Rabu, 22 Mei 2013

pedang kayu harum [ 7 ]

arah pedang. Siang-bhok-kiam kembali berputaran di udara seolah-olah bimbang hendak
terbang kemana, akan tetapi akhirnya terbang kembali ke Sin-jiu Kiam-ong dan jatuh ke
depan kakek itu ditempatnya yang tadi. Thian Ti Hwesio mengusap peluh di keningnya, lalu
menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada.

"Sin-jiu Kiam-ong makin tua makin gagah, tepat seperti apa yang telah diperingatkan suhu
kami. Siancai....siancai....!"

"Thian Ti Hwesio terlalu memuji," kata Sin-jiu Kiam-ong.

"Orang she Sie! Kalau lain orang menghormatimu, aku Sin-to Gi-hiap tidak! Aku sudah
mengenal isi perutmu! Aku seorang dari golongan pendekar, termasuk kaum benar dan bersih,
bagaimana aku dapat berdiri sederajat dengan engkau seorang tokoh sesat dan kotor? Aku
bilang bukan untuk minta-minta diberi Siang-bhok-kiam, melainkan untuk memenggal
kepalamu dan merampas pedangmu!"

Sin-jiu Kiam-ong memandang orang yang bicara dengan suara keras itu. Dia adalah seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih berdiri tegak dan tegap,
wajahnya membayangkan kegagahan dan ketampanan, sebatang golok telanjang berada di
tangan kanan mengeluarkan cahaya berkeredepan, pakaiannya ringkas dan sederhana,
berwarna kuning bersih.

"Eh, kiranya Sin-to Gi-hiap (Pendekar Budiman Bergolok Sakti) yang datang? Bagiku, tidak
ada permusuhan dengan seorang pendekar budiman seperti engkau. Mengapa engkau datang-
datang memaki orang?"

"Lidah ular! Isteriku telah meninggal dunia, namun dendamnya dan dendamku kepadamu
takkan lenyap sebelum golokku berhasil memenggal lehermu! Biarlah disaksikan oleh para
orang gagah disini mendengarkan pengakuanku, karena aku bukan seorang pengecut. Lima
puluh tahun yang lalu, dengan kepandaianmu merayu engkau telah mengganggu isteriku,
memaksanya melakukan hubungan perjinaan denganmu. Lima puluh tahun yang lalu aku
kalah terhadapmu, akan tetapi coba-coba kita buktikan sekarang! Bangkitlah dan lawan
golokku!"

Sin-jiu Kiam-ong menudingkan telunjuknya ke arah hidung pendekar yang kini sudah tua itu.

"Sin-to Gi-hiap, sebelum memaki orang mengapa tidak meraba hidungmu lebih dahulu? Aku
memang melakukan hubungan cinta gelap dengan isterimu, akan tetapi apa salahnya itu kalau
dia sendiri menghendakinya? Dan ketahuilah, aku sampai hati melakukan hal itu karena
mengingat betapa engkau mendapatkan isterimu yang cantik jelita itu dengan jalan merampas
dan memaksa!”
“Engkau mendapatkan dengan membunuh suaminya si perampok tunggal di Taibu, kemudian
merampas isterinya yang cantik. Apakah kaukira aku tidak tahu bahwa engkau membunuh
perampok itu bukan sekali-kali terdorong jiwa pendekarmu, melainkan terdorong nafsu
birahimu melihat isterinya yang cantik? Engkau merampas wanita dengan kekerasan, aku
merampas cintanya dengan cara halus. Apa bedanya? Setidaknya, aku lebih berhasil
mendapatkan cintanya!"

"Keparat? Penjahat cabul engkau, jai-hwa-cat (Pemetik bunga) yang tak tahu malu. Sebentar
lagi engkau tentu mampus disini dan biarlah kubuatkan arca seorang jai-hwa-cat untuk ditaruh
diatas makammu agar setiap orang dapat meludahinya!" Setelah berkata demikian, Sin-to Gi-
hiap lalu meloncat ke arah sebuah batu gunung sebesar manusia, goloknya mendahuluinya
merupakan sinar putih cemerlang, berkelebatan dan menggulung-gulung di sekitar batu itu
dan terdengar suara keras dan bunga api berpijar-pijar menyilaukan mata. Setelah gulungan
sinar berkilauan lenyap dan semua orang memandang ke arah batu diantara debu itu, kini
tampaklah bahwa batu itu telah menjadi arca yang menggambarkan kepala Sin-jiu Kiam-ong!
Biarpun kasar akan tetapi jelas tampak bahwa itu adalah arca si kakek tua renta yang kini
duduk bersila sambil memandang arca itu dan tersenyum!

"Wah, makin hebat saja kepandaianmu, Si Golok Sakti! Akan tetapi bukan ilmu goloknya

0 komentar:

Posting Komentar