kekuatan lawan yang tersalur dalam setiap
serangannya, kini menerjang dengan tabah dan penuh tenaga.
Namun, betapapun juga, karena ilmu barunya itu baru ia kuasai beberapa
bagian saja, sama sekali belum terlatih, mana ia mampu mengimbangi
seorang jago kawakan seperti Hek-giam-lo yang menjadi seorang di antara
Enam Iblis Dunia? Sebentar saja ia sudah sibuk sekali, hanya mampu
menangkis ke sana ke mari tanpa mampu membalas kembali.
Hek-giam-lo mendengus dan setelah sekarang Lin Lin tak dapat
menandinginya, teringatlah ia lagi bahwa gadis ini adalah calon
permaisuri raja, maka gerakan senjatanya tidak lagi merupakan ancaman
maut, melainkan kini ia berusaha menangkap gadis itu.
“Lepaskan
tongkat!” bentaknya, senjatanya menyambar ke arah dada. Lin Lin kaget
sekali karena sambaran itu cepat bukan main. Ia menangkis dengan
pedangnya dan.... pedangnya menempel pada senjata lawan, lekat tak dapat
ditarik kembali. Dengan gemas ia menggunakan tongkatnya mengemplang
kepala lawan, namun tangan kiri Hek-giam-lo menyambut tongkat itu,
menangkap dan membetot. Lin Lin tak kuasa bertahan dan terpaksa
tongkatnya berpindah tangan. Akan tetapi karena Hek-giam-lo membagi
tenaga untuk merampas tongkat, gadis itu berhasil melepaskan pedangnya.
“Kembalikan tongkat itu!” Lin Lin berseru keras sambil menusukkan
pedangnya. Akan tetapi kini Hek-giam-lo seperti tidak pedulikan dia
lagi. Senjata sabitnya ia pergunakan untuk menangkis, sedangkan matanya
memeriksa tongkat Beng-kauw, mencari rahasianya. Tiba-tiba ia teringat
akan kertas yang dirobek-robek oleh Lin Lin dan disebar di sungai. Ia
menggeram keras dan membentak.
“Kertas yang kau robek-robek
dahulu itu.... surat rahasia apakah itu?” suaranya terdengar penuh
kemarahan dan kini ia hanya menyebut Lin Lin dengan “kau” saja.
“Peduli apa kau?” Lin Lin balas membentak sambil menyerang lagi. Akan
tetapi sebuah tangkisan membuat ia terhuyung ke belakang. Kini
Hek-giam-lo yang mendesak maju.
“Serahkan rahasia tongkat Beng-kauw kepadaku!”
“Rahasia apa?” Lin Lin menjawab, kaget.
“Rahasia ilmu yang kau pelajari. Cepat!”
“Tidak.... tidak ada....!” Lin Lin gugup karena rahasianya diketahui.
“Jangan bohong! Aku perlu sekali ilmu itu, berikan!” Hek-giam-lo
mendesak dan menerjang dengan sabitnya. Serangan ini kuat sekali
sehingga ketika Lin Lin menangkis, pedangnya terlepas dari pegangan
tangannya dan mencelat.
“Ho-ho-ho, Bayisan, aku bisa membiarkan
kau merajalela di dunia akan tetapi kalau kau mengganggu puteri dari
Tayami, aku yang akan menghalangimu!” Tiba-tiba terdengar suara orang
dan Pedang Besi Kuning yang mencelat dari tangan Lin Lin tadi telah
disambar dan berada di tangan orang ini. Ketika semua orang memandang,
kiranya yang datang adalah seorang laki-laki tua berkepala botak,
bertubuh pendek gemuk, kakinya tidak bersepatu, jenggotnya panjang
sampai ke dada.
“Kim-lun Seng-jin....!” Lin Lin berseru girang
sekali melihat munculnya kakek ini. Kim-lun Seng-jin mengedip-ngedipkan
matanya kepada Lin Lin dengan cara yang lucu, kemudian mengangsurkan
Pedang Besi Kuning.
“Anak baik, Tuan Puteri Yalina yang mulia,
kauterimalah pedang ini. Pedang ini memang hakmu. Lekas kau pergi dari
sini, belum saatnya kau kembali kepada bangsamu. Biar aku yang
menandingi Bayisan yang dahulu mengganggu ibumu dan sekarang hendak
mengganggumu lagi.”
“Kakek yang baik, terima kasih,” kata Lin
Lin sambil menerima pedangnya. “Tapi aku tidak mau pergi, aku mau
membantumu menghadapi iblis tengkorak ini.”
“Heh-heh-heh, bukan
saatnya. Ilmumu tadi memang aneh, mujijat dan hebat, akan tetapi masih
mentah, kurang terlatih. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Kim-lun
Seng-jin menendang dan.... karena tidak menyangka-nyangka, tubuh
belakang Lin Lin kena ditendang, membuat tubuh gadis itu terlempar dan
melayang jauh! Anehnya, Lin Lin tidak merasa sakit dan tahulah ia bahwa
kakek itu tidak main-main, melainkan melihat bahwa perlu sekali ia
segera melarikan diri. Karena tadinya memang ingin membebaskan diri
dari tangan orang-orang Khitan, Lin Lin lalu lari secepatnya sambil
berseru.
“Kakek botak, terima kasih! Kelak kalau aku menjadi ratu, kau kuangkat menjadi Koksu (Guru Negara)!”
“Heh-he-he! He, Bayisan, tak boleh kau mengejarnya. Akulah lawanmu, tua
sama tua, heh-heh!” kata Kim-lun Seng-jin sambil menerjang maju ketika
melihat betapa Tengkorak Hitam itu sudah menggerakkan kaki hendak
mengejar Lin Lin. Terjangan kakek botak itu hebat sekali karena ia telah
mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang roda emas yang
gemilang dan berputar-putar di tangannya.
Hek-giam-lo mendengus dan meloncat ke kiri menghindarkan diri, lalu berkata nyaring.
“Kim-lun Seng-jin, kau orang buangan dari Khitan, pengkhianat dan orang
yang tak tahu malu. Raja sendiri sudah tidak mengakui kau, mau apa kau
turut campur?”
“Hueh-heh-heh-heh! Bayisan, kita dahulu
sama-sama perajurit, sama-sama berjuang untuk membela suku bangsa Khitan
yang selamanya menjadi bangsa perantau yang disia-siakan dan tak tentu
tempat tinggalnya! Akan tetapi sekarang setelah kau menjadi antek nomor
satu dari Kubakan yang berkhianat, kau banyak tingkah dan membuka mulut
besar! Siapa tidak tahu bahwa sebetulnya kedudukan raja atas suku
bangsa Khitan berada dalam hak keturunan Puteri Tayami? Sekarang Puteri
Yalina, keturunan Tayami sudah dapat ditemukan, akan tetapi bukan dia
diangkat menjadi ratu, malah akan dikawini oleh paman tirinya sendiri?
Si Kubakan. Dan kau berani bilang aku seorang pengkhianat? Heh-heh-heh,
tidak lucu!”
“Tutup mulutmu! Kaukira aku takut padamu?”
“Bayisan, dahulu pun antara kita sudah sering terjadi perselisihan
faham, dan biarpun kau lebih muda, tingkat kepandaian kita seimbang.
Sekarang setelah kau menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai,
agaknya kepandaianmu sudah banyak maju, sebaliknya aku makin tua dan
makin lemah. Akan tetapi, jika kau hendak mengganggu Puteri Yalina, aku
mempersiapkan tulangku yang sudah rapuh dan kulit dagingku yang sudah
lembek untuk melawanmu.”
“Tua bangka bosan hidup!” Hek-giam-lo
berseru keras dan senjatanya yang menyeramkan itu menyambar, berubah
menjadi sinar hitam yang diselingi sinar kilat seperti halilintar
menyambar.
Kim-lun Seng-jin maklum akan kesaktian Hek-giam-lo,
maka dia pun tidak banyak cakap lagi, segera menggerakkan kedua
tangannya dan sepasang roda emas itu berputar-putar dengan indahnya
melindungi seluruh tubuh. Berkali-kali terdengar suara nyaring dan
bunga api berpijar menyilaukan mata apabila senjata kedua orang jagoan
Khitan ini bertemu. Orang-orang Khitan yang berada di situ melongo,
kagum dan tegang. Mereka semua tahu siapa adanya Kim-lun Seng-jin,
seorang tokoh tua bangsa Khitan yang dikabarkan meninggalkan kelompok
bangsanya dan merantau, dianggap musuh oleh raja yang sekarang, akan
tetapi merupakan seorang tokoh besar di masa lalu. Mereka tidak berani
membantu karena membantu Hek-giam-lo tanpa diperintah berarti mencari
kematian sendiri karena dianggap menghina Hek-giam-lo. Selain ini,
mereka pun berarti mencari mati kalau mencampuri pertandingan itu
karena gerakan kedua orang sakti itu terlalu cepat bagi mereka. Sukar
bagi mereka untuk dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan pandang
mata. Yang tampak oleh mereka hanyalah gulungan sinar hitam
menyambar-nyambar di antara dua gulung sinar emas, sedangkan dua orang
tokoh, itu tidak tampak bayangannya lagi.
Biarpun usianya sudah
sangat tua dan kalah tenaga, namun Kim-lun Seng-jin termasuk seorang
tokoh sakti yang berkepandaian tinggi. Dahulu, sewaktu Hek-giam-lo yang
masih bernama Panglima Bayisan masih kecil, Kim-lun Seng-jin sudah
menjadi Panglima Khitan yang sukar dicari bandingnya. Bahkan ketika
Bayisan sudah menjadi panglima yang jagoan, Kim-lun Seng-jin masih
menjadi tokoh di Khitan sampai akhirnya kakek ini pergi dari Khitan
karena tidak suka melihat perebutan kekuasaan, sedangkan raja sendiri,
ketika itu adalah Raja Kulukan ayah Puteri Tayami (kakek Lin Lin),
malah menaruh curiga ketika Kim-lun Seng-jin memberi nasihat. Ketika
itu, Kim-lun Seng-jin masih bernama Kalisani (baca ceritaSuling Emas).
Namun, kini menandingi Hek-giam-lo, kakek itu makin lama makin repot
juga. Hek-giam-lo selama ini memang memperoleh kemajuan hebat, apalagi
belum lama ini ia telah berhasil merampas setengahnya daripada kitab
simpanan Bu Kek Siansu yang setengahnya lagi dirampas It-gan Kai-ong.
Dengan separuh kitab ini ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa
sekali sehingga setelah bertempur selama seratus jurus, mulailah Kim-lun
Seng-jin terdesak hebat. Kini sinar senjata sabit berkilat-kilat
menyambar dan setiap gerakan merupakan jangkauan maut yang mengerikan.
Namun anehnya, Kim-lun Seng-jin terdengar tertawa-tawa bergelak, ia
merasa gembira sekali dengan pertandingan ini. Kakek ini memang selalu
merasa khawatir kalau-kalau ia sebagai seorang Khitan, akan tewas di
perantauan di tangan jago silat yang banyak terdapat di seluruh penjuru
bumi. Akan tetapi sekarang, nasib membawanya kembali ke perbatasan
Khitan dan bahkan bertanding dengan seorang tokoh Khitan nomor satu di
waktu itu. Lebih-lebih kegembiraannya bahwa ia dapat bertahan sampai
seratus jurus lebih, ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat
menggembirakan hatinya.
“Hueh-heh-heh, Hek-giam-lo. Ternyata
namamu kosong melompong! Mana patut bersombong menjadi seorang di antara
Enam Iblis Dunia? Ha-hah, menghadapi seorang kakek yang sebelah kakinya
sudah masuk lubang kubur macam aku saja, sekian lamanya belum juga
dapat mengalahkan!”
“Ciuuuuuttttt!” Sabit itu menyambar dengan
gerakan seperti halilintar. Saking marahnya, Hek-giam-lo mempergunakan
seluruh tenaga. Kim-lun Seng-jin cepat menangkis dengan roda emas kiri.
“Cringgggg!” Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata ini, tapi
Kim-lun Seng-jin yang cerdik membarengi pertemuan senjata ini dengan
melontarkan roda emas kanan ke arah lawan. Karena pembagian tenaga ini,
apalagi memang ia sudah amat lemah dan tenaganya kalah kuat, maka roda
emas kiri yang bertemu dengan sabit secara hebat menjadi patah, bahkah
tangan kirinya terluka oleh sabit yang sempat menyerempetnya. Akan
tetapi di lain fihak, Hek-giam-lo yang tidak menyangka akan serangan
kilat dari roda emas kanan yang dilontarkan, tak sempat mengelak dan
dadanya terpukul.
“Desss....!” Sekiranya bukan Hek-giam-lo yang
dihantam lontaran roda emas, tentu sudah pecah dadanya. Akan tetapi
Hek-giam-lo sempat mengerahkan sin-kangnya sambil menjerit keras sekali.
Roda emas menghantam sebagian dada dan pundak kirinya, terpental
kembali dengan keras dan diterima tangan kanan Kim-lun Seng-jin yang
juga terluka tangan kirinya, mengucurkan darah dan mukanya pucat. Akan
tetapi kakek ini tertawa-tawa gembira sekali.
“Heh-heh-heh, Hek-giam-lo, pecahlah dadamu! Mampuslah, heh-heh-heh!”
Hek-giam-lo muntahkan darah segar, kemudian ia mengeluarkan suara
menggereng seperti seekor binatang buas, lalu menubruk maju dengan
gerakan senjata sabitnya. Tampak sinar berkelebat. Kim-lun Seng-jin
berusaha menangkis.
“Tranggggg!” Roda emasnya patah lagi, akan
tetapi sabit di tangan Hek-giam-lo juga terlepas dari pegangan. Namun
Hek-giam-lo terus maju dan kedua tangannya seperti dua cepitan baja
sudah mencekik leher Kim-lun Seng-jin. Kakek ini tak bergerak lagi,
seketika tewas pada saat tangan yang beracun dari Hek-giam-lo
menyentuhnya. Akan tetapi iblis buas itu tidak juga mau melepaskan
leher lawannya sebelum leher itu patah tulangnya, kemudian ia
membanting tubuh itu, menyambar sabitnya dan.... pada detik-detik
berikutnya tubuh Kim-lun Seng-jin sudah hancur dicabik-cabik sabit!
