mendengarkan isak tangis Liang Bi yang terdengar dari dalam kamar. Cui
Leng menarik napas panjang. Sukar dia mengatakan apakah tarikan napas
itu saking lega hatinya ataukah karena menyesal membayangkan betapa pria
yang dicintanya itu kini direbut lain wanita! Perlahan ia melangkah
memasuki kamarnya sendiri dan semalam itu ia mendengar isak tangis Liang
Bi yang tidak pernah berhenti. Sambil mendengarkan isak tangis itu, Cui
Leng rebah telentang, matanya menatap langit-langit dan tanpa
disadarinya, dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Hatinya lega,
karena sekarang dia mendapat kawan! Sekarang rahasianya yang mencemaskan
hati akan terlindung dan aman. Akan tetapi senangkah dia? Pertanyaan
yang takkan dapat ia jawab karena dua butir ait matanya menjadi bukti
akan kebimbangan hatinya.
Mereka bertiga berjalan-jalan di antara
bunga-bunga yang tumbuh di belakang rumah, Suma Hoat tersenyum-senyum,
lengan kiri melingkari pinggang Liang Bi, lengan kanan melingkari
pinggang Cui Leng. Sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau ia menoleh ke
kanan kiri untuk mencium pipi kedua orang kekasihnya. Cui Leng juga
berseri wajahnya dan pipinya kemerahan. Akan tetapi Liang Bi tidak
tampak berseri. Wajahnya pucat rambutnya kusut dan pandang matanya
redup, sayu merenung ke depan seolah-olah dia hidup di alam mimpi.
Suma
Hoat mengajak dua orang wanita itu duduk di antara bunga-bunga.
Dipetiknya dua kuntum bunga dan dengan mesra dipasangkan bunga-bunga itu
di rambut Liang Bi dan Cui Leng.
"Ahh, kalian benar-benar cantik
jelita!" katanya sambil mencium bibir Liang Bi, kemudian Cui Leng. Liang
Bi mandah saja, tidak seperti Cui Leng yang membalas ciuman itu dengan
mesra.
"Koko, sekarang tentu hatimu amat berbahagia, bukan?"
Tiba-tiba Cui Leng bertanya, tangannya dengan mesra membelai dagu pemuda
itu.
Wajah Suma Hoat yang berseri itu tiba-tiba lenyap sinarnya. Ia
merenung dan bibirnya bergerak perlahan. "Bahagia? Aku berbahagia....?"
Ia menghela napas dan mengeluarkan sulingnya dari pinggang. Melihat ini,
wajah Liang Bi menjadi makin pucat.
"Jangan....! Jangan panggil ular...." Ia merintih.
Suma
Hoat merangkulnya, mencubit dagunya. "Bi-moi, kekasihku tercinta.
Jangan takut, masa aku mau menakutkan engkau lagi?" Dia lalu meniup
sulingnya dan terdengarlah tiupan lagu yang merayu-rayu, lagu yang
membuat kedua orang gadis itu terpesona dan perlahan-lahan bertitiklah
air mata dari sepasang mata mereka. Lagu itu terdengar begitu sedih,
menyayat hati, seolah-olah dalam tiupan itu mereka mendengar hati
peniupnya menjerit-jerit dan menangis penuh duka. Tak lama kemudian,
suara suling berhenti dan Suma Hoat yang masih termenung, seperti tidak
sadar akan keadaan sekelilingnya, memandang sinar matahari pagi yang
menerobos di antara celah-celah daun dan bunga, kemudian dia membuka
mulut bernyanyi.
"Bahagia, siapakah gerangan Anda?
Seribu kali bayanganmu menggapai
kuraih kupeluk mesra
hanya mendapatkan kenyataan hampa
bahwa semua bayanganmu itu
bukanlah anda!
serasa tampak anda mengintai
di balik kelopak bunga mengharum
menunggang cahaya matahari pagi
di balik senyum kekasih jelita
di antara tawa sahabat-sahabat
di dalam gelak anak-anak
di antara tumpukan harta benda
di atas kedudukan mulia
di balik kemasyhuran nama
namun....
setelah didekap dalam pelukan
semua itu pun hampa
bukan anda?
duhai kebahagiaan
siapa dan di mana gerangan anda?"
Belum
habis gema suara nyanyian Suma Hoat yang keluar dengan suara gemetar
dan selagi kedua orang gadis itu masih terpesona, tiba-tiba terdengar
suara yang parau dan lirih namun jelas seolah-olah suara itu diucapkan
oleh mulut yang dekat dengan telinga mereka, mulut yang tak tampak.
"Mempunyai mata seperti buta
sudah ada dicari-cari keluar menjauh
siapa bisa memisahkan bayangan
dari badan?
yang mencari takkan mendapatkan
yang mendapatkan takkan memiliki
yang memiliki akan kehilangan
yang mengharap akan kecewa
tanpa dicari, tanpa diharap
tanpa dimiliki, tanpa pamrih
hanya membuka mata ke dalam
sadar bahwa semua telah ada
setelah bersatu dengan keadaan
apa lagi yang dicari?"
Suma
Hoat meloncat bangun, suling di tangannya, wajahnya berubah tegang
karena kata-kata parau itu seolah-olah merupakan ujung pedang yang
menusuk hatinya. Kedua orang gadis itu pun bangkit berdiri karena
sebagai ahli silat tingkat tinggi mereka maklum bahwa ada orang pandai
telah mempergunakan Ilmu Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) yang
hebat sekali. Apalagi karena suara itu tidak asing bagi kedua orang
dara Siauw-lim-pai sehingga mereka memandang ke depan dengan wajah agak
pucat.
Kian Ti Hosiang nampak keluar dengan langkah tenang diikuti
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui. Melihat guru mereka seperti yang telah
mereka duga dan khawatirkan ketika mendengar suara tadi, Liang Bi
menjerit dan berlari menghampiri hwesio itu, diikuti oleh Cui Leng.
"Suhu....!" Liang Bi menangis terisak-isak di depan kaki gurunya sedangkan Cui Leng menunduk dengan muka pucat.
"Omitohud....!"
Kian Ti Hosiang menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang
berulang-ulang. Sekali pandang saja dia sudah maklum bencana apa yang
menimpa kedua orang muridnya itu. Kemudian perlahan ia mengangkat kepala
memandang Suma Hoat yang berdiri tegak dengan sikap tenang. Sejenak
mereka bertemu pandang dan Kian Ti Hosiang lalu berkata,
"Sayang....!
Sungguh sayang sekali....! Orang muda, kalau pinceng tidak salah
sangka, bukankah engkau ini yang dijuluki orang Jai-hwa-sian?"
Suma
Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak
merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu, dia mendapatkan
sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasai selama petualangannya dengan
ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka,
bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Agaknya,
kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan petualangannya dan
hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha
menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi,
siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan
tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia
tersenyum dan menjura sambil berkata,
"Tidak salah dugaan Locianpwe.
Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan
kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai
yang sakti!"
"Oohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan
Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa
pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah
Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang
gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya,
sedangkan Cui Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan
hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang
mendatangkan malapetaka besar itu!
"Kau.... kau.... Suma Hoat....?" Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.
Kian
Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat.
Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia
berkata,
"Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar.
Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka
pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah
pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar
betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang
budiman. Akan tetapi sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga
engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan
cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa
pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat
warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!"
Tiba-tiba Suma Hoat
tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas
memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding, "Kian Ti Hosiang!
Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal
kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah
engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki
nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak
mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat?
Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi
orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku,
Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada putera
tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat?
Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan
sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci,
gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau
menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?"
Kam Siang Kui dan Kam
Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh
kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dan orang muda itu bukan lain adalah
keponakan mereka sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara
misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah
mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!
Akan tetapi, karena menghormat
Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan
betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah,
bahkan tenang-tenang saja menjawab,
"Suma Hoat, pinceng menjadi
pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia.
Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk
agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu."
"Ha-ha-ha!
Amat berlawanan dengan aku, bukan? Aku dikatakan pembuat kotor dan
engkau adalah pembersih yang kotor. Eh, hwesio! Karena tugasmu, tentu
engkau selalu siap untuk memberantas kejahatan, tentu engkau benci
kejahatan, benci kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang
dianggap jahat, seperti aku! Dalam tugasmu, engkau membenci kejahatan,
seolah-olah engkau lupa bahwa sesungguhnya karena adanya kejahatan,
karena adanya orang-orang jahat macam aku inilah, maka membuka
kemungkinan dan kesempatan kepada orang-orang seperti engkau untuk
memakai jubah pendeta! Kalau orang-orang jahat macam aku sudah kaubasmi
semua, kalau kejahatan sudah tidak ada lagi, ha-ha-ha, hwesio tua,
engkau mau bekerja apakah?"
Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw itu
makin marah, bahkan kini Liang Bi dan Cui Leng juga memandang pucat,
tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang telah merebut tubuh dan
hati mereka itu adalah seorang yang mempunyai pendirian sedemikian kacau
dan jahatnya!
Akan tetapi Kian Ti Hosiang tetap tenang.
"Jai-hwa-sian Suma Hoat, pinceng merasa kasihan sekali kepadamu. Engkau
mengalami himpitan jiwa. Jiwamu sakit tertekan oleh nafsu-nafsu yang
menguasai dirimu. Pinceng sama sekali tidak membenci orang yang sesat,
bahkan merasa kasihan dan ingin menolong mereka, termasuk engkau,
Suma-sicu!"
Kalau saja Ketua Siauw-lim-pai itu marah-marah dan
menerjang Suma Hoat dengan serangan lihai, tentu pemuda itu suka
menerima, karena menganggap hal itu sudah sewajarnya. Akan tetapi,
mendengar pendeta ini menaruh kasihan kepadanya, dan ingin menolongnya,
kemarahannya menjadi makin meluap. Dia merasa dipandang rendah sekali,
seolah-olah perbuatannya hanyalah perbuatan seorang anak kecil yang
nakal!
"Kian Ti Hosiang! Dengar baik-baik. Aku telah menodai kedua
orang murid perempuanmu! Nah, bukankah perbuatanku amat terkutuk?
Bukankah engkau sebagai gurunya wajib menghukumku dengan hukuman paling
berat? Apakah ini belum cukup hebat?"
Kian Ti Hosiang tersenyum dan
menggeleng-geleng kepalanya. "Perbuatanmu amat jahat dan sesat, Suma
Hoat dan perasaan pinceng sebagai guru tertikam oleh perbuatanmu dan
murid-murid pinceng. Akan tetapi, mengingat bahwa engkau adalah
keturunan keluarga pendekar sakti Suling Emas, yakin bahwa perbuatanmu
ini tentu ada sebab-sebab yang menimbulkannya, pinceng merasa lebih
berkewajiban lagi untuk mengingatkanmu, memberi penerangan kepadamu."
"Pendeta sombong! Katakan saja engkau takut melawan aku!"
"Suma Hoat manusia iblis!" Kam Siang Kui membentak marah sekali.
Suma
Hoat tersenyum lebar. "Engkau sudah setengah tua akan tetapi masih
bersemangat dan cantik, hemmm, kalau ada kesempatan aku suka melayanimu
bermain cinta...."
"Jahanam!" Kam Siang Hui yang mendengar encinya
dihina seperti itu, sudah tidak dapat mehahan lagi hatinya dan dia sudah
menerjang maju dan mengirim pukulan maut yang digerakkan sin-kang.
Sebagai murid Kauw Bian Cinjin, tentu saja dia memiliki ilmu silat yang
hebat, maka pukulannya itu pun mendatangkan angin dahsyat.
"Plak!
Plak!" Dua kali Suma Hoat menangkis dan dia terhuyung mundur, juga Kam
Siang Hui terhuyung dan merasa lengannya panas. Hemm, bocah ini lihai
juga, pikirnya. Adapun Suma Hoat diam-diam terkejut karena kini
maklumlah dia bahwa kalau kemarin kedua orang wanita itu menyerang
dengan sungguh-sungguh, belum tentu dia dan Cui Leng akan mampu
mengalahkan mereka! Akan tetapi, hatinya sudah panas karena sikap Kian
Ti Hosiang, maka dia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek sambil
memandang Kian Ti Hosiang dan kedua orang wanita itu.
"Hemm, Kian Ti
Hosiang, apakah engkau begitu pengecut, tidak berani maju sendiri lalu
mengandalkan bantuan dua orang wanita ini, dan masih berusaha
membujuknya dengan kata-kata halus?"
"Suma Hoat, bocah celaka!" Kam Siang Kui kembali membentak.
"Harap
Toanio tidak mencampuri urusan pinceng dengan dia," kata Kian Ti
Hosiang dan kedua orang wanita itu kembali melepaskan tangan yang
tadinya sudah meraba gagang pedang.
"Kian Ti Hosiang, pendeta pikun.
Bagaimanakah engkau hendak memberi penerangan padaku? Menyuruh aku
menggunduli rambut dan memakai jubah pendeta?" Suma Hoat mengejek lagi
dengan hati panas mengapa hwesio itu sama sekali tidak pernah marah
bahkan memandangnya dengan sinar mata begitu lembut penuh iba. Itulah
yang amat mengganggu hatinya. Dia tidak ingin dikasihani! Dia malah
ingin semua orang membenci dan memusuhinya! Dia tidak takut menghadapi
mereka semua dan dia berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya.
"Suma-sicu,
pada dasarnya engkau mempunyai jiwa pendekar. Mengapa engkau tidak mau
membuka mata menyadari bahwa amatlah tidak baik kalau engkau menumpahkan
kebencianmu terhadapi wanita? Dengan merusak kaum wanita, berarti
engkau merusak kehormatan kaum ibu, karena ibumu sendiri pun seorang
wanita! Kasihanilah mereka, keluarga mereka, orang tua mereka, masa
depan mereka. Engkau dapat menebus semua kesesatanmu dengan memupukkan
perbuatan baik dan dengan hati bertobat. Setelah apa yang kaulakukan
terhadap kedua orang murid pinceng, jadilah engkau suami mereka dan
jauhi semua perbuatan sesat. Pinceng akan berbesar hati melihatnya."
Wajah
Suma Hoat menjadi merah. "Kalau aku menolak?" Ia mengharapkan kemarahan
pendeta itu dan dia tidak menyesal kalau harus mati di tangan pendeta
ini karena semua perbuatannya yang lalu jelas tidak mendatangkan
kepuasan dan kebahagiaan baginya. Ia ingin mengakhiri hidupnya di tangan
pendeta itu. Mati di tangan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai,
adalah mati terhormat!
Kian Ti Hosiang menghela napas panjang. "Kalau
engkau menolak, pinceng hanya dapat berdoa untuk keselamatan jiwamu,
orang muda. Pinceng hanya dapat merasa makin iba melihat seorang
keturunan keluarga pendekar besar tersesat makin jauh."
"Apa? Engkau tidak marah dan tidak membunuhku?"
Kian
Ti Hosiang menggeleng kepalanya. "Pinceng bukan pembunuh, pinceng tidak
bisa membikin mati karena pinceng tidak bisa membikin hidup."
"Pendeta sombong! Engkau takut kepadaku?"
Kian
Ti Hosiang menggeleng kepala dan tersenyum. "Pinceng tidak takut kepada
siapapun juga, kecuali kepada kegelapan yang meliputi hati dan pikiran
sendiri, Sicu."
"Baik, pendeta sombong! Aku mau bertobat, mau menuruti nasihatmu asal engkau suka menerima dua kali pukulanku. Bagaimana?"
Kian
Ti Hosiang mengangguk tenang. "Omitohud....! Kalau dengan cara itu
berarti pinceng akan dapat mendatangkan penerangan di dalam hatimu,
pengorbanan itu masih terlalu murah. Pinceng menerima syarat itu...."
"Locianpwe....!"
Kam Siang Hui dan Kam Siang Kui meloncat maju dengan wajah pucat.
"Bagaimana Locianpwe membiarkan saja bedebah ini bersikap kurang ajar?
Biarkan kami membasminya!"
"Harap Ji-wi Toanio suka mundur. Pinceng
sudah melepaskan janji menerima syaratnya." Terpaksa kedua orang wanita
itu mundur dengan tangan dikepal saking marahnya.
Kian Ti Hosiang
melangkah maju mendekati Suma Hoat. "Sicu, berjanjilah bahwa setelah
memukul pinceng dua kali, engkau benar-benar akan merubah jalan hidupmu,
tidak akan melakukan perbuatan sesat lagi, membersihkan nama
Jai-hwa-sian dengan perbuatan-perbuatan baik."
Hampir Suma Hoat tidak
dapat percaya. Hwesio ini bersedia menerima dua kali pukulannya! "Apa?
Engkau menerima dan engkau tidak akan mengelak, menangkis atau melawan?"
Kian
Ti Hosiang menggeleng kepala. "Pengorbanan ini masih terlalu murah.
Namun kata-kata seorang gagah harus dapat dipegang. Pinceng berjanji
takkan melawan dan berjanjilah bahwa engkau pun akan membuang semua
perbuatan sesat."
Kemarahan Suma Hoat mencapai puncaknya. Dia
benar-benar merasa dipandang rendah sekali, bukan hanya sebagai seorang
anak kecil yang nakal, bahkan agaknya pukulannya dianggap ringan oleh
hwesio ini. "Baik, aku berjanji!" bentaknya.
"Nah, silakan memukul
dua kali, Sicu." Hwesio itu berdiri tegak, sama sekali tidak memasang
kuda-kuda, memandang tenang ke depan dengan telapak tangan dirangkap di
depan dada seperti orang berdoa.
Suma Hoat menggerak-gerakkan kedua
tangannya, mengerahkan semua sin-kang di tubuhnya, disalurkan ke arah
kedua tangan. Gerakan ini membuat kedua lengannya mengeluarkan bunyi
berkerotokan, tanda bahwa kedua lengannya sudah dialiri tenaga sin-kang
yang dahsyat sekali. Kedua orang wanita tokoh Beng-kauw memandang dengan
mata terbelalak dan kedua orang murid hwesio itu pun memandang dengan
muka pucat. Suma Hoat merasa dipandang ringan oleh Ketua Siauw-lim-pai
itu. Dia maklum bahwa hwesio itu amat sakti, termasuk seorang tokoh
besar di dunia persilatan. Akan tetapi, sikap hwesio itu keterlaluan,
terlalu baik sehingga merupakan penghinaan yang baginya lebih
menyakitkan hati daripada makian atau serangan. Dia, seorang yang telah
menggegerkan dunia kang-ouw, kini hanya dianggap seperti seorang anak
kecil yang nakal saja oleh hwesio ini. Akan tetapi, dia tidak percaya
bahwa hwesio itu akan benar-benar menerima pukulannya tanpa melawan.
Mungkin takkan mengelak, akan tetapi pasti akan menggunakan sin-kang
untuk menangkis. Ataukah kepandaiannya sudah begitu tinggi sehingga
pukulannya takkan ada artinya! Dia tidak percaya maka kini Suma Hoat
mengerahkan tenaga, kemudian menerjang maju dengan dua pukulan
susul-menyusul ke arah kedua paha kaki Kian Ti Hosiang. Angin dahsyat
menyambar ketika kedua tangan Suma Hoat dengan jari-jari terbuka
menyambar ke arah Kian Ti Hosiang. Hebat bukan main pukulan itu karena
Suma Hoat telah mengerahkan seluruh sin-kangnya dan menggunakan ilmu
pukulan Hun-kin-swee-kut-ciang (Pukulan Memutuskan Otot Menghancurkan
Tulang)!
"Krekkk! Krekkkk!" Cepat sekali datangnya dua kali pukulan
yang bertubi itu. Terdengar jeritan tertahan kedua orang wanita
Beng-kauw dan kedua murid hwesio itu sedangkan tubuh Kian Ti Hosiang
jatuh terduduk dalam keadaan bersila, kedua kakinya lumpuh karena
tulang-tulang kakinya remuk dan otot-ototnya hancur oleh pukulan dahsyat
itu.
Suma Hoat membelalakkan kedua mata, wajahnya pucat memandang
hwesio yang memandangnya sambil tersenyum penuh kesabaran dan kemenangan
itu! Hwesio itu sama sekali tidak melawan! Kedua kaki hwesio itu
menjadi rusak, lumpuh dan tak mungkin dapat disembuhkan lagi! Dan
biarpun kedua kakinya sudah lumpuh, hwesio itu masih memandang kepadanya
dengan senyum sabar. Inilah yang membuat hati Suma Hoat tidak kuat
menahan.
"Kau.... kau....! Biar tidak kepalang, kalau kau ingin
mati.... terimalah ini....!" Suma Hoat yang merasa ngeri kalau kelak
melihat hwesio yang dipukulnya tanpa melawan menjadi seorang lumpuh
selama hidupnya, kini menerjang maju dan memukul dengan pukulan paling
hebat ke arah dada Kian Ti Hosiang. Lebih baik melihat hwesio ini mati
daripada melihat ia cacat selamanya karena pukulannya yang tidak
dilawan!
Kembali pukulan ini diterima tanpa mengelak atau menangkis
oleh Kian Ti Hosiang akan tetapi sepasang mata hwesio itu mengeluarkan
sinar yang luar biasa.
"Desss....!" Telapak tangan Suma Hoat dengan
tepat mengenai dada Kian Ti Hosiang dan akibatnya.... tubuh Suma Hoat
terlempar jauh ke belakang, sampai lima enam meter jauhnya di mana ia
roboh terbanting dan muntahkan darah segar! Dia merangkak bangun,
mendekap dada yang terasa sesak, memandang ke arah hwesio yang masih
bersila itu dengan pandang mata penuh kaget, heran dan kagum bukan main.
Tahulah dia bahwa kalau hwesio ketua Siauw-lim-pai itu melawan, dalam
beberapa gebrakan saja dia tentu akan roboh dan kehilangan nyawa!
"Janjinya
hanya dua kali pukulan, Suma Hoat. Mengapa engkau memukul lagi?" Dengan
tenang Kian Ti Hosiang menegur perlahan. Suma Hoat tak dapat menjawab
karena napasnya makin sesak. Pukulannya tadi mengandung sin-kang
sekuatnya dan semua tenaga itu membalik dan menghantam dadanya sendiri.
Ia terhuyung dan cepat menjatuhkan diri duduk bersila, mengatur napas
untuk menghindarkan isi dadanya dari ancaman luka yang akan
mematikannya.
"Oohhh, bocah setan yang kejam....!" Kam Siang Kui menggeram.
"Manusia
iblis yang patut dibasmi!" Kam Siang Hui juga membentak. Kedua orang
wanita Beng-kauw ini sudah mencabut pedang dengan kemarahan meluap. Akan
tetapi kembali terdengar suara Kian Ti Hosiang,
"Ji-wi Toanio, harap
jangan menggagalkan usaha pinceng. Akan sia-sialah pengorbanan pinceng
kalau Ji-wi tidak dapat mengendalikan kemarahan!" Mendengar ini, kedua
orang itu mundur dan Kian Ti Hosiang berkata lagi,
"Bagaimana, Suma
Hoat. Apakah engkau akan memegang janji?" Pertanyaan ini ditujukan
kepada Suma Hoat yang masih duduk bersila, enam meter jauhnya dari
tempat hwesio itu bersila dengan kedua kaki lumpuh dan kini berubah
menjadi merah menghitam.
Suma Hoat membuka kedua matanya dan tampak
dua titik air mata menetes turun. Selama hidupnya, baru sekali ini ia
merasa menyesal bukan main. Tadinya ia mengira bahwa hwesio itu hanya
membujuknya saja, siapa tahu bahwa hwesio itu benar-benar telah
mengorbankan kedua kakinya menjadi lumpuh selamanya hanya untuk melihat
dia dapat menjadi seorang baik-baik! Di dunia ini, mana mungkin
ditemukan keduanya manusia seperti Ketua Siauw-lim-pai ini? Dia merasa
menyesal sekali dan dengan suara gemetar dia menjawab,
"Locianpwe,
aku bersumpah akan bertobat, akan berusaha menghilangkan perbuatan yang
kotor, akan tetapi.... aku tidak yakin apakah akan berhasil...."
"Berhasil
atau tidak merupakan hal kedua, yang terutama sekali adalah
kesanggupanmu untuk berusaha. Bagus, pinceng akan girang sekali kalau
melihat engkau dapat kembali ke jalan benar, Sicu."
"Aku berjanji,
Locianpwe. Hanya untuk menjadi suami kedua orang muridmu, aku tidak
sanggup karena aku pun tidak pernah berjanji untuk menjadi suami mereka.
Aku telah bersumpah untuk tidak menikah selama hidup...."
Suma Hoat
menghentikan kata-katanya karena terdengar jerit mengerikan disusul
robohnya Liang Bi dan Kim Cui Leng dengan tubuh mandi darah. Kiranya
ketika mendengar bahwa pria itu adalah Jai-hwa-sian, kemudian
menyaksikan betapa gurunya mengalami bencana sampai kedua kakinya lumpuh
dan mendengar ucapan terakhir Suma Hoat yang menusuk hatinya. Liang Bi
menganggap bahwa dosanya dan dosa sumoinya tak terampunkan lagi. Ia
menjadi beringas, dan mencabut pedang, tiba-tiba menyerang sumoinya
dengan tusukan kilat yang menembus dada Cui Leng, kemudian ia menusuk
dadanya sendiri sampai tembus.
Kian Ti Hosiang menoleh merangkap
kedua tangan depan dada sambil berkata, "Omitohud.... dosa ditambah dosa
lagi. Dengan kelemahan batinnya, mana mungkin manusia dapat bertahan
menghadapi godaan nafsunya sendiri? Ji-wi Toanio dari Beng-kauw, Ji-wi
melihat sendiri betapa pinceng kini tak mungkin dapat menghadapi Hoat
Bhok Lama, maka harap suka memaafkan kalau pinceng tidak dapat membantu
Ji-wi." Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh yang sudah lumpuh
kedua kakinya itu, dalam keadaan masih bersila, mencelat ke depan, kedua
lengannya menyambar jenazah Liang Bi dan Kim Cui Leng, kemudian sambil
memanggul dua mayat muridnya itu, tubuh yang tak dapat menggunakan kedua
kaki lagi itu berloncatan ke depan dengan cepat, sebentar saja lenyap
dari situ.
Suma Hoat memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.
Penyesalan besar sekali menghimpit hatinya. Biasanya, melihat
wanita-wanita membunuh diri karena menjadi korbannya, dia bisa
tertawa-tawa. Akan tetapi, menghadapi kematian dua orang murid
Siauw-lim-pai itu, melihat pengorbanan Ketua Siauw-lim-pai yang tiada
taranya, ia merasa jantungnya seperti diremas-remas. Kembali dua butir
air mata menetes dari matanya dan biarpun ia maklum bahwa dua orang
wanita gagah itu dengan penuh kemarahan telah meloncat maju di depannya,
Suma Hoat memejamkan mata dan menundukkan muka.
"Bocah setan! Sudah
lama mendengar tentang kejahatan Jai-hwa-sian, siapa tahu kenyataannya
lebih jahat lagi!" terdengar Kam Siang Kui berkata penuh kemarahan.
"Manusia
iblis yang hanya mengotorkan dunia!" Kam Siang Hui juga berkata penuh
kebencian, "Tidak hanya jahat, kejam dan pengecut hina, juga engkau
telah menggagalkan bantuan Ketua Siauw-lim-pai kepada kami!"
Suma
Hoat sedang menderita penyesalan yang hebat. Hatinya kesal dan sedih,
akan tetapi wataknya untuk mencemooh wanita masih belum lenyap sama
sekali. Ia membuka mata, memandang mereka berdua dan tersenyum.
"Ji-wi
Toanio, sekarang dua orang gadis itu telah mati, biarpun aku terluka
akan tetapi kalau hanya melayani kalian bermain cinta, aku masih
sanggup!"
"Keparat bermulut busuk!" Kam Siang Hui membentak, tangannya bergerak.
"Plakkk!"
Suma Hoat hampir terguling ketika pipinya kena tampar yang keras
sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum biarpun ujung bibirnya berdarah
oleh tamparan yang hebat itu. "Baru saja engkau berjanji kepada Kian Ti
Hosiang, sekarang telah kaulanggar, bedebah!"
"Ha-ha, Toanio tidak
adil! Memang aku berjanji untuk tidak melakukan kejahatan, termasuk
memperkosa wanita. Akan tetapi, kalau ada wanita yang dengan suka rela
hati mau melayani aku, mau kuajak berenang dalam lautan cinta, apakah ia
juga jahat namanya? Tidak, Toanio, kalau Toanio berdua mau, tidak usah
malu-malu, di sini tidak ada orang lain. Aku suka sekali melayani karena
biarpun sudah agak tua, Toanio berdua masih cantik dan tentu lebih
banyak pengalaman yang hebat-hebat....!"
"Plak-plak!" Kini Suma Hoat
terguling, matanya berkunang dan kepalanya pening karena dua kali
tamparan tangan Kam Siang Hui itu lebih dahsyat lagi. Akan tetapi ia
tersenyum dan memang dia sengaja memancing kemarahan kedua orang wanita
gagah itu agar dia dibunuhnya saja untuk mengakhiri penyesalan yang
menyesak di dada bersama luka akibat sin-kang yang dikembalikan Kian Ti
Hosiang tadi.
