Rabu, 22 Mei 2013

pedang kayu harum [2]

tentram. Seperti itulah agaknya sorga sering kali disebut-sebut oleh para pendeta yang
dijanjikan sebagai anugerah tempat tinggal bagi para manusia yang dalam hidupnya
menjauhkan diri daripada segala kemaksiatan dan kejahatan.

Ketika sinar matahari mencapai kaki batu hitam mengkilap yang ujungnya berselimut awan
langit, tampaklah seorang kakek tua renta duduk bersila di atas batu halus. Kakek ini sudah
amat tua, terbukti dari kulit wajahnya yang penuh keriput, dagingnya yang sudah tipis
sehingga tulang-tulangnya menonjol di balik kulit, rambutnya yang putih semua terurai
panjang sampai ke punggung dan sebagian menutupi kedua pundaknya.

Kalau ditaksir, kakek ini tentu tidak kurang dari seratus tahun usianya. Pakaiannya yang sederhana hanya merupakan kain putih yang sudah agak menguning dibalut-balutkan ke tubuhnya, kakinya
telanjang seperti kepalanya.

Dia duduk bersila di bawah batu pedang yang tinggi itu dengan kedua kaki dan kedua lengan menyilang, duduk tak bergerak-gerak dengan kedua mata dipejamkan.

Dilihat dari jauh, dia seperti telah membatu, lebih menyerupai sebuah arca batu daripada seorang manusia hidup. Namun sesungguhnya dia bukanlah arca, karena kalau diperhatikan, tampak betapa dada di balik kain putih itu bergerak perlahan seirama dengan pernapasannya yang halus dan panjang.

Di atas tanah, depan kaki yang bersilang dengan bentuk teratai (kedua telapak kaki terlentang di atas paha), terdapat sebatang pedang telanjang yang mengeluarkan sinar kehijauan setelah tertimpa cahaya matahari. Sebatang pedang yang indah bentuknya, namun amat aneh karena berbeda daripada pedang-pedang umumnya yang terbuat dari baja-baja pilihan, pedang yang terletak di depan kakek itu adalah sebatang pedang kayu!

Perlahan-lahan sekali, sedikit demi sedikit, sinar matahari memandikan wajah tua keriputan itu. Di bawah sinar keemasan sang surya, wajah itu tampak amat elok dan tak dapat diragukan pula bahwa kakek ini dahulu tentu seorang pria yang amat tampan. Bentuk dan raut wajahnya masih jelas membayangkan ketampanan seorang pria.

Kehangatan sinar matahari yang sedap nyaman itu menyadarkannya dari samadhi. Dia
membuka kedua matanya dan orang akan heran kalau melihat sinar matanya. Orangnya jelas
sudah amat tua, namun sepasang matanya bening seperti mata seorang anak kecil yang masih
bersih batinnya! Bagi seorang ahli kesaktian, hal ini saja sudah menjadi bukti bahwa kakek ini
telah mencapai tingkat ilmu yang amat tinggi, karena hanya orang yang memiliki sinkang
(hawa sakti) amat kuat saja yang dapat mempunyai sepasang mata seperti itu.

Dengan pandang mata penuh kagum kakek itu memandang ke depan, lalu ke kanan kiri dengan sinar
matanya seolah-olah dia minum dan menikmati segala keindahan yang dicipta oleh sinar
keemasan sang surya itu. Kemudian dia menggeleng kepalanya, dan bibirnya bergerak-gerak,
mengeluarkan kata-kata lirih.

"Ya Tuhan Yang Maha Kasih! Sampai sedemikian besarkah kasihMu kepada seorang penuh
dosa seperti aku? Berhakkah aku menikmati semua ini? Aaaahhh, tak mungkin! Thian
(Tuhan) hanya melimpahkan ganjaran kepada orang yang telah berjasa di dalam hidupnya.
Guruku dahulu mengatakan dalam pesannya bahwa aku harus berbuat jasa terhadap manusia
dan dunia. Apakah jasaku selama aku hidup? Tidak ada! Hanya malapetaka yang menjadi
akibat dari semua perbuatanku! Dan semua itu karena aku pandai ilmu silat, karena...karena
Siang-bhok-kiam (pedang Kayu Harum) ini! Aaahhh,Tuhanku! Aku tidak akan mengelak
daripada kenyataan. Aku rela dan siap sedia menerima hukuman-hukumannya. Tak mungkin
aku membebaskan diri daripada belenggu karma. Aku tidak berhak menikmati kemurahan dan
kasihMu, ya Tuhan....!"

Kata-kata terakhir kakek itu bercampur isak tertahan dan dia lalu memejamkan kembali kedua
matanya seolah-olah dia tidak mengijinkan matanya memandangi segala keindahan yang
terbentang luas di depannya. Keadaan menjadi sunyi kembali. Sunyi sama sekali? Tidak!
Terdengar kicau burung pagi, riak air di belakang batu pedang, dan desau angin menghembus
lewat mempermaikan daun-daun pohon. Paduan suara ini seolah-olah mengejek kakek itu

0 komentar:

Posting Komentar