Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su - 11

Pusat perkumpulan Pat-jiu-kaipang (Perkumpulan pengemis Tangan Delapan) berada di lereng Pegunungan Hen-san. Dari luar, tempat itu memang pantas disebut pusat perkumpulan pengemis karena hanya merupakan tempat di dataran tinggi yang dikelilingi pagar bambu yang tingginya hampir dua kali tinggi
orang, pagar yang butut dan bambu-bambu itu mengingatkan orang akan tongkat bambu yang biasa dibawa oleh para pengemis. Akan tetapi kalau orang sempat menjenguk di dalamnya, dia akan terheran heran menyaksikan sebuah rumah
gedung yang pantas juga disebut sebuah istana kecil berdiri megah dan mewah sekali!


Inilah tempat tinggal Pat-jiu Kai-ong, Si Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kaipang di lereng Hengsan! Pat-jiu kai-ong sudah berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan tangkas dan belum begitu tua, sungguhpun pakaianya selalu butut, sebutut tongkatnya, sama sekali tidak sesuai dengan keadaan gedungnya. Hanya kalau hari sudah menjadi gelap saja maka berubahlah raja pengemis ini, pakaiannya diganti dengan pakaian tidur yang layaknya dipakai seorang pangeran! Dan mulailah kehidupan yang berlawanan dengan keadaan hidupnya di waktu siang, berbeda jauh seperti bumi dan langit.


Di waktu siang, dia lebih patut disebut seorang pengemis kelaperan yang berkeliaran di sekitar rumah gedung itu. Akan tetapi di waktu malam, dengan pakaian indah dan tubuh bersih, dia bersenang-senang makan minum dengan hidangan serba lezat dan mahal, dilayani oleh lima orang selirnya yang muda-muda, cantik dan genit. Pat-jiu Kai-ong tinggal tinggal didalam istananya yang mewah akan tetapi yang dikelilingi pagar bambu tinggi sehingga tidak tampak dari luar itu bersama lima orang selirnya,

lima orang pelayan dan selosin orang anak buahnya yang merupakan pengawal-pengawalnya. Selosin orang ini tentu saja merupakan tokoh-tokoh dalam pat-jiu Kai-pang, karena mereka adalah pembantu yang boleh diandalkan, atau juga murid-murid tingkat satu dari raja pengemis itu. para pengawal itu melakukan penjagaan siang malam secara bergilir dan mereka tinggal di dalam rumah samping di kanan kiri istana ketua mereka.

Adapun Pat-jiu Kai-pang mempunyai anggota yang banyak dan yang tersebar luas di kota-kota. Dengan mengandalkan nama besar perkumpulan itu, terutama sekali nama besar Kai-ong, para anggauta itu dapat mengumpulkan sumbangan-sumbangan yang besar dan sebagian dari pada hasil sumbangan ini mereka setorkan kepada Pat-jiu kai-ong.

Inilah membuat raja pengemis menjadi kaya raya dan dapat hidup mewah sekali. Selosin orang pembantunya, selain pengawal dan penjaga istananya, juga bertugas untuk turun tangan mewakili ketua mereka apabila ada cabang yang kurang dalam member setoran! Pat-jiu Kai-ong sendiri yang sudah hidup makmur jarang meninggalkan istananya di Heng-san. Hanya urusan besar saja yang dapat menariknya pergi meninggalkan tempat yang amat menyenangkan hatinya itu.

Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu dia ikut pula memperebutkan Sin-tong Si Anak Ajaib karena dia pada waktu itu ingin cepat-cepat menyempurnakan ilmu yang sedang diciptakan dan dilatihnya, yaitu ilmu Hiat-ciang-hoatsut (Ilmu Sihir Tangan Darah). Jika pada waktu itu dia berhasil merebut Sintong, tentu dalam waktu satu tahun saja ilmunya akan sempurna.

Akan tetapi karena seperti diceritakan di bagian depan, dia gagal dan Sin-tong dibawa pergi oleh pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka dia harus mengorbankan puluhan orang bocah untuk dimakan otaknya dan disedot darah dan sumsumnya.

Kini dia telah mahir dengan ilmu hitam yang mengerikan itu, akan tetapi sayangnya, setiap tahun dia harus mengisi tenaga itu dengan pengorbanan seorang bocah!

Pada suatu hari , pagi-pagi sekali, selagi Pat-jiu Kai-ong seperti biasa meninggalkan kehidupan malamnya yang mewah, berpakaian sebagai seorang pengemis berjalan-jalan di dalam taman bunga di belakang istananya, membawa tongkat butut dan berlatih silat di waktu embun pagi masih tebal, tiba-tiba seorang pengawalnya datang menghadap dan melaporkan bahwa ada tiga orang tamu datang ingin bertemu dengan Si Raja Pengemis. "Hemm, siapakah pagi-pagi begini sudah datang menggangguku?" Pat-jiu Kai-ong berkata dengan alis berkerut. Akan tetapi karena merasa penasaran, dia tidak memerintahkan pengawalnya mengusir orang itu dan terutama sekali ketika mendengar pelaporan itu bahwa yang datang adalah seorang kakek bersama dua orang muda, seorang dara jelita dan seorang muda tampan.
Hatinya tertarik sekali ketika mendengar bahwa kakek itu mengaku sebagai seorang "sahabat lama." Ketika dia keluar membawa tongkat bututnya dan bertemu dengan tiga orang itu, Pat-jiu Kai-ong memandang tajam. Dia kagum melihat
pemuda yang amat tampan dan pemudi yang amat cantik jelita itu. Wajah mereka yang mirip satu sama lain menunjukan bahwa mereka adalah kakak beradik,

pemudanya berusia kurang lebih enam belas tahun, pemudinya lima belas atau empat belas tahun. Sampai lama pandang mata Pat-jiu Kai-ong melekat kepada dua orang muda itu, keduanya membuat hatinya terguncang penuh kagum dan andaikata dia tidak menahan perasaannya, tentu mulutnya akan mengeluarkan air liur!

Barulah dia terkejut ketika mendengar kakek itu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha!
Pat-jiu Kai-ong kurasa engkau belum begitu pikun untuk melupakan dua orang anakku ini. Mereka adalah Swi Liang dan Swi Nio, ha-ha-ha!

Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong mengerutkan alisnya, sama sekali tidak mengenal kedua nama ini. Dia memandang dengan mata terheran kepada laki-laki yang berdiri di depannya, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna kuning, dengan kepala yang beruban itu terlindung
kain pembungkus rambut yang berwarna kuning pula. Kakek itu tertawa lagi.

"Wah, Pat-jiu Kai-ong, benar-benar engkau telah lupa kepada kami? Lupa kepada sahabatmu di Lusan ini?" "Ahhhh...!" Pat-jiu Kai-ong tertawa, mukanya berseri dan dia cepat membungkuk untuk memberi hormat. "Kiranya sahabat Bu yang datang? maaf, maaf, mataku sudah lamur saking tuanya sehingga tidak mengenal sahabat baik yang kurang lebih sepuluh tahun tak pernah kujumpi. Jadi ini kedua anakmu itu? Dahulu mereka baru berusia lima enam tahun, kecil dan lucu serta
berani, bahkan kalau tidak salah, anak perempuanmu ini yang dahulu menantang pibu kepadaku. Ha-ha-ha!"

Dara berusia lima belas tahun yang cantik jelita itu menunduk dan kedua pipinya berubah merah. "Harap Pangcu sudi memaafkan saya." "Aih-aih...! Ini tentu orang tua lusan ini yang mengajarnya. Menyebutku Pangcu segala!"
"Ha-ha-ha, Pangcu. Bukankah engkau memang Ketua dari Pat-jiu Kai-pang? Mengapa tidak mau disebut Pangcu oleh puteriku?" Kakek itu berkata. "Wah, jangan berkelabar. Anak-anak yang baik, sebut saja aku paman. marilah
masuk, kita bicara di dalam." Pat-jiu-kai-ong lalu bertepuk tangan dan para pengawalnya muncul.
"lekas beritahukan para pelayan agar mempersiapkan hidangan makan pagi yang baik untuk tamuku yang terhormat, Lu-san Lojin (Orang Tua Dari Lusan) dan dua orang putera-puterinya!" Para pengawal itu mundur dan Pat-jiu-kai-ong menggandeng tangan kakeknya itu, sambil tertawa tawa mereka memasuki istana dan duduk di ruangan dalam menghadapi meja dan duduk di kursi-kursi yang berukir indah. Sambil memandang ke kanan kiri mengagumi keindahan ruangan itu, Lu-san Lojin berkata memuji, "Sungguh hebat! Lama sudah aku mendengar bahwa Pat-jiu-kai-ong tinggal disebuah istana yang megah, kiranya keadaan di sini melampau segalanya yang telah kudengar. Hebat sekali!" Sejak tadi Pat-jiu-kai-ong merayapi tubuh pemuda dan pemudi itu dengan pandangan matanya. Dia kagum bukan main melihat dara cantik jelita dan pemuda yang tampan dan gagah itu. "Ha-ha, kau terlalu memuji, sahabat. Aku tidak mengira bahwa hari ini tempatku yang buruk akan meneriama kehormatan kedataangan seorang tamu agung, seorang penolongku yang budiman bersama putra dan puterinya yang begini elok."

Kedua orang tua ini lalu bercakap-cakap dengan gembira membicarakan masa lampau.

Siapakah kakek ini?
Dia adalah Lu-san Lojin,
seorang ahli silat dan ahli pengobatan yang semenjak istrinya meninggal dunia, meninggalkan dua orang anak, lalu mengajak dua orang anaknya itu mengasingkan diri ke puncak Lu-san, dan di sana dia bertapa sambil mendidik dan menggembleng putera puterinya. Sepuluh tahun yang lalu, setelah gagal merebut Sin-tong, dalam kekecewaannya Pat-jiu Kai-ong lalu mengamuk di sepanjang jalanan, menculik dan membunuhi bocah-bocah yang dianggapnya cukup sehat. Ketika dia tiba di kaki Pegunungan Lu-san, dia berada dalam keadaan keracunan hebat.

Hal ini terjadi karena dia terlampau banyak membunuh anak laki-laki, makan otak mereka dan menghisap darah serta sumsum mereka untuk menyempurnakan ilmunya, terlampau banyak melatih diri dengan ilmu hitam Hiat-ciang Hoat-sut. Karena hatinya yang penasaran mengapa dia tidak dapat mengalahkan Han Ti Ong dan merebut Sin-tong, maka dia lupa akan ukuran tenaga sendiri dan melatih diri dengan ilmu hitam itu, dia terlampau terburu-buru dan akibatnya, hawa
mujijat dari ilmu itu membalik dan membuat dia terluka dalam, keracunan hebat sehingga dia terhuyung-huyung dan hampir pingsan ketika tiba di kaki Pegunungan Lu-san. Dia maklum akan keadaan dirinya, tahu bahwa dia terancam
bahaya maut maka hatinya menjadi khawatir sekali.
Kebetulan baginya, pada saat itu keadaannya terlihat oleh Lu-san Lojin yang sedang turun gunung bersama putera-puterinya yang pada waktu itu baru berusia enam dan lima tahun, sebagai seorang gagah dan berilmu tinggi, Lu-san Lojin cepat menolong Pat-jiu Kai-ong. Setelah memeriksa keadaan raja pengemis itu, dia maklum bahwa Pat-jiu Kai-ong memerlukan perawatan khusus, maka diajaknya orang ini naik ke puncak Lu-san. Di situ Pat-jiu Kai-ong diobati Lu-san Lojin sampai sembuh .

Selama satu bulan berada di Lu-san, raja pengemis ini menerima perawatan yang amat baik dari Lu-san Lojin, maka dia merasa berterima kasih sekali dan menganggap pertapa itu sebagai penolong dan sahabat baiknya. Juga dia mengenal dua orang bocah yang mungil itu. Karena kebaikan hati Lu-san Lojin, biarpun dia melihat Swi Liang sebagai seorang anak yang mempunyai darah bersih dan tulang kuat, dia tidak tega untuk mengganggu anak laki-laki itu. Di lain pihak, ketika mendengar bahwa yang ditolongnya adalah Pat-jiu kai-ong ketua Pat-jiu kai-pang, Lusan Lojin terkejut sekali. Akan tetapi dia menjadi bangga bahwa raja pengemis yang namanya terkenal itu menganggapnya sebagai sahabat baik. Maka setelah sembuh, mereka berpisah sebagai sahabat yang berjanji untuk saling mengunjungi dan saling membantu.

"Sungguh aku tidak tahu diri dan tidak mengenal budi," setelah makan minum
Pat-jiu Kai-ong berkata kepada tamunya. "Sepatutnya akulah yang datang mengunjungi kalian di Lu-san, bukan kalian yang jauhjauh datang mengunjungi aku." "Ahhh, mengapa kau menjadi sungkan begini? Kita bersama telah mempunyai kewajiban masing-masing sehingga tentu saja telah sibuk dengan pekerjaan. Kamu pun hanya kebetulan saja lewat di kaki Pegunungan Heng-san, maka aku teringat kepadamu dan mengajak kedua anakku untuk mendekati
Pegunungan Hengsan mencarimu." "Terima kasih, engkau baik sekali, Lu-san Lojin. Akan tetapi, kalau boleh aku mengetahui, kalian datang dari manakah?"

Lu-asn Lojin menarik napas panjang dan menoleh kepada puteranya,
memandang puterinya seolah-olah minta ijinnya, Swi Liang menganggukan kepalanya kepada ayahnya, dan menunduk. Dianggap oleh pemuda ini bahwa Pat-jiu Kai-ong adalah seorang sahabat baik ayahnya, bahkan seperti saudara sendiri, maka tidak ada salahnya kalau raja pengemis itu mengetahui urusannya. Siapa tahu raja pengemis itu dapat membantunya . "Kami baru saja datang dari Lokyang, melakukan perjalanan sejauh itu dan ternyata sia-sia
belaka perjalanan kami untuk mencari Tee-tok Siangkoan Houw."

"Tee-tok Siangkoan Houw? Ah, ada urusan apakah
engkau mencari racun bumi itu, Lu-san Lojin?" "Sebetulnya urusan lama, urusan perjodohan, semenjak kecil, antara Tee-tok dan aku telah terdapat persetujuan untuk menjodohkan puteraku Bu Swi Liang ini dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Akan tetapi, setelah keduanya menjadi dewasa, tidak ada berita dari Tee-tok sehingga hatiku merasa khawatir sekali. Aku sudah berusaha mencarinya, namun selalu sia-sia. Akhir-akhir ini aku mendengar bahwa dia berada di Lokyang, akan tetapi setelah jauh-jauh kami bertiga mencarinya di sana,
ternyata dia tidak berada di sana pula. Hemm, sikap orang tua itu masih selalu aneh dan penuh rahasia."


"Ha-ha-ha, ala salahmu sendiri! mengapa mengikat perjanjian dengan seorang iblis seperti Tee-tok?" "Pat-jiu
Kai-ong, jangan bergurau. Ini urusan yang penting bagi kami, karena itu, kami mengharap bantuanmu yang
mempunyai banyak anak buah, agar suka menyelidiki di mana kami dapat bertemu dengan Tee-tok Siangkoan Houw."
"Baik, baik... jangan khawatir. Akan kusuruh anak buahku menyelidikinya, dan kalian bermalamlah di sini, jangan tergesa-gesa pulang." Lu-san Lojin menggeleng kepala. "Sudah terlalu lama kami meninggalkan pondok, kami hanya
dapat bermalam untuk satu malam saja. Besok pagi-pagi kami harus melanjutkan perjalanan." "Semalaman cukuplah,
Biar kupergunakan untuk menjamu kalian sepuas hatiku."
Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk di luar istana
raja pengemis itu. Tak lama kemudian dua orang pengawal pribadi Kai-ong masuk dengan muka pucat dan kelihatan
takut. "Ada apa? mau apa kalian mengganggu kami?" Kai-ong membentak marah dan menurunkan cawan araknya
keras-keras ke atas meja sehingga meja itu tergetar. "Pangcu... ampunkan kami berdua... terpaksa kami
mengganggu karena ada peristiwa yang amat aneh dan mengkhawatirkan kami semua."

"Apa yang terjadi? Hayo cepat ceritakan."
Dengan wajah ketakutan, seorang di antara dua orang pengawal itu lalu menceritakan apa yang baru
saja terjadi di luar istana. Karena Pangcu sedang menjamu tamu, para pengawal menjaga di luar dan mereka sedang
mengagumi seekor ayam jago kesayangan Pat-jiu Kai-ong. Raja pengemis itu memang suka sekali memelihara ayam
jago dan kadang-kadang mengadunya. Pagi hari itu seperti biasa, seorang pelayan memandikan dan memberi makan
ayam jago itu, dan memuji-mujinya sebagai jago peranakan tanah selatan yang amat baik. Tiba-tiba ayam jago itu
menggelepar di dalam kedua tangannya, darah muncrat dan ayam itu mati, dadanya ditembusi sehelai benda lembut
yang kemudian ternyata adalah sebatang daun! Di tangkai daun itu terdapat sehelai kain yang ada tulisanya.

"Kami telah meloncat dan mencari di sekeliling, akan tetapi tidak ada bayangan seorang pun manusia, Pangcu.
Agaknya hanya iblis saja yang dapat menggunakan sehelai daun untuk menyambit dan membunuh ayam jago dan...."
"Cukup!" Raja pengemis itu marah sekali mendengar jagonya dibunuh orang. "Kalian tolol semua! Mana kain yang
ada tulisan itu!" Kepala pengawal yang mukanya penuh bewok itu dengan kedua tangan gemetar, menyerahkan sehelai
kain putih kepada ketuanya. kain itu ada tulisannya dengan huruf-huruf kecil berwarna hitam, akan tetapi ada
noda-noda darah, darah ayam jago tadi.
Akan tetapi Pat-jiu Kai-ong yang menerima kain itu, sejenak menjadi
bingung dan baru ia teringat bahwa dia tidak mampu membaca. Dia buta huruf! Dengan jengkel dan agak malu dia
lalu melemparkan kain itu kepada Lu-san Lojin sambil berkata, "Harap kaubacakan ini untukku!"


Lu-san Lojin menyambar kain yang melayang ke arahnya itu, lalu matanya memandang tulisan. Mukanya berubah, matanya
terbelalak. "Wah... apa artinya ini?" "Lojin! bagaimana bunyinya?" Pat-jiu Kai-ong bertanya, suaranya
membentak.
Lu-san Lojin lalu membaca huruf-huruf itu. Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah
Pat-jiu Kai-ong dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!" Ratu Pulau Es. "Ratu Pulau Es...?" Pat-jiu
Kai-ong tertawa. "Siapakah dia? Aku tidak mengenalnya. Hai pelawak dari manakah yang main-main seperti ini?
Ha-ha-ha, biar dia datang hendak kulihat magaimana macamnya!"
"Kai-ong, harap jangan main-main. Biarpun hanya
seperti dalam dongeng, nama Pulau Es amat terkenal, katanya penghuninya memiliki kepandaian seperti dewa,
apalagi dahulu yang terkenal dengan sebutan Pangeran Han Ti Ong...."
"Ha-ha-ha, siapa perduli? Aku tidak ada
permusuhan dengan Han Ti Ong, bahkan dia yang pernah mengganggu aku. Mengapa sekarang ada ratu dari sana hendak
membunuhku dengan ancaman sesombong itu? Aku tidak percaya. He, pengawal apakah kalian tahu akan isi surat?"
Dua orang pengawal itu mengangguk. "Sudah Pangcu." "Apa kalian takut?" "Ti... tidak, Pangcu, Hanya... hanya
amat aneh itu..."
"Sudahlah. Setelah kalian tahu isinya, hayo kalian dua belas orang melakukan penjagaan yang
ketat terutama malam ini. Kita jangan mudah digertak lawan yang membadut! Biarkan dia datang, kita tangkap dia
dan kita permainkan dia, ha-ha-ha!" "Kai-ong harap hati-hati...." kata Lu-san Lojin setelah para pengawal itu
keluar dari ruangan itu.


"Ha-ha-ha, mengapa khawatir? Apalagi baru seorang badut, biar Han Ti Ong sendiri yang
datang, setelah kini Hiat-ciang Hoat-sut kulatih sempurna, aku takut apa?"
Kakek dari Lu-san itu kelihatan
ragu-ragu, akan tetapi untuk menyatakan bahwa dia takut, tentu saja dia tidak mau dengan hati berat dia bersama
dua orang anaknya menemani tuan rumah makan minum dan bercakap-cakap sampai lewat tengah hari. Kemudian mereka
dipersilahkan mengaso sejenak dalam kamar tamu, akan tetapi menjelang senja, mereka sudah dipersilahkan makan
minum lagi.

Sekali ini mereka benar-benar takjub. Melihat Pat-jiu Kai-ong kini bertukar pakaian, pakaian malam
yang indah dan mewah! Mengignat betapa siang tadi Kai-ong merupakan seorang pengemis yang berpakaian butut, dan
kini seperti seorang raja, benar-benar membuat Lu-san Loji hampir tertawa, seperti melihat seorang badut pemain
lenong! Dan hidangan yang dikeluarkan di meja juga istimewa, jauh lebih lengkap daripada siang tadi!

"Ha-ha, ayo makan minum. Kita berpesta sampai kenyang!" kata tuan rumah itu mempersilahkan tamutamunya. Setelah
hidangan tinggal sedikit dan perut mereka kenyang sekali, Pat-jiu Kai-ong mengusap-ngusap bibirnya yang
berminyak dan perutnya yang gendut, matanya memandang ke arah Bu Swi Liang dan Bu Swi Nio penuh gairah, lalu
dia berkata, kata-kata yang sama sekali tidak pernah disangka oleh para tamunya dan yang membuat mereka
terkejut setengah mati,

"Lu-san Loji, sekarang kau tidurlah dalam kamarmu dan jangan hiraukan badut yang hendak
mengganggu. Adapun dua orang anakmu ini, yang cantik jelita dan tampan gagah, biarlah mereka berdua
besenang-senang dengan aku dalam kamarku, ha-ha-ha!"

"Kai-ong!" Lu-san Lojin membentak. "Apa... maksud kata-katamu ini?" Pat-jiu Kai-ong memandang tamunya sambil tersenyum lebar. "Apa maksudnya? Swi Liang begini
tampan gagah dan Swi Nio cantik jelita dan segar, sungguh aku suka sekali kepada mereka. Kalau mereka bedua
bersama dengan aku dalam kamarku, tentu mereka akan terlindung dan....hemmm, aku ingin sekali bersenang dengan
mereka, tidur-tiduran dengan mereka sejenak."

"Kai-ong, apa kau gila??" Lu-san Lojin hampir tidak dapat percaya
akan pendengaranya sendiri. "Eh, mengapa? Apa salahnya aku tidur dengan dua orang keponakanku ini? Heh-heh, tak
tahan aku melihat puterimu yang muda dan cantik segar, dan puteramu yang tampan dan ganteng ini. Anak-anak
baik, marilah kalian layani pamanmu..."

"Keparat!" Lu-san Lojin melompat ke depan dan dua orang anaknya yang
berada di belakangnya pun sudah siap dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong! Harap kau jangan main gila dan
jelaskan apa sebabnya perubahan sikapmu ini. Mau apa engkau dengan anak-anakku?"
"Ha-ha-ha! Siapa main gila?

Sebelum kalian muncul, tidak pernah ada terjadi apa-apa di sini. Akan tetapi begitu kalian muncul, muncul pula
orang aneh yang membunuh ayamku dan mengeluarkan ancaman. Siapa lagi kalau bukan teman dan kaki tanganmu? Dan
kau tentu sudah mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong tidak pernah menyia-nyiakan kecantikan seorang dara remaja
seperti putermu ini dan puteramu yang tampan ini tentu memiliki otak yang bersih, darah yang segar dan sumsum
yang kuat. Perlu sekali untuk menambah keampuhan Hiat-ciang Hoat-sut agar makin kuat menghadapi lawan kalau
malam ini ada yang berani datang!"


"Iblis jahanam! Kiranya engkau seorang manusia iblis yang busuk!" Lu-san
Lojin sudah menerjang maju dengan kepalan tangannya. Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sebagai
bekas murid Hoa-sanpai yang sudah memperdalam ilmunya dengan ciptaanya sendiri, hasil renungannya di waktu
bertapa. Kepalan tangnnya menyambar dahsyat, mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Akan tetapi kiranya
hanya dalam ilmu pengobatan saja dia menang jauh dibandingkan dengan Pat-jiu Kai-ong. Dalam ilmu berkelahi, dia
tidak mampu menandingi Kai-ong yang amat lihai. Sambil tertawa, Kai-ong mengebutkan ujung lengan bajunya yang
lebar dua kali dan kakek Lu-san itu terpaksa harus menarik kembali kedua tanganya karena dari kedudukan
menyerang, dia malah menjadi yang diserang karena pergelangan kedua tangannya terancam totokan ujung lengan
baju itu!

dua orang anaknya yang sudah marah sekali karena merasa dihina, sudah menerjang maju pula dengan
pedang mereka. Swi Liang menusuk dari samping kiri ke arah lambung kakek pengemis itu, sedangkan dari kanan Swi
Nio membabatkan pedangnya ke arah leher.

"Ha-ha, bagus! Kalian benar-benar menggairahkan!" kata kakek itu dan
dia bersikap seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang. Akan tetapi setelah kedua pedang itu menyambar
dekat, tiba-tiba kedua tangannya menyambar dan.... dua batang pedang itu telah dicengkramnya dengan telapak
tangan!

Swi Liang dan Swi Nio terkejut bukan main, akan tetapi melihat betapa kedua batang pedang mereka itu
dipegang oleh tangan kakek itu, mereka cepat menggerakan tenaga menarik pedang dengan maksud melukai telapak
tangan Pat-jiu Kai-ong. Namun usaha mereka ini sia-sia belaka, pedang mereka tak dapat dicabut, seolah-olah
dicengkeram jepitan baja yang amat kuat.

"Manusia tak kenal budi!" "wirrrr... tar-tar!" Pat-jiu Kai-ong merasa
terkejut melihat menyambarnya sinar kuning dan ternyata bahwa Lu-san Lojin melolos sabuknya yang berwarna
kuning dan kini menggunakan sabuk itu sebagai senjata.

Kakek ini memang memiliki tenaga sinkang yang kuat, dan
memainkan sabuk sebagai senjata sudah merupakan kehaliannya. Sabuk lemas di tangannya itu dapat bergerak
seperti pecut, dapat pula menjadi sebatang senjata yang kaku dengan pengerahkan sinkangnya. "Krekk-krekkk!" dua
batang pedang itu patah-patah dalam cengkraman Pat-jiu Kai-ong dan sambil melompat mundur menghindarkan
sambaran ujung sabuk, raja pengemis ini menyambitkan dua ujung pedang yang dipatahkanya ke arah Lu-san Lojin.

"Trang-tranggg!" Dua batang ujung pedang itu terlempar ke lantai ketika ditangkis oleh ujung sabuk(ikat
pinggang) dan kini Lu-san Lojin mendesak ke depan dengan putaran senjatanya yang istimewa. Sedangkan kedua
orang anaknya telah mundur dan hanya menonton di pinggir karena mereka terkejut menyaksikan pedang mereka
dipatahkan begitu saja oleh kedua tangan lawan dan mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berguna membantu
ayah mereka.

Pada saat itu, muncullah empat orang pengawal yang mendengar suara ribut-ribut. Melihat mereka,
Pat-jiu Kai-ong berkata, "Tangkap dua orang muda ini, akan tetapi awas, jangan lukai mereka!"

Empat orang pengawal itu segera menubruk maju hendak menangkap Swi Liang dan Swi Nio. Tentu saja kakak beradik ini melawan
sekuat tenaga, akan tetapi biarpun keduanya memiliki ilmu silat tinggi, namun empat orang pengawal itu pun
merupakan murid-murid terpandai dari Pat-jiu Kai-ong, maka ketika dua orang di antara mereka menggunakan
tongkat, dalam belasan jurus saja Swi Liang dan Swi Nio dapat ditotok dan roboh dan lumpuh.

Ha-ha-ha, belenggu kaki tangan mereka baik-baik... kemudian lempar mereka ke atas tempat tidurku... haha- ha!" Pat-jiu Kai-ong
tertawa sambil menyambar tongkatnya. Setelah dia bertongkat, maka kini dia menghadapi Lu-san Lojin dengan lebih
leluasa. Kakek dari Lu-san itu marah bukan main melihat putera dan puterinya digotong pergi dari ruang itu. Dia
mengejar dan menggerakan ikat pinggangnya, namun Pat-jiu Kai-ong menghadangnya sambil tertawa-tawa dan
menyerangnya dengan tongkatnya sehingga terpaksa kakek Lu-san itu melayaninya bertanding.

Pertandingan yang amat seru dan diam-diam Pat-jiu Kai-ong harus mengaku bahwa ilmu kepandaian kakek yang pernah menolongnya ini
memang hebat. "Pat-jiu Kai-ong, benar-benarkah kau lupa akan budi orang? Aku pernah menyelamatkan nyawamu,
apakah sekarang engkau mencelakakan kami bertiga?" Lu-san Lojin berkata membujuk karena khawatir melihat nasib
puterinya.

"Ha-ha-ha, dahulu memang engkau pernah menolongku, akan tetapi sekarang kalian datang dengan niat
buruk!" "Tidak! Kau salah duga! Kami tidak ada sangkut pautnya dengan si pembunuh ayam!"

"Ha-ha-ha, Lu-san Lojin! Kalian menyelundup ke dalam dan bergerak dari dalam, sedangkan setan itu bergerak dari luar. Begitukah?"
Tongkat di tangan Pat-jiu Kai-ong menyambar ganas. "Plak-plakk!" Ujung sabuk kakek Lu-san menangkis dua kali
akan tetapi dia merasa betapa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga Si Raja Pengemis itu benar-benar
amat kuat.

"Pat-jiu Kai-ong, kau salah menduga, kami tidak ada hubungan dengan musuh yang datang. Lepaskan
kedua anakku dan kau berjanji akan membantumu menghadapi musuh gelap itu."

"Wah, berat kalau disuruh melepaskan. Lu-san Lojin, dengan baik-baik. Aku tergila-gila melihat anak anakmu. Pinjamkan mereka kepadaku
untuk satu dua malam, dan kau bantu aku menghadapi musuh, baru aku akan membebaskan kalian." "Iblis busuk!"
Lu-san Lojin marah sekali dan dengan nekat dia lalu mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan raja pengemis ini
karena dia maklum bahwa betapapun juga hati yang kotor dari raja pengemis itu tidak mudah dibujuk. Satu-satunya
jalan untuk menolong anak-anaknya adalah melawan mati-matian. "Plakkk!" Tiba-tiba ujung sabuk melibat tongkat,

keduanya saling betot untuk merampas senjata. Tidak mudah bagi mereka untuk dapat berhasil merampas senjata
lawan dan kesempatan ini dipergunakan oleh Pat-jiu Kai-ong untuk menggerakan tangan kirinya dengan telapak
tangan terbuka ke arah lawan. Lu-san Lojin terkejut melihat telapak tangan yang menjadi merah seperti tangan
berlumuran darah itu. Dia belum pernah mengenal limu Hiat-ciang Hoat-sut dari raja pengemis itu, namun dia
pernah mendengar akan hal ini, tahu pula betapa keji dan berbahayanya ilmu itu. Akan tetapi untuk mengelak dia
harus melepaskan sabuknya dan hal ini pun amat berbahaya. Dengan senjata itu saja dia masih kewalahan melawan
Pat-jiu Kai-ong, apalagi tanpa senjata, maka dengan nekat dia lalu menggerakan tangan pula menyambut pukulan
itu. "Dessss...! Aduhhh...!!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya tubuh Lu-san Lojin terjengkang dan
terbanting ke atas lantai, mulutnya mengeluarkan darah segar dan matanya mendelik.
Kakek ini pingsan dan menderita luka dalam yang amat parah!


"Lempar dia di kamar tahanan!" Pat-jiu Kai-ong berkata sambil tertawa.
Setelah tubuh kakek yang pingsan itu digusur pergi oleh para pengawalnya. Pat-jiu Kai-ong menghampiri meja di
mana dia tadi menjamu para tamunya, menyambar guci arak dan menenggaknya habis, kemudian sambil tertawa-tawa
dia memasuki kamarnya.

Pemuda dan pemudi She Bu itu sudah rebah terlentang di atas pembaringan Pat-jiu Kai-ong
yang lebar. Dalam keadaan terbelenggu kaki tanganya. Lima orang selirnya menjaga di situ. Ketiaka dia masuk
sambil tertawa gembira, Bu Swi Liang memandang dengan mata melotot penuh kebencian, akan tetapi Bu Swi Nio
memandang dengan mata terbelalak ketakutan dan mencucurkan air mata. Pat-jiu Kai-ong menghampiri pembaringan,
menggunakan tangannya untuk membelai dan menghusap pipi Swi Nio dan Swi Liang sambil berkata, "Manis, jangan
menangis dan kau jangan marah. Aku akan menemani kalian dan bersenang-senang sepuas hati setelah kami menangkan
musuh gelap yang mengancam.

" Dia menengok ke arah lima orang selirnya dan berkata garang. "Temani mereka, jaga
baik- baik jangan sampai ada yang lolos, dan kalau ada apa-apa, cepat berteriak memanggil para pengawal.
Mengerti?" Lima orang selir itu mengangguk dan kakek itu meninggalkan kamar lagi. Sebelum orang yang membunuh
ayam jagonya dan yang mengirim surat ancaman itu dapat ditangkap atau dibunuh, tentu saja dia tidak bernafsu
untuk bersenang-senang dengan dua orang muda yang tertawan itu. Dia percaya penuh bahwa menghadapi seorang
pengacau saja, para pengawalnya akan dapat mengatasinya, akan tetapi dia harus berhati-hati dan ikut melakukan
penjagaan sendiri. Setelah keadaan benar-benar aman barulah dia boleh bersenag-senang.

Dia belum yakin benar apakah musuh gelap itu ada hubungannya dengan Lu-san Lojin dan kedua orang anaknya, akan tetapi ada hubungan
atau tidak, setelah tiga orang itu dibuat tidak berdaya, berarti mengurangi bahaya. Dia harus berhati-hati, maklum bahwa dia mempunayi banyak musuh. Siapa tahu kalau Lu-san Lojin yang termasuk golongan putih itu juga
memusuhi. Andaikata tidak sekalipun, mana bisa dia melepaskan dua orang muda yang cantik jelita dan tampan itu?

Pat-jiu Kai-ong duduk lagi di ruangan tadi sambil melanjutkan minum arak. Dia maklum bahwa malam ini dua belas
orang pengawalnya menjaga dengan tertib dan penuh kewaspadaan. Ingin dia tertawa keras-keras mengusir kesunyian
malam yang mendatangkan perasaan tidak enak. Hemmm, Ratu Pulau Es? Hanya dongeng! Pembunuh ayam itu tidak perlu
ditakuti. Andaikata dia mampu mengalahkan dua belas orang pengawalnya, hal yang sukar dipercaya, masih ada dia
sendiri. Hiat-ciang Hoat-sut, ilmu yang dilatihnya belasan tahun kini telah dapat diandalkan. Tadipun, hanya
menggunakan sebagian kecil tenaganya saja, ilmu itu telah merobohkan Lu-san Lojin. Dia tidak takut! "Aku tidak
takut!" serunya kuat-kuat. "Datanglah kamu, hai Ratu Pulau Es keparat! Ha-ha-ha!"

Para pelayan sudah menyalakan lampu-lampu penerangan dan atas perintah para pengawal, pelayanpelayan ini menambah jumlah lampu sehingga
keadaan di seluruh gedung itu menjadi terang. Setelah menyuruh para pelayan membersihkan meja di ruangan itu,
dan sekali lagi memanggil kepala pengawal dan menekankan agar penjagaan diperketat dan selalu diadakan
perondaan bergilir, Pat-jiu Kai-ong lalu duduk bersila di dalam ruangan itu untuk mengumpulkan tenaga dan
mempertajam pendengarannya sehingga biarpun dia berada di dalam istana, namun dia ikut pula menjaga dan meronda
mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua suara yang tidak wajar di luar istana.


Malam makin
larut dan keadaan sunyi sekali di istana itu dan sekitarnya. Para pelayan yang mendengar dari para pengawal,
dengan muka pucat tinggal berkelompok di kamar seseorang di antara mereka, tidak berani membuka suara dan hanya
saling pandang dengan mata penuh rasa takut.

Para selir juga berkelompok di dalam kamar Pat-jiu Kai-ong, agar
terhibur dengan adanya Swi Liang pemuda yang tampan itu. Bahkan ada di antara mereka yang tanpa-malu-malu
membelai pemuda itu, memegang tangannya, mengusap dagunya, membereskan rambutnya. Akan tetapi mereka tidak
berani berbuat lebih dari itu, dan tidak berani mengeluarkan suara. Juga para pengawal agaknya melakukan
penjagaan dengan teliti dan hati-hati, tidak bersuara seperti biasanya kalau mereka melakukan penjagaan tentu
diisi dengan sendau gurau dan mengobrol. Kesunyian yang mengerikan itu tidak menyenangkan hati Pat-jiu Kai-ong.
Akan tetapi dia amat memerlukan kesunyian ini agar penjagaan dilakukan lebih tertib dan rapi pula. dia merasa
tersiksa dan diam-diam dia memaki musuh gelap itu. Kalau sampai tertawan, tentu akan dihukum dan disiksanya
seberat mungkin!

Tiba-tiba terdengar suara jeritan susul-menyusul yang datangnya dari dalam kamarnya! Pat-jiu
Kai-ong cepat melompat dan hanya dengan beberapa kali lompatan saja dia sudah menerjang masuk ke dalam
kamarnya. Dilihatnya kelima orang selirnya menangis dan kelihatan gugup dan ketakutan, akan tetapi dua orang
muda yang tadi terbelenggu di atas pembaringannya, seperti dua tusuk daging panggang yang dihidangkan di atas
meja makan dan siap untuk diganyangnya, kini telah lenyap tanpa bekas!

"Apa yang terjadi? Keparat, diam semua!
Jangan menangis, apa yang terjadi?" Lima orang selir itu menjatuhkan diri berlutut dan seorang di antara mereka
bercerita dengan suara gagap, "Ada... ada... setan...., hanya tampak bayangan berkelebat ke atas ranjang dan...
dan mereka berdua... tahutahu telah lenyap..."

"Tolol!!" Pat-jiu Kai-ong berkelebat keluar melalui jendela
kamar yang terbuka, terus berloncatan memeriksa sampai dia bertemu dengan para pengawal di luar istana, namun
dia tidak melihat jejek dua orang tawanan yang lenyap itu. "Kalian tidak melihat orang masuk?" Bentaknya kepada
para pengawal. "Tidak ada, Pangcu."

"Bodoh! Kalau tidak ada, bagaimana dua orang tawanan itu lenyap?" Kagetlah
para pengawal itu dan Pat-jiu Kai-ong, dibantu oleh para pengawalnya lalu mengadakan pemeriksaan di dalam
istana. Mula-mula timbul dugaannya bahwa tentu Lu-san Lojin dan dua orang anaknya itu benar-benar mempunyai
kawan-kawan di luar, buktinya kedua orang muda itu ditolong mereka. Akan tetapi ketika dia menjenguk kedalam
kamar tahanan, Lu-san Lojin masih mengeletak pingsan di atas lantai!

"Cepat lakukan penjagaan tadi. Tutupsemua
jalan masuk! Bagi-bagi tenaga!" Pat-jiu Kai-ong memerintah dengan suara yang agak parau karena harus diakuinya
bahwa jantungnya tergetar juga oleh rasa gentar menyaksikan sepak terjang musuh gelap yang aneh dan amat luar
biasa itu. Setelah sekali lagi memeriksa sendiri dengan memepersiapkan tongkat ditangan, sampai tidak ada
lubang yang tidak dijenguknya di dalam dan di sekitar gedungnya dan mendapatkan keyakinan bahwa tidak ada orang
bersembunyi di dalam gedung, Pat-jiu Kai-ong kembali ke dalam ruangan besar dan menanti dengan jantung
berdebar.

Malam telah makin larut dan musuh yang aneh itu telah mulai memperlihatkan bahwa musuh itu memang ada
dengan menculik dua orang tawannan itu secara aneh. Biarpun lima orang selirnya bukan ahli-ahli silat tinggi,
namun lima pasang mata tidak dapat melihat orang yang menculik pemudapemudi itu di depan hidung mereka, sungguh
merupakan hal yang amat aneh! Pat-jiu Kai-ong bergidik dan membalik-balik gudang ingatan di dalam otaknya.


Siapakah Ratu Pulau Es? Apalagi dengan ratunya, dengan penghuni Pulau Es dia tidak pernah bertemu, kecuali satu
kali dengan Han Ti Ong ketika memperebutkan Sin-tong. Dan di mana adanya pulau dongeng itu dia pun tidak tahu.
Pertemuannya dengan Han Ti Ong tidak boleh dianggap permusuhan, dan adaikata ada yang sakit hati, kiranya sakit
hati itu seharusnya datang dari dia, bukan dari pihak Pulau Es atau Han Ti Ong yang telah berhasil menangkan
perebutan atas diri Sin-tong!

Mengapa kini muncul tokoh rahasia yang mengaku bernama Ratu Pulau Es? Siapakah
yang bermain-main dengan dia? Melihat sepak terjang orang rahasia ini, caranya membunuh ayam, dapat dipastikan
bahwa orang itu kejam dan aneh, ciri seorang tokoh golongan hitam, bukan golongan putih yang selalu datang
secara berterang. Siapakah tokoh golongan hitam yang memusuhinya? Tentu saja banyak, dan di antara mereka, yang
paling menonjol adalah Kiam-mo Cai-li Liok Si! Wanita itukah yang kini datang mengganggunya?

"Ha-ha-ha!" Dia tertawa keras-keras, hatinya menjadi besar. Mengapa dia takut? Andaikata Kia-mo Cai-li sendiri yang datang,
diapun tidak takut! Dan siapakah lain wanita di dunia Kang-ouw yang lebih mengerikan daripada Kiam-mo Cai-li?
"Iblis atau manusia, jantan atau betina, keluarlah dari tempat persembunyian! Hayo serbulah, aku Pat-jiu
Kai-ong tidak takut kepada siapa pun juga! Kalau kau diam saja, berarti kau pengecut hina dan penakut,
ha-ha-ha-ha!" Karena merasa tersiksa oleh keadaan sunyi yang mengerikan itu, Pat-jiu Kai-ong berusaha mengusir
rasa takutnya dengan teriakan keras ini yang tentu saja didengar oleh semua penghuni gedung itu.

Dan agaknya, sebagai sambutan atas tantangannya, tiba-tiba terdengar suara ayam jagonya yang berada di belakang, di kandang
ayam, berkeruyuk keras sekali!
"Ha-ha-ha!" Pat-jiu Kai-ong tertawa mendengar ayamnya sendiri yang menjawab,
akan tetapi tiba-tiba dia terkejut dan mukanya berubah. Keruyuk ayamnya itu berhenti setengah jalan dan
terputus oleh suara "kok!" suara ayam kesakitan! Suara ini disusul suara berkotek riuh dari ayam-ayam betina di
dalam kandang, seolah-olah ada sesuatu yang mengganggu mereka akan tetapi suara berkotek ini pun berhenti
setengah jalan dan bekali-kali terdengar suara "ko" suara ayam dicekik atau dihentikan suara dan hidupnya!

"Keparat...!!" Pat-jiu Kai-ong yang bermuka merah saking marahnya itu sudah meloncat keluar dan langsung lari
ke kandang. Hampir dia bertubrukan dengan dua orang pengawal yang juga mendengar keanehan di kandang itu. Kini
dengan sebuah obor yang dipegang oleh pengawal, mereka bertiga memeriksa kandang dan di bawah sinar obor
tampaklah oleh mereka bahwa dua puluh ayam yang berada di kandang itu, jantan, betina, semua telah tewas dengan
leher putus! Darah merah muncrat ke mana-mana, membuat lantai dan dinding kandang itu menjadi merah mengerikan.

"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki dan mereka bertiga sejenak menjadi seperti arca memandang ke dalam
kandang. Sunyi di situ, bahkan tidak ada angin berkelisik, membuat suasana menjadi menyeramkan.

"Ngeooonggg...!" Suara kucing yang tiba-tiba terdengar ini yang membuat mereka tersentak kaget dan memandang ke
atas genting. Si Putih satu-satunya kucing peliharan di gedung itu, berkelebat melompat sambil menggereng,
seolah-olah menghadapi musuh dan marah. Akan tetapi gerengannya terhenti tiba-tiba dan Pat-jiu Kai-ong cepat
melompat ke kiri ketika ada benda jatuh dari atas genteng menimpanya. "Bukkk!" Ketika pengawal yang membawa
obor mendekat, ternyata yang terjatuh itu adalah bangkai kucing Si Putih yang baru saja mengeong tadi!

"Jahanam...!" Pat-jiu Kai-ong memaki untuk kedua kalinya dan tubuhnya sudah melayang ke atas genting, diikuti
oleh dua orang pengawalnya. Melihat betapa obor yang dipegang pengawal itu tidak padam ketika dia meloncat ke
atas genting membuktikan bahwa pengawal itu sudah memiliki ginkang yang hebat. Akan tetapi kembali ketiganya
termangu-mangu di atas genting karena tidak tampak bayangan seorang manusian pun. Keadaan sunyi. Sunyi ekali,
terlampau sunyi seolah-olsh gedung itu telah berubah menjadi tanah kuburan!

"Hung-hung! Huk-huk-huk...!!" Riuhlah suara tiga ekor anjng peliharaan gedung itu menggonggong dan menyalak-nyalak di sebelah kanan gedung.
Suara ini mengejutkan mereka, apalagi suaran gonggongan mereka yang riuh rendah itu tiba-tiba ditutup dengan
suara "kaing...! nguik... nguikkk... nguikkkkk!" Dan suasana menjadi sunyi kembali, lebih sunyi dari tadi
sebelum terdengar gonggongan anjing-anjing itu.

"Bedebah...!" Pat-jiu Kai-ong melompat dari atas genting, tidak
dapat disusul oleh dua orang pengawalnya itu saking cepatnya dan sebentar saja dia sudah tiba di sebelah kanan
gedungnya, di kandang anjing. Seperti sudah dikhawatirkannya, tiga ekor anjing itu sudah menggeletak mati
dengan leher hampir putus dan darah mengalir di bawah bangkai mereka. Tiga orang pengawal yang terdekat sudah
tiba pula dan mereka saling pandang dengan muka berubah pucat! Seperti terngiang di telinga Pat-jiu Kai-ong
suara Lu-san Lojin ketika membacakan isi surat, "Malam ini, semua mahluk hidup yang tinggal di rumah Pat-jiu
Kai-ong, dari binatang sampai manusia, akan kubasmi habis!" Semua binatang peliharaannya , ayam, kucing, dan
anjing, sudah mati semua dan sekarang tentu tiba gilirannya manusianya!

Teringat akan ini, Pat-jiu Kai-ong cepat berkata, suaranya sudah mulai gemetar "Cepat, semua berkumpul denganku di dalam gedung...!"
Tiba-tibamereka dikejutkan oleh jeritan-jeritan di sebelah luar dan di depan gedung itu. Mereka cepat berlari menuju ke
depan gedung dan tampaklah oleh mereka dua orang pengawal yang berjaga di luar sudah menggeletak tak bergerak
di atas tanah. Ketika seorang pengawal yang membawa obor mendekat, Pat-jiu Kai-ong melihat bahwa dua orang
pengawalnya yang terlentang itu telah tewas dengan mata melotot dan dari mata, hidung, telinga, dan mulut
keluar darah hitam sedangkan di dahi mereka itu tampak jelas cap jari tangan yang kecil panjang, tiga buah
banyaknya dan mudah dilihat bahwa itu adalah tanda jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis. Begitu dalam
gambar jari itu sampai garis-garisnya tampak!

"Kurang ajar! Mari kita berkumpul semua...!" Akan tetapi kembali
terdengar pekik mengerikan dari sebelah kiri gedung. Mereka kembali berlari-lari ke tempat itu dan melihat tiga
orang pengawal lain sudah menjadi mayat dalam keadaan yang sama seperti dua orang korban pertama. Segera
tersusul pula pekik-pekik mengerikan itu dari belakang gedung. Pat-jiu Kai-ong dan tiga orang pengawalnya ini,
termasuk pengawal kepala Si brewok, mengejar ke belakang dan empat orang pengawal sudah menggeletak tewas dalam
keadaan mengerikan, presis seperti yang lain. Dalam sekejap mata saja sembilan orang pengawal telah tewas.

Mereka itu berada di depan, di sebelah kiri, di belakang gedung, akan tetapi kematian mereka susul menyusul
begitu cepatnya, seolah-olah banyak musuh yang datang dari berbagai jurusan. Namun, biarpun mulutnya tidak
menyataakan sesuatu, Pat-jiu Kai-ong maklum bahwa tanda dari jari tangan itu dibuat oleh jari tangan yang sama,
dan bahwa pembunuhnya itu hanya satu orang saja, seorang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sehingga para
pengawal itu agaknya sama sekali tidak mampu melakukan perlawanan.

Tiga orang pengawal saling pandang dengan
muka pucat. Melihat muka mereka, Pat-jiu Kai-ong menjadi penasaran dan merah sehingga timbul kembali
keberaniannya yang tadi agak berkurang karena jerih.

Dia berteriak memaki, "jahanan pengecut! Hayo keluarlah
dan lawan aku Pat-jiu Kai ong!" Setelah dia mengeluarkan kata-kata ini dengan suara nyaring, keadaan menjadi
sunyi sekali, sunyi yang amat menggelisahkan damn menyeramkan, seolah-olah dalam kegelapan dan kesunyian malam
itu tampak mulut iblis menyeringai dan menanti saat untuk menerkam dan mencabut nyawa ! Pat-jiu Kai-ong makin
penasaran. Dia sendiri adalah seorang manusia yang dikenal sebagai iblis, jarang menemui tandingan dan ditakuti
banyak orang dari semua golongan. Akan tetapi malam ini dia, Raja Pengemis yang menjadi ketua Pat-jiu Kai-pang
yang terkenal, memiliki anggauta ratusan orang banyaknya, seorang di atara datuk kaum sesat atau golongan hitam
yang ditakuti orang, dia dipermainkan orang! Dan orang itu, kalau melihat namanya sebagai ratu tentulah seorang
wanita! Apa lagi dia melihat bahwa bekas jari tangan di dahi para korban itu pun jari tangan wanita yang kecil
meruncing!

"Hem, pengecut benar dia, "katanya kepada tiga orang pengawalnya yang diam-diam telah kehilangan
separuh dari nyali mereka. "Kita harus menggunakan pancingan. Biar aku mengintai dari atas, kalian
berjalan-jalan di sini. kalau dia muncul menyerang, aku tentu dapat melihatnya dan aku akan meloncat turun.
Bersiaplah kalian!"

Setelah berkata demikian, dengan gerakan ringan seperti seekor kelelawar, Pat-jiu Kaiong
melompat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan sambil mengintai. Dia melihat tiga orang pengawalnya itu
masing-masing telah mencabut senjata mereka. Si Brewok menggunakan sebatang tombak panjang yang ujungnya
berkait, orang ke dua mengeluarkan golok besar dan orang ketiga sebatang pedang. Mereka berdiri saling
membelakangi dan mata mereka memandang tajam ke depan, telinga mereka memperhatikan setiap suara. Akan tetapi
sunyi saja sekeliling tempat itu.

Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong melihat sesosok bayangan melayang turun dari atas
pohon! Celaka pikirnya. Kiranya si laknat itu bersembunyi di dalam pohon yang tumbuh di depan gedung. Bayangan
itu sukar di lihat bentuknya karena cepat sekali gerakannya, tahu-tahu telah berada di depan Si Brewok. Tiga
orang pengawal itu menggerakan senjata, akan tetapi anehnya, tampak oleh Pat-jiu Kai-ong betapa tiga buah
senjata mereka itu telah berpindah tangan! entah bagaimana caranya karena dari atas genteng itu dia tidak dapat
melihat jelas. Yang dia ketahuinya hanyalah betapa tiga orang pengawalnya itu kini lari ketakutan!

"Hik-hik-hik!" Suara ketawa ini membuat bulu tengkuk Pat-jiu Kai-ong berdiri dan dia melihat sinar-sinar
menyambar ke arah tiga orang pengawal yang lari, melihat mereka roboh dan memekik, terjungkal tak bergerak lagi
karena punggung mereka ditembus oleh senjata mereka masing-masing!

"Keparat jangan lari kau!" Pat-jiu Kai-ong
sudah melayang turun dan tongkatnya sudah diputar-putar. Akat tetapi bayangan itu melesat dan lenyap dari
tempat itu! Pat-jiu Kai-ong menoleh ke kanan kiri, akan tetapi tidak tampak gerakan sesuatu. Dia makin
penasaran. Dihampirinya tiga orang pengawalnya. Mereka telah tewas dan hanya mereka bertiga yang tidak dicap
dahinya dengan tiga buah jari tangan hitam akan tetapi kematian mereka cukup mengerikan. Tombak golok dan
pedang itu menembus punggung pemilik masing-masing sampai ujungnya keluar dari hulu hati! Dan sambitan tiga
buah senjata yang berlainan bentuknya itu dilakukan secara berbareng dari jarak yang cukup jauh, tepat mengenai
tiga sasarannya yang sedang berlari. Hal ini saja membuktikan pula betapa hebatnya kepandaian orang aneh itu



Mendadak Pat-jiu Kai-ong tersentak kaget. Di dalam gedung! Betapa tololnya dia! Semua pengawalnya yang
berjumlah dua belas orang telah tewas semua. Tentu sekarang musuh itu masuk ke dalam gedung untuk membunuh
orang-orang di dalam gedung. Secepat kilat dia meloncat dan lari memasuki gedung. Benar saja, terdengar pekik
susul-menyusul dan begitu melewati pintu depan, dia sudah melihat para pelayannya telah menjadi mayat dan
berserakan di sana-sini. Cepat dia lari ke dalam kamarnya dan dengan mata terbelalak dia melihat lima orang
selirnya telah mati semua, dahi mereka juga ada bekas tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka
mereka mengalirkan darah hitam! Sunyi sekali di dalam gedung itu, kesunyian yang penuh rahasia.

Lu-san Lo-jin! Pat-jiu Kai-ong teringat dan dia cepat lari ke dalam tempat tahanan, hanya untuk melihat bahwa kakek itu pun
telah tewas dan di dahinya terdapat pula tanda tapak tiga jari tangan dan semua lubang di muka mereka
mengalirkan darah hitam! Kini dia benar-benar bingung. Jelas bahwa musuh ini bukanlah kawan Lu-san Lojin
seperti yang disangkanya semula! Makin bingunglah dia dan dia lari pula ke dalam ruangan besar di mana dia tadi
makan minum dengan Lu-san Lojin dan dua anaknya, di mana dia tadi menanti datangnya musuh rahasia. Dan begitu
memasuki ruangan itu, dia tertegun! Ruangan itu kini terang sekali, agaknya ada yang menambah lampu penerangan.
Ketika dia melihat, benar saja bahwa di situ terdapat banyak lampu, banyak sekali karena agaknya semua lampu
penerangan dibawa dan dikumpulkan di ruangan itu. Dan di atas kursinya yang tadinya ditinggalkan kosong, kini
tampak duduk seorang wanita!

Di depan wanita itu, juga duduk di atas kursi, tampak seorang anak laki-laki
berusia sepuluh tahun yang memandangnya dengan mata penuh selidik.

Wanita itu cantik, pakaiannya mewah dan
indah, anak itu pun tampan dan bersih serta mewah pakaiannya. Wanita itukah yang membunuh semua orang di
gedungnya? Tak mungkin agaknya. wanita itu usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, cantik dan kelihatan
halus gerak-geriknya, hanya sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan dingin sekali. "Ibu, dia inikah
orangnya?" Tiba-tiba anak kecil itu bertanya, suaranya nyaring, memecahkan kesunyian yang sejak tadi mencekam.
"Benar, dialah Si Bedebah Pat-jiu Kai-ong." Wanita itu berkata, suaranya halus akan tetapi dingin menyeramkan.
"Kalau begitu, mengapa ibu tidak lekas membunuhnya?" Wanita itu tersenyum dan wajah yang cantik itu makin
cantik, akan tetapi juga makin dingin menyeramkan, kemudian bangkit berdiri berlahan-lahan. "Kau lihat sajalah
ibumu menundukan Si jembel busuk ini."

Wanita itu ternyata bertubuh tinggi ramping dan ketika melangkah maju,
tampak gerakan kedua kakinya lemah lembut. Pat-jiu Kai-ong sudah dapat menguasai hatinya dan timbul
keberaniannya setelah melihat bahwa orang itu hanyalah seorang manusia biasa, wanita yang kelihatan lemah pula,
bukan seorang iblis yang menyeramkan sama sekali. "Siapakah engkau? Siapa pembunuh orang-orangku dan apa
hubunganmu dengan Ratu Pulau Es yang mengancamku?"

Wanita itu kini tiba di depan Pat-jiu Kai-ong sehingga raja
pengemis ini dapat mencium bau harum semerbak yang keluar dari rambut dan pakaian wanita itu. "Akulah Ratu
Pulau Es, aku pula yang telah membunuh semua mahluk hidup di dalam gedungmu, semua telah kubunuh kecuali
engkau, Pat-jiu Kai-ong. Aku harus membunuhmu berlahan-lahan, menyiksamu sampai puas hatiku."

Mendengar ancaman ini, Raja Pengemis yang biasanya berhati kejam dan keras itu, menjadi berdebar juga. Akan tetapi kemarahannya
melenyapkan semua rasa jerih dan dia membentak,
"Perempuan sombong! Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi
Pat-jiu Kai-ong?"
Pat-jiu Kai-ong, agaknya kejahatanmu sudah begitu bertumpuk-tumpuk sehingga engkau tidak
dapat mengenal korban-korbanmu lagi. Pandanglah aku baik-baik dan kumpulkan ingatanmu! Lupakah kau apa yang
terjadi di kaki pegunungan Jeng-hoa-san sepuluh tahun yang lalu?" Pat-jiu Kai-ong memandang dan terbayanglah
peristiwa di Jeng-hoa-san sebelum dia naik ke puncak gunung itu untuk mencari Sin-tong. Kini dia dapat mengenal
wajah ini, wajah cantik yang pernah merintihrintih dan memohon pembebasan, namun yang dia permainkan secara
kejam.
"Kau... kau... Cap-she Sin-hiap...?" Tanyanya ragu-ragu. "Benar. Aku adalah anggauta paling muda dari
Cap-sha Sin-hiap. Dua belas orang suhengku telah kaubunuh. Ingatkah sekarang kau?" Pat-jiu Kai-ong tertawa.

Hatinya lega. Kalau hanya wanita muda itu, yang telah diperkosanya dan yang hanya menjadi orang ke tiga belas
dari Cap-sha Sin-hiap, perlu apa dia takut? Biar perempuan ini agaknya telah memperdalam ilmunya selama sepuluh
tahun ini, akan tetapi perlu apa dia takut?
"Ha-ha-ha, kiranya engkaukah ini, manis? Tentu saja aku masih ingat
kepadamu, siapa bisa melupakan kenang-kenangan manis selama tiga hari itu? Ha-ha-ha, betapa mesranya!"
Jahanam!
Kematian sudah di depan mata dan kau masih berlagak? Pat-jiu Kai-ong, aku telah datang dan rasakanlah
pembalasanku, aku akan membuat kau menyesal mengapa kau pernah dilahirkan ibumu!"


"Perempuan sombong,
mampuslah!" Pat-jiu Kai-ong sudah menerjang dengan tongkatnya melakukan penyerangan dengan dahsyat, menusukan
tongkatnya yang tentu akan menembus dada wanita itu kalau tidak depat wanita itu mengebutkan ujung lengan
bajunya menangkis. "Trakk!" Tongkat itu menyeleweng dan terkejutlah Pat-jiu Kai-ong. Ternyata lawannya ini
benar-benar telah memperoleh kemajuan hebat dan telah memiliki sinkang yang tak boleh dipandang ringan. Tentu
saja! Wanita itu bukan lain adalah The Kwat Lin yang selama sepuluh tahun ini menjadi istri atau permaisuri
Raja Pulau Es, Han Ti Ong yang sakti! Wanita ini selama sepuluh tahun telah menggembleng diri, di bawah
petunjuk suaminya yang amat mencintainya. Bahkan suaminya telah menurunkan ilmu-ilmu yang khusus untuk
menghadapi ilmu tongkat Pat-jiu Kai-ong dan ilmu mujijat Hiat-ciang Hoat-sut dari Raja Pengemis ini atas
permintaan The Kwat Lin.

Karena itu, biarpun ada sebatang pedang menepel di punggungnya, The Kwat Lin tidak
menggunakan senjata melainkan ujung lengan bajunya untuk menghadapi tongkat dan memang kedua ujung lengan baju
ini yang merupakan sepasang senjata yang dilatihnya khusus untuk mengatasi tongkat Raja Pengemis itu. Seperti
telah dituturkan di bagian depan, The Kwat Lin menggunakan kesempatan selagi Han Ti Ong pergi menyerbu Pulau
Neraka, untuk meninggalkan Pulau Es. Hal ini sudah bertahun-tahun dia citacitakan. Dia menjadi istri Han Ti Ong
hanya karena ingin mewarisi ilmu kepandaiannya, akan tetapi setelah menjadi permaisuri, dia pun ingin memiliki
pusaka Pulau Es dan benda-benda berharga lainya. Maka dia menanti kesempatan baik untuk meninggalkan pulau,
tentu saja meninggalkan untuk selamanya karena pada hakekatnya dia tidak suka tinggal di pulau itu.


Siapa suka
tinggal di Pulau Es yang membosankan itu, jauh dari dunia ramai? Pergilah dia mengajak puteranya, Han Bu Hong,
meninggalkan Pulau Es sewaktu suaminya tidak ada, membawa pusaka Pulau Es. Dengan alasan akan menyusul suaminya
yang menyerbu Pulau Neraka, tidak ada seorang pun berani menghalangi kepergiannya dan akhirnya, dengan
kepandaiannya yang sudah tinggi, dia berhasil mendarat.

Berbulan-bulan dia menyelidiki dan akhirnya dia dapat menemukan tempat tinggal musuh besarnya di lereng Heng-san. Dia mengajak puteranya dan setelah menyembunyikan
puteranya, dia menyelidiki istana Raja Pengemis itu. Melihat Swi Liang dan Swi Nio, dia tertarik sekali, maka
dia menculik mereka dan membawa mereka ke dalam hutan di mana Bu Hong menanti ibunya.

"Kalian kuselamatkan dengan maksud untuk mengangkat kalian berdua menjadi muridku ," dia berkata tanpa banyak cerita lagi. "Tinggal
kalian pilih, mati atau hidup. Kalau ingin mati, kalian semestinya mati karena kalian berada di gedung Pat-jiu
Kai-ong. karena sekarang belum malam, maka kalian belum mestinya dibunuh dan karenanya boleh pula kukeluarkan
dari sana. Kalau kalian ingin hidup harus suka menjadi muridku. Bagaimana?"

Tentu saja dua orang muda itu ingin hidup dan segera berlutut di depan calon Subo (ibu guru) mereka. "Harap subo sudi menolong Ayah kami...." kata
Swi Liang. "Kalian tinggal saja di sini menemani sute kalian ini. Tentang Ayahmu, kita lihat saja nanti." The
Kwat Lin meninggalkan dua orang murid itu bersama puternya, kemudian mulailah dia turun tangan membunuh-bunuhi
semua binatang peliharaan gedung raja Pengemis itu lalu membunuhi semua pengawal, pelayan, selir dan juga Lusan
Lojin dibunuhnya karena dia sudah berjanji akan membunuh semua orang di dalam gedung itu, apalagi dia tahu
bahwa kalau tidak dibunuh, kakek itu tentu akan menjadi penghalang baginya mengambil murid Swi Liang dan Swi
Nio yang menarik hatinya.

Akhirnya dia keluar dari gedung, menyuruh kedua orang muridnya menanti di hutan.

Akhirnya bersama puteranya, dia dapat berhadapan dengan musuh besarnya itu setelah membunuh semua orang di
dalam gedung. Han Bu Ong anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun itu, duduk di kursi dan menonton
pertandingan dengan mata terbelalak dan jarang berkedip. Dia sama sekali tidak merasa takut atau khawatir. Dia
percaya penuh kepada kelihaian ibunya dan memang sejak kecil anak ini memiliki keberanian luar biasa dan
kekerasan hati yang amat aneh bagi seorang anak sebesar itu. Melihat kekejaman-kekejaman yang terjadi, dia
tidak pernah merasa ngeri, bahkan merasa gembira!

Barulah hati Pat-jiu kai-ong terkejut sekali setelah selama
lima puluh jurus dia mainkan tongkatnya dia tidak mampu menembus pertahanan sepasang ujung lengan baju
lawannya. Bahkan lawannya terkekeh-kekeh mengejeknya dan biarpun lawannya hanya mainkan ujung lengan baju,
namun ternyata tongkat yang biasanya dia andalkan itu sama sekali tidak berdaya!

"Keparat, mampuslah!" Tiba-tiba Pat-jiu Kai-ong berseru keras, disusul dengan gerengan dahsyat yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Han Bu Ong terplanting jatuh dari kursinya, akan tetapi bocah ini sudah duduk bersila dan mengatur pernapasan,
menutup pendengaran. Ternyata sekecil itu, Bu Ong telah digembleng hebat oleh ayahnya sehingga dengan dasar
latihan sinkang Inti Salju, dia kini mampu menulikan telinga dan menghadapi auman Sai-cu Ho-kang dari Pat-jiu
Kai-ong! Padahal lawan yang tidak begitu kuat sinkangnya, mendengar auman Sai-cu Ho-kang yang berdasarkan
Khi-kang yang amat kuat ini, sudah akan roboh. Sementara itu, The Kwat Lin yang melihat puteranya dapat
menyelamatkan diri, sudah mengeluarkan suara terkekeh-kekeh dan lawannya terkejut bukan main karena dari suara
ini keluar getaran yang menghancurkan ilmunya bahkan menyerangnya dengan hebat.

Terpaksa dia menghentikan auman
Sai-cu Ho-kang dan mempercepat gerakan tongkatnya dengan ilmu Tongkat Pat-mo-tung-hoat (Ilmu Tongkat Delapan
Iblis) yang dahsyat. The Kwat Lin memang hendak mempermainkan lawannya, maka dia hanya menangkis dan mengelak.
Hal ini sengaja dilakukannya untuk memamerkan kepandaiannya dan untuk meyakinkan lawan bahwa akhirnya lawan
akan roboh olehnya sehingga lawannya yang amat dibencinya itu akan ketakutan setengah mati! Dan memang usahanya
ini berhasil.

Keringat dingin membasahi muka pat-jiu Kai-ong dan tahulah kake ini bahwa mengandalkan ilmu silat
saja, dia tidak akan menang melawan wanita yang pernah dipermainkannya dan diperkosanya selama tiga hari tiga
malam itu. Maka dia lalu mengerahkan tenaganya, menggerakan sinkang dan tiba-tiba dia memekik dan menghantamkan
tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka. The Kwat Lin sudah menduga bahwa lawannya tentu akhirnya akan
menggunakan ilmu Hiat-ciang Hoatsut ini. Dan dia sudah mendengar dari suaminya akan ilmu mujijat ini, maka dia
bersikap hati-hati dan tidak berani memandang rendah. Bahkan ketika menyaksikan cahaya merah menyambar keluar,
merasakan getaran mujijat dan mencium bau amis darah yang memuakan, dia terkejut sekali dan cepat dia menekuk
kedua lututnya sedikit, kemudian mendorongkan telapak tangan kanannya dengan tiga buah jari tangan diluruskan.

Hawa dingin meluncur keluar dari telapak tangannya menyambut hawa pukulan Hiat-ciang Hoat-sut. "Dess!"dua
benturan tenaga mujijat bertemu dan tubuh kedua orang itu tergetar hebat! Kiranya tenaga Hiatciang Hoat-sut
sudah sedemikian ampuhnya sehingga dalam benturan tenaga ini, Pat-jiu Kai-ong dapat mengimbangi tenaga The Kwat
Lin.

Kalau kakek itu merasa betapa tubuhnya mendadak menjadi dingin sekali, sebaliknya The Kwat Lin merasa
tubuhnya panas! Namun keduanya dapat melawan hawa ini dan berkali-kali mereka mengadu tenaga sinkang lewat
telapak tangan mereka . Tiba-tiba ujung lengan baju kiri The Kwat Lin menyambar kearah ubun-ubun kepala kakek
itu yang menjadi terkejut sekali dan menangkis dengan tongkatnya. Ujung lengan baju melihat dan tangan The Kwat
Lin menyambar ke depan dari dalam lengan baju itu, menangkap tongkat. Pat-jiu Kai-ong cepat menghantamkan
tangan kirinya lagi dengan tenaga Hiat-ciang Hoat-sut sekuatnya, mengarah kepala lawan. Namun hal ini sudah
diperhitungkan oleh wanita itu yang cepat sekali menarik tongkat yang dicengkramnya menangkis. "Krekkkk!"
Tongkat raja pengemis itu hancur terkena pukulannya sendiri dan selagi dia terkejut bukan main, tahu-tahu ujung
lengan baju kanan wanita itu sudah menyambar ke arah matanya! Dia berteriak kaget, miringkan kepala, akan
tetapi ternyata ujung lengan baju itu tidak menyerang mata, melainkan menyeleweng ke bawah dan menotok
lehernya.

"Auggghh...!" Kalau orang lain yang terkena totokan yang tepat mengenai jalan darah, tentu akan roboh
dan tewas. Akan tetapi tubuh Pat-jiu Kai-ong sudah kebal, maka totokan yang kuat itu hanya membuat ia terhuyung
ke belakang. Melihat ini, The Kwat Lin tertawa terkekeh, kedua tangannya bergerak dengan cepat sekali dan
biarpun raja pengemis itu sudah berusaha mati-matian membela diri, namun karena totokan pertama membuat
pandangan matanya berkunang sehingga gerakannya menjadi kurang cepat, dua kali totokan lagi dan sebuah tamparan
dengan tiga jari tangan yang tepat mengenai punggungnya membuat dia roboh pingsan!


Ketika dia siuman. Pat-jiu
Kai-ong mendapatkan dirinya sudah rebah terlentang di atas lantai dan dia tidak mampu menggerakan kaki
tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara karena selain tertotok jalan darah yang membuatnya menjadi
lumpuh, juga urat ganggu di lehernya telah ditotok. Tahulah dia bahwa dia tak berdaya lagi dan nyawanya berada
di tangan lawan, dan dia pun maklum bahwa wanita ini tidak akan mungkin mengampuni kesalahannya.Maka dia
memejamkan mata menanti datangnya kematian. "Bret-bret-brettt..., hi-hik! lihatlah, Bu Ong, lihat binatang
ini!"

Pat-jiu Kai-ong memaki dalam hatinya. Apa maunya perempuan ini? Seluruh pakaiannya direnggut lepas semua
sehingga dia terlentang dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Karena ingin tahu, bukan karena jerih sebab
seorang datuk macam Pat-jiu Kai-ong juga tidak mengenal takut, dia menggerakan pelupuk mata dan mengintai dari
balik bulu matanya. Dia melihat anak laki-laki turun dari kursinya, memandanginya dan tertawa. "Heh-heh,
ibu,dia lucu sekali! Lucu dan amat buruk... eh, menjijikkan!" The Kwat Lin tertawa-tawa, kemudian sekali ujung
lengan bajunya bergerak menyambar ke arah leher Patjiu Kai-ong, kakek ini terbebas dari totokan urat ganggunya
dan dapat mengeluarkan suara.

"Perempuan hina, mau bunuh lekas bunuh! Aku tidak takut mati!" teriaknya marah.
"Hi-hik, enak saja! Ingatkah kau betapa aku dahulupun minta-minta mati kepadamu? Tidak, engkau harus mengalami
siksaan, mati sekarat demi sekarat! Bu Ong, dia inilah yang membunuh dua belas orang Supekmu secara kejam .
Maukah kau membalaskan sakit hati dan kematian para Suoekmu?" "Tentu saja! Akan kubunuh anjing tua ini!" Bu Ong
sudah melangkah maju dan anak ini memandang dengan muka bengis. "Nanti dulu, Bu Ong.Terlampau enak baginya
kalau dibunuh begitu saja. Tidak, untuk setiap orang dari suhengku, dia harus menderita satu macam siksaan.Jari tangannya.
Hi-hak, jari-jari tangannya berjumlah sepuluh, itu untuk sepuluh orang suheng! Dan dua buah
daun telinganya itu untuk kedua suheng yang lain," The Kwat Lin mencabut pedangnya, menyerahkan kepada
puteranya sambil tertawa-tawa, kemudian dia menggerakan khikangnya, "mengirim suara" dengan ilmunya yang tinggi
ini sehingga suaranya hanya terdengar oleh Pat-jiu Kai-ong, akan tetapi sama sekali tidak terdengar oleh
anaknya, "Pat-jiu Kai-ong , tahukah kau siapa bocah ini? Dia ini adalah puteramu! Keturunanmu! hasil kotor dari
perkosaanmu atas diriku. Nah, sekarang kaulihatlah anakmu, darah dagingmu sendiri yang akan menyiksa dirimu!"

Sepasang mata Pat-jiu Kai-ong terbelalak lebar, mukanya pucat sekali. Puluhan tahun dia ingin sekali memperoleh
keturunan, terutama seorang putera, akan tetapi biarpun dia sudah berganti-ganti selir sampai ratusan kali,
tetap saja para selir itu tidak pernah memperoleh keturunannya. sekarang, secara tidak sengaja dia telah
memperoleh seorang putera! dan puteranya itu dengan pedang di tangan menghampirinya, siap untuk menyiksanya!

Tadi dia terheran melihat betapa bekas anggauta Cap-sa Sin-hiap, murid Bu-tong-pai yang terkenal gagah itu
menjadi begitu keji, mengajar putera sendiri melakukan kekejaman. Kira-kira wanita itu memang sengaja hendak
menyiksanya dengan menggunakan tangan keturunanya sendiri! Kiranya wanita itu juga membenci anak itu seperti
juga membencinya, maka sengaja membiarkan anak itu menyiksa dan membunuh ayah sendiri!
"Anak...jangan...dengarkanlah...."

"Pratttt...!" Pat-jiu Kai-ong tidak dapat melanjutkan kata-katanya yang tadinya
hendak mmperingatkan anak laki-laki itu karena urat ganggunya dileher telah ditotok oleh lengan baju The Kwat
Lin yang terkekeh menyeringai.

"Pat-jiu Kai-ong, begini pengecutkah engkau? Haiii... di mana kegagahanmu
sebagai seorang datuk? Lihatlah baik-baikdan nikmatilah siksaan anak ini! Bu Ong, pergunakan pedang itu .
Pertama buntungi kedua daun telinganya untuk Twa-supek dan Ji-supekmu!" "Baik, Ibu!"Bu Ong lalu melangkah maju
dan dua kali pedang itu berkelebat karena anak itu ternyata sudah pandai menggunakan pedang itu dan buntunglah
kedua daun telinga Pat-jiu Kai-ong ! Dapat dibayangkan betapa nyeri, perih dan pedih rasa badan dan hati kakek
itu.

Air matanya meloncat keluar membasahi pipinya! "Ha-ha, ibu! Lihat, dia menangis !" Anak itu bersorak dan
mengambil dua buah daun telinga itu. "He-he, seperti teling babi!" Memang Pat-jiu Kai-ong menangis! Akan tetapi
bukan menangis karena rasa nyaeri dan pedih karena kedua daun telinganya buntung, melainkan nyeri di hati yang
lebih hebat lagi melihat betapa anaknya sendiri yang sejak puluhan tahun yang lalu dirindukannya, kini bersorak
girang melihat penderitaannya! Dia tidak takut mati, tidak takut sakit, akan tetapi melihat betapa dia
menghadapi siksaan dan kematian di tangan anaknya sendiri, benar-benar merupakan tekanan batin yang hampir tak
kuat dia menanggungnya .

"Teruskan,Bu Ong.Masih ada sepuluh orang Supekmu yang belum dibalaskan sakit
hatinya.Jari-jari tangannya yang sepuluh itu! Perlahan-lahan saja, satu demi satu buntungkan!"

Mulailah
penyiksaan yang amat mengerikan itu dilakukan oleh Bu-ong. Anak ini seolah-olah telah menjadi gila, dengan
tertawa-tawa dia membuntungi semua jari tangan kakek itu satu demi satu dan setiap buntung sebuah jari, dia
bersorak kegirangan. Memang sejak dapat mengerti omongan, anak ini dijejali dendam oleh ibunya, dendam terhadap
Pat-jiu Kai-ong dan diceritakan betapa Pat-jiu Kai-ong telah membunuh dua belas orang suhengnya dan betapa raja
pengemis itu menyiksanya dan Bu Ong kelak harus membalas dendam itu. Maka kini anak itu samasekali tidak
menaruh rasa kasihan, bahkan hatinya puas sekali dapat menyiksa kakek itu. Dapat dibayangkan betapa hebat
penderitaan Pat-jiu Kai-ong. Namun dia tidak menyesali nasibnya karena dia maklum bahwa dia pun telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang atas diri The Kwat Lin sehingga pembalasan ini sudah jamak. Hanya satu hal yang
membuat air matanya bercucuran adalah melihat betapa dia disiksa dan akan dibunuh oleh darah dagingnya sendiri.

Dia menangis melihat darah dagingnya sendiri itu, yang baru berusia sepuluh tahun, telah menjadi seorang iblis
cilik yang demikian kejam! Kini The Kwat Lin membebaskan totokan yang membuat kaki tangannya lumpuh. Begitu
kaki tangannya dapat bergerak, Pat-jiu Kai-ong meloncat dan menerkam ke arah Bu Ong dengan ke dua tangan yang
sudah tak berjari lagi itu, yang berlumuran darah. Niat hatinya untuk membunuh saja anaknya itu agar kelak
tidak dijadikan iblis cilik oleh ibu yang membencinya. Akan tetapi sebuah tendangan dari samping yang dilakukan
oleh The Kwat Lin membuat dia terguling lagi. Rasa nyeri pada kedua ujung tangannya membuat kakek itu
menggeliat-geliat.

"Mundurlah, Bu-ong. lihat sekarang ibumu yang akan turun tangan. Aku akan membalas sendiri
perbuatannya kepadaku terdahulu!"

The Kwat Lin menghampiri musuhnya dengan pedang di tangan. "Pat-jiu Kai-ong,
ingatlah engkau akan peristiwa dahulu itu? Bayangkanlah,hi-hik, bayangkanlah betapa nikmatnya bagimu dan betapa
menyiksa dan sengsaranya bagiku. Sekarang aku yang menikmati dan kau yang menderita . Sudah adil bukan? Nah,
terimalah ini... ini... ini...!" Bertubi-tubi pedang di tangan The Kwat Lin bergerak dan tubuh kakek itu
bergulingan, berkelojotan karena rasa nyeri yang amat hebat ketika ujung pedang itu membabat keseluruh
tubuhnya, dengan tepat sekali membabat ujung semua jari kakinya, hidungnya, dagunya. Babatan itu hanya mengenai
ujung sedikit, tidak membahayakan keselamatan nyawa namun menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Seluruh tubuh
kakek itu kini berlepotan darah, mukanya dipenuhi oleh kerut-merut menahan nyeri.

"Hi-hik, bagaimana? Masih kurang? Nah, rasakanlah ini!" Kembali pedang itu digerakan, kini menusuknusuk dan seluruh tubuhnya ditusuki
ujung pedang bertubi-tubi. Ujung pedang hanya menusuk dua senti saja sehingga menembus kulit daging akan tetapi
tidak membunuh dan darah keluar makin banyak lagi, rasa nyeri makin menghebat sehingga tubuh kakek itu
berkelojotan seperti dalam sekarat. "Ini yang terakhir!" The Kwat Lin berkata dan ujung pedangnya membabat ke
bawah pusar. Wanita itu tertawa bergelah, tertawa puas, wajahnya yang cantik itu pucat sekali dan dia tertawa
sambil berdongak ke atas. "suheng sekalian, terutama Twa-suheng, lihatlah musuhmu. Sudah puaskah kalian?" Dan
dia terisak, lalu menghampiri tubuh yang berkelojotan itu.

"akan tetapi aku belum puas! kau harus tidur dalam keadaan tersiksa di antara mayat-mayat yang membusuk, selama tiga hari tiga malam!" The Kwat Lin menengok
kepada anaknya dan berkata, "Bu Ong, kautunggu di sini sebentar!" Tubuhnya berkelebat meninggalkan ruangan itu
dan dengan cepat dia telah datang menyeret mayat-mayat para pengawal, selir dan pelayan sampai ruangan itu
penuh dengan mayat-mayat yang dia lemparkan ke sekeliling tubuh Pat-jiu Kai-ong yang mandi darah.


"Nah, nikmatilah sekaratmu selama tiga hari!" The Kwat Lin lalu menggandeng tangan anaknya dan mengajak pergi
meninggalkan gedung itu. Ketika mereka berdua tiba di dalam hutan di depan gedung, Swi Liang dan Swi Nio
menyambut mereka dengan mata penuh harapan.

"Mana Ayah, Subo?" Swi Liang bertanya. "Bagaimana dengan dia?" Swi
Nio juga bertanya. "Ayah kalian telah tewas...." Dua orang muda itu mengeluh dan menangis. Swi Liang mengepal
tinjunya dan berkata, "Si jahanam Patjiu Kai-ong! aku harus membalas kematian Ayah!" "Subo, bantulah kami..."
kata pula Swi Nio, "kami harus menuntut balas!"

"Heh-heh, Suheng dan Suci, tenangkanlah hati kalian. Pat-jiu
Kai-ong telah di balas dan sekarang sedang sekarat di antara tumpukan mayat, he-he-heh! Wah, aku mendapat
bagian pesta tadi. Akulah yang membuntungi kedua telinganya dan sepuluh jari tangannya. Menyenangkan sekali!"

Swi Liang dan Swi Nio terbelalak memandang "sute" ini. Ucapan anak itu benar-benar membuat mereka merasa serem.
Memang, mendengar kematian ayah mereka yang tanpa keraguan lagi mereka yakin tentu dilakukan oleh Pat-jiu
Kai-ong, mereka pun merasa sakit hati dan ingin membalas dendam. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh sute
mereka menurut pengakuan anak itu, sungguh luar biasa sekali. Membuntungi kedua daun telinga dan sepuluh jari
tangannya, dan perbuatan itu dianggap menyenangkan sekali dan berpesta, benar-benar membuat mereka bergidik!

"Musuhmu sedang menanti saat kematian, harap kalian tenang dan tidak memikirkannya lagi. Ayahmu telah tewas,
dan kalian akan kuajak bersamaku sebagai muridku . Akulah pengganti ayah kalian."

Swi Liang dan Swi Nio menjatuhkan diri dan berlutut di depan subo mereka sambil bercucuran air mata. "Terima kasih subo..." Kata
mereka di antara tangis mereka. "Perkenankan kami mengubur jenasah Ayah, "kata pula Swi Liang. "Tidak perlu.
Kita menanti di sini sampai tiga hari, setelah itu aku akan membakar gedung itu." Biarpun merasa heran dan
kasihan kepada mayat ayah mereka, kedua orang yang sudah merasa ditolong dan dibalaskan sakit hati itu tidak
membantah. Mereka tentu saja tidak tahu betapa mayat ayah mereka itu ikut pula di lempar oleh The kwat Lin di
dekat tubuh Pat-jiu Kai-ong untuk ikut menyiksa musuh besar ini!

Memang Pat-jiu Kai-ong tersiksa hebat bukan
main. Ketika tadi anaknya membuntungi jari-jari tangannya, dia melihat muka anaknya itu berubah-ubah menjadi
muka banyak anak laki-laki yang menjadi korbanya. Puluhan, bahkan ratusan anak laki-laki yang menjadi korbannya
itu seolah-olah mengeroyoknya, memaki dan mengejeknya, dan kini, setelah tubuhnya mandi darah dan rasa nyeri
sampai menusuk-nusuk tulang, dia ditinggalkan di antara mayat-mayat itu. Celaka baginya, tubuhnya yang terlatih
memiliki daya tahan yang amat kuat sehingga dia tidak menjadi pingsan oleh rasa nyeri itu. Kalau saja dia dapat
pingsan atau mati sekali, tentu dia tidak akan menderita sehebat itu. Mayat-mayat itu mulai mengeluarkan bau
yang memuakan pada hari ke dua. Bau darah yang mengering dan membusuk, ditambah rasa nyeri di sekujur tubuhnya,
masih diganggu lagi oleh bayangan anak-anak yang dahulu menjadi korbanya, membuat Pat-jiu Kai-ong menangis di
dalam hatinya, menyesali perbuatannya yang mengakibatkan dia mati dalam keadaan tersiksa seperti itu.

Tiga harikemudian, The Kwat Lin muncul dan perempuan ini tertawa bergelak melihat musuh besarnya masih belum mati.
Senang sekali hatinya. Dahulu, dia diperkosa dan dipermainkan di antara mayat-mayat suhengnya selama tiga hari
tiga malam, dan kini dia dapat membalas secara memuaskan sekali. "Hi-hik, kau sudah puas sekarang?" ejeknya.
"Nah, mampuslah kau. Pat-jiu Kai-ong!" pedangnya berkelebatan dan seluruh bagian tubuh di bawah pusar kakek itu
dicincang hancur oleh pedang di tangan The Kwat Lin. Setelah merasa puas melihat mayat musuh besarnya, barulah
dia membuat api dan membakar gedung itu, lalu berlari keluar. Dengan air mata bercucuran, Swi Liang dan Swi Nio
memandang nyala api yang membakar gedung, maklum bahwa mayat ayah mereka ikut terbakar. "Ayahmu telah
sempurna," kata The Kwat Lin. "Tak perlu menangis lagi, hayo kalian ikut bersamaku. Kalau kalian rajin
mempelajari ilmu, kelak kalian tidak akan mengalami penghinaan orang lagi."




bersambung 12 ............

















0 komentar:

Posting Komentar