"Aihh, bukankah kita sudah bersepakat untuk lari keluar kota? Engkau tidak mau menyamar sebagai pengemis."
"Ihh, jijik!"
"Kita
terpaksa lari keluar, karena keadaan amat berbahaya. Dengan keributan
seperti itu, dan penjagaan amat ketat di dalam kota, biarpun kita berada
di sana juga tak mungkin dapat bekerja. Pula, apakah hanya di dalam
kota saja yang perlu diselidiki? Kurasa menyelidiki di luar tembok
benteng tidak kalah pentingnya, menyelidiki barisan pendam mereka, dan
pertahanan pertama mereka. Selain itu, kalau keadaan di kota sudah
mereda, masuk lagi ke sana apa sukarnya bagi kita?"
"Habis, sekarang kita mau apa?" Yan Hwa bertanya.
Ji
Kun tertawa, "Menanti sampai matahari terbit, baru nanti mencari jalan
menyelidiki ke dekat tembok benteng. Sekarang, sambil menanti, mau
apalagi, Sumoi yang manis?" Dia memeluk lagi dan sekali ini Yan Hwa juga
timbul kasih sayangnya, melayani cumbu rayu suhengnya. Keduanya
tenggelam dalam gelombang asmara, akan tetapi Yan Hwa yang rebah dengan
telinga menempel tanah, tiba-tiba mendorong dada kekasihnya.
"Ada barisan datang....!"
Ji
Kun terkejut. Keduanya melompat bangun, lalu dengan cekatan seperti dua
ekor burung, mereka melompat ke atas, menyambar dahan pohon dan dalam
beberapa detik saja dua orang yang lihai itu telah berada di puncak
pohon tertinggi, mengintai ke sana-sini. Akhirnya mereka melihat lampu
bergerak-gerak di selatan, dan akhirnya beberapa pasang lampu itu
berhenti.
"Apakah itu?" Yan Hwa bertanya.
"Menurut suaranya tentu
derap kaki kuda, dan lampu-lampu itu tak salah lagi tentu lampu
kendaraan kereta. Mereka berhenti di sana, hayo kita menyelidiki!"
Dengan
cepat sekali, tanpa mengeluarkan suara, kedua orang muda itu mendekati
tempat itu dan melihat bahwa rombongan yang berhenti itu adalah
rombongan terdiri dari empat buah kereta yang dikawal ketat oleh pasukan
pengawal sejumlah lima puluh orang. Ketika tenda-tenda kereta yang
berkumpul itu tersingkap, dengan heran sekali Yan Hwa dan Ji Kun melihat
gadis-gadis cantik yang duduk di dalam joli kereta, setiap kereta
terisi enam orang gadis cantik. Mereka itu kelihatan berduka, ada pula
yang menangis terisak.
Ji Kun dan Yan Hwa menyelinap di antara
pohon-pohon, mendekati komandan dan para pembantunya yang duduk
mengelilingl api unggun, mendengarkan percakapan mereka.
"Dalam
keadaan terancam penyerbuan barisan Mancu, mengumpulkan siuli (gadis
cantik calon selir pangeran atau raja), sungguh mementingkan kesenangan
sendiri saja." Seorang perwira mengeluh.
"Hati-hati dengan mulutmu!"
Komandan pasukan yang berpakaian panglima membentak bawahannya, "Bukan
tidak ada gunanya kalau Suma-goanswe menyuruh kita mengumpulkan
gadis-gadis cantik untuk Pangeran Ci Hok Ong di Siang-tan. Kita hanyalah
pelaksana, perlu apa memusingkan sebab-sebabnya?"
"Akan tetapi, mengapa kita bermalam di sini, tidak langsung terus ke Siang-tan?" tanya seorang perwira lain.
"Hemm,
orang-orang kang-ouw tentu tidak membiarkan perampasan wanita-wanita
cantik ini, dan hutan-hutan di depan amat besar, lebih aman melewatkan
malam di sini, besok pagi baru melewatkan perjalanan. Kalau kita
disergap di dalam hutan, tentu akan sulit mempertahankan
penumpang-penumpang itu. Jumlah mereka sudah dihitung, dan kita akan
celaka kalau sampai hilang seorang saja. Suma-goanswe tentu akan
menghukum kita!"
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang di dalam gelap,
kemudian Ji Kun mendekatkan mulutnya di telinga kekasihnya dan berbisik,
"Kesempatan baik untuk kita!" Ia lalu berbisik-bisik mengatur rencana.
Sumoinya mengangguk-angguk, sehingga pipinya yang halus itu menyentuh
dan mengusap hidung dan mulutnya, membuat Ji Kun tidak tahan untuk tidak
mencium pipi itu. Sebuah cubitan dari Yan Hwa memperingatkannya dan
mereka lalu berpencar, siap melaksanakan rencana yang dibisikkan Ji Kun
tadi.
Tak lama kemudian terdengar pekik kesakitan dan seorang di
antara pengawal yang sedang berdiri menjaga di sebelah kanan roboh.
Keadaan menjadi kacau dan semua pengawal lari ke tempat itu di mana
terdapat Ji Kun mengamuk di dalam gelap. Para perwira cepat menghunus
golok dan mengepung, akan tetapi sekali melompat, Ji Kun telah lenyap ke
dalam kegelapan hutan kecil itu karena dia melihat bayangan sumoinya
yang berkelebat dan ternyata sumoinya yang memang seperti direncanakan
semula, telah berhasil menculik seorang di antara gadis siuli dari
kereta terdepan. Terdengar jerit para siuli lainnya dan ketika para
pengawal melihat bahwa yang terculik adalah gadis yang paling cantik,
mereka menjadi bingung, marah dan khawatir bukan main. Panglima pasukan
marah-marah dan terdengar bentakan-bentakannya,
"Hayo cari dia! Kalau tidak dapat terampas kembali, nyawa kita menjadi taruhan!"
Akan
tetapi para pengawal sudah dibikin gentar oleh ketangkasan Ji Kun tadi
dan mereka menyaksikan bayangan yang melarikan siuli tadi pun seperti
iblis saja. Pula, mereka berada di hutan yang gelap, ke mana harus
mencari? Betapapun juga karena takut kepada komandan mereka, takut pula
kalau kehilangan itu akan dilimpahkan kepada mereka, dengan obor di
tangan para pengawal itu mencari di sekitar tempat itu.
Namun, Yan
Hwa dan Ji Kun sudah berada jauh di tengah hutan besar dan gadis cantik
itu kini tidak takut lagi. Bahkan dia menjatuhkan diri berlutut di depan
Yan Hwa dan Ji Kun sambil berkata,
"Terima kasih atas pertolongan
Ji-wi, entah bagaimana saya dapat membalas budi pertolongan Ji-wi yang
membebaskan saya dari malapetaka ini."
Cuaca pagi kemerahan membuat
Ji Kun dapat meneliti wajah gadis itu yang sesungguhnya cantik manis.
Dia lalu memegang kedua pundak gadis itu, diangkatnya bangun sambil
tersenyum. "Manis, kami tidak mengharapkan balasan dan aku akan cukup
puas kalau engkau membalasnya dengan sebuah ciuman!" Berkata demikian,
dia memeluk dan mengecup bibir gadis itu yang tentu saja menjadi
tersipu-sipu, dan ketika Ji Kun melepaskan pelukannya, gadis itu
terhuyung ke belakang dan menangis.
"Suheng! Engkau.... engkau....!" Yan Hwa membentak marah tangannya meraba gagang pedang.
"Eiiitt, Sumoi. Engkau cemburu?"
"Tentu
saja! Hanya sebegitukah cintamu kepadaku? Engkau pernah tergila-gila
kepada Enci Maya dan sekarang.... katakan, siapa yang kaucinta? Gadis
ini?"
"Wah-wah, apakah engkau anak kecil? Tentu saja hanya engkau
yang kucinta, sedangkan yang lain-lain termasuk gadis ini, hanya tubuhku
saja yang tertarik, bukan hatiku. Apakah engkau tidak membolehkan
suhengmu bersenang-senang sedikit?"
"Hemmm.... laki-laki ceriwis mata
keranjang! Lihat saja nanti pembalasanku kalau ada kesempatan. Eh,
bocah, kami telah menyelamatkanmu dan sekarang bersembunyilah di sini.
Jangan pergi ke mana-mana sebelum lewat hari ini atau engkau akan
tertawan lagi dan mendapat hukuman. Kami pergi!"
Yan Hwa dan Ji Kun
meloncat dan berkelebat pergi meninggalkan gadis itu yang menjadi
ketakutan sekali dan menangis di antara semak-semak belukar di mana dia
ditinggalkan seorang diri. Dia seorang gadis yang lemah, dan biarpun dia
kini telah dibebaskan, namun ditinggalkan seorang diri di tempat itu,
tentu saja dia ketakutan dan tidak tahu ke mana harus pergi. Untuk
kembali ke kampungnya, dia tidak mengenal jalan.
Ketika beberapa
orang anak buah pasukan pengawal mencari-cari sampai pagi dan tiba di
pinggir hutan besar, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita muda yang
cantik sedang sibuk mengumpulkan kayu kering. Wanita ini bukan lain
adalah Ok Yan Hwa yang sengaja memperlihatkan sikap terkejut dan takut
melihat datangnya tujuh orang pengawal berikut seorang perwira pengawal
itu. Dia menjerit, melepaskan kayu-kayu kering yang dikumpulkannya lalu
melarikan diri. Tentu saja dia berlari biasa seperti lari seorang gadis
lemah dan sebentar saja ia telah tertangkap, kedua lengannya dipegang
dari kanan kiri oleh dua orang pengawal.
"Ha-ha-ha-ha, engkau hendak lari ke mana?" Seorang di antara mereka berkata.
"Ehhh....!
Ini bukan dia!" Perwira pengawal berseru kaget setelah melihat Yan Hwa.
"Dia hanya seorang gadis dusun, akan tetapi.... hemmm, aku berani
bertaruh dia tidak kalah cantik menarik daripada siuli yang lenyap
tadi!"
"Benar, dia jelita sekali!" Para anak buahnya berkata dan semua mata memandang Yan Hwa dengan kagum.
Kedua pipi Yan Hwa menjadi merah dan dia pura-pura meronta sambil berteriak, "Kalian siapakah? Mengapa aku ditangkap?"
"Anak baik, engkau tinggal di mana?" Perwira itu bertanya.
"Aku
tinggal di sebuah dusun di luar hutan di seberang sana. Aku mencari
kayu bakar untuk di jual...." Yan Hwa menjawab ketakutan, matanya yang
indah bening terbelalak.
"Apakah engkau melihat orang-orang di dalam hutan besar ini?"
Yan Hwa menggeleng kepala.
"Hemmm...."
Sang Perwira menggosok-gosok jenggot pendeknya, "Bawa dia kepada
Ciangkun, kurasa jalan satu-satunya hanyalah menggantikan yang hilang
dengan dia ini."
Yan Hwa menjerit-jerit ketika dipaksa ikut bersama
mereka menuju ke rombongan kereta dan di situ dia menjadi tontonan semua
pengawal. Panglima yang memimpin pasukan pengawal mendengarkan laporan
perwira dan mengangguk-angguk. "Memang tidak ada jalan lain yang lebih
baik lagi. Eh, Nona muda. Siapa namamu?"
"Nama saya Yan Hwa, she Ok,"
jawab Yan Hwa yang tidak khawatir memperkenalkan nama aselinya karena
namanya memang tidak terkenal.
"Dengar, Ok Yan Hwa. Engkau ingin mati atau hidup?" Suara panglima itu terdengar keren dan penuh ancaman.
Dengan
sin-kangnya yang sudah tinggi tingkatnya Yan Hwa dapat membuat jalan
darahnya terhenti sehingga mukanya menjadi pucat. "Saya.... saya ingin
hidup, Tai-ongya...."
"Hushh! Aku bukan kepala perampok!" bentak Si
Panglima yang disebut tai-ong (raja besar), sebutan yang biasa
dipergunakan orang terhadap kepala perampok. "Sebut aku Tai-ciangkun,
mengerti?"
"Baik, Tai-ciangkun...."
"Kalau engkau ingin hidup,
mulai sekarang engkau harus menjadi seorang di antara gadis-gadis cantik
di dalam kereta ini untuk dipersembahkan kepada Pangeran Ciu Hok Ong di
Siang-tan. Engkau tidak boleh menceritakan tentang peristiwa malam ini
kepada siapapun juga. Katakan bahwa engkau adalah seorang di antara
mereka yang kami pilih. Kalau engkau menurut, engkau akan hidup mewah
dan mulia di istana Pangeran, mungkin menjadi selir Pangeran yang
terkasih, sedikitnya menjadi pelayan istana. Kalau menolak, sekarang
juga kusembelih lehermu sampai putus!"
"Iihhh.... ampun.... ampun,
Tai-ciangkun.... hamba tidak berani menolak, hanya.... hamba harus
memberi tahu ayah ibu dulu di dusun...."
"Tidak usah! Tinggal pilih, sekarang juga, ingin mati atau hidup?"
Yan Hwa menangis akan tetapi mengangguk-angguk. "Baik, Tai-ciangkun.... hamba.... hamba menurut...."
Yan
Hwa disuruh memasuki kereta terdepan dan dipaksa berganti pakaian yang
indah. Semua siuli memang diharuskan berpakaian indah dan panglima itu
masih mempunyai beberapa potong pakaian untuk perlengkapan. Setelah itu,
komandan pasukan mempersiapkan orang-orangnya untuk memberangkatkan
rombongan kereta itu. Akan tetapi, kembali terjadi kekacauan ketika
rombongan itu baru saja berangkat, tiba-tiba dua ekor kuda yang menarik
kereta terdepan, meringkik keras lalu membedal ke depan seperti dikejar
setan. Sia-sia saja kusirnya berusaha menahan kedua kuda yang kabur itu,
bahkan kini panglima itu sendiri bersama beberapa orang pembantunya
membalapkan kuda untuk mengejar dan menyelamatkan kereta itu. Kalau
sampai kereta terguling dan lima orang siuli di dalamnya celaka,
benar-benar mereka menghadapi kesulitan besar!
Dua ekor kuda penarik
kereta yang kabur itu, melihat panglima itu dan pembantu-pembantunya
mengejar, menjadi makin binal. Kusirnya berteriak-teriak dengan panik,
menarik-narik kendali kuda namun tetap tidak berhasil menghentikan
kaburnya dua ekor kuda itu.
Tiba-tiba muncul seorang pemuda yang
bukan lain adalah Ji Kun. Dia lari dari samping menangkap kendali kuda,
meloncat ke atas punggung kuda dan diam-diam dia mencabut dan membuang
dua buah duri yang tadi menancap di dekat ekor kuda, kemudian dia
menarik kembali kuda dan menggunakan kekuatan tangan, diam-diam
mengerahkan sin-kangnya, kakinya menjapit perut kuda. Semua ini
dilakukan oleh Ji Kun dengan mengurangi ketangkasannya sehingga dia
tidak kelihatan sebagai seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi,
melainkan sebagai seorang ahli mengatasi kuda-kuda kabur. Setelah dua
ekor kuda itu berhenti, dia pura-pura lemas dan ketika melompat turun,
dia terhuyung dan hampir jatuh. Sambil mengusap keringatnya dia berkata,
"Wah, bahaya sekali....! Dua ekor kuda ini malam tadi tentu makan rumput merah dan menjadi binal!"
Panglima
dan para perwira sudah tiba di situ dan melihat mereka, Ji Kun cepat
menjatuhkan diri berlutut. Dengan pandang mata penuh kecurigaan panglima
itu bertanya, "Engkau siapa?"
"Nama hamba Can Ji Kun, pekerjaan
hamba sebagai ahli kuda. Dahulu di utara hamba pernah bekerja kepada
seorang peternak kuda yang besar, kemudian karena perang hamba lari ke
selatan dengan maksud mencari pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian
hamba. Kebetulan hamba melihat kereta dikaburkan kuda dan mengandalkan
keahlian hamba, hamba lupa diri dan menolong. Harap Tai-ciangkun sudah
memaafkan kelancangan hamba."
Hilanglah kecurigaan panglima itu dan
dia mengangguk-angguk. "Bagus, kami berterima kasih, Ji Kun. Kalau
engkau mencari pekerjaan, mulai sekarang kau boleh mengurus kuda dan
mengusiri kereta ini. He kau turun!" Bentak Sang Panglima kepada kusir
yang masih pucat wajahnya. Dengan tubuh gemetar kusir itu turun dari
atas kereta dan sekali mengulur tangan panglima itu telah merampas
cambuk, kemudian mencambuki kusir itu sambil memaki-maki,
"Manusia tolol! Goblok! Hampir saja engkau mencelakakan kita semua!"
Cambuk
itu menari-nari di atas tubuh kusir yang berlutut dan minta-minta
ampun. Pakaiannya robek-robek dan kulit tubuhnya babak-belur dan
berdarah. Setelah puas, panglima itu berkata, "Kau harus jalan di
belakang kereta, pengadilan akan menjatuhkan hukuman nanti di kota!"
Rombongan
itu berangkat lagi dan kini Can Ji Kun duduk di tempat kusir, msmegang
cambuk dan mengendalikan kuda menarik kereta di mana duduk pula Ok Yan
Hwa yang menjadi girang sekali melihat betapa siasat mereka berjalan
lancar dan berhasil baik. Tentu saja dua ekor kuda itu tadi kabur ketika
diam-diam Yan Hwa menyerangnya dari belakang dengan dua buah duri yang
sudah dipersiapkannya sebelumnya, menyambitkan duri-duri itu mengenai
pantat kuda yang menjadi kaget dan kesakitan lalu kabur!
Tak lama
kemudian, rombongan memasuki hutan besar yang ditakuti Sang Komandan.
Tiba-tiba komandan ini berteriak, "Awas, di depan ada orang!"
Ji Kun
yang berada di depan kereta pertama, sudah melihat orang-orang itu dan
dia mengerutkan alisnya. Jelas tampak olehnya bahwa yang menghadang di
depan itu tentulah orang-orang kang-ouw. Sikap mereka gagah dan bukanlah
kasar seperti sikap perampok. Ada tujuh orang laki-laki yang menghadang
di depan, berjajar memenuhi jalan.
Komandan dan para perwira memberi
aba-aba menghentikan kereta, kemudian memerintahkan pasukan mengurung
kereta-kereta itu, dan dia sendiri bersama sisa pasukan lalu melarikan
kuda menghampiri orang-orang yang menghadang itu. Seorang laki-laki
berusia lima puluh tahun, dengan sebatang golok besar di punggung,
berjenggot panjang dan bersikap gagah perkasa, memimpin para penghadang
itu, berdiri bertolak pinggang dan sinar matanya tajam menatap Sang
Panglima yang duduk dengan angkuhnya di atas kuda sambil membentak,
"Kalian
mau apakah menghadang di sini? Minggirlah! Apakah tidak melihat bahwa
kami pasukan pengawal dari kerajaan? Apakah kalian ini
pemberontak-pemberontak atau pengkhianat-pengkhianat yang hendak melawan
pasukan kerajaan?"
Laki-laki berjenggot panjang itu mengelus
jenggotnya dengan tangan kiri, kemudian menjawab, "Ciangkun, kami adalah
orang-orang gagah yang sama sekali tidak berjiwa pengkhianat atau
pemberontak. Bahkan sebaliknya, kami adalah patriot-patriot negara yang
menjadi pelindung rakyat yang tertindas! Negara dalam keadaan perang.
Mengapa para pembesar hanya mementingkan kesenangan diri pribadi dan
menambah beban rakyat dengan menculik dan memaksa gadis-gadis orang
untuk dijadikan korban kebuasan nafsu pembesar? Kami tidak akan melawan
pasukan kerajaan, akan tetapi kami menuntut agar para gadis yang ditawan
dalam kereta itu dibebaskan!"
"Hemm, enak saja kau bicara! Para
gadis ini adalah calon-calon dayang atau selir pangeran, nasib mereka
sudah pasti akan jauh lebih baik daripada kalau mereka berada di rumah.
Mereka akan menjadi orang-orang terhormat dan hidup mewah, bahkan
keluarga mereka akan ikut pula menjadi orang terhormat. Kalian bilang
bukan pemberontak, akan tetapi hendak menentang kehendak pangeran dan
hendak melawan pasukan pemerintah. Pergilah sebelum kami basmi kalian
kaum petualang pemberontak!"
"Ciangkun, alasan kuno yang kaukemukakan
itu memuakkan! Kau sendiri tahu betapa gadis-gadis itu pergi dengan
paksaan. Dengar mereka terisak-isak, menangis. Kalau mereka pergi dengan
sukarela, kami pun bukan orang-orang yang lancang mencampuri urusan
orang. Akan tetapi karena melihat gadis-gadis itu dipaksa yang berarti
penindasan kejam, kami tak mungkin berpeluk tangan saja. Kalau kau tidak
mau membebaskan mereka sekarang juga, terpaksa kami menggunakan
kekerasan."
"Si pemberontak keparat! Serbu!" Panglima itu
mengeluarkan aba-aba dan para pengawal yang berjalan kaki sudah bersorak
sambil maju menyerbu tujuh orang itu. Mereka ini pun sudah mencabut
senjata masing-masing dan terjadilah pertandingan yang seru antara tujuh
orang gagah itu melawan tiga puluh orang pasukan pengawal, sedangkan
yang lain bertugas menjaga kereta-kereta dengan mengurungnya.
Can Ji
Kun dan Ok Yan Hwa merasa serba salah. Orang-orang kang-ouw itu ternyata
cukup lihai sehingga banyak anak buah pengawal yang roboh, sedangkan
panglima dan para perwira juga terdesak. Terutama sekali Si Jenggot
Panjang amat lihai mainkan goloknya. Dua orang murid Mutiara Hitam
menjadi bingung. Tentu saja di dalam hati mereka, mereka berpihak kepada
tujuh orang itu dan andaikata mereka tidak sedang bertugas, tentu
mereka membantu tujuh orang itu dan membasmi pasukan pengawal. Akan
tetapi, dalam keadaan mereka sekarang, andaikata mereka turun tangan
mereka seharusnya membantu pasukan pengawal dan merobohkan penghalang
itu agar mereka dapat cepat masuk kota dan dapat memulai dengan tugas
mereka! Karena serba salah, baik Ji Kun maupun Yan Hwa hanya duduk
menonton saja dan dari permainan golok dan pedang para orang gagah itu,
mereka dapat menduga bahwa mereka itu tentulah anak-anak murid
Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai.
Agaknya, pihak pasukan pengawal takkan
kuat menghadapi tujuh orang gagah itu kalau pertandingan dilanjutkan
seperti itu tanpa campur tangan lain. Selagi Ji Kun dan Yan Hwa saling
lirik ketika Ji Kun menyingkap tenda dan menjenguk ke dalam, tiba-tiba
terdengar derap kaki kuda dan muncullah sebuah pasukan kecil terdiri
dari selosin perajurit berkuda, dikepalai oleh seorang laki-laki bermuka
panjang seperti kuda! Ketika melihat pertempuran itu, laki-laki bermuka
kuda itu yang bukan lain adalah Siangkoan Lee, cepat membawa pasukannya
menyerbu dan terkejutiah tujuh orang itu karena orang bermuka kuda ini
benar-benar hebat sekali kepandaiannya. Dengan sebuah golok melengkung
Siangkoan Lee sudah meloncat turun dari atas kudanya dan mengamuk. Orang
gagah berjenggot panjang yang menandinginya, dirobohkannya dalam waktu
belasan jurus saja. Juga pasukannya ternyata adalah pasukan istimewa
yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Orang-orang gagah itu
melakukan perlawanan mati-matian, namun akhirnya mereka semua roboh dan
tewas jadi sasaran hujan senjata para pasukan pengawal!
Pertempuran
berhenti dan berakhir dengan matinya tujuh orang gagah itu dan belasan
orang perajurit pengawal. Siangkoan Lee segera berkata kepada panglima
pengawal yang terluka pundaknya dalam pertempuran tadi.
"Atas
perintah Goanswe, seluruh siuli supaya langsung dibawa ke istana
pangeran dan harap bergerak cepat karena Pangeran sudah tidak sabar
menanti. Mengapa baru sekarang tiba di sini?"
"Maaf,
Siangkoan-taihiap, kami terpaksa bermalam di luar hutan besar karena
kami khawatir akan penyergapan di tengah malam dalam hutan itu."
"Hemm,
disergap di pagi hari pun kau tak mampu melindungi kereta-kereta itu!"
kata Si Muka Kuda dengan suara menghina. "Kalian sudah terlambat, hayo
cepat berangkat!"
Karena takut kalau murid dan orang kepercayaan
Jenderal Suma Kiat yang galak dan lihai itu akan menjadi marah dan
menyalahkan mereka, maka para pengawal tidak berani bercerita tentang
hilangnya seorang gadis yang diganti gadis lain dan seorang kusir baru
yang mereka terima untuk jasanya menolong mereka terlepas dari bencana
ketika kereta kabur. Hal ini menguntungkan dua orang murid Mutiara
Hitam, karena kalau diketahui Siangkoan Lee, tentu orang yang lihai dan
cerdik ini akan menjadi curiga dan menyelidiki mereka.
Demikianlah,
tanpa menimbulkan kecurigaan, Yan Hwa bersama para gadis lain
ditempatkan di dalam istana pangeran dan berkat kepandaiannya mengurangi
riasan muka dan membuat mukanya pucat seperti orang berpenyakitan kalau
dihadapkan Pangeran sehingga Pangeran kehilangan seleranya, akan tetapi
amat rajin dan pandai melayani, Yan Hwa tidak diambil selir melainkan
diberi pekerjaan sebagai dayang pelayan, sedangkan Ji Kun menjadi
seorang tukang mengurus kuda. Tentu saja dua orang muda yang lihai ini
mendapatkan kesempatan baik untuk melakukan penyelidikan, dan terutama
sekali Yan Hwa, yang selalu dekat dengan Pangeran dan mengetahui apabila
ada tamu-tamu penting yang datang bertemu dengan Pangeran.
***
Maya
duduk termenung di dalam pondok di mana dia bersembunyi. Hari telah
hampir malam dan dia menanti kedatangan Suma Hoat. Telah empat hari dia
berada di tempat persembunyiannya ini dan selama empat hari itu, dia
mendengar banyak dari Suma Hoat. Dia sendiri pun setiap malam keluar
melakukan penyelidikan, namun harus dia akui bahwa tanpa bantuan
keterangan-keterangan yang amat penting dari pemuda itu, akan sukarlah
baginya menyelidiki keadaan musuh. Penjagaan amat ketatnya dan kini dia
mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng kota Siang-tan ini benar-benar
amatlah kuatnya, jauh berbeda dengan kota Sian-yang. Bahkan dia
mendengar dari Suma Hoat bahwa benteng itu sedang mendatangkan barisan
bantuan dari selatan untuk menghadapi ancaman pasukan-pasukan Mancu yang
telah menduduki Sian-yang. Dengan barisan bantuan itu, jumlah pasukan
Sung menjadi lebih besar daripada pasukan Mancu dan Maya berpikir bahwa
untuk menyerbu ke Siang-tan, pasukan Mancu harus mendatangkan bala
bantuan juga.
Suma Hoat banyak membantunya dan diam-diam dia merasa
berterima kasih kepada pemuda itu. Pemuda musuh besarnya karena bukankah
pemuda itu putera Suma Kiat? Namun, harus dia akui bahwa di dalam
hatinya, dia tidak membenci Suma Hoat. Bahkan sebaliknya, dia merasa
kagum dan suka kepada pemuda itu yang jelas menaruh hati cinta
kepadanya. Hal ini mudah saja dia lihat dari pandang matanya, dari sikap
dan gerak-geriknya, dari suara dan dari senyumnya.
Teringat akan hal
ini, Maya menarik napas panjang karena terbayanglah wajah satu-satunya
orang yang dicintanya, wajah Kam Han Ki. "Aihhh, Suheng. Banyak pria
yang jatuh cinta kepadaku, akan tetapi mengapa engkau seorang yang
kuharapkan, bahkan mengecewakan hatiku?"
Teringat akan suhengnya,
Maya menundukkan mukanya dan perasaan rindu dendam mencekam hatinya,
membuatnya menggigit bibir menahan tangis.
Gerakan orang memasuki
rumah itu menyadarkannya dan ia cepat meloncat bangun. Bukan Suma Hoat,
pikirnya. Pemuda itu memiliki gerakan yang ringan, akan tetapi pendatang
ini langkah kakinya berat! Langkah itu terdengar makin berat dan
akhirnya terdengar suara orang roboh. Maya cepat meloncat ke ruangan
depan dan betapa kagetnya melihat Suma Hoat rebah di lantai dalam
keadaan pingsan!
