Sabtu, 25 Mei 2013

pedang kayu harum [18 ]

tinggi sampai simpanan perhiasan-perhiasan berharga dan senjata-senjata mustika. Betapapun
juga hanya dia yang berjodoh saja agaknya yang akan dapat memiliki semua itu melalui
pedang ini. Akan tetapi kalian harus ingat baik-baik, karena kalian semua menghendaki
pedang ini, maka kurasa siapapun di antara kalian tidak akan mudah membunuhku
sungguhpun aku berjanji takkan melawan dengan sebuah jari tanganku. Nah, aku sudah siap,
siapa mau turun tangan merampas pedang, lakukanlah, aku tidak akan menghalangi!"

Setelah berkata demikian, Sin-jiu Kiam-ong menaruh pedang itu kembali ke depan kakinya diatas
tanah lalu bersedekap dan memejamkan matanya. Mulutnya tersenyum iklas, sama iklasnya
dengan hatinya yang telah bulat menyambut datangnya maut.
"Sie Cun Hong, aku maafkan dosamu asal kau memberikan pedang itu kepadaku!" terdengar
teriakan Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu yang disusul bunyi "tar-tar-tar!" nyaring sekali. Sinar-
sinar hitam manyambar karena sembilan ujung cambuk yang mempunyai kaitan-kaitan itu
telah menyambar ke arah pedang kayu di depan Sin-jiu Kiam-ong.
"Trang-trang-trang....!" Bunga api berpijar dan kesembilan "ekor" cambuk terpental.

"Kalian mau apa?" bentak Kiu-bwe Toanio marah dan mukanya menjadi merah, matanya
mendelik memandang ke arah delapan orang lain yang telah maju menangkis cambuknya.
"Hemmm, bukan engkau saja yang membutuhkan pedang Siang-bhok-kiam, KIu-bwe Toanio,
kami pun memerlukannya!" Ucapan ini keluar dari mulut Coa Kiu kakek tokoh Hoa-san-pai
dan secepat kilat Coa Kiu dan Coa Bu, kedua Hoa-san Siang-sin-kiam telah menggerakkan
pedang mereka menjadi sebuah sinar panjang dan kuat menuju ke arah Siang-bhok-kiam
dengan maksud mendahului dan merampas pedang kayu itu sebelum yang lain sempat
bergerak.

"Trang-trang...!!" Kembali sinar pedang yang kuat ini terpental karena ditankis oleh banyak
senjata.

"Ho-ho-ho, Hoa-san Siang-sin-kiam, jangan tergesa-gesa! Pinceng juga butuh.........!" Thian
Kek Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang berkulit hitam itu mengejek.

Senyum di bibir Sin-jiu Kiam-ong melebar dan kini sembilan orang yang saling pandang itu
mengerutkan kening. Baru mereka ketahui apa artinya ucapan Sin-jiu Kiam-ong tadi yang
mengatakan bahwa siapapun di antara mereka takkan mudah membunuh kakek itu biarpun si
kakek tidak melawannya. Kiranya kakek itu sudah dapat menduga lebih dulu bahwa di antara
sembilan orang ini tentu akan terjadi perebutan!

Sementara itu, di balik sebatang pohon besar bersembunyi Keng Hong. Bocah ini tadinya
meniup suling diatas punggung kerbau dan memasuki hutan sambil melanjutkan meniup
sulingnya perlahan-lahan. Setelah tiba di tengah hutan, dia terpaksa menghentikan tiupan
sulingnya yang tadi dilakukan hanya untuk menentramkan hatinya yang berdebar-debar dan
dia menyelinap di antara pohon-pohon ketika melihat banyak orang berdiri di lapangan
terbuka di hutan mawar itu. Sambil menahan nafas dia menonton dan mendengarkan seluruh
percakapan.

Diam-diam timbul rasa suka dan kasihan di hatinya terhadap kakek aneh yang
duduk bersila, apalagi setelah dia mendengar ucapan kakek itu seolah-olah telah menyerahkan
nyawanya kepada sembilan orang yang sikapnya mengancam itu. Dan pada saat yang sama
timbul rasa tidak suka kepada mereka. Dia sudah banyak membaca tentang watak orang-orang
budiman, bijaksana dan gagah perkasa, watak para pendekar yang menjunjung tinggi
kebenaran, keadilan dan kegagahan. Akan tetapi sembilan orang itu hendak mengeroyok
seorang kakek tua renta yang sama sekali tidak mau melakukan perlawanan. Alangkah picik
dan hina!

Sembilan orang itu kini saling berhadapan dengan pandang mata penuh kemarahan. Tak
seorangpun di antara mereka mengeluarkan kata-kata, namun pandang mata mereka sudah
menyatakan perasaan mereka dengan jelas dan seluruh urat syaraf di tubuh sudah menegang,
siap menggempur lawan untuk memperebutkan pedang pusaka yang amat mereka inginkan

0 komentar:

Posting Komentar