Rabu, 15 Mei 2013

Istana Pulau Es [7]

mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria yang dicintanya itu kini direbut lain wanita! Perlahan ia melangkah memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega, karena sekarang dia mendapat kawan! Sekarang rahasianya yang mencemaskan hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan yang takkan dapat ia jawab karena dua butir ait matanya menjadi bukti akan kebimbangan hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan di antara bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum, lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.
Suma Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga. Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
"Ahh, kalian benar-benar cantik jelita!" katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan mesra.
"Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?" Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda itu.
Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia merenung dan bibirnya bergerak perlahan. "Bahagia? Aku berbahagia....?" Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini, wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
"Jangan....! Jangan panggil ular...." Ia merintih.
Suma Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. "Bi-moi, kekasihku tercinta. Jangan takut, masa aku mau menakutkan engkau lagi?" Dia lalu meniup sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah air mata dari sepasang mata mereka. Lagu itu terdengar begitu sedih, menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian, suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka mulut bernyanyi.
"Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah anda!
serasa tampak anda mengintai
di balik kelopak bunga mengharum
menunggang cahaya matahari pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun....
setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan anda?
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan anda?"
Belum habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.
"Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan
dari badan?
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?"
Suma Hoat meloncat bangun, suling di tangannya, wajahnya berubah tegang karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang hebat sekali. Apalagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.
"Suhu....!" Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.
"Omitohud....!" Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak mereka bertemu pandang dan Kian Ti Hosiang lalu berkata,
"Sayang....! Sungguh sayang sekali....! Orang muda, kalau pinceng tidak salah sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?"
Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu, dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasai selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Agaknya, kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata,
"Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!"
"Oohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan malapetaka besar itu!
"Kau.... kau.... Suma Hoat....?" Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.
Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata,
"Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!"
Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding, "Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?"
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab,
"Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu."
"Ha-ha-ha! Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan, seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan, karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kaubasmi semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua, engkau mau bekerja apakah?"
Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat, tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau dan jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang. "Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat, bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau, Suma-sicu!"
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi, mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya, kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali, seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang nakal!
"Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai kedua orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk? Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman paling berat? Apakah ini belum cukup hebat?"
Kian Ti Hosiang tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. "Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma Hoat dan perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu."
"Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!"
"Suma Hoat manusia iblis!" Kam Siang Kui membentak marah sekali.
Suma Hoat tersenyum lebar. "Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu bermain cinta...."
"Jahanam!" Kam Siang Hui yang mendengar encinya dihina seperti itu, sudah tidak dapat mehahan lagi hatinya dan dia sudah menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sin-kang. Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
"Plak! Plak!" Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai juga, pikirnya. Adapun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap Kian Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
"Hemm, Kian Ti Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha membujuknya dengan kata-kata halus?"
"Suma Hoat, bocah celaka!" Kam Siang Kui kembali membentak.
"Harap Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia," kata Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang tadinya sudah meraba gagang pedang.
"Kian Ti Hosiang, pendeta pikun. Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?" Suma Hoat mengejek lagi dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah ingin semua orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
"Suma-sicu, pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan kebencianmu terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kaulakukan terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya."
Wajah Suma Hoat menjadi merah. "Kalau aku menolak?" Ia mengharapkan kemarahan pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai, adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. "Kalau engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu, orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh."
"Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepalanya. "Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup."
"Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. "Pinceng tidak takut kepada siapapun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran sendiri, Sicu."
"Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasihatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?"
Kian Ti Hosiang mengangguk tenang. "Omitohud....! Kalau dengan cara itu berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu, pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima syarat itu...."
"Locianpwe....!" Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat. "Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar? Biarkan kami membasminya!"
"Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng sudah melepaskan janji menerima syaratnya." Terpaksa kedua orang wanita itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang melangkah maju mendekati Suma Hoat. "Sicu, berjanjilah bahwa setelah memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu, tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik."
Hampir Suma Hoat tidak dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! "Apa? Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?"
Kian Ti Hosiang menggeleng kepala. "Pengorbanan ini masih terlalu murah. Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua perbuatan sesat."
Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh hwesio ini. "Baik, aku berjanji!" bentaknya.
"Nah, silakan memukul dua kali, Sicu." Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di depan dada seperti orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua tangannya, mengerahkan semua sin-kang di tubuhnya, disalurkan ke arah kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sin-kang yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan muka pucat. Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh besar di dunia persilatan. Akan tetapi, sikap hwesio itu keterlaluan, terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih menyakitkan hati daripada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan. Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sin-kang untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya maka kini Suma Hoat mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang. Angin dahsyat menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menggunakan ilmu pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan Tulang)!
"Krekkk! Krekkkk!" Cepat sekali datangnya dua kali pukulan yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat menahan.
"Kau.... kau....! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin mati.... terimalah ini....!" Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati daripada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak dilawan!
Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan sinar yang luar biasa.
"Desss....!" Telapak tangan Suma Hoat dengan tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh Suma Hoat terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun, mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main. Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!
"Janjinya hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?" Dengan tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sin-kang sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri. Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan mematikannya.
"Oohhh, bocah setan yang kejam....!" Kam Siang Kui menggeram.
"Manusia iblis yang patut dibasmi!" Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang,
"Ji-wi Toanio, harap jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!" Mendengar ini, kedua orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi,
"Bagaimana, Suma Hoat. Apakah engkau akan memegang janji?" Pertanyaan ini ditujukan kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah menjadi merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini? Dia merasa menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab,
"Locianpwe, aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang kotor, akan tetapi.... aku tidak yakin apakah akan berhasil...."
"Berhasil atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu."
"Aku berjanji, Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka. Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...."
Suma Hoat menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya. Liang Bi menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak terampunkan lagi. Ia menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoinya dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk dadanya sendiri sampai tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh merangkap kedua tangan depan dada sambil berkata, "Omitohud.... dosa ditambah dosa lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu Ji-wi." Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap dari situ.
Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya, melihat wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia bisa tertawa-tawa. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir air mata menetes dari matanya dan biarpun ia maklum bahwa dua orang wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya, Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.
"Bocah setan! Sudah lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya lebih jahat lagi!" terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
"Manusia iblis yang hanya mengotorkan dunia!" Kam Siang Hui juga berkata penuh kebencian, "Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!"
Suma Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih, akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum.
"Ji-wi Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biarpun aku terluka akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih sanggup!"
"Keparat bermulut busuk!" Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
"Plakkk!" Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biarpun ujung bibirnya berdarah oleh tamparan yang hebat itu. "Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti Hosiang, sekarang telah kaulanggar, bedebah!"
"Ha-ha, Toanio tidak adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena biarpun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih banyak pengalaman yang hebat-hebat....!"
"Plak-plak!" Kini Suma Hoat terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang menyesak di dada bersama luka akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti Hosiang tadi.
"Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...."
"Kubunuh engkau!" Kam Siang Hui membentak dan "srat!" pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.
"Hui-moi, tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu enak baginya kalau begitu," Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.
"Suma Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kauhina ini. Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu, Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!" Kam Siang Kui menarik tangan adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ahhhh....!" Suma Hoat menutup muka dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling pingsan!
"Aduhhh.... ampunkan aku.... kedua bibi.... ampunkan aku...." ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri, dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina mereka, bersikap kurang ajar sekali!
"Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin...."
Suma Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah menolongnya.
"Ahhh.... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau kau membiarkan aku mati...." Suma Hoat mengeluh ketika mendapat kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa sesak di dadanya.
"Jai-hwa-sian.... baru sekali ini selama hidupku aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti engkau kudapati pingsan di situ dan menerita luka dalam yang hanya dapat dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu masih belum aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta ampun. Aihhh.... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku yang amat mengagumimu, atau saudaramu.... ceritakanlah apa yang terjadi?"
Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya, tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!
Im-yang Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo keheranan. Kemudian, sambil terisak, Suma Hoat menceritakan semua riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci kepada wanita, benci di samping dorongan berahinya sehingga berubahlah dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan yang mengerikan.
Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.
"Aihhh...., betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah.... ah...., kiranya engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas.... pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh! Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya begitu rupa!"
Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka memandang sahabat barunya ini dengan sedih. "Dia mengorbankan diri semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....! Aku sudah terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...."
Akan tetapi Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian, dan di samping itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan Beng-kauw!"
Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada mereka.
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"
"Tidak tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja membuat dirinya lumpuh tak berdaya!"
"Eh, mengapa begitu?"
Im-yang Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya itu penuh perhatian. "Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang ke dua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja, untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama. Maka, dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu."
Suma Hoat terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. "Aihhhh....! Dan seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang ajar. Manusia macam apa aku ini?" Dia mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang Seng-cu menggeleng kepala. "Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu."
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?" Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya. Ia membalas pegangan itu dan berkata,
"Kedua bibimu berjuang untuk merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama. Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti yang sesat seperti Hoat Bhok Lama."
Timbul semangat Suma Hoat. Ia melompat berdiri dan wajahnya berseri. "Bagus sekali! Terima kasih atas nasihatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!"
Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali.
"Aku tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya, sahabatku!" Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.
***
Setelah sibuk membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat. Malam masih jauh, saat itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!
Akan tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat sikap yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka bergandeng tangan memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?
Dan ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki. Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia mengepalai banyak sekali pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es! Apakah suhengnya masih berada di sana? Dan sumoinya, Khu Siauw Bwee, apakah sumoinya itu pun berada di sana?
Teringat akan suhengnya, Maya melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa sumoinya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoinya kehendaki, melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!
"Maya...."
Dara perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu yang didudukinya, Maya berkata,
"Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?"
"Maya.... aku.... aku...." Ji Kun menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya "li-ciangkun".
"Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!"
Ji Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela napas dan berkata, "Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kauanggap aku telah berjasa dan melaksanakan tugasku dengan baik?" Maya mengerutkan kening, tidak tahu dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia mengangguk dan menjawab, "Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas dengan bantuanmu."
"Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh, semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu, Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!"
Maya membelalakkan matanya, dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang pemuda yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung menjawab keras,
"Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kaukira mataku buta tidak dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng dan menyatakan cinta kcpadaku?"
"Tidak! Kalau ada pertalian antara sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing, bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!"
"Sudahlah!" Maya berkata jengkel. "Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan terang-terangan?"
"Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku, tidak kasihankah engkau kepadaku?" Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri, membanting kaki dan membentak, "Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!"
"Maya, aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya, katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku sedikit harapan, Maya...."
"Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!"
"Maya.... apakah.... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya dan bertanya,
"Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!"
Sekali renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan sinar mata marah. "Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi mendengarnya lagi!" Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,
"Dan jangan lupa menyebutku ciangkun kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"
Ji Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suhengnya. Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah. Betapapun juga, tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti.... seperti dia mencinta Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan, memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu bahwa sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya, sumoinya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah, Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan pedangnya.
"Cring-cring....!" Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.
"Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!" bentak Maya.
"Aku harus membunuhnya!" Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
"Perempuan sombong, kaukira begitu mudah?" Ji Kun balas membentak.
"Tranggg.....!" Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.
"Berhenti kataku!" Maya menerjang lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat menyilaukan mata mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka mundur untuk mengelak.
"Kalian dua orang gila! Kita menghadapi serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo, kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!"
Melihat Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja. Keduanya saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut oleh Yan Hwa.
"Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi."
Yan Hwa menarik napas panjang. "Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf."
Hampir Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan pedangnya dan berkata, "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Apalagi kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di ujung pedang seperti musuh-musuh besar!"
"Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."
"Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati."
"Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?"
Kedua orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul, sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya. Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya? Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki sifat mata keranjang?
Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk membantu dengan pasukan serigalanya. Maya telah mengadakan kontak rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh, karena begitu mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan bersembunyi di balik awan hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu, dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka itu sama kuat. Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan belakang.
Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan-awan gelap menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga manusia.
Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan. Yang hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si gundul yang menjadi penggembala serigala itu! Pasukan berkuda dari bala tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya, Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah. Akan tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala liar yang langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat kuda tunggangan mereka panik ketakutan, serigala-serigala yang seperti manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga berloncatan merangkak seperti serigala, tentu saja pasukan yang bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi karena saat itu dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaan pasukannya. Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika ia menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang memberontak.
"Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!" bentaknya dan bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di atas kudanya ke depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng Kok. Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung pula dan mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala tentara Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya. Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan pedang seolah-olah hendak saling berlomba, berbanyak-banyakan membabat musuh! Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu barisan Mancu.
"Bala bantuan datang!" Teriakan ini berulang kali terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan pasukan Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka. Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan muridnya tertawa dan mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para perajurit menjadi gentar tidak berani mendekati mereka.
Sementara itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh, namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar. Kalau sekarang ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadaaan yang membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah mereka kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.
Akan tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia membalapkan kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee.
Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat perintah atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya, Suma Kiat membentak marah,
"Apakah kalian bertiga sudah menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"
Ong Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya dan menudingkan tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata,
"Suma Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu Tek San, engkau menjilat-jilat para thaikam dan bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami sekarang mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"
Muka Suma Kiat menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya mencelat dari atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk. Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak lenyap berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.
"Krekkkk! Desss!" Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada Panglima Ong Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi, Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api Beracun) yang ampuhnya menggila!
"Hayo kalian berdua lekas berlutut dan menarik kembali pasukan!" Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke arah mayat Ong Ki Bu.
Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.
Akan tetapi biarpun tiga orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul mundur. Melihat ini, Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara dahsyat.
"Ha-ha, bagus sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!" Can Ji Kun ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya selisih beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah menyerang tubuh panglima itu.
"Trang-trang....!" Suma Kiat terkejut bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan ia membentak,
"Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"
"Buka telingamu lebar-lebar!" Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan dada. "Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk mencabut nyawamu!"
Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan keluarga Suling Emas. Matanya melotot dan ia membentak,
"Kebetulan sekali! Aku tidak berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat membunuh kedua orang muridnya!"
Ia menerjang maju dengan dahsyat, menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.
"Ha-ha! Pedang kami yang akan menghirup darahmu!" Ji Kun mengejek dan menyambut serangan itu bersama sumoinya sambil balas menyerang karena di antara kedua orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah dulu!
Mutiara Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang murid mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa. Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget melihat sinar pedang yang mengandung hawa mujijat yang mengerikan!
Melihat keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk merobohkan para perajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput saja, cepat menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini keadaan menjadi berubah sama sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biarpun kedua orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya, namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah kedua orang itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang Yan Hwa.
Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat membuat keadaan perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir. Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan tubuh dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang pembantu panglima itu, Maya lalu cepat menghampiri mereka.
"Trangggg....!" Tubuh Suma Kiat terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek berdarah. Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking marahnya.
"Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?" bentaknya.
Maya tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat. "Benar, akulah Maya. Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan Yucen?"
Suma Kiat membelalakkan matanya. "Engkau....? Engkaukah.... Maya puteri Raja Talibu?" Diam-diam ia bergidik. Kiranya kini ia berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan dari Mancu! Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu, dia dan dua orang pembantunya sudah tidak dapat membebaskan diri. Ia melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.
"Persetan kalian! Mampuslah!" Kedua tangan panglima ini bergerak.
"Awas jarum berbisa!" Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya sambil mengibaskan lengan bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung di situ. Biarpun Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya cepat meloncat mendekati dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri Kwa-huciang.
"Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!" Maya berseru dan.... tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang seketika menjadi buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan, menggigit bibir menahan rasa nyeri.
"Biar kurawat sendiri lukanya, Li-ciangkun, lebih baik tangkap dia!" Ia menuding ke depan. Maya baru teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat sudah meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu dengan jari tangan di atas ubun-ubun!
"Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!" Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.
"Pengecut besar!" Maya berseru. "Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima macam apa engkau ini?"
Suma Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah. "Belum waktunya kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"
"Jangan dengarkan dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!" Pangeran Bharigan yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh keberanian, "Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, "Tahan!"
Kedua orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata, "Jiwa pahlawan Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?"
"Manusia rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu yang mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau masih memiliki slfat kegagahan!"
"Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar. Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula, bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah murid ibuku. Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?"
"Tak perlu banyak bicara, Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah, pilihlah!"
"Ha-ha-ha! Maya, engkau membela mati-matian kepada Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan! Aha, aku mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya? Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi isteri seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi permaisuri...."
"Keparat busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!" Pangeran Bharigan membentak marah sekali.
"Suma Kiat, bagaimana?" Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.
"Ha-ha-ha, baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari sini!" Suma Kiat melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah pergi diikuti kedua orang pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan pedang. Tampak dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.
"Trang-tranggg....!"
"Ehhh! Engkau.... melindungi dan membela dia?" Yan Hwa dan Ji Kun hampir berbareng bertanya sambil melintangkan pedang di dada dan memandang Maya dengan mata terbelalak. Maya menyarungkan kembali pedangnya yang dipergunakan untuk menangkis dan menghalang tadi, menggeleng kepala dan berkata, suaranya tegas dan ketus.
"Tidak, aku tidak membela dia melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih menghargai kehormatan daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi melanggar janji sendiri? Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah perkasa?"
Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku dalam hati bahwa di dalam banyak hal, Maya ini menyerupai guru mereka! Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang pembantunya sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
"Heiii! Tahan senjata! Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!" Pangeran Bharigan berseru dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan. Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,
"Panglima Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan kehormatan dan aku akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan nyawaku!"
Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang Pangeran itu, disertai pandang matanya, sama sekall tidak menyembunyikan perasaan di hati pangeran itu terhadap dirinya!
Kemenangan besar di hari itu disambut meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang oleh Pangeran Bharigan sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini dia mengepalai laksaan perajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi segala perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan sebagai panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan sebelah tangannya dalam pertempuran itu, diangkat menjadi penasihat perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang yang berkepandaian.
Karena memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya hanya untuk melepaskan dendam kepada Pemerintah Sung, kepada bangsa Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada bedanya. Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.
Raja Mancu yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini, berlaku cerdik dan bijaksana. Maya dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk memimpin pasukan menghadapi pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah mengetahui riwayat Maya.
Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara Mancu menjadi kuat dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik menghadapi pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang dipimpin Maya atau kedua orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh kemenangan! Mereka makin disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh Raja.
Biarpun kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang dihadapinya membuat Maya sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja ia menderita rindu kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi hal-hal yang memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas bahwa keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak beradik seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami isteri saja! Akan tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok, bahkan berkelahi dan saling serang dengan senjata mereka yang dahsyat, yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar riwayatnya oleh Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu bercekcok, dia yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan sikap mesra kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk "memanaskan" hati Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.
Akan tetapi, hal itu tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia benar-benar bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula hanya diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin nyata, bahkan pada suatu senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terang-terangan menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi isterinya!
"Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar. Kerajaan Khitan telah rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi negara besar!" Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan oleh Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya menghela napas panjang. "Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu dan cinta kasihmu terhadap aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku setuju sekali, bahkan bukankah sekarang kita telah bekerja sama? Akan tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh hanya dapat diikat dengan cinta kedua pihak."
"Apakah.... apakah tidak ada cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?" Pertanyaan Pangeran itu yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan membuat kedua pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.
"Pangeran, maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim Seng si penggembala domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat baik, gagah perkasa, tampan, budiman, berkedudukan tinggi, pendeknya, tiada cacat celanya bagi seorang gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran."
Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta pria lain?"
Maya mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata dengan jujur, "Benar, Pangeran."
Pangeran Bharigan menghela napas panjang. "Aihhh, betapa bahagianya pria itu...."
Di dalam suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar, membuat Maya terharu dan dara ini berkata, "Tidak, Pangeran, karena agaknya dia tidak menerima cintaku."
Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal tinju. "Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia itu orang gila!"
"Pangeran!"
"Maafkan aku, Maya....!" Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan tersenyum, memaksa diri bergembira sambil berkata, "Sudahlah, aku tidak semestinya menggodamu dan kita hentikan saja pembicaraan mengenai hal yang mendatangkan kepahitan di hati kita itu. Maafkan aku sekali lagi, dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia, dan.... semoga akan tumbuh tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya."
Biarpun semenjak saat itu sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan pangeran itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun ia tahu dari pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih yang bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini selalu masih mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya kadang-kadang termenung, teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki, suhengnya dan juga gurunya yang amat dicintanya.
Pada suatu hari, selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya, membicarakan pergerakan bala tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang berita yang mengejutkan bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat! Lebih dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir. Yang amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!
Perwira itu berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima dengan tenang namun muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar menahan marah ketika ia membentak,
"Kubur kepala itu dengan upacara kebesaran!"
Perwira itu pergi dan Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan berkata penuh geram, "Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya mereka tidak pernah melakukan hal yang menjemukan dan sombong itu! Sikap mereka ini harus kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah kepada kita!"
Seorang perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa di pihak tentara Yucen terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun orang itulah yang sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu berantakan. Juga Panglima Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.
"Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!" kata Maya dengan marah.
"Aih, menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu orang saja. Tidak perlu engkau merendahkan diri melayani musuh yang begitu kecil jumlahnya."
Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya. "Kalau begitu, aku akan menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk menghancurkan pasukan Yucen."
Pangeran Bharigan mengangguk, "Baiklah, kalau kedua orang panglima yang saling berlomba membunuh musuh itu maju bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis." Dia tersenyum puas karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara Hitam itu amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun kedudukan mereka sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun tangan sendiri, terjun ke medan perang dan pedang mereka yang mulai terkenal sebagai Pedang Iblis itu seakan-akan berlomba, berbanyak-banyak minum darah musuh! Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri, dan pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik menyebut mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)!
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang mengalahkan pasukan Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji Kun dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka mendengar bahwa pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh ribu orang, mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing hanya memimpin lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil bernyanyi-nyanyi.
Setelah tiba di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah perang yang amat seru. Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan golok pedang dan tombak menyilaukan mata dan banjir darah mulai membasahi rumput dan tanah.
Ji Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan mengamuk. Pedang mereka berubah menjadi dua sinar kilat yang menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit seorang lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah korban mereka.
Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga pasukan Yucen terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama sekali menyaksikan pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.
Akan tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian depan, pasukan Mancu mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlomba dengan telapak tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan pedang sama mengerikannya dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau dada seorang perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan kiri orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima atau perajurit, akan tetapi agaknya para anak buah pasukan Yucen mengenalnya dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat ketika orang sakti ini muncul.
Laki-laki muda rupawan ini bukan lain adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong Kwi yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat hati Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu yang dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas kekasihnya itu. Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan barisan Mancu, bahkan dialah yang memenggal kepala Panglima Mancu dan melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar dikirimkan kepada Raja Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki menantang dan bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak musuh terdapat seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki berpedang itu mengamuk seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi marah. Seperti berlomba mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya beberapa menit kemudian mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu mengamuk.
Tanpa berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka, menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan. Melihat sinar pedang yang mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua batang pedang itu. Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu, bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu. Yang menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua orang panglima itu, pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang menyeramkan, hanya berbeda ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang ampuh, dan dapat mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap hati-hati.
Adapun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang lebih ini, yang mukanya berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka, terhadap Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki itu mencelat ke belakang.
"Sumoi, mari kita lihat siapa di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!"
"Ah, sukar menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!"
Han Ki mengerutkan keningnya dan berkata, "Sungguh sayang! Masih muda belia, memiliki kepandaian lumayan, namun berwatak tinggi hati. Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak meningkatkan akhlak kalian."
Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke arah muka Han Ki sambil membentak, "Setan sombong! Kematian sudah di depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul engkau mencaci guru kami, keparat!"
"Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka mulut besar!"
Benar saja, Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah murid Mutiara Hitam, karena Mutiara Hitam adalah piauw-cinya (kakak misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya mendalam.
"Bagus! Kiranya kalian murid Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau begitu, merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!"
"Jahanam bermulut kotor!" Yan Hwa kembali memaki, "Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...."
"Buka matamu lebar-lebar!" Han Ki memotong. "Apakah pakaianku seperti perajurit? Tidak, aku tidak membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan Yucen sekalipun aku akan mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang tidak usah banyak cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran kepada kalian bocah-bocah murtad!"
"Sombong!" Ji Kun sudah menerjang lagi dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin, berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan mudah Han Ki mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan pedangnya.
Para perajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan mundur di belakang "jago" masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton pertandingan luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat bayangan tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah gulungan sinar pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Tadi, ketika kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam, Han Ki masih belum mau percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh jurus, barulah ia merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid piauw-cinya. Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan bahwa mereka menjadi Panglima-panglima Maricu. Kalau benar murid piauw-cinya, tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki sepasang pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat, sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat permainan ilmu pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga sin-kang yang amat kuat, dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia tidak ingin membunuh dua orang murid piauw-cinya ini.
"Kalian murid-murid murtad!" Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis pedang Yan Hwa dan mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja melangkah mundur, menurunkan pedang dan "membuka" pertahanan bagian atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai. Seperti dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat membacok dari atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap kali ia menangkis, Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat sin-kangnya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan dan kekuatan sin-kang yang amat luar biasa, selalu menarik kembali pedang dan tidak mau mengadu tenaga sin-kang. Kini, melihat pancingannya berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang.
"Trakkk!" Dua batang Pedang Iblis itu menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali pedang mereka. Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat. Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung lengan bajunya sudah berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya dari Yan Hwa. Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga sudah menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan kirinya mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han Ki.
Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun itu adalah jurus mujijat yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Pukulan Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang dahsyat dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin pukulannya saja lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!
Namun Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki tingkat kepandaian amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh kepandaian mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan maut dibarengi serangan pedang iblis itu dia menggerakkan pedangnya menangkis berturut-turut dua batang pedang sambil kembali menggunakan tenaga membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di pedangnya, sedangkan pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.
"Trak-trakk.... plak-plak!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan mereka tak dapat dielakkan lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main karena tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di pedang lawan, juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh lawan terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan. Secepat kilat tangan kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!
Han Ki yang berhasil merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati dan mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.
"Hemmm, sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad dan memiliki senjata-senjata yang begini keji!" Ia berkata.
Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya, "Siapakah.... siapakah engkau?"
"orang-orang murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid Kakak Mutiara Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak sombong dan kejam menggunakan pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian malah merendahkan diri menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian berhadapan dengan paman gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku adalah Kam Han Ki dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku."
Kedua orang muda itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki, bahkan mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa Bu Kek Siansu, berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya! Mereka kaget bukan main dan teringat akan guru mereka, kedua orang itu lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon Susiok sudi memaafkan. Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas atas kematian Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut balas atas kehancuran Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya bangsa Yucen!"
Kam Han Ki menarik napas panjang. "Urusan pribadi jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini? Kalian boleh pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima Mancu. Dan pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang iblis ini."
"Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!"
Mendengar ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata itu. "Apa? Benarkah itu?"
"Sumoi tidak membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan Mahendra atas perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu dan akhirnya diberikan kepada teecu berdua."
Han Ki menghela napas dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu. "Baiklah, sebetulnya baik buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya. Tentu mendiang gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik. Mulai saat ini, pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi nama gurumu, karena kalaus kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk membersihkan pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian! Nah, pergilah!"
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan medan perang. Setelah kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati karena kematian Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.
Pasukan-pasukan Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan istimewa yang terlatih, rata-rata perajuritnya memiliki kepandaian yang lumayan dan semangat yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak Mancu melakukan serbuan yang ganas dan pasukan-pasukan Yucen terdesak hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang mengamuk seperti seekor naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap bertempur dengan semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar pedang di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya. Perang yang terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak ada yang mau kalah dan mundur. Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk terus, bergerak tanpa berhenti dan biarpun dia merupakan seorang yang berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya, namun tetap saja dia seorang manusia biasa dari darah dan daging. Hujan senjata pedang, tombak, golok dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun tubuhnya dapat menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek, kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa sakit hati yang timbul dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas. Segala kekecawaan hatinya, segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu melalui pedang dan tangan kirinya, merobohkan siapa saja yang menentangnya.
Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi pengamukan Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat menghadapinya. Dalam beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke tempat yang sudah dipasangi lobang-lobang jebakan, dikurung oleh dua losin perajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang ada kaitannya. Han Ki tidak tahu akan jebakan ini maka ketika ia memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan yang menggerakkan jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya diputar dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lobang yang ditutupi ranting dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
"Cring-tranggg.... brettt!" Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai jaring baja itu sekaligus. Pedangnya merobek dua helai jaring, dan mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi sehelai jaring telah menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian dan melecetkan kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan kiri, merenggut lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak, terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh dengan dahi pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan pedangnya membabati jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi baru saja ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat penjuru, anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang mengandung api! Bukan main berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han Ki yang sudah lelah sekali itu memutar pedangnya melindungi tubuh. Ia maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan itu takkan berhenti dan akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke sekelilingnya dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang menghujankan anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya mendahului gerakan anak panah berikutnya, pedangnya berkelebat dan robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di sebelah kirinya.
Han Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat, apalagi karena pihak Mancu harus menjaga desakan pasukan Yucen yang berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biarpun tidak secara terang-terangan membantu mereka, namun pengamukan pemuda sakti itu terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.
Perang di antara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah kehabisan tenaga. Dia sudah tidak mengamuk lagi. Apalagi mengamuk, berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah tidak kuat. Dia harus mengaso, tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan di atas tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya awut-awutan, seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak ada yang berani mendekatinya biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan seperti itu. Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan dan kesempatan selagi pemuda itu kelihatan habis tenaga untuk membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan dan belakang dan.... dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang. Setelah terjadi hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han Ki yang sudah kehabisan tenaga.
Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan mulai mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting baginya hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang Mancu sampai tenaganya habis! Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya, pikiran dan hatinya menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut dan menyesal. Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian banyaknya manusia? Dan dia bukan seorang perajurit Yucen! Dia membunuhi manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia menyaksikan bekas tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk di sekelilingnya.
"Ya Tuhan...., apakah yang telah kulakukan tadi....?" Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor binatang buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah berapa ratus atau berapa ribu orang!
Teringat akan semua perbuatannya sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki, apalagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi. Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan, merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan mengerikan. Mengapa ia telah lupa akan segala nasihat gurunya sehingga dia sampai melakukan pembunuhan besar-besaran ini?
Tiba-tiba ia mendengar derap banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah pasukan Mancu yang baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya pasukan baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir tadi. Namun Han Ki tidak peduli dan dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak akan bergerak kalau tidak diserang orang, bahkan dalam keadaan seperti itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata diserang orang sekalipun belum tentu dia mau membela diri.
"Suheng....!"
Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.
"Suheng....!"
Han Ki membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Seorang wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian sebagai seorang Panglima Besar Mancu.
"Maya-sumoi....!" Han Ki tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar Mancu. "Kau.... kau seorang Panglima Mancu?"
"Aihh, Suheng. Kiranya engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah, Suheng, mana mungkin ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang telah mengakibatkan kehancuran Khitan? Suheng...."
"Diam!" Han Ki membentak marah lalu bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa engkau begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih orang biasa, aku bukan perajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu, hal itu adalah karena urusan pribadi.... aku.... aku pun sudah menyesal sekarang. Akan tetapi engkau.... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan kemuliaan, ya? Nah, sekarang engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa? Mau menangkapku? Membunuhku?"
"Suheng....!"
Maya bangkit pula berdiri dan mukanya pucat sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku? Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku.... aku bukan gila kedudukan. Aku.... aku menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita, Suheng...."
Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak. "Tidak! Aku tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini. Aku meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi. Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kautinggalkan semua ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."
Maya mengerutkan keningnya menjawab perlahan, "Engkau tahu tiada keinginan lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi di antara kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita ke mana perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan urusan masa depan kita."
"Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi jalan hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...." Dengan hati penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoinya itu ternyata telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh hendak pergi.
"Tunggu, Suheng....!" Maya berkelebat dan sudah meloncat menghadang ke depan suhengnya, memandang dengan sepasang mata merah dan basah.
Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. "Bagus, Sumoi. Lekas kaubuang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari Khu-sumoi."
"Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut bersamamu, akan tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup selamanya di sana. Jangan mencari Sumoi karena.... hal itu.... hal itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan...."
"Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?" Han Ki membentak.
"Suheng, tidak tahukah engkau....? Aku.... aku.... dan Sumoi.... kami.... ah, tak mungkin kami berdua hidup di sampingmu bersama-sama...."
"Omong kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara lagi kalau sudah pergi dari sini. Mari ikut bersamaku."
"Tidak, Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke Pulau Es aku tidak bisa ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di antara kami."
"Maya....!"
Maya terisak menangis. "Selamat berpisah, Suheng...." Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya menyerang pasukan Yucen yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia merasa menyesal sekali bahwa di dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa yang menyebabkan Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu kepada Siauw Bwee!
Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh, "Maya.... kenapa engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku menjadi makin menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan Siauw Bwee adalah sumoiku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh cinta kepada kalian yang kukenal sejak kecil? Maya.... apa yang harus kulakukan kini? Siauw Bwee, aku harus mencarimu dan mudah-mudahan kau akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau Es...." Dengan hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari daerah perang itu dan mulai dengan usahanya untuk mencari sumoinya yang ke dua, yaitu Khu Siauw Bwee setelah gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, bahkan mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw Bwee.
Dengan mengerahkan seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari tempat ini dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut. Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan tenaganya dan kini, setelah ia sadar akan segala perbuatannya ditambah dengan pertemuannya dengan Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan penuh dengan penyesalan. Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan tetapi tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata batinnya betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat menjadi begitu lemah.
Teringat ia akan suhunya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya adalah seorang manusia dewa yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya. Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan yang amat tinggi pula. Sekarang terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang menentukan nilai seseorang bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan kekuatan batinnya. Dan dia harus mengakui bahwa batinnya masih lemah, masih mudah dikuasai oleh nafsu dendam. Ia merasa menyesal sekali.
Ia harus dapat membujuk Maya agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan kewajibannya. Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoinya itu sehingga dalan keadaan seperti sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.
"Aku harus dapat menemukan Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat membantuku membujuk Maya, Khu-sumoi, di manakah engkau....?" Han Ki mengeluh.
Dalam keadaan berduka itu teringatlah Han Ki akan semua pengalamannya sejak kecil. Dan teringat ia akan kedua orang encinya. Ia pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua orang kakak perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di Ta-liang-san belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin. Dalam keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya kepada kedua orang encinya itu. Akhirnya, setelah bersamadhi di lereng gunung itu selama semalam untuk memulihkan tenaganya, pada keesokan harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke selatan, ke Pegunungan Ta-liang-san karena dia tahu bahwa kedua orang sucinya itu dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng oleh paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin.
***
Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk di kaki pegunungan ini seringkali melihat orang-orang yang kelihatannya gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan adakalanya menggiring wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.
Biarpun semua barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk dapat menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh menjadi tulang punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan Beng-kauw.
Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar nafsu tanpa pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan kepandaiannya yang tinggi. Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila perempuan dan karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi, memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum sesat di daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang berhasil, harus lebih dulu dibawa ke bentengnya, kemudian dia memilih hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk penculikan-penculikan wanita cantik!
Karena inilah, maka keadaan di dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di dalam kamar-kamar yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya tidak kurang dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah! Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya.
Pihak pimpinan Beng-kauw yang aseli, sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak yang datang untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam perjuangan mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat sakti dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi, juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita muda yang menangis terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan pedagang yang baru saja dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta dibunuh termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu ditawan. Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan perampok, adapun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun. Biarpun kedua orang encinya telah menikah, namun karena usia mereka baru dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula, maka tidak dibunuh dan dijadikan tawanan.
Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki kamarnya. Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar sampai keluar kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.
"Tok-tok-tok! Suhu....!" Terdengar ketukan di pintu kamar itu.
"Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?" Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.
"Teecu hendak melapor, ada musuh datang!" Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.
"Heh, keparat!" Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun pintu. Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi muridnya, juga selirnya tentu saja karena muridnya cantik.
"Maaf, Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu? Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke bukit. Apa yang harus kami lakukan?"
"Apa? Dua orang keturunan Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kaujaga mereka bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!" Setelah selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang sambil menangis mengguguk.
Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti dan memberi hormat.
"Di mana mereka? Dan berapa orang yang datang?"
"Hanya mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama)," jawab seorang pembantunya. "Enci adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga."
"Hemm, mereka benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya, akan tetapi biarpun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja mereka."
"Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan kepada kami saja?"
"Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh. Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?"
"Mereka mendaki dari lereng sebelah utara."
"Aku tidak ingin mengorbankan anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka." Tanpa menanti jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia turun ke atas tanah di luar tembok.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu. Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari bantuan namun hasilnya kosong. Para orang-orang gagah sudah mendengar akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani membantu. Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran, akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka, dan untuk merampas kembali Beng-kauw. Mereka telah mempersiapkan diri dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka. Pecut itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan pengaruh mujijat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah, kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga muridnya.
"Moi-moi, hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu dari utara akan tetapi aku menduga bahwa di bagian ini pun tenhtu banyak terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan sembrono melangkahkan kaki."
"Baik, Cici," jawab Siang Hui dan dia berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman disamping lebih tinggi tingkat ilmunya.
Mereka berhenti di tepi padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng. Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.
"Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!" kata Siang Hui.
"Benar, kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini. Siapa tahu di bawahnya tersembunyi jebakan." Berkata demikian, Siang Kui mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau segar di sebelah depan.
"Trakk!" Batu itu hancur berkeping-keping disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke atas rumput tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu cepat menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di situ sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw, menghancurkan Beng-kauw aseli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw, membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!
"Ha-ha-ha, kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa? Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk menyambung keluarga?"
"Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama, keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!" Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke arah perut lawan.
"Crengggg....!" Siang Kui terhuyung ke belakang, tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok Lama tertawa bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan pecut hitam di tangannya.
"Tar-tar....!" Ujung cambuk hitam ini menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan, gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.
"Cringgg....!" Seperti juga encinya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu, tubuhnya terhuyung dan tangan kanannya tergetar.
"Ha-ha-ha! Aku akan menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!" Hoat Bhok Lama kini menerjang maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang lebar, menyambar-nyambar seperti dua bola api.
"Sing-sing-sing, crenggg....!" Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara berdesing dan kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang senjata aneh itu saling bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan. Hebat bukan main sepasang senjata ini. Dahulu, seorang di antara datuk kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang amat sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong. Di samping senjata sepasang gembreng yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan menggetarkan jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang yang mengandung sin-kang amat kuat.
"Wuuut-wuuut-wuuut, tar-tar-tar!" Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu, pedang mereka kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk membalas serangan lawan.
Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia dapat mengeluarkan itmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita itu bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah menjadi dua ekor naga betina yang ganas. Di samping ini, Hoat Bhok Lama juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin pusing kepadanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh dua keuntungan, pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan ke dua ia akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi dia sendiri, biarpun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya!
Karena itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui dan Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh olehnya!
"Cuit-cuit-tar-tar-tar!" Dua batang cambuk yang bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat jalan darah di tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.
"Aihhhh!" Hoat Bhok Lama terkejut sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke belakang. Namun, sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil melecut dan menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main. Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya menjadi lumpuh lengan kanannya. Namun, sin-kang kakek ini kuat sekali dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya berpusing seperti gasing!
Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh, membuat mereka berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka. Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong, akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian, mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka. Untuk memusatkan sin-kang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah kacau oleh suara gembreng.
"Cuit-cuittt....!" Ketika Hoat Bhok Lama secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak saja, dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk mereka.
"Cret-crett!" Ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat dan melibat tak dapat ditarik kembali. Terdengar kakek itu terkekeh dan tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan ia memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!
"Siuuut! Siuuutt!" Dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat Bhok Lama dari kanan kiri. Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke belakang sehingga sambaran benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas, mencengkeram ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan Thai-lek-kang sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.
Ketua Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang laki-laki muda. Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan tenaga lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan pertandingan melawan mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk mengandalkan kepandaian sendiri, maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat ke belakang, ke arah padang rumput.
"Manusia terkutuk, hendak lari ke mana kau?" Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang Hui.
"Kedua bibi jangan kejar dia!" Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan.
Kalau saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut, akan tetapi munculnya keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apalagi Siang Kui yang cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat yang keras.
"Moi-moi, ikuti jejak kakiku!" Dia berteriak kepada adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya.
Tiga kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di tengah padang rumput, di belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui juga sudah menyusul dan berada di belakang encinya ketika tiba-tiba Hoat Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling ke dalam air! Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput, akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air.
Dua orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan tetapi setelah mereka tercebur ke dalam air yang ternyata dalam karena tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok Lama diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan, mereka tidak berdaya dan menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana mereka bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui. Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah dapat menarik kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah sehingga terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!
"Cepat, kita harus menolong mereka!" teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama Suma Hoat. Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang seperti seekor burung terbang dan kakinya hinggap di atas tongkatnya yang melintang dan mengambang di atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka sudah berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui. Namun berat tubuh dua orang terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik mereka terus melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di seberang yang lebih dekat.
Siang Kui dan Siang Hui yang sudah kehilangan senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap mereka tidak sempat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah gunung batu karang di sebelah depan.
Melihat kenekatan kedua orang bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui dan Siang Hui.
"Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus membantu bibimu!" Im-yang Seng-cu berkata, "Aku harus membawa senjataku, lontarkan aku ke sana!"
Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu ke seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki yang telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak buahnya.
Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,
"Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"
Sekali ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telan insyaf dan kini datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur, kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.
Dengan beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di tangan dan sepasang mata yang memandang ringan, mulutnya menyeringai menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,
"Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"
Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,
"Anak buah Beng-kauw yang kaupimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang aseli. Bagaimana?"
Hoat Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. "Hemmm, seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"
Mereka saling pandang, kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, "Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol, kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"
"Manusia sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!" bentak Hoat Bhok Lama yang menjadi marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar ke arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
"Cringgg! Tranggg!" Pedang di tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua orang muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang, maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar hijau tongkat Im-yang Seng-cu!
Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid ke dua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam di pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat. Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini, maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar dahsyat sekali itu. Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang jauh lebih muda. Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga daya tahan dan napasnya.
Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng. Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk seperti dua ekor singa betina yang marah. Biarpun tingkat kepandaian para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat. Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua puluh orang lebih.
Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh jebakan.
"Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka....!" Ia berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka karena Siang Kui dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya. Apalagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang.
Ketika sisa anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan setibanya di bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
"Bibi.... awaaasss....!" Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!
"Moi-moi, turun....!" Siang Kui berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan. Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawa.
"Cici....!" Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?
Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.
"Desss!" Biarpun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga mengeluh dan roboh miring.
Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya,
"Bagaimana?"
Suma Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari telapak tangan sampai ke siku, berwarna biru karena tadi ketika ia menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan yang mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke arah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang membentuk puncak baru.
"Bibi....! Bibi....!" Suma Hoat sudah menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang gila.
"Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?" Im-yang Seng-cu menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya, melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua orang bibinya.
"Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap lengan orang itu.
"Bi....!" Akan tetapi ia berhenti memanggil dan meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu sama sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar, dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!
Melihat kakek yang kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.
"Takkk!" Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa kedua telapak tangannya nyeri bukan main seolah-olah bukan kepala orang yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.
Kakek itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!
"Monyet, kau orangnya Hoat Bhok Lama, ya?" Tangannya terulur dan angin dorongan yang keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah mengerahkan sin-kang menahan.
Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.
"Jangan, Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!" Suma Hoat yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.
"Heh-heh-heh, kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok Lama benar kurang ajar, dan kalau tidak ada kau orang muda yang membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus." Kakek yang bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar air matanya!
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan menjura penuh hormat sambil berkata, "Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."
Mendengar disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak. Di dalam perantauannya, pernah ia mendengar akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin. Teringatlah ia akan ciri-ciri orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu! Maka ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu.
Kakek itu memang benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di dalam cerita "Mutiara Hitam" kakek yang sakti dan berwatak aneh ini muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal. Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh.
Karena itu, dapat dibayangkan betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian luar biasa!
"Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau siapa?"
Suma Hoat cepat menjawab, "Dia itu adalah sahabat saya yang terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Adapun saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."
"Heh-heh-heh! Im-yang Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh denganku. Eh, Suma Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang kaumiliki!"
Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu yang tertimbun batu." Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat membongkar batu-batu itu.
"Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh mereka yang tentu sudah hancur?"
"Bu-tek Locianpwe benar sekali, sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan membalas kematian kedua orang bibimu," kata Im-yang Seng-cu.
Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. "Kau betul! Mari kita kejar dia!"
"Heitt, nanti dulu!" Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat, tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat. "Aku tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah? Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke manakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!"
Suma Hoat kelihatan ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar gembira, "Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat mentaati perintah gurumu?"
Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama. Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid orang sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang kuda-kuda dan berkata, "Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teecu menyerang!" Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar ke arah leher dan pusar kakek itu.
"Cuss! Cusss!"
"Heiiihhh! Dari mana engkau memperoleh ilmu setan ini?" Bu-tek Lo-jin berteriak sambil membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi tercium ujung jari tangan Suma Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya seperti menotok air saja, bahkan tenaga sin-kangnya seperti terbanting membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mujijat yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu mohon petunjuk."
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya yang tebal putih. "Di dunia gila ini banyak sudah kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti setan. Biarpun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru dunia terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan, mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur, Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri, bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si wanita iblis!"
"Beliau adalah nenek teecu!" Suma Hoat berkata.
"Aihhhh! Pantas.... pantas....!" Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan seperti seorang anak kecil. "Dia memang mempunyai seorang putera Suma Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...."
"Dia adalah ayah teecu!" Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal sekali, sungguhpun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata kakek ini.
"Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil murid seorang keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila dan jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat atau yang baik?"
"Tentu saja yang baik, Locianpwe!"
Im-yang Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu berahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan terhadap kaum wanita.
Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua dan mulut yang tak bergigi lagi. "Heh-heh, kalau engkau mengerti yang baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"
Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, "Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"
Im-yang Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar air matanya. "Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut, melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap menerima warisan ilmu-ilmuku?"
"Teecu siap, Suhu."
"Nah, kalau begitu, mari kauikut aku pergi dari tempat ini!" Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri.
"Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?" Im-yang Seng-cu menegur.
Suma Hoat memandang gurunya. "Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya. "Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua bibimu?"
Suma Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan menjawab,
"Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya. Tidak, teecu bukan hendak membunuhnya karena dendam, melainkan karena teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari ancaman perbuatan jahat mereka."
Kembali kakek itu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang? Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang? Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid kakek aneh itu. Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak mempunyai keinginan menjadi murid siapapun juga, bahkan dia telah melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu adalah seorang yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin. Akan tetapi, di dalam hatinya, terdapat rasa simpati yang besar terhadap Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.
Dengan hati tegang Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena puncak gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat curam.
Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke bangunan yang dikelilingi pagar tembok tinggi. Menjelang senja barulah ia sampai di depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan keadaan markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga di depan pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum bahwa markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan jebakan berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun terasa amat sunyi karena tidak ada suara, namun di sebelah dalam benteng itu tampak kesibukan orang-orang.
Im-yang Seng-cu menggerakkan tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk mengangkuti mayat-mayat manusia yang malang-melintang di tempat itu termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para pembantunya. Ketika melihat mayat Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu bergidik dan teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala yang gundul itu!
Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang dengan khawatir, bahkan seorang di antara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh hormat dan berkata,
"Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma Taihiap."
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk kagum, maklum betapa dalam waktu singkat sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya dan menundukkan anak buahnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanyanya.
Orang itu memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki telanjang ini. "Bukankah Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang bersama dia?"
"Benar, akan tetapi aku tertinggal di sana. Harap kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan mengapa pula Bu-tek Locianpwe dapat muncul di tempat ini."
Orang itu menarik napas panjang, kemudian setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia berkata, "Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan Suma-taihiap, sudah sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah kita bicara di dalam dan saya akan menceritakan semuanya."
Im-yang Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah dan setelah duduk menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia mendengarkan penuturan Lauw Kiam, orang itu yang dahulunya seorang anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan tingginya.
"Ketika Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya mula-mula menyerbu Beng-kauw, kami pihak Beng-kauw melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini, satu demi satu gugurlah para pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula di tangan Hoat Bhok Lama. Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi, dan hanya kedua orang Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat meloloskan diri. Kami, termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw yang setia, tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi, kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama, pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya kami sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain, Hoat Bhok Lama mengatakan bahwa Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw yang sejati!"
"Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan pelajaran Beng-kauw," kata Im-yang Seng-cu. "Apa saja yang dikatakannya mengenai penyelewengan itu?"
Lauw Kian lalu bercerita. Menurut pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus dan anggauta Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism) didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap adalah lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan Terang dari selubungan Kegelapan. Jadi menurut pelajaran agama ini, terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok Lama, karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama Beng-kauw merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar Mani, pendirinya. Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw ini memang sama dengan yang dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan kejahatan dengan pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak mengadakan pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki kegelapan!
"Betapa mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh itu sendiri, tanpa mengetahui kekuatan-kekuatannya dan kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui keadaan musuh melalui penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir dari kegelapan, setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan kegelapan itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan, apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki kekuasaan nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita, tidak akan sukar lagi untuk menundukkannya!"
Demikianlah bujukan dan pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia yang lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan daripada menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan badan. Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan nikmat kepada tubuh, sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat minat yang besar sekali dari para bekas anggauta Beng-kauw sehingga banyak di antara mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua baru yang jauh lebih "bijaksana" daripada para bekas pengurus lama. Apalagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia menarik napas panjang. Dia masih belum tua namun sudah banyak sekali mengalami hal-hal aneh di dunia ini yang membuat pandangannya cukup luas. Di mana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh agama apapun juga dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia seluruhnya. Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia yang biarpun dengan akal budi dan pikirannya dapat menerima inti pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat menyedihkan. Pertentangan antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang terdorong oleh nafsu pribadi, yang biasanya sering kali dimenangkan oleh nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang mempelajari kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan manusia, yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik. Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu, tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri. Sebaliknya, biarpun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong, disuruh jujur dan lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
"Hem, dia memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya," kata Im-yang Seng-cu. "Dan bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul di tempat ini?"
"Hal itu terjadi dua bulan yang lalu," kata Lauw Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, ke markas Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama dengan paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian sahabat yang dikenalnya itu.
Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk agar kakek sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai ke seluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin, dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu Bu-tek Lo-jin memasuki guha di puncak yang merupakan tempat jebakan yang amat berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke dalam lobang jebakan yang terdapat di guha puncak gunung itu.
"Hoat Bhok Lama menutup lobang dan guha itu, kami menganggap kakek itu telah tewas." Lauw Kian menutup ceritanya. "Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar biasa itu muncul bersama Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup selama dua bulan tertutup di dalam sumur guha itu."
Im-yang Seng-cu kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua bulan tertutup di dalam sumur di puncak, bahkan ketika puncak itu longsor oleh gerakan alat-alat rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh pula ke bawah, dia masih mampu menyelamatkan diri.
"Setelah kini kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw, apa yang akan kalian lakukan?" Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kami akan meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul kembali dengan bekas para anggauta Beng-kauw, bsrsama-sama membangun ksmbali Beng-kauw," jawab Lauw Kian dengan wajah berduka, teringat akan para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan lagi.
Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk, "Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang semestinya mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti untuk kerohanian. Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia, tentu akan timbul pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya bersimpang jalan. Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi Agama Terang yang akan mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah kehilangan slnar rohaninya, digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan tukang pukul, yang disebut kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya, melainkan batinnya, rohaninya, sehingga memancarkan sinar tsrang membantu mereka yang ksgslapan. Semoga kalian berhasil."
Im-yang Ssng-cu meninggalkan Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha, diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat, selain memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga!
***
"Aiihhh...., semua tempat kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin mencari orang? Ahhh, Suheng.... di manakah engkau....?"
Siauw Bwee menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu dalam usahanya mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke dua dicarinya dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi, hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang dicarinya, yaitu Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.
Tersorot cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.
Di dalam perantauannya semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang telah mengalami banyak hal hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat, benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.
Kewaspadaan seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya, menjadi satu dan selalu siap menjaga diri. Namun, segala kewaspadaan akan hilang apabila manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik. Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka, kemudian ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan dendam di dalam hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan rindu dan kasih tak sampai di hatinya. Siapa yang takkan berduka? Sementara itu, semua ketidaksenangan hatinya yang hendak ia tumpahkan dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan. Tentu saja tidak mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan! Biarpun ayahnya tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya. Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu.
".... kosong melengang...."
pikiran melayang
mengejar kenangan
dihimpit kesunyian....
seperti iblis mentertawakan
bunyi daun berkelisik
kerik jengkerik
kerok katak
kokok burung hartu
di luar bising....
namun betapa sunyi melengang
terasa di dalam
seribu suara malam
menambah rasa kesepian...."
Teringat akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama, menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu dan mengelus bulu leher binatang itu.
"Aihh, kudaku yang setia. Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...."
Betapapun tinggi ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan keadaan sckelilingnya. Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu. Kalau dia memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana karena kesepian itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan alam dan seisinya, baik yang tampak maupun yang tidak, dialah yang akan dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Persatuan dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang menyelubungi dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya keluar, tidak pernah KE DALAM, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak dapat menjadi sadar.
Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu telah berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.
Pemuda yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau meluaskan pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena wataknya yang halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia bernama Yu Goan. Ayahnya adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Adapun ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat aseli dari Khong-sim Kai-pang dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal ilmu kepandaian yang tinggi ini orang tuanya, juga kakeknya, memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman.
Malam itu, kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas cabang pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia bengong terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri. Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak berani berkutik, khwatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang pengintai kurang ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian, melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan menjadi makin kurang ajar tampaknya.
Tiba-tiba pemuda itu terkejut dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang di mana disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu kalau betul ada tiga ekor harimau merunduknya!
Siauw Bwee tiba-tiba meloncat dan membalik. "Srattt!" Sinar kilat tampak ketika ia mencabut pedangnya. Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan dara itu sedemikian gesit dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi pun menunjukkan gerakan seorang ahli!
Karena terhibur oleh kehadiran kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga pasang benda mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau entah apa. Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya, tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang melongo terheran-heran penuh kekaguman.
Dengan gerakan kilat, gerakan yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini, mencari-cari. Akan tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun memandang ke kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakaan tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!
Seluruh urat saraf di tubuh Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya jauh di atas dengan melongo penuh kagum.
Api unggun bergoyang-goyang mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang mengancamnya. Apapun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun, menambah kayu dan api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya. Dia mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.
Yu Goan yang berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu. Dia pun memasang mata penuh perhatian dan karena dia berada di tempat tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang pandangan matanya terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.
Tiba-tiba Yu Goan bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi benda-benda mencorong, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak sekali, muncul di sekitar tempat itu! Untung baginya bahwa Siauw Bwee juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena tiba-tiba begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu "padam" dan lenyap, juga sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.
Kini Siauw Bwee kembali ke tempatnya dengan muka penuh karingat. Hatinya ngeri sekali. Belum pernah ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang mengganggunya!
Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimanapun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh, kalau saja malam tidak begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera meninggalkan hutan berhantu ini!
Siauw Bwee menghela napas, tak berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini. Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan perhatiannya dari keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba Siauw Bwee yang baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di dekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam tanah itu mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur ke atas ke arah pemuda yang menjadi terkejut bukan main.
"Wuuuuttt! Trakkk!" Biarpun hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya diduduki Yu Goan, menjadi patah terkena hantamannya. Pemuda itu sudah meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru,
"Heit, saya bukan musuh....! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah mahluk-mahluk mengerikan yang memiliki mata mencorong itu!"
Siauw Bwee memandang tajam ke arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu, tangannya meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki di atas pohon itu yang mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan, mereka saling pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona. Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita daripada ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!
"Mudah saja membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau engkau pun hendak menyangkal lagi?" Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.
Yu Goan menggeleng kepala. "Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari atas pohon, Nona, akan tetapi bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja hendak mengintai, karena aku telah berada di atas pohon lama sebelum Nona datang dan membuat api unggun di bawah pohon ini."
Siauw Bwee memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini. "Engkau membohong!"
Yu Goan menarik napas panjang. "Nona, membohong atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang pembohong tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andaikata Nona yang berada di sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon, bagaimana mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon? Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi."
Siauw Bwee termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu karena biarpun dari gerakan pemuda ini ketika mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa pemuda ini bukan seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini dapat datang dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali.
"Kalau begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?"
"Habis, apa yang harus kulakukan, Nona?"
"Mengapa engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?"
"Ahh, mana aku berani, Nona? Andaikata engkau seorang pria, tentu saja aku akan langsung menegurmu dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan bersikap tidak sopan? Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa hatiku di atas sana tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak berani diam saja bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya mengkhawatirkan suatu hal...." Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan mukanya yang tampan menjadi merah sekali, ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur, menurutkan suara hatinya.
Siauw Bwee kini sudah hilang kemarahannya, bahkan diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus, pandang mata yang penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusun rapi. Ia percaya bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak,
"Apa yang kaukhawatirkan itu? Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!"
"Yang kukhawatirkan tadi.... eh, anu...., aku diam-diam berdoa kepada Tuhan agar engkau tidak melakukan hal yang bukan-bukan di bawah sini selagi aku berada di atas pohon, karena kalau engkau melakukannya, aku benar-benar akan celaka!"
"Eh, jangan bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau khawatir aku lakukan?"
".... hem.... misalnya.... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka.... sepatu.... atau.... eh, berganti pakaian.... maaf...."
Tiba-tiba Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali. Memang tidak ada air di situ. Kalau ada, tentu dia akan mandi dan berganti pakaian dan memikir hal ini.... bertelanjang bulat di situ, di bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan tetapi dia masih penasaran dan bertanya,
"Andaikata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kaukatakan akan celaka?"
"Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi."
Siauw Bwee tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. "Sungguh lega hatiku sambitanku tadi tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh, dan engkau seorang yang amat sopan dan jujur. Siapakah engkau?"


bersambung 8.........

0 komentar:

Posting Komentar