Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [ 7 ]

tangan kanan mencengkeram ke arah perut. Dua serangan yang me­ngandung cengkeraman maut!

“Hayaaaaa! Bu Sin, kau benar-benar tak bisa menerima cinta kasih orang! Baiklah kalau kau sudah bosan hidup!” Dengan gerakan lincah dan mudah saja wanita ini mengelak daripada dua pukul­an Bu Sin itu, kemudian ia berseru ke­ras dan tubuhnya tahu-tahu sudah men­celat ke belakang sampai lima meter jauhnya. Bu Sin yang menjadi penasaran mengejar dan kembali menerjang, akan tetapi iblis betina itu menggoyang ke­palanya dan Bu Sin merasa gelap pan­dang matanya ketika rambut yang hitam panjang itu melayang cepat merupakan selimut menghitam yang harum sekali baunya. Pemuda ini berusaha untuk meng­hindarkan diri dengan melompat ke sam­ping, namun tiba-tiba gerakannya tertahan dan sama sekali la tak mampu berkutik oleh karena bagaikan ular-ular hidup, rambut-rambut itu telah melibat kaki tangan dan lehernya! Ia merasa seakan-akan ia diringkus oleh banyak tangan yang halus dan harum, dan be­tapapun ia mengerahkan tenaganya, ia tetap saja tak mampu bergerak!

“Hi-hi-hi! Orang bagus berhati baja! Kau mau bilang apa sekarang?” Wanita itu berdiri di depan Bu Sin, kurang lebih satu meter dekatnya, matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah menyeringai memperlihatkan deretan gigi putih ber­kilauan dan kecil-kecil.

“Siang-mou Sin-ni iblis betina! Mau bilang apa lagi? Aku sudah kalah, mau bunuh boleh lekas bunuh, siapa takut mampus?” bentak Bu Sin.

“Tentu kubunuh.... wah, aku memang haus dan darahmu tentu enak se­kali, darah seorang keturunan jenderal, gagah perkasa dan satria utama! Men­dekatlah manis, serahkan lehermu ke­padaku, biar kupilih jalan darahmu untuk kuhisap....!”

Bu Sin tetap hendak mempertahankan diri terhadap tarikan rambut-rambut itu, namun ia seperti seekor lalat terlibat dalam sarang laba-laba, ia bisa meronta namun tak dapat melepaskan diri. Tarik­an rambut-rambut itu makin kuat, dan tenaganya sendiri makin lemah sehingga sedikit demi sedikit ia mulai tergeser maju mendekati bibir merah dan gigi putih berkilau itu. Sementara itu, agak­nya senang sekali dengan pergulatan dan perlawanan Bu Sin, wanita iblis itu terkekeh senang.

“Hi-hik, cobalah, berontaklah kalau mampu lolos, hi-hik. Hayo kerahkan tenagamu, baik sekali.... darahmu menjadi kencang jalannya!”

Bu Sin meronta-ronta dan memaki-maki, namun sia-sia belaka. Kini ia su­dah dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni dan ketika wanita itu mendekatkan mulut pada lehernya, diam-diam Bu Sin merasa ngeri sekali. Napas yang panas dan halus terasa pada lehernya, kemudi­an bibir yang lunak basah dan panas itu menempel kulit leher. Bu Sin hanya dapat meramkan kedua matanya, siap untuk menerima maut karena ia maklum bahwa terhadap wanita ini ia sama sekali tidak dapat melawan. Tiba-tiba bibir yang menempel lehernya itu merenggang dan.... Siang-mou Sin-ni terisak!

“Tidak.... tidak.... aku tidak bisa membunuhmu! Aku terlalu cinta padamu. Ah, Bu Sin, mengapa kau tidak mau membalas cintaku? Aku sayang padamu. Belum pernah aku mencinta laki-laki seperti kepadamu! Bu Sin, kau balaslah cintaku dan aku akan menjadi isterimu, akan melayanimu, akan menurunkan ke­pandaian kepadamu.”

“Iblis! Bunuhlah aku, tak perlu kau merayu dengan kata-katamu yang ber­bisa!”

Siang-mou Sin-ni memeluknya, men­ciumnya. Bu Sin hanya meramkan mata. Ngeri dan jijik hatinya. Perasaannya se­perti seorang yang dibelit dan dibelai seekor ular!

“Dengar, Bu Sin. Kalau kau menjadi suamiku, aku akan membawamu ke Hou-ha, aku akan merampas kedudukan kaisar untukmu. Dengar ini! Kau akan kujadikan kaisar!”

Bu Sin terkejut dan sejenak pikiran­nya melayang-layang. Sebagai putera seorang bekas jenderal, tentu saja ia bukan seorang pemuda yang tidak bercita-cita muluk. Menjadi kaisar merupa­kan tawaran yang mendebarkan jantung­nya dan hampir melemahkan pertahanan hatinya. Alangkah akan mulia dan senang hatinya. Menjadi kaisar, disembah dan ditaati orang senegara, nama ayahnya akan terjunjung tinggi! Akan tetapi segera ia ingat akan wanita iblis di sam­pingnya, dan kegembiraannya lenyap. Biarpun ia menjadi kaisar, kalau wanita ini mendampinginya, ia tentu akan men­jadi kaisar yang hanya akan mencelaka­kan rakyat. Wanita ini bukan manusia, melainkan iblis bertubuh manusia. Ter­ingat ia akan dongeng tentang Kaisar Tiu Ong yang biarpun tadinya merupakan kaisar baik, akhirnya menjadi seorang kaisar lalim karena godaan Tiat Ki, se­orang wanita cantik yang kemasukan iblis, seekor siluman rase yang menjelma menjadi wanita cantik jelita yang keji dan ganas. Bu Sin mengkirik saking jijik­nya dan semua lamunan tadi lenyap, kemarahannya memuncak.

“Siluman hina! Bunuh saja aku!” ben­taknya.

Tangis Siang-mou Sin-ni terhenti. Wajahnya merah sekali, tanda bahwa ia juga marah. “Tentu kau akan kubunuh,” katanya dengan suara dingin, “akan te­tapi kubunuh perlahan-lahan, biar kau tahu rasa! Aku akan membunuhmu se­kerat demi sekarat, akan kusiksa kau sampai kau merasa menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu! Darahmu kuhisap sedikit demi sedikit!” Dengan suara makin kejam wanita ini kembali mendekatkan mukanya. Kilauan gigi putih tampak oleh Bu Sin. Kembali lehernya merasakan sentuhan bibir lunak basah dan panas, kemudian terasa leher itu dikecup, terasa nyeri ketika gigi-gigi kecil meruncing itu menggigit dan....

“Tar-tar-tar!” Terdengar suara keras di udara dan sepasang bola baja kecil menyambar kepala Siang-mou Sin-ni. Iblis betina ini kaget sekali, merenggutkan mukanya dari leher Bu Sin, menoleh.

“Siang-mou Sin-ni iblis jahanam! Keji sungguh kau!” terdengar bentakan wanita yang marah sekali. “Bu Sin koko, jangan takut, aku datang!”

Kembali sepasang bola baja yang berada di ujung cambuk itu menyambar, mengarah jalan darah di punggung Siang-mou Sin-ni. Serangan pertama ke arah kepala tadi tidak dilanjutkan karena agaknya Liu Hwee, gadis yang baru da­tang itu, takut kalau-kalau membahaya­kan kepala Bu Sin.

Melihat datangnya serangan yang amat berbahaya ini, Siang-mou Sin-ni tidak berani memandang rendah. Dari sambaran sepasang bola baja itu ia cukup maklum bahwa gadis aneh ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Apalagi diingat bahwa gadis ini adalah puteri ketua Beng-kauw, tentu saja lihai. Siang-mou Sin-ni marah sekali, memekik liar dan tiba-tiba rambutnya yang tadi mem­belit-belit tubuh Bu Sin melepaskan pe­muda itu menyambar ke belakang, sebagian menangkis senjata lawan, sebagian lagi menyambar ke arah jalan darah membalas serangan!

Adapun Bu Sin yang dilepas oleh libatan rambut-rambut itu, terhuyung-huyung. Akan tetapi hanya sebentar, karena ia segera dapat memulihkan tenaganya. Tangannya meraba leher dan ternyata lehernya berdarah sedikit. Untung Liu Hwee datang, kalau tidak....!

“Adik Liu Hwee, mari kita basmi siluman betina jahat ini!” bentaknya.

Pada saat itu, Liu Hwee sudah me­mutar senjatanya merupakan bentuk pa­yung hitam yang menangkis semua serangan rambut Siang-mou Sin-ni. Begitu bertemu dengan gulungan sinar senjata berupa payung ini, rambut Siang-mou Sin-ni kena dikebut bertebaran sehingga iblis itu terkejut sekali. Hebat juga pu­teri Beng-kauw ini!

“Bu Sin koko, kaupakailah ini!” Liu Hwee melompat ke arah Bu Sin dan menyerahkan sebatang pedang. Tentu saja Bu Sin girang bukan main. Dalam me­nerima pedang itu, jari-jari tangannya bersentuhan dengan jari-jari tangan Liu Hwee. Keduanya saling pandang sejenak, dan dalam waktu beberapa detik ini saja, pandang mata mereka sudah penuh de­ngan pernyataan hati masing-masing. Pandang mata mesra dan dalam pandang mata ini tersimpul semua perasaan hati dan terjadi janji dan sepakat bahwa me­reka akan sehidup semati menghadapi Siang-mou Sin-ni yang lihai.

“Terima kasih, Moi-moi. Mari kita gempur dia!”

Siang-mou Sin-ni berdiri memandang. Ia dapat melihat dan dapat merasakan apa yang terkandung dalam sikap ke­gembiraan mereka dan pandang mata yang mesra itu. Kemarahannya memun­cak dan ia begitu terserang panas hati sehingga ia hanya berdiri tegak, seakan-akan lupa bahwa ia berhadapan dengan dua orang lawan yang harus segera ia terjang.

“Kalian.... ah, keparat. Bocah she Liu kau.... kau mencinta Bu Sin....!”

Seketika wajah Liu Hwee menjadi merah, matanya berkilat menyambar.

“Siang-mou Sin-ni, kami fihak Beng-kauw tidak ada permusuhan pribadi de­ngan dirimu! Dan mengingat bahwa kau pernah menjadi murid mendiang enci Lu Sian, biarlah kumaafkan kata-katamu. Harap kau suka pergi meninggalkan ka­mi!” Biarpun Liu Hwee baru berusia sembilan belas tahun, akan tetapi sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, ia mem­punyai sikap agung dan berwibawa.

Akan tetapi Siang-mou Sin-ni tidak memperhatikan dia, melainkan meman­dang ke arah Bu Sin sambil membentak. “Dan kau.... kau manusia tak kenal budi, kau.... kau mencinta bocah Beng-kauw ini!”

Seperti juga Liu Hwee, wajah Bu Sin menjadi merah seketika dan jantungnya berdebar-debar. Sudah dua kali ada orang mengatakan bahwa ia dan Liu Hwee saling mencinta. Pertama adalah wanita iblis yang lebih dahsyat daripada Siang-mou Sin-ni yang berkata demikian, yaitu mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian ibu Suling Emas. Kedua kalinya adalah si iblis wanita ini!

“Siluman jahat, kami saling mencinta tidak ada sangkut-pautnya dengan kau, dan kau tidak ada harganya untuk me­nyebut-nyebut hal itu!” bentak Bu Sin marah.

Siang-mou Sin-ni menjerit keras, jeritan melengking tinggi dan hampir saja Bu Sin tak kuat mempertahankan karena isi dadanya berguncang hebat. Cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang yang ia latih dari kakek sakti, dan sebentar saja pengaruh jeritan itu lenyap.

“Kalian harus mampus, akan kuhancurkan tubuh kalian. Hi-hi-hik, kalian saling mencintai, ya? Memang betul, kalau akan menjadi satu, akan tetapi setelah men­jadi daging hancur, hi-hik!” Wanita itu kini mengeluarkan senjatanya yang isti­mewa, yaitu yang-khim yang dulu ia rampas dari tangan Bu Kek Siansu. Sam­bil memekik keras ia menerjang maju, rambut kepalanya menyambar-nyambar, diseling senjata khim yang digerakkan secara dahsyat sekali.

“Bu Sin koko, hati-hati....!” Liu Hwee berseru dengan suara pilu karena diam-diam gadis ini merasa gelisah dan ragu-ragu apakah mereka berdua akan mampu melawan iblis ini yang luar biasa sakti­nya.

Sebagai puteri tunggal ketua Beng-kauw, tentu saja ilmu kepandaian Liu Hwee sudah hebat. Gin-kangnya tinggi, gerakannya cepat sekali, tenaga dalamnya juga sudah mencapai tingkat tinggi sehingga senjatanya yang berupa cambuk yang kedua ujungnya dipasang bola baja itu digerakkan dengan kecepatan yang sukar dilawan. Senjata macam ini merupakan senjata yang paling sukar di­pelajari, akan tetapi apabila sudah ma­tang gerakkannya, senjata ini bergerak otomatis, seakan-akan menjadi satu dengan kedua tangan, dan amat berbahaya.

Betapapun juga, dibandingkan dengan Siang-mou Sin-ni, ia masih kalah be­berapa tingkat. Siang-mou Sin-ni adalah seorang di antara Enam Iblis, kepandai­annya aneh dan tinggi. Selain itu, iblis betina ini telah hampir berhasil dalam menciptakan ilmunya yang mujijat dan keji yaitu Ilmu Tok-hoat-lek (Ilmu Gaib Darah Beracun) yang diciptakan dengan cara menyedot habis darah seorang kor­ban. Entah sudah berapa puluh orang korban yang disedot habis darahnya oleh iblis wanita ini! Selain memiliki ilmu setan yang hampir selesai dipelajarinya ini, ia pun memiliki ilmu menggunakan rambut panjang yang ampuhnya melebihi segala macam senjata. Di samping ini, ia berhasil merampas yang-khim dari tangan Bu Kek Siansu dan senjata aneh ini merupakan tambahan kesaktian baginya.

Karena perbedaan tingkat kepandaian ini, dalam pertempuran itu Liu Hwee selalu tertindih dan terdesak. Sepasang bola bajanya yang menyambar-nyambar itu selalu terbentur kembali, bahkan kini yang-khim dan rambut lawan mulai meng­urung dan mendesaknya. Bantuan Bu Sin tidak ada artinya bagi Liu Hwee. Pe­muda ini memang benar memiliki tenaga sakti yang murni, hasil latihan kakek sakti, akan tetapi tenaga itu hanya dapat dipergunakan untuk menjaga diri. Dalam menyerang, karena ilmu silat yang di­miliki Bu Sin adalah ilmu silat biasa saja, maka serangan-serangannya tidak diacuhkan oleh Siang-mou Sin-ni, selalu terbentur dan gagal oleh rambut yang hitam panjang.

Siang-mou Sin-ni adalah seorang wa­nita yang berwatak kejam. Wataknya ini mungkin hampir sama dengan watak se­ekor kucing yang suka sekali memper­mainkan dan menyiksa tikus sebelum memakannya, atau seekor laba-laba yang suka menikmati korbannya yang meronta-ronta hendak membebaskan diri dengan sia-sia. Demikian pula, dalam menghadapi Liu Hwee dan Bu Sin, wanita iblis itu mempermainkan mereka, mengejek dan tidak segera merobohkan mereka, karena dalam mengejek dan mempermainkan ini, ia mengalami kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa.

“Kalian saling mencinta, ya? Hu-huh, ingin menjadi suami isteri dan mem­bangun rumah tangga bahagia, memiliki banyak putera-puteri? Hi-hik, takkan tercapai maksud kalian!”

“Keparat, tutup mulutmu yang kotor!” Liu Hwee membentak, sepasang bolanya menyambar. Siang-mou Sin-ni tertawa, rambutnya bergerak dan hampir saja senjata cambuk itu kena dilibat rambut. Terpaksa Liu Hwee menarik senjatanya dan kini mendadak ia memukulkan tangannya ke depan dengan pengerahan tenaga sakti. Inilah pukulan jarak jauh yang hanya dimiliki oleh kaum Beng-kauw.

“Wuuuuuttttt!” Angin pukulan dahsyat ini menyambar ke arah dada Siang-mou Sin-ni, tepat mengenai sasaran.

“Uuugghhh!” Dari mulut iblis betina itu tersembur darah segar yang langsung menyambar ke arah muka Liu Hwee! Tadinya Liu Hwee girang, mengira bahwa pukulannya mengenai lawan, siapa kira darah yang tersembur keluar itu malah merupakan serangan balasan yang hebat sekali. Ia sudah berusaha mengelak, na­mun tiba-tiba ia menjadi pening dan biarpun darah itu tidak tepat mengenai mukanya, hanya lewat di pinggir kepala, namun cukup membuat gadis ini terhu­yung-huyung, pandang matanya gelap. Ia tidak tahu bahwa itulah Ilmu Tok-hiat-hoat-lek yang belum sempurna! Yang tidak tahu mengira bahwa Siang-mou Sin-ni terkena pukulan sampai muntah darah, padahal ilmu mujijat ini selain dipergu­nakan untuk menahan pukulan, juga se­kaligus dipergunakan untuk menyerang lawan dengan darah yang langsung keluar dari dalam mulut, darah yang mengan­dung racun berbahaya!

“Ibils keji!” Bu Sin menerjang maju menusukkan pedangnya. Kembali Siang-mou Sin-ni mencoba ilmu barunya. Ia menerima tusukan pedang itu dengan perutnya!

“Cappppp!” Bu Sin girang karena me­ngira bahwa pedangnya menembus perut wanita yang dibencinya. Akan tetapi mendadak wanita itu terkekeh, rambut­nya bergerak menangkap tubuh Bu Sin, diangkat ke atas lalu dibantingnya tubuh itu menimpa diri Liu Hwee yang sedang terhuyung-huyung. Tak dapat dicegah lagi, kedua orang muda itu terbanting dan roboh tumpang tindih!

“Eh.... maaf.... Moi-moi....” Bu Sin mengeluh.

“Tidak apa, Koko.... siluman ini memang lihai....”

Bu Sin sudah kehilangan pedang yang “menancap” di perut Siang-mou Sin-ni. Namun ia menjadi nekat. Bersama de­ngan Liu Hwee ia melompat bangun, siap menerjang dengan tangan kosong. Akan tetapi tiba-tiba Siang-mou Sin-ni terbatuk keras dan.... pedang yang dikira menancap di perutnya itu melayang ba­gaikan anak panah cepatnya menuju dada Bu Sin!

“Koko, awas....!” Liu Hwee mendorong Bu Sin dari samping. Terdengar kain terobek dan pedang itu ternyata telah merobek baju Bu Sin di bagian lambungnya. Kurang cepat sedikit saja Liu Hwee mendorong, bukan baju yang akan terobek, melainkan dada atau lambung!

“Iblis keji....!” Dengan wajah pucat Liu Hwee memaki marah, kemudian ia menyerang lagi dengan sepasang bola bajanya. Adapun Bu Sin cepat lari dan mencabut pedangnya yang menancap pada sebatang pohon. Kemudian ia menghampiri tempat pertempuran dan membantu Liu Hwee lagi dengan mati-matian.

“Hi-hik, saling mencinta berarti bo­doh, boleh mati bersama!”

Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan tahu-tahu sepasang bola baja Liu Hwee telah lekat dengan kawat-kawat alat musik yang-khim. Betapapun Liu Hwee membetotnya, sia-sia saja karena dengan tenaga “menyedot” Siang-mou Sin-ni te­lah membuat bola-bola itu melibat-libat kawat, kemudian rambutnya bergerak seperti puluhan cambuk ke depan!

Bu Sin berusaha menolong temannya. Pedangnya diputar menahan datangnya rambut-rambut itu, dengan maksud mem­babatnya sambil mengerahkan tenaga sakti. Namun Siang-mou Sin-ni sekarang telah tahu bahwa pemuda ini entah ba­gaimana caranya telah memiliki tenaga sakti yang hebat, maka ia tidak melawan keras dengan keras karena khawatir ka­lau-kalau rambutnya akan terbabat putus. Ia menggunakan tenaga lemas, rambutnya bertemu pedang terus membelit, bahkan membelit juga pergelangan tangan Bu Sin. Pemuda ini berseru keras karena merasa betapa pergelangan tangannya seakan-akan hendak patah. Pedangnya terlepas dari pegangan dan di lain saat ia telah dilucuti, seperti halnya Liu Hwee. Mereka kini berdiri tanpa senjata, meng­hadapi lawan yang terkekeh dan meng­gerak-gerakkan kepala sehingga rambut­nya menyambar-nyambar mengerikan.

“Hi-hik, kalian saling mencinta, ya? Hi-hi-hik, sehidup semati, senasib sepen­deritaan!” Siang-mou Sin-ni terus meng­ejek dengan suaranya yang nyaring diselingi kekehnya yang menyeramkan.

Kini rambut kepalanya menyambar-nyambar, melecut-lecut dan mencambuki dua orang itu. Kasihan sekali Liu Hwee dan Bu Sin. Mereka tak mungkin dapat mengelak dari hujan serangan ini karena rambut kepala yang hitam panjang dan gemuk itu berubah menjadi puluhan ba­tang cambuk yang kuat. Mereka dapat mengerahkan sin-kang untuk menjaga diri, namun mereka tak mungkin dapat menjaga pakaian mereka yang mulai robek-robek! Liu Hwee maklum bahwa ia akan terhina kalau sampai pakaiannya robek semua dan membuatnya menjadi telan­jang bulat, maka dengan nekat ia ber­usaha untuk menyambar rambut-rambut itu. Akhirnya ia berhasil mencengkeram segenggam rambut, mengerahkan tenaga­nya dan menarik sekuatnya.

***

Siang-mou Sin-ni menjerit karena segenggam rambutnya telah jebol dari kulit kepala. Ia seperti setan sekarang. Rasa nyeri membuatnya marah sekali dan di lain saat kedua tangan Liu Hwee telah dibelit rambut sampai tak dapat bergerak tagi, lalu cambuk-cambuk rambut itu melecut-lecut tubuhnya dari segenap penjuru! Gadis ini hanya dapat meramkan mata agar mata itu tidak terkena hantaman rambut, akan tetapi pakaiannya mulai robek-robek tidak karuan. Betapa hancur hati Bu Sin menyaksikan gadis yang merampas kasih sayangnya itu mengalami siksaan itu. Namun apa dayanya? Ia sendiri juga tidak terlepas daripada siksaan cambuk-cambuk rambut yang halus dan harum itu, tetapi yang melecut dengan tajamnya, yang merobek pakaiannya dan sedikit saja ia mengurangi pengerahan sin-kang, kulitnya tentu akan robek-robek pula.

“Bocah she Liu, bersiaplah untuk mampus!” tiba-tiba Siang-mou Sin-ni berseru keras.

“Siang-mou Sin-ni, aku tidak takut mampus! Akan tetapi, sekali kau berani mengganggu kami, ayah pasti akan men­carimu dan mencabuti semua urat dari dalam tubuhmu!”

“Hi-hi-hik, siapa takut terhadap Beng-kauwcu? Tua bangka itu boleh saja da­tang, kubikin mampus sekalian!”

Gugup sekali hati Bu Sin sehingga lecutan rambut itu kini mulai merobek kulitnya karena saking gugup dan bingung melihat gadis yang dicintanya terancam, pengerahan tenaganya mengendur. “Siang-mou Sin-ni, kalau kau berani mengganggu dia, kakakku Suling Emas tentu akan menghancurkan kepalamu!”

Siang-mou Sin-ni mendengus, “Huh, siapa takut Suling Emas? Dia mau apa? Lihat, kubunuh sekarang juga bocah she Liu kekasihmu ini, Suling Emas bisa berbuat apa?” Iblis betina itu mengangkat tangan kirinya, siap menghantam kepala Liu Hwee.

Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit, tubuhnya terangkat ke atas dan sebelum iblis betina ini tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah tergantung di atas pohon. Kiranya ada orang yang tadi menariknya ke atas dengan cara mencengkeram ram­but-rambutnya, dan kini orang telah mengikatkan ujung rambutnya pada ba­tang pohon yang tinggi di atasnya! Ke­tika ia melirik ke atas dengan heran, ternyata yang melakukan perbuatan ini bukan lain adalah.... Suling Emas! Dengan kaget Siang-mou Sin-ni hendak me­lepaskan diri, akan tetapi tiba-tiba ber­kelebat sinar kuning dan punggungnya telah tertotok ujung suling sehingga ia tidak mampu bergerak lagi!

“Siang-mou Sin-ni, di mana-mana kau hanya membikin onar!” seru Suling Emas dengan suara dingin dan marah ketika ia melirik ke arah Liu Hwee yang kini berlutut di tanah dengan muka merah sam­bil berusaha menutupi tubuhnya yang setengah telanjang, dan Bu Sin yang juga robek-robek pakaiannya, bahkan mandi darah oleh lecutan-lecutan tadi.

“Twako....!” seru Bu Sin dengan girang sekali.

Suling Emas tidak dapat menjawab karena pada saat itu Siang-mou Sin-ni sudah memaki-makinya. “Suling Emas, kau pengecut hina-dina! Kau menyerang­ku dengan cara pengecut! Hayo lepaskan aku dan kita bertanding sampai selaksa jurus! Cih, kau laki-laki apa? Pengecut tak tahu malu!”

Akan tetapi Suling Emas tidak me­layaninya, bahkan tangannya meraih dan.... seketika pakaian luar Siang-mou Sin-ni terlepas dari tubuhnya, membuat iblis betina ini menjadi setengah telan­jang karena yang menutupi tubuhnya kini hanyalah pakaian dalam!

“Heee, setan neraka! Mau apa kau dengan pakaianku?” Kemudian suaranya berubah, halus dan ragu-ragu, “Suling Emas.... kalau kau.... suka kepadaku, kenapa tidak menanti sampai kita berdua saja....? Mau apa kau melepaskan pakaianku!”

“Huh, perempuan hina!” Suling Emas mendengus marah, lalu melompat dari atas pohon, menyerahkan pakaian itu kepada Bu Sin sambil berkata, “Kauberi­kan ini kepada Bibi Kecil Liu Hwee, kemudian kau bersama dia kembalilah ke Nan-cao.”

Bu Sin menerima pakaian itu lalu menghampiri Liu Hwee. Sebagai seorang laki-laki gagah yang memegang kesopanan, ia membuang muka tidak mau me­mandang Liu Hwee yang setengah telan­jang itu, menyodorkan pakaian sambil berkata.

“Hwee-moi, cepat pakailah ini!”

Dengan cepat dan lega hati Liu Hwee lalu menyambar pakaian itu dan sebentar saja ia sudah memakai pakaian Siang-mou Sin-ni yang serba hitam. Untung baginya, bentuk tubuh iblis betina itu ramping dan sama dengan tubuhnya se­hingga pakaian itu pas betul.

“Bu Song, kaubunuh saja perempuan jahat itu!” Liu Hwee berkata sambil menghampiri Suling Emas.

“Hi-hik, kau yang pengecut tak tahu malu!” Siang-mou Sin-ni memaki. “Lepaskan aku dan kalian akan kubunuh mam­pus semua!”

“Bibi Kecil Liu Hwee, harap kau dan Sin-te (Adik Sin) suka cepat kembali ke Nan-cao. Iblis ini biar aku yang meng­hadapinya. Setelah aku dapat menolong Lin Lin, tentu aku akan kembali ke Nan-cao pula. Eh, Bu Sin, di mana adanya Sian Eng? Kenapa tidak bersamamu?”

Dengan kening berkerut Bu Sin men­ceritakan pengalamannya di dalam tero­wongan rahasia, betapa mereka menjadi tawanan Hek-giam-lo kemudian betapa Siang Eng dibawa lari oleh Suma Boan dan dia sendiri diculik Siang-mou Sin-ni.

“Hemmm, sudahlah. Agaknya kali ini aku takkan bisa mengampunkannya lagi!” kata Suling Emas dengan suara gemas. “Kalian lekas kembali ke Nan-cao dan menanti aku di sana. Terlalu banyak orang jahat memusuhi kita dan tak mung­kin dapat membagi diri untuk mengamati kalian. Aku pasti akan dapat mencari Sian Eng, Lin Lin, dan membawa kembali tongkat Beng-kauw.”

“Paman Guru Kauw Bian Cinjin juga sudah keluar pintu untuk membantumu merampas kembali tongkat pusaka,” kata Liu Hwee menerangkan.

Suling Emas mengangguk-angguk, “Ba­gus, tenaga Paman Kauw Bian Cinjin dapat diandalkan. Sekarang kalian lekas­lah kembali ke Nan-cao.”

Liu Hwee dan Bu Sin tidak memban­tah lagi, segera mereka berlari cepat meninggalkan tempat itu. Akan tetapi setelah berlari kurang lebih dua jam lamanya, Liu Hwee berhenti dan berkata.

“Bu Sin koko, cukup jauh kita berlari. Mari sekarang kita kembali.”

Bu Sin memandang heran. “Hwee-moi, apa maksudmu?”

Gadis itu tersenyum dan dunia ini serasa lebih cemerlang dan indah bagi Bu Sin. Semenjak jaman purba sampai jaman sekarang, senyum seorang gadis selalu mendatangkan keajaiban bagi pria yang mencintanya, keajaiban yang indah, se­indah bunga mekar tersiram embun di waktu pagi, atau matahari mengintai di ufuk timur mengusir kemuraman subuh. Untuk senyum inilah seorang yang mabuk cinta siap sedia mengorbankan apa saja!

“Koko, betulkah hatimu rela begitu saja kalau kita berdua kembali ke Nan-cao sedangkan tugas sedemikian banyak­nya yang harus diurus oleh kakakmu? Kedua orang adikmu terancam bahaya, tongkat pusaka terampas musuh, bagai­mana mungkin kita pulang begitu saja tanpa memberi bantuan sedikit pun juga?”

“Cocok dengan isi hatiku, Moi-moi. Aku pun merasa tidak enak sekali kalau harus pergi begitu saja berpeluk tangan, bukanlah sikap seorang yang menjunjung tinggi kegagahan. Akan tetapi Song-twako yang memerintah, bagaimana aku dapat membantah?”

Kembali Liu Hwee tersenyum. “Ka­kakmu itu memang lihai sekali, agaknya dengan orang seperti dia turun tangan, semua urusan pasti akan beres. Akan tetapi, aku sama sekali tidak setuju ka­lau harus tinggal diam saja. Tadi pun aku hendak membantahnya, akan tetapi tidak baik di depan iblis betina itu kalau kita saling bantah. Karena itu aku tadi diam saja. Sekarang, mari kita kembali dan mengambil jalan kita sendiri, men­cari kedua orang adikmu. Biarlah kita berlumba dengan Suling Emas!”

Gembira sekali hati Bu Sin, kegem­biraan bertumpuk-tumpuk karena tidak saja ia gembira dapat membantu untuk menolong kedua orang adiknya, juga ia senang sekali dapat melakukan perjalanan ini bersama Liu Hwee, dapat sama-sama menempuh bahaya!

“Bagus! Mari kita berangkat, Moi-moi!”

Mereka kini berlari ke arah timur, akan tetapi belum lama mereka berlari kembali Liu Hwee berhenti.

“Perempuan tadi, dia.... dia agaknya amat mencintamu, Koko!”

“Huh, iblis betina itu!” Bu Sin men­dengus, mukanya berubah merah sekali.

“Tadi.... tapi dia cantik sekali, Sin-ko, dan di dunia ini, entah berapa ba­nyaknya pria yang tergila-gila dan jatuh hati kepadanya.”

“Uhhh, kecantikan iblis seperti keindahan warna kulit seekor ular beracun. Sudahlah, kita tak perlu bicara tentang dia, aku jijik kalau mengingat dia!” kata Bu Sin.

Liu Hwee tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Aku sudah khawatir sekali. Sin-ko, di dunia ini hanya ada dua orang wanita yang benar-benar hebat dan sukar dapat dilawan oleh laki-laki yang bagai­mana gagah pun. Pertama adalah men­diang enci Lu Sian, ke dua adalah Coa Kim Bwee atau Siang-mou Sin-ni itulah. Senjata mereka yang paling mengerikan adalah kecantikan mereka.”

“Kurasa terdapat perbedaan besar antara encimu yang menjadi ibu kandung Bu Song twako itu dengan iblis betina Siang-mou Sin-ni. Hwee-moi, mari kita lanjutkan perjalanan dan kalau boleh, aku ingin sekali mendengar penuturanmu ten­tang riwayat hidup mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang hebat itu.”

Liu Hwee tersenyum lalu menggerak­kan kaki, dan mereka berdua kini me­lanjutkan perjalanan biasa. Liu Hwee mulai menuturkan riwayat mendiang Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang luar biasa dan hebat, akan tetapi yang hanya di­ketahui sebagian saja oleh Liu Hwee (riwayat ini dituturkan dengan jelas da­lam cerita SULING EMAS).

Sementara itu, setelah kedua orang muda itu pergi, Suling Emas lalu meng­gunakan sulingnya membebaskan totokan­nya pada tubuh Siang-mou Sin-ni. Setelah jalan darahnya bebas, dengan mudah saja wanita itu dapat melepaskan diri dari atas cabang pohon di mana rambutnya yang panjang tadi diikatkan oleh Suling Emas. Dapat dibayangkan betapa hebat kemarahan wanita ini yang sekarang berdiri di depan Suling Emas hanya de­ngan pakaian dalam yang serba ringkas, pendek, dan terbuat daripada sutera me­rah! Kalau saja sepasang matanya tidak menyala-nyala liar, mukanya tidak mem­bayangkan kemarahan yang tak dapat dikendalikannya lagi, agaknya Siang-mou Sin-ni akan kelihatan amat menggairah­kan dalam pakaian seperti itu dan ram­but yang hitam panjang riap-riapan mem­bantu pakaian dalam yang kurang cukup menutupi bagian-bagian tubuhnya itu.

“Keparat....! Jahanam....! Kau.... kau.... terlalu menghinaku.... kau harus mampus....!” Kata-katanya sukar sekali keluar di antara dengus napasnya yang panas, kedua kakinya bergerak maju perlahan-lahan, kedua tangannya berkembang, jari-jari tangannya seperti kuku harimau hendak mencengkeram, ujung rambutnya yang terlalu panjang terseret di atas tanah.

Suling Emas mengerutkan keningnya dan melangkah mundur. “Siang-mou Sin-ni, ingat! Kini belum waktunya kita mengadu kepandaian untuk menentukan siapa yang lebih unggul. Tunggu nanti tiba saatnya di puncak Thai-san, aku akan mewakili mendiang ibu kandungku. Kita lihat siapa yang lebih kuat.”

“Tidak peduli! Kau harus mampus sekarang juga. Kau terlalu menghinaku!”

“Hemmm, kau sombong. Dengan apa kau hendak membunuhku? Dengan ram­butmu? Ataukah dengan alat khim yang kaucuri dari Bu Kek Siansu? Ah, tidak akan ada gunanya, Siang-mou Sin-ni. Lebih baik kau bertapa lagi memper­dalam ilmumu, agar kelak di puncak Thai-san kau dapat melayaniku sedikitnya seratus jurus!”

“Suling Emas, kaulah yang sombong! Kaukira aku tidak memiliki ilmu untuk membunuhmu? Nah, kauterimalah ini!”

Tiba-tiba sekali wanita itu membuka mulutnya dan sinar merah yang panjang kecil bagaikan seekor ular merah me­nyambar dari dalam mulut itu ke arah Suling Emas. Pendekar ini terkejut juga, tidak mengira bahwa wanita iblis ini memiliki kepandaian seaneh ini yang selamanya belum pernah ia lihat atau dengar. Cepat ia miringkan kepala, ti­dak berani menyambut benda yang menyambar ke arah mukanya itu. Benda itu menyambar lewat kepalanya, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika tiba-tiba pandang matanya berkunang dan napasnya menjadi sesak. Kiranya benda berupa sinar merah itu adalah darah. Darah hidup! Darah yang mempunyai pengaruh hebat sekali, yang membuatnya tiba-tiba menjadi pening. Sebelum Suling Emas dapat mengusir kepeningannya, tiba-tiba angin bertiup dari depan, alat musik khim sudah menghantam ke arah kepala­nya dibarengi suara kekeh tertawa yang seram.

“Aiiihhhhh....!” Suling Emas mengumpulkan semangat, menjatuhkan diri ke kiri sehingga sambaran alat khim itu tidak mengenai dirinya, akan tetapi pada saat itu, selagi ia masih nanar, tahu-tahu tubuhnya sudah terlibat oleh rambut yang amat kuat, yang melihat kaki ta­ngan dan lehernya bagaikan puluhan ekor ular yang mengeroyoknya!

Suling Emas maklum bahwa nyawanya berada dalam bahaya maut. Cepat ia mengerahkan seluruh sin-kang di tubuhnya dan seketika lenyaplah kepeningan ke­palanya. Dengan gerakan menggoyang tubuh sambil mengembangkan tangan kaki. Terdengar Siang-mou Sin-ni me­mekik penuh kekecewaan melihat calon korbannya dapat terlepas begitu cepat­nya. Di lain saat Suling Emas sudah memegang suling dan kipasnya.

“Iblis betina, kiranya kau mempunyai ilmu setan yang jahat. Akan tetapi ja­ngan harap kau dapat mengakali aku lagi. Hayo majulah!”

Dengan sikap tenang penuh wibawa Suling Emas berdiri tegak dengan se­pasang senjatanya yang amat terkenal itu di kedua tangan, matanya menatap tajam. Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, maklum bah­wa ilmunya Tok-hiat-hoat-lek masih be­lum cukup kuat untuk merobohkan Suling Emas, namun ia merasa gembira sekali karena biarpun ilmunya belum matang betul, namun ia tadi sudah hampir dapat mengalahkan Suling Emas. Andaikata ilmunya sudah matang, tentu tidak se­mudah itu Suling Emas menyadarkan diri dan sudah mampus di tangannya. Ia tertawa dan sekali berkelebat tubuhnya mencelat jauh pergi dari tempat itu. Suara ketawanya masih terdengar jelas seperti suara kuntilanak, disusul kata-katanya mengejek, “Suling Emas, kau­tunggu saja, di puncak Thai-san aku tak­kan gagal lagi seperti tadi!”

Sejenak Suling Emas termenung. Ia teringat betapa dahsyat ilmu yang diper­gunakan Siang-mou Sin-ni tadi. Hampir saja ia menjadi korban. Kalau tadi ia tidak lekas-lekas dapat menguasai dirinya dan melenyapkan kepeningannya, tentu ia sudah menjadi korban. Diam-diam ia ber­gidik. Ilmu semburan darah segar tadi benar-benar mengerikan dan kelak ia harus berlaku hati-hati sekali apabila berhadapan dengan iblis betina itu.

***

Dengan amat tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai kertas tipis yang ia da­patkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. Memang segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan. Ketika masih hi­dup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang merupakan inti sari dari­pada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih jurus-jurus yang dapat mengatasi isi kitab itu, kare­na ketika menciptakan ilmu ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk menurunkannya kepada Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad. Dengan demikian, ilmu ini ia tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biarpun sudah lama tongkat pusaka yang dijadi­kan tempat penyimpanan wasiat ini ber­ada di tangan Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja sama sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini jodoh namanya?

Karena ia termasuk seorang anak yang cerdas, Lin Lin segera dapat meng­hafal wasiat ini di luar kepala, dan ia dapat menduga bahwa ilmu mujijat ini tak boleh sekali-kali diketahui orang lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu se­lama lima belas hari di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis itu dan menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.

“He, apakah itu?” bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin. Betapapun juga, iblis hi­tam ini merasa curiga karena selama setengah bulan ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak pernah memperdengar­kan protes atau memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan menebarkan potongan-potongan kertas banyak sekali ke sungai.

Akan tetapi ia terlambat mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat kecil-kecil itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang melayang lalu hingap di atas air. Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya berkelebat dan ba­gaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh itu membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.

Diam-diam Lin Lin kagum bukan main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat sekali. Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sem­brono, biarpun sudah memiliki hafalan ilmu mujijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Dengan se­pasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang Hek-giam-lo yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu. Lin Lin tadi sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya merupakan potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan kertas, akan tetapi apa arti­nya? Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta me­masangnya kembali seperti semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!

“Apa ini....?” Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan ingin tahu sekali.

“Kenapa kau tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa adanya surat yang kurobek-robek menjadi potongan-potongan kecil itu?” Suara Lin Lin mengejek dan mem­permainkan karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul kembali kejenakaan dan kelincahannya.

“Tuan Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri dan membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri harus hamba jaga teliti dan tidak boleh sekali ada rahasia. Surat apakah, tadi?”

Lin Lin tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan. “Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi tahu. Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari.... kekasihku. Nah, puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!” Lin Lin bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo mendongkol juga.

“Paduka maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?”

Lin Lin menghela napas panjang dan seketika ia menghampiri pinggir perahu dan pandang matanya mencari-cari ke tepi pantai. Disebutnya nama pemuda itu mengingatkan ia akan penderitaan Bok Liong yang mati-matian membelanya.

“Bukan, bukan dia. Liong-twako ada­lah seorang yang amat baik, gagah per­kasa dan ia amat mencintaku. Akan tetapi bukan dia....” Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi hati­nya berbisik, “Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia orang yang kucinta....”

“Kau mencari dia?” kini suara Hek-giam-lo yang penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut sekali. Selama setengah bulan ia bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana jadinya dengan Bok Liong? Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan dibunuh oleh Hek-giam-lo.

“Di mana dia? Kauapakan Lie Bok Liong twako?” bentaknya dengan mata terbuka lebar.

“Paduka cukup cerdik, mengapa tidak menduga sendiri?” Kini Hek-giam-lo yang mengejeknya.

Lin Lin membanting-banting kakinya. “Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang iblis yang tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan di dunia ini, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau terlalu sombong untuk bersikap pengecut dan membohong terhadap seorang gadis cilik macam aku! Nah, apakah kau telah mem­bunuh Lie Bok Liong?”

Hek-giam-lo menggeleng kepalanya. “Orang macam dia, perlu apa aku mem­bunuhnya? Dia sudah mau mampus dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya, pelukis sinting itu tidak da­tang dan membawanya pergi.”

Berseri wajah Lin Lin. “Apa kaubilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya? Mengapa dia tidak membunuhmu?”

Hek-giam-lo mendengus marah. “Badut tolol itu mana berani? Dia datang mem­bawa pergi muridnya, tergesa-gesa dan ketakutan.”

“Kau bohong, aku tidak percaya!”

Hek-giam-lo hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan Lin Lin ke kepala perahu. Lin Lin menoleh ke sana ke mari, akan tetapi pandang mata para anak buah perahu yang mentertawakannya membuat ia gemas dan dengan marah ia kembali memasuki bilik perahu. Hatinya panas dan ingin ia mem­berontak dan pergi dari perahu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih masak-masak, pula di atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali perahu diguling­kan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan pula. Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.

Dengan makin tekun Lin Lin mulai melatih diri, siang malam ia melatih diri. Bukan main girang hatinya ketika pada setiap gerakan pukulan, terasa ada angin pukulan yang antep dan dahsyat menyambar keluar dari tangannya yang terbuka. Dinding bilik perahu sampai berguncang dan hal inilah yang membuat Hek-giam-lo menjadi curiga sekali dan malam itu, menjelang subuh, men­dadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan menerobos masuk.

Baiknya ketika itu Lin Lin sudah melatih jurus yang ke sembilan. Jurus ini dilakukan dengan duduk, merupakan pu­kulan jarak jauh yang dilakukan sambil duduk. Pukulan kedua tangan itu merupa­kan gerakan lingkaran sehingga angin pukulannya memutari tubuhnya dapat menghantam lawan yang berada di mana­pun juga tanpa mengubah kedudukan tubuh yang duduk. Untuk melatih jurus ini, Lin Lin duduk di atas pembaringannya, maka ketika tiba-tiba pintu biliknya terbuka, ia tidak menjadi gugup, melainkan menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap seperti orang bersamadhi, sikap yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat tinggi apalagi waktu menjelang subuh adalah waktu terbaik untuk bersamadhi.

Melihat “tuan puteri” itu duduk ber­samadhi, sama sekali tidak bergerak, Hek-giam-lo tidak berani mengganggu. Akan tetapi getaran-getaran pada din­ding bilik sekarang berhenti. Makin curi­galah iblis itu. Ia menutup pintu bilik dan melompat keluar, menyelidik di sekeliling perahu, bahkan ia menyelidiki ke darat. Akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu.

Kecurigaan Hek-giam-lo ini yang mengganggu latihan Lin Lin. Pada ke­esokan harinya, secara mendadak Hek-giam-lo menghentikan perahu, lalu meng­ambil keputusan untuk melakukan per­jalanan ke utara melalui darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga, tidak ha­nya pada diri Lin Lin, melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai yang hendak merampas Lin Lin dan tongkat pu­saka Beng-kauw daripadanya. Hal ini mungkin saja, apalagi setelah muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari pantai.

“Aku tidak mau melakukan perjalanan di darat!” Lin Lin membentak marah. “Lebih enak melalui air, tidak lelah dan dapat tidur nyenyak!”

“Tidak bisa, Tuan Puteri. Air sungai ini akan membawa kita ke laut, sedang­kan Khitan letaknya bukan di laut. Kita harus mendarat sekarang juga. Jangan khawatir, untuk Paduka, hamba akan menyediakan seekor kuda yang baik.”

Tentu saja keberanian yang diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya ia ingin melakukan per­jalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya. Dengan perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah pengawasan Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk berlatih.

Namun Lin Lin cukup cerdik untuk membantah terus karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan. Selain itu, biarpun ia kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah kesempatan baginya untuk melarikan diri, sungguhpun ia takkan sembrono melakukan hal ini kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.

Kesempatan ini tak pernah ia dapat­kan karena Hek-giam-lo selalu menga­walnya sendiri dengan hati-hati dan teliti sekali. Ia diberi seekor kuda pilihan yang baik sedangkan Hek-giam-lo berjalan cepat di belakangnya. Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan kudanya itu akan percuma, tidak saja di situ ter­dapat banyak kuda-kuda yang cepat, akan tetapi juga orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat ditinggal lari di atas kuda. Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan sia-sia belaka dan akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang baik. Kini biarpun ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan Hek-giam-lo sendiri, selalu bersikap menghor­mat. Ia selalu diberi hidangan yang lezat dan selalu diperhatikan keperluannya.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu sore, tibalah mereka di perbatasan yang menjadi wilayah bangsa Khitan. Suku bangsa Khitan adalah bangsa perantauan di sebelah utara, sering kali berpindah wilayah sesuai dengan keadaan dan mu­sim. Mereka terkenal sebagai bangsa yang gagah berani dan pandai menung­gang kuda, pandai melakukan perang.

Hek-giam-lo menghentikan rombongan­nya dan menyuruh orang-orangnya men­dirikan kemah di tempat itu, yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Ia sendiri lalu menunggang kuda untuk menga­barkan kepada rajanya tentang kedatang­an Puteri Yalina! Pada waktu itu, karena tekun mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin sudah pandai ber­bahasa Khitan. Memang ada hubungan darah, maka bahasa ini baginya amat mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo dan terbukalah kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggaikan rombongan itu!

Akan tetapi pada saat Hek-giam-lo pergi, datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata adalah dayang-da­yang yang serta-merta melayaninya. Me­reka ini terdiri dari selosin orang wanita muda yang cantik, mereka datang mem­bawa makanan asing yang enak, mem­bawa pakaian-pakaian indah dan perhias­an untuk Sang Puteri Yalina, calon per­maisuri!

Memang watak Lin Lin nakal dan ingin sekali ia mencoba pakaian itu. Maka ketika ia didandani, ia menurut saja. Akhirnya ia tertawa sendiri cekiki­kan ketika melihat bayangannya di cermin. Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang pakaiannya aneh beraneka warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat daripada emas penuh batu permata!

“Pantaskah aku memakai ini?” tanya­nya dalam bhhasa Khitan kepada para dayang yang tertawa-tawa gembira melihat puteri itu cekikikan di depan cer­min.

Mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan menghujani Lin Lim dengan pelbagai pujian. Lin Lin merasa bangga sekali. Alangkah senangnya menjadi ratu, pikirnya. Dilayani, dihormati, dan men­jadi orang terpenting di antara bangsa yang mempunyai laki-laki gagah dan wanita cantik ini. Akan tetapi ketika ia teringat bahwa ia akan dijadikan permai­suri oleh paman tirinya sendiri, yang bernama Kubakan dan sekarang menjadi Raja Khitan, ia bergidik dan cepat-cepat ia melepaskan pakaian asing itu, mengenakan pakaian sendiri. Ia tidak mempedulikan protes para dayang itu, bahkan lalu meloncat keluar dari perkemahan dengan maksud hendak lari.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika selosin orang dayang yang muda-muda dan cantik itu tiba-tiba mengejar dan mengurungnya dengan pedang di tangan. Mereka ternyata bukanlah dayang biasa, melainkan gadis-gadis yang terlatih baik dan kini mereka membentuk barisan pe­dang yang mengurung Lin Lin dengan gerakan yang cekatan dan sigap.

“Harap Tuan Puteri jangan pergi meninggalkan perkemahan ini. Hamba semua telah menerima perintah Sri Baginda untuk menjaga Paduka, Lo-ciangkun (Panglima Tua) tadi memesan bahwa kalau perlu hamba semua harus mem­pergunakan kekerasan mencegah Paduka pergi.” Kata seorang di antara mereka.

“Perempuan rendah! Bukankah aku ini ratumu? Berani kau menghalangi kehen­dakku?” gertak Lin Lin dengan marah.

“Ampun, Tuan Puteri. Paduka adalah calon ratu dan hamba sekalian tentu saja mentaati semua perintah Paduka. Akan tetapi lebih dulu hamba harus mentaati Sri Baginda, kemudian Lo-ciangkun, baru Paduka.”

“Kalian berani? Hemmm, agaknya sudah bosan hidup. Majulah!” tantang Lin Lin, akan tetapi selosin dayang itu tidak bergerak, hanya tetap mengurung.

“Mana hamba berani menyerang Pa­duka? Hanya kalau Paduka hendak me­larikan diri, terpaksa hamba sekalian harus mencegah.”

“Oh, begitukah? Nah, aku mau pergi, hendak kulihat kalian bisa berbuat apa!” Sambil berkata demikian Lin Lin melon­cat ke kiri menerjang dua orang dayang yang menjaga di situ. Akan telapi de­ngan gerakan cepat sekali mereka meng­gerakkan pedang, merupakan dinding pe­dang yang menghalangi perginya. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa dua belas orang dayang ini merupakan tenaga-tenaga terlatih baik dan agaknya mereka betul-betul akan menyerangnya kalau ia bersikeras melarikan diri dari tempat itu. Dan pada saat itu, sudah datang pula para orang Khitan berlari-lari, jumlah mereka lebih dari dua puluh orang!

Bangkit kemarahan di hati Lin Lin. Sebetulnya ia tidak mempunyai rasa ben­ci kepada orang-orang Khitan karena se­telah ia menjadi tawanan Hek-giam-lo beberapa lamanya, ia mendapat kesan yang amat baik terhadap orang-orang Khitan. Mereka adalah orang-orang yang berani, jujur, dan amat setia. Mereka hanya melakukan perintah atasan mereka dan semua tugas mereka jalankan dengan taruhan nyawa.

“He, dengarlah kalian semua!” serunya sambil mencabut pedang dengan tangan kanan sedangkan tongkat Beng-kauw ber­ada di tangan kirinya. “Aku Puteri Ya­lina amat suka kepada bangsaku, akan tetapi aku benci kepada paman tiriku Kubakan yang menjadi raja lalim dan hendak memperisteri aku, keponakannya sendiri! Aku juga benci kepada Lo-ciang­kun Hek-giam-lo yang kejam! Dengarlah, aku bersedia menjadi ratu kalian kalau kedua orang itu sudah tidak ada. Demi arwah ibuku, Puteri Tayami yang gagah perkasa, dan demi arwah kakekku, Raja Kulukan yang bijaksana, aku suka menjadi Ratu Khitan asalkan kedua orang jahat itu sudah tewas! Sekarang, ter­serah kepada kalian, adakah yang masih hendak menangkap aku? Boleh maju!”

Beberapa orang dayang dan beberapa orang penjaga ketika menyaksikan Lin Lin berdiri sambil mengucapkan kata-kata ini penuh wibawa, serta-merta men­jatuhkan diri berlutut. Bahkan disebutnya nama-nama mendiang Kulukan dan Ta­yami membuat beberapa orang dayang menangis.

“Hamba setia kepada Puteri Yalina!” teriakan-teriakan ini terdengar riuh-ren­dah.

Akan tetapi tidak semua dayang dan tidak semua penjaga berlutut dan me­nyatakan setianya, bahkan sebagian be­sar merasa lebih taat kepada Raja Kuba­kan dan lebih takut kepada Hek-giam-lo. Jumlah mereka yang menentang Lin Lin ini ada dua pertiga bagian dan kini sembilan orang dayang menerjang maju dengan pedang-pedang mereka menyerang Lin Lin!

“Trang-cring-tranggggg....!” Terdengar jerit kesakitan dan pedang-pedang beterbangan ketika Lin Lin menggerakkan pedang dan tongkat Ceng-kauw, diputar untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sin-kang. Tidak hanya pedang sem­bilan orang dayang itu runtuh beterbang­an, juga sebagian ada yang terguling ro­boh karena hebatnya tenaga tangkisan Lin Lin, sebagian meloncat mundur de­ngan muka pucat. Lin Lin sendiri terheran-heran. Bagaimana tangkisannya bisa begitu hebat? Sama sekali ia tidak men­duga bahwa semua ini adalah berkat ilmu baru yang didapatkannya, yaitu ilmu dari lembaran-lembaran rahasia di dalam tong­kat Beng-kauw.

Namun sembilan orang dayang itu, seperti juga para petugas lain, amat setia kepada tugasnya. Biarpun pedang mereka sudah hilang dan mereka semua maklum bahwa tuan puteri yang mereka harus cegah perginya ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada mereka, mereka tidak mundur dan kini dengan tangan kesong mereka me­nubruk maju dengan maksud menangkap Lin Lin.

Lin Lin tidak tega untuk mengguna­kan senjata menghadapi mereka, maka ia cepat menyimpan pedangnya yang tadi membuat banyak orang Khitan berlutut karena pedang itu adalah Pedang Besi Kuning yang dahulu menjadi pusaka kera­mat Kerajaan Khitan, kemudian dengan dorongan tangan kanannya ia menerima serangan para dayang itu.

“Wuuuttttt....!” Dari tangan kanan Lin Lin menyambar angin pukulan dah­syat karena gadis ini sudah menggunakan tenaga dari ilmunya yang baru yang pernah dilatihnya dalam perahu dan yang angin pukulannya menggetarkan dinding sehingga pernah Hek-giam-lo menjadi curiga.

Hebat akibatnya. Sembilan orang da­yang itu seperti daun-daun kering ter­tup angin, mereka terlempar dan men­jerit kesakitan. Ketika mereka terbanting roboh, hanya enam orang saja yang mampu merangkak bangun dengan muka pucat dan lemah, sedangkan yang tiga orang lagi, yang paling depan, tak dapat bangun lagi karena mereka telah tewas dengan mulut, hidung dan telinga menge­luarkan darah!

Alangkah kagetnya hati Lin Lin. Ia sampai berdiri melongo dan tercengang, hatinya dipenuhi rasa menyesal dan rasa girang. Ia menyesal karena tanpa ia se­ngaja ia telah melukai para dayang, bah­kan membunuh tiga orang di antara me­reka, akan tetapi juga girang karena mendapat kenyataan bahwa ilmu mujijat yang ia dapat dari dalam tongkat Beng-kauw itu ternyata merupakan ilmu yang ampuh! Hatinya menjadi besar sekali dan ia kini menghadapi para penjaga yang belasan orang banyaknya itu dengan ben­takan nyaring.

“Yang berani kurang ajar terhadapku sudah terhukum! Mundur kalian semua, kalau tidak, calon ratumu akan turun tangan besi. Aku sayang kepada mereka yang taat, akan tetapi aku harus mem­basmi mereka yang mencoba menahan kepergianku!”

Sejenak para perajurit Khitan itu ter­tegun. Mereka terheran-heran melihat betapa gadis ini yang tadinya, biarpun cukup lihai, namun masih dapat mereka atasi, kini mendadak memiliki ilmu pu­kulan yang demikian dahsyatnya. Sebagai ahli-ahli silat yang mengerti akan ilmu silat tinggi, belasan orang Khitan itu mengenal ilmu pukulan dahsyat, maka diam-diam mereka menyesal sekali meng­apa Hek-giam-lo sudah pergi dari situ. Biarpun mereka dapat mengandalkan tenaga banyak teman, namun dengan ilmu pukulan sakti seperti itu, agaknya sukar mencegah gadis ini melarikan diri. Mereka tidak takut terhadap Lin Lin biarpun gadis itu memiliki ilmu dahsyat, mereka jauh lebih takut dan ngeri kalau sampai gadis ini lenyap, takut akan ke­marahan dan hukuman yang akan dijatuh­kan Hek-giam-lo terhadap mereka!

“Tuan Puteri, hamba sekalian harus mencegah kepergian Paduka dengan ta­ruhan nyawa!” teriak seorang penjaga dan mereka lalu maju mengurung Lin Lin, merupakan pagar manusia yang tak dapat dilalui begitu saja tanpa membuka jalan berdarah!

Lin Lin menarik napas panjang. “Ka­lian keras kepala!”

Setelah berkata demikian, Lin Lin kembali mengayun tangan kanannya me­ngirim pukulan jarak jauh. Kali ini dua orang laki-laki terguling roboh dan be­berapa orang lagi terhuyung-huyung. Akan tetapi dari kanan kiri dan belakang me­reka mendesak maju, siap untuk meroboh­kan Lin Lin atau kalau mungkin menang­kapnya. Kembali Lin Lin mengirim pu­kulan, kini malah tongkat Beng-kauw di tangan kiri ia pergunakan untuk menyapu kaki mereka. Ada beberapa orang lagi roboh, dan dua orang malah patah tulang kaki mereka terbabat tongkat pusaka Beng-kauw.

“Mundur kalian! Hemmm, apakah kali­an sudah bosan hidup?” bentak Lin Lin karena mereka demikian nekat sudah menyerbu lagi sehingga ia tidak melihat jalan keluar. Kembali beberapa orang ia robohkan dan ia sudah menggerakkan kaki meloncat keluar dari kepungan melalui tempat mereka yang sudah roboh ketika tiba-tiba para pengeroyoknya terpelanting dan terdengar suara orang men­dengus marah.

Lin Lin berdiri tegak dan memandang kepada Hek-giam-lo yang sudah berdiri di depannya! Berdebar jantung gadis ini, akan tetapi ia sama sekali tidak takut, malah ia menentang pandang mata Hek-giam-lo dengan pandangan menantang.

“Tuan Puteri, Sri Baginda sudah me­ngirim joli untuk menjemput Paduka, kenapa Paduka membikin ribut di sini? Apa yang Paduka kehendaki?” Kini suara Hek-giam-lo malah lebih hormat daripada yang sudah-sudah, agaknya hal ini karena mereka sudah dekat dengan Raja Khitan, akan tetapi di dalam suara ini pun ter­kandung kemarahan tertahan.

“Aku mau pergi dari sini! Aku tidak sudi dijadikan isteri paman tiriku! Tua bangka tak tahu malu dia, dan kau tidak tahu diri, hendak memaksa aku menjadi isteri seorang kakek. Hemmm, andaikata kakekku masih hidup, atau ibuku, kau tentu akan dihajar, Hek-giam-lo!”

Kembali iblis hitam itu mendengus. “Tangkap dia!” bentaknya kepada para pembantunya.

Karena Hek-giam-lo sudah hadir di situ, orang-orang itu menjadi lega hati­nya. Kalau sebelum iblis itu datang Lin Lin sampai terlepas dari tangan mereka, pasti mereka akan mengalami hukuman siksa sampai mati yang amat mengeri­kan, akan tetapi sekarang Hek-giam-lo berada di situ, berarti iblis itulah yang bertanggung jawab sepenuhnya. Pula, kehadiran iblis ini membesarkan hati mereka, membuat mereka tidak takut akan kelihaian sang puteri. Serentak mereka maju mendesak, hendak menang­kap Lin Lin.

Lin Lin kembali mengayun tangannya, kini ia tidak hendak menyembunyikan lagi ilmunya. Terdengar Hek-giam-lo mendengus keras dan iblis ini pun meng­gerakkan tangannya sehingga angin pu­kulan yang dahsyat menyambar ke arah Lin Lin, bertemu dengan angin pukulan Lin Lin. Akibatnya, Lin Lin terdorong dan terjengkang ke belakang, akan tetapi Hek-giam-lo juga terhuyung-huyung. Hal ini membuat Hek-giam-lo kaget setengah mati. Dari mana tiba-tiba gadis itu me­miliki sin-kang yang sedemikian hebatnya? Ia berseru keras dan melompat maju, ketika itu Lin Lin juga sudah bangkit kembali dan memutar kedua senjatanya, yaitu Pedang Besi Kuning dan tongkat Beng-kauw.

“Semua mundur, biarkan aku meng­hadapinya!” Hek-giam-lo membentak ke­tika tiga orang pembantunya dalam se­kejap mata saja roboh oleh kedua sen­jata Lin Lin.

Kini Hek-giam-lo sendiri yang maju dan berhadapan dengan Lin Lin yang memandangnya penuh ketabahan. Lin Lin sama sekali tidak jerih. Kalau sebelum ia mendapatkan ilmu muiijat saja ia sama sekali tidak takut, apalagi sekarang. Ilmu itu membuat ia laksana seekor harimau betina mendapat sayap.

“Hek-giam-lo, kaukira aku takut ke­padaku?” katanya dan kini ia menggerak­kam kedua senjatanya dengan gerakan ilmu silat yang ia pelajari dari dalam gulungan-gulungan kertas.

Dua sinar berkilauan menyambar, bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi bersuitan. Hek-giam-lo terkejut dan me­lompat mundur, kedua lengan bajunya bergerak ke depan untuk menangkis.

“Heh, dari mana kau mendapatkan ilmu ini?” bentaknya.

Lin Lin tidak menjawab hanya ter­tawa mengejek sambil menerjang maju lagi. Sayang sekali bahwa dia kurang latihan sehingga biarpun kedua senjatanya mengeluarkan hawa pukulan yang ber­desir-desir, namun ia belum mampu me­ngerahkan tenaga sepenuhnya dan gerakan-gerakannya masih kaku. Namun tak dapat disangkal lagi bahwa terjangannya ini dahsyat sekali sehingga diam-diam Hek-giam-lo menjadi kaget dan kagum. Tokoh sakti ini pun mengerti bahwa jika ilmu gadis ini terlatih baik, tentu gadis ini akan merupakan lawan yang berat dan sedikitnya setingkat dengan kepandaiannya!

Hek-giam-lo adalah seorang yang cer­dik. Ia dapat menduga bahwa ilmu aneh ini tentu didapatkan oleh Lin Lin selama menjadi tawanan di dalam perahu dan ia teringat akan desir angin pukulan pada tengah malam itu di perahu. Kini ia mengerti bahwa pada waktu itu, tentu Lin Lin yang sedang berlatih. Dari mana gadis ini mendapatkan ilmu itu? Gadis itu tidak bertemu siapapun juga, tidak pernah meninggalkan perahu. Tongkat itu? Tongkat pusaka Beng-kauw! Tentu di situlah rahasia ilmu itu.

Dengan gembira karena ingin sekali mendapatkan ilmu aneh ini yang pasti akan dapat menambah kelihaiannya, Hek-giam-lo mempergunakan gin-kangnya menyelinap di antara sambaran sinar sen­jata, lalu mengeluarkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sabit bergagang panjang yang amat tajam.

“Serahkan tongkat pusaka Beng-kauw!” bentaknya sambil menyerang dengan sabitnya. Gerakannya hebat, tenaganya mujijat sekali sehingga Lin Lin terpaksa meloncat mundur karena silau menyaksi­kan kelebatan sinar senjata lawan. Na­mun ia berhasil menangkis senjata lawan dengan senjatanya sendiri yang mem­buatnya kembali terhuyung-huyung dan telapak tangannya terasa sakit sekali. Namun hal ini saja sudah membuat Hek-giam-lo terheran-heran. Hanya ahli silat kelas tinggi saja yang mampu memper­tahankan terjangannya tadi dengan akibat hanya terhuyung-huyung. Tadinya ia memperhitungkan bahwa sedikitnya gadis itu akan melepaskan sepasang senjatanya!

Karena penasaran kembali ia mener­jang dengan sabitnya. Dalam pertanding­an, apalagi kalau menemui lawan tang­guh, Hek-giam-lo lupa segala. Karena Lin Lin dapat menangkis terjangannya tadi membuat ia lupa dan bersemangat se­hingga kini ia menerjang dengan serang­an maut tanpa mempedulikan apakah gadis calon ratu, calon permaisuri raja­nya itu akan mampu menangkisnya.

“Tranggg....!” Lin Lin kembali berhasil menangkis dengan pedangnya, di­bantu pula dengan tongkat, namun kini ia terguling. Alangkah heran hati Hek-giam-lo karena begitu terguling, gadis itu sudah meloncat lagi, malah kini mem­balas dengan serangan-serangan yang tak kalah ganasnya. Ia sampai memekik kaget dan memutar senjatanya untuk me­nangkis. Adapun Lin Lin yang bangkit semangatnya karena hawa sin-kangnya kini ternyata mampu bertahan terhadap ke­kuatan lawan yang tersalur dalam setiap serangannya, kini menerjang dengan ta­bah dan penuh tenaga.

Namun, betapapun juga, karena ilmu barunya itu baru ia kuasai beberapa ba­gian saja, sama sekali belum terlatih, mana ia mampu mengimbangi seorang jago kawakan seperti Hek-giam-lo yang menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Sebentar saja ia sudah sibuk se­kali, hanya mampu menangkis ke sana ke mari tanpa mampu membalas kembali.

Hek-giam-lo mendengus dan setelah sekarang Lin Lin tak dapat menandingi­nya, teringatlah ia lagi bahwa gadis ini adalah calon permaisuri raja, maka ge­rakan senjatanya tidak lagi merupakan ancaman maut, melainkan kini ia ber­usaha menangkap gadis itu.

“Lepaskan tongkat!” bentaknya, senjatanya menyambar ke arah dada. Lin Lin kaget sekali karena sambaran itu cepat bukan main. Ia menangkis dengan pedangnya dan.... pedangnya menempel pada senjata lawan, lekat tak dapat di­tarik kembali. Dengan gemas ia meng­gunakan tongkatnya mengemplang kepala lawan, namun tangan kiri Hek-giam-lo menyambut tongkat itu, menangkap dan membetot. Lin Lin tak kuasa bertahan dan terpaksa tongkatnya berpindah tangan. Akan tetapi karena Hek-giam-lo membagi tenaga untuk merampas tongkat, gadis itu berhasil melepaskan pe­dangnya.

“Kembalikan tongkat itu!” Lin Lin berseru keras sambil menusukkan pedang­nya. Akan tetapi kini Hek-giam-lo seperti tidak pedulikan dia lagi. Senjata sabitnya ia pergunakan untuk menangkis, sedang­kan matanya memeriksa tongkat Beng-kauw, mencari rahasianya. Tiba-tiba ia teringat akan kertas yang dirobek-robek oleh Lin Lin dan disebar di sungai. Ia menggeram keras dan membentak.

“Kertas yang kau robek-robek dahulu itu.... surat rahasia apakah itu?” suaranya terdengar penuh kemarahan dan kini ia hanya menyebut Lin Lin dengan “kau” saja.

“Peduli apa kau?” Lin Lin balas mem­bentak sambil menyerang lagi. Akan tetapi sebuah tangkisan membuat ia ter­huyung ke belakang. Kini Hek-giam-lo yang mendesak maju.

“Serahkan rahasia tongkat Beng-kauw kepadaku!”

“Rahasia apa?” Lin Lin menjawab, kaget.

“Rahasia ilmu yang kau pelajari. Cepat!”

“Tidak.... tidak ada....!” Lin Lin gugup karena rahasianya diketahui.

“Jangan bohong! Aku perlu sekali ilmu itu, berikan!” Hek-giam-lo mendesak dan menerjang dengan sabitnya. Serangan ini kuat sekali sehingga ketika Lin Lin me­nangkis, pedangnya terlepas dari pegang­an tangannya dan mencelat.

“Ho-ho-ho, Bayisan, aku bisa mem­biarkan kau merajalela di dunia akan tetapi kalau kau mengganggu puteri dari Tayami, aku yang akan menghalangimu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dan Pedang Besi Kuning yang mencelat dari tangan Lin Lin tadi telah disambar dan berada di tangan orang ini. Ketika semua orang memandang, kiranya yang datang adalah seorang laki-laki tua berkepala botak, bertubuh pendek gemuk, kakinya tidak bersepatu, jenggotnya panjang sampai ke dada.

“Kim-lun Seng-jin....!” Lin Lin berseru girang sekali melihat munculnya kakek ini. Kim-lun Seng-jin mengedip-ngedipkan matanya kepada Lin Lin dengan cara yang lucu, kemudian meng­angsurkan Pedang Besi Kuning.

“Anak baik, Tuan Puteri Yalina yang mulia, kauterimalah pedang ini. Pedang ini memang hakmu. Lekas kau pergi dari sini, belum saatnya kau kembali kepada bangsamu. Biar aku yang menandingi Bayisan yang dahulu mengganggu ibumu dan sekarang hendak mengganggumu lagi.”

“Kakek yang baik, terima kasih,” kata Lin Lin sambil menerima pedangnya. “Tapi aku tidak mau pergi, aku mau membantumu menghadapi iblis tengkorak ini.”

“Heh-heh-heh, bukan saatnya. Ilmumu tadi memang aneh, mujijat dan hebat, akan tetapi masih mentah, kurang terlatih. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Kim-lun Seng-jin menendang dan.... karena tidak menyangka-nyangka, tubuh belakang Lin Lin kena ditendang, mem­buat tubuh gadis itu terlempar dan melayang jauh! Anehnya, Lin Lin tidak me­rasa sakit dan tahulah ia bahwa kakek itu tidak main-main, melainkan melihat bahwa perlu sekali ia segera melarikan diri. Karena tadinya memang ingin mem­bebaskan diri dari tangan orang-orang Khitan, Lin Lin lalu lari secepatnya sam­bil berseru.

“Kakek botak, terima kasih! Kelak kalau aku menjadi ratu, kau kuangkat menjadi Koksu (Guru Negara)!”

“Heh-he-he! He, Bayisan, tak boleh kau mengejarnya. Akulah lawanmu, tua sama tua, heh-heh!” kata Kim-lun Seng-jin sambil menerjang maju ketika melihat betapa Tengkorak Hitam itu sudah menggerakkan kaki hendak mengejar Lin Lin. Terjangan kakek botak itu hebat sekali karena ia telah mengeluarkan sen­jatanya yang aneh, yaitu sepasang roda emas yang gemilang dan berputar-putar di tangannya.

Hek-giam-lo mendengus dan meloncat ke kiri menghindarkan diri, lalu berkata nyaring.

“Kim-lun Seng-jin, kau orang buangan dari Khitan, pengkhianat dan orang yang tak tahu malu. Raja sendiri sudah tidak mengakui kau, mau apa kau turut cam­pur?”

“Hueh-heh-heh-heh! Bayisan, kita da­hulu sama-sama perajurit, sama-sama berjuang untuk membela suku bangsa Khitan yang selamanya menjadi bangsa perantau yang disia-siakan dan tak tentu tempat tinggalnya! Akan tetapi sekarang setelah kau menjadi antek nomor satu dari Kubakan yang berkhianat, kau ba­nyak tingkah dan membuka mulut besar! Siapa tidak tahu bahwa sebetulnya ke­dudukan raja atas suku bangsa Khitan berada dalam hak keturunan Puteri Ta­yami? Sekarang Puteri Yalina, keturunan Tayami sudah dapat ditemukan, akan tetapi bukan dia diangkat menjadi ratu, malah akan dikawini oleh paman tirinya sendiri? Si Kubakan. Dan kau berani bilang aku seorang pengkhianat? Heh-heh-heh, tidak lucu!”

“Tutup mulutmu! Kaukira aku takut padamu?”

“Bayisan, dahulu pun antara kita su­dah sering terjadi perselisihan faham, dan biarpun kau lebih muda, tingkat kepandaian kita seimbang. Sekarang se­telah kau menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai, agaknya kepandaian­mu sudah banyak maju, sebaliknya aku makin tua dan makin lemah. Akan teta­pi, jika kau hendak mengganggu Puteri Yalina, aku mempersiapkan tulangku yang sudah rapuh dan kulit dagingku yang sudah lembek untuk melawanmu.”

“Tua bangka bosan hidup!” Hek-giam-lo berseru keras dan senjatanya yang menyeramkan itu menyambar, berubah menjadi sinar hitam yang diselingi sinar kilat seperti halilintar menyambar.

Kim-lun Seng-jin maklum akan kesak­tian Hek-giam-lo, maka dia pun tidak banyak cakap lagi, segera menggerakkan kedua tangannya dan sepasang roda emas itu berputar-putar dengan indahnya me­lindungi seluruh tubuh. Berkali-kali ter­dengar suara nyaring dan bunga api ber­pijar menyilaukan mata apabila senjata kedua orang jagoan Khitan ini bertemu. Orang-orang Khitan yang berada di situ melongo, kagum dan tegang. Mereka semua tahu siapa adanya Kim-lun Seng-jin, seorang tokoh tua bangsa Khitan yang dikabarkan meninggalkan kelompok bangsanya dan merantau, dianggap musuh oleh raja yang sekarang, akan tetapi merupakan seorang tokoh besar di masa lalu. Mereka tidak berani membantu karena membantu Hek-giam-lo tanpa di­perintah berarti mencari kematian sen­diri karena dianggap menghina Hek-giam-lo. Selain ini, mereka pun berarti men­cari mati kalau mencampuri pertandingan itu karena gerakan kedua orang sakti itu terlalu cepat bagi mereka. Sukar bagi mereka untuk dapat mengikuti jalannya pertandingan dengan pandang mata. Yang tampak oleh mereka hanyalah gulungan sinar hitam menyambar-nyambar di anta­ra dua gulung sinar emas, sedangkan dua orang tokoh, itu tidak tampak bayangannya lagi.

Biarpun usianya sudah sangat tua dan kalah tenaga, namun Kim-lun Seng-jin termasuk seorang tokoh sakti yang ber­kepandaian tinggi. Dahulu, sewaktu Hek-giam-lo yang masih bernama Panglima Bayisan masih kecil, Kim-lun Seng-jin sudah menjadi Panglima Khitan yang sukar dicari bandingnya. Bahkan ketika Bayisan sudah menjadi panglima yang jagoan, Kim-lun Seng-jin masih menjadi tokoh di Khitan sampai akhirnya kakek ini pergi dari Khitan karena tidak suka melihat perebutan kekuasaan, sedangkan raja sendiri, ketika itu adalah Raja Ku­lukan ayah Puteri Tayami (kakek Lin Lin), malah menaruh curiga ketika Kim-lun Seng-jin memberi nasihat. Ketika itu, Kim-lun Seng-jin masih bernama Kalisani (baca ceritaSuling Emas).

Namun, kini menandingi Hek-giam-lo, kakek itu makin lama makin repot juga. Hek-giam-lo selama ini memang memperoleh kemajuan hebat, apalagi belum lama ini ia telah berhasil meram­pas setengahnya daripada kitab simpanan Bu Kek Siansu yang setengahnya lagi dirampas It-gan Kai-ong. Dengan separuh kitab ini ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sekali sehingga setelah bertempur selama seratus jurus, mulailah Kim-lun Seng-jin terdesak hebat. Kini sinar senjata sabit berkilat-kilat me­nyambar dan setiap gerakan merupakan jangkauan maut yang mengerikan.

Namun anehnya, Kim-lun Seng-jin terdengar tertawa-tawa bergelak, ia me­rasa gembira sekali dengan pertandingan ini. Kakek ini memang selalu merasa khawatir kalau-kalau ia sebagai seorang Khitan, akan tewas di perantauan di ta­ngan jago silat yang banyak terdapat di seluruh penjuru bumi. Akan tetapi se­karang, nasib membawanya kembali ke perbatasan Khitan dan bahkan bertanding dengan seorang tokoh Khitan nomor satu di waktu itu. Lebih-lebih kegembiraannya bahwa ia dapat bertahan sampai seratus jurus lebih, ini saja sudah merupakan kenyataan yang amat menggembirakan hatinya.

“Hueh-heh-heh, Hek-giam-lo. Ternyata namamu kosong melompong! Mana patut bersombong menjadi seorang di antara Enam Iblis Dunia? Ha-hah, menghadapi seorang kakek yang sebelah kakinya su­dah masuk lubang kubur macam aku saja, sekian lamanya belum juga dapat mengalahkan!”

“Ciuuuuuttttt!” Sabit itu menyambar dengan gerakan seperti halilintar. Saking marahnya, Hek-giam-lo mempergunakan seluruh tenaga. Kim-lun Seng-jin cepat menangkis dengan roda emas kiri.

“Cringgggg!” Hebat bukan main pertemuan antara kedua senjata ini, tapi Kim-lun Seng-jin yang cerdik membarengi pertemuan senjata ini dengan melontarkan roda emas kanan ke arah lawan. Karena pembagian tenaga ini, apalagi memang ia sudah amat lemah dan tenaganya kalah kuat, maka roda emas kiri yang bertemu dengan sabit secara hebat menjadi pa­tah, bahkah tangan kirinya terluka oleh sabit yang sempat menyerempetnya. Akan tetapi di lain fihak, Hek-giam-lo yang tidak menyangka akan serangan kilat dari roda emas kanan yang dilontarkan, tak sempat mengelak dan dadanya terpukul.

“Desss....!” Sekiranya bukan Hek-giam-lo yang dihantam lontaran roda emas, tentu sudah pecah dadanya. Akan tetapi Hek-giam-lo sempat mengerahkan sin-kangnya sambil menjerit keras sekali. Roda emas menghantam sebagian dada dan pundak kirinya, terpental kembali dengan keras dan diterima tangan kanan Kim-lun Seng-jin yang juga terluka ta­ngan kirinya, mengucurkan darah dan mukanya pucat. Akan tetapi kakek ini tertawa-tawa gembira sekali.

“Heh-heh-heh, Hek-giam-lo, pecahlah dadamu! Mampuslah, heh-heh-heh!”

Hek-giam-lo muntahkan darah segar, kemudian ia mengeluarkan suara meng­gereng seperti seekor binatang buas, lalu menubruk maju dengan gerakan senjata sabitnya. Tampak sinar berkelebat. Kim-lun Seng-jin berusaha menangkis.

“Tranggggg!” Roda emasnya patah lagi, akan tetapi sabit di tangan Hek-giam-lo juga terlepas dari pegangan. Namun Hek-giam-lo terus maju dan ke­dua tangannya seperti dua cepitan baja sudah mencekik leher Kim-lun Seng-jin. Kakek ini tak bergerak lagi, seketika tewas pada saat tangan yang beracun dari Hek-giam-lo menyentuhnya. Akan tetapi iblis buas itu tidak juga mau me­lepaskan leher lawannya sebelum leher itu patah tulangnya, kemudian ia mem­banting tubuh itu, menyambar sabitnya dan.... pada detik-detik berikutnya tubuh Kim-lun Seng-jin sudah hancur dicabik-cabik sabit! Hanya mukanya yang tidak disentuh sabit. Dari leher ke bawah han­cur sampai kelihatan tulangnya. Anehnya, muka itu tetap saja tersenyum seakan-akan mentertawakan kelakuan Hek-giam-lo yang seperti gila saking marahnya. Hek-giam-lo sendiri terluka, patah tulang pundaknya dan terluka sebelah dalam dadanya. Akan tetapi tidak berbahaya, dan setelah menelan obat pe­nawar, ia cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Lin Lin. Akan tetapi, pertandingan melawan kakek Kim-lun Seng-jin tadi memakan waktu cukup lama, sampai seratus jurus lebih, dan tentu saja Lin Lin telah lenyap dari situ, sukar untuk dicari jejaknya. Apalagi gadis ini cukup cerdik untuk mengambil jalan yang sepi, melalui hutan-huan dan selalu menghindarkan diri daripada pertemuan dengan manusia sehingga pengejarnya, Hek-giam-lo, sama sekali tidak men­dapatkan keterangan ke mana arah larinya Lin Lin.

Biarpun hari telah terganti malam, Lin Lin tidak pernah menghentikan lari­nya, menyusup-nyusup hutan liar. Untung baginya, malam hari itu sore-sore bulan sudah keluar, biarpun belum bulat penuh, namun cukup untuk menerangi jalan di dalam hutan. Dengan pedang terhunus di tangan, gadis ini terus melanjutkan perjalanannya, mengarah selatan karena ia tahu bahwa dirinya saat itu berada di utara. Andaikata tidak ada bulan muncul, kiranya sukar juga baginya untuk me­milih arah.

Setelah lewat tengah malam dan keadaan hutan yang dimasukinya gelap sekali karena daun-daun pohon raksasa menutupi sinar bulan, baru Lin Lin meng­hentikan larinya. Ia naik ke atas sebuah pohon raksasa, duduk di atas cabang tersembunyi di balik daun-daun, lalu beristirahat. Enak sekali rasanya duduk beristirahat setelah setengah malam te­rus berlari dengan hati tegang itu. Kini ia merasa lega, bebas dari tawanan Hek-giam-lo. Segera ia duduk bersila sambil melatih samadhi menurut pelajaran ilmu­nya yang baru dan sebentar saja lenyap­lah semua rasa lelah, tubuhnya terasa segar dan dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil mendiamkan panca indera­nya, mengheningkan cipta dan mengum­pulkan hawa murni untuk memperkuat tenaga sakti di tubuhnya.

Pada keesokan harinya, setelah mata­hari mulai mengusir embun pagi yang membuat hawa udara amat dingin, baru Lin Lin menyudahi samadhinya, apalagi karena suara kicau burung pagi yang menggembirakan itu tiba-tiba terganggu oleh suara melengking tinggi yang menggetarkan perasaannya. Suara suling! Jan­tungnya berdebar tegang. Suara meleng­king macam itu banyak sudah ia dengar keluar dari mulut orang-orang sakti, di antaranya pernah pula Hek-giam-lo me­ngeluarkan suara seperti itu di kala me­ngerahkan tenaga saktinya. Jangan-jangan Hek-giam-lo sudah mengejar sampai ke situ!

***

Tidak takut, pikirnya! Kalau dia datang dan benar-benar dapat menyusulku, aku harus melawannya sampai mati! Akan tetapi kembali ia mendengarkan dengan teliti. Mengapa suara itu berbunyi terus-menerus? Dan lengking itu membentuk lagu. Suling! Debaran darahnya makin kencang dan dengan hati-hati ia meloncat dari cabang ke cabang, dari pohon ke pohon seperti seekor tupai yang gesit, menuju ke arah suara yang ia tahu tentu amat jauh.

Mernang betul dugaannya. Suara itu sebetulnya datang dari tempat yang cukup jauh dan andaikata tidak kebetulan ia berada di pohon raksasa yang amat tinggi dan tidak dalam waktu pagi yang sunyi dan dingin, agaknya suara itu tidak akan mencapai pendengarannya. Sudah puluhan batang pohon ia loncati, namun belum juga ia sampai di tempat dari mana suara suling itu melayang, akan tetapi makin dekat makin hebatlah getaran suara suling. Lin Lin melompat terus.

“Aaaiiiihhhh....!” Tiba-tiba tubuhnya terguling ketika ia meloncat dari sebuah cabang ke cabang lain. Untung ia masih dapat meraih cabang di bawahnya sehingga tubuhnya tergantung, kemudian dengan hati-hati sekali ia merosot turun dan akhirnya dapat juga ia mencapai tanah, berdiri dengan muka pucat dan cepat-cepat ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya sambil duduk bersila! Apa yang terjadi? Kiranya setelah makin mendekati tempat itu suara suling mempunyai getaran sedemikian hebatnya sehingga tanpa ia sangka-sangka dan sadari jantungnya tergetar dan tubuhnya tiba-tiba menjadi lemas sehingga hampir saja ia tadi terjungkal dari atas pohon besar yang amat tinggi. Kalau saja ia tidak cepat dapat menangkap cabang dan terbanting jatuh, akan celakalah dia.

Setelah mengerahkan sin-kang yang disalurkan terutama ke isi dada dan ke arah sepasang telinga, barulah Lin Lin pulih kembali keadaannya. Ia bangkit berdiri dan maklumlah ia sekarang bahwa suara suling yang ditiup dengan pengerah­an hawa sakti, semacam ilmu luar biasa sekali dan agaknya si peniup suling se­dang menghadapi lawan tangguh, maka sulingnya ditiup seperti itu. Kini Lin Lin menyelinap dari pohon ke pohon, mendekati arah suara suling yang terdengar amat jelas, makin dekat, makin terasa­lah pengaruh suara suling. Biarpun ia sudah menekan perasaan dan membulat­kan kemauan agar jangan memperhatikan, tetap saja ia terseret dan tanpa disadari ia memperhatikan juga. Suara suling itu amat merdu, mengayun sukma, merayu semangat, namun amat menyedihkan karena makin lama diperhatikan, makin mengarah suara orang menangis dengan kesedihan yang luar biasa. Tiba-tiba Lin Lin merasa betapa tenaganya mulai ber­kurang, tubuhnya mulai lemas lagi. Ce­pat-cepat ia menggerakkan kaki tangan dan mengatur napas menurut ajaran ilmunya yang baru dan heran sekali, se­ketika lenyap pengaruh suara suling yang mujijat itu. Ia menjadi girang dan mulai­lah ia melangkah maju dengan gerakan-gerakan ilmu silatnya yang baru. Akhirnya ketika ia keluar dari gerombolan pohon itu, tampaklah apa yang menimbul­kan suara mujijat ini dan jantungnya berdebar keras, hampir ia menjerit gi­rang akan tetapi kembali ia terkejut karena hal ini mengguncangkan jantung­nya dan membuat ia hampir roboh. Ce­pat-cepat ia menguasai perasaannya dan mengerahkan sin-kangnya kembali, berdiri memandang ke depan.

Di sana, hanya beberapa puluh meter di depannya, di sebuah lapangan terbuka di antara pohon-potion itu, tampak Su­ling Emas berdiri tegak dengan kedua tangan memegang dan memainkan suling yang ditiupnya. Di sekelilingnya berdiri sedikitnya lima belas orang yang sikap­nya mengancam, semua membawa sen­jata macan-macam, posisi mereka dalam jurus ilmu silat dengan kedua kaki memasang kuda-kuda, akan tetapi anehnya, mereka itu sama sekali tidak bergerak menyerang Suling Emas, melainkan ber­diri seperti patung batu dengan mata memandang terbelalak seolah-olah ter­pesona oleh Suling Emas yang bermain suling. Wajah mereka tegang, beberapa orang di antara mereka berhasil bergerak sedikit, akan tetapi tidak berhasil ber­gerak terus melanjutkan serangan. Yang lainnya sudah persis patung batu, wajahnya pucat dan tubuhnya seperti mati kaku!

Lin Lin tertegun. Setelah sekarang dekat benar, ia pun merasakan pengaruh luar biasa dari suara suling itu, yang membuat tubuhnya sebentar lemas seben­tar kaku seirama dengan suara suling yang mengalun tinggi rendah! Kembali ia mengerahkan sin-kangnya menurut ilmunya yang baru. Aneh, kini terasa betapa se­gar dan nikmat tubuhnya, betapa suara itu memasuki telinganya seperti musik dari angkasa, merdu merayu dan amat indahnya. Mungkin hal ini terjadi karena kegembiraan hatinya melihat Suling Emas di tempat itu.

Dengan pandang mata penuh kekaguman Lin Lin melihat betapa pendekar sakti itu dengan tenangnya terus menyuling. Tiba-tiba suara suling berubah ketika mata Suling Emas mengerling dan dapat melihat Lin Lin berdiri di situ. Pandang mata itu menjadi berseri dan bersinar-sinar, karena sesungguhnya bukan main girang hati Suling Emas melihat Lin Lin yang disangkanya masih tertawan Hek-giam-lo itu berdiri di tempat itu. Hal yang sama sekali tak pernah disangkanya dan yang tentu saja menggirangkan hatinya karena ia sampai tiba di tempat itu bukan lain karena hendak mengejar Hek-giam-lo, menolong Lin Lin dan merampas kembali tongkat pusaka Beng-kauw.

Kini Suling Emas dengan masih meniup suling melangkah meninggalkan para pengepungnya yang berubah menjadi patung hidup itu. Inilah pengaruh Ilmu Kim-kong Sin-im (Suara Sakti Sinar Emas) yang ia pelajari dari Bu Kek Siansu, yang belum lama ini ia perdalam latihannya bersama kakek dewa itu. Melihat Lin Lin berdiri tegak dan bengong, Suling Emas mengira bahwa Lin Lin tentu, seperti para pengeroyoknya itu terkena pula pengaruh ilmunya Kim-kong Sin-im, maka ia melepaskan tangan kiri dari sulingnya, menyuling hanya dengan tangan kanan dan tangan kirinya diulur hendak menangkap Lin Lin dan dibawa pergi dari situ.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis itu bergerak dan gadis itu malah yang menangkap tangan kirinya, digandeng mesra sambil berkata.

“Kenapa baru sekarang kau muncul? Hampir saja aku celaka lagi oleh si iblis Hek-giam-lo, dan kau enak-enak di sini, mainkan suling dengan orang-orang itu. Mereka siapakah?”

Suling Emas demikian terheran-heran sampai ia menghentikan tiupan sulingnya dan memandang Lin Lin dengan melongo. Para pengeroyoknya adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang ulung, yang berilmu tinggi, setidaknya tentu lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki Lin Lin, rata-rata sin-kang mereka tentu lebih kuat daripada Lin Lin. Kalau mereka itu semua terpe­ngaruh oleh suara sulingnya mengapa Lin Lin enak-enak saja, agaknya sama sekali tidak merasai pengaruh Kim-kong Sin-im? Sebelum Suling Emas sempat ber­tanya, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut. Kiranya belasan orang pengeroyok tadi setelah kini suara suling lenyap, segera pulih kembali keadaan mereka. Mereka menjadi marah sekali, tadi mereka seakan-akan dalam keadaan tertotok oleh pengaruh Kim-kong Sin-im, sekarang mereka berteriak-teriak sambil menyerbu dengan senjata di tangan. Mereka ini terdiri daripada hwesio-hwesio, tosu-tosu, dan orang-orang gagah yang berilmu tinggi maka serbuan mereka bukanlah hal yang boleh dipendang ringan. Gerakan mereka jelas membayangkan tenaga yang besar dan gerakan kaki mereka amat ringan.

Ketika menengok dan melihat ini, Suling Emas segera menyambar pinggang Lin Lin dengan lengan kirinya, kemudien ia berkelebat dan melompat naik ke atas pohon, berloncatan seperti burung garuda terbang, cepat sekali meninggalkan tem­pat itu.

Hujan senjata rahasia datang dari belakangnya, namun dengan menggerak­kan suling di tangan kanannya ke arah belakang, diputar sedemikian rupa se­hingga angin pukulannya meruntuhkan senjata-senjata rahasia yang datang me­nyambar. Kembali Suling Emas tertegun melihat betapa Lin Lin juga menggerak­kan tangan, mendorong dan hawa pukul­an yang bercuitan keluar dari tangan gadis yang mendorong itu dan meruntuh­kan beberapa anak panah gelap yang me­nyambar ke arah mereka!

Akan tetapi karena para pengeroyok itu kini sudah mengejar cepat, bahkan di antara mereka ada pula yang mengambil jalan seperti Suling Emas, yaitu dengan cara meloncat ke atas pohon dan bagai­kan terbang mengejar dari pohon ke pohon, maka Suling Emas tidak ada wak­tu lagi untuk bicara dengan Lin Lin. Ia mempererat kempitannya pada pinggang Lin Lin dan mengerahkan semua tenaga dan gin-kangnya melarikan diri. Lin Lin merasa seakan-akan tubuhnya dibawa ter­bang, akan tetapi yang teringat olehnya sama sekali bukan lain hal kecuali bahwa ia dikempit atau setengah dipondong oleh Suling Emas! Hal inilah yang mendebar­kan hatinya dan sambil meramkan mata ia menempelkan mukanya erat-erat pada dada laki-laki itu.

Ilmu kepandaian Suling Emas memang hebat sekali. Biarpun para pengejarnya telah mengerahkan tenaga, semua sia-sia belaka, mereka tertinggal jauh dan sejam kemudian mereka telah kehilangan bayangan Suling Emas dan terpaksa menghentikan pengejaran. Memang ada di antara mereka yang lebih hebat gin-kang­nya daripada yang lain, namun untuk mengejar sendiri saja tentu amat berbahaya.

Setelah merasa yakin bahwa para pengejarnya sudah menghentikan penge­jaran mereka, Suling Emas berhenti berlari. Mereka telah tiba di luar hutan dan matahari telah naik menyinarkan sinar pagi yang hangat. Akan tetapi alangkah herannya ketika Suling Emas melihat bahwa Lin Lin sudah tidur pulas dalam pondongan atau kempitannya! Tadinya ia kaget, mengira bahwa ada sesuatu ter­jadi pada diri gadis ini, akan tetapi setelah ia tahu betul bahwa gadis ini hanya tidur pulas, mau tak mau Suling Emas tersenyum lebar.

“Bocah nakal, enak-enakan tidur!” katanya, akan tetapi Lin Lin tidak ba­ngun oleh tegurannya ini. Memang luar biasa sekali. Ketika tadi berada dalam kempitan $uling Emas, Lin Lin merasa dirinya begitu aman, begitu senang, dan begitu lega hatinya sehingga kelelahan tubuhnya kembali menyerang dirinya. Rasa puas dan lega membuat ia mengan­tuk dan tanpa ia sengaja, ia sudah tidur pulas sambil menyandarkan muka pada dada Suling Emas!

Sambil tersenyum dan menggeleng-geleng kepala, Suling Emas meletakkan tubuh gadis yang tidur pulas itu di atas tanah berumput. Akan tetapi gerakan ini membangunkan Lin Lin yang membuka mata dan cepat melompat berdiri sambil mengusap-usap ke dua matanya dengan punggung tangan. Agaknya hanya sejenak ia nanar oleh tidurnya, karena segera ia celingukan dan bertanya.

“Mana mereka? Mana orang-orang jahat itu?”

“Orang jahat? Tidak ada orang jahat di sini.”

Gadis itu memegang tangan Suling Emas, memandang dengan kening ber­kerut.

“Apa kau bilang? Orang-orang yang mengeroyokmu tadi, yang mengejar dan menyerang dengan senjata-senjata raha­sia, apakah mereka itu bukan orang-orang jahat?”

Suling Emas menggeleng kepalanya. “Mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal gagah perkasa, di antara mereka malah ada pendeta-pendeta dari Siauw-lim-pai, Hoa-san-pai, dan Go-bi-pai.”

“Apa? Mengapa keledai-keledai itu mengeroyokmu? Dan terang kau tidak akan kalah oleh mereka, mengapa tidak melawan dan menghajar mereka, sebaliknya melarikan diri seperti orang ketakut­an?”

“Ah, panjang ceritanya. Akan tetapi, bagaimana kau bisa berada di sini? Bukan­kah kau bersama-sama Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan?”

“Ah, panjang ceritanya....” Lin Lin mengerling dan cemberut. Suling Emas memandang, lalu tertawa, maklum bahwa gadis ini membalasnya. Adik angkatnya ini memang benar-benar nakal sekali.

“Eh, kau pendendam sekali!”

Lin Lin juga tertawa. “Orang ber­tanya baik-baik kau bilang panjang ceri­tanya.” Ia menegur.

Suling Emas menarik napas panjang. “Lin Lin, kau tidak tahu. Untuk bercerita tentang mereka yang hendak mengeroyokku, yang ingin sekali melihat aku mati, amatlah tidak menyenangkan hati. Aku tidak bisa bercerita tentang itu, harap kau tidak marah.”

“Hemmm, rahasia, ya? Dan mengapa kau menjadi sedih? Sudahlah, aku hanya main-main.”

“Aku sendiri tidak punya rahasia apa-apa, kau boleh dengar semua.”

Gadis itu lalu menceritakan pengalaman­nya, sejak ia bertemu dengan Hek-giam-lo di Nan-cao, tentang perintahnya me­rampas tongkat pusaka, tentang dirinya hendak dijadikan Permaisuri Khitan, ke­mudian betapa ia berhasil melarikan diri karena pertolongan Kim-lun Seng-jin.

Suling Emas mendengarkan dengan terheran-heran, sampai berkali-kali ia menggeleng kepala. Gadis ini benar-benar hebat, luar biasa keberaniannya dan agak­nya hanya Lin Lin di antara tiga orang adiknya yang belum tahu bahwa dia ada­lah Kam Bu Song.

“Jadi kaukah Puteri Mahkota Keraja­an Khitan? Dan kau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka Beng-kauw? Apa maksudmu untuk merampas tongkat, untuk apa?”

Merah muka Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Sejenak ia menundukkan muka, tidak berani menentang Pandang mata Suling Emas. Akan tetapi hanya sebentar saja “rasa salah” ini mengganggu hatinya, karena beberapa detik kemudian ia sudah mengangkat muka lagi memandang wajah Suling Emas dengan pandang mata menentang dan bibir ter­senyum!

“Memang aku Puteri Mahkota Khitan. Ibuku adalah Puteri Tayami yang gagah perkasa dan kakekku adalah mendiang Sribaginda Kulukan, raja besar Khitan! Namaku sendiri sebetulnya adalah Yalina sampai ibu yang menggendongku tewas di dalam peperangan dan aku dipungut anak oleh ayah angkatku Jenderal Kam Si Ek dan diberi nama Kam Lin.”

“Kalau begitu, seharusnya aku me­nyebutmu Tuan Puteri,” kata Suling Emas, sungguh-sungguh.

“Aku memang ingin merampas kem­bali tahta kerajaan bangsaku yang jatuh ke tangan pamanku! Aku ingin memimpin rakyatku menjadi bangsa yang kuat!” Ketika mengucapkan kata-kata ini, Lin Lin berdiri tegak, sikapnya agung, sinar matanya tajam bercahaya, penuh sema­ngat.

Suling Emas mengangguk seperti orang memberi hormat. “Tepat, memang be­gitulah seharusnya Paduka bersikap sebagai seorang pemimpin yang mencinta bangsanya, Tuan Puteri Yalina.”

Tiba-tiba Lin Lin tertawa dan memegang tangan Suling Emas. “Ihhh, se­perti main sandiwara saja! Aku belum menjadi ratu dan takkan bisa selama paman tiriku dan Hek-giam-lo masih berkuasa di Khitan. Aku tidak suka kau­perlakukan sebagai ratu, dan panggil aku Lin Lin saja seperti biasa.”

Kembali Suling Emas tersenyum dan ia sendiri merasa aneh dan heran meng­apa hatinya selalu menjadi gembira kalau berdekatan dengan gadis ini yang mem­buat ia mau tak mau menjadi gembira? Ataukah karena wajah Lin Lin ada per­samaannya dengan Suma Ceng?

“Agaknya kau tidak suka kepada Hek-giam-lo. Akan tetapi mehgapa kau me­nyuruh dia merampas tongkat pusaka Beng-kauw?”

“Kau tidak tahu. Biar kau berjuluk Suling Emas dan menjadi pendekar sakti, agaknya kau tidaklah terlalu cerdik untuk dapat menyelami apa yang menjadi mak­sud hatiku.” Ucapan ini langsung keluar dari hati Lin Lin yang selalu berbisik, “aku mencinta kau, mengapa kau tidak tahu?” dan yang tentu saja tak mungkin terucapkan mulut itu. “Ketika aku ber­temu dengan Hek-giam-lo, biarpun sikapnya menghormat dan ia menganggap aku junjungannya, akan tetapi aku tahu bah­wa diam-diam aku menjadi tawanannya. Karena itulah aku menyuruh dia meram­pas tongkat Pusaka Beng-kauw.”

“Mengapa?”

“Masih bertanya lagi? Tentu saja biar kau mengejarnya dan kalau kau mengejarnya, berarti kau akan dapat menolongku bebas daripada tawanannya!”

“Ahhh....!” Diam-diam Suling Emas memuji kecerdikan gadis ini. “Tapi ku­lihat sekarang kau sudah pandai mem­bebaskan diri sendiri.” Kemudian ia ter­ingat akan sesuatu dan cepat bertanya, “Dan kulihat gerakan-gerakanmu tadi hebat sekali. Dulu kau tidak begitu. Dari mana kau memperoleh kepandaian yang aneh itu? Apakah Hek-giam-lo mengajarmu?”

“Ihhh, orang macam dia mana mau mengajarku? Aku dianggap musuhnya, tahukah kau? Dia.... dia buruk sekali!”

Lin Lin bergidik, teringat akan muka Hek-giam-lo ketika iblis itu membuka kedok memperlihatkan mukanya. “Tahu­kah kau mengapa mukanya menjadi se­perti setan? Karena dia berani meng­ganggu ibuku dan ibu menghajarnya de­ngan bubuk racun pada mukanya! Huh, orang macam dia berani mengganggu ibuku. Tidak dibunuh pun masih untung dia!”

Suling Emas mengerutkan keningnya. Alangkah banyaknya rahasia penghidupan orang-orang tua yang ia tidak sangka-sangka dan tidak ketahui. Seperti halnya ibunya yang tentu mempunyai pengala­man hidup yang luar biasa dan menarik sekali, akan tetapi yang ia tidak tahu sama sekali, agaknya pengalaman hidup orang tua Lin Lin ini pun tidak kalah hebat dan menariknya (dugaan ini me­mang benar dan semua pengalaman itu menjadi ceritaSULING EMAS yang me­narik).

“Kalau bukan dari dia, dari mana kau mendapatkan ilmu yang aneh itu?”

Lin Lin tersenyum bangga, akan te­tapi juga terheran. Ia memang telah mempelajari ilmu mujijat dari tongkat pusaka Beng-kauw, akan tetapi seingat­nya semenjak bertemu dengan Suling Emas tadi, ia tak pernah mainkan ilmu baru itu. Bagaimana Suling Emas dapat menduganya?

“Nanti dulu, Suling Emas. Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa aku mempu­nyai gerakan-gerakan hebat. Bagaimana kau bisa tahu padahal aku tak pernah melakukan pertempuran sejak tadi?”

“Kau tadi dapat menahan pengaruh Kim-kong Sin-im dari suara sulingku, kemudian dengan pukulan jarak jauh yang aneh kau meruntuhkan senjata rahasia.”

“Oh, itu?” Diam-diam Lin Lin kagum. Kelihaian Suling Emas dapat diukur dari sini. Sebelum ia memperlihatkan ilmunya, pendekar sakti ini sudah mengetahuinya hanya melihat hal itu saja. Timbul kegembiraannya hendak mencoba ilmu baru­nya terhadap pendekar yang menggugah kasih sayang dan kekaguman hatinya ini.

“Suling Emas, sebelum aku memberi tahu dari mana aku mendapatkan ilmu ini, aku hendak mengujinya kepadamu. Harap kau suka meneliti dan memberi petunjuk kepadaku.”

Kembali Suling Emas tersenyum. Ga­dis ini berwatak aneh, akan tetapi jujur dan jenaka. Sudah menjadi watak semua tokoh kang-ouw untuk menyembunyikan rahasia ilmunya, apalagi yang belum dilatih masak-masak, mengeluarkannya saja di depan umum tentu segan karena khawatir kalau-kalau diketahui rahasianya oleh orang lain. Akan tetapi gadis ini selain hendak membuka rahasia malah ingin mengujinya terhadap dirinya dan minta petunjuk. Mengapa gadis ini amat percaya kepadanya, apalagi karena belum tahu bahwa dia adalah Kam Bu Song, dan mengingat betapa dahulu telah ter­jadi peristiwa “menyeramkan” di ling­kungan istana, atau lebih tepat di gedung perpustakaan istana ketika ia menyangka gadis ini Suma Ceng dan memeluk dan menciumnya? Karena peristiwa itu pula maka ia sengaja tidak memperkenalkan diri, biar gadis ini sendiri yang kelak mendengar dari Kam Bu Sin atau Sian Eng bahwa dia, Suling Emas, laki-laki yang dulu pernah bersikap “kurang ajar” kepada gadis itu, adalah kakak angkat­nya! Apalagi, kakak angkat bukanlah hubungan yang amat dekat, jauh bedanya dengan saudara tiri yang masih seayah lain ibu seperti halnya dia terhadap Bu Sin dan Sian Eng. Kakak angkat pada hakekatnya adalah orang lain dan bukan apa-apa. Terutama sekali apabila diingat bahwa gadis ini sebetulnya adalah se­orang puteri bangsa Khitan, semenjak dahulu musuh utama bangsanya, khususnya Kerajaan Hou-han. Akan tetapi betapapun juga semenjak kecil ga­dis ini dipelihara ayahnya, dan mengingat betapa gadis ini bercita-cita besar sekali ingin menjadi Ratu Khitan, tidak ada salahnya kalau ia memberi petunjuk agar Lin Lin memiliki kepandaian yang boleh diandalkan, terutama sekali untuk menghadapi Hek-giam-lo yang sakti.

“Silakan kauperlihatkan ilmu itu.”

Lin Lin melompat mundur sampai dua meter, berdiri dalam jarak empat meter dari Suling Emas, kemudian merangkap kedua tangan seperti orang menyembah, ditaruh di depan dada kiri, kemudian terus digerakkan ke atas dengan sepasang matanya meram. Lambat-lambat gerakan ini, namun makin lama makin tergetar dan menggigil, kemudian kedua tangan itu mengembang ke atas kepala seperti seorang yang memohon sesuatu daripada Tuhan. Beberapa detik sepasang tangan­nya menggigil di atas kepala, lalu di­turunkannya kembali dan ia membuka matanya. Sikapnya berubah tenang sekali, bibirnya tersenyum, kedua tangannya tidak menggigil lagi.

“Aku sudah siap, Suling Emas.”

Suling Emas mengikuti semua gerakan Lin Lin itu dengan mata makin lama makin terbelalak. Merangkap tangan di depan dada itu! Hampir ia tidak percaya. Gerakan merangkap tangan ke depan dada lalu menggerakkan ke atas kepala dan memohon kepada Thian, itulah ge­rakan sembahyang dari Beng-kauw! Akan tetapi ia tahu betul bahwa Lin Lin bu­kanlah seorang penganut Beng-kauw, dan ia pun dapat menduga dari kedua tangan yang menggigil mengandung getaran te­naga dahsyat itu bahwa gerakan gadis itu tadi sama sekali bukan semata-mata gerakan upacara keagamaan, melainkan cara untuk mengerahkan semacam hawa sakti yang hebat dan luar biasa. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap gadis itu yang berubah begitu tenang, terlalu te­nang, sebagai tanda seorang yang seluruh tubuhnya sudah disaluri tenaga sin-kang (hawa sakti) yang kuat. Ia pun bersikap waspada dan dengan mata penuh seli­dik ia berkata.

“Nah, kaumulailah menyerang,” suara­nya lirih karena hatinya berguncang.

“Lihat serangan!” Lin Lin berseru dan ia segera melompat maju dan memutar-mutar tubuhnya bagaikan sebuah gasing! Inilah jurus ke tujuh daripada ilmu yang ia pelajari. Menghadapi Suling Emas yang amat lihai, ia tidak mau mempergunakan jurus-jurus sederharta dan sengaja ia memilih jurus-jurus yang ia anggap paling aneh. Jurus ini memang hebat dan aneh yang menurut catatan rahasia itu disebut sebagai jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Mengeluarkan Kilat)!

Selama tahun-tahun belakangan ini, semenjak ia mendekati Beng-kauw, sudah sering kali Suling Emas menyaksikan jurus-jurus terlihai dari Beng-kauw. Bah­kan dengan Kauw Bian Cinjin yang men­jadi sahabat baiknya, sering kali ia bertukar pengalaman dan kritik tentang jurus-jurus sakti. Akan tetapi belum pernah ia menyaksikan jurus macam ini. Hal ini tidaklah mengherankan kalau diingat bahwa jurus ini adalah sebuah di antara tiga belas jurus istimewa yang khusus diciptakan oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, diciptakan khusus untuk menghadapi semua isi tiga kitab pusaka yang dicuri oleh puterinya sendiri. Jadi boleh dibilang tiga belas macam ilmu pukulan sakti ini diciptakan untuk meng­atasi seluruh inti sari ilmu kesaktian Beng-kauw yang telah ada! Tidaklah mengherankan apabila hebatnya bukan alang kepalang, sehingga agaknya Suling Emas sendiri tentu akan menemui lawan yang mengejutkannya kalau saja Lin Lin sudah sempurna berlatih.

Namun, biarpun baru beberapa hari Lin Lin berlatih ilmu baru ini, meng­hadapi serangan pertama ini Suling Emas menjadi terheran-heran. Mula-mula ia tidak terkejut, hanya terheran-heran karena melihat gerakan serangan yang begitu aneh, bahkan menggelikan. Mana ada jurus ilmu silat yang menyerang dengan pembukaan seperti itu? Berputar-putar seperti gasing, bagaimana dapat menyerang dengan baik? Malah boleh dibilang memberi kesempatan kepada lawan untuk menyerang hebat selagi tubuh berputar-putar seperti itu. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau memper­gunakan kesempatan ini untuk menyerang, karena ia hanya ingin menguji. Ia sendiri tegak menanti sampai gadis itu mendahului menyerang.

Dan serangan itu datang! Bukan main aneh dan hebatnya! Tiba-tiba, dengan tubuh masih berputaran, setelah dekat dengan Suling Emas, tiba-tiba dari putaran itu menyambar keluar dua buah ta­ngan yang bergerak tak tersangka-sangka.

Tangan pertama, yang kiri, menghantam ke arah kepala Suling Emas, dan tangan kanan sebagai pukulan ke dua sudah me­nyambar ke arah dada sebelum pukulan pertama mengenai sasaran. Dua serangan sekaligus yang susul-menyusul dan ke­cepatannya cukup membahayakan.

Suling Emas miringkan kepala menghindarkan diri daripada pukulan pertama dan sengaja ia mengangkat lengannya menangkis ketika pukulan ke dua tiba menyambar dadanya.

“Dukkkkk!” Tubuh Lin Lin terhuyung-huyung seperti melayang-layang, akan tetapi Suling Emas mengeluarkan seruan heran dan kaget ketika kuda-kudanya tergempur oleh pertemuan lengan itu. Kalau saja ia tidak cepat mengerahkan sin-kangnya, tentu ia akan terhuyung juga, biarpun tidak sehebat Lin Lin. Ia cepat meloncat untuk menahan dan menolong Lin Lin, akan tetapi ternyata gadis itu sudah dapat menguasai dirinya kembali dan sama sekali tidak apa-apa!

“Kenapa kau sungguh-sungguh?” Lin Lin mengomel.

“Wah, hebat sekali! Lin Lin, hebat sekali seranganmu tadi. Mengandung te­naga mujijat. Sayangnya, dengan ber­putaran seperti itu, sebelum kau me­mukul, kau dapat diserang lawan lebih dulu dan keadaan berputaran itu tidak menguntungkan.”

Lin Lin tertawa. “Hi-hik, boleh coba! Aku tadi justeru mengharapkan kau me­nyerang lebih dulu. Suling Emas, di da­lam catatan ilmu ini, kelihaian jurus Soan-hong-ci-tian terletak kepada cara berputaran itulah! Dan jangan kira bahwa berputaran seperti itu melemahkan ke­dudukanku, ih, sama sekali terbalik. Itu­lah gerakan memancing, malah sengaja begitu biar lawan menyerang lebih dulu. Kehebatan daya serangnya justeru di waktu lawan menyerang, karena lawan memandang rendah dan percaya serangan­nya akan berhasil. Mau coba?”

Akan tetapi Suling Emas mengerutkan kening, memikir-mikir. “Soan-hong-ci-tian....? Tak pernah kudengar jurus ini, melihatnya pun baru sekarang....”

“Hi-hik, masa? Suling Emas yang tersohor sakti, pendekar jagoan itu tidak mengenal jurusku? Lucu!”

“Lin Lin, dari mana kau memperoleh ini? Siapa yang mengajarmu?”

“Sssttt, nanti dulu. Belum habis kan ujian ini? Kaujaga seranganku berikutnya!” Sambil berkata demikian Lin Lin sudah menerjang lagi mengeluarkan jurus-jurus yang aneh dan lihai. Dari kedua tangannya yang memukul menyambar angin yang amat kuat sehingga Suling Emas tak berani memandang rendah. Makin lama Suling Emas makin tertarik, karena jurus-jurus itu betul-betul belum pernah ia melihatnya.

“Pergunakan pedangmu....!” katanya gembira. “Lekas cabut pedangmu dan mainkan menurut jurus-jurusmu....!”

Tadinya Lin Lin sudah merasa kecewa sekali karena biarpun ia menerjang de­ngan hebat, sama sekali ia tidak mampu menyentuh bayangan Suling Emas se­hingga ia merasa seperti menyerang ba­yangannya sendiri dan merasa betapa ilmunya yang baru ini kalau berhadapan dengan lawan sesakti Suling Emas atau Hek-giam-lo, benar-benar tidak ada guna­nya. Akan tetapi mendengar perintah Suling Emas ini, ia tidak mau memban­tah, apalagi dalam suara itu terkandung kegembiraan dan kekaguman.

Sinar kuning emas berkeredepan me­nyilaukan mata ketika Lin Lin mencabut Pedang Besi Kuning dan mainkan pedang pusaka ini menurut jurus-jurus ilmu baru. Tiga belas jurus sudah ia mainkan semua dan pedangnya sama sekali tidak dapat menyentuh ujung baju Suling Emas. De­ngan perasaan sebal dan kecewa Lin Lin menghentikan permainannya dan menyim­pan pedangnya, membanting kaki dan berkata.

“Sudahlah! Perlu apa kaupermainkan aku? Memang aku tidak becus, dan ilmu­ku, ilmu picisan!”

“Wah, siapa bilang begitu? Lin Lin, kau benar-benar telah mewarisi ilmu yang luar biasa sekali. Sungguh mati, kalau kau sudah melatih ilmu itu dengan sempurna, jarang ada tokoh kang-ouw yang akan mampu menandingimu. Bahkan aku sendiri merasa ragu-ragu apakah aku akan dapat bertahan begitu mudahnya menghadapimu. Ilmu mujijat, Lin Lin, hanya kurang terlatih dan ada bagian-bagian yang kau keliru latih agaknya. Kau tadi minta petunjuk, bukan? Nah, aku akan memberi petunjuk-petunjuk kalau saja kau suka berlatih perlahan-lahan. Aku bersumpah takkan mempelajari ilmu itu, dari manapun datangnya.”

“Jangan pura-pura membesarkan hati­ku, padahal kau hanya mengejek. Kau begitu baik hubunganmu dengan Beng-kauw, masa pura-pura tidak mengenal ilmu silat yang kutemukan di dalam tong­kat pusaka Beng-kauw?” Ucapan Lin Lin ini sewajarnya saja karena memang ia sungguh-sungguh menganggap bahwa Su­ling Emas mempermainkan dan mengejek­nya yang membuat hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi ternyata ucapan ini mengagetkan Suling Emas yang terang-terangan membelalakkan kedua matanya dan memandang kepada gadis itu seakan-akan Lin Lin bukan seorang gadis jelita melainkan seorang siluman yang mengeri­kan.

Memang bukan main kaget hati Suling Emas mendengar kata-kata ini. Hal ini ada sebabnya. Tadi ketika ia melayani jurus-jurus istimewa anehnya dari Lin Lin, ia selain kaget dan kagum, juga merasa heran mengapa jurus-jurus ini mengandung inti sari ilmu Beng-kauw, akan tetapi lebih tinggi dan seakan-akan mengandung unsur-unsur menekan dan mengatasi inti sari ilmu Beng-kauw. Ini­lah yang mengagetkan hatinya ketika mendengar bahwa gadis itu mempelajari­nya dari surat warisan yang ditemukan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw. Otak­nya yang cerdik segera dapat menangkap rahasianya. Takkan salah lagi, tentu men­diang Pat-jiu Sin-ong yang menciptakan dan menyembunyikannya di dalam tong­kat pusaka Beng-kauw dengan maksud menurunkan atau mewariskannya kepada ketua Beng-kauw. Adapun ketua Beng-kauw adalah pamannya sendiri, Liu Mo, yang kelihatan tenang-tenang saja ketika tongkat itu dirampas Hek-giam-lo. Andai­kata pamannya tahu bahwa di dalam tongkat pusaka itu terdapat surat wasiat mendiang kakeknya yang mengandung pelajaran ilmu kesaktian yang begitu hebat, sudah tentu pamannya itu akan menjadi panik sekali dan tak mungkin menyerahkan tongkat begitu saja kepada Hek-giam-lo, karena sekali ilmu itu dipelajari orang luar, berarti Beng-kauw terancam! Hal ini hanya berarti bahwa pamannya belum tahu akan surat wasiat, berarti pula bahwa surat wasiat itu be­lum pernah terlihat orang lain dan Lin Lin adalah orang pertama yang mempe­lajarinya.

Lin Lin yang kini mendapat giliran kaget sekali ketika Suling Emas menang­kap tangannya dan memegangnya erat-erat.

“Eh-eh, aduuuhhhhh.... hendak kaupatahkan lenganku?” serunya, agak di­buat-buat manja karena sesungguhnya, seerat-eratnya Suling Emas memegang, tentu saja tidak sampai mematahkan tulang lengannya, apalagi dia memiliki sin-kang yang tidak sembarangan!

“Eh, maaf, eh.... Lin Lin, di mana surat wasiat itu? Di mana sekarang?” tanya Suling Emas agak gugup. Siapa orangnya tidak akan gugup? Kalau surat wasiat itu terjatuh ke tangan orang lain seperti Hek-giam-lo, tentu Beng-kauw akan terancam bahaya. Takkan ada orang Beng-kauw yang akan dapat melawan musuh yang memiliki ilmu itu secara mendalam, karena ia tahu bahwa ilmu itu adalah ilmu berinti sari pelajaran Beng-kauw yang agaknya dicipta untuk mengatasi kepandaian orang-orang Beng-kauw.

“Kenapa sih? Kau yang sudah begitu pandai, yang tadi dengan mudah saja menghadapi ilmu ini, apakah kau masih begitu murka ingin mempelajari ilmu ini pula? Ingat, Suling Emas, kau sudah ber­sumpah tadi takkan mempelajarinya. Bukan aku melarang kau mempelajarinya, hanya.... aku.... aku tidak mau kalau kau melanggar sumpahmu.”

“Aku takkan mempelajarinya, Lin Lin. Tapi lekas katakan, di mana adanya wa­siat pelajaran itu?”

Saking tegang hatinya, penuh ke­khawatiran kalau-kalau wasiat itu terampas pula oleh Hek-giam-lo, Suling Emas sampai lupa untuk melepaskan tangan Lin Lin. Sejak tadi ia masih me­megangi tangan itu, sungguhpun kini tidak ia cengkeram seperti tadi. Dengan jantung berdebar Lin Lin melirik ke arah kedua tangannya yang digenggam Suling Emas. Ia tersenyum.

“Panggil dulu namaku....”

“Lin Lin....”

“Sebut aku Moi-moi (Adik)....”

“Lin-moi-moi (Adik Lin) yang baik!” kata Suling Emas, biarpun mendongkol merasa geli juga karena memang gadis ini adik angkatnya, apa salahnya me­nyebutnya adik?

“Kau menyebut dinda, aku pun me­nyebut kanda. Koko yang baik, surat wasiat itu sudah kumusnahkan.”

“Kaumusnahkan?”

Mereka bertemu pandang, sama-sama menyelidik. Melihat wajah Suling Emas agak berseri membayangkan kegirangan hatinya, legalah hati Lin Lin.

“Sudah kurobek-robek menjadi se­keping-keping kecil lalu kusebarkan ke dalam sungai.”

“Betul sudah musnah? Apakah Hek-giam-lo tidak melihatnya?” kata Suling Emas agak terburu-buru dan mukanya menjadi merah karena baru sekarang setelah hilang kekhawatirannya, ia ter­ingat bahwa sejak tadi ia menggenggam sepasang tangan yang kecil halus itu.

Lin Lin tertawa. “Lucu sekali Hek-giam-lo. Dia goblok. Ada beberapa po­tongan surat wasiat itu ia ambil, akan tetapi apa artinya satu dua huruf pada kepingan-kepingan kecil itu! Ia mendesak, curiga dan bertanya.”

“Dan apa kaujawab?”

“Kukatakan bahwa surat itu dari.... dari kekasihku, hi-hik....”

Kembali terpaksa Suling Emas tes­senyum, perbuatan yang jarang atau tak pernah ia lakukan. Semenjak ia terpaksa berpisah dari kekasihnya, Suma Ceng, tersenyum merupakan hal yang sukar dapat dilakukan Suling Emas karena hati­nya sudah terluka dan ia selalu meman­dang penghidupan dari segi yang muram-muram. Akan tetapi entah mengapa, berdekatan dengan Lin Lin, ia sudah beberapa kali tersenyum seakan-akan kelincahan dan kegembiraan gadis ini merupakan cahaya terang yang sinarnya mencapai pojok-pojok hatinya yang gelap.

“Hemmm, anak nakal. Lalu, dia ba­gaimana? Percayakah?”

“Mula-mula tidak. Ia bertanya siapakah kekasih itu.”

“Dan kaujawab....? Tentu.... murid Gan-lopek, ya?” Suling Emas sendiri me­rasa heran mengapa mendadak sontak ia melayani kelakar Lin Lin bahkan menge­luarkan godaan ini. Benar-benar ia men­jadi seperti kanak-kanak, pikirnya dengan wajah merah.

“Iiiihhhhh....!” Tiba-tiba Lin Lin menggunakan kedua tangannya menangkap lengan tangan Suling Emas dan sepuluh buah jari-jari tangannya mencubiti kulit lengan itu.

“Aduh-aduh.... aduh....!” Suling Emas tertawa dan menjerit-jerit karena me­mang sakit sekali cubitan-cubitan jari yang berkuku runcing itu. Ia tidak tega tentu saja untuk menggunakan tenaga melawan cubitan karena selain tak patut main-main dibalas sungguh-sungguh, juga ia khawatir kalau-kalau kuku-kuku jari yang terpelihara itu akan rusak oleh perlawanannya.

“Kau menyebalkan! Siapa bilang, hayo, siapa bilang aku punya kekasih murid Gan-lopek si badut tua itu? Memalukan, menggemaskan....!”

“Sudah.... sudah, aduh....!” Suling Emas masih tertawa-tawa. “Lepaskan!”

“Hayo bilang dulu siapa yang menga­takan demikian?”

Kegembiraan Suling Emas timbul, maka ia merasa belum cukup menggoda. Sambil tertawa ia berkata, “Memang sudah sepantasnya Lie Bok Liong yang tampan dan gagah itu menjadi anumu.... ha-ha.... aduhhh!”

Cubitan Lin Lin makin keras. “Anu apa? Hayo bilang, apa yang kaumaksudkan dengan anumu....?”

“Aduh, sakit, Lin-moi, lepaskan. Ku­maksudkan kekasihmu tentu. Bukankah ia amat mencintamu dan selalu membela­mu?”

Mendadak Lin Lin melepaskan tangannya dan.... menangis!

“Eh-eh.... mengapa menangis....?” Suling Emas benar-benar terkejut dan heran sekali.

“Kau jahat....! Kau mengejekku, kau menjengkelkan, sengaja bikin aku marah....! Kau tidak punya hati, tak berjantung!”

“Eh.... oh.... nanti dulu, Lin-moi! Aku sama sekali tidak mengejekmu, aku.... aku hanya main-main. Masa tidak boleh orang main-main? Maafkan aku, Lin-moi, sungguh mati aku tidak ber­maksud membikin kau marah dan jengkel. Sudahlah, kaumaafkan aku.”

Lin Lin mengangkat mukanya yang merah dan basah. “Betul-betul kau tidak mengejek?” tanyanya dan Suling Emas tidak berani main-main lagi karena suara itu mengandung kesungguhan hati yang mengherankan dan mengejutkan. Mengapa gadis yang lincah dan suka berjenaka ini begitu sedih ketika digoda?

“Tidak, aku tidak mengejek, hanya main-main.”

“Bagaimana kau bisa menyangka be­gitu terhadap Lie Bok Liong twako? Apa sebabnya kau mengira dia kekasihku?”

Bingunglah Suling Emas, akan tetapi dengan tenang ia menjawabp “Lin-moi, sudahlah, aku tadi hanya main-main. Pula, andaikata aku benar timbul per­sangkaan demikian, bukankah engkau sendiri yang tadi menceritakan betapa Lie Bok Liong hampir saja mengorbankan nyawa demi untuk membelamu? Hanya orang yang mencinta dengan sepenuh jiwa raga dapat membela dengan pengor­banan sehebat dia.”

Dengan muka termenung Lin Lin mengangguk-angguk. “Memang dia amat baik hati, dia.... agaknya memang betul bahwa dia amat mencintaku. Liong-twako seorang berbudi. Tapi.... tapi bukan dia.... aku tidak mencintanya, aku hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak atau sahabat....”

“Hemmm, kasihan dia. Sudahlah, Lin-moi, cukup tentang dia. Terang kalau begitu bahwa bukan dia kekasihmu, maaf­kan aku tadi. Kemudian bagaimana dengan Hek-giam-lo tadi? Ketika dia tanya siapa kekasihmu, bagaimana jawabmu? Apa kau bilang kekasihmu itu ada?”

Suling Emas tak dapat menyembunyi­kan keheranan yang membayang pada wajahnya ketika melihat betapa gadis itu kini memandangnya sambil tersenyum dengan wajah cerah. Bukan main! Baru saja menangis dan marah-marah, kini sudah tersenyum-senyum. Siapa tidak akan heran kalau melihat udara yang gelap mendung dan hujan tiba-tiba tam­pak matahari bersinar?

“Tentu saja ada, dan dia percaya!”

“Siapa?”

Lin Lin berdebar jantungnya. Ia se­orang gadis yang tabah dan jujur, tidak pemalu, akan tetapi pertanyaan ini se­karang amat sukar terjawab. Ia terpaksa menyembunyikan mukanya dengan tunduk, lalu menjawab.

“Suling Emas....”

Suling Emas menjadi begitu kaget sampai ia berdiri kesima tak mampu bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Ia masih mengira bahwa Lin Lin gadis nakal itu sengaja menyebut namanya untuk mempermainkannya sebagai pembalasannya tadi. Akan tetapi melihat kepala yang ditundukkan, sikap yang malu-malu dan bersungguh-sungguh itu, makin geli­sahlah dia.

“Lin-moi, harap kau jangan main-main yang bukan-bukan....” Ia masih mencoba untuk melawan kekhawatirannya.

Lin Lin mengangkat mukanya. Merah sekali muka itu, terutama sepasang pipi­nya, seolah-olah ketika menunduk tadi, gadis ini memulas kedua pipinya dengan yanci (pemerah pipi). Tapi kini suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh tuntutan.

“Mengapa, Koko? Aku tidak main-main! Bukankah pengakuanku itu benar-benar? Kalau kau sekarang terheran, kaulah yang pura-pura dan main-main. Yang kaulakukan terhadapku di perpustakaan istana itu....”

Suling Emas gelagapan. Tentu saja ia tidak dapat melupakan peristiwa itu, per­temuannya pertama kali dengan Lin Lin, pada suatu malam di lingkungan istana, ketika itu ia berada di dalam gedung perpustakaan, sedang melamunkan ke­kasihnya, Suma Ceng, ketika tiba-tiba muncul Lin Lin yang di dalam cuaca remang-remang itu bentuk tubuh dan po­tongan wajahnya mirip benar dengan Suma Ceng. Pada waktu itu, karena hati­nya sedang diliputi penuh rindu dendam terhadap kekasihnya, ia seperti orang mimpi, mengira Lin Lin, Suma Ceng, memeluknya, menciumnya! Agaknya Lin Lin tak pernah dapat melupakan peris­tiwa itu pula, hanya bedanya, kalau ia mengenang peristiwa itu, dengan perasa­an jengah dan malu serta merasa ber­salah, sebaliknya gadis ini menganggap peristiwa itu sebagai pernyataan cinta kasih Suling Emas terhadap gadis itu!

“Kenapa? Apakah kau mempermainkan aku ketika itu?” Lin Lin mendesak ketika melihat wajah Suling Emas menjadi pu­cat. Gadis ini merasa gelisah sekali, khawatir kalau-kalau dugaan hatinya meleset. Ketika itu ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya.

“Sudahlah, Lin-moi. Apakah kau tidak bisa memaafkan kesalahanku? Lekas kau­lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan tongkat pusaka? Di mana tongkat itu sekarang?”

“Dirampas Hek-giam-lo,” jawab Lin Lin pendek, masih bersungut-sungut kare­na ia merasa betapa Suling Emas seperti hendak mengingkari perbuatannya di perpustakaan.

“Lin-moi, sekarang juga kau harus ikut aku. Kalau hal ini tidak lekas ku­urus, selamanya kau akan dianggap mu­suh besar Beng-kauw.”

Ucapan ini begitu mengagetkan Lin Lin sehingga ia melupakan urusan cinta kasih. “Apa? Mengapa?”

“Lin Lin, ketahuilah. Sudah menjadi rahasia yang belum terpecahkan oleh para pimpinan Beng-kauw bahwa Pat-jiu Sin-ong meninggalkan warisan ilmu yang mujijat. Mereka mencari-cari, na­mun belum juga dapat menemukannya. Kini rahasia wasiat itu terbuka olehmu, bahkan telah kaumusnahkan dan kaupela­jari isinya, padahal kau sama sekali bu­kanlah orang Beng-kauw. Hal ini akan menimbulkan geger di kalangan Beng-kauw dan kalau mereka tahu, tentu me­reka itu akan mencarimu dan membunuh­mu. Rahasia ilmu itu sama sekali tidak boleh diketahui oleh orang luar. Kalau sampai mereka tahu dan memusuhimu, biar aku sendiri takkan mampu mencegahnya.”

“Aku tidak takut! Aku tidak mencuri ilmu, hanya kebetulan....”

“Hemmm, kau seperti anak kecil yang tidak pedulikan langit ambruk bumi ter­balik, Lin-moi. Ketahuilah, urusan ini amat besar dan gawat. Biarpun secara kebetulan kau menemukan ilmu itu, akan tetapi bukankah engkau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka? Dan tahu pulakah kau mengapa Hek-giam-lo suka merampas tongkat itu? Semata-mata karena taat kepadamu? Tak mungkin. Dia mempunyai pamrih lain. Ketahuilah bahwa ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong itu telah terdengar pula oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan Hek-giam-lo termasuk seorang di antara mereka yang ingin sekali mengetahui dan memiliki ilmu itu. Tentu saja ia tidak men­duga bahwa ilmu itu disimpan di dalam tongkat pusaka, akan tetapi aku berani bertaruh bahwa ia merampas tongkat pusaka untuk ditukar dengan wasiat ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong itu.”

“Wah-wah, bagaimana baiknya? Aku sih tidak takut! Kalau kakek ketua Beng-kauw marah-marah, aku dapat mengem­balikan ilmu ini kepadanya dengan meng­ajarnya. Bukankah beres begitu?”

Kembali mau tak mau Suling Emas tersenyum. Bocah ini sama sekali belum tahu akan seluk beluknya dunia kang-ouw. Kalau tahu tentu akan ketakutan sekali, karena urusan ini berarti kemati­annya yang sukar untuk dicegah pula.

“Lin-moi, aku percaya akan ketabahanmu yang luar biasa, sungguhpun aku tahu bahwa tak mungkin kau mampu menghadapi Beng-kauw. Andaikata ilmu ini sudah kausempurnakan, agaknya kau memang akan menjadi penantang Beng-kauw yang berbahaya, akan tetapi kau seorang diri mana mampu menghadapi Beng-kauw yang mempunyai banyak sekali orang sakti?”

“Termasuk kau?”

“Jangan ngacau! Lin-moi, bukan saatnya kita bicara main-main. Hanya ada satu cara untuk membebaskanmu dari­pada keadaan berbahaya ini.”

“Bagaimana?”

“Kau harus mengunjungi makam mendiang Pat-jiu Sin-ong, bersumpah di de­pan makam sebagai murid yang menemu­kan ilmu itu. Dengan cara demikian, maka kau boleh dibilang sudah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong sehingga biarpun kau bukan anggauta Beng-kauw, kau berhak mewarisi ilmunya.”

Lin Lin mengerutkan alisnya yang kecil hitam. “Pergi sendiri? Aku tidak tahu tempatnya!” Hatinya berkata, “Aku ogah!”

“Aku yang akan membawamu ke sana.”

Seketika wajah gadis itu berseri ketika ia memandang Suling Emas. “Dengan kau? Boleh, mari kita berangkat!”

Suling Emas menggeleng-geleng kepala, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Bocah ini baginya merupakan ancaman bahaya yang jauh lebih hebat dan mengerikan daripada ujung senjata para pengeroyoknya tadi.

***

Beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang ber­jalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh Pat-jiu Sin-ong.

Keadaan di situ menyeramkan. Mata­hari belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin merasa seakan-akan ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya terdiri dari orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun, masih tidur di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu nisan itu.

“Di mana makamnya....?” tanya Lin Lin, suaranya agak gemetar. Setelah tiba di tempat pekuburan itu, hatinya gentar juga. Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, secara kebetulan dan ia sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw. Kalau dulu ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas! Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!

“Di sana makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kaulihat, masih baru!” jawab Suling Emas sambil menudingkan telunjuknya.

Mereka berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid penghuni makam! Amat heran hati Lin Lin melihat betapa Suling Emas serta-merta men­jatuhkan diri berlutut dan memberi hor­mat di depan makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.

“Lin-moi, lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku men­jadi saksi.” terdengar Suling Emas ber­kata.

Akan tetapi Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak me­ngeluarkan kata-kata.

“Lin-moi, mau tunggu apa lagi?”

Lin Lin tetap diam saja.

“Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”

“Ah, aku.... aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?”

Suling Emas tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu ia melihat ber­kelebatnya bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya berdebar ka­rena ia mengenal laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin! Ce­laka, pikirnya. Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka di situ tentu akan ber­tanya dan kalau kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu takkan membiarkan Lin Lin hidup!

“Lin-moi, lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang tangan gadis itu.

“Tidak, aku tidak bisa lakukan itu.... masih ada jalan lain....”

Suling Emas hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat sekali sudah tiba di situ dan kakek ini biarpun terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada di ma­kam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia segera berseru.

“Kim-siauw-eng (Suling Emas)! Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak Hwee)?” Pertanyaan ini yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas tercengang.

“Bukankah dia sudah pulang bersama Bu Sin?” Tentu saja ia menjadi terce­ngang dan heran karena ia sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng.

Kauw Bian Cinjin kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita. “Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pu­lang lebih dulu ke Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan mengapa, kelihatan di sini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila! Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya tidak tampak bayangannya, kami men­jadi khawatir sekali.”

“Ahhh....!” Suling Emas terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia menyambar tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar mereka!”

Lin Lin tidak diberi kesempatan bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi sudah bingung den khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis liar ini di sini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya lagi.

“Kim-siauw-eng, kau mencari ke timur aku ke utara!” teriaknya. Suaranya terbawa angin dan karena kakek ini mengerahkan khi-kang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke telinga Suling Emas.

“Baik!” jawab Suling Emas sambil mengerahkan khi-kang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh, tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih dapat saling menyampaikan pesan!

Apakah sebenarnya yang terjadi? Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di Nan-cao, berkeliaran seperti orang gila kata Kauw Bian Cinjin, sehingga kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?

Seperti telah dituturkan di bagian­ depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin men­jadi tawanan Hek-giam-lo di dalam tero­wongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh Suling Emas. Adapun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan dibawa pergi oleh Suma Boan!

Cinta memang dapat meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan ka­lau cinta sudah berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandang­an seorang korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya selu­ruh orang di dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma Boan. Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun yang akan dikatakan orang lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta.

Demikianlah, ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa terharu dan girang sekali, sungguhpun ada perasaan kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa.

Baru beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya. Sian Eng se­gera menegur.

“Suma-koko, kenapa baru sekarang kaubebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin koko? Ah, bagaimana nasibnya sekarang?”

Suma Boan merangkul pundaknya. “Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sen­diri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku bisa se­kaligus menolong dua orang? Dan saking takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari dan baru sekarang berani berhenti di sini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”

Dengan halus Sian Eng melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biarpun di hutan itu sunyi tidak ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang di­cintanya itu bersikap terlalu mesra ke­pada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan! Akan tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tang­kap Hek-giam-lo.

“Kau agaknya sudah tahu bahwa ka­kakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?” tegur Sian Eng.

Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu. “Aku belum yakin, ha­nya baru menduga. Kakakmu itu saling mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai mantu seperti kau.” Sambil ber­kata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul lagi.

“Ihhh, jangan begitu....!” Sian Eng melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagai­mana aku dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san.”

“Aku akan pergi ke sana, akan ku­lamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah kau membantuku?”

“Lihat-lihat urusannya!”

“Begini, adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya mun­cul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Se­karang ia telah mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di tempat di mana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar biasa.”

Sian Eng mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya me­nutup bibir pemuda itu. “Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapapun juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.”

Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.

“Gila!” cela gadis itu dengan muka menjadi merah. “Kauceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?”

“Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku....”

“Ihhh!” Sian Eng mengkirik karena merasa seram. “Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?”

“Ah, siapa bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteri­ku, aku mampu melindungimu daripada segala macam bahaya, dan kelak kalau kiia mempunyai anak, aku mampu me­nurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar nomor satu di dunia?”

Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan bingung.

“Bagaimana kau bisa menemukan tempatnya? Andaikata bisa.... hiiihh, mengerikan sekali!” Gadis ini teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin dan ia merasa takut.

“Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana, meng­ingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Se­telah kau mendapat keterangan, kau­sampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”

“Aku.... aku sudah tahu tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”

“Apa....?” Saking kaget, bernafsu dan girang, Suma Boan menarik tangan Sian Eng sehingga gadis ini tersentak berdiri dan merasa lengannya sakit.

“Auuuhhhhh....” keluhnya. Suma Boan sadar dan cepat ia merangkul, mencium, Siang Eng meronta, melepaskan diri dan bersungut-sungut.

“Jangan sekali-kali kau berani lagi berbuat seperti ini sebelum kita menjadi suami isteri. Kalau kau berani ulangi, aku akan membencimu!” Matanya berapi-api dan sikapnya menantang.

Suma Boan adalah searang pemuda yang bangor, yang sudah banyak penga­lamannya, maka tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan merangkul kaki gadis itu.

“Maaf Eng-moi, maafkan aku yang tak kuasa mengendalikan diri saking be­sarnya cintaku. Mari kita duduk dan ceritakanlah tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui....”

Melihat pemuda bangsawan yang dikasihinya itu berlutut memeluk kakinya dan memohon dengan suara yang minta dikasihani, luluhlah hati gadis Sian Eng yang masih hijau. Cinta itu buta kata orang. Bukan cinta yang buta, melainkan orang yang sedang dimabuk cinta seperti buta. Buta dalam arti kata lengah ke­hilangan kewaspadaan, pertimbangannya menjadi miring, karena orang yang jatuh cinta selalu melihat kebaikan memancar keluar dari orang yang dicinta, tiada tampak cacad celanya sehingga ada perumpamaan kasar yang berbunyi bahwa tahi pun, kalau tahi kekasih, harum bau­nya!

Demikian pula Sian Eng yang sudah tercengkeram asmara, segala gerak-gerik pemuda bangsawan ini seialu menarik, selalu menimbulkan kasihan. Melihat Suma Boan berlutut di depannya, ia lalu menyentuh pundak pemuda itu dan ber­kata halus.

***

“Sudahlah, Koko. Aku tidak marah lagi, asal kau jangan sekasar tadi.”

Girang hati Suma Boan. Gadis ini merupakan korban yang mudah dan lunak baginya. Ia lalu menarik tangan Sian Eng dan diajak duduk di bawah pohon besar, diminta menceritakan tentang tempat sembunyi Tok-siauw-kui.

“Aku sendiri belum melihat tempat itu, hanya mendengar dari kakakku Bu Sin.” Ia lalu menceritakan apa yang pernah ia dengar dari Bu Sin ketika bersama Liu Hwee melarikan diri dari tahanan It-gan Kai-ong melalui lorong rahasia dan bertemu dengan Tok-siauw-kui.

“Bagus!” Suma Boan berseru girang. “Kiranya Tok-siauw-kui selama belasan tahun menghilang bersembunyi di negaranya sendiri, di dalam lorong di bawah tanah? Tentu kitab-kitabnya berada di sana pula karena ketika ia keluar dan tewas, ia tidak membawa kitab-kitab itu. Di manakah jalan keluar lorong itu me­nurut cerita kakakmu?”

“Dia bilang jalan keluar itu merupakan sebuah gua kecil yang tertutup alang­-alang dan tidak tampak dari luar, di sebuah hutan yang berada dekat dengan tanah kuburan para pimpinan Beng-kauw. Entah apa namanya hutan kecil itu, akan tetapi Sin-ko melihat ada serumpun bam­bu kuning tumbuh di atas gua.”

Suma Boan mengerutkan keningnya, memutar otaknya, “Tok-siauw-kui mun­cul dari dalam gedung sembahyang, tentu lorong rahasia itu ada tembusannya ke ruangan itu. Kalau kita bisa menyelidik ke sana, kau sebagai adik Suling Emas, tentu mudah menyelidik tanpa dicurigai.”

Sian Eng tidak setuju. “Berbahaya sekali. Tempat itu merupakan tempat keramat bagi Beng-kauw, tentu terjaga kuat dan merupakan tempat terlarang bagi orang luar. Lebih aman kalau kita mencoba mencari hutan kecil dan berusaha mendapatkan gua yang atasnya ada serumpun bambu kuning itu.”

Suma Boan menarik tangan Sian Eng dan mereka berdiri. Wajah pemuda bangsawan ini berseri-seri. Ia gembira sekali karena kalau ia sampai bisa menemukan kitab-kitab itu, ia akan menjadi seorang jagoan yang hebat!

“Mari kekasihku, mari kita mencari tempat itu! Aku akan berterima kasih selama hidupku kepadamu kalau kita bisa mendapatkan tempat itu. Mari!”

Berlari-larilah mereka menuju ke tanah pekuburan keluarga Beng-kauw. Tentu saja Suma Boan yang cerdik sengaja mengambil jalan memutar agar jangan sampai ketahuan oleh orang-orang Beng-kauw, karena ia maklum bahwa sekali mereka itu curiga, biarpun di situ ada Sian Eng, mereka tetap akan men­curigainya dan kalau sampai terjadi ben­trok dengan mereka, biarpun ia tidak takut, namun usahanya ini tentu akan gagal. Ia sengaja memilih waktu malam untuk menyelundup masuk dan mencari hutan itu yang akhinya dapat mereka temukan. Sebuah hutan kecil di sebelah utara tanah pekuburan pimpinan Beng­-kauw.

“Agaknya itulah tempatnya!” akhirnya Sian Eng berseru girang ketika mereka berdiri di depan serumpun alang-alang dan di atas segunduk gunung-gunungan kecil terdapat pohon-pohon bambu kuning yang indah. Waktu itu menjelang pagi dan dengan hati-hati mereka menyingkap alang-alang itu dan.... betapa girang hati Suma Boan ketika melihat bahwa di balik alang-alang tebal itu betul saja terdapat sebuah gua yang setinggi dua meter le­bih, gelap dan menyeramkan seperti mu­lut seekor naga terbuka lebar.

Suma Boan seorang yang cerdik dan licik. Betapapun besar nafsunya untuk mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui, namun ia tidak mau menghadapi resiko terlalu besar untuk me­masuki gua terowongan yang menyeram­kan dan belum diketahui benar keaman­annya itu. Ia maklum bahwa gua itu merupakan tempat keramat bagi orang­-orang Beng-kauw, siapa tahu di sebelah dalamnya terdapat tokoh-tokoh Beng-kauw yang lihai.

“Eng-moi, kekasihku, kau tentu suka membantu aku, bukan? Sebetulnya me­mang aku yang seharusnya memasuki gua ini dan mencari kitab-kitab itu. Akan tetapi kau tahu sendiri, kalau ada yang me­lihatku, tentu terjadi pertempuran mati­-matian dan tidak ada harapan bagiku untuk keluar hidup-hidup. Oleh karena itu, demi cinta kasihmu kepadaku, aku minta dengan sangat sukalah kiranya kau yang mencari ke dalam dan aku menjaga di luar. Andaikata ada tokoh Beng-kauw melihatmu, bisa saja kau menggunakan alasan untuk mencari kakakmu Suling Emas, atau dengan dalih bahwa kakakmu Bu Sin pernah memasuki lorong rahasia ini dan karena kau ingin sekali menyaksi­kan sendiri, maka kau memasukinya.”

Dengan bujukan-bujukan yang manis dan alasan-alasan yang masuk akal, ter­utama dengan janji bahwa setelah mere­ka menemukan kitab itu, Suma Boan akan membawa Sian Eng pulang ke Cin-ling-san menemui Kui Lan Nikouw untuk memibicarakan urusan perjodohan mereka, akhirnya Sian Eng tak dapat membantah lagi.

“Baiklah, Suma-koko, akan tetapi apapun yang akan terjadi dengan diriku di dalam terowongan ini, kau jangan me­ninggalkan tempat ini, dan andaikata aku berhasil kelak mendapatkan kitab-kitab itu, kau harus memberi kesempatan ke­padaku untuk mempelajari ilmunya.”

Suma Boan merangkul pundak Sian Eng sambil tersenyum lebar. “Tentu saja, manisku, masa kau tidak percaya ke­padaku?”

Girang hati Sian Eng dan ia pun tersenyum, lalu mencabut pedangnya dan memasuki gua itu dengan hati-hati se­kali. Setelah melihat gadis itu meng­hilang di dalam kegelapan gua itu Suma Boan lalu menutup dan merapikan kem­bali rumpun alang-alang dari sebelah dalam sehingga tidak akan tampak dari luar dan dia sendiri duduk menanti di mulut gua dengan hati berdebar-debar.

Sian Eng terus melangkah ke depan dengan hati-hati sekali karena di dalam terowongan gua itu amat gelap. Kakinya melangkah dengan pasangan kuda-kuda un­tuk menjaga segala kemungkinan, pe­dangnya siap di depan dada. Ia merasa agak lega bahwa lantai yang diinjaknya kering dan tidak licin, juga rata seakan-­akan diratakan oleh manusia. Ia maju terus menyusuri terowongan yang agak­nya tidak ada ujungnya itu. Beberapa kali terowongan itu berbelok dan setelah ia berjalan selama satu jam, keadaan di depannya mulai terang. Tak lama ke­mudian Sian Eng dapat melihat keadaan sekelilingnya. Di kanan kiri terlihat din­ding batu karang yang agak basah. Jalan terowongan yang dilaluinya selebar tiga meter, tingginya dua meter. Sekali lagi ia membelok ke kanan dan tibalah ia di sebuah ruangan selebar empat meter persegi yang cuacanya terang sekali, karena berbeda dengan terowongan tadi, ruangan ini atasnya terbuka merupakan sumur yang amat dalam dan cahaya matahari masuk melalui celah-celah di atas. Kiranya sumur yang dalamnya lebih dari lima puluh meter ini atasnya tertutup batu-batu besar dan celah-celah di antara batu-batu besar inilah yang ditero­bosi sinar matahari sehingga tidak hanya ruangan bawah tanah itu yang terang melainkan sebagian lorong juga men­dapatkan cahaya. Tiba-tiba terdengar suara bercicit dan sesosok bayangan hi­tam kecil menyambar dari depan ke arah kepala Sian Eng. Gadis ini kaget sekali, mengira bahwa bayangan itu adalah sen­jata rahasia karena anginnya halus dan cepat. Ia miringkan tubuhnya dan me­lompat ke tengah ruangan. Akan tetapi segera ternyata olehnya bahwa sebetul­nya tak perlu ia mengelak, karena benda itu ternyata adalah seekor kelelawar yang tentu saja silau matanya ketika melalui ruangan terang itu dan hampir menabrak kepalanya. Betapapun juga, karena tubuhnya sudah meloncat, Sian Eng turun ke tengah ruangan untuk dapat bersikap lebih hati-hati dan dapat me­mandang keadaan sekelilingnya dengan jelas. Dengan ringan kedua kakinya turun ke atas lantai.

Akan tetapi begitu kedua kakinya menginjak lantai tepat di tengah-tengah ruangan itu, terdengar suara hiruk-pikuk di depan dan belakangnya. Sian Eng ka­get sekali dan cepat ia memandang. Kiranya pada saat itu, jalan terowongan di depan dan belakang, mulai tertutup oleh batu besar yang bergerak keluar dari dalam dinding!

“Celaka....!” Sian Eng berseru dan cepat ia melompat ke belakang untuk menerobos keluar kembali dari ruangan itu. Akan tetapi terlambat. Batu itu sudah hampir tertutup seluruh jalan te­rowongan. Gadis ini segera memegang batu yang berbentuk seperti roda dan bergeser maju terus itu, mengerahkan sin-kang untuk menahan atau mendorong kembali batu itu agar ia dapat menero­bos keluar. Akan tetapi kagetlah Sian Eng ketika mendapat kenyataan bahwa batu itu luar biasa beratnya, tak kuasa ia menahan sehingga batu itu terus ber­gerak sampai terowongan itu tertutup seluruhnya.

Sian Eng membalikkan tubuh dan meloncat ke sebelah seberang, juga dengan maksud menahan batu yang di sebelah sana masih belum menutup lorong itu seluruhnya. Akan tetapi kembali ia terlambat dan tidak kuasa mendorong kembali balu penutup yang dapat ber­gerak secara aneh itu.

Sian Eng kembali meloncat ke tengah ruangan. Ia telah terkurung kini. Kanan kirinya hanya dinding kasar batu karang yang agak basah, bawahnya lantai batu karang pula, di depan dan belakang kini tertutup batu besar yang menutup lorong dan demikian beratnya sehingga ia tidak mampu menggerakkannya. Di atasnya, lima puluh meter tingginya, tertutup batu-batu besar pula dan hanya celah-­celahnya yang cukup lebar saja dapat diterobos sinar matahari.

Sian Eng bukan seorang gadis penakut, akan tetapi pada saat itu ia merasa ngeri juga. Kembali ia mendekati batu-­batu yang menutup lorong itu, bergantian ia memeriksa dengan teliti kalau-kalau ada cara untuk membuka sedikit sehingga terdapat lubang untuk diterobosnya. Akan tetapi, memang betul di antara dua batu penutup dan dinding karang terdapat celah-celah yang cukup lebar-lebar untuk dimasuki dua buah lengannya, karena di antara dinding dan batu itu terdapat bagian-bagian yang tidak rata, akan te­tapi tak mungkin dipergunakan untuk meloloskan diri karena terlampau kecil. Sian Eng cepat mencabut pedangnya dan membacok bagian yang ada celahnya dengan maksud berusaha memperlebar celah itu. Akan tetapi pedangnya mem­balik dan tidak akan sekeping pun batu dapat dipecahkan pedangnya! Ketika ia memeriksa, ternyata batu hitam yang luar biasa kerasnya, seperti baja! Setengah hari lebih Sian Eng berusaha mengorek dan membacoki batu. Namun sia-sia. Akhirnya ia menjadi lelah dan menjatuh­kan diri duduk di tengah ruangan yang mulai gelap, telapak tangannya berdarah dan perih, bahkan pedangnya menjadi rusak-rusak ujungnya.

Sian Eng menangis! Kemudian ia ber­teriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama Suma Boan yang ia tahu menanti di luar gua.

“Suma-koko! Suma-koko....! Ke sinilah dan tolong aku....!”

Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia ber­henti setelah suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir ba­tin, Sian Eng kini duduk bersandar din­ding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu. Dan setelah ia dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar ber­seliweran di dalam ruangan itu. Mula-­mula ia merasa heran, dari mana datang­nya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubahg yang cukup lebar untuk diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alang­kah inginnya dia menjadi seekor kelela­war!

Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti men­jadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin meme­nuhi ruangan itu dan menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa serem dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama sekali. Andaikata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu da­pat membebaskannya dari kurungan batu­-batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.

Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, me­raba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.

“Aku harus hidup! Aku harus hidup!” Terdengar ia berteriak-teriak dan men­jerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia. Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.

“Kurang ajar!” bentaknya, cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi. Sian Eng me­raba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau darah ini mem­buat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan. Sian Eng meng­gerak-gerakkan kedua tangannya, me­nampar ke sana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan be­berapa ekor kelelawar, akan tetapi gigit­an-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki. He­batnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, meng­isap darah!

Suma Boan yang menunggu di luar gua tanpa mengetahui keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar! Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut gua, di bela­kang rumpun alang-alang karena ia kha­watir kalau-kalau terlihat oleh orang-­orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapapun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.

Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak men­cinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.

Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi se­telah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki gua itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu. Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lo­rong ini, ada cahaya terang sinar mata­hari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu pe­nutup, maka keadaan hanya remang-­remang saja.

Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya untuk men­dorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.

“Eng-moi!” Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang ter­dengar menggereng seperti suara dari alam lain.

“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.

Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apalagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong ba­wah tanah ini, pikirnya. Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah meter saja.

Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan serem. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayang­kan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seremnya. Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, pan­jangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hen­dak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang go­lok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!

Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakut­kan daripada empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggal­an Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, de­ngan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.

Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia tiba di tengah ruangan, tiba-tiba ter­dengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru! Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menang­kis. Ia memandang rendah. Apalagi ha­nya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak me­nyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat mem­babat putus senjata-senjata dan tulang-­tulang lengan mereka.

Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali, senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh! Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cam­bukan pada punggungnya! Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit se­kali dan tak dapat tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai!

Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Ke­mudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.

Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja da­pat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka­-rangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya de­ngan jalan merangkak perlahan-lahan.

Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat dan kalau ia menggunakan pedang­nya melawan ular-ular itu, keselamatan­nya belum tentu terjamin. Pemuda bang­sawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, me­robek dan memotong sebagian daging betis kirinya. Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia me­motong betisnya. Gumpalan daging betis­nya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan memperguna­kan kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.

Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Ke­mudian ia berjalan lagi sambil berteriak-­teriak memanggil Sian Eng.

Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ru­angan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu ke mana perginya Sian Eng? Jangan-­jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi meng­habiskan seluruh badan mayat seseorang apalagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.

Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa ke­palanya pening dan napasnya sesak. Ce­pat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti, tahu­lah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhi­nya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang mata­nya kabur.

Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan gua itu.

“Moi-moi....! Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga....!” teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar keluar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?

“Kekasihku....!”

“Tutup mulutmu yang kotor!” Tiba­-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan. Biarpun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan ber­usaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.

“Moi-moi.... kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, di mana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.

Dengan teriakan tertahan, gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan de­ngan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap! Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan.... padamlah obor itu. Keadaan sudah men­jelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang.

Tampak bayangan lain berkelebat datang, “Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini bertanya.

“Susiok (Paman Guru), dia ini Suma Boan si jahat itu. Dia baru keluar dari gua rahasia! Mari tangkap! Dia kelihatan seperti gila!” jawab Liu Hwee, gadis itu.

Sementara itu, ketika Suma Boan mendengar percakapan pendek ini, sadar­lah ia bahwa ia telah keliru sangka. Gadis itu sama sekali bukanlah Sian Eng seperti yang dikiranya, melainkan Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, dan yang baru datang adalah Kauw Bian Cinjin, orang ke dua dari Beng-kauw! Tanpa banyak cakap lagi ia lalu lari tunggang langgang secepat kedua kakinya bergerak. Liu Hwee juga melompat mengejar dan terjadilah kejar-mengejar di malam buta.

Kauw Bian Cinjin juga ikut mengejar, akan tetapi hanya sebentar ia kembali lagi. Ia pikir bahwa seorang lawan ma­cam Suma Boan, cukup ditandingi oleh Liu Hwee. Ia khawatir kalau-kalau ke­datangan Suma Boan itu hanya pancing­an belaka agar ia ikut pula mengejar, sedangkan siapa tahu kalau-kalau guru pemuda itu, It-gan Kai-ong yang akan datang beraksi! Karena itu, Kauw Bian Cinjin tidak melanjutkan pengejarannya, melainkan melakukan perondaan di se­kitar tanah kuburan Beng-kauw yang berada di atas lorong-lorong rahasia.

Demikian, seperti kita ketahui di bagian depan cerita ini, Kauw Bian Cin­jin bertemu dengan Suling Emas dan Lin Lin yang berada di depan kuburan men­diang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Kemudian Kauw Bian Cinjin minta bantuan Suling Emas untuk mencari-cari Liu Hwee yang belum juga tampak kembali. Suling Emas mengejar ke timur sedangkan Kauw Bian Cinjin mengejar ke utara.

***

Suling Emas dan Lin Lin mengejar ke timur dengan cepat. Tanpa disadari sen­diri oleh gadis itu, kini ia dapat meng­imbangi kecepatan Suling Emas, kemaju­an yang luar biasa semerak ia mem­pelajari ilmu peninggalan Pat-jiu Sin­-ong, terutama sekali petunjuk-petunjuk cara bersamadhi dan mengatur napas. Gadis ini tidak menyadari hal itu, akan tetapi Suling Emas dapat menduganya karena dahulu tidaklah sehebat ini gerak­an Lin Lin. Diam-diam pendekar ini menjadi amat khawatir. Ilmu ciptaan Pat­-jiu Sin-ong ini hebat sekali. Baru satu jurus Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Keluarkan Kilat) yang pernah diperguna­kan Lin Lin ketika ia mencobanya itu saja sudah luar biasa sekali saktinya, kalau sudah terlatih matang, agaknya gadis ini akan menjadi salah satu orang sakti di dunia persilatan. Ia hanya khawatir ka­lau-kalau kepandaian sakti itu pada diri seorang gadis seperti Lin Lin akan me­nimbulkan keributan kelak. Ia tahu bahwa sesungguhnya kepandaian sebagian anugerah Thian (Tuhan) setelah jatuh pada diri manusia, menimbulkan dua macam hal bertentangan, yaitu baik dan buruk, tergantung daripada si manusia itu sendiri. Dan manusia macam Lin Lin adalah manusia yang amat aneh, sukar sekali dimengerti.

Sampai sepekan mereka mengejar, belum juga mereka mendapatkan jejak Suma Boan maupun Liu Hwee. Pada hari ke tujuh mereka sudah tiba di tapal batas wilayah Kerajaan Wu-yue dan ber­hentilah Suling Emas.

“Tiada guna,” katanya ketika mereka mengaso pada tengah hari yang panas itu di bawah pohon dalam hutan. “Tidak ada jejak mereka ke sini, agaknya bukan ke timur mereka menuju. Pula Kauw Bian Cinjin sudah melakukan pengejaran, tentu akan dapat menyusul dan menyelamatkan puteri Beng-kauw. Andaikata tidak dapat menyusulnya, Suma Boan akan bisa ber­buat apakah? Kepandaiannya tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan ke­sombongannya.”

“Apakah kepandaian Liu Hwee itu hebat?” Lin Lin bertanya sambil me­mandang wajah tampan di sebelah kanan­nya. Kembali rasa cemburu menggerogoti hatinya karena ia menyaksikan sendiri betapa akrab hubungan antara Suling Emas dan Liu Hwee.

“Puteri tunggal ketua Beng-kauw ten­tu saja mempunyai kepandaian tinggi. Selain berilmu tinggi, juga pandangannya luas dan ia selalu hati-hati dan waspada.” Suling Emas memuji-muji sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

Seketika bibir Lin Lin cemberut. “Sekali waktu aku ingin menandinginya, coba-coba siapa yang lebih lihai antara dia dan aku!”

Suling Emas yang tadinya duduk seperti melamun menjadi kaget, dan cepat menoleh memandang wajah gadis itu yang masih cemberut. Mulut dan mata gadis itu jelas membayangkan apa yang sedang bergejolak di dalam dada Lin Lin. Suling Emas tidak jadi menjawab, hatinya berdebar dan ia menarik napas panjang. Melihat wajah yang begitu mirip dengan wajah kekasihnya, Suma Ceng, hampir saja pertahanan hatinya bobol. Bagaimana ia tidak dapat mencintai gadis yang wa­jahnya begini mirip Suma Ceng, yang wataknya begini aneh dan lincah jenaka, yang sudah pasti sekali akan mendatang­kan cahaya bahagia di ruang dadanya yang gelap muram? Bagaimana takkan terobati luka-luka di hatinya, luka yang diakibatkan kegagalan cinta kasih, apabila ia menerime uluran hati gadis ini? Namun tidak! Tak mungkin ia menerima cinta kasih Lin Lin. Ia tahu betul bahwa gadis ini mencintanya, semenjak.... semenjak peristiwa di dalam gelap di ma­lam hari dalam kamar perpustakaan istana dulu! Semenjak ia memeluk dan mencium gadis itu tanpa disengaja ka­rena mengira Lin Lin adalah Suma Ceng kekasihnya. Akan tetapi betapa mungkin ia menerima uluran cinta kasih itu be­tapapun inginnya? Gadis ini adalah adik angkatnya. Hal pertama ini sungguhpun bukan merupakan penghalang besar, namun sudah merupakan penghalang. Ke dua, gadis ini masih amat muda kalau dibandingkan dengan dia. Usia Lin Lin baru delapan belas tahun, sedangkan dia sudah berusia tiga puluh tahun! Tidak, ia harus tahu diri!

“He, mengapa kau diam saja? Bagai­mana pendapatmu?” Tiba-tiba Lin Lin menepuk lengan Suling Emas yang menjadi kaget dan sadar daripada lamunan­nya.

“Apa? Pendapat apa?” tanyanya, tersenyum.

“Aku bilang tadi, ingin kumenandingi Liu Hwee untuk menguji kepandaiannya!”

“Hemmm, ada-ada saja kau ini. Tidak ada alasan sedikit pun juga bagimu untuk mencari perkara dengan puteri Beng­-kauwcu (ketua Beng-kauw).”

“Siapa bilang tidak ada?” Sepasang mata yang jeli dan indah itu bersinar-sinar. “Banyak sekali alasannya!”

“Hemmm, apakah kesalahannya? Apa alasannya?” Suling Emas membantah, mengerutkan kening.

“Banyak, terutama sekali karena aku tidak mau kalah olehnya!”

Suling Emas melongo. Dia seorang jagoan yang sudah banyak makan asam garam dunia kang-ouw, sudah banyak mengenal watak-watak orang aneh se­perti iblis-iblis Thian-te Liok-koai. Akan tetapi sesungguhnya belum banyak pe­ngalamannya dengan wanita, karena se­menjak hatinya terluka oleh Suma Ceng yang dipaksa bercerai daripadanya dan menikah dengan orang lain, seakan-akan merupakan pantangan bagi Suling Emas untuk mendekati wanita. Karena itu, ia sama sekali tidak mengenal watak-watak wanita dan tidak dapat menyelami lubuk hati Lin Lin. Akan tetapi melihat pan­dang mata yang begitu menantang dari gadis ini, pandang mata yang mengan­dung sinar kemesraan seperti kalau se­pasang mata Suma Ceng memandangnya, Suling Emas segera menundukkan muka.

“Sudahlah,” katanya kemudian setelah menarik napas panjang untuk menenang­kan hatinya yang berdebar tidak karuan, “mari kita bicarakan urusan lain yang lebih penting. Lin-moi, kurasa di sini kita harus berpisah. Kulihat kau tidak rela menjadi murid Pat-jiu Sin-ong, hal ini pun tak dapat kupaksa. Akan tetapi pesanku, kau tidak boleh mempergunakan jurus-jurus ilmu yang kaudapatkan dari dalam tongkat Beng-kauw, karena kalau hal itu diketahui tokoh-tokoh Beng-kauw, kau pasti akan dimusuhi, dianggap se­bagai pencuri ilmu peninggalan pendiri Beng-kauw.”

Akan tetapi Lin Lin sama sekali tidak memperhatikan atau pedulikan kalimat terakhir. Matanya terbelalak dan wajah­nya berubah, karena kata-kata “berpisah” itulah yang menggores hatinya.

“Berpisah?” ia tergagap. “Kenapa....?”

Suling Emas tersenyum duka. Kembali sikap gadis yang sewajarnya ini jelas menunjukkan bahwa Lin Lin tidak ingin berpisah dari padanya. Sama dengan Su­ma Ceng. Hanya bedanya, kalau Suma Ceng bersikap lemah dan menerima ke­adaan, sebaliknya gadis ini bersikap ke­ras, agaknya takkan mau berpisah kalau tidak ia sendiri yang menghendaki.

“Tentu saja kita harus berpisah, kare­na jalan kita memang tidak sama. Kau kembalilah ke Cin-ling-san menyusul ka­kakmu Bu Sin. Biarkan aku sendiri men­cari Sian Eng. Setelah dapat bertemu, tentu dia pun akan kusuruh menyusul ke Cin-ling-san.”

“Aku ikut! Aku juga hendak mencari Enci Sian Eng sampai dapat. Kita men­cari bersama, bukankah lebih baik? Aku tidak akan menyusahkanmu, biar.... biarlah aku mencari makan minumku sen­diri!”

Mau tak mau Suling Emas tertawa. Benar-benar gadis ini kadang-kadang mempunyai pendapat dan jalan pikiran seperti kanak-kanak.

“Bukan begitu, Lin Lin. Banyak sekali urusan besar harus kuhadapi. Bahkan pertandingan puncak antara Thian-te Liok-koai di Thai-san sudah dekat waktu­nya, aku pun harus hadir di sana. Selain itu, kau melihat sendiri bahwa banyak orang kang-ouw memusuhi aku. Setiap langkahku terancam bahaya....”

“Aku tidak takut! Kalau mereka mengganggumu, aku akan hajar mereka! Apa kaukira aku ini seorang manusia yang tiada gunanya? Aku akan membantumu, juga di Thai-san!”

“Wah, kau mau menandingi iblis-iblis seperti Hek-giam-lo dan It-gan Kai-ong?”

“Aku tidak takut terhadap mereka. Aku akan memperdalam ilmu yang baru kudapatkan.”

“Hemmm, baru saja kupesan supaya kau tidak menggunakan ilmu peninggalan....”

“Kan mereka bukan orang Beng-kauw? Takut apa menggunakan ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong? Malah kalau aku dapat mengalahkan mereka dengan ilmu ini, bukankah berarti aku mengangkat nama Beng-kauw dan terutama nama pencipta ilmu ini? Roh Pat-jiu Sin-ong tentu akan tertawa melihat betapa ilmunya di ta­ngan seorang gadis seperti aku dapat mengalahkan iblis-iblis jahat!”

Suling Emas merasa kalah berdebat. “Tak baik jadinya kalau ikut denganku, Lin Lin. Tidak bisa, kita harus berpisah. Atau.... kau boleh menanti di Nan-cao, mari kuantar sampai di Nan-cao. Kau tinggal dulu di sana, menanti sampai aku dapat menemukan Sian Eng, baru kau dan encimu pulang bersama.”

“Tidak! Sekaii lagi ti...” Tiba-tiba tangan Suling Emas bergerak dan tahu-tahu mulut Lin Lin sudah didekapnya dengan telapak tangannya. Lin Lin me­mandang dengan mata terbelalak kaget dan heran, akan tetapi baru ia mengerti ketika Suling Emas menaruh telunjuknya di depan mulut dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Kini baru Lin Lin melihat bahwa jauh dari depan tampak bayangan manusia berkelebat cepat sekali dan sebentar saja sudah lewat. Sukar dilihat siapa orang itu, hanya jelas tampak pakaiannya, pakaian wanita, juga bentuk tubuhnya ramping. Akan tetapi mukanya tidak tampak kare­na ketika lari menghadapkan muka ke sebelah sana. Yang mengagumkan adalah kecepatan larinya, seakan-akan kedua kakinya tidak menginjak tanah.

“Seperti Enci Sian Eng....” bisik Lin Lin terheran-heran. Memang bentuk tu­buh wanita itu seperti Sian Eng, akan tetapi pakaiannya bukan pakaian seorang ahli silat yang serba ringkas melainkan pakaian seorang wanita dusun atau petani yang sederhana. Juga wanita itu rambut­nya panjang terurai, sungguhpun tidak sepanjang rambut Siang-mou Sin-ni, na­mun terurai sampai ke lutut belakang.

“Bukan, mari kita ikuti dia, mencurigakan sekali....!” kata Suling Emas yang sudah melompat dan mengejar. Lin Lin terpaksa mengejar juga. Dengan sekuat tenaga Lin Lin mengerahkan gin-kang dan berusaha lari mengimbangi kecepatan Suling Emas. Akan tetapi kali ini ia ter­tinggal, karena Suling Emas betul-betul berlari cepat kini. Baru ia tahu bahwa kepandaiannya dalam berlari cepat masih kalah sedikitnya dua tingkat oleh pen­dekar yang dikasihinya itu. Sesungguhnya tidak demikian. Hanya karena belum matang dalam latihan ilmunya yang baru, maka Lin Lin masih kalah jauh. Namun sudah banyak maju kalau dibandingkan dengan sebelum ia mendapatkan ilmu itu.

Tiba-tiba Suling Emas berhenti ketika melihat Lin Lin tertinggal jauh. Ketika gadis itu sudah datang dekat, ia berkata.

“Hebat ilmu lari cepat orang itu. Lin-moi, kaupegang tanganku!”

Tak usah menanti diperintah dua kali, Lin Lin menyambar tangan kiri Suling Emas. Kalau boleh ia tak ingin melepas tangan itu untuk selamanya! Akan tetapi tak sempat ia bermimpi muluk karena segera tubuhnya tersentak keras ke de­pan dan di lain saat ia terpaksa harus mengerahkan gin-kangnya lagi karena Suling Emas sudah membawanya lari seperti terbang cepatnya! Namun, ba­yangan wanita di depan itu tetap tak dapat tersusul. Hal ini saja membuktikan betapa ilmu lari cepat wanita di depan itu betul-betul sudah mencapai tingkat yang luar biasa. Lin Lin merasa kagum sekali dan ia pun ingin segera melihat siapa sebenarnya wanita itu.

Wanita di depan itu lari menuju ke timur. Setelah tiba di daerah pegunungan yang tandus dan sunyi, mulailah ia me­ngurangi kecepatannya dan akhirnya ia hanya berjalan kaki. Suling Emas meng­ajak Lin Lin terus mengikutinya dari belakang.

“Kenapa tidak susul dia? Aku ingin sekali melihat mukanya, ingin melihat siapa dia,” bisik Lin Lin.

“Sssttt, apa perlunya? Aku merasa curiga. Ilmu larinya bukan main, tentu dia seorang sakti. Aku ingin tahu dia hendak ke mana dan hendak berbuat apa. Serasa sudah mengenal orang itu, akan tetapi lupa lagi....” kata Suling Emas.

Akan tetapi wanita itu benar-benar kuat sekali. Tak pernah ia berhenti ber­jalan sampai senja berganti malam! Lin Lin sudah merasa lelah sekali.

“Aku.... aku tidak kuat lagi berjalan....” ia mengeluh. “Kakiku serasa hendak copot sambungan tulangnya. Mau apa sih mengikuti orang gila? Suling Emas, aku mogok, tidak kuat lagi....” Lin Lin tiba-tiba menjatuhkan dirl duduk di atas tanah.

“Mari kupondong!” Suling Emas yang betul-betul tertarik oleh wanita di depan itu yang luar biasa ilmu lari cepatnya, tanpa ragu-ragu membungkuk dan me­mondong tubuh Lin Lin. Gadis ini segera merangkul lehernya dan merebahkan ke­pala di atas pundaknya dengan hati pe­nuh babagia dan manja. Suling Emas hanya menghela napas dan melanjutkan perjalanan mengikuti wanita itu. Ia benar-benar merasa kasihan kepada Lin Lin, gadis aneh yang kadang-kadang me­nyebut “kanda” ada kalanya menyebut “Suling Emas” begitu saja kepadanya. Gadis yang bukan sedarah deging dengan­nya, lain ayah ibu, gadis berdarah bangsawan, puteri bangsa Khitan yang gagah perkasa.

Malam itu bulan muncul sepenuhnya. Bulan purnama. Lin Lin agaknya sudah lupa akan wanita yang mereka ikuti. Seluruh perasaannya tenggelam ke dalam laut bahagia dan mesra. Dengan bulan purnama di angkasa, suasana menjadi romantis sekali. Tidak salah kiranya orang tua yang mengatakan bahwa sinar bulan purnama mendorong dan merang­sang hati muda ke arah kemesraan dan memperkuat pengaruh asmara. Lin Lin masih merangkul leher Suling Emas, ke­palanya rebah miring di atas pundak pendekar itu dan matanya ketap-ketip menatap wajah yang mencuri hatinya itu penuh cinta kasih. Sudah lebih tiga jam Suling Emas memondongnya. Sudah ba­nyak berkurang kelelahan Lin Lin, namun gadis itu tidak sadar akan hal ini. Di­rasanya baru sebentar ia dipondong!

“Koko....” bisiknya di dekat telinga Suling Emas.

“Hemmm....?” Suling Emas menjawab acuh tak acuh karena perhatiannya tertuju ke depan. Wanita itu mendaki se­buah bukit kecil di mana terdapat tanah kuburan yang penuh dengan gundukan-gundukan tanah dan batu nisan!

“.... ingin sekali aku selamanya berada di dalam pondonganmu....”

“Huh, kau bukan bayi! Sudah terlalu lama kau kupondong. Turun!” Suling Emas menurunkan Lin Lin dan baiknya sinar bulan berwarna kemerahan sehingga menyembunyikan muka pendekar ini yang menjadi merah sekali.

“Koko....”

“Hushhhhh.... lihat itu....” Suling Emas menuding ke depan. Teringatlah Lin Lin akan wanita yang tadi sudah ia lupakan sama sekali. Di dalam pondongan Suling Emas di malam penuh sinar bulan tadi, ia sudah lupa segala, yang teringat hanya dia dan Suling Emas, dunia ini hanya ada mereka berdua, ada urusan cinta kasih mereka, yang lain-lain tidak ada lagi! Sekarang ia teringat dan cepat memandang. Kagetlah hati Lin Lin ketika mendapat kenyataan bahwa mereka telah berada di daerah kuburan, bahkan Suling Emas dan dia sudah mengintai dari balik sebuah batu nisan, di bawah sebatang pohon kecil.

Wanita itu dengan lenggang yang me­nunjukkan bahwa dia seorang yang masih muda dan berperawakan bagus sekali, berjalan menghampiri sebuah makam, lalu menjatuhkan diri berlutut memeluk batu nisan sambil menangis tersedu-sedu!

“Ayah...., Ayah yang baik.... ampunilah anakmu....” ratap tangis wanita itu.

Sejenak Lin Lin tercengang, kemudian tak terasa lagi air matanya jatuh ber­derai di atas kedua pipinya. Teringatlah ia akan dirinya sendiri yang sudah yatim piatu, tiada ayah bunda lagi, bahkan dibandingkan dengan wanita di sana itu, dia lebih sengsara. Setidaknya wanita itu dapat menangisi kuburan ayahnya, sedang­kan dia, di mana kuburan ayah bundanya saja tidak tahu! Timbul rasa simpati dan kasihan kepada wanita yang berlutut dan tersedu-sedu itu, merasa senasib dan ingin ia mendekati dan menghiburnya. Perasaan ini menggerakkan kakinya dan Lin Lin sudah bangkit berdiri hendak melangkah maju. Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas memegang lengannya dan menahannya. Pendekar ini memberi isya­rat dengan telunjuk di depan mulut. Lin Lin sadar bahwa mereka sedang meng­intai, maka ia membatalkan niatnya dan menghapus air mata dari pipi, lalu meng­intai dan mendengarkan.

“Ayah.... ampunkan aku, Ayah. Anakmu telah gagal membalaskan dendam untukmu.... dia terlalu sakti, bukan lawanku. Banyak tokoh kang-ouw bersama­ku mengeroyoknya, tanpa hasil. Ayah.... tak mungkin aku dapat membalaskan sakit hatimu, tak mungkin aku dapat mengalahkan dia, pula.... ampunkan aku, Ayah.... anakmu ini.... yang hina dina.... tidak akan tega membunuhnya. Mungkin dapat aku memperdalam ilmu untuk mengalahkannya, akan tetapi.... aku.... aku cinta padanya. Aku mencinta Suling Emas putera musuh besarmu....” Kembali gadis itu tersedu menangis, kemudian tiba-tiba bangkit berdiri mengembangkan ke­dua lengannya berdongak memandang bulan purnama dan bersumpah.

“Ayah, semoga rohmu mendengarkan sumpahku, disaksikan oleh Dewa Bulan! Biarpun aku tidak akan dapat membunuh Suling Emas, namun aku bersumpah untuk membunuh semua isterinya kalau dia beristeri, dan semua anaknya kalau dia mempunyai anak!”

Sampai pucat wajah Suling Emas ke­tika ia mengenal suara dan wanita ini yang bukan lain adalah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian, puteri tunggal almarhum Hui-kiam-eng Tan Hui yang tewas di tangan ibunya! Bukan main hebatnya sumpah ini sehingga biarpun hati Suling Emas sekuat baja, namun ia menjadi pucat dan ge­metar juga karena maklum bahwa mala­petaka akan menimpa keturunannya!

Sementara itu, Lin Lin tadinya juga pucat sekali mendengar ini, akan tetapi timbul kemarahannya mendengar peng­akuan wanita itu yang mencinta Suling Emas dan bersumpah untuk membunuh anak dan isteri kekasihnya ini, membuat ia tak kuat menahan lagi. Dengan seruan yang merupakan lengking tinggi, hasil yang tak disadarinya daripada ilmunya yang baru, ia telah melompat ke depan dan selagi wanita itu membalikkan tubuh dengan kaget dan heran, Lin Lin secara otomatis sudah melancarkan serangan berdasarkan ilmunya yang baru. Kedua kepalan tangannya yang kecil halus sa­ling bertumbukan, namun tepat meng­hantam tubuh wanita itu secara ber­bareng.

Wanita itu menjerit dan terpental ke belakang, menabrak batu nisan ayahnya yang menjadi pecah seketika! Lin Lin sendiri berdiri terbelalak keheranan ka­rena tidak mengira bahwa pukulannya akan sehebat ini, apalagi kalau diingat betapa wanita ini memiliki kesaktian, terbukti dari ilmu larinya yang luar biasa.

“Lin-moi, jangan....!” Suling Emas berseru namun terlambat. Andaikata Suling Emas tidak demikian terpengaruh oleh sumpah Tan Lian, agaknya pendekar sakti ini tadi masih sempat mencegah. Ia kini berkelebat dan tahu-tahu sudah membungkuk dan berlutut di depan tubuh Tan Lian yang rebah dengan mata meram dan muka pucat, mulut mengalirkan da­rah. Cepat Suling Emas memeriksa dan ia mengeluarkan seruan kaget. Ia sendiri kaget bukan main melihat akibat dari­pada pukulan Lin Lin karena setelah memeriksa, ia mengerti bahwa keadaan Tan Lian parah sekali dan nyawa wanita ini takkan dapat ditolong lagi. Pukulan itu telah meracuni darah dan meretakkan tulang-tulang! Kiranya tanpa disadarinya sendiri Lin Lin telah mewarisi ilmu pu­kulan dahsyat dari Pat-jiu Sin-ong yang disebut pukulan Tok-hiat-coh-kut (Racuni Darah Patahkan Tulang)! Suling Emas maklum bahwa pukulan ini mengandung hawa beracun yang hebat dan satu-satu­nya jalan untuk menolong Tan Lian ha­nya membawanya secepat mungkin ke­pada tabib yang sakti, karena tabib-tabib biasa saja takkan mungkin mampu me­nolongnya.

“Bocah lancang!” bentaknya kepada Lin Lin. “Mengapa memukul orang tak berdosa?” Setelah berkata demikian, Su­ling Emas menyambar tubuh Tan Lian dan dibawanya lari berkelebat lenyap dari tempat itu.

“Koko.... tunggu....!” Lin Lin berseru keras sambil mengejar, akan tetapi Su­ling Emas tidak menjawab dan sudah tidak tampak lagi. Lin Lin memanggil-manggil dan mengejar ke sana ke mari, akhirnya ia menjatuhkan diri di pinggir jalan dengan napas terengah-engah dan air mata membasahi pipi.

“Dia marah kepadaku....” pikirnya, “mengapa marah? Perempuan itu musuh­nya. Ah, aku harus mencarinya, dia harus menjelaskan sikapnya ini kepadaku. Dia akan ke Thai-san, aku pun akan ke sana, biar kunanti dia di sana.” Pikiran ini menguatkan hati Lin Lin dan menghilang­kan kebingungannya, kemudian ia pun pergi dari tempat itu.

Perjalanan ke Thai-san merupakan perjalanan yang jauh dan sukar, lagi amat berbahaya pada masa itu. Akan tetapi Lin Lin melakukan perjalanan dengan tekun, sabar, dan penuh keberani­an. Apalagi setelah ia dengan satu kali pukulan mampu merobohkan seorang yang lihai, seperti wanita di kuburan itu, tim­bul kepercayaan besar pada dirinya sen­diri, kepercayaan bahwa ia mampu menghadapi siapapun juga karena pada dirinya terdapat sebuah ilmu yang ampuh dan sakti. Pikiran ini pula yang membuat Lin Lin makin rajin melatih diri dengan jurus-jurus yang hanya berjumlah tiga belas dari ilmu yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw, serta mempelajari pula petunjuk-petunjuk cara menghimpun tenaga sakti. Karena ia sendiri tidak tahu apa namanya ilmu yang terdiri daripada tiga belas jurus itu, Lin Lin lalu menamakannya Cap-sha-sin-kun (Tiga Belas Jurus Sakti).

Berpekan-pekan Lin Lin melakukan perjalanan menuju ke Thai-san, bertanya-tanya kepada para penduduk dusun dan kota yang dilaluinya. Akhirnya pada suatu hari sampailah ia di kaki Gunung Thai-san. Puncak gunung itu menjulang tinggi, tampak agung dan megah. Hati Lin Lin berdebar. Akan berhasilkah ia bertemu dengan Suling Emas di puncak itu? Bagai­mana kalau dia tidak berada di sana? Dan wanita yang memusuhi Suling Emas itu, yang roboh karena pukulannya, akan diapakan Suling Emas? Hatinya tidak enak dan cemburunya makin besar ketika ia teringat betapa wanita itu ternyata masih muda dan cantik jelita. Serasa terbakar isi dadanya kalau ia teringat betapa wanita itu dipondong oleh Suling Emas dan entah untuk berapa lamanya! Dan masih marah hatinya kalau ia mengenangkan bentakan Suling Emas yang marah-marah kepadanya memakinya se­bagai bocah lancang. Dia lancang? Me­mukul seorang wanita yang memusuhi Suling Emas tapi juga mengaku cinta, lancangkah itu?

“Ah, Suling Emas, aku cinta kepadamu.... demi cintaku maka aku memukul dia yang tidak kukenal.” Ia menghela napas dan duduk di pinggir jalan, meng­hapus keringatnya dengan saputangan. Hari itu ia telah melakukan perjalanan amat jauh dan enak rasanya menyandar­kan tubuh pada batang pohon yang tua dan hampir mati, duduk di atas rumput hijau yang empuk dan ditiupi angin sejuk pada sore hari itu.

Tiba-tiba perhatiannya tertarik oleh suara derap kaki kuda. Jalan mulai sukar di bagian itu, maka penunggang kuda itu pun menahan kudanya dan maju perlahan-lahan melalui tanah yang tidak rata. Penunggangnya seorang laki-laki yang bertubuh tegap, memakai caping lebar seperti caping petani, akan tetapi dari balik pundaknya tampak gagang pedang. Melihat duduknya yang tegak lurus dan tidak bergoyang-goyang biarpun si kuda naik turun, Lin Lin mengerti bahwa penunggang kuda ini seorang yang berkepandaian. Akan tetapi dari jauh ia tidak dapat melihat muka yang tertutup caping itu.

Kuda makin mendekati tempat Lin Lin duduk. Penunggang kuda itu meng­angkat muka, dan....

“Liong-twako....!” Lin Lin berseru sambil melompat bangun.

“Lin-moi....!” Penunggang kuda itu, Lie Bok Liong, melompat dari atas pung­gung kudanya, lari menghampiri Lin Lin dan serta merta memeluknya dan men­dekap kepala gadis itu pada dadanya. Begitu besar kegirangan hati Bok Liong sehingga ia lupa diri seperti itu. Sedetik Lin Lin kaget dan jengah, akan tetapi mengingat akan pengorbanan pemuda ini untuknya ia membiarkan dirinya dipeluk dan mukanya didekap erat-erat pada dada Bok Liong.

“Lin-moi.... ah, Lin-moi.... alangkah bahagia haLtiku melihat kau, Moi-moi. Syukur kepada Tuhan bahwa kau selamat, bisa terbebas daripada tangan Hek-giam-lo dan orang-orang Khitan yang jahat!” seru Bok Liong dengan suara serak dan ketika Lin Lin merenggangkan diri dan memandang, hatinya terharu menyaksikan betapa pipi pemuda itu basah oleh air mata!

Dengan gerakan halus Lin Lin melepaskan diri daripada pelukan itu. Ia tidak marah, tidak merasa terhina, bah­kan terharu karena ia maklum bahwa pemuda ini benar-benar amat gembira dengan pertemuan ini sehingga berbuat agak melewati batas kesopanan.

“Twako, tenanglah, mari kita bicara yang enak. Aku pun girang sekaii melihat kau selamat. Tadinya aku sudah kha­watir sekali, mengira kau tentu tewas oleh kenekatanmu melawan Hek-giam-lo dan orang-orangnya.” Lin Lin menarik tangan pemuda itu, diajak duduk di atas rumput. Sambil berbuat demikian, Lin Lin menoleh ke sana ke mari, khawatir kalau-kalau ada orang melihat dia tadi dipeluk-peluk pemuda ini. Akan tetapi tempat itu amat sunyi, tidak ada orang lain, bahkan tidak tampak mahluk lain kecuali kuda Bok Liong yang kini dengan enaknya makan rumput dengan peluh membasahi tubuh, tanda bahwa kuda itu pun baru saja melakukan perjalanan jauh.

Bok Liong tertawa, menghapus air matanya. “Ah, maafkan aku, saking gi­rangku sampai tak tahan mengeluarkan air mata seperti bocah cengeng,” katanya.

“Bukan begitu, Twako. Kau terlalu baik hati. Kau telah berusaha berkali-kali untuk menolongku tanpa menghirau­kan keselamatan dirimu. Betapa hancur hatiku ketika melihat kau tersiksa tanpa mampu menolongmu kembali. Akan te­tapi, bagaimana kau dapat selamat? Aku mendengar bahwa kau tertolong oleh suhumu yang lucu itu.”

“Betul, Lin-moi. Suhu yang telah menolongku. Beliau merawatku sampai sem­buh dan aku diminta tinggal bersama Suhu untuk memperdalam ilmu. Dan kau sendiri, yang sudah membuat aku putus asa, yang membuat aku hari ini tergesa-gesa hendak menemui Hek-giam-lo dan mengadu nyawa kalau tidak mau mem­bebaskanmu, bagaimana kau dapat bebas dan tahu-tahu berada di sini?”

“Aku ditolong oleh Kim-lun Seng-jin.” Dengan singkat Lin Lin menceritakan pengalamannya dan tentu saja ia tidak menceritakan penemuannya tentang ilmu di dalam tongkat Beng-kauw, juga ia tidak mau menyebut-nyebut nama Suling Emas.

“Tapi mengapa kau bisa berada di kaki Gunung Thai-san ini, Lin-moi?” Bok Liong meraba tangan Lin Lin terus di­genggamnya. “Tempat ini berbahaya se­kali! Thian-te Liok-koai yang tinggal lima orang, Hek-giam-lo, Siang-mou Sin-ni, It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong, akan bertemu dan mengadu kepandaian di puncak gunung ini. Kalau sampai bertemu dengan seorang di antara mereka, hal itu amat berbahaya karena mereka adalah orang-orang yang sudah bukan manusia lagi, jahat seperti iblis.”

Lin Lin tersenyum dan senyum ini menyambar dan menancap di ulu hati Bok Liong, melebihi pedang runcingnya.

“Twako, justeru kedatanganku ini hendak menonton pertandingan mereka. Tentu ramai sekali!”

Bok Liong melongo dan menggaruk-garuk rambutnya dengan sepuluh jari tangannya.

“Nonton? Moi-moi, kau terlalu me­remehkan mereka! Ketahuilah, kejahatan mereka sudah tersohor di kolong langit. Kadang-kadang mereka menyiksa dan membunuh orang secara begitu saja, secara sembarangan. Dalam gembira bisa saja mereka membunuh orang, apalagi dalam marah atau duka. Pendeknya, se­dikit persoalan saja cukup untuk mereka jadikan alasan menurunkan tangan iblis. Bahkan mereka berlumba agaknya untuk dapat disebut orang yang paling jahat, karena sebutan ini bagi Thian-te Liok-koai merupakan sebutan kehormatan, yaitu orang jahat nomor satu di dunia! Moi-moi, mari kita pergi cepat-cepat dari tempat terkutuk ini!” Kembali Bok Liong memegang tangan gadis itu erat-erat.

Lin Lin kembali merasa tidak enak tangannya dipegang erat oleh pemuda itu, akan tetapi mengingat akan pengor­banan pemuda itu, ia mendiamkannya saja, lalu menjawab.

“Liong-twako, kenapa kau sekarang berubah begini penakut? Belum lama ini kau bahkan berani menghadapi Hek-giam-lo dan orang-orangnya, menyerbu berkali-kali dengan keberanian yang membuat orang sedunia boleh merasa kagum. Ke­napa sekarang kau takut? Dan pula, bukankah kau juga datang ke tempat ini? Andaikata tidak berjumpa denganku, kau hendak ke manakah?”

“Ah, Lin-moi, sudah kuceritakan ke­padamu tadi. Aku sakit hati kepada Hek-giam-lo, mengira bahwa kau tentu celaka di tangah iblis itu. Oleh karena inilah setelah aku menerima gemblengan dari Suhu, aku sengaja datang ke sini karena teringat akan janji pertemuan para iblis di sini. Aku pasti akan bertemu dengan Hek-giam-lo di puncak dan akan kuajak dia bertempur sampai mati kalau dia tidak bisa mengembalikan kau. Moi-moi, sebelum bertemu denganmu, aku menjadi nekat dan tidak ingin hidup lagi kalau kau tewas di tangan Hek-giam-lo. Akan tetapi setelah kini melihat kau selamat, aku pun ingin hidup, Moi-moi!” Ucapan ini terdengar gemetar penuh perasaan dan mata pemuda itu menatap wajah Lin Lin penuh cinta kasih, membuat Lin Lin terharu dan ia pun membalas pegangan itu dengan mesra.

“Hemmm, kau selalu memikirkan ten­tang keselamatanku tanpa menghiraukan keselamatanmu sendiri, Twako. Andaikata aku menuruti kehendakmu tidak jadi naik ke puncak untuk nonton pertandingan hebat lalu kau hendak mengajakku ke mana?”

Tiba-tiba Bok Liong berlutut dan memegangi kedua tangan Lin Lin sambil memandang tajam dan suaranya gemetar, “Lin Lin, Moi-moi.... aku.... aku akan mengajakmu ke Cin-ling-san, menemui bibi gurumu, aku.... aku akan meminangmu untuk menjadi isteriku....”

Bukan main kagetnya hati Lin Lin. Memang, tentu saja ia tahu bahwa pe­muda ini mencintanya, akan tetapi men­dengar bahwa Bok Liong hendak meminangnya dari tangan bibi gurunya, ia be­nar-benar menjadi kaget dan wajahnya seketika berubah pucat. Ia menarik kedua tangannya dan bangkit berdiri.

“Tidak.... tidak.... Liong-twako, aku.... menganggapmu sebagai kakak sendiri, seorang kakak yang baik. Biarlah kita bersumpah mengangkat saudara.... tapi aku tidak.... tidak....”

Bok Liong yang masih berlutut memegang kaki kanan Lin Lin, suaranya penuh permohonan.

“Lin Lin, dewi pujaan hatiku.... aku cinta kepadamu, Lin Lin. Perlukah ini kujelaskan lagi? Aku mencintaimu se­menjak pertemuan kita yang pertama, aku rela mati untukmu.... sudilah kau menerima cintaku, bukan sebagai adik, melainkan sebagai calon teman hidup selamanya. Aku bersumpah akan mem­bahagiakan hidupmu selamanya Moi-moi....”

Air mata bercucuran dari sepasang mata Lin Lin. Hatinya amat terharu dan ia yakin bahwa andaikata ia menjadi isteri pemuda ini, sudah pasti hidupnya akan terjamin dengan kasih sayang yang suci. Akan tetapi wajah Suling Emas terbayang di depan matanya, membayang di antara air mata dan tak mungkin ia menerima pinangan pemuda lain selama bayangan wajah ini tidak lenyap dari kenangannya. Ia tahu bahwa Lie Bok Liong adalah seorang pendekar muda pilihan, seorang gagah perkasa yang berhati emas, satria sejati. Namun, hatinya telah terampas oleh Suling Emas dan ia hanya memiliki sebuah hati untuk diberikan kepada pria idamannya.

“Tidak, Liong-twako....!”

Setelah berkata demikian, Lin Lin menggerakkan kakinya terlepas daripada pelukan Bok Liong dan tubuhnya berkele­bat cepat meninggalkan pemuda itu, lari seperti terbang mendaki Gunung Thai-san!

***

Sejenak Lie Bok Liong tercengang, mukanya pucat sekali, pandang matanya sayu mengikuti bayangan gadis pujaannya yang sebentar saja sudah menghilang di balik pepohonan. Ia menghela napas panjang, meramkan kedua matanya, menggigit bibir kemudian bangkit dan berjalan perlahan, mendaki gunung itu pula. Ia merasa hatinya tertusuk, akan tetapi ia tidak putus asa. Lin Lin tidak pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak mencintanya, hanya menolak, mungkin karena malu, mungkin karena kaget dan gelisah, hal ini memang mungkin sekali, sebagai seorang gadis remaja yang mendengar pengakuan cinta dan pinangan dari seorang muda. Ia tidak putus asa dan akan berlaku sabar. Akan tetapi hatinya khawatir bukan main melihat gadis itu mendaki puncak Thai-san yang ia tahu amat berbahaya pada waktu itu dengan akan hadirnya iblis-iblis itu. Ia harus mengejar, harus menyusul dan siap untuk membela dan melindungi Lin Lin daripada marabahaya. Gurunya, Gan-lopek, juga telah menyatakan bahwa pada hari-hari pertandingan para iblis di pun­cak Thai-san, gurunya itu akan datang untuk menonton pula. Dan agaknya hanya orang-orang sakti yang memiliki kepandaian seperti gurunya itulah yang akan berani datang untuk menonton pertan­dingan berbahaya itu. Maka hatinya men­jadi besar dan dengan tabah Lie Bok Liong terus mendaki lereng gunung yang amat curam dan sukar dilalui itu. Baru sekarang teringat olehnya betapa cepat­nya tadi ia menyaksikan gerakan Lin Lin ketika lari dari padanya mendaki gunung. Padahal ia tahu bahwa ilmu kepandaian gadis itu hanya sebanding saja dengan tingkatnya, kalau tidak lebih rendah ma­lah. Bagaimana tadi ia melihat Lin Lin berlari seperti terbang mendaki gunung sedangkan dia sendiri merasa betapa sukar dan berbahayanya sehingga ia harus bergerak dengan hati-hati dan lambat!

Ketika Lie Bok Liong tiba di daerah gunung itu yang penuh batu besar, di sebuah lereng di punggung Gunung Thai-san, tiba-tiba ia mendengar suara orang terkekeh ketawa. Kagetnya bukan main karena ia tidak melihat bayangan orang mengapa tahu-tahu ada suara ketawa yang menyeramkan ini? Ia menengok dan memandang ke sana ke mari, namun tidak juga melihat bayangan orangnya. Bulu tengkuk pemuda ini berdiri dan biarpun ia tidak percaya akan setan yang dapat muncul di siang hari, ia dapat menduga bahwa tentu ada orang sakti di tempat itu. Masih untung kalau orang sakti yang baik bagi Bok Liong, akan tetapi suara ketawa itu bukan muncul dan mulut seorang sakti yang baik, melainkan dari mulut seorang iblis sakti yang bukan main kejamnya, yaitu It-gan Kai-ong sendiri! Kini kakek ini muncul dari balik sebuah batu besar dan muka­nya lebih buruk daripada dulu. Punggung­nya makin bongkok, rambutnya yang riap-riapan itu kotor sekali, penuh lumpur dan debu, mukanya keriputan begitu dalamnya seperti tersayat, matanya yang tinggal sebelah itu melotot sedangkan mata yang buta mengeluarkan air lendir, mulutnya terkekeh dan dari ujung bibirnya mengalir air liur. Tangannya me­megang sebatang tongkat butut.

“Heh-heh-ho-hah! Orang muda, pakaianmu seperti seorang kang-ouw, kau membawa-bawa pedang. Apa kebisaan­mu?”

Di dalam hatinya Bok Liong mendong­kol sekali, akan tetapi maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang iblis sakti yang sama sekali tak boleh dipandang ringan, ia segera menjura dalam-dalam dan menjawab dengan sikap sopan.

“Kai-ong (Raja Pengemis) yang mulia, harap maafkan bahwa saya tidak tahu Locianpwe (Orang Tua Gagah) berada di sini sehingga terlambat menyampaikan salam.”

“Hua-hah-hah, kau mengenal aku? Akan tetapi aku tidak mengenal kau.”

“Mana mungkin Locianpwe mengenal saya yang tidak ternama dan bodoh ini? Akan tetapi saya kira Locianpwe sudah mengenal Suhu.”

“Heh-heh, tak perlu kauperkenalkan, aku akan tahu sendiri. Terima ini!” Tiba-tiba tongkat butut di tangan itu bergerak dan tahu-tahu sudah mengancam jalan darah maut di dada kiri Bok Liong de­ngan totokannya!

“Aaaiiihhhhh!” Bok Liong terkejut sekali, akan tetapi sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, jurus-jurus silatnya sudah mendarah daging di tubuhnya sehingga gerak otomatisnya berjalan dan ia berhasil mengelak dari totokan ini. Me­lihat gerakan itu, terutama sekali bagian tubuh belakang yang megal-megol, It-gan Kai-ong tertawa sambil menarik kembali tongkatnya.

“Heh-heh, kau murid si tukang gam­bar edan Gan-lopek! Mana gurumu? Suruh dia muncul!”

“Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani memanggil Suhu kalau beliau tidak ber­kenan muncul atas kehendak sendiri.” Jawaban Bok Liong ini mencerminkan kecerdikannya. Ia tidak tahu apakah gurunya sudah berada di gunung ini, dan ia pun tidak mau membohong dan menyom­bong bahwa gurunya akan melindunginya, akan tetapi jawaban itu membayangkan bahwa gurunya mungkin ada dan mungkin tidak, jadi tidak membohong akan tetapi sekaligus merupakan peringatan bagi It-gan Kai-ong, bahwa Gan-lopek berada di situ maka ia tidak boleh mengganggu murid orang sakti itu!

Akan tetapi It-gan Kai-ong adalah seorang manusia iblis yang sukar di­gertak. “Heh-heh-heh, kalau begitu guru­mu tentu belum datang. Sayang sekali, sebetulnya aku hendak membekuk mam­pus gurumu itu agar kujadikan bukti bahwa korbanku bukan orang biasa. Akan kagumlah iblis-iblis itu kalau aku berhasil membawa she Gan si tukang gambar ke puncak. Menangkapmu tiada gunanya, kau orang tiada guna dan tidak berarti. Tapi kau sudah bertemu denganku di Thai-san, maka kau harus mampus!”

Kaget sekali Bok Liong. Ia bersiap-siap. “Locianpwe, di antara Locianpwe dan saya Lie Bok Liong tidak terdapat pertentangan sesuatu, mengapa Locianpwe hendak membunuhku?” Biarpun ia maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, na­mun suara pemuda gagah ini sama sekali tidak mengandung rasa takut den tidak gemetar.

“Huah-ha-ha! Semua iblis yang datang ke sini akan membunuh siapa saja yang dihadapinya, besar kecil tua muda laki perempuan.” Kemudian kakek pengemis yang menyeramkan den menjijikkan ini membuka mulutnya meludah ke arah Bok Liong. “Cuh-cuh!”

Dua gumpal ludah menyambar bagai­kan pelor-pelor baja ke arah muka dan dada Bok Liong. Pemuda ini sudah was­pada, cepat ia mengelak dengan loncatan ke kiri sambil mencabut pedangnya. Ber­kat kegesitan dan kewaspadaannya maka dua gumpal ludah itu tidak mengenai dirinya, melainkan lewat cepat dan am­blas masuk ke dalam batu besar di bela­kangnya!

“Heh-heh-heh, Gan-lopek tidak sia-sia mengajarmu. Boleh juga untuk main-main kau!” Kembali kakek itu meludah, kini ludahnya merupakan semprotan air yang lebar, namun setiap titik air me­nuju ke arah jalan darah dengan kekuat­an yang cukup untuk mematikan lawan.

Bok Liong memutar pedangnya dan terbentuklah gulungan sinar pedang me­rupakan payung bundar di depan tubuh­nya yang menangkis semua percikan air ludah itu.

Akan tetapi It-gan Kai-ong kembali menyerang dengan ludah kental yang menyambar seperti peluru-peluru baja. Bok Liong menangkis dengan pedangnya dan alangkah kagetnya ketika ia merasa tangannya tergetar hebat dan hampir lumpuh setiap kali senjatanya itu menangkis gumpalan ludah. Bukan main hebatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam serangan ludah-ludah itu.

“Heh-heh-heh-hah-hah-hah, menarilah. Cuh-cuh-cuh!” Kakek itu terus menyerang sambil meludah-ludah.

Bok Liong sibuk sekali dan ia menge­rahkan sin-kang di tubuhnya lalu mainkan pedangnya dengan cepat. Ia tidak berani lagi menangkis ludah dari depan karena kalau terus-menerus mengadu tenaga ia akan celaka. Kini ia menangkis dari sam­ping sehingga ia hanya mengalihkan arah ludah-ludah itu ke semping. Biar sampai habis ludahnya, tak mau aku menerima penghinaan ini, pikir Bok Liong dan me­nangkis atau mengelak penuh kelincahan. Betapapun juga, hanya diserang oleh ludah ini saja sudah cukup membuat Bok Liong repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang!

Namun kelincahan Bok Liong yang selalu dapat menghindarkan serangan ludahnya, membuat It-gan Kai-ong marah luar biasa. Ia merasa penasaran juga karena biasanya, serangan ludahnya sudah cukup untuk menewaskan lawan yang muda.

“Eh, kau boleh juga. Cukup berharga untuk berkenalan dengan tongkatku!” Tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dan tongkat di tangannya bagi pandang mata Bok Liong sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang sekaligus mener­jang ke arah dirinya. Pemuda ini terkejut dan berusaha untuk memutar pedang menangkis semua bayangan tongkat itu sambil bergerak mundur dengan loncatan-­loncatan lincah. Namun akhirnya ia ter­paksa berhenti karena di belakangnya terdapat sebuah jurang yang curam dan menganga lebar, siap mencaploknya!

“Heh-heh-heh, kau hendak lari ke mana sekarang?” It-gan Kai-ong meng­ejek, terkekeh-kekeh dan tongkat butut­nya mendesak makin dahsyat.

Betapapun dahsyat dan hebatnya ilmu tongkat It-gan Kai-ong yang digerakkan dengan tenaga saktinya, namun Bok Liong bukanlah seorang pemuda sembarangan. Ia murid terkasih dari Gan-lopek yang sudah menurunkan ilmunya kepada murid ini, bahkan akhir-akhir ini mendapat tambahan gemblengan lebih hebat. Maka menghadapi desakan maut di depan dan ancaman maut di belakang, Bok Liong berlaku nekat dan pedangnya bergerak cepat mengeluarkan suara berdesing. Ia mengerahkan seluruh tenaga dan menge­luarkan jurus-jurus pilihan, tidak lagi hanya menjaga diri, malah kini ia balas menyerang dengen nekat untuk mengadu nyawa! Pertandingan mati-matian terjadi di pinggir jurang ini.

It-gan Kai-ong tidak lagi terkekeh sekarang. Betapapun juga, balasan se­rangan pemuda yang sudah nekat ini tak boleh ia hadapi dengan sembrono kalau ia tidak mau mendapat malu. Kakek ini pun mainkan tongkatnya lebih hebat, mendesak hebat sehingga tiap kali kedua senjata bertemu, Bok Liong merasa le­ngannya seakan-akan serasa patah. Na­mun dengan gigih ia melawan terus. Ketika mendapat lowongan, ia menyam­bar seperti kilat ke depan, menusukkan pedangnya ke arah perut It-gan Kai-ong. Ia tidak peduli lagi bahwa dalam serang­an nekat ini, ia membiarkan dirinya “ter­buka” dan tidak terlindung. Pedang Goat-kong-kiam (Pedang Sinar Bulan) di tangannya berubah menjadi cahaya redup kekuningan yang mengandung hawa dingin karena memang ditusukkan dengan pe­ngerahan tenaga Im.

Akan tetapi tiba-tiba pedang itu ter­henti gerakannya karena sudah menempel pada tongkat butut di tangan It-gan Kai-ong. Bok Liong kaget dan berusaha menarik kembali pedangnya namun terlambat. Tenaga Im-kang yang terkandung di pedangnya itu ternyata membuat dia celaka, karena tenaga ini memungkinkan lawannya yang sakti menempel dan “menyedot” sehingga ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas.

Dalam kenekatannya, Bok Liong tidak mau menyerah mentah-mentah. Ia me­ngerahkan sisa tenaga yang ada, tiba-tiba tangan kirinya mengirim pukulan berbareng dengan kedudukan kakinya ber­ubah, melangkah maju. Pukulan ini meng­arah dahi lawan yang kalau mengenai tepat akan membahayakan keselamatan nyawa. Akan tetapi, karena memang kedudukan Bok Liong sudah kalah dan sudah dikuasai, enak saja It-gan Kai-ong menghadapi pukulan ini. Tangan kirinya menangkis dan sekaligus tongkatnya mendorong, maka terjengkanglah tubuh Bok Liong ke belakang, rebah terlentang.

“Heh-heh-heh, mampuslah kau, murid orang she Gan!” Tongkat itu diangkat dan siap menjatuhken pukulan maut.

Melihat ini, Bok Liong tidak rela mati di tangan kakek iblis itu. Tubuhnya menggelinding ke belakang dan ia ber­gulingan cepat sehingga ia terlepas dari­pada pukulan tongkat, akan tetapi di lain saat tubuhnya sudah terjungkal ke dalam jurang yang menganga lebar!

Pada saat itu, sebuah bayangan ber­kelebat datang dan kiranya bayangan ini adalah seorang kakek pendek yang bukan lain adalah Empek Gan, guru Lie Bok Liong.

“He, pengemis iblis picak! Kauapakan muridku? Mana dia sekarang?”

“Heh-heh-heh, tua bangka she Gan, apa kau hendak menyusul muridmu ke dasar jurang sana?” Dengan tongkatnya It-gan Kai-ong menunding ke arah jurang.

Berubah wajah Empek Gan. Biasanya dia jenaka dan gembira, akan tetapi karena mendengar bahwa muridnya yang ia sayang terjerumus ke dalam jurang, timbullah kemarahannya.

“Jembel busuk berhati iblis! Tak tahu malu benar engkau, beraninya hanya terhadap orang muda. Kalau memang laki-laki, akulah lawanmu, tua sama tua!”

“Wah, tutup mulutmu yang busuk. Kau sendiri di Nan-cao telah menghina murid­ku. Sekarang aku menghajar muridmu, bukankah sudah pantas?”

“Tak perlu banyak bicara, It-gan Kai-ong, kau telah membunuh muridku, kau harus dapat membunuhku pula, kalau tidak, kaulah yang akan mengganti nyawanya!”

“Majulah, siapa takut kepadamu?”

Kedua orang kakek ini memasang kuda-kuda. Maklum bahwa lawan yang dihadapi kini adalah seorang lawan yang amat tangguh, keduanya tidak main-main lagi. It-gan Kai-ong melintangkan tongkat bututnya di atas kepala, kaki kanannya ditekuk lututnya dan diangkat ke atas, kaki kiri berdiri di ujung jari, tangan kiri disodorkan ke depan dan matanya yang tinggal satu itu memandang lurus ke depan dengan tajamnya. Adapun Gan-lopek sudah mengeluarkan sepasang sen­jatanya pula, yaitu senjata yang disebut Hek-pek-mou-pit (Sepasang Pena Bulu Hitam Putih), yang hitam di tangan kanan sedangkan yang berbulu putih di tangan kiri. Ia berdiri dengan kedua lu­tut agak ditekuk ke bawah, tubuh belakangnya menonjol dan bergoyang-goyang, kedua lengannya bersilang.

Ada lima menit mereka hanya berdiri berhadapan macam ini, tidak melakukan penyerangan. Seperti dua ekor jago aduan yang saling pandang dan saling taksir kekuatan masing-masing sebelum bergebrak. Kemudian terdengar si raja jembel terkekeh aneh dan tubuhnya sudah menerjang maju didahului tongkat butut­nya. Tongkat ini mengandung tenaga dah­syat dan angin pukulannya sampai meng­goyangkan daun-daun pohon di sekitar tempat itu.

“Wesssss!” Tongkat butut melayang lewat di dekat kepala Gan-lopek, dan pelukis sakti ini mengerjakan senjatanya melakukan dua kali totokan maut selagi serangan lawan lewat. Akan tetapi, de­ngan gerakan tubuh yang tepat raja pe­ngemis itu pun dapat menghindarkan diri. Karena gerakan keduanya, mereka seka­rang bertukar tempat dan kembali mereka berdiri tak bergerak, saling pandang dengan seluruh urat syaraf di tubuh me­negang.

Bagi orang yang belum begitu tinggi ilmu silatnya, mungkin ia lebih suka melakukan penyerangan lebih dulu dalam pertempuran, karena ia tentu mengang­gap bahwa dalam pertempuran, siapa lebih cepat atau lebih dulu menyerang berarti menang kedudukan. Akan tetapi bagi orang-orang sakti seperti Gan-lopek dan It-gan Kai-ong, malah sebaliknya. Yang menyerang lebih dulu sebetulnya malah lebih lemah kedudukannya, karena setiap serangan berarti melemahkan per­tahanan sendiri dan kadang-kadang kalau lawan melihat bagiannya yang lemah, terbukalah “lubang” dan hal ini berbahaya. Inilah sebabnya maka keduanya sekarang sedang menaksir-naksir dan seakan-akan segan untuk mulai menyerang lebih dulu. Akan tetapi karena tadi It-gan Kai­ong sudah menyerang sebagai pembukaan pertandingan, Gan-lopek yang tidak mau dianggap takut, kini membalas dengan penyerangannya. Ia berseru keras dan tubuhnya bergerak ke depan, sepasang mou-pit di tangannya berubah menjadi dua gulung sinar putih hitam yang kecil tapi terang menyambar-nyambar ke de­pan mengancam tubuh It-gan Kai-ong bagian atas dan bawah.

Biarpun sepasang pena bulu itu menotok bertubi-tubi ke arah tujuh belas jalan darah, It-gan Kai-ong dapat menghindarkan diri dengan gerakan tongkatnya yang menjadi gulungan sinar melingkar­ dan seperti seekor ular yang melindungi seluruh tubuhnya. Kemudian tiba-tiba tongkatnya membalas dengan babat­an ke bawah, mengancam kedua kaki Gan-lopek. Tubuh kakek ini, dengan pan­tatnya tetap megal-megol seperti ikan emas berenang, tiba-tiba mumbul ke atas sehingga babatan tongkat hanya lewat di bawah kedua kakinya. Dari atas Gan-lopek meluncur turun didahului pena bulu hitam menotok leher, ketika lawan me­nangkis, pena bulu putih menerjang dan sasarannya kini adalah pusar! Hebat bu­kan main sepak terjang kakek pelukis ini sehingga It-gan Kai-ong harus menggunakan segala kepandaiannya untuk meng­hindarkan diri. Gerakan Empek Gan gesit dan aneh, apalagi dengan gerakan khusus pantatnya yang megal-megol ini membingungkan lawannya.

Namun It-gan Kai-ong adalah seorang di antara Thian-te Liok-koai. Tentu saja kepandaiannya

bersambung...............8

0 komentar:

Posting Komentar