Maya cepat berlutut memeriksa dan segera melihat
bahwa pemuda ini telah menderita luka oleh pukulan yang hebat, yang
membuat tubuhnya dingin sekali dan dada kanannya membiru. Cepat ia
memondong tubuh pemuda itu, membawanya ke dalam kamar tidur dan
merebahkannya di atas pembaringan. Sekali renggut robeklah baju yang
menutup dada Suma Hoat dan setelah memeriksa sebentar, tahulah Maya
bahwa pemuda itu terkena pukulan yang mengandung hawa Im-kang kuat
sekali dan tentu nyawanya akan terancam maut kalau tidak cepat ditolong.
Maka dia lalu duduk bersila di atas pembaringan, menempelkan telapak
kanannya di dada kanan pemuda itu sambil mengerahkan hawa sin-kang dari
pusarnya melalui lengan. Untuk melawan luka akibat pukulan Im-kang itu,
dia mengobatinya dengan pengerahan Yang-kang. Mula-mula hawa yang hangat
memasuki tubuh Suma Hoat, kehangatan yang makin lama menjadi makin
panas mengusir hawa dingin yang dideritanya semenjak dia terkena pukulan
itu.
Setelah lewat dua jam lebih, barulah wajah Suma Hoat yang pucat
menjadi kemerahan dan napasnya menjadi normal kembali. Ketika dia
membuka matanya perlahan dan melihat tangan Maya menempel di dadanya,
merasakan betapa hawa yang panas memasuki dadanya, mendatangkan rasa
hangat mengusir rasa dingin yang hampir merenggut nyawanya tadi, Suma
Hoat menjadi terharu sekali. Dia menggerakkan tangan, meraba lengan
Maya, membelai lengan itu dan berbisik, "Aku.... aku cinta padamu...."
Maya
yang sedang rindu kepada suhengnya, selama mengobati tadi dia
mendapatkan kesempatan untuk mengamati wajah pemuda ini dan jantungnya
berdebar, menggelora. Wajah pemuda itu tampan sekali membuat hatinya
amat tertarik. Di antara pemuda yang pernah menyatakan cinta kasih
kepadanya, harus ia akui bahwa Suma Hoat merupakan pria yang paling
tampan. Gejolak darah masa dewasa membuat muka Maya merah sekali,
apalagi ketika mendengar bisikan Suma Hoat mengaku cinta begitu pemuda
itu siuman, membuat jantungnya berdebar keras dan dia menarik kembali
tangannya yang tadi dipakai mengobati dada pemuda itu agar belaian pada
lengan yang membuat lengannya gemetar itu tidak sampai diketahui Suma
Hoat.
"Suma Hoat, apa yang kaulakukan ini?" Maya membentak, akan
tetapi seluruh tubuhnya terasa lemas sekali, bukan hanya karena dia tadi
lama mengerahkan tenaga untuk mengobati pemuda itu, melainkan terutama
sekali karena debar jantungnya membuat dia merasa aneh dan lemas,
seperti dilolosi seluruh urat dari tubuhnya.
"Nona.... engkau telah
menolong nyawaku, dan karena aku tidak tahan untuk menyimpan perasaan
hatiku lebih lama, biarlah sekarang aku mengaku dan aku akan rela
andaikata engkau marah dan membunuhku. Nona, semenjak pertama kali aku
memandangmu, aku telah jatuh cinta kepadamu. Aku membantumu karena
cinta...."
Maya seperti terkena pesona. Seluruh tubuhnya gemetar dan
kedua matanya basah ketika pemuda itu kembali memegang lengannya yang
dahaga akan cinta kasih, rindu dendamnya yang selalu ditahan-tahannya
terhadap suhengnya, membuat hatinya seolah-olah menjadi sebatang tanaman
kering. Kini sikap dan bisikan Suma Hoat yang penuh getaran cinta
kasih, seolah-olah merupakan embun pagi bagi hatinya, sejuk dan
menyenangkan.
"Nona, aku cinta padamu.... aku bersumpah, aku mencintamu dengan hati tulus dan murni...."
Maya
memejamkan matanya, tubuhnya yang lemas itu menurut saja ketika ditarik
dan terdengar rintih perlahan dari dadanya ketika ia merasa betapa
tubuhnya dipeluk erat-erat, kemudian napasnya berhenti menjadi
sedu-sedan ketika ia merasa betapa mulutnya dicium penuh kemesraan oleh
Suma Hoat. Seperti dalam mimpi, kedua lengannya bergerak, membalas
rangkulan pemuda itu dan pada saat itu Maya yang rindu akan cinta kasih
itu seperti tidak ingat bahwa yang memeluk dan menciuminya bukanlah
pemuda yang dicintanya dan dirindukannya, bukanlah Kam Han Ki suhengnya,
melainkan Suma Hoat, putera Suma Kiat musuh besarnya!
Selama ini,
hanya kepada tiga orang wanita saja Suma Hoat benar-benar jatuh cinta.
Pertama-tama adalah cinta kasihnya kepada Ciok Kim Hwa yang juga
merupakan cinta pertamanya. Kedua kalinya adalah ketika dia berjumpa
dengan Khu Siauw Bwee, dan ke tiga kalinya adalah kepada Maya inilah.
Kecuali tiga orang wanita itu, tidak ada lagi wanita yang benar-benar
dicinta secara mendalam, bukan hanya cinta berahi belaka, seperti yang
telah dia jatuhkan kepada banyak sekali wanita sehingga dia dijuluki
Jai-hwa-sian.
Dapat dibayangkan betapa bahagia hati Suma Hoat setelah
dapat mendekap dan mencium mulut Maya. Dia merasa bahagia, mendapatkan
pengganti Ciok Kim Hwa, pengganti Khu Siauw Bwee.
"Maya.... bidadariku, kekasih pujaan hatiku.... bumi dan langit menjadi saksi akan cinta kasihku kepadamu, Maya...."
Maya
tersentak kaget. Tadi sebelum mendengar namanya disebut, dia hanyalah
seorang gadis dewasa, seorang wanita yang haus akan cinta, yang
menderita karena rindu sehingga dia terlena dalam dekapan Suma Hoat,
pria tampan yang pandai merayu hati wanita itu. Akan tetapi, begitu
mendengar namanya disebut, dia sadar! Dia adalah Maya, panglima wanita
pemimpin Pasukan Maut. Dia adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu
Khitan yang sedang berjuang membalaskan kematian ayah bunda dan
keluarganya! Dia adalah Maya, penghuni Istana Pulau Es, sumoi dari Kam
Han Ki!
Sekali meronta, Maya telah merenggutkan tubuhnya dari
pangkuan dan dekapan Suma Hoat dan dia sudah meloncat turun dari atas
pembaringan. Mukanya berubah pucat, sepasang matanya bersinar-sinar
ketika ia memandang Suma Hoat yang menjadi kaget dan khawatir
menyaksikan perubahan sikap ini.
"Maya.... kekasihku, kenapa....?"
"Suma
Hoat! Bagaimana engkau bisa mengenal namaku?" Tiba-tiba Maya bertanya,
suaranya penuh kecurigaan dan pandang matanya tajam menyelidik. Sejenak
Suma Hoat kagum dan bengong, diam-diam ia harus mengakui bahwa belum
pernah dia melihat gadis secantik Maya sehingga dalam keadaan seperti
itu masih saja tampak cantik jelita, kecantikan yang aneh namun pada
saat itu menguasai seluruh hatinya.
"Ahhh, kekasih pujaan hatiku,
jadi itukah yang mengejutkan hatimu?" Suma Hoat tersenyum lebar. "Tentu
saja aku dapat menduga. Pertama karena aku melihat bahwa wajahmu yang
cantik seperti bidadari itu bukan wajah seorang gadis Han dan mengingat
engkau bekerja untuk orang Mancu, tentulah engkau seorang gadis Mancu
pula. Dan ilmu kepandaianmu demikian hebat. Siapa lagikah gadis secantik
dan terlihai di Mancu kalau bukan Panglima Wanita Maya? Akan tetapi,
kenyataan itu bahkan menggirangkan hatiku, Maya dewiku. Engkau seorang
Panglima Mancu, aku seorang putera jenderal. Kita akan menjadi sepasang
suami isteri yang cocok dan...."
"Cukup!" Tiba-tiba Maya membentak
dan melihat pandang mata gadis itu, Suma Hoat baru merasa terkejut
sekali karena gadis itu benar-benar telah menjadi marah sekali.
"Maya....
ada apakah....? Mengapa engkau marah-marah....?" Suma Hoat turun pula
dari pembaringan dan melihat perubahan yang amat menggelisahkan ini, dia
yang cerdik cepat menceritakan jasanya untuk menyenangkan hati Maya.
"Tidak cukupkah bukti yang kuperlihatkan dalam membantumu? Bukankah
engkau sendiri yang tadi mengobati aku yang terluka hebat dan hampir
tewas? Maya.... aku rela berkorban nyawa untukmu. Untuk memenuhi
permintaanmu dan membantumu, aku tadi menyelidiki ke dalam istana
Pangeran Ciu Hok Ong yang sedang mengadakan perundingan dengan Bu-koksu,
dan aku mendapatkan sebuah rahasia rencana mereka yang amat penting
bagimu!" Suma Hoat memandang wajah Maya dengan hati gelisah karena gadis
itu seolah-olah tidak mendengarnya, bahkan kini tampak penyesalan dan
kemarahan membayang di wajah yang cantik itu. Maya merasa menyesal
sekali, menyesalkan diri sendiri yang telah menjadi lemah dan membiarkan
pemuda itu memeluk dan menciuminya. Betapa mungkin hal itu terjadi! Dia
masih nanar kalau memikirkan kembali dekapan dan ciuman yang membuat
darahnya menggelora tadi!
"Maya, dengarlah," Suma Hoat menyambung
cepat, "Pangeran Ciu dan Koksu berunding dan mengambil keputusan untuk
memancing pasukan Mancu meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan
menggunakan saat itu untuk menyerbu dan merampas kembali Sian-yang dan
mengurung pasukan antara kedua kota itu. Sial bagiku, dalam
persembunyianku itu, aku ketahuan oleh seorang panglima pengawal Koksu
yang amat lihai dan dalam beberapa gebrakan saja aku telah terpukul.
Untung keadaan yang kacau memungkinkan aku melarikan diri dan ke
sini.... eh, Maya, bukankah sudah terbukti betapa aku rela mengorbankan
apa saja untukmu?"
Maya menarik napas panjang. "Terima kasih atas
bantuanmu, Suma Hoat. Akan tetapi jangan kau mengira bahwa semua jasamu
itu harus kubalas dengan cinta! Engkau telah mengetahui siapa aku. Aku
adalah Puteri Maya, juga Panglima Maya, dan aku adalah penghuni Istana
Pulau Es! Tak mungkin aku mencinta orang seperti engkau yang seharusnya
kubunuh, karena engkau adalah putera Suma Kiat musuh besarku! Untuk
bantuanmu itu, aku membalas dengan mengampunimu, tidak membunuhmu. Nah,
selamat tinggal!"
"Maya....!" Suma Hoat berteriak, kaget bukan main
mendengar bahwa Maya adalah penghuni Istana Pulau Es! Dia mengejar, akan
tetapi sekali berkelebat saja Maya telah lenyap dari situ.
"Ahhhh....
tidak.... tidak mungkin....!" Suma Hoat menjatuhkan diri ke atas
pembaringan setelah dia kembali ke kamar itu, hatinya seperti diremas,
semua harapannya membuyar. Mengapa nasibnya seburuk itu dalam cinta
kasih? Setelah gagal memperisteri Ciok Kim Hwa, setelah gagal meraih
cinta kasih Khu Siauw Bwee, setelah semua harapannya tercurah kepada
Maya dan melihat Maya berada dalam dekapannya mandah diciuminya, kini
Maya terlepas dan terbang pula dari tangannya! Kembali dia gagal! Tidak
ada harapan lagi karena Maya ternyata adalah penghuni Istana Pulau Es
yang tentu saja memiliki kepandaian yang amat luar biasa! Mengapa
nasibnya bagitu buruk sehingga dia dipertemukan dengan dua orang dara
penghuni Istana Pulau Es? Apakah seperti Siauw Bwee, Maya juga telah
mencinta laki-laki lain? Ah, nasib!
Ketika Suma Hoat bangkit lagi,
rambutnya awut-awutan karena dijambakinya, wajahnya pucat dan sepasang
matanya kembali mengandung sinar yang keji, sinar yang telah lama
meninggalkan matanya semenjak dia melukai Ketua Siauw-lim-pai, semenjak
dia sadar akan kesesatannya. Hatinya yang berkali-kali mengalami
pukulan, kegagalan cinta, membuat perasaannya menjadi kecut dan kambuh
kembalilah penyakitnya, penyakit yang membuat dia menjadi Jai-hwa-sian,
penyakit yang membuat dia membenci wanita, ingin mempermainkan semua
wanita, terutama mempermainkan cinta kasih mereka! Kalau dia menjadi
sakit hati karena cintanya terhadap wanita, dia akan mempermainkan cinta
kasih wanita. Mulai detik itu juga, iblis mulai menguasai hati Suma
Hoat lagi, seolah-olah Jai-hwa-sian yang beberapa bulan lamanya telah
mati itu kini bangkit dan hidup kembali. Dan dengan beringas pemuda itu
meloncat keluar meninggalkan rumah itu, kemudian di malam hari itu, di
sebuah rumah besar, terdengarlah rintihan dari seorang gadis yang
dipermainkannya, kemudian menjelang pagi terdengar jerit gadis itu yang
mengantar nyawanya terbang meninggalkan tubuhnya yang setelah diperkosa
lalu dibunuh oleh tangan Jai-hwa-sian!
***
Suma Hoat tidak
membohong ketika dia bercerita kepada Maya. Memang sore hari itu dia
telah menyelidik ke istana Pangeran Ciu Hok Ong. Sayang bahwa ketika dia
sudah mendengar sebagian dari percakapan antara Pangeran Ciu dan Koksu
negara bersama panglima-panglima tinggi, tiba-tiba dia diserang seorang
pengawal berpakaian preman yang amar lihai. Tentu saja Suma Hoat tidak
mampu menandingi pengawal itu dan terpaksa melarikan diri dengan membawa
luka karena pengawal itu bukan lain adalah Kam Han Ki!
Akan tetapi,
pada waktu Pangeran Ciu bersama Bu-koksu mengadakan perundingan di
pondok taman yang didirikan di atas telaga buatan itu, ada seorang
manusia lain yang juga diam-diam mengintai dan mencuri dengar percakapan
orang-orang besar ini. Dia bukan lain adalah Ok Yan Hwa yang bekerja
sebagai dayang dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong. Bedanya, kalau Suma
Hoat mengintai dengan bersembunyi di atas wuwungan pondok sehingga dia
terlihat dan diserang oleh Kam Han Ki, dara perkasa ini lebih cerdik dan
dia bersembunyi di bawah pondok, menyelam ke dalam air, berpegang pada
tiang pondok dan hanya menyembulkan kepalanya sambil bersembunyi di
balik tiang, mendengar percakapan orang-orang yang duduk di atas papan
pondok. Karena keadaan di kolong pondok itu gelap, tentu saja tempat
persembunyian Yan Hwa ini lebih aman sehingga Kam Han Ki yang amat lihai
itu sendiri pun tidak dapat melihatnya.
Seperti juga Suma Hoat, Yan
Hwa dapat menangkap percakapan antara Pangeran Ciu dan Bu-koksu tentang
rencana mereka untuk menjebaknya dan menghancurkan pasukan Mancu. Dia
menjadi girang sekali karena hari itu adalah hari terakhir dan besok
pagi-pagi dia sudah harus meninggalkan tempat ini untuk mengadakan
pertemuan dengan kawan-kawannya, maka hasil pengintaiannya itu dapat
mendengarkan rahasia yang amat penting bagi pasukan Mancu. Akan tetapi,
betapa terkejutnya ketika ia melihat bayangan berkelebat dan seorang
laki-laki tampan berdiri di depan Bu-koksu sambil berkata tenang,
"Bu-loheng, aku telah mengusir seorang mata-mata yang tadi mengintai di sini."
"Eh, mengapa kauusir dan tidak kautangkap atau bunuh?" Koksu Bu Kok Tai bertanya, tidak puas.
"Dia lihai sekali, Loheng. Akan tetapi dia sudah terluka oleh sebuah pukulanku."
"Siapakah dia? Apakah kau mengenal dia?"
"Tempatnya
gelap, dia bersembunyi di belakang wuwungan, Loheng. Aku hanya melihat
dia dalam cuaca remang-remang, dia masih muda dan tampan, akan tetapi
aku tidak mengenalnya."
"Kam-siauwte, engkau telah berjasa. Harap kau
suka melakukan penyelidikan ke kota, jangan sampai ada mata-mata musuh
dapat menyelundup masuk ke kota Siang-tan ini."
"Baiklah, Loheng." Setelah berkata demikian, pemuda itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Ok
Yang Hwa masih memeluk tiang di bawah pondok itu, wajahnya pucat dan
dia menggigil. Bukan menggigil karena kedinginan yang dapat dilawannya
dengan pengerahan sin-kangnya, melainkan menggigil karena ketakutan! Ok
Yan Hwa murid Mutiara Hitam, menggigil ketakutan? Memang benar demikian
dan hal ini tidaklah aneh karena dara perkasa itu tadi mengenal Si
Pemuda yang menghadap Bu-koksu sebagai Kam Han Ki! Perasaan
terheran-heran melihat adik sepupu gurunya itu kini membantu Koksu
Negara Sung, bercampur dengan rasa ngeri dan takut karena kalau sampai
Kam Han Ki melihatnya, tentu dia celaka. Paman gurunya lebih lihai
daripada Maya, pernah menundukkan dia dan suhengnya di medan
pertempuran, bahkan memperingatkan mereka berdua agar meninggalkan
barisan Mancu.
Karena telah mendengar rahasia penting dan hatinya
gentar setelah melihat Kam Han Ki, Yan Hwa lalu menyelam, berenang di
bawah permukaan air tanpa menimbulkan suara, meninggalkan tempat itu dan
langsung dia menghubungi suhengnya, Can Ji Kun yang menyelundup dan
bekerja sebagai tukang kuda.
Isyarat suitan yang dikeluarkan Yan Hwa
segera mendapat balasan dan tak lama kemudian kedua orang kakak beradik
seperguruan, juga sepasang kekasih ini, sudah saling berhadapan di
belakang kandang kuda yang gelap. Ji Kun segera merangkul Yan Hwa dan
dia berbisik kaget,
"Aihhh.... kenapa pakaianmu basah semua?"
"Aku baru saja menyelidiki perundingan di pondok telaga dengan hasil baik," Yan Hwa balas berbisik.
"Engkau tentu kedinginan. Hayo masuk ke kamarku, tanggalkan pakaian basah ini dan kuhangatkan...."
"Hushhh, itu saja yang kaupikirkan, suheng. Dengarlah, kita harus pergi dari sini, sekarang juga!"
"Kenapa? Kau kelihatan ketakutan, sumoi."
"Memang aku takut setengah mati. Kau tahu.... Kam-susiok berada di sini, dia menjadi pengawal Bu-koksu!"
Can Ji Kun membelalakkan matanya. "Apa? Kam-susiok? Kaumaksudkan dia.... Kam Han Ki penghuni Istana Pulau Es?"
Yan
Hwa mengangguk dan dengan singkat menceritakan semua pengalamannya
ketika dia mengintai tadi. "Karena itulah, kita harus sekarang juga
meninggalkan tempat ini. Besok adalah hari yang menentukan bagi kita
untuk berkumpul di dalam kuil tua di luar kota. Aku telah mendengar
rahasia yang amat penting itu, terutama sekali kehadiran Kam-susiok di
sini tentu akan menarik perhatian Maya. Dan kau sendiri tentu sudah
mendapatkan banyak keterangan. Selagi gelap begini, akan berkuranglah
bahayanya untuk melarikan diri. Mudah-mudahan saja jangan sampai bertemu
dengan Kam-susiok!" Yan Hwa bergidik ngeri karena dia takut sekali
kepada adik gurunya itu.
"Baiklah kalau begitu, Sumoi. Nih pedangmu,
simpanlah!" Yan Hwa menerima pedangnya yang ia titipkan kepada suhengnya
ketika mereka menjalankan siasat menyelundup kota bersama rombongan
siuli, "Akan tetapi, engkau harus berganti pakaian lebih dulu. Pakaianmu
basah kuyup begini."
"Tidak ada waktu untuk kembali ke istana. Kalau
ada yang melihat pakaianku tentu akan menimbulkan kecurigaan. Sudahlah,
basah begini pun tidak apa-apa, Suheng."
"Bagimu tidak apa-apa, akan
tetapi kalau engkau sakit, akulah yang akan kehilangan!" Ji Kun
berkata, "Tidak, engkau harus berganti pakaian kering. Biarlah engkau
memakai pakaianku saja."
Yan Hwa tidak membantah lagi dan dengan
belaian-belaian mesra, Ji Kun membantunya menanggalkan pakaian basah dan
mengenakan pakaian kering yang tentu saja terlalu besar bagi Yan Hwa.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tiada ubahnya sepasang suami isteri
muda yang saling mencinta. Kalau Yan Hwa yang masih ketakutan mengingat
kehadiran Kam Han Ki tidak menolaknya, tentu Ji Kun akan melepas
rindunya terhadap sumoinya atau kekasihnya itu.
Mereka lalu
menyelundup keluar dari lingkungan istana, melalui tembok belakang yang
tidak jauh dari kandang-kandang kuda di mana Ji Kun bekerja. Dengan
kepandaian mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini berhasil meloncat
keluar tanpa dilihat para peronda dan penjaga. Mereka meloncat dan
berlarian di atas genteng rumah rumah penduduk kota dengan hati-hati
sekali dan legalah hati mereka melihat bahwa di atas rumah-rumah itu
tidak nampak penjaga-penjaga.
"Kita harus menghubungi Kwa-huciang dan
Theng-ciangkun lebih dulu," kata Ji Kun. "Kemarin aku telah berhasil
menghubungi mereka."
"Apakah mereka masih menyamar sebagai pengemis?"
"Benar,
dan mereka bersembunyi di kolong jembatan Ayam Besi di sebelah utara,
bersama para pengemis lainnya. Kita harus membantu mereka keluar dari
kota. Marilah!"
Akan tetapi ketika mereka melompat ke atas genteng
sebuah rumah besar, tiba-tiba muncul empat bayangan orang-orang yang
tadinya bersembunyi dengan mendekam di balik wuwungan. Mereka adalah
empat orang pengawal yang memegang pedang dan seorang di antaranya
membentak,
"Berhenti! Siapa kalian berdua?"
Kedua orang murid
Mutiara Hitam itu menjawab dengan gerakan pedang yang telah mereka cabut
dari sarungnya. Gerakan mereka cepat bukah main dan keduanya seperti
berlomba, tampak sinar kilat berkelebat dan empat orang pengawal itu
telah roboh dan tewas seketika. Kakak beradik seperguruan ini
masing-masing merobohkan dua orang!
"Tangkap penjahat....!"
Kini
muncullah belasan orang pengawal yang berloncatan dari empat penjuru,
dan kedua orang muda perkasa itu sudah dikurung. Terjadilah pertempuran
seru di atas genteng.
"Cepat, kita harus pergi dari sini!" Ji Kun berkata sambil mengelebatkan pedangnya.
Para
pengawal yang datang mengeroyok ini memiliki kepandaian lumayan
sehingga terdengarlah bunyi berdencing nyaring ketika Sepasang Pedang
Iblis di tangan Ji Kun dan Yan Hwa mengamuk, mematahkan senjata-senjata
lawan yang menghujani mereka dengan serangan dahsyat. Dua orang pengawal
roboh lagi, akan tetapi kini tampak banyak sekali pengawal berloncatan.
Ji
Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau pasukan pengawal dikerahkan, mereka
akan menghadapi bahaya besar dan akan sukar sekali untuk dapat
meloloskan diri. Apalagi kalau mereka teringat kepada Kam Han Ki, mereka
merasa ngeri. Maka sambil memutar pedang yang mengeluarkan hawa
menyeramkan dan sinar kilat sehingga para pengeroyok menjadi gentar,
keduanya meloncat ke depan, berdiri di atas genteng dan dikejar oleh
para pengawal. Terdengar bunyi suitan-suitan dari para pengawal yang
memberi tanda bahaya sehingga dari mana-mana muncullah para penjaga yang
tadinya melakukan penjagaan sambil bersembunyi. Melihat betapa dari
depan, kanan, kiri muncul pula banyak pengawal, Ji Kun dan Yan Hwa lalu
meloncat turun. Seperti juga di atas, di bawah sudah terdapat banyak
pengawal yang segera menyambut dan mengurung mereka. Ji Kun dan Yan Hwa
mengamuk dan seperti biasa, pedang mereka seolah-olah berubah menjadi
naga kilat, sepasang naga yang amat dahsyat dan mereka berlomba
membunuhi para musuh yang mengeroyok mereka.
"Sing-sing....
crat-crat....! Delapan orang, Suheng!" Yan Hwa berseru ketika tubuhnya
mencelat ke atas dan pedangnya menyambar ke bawah, merobohkan dua orang
pengeroyok yang hampir putus leher mereka terbabat pedang Li-mo-kiam di
tangannya. Ucapannya itu berarti bahwa sudah delapan orang yang
dirobohkannya.
Ji Kun menggulingkan tubuhnya, pedangnya membabat ke
sekelilingnya. "Wuuuttt, crok-crok....! Sembilan orang Sumoi!" katanya
gembira karena dia menang satu orang.
Yan Hwa penasaran dan pedangnya
diputar makin hebat. Kedua orang itu kini telah lupa akan bahaya, lupa
akan menyelamatkan diri, bahkan lupa bahwa mereka tadi khawatir sekali
akan munculnya Kam Han Ki. Mereka telah berubah menjadi dua orang yang
haus darah, ingin berlomba berbanyak-banyaknya dalam membunuh musuh!
Tiba-tiba
terjadi kekacauan di antara para pengeroyok dan ternyata tiga puluh
orang lebih yang berpakaian pengemis, mengamuk dan menyerang para
pengawal itu. Keadaan menjadi kacau-balau dan tiba-tiba Ji Kun dan Yan
Hwa melihat Kwa-huciang dan Theng-ciangkun muncul dekat mereka.
"Cepat, ikut kami....!" bisik Kwa-huciang memberi isyarat dengan tangannya.
Ji
Kun dan Yan Hwa maklum bahwa kalau mereka menuruti nafsu hati berlomba
membunuhi musuh, akhirnya mereka akan terjebak dan sukar sekali
meloloskan diri, maka mereka segera menyelinap dan mengikuti Kwa-huciang
dan Theng-ciangkun yang agaknya memang sudah merencanakan pelarian ini.
Menggunakan kekacauan karena para pengemis menyerbu para pengawal,
empat orang mata-mata ini berlari dan melalui lorong-lorong gelap,
akhirnya mereka itu dapat lolos dari kota dengan jalan merobohkan
beberapa orang penjaga tembok kota yang sunyi dan kurang kuat
penjagaannya, meloncat ke atas tembok dan menggunakan tali yang sudah
disediakan untuk keluar.
Setelah mereka terbebas dari kejaran para
pengawal dan penjaga, Ji Kun memuji kawannya dan berkata, "Eh,
Kwa-huciang, untung engkau datang, kalau tidak tentu kami akan repot
menghadapi kepungan pasukan-pasukan musuh. Bagaimana kalian berdua dapat
menggerakkan para pengemis itu?"
"Mereka itu sebagian besar adalah
pengemis-pengemis anggauta Hek-tung Kai-pang yang bergabung dengan
Coa-bengcu. Telah kita ketahui bahwa diam-diam Coa-bengcu menjadi sekutu
pemerintah Yucen, maka kami berdua lalu mengaku sebagai mata-mata dari
Yucen dan mendengar ini, tentu saja mereka siap membantu kami berdua
untuk meloloskan diri dari dalam kota."
"Hemm, bagus sekali siasatmu,
Kwa-huciang. Sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat! Para pengemis itu
adalah kaki tangan Yucen, musuh kita juga, dan tentu mereka akan
terbasmi oleh para penjaga Sung. Sungguh bagus, ha-ha-ha!" Ji Kun
memuji.
Kwa-huciang mengerutkan alisnya dan dia menarik napas
panjang. "Yaaah, begitulah perang! Demi kemenangan pihak sendiri, orang
tidak segan-segan melakukan segala macam hal yang dalam keadaan biasa
akan membuatnya malu sekali karena perbuatan semacam yang kami lakukan
adalah keji dan curang. Sudahlah, mari kita cepat menuju ke kuil tua di
mana tentu Li-ciangkun telah menanti kita."