Hanya mukanya yang tidak disentuh sabit. Dari leher ke bawah hancur
sampai kelihatan tulangnya. Anehnya, muka itu tetap saja tersenyum
seakan-akan mentertawakan kelakuan Hek-giam-lo yang seperti gila saking
marahnya. Hek-giam-lo sendiri terluka, patah tulang pundaknya dan
terluka sebelah dalam dadanya. Akan tetapi tidak berbahaya, dan setelah
menelan obat penawar, ia cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Lin
Lin. Akan tetapi, pertandingan melawan kakek Kim-lun Seng-jin tadi
memakan waktu cukup lama, sampai seratus jurus lebih, dan tentu saja Lin
Lin telah lenyap dari situ, sukar untuk dicari jejaknya. Apalagi gadis
ini cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sepi, melalui hutan-huan dan
selalu menghindarkan diri daripada pertemuan dengan manusia sehingga
pengejarnya, Hek-giam-lo, sama sekali tidak mendapatkan keterangan ke
mana arah larinya Lin Lin.
Biarpun hari telah terganti malam,
Lin Lin tidak pernah menghentikan larinya, menyusup-nyusup hutan liar.
Untung baginya, malam hari itu sore-sore bulan sudah keluar, biarpun
belum bulat penuh, namun cukup untuk menerangi jalan di dalam hutan.
Dengan pedang terhunus di tangan, gadis ini terus melanjutkan
perjalanannya, mengarah selatan karena ia tahu bahwa dirinya saat itu
berada di utara. Andaikata tidak ada bulan muncul, kiranya sukar juga
baginya untuk memilih arah.
Setelah lewat tengah malam dan
keadaan hutan yang dimasukinya gelap sekali karena daun-daun pohon
raksasa menutupi sinar bulan, baru Lin Lin menghentikan larinya. Ia
naik ke atas sebuah pohon raksasa, duduk di atas cabang tersembunyi di
balik daun-daun, lalu beristirahat. Enak sekali rasanya duduk
beristirahat setelah setengah malam terus berlari dengan hati tegang
itu. Kini ia merasa lega, bebas dari tawanan Hek-giam-lo. Segera ia
duduk bersila sambil melatih samadhi menurut pelajaran ilmunya yang
baru dan sebentar saja lenyaplah semua rasa lelah, tubuhnya terasa
segar dan dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil mendiamkan panca
inderanya, mengheningkan cipta dan mengumpulkan hawa murni untuk
memperkuat tenaga sakti di tubuhnya.
Pada keesokan harinya,
setelah matahari mulai mengusir embun pagi yang membuat hawa udara amat
dingin, baru Lin Lin menyudahi samadhinya, apalagi karena suara kicau
burung pagi yang menggembirakan itu tiba-tiba terganggu oleh suara
melengking tinggi yang menggetarkan perasaannya. Suara suling!
Jantungnya berdebar tegang. Suara melengking macam itu banyak sudah ia
dengar keluar dari mulut orang-orang sakti, di antaranya pernah pula
Hek-giam-lo mengeluarkan suara seperti itu di kala mengerahkan tenaga
saktinya. Jangan-jangan Hek-giam-lo sudah mengejar sampai ke situ!
***
Tidak takut, pikirnya! Kalau dia datang dan benar-benar dapat
menyusulku, aku harus melawannya sampai mati! Akan tetapi kembali ia
mendengarkan dengan teliti. Mengapa suara itu berbunyi terus-menerus?
Dan lengking itu membentuk lagu. Suling! Debaran darahnya makin kencang
dan dengan hati-hati ia meloncat dari cabang ke cabang, dari pohon ke
pohon seperti seekor tupai yang gesit, menuju ke arah suara yang ia tahu
tentu amat jauh.
Mernang betul dugaannya. Suara itu sebetulnya
datang dari tempat yang cukup jauh dan andaikata tidak kebetulan ia
berada di pohon raksasa yang amat tinggi dan tidak dalam waktu pagi yang
sunyi dan dingin, agaknya suara itu tidak akan mencapai pendengarannya.
Sudah puluhan batang pohon ia loncati, namun belum juga ia sampai di
tempat dari mana suara suling itu melayang, akan tetapi makin dekat
makin hebatlah getaran suara suling. Lin Lin melompat terus.
“Aaaiiiihhhh....!” Tiba-tiba tubuhnya terguling ketika ia meloncat dari
sebuah cabang ke cabang lain. Untung ia masih dapat meraih cabang di
bawahnya sehingga tubuhnya tergantung, kemudian dengan hati-hati sekali
ia merosot turun dan akhirnya dapat juga ia mencapai tanah, berdiri
dengan muka pucat dan cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya
sambil duduk bersila! Apa yang terjadi? Kiranya setelah makin mendekati
tempat itu suara suling mempunyai getaran sedemikian hebatnya sehingga
tanpa ia sangka-sangka dan sadari jantungnya tergetar dan tubuhnya
tiba-tiba menjadi lemas sehingga hampir saja ia tadi terjungkal dari
atas pohon besar yang amat tinggi. Kalau saja ia tidak cepat dapat
menangkap cabang dan terbanting jatuh, akan celakalah dia.
Setelah mengerahkan sin-kang yang disalurkan terutama ke isi dada dan ke
arah sepasang telinga, barulah Lin Lin pulih kembali keadaannya. Ia
bangkit berdiri dan maklumlah ia sekarang bahwa suara suling yang ditiup
dengan pengerahan hawa sakti, semacam ilmu luar biasa sekali dan
agaknya si peniup suling sedang menghadapi lawan tangguh, maka
sulingnya ditiup seperti itu. Kini Lin Lin menyelinap dari pohon ke
pohon, mendekati arah suara suling yang terdengar amat jelas, makin
dekat, makin terasalah pengaruh suara suling. Biarpun ia sudah menekan
perasaan dan membulatkan kemauan agar jangan memperhatikan, tetap saja
ia terseret dan tanpa disadari ia memperhatikan juga. Suara suling itu
amat merdu, mengayun sukma, merayu semangat, namun amat menyedihkan
karena makin lama diperhatikan, makin mengarah suara orang menangis
dengan kesedihan yang luar biasa. Tiba-tiba Lin Lin merasa betapa
tenaganya mulai berkurang, tubuhnya mulai lemas lagi. Cepat-cepat ia
menggerakkan kaki tangan dan mengatur napas menurut ajaran ilmunya yang
baru dan heran sekali, seketika lenyap pengaruh suara suling yang
mujijat itu. Ia menjadi girang dan mulailah ia melangkah maju dengan
gerakan-gerakan ilmu silatnya yang baru. Akhirnya ketika ia keluar dari
gerombolan pohon itu, tampaklah apa yang menimbulkan suara mujijat ini
dan jantungnya berdebar keras, hampir ia menjerit girang akan tetapi
kembali ia terkejut karena hal ini mengguncangkan jantungnya dan
membuat ia hampir roboh. Cepat-cepat ia menguasai perasaannya dan
mengerahkan sin-kangnya kembali, berdiri memandang ke depan.
Di
sana, hanya beberapa puluh meter di depannya, di sebuah lapangan terbuka
di antara pohon-potion itu, tampak Suling Emas berdiri tegak dengan
kedua tangan memegang dan memainkan suling yang ditiupnya. Di
sekelilingnya berdiri sedikitnya lima belas orang yang sikapnya
mengancam, semua membawa senjata macan-macam, posisi mereka dalam jurus
ilmu silat dengan kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi anehnya,
mereka itu sama sekali tidak bergerak menyerang Suling Emas, melainkan
berdiri seperti patung batu dengan mata memandang terbelalak
seolah-olah terpesona oleh Suling Emas yang bermain suling. Wajah
mereka tegang, beberapa orang di antara mereka berhasil bergerak
sedikit, akan tetapi tidak berhasil bergerak terus melanjutkan
serangan. Yang lainnya sudah persis patung batu, wajahnya pucat dan
tubuhnya seperti mati kaku!
Lin Lin tertegun. Setelah sekarang
dekat benar, ia pun merasakan pengaruh luar biasa dari suara suling itu,
yang membuat tubuhnya sebentar lemas sebentar kaku seirama dengan
suara suling yang mengalun tinggi rendah! Kembali ia mengerahkan
sin-kangnya menurut ilmunya yang baru. Aneh, kini terasa betapa segar
dan nikmat tubuhnya, betapa suara itu memasuki telinganya seperti musik
dari angkasa, merdu merayu dan amat indahnya. Mungkin hal ini terjadi
karena kegembiraan hatinya melihat Suling Emas di tempat itu.
Dengan pandang mata penuh kekaguman Lin Lin melihat betapa pendekar
sakti itu dengan tenangnya terus menyuling. Tiba-tiba suara suling
berubah ketika mata Suling Emas mengerling dan dapat melihat Lin Lin
berdiri di situ. Pandang mata itu menjadi berseri dan bersinar-sinar,
karena sesungguhnya bukan main girang hati Suling Emas melihat Lin Lin
yang disangkanya masih tertawan Hek-giam-lo itu berdiri di tempat itu.
Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang tentu saja
menggirangkan hatinya karena ia sampai tiba di tempat itu bukan lain
karena hendak mengejar Hek-giam-lo, menolong Lin Lin dan merampas
kembali tongkat pusaka Beng-kauw.
Kini Suling Emas dengan masih
meniup suling melangkah meninggalkan para pengepungnya yang berubah
menjadi patung hidup itu. Inilah pengaruh Ilmu Kim-kong Sin-im (Suara
Sakti Sinar Emas) yang ia pelajari dari Bu Kek Siansu, yang belum lama
ini ia perdalam latihannya bersama kakek dewa itu. Melihat Lin Lin
berdiri tegak dan bengong, Suling Emas mengira bahwa Lin Lin tentu,
seperti para pengeroyoknya itu terkena pula pengaruh ilmunya Kim-kong
Sin-im, maka ia melepaskan tangan kiri dari sulingnya, menyuling hanya
dengan tangan kanan dan tangan kirinya diulur hendak menangkap Lin Lin
dan dibawa pergi dari situ.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
ia melihat gadis itu bergerak dan gadis itu malah yang menangkap tangan
kirinya, digandeng mesra sambil berkata.
“Kenapa baru sekarang
kau muncul? Hampir saja aku celaka lagi oleh si iblis Hek-giam-lo, dan
kau enak-enak di sini, mainkan suling dengan orang-orang itu. Mereka
siapakah?”
Suling Emas demikian terheran-heran sampai ia
menghentikan tiupan sulingnya dan memandang Lin Lin dengan melongo. Para
pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang ulung, yang berilmu
tinggi, setidaknya tentu lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki Lin
Lin, rata-rata sin-kang mereka tentu lebih kuat daripada Lin Lin. Kalau
mereka itu semua terpengaruh oleh suara sulingnya mengapa Lin Lin
enak-enak saja, agaknya sama sekali tidak merasai pengaruh Kim-kong
Sin-im? Sebelum Suling Emas sempat bertanya, tiba-tiba terdengar suara
ribut-ribut. Kiranya belasan orang pengeroyok tadi setelah kini suara
suling lenyap, segera pulih kembali keadaan mereka. Mereka menjadi marah
sekali, tadi mereka seakan-akan dalam keadaan tertotok oleh pengaruh
Kim-kong Sin-im, sekarang mereka berteriak-teriak sambil menyerbu dengan
senjata di tangan. Mereka ini terdiri daripada hwesio-hwesio,
tosu-tosu, dan orang-orang gagah yang berilmu tinggi maka serbuan mereka
bukanlah hal yang boleh dipendang ringan. Gerakan mereka jelas
membayangkan tenaga yang besar dan gerakan kaki mereka amat ringan.
Ketika menengok dan melihat ini, Suling Emas segera menyambar pinggang
Lin Lin dengan lengan kirinya, kemudien ia berkelebat dan melompat naik
ke atas pohon, berloncatan seperti burung garuda terbang, cepat sekali
meninggalkan tempat itu.
Hujan senjata rahasia datang dari
belakangnya, namun dengan menggerakkan suling di tangan kanannya ke
arah belakang, diputar sedemikian rupa sehingga angin pukulannya
meruntuhkan senjata-senjata rahasia yang datang menyambar. Kembali
Suling Emas tertegun melihat betapa Lin Lin juga menggerakkan tangan,
mendorong dan hawa pukulan yang bercuitan keluar dari tangan gadis yang
mendorong itu dan meruntuhkan beberapa anak panah gelap yang
menyambar ke arah mereka!
Akan tetapi karena para pengeroyok
itu kini sudah mengejar cepat, bahkan di antara mereka ada pula yang
mengambil jalan seperti Suling Emas, yaitu dengan cara meloncat ke atas
pohon dan bagaikan terbang mengejar dari pohon ke pohon, maka Suling
Emas tidak ada waktu lagi untuk bicara dengan Lin Lin. Ia mempererat
kempitannya pada pinggang Lin Lin dan mengerahkan semua tenaga dan
gin-kangnya melarikan diri. Lin Lin merasa seakan-akan tubuhnya dibawa
terbang, akan tetapi yang teringat olehnya sama sekali bukan lain hal
kecuali bahwa ia dikempit atau setengah dipondong oleh Suling Emas! Hal
inilah yang mendebarkan hatinya dan sambil meramkan mata ia menempelkan
mukanya erat-erat pada dada laki-laki itu.
Ilmu kepandaian
Suling Emas memang hebat sekali. Biarpun para pengejarnya telah
mengerahkan tenaga, semua sia-sia belaka, mereka tertinggal jauh dan
sejam kemudian mereka telah kehilangan bayangan Suling Emas dan terpaksa
menghentikan pengejaran. Memang ada di antara mereka yang lebih hebat
gin-kangnya daripada yang lain, namun untuk mengejar sendiri saja tentu
amat berbahaya.
Setelah merasa yakin bahwa para pengejarnya
sudah menghentikan pengejaran mereka, Suling Emas berhenti berlari.
Mereka telah tiba di luar hutan dan matahari telah naik menyinarkan
sinar pagi yang hangat. Akan tetapi alangkah herannya ketika Suling Emas
melihat bahwa Lin Lin sudah tidur pulas dalam pondongan atau
kempitannya! Tadinya ia kaget, mengira bahwa ada sesuatu terjadi pada
diri gadis ini, akan tetapi setelah ia tahu betul bahwa gadis ini hanya
tidur pulas, mau tak mau Suling Emas tersenyum lebar.
“Bocah
nakal, enak-enakan tidur!” katanya, akan tetapi Lin Lin tidak bangun
oleh tegurannya ini. Memang luar biasa sekali. Ketika tadi berada dalam
kempitan $uling Emas, Lin Lin merasa dirinya begitu aman, begitu senang,
dan begitu lega hatinya sehingga kelelahan tubuhnya kembali menyerang
dirinya. Rasa puas dan lega membuat ia mengantuk dan tanpa ia sengaja,
ia sudah tidur pulas sambil menyandarkan muka pada dada Suling Emas!
Sambil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala, Suling Emas meletakkan
tubuh gadis yang tidur pulas itu di atas tanah berumput. Akan tetapi
gerakan ini membangunkan Lin Lin yang membuka mata dan cepat melompat
berdiri sambil mengusap-usap ke dua matanya dengan punggung tangan.
Agaknya hanya sejenak ia nanar oleh tidurnya, karena segera ia
celingukan dan bertanya.
“Mana mereka? Mana orang-orang jahat itu?”
“Orang jahat? Tidak ada orang jahat di sini.”
Gadis itu memegang tangan Suling Emas, memandang dengan kening berkerut.
“Apa kau bilang? Orang-orang yang mengeroyokmu tadi, yang mengejar dan
menyerang dengan senjata-senjata rahasia, apakah mereka itu bukan
orang-orang jahat?”
Suling Emas menggeleng kepalanya. “Mereka
adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa, di antara
mereka malah ada pendeta-pendeta dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, dan
Go-bi-pai.”
“Apa? Mengapa keledai-keledai itu mengeroyokmu? Dan
terang kau tidak akan kalah oleh mereka, mengapa tidak melawan dan
menghajar mereka, sebaliknya melarikan diri seperti orang ketakutan?”
“Ah, panjang ceritanya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa berada di sini?
Bukankah kau bersama-sama Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan?”
“Ah, panjang ceritanya....” Lin Lin mengerling dan cemberut. Suling
Emas memandang, lalu tertawa, maklum bahwa gadis ini membalasnya. Adik
angkatnya ini memang benar-benar nakal sekali.
“Eh, kau pendendam sekali!”
Lin Lin juga tertawa. “Orang bertanya baik-baik kau bilang panjang ceritanya.” Ia menegur.
Suling Emas menarik napas panjang. “Lin Lin, kau tidak tahu. Untuk
bercerita tentang mereka yang hendak mengeroyokku, yang ingin sekali
melihat aku mati, amatlah tidak menyenangkan hati. Aku tidak bisa
bercerita tentang itu, harap kau tidak marah.”
“Hemmm, rahasia, ya? Dan mengapa kau menjadi sedih? Sudahlah, aku hanya main-main.”
“Aku sendiri tidak punya rahasia apa-apa, kau boleh dengar semua.”
Gadis itu lalu menceritakan pengalamannya, sejak ia bertemu dengan
Hek-giam-lo di Nan-cao, tentang perintahnya merampas tongkat pusaka,
tentang dirinya hendak dijadikan Permaisuri Khitan, kemudian betapa ia
berhasil melarikan diri karena pertolongan Kim-lun Seng-jin.
Suling Emas mendengarkan dengan terheran-heran, sampai berkali-kali ia
menggeleng kepala. Gadis ini benar-benar hebat, luar biasa keberaniannya
dan agaknya hanya Lin Lin di antara tiga orang adiknya yang belum tahu
bahwa dia adalah Kam Bu Song.
“Jadi kaukah Puteri Mahkota
Kerajaan Khitan? Dan kau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat
pusaka Beng-kauw? Apa maksudmu untuk merampas tongkat, untuk apa?”
Merah muka Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Sejenak ia menundukkan
muka, tidak berani menentang Pandang mata Suling Emas. Akan tetapi hanya
sebentar saja “rasa salah” ini mengganggu hatinya, karena beberapa
detik kemudian ia sudah mengangkat muka lagi memandang wajah Suling Emas
dengan pandang mata menentang dan bibir tersenyum!
“Memang aku
Puteri Mahkota Khitan. Ibuku adalah Puteri Tayami yang gagah perkasa
dan kakekku adalah mendiang Sribaginda Kulukan, raja besar Khitan!
Namaku sendiri sebetulnya adalah Yalina sampai ibu yang menggendongku
tewas di dalam peperangan dan aku dipungut anak oleh ayah angkatku
Jenderal Kam Si Ek dan diberi nama Kam Lin.”
“Kalau begitu, seharusnya aku menyebutmu Tuan Puteri,” kata Suling Emas, sungguh-sungguh.
“Aku memang ingin merampas kembali tahta kerajaan bangsaku yang jatuh
ke tangan pamanku! Aku ingin memimpin rakyatku menjadi bangsa yang
kuat!” Ketika mengucapkan kata-kata ini, Lin Lin berdiri tegak, sikapnya
agung, sinar matanya tajam bercahaya, penuh semangat.
Suling
Emas mengangguk seperti orang memberi hormat. “Tepat, memang begitulah
seharusnya Paduka bersikap sebagai seorang pemimpin yang mencinta
bangsanya, Tuan Puteri Yalina.”
Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan
memegang tangan Suling Emas. “Ihhh, seperti main sandiwara saja! Aku
belum menjadi ratu dan takkan bisa selama paman tiriku dan Hek-giam-lo
masih berkuasa di Khitan. Aku tidak suka kauperlakukan sebagai ratu,
dan panggil aku Lin Lin saja seperti biasa.”
Kembali Suling Emas
tersenyum dan ia sendiri merasa aneh dan heran mengapa hatinya selalu
menjadi gembira kalau berdekatan dengan gadis ini yang membuat ia mau
tak mau menjadi gembira? Ataukah karena wajah Lin Lin ada persamaannya
dengan Suma Ceng?
“Agaknya kau tidak suka kepada Hek-giam-lo. Akan tetapi mehgapa kau menyuruh dia merampas tongkat pusaka Beng-kauw?”
“Kau tidak tahu. Biar kau berjuluk Suling Emas dan menjadi pendekar
sakti, agaknya kau tidaklah terlalu cerdik untuk dapat menyelami apa
yang menjadi maksud hatiku.” Ucapan ini langsung keluar dari hati Lin
Lin yang selalu berbisik, “aku mencinta kau, mengapa kau tidak tahu?”
dan yang tentu saja tak mungkin terucapkan mulut itu. “Ketika aku
bertemu dengan Hek-giam-lo, biarpun sikapnya menghormat dan ia
menganggap aku junjungannya, akan tetapi aku tahu bahwa diam-diam aku
menjadi tawanannya. Karena itulah aku menyuruh dia merampas tongkat
Pusaka Beng-kauw.”
“Mengapa?”
“Masih bertanya lagi?
Tentu saja biar kau mengejarnya dan kalau kau mengejarnya, berarti kau
akan dapat menolongku bebas daripada tawanannya!”
“Ahhh....!”
Diam-diam Suling Emas memuji kecerdikan gadis ini. “Tapi kulihat
sekarang kau sudah pandai membebaskan diri sendiri.” Kemudian ia
teringat akan sesuatu dan cepat bertanya, “Dan kulihat
gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Dulu kau tidak begitu. Dari mana
kau memperoleh kepandaian yang aneh itu? Apakah Hek-giam-lo mengajarmu?”
“Ihhh, orang macam dia mana mau mengajarku? Aku dianggap musuhnya, tahukah kau? Dia.... dia buruk sekali!”
Lin Lin bergidik, teringat akan muka Hek-giam-lo ketika iblis itu
membuka kedok memperlihatkan mukanya. “Tahukah kau mengapa mukanya
menjadi seperti setan? Karena dia berani mengganggu ibuku dan ibu
menghajarnya dengan bubuk racun pada mukanya! Huh, orang macam dia
berani mengganggu ibuku. Tidak dibunuh pun masih untung dia!”
Suling Emas mengerutkan keningnya. Alangkah banyaknya rahasia
penghidupan orang-orang tua yang ia tidak sangka-sangka dan tidak
ketahui. Seperti halnya ibunya yang tentu mempunyai pengalaman hidup
yang luar biasa dan menarik sekali, akan tetapi yang ia tidak tahu sama
sekali, agaknya pengalaman hidup orang tua Lin Lin ini pun tidak kalah
hebat dan menariknya (dugaan ini memang benar dan semua pengalaman itu
menjadi ceritaSULING EMAS yang menarik).
“Kalau bukan dari dia, dari mana kau mendapatkan ilmu yang aneh itu?”
Lin Lin tersenyum bangga, akan tetapi juga terheran. Ia memang telah
mempelajari ilmu mujijat dari tongkat pusaka Beng-kauw, akan tetapi
seingatnya semenjak bertemu dengan Suling Emas tadi, ia tak pernah
mainkan ilmu baru itu. Bagaimana Suling Emas dapat menduganya?
“Nanti dulu, Suling Emas. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku
mempunyai gerakan-gerakan hebat. Bagaimana kau bisa tahu padahal aku
tak pernah melakukan pertempuran sejak tadi?”
“Kau tadi dapat
menahan pengaruh Kim-kong Sin-im dari suara sulingku, kemudian dengan
pukulan jarak jauh yang aneh kau meruntuhkan senjata rahasia.”
“Oh, itu?” Diam-diam Lin Lin kagum. Kelihaian Suling Emas dapat diukur
dari sini. Sebelum ia memperlihatkan ilmunya, pendekar sakti ini sudah
mengetahuinya hanya melihat hal itu saja. Timbul kegembiraannya hendak
mencoba ilmu barunya terhadap pendekar yang menggugah kasih sayang dan
kekaguman hatinya ini.
“Suling Emas, sebelum aku memberi tahu
dari mana aku mendapatkan ilmu ini, aku hendak mengujinya kepadamu.
Harap kau suka meneliti dan memberi petunjuk kepadaku.”
Kembali
Suling Emas tersenyum. Gadis ini berwatak aneh, akan tetapi jujur dan
jenaka. Sudah menjadi watak semua tokoh kang-ouw untuk menyembunyikan
rahasia ilmunya, apalagi yang belum dilatih masak-masak, mengeluarkannya
saja di depan umum tentu segan karena khawatir kalau-kalau diketahui
rahasianya oleh orang lain. Akan tetapi gadis ini selain hendak membuka
rahasia malah ingin mengujinya terhadap dirinya dan minta petunjuk.
Mengapa gadis ini amat percaya kepadanya, apalagi karena belum tahu
bahwa dia adalah Kam Bu Song, dan mengingat betapa dahulu telah terjadi
peristiwa “menyeramkan” di lingkungan istana, atau lebih tepat di
gedung perpustakaan istana ketika ia menyangka gadis ini Suma Ceng dan
memeluk dan menciumnya? Karena peristiwa itu pula maka ia sengaja tidak
memperkenalkan diri, biar gadis ini sendiri yang kelak mendengar dari
Kam Bu Sin atau Sian Eng bahwa dia, Suling Emas, laki-laki yang dulu
pernah bersikap “kurang ajar” kepada gadis itu, adalah kakak angkatnya!
Apalagi, kakak angkat bukanlah hubungan yang amat dekat, jauh bedanya
dengan saudara tiri yang masih seayah lain ibu seperti halnya dia
terhadap Bu Sin dan Sian Eng. Kakak angkat pada hakekatnya adalah orang
lain dan bukan apa-apa. Terutama sekali apabila diingat bahwa gadis ini
sebetulnya adalah seorang puteri bangsa Khitan, semenjak dahulu musuh
utama bangsanya, khususnya Kerajaan Hou-han. Akan tetapi betapapun juga
semenjak kecil gadis ini dipelihara ayahnya, dan mengingat betapa gadis
ini bercita-cita besar sekali ingin menjadi Ratu Khitan, tidak ada
salahnya kalau ia memberi petunjuk agar Lin Lin memiliki kepandaian yang
boleh diandalkan, terutama sekali untuk menghadapi Hek-giam-lo yang
sakti.
“Silakan kauperlihatkan ilmu itu.”
Lin Lin
melompat mundur sampai dua meter, berdiri dalam jarak empat meter dari
Suling Emas, kemudian merangkap kedua tangan seperti orang menyembah,
ditaruh di depan dada kiri, kemudian terus digerakkan ke atas dengan
sepasang matanya meram. Lambat-lambat gerakan ini, namun makin lama
makin tergetar dan menggigil, kemudian kedua tangan itu mengembang ke
atas kepala seperti seorang yang memohon sesuatu daripada Tuhan.
Beberapa detik sepasang tangannya menggigil di atas kepala, lalu
diturunkannya kembali dan ia membuka matanya. Sikapnya berubah tenang
sekali, bibirnya tersenyum, kedua tangannya tidak menggigil lagi.
“Aku sudah siap, Suling Emas.”
Suling Emas mengikuti semua gerakan Lin Lin itu dengan mata makin lama
makin terbelalak. Merangkap tangan di depan dada itu! Hampir ia tidak
percaya. Gerakan merangkap tangan ke depan dada lalu menggerakkan ke
atas kepala dan memohon kepada Thian, itulah gerakan sembahyang dari
Beng-kauw! Akan tetapi ia tahu betul bahwa Lin Lin bukanlah seorang
penganut Beng-kauw, dan ia pun dapat menduga dari kedua tangan yang
menggigil mengandung getaran tenaga dahsyat itu bahwa gerakan gadis itu
tadi sama sekali bukan semata-mata gerakan upacara keagamaan, melainkan
cara untuk mengerahkan semacam hawa sakti yang hebat dan luar biasa.
Hal ini dapat dibuktikan dari sikap gadis itu yang berubah begitu
tenang, terlalu tenang, sebagai tanda seorang yang seluruh tubuhnya
sudah disaluri tenaga sin-kang (hawa sakti) yang kuat. Ia pun bersikap
waspada dan dengan mata penuh selidik ia berkata.
“Nah, kaumulailah menyerang,” suaranya lirih karena hatinya berguncang.
“Lihat serangan!” Lin Lin berseru dan ia segera melompat maju dan
memutar-mutar tubuhnya bagaikan sebuah gasing! Inilah jurus ke tujuh
daripada ilmu yang ia pelajari. Menghadapi Suling Emas yang amat lihai,
ia tidak mau mempergunakan jurus-jurus sederharta dan sengaja ia memilih
jurus-jurus yang ia anggap paling aneh. Jurus ini memang hebat dan aneh
yang menurut catatan rahasia itu disebut sebagai jurus
Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat)!
Selama
tahun-tahun belakangan ini, semenjak ia mendekati Beng-kauw, sudah
sering kali Suling Emas menyaksikan jurus-jurus terlihai dari Beng-kauw.
Bahkan dengan Kauw Bian Cinjin yang menjadi sahabat baiknya, sering
kali ia bertukar pengalaman dan kritik tentang jurus-jurus sakti. Akan
tetapi belum pernah ia menyaksikan jurus macam ini. Hal ini tidaklah
mengherankan kalau diingat bahwa jurus ini adalah sebuah di antara tiga
belas jurus istimewa yang khusus diciptakan oleh mendiang Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan, diciptakan khusus untuk menghadapi semua isi tiga kitab
pusaka yang dicuri oleh puterinya sendiri. Jadi boleh dibilang tiga
belas macam ilmu pukulan sakti ini diciptakan untuk mengatasi seluruh
inti sari ilmu kesaktian Beng-kauw yang telah ada! Tidaklah mengherankan
apabila hebatnya bukan alang kepalang, sehingga agaknya Suling Emas
sendiri tentu akan menemui lawan yang mengejutkannya kalau saja Lin Lin
sudah sempurna berlatih.
Namun, biarpun baru beberapa hari Lin
Lin berlatih ilmu baru ini, menghadapi serangan pertama ini Suling Emas
menjadi terheran-heran. Mula-mula ia tidak terkejut, hanya
terheran-heran karena melihat gerakan serangan yang begitu aneh, bahkan
menggelikan. Mana ada jurus ilmu silat yang menyerang dengan pembukaan
seperti itu? Berputar-putar seperti gasing, bagaimana dapat menyerang
dengan baik? Malah boleh dibilang memberi kesempatan kepada lawan untuk
menyerang hebat selagi tubuh berputar-putar seperti itu. Akan tetapi
tentu saja ia tidak mau mempergunakan kesempatan ini untuk menyerang,
karena ia hanya ingin menguji. Ia sendiri tegak menanti sampai gadis itu
mendahului menyerang.
Dan serangan itu datang! Bukan main aneh
dan hebatnya! Tiba-tiba, dengan tubuh masih berputaran, setelah dekat
dengan Suling Emas, tiba-tiba dari putaran itu menyambar keluar dua buah
tangan yang bergerak tak tersangka-sangka.
Tangan pertama,
yang kiri, menghantam ke arah kepala Suling Emas, dan tangan kanan
sebagai pukulan ke dua sudah menyambar ke arah dada sebelum pukulan
pertama mengenai sasaran. Dua serangan sekaligus yang susul-menyusul dan
kecepatannya cukup membahayakan.
Suling Emas miringkan kepala
menghindarkan diri daripada pukulan pertama dan sengaja ia mengangkat
lengannya menangkis ketika pukulan ke dua tiba menyambar dadanya.
“Dukkkkk!” Tubuh Lin Lin terhuyung-huyung seperti melayang-layang, akan
tetapi Suling Emas mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika
kuda-kudanya tergempur oleh pertemuan lengan itu. Kalau saja ia tidak
cepat mengerahkan sin-kangnya, tentu ia akan terhuyung juga, biarpun
tidak sehebat Lin Lin. Ia cepat meloncat untuk menahan dan menolong Lin
Lin, akan tetapi ternyata gadis itu sudah dapat menguasai dirinya
kembali dan sama sekali tidak apa-apa!
“Kenapa kau sungguh-sungguh?” Lin Lin mengomel.
“Wah, hebat sekali! Lin Lin, hebat sekali seranganmu tadi. Mengandung
tenaga mujijat. Sayangnya, dengan berputaran seperti itu, sebelum kau
memukul, kau dapat diserang lawan lebih dulu dan keadaan berputaran itu
tidak menguntungkan.”
Lin Lin tertawa. “Hi-hik, boleh coba! Aku
tadi justeru mengharapkan kau menyerang lebih dulu. Suling Emas, di
dalam catatan ilmu ini, kelihaian jurus Soan-hong-ci-tian terletak
kepada cara berputaran itulah! Dan jangan kira bahwa berputaran seperti
itu melemahkan kedudukanku, ih, sama sekali terbalik. Itulah gerakan
memancing, malah sengaja begitu biar lawan menyerang lebih dulu.
Kehebatan daya serangnya justeru di waktu lawan menyerang, karena lawan
memandang rendah dan percaya serangannya akan berhasil. Mau coba?”
Akan tetapi Suling Emas mengerutkan kening, memikir-mikir.
“Soan-hong-ci-tian....? Tak pernah kudengar jurus ini, melihatnya pun
baru sekarang....”
“Hi-hik, masa? Suling Emas yang tersohor sakti, pendekar jagoan itu tidak mengenal jurusku? Lucu!”
“Lin Lin, dari mana kau memperoleh ini? Siapa yang mengajarmu?”
“Sssttt, nanti dulu. Belum habis kan ujian ini? Kaujaga seranganku
berikutnya!” Sambil berkata demikian Lin Lin sudah menerjang lagi
mengeluarkan jurus-jurus yang aneh dan lihai. Dari kedua tangannya yang
memukul menyambar angin yang amat kuat sehingga Suling Emas tak berani
memandang rendah. Makin lama Suling Emas makin tertarik, karena
jurus-jurus itu betul-betul belum pernah ia melihatnya.
“Pergunakan pedangmu....!” katanya gembira. “Lekas cabut pedangmu dan mainkan menurut jurus-jurusmu....!”
Tadinya Lin Lin sudah merasa kecewa sekali karena biarpun ia menerjang
dengan hebat, sama sekali ia tidak mampu menyentuh bayangan Suling Emas
sehingga ia merasa seperti menyerang bayangannya sendiri dan merasa
betapa ilmunya yang baru ini kalau berhadapan dengan lawan sesakti
Suling Emas atau Hek-giam-lo, benar-benar tidak ada gunanya. Akan
tetapi mendengar perintah Suling Emas ini, ia tidak mau membantah,
apalagi dalam suara itu terkandung kegembiraan dan kekaguman.
Sinar kuning emas berkeredepan menyilaukan mata ketika Lin Lin mencabut
Pedang Besi Kuning dan mainkan pedang pusaka ini menurut jurus-jurus
ilmu baru. Tiga belas jurus sudah ia mainkan semua dan pedangnya sama
sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Suling Emas. Dengan perasaan
sebal dan kecewa Lin Lin menghentikan permainannya dan menyimpan
pedangnya, membanting kaki dan berkata.
“Sudahlah! Perlu apa kaupermainkan aku? Memang aku tidak becus, dan ilmuku, ilmu picisan!”
“Wah, siapa bilang begitu? Lin Lin, kau benar-benar telah mewarisi ilmu
yang luar biasa sekali. Sungguh mati, kalau kau sudah melatih ilmu itu
dengan sempurna, jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingimu.
Bahkan aku sendiri merasa ragu-ragu apakah aku akan dapat bertahan
begitu mudahnya menghadapimu. Ilmu mujijat, Lin Lin, hanya kurang
terlatih dan ada bagian-bagian yang kau keliru latih agaknya. Kau tadi
minta petunjuk, bukan? Nah, aku akan memberi petunjuk-petunjuk kalau
saja kau suka berlatih perlahan-lahan. Aku bersumpah takkan mempelajari
ilmu itu, dari manapun datangnya.”
“Jangan pura-pura membesarkan
hatiku, padahal kau hanya mengejek. Kau begitu baik hubunganmu dengan
Beng-kauw, masa pura-pura tidak mengenal ilmu silat yang kutemukan di
dalam tongkat pusaka Beng-kauw?” Ucapan Lin Lin ini sewajarnya saja
karena memang ia sungguh-sungguh menganggap bahwa Suling Emas
mempermainkan dan mengejeknya yang membuat hatinya mendongkol sekali.
Akan tetapi ternyata ucapan ini mengagetkan Suling Emas yang
terang-terangan membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada gadis
itu seakan-akan Lin Lin bukan seorang gadis jelita melainkan seorang
siluman yang mengerikan.
Memang bukan main kaget hati Suling
Emas mendengar kata-kata ini. Hal ini ada sebabnya. Tadi ketika ia
melayani jurus-jurus istimewa anehnya dari Lin Lin, ia selain kaget dan
kagum, juga merasa heran mengapa jurus-jurus ini mengandung inti sari
ilmu Beng-kauw, akan tetapi lebih tinggi dan seakan-akan mengandung
unsur-unsur menekan dan mengatasi inti sari ilmu Beng-kauw. Inilah yang
mengagetkan hatinya ketika mendengar bahwa gadis itu mempelajarinya
dari surat warisan yang ditemukan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw.
Otaknya yang cerdik segera dapat menangkap rahasianya. Takkan salah
lagi, tentu mendiang Pat-jiu Sin-ong yang menciptakan dan
menyembunyikannya di dalam tongkat pusaka Beng-kauw dengan maksud
menurunkan atau mewariskannya kepada ketua Beng-kauw. Adapun ketua
Beng-kauw adalah pamannya sendiri, Liu Mo, yang kelihatan tenang-tenang
saja ketika tongkat itu dirampas Hek-giam-lo. Andaikata pamannya tahu
bahwa di dalam tongkat pusaka itu terdapat surat wasiat mendiang
kakeknya yang mengandung pelajaran ilmu kesaktian yang begitu hebat,
sudah tentu pamannya itu akan menjadi panik sekali dan tak mungkin
menyerahkan tongkat begitu saja kepada Hek-giam-lo, karena sekali ilmu
itu dipelajari orang luar, berarti Beng-kauw terancam! Hal ini hanya
berarti bahwa pamannya belum tahu akan surat wasiat, berarti pula bahwa
surat wasiat itu belum pernah terlihat orang lain dan Lin Lin adalah
orang pertama yang mempelajarinya.
Lin Lin yang kini mendapat giliran kaget sekali ketika Suling Emas menangkap tangannya dan memegangnya erat-erat.
“Eh-eh, aduuuhhhhh.... hendak kaupatahkan lenganku?” serunya, agak
dibuat-buat manja karena sesungguhnya, seerat-eratnya Suling Emas
memegang, tentu saja tidak sampai mematahkan tulang lengannya, apalagi
dia memiliki sin-kang yang tidak sembarangan!
“Eh, maaf, eh....
Lin Lin, di mana surat wasiat itu? Di mana sekarang?” tanya Suling Emas
agak gugup. Siapa orangnya tidak akan gugup? Kalau surat wasiat itu
terjatuh ke tangan orang lain seperti Hek-giam-lo, tentu Beng-kauw akan
terancam bahaya. Takkan ada orang Beng-kauw yang akan dapat melawan
musuh yang memiliki ilmu itu secara mendalam, karena ia tahu bahwa ilmu
itu adalah ilmu berinti sari pelajaran Beng-kauw yang agaknya dicipta
untuk mengatasi kepandaian orang-orang Beng-kauw.
“Kenapa sih?
Kau yang sudah begitu pandai, yang tadi dengan mudah saja menghadapi
ilmu ini, apakah kau masih begitu murka ingin mempelajari ilmu ini pula?
Ingat, Suling Emas, kau sudah bersumpah tadi takkan mempelajarinya.
Bukan aku melarang kau mempelajarinya, hanya.... aku.... aku tidak mau
kalau kau melanggar sumpahmu.”
“Aku takkan mempelajarinya, Lin Lin. Tapi lekas katakan, di mana adanya wasiat pelajaran itu?”
Saking tegang hatinya, penuh kekhawatiran kalau-kalau wasiat itu
terampas pula oleh Hek-giam-lo, Suling Emas sampai lupa untuk melepaskan
tangan Lin Lin. Sejak tadi ia masih memegangi tangan itu, sungguhpun
kini tidak ia cengkeram seperti tadi. Dengan jantung berdebar Lin Lin
melirik ke arah kedua tangannya yang digenggam Suling Emas. Ia
tersenyum.
“Panggil dulu namaku....”
“Lin Lin....”
“Sebut aku Moi-moi (Adik)....”
“Lin-moi-moi (Adik Lin) yang baik!” kata Suling Emas, biarpun
mendongkol merasa geli juga karena memang gadis ini adik angkatnya, apa
salahnya menyebutnya adik?
“Kau menyebut dinda, aku pun menyebut kanda. Koko yang baik, surat wasiat itu sudah kumusnahkan.”
“Kaumusnahkan?”
Mereka bertemu pandang, sama-sama menyelidik. Melihat wajah Suling Emas
agak berseri membayangkan kegirangan hatinya, legalah hati Lin Lin.
“Sudah kurobek-robek menjadi sekeping-keping kecil lalu kusebarkan ke dalam sungai.”
“Betul sudah musnah? Apakah Hek-giam-lo tidak melihatnya?” kata Suling
Emas agak terburu-buru dan mukanya menjadi merah karena baru sekarang
setelah hilang kekhawatirannya, ia teringat bahwa sejak tadi ia
menggenggam sepasang tangan yang kecil halus itu.
Lin Lin
tertawa. “Lucu sekali Hek-giam-lo. Dia goblok. Ada beberapa potongan
surat wasiat itu ia ambil, akan tetapi apa artinya satu dua huruf pada
kepingan-kepingan kecil itu! Ia mendesak, curiga dan bertanya.”
“Dan apa kaujawab?”
“Kukatakan bahwa surat itu dari.... dari kekasihku, hi-hik....”
Kembali terpaksa Suling Emas tessenyum, perbuatan yang jarang atau tak
pernah ia lakukan. Semenjak ia terpaksa berpisah dari kekasihnya, Suma
Ceng, tersenyum merupakan hal yang sukar dapat dilakukan Suling Emas
karena hatinya sudah terluka dan ia selalu memandang penghidupan dari
segi yang muram-muram. Akan tetapi entah mengapa, berdekatan dengan Lin
Lin, ia sudah beberapa kali tersenyum seakan-akan kelincahan dan
kegembiraan gadis ini merupakan cahaya terang yang sinarnya mencapai
pojok-pojok hatinya yang gelap.
“Hemmm, anak nakal. Lalu, dia bagaimana? Percayakah?”
“Mula-mula tidak. Ia bertanya siapakah kekasih itu.”
“Dan kaujawab....? Tentu.... murid Gan-lopek, ya?” Suling Emas sendiri
merasa heran mengapa mendadak sontak ia melayani kelakar Lin Lin bahkan
mengeluarkan godaan ini. Benar-benar ia menjadi seperti kanak-kanak,
pikirnya dengan wajah merah.
“Iiiihhhhh....!” Tiba-tiba Lin Lin
menggunakan kedua tangannya menangkap lengan tangan Suling Emas dan
sepuluh buah jari-jari tangannya mencubiti kulit lengan itu.
“Aduh-aduh.... aduh....!” Suling Emas tertawa dan menjerit-jerit karena
memang sakit sekali cubitan-cubitan jari yang berkuku runcing itu. Ia
tidak tega tentu saja untuk menggunakan tenaga melawan cubitan karena
selain tak patut main-main dibalas sungguh-sungguh, juga ia khawatir
kalau-kalau kuku-kuku jari yang terpelihara itu akan rusak oleh
perlawanannya.
“Kau menyebalkan! Siapa bilang, hayo, siapa
bilang aku punya kekasih murid Gan-lopek si badut tua itu? Memalukan,
menggemaskan....!”
“Sudah.... sudah, aduh....!” Suling Emas masih tertawa-tawa. “Lepaskan!”
“Hayo bilang dulu siapa yang mengatakan demikian?”
Kegembiraan Suling Emas timbul, maka ia merasa belum cukup menggoda.
Sambil tertawa ia berkata, “Memang sudah sepantasnya Lie Bok Liong yang
tampan dan gagah itu menjadi anumu.... ha-ha.... aduhhh!”
Cubitan Lin Lin makin keras. “Anu apa? Hayo bilang, apa yang kaumaksudkan dengan anumu....?”
“Aduh, sakit, Lin-moi, lepaskan. Kumaksudkan kekasihmu tentu. Bukankah ia amat mencintamu dan selalu membelamu?”
Mendadak Lin Lin melepaskan tangannya dan.... menangis!
“Eh-eh.... mengapa menangis....?” Suling Emas benar-benar terkejut dan heran sekali.
“Kau jahat....! Kau mengejekku, kau menjengkelkan, sengaja bikin aku marah....! Kau tidak punya hati, tak berjantung!”
“Eh.... oh.... nanti dulu, Lin-moi! Aku sama sekali tidak mengejekmu,
aku.... aku hanya main-main. Masa tidak boleh orang main-main? Maafkan
aku, Lin-moi, sungguh mati aku tidak bermaksud membikin kau marah dan
jengkel. Sudahlah, kaumaafkan aku.”
Lin Lin mengangkat mukanya
yang merah dan basah. “Betul-betul kau tidak mengejek?” tanyanya dan
Suling Emas tidak berani main-main lagi karena suara itu mengandung
kesungguhan hati yang mengherankan dan mengejutkan. Mengapa gadis yang
lincah dan suka berjenaka ini begitu sedih ketika digoda?
“Tidak, aku tidak mengejek, hanya main-main.”
“Bagaimana kau bisa menyangka begitu terhadap Lie Bok Liong twako? Apa sebabnya kau mengira dia kekasihku?”
Bingunglah Suling Emas, akan tetapi dengan tenang ia menjawabp
“Lin-moi, sudahlah, aku tadi hanya main-main. Pula, andaikata aku benar
timbul persangkaan demikian, bukankah engkau sendiri yang tadi
menceritakan betapa Lie Bok Liong hampir saja mengorbankan nyawa demi
untuk membelamu? Hanya orang yang mencinta dengan sepenuh jiwa raga
dapat membela dengan pengorbanan sehebat dia.”
Dengan muka
termenung Lin Lin mengangguk-angguk. “Memang dia amat baik hati, dia....
agaknya memang betul bahwa dia amat mencintaku. Liong-twako seorang
berbudi. Tapi.... tapi bukan dia.... aku tidak mencintanya, aku hanya
suka kepadanya sebagai seorang kakak atau sahabat....”
“Hemmm,
kasihan dia. Sudahlah, Lin-moi, cukup tentang dia. Terang kalau begitu
bahwa bukan dia kekasihmu, maafkan aku tadi. Kemudian bagaimana dengan
Hek-giam-lo tadi? Ketika dia tanya siapa kekasihmu, bagaimana jawabmu?
Apa kau bilang kekasihmu itu ada?”
Suling Emas tak dapat
menyembunyikan keheranan yang membayang pada wajahnya ketika melihat
betapa gadis itu kini memandangnya sambil tersenyum dengan wajah cerah.
Bukan main! Baru saja menangis dan marah-marah, kini sudah
tersenyum-senyum. Siapa tidak akan heran kalau melihat udara yang gelap
mendung dan hujan tiba-tiba tampak matahari bersinar?
“Tentu saja ada, dan dia percaya!”
“Siapa?”
Lin Lin berdebar jantungnya. Ia seorang gadis yang tabah dan jujur,
tidak pemalu, akan tetapi pertanyaan ini sekarang amat sukar terjawab.
Ia terpaksa menyembunyikan mukanya dengan tunduk, lalu menjawab.
“Suling Emas....”
Suling Emas menjadi begitu kaget sampai ia berdiri kesima tak mampu
bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Ia masih mengira bahwa Lin Lin
gadis nakal itu sengaja menyebut namanya untuk mempermainkannya sebagai
pembalasannya tadi. Akan tetapi melihat kepala yang ditundukkan, sikap
yang malu-malu dan bersungguh-sungguh itu, makin gelisahlah dia.
“Lin-moi, harap kau jangan main-main yang bukan-bukan....” Ia masih mencoba untuk melawan kekhawatirannya.
Lin Lin mengangkat mukanya. Merah sekali muka itu, terutama sepasang
pipinya, seolah-olah ketika menunduk tadi, gadis ini memulas kedua
pipinya dengan yanci (pemerah pipi). Tapi kini suaranya terdengar
sungguh-sungguh dan penuh tuntutan.
“Mengapa, Koko? Aku tidak
main-main! Bukankah pengakuanku itu benar-benar? Kalau kau sekarang
terheran, kaulah yang pura-pura dan main-main. Yang kaulakukan
terhadapku di perpustakaan istana itu....”
Suling Emas
gelagapan. Tentu saja ia tidak dapat melupakan peristiwa itu,
pertemuannya pertama kali dengan Lin Lin, pada suatu malam di
lingkungan istana, ketika itu ia berada di dalam gedung perpustakaan,
sedang melamunkan kekasihnya, Suma Ceng, ketika tiba-tiba muncul Lin
Lin yang di dalam cuaca remang-remang itu bentuk tubuh dan potongan
wajahnya mirip benar dengan Suma Ceng. Pada waktu itu, karena hatinya
sedang diliputi penuh rindu dendam terhadap kekasihnya, ia seperti orang
mimpi, mengira Lin Lin, Suma Ceng, memeluknya, menciumnya! Agaknya Lin
Lin tak pernah dapat melupakan peristiwa itu pula, hanya bedanya, kalau
ia mengenang peristiwa itu, dengan perasaan jengah dan malu serta
merasa bersalah, sebaliknya gadis ini menganggap peristiwa itu sebagai
pernyataan cinta kasih Suling Emas terhadap gadis itu!
“Kenapa?
Apakah kau mempermainkan aku ketika itu?” Lin Lin mendesak ketika
melihat wajah Suling Emas menjadi pucat. Gadis ini merasa gelisah
sekali, khawatir kalau-kalau dugaan hatinya meleset. Ketika itu ia
merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya.
“Sudahlah,
Lin-moi. Apakah kau tidak bisa memaafkan kesalahanku? Lekas
kaulanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan tongkat pusaka? Di mana tongkat
itu sekarang?”
“Dirampas Hek-giam-lo,” jawab Lin Lin pendek,
masih bersungut-sungut karena ia merasa betapa Suling Emas seperti
hendak mengingkari perbuatannya di perpustakaan.
“Lin-moi,
sekarang juga kau harus ikut aku. Kalau hal ini tidak lekas kuurus,
selamanya kau akan dianggap musuh besar Beng-kauw.”
Ucapan ini begitu mengagetkan Lin Lin sehingga ia melupakan urusan cinta kasih. “Apa? Mengapa?”
“Lin Lin, ketahuilah. Sudah menjadi rahasia yang belum terpecahkan oleh
para pimpinan Beng-kauw bahwa Pat-jiu Sin-ong meninggalkan warisan ilmu
yang mujijat. Mereka mencari-cari, namun belum juga dapat
menemukannya. Kini rahasia wasiat itu terbuka olehmu, bahkan telah
kaumusnahkan dan kaupelajari isinya, padahal kau sama sekali bukanlah
orang Beng-kauw. Hal ini akan menimbulkan geger di kalangan Beng-kauw
dan kalau mereka tahu, tentu mereka itu akan mencarimu dan membunuhmu.
Rahasia ilmu itu sama sekali tidak boleh diketahui oleh orang luar.
Kalau sampai mereka tahu dan memusuhimu, biar aku sendiri takkan mampu
mencegahnya.”
“Aku tidak takut! Aku tidak mencuri ilmu, hanya kebetulan....”
“Hemmm, kau seperti anak kecil yang tidak pedulikan langit ambruk bumi
terbalik, Lin-moi. Ketahuilah, urusan ini amat besar dan gawat. Biarpun
secara kebetulan kau menemukan ilmu itu, akan tetapi bukankah engkau
yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka? Dan tahu pulakah kau
mengapa Hek-giam-lo suka merampas tongkat itu? Semata-mata karena taat
kepadamu? Tak mungkin. Dia mempunyai pamrih lain. Ketahuilah bahwa ilmu
ciptaan Pat-jiu Sin-ong itu telah terdengar pula oleh tokoh-tokoh
kang-ouw dan Hek-giam-lo termasuk seorang di antara mereka yang ingin
sekali mengetahui dan memiliki ilmu itu. Tentu saja ia tidak menduga
bahwa ilmu itu disimpan di dalam tongkat pusaka, akan tetapi aku berani
bertaruh bahwa ia merampas tongkat pusaka untuk ditukar dengan wasiat
ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong itu.”
“Wah-wah, bagaimana
baiknya? Aku sih tidak takut! Kalau kakek ketua Beng-kauw marah-marah,
aku dapat mengembalikan ilmu ini kepadanya dengan mengajarnya.
Bukankah beres begitu?”
Kembali mau tak mau Suling Emas
tersenyum. Bocah ini sama sekali belum tahu akan seluk beluknya dunia
kang-ouw. Kalau tahu tentu akan ketakutan sekali, karena urusan ini
berarti kematiannya yang sukar untuk dicegah pula.
“Lin-moi,
aku percaya akan ketabahanmu yang luar biasa, sungguhpun aku tahu bahwa
tak mungkin kau mampu menghadapi Beng-kauw. Andaikata ilmu ini sudah
kausempurnakan, agaknya kau memang akan menjadi penantang Beng-kauw yang
berbahaya, akan tetapi kau seorang diri mana mampu menghadapi Beng-kauw
yang mempunyai banyak sekali orang sakti?”
“Termasuk kau?”
“Jangan ngacau! Lin-moi, bukan saatnya kita bicara main-main. Hanya ada
satu cara untuk membebaskanmu daripada keadaan berbahaya ini.”
“Bagaimana?”
“Kau harus mengunjungi makam mendiang Pat-jiu Sin-ong, bersumpah di
depan makam sebagai murid yang menemukan ilmu itu. Dengan cara
demikian, maka kau boleh dibilang sudah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong
sehingga biarpun kau bukan anggauta Beng-kauw, kau berhak mewarisi
ilmunya.”
Lin Lin mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Pergi sendiri? Aku tidak tahu tempatnya!” Hatinya berkata, “Aku ogah!”
“Aku yang akan membawamu ke sana.”
Seketika wajah gadis itu berseri ketika ia memandang Suling Emas. “Dengan kau? Boleh, mari kita berangkat!”
Suling Emas menggeleng-geleng kepala, akan tetapi diam-diam hatinya
khawatir sekali. Bocah ini baginya merupakan ancaman bahaya yang jauh
lebih hebat dan mengerikan daripada ujung senjata para pengeroyoknya
tadi.
***
Beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali di
tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang berjalan
perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang
melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah
pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh
yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao
oleh Pat-jiu Sin-ong.
Keadaan di situ menyeramkan. Matahari
belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin merasa seakan-akan
ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya terdiri dari
orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun, masih
tidur di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu
nisan itu.
“Di mana makamnya....?” tanya Lin Lin, suaranya agak
gemetar. Setelah tiba di tempat pekuburan itu, hatinya gentar juga.
Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk
bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari
ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, secara kebetulan dan ia
sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri
Beng-kauw. Kalau dulu ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk
bersumpah menjadi murid, hal itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya
melakukan perjalanan bersama Suling Emas! Dan harus ia akui bahwa
selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan di samping Suling Emas,
siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan rasa gembira luar
biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga mencintanya,
sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!
“Di sana makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kaulihat, masih baru!” jawab Suling Emas sambil menudingkan telunjuknya.
Mereka berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah.
Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih
menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid
penghuni makam! Amat heran hati Lin Lin melihat betapa Suling Emas
serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat di depan
makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah
meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar
dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.
“Lin-moi, lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi.” terdengar Suling Emas berkata.
Akan tetapi Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan kata-kata.
“Lin-moi, mau tunggu apa lagi?”
Lin Lin tetap diam saja.
“Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”
“Ah, aku.... aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling
Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong
menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau tidak menghendaki,
bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?”
Suling
Emas tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam.
Pada saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Ketika ia
memandang jauh, hatinya berdebar karena ia mengenal laki-laki tua
memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin! Celaka, pikirnya. Kalau
Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu akan bertanya dan kalau
kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu
takkan membiarkan Lin Lin hidup!
“Lin-moi, lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang tangan gadis itu.
“Tidak, aku tidak bisa lakukan itu.... masih ada jalan lain....”
Suling Emas hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin
yang bergerak cepat sekali sudah tiba di situ dan kakek ini biarpun
terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada di makam Pat-jiu
Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia segera berseru.
“Kim-siauw-eng (Suling Emas)! Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak
Hwee)?” Pertanyaan ini yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu
saja membuat Suling Emas tercengang.
“Bukankah dia sudah pulang
bersama Bu Sin?” Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran karena ia
sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou
Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia
sendiri pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng.
Kauw Bian Cinjin
kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita.
“Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu
ke Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah
bagaimana dan mengapa, kelihatan di sini putera pangeran yang jahat itu,
Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila! Hwee-ji
mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya tidak tampak
bayangannya, kami menjadi khawatir sekali.”
“Ahhh....!” Suling
Emas terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia
menyambar tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini
mengejar mereka!”
Lin Lin tidak diberi kesempatan bicara. Pula,
gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain yang
membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi
sudah bingung den khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan
marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa
banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum
kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau
apa gadis liar ini di sini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi
karena ia tahu bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun
tidak mau memikirkannya lagi.
“Kim-siauw-eng, kau mencari ke
timur aku ke utara!” teriaknya. Suaranya terbawa angin dan karena kakek
ini mengerahkan khi-kang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke
telinga Suling Emas.
“Baik!” jawab Suling Emas sambil
mengerahkan khi-kang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh,
tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih
dapat saling menyampaikan pesan!
Apakah sebenarnya yang terjadi?
Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di
Nan-cao, berkeliaran seperti orang gila kata Kauw Bian Cinjin, sehingga
kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?
Seperti telah dituturkan di
bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan Hek-giam-lo
di dalam terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni
sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula
oleh Suling Emas. Adapun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok,
ditolong dan dibawa pergi oleh Suma Boan!
Cinta memang dapat
meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah
berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan
seorang korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya
seluruh orang di dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan
kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada
seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma Boan. Akan
tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang sudah
jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun yang akan dikatakan orang
lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta.
Demikianlah, ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam
Sian Eng merasa terharu dan girang sekali, sungguhpun ada perasaan
kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin.
Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada dalam keadaan tertotok,
Sian Eng tidak bisa apa-apa.
Baru beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya. Sian Eng segera menegur.
“Suma-koko, kenapa baru sekarang kaubebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan
kita berdua bisa menolong Bu Sin koko? Ah, bagaimana nasibnya sekarang?”
Suma Boan merangkul pundaknya. “Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu
sendiri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku
bisa sekaligus menolong dua orang? Dan saking takutku kalau-kalau
Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari dan baru
sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita dapat
bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di
Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi
Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”
Dengan halus Sian Eng
melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biarpun di hutan itu sunyi tidak
ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap
terlalu mesra kepada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula
bertunangan! Akan tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan
berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin Lin sehingga mereka
berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tangkap Hek-giam-lo.
“Kau agaknya sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah
Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?” tegur
Sian Eng.
Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu.
“Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling mencinta
dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak
setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju
mempunyai mantu seperti kau.” Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba
untuk merangkul lagi.
“Ihhh, jangan begitu....!” Sian Eng
melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagaimana aku dapat memberi
keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di
Cin-ling-san.”
“Aku akan pergi ke sana, akan kulamar kau dari
tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah
kau membantuku?”
“Lihat-lihat urusannya!”
“Begini,
adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian
yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya muncul
pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah
memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat
persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda
dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia
ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah
mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia
sembunyikan di tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan
tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu
Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia,
melainkan iblis-iblis yang luar biasa.”
Sian Eng mengerutkan
keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda itu.
“Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapapun juga, dia adalah
kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.”
Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.
“Gila!” cela gadis itu dengan muka menjadi merah. “Kauceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?”
“Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku....”
“Ihhh!” Sian Eng mengkirik karena merasa seram. “Kau sudah begini
lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau
mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?”
“Ah, siapa bilang aku
lihai? Hanya kau yang mencintaku, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak
suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau
kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu daripada segala
macam bahaya, dan kelak kalau kiia mempunyai anak, aku mampu menurunkan
kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar nomor
satu di dunia?”
Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang
sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat
semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia
memandang Suma Boan dengan bingung.
“Bagaimana kau bisa
menemukan tempatnya? Andaikata bisa.... hiiihh, mengerikan sekali!”
Gadis ini teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin dan ia merasa takut.
“Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana,
mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan
leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi
semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah
kau mendapat keterangan, kausampaikan kepadaku dan kita mencari
kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”
“Aku.... aku sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”
“Apa....?” Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan
Sian Eng sehingga gadis ini tersentak berdiri dan merasa lengannya
sakit.
“Auuuhhhhh....” keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia
merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri dan
bersungut-sungut.
“Jangan sekali-kali kau berani lagi berbuat
seperti ini sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani ulangi,
aku akan membencimu!” Matanya berapi-api dan sikapnya menantang.
Suma Boan adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah banyak
pengalamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan
merangkul kaki gadis itu.
“Maaf Eng-moi, maafkan aku yang tak
kuasa mengendalikan diri saking besarnya cintaku. Mari kita duduk dan
ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”
Melihat
pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan
memohon dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng
yang masih hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang buta,
melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti
kata lengah kehilangan kewaspadaan, pertimbangannya menjadi miring,
karena orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar keluar
dari orang yang dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada
perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih,
harum baunya!
Demikian pula Sian Eng yang sudah tercengkeram
asmara, segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini seialu menarik, selalu
menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia lalu
menyentuh pundak pemuda itu dan berkata halus.
***
“Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan sekasar tadi.”
Girang hati Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang mudah dan lunak
baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di bawah pohon
besar, diminta menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.
“Aku sendiri belum melihat tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu
Sin.” Ia lalu menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu Sin ketika
bersama Liu Hwee melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui
lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.
“Bagus!” Suma
Boan berseru girang. “Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun
menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam lorong di bawah
tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika ia keluar
dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan keluar
lorong itu menurut cerita kakakmu?”
“Dia bilang jalan keluar
itu merupakan sebuah gua kecil yang tertutup alang-alang dan tidak
tampak dari luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan
para pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi
Sin-ko melihat ada serumpun bambu kuning tumbuh di atas gua.”
Suma Boan mengerutkan keningnya, memutar otaknya, “Tok-siauw-kui muncul
dari dalam gedung sembahyang, tentu lorong rahasia itu ada tembusannya
ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik ke sana, kau sebagai adik
Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai.”
Sian Eng
tidak setuju. “Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat
bagi Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi
orang luar. Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil dan
berusaha mendapatkan gua yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu.”
Suma Boan menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda
bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia sampai
bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang
hebat!
“Mari kekasihku, mari kita mencari tempat itu! Aku akan
berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan
tempat itu. Mari!”
Berlari-larilah mereka menuju ke tanah
pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja
mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang
Beng-kauw, karena ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biarpun di
situ ada Sian Eng, mereka tetap akan mencurigainya dan kalau sampai
terjadi bentrok dengan mereka, biarpun ia tidak takut, namun usahanya
ini tentu akan gagal. Ia sengaja memilih waktu malam untuk menyelundup
masuk dan mencari hutan itu yang akhinya dapat mereka temukan. Sebuah
hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan pimpinan Beng-kauw.
“Agaknya itulah tempatnya!” akhirnya Sian Eng berseru girang ketika
mereka berdiri di depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk
gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon bambu kuning yang indah.
Waktu itu menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap
alang-alang itu dan.... betapa girang hati Suma Boan ketika melihat
bahwa di balik alang-alang tebal itu betul saja terdapat sebuah gua yang
setinggi dua meter lebih, gelap dan menyeramkan seperti mulut seekor
naga terbuka lebar.
Suma Boan seorang yang cerdik dan licik.
Betapapun besar nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan
Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk
memasuki gua terowongan yang menyeramkan dan belum diketahui benar
keamanannya itu. Ia maklum bahwa gua itu merupakan tempat keramat bagi
orang-orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat
tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.
“Eng-moi, kekasihku, kau tentu
suka membantu aku, bukan? Sebetulnya memang aku yang seharusnya
memasuki gua ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu
sendiri, kalau ada yang melihatku, tentu terjadi pertempuran
mati-matian dan tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup. Oleh
karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat
sukalah kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga di luar.
Andaikata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan
alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan dalih bahwa
kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau ingin
sekali menyaksikan sendiri, maka kau memasukinya.”
Dengan
bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang masuk akal, terutama
dengan janji bahwa setelah mereka menemukan kitab itu, Suma Boan akan
membawa Sian Eng pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk
memibicarakan urusan perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat
membantah lagi.
“Baiklah, Suma-koko, akan tetapi apapun yang
akan terjadi dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan
meninggalkan tempat ini, dan andaikata aku berhasil kelak mendapatkan
kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk
mempelajari ilmunya.”
Suma Boan merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum lebar. “Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya kepadaku?”
Girang hati Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan
memasuki gua itu dengan hati-hati sekali. Setelah melihat gadis itu
menghilang di dalam kegelapan gua itu Suma Boan lalu menutup dan
merapikan kembali rumpun alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak
akan tampak dari luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut gua dengan
hati berdebar-debar.
Sian Eng terus melangkah ke depan dengan
hati-hati sekali karena di dalam terowongan gua itu amat gelap. Kakinya
melangkah dengan pasangan kuda-kuda untuk menjaga segala kemungkinan,
pedangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang
diinjaknya kering dan tidak licin, juga rata seakan-akan diratakan oleh
manusia. Ia maju terus menyusuri terowongan yang agaknya tidak ada
ujungnya itu. Beberapa kali terowongan itu berbelok dan setelah ia
berjalan selama satu jam, keadaan di depannya mulai terang. Tak lama
kemudian Sian Eng dapat melihat keadaan sekelilingnya. Di kanan kiri
terlihat dinding batu karang yang agak basah. Jalan terowongan yang
dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter. Sekali lagi ia
membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat meter
persegi yang cuacanya terang sekali, karena berbeda dengan terowongan
tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan
cahaya matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang
dalamnya lebih dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu
besar dan celah-celah di antara batu-batu besar inilah yang diterobosi
sinar matahari sehingga tidak hanya ruangan bawah tanah itu yang terang
melainkan sebagian lorong juga mendapatkan cahaya. Tiba-tiba terdengar
suara bercicit dan sesosok bayangan hitam kecil menyambar dari depan ke
arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget sekali, mengira bahwa bayangan
itu adalah senjata rahasia karena anginnya halus dan cepat. Ia
miringkan tubuhnya dan melompat ke tengah ruangan. Akan tetapi segera
ternyata olehnya bahwa sebetulnya tak perlu ia mengelak, karena benda
itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya
ketika melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya.
Betapapun juga, karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah
ruangan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dan dapat memandang
keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke
atas lantai.
Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai
tepat di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara hiruk-pikuk di depan
dan belakangnya. Sian Eng kaget sekali dan cepat ia memandang. Kiranya
pada saat itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai tertutup
oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam dinding!
“Celaka....!” Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk
menerobos keluar kembali dari ruangan itu. Akan tetapi terlambat. Batu
itu sudah hampir tertutup seluruh jalan terowongan. Gadis ini segera
memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu,
mengerahkan sin-kang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar
ia dapat menerobos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika
mendapat kenyataan bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia
menahan sehingga batu itu terus bergerak sampai terowongan itu tertutup
seluruhnya.
Sian Eng membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah
seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah sana masih
belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia terlambat
dan tidak kuasa mendorong kembali balu penutup yang dapat bergerak
secara aneh itu.
Sian Eng kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia
telah terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu karang
yang agak basah, bawahnya lantai batu karang pula, di depan dan belakang
kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan demikian beratnya
sehingga ia tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter
tingginya, tertutup batu-batu besar pula dan hanya celah-celahnya yang
cukup lebar saja dapat diterobos sinar matahari.
Sian Eng bukan
seorang gadis penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga.
Kembali ia mendekati batu-batu yang menutup lorong itu, bergantian ia
memeriksa dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit
sehingga terdapat lubang untuk diterobosnya. Akan tetapi, memang betul
di antara dua batu penutup dan dinding karang terdapat celah-celah yang
cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah lengannya, karena di antara
dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang tidak rata, akan
tetapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena terlampau
kecil. Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada
celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi
pedangnya membalik dan tidak akan sekeping pun batu dapat dipecahkan
pedangnya! Ketika ia memeriksa, ternyata batu hitam yang luar biasa
kerasnya, seperti baja! Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek
dan membacoki batu. Namun sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan
menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan yang mulai gelap, telapak
tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya menjadi rusak-rusak
ujungnya.
Sian Eng menangis! Kemudian ia berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti di luar gua.
“Suma-koko! Suma-koko....! Ke sinilah dan tolong aku....!”
Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena
matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia berhenti setelah suaranya
menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir batin, Sian Eng
kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan
memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu. Dan setelah
ia dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali
kelelawar berseliweran di dalam ruangan itu. Mula-mula ia merasa
heran, dari mana datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia
teringat bahwa di antara batu-batu penutup lorong itu terdapat
lubang-lubahg yang cukup lebar untuk diterobosi kelelawar-kelelawar itu.
Pada saat itu, alangkah inginnya dia menjadi seekor kelelawar!
Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam
membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang
amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan
tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan
menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa serem dan
ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama
sekali. Andaikata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda
itu dapat membebaskannya dari kurungan batu-batu yang kokoh kuat ini?
Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.
Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu,
meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.
“Aku harus hidup! Aku harus hidup!” Terdengar ia berteriak-teriak dan
menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat
menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia.
Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam
gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu
yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat
peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah
kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar
dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.
“Kurang ajar!”
bentaknya, cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang
itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi. Sian Eng meraba bekas
gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat
binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara
tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan.
Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar ke sana-sini,
mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor
kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian
tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki. Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu
terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika
racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh,
binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, mengisap
darah!
Suma Boan yang menunggu di luar gua tanpa mengetahui
keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga hari tiga
malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar! Pemuda ini tetap
bersembunyi di mulut gua, di belakang rumpun alang-alang karena ia
khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di
waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan.
Betapapun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar
ia menanti.
Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga
belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah
sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena
pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak
mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena
kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah
penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena
memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng
tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab
kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.
Karena khawatir
kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari
ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan
memasuki gua itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia
melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia
sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu.
Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya
terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang
menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya
remang-remang saja.
Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan
ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu
menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia
belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau
celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat
lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah
memasuki sumur itu.
“Eng-moi!” Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.
“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.
Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia
sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apalagi Sian Eng? Tentu, seperti
juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan
menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah
ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati,
meraba-raba dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa
tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan
itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini.
Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ
terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena
lebarnya hanya setengah meter saja.
Lorong kecil ini seakan-akan
tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama
Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan
Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan serem. Lorong itu diterangi
sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa
ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan
tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seremnya. Ruangan itu
lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung
berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka
seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat
buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang,
sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk
baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!
Suma Boan bukanlah
seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara
Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan daripada
empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu
ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak
lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini,
agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui!
Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan
itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi, alangkah kagetnya
ketika ia tiba di tengah ruangan, tiba-tiba terdengar suara
berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak
menyerangnya dari empat penjuru! Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak
merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah.
Apalagi hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang
dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau
hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya
bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat
putus senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka.
Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu
hebat dan aneh sekali, senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan
dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk
lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang.
Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh!
Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang
dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan
gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya! Suma Boan
merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi
ia terguling roboh di atas lantai!
Kiranya empat buah rangka
itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka
bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di
sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan
muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan
yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.
Sebagai seorang
tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma
Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat
berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut! Dan ia
dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat
rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka-rangka itu kalau ia
menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar
dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.
Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular
itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat
gerakannya kurang cepat dan kalau ia menggunakan pedangnya melawan
ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin. Pemuda bangsawan
yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya,
merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya. Karena pedangnya
amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri
ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke
tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk
memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan
kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di lorong, lalu
ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.
Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong
daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan
membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang
tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil
berteriak-teriak memanggil Sian Eng.
Mulai gelisah hati Suma
Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan
besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong
kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia
yang amat berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-jangan
gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau
tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi
menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apalagi tiga ekor ular tadi
kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.
Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari
terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya
sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas,
mengerahkan sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia
telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya! Kaget
bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya
kabur.
Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar
gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan
seorang wanita berkelebat di depan gua itu.
“Moi-moi....!
Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga....!” teriaknya girang sambil
mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar keluar. Pandang matanya
agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang
berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi
kalau bukan Sian Eng?
“Kekasihku....!”
“Tutup mulutmu
yang kotor!” Tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras
menyambar muka Suma Boan. Biarpun kepalanya pening, namun Suma Boan
belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha
mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.
“Moi-moi.... kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, di
mana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak
memeluk gadis itu.
Dengan teriakan tertahan, gadis itu mengelak
dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang
yang kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor
yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah
mulai gelap! Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan
tangan melakukan pukulan jarak jauh dan.... padamlah obor itu. Keadaan
sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca
remang-remang.
Tampak bayangan lain berkelebat datang, “Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini bertanya.
“Susiok (Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar
dari gua rahasia! Mari tangkap! Dia kelihatan seperti gila!” jawab Liu
Hwee, gadis itu.
Sementara itu, ketika Suma Boan mendengar
percakapan pendek ini, sadarlah ia bahwa ia telah keliru sangka. Gadis
itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu
Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian
Cinjin, orang ke dua dari Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu
lari tunggang langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga
melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar di malam buta.
Kauw Bian Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia
kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang lawan macam Suma Boan, cukup
ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau kedatangan Suma Boan
itu hanya pancingan belaka agar ia ikut pula mengejar, sedangkan siapa
tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan datang
beraksi! Karena itu, Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya,
melainkan melakukan perondaan di sekitar tanah kuburan Beng-kauw yang
berada di atas lorong-lorong rahasia.
Demikian, seperti kita
ketahui di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan
Suling Emas dan Lin Lin yang berada di depan kuburan mendiang Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas
untuk mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali. Suling Emas
mengejar ke timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara.
***
Suling Emas dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat. Tanpa disadari
sendiri oleh gadis itu, kini ia dapat mengimbangi kecepatan Suling
Emas, kemajuan yang luar biasa semerak ia mempelajari ilmu peninggalan
Pat-jiu Sin-ong, terutama sekali petunjuk-petunjuk cara bersamadhi dan
mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari hal itu, akan tetapi Suling
Emas dapat menduganya karena dahulu tidaklah sehebat ini gerakan Lin
Lin. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir. Ilmu ciptaan Pat-jiu
Sin-ong ini hebat sekali. Baru satu jurus Soan-hong-ci-tian (Angin
Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah dipergunakan Lin Lin ketika ia
mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya, kalau sudah
terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti
di dunia persilatan. Ia hanya khawatir kalau-kalau kepandaian sakti itu
pada diri seorang gadis seperti Lin Lin akan menimbulkan keributan
kelak. Ia tahu bahwa sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian
(Tuhan) setelah jatuh pada diri manusia, menimbulkan dua macam hal
bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung daripada si manusia itu
sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang amat aneh, sukar
sekali dimengerti.
Sampai sepekan mereka mengejar, belum juga
mereka mendapatkan jejak Suma Boan maupun Liu Hwee. Pada hari ke tujuh
mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan
berhentilah Suling Emas.
“Tiada guna,” katanya ketika mereka
mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan.
“Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju.
Pula Kauw Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan dapat
menyusul dan menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andaikata tidak dapat
menyusulnya, Suma Boan akan bisa berbuat apakah? Kepandaiannya tidak
ada artinya kalau dibandingkan dengan kesombongannya.”
“Apakah
kepandaian Liu Hwee itu hebat?” Lin Lin bertanya sambil memandang wajah
tampan di sebelah kanannya. Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya
karena ia menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara Suling Emas
dan Liu Hwee.
“Puteri tunggal ketua Beng-kauw tentu saja
mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga pandangannya
luas dan ia selalu hati-hati dan waspada.” Suling Emas memuji-muji
sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Seketika bibir Lin Lin cemberut. “Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara dia dan aku!”
Suling Emas yang tadinya duduk seperti melamun menjadi kaget, dan cepat
menoleh memandang wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut dan mata
gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada
Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia
menarik napas panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan wajah
kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja pertahanan hatinya bobol. Bagaimana
ia tidak dapat mencintai gadis yang wajahnya begini mirip Suma Ceng,
yang wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali
akan mendatangkan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap muram?
Bagaimana takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan
kegagalan cinta kasih, apabila ia menerime uluran hati gadis ini? Namun
tidak! Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa
gadis ini mencintanya, semenjak.... semenjak peristiwa di dalam gelap di
malam hari dalam kamar perpustakaan istana dulu! Semenjak ia memeluk
dan mencium gadis itu tanpa disengaja karena mengira Lin Lin adalah
Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran
cinta kasih itu betapapun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya.
Hal pertama ini sungguhpun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah
merupakan penghalang. Ke dua, gadis ini masih amat muda kalau
dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin baru delapan belas tahun,
sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak, ia harus tahu diri!
“He, mengapa kau diam saja? Bagaimana pendapatmu?” Tiba-tiba Lin Lin
menepuk lengan Suling Emas yang menjadi kaget dan sadar daripada
lamunannya.
“Apa? Pendapat apa?” tanyanya, tersenyum.
“Aku bilang tadi, ingin kumenandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya!”
“Hemmm, ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu
untuk mencari perkara dengan puteri Beng-kauwcu (ketua Beng-kauw).”
“Siapa bilang tidak ada?” Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar. “Banyak sekali alasannya!”
“Hemmm, apakah kesalahannya? Apa alasannya?” Suling Emas membantah, mengerutkan kening.
“Banyak, terutama sekali karena aku tidak mau kalah olehnya!”
Suling Emas melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak makan asam
garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh
seperti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum
banyak pengalamannya dengan wanita, karena semenjak hatinya terluka
oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai daripadanya dan menikah dengan
orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk
mendekati wanita. Karena itu, ia sama sekali tidak mengenal watak-watak
wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat
pandang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang
mengandung sinar kemesraan seperti kalau sepasang mata Suma Ceng
memandangnya, Suling Emas segera menundukkan muka.
“Sudahlah,”
katanya kemudian setelah menarik napas panjang untuk menenangkan
hatinya yang berdebar tidak karuan, “mari kita bicarakan urusan lain
yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini kita harus berpisah. Kulihat
kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak dapat
kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan jurus-jurus
ilmu yang kaudapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau hal itu
diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap
sebagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.”
Akan
tetapi Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat
terakhir. Matanya terbelalak dan wajahnya berubah, karena kata-kata
“berpisah” itulah yang menggores hatinya.
“Berpisah?” ia tergagap. “Kenapa....?”
Suling Emas tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini
jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak ingin berpisah dari padanya. Sama
dengan Suma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah dan
menerima keadaan, sebaliknya gadis ini bersikap keras, agaknya takkan
mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.
“Tentu
saja kita harus berpisah, karena jalan kita memang tidak sama. Kau
kembalilah ke Cin-ling-san menyusul kakakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri
mencari Sian Eng. Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh
menyusul ke Cin-ling-san.”
“Aku ikut! Aku juga hendak mencari
Enci Sian Eng sampai dapat. Kita mencari bersama, bukankah lebih baik?
Aku tidak akan menyusahkanmu, biar.... biarlah aku mencari makan minumku
sendiri!”
Mau tak mau Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran seperti kanak-kanak.
“Bukan begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus kuhadapi.
Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san sudah
dekat waktunya, aku pun harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat
sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku
terancam bahaya....”
“Aku tidak takut! Kalau mereka
mengganggumu, aku akan hajar mereka! Apa kaukira aku ini seorang manusia
yang tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san!”
“Wah, kau mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?”
“Aku tidak takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan.”
“Hemmm, baru saja kupesan supaya kau tidak menggunakan ilmu peninggalan....”
“Kan mereka bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu
peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka
dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat nama Beng-kauw dan
terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu akan tertawa
melihat betapa ilmunya di tangan seorang gadis seperti aku dapat
mengalahkan iblis-iblis jahat!”
Suling Emas merasa kalah
berdebat. “Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa,
kita harus berpisah. Atau.... kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar
sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat
menemukan Sian Eng, baru kau dan encimu pulang bersama.”
“Tidak!
Sekaii lagi ti...” Tiba-tiba tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu
mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan telapak tangannya. Lin Lin
memandang dengan mata terbelalak kaget dan heran, akan tetapi baru ia
mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan mulut dan
memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Kini baru Lin
Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat
cepat sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang
itu, hanya jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya
ramping. Akan tetapi mukanya tidak tampak karena ketika lari
menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan
larinya, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.
“Seperti Enci Sian Eng....” bisik Lin Lin terheran-heran. Memang bentuk
tubuh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan pakaian
seorang ahli silat yang serba ringkas melainkan pakaian seorang wanita
dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambutnya panjang
terurai, sungguhpun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, namun
terurai sampai ke lutut belakang.
“Bukan, mari kita ikuti dia,
mencurigakan sekali....!” kata Suling Emas yang sudah melompat dan
mengejar. Lin Lin terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin
mengerahkan gin-kang dan berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling
Emas. Akan tetapi kali ini ia tertinggal, karena Suling Emas
betul-betul berlari cepat kini. Baru ia tahu bahwa kepandaiannya dalam
berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh pendekar yang
dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum matang
dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun
sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu
itu.
Tiba-tiba Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia berkata.
“Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kaupegang tanganku!”
Tak usah menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar tangan kiri
Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk
selamanya! Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk karena segera
tubuhnya tersentak keras ke depan dan di lain saat ia terpaksa harus
mengerahkan gin-kangnya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari
seperti terbang cepatnya! Namun, bayangan wanita di depan itu tetap tak
dapat tersusul. Hal ini saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita
di depan itu betul-betul sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin
merasa kagum sekali dan ia pun ingin segera melihat siapa sebenarnya
wanita itu.
Wanita di depan itu lari menuju ke timur. Setelah
tiba di daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia mengurangi
kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas mengajak
Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.
“Kenapa tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,” bisik Lin Lin.
“Sssttt, apa perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya bukan main,
tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan hendak
berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi lupa lagi....”
kata Suling Emas.
Akan tetapi wanita itu benar-benar kuat
sekali. Tak pernah ia berhenti berjalan sampai senja berganti malam!
Lin Lin sudah merasa lelah sekali.
“Aku.... aku tidak kuat lagi
berjalan....” ia mengeluh. “Kakiku serasa hendak copot sambungan
tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok,
tidak kuat lagi....” Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan dirl duduk di atas
tanah.
“Mari kupondong!” Suling Emas yang betul-betul tertarik
oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa
ragu-ragu membungkuk dan memondong tubuh Lin Lin. Gadis ini segera
merangkul lehernya dan merebahkan kepala di atas pundaknya dengan hati
penuh babagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan
melanjutkan perjalanan mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa
kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh yang kadang-kadang menyebut “kanda”
ada kalanya menyebut “Suling Emas” begitu saja kepadanya. Gadis yang
bukan sedarah deging dengannya, lain ayah ibu, gadis berdarah
bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.
Malam itu
bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan
wanita yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut
bahagia dan mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana menjadi
romantis sekali. Tidak salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa
sinar bulan purnama mendorong dan merangsang hati muda ke arah
kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara. Lin Lin masih merangkul leher
Suling Emas, kepalanya rebah miring di atas pundak pendekar itu dan
matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta
kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah banyak
berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini.
Dirasanya baru sebentar ia dipondong!
“Koko....” bisiknya di dekat telinga Suling Emas.
“Hemmm....?” Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya
tertuju ke depan. Wanita itu mendaki sebuah bukit kecil di mana
terdapat tanah kuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah dan
batu nisan!
“.... ingin sekali aku selamanya berada di dalam pondonganmu....”
“Huh, kau bukan bayi! Sudah terlalu lama kau kupondong. Turun!” Suling
Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna kemerahan
sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang menjadi merah sekali.
“Koko....”
“Hushhhhh.... lihat itu....” Suling Emas menuding ke depan. Teringatlah
Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di dalam
pondongan Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa
segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada
mereka berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada
lagi! Sekarang ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin
ketika mendapat kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah kuburan,
bahkan Suling Emas dan dia sudah mengintai dari balik sebuah batu nisan,
di bawah sebatang pohon kecil.
Wanita itu dengan lenggang yang
menunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan bagus
sekali, berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan diri
berlutut memeluk batu nisan sambil menangis tersedu-sedu!
“Ayah...., Ayah yang baik.... ampunilah anakmu....” ratap tangis wanita itu.
Sejenak Lin Lin tercengang, kemudian tak terasa lagi air matanya jatuh
berderai di atas kedua pipinya. Teringatlah ia akan dirinya sendiri
yang sudah yatim piatu, tiada ayah bunda lagi, bahkan dibandingkan
dengan wanita di sana itu, dia lebih sengsara. Setidaknya wanita itu
dapat menangisi kuburan ayahnya, sedangkan dia, di mana kuburan ayah
bundanya saja tidak tahu! Timbul rasa simpati dan kasihan kepada wanita
yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa senasib dan ingin ia
mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan kakinya dan Lin
Lin sudah bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi tiba-tiba
Suling Emas memegang lengannya dan menahannya. Pendekar ini memberi
isyarat dengan telunjuk di depan mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka
sedang mengintai, maka ia membatalkan niatnya dan menghapus air mata
dari pipi, lalu mengintai dan mendengarkan.
“Ayah.... ampunkan
aku, Ayah. Anakmu telah gagal membalaskan dendam untukmu.... dia terlalu
sakti, bukan lawanku. Banyak tokoh kang-ouw bersamaku mengeroyoknya,
tanpa hasil. Ayah.... tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hatimu,
tak mungkin aku dapat mengalahkan dia, pula.... ampunkan aku, Ayah....
anakmu ini.... yang hina dina.... tidak akan tega membunuhnya. Mungkin
dapat aku memperdalam ilmu untuk mengalahkannya, akan tetapi.... aku....
aku cinta padanya. Aku mencinta Suling Emas putera musuh besarmu....”
Kembali gadis itu tersedu menangis, kemudian tiba-tiba bangkit berdiri
mengembangkan kedua lengannya berdongak memandang bulan purnama dan
bersumpah.
“Ayah, semoga rohmu mendengarkan sumpahku, disaksikan
oleh Dewa Bulan! Biarpun aku tidak akan dapat membunuh Suling Emas,
namun aku bersumpah untuk membunuh semua isterinya kalau dia beristeri,
dan semua anaknya kalau dia mempunyai anak!”
Sampai pucat wajah
Suling Emas ketika ia mengenal suara dan wanita ini yang bukan lain
adalah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian, puteri tunggal almarhum Hui-kiam-eng
Tan Hui yang tewas di tangan ibunya! Bukan main hebatnya sumpah ini
sehingga biarpun hati Suling Emas sekuat baja, namun ia menjadi pucat
dan gemetar juga karena maklum bahwa malapetaka akan menimpa
keturunannya!
Sementara itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali
mendengar ini, akan tetapi timbul kemarahannya mendengar pengakuan
wanita itu yang mencinta Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh anak
dan isteri kekasihnya ini, membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan
seruan yang merupakan lengking tinggi, hasil yang tak disadarinya
daripada ilmunya yang baru, ia telah melompat ke depan dan selagi wanita
itu membalikkan tubuh dengan kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis
sudah melancarkan serangan berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan
tangannya yang kecil halus saling bertumbukan, namun tepat menghantam
tubuh wanita itu secara berbareng.
Wanita itu menjerit dan
terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah
seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan karena tidak
mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apalagi kalau diingat betapa
wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar
biasa.
“Lin-moi, jangan....!” Suling Emas berseru namun
terlambat. Andaikata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah
Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini
berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh
Tan Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan
darah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia
sendiri kaget bukan main melihat akibat daripada pukulan Lin Lin
karena setelah memeriksa, ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah
sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi. Pukulan itu
telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa
disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pukulan dahsyat dari
Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah
Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa
beracun yang hebat dan satu-satunya jalan untuk menolong Tan Lian
hanya membawanya secepat mungkin kepada tabib yang sakti, karena
tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu menolongnya.
“Bocah
lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak
berdosa?” Setelah berkata demikian, Suling Emas menyambar tubuh Tan
Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.
“Koko.... tunggu....!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan
tetapi Suling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi. Lin Lin
memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan
diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi
pipi.
“Dia marah kepadaku....” pikirnya, “mengapa marah?
Perempuan itu musuhnya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan
sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar
kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan
menghilangkan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.
Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi
amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan
dengan tekun, sabar, dan penuh keberanian. Apalagi setelah ia dengan
satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di
kuburan itu, timbul kepercayaan besar pada dirinya sendiri,
kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapapun juga karena pada dirinya
terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti. Pikiran ini pula yang membuat
Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya
berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka
Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun
tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri
daripada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya
Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).
Berpekan-pekan Lin Lin
melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para
penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari
sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang
tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah
ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagaimana kalau dia tidak
berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh
karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas? Hatinya tidak enak dan
cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata
masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia
teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk
berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan
Suling Emas yang marah-marah kepadanya memakinya sebagai bocah lancang.
Dia lancang? Memukul seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi
juga mengaku cinta, lancangkah itu?
“Ah, Suling Emas, aku cinta
kepadamu.... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia
menghela napas dan duduk di pinggir jalan, menghapus keringatnya dengan
saputangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak
rasanya menyandarkan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati,
duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore
hari itu.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki
kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun
menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata.
Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping
lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak
gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak
bergoyang-goyang biarpun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa
penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia
tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.
Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu mengangkat muka, dan....
“Liong-twako....!” Lin Lin berseru sambil melompat bangun.
“Lin-moi....!” Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas
punggung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya
dan mendekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan
hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget
dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya
ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada
Bok Liong.
“Lin-moi.... ah, Lin-moi.... alangkah bahagia haLtiku
melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa
terbebas daripada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!”
seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri
dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah
oleh air mata!
Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri
daripada pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bahkan
terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira
dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.
“Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekaii
melihat kau selamat. Tadinya aku sudah khawatir sekali, mengira kau
tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.”
Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil
berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau
ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat
itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak mahluk lain
kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan
peluh membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan
perjalanan jauh.
Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. “Ah,
maafkan aku, saking girangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata
seperti bocah cengeng,” katanya.
“Bukan begitu, Twako. Kau
terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku
tanpa menghiraukan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika
melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan tetapi,
bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh
suhumu yang lucu itu.”
“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah
menolongku. Beliau merawatku sampai sembuh dan aku diminta tinggal
bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat
aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui
Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau membebaskanmu, bagaimana
kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”
“Aku ditolong
oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan
pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang
ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama
Suling Emas.
“Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung
Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus
digenggamnya. “Tempat ini berbahaya sekali! Thian-te Liok-koai yang
tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong,
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu
kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di
antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang
yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”
Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi pedang runcingnya.
“Twako, justeru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”
Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya.
“Nonton? Moi-moi, kau terlalu meremehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan
mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa
dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira
bisa saja mereka membunuh orang, apalagi dalam marah atau duka.
Pendeknya, sedikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan
menurunkan tangan iblis. Bahkan mereka berlumba agaknya untuk dapat
disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te
Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di
dunia! Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!”
Kembali Bok Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.
Lin Lin
kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan
tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda itu, ia mendiamkannya saja,
lalu menjawab.
“Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini
penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan
orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat
orang sedunia boleh merasa kagum. Kenapa sekarang kau takut? Dan pula,
bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andaikata tidak berjumpa
denganku, kau hendak ke manakah?”
“Ah, Lin-moi, sudah
kuceritakan kepadamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira
bahwa kau tentu celaka di tangah iblis itu. Oleh karena inilah setelah
aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena
teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu
dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati
kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu
denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas
di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku
pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan
dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin
Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.
“Hemmm, kau selalu memikirkan tentang keselamatanku tanpa menghiraukan
keselamatanmu sendiri, Twako. Andaikata aku menuruti kehendakmu tidak
jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat lalu kau hendak
mengajakku ke mana?”
Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi
kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, “Lin
Lin, Moi-moi.... aku.... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui
bibi gurumu, aku.... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”
Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa
pemuda ini mencintanya, akan tetapi mendengar bahwa Bok Liong hendak
meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia benar-benar menjadi kaget dan
wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit
berdiri.
“Tidak.... tidak.... Liong-twako, aku.... menganggapmu
sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah
mengangkat saudara.... tapi aku tidak.... tidak....”
Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan.
“Lin Lin, dewi pujaan hatiku.... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah
ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu semenjak pertemuan kita yang
pertama, aku rela mati untukmu.... sudilah kau menerima cintaku, bukan
sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku
bersumpah akan membahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”
Air
mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia
yakin bahwa andaikata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti
hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah
Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan
tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini
tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah
seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas,
satria sejati. Namun, hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia
hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.
“Tidak, Liong-twako....!”
Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas
daripada pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan
pemuda itu, lari seperti terbang mendaki Gunung Thai-san!
***
Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya
sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah
menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua
matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan,
mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia
tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak
mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena kaget
dan gelisah, hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja
yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak
putus asa dan akan berlaku sabar. Akan tetapi hatinya khawatir bukan
main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat
berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus
mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin
daripada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa
pada hari-hari pertandingan para iblis di puncak Thai-san, gurunya itu
akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti
yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang
untuk menonton pertandingan berbahaya itu. Maka hatinya menjadi besar
dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang amat
curam dan sukar dilalui itu. Baru sekarang teringat olehnya betapa
cepatnya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya
mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya
sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah malah.
Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung
sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia
harus bergerak dengan hati-hati dan lambat!
Ketika Lie Bok Liong
tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di
punggung Gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh
ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang
mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan
memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya.
Bulu tengkuk pemuda ini berdiri dan biarpun ia tidak percaya akan setan
yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang
sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok
Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti
yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main
kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri! Kini kakek ini muncul dari balik
sebuah batu besar dan mukanya lebih buruk daripada dulu. Punggungnya
makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur
dan debu, mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya
yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan
air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur.
Tangannya memegang sebatang tongkat butut.
“Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaanmu?”
Di dalam hatinya Bok Liong mendongkol sekali, akan tetapi maklum bahwa
ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh
dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan
sikap sopan.
“Kai-ong (Raja Pengemis) yang mulia, harap maafkan
bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada di sini
sehingga terlambat menyampaikan salam.”
“Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”
“Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”
“Heh-heh, tak perlu kauperkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!”
Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah
mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong dengan totokannya!
“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang
ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di
tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak
dari totokan ini. Melihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh
belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali
tongkatnya.
“Heh-heh, kau murid si tukang gambar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”
“Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak
berkenan muncul atas kehendak sendiri.” Jawaban Bok Liong ini
mencerminkan kecerdikannya. Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di
gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyombong bahwa
gurunya akan melindunginya, akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa
gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi
sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek
berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!
Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar
digertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu gurumu tentu belum datang. Sayang
sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mampus gurumu itu agar
kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah
iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa she Gan si tukang gambar ke
puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak
berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus
mampus!”
Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di
antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan
sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biarpun ia maklum bahwa
keadaannya amat berbahaya, namun suara pemuda gagah ini sama sekali
tidak mengandung rasa takut den tidak gemetar.
“Huah-ha-ha!
Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang
dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek
pengemis yang menyeramkan den menjijikkan ini membuka mulutnya meludah
ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”
Dua gumpal ludah menyambar
bagaikan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini
sudah waspada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil
mencabut pedangnya. Berkat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal
ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan amblas
masuk ke dalam batu besar di belakangnya!
“Heh-heh-heh,
Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!”
Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang
lebar, namun setiap titik air menuju ke arah jalan darah dengan
kekuatan yang cukup untuk mematikan lawan.
Bok Liong memutar
pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang merupakan payung
bundar di depan tubuhnya yang menangkis semua percikan air ludah itu.
Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang
menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan
pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar
hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan
ludah. Bukan main hebatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam
serangan ludah-ludah itu.
“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.
Bok Liong sibuk sekali dan ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya lalu
mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah
dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka.
Kini ia menangkis dari samping sehingga ia hanya mengalihkan arah
ludah-ludah itu ke semping. Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku
menerima penghinaan ini, pikir Bok Liong dan menangkis atau mengelak
penuh kelincahan. Betapapun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja
sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu
balas menyerang!
Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat
menghindarkan serangan ludahnya, membuat It-gan Kai-ong marah luar
biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya, serangan ludahnya sudah
cukup untuk menewaskan lawan yang muda.
“Eh, kau boleh juga.
Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya
menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong
sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus menerjang
ke arah dirinya. Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang
menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan
loncatan-loncatan lincah. Namun akhirnya ia terpaksa berhenti karena
di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar,
siap mencaploknya!
“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana
sekarang?” It-gan Kai-ong mengejek, terkekeh-kekeh dan tongkat
bututnya mendesak makin dahsyat.
Betapapun dahsyat dan hebatnya
ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya,
namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih
dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan
akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka
menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong
berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara
berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus
pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang
dengen nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di
pinggir jurang ini.
It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang.
Betapapun juga, balasan serangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh
ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini
pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali
kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa lengannya seakan-akan serasa
patah. Namun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan,
ia menyambar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut
It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serangan nekat ini,
ia membiarkan dirinya “terbuka” dan tidak terlindung. Pedang
Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya
redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan
dengan pengerahan tenaga Im.
Akan tetapi tiba-tiba pedang itu
terhenti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan
It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya
namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu
ternyata membuat dia celaka, karena tenaga ini memungkinkan lawannya
yang sakti menempel dan “menyedot” sehingga ia merasa betapa tubuhnya
menjadi lemas.
Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah
mentah-mentah. Ia mengerahkan sisa tenaga yang ada, tiba-tiba tangan
kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya berubah,
melangkah maju. Pukulan ini mengarah dahi lawan yang kalau mengenai
tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi, karena memang
kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan
Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus
tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang,
rebah terlentang.
“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhken pukulan maut.
Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu.
Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia bergulingan cepat sehingga ia
terlepas daripada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya
sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!
Pada saat
itu, sebuah bayangan berkelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah
seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok
Liong.
“He, pengemis iblis picak! Kauapakan muridku? Mana dia sekarang?”
“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke
dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah
jurang.
Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan
gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang
terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya.
“Jembel
busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya
terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama
tua!”
“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao
telah menghina muridku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah
pantas?”
“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong, kau telah
membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah
yang akan mengganti nyawanya!”
“Majulah, siapa takut kepadamu?”
Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Maklum bahwa lawan yang
dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh, keduanya tidak
main-main lagi. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas
kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri
berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang
tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Adapun
Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang senjatanya pula, yaitu senjata
yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang
hitam di tangan kanan sedangkan yang berbulu putih di tangan kiri. Ia
berdiri dengan kedua lutut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya
menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.
Ada
lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan
penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling
taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si
raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului
tongkat bututnya. Tongkat ini mengandung tenaga dahsyat dan angin
pukulannya sampai menggoyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.
“Wesssss!” Tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek, dan
pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya melakukan dua kali totokan maut
selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi, dengan gerakan tubuh yang
tepat raja pengemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan
keduanya, mereka sekarang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri
tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh
menegang.
Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya,
mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam
pertempuran, karena ia tentu menganggap bahwa dalam pertempuran, siapa
lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan
tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong,
malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah
kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan pertahanan
sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah,
terbukalah “lubang” dan hal ini berbahaya. Inilah sebabnya maka keduanya
sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai
menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kaiong sudah
menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau
dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras
dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah
menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang
menyambar-nyambar ke depan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas
dan bawah.
Biarpun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi
ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri
dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar dan
seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba
tongkatnya membalas dengan babatan ke bawah, mengancam kedua kaki
Gan-lopek. Tubuh kakek ini, dengan pantatnya tetap megal-megol seperti
ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat
hanya lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun
didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan menangkis, pena
bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bukan main
sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus
menggunakan segala kepandaiannya untuk menghindarkan diri. Gerakan
Empek Gan gesit dan aneh, apalagi dengan gerakan khusus pantatnya yang
megal-megol ini membingungkan lawannya.
Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya
bersambung...............8
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar