Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su - 22 v

sengaja membiarkan saja hal itu
terjadi agar darah yang bergolak di dada para anak buahnya dapat diredakan. Beberapa hari kemudian, setelah
anak buahnya sepuas-puasnya dan sekenyang-kenyangnya mengganggu wanita dan merebutkan harta benda yang
ditinggal lari, barulah muncul perintah yang melarang perbuatan seperti itu. Namun An Lu Shan juga tidak
melupakan janji-janjinya kepada para pembantunya yang telah berjasa. Dengan royal dia lalu membagi-bagikan
pangkat, gedung bekas tempat tinggal para bangsawan yang melarikan diri atau terbunuh, membagi-bagikan harta
benda dan para puteri cantik yang menjadi tawanan. Maka selama beberapa bulan lamanya berpesta poralah para
kaki tangan An Lu Shan yang menerima hadiah-hadiah itu. Tentu saja An Lu Shan lebih lagi memperhatikan para
pembantu yang tangguh dan yang masih diharapkan bantuan mereka. Kepada mereka ini dia memberi hadiah yang lebih
besar lagi. Dia tidak mengingkari janjinya terhadap para pembantu yang berjasa besar seperti The Kwat Lin bekas
Ratu Pulau Es itu, maka setelah Tiang-an diduduki, putera The Kwat Lin yang bernama Han Bo ong lalu diberi
anugerah pangkat pangeran! The Kwat Lin sendiri diangkat menjadi seorang panglima pengawal, sedangkan Ouwyang
Cin Cu diangkat menjadi koksu (guru penasihat negara). Dapat dibayangkan betapa girangnya hati The Kwat Lin.
Cita-citanya tercapai, puteranya telah menjadi pangeran dan kalau dia pandai mengatur kelak siapa tahu terbuka
kesempatan bagi para puteranya untuk menjadi Kaisar! Tidaklah mengherankan apa yang terkandung dalam hati The
Kwat Lin sebagai cita-cita ini. Sudah lajim bagi kita manusia di dunia ini untuk selalu menjadi hamba dari
cita-cita kita sendiri. Seluruh kehidupan ini seolah-olah dikuasai dan diatur oleh cita-cita kita
masing-masing. Kita tenggelam dalam khayal dan cita-cita, tidak tahu betapa cita-cita amatlah merusak hidup
kita . Cita-cita membuat pandang mata kita selalu memandang jauh ke depan penuh harapan untuk mencapai sesuatu
yang kita cita-citakan. Pandang mata yang selalu ditujukan ke masa depan yang belum ada ini, tangan yang
dijangkaukan ke depan untuk selalu mengejar apa yang belum kita miliki membuat kita hidup seperti dalam
bayangan. Kita tidak mungkin dapat menikmati hidup, padahal hidup adalah saat demi saat, sekarang ini, bukan
masa depan yang merupakan bayangan khayal atau masa lalu yang sudah mati. Sekali kita menghambakan diri kepada
cita-cita, selama hidup kita akan terbelenggu oleh cita-cita karena tidak ada cita-cita yang dapat terpenuhi
sampai selengkapnya, dan kita terseret ke dalam lingkaran setan yang tak berkeputusan. Mendapat satu ingin dua,
memperoleh dua mengejar tiga dan selanjutnya, itulah cita-cita! Dan semua itu akan kita kejar terus sampai
kematian merenggut kehidupan kita, bahkan di ambang kubur sekali pun di waktu mendekati kematian, kita masih
terus di cengkeram cita-cita, yaitu cita-cita untuk masa depan sesudah mati! Betapa mungkin kita dapat
menikmati hidup ini kalau mata kita selalu memandang masa datang yang belum ada? Sebaliknya, orang yang bebas
dari cita-cita, bebas dari masa lalu dan masa depan, dapat menghayati hidup ini saat demi saat! Demikian pula
dengan The Kwat Lin. Cita-citanya tercapai dengan diangkatnya puteranya menjadi pangeran, akan tetapi sudah
habis di situ sajakah citacitanya? Sama sekali belum! jauh dari pada cukup atau habis! Bahkan cita-cita barunya
yang lebih hebat baru saja dia mulai, yaitu cita-cita melihat puteranya menjadi kaisar! Karena cita-cita ini,
maka keadaannya pada saat itu tidak terasa membahagiakan, bahkan terasa amat kurang. Hanya pangeran! hanya
panglima pengawal! Jauh dibandingkan dengan puteranya menjadi kaisar dan dia menjadi ibu suri! Banyak orang
membantah, mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita kita tidak akan maju. Apakah
cita-cita itu? Apakah kemajuan itu? Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu yang belum terdapat oleh kita. Dan
keinginan seperti ini merupakan dorongan nafsu yang tak mengenal kenyang, makin dituruti makin lapar dan haus,
menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar dibedakan lagi dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan
pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan. Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan
adalah keduniawian, harta benda, kedudukan, nama besar. Apakah "kemajuan" seperti ini mendatangkan kebahagiaan"
hanya mereka yang telah memiliki nama terkenal saja yang mampu menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK! Bahkan
sebaliknya malah. makin banyak kedudukan atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada duniawi, makin banyak
pula kesengsaraan hidup yang kita derita berupa kekecewaan, pertentangan dan kekhawatiran. karena yang sudah
pasti saja, hanya mereka yang masih memiliki lahir batin yang akan kehilangan! Dan kehilangan berarti
kekecewaan, kedukaan dan sebelumnya terjadi kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran. Akan tetapi pada waktu
itu tidak nampak seorang pun karena pada waktu itu, rakyat penghuni ibu kota sedang dicengkeram ketakutan
hebat. Seperti biasa setelah perang berakhir, rakyat yang menjadi sasaran mereka yang memperoleh kemenangan.
Para anggauta pasukan baru berkeliaran keluar masuk perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya
sendiri, bahkan tidak jarang terjadi mereka memasuki kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri
sambil menyeret nyonya rumah yang masih muda atau anak gadis mereka! Seperti para atasannya yang mengadakan
pesta besar-besaran, kaum rendahan juga berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk
hanya pandai menangis dan mengeluh mengadu kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya. Menjelang tengah malam,
pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang berkedudukan tinggi sekali sekarang, seorang koksu,
datang juga hanya sekedar memberi selamat dan tidak tinggal lama. Akan tetapi para pengawal baru, tentu saja
mereka yang berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora karena memang The Kwat Lin ingin mengambil hati
para rekannya ini yang kelak dia harapkan bantuan mereka. Bahkan ketika para tamu orang penting sudah
meninggalkan tempat pesta dalam keadaan setengah mabok dan tempat itu mulai sepi, The Kwat Lin masih menahan
para pembesar pengawal yang jumlahnya belasan orang itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru
sebagai pengawal-pengawal istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya. Lewat tengah malam, para tamu
sudah pulang dan yang tinggal hanyalah empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak
berunding di ruangan dalam, adapun ruangan luar tempat pesta mulai dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan
yang kelihatan lelah dan mengantuk. Pada saat itulah berkelebat bayangan tiga orang. Para pelayan yang
membersihkan tempat bekas pesta itu hanyalah melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di tempat itu kelihatan
dua orang wanita cantik dan seorang laki-laki gagah sudah berdiri dengan sikap angker! Tentu saja para pelayan
terkejut sekali dan mengira bahwa orang-orang aneh yang bergerak amat cepatnya ini tentulah sahabat majikan
mereka yang juga terkenal lihai bukan main, maka seorang di antara mereka menyambut sambil menjura dan berkata,
"Sam-wi yang terhormat agak terlambat karena pesta telah bubar." "Kami tidak ingin pesta," jawab wanita yang
setengah tua dengan sikap keren. "Kami ingin berjumpa dengan majikan kalian." Melihat sikap yang keren penuh
wibawa ini, para pelayan menjadi gentar dan dua orang di antara mereka cepat memasuki ruangan dalam di mana The
Kwat Lin sedang mengadakan perundingan dengan rekanrekannya. Diam-diam wanita itu, Liu Bwee, memberi isyarat
dengan matanya kepada Swat Hong, puterinya. Swat Hong mengangguk dan dengan gerakan yang amat cepat dara ini
sudah meloncat dan menyelinap lenyap dari situ, sedangkan ibunya dan Ouw Sian Kok sudah menerjang ke dalam
ruangan ketika melihat pelayan tadi pergi melapor. Baru saja dua orang pelayan itu memasuki ruangan dalam dan
belum sempat mengeluarkan kata-kata, pintu telah terbuka lebar dan Liu Bwee bersamaa Ouw Sian Kok telah
menerjang ke dalam. "Heiii! Siapa....!!" Bentakan The Kwat Lin terhenti dan wajahnya berubah pucat ketika dia
melihat munculnya wanita yang tentu saja amat dikenalnya itu. Dia menjadi pucat ketakuan karena mengira bahwa
bekas suaminya, Han Ti Ong Raja Pulau Es yang amat ditakutinya itu muncul. Akan tetapi ketika melihat bahwa
laki-laki yang datang bersama Liu Bwee itu bukanlah Han Ti Ong, hatinya menjadi lega dan dengan tabah dia
meloncat ke depan, dua kali menendang membuat dua orang pelayannya terlempar keluar ruangan, kemudian
menghadapi Liu Bwee sambil tersenyum mengejek. "Aih, kiranya wanita buangan yang datang mengacau dan
mengantarkan nyawa!" bentaknya. "Perempuan hina yang berhati iblis! engkau telah menerima budi kebaikan dari
suamiku, mengangkatmu dari lembah kehinaan ke tempat mulia, malah membalasnya dengan khianat! Engkau dan anak
harammu itu harus mampus di tanganku!" "Mulut busuk!" The Kwat Lin balas memaki dan sekali tanganya bergerak,
tampak sinar merah dari Pedang Ang-bwe-kiam di tangan kananya, kemudian tanpa menanti lagi, sinar merah itu
sudah meluncur ke depan menyerang Liu Bwee. "Cringggg....!!" Bunga api berpijar dan The Kwat Lin mundur dua
langkah sambil memandang Ouw Sian Kok yang telah menangkis pedangnya dengan sebatang pedang di tangan,
tangkisan yang membuat lengannya tergetar, tanda bahwa laki-laki yang datang bersama Liu Bwee ini memiliki
kepandaian tinggi pula. "Siapa engkau?" Bentaknya, sementara para rekannya, empat belas orang perwira dan
panglima pengawal, telah mencabut senjata masing-masing dan mengurung, menanti saat bantuan mereka diperlukan
oleh The Kwat Lin. Ouw Sian Kok yang mengerti bahwa dia bersama Liu Bwee dan Han Swat Hong telah memasuki guha
harimau dan berada dalam ancaman bahaya besar, sengaja mengulur waktu untuk memberi kesempatan kepada Swat Hong
yang oleh ibunya ditugaskan menyelinap ke dalam istana untuk mencari dan merampas kembali pusaka-pusaka Pulau
Es, karena hanya dengan jalan demikian saja kiranya pusakapusaka itu dapat dirampas kembali. Dia tertawa dan
mengelus jenggotnya, seadngkan Liu Bwee siap dan berdiri saling membelakangi punggung dengan Ouw Sian Kok,
maklum bahwa mereka tentu akan menghadapi pengeroyokan dan karenanya harus dapat saling melindungi. "Ha-ha-ha!
engkau tanya siapa aku? Aku pun seorang buangan! namaku Ouw Sian Kok dari Pulau Neraka!" Mendengar ini The Kwat
Lin diam-diam merasa terkejut dan heran juga. Dia sudah mendengar dari bekas suaminya, Raja Pulau Es, bahwa
para buangan di Pulau Neraka bukanlah orang-orang sembarangan, bahkan banyak di antara mereka memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Akan tetapi karena dia percaya akan kepandaiannya sendiri, juga merasa aman berada di antara
para pengawal dan lebih lagi berada di dalam istananya di kota raja, dia memandang rendah. "Huh, kiranya adalah
buangan rendah dan hina dari Pulau Neraka." Ouw Sian Kok yang ingin mengulur waktu, kembali tertawa untuk
mengalihkan perhatian The Kwat Lin. "Ha-ha-ha! Biarpun kami para penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang
buangan, namun kiranya sukar dicari seorang pun di antara kami yang memiliki watak rendah untuk mengkhianati
orang yang telah menolong dan melimpahkan kebaikan kepada kami seperti yang dilakukan olehmu, The Kwat Lin!"
"Manusia hina! Mampuslah!!" "Sing-sing-singggg....!!" Ouw Sian Kok maklum akan kelihaian wanita ini, maka cepat
ia mengelak, menangkis dan membalas menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kegesitannya, dan
mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya. Terjadilah duel yang amat hebat di antara kedua orang berilmu tinggi ini.
Melihat betapa Ouw Sian Kok yang memang seperti direncanakan harus menghadapi The Kwat Lin lihai, Liu Bwee
cepat memutar pedangnya dan menghadapi pengeroyokan belasan orang pengawal itu. Pedangnya bergerak dahsyat
sekali, dan dalam sepuluh jurus saja dia telah merobohkan dua orang pengawal. yang lain tetap mengepungnya
karena tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani membantu The Kwat Lin, melihat betapa bayangan wanita
itu dan bayangan lawannya lenyap menjadi satu digulung oleh sinar pedang mereka. Mulai cemas rasa hati The Kwat
Lin ketika mendapatkan kenyataan bahwa Ouw Sian Kok merupakan lawan yang berat dan seimbang dengannya.
Sedangkan para rekannya itu biarpun berjumlah banyak, ternyata tidak mampu mengimbangi amukan Liu Bwee sehingga
berturut-turut roboh pula beberapa orang di antara mereka! "Cari bantuan dari benteng!" Terpaksa The Kwat Lin
berteriak keras dan mendengar ini, seorang di antara para pengawal itu segera lari keluar untuk minta bala
bantuan. Melihat gelagat yang berbahaya ini, Ouw Sian Kok menjadi khawatir juga. Mengapa Swat Hong belum juga
kembali? "Lekas robohkan mereka dan bantu aku mengalahkan dia ini!" Katanya kepada Liu Bwee ketika melihat
betapa Liu Bwee tidak begitu sukar untuk mendesak para pengeroyoknya. Liu Bwee maklum pula akan kelihaian The
Kwat Lin dan tahulah dia bahwa betapapun lihainya Ouw Sian Kok, menghadapi wanita itu amat sukar untuk mencapai
kemenangan. Maka dia memutar pedangnya makin cepat, merobohkan lagi tiga orang. Pada saat itu, berkelebat
bayangan yang gesit dan tampaklah Swat Hong yang membawa sebatang pedang dan di punggungnya tampak sebuah
buntalan kain sutera merah. "Ibu, aku berhasil....!" teriakan sambil menerjang maju merobohkan dua orang
pengeroyok ibunya. Melihat ini, The Kwat Lin menjadi marah sekali. Maklumlah dia bahwa dia kena diakali dan dia
dapat menduga apa isi buntalan sutera merah itu, sutera merah yang amat dikenalnya. Pusaka-pusaka Pulau Es
telah berada di tangan Swat Hong! "Bedebah! Kembalikan pusaka-pusaka itu!" bentaknya dan tubuhnya secara
tiba-tiba sekali mencelat ke arah Swat Hong, pedangnya menusuk tenggorokan tangan kirinya meraih ke arah
punggung. "Trangggg....!" Liu Bwee yang menangkis pedang The Kwat Lin, terhuyung dan hampir roboh, Seorang
pengawal menubruknya akan tetapi pengawal itu terlempar dengan dada pecah karena ditendang oleh Liu Bwee,
sedangkan swat Hong sudah dapat menangkis pedang The Kwat Lin yang kembali menyerangnya. Ouw Sian Kok sudah
meloncat pula dan menerjang The Kwat Lin sehingga kembali mereka bertanding dengan hebat . "Hong-ji,
kauselamatkan dulu pusaka-pusaka itu!" tiba-tiba Liu Bwee berteriak kepada puterinya. "Kita akan cepat menyusul
pergi!" kata pula Ouw Sian Kok kepada Swat Hong. Swat Hong yang melihat bahwa jumlah pengawal tinggal hanya
tinggal lima orang dan mereka bukanlah lawan berat bagi ibunya, sedangkan Ouw Sian Kok juga dapat menahan Kwat
Lin, mengangguk dan sekali berkelebat dia meloncat ke luar. "Tahan dia.....! Jangan larikan pusaka Pulau
Es....!" Kwat Lin berteriak marah akan tetapi dia tidak dapat mengejar karena sinar pedang Ouw Sian Kok
menghalanginya dengan serangan-serangan dahsyat. Terpaksa dia mengerahkan tenaganya untuk mendesak Ouw Sian Kok
dan dalam kemarahan yang amat hebat ini tenaga The Kwat Lin bertambah sehingga Ouw Sian Kok berseru kaget dan
mundur karena pundak kirinya berdarah, terluka sedikit kena diserempet sinar pedang kemerahan. Ketika Swat Hong
berlari cepat sekali keluar, dia terkejut setengah mati melihat sepasukan pengawal berbondong datang memasuki
istana itu dari pintu luar, bersenjata lengkap, dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu! Binggunglah dia. Pusaka
memang harus diselamatkan, akan tetapi betapa mungkin dia meninggalkan ibunya yang terancam bahaya maut? Selagi
dia meragu dan mengintai dari tempat bersembunyi, tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan empat orang, dan
ketika dia mengenal dua orang di antara mereka adalah Kwee Lun dan Soan Cu, dia menjadi girang sekali. Cepat
dia meloncat keluar, berseru lirih, "Kwee-toako! Soan Cu....!!" Soan Cu dan Kwee Lun terkejut dan berhenti,
juga Swi Nio dan Liem Toan Ki yang datang bersama mereka. Ketika melihat bahwa orang yang muncul dari balik
pohon di luar istana itu adalah Swat Hong, Kwee Lun menjadi girang sekali, akan tetapi Soan Cu cemberut.
Bagaimana hatinya dapat merasa girang bertemu dengan dara yang menimbulkan iri di hatinya dahulu itu? Akan
tetapi, Swat Hong yang girang sekali tentu saja tidak dapat melihat wajah cemberut di tempat yang remang-remang
itu, maka cepat dia berkata, "Soan Cu, Ayahmu berada di dalam, bersama ibuku, sedang dikepung para pengawal."
Seketika pucat wajah Soan Cu dan dia memandang bengong, sampai lama baru dapat berkata gagap, "A.... Ayah....
ku....?" "Benar! Kita harus membantunya," kata lagi Swat Hong. "kalau begitu tunggu apa lagi? mari kita
membantu orang tua kalian!" Kwee Lun berkata. "Nanti dulu.... siapakah dua orang ini?" Swat Hong bertanya
sambil menuding kepada Swi Nio dan Liem Toan Ki. "Namaku Bu Swi Nio, Adik Han Swat Hong. Aku sudah mendengar
namamu dari kedua saudara ini dan aku merasa kagum sekali. Ketahuilah bahwa aku dahulu adalah murid The Kwat
Lin, akan tetapi sekarang aku hendak mencari dan membunuhnya." Swi Nio berkata penuh semangat. "Dan aku tadinya
mata-mata Jenderal An Lu Shan, akan tetapi aku berjuang bukan untuk mencari pangkat, melainkan untuk membalas
dendam. Sekarang aku hendak membantu dia....eh, tunanganku ini untuk menghadapi The Kwat Lin." Tiba-tiba Swat
Hong bergerak maju, kedua tangannya bergerak cepat sekali, yang kanan menyerang ke arah leher Liem Toan Ki,
sedangkan yang kiri menotok ke arah dada Swi Nio. "Eiihhh...." "Haiiiittt......!" Toan Ki Dan Swi Nio yang
terkejut sekali cepat mengelak, namun tetap saja mereka terhuyung dan hampir jatuh terdorong sambaran kedua
tangan Swat Hong. "Eh-eh.... apa yang kaulakukan itu?" Kwee Lun dan Soan Cu menegur heran dan juga marah. "Aku
hanya menguji mereka. Maafkan aku, Enci Swi Nio dan Liem-toako. Melihat tingkat kepandaian kalian, lebih baik
kalian tidak ikut masuk. Musuh amat kuat, dan ada tugas yang lebih penting lagi bagi kalian, kalau benar kalian
suka membantu kami dari Pulau Es." Swi Nio dan Toan Ki yang tadinya terkejut dan marah, menjadi lega bahwa
kiranya gadis yang amat lihai itu hanya menguji mereka. Biarpun ucapan itu merendahkan tingkat kepandaian
mereka, namun harus mereka akui bahwa ilmu kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan Kwee Lun,
Soan Cu, apalagi Swat Hong ini. "kami berdua siap membantu!" Toan Ki berkata, hampir berbareng dengan Swi Nio.