Benar saja dugaan
pembantu utama Maya ini, ketika mereka berempat memasuki kuil tua yang
sudah tidak digunakan, di luar kota yang sunyi itu, Maya sudah berada di
situ. Wajah Maya yang tadinya agak keruh karena masih teringat akan
peristiwa antara dia dengan Suma Hoat, kini menjadi berseri. Girang
hatinya bahwa empat orang pembantunya ternyata dapat lolos pula dan
berkumpul kembali di tempat itu dalam keadaan selamat.
Empat orang
itu segera melaporkan hasil penyelidikan mereka kepada Maya. Kwa-huciang
dan Theng-ciangkun, dengan bantuan para pengemis, telah berhasil
menyelidiki keadaan di kota Siang-tan, bahkan telah berhasil membuat
gambar peta keadaan kota itu dan sekitarnya.
Hasil penyelidikan
mereka ini amat besar artinya bagi Maya, akan memudahkan mengatur siasat
penyerbuan ke kota itu. Setelah memuji hasil mereka, Maya lalu
menanyakan hasil penyelidikan kedua orang murid Mutiara Hitam.
"Kami
berdua berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ciu Hok Ong," Yan
Hwa berkata dan dengan singkat dia menceritakan pengalamannya bersama Ji
Kun ketika mereka berdua menyamar sebagai pengganti siuli dan tukang
kuda. Maya kagum bukan main akan kecerdikan kedua orang muda itu, juga
merasa geli karena dapat membayangkan betapa lucunya pengalaman mereka
itu.
"Dan apa saja yang kalian dapatkan dalam penyelidikan kalian?" tanyanya setelah dia memuji.
"Hasil-hasil
lainnya tidak begitu penting, akan tetapi ada dua buah berita yang
tentu akan kauanggap hebat sekali," kata Yan Hwa.
Maya mengerutkan alisnya, hatinya tidak enak. "Lekas katakan, berita apa itu?"
"Pertama,
dari perundingan antara Pangeran Ciu, Bu-koksu dan para panglimanya,
mereka merencanakan untuk menjebak kita! Mereka akan membiarkan
pasukan-pasukan kita meninggalkan Sian-yang menyerbu Siang-tan,
diam-diam mereka akan memotong jalan dan mengurung pasukan kita di
antara kedua kota itu dengan pengerahan bala tentara yang jauh lebih
besar daripada pasukan kita," Kwa-huciang dan Theng-ciangkun terkejut
sekali mendengarkan berita yang amat penting itu. Akan tetapi Maya
mengangguk dan menjawab,
"Memang hebat berita itu, dan amat penting,
perlu segera kita hadapi dengan siasat lain, akan tetapi aku telah
mendengarnya juga, Yan Wwa. Biarpun dari sumber lain, aku pun telah tahu
akan rencana siasat mereka itu. Berita ke dua apa lagi?"
"Berita ke dua ini lebih hebat lagi. Aku telah melihat.... Kam-susiok sebagai pengawal Bu-koksu!"
"Apa....? Siapa....?" Maya yang tadinya duduk di atas lantai, meloncat bangun dan mukanya berubah pucat.
Yan
Hwa maklum bahwa tentu Maya terkejut mendengar bahwa suhengnya berada
di kota itu, bahkan menjadi pengawal Koksu musuh. "Aku melihatnya
sendiri, dan untung bahwa aku mengintai dari bawah, di dalam air, karena
kalau sampai Kam Han Ki-susiok melihatku, tentu aku akan celaka."
Maya
termenung dan teringat akan keadaan Suma Hoat. Melihat betapa pemuda
lihai itu terkena pukulan yang amat hebat, dia percaya bahwa penglihatan
Yan Hwa tentu tidak keliru dan yang melukai Suma Hoat tentulah
suhengnya sendiri, Kam Han Ki! Yang membuat dia terheran-heran adalah
kenyataan bahwa suhengnya itu dahulunya jelas membantu pasukan Yucen,
sungguhpun bukan sebagai petugas resmi, mengapa sekarang tahu-tahu
menjadi pengawal Bu-koksu dari Kerajaan Sung? Apakah yang telah terjadi
dengan suhengnya?
"Kita harus kembali ke Sian-yang sekarang juga!"
Tiba-tiba ia berkata, suaranya agak tergetar. Betapa hatinya takkan
gelisah kalau mendengar bahwa suhengnya berada di pihak musuh? Bagaimana
kalau Kam Han Ki maju sebagai Panglima Sung? Dapatkah dia berhadapan
dengan suhengnya yang dicintanya itu sebagai musuh?
Lima orang itu
berjalan menuju ke depan kuil tua akan tetapi baru saja mereka melalui
ambang pintu depan yang sudah rusak, tiba-tiba terdengar suara berdesir
sambung-menyambung dan belasan batang anak panah dan senjata piauw
menyambar ke arah mereka dari depan, kanan dan kiri.
"Mundur!" Maya
berkata setelah mereka berhasil mematahkan semua senjata rahasia itu
dengan pukulan dan kibasan tangan ke kanan kiri. Mereka meloncat mundur
lagi dan Maya berkata perlahan,
"Hati-hati, kita terkepung musuh.
Jangan bergerak sebelum aku melihat keadaan." Biarpun keadaan mereka
terkepung dan cuaca di luar masih gelap sehingga mereka terancam bahaya,
namun sikap Maya tetap tenang.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari
luar, "Heiiiii! Kalian mata-mata Mancu! Menyerahlah, kalian telah
terkepung dan tidak akan dapat lolos lagi!"
Maya sudah menyelinap dan
tanpa mengeluarkan suara dia mengintai dari empat penjuru, kemudian dia
kembali menghampiri empat orang pembantunya dan berkata,
"Banyak
sekali pasukan mengepung kita. Kita harus menggunakan cuaca gelap ini
untuk menerjang keluar dan melawan mati-matian. Kalau sudah terang,
harapan kita tipis sekali untuk dapat lolos. Kita akan berhadapan dengan
perlawanan yang kuat, akan tetapi betapa pun juga, seorang di antara
kita harus dapat lolos dan menyampaikan berita-berita penting itu kepada
Pangeran. Oleh karena itu, tidak boleh kita gagal semua, maka harus
berpencar agar seorang di antara kita sedikitnya, dapat lolos dan sampai
ke Sian-yang. Ji-wi Ciangkun harap menyerbu dari pintu belakang dan aku
sendiri akan menyerbu dari pintu depan. Ji Kun, kau menerobos dari
jendela kiri, sedangkan Yan Hwa dari jendela kanan. Dengan dipecah
menjadi empat bagian, tentu kepungan mereka tidak begitu rapat lagi dan
kalau untung kita baik, mudah-mudahan kita semua akan dapat lolos dengan
selamat. Mengertikah semua?"
Mereka mengangguk. Memang, di antara
mereka berlima, yang dapat dikatakan paling rendah kepandaiannya,
sungguhpun sama sekali bukanlah rendah menurut ukuran umum, adalah
Theng-ciangkun dan Kwa-huciang. Oleh karena itu, kedua orang ini disuruh
menyerbu bersama.
"Sekarang, aku akan menyerbu lebih dulu ke depan.
Kalau mereka sudah menyambutku, Ji Kun harus cepat menerjang ke kiri
untuk mengacaukan mereka, kemudian Yan Hwa menyusul menyerbu ke kanan,
sedangkan Ji-wi Ciangkun menyerbu paling akhir ke belakang."
Setelah
para pembantunya mengangguk tanda mengerti dan setuju, Maya melangkah
keluar dengan sikap tenang. Dia tidak membawa senjata. Kalau dia
berpakaian sebagai panglima, tentu saja pinggangnya selalu terhias
sebatang pedang panjang. Akan tetapi kalau dara ini berpakaian preman,
tidak pernah memegang senjata dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat
bahwa seorang yang telah memiliki tingkat kepandaian seperti dia, tidak
lagi membutuhkan senjata. Begitu tubuhnya muncul keluar, kembali ada
belasan anak panah menyambar, namun sekali meraih, beberapa batang anak
panah dapat ditangkisnya dan sebagian lagi runtuh terkena sambaran hawa
pukulan tangannya yang dikibaskan. Sambil tersenyum mengejek Maya lalu
melontarkan anak-anak panah yang dapat ditangkapnya itu ke arah asalnya.
Terdengarlah pekik-pekik kesakitan disusul robohnya tubuh orang di
dalam gelap ketika senjata-senjata itu makan tuannya sendiri!
"Tangkap mata-mata!"
"Bunuh dia!"
Teriakan-teriakan
ini disusul serbuan banyak sekali pasukan yang menyerang Maya dengan
macam-macam senjata, seperti hujan datangnya. Namun Maya bersikap
tenang, tubuhnya berkelebat ke kiri dan berbareng dengan robohnya dua
orang oleh tamparan-tamparannya, tangannya sudah merampas sebatang
pedang lawan. Mulailah pendekar wanita yang sakti ini mengamuk, memutar
pedang rampasannya dan terdengar suara nyaring berdentang ketika
pedangnya menangkis banyak senjata, disusul pukulan-pukulannya dengan
tangan kiri dan tendangan-tendangan kedua kakinya yang merobohkan banyak
pengeroyok.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan di sebelah kiri kuil tua dan
tampak sinar kilat menyambar-nyambar. Itulah Can Ji Kun yang sudah
menerjang keluar dan juga seperti Maya, pemuda ini telah disambut oleh
pengeroyokan puluhan orang tentara musuh. Keadaan menjadi ramai dan
kacau, apalagi ketika Yan Hwa juga cepat menyusul keluar di sebelah
kanan kuil dan mengamuk dengan Pedang Iblis di tangannya. Pasukan yang
mengurung mereka itu ternyata juga telah dibagi-bagi sehingga tidaklah
terjadi kepanikan di pihak mereka seperti diharapkan Maya karena yang
mengepung mereka berjumlah seratus enam puluh orang, dan kini dibagi
menjadi empat regu, masing-masing dipimpin oleh perwira-perwira pengawal
yang berkepandaian tinggi.
Sambutan pasukan yang besar jumlahnya ini
mengejutkan Maya. Diam-diam ia merasa khawatir sekali kalau-kalau di
antara para pengepung itu terdapat suhengnya. Akan tetapi dia tidak
mempedulikan lagi hal itu dan terus mengamuk sambil berusaha mencari
lowongan untuk melarikan diri. Dia maklum dengan penuh penyesalan bahwa
dalam keadaan seperti itu di mana terdapat rahasia besar yang harus
disampaikan kepada Pangeran Bharigan di Sian-yang yang agar pasukan
Mancu tidak masuk dalam perangkap yang dipasang oleh pimpinan Sung, dia
atau seorang di antara mereka harus dapat lolos dan terpaksa mereka
tidak dapat saling menolong. Kalau saja tidak ada hal yang harus
disampaikan ke Sian-yang itu, tentu dia akan mengamuk dan akan menolong
anak buahnya, kalau perlu tewas bersama semua pembantunya.
Kwa-huciang
dan Theng-ciangkun juga mengamuk sekuat mereka. Namun jumlah pengeroyok
terlalu banyak, bahkan di antara para perwira pengawal terdapat
orang-orang pandai, di antaranya terdapat Siangkoan Lee yang lihai.
Biarpun kedua orang perwira pembantu Maya itu mengamuk dan berhasil
merobohkan belasan orang pengeroyok, namun akhirnya mereka berdua roboh
juga dan tewas di bawah hujan senjata pasukan Sung yang marah melihat
betapa teman-teman mereka banyak yang tewas.
Di lain bagian dari
pertempuran sebelah itu, Ji Kun mengamuk dengan pedang iblis di
tangannya. Dia seperti harimau yang haus darah, pedangnya berubah
menjadi sinar kilat menyambar-nyambar yang mematahkan banyak senjata
lawan dan merobohkan banyak orang. Sudah ada dua puluh orang roboh dan
tewas oleh pedangnya, namun dia sendiri juga terluka di pahanya,
keserempet golok. Betapapun juga, pemuda yang perkasa ini tidak menjadi
gentar dan dia mengamuk terus, merasa kecewa bahwa dia terpaksa harus
bertanding jauh dari Yan Hwa sehingga dia tidak dapat membuktikan kepada
sumoinya itu bahwa dia lebih banyak merobohkan lawan daripada sumoinya!
Tiba-tiba
para pengeroyok bertambah dan muncullah Siangkoan Lee bersama beberapa
orang perwira tinggi yang lihai. Murid Jenderal Suma Kiat ini
bersenjatakan sebatang golok melengkung dan dia memimpin pengeroyokan
dengan serangan-serangannya yang amat dahsyat. Sekali ini, Ji Kun
benar-benar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang berkepandaian
tinggi. Akan tetapi sukarlah bagi Siangkoan Lee dan kawan-kawannya untuk
merobohkan pemuda ini, terutama sekali karena di tangan Ji Kun terdapat
Pedang Ibiis yang amat ampuh itu.
"Jangan bunuh dia! Tangkap
hidup-hidup dan rampas pedangnya!" Tiba-tiba terdengar seruan dan
muncullah Suma Hoat yang langsung mengirim tusukan dengan pedangnya ke
arah punggung Ji Kun.
Ji Kun maklum bahwa lawan ini amat lihai,
terbukti dari gerakan pedang yang berubah menjadi gulungan sinar putih.
Dia memutar tubuh, mengelebatkan pedang Lam-mo-kiam untuk merusak pedang
lawan. Namun Suma Hoat yang sudah maklum akan kelihaian pedang itu
ketika tadi datang dan menonton, cepat menarik pedangnya dan dia bersuit
nyaring. Suitan ini merupakan tanda rahasia bagi seregu pasukan yang
sudah ia persiapkan lebih dulu dan dua belas orang anggauta pasukan ini
serentak melemparkan sebuah jaring ke arah tubuh Ji Kun! Pemuda ini
terkejut sekali. Cuaca pada saat itu masih gelap dan dia tak dapat
melihat jelas benda apa yang menyambarnya dari sekelilingnya itu.
Tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap, tertutup oleh benda-benda yang
lebar itu. Karena tidak tahu senjata apa yang dipergunakan lawan untuk
menyerangnya, dia hanya memutar pedangnya.
Teriakan-teriakan
mengerikan terdengar ketika pedang Lam-mo-kiam membabat jaring-jaring
itu, terus membabat lengan dan tubuh para pemegangnya. Biarpun
jaring-jaring itu terbuat dari kawat-kawat baja yang kuat, namun sekali
terkena babatan Lam-mo-kiam, menjadi putus semua, bahkan pedang mujijat
itu masih terus membabat orang orang yang memegang jaring. Sekali
putaran saja lima orang di antara selosin anggauta regu ini roboh. Akan
tetapi, Ji Kun terkejut sekali karena pedangnya terlibat jaring dan
selagi dia berusaha melepaskan jaring-jaring yang melibat pedang dan
tengannya, tujuh orang pengeroyoknya melepas pula jaring-jaringnya
dengan berbareng!
"Keparat!" Ji Kun berteriak marah dan biarpun
tubuhnya sudah tertutup jaring-jaring itu, pedangnya masih mampu merobek
jaring dan sekali bacok, tubuh dua orang lawan terbabat buntung di
bagian pinggangnya!
"Hebat....!" Suma Hoat berseru lalu menubruk dari
belakang, tangannya bergerak dan tiga buah totokan kilat membuat Ji Kun
mengeluh dan terguling roboh dalam keadaan pingsan! Suma Hoat cepat
merampas pedang yang mujijat itu, bergidik memandang pedang yang
mengeluarkan cahaya kilat, kemudian dia memimpin sisa pasukan untuk
mengeroyok Yan Hwa.
Gadis itu pun mengamuk dengan hebat, pedangnya
membuat para pengeroyok menjadi gentar karena pedang-pedang pusaka yang
terkenal ampuh di tangan beberapa orang perwira menjadi patah semua
ketika bertemu dengan pedang di tangan gadis itu. Ketika Suma Hoat
menyaksikan kehebatan gadis itu, juga menyaksikan kecantikannya di bawah
sinar obor yang dipegangi oleh beberapa orang tentara, dia kagum bukan
main. Semenjak dia terpukul untuk ke tiga kalinya, terpukul hatinya
karena penolakan Maya, timbul pula penyakit lamanya dan tadi dia
melampiaskan kemarahan dan kekecewaannya dengan mempermainkan seorang
gadis kemudian membunuhnya. Namun ia masih merasa berduka, menyesal dan
kecewa. Ternyata perbuatannya yang keji itu tidak mampu memuaskan
hatinya, bahkan menimbulkan penyesalan yang lebih besar lagi. Ketika
lewat tengah hari itu dia meninggalkan kamar gadis yang kini telah tewas
di atas pembaringannya, dia melihat pasukan yang tergesa-gesa lari ke
arah utara. Dia cepat bertanya kepada Siangkoan Lee yang memimpin
pasukan itu, dan mendengar bahwa kini di luar kota, di kuil tua,
pasukan-pasukan penjaga sedang berusaha menangkap lima orang mata-mata
yang lihai.
Suma Hoat terkejut, lalu dia ikut pula berlari ke luar
kota di sebelah utara. Dia menyangka bahwa tentu Maya dan
kawan-kawannya. Sangkaannya ternyata tepat, akan tetapi, melihat Maya
mengamuk dengan hebat itu, selain dia merasa tidak akan mampu menandingi
wanita penghuni Istana Pulau Es itu, juga dia merasa tidak tega untuk
mengeroyok Maya yang dicintanya. Diam-diam dia merasa heran sekali
kepada diri sendiri. Mengapa dia tidak dapat membenci Maya yang
terang-terangan telah menolak cintanya? Mengapa dia tidak pernah pula
dapat melupakan Khu Siauw Bwee yang juga tidak dapat membalas cinta
kasihnya? Benar-benar dia telah menjadi gila!
Dia, Jai-hwa-sian yang
dapat memperoleh gadis-gadis cantik yang mana saja, baik dengan rayuan
maupun dengan kekerasan, kini tergila-gila kepada dua orang gadis yang
tidak mungkin didapatkannya! Mengapa hatinya jatuh cinta kepada dua
orang gadis yang jelas menolaknya, sedangkan banyak gadis-gadis cantik
hanya ingin ia dapatkan untuk memenuhi nafsu birahi dan sebagai balas
dendam belaka?
Karena tidak sampai hati menyaksikan Maya dikeroyok,
pula dia juga tidak berdaya menolongnya karena hal ini selain akan
membahayakan dia sendiri, juga akan membahayakan kedudukan ayahnya dan
membocorkan rahasia mereka bahwa sesungguhnya mereka itu memusuhi
Kerajaan Sung Selatan dan bersekutu dengan Yucen, maka Suma Hoat tidak
mau mendekati Maya, sebaliknya dia membantu Siangkoan Lee untuk
menangkap pemuda yang lihai itu. Kini, menghadapi Yan Hwa, timbul gairah
di hatinya. Dia tertarik dan ingin mendapatkan gadis ini. Dia sudah
bosan dengan gadis-gadis cantik yang lemah, yang hanya menangis kalau
diperkosanya tanpa mampu melawan, yang tersenyum-senyum malu dan penuh
pura-pura kalau gadis itu kebetulan suka kepadanya. Kini, gadis ini
memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Dia sendiri belum tentu akan
dapat mengalahkan gadis itu, apalagi gadis itu memiliki sebatang pedang
yang hebat bukan main, pedang yang bentuk dan sinarnya serupa benar
dengan pedang yang dirampasnya dari tangan pemuda tadi. Aku harus
mendapatkan gadis ini pikirnya, maka dia lalu melompat maju sambil
menghunus pedang Lam-mo-kiam yang telah dirampasnya.
"Tranggg....!"
Semua orang yang berdekatan dengan pertemuan sepasang pedang itu,
menjadi silau matanya dan banyak yang terhuyung mundur karena sepasang
pedang yang bertemu dengan dahsyatnya itu mengandung getaran yang
mujijat.
"Aihhhh...., Lam-mo-kiam....!" Yan Hwa menjerit kaget ketika
pedangnya bertemu dengan pedang pegangan suhengnya itu. Dia memandang
wajah pemuda tampan yang memegang pedang itu, kemudian bertanya dengan
suara membentak, "Bagaimana pedang Lam-mo-kiam bisa berada di tanganmu?
Siapa engkau dan di mana suhengku?"
Suma Hoat memandang dengan senyum lebar, "Ah, kiranya dia itu suhengmu, Nona? Dia sudah tertawan...."
"Bohong! Tak mungkin suheng tertawan oleh kalian!"
"Hemm,
kalau belum tertawan, mana mungkin pedangnya dapat kurampas? Dan semua
temanmu sudah kalah, tinggal engkau seorang. Kalau engkau suka menyerah,
aku menanggung bahwa engkau tidak akan diganggu, bahkan soal
suhengmu.... hemmm, marilah kita bicarakan. Melawan pun takkan ada
gunanya, Nona."
Yan Hwa terkejut dan memandang ke sekeliling. Benar
saja dia tidak melihat lagi Maya yang tadi mengamuk, dan tidak melihat
lagi yang lain-lain. Bahkan kini semua pasukan sudah mengurungnya
sehingga kalau dia melawan, biarpun dia akan dapat membunuh banyak
lawan, akhirnya dia tidak akan dapat meloloskan dirinya. Dia memandang
tajam. Pemuda ini amat tampan dan gagah, dan tidak memiliki sifat kejam.
"Aku minta bukti lebih dulu bahwa suhengku benar-benar telah kautawan!" katanya sambil melintangkan pedangnya.
Suma Hoat tertawa dan memanggil Siangkoan Lee. "Bawalah tawanan itu agar nona ini dapat melihatnya!"
Siangkoan
Lee mengerutkan alisnya. Dia tidak setuju dengan sikap putera gurunya,
akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. Dia mengangguk lalu
pergi lagi, tak lama kemudian dia mengawal empat orang anak buahnya yang
menggotong tubuh Ji Kun yang masih pingsan dan yang terbelenggu
kuat-kuat.
"Suheng....!" Yang Hwa berseru dan pedangnya bergerak, hendak mengamuk.
"Tranggg!"
Pedang Suma Hoat menangkis pedangnya dan pemuda ini berkata, "Nona,
lebih baik menyerah. Percayalah, aku akan mengusahakan agar engkau dan
suhengmu dibebaskan."
Yan Hwa memandang dan melihat sinar mata pemuda
tampan itu memandangnya penuh gairah, jantungnya berdebar. Kalau di
sana ada jalan keluar untuk membebaskan diri bersama suhengnya, agaknya
jalan satu-satunya hanyalah menuruti kehendak pemuda tampan ini.
"Di mana teman-temanku yang lain?" Ia bertanya, masih belum mau tunduk dan menyerah begitu saja.
"Dua
orang temanmu yang menyerbu dari belakang kuil telah tewas, sedangkan
yang seorang lagi.... eh, wanita sakti itu, telah melarikan diri," kata
Suma Hoat, di dalam hatinya girang sekali, ketika tadi mendapat
kenyataan bahwa Maya telah berhasil melarikan diri.
Tidak ada jalan
lain lagi, pikir Yan Hwa. Maya telah berhasil melarikan diri membawa
berita rahasia itu untuk disampaikan ke Sian-yang, sedangkan kedua orang
perwira pembantu Maya telah tewas. Sekarang yang terpenting adalah
menyelamatkan diri sendiri dan suhengnya.
"Engkau siapakah?" tanyanya.
Suma Hoat menjura. "Aku Suma Hoat...."
"Suma Hoat....?" Yan Hwa terkejut karena tentu saja dia telah mendengar akan nama Jenderal Suma Kiat.
Suma
Hoat maklum akan isi hati gadis itu, maka dia melanjutkan, "Benar, aku
adalah putera Suma-goanswe yang terkenal. Kaulihat, aku bukan orang
sembarangan, Nona dan kata-kataku boleh engkau percaya sepenuhnya."
Kemudian dengan berbisik ia menyambung, "Berikan pedangmu dan
menyerahlah, engkau dan suhengmu akan selamat."
Mendengar bisikan ini
dan melihat sinar mata pemuda itu mengandung kesungguhan, Yan Hwa
memutar pikirannya cepat sekali. Kalau dia melawan dan sampai tertawan
seperti suhengnya, tidak ada harapan lagi bagi mereka berdua. Sebaliknya
kalau dia menyerah, dia masih dapat melihat keadaan dan mungkin dapat
menyelamatkan diri bersama suhengnya. Semua harapan sudah buntu, kenapa
tidak berpegang kepada satu harapan ini, betapapun tipisnya? Ia
mengangguk dan tanpa berkata sesuatu dia menyerahkan pedangnya.
Suma Hoat girang sekali, menerima pedang mujijat itu lalu berkata kepada Siangkoan Lee dan para perwira,
"Aku
yang telah menawan pemuda itu, dan gadis ini menyerah kepadaku. Mereka
adalah tawanan-tawananku. Siangkoan Lee, bawa pemuda itu ke rumah dan
masukkan ke dalam tahanan di bawah tanah, jaga yang kuat."
Siangkoan
Lee mengangguk dan kini dia mentaati perintah putera majikan atau
gurunya karena dia menyangka bahwa tentu "ada apa-apanya" dengan kedua
orang mata-mata itu sehingga putera gurunya sengaja menawan mereka.
Agaknya ada hubungannya dengan persekutuan antara majikannya dengan
Kerajaan Yucen. Apakah dua orang muda itu mata-mata Yucen? Maka dia lalu
menggunakan pengaruhnya untuk menekan para pengawal dan menyuruh mereka
melaporkan bahwa dua orang mata-mata telah terbunuh, seorang berhasil
melarikan diri, sedangkan dua orang lagi yang tertawan oleh putera
Jenderal Suma sedang diselidiki oleh karena keadaan dua orang itu masih
disangsikan apakah mereka benar-benar mata-mata ataukah hanya terlibat
saja dalam keributan yang digerakkan oleh para pengemis pemberontak itu.
***
"Usul
yang gila, dan engkau seorang manusia yang mata keranjang! Siapa yang
percaya bahwa engkau akan memegang janji?" Yan Hwa dengan muka berubah
merah sekali bangkit dari tempat duduknya, memandang Suma Hoat dengan
mata bersinar penuh kemarahan dan keheranan setelah mendengar usul yang
diajukan pemuda itu kepadanya. Mereka berada di sebuah kamar yang mewah
dan serba indah, kamar tidur pemuda itu sendiri.
Suma Hoat tersenyum
dan tetap duduk di atas pembaringan menghadapi gadis itu. "Tenanglah,
Nona dan duduklah. Mungkin sekali aku sudah gila, dan tidak kusangkal
bahwa aku adalah seorang yang mata keranjang. Hati siapakah yang takkan
terpesona oleh kecantikan seperti yang kaumiliki? Akan tetapi, penukaran
yang kuajukan cukup adil, dan engkau harus percaya kepadaku karena
banyak hal yang mengharuskan aku membebaskan engkau dan suhengmu."
"Hemm, hal-hal apakah yang menjadi alasanmu?"
"Pertama,
engkau dan suhengmu bukanlah musuh-musuhku, bahkan tidak kukenal. Untuk
apa aku mencelakakan kalian? Ke dua, kalian memiliki ilmu kepandaian
tinggi, bermusuhan dengan kalian sungguh bukan perbuatan yang cerdik. Ke
tiga, kalian mengganggu Kerajaan Sung yang bukan menjadi negara yang
kami bela. Nah, kalau di antara kita terikat persahabatan baik, bukankah
hal itu sangat menguntungkan? Begitu melihatmu, hatiku tertarik dan
timbul gairah di hatiku, Nona. Aku tidak akan memaksamu, akan tetapi
kiranya engkau tidak akan menganggap aku seorang laki-laki biasa apalagi
buruk rupa. Tidak kurang banyaknya gadis yang suka kepadaku, akan
tetapi tak seorang pun di antara mereka yang menarik hatiku. Nah,
bagaimana jawabanmu, Nona?"
Muka gadis itu tidak semerah tadi, namun
jantungnya masih berdebar keras. Pemuda ini memang tampan sekali, akan
tetapi usul dan permintaan pemuda itu benar-benar merupakan hal yang
selama hidupnya belum pernah ia dengar, maka tentu saja dia merasa
tegang dan malu.
"Coba ulangi lagi usulmu, agar aku tidak salah tangkap," katanya menekan hatinya agar suaranya tidak gemetar.
Suma
Hoat tersenyum, diam-diam merasa geli karena dia sudah tahu betapa hati
nona itu berdebar penuh ketegangan. Hal ini menyenangkan hatinya karena
berarti bahwa dara kang-ouw ini tidak biasa melakukan perbuatan seperti
dimintanya. Tidak jarang terdapat wanita-wanita kang-ouw yang mengumbar
nafsunya mengandalkan kepandaiannya, bersenang-senang dan memuaskan
nafsu birahi dengan pria-pria tampan. Namun gadis ini agaknya bukan
semacam wanita pengejar nafsu.
"Begini, Nona. Aku akan membebaskan
engkau dan suhengmu keluar dari kota ini asal engkau mau melayani aku
sebagai kekasih sampai besok pagi, jadi sehari semalam."
Kembali
wajah Yan Hwa menjadi merah sekali. "Usul gila!" Kembali ia mengulang
karena hampir dia tidak percaya akan ada orang yang berani mengajukan
usul segila ini kepadanya. "Kalau sekarang aku menyerangmu, apakah
engkau kira akan dapat hidup lebih lama lagi? Betapa berani engkau!"
Suma
Hoat tersenyum. "Aku sama sekali tidak berani memandang rendah
kepadamu, Nona. Aku sudah cukup menyaksikan kelihaianmu dan belum tentu
aku akan dapat bertahan kalau engkau menyerangku sekarang. Akan tetapi,
hal itu sudah kuperhitungkan masak-masak. Aku boleh saja kaubunuh, akan
tetapi apakah engkau dan suhengmu akan dapat meloloskan diri dari sini?
Dan sepasang pedang kalian yang ampuh itu, tidak sayangkah engkau?"
"Sepasang Pedang Iblis milik kami itu kaukembalikan pula kalau kami kaubebaskan?"
"Tentu
saja! Aku bukan seorang pencuri pedang yang hina! Aku hanyalah seorang
pencuri hati, pencuri wanita-wanita cantik seperti Nona...."
"Engkau laki-laki cabul!"
"Aku
hanyalah seorang laki-laki cabul yang berterus terang, tidak seperti
semua laki-laki cabul yang menyembunyikan kecabulannya di balik
kemunafikan mereka. Nona, aku tergila-gila kepadamu, akan tetapi aku
tidak memaksamu. Aku seperti seekor kumbang yang tertarik akan madu
manis yang terkandung dalam setangkai kembang. Engkaulah kembang itu dan
aku hanya mengharapkan engkau membukakan kelopak bungamu kepadaku. Aku
mengharapkan sari madu cintamu, kubeli dengan kebebasan engkau dan
suhengmu. Bukankah ini sudah adil namanya?"
"Kalau engkau melanggar janji?"
Suma
Hoat mengangkat muka, alisnya berkerut dan matanya bersinar. "Aku
adalah seorang laki-laki, seorang jantan! Melanggar janji, apalagi
terhadap seorang wanita cantik seperti Nona, merupakan pantangan besar
bagiku!"
Yan Hwa merasa terjepit, tidak ada jalan keluar yang lebih
baik. Kalau dia marah-marah dan menyerang orang ini, bahkan andaikata
dia berhasil membunuhnya, hal yang masih harus diragukan karena Suma
Hoat ini memiliki kepandaian yang tinggi pula, apakah untungnya bagi dia
dan suhengnya? Dia tentu akan dikepung, dan tanpa Li-mo-kiam di tangan,
apalagi suhengnya masih ditawan, akhirnya mereka berdua hanya akan
membuang nyawa sia-sia. Kalau dia menurut.... ah, pemuda itu tampan dan
gagah sekali, tidak kalah oleh Ji Kun. Teringat akan Ji Kun, dia
membayangkan watak Ji Kun yang kadang-kadang juga mata keranjang. Ketika
mereka menawan seorang di antara gadis-gadis cantik dari kereta para
siuli, bukanlah Ji Kun juga memperlihatkan kenakalannya? Apa kata
suhengnya itu? Hanya kulit yang bersentuhan, namun hati dan cintanya
adalah miliknya! Hemm, kalau dia melayani permainan Suma Hoat, bukankah
dia pun hanya mengorbankan kulit dan daging belaka, sama sekali tidak
ada sangkut pautnya dengan hatinya yang mencinta Ji Kun seorang? Apalagi
kalau diingat bahwa "pengorbanannya" itu untuk menyelamatkan nyawa Ji
Kun pula!
"Bagaimana, Nona?" Suma Hoat mendesak.
"Kalau aku menolak?"
"Tidak
ada lain jalan kecuali memanggil para pengawal agar engkau ditawan pula
dan bersama suhengmu diseret ke depan pengadilan. Engkau tentu tahu
bahwa aku tidak menakut-nakutimu kalau kuberi tahu bahwa hukuman bagi
mata-mata adalah penggal kepala."
"Kalau sekarang aku membunuhmu?"
"Sama
saja, engkau dan suhengmu juga akan mati konyol. Bagiku mati di
tanganmu yang halus itu merupakan mati yang terhormat dan menyenangkan.
Silakan pilih, aku siap mendengar pilihanmu."
Yan Hwa merasa betapa
jantungnya makin berdebar. Kamar ini begini indah, perabot-perabotnya
serba mewah dan mahal, tempat tidur itu kelihatan amat menyenangkan dan
tentu enak dipakai tidur, dan bau harum dari pembaringan itu menyentuh
hidungnya. Seperti kamar seorang puteri istana saja! Dan pemuda di
depannya yang memandang dengan mata bersinar-sinar, dengan bibir
tersenyum, merupakan calon teman yang menyenangkan.
Dengan jantung
berdebar dan suara lirih hampir tidak terdengar, Yan Hwa mengangguk dan
berkata, "Baiklah, aku menerima usulmu. Akan tetapi, kalau sampai engkau
melanggar janji, aku bersumpah untuk menghancurkan kepalamu dan
menyayat-nyayat tubuhmu!"
"Terima kasih, engkau sungguh seorang dara
yang cerdik dan menyenangkan sekali! Ahh, Nona, betapa keputusanmu itu
mendatangkan rasa gembira yang hebat di hatiku. Terima kasih!" Suma Hoat
melompat turun, merangkul Yan Hwa dan mencium dara itu dengan kemesraan
yang membuat Yan Hwa menjadi nanar. Belum pernah dia dicium orang
seperti itu. Ji Kun pun belum pernah menciumnya semesra itu! Dia tidak
tahu bahwa yang mendekap dan menciuminya adalah Jai-hwa-sian, seorang
yang tentu saja amat ahli dalam permainan cinta!
"Kebaikanmu harus
dirayakan, Nona!" Suma Hoat menghampiri pintu, membuka daun pintu dan
memanggil pelayan, menyuruh pelayan menyediakan air hangat untuk mandi,
dan hidangan yang mewah, masakan-masakan termahal dan terlezat bersama
arak yang paling baik!
Kalau tadinya Yan Hwa masih merasa berat,
malu-malu, dan merasa bahwa dia telah melakukan suatu perbuatan maksiat
yang hina dan kotor, lambat laun perasaan itu lenyap sama sekali
terganti perasaan girang dan senang yang luar biasa berkat kepandaian
Suma Hoat merayunya. Kalau masih ada awan tipis menyelubunginya, segera
awan itu tertiup pergi oleh hiburan paksaan berupa pendapat bahwa dia
melakukan hal itu demi menyelamatkan nyawa suhengnya!
Manusia adalah
makhluk yang amat lemah terhadap nafsunya sendiri. Kelemahan ini
ditambah lagi dengan bermacam perasaan bersalah karena larangan-larangan
yang mereka ciptakan sendiri sehingga setiap perbuatan mereka adalah
tidak wajar dalam usaha mereka menghindarkan diri dari pelanggaran
larangan itu. Demikian pula dengan Yan Hwa. Kalau memang dia tidak
bersikap palsu, maka baginya hanya tinggal memilih apa yang akan
dilakukannya sesuai dengan kehendak hatinya, tanpa penyesalan tanpa
pura-pura dan tanpa mencari kambing hitam sebagai alasan pendorong
perbuatannya. Dia seorang wanita yang lemah, mudah jatuh di bawah rayuan
pria tampan seperti Suma Hoat. Akan tetapi, dia hendak menutupi
kelemahannya ini dengan alasan yang dicari-cari sehingga semua
perbuatannya adalah tidak wajar dan karenanya menjadi kotor.
Sehari
semalam kedua orang itu mandi dalam telaga asmara, tiada bosan-bosannya
dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sebelum sinar matahari
mengusir kegelapan malam, keduanya mengakhiri permainan cinta mereka
karena sudah tiba saatnya dalam perjanjian mereka untuk membebaskan Yan
Hwa dan Ji Kun.
Dengan hati penuh kagum dan puas, Suma Hoat mencium Yan Hwa sambil berkata,
"Ah, engkau dan aku cocok sekali, Yan Hwa."
Sejenak
Yan Hwa membalas ciuman itu, kemudian didorongnya dada Suma Hoat sambil
berkata, "Cukup, Suma Hoat. Kau tahu bahwa aku melakukan semua itu
untuk menebus keselamatan aku dan suheng."
"Ha-ha-ha, tak usah kau
berpura-pura, manis. Beranikah engkau menyangkal bahwa engkaupun,
seperti aku, menikmati hubungan kita yang pendek ini?"
"Tak perlu
kusangkal. Engkau memang seorang laki-laki yang hebat. Akan tetapi aku
tidak cinta kepadamu seperti juga engkau tidak mencintaku. Aku telah
mencinta orang lain."
"Suhengmu sendiri?"
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Ha-ha,
apa sukarnya menduga? Engkau telah rela mengorbankan diri untuk
menyelamatkannya. Aku tidak menyalahkan engkau. Suhengmu seorang
laki-laki yang tampan dan gagah perkasa. Kalian berdua memiliki ilmu
kepandaian yang amat dahsyat, memiliki Sepasang Pedang Iblis yang
mujijat. Yan Hwa, sebelum kita berpisah dan mungkin kita tidak akan
saling berjumpa kembali, mengingat akan kemesraan yang sudah sama-sama
kita nikmati, maukah engkau sekarang mengaku, sebetulnya engkau dan
suhengmu itu dari perguruan mana?"
"Sudah kukatakan bahwa keadaan kami adalah rahasia kami. Harap kembalikan dulu pedang kami."
Suma
Hoat menarik napas panjang, lalu mengambil Sepasang Pedang Iblis dari
balik jubahnya yang digantung di sudut. "Kaulihat, hanya kutaruh di
sini, tidak kusembunyikan, untuk membuktikan betapa aku telah percaya
penuh kepadamu."
Yan Hwa menerima sepasang pedang itu, mengikat
sarung Li-mo-kiam di pinggang sedangkan Lam-mo-kiam ia gantungkan di
punggung. Ia memandang Suma Hoat dan berkata dengan senyum, "Baiklah,
Suma Hoat. Di antara kita sebetulnya masih ada hubungan, biarpun
hubungan di antara kita penuh dendam permusuhan. Kulihat engkau,
biarpun.... mata keranjang dan tukang perayu wanita, tidak jahat seperti
ayahmu. Aku dan suheng adalah murid mendiang subo kami, Mutiara Hitam."
Wajah
Suma Kiat menjadi pucat. "Apa....? Murid Bibi.... Kam Kwi Lan Si
Mutiara Hitam.... dan engkau sudah tahu bahwa aku masih keponakannya?"
Yan
Hwa mengangguk. "Ayahmu, Jenderal Suma Kiat amat jahat dan curang. Dia
mengakibatkan kematian Supek Kam Liong, dan muridnya, dan agaknya
semenjak dahulu, antara keturunan Suma dan keturunan Kam selalu timbul
permusuhan karena kejahatan keluarga Suma. Akan tetapi, kulihat engkau
tidak jahat hanya.... mata keranjang!"
Suma Hoat tersenyum kecut.
"Tidak perlu kau ulangi lagi, Yan Hwa. Aku tidak akan menyangkal akan
sifatku yang suka merayu dan bermain cinta dengan wanita cantik. Untuk
itulah maka aku dijuluki Jai-hwa-sian."
"Engkau Jai-hwa-sian? Hemm,
pantas! Sudahlah, mari antar aku kepada Suheng dan biarkan kami pergi.
Mudah-mudahan saja jalan hidup antara kita akan bersimpangan karena aku
tidak ingin merusak kenangan manis kemarin dan malam tadi dengan
bentrokan karena sekali kita saling bentrok, aku takkan suka
mengampunimu, Suma Hoat."
Suma Hoat mengangguk lalu mengajak Yan Hwa
mengambil jalan rahasia menuju ke tempat tahanan di bawah tanah. "Kau
tunggu di sini. Kalau terjadi keributan dan teriakan kebakaran sehingga
semua penjaga lari meninggalkan pintu di sana itu, barulah kau masuk,
bebaskan suhengmu dan lari, melalui jalan ini." Suma Hoat menerangkan
jalan rahasia keluar dari tempat itu. Setelah Yan Hwa mengerti betul,
dia lalu merangkul Yan Hwa, mencium bibirnya dan berbisik, "Selamat
berpisah, Yan Hwa, aku tidak cinta padamu akan tetapi aku takkan pernah
dapat melupakanmu. Kau bersembunyi di sini dan tunggu sampai ada
teriakan kebakaran."
Yan Hwa mengangguk dan melihat bayangan pemuda
itu berkelebat lenyap. Tak lama kemudian, benar saja seperti yang
dipesankan Suma Hoat, tampak sinar api dan asap membubung tinggi dan
terdengar teriakan-teriakan,
"Kebakaran....! Kebakaran....! Tolong.... padamkan api....!"
Ributlah
keadaan di situ dan setelah Yan Hwa melihat para penjaga yang tadinya
berkumpul di pintu, berlari-lari membawa ember dan lain-lain alat
pemadam kebakaran, dia cepat menyelinap memasuki pintu dan menuruni anak
tangga ke bawah. Dilihatnya Ji Kun meringkuk rebah miring di atas
bangku di dalam sebuah kamar tahanan yang terbuat dari besi. Pintu dan
jendelanya kuat sekali, akan tetapi beberapa kali bacokan dengan pedang
Li-mo-kiam, Yan Hwa sudah berhasil membuka pintu.
"Sumoi....! Bagaimana kau bisa bebas....?"
"Sstt,
bukan waktunya bicara." Yan Hwa menggunakan pedangnya mematahkan
belenggu kaki tangan Ji Kun, kemudian ia menyerahkan Lam-mo-kiam kepada
suhengnya dan menarik tangannya, mengajak keluar dari tempat itu.
"Bagus,
agaknya engkau telah memancing mereka dengan kebakaran, Sumoi! Mari
kita amuk dan binasakan mereka sebelum pergi dari sini!" Ji Kun berkata
setelah mereka keluar dari tempat tahanan di bawah tanah dan dia
menyaksikan api yang berkobar tinggi dan orang-orang yang sibuk
memadamkan api.
"Hushhh, jangan, Suheng. Setelah susah payah aku
berhasil membebaskan kita berdua, apakah akan kaurusak dengan memasuki
bahaya tertawan lagi? Hayo kita pergi, ikut dengan aku!"
Dengan
mengikuti petunjuk yang diterimanya dari Suma Hoat, akhirnya Yan Hwa
berhasil membawa suhengnya keluar dari istana dan tembok kota Siang-tan,
kemudian melarikan diri secepatnya di dalam cuaca remang-remang karena
pagi telah tiba. Baru setelah lewat tengah hari dan mereka sudah jauh
sekali di sebelah utara kota Siang-tan dan napas mereka mulai memburu,
tubuh penuh keringat, kedua orang ini berhenti mengaso di sebuah hutan
kecil. Bahkan Yan Hwa yang amat lelah dan semalam suntuk berenang dalam
lautan cinta bersama Suma Hoat sehingga tubuhnya terasa lemas, segera
tertidur pulas di bawah pohon, dihembus angin semilir sejuk. Ji Kun
memandang sumoinya yang tidur nyenyak dan diam-diam ia merasa
terheran-heran melihat wajah sumoinya mangar-mangar, bibirnya tersenyum
dalam tidurnya. Sumoinya kelihatan seperti orang yang bergembira, penuh
kepuasan, sama sekali bukan seperti orang yang habis tertawan. Dan
bagaimanakah sumoinya dapat menolongnya sedang pihak musuh demikian
banyak dan lihai? Bagaimana pula dapat merampas kembali Lam-mo-kiam? Apa
yang terjadi dengan Maya dan kedua orang perwira pembantunya? Dia tadi
tidak sempat bicara karena mereka harus melarikan diri secepatnya dan
begitu mereka berhenti mengaso, Yang Hwa sudah merebahkan diri dan tidur
nyenyak!
***
Kita meninggalkan dulu Yan Hwa yang tidur pulas dan
suhengnya yang memandang dengan heran dan menduga-duga, karena pada hari
itu juga, Siauw Bwee dan Coa Leng Bu berhasil menyelundup ke kota
Siang-tan. Karena sudah lama kita meninggalkan Siauw Bwee, sebaiknya
kita mengikuti perjalanannya.
Seperti telah diceritakan di bagian
depan, pendekar wanita yang sakti ini berhasil keluar dari kota
Sian-yang berkat bantuan Suma Hoat dan kemudian setelah keluar dari kota
itu, dia bertemu kembali dengan pemuda ini yang ternyata adalah sute
dari Coa Leng Bu. Diceritakan pula betapa Suma Hoat tergila-gila
kepadanya dan secara terus terang menyatakan cintanya yang tentu saja
ditolak oleh Siauw Bwee. Betapapun juga Siauw Bwee tidak mengganggu
pemuda itu biarpun kenyataan bahwa pemuda itu putera tunggal musuh
besarnya, Suma Kiat, membuat dia semestinya membenci Suma Hoat. Namun
sikap pemuda itu malah menimbulkan perasaan iba di hatinya.
Setelah
Suma Hoat pergi yang membuat heran hati Coa Leng Bu karena kakek ini
tidak mengetahui sebab-sebabnya, juga tidak berani bertanya kepada Siauw
Bwee, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke kota Siang-tan. Siauw
Bwee ingin sekali bertemu dengan suhengnya, ingin menyelidiki sikap
suhengnya yang aneh, yang menurut dugaan supeknya itu tentu menjadi
korban racun perampas semangat.
Tentu saja memasuki kota Siang-tan
yang masih diduduki oleh pasukan Sung, lebih mudah bagi mereka,
orang-orang Han, daripada memasuki kota Sian-yang yang telah dikuasai
bala tentara Mancu. Bersama rombongan pengungsi, Siauw Bwee dan Coa Leng
Bu memasuki pintu gerbang kota. Akan tetapi, pada pagi hari itu,
penjagaan di pintu gerbang kota Siang-tan tidaklah seperti biasa.
Biarpun para pengungsi itu adalah suku bangsa sendiri, namun setiap
orang pengungsi harus digeledah dan setiap buah senjata yang ada pada
mereka dirampas. Hal ini adalah akibat kekacauan yang terjadi kemarin,
di mana para pengungsi mengamuk dan lima orang mata-mata diketahui dan
dikejar-kejar.
Ketika tiba giliran Siauw Bwee digeledah, hampir saja
terjadi keributan. Melihat dua orang penjaga yang menyeringai dan
memandangnya dengan muka kurang ajar, hati Siauw Bwee menjadi panas
sekali. Para pengungsi lain, cukup digeledah barang-barang bawaan mereka
dan diharuskan menyerahkan senjata yang menempel di tubuh, akan tetapi
melihat Siauw Bwee yang cantik jelita, dua orang petugas itu timbul
gairahnya dan keceriwisannya.
"Aha, Nona harus digeledah. Silakan
masuk ke pondok penjaga, harus kami geledah kalau-kalau Nona
menyembunyikan senjata atau surat-surat penting di dalam pakaian Nona.
Kami takkan bersikap kasar terhadap Nona yang cantik jelita."
Hampir
saja Siauw Bwee melayangkan tangannya menampar petugas itu, akan tetapi
Coa Leng Bu cepat menyentuh lengannya. Kakek ini menjura kepada dua
orang petugas itu. "Harap Ji-wi suka memaafkan kami. Keponakanku ini
tidak membawa senjata lain kecuali pedangnya. Pedang sudah kami berikan,
mengapa harus digeledah pakaiannya lagi sedangkan para pengungsi
lainnya tidak?"
"Hemm, engkau tak tahu, orang tua! Di antara
mata-mata yang dikejar semalam, terdapat beberapa orang gadis muda yang
cantik. Dalam keadaan perang seperti ini, gadis-gadis cantik,
pengemis-pengemis tua, orang-orang yang kelihatan lemah dan biasa malah
mencurigakan, karena para mata-mata selalu menyamar sebagai orang-orang
lemah."
"Alasan dicari-cari! Kalau aku mata-mata, masa akan masuk
kota begini saja? Katakan saja kalian kurang ajar agar aku mendapat
alasan untuk menghajar kalian!" Siauw Bwee membentak dan telapak
tangannya sudah terasa hendak "mencium" muka dua orang penjaga yang
menyebalkan hatinya itu.
"Ssstt, sabarlah, Lihiap," kata Coa Leng Bu
yang segera berkata kepada dua orang yang kelihatan marah oleh kata-kata
Siauw Bwee tadi. "Harap Ji-wi tidak mengganggu. Ketahuilah bahwa aku
adalah suheng dari Suma Hoat, putera Jenderal Suma Kiat. Kalau sampai
terjadi keributan antara kita dan terdengar oleh Suma-goanswe, akan
membuat hati tidak enak saja."
Mendengar ini, pucatlah wajah kedua
orang penjaga itu. Mereka membungkuk-bungkuk, meminta maaf dan
mempersilakan mereka memasuki kota tanpa banyak cakap lagi.
"Huh, menyebalkan sekali anjing-anjing penjilat itu!" Siauw Bwee mengomel.
"Kita harus dapat memaafkan mereka, Lihiap. Mereka hanyalah petugas-petugas yang menjalankan kewajibannya."
"Supek,
perlu apa membela orang-orang macam itu? Kalau memang para petugas
menjalankan kewajibannya dengan baik dan teliti, siapa yang akan
membantah dan mencela? Aku malah akan menghargainya dan kagum. Ayah
pernah bilang bahwa seorang petugas harus memiliki kesetiaan kepada
tugasnya. Akan tetapi mereka itu? Hemm...., mereka hanya melakukan tugas
dengan keras penuh tekanan kepada mereka yang lemah dan miskin. Mereka
yang mampu memberi uang sogokan tidak digeledah, dan wanita-wanita muda
yang sudi bersikap manis kepada mereka tentu akan terbebas pula dari
penggeledahan. Engkau tadi baru menggunakan nama besar Jenderal Suma
saja sudah membuat mereka mundur dan melipat buntut seperti
anjing-anjing penjilat ketakutan. Menyebalkan." Siauw Bwee memang marah
sekali karena nama musuh besarnya, Suma Kiat, terpaksa dipergunakan oleh
supeknya untuk menghindarkan keributan.
"Lihiap, engkau adalah
seorang yang biarpun masih amat muda, telah berhasil memiliki ilmu
kepandaian yang amat hebat. Namun, tetap saja engkau masih muda dan
perlu mempelajari soal hidup dan lebih mengenal diri sendiri agar
kesadaran menuntunmu dan membuat pandang matamu waspada terhadap segala
yang terjadi di sekelilingmu. Belajarlah untuk berani menghadapi
kenyataan yang bagaimanapun juga, Lihiap. Menghadapi kenyataan tanpa
penilaian dan tanpa perbandingan. Tanpa ingatan akan masa lalu dan
renungan akan masa depan maka engkau akan dapat melihat kenyataan itu
seperti apa adanya, membuat engkau akan tetap tenang biarpun menghadapi
apapun juga. Dalam keadaan tenang sewajarnya inilah maka segala
tindakanmu akan dapat kaupergunakan dengan tepat, dan engkau tidak akan
terseret oleh kemarahan dan penasaran, penyesalan maupun harapan, karena
ketenangan yang timbul dari kewaspadaan ini akan dapat membuat engkau
bisa menyesuaikan diri dengan segala keadaan."
Siauw Bwee menjadi
termenung. Pantas supeknya ini selalu tenang, kiranya memiliki dasar
kesadaran yang amat mendalam. Dia menjadi malu kepada diri sendiri yang
mudah dibangkitkan rasa penasaran dan kemarahannya yang sesungguhnya
hanya berdasarkan untung rugi bagi diri pribadinya saja.
"Maafkan
kemarahanku tadi, Supek. Pikiranku sedang gelisah memikirkan Suheng,
sehingga aku mudah tersinggung. Aku akan langsung mencari di mana gedung
tempat tinggal Bu-koksu, karena Suheng tentu berada di sana pula."
"Berbahaya sekali kalau langsung pergi ke sana, Lihiap."
"Supek, aku tidak takut. Kurasa, aku akan sanggup menghadapi semua pengawal Bu-koksu...."
"Apakah engkau akan mampu pula menandingi Kam-taihiap, suhengmu itu?"
"Ahhh....
kalau dia.... tentu saja aku takkan mampu, dia adalah suhengku dan juga
guruku, karena dialah yang membimbingku dahulu."
"Nah, kalau begitu,
harap jangan tergesa-gesa dan sembrono. Bukankah suhengmu itu telah
hilang ingatan dan tidak mengenalmu lagi? Kalau kau menyerbu ke sana,
tentu dia akan membela Bu-koksu dan mau tidak mau engkau akan berhadapan
dengan dia."
Siauw Bwee terkejut dan menjadi bingung, lalu menghela napas. "Aihhh, benar juga, habis bagaimana baiknya, Supek?"
"Kita
harus bersabar, dan sebaiknya kita mencari rumah penginapan lebih dulu,
kemudian baru kita menyelidiki dengan diam-diam. Jalan terbaik adalah
mencari kesempatan untuk dapat berjumpa berdua dengan suhengmu itu dan
membujuknya untuk suka kuobati. Atau, kalau sekiranya sukar mencari
kesempatan ini, aku dapat meminta bantuan Sute. Kurasa, Suma-sute juga
berada di kota ini."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya. Hatinya merasa
tidak enak kalau dia harus minta bantuan Suma Hoat, pemuda putera musuh
besarnya, juga pemuda yang ia tolak cintanya itu.
"Coa-supek, terima
kasih atas nasihatmu yang amat berharga. Memang sebaiknya begitulah dan
kuminta bantuan Supek agar Supek mempersiapkan obat-obat untuk
menyembuhkan suhengku. Sebaiknya Supek mempersiapkan tempat dan obat
lebih dulu, aku akan menyusul setelah aku berhasil membujuk Suheng."
"Soal
tempat, aku sudah memilih untuk keperluan itu. Hutan yang kita lewati
kemarin, hutan yang penuh pohon pek itu merupakan tempat yang amat baik,
apalagi aku melihat banyak tetumbuhan obat di sekitarnya. Kalau kita
berhasil membujuk suhengmu, sebaiknya kita ajak dia ke sana, kita
bersembunyi di bagian yang sunyi dalam hutan itu dan aku akan berusaha
mengobatinya."
"Bukan kita, Supek, melainkan aku sendiri. Aku sendiri
yang akan mencari dan membujuknya. Harap Supek mempersiapkan tempat dan
mencari obat-obatnya. Pekerjaan ini amat berat, dan kalau Supek ikut,
aku khawatir kalau dia akan curiga dan tidak mau memenuhi permintaanku."
Coa
Leng Bu mengangguk-angguk. "Engkau benar, Lihiap. Di sini banyak
terdapat orang lihai, dan dengan kepandaianku yang masih rendah, aku
hanya akan menjadi penghalang saja. Baiklah, kita berpisah di sini, aku
akan menuju ke hutan itu dan mempersiapkan obat-obatnya yang harus
kucari lebih dulu. Kau berhati-hatilah dan semoga kau berhasil
membujuknya pergi ke sana."
"Aku sama sekali bukan bermaksud merendahkan kepandaianmu, Supek...."
"Tidak,
memang kenyataannya demikian. Aku tidak menyesal, dan selamat tingga1,
Lihiap, semoga semua berjalan baik." Setelah berkata demikian, kakek itu
meninggalkan Siauw Bwee kembali ke pintu gerbang dan keluar dari kota
Siang-tan.
Siauw Bwee menarik napas panjang. Ia merasa menyesal
terpaksa harus mengeluarkan kata-kata menyinggung hati supeknya yang
baik itu, sungguhpun ia yakin bahwa supeknya yang bijaksana tidak merasa
tersinggung dan dapat melihat kenyataan bahwa kalau supeknya ikut
bersama dia mencari suhengnya, keadaan tidak akan menguntungkan mereka.
Maka dia pun melanjutkan perjalanannya memasuki kota besar Siang-tan,
mencari-cari rumah penginapan.
Rumah penginapan Sin-lok adalah sebuah
rumah penginapan yang cukup besar, bahkan mempunyai rumah makan sendiri
di sampingnya. Melihat rumah penginapan ini, Siauw Bwee menghampiri
pintu dan bermaksud hendak menyewa kamar di situ. Akan tetapi, tiba-tiba
ia menghentikan langkahnya ketika ada suara orang berseru,
"Heii, Nona! Tunggu dulu!"
Ia
menoleh dan kiranya yang menegurnya adalah seorang perwira pengawal
yang memimpin pasukan pengawal sebanyak dua belas orang, agaknya mereka
ini bertugas meronda di kota yang sudah bersiap-siap menghadapi
penyerbuan musuh dan yang kini melakukan penjagaan dan perondaan ketat
setelah kemarin terjadi keributan yang ditimbulkan oleh Maya dan para
pembantunya, terutama sekali pemberontakan beberapa orang pengemis yang
berhasil dihasut oleh Kwa-huciang.
"Mau apa engkau menahan aku?"
Siauw Bwee sudah bangkit lagi kemarahannya melihat perwira itu dan semua
anak buahnya memandang kepadanya sambil tersenyum-senyum.
Perwira
itu meraba gagang pedangnya dan berkata, "Harap Nona tidak melawan. Aku
menangkap Nona dan harap suka ikut ke kantor untuk diperiksa."
"Apa
salahku? Mengapa aku ditangkap dan diperiksa, untuk apa?" Siauw Bwee
membentak, tidak mempedulikan wajah beberapa orang yang sudah datang
untuk menonton dan kini mereka memandang kepada Siauw Bwee dengan muka
khawatir menyaksikan sikap gadis itu yang galak dan berani melawan
pasukan pengawal.
"Kalau aku tidak salah lihat, aku pernah melihat
Nona di Sian-yang. Kalau benar dugaanku, Nona adalah seorang mata-mata,
kalau aku salah lihat, setelah diperiksa oleh komandan kami, Nona tentu
akan dibebaskan, disertai maaf kami."
"Gila! Aku tidak mau ditangkap,
tidak mau diperiksa. Aku seorang pengungsi, apakah kalian ini bisanya
hanya mengganggu wanita saja, sedangkan kalau musuh datang kalian lari
terbirit-birit? Memalukan sekali!"
Muka Si Perwira menjadi merah.
"Nona, kalau engkau melawan, hal itu hanya menunjukkan bahwa Nona adalah
seorang musuh. Kami hanya melakukan tugas, mengapa Nona hendak
menggunakan kekerasan?"
"Siapa yang menggunakan kekerasan? Siapa yang
memulai dengan pertentangan ini? Aku tidak ada urusan dengan kalian,
sudahlah, jangan mengganggu!" Siauw Bwee melangkah hendak pergi,
memasuki pintu rumah penginapan, akan tetapi perwira itu sudah
menghadang dan kini sudah menghunus pedangnya.
"Berhenti! Sikap Nona
makin mencurigakan dan kami terpaksa menangkap Nona. Kalau Nona menyerah
dengan baik-baik, kami akan mengiringkan Nona ke kantor. Kalau Nona
melawan, terpaksa kami menggunakan kekerasan!"
Siauw Bwee makin naik
darah. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan di
pinggang dan ia menghardik, "Aku tidak mau ditangkap, hendak kulihat
kalian akan bisa berbuat apa?"
"Tangkap dia!" Perwira itu mengeluarkan aba-aba.
Bagaikan
kucing-kucing kelaparan memperebutkan seekor tikus, empat orang
perajurit pengawal sudah menubruk maju, penuh gairah untuk meringkus
tubuh yang padat menggairahkan itu.
"Plak-plak-plak-plak!" Empat kali
tangan Siauw Bwee menampar dan empat tubuh terlempar dan roboh
terjengkang seperti disambar petir!
"Ahh, ternyata dugaanku benar!
Engkau bukan perempuan sembarangan, engkau adalah mata-mata yang
mengacau di Sian-yang itu!" Perwira muda itu mencabut pedangnya dan
menerjang maju. Akan tetapi, dengan gerakan kaki yang luar biasa, kaki
kiri Siauw Bwee menendang, tepat mengenai tangan yang memegang pedang
sehingga pedang terlempar ke atas, kemudian disusul kaki kanan menendang
lutut, membuat perwira itu roboh terguling. Pedang yang meluncur turun
itu disambut oleh tangan Siauw Bwee yang membentak marah,
"Kau main pedang, ya? Nah, makan pedangmu sendiri!"
Gadis
yang marah itu sudah menggerakkan pedang, bukan untuk membunuh hanya
untuk sekedar melukai memberi hajaran, akan tetapi tiba-tiba sebutir
kacang goreng melayang dan tepat menotok pergelangan tangannya yang
memegang pedang. Siauw Bwee terkejut bukan main karena totokan sebutir
kacang goreng itu membuat seluruh lengan kanannya tergetar dan lumpuh
sehingga pedang rampasannya terlepas dari pegangan! Betapa lihainya
pelempar "senjata rahasia" itu! Dia dapat mengerahkan sin-kangnya
sehingga lengannya pulih kembali dan cepat memandang ke atas dari mana
serangan tadi datang. Ia melihat seorang laki-laki duduk dengan tenang
di atas loteng depan rumah makan sambil minum arak dan makan kacang
goreng, sama sekali tidak memandang ke bawah seolah-olah tidak
mengacuhkannya. Akan tetapi begitu melihat laki-laki itu jantung Siauw
Bwee berdebar keras. Orang yang dicari-carinya, Kam Han Ki, kiranya
orang yang melemparnya dengan kacang goreng. Pantas saja lemparannya
demikian tepat menotok jalan darah di pergelangan tangannya dan membuat
pedangnya terlepas!
"Suheng....!" Ia menjerit penuh kegirangan dan
tubuhnya sudah melompat ke atas loteng itu, dipandang oleh para pengawal
dan penduduk yang menonton dengan mata terbelalak kagum. Gerakan Siauw
Bwee memang amat mengejutkan. Lompatannya itu seperti seekor burung
terbang ke atas, demikian indah dan cepatnya sehingga sukar diikuti
pandangan mata, hanya merupakan bayangan berkelebat saja.
"Suheng....!"
Kembali Siauw Bwee berkata setelah dia berdiri di depan pemuda itu yang
memandangnya dengan mata tak acuh dan masih melanjutkan minum araknya.
Melihat sinar mata suhengnya ini, Siauw Bwee merasa seolah-olah
jantungnya ditusuk ujung pedang. Sinar mata suhengnya membayangkan bahwa
dia tidak mengenalnya sama sekali, seperti pandang mata seorang asing,
namun pandang mata itu mengandung teguran dan penyesalan.
"Suheng,
ini aku, Siauw Bwee sumoimu!" Suara Siauw Bwee mengandung isak, hampir
saja dia menangis karena tidak kuat menahan kedukaan hatinya.
Kam Han
Ki, pemuda itu, menurunkan guci araknya, memandang Siauw Bwee penuh
perhatian dan sepasang alisnya berkerut, penuh teguran. Suaranya halus
namun penuh dengan penyesalan ketika ia berkata,
"Nona, aku sama
sekali tidak mengerti akan sikapmu yang aneh, dan mengapa engkau selalu
menyebut suheng kepadaku. Aku tidak dapat menduga apakah sebabnya engkau
bersandiwara seperti itu, ataukah memang engkau salah mengenal orang.
Kalau hendak mengatakan engkau gila, tidak mungkin. Akan tetapi, yang
amat kusayangkan adalah bahwa berkali-kali engkau mengacau, dahulu di
Sian-yang, dan sekarang kembali engkau mengacau di sini. Kepandaianmu
amat tinggi, jarang aku bertemu dengan orang yang setinggi tingkat
kepandaianmu. Akan tetapi sungguh sayang andaikata engkau pergunakan
kepandaianmu untuk mengkhianati negara."
"Kam-suheng! Aku tidak
mengkhianati siapa-siapa, aku.... aku...." Siauw Bwee tak dapat
melanjutkan kata-katanya saking sedih hatinya melihat keadaan suhengnya
yang benar-benar sama sekali tidak mengenalnya.
"Hemm, engkau selalu membikin kacau dan kalau tadi tidak kucegah, bukankah engkau sudah melukai seorang perwira pengawal?"
"Kam-suheng,
aku sengaja mencarimu! Engkau.... engkau telah kehilangan ingatan
sehingga engkau tidak ingat lagi kepadaku, sumoimu yang.... yang
setengah mati mencarimu. Aihh, Suheng.... ingatlah, aku Siauw Bwee....
Suheng, benar-benarkah engkau lupa kepadaku?"
Han Ki memandang dan
menggeleng-geleng kepalanya, lalu menghela napas. "Sayang.... sungguh
sayang.... Engkau seorang dara remaja yang cantik jelita dan
berkepandaian tinggi. Sayang kalau sampai pikiranmu tidak normal. Aku
belum pernah bertemu denganmu, kecuali ketika engkau mengacau dan
menyerang Koksu di Sian-yang. Sungguhpun suaramu.... ahh, tentu hanya
dalam mimpi saja aku pernah mendengar suaramu. Nona, kau pergilah dari
kota ini, jangan mengacau lagi."
Siauw Bwee maklum bahwa akan percuma
saja dia mengingatkan suhengnya ini yang sudah hilang ingatannya. Dia
seorang gadis cerdik, maka dia segera bertanya,
"Kalau kauanggap aku
sebagai seorang pengkhianat dan pengacau, mengapa engkau tidak menangkap
saja aku agar aku dihukum mati, atau tidak kaubunuh saja aku? Betapapun
lihaiku, aku tidak akan dapat menang melawanmu. Mengapa?" Bertanya
demikian, sepasang matanya menatap tajam seolah-olah hendak menjenguk
isi hati Han Ki.
"Aku tidak akan tega mencelakakan engkau, Nona. Aku tidak suka membikin susah orang lain, apalagi engkau!"
"Mengapa aku diistimewakan?"
Han
Ki bukanlah seorang yang pandai bicara, maka dia merasa terdesak di
sudut, setelah memandang gadis itu dengan pandang mata bingung, dia
menarik napas panjang dan menjawab,
"Entah mengapa.... aku.... aku
kasihan kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik, amat lihai,
sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau pura-pura mengenalku sebagai
suhengmu. Sudahlah, mari kau kuantar keluar dari kota agar engkau dapat
pergi dengan aman." Ia menjenguk ke bawah dan melihat pasukan-pasukan
pengawal datang mengurung tempat itu, ia menggerakkan tangan berkata,
"Pergilah kalian semua! Biarkan aku sendiri yang mengurus Nona ini!"
Siauw
Bwee juga menjenguk ke bawah dan ia melihat betapa para perwira
komandan pasukan memandang Han Ki dengan heran, akan tetapi mereka tidak
berani membantah dan pergilah para pasukan pengawal itu.
Harus
membujuknya di tempat sunyi, pikir Siauw Bwee, agar tidak terganggu
orang lain. "Baiklah, mari kauantar aku keluar kota." Akhirnya dia
berkata.
"Baik, aku akan mengantarmu ke luar kota dan setelah itu
engkau harus pergi dan berjanji padaku tidak akan mengacau di kota lagi
karena aku akan merasa menyesal sekali kalau aku terpaksa harus
melawanmu sebagai musuh." Pemuda itu lalu memanggil pelayan, membayar
makan minumnya lalu meloncat turun dari loteng diikuti oleh Siauw Bwee
yang menjadi girang sekali.
Dengan diantar oleh Kam Han Ki, pengawal
kepercayaan Bu-koksu, tidak ada seorang pun berani mengganggu Siauw Bwee
dan dengan tenang Siauw Bwee berjalan di samping suhengnya keluar dari
pintu gerbang utara. Bukan main girangnya hati Siauw Bwee dapat berjalan
bersama suhengnya yang diam saja, dan melihat betapa para penjaga
memberi hormat kepada Han Ki, hatinya terasa perih dan berduka. Biarpun
dia berjalan di samping suhengnya, namun Kam Han Ki pada saat itu
bukanlah suhengnya, melainkan pengawal nomor satu dari koksu negara.
Akan
tetapi baru saja mereka keluar dari pintu gerbang, terdengar suara kaki
kuda berderap dan sepasukan pengawal melakukan pengejaran dari
belakang. Dari jauh terdengar suara yang amat berpengaruh dan melengking
nyaring tanda bahwa yang mengeluarkan suara menggunakan khi-kang yang
amat kuat.
"Kam-siauwte, berhenti dulu!"
Han Ki rrenghentikan
langkahnya, lalu berkata kepada Siauw Bwee. "Nona, itu Koksu bersama
para pengawalnya datang. Lebih baik kau lekas lari pergi, biarlah aku
yang akan membujuknya agar melepaskan engkau dan tidak melakukan
pengejaran sehingga tidak terjadi bentrokan antara engkau dan pihak
kami."
Siauw Bwee maklum bahwa dalam keadaan kehilangan ingatan ini,
Han Ki telah menjadi pengawal yang setia dari Bu-koksu, dan apabila dia
menggunakan kepandaiannya melawan Koksu, kesetiaan di hati Han Ki tentu
akan memaksa pemuda itu memihak Koksu. Akan tetapi dia pun maklum bahwa
betapapun suhengnya kehilangan ingatan, namun sifatnya sebagai pendekar
masih tidak lenyap sehingga suhengnya itu tentu tidak akan membiarkan
dia yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang tidak dikenalnya, celaka
di tangan Koksu. Kalau dia lari pergi begitu saja, lenyaplah kesempatan
baik untuk mernbujuk suhengnya supaya ikut bersamanya.
"Tidak, Suheng. Aku tidak mau pergi, aku hanya pergi kalau engkau suka ikut pergi bersamaku."
"Ehhh? Pergi bersamamu?" Han Ki mengerutkan alisnya, memandang heran. "Ke mana?"
"Menemui
supekku, seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Aku akan membawamu ke
sana agar engkau diobati karena engkau menderita sakit hebat, Suheng."
"Ihhh,
gila! Siapa yang sakit? Andaikata aku sakit, mengapa engkau hendak
bersusah payah benar mengobati aku yang belum kaukenal? Mengapa, Nona?"
Pasukan itu sudah makin dekat dan cepat Siauw Bwee memegang lengan Han Ki sambil berkata, "Karena aku cinta kepadamu!"
Berubah
wajah Han Ki dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia memandang
wajah Siauw Bwee seperti orang bingung, akan tetapi sinar matanya
berseri seolah-olah dia merasa girang sekali, akan tetapi kembali
wajahnya berubah dan alisnya berkerut.
"Engkau main-main, Nona. Ataukah jalan pikiranmu tidak beres? Pergilah dan hindarkan keributan."
Siauw Bwee menggeleng kepala. "Biar sampai mati terbunuh di sini sekalipun, aku tidak akan mau pergi kalau tidak bersamamu!"
"Engkau gadis yang aneh sekali!"
Pada
saat itu, pasukan berkuda yang dipimpin oleh Bu Kok Tai sendiri telah
tiba di situ. Pasukan itu terdiri dari dua puluh empat orang pengawal
pilihan, dan di samping Bu Kok Tai terdapat pula perwira-perwira
pembantu Koksu yang berkepandaian tinggi, di antaranya Ang Hok Ci atau
Ang-siucai, Pat-jiu Sin-kauw yang lihai, Thian Ek Cinjin dan beberapa
orang perwira tinggi yang lihai lagi.
"Kam-siauwte, apa yang telah
terjadi? Aku mendengar bahwa engkau membantu wanita pengacau ini maka
aku cepat menyusul. Apa yang telah kaulakukan ini, Siauwte?"
"Aku
hanya tidak ingin melihat dia mengacau lagi, Bu-loheng. Maka aku
membujuknya untuk keluar kota dan jangan menimbulkan keributan lagi. Dia
bukan orang jahat, harap kau suka memaafkannya dan membiarkan dia
pergi. Nona, harap kau suka pergi, aku percaya bahwa Koksu cukup
bijaksana untuk memaafkan engkau seorang gadis muda. Pergilah!" Han Ki
membujuk.
"Tidak!" Siauw Bwee membantah. "Suheng, tidak tahukah
engkau bahwa engkau telah terkena racun perampas pikiran? Mereka ini
adalah musuh-musuhmu, musuh-musuh kita! Suheng, mari kita gempur
mereka!"
Mendengar ini, Bu-koksu tertawa bergelak untuk menutupi
kekagetannya mendengar tuduhan yang tepat itu. "Gadis sombong engkau!
Ha-ha-ha, yang kaubela ini adalah seorang gadis gila, atau seorang
mata-mata musuh yang sengaja hendak main gila dan mempengaruhimu." Ia
lalu memberi isyarat kepada para pembantunya dan memerintahkan, "Bekuk
dia, kalau dia melawan, bunuh saja!"
Thian Ek Cinjin, Pat-jiu
Sin-kauw, Ang-siucai dan yang lain-lain telah maklum akan kelihaian
Siauw Bwee, maka serentak mereka turun tangan menerjang gadis yang
bertangan kosong itu. Juga dua puluh empat orang pengawal sudah
menerjang dan mengurung dengan senjata di tangan.
Menghadapi serbuan
ini, Siauw Bwee cepat menggerakkan kaki tangannya, dan dalam beberapa
gebrakan saja, ilmu gerak kilat kaki tangannya berhasil membuat empat
orang pengawal terjungkal sedangkan para perwira yang berkepandaian
tinggi cepat melompat mundur memutar senjata. Mereka gentar menghadapi
Siauw Bwee yang amat cepat gerakan kaki tangannya itu sehingga tidak
tampak oleh mereka bagaimana caranya gadis itu merobohkan empat orang
tadi.
"Nona, jangan....! Pergilah....!" Han Ki berseru bingung. Dia
masih berdebar mendengar pengakuan gadis itu yang mengaku cinta
kepadanya, dan kini dia menjadi serba salah.
"Ha-ha-ha, Kam-siauwte.
Dia adalah mata-mata musuh yang mengaku sebagai sumoimu, sengaja dia
mengacau dan coba kauperhatikan, betapa dia telah berhasil mencuri ilmu
silatmu!"
Sambil berkata demikian, kini Bu-koksu sendiri meloncat
turun dari kudanya dan ikut menerjang Siauw Bwee dengan senjatanya yang
menyeramkan. Senjata Koksu ini sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar,
yaitu sebatang golok besar yang berat sekali dan punggung golok itu
dipasangi gelang-gelang perak yang mengeluarkan bunyi nyaring kalau
senjata itu dimainkan.
"Cring-cring.... sing....!" Golok itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata yang menyambar-nyambar ke arah Siauw Bwee.
Gadis
ini terkejut. Lawannya bukanlah orang sembarangan, dan kalau dia
mengeluarkan ilmu dari Pulau Es, tentu akan menambah kecurigaan Han Ki.
Maka dia menahan diri dan cepat menggeser kaki, mainkan gerak kaki kilat
yang memungkinkan dia untuk mengelak ke sana-sini dengan cekatan
sekali. Untuk membalas, dia mengerahkan tenaga Jit-goat-sin-kang yang
setingkat lebih rendah kekuatannya kalau dibandingkan dengan Im-kang dan
Yang-kang yang ia latih di Pulau Es, namun yang mengandung kemujijatan
karena tenaga itu dikumpul dari sari hawa bulan dan matahari.
Han Ki
berdiri bengong dan kagum. Hawa udara di sekitar tempat pertandingan itu
tiba-tiba berubah panas sekali, kemudian menjadi dingin, berganti-ganti
dan kembali ada tiga orang pengawal roboh, bahkan Thian Ek Cinjin yang
lihai itu terhuyung ke belakang, terpental oleh dorongan hawa dingin
sejuk dari tangan kiri gadis itu.
"Kam-siauwte, bantu aku menangkap
gadis ini!" Bu-koksu berteriak dan dia cepat menerjang makin hebat.
Tingkat kepandaian Bu-koksu sudah amat tinggi, dan kalau saja Siauw Bwee
tidak mendapatkan tambahan pengalaman dan ilmu kepandaian semenjak dia
meninggalkan Pulau Es, agaknya Koksu itu merupakan tandingan yang
terlalu berat baginya. Namun, kini Siauw Bwee bukanlah seperti Siauw
Bwee dahulu sebelum melakukan perantauan dan mengalami banyak hal yang
hebat. Dengan gerak kaki tangan kilat, dia masih mampu mempertahankan
diri, meloncat ke sana ke mari dan ketika golok besar Bu-koksu menyambar
lehernya, tubuhnya merendah dan menyelinap ke kiri, kakinya menendang
ke depan mengenai lutut Ang-siucai sehingga murid dan orang kepercayaan
Bu-koksu itu roboh dengan tulang kaki terlepas dari sambungannya. Dalam
detik berikutnya, tangan kiri Siauw Bwee sudah mendorong ke kiri,
membuat Pat-jiu Sin-kauw hampir terguling kalau tidak cepat memasang
kuda-kudanya yang hebat sambil mengerahkan Thai-lek-kang. Dengan marah,
Pat-jiu Sin-kauw lalu melancarkan pukulan Thai-lek-kang dan mainkan
Soan-hong Sin-ciang mendesak Siauw Bwee.
Kini Siauw Bwee terkurung
oleh Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin yang ketiganya
berusaha merobohkannya dengan serangan-serangan maut, sedangkan di
belakangnya, para perwira tinggi lainnya siap untuk menghujankan
senjatanya.
Kalau aku mengamuk, mungkin dapat merobohkan mereka, akan
tetapi tentu aku akan kehilangan Suheng, sebaiknya aku menggunakan akal
untuk menarik bantuannya, pikir Siauw Bwee yang cerdik. Ketika itu,
golok Bu-koksu yang merupakan serangan paling berbahaya bagi Siauw Bwee,
membabat ke arah pinggangnya. Siauw Bwee meloncat ke atas, menangkis
hantaman Thian Ek Cinjin dengan tendangan kakinya, dan dia sengaja turun
dengan tubuh miring di depan Pat-jiu Sin-kauw yang tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu, memukul dengan tenaga Thai-lek-kang sekuatnya. Tubuhnya
berjongkok dan angin keras menyambar dari kedua tangannya yang
mendorong ke arah dada Siauw Bwee. Gadis ini maklum bahwa pukulan itu
amat berbahaya, namun kalau dia mengerahkan sin-kang, dia masih mampu
menerimanya, maka dia mengerahkan sin-kangnya, sengaja terhuyung
sehingga pukulan itu ia terima dengan bahunya.
"Aduuuhhh....!" Siauw
Bwee mengeluh dan jatuh, terus bergulingan sambil memegangi bahu
kanannya yang terkena pukulan Thai-lek-kang. Pada saat itu, Bu-koksu
mengejar dengan golok diputar merupakan gulungan yang mengancam jiwa
Siauw Bwee. Gadis ini benar-benar amat tabah. Dia maklum bahwa kalau
suhengnya masih belum mau turun tangan, nyawanya terancam bahaya maut
karena dalam bergulingan seperti itu, akan sukarlah baginya untuk dapat
meloloskan diri dari ancaman golok yang terus mengikutinya. Dia sudah
siap, kalau suhengnya tidak juga turun tangan, daripada mati konyol, dia
akan mengadu nyawa, berlomba dulu dengan Bu-koksu dan mengirim pukulan
maut dengan Im-kang dari Pulau Es!
"Tringgg....!" Golok itu terpental
ke samping dan Bu-koksu meloncat mundur dengan kaget. "Heiii,
Kam-sute.... apa yang kaulakukan ini?" bentaknya.
Akan tetapi Kam Han
Ki telah meloncat dan menyambar tangan Siauw Bwee, ditariknya tubuh
gadis itu berdiri dan dia mengomel, "Kau keras kepala! Masih juga tidak
mau pergi?"
"Tidak! Biar mereka membunuhku, kalau dapat! Engkau pun
tidak mempedulikan aku, untuk apa hidup lebih lama lagi?" Siauw Bwee
berkata, kini tidak bersandiwara lagi karena memang dia bicara dari
lubuk hatinya. Kalau sekali ini dia gagal mengajak pergi Han Ki dan
tidak berhasil mengobati suhengnya itu berarti dia akan kehilangan Han
Ki untuk selamanya dan kalau sudah begitu, apa artinya hidup ini baginya
lagi?
"Kam-siauwte, biarkan aku membunuhnya. Apakah engkau akan mengkhianati aku?"
"Bu-loheng,
maafkan aku. Gadis ini tidak waras, biarlah aku membawanya pergi dulu,
kelak aku mohon maaf kepadamu!" Setelah berkata demikian, Han Ki
memegang lengan Siauw Bwee dan membawanya meloncat jauh dari tempat itu.
"Siauwte,
tahan....!" Bu-koksu berseru marah dan mengejar bersama pasukannya,
namun Han Ki sudah pergi jauh. Setelah pemuda ini mengerahkan
gin-kangnya, mana ada yang mampu mengejarnya? Apalagi, Siauw Bwee yang
sama sekali tidak terluka itu pun sudah mengerahkan gin-kangnya sehingga
dia tidak menghalangi gerakan suhengnya.
Setelah mereka pergi jauh,
Han Ki berhenti dan menoleh kepada Siauw Bwee, mengomel, "Engkau sungguh
membikin aku kehilangan muka dan menjadi serba salah. Apa sih maksudmu
bersikap seperti ini? Apakah engkau ingin merusak nama baikku? Dan
mengapa pula segala sandiwara ini? Aku tahu bahwa kalau kauhendaki,
Bu-koksu sendiri tidak akan mampu membunuhmu!"
Siauw Bwee kagum bukan
main. Biarpun ingatannya hilang, suhengnya ternyata amat lihai dan
pandang matanya masih amat tajam sehingga dapat melihat permainan
sandiwaranya tadi. Dia harus berhati-hati, kalau tidak, suhengnya tentu
tidak akan mau ikut bersama dia.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku cinta
padamu dan melihat engkau sakit hebat, aku berusaha mengajakmu kepada
supekku untuk diobati."
"Kau gila! Aku tidak sakit, aku sehat!" Han Ki menggerak-gerakkan kaki tangannya memperlihatkan bahwa dia benar-benar sehat.
"Bukan badanmu yang sakit, melainkan ingatanmu. Tahukah engkau, siapa sebenarnya engkau ini?"
"Tentu
saja aku tahu! Aku Kam Han Ki, aku pengawal pertama dari Bu-koksu yang
telah melepas budi besar kepadaku dan mengangkat aku sebagai adiknya."
"Hemm, Kam-suheng. Dia itu adalah musuh besar yang hendak mencelakakanmu!"
"Gadis
muda, jangan kau bicara sembarangan. Bu-loheng adalah Bu Kok Tai, Koksu
negara yang berjiwa pahlawan, seorang gagah perkasa yang amat baik, dan
aku berhutang budi kepadanya."
"Baiklah.... baiklah...., akan
tetapi, ingatkah engkau siapa ayah bundamu? Ingatkah engkau siapa
gurumu? Di mana kau belajar ilmu silat? Ingatkah engkau semua itu?"
Kam Han Ki mengerutkan alisnya, mengingat-ingat dan akhirnya dia menghela napas.
"Aku
tidak ingat lagi, akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan Bu-loheng
dan engkau? Kenyataannya, dia amat baik kepadaku sedangkan engkau....
aku sama sekali tidak mengenalmu, hanya tahu bahwa engkau seorang gadis
muda yang amat lihai dan yang selalu mendatangkan kekacauan dan...."
"....dan
yang amat mencintaimu, Kam-suheng! Cobalah kauingat-ingat, apakah
engkau lupa akan Istana Pulau Es? Lupakah engkau bahwa engkau
bertahun-tahun menggembleng diri di Pulau Es dan membimbing dua orang
sumoimu yang bernama Maya dan Khu Siauw Bwee? Lupakah engkau kepada
mendiang Menteri Kam Liong, kepada Mutiara Hitam, kepada Panglima Khu
Tek San?"
Mendengar disebutnya Istana Pulau Es dan nama-nama itu Kam
Han Ki kelihatan terkejut dan bingung. "Istana Pulau Es....? Serasa
sering aku mendengarnya, tidak asing bagiku, dan nama-nama itu....
seperti pernah kukenalnya.... ah, tidak mungkin, aku tidak ingat lagi."
"Nah, itu tandanya engkau telah kehilangan ingatanmu, Suheng. Mana ada orang lupa akan orang tuanya? Lupa akan gurunya."
Kam
Han Ki menjatuhkan diri duduk di atas batu di hutan itu. Alisnya
berkerut, mukanya pucat dan tubuhnya berpeluh karena ia memeras
ingatannya. Namun sia-sia belaka, dia tidak ingat apa-apa lagi. "Orang
tuaku? Guruku? Pulau Es? Aihh, Nona, aku benar-benar menjadi bingung.
Seperti pernah kukenal baik, dan tak mungkin aku lupa akan orang tua dan
guruku, akan tetapi sungguh mati, aku tidak ingat lagi...."
"Dan aku
adalah seorang di antara kedua sumoimu, aku bernama Khu Siauw Bwee. Ah,
Suheng.... bertahun-tahun kita tinggal bertiga di Pulau Es, engkau
menjadi guruku, juga sahabatku, benar-benar engkau tidak ingat kepadaku
lagi...." Siauw Bwee tak dapat menahan lagi kesedihan hatinya dan ia
menangis tersedu-sedu.
Han Ki menjadi makin bingung. "Nona.... jangan
menangis, engkau membikin aku makin bingung. Biarlah aku tanyakan semua
itu kepada Bu-loheng.... dia tentu tahu...."
"Jangan....! Dia itu
adalah musuh kita, dialah yang membuat kau kehilangan ingatan, Suheng.
Kalau engkau kembali kepadanya, setelah melihat bahwa aku tahu
rahasianya, tentu mereka itu akan mencelakaimu!"
"Ha-ha, jangan
menyangka yang bukan-bukan, Nona. Dia adalah kakak angkatku,
satu-satunya orang yang amat baik kepadaku. Dia telah menolongku,
merawatku, memberiku kedudukan tinggi dan kepercayaan."
"Kam-suheng,
kaukasihanilah aku. Kauturutlah bersamaku untuk diobati oleh supekku.
Supek Coa Leng Bu adalah seorang ahli pengobatan yang lihai, dia tentu
akan memulihkan ingatanmu dan engkau akan dapat mengingat segala hal
yang telah lalu, yang telah kaulakukan. Marilah, Suheng, dia menanti di
hutan pohon pek, marilah...." Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan
ditarik-tariknya. Akan tetapi Han Ki mempertahankan diri dan akhirnya
berkata,
"Bukan aku tidak percaya kepadamu, Nona. Akan tetapi, amat
tidak enak kalau aku meninggalkan Bu-loheng begitu saja. Pula, aku akan
menanyakan riwayatku yang telah kulupakan itu kepadanya. Kalau dia tidak
dapat menjawab, baru aku akan datang mencarimu dan menerima pengobatan
supekmu."
Tiba-tiba Siauw Bwee melepaskan tangan Han Ki. "Kalau engkau berkeras, baiklah, aku akan pergi pula ke sana menemui Bu-koksu."
"Heh? Susah payah kau kularikan, sekarang hendak kembali? Apa kau mencari mati?"
"Biarlah.
Aku akan mengamuk dan membunuh Koksu, kalau aku gagal, biar aku mati.
Lebih baik mati daripada hidup melihat engkau menjadi boneka hidup, lupa
akan segala hal yang lalu. Sekarang kaupilih saja mau ikut bersamaku
untuk pengobatan atau aku akan mengamuk dan mengadu nyawa di gedung
Bu-koksu!"
"Wah, kau mengancam?"
"Benar, soalnya hanya mati atau hidup bagiku!"
"Tsk-tsk-tsk, kau benar-benar seorang gadis luar biasa sekali. Mengapa kau begini nekat hanya untuk diriku seorang?"
Pandang
mata Siauw Bwee menjadi lembut, kekerasaannya luntur dan dengan air
mata berlinang dia memegang tangan Han Ki, berkata lirih, "Karena aku
mencintaimu, tak tahukah kau? Keadaanmu yang lupa ingatan memberanikan
hatiku untuk mengaku terus terang, Suheng. Aku cinta padamu dengan
seluruh badan dan nyawaku!"
Han Ki menggeleng-geleng kepala, bingung.
"Engkau seorang dara jelita yang gagah perkasa, mencinta seorang
seperti aku? Bahkan menurut pendapatmu, aku seorang yang hilang ingatan,
berarti orang yang otaknya miring, tidak waras lagi!"
"Apa pun yang terjadi denganmu, aku tetap mencintamu, Suheng."
"Aihhh....,
apa yang dapat kulakukan sekarang? Menghadapi engkau lebih sukar
daripada menghadapi ribuan orang lawan bersenjata, Nona. Baiklah, mari
kita coba apakah benar aku kehilangan ingatan dan dapat disembuhkan oleh
supekmu. Akan tetapi, ingatlah engkau, jangan main-main denganku. Kalau
engkau menipuku, aku.... aku akan...."
Siauw Bwee mendekatkan
tubuhnya, mukanya ditengadahkan, penuh tantangan, matanya
bersinar-sinar. "Engkau akan apakan aku, Suheng....? Membunuhku?"
Han
Ki gelagapan. Biarpun dia tidak ingat siapa adanya gadis ini, namun ada
sesuatu yang amat menarik dari diri gadis ini yang membuat dia
diam-diam mengherankan hatinya sendiri. Apakah dia telah menjadi
benar-benar gila dan jatuh cinta kepada gadis yang nekat ini?
"Tidak! Aku hanya akan.... akan.... membencimu!" akhirnya dia menjawab juga.
Siauw
Bwee menggandeng lengan suhengnya dan merapatkan tubuhnya dengan sikap
manja. "Itu tandanya bahwa engkau cinta kepadaku, Suheng. Marilah, dan
kalau aku menipumu, tidak usah engkau membenciku, aku sendiri akan
membenciku bahkan kalau Supek gagal, aku akan membenciku sampai aku mati
dikeroyok orang-orangnya Bu-koksu yang pasti akan kuamuk sampai titik
darahku terakhir!"
Han Ki bergidik. Tekad gadis ini luar biasa sekali
dan tentu ada apa-apanya di balik sikapnya itu. Andaikata benar
peringatan Bu-koksu bahwa gadis ini hendak menipunya, andaikata dia
dibawa ke dalam perangkap, dia tidak takut dan percaya bahwa dia akan
mampu mempertahankan dirinya. Hanya ia menjadi takut sendiri kalau-kalau
gadis ini benar seorang penipu, karena kalau ternyata demikian, dia
akan merasa amat berduka dan kecewa dan.... kehilangan.
Seorang kakek
yang bertelanjang kaki menyambut mereka di dalam hutan pek. Melihat
gadis itu berhasil membawa Han Ki yang kelihatannya curiga dan
ragu-ragu, Coa Leng Bu girang bukan main.
"Ah, sungguh girang hatiku melihat engkau berhasil mengajaknya ke sini, Lihiap. Kam-taihiap, selamat datang!"
Biarpun
ingatannya lenyap, Han Ki masih belum kehilangan kesopanannya. Kalau di
tempat Bu-koksu dia bersikap tidak acuh adalah karena dia tidak suka
melihat sikap anak buah Bu-koksu, maka dia bersikap acuk tak acuh dan
hanya karena sayang dan berhutang budi kepada Bu-koksu saja yang
mengikat dia di samping pembesar itu. Kini melihat wajah kakek yang
tenang dan penuh pengertian, sikap yang sederhana dengan pakaian
sekedarnya, dia cepat menjura dengan hormat dan berkata,
"Tidak tahu, siapakah Locianpwe yang telah mengenal namaku?"
"Ha-ha-ha,
Kam-taihiap terlalu menghormat seorang bodoh seperti aku dengan
menyebut Locianpwe. Aku bernama Coa Leng Bu dan karena sumoimu,
Khu-lihiap ini diangkat anak oleh suteku, maka aku menjadi supeknya,
supek dalam sebutan saja yang membuat aku malu, karena dalam hal
kepandaian, aku boleh berguru kepadanya. Kam-taihiap, aku mengenalmu
karena keterangan sumoimu dan kulihat bahwa engkau terkena racun yang
membuat ingatanmu hilang. Aku mengerti sedikit ilmu pengobatan, maka
kalau engkau percaya, biarlah aku berusaha mengobatimu, Kam-taihiap."
Han
Ki mengerutkan alisnya. "Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku menjadi
lupa sama sekali akan hal-hal yang lalu, akan tetapi aku sungguh tidak
mengenal Nona ini yang menganggap aku sebagai suhengnya. Yang kukenal
hanyalah kakak angkatku, Bu-loheng...."
Dengan wajah penuh ketenangan
Coa Leng Bu berkata, "Aku mengerti Taihiap. Kauanggap sajalah bahwa
engkau belum mengenal aku dan Khu-lihiap, dan bahwa engkau memang adik
angkat Koksu. Akan tetapi kuharap engkau percaya kepada kami bahwa kami
berniat baik, karena aku melihat engkau menderita lupa ingatan karena
racun perampas ingatan, maka anggap saja bahwa engkau berada di antara
teman-teman yang hendak berusaha mengobatimu."
"Heran sekali, aku
merasa sehat, akan tetapi kalian menganggap aku sakit. Akan tetapi
rasanya tidak mungkin kalau engkau, terutama Nona ini hendak menipuku.
Baiklah aku akan menurut dan suka kauobati, harap lekas memberi obatnya
dan hendak kulihat apakah aku akan dapat mengingat riwayatku yang telah
kulupakan sarna sekali."
Coa Leng Bu menggeleng-geleng kepalanya.
"Kam-taihiap, racun itu memasuki kepalamu melalui makanan atau minuman,
sedikit demi sedikit dan untuk mengobatinya pun harus sedikit demi
sedikit dan memakan waktu lama. Engkau pun tentu pernah mendengar bahwa
penyakit datang menunggang kuda akan tetapi pergi menunggang kura-kura,
kalau datang cepat sekali akan tetapi perginya memakan waktu lama."
"Berapa lama engkau akan dapat menyembuhkan aku, Locianpwe?"
"Pertama-tama,
kuharap Taihiap jangan menyebutku Locianpwe. Namaku Coa Leng Bu, cukup
kalau kausebut lopek saja. Untuk menentukan berapa lama aku akan dapat
menyembuhkanmu, bukanlah hal mudah dan aku tidak berani bilang sebelum
memeriksamu. Bolehkah aku memeriksamu, Taihiap?"
"Silakan," Han Ki
menjawab dan biarpun suaranya masih meragu, namun di dalam hatinya ia
mulai khawatir dan percaya bahwa memang dia sedang sakit. Buktinya
adalah bahwa, seperti yang dikatakan gadis jelita itu, dia lupa sama
sekali akan riwayat hidupnya, lupa akan ayah bundanya dan lupa akan
gurunya. Hal ini memang tidak mungkin terjadi kalau dia tidak menderita
sakit kehilangan ingatan!
Coa Leng Bu mempersilakan Han Ki rebah
telentang di atas rumput, kemudian ia mulai memeriksa denyut nadi,
mendengarkan detak jantung, memeriksa mata dengan membuka kelopaknya.
"Taihiap, kalau boleh, aku hendak mengambil sedikit darahmu untuk
diperiksa."
"Silakan!" Han Ki menjawab.
Dengan sebatang jarum
emas, kakek itu menusuk ujung jari tangan kiri Han Ki, sehingga ada
beberapa tetes darah keluar dari luka kecil itu. Darah itu ditampungnya
di atas sehelai daun yang berwarna putih, kemudian dibawanya ke tempat
panas sehingga dia dapat memeriksa dengan jelas di bawah sinar matahari.
Darah itu diperiksa, diamat-amati, dicium, bahkan dijilat dengan
lidahnya. Semua perbuatannya itu diikuti penuh perhatian oleh Han Ki
yang sudah membereskan pakaian dan duduk kembali di atas rumput,
sedangkan Siauw Bwee tak pernah melepaskan pandang matanya dari
suhengnya dengan hati penuh keharuan. Menyaksikan sikap pemuda ini yang
berubah sama sekali seolah-olah dia menghadapi seorang asing, akan
tetapi wajah, bentuk badan dan setiap gerak-gerik pemuda itu dari
matanya mengerutkan alis, sinar matanya yang tajam itu, mulut yang
membayangkan kedukaan, dia tidak meragukan lagi bahwa pemuda ini adalah
suhengnya. Di antara sejuta orang pemuda, tak mungkin ada satu yang
menyamai suhengnya itu!
"Bagaimana, Coa-lopek?" Han Ki bertanya setelah kakek itu kembali menghampiri mereka.
"Tidak berat, bukan?" Siauw Bwee juga bertanya.
Coa
Leng Bu menghela napas panjang. "Racun itu mengandung hawa panas luar
biasa. Hawanya sudah naik ke atas sehingga menutup semua ingatan
Taihiap. Sayang bahwa satu-satunya akar obat yang mengandung hawa dingin
tidak bisa kudapatkan di daerah ini. Aku hanya dapat memberi obat untuk
melenyapkan racun sedikit demi sedikit dari darah Taihiap, akan tetapi
hawa panas yang menutup ingatan.... ahh, aku harus mencari akar itu, dan
adanya hanya di daerah kutub utara!"
Siauw Bwee terkejut sekali
sedangkan Han Ki hanya mendengarkan dengan tenang, karena dia masih
belum percaya sepenuhnya. "Supek, kalau hawa itu timbul karena hawa
panas tidakkah dapat dilawan dengan tenaga Im-kang? Aku bisa menyalurkan
tenaga Im-kang ke dalam kepala Suheng untuk melawannye. Bahkan Suheng
sendiri memiliki Im-kang yang jauh lebih kuat dari aku, tidakkah Im-kang
itu dapat mengusir hawa panas itu?"
Coa Leng Bu menggeleng kepala.
"Kalau yang terserang hawa itu di dalam tubuh, memang mungkin dapat
diusir dengan Im-kang yang amat kuat, akan tetapi tidak baleh digunakan
ke dalam kepala karena berbahaya sekali. Kepala merupakan tempat yang
amat panting dan sekali ada bagian yang terguncang, bahayanya akan lebih
dahsyat lagi, mungkin dapat merenggut nyawa. Tidak, Lihiap, usaha itu
sama sekali tidak boleh dilakukan!"
"Habis, bagaimana....?" Siauw
Bwee bertanya, bingung. Mencari akar itu ke kutub utara tentu akan
memakan waktu berbulan-bulan! "Eh, Coa-supak, dahulu Suheng pernah
bercerita tentang mendiang ayahnya, Kam Bu Sin. Ayahnya dahulu pernah
juga terkena racun dan menurut Suheng, ayahnya ditolong oleh Bu Kek
Siansu, yaitu suhu kami, dengan jalan bertapa di bawah air terjun.
Dapatkah Suheng diobati secara itu?"
"Kam Bu Sin....? Ayahku....?
Nona, apa yang kaukatakan itu? Aku tidak ingat bahwa ayahku bernama Kam
Bu Sin....?" Han Ki berkata bingung.
Akan tetapi wajah Coa Leng Bu
berseri dan alisnya berkerut tanda bahwa dia berpikir keras. Akhirnya ia
bertepuk tangan. "Boleh! Memang pengobatan secara itu mungkin sekali!
Air terjun yang merupakan air hidup, di waktu pagi-pagi sekali
mengandung hawa dingin sejuk yang mujijat dan sungguhpun kemustajabannya
tidak sekuat akar pendingin, namun mengandung hawa yang akan dapat
mengusir hawa beracun itu sedikit demi sedikit. Taihiap, kuharap Taihiap
suka untuk menjalani pengobatan dengan bersamadhi di bawah air terjun
setiap pagi sampai hawa panas terusir dari kepala. Kebetulan sekali, di
kaki bukit sebelah utara hutan ini terdapat air terjun, biarpun tidak
besar sekali namun cukup untuk kebutuhan ini, karena yang dipentingkan
adalah airnya yang mengalir hidup, masih bersih keluar dari sumber,
suasana yang hening dan hawa yang sejuk."
Kam Han Ki menghela napas
panjang. "Aku tentu akan menerima teguran hebat dari Bu-loheng. Akan
tetapi biarlah, aku pun ingin sekali dapat mengingat segala riwayatku.
Asal saja kalian tidak mempermainkan aku."
"Kam-taihiap, aku Coa Leng
Bu selama hidupku tidak suka mempermainkan orang. Jangankan engkau
sebagai suheng dari Khu-lihiap, bahkan andaikata engkau seorang lain,
mana aku berani mempermainkanmu? Karena pengobatan ini memakan waktu
yang amat lama dan tidak boleh terganggu, maka sebaiknya kita sekarang
membangun sebuah pondok kecil untuk tempat tinggal sementara."
"Suheng, mari kaubantu kami....!" Siauw Bwee dengan wajah berseri dan kini penuh harapan dan kegirangan, menarik tangan Han Ki.
"Nona, harap kauhentikan sebutan suheng yang membuat aku merasa tidak enak saja."
"Aihhh, engkau memang suhengku! Habis disuruh menyebut apa?" Siauw Bwee bertanya, tersenyum menggoda.
Biarpun
Siauw Bwee tidak pernah mengatakan rahasia hatinya, namun sebagai
seorang pria yang sudah berusia tua dan banyak pengalaman, Coa Leng Bu
dapat mengerti bahwa di antara suheng dan sumoi itu terdapat hubungan
yang lebih mendalam daripada hubungan kakak beradik seperguruan belaka.
Atau setidaknya, dia maklum bahwa Siauw Bwee mencinta suhengnya itu,
cinta seorang wanita terhadap seorang pria. Maka dia mengejapkan matanya
kepada Siauw Bwee dan berkata,
"Khu-lihiap, Taihiap bicara benar.
Sebelum dia sadar dan pulih kembali ingatannya, tidak baik membuat dia
bingung. Sepatutnyalah kalau Lihiap menyebut kakanda kepada
Kam-taihiap!" Kakek itu lalu membalikkan tubuh agar tidak melihat
sepasang pipi yang halus itu menjadi kemerahan, dan dia pura-pura
mengumpulkan kayu besar untuk mulai membuat pondok.
"Kata-kata Supek benar, biarlah aku menyebutmu koko, Kam-koko!"
"Engkau baik sekali, Nona. Sungguh aku girang dapat mempunyai seorang sahabat sepertimu."
"Ehh,
aku sudah mengalah, tidak menyebutmu Suheng melainkan Koko, akan tetapi
kenapa kau masih memakai sebutan Nona segala macam? Kalau aku menyebut
kakak bukankah sepatutnya engkau menyebut adik? Engkau lebih tua
daripada aku!"
"Banyak lebih tua!" kata Han Ki yang kini timbul pula
kegembiraannya menghadapi gadis yang lincah dan halus budi ini.
"Sepatutnya engkau menjadi keponakanku!"
"Ihhh! Memangnya engkau sudah kakek? Kam-koko, tidak maukah engkau menyebut aku Siauw-moi?"
Kam
Han Ki tersenyum, senyum pertama semenjak pikirannya bingung. "Baiklah
Moi-moi. Ah, betapa untungku mendapatkan seorang adik yang begini
manis...."
"Bukan hanya adik, melainkan juga juru rawat. Engkau
sedang sakit, ingat? Dan engkau harus manurut segala petunjuk Coa-supek
dan memenuhi semua permintaanku, jangan benyak rewel!"
"Engkau gadis
yang manis, dan nakal!" Tiba-tiba Han Ki mengerutkan alisnya. "Akan
tetapi.... eh, jangan kau main-main Khu-moi. Di kota tadi...., eh,
sebelum berjumpa dengan Coa-lopek, kau...."
"Aku kenapa?" Siauw Bwee
berdiri di depan Han Ki, bertolak pinggang, sikapnya manja dan manis,
matanya bersinar karena hatinya girang bukan main bahwa dia dan supeknya
telah berhasil membujuk Han Ki untuk berobat.
"Kau bicara tentang.... cinta....! Hal seperti itu sama sekali tidak boleh dibuat bicara main-main!"
"Siapa
yang main-main? Memang aku mencintamu, semenjak dahulu mencintamu,
sejak aku kecil, sampai sekarang aku telah dewasa, sampai kelak kalau
aku sudah menjadi nenek-nenek. Nah, aku cinta padamu, habis mengapa?"
Han
Ki merasa kepalanya puyeng. Dia jatuh terduduk dan memegangi kepalanya
dengan kedua tangan. Gadis ini tidak main-main, biarpun sikapnya seperti
orang main-main, namun pernyataan cintanya itu bukan main-main,
melainkan setulusnya. Hal ini dapat ia lihat dari sinar mata gadis itu
ketika memandangnya. Dan jantungnya juga berdebar tidak karuan, tanda
bahagia bahwa gadis itu mencintanya, hal ini hanya membuktikan bahwa
hatinya pun tertarik secara luar biasa kepada gadis ini. Apa artinya
semua ini? Bahwa dia mencinta gadis yang baru saja dikenalnya ini? Ah,
tidak mungkin. Banyak dia bertemu puteri-puteri cantik di istana, bahkan
beberapa kali Bu-koksu membujuknya menerima hadiah berupa gadis-gadis
cantik, namun selalu ditolaknya karena dia tidak tertarik sama sekali.
Akan tetapi mengapa gadis ini amat menarik hatinya?
"Eh, Suheng....
Kam-koko, kau kenapa? Apakah kepalamu terasa sakit?" Siauw Bwee sudah
berlutut dekat suhengnya dan memegang lengan pemuda itu, meraba-raba
pelipisnya.
Han Ki menggeleng kepala dan bangkit berdiri. Alisnya
berkerut. Biarpun dia percaya bahwa gadis ini menyatakan cinta dari
dasar hatinya, akan tetapi sebagai seorang kenalan baru, betapapun jatuh
cinta, sikap gadis ini terlalu karib, terlalu mesra dan dekat
seolah-olah mereka sudah menjadi sepasang kekasih selama bertahun-tahun!
"Tidak
apa-apa, Moi-moi, hanya...., ah, aku ngeri melihat betapa cinta bagimu
sedemikian ringan dan mudahnya. Mungkin karena engkau masih muda,
Khu-moi, engkau tidak tahu betapa hidup ini penuh dengan duka sengsara,
penuh dengan perasaan, penuh kekhawatiran dan kegelisahan, penuh
kekecewaan...."
Berdebar jantung Siauw Bwee. Apakah suhengnya sudah
mulai ingat? Hati-hati dia memancing. "Suheng.... eh, maksudku Koko,
mengapa engkau begitu muram seolah-olah awan hitam selalu mengambang di
atas kepalamu dan menyelubungi sinar kegembiraan hidupmu? Apakah engkau
berduka, kalau benar berduka, mengapa? Apa yang kaudukakan?"
Han Ki menggeleng kepala. "Aku tidak menyusahkan apa-apa."
"Apakah engkau khawatir?"
"Sedikit, yaitu kalau ternyata bahwa engkau dan Coa-lopek tidak dapat menyembuhkan aku atau ternyata menipuku."
"Dan apakah engkau pernah mengalami kecewa?"
Kembali Han Ki menggeleng. "Sepanjang yang teringat olehku, tidak."
Hati Siauw Bwee lah yang kecewa karena jawaban-jawaban itu membuktikan bahwa Han Ki belum teringat apa-apa.
"Ha-ha-ha,
memang semua itu hanyalah permainan pikiran manusia belaka, Khu-lihiap.
Mengapa manusia harus membiarkan dirinya terseret oleh pikiran yang
melayang-layang mengacaukan hidup kita sendiri?" Coa Leng Bu datang
menyeret dua buah batang pohon besar. Dia melepaskan dua buah batang
pohon itu dan menghapus peluhnya, lalu duduk di dekat mereka.
"Ah, kenapa kausebut permainan pikiran, Lopek?" Han Ki bertanya.
"Benar,
Supek. Memang hidup penuh dengan suka-duka, dengan puas kecewa, dengan
cinta dan benci, dengan kekhawatiran. Mengapa kaukatakan sebagai
permainan pikiran yang menyeret kita ke dalam kekacauan hidup?" Siauw
Bwee yang membantah.
Setelah menarik napas panjang untuk mengatur napasnya yang agak memburu, kakek itu berkata sungguh-sungguh,
"Pokok
pangkalnya segala perasaan adalah dari keinginan mendapat yang timbul
dari sifat sayang diri. Betapapun juga, segala macam perasaan itu tidak
timbul kalau tidak dibakar oleh api pikiran yang menguasai kita
sepenuhnya, melayang-layang dari masa lalu ke masa depan, sehingga
setiap gerak perbuatan kita dicetak oleh pikiran kita. Pikiran
membangkitkan penilaian, perbandingan, dan dengan sendirinya mempertebal
rasa sayang diri dan iba diri. Bagaimana timbulnya duka? Dari permainan
pikiran yang mengenang atau mengingat-ingat masa lalu. Dari mana
timbulnya kecewa, penasaran, kemarahan dan kebencian? Juga dari
permainan pikiran yang menyeret kita mengenang masa lalu. Buktinya
Kam-taihiap ini. Setelah dia lupa sama sekali akan masa lalu, maka
tidaklah ada persoalan baginya yang timbul dari masa lalu, tidak ada
kebencian, tidak ada penasaran, tidak ada kedukaan karena tidak ada lagi
yang harus dibuat penasaran, dibenci atau dibuat duka. Yang ada hanya
tinggal masa depan baginya. Dan dari mana datangnya kekhawatiran dan
ketakutan? Bukan lain dari permainan pikiran yang menyeret kita
membayangkan masa depan! Membayangkan hal yang belum terjadilah maka
menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan! Bukankah demikian, Taihiap dan
Lihiap?"
Dua orang itu mendengarkan penuh perhatian dan seperti
dikomando saja, mereka mengangguk-angguk. Betapa mereka dapat membantah
setelah kesadaran mereka membuat mereka melihat kenyataan dalam ucapan
kakek itu? Biarpun Han Ki adalah seorang yang belum tua, namun dia
memiliki pengetahuan luas tentang filsafat dan kebatinan. Memang, pada
saat itu dia telah melupakan semua pelajaran, bahkan ilmu silatnya pun
hanya dia kuasai karena sudah mendarah daging saja, namun semua teorinya
sudah dia lupakan sama sekali. Akan tetapi, pada dasarnya dia memang
seorang yang memiliki perasaan peka terhadap kebatinan. Biarpun dia
telah melupakan hal-hal yang lalu, namun ucapan kakek itu membuat dia
mengangguk-angguk dan diam-diam dia dapat melihat kebenarannya. Marah
timbul karena mengingat perbuatan seseorang, perbuatan yang sudah
dilakukan, yang sudah lalu. Kalau hal itu tidak diingat, tak mungkin
akan timbul kemarahan. Demikian pula duka, dan benci, dan kecewa. Adapun
takut dan khawatir, hanya dirasa oleh orang yang belum tertimpa oleh
apa yang ditakutkan atau dikhawatirkannya itu.
Orang takut sakit
karena dia belum sakit. Khawatir gagal, karena kegagalan belum
menimpanya. Jadi semua itu hanyaalah permainan pikiran saja, yang tiada
gunanya, bahkan menimbulkan persoalan dan pertentangan yang timbul
keluar terhadap orang lain.
Siauw Bwee juga mengangguk-angguk, karena dia merasa betapa benar omongan itu, akan tetapi dia masih belum puas dan mendesak,
"Habis,
mana mungkin kita menghadapi sesuatu tanpa pemikiran akan sebab akibat
tanpa kenangan masa lalu dan bayangan masa depan, Supek? Persoalan
timbul dari luar tanpa kita minta. Contohnya, aku menghadapi keadaan
Kam-suheng, bukankah ini merupakan persoalan yang datang tanpa kuminta?
Bagaimana hati tidak menjadi khawatir menghadapi keadaan Suheng ini?"
Kakek
itu tersenyum maklum. "Aku tidak menyalahkan kalau engkau gelisah,
Lihiap, hanya aku minta pengertian dan kesadaranmu untuk dapat menemukan
dirimu sendiri. Segala macam persoalan bersumber dalam diri sendiri,
bukan dari luar. Kam-taihiap sakit. Ini merupakan tantangan dan setiap
orang hidup selalu akan menghadapi kenyataan yang harus ditanggungnya
pada saat kenyataan tiba. Tidak ada persoalan khawatir dan gelisah
selama kita dapat membuka mata menghadapi kenyataan tentang sakitnya
suhengmu dan selama engkau tidak membayangkan hal-hal yang belum datang.
Suhengmu sakit, kita dihadapkan kenyataan ini dan apa yang tepat kita
lakukan? Berusaha menyembuhkannya. Tidak ada persoalan lain yang
mengkhawatirkan, bukan?"
"Aih, Supek. Betapa mungkin bersikap seperti
itu? Bagaimana kalau kita gagal menyembuhkan Suheng? Bagaimana kalau
Suheng tidak mendapatkan kembali ingatannya? Bagaimana kalau...."
"Nah,
nah! Itulah, Lihiap. Bagaimana kalau.... bukankah itu hanya permainan
pikiran yang membayangkan hal-hal yang tidak ada dan belum terjadi? Apa
gunanya membayangkan hal-hal yang belum ada? Kita harus belajar mengenal
diri sendiri, mengenal pikiran-pikiran kita, mengenal perasaan-perasaan
kita, mengenal keinginan-keinginan kita, dan sadar bahwa di dalam diri
kitalah sesungguhnya terletak segala sumber, segala sebab akibat, dan
segala bahan kesengsaraan. Kita wajib belajar menghadapi kenyataan
seperti apa adanya, tanpa penilaian, tanpa perbandingan, tanpa ingatan
waktu lampau atau yang akan datang, dan dengan itu, dalam keadaan bebas
dan kosong, kita akan selalu dalam keadaan sadar, waspada dan tenang,
seperti air telaga yang dalam dan diam, bening sejuk tidak terganggu
karena tidak merasa terganggu, penuh pengertian, kesadaran, dan cinta
kasih."
"Aduh, Coa-lopek. Betapa dalam pengertian itu!" Kam Han Ki
membelalakkan matanya, seolah-olah terbuka mata hatinya mendengar semua
ucapan kakek itu. "Kiranya Lopek adalah seorang yang arif bijaksana!"
Kakek
itu tersenyum. "Aku hanyalah seorang sederhana yang suka akan
kewajaran, dan aku sama dengan engkau, sama dengan Lihiap dan dengan
orang-orang lain. Kita sama-sama belajar, karena hidup berarti belajar,
dan terutama sekali, di samping pelajaran lahir yang kita butuhkan untuk
hidup, jangan lupa mempelajari diri sendiri, mengenal dan menemukan
kembali diri pribadi yang selama ini menyeleweng jauh terbawa hanyut
oleh sayang diri dari iba diri, menjadi manusia-manusia munafik, menjadi
pelawak-pelawak yang bermain di panggung sandiwara, tidak sewajarnya
sehingga dalam setiap gerak-gerik kita, setiap pikiran kita, semua
adalah palsu belaka. Kita sudah terlalu lama hidup dalam alam kepalsuan
yang dibentuk oleh manusia sendiri. Sudah terlalu lama kita hidup
terbakar oleh bunga-bunga yang mekar dari pohon sayang diri berupa
pertentangan, persoalan, dendam, dengki, iri, benci, khawatir, takut,
duka dan sebagainya. Kenalilah diri kita sendiri, hadapilah kenyataan
apa adanya, dan kita akan terbebas dari apapun juga."
"Ahh,
Coa-lopek, mendengarkan kata-katamu jauh lebih berharga daripada
mengharapkan kesembuhan dari pengobatanmu! Kesembuhanku, kalau benar aku
sakit, tidak banyak artinya lagi! Lopek yang bijaksana, berilah
petunjuk kepadaku untuk dapat membebaskan diri seperti yang Lopek
katakan tadi...." Han Ki berseru, penuh kagum.
Tiba-tiba kakek itu
tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, orang muda! Itulah yang menjadi penyakit
dan penghalang umum! Membuang keinginan dengan menghidupkan keinginan
baru! Mana mungkin? Mari kita belajar meneliti diri sendiri, mengenal
diri sendiri dan segala gerak-gerik pikiran dan perasaan, mengenal
sifat-sifat sendiri, dan belajar menghadapi kenyataan tanpa wawasan
tanpa ingatan, akan tetapi kalau ada terselip KEINGINAN dalam hatimu
bahwa engkau mempelajari itu UNTUK MEMPEROLEH KEBEBASAN, maka engkau
akan gagal, Taihiap. Segala perbuatan yang didasari keinginan, didasari
pamrih, perbuatan itu adalah palsu belaka, karena ingatlah bahwa yang
dimaksudkan BEBAS di sini, bukan hanya bebas dari segala yang secara
lahiriah dirugikan, akan tetapi juga bebas dari segala yang
menguntungkan. Bebas dari segalanya, juga bebas dari segala macam
keinginan, betepapun dianggap suci keinginan itu oleh umum. Kebebasan
ini lebih tinggi dari kesadaran, lebih tinggi dari apapun juga karena
kebebasan ini berarti cinta kasih. Ahhh, orang seperti aku ini, mana
mungkin dapat memberi penjelasan sebaiknya? Marilah kita sama-sama
mempelajari diri sendiri seperti apa adanya, dan mudah-mudahan saja
batin kita akan terbuka.... Sudah terlalu banyak aku bicara, yang
terpenting sekarang adalah membangun pondok. Aihh, apa kalian dapat
membangun pondok hanya dengan bicara saja? Ha-ha-ha!"
Han Ki dan
Siauw Bwee tertawa juga. Mereka lalu melompat bangun dan tiga orang itu
lalu membangun sebuah pondok sederhana. Berkat kepandaian mereka, dengan
mudah mereka menumbangkan pohon-pohon, mengumpulkan balok-balok dan
membuat sebuah pondok yang sederhana namun cukup kokoh untuk melindungi
mereka dari angin, hujan, panas dan hawa dingin.
Mulai hari ini, Han
Ki diobati oleh Coa Leng Bu dan dirawat dengan sabar oleh Siauw Bwee.
Setiap pagi, tak lama setelah lewat tengah malam, dia dibangunkan oleh
Siauw Bwee dan setengah dipaksa pergi ke air terjun, dan gadis itu
menanti agak jauh ketika Han Ki menanggalkan pakaian dan dengan
bertelanjang bulat duduk bersila di bawah air terjun, membiarkan air
jatuh menimpa ubun-ubun kepalanya seperti yang dianjurkan oleh Coa Leng
Bu. Kalau bukan seorang yang sudah memiliki sin-kang amat kuat seperti
Han Ki, tentu tidak akan kuat lama-lama di pagi buta ditimpa air terjun
yang amat dinginnya seperti itu. Namun, Han Ki adalah seorang pemuda
sakti, murid Bu Kek Siansu, yang sudah bertahun-tahun berlatih sin-kang
di Pulau Es, dalam keadaan yang jauh lebih dingin daripada bersamadhi di
bawah air terjun itu, bahkan telah memiliki tenaga Inti Es yang disebut
Swat-im-sin-kang.
Kalau matahari mulai menyinarkan cahayanya di ufuk
timur, barulah Han Ki menghentikan samadhinya, mengenakan pakaian lagi,
menghampiri Siauw Bwee yang duduk menunggu agak jauh, lalu bersama-sama
kembali ke pondok di mana Coa Leng Bu telah menyediakan masakan obat
yang pahit rasanya.
Di samping pengobatan air terjun dan obat, Siauw
Bwee membantu pemulihan ingatan Han Ki dengan mengajaknya bercakap-cakap
tentang masa lalu. Dan terjadilah suatu keanehan! Hubungan di antara
mereka makin akrab dan Siauw Bwee merasa seolah-olah jatuh cinta untuk
kedua kalinya! Timbullah keinginan hati yang luar biasa, yaitu dia ingin
agar Han Ki tidak berubah lagi! Kini cintanya terhadap pemuda itu makin
mendalam, karena diperhalus oleh rasa iba melihat kekasihnya menderita
kehilangan ingatan! Selain itu, juga Han Ki yang sekarang ini sama
sekali tidak ingat kepada Maya, bahkan mengenal pun tidak! Berarti dia
tidak mempunyai saingan. Apalagi ketika dia melihat tanda-tanda bahwa
pemuda itu pun mencintanya, tampak dari gerak-geriknya, sikapnya yang
ramah, pandang matanya yang penuh kemesraan. Han Ki yang sekarang ini
mencintanya, sedangkan Han Ki yang lama, Han Ki di Pulau Es dahulu itu
masih belum dapat dia pastikan siapa yang dicintanya, dia ataukah Maya!
Setelah
minum obat yang disediakan oleh Coa Leng Bu, Han Ki dan Siauw Bwee
duduk di atas bangku balok melintang di depan pondok. Seperti biasa,
Siauw Bwee mengajak suhengnya duduk di situ sambil berjemur diri di
bawah sinar matahari pagi dan mengajaknya bercakap-cakap. Sudah seminggu
lebih Han Ki berobat namun masih belum ada tanda-tanda bahwa dia
mendapatkan kembali ingatannya. Coa Leng Bu sibuk mencuci daun dan akar
obat yang dicarinya kemarin, dikumpulkan di atas tampah untuk dijemur.
Diam-diam dia merasa girang bahwa biarpun pemuda itu belum tampak pulih
kembali ingatannya, namun sinar matanya sudah mulai ada perubahan, dan
dia tahu bahwa pengobatannya sudah mulai ada hasilnya.
Han Ki
menggeleng kepala. "Kasihan sekali Coa-lopek yang membuang tenaga
sia-sia, Khu-moi. Lebih baik aku pergi saja menemui Bu-loheng dan
bertanya kepadanya. Mungkin kalau mendengarkan penjelasannya, aku akan
dapat mengingat semua."
"Ah, jangan Koko! Biarlah aku mencoba
mengingatkanmu. Coba kaulihat ini, masih kenalkah engkau akan
gerakan-gerakan ini?" Siauw Bwee lalu bersilat dengan Ilmu Silat Hong-in
Bun-hoat, sebuah di antara ilmu-ilmu yang ia pelajari di Pulau Es dari
suhengnya.
"Tentu saja! Aihh, gerakanmu indah sekali, Moi-moi!" Han Ki berseru girang.
"Jadi kau mengenalnya?"
"Tentu saja! Setiap gerakanmu kukenal."
"Apa nama ilmu silat itu?"
"Ini.... ini aku tidak ingat lagi. Akan tetapi aku dapat memainkan semua jurus itu."
"Hemm....
dan kaulihat ini, Koko!" Siauw Bwee mendorongkan tangan kanannya kepada
ujung bangku, terdengar suara keras dan ujung balok yang dijadikan
bangku itu pecah dan hangus seperti terbakar!
"Aku tahu....! Pukulan sin-kang yang mengandung hawa panas itu aku pun dapat mempergunakannya!" seru Han Ki.
"Dan
ini....!" Kembali Siauw Bwee memukul dengan tangan kirinya ke arah
ujung balok yang lain. Ujung itu patah, akan tetapi tidak pecah, hanya
terasa hawa amat dinginnya ketika balok itu disentuh.
"Ini pukulan
mengandung hawa dingin, seperti yang kumiliki pula. Heii, Moi-moi, dari
mana kau mempelajari semua ini? Sama benar dengan ilmuku!"
"Dan engkau tidak tahu namanya, Koko?" Suara Siauw Bwee agak gemetar.
"Tidak, Moi-moi. Aku bisa menggunakannya, akan tetapi tidak tahu nama ilmu pukulan itu."
"Dan engkaulah yang memberi nama, Koko. Engkau pula yang melatihnya kepadaku, dan kepada Suci...."
"Suci?"
Siauw
Bwee menghela napas dan terbayanglah semua peristiwa yang ia alami
bersama suci dan suhengnya di Istana Pulau Es. "Ya engkau masih
mempunyai seorang sumoi lainnya yaitu Suciku Maya...."
"Hemmm, aku tidak ingat."
"Koko, tidak ingatkah engkau akan ayah bundamu yang bernama Kam Bu Sin?"
Han Ki menggeleng kepala.
"Dan lupakah engkau bahwa guru kita adalah Bu Kek Siansu?"
Kembali pemuda itu menggeleng kepala.
"Koko...."
Suara Siauw Bwee makin tergetar karena duka. "Apakah engkau lupa bahwa
selama bertahun-tahun engkau, Suci Maya, dan aku tinggal di Istana Pulau
Es dan hidup bertiga jauh dari dunia ramai?"
Han Ki mengerutkan
alisnya, kelihatan makin bingung. Jelas bahwa dia mengerahkan segala
kemampuan otaknya untuk mengingat sehingga dahinya berkeringat. Akan
tetapi akhirnya ia menggeleng kepala, dan berkata kesal, "Aku tidak
ingat apa-apa, Moi-moi."
Siauw Bwee tak bertanya lagi, berdiam sampai lama.
"Moi-moi...."
"Siauw Bwee menoleh. "Hemmm....?"
"Kasihan engkau....!"
"Mengapa kasihan?"
"Dengan
susah payah engkau berusaha menyembuhkan aku, akan tetapi agaknya
sia-sia belaka. Aku telah mengecewakan hatimu. Khu-moi, mengapa engkau
begini bersusah payah untukku?"
Siauw Bwee menatap wajah orang yang
dikasihinya itu, kini tersenyum. Melihat wajah orang yang dicinta itu,
lenyaplah kekecewaannya. Apa pun yang terjadi, asal dia tidak akan
berpisah lagi dari samping kekasihnya ini, tidak ada hal yang akan dapat
mengecewakannya.
"Mengapa, Koko? Sudah kukatakan, karena aku cinta kepadamu!"
"Khu-moi-moi, kita baru saja saling jumpa, bagaimana dengan mudah saja engkau menjatuhkan hati, mencintaku?"
"Apakah
untuk mencinta seseorang, harus melalui perkenalan yang lama, Koko?
Tidak, aku mencintamu semenjak bertahun-tahun yang lalu, akan tetapi
andaikata aku belum pernah mengenalmu, begitu aku melihatmu, aku pun
akan jatuh cinta."
"Tidak mungkin!"
"Bagaimana tidak mungkin?"
"Cinta
timbul dari daya tarik seseorang, bukan hanya dari wajah dan bentuk
tubuh. Daya tarik keluar dari segala gerak-geriknya, bicaranya, pandang
matanya, senyumnya, pendeknya di antara dua orang yang saling mencinta
ada daya tarik yang saling menguasai dan saling menarik, sesuai dengan
selera hati masing-masing. Baru bertemu sudah jatuh cinta? Betapa
janggalnya!"
"Koko, apakah kau tidak cinta kepadaku?"
Bukan main,
pikir Han Ki. Gadis ini berani luar biasa. Tidak saja serta-merta
menyatakan cinta begitu jumpa, juga berani bertanya apakah dia
mencintanya!
"Eh, hal ini.... ah, aku tidak tahu, Moi-moi. Aku suka
kepadamu dan...., dan aku kasihan kepadamu, aku...., aku senang sekali
berkenalan denganmu."
"Jawablah sejujurnya, Koko. Engkau cinta kepadaku atau tidak?"
"Mengapa
tergesa-gesa? Aku suka kepadamu, akan tetapi untuk menyatakan cinta,
masih terlalu pagi bagiku. Aku tidak mau sembrono, tidak mau berlaku
1ancang sebelum ada ketentuan. Soal cinta bukanlah soal main-main,
Moi-moi, sekali mengaku cinta berarti sumpah untuk hidup bersama
selamanya!"
"Kam-koko, memang engkau benar. Tak mungkin jatuh cinta
dalam pertemuan pertama, cinta macam itu adalah cinta yang masih mentah.
Orang baru jatuh cinta kalau sudah mengenal betul baik buruk, cacat
cela orang yang dicinta dan tetap mencinta berikut cacat-celanya. Dan
aku cinta kepadamu sejak bertahun-tahun, karena kita sudah saling
berkumpul lama sekali, hanya engkau yang tidak ingat lagi. Aku bukan
mencintamu secara membuta, Koko. Akan tetapi, kalau benar engkau suka
kepadaku.... aahhh, biarlah aku menceritakan riwayatku yang telah
kaulupakan."
"Ceritakanlah, Khu-moi. Aku ingin sekali mendengar riwayatmu."
Siauw
Bwee ingin mencoba "rasa suka" pemuda itu terhadap dirinya. Dari Han Ki
yang dulu, dia tidak dapat memperoleh kepastian karena suhengnya yang
dahulu itu tidak pernah mengaku cinta, baik kepada dia maupun kepada
Maya. Akan tetapi suhengnya yang sekarang ini berbeda lagi, dan dia
ingin melihat sampai di mana rasa suka di hati pemuda itu seperti yang
diceritakannya tadi.
"Mendiang ayahku adalah Khu Tek San, seorang
panglima Kerajaan Sung yang setia. Dia adalah murid Menteri Kam Liong,
kakak sepupumu yang kaulupakan. Mereka berdua adalah orang-orang yang
setia dan berjasa besar untuk kerajaan." Dengan singkat Siauw Bwee lalu
menceritakan tentang Menteri Kam Liong dan ayahnya.
"Akan tetapi
sungguh menyedihkan, Ayah dan Menteri Kam Liong tewas karena
pengkhianatan dan fitnah yang dilontarkan oleh seorang Panglima Sung
yang bernama Suma Kiat." Diceritakan sejelasnya betapa ayahnya dan
Menteri Kam Liong tewas oleh pengeroyokan para panglima dan pengawal
Sung, dan tentang kelicikan dan kecurangan Suma Kiat.
Berkerut alis
Han Ki mendengar penuturan itu dan tiba-tiba ia bangkit berdiri mengepal
tinjunya. "Keparat orang she Suma itu! Dia harus dihajar!"
Mendengar
bentakan ini, Siauw Bwee tersenyum girang dan cepat menarik lengan
suhengnya. "Duduklah dan tenanglah. Bagaimana kau akan menghajar
Panglima Suma Kiat kalau dia itu adalah rekan dari Bu-koksu sendiri?"
Sementara
itu, Coa Leng Bu yang sedang menjemur obat, mendengar juga bentakan Han
Ki dan dia mengangguk-angguk. Diam-diam dia kagum akan kecerdikan Siauw
Bwee yang berusaha mengingatkan Han Ki.
"Koko, engkau marah
mendengar betapa keluargaku difitnah sehingga aku hidup sebatangkara.
Hal itu berarti bahwa engkau juga cinta kepadaku, Koko."
Wajah Han Ki
menjadi merah dan dia menoleh kepada gadis yang duduk di dekatnya,
melihat muka yang cantik jelita dari dekat. "Mungkin.... mungkin sekali.
Engkau cantik jelita, Moi-moi, engkau gagah perkasa dan engkau berhati
lembut, engkau berwatak mulia.... betapa mudahnya jatuh cinta kepada
seorang gadis seperti engkau."
"Kam-Suheng....! Kam-koko.... ternyata
engkau hanya mencinta aku seorang....!" Dengan hati penuh keharuan dan
kebahagiaan, Siauw Bwee merangkul dan merebahkan pipinya di atas dada
Han Ki! Han Ki terkejut, akan tetapi hatinya sudah terusik dan harus
diakuinya bahwa sukar diragukan akan rasa kasih sayang yang timbul di
dalam hatinya terhadap gadis ini, maka hatinya menjadi lunak dan tanpa
disadarinya lagi, jari-jari tangannya membelai rambut yang berada di
atas dadanya itu.
"Hanya aku yang kaucinta, aku merasa akan hal ini, Suheng. Sejak dulu.... engkau hanya mencinta aku, bukan Suci Maya...."
"Maya....?"
Siauw
Bwee cepat mengalihkan percakapan karena dia tidak mau membuat
suhengnya meragu lagi. Kini, setelah jelas bahwa suhengnya hanya
mencinta dia seorang, dia pun tidak ragu-ragu untuk segera menyembuhkan
suhengnya. Dia sudah menduga bahwa dengan sin-kang tenaga Inti Es dia
dan suhengnya akan sanggup mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan
suhengnya. Coa Leng Bu tidak tahu betapa mereka berdua telah memiliki
Im-kang yang tak mungkin dapat diduga betapa tingginya oleh kakek itu
maka kakek itu khawatir kalau-kalau pengobatan itu akan membahayakan
keselamatan Han Ki.
"Suheng, engkau tidak ingat tentunya bahwa kita
berdua dahulu telah berlatih Im-kang di Pulau Es. Akan tetapi, coba raba
tanganku dan rasakan ini." Setelah Han Ki memegang tangannya, Siauw
Bwee perlahan-lahan mengerahkan Im-kang sehingga hawa dingin tersalur
dari telapak tangannya.
"Ihhh! Bukan main kuatnya sin-kangmu Moi-moi! Mungkin menyamai kekuatanku!"
Siauw
Bwee menghentikan saluran Im-kangnya dan tersenyum manja. "Kau
merendahkan diri, Suheng. Tenagamu jauh lebih besar daripada tenagaku.
Akan tetapi dengan bantuanku kita berdua akan dapat menyembuhkanmu
dengan cepat. Mari kita temui Coa-supek."
Dengan wajah berseri Siauw
Bwee bangkit dan menarik tangan suhengnya, kemudian dia menggandeng
tangan suhengnya, tanpa malu-malu dia menjumpai supeknya yang sedang
menjemur akar dan daun obat.
"Supek! Aku telah mendapatkan cara untuk menyembuhkan Suheng dengan cepat!"
"Eh?"
Coa Leng Bu tertegun dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang pipi
dara itu kemerahan dan tangan dara itu dengan mesranya menggandeng
tangan Han Ki.
"Kami berdua akan menggunakan Im-kang untuk mengusir hawa panas dari kepala Suheng."
"Ahh, berbahaya sekali, Lihiap! Tenaga Im-kang tak dapat dikendalikan, dan kalau tersalur memasuki kepala, dapat membahayakan!"
"Kalau bisa mengendalikan Im-kang, bagaimana?" Siauw Bwee bertanya sambil tersenyum.
"Tentu
saja mungkin dapat menyembuhkan, akan tetapi betapa kalian dapat
mengendalikan Im-kang? Hal itu membutuhkan tingkat yang amat tinggi,
barangkali hanya Suhu Bu-tek Lo-jin saja yang mampu."
"Hemm, bagaimana untuk mengukur ketinggian Im-kang?"
"Sukar
dibicarakan, akan tetapi kalau sudah dapat membekukan air menjadi salju
berarti sudah mencapai tingkat amat tinggi dan itu pun harus dilakukan
dengan hati-hati sekali."
"Begitukah? Coa-supek, kaulihatlah
baik-baik, kemudian nyatakan pendapatmu!" Siauw Bwee menghampiri sebuah
panci yang penuh dengan air, kemudian ia memasukkan tangan kanannya ke
dalam air itu, mengerahkan Im-kang beberapa menit lamanya. Kemudian ia
menarik tangannya dan.... Coa Leng Bu memandang dengan mata terbelalak
ketika melihat air itu telah membeku menjadi es dan ikut tertarik
keluar! Siauw Bwee memasukkan lagi air beku itu ke dalam panci, kemudian
perlahan-lahan ia merubah Im-kang menjadi Yang-kang. Air beku itu
mencair, terus berubah makin panas sampai akhirnya mendidih di dalam
panci!
"Moi-moi, kau mengagumkan sekali!" Han Ki berseru gembira dan
dia pun menghampiri sebuah tempayan air, menyodok air dengan tangannya
dan begitu tangannya diangkat, air yang berada di telapak tangannya
telah membeku, jauh lebih cepat dari yang dilakukan Siauw Bwee tadi!
Kedua
kaki Coa Leng Bu menggigil saking tegang dan kagetnya, dan tak terasa
lagi kedua lututnya ditekuk dan dia telah berlutut sambil berkata, "Ya
Tuhan...., selama ini kedua mataku seperti buta, tidak melihat bahwa
Ji-wi adalah orang-orang muda yang memiliki ilmu kepandaian seperti
malaikat....!"
Siauw Bwee meloncat dan menarik lengan kakek itu,
memaksanya bangkit. "Aihh, Coa-supek, apa-apaan ini? Aku hanya ingin
mendengar pendapatmu, bagaimana? Apakah kami berdua cukup kuat untuk
menggunakan Im-kang mengusir hawa panas yang melenyapkan ingatan
Suheng?"
Coa Leng Bu mengangguk-angguk, menelan ludah, masih
terpesona, akhirnya ia menghela napas dan berkata, "Kalau aku tahu bahwa
kalian memiliki Im-kang sehebat itu, tentu saja boleh dilakukan. Hanya
kalian harus berhati-hati benar, karena sedikit saja mengalami kekagetan
dan gangguan, bisa menimbulkan bahaya. Syaraf di kepala amatlah
halusnya, dan sedikit gangguan saja membahayakan nyawa."
"Aku ingin
Suheng segera sembuh. Biarlah kami melakukannya di dalam pondok dan
harap Supek suka menjaga di luar pondok agar tidak terjadi gangguan."
"Baiklah, kalian adalah dua orang muda yang amat luar biasa. Sungguh hampir aku tak dapat percaya...."
"Coa-supek,
kami adalah murid-murid Bu Kek Siansu, penghuni Istana Pulau Es.
Bertahun-tahun kami melatih Im-kang di Pulau Es, apa anehnya kalau kami
memiliki keahlian dalam menyalurkan hawa sakti yang membekukan air?"
Sepasang
mata Coa Leng Bu terbelalak. "Murid-murid.... manusia dewa itu....? Dan
aku telah membiarkan diri kausebut supek! Betapa menggelikan dan
memalukan! Aihhhh.... setua ini masih tolol....!"
"Sudah, Supek. Harap suka menjaga di luar, kami hendak mulai sekarang juga. Marilah, Koko."
Han
Ki hanya tersenyum dan mengikuti gadis itu memasuki pondok. Sebetulnya
dia masih belum percaya bahwa dia menderita sakit, dan hanya mengira
bahwa kehilangan ingatan adalah karena suatu sebab yang mungkin
diketahui oleh kakak angkatnya, Bu Kok Tai, Koksu Negara Sung. Akan
tetapi menyaksikan kegembiraan dan harapan Siauw Bwee, dia tidak tega
untuk menolak. Pula, bermain-main dengan tenaga Im-kang itu apa sih
bahayanya?
Siauw Bwee menutupkan daun pintu pondok, kemudian duduk
bersila saling berhadapan dengan Han Ki. Sejenak mereka saling pandang,
Han Ki tersenyum seperti melihat kelakuan seorang anak kecil yang
mengajaknya bermain-main, sebaliknya Siauw Bwee memandang dengan
sungguh-sungguh dan berkata,
"Koko, percaya atau tidak bahwa engkau
terkena hawa beracun yang melenyapkan atau menutupi ingatanmu, namun
engkau sendiri sudah yakin bahwa ingatanmu hilang dan engkau tidak dapat
mengingat akan keadaanmu sebelum engkau menjadi adik angkat Koksu Bu
Kok Tai itu. Apa pun yang menjadi sebabnya, sudah jelas bahwa ingatanmu
hilang dan kita harus berusaha untuk menyembuhkanmu. Coa-supek adalah
seorang ahli yang berpengalaman, maka aku percaya bahwa hawa panas
beracun telah membuatmu kehilangan ingatan. Oleh karena itu, harap
engkau bersungguh-sungguh bersamaku menyatukan Im-kang, kaukendalikan
baik-baik untuk mengusir hawa panas beracun yang menggelapkan ingatanmu
itu. Maukah engkau?"
Han Ki tersenyum dan melihat bahwa pemuda itu
agaknya masih meragu, Siauw Bwee cepat berkata, "Demi cintaku kepadamu,
dan demi cintamu kepadaku! Kam-koko, maukah engkau bersungguh-sungguh
melakukan usaha ini, kalau kauanggap ringan keadaanmu, biarlah demi
untuk membahagiakan hatiku. Maukah?"
Hati Han Ki menjadi terharu.
Dalam sinar matanya, dalam getaran suaranya, gadis ini jelas menunjukkan
hati kasih sayang yang luar biasa terhadap dirinya! Sampai
bagaimanapun, dia tidak tega untuk mengecewakan hati gadis sebaik ini!
"Baiklah, Moi-moi. Nah, mari kita mulai. Bagaimana engkau hendak membantuku?"
"Ulurkan kedua lenganmu kepadaku, Koko."
Han
Ki yang duduk bersila menyodorkan kedua lengannya dan Siauw Bwee juga
melakukan hal yang sama sehingga dua pasang telapak tangan bertemu.
Pertama-tama, terasa oleh Han Ki getaran hangat dan mesra dari telapak
tangan gadis itu, getaran yang didorong oleh hati yang mencinta!
Kemudian Siauw Bwee berkata, karena dia maklum bahwa biarpun ilmu
kepandaiannya masih dikuasainya secara praktek, namun pemuda itu sudah
lupa sama sekali akan teori-teorinya.
"Setelah aku menyalurkan
Im-kang, kausambutlah tenaga saktiku, kerahkan tenagamu sendiri sehingga
tenaga Im-kang kita menjadi kuat dan menjadi satu di dalam tubuhmu.
Kaukumpulkan segala panca indera, tujukan kepada satu, yaitu
mengendalikan Im-kang yang kuat itu dan perlahan-lahan, hati-hati sekali
kausalurkan ke atas, memasuki kepalamu untuk menghalau pergi hawa panas
beracun. Akan tetapi hati-hatilah, Koko dan jangan pedulikan segala
gangguan, karena kalau sampai gerakan hawa Im-kang di kepalamu itu
mengalami gangguan, bisa membahayakan dirimu. Boleh jadi kau tidak
peduli akan akibat buruk yang menimpamu, akan tetapi ketahuilah bahwa
kalau sampai engkau celaka, aku pun ikut celaka, kalau engkau tewas, aku
pun tidak mau hidup lagi. Berarti engkau tidak hanya menjaga
keselamatanmu akan tetapi juga keselamatanku! Nah, aku mulai!"
Hati
Han Ki menjadi terharu sekali, akan tetapi ketika ia merasa betapa dari
kedua telapak tangan yang berkulit halus itu, yang tadinya hangat dan
lembut kini menjadi dingin, mengalir hawa yang dingin sekali, ia cepat
menyatukan semua perasaannya, bersamadhi dan memusatkan perhatian kepada
hawa dingin yang mengalir masuk melalui kedua lengannya. Dia menerima
hawa itu, menyatukan dengan hawa Im-kang yang ia kerahkan dari pusar,
kemudian dengan perhatian penuh ia mengendalikan hawa itu,
perlahan-lahan seperti uap yang meraba-raba dan mencari-cari, mulai
menyalurkannya ke atas. Mula-mula hawa Im-kang yang tergabung itu
terkumpul di pusarnya, kemudian perlahan-lahan naik melalui dadanya,
terus ke leher dan dari situ naik dengan amat perlahan dan hati-hati.
Siauw Bwee sendiri berada dalam keadaan samadhi karena dia tidak
menghendaki pengerahan Im-kangnya tercampur dengan tenaga lain atau
pikiran-pikiran yang akan mengotorkan penyalurannya. Kedua orang itu
duduk besila, saling berhadapan dan saling mengadu telapak tangan, sama
sekali tidak bergerak seperti sepasang arca, akan tetapi tanpa terlihat
oleh mata, terjadilah kemujijatan karena dua tenaga Im-kang yang amat
dahsyat sedang bekerja dan bahwa benar seperti apa yang dikhawatirkan
oleh Coa Leng Bu, usaha yang dilakukan oleh kedua orang ini amatlah
berbahaya. Terguncang atau meleset sedikit saja akan mendatangkan akibat
yang mengerikan bagi diri Han Ki.
Karena maklum bahwa dia sendiri
masih jauh berada di tingkat rendah untuk dapat membantu mereka, dan
diam-diam masih kagum dan terheran-heran mendapat kenyataan bahwa kedua
orang itu adalah orang-orang sakti, Coa Leng Bu duduk bersila di atas
bangku depan pondok. Dia pun prihatin, dan mengharapkan gadis sakti itu
berhasil menyembuhkan suhengnya. Melihat kekuatan Im-kang mereka yang
sudah mencapai tingkat setinggi itu, dia yakin bahwa kalau mereka tidak
terganggu dan mampu mengendalikan kekuatan dahsyat itu, mereka tentu
akan mampu mengusir hawa panas beracun yang telah meracuni Han Ki, yang
telah menggelapkan ingatan Si Pemuda Sakti. Dan dia mengutuk perbuatan
orang yang telah meracuni Han Ki, yang ia duga tentulah Bu Kok Tai,
koksu negara yang hendak menggunakan kepandaian Si Pemuda untuk menjadi
pembantu dan pengawalnya. Hanya dia masih heran bagaimana seorang yang
sedemikian saktinya dapat dipedaya dan diminumi racun perampas ingatan.
Tiba-tiba
Coa Leng Bu tersentak kaget. Sudah ada empat jam lebih dia duduk
menjaga, matahari sudah naik tinggi dan kini dia melihat bayangan empat
orang datang ke tempat itu. Karena tidak ingin dua orang muda di dalam
pondok terganggu, cepat dia turun dari bangku dan berjalan menyambut
empat orang itu. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika ia
mengenal mereka itu bukan lain adalah Bu-koksu, Pat-jiu Sin-kauw, Thian
Ek Cinjin, dan Ang Hok Ci!
"Celaka....!" keluhnya dalam hati namun wajah kakek itu tetap tenang ketika ia berhadapan dengan mereka.
Coa
Leng Bu menjura dengan hormat kepada mereka lalu berkata, "Selamat
datang, Bu-koksu. Apakah engkau hendak menangkap aku? Silakan, aku
menyerah karena aku memang merasa telah membikin kacau di Sian-yang
dahulu."
Bu-koksu tertawa, "Ha-ha-ha, siapa butuh orang macam engkau? Aku ingin melihat siapa yang berada di dalam pondok itu!"
"Bu-koksu, di sana terdapat seorang yang sedang sakit, harap engkau tidak mengganggunya!"
"Orang
sakit?" Bu-koksu mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm, beranikah
engkau membohongiku bahwa di sana terdapat Kam Han Ki dan Khu Siauw
Bwee?"
Coa Leng Bu maklum bahwa membohong pun tiada gunanya. "Benar,
akan tetapi Kam-taihiap sedang sakit, sedangkan Khu-lihiap sedang
merawatnya."
"Ha-ha-ha, kaumaksudkan sedang berusaha memulihkan
ingatan Kam Han Ki? Orang she Coa, aku sudah tahu siapa engkau. Engkau
adalah seorang ahli pengobatan yang tentu berusaha menyembuhkan Kam Han
Ki. Kami datang untuk menangkap mereka!"
"Bu-koksu, apakah kesalahan
mereka?" Coa Leng Bu sengaja mencari bahan percakapan untuk mengulur
waktu, untuk memberi kesempatan kepada kedua orang itu menyelesaikan
pengobatan. Kalau belum selesai dan terganggu, nyawa Kam Han Ki terancam
bahaya maut.
"Engkau mau tahu? Kam Han Ki telah menjadi pengkhianat
dan harus ditangkap. Sedangkan gadis itu adalah puteri mendiang Khu Tek
San, seorang panglima yang memberontak. Dia harus ditawan dan dihukum
pula!"
"Bu-koksu, harap kautunggu sebentar sampai mereka selesai
dengan pengobatan mereka. Kalau terganggu, keadaan Kam-taihiap berbahaya
sekali. Bukankah dia itu adalah adik angkatmu sendiri yang sudah banyak
berjasa terhadapmu? Apakah engkau tega untuk mencelakainya?"
"Jangan banyak cakap! Minggirlah!"
"Bu-koksu,
harap engkau orang tua yang sudah banyak pengalaman hidup, menaruh
kasihan kepada dua orang muda yang tidak berdosa. Biarlah aku yang
menanggung semua kesalahan mereka. Biar aku yang kautangkap dan kauseret
untuk dihukum. Biarkan mereka, karena aku tahu bahwa mereka bukanlah
pengkhianat, apalagi pemberontak. Kau tahu, mereka adalah murid-murid
manusia dewa Bu Kek Siansu!"
Wajah Bu-koksu seketika pucat mendengar
ini, karena sesungguhnya berita ini tak pernah disangka-sangkanya dan
membuatnya terkejut bukan main. Akan tetapi segera dia dapat mengatasi
rasa kagetnya dan tertawa,
"Siapa pun mereka, harus kami tawan!"
Diam-diam dia mengharapkan untuk dapat mewarisi kitab-kitab peninggalan
Bu Kek Siansu kalau dia berhasil menundukkan kedua orang itu. Dia maklum
bahwa kalau Kam Han Ki sudah sadar, akan sukar untuk mengatasi mereka.
Akan tetapi melihat bahwa pemuda itu masih dalam pengobatan, dia
mempunyai harapan untuk dapat menguasai pemuda itu yang telah hilang
ingatannya dan kalau hal ini benar, dengan bantuan Kam Han Ki, tidak
sukar baginya untuk menundukkan gadis yang sakti itu.
"Jangan bergerak!" Coa Leng Bu berseru marah. "Kalian takkan dapat pergi memasuki pondok itu kecuali melalui mayatku!"
Manusia
sombong, kalau begitu mampuslah engkau!" Bu Kok Tai yang sudah marah
sekali itu membentak, tubuhnya menerjang ke depan, tangan kanannya yang
besar mencengkeram. Mendengar bunyi tulang-tulang jari tangan itu
berkerotokan, maklumlah Coa Leng Bu bahwa Koksu ini memiliki tenaga yang
hebat, maka cepat ia mengelak ke samping sambil memukul dari bawah
menghantam dengan pengerahan tenaga Jit-goat-sin-kang.
"Desss!" Tubuh
Coa Leng Bu terjengkang ketika Bu-koksu menangkis hantaman itu dengan
tenaga sin-kang yang jauh lebih lihai dan kuat.
"Engkau bosan hidup!"
Tiba-tiba Ang Hok Ci, siucai murid Koksu meloncat dan menggunakan
kakinya menginjak ke arah perut kakek itu dengan pengerahan tenaganya.
Injakan
maut ini tentu akan menghancurkan isi perut. Akan tetapi Coa Leng Bu
dalam usahanya menghalangi mereka mengganggu kedua orang muda di dalam
pondok, tidak mau menyerah begitu saja. Cepat ia miringkan tubuhnya yang
telentang, lalu menggunakan tangan menangkap kaki yang menginjak sambil
mengerahkan tenaga dan sekali dia membentak, tubuh Ang Hok Ci terlempar
ke atas dan tentu akan jatuh terbanting kalau tidak disambar jubahnya
oleh Bu-koksu.
Coa Leng Bu sudah meloncat bangun lagi. Dia tidak
memegang senjata karena tadi tidak menyangka sama sekali akan kedatangan
musuh. Akan tetapi dia tidak gentar dan cepat meloncat lagi menghadang
mereka.
"Terimalah ini!" Pat-jiu Sin-kauw sudah menerjangnya dengan
ilmu silatnya yang amat hebat, yaitu Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti
Angin Badai), tubuhnya berputaran, jubahnya berkibar dan kedua tangannya
seperti kitiran angin menyambar-nyambar. Coa Leng Bu pernah melawan
orang ini di Sian-yang, maklum bahwa lawannya amat lihai, maka dia pun
cepat mainkan ilmu silatnya dan mengerahkan daya tahannya, mengelak dan
menangkis. Dia tahu bahwa betapapun dia berusaha, takkan mungkin dia
akan menang menghadapi empat orang ini, apalagi menghadapi Bu-koksu yang
amat lihai. Dia pun tidak mengharapkan kemenangan yang tak mungkin,
hanya ingin mempertahankan diri selama mungkin untuk mengulur waktu
penyerbuan mereka ke dalam pondok.
Tiba-tiba Pat-jiu Sin-kauw yang
tubuhnya berputaran ini berjongkok, mulutnya mengeluarkan suara dalam,
dan kedua tangannya mendorong ke atas, ke arah lawan. Itulah
Thai-lek-kang yang amat dahsyat. Coa Leng Bu maklum bahwa terkena hawa
dorongan ini, dia tentu akan roboh, maka dia pun lalu mengerahkan tenaga
sekuatnya.
"Dessss!"
Tenaga Pat-jiu Sin-kauw berimbang dengan
tenaga Jit-goat-sin-kang yang dimiliki Coa Leng Bu, akan tetapi karena
pada saat itu Coa Leng Bu sudah nekat dan mati-matian hendak melindungi
kedua orang muda itu, tenaganya bertambah dan tubuh Pat-jiu Sin-kauw
terpental ke belakang dan terguling-guling. Akan tetapi Coa Leng Bu
sendiri terhuyung ke belakang.
"Cring-cring.... singggg....!" Sinar
gemerlapan menyambar ke arah Coa Leng Bu. Kakek ahli obat ini terkejut
sekali, berusaha menghindarkan diri dari sambaran golok besar di tangan
Bu-koksu, akan tetapi gerakan Bu-koksu amat dahsyat.
"Crakk!" Pundak Coa Leng Bu terbabat putus!
Namun
Coa Leng Bu seolah-olah tidak merasakan nyeri pada pundaknya yang sudah
buntung itu, dia meloncat bangun lagi dan menerjang Thian Ek Cinjin
yang sudah lari hendak menghampiri pondok. Thian Ek Cinjin menjadi ngeri
melihat orang yang lengan kanannya buntung sepundak dan dari lukanya
muncrat-muncrat darah itu masih menubruknya. Cepat ia meloncat ke
samping dan memukul ke arah pusar. Namun, Coa Leng Bu tidak mempedulikan
pukulan itu, bahkan membarengi dengan hantaman ke arah kepala Thian Ek
Cinjin dengan tangan kirinya!
Thian Ek Cinjin terkejut dan kepalanya
tentu akan terkena hantaman yang dapat mengakibatkan maut kalau saja
pada saat itu tidak datang sinar gemerlapan golok besar Bu-koksu yang
menyambar dari belakang.
"Crott!" Lengan kiri Coa Leng Bu kembali
terbabat buntung sebatas siku! Dan pusarnya masih terkena hantaman Thian
Ek Cinjin yang membuat tubuhnya terjengkang.
Biarpun kedua lengannya
telah buntung, tidak pernah terdengar keluhan keluar dari mulut kakek
yang gagah perkasa ini. Bahkan kini dia sudah meloncat bangun lagi,
dengan mata terbelalak penuh keberanian dia sudah menyerbu ke depan
Bu-koksu yang menyambutnya dengan sambaran goloknya, sekali ini mengenai
leher Coa Leng Bu. Robohlah tubuh kakek gagah perkasa itu dengan kedua
lengan dan kepala terpisah dari badan, tewas seketika dalam keadaan
mengerikan.
Bu-koksu menyarungkan goloknya, memandang ke arah Coa Leng Bu, menghela napas dan berkata,
"Seorang
yang gagah perkasa! Sayang orang seperti ini tidak pernah menjadi
pembantuku." Ia lalu membalikkan tubuhnya dan memberi isyarat kepada
para pembantunya untuk berjaga di luar.
"Biarkan aku sendiri yang
menghadapi mereka," katanya karena dia maklum bahwa kalau Kam Han Ki
masih hilang ingatan, pemuda itu hanya dapat dikuasai olehnya.
Sebaliknya kalau keadaan menjadi berubah, hanya dia seoranglah yang akan
dapat mengimbangi mereka yang amat lihai, sedangkan tiga orang
pembantunya itu takkan ada gunanya.
Dia melangkah ke depan pintu pondok, berhenti dan berseru nyaring,
"Kam-siauwte, aku datang!"
Tidak
ada jawaban dari dalam pondok. Tentu saja suaranya yang nyaring itu
terdengar oleh Siauw Bwee yang menjadi tekejut bukan main. Akan tetapi
gadis ini menekan perasaannya. Dia maklum bahwa mereka berdua sudah
hampir berhasil. Ada hawa panas keluar dari kepala suhengnya. Akan
tetapi kalau sekarang dihentikan atau terganggu, akan berbahalah bagi
suhengnya. Dia memejamkan matanya, tidak peduli lagi. Kalau harus mati,
dia rela mati bersama suhengnya yang tercinta!
Pintu pondok terdorong
terbuka dari luar. Ketika Bu-koksu melihat dua orang muda itu duduk
berhadapan dengan mengadu telapak tangan dan keadaan dalam pondok terasa
amat dingin, dia maklum bahwa kedua orang itu sedang mengerahkan
Im-kang yang amat luar biasa untuk melawan hawa panas beracun yang
menggelapkan ingatan Han Ki sebagai akibat dari obat yang ia minumkan
kepada pemuda itu. Terkejutlah pembesar ini melihat uap panas keluar
dari kepala Han Ki, tanda bahwa cara pengobatan yang radikal itu hampir
berhasil. Ia lalu melangkah maju dengan cepat, dan menggerakkan
tangannya untuk menotok tengkuk Han Ki.
"Aihhh....!" Bu-koksu
menggigil seluruh tubuhnya dan ia tentu roboh kalau saja pengalamannya
yang luas tidak membuat dia cepat menarik kembali tangannya sebelum
terlambat. Ternyata dari tubuh pemuda itu keluar hawa dingin yang takkan
kuat ia lawan, sungguhpun dia sendiri memiliki sin-kang yang kuat dan
kalau tadi totokannya ia lanjutkan sampai tangannya bertemu dengan kulit
tengkuk Han Ki, tentu dia akan terkena serangan hebat yang membahayakan
isi dadanya!
Sementara itu, Siauw Bwee yang maklum akan kehadiran
Koksu, terguncang hatinya penuh kekhawatiran, maka seluruh Im-kang dari
kedua tengannya menjadi kacau sehingga tubuh Han Ki bergoyang-goyang.
Tiba-tiba Han Ki membuka matanya, memandang Siauw Bwee dan matanya
terbelalak, mulutnya berteriak heran dan kaget, "Engkau.... Siauw
Bwee.... Khu-sumoi....!" Dan begitu Siauw Bwee melepaskan kedua
tangannya, pemuda itu roboh terguling dan pingsan!
Mendengar teriakan
suhengnya itu hati Siauw Bwee girang bukan main karena teriakan itu
menunjukkan bahwa suhengnya telah ingat lagi, akan tetapi dia sendiri
sudah kehabisan tenaga, maka ketika dia merasa ada angin menyambarnya,
biarpun dia sudah cepat membuang tubuh, tetap saja pundaknya terkena
totokan jari tangan Bu-koksu dan tubuhnya terguling di samping tubuh Han
Ki dalam keadaan lemas!
Bu-koksu cepat menghampiri Han Ki dan
menotok jalan darah di punggung pemuda yang masih pingsan itu, kemudian
sambil tertawa girang dia memanggil para pembantunya. Tiga orang
pembantunya yang tidak melihat apa yang telah terjadi, merasa kagum dan
mengira bahwa Koksu itu berhasil merobohkan dua orang muda yang lihai
itu.
"Cepat belenggu kaki tangan mereka, kita bawa mereka sebagai
tawanan ke Siang-tan," katanya dan tiga orang itu bergegas membelenggu
Han Ki dan Siauw Bwee. Kemudian mereka mengempit tubuh kedua orang itu
keluar dari pondok. Siauw Bwee yang tertotok lemas namun masih sadar itu
ketika melihat mayat supeknya yang tewas dalam keadaan mengerikan,
mengeluarkan jerit tertahan dan ia menggigit bibir tidak mengeluarkan
kata, hanya sepasang matanya saja yang mengeluarkan sinar berapi.
"Nona
Khu," Bu-koksu berkata dengan suaranya yang besar, "Kam Han Ki adalah
seorang buruan, engkau pun puteri seorang panglima pemberontak. Akan
tetapi, mengingat keadaan regara dalam bahaya, aku yang akan tanggung
bahwa kalian tidak akan menerima hukuman asal saja kalian berdua suka
menyumbangkan tenaga untuk negara. Kalian adalah orang-orang gagah
perkasa, murid dari Bu Kek Siansu, Penghuni Istana Pulau Es. Setelah
mempelajari ilmu kesaktian, untuk apa kalau tidak untuk membela negara
dan bangsa? Dengan keadaan negara terancam musuh-musuhnya, semua urusan
pribadi harus dikesampingkan lebih dulu, seperti bunyi ujar-ujar kuno
yang tentu telah menjadi pegangan mendiang ayahmu pula, ialah
Wi-bin-wi-kok, Hiap-ci-tai-cia (Demi Rakyat dan Negara Yang Pertama).
Kuharap engkau dapat mengerti dan dapat menyadarkan suhengmu."
Dengan
mata masih mendelik Siauw Bwee berkata, "Kalian orang-orang kasar
memang selalu curang dan keji. Dalam keadaan kedudukanmu terancam,
kalian mempergunakan rakyat untuk membantumu dengan alasan demi rakyat
dan negara, akan tetapi setelah keadaan aman dan kedudukanmu terjamin,
kalian merupakan penindas-penindas rakyat, penjilat Kaisar lalim dan
memusuhi pemimpin-pemimpin jujur!"
Bu Kok Tai menghela napas panjang.
"Aku selalu kagum kepada mendiang Menteri Kam dan Panglima Khu. Aku
tidak pernah memusuhi mereka secara pribadi, akan tetapi sebagai seorang
petugas, bagaimana mungkin tidak hendak menaati perintah atasan?
Sudahlah! Hayo bawa mereka ke Siang-tan, cepat-cepat jangan sampai
kemalaman di jalan!" katanya kemudian kepada pembantu-pembantunya.
Pat-jiu Sin-kauw mengempit tubuh Han Ki, sedangkan Siauw Bwee dipanggul
oleh Thian Ek Cinjin. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Siang-tan
dengan cepat, karena sesungguhnya hanya terpaksa saja Koksu melakukan
perjalanan menyusul Han Ki sendiri setelah mendengar pelaporan para
penyelidik. Tenaganya amat dibutuhkan di kota itu, dan dalam keadaan
terancam oleh pasukan-pasukan Mancu, kalau tidak terpaksa sekali, tidak
nanti dia mau meninggalkan kota. Betapapun juga, hatinya gembira karena
tanpa banyak kesukaran dia berhasil membawa Han Ki dan Siauw Bwee yang
diharapkannya akan suka membantunya. Kalau dia bisa menarik kedua orang
itu sebagai pembantu-pembantunya, kedudukannya akan makin kuat dan
tenaga kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu
amat dibutuhkan untuk menghadapi penyerbuan pasukan-pasukan Mancu yang
dipimpin banyak orang pandai.
Ketika rombongan empat orang yang
membawa dua orang tawanan itu tiba di luar hutan pohon pek, memasuki
hutan kecil di mana terdapat jalan yang menuju ke Siang-tan, tiba-tiba
terdengar suara ketawa dan dari balik pohon besar muncullah lima orang
laki-laki. Yang tertawa adalah seorang kakek berusia tujuh puluh tahun
lebih, berambut dan berjenggot panjang, sudah putih semua, pakaiannya
terbuat dari sutera mahal akan tetapi bentuknya sederhana seperti
pakaian pendeta, tangannya memegang sebatang tongkat kayu cendana
berselaput emas dan sikapnya agung seperti sikap orang yang biasa
memerintah. Adapun empat orang yang berdiri di belakangnya adalah
orang-orang yang berpakaian mewah. Dapat dibayangkan betapa kaget hati
Bu-koksu ketika mengenal kakek itu yang bukan lain adalah Pek-mau
Seng-jin, Koksu dari Kerajaan Yucen, sedangkan para pengikutnya itu
adalah Suma Hoat, Panglima Dailuba yang brewok bermata lebar dan
bertubuh tinggi besar, Thai-lek Siauw-hud yang gendut pendek dan
tertawa-tawa, dan seorang Yucen yang berpakaian indah dan berwajah
tampan, yaitu Pangeran Dhanu yang memiliki kedudukan penting di Kerajaan
Yucen!
"Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu dan aneh! Bu-koksu sebagai
pimpinan tertinggi pada saat ini dalam benteng pertahanan di Siang-tan,
kiranya masih sempat berkeliaran di dalam hutan!" Pek-mau Seng-jin
mengejek sungguhpun dia mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai
penghormatan.
Pada waktu itu Kerajaan Yucen sedang berkembang dan
sudah menguasai sebagian besar Tiongkok Utara, bahkan terpaksa Kerajaan
Sung pindah ke selatan dan mengakui Kerajaan Yucen ini. Untuk ikatan
persahabatan, bahkan Puteri Sung Hong Kwi telah diserahkan untuk menjadi
isteri Pangeran Dhanu sebagaimana telah diceritakan di bagian depan
cerita ini. Akan tetapi, hanya pada lahirnya saja kedua kerajaan ini
bersahabat, sebetulnya di dalam hatinya saling menganggap musuh besar.
Bu-koksu
cepat membalas dengan penghormatan selayaknya, kemudian menjawab dengan
suara halus namun mengandung ejekan balasan pula, "Selamat berjumpa,
Pek-mau Seng-jin! Tempat ini termasuk wilayah kerajaan kami, maka
tidaklah mengherankan apabila sebagai Koksu negara mengadakan
pemeriksaan sendiri di sini. Barulah aneh namanya kalau Koksu Negara
Yucen bersama panglima dan pangeran berada di sini, bukan sebagai tamu
negara yang resmi. Karena pertemuan ini tidak diduga-duga lebih dulu,
maka biarlah saya mewakili negara untuk mengundang Cu-wi sekalian
sebagai tamu terhormat kami di Siang-tan."
"Ha-ha-ha! Saya mendengar
bahwa Bu-koksu amat lihai kepandaiannya kiranya sekarang lihai juga
bicaranya! Terima kasih, Bu-koksu. Akan tetapi, ada sebuah hal yang
memaksa pertemuan antara kita ini menimbulkan rasa tidak enak kepada
kedua pihak. Sungguh menyesal sekali."
Hati Bu-koksu berdebar dan dia
sudah menduga bahwa persoalan itu tentu menyangkut kedua orang
tawanannya, akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan bertanya,
"Di
pihak kami, tidak ada persoalan dan sungguhpun jelas bahwa Cu-wi
melanggar wilayah kami bukan sebagai tamu, kami masih bersikap ramah
dengan mengundang Cu-wi sebagai tamu kami. Hal ini agaknya juga
diketahui dengan jelas oleh Suma-kongcu, yang entah bagaimana bisa
menemani Koksu dan Pangeran."
Mendengar ini dan melihat pandang mata
Bu-koksu ditujukan kepadanya dengan sinar tajam menyelidik, Suma Hoat
tersenyum saja dan matanya memandang ke arah Siauw Bwee yang tubuhnya
dibelenggu dan dipanggul di atas pundak Thian Ek Cinjin. Dia tidak mau
menjawab dan hanya mengandalkan kepada jawaban Pek-mau Seng-jin sekutu
ayahnya.
"Maafkan, kalau kami melanggar wilayahmu, Bu-koksu. Hanya
kami rasa bahwa sebagai sahabat-sahabat, tiada salahnya kalau kami
melihat-lihat keadaan wilayah selatan ini. Kebetulan sekali kita
bertemu, akan tetapi tidak kebetulan bahwa kami melihat kalian
memperlakukan sahabat kami sebagai tawanan, sungguh amat tidak enak bagi
kami. Maka, mengingat akan hubungan antara kita, saya harap sukalah
Bu-koksu memandang muka kami dan membebaskan kedua orang tawanan ini."
Berkerut
alis Bu-koksu. Dia sudah menduga bahwa tentu kedua orang tawanan itu
yang akan dipersoalkan, akan tetapi dia masih penasaran dan cepat
berkata, "Maaf, Pek-mau Seng-jin! Kedua orang ini adalah orang-orang
Han, dan urusan kami dengan mereka tidak ada sangkut-pautnya dengan
Koksu dan Kerajaan Yucen. Harap Koksu suka mempertimbangkan dan tidak
mencampuri urusan pribadi sendiri."
"Ha-ha-ha, melihat
sahabat-sahabat baik diperlakukan tidak hormat, bagaimana kami dapat
tinggal diam saja? Ingatkah Koksu akan peribahasa yang mengatakan bahwa
sahabat lebih berat daripada tangan kiri? Mereka adalah sahabat-sahabat
kami, tentu saja kami tidak suka melihat mereka mengalami penghinaan
seperti itu."
"Pek-mau Seng-jin!" Bu-koksu berkata marah. "Saya tidak
melihat hubungan antara mereka ini dengan kalian! Saya rasa kalian
tidak mengenal kedua orang ini, apalagi bersahabat!"
"Bukan sahabat
saya pribadi, akan tetapi sahabat baik Pangeran Dhanu. Silakan menjawab
Pangeran." Pek-mau Seng-jin berkata dan Pangeran Dhanu melangkah ke
depan sambil berkata,
"Bu-koksu, ketahuilah bahwa Kam Han Ki itu
adalah seorang sahabatku, sahabat pribadi yang amat baik. Bahkan dia
pernah memukul mundur pasukan-pasukan Mancu untuk menolong kami,
bagaimana aku dapat membiarkan dia kauperlakukan seperti itu? Oleh
karena itu, aku sebagai mantu dari kaisarmu, kuminta supaya kau suka
memandang mukaku dan membebaskan Kam Han Ki sahabatku."
"Dan gadis ini?" Bu-koksu yang diam-diam merasa terkejut dan gelisah itu bertanya penasaran.
"Gadis
ini adalah Khu Siauw Bwee, sahabat baik sekali dari Suma-kongcu. Karena
Suma-kongcu merasa sungkan mengajukan permintaan dan menentang Koksu
sebagai rekan sendiri, maka biarlah saya yang mewakilinya dan mintakan
agar Nona Khu kauberi kebebasan pula."
Merah muka Bu-koksu mendengar
ini. "Kedua orang ini adalah orang-orang tangkapan kami karena mereka
merupakan pemberontak-pemberontak, betapa mungkin kami membebaskannya?
Kalau Koksu dan Pangeran ingin membelanya dan mohon pembebasannya, harap
suka mengajukan permintaan resmi agar diputuskan oleh Kaisar sendiri.
Saya tidak berani lancang mengambil keputusan dan menyerahkan dua orang
tawanan penting di tengah jalan begitu saja kepada Cu-wi!"
"Hemm, jawaban itu berarti bahwa Bu-koksu tidak memandang kami sebagai sahabat!" Pek-mau Seng-jin berkata dengan suara getir.
"Saya cukup menghargai persahabatan antara kita, akan tetapi tentu saja saya lebih menghargai tugas dan kedudukan saya."
"Kalau kami memaksa?"
"Terserah, kami akan mempertahankan!"
bersambung 11..........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar