Senin, 13 Mei 2013

bukek sian su - 14

Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga biruang raksasa yang menjadi jinak
itu.

Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka meninggalkan Pulau Neraka,
berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil menemukan Swat Hong yang
dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah lautan berbahaya itu, Sin Liong
mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar.

"Besar kemungkinan Sumoi mendarat, dan kalau
sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu
tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita mencari jejak mereka di daratan besar." Soan Cu tidak
membantah dan demikianlah, akhirnya mereka mendarat dan hanya beberapa hari lebih dulu dari pendaratan yang
dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia bertemu dengan Kwee Lun.

Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan dan hutan, maka adanya biruang bersama
meraka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk
mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam hutan yang lebat.

Pada suatu hari, tibalah mereka di
pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng puncak Awan Merah, daerah kekuasan
Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba terdengar auman harimau yang amat keras sehingga
suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini, biruang menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan
memeluk binatang itu, khawatir kalau-kalau biruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.

"Hai.......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh dan
istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya disamping pedang. Dia tertawa-tawa
gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih bersifat kanak-kanak dan
hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya. Dia maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat
seperti Pulau Neraka itu, tentu saja memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik
dari hati Soan Cu. Selain membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu
sudah tinggi sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri.

Soan Cu berlari cepat sekali dan dalam berlari
ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya. Di depan Sin Liong, dia selalu harus menekan
perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah
pemuda itu menjadi pengganti kakeknya. Akan tetapi sesunguhnya semenjak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada
perasaan gembira yang disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan
kegembiraannya yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong!
Maka kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah
suara harimau yang mengaum. Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke
tempat itu dan akhirnya dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali,
loreng-loreng hitam kuning berdiri memandang ke arah seorang laki-laki yang berdiri ketakutan.

Harimau itu
membuka-buka moncongnya, seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu, menakut nakutinya, kadang-kadang
mengaum dan tiap kali dia mengaum, kedua kaki orang itu menggigil dan terdengar suara terputus-putus dan dia
mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon, "Kakak harimau yang baik..... saya..... saya..... A-siong
pedagang kayu bakar..... hendak mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong....... harap jangan mengganggu
saya......"

Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok dan biasanya dikurung dalam kerangkeng dan
hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari itu
terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke Puncak Awan
Merah.

A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka menjual kayu bakar di tempat
itu. Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!" Harimau itu menggereng dan
menoleh. Ketika dia melihat seorang wanita memegang cambuk, dia menggereng dan cepat sekali, berlawanan dengan
tubuhnya yang besar, dia sudah membalik dan menubruk. "Celaka......!" A-siong berseru kaget, memeluk batang
pohon dan menahan napas, membelalakan matanya. Akan tetapi, tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakan cambuknya.
"Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu dan sekali tarik, tubuh harimau
yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah. Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali
dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri dan melihat tubuh harimau
itu menyambar lewat, dengan tangan kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang dan sekali tubuhnya
bergerak, dia telah berada di atas punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang
menunggang kuda, Soan Cu menggerak-gerakan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu. Tentu saja harimau itu
merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap harimau itu berusaha mencakar dan
menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas, namun tak pernah berhasil bahkan bagaikan
buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung dan bibirnya sampai berdarah!

"Hiyooooo.... kucing
binal, hayo jalan baik-baik!" Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggang harimau, tangan kiri
mencengkeram kulit leher, tangan kanan mempermainkan cambuknya dan harimau itu yang mengejar ujung cambuk yang
digerak-gerakan, melangkah perlahan-lahan! A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik
batang pohon, terbelalak dan hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok
kedua matanya dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi, akan tetapi tetap saja
penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya. "Soan Cu, turunlah......!!" Tiba-tiba
terdengar teguran dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia masih
tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi, dan dia berkata, "Liong-koko,
dia.... dia hendak menerkam orang....." ucapannya ini bersifat membela diri karena dia ketakutan oleh pemuda
itu sedang mengganggu harimau. "Turunlah berbahaya sekali permainanmu itu!" Soan Cu meloncat turun dan tentu
saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong
kerena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi.