Tanpa ragu-ragu lagi karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, Swat Hong melepaskan ikatan buntalan dari
punggungnya, menyerahkannya kepada Toan Ki. Dia lebih percaya kepada Toan Ki daripada kepada Swi Nio, hal ini
karena tadi dia mendengar bahwa Swi Nio adalah bekas murid The Kwat Lin! "Inilah pusaka kami dari Pulau Es yang
seharusnya kuselamatkan. Akan tetapi karena Ibuku dan Ayah Soan Cu terkurung di dalam, aku harus membantu
mereka dan kuharap kalian suka menyelamatkan pusakapusaka ini jauh dari kota raja. Kelak, kita dapat saling
bertemu di Puncak Awan Merah di tempat kediaman Tee-tok Siangkoan Houw, di Pegunungan Tai-hang-san. Nah, kalian
pergilah cepat!" Liem Toan Ki menerima bungkusan itu dengan hati kaget bukan main, juga Swi Nio terkejut dan
cepat dia menyambar tangan kekasihnya. "Mari kita segera pergi!" Kedua orang muda itu menyelinap lenyap di
dalam kegelapan malam. "Hayo kita bantu Ibu dan Ayahmu!" kata Swat Hong kepada Soan Cu. Soan Cu mengangguk
karena merasa lehernya seperti dicekik oleh sedu-sedan yang naik dari dalam dadanya. Ayahnya! Dia akan bertemu
dengan ayah kandungnya yang selama hidupnya belum pernah dia lihat itu. Bertemu dalam keadaan terancam bahaya
maut! Tampak tiga bayangan berkelebat ketika Soan Cu, Swat Hong, dan Kwee Lun menyerbu ke dalam istana itu.
Ketika mereka tiba di dalam, ternyata Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah dikepung ketat dan kini pertempuran telah
berpindah ke ruang luar yang lebih lega. Agaknya, agar dapat melakukan perlawanan dengan leluasa dan mendapat
kesempatan untuk meloloskan diri, Liu Bwee dan Ouw Sian Kok telah pindah keluar dari ruangan dalam yang sempit,
dan kini, dengan saling membelakangi, kedua orang itu mengamuk dengan hebat, dikepung ketat oleh para pengawal
istana, sedangkan The Kwat Lin dan Ouwyang Cin Cu menonton di pinggir. Ketika Swat Hong dan dua orang kawannya
masuk, mereka melihat Kwat Lin berlari pergi ke dalam istananya. Swat Hong maklum bahwa wanita itu tentulah
hendak memeriksa simpanan pusakanya, maka dia lalu menyentuh tangan Soan Cu yang sedang bengong memandang
kepada laki-laki setengah tua yang mengamuk dengan gagahnya itu, dengan mata merah hampir menangis. Soan Cu
sadar dan menengok. "Kita kejar dia! Dialah yang paling jahat dan berbahaya!" Soan Cu mengangguk dan kedua
orang gadis berkelebat pergi mengejar Kwat Lin. Kwee Lun Sendiri lalu berteriak keras dan meloncat ke depan,
meyerbu para pengeroyok. Sepak terjang pemuda tinggi besar ini memang hebat, tenaganya yang amat kuat itu
membuat dia sekali turun tangan merobohkan empat orang pengeroyok. tentu saja kepungan menjadi buyar dan kacau.
Dan ketika mereka membalik untuk mengeroyok Kwee Lun, pemuda yang lihai ini lalu merobah tenaga dahsyat tadi
dengan pukulan-pukulan Bian-sin-kun, pukulan kapas yang kelihatannya lemah dan lunak namun setiap kali
menyentuh tubuh para pengeroyok tentu membuat dia terguling. "Jiwi-locianpwe, saya adalah Kwee Lun, sahabat
baik dari Nona Swat Hong dan Nona Soan Cu! Mereka sedang mengejar Si Iblis Betina!" teriak Kwee Lu dengan suara
nyaring. Liu Bwee dan Ouw Sian Kok terkejut dan girang sekali, terutama Ouw Sian Kok yang mendengar bahwa
puterinya juga datang! Akan tetapi, malang baginya. Karena dia terlampau girang hendak melihat wajah puterinya,
dia menoleh ke sana ke mari mencari-cari. "Ouw-toako, awas....!!" Tiba-tiba Liu Bwee berteriak dan wanita ini
berusaha untuk menangkis sinar biru dari pedang Ouwyang Cin Cu. "Trangggg.....aih.....!!" Liu Bwee terlambat
dan bergulingan untuk menyelamatkan diri, sedangkan Ouw Sian Kok terjungkal karena tamparan tangan kiri Ouwyang
Cin Cu mengenai punggungnya. "Plakk! Aughhhh.....!" Ouw Sian Kok muntahkan darah segar dari mulutnya.
"Curang....!!" Kwee Lun membentak dan kipas di tangan kiri serta pedang di tangan kanannya menyambar ganas.
Namun, dia terlalu lunak bagi Ouwyang Cin Cu dan sekali tangkis kipas itu robek dan pedangnya hampir terpental.
"Haiiiitttt.....!!" Ouw Sian Kok yang marah sekali menerjang maju dengan tangan terbuka. Melihat serangan ganas
ini, Ouwyang Cin Cu terkejut dan cepat dia meloncat mundur. Sebelum dia didesak oleh tiga orang lawan itu, para
pengawal sudah mengepung lagi dan kini mereka bertiga dikeroyok dan dihujani senjata oleh puluhan orang
pengawal. "Twako..... kau.....terluka....?" Sambil mengamuk dengan pedangnya, Liu Bwee bertanya. "Tidak apa....
mati pun aku rela.... pusaka telah diselamatkan......." kata Ouw Sian Kok. "Tapi...... tapi anakku....." Dia
tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena harus menghadapi pengeroyokan banyak pengawal. Sementara itu di
dalam istana juga terjadi pertempuran yang mati-matian dan hebat sekli. The Kwat Lin yang melihat datangnya
bala bantuan yang dipimpin sendiri oleh Ouwyang Cin Cu, setelah melihat bahwa dua orang pengacau itu terkepung
ketat, lalu teringat akan pusaka yang tadi dibawa Swat Hong. Dia teringat pula akan puteranya yang sudah tidur
di kamarnya, maka cepat dia meninggalkan tempat pertempuran untuk memeriksa pusaka dan puteranya. Dilihatnya Bu
Ong masih tidur nyenyak dan terjaga, maka dia cepat lari ke dalam kamarnya sendiri. Seperti telah diduganya,
para penjaga sebanyak lima orang yang berada di kamarnya tewas semua dan keadaan kamarnya rusak dan kacau.
Sekali saja melihat ke arah peti hitam yang terbuka di depan tempat tidurnya, tahulah dia bahwa semua pusaka
telah dirampas oleh Swat Hong, seperti yang dikhawatirkannya. "Mencari apa, wanita iblis? Pusaka Pulau Es telah
aman!" The Kwat Lin cepat menengok dan melihat Swat Hong telah berdiri di ambang pintu bersama seorang gadis
lain yang tak dikenalnya. Kemarahan seperti api membakar dadanya melihat dara ini. Sambil mengeluarkan jerit
melengking nyaring, dia lalu menerjang dan menggerakkan pedang merahnya. "Cring-trang....!!" Pedang Swat Hong
disusul pedang Coa-kut-kiam di tangan Soan Cu menangkis dan kedua orang dara itu meloncat ke belakang, ke
tempat yang lebih lega. Dengan kemarahan meluap-luap The Kwat Lin meloncat keluar dan melanjutkan serangannya.
Akan tetapi, setelah bergerak belasan jurus, wanita ini terkejut dan merasa menyesal mengapa dia menuruti
kemarahan hatinya.


JILID 22


Dia berada dalam bahaya! Kiranya selain Swat Hong yang telah memiliki kepandaian hebat juga gadis yang
gerakan-gerakannya liar dan ganas itu amat berbahaya, apalagi cambuk ekor ikan Phi yang meledak-ledak dahsyat.
Sebentar saja dia tertekan dan terdesak. Beberapa kali dia berusaha untuk meloloskan diri, akan tetapi sambil
mengejek Swat Hong selalu menutup jalan keluar dan dia terus digulung oleh sinar dua orang gadis lihai itu. The
Kwat Lin menjadi nekat. Sambil menggigit bibirnya dia menyerang dahsyat kepada Swat Hong, mencurahkan daya
serangannya kepada anak tiri yang dibencinya ini. Menghadapi terjangan dahsyat yang bertubi-tubi itu, Swat Hong
mundur-mundur juga. Akan tetapi kesempatan baik ini dipergunakan oleh Sian Cu untuk menyerang dari belakang.
Cambuk ekor ikan Phi meledak dua kali mengancam ubun-ubun kepala The Kwat Lin, dan ketika wanita ini mengelak
kesamping sambil melanjutkan serangan pedangnya kepada Swat Hong, Soan Cu menusukan pedangnya mengarah lambung
Kwat Lin. "Singgg....crat..... aihhhhh!!" Kwat Lin terkejut karena biarpun dia telah mengelak, tetap saja
pedang Coakut- kiam (Pedang Tulang Ular) itu melukai lambungnya, merobek kulit dan mendatangkan rasa nyeri dan
panas dan perih sekali. Akan tetapi, wanita yang lihai ini sudah membalik sambil juga membalikan pedangnya
menyambar leher Soan Cu. Hal ini tidak disangka-sangka oleh gadis Pulau Neraka ini. "Awas Soan Cu.....!!" Swat
Hong berseru dan pedangnya menyambar, yang diarah adalah lengan kanan Kwat Lin karena hanya dengan jalan itulah
dia dapat menolong Soan Cu. "Brettt.... crok..... aughhhh......!!" Soan Cu terhuyung, pundaknya berlumuran
darah karena terluka parah, sedangkan Kwat Lin cepat memindahkan pedang ke tangan kirinya karena lengan
kanannya juga terluka parah, terbacok di bagian bahu hampir putus! Dengan kemarahan meluap-luap dia menubruk
Swat Hong, namun gadis Pulau Es ini mengelak ke kiri sambil mengangkat kaki menendang lutut. "Dukkk! Aduh....!"
Kwat Lin terbelalak ketika tahu-tahu pedang Coa-kut-kiam telah bersarang di perutnya! Kiranya ketika tadi Swat
Hong menendangnya Soan Cu yang terluka dengan kemarahan meluap menubruk, maka begitu wanita itu terguling,
pedangnya cepat menyambar dan menusuk perut Kwat Lin. "Bedebah kau....!" Tiba-tiba pedang di tangan Kwat Lin
meluncur. "Soan Cu, awas....!!" Swat Hong berteriak kaget namun terlambat. Pedang yang terlempar dari jarak
dekat dan tak terduga-duga itu dilakukan dengan dorongan tenaga terakhir, tak dapat dielakkan dengan baik oleh
Soan Cu dan menancap di bawah pundak sampai dalam! "Soan Cu!" Swat Hong melompat dan pedangnya membabat. Kwat
Lin memekik dan lehernya hampir putus! Dengan cepat Swat Hong memeluk tubuh soan Cu yang tersenyum!
Pergilah.... Aku.... aku tak berguna lagi....!" katanya. "Omong kosong!" Swat Hong menghardik, mencabut pedang
Ang-bwe-kiam dari pundak Soan Cu. Soan Cu menjerit dan pingsan. Dengan gemas Swat Hong melempar pedang itu
memondong tubuh Soan Cu, dibawanya keluar. Betapa kagetnya ketika ia tiba di ruangan luar, pertempuran yang
masih berlangsung hebat itu ternyata membuat pihak ibunya terdesak. Bahkan ibunya kelihatan terluka di beberapa
tempat, juga ayah Soan Cu, yang mengamuk dengan gagah telah berlumuran darah seluruh tubuhnya. Kwee Lun juga
masih mengamuk, dan hanya pemuda inilah yang belum terluka, karena Ouwyang Cin Cu menujukan
serangan-serangannya kepada Liu Bwee dan Ouw Sian Kok, karena menganggap ringan kepada Kwee Lun. "Ibu....!!"
Dengan kemarahan meluap-luap, Swat Hong meloncat, melampau para pengepung dan menurunkan tubuh Soan Cu ke atas
lantai. Lalu gadis ini mengamuk dengan pedangnya, merobohkan beberapa orang pengawal. Gerakannya demikian hebat
sehigga para pengepung terkejut dan gentar, bergerak mundur. "Ibu.....!" "Ayahhhhh.....!" Ouw Sian Kok
menghentikan amukannya dan menjatuhkan diri berlutut. Tadi dia mengira bahwa puterinya telah tewas, maka
panggilan itu menggetarkan jantungnya dan membuat dia lemas. "Kau.....kau Soan Cu.....?" "Ayahhhhhhh.....
Hu-hu-hu-huuuuu.....!!" Soan Cu menangis dalam rangkulan ayahnya yang juga bercucuran air mata. Baru pertama
kali Ouw Sian Kok dapat mencucurkan iar mata. "Wutttt..... trangggggg......!!" Dua batang golok terpental oleh
tangkisan oleh tangkisan Ouw Sian Kok tanpa menoleh karena dia sedang mendekat dan menciumi dahi puterinya.
"Ayah, aku puas..... dapat bertemu denganmu.......!" "Soan Cu...... aihhhh, anakku, kauampunkan dosa
ayahmu....." Ouw Sian Kok berkata dengan suara terisak. "Trang-trang..... dessss!!" Dua orang pengawal yang
berani menyerang roboh oleh tangkisan pedang Ouw Sian Kok dan mecuatnya kaki Soan Cu yang menendang. "Ah,
jangan kau keluarkan tenaga....." kata Ouw Sian Kok melihat betapa tendangan tadi membuat napas Soan Cu
memburu. "Ayah..... aku.....aku tidak kuat lagi.....kalu larilah, ayah......." "Soan Cu......! Soan
Cuuuu......!!" Sian Kok meraung-raung ketika menyaksikan dengan mata sendiri betapa puterinya yang baru
dilihatnya selama hidup puterinya itu, menghembuskan napas di dalam dekapnya, dengan bibir tersenyum. Laki-laki
gagah perkasa itu masih terus meraung-raung, dengan air mata bercucuran ketika dia telah membaringkan tubuh
puterinya ke atas lantai kemudian dia mengamuk seperti seekor naga, menyebar maut diantara pengeroyoknya! Hujan
senjata tidak dirasakannya lagi pedangnya sampai menjadi merah dari ujung sampai kegagang, bahkan sampai ke
lengannya! Sementara itu Liu Bwee yang sudah banyak kelilangan darah juga makin lemas gerakannya. kalau tidak
ada Swat Hong, tentu dia roboh oleh Ouwyang Cin Cu. Untung bagi mereka agaknya kakek yang sudah menjadi Kok-su
ini hanya setengah hati saja bertempur, sering kali dia sengaja mundur dan membiarkan anak buah pengawal yang
mengeroyok. Hal ini karena dia sebetulnya tidak begitu suka kepada The Kwat Lin yang dianggapnya berbahaya.
Pula, setelah sekarang dia telah memperoleh kedudukan tinggi, dia tidak membutuhkan kerja sama dengan The Kwat
Lin. Selain itu, juga dia ingin menghindarkan sedapat mungkin permusuhan dengan orang-orang lihai, apalagi
keluarga dari Pulau Es! "Swat Hong, cepat kau pergi......!" "Tidak, Ibu!" "Kalau tidak, kau akan mati......!"
"Mati bersamamu merupakan kebahagiaan, Ibu!" "Hushhhh, anak bodoh. kalau begitu siapa yang akan mengembalikan
pusaka? Kauingat pesan Ayahmu." "Tapi, Ibu....." "kalau kau membantah dan sampai tewas di sini, Ibumu tidak
akan dapat mati dengan mata meram." "Ibu......!" "Lihatlah, dia.....diapun akan mati..... Ibu ada seorang teman
yang baik......Ibu dan dia.....ah, kami senang mati bersama.....kau jangan ikut-ikut......!" Mendengarkan
ucapan ini, Swat Hong terkejut sekali dengan menengok ke arah Ouw Sian Kok yang mengerikan keadaannya
itu.Mengertilah dia bahwa Ibunya dan laki-laki perkasa itu telah saling jatuh cinta! Jantungnya seperti
ditusuk, teringat dia akan kesalahan ayahnya terhadap ibunya. Ibunya tidak bersalah, sudah sepantasnya
menjatuhkan hati kepada pria lain karena disakiti hatinya oleh suami yang tergila-gila kepada wanita lain!
"Ibu......" "Pergilah, dan ajak pemuda gagah itu!" Sambil bercucuran air mata, Swat Hong mengamuk, memutar
pedangnya dan mendekati Kwee Lun yang juga masih mengamuk. "Toako, hayo kita pergi!!" "Eh? Ibumu? Soan Cu?
Ayahnya.......?" "Ayolah.....!!" "Baik, baik.....!" Mereka berdua membuka jalan darah, akhirnya berhasil
meloncat keluar. "Jangan kejar mereka! kepung saja yang berada di dalam!" terdengar Ouwyang Cin Cu berseru.
Tidak terlalu lama Ouw Sian Kok dan Liu Bwee dapat bertahan. Mereka sudah kehabisan tenaga, juga terlalu banyak
mengeluarkan darah. Akhirnya, mereka roboh berdekatan, di dekat mayat Soan Cu. Ouwyang Cin Cu menghela napas
panjang, kagum sekali menyaksikan kegagahan mereka itu. Dia masih belum menduga bahwa tiga orang yang telah
tewas ini adalah orang-orang yang datang dari tempat yang hanya didengarnya dalam dongeng! wanita cantik
setengah tua itu adalah bekas permaisuri Raja Pulau Es, sedangkan laki-laki perkasa dan dara jelita itu adalah
ayah dan anak dari Pulau Neraka, bahkan merupakan tokoh pimpinan! Dia menghela napas pula ketika melihat bahwa
The Kwat Lin juga tewas dalam keadaan mengerikan. Diam-diam dia merasa lega, karena dia maklum betapa dilubuk
hati wanita ini tersembunyi cita-cita yang amat hebat, yang kelak mungkin membahayakan kedudukan kaisar, dan
kedudukannya sendiri. Setelah membuat laporan kepada Kaisar baru, yaitu An Lu Shan, tentang kematian The Kwat
Lin bekas jenderal ini hanya menarik napas panjang. "Hemm, sayang sekali, dia merupakan tenaga yang berguna."
Kemudian mengelus jenggotnya dan berkata, "kalau begitu bagaimana dengan puteranya?" "Menurut pendapat hamba,
puteranya itu masih berdarah Raja Pulau Es yang kabarnya masih mempunyai hubungan keluarga dengan kerajaan
lama. Maka kalau dia dibiarkan saja menjadi pangeran di sini, kelak kalau sudah dewasa tentu akan merupakan
bahaya." An Lu Shan mengangguk-angguk. "habis bagaimana pendapatmu?" Kok Su yang merupakan penasehat utama itu
mengerutkan alisnya yang bercampur uban, lalu berkata, "Mereka itu datang dari Rawa Bangkai, biarlah dia hamba
bawa kembali ke sana, diberi kedudukan sebagai penguasa di Rawa Bangkai dan daerahnya. Anak kecil itu tidak
tahu apa-apa, asal diberi kedudukan di sana mengepalai bekas anak buah ibunya dan Kiam-mo Cai-li, tentu kelak
akan senang hatinya." "Baiklah, urusan ini kuserahkan kepadamu untuk dibereskan." demikianlah, setelah
penguburan jenazah ibunya selesai, Han Bu Ong yang masih kecil itu menurut saja ketika oleh Ouwyang Cin Cu
diberitahu bahwa dia oleh kaisar "diangkat" menjadi "raja muda" yang berkuasa di Rawa Bangkai, di mana telah
dibangun sebuah gedung mewah lengkap dengan semua pelayan dan perabot. Di tempat ini, Han Bu Ong hidup cukup
mewah. Akan tetapi anak ini memang mempunyai kecerdikan yang luar biasa. Biarpun dia dicukupi hidupnya,
diam-diam dia mengerti bahwa dia sengaja setengah "dibuang" oleh Kaisar dan Ouwyang Cin Cu setelah ibunya
tewas. Maka dia mencatat di dalam hatinya bahwa selain Swat Hong dan Kwee Lun yang menjadi musuh besarnya, juga
Ouwyang Cin Cu sebetulnya bukanlah seorang sahabat yang setia dari ibunya. Anak kecil ini dengan rajin lalu
melatih dirinya dengan ilmu-ilmu peninggalan ibunnya yang masih ada padanya. Dia harus menggembleng dirinya dan
kelak, selain dia harus membalas kepada musuh-musuhnya, juga dia akan berusaha untuk merampas kembali
pusaka-pusaka Pulau Es yang dicuri oleh Swat Hong. Dia merasa bahwa dia berhak memiliki pusaka itu karena
bukankah dia putera Raja Pulau Es? Dari ibunya dia dahulu mendengar bahwa siapa yang mewarisi pusaka Pulau Es
dan melatih semua ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab itu, tentu akan menjadi jago nomer satu di dunia.
Para pembaca yang mengikuti pengalaman Kwa Sin Liong tentu menjadi penasaran kalau pemuda sakti itu sampai
tewas dalam keadaan yang demikian mengerikan! Tidak, dia tidak mati! Memang nyaris dia tewas dimakan ratusan
ekor ular berbisa yang menjadi penghuni sumur itu. Akan tetapi kalau orang belum tiba saatnya untuk mati, ada
saja penolongnya yang bisa dianggak tidak masuk akal, kebetulan atau luar biasa. Dalam halnya Sin Liong tidak
ada yang tidak masuk akal atau luar biasa. Memang tubuhnya yang pingsan itu terlempar ke dalam sumur di mana
terdapat ratusan ekor ular berbisa dari segala jenis, akan tetapi tidak ada seekorpun ular yang berani
menggigitnya. Apalagi menggigit, mendekatipun mereka itu tidak berani, bahkan begitu tubuh pemuda itu terjatuh,
ular-ular itu cepat menyingkir ketakutan. hal ini adalah karena tanpa sengaja di saku baju Sin Liong terdapat
batu mustika hijau dari Pulau Es! Seperti kita ketahui, batu mustika hijau ini adalah milik Han Swat Hong yang
telah menyelamatkan nyawa gadis ini pula ketika terserang racun. Ketika Sin Liong mengobati sumoinya itu, dia
menyimpan batu mustika ini di dalam saku bajunya sehingga ketika dia terlempar ke dalam sumur, batu mustika itu
ikut terbawa olehnya dan menjadi penyelamatnya karena tidak ada ular yang berani mendekatinya. Sebetulnya
pemuda ini menderita luka yang amat parah dan yang akan mematikan akibatnya bagi orang lain. Namun, pemuda ini
pada dasarnya memiliki tubuh yang sempurna, bersih darahnya dan kuat tulang dan urat-uratnya, apalagi sejak
kecil dia menerima gemblengan ilmu kesaktian dari Han Ti Ong sehingga dia memilki tubuh yang amat kuat dan
tahan derita. Dua hari dua malam dia rebah pingsan di dasar sumur yang lembab, tampa diusik oleh ular-ular itu
yang hanya memandang dari jauh seolah-olah dia merupakan mahluk yang menakutkan. Pada hari ke tiga, nampak
tanda hidup pada tubuh yang tadinya tak bergerak-gerak seperti mati itu dengan suara mengeluh panjang, kemudian
tubuh itu bergerak dan bangkit duduk dengan susah payah. Sejak Sin Liong merasa nanar dan bingung melihat bahwa
dirinya berada di tempat yang amat gelap. Begitu gelapnya sehingga dengan terkejut dia menyangka bahwa matanya
telah menjadi buta. Akan tetapi, ketika dia menoleh, tampaklah sedikit cahaya di belakangnya, dan mengertilah
dia dengan hati lega bahwa dia tidak buta, melainkan berada di tempat yang amat gelap. Dia tidak tahu bahwa dia
dilempar ke sumur dan sumur itu kini telah tertutup oleh batu-batu besar dari atas ketika guha terowongan itu
sengaja diruntuhkan oleh Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin. Melihat cahaya terang di belakangnya, Sin Liong
menggerakan tubuhnya hendak menyelidiki, akan tetapi dia mengeluh karena begitu bergerak, dadanya terasa nyeri
bukan main! Dia teringat akan pertempuran itu dan mulai mengertilah dia bahwa tentu dia telah tertawan dan
berada dalam tempat tahanan rahasia yang amat gelap. Maka dia segera duduk bersila mengatur pernapasan di
tempat lembab dan pengap itu, menyalurkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya. Memang dia memiliki sinkang
yang amat kuat berkat latihan di Pulau Es, maka tak lama kemudian dia telah mengobati luka di dalam tubuhnya
dan menyelamatkan rasa nyeri-nyeri di tubuhnya. Begitu dia menghentikan latihannya, terasa betapa perutnya
lapar sekali. Dia tidak tahu bahwa sudah dua hari dua malam perutnya sama sekali tidak diisi apa-apa. Sin Liong
bangkit berdiri dengan hati-hati. Tangannya meraih ke atas. kosong. Dia mencoba meloncat dengan kedua tangannya
di atas kepala.Tetap saja disebelah atasnya kosong, tanda bahwa tempat tahanan itu tinggi bukan main! Seperti
sumur! Betapapun dalamnya sumur itu tentu dia akan meloncat keluar, pikirnya. Dikerahkan seluruh tenaga
dalamnya, kemudian dengan ilmu ginkangnya yang istimewa, dia melompat lagi ke atas, kedua tangannya tetap
menjaga di atas kepala. "Plakkkkk!" Tubuhnya melayang lagi ke bawah. Kedua tangannya bertemu dengan batu besar
yang amat berat, yang menutup lubang sumur itu! Beberapa kali Sin Liong menggunakan kepandaiannya untuk keluar
dari dalam sumur, dan sekali meloncat, dia menggunakan sinkang di kedua tangannya untuk mendorong batu. Akan
teteapi usahanya ini selalu gagal. Tentu saja tidak mungkin bagi seorang manusia, betapa kuatpun dia, untuk
meloncat sambil mendorong tumpukan batu-batu besar yang menutup mulut sumur itu, batu-batu sebesar rumah dan
yang sebongkah saja beratnya ada yang seribu kati! Akhirnya Sin Liong pun maklum bahwa usahanya meloloskan diri
melalui atas tidak mungkin baginya. Maka dia mulai meraba-raba di sekelilingnya. Sumur itu tidak berapa lebar,
paling banyak bergaris tengah tiga meter. Ketika dia mendengar suara mendesis-desis dan mencium bau hamis,
tahulah dia bahwa di tempat itu terdapat banyak ular berbisa. Kemudian tampak olehnya melalui cahaya redup tadi
bahwa di bagian bawah terdapat sebuah lubang dan agaknya dari tempat itulah ular-ular keluar dari sumur. Begitu
dia mendekati lubang ini, tampak olehnya ekor ular berkelebat di dalam cahaya remang-remang itu, menjauhkan
diri. Dia merasa heran mengapa binatang-binatang itu tidak mengganggunya ketika dia pingsan dan kini kelihatan
takut kalau didekatinya. Dia teringat, meraba saku bajunya dan tersenyum mengeluarkan batu hijau yang
mengeluarkan sinar di dalam gelap itu. Inilah penolongku,pikirnya. Hatinya menjadi makin tenang. Dengan adanya
batu mustika hijau ini, tidak perlu takutmenghadapi binatang berbisa apa pun. Akan tetapi, melihat batu mustika
itu, teringatlah dia kepada Swat Hong dan dia merasa khawatir juga. Musuh demikian lihai, dia sendiri kena
ditangkap dan agaknya dilempar ke sumur ini. Bagaimana nasib Swat Hong? Dia harus cepat keluar dari tempat ini
untuk menolong Swat Hong. Kekhawatirannya terhadap sumoinya itu membuat dia makin bersemangat mencari jalan
keluar. Lubang dari mana ular-ular itu keluar dari sumur terlalu sempit untuk dapat diterobos, maka Sin Liong
lalu menggunakan kedua tangannya untuk membongkar batu di lubang itu, memperlebar lubang dengan jalan memukul
pecah batubatu di sekelilingnya. Tidak mudah pekerjaan ini, karena selain tubuhnya masih lemah, juga batu-batu
di tempat itu amat kerasa dan hanya dapat digempurnya sedikit demi sedikit. Namun akhirnya dapat juga dia
memperlebar lubang itu sehingga dia dapat merangkak melalui lubang sambil terus menggempur lubang di depat yang
merupakan terowongan panjang. Melihat betapa makin lama cahayanya dari seberang terowongan kecil itu makin
terang, hatin Sin Ling membesar. Jelas bahwa di seberang itu terdapat tempat terbuka dari mana sinar matahari
dapat masuk, pikirnya. Akan tetapi pekerjaan menerobos terowongan kecil yang merupakan liang ular dengan hanya
menggunakan kedua tangan kosong, memakan waktu lama juga. Saking hausnya, dia menengadah untuk menerima
titik-titk air yang jatuh dari atas, yaitu dari dinding sumur yang mengeluarkan air. biarpun memakan waktu
lama, dapat juga dia mengobati dahaga dengan meminum secara demikian. Namun perutnya yang lapar terpaksa harus
berpuasa lagi sampai tiga hari! karena setelah tiga hari, barulah dia berhasil merangkak keluar dari terowongan
itu dan tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, akan tetapi juga merupakan tempat tertutup! Bedanya, kalau
sumur pertama merupakan tempat sempit dan gela, maka ruangan kedua ini luas sekali, garis tengahnya tidak
kurang dari sepuluh meter, merupakan sebuah ruang dalam tanah yang aneh. Di sebelah atas, jauh dan tinggi
sekali, tertutup oleh tanah atau batu dan ada celah-celah yang merupaka retakan batu-batu dari mana sinar
matahari dapat menerobos masuk. Sin Liong menjatuhkan diri duduk di tengah ruangan dalam tanah ini dan
harapannya kandas sama sekali. Kalau sumur pertama itu merupakan tahanan yang sukar diterobos adalah tempat ini
lebih sukar lagi untuk meloloskan diri. Ular-ular yang banyak sekali berbelit-belit dan kelihatan ketakutan,
ada yang merayap naik, ada pula yang menerobos terowongan yang sudah melebar itu untuk kembali ke dalam sumur
pertama! Sin Liong termenung. Dari kamar tahanan kecil dia pindah ke kamar tahanan besar! Hanya lebih lebar dan
memperoleh penerangan sinar matahari yang tidak seberapa. Itulah bedanya! Akan tetapi dia tidak menjadi putus
harapan. Dihadapinya kenyataan ini dengan tabah dan dilenyapkannya kekhawatiran di dalam hatinya tentang diri
sumoinya dengan keyakinan bahwa apa pun yang akan terjadi, terjadilah tanpa dipengaruhi segala kekhawatiran
yang tiada gunanya! Dia sendiri menghadapi bencana, menghadapi ancaman maut dan inilah yang terutama harus
dihadapi dan diatasi lebih dulu. Dia mulai memeriksa kalau-kalau ada jalan keluar dari tempat itu. Sama sekali
tidak ada jalan keluar. Akan tetapi, dia menemukan benda-benda yang sementara dapat menolongnya dari ancaman
kelaparan, yaitu jamur yang agaknya bertumbuhan dengan subur di tempat itu karena memperoleh sinar matahari.
Perutnya lapar sekali dan pengetahuannya tentang tetumbuhan meyakinkan hatinya.maka mulailah dia memilih
jamur-jamur yang tak mengandung racun, lalu mulai dia makan jamur. Dalam keadaan lapar bukan main, ternyata
jamur-jamur mentah itu terasa enak juga! Soal minum dia tidak usah khawatir karena di beberapa tempat pada
dinding batu itu terdapat air yang menetes. Ditampungnya tetesan air itu dengan kedua tangannya, lalu
diminumnya. Luar biasa segarnya air yang disaring oleh tanah dan batu itu. Setelah yakin benar bahwa tidak ada
jalan keluar dari tempat itu, Sin Liong menerima kenyataan ini dan dia giat berlatih ilmu. Di dalam kesunyian
yang amat hebat itu perasaan dan pikiran Sin Liong menjadi luar biasa tajamnya. Semua ilmu yang pernah
dipelajari dan dibacanya dahulu sukar dimengerti olehnya karena kitab-kitab kuno Pulau Es memang amat sukar
diartikan, kini menjadi jelas dan dapat dia selami intinya. Oleh karena inilah maka diluar dari kesadarannya
sendiri, ilmu kesaktiannya bertambah dengan hebat dan cepatnya. Juga ditempat ini dia mulai mengenal diri
sendiri, mengenal arti hidup yang sesungguhnya. Tanpa disadarinya sendiri, dari dalam pribadinya timbul
kekuatan mujijat, kekuatan yang dimiliki oleh setiap orang manusia namun yang selalu terpendam dan tetap
tersembunyi sampai saat terakhir dari hidup manusia yang selalu dipermainkan oleh nafsu yang disebut aku. Tanpa
terasa oleh Sin Liong sendiri yang selama hidup di dalam ruang bawah tanah itu sama sekali tidak pernah
memikirkan atau mengenal waktu, pemuda luar biasa ini telah berada di tempat itu selama dua tahun! Dia mengerti
bahwa tanpa bantuan dari luar, tidak mungkin dia meloloskan diri dari tempat itu, maka sudah sejak lama dia
tidak lagi berusaha untuk keluar dari situ. Selama itu, yang menjadi teman-temannya hanyalah ular-ular berbisa!
Ternyata oleh pemuda itu bahwa binatang berbisa seperti ular pun mengenal siapa lawan siapa kawan. Karena
selama itudia tidak pernah mengganggu mereka, ular-ular itu pun jinak dan sama sekali tidak pernah
menyerangnya, biarpun dia menjauhkan batu mustika hijau dari tubuhnya. Binatang-binatang ini hanya menyerang
untuk menjaga diri saja dari bahaya yang datang mengancam diri mereka. Juga tanpa disadari sendiri oleh Sin
Liong, tubuhnya yang setiap hari hanya dihidupkan oleh sari jamur yang bermacam-macam itu, pertumbuhannya sama
sekali berlainan dengan manusia biasa. makanan amat mempengaruhi tubuh dan sari jamu yang dimakannya selama dua
tahun itu mendatang kan kepekaan luar biasa, dan kepekaan tubuh ini pun mempengaruhi pula pertumbuhan batinnya.
Dia menjadi seorang manusia luar biasa, tidak menderita apa-apa, tidak mengharapkan apa-apa, karena di dalam
keadaan apapun juga, menghadapi keadaan apa adanya, sewajarnya, sebagaimana adanya yang dianggap sudah
semestinya demikian, tidak ada lagi apa yang disebut menyenangkan atau tidak menyenangkan, tidak ada lagi yang
disebut senang atau susah, tidak ada lagi puas atau kecewa. Dalam keadaan seperti itu, tubuh sehat dan batin
tenang, yang ada hanyalah rasa suka ria yang sukar dilukiskan karena sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan kesukaan atau kegembiraan yang dapat dicari. Suatu nikmat yang bukan datang dari gairah nafsu atau
kesenangan, nikmat hidup yang datang tanpa dicari, yang terasa hanya setelah batin bebas dari segala ikatan,
seperti batin Sin Liong di waktu itu. Pada suatu hari, di sebelah atas dari tempat rahasia ini, terjadilah
kesibukan besar. Puluhan orang katai yang tubuhnya pendek akan tetapi besarnya seperti manusia biasa, bertubuh
kuat dan bertenaga besar, dipimpin oleh seorang pemuda tanggung sedang membongkari reruntuhan batu-batu di
dalam terowongan bawah tanah itu. pemuda tanggung yang berpakaian mewah itu bukan lain adalah Bu Ong, yang kini
telah mengumpulkan sisa orang-orang kerdil bekas taklukan di Rawa Bangkai dan menjadi pimpinan mereka. Han Bu
Hong kini telah menjadi seorang pemuda tanggung yang lihai dan tidak ada seorang pun di antara tokoh-tokoh
orang kerdil mampu melawannya. Agaknya, untuk menjadikan mimpi ibunya sebagai kenyataan, dia telah mengangkat
diri sendiri menjadi ketua atau lebih tepat lagi menjadi "raja" dari orangorang katai ini. Gedung di Rawa
Bangkaihanya menjadi tempat tinggal umum, akan tetapi diam-diam dia mendirikan "kerajaan kecil" di bawah tanah.
Bahkan dia telah membangun sebuah ruang seperti istana di bawah tanah, lengkap dengan kursi kebesaran yang
dihiasai dengan sebuah tengkorak di samping hiasan mahal seperti permadani, lukisan dan tulisan indah. Sering
kali dia secara sembunyi mengadakan pertemuan dan rapat rahasia dengan para tokoh orang katai yang menjadi
pembantunya, dan pemuda tanggung ini diam-diam merencanakan pekerjaan besar untuk melanjutkan cita-cita ibunya.
Demikianlah, karena dia ingin menggunakan terowongan bawah tanah itu sebagai markas partai orang kerdil , dan
juga karena dia ingin mencari kalau-kalau ada harta atau pusaka peninggalan Rawa bangkai di terowongan itu, dia
lalu mengerahkan para anak buahnya untuk membersihkan bagian terowongan yang dahulu diruntuhkan oleh ibunya dan
oleh Kiam-mo Cai-li. "Akan tetapi, Siauw-pangcu (Ketua Cilik)," seorang pembantu membantah sebelum pembongkaran
dilakukan . "Tempat ini dahulu sengaja diruntuhkan oleh Ibu Pangcu untuk menutupi sumur ular di mana tubuh
musuh Ibu Pangcu dilempar. Karena musuh itu lihai bukan main, maka Ibu Pangcu bersama Kiam-mo Cai-li dan
Ouwyang Cin Cu memutuskan untuk menutup saja tempat ini agar pemuda sakti itu tidak mampu hidup kembali." Han
Bu Ong tertawa. "Ha, ha, mana mungkin Kwa Sin Liong dapat hidup kembali? Dia sudah di lempar di sumur ular,
andaikata dia tidak mati oleh ular-ular itu, tentu selama dua tahun dikubur hidup-hidup di sumur itu dia kini
sudah menjadi setan tengkorak, tinggal rangkanya saja. Mengapa khawatir? Hayo bongkar! Kalau tidak dibongkar,
terowongan ini tertutup sampai di sini, padahal kita amat membutuhkan sebagai jalan rahasia yang amat penting
bagi perkumpulan kita." Karena alasan yang dikemukakan ketua cilik ini memang tepat, maka beramai-ramai para
manusia katai itu segera bekerja keras, membongkari batu-batu yang besar-besar dan berat itu, menggunakan alat
pendongkel dan lain-lain. Hiruk pikuk suara di dalam terowongan itu dan pekerjaan yang berat itu biarpun
dilakukan oleh hampir lima puluh orang, tetap saja memakan waktu yang cukup lama. Memang sesungguhnyalah bahwa
merusak itu mudah membangun itu sukar, mengotori itu mudah membersihkannya tidak semudah itu. Setelah bekerja
keras selama sepekan, barulah batu besar terakhir yang menutupi sumur dapat disingkirkan. Han Bu Ong dan para
anak buahnya seperti berlomba lari menghampiri sumur dan melongok ke dalam sumur yang amat gelap itu. Pada saat
itu, terdengar suara angin menyambar dari bawah dan berkelebatlah bayangan orang yang melayang dari bawah, Han
Bu Ong dan semua orang terkejut. Ketika mereka menoleh dan memandang bayangan orang yang tadi meloncat melewati
kepala mereka, mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di situ sambil tersenyum, seorang pemuda yang
berwajah tampan, yang memiliki sepasang mata yang lembut pandangannya namun bersinar cahayanya, pemuda yang
pakaiannya lapuk dan compang camping. Tidak ada orang kerdil yang mengenal pemuda ini karena memang keadaannya
jauh berbeda dengan tahun yang lalu. Akan tetapi Han Bu Ong dengan suara gemetar membentakkan perintah, "Serbu!
Bunuh dia...!!" Orang -orang katai yang tadinya bengong terheran-heran dan ketakutan karena menduga keras bahwa
tentu hanyalah siluman saja yang keluar dari sumur tertutup itu, ketika mendengar bentakan ini menjadi sadar.
Kini mereka pun ingat bahwa tentu ini pemuda yang dua tahun yang lalu dilempar ke dalam sumur. Biarpun mereka
bergidik ngeri dan gentar mendapat kenyataan bahwa orang yang dua tahun lalu dilempar ke sumur ular yang
tertutup kini ternyata masih hidup, namun karena maklum bahwa ini adalah musuh mereka dengan teriakan-teriakan
ganas mereka menyerang orang itu. Memang benar dugaan Han Bu Ong. Orang ini bukan lain adalah Kwa Sin Liong.
Ketika Sin Liong akhirnya dari bawah mendengar suara hirup pikuk disebelah atas kemudian melihat cahaya turun
melalui terowongan kecil jalan ular, dia menyeberangi terowongan dan tiba di dasar sumur pertama. akhirnya dia
melihat betapa atap sumur yang tadinya tertutup batu besar itu terbuka dan melayanglah dia keluar. karena
selama dua tahun dia tidak bertemu orang, begitu melihat Bu Ong dan orang-orang kerdil, dia tersenyum girang.
Akan tetapi orang-orang kerdil itu dengan bermacam senjata telah menyerangnya. Sin Liong hanya mengerahkan
sinkangnya membiarkan belasan senjata tajam menimpa tubuhnya. Terdengarlah teriakan-teriakan kaget karena semua
senjata, baik yang tajam maupun yang tumpul, begitu mengenai tubuh pemuda itu, membalik seperti mengenai
gumpalan karet yang amat kuat. "Adik Bu Ong...bukankah engkau sute (Adik Seperguruan)...?"Sin Liong berkata
halus sambil memandang kepada Han Bu Ong. "Iblis! Siluman! Bunuh dia...!!"Bu Ong berteriak-teriak dengan muka
pucat dan mata terbelalak. Biarpun hati mereka gentar sekali, namun orang katai itu kembali menyerbu dan hujan
senjata menyambar tubuh Sin Liong. Kembali senjata-senjata itu mental, bahkan ada yang terlepas dari pegangan
tangan pemiliknya. Sin Liong menarik napas panjang, menunduk dan memandang pakaiannya yang menjadi makin
compang-camping, terkena bacokan senjata-senajata itu, kemudian sekali bergerak tubuhnya berkelebat melewati
kepala para pengeroyoknya yang bertubuh pendek dan lenyap. Gegerlah para orang katai. Akan tetapi Han Bu Ong
menyambarkan dan menenangkan hati mereka. Dia merasa yakin bahwa betapapun lihainya Sin Liong, pemuda itu
agaknya tidak akan mengganggunya. Maka dia melanjutkan rencananya dan melakukan perundingan dengan para anak
buahnya. Seperti juga ibunya dahulu, pemuda tanggung ini sudah mulai dengan usahanya untuk mencari kedudukan
dengan menghubungi seorang "pangeran" baru yang juga merasa tidak puas dengan kedudukan yang diperolehnya
setelah perjuangan mereka berhasil. Pangeran ini dahulunya adalah seorang pemberontak rakyat petani yang
bergabung dengan An Lu Shan, bernama Shi Su beng yang kini dianugerahi pangkat "pangeran" oleh An Lu Shan. Shi
Su Beng bermaksud untuk merebut tahta kerajaan dari An Lu Shan, dan apabila terjadi kegagalan, maka terowongan
bawah tanah milik Han Bu Ong itulah yang akan dijadikan tempat persembunyian. Setelah selesai mempersiapkan
segala-galanya dan tempat itu ditinjau sendiri oleh Pangeran Shi Su Beng, Han Bu Hong lalu pergi ke kota raja
bersama sekutunya itu untuk mulai melaksanakan siasat yang sudah mereka rencanakan lebih dahulu. Memang selama
dua tahun itu terjadi dua hal yang banyak tercatat da Kemenangan An Lu Shan ternyata tidak mendatangkan
kemakmuran atau keamanan, bahkan sebaliknya. Selain kaisar yang telah melarikan diri ke Secuan dan menyerahkan
tahta kerajaan kepada puteranya itu kini menyusun kekuatan di barat untuk menyerbu dan merampas kembali kota
raja, juga di dalam istana pemerintah baru sendiri terjadi pertentangan dan perebutan kekuasaan! Semua ini
terjadi karena memang sesungguhnya para pemimpin pemberontak yang dahulu memberontak terhadap pemerintah dengan
dalih "demi rakyat" atau demi keadilan, demi kebenaran, demi negara dan lain istilah muluk-muluk lagi itu
sesungguhnya hanyalah "berjuang" demi dirinya sendiri saja! Semua istilah itu tak lain tak bukan hanyalah untuk
dijadikan "modal" perjuangannya untuk mencari kedudukan dan kemuliaan bagi diri sendiri. Hal ini sudah terlalu
sering terjadi di dunia, berulang-ulang, namun sampai sekarang rakyat di seluruh dunia tetap bodoh, mau saja di
peralat dan dicatut namanya oleh orang-orang yang berambisi untuk diri pribadi. Betapa banyaknya bukti akan
kepalsuan ini dapat dilihat dalam sejarah di negara manapun di dunia ini. Sekelompok orang berambisi untuk
keuntungan mereka sendiri, dengan siasat cerdik menggunakan nama rakyat untuk mencapai tujuan mereka, kalau
perlu mereka mengorbankan rakyat. Rakyat sudah cukup puas memperoleh gelar "pahlawan" kalau sampai tewas dalam
perjuangan yang sebenarnya adalah menyalah gunakan demi keuntungan kelompok yang mempergunakan mereka itu.
dalam sejarah. Inilah sebabnya maka jika perjuangan telah berhasil, jika para kelompok pimpinan yang berambisi
sudah memperoleh apa yang mereka kejar-kejar, maka rakyat pun dilupakan sudah! Bukan sengaja dilupakan,
melainkan karena mereka yang sudah berhasil merampas kedudukan itu pun harus menghadapi lawan atau saingan yang
juga ingin merebut kedudukan itu. Rakyat adalah orang yang berada dibawah, dan yang terinjak memang selalu yang
berada di bawah. yang berada di atas tidak akan terinjak, akan tetapi mereka itu saling berebutan di antara
mereka sendiri, memperebutkan kedudukan yang lebih enak dan empuk dari pada kedudukan yang telah dimilikinya.
Demikianlah pula dengan An Lu Shan dan teman-temannya yang telah berhasil dalam "perjuangan" mereka merampas
kedudukan tahta kerajaan. Teman-teman yang tadinya berjuang bahumembahu, menjadi kawan senasib sependeritaan,
yaitu di waktu mereka memberontak, kini setelah memperoleh apa yang mereka cita-citakan , berbalik mencurigai,
saling iri! Memang belum ada yang secara berterang berani menentang An Lu Shan, bekas panglima yang masih amat
kuat kedudukannya, didukung oleh pasukan-pasukan inti dan tampaknya semua pembantunya sudah menyetujui
sebulatnya kalau An Lu Shan menjadi Kaisar. Akan tetapi diam-diam, banyak yang mepersoalkan pembagian pangkat
dan kedudukan. Tentu saja yang merasa tidak puas adalah mereka yang memperoleh pangkat agak kecil, sedangkan
yang menerima pangkat besar merasa curiga dan hati-hati menghadapi bekas teman yang memperoleh pangkat yang
lebih kecil. Terjadi dan berlangsunglah konflik sembunyi diantara mereka. Ke manakah perginya Swat Hong dan
Kwee Lun? Di bagian depan telah diceritakan betapa dua orang muda ini berhasil menyelamatkan diri, lari keluar
dari istana The Kwat Lin dan terus keluar dari kota raja Tiang-an. Mereka berlari dengan cepat mempergunakan
kegelapan malam, berhasil keluar dari benteng tembok kota raja karena para penjaga yang berada dalam suasana
pesta kemenangan itu tidak melakukan penjagaan yang terlampau ketat. Setelah terang tanah dan mereka tiba di
dalam sebuah hutan jauh dari tembok kota raja barulah keduanya berhenti, terengah-engah dan Swat Hong
menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon besar. Wajahnya pucat biarpun muka dan lehernya penuh keringat yang
di usapnya dengan ujung lengan bajunya. Pandang matanya merenung jauh sekali, dan dia diam saja, sama sekali
tidak berkata-kata, sama sekali tidak bergerak, seperti dalam keadaan setengah sadar. Kwee Lun juga menghapus
peluhnya dan dia pun duduk diam, memandang kepada Swat Hong. beberapa kali dia menggerakan bibir hendak bicara
namun ditahannya lagi. Pemuda yang biasanya bergembira ini merasa betapa jantungnya seperti diremas-remas. Dia
sendiri merasa kehilangan dan amat berduka dengan kematian Soan Cu, gadis yang kini dia tahu adalah wanita yang
amat dicintainya. Akan tetapi, melihat keadaan Swat Hong yang terpaksa harus meninggalkan ibu kandungnya
menghadapi kematian, dia melupakan kedukaan hatinya sendiri dan merasa amat iba kepada Swat Hong. Melihat
betapa Swat Hong seperti orang kehilangan ingatan, Kwee Lun merasa khawatir sekali. Kalau dibiarkan saja, gadis
ini bisa jatuh sakit, kalau hanya sakit badannya masih mending, akan tetapi kalau terserang batinnya lebih
berbahaya lagi. Akhirnya dia memberanikan diri berkata lirih dan halus, "Mati hidup adalah berada di tangan
Thian, kita manusia tak dapat menguasainya, Nona." Mendengar kata-kata ini, Swat Hong menengok dan memandang,
akan tetapi pandang matanya tetap kosong, seolah-olah kata-kata itu tidak dimengertinya dan dari mulutnya hanya
terdengar suara meragu, "Hemm....?" Suara ini gemetar dan pandang mata itu menusuk perasaan Kwee Lun. Maka
pemuda ini lalu memberanikan diri melangkah lebih jauh lagi dengan kata-kata yang lebih membuka kenyataan,
"Ibumu gugur sebagai seorang yang gagah perkasa." Sepasang mata yang kehilangan sinar itu terbelalak,
seolah-olah baru sadar dan bibir yang gemetar itu bergerak, mula-mula lirih makin lama makin keras,
".....Ibu.....? Ibu...., Ibu....!" Swat Hong menangis tersedu-sedu dan memanggil-manggil ibunya. "Tenanglah,
Nona. Tenanglah....." Kwee Lun menghibur dan berlutut di depan gadis itu, akan tetapi suaranya sendiri parau
dan agak tersedu. "Ibu....! Mengapa aku meninggalkan ibu mati sendiri....? Ibu....! Hu-hu-huuuuuuuk,
Ibuuuuuuuu.....!" Memang menangis merupakan obat terbaik bagi batin gadis itu, pikir Kwee Lun penuh keharuan,
akan tetapi melihat Swat Hong menjambak-jambak rambut sendiri, dia merasa khawatir. "Ingatlah, Nona. Ingatlah
pesan Ibumu..... tentang pusaka Pulau Es...." Swat Hong mengangkat muka dan melihat wajah pemuda itu juga basah
air mata, dia menubruk. "Toako.... ahhhh, Toako....!" Dan menangislah dia tersedu-sedu di dada pemuda itu yang
dianggapnya merupakan satu-satunya sahabat di dunia yang baginya kosong ini. Kwee Lun memejamkan mata dan
membiarkan gadis itu menangis terisak-isak. Dengan sesenggukan Swat Hong berkata, "Ibu tewas..... di depan
mataku..... dan aku tidak dapat menolongnya..... hu-hu-huuuuuuuhhhh...... dan Ayah pun sudah tiada, Suheng
juga...... hu-huuuuuuuuuhhh apa gunanya aku hidup lagi? Apa gunanya aku mencari pusaka dan mengembalikan ke
Pulau Es?' Seperti seorang yang mendadak menjadi kalap Swat Hong merenggutkan dirinya dari dada Kwee Lun, lalu
melompat bangun mengepal tinju. "Katakan, Kwee-toako, apa gunanya semua ini? Ayah ibuku sudah meninggal, dan
suheng satu-satunya orang yang kucinta..... dia pun tidak ada lagi......! katakan, apa perlunya aku hidup lebih
lama?" Kwee Lun teringat akan kematian Soan Cu yang menghancurkan perasaannya, akan tetapi dia menekan
kedukaannya dan berkata, suaranya nyaring bersemangat, "Adik Hong, tidak semestinya seorang perkasa seperti
engkau mengeluarkan kata-kata bernada putus asa seperti itu! Engkau adalah puteri dari Pulau Es! Kedukaan apa
pun yang menimpa dirimu, harus kau atasi dengan gagah perkasa! Aku dapat memahami pesan mendiang Ibumu yang
mulia dan gagah perkasa itu. Kalau pusaka keluargamu dari Pulau Es terjatuh ke tangan orang lain, bukankah itu
amat sayang, berbahaya dan juga merendahkan ? Pusaka itu telah diselamatkan oleh Nona Bu Swi Nio dan Saudara
Liem Toan Ki. Sebaiknya kalau kita segera menyusul mereka dan aku akan membantumu mencari Pusaka Pulau Es."
Ucapan penuh semangat itu benar-benar menyadarkan Swat Hong, menarik gadis itu dari lembah kedukaan yang hampir
mematahkan semangatnya. Dia menahan isak, menarik napas panjang dan menghapus air matanya, lalu memandang
kepada pemuda itu, memegang tangan Kwee Lun. "Kwee-toako, terima kasih atas peringatanmu. Hampir aku lupa akan
tugasku. Memang benar, sudah berani hidup harus berani menghadapi apa pun yang menimpa kita. Engkau sungguh
baik sekali, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih menghiburku......" Kwee Lun
mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.....aku mencinta Soan Cu....... aku mencintanya......" "Dan aku
mencintai Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Engkau sendiri menderita, kehilangan Soan Cu, namun masih
menghiburku......" Kwee Lun mengangkat mukanya dan memejamkan mata. "Benar.... aku mencinta Soan Cu.... aku
mencintanya........" "Dan aku mencinta Suheng. Betapa buruk nasib kita, Toako. Akan tetapi, kau masih mempuyai
Gurumu, sedangkan aku hanya seorang diri..... ah, sudahlah. Aku akan pergi, Toako. Semoga engkau akan dapat
menemukan kebahagiaan dalam hidupmu. Engkau baik sekali dan terima kasih."Swat Hong berkelebat dan meloncat
pergi. "Nanti dulu! Hong-moi.... biarlah aku membantumu....." "Tidak usah, Kwee-toako. Aku akan menyusul mereka
ke Puncak Awan Merah, kemudian aku akan kembali ke Pulau Es.... untuk.... untuk selamanya. Selamat tinggal!"
Swat Hong meloncat dengan cepat sekali dan sebentar saja dia sudah lenyap meninggalkan Kwee Lun yang menjadi
lemas. Pemuda ini menjatukan dirinya duduk di atas tanah dan baru sekarang dia tidak dapat menahan bertitiknya
air matanya dan baru sekarang terasa olehnya betapa dia kehilangan Soan Cu, betapa dunia terasa amat hampa dan
sunyi. Berkali-kali dia menarik napas panjang dan teringatlah dia kepada gurunya, Lam-hai Seng-jin yang seperti
orang tuanya sendiri. Dia harus kembali ke Pulau Kurakura di Lam-hai dan terbayang olehnya betapa suhunya itu
akan terheran mendengar semua pengalamannya dengan keluarga Pulau Es! Dengan perasaan yang kosong dan sunyi,
ingatan akan gurunya ini merupakan setitik harapan kegembiraan hidupnya dan berlahan-lahan Kwee Lun
meninggalkan hutan itu untuk kembali kepada gurunya yang sudah amat lama ditinggalkannya. Sementara itu, dengan
mata masih merah oleh tangisnya, Han Swat Hong melanjutkan perjalanan seorang diri dengan cepat untuk mengejar
Swi Nio dan Toan KI. Kalau dia dapat menyusul mereka dan minta kembali Pusaka Pulau Es dia dapat langsung
kembali ke Pulau Es dan selanjutnya...... entah, dia sendiri tidak tahu apakah dia ada niat untuk kembali ke
daratan besar. Tidak, dia akan tinggal di pulau itu, di mana dia terlahir. Biarpun pulau itu sudah kosong, dia
akan tinggal di tempat kelahirannya itu sampai mati! Bercucuran pula air matanya ketika dia berpikir sampai di
situ dan terkenang kepada suhengnya. Kalau saja ada suhengnya di sisinya, tentu tidak akan begini merana
hatinya. Akan tetapi, betapapun cepat Swat Hong melakukan pengejaran, tetap saja dia tidak berhasil menyusul
Swi Nio dan Toan Ki. Bahkan ketika dia tiba di Puncak Awan Merah, tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw, di
tempat ini dia hanya disambut oleh Ang-in Mo-ko Thio Sam, kakek yang menjadi murid kepala Tee-tok itu yang
menceritakan bahwa Tee-tok bersama puterinya telah beberapa pekan pergi turun gunung dan bahwa selama itu tidak
ada tamu, juga tidak ada Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki seperti yang ditanyakan oleh gadis itu. Swat Hong
mengerutkan alisnya. Hatinya mulai bertanya-tanya. Celaka, pikirnya, jangan-jangan dia telah salah memilih
orang untuk dipercaya menyelamatkan Pusaka Pulau Es! Jangan-jangan dua orang muda itu sengaja melarikan
pusaka-pusaka itu dan bersembunyi! Timbul kecurigaan yang diikuti kemarahan di hatinya, dan berbareng dengan
perasaan ini timbul pula semangatnya yang tadinya amat menurun itu. Hidupnya masih perlu dan ada gunanya,
setidaknya dia harus menyelamatkan pusaka-pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain! Perasaan marah
dan khawatir ini mendatangkan perasaan bahwa dia masih amat dibutuhkan untuk hidup terus. Sambil menahan
kemarahannya, dia berkata kepada murid kepala Tee-tok itu, "Andaikata ada datang Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki,
harap minta kepada mereka untuk menanti saya di sini. Dua bulan lagi saya akan kembali menemui mereka." Ang-in
Mo-ko Thio Sam yang sudah mengetahui kelihaian dara yang pernah menggegerkan Awan Merah ini, mengangguk-angguk.
Kemudian Swat Hong meninggalkan Puncak Awan Merah untuk mengambil jalan kembali ke jurusan kota raja untuk
mencari kalau-kalau dua orang muda itu dapat berjumpa dengannya di jalan. Namun semua perjalanannya sia-sia
belaka. Dua bulan kemudian, kembali dia tiba di Puncak Awan Merah dan untuk kedua kalinya Ang-in Mo-ko (Iblis
Tua Awan Merah) menyatakan penyesalannya bahwa dua orang muda yang dicari itu belum juga datang, bahkan gurunya
juga belum pulang. "Saya malah merasa gelisah juga memikirkan Suhu." kata kakek itu. "Keadaan di mana-mana
sedang ribut dengan perang, akan tetapi Suhu pergi begitu lamanya belum juga pulang." Swat Hong menahan
kemarahannya. Tidak salah lagi, pikirnya. Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki tentu berlaku khianat, menginginkan
pusaka-pusaka itu untuk diri mereka sendiri. Aku harus mencari mereka dan selain merampas kembali pusaka, juga
akan kuhajar mereka! Dia berpamit lalu pergi lagi, di sepanjang jalan dia memaki-maki Bu Swi Nio yang
dipercaya. "Dasar murid iblis betina itu," gerutunya. "Gurunya sudah mati, kini muridnya yang menyusahkan aku!"
Mulailah Swat Hong mencari-cari kedua orang itu tanpa hasil. sampai dua tahun dia berkelana mencari-cari kedua
orang muda itu namun anehnya, tidak ada seorang pun manusia yang tahu akan mereka. Akhirnya timbullah
pikirannya bahwa sangat boleh jadi Bu Swi Nio dan Liem Toan Ki yang tadinya adalah anak buah An Lu Shan yang
kini membalik dan berkhianat itu takut kepada pembalasan pemerintah baru dan telah lari mengungsi ke barat, ke
Secuan. Sangat boleh jadi! Pikiran ini membuat dia mengambil keputusan dan berangkatlah dia ke Secuan. Sambil
mencari pusaka, dia pun ingin membantu Kaisar yang kabarnya sedang menyusun kekuatan untuk menyerang dan
merebut kembali tahta kerajaan. Sebaliknya klau dia membantu, pikirnya. Selain untuk mengisi kekosongan
hidupnya, juga sekalian untuk mencari Bu Swi Nio an Liem Toan Ki, juga untuk menghancurkan semua kaki tangan An
Lu Shan termasuk Ouwyang Cin Cu, dan juga mengingat bahwa ayahnya adalah seorang keturunan pangeran atau raja
muda, maka sebenarnya dia masih berdarah bangsawan dan masih ada hubungan darah dengan keluarga kaisar sehingga
sepatutnyalah kalau dia membantu. Sementara itu, di ibu kota yang telah diduduki An Lu Shan, di dalam istana di
mana An Lu Shan mengangkat diri sendiri menjadi raja, terjadilah hal-hal yang hebat! An Lu Shan sendiri masih
melanjutkan wataknya yang kasar dan mau menang sendiri. Satu di antara kesukaannya adalah wanita, maka begitu


bersambung 23.........

0 komentar:

Posting Komentar