Rabu, 22 Mei 2013

pedang kayu harum [ 5 ]

terdengar suara yang menggetar penuh tenaga. "Omitohud....!" Ketika melihat bahwa yang
maju kini adalah dua orang hwesio gundul yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kakek
itu memandang dengan sikap tenang tetapi penuh pertanyaan karena sesungguhnya dia tidak
mengenal dua orang pendeta ini.

"Locianpwe benar-benar telah membuktikan betapa julukan Sin-jiu Kiam-ong(Raja Pedang
Tangan Sakti) adalah tepat karena tangan Locinpwe benar sakti!" kata seorang di antara dua
orang pendeta yang alisnya putih dan tubuhnya kecil kurus. Hwesio ke dua yang berkulit
hitam dan bertubuh tinggi besar hanya merangkap kedua tangan didepan dada sambil
berulang-ulang memuji, "Omitohud...!

Sin-jiu Kiam-ong Sie Cun Hong masih duduk bersila dan kini dia pun merangkap kedua
telapak tangan di depan dada, sebagai pemberian hormat. Menghadapi dua orang pendeta
yang begitu lemah lembut, yang bersikap merendahkan diri sehingga menyebutnya locianpwe
sebagai sebutan terhadap golongan tua tingkat atas, dia menjadi waspada dan hati-hati. Orang
yang sombong takabur tak perlu dikhawatirkan atau ditakuti, akan tetapi terhadap orang-orang
yang lemah-lembut dan sikapnya halus, haruslah hati-hati karena orang-orang yang
kelihatannya lemah sesungguhnya merupakan lawan yang berat.

"Ah, berat sekali menerima pujian jiwi (tuan berdua) yang sesungguhnya kosong penuh angin.
Aku yang tua menjadi sadar akan usiaku yang sudah terlalu tua, karena biasanya kedatangan
para hwesio seperti ji-wi adalah untuk menyembahyangi orang yang sudah mau mati atau
orang yang sudah mati agar nyawanya dapat diterima di tempat yang baik. Siapakah gerangan
ji-wi dan apa artinya kehadiran ji-wi ini di Kiam-kok-san?"

"Omitohud...! Kami berdua adalah hwesio-hwesio kecil tak berarti yang menjadi utusan
Siauw-lim-pai untuk menemui Locianpwe."

"Ah, kiranya dari perguruan tinggi Siauw-lim-pai...! Sungguh merupakan kehormatan besar
sekali!" Kakek itu berkata tercengang.

"Pinceng Thian Ti Hwesio dan ini adalah Sute(adik seperguruan) Thian Kek Hwesio,
mewakili suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai untuk mohon kepada Locianpwe agar suka
menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada kami. Suhu mohon agar Locianpwe ingat betapa
Siauw-lim-pai telah bersikap sabar dan tidak menuntut ketika Locianpwe pada tiga puluh
tahun yang lalu mencuri kitab-kitab Seng-to-ci-keng (Kitab Perjalanan Bintang) dan I-kiong-
hoan-hiat (Kitab Pelajaran Memindahkan Jalan Darah).

Mengingat akan itu suhu pecaya bahwa Locianpwe kini dalam saat terakhir akan membalas
kebaikan Siauw-lim-pai dan menyerahkan Siang-bhok-kiam agar semua ilmu yang tersimpan
di dalamnya tidak akan terjatuh ke tangan yang sesat dan dipergunakan untuk mengacau
dunia!"

"Aha, kiranya ji-wi adalah murid-murid Tiong Pek Hosiang? Kalau begitu ji-wi adalah tokoh-
tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai! Kehormatan besar sekali bagiku. Guru ji-wi memang
sejak dahulu halus dan sopan santun, namun cerdik sekali. Memang aku telah mengambil dua
buah kitab yang ji-wi maksudkan, hal itu kulakukan karena Tiong Pek Hosiang terlalu pelit
untuk meminjamkannya kepadaku. Siauw-lim-pai agaknya lupa bahwa ketika mendiang Tat
Mo Couwsu yang bijaksana menyalin dan memperbaiki kitab-kitab dari barat, adalah dengan
niat agar kitab-kitab itu dapat dipelajari semua manusia sehingga umat manusia dapat menjadi
kuat lahir batinnya. Akan tetapi oleh Siauw-lim-pai ilmu-ilmu itu dipendam, disembunyikan
dan hanya diturunkan kepada murid-murid sebagian daripada ilmu-ilmu yang dimiliki oleh
guru. Dengan demikian, bukankah ilmu-ilmu yang itu makin lama makin berkurang dan
menjadi rendah nilainya? Biarpun dua buah kitabnya kuambil, namun Siauw-lim-pai telah
memiliki ilmunya. Kitabnya hanya merupakan catatan saja, dan dengan pindahnya kitab
ketanganku, sesungguhnya Siauw-lim-pai tidak kehilangan apa-apa. Ilmu kepandaian dapat
dibagi-bagikan sampai kepada selaksa orang manusia tanpa mengurangi sumbernya. Mengapa

0 komentar:

Posting Komentar