Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su- 19 v

para Locianpwe dari Bu-tong-pai?" Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong dan tosu
tua yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan
sesuatu sebelum diperintah!" Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah
perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun, di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat
gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing. Melihat ini, timbul kemarahan
di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu
dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!" Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin
mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan Ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak
tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?" Swat Hong terbelalak, memandang kaget
dan heran. "Eh....? Benarkah ini? kami.... kami tidak datang mencari Totiang...." Para tosu dan semua orang itu
saling pandang kemudian seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua
kakek pertama, bertanya, "kalau begitu, siapakah yang Nona cari?" "Kami mencari The Kwat Lin...." Baru selesai
Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk maju, tangan kiri
mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya. Swat Hong
terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apalagi ketika
terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa
kakek itu memiliki tenaga yang kuat. "Heiiiittt....!!" dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat
menyambut. "Dukkkk.... plakkkk....!!" Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan
kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukan kepala sedikit, kemudian
mendahului dengan jari tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan.
Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya
tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang. "Desss....!!"
tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras! Semua orang
terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya, tingkat kepandaiannya
sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua
orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian
tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat
Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu. Para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainya melihat tosu
muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan
lain adalah Bu-tong Cap-pwe Enghiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The
Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan. "Hemm, kalian benar-benar mengajak
berkelahi? bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju
mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya
seperti hendak menyebarkan maut. Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata....!!" Tubuhnya berkelebat dan
berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana
saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa
mereka ketahu sebabnya! Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang
berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak
berurusan dengan Bu-ting-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari
The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi
Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela The Kwat Lin
tanpa lebih dulu mengetahui urusannya." "Apa....? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat
wanita iblis itu?" "Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin
dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai....! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut yang tidak bergigi
lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalahpahaman ini. Semua ini
gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada
siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!" Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan
masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tongpai itu, dan dipersilahkan duduk di ruangan tamu. Setelah
menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa
menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan
pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi." Kiranya tidaklah
perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan
urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan
pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tongpai, maka kami berdua menyusul
ke sini." Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang
muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia
tidak berani banyak bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas murid Bu-tong-pai
itu, dengan kekerasan merapas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena
usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah. "Betapa pun lihainya,
iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para
pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum lama ini, hampir saja kami
menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau
tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu
pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Enghiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara
melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan." Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa
kecewa sekali, jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada
lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah. "Aihhh.... ke mana kita harus
mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong. "Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi,
baiklah kami beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman
Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan dimana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena
timbul pengharapan lagi di dalam hatinya. "Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi
ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa
bangkai, di kaki Pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini." "Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita
cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri. Sin Liong terpaksa juga
bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan
daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak
buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya." "Terima
kasih atas peringatan Locian-pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak
enak telah menggangu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ. Setelah
berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus
jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang
dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat
Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!" "Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu
tempatnya?" "Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat
berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa." Swat Hong mengangguk,
mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya
seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di
dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya.
Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal,
seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman teteram
dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersedau-gurau, tertawa, bernyanyi,
membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakan alat-alat menyulam. Tidak seperti
sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya
dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu. "Suheng...." Sesuatu dalam suara dara
itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi
gadis ini bersikap seperti orang malu? "Ada apakah, Sumoi?" Swat Hong mencabut sebatang rumput,
mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudia dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur
di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?" Tersentuh hati
Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa
depanya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau
Es." "Hemm, kemudian?' Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput
dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya. "Kemudian? Aku akan membantumu
mencari ibu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulaupulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak
berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku
tidak akan berhenti mencari." Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya
Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?" "Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan
itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu saja engkau hidup bersama ibumu......" "Dan
kau?" "Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada
tugas. Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku." Kembali suasana hening, bahkan
kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas
terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun. "Suheng...." "Hemmm.....?" "Kalau bertemu dengan ibu engkau
akan meninggalkan kami?" "Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula
andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?" Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan di
hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir
kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu,
Sumoi." "Kita tinggal di mana?" "Di mana saja sesukamu." "Kita berkumpul?" "Ya." "Sampai kapan?" Kembali Sin
Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "kalau demikian, aku jadi merepotkanmu,
Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi." "Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan
seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang,
terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar." "Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu
dengan kakiku, Suheng." "Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan
bersama!" "Untuk selamanya, Suheng?" Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus
menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau
berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu." "Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong
bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa
sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang
baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu. "Sumoi....!" dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh.
Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang
pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya. "Suheng,
engkau....engkau kejam....!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya
ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir keluar dari celah-celah
jari tangannya. Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam....?" Dia seperti hendak bertanya
kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam. Swat Hong memeras air
matanya, mengapus muka dengan saputangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau
mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar dapat
bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya
mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi.....uhuh- uh.... kau ingin sekali mencampakkan aku
agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!" "Eh-eh, Sumoi...., bagaimana pula ini?
Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu..... tentu saja kalau engkau sudah
bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan
hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa
kaukira aku harus menungguimu saja?" "Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku akan
hanya menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia
merasa penasaran. Sin Liong membelalakan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak
akan menikah, Sumoi!" Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suhengnya,
disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!" "Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak
menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...." "Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak
menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"
Sin Liong menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak
baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau
kelah sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoinya
tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti sumoinya,
cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak
menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini! Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk termenung, agaknya
Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah
duduk dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoinya.
"Suheng...." "Hemmm....?" "Kau marah kepadaku?" Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada
saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan. "Kalau ada
seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku." "Suheng, katakanlah. Mengapa
engkau tidak mau menikah?" Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana
untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab
juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar
lagi. "Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir
batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana
aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?" Swat Hong
termangu-mangu , agaknya tertegun mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba
bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?" Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang
pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?" Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat
Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apalagi
yang akan dikemukaan sumoinya ini? "Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya
dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya. "Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak
mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...." "Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng
mencintainya?" "Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang
mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah
siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta
Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu." "Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia
terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain." "Jadi tidak
ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?" Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak
membicarakan soal ini. "Tidak ada dara yang kaucinta?" Sin Liong menggeleng lagi. "Termasuk aku....?" Sin Liong
terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat
sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya
itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya
tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas
tampak dadanya naik turun diburu pernapasan. "Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti
seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela
dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu,
percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum ...." "Sudahlah..... sudahlah....! Mari kita melanjutkan
perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak
yang menjulang tinggi itu. "Sumoi, perlahan dulu....! Hati-hatilah....!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus
mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu. Karena agaknya Swat Hong berlari
secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka
tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di
lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan
tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring. Sin Liong dan Swat Hong berdiri
tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung
oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada
Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung
oleh serombongan anak nakal. Akan tetapi wajah mereka yang penuh kumis pendek dan penuh keriput itu jelas
adalah wajah orang-orang yang sudah dewasa, bahkan wajah laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun!
Karena tubuh mereka yang kerdil itu amat pendek, mereka kelihatan kuat dan kokoh, wajah mereka keruh dan marah,
mengandung kekejaman dan di tangan mereka tampak senjata yang bermacam-macam, senjata yang aneh-aneh tidak
lumrah senjata umumnya. Gerakan mereka ketika mengurung dan bergerak mengelilingi Swat Hong juga amat aneh,
kadang-kadang tumit mereka diangkat, kadang-kadang mereka bergerak sambil berjongkok sehingga menjadi makin
pendek seperti kakat, kadangkadang berloncatan! "Kalian mau apa? Pergi....!!" Swat Hong membentak dan mengirim
tendangan berantai ke arah empat orang katai terdekat akan tetapi batapa heranya ketika melihat empat kali
tendangannya yang beruntun itu mengenai angin kosong karena dengan gerakan yang aneh dan cekatan sekali, empat
orang kerdil itu telah mampu mengelah, bahkan hampir saja ujung sepatu kiri Swat Hong terbabat sebatang pedang
yang bentuknya seperti gergaji! "Hati-hati, Sumoi. Mereka bukanlah lawan lemah." Sin Liong berbisik dan pemuda
ini sudah menyambar sebatang kayu dahan pohon, mematahkannya dan membuat sebatang alat pemukul sebesar lengan.
"Kita hadapi mereka dengan saling melindungi," kembali Sin Liong berbisik. Swat Hong adalah seorang dara yang
keras hati dan tidak mengenal artinya takut akan tetapi melihat hasil tendangannya tadi, dia pun maklum bahwa
rombongan orang kerdil ini tidak boleh di buat main-main, maka dia cukup cerdik untuk mentaati bisikan
suhengnya dan mereka lalu berdiri tegak, memasang kuda-kuda dengan pungung saling membelakangi hampir
bersentuhan. Swat Hong memegang pedang dengan tangan kanan yang diangkat, sedangkan tangan kiri dengan
jari-jari terbuka, miring di depan dada. Sin Liong pun memasang kuda-kuda yang sama, hanya bedanya, dia
memegang alat pemukulnya dengan tangan kiri. Keduanya berdiri diam tak bergerak sama sekali, hanya mata mereka
yang melirik ke kanan kiri mengikuti setiap gerak-gerik para pengurung mereka. "Harap Cuwi jangan salah paham,"
Sin Liong berseru nyaring, "Kami datang bukan untuk memusuhi Cuwi sekalian atau siapapun juga di tempat ini.
Kami datang karena tersesat hendak mencari Rawa Bangkai. Kalau Cuwi dapat memberi tahu di mana adanya Rawa
Bangkai, kami akan berterima kasih sekali." Akan tetapi, orang-orang kerdil itu tetap saja bergerak maju
mengelilingi mereka sambil berjingkrak dan membuat gerakan aneh-aneh. Dua orang muda mudi itu tetap berdiri
tegak, sama sekali tidak bergerak namun semua urat syaraf di tubuh mereka menegang dalam persiapan. Seorang di
antara orang kerdil itu, sambil terus mengelilingi mereka berdua, bertanya, "Mau apa kalian mencari Rawa
Bangkai?" Kini Swat Hong yang sudah hilang sabarnya itu menjawab dengan bentakan, "Orang-orang kerdil
menjemukan! Kami mencari seorang yang bernama The Kwat Lin!" Mata orang-orang itu melotot namun mereka masih
tetap mengelilingi dua orang muda itu dan orang yang memegang sebatang golok besar bercincin empat agaknya
pemimpin mereka, yang mukanya berseri dan kumisnya kecil melintang, bertanya lagi, "Mau apa mencari The Kwat
Lin?" "Mau kubunuh mampus!" Jawaban Swat Hong ini seperti merupakan aba-aba saja karena mendengar mereka
memekik aneh dan kedua orang itu terpaksa harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantung karena pekik-pekik
aneh itu merupakan penyerangan luar biasa melalui suara yang disertai khingkang. Tentu saja dua orang muda yang
memiliki kesaktian hebat dari Pulau Es itu tidak dapat begitu mudah dikalahkan hanya dengan pekik-pekik itu.
Melihat betapa dua orang muda itu sama sekali tidak terpengaruh, tiba-tiba Si pemegang golok bercincin
berteriak dan mulailah tiga puluh enam orang kerdil itu menyerang dengan cara aneh, yaitu sambil lari mereka
menyerang, tampaknya sambil lalu saja akan tetapi karena banyak senjata yang menyerang, tentu saja amat
berbahaya. Sin Liong menggerakkan tongkat pendek melindungi diri, sedangkan Swat Hong juga menangkis dengan
pedangnya sambil mengerahkan tenaga sinkangnya. "Trang-trang-cringggg...!!" Bunyi senjata tajam bertemu dan
terdengar pekik kaget dari beberapa orang kerdil karena senjata mereka yang tertangkis oleh tongkat pendek dan
pedang itu membalik, bahkan ada empat orang yang terpaksa melepaskan senjata dari pegangan tangan mereka yang
terasa tergetar hebat dan panas itu. Orang-orang kerdil itu ternyata cerdik sekali. Pertemuan senjata satu kali
itu saja cukup membuat mereka maklum bahwa dua orang muda yang mereka keroyok itu memiliki kekuatan sinkang
yang hebat, jauh melebihi mereka maka mereka lalu mengurung dan menyerang bertubi-tubi, bergantian tanpa mau
mengadu senjata lagi. Setiap senjata mereka ditangkis, mereka menarik kembali senjata itu dan sudah ada
temannya yang melanjutkan serangan dari arah lain. "Suheng, biar kubasmi setan-setan pendek ini!" Swat Hong
menjadi tidak sabar dengan cara suhengnya mempertahankan dan melindungi diri saja itu yang dianggapnya terlalu
mengalah dan terlalu "memberi hati" kepada para pengeroyok yang menjemukan hatinya itu. Sebelum Sin Liong
menjawab, Swat Hong sudah meloncat ke depan mengeluarkan suara melengking yang tinggi dan dahsyat, pedangnya
berkelebatan dan disusul dorongan tangan kiri yang mengandung tenaga Inti Salju, maka terdengarlah pekik
berturut-turut dan robohlah lima orang kerdil, yang dua orang terkena sambaran pedang, yang tiga lagi roboh
oleh dorongan tangan kiri dan terjangan kaki Swat Hong! Kacaulah pengeroyokan itu karena dapat dibayangkan
betapa kaget dan gentarnya hati para orang kerdil ketika dalam segebrakan saja setelah gadis itu membalas, di
pihak mereka roboh lima orang! Belum lagi pemuda yang kelihatan lebih lihai itu bergerak menyerang! Kalau
begini keadaannya, tentu mereka akan roboh semua. Si kerdil Bergolok yang memimpin mereka, segera mengeluarkan
suitan aneh dan gerombolan itu lalu melarikan diri, sambil membawa lima orang teman mereka yang terluka, Si
Pemegang Golok berteriak, "Hai, dua orang muda sombong, kalau memang gagah, ikutlah kami dan lawanlah majikan
kami The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li!" "Suruh mereka keluar menemui kami!" Swat Hong membentak. "Heh-heh,
engkau takut kami jebak, ya? Orang gagah macam apa kamu itu?" Si Pemegang Golok mengejek. "Keparat, siapa
takut?" Swat Hong melompat dan mengejar. "Sumoi....!" Sin Liong memperingatkan, akan tetapi Swat Hong tentu
saja tidak mau peduli karena dia sudah marah sekali, apalagi mendengar nama The Kwat Lin, dia sudah bersemangat
dan ingin segera berhadapan dengan musuh besarnya itu. Melihat sumoinya terus mengejar, terpaksa pula Sin Liong
juga meloncat dan berlari cepat mengejar. Orang-orang kerdil itu berlari terus mendekati lereng bukit, keluar
dari hutan memasuki daerah yang tandus berbatu-batu dan di situ terdapat banyak gua batu yang besar-besar, dan
dari luar tampak menghitam karena di sebelah dalam gua tidak memperoleh matahari sehingga amat gelap. Dari
belakang Sin Liong melihat betapa orang-orang kerdil itu bagaikan rombongan semut saja dengan sigapnya
berloncatan memasuki gua-gua di sekitar itu, akan tetapi sebagian banyak memasuki sebuah guha terbesar dan yang
berada di tengah-tengah di antara semua gua. "Sumoi, berhenti dulu! Ini bukanlah sebuah rawa!" teriak pula Sin
Liong, akan tetapi terlambat karena Swat Hong dengan penuh semangat telah menerjang masuk dan lenyap ke dalam
gua besar. "Ah, Sumoi terlalu bersemangat sehingga sikapnya sembrono dan berbahaya," Sin Liong mengomel dan
terpaksa dia pun cepat mengejar memasuki guha besar itu. Guha itu gelap sekali, gelap dan sunyi. "Sumoi....!!"
Dia berteriak memanggil, akan tetapi hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari berbagai jurusan! Dia
terkejut dan dapat menduga bahwa gua itu merupakan terowongan yang bercabangcabang. Dia maju terus dan benar
saja dugaannya, gua yang gelap itu merupakan lorong dan akhirnya tiba di depan terowongan yang bersimpang tiga!
"Sumoi....!!" Dia berteriak lagi dan jauh dari depan, terdengar jawaban gema suaranya sendiri lima kali
berturut-turut! "Celaka," pikirnya, "Kita telah terjebak!" Akan tetapi karena dia harus dapat menemukan
sumoinya yang dia khawatirkan terjeblos ke dalam perangkap orang-orang kerdil. Sin Liong tanpa ragu-ragu
memilih jalan ke kanan. Setelah kini matanya terbiasa, ternyata terowongan itu tidaklah terlalu gelap benar.
Ada sinar matahari yang masuk dan memantul sampai ke dalam terowongan, entah dari mana masuknya sinar itu. Dia
berjalan agak cepat ke depan dan terowongan yang dipilihnya itu ternyata berakhir pula dengan simpangan, kini
simpang empat! "Aihhh....!" dia mengeluh lalu mengerahkan khingkangnya berteriak memanggil, "Sumoi....!" Gema
suaranya mengaung dan membuat panggilannya itu tidak jelas lagi, mirip auman suara harimau marah! Dia lari
memasuki terowongan sebelah kiri setelah meneliti ke bawah tidak melihat bekas tapak sepatu sumoinya saking
banyaknya tapak kaki di situ, tapak kaki kecil-kecil dari orang-orang kerdil. Terowongan ini panjang sekali,
menurut taksirannya tentu tidak kurang dari dua li jauhnya dan hatinya makin risau. Sudah begini lama dan jauh
dia mengejar dan mencari Swat Hong, akan tetapi bekas dan jejaknyapun belum ditemukan. "Sumoi....!!" Dia
berteriak lagi kuat-kuat ketika lorong itu berakhir di sebuah ruangan bawah tanah atau dalam gunung yang cukup
lebar. Sebagai jawabannya, tiba-tiba terdengar suara berdesingan dan dari depan, kanan dan kiri menyambar
sinar-sinar hitam. Pandang mata yang tajam dari Sin Liong dapat melihat bahwa benda-benda bersinar itu adalah
anak panah-anak panah yang dilepas dari tempat rahasia. Cepat dia memutar tongkat pendek yang berubah menjadi
segulung sinar yang melindungi seluruh tubuhnya. Sampai beberapa lama dia menangkis dan akhirnya penyerang
gelap itu pun berhenti. Di ruang itu kini penuh dengan anak panah hitam yang agaknya beracun. Dia bergidik.
Bagaimana nasib sumoinya di tempat berbahaya ini? "Sumoi....!!" Dia segera membalikan tubuhnya karena ruangan
itu merupakan jalan buntu, lalu berlari kembali melalui terowongan yang panjangnya ada dua li itu sampai dia
tiba di jalan simpang empat tadi, kini dia melihat terowongan kedua sambil berteriak-teriak memanggil nama
sumoinya. "Swat Hong....! Han Swat Hong....!!" Panggilan ini dia lakukan dengan pengerahan khikang sekuatnya
sehingga dinding terowongan itu menjadi tergetar karenanya. Namun tidak ada jawaban melainkan gema suaranya
sendiri yang melengking panjang. Sin Liong menjadi panik, matanya terbelalak dan mukanya pucat. Baru sekali ini
dia merasa sedemikian gelisahnya dan dia menyesali diri sendiri mengapa dia tadi tidak melarang sumoinya
memasuki gua-gua rahasia penuh jebakan ini, kalau perlu melarang dengan kekerasan! Dia berlari terus dengan
hati gelisah, akan tetapi dengan kewaspadaan penuh karena dia maklum bahwa tempat itu merupakan tempat rahasia
yang amat berbahaya, perpaduan antara kekuasaan alam dan manusia. Tak mungkin tangan manusia membuat gua-guh
dan lorong-lorong batu dalam gunung ini, akan tetapi hasil ciptaan alam ini dipergunakan oleh manusia,
diperbaiki dan bahkan dipasang jebakan-jebakan yang jahat! "Haiiitttt!" Sin Liong cepat meloncat ke atas, lalu
meluncur kembali ke belakang sambil berjungkir balik dan jatuh berdiri kembali di jalan yang telah dilalui,
terbelalak memandang ke depan. Kiranya secara tibatiba sekali, tentu digerakan oleh alat rahasia yang terinjak
olehnya tadi ketika berlari, di depannya telah terbuka lubang yang panjang ada tiga meter, terbuka tiba-tiba
sehingga kalau dia tadi tidak berhasil dan lari terus, tentu akan terjeblos ke dalam jurang itu. Terdengar
suara mendesis-desis dari dalam lubang yang hitam gelap, akan tetapi desis itu dan bau hamis membuat Sin Liong
bergidik dan tahulah dia bahwa di dalam lubang itu terdapat banyak ular berbisa! Jebakan yang amat keji!
"Keparat....!" desisnya dengan marah melihat kekejaman manusia kerdil itu yang tidak segan mempergunakan cara
yang amat menjijikkan untuk mengalahkan lawan. Dia melompati lubang itu dan melanjukan larinya. Ketika dia
berjalan satu li lebih, lorong itu pun berhenti di jalan batu yang merupakan sebuah ruangan besar pula, bahkan
ruangan ini cuacanya cukup terang, entah memperoleh sinar dari mana, agaknya ada lubang-lubang dari mana sinar
matahari dapat masuk. Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar
biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia
sudah tua dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar sedangkan kumis dan jenggotnya
panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain. Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang
bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin Liong memandang penuh
perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk
dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang
kerdil lain yang tubuhnya amat tegap besar membayangkan kekuatan. Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya
mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan berewok tebal menghitam. Kedua orang ini dari tubuh atas sampai
ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dari pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga
kelihatan aneh dan lucu. Orang Ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang
sebatang toya yang lebih panjang dari pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang
senjata yang baik. Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biarpun dilanda
kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-locianpwe sudi
memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan
Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya
berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi." Dua orang kakek itu
saling pandang dan melihat betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama
sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya, mereka tertawa dan kakek berjenggot yang
rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada
permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoimu itu?" "Namaku Kwa Sin Liong
dan....sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini." "Kalau begitu mengapa mencari
The Kwat Lin Lihiap?" "Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang amat sekali tidak menyangkut
diri orang lain." Kembali dua orang kekek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami
bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian
adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami keksengsaraan seperti
Sumoimu." Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan
The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoinya. "Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?"
bentaknya. "Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu
menjawab. Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali dan dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.
"Sing....siuuuut.... trang-trang....!!" Dua orang kakek itu sudah menggerakan pedang dan toya, cepat dan kuat
sekali gerakan mereka. Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong murid utama Raja Pulau Es
yang telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat, maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah
menggerakan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras
karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka
seperti hampir membeku! Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan
mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa
tidak tega untuk membunuh orang, maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan
dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan kiri, lalu dengan berani dia
menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong! Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap
toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan
telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! Ji Bhong
berteriak dan mengerahkan tenaga membetot kembali pedangnya untuk menyayat tangan lawan yang menggenggamnya,
akan tetapi betapapun ia mengerahkan tenaga, pedang itu tetap tidak bergerak sedikit pun dari genggaman Sin
Liong. Demikian pula kakek brewok yang membetot-betot toyanya, percuma saja, Sin Liong kembali memekik keras,
kedua tangannya bergerak sedikit dan...tubuh kedua orang kakek itu terlempar membentur dinding kanan kiri! Hawa
pukulan yang dingin dan kuat sekali keluar melalui kedua senjata itu dan menyerang melalui lengan mereka
masingmasing dan memukul dada, membuat dada terasa sakit dan napas mereka sesak. Keduanya bersandar dinding,
terengah-engah dan terbelalak memandang pemuda luar biasa itu dan tiba-tiba mereka lenyap melalui pintu kecil
yang terbuka secara aneh. "Kalian hendak lari ke mana?" Sin Liong meloncat dan mengejar ke kiri, namun dinding
itu sudah tertutup kembali dan kakek berjenggot panjang dan kakek brewok itu telah lenyap dari dinding kanan
kiri. Sin Liong menancapkan pedang di atas lantai, lalu menggunakan toya rampasannya menghantami dinding kiri,
namun hanya batu permukaan saja yang remuk, sedangkan dinding tebal itu tetap utuh. Akhirnya Sin Liong membuang
toyanya, menghapus peluhnya dan mengerutkan alis. Tempat ini amat berbahaya dan sukar dilalui, bagaimana dia
akan dapat menolong Swat Hong? Teringat akan sumoinya ini, dia menjadi panik lagi. Andaikata sumoinya berada di
sampingnya saat itu, tentu pemuda ini tidak menjadi bingung dan akan tetap tenang saja. Akan tetapi
membayangkan betapa sumoinya terancam bahaya, benar-benar menggelisahkan hatinya. Dia merasa bertanggung jawab
akan keselamatan sumoinya, dan dia merasa seolah-olah mendengar suara ayah bunda dara itu mencelanya mengapa
dia sampai membiarkan dara itu terancam bahaya. Sin Liong menghampiri dinding kiri, lalu memeriksa, tangannya
meraba-raba. Lebih satu jam dia menyelidiki, akhirnya secara tidak sengaja tangannya meraba sebuah di antara
puluhan batu menonjol di dinding itu! Cepat dia menyambar pedang rampasannya dan sekali bergerak, tubuhnya
sudah menyelinap melalui lubang rahasia itu dan... dia bingung lagi karena kiranya di sebelah sana dinding batu
itu pun hanya merupakan sebuah lorong lain lagi! Dan tidak tampak jejak kekek yang menjadi ketua bangsa kerdil
tadi. Kembali dia berjalan dengan ngawur, tidak tahu akan dibawa ke mana oleh lorong yang dilaluinya ini. Entah
berapa banyak lorong yang dilaluinya dan kini dia bahkan tidak tahu lagi mana jalan keluar. Dia pun tidak ingin
keluar sebelum dapat menolong Swat Hong! Dan cuaca makin gelap, dia pun teringat bahwa mungkin sekarang di
"dunia luar" sudah mulai senja. Bagaimanapun juga, dia tidak akan keluar sebelum menemukan Swat Hong. Sin Liong
berjalan terus, ke mana saja asal bergerak dan dia memperhatikan lorong yang dilaluinya agar jangan melalui
sebuah lorong untuk kedua kalinya. Keadaan makin gelap dan akhirnya dia hanya dapat melangkah maju dengan
meraba-raba. Tiba-tiba tampak sinar terang di depan, menembus kegelapan yang mengerikan itu. Sin Liong
melangkah maju menuju ke sinar terang tadi. Akan tetapi tiba-tiba dia menahan langkahnya. Tidak salah lagi,
sinar terang itu tentulah api yang sengaja dibuat orang kerdil untuk memancing dan menjebaknya! Betapapun juga,
dia tidak takut. Dengan hati-hati dia bergerak lagi melangkah maju menghampiri sinar yang ternyata kini tampak
olehnya adalah sebatang obor yang gagangnya tertancap di dinding. Dan anehnya, kakinya yang melangkah hati-hati
tidak menemui jebakan apa-apa sampai dia tiba di tempat obor itu. Apa artinya ini? Mengapa mereka memberi
sebatang obor itu kepadaku? Sin Liong tidak perduli, lalu mengambil obor itu dan diam-diam berterima kasih
sekali karena memang keadaan cuaca yang amat gelap itu membuat dia butuh sekali akan sebatang obor. Kini dia
dapat melanjutkan usahanya mencari Swat Hong. Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara
mendengung dari belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya
mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sananya kelihatan hitam pekat. Akan tetapi suara
itu makin lama makin keras dan akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil
yang mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang berterbangan, Seakan
berlomba untuk mencapai sinar terang itu. Sinar api obor itulah yang menarik lebah-lebah itu dan Sin Liong
maklum sekarang mengapa mereka memberikan sebatang obor. Tentu untuk menarik lebahlebah itu, dan kalau
lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya
mengandung bisa yang mematikan. Dia sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil
sehelai saputangan, menyelipkan pedang di pinggangnya, dan menggunakan saputangan yang diputar-putar untuk
mengusir lebah-lebah itu. Namun, tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebahlebah
itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan saputangan ini. Biarpun mereka tidak dapat
menyerang Sin Liong karena terhalang saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong,
menanti saat baik untuk menyerang! Celaka, pikir Sin Liong. Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman
hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini?
Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah
batu dinding, lalu pergi menjauh. Ternyata lebahlebah itu tidak lagi mepedulikannya setelah dia tidak memengang
obor, dan kini binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor. Sin Liong duduk bersandar
dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu api, makin lama makin banyak.
Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu
api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri masal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari
dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak. "Aduh....! Aduh, mati aku....!" Ini adalah
siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah.
Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun. Kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat
memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi
keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu! Semalam Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada
orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakanuntuk beristirahat dan biarpun dia sama
sekali tidak dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gel isah memikirkan Swat Hong seperti itu?
Betapapun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong
di dalam hutan. Dia menghela napas panjang. Biarpun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti,
sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan
cintakasihnya kepadanya. Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh
pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti
ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakit hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia
tidak mencita gadis itu, tidak mencinta seperti di harapkan gadis itu. Tidak mungkin dia mau melibatkan diri ke
dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Lihat
saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana
dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih berahi seperti itu. Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi
gila karena kematian isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan
kesengsaraan. masih banyak lagi contohcontoh. Cinta kasih yang terdorong oleh berahi dan kesengsaran ini pasti
akan disusul dengan keinginan memiliki, menguasai dan mengikat. Pengikatan diri inilah yang akan mencelakakan,
yang akan menimbulkan duka karena kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain.
Pengikatan diri kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya
sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan. Yang paling menimbulkan sesal
dalam hati Sin Liong adalah kenyataan bahwa penolakannya terhadap cinta kasih gadis-gadis itu tentu akan
mendatangkan kekecewaan kepada mereka, namun dia pun yakin bahwa kekecewaan itu pun hanya akan sementara saja
sifatnya. Kalau mereka, termasuk Swat Hong, sudah tertarik kepada seorang laki-laki lain, kekecewaan itu pun
akan lenyap tanpa bekas lagi. Cuaca tidak segelap tadi, tanda bahwa agaknya malam telah terganti pagi. Untuk
melanjukan siasatnya, Sin Liong lalu merebahkan diri di bawah obor yang telah padam rebah di antara
bangkai-bangkai lebah yang hangus. Tak lama kemudian jantungnya berdebar karena telinganya yang menempel lantai
mendengar suara-suara gerakan kaki. Ada orang-orang datang menghampirinya! Tepat seperti yang diharapkannya,
muncullah dua orang kakek itu bersama enam orang kerdil lain. Mereka segera menghampiri dan merubungnya, bahkan
ada tangan yang menyentuh dada dan pergelangan tangannya. Cepat Sin Liong menggunakan ilmunya, menghentikan
detak jantung dan pernapasannya. "Dia telah mati....!!" Terdengar suara di atasnya. Dia tidak melihat siapa
yang bicara karena dia rebah miring. "Kita laporkan kepada Lihiap!" terdengar suara kekek berjenggot panjang.
Pada saat itu, Sin Liong membalikan tubuhnya, tangannya menyambar dan dia telah menangkap lengan seorang
kerdil, lalu menotoknya roboh. Tujuh orang kerdil yang lain terkejut sekali, berloncatan dan lenyap di balik
dinding melalui pintu-pintu rahasia, meninggalkan Si Kerdil yang telah roboh tertotok. Memang Sin Liong hanya
membutuhkan seorang saja. Dia lalu mengangkat bangun orang itu, membebaskan totokannya dan menghardik, "Hayo
tunjukan aku di mana temanku wanita itu ditawan!" Orang kerdil itu menjadi pucat dan menggeleng-geleng
kepalanya. "Aku..... aku tidak tahu...." "Bohong! Hayo katakan, aku hanya ingin menolong dan membebaskannya.
Kalau kau mengaku terus terang, aku akan membebaskanmu." "Aku.... aku tidak berani...." kemudian orang itu
berkata, suaranya mengandung rasa takut dan dia menoleh ke kanan kiri seolah-olah takut kata-katanya terdengar
oleh dinding di kanan kirinya. "Hemm, aku tahu. Kalau kau mengaku, engkau takut dihukum oleh atasanmu. Akan
tetapi kau menunjukan tempat itu karena kupaksa dan mereka tentu tahu akan hal itu." "Aku... aku takut.....
takut disiksa...."orang itu berkata setengah menangis Sin Liong menjadi gemas. Orang yang pengecut ini memaksa
dia harus mengeraskan hati. Apa boleh buat, demi keselamatan Swat Hong! Dia lalu menggunakan jarinya memijit
tengkuk orang itu, memijit jalan darah sambil berkata, "Kau hanya takut kepada mereka dan tidak takut kepadaku?
Nah, kautunjukan atau kubiarkan kau tersiksa seperti ini selama hidupmu!" Orang itu menyeringai, makin lama
makin lebar dan tubuhnya mengeliat-geliat menahan rasa nyeri yang menyerang tubuhnya. Akan tetapi, rasa nyeri
itu tidak dapat ditahannya lagi dan dia roboh terguling, menggeliat dan berkelojotan seperti orang sekarat,
mulutnya merintih, "Bebaskan aku.... atau bunuh aku saja..." Sin Liong merasa kasihan sekali, akan tetapi dia
mengeraskan hatinya. "Aku tidak akan membunuhmu dan juga tidak akan menyembuhkanmu. Kalau kau tidak mau
menunjukan tempat sahabatku itu, selama hidup kau akan menderita seperti ini!" "Tolong.... aduhhhh... baik,
kutunjukkan tempatnya.... tapi .... tapi bebaskan dulu aku......" Girang bukan main rasa hati Sin Liong. Dengan
beberapa totokan dia membebaskan orang itu yang segera menggeliat dan memijit-mijit dadanya, kemudian memandang
kepada Sin Liong penuh rasa takut dan ngeri. "Aku akan menunjukan tempatnya, akan tetapi....kau harus tahu
bahwa kalau gadis itu sudah mati, maka bukanlah aku pembunuhnya." Tentu saja kata-kata ini membuat Sin Liong
terkejut bukan main. Dia tidak mau banyak bicara lagi, melainkan berkata dengan suara terengah . "Lekas....
tunjukkan....!" Dan dia menyambar pergelangan tangan orang itu agar jangan sampai melarikan diri melalui
tempat-tempat rahasia. Orang kerdil itu mengajak Sin Liong berlari melalui lorong-lorong dan ternyata
lorong-lorong itu amat ruwet bangunannya, berbelit-belit dan banyak sekali persimpangannya. Pantas saja dia
tidak berhasil, pikir Sin Liong dan merasa kagum. Lorong rahasia ini memang amat hebat. Akhirnya setelah
melalui jarak yang kurang lebih lima li jauhnya, tibalah mereka di dalam lorong yang tidak rata, lebar sempit
dan di situ banyak terdapat gundukan-gundukan batu pedang dandari atas bergantungan pula batu-batu yang
runcing. Mereka berada di dalam guha-guha besar yang berbeda sekali dengan guha-guha darimana Sin Liong dan
Swat Hong masuk.


JILID 19


"Di mana tempatnya?" Sin Liong bertanya, suarnya gemetar karena dia merasa tegang sekali. Benarkah bahwa Swat
Hong terancam nyawanya dan mungkin sekali sudah tewas? Hampir dia memekik untuk melampiaskan kekhawatirannya.
Tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! "Di mana dia? Hayo katakan!" Dia mengguncang tangan orang kerdil itu. Tubuh
orang itu menggigil. "Dia... di dalam guha sana itu.... lihat, di sana ada lubang besar, bukan?" "Hayo kita ke
sana!" "Tidak.... tidak, aku takut....! Mereka menjebaknya di sana, tempat itu adalah sarang laba-laba raksasa
yang mengerikan. Kurasa dia sudah tewas ....." Sin Lion tidak perduli dan menyeret orang itu menuju ke lubang
besar yang berada di sebelah kiri lorong, melalui bantu-batu menonjol yang ujungnya seruncing pedang. Setelah
tiba di situ, tiba-tiba dia mendengar suara lirih. "Sumoi....!" Dia berteriak. "Suheng.... aihhhh....
Suheng....!" Terdengar suara tangis. Swat Hong yang menangis. Masih hidup! Hampir Sin Liong bersorak saking
girangnya dan dia mendorong orang kerdil itu sampai terguling-guling lima meter jauhnya. Orang kerdil itu
merangkak dan pergi akan tetapi Sin Liong tidak memperdulikannya lagi. Dia sudah memasuki guha dan terus ke
dalam, membelok ke kiri, ke arah suara Swat Hong. Tiba-tiba dia terbelalak, otomatis dia memasang kuda-kuda
dengan pedang tiangkat tinggi-tinggi dan tangan kiri siap di depan dada. Matanya yang terbelalak memandang
tajam kepada seekor laba-laba raksasa sebesar kerbau, dengan sepasang anggauta bulat seperti mata melotot
kepadanya. Di belakang laba-laba itu tampak sarang laba-laba yang bukan main besarnya, benag sarang laba-laba
itu sebesar jari-jari tangan, nampak kuat sekali dan di tengah-tengah sarang itu, tubuh Swat Hong menempel
dengan kedua lengan terpentang, juga kakinya agak terpentang dan bagian tubuh dara itu agaknya melekat kepada
sarang itu, tak dapat dilepaskan lagi. Gadis itu menangis ketika melihatnya dan hanya dapat berkata,
"Suheng....., cepat kau bunuh binatang menjijikan itu....!" Sin Liong mencium bau harum yang aneh dan keras,
dan maklumlah dia bahwa tempat itu penuh dengan hawa beracun! Laba-laba ini selain besar sekali juga beracun.
Heran dia mengapa Swat Hong masih dapat hidup, akan tetapi dia tidak memperdulikan atau memusingkan hal itu,
yang penting adalah menolong sumoinya. "Tenanglah, Sumoi. Aku segera menolongmu," katanya dengan suara gemetar
saking girang dan terharunya Laba-laba itu memandang buas. Begitu melihat Sin Liong, dia merangkak maju dengan
cepat sekali dan tiba-tiba, berbarengan dengan gerakan kaki depan dan mulutnya, sinar putih menyambar ke arah
Sin Liong. Itulah benang besar yang mengandung daya lekat luar biasa sekali, Sin Liong menggerakan pedang
rampasannya dan tali putih itu terbabat putus, kemudian dia melangkah maju, mengelak dari sambaran tali ke dua
kemudian dari samping dia menggerakan kaki menendang. "Desss....!!" Betapa besar pun ukuran tubuh binatang itu,
namun terkena tendangan kaki Sin Liong, dia terlempar, terbanting pada dinding batu, terhuyung-huyung lalu
menghamburkan banyak benang putih ke arah Sin Liong. Pemuda perkasa ini meloncat untuk mengelak dan ketika dia
memandang lagi, ternyata laba-laba itu telah lari menghilang melalui sebuah lubang di celah-celah dinding batu.
Cepat Sin Liong menghampiri Swat Hong, berusaha menurunkan tubuh gadis itu, akan tetapi ternyata sukar sekali
karena sarang itu mengandung daya lekat yang dapat merobek pakaian Swat Hong. Sin Liong menggerakan pedangnya
karena dia melihat bahwa sarang itu tergantung pada benang-benang pokok terbesar yang malang melintang dan
melekat pada tanah dan pada langit-langit guha. Pedangnya menyambar-nyambar dan runtuhlah sarang itu, membawa
tubuh Swat Hong terjatuh ke bawah. Gadis itu telah lemas sekali dan tentu akan terbanting kalau saja tidak
disambar oleh Sin Liong. Pemuda itu membersihkan benang-benang laba-lana itu dan memondong tubuh sumoinya yang
lemas menjauhi tempat itu. Ketika dia tiba di bagian yang lebar dari lorong itu, dia menurunkan sumoinya yang
duduk bersandar batu. "Bagaimana keadaanmu, Sumoi?" tanyanya sambil memeriksa nadi lengan sumoinya. Detik
jantungnya lemah, mukanya pucat dan tenaganya habis, akan tetapi yang mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa
sumoinya itu telah keracunan! "Untung.... untung kau datang, Suheng.... kalau tidak.....aku sudah hampir tidak
kuat....." Gadis itu tiba-tiba merangkul dan menangis dipundak Sin Liong. Pemuda itu membiarkan saja Swat Hong
menangis. Tak lama kemudian dia berkata, "Laba-laba itu beracun, kau terkena hawa beracun, akan tetapi berapa
lama kau tertawan seperti itu?" "Sejak malam tadi....... ahhhh, mengerikan sekali, Suheng...." "Sudahlah, mari
kubantu engkau mengusir hawa beracun yang mengeram di tubuhmu." "Nanti dulu aku harus menceritakan dulu
kepadamu....." Swat Hong berkata terengah-engah, "ceritaku akan dapat mengusir kengerian yang masih
mencengkeram hatiku suheng." Sin Liong mengangguk. Menurut halis menyelidikan tadi, biarpun terserang hawa
beracun namun keadaan Swat Hong tidak berbahaya dan malah lebih berbahaya ketegangan dan pukulan batin yang
dideritanya selama satu malam itu. Memang menceritakan kengerian yang mencengkeram merupakan obat mujarab pula,
seolah-olah kengerian yang ditahan-tahan itu memperoleh jalan keluar dan dapat meringankan hati yang tertekan.
"Aku mengejar mereka dan mereka itu lenyap. Aku penasaran dan mencari terus, selalu tampak berkelebatnya
bayangan mereka sehingga pengejaranku terarah. Aku sama sekali tidak mengira bahwa mereka memang memancingku ke
tempat ini. Ketika aku melihat bahwa cuaca mulai gelap, aku melihat pula sinar api di depan dan terus aku
mengejarnya. Kemudian, di antara sinar obor aku melihat beberapa orang kerdil lari memasuki guha ini. Aku cepat
mengejar dan melihat bayangan mereka dekat sekali. Kupikir asal dapat menangkap seorang diantara mereka dan
memaksanya menjadi petunjuk jalan, tentu beres. Maka melihat bayangan mereka begitu dekat di dalam guha ini,
aku menerjang dan melompat maju, bermaksud menangkap seorang di antara mereka." in Liong mendengarkan penuh
perhatian dan diam-diam dia membandingkan pengalaman sumoinya dan pengalamannya sendiri. Ternyata jalan pikiran
mereka untuk menawan seorang lawan adalah sama, hanya sayangnya, sumoinya tidak tahu bahwa dia sedang dipancing
memasuki jebakan yang amat mengerikan. "Ketika aku meloncat itu, aku tidak tahu bahwa di depanku terdapat
sarang laba-laba itu. Tubuhku tertangkap, aku meronta-ronta namun laba-laba itu terus menambah tali-tali
mengerikan itu yang mempunyai daya melekat luar biasa. Aku meronta terus sampai kehabisan napas dan melihat
laba-laba itu begitu dekat, seolah-olah hendak menjilatku dan hendak menggigit, aku pingsan entah beberapa
kali." "Hemm, engkau masih untung dapat terhindar, Sumoi. Sungguhpun aku merasa heran sekali...." "Dapat
kaubayangkan betapa ngeriku, Suheng, ketika aku siuman, tak jauh dari situ terdapat obor yang mendatangkan
cahaya remang-remang amat mengerikan, dan aku terjerat sama sekali tak mampu bergerak, dan laba-laba itu ......
mendekati aku, lalu mundur kembali, mendekati lagi seperti ragu-ragu.....ihh, melihat kaki yang berbulu itu,
meraba-raba....." Swat Hong kembali menutupi mukanya dan terisak-isak. "Memang hebat sekali pengalamanmu,
Sumoi. Akan tetapi yang penting, engkau dapat terhindar. Hanya satu hal aku tidak mengerti, mengapa selama itu
laba-laba raksasa tadi tidak menggigitmu? Padahal dia amat berbisa." "Berkat inilah," Swat Hong mengeluarkan
sebuah batu sebesar kepalanya, batu yang berkilauan mengeluarkan cahaya hijau. "Ah kiranya engkau membawa bekal
Batu Mustika Hijau? Pantas! Tentu saja binatang itu tidak berani menggigitmu, bahkan setiap kali mendekat
menjadi ketakutan dan mundur kembali. Untung sekali, Sumoi. Sekarang, marilah kubantu engkau mengusir hawa
beracun dari tubuhmu." "Baik, Suheng.... aku...... ahhhh......" Tiba-tiba napasnya


bersambung 20............

0 komentar:

Posting Komentar