Dara ini telah meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah
harimau dengan meruncingkan mulutnya dan mengeluarkan bunyi, "Hiii.....! Hiiiiii!!" Sementara itu, biruang yang
tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan dijak menyusul Soan Cu, setelah kini melihat harimau, timbul
kembali kemarahannya, bahkan lebih hebat dari pada tadi. Pada saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu,
tiba-tiba biruang itu melompat ke depan dan menggereng sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau
dengan mata merah. Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini. Dia pun menggereng dan
menubruk. Akan tetapi biruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu,
dia menggerakan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki depan harimau .
Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya terlempar ke bawah. Akan
tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya. "Hushhh....! Biruang yang baik, jangan
berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan biruangnya dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi
sekali ini agak sukar karena biruang itu marah sekali, meronta-ronta dan apa lagi melihat harimau itu masih
menggereng hendak menyerangnya. "Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakan
cambuknya ke depan untuk menghalau harimau itu. "Tar-tar-tarr.....!!"

Harimau merasa jerih menghadapi cambuk,
akan teapi bukan berarti dia takut karena dia masih menggereng-gereng memperlihatkan taringnya dan matanya
merah bersinar-sinar. "Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak. "Siapa dia berani kurang
ajar hendak mengganggu harimau kami?" Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan muncullah banyak orang di tempat
itu. Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu, dan orang yang berseru
tadi, seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan tenaga yang kuat,
matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya membayangkan kekejaman. Di
sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali, dengan pakaian yang mewah dan indah, rambutnya ditekuk ke
atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas permata, pakaian yang indah itu
membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang
yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah. Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang
berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya yang mendaun sirih bentuknya itu.

Sin Liong cepat menjura dengan
hormat dan berkata halus, "Harap Locian-pwe sudi memaafkan kami yang secara tidak sengaja memasuki daerah ini,
"kata Sin Liong sambil memegangi kaki depan biruangnya. Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan
sepasang mata bersinar halus tanpa rasa takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini
masih bukan apa-apa, akan tetapi kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai biruang
itu maka kalian menjadi sombong?" "Kami tidak menggangu, Locianpwe. Hanya karena harimau itu dan biruang kami
akan berkelahi maka kami melerai dan mencegahnya." "Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya?
Hanya kalau manusia sudah mencampurinya, maka manusia itu lebih rendah daripada binatang!" "Eh, tahan tuh
mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu. Dara ini tidak lagi dapat
menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami melerai karena yakin bahwa kucing hutan
busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh biruang kami, engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah
mengucapkan kata-kata menghina!"

Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga
kagum. Kakek ini memang orang aneh. Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang
pada saat itu muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw
yang terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi), seorang gagah yang jujur dan terbuka sikapnya, maka kasar
sekali dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau peliharaannya. Dia terkenal sekali di dunia
kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di Puncak Awan Merah itu dengan tentram,
bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang bersamanya dan yang sejak tadi diam saja.

Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui. Adapun
orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak buahnya, kurang lebih
lima belas orang banyaknya, di antaranya seorang kakek yang usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih
semua. Kakek inilah yang merupakan murid kepala dan yang telah memiliki kepandaian tinggi pula, bernama Thio
Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah). "Bagus sekali!" Kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kitas
adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat apakah benar-benar biruangmu dapat mengalahkan harimauku!" "Boleh!"
Soan Cu menjawab. "Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sian Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek
itu, "Harap Locianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami
untuk mengganggu siapa pun." "Kucing hitam macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh biruang kami!"
Soan Cu masih marah marah. "Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat
datang, agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Perlu diberi hajaran!"

"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok
berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum kedua binatang peliharaan kita saling diadu,
jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!" "Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi. Mendengar ucapan
kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan biruang diadu, tentu kakek itu bersama
teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas
dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja
setelah ini, kami diperbolehkan pergi." "Koko, lepaskan biruang kita, biar dihancur lumatkan kucing keparat itu.
Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali.

Sin Liong melepaskan biruangnya
dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan berbisik, "Soan Cu, kautenangkanlah hatimu, jangan
marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam permusuhan dengan siapapun juga, bukan?" Dipegang
lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu padam seperti
tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan kepalanya. Dia seperti seekor
harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak! Sementara itu, setelah kini dilepas keduanya dan tidak ada yang
menghalangi, kedua ekor binatang itu mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan.
Mual-mula mereka saling pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian
harimau yang ganas itulah yang mulai menerjang maju! Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu
menubruk dan menerkam. Akan tetapi, dengan gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali,
biruang menangkis terkaman dan balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biarpun tidak seruncing kuku
harimau, namun tidak kalah kuatnya. Kena tamparan biruang yang amat kuat itu, harimau terguling-guling! Hanya
sepasang matanya saja yang bersinar-sinar girang, akan tetapi Soan Cu tiak berani berkutik di dekat Sin Liong.

Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu
terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong. Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin
dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat, ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh
bukit. Pada saat itulah koki warung yang menemani sudara misannya mengantar kayu bakar, mendapat kesempatan
menonton harimau bertanding melawan biruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan
tempat itu dan berlari turun lagi.

Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Biruang itu sudah menderita
banyak luka di tubuhnya akibat cakaran dan gigitan harimau, akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram
kepala harimau, menindihnya dan menggigit leher harimau, sampai robek dan terus luka di leher itu dirobeknya
sampai keperut! Harimau berkelojotan dan mati tak lama kemudian. "Heiii....!" Soan Cu berteiak, namun
terlambat.

Sinar hitam menyambar ke arah leher biruang dan binatang ini mengeluarkan pekik mengerikan lalu
roboh dan tak bergerak lagi, mati diatas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya. "Kau membunuh biruang
kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi menyerang biruang dengan Hek-tok-ting
(Paku Hitam Beracun). "Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledak-ledak di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg.....!!" Bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
bersinar hitam.

itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari Teetok. Akan
tetapi bukan main kagetnya ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri, dia merasakan lengannya tergetar, tanda
bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat. "Heii, jangan bertempur.....!" Sin Liong cepat
menegur,akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apalagi kakek itu pun sudah marah dan sudah
membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara gadis itu dan Tee-tok.
Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada menyambar hawa yang kuat dari lawannya, Soan Cu
tidak berani memandang ringan dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya. Pedang di tangan gadis ini adalah
pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya, pedang ini aneh dan ampuh sekali.

Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan pedang itu terbuat dari tulang ular dan namanya pun Coa-kut-kiam
(Pedang Tulang Ular) terbuat dari pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan diperkuat dalam rendaman
tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja. Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena cambuk
itu terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan yang hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga
pedangnya, cambuknya itu pun mengandung bisa yang tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu
membawa obat penolaknya!

Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, dan dia memang tadinya tidak
mau memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek ini yang dahulu pernah pula
membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia dilereng
Pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan kakek itu, dia
menjadi khawatir sekali dan cepat dia berkata, "Locianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk Tee-tok dan
disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama besarnya kalau sekarang
melayani bertanding melawan seorang dara remaja!"

Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia
menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, melompat mudur
dan menghadapi Sin Liong. "Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan
gadis itu!" Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Locianpwe. Saya hanya hendak
mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding." "Tapi kalian datang dan mengakibatkan
harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang mengacau, mana biasa harimau kami mati?" "Dia mampus
karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi tenang kembali karena Sin
Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya kembali.

"Siangkoan Locianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Locianpwe mati karena biruang kami, akan tetapi Locianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh biruang kami. Bukankah itu sudah lunas artinya?" "Tidak!" Tee-tok yang masih marah
itu membentak. "Biarpun biruangnya sudah mati, akan tetapi pemiliknya belum dihukum!" Soabn Cu tak dapat lagi
menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?" "Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah
ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau tidak cukup ditebus dengan kematian biruang. Pemiliknya
harus dihukum rangket seratus kali , baru adil!"

"Keparat!" "Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan
dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali kata katanya. "Soan Cu, aku minta kepadamu agar kau sekarang juga
meninggalkan tempat ini. Biarkan aku yang berurusan dengan Siangkoan Locianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku
di dusun itu. Mengerti?" Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu, akan tetapi melihat sinar mata
Sin Liong yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan dia mengangguk.

"Berangkatlah, dan tunggu aku
di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum. Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan
Houw, kemudian meloncat pergi, meninggalkan isak tertahan. Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian
dara itu yang sekali meloncat lenyap dari situ, akan tetapi terutama sekali kagum kepada Sin Liong yang
bersikap demikian tenang dan halus, namun ia memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu
menjadi demikian jinak dan taat. Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu
mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu
diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
menerima hukuman rangkes seratus kali agar hatimu puas." Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh
Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman
hukumannya. "Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.

Empat orang muridnya menyerbu dan Sin
Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan
pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung. "Ayah.....!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang
sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah
tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan
tetawaan orang sedunia?" Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke
arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman. "Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah,
aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."

"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk
dan rangket dia seratus kali!" Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa
sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun
cambuknya. Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang
itu. "Tar.....! Tar....! Tar........!" Semua orang terbelalak memandang , penuh keheranan. Cambuk itu menyambar
bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak
membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemengang
Cambuk lebih banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah
pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja
tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecut baja saja! Setelah
menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok
telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan
dan kengerian.

Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri
menjadi merah sekali. Tahulah bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi
telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini
menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata
aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok
merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap
kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini
dalam kemarahannya, dia hendak mengajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini! Pada saat itulah Swat Hong datang
dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah
hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di
depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan..... jangan pukul dia dengan ini.....!" "Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina
kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekebalannya kalau dia
merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu. "Jangan, Ayah! Jangan.... aku akan
melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia.... dia orang gagah yang budiman, luar biasa..... mengapa
Ayah tak bisa melihat orang.....?" Siangkoan Houw menundukan mukanya dan melihat wajah puterinya yang pucat,
mata yang sayu dan tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah
sekali. Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu! "Hemm..." Suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada
putera Lusan Lojin.....?" "Ayahhhh....!" Siangkoan Hui berseru dan terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya,
menangis.

Betapapun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega
kepada anaknya. Hantinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya. Dia
menghela napas panjang dan pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan kekejaman dan
kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini? Hemm...., seorang pemuda yang amat
tampan , dan harus diakuinya bahwa biarpun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu
gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itupun membuktikan bahwa pemuda ini bukan
orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah dewasa sekarang. Apakah
sebaik pemuda ini? "Hai, orang muda. Siapakah namamu?" Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus,
"Nama saya Kwa Sin Liong, Locianpwe." "Bagaimana engkau bisa mengenal aku?" "Siapa yang tidak mengenal
Locianpwe yang terkenal di dunia Kang-ouw? Locianpwe adalah Tee-tok Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu
kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Locianpwe....." Tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru
dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya menyebut-nyebut hal itu.

"Bertemu? Di mana?" Karena sudah
terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi, maka dia berkata, "Di lereng Jeng-hoa-san,
bahkan Locianpwe pernah membujuk saya menjadi murid......"

"Astaga....! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib?
Engkau Sin-tong....?" Tee-tok berseru dan cepat melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh..... maafkan
kami. Di antara kita telah timbul salah pengertian besar!" Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang
mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong. Sin
Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Locianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan keributan dan
mengakibatkan kematian harimaumu." "Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik,
bukan hanya baik saja. Aduh, betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa
girangku dia tiba-tiba muncul di sini!" Dengan giran Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo
masuk ke rumah kami, kita bicara!" "Tapi, Locianpwe. Saya ingin melanjutkan." "Nanti dulu, kita bicara! Sejak
engkau dibawa oleh.... eh, di mana dia sekarng.....?"

Kakek itu menengok kekanan kiri, seolah-olah merasa ngeri
karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa tahu, pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu
muncul pula di situ. "Locianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu." "Mari kita
bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!" Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak
tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki
bukit. Terlambat sedikit pun tidak mengapa daripada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang
berangasan ini.

Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar, penuh kekaguman
dan ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian menggandengnya dengan tangan kiri, dia
tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari kecil meninggalkan mereka. "Ha-ha-ha!
Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Eng kau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!" Dengan penuh
kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong. "Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?" "Dia adalah Ouw Soan Cu,
seorang sahabat baik saya, Locianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan saya membantunya." "Mana dia? Karena dia
sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya." "Tidak usah, Locianpwe. Wataknya aneh
dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham." "Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama
aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."

"Locianpwe, nama saya Kwa Sin Liong." "Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?'

Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya
dilarang untuk bicara tentang Suhu...." "Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu
dengan muridnya, apalagi muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan
sebesar gunung!" Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya dan cawan arak yang terbuat daripada perak itu
seperti tanah lihat saja, di dalam kepalanya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.

Sin Liong terkejut dan tidak berani bertanya. Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah
meja dan berteriak kepada muridnya minta diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa?
Anaku hanya seorang, perempuan lagi, dan celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" Kakek ini memang selalu
bicara keras, kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu! Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah
ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?'

"Kalau ditunangkan dengan engkau tentu
saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu , dengan orang lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah
ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu,
dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak pintar itu, matanya tajam sekali." Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut
dan malu, menunduk dan tak berani bicara lagi. "Engkau tentu belum bertunangan, bukan?" Sin Liong hanya
menggeleng kepalanya. "Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji...."

"Locianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan, adapun aku.... aku sama sekali tidak mempunyai pikiran
untuk menikah," Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu
saja, dari satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin, engkau tua bangka benar-benar sekali ini membuat hatiku kesal! Aku
telah pergi ke sana baru-baru ini dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut
penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...."

"Harap Locianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Locianpwe. Kalau sudah jodoh, tentu akan
dipertemukan kelak." Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang, setelah mendengar bahwa pemuda yang tadinya
akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong yang dahulu dibawa oleh Pangeran Han Ti Ong tokoh Pulau Es, dia
tertarik dan terkejut sekali. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan tetapi juga
untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini, maka dia menanti
kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri. Sementara itu, Siangkoan
Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk
ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang bukanbukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia
merasa malu dan.... girang bukan main. Tak dapat ia menipu hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada
pemuda itu! Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat.
Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan mengalah,
akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di kulit tubuhnya
yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta! Dan ayahnya sudah
mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda itu. Akan tetapi, bagaimana
dengan tunangannya? Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan
termenung, menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan dan
dapat dipergunakan sebagai saputangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang berwarna kuning.
Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya sebentar pucat sebentar merah
tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.

Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi
ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api
penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain adalah Han Swat Hong! TadinyaSwat Hong mengintai dan hampir saja dia
melompat keluar untuk menolong suhengnya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya
menggunakan tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apalagi melihat
betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil! Hatinya terasa panas sekali, seperti
dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui! Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti
dara itu dengan niat untuk membunuhnya!

Swat Hong sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak
senang kalau melihat ada gadis memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu
bahwa hatinya diamuk cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi
itu, menggigit ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar! "Perempuan tak tahu malu!" Bentaknya dan dia sudah
melompat keluar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan sarung pedang di tangan
kiri, memasang kuda-kuda dan membentak, "Bersiaplah untuk mampus di tangan Nonamu!"

Siangkoan Hui adalah
seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka begitu melihat bayangan
berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini, melihat bahwa yang muncul dan datang-datang memakinya itu
adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh, apakah kau ini orang gila?" Tentu saja
pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang direbus dan sepasang
matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara kedua orang dara itu yang
lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama marahnya!

"Kau.... kau....perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suhengku!" Swat Hong memaki.

Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar dirinya dimaki-maki orang.

"Apa? Kau ini mengaku Sumoinya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana mempunyai sumoi seekor cacing?" Dapat
dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini. Ingin dia mencaci
maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi karena dia tak pandai cekcok dengan suara, dia hanya
mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada Siangkoan Hui!

"Singgg...Wuuuuttt......!" Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari
atas sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan serangan
balasannya yang tidak kalah berbahaya.

"Plakkkk!!" Sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis
serangan itu dan dia terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh
dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan kecepatan kilat.
Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa itu. Sebetulnya tingkat
kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukarlah dicari tandingannya. Sebagai puteri
tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata istimewa berupa sabuk
sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya.

Ayahnya adalah seorang tokoh yang berjuluk
Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang ampuh. Setelah mendapat kenyataan
betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya, tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan
dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Sawat Hong mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan
mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulung gulung sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan
Hui secara lihai itu semua dapat dipukul runtuh. "Haiiittt....!!" Swat Hong meluncur ke depan, didahului sinar
pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung membabat ke kanan kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak
menghantam dari atas. Seolah-olah semua jalan keluar tertutup dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang
diputar-putar, melindungi tubuhnya. Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar
dua batang paku merah yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali ke arah tenggorokan Swat
Hong! "Aihhh....!!" Swat Hong menjerit dan tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan
"menangkap" dua batang paku merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu!
Siangkoan Hui terkejut dan kagum bukan main , dan pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke
arah tubuh lawan. Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah. Akan
tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus terhebat dari Pulau
Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat dan ujung sabuknya sudah robek dicium ujung
pedangnya!

"Sumoi, jangan....!!!" Tiba-tiba terdengar seruan dan Sin Liong melompat memasuki lapangan
pertandingan, menolak lengan sumoinya dengan tangan kiri. "Sumoi....! Syukur kita dapat saling bertemu di
sini....!" Sin Liong berseru girang bukan main. Akan tetapi, perut Swat Hong terasa panas saking
mendongkolnya.tadi dia sudah berhasil mendesak lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa
Tahu, suhengnya muncul dan lawannya itu dapat meloncat keluar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi
ayahnya! "Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui. "Sumoi, jangan
serang orang!" "Kalau begitu, serang kau saja!" Dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan
pedangnya! "Eh-eh....! Ohhh....! Sumoi...., mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa berlompatan ke
sana-sini mengelak karena sambaran pedang di tangan sumoinya itu bukan main-main! "Kenapa kau membelanya?
Kenapa?" Swat Hong berkata berlahan dan menyerang terus tanpa mempedulikan seruan suhengnya. Pada saat itu
tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan Soan Cu.

Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama?
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong, dan karena
gadis ini amat taat kepada Sin Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun
kembali.

Dan telah diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong
dan mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri. Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang
berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari
pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap
gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah terjadi di sebelah dalam . Hal ini akan lebih memudahkan
penyelidikannya, daripada menyelidiki dari luar tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba
meloncat keluar dari tempat sembunyinya dan langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu! Dapat dibayangkan betapa
marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semaksemak dan dengan gerakan secepat
kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini tentulah anak buah Tee-tok yang hendak
menangkapnya atau hendak berkurang ajar.

"Setan keparat jahanam terkutuk !!" bentaknya dan dia mengerahkan
tenaganya, meronta dan menggerakan kaki tangannya, menyepak dan menampar.
"Plak-plak-plak.....! Wah-wah.....galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar! Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan
tertegun karena sama-sama tidak menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi,
dipeluknya karena disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita!
Sedangkan Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya
saling pandang, kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh pergi
oleh Sin Liong , hatinya gelisah memikirkan Sin Liong biarpun dia yakin pemuda itu akan mampu menjaga dirinya.
Kini ada orang yang betapa gagahnyapun telah berlaku kurang ajar.

"Setan alas! Siapa kau? Tentu kaki tangan
Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah bosan hidup!" "Tar-tar-tar....!!" Cambuk
buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun. Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja
kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa
herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan
pemuda itu berhasil menepuk lengannya yang memegang cambuk. "Plakkk!" Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak
membuat cambuk itu terlepas!

"Aihhh..... nanti dulu, jangan menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau
racun manapun juga!" Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya
berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi, Kwee
Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis cambuk itu dengan
telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dan tidak tahu bahwa pemuda itu menggunakan
ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya
menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka oleh benda keras!

"Nona cantik tapi galak seperti
kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang terus sambil memaki-maki. "Berhentilah
dulu dan kita bicara!" "Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah
mencabut pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut! "Wah, runyam!
Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu mencabut pedangnya dengan
tangan kanan sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak. "Tringgggg.... Cringggg-trangggg......!"
Bunga api berpijar dari keduanya terdorong kebelakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu
dengam cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga sinkang
mereka seimbang! "Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Trangggg....! Trangggg....!!" Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya!
Manusia mana kuat bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau
marah-marah kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?" "Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!" "Eh, ohhh! Kau bikin
aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan kau lihai bukan main!
Senjatamu mengerikan!" Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran
bahwa dia tidak mampu mengalahkan pemuda ini. "Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa....
eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga, kukira kau tadi seorang pelayan di sini!" "Menghina kamu ya? Orang
macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal babi!" "Maafkanlah. Aku tadi melihat
dari jauh. Aku sedang menyelidiki..... wah, celaka! Kau tentu puteri Teetok!" Kwee Lun terkejut dan menyesali
kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!" "Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok!
Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada biruang diadu dengan harimau, pemilik biruang itu
adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya sahabatku!"

Soan Cu menjadi bingung. "bicaramu seperti orang
sinting!' "Memang betul, sahabatnya, eh, malah suhengnya sahabatku. Kau siapa?" "Aku baru saja meninggalkan
pemilik biruang itu yang menjadi sahabat baikku." Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah
dan malah menyuruh dia pergi dan ingin menerima hukuman! "Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini
tolol?" "Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar ditangannya.
"Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau tidak tahu siapa
itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun Bumi, kejemnya bukan main.
Sahabatmu itu, suheng sahabatku, pemilik biruang, tentu akan dibunuhnya!"

"Apa....?" Wajah Soan Cu menjadi
pucat sekali. "Celaka....!" "Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!" Demikianlah, kedua orang itu
seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka tiba di tempat yang tepat di mana
mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin Liong yang mengelak ke sana-sini. Ketika Kwee
Lun melihat sahabatnya itu menerjang seorang pemuda dengan mati-matian dan mendapat kenyataan betapa pemuda itu
lihai bukan main, biarpun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat Hong sama sekali tidak pernah
menyentuhnya, dia sudah menggerakan pedang dan kipasnya, meloncat maju sambil membentak,

"Berani kau menghina
Hong-moi?" "Trangg-cringgg....!!" Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang
menangkisnya adalah sepasang senjata di tangan..... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau
mencampuri urusan Liong-koko?" Setelah berkata demikian, Soan Cu menyerang kalang kabut dan kembali mereka
saling serang dengan serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah
meloncat ke belakang lalu berkata, "Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah....!" "Liong-ko, biarkan aku bertemput
dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!" "Kwee-koko, mundur! Orang sendiri......!"
"Hehhhh....? Orang sendiri....? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang kepada
Sin Liong, lalu kepada Soan Cu. "Kwee-koko, inilah suhengku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan .
"Eh.... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya.....??"

Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoiku ini
memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin mengajakku berlatih." Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah
ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan menyerang suhengnya sendiri, baru dia teringat dan menjadi
malu. Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara
cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong dan melihat sikapnya, dia dapat menduga bahwa dara
yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Ah, harap maafkan.
Kiranya Cici adalah sumoi dari Kwa-taihiap...."

"Hemmmm.... sudahlan!" Swat Hong berkata malu, kemudian
memperkenalkan kepada suhengnya, "Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam Hai Sengjin."

"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwataihiap?
Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan Cu yang masih
cembertu. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari.... mari orang-orang muda yang gagah perkasa, marilah
kita duduk dan bicara di dalam." Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilahkan mereka semua memasuki gedungnya dan
dia menjamu mereka dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada
Swat Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka. Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak
dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai
seorang pemuda yang luar biasa dan amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong
jelas memperlihatkan sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu
lebih mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya, pula, melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong, sumoi
pemuda itu, juga mencintai suhengnya, Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan cintanya terhadap
Sin Liong berlarut-larut.

Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatinya. Pemuda raksasa
ini amat hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur,
terus terang, gagah perkasa dan biarpun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua kali!
Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu lebih banyak
tertuju kepada pemuda perkasa itu. Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya
sungguh-sungguh dan katakatanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong, "Saya tidak tahu dengan jelas apakah
Ji-wi mempunyai hubungan dengan Pulau Es, akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari Pangeran
Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik perhatian Ji-wi. Dan
sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat mengharapkan bantuan Sin-tong!"


"Ah, mengapa Locianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah yang kiranya
dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es."

"Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es."

"Heiii....? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat.

Mendengar ini
Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari Pulau Es, bukan? Gerakan
pedang Nona tadi hebat bukan main...." "Tidak perlu diketahui siapa pun apakah aku dari Pulau Es atau tidak,"
jawab Swat Hong tegas. "Kalau ada urusan Pulau Es, kami ingin mendengar." "Locianpwe, harap ceritakan kepada
kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat. Perlu saya berutahukan bahwa memang amatlah
penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang menyangkut Pulau Es."

Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau
dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Ji-wi (Anda Berdua) tentu telah mendengar nama
besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai
mati-matian."

"Haiii....? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran sekali
mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang gagah yang
dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru lantang, matanya terbelalak
lebar karena penasaran. "Ha-ha-ha, agaknya gurumu, Si Tua Bangka Lam Hai Sengjin masih belum mendengar berita
karena dia selalu bertapa dipulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah
beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!" "Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah
urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula Kwee Lun. "Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam
Bu-tong-pai pula. akan tetapi, ketua baru itu mengaku dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan
perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan
bersekutu dengan pembrontak!"

"Ihhhh....!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana....!" Sin Liong juga
berseru. Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi
mengenal wanita itu?" Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta
diri, karena kami harus segera berangkat ke Bu-tong-pai." "Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita
memberitahukan teman-teman di dunia kang-ouw agar...."

"Tidak usah, Locianpwe. Ini adalah urusan antara kami
sendiri. Bukankah begitu Sumoi?" "Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih
atas bantuanmu mencari Suheng dan setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting,
terpaksa aku akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko." Kwee Lun mengangguk dan berkata
dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti, Hong-moi." "Soan Cu, kuharap engkau suka
menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini
untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan dengan Bu-tong-pai." "Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah
Ouw-siocia tinggal di sini dulu, ditemani oleh anakku." "Tidak, Liong-koko! Aku.... aku.... akan pergi saja
melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kaupergilah menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong......" kata Soan Cu
sambil menekan perasaannya. "Urusan kita memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" Setelah
berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi. Kwee Lun juga bangkit
berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau." Kwee Lun lalu berlari sambil
berseru, "Nona...., tunggu dulu....!!" Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun
terpaksa harus mengerahkan ginkangnya untuk mengejar.

Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah
lenyap dari pandangan mata. Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya
yang mengantar mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi,
terdengar Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela napas
dan merangkulnya. dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya. Teetok menepuk-nepuk pundak
puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta
kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri
Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa!
Dia dari Pulau Es, demikian Sumoinya. Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera
Lusan Lojin Bu Si Kang. Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swai Liang. Biarlah aku akan mencari lagi
mereka!" Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang amat
menyayanginya.

Sebetulnya, sukarlah dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada Sin Liong.
Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda yang halus budi
itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi!

************

Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat
semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak
jelas karena adanya banyak anggauta perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan
ugal-ugalan, mengandalkan kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah
dalam yang tidak diketahui oleh orang luar. Terjadi hal yang membuat Swi Nio seringkali menangis seorang diri
di dalam kamarnya! Peristiwa yang memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang,
telah menjadi kekasih dari subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyi sembunyi,
akan tetapi kini dia melihat sendiri betapa subonya dan kakaknya itu berjinah secara terang terangan, tidak
bersembunyi lagi dan biarpun pada siang hari di mana banyak mata para angauta Bu-tongpai menyaksikannya, dengan
seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang atau sebaliknya pemuda itu memasuki kamar subonya
kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio membrontak, akan tetapi apa yang dapat dia lakukan
kecuali menangis? Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang
kini terjebak oleh nafsu berahi dan menjadi hamba nafsu berahi, juga menjadi hamba subonya sendiri yang
membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang pemuda yang
masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan rayuan seorang wanita yang
sudah matang seperti The Kwat Lin pula, memang rasa kagum seoran muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua
dengan mudah menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu.

Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan
bahwa The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila berahi. Sama sekali tidak. Dia adalah
seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar. Dia adalah
seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik dan bertubuh sehat. Setelah
menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta asmara, merindukan kehangantan rasa
sayang seorang pria. Adapun pria yang sudah dewasa dan yang dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak
pula mengherankan apa bila dia tertarik dan jatuh hati kepada muridnya sendiri ini. Karena pemuda ini masih
hijau dan tentu saja tidak berani mulai dengan langkah pertama, maka The Kwat Lin yang menggunakan perasaan
kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakan kaki dalam langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu
sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabok.

Sekali saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi
mencandu. Yang pertama kali segera disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudia mereka menjadi ketagihan dan
seolah-olah tidak dapat lagi hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka! Tentu saja hal ini dapat terjadi
karena keadaan hidup Kwat Lin. Andaikata dia masih seorang pendekar wanita seperti belasan tahun yang lalu,
tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan tetapi kini keadaanya lain. Dia menjadi seorang
wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua
paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang bercita cita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya.
Kedudukannya memberi dia perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa
mempedulikan orang lain lagi.

Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin
juga mulai dengan langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan
mengadakan hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggauta-anggauta barunya, yaitu para pembesar
yang mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pembrontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat setelah
terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu.

Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah
Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun
anak buah Bu-tong-pai yang berani sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini
adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Ketika seorang diantara mereka, yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih, kumis dan jenggotnya sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai
yang baru, para anak murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih
enak-enak pulas dalam pelukan muridnya, juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya
diketuk dan mendengar suara seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah dan anak
she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan ketua!

"Suruh mereka
menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah. Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh
Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang
menemui dua orang itu. Senyum mengejek menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu. Semenjak dia merampas
kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kang-ouw yang agaknya datang karena
permintaan para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh ini merasa penasaran dan membela para tokoh
Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang
tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu
merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam kalinya. Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera
minggir dan membiarkan subu mereka seorang diri menghadapi dua orang tamu itu.

Dengan pakaian yang mewah dan
indah, dandanan seperti puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang
memiliki wibawa. Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum. Kedua orang
itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan mereka sebagai
pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biarpun sudah tua, masih kelihatan sehat dan kuat, jenggot dan
kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya.Di pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang
ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata penuh selidik. Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun


bersambung 15............

0 komentar:

Posting Komentar