"Wanita seperti Toanio sudah berpengalaman, ibarat buah sedang masak-masaknya, manis dan...."
"Kubunuh engkau!" Kam Siang Hui membentak dan "srat!" pedangnya sudah tercabut, akan tetapi lengannya dipegang oleh encinya.
"Hui-moi,
tahan! Dia sengaja memanaskan hati kita agar kita membunuhnya! Terlalu
enak baginya kalau begitu," Kam Siang Kui melangkah maju memandang wajah
Suma Hoat yang masih tersenyum itu lalu berkata, suaranya dingin.
"Suma
Hoat, tertawalah karena engkau sudah berani menghina dan mempermainkan
kami. Dengarlah dan kenalilah siapa adanya kami yang telah kauhina ini.
Aku adalah Kam Siang Kui dan dia adalah adikku, Kam Siang Hui! Nenekmu,
Kam Siang Eng, adalah bibi kami dan engkau adalah keponakan kami
sendiri. Engkau telah bersikap kurang ajar dan menghina kedua orang
bibimu sendiri. Nah, bersenanglah engkau!" Kam Siang Kui menarik tangan
adiknya dan mereka berlari pergi dari situ, meninggalkan Suma Hoat yang
tiba-tiba menjadi pucat mukanya.
"Ahhhh....!" Suma Hoat menutup muka
dengan kedua tangannya. Pukulan batin yang dilontarkan Kam Siang Hui itu
hebat sekali. Penyesalan hati yang menghimpit perasaannya menjadi makin
berat. Ia mengeluh, muntahkan darah segar lalu tubuhnya terguling
pingsan!
"Aduhhh.... ampunkan aku.... kedua bibi.... ampunkan
aku...." ketika siuman, Suma Hoat merintih-rintih, suaranya mengandung
penuh penyesalan. Tentu saja ia sudah mendengar akan nama kedua orang
wanita itu, dan ia sudah mendengar bahwa mereka adalah kedua orang enci
dari Kam Han Ki, puteri paman ayahnya yang bernama Kam Bu Sin. Maka
mereka adalah pendekar-pendekar wanita Beng-kauw, bibi-bibinya sendiri,
dan dia sudah berani mengajak mereka bermain gila, mengejek dan menghina
mereka, bersikap kurang ajar sekali!
"Betapa baiknya orang yang masih mampu menyesali perbuatan sendiri dan bertobat lahir batin...."
Suma
Hoat terkejut. Dia tidak ingat lagi berapa lama pingsan, dan kini ia
merasa betapa ada telapak tangan menempel di punggungnya, tangan yang
mengeluarkan hawa hangat dan orang itu ternyata sedang menyalurkan
sin-kang untuk mengobatinya! Ia menoleh dan mendapat kenyataan bahwa
yang menolongnya itu bukan lain adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian
Hoa-san-pai yang aneh dan berkaki telanjang itu! Ia menjadi terharu
sekali. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya,
yang kebetulan saja pernah bertemu dengannya, kini tanpa diminta telah
menolongnya.
"Ahhh.... mengapa kau menolongku? Akan lebih baik kalau
kau membiarkan aku mati...." Suma Hoat mengeluh ketika mendapat
kenyataan betapa pertolongan orang aneh ini telah menyembuhkan rasa
sesak di dadanya.
"Jai-hwa-sian.... baru sekali ini selama hidupku
aku menjumpai hal yang amat mengherankan. Seorang gagah perkasa seperti
engkau kudapati pingsan di situ dan menerita luka dalam yang hanya dapat
dilakukan oleh seorang yang memiliki sin-kang amat kuatnya. Itu masih
belum aneh, yang lebih aneh lagi, engkau putus asa, berduka minta-minta
ampun. Aihhh.... apakah yang terjadi? Anggaplah aku sebagai sahabat, aku
yang amat mengagumimu, atau saudaramu.... ceritakanlah apa yang
terjadi?"
Suma Hoat menganggap bahwa dirinya selalu dimusuhi dan
dibenci orang, bahkan ayahnya sendiri mengusirnya, juga uwanya, Menteri
Kam Liong yang sakti, membencinya. Ia merasa seperti hidup sebatang
kara, kini melihat sikap orang aneh yang amat baik ini, mengingat akan
perbuatannya terhadap Ketua Siauw-lim-pai, terhadap dua orang bibinya,
tak tertahankan lagi ia menangis tersedu-sedu seperti anak kecil!
Im-yang
Seng-cu yang biasanya berwatak gembira dan jenaka, kini melongo
keheranan. Kemudian, sambil terisak, Suma Hoat menceritakan semua
riwayatnya, semenjak hatinya rusak karena kekasih yang benar-benar
dicintanya, yang diharapkan menjadi isterinya, Ciok Kim Hwa, membunuh
diri, kemudian betapa Menteri Kam Liong menentangnya, godaan selir
ayahnya dan betapa ia diusir oleh ayahnya sehingga ia menjadi benci
kepada wanita, benci di samping dorongan berahinya sehingga berubahlah
dia menjadi Jai-hwa-sian. Diceritakan pula betapa dia telah melumpuhkan
kedua kaki Kian Ti Hosiang dan bersikap kurang ajar terhadap kedua orang
bibinya, tokoh-tokoh Beng-kauw!
Berkali-kali Im-yang Seng-cu menahan
napas mendengar penuturan yang hebat itu dan dia hanya dapat
menggeleng-geleng kepalanya, penasaran dan menyesal menyaksikan nasib
seorang pendekar yang begini buruk sehingga terseret ke dalam kesesatan
yang mengerikan.
Setelah selesai bercerita, menumpahkan segala perasaan yang menggelora di hatinya, Suma Hoat menangis dengan tubuh lemas.
"Aihhh....,
betapa banyak aku bertemu orang yang hidupnya seolah-olah merupakan
siksaan, akan tetapi tidak sehebat penderitaanmu, Jai-hwa-sian. Namamu
Suma-hoat? Jadi engkau adalah putera Panglima Suma Kiat yang terkenal
itu dan engkau masih keponakan Menteri Kam Liong? Ah.... ah...., kiranya
engkau masih terhitung keluarga pendekar besar Suling Emas! Pantas....
pantas....! Dan engkau telah melumpuhkan kedua kaki Ketua Siauw-lim-pai
tanpa dia melawan? Benar-benar ajaib Ketua Siauw-lim-pai itu. Aihh!
Sekarang mengerti aku! Aku mengerti mengapa dia mengorbankan dirinya
begitu rupa!"
Suma Hoat menyusut air matanya, mengangkat muka
memandang sahabat barunya ini dengan sedih. "Dia mengorbankan diri
semata-mata untuk menyadarkan aku, akan tetapi terlambat....! Aku sudah
terlalu rusak, mana mungkin dapat dibetulkan lagi? Aku sudah terlalu
kotor, mana bisa dibersihkan lagi? Dia telah mengorbankan diri dengan
sia-sia dan aku merasa makin berat batinku...."
Akan tetapi Im-yang
Seng-cu menggeleng kepala. "Mengalahkan orang lain, hal itu tidaklah
terlalu mengagumkan. Mengalahkan hawa nafsu dalam diri sendiri, barulah
mengagumkan! Kian Ti Hosiang adalah seorang budiman yang sukar dicari
keduanya di dunia ini. Dia tidak hanya berkorban karena hendak
menyadarkanmu, saudara Suma Hoat, melainkan karena dia hendak membalas
budimu ketika engkau membela Siauw-lim-pai mati-matian, dan di samping
itu, hemmm.... kalau aku tidak salah duga, orang tua yang sakti dan
bijaksana itu SENGAJA membuat dirinya menjadi lumpuh karena urusan
Beng-kauw!"
Mendengar ini, Suma Hoat tertarik sekali dan
terheran-heran. Dia teringat akan ucapan seorang di antara bibinya yang
menyalahkan dia sebagai orang yang telah menggagalkan bantuan Ketua
Siauw-lim-pai kepada mereka.
"Apa maksudmu, Im-yang Seng-cu?"
"Tidak
tahukah engkau bahwa kedua orang bibimu itu adalah tokoh-tokoh
Beng-kauw yang berusaha merampas kembali Beng-kauw yang terjatuh ke
tangan Hoat Bhok Lama? Karena Hoat Bhok Lama menguasai Beng-kauw dan
orang ini amat sakti, bahkan semua tokoh Beng-kauw yang hendak
menundukkannya banyak yang tewas di tangannya, maka kedua orang bibimu
itu minta bantuan Kian Ti Hosiang maka agaknya pendeta itu sengaja
membuat dirinya lumpuh tak berdaya!"
"Eh, mengapa begitu?"
Im-yang
Seng-cu menghela napas dan memandang wajah sahabatnya yang dikaguminya
itu penuh perhatian. "Saudara Suma Hoat, apakah engkau tidak tahu akan
sifat orang-orang yang sudah mencapai kesaktian tinggi seperti Kian Ti
Hosiang? Semenjak dahulu, ada saja orang sakti seperti dia. Ada tiga
macam orang sakti yang mengambil jalan hidup berbeda-beda. Pertama
adalah orang-orang sakti yang menjadi tokoh kaum sesat, menjadi
datuk-datuk kaum sesat, di antaranya seperti Hoat Bhok Lama itulah. Yang
ke dua adalah orang-orang sakti seperti mendiang Menteri Kam Liong dan
mendiang Mutiara Hitam, juga ayah mereka, pendekar sakti Suling Emas
yang menggunakan kesaktian untuk menentang kejahatan atau membela negara
sebagai patriot-patriot sejati. Orang ke tiga, yang sebetulnya memiliki
tingkat lebih tinggi, adalah orang-orang seperti Kian Ti Hosiang dan Bu
Kek Siansu, yang sama sekali tidak mau mempergunakan kesaktian untuk
berkelahi, melainkan menggunakan kesaktian untuk menolong siapa saja,
untuk mengembangkan kasih sayang antara manusia, untuk menyadarkan yang
sesat, kalau perlu mengorbankan diri sendiri. Kian Ti Hosiang termasuk
orang golongan ke tiga inilah. Dia tidak dapat menolak begitu saja
permohonan tolong kedua orang bibimu dari Beng-kauw, akan tetapi dia pun
merasa enggan untuk menggunakan kekerasan terhadap Hoat Bhok Lama.
Maka, dia sengaja menerima pukulanmu agar menjadi lumpuh sehingga dia
mempunyai alasan untuk tidak menghadapi Hoat Bhok Lama di satu pihak, di
lain pihak dia mengorbankan diri untuk menyadarkanmu."
Suma Hoat
terkejut sekali, wajahnya pucat, alisnya berkerut. "Aihhhh....! Dan
seorang yang berbudi mulia seperti itu kupukul sampai cacat! Dan kepada
dua orang bibiku yang demikian gagah perkasa aku telah bersikap kurang
ajar. Manusia macam apa aku ini?" Dia mengeluh penuh penyesalan.
Im-yang
Seng-cu menggeleng kepala. "Tidak aneh kalau dalam hidup ini kita
sebagai manusia melakukan penyelewengan-penyelewengan, terseret oleh
nafsu kita sendiri. Akan tetapi yang terpenting adalah kesadaran akan
kesalahan sendiri dan belum terlambat untuk menebus kesalahan, juga
kesalahanmu terhadap kedua orang bibimu."
"Apa maksudmu, Im-yang
Seng-cu? Ah, engkau yang kuanggap sahabat atau saudara, yang telah
kuceritakan semua riwayatku yang belum pernah kubicarakan dengan orang
lain, katakanlah, apa yang harus kulakukan untuk menebus kesalahanku?"
Suma Hoat memegang lengan Im-yang Seng-cu yang menjadi terharu hatinya.
Ia membalas pegangan itu dan berkata,
"Kedua bibimu berjuang untuk
merampas kembali Beng-kauw yang dibawa menyeleweng oleh Hoat Bhok Lama.
Kini harapan mereka musnah karena Kian Ti Hosiang tidak dapat membantu
mereka. Marilah kita berdua membantu mereka menghadapi Hoat Bhok Lama
yang lihai. Dengan jalan ini, selain menebus kesalahanmu terhadap kedua
orang bibimu, juga berarti kita melakukan pekerjaan besar menolong
Beng-kauw kembali ke jalan benar dan terbebas dari tangan seorang sakti
yang sesat seperti Hoat Bhok Lama."
Timbul semangat Suma Hoat. Ia
melompat berdiri dan wajahnya berseri. "Bagus sekali! Terima kasih atas
nasihatmu, Im-yang Seng-cu. Marilah kita pergi sekarang juga. Aku
menyediakan nyawaku untuk membantu kedua orang bibiku itu!"
Im-yang Seng-cu bangkit sambil tertawa lebar. Kegembiraannya datang kembali.
"Aku
tahu! Aku tahu bahwa sebetulnya lebih banyak darah keluarga Suling Emas
mengalir dalam tubuhmu, ha-ha-ha! Marilah kutunjukkan jalannya,
sahabatku!" Kedua orang yang berilmu tinggi ini lalu melesat pergi
menggunakan ilmu lari cepat mereka untuk menyusul kedua orang tokoh
wanita Beng-kauw yang menuju ke Ta-liang-san.
***
Setelah sibuk
membagi-bagi perintah dan mengatur siasat agar gerakan pasukannya yang
akan bergabung dengan pasukan-pasukannya yang akan malam nanti menyerang
barisan Sung yang dipimpin Panglima Suma Kiat, Maya lalu mengundurkan
diri, beristirahat mencari angin sejuk di dalam hutan kecil di belakang
perkemahan. Dia memilih tempat sunyi ini untuk beristirahat dan
membayangkan kembali siasatnya untuk serbuan malam nanti agar tidak
sampai ada hal yang sampai terlupa atau terlewat. Malam masih jauh, saat
itu baru menjelang senja dan penyerbuan mereka akan dimulai menjelang
tengah malam. Setelah merasa yakin bahwa semua siasat dan persiapan
telah diatur lengkap, dia melamun. Tersenyum-senyum panglima wanita yang
perkasa ini teringat kepada Cia Kim Seng si penggembala domba yang
tampan kasar, jujur dan tak kenal takut itu. Kiranya penggembala yang
miskin itu adalah penyamaran Pangeran Bharigan, putera Kaisar Mancu! Dan
selama ini pangeran itu telah menjadi pembantunya yang setia!
Akan
tetapi Maya mengerutkan sepasang alisnya yang kecil panjang hitam
melengkung indah itu kalau ia teringat kepada Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa.
Mereka itu adalah orang-orang yang paling dekat dengannya karena mereka
adalah murid-murid Mutiara Hitam, bibinya. Dia merasa sesuatu yang aneh
terdapat dalam hubungan di antara kedua orang itu. Ada ia melihat sikap
yang bertentangan dalam kata-kata mereka, akan tetapi sejenak saja
sikap bertentangan itu berubah menjadi kemesraan ketika mereka
bergandeng tangan memasang perkemahan berdua! Apakah kemesraan itu pun
hanya akan berlangsung pendek saja, seperti sikap pertentangan mereka?
Dan
ia menarik napas berulang-ulang kalau ia teringat kepada Kam Han Ki.
Rasa rindu menyesak dadanya dan biarpun ia mengepalai banyak sekali
pasukan namun ia merasa seolah-olah dia hidup sendiri kesepian. Ke
manakah suhengnya itu sekarang? Dapatkah dia bertemu lagi dengan
suhengnya? Ia membayangkan bagaimana kalau ia kembali ke Pulau Es!
Apakah suhengnya masih berada di sana? Dan sumoinya, Khu Siauw Bwee,
apakah sumoinya itu pun berada di sana?
Teringat akan suhengnya, Maya
melamun jauh dan di dalam hatinya timbul perasaan tidak enak dan penuh
iri hati yang timbul dari cinta kasih yang digoda cemburu! Ia tahu bahwa
sumoinya juga mencinta suheng mereka itu, akan tetapi dia tidak tahu
pasti kepada siapakah di antara mereka hati penuh kasih sayang suhengnya
tertambat. Dia pun mengerti bahwa suhengnya amat sayang kepada dia dan
sumoinya, akan tetapi bukanlah itu yang dia dan sumoinya kehendaki,
melainkan kasih sayang pria terhadap wanita! Karena tenggelam dalam
lamunan, Maya yang biasanya berpendengaran tajam itu sampai tidak tahu
bahwa sejak tadi ada orang berdiri tak jauh di belakangnya, memandangnya
penuh perhatian dan dengan sinar mata penuh kasih!
"Maya...."
Dara
perkasa ini terkejut, menengok dan alisnya berkerut ketika ia melihat
Can Ji Kun telah berdiri di belakangnya. Tanpa bangkit dari atas batu
yang didudukinya, Maya berkata,
"Can Ji Kun, ada keperluan apakah engkau menemuiku?"
"Maya.... aku.... aku...." Ji Kun menggagap.
Hati Maya merasa tidak enak mendengar pemuda ini memanggil namanya begitu saja padahal biasanya menyebutnya "li-ciangkun".
"Ji Kun, apakah yang terjadi? Engkau hendak bicara apa? Katakanlah!"
Ji
Kun memandangnya dengan sinar mata penuh selidik, kemudian menghela
napas dan berkata, "Maya, katakanlah, apakah selama aku menjadi
pembantumu aku memuaskan hatimu? Apakah kauanggap aku telah berjasa dan
melaksanakan tugasku dengan baik?" Maya mengerutkan kening, tidak tahu
dan tidak dapat menduga ke mana arah jalan pikiran pemuda itu. Ia
mengangguk dan menjawab, "Pekerjaanmu baik sekali, Ji Kun dan aku puas
dengan bantuanmu."
"Syukurlah kalau begitu, Maya. Aku jadi lega dan
berani menyatakan perasaan hatiku kepadamu. Sesungguhnya.... eh,
semenjak kita bertemu.... sesungguhnya.... aku amat tertarik kepadamu,
Maya. Aku.... aku cinta padamu! Nah, sudah kukatakan sekarang terserah
penerimaanmu, Maya. Aku cinta padamu!"
Maya membelalakkan matanya,
dan kedua pipinya menjadi merah sekali. Mendengar pernyataan seorang
pemuda yang mengaku cinta padanya baru pertama kali ini didengarnya dan
menimbulkan keharuan di hatinya. Dia mencinta suhengnya dan tidak
terbalas, kini tanpa disangka-sangkanya Can Ji Kun murid bibinya
menyatakan cinta! Hal ini sesungguhnya bukan merupakan hal aneh, akan
tetapi ia teringat akan hubungan mesra antara Ji Kun dan Yan Hwa, dan
hal inilah yang membuat dadanya terasa panas dan membuat dia langsung
menjawab keras,
"Can Ji Kun, betapa berani engkau mengeluarkan
kata-kata seperti itu! Engkau dan Yan Hwa....! Kaukira mataku buta tidak
dapat melihat bahwa ada pertalian kasih antara kalian berdua? Baru saja
engkau bertemu dengan dia, dan sekarang engkau telah berani menyeleweng
dan menyatakan cinta kcpadaku?"
"Tidak! Kalau ada pertalian antara
sumoi dan aku, pertalian itu adalah pertalian benci dan saling bersaing,
bukan cinta. Aku tergila-gila kepadamu, Maya, aku tertarik begitu
berjumpa denganmu. Aku cinta padamu!"
"Sudahlah!" Maya berkata
jengkel. "Seorang manusia hanya dapat mencinta satu kali saja! Aku yakin
bahwa Yan Hwa mencintamu, Ji Kun dan demikian pula engkau pun cinta
kepadanya. Bukankah tadi kalian telah memperlihatkan perasaan itu dengan
terang-terangan?"
"Maya, kami hanya kadang-kadang berbaik karena
mengingat hubungan suheng dan sumoi. Akan tetapi aku tidak pernah akur
dengannya. Aku hanya mencinta engkau seorang, Maya, dewi pujaan hatiku,
tidak kasihankah engkau kepadaku?" Tiba-tiba Ji Kun sudah menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki Maya!
Maya bangkit berdiri, membanting
kaki dan membentak, "Ji Kun! Hentikan kegilaan ini! Aku tidak bisa
mencinta engkau atau laki-laki lain! Kita sedang menghadapi tugas
penting malam ini dan aku melarang engkau bicara tentang cinta!"
"Maya,
aku siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi sebelumnya,
katakanlah bahwa engkau tidak akan menolak cinta kasihku. Berilah aku
sedikit harapan, Maya...."
"Gila! Aku tidak tahu apa yang membuatmu menjadi gila ini! Tidak, sampai mati pun aku tidak dapat mencinta pria lain!"
"Maya.... apakah.... apakah hati dan cintamu telah dimiliki pria lain?"
Pertanyaan
ini menusuk perasaan Maya dan tanpa disadarinya, wajahnya yang
tiba-tiba berubah pucat itu kelihatan muram, dua titik air mata menimpa
pipinya. Melihat ini, Ji Kun juga bangkit berdiri, memegang lengannya
dan bertanya,
"Siapa dia, Maya? Siapa pria yang menyakiti hatimu? Katakan, akan kupenggal lehernya!"
Sekali
renggut Maya melepaskan lengannya dan memandang wajah Ji Kun dengan
sinar mata marah. "Can Ji Kun, hentikan segala omong kosong ini! Aku
tidak dapat menerima, apalagi membalas cintamu. Habis! Aku tidak sudi
mendengarnya lagi!" Setelah berkata demikian, ia meninggalkan pemuda
yang berdiri dengan muka menunduk itu. Setelah berjalan beberapa
langkah, Maya berhenti, menengok dan berkata,
"Dan jangan lupa menyebutku ciangkun kalau engkau masih suka bekerja sebagai pembantuku!"
Ji
Kun tidak menjawab, dan setelah tiba di kamarnya Maya menjatuhkan
dirinya di atas pembaringan, lalu merenung, terkenang kepada suhengnya.
Terbayang ia kepada Ji Kun yang berdiri menunduk seperti itu ketika dia
tinggalkan, dan diam-diam ia mempertimbangkan semua sikapnya. Tidak
terlalu keraskah dia terhadap pembantunya itu? Can Ji Kun adalah murid
bibinya, seorang pemuda yang perkasa dan tampan gagah. Betapapun juga,
tidak dapat dipersalahkan dia sebagai seorang pemuda tertarik dan
menyatakan cinta kasihnya. Mengapa ia tadi marah dan memperlihatkan
sikap tak senang? Sepatutnya pemuda itu dikasihani! Betapa sengsara hati
mencinta yang tidak mendapat sambutan, seperti.... seperti dia mencinta
Han Ki! Teringat akan ini, timbul perasan iba di hati Maya. Dia tadi
bersikap terlalu keras, dan sukarlah menemukan pembantu seperti pemuda
itu. Aku harus melunakkan hatinya, minta maaf dan menghiburnya. Dengan
pikiran ini, Maya lalu melompat turun melesat keluar perkemahan,
memasuki hutan kecil itu. Malam telah tiba, akan tetapi di luar tidak
terlalu gelap karena angkasa terhias bulan yang tidak terhalang awan.
Betapa
kagetnya ketika ia tiba di dalam hutan itu, ia melihat sinar pedang
begulung-gulung dan ternyata Ji Kun sedang bertanding pedang mati-matian
melawan Yan Hwa! Kiranya tadi ketika Ji Kun merayu dan menyatakan cinta
kasih kepada Maya, Yan Hwa mengintai dari balik pohon dan ketika Maya
pergi, Yan Hwa yang menjadi panas hatinya oleh cemburu itu lalu muncul
dan memaki-maki Ji Kun lalu menyerangnya! Yan Hwa tak tahu bahwa
sebetulnya Ji Kun memang sengaja memancing kemarahannya, memancing
cemburunya dan sengaja merayu Maya karena tahu bahwa kekasihnya,
sumoinya dan juga saingannya itu mengintai! Setelah puas memaki, Yan Hwa
lalu menyerang dan berlangsunglah pertandingan untuk membuktikan pedang
siapa yang lebih ampuh dan kepandaian siapa lebih tinggi!
Ketika
melihat kedua orang itu bertanding mati-matian, bukan main-main, dan
melihat Ji Kun terluka pundaknya sedangkan Yan Hwa terluka pangkal
lengannya, biarpun hanya tergores ujung pedang namun mengucurkan darah,
Maya lalu mencabut pedangnya dan ia melompat ke depan, mengelebatkan
pedangnya.
"Cring-cring....!" Ji Kun dan Yan Hwa melompat mundur dengan tangan tergetar hebat oleh tangkisan pedang Maya.
"Apakah kalian sudah gila? Hentikan pertandingan ini!" bentak Maya.
"Aku harus membunuhnya!" Yan Hwa berseru dan menerjang maju lagi.
"Perempuan sombong, kaukira begitu mudah?" Ji Kun balas membentak.
"Tranggg.....!" Pedang mereka bertemu dan bunga api berhamburan.
"Berhenti
kataku!" Maya menerjang lagi di antara mereka, pedangnya berkelebat
menyilaukan mata mengancam leher kedua orang itu sehingga kembali mereka
mundur untuk mengelak.
"Kalian dua orang gila! Kita menghadapi
serbuan kepada musuh dan kalian saling serang mati-matian! Apa artinya
ini? Celaka sekali! Kalau kalian masih tetap hendak bertanding, tidak
usah saling serang, marilah layani aku! Orang-orang seperti kalian ini
tidak patut menjadi murid-murid Bibi Mutiara Hitam! Kematian Bibi belum
terbalas, juga sekarang kita menghadapi si keparat Suma Kiat. Pembalasan
untuk kita berada di depan mata dan kalian malah saling serang. Hayo,
kalau memang kalian tidak bisa didamaikan, biarlah aku yang mewakili
mendiang Bibi Mutiara Hitam memberi pengajaran kepada kalian!"
Melihat
Maya sudah marah sekali, kedua orang itu menunduk. Mereka telah
mengenal kelihaian Maya dan mereka tidak menaruh kebencian kepada
pendekar wanita ini maka biarpun ditantang mereka diam saja. Keduanya
saling pandang dan Ji Kun lebih dulu menyarungkan pedangnya, diturut
oleh Yan Hwa.
"Maya.... eh, Li-ciangkun, maafkan aku yang dimabokkan
kemarahan. Sumoi, ucapan Li-ciangkun benar, kita masih menghadapi tugas
berat, tidak semestinya saling serang. Maafkan aku, Sumoi."
Yan Hwa
menarik napas panjang. "Aku yang salah. Aku terburu nafsu, Suheng. Akan
tetapi jangan kau memanaskan hatiku. Aku yang minta maaf."
Hampir
Maya tertawa mendengar dan melihat sikap mereka itu. Ia menyarungkan
pedangnya dan berkata, "Ji Kun dan Yan Hwa, kalian adalah murid seorang
pendekar sakti yang terkenal. Kalian bukanlah orang-orang lemah. Dalam
keadaan seperti sekarang ini, di mana kita bersama menghadapi tugas yang
berat dan penting, urusan pribadi harus dikesampingkan dulu. Apalagi
kalau timbul urusan di antara kita yang bukan musuh, masih banyak jalan
untuk berunding dan bermusyawarah, tidak semestinya diselesaikan di
ujung pedang seperti musuh-musuh besar!"
"Maaf, Li-ciangkun. Marilah Sumoi, kita melanjutkan persiapan dengan pasukan kita."
"Mari Suheng. Dan luka di pundakmu itu harus diobati."
"Juga luka di lenganmu. Aih, mengapa kita begitu terburu nafsu?"
Kedua
orang itu saling menghampiri lalu bergandeng tangan meninggalkan tempat
itu. Maya menarik napas panjang dan menjatuhkan diri duduk di atas
batu. Ia tidak tahu apakah dia harus marah, harus menangis, apakah
tertawa. Kedua orang yang menjadi murid-murid bibinya itu benar-benar
gila! Jelas bahwa mereka saling mencinta, akan tetapi mengapa mereka
bisa saling serang mati-matian seperti itu? Kalau dia tidak muncul,
sukar untuk membayangkan mereka akan dapat lolos dari cengkeraman maut
di ujung sepasang pedang iblis yang mengerikan itu! Hemm, mereka itu
saling mencinta, akan tetapi di antara mereka juga terdapat persaingan
yang mengerikan! Tiba-tiba Maya mengepal tinju dan mengertak giginya.
Kurang ajar! Tentu saja Ji Kun tadi sengaja merayunya untuk menyiksa
hati Yan Hwa, untuk mendatangkan cemburu! Tidak salah lagi, tentu mereka
bertanding karena Yan Hwa cemburu! Akan tetapi pandang mata Ji Kun
tadi! Benar-benarkah pemuda murid bibinya itu jatuh cinta kepadanya?
Ataukah hanya tertarik oleh kecantikannya? Ia menghela napas, sudah
memaafkan Ji Kun. Agaknya begitulah sifat laki-laki. Suhengnya juga
sering kali memandangnya seperti itu, akan tetapi toh suhengnya itu
kadang-kadang seperti mencinta sumoinya. Apakah semua laki-laki memiliki
sifat mata keranjang?
Menjelang tengah malam, bergeraklah Pasukan
Maut yang dipimpin oleh Maya, dan pembantu-pembantunya yang lihai, yaitu
Can Ji Kun, Ok Yan Hwa dan Kwa huciang. Mereka bergerak dari tiga
jurusan dan diam-diam Ok Yan Hwa telah menghubungi Theng Kok untuk
membantu dengan pasukan serigalanya. Maya telah mengadakan kontak
rahasia dengan Pangeran Bharigan atau Cia Kim Seng si pengembala yang
memimpin pasukan besar Mancu, dan yang bergerak dari jurusan lain untuk
secara langsung menyerbu pasukan Sung. Serbuan langsung itu yang akan
memancing pasukan Sung sehingga mereka lengah akan ancaman yang lebih
hebat dari tiga jurusan, belakang kanan dan kiri Pasukan Maut Maya!
Akan
tetapi barisan Mancu kecelik kalau mereka mengira bahwa mereka akan
dapat menyerbu secara mendadak dan mengacaukan musuh, karena begitu
mereka tiba di lapangan terbuka, terdengar sorak-sorai meledak-ledak dan
mereka disambut oleh pasukan Sung yang sudah siap menyambut kedatangan
mereka! Barisan Mancu terkejut dan ternyata kini bahwa bukan merekalah
yang menyerbu secara mendadak, bahkan sebaliknya mereka yang diserbu
dengan tiba-tiba sehingga barisan mereka menjadi kacau-balau! Perang
tanding terjadi dengan hebatnya di malam gelap itu, perang campuh tanpa
memilih lawan, hanya membedakan antara kawan dan lawan dari pakaian dan
teriakan-teriakan mereka.
Karena bulan bersembunyi di balik awan
hitam seolah-olah merasa ngeri menyaksikan manusia-manusia di bumi yang
saling sembelih saling bunuh sehingga darah membanjir di lapangan itu,
dengan sendirinya perang berhenti, masing-masing menarik pasukannya dan
mengatur barisan sambil menanti saat perintah atasan. Pemimpin
masing-masing meneliti keadaan musuh dan mendapat kenyataan bahwa mereka
itu sama kuat. Jumlah pasukan Sung memang lebih banyak, akan tetapi
mereka itu berada di lapangan yang telah diserbu dari depan, sedangkan
para penyelidik barisan Sung melihat gerak-gerik musuh di kanan kiri dan
belakang sehingga mereka maklum bahwa biarpun belum ada penyerbuan dari
tiga penjuru ini, namun dari situ ada pula ancaman, sehingga sebagian
pasukan dikerahkan untuk melakukan penjagaan di sayap kanan, kiri dan
belakang.
Rencana Maya untuk melakukan penyergapan di waktu malam
ternyata mengalami kegagalan karena tanpa terduga-duga, awan-awan gelap
menutupi bulan, tidak memungkinkan terjadinya perang tanding. Hal-hal
seperti itu seringkali terjadi atas diri manusia. Betapapun pandainya
manusia mengatur siasat dalam melakukan sesuatu, baru akan berhasil
kalau Tuhan menghendaki! Kalau Tuhan tidak menghendaki, segala usaha
akan gagal berantakan oleh hal-hal yang tak dapat dihalau oleh tenaga
manusia.
Akan tetapi kehancuran bala tentara Sung itu hanya mengalami
kemunduran waktu saja karena pada keesokan harinya, begitu terang
tanah, perang dilanjutkan dengan amat hebatnya. Sekali ini pihak Sung
benar-benar menjadi kacau, karena Maya telah menggerakkan Pasukan
Mautnya yang terpecah-pecah itu untuk menghantam dari tiga jurusan. Yang
hebat lagi, barisan berkuda Sung yang sudah terkenal amat kuat dan
menjadi pelopor bagi seluruh pasukan, dihancurkan oleh Maya dan
pasukannya dengan bantuan-bantuan serigala yang dipimpin Theng Kok si
gundul yang menjadi penggembala serigala itu! Pasukan berkuda dari bala
tentara Sung ini langsung dipimpin oleh Panglima Suma Kiat dan dua orang
pembantunya yang setia, yaitu selirnya, Ci Goat, dan muridnya,
Siangkoan Lee. Tentu saja pasukan berkuda ini amat kuat dan terdiri dari
orang-orang terlatih yang rata-rata memiliki ilmu silat lihai dan tidak
akan gentar kalau hanya menghadapi serigala-serigala. Setiap orang dari
pasukan ini akan dapat membunuh seekor serigala dengan mudah. Akan
tetapi, kalau di dalam perang itu tlba-tiba muncul ratusan ekor serigala
liar yang langsung menerjang mereka, menyerang kaki-kaki kuda membuat
kuda tunggangan mereka panik ketakutan, serigala-serigala yang seperti
manusia saja dapat diatur oleh seorang laki-laki gundul yang juga
berloncatan merangkak seperti serigala, tentu saja pasukan yang
bagaimana kuat pun akan menjadi kacau-balau. Lebih lagi karena saat itu
dipergunakan oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa untuk menerjang pasukan
berkuda yang merupakan andalan seluruh barisan Sung, maka Suma Kiat
sendiri menjadi marah dan juga bingung menyaksikan keadaan pasukannya.
Ia berteriak-teriak membagi tugas. Hatinya makin panas dan marah ketika
ia menerima laporan bahwa yang menyerang dari belakang, kanan dan kiri
adalah Pasukan Maut yang amat terkenal dipimpin oleh Panglima Wanita
Maya. Tentu saja Suma Kiat sudah pernah mendengar kehebatan Pasukan Maut
ini yang kabarnya adalah pasukan anak buah pasukan armada di timur yang
memberontak.
"Biar kuhadapi sendiri pemberontak itu!" bentaknya dan
bersama selir dan muridnya, panglima ini menyerbu di atas kudanya ke
depan. Gerakan pedang tiga orang ini hebat bukan main dan entah berapa
puluh ekor serigala tewas oleh mereka bertiga. Bahkan dengan kemarahan
meluap Suma Kiat sudah melepas senjata jarum-jarum hitam ke arah Theng
Kok. Jarum-jarum beracun hitam dari Suma Kiat amat dahsyat, tentu saja
tak dapat dielakkan oleh laki-laki gundul itu sehingga dadanya terkena
tiga batang jarum hitam yang membuatnya terjungkal, berkelojotan dan
mengeluarkan suara meraung-raung seperti serigala marah. Raungan ini
membuat sisa barisan serigala menjadi seperti gila. Mereka meraung-raung
pula dan mengamuk hebat dan nekat. Pihak pasukan berkuda bala tentara
Sung benar-benar menjadi rusak keadaannya oleh amukan serigala-serigala
ini karena menghadapi penyerbuan Pasukan Maut itu mereka sudah merasa
berat. Memang akhirnya mereka dapat membunuh semua serigala, akan tetapi
pasukan ini kehilangan banyak sekali anak buah, lebih dari setengahnya.
Sedangkan pasukan yang dipimpin oleh Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa
menghimpit mereka dari kanan kiri dan sepak terjang kedua orang ini
benar-benar mengerikan. Mereka itu menggerakkan pasukan dan menggerakkan
pedang seolah-olah hendak saling berlomba, berbanyak-banyakan membabat
musuh! Mereka menaati pesan Maya untuk menghimpit pasukan berkuda yang
dipimpin sendiri oleh Suma Kiat itu karena panglima wanita ini sendiri
mengerahkan pasukannya untuk menyerbu pasukan benar lawan untuk membantu
barisan Mancu.
"Bala bantuan datang!" Teriakan ini berulang kali
terdengar dari pihak tentara Sung yang telah didesak hebat, dan pasukan
Sung itu menjadi girang sekali dan bangkit semangat perlawanan mereka.
Juga Suma Kiat menjadi girang sekali ketika ia mengenal pasukan-pasukan
yang dipimpin oleh beberapa orang panglima Kerajaan Sung, yang dari jauh
sudah dapat dikenal bendera-benderanya. Dia bersama selirnya dan
muridnya tertawa dan mengamuk makin hebat sehingga di pihak musuh, para
perajurit menjadi gentar tidak berani mendekati mereka.
Sementara
itu, Maya dan pihak barisan Mancu yang dipimpin sendiri oleh Pangeran
Bharigan, menjadi terkejut. Biarpun mereka telah mulai mendesak musuh,
namun sesungguhnya jumlah pasukan lawan lebih besar. Kalau sekarang
ditambah bala bantuan tentara Sung, benar-benar merupakan keadaaan yang
membahayakan sekali! Tadinya, dengan cara penyergapan yang sudah
direncanakan, ditambah bantuan barisan serigala, tentara Sung telah
dibikin kacau dan banyak di antara mereka tewas sehingga jumlah mereka
kini hampir seimbang, kemenangan sudah nampak di depan mata. Akan tetapi
dengan munculnya pasukan-pasukan baru yang masih segar, Maya merasa
khawatir apakah pasukannya dan pasukan Mancu akan mampu bertahan.
Akan
tetapi, terjadilah hal yang sama sekali tidak terduga, baik oleh pihak
Mancu, maupun oleh pihak Sung sendiri. Pasukan baru yang jelas adalah
pasukan Kerajaan Sung itu datang-datang bukan membantu barisan Sung yang
dipimpin Panglima Besar Suma Kiat, sebaliknya malah menyerang barisan
Sung! Tentu saja Suma Kiat menjadi kaget heran dan marah. Ia membalapkan
kudanya menyambut pasukan Sung itu diikuti oleh Bu Ci Goat dan
Siangkoan Lee.
Biarpun pasukan yang baru datang itu mendapat perintah
atasan mereka untuk menyerbu pasukan Sung, akan tetapi melihat Suma
Kiat, mereka yang tentu saja sudah mengenalnya, tidak berani menyerang
sehingga dengan mudah Suma Kiat dapat berhadapan dengan tiga orang
pimpinan pasukan itu. Dia mengenal tiga orang ini tiga orang panglima
yang dahulu bertugas menjaga di utara, yaitu Panglima-panglima Ong Ki
Bu, Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat. Mereka ini adalah rekan-rekan mendiang
Panglima Khu Tek San, dan karena mereka adalah orang-orang bawahannya,
Suma Kiat membentak marah,
"Apakah kalian bertiga sudah menjadi gila? Mengapa pasukan kalian menyerang pasukan kami sendiri?"
Ong
Ki Bu Panglima tinggi besar yang mukanya menyeramkan dan sikapnya gagah
seperti Panglima Kwan Kong dalam dongeng Sam-kok, mengajukan kudanya
dan menudingkan tombaknya kepada Suma Kiat sambil berkata,
"Suma
Kiat! Engkau sendiri sudah mengangkat tangan secara kejam, membunuhi
pahlawan-pahlawan budiman dan gagah perkasa seperti Menteri Kam Liong
dan Panglima Khu Tek San, engkau menjilat-jilat para thaikam dan
bersekutu melumpuhkan Kaisar melemahkan negara. Kalau kami sekarang
mengangkat senjata melawanmu, apakah keanehannya?"
Muka Suma Kiat
menjadi merah, matanya terbelalak, alisnya berdiri dan sejenak ia tidak
mampu mengeluarkan suara. Akhirnya ia menggereng keras, tubuhnya
mencelat dari atas kudanya, menyambar ke arah Ong Ki Bu. Panglima Ong
ini maklum betapa lihainya Jenderal Suma Kiat, maka ia cepat menyambut
sambaran tubuh Suma Kiat dengan tombaknya yang digerakkan cepat menusuk.
Suara tombak menyambar sampai mengeluarkan suara mendesing saking
kuatnya tenaga panglima yang tinggi besar itu dan ujung tombak lenyap
berubah menjadi sinar memapaki tubuh Suma Kiat ke arah dadanya.
"Krekkkk!
Desss!" Tombak itu patah, tangan kiri Suma Kiat sudah memukul dada
Panglima Ong Ki Bu yang berteriak keras dan terjengkang dari atas
punggung kudanya, terbanting ke atas tanah dan tewas di saat itu juga
dengan dada menghitam seperti terbakar api. Dalam kemarahannya tadi,
Suma Kiat telah mempergunakan pukulan Hui-tok-ciang (Pukulan Tangan Api
Beracun) yang ampuhnya menggila!
"Hayo kalian berdua lekas berlutut
dan menarik kembali pasukan!" Suma Kiat membentak kepada Panglima Cong
Hui dan Panglima Kwee Tiang Hwat yang memandang dengan muka pucat ke
arah mayat Ong Ki Bu.
Akan tetapi, sebaliknya dari menaati perintah
ini, kedua orang panglima itu malah menerjang maju dengan senjata
mereka, menerjang Suma Kiat! Jenderal tua ini makin marah akan tetapi
pada saat itu, Bu Ci Goat selirnya dan Siangkoan Lee sudah maju
menyambut dua orang panglima itu. Tidak berlangsung lama pertandingan
yang berat sebelah ini. Dalam hal ilmu perang, mungkin kedua orang
panglima ini jauh lebih lihai dibandingkan dengan selir dan murid Suma
Kiat itu, akan tetapi dalam hal ilmu silat, mereka kalah jauh dan dalam
belasan jurus saja Cong Hai dan Kwee Tiang Hwat telah roboh terjungkal
dan tewas menyusul rekan mereka Ong Ki Bu.
Akan tetapi biarpun tiga
orang panglima itu telah roboh tewas, pasukan mereka yang menyerbu
membuat pasukan Sung yang dipimpin Suma Kiat menjadi kacau dan terpukul
mundur. Melihat ini, Suma Kiat menjadi makin marah. Dia bersama selir
dan muridnya mengamuk dan terus maju membabati musuh, merobohkan banyak
perwira Mancu dan akhirnya Suma Kiat berhadapan dengan dua orang murid
Mutiara Hitam yang juga mengamuk secara dahsyat.
"Ha-ha, bagus
sekali! Manusia jahat Suma Kiat datang menyerahkan nyawanya!" Can Ji Kun
ketawa dan menerjang maju didahului sinar kilat pedangnya, dan hanya
selisih beberapa detik dari pedang di tangan Ok Yan Hwa yang juga sudah
menyerang tubuh panglima itu.
"Trang-trang....!" Suma Kiat terkejut
bukan main menyaksikan berkelebatnya dua sinar kilat menyilaukan mata
itu, apalagi ketika ia merasakan telapak tangannya tergetar ketika
menangkis. Dipandangnya dua orang muda itu dengan mata terbelalak, dan
ia membentak,
"Bocah-bocah setan! Siapa kalian?"
"Buka telingamu
lebar-lebar!" Ok Yan Hwa berseru sambil melintangkan pedang di depan
dada. "Kami adalah murid-murid Mutiara Hitam yang datang sengaja untuk
mencabut nyawamu!"
Mendengar disebutnya nama Mutiara Hitam, Suma Kiat
terkejut sekali, akan tetapi juga marah. Dahulu, di waktu mudanya, ia
tergila-gila kepada Mutiara Hitam yang selain masih menjadi saudara
misannya, juga Mutiara Hitam Kam Kwi Lan adalah murid ibunya (baca
cerita Mutiara Hitam), akan tetapi karena cinta kasihnya ditolak, ia
menjadi benci kepada Mutiara Hitam, bahkan benci kepada semua keturunan
keluarga Suling Emas. Matanya melotot dan ia membentak,
"Kebetulan
sekali! Aku tidak berkesempatan membikin mampus Mutiara Hitam yang sudah
mati oleh orang-orang Mongol, sekarang aku akan puas kalau dapat
membunuh kedua orang muridnya!"
Ia menerjang maju dengan dahsyat,
menggunakan pedangnya yang juga sebatang pedang pusaka, mainkan Ilmu
Pedang Toa-hong-kiam (Ilmu Pedang Angin Badai) yang amat hebat.
"Ha-ha!
Pedang kami yang akan menghirup darahmu!" Ji Kun mengejek dan menyambut
serangan itu bersama sumoinya sambil balas menyerang karena di antara
kedua orang murid Mutiara Hitam ini khawatir kalau-kalau kalah dulu!
Mutiara
Hitam telah menurunkan Ilmu Pedang Siang-bhok-kiam kepada kedua orang
murid mereka, dan ilmu pedang itu telah digabungkan dengan Ilmu Golok
Pek-kong To-hoat dari Tang Hauw Lam, maka kini ilmu pedang yang
dimainkan dua orang murid Mutiara Hitam itu hebatnya luar biasa.
Masing-masing telah memberi nama sesuai dengan pedang mereka, yaitu Yan
Hwa mainkan Li-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Merah) sedangkan Ji Kun
mainkan Lam-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Iblis Jantan). Biarpun Suma Kiat
memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi daripada mereka, dia
terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan mereka terutama sekali kaget
melihat sinar pedang yang mengandung hawa mujijat yang mengerikan!
Melihat
keadaan panglima itu, Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee yang sedang mengamuk
merobohkan para perajurit Pasukan Maut seperti orang membabat rumput
saja, cepat menghampiri dan menerjang maju sehingga di lain saat, Yan
Hwa telah dikeroyok dua oleh Bu Ci Goat dan Siangkoan Lee, sedangkan Ji
Kun bertanding melawan Suma Kiat. Kini keadaan menjadi berubah sama
sekali. Kalau Suma Kiat tidak dibantu murid dan selirnya, biarpun kedua
orang murid Mutiara Hitam tidak akan mudah untuk dapat mengalahkannya,
namun panglima ini pun akan selalu terdesak. Kini, setelah kedua orang
itu membantunya, Suma Kiat mendesak Ji Kun dengan hebat, sedangkan
Siangkoan Lee dan Bu Ci Goat dapat pula menandingi kehebatan ilmu pedang
Yan Hwa.
Kedatangan pasukan-pasukan Sung di bawah pimpinan tiga
orang panglima yang memberontak terhadap Suma Kiat membuat keadaan
perang menjadi berat sebelah dan pihak barisan Sung menjadi kocar-kacir.
Sebagian besar tewas dan kini mulailah ada perajurit membalikkan tubuh
dan melarikan diri. Menyaksikan keadaan ini, mulailah Maya memperhatikan
lain hal, yaitu keinginannya untuk membunuh Suma Kiat. Ketika dia
melihat betapa musuh besar yang telah mencelakakan Menteri Kam Liong,
Panglima Khu Tek San, dan juga suhengnya itu kini sedang mendesak Ji Kun
sedangkan Yan Hwa juga didesak oleh dua orang pembantu panglima itu,
Maya lalu cepat menghampiri mereka.
"Trangggg....!" Tubuh Suma Kiat
terhuyung ke belakang dan pundak kirinya terluka, bajunya robek
berdarah. Ia memandang Maya, dengan wajah pucat dan mata mendelik saking
marahnya.
"Hemmm, agaknya engkau inikah Panglima Wanita Maya yang terkenal itu?" bentaknya.
Maya
tersenyum, senyum dingin yang menyeramkan hati Suma Kiat. "Benar,
akulah Maya. Apakah engkau telah lupa, Suma Kiat? Lupa kepada dua orang
anak yang menyelundup masuk ke istana ketika menyambut utusan Kerajaan
Yucen?"
Suma Kiat membelalakkan matanya. "Engkau....? Engkaukah....
Maya puteri Raja Talibu?" Diam-diam ia bergidik. Kiranya kini ia
berhadapan dengan keturunan keluarga Suling Emas lagi! Dua orang murid
Mutiara Hitam belum dapat ia robohkan, kini muncul keponakan Mutiara
Hitam yang agaknya memiliki kepandaian lebih hebat, puteri dari Raja
Talibu, kakak kembar Mutiara Hitam! Mulailah panglima ini menjadi gentar
hatinya, apalagi ketika ia menoleh ke sekeliling melihat betapa
pasukannya sudah kocar-kacir, bahkan ia melihat seorang penunggang kuda
yang berpakaian gagah dan mewah, yang ia kenal sebagai Pangeran Bharigan
dari Mancu! Suma Kiat maklum bahwa dalam keadaan terkurung seperti itu,
dia dan dua orang pembantunya sudah tidak dapat membebaskan diri. Ia
melihat selirnya dan muridnya masih melawan Ok Yan Hwa dengan gigih, dan
diam-diam ia pun hendak berlaku nekat, melawan sampai mati ketika
tiba-tiba timbul akal yang amat baik di otaknya.
"Persetan kalian! Mampuslah!" Kedua tangan panglima ini bergerak.
"Awas
jarum berbisa!" Maya cepat berteriak memperingatkan orang-orangnya
sambil mengibaskan lengan bajunya. Jarum-jarum berwarna merah dan hitam
menyambar ke arah Maya dan para perwira yang mengurung di situ. Biarpun
Maya sudah memberi ingat, tetap saja Kwa-huciang, pembantunya, roboh
terguling dari atas kudanya. Melihat ini, Maya cepat meloncat mendekati
dan melihat tiga batang jarum memasuki pergelangan tangan kiri
Kwa-huciang.
"Celaka! Pertahankan Kwa-huciang!" Maya berseru dan....
tampak sinar berkelebat ke arah pergelangan tangan yang seketika menjadi
buntung terbabat pedang Maya! Kwa-huciang yang maklum bahwa jalan
satu-satunya untuk menolong nyawanya hanya mengorbankan tangan,
menggigit bibir menahan rasa nyeri.
"Biar kurawat sendiri lukanya,
Li-ciangkun, lebih baik tangkap dia!" Ia menuding ke depan. Maya baru
teringat dan cepat mengangkat mukanya. Namun, terlambat karena Suma Kiat
sudah meloncat ke arah Pangeran Bharigan dan sekali sergap saja ia
berhasil membekuk pangeran itu dan mengancam nyawa Sang Pangeran Mancu
dengan jari tangan di atas ubun-ubun!
"Ci Goat! Lee-ji! Mundur ke sini!" Suma Kiat membentak. Selir dan muridnya meloncat ke belakang meninggalkan Ok Yan Hwa.
"Pengecut besar!" Maya berseru. "Lepaskan Pangeran Bharigan dan hadapi kami secara laki-laki. Panglima macam apa engkau ini?"
Suma
Kiat tersenyum. Pundaknya masih terluka dan berdarah. "Belum waktunya
kita bertanding, Maya. Aku sudah lelah dan perlu mengaso. Terserah
kepadamu, kalau kau hendak memaksa melanjutkan pertandingan, lebih dulu
Pangeran Mancu keparat ini kuhancurkan kepalanya!"
"Jangan dengarkan
dia, Li-ciangkun! Aku tidak takut mati. Serang saja!" Pangeran Bharigan
yang sudah dibuat tidak berdaya itu berkata dengan nada keras penuh
keberanian, "Can Ji Kun! Ok Yan Hwa! Hayo cepat serang jahanam ini!"
Kedua orang murid Mutiara Hitam sudah melangkah maju, akan tetapi Maya membentak, "Tahan!"
Kedua
orang muda itu tidak berani membangkang dan menoleh dengan pandang mata
penuh pertanyaan. Maya menghela napas dan berkata, "Jiwa pahlawan
Pangeran Bharigan jauh lebih berharga dibandingkan dengan sepuluh jiwa
rendah macam mereka ini. Suma Kiat, apa kehendakmu sekarang?"
"Ha-ha-ha! Melakukan siasat dalam keadaan terjepit, itu cerdik namanya! Maya, apa yang kaukehendaki?"
"Manusia
rendah! Jangan mengira bahwa aku akan merendahkan harga diri Pangeran
Bharigan dengan menyelamatkan nyawanya untuk memenuhi segala kehendakmu
yang mencemarkan namanya. Engkau bebaskan dia dan aku akan membebaskan
engkau. Ini adalah keputusan adil di antara orang gagah, kalau engkau
masih memiliki slfat kegagahan!"
"Ha-ha-ha, bocah yang kurang ajar.
Tidak ingatkah engkau bahwa aku ini masih pamanmu sendiri? Ayahmu, Raja
Talibu adalah adik misanku, dan Mutiara Hitam adalah adik misanku pula,
bahkan dahulu calon isteriku, juga sumoiku karena Mutiara Hitam adalah
murid ibuku. Apakah engkau sekarang, dan dua orang murid Mutiara Hitam
itu berani bersikap kurang ajar kepadaku?"
"Tak perlu banyak bicara,
Suma Kiat. Sekarang engkau yang harus pilih. Engkau bebaskan Pangeran
Bharigan, dan aku pun tidak akan mengganggumu bertiga, kalian bertiga
boleh pergi dari sini tanpa diganggu. Atau.... aku akan menghancurkan
kepala kalian bertiga kalau kau membunuh Pangeran Bharigan. Nah,
pilihlah!"
"Ha-ha-ha! Maya, engkau membela mati-matian kepada
Pangeran Mancu ini. Hemmm.... dia memang gagah dan tampan! Aha, aku
mengerti sekarang. Agaknya engkau sudah tergila-gila kepadanya, ya?
Kerajaan Khitan sudah hancur, memang baik sekali kalau engkau menjadi
isteri seorang Pangeran Mancu sehingga ada harapan untuk kelak menjadi
permaisuri...."
"Keparat busuk, tutup mulutmu dan bunuhlah aku!" Pangeran Bharigan membentak marah sekali.
"Suma Kiat, bagaimana?" Maya menghardik, tangannya meraba gagang pedang yang tadi sudah disarungkannya.
"Ha-ha-ha,
baiklah. Aku bebaskan dia! Ci Goat, Siangkoan Lee, hayo kita pergi dari
sini!" Suma Kiat melepaskan Pangeran Bharigan, kemudian tanpa
mempedulikan musuh-musuhnya, dia melangkah pergi diikuti kedua orang
pembantunya yang setia itu. Melihat betapa bekas panglima musuh itu
pergi begitu saja, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menggerakkan pedang. Tampak
dua sinar kilat berkelebat ke depan mengejar musuh.
"Trang-tranggg....!"
"Ehhh!
Engkau.... melindungi dan membela dia?" Yan Hwa dan Ji Kun hampir
berbareng bertanya sambil melintangkan pedang di dada dan memandang Maya
dengan mata terbelalak. Maya menyarungkan kembali pedangnya yang
dipergunakan untuk menangkis dan menghalang tadi, menggeleng kepala dan
berkata, suaranya tegas dan ketus.
"Tidak, aku tidak membela dia
melainkan membela kehormatan kita sendiri. Seorang gagah lebih
menghargai kehormatan daripada nyawa. Kita sudah berjanji, siapa sudi
melanggar janji sendiri? Apakah hal macam ini saja kalian tidak tahu
ataukah melupakan pelajaran mendiang Bibi Mutiara Hitam yang gagah
perkasa?"
Ji Kun dan Yan Hwa menundukkan muka dan diam-diam mengaku
dalam hati bahwa di dalam banyak hal, Maya ini menyerupai guru mereka!
Tiba-tiba terjadi kegaduhan dan Suma Kiat bersama dua orang pembantunya
sudah dikeroyok beberapa orang perwira Mancu.
"Heiii! Tahan senjata!
Bebaskan mereka bertiga, biarkan tiga ekor anjing itu pergi!" Pangeran
Bharigan berseru dengan marah. Mendengar seruan ini, para perwira Mancu
terkejut dan mundur. Beberapa orang perwira tinggi menghampiri pangeran
itu dan bertanya mengapa komandan pasukan musuh malah diberi kebebasan.
Pangeran Bharigan memandang ke arah Maya dan berkata,
"Panglima
Wanita Maya yang sakti telah berjanji membebaskannya. Janji merupakan
kehormatan dan aku akan membela kehormatan Panglima Maya dengan taruhan
nyawaku!"
Mendengar ini, para perwira memberi hormat ke arah Maya
yang menjadi merah mukanya karena ucapan Sang Pangeran itu, disertai
pandang matanya, sama sekall tidak menyembunyikan perasaan di hati
pangeran itu terhadap dirinya!
Kemenangan besar di hari itu disambut
meriah oleh Raja Mancu. Maya disanjung dan dipuji oleh Raja bahkan
dianugerahi pangkat tinggi menjadi wakil panglima besar yang dipegang
oleh Pangeran Bharigan sendiri! Kalau tadinya Maya hanya memimpin
ratusan orang tentara Sung yang memberontak terhadap Kerajaan Sung, kini
dia mengepalai laksaan perajurit Mancu yang siap setiap saat mematuhi
segala perintahnya. Juga Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa dianugerahi kedudukan
sebagai panglima-panglima yang dihormati. Kwa-huciang yang kehilangan
sebelah tangannya dalam pertempuran itu, diangkat menjadi penasihat
perang oleh Pangeran Bharigan yang pandai mengambil hati orang-orang
yang berkepandaian.
Karena memang tujuan hati Maya dan kawan-kawannya
hanya untuk melepaskan dendam kepada Pemerintah Sung, kepada bangsa
Mongol dan bangsa Yucen, bagi mereka tidak peduli mereka itu menjadi
panglima tentara Sung yang memberontak atau tentara Mancu, tidak ada
bedanya. Yang penting, mereka dapat membalas dendam dan tentu saja hal
ini hanya mampu mereka lakukan kalau mereka memimpin barisan yang kuat.
Raja
Mancu yang maklum akan isi hati pembantu-pembantu kuat ini, berlaku
cerdik dan bijaksana. Maya dan kawan-kawannya hanya diberi tugas untuk
memimpin pasukan menghadapi pasukan-pasukan musuh yang memang dibenci
oleh mereka. Hal ini diserahkan oleh Pangeran Bharigan yang telah
mengetahui riwayat Maya.
Semenjak Maya, Ji Kun dan Yan Hwa berada di
situ sebagai Panglima-panglima Mancu, bala tentara Mancu menjadi kuat
dan mendapatkan kemajuan besar. Dalam banyak pertempuran, baik
menghadapi pasukan Mongol, pasukan Sung, atau Yucen, pasukan yang
dipimpin Maya atau kedua orang murid Mutiara Hitam selalu memperoleh
kemenangan! Mereka makin disanjung-sanjung dan diberi banyak hadiah oleh
Raja.
Biarpun kedudukannya telah tinggi dan cita-citanya membalas
dendam telah terlaksana, namun banyak hal yang dihadapinya membuat Maya
sering kali tampak termenung dan berduka. Tidak saja ia menderita rindu
kepada suhengnya yang dicintanya, juga dia menghadapi hal-hal yang
memusingkan hatinya. Pertama adalah urusan Ji Kun dan Yan Hwa. Sungguh
dia tidak mengerti akan sikap kedua orang murid bibinya itu. Jelas bahwa
keduanya itu saling mencinta, bahkan terang-terangan kedua kakak
beradik seperguruan itu telah lama melakukan hubungan seperti suami
isteri saja! Akan tetapi betapa seringnya mereka berdua itu cekcok,
bahkan berkelahi dan saling serang dengan senjata mereka yang dahsyat,
yaitu Sepasang Pedang Iblis yang kini telah didengar riwayatnya oleh
Maya dari kedua orang itu. Setiap kali kedua orang itu bercekcok, dia
yang melerai, akan tetapi selalu Ji Kun lalu memperlihatkan sikap mesra
kepadanya yang ia tidak dapat mengenal pula dasarnya. Apakah memang
benar tertarik kepadanya, ataukah hanya dipergunakan untuk "memanaskan"
hati Yan Hwa, dia tidak pernah dapat memastikan.
Akan tetapi, hal itu
tidak begitu memberatkan hatinya seperti hal lain yang membuat dia
benar-benar bingung dan kadang-kadang menjadi kesal. Hal ini adalah
kenyataan bahwa Pangeran Bharigan yang dahulunya bernama Cia Kim Seng si
penggembala domba, jelas sekali jatuh cinta kepadanya! Mula-mula hanya
diperlihatkan dalam pandang mata, dalam suara dan sikap serta
gerak-geriknya, akan tetapi makin lama makin nyata, bahkan pada suatu
senja pangeran itu menemuinya di dalam taman dan secara terang-terangan
menyatakan cinta kasihnya terhadap Maya dan meminangnya untuk menjadi
isterinya!
"Aku tahu siapa engkau, Puteri Maya. Kita berdua adalah
keturunan raja-raja dari bangsa kita yang besar. Kerajaan Khitan telah
rusak, akan tetapi aku berjanji untuk membangunnya kembali. Kita bersama
dapat membangun kembali Kerajaan Mancu dan Khitan, disatukan menjadi
negara besar!" Demikian antara lain bujukan yang dikeluarkan oleh
Pangeran Bharigan secara sungguh-sungguh.
Maya menghela napas
panjang. "Pangeran Bharigan, terima kasih banyak atas segala kebaikanmu
dan cinta kasihmu terhadap aku. Tentang kerja sama, tentu saja aku
setuju sekali, bahkan bukankah sekarang kita telah bekerja sama? Akan
tetapi tentang perjodohan, maafkan aku, Pangeran. Bagiku, jodoh hanya
dapat diikat dengan cinta kedua pihak."
"Apakah.... apakah tidak ada
cinta kasih sedikit saja di hatimu terhadap diriku?" Pertanyaan Pangeran
itu yang diucapkan dengan suara gemetar dan secara terang-terangan
membuat kedua pipi Maya kemerahan dan hatinya terharu.
"Pangeran,
maafkan aku. Aku suka kepadamu semenjak engkau kukenal sebagai Cia Kim
Seng si penggembala domba, dan engkau adalah seorang pria yang amat
baik, gagah perkasa, tampan, budiman, berkedudukan tinggi, pendeknya,
tiada cacat celanya bagi seorang gadis. Akan tetapi, soal cinta adalah
soal hati dan tidak bisa dipaksakan, Pangeran."
Wajah yang tampan itu menjadi muram. "Puteri Maya, apakah kata-katamu itu berarti bahwa engkau telah mencinta pria lain?"
Maya
mengangkat muka memandang. Mereka saling berpandangan dan akhirnya Maya
menundukkan muka dan menarik napas panjang, akan tetapi ia berkata
dengan jujur, "Benar, Pangeran."
Pangeran Bharigan menghela napas panjang. "Aihhh, betapa bahagianya pria itu...."
Di
dalam suara Pangeran itu terkandung kedukaan dan kekecewaan besar,
membuat Maya terharu dan dara ini berkata, "Tidak, Pangeran, karena
agaknya dia tidak menerima cintaku."
Pangeran itu membelalakkan mata dan mengepal tinju. "Apa? Kalau dia menolak cinta kasihmu, sudah terang dia itu orang gila!"
"Pangeran!"
"Maafkan
aku, Maya....!" Kemudian pangeran itu dapat menguasai hatinya dan
tersenyum, memaksa diri bergembira sambil berkata, "Sudahlah, aku tidak
semestinya menggodamu dan kita hentikan saja pembicaraan mengenai hal
yang mendatangkan kepahitan di hati kita itu. Maafkan aku sekali lagi,
dan aku hanya berdoa semoga engkau bahagia, dan.... semoga akan tumbuh
tunas cinta di hatimu terhadap aku, Maya."
Biarpun semenjak saat itu
sikap Pangeran Bharigan terhadap dirinya menjadi biasa kembali dan
pangeran itu tidak pernah lagi menyinggung-nyinggung soal cinta, namun
ia tahu dari pandangan mata pangeran itu kepadanya bahwa cinta kasih
yang bersemi di hati pangeran itu semakin mendalam dan pangeran ini
selalu masih mengharapkan sambutannya. Hal-hal itulah yang membuat Maya
kadang-kadang termenung, teringat dengan hati perih kepada Kam Han Ki,
suhengnya dan juga gurunya yang amat dicintanya.
Pada suatu hari,
selagi Pangeran Bharigan berunding dengan Maya, membicarakan pergerakan
bala tentara Yucen tak jauh dari perbatasan barat, tiba-tiba datang
berita yang mengejutkan bahwa pasukan Mancu yang menjaga di perbatasan
barat itu hancur diserbu pasukan Yucen yang besar dan amat kuat! Lebih
dari setengah jumlah pasukan Mancu tewas dan sisanya kocar-kacir. Yang
amat menyakitkan hati adalah masuknya seorang perwira Mancu membawa
kepala seorang panglima yang memimpin pasukan Mancu. Kiriman kepala
panglima ini adalah kiriman dari pihak Yucen yang disampaikan kepada
Pangeran Bharigan sebagai sebuah penghinaan dan tantangan!
Perwira
itu berlutut dan membawa baki yang terisi kepala manusia itu, diterima
dengan tenang namun muka berubah pucat oleh Pangeran Bharigan yang
meloncat bangun dari kursinya. Suaranya gemetar menahan marah ketika ia
membentak,
"Kubur kepala itu dengan upacara kebesaran!"
Perwira
itu pergi dan Sang Pangeran menjatuhkan diri di atas kursinya dan
berkata penuh geram, "Sungguh aneh sekali sikap orang Yucen! Biasanya
mereka tidak pernah melakukan hal yang menjemukan dan sombong itu! Sikap
mereka ini harus kita sambut sebagai tantangan untuk mengadakan perang
besar. Hemmm, berani mereka memandang rendah kepada kita!"
Seorang
perwira lain dari pasukan yang terpukul hancur itu menceritakan betapa
di pihak tentara Yucen terdapat seorang panglima yang amat sakti, yang
berpakaian biasa tidak seperti panglima, namun orang itulah yang
sebenarnya membuat pertahanan pasukan Mancu berantakan. Juga Panglima
Yucen itulah yang telah memenggal kepala panglima komandan mereka dan
mengirimkan kepala itu kepada Kerajaan Mancu.
"Keparat! Biarkan aku sendiri memimpin pasukan untuk menghajar mereka, Pangeran!" kata Maya dengan marah.
"Aih,
menurut laporan, jumlah pasukan Yucen itu hanya sekitar sepuluh ribu
orang saja. Tidak perlu engkau merendahkan diri melayani musuh yang
begitu kecil jumlahnya."
Maya terpaksa mengangguk. Pangeran ini
selalu berusaha untuk mengangkat derajatnya. "Kalau begitu, aku akan
menyuruh Ji Kun dan Yan Hwa saja memimpin pasukan istimewa untuk
menghancurkan pasukan Yucen."
Pangeran Bharigan mengangguk, "Baiklah,
kalau kedua orang panglima yang saling berlomba membunuh musuh itu maju
bersama, tentu pasukan musuh akan dapat dibasmi habis." Dia tersenyum
puas karena sudah beberapa kali sepak terjang kedua orang murid Mutiara
Hitam itu amat hebat dan ganas, mengerikan bagi pihak lawan. Biarpun
kedudukan mereka sudah tinggi namun Ji Kun dan Yan Hwa selalu turun
tangan sendiri, terjun ke medan perang dan pedang mereka yang mulai
terkenal sebagai Pedang Iblis itu seakan-akan berlomba, berbanyak-banyak
minum darah musuh! Bahkan orang-orang dalam pasukan Mancu sendiri, dan
pasukan Sung yang menggabungkan diri dengan Mancu, secara berbisik
menyebut mereka berdua itu Pendekar Sepasang Pedang Iblis! Ji Kun
disebut Pedang Iblis Jantan sedangkan Yan Hwa disebut Li-mo-kiam (Pedang
Iblis Betina)!
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa menerima perintah Maya
untuk menyerbu dan menghancurkan pasukan Yucen yang mengalahkan pasukan
Mancu di perbatasan barat, mereka menjadi girang sekali. Mereka sudah
mendengar akan kekalahan pasukan Mancu dan tangan mereka sudah
gatal-gatal untuk menghajar pihak musuh. Begitu menerima perintah, Ji
Kun dan Yan Hwa lalu mengatur pasukan mereka masing-masing. Mereka
berdua adalah orang-orang yang memiliki watak tinggi hati, maka
mendengar bahwa pihak musuh hanya terdiri dari sepuluh ribu orang,
mereka pun tidak mau membawa pasukan besar, masing-masing hanya memimpin
lima ribu orang sehingga jumlahnya sepuluh ribu. Di bawah pimpinan
Sepasang Pedang Iblis, pasukan Mancu bersemangat tinggi dan mereka
berangkat dengan langkah tegap, sikap gagah dan sambil bernyanyi-nyanyi.
Setelah
tiba di perbatasan, mereka disambut oleh barisan Yucen dan terjadilah
perang yang amat seru. Debu mengepul tinggi, suara beradunya senjata
diseling teriakan-teriakan mendatangkan suara hiruk-pikuk yang membubung
tinggi ke angkasa. Kuda-kuda meringkik, kilatan golok pedang dan tombak
menyilaukan mata dan banjir darah mulai membasahi rumput dan tanah.
Ji
Kun dan Yan Hwa, seperti biasa, meloncat turun dari kuda mereka dan
mengamuk. Pedang mereka berubah menjadi dua sinar kilat yang
menyambar-nyambar ganas, setiap sambaran tentu disusul jerit seorang
lawan yang roboh binasa. Mereka seperti berubah menjadi sepasang iblis
yang haus darah dan mereka mengamuk berdekatan agar dapat melihat
sendiri bahwa mereka masing-masing dapat membunuh lawan yang lebih
banyak. Sambil merobohkan lawan, kedua orang ini menghitung jumlah
korban mereka.
Kehebatan dua orang murid Mutiara Hitam ini
memperkobar semangat bertanding pasukan Mancu sehingga pasukan Yucen
terdesak hebat dan mulai mundur dengan penuh rasa gentar, terutama
sekali menyaksikan pengamukan dua orang Panglima Mancu yang sakti itu.
Akan
tetapi tiba-tiba mereka bersorak dan semangat mereka bangkit. Di bagian
depan, pasukan Mancu mulai kocar-kacir dan terpukul mundur. Hal ini
disebabkan oleh terjunnya seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah
ke medan perang. Pedang di tangan kanannya berlomba dengan telapak
tangan kirinya. Setiap sabetan atau tusukan pedang sama mengerikannya
dengan setiap dorongan atau tamparan tangan kirinya. Kepala atau dada
seorang perajurit Mancu akan hancur dan pecah terkena tamparan tangan
kiri orang ini. Dia berpakaian biasa, bukan seperti seorang panglima
atau perajurit, akan tetapi agaknya para anak buah pasukan Yucen
mengenalnya dengan baik karena mereka itu bersorak-sorak bersemangat
ketika orang sakti ini muncul.
Laki-laki muda rupawan ini bukan lain
adalah Kam Han Ki! Seperti telah kita ketahui, kematian Sung Hong Kwi
yang telah menjadi isteri Pangeran Dhanu dari Kerajaan Yucen, membuat
hati Kam Han Ki remuk redam dan timbullah dendamnya kepada bangsa Mancu
yang dianggap sebagai biang keladi atau penyebab kematian bekas
kekasihnya itu. Dialah orangnya yang telah mengamuk dan menghancurkan
barisan Mancu, bahkan dialah yang memenggal kepala Panglima Mancu dan
melemparkan kepala panglima itu dengan pesan agar dikirimkan kepada Raja
Muda Mancu! Di dalam kemarahan dan dendamnya, Han Ki menantang dan
bersumpah akan membasmi semua orang Mancu.
Ketika Ji Kun dan Yan Hwa
menyaksikan betapa pasukan mereka di sebelah depan kocar-kacir dan
mundur, mereka menjadi marah sekali. Mereka sudah mendengar bahwa pihak
musuh terdapat seorang yang sakti, maka begitu melihat laki-laki
berpedang itu mengamuk seperti seekor naga menyambar-nyambar merobohkan
banyak anak buah mereka, kedua orang murid Mutiara Hitam ini menjadi
marah. Seperti berlomba mereka lalu melesat ke depan, merobohkan setiap
orang perajurit musuh yang menghadang dan hanya beberapa menit kemudian
mereka telah tiba di tempat laki-laki tampan itu mengamuk.
Tanpa
berkata apa-apa, Ji Kun dan Yan Hwa sudah menyerbu dengan pedang mereka,
menyerang Han Ki dengan jurus-jurus maut yang membuat pedang mereka
berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mengelilingi tubuh lawan.
Melihat sinar pedang yang mendatangkan angin berdesing ini, Han Ki
terkejut. Tak disangkanya bahwa pihak tentara Mancu memiliki orang-orang
sepandai ini. Dia pun tidak berani memandang rendah, cepat tubuhnya
melesat ke belakang sehingga lolos dari sambaran dua batang pedang itu.
Ia turun sambil memandang dan hatinya kagum melihat bahwa penyerangnya
adalah seorang gadis dan seorang pemuda yang berpakaian Panglima Mancu,
bersikap gagah perkasa dan ia segera dapat menduga bahwa mereka itu
tentulah dua orang tokoh kang-ouw, bukan berbangsa Mancu. Yang
menyeramkan hatinya adalah sepasang pedang yang berada di tangan kedua
orang panglima itu, pedang yang sama bentuknya, sama pula sinarnya yang
menyeramkan, hanya berbeda ukurannya. Han Ki dapat mengenal pedang yang
ampuh, dan dapat mengenal orang-orang pandai, maka ia bersikap
hati-hati.
Adapun Ji Kun dan Yan Hwa setelah melihat pemuda tampan
yang usianya sudah tiga puluh lima tahun kurang lebih ini, yang mukanya
berpeluh, pakaiannya sederhana dan sinar matanya lembut, memandang
rendah. Jelas bahwa laki-laki itu jerih terhadap mereka, terhadap
Sepasang Pedang Iblis sehingga dalam gebrakan pertama tadi laki-laki itu
mencelat ke belakang.
"Sumoi, mari kita lihat siapa di antara kita yang dapat lebih dulu membikin mampus badut ini!"
"Ah, sukar menentukan kalau hanya membunuh. Mari kita lihat pedang siapa yang banyak merobek tubuhnya!"
Han
Ki mengerutkan keningnya dan berkata, "Sungguh sayang! Masih muda
belia, memiliki kepandaian lumayan, namun berwatak tinggi hati.
Sayang.... sayang.... agaknya guru kalian tidak meningkatkan akhlak
kalian."
Yan Hwa menjadi marah sekali. Ia menudingkan pedangnya ke
arah muka Han Ki sambil membentak, "Setan sombong! Kematian sudah di
depan mata, engkau masih bersikap seperti dewa? Berani betul engkau
mencaci guru kami, keparat!"
"Sumoi, dia mana tahu bahwa guru kita adalah Mutiara Hitam. Kalau dia tahu tentu takkan berani membuka mulut besar!"
Benar
saja, Han Ki terkejut bukan main mendengar bahwa mereka ini adalah
murid Mutiara Hitam, karena Mutiara Hitam adalah piauw-cinya (kakak
misan). Ia menjadi makin marah dan kerut di keningnya mendalam.
"Bagus!
Kiranya kalian murid Mutiara Hitam? Sungguh memalukan nama guru kalau
begitu, merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat bangsa Mancu!"
"Jahanam bermulut kotor!" Yan Hwa kembali memaki, "Engkau sendiri anjing penjilat bangsa Yucen...."
"Buka
matamu lebar-lebar!" Han Ki memotong. "Apakah pakaianku seperti
perajurit? Tidak, aku tidak membantu pasukan Yucen, akan tetapi aku
memusuhi orang-orang Mancu. Tanpa ada pasukan Yucen sekalipun aku akan
mengamuk dan membunuhi orang-orang Mancu. Sekarang tidak usah banyak
cakap, biarlah aku mewakili guru kalian untuk memberi hajaran kepada
kalian bocah-bocah murtad!"
"Sombong!" Ji Kun sudah menerjang lagi
dibarengi oleh sumoinya. Pedang mereka berdesing dan mendatangkan angin,
berkilauan dan bergulung-gulung sinarnya. Namun dengan mudah Han Ki
mengelak dari sambaran dua gulungan sinar itu dan balas menyerang dengan
pedangnya.
Para perajurit kedua pihak yang bertempur di dekat tempat
itu, otomatis menghentikan pertandingan mereka dan mundur di belakang
"jago" masing-masing karena mereka tertarik sekali menonton pertandingan
luar biasa yang menegangkan hati itu. Mereka tidak melihat bayangan
tiga orang yang sedang bertanding, yang tampak hanyalah gulungan sinar
pedang yang saling membelit, dan kadang-kadang tampak bayangan tiga
orang itu menjadi banyak sekali saking cepatnya gerakan mereka.
Tadi,
ketika kedua orang muda itu mengaku sebagai murid-murid Mutiara Hitam,
Han Ki masih belum mau percaya begitu saja. Akan tetapi setelah dia
menghadapi mereka dalam pertandingan selama lima puluh jurus, barulah ia
merasa yakin bahwa memang kedua orang ini adalah murid piauw-cinya.
Yang membuat dia tidak percaya adalah sikap mereka dan kenyataan bahwa
mereka menjadi Panglima-panglima Maricu. Kalau benar murid piauw-cinya,
tidak mungkin menjadi perwira Mancu. Apalagi mereka memiliki sepasang
pedang yang pantasnya hanya berada di tangan tokoh-tokoh kaum sesat,
sepasang pedang yang mengeluarkan hawa busuk dan jahat! Melihat
permainan ilmu pedang mereka yang masih jelas mengandung dasar Ilmu
Pedang Siang-bhok-kiam bercampur dengan gerakan lain, dengan tenaga
sin-kang yang amat kuat, dia tidak ragu-ragu lagi dan tentu saja dia
tidak ingin membunuh dua orang murid piauw-cinya ini.
"Kalian
murid-murid murtad!" Kam Han Ki berseru keras dan ketika ia menangkis
pedang Yan Hwa dan mengelak dari tusukan pedang Ji Kun, dia sengaja
melangkah mundur, menurunkan pedang dan "membuka" pertahanan bagian
atas. Kesempatan yang hanya sedetik ini tentu saja dapat dilihat dan
dimanfaatkan oleh kedua orang murid Mutiara Hitam yang lihai. Seperti
dikomando saja, pedang di tangan mereka dengan gerak kilat membacok dari
atas merupakan sambaran sinar kilat!
Tadi, setiap kali ia menangkis,
Han Ki merasa betapa pedangnya melekat di pedang lawan. Namun berkat
sin-kangnya yang kuat sekali, selain dia dapat melepaskan pedangnya dari
tempelan, juga kedua orang lawan yang kaget menyaksikan kesaktian lawan
dan kekuatan sin-kang yang amat luar biasa, selalu menarik kembali
pedang dan tidak mau mengadu tenaga sin-kang. Kini, melihat pancingannya
berhasil, Han Ki cepat mengangkat pedang ke atas, menangkis sambil
mengerahkan tenaga sin-kang.
"Trakkk!" Dua batang Pedang Iblis itu
menempel di pedang Han Ki dan biarpun dua orang murid Mutiara Hitam
sudah berusaha melepaskan, tetap saja mereka tak dapat menarik kembali
pedang mereka. Namun, Yan Hwa dan Ji Kun tidak kehilangan akal. Ji Kun
memukul dengan tangan kirinya ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan
kiri Yan Hwa sudah menyambitkan jarum-jarum dari jarak yang amat dekat.
Terpaksa Han Ki menarik pedang dan tubuhnya mencelat dengan cepat ke
belakang, tangan kirinya mendorong dan ujung lengan bajunya sudah
berhasil mengebut runtuh semua jarum halus yang berbahaya dari Yan Hwa.
Akan tetapi pada saat itu, Ji Kun sudah menerjang lagi dengan sebuah
tusukan pedang yang diikuti hantaman tangan kiri yang mengandung
sin-kang panas sekali. Han Ki terkejut, apalagi ketika Yan Hwa juga
sudah menerjang dengan pedang diputar di atas kepala, sedangkan tangan
kirinya mendahului pedang dengan jari terbuka mendorong ke arah dada Han
Ki.
Han Ki mengenal dasar serangan mereka berdua itu. Pukulan Ji Kun
itu adalah jurus mujijat yang disebut Tok-hiat-coh-kut (Pukulan
Meracuni Darah Melepaskan Tulang), sedangkan pukulan Yan Hwa adalah
Khong-in-loh-hwa (Awan Kosong Menggugurkan Bunga). Pukulan-pukulan yang
dahsyat dan keji, berbahaya bukan main melebihi bahayanya
tusukan-tusukan senjata tajam karena baru terkena angin pukulannya saja
lawan yang kurang kuat tentu akan roboh dengan tubuh dalam keracunan!
Namun
Han Ki adalah murid Bu Kek Siansu yang di waktu itu telah memiliki
tingkat kepandaian amat tinggi, mungkin tidak kalah oleh kepandaian
mendiang Mutiara Hitam sendiri. Melihat datangnya pukulan-pukulan maut
dibarengi serangan pedang iblis itu dia menggerakkan pedangnya menangkis
berturut-turut dua batang pedang sambil kembali menggunakan tenaga
membiarkan kedua pedang iblis itu menempel di pedangnya, sedangkan
pukulan-pukulan ke arah lambung dan dada itu ia terima dengan pengerahan
tenaga sakti Im-kang yang amat kuat.
"Trak-trakk.... plak-plak!"
Kedua
orang murid Mutiara Hitam yang sudah merasa girang karena pukulan
mereka tak dapat dielakkan lawan, berbalik menjadi terkejut bukan main
karena tidak hanya pedang mereka yang kembali melekat di pedang lawan,
juga tangan kiri mereka yang memukul itu begitu mengenai tubuh lawan
terus menempel dan hawa yang dingin luar biasa menjalar melalui tangan
mereka sehingga tubuh mereka menggigil kedinginan. Secepat kilat tangan
kiri Han Ki bergerak dua kali menyentuh pundak kedua orang lawan itu. Ji
Kun dan Yan Hwa menjerit, kedua lengan terasa lumpuh dan terpaksa
mereka melepaskan pedang lalu roboh berlutut!
Han Ki yang berhasil
merampas pedang mengambil kedua senjata itu dari pedangnya, mengamati
dan mengkirik. Benar-benar sepasang pedang yang mengandung hawa iblis.
"Hemmm,
sungguh sayang Enci Kam Kwi Lan mempunyai dua orang murid yang murtad
dan memiliki senjata-senjata yang begini keji!" Ia berkata.
Mendengar itu, Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, lalu Ji Kun memandang Han Ki, bertanya, "Siapakah.... siapakah engkau?"
"orang-orang
murtad! Kalian telah melakukan tiga pelanggaran. Pertama, sebagai murid
Kakak Mutiara Hitam, kalian tidak mencontoh jejaknya, bahkan berwatak
sombong dan kejam menggunakan pedang-pedang iblis ini. Ke dua, kalian
malah merendahkan diri menjadi penjilat bangsa Mancu, hal yang takkan
dilakukan oleh guru kalian. Ke tiga, kalian berhadapan dengan paman
gurumu sendiri akan tetapi bersikap kurang ajar. Aku adalah Kam Han Ki
dan guru kalian Mutiara Hitam adalah kakak misanku."
Kedua orang muda
itu tentu saja sudah mendengar dari guru mereka tentang Kam Han Ki,
bahkan mereka mengerti bahwa mereka berhadapan dengan murid manusia dewa
Bu Kek Siansu, berhadapan dengan suheng dari Panglima Wanita Maya!
Mereka kaget bukan main dan teringat akan guru mereka, kedua orang itu
lalu memberi hormat sambil berlutut.
"Mohon Susiok sudi memaafkan.
Teecu berdua menggabungkan diri dengan bangsa Mancu agar dapat menuntut
balas kematian Subo di tangan orang-orang Mongol, juga menuntut balas
atas kematian Supek Kam Liong di tangan Kerajaan Sung, dan menuntut
balas atas kehancuran Khitan di tangan musuh-musuhnya, di antaranya
bangsa Yucen!"
Kam Han Ki menarik napas panjang. "Urusan pribadi
jangan dibawa-bawa dalam perang. Sudahlah, kalau aku tidak memaafkan
kalian, apakah kalian kira masih dapat hidup di saat ini? Kalian boleh
pergi dan jangan merendahkan nama guru kalian dengan menjadi panglima
Mancu. Dan pedang-pedang ini.... hemm, mendiang Enci Kam Kwi Lan tentu
akan merasa jijik dan malu melihat kalian menggunakan sepasang pedang
iblis ini."
"Akan tetapi, Susiok! Pedang-pedang itu adalah pemberian Subo!"
Mendengar
ucapan Yan Hwa ini Han Ki terkejut dan memandang sepasang pedang yang
mengeluarkan cahaya kilat menyilaukan mata itu. "Apa? Benarkah itu?"
"Sumoi
tidak membohong, Susiok. Pedang-pedang itu adalah buatan Nila Dewi dan
Mahendra atas perintah Subo, kemudian oleh Subo ditinggalkan kepada Suhu
dan akhirnya diberikan kepada teecu berdua."
Han Ki menghela napas
dan menyerahkan kembali sepasang pedang itu. "Baiklah, sebetulnya baik
buruknya sifat pedang tergantung kepada tangan manusia yang memegangnya.
Tentu mendiang gurumu memberikan pedang-pedang ini dengan niat baik.
Mulai saat ini, pergunakanlah pedang-pedang itu untuk menjunjung tinggi
nama gurumu, karena kalaus kalian menyeleweng, aku bersumpah untuk
membersihkan pedang-pedang pemberian guru kalian dengan darah kalian!
Nah, pergilah!"
Ji Kun dan Yan Hwa saling pandang, kemudian menyimpan
pedang, menjura dan berlari pergi meninggalkan medan perang. Setelah
kedua orang itu pergi Han Ki mengamuk lagi. Sakit hati karena kematian
Sung Hong Kwi, ditambah kenyataan betapa dua orang murid Mutiara Hitam
sampai terbujuk menjadi panglima-panglima Mancu, membuat ia membenci
orang Mancu, dan kini kedatangan pasukan baru di pihak Mancu yang
berjumlah selaksa orang ia sambut dengan amukan yang dahsyat.
Pasukan-pasukan
Mancu yang dipimpin oleh kedua orang murid Mutiara Hitam adalah pasukan
istimewa yang terlatih, rata-rata perajuritnya memiliki kepandaian yang
lumayan dan semangat yang tinggi karena para perwiranya terdiri dari
bekas Pasukan Maut pimpinan Panglima Wanita Maya. Karena ini, pihak
Mancu melakukan serbuan yang ganas dan pasukan-pasukan Yucen terdesak
hebat. Biarpun di situ terdapat Kam Han Ki yang mengamuk seperti seekor
naga sakti yang marah, namun pasukan Mancu tetap bertempur dengan
semangat tinggi, roboh seorang maju dua orang, roboh dua orang maju
empat orang sehingga mayat mereka bergelimpangan kena sambaran sinar
pedang di tangan kanan Han Ki dan pukulan maut dari tangan kirinya.
Perang yang terjadi itu benar-benar mengerikan karena kedua pihak tidak
ada yang mau kalah dan mundur. Setengah hari lamanya Han Ki mengamuk
terus, bergerak tanpa berhenti dan biarpun dia merupakan seorang yang
berilmu tinggi, sakti dan amat kuatnya, namun tetap saja dia seorang
manusia biasa dari darah dan daging. Hujan senjata pedang, tombak, golok
dan senjata-senjata rahasia pengeroyoknya dan biarpun tubuhnya dapat
menahan semua itu, namun pakaiannya pecah-pecah dan robek-robek,
kulitnya babak-belur dan seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Amat
menyeramkan keadaan pendekar muda ini yang seperti gila diamuk rasa
sakit hati yang timbul dari kedukaan hatinya melihat kekasihnya tewas.
Segala kekecawaan hatinya, segala kedukaannya ia tumpahkan di saat itu
melalui pedang dan tangan kirinya, merobohkan siapa saja yang
menentangnya.
Pihak Mancu menjadi gentar juga menghadapi pengamukan
Han Ki. Para perwira pilihan tidak ada yang kuat menghadapinya. Dalam
beberapa gebrakan saja, kalau tidak tewas tentu terluka berat sehingga
akhirnya para perwira itu mengerahkan pasukan-pasukan istimewa yang
dilatih oleh Panglima Wanita Maya sendiri. Han Ki dipancing masuk ke
tempat yang sudah dipasangi lobang-lobang jebakan, dikurung oleh dua
losin perajurit yang sudah ahli mempergunakan jaring-jaring baja yang
ada kaitannya. Han Ki tidak tahu akan jebakan ini maka ketika ia
memasuki tempat itu dan dikurung oleh lawan yang menggerakkan
jaring-jaring baja secara teratur, ia menjadi marah. Pedangnya diputar
dan ia membabat setiap jaring yang menyambar tubuhnya, akan tetapi
tiba-tiba kakinya terjebak. Barulah ia tahu bahwa dia sengaja hendak
dijebak. Pada saat kaki kirinya terjeblos ke dalam lobang yang ditutupi
ranting dan tanah, tiga helai jaring baja menyambar dari tiga jurusan.
"Cring-tranggg....
brettt!" Tak mungkin bagi Han Ki untuk dapat menghalau tiga helai
jaring baja itu sekaligus. Pedangnya merobek dua helai jaring, dan
mematahkan banyak kaitan baja, akan tetapi sehelai jaring telah
menyelimuti tubuhnya, kaitan-kaitan baja merobek pakaian dan melecetkan
kulit tubuhnya. Dengan marah ia meraih dengan tangan kiri, merenggut
lepas tiga buah kaitan baja dan ketika tangan kirinya bergerak,
terdengar jerit-jerit mengerikan dan tiga orang penyerangnya roboh
dengan dahi pecah dihantam kaitan-kaitan baja itu! Han Ki menggunakan
pedangnya membabati jaring yang menyelimutinya.
Akan tetapi baru saja
ia berhasil membebaskan diri, datanglah serangan anak panah dari empat
penjuru, anak panah yang mengandung racun dan ada juga anak panah yang
mengandung api! Bukan main berbahayanya penyerangan ini dan terpaksa Han
Ki yang sudah lelah sekali itu memutar pedangnya melindungi tubuh. Ia
maklum bahwa kalau dia hanya melindungi tubuh saja, tentu penyerangan
itu takkan berhenti dan akhirnya ia akan celaka. Maka ia melirik ke
sekelilingnya dan melihat di mana adanya musuh-musuh yang menghujankan
anak panah. Tiba-tiba tubuhnya melesat ke kiri, luar biasa cepatnya
mendahului gerakan anak panah berikutnya, pedangnya berkelebat dan
robohlah lima orang pemanah yang bersembunyi di sebelah kirinya.
Han
Ki mengamuk terus. Kini tidak ada lagi lawan yang berani mendekat,
apalagi karena pihak Mancu harus menjaga desakan pasukan Yucen yang
berbesar hati menyaksikan sepak terjang Han Ki yang biarpun tidak secara
terang-terangan membantu mereka, namun pengamukan pemuda sakti itu
terhadap pihak Mancu benar-benar menguntungkan mereka.
Perang di
antara kedua pasukan itu masih berlangsung, akan tetapi Han Ki sudah
kehabisan tenaga. Dia sudah tidak mengamuk lagi. Apalagi mengamuk,
berjalan dan bahkan berdiri pun dia sudah tidak kuat. Dia harus mengaso,
tubuhnya lelah sekali, marahnya berkurang dan ia menjatuhkan diri
berlutut, tangan kanan memegang gagang pedang yang ditancapkan di atas
tanah, mukanya menunduk, matanya terpejam. Rambutnya awut-awutan,
seperti juga pakaiannya. Tangan, muka dan tubuhnya berlepotan darah
kental menghitam, darah lawan dan darahnya sendiri.
Namun, tidak ada
yang berani mendekatinya biarpun pemuda itu sudah berada dalam keadaan
seperti itu. Ada dua orang perwira yang hendak menggunakan keuntungan
dan kesempatan selagi pemuda itu kelihatan habis tenaga untuk
membunuhnya, akan tetapi, ketika dua orang perwira Mancu ini menerjang
dari depan belakang dengan golok terangkat, tiba-tiba pedang di tangan
Han Ki mengeluarkan sinar kilat dua kali, ke depan dan belakang dan....
dua orang perwira itu roboh dengan perut terobek pedang. Setelah terjadi
hal yang mengerikan ini, tidak ada lagi yang berani mengganggu Han Ki
yang sudah kehabisan tenaga.
Han Ki benar-benar lelah. Dia mendengar
teriakan-teriakan hiruk-pikuk dan gerakan kaki pasukan Yucen yang
kacau-balau dan bubar, tanda bahwa pasukan Yucen terdesak lawan dan
mulai mundur. Akan tetapi Han Ki tidak mempedulikan semua itu. Dia tidak
peduli apakah pasukan Yucen menang atau kalah karena yang penting
baginya hanyalah membalas kematian Sung Hong Kwi kepada orang-orang
Mancu sampai tenaganya habis! Kini mulailah ia sadar kembali. Setelah
tubuhnya kehabisan tenaga, rasanya tidak berdaya, pikiran dan hatinya
menguasai diri, kesadarannya pulih dan ia merasa terkejut dan menyesal.
Apakah yang telah dilakukannya? Mengapa ia membunuhi demikian banyaknya
manusia? Dan dia bukan seorang perajurit Yucen! Dia membunuhi
manusia-manusia Mancu seperti iblis, hanya terdorong oleh kedukaan hati
kehilangan Sung Hong Kwi! Han Ki membuka matanya dan ngeri ia
menyaksikan bekas tangannya sendiri, melihat mayat orang Mancu bertumpuk
di sekelilingnya.
"Ya Tuhan...., apakah yang telah kulakukan
tadi....?" Terbayang olehnya betapa dengan nafsu seperti seekor binatang
buas yang kelaparan ia mengamuk selama satu hari, membunuh entah berapa
ratus atau berapa ribu orang!
Teringat akan semua perbuatannya
sehari tadi, tak terasa lagi dua titik air mata membasahi pipi Han Ki,
apalagi karena ia teringat pula akan kematian kekasihnya, Sung Hong Kwi.
Dia mengguncang-guncang kepala seolah-olah hendak mengusir kepeningan,
merasa seperti dalam sebuah mimpi yang amat buruk dan mengerikan.
Mengapa ia telah lupa akan segala nasihat gurunya sehingga dia sampai
melakukan pembunuhan besar-besaran ini?
Tiba-tiba ia mendengar derap
banyak kaki kuda dan melihat pasukan Yucen lari kocar-kacir sehingga
keadaan di sekelilingnya sejenak sunyi. Tak lama kemudian tampaklah
pasukan Mancu yang baru tiba, masih segar dan menunggang kuda, agaknya
pasukan baru yang membuat pasukan Yucen kocar-kacir tadi. Namun Han Ki
tidak peduli dan dia masih tetap berlutut memulihkan tenaga. Dia tidak
akan bergerak kalau tidak diserang orang, bahkan dalam keadaan seperti
itu, selagi hatinya penuh penyesalan, andaikata diserang orang sekalipun
belum tentu dia mau membela diri.
"Suheng....!"
Pasukan berkuda itu berhenti dan sesosok bayangan melesat ke dekat Han Ki, lalu berlutut di depan Han Ki.
"Suheng....!"
Han
Ki membuka mata memandang. Hampir dia tidak percaya akan pandang
matanya sendiri. Seorang wanita cantik dan gagah perkasa, berpakaian
sebagai seorang Panglima Besar Mancu.
"Maya-sumoi....!" Han Ki
tergagap saking bingungnya melihat sumoinya telah menjadi Panglima Besar
Mancu. "Kau.... kau seorang Panglima Mancu?"
"Aihh, Suheng. Kiranya
engkau orangnya yang mengamuk dan membinasakan pasukan Mancu. Ah,
Suheng, mana mungkin ini? Engkau membantu bangsa Yucen? Bangsa yang
telah mengakibatkan kehancuran Khitan? Suheng...."
"Diam!" Han Ki
membentak marah lalu bangkit berdiri. "Maya, tidak kusangka bahwa engkau
begitu merendahkan diri menjadi kaki tangan Mancu. Lihat, aku masih
orang biasa, aku bukan perajurit Yucen. Kalau aku memusuhi orang Mancu,
hal itu adalah karena urusan pribadi.... aku.... aku pun sudah menyesal
sekarang. Akan tetapi engkau.... ahh, engkau mabok akan kedudukan dan
kemuliaan, ya? Nah, sekarang engkau menjadi Panglima Besar Mancu, aku
sudah banyak membunuh orang-orangmu, engkau mau apa? Mau menangkapku?
Membunuhku?"
"Suheng....!"
Maya bangkit pula berdiri dan mukanya
pucat sekali. "Suheng, mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku?
Suheng, begitu bencikah engkau kepadaku? Aku.... aku bukan gila
kedudukan. Aku.... aku menggabung dengan Kerajaan Mancu untuk membangun
kembali Khitan yang telah hancur, untuk dapat membalas sakit hati orang
tua terhadap Yucen, Mongol dan Sung. Kalau hanya seorang diri, mana
mungkin aku dapat membalas, Suheng? Ayah bundaku dan kerajaan mereka
hancur oleh Yucen dan Sung, sedangkan Bibi Mutiara Hitam tewas di tangan
orang Mongol. Suheng, marilah engkau pergi bersamaku menghadap Raja
Mancu. Perbuatanmu hari ini tentu akan dimaafkan, mari kita berjuang
bahu-membahu untuk membalas dendam keluarga, menegakkan cita-cita,
Suheng...."
Han Ki melangkah mundur, matanya terbelalak. "Tidak! Aku
tidak mau terlibat dalam perang antar bangsa yang kotor ini. Aku
meninggalkan Istana Pulau Es untuk mencari engkau dan Khu-sumoi.
Sekarang aku telah dapat berjumpa denganmu, Sumoi. Kautinggalkan semua
ini, mari kita mencari Khu-sumoi dan kita bertiga kembali ke Pulau Es."
Maya
mengerutkan keningnya menjawab perlahan, "Engkau tahu tiada keinginan
lebih besar di hatiku kecuali hidup di dekatmu di Pulau Es, Suheng. Akan
tetapi, lupakah engkau akan peristiwa tidak enak yang terjadi di antara
kita bertiga? Aku tidak tahu apakah Sumoi sudah tidak marah lagi
kepadaku. Marilah engkau ikut bersamaku, Suheng. Luka-lukamu harus
dirawat dan biarlah aku nanti menyuruh pasukan mencari berita ke mana
perginya Sumoi. Setelah kita bertiga berkumpul, baru kita bicarakan
urusan masa depan kita."
"Tidak, aku tidak sudi menerima kebaikan
orang Mancu setelah aku membunuhi banyak anak buahnya. Setidaknya aku
sekarang sudah tahu di mana engkau berada. Aku tidak akan menghalangi
jalan hidupmu, Sumoi. Biarlah aku pergi sendiri mencari Khu-sumoi...."
Dengan hati penuh duka karena kecewa menyaksikan sumoinya itu ternyata
telah menjadi seorang Panglima Besar Mancu, Han Ki membalikkan tubuh
hendak pergi.
"Tunggu, Suheng....!" Maya berkelebat dan sudah
meloncat menghadang ke depan suhengnya, memandang dengan sepasang mata
merah dan basah.
Biarpun tubuhnya sudah lelah sekali, melihat Maya
mengejarnya, Han Ki memandang dengan wajah berseri. "Bagus, Sumoi. Lekas
kaubuang pakaian panglima itu dan marilah kau ikut bersamaku mencari
Khu-sumoi."
"Suheng, tidak ada kebahagiaan bagiku melebihi kalau aku
hidup di sampingmu selamanya, Suheng. Aku suka ikut bersamamu, akan
tetapi marilah kita berdua pergi ke Pulau Es dan hidup selamanya di
sana. Jangan mencari Sumoi karena.... hal itu.... hal itu hanya akan
menimbulkan pertentangan dan...."
"Maya-sumoi! Apa maksudmu ini?" Han Ki membentak.
"Suheng,
tidak tahukah engkau....? Aku.... aku.... dan Sumoi.... kami.... ah,
tak mungkin kami berdua hidup di sampingmu bersama-sama...."
"Omong
kosong! Kau seperti anak kecil saja, Sumoi! Sudahlah, nanti kita bicara
lagi kalau sudah pergi dari sini. Mari ikut bersamaku."
"Tidak,
Suheng. Kalau Suheng tidak mau berjanji pergi berdua saja dengan aku ke
Pulau Es aku tidak bisa ikut. Suheng harus dapat memilih seorang di
antara kami."
"Maya....!"
Maya terisak menangis. "Selamat
berpisah, Suheng...." Ia membalikkan tubuhnya, kemudian melampiaskan
kemarahan, kedukaan dan kekecewaannya dengan memimpin pasukannya
menyerang pasukan Yucen yang menjadi kocar-kacir dan melarikan diri.
Han
Ki pergi meninggalkan tempat itu dengan hati gelisah. Diam-diam ia
merasa menyesal sekali bahwa di dalam hatinya, Maya masih membenci Siauw
Bwee dan dia bingung sekali karena dia pun maklum apa yang menyebabkan
Maya bersikap seperti itu. Maya jatuh cinta kepadanya dan merasa cemburu
kepada Siauw Bwee!
Pandang matanya berkunang dan kepalanya menjadi
pening ketika ia melihat gerakan pasukan yang hilir-mudik. Ia
terhuyung-huyung menjauhkan diri dan di dalam hatinya mengeluh,
"Maya.... kenapa engkau bersikap seperti ini? Mengapa engkau memaksa aku
menjadi makin menderita setelah aku kehilangan Hong Kwi? Engkau dan
Siauw Bwee adalah sumoiku juga murid-muridku, bagaimana aku dapat jatuh
cinta kepada kalian yang kukenal sejak kecil? Maya.... apa yang harus
kulakukan kini? Siauw Bwee, aku harus mencarimu dan mudah-mudahan kau
akan dapat membujuk Maya agar dia suka kembali ke Pulau Es...." Dengan
hati berduka akhirnya Han Ki dapat keluar dari daerah perang itu dan
mulai dengan usahanya untuk mencari sumoinya yang ke dua, yaitu Khu
Siauw Bwee setelah gagal mengajak Maya kembali ke Pulau Es, bahkan
mengalami pukulan batin ketika melihat kenyataan bahwa Maya telah
menjadi seorang Panglima Besar Mancu dan dara itu bertekad hanya mau
pergi bersamanya kalau tidak mengajak Siauw Bwee.
Dengan mengerahkan
seluruh sisa tenaganya, Han Ki dapat mencapai lereng gunung dan dari
tempat ini dia hanya melihat gerakan pasukan seperti serombongan semut.
Ia lelah lahir batin ketika duduk di bawah pohon. Pertandingan hebat di
mana ia telah membunuh banyak sekali orang Mancu itu telah menghabiskan
tenaganya dan kini, setelah ia sadar akan segala perbuatannya ditambah
dengan pertemuannya dengan Maya, ia merasa batinnya tertekan hebat dan
penuh dengan penyesalan. Seluruh tubuhnya lemas, akan tetapi tidak
selemas batinnya. Kulit tubuhnya menderita banyak luka, akan tetapi
tidak sehebat luka di hatinya. Baru terbuka matanya, mata batinnya
betapa ia telah melakukan perbuatan yang amat jahat membunuhi
orang-orang Mancu tanpa alasan, hanya terdorong oleh rasa sakit hatinya
oleh kematian Sung Hong Kwi. Ia menyesal bukan main dan merasa malu
sendiri mengapa dia sampai dapat menjadi begitu lemah.
Teringat ia
akan suhunya, Bu Kek Siansu dan ia menjadi makin menyesal! Gurunya
adalah seorang manusia dewa yang telah menurunkan banyak ilmu kepadanya.
Ilmu-ilmu yang amat luar biasa dan yang amat tinggi pula. Sekarang
terbuktilah kata gurunya dahulu bahwa yang menentukan nilai seseorang
bukanlah ilmunya, bukanlah kepandaiannya, melainkan kekuatan batinnya.
Dan dia harus mengakui bahwa batinnya masih lemah, masih mudah dikuasai
oleh nafsu dendam. Ia merasa menyesal sekali.
Ia harus dapat membujuk
Maya agar melepaskan diri dari ikatan perang. Hal ini sudah merupakan
kewajibannya. Namun, ia mengenal pula kekerasan hati sumoinya itu
sehingga dalan keadaan seperti sekarang ini, dipaksa pun akan percuma.
"Aku
harus dapat menemukan Khu-sumoi. Hanya dialah yang kiranya akan dapat
membantuku membujuk Maya, Khu-sumoi, di manakah engkau....?" Han Ki
mengeluh.
Dalam keadaan berduka itu teringatlah Han Ki akan semua
pengalamannya sejak kecil. Dan teringat ia akan kedua orang encinya. Ia
pernah mendengar dari Menteri Kam Liong bahwa kedua orang kakak
perempuannya, yaitu Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, berada di
Ta-liang-san belajar ilmu dari paman kakek mereka, Kauw Bian Cinjin.
Dalam keadaan tertekan hatinya itu timbul perasaan rindu di hatinya
kepada kedua orang encinya itu. Akhirnya, setelah bersamadhi di lereng
gunung itu selama semalam untuk memulihkan tenaganya, pada keesokan
harinya Han Ki meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke selatan, ke
Pegunungan Ta-liang-san karena dia tahu bahwa kedua orang sucinya itu
dahulu tinggal di Puncak Ta-liang-san, digembleng oleh paman kakeknya,
Kauw Bian Cinjin.
***
Di lereng Gunung Heng-toan-san sebelah
timur, di lembah Sungai Cin-sha, terdapat sebuah kelompok bangunan yang
dilingkari tembok tinggi dan tebal, merupakan sebuah benteng yang kokoh
kuat, megah dan juga menyeramkan karena siang malam selalu terjaga
orang-orang yang kelihatan gagah sehingga tidak ada penduduk sekitar
Pegunungan Heng-toan-san yang berani datang mendekat. Para penduduk di
kaki pegunungan ini seringkali melihat orang-orang yang kelihatannya
gagah menggiring kereta yang berisi peti-peti barang atau menggiring
serombongan kuda yang juga penuh muatan bahkan adakalanya menggiring
wanita-wanita cantik yang menangis di sepanjang jalan.
Biarpun semua
barang dan tawanan itu digiring memasuki benteng dan semua penduduk
dapat menduga bahwa perampokan-perampokan yang terjadi di sekitar
pegunungan ini tentu ada hubungannya dengan benteng besar itu, namun tak
seorang pun berani mencampuri. Mereka hanya tahu bahwa benteng itu
merupakan sarang dari perkumpulan Beng-kauw yang kini menjadi nama yang
amat ditakuti, tidak seperti beberapa tahun yang lalu di mana Beng-kauw
terkenal sebagai perkumpulan yang amat kuat berpengaruh menjadi tulang
punggung Kerajaan Nan-cao dan juga menjadi penjamin ketenteraman karena
tidak ada penjahat yang berani sembarangan bergerak di bawah kekuasaan
Beng-kauw.
Memang Beng-kauw kini telah berubah sama sekali semenjak
dikuasai oleh Hoat Bhok Lama. Pendeta Lama dari Tibet yang berjubah
merah ini adalah keturunan dari datuk kaum sesat Thai-lek Kauw-ong, maka
biarpun dia berpakaian pendeta, namun pakaian ini hanya menjadi kedok
belaka untuk menutupi keadaan yang sebenarnya karena Hoat Bhok Lama
adalah seorang yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya, yang mengumbar
nafsu tanpa pengekangan sedikitpun juga. Hidupnya telah dipersembahkan
untuk menuruti segala kesenangan dunia yang dapat ia capai mengandalkan
kepandaiannya yang tinggi. Dia gila kedudukan, gila kemewahan, gila
perempuan dan karena hendak menuruti dorongan nafsu-nafsunya ini
dirampasnya Beng-kauw agar dia memperoleh kedudukan ketua yang tinggi,
memiliki ratusan orang anak buah yang taat, dihormati dan ditakuti
banyak orang. Kemudian untuk memuaskan nafsunya akan kemewahan, dia
menggunakan kepandaian dan kekuasaannya untuk menundukkan semua kaum
sesat di daerah itu sehingga setiap pencurian, setiap perampokan yang
berhasil, harus lebih dulu dibawa ke bentengnya, kemudian dia memilih
hasil-hasil rampokan itu, baru sisanya dikembalikan kepada mereka yang
melakukannya! Bukan hanya benda-benda berharga dan indah, juga termasuk
penculikan-penculikan wanita cantik!
Karena inilah, maka keadaan di
dalam benteng itu benar-benar mengagumkan orang, semua perabot serba
mewah dan mahal, gudangnya penuh dengan emas dan perak, sedangkan di
dalam kamar-kamar yang berderet-deret di belakang kamar ketua ini
terdapat simpanan wanita cantik yang merupakan haremnya tidak kurang
dari dua puluh orang banyaknya, dan masih terus minta ditambah!
Wanita-wanita ini dalam beberapa tahun saja sudah diganti-ganti dengan
orang baru, karena watak Hoat Bhok Lama yang pembosan tidak memungkinkan
seorang wanita tinggal lebih dari sebulan di situ. Setelah bosan, ia
hadiahkan kepada pembantu-pembantu yang berjasa, kemudian dia
menghendaki pengganti untuk memperlengkapi haremnya.
Pihak pimpinan
Beng-kauw yang aseli, sudah sejak dahulu berusaha membasmi Hoat Bhok
Lama dan kaki tangannya, namun tiada seorang pun dapat menandingi
kelihaian pendeta Lama ini. Bahkan orang-orang gagah di dunia kang-ouw,
yang mendengar akan kejahatan Beng-kauw baru ini, banyak yang datang
untuk menentang. Namun mereka semua menjadi korban dalam perjuangan
mereka menentang kejahatan ini karena selain Hoat Bhok Lama amat sakti
dan pembantu-pembantunya yang dia latih juga memiliki kepandaian tinggi,
juga di sekitar sarang mereka telah dipasangi tempat-tempat yang
berbahaya, jebakan-jebakan dan alat-alat rahasia yang mampu
menghancurkan setiap penyerbu sebelum mereka dapat memasuki benteng.
Pada
suatu hari, pagi-pagi sekali kembali tampak sebuah kereta diiringkan
oleh anak buah Beng-kauw yang menyeleweng memasuki pintu gerbang benteng
itu. Di dalam kereta terdapat tiga orang wanita muda yang menangis
terisak-isak. Mereka adalah anggauta rombongan pedagang yang baru saja
dirampok. Semua harta dirampas, kaum pria yang berada di kereta dibunuh
termasuk para pengawal sedangkan tiga orang wanita muda yang cantik itu
ditawan. Mereka adalah tiga orang enci adik, yang dua orang telah
menikah dan baru saja suami mereka tewas dalam pertempuran melawan
perampok, adapun yang termuda masih gadis berusia enam belas tahun.
Biarpun kedua orang encinya telah menikah, namun karena usia mereka baru
dua puluh tahun lebih dan cantik-cantik pula, maka tidak dibunuh dan
dijadikan tawanan.
Hoat Bhok Lama tercengang penuh kegirangan hati
ketika melihat tiga orang wanita ini. Baru saja dua hari yang lalu ia
menghadiahkan lima orang wanita haremnya dan ia haus akan wanita-wanita
baru, maka kedatangan tiga orang wanita ini membuat pendeta Lama itu
gembira sekali. Ia minum-minum sampai mabok kemudian sekaligus menyeret
tiga orang tawanan itu yang meronta-ronta dan menangis, memasuki
kamarnya. Terdengarlah jerit tangis tiga orang wanita itu yang terdengar
sampai keluar kamar dan ditertawai anak buah Beng-kauw. Sudah terlalu
sering terdengar rintih tangis dari dalam kamar yang merupakan kamar
jagal di mana wanita-wanita muda seperti domba-domba yang disembelih
tanpa ada yang membela mereka. Di antara rintih tangis ini terdengar
suara ketawa Hoat Bhok Lama yang menyeramkan.
"Tok-tok-tok! Suhu....!" Terdengar ketukan di pintu kamar itu.
"Setan! Siapa yang sudah bosan hidup berani menggangguku?" Hoat Bhok Lama membentak marah dari dalam kamar.
"Teecu hendak melapor, ada musuh datang!" Wanita muda yang kini berlutut di luar pintu kamar berkata.
"Heh,
keparat!" Hoat Bhok Lama meloncat, menyambar pakaian dan membuka daun
pintu. Tangannya terkepal, siap memukul wanita muda yang menjadi
muridnya, juga selirnya tentu saja karena muridnya cantik.
"Maaf,
Suhu. Kalau tidak penting, teecu mana berani mengganggu kesenangan Suhu?
Penjaga melapor bahwa dua orang kakak beradik she Kam itu naik lagi ke
bukit. Apa yang harus kami lakukan?"
"Apa? Dua orang keturunan
Beng-kauw itu? Bagus, sekali ini dua keturunan terakhir itu harus
dibasmi agar tidak selalu menimbulkan kekacauan. Eh, kaujaga mereka
bertiga itu, suruh mereka makan dan membersihkan diri dan jangan sampai
mereka membunuh diri, aku masih belum selesai dengan mereka!" Setelah
selesai berkata demikian, tergesa-gesa Hoat Bhok Lama meninggalkan kamar
tanpa menengok lagi. Si Murid memasuki kamar dan melihat betapa tiga
orang wanita muda itu saling peluk di atas ranjang sambil menangis
mengguguk.
Hoat Bhok Lama berlari menaiki anak tangga menuju ke atas
tembok di mana terdapat gardu penjaga. Para pembantunya sudah menanti
dan memberi hormat.
"Di mana mereka? Dan berapa orang yang datang?"
"Hanya
mereka berdua, Kauwcu (Ketua Agama)," jawab seorang pembantunya. "Enci
adik Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui yang dulu juga."
"Hemm, mereka
benar-benar sudah bosan hidup. Kalau saja masih muda, hemm, ada gunanya,
akan tetapi biarpun cantik, mereka sudah terlalu tua. Kita bunuh saja
mereka."
"Wah, sayang, Kauwcu. Mereka cantik-cantik sekali dan
sebagai keturunan Beng-kauw yang masih ada hubungan darah dengan Suling
Emas, tentu mereka hebat. Aihh, bagaimana kalau mereka itu diberikan
kepada kami saja?"
"Boleh, akan tetapi selanjutnya harus dibunuh.
Sebelum dibunuh, boleh kalian permainkan mereka sepuasnya. Kalau tidak
dibunuh, mereka tentu akan selalu membikin kacau. Di mana mereka?"
"Mereka mendaki dari lereng sebelah utara."
"Aku
tidak ingin mengorbankan anak buah sekali ini. Mereka cukup lihai dan
sekarang aku sendiri akan keluar menangkap mereka." Tanpa menanti
jawaban karena maklum bahwa ucapannya merupakan perintah yang tidak
boleh dibantah, kakek berjubah merah ini lalu melompat turun seperti
seekor burung berbulu merah yang besar dan dengan kaki ringan sekali dia
turun ke atas tanah di luar tembok.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui
mendaki lereng Pegunungan Heng-tuan dari utara dan tidak tahu bahwa
pihak musuh telah tahu akan kedatangan mereka. Andaikata mereka tahu pun
mereka tidak peduli dan tidak takut karena mereka telah bertekad bulat
untuk mengadu nyawa dengan pimpinan Beng-kauw yang menyeleweng itu.
Mereka telah gagal mohon bantuan Siauw-lim-pai dan sebelum mengambil
keputusan terakhir mengadu nyawa di Heng-tuan-san, mereka telah mencari
bantuan namun hasilnya kosong. Para orang-orang gagah sudah mendengar
akan kesaktian Hoat Bhok Lama, menjadi gentar dan tidak berani membantu.
Partai-partai besar yang mengkhawatirkan kedudukan mereka segan untuk
memusuhi Beng-kauw yang amat kuat itu. Dengan kecewa dan penasaran,
akhirnya kedua orang enci adik itu mengambil keputusan terakhir, yaitu
maju sendiri tanpa bantuan, mengadu nyawa dengan Ketua Beng-kauw yang
sakti untuk membalas dendam kematian suami dan saudara-saudara mereka,
dan untuk merampas kembali Beng-kauw. Mereka telah mempersiapkan diri
dengan tekad bulat mempertaruhkan nyawa dan mempersenjatai diri dengan
lengkap. Sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang cambuk di tangan
kiri. Pecut di tangan mereka yang berwarna hitam itu bukanlah senjata
sembarangan, tidak kalah ampuhnya dengan pedang di tangan mereka. Pecut
itu dahulunya adalah senjata dari paman kakek, juga guru mereka, Kauw
Bian Cinjin. Pecut itu terbuat dari pintalan rambut monyet hitam raksasa
yang hanya terdapat di Pegunungan Himalaya dan senjata ini mengeluarkan
pengaruh mujijat dan hawa panas. Pecut ini dahulu hanya sebuah,
kemudian oleh Kauw Bian Cinjin dijadikan dua dan menjadi dua buah pecut
kecil sebagai senjata kedua orang cucu keponakan, juga muridnya.
"Moi-moi,
hati-hati, kita sudah mendekati benteng. Kita belum pernah menyerbu
dari utara akan tetapi aku menduga bahwa di bagian ini pun tenhtu banyak
terdapat jebakan-jebakan dan alat rahasia. Siapkan senjatamu dan jangan
sembrono melangkahkan kaki."
"Baik, Cici," jawab Siang Hui dan dia
berjalan di belakang cicinya karena Siang Kui lebih berpengalaman
disamping lebih tinggi tingkat ilmunya.
Mereka berhenti di tepi
padang rumput yang membentang luas di antara mereka dan tembok benteng.
Di kanan kiri mereka terdapat gunung-gunung batu karang.
"Hemm, begini sunyinya dan tenang. Amat mencurigakan!" kata Siang Hui.
"Benar,
kita harus menyelidiki dulu, baru boleh melintasi padang rumput ini.
Siapa tahu di bawahnya tersembunyi jebakan." Berkata demikian, Siang Kui
mengambil sepotong batu untuk dilemparkan ke arah rumput yang hijau
segar di sebelah depan.
"Trakk!" Batu itu hancur berkeping-keping
disambar sinar merah dari samping dan kepingannya jatuh ke atas rumput
tanpa menimbulkan reaksi apa-apa. Dua orang wanita perkasa itu cepat
menengok ke kiri dan mereka memandang dengan muka merah dan mata
terbelalak penuh kemarahan kepada seorang kakek yang sudah berdiri di
situ sambil tertawa bergelak. Hoat Bhok Lama, musuh besar yang mereka
cari-cari, pembunuh Kauw Bian Cinjin, suami mereka dan para tokoh
Beng-kauw yang lain! Inilah orang yang telah merampas nama Beng-kauw,
menghancurkan Beng-kauw aseli yang didirikan oleh kakek mereka, Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan dan kini mengangkat diri menjadi Ketua Beng-kauw,
membawa anak buah Beng-kauw menyeleweng ke arah jalan sesat!
"Ha-ha-ha,
kalian berdua perempuan keras kepala, sudah berkali-kali kami beri
ampun mengingat bahwa keturunan pendiri Beng-kauw hanya tinggal kalian
berdua, mengapa masih belum bertobat dan datang mengantar nyawa?
Bukankah lebih baik kalian yang menjadi janda, masih cantik, mencari
suami-suami baru sebelum terlambat sehingga memiliki keturunan untuk
menyambung keluarga?"
"Hoat Bhok Lama, engkau penjahat besar yang
berkedok pendeta, manusia terkutuk yang berselimut jubah merah Lama,
keparat busuk yang bersembunyi di balik nama pendeta! Hari ini kami akan
mengadu nyawa denganmu untuk membersihkan nama Beng-kauw dan membalas
kematian tokoh-tokoh Bang-kauw!" Setelah mencaci marah, tubuh Kam Siang
Kui bergerak cepat berubah menjadi bayangan hijau, pedangnya menusuk ke
arah perut lawan.
"Crengggg....!" Siang Kui terhuyung ke belakang,
tangan yang memegang pedang tergetar hebat. Hoat Bhok Lama tertawa
bergelak, sepasang gembreng yang tahu-tahu telah berada di kedua
tangannya dan tadi dipergunakan menangkis pedang itu berkilauan
menyilaukan mata dan bunyi gembreng membuat telinga kedua orang wanita
kakak beradik itu seperti tuli. Akan tetapi Siang Hui telah menggerakkan
pecut hitam di tangannya.
"Tar-tar....!" Ujung cambuk hitam ini
menyambar ke arah kepala Hoat Bhok Lama yang menjadi kaget juga karena
ia mengenal cambuk bulu kera yang ampuh ini. Cepat ia melempar tubuh ke
belakang, kemudian berjungkir-balik dan tubuhnya meluncur ke depan,
gembreng di tangan kiri menghantam ke arah kepala Siang Hui.
"Cringgg....!"
Seperti juga encinya, ketika pedangnya menangkis gembreng kuning itu,
tubuhnya terhuyung dan tangan kanannya tergetar.
"Ha-ha-ha! Aku akan
menangkap kalian hidup-hidup! Ha-ha!" Hoat Bhok Lama kini menerjang
maju, sepasang gembrengnya berubah menjadi gulungan sinar kuning yang
lebar, menyambar-nyambar seperti dua bola api.
"Sing-sing-sing,
crenggg....!" Sepasang gembreng itu menyambar-nyambar dengan suara
berdesing dan kadang-kadang diseling bunyi berdencreng kalau sepasang
senjata aneh itu saling bertemu sendiri atau beradu dengan pedang lawan.
Hebat bukan main sepasang senjata ini. Dahulu, seorang di antara datuk
kaum sesat yang bernama Thai-lek Kauw-ong merupakan orang yang amat
sakti sehingga hanya pendekar-pendekar sakti seperti Suling Emas saja
yang sanggup menandinginya, di samping tokoh-tokoh atau datuk-datuk kaum
sesat lain seperti mendiang Bu-tek Siu-lam, Jin-cam Khoa-ong, Siauw-bin
Lo-mo dan Kam Sian Eng bibi kedua orang wanita ini yang telah mewarisi
ilmu-ilmu aneh dari Liu Lu Sian, puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri
Beng-kauw. Dan Hoat Bhok Lama adalah keturunan langsung yang mewarisi
ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong. Di samping senjata sepasang gembreng
yang amat ampuh, bukan saja dapat dimainkan dengan dahsyat akan tetapi
dapat pula mengeluarkan getaran suara yang menulikan telinga dan
menggetarkan jantung, namun di samping ini dia memiliki Ilmu Silat
Soan-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Angin Puyuh) dan pukulan Thai-lek-kang
yang mengandung sin-kang amat kuat.
"Wuuut-wuuut-wuuut,
tar-tar-tar!" Kedua orang wanita Beng-kauw itu terpaksa menjaga diri
dengan cambuk hitam mereka yang diputar cepat, berubah menjadi segulung
sinar hitam yang membentuk benteng sinar kuat menyelimuti tubuh mereka
sedangkan dari dalam gulungan sinar hitam itu, pedang mereka
kadang-kadang meluncur ke depan secara tiba-tiba untuk membalas serangan
lawan.
Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang wanita perkasa itu
masih jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian
Hoat Bhok Lama, dan kalau kakek ini menghendaki, tentu saja dia dapat
mengeluarkan itmunya yang tinggi untuk merobohkan dan membunuh mereka
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi, kedua orang wanita itu
bertanding mati-matian, bermaksud mengadu nyawa dan rela mati asal
dapat membunuh kakek itu. Hal ini membuat mereka seolah-olah berubah
menjadi dua ekor naga betina yang ganas. Di samping ini, Hoat Bhok Lama
juga ingin menangkap kedua lawannya hidup-hidup seperti yang ia janjikan
kepada para pembantunya. Dua orang wanita ini telah banyak membikin
pusing kepadanya, maka akan terlalu enak bagi mereka kalau dibunuh
begitu saja. Kalau dia menawan mereka hidup-hidup, dia akan memperoleh
dua keuntungan, pertama, ia dapat menyiksa musuh-musuh ini dan ke dua ia
akan dapat menyenangkan hati pembantu-pembantu dan anak buahnya. Bagi
dia sendiri, biarpun mata keranjang dan harus diakui bahwa kedua orang
janda ini masih amat menarik, namun sudah terlalu tua dan dia dapat
memperoleh gadis-gadis muda setiap saat yang dikehendakinya!
Karena
itulah maka pertandingan itu berlangsung lama dan amat hebat. Siang Kui
dan Siang Hui maklum bahwa memang mereka datang mengantar nyawa. Mereka
tahu bahwa lawan jauh lebih pandai dari mereka, karena itu mereka
tadinya berusaha minta bantuan Ketua Siauw-lim-pai untuk membantu
mereka. Namun semua usaha mereka gagal dan kini mereka datang dengan
tekad bulat untuk membunuh lawan atau mengorbankan nyawa terbunuh
olehnya!
"Cuit-cuit-tar-tar-tar!" Dua batang cambuk yang
bergulung-gulung itu menyambar empat kali ke arah empat jalan darah di
tubuh Hoat Bhok Lama, disusul tusukan dua batang pedang dari kanan kiri.
"Aihhhh!"
Hoat Bhok Lama terkejut sekali sepasang gembrengnya bergerak melindungi
tubuhnya sehingga terdengarlah suara nyaring yang membuat dua orang
wanita itu menjerit karena telinga mereka seperti ditusuk jarum dan
jantung mereka tergetar, membuat mereka terhuyung ke belakang. Namun,
sebatang ujung cambuk di tangan Siang Kui masih berhasil melecut dan
menotok leher kanan Hoat Bhok Lama, mendatangkan rasa nyeri bukan main.
Kalau lain orang yang terkena totokan ini tentu akan roboh, setidaknya
menjadi lumpuh lengan kanannya. Namun, sin-kang kakek ini kuat sekali
dan ia hanya merasa lehernya ngilu dan matanya berkunang. Bangkitlah
kemarahan kakek ini dan ia mengeluarkan teriakan keras seperti seekor
singa terluka, sepasang gembrengnya digerakkan cepat sekali dan tubuhnya
berpusing seperti gasing!
Siang Kui dan Siang Hui terkejut bukan
main. Pusingan tubuh kakek itu mengeluarkan angin seperti angin puyuh,
membuat mereka berdua tidak dapat tetap pasangan kuda-kuda kaki mereka.
Itulah Soan-hong Sin-ciang yang biasanya dilakukan dengan tangan kosong,
akan tetapi kini lebih berbahaya lagi karena yang menyambar-nyambar
dari bayangan yang berpusingan itu adalah sepasang gembreng!
Kam
Siang Kui dan Kam Siang Hui melakukan perlawanan mati-matian,
mengimbangi cengkeraman-cengkeraman maut yang berupa sepasang gembreng
itu dengan serangan-serangan mereka yang tidak kalah dahsyatnya. Akan
tetapi yang membuat keduanya merasa pening dan bingung adalah tubuh
lawan yang berpusing ditambah suara gembreng beradu yang selain
menulikan telinga juga menggetarkan jantung mereka. Untuk memusatkan
sin-kang menghadapi lawan yang lihai ini, kedua orang kakak beradik itu
memejamkan mata dan hanya mengandalkan pendengaran mereka yang sudah
kacau oleh suara gembreng.
"Cuit-cuittt....!" Ketika Hoat Bhok Lama
secara tiba-tiba menghentikan pusingan tubuhnya hanya untuk sejenak
saja, dua orang wanita itu secepat kilat telah menyerang dengan cambuk
mereka.
"Cret-crett!" Ujung cambuk bertemu sepasang gembreng, melekat
dan melibat tak dapat ditarik kembali. Terdengar kakek itu terkekeh dan
tiba-tiba ia melepaskan kedua gembrengnya, tubuhnya berjongkok dan ia
memukul dengan kedua tangan terbuka dari bawah ke arah perut kedua orang
lawannya. Inilah pukulan Thai-lek-kang yang jaman dahulu membuat
Thai-lek Kauw-ong menjadi seorang di antara datuk-datuk golongan hitam!
"Siuuut!
Siuuutt!" Dua sinar kecil hitam menyambar ke arah kedua pelipis Hoat
Bhok Lama dari kanan kiri. Kakek ini terkejut sekali, terpaksa menarik
kembali kedua tangannya dan tubuhnya ke belakang sehingga sambaran
benda-benda itu lewat yang ternyata hanyalah dua buah batu kecil yang
dilepas dengan tenaga dahsyat. Kakek ini meloncat ke atas, mencengkeram
ke arah kepala dua orang wanita yang sudah terkena pukulan Thai-lek-kang
sehingga terhuyung ke belakang. Ketika mereka membuang diri ke
belakang, cepat Hoat Bhok Lama sudah merampas kembali sepasang
gembrengnya yang tadi terbelit oleh ujung kedua batang cambuk.
Ketua
Beng-kauw itu menoleh ke kanan kiri dan melihat munculnya dua orang
laki-laki muda. Yang muncul dari sebelah kirinya adalah seorang pemuda
tampan sekali, dengan pakaian mewah indah dan di punggungnya tampak
gagang pedang beronce merah, sikapnya gagah dan sepasang matanya
bersinar tajam. Yang muncul dari kanan adalah seorang pemuda yang
pakaiannya sederhana, memegang tongkat dan kedua kakinya telanjang. Ia
maklum bahwa dua orang yang dapat melempar sebuah batu kerikil dengan
tenaga lontaran seperti itu tentu memiliki tenaga besar dan kepandaian
tinggi. Kalau tadi dia maju sendiri untuk menghadapi dua orang kakak
beradik itu adalah karena dia sudah yakin akan dapat memenangkan
pertandingan melawan mereka. Akan tetapi kini munculnya dua orang muda
yang lihai membuat dia ragu-ragu untuk mengandalkan kepandaian sendiri,
maka kakek itu tertawa aneh dan tubuhnya sudah melompat ke belakang, ke
arah padang rumput.
"Manusia terkutuk, hendak lari ke mana kau?" Siang Kui berseru dan meloncat pula mengejar, diikuti oleh Siang Hui.
"Kedua bibi jangan kejar dia!" Laki-laki tampan yang bukan lain adalah Suma Hoat si jai-hwa-sian berteriak memberi peringatan.
Kalau
saja yang muncul bukan Suma Hoat tentu enci adik Kam itu akan menurut,
akan tetapi munculnya keponakan yang dianggap sebagai seorang manusia
cabul dan jahat, membuat hati mereka marah. Apalagi Siang Kui yang
cerdik tidak mau melakukan hal yang lengah atau sembrono, mengejar
begitu saja. Dia sudah curiga bahwa padang rumput itu mengandung
jebakan, maka dia pun meloncat ke arah bekas kaki Hoat Bhok Lama
menginjak. Dan benar saja, ketika tubuhnya turun, dia menginjak tempat
yang keras.
"Moi-moi, ikuti jejak kakiku!" Dia berteriak kepada
adiknya tanpa menoleh karena dia harus mencurahkan seluruh perhatiannya
untuk melihat dan mengingat bekas injakan kaki orang yang dikejarnya.
Tiga
kali dia meloncat mengikuti Hoat Bhok Lama dan dia sudah berada di
tengah padang rumput, di belakang Hoat Bhok Lama, sedangkan Siang Hui
juga sudah menyusul dan berada di belakang encinya ketika tiba-tiba Hoat
Bhok Lama tertawa bergelak dan tubuh Siang Kui bersama adiknya yang
menginjak tepat di bekas kaki pendeta itu terjeblos dan roboh terguling
ke dalam air! Ternyata bahwa rumput hijau itu tumbuh di atas air yang
tertutup tanah tipis. Tempat berpijak kaki Hoat Bhok Lama memang tepat
di atas balok-balok yang dipasang dan disembunyikan di bawah rumput,
akan tetapi balok-balok ini dipasangi kawat sehingga dapat diatur oleh
anak buahnya yang bersembunyi sehingga ketika ia memberi isyarat, anak
buahnya menggerakkan balok-balok itu sehingga tentu saja kaki Siang Kui
dan Siang Hui tergelincir dan terjatuhlah mereka ke dalam air.
Dua
orang wanita ini boleh jadi amat perkasa kalau mereka di darat, akan
tetapi setelah mereka tercebur ke dalam air yang ternyata dalam karena
tempat ini sesungguhnya merupakan telaga kecil yang oleh Hoat Bhok Lama
diatur menjadi padang rumput sebagai jebakan, mereka tidak berdaya dan
menjadi gelagapan. Empat orang anak buah Hoat Bhok Lama yang bertugas
menjaga tempat ini segera muncul dari bawah rumput di mana mereka
bersembunyi, lalu mereka berenang menghampiri Siang Kui dan Siang Hui.
Mereka adalah ahli-ahli renang yang pandai, maka mereka dengan mudah
dapat menarik kaki kedua orang wanita itu dari bawah dan dalam
pergulatan ini kedua orang wanita perkasa itu kehilangan senjata pedang
dan cambuk mereka, akan tetapi mereka berhasil membunuh dua orang
pengeroyok. Biarpun demikian, mereka tidak mampu melepaskan pegangan
tangan dua orang pada kaki mereka yang menarik mereka ke bawah sehingga
terpaksa mereka gelagapan minum air telaga yang kotor!
"Cepat, kita
harus menolong mereka!" teriak Im-yang Seng-cu yang tadi muncul bersama
Suma Hoat. Orang aneh bertelanjang kaki ini sudah melontarkan
tongkatnya, tubuhnya menyusul melayang seperti seekor burung terbang dan
kakinya hinggap di atas tongkatnya yang melintang dan mengambang di
atas rumput dekat tempat kedua orang wanita itu tenggelam. Juga Suma
Hoat sudah melontarkan sepotong kayu yang didapatnya di situ, meniru
perbuatan kawannya melompat. Sekali menggerakkan tangan mereka sudah
berhasil membunuh dua orang yang berusaha menenggelamkan dua orang
wanita itu, kemudian mereka menarik tangan Siang Hui dan Siang Kui.
Namun berat tubuh dua orang terlalu banyak untuk dapat ditahan oleh
hanya sebatang tongkat dan kayu, maka sambil menarik mereka terus
melontarkan tubuh Siang Kui dan Siang Hui ke depan, ke arah tepi di
seberang yang lebih dekat.
Siang Kui dan Siang Hui yang sudah
kehilangan senjata, meluncur ke depan dan mereka berjungkir-balik di
udara untuk menambah tenaga luncuran sehingga mereka dapat turun ke tepi
seberang padang rumput dengan selamat. Dengan kemarahan meluap-luap
mereka tidak sempat berterima kasih kepada keponakan mereka yang tadinya
mereka benci itu, melainkan terus mengejar bayangan Hoat Bhok Lama yang
berlari ke depan sambil tertawa-tawa. Kakek itu lari mendekati sebuah
gunung batu karang di sebelah depan.
Melihat kenekatan kedua orang
bibinya, Suma Hoat menjadi khawatir sekali. Dia dan Im-yang Seng-cu baru
saja tiba di tempat itu dan hampir mereka terlambat menolong Siang Kui
dan Siang Hui.
"Monyet tua itu lihai dan licik sekali, kita harus
membantu bibimu!" Im-yang Seng-cu berkata, "Aku harus membawa senjataku,
lontarkan aku ke sana!"
Suma Hoat mengangguk, lalu ia memegang
lengan kanannya dan mengerahkan sin-kang melemparkan tubuh kawan itu ke
seberang depan. Im-yang Seng-cu menjepit tongkatnya dengan jari kaki
yang telanjang dan dia pun mengerahkan gin-kangnya untuk membantu tenaga
lontaran Suma Hoat. Pemuda tampan ini sampai amblas kedua kakinya yang
menginjak kayu ketika melontarkan tubuh kawannya, kemudian ia
menggunakan kayu itu sebagai perahu untuk menyusup di antara rumput
hijau menuju ke seberang.
Hoat Bhok Lama tadinya tertawa-tawa menanti
dua orang wanita yang sudah tidak memegang senjata. Dia merasa yakin
kini akan dapat menawan mereka, akan tetapi ketika ia melihat dua orang
laki-laki muda yang lihai itu juga mengejar, cepat kakek ini
mengeluarkan suara melengking panjang untuk memberi isyarat kepada anak
buahnya.
Pada saat Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat tiba di seberang
padang rumput atau telaga yang tertutup rumput itu, dari atas puncak
gunung karang tampak datang banyak orang anak buah Beng-kauw yang
menjadi kaki tangan Hoat Bhok Lama. Melihat ini Suma Hoat berteriak,
"Harap Bibi berdua hadapi tikus-tikus dari atas itu. Serahkan monyet tua ini kepada kami!"
Sekali
ini Siang Kui dan Siang Hui tidak membantah. Diam-diam mereka merasa
berbesar hati bahwa keponakan mereka itu agaknya telan insyaf dan kini
datang bersama seorang bertelanjang kaki yang kelihatan juga lihai
sekali untuk membantu mereka menghadapi pendeta Lama yang menyelewengkan
Beng-kauw. Mereka juga tahu diri, maklum bahwa mereka tidak akan mampu
menandingi Hoat Bhok Lama, apalagi setelah mereka kehilangan senjata
mereka. Maka mereka hanya mengangguk dengan pandang mata bersyukur,
kemudian mereka lari naik menyambut rombongan anak buah Hoat Bhok Lama.
Dengan
beberapa kali loncatan Suma Hoat dan Im-yang Seng-cu sudah berhadapan
dengan Hoat Bhok Lama yang sudah menanti dengan sepasang gembreng di
tangan dan sepasang mata yang memandang ringan, mulutnya menyeringai
menyambut dua orang muda itu dengan ucapan memuji,
"Wah, kepandaian kalian boleh juga! Siapakah kalian orang-orang muda yang berani menentang Ketua Beng-kauw?"
Suma Hoat tidak mau menjawab dan sudah akan menerjang maju, akan tetapi Im-yang Seng-cu tertawa menjawab,
"Anak
buah Beng-kauw yang kaupimpin adalah penyeleweng-penyeleweng dan engkau
adalah seorang ketua palsu, Hoat Bhok Lama! Karena itu maka hari ini
aku, Im-yang Seng-cu dan sahabat kentalku ini, Jai-hwa-sian sengaja
datang untuk melenyapkan yang palsu membangun yang aseli. Bagaimana?"
Hoat
Bhok Lama menjadi merah mukanya dan alisnya berkerut. "Hemmm,
seingatku, nama julukan Jai-hwa-san dimiliki seorang yang rendah hati
menggolongkan diri sebagai kaum sesat dan hitam, juga Im-yang Seng-cu
kabarnya adalah seorang pelarian yang murtad dari Hoa-san-pai, jadi juga
tidak tergolong kaum bersih. Mengapa kini berlagak seperti orang-orang
bersih yang sombong dan hendak menentang golongan sendiri? Sebaiknya
Ji-wi membantu kami dan Ji-wi akan menikmati hidup ini, apalagi
Jai-hwa-sian, ingin mendapatkan gadis yang betapa cantik pun tidak usah
repot-repot mencari sendiri. Bagaimana?"
Mereka saling pandang,
kemudian Im-yang Seng-cu tertawa, "Ha-ha-ha-ha! Usulmu memang adil dan
baik sekali. Kami bukan hendak mengaku-aku orang baik-baik dan orang
suci! Memang kami akui bahwa Jai-hwa-sian dan Im-yang Seng-cu bukan
manusia suci, namun kami tidak pernah menyembunyikan diri di balik jubah
pendeta merah dan di bawah kepala gundul! Di antara kami dengan engkau
jelas terdapat perbedaan yang mencolok, Hoat Bhok Lama. Kami kotor akan
tetapi tidaklah palsu seperti engkau! Kalau sekarang engkau suka
berlutut minta ampun kepada dua orang keturunan Beng-kauw asli itu dan
menyerahkan kembali anak buahmu yang sudah kaubawa menyeleweng, kemudian
kau membiarkan aku mengetuk kepalamu yang gundul sampai benjol-benjol,
kemudian kau membiarkan rambut kepalamu tumbuh dan mengganti baju
pendetamu, nah, kalau begitu mungkin kami mau mengampunkan engkau!"
"Manusia
sombong! Makanlah gembrengku seorang satu!" bentak Hoat Bhok Lama yang
menjadi marah sekali dan menyerang ke depan, kedua gembrengnya sebelum
menyerang saling beradu sehingga terdengar suara yang menggetarkan
jantung menulikan telinga, kemudian tampak sinar kuning menyambar ke
arah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
"Cringgg! Tranggg!" Pedang di
tangan Suma Hoat dan tongkat di tangan Im-yang Seng-cu menangkis. Dua
orang muda perkasa itu terdorong mundur tanda bahwa tenaga sin-kang
kakek itu benar-benar amat hebat, mereka terkejut dan balas menyerang,
maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan dalam sekejap mata saja
lenyaplah bayangan mereka bertiga, terbungkus oleh sinar senjata
masing-masing. Dua gulungan sinar kuning dari sepasang gembreng Hoat
Bhok Lama saling belit dengan sinar putih pedang Suma Hoat dan sinar
hijau tongkat Im-yang Seng-cu!
Hoat Bhok Lama adalah keturunan
langsung dari Thai-lek Kauw-ong yang mempunyai dua orang murid. Murid ke
dua adalah Pat-jiu Sin-kauw yang pernah bentrok dengan dua orang muda
itu ketika mereka menyerbu tempat Coa-beng-cu, ketua perkumpulan hitam
di pantai Po-hai dahulu. Namun dibandingkan dengan Hoat Bhok Lama
kepandaian Pat-jiu Sin-kauw masih terlalu rendah karena murid pertama
ini benar-benar telah mewarisi kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang hebat.
Setelah kini bertanding mati-matian, tahulah Im-yang Seng-cu dan Suma
Hoat bahwa tingkat mereka masih kalah oleh Ketua Beng-kauw palsu ini,
maka mereka mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaian
mereka untuk mengimbangi gerakan sepasang gembreng yang benar-benar
dahsyat sekali itu. Andaikata mereka berdua itu maju satu lawan satu
pasti mereka akan kalah, akan tetapi karena mereka itu maju berdua dan
di antara mereka terdapat kecocokan hati dan perasaan persahabatan yang
mendalam sehingga gerakan mereka pun dapat saling melindungi, repot juga
bagi Hoat Bhok Lama untuk dapat mendesak kedua orang pengeroyoknya yang
jauh lebih muda. Apalagi selama ini Hoat Bhok Lama terlalu banyak
membuang tenaga untuk bersenang-senang dengan wanita-wanita muda yang
menjadi tawanannya sehingga tenaga sin-kangnya banyak berkurang, juga
daya tahan dan napasnya.
Untung baginya bahwa Suma Hoat tidak dapat
mencurahkan seluruh perhatiannya dalam pertandingan itu karena pemuda
perkasa ini membagi perhatiannya kepada kedua orang bibinya yang sudah
bertempur dikeroyok banyak orang anak buah Beng-kauw yang menyeleweng.
Pertandingan di dekat puncak gunung karang itu lebih seru lagi. Dua
puluh orang lebih pembantu-pembantu Hoat Bhok Lama yang memegang
bermacam senjata mengeroyok Siang Kui dan Siang Hui yang mengamuk
seperti dua ekor singa betina yang marah. Biarpun tingkat kepandaian
para pembantu ketua palsu itu tidak setinggi tingkat mereka, namun
mereka berdua bertangan kosong dan mereka dikeroyok dan dikepung ketat.
Siang Kui dan Siang Hui mengamuk, merobohkan enam orang, namun muncul
pula beberapa orang lagi sehingga para pengeroyoknya tetap berjumlah dua
puluh orang lebih.
Sambil memutar pedang melindungi tubuh dari
sambaran sinar kuning yang bergulung-gulung, Suma Hoat sering kali
melirik ke atas. Dia melihat betapa kedua orang bibinya mengamuk dan
kini para pengeroyok itu makin mundur menuju ke puncak gunung karang
dikejar oleh kedua bibinya. Ia merasa tidak enak sekali, mengingat
betapa licik mereka ini dan betapa berbahayanya tempat itu, penuh
jebakan.
"Bibi berdua, harap jangan mengejar mereka....!" Ia
berteriak, akan tetapi teriakannya itu sia-sia belaka karena Siang Kui
dan Siang Hui yang sudah berhasil merobohkan banyak musuh dan kini
melihat anak buah Beng-kauw palsu itu mundur tentu saja tidak mau
melepaskan mereka dan berniat untuk membasmi sampai ke akar-akarnya.
Apalagi karena mereka kini memperoleh kesempatan baik sekali selagi Hoat
Bhok Lama yang amat lihai itu sibuk menghadapi pengeroyokan dua orang
muda perkasa. Enci adik ini mengejar terus dan merobohkan banyak anak
buah musuh yang melarikan diri ke puncak gunung karang.
Ketika sisa
anak buah Beng-kauw itu tiba di bawah puncak, tiba-tiba mereka lenyap
seperti ditelan jurang. Dua orang wanita perkasa itu melompat jauh dan
setibanya di bawah puncak mereka memandang ke kanan kiri, mencari-cari.
"Bibi....
awaaasss....!" Masih terdengar teriakan Suma Hoat jauh di bawah dan
tiba-tiba tanah batu yang mereka injak tergetar hebat! Siang Kui dan
Siang Hui terkejut sekali. Getaran makin menghebat disertai suara
bergemuruh seolah-olah gunung itu akan meletus!
"Moi-moi, turun....!"
Siang Kui berseru keras. Hampir berbareng mereka membalik dan hendak
meloncat turun melalui jalan mereka mengejar naik tadi. Akan tetapi mata
mereka terbelalak dan tubuh mereka berdiri kaku memandang ke depan.
Batu-batu besar yang mereka lalui tadi kini telah merekah pecah
membentuk jurang menganga lebar dan kini puncak gunung batu itu runtuh
ke bawah! Mula-mula hanya batu-batu kecil lalu disusul batu-batu sebesar
kerbau bahkan batu-batu sebesar rumah bergulingan ke bawa.
"Cici....!"
Siang Hui menjerit. Mereka berusaha mengelak, akan tetapi mana mungkin
menghindarkan diri dari hujan batu yang sedemikian banyaknya?
Suma
Hoat dan Im-yang Seng-cu menyaksikan malapetaka mengerikan itu. Suma
Hoat menjadi nekat. Dengan gerengan seperti seekor singa dia menubruk
maju, menerima gembreng kanan lawan dengan telapak tangan kiri sedangkan
pedangnya membacok ke arah kepala yang ditangkis oleh Hoat Bhok Lama
dengan gembreng kiri. Saat itu, tongkat Im-yang Seng-cu bergerak dan
memang inilah yang dihendaki Suma Hoat, yaitu membuat sepasang senjata
lawan sibuk menghadapinya, agar temannya dapat turun tangan.
"Desss!"
Biarpun Hoat Bhok Lama dapat menyelamatkan kepala dan lehernya, namun
tetap saja pundaknya kena hantaman tongkat Im-yang Seng-cu sehingga ia
terlempar ke belakang dan terhuyung-huyung, akan tetapi Suma Hoat juga
mengeluh dan roboh miring.
Hoat Bhok Lama tertawa bergelak lalu
berloncatan pergi menghilang. Im-yang Seng-cu tidak berani mengejar
ketika melihat temannya terluka. Dia berlutut dan bertanya,
"Bagaimana?"
Suma
Hoat menyeringai dan menarik napas panjang. Tangan kirinya, dari
telapak tangan sampai ke siku, berwarna biru karena tadi ketika ia
menahan gembreng dia kalah tenaga sehingga hawa sin-kang lawan yang
mendesaknya membuat lengannya terluka dan kemasukan hawa beracun. Akan
tetapi Suma Hoat tidak mempedulikan diri sendiri, matanya memandang ke
arah puncak, kedua matanya berlinang air mata, kemudian dengan nekat ia
meloncat bangun dan berlari mendaki pundak yang kini sudah tidak
berguncang lagi. Batu-batu dari puncak telah menutup tempat di mana
Siang Kui dan Siang Hui berdiri, ribuan bongkah batu besar yang
membentuk puncak baru.
"Bibi....! Bibi....!" Suma Hoat sudah
menyarungkan pedangnya dan tanpa mempedulikan lengan kirinya yang sudah
biru itu dia mulai membongkar batu-batu besar seperti kelakuan seorang
gila.
"Sabar dan tenanglah, sahabatku. Bagaimana mungkin kita
membongkar batu-batu sebanyak dan sebesar ini?" Im-yang Seng-cu
menghibur akan tetapi ia pun ikut membantu kawannya membongkar
batu-batu. Suma Hoat tidak menjawab dan tidak mempedulikan kawannya,
melainkan terus membongkar batu-batu itu sambil memanggil-manggil kedua
orang bibinya.
"Bibi....! Tiba-tiba Suma Hoat melemparkan sebuah batu
besar dan Im-yang Seng-cu juga memandang terbelalak ketika tampak
pakaian orang di bawah batu itu. Suma Hoat mengulur tangan menangkap
lengan orang itu.
"Bi....!" Akan tetapi ia berhenti memanggil dan
meloncat ke belakang ketika melihat bahwa orang di bawah batu itu sama
sekali bukan bibinya, bahkan kini tampak bergerak-gerak dan muncullah
sebuah kepala seorang kakek tua, kepala yang botak dan amat besar,
dengan mata melotot dan mulut tersenyum-senyum!
Melihat kakek yang
kepalanya besar ini, Im-yang Seng-cu segera mengayun tongkatnya tepat
mengenai kepala yang rambutnya jarang itu dengan keras sekali.
"Takkk!"
Akan tetapi tongkatnya terpental dan Im-yang Seng-cu merasa betapa
kedua telapak tangannya nyeri bukan main seolah-olah bukan kepala orang
yang dihantamnya tadi melainkan kepala terbuat dari baja murni.
Kakek
itu mengejapkan matanya, kemudian tubuhnya digoyang dan dia terlepas
dari himpitan batu-batu, meloncat bangun. Kiranya kakek ini bertubuh
pendek cebol, tubuh seperti anak kecil akan tetapi kepalanya lebih besar
daripada kepala orang dewasa yang manapun juga!
"Monyet, kau
orangnya Hoat Bhok Lama, ya?" Tangannya terulur dan angin dorongan yang
keras membuat Im-yang Seng-cu roboh terguling sungguhpun dia telah
mengerahkan sin-kang menahan.
Tentu saja dia terkejut sekali dan cepat melompat bangun sambil melintangkan tongkat di depan dada siap bertanding.
"Jangan,
Locianpwe! Dia sahabatku, malah memusuhi Hoat Bhok Lama!" Suma Hoat
yang dapat mengerti bahwa kakek itu amat sakti segera berkata.
"Heh-heh-heh,
kalau aku tidak tahu, apakah dia dapat bangun lagi? Ha-ha-ha, Hoat Bhok
Lama benar kurang ajar, dan kalau tidak ada kau orang muda yang
membongkar batu, kiranya aku si tua bangka akan mampus." Kakek yang
bertubuh kecil dan berkepala besar itu tertawa bergelak sampai keluar
air matanya!
Tiba-tiba Im-yang Seng-cu menghampiri kakek itu dan
menjura penuh hormat sambil berkata, "Mohon Locianpwe mengampuni boanpwe
yang seperti buta tidak mengenal Locianpwe Bu-tek Lo-jin."
Mendengar
disebutnya nama itu, Suma Hoat terkejut bukan main dan memandang kakek
itu dengan mata terbelalak. Di dalam perantauannya, pernah ia mendengar
akan nama orang-orang sakti seperti dewa yang oleh dunia kang-ouw
dianggap telah lenyap dari dunia ramai, orang-orang seperti Bu Kek
Siansu dan ke dua adalah Bu-tek Lo-jin. Teringatlah ia akan ciri-ciri
orang aneh ini, bertubuh seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya
besar. Pantas saja pukulan tongkat Im-yang Seng-cu yang amat dahsyat
pada kepala kakek ini seperti tidak terasa tadi, kiranya kakek ini
adalah orang yang memiliki kesaktian yang kabarnya seperti dewa itu!
Maka ia pun cepat memberi hormat di depan kakek itu.
Kakek itu memang
benar Bu-tek Lo-jin, seorang yang sudah amat tua usianya dan sudah
puluhan tahun tidak pernah terdengar lagi muncul di dunia ramai. Di
dalam cerita "Mutiara Hitam" kakek yang sakti dan berwatak aneh ini
muncul, bahkan menjadi guru pendekar Pek-kong-to Tang Hauw Lam, suami
dari pendekar wanita Mutiara Hitam. Kakek Bu-tek Lo-jin ini pulalah yang
mengunjungi Khitan dan mengadakan pelamaran atas diri Mutiara Hitam
sebagai wali muridnya itu. Biarpun hanya beberapa bulan saja Tang Hauw
Lam menerima petunjuk dari kakek ini, namun kakek itu telah menurunkan
ilmu yang dahsyat-dahsyat dan membuat pendekar itu makin terkenal.
Setelah Tang Hauw Lam menikah dengan Mutiara Hitam, kakek yang aneh
watak dan bentuk tubuhnya ini lalu menghilang dan tidak pernah terdengar
lagi sepak terjangnya yang aneh-aneh.
Karena itu, dapat dibayangkan
betapa keget dan heran hati Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat ketika tanpa
disangka-sangka mereka bertemu dengan kakek sakti ini secara demikian
luar biasa!
"Ha-ha-ho-ho-ho! Engkau sudah mengemplang kepalaku satu
kali, akan tetapi engkau bermata tajam dapat mengenalku, berarti sudah
lunas! Kulihat gerakanmu tadi seperti ilmu dari Hoa-san. Eh, bocah tak
bersepatu seperti aku, siapakah sih engkau ini? Dan kau ini, bocah yang
bertulang baik dan telah menyelamatkan aku dari himpitan batu-batu, kau
siapa?"
Suma Hoat cepat menjawab, "Dia itu adalah sahabat saya yang
terkenal dengan sebutan Im-yang Seng-cu, bekas tokoh Hoa-san-pai. Adapun
saya sendiri.... saya bernama Suma Hoat...."
"Heh-heh-heh! Im-yang
Seng-cu? Nama sebutan yang bagus. Dan kau she Suma? Hemm, kau berjodoh
denganku. Eh, Suma Hoat, coba kauserang dengan seluruh kepandaian yang
kaumiliki!"
Tentu saja Suma Hoat terbelalak heran. Dia teringat akan
kedua bibinya, maka dia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu dan
berkata, "Harap Locianpwe sudi memaafkan teecu. Sesungguhnya teecu
ingin membongkar batu-batu ini untuk menolong kedua orang bibi teecu
yang tertimbun batu." Setelah berkata demikian, kembali Suma Hoat
membongkar batu-batu itu.
"Hayaaaa....! Jadi mereka itu tadi
bibi-bibimu? Percuma, siapa dapat menyelamatkan dua orang wanita yang
terhimpit batu-batu begini banyak? Mereka telah tewas dan mengapa masih
harus mengganggu jenazah mereka yang sudah baik-baik terkubur seperti
ini? Jarang ada orang mati dapat dikubur sehebat ini! Apakah engkau
bersusah payah membongkar batu-batu ini hanya untuk menyaksikan tubuh
mereka yang tentu sudah hancur?"
"Bu-tek Locianpwe benar sekali,
sahabatku. Daripada membuang waktu membongkar batu yang tidak akan dapat
menolong kedua orang bibimu, lebih baik kita mencari Hoat Bhok Lama dan
membalas kematian kedua orang bibimu," kata Im-yang Seng-cu.
Ucapan ini menyadarkan Suma Hoat. Dia meloncat bangun, pandang matanya beringas. "Kau betul! Mari kita kejar dia!"
"Heitt,
nanti dulu!" Bu-tek Lo-jin berseru dan tampak bayangan berkelebat,
tahu-tahu tubuhnya yang kecil sudah berdiri di depan Suma Hoat. "Aku
tadi sudah merasakan gebukan tongkat Si Kaki Telanjang akan tetapi aku
belum melihat kepandaianmu. Dengan kepandaian seperti yang dimiliki Si
Kaki Telanjang, bagaimana mungkin melawan Si Gundul Jubah Merah?
Apalagi, setelah aku bebas, Si Gundul busuk itu dapat berlari ke
manakah? Hayo Suma Hoat, kauseranglah aku!"
Suma Hoat kelihatan
ragu-ragu, akan tetapi Im-yang Seng-cu cepat berkata, suaranya terdengar
gembira, "Suma Hoat, mengapa kau begini bodoh dan tidak cepat-cepat
mentaati perintah gurumu?"
Tentu saja Suma Hoat tidak bodoh, bahkan
dia cerdik sekali. Kalau tadi dia kurang perhatian adalah karena hatinya
berduka oleh kematian kedua bibinya, dan marah kepada Hoat Bhok Lama.
Kini ia teringat betapa besar untungnya kalau dia bisa menjadi murid
orang sakti ini, maka biarpun lengan kirinya terasa nyeri, dia memasang
kuda-kuda dan berkata, "Baik, teecu mentaati perintah Locianpwe. Teecu
menyerang!" Tubuhnya sudah menerjang maju, kedua kakinya melakukan
gerakan aneh dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya, angin menyambar
ke arah leher dan pusar kakek itu.
"Cuss! Cusss!"
"Heiiihhh! Dari
mana engkau memperoleh ilmu setan ini?" Bu-tek Lo-jin berteriak sambil
membelalakkan kedua matanya, mengelus-elus leher dan perut yang tadi
tercium ujung jari tangan Suma Hoat. Pemuda ini sendiri sudah terhuyung
ke samping dengan kaget sekali. Ketika ia menotok tadi, jari tangannya
seperti menotok air saja, bahkan tenaga sin-kangnya seperti terbanting
membuat ia terpelanting ketika dari tubuh kakek itu timbul hawa mujijat
yang melawannya. Maklum betapa saktinya kakek aneh ini, Suma Hoat
menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu mohon petunjuk."
Bu-tek Lo-jin
mengerutkan alisnya yang tebal putih. "Di dunia gila ini banyak sudah
kulihat dan temui orang-orang gila yang memiliki kepandaian seperti
setan. Biarpun mereka semua sekarang telah menjadi setan-setan, entah di
neraka, entah di mana, akan tetapi mengenang kepandaian mereka, aku
masih bergidik. Pek-kek Sin-ong dan Lam-kek Sin-ong memiliki ilmu
kepandaian istimewa, tidak perlu bicara lagi tentang ilmu kepandaian
Suling Emas dan keturunan-keturunannya. Dahulu, di empat penjuru dunia
terdapat datuk-datuk golongan hitam yang seperti raja-raja kejahatan,
mereka adalah Bu-tek Siu-lam dari barat, Thai-lek Kauw-ong dari timur,
Jin-cam Khoa-ong dari utara, dan Siauw-bin Lo-mo dari selatan. Namun
mereka semua itu masih tidak mampu menandingi kedahsyatan, kegilaan dan
keseraman adik Suling Emas yang telah menjadi murid iblis-iblis sendiri,
bernama Kam Sian Eng. Heh, orang muda, gerakan kakimu tadi bukankah
dari Cap-sha Seng-keng, dan serangan tanganmu yang aneh tadi mirip
Im-yang-tiam-hoat? Padahal dua ilmu itu dahulu milik Kam Sian Eng si
wanita iblis!"
"Beliau adalah nenek teecu!" Suma Hoat berkata.
"Aihhhh!
Pantas.... pantas....!" Kakek yang sudah tua sekali itu berloncatan
seperti seorang anak kecil. "Dia memang mempunyai seorang putera Suma
Kiat yang licik dan jahat sekali, jadi dia...."
"Dia adalah ayah
teecu!" Suma Hoat berkata cepat, suaranya keras karena ia merasa mengkal
sekali, sungguhpun ia tidak dapat membantah akan kebenaran kata-kata
kakek ini.
"Ha-ha-ha-ha! Besar sekali untungku! Pernah aku mengambil
murid calon suami Mutiara Hitam sekarang aku mengambil murid seorang
keturunan keluarga Suling Emas, biarpun dari keluarga yang gila dan
jahat. Eh Suma Hoat, di dalam dirimu engkau condong kepada yang jahat
atau yang baik?"
"Tentu saja yang baik, Locianpwe!"
Im-yang
Seng-cu mendengarkan percakapan itu penuh perhatian dan diam-diam ia
merasa terharu mendengar pengakuan sahabatnya. Dia pun percaya bahwa
sebetulnya sahabatnya yang berjuluk jai-hwa-sian itu tidaklah memiliki
dasar watak yang jahat, memiliki sebuah penyakit yang ditimbulkan oleh
dendam kebencian terhadap wanita sehingga terciptalah dorongan nafsu
berahi yang tidak wajar di samping kekejaman yang amat mengerikan
terhadap kaum wanita.
Bu-tek Lo-jin memandang dengan matanya yang tua
dan mulut yang tak bergigi lagi. "Heh-heh, kalau engkau mengerti yang
baik, coba terangkan, apakah kebaikan itu?"
Tanpa ragu-ragu Suma Hoat menjawab, "Apa yang baik menurut perasaan hati teecu, itulah baik bagi teecu!"
Im-yang
Seng-cu mengerutkan alisnya dan menganggap betapa piciknya jawaban
sahabatnya itu. Akan tetapi Bu-tek Lo-jin tertawa bergelak sampai keluar
air matanya. "Huah-ha-ha-hah, berbahaya sekali! Perasaan hati dapat
dikuasai nafsu sehingga bukanlah hati yang murni yang akan diturut,
melainkan nafsu. Akan tetapi, setidaknya engkau jujur, muridku. Mengaku
apa adanya, tanpa ditutupi kepalsuan. Bagiku, masih lebih kuhargai
seorang penjahat yang mengaku dirinya jahat daripada seorang baik yang
menyombongkan kebaikannya. Nah, mulai sekarang engkau menjadi muridku
yang bungsu, murid terakhir sebelum aku lenyap ditelan maut. Engkau siap
menerima warisan ilmu-ilmuku?"
"Teecu siap, Suhu."
"Nah, kalau begitu, mari kauikut aku pergi dari tempat ini!" Kakek aneh itu bangkit dan Suma Hoat juga bangkit berdiri.
"Heii, nanti dulu, Suma Hoat! Apakah kau lupa untuk membalaskan kematian kedua orang bibimu?" Im-yang Seng-cu menegur.
Suma
Hoat memandang gurunya. "Suhu, teecu harus membunuh Hoat Bhok Lama dan
membasmi Beng-kauw palsu yang mereka rampas dari tangan kedua bibi teecu
yang telah tewas. Setelah itu baru teecu akan mengikuti Suhu"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan alisnya. "Mengapa kau hendak membunuhnya? Untuk membalas dendam kematian kedua bibimu?"
Suma
Hoat yang cerdik itu ternyata sedikit banyak telah dapat menyelami dan
mengenal watak gurunya yang amat aneh itu. Ia menggeleng kepala dan
menjawab,
"Sebagai murid, teecu harus mencontoh Suhu. Suhu sama
sekali tidak mendendam kepada Hoat Bhok Lama padahal Suhu dicelakainya.
Tidak, teecu bukan hendak membunuhnya karena dendam, melainkan karena
teecu harus memberantas kejahatan yang dilakukan Hoat Bhok Lama dan anak
buahnya. Teecu harus menolong dan melindungi orang-orang dari ancaman
perbuatan jahat mereka."
Kembali kakek itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Pikiran keruh, pendapat yang kacau-balau. Siapakah engkau
ini yang dapat memberantas kejahatan yang dilakukan orang-orang?
Siapakah engkau ini yang dapat menolong dan melindungi orang-orang?
Khayalan kosong melompong! Akan tetapi selama ucapan dan perbuatanmu
sejalan dengan isi hatimu, engkau jujur dan tulen. Hayolah, aku pun
ingin sekali mengetuk satu kali kepala Hoat Bhok Lama yang botak,
ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin yang masih
tertawa-tawa itu menyambar lengan Suma Hoat, meloncat dan sekali
berkelebat tubuhnya dan tubuh murid barunya lenyap di balik tumpukan
batu-batu yang longsor dari puncak tadi. Im-yang Seng-cu menarik napas
panjang. Dia merasa senang sekali bahwa sahabatnya telah menjadi murid
kakek aneh itu. Dia tidak merasa iri hati, karena dia sendiri tidak
mempunyai keinginan menjadi murid siapapun juga, bahkan dia telah
melepaskan diri dari ikatan Hoa-san-pai. Im-yang Seng-cu adalah seorang
yang ingin bebas, tidak mau terikat oleh peraturan, tidak mau mencontoh
guru yang sudah dicetak untuk murid, ingin hidup bebas lahir batin. Akan
tetapi, di dalam hatinya, terdapat rasa simpati yang besar terhadap
Jai-hwa-sian Suma Hoat, perasaan yang timbul di luar kesadarannya. Dia
merasa kasihan kepada Suma Hoat, maka kini merasa girang bahwa
sahabatnya itu menjadi murid seorang pandai.
Dengan hati tegang
Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan tempat itu, menyusul guru dan murid
itu yang ia tahu tentulah mencari Hoat Bhok Lama di sarangnya. Karena
puncak gunung batu karang itu runtuh, perjalanan menuruni tempat itu
sukar sekali. Terbentuk puncak-puncak tumpukan batu baru, dan goncangan
tadi membuat banyak tanah batu merekah menjadi jurang-jurang yang amat
curam.
Im-yang Seng-cu berjalan hati-hati menuju ke bangunan yang
dikelilingi pagar tembok tinggi. Menjelang senja barulah ia sampai di
depan pintu gerbang dan dia merasa heran bukan main menyaksikan keadaan
markas Beng-kauw yang amat sunyi itu. Tidak nampak penjaga di depan
pintu dan ketika ia melangkah maju dengan hati-hati karena maklum bahwa
markas besar Beng-kauw ini mempunyai banyak alat-alat rahasia dan
jebakan berbahaya, melongok ke dalam, ia menjadi makin terheran. Biarpun
terasa amat sunyi karena tidak ada suara, namun di sebelah dalam
benteng itu tampak kesibukan orang-orang.
Im-yang Seng-cu
menggerakkan tubuhnya, melesat ke dalam melalui pintu gerbang yang
terbuka lebar. Kini tampaklah olehnya betapa orang-orang itu sibuk
mengangkuti mayat-mayat manusia yang malang-melintang di tempat itu
termasuk mayat Hoat Bhok Lama dan para pembantunya. Ketika melihat mayat
Hoat Bhok Lama diangkat, Im-yang Seng-cu mendapat kenyataan bahwa mayat
itu tidak kelihatan terluka, tidak mengeluarkan darah, hanya ada tanda
biru di ubun-ubun kepalanya yang gundul. Im-yang Seng-cu bergidik dan
teringat suara Bu-tek Lo-jin yang ingin mengetuk satu kali kepala yang
gundul itu!
Ketika orang-orang yang bekerja dengan sunyi itu melihat
munculnya Im-yang Seng-cu, mereka memandang dengan khawatir, bahkan
seorang di antara mereka yang agaknya memimpin pekerjaan mengurus
mayat-mayat itu, seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun
lebih, cepat menghampiri Im-yang Seng-cu, menjura dengan penuh hormat
dan berkata,
"Harap Taihiap tidak turun tangan mengganggu kami yang hanya menaati perintah Bu-tek Locianpwe dan Suma Taihiap."
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk kagum, maklum betapa dalam waktu singkat
sahabatnya dan gurunya yang luar biasa itu telah dapat membereskan
Beng-kauw, membunuh Hoat Bhok Lama dan para pembantunya dan menundukkan
anak buahnya.
"Apa yang telah terjadi?" tanyanya.
Orang itu
memandang tajam, agaknya terheran mendengar ucapan pendekar kaki
telanjang ini. "Bukankah Taihiap sahabat baik Suma-taihiap dan datang
bersama dia?"
"Benar, akan tetapi aku tertinggal di sana. Harap
kauceritakan apa yang sebenarnya telah terjadi, dan mengapa pula Bu-tek
Locianpwe dapat muncul di tempat ini."
Orang itu menarik napas
panjang, kemudian setelah memandang Im-yang Seng-cu beberapa lama, ia
berkata, "Taihiap adalah Im-yang Seng-cu seperti yang dikatakan
Suma-taihiap, sudah sepatutnya mendengar semua keadaan kami. Marilah
kita bicara di dalam dan saya akan menceritakan semuanya."
Im-yang
Seng-cu mengikuti orang itu memasuki sebuah bangunan yang cukup mewah
dan setelah duduk menghadapi meja dan diberi suguhan arak, dia
mendengarkan penuturan Lauw Kiam, orang itu yang dahulunya seorang
anggota Beng-kauw tulen yang sudah memiliki kedudukan lumayan tingginya.
"Ketika
Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya mula-mula menyerbu Beng-kauw, kami
pihak Beng-kauw melakukan perlawanan mati-matian. Dalam perlawanan ini,
satu demi satu gugurlah para pimpinan kami, bahkan tokoh tertua yang
kami andalkan, Kauw Bian Cinjin, gugur pula di tangan Hoat Bhok Lama.
Sampai habis semua pimpinan kami tingkat tinggi, dan hanya kedua orang
Kam-toanio kakak beradik saja yang masih sempat meloloskan diri. Kami,
termasuk saya yang sejak muda menjadi anggauta Beng-kauw yang setia,
tadinya bertekad untuk melakukan perlawanan sampai mati. Akan tetapi,
kemudian tertarik oleh bujukan-bujukan Hoat Bhok Lama,
pelajaran-pelajaran ilmu silat tinggi dan kebatinan sehingga akhirnya
kami sampai terpikat dan terbujuk pula. Antara lain, Hoat Bhok Lama
mengatakan bahwa Agama Beng-kauw adalah Agama Terang yang semenjak
dahulu memerangi Gelap dan bahwa keturunan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan,
pendiri Beng-kauw di Nan-cao, telah menyelewengkan pelajaran Beng-kauw
yang sejati!"
"Hemm, agaknya Hoat Bhok Lama mengerti benar akan
pelajaran Beng-kauw," kata Im-yang Seng-cu. "Apa saja yang dikatakannya
mengenai penyelewengan itu?"
Lauw Kian lalu bercerita. Menurut
pelajaran Hoat Bhok Lama yang disebarkan kepada semua bekas pengurus dan
anggauta Beng-kauw, Agama Beng-kauw atau Agama Terang (Manichaeism)
didirikan oleh Guru Besar Mani. Terang adalah lambang kebaikan dan Gelap
adalah lambang kejahatan. Pelajarannya adalah untuk menyelamatkan
Terang dari selubungan Kegelapan. Jadi menurut pelajaran agama ini,
terdapat dua kerajaan di alam semesta ini, yaitu Kerajaan Terang dan
Kerajaan Gelap yang saling berlawanan. Setan menjadi raja dari
kegelapan. Manusia adalah ciptaan Setan, demikian menurut Hoat Bhok
Lama, karena itu selalu diliputi kegelapan atau kejahatan. Dan Agama
Beng-kauw merupakan pelajaran dari Sang Duta Terang, yaitu Guru Besar
Mani, pendirinya. Dongeng yang menjadi pegangan para penganut Beng-kauw
ini memang sama dengan yang dijelaskan oleh Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Letak perbedaannya adalah bahwa kalau Liu Gan mengajarkan bahwa para
penganutnya harus mengenyahkan kegelapan, mengenyahkan kejahatan dengan
pantangan-pantangan, sebaliknya Hoat Bhok Lama tidak mengadakan
pantangan, bahkan mengajarkan anak buahnya untuk memasuki kegelapan!
"Betapa
mungkin kita dapat mengalahkan musuh tanpa menyelidiki keadaan musuh
itu sendiri, tanpa mengetahui kekuatan-kekuatannya dan
kelemahan-kelemahannya? Dan untuk dapat mengetahui keadaan musuh melalui
penyelidikan, kita harus terjun ke dalamnya! Kita lahir dari kegelapan,
setelah kita sadar dan mendapat sinar terang untuk melawan kegelapan
itu sendiri, kita harus benar-benar memahami apakah itu kegelapan,
apakah itu kejahatan, apakah itu kekuasaan nafsu. Untuk menyelidiki
kekuasaan nafsu, jalan satu-satunya hanyalah menuruti dorongan itu
sendiri! Setelah kita mengenal betul sifat-sifat nafsu dalam diri kita,
tidak akan sukar lagi untuk menundukkannya!"
Demikianlah bujukan dan
pelajaran yang disebar oleh Hoat Bhok Lama, dan sudah lajimnya manusia
yang lemah lebih suka menganut sesuatu yang menyenangkan hati dan badan
daripada menganut pelajaran yang sukar dan tidak menyenangkan hati dan
badan. Mengekang nafsu merupakan hal yang sukar dan tidak mendatangkan
nikmat kepada tubuh, sebaliknya mengumbar nafsu mendatangkan nikmat
jasmani. Tentu saja pelajaran macam itu segera mendapat minat yang besar
sekali dari para bekas anggauta Beng-kauw sehingga banyak di antara
mereka yang tunduk dan mengakui Hoat Bhok Lama sebagai seorang ketua
baru yang jauh lebih "bijaksana" daripada para bekas pengurus lama.
Apalagi di samping itu sudah menjadi kenyataan bahwa Hoat Bhok Lama
memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga mereka makin tertarik
untuk dapat mempelajari ilmu-ilmu tinggi dari pendeta Lama itu.
Im-yang
Seng-cu mengangguk-angguk mendengar penuturan itu dan diam-diam ia
menarik napas panjang. Dia masih belum tua namun sudah banyak sekali
mengalami hal-hal aneh di dunia ini yang membuat pandangannya cukup
luas. Di mana-mana ia melihat kegagalan usaha para tokoh agama apapun
juga dalam perjuangan mereka mendatangkan damai dan bahagia bagi manusia
seluruhnya. Kegagalan itu seluruhnya terletak kepada kelemahan manusia
yang biarpun dengan akal budi dan pikirannya dapat menerima inti
pelajaran untuk hidup sebagai manusia yang baik, namun jasmaninya
terlalu kuat sedangkan hatinya terlalu lemah untuk menentang nafsu
badani sendiri sehingga terjadilah pertentangan yang amat menyedihkan.
Pertentangan antara hati nurani sendiri dengan perbuatan-perbuatan yang
terdorong oleh nafsu pribadi, yang biasanya sering kali dimenangkan oleh
nafsu. Inilah sebabnya mengapa makin banyak orang mempelajari
kebatinan, makin banyak pula terjadi pelanggaran dan dosa. Raja
Kegelapan memiliki senjata yang amat ampuh untuk menundukkan manusia,
yaitu senjata sayang diri atau iba diri yang menjadi dasar sehingga
manusia dengan senang hati dan mudah melakukan hal-hal yang tidak baik.
Lihatlah manusia-manusia kecil, kanak-kanak. Betapa mudahnya mereka itu,
tanpa disuruh tanpa diajar, untuk membohong dalam membela diri.
Sebaliknya, biarpun setiap hari diajar dan disuruh pantang membohong,
disuruh jujur dan lain sifat-sifat baik, agaknya amat sukar bagi mereka.
"Hem,
dia memang cerdik, mungkin iblis sendiri yang mengajarinya," kata
Im-yang Seng-cu. "Dan bagaimanakah kakek dewa Bu-tek Lo-jin dapat muncul
di tempat ini?"
"Hal itu terjadi dua bulan yang lalu," kata Lauw
Kian. Kemudian ia menceritakan tentang kakek aneh itu. Bu-tek Lo-jin
pada dua bulan yang lalu datang ke Pegunungan Heng-toan, ke markas
Beng-kauw karena hendak mencari Kauw Bian Cinjin yang dikenalnya. Kakek
ini tidak tahu bahwa Beng-kauw telah terjatuh ke tangan Hoat Bhok Lama
dengan paksa. Ketika mencari Kauw Bian Cinjin yang telah tewas, kakek
ini kemudian mengunjungi Beng-kauw untuk bertanya tentang kematian
sahabat yang dikenalnya itu.
Hoat Bhok Lama tentu saja mengenal kakek
sakti ini dan dengan amat cerdiknya, Hoat Bhok Lama membujuk agar kakek
sakti itu membantu Beng-kauw yang katanya hendak dikembangkannya sampai
ke seluruh daratan. Ketika tampak gejala penolakan dari Bu-tek Lo-jin,
dan ada pula bahaya akan diketahui kakek itu bahwa dia merampas
Beng-kauw dan membunuh semua pengurusnya, Hoat Bhok Lama lalu menipu
Bu-tek Lo-jin memasuki guha di puncak yang merupakan tempat jebakan yang
amat berbahaya. Kakek yang sakti akan tetapi terlalu berani dan terlalu
ingin tahu itu kena diakali dan jatuh terjerumus ke dalam lobang
jebakan yang terdapat di guha puncak gunung itu.
"Hoat Bhok Lama
menutup lobang dan guha itu, kami menganggap kakek itu telah tewas."
Lauw Kian menutup ceritanya. "Siapa dapat menduga, tadi kakek yang luar
biasa itu muncul bersama Suma-taihiap. Entah bagaimana dia dapat hidup
selama dua bulan tertutup di dalam sumur guha itu."
Im-yang Seng-cu
kagum sekali. Hanya orang yang memiliki ilmu yang sudah mencapai tingkat
tinggi sekali saja yang akan dapat mempertahankan hidupnya setelah dua
bulan tertutup di dalam sumur di puncak, bahkan ketika puncak itu
longsor oleh gerakan alat-alat rahasia sehingga kakek itu terbawa runtuh
pula ke bawah, dia masih mampu menyelamatkan diri.
"Setelah kini
kalian terlepas dari tangan orang-orang jahat yang menguasai Beng-kauw,
apa yang akan kalian lakukan?" Im-yang Seng-cu bertanya.
"Kami akan
meninggalkan tempat ini, kembali ke Nan-cao dan kami akan berkumpul
kembali dengan bekas para anggauta Beng-kauw, bsrsama-sama membangun
ksmbali Beng-kauw," jawab Lauw Kian dengan wajah berduka, teringat akan
para tokoh dan pimpinan Beng-kauw yang tewas sehingga kini perkumpulan
mereka seolah-olah tidak mempunyai pimpinan lagi.
Im-yang Seng-cu
mengangguk-angguk, "Perkumpulan kalian adalah perkumpulan agama yang
semestinya mencurahkan segala perhatian khusus untuk agama, berarti
untuk kerohanian. Kalau urusan kerohanian dicampur dengan urusan dunia,
tentu akan timbul pertentangan-pertentangan karena di antara keduanya
bersimpang jalan. Kuharap saja Beng-kauw akan dapat benar-benar menjadi
Agama Terang yang akan mendatangkan penerangan bagi manusia yang telah
kehilangan slnar rohaninya, digelapkan oleh awan-awan nafsu. Sebuah
perkumpulan agama bukanlah sebuah parkumpulan tukang pukul, yang disebut
kuat dalam perkumpulan kalian bukanlah kaki tangannya, melainkan
batinnya, rohaninya, sehingga memancarkan sinar tsrang membantu mereka
yang ksgslapan. Semoga kalian berhasil."
Im-yang Ssng-cu meninggalkan
Pegunungan Heng-toan, berjalan menyusuri sepanjang tepi Sungai Cin-sha,
diam-diam ia memujikan semoga sahabatnya, Jai-hwa-sian Suma Hoat,
selain memperoleh ilmu kepandaian tinggi dari Bu-tek Lo-jin, juga akan
dapat sadar dan mengalahkan penyakitnya sendiri yang membuat pemuda itu
mendapat julukan Dewa Pemetik Bunga!
***
"Aiihhh...., semua tempat
kacau-balau oleh perang. Dalam keadaan sekacau ini, mana mungkin
mencari orang? Ahhh, Suheng.... di manakah engkau....?"
Siauw Bwee
menghela napas berulang-ulang sambil duduk termenung menghadapi api
unggun yang dinyalakannya di tengah hutan sunyi itu. Berbulan-bulan
lamanya ia melakukan perjalanan tanpa arah tertentu dalam usahanya
mencari dua orang dengan perasaan hati yang berlawanan. Yang seorang
dicarinya dengan hati penuh rindu dan kasih, yang ke dua dicarinya
dengan dendam dan benci. Namun, sudah banyak kota dijelajahi,
hutan-hutan dimasuki dan bukit-bukit didaki, sudah banyak ia menyaksikan
perang dan kekacauan, belum juga dia dapat menemukan orang-orang yang
dicarinya, yaitu Kam Han Ki suhengnya dan Suma Kiat musuh besarnya.
Tersorot
cahaya api unggun yang kemerahan itu, Siauw Bwee kelihatan amat cantik
jelita. Rambutnya yang panjang dan mawut itu mengkilap, kedua pipinya
kemerahan tersentuh sinar api, matanya yang merenung itu kadang-kadang
berkilat. Dara jelita yang memiliki ilmu kesaktian tinggi itu duduk
bertopang dagu. Kudanya menggerogoti rumput kurus tak jauh di depannya.
Di
dalam perantauannya semenjak meninggalkan Pulau Es Siauw Bwee yang
telah mengalami banyak hal hebat, telah pula mematangkan ilmu-ilmunya
dan telah menerima ilmu-ilmu baru yang tinggi. Terutama sekali ilmu yang
diterimanya dari kakek Lu Gak, yaitu gerakan kaki tangan kilat,
benar-benar membuat Siauw Bwee menjadi seorang dara sakti yang akan
sukar dikalahkan lawan. Namun, dara yang berilmu tinggi dan yang cantik
jelita seperti bidadari ini ternyata tidak berbahagia seperti yang
disangka semua orang yang melihatnya. Tidak sama sekali, dia kini duduk
termenung penuh penasaran, kekecewaan dan kedukaan.
Kewaspadaan
seorang ahli silat tinggi setingkat Siauw Bwee amat luar biasa sehingga
seolah-olah penglihatan, pendengaran dan perasaannya, menjadi satu dan
selalu siap menjaga diri. Namun, segala kewaspadaan akan hilang apabila
manusia dikuasai perasaan duka yang membuat semangat tenggelam. Siauw
Bwee benar-benar sedang tenggelam di lautan duka sehingga perlahan-lahan
matanya berkilau basah, berkumpul di pelupuk membentuk dua butir
mutiara yang turun bergantung pada bulu matanya yang panjang lentik.
Kalau ia teringat akan nasibnya, ayahnya sebagai seorang panglima yang
gagah perkasa dan setia harus menerima kematian sebagai seorang
pemberontak, ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan merana berduka,
kemudian ia terpaksa harus berpisah dari sucinya Maya dengan kandungan
dendam di dalam hati, harus berpisah dari suhengnya dengan kandungan
rindu dan kasih tak sampai di hatinya. Siapa yang takkan berduka?
Sementara itu, semua ketidaksenangan hatinya yang hendak ia tumpahkan
dalam pembalasan dendam terhadap diri Suma Kiat, tak juga dapat
terlaksana karena dia belum berhasil menemukan musuh besarnya itu. Ada
didengarnya bahwa Suma Kiat memimpin pasukan besar melakukan perang
terhadap barisan Mancu, akan tetapi setiap kali ia mengejarnya, dia
selalu kecelik atau tidak berkesempatan turun tangan. Tentu saja tidak
mungkin baginya untuk nekat menyerbu barisan yang laksaan orang
banyaknya untuk mencari musuh besarnya itu. Hal ini akan berarti
pemberontakan dan sebagai puteri tunggal Panglima Khu Tek San yang
berjiwa pahlawan, dia tidak mau menambah cemar nama ayahnya dengan
melawan pasukan pemerintah yang berarti pemberontakan! Biarpun ayahnya
tewas di tangan para pengawal Sung, namun yang ia persalahkan dalam hal
ini hanyalah Suma Kiat karena orang itulah yang menjadi biang keladinya.
Dalam keadaan melamun tak berketentuan arah pikiran dan perasaan hati
itu teringatlah Siauw Bwee akan bunyi sajak yang pernah dibacakan
ayahnya, seorang ahli silat dan juga penggemar sastra. Sejak keluhan
sastrawan yang kesunyian, seperti dirinya di saat itu.
".... kosong melengang...."
pikiran melayang
mengejar kenangan
dihimpit kesunyian....
seperti iblis mentertawakan
bunyi daun berkelisik
kerik jengkerik
kerok katak
kokok burung hartu
di luar bising....
namun betapa sunyi melengang
terasa di dalam
seribu suara malam
menambah rasa kesepian...."
Teringat
akan sajak ini, dua butir mutiara air mata menyusul dua yang pertama,
menitik ke atas pipi. Siauw Bwee menarik napas panjang dan memandang
kudanya yang makan rumput kurus. Terhibur sedikit hatinya. Dia tidak
sendirian sama sekali. Masih ada kudanya. Terdorong oleh perasaan
senasib sependeritaan, Siauw Bwee bangkit berdiri, mendekati kuda itu
dan mengelus bulu leher binatang itu.
"Aihh, kudaku yang setia.
Sesungguhnyalah, seperti dikatakan sastrawan yang kesepian itu, sunyi
timbul dari dalam hati, bukan dari keadaan di luar tubuh. Kalau tidak
begini besar rinduku kepada Suheng, dendamku kepada si keparat Suma
Kiat, kedukaanku karena kematian Ibu, agaknya malam ini akan terasa lain
sekali, sama sekali tidak sunyi lagi. Aihhhh...."
Betapapun tinggi
ilmu kepandaian silat yang dimiliki Siauw Bwee, namun dia hanyalah
seorang dara remaja yang belum matang batinnya. Kepandaian yang
dimilikinya hanyalah kepandaian lahiriah. Kalau setinggi itu pengertian
batinnya, tentu dia akan tahu bahwa yang membuat orang merasa merana
dalam kesunyian adalah karena dia belum dapat menyatukan diri dengan
keadaan sckelilingnya. Melihat kudanya, dia menemukan hiburan karena ada
rasa persatuan di dalam hatinya terhadap binatang itu. Kalau dia
memiliki perasaan persatuan yang sama terhadap sekelilingnya, terhadap
suara binatang-binatang kecil yang tak tampak, terhadap berkelisiknya
daun, terhadap angin, terhadap kegelapan malam, menyatukan diri dengan
alam dan seisinya, tentu tidak ada lagi penderitaan batin yang merana
karena kesepian itu. Hanya manusia yang dapat menyatukan diri dengan
alam dan seisinya, baik yang tampak maupun yang tidak, dialah yang akan
dapat merasakan betapa bahagia hidup ini, betapa kecil artinya hal-hal
yang menimpa dirinya dan yang dianggapnya tidak menyenangkan. Persatuan
dengan alam dan seisinya, termasuk manusia dan segala makhluk, membuka
rasa kasih yang akan menerangi hidup dan akan musnah segala
perbandingan, segala perbedaan, segala iri hati, segala dendam dan
kebencian! Betapa sulitnya! Sulit? Tidak, sama sekali tidak bagi yang
sadar dan yang sudah dapat mengenal diri pribadi, dapat menyaksikan
dengan mata batinnya akan segala nafsu dan kekotoran yang menyelubungi
dirinya. Karena manusia selalu menunjukkan pandangan matanya keluar,
tidak pernah KE DALAM, maka dia tidak akan melihat semua itu dan tidak
dapat menjadi sadar.
Perasaan sengsara yang menekan batin Siauw Bwee
membuat dara ini lengah dan kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu bahwa
semenjak tadi, ada sepasang mata yang mengintainya, sepasang mata
seorang pemuda tampan yang duduk di atas cabang pohon tinggi. Pemuda itu
telah berada di atas cabang pohon ketika Siauw Bwee datang ke tempat
itu dan membuat api unggun. Semenjak tadi, pemuda ini memandang dengan
mata penuh kagum terpesona oleh kecantikan dara remaja itu.
Pemuda
yang berpakaian sederhana dan berwajah tampan ini adalah seorang
pendekar muda yang belum lama keluar untuk merantau meluaskan
pengalaman. Dia belum terkenal di dunia kang-ouw, karena wataknya yang
halus, sesuai dengan pendidikan ayah bundanya, membuat dia tidak pernah
bentrok dengan orang lain, padahal pemuda ini memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi. Dia bernama Yu Goan. Ayahnya adalah seorang pendekar yang
berilmu tinggi bernama Yu Siang Ki, putera ketua perkumpulan pengemis
Khong-sim Kai-pang yang terkenal (baca cerita Mutiara Hitam). Adapun
ibunya adalah seorang yang berilmu tinggi pula, tidak hanya dalam hal
ilmu silat, akan tetapi terutama sekali dalam hal ilmu pengobatan karena
ibunya itu puteri dari Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin (Kakek Gunung
Ahli Obat)! Ayah dan bundanya kini membuka toko obat dan dari kedua
orang tuanya, Yu Goan mewarisi ilmu silat aseli dari Khong-sim Kai-pang
dan ilmu pengobatan dari raja obat Yok-san-jin Song Hai. Dengan bekal
ilmu kepandaian yang tinggi ini orang tuanya, juga kakeknya,
memperkenankan pemuda ini merantau untuk meluaskan pengalaman.
Malam
itu, kebetulan sekali Yu Goan bermalam di dalam hutan itu, duduk di atas
cabang pohon dengan aman sampai munculnya Siauw Bwee yang membuat ia
bengong terlongong dan memandang penuh kagum. Hatinya ikut merasa
terharu ketika melihat dara itu termenung dan berduka seorang diri.
Menurutkan dorongan hatinya, ingin sekali ia meloncat turun dan
berkenalan, namun pendidikannya sebagai seorang pemuda terpelajar dan
sopan membuat ia menahan hatinya dan tidak berani turun, bahkan tidak
berani berkutik, khwatir kalau-kalau ketahuan dan disangka seorang
pengintai kurang ajar. Dia hanya berdoa dalam hatinya mudah-mudahan dara
itu tidak melakukan hal yang tidak-tidak, misalnya berganti pakaian,
melepas sepatu dan lain perbuatan yang akan membuat dia tersudut dan
menjadi makin kurang ajar tampaknya.
Tiba-tiba pemuda itu terkejut
dan matanya terbelalak memandang jauh. Apakah benda-benda mencorong yang
muncul di belakang gadis itu? Seperti mata harimau! Ada tiga pasang
banyaknya! Otomatis tangan pemuda ini meraba ke pinggang di mana
disimpannya beberapa buah senjata rahasia, siap melindungi dara itu
kalau betul ada tiga ekor harimau merunduknya!
Siauw Bwee tiba-tiba
meloncat dan membalik. "Srattt!" Sinar kilat tampak ketika ia mencabut
pedangnya. Yu Goan memandang makin kagum. Bukan main, pikirnya. Gerakan
dara itu sedemikian gesit dan ringannya, dan cara mencabut pedang tadi
pun menunjukkan gerakan seorang ahli!
Karena terhibur oleh kehadiran
kudanya, kewaspadaan Siauw Bwee timbul kembali dan telinganya dapat
menangkap gerakan di belakangnya. Ketika ia membalik dan melihat tiga
pasang benda mencorong di balik semak-semak, ia terkejut dan juga
menduga bahwa tentulah itu tiga pasang mata binatang buas, entah harimau
entah apa. Akan tetapi begitu ia membalik dan mencabut pedangnya,
tiba-tiba tiga pasang benda mencorong itu pun lenyap, seolah-olah api
yang ditiup padam. Dia menjadi penasaran. Tidak ada manusia atau
binatang yang boleh mengintainya kemudian melenyapkan diri begitu saja
sebelum dia tahu benar apa dan siapa mereka itu! Tubuhnya berkelebat dan
sekali melesat bayangannya lenyap dari pandang mata Yu Goan yang
melongo terheran-heran penuh kekaguman.
Dengan gerakan kilat, gerakan
yang kini jauh melebihi kecepatannya ketika sebelum ia mempelajari ilmu
gerakan kaki tangan kilat, Siauw Bwee berloncatan ke sana-sini,
mencari-cari. Akan tetapi tidak menemukan seorang pun manusia atau
seekor pun hewan! Terpaksa ia kembali ke dekat api unggun memandang ke
kanan kiri dengan mata tajam dan diam-diam ia merasa bulu tengkuknya
berdiri. Apakah benda-benda mencorong yang dilihatnya tadi? Apakah
pandang matanya keliru? Ah, tidak mungkin! Jelas ia melihat enam buah
benda mencorong, tiga pasang dan melihat jaraknya tentulah merupakaan
tiga pasang mata. Akan tetapi, mata apa? Andaikata binatang, atau
manusia, tentu dapat ia kejar. Akan tetapi benda-benda itu lenyap begitu
saja tanpa meninggalkan suara apa-apa!
Seluruh urat saraf di tubuh
Siauw Bwee menegang dan dia berdiri dengan sikap waspada, menanti
munculnya benda-benda aneh itu, pedang masih di tangan. Hampir setengah
jam ia berdiri tanpa bergerak seperti itu, tidak tahu bahwa ada dua buah
mata, sepasang mata yang tidak mencorong, mata manusia, mengintainya
jauh di atas dengan melongo penuh kagum.
Api unggun bergoyang-goyang
mengecil dan hal ini menyadarkan Siauw Bwee bahwa tidak ada apa-apa yang
mengancamnya. Apapun juga adanya tiga pasang benda mencorong tadi, yang
pasti mereka itu tidak ada lagi sekarang. Ia menghampiri api tinggun,
menambah kayu dan api unggun menyala lagi, apinya makan kayu kering
dengan lahapnya. Kini Siauw Bwee sudah duduk lagi, akan tetapi bukan
duduk melamun seperti tadi, melainkan duduk sambil menanti dengan penuh
kesiap-siagaan. Kini semua ketajaman pendengarannya dipasang dan suara
yang tidak wajar sedikit saja tentu akan dapat ditangkapnya. Dia
mengambil keputusan untuk bergerak secepatnya dan tidak akan membiarkan
mahluk itu sempat melenyapkan diri kalau berani muncul lagi.
Yu Goan
yang berada di atas pohon dan tadi juga melihat tiga pasang benda
mencorong itu, tidak kalah tegangnya. Tegangnya dua kali lipat, karena
selain tegang memikirkan benda-benda aneh itu, juga tegang menyaksikan
sikap dara jelita yang ternyata dapat bergerak seperti menghilang itu.
Dia pun memasang mata penuh perhatian dan karena dia berada di tempat
tinggi, dia lebih awas daripada Siauw Bwee yang pandangan matanya
terhalang oleh pohon-pohon dan tetumbuhan lain.
Tiba-tiba Yu Goan
bergerak, hampir lupa dan hampir berseru ketika ia melihat lagi
benda-benda mencorong, tidak lagi hanya tiga pasang, melainkan banyak
sekali, muncul di sekitar tempat itu! Untung baginya bahwa Siauw Bwee
juga melihat sehingga gadis itu tidak mendengar gerakannya di atas dan
kini tubuh Siauw Bwee telah lenyap ketika dara ini berkelebat meloncat
dengan pedang di tangan. Siauw Bwee berseru heran karena tiba-tiba
begitu ia bergerak, benda-benda mencorong itu "padam" dan lenyap, juga
sekali ini dia tidak berhasil menemukan sesuatu biarpun dia sudah
berloncatan ke sana ke mari di sekeliling tempat itu.
Kini Siauw Bwee
kembali ke tempatnya dengan muka penuh karingat. Hatinya ngeri sekali.
Belum pernah ia merasa ngeri seperti saat ini. Dia bukanlah seorang
penakut, sama sekali tidak. Akan tetapi apa yang dialaminya di hutan ini
benar-benar amat menyeramkan. Tentu iblis-iblis penghuni hutan yang
mengganggunya!
Dia tidak akan gentar menghadapi lawan manusia yang
bagaimanapun. Akan tetapi melawan iblis? Uhh, kalau saja malam tidak
begitu gelap, kalau saja matahari telah muncul, tentu ia akan segera
meninggalkan hutan berhantu ini!
Siauw Bwee menghela napas, tak
berdaya. Terpaksa ia harus melewatkan malam di tempat menyeramkan ini.
Dia duduk kembali, perlahan-lahan dan tidak pernah mengalihkan
perhatiannya dari keadaan di sekelilingnya.
Tiba-tiba Siauw Bwee yang
baru menekuk lutut untuk duduk kembali itu menyambar segenggam tanah di
dekat kakinya dan tangannya terayun sambil tubuhnya diputar. Segenggam
tanah itu mengeluarkan suara bercicitan ketika meluncur ke atas ke arah
pemuda yang menjadi terkejut bukan main.
"Wuuuuttt! Trakkk!" Biarpun
hanya segenggam tanah dan pasir, namun cabang pohon yang tadinya
diduduki Yu Goan, menjadi patah terkena hantamannya. Pemuda itu sudah
meloncat dengan gerakan ringan, melayang turun sambil berseru,
"Heit,
saya bukan musuh....! Harap Nona tidak salah sangka, saya bukanlah
mahluk-mahluk mengerikan yang memiliki mata mencorong itu!"
Siauw
Bwee memandang tajam ke arah wajah pemuda yang tinggi tegap dan tampan
itu, tangannya meraba gagang pedang, jantungnya masih berdebar tegang
karena tadi dia mengira bahwa tentu laki-laki di atas pohon itu yang
mengganggunya. Di bawah sinar api unggun yang kemerahan, mereka saling
pandang dan setelah kini berhadapan, Yu Goan menjadi makin terpesona.
Kiranya dara itu setelah didekatinya, malah jauh lebih jelita daripada
ketika ia melihat dari atas tadi, dan masih amat muda!
"Mudah saja
membela diri. Sudah jelas engkau mengintai aku dari atas pohon, atau
engkau pun hendak menyangkal lagi?" Siauw Bwee mencela, suaranya dingin.
Yu
Goan menggeleng kepala. "Saya tidak menyangkal telah melihatmu dari
atas pohon, Nona, akan tetapi bukanlah salahku. Bukan niatku sengaja
hendak mengintai, karena aku telah berada di atas pohon lama sebelum
Nona datang dan membuat api unggun di bawah pohon ini."
Siauw Bwee
memandang marah, teringat akan benda-benda mencorong yang menimbulkan
rasa ngeri di hatinya, yang kini ia duga tentulah perbuatan pemuda ini.
"Engkau membohong!"
Yu Goan menarik napas panjang. "Nona, membohong
atau tidak bukan hal yang dapat dipersoalkan, karena seorang pembohong
tentu saja tidak mau mengaku. Akan tetapi, andaikata Nona yang berada di
sini terlebih dulu, kemudian aku datang mengintai dari atas pohon,
bagaimana mungkin sampai tidak tahu ada orang datang dan memanjat pohon?
Aku bukan dewa, bukan pula iblis seperti makhluk-makhluk aneh tadi."
Siauw
Bwee termenung dan akhirnya ia mengangguk-angguk. Dia dapat menangkap
kebenaran ucapan itu karena biarpun dari gerakan pemuda ini ketika
mengelak dan melompat turun tadi, terbukti bahwa pemuda ini bukan
seorang lemah, namun kiranya masih tidak mungkin pemuda ini dapat datang
dan meloncat ke atas pohon itu tanpa dia ketahui sama sekali.
"Kalau begitu, mengapa engkau diam saja dan sengaja mengintaiku dari atas pohon?"
"Habis, apa yang harus kulakukan, Nona?"
"Mengapa engkau tidak menegurku sehingga aku tahu bahwa ada orang di atas pohon?"
"Ahh,
mana aku berani, Nona? Andaikata engkau seorang pria, tentu saja aku
akan langsung menegurmu dan berkenalan. Akan tetapi engkau seorang
wanita muda, bagaimana aku berani menegur dan bersikap tidak sopan?
Aihhhh, Nona, kalau saja engkau tahu betapa tersiksa hatiku di atas sana
tadi, tak tahu harus berbuat apa, turun tidak berani diam saja
bagaimana. Aihh, benar-benar tersiksa. Aku hanya mengkhawatirkan suatu
hal...." Tiba-tiba pemuda itu berhenti dan mukanya yang tampan menjadi
merah sekali, ia pun menunduk dan merasa telah terlanjur, menurutkan
suara hatinya.
Siauw Bwee kini sudah hilang kemarahannya, bahkan
diam-diam ia senang sekali melihat sikap yang halus, pandang mata yang
penuh perhatian, tutur kata yang sopan dan tersusun rapi. Ia percaya
bahwa pemuda seperti ini tidak mungkin seorang penjahat. Akan tetapi
keraguan pemuda dalam kalimat terakhir tadi kembali membangkitkan
kecurigaannya dan ia cepat berkata mendesak,
"Apa yang kaukhawatirkan itu? Katakanlah agar aku tidak meragukan kebersihanmu!"
"Yang
kukhawatirkan tadi.... eh, anu...., aku diam-diam berdoa kepada Tuhan
agar engkau tidak melakukan hal yang bukan-bukan di bawah sini selagi
aku berada di atas pohon, karena kalau engkau melakukannya, aku
benar-benar akan celaka!"
"Eh, jangan bicara seperti teka-teki. Katakan, hal yang bukan-bukan itu apakah? Perbuatan apa yang kau khawatir aku lakukan?"
".... hem.... misalnya.... eh, kau merasa kakimu lelah dan membuka.... sepatu.... atau.... eh, berganti pakaian.... maaf...."
Tiba-tiba
Siauw Bwee menahan ketawanya dan mukanya juga menjadi merah sekali.
Memang tidak ada air di situ. Kalau ada, tentu dia akan mandi dan
berganti pakaian dan memikir hal ini.... bertelanjang bulat di situ, di
bawah pandang mata pemuda ini, ia merasa bulu tengkuknya berdiri! Akan
tetapi dia masih penasaran dan bertanya,
"Andaikata benar demikian, mengapa kau khawatir dan kaukatakan akan celaka?"
"Tentu saja, Nona. Kalau terjadi hal itu, tentu dalam pandanganmu aku akan lebih kurang ajar lagi."
Siauw
Bwee tersenyum dan memandang dengan mata bersinar. "Sungguh lega hatiku
sambitanku tadi tidak mencelakakan engkau. Ternyata engkau bukan musuh,
dan engkau seorang yang amat sopan dan jujur. Siapakah engkau?"
bersambung 8.........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar