“Trang-trang-trang....!” Suara pertemuan senjata nyaring ini disusul
robohnya lima orang pengeroyok sekaligus. Ketika meloncat keluar tadi ia
telah mencabut, keluar sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sepasang
pensil. Dengan tubuh masih melayang dapat menangkis dan sekaligus
merobohkan lima orang pengeroyok, dapat dibayangkan betapa lihainya
pemuda ini.
Akan tetapi jumlah pengeroyok makin bertambah.
Orang-orang Hsi-hsia sungguh pun tidak memiliki ilmu silat yang tinggi,
namun mereka adalah orang-orang peperangan yang ulet dan berani, lagi
pula amat kuat sehingga robohnya banyak kawan tidak mengecilkan hati
mereka yang terus mengamuk dan mengeroyok. Jumlah mereka yang puluhan
orang banyaknya ini diperkuat oleh belasan orang hwesio jubah merah
yang memiliki ilmu silat cukup lihai karena mereka ini adalah kaki
tangan, juga murid Bouw Lek Couwsu.
Hebat sekali amukan Kiang
Liong. Dalam waktu setengah jam lebih, tidak kurang dari dua puluh orang
Hsi-hsia roboh tak dapat bangun lagi ditambah tujuh orang pendeta jubah
merah roboh terluka! Ia tidak akan melarikan diri sebelum dapat
menolong Han Ki. Sepasang siang-pit (pensil) di tangannya menjadi dua
gulungan sinar memanjang seperti dua ekor ular sakti saling belit dan
melayang-layang di angkasa.
“Tahan senjata, mundur semua....!”
Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring berpengaruh, Kiang Liong
tidak mengenal suara ini, akan tetapi semua pengeroyok seketika meloncat
mundur sambil menarik senjata masing-masing, bahkan lalu mundur dan
berdiri menjadi dua barisan dengan sikap menghormat. Karena menduga
bahwa kini yang muncul tentulah Bouw Lek Couwsu yang terkenal sakti
bersama Siang-mou Sin-ni yang kesaktiannya pernah ia dengar dari
suhunya, maka Kiang Liong memegang sepasang senjatanya erat-erat,
pandang mata ditujukan ke depan, seluruh urat syarafnya siap menghadapi
lawan tangguh.
Di bawah sinar obor yang dipegang kedua barisan
berjajar di kanan kiri, tampaklah kini seorang pendeta gundul berkaki
satu yang berjubah merah. Biarpun kaki kirinya buntung, namun dengan
bantuan tongkat, ia dapat berjalan dengan tegak dan cepat sekali. Di
samping hwesio ini berjalan seorang wanita cantik yang berambut panjang.
“Bagus! Engkau tentulah Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, iblis tua
jantan betina yang amat keji!” Kiang Liong membentak marah sekali.
Bouw Lek Couwsu membelalakkan matanya. Kalau seorang tokoh benar
seperti Siauw-bin Lo-mo yang terkenal sakti masih jerih terhadap
dirinya, bagaimana ada seorang pemuda seperti ini berani memaki dia dan
Siang-mou Sin-ni? Dan menyaksikan pengeroyokan tadi, Melihat banyaknya
murid-murid dan orang-orang Hsi-hsia roboh, benar-benar pemuda ini luar
blasa sekali. Keheranannya melampaui kemarahannya ketika ia bertanya.
“Orang muda yang tak takut mati, engkau siapakah?”
Dengan sikap tenang pemuda itu menjawab, “Aku she Kiang bernama Liong.
Karena engkau melakukan kebiadaban di kalangan Beng-kauw dan menculik
wanita dan kanak-kanak, maka aku datang untuk menghadapimu. Bouw Lek
Couwsu, hayo kaubebaskan Kam Han Ki, anak kecil itu tidak tahu apa-apa!”
Bouw Lek Couwsu mengangguk-anggukkan kepala sambil meraba kepalanya yang gundul.
“Aih-aih.... pantas kau seberani ini. Kiranya engkau inikah yang
bernama Kiang-kongcu, putera Pangeran Sung yang terkenal sebagai murid
Suling Emas?”
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melompat ke depan dan
tertawa, suara ketawanya melengking tinggi menyeramkan, sungguhpun
wajahnya menjadi menarik sekali ketika tertawa, karena tampak giginya
berderet rapi dan putih berkilauan di balik bibir merah, cuping
hidungnya berkembang kempis dan matanya menyinarkan api. “Hi-hi-hik!
Inikah murid Suling Emas? Bagus, kauwakili Gurumu mampus di tanganku!”
Berkata demikian, kepala wanita ini bergerak dan dari kanan kiri
pundaknya menyambar bayangan hitam.
“Siuuuuttt!” Dahsyat sekali
gulungan dua, sinar hitam ini menyambar ke arah leher dan pusar Kiang
Liong. Pemuda ini sudah menyaksikan kelihaian Po Leng In menggunakan
rambut sebagai senjata, namun dibandingkan dengan gerakan ini, Po Leng
In bukan apa-apa. Dua gumpal rambut panjang ini menyambar seperti dua
ekor naga, mengeluarkan bunyi mengerikan dan mendatangkan bau harum
yang mencekik leher! Pemuda ini maklum bahwa terkena hantaman ujung
rambut ini akibatnya hebat, apalagi kalau sampai terbelit. Karena itu,
cepat ia sudah menggerakkan sepasang pensilnya, menggetarkan sepasang
senjata itu dengan tenaga sin-kang.
“Plak-plak.... aiihhh....!”
Siang-mou Sin-ni terkejut bukan main sampai mengeluarkan suara kaget
ketika sepasang gumpalan rambutnya itu terpukul membalik. Getaran pensil
itu tidak memungkinkan rambutnya untuk melibat. Rasa kaget ini
berbalik menjadi kemarahan. Kembali kepalanya bergerak dan kini dua
gumpalan rambut bergabung menjadi satu dan menyambar ke depan,
gerakannya seperti sebatang toya baja menghantam kepala Kiang Liong.
Karena bergabung menjadi satu, maka tenaganya menjadi lipat dua kali.
Menyusul serangan rambut ini, kedua tangan Siang-mou Sin-ni juga
bergerak melakukan pukulan dengan jari-jari tangan terbuka. Hebatnya,
dari kedua telapak tangan itu keluarlah bau yang amis sekali, amis busuk
dan tampak telapak tangannya merah seperti mengeluarkan darah.
Kiang Liong yang tahu bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, bekas
musuh besar gurunya, tidak mau bersikap sembrono. Ia sudah siap dan
kini ia menggerakkan kedua pensilnya seperti orang mencorat-coret di
udara, menuliskan huruf-huruf indah dengan gerakan indah pula. Dalam
sekejap mata, sepasang pensilnya sudah membuat gerakan menyilang dan
seperti menggunting rambut, Siang-mou Sin-ni terkejut dan menarik
kembali rambutnya melanjutkan pukulan telapak tangan merah ke arah dada
dan lambung pemuda itu. Namun gerakan corat-coret selanjutnya itu secara
otomatis membuat sepasang pensil sudah maju menyambut pergelangan kedua
tangan Siang-mou Sin-ni dengan totokan-totokan pada jalan darah. Kalau
pukulan dilanjutkan, sebelum telapak tangan menyentuh baju Kiang
Liong, tentu saja ujung pena akan lebih dulu bertemu dengan pergelangan
tangan menotok jalan darah. Gerakan ini dilakukan seperti orang menulis
huruf sehingga tak tersangka dan membingungkan lawan. Kembali Siang-mou
Sin-ni berseru keras dan menarik kedua tangannya sambil menggeser kaki
mundur selangkah sehingga ia pun berhasil membebaskan diri daripada
totokan kedua pensil.
“Kiang Liong, kau masih tidak mau
menyerah? Lihat siapa mereka ini!” Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu yang tadi
memberi tanda kepada anak buahnya, menudingkan telunjuknya kepada dua
orang gadis di sampingnya. Kiang Liong memandang dan matanya
terbelalak, wajahnya pucat karena dua orang gadis itu adalah Siang Kui
dan Siang Hui, tampak lemas dan kakinya tangannya terbelenggu,
memandang kepadanya dengan mata duka namun sedikit pun tidak takut.
“Liong-twako, maaf, kami tertangkap kembali.” kata Siang Kui, sedih
melihat kekagetan dan kekecewaan yang membayang di mata Kiang Liong.
“Liong-twako, jangan hiraukan kami!” kata Siang Hui dengan suara lantang.
“Ha-ha-ha-ha, Kiang-kongcu. Dua orang cucu Ketua Beng-kauw ini sungguh
gagah dan manis. Sayang kalau mereka mati. Menyerahlah, dan mereka akan
kubebaskan!”
“Liong-twako, kami tidak takut mati teriak Siang Hui.
“Benar Twako, jangan hiraukan kami. Jangan menyerah, lawanlah dan kalau dapat larilah!” teriak pula Siang Kui.
Kiang Liong berdiri tegak ragu-ragu, wajahnya pucat. Melihat Bouw Lek
Couwsu memalangkan tongkatnya, mengancam di atas kepala dua orang gadis
itu, maklumlah ia bahwa sekali ia bergerak, dua orang gadis itu tentu
akan tewas. Dan dia seorang diri belum tentu akan dapat mengalahkan Bouw
Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni, apalagi dibantu banyak sekali pendeta
jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia. Baru Siang-mou Sin-ni seorang
saja tadi ia sudah merasakan kelihaiannya. Kiang Liong seorang pemuda
yang cerdik dan tenang, maka sebentar saja ia sudah dapat mengambil
keputusan.
“Bouw Lek Couwsu, jangan seperti anak kecil! Bebaskan
gadis-gadis itu dan adik mereka, kemudian kalau kau dan Siang-mou
Sin-ni ada kepandaian, cobalah untuk mengalahkan dan membunuhku!”
Sikapnya tenang, suaranya berpengaruh sehingga kembali Siang-mou Sin-ni
mengeluarkan suara kagum.
“Seperti Suling Emas benar....! Beginilah Suling Emas di waktu mudanya!”
Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak. “Orang muda sombong!
Gurumu sendiri Si Suling Emas belum tentu dapat menandingi pinceng,
apalagi engkau muridnya! Kaulepaskan senjatamu dan menyerahlah, pinceng
ingin bicara denganmu dan pinceng memerlukan bantuanmu. Pinceng
berjanji akan membebaskan dua orang gadis ini. Tentang anak laki-laki
itu, dia adalah hak Siang-mou Sin-ni.”
“Bagaimana aku dapat percaya omonganmu, Bouw Lek Couwsu?”
Pendeta jubah merah itu marah sekali. “Kiang Liong, kau benar-benar
memandang rendah kepada pinceng! Tak tahukah engkau dengan siapa kau
bicara? Pinceng adalah ketua yang terhormat dari para pendeta jubah
merah. Sebagai pendeta kepala, sekali pinceng mengeluarkan kata-kata,
pasti tak ditarik kembali!”
Kiang Liong tersenyum mengejek. Ia
sengaja hendak memanaskan hati pendeta ini. Makin panas hatinya, kelak
ia akan makin malu untuk menarik kembali kata-katanya. “Hemm, siapa
tidak tahu bahwa engkau menjadikan jubah merah dan kepala gundul
sebagai kedok belaka, Bouw Lek Couwsu? Engkau berpakaian pendeta akan
tetapi tidak hidup sebagai pendeta, bagaimana aku bisa percaya omongan
seorang pendeta palsu? Akan tetapi aku akan lebih percaya kalau engkau
bicara sebagai pimpinan barisan Hsi-hsia yang terkenal jujur dan
perkasa!” Suara Kiang Liong diucapkan nyaring dan lantang sekali
sehingga terdengar oleh semua orang yang hadir di situ, termasuk
orang-orang Hsi-hsia.
Diam-diam Bouw Lek Couwsu mengutuk di
dalam hatinya. Ia merasa benar-benar dilucuti oleh pemuda ini. Sebagai
seorang pimpinan suku bangsa Hsi-hsia yang mengharapkan kedudukan besar,
tentu saja ia tidak akan berani menarik kembali kata-kata dan
merendahkan diri dan martabat dalam pandangan bangsa Hsi-hsia. Akan
tetapi di samping ini, ia pun amat membutuhkan bantuan Kiang Liong.
Pemuda ini adalah putera pangeran di Kerajaan Sung yang sudah terkenal.
Kalau ia dapat menarik pemuda ini menjadi sekutu! Alangkah akan
baiknya, akan memudahkan rencananya menyerbu Sung.
“Baiklah, aku
berjanji sebagai pimpinan Hsi-hsia untuk membebaskan dua orang gadis
ini setelah kau melepaskan senjata dan menyerah.”
Kiang Liong tersenyum lalu memandang sepasang pensilnya.
“Twako, jangan menyerah!”
“Twako, mari kita berontak, lawan dan adu nyawa dengan mereka!”
Namun Kiang Liong menggelengkan kepala dan memandang dua orang gadis
itu sambil berkata. “Kalian harus menurut kepadaku. Setelah dibebaskan,
lekas turun gunung dan jangan hiraukan aku lagi!” Di dalam suara ini
terkandung wibawa besar, dan sepasang mata itu menatap dengan begitu
pasti sehingga dua orang gadis itu menunduk sambil terisak menangis.
Kiang Liong mendongak ke atas, melihat tiang bendera yang amat tinggi
berdiri di situ. Bendera pasukan Hsi-hsia berkibar di puncak tiang. Ia
lalu berkata.
“Biarlah sepasang pensilku kusimpan di atas sana!”
Kedua tangannya bergerak, terdengar suara berdesing nyaring sekali dan
dua sinar menyambar ke atas. Ketika semua orang memandang, ternyata dua
buah pensil itu telah manancap berjajar di puncak tiang bendera! Semua
orang terbelalak memandang penuh keharanan dan kekaguman. Bahkan Bouw
Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni sendiri menjadi kagum.
“Ha-ha-ha, engkau benar seorang muda gagah perkasa.” kata Bouw Lek
Couwsu yang kemudian menoleh dan memberi perintah kepada anak buahnya.
“Bebaskan dua orang nona ini dan jangan halangi mereka turun gunung!”
Belenggu kedua orang nona ini dilepaskan. Mereka sejenak meragu,
memandang ke arah Kiang Liong dengan sepasang mata basah, akan tetapi
Kiang Liong menggerakkan mukanya dan berkata. “Pergilah, Ji-wi
Siauw-moi dan berhati-hatilah.”
Dua orang nona itu sedih sekali.
Tadi pun ketika mereka dipaksa oleh Kiang Liong setelah mereka
ditolong, dipaksa pergi dan tidak diperbolehkan ikut pemuda itu mencari
Han Ki, mereka menangis kecewa. Sekarang tahulah mereka bahwa pemuda
itu ternyata benar ketika menyuruh mereka melarikan diri. Musuh
terlampau banyak dan sakti. Baru saja mereka tiba di lereng bukit,
mereka itu bertemu dengan Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni yang
berlari cepat naik ke puncak sehingga tanpa dapat melakukan perlawanan
berarti mereka telah ditangkap kembali! Dan sekarang karena mereka
berdua, Kiang Liong menjadi tawanan tanpa dapat melawan. Tentu saja
mereka berduka sekali. Kali ini mereka tidak berani membantah dan sambil
menangis mereka pergi meninggalkan tempat itu, di dalam hati berjanji
akan cepat-cepat mencari adik mendiang kakek mereka yang bertapa di
puncak Tai-liang-san, minta pertolongannya kemudian kembali ke tempat
ini untuk menolong Kiang Liong dan Han Ki. Kalau terlambat dan dua
orang itu sudah terbunuh, mereka akan mengamuk dan mengadu nyawa.
Setelah dua orang gadis itu pergi, Bouw Lek Couwsu berkata.
“Orang muda, pinceng sudah berjanji membebaskan mereka dan sekarang
mereka sudah bebas. Engkau menjadi tawananku, dan pinceng juga tidak
bermaksud membunuhmu, kalau saja engkau tidak menolak tawaranku.
Sebagai seorang tawanan, kau harus dibelenggu dan harap saja kau tidak
melawan agar kami tidak perlu membunuhmu sebelum berunding!“
Kiang Liong bukan seorang bodoh. Kalau sepasang pensilnya masih berada
di kedua tangannya sekalipun, belum tentu akan dapat membebaskan diri
dari dua orang sakti ini bersama seratus orang lebih anak buah mereka
yang sudah mengurung tempat itu. Kini sepasang senjata sudah ia simpan
di atas tiang bendera, dan ia sudah berjanji pula untuk menyerah.
Seorang pendekar harus memegang janjinya dan ia menyerah, kecuali
tentu saja kalau ia akan dibunuh, ia akan melawan sedapat mungkin. Maka
mendengar ucapan ini ia tersenyum dan menjawab.
“Silakan Bouw Lek Ciouwsu.” Ia memasang kedua tangan dengan merangkap pergelangantangannya.
Seorang pendeta jubah merah murid Bouw Lek Couwsu tanpa diminta segera
melompat maju. Ia sudah membawa sebuah rantai besi dan untuk
menyenangkan hati gurunya ia segera mengikat kedua pergelangan tangan
itu erat-erat kemudian mengaitkan ujungnya kepada mata rantai. Demikian
kuatnya belenggu itu sehingga kedua tangan Kiang Liong sedikit pun tak
dapat bergerak. Dengan hati puas dan muka bangga pendeta jubah merah
itu melangkah mundur dan memandang ke arah gurunya mengharapkan pujian.
“Goblok kau! Goblok dan tolol!”
Pendeta jubah merah itu kaget setengah mati, takut mendongkol dan heran terbayang di mukanya.
“Tapi.... Suhu....“
“Kaukira belenggu itu dapat menahan kedua tangannya?” bentak Bouw Lek Ciouwsu.
Kiang Liong kagum akan kecerdikan dan ketajaman mata pendeta kepala
itu. Ia tersenyum dan tak perlu berpura-pura lagi. Sekali ia mengerahkan
tenaga Kim-kong-kiat, terdengar suara keras dan rantai besi yang
membelenggunya itu patah-patah! Kemudian ia menyodorkan kedua
tangannya lagi kepada Bouw Lek Couwsu. Semua anak buah yang berada di
situ mengeluarkan seruan kaget dan melongo. Seekor harimau sekalipun
tak mungkin dapat mematahkan belenggu seperti itu, dan pemuda ini
mematahkannya sedemikian mudah.
“Biar kubelenggu dia untukmu!”
terdengar Siang-mou Sin-ni berkata, sebagian jengkel menyaksikan
kegagahan Kiang Liong dan juga sebagian benci karena mengingat bahwa
pemuda ini adalah murid Suling Emas, musuh besar yang amat dibencinya
karena Suling Emaslah yang mengenyahkan dia dari dunia kang-ouw (baca
cerita CINTA BERNODA DARAH). Sambil berkata demikian, kepalanya bergerak
dan segumpal rambutnya telah menyambar ke arah kedua tangan Kiang
Liong, seperti seekor ular hidup rambut itu membelit-belit pergelangan
tangan!
Kiang Liong dapat merasa betapa rambut yang membelit
kedua lengannya itu mengandung tenaga yang luar biasa, terasa panas dan
maklumlah ia bahwa wanita sakti yang terkenal karena rambutnya ini sama
sekali tak boleh dipandang ringan dan sekiranya ia berusaha melepaskan
ikatan rambut, ia masih sangsi apakah dia akan berhasil. Maka ia diam
saja dan bahkan memuji.
“Rambutmu memang amat hebat, Siang-mou Sin-ni!”
Untuk kedua kalinya anak buah yang berada di situ melongo. Mereka sudah
dapat menduga bahwa tamu kehormatan pemimpin mereka itu tentulah
seorang wanita sakti dan pandai mempergunakan rambut sebagai senjata.
Akan tetapi kalau rambut itu bisa lebih kuat daripada rantai besi,
benar-benar hal ini membuat mereka menjulurkan lidah saking heran!
Setelah kedua tangan Kiang Liong terbelenggu, tiba-tiba sekali
Siang-mou Sin-ni mengeluarkan suara melengking tinggi, tangan kanannya
bergerak menghantam ke depan. Kiang Liong terkejut, karena ia sama
sekali tidak menyangka akan diserang. Ia tak dapat menangkis maupun
mengelak, hanya dapat mengerahkan tenaga, dan menerima pukulan itu.
“Bukkk....!” Lambungnya terkena pukulan. Tidak sakit rasanya akan
tetapi hawa panas menjalar di seluruh tubuhnya dan terkumpul di lambung
kembali, mendatangkan rasa gatal-gatal dan hidungnya mencium bau amis.
Diam-diam ia kaget sekali karena ia maklum bahwa pukulan Siang-mou
Sin-ni yang dilakukan secara curang itu adalah pukulan yang amat hebat,
pukulan beracun yang ia sendiri tidak tahu akan bagaimana akibatnya.
Tentu saja Kiang Liong sebagai tokoh muda tidak mengenal pukulan ini.
Selain ilmu menggunakan rambut yang amat hebat di waktu mudanya
Siang-mou Sin-ni menciptakan ilmu dahsyat mengerikan yang bernama
Tok-hiat-hoat-lek. Dahulu ketika ia sering menghadapi Suling Emas (dalam
cerita CINTA BERNODA DARAH), dia menggunakan Tok-hiat-hoat-lek pula,
yaitu dengan cara menyemburkan darah dari dalam perutnya, langsung
keluar dari mulut. Darah yang beracun ini amat berbahaya dan jlka
mengenai kulit lawan, dapat membuat kulit dan daging lawan membusuk dan
tidak ada obatnya! Akan tetapi makin tua, Siang-mou Sin-ni makin matang
ilmunya dan kini ia dapat menggunakan Tok-hiat-hoat-lek menjadi
pukulan tangan terbuka. Darah beracun yang, dikumpulkannya itu dapat ia
robah menjadi hawa beracun yang jika mengenal lawan akan meracuni
darah lawan itu. Tanpa diketahuinya, Kiang Liong telah terkena pukulan
Tok-hiat-hoat-lek ini dan perlahan-lahan darah di tubuhnya mulai
keracunan.
“Kim Bwe, jangan bunuh dia!” bentak Bouw Lek Couwsu
sambil melompat maju menghadang. Keduanya saling pandang dan akhirnya
Siang-mou Sin-ni tertawa.
“Hi-hi-hik, tidak bunuh juga tidak apa. Hatiku sudah puas dapat memukulnya!”
Bouw Lek Couwsu menghampiri Kiang Liong yang kini kedua tangannya sudah
terlepas dari ikatan rambut Siang-mou Sin-ni. “Kiang Liong Kongcu,
maafkan sikap sahabatku ini yang dulu disakitkan hatinya oleh Gurumu,
Percayalah, kami berniat baik dan ingin bersahabat dengan kau yang muda
dan perkasa. Kalau kau berjanji takkan melawan dan manyerah baik-baik,
pinceng tidak berani membelenggumu. Marilah, engkau kini menjadi tamuku
yang terhormat.”
Kiang Liong hanya tersenyum dingin dan tanpa
bicara ia mengikuti, pendeta ini naik ke puncak. Siang-mou Sin-ni
tertawa ha-ha-hi-hi di belakang mereka dan para anak buah ikut pula naik
kembali ke markas sambil membawa mereka yang terluka.
***
Dapat dibayangkan betapa berdebar tegang dan penuh haru rasa hati
Suling Emas ketika ia berlutut bersama panglima-panglima lain menghadap
Sang Ratu Yalina, ratu bangsa Khitan yang pada waktu itu amat kuat.
Begitu datang menghadap tadi dibawa oleh Loan Ti Ciangkun dan Hoa Ti
Ciangkun, dalam keadaan menyamar sebagai seorang kakek yang berjenggot
panjang, Suling Emas memandang Yalina atau Lin Lin dengan jantung
seakan-akan ditusuk. Bekas kekasihnya, juga adik angkatnya itu dalam
pandangannya masih seperti dulu, dua puluh tahun yang lalu! Masih cantik
jelita, masih kelihatan muda, hanya bedanya, kalau sepasang mata itu
dahulu bersinar-sinar penuh kegembiraan, kelincahan dan kenakalan orang
muda, kini pandang matanya suram. Kalau bibir yang masih merah mungil
ini dahulu tersenyum-senyum dan menghadapi dunia dengan seri gembira,
kini tertarik seperti orang menderita tekanan batin hebat. Hanya
sikapnya kini membayangkan keagungan dan kematangan. Begitu pandang
mata sayu itu ditujukan ke arah mukanya dan sepasang alis yang kecil
panjang menghitam itu bergerak membayangkan keheranan dan perhatian,
Suling Emas cepat-cepat menundukkan mukanya dengan sikap amat
menghormat.
Dengan jantung berdebar dan pikiran melamun jauh
sehingga suara Loan Ti Ciangkun yang memberi laporan kepada ratunya
hanya terdengar sebagian saja olehnya, Suling Emas berlutut sambil
menundukkan kepala. Akhirnya ia mendengar suara Lin Lin atau Ratu
Yalina, suara yang selama puluhan tahun tak pernah ia lupakan, yang
selalu terngiang di telinganya dalam mimpi.
“Kami amat berterima
kasih kepada Cianpwe dan kami setuju akan usul kedua panglima kami
untuk mengangkat Cianpwe sebagai pengawal dalam istana. Betapapun juga,
hati kami takkan puas kalau belum menguji kepandalan Cianpwe.”
Di dalam hatinya Suling Emas merasa geli dan kagum. Biarpun sudah
menjadi ratu selama puluhan tahun, ratu besar yang disanjung dan
disembah orang-orang Khitan, namun Lin Lin masih belum kehilangan
hormatnya terhadap tokoh kang-ouw sehingga dia yang dianggap seorang
tokoh besar di dunia kang-ouw disebut cianpwe! Ia hanya menunduk dan
menjawab, merobah suaranya dibesarkan.
“Silakan apa yang akan Paduka lakukan, hamba hanya menurut.”
“Lihat serangan!” Tiba-tiba ratu itu berseru keras dan tangan kanannya menyambar ke arah dada Suling Emas.
Suling Emas kaget bukan main. Ia mengenal pukulan ini karena pukulan
ini memiliki dasar ilmu silat Beng-kauw. Teringatlah ia betapa Yalina
ini mewarisi ilmu ciptaan mendiang Pat-jiu Sian-ong Liu Gan, pendiri
Beng-kauw, yaitu Ilmu Cap-sa Sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang
dirahasiakan, namun secara kebetulan terjatuh ke tangan Lin Lin (baca
CINTA BERNODA DARAH). Tentu saja dengan Hong-In Bun-hoat ia akan dapat
memunahkan pukulan dahsyat ini, akan tetapi kalau ia pergunakan Hong-in
Bun-hoat, sudah pasti Lin Lin akan mengenalnya. Karena inilah maka ia
sengaja mengerahkan sin-kang di pundaknya, lalu mengelak setelah
pukulan itu menyentuh dadanya. Dengan gerakan ini, pukulan ke dada itu
menyeleweng dan menghantam pundaknya sehingga tubuhnya mencelat sampai
empat meter akan tetapi ia jatuh dalam keadaan masih berlutut seperti
tadi.
“Aiihhh....! Hampir aku kesalahan tangan membunuhmu!”
teriak Yalina dan memberi isyarat supaya Suling Emas maju lagi. Dari
tempat ia berlutut, Suling Emas mengerahkan gin-kang dan.... dalam
keadaan masih berlutut itu tubuhnya melayang dan kembali di tempat
tadi, sama sekali tidak merobah kedudukan tubuhnya. Semua orang yang
hadir melongo dan mengeluarkan seruan kaget. Itulah ilmu sihir,
pikirnya. Bahkan Yalina sendiri terkejut. Hebat Ilmu orang ini,
pikirnya. Dengan gin-kang seperti itu, dia sendiri takkan mungkin
menandinginya. Juga pukulannya tadi hebat sekali, biar pun hanya
mengenai pundak namun kalau seorang di antara panglima tingginya terkena
hantaman itu sedikitnya tentu akan pingsan. Akan tetapi kakek itu tidak
apa-apa, hanya mencelat dan tidak terluka.
“Ah, maafkan
percobaan kami, Cianpwe. Ternyata Cianpwe sakti seperti diceritakan
kedua panglimaku. Siapakah nama julukan Cianpwe?”
“Hamba tidak ingat lagi nama hamba, orang hanya menyebut hamba Bu Beng Lojin (Kakek Tak Bernama).”
Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Bu Beng Lojin, apakah engkau tidak mempunyai saudara muda atau keponakan atau putera?”
Hati Suling Emas berdebar. Ternyata pandang mata tajam dari Yalina
dapat mengenal persamaan muka penyamarannya. Cepat ia menggelengkan
kepala. ”Hamba hidup sebatang kara di dunia ini. Apakah maksud
pertanyaan Paduka?”
Ratu Yalina menarik napas panjang. “Tidak
apa-apa, hanya kau mengingatkan aku akan seseorang....“ Ia berhenti
termenung sejenak, wajahnya terliputi kedukaan, kemudian menyambung.
“Mulai sekarang kau kuangkat menjadi pengawal dalam Istana. Keselamatan
kami sekeluarga kuserahkan ke dalam penjagaanmu.”
Suling Emas menunduk, hatinya terharu. “Terima kasih atas segala kebaikan dan kurnia Paduka”
Demikianlah, mulai saat itu Suling Emas menjadi kepala pengawal dan
tinggal pula di lingkungan istana. Dia diberi pakaian yang sesuai
dengan pangkatnya.
Seperangkat pakaian yang indah dan gagah,
dengan hiasan sulaman-sulaman benang emas dan di dadanya tersulam gambar
sebagai tanda bahwa pangkatnya adalah panglima pengawal. Kepalanya
memakai topi bundar berhias bulu kuning, hiasan bulu bagi panglima yang
tinggi.
Dalam beberapa hari setelah bertugas sebagai panglima
pengawal, Suling Emas mendapatkan hal-hal yang mengharukan hatinya. Ia
diperkenalkan dengan Pangeran Mahkota Talibu yang masih muda belia dan
amat tampan, bersikap halus sabar dan tidak sombong, pandai bergaul
dengan rakyatnya sehingga timbul rasa suka di hati Suling Emas, apalagi
mengingat bahwa putera angkat Ratu Yalina ini adalah putera Panglima
Kayabu, bekas sahabatnya yang gagah perkasa. Ia bertemu pula dengan
Panglima Kayabu yang tidak mengenalnya dan ternyata bahwa Panglima
Tinggi Kayabu ini masih tampak muda dan gagah seperti dulu, juga
sikapnya amat ramah terhadap bawahannya, namun penuh disiplin keras.
Pantas saja bangsa Khitan menjadi makin kuat berkat sikap Panglima
Kayabu ini.
Terutama sekali keadaan Ratu Yalina, seringkali
membuat Suling Emas hampir tidak kuat menahan hatinya. Hanya di waktu
bersidang saja ratu ini nampak agung dan berwibawa. Akan tetapi kerap
kali Suling Emas melihat ratu ini duduk termenung seorang diri di dalam
ruangan dalam istana dan tidak jarang tampak matanya merah bekas
menangis! Kalau sudah melihat keadaan ratu itu demikian, jantung Suling
Emas serasa ditusuk-tusuk dan kalbunya menjerit-jerit menyebut nama Lin
Lin kekasihnya. Akan tetapi, ia merasa heran mengapa ratu ini bertekad
memanggilnya? Setelah beberapa hari berada di situ, ia tidak melihat
sesuatu yang mengancam keadaan di Khitan. Pemerintahannya berjalan baik,
keadaan ratu itu dicinta dan dihormati bangsanya, dan para panglima
juga setia. Rahasia apakah yang diderita Lin Lin? Rahasia apakah yang
membuat Lin Lin berduka seperti itu?
Beberapa hari kemudian, di
dalam persidangan terbuka, datanglah seorang Perwira Khitan yang membawa
laporan hebat, yaitu tentang diserbunya Nan-cao oleh bangsa Hsi-hsia
dan tentang kematian Ketua Beng-kauw dan banyak tokoh-tokohnya termasuk
Kam Bu Sin dan isterinya.
Mendengar ini, Ratu Yalina
mengeluarkan teriakan aneh, wajahnya menjadi pucat sekali, tubuhnya
menggigil dan hanya karena ingat bahwa ia seorang ratu saja yang
mencegah dia roboh pingsan di atas kursinya. Cepat-cepat ia memberi
isyarat membubarkan persidangan lalu memasuki ruangan dalam istana.
Begitu berada seorang diri, Ratu Yalina menjatuhkan diri di atas kursi
dan menangis tersedu-sedu!
Sibuklah para dayang dan pelayan,
sibuk menghibur namun mereka dibentak oleh Ratu itu yang terus menangis
tanpa mau pindah dari atas kursinya. Ia menolak pelayanan para dayang,
tidak mau makan, bahkan sampai malam tiba, Sang Ratu masih menangis di
atas kursinya. Berkali-kali ia mengeluh dan membisikkan nama Kam Bu
Sin, kakak angkatnya yang baginya seperti kakak kandungnya sendiri
Tentu saja berita tentang malapetaka yang menimpa para pimpinan
Beng-kauw ini juga membuat Suling Emas terkejut marah, dan berduka
sekali. Kedukaannya tidak kalah besar dengan kedukaan Ratu Yalina karena
Kam Bu Sin adalah adik tirinya, seayah lain ibu dan Suling Emas adalah
sahabat baik semua pimpinan Beng-kauw. Akan tetapi dasar dia seorang
pendekar sakti yang sudah matang jiwanya dan kuat batinnya oleh
gemblengan pahit getir hidup, ia menerima berita ini dengan sikap
tenang. Sekarang ia harus pergi dari Khitan, pikirnya. Ia harus pergi ke
Nan-cao menyelidiki keadaan Beng-kauw yang tertimpa malapetaka. Tiada
gunanya ia berlama di Khitan karena ternyata bahwa Khitan tidak
terancam bahaya apa-apa, keadaan Yalina juga sehat. Akan tetapi tak
mungkin ia pergi begitu saja. Malam ini ia harus bertemu dengan Yalina,
memperkenalkan diri dan berpamit. Ia harus bertemu secara rahasia agar
jangan ada yang tahu akan hubungan mereka.
Sebagai seorang
pengawal kepala, tentu saja mudah bagi Suling Emas untuk memasuki semua
ruangan istana dengan dalih memeriksa keamanan. Akhirnya ia sampai di
luar pekarangan di mana Yalina menangis. Ruangan itu amat indah, juga
diterangi lampu penerangan seperti di siang hari saja. Ia mengintai dari
balik tirai tebal.
Tampak oleh Suling Emas betapa Ratu Yalina
masih menangis, duduk di atas kursi dan menyandarkan kepala di atas
lengan yang diletakkan di atas meja. Mukanya pucat sekali dan air mata
bercucuran tiada hentinya di sepanjang pipinya. Seorang pelayan muda
yang membawa tempat hidangan berdiri di belakangnya dengan bingung.
Baru saja hidangan yang sengaja ia bawa datang dan membawanya kepada
Sang Ratu, ditolak dengan bentakan marah. Dari belakang datang seorang
dayanglain membawa teng (lampu), mereka berdua saling memberi tanda
dengan mata dan gerakan tangan, kemudian Si Pembawa hidangan mundur.
Dengan menggerakkan pundak dan menghela napas panjang, kedua orang
dayang itu lalu meninggalkan ruangan. Sunyi di ruangan itu, yang
terdengar hanya isak tangis Sang Ratu Yalina.
Suling, Emas belum
berani memperlihatkan diri karena ia khawatir kalau-kalau para dayang
akan melihatnya dan hal ini akan membikin malu Sang Ratu. Maka sambil
menahan gelora keharuan hatinya, ia meninggalkan ruangan itu dan
mengambil keputusan untuk menemui Yalina malam nanti di kamarnya untuk
memperkenalkan diri dan berpamitan.
Sambil menanti saat yang
baik, Suling Emas lalu menemui perwira yang melaporkan tentang
malapetaka yang menimpa Beng-kauw itu. Perwira itu adalah seorang di
antara petugas-petugas Khitan yang bekerja sebagai mata-mata atau
penyelidik keadaan di luar Khitan. Memang Panglima Kayabu amat cerdik.
Biarpun pada waktu itu Khitan tidak punya musuh, namun ia selalu
menyebar mata-mata baik ke Negara Sung, ke Nan-cao dan lain-lain tempat
untuk mengetahui keadaan dan perubahan negara-negara lain itu.
Perwira ini menceritakan kepada Suling Emas dengan jelas akan penyerbuan bangsa Hsi-hsia ke Nan-cao.
“Bangsa Hsi-hsia secara tiba-tiba menyerbu ke selatan, akan tetapi
berhasil dihalau pergi oleh tentara Nan-cao yang kuat. Akan tetapi,
pimpinan Hsi-hsia yang terdiri dari pendeta-pendeta Tibet berjubah
merah, dikepalai oleh pendeta kaki satu yang amat sakti dan kabarnya
juga seorang wanita rambut panjang, menyerang Beng-kauw. Menurut
keterangan yang hamba peroleh, Ketua Beng-kauw berikut
pembantu-pembantunya terbunuh oleh pendeta kaki satu dan wanita rambut
panjang itu.”
“Dan bagaimana dengan anak, mantu dan cucu-cucu
Ketua Beng-kauw? Aku pernah singgah di sana dan mereka itu bersikap baik
sekali kepadaku.” tanya Suling Emas.
“Menurut kabar, juga puteri dan menantu Ketua Beng-kauw tewas, dan anak-anak mereka terculik....”
“Aihhh...!” Suling Emas menjadi marah sekali. Kalau mungkin, saat itu juga ia ingin terbang ke Nan-cao.
Sementara itu, Ratu Yalina sudah memasuki kamarnya. Ia masih menangis,
duduk di atas kursi dalam kamarnya ketika sebuah tangan dengan halus
menyentuh pundaknya.
“Ibu, jangan terlalu berduka....”
Suara Pangeran Talibu yang menghibur ibunya ini membuat tangis Ratu
Yalina menjadi-jadi. Karena Ratu ini teringat akan masa dahulu, ketika
ia masih menjadi Kam Lin Lin, semenjak kecil bermain-main dengan Kam Bu
Sin kakak angkatnya. Teringat pula ia akan pengalamannya melakukan
perantauan dengan Kam Bu Sin dan Kam Sian Eng kedua orang saudara
angkatnya, sampai bertemu dengan Suling Emas. Makin jauh pula ia
melamun, teringat akan Suling Emas kekasihnya, ayah dari Pangeran Talibu
ini yang sekarang menjadi anak angkatnya. Padahal dialah sendiri yang
melahirkan anak ini.
“Ah, anakku....!” Ia membalik dan merangkul
Talibu sambil menangis. Pangeran Talibu sungguhpun tahu bahwa Ratu ini
hanya ibu angkatnya karena ia diangkat anak ketika berusia lima tahun,
namun rasa kasih sayangnya kepada ibu angkat ini amat besar.
“Ibu, perbuatan orang-orang Hsi-hsia itu memang biadab. Biarpun aku
belum pernah bertemu dengan Paman Kam Bu Sin yang menjadi kakak angkat
ibu, namun aku sudah dapat membayangkan kebaikannya dan betapa besar ibu
menyayangnya. Memang kematiannya menyedihkan, Ibu. Akan tetapi hal
ini kiranya tidak cukup untuk disedihkan. Biarlah aku bersama Hoan Ti
Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun pergi menyelidik ke Nan-cao dan mencari
pembunuh Paman Bu Sin, menangkapnya dan menyeretnya ke depan kaki Ibu!”
Mau tak mau di antara air matanya Ratu Yalina tersenyum. “Ah, Puteraku,
engkau belum tahu tingginya langit dalamnya lautan! Di dunia kang-ouw
banyak terdapat orang-orang sakti, Puteraku. Dalam ukuranmu, mungkin
kedua orang Ciangkun kita itu sudah memiliki ilmu kepandaian amat
tinggi, akan tetapi di dunia kang-ouw masih banyak sekali yang jauh
melampaui mereka. Baru Bu Beng Lojin pengawal baru kita itu saja sudah
jauh lebih lihai daripada mereka. Kau tahu Anakku, ilmu kepandaian Ketua
Beng-kauw amat hebat, juga kepandaian pamanmu Bu Sin cukup tinggi
terutama sekali Bibi Liu Hwee puteri Ketua Beng-kauw. Mereka adalah
orang-orang yang lihai dan sukar dicari tandingnya, namun mereka tewas
di tangan pendeta Tibet kaki satu dan teman-temannya. Kalau mereka saja
terbunuh, apakah yang akan dapat kaulakukan, biarpun kau dibantu oleh
Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun?”
“Biarpun begitu, aku
tidak takut, Ibu. Ah, betul juga! Pengawal tua itu amat lihai, biarlah
dia bersamaku pergi ke Nan-cao!” Wajah Pangeran Talibu tampak penuh
semangat.
Ratu Yalina menggeleng-geleng kepalanya. “Kita belum
tahu benar siapa dia, Nak. Orang-orang yang membasmi pimpinan Beng-kauw
adalah orang sakti. Hanya satu-satunya orang di dunia ini yang akan
mampu membalaskan kematian para pimpinan Beng-kauw dan Paman serta
Bibimu.”
Pangeran Talibu membelalakkan matanya yang lebar dan bersinar tajam. “Siapakah dia, Ibu?”
“....Suling Emas....”
“Ohh....!” Pangeran ini tentu saja sudah tahu bahwa ibunya mengerahkan
para panglima untuk mencari dan memanggil Suling Emas dan ia tahu pula
bahwa Suling Emas adalah kakak angkat ibunya, juga kakak tiri Kam Bu
Sin. “Begitu saktikah Paman Suling Emas? Mengapa sampai sekarang dia
belum datang, Ibu?”
Panas rasa kedua mata Ratu Yalina dan hanya
dengan kekerasan hatinya saja ia dapat menahan turunnya air mata.
Mendengar Talibu menyebut Paman kepada Suling Emas, hatinya mengerti.
“Dia Ayahmu! Dia Ayah kandungmu!” Akan tetapi mulutnya hanya berkata
lirih,
“Mudah-mudahan usaha para panglima mencarinya akan
berhasil dan dia suka datang ke sini, Talibu. Sekarang Ibumu hendak
tidur.” Dengan gerakan lemas Ratu itu lalu menghampiri pembaringannya
menjatuhkan diri di atas pembaringan, memeluk guling dan membanjirlah
air matanya membasahi bantal.
Sejenak Pangeran Talibu berdiri
bengong, kemudian menarik napas panjang dan hatinya ikut sedih sekali
menyaksikan kedukaan ibunya. “Ibu, perkenankanlah aku malam ini tidur
di sini menemani Ibu.”
Dengan suara serak dan hati terharu, juga
senang mendengar puteranya yang jelas memperlihatkan kasih sayang
kepadanya, ia menjawab. “Baiklah, Talibu.”
Pangeran itu lalu
menghampiri sebuah dipan di sudut kamar yang luas itu, merebahkan diri
dan berkali-kali menarik napas panjang. Ratu Yalina dalam dukanya
terisak-isak tak dapat tidur, dan Pangeran Talibu juga gelisah sukar
sekali pulas. Namun menjelang tengah malam, akhirnya mereka pulas juga.
Ibu dan anak itu tidak tahu bahwa semua percakapan mereka sejak tadi
didengar oleh orang yang menjadi bahan percakapan mereka. Suling Emas
telah berdiri di balik jendela mendengarkan dengan hati terharu. Ia juga
merasa girang mendapat kenyataan betapa Pangeran Talibu, sungguhpun
hanya putera angkat Ratu Yalina, namun ternyata amat mencinta ibunya.
Anak itu mewarisi watak baik ayahnya, Panglima Kayabu, pikirnya.
Setelah ibu dan anak itu tidur pulas yang dapat diketahuinya dari
pernapasan mereka yang halus teratur, Suling Emas lalu membuka jendela
dan melompat ke dalam kamar peraduan. Sebagai seorang pengawal kepala,
tentu saja para pelayan yang tadi melihatnya di bagian pedalaman istana
tidak ada yang menaruh curiga. Bukankah kepala pengawal dalam memang
tugasnya menjaga keselamatan keluarga ratu? Karena itulah maka Suling
Emas dapat mengintai dan kini melompat ke dalam tanpa ada yang tahu atau
menduga.
Kini ia berdiri di tengah kamar. Hatinya tidak
berdebar lagi. Ia merasa seolah-olah berada di dalam kamarnya sendiri.
Seolah-olah sudah selayaknya ia berada di dalam kamar di mana Lin Lin
tidur nyenyak. Pula, kamar ini tidaklah asing baginya. Ketika Lin Lin
mula-mula menjadi ratu dua puluh tahun yang lalu, ia berdiam di kamar
ini selama sebulan. Berdiam di kamar ini bersama Lin Lin, menikmati
jalinan cinta kasih mereka, seperti sepasang mempelai berbulan madu!
Maka kini ia merasa wajar berada di sini. Hanya adanya Pangeran Talibu
yang tidur di sudut kamar, di atas dipan, rebah miring menghadapi
dinding, membuat ia merasa canggung. Betapapun pemuda itu putera angkat
Yalina, namun dengan dia bukan apa-apa. Namun, keberangkatannya ke
Nan-cao berhubung dengan malapetaka yang menimpa Beng-kauw tak dapat
diundur lagi. Besok pagi-pagi ia harus sudah berangkat dan malam inilah
saat dan kesempatan terakhir baginya untuk bertemu dan memperkenalkan
diri kepada Lin Lin.
Suling Emas lalu menanggalkan
penyamarannya. Mula-mula ia membuka kumis dan jenggot palsu yang
menyembunyikan mukanya. Hatinya lega ketika melirik ke arah Pangeran
Talibu yang masih tidur nyenyak. Setelah menanggalkan jenggot palsu, ia
lalu menanggalkan jubah panglima dan di sebelah dalamnya ia memakai
pakaiannya sendiri yang sederhana. Bahan penyamarannya itu ia lemparkan
di sudut, kemudian ia melangkah maju menghampiri pembaringan Ratu
Yalina. Dari balik kelambu sutera tipis itu tampaklah tubuh yang masih
langsing padat itu, berselimut sampai pinggang, tidurnya miring memeluk
guling menghadap ke dinding.
“Lin-moi....!” Ia memanggil dengan
suara gemetar dan dari luar kelambu tangannya bergerak, menggunakan
angin dorongan tangannya yang amat kuat sehingga tanpa menyentuh tubuh
Ratu Yalina, ia dapat membuat tubuh itu berguncang keras.
Ratu
Yalina, biarpun seorang ratu, adalah seorang ahli silat yang
berkepandaian tinggi. Sebagaimana lazimnya seorang ahli silat, dalam
keadaan bagaimana pun urat syarafnya selalu siap sedia menghadapi
segala macam ancaman. Oleh karena itu, biarpun seorang ahli silat
sedang tidur nyenyak, apabila tersentuh atau terguncang sedikit saja
tentu akan bangun dan seketika sadar dan siap membela diri. Ketika
Yalina terguncang oleh angin dorongan tangan Suling Emas, segera
tubuhnya mencelat keluar dari pembaringan dan berdiri di depan Suling
Emas. Tangannya sudah siap mengirim pukulan ketika ia melihat seorang
laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Akan tetapi tiba-tiba
matanya terbelalak, mulutnya setengah terbuka, napasnya serasa terhenti
dan kedua kakinya menggigil.
“....Song-koko (Kanda Song)....?” bisiknya meragu, tak percaya akan pandangan matanya sendiri.
“Lin-moi, sudah lama sekali....”
“Song-ko....!” Yalina menjerit dan menubruk, kedua tangannya merangkul
leher Suling Emas dan mukanya merapat di dada laki-laki itu sambil
menangis terisak-isak. “Song-koko.... ah, Song-koko....!”
Suling
Emas menunduk, membenamkan mukanya di dalam rambut yang halus harum
itu, kedua matanya basah air mata, kedua tangannya memeluk. Sampai lama
mereka berdua dalam keadaan seperti ini, tiada kata-kata keluar dari
mulut mereka, namun getaran perasaan mereka mewakili seribu bahasa.
Tiba-tiba Yalina merenggutkan dirinya terlepas, lalu melangkah mundur
dua tindak, memandang dengan pipi dan mata basah. Bibirnya
berbisik-bisik, matanya dikejap-kejapkan.
“Ah...., tak
mungkin.... ini tentu hanya mimpi.... hanya mimpi....!” Ia tersedu
dan.... “plakkk!” ditamparnya pipinya sendiri dengan maksud agar ia
sadar dari mimpi. Pipinya terasa panas dan kedua lengan Suling Emas yang
memeluknya terasa hidup, bukan mimpi.
“Ahhh.... Song-koko....
kau benar-benar datang....?” Jeritnya kemudian dan tangisnya makin
menjadi-jadi. Demikian ketat ia memeluk Suling Emas, rapat-rapat ia
menempelkan muka ke dada orang yang dicintainya itu seakan-akan tak
hendak melepaskan kembali.
Suling Emas amat terharu, namun
sebagai seorang sakti yang sudah dapat menguasai perasaannya, ia hanya
meramkan mata dan merasa betapa dadanya basah. Air mata yang membasahi
dada dan terasa dingin itu seolah-olah air embun yang menyiram akar
jantungnya yang telah lama melayu dan mengering. Ia meramkan kedua mata,
merasa bahagianya dapat memeluk wanita ini. Namun, dalam keadaan
demikian, telinganya masih dapat menangkap gerakan di sebelah
belakangnya, kemudian malah ia tahu ketika tiba-tiba ada sambaran angin
pukulan menghantam punggungnya dengan keras. Ia tidak bergerak, hanya
mengerahkan sinkang menjaga punggung.
“Desss....!”
“Auuuhhh....!” Pangeran Talibu meloncat ke belakang, memegangi tangan
kanannya yang terasa sakit setelah memukul punggung orang yang memeluk
ibunya itu.
Ratu Yalina terkejut dan cepat melepaskan diri dari
pelukan. Suling Emas dengan tenang membalikkan tubuh menghadap
Pangeran Talibu. Biarpun tangannya terasa sakit dan maklum bahwa orang
ini amat sakti, namun pemuda ini tidak takut dan dengan kemarahan meluap
ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dinding, siap untuk
menerjang. Pedang itu berkelebat cepat dibarengi bentakannya. “Keparat
berani kau....!” Sinar pedang itu meluncur dan menusuk ke arah dada
Suling Emas yang sekali tidak bergerak, hanya tersenyum.
“Plakk.... traanggg....!” Pedang itu terpental dari tangan Talibu ketika Yalina maju dan menepuk lengannya.
“Ibu....?” Pemuda itu berseru, heran, bingung dan marah.
“Jangan, Talibu. Tenanglah, dengarlah baik-baik. Dia inilah yang bernama Suling Emas!”
Pangeran Talibu melongo. Semenjak kecil sudah didengarnya nama Suling
Emas ini, nama yang dikagumi dan dipuji-puji oleh ibunya, oleh Panglima
Kayabu dan semua panglima tua di Khitan. Ia tahu bahwa selain Suling
Emas ini seorang pendekar sakti juga masih kakak angkat ibunya. Kini
kemarahannya lenyap, terganti rasa malu dan canggung sungguhpun masih
ada perasaan heran mengapa pamannya itu menemui ibunya pada tengah
malam, di dalam kamar pula dan mereka tadi berpelukan begitu mesra!
Talibu segera menjura dengan penuh hormat dan berkata, “Paman, mohon maaf atas kekurangajaranku, karena saya tidak tahu....“
“Paman apa? Talibu, kini tiba saatnya Ibumu membuka semua rahasia. Dia ini adalah.... A... Ayahmu....!”
“Ibu!”
“Lin-moi....!”
Entah siapa lebih kaget antara Pangeran Talibu dan Suling Emas
mendengar ucapan ini, wajah Suling Emas sampai menjadi pucat sekali dan
kedua kakinya menggigil, kepalanya pening. Pangeran Talibu memandang
ibunya dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tidak percaya dan
khawatir kalau-kalau saking sedihnya ibunya menjadi berubah ingatan!
Melihat keadaan dua orang yang dicintanya itu, Ratu Yalina tersenyum
diantara air matanya, kemudian melangkah maju memegang tangan Suling
Emas dan Talibu sambil berkata, “Sebagai Ratu, tak boleh rakyatku
mengerahui rahasia ini, akan tetapi sebagai Ibu, kalian dua orang yang
paling kucinta di dunia ini harus mengetahuinya. Marilah, Song-koko dan
kau Talibu, mari kita duduk dan dengarlah ceritaku.”
Seperti
dalam mimpi, Suling Emas dan Talibu menurut saja digandeng Yalina
menuju meja di tengah ruangan itu. Ketika melihat jenggot palsu dan baju
bertumpuk di sudut, Yalina tertawa. “Ah, kiranya engkau yang menyamar
sebagai Bu Beng Lojin. Pantas saja aku merasa seperti mengenalmu dan
begitu bertemu, kau mengingatkan aku akan Suling Emas. Koko, kenapa kau
begini kejam menggodaku, tidak langsung menemuiku yang sudah dua puluh
tahun mengharap-harapmu?”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas
kursi sambil menarik napas panjang. Pangeran Talibu memandang wajah
Suling Emas dengan bermacam perasaan mengaduk hatinya. Tentu saja
pemuda ini menjadi bingung setengah mati. Selama ini yang ia ketahui
adalah bahwa dia adalah putera kandung Panglima Besar Kayabu yang pada
usia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Dan kini dari Ratu
Yalina sendiri ia mendengar bahwa dia adalah putera Suling Emas!
Bagaimana ini?
“Lin-moi, semenjak.... pertemuan antara kita dua
puluh tahun yang lalu, dengan terpaksa sekali dan dengan hati luka aku
terpaksa meninggalkan Khitan, meninggalkan engkau yang sudah menjadi
Ratu. Tak mungkin aku mencemarkan dan merusak namamu di mata rakyatmu
hanya demi kesenangan hatiku sendiri. Aku rela berkorban dan selama dua
puluh tahun menderita sakit batin yang amat hebat. Akan tetapi, mengapa
kau sekarang mengatakan bahwa Pangeran ini adalah puteraku? Apa artinya
semua ini?”
“Betul sekali ucapan Paman Suling Emas, Ibu. Bukankah aku putera tunggal Pangeran Kayabu yang Ibu angkat sebagai putera?”
Ratu Yalina kembali memegang tangan kedua orang itu di atas meja
seakan-akan ia mencari kekuatan dari mereka untuk bercerita, “Anakku,
kau bukan anak angkatku, engkau adalah anak kandungku sendiri. Akulah
yang mengandungmu dan melahirkanmu, Talibu. Dan Ayahmu adalah dia
inilah!” Ia berhenti sebentar, merasa betapa dua pasang mata di
depannya itu memandang seakan hendak menembus jantungnya dan betapa dua
tangan yang dipegangnya itu gemetar.
“Bu Song Koko, ketahuilah
bahwa sepeninggalmu, baru aku ketahui bahwa aku mengandung! Tentu saja
aku menjadi bingung sekali. Untung ada Kayabu yang setia dan berbudi
mulia. Dialah yang menolongku, menjaga teguh agar rahasiaku tidak
diketahui siapa pun di sini. Bahkan ketika aku melahirkan, yang tahu
hanyalah seorang bidan dan Kayabu sendiri. Tidak hanya itu, sebelumnya
Kayabu lalu memilih seorang gadis untuk dikawin, karena menurut
rencananya, anak yang akan kulahirkan itu akan diaku sebagai anak
isterinya. Sampai di sini ia berhenti dan dari kedua mata Pangeran
Talibu bertitik air mata, sedangkan tangan pemuda itu kini menggenggam
tangan ibunya dengan erat. Sedu-sedan naik dari dada Yalina, dan Suling
Emas mendengarkan dengan muka pucat dan mata bersinar-sinar. Ketika
dia menoleh kepada Talibu, pandang matanya mesra dan penuh kasih.
Setelah gelora perasaan harunya mereda, Yalina melanjutkan, “Rencana
Kayabu berjalan baik. Aku melahirkan, dan engkau, Talibu, begitu lahir
terus secara diam-diam dibawa oleh Kayabu, dan diumumkan bahhwa
isterinya melahirkan engkau. Baru setelah engkau berusia lima tahun,
kuangkat menjadi puteraku. Aku ibu kandungmu, dan dia inilah Ayahmu yang
sejati.”
Talibu tak dapat menahan perasaannya lagi. Ia bangkit
berdiri dari tempat duduknya lalu memeluk ibunya. Ibu...., Ibu....!”
Mereka bertangisan, kemudian pemuda itu berlutut di depan Suling Emas
sambil berkata dengan suara menggetar, “Ayah....!”
Dua titik
air mata menetes di atas pipi pendekar sakti itu ketika ia memeluk
puteranya dan mengangkat bangun. “Terima kasih kepada Thian bahwa aku
dikaruniai seorang putera seperti engkau, Talibu. Engkau tampan dan
gagah, sungguh aku merasa bangga sekali!”
Akan tetapi tiba-tiba
Yalina menangis tersedu-sedu, tangis yang amat sedih. Suling Emas dan
Talibu menjadi terkejut dan heran. Mengapa Yalina berduka? Padahal
bukankah pertemuan antara ibu, anak, dan ayah ini suatu peristiwa yang
amat menggembirakan? Kalau Yalina menangis terharu, hal itu tidak
mengherankan, akan tetapi tangisnya amat menyedihkan.
“Lin-moi,
ke mana perginya kegagahanmu dan ketabahanmu? Bukankah hal
menggirangkan sekali pertemuan diantara kita bertiga ini?”
Ibu...., kenapa Ibu begini berduka?”
Ratu Yalina mengangkat muka, menahan isaknya lalu berkata, “Song-ko,
anakku Talibu, ada hal yang selama kau terlahir menjadi derita batin
hebat bagiku. Ketika engkau terlahir, Talibu, lahir pula seorang
Adikmu. Engkau adalah anak kembar....”
“Ibu....!” Talibu terkejut dan menangkap tangan ibunya. Suling Emas hanya memandang seperti orang dalam mimpi.
“Adik kembarmu itu kemudian oleh Panglima Kayabu diserahkan kepada
Nenek bidan untuk dipelihara baik-baik dan dirahasiakan dari orang
lain, sementara engkau sendiri dibawa pergi Panglima, Kayabu. Akan
tetapi.... ah.... pada keesokan paginya, Nenek bidan itu kedapatan mati
di dalam taman istana!”
“'Ahhh....!” Kini Suling Emas yang berseru.
“Dan anak itu.... Adikku itu, bagaimana, Ibu?”
“Itulah yang menyusahkan hatiku, Adikmu itu telah lenyap tak
meninggalkan jejak sama sekali. Tentu saja aku dan Kayabu tidak berani
ribut-ribut tentang hilangnya anak itu karena takut rahasiaku akan
terbongkar. Bu Song Koko, inilah sebabnya mengapa selama ini aku
berusaha keras untuk mencari dan memanggilmu ke sini. Tak kuat aku
menanggung rahasia ini lebih lama lagi. Kalau aku teringat akan anak
perempuan kita itu, tak dapat menahan kesedihan hatiku.... dan kini....
mendengar akan malapetaka yang menimpa Kanda Bu Sin.... ah....!” Kembali
Ratu Yalina menangis sedih.
Dua orang laki-laki itu, ayah dan
anak, saling pandang dan hanya bengong tak dapat bicara. Hati mereka
tidak karuan rasanya. Pukulan hebat menghantam batin mereka mendengar
semua kenyataan yang sama sekali tak pernah mereka duga.
Tiba-tiba Suling Emas menampar pahanya sendiri. “Ah! Dia.... tentu dia.... tak salah lagi....!”
Yalina mengangkat muka memandang, “Apa maksudmu, Song-ko?”
Suling Emas memegang kedua pundak Ratu Yalina, wajahnya berseri,
matanya bersinar-sinar. “Lin-moi, aku telah bertemu dengan anak
perempuan kita! Dia seorang gadis jelita, serupa benar dengan engkau,
ilmu kepandaiannya amat lihai. Julukannya Mutiara Hitam dan namanya....
kalau tak salah Kwi Lan. Dia menjadi murid Sian Eng!”
Yalina
meloncat bangun, matanya terbelalak. “Ah...., betul juga! Mayat Nenek
bidan itu mengalami pukulan yang hebat. Kiranya Enci Sian Eng yang
membunuhnya dan membawanya pergi anakku! Akan tetapi, mengapa ia tidak
menjumpai aku? Mengapa ia berbuat begitu aneh?”
“Hemm, kau tahu keadaan Sian Eng, Lin-moi....!” Mereka termenung, teringat akan keadaan Kam Sian Eng yang menjadi gila.
“Song-ko, ceritakan keadaan gadis itu, anak kita itu kalau kau tak
salah sangka. Di mana kau bertemu dengannya? Bagaimana dia?”
“Benar, ceritakan, Ayah. Aku ingin sekali mendengar tentang Adikku....“
kata pula Pangeran Talibu dengan suara tersendat karena terharu.
Mengingat bahwa ia mempunyai adik kembar, sesuatu yang amat mesra dan
aneh bergejolak di dalam hatinya.
Maka berceritalah Suling Emas
tentang pertemuannya beberapa kali dengan Kwi Lan. Ketika ia
menceritakan sikap Kwi Lan yang marah-marah, yang menegurnya mengapa
meninggalkan Ratu Khitan, kemudian betapa Kwi Lan yang marah-marah itu
menyatakan sebagai anak Ratu Khitan.
Mendengar penuturan ini,
Ratu Yalina kembali menangis saking terharu dan girang hatinya karena
mendapat kenyataan bahwa anaknya yang lenyap sejak baru lahir itu
ternyata masih hidup dan menjadi murid encinya.
“Dia cantik dan
gagah, ilmu silatnya ganas dan dahsyat lagi aneh, tentu saja karena dia
murid Sian Eng yang mewarisi semua kitab mendiang Ibuku dan
mempelajarinya secara ngawur dalam keadaan sakit ingatan. Kwi Lan amat
galak dan jujur, berani tak mengenal takut, persis seperti.... seperti
Ibunya!” Suling Emas teringat akan ini tertawa dan Yalina dalam
tangisnya juga ikut tertawa.
Melihat betapa ayah dan ibunya
saling berpandangan mesra, mengingat pula bahwa selama dua puluh tahun
mereka tak saling jumpa, Pangeran Talibu yang sudah menjelang dewasa dan
yang hatinya masih terguncang menghadapi kenyatan luar biasa tentang
dirinya, lalu berkata,
“Harap Ayah dan Ibu maafkan aku....,
aku.... aku masih bingung dan pusing akan kenyataan yang hebat dan
membahagiakan hati ini.... aku ingin mengaso.” Tanpa menanti jawaban
pemuda ini segera lari keluar dari kamar ibunya sambil menutupkan daun
pintu. Pemuda ini sesungguhnya tidak pergi ke kamarnya, melainkan
menjaga di ruangan luar untuk melarang siapa saja, juga pelayan-pelayan
ibunya, andaikata malam itu ada yang memasuki kamar ibunya!
Sampai lama Suling Emas dan Yalina saling pandang, kemudian seperti
ditarik oleh besi semberani, keduanya saling peluk. Semua kerinduan
hati, semua rasa cinta kasih yang selama ini ditahan-tahan dan dipendam,
kini tercurahkan. Sampai pagi mereka tidak tidur, berbisik-bisik mesra
dan menceritakan pengalaman masing-masing.
Akhirnya, ketika
malam terlewat menjelang pagi, Suling Emas berkemas dan berkata,
“Sekarang juga aku akan berangkat, Lin-moi. Betapapun juga, malapetaka
yang menimpa Beng-kauw tak mungkin kudiamkan begitu saja.”
“Engkau benar, Koko. Akan tetapi.... betapa aku akan kehilangan dan
kesepian lagi.... ah, betapa inginku selamanya tinggal di sampingmu tak
pernah berpisah lagi. Agaknya aku rela meninggalkan kedudukanku sebagai
Ratu....”
“Lin-moi, tidak mungkin begitu, belum tiba waktunya.
Engkau harus ingat akan nasib bangsamu dan kulihat putera kita Talibu
amat cakap menjadi calon raja. Apabila ia sudah cukup masak dan kau
angkat menjadi penggantimu memimpin bangsanya, barulah tepat rasanya
kalau engkau ingin menghabiskan masa hidup di sampingku. Aku pun sudah
bosan menghadapi segala macam urusan dunia ramai dan setelah putera
kita menjadi raja, marilah ikut bersamaku ke puncak gunung berdua dan
menghabiskan sisa hidup di sana. Akan tetapi sekarang kita berdua masih
menghadapi tugas berat. Engkau menuntun Talibu memimpin rakyatmu, dan
aku akan pergi ke Nan-cao sekalian mencari puteri kita, Kwi Lan atau
Mutiara Hitam.”
Mendengar kalimat terakhir ini, berserilah
wajah Ratu Yalina. “Mutiara Hitam.... alangkah seremnya julukan
Anakku...., Song-ko, jahatkah dia?”
“Kurasa tidak jahat, hanya aneh seperti Gurunya.”
Tak lama kemudian berangkatlah Suling Emas, berangkat dengan diam-diam
meninggalkan istana Khitan, diantar oleh peluk cium penuh kasih sayang
Ratu Yalina dan pandang mata berlinang air mata sampai bayangannya
lenyap di balik kesuraman fajar. Dengan kepandaiannya yang luar biasa,
mudah saja bagi Suling Emas untuk pergi tanpa diketahui seorang pun
penjaga.
Pada keesokan harinya, Panglima Talibu memberi tahu
para panglima bahwa kepala pengawal Bu Beng Lojin semalam berpamit dan
pergi. Karena semua panglima mengenal Bu Beng Lojin sebagai seorang
yang aneh, mereka tidak menjadi heran, hanya kagum karena kepergian
kakek itu seperti iblis saja, tak terlihat oleh seorang pun penjaga. Di
antara para panglima tentu saja hanya Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti
Ciangkun yang tahu bahwa kakek aneh itu sebetulnya adalah Suling Emas,
kakak angkat Sang Ratu.
***
Ruangan itu lebar dan indah.
Dindingnya terhias lukisan-lukisan yang amat indah dan kuno. Mereka
duduk menghadapi sebuah meja bundar yang lebar masing-masing duduk di
atas sebuah bangku berukir naga. Kiang Liong tampak tenang, sungguhpun
diam-diam ia mencari akal untuk dapat meloloskan diri. Kalau ia tidak
ingat akan Kam Han Ki, tadi setelah Siang Kui dan Siang Hui dibebaskan,
tentu ia sudah memberontak dan lari pula. Akan tetapi dia sudah
mengambil keputusan untuk menolong Kam Han Ki.
Di sebelah
depannya, terhalang meja itu, duduk Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou
Sin-ni. Bouw Lek Couwsu juga nampak tenang namun sepasang matanya
bersinar gembira, mulutnya tersenyum-senyum. Wajahnya yang masih tampan
membayangkan kecerdikan. Adapun Siang-mou Sin-ni yang duduk di
sampingnya, memandang Kiang Liong dengan bibir tersenyum dan matanya
kadang-kadang memandang kagum akan ketampanan dan kemudaan pemuda itu
akan tetapi juga kadang-kadang dengan penuh kebencian kalau ia teringat
bahwa pemuda ini adalah murid Suling Emas musuh bebuyutan yang
dibencinya.
“Kiang-kongcu, kami telah mendengar bahwa kau adalah
putera pangeran, berarti engkau adalah seorang pemuda bangsawan
tinggi. Juga engkau adalah murid Suling Emas, berarti kepandaianmu juga
amat lihai. Karena kedua kenyataan itulah maka pinceng tidak mau
bermusuhan denganmu dan rela membebaskan dua orang gadis tawanan,
Kiang-kongcu, sebagai seorang pemuda bangsawan, apakah engkau tidak
bercita-cita untuk memiliki kedudukan yang paling tinggi?”
Kiang Liong memandang tajam penuh selidik. “Apa maksudmu?” tanyanya tenang.
“Heh-heh-heh, Kiang-kongcu yang cerdik pandai masa belum dapat menduga
maksud pinceng? Kerajaan Sung adalah amat buruk pemerintahannya dan
amat lemah, hal ini sudah jelas dan Kongcu tentu mengetahuinya. Terhadap
kekuasaan Khitan dan Nan-cao yang kecil saja tidak mampu melawan.”
“Bukan tidak mampu melawan, melainkan karena kedua kerajaan itu adalah
kerajaan sahabat,” Kiang Liong membantah sungguhpun diam-diam di
hatinya ia membenarkan omongan pendeta itu.
“Ha-ha-ha! Mana bisa
bersahabat dengan orang-orang Khitan dan dengan Nan-cao yang kecil dan
mengganggu? Kerajaan Sung seringkali dipaksa membayar upeti kepada
Kerajaan Khitan, hal itu jelas menandakan bahwa Sung hanya dapat
menghadapi lawan dengan sogokan.
Dan untuk memperoleh harta
benda sogokan itu tentu saja caranya memeras rakyatnya. Kiang-kongcu,
hal itu sudah pinceng ketahui jelas berdasarkan penyelidikan
bertahun-tahun, tak perlu Kongcu menyangkal pula.”
“Andaikata
benar pendapatmu bahwa Kerajaan Sung lemah, habis apakah yang
kauhendaki?” Pertanyaan Kiang Liong masih tenang, padahal di dalam
hatinya ia berdebar keras. Inilah merupakan inti daripada tugasnya
diutus Kaisar, menyelidiki keadaan tentara Hsi-hsia dan sekarang ia
bahkan berhadapan muka dengan pemimpin Hsi-hsia, bicara tentang politik
Hsi-hsia terhadap Sung!
“Pinceng harap Kiang-kongcu bijaksana
dan dapat memilih mana yang menguntungkan bagimu. Pinceng menawarkan
kerja sama denganmu, kita gempur bersama Kerajaan Sung! Pinceng bergerak
dari luar dan engkau bergerak dari dalam!”
Kiang Liong
mengangguk-angguk. Dari ucapan ini saja ia tahu bahwa Bouw Lek Couwsu
belum mengadakan hubungan dengan pengkhianat-pengkhianat di dalam
kerajaan dan hatinya menjadi lega. Hal ini merupakan salah satu hal yang
ia selidiki. Dengan suara tenang ia bertanya,
“Dan balas jasaku....?”
“Ha-ha-ha-ha! Engkau benar-benar seorang yang cerdik, Kiang-kongcu!
Benar, urusan besar ini harus dirundingkan masak-masak. Bagaimana kalau
engkau menjadi Raja Kerajaan Sung, Kiang-kongcu?”
Sikap Kiang
Liong masih tenang, namun jantungnya seperti meloncat ke atas saking
kagetnya mendengar janji yang amat muluk ini. Sampai beberapa lama ia
tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Bouw Lek Couwsu dengan mata
terbelalak. Melihat sikap pemuda ini, Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, apakah balas jasa itu kurang besar, Kongcu?”
Kiang Liong dapat menentramkan hatinya lagi dan ia tersenyum lebar.
“Cukup hebat dan muluk, Couwsu. Seorang muda dan bodoh seperti aku, mana bisa menjadi Raja? Harap kau jangan main-main.”
“Mengapa tidak? Raja Sung yang sekarang ini bisa apakah? Engkau jauh
lebih pandai lebih gagah dan lebih cakap menjadi Raja. Pinceng tidak
main-main, Kiang-kongcu. Kalau kau suka membantu dari dalam dan gerakan
kita berhasil menundukkan Kerajaan Sung, engkaulah yang akan menjadi
pengganti Raja Sung. Bagaimana?”
Kiang Liong mengangguk-angguk.
“Hemm, memang muluk dan enak sekali kalau hanya dibicarakan begini
saja. Akan tetapi, apakah engkau tahu sampai di mana hebatnya kekuatan
Kerajaan Sung, Bouw Lek Couwsu? Apakah yang kau andalkan untuk dapat
menaklukkan Sung?” Dengan cerdik sekali, berkedok kesangsiannya akan
hasil persekutuan itu, ia ingin mengetahui rahasia kekuatan barisan
Hsi-hsia!
Kembali pendeta itu tertawa bergelak dan mengangkat
cawan araknya. “Mari kita minum dulu dan bersiaplah untuk bergembira
mendengar keteranganku yang membesarkan hati, Kongcu!”
Kiang-kongcu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum mengangkat cawan
dan minum araknya. Bahkan Siang-mou Sin-ni agaknya gembira juga melihat
pemuda itu suka menjadi sekutu mereka. Kalau pemuda ini menjadi sekutu,
tentu saja ia tidak menganggapnya sebagai musuh dan memang sejak tadi ia
memandang kagum, membayangkan betapa akan senang hatinya kalau ia
dapat “bersahabat” dengan pemuda tampan dan gagah ini. Selama ini, ia
hanya dapat bermesra dengan pemuda-pemuda lemah seperti kucing kalau
dibanding dengan pemuda ini yang seperti singa!
“Kiang-kongcu,
jangan kaukira bahwa pinceng tidak tahu akan keadaan dan kekuatan
Kerajaan Sung. Sudah bertahun-tahun pinceng melakukan penyelidikan. Raja
Sung yang gila kesenangan dan kesenian itu hanya mengerahkan sebagian
besar tentaranya di perbatasan utara, menjaga penyerbuan bangsa-bangsa
di utara yang sejak dahulu mengancam Sung. Sebagian pula untuk menjaga
perbatasan di selatan, sedangkan sebagian kecil tersebar di pantai
timur menjaga kerusuhan yang ditimbulkan bajak laut. Akan tetapi bagian
barat hanya dijaga oleh pasukan-pasukan kecil karena daerah pegunungan
yang sambung-menyambung sukar diadakan penjagaan kecuali dengan pasukan
besar. Pula Raja Sung tidak menganggap akan datang ancaman dari barat.
Inilah keuntungan kita, Kongcu. Jika pinceng menyerbu dari barat, dibagi
menjadi tiga empat barisan besar menyerbu, tentu dengan mudah akan
dapat kami hancurkan penjagaan di perbatasan itu dan kami akan terus
menyerbu Kerajaan Sung dari tiga jurusan, terbesar dari barat, yang
lainnya dari utara dan selatan kami kepung kota raja. Sementara itu,
engkau bergerak dari dalam dengan pasukan yang dapat kaukumpulkan.
Dengan begini, apa susahnya menjatuhkan Kaisar boneka itu? Ha-ha!”
Diam-diam Kiang Liong terkejut sekali. Hebat rencana pimpinan Hsi-hsia
ini. Ia sudah mendapat keterangan dari para penyelidik bahwa barisan
Hsi-hsia tidak kurang dari seratus ribu orang banyaknya. Dan memang
tepat apa yang dikatakan Bouw Lek Couwsu. Keadaan penjagaan Kerajaan
Sung memang seperti yang diutarakannya tadi. Kalau siasat itu
dipergunakan oleh pimpinan Hsi-hsia ini, agaknya akan besar bahaya
kehancuran mengancam Kerajaan Sung! Dan ia harus mencegahnya.
Satu-satunya jalan untuk mencegahnya, ia harus dapat meninggalkan
tempat ini, kembali ke kerajaan dan melaporkannya kepada Kaisar agar
dapat diatur siasat untuk menghadapi bala tentara Hsi-hsia. ia harus
berlaku cerdik dan tiada cara lain kecuali menerima usul persekutuan
Bouw Lek Couwsu!
“Hebat! Rencana yang kauatur itu benar-benar
mengagumkan, Couwsu. Kalau siasat itu dijalankan, apalagi ada bantuan
yang kuat dari dalam, akan mudahlah merebut singgasana!” Ia sengaja
memasang muka berseri-seri dan sepasang matanya berkilat penuh harapan.
“Akan tetapi.... bagianku dalam rencana ini amat berbahaya! Kalau
ketahuan rencanaku, tentu akan ditangkap sebagai pengkhianat dan
dihukum mati! Akan sepadankah balas jasa untukku? Apakah engkau kelak
tidak akan melanggar janjimu tadi?”
Bouw Lek Couwsu menenggak
araknya lalu tertawa. “Ha-ha-ha pinceng Bouw Lek Couwsu adalah pemimpin
besar bangsa Hsi-hsia, juga ketua para pendeta jubah merah. Tak nanti
akan menarik kembali janji. Kalau berhasil usaha kita, pasti engkau yang
akan menduduki singgasana Kerajaan Sung! Pinceng tidak ingin menjadi
raja di Kerajaan Sung. Cukup bagi pinceng asal Kongcu pun mengenal budi
membagi keuntungan dan menghadiahkan setengah wilayah kerajaan bagian
barat kepada bangsa Hsi-hsia, bukankah ini adil?”
Bukan main
gemasnya hati Kiang Liong kepada pendeta yang licik ini, akan tetapi
wajahnya tidak berubah, tetap gembira penuh harapan. “Aku menerima
usulmu, Bouw Lek Couwsu, dan aku akan berusaha menghubungi para panglima
pasukan yang merasa tidak puas dengan Kaisar. Percayalah, banyak di
antara para panglima adalah sahabat baik Ayahku, Pangeran Kiang.”
“Ha-ha-ha, mari kita minum arak untuk persekutuan kita ini!”
Mereka bertiga kembali minum arak dan pada saat itu, seorang pelayan
wanita datang berlari-lari dan berlutut di depan Siang-mou Sin-ni
sambil berkata gugup.
“Mohon maaf kalau hamba mengganggu. Akan
tetapi hamba melaporkan bahwa bocah yang ditawan itu tahu-tahu sudah
berada di dalam kamar Paduka dalam keadaan pingsan, sedangkan
penjaganya kedapatan tewas di kamar tahanan.”
Siang-mou Sin-ni
mengeluarkan suara melengking panjang dan pelayan yang melapor itu
sudah mencelat beberapa meter dan roboh pingsan karena ditendang,
sedang tubuh Siang-mou Sin-ni sendiri sudah mencelat seperti terbang
meninggalkan ruangan itu menuju ke kamarnya! Seorang pelayan pria lalu
mengangkat pelayan wanita yang pingsan itu, membawanya ke ruangan
belakang.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kiang Liong
mendengar laporan tadi. Tak salah lagi, pikirnya, bocah yang
dimaksudkan itu tentulah Han Ki. Pantas ia tidak berhasil menemukan
anak itu, kiranya pingsan di kamar Siang-mou Sin-ni!
“Bouw Lek
Couwsu.” katanya menahan getaran hati dan suaranya tetap tenang,
“Setelah kita menjadi sekutu dan orang sendiri, apakah engkau tidak mau
memandang mukaku membebaskan Kam Han Ki itu? Betapapun juga, Kam Bu Sin
adalah Paman guruku sehingga amat tidak enak bagiku kalau anak itu
tidak kubawa pulang. Tentu akan mencurigakan orang dan menduga bahwa aku
berbaik denganmu.”
Bouw Lek Couwsu mengangguk-angguk dan
bangkit berdiri. “Masuk akal pula omonganmu ini. Akan tetapi karena anak
itu merupakan tawanan Sin-ni, sebaiknya aku membujuknya. Harap Kongcu
menunggu di sini.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu lalu
meninggalkannya, masuk menyusul Siang-mou Sin-ni dengan langkah lebar.
Kiang Liong terhenyak di atas bangkunya seperti patung. Ketika ia
melirik, ternyata bangunan itu terkurung ratusan orang Hsi-hsia yang
agaknya diam-diam telah menerima perintah untuk menjaga dan mencegah
dia melarikan diri! Ia menghela napas dengan perasaan tegang.
Berhasilkan bujukan Bouw Lek Couwsu? Kalau berhasil dan dia boleh
membawa Han Ki, alangkah untungnya! Tentang persekutuan dan janjinya
kepada Bouw Lek Couwsu, janji itu hanya ia adakan bukan sekali-kali
untuk semata-mata menyelamatkan dirinya, melainkan terutama sekali untuk
menyelamatkan Kerajaan Sung. Karena andaikata ia berkeras menolak
sampai tewas di situ, bukankah rencana Bouw Lek Couwsu tadi akan
dijalankan tanpa sepengetahuan Kerajaan Sung sehingga terjadi malapetaka
hebat?
Tiba-tiba ia menyeringai dan menahan napas. Rasa yang
amat nyeri menusuk perutnya, rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Ia
mengumpulkan hawa murni di tubuhnya, mengerahkan sin-kangnya diarahkan
ke perut sambil menarik napas panjang. Rasa nyeri lenyap seketika, namun
hatinya menjadi gelisah. Tahulah ia bahwa ia telah terluka oleh pukulan
Siang-mou Sin-ni tadi, luka yang aneh karena entah di bagian mana.
Rasanya di perut, akan tetapi begitu dilawan sin-kang rasa nyeri itu
hilang. Ia tidak tahu bahwa pukulan tadi adalah pukulan yang meracuni
darahnya dan tentu saja yang pertama-tama terasa adalah bagian yang tadi
terpukul.
Tak lama kemudian dari ruangan dalam muncul keluar
Bouw Lek Couwsu dan Siang-mou Sin-ni. Jantung Kiang Liong serasa
berhenti berdetik ketika melihat Siang-mo Sin-ni mendukung seorang anak
laki-laki. Ia tidak mengenal Han Ki karena ketika ia mengunjungi
pamannya dahulu Han Ki masih seorang bayi. Akan tetapi ia dapat menduga
bahwa anak berusia sebelas tahun itu tentulah Han Ki. Anak itu sudah
sadar akan tetapi melihat keadaannya yang tak dapat bergerak dan lemas,
Kiang Liong maklum anak itu tentu tertotok. Menurutkan kata hatinya,
ingin ia meloncat dan merampas bocah itu untuk kemudian dibawa lari.
Akan tetapi, pikirannya yang cerdik melarang ia melakukan hal itu. Kalau
ia lakukan berarti ia mencari mati dan Han Ki juga takkan tertolong.
Yang lebih hebat lagi, Kerajaan Sung akan terancam bencana hebat!
Biarpun hatinya seperti ditusuk ia tetap bersikap tenang dan ketika
mereka berdua sudah datang dekat, ia bertanya.
“Bagaimanakah,
Couwsu dan Sin-ni, apakah persekutuan kita cukup berharga untuk Ji-wi
(Kalian) mengampuni anak itu dan memberikannya kepadaku?”
Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu membentak keras, “Kiang Liong! Apakah hatimu
palsu dan kau tidak menghargai perjanjian kita?” Sikap kakek ini jelas
mencurigai dan menentang. Kiang Liong terkejut. Ia harus berhati-hati.
Kakek gundul ini amat cerdik.
“Eh, apa alasannya engkau menyangka seperti itu, Couwsu?”
“Kalau engkau memang jujur, mengapa kau ingin benar menolong anak ini?
Sepatutnya sebagai tanda persahabatan engkau merelakan anak ini kepada
Sin-ni. Urusan kita amatlah besar. Urusan anak ini tidak ada artinya.
Apa artinya nyawa seorang bocah seperti ini? Nah, jawablah bagaimana
pikiranmu? Kalau kau mementingkan anak ini, berarti kau tidak
sungguh-sungguh hendak bersekutu dengan kami!”
Kiang Liong
terkejut dalam hatinya. Tak disangkanya kakek gundul ini sedemikian
cerdik. Ia memutar otak mencari siasat, namun tidak melihat jalan lain
kecuali berpura-pura tidak mengerti dan mengalah.
“Aku hanya
ingin menolong karena dia putera Paman guruku, akan tetapi sama sekali
bukan berarti aku melupakan persekutuan kita. Habis, bagaimanakah
kehendakmu dengan anak ini, Couwsu? Beritahulah dan aku tentu saja akan
menerima usulmu asalkan demi kebaikan kita bersama, terutama sekali
tentu saja, demi berhasilnya usaha besar kita.” Sengaja Kiang Liong
menekankan usaha besar karena ia maklum bahwa kepala gundul ini amat
membutuhkan bantuannya untuk menghimpun tenaga yang akan bergerak dari
dalam kota raja.
“Hi-hi-hik, alasanmu dibuat-buat, Kiang-kongcu.
Kalau memang benar kau begitu mementingkan persekutuan di antara kita
mengapa kau hendak merampas anak ini dari tanganku? Susah payah anak
ini kupelihara, kubebaskan dari kematiannya di rumahnya, kemudian
kubikin gemuk sehat untuk keperluanku yang amat penting, menyempurnakan
ilmu yang sedang kulatih. Kalau aku berkeras tidak mau menyerahkan anak
ini kepadamu, kau mau apa, Kiang-kongcu? Apakah kau akan membatalkan
persekutuan kita hanya karena anak ini?”
Dapat dibayangkan
betapa bingung dan gelisah rasa hati Kiang Liong. Ia menghadapi jalan
buntu. Membatalkan persekutuan berarti kematian baginya dan membahayakan
Kerajaan Sung, kalau tidak mana mungkin ia membiarkan anak itu
dijadikan korban secara mengerikan? Dari Po Leng In ia sudah mendengar
betapa iblis betina ini hendak melakukan I-kin-hoan-jwe, untuk
kesempurnaan ilmunya Hun-beng Toh-wat, dan untuk keperluan inilah Han
Ki ditawan. Ia sendiri belum tahu secara jelas bagaimana orang melakukan
I-kin-hoan-jwe mengambil sumsum dan darah putih dalam urat, akan tetapi
dapat membayangkan bahwa hal itu tentu mengerikan dan kejam sekali.
“Jadi engkau akan membunuhnya. Siang-mou Sin-ni?”
Melihat keraguan pemuda itu Bouw Lek Couwsu lalu memandang tajam.
Pendeta ini adalah seorang yang cerdik. Kalau tidak, tentu saja ia
tidak menjadi pemimpin bangsa Hsi-hsia. Ia melihat betapa Siang-mou
Sin-ni dan pemuda itu saling berhadapan saling siap untuk bertanding.
Hal ini tidak ia inginkan karena ia benar-benar mengharapkan bantuan
pemuda ini yang telah terpikat karena dijanjikan kedudukan raja. Maka
cepat-cepat ia melangkah maju dan berkata.
“Antara orang sendiri
tak perlu ribut-ribut, kalau memang kita semua beriktikad baik.” ia
memandang Siang-mou Sin-ni penuh arti kemudian melanjutkan.
“Kiang-kongcu, pinceng telah bicara panjang lebar dengan Sin-ni. Memang
Sin-ni membutuhkan anak ini untuk menyempurnakan ilmunya, akan tetapi
pinceng yang menanggung bahwa anak ini tidak akan dibunuhnya. Biarlah
kita sama lihat. Kalau kelak engkau dapat memegang janjimu dan
mengerahkan tenaga bantuan dari dalam kota raja, pinceng berjanji akan
menyerahkan anak ini dalam keadaan hidup kepadamu!”
Diam-diam
Kiang Liong menyumpahi pendeta yang amat licik ini di dalam hatinya. Ia
mengerti bahwa Han Ki dijadikan “barang tanggungan” untuk menguji
kesetiaannya dalam persekutuan itu. Tidak ada pilihan lain. Kalau kelak
pasukan Hsi-hsia menyerbu, Kerajaan Sung akan mengatur penjebakan yang
menghancurkan barisan musuh dan dia sendiri akan mengumpulkan tenaga,
bahkan gurunya sendiri tentu akan membantunya untuk menangkap Bouw Lek
Couwsu dan Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak terlambat akan menolong Han
Ki. Akan tetapi awaslah kalian, kutuknya dalam hati, kalau anak ini
kalian bunuh, jangan harap kalian dapat terlepas dari hukumanku!”
Ia mengangkat kedua bahunya dan duduk kembali. “Apa boleh buat, kalau
kau tidak percaya penuh kepadaku, boleh saja anak ini kautahan, Bouw Lek
Couwsu. Betapapun juga, urusan besar itu tentu saja jauh lebih
penting.”
“Bagus! Mari kita minum arak untuk saling pengertian yang baik ini!” Kembali mereka mengangkat cawan arak dan meminumnya.
Siang-mou Sin-ni tersenyum, lalu cekikikan. “Hi-hi-hik! Siapa tahu hati
manusia? Memang aku tidak akan membunuh anak ini, akan tetapi aku
harus mengambil sedikit darahnya, sedikit-sedikit tiap hari dan kuganti
dengan obat agar darahnya pulih. Sekarang pun akan kubuktikan caranya
agar hati Kiang-kongcu tidak ragu-ragu lagi!”
Setelah berkata
demikian, Siang-mou Sin-ni meletakkan tubuh Han Ki di atas meja bundar
yang besar itu. Anak itu telentang di atas meja, matanya yang lebar
memandang Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu penuh kebencian. Ketika
melirik ke arah Kiang Liong, dia hanya memandang sekilas karena tidak
mengenal siapa pemuda itu yang agaknya tidak sepenuh hati hendak
menolongnya.
Kiang Liong kagum bukan main dan hatinya diliputi
keharuan. Bocah itu amat tampan, dan sedikit pun tidak tampak sinar
takut dalam sepasang matanya yang bening, dan lebar. Biarpun ia tidak
dapat bergerak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata, namun jelas pandang
matanya menyinarkan kebencian dan sakit hati terhadap Siang-mou Sin-ni
dan Bouw Lek Couwsu yang telah membasmi keluarganya. Anak yang luar
biasa dan mengagumkan, pikirnya.
Sementara itu, Siang-mou Sin-ni
sudah mengeluarkan sebatang jarum emas yang panjangnya kurang lebih dua
dim dan di sepanjang batang jarum itu berlubang. Dengan jarum di tangan
kanan sambil tersenyum dan mengerling ke arah Kiang Liong, ia
menghampiri bocah yang telentang di atas meja itu.
Terjadi
perang di dalam hati Kiang Liong. Kalau mengingat akan tugasnya sebagai
penyelidik, teringat akan kewajiban sebagai seorang yang setia dan
mencinta pemerintahannya, ia harus membiarkan Siang-mou Sin-ni
melanjutkan apa yang hendak dilakukan kepada Han Ki. Akan tetapi kalau
menurutkan perasaan dan wataknya sebagai seorang pendekar gagah, tak
mungkin ia mendiamkan saja. Ia dapat menduga kini apa yang dilakukan
Siang-mou Sin-ni. Jarum emas itu akan ditusukkan di bagian tubuh yang
tidak membahayakan nyawa anak itu, sampai mengenai dan menembus tulang,
kemudian dari lubang jarum akan disedot sumsum dari dalam tulang anak
itu!
Bouw Lek Couwsu menyeringai lebar dan Siang-mou Sin-ni
tersenyum manis. Matanya berkilat-kilat penuh nafsu, ketika tersenyum
bibirnya tampak merah seperti berlepotan darah dalam pandangan Kiang
Liong, gigi yang berderet rapi dan putih itu seakan-akan bercaling.
“Hanya sedikit darah dan sumsum untukku, tidak akan mematikan anak
ini!” katanya sambil membalikkan tubuh anak itu menelungkup di atas
meja. Sekali tangan kirinya bergerak, ia sudah merobek baju atas dan
tampaklah punggung Han Ki yang putih dan sehat.
Kini wajah
Siang-mou Sin-ni tampak buas oleh nafsu yang menggelora. Tangannya agak
menggigil dan setelah jari-jari tangan kirinya meraba-raba punggung
atas bawah tengkuk, tangan kanannya yang memegang jarum emas bergerak
perlahan menemplekan ujung jarum ke kulit punggung anak itu, siap untuk
menusuk!
Meledaklah rasa penasaran dan kemarahan di hati Kiang
Liong. Tanpa dapat terkendalikan lagi, tubuhnya berkelebat ke depan dan
mulutnya membentak, “Iblis betina, lepaskan dia!” Hebat bukan main
gerakan Kiang Liong ini karena saking marahnya ia langsung menerjang
Siang-mou Sin-ni dengan Ilmu Silat Lo-hai Kun-hoat (Ilmu Silat Pengacau
Lautan) yang sifatnya paling dahsyat di antara ilmu silat yang ia
pelajari dari Suling Emas. Karena terjangannya ini tidak
tersangka-sangka, biarpun Siang-mou Sin-ni amat lihai namun sebagian
besar perhatiannya tertuju kepada Han Ki dan nafsunya sedang
melonjak-lonjak, maka ia kurang cepat menghindar. Memang benar ia dapat
meloncat ke samping, namun hawa pukulan Kiang Liong tetap saja
mengenai bahu kanannya sehingga bahu kanan itu terasa lumpuh dan jarum
emasnya terlempar!
“Keparat!” Siang-mou Sin-ni mengumpat,
rambutnya kini sudah bergerak menyambar ke pinggang Kiang Liong. Namun
pemuda itu dengan sigapnya menghindar dan dengan cepat tangan kirinya
meraih ke arah meja hendak menyambar tubuh Han Ki.
“Perlahan
dulu, orang muda!” Suara ini keluar dari mulut Bouw Lek Couwsu dan sinar
yang amat kuat menangkis ke arah lengan tangan Kiang Liong yang meraih
tubuh Han Ki. Untung Kiang Liong maklum akan bahaya dan cepat menarik
kembali lengannya. Kalau tidak tentu lengannya akan patah bertemu dengan
tongkat yang berat dan digerakkan tenaga hebat pula.
Dari arah
kanan menyambar hawa pukulan yang dingin. Kiang Liong cepat miringkan
tubuh dan menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga
sin-kang. Akan tetapi tiba-tiba perutnya terasa sakit sekali sehingga
begitu lengannya terbentur lengan Siang-mou Sin-ni yang memukul dari
kanan, ia terpental ke belakang. Kiang Liong terhuyung-huyung dan
sambaran tongkat Bouw Lek Couwsu tak dapat ia elakkan dan jalan
satu-satunya hanya menangkis dengan telapak tangan.
“Plakk!!”
Tongkat terpental akan tetapi Kiang Liong merasa betapa kenyerian dari
perutnya naik ke dada, terus ke tenggorokannya dan ia menyemburkan
darah dari mulutnya. Tahulah ia bahwa ia terluka hebat, maka tanpa
pedulikan apa-apa lagi ia lalu duduk bersila di atas lantai, mengatur
pernapasan dan mengerahkan hawa murni melawan luka dan racun yang
mengamuk di perut.
Siang-mou Sin-ni terkekeh dan sudah
menggerakkan tangan untuk memberi pukulan terakhir. Tangannya penuh
dengan hawa beracun dari Ilmu Tok-hiat-hoat-lek dan sekali mengenai
kepala Kiang Liong yang dijadikan sasaran, tak dapat dihindarkan lagi
pemuda itu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi. Ketika tangan
Siang-mou Sin-ni menyambar, Kiang Liong sedang siulian (samadhi) untuk
mengerahkan hawa murni di tubuhnya.
“Plakk!” Tangan yang halus
namun keji dari Siang-mou Sin-ni bertemu dengan ujung tongkat Bouw Lek
Couwsu. Wanita itu membelalakkan matanya dan memandang marah. Akan
tetapi Bouw Lek Couwsu berkedip kepadanya, kemudian mendekatinya dan
berbisik-bisik di dekat telinga Siang-mou Sin-ni.
“Ia terluka oleh pukulanmu Tok-hiat-hoat-lek yang tadi.” bisiknya. “Berapa lamakah ia akan dapat bertahan untuh hidup?”
Siang-mou Sin-ni yang belum dapat menangkap maksud pendeta itu menjawab ragu.
“Dia lihai dan kuat, tentu dapat bertahan sampai tiga bulan. Namun
darahnya sudah keracunan dan ia tidak dapat tertolong lagi.”
“Bagus.” bisik pendeta itu. “Kita tak perlu membunuhnya. Kita lanjutkan
rencana, biarkan dia kembali dan menyusun kekuatan di kota raja
membantu kita dengan janji kalau dia tidak melanggar janji, selain anak
ini kelak kita kembalikan, juga kaujanjikan obat penawar pukulanmu
Tok-hiat-hoat-lek! Dengan tanggungan nyawa anak ini dan nyawanya
sendiri, agaknya tidak ada jalan lain baginya untuk mengkhianati kita.”
Siang-mou Sin-ni tersenyum dan mengangguk-angguk. “Tok-hiat-hoat-lek
ilmuku itu akibatnya luar biasa. Di dunia ini tidak akan ada yang dapat
mengobatinya kecuali aku sendiri. Ilmu yang baru ini belum dikenal
orang, biar Suling Emas sendiri tak mungkin dapat menyembuhkan muridnya,
hi-hik!” Ia lalu mengambil jarum emas yang tadi terlempar di atas
lantai, kemudian menghampiri Han Ki yang masih tertelungkup di atas
meja.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara hiruk-pikuk di
luar, suara sorak-sorai gemuruh disusul suara jerit-jerit mengerikan,
suara senjata-senjata bertemu dan banyak sekali orang bertempur. Pintu
kamar itu terpentang lebar dari sebelah luar dan dua orang Hsi-hsia
berteriak, “Barisan Beng-kauw menyerbu....!” Mendadak mereka roboh
terjungkal dan di punggung mereka menancap dua buah hui-to (golok
terbang)!
“Tar-tar-tar....!” Suara meledak-ledak ini adalah
suara lecutan cambuk yang berada di tangan seorang kakek bertopi lebar.
Ke mana pun cambuknya menyambar, di situ tentu ada beberapa orang musuh
terjungkal tewas. Di sampingnya tampak seorang laki-laki gagah berusia
lima puluh lima tahun yang mengamuk pula dengan sebatang pedang berhawa
dingin dan bersinar kuning terang. Masih ada lagi seorang kakek tinggi
kurus berjenggot panjang bermata tajam yang mengamuk dengan tangan
kosong, akan tetapi setiap pukulan atau tendangan kakinya tentu
merobohkan seorang lawan. Di samping tiga orang kakek luar biasa ini
tampak Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang gadis yang telah
dibebaskan, mengamuk pula dengan pedang mereka. Selain mereka, ratusan
orang anggauta Beng-kauw sedang menyerbu dan melakukan penyembelihan
terhadap orang-orang Hsi-hsia dengan hati penuh kemarahan karena
penyerbuan ini adalah pembalasan dendam mereka terhadap para pendeta
jubah merah dan orang-orang Hsi-hsia.
Kakek bertopi lebar
bersenjata cambuk yang luar biasa lihainya itu bukan lain adalah Kauw
Bian Cinjin. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih dan dialah
satu-satunya tokoh Beng-kauw yang lolos dari kematian. Kauw Bian Cinjin
adalah sute (adik seperguruan) Ketua Beng-kauw yang tewas, akan tetapi
dalam hal kepandaian, kakek ini melebihi suhengnya. Sudah
bertahun-tahun ia mengundurkan diri dari Beng-kauw dan bertapa di puncak
Ta-liang-san.
Pada beberapa hari yang lalu, selagi Kauw Bian
Cinjin bercakap-cakap dengan dua orang kakek yang menjadi tamunya,
datang seorang anggauta Beng-kauw yang sambil menangis melaporkan
tentang malapetaka yang menimpa Beng-kauw. Tentu saja Kauw Bian Cinjin
menjadi marah sekali. Dua orang kakek yang menjadi tamunya itu juga
menawarkan tenaga bantuan mereka. Mereka ini bukan orang-orang
sembarangan. Yang bersenjata pedang dan bertubuh gagah adalah ketua
penghuni Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan, bernama Lie Bok Liong.
PembacaCINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat akan nama ini, nama
seorang pemuda yang mencinta Lin Lin atau Puteri Yalina akan tetapi
tidak terbalas sehingga ia mengasingkan diri dan tetap tinggal membujang
sampai tua sambil memperdalam ilmu silatnya. Adapun kakek kedua yang
kurus berjenggot panjang dan amat lihai kaki tangannya itu adalah
seorang sahabat baiknya yang tinggal di Ang-san-kok, bernama Ong Toan
Liong.
Demikianlah, dengan disertai bantuan dua orang sahabat
yang menjadi tamunya, Kauw Bian Cinjin bergegas turun gunung,
mengumpulkan para anggauta Beng-kauw sejumlah empat lima ratus orang
kemudian mengadakan penyerbuan ke Lembah Nu-kiang di Kao-likung-san.
Kebetulan sekali di lereng gunung itu Kauw Bian Cinjin berjumpa dengan
Siang Kui dan Siang Hui yang malam itu dibebaskan karena pertolongan
Kiang Liong. Dengan cepat dan singkat dua orang gadis ini menceritakan
pengalamannya, tentang Kiang Liong dan tentang adiknya yang masih
tertawan. Penyerbuan dilanjutkan dengan cepat dan begitu tiba di markas
Bouw Lek Couwsu, terjadilah perang yang hebat dan berat sebelah.
Biarpun para hwesio jubah merah rata-rata memiliki kepandaian tinggi,
namun jumlah orang-orang Beng-kauw yang menyerbu terlalu banyak. Apalagi
di sebelah depan dipimpin oleh tiga orang kakek yang demikian lihai,
terutama sekali yang bercaping dan bersenjata cambuk, amat mengerikan.
Dengan cepat dan mudahnya, Kauw Bian Cinjin yang diikuti oleh Lie Bok
Liong, Ong Toan Liong, dan kedua orang gadis cucunya itu menyerbu terus
sampai ke bangunan terbesar yang menjadi tempat kediaman Bouw Lek
Couwsu.
Lecutan cambuk Kauw Bian Cinjin menghancurkan pintu
kamar Bouw Lek Couwsu dan mereka menyerbu ke dalam. Akan tetapi kamar
itu kosong! Tidak tampak Bouw Lek Couwsu maupun.Siang-mou Sin-ni, juga
tidak tampak. Kiang Liong maupun Kam Han Ki. Kedua orang gadis yang
pernah menjadi tawanan di tempat ini segera menjadi penunjuk jalan,
menggeledah dan mencari di seluruh bangunan yang berada di situ, namun
sia-sia saja. Dua orang musuh besar yang menjadi biang keladi
penghancuran Beng-kauw, dua orang tawanan yang hendak mereka tolong, tak
tampak bayangannya. Mereka mengamuk dan membunuh semua pelayan dan
orang-orang Hsi-hsia. Ketika mereka keluar lagi, ternyata perang kecil
itu sudah selesai. Di mana-mana bertumpuk mayat orang-orang Hsi-hsia dan
ada juga beberapa korban orang-orang Beng-kauw, tetapi ketika
diperiksa, hanya terdapat tujuh orang mayat pendeta jubah merah.
Ternyata bahwa semua orang Hsi-hsia yang bertugas di situ, sejumlah
kurang lebih seratus orang tewas. Akan tetapi para hwesio jubah merah
agaknya sebagian besar melarikan diri dan sudah terang bahwa Bouw Lek
Couwsu dan Siang-mou Sin-ni juga melarikan diri. Yang menyusahkan hati
Kauw Bian Cinjin terutama sekali Siang Kui dan Siang Hui adalah
lenyapnya Kiang Liong dan Kam Han Ki. Ke manakah perginya dua orang
tawanan itu?
Ketika tadi mendengar laporan tentang penyerbuan
orang-orang Beng-kauw dan melihat sekelebatan bahwa jumlah penyerbu jauh
lebih besar, Siang-mou Sin-ni sudah menyambar tubuh Han Ki dan lari
secepat terbang melalui belakang bangunan, turun gunung melalui jurusan
lain. Dia seorang cerdik, tidak mau kehilangan Han Ki dan tidak mau
pula mempertaruhkan nyawanya menghadapi penyerbuan orang-orang
Beng-kauw yang kini jauh lebih kuat.
Bouw Lek Couwsu juga bukan
seorang bodoh. Ia memang menerjang keluar dan merobohkan beberapa orang
penyerbu, akan tetapi melihat dari jauh akan kelihaian tiga orang kakek
yang mengamuk dan melihat pula betapa banyaknya orang-orang Beng-kauw
yang menyerbu, diam-diam ia memberi tanda rahasia kepada para muridnya
untuk melarikan diri. Sebagai perisai, mereka meninggalkan orang-orang
Hsi-hsia yang memang bodoh akan tetapi penuh keberanian itu. Bouw Lek
Couwsu teringat akan Kiang Liong yang tadi masih duduk bersila di dalam
kamarnya. Hatinya bimbang. Pemuda itu sudah mengetahui rahasia
pergerakannya. Bagaimana kalau mengkhianatinya? Di samping kebimbangan
ini, ia pun merasa betapa, pentingnya bantuan pemuda itu. Akan tetapi
ketika ia memasuki kamarnya Kiang Liong sudah tidak ada lagi di situ!
Ia yakin benar pihak musuh belum ada yang menyerbu kamarnya! Siang-mou
Sin-ni memang sudah pergi membawa lari Han Ki, akan tetapi tadi Kiang
Liong masih duduk bersila di situ. Ke manakah perginya pemuda itu?
Karena keadaan sudah amat mendesak dan melihat betapa murid-muridnya
sudah tersebar melarikan diri, Bouw Lek Couwsu juga berkelebat pergi
turun gunung dari sebelah belakang.
Kini setelah perang selesai,
tinggallah Kauw Bian Cinjin berulangkali menghela napas panjang.
Alangkah menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus membunuh begitu
banyak manusia, padahal selama bertahun-tahun ia hidup aman di
pertapaan. Namun, betapa mungkin ia tinggal diam saja mendengar
pimpinan Beng-kauw terbasmi? Di sampingnya, Siang Kui dan Siang Hui
menangis karena dua orang ini mengkhawatirkan nasib adik mereka Kam Han
Ki. Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka turun dari gunung
itu dengan hati gelisah. Kemenangan mereka itu tidak memuaskan hati
karena yang hendak mereka tolong terutama Han Ki lenyap dilarikan musuh.
***
Kamar itu amat terang dan hawanya bersih sejuk karena jendela dan
pintunya terbuka lebar menerima masuknya hawa dan sinar matahari pagi.
Hawa pegunungan amat sejuk memasuki ruangan.
Yu Siang Ki yang
rebah telentang di atas dipan mengeluh perlahan, lalu mengerang
kesakitan. Tujuh belas bagian tubuhnya telah ditusuk jarum emas dan
perak oleh kakek kurus yang melarikannya dari dalam kerangkeng, dan
baru saja jarum-jarum itu dicabut kembali.
“Aduhh....” Ia menggerak-gerakkan pelupuk mata dan kaki tangannya yang lemas.
“Siang Ki, syukur kau telah tertolong....”
Siang Ki membuka matanya dan pandang matanya bertemu dengan wajah ayu,
wajah Kwi Lan! Gadis ini dengan senyum lebar dan wajah berseri saking
girangnya melihat Siang Ki tertolong nyawanya, memegang sebuah cangkir,
lalu mendekatinya.
“Siang Ki, kauminumlah obat ini.”
“Kwi Lan....! Bagaimana kita bisa berada di sini....? Bukankah kita
berdua tertawan....?” Saking herannya Siang Ki memegang tangan Kwi Lan,
menahannya meminumkan obat.
Kwi Lan tertawa. “Tiga hari tiga
malam kau pingsan terus, kusangka mati! Kauminum dulu ini baru bicara.”
Tanpa menanti jawaban ia membawa cangkir itu ke bibir Siang Ki yang
terpaksa meminum obat yang pahit dan harum itu.
“Kwi Lan, bagaimana....?”
“Hush, kau tertolong Song Yok san-jin (Orang Gunung Ahli Obat she
Song), dan puterinya, Enci Goat yang cantik manis!” Berkata demikian,
Kwi Lan menudingkan telunjuknya ke sebelah kiri dipan.
Siang Ki
cepat menoleh. Barulah tampak olehnya seorang kakek kurus berjenggot
jarang sedang memeriksa sesuatu dalam dua tabung kaca dan seorang
gadis yang cantik manis bergelung tinggi berada di depan kakek itu.
“Hemmm, tak salah dugaanku. Racun Peluru Bintang itu adalah racun jamur
laut yang terdapat di selatan. Ah, sungguh keji orang-orang
Thian-liong-pang. Tentu mendapat racun ini dari datuk mereka, Siauw-bin
Lo-mo. Biarpun racun ini ganas, namun pemunahnya tidak sukar. Jalan
darahnya telah kututup, racun tidak menjalar. Goat-ji (Anak Goat),
kauambillah batu penghisap dan bubukan biji delima putih.”
Setelah gadis cantik itu pergi untuk melakukan perintah ayahnya, kakek
itu membalikkan tubuhnya dan membuang darah dalam kedua tabung itu
keluar pintu lalu menaruh tabung ke dalam jambangan air yang berada di
sudut. Barulah ia menghampiri dipan dan bertanya ramah.
“Siauw-pangcu (Ketua) sudah sadar?
Syukurlah....“
Siang Ki cepat melompat turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu sambil berkata. “Locianpwe (Orang Tua
Gagah) adalah penyelamat nyawa kami berdua orang muda, harap jangan
bersungkan kepada saya. Terimalah hormat dan terima kasih saya Yu Siang
Ki.”
Kakek itu tertawa sambil berdongak ke atas, mengelus jenggotnya yang jarang.
“Ha-ha-ha! Pangcu muda dari Khong-sim Kai-pang benar-benar tidak
mengecewakan menjadi putera sahabatku Yu Kang Tianglo! Jangan banyak
sungkan, kita di antara orang sendiri. Bangkitlah!” Sambil berkata
demikian kakek itu mengangkat bangun Yu Siang Ki dan pemuda ini mendapat
kenyataan betapa di balik telapak tangan yang halus itu tersembunyi
tenaga yang amat kuat sehingga ia menjadi amat kagum dan segera
bangkit berdiri.
“Locianpwe mengenal mendiang Ayah saya sebagai
sahabat, sungguh merupakan kehormatan dan kebahagiaan besar bagi saya.”
katanya, akan tetapi tiba-tiba Siang Ki memejamkan kedua mata karena
kepalanya terasa pening.
“Siauw-pangcu harap rebahan dulu karena
racun masih belum lenyap dari tubuhmu.” kata ahli pengobatan itu.
Tanpa diperintah kedua kalinya, juga karena Kwi Lan memegang dan
mendorong pundaknya, pemuda itu kembali merebahkan diri telentang di
atas dipan.
Gadis cantik berambut hitam panjang yang disanggul
tinggi itu muncul dengan langkah kakinya yang ringan, membawa obat dan
batu penghisap yang tadi diminta ayahnya. Kakek itu menerima obat dari
tangan puterinya, kemudian berkata kepada Kwi Lan dan puterinya itu,
“Kalian keluarlah dulu dari kamar ini karena aku akan menyedot hawa
beracun dari luka-lukanya.”
Song Goat, gadis cantik itu
menggandeng lengan Kwi Lan dan ditariknya gadis itu keluar. Kwi Lan
menurut saja karena memang ia ingin bicara dengan gadis ini yang
mempunyai jarum-jarum hijau persis senjata rahasianya. Setelah dua orang
gadis itu keluar, Song Hai yang berjuluk Yok-san-jin itu lalu
menggulung kedua lengan jubahnya, kemudian mulai menanggalkan pakaian
Yu Siang Ki. Luka-luka karena senjata rahasia Peluru Bintang dari
tokoh-tokoh Thian-liong-pang itu tampak kebiruan, bahkan ada yang sudah
menghitam. Dengan tangan kanannya, kakek itu memegang batu penghisap,
sebuah batu yang berwarna putih dan banyak lubang-lubang kecil, seperti
batu bintang yang terdapat di dasar laut, kemudian tangan kirinya
dengan jari-jari yang panjang halus itu memijit di sekitar luka sambil
menekan batu itu pada lukanya.
Yu Siang Ki meringis kesakitan
akan tetapi pemuda ini lalu menggigit bibir menahan rasa nyeri sehingga
tidak sedikit pun keluhan keluar dari mulutnya. Hanya keringat yang
besar-besar berkumpul di dahinya. Tak lama kemudian batu yang berwarna
putih itu menjadi hijau lalu hitam! Kakek itu menunda pekerjaannya
menghisap hawa beracun lalu memasukkan batu yang menghitam itu ke dalam
air yang sudah dicampuri obat. Seketika warna hitam itu luntur, batu
menjadi putih kembali akan tetapi airnya yang berubah agak kehitaman
seperti dimasuki tinta bak! Lalu penghisapan itu dilakukan lagi pada
semua luka sampai luka-luka itu kelihatan merah. Usaha pembersihan hawa
beracun ini amat nyeri, perih dan seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan
baru selesai setelah satu jam lebih. Barulah kakek itu membantu Siang Ki
mengenakan pakaiannya kembali.
“Aman sudah. Tinggal minum obat ini dan dalam beberapa hari lagi Siauw-pangcu akan pulih kembali kesehatannya seperti biasa.”
Kakek itu lalu menuangkan obat bubuk delima putih, ditaburkan pada
luka dan terasalah oleh Siang Ki betapa keperihan dan kenyerian pada
luka-lukanya lenyap seketika, terganti oleh rasa dingin dan
menyenangkan. Tanpa disadarinya, ia sudah memejamkan mata menarik napas
lega dan pulas seketika! Kakek itu tersenyum, lalu mencuci kedua
tangannya dan duduk di atas bangku dekat pembaringan.
Sementara itu, setelah berada di luar pondok kecil itu, Kwi Lan segera menangkap tangan Song Goat dan berkata.
“Cici yang baik, hampir mati aku menahan sabar untuk mendengar semua
keteranganmu. Hayo lekas ceritakan, pertama-tama, mengapa kau
menggunakan jarum-jarum hijauku untuk membunuhi para hwesio itu,
kemudian menggunakan juga ketika kau menolong kami? Dari mana kau
mendapatkan jarum-jarum hijau itu?”
Song Goat tersenyum dan dua
buah lekuk kecil muncul di sepasang pipinya dekat mulut sehingga ia
tampak manis sekali. “Adik yang baik, bukankah engkau yang berjuluk
Mutiara Hitam? Kenapa kau tak dapat menebak sendiri? Hi-hik!”
“Eh, eh, jangan jual mahal, Enci yang baik. Lekas ceritakan, kalau tidak....“
“Hemm, anak ganas, kalau tidak kuceritakan kepadamu apakah kau akan
memaksaku dengan pedangmu yang lihai?” Song Goat yang ternyata pandai
berkelakar itu menggoda, sepasang matanya disipitkan ketika mengerling.
“Aihhh! Kalau tidak mau, kucubit pipimu yang, manis ini!” Kwi Lan tertawa dan mengancam dengan jari-jari tangannya yang kecil.
“Aduh, ampun.... kau anak ganas!” Song Goat tertawa, menutupi kedua
pipinya. “Mari kita duduk di sana dan kaudengarkan ceritaku.”
Dua orang gadis remaja yang cantik jelita itu lalu duduk di atas
batu-batu besar tidak jauh dari pondok itu. Song Goat mengeluarkan dua
buah kantong dari saku bajunya. “Kaulihat ini, yang sekantong terisi
jarum-jarum biasa, dan kantong kedua terisi jarum-jarum hijau beracun.
Jangan kira bahwa aku mencuri jarum-jarummu, Adik Kwi Lan. Kau tentu
mengerti bahwa Ayahku adalah seorang yang ahli dalam hal segala macam
racun, dan agaknya secara kebetulan saja jarum-jarum kita menggunakan
racun hijau yang sama. Akan tetapi ada perbedaannya di antara kita.”
“Apa bedanya?”
“Kau selalu menggunakan jarum hijau beracun, akan tetapi aku hanya
menggunakan jarum biasa tanpa racun, kecuali kalau harus merobohkan
orang jahat yang patut dibunuh.”
“Seperti yang kaulakukan kepada
hwesio-hwesio dalam kuil itu? Kau mau bilang bahwa pendeta-pendeta itu
adalah orang-orang jahat?” Kwi Lan mengejek.
“Lebih jahat
daripada penjahat biasa, Adik manis! Penjahat biasa memang penjahat,
akan tetapi penjahat-penjahat keji itu berkedok di balik Agama Buddha
yang suci, benar-benar menjemukan sekali! Apa kau belum dapat menduga
bahwa mereka itu adalah sekutu orang-orang Thian-liong-pang dan
perampok-perampok di bawah pengaruh Siauw-bin Lo-mo? Apakah kau tidak
tahu bahwa kedatangan orang-orang Thian-liong-pang yang menginap di
rumah mereka itu mengorbankan belasan orang gadis baik-baik yang mereka
tangkap untuk disuguhkan kepada orang-orang Thian-liong-pang? Kebetulan
Ayah dan aku tahu akan hal ini, maka kami turun tangan membunuh mereka
membebaskan gadis-gadis itu. Para tamu, orang-orang Thian-liong-pang
itu, segera bubar melarikan diri. Karena sepak terjangmu bersama....
eh, Pangcu itu, Ayah mengajak aku diam-diam mengikuti karena khawatir
kalau-kalau kalian terjebak oleh orang-orang Thian-liong-pang yang lihai
dan curang. Dugaan Ayah ternyata terbukti. Kami tak dapat segera turun
tangan karena tidaklah mudah membebaskan kalian dari tangan dua belas
orang tokoh Thian-liong-pang itu, apalagi setelah ternyata mereka itu
berkumpul dengan Siauw-bin Lo-mo si iblis tua....”
Tiba-tiba
Kwi Lan meloncat bangun, diikuti Song Goat yang pendengarannya masih
kalah tajam oleh Mutiara Hitam. Dua orang gadis ini membalikkan tubuh
sambil mencabut pedang dan di depannya telah berdiri seorang kakek yang
tertawa-tawa, kakek kurus yang bukan lain adalah Siauw-bin Lo-mo!
“Ha-ha-ha-ha, bocah manis, ini aku Si Iblis Tua sudah datang. Jadi
engkaukah yang telah berani main-main dan menculik tawananku? Ha-ha-ha,
bagus sekali.
Bouw Lek Couwsu tentu akan senang hatinya
mendapat tambahan hadiah seorang dara lagi secantik engkau. Mari, kalian
ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, Siauw-bin Lo-mo menerjang
maju, dua lengannya bergerak aneh hendak mencengkeram dua orang gadis
itu.
“Siauw-bin Lo-mo iblis tua! Rasakan pembalasanku!” Kwi Lan
sudah berseru keras dan marah sekali, pedang Siang-bhok-kiam di
tangannya berubah menjadi sinar hijau bergulung panjang membabat kedua
lengan kakek itu.
“Aiihhh....!” Siauw-bin Lo-mo mengeluarkan
seruan panjang saking kagetnya dan cepat menarik kembali kedua
lengannya. Ia tadi terlalu memandang rendah kepada dua orang gadis itu,
apalagi Kwi Lan yang pernah tertawan oleh Cap-ji-liong dari
Thian-liong-pang, anak buahnya. Tak disangkanya gadis ini dapat
menyambutnya sehebat itu dan ia maklum bahwa gadis remaja yang galak
ini ternyata benar-benar lihai dan hebat ilmu pedangnya, sesuai dengan
kegalakannya ketika memaki-maki di dalam kerangkeng. Baru sekarang ia
mengerti mengapa orang-orangnya menawan gadis ini di dalam kerangkeng
dan menjaganya ketat, kiranya gadis ini benar-benar amat berbahaya.
Song Goat juga membantu Kwi Lan menggerakkan pedangnya. Biarpun gadis
puteri ahli obat ini tidak seganas dan sehebat Kwi Lan ilmu pedangnya,
namun juga termasuk seorang muda yang berilmu tinggi.
“Ha-ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu bernasib baik! Ha-ha, kiranya
selama hidup dalam petualangannya dengan wanita, belum pernah ia
mendapatkan dua orang gadis cantik yang begini lihai!” Biarpun maklum
bahwa dua orang gadis lawannya bukan lawan lunak, namun Siauw-bin Lo-mo
sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan tentu saja tidak menjadi
gentar. Sehabis tertawa lebar, ia lalu menerjang maju dengan kedua
tangan kosong menghadapi dua orang lawannya yang bersenjata pedang. Dan
Kwi Lan mengeluarkan seruan tertahan. Hebat memang kakek kurus ini!
Gerakannya demikian aneh dan ringan sehingga setiap kali pedangnya
hendak mengenai sasaran, bagian tubuh kakek itu seperti terdorong lebih
dulu dan selalu dapat mengelak, bahkan beberapa kali gagang pedangnya
hampir kena dirampas! Saking marahnya, Kwi Lan lalu berseru nyaring dan
pedangnya kini mainkan ilmu pedang yang tiada keduanya dalam soal
keanehan di dunia ini. Siauw-bin Lo-mo yang memandang rendah ilmu pedang
Song Goat karena segera mengenal ilmu pedang gadis ini yang bersumber
pada ilmu pedang Kun-lun-pai, kini terbelalak heran menghadapi ilmu
pedang yang dimainkan Kwi Lan. Dalam gerakan ilmu pedang ini ia
mengenal jurus-jurus campuran yang mirip ilmu pedang dari Hoa-san-pai,
tusukan-tusukan jalan darah seperti ilmu silat Siauw-lim, pengerahan
tenaga berdasarkan ilmu dari Go-bi-san! Repot juga untuk sementara kakek
ini menghadapi ilmu pedang Kwi Lan. Akan tetapi oleh karena tingkatnya
memang jauh lebih tinggi dan ia sudah memiliki pengalaman banyak dalam
pertempuran, segera ia dapat menyesuaikan diri dan kini ia malah
berhasil mengirim tendangan ke arah tangan Song Goat yang memegang
pedang. Pedang gadis itu terlepas dan ia sendiri terhuyung.
“Ha-ha-ha!” Siauw-bin Lo-mo sambil tertawa-tawa melesat dari depan Kwi
Lan ke dekat Song Goat untuk merobohkan gadis ini, akan tetapi
tiba-tiba ia terdorong oleh hawa pukulan dari belakang yang membuatnya
terhuyung-huyung dan berseru heran dan kaget.
Sebagai seorang
ahli, Siauw-bin Lomo mengerti betapa hebatnya hawa pukulan itu, maka
cepat ia menggulingkan dirinya sambil mengerahkan hawa sakti dan akibat
pukulan jarak jauh itu dapat dipunahkan. Ia selamat dari bahaya akan
tetapi mengalami malu karena ternyata ia hampir celaka dalam tangan
seorang gadis remaja, hanya karena pukulan jarak jauh tangan kiri Kwi
Lan. Ia tidak tahu bahwa gadis itu disamping ilmu pedangnya yang luar
biasa, juga menguasai ilmu pukulan Siang-tok-ciang (Tangan Racun Wangi).
Song Goat yang tidak terluka, mendapat kesempatan untuk mengambil
pedangnya kembali dan kini ia sudah maju lagi membantu Kwi Lan yang
sudah menerjang kakek lihai itu. Namun kini Siauw-bin Lo-mo sudah
bersikap hati-hati sekali dan gerakan yang aneh dari kedua lengannya
membuat Kwi Lan dan Song Goat menjadi pening! Lebih celaka lagi, dua
orang gadis itu melihat betapa kini bermunculan dua belas orang yang
bukan lain adalah Thai-lek-kwi Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang bersama
sebelas orang adik seperguruannya! Akan tetapi Cap-ji-liong ini hanya
berdiri di pinggir menonton, tidak berani bergerak mengganggu datuk
mereka yang yang sedang mempermainkan dua orang gadis remaja itu!
Pada saat itu, dari dalam pondok melompat keluar Yok-sanjin Song Hai si
ahliobat. Ia sudah memegang sebatang pedangnya dan melihat betapa Kwi
Lan dan Song Goat terdesak hebat dan mengenal kakek kurus itu, ia
berseru.
“Siauw-bin Lo-mo, tidak malu engkau melawan anak-anak?”
Siauw-bin Lo-mo menoleh dan tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya tukang obat
Song yang berada di sini. Ah, kiranya gadis ini anakmu? Ha-ha, majulah
kau sekalian, dikeroyok tiga pun aku tidak takut!”
Akan tetapi,
dua belas orang Cap-ji-liong sudah maju pula menghadang kakek ahli obat
itu yang segera mengurungnya dengan senjata di tangan. Melihat ini,
Song Hai segera memasang kuda-kuda dan bersikap waspada karena dapat
menduga bahwa dua belas orang tokoh Thian-liong-pang ini tentulah bukan
orang-orang lemah.
“Ha-ha-ha-ha! Song Hai tukang obat, sebelum
main-main dengan aku, kaurasakanlah dulu kelihaian anak buahku!” Ucapan
Siauw-bin Lo-mo ini merupakan perintah bagi Cap-ji-liong dan lenyaplah
keraguan mereka. Segera mereka menerjang maju secara teratur, mengurung
kakek tukang obat itu dengan barisan yang terkenal kuat.
Kwi
Lan menggigit bibir dan mengeluarkan semua kepandaiannya. Betapapun
juga kakek itu terlampau kuat untuknya. Biarpun ia dibantu Song Goat
yang juga lihai ilmu pedangnya, namun tetap saja dua orang gadis ini
terdesak hebat dan akhirnya terhuyung oleh bayangan kedua tangan
Siauw-bin Lo-mo yang seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya.
Song Goat yang lebih dulu merasa pening dan sebuah tamparan membuat ia
terhuyung ke belakang kembali terlepas dari tangan. Tamparan yang
mengenai pundak kanan itu membuat tangan kanannya serasa lumpuh!
Kwi Lan berseru marah dan menusuk pinggang lawan yang sedang miring
tubuhnya. Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan berjungkir balik, kemudian
menyambut pukulan tangan kiri Kwi Lan dengan tangkisan tangan kanan.
“Plakk....!” Siauw-bin Lo-mo terhuyung mundur, akan tetapi Kwi Lan
harus berjungkir balik beberapa kali untuk mencegah terguling. Ketika
gadis ini sudah berdiri lagi, ia diserang secara bertubi-tubi di antara
suara ketawa lawannya. Ia berusaha untuk membalas, namun karena sudah
terdesak dan kalah dulu, ia tidak mendapat kesempatan dan hanya dapat
mengelak dan menggerakkan pedang membabat tangan yang hendak menangkap
dan menotoknya.
Pada saat Kwi Lan terdesak hebat, tiba-tiba
terdengar suara melengking tinggi yang tidak hanya mengejutkan hati
Siauw-bin Lo-mo, akan tetapi juga amat mengagetkan Song Hai dan dua
belas orang pengeroyoknya. Lengking yang menggetarkan jantung dan
menulikan telinga itu seketika membuat mereka semua menghentikan
pertandingan dan Kwi Lan menjadi girang sekali ketika menoleh ke arah
datangnya suara melengking yang tentu saja ia kenal baik ini.
Bagaikan bayangan setan, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang
wanita bertubuh ramping berpakaian serba putih dan mukanya dikerudungi
sutera jarang seperti rajut berwarna hitam. Kam Sian Eng guru Kwi Lan!
“Siauw-bin Lo-mo, kau berani menyerang muridku, berarti engkau tidak memandang mata kepadaku!”
Siauw-bin Lo-mo mengenal wanita ini dan tertawa, akan tetapi suara
ketawanya canggung karena hatinya merasa tidak enak. “Eh....
Sian-toanio (Nyonya Sian), jadi gadis yang ganas dan lihai ini muridmu?
Pantas begitu hebat. Aku tidak tahu bahwa dia muridmu, Sian-toanio
karena dia pun tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”
“Sekarang kau tahu Siauw-bin Lo-mo, apakah kau masih akan melanjutkan pertempuran?” tanya Kam Sian Eng, suaranya kaku.
“Ha-ha-ha, tentu saja aku tidak mau mengganggu keponakan sendiri! Bouw
Lek Couwsu akan cukup puas kalau aku membawa nona puteri tukang obat
ini. Hayo engkau ikut bersamaku!” Sambil berkata demikian, tubuh kakek
kurus ini melesat ke depan, ke arah Song Goat untuk menyambar tubuh
gadis ini yang tentu saja sama sekali bukan lawan Siauw-bin Lo-mo. Akan
tetapi tiba-tiba sinar hijau berkelebat dan kakek itu harus menarik
kembali kedua tangannya karena Kwi Lan telah membabat ke arah kedua
tangan yang hendak menerkam Song Goat itu. Kini gadis ini dengan pedang
di tangan berdiri menghadang di depan Song Goat, sikapnya menantang,
matanya mendelik marah.
“Ha-ha-ha-ha, keponakanku yang baik, apakah kau hendak menantang aku? Sian-toanio apakah begini kau mengajar muridmu?”
“Kwi Lan! Mundur kau! Mau apa kau mencampuri urusan orang lain? Sejak
kapan kau begini usil dan lancang?” Kam Sian Eng membentak, suaranya
dingin seperti suara dari lubang kubur membuat Cap-ji-liong yang
terkenal gagah sekalipun menggigil dan merasa seram.
“Bibi, aku
tidak suka mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi Enci Goat ini dan
ayahnya, Song-locianpwe, telah menyelamatkan nyawaku ketika aku menjadi
tawanan tua bangka iblis ini!” Ia menuding ke arah Siauw-bin Lo-mo.
“Bagaimana mungkin aku sekarang membiarkan iblis tua ini mencelakai
Enci Goat?”
Kam Sian Eng adalah seorang yang memiliki watak aneh
sekali karena memang jiwanya sakit, ingatannya terganggu oleh
peristiwa hebat di waktu mudanya. Ia tidak mengenal budi, tidak mengenal
apa itu baik atau jahat, namun terhadap diri Kwi Lan ada perasaan kasih
sayang di hatinya. Maka melihat sikap dan mendengar pembelaan Kwi Lan,
ia menarik napas panjang dan menoleh kepada Siauw-bin Lo-mo, berkata
singkat.
“Lo-mo, pergilah. Tidak ada urusan apa-apa lagi di sini. Setahun kemudian kelak kita bertemu kembali.”
Siauw-bin Lo-mo tertawa masam. Ia menjadi serba salah. Ia tidak takut
kepada Kam Sian Eng, akan tetapi juga tidak menghendaki nama Bu-tek
Ngo-sian menjadi pecah hanya karena urusan seorang gadis! Selain itu,
juga otaknya yang cerdik bekerja cepat. Kalau terjadi pertempuran karena
ia kukuh, pihaknya tentu rugi. Dia sendiri melawan Sian-toanio ini
masih merupakan keadaan setengah-setengah, belum tentu siapa yang akan
menang atau kalah. Akan tetapi, dua belas orang Cap-ji-liong itu kalau
harus menghadapi kakek tukang obat Song bersama puterinya dan Si
Mutiara Hitam, agaknya akan terancam bahaya kehancuran. Maka ia lalu
tertawa dan agar jangan terlalu kehilangan muka ia berkata.
“Ha-ha-ha-ha! Melihat muka Sian-toanio yang menjadi saudaraku sendiri,
tentu saja aku tidak akan meributkan soal seorang gadis! Hanya sayang
sekali, saudaraku yang menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian,
ternyata harus tunduk kepada muridnya. Ha-ha-ha! Hayo, kita pergi!” Ia
berseru kepada Cap-ji-liong yang tanpa banyak cakap tidak berani
membantah dan segera mengikuti datuk mereka pergi dari dalam hutan.
Biarpun perangainya aneh dan otaknya tidak waras, namun Kam Sian Eng
adalah seorang wanita yang memiliki watak angkuh dan tinggi hati. Oleh
karena itu, ejekan yang keluar dari mulut Siauw-bin Lo-mo tadi sedikit
banyak telah meracuni hatinya, membuat keningnya berkerut dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar dingin menakutkan. Melihat betapa sepasang
mata Sian Eng memandangnya seperti itu, tahulah Kwi Lan bahwa gurunya
atau bibinya ini sedang marah sekali. Maka ia menjadi khawatir dan
bersikap waspada.
Pada saat itu, nampak bayangan berkelebat
keluar dari pondok. Ternyata dia adalah Yu Siang Ki yang sudah sembuh,
hanya belum pulih tenaganya. Namun karena tadi ia terbangun dari
tidurnya dan mendengar suara melengking nyaring, ia segera mengerahkan
tenaga, menyambar tongkat dan setelah tubuhnya tidak begitu lemah lagi,
kini ia meloncat keluar, siap membantu Song Hai dan puterinya,
terutama sekali Kwi Lan jika ada bahaya mengancam. Ketika ia melihat
mereka itu berhadapan dengan seorang wanita yang memakai kerudung, yang
sikapnya aneh, yang matanya menyinarkan keseraman yang mengerikan, ia
meloncat dan sudah berada di samping Kwi Lan. Gerakannya tidaklah sekuat
biasa, namun pemuda ini tidak kehilangan kelincahannya.
“Siapa
jembel ini?” Suara Kam Sian Eng dingin sekali, membuat Siang Ki meremang
bulu tengkuknya, dan sinar mata yang menyambar ke arah mukanya seperti
tangan dingin menyentuh leher. Ia bergidik.
Song Hai atau
Yok-san-jin yang semenjak tadi memandang kepada Kam Sian Eng dengan
penuh rasa kagum dan heran, segera melangkah maju dan menjura sebagai
penghormatan, lalu berkata, “Kouw-nio, orang muda ini bukan lain adalah
kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) dari Khong-sim Kai-pang, putera
mendiang Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa.”
Sian Eng melirik
ke arah kakek berjenggot itu. Hatinya senang mendengar dirinya disebut
kouwnio (nona). Tentu saja kakek itu merasa tepat menyebut nona kepada
wanita berkerudung ini karena ia jauh lebih tua dan memang Sian Eng
kelihatan masih muda, baik dipandang pada wajah di balik kerudung itu
maupun bentuk tubuh yang langsing padat. Akan tetapi kalau hati Sian
Eng merasa senang dengan sebutan kouwnio, ia mengerutkan kening
mendengar bahwa pemuda ini adalah Ketua Khong-sim Kai-pang, putera Yu
Kang Tianglo yang merupakan seorang di antara lawan golongan sesat
yang dipimpin Bu-tek Ngo-sian. Dia tentu saja tidak mau memusuhi
orang-orang seperti Suling Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada
hubungan dengan Yu Kang Tianglo ataupun puteranya. Maka kalau ia hendak
mengumpulkan jasa untuk mengalahkan empat orang yang lain dari Bu-tek
Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang Tianglo yang menjadi
Ketua Khong-sim Kai-pang ini.
“Hemm, jembel muda ini Ketua
Khong-sim Kai-pang? Begini muda menjadi pangcu? Hendak kulihat sampai
di mana kemampuannya!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan
Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan
jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!
“Bibi....!” Kwi
Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah
Siang-tok-ciang! Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main
karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya
hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya ini
sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah
dalamnya!
Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia
cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang
meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan
melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini,
namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet
pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas
daripada bahaya maut.
Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin
gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum
maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa tersinggung dan
marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah
maju dan kembali tangannya bergerak hendak memukul dengan
Siang-tok-ciang yang lebih hebat. “Bibi, jangan....!”
Akan
tetapi pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju
sambil mengangkat tangannya menangkis. “Plakk!!” dan tubuh gadis itu
bergulingan sampai lima meter jauhnya, di mana ia meloncat bangun,
wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka. Sian Eng sejenak berdiri
seperti patung memandang muridnya, sinar matanya makin dingin,
senyumnya melebar.
“Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”
“Dia....apamu?” tanya Sian Eng, suaranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.
“Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan....”
Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi
Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada
muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api
disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis
pukulannya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki.
Marah dan kecewa apalagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya
memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan. Watak Sian Eng
memang aneh dan ganas, makin ditentang makin ganas dan kini kemarahan
hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi
bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati
Kwi Lan dan membentak.
“Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”
Kwi Lan menjatuhkan dirinya berlutut. Ia seorang pemberani, tidak
takut mati dan tidak takut melawan siapapun juga. Akan tetapi tak
mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia
pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biarpun ia melawan
juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.
“Bibi, kebaikanmu
tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia
menerima hukuman apapun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku
menyesal. Silakan!”
Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh,
keras dan ganas. Akan tetapi melihat betapa Kwi Lan menantang maut
dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan
kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali
memuncak.
“Kau sudah berani menangkis pukulanku, nah,
kaucobalah tangkis ini!” Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah
kepala Kwi Lan yang menunduk.
“Wuuuutttt.... prakkkk....!”
Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk
menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya menolong Kwi Lan yang
terancam bahaya maut. Ia sendiri terhuyung ke belakang. Akan tetapi
pemuda ini sudah melompat maju lagi, membusungkan dada menantang kepada
Sian Eng.
“Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena
dia tidak berdosa. Kalau dia menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe,
maka kesalahannya adalah karena saya dan saya bersedia menerima
hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”
Kam Sian Eng tercengang. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa
pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis pukulannya dan
melindungi Kwi Lan. Ia makin marah, akan tetapi keheranannya melihat
pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun
tangan dan sebaliknya ia membentak.
“Mengapa kau membela dia? Dia apamu?”
Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepalanya. “Memang bukan
apa-apa, Cianpwe. Akan tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa
untuknya.”
Terdengar isak tertahan yang keluar dari kerongkongan
Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil menutupi
mukanya. Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan merangkul pundak
puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.
“Hemm....! Kau.... kau mencinta Kwi Lan?”
Kwi Lan sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang
memandang kepada Siang Ki dan keadaan di situ hening oleh ketegangan
menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh wanita
berkerudung yang menyeramkan itu.
“Benar! Saya mencinta Kwi Lan
dan siap mati untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang.
Kembali Song Goat terisak, kini menangis tersedu-sedu dan meronta dari
rangkulan ayahnya, terus melarikan, diri sambil menangis.
“Goat-ji (Anak Goat)....!” Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari
mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar
mata mengandung penyesalan.
“Bibi, apakah Bibi masih berkeras
hendak membunuh kami? Silakan!” Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan
ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap
tenang.
Kam Sian Eng ragu-ragu, “Hemm, kau mencinta Kwi Lan?
Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?” Orang yang
dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu
saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biarpun tampan namun
berpakaian jembel.
“Cinta....?” Kwi Lan menggeleng kepala. “Aku
tidak tahu...., aku tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki
amat baik kepadaku dan pernah menolongku. Yang sudah jelas, dia adalah
sahabat baikku, Bibi.”
Sinar mata kemarahan di balik kerudung
itu berseri sebentar. Di sudut benaknya, wanita aneh ini tentu saja
tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia
harapkan untuk menjadi isteri puteranya!
“Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suhengmu.”
Biarpun sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal
gurunya, akan tetapi karena sejak kecil menjadi teman bermain, Kwi Lan
gembira mendengar ini. “Di mana adanya Suma-suheng?”
“Di kota
raja Kerajaan Sung. Kau lekaslah menyusul ke sana. Awas kalau kau tidak
berada di sana dalam waktu dua bulan.” Setelah berkata demikian tubuh
wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.
Kwi Lan
dan Siang Kwi saling pandang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya
maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat tegang,
kini menarik napas panjang. “Hebat.... Gurumu hebat.... katanya dan
terasalah kini oleh pemuda itu betapa tubuhnya masih amat lemah,
biarpun rasa nyeri sudah hilang.
“Ah, ke mana perginya Enci Goat
tadi? Siang Ki, kau mengasolah di pondok, biar aku mengejar mereka!”
Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan
mengerahkan ginkang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan
di mana tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian dikejar
ayahnya.
Jauh di dalam hutan, Kwi Lan mendapatkan kakek Song
itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan,
bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!
“Song-lopek! Ada apakah? Mana Enci Goat?”
Kakek itu tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke
batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu
terdapat sehelai saputangan sutera putih yang tertusuk jarum keempat
ujungnya dan saputangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan
ranting pohon dengan tinta getah pohon.
“Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa.”
“Eh, apa artinya semua ini, Lopek? Adakah ini saputangan Enci Goat? Tulisannya?” tanya Kwi Lan yang masih belum mengerti.
Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang. “Kalau aku mau, tentu
saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa
gunanya? Sejak kecil dia berkeras hati. Dan dia tulis sampai jumpa,
berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya....” Muka yang tua itu
kelihatan berduka sekali. “Biarlah aku menunggu..., menunggu dan
mengharap.... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan
kepada Anakku....“
“Akan tetapi.... mengapa Enci Goat melarikan diri? Mengapa kalian berduka?”
Tiba-tiba kakek itu membalikkan tubuh memandangnya dengan tajam
sambil bertanya, suaranya tegas, “Nona apakah.... maaf, apakah kau
mencinta. Yu Siang Ki?”
Kwi Lan melongo dan wajahnya menjadi
merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang
Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar. Ia
hanya terheran mengapa kakek ini bertanya, demikian, lebih heran lagi
karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.
“Aku tidak tahu,
Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia
seorang sahabatku. Akan tetapi cinta....? Ah, aku sendiri tidak tahu
apakah itu cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan.
“Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona. Tapi.... tapi.... ah, apa bedanya? Dia tetap saja mencintamu.”
“Kalau begitu mengapa, Lopek? Mengapa pernyataan cinta Siang Ki kepadaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?”
Kembali kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya.
“Dahulu, ayah pemuda itu adalah sahabat baikku. Yu Kang Tianglo pernah
melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya juga
berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh
antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun-tahun aku membawa
anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu
Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Kami menyusul ke sana
akan tetapi dia sudah pergi. Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat
berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan
bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan malu
rasa hati Goat-ji....”
“Ahhh....!” Kwi Lan berseru kaget.
“Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan
tidak mengenal budi?”
Melihat gadis itu kelihatan marah-marah,
Song Hai memegang tangannya. Jangan kaupersalahkan sahabatmu itu, Nona.
Yu-pangcu sama sekali tidak tahu agaknya akan tali perjodohan yang
ditentukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi,
kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan melakukan hal yang begitu
menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan,
soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksakan.
Selamat berpisah, Nona.” Kakek itu membalikkan diri meninggalkan Kwi
Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia membalik dan
berkata.
“Ayah, tolong kausampaikan Gurumu. Kepadanya aku tadi
tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi
mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kausampaikan
kepada Gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sin-kang,
menghentikan latihan dan tidak mengerahkan tenaga lagi agar nyawanya
dapat tertolong.”
“Heee? Kenapa, Lopek?”
“Dia.... telah
salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa
sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan
merusak bagian dalam tubuhnya. Dan.... dan kau sendiri, Nona, karena kau
masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya
mengingat keadaan Gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan
terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti
dan minta petunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi
petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu.” Setelah berkata demikian,
kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai
lenyap di balik pohon-pohon besar.
Kwi Lan tergesa-gesa kembali
ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya
menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang
Ki tersenyum gembira dan berkata, “Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi
dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”
Pemuda itu menghentikan kata-katanya karena melihat wajah gadis itu
merah sekali dan sinar matanya seakan-akan dua batang pedang
ditodongkan ke ulu hatinya. “Eh.... eh...., ada apakah....?”
Kwi
Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan
kanan diulur ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh
hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur
dari bibir yang merah.
“Kau ini seorang yang sangat boceng-li!”
“Hah....?” Siang Ki memandang bengong, benar-benar kaget, heran dan
tidak mengerti mengapa tiada hujan tiada angin gadis ini marah-marah
seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu
aturan)!
“Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan berhati
kejam!” Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan
keheranan dan kebingungan pemuda itu.
“Aahhh....?”
“Semenjak berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh mendiang Ayahmu!”
“Ehhh....?”
“Enci Goat dan Ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu
mereka telah menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kaulakukan
kepadanya? Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan
bahwa kau mencintaku!”
“Ohhhh....?”
“Huh! Bisanya cuma
ah-eh-oh! Lakilaki macam apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal budi,
malah menghancurkan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat
engkau sahabatku, sekarang juga sudah kutusuk dadamu, kukeluarkan
hatimu!”
“Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini?
Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini? Sungguh
aku tidak mengerti....”
“Benar kau tidak mengerti? Kau tidak
tahu? Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara
kau dan Enci Goat? Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!”
“Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan menyangkal, biarlah aku disambar geledek!”
“Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?”
Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak
tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika
datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti
kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah terasa nyeri
jantungnya.
“Sungguh Kwi Lan. Mendiang Ayahku tidak pernah
bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana kau bisa tahu akan
pertunanganku itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”
Melihat
sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum
tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang
lebih sabar ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Song Hai dan
tentang cerita kakek itu.
“Karena mendiang Ayahmu sendiri yang
menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah
menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak
memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu.”
“Ah...., akan tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku?
Sungguh mati, Kwi Lan. Andaikata aku tahu, betapapun hancur hatiku,
kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta kasihku
kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung sekali,
aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah
tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta,
apakah yang harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan
diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.
Betapapun juga,
di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik
ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini
menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan
tetapi pengertian bahwa pemuda ini adalah “hak milik” Song Goat, tentu
saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan,
lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil
berkata, suaranya halus.
“Siang Ki, ke mana perginya sifat
gagahmu? Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang Ketua
Khong-sim Kai-pang, menjadi begini lemah hanya oleh urusan yang
menyangkut perasaanmu sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan
kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak
mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah
seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama Ayahmu dan
memenuhi janji Ayahmu, juga harus kau jaga masa depan Enci Goat yang
tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain karena
sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan
diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan
menyambung kembali ikatan yang kauputus tanpa kauketahui.”
“Ke mana.... aku harus mencarinya?”
“Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”
“Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?”
“Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”
“Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!”
Kwi Lan memandang pemuda itu dengan kening berkerut karena melihat
seri gembira pada wajah itu. “Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau
daripada lamunanmu yang kosong! Engkau adalah calon suami Enci Goat,
jangan kauharap untuk aku.... aku....”
Siang Ki tersenyum duka
dan menggeleng kepala. “Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan
pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan
perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan
bersamamu, pertama karena dengan demikian kita akan lebih kuat
menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat
berjumpa dengan.... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku
untuk menerangkannya tentang.... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan
kau yang.menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku.”
Kwi
Lan berpikir sebentar lalu mengangguk. “Alasanmu memang kuat. Baiklah,
kita melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku
hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik.”
Kemudian Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya.
“Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikatan budi).”
“Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat.”
Tanpa menjawab Siang Ki lalu meloncat bangun dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan hutan.
***
Setelah menuliskan pesan pada saputangan putih yang ia pasang di
batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya
serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya
membawanya merantau sampai bertahun-tahun, dan betapa hatinya berdebar
tegang penuh perasaan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat
pemuda yang dijodohkan dengannya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya, dengan jalan menempuh
bahaya maut, berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang
Thian-liongpang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa
calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih
yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini. Akan
tetapi, alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang
yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan
ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada, Kwi Lan! Ia
merasa dikhianati merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali. Sudah
banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya
yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo,
sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan
mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun
ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh
dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang
Tianglo!
Song Goat berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang
pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar.
Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah
hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin
melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap. Betapa pun
nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh
diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga
perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli
pengobatan berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus
memelihara tubuh dan mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut
sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu daripada kewajiban hidup.
Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.
Tidak, dia tidak mau membunuh diri dan melanjutkan perjalanan dalam
gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan
usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun
sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu mencari tempat di
antara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya,
untuk tempat berlindung melewatkan malam.
Tempat di lereng
gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu
yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan guha-guha batu. Mula-mula sebelum
datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa di sekitar
tempat itu ada manusia lain. Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap,
dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot keluar
dari guha-guha batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot
keluar di antara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu
adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin. Ia
merasa, heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat
yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya
dan membuat ia bangkit dan perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap di
antara batu-batu besar menghampiri guha itu. Dari celah-celah batu di
luar guha yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan....
otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk mencegah suara
keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah
saking jengah. Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak
melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya
tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua
orang di dalam guha itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka
di dalam yang amat hebat. Dua orang sedang duduk bersila, saling
berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata
meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia
malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka
itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!
Song
Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biarpun belum
pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua
orang di dalam guha, namun gadis itu pernah mendengar tentang
pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh
orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini
dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya
dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan. Akan tetapi dalam
keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia
melihatnya! Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya.
Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus
memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila
itu.
Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api
unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang
telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah
yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang
mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni! Ah, pantas saja mereka melakukan
cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan
ini pun tentu seorang anggauta kaum sesat. Berpikir demikian, Song Goat
menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan
niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar
memasuki guha itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini
adalah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu! Hemmm,
kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya
dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang
harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan
celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi
tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apalagi ditambah
hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat
pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.
Akan
tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah
hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam guha. Hal yang
sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah
merah itu mencabut golok dan pedang masing-masing, lalu serempak
menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan
mata! Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat
batang senjata tajam itu melayang ke arah Si Pemuda. Juga kini baru
tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah
berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang
bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya,
baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan
secara hebat sekali. Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan
kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa Si Wanita itulah
yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati Si
Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak berdaya
sama sekali.
Song Goat melihat betapa wanita cantik murid
Siang-mou Sin-ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya
yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan
secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda
itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio
jubah merah yang tidak memperhatikannya. Dari tangan kanan itu meluncur
hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang
hwesio jubah merah dan.... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik
mengerikan, senjata mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang
dengan mata terbelalak dan tewas seketika!
Akan tetapi tubuh
wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil
kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini
menjadi menghitam napasnya terengah-engah. Anehnya tubuh Si Pemuda yang
tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke
pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.
“Celaka....!” seru Song Goat dalam hatinya. Melihat wanita cantik itu
menolong Si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri, timbul rasa
simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat
sekali, sebaliknya Si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan
masih ada harapan tertolong nyawanya.
Setelah kedua telapak
tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, Si Pemuda tubuhnya
bergoyang-goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu
telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang
hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan
menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala
itu.
“Leng In.... ah, Leng In....” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.
Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang
membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya
bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali
dengan lemas, bibirnya bergerak.
“....aku puas.... dapat
mengakhiri hidup dalam keadaan begini.... aku bahagia.... dapat
menolongmu, kekasihku.... “ Po Leng In masih berusaha menggerakkan
tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas,
tubuhnya tiba-tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.
“Leng In !” Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada
rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke
tenggorokannya. Melihat ini, Song Goat terharu.
Siapa pun
pemuda itu, betapapun ia menjadi sekutu murid Siang-mou Sin-ni,
menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun
melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya.
Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan
ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang
dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak,
namun ditahan-tahannya.
Tiba-tiba tubuh pemuda yang telanjang
bulat itu mencelat keluar dari guha. Terbuktilah kelihaian pemuda itu.
Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu
dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu-tahu sudah
berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak
menyerang. Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah
ketika melihat bahwa yang mengintai adalah seorang gadis cantik bukan
seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan
dan kedukaan itu tiba-tiba menyeringai menahan sakit tubuhnya terguling
dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.
Keinginan pertama
yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat-cepat pergi meninggalkan
tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya
semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita
sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak
merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan
perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam
guha. Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya
untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah
tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu.
Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi
mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah
merah. Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada
daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan
membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya! Ketika
Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa
memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata
mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak
ada cahayanya, mata orang-orang mati.
Ia menghela napas panjang.
Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam guha yang menjadi
kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna
putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar
dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu.
Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas
sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih
menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa
pemuda ini pun masih terancam bahaya maut. Sebagai puteri tunggal Yok_
san_ jin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh
dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apabila menghadapi
penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah
hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit
atau racun itu! Ia lalu mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya
dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu
sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah_ olah
tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu.
Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan
pergilah Song Goat meninggalkan guha yang mengerikan tadi.
Ia
harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu
kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia
membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat. Mulailah
Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas
mencari_ cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya
penerangan dari sekelompok rumah_ rumah, tentu sebuah dusun.
Dipercepatnya jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah
dusun yang cukup besar. Ia mencari_ cari kemudian mengetuk pintu sebuah
kedai makan di sudut dusun. Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan
seorang laki_ laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan
selalu bangun pagi_ pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang
dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah
datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki_ laki yang
pingsan.
_ ....ehh...., Nona siapakah....? Mau apa....? Dan.... dia ini....?
_ Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu.
_ Tapi.... tapi.... mana bisa....?
_ Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku.
Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat
menghasilkan sebanyak ini dalam sehari? Song Goat mengeluarkan sebuah
gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. _ Kau terimalah gelang itu,
untuk sewa kedai sehari.
Tukang kedai itu dengan bingung dan
ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang
sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja, kalamenjingnya
naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila_ gila kepada
seorang janda muda di dusun itu akan tetapi belum juga berhasil
memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi
ia harus hati_ hati.
_ Orang ini.... bagaimana kalau mati di tempatku?
_ Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga.
Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah
ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?
_ Haaah?" Si
Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera
memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu
depan.
Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah
tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat.
Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu
adalah kedai makanan. Hatinya puas.
_ Paman, harap kautolong isi
panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari
beberapa daun obat di hutan, kata Song Goat sambil menurunkan dan
merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat
di ruangan belakang.
Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya,
menoleh ke kanan kiri. Ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam
sebuah kamar yang tidak begitu bersih, ia terheran. Lebih_ lebih lagi
keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi
berdiri di dekatnya dan dengan gerakan dan tangan berkulit halus menahan
dadanya, mencegahnya untuk bangkit.
_ Kau keracunan hebat. Aku
berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau
mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja di
sini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun
obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai
yang sibuk di dapur. Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan
kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat
tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam
menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih
murid Siang-mou Sin_ ni, tak perlu ia bersikap halus pikirnya.
Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum
ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia
sudah terlampau, masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat
wanita-wanita cantik seperti ini!
_ Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?
Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki_
laki, apalagi kalau laki_ laki itu setampan dan segagah ini, dengan
kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali
ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia
memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak
menjawab hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku
dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam
tekoan (tempat teh) itu. Kemudian, juga masih cemberut tanpa bicara,
ia menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa
dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.
Pemuda itu
terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang
kagum. _ Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah
siapa dan entah dewi dari kahyangan mana....
_ Kau diamlah.
Simpan kelakarmu itu untuk orang_ orang segolonganmu! Aku Song Goat....
hemm, aku puteri Song Yok_ san_ jin. Engkau dalam keadaan setengah
hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi
mencari beberapa daun obat. Pada saat itu, Si Gendut pemilik kedai
muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya, _ Paman, aku
pergi sekarang mencari obat. Kaugodok obat bubuk ini dengan air setekoan
penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai
habis. Setelah berkata demikian dengan sikap marah tanpa menoleh lagi
sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya
lenyap menerobos lubang jendela. Pemilik kedai memandang melongo sampai
lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa
ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran
karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran
melihat betapa gadis cantik tadi _ terbang begitu saja keluar jendela
seperti seekor burung!
_ Kau kenapa, Paman Gedut? pemuda itu menegurnya sambil tertawa.
_ Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan
ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu
menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja
melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh
namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau,
orang muda, kau benar_ benar sakit kah?
Pemuda itu tertawa dan
memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa
tertawa dan bersikap setenang itu. _ Paman, dia itu tadi seorang
bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar
mendapat berkahnya!
Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya,
menggeleng_ geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa
tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah Si Dewi
tadi. Setelah Si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk
bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk
menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar
makin luas. Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok san_ jin
si ahli obat, dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli
obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih_
lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang
gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In. Teringat akan Po
Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang
harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik_ baik dan sudah terlalu
banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng
In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa
kepada murid Siang_ mou Sin_ ni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak
dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan
batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.
Setelah kamar
belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui
jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu
melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu
kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari,
tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat.
Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersamadhi dengan cara yang
bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai akan
tetapi cara bersiulian (bersamadhi) seperti itu benar_ benar di luar
dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu
berkata.
_ Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?
Song Goat menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang
gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya.
Lucu akan tetapi manis! _ Entahlah, akan kucoba menyembuhkannya, kalau
dapat. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu.
Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam
perutmu?
_ Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.
_ Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?
_ Tidak.
_ Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu
akan menimbulkan rasa gatal. Hemm, mudah-mudahan saja usahaku
menolongmu berhasil.
_ Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?
Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan Si Gadis
menjadi marah. _ Huh, apalagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri
ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha
menyembuhkan siapa saja. Ia berhenti dan cepat menyambung, _ Tentu saja
kalau si sakit suka diobati!
Pemuda itu tersenyum. Gadis ini
sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia
berpura_ pura galak. _ Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan
keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku
adalah luka dalam akibat pukulan Tok_ hiat Hoat_ lek dari Siang mou
Sin_ ni. Lambungku kena pukul Siang-mou Sin_ ni.
Song Goat
tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda
ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siang_ mou Sin_ ni,
terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini
betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak
buah Bouw Lek Couwsu!
_ Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sin_ ni?
_ Mengapa? Karena aku musuhnya.
_ Musuh....? Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. _ Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?
Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk
bersila. _ Nona Song, maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang
kautolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya berusaha
menolong cucu_ cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan
Siang_ mou Sin_ ni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena
pukulan Tok_ hiat Hoat_ lek.
_ Hemmm...., Song Goat masih ragu-ragu. _ Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu ....
_ Ah, kau maksudkan Po Leng In?
Kiang Liong mengerutkan keningnya. Dia memang murid Siang-mou Sin-ni
akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, bahkan.... ia
telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut
dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang
berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali,
apakah kiranya masih dapat diobati?
Agak lega hati Song Goat
mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat
bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po
Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru
sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia daripada aku, pikirnya duka. orang
sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela
dengan pengorbanan nyawa!
“Akan kucoba dan agaknya sebagian
besar tergantung daripada sinkang di tubuhmu sendiri. Obat-obatku ini
harus dicampur dengan air panas dan kau harus merendam diri dalam air
panas itu, lebih panas lebih baik kiranya. Akan tetapi, kalau sifat
sinkangmu berlawanan, mungkin akan berbahaya. Bolehkah aku memgetahui,
siapa gurumu agar aku dapat mengira-ngira tentang hawa sakti di
tubuhmu?”
“Kalau bukan engkau yang tanya, Nona, aku segan
mengaku. Akan tetapi karena kau penolongku dan keterangan ini mungkin
berguna, ketahuilah bahwa Suhu adalah Kim-siauw-eng....”
“Suling
Emas....?” Song Goat memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia
memandang pakaian yang membungkus tubuh Kiang Liong. “Dan kau.... jadi
kau adalah.... Kiang-kongcu yang terkenal itu?”
Kini wajah Kiang
Liong yang menjadi merah, “Ah, kau berlebihan, Nona. Nona, ayahmu
Song-cianpwe barulah nama yang terkenal. Aku Kiang Liong hanya seorang
yang.... pada saat ini menggantungkan nyawa kepadamu.”
Mau tak
mau Song Goat tersenyum. Jantungnya berdebar aneh. Kiranya pemuda yang
disangkanya pemuda sesat, adalah Kiang-kongcu yang menjadi buah bibir
dunia persilatan, murid tunggal pendekar sakti Suling Emas! Bukan hanya
dunia persilatan yang membicarakan sepak terjang pemuda perkasa ini,
juga gadis-gadis banyak yang menyebut-menyebut namanya dengan wajah
berseri-seri dan senyum dikulum.
“Kalau begitu aku boleh dua kali menarik napas lega.”
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang wataknya romantis. Pandai sekali
ia bergaul dengan wanita! Agaknya watak ini ia dapatkan dari Ibunya!
Kini melihat betapa nona penolongnya sudah tidak kelihatan galak dan
ketus, ia tersenyum dan mendapatkan kembali kelincahannya.
“Wah,
penarikan napas lega seorang gadis sehebat engkau tentu ada alasannya
yang amat kuat. Bolehkah aku mengetahui alasannya, Nona Song?”
Kini gadis itupun tersenyum. Berhadapan dengan Kiang Liong yang pandai
bicara dan jenaka, timbul pula kegembiraannya. “Tentu saja boleh,
memang bukan hal yang perlu dirahasiakan. Pertama, dengan kepandaianmu
tentu saja engkau akan dapat mengatasi cara pengobatan ini dan tentu
hawa beracun yang mengeram di tubuhmu dapat diusir dalam waktu singkat.
Ke dua, aku tidak perlu khawatir lagi karena ternyata kau bukan seorang
pemuda sesat seperti yang tadinya kusangka.”
“Aduh, hal yang
pertama itu membuat aku menjadi besar kepala karena kaupuji-puji, akan
tetapi hal kedua membuat aku amat tidak enak hati, Nona. Kenapa kau
mengira aku seorang sesat?”
Merah wajah Song Goat teringat akan
keadaan pemuda ini dan Po Leng In yang berhadapan dalam keadaan
telanjang bulat. “Karena karena.... kau dan wanita murid Siang-mou
Sin-ni itu....“
Kiang Liong menepuk kepalanya. “Benar juga!
Tentu saja kau akan menganggap begitu. Memang Leng In yang berusaha
menyembuhkan aku secara itu. Dia adalah murid Siang-mou Sin-ni dan aku
terluka oleh pukulan gurunya, maka ia berusaha menyembuhkan aku dengan
cara gurunya pula.”
Pada saat itu, Si Gendut, pemilik kedai muncul dan seperti lagak seorang perajurit ia berkata, “Perapian dan air sudah siap!”
Song Goat mengangguk dan ketika Si Gendut itu pergi lagi, ia berkata
kepada Kiang Liong. “Kiang-kongcu, maafkan aku. Cara pengobatan Ayahku
mengharuskan engkau berendam di air sepanas-panasnya dicampur daun-daun
obat ini. Silakan kau masuk dulu ke dapur membuka.... membuka pakaian
dan merendamkan diri di daiam air di atas perapian. Nanti aku menyusulmu
setelah kau siap. Suruh saja Paman Gendut itu memberi kabar kepadaku.”
Setelah Kiang Liong keluar dari kamar itu pergi ke dapur. Song Goat
lalu memasukkan daun-daun obat ke dalam tekoan (cerek teh). Dari situ ia
dapat mendengar suara Kiang Liong yang halus dan tenang diseling seruan
heran pemilik kedai. Song Goat tersenyum geli. Tentu saja bagi pemilik
kedai yang belum melihat cara pengobatan seperti ini, apa yang akan
mereka lakukan ini amat mengejutkan dan mengherankan. Akan tetapi ia
yakin betul bahwa hanya inilah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
Kiang Liong daripada pengaruh hawa beracun yang mengotori darah itu.
Menurut ajaran ayahnya, semua pukulan yang mengandung hawa beracun dan
selalu menjadi sumber kelihaian kaum sesat, jika pukulan itu meracuni
darah, maka tentu didasari hawa pukulan yang bersifat dingin. Tok-hiat
Hoat-lek, pukulan Siang-mou Sin-ni yang melukai Kiang Liong ini pun
seperti dinyatakan namanya, meracuni darah dan betapa pun hebatnya,
jelas didasari pukulan dingin karena hanya hawa dingin saja yang dapat
meracuni darah.
Terdengar langkah kaki berat dan pemilik kedai
sudah muncul pula di pintu, matanya malotot lebar dan wajahnya merah
sekali, “Siocia (Nona), apakah yang akan Nona lakukan? Mau.... mau....
rebus dia....?”
“Kau diam dan jangan mencampuri urusan kami.”
Song Goat menegur kesal. Percuma saja menerangkan orang yang sama sekali
tidak mengerti, “Apakah Kongcu (Tuan Muda) sudah siap?”
“Sudah.... sudah...., dan api sudah saya nyalakan.” Si Gendut itu
menggerakkan pundak menyatakan rasa ngerinya. Tanpa banyak cakap lagi
Song Goat lalu membawa tekoan memasuki dapur diikuti oleh Si Gendut
yang mengeluarkan suara seperti ayam biang memanggil anaknya dengan
bibirnya yang tebal memberengut.
Kiang Liong sudah duduk bersila
di dalam tahang penuh air itu, tergantung di atas perapian yang mulai
menyala apinya. Air dalam tahang hampir penuh, meredam pemuda tubuh
pemuda yang duduk bersila itu sampai atas pinggang. Untuk menjaga agar
gadis penolongnya tidak merasa jengah, ia sengaja duduk membelakangi
meja, menghadap ke jendela dapur. Topi pelajar masih menutupi
kepalanya, akan tetapi bagian tubuh lain semua telanjang bulat. Tubuh
bagian atas tampak berkulit putih bersih dan berisi otot-otot kekar.
“Kiang-kongcu, kalau terlalu panas harap katakan agar aku dapat
mengecilkan apinya atau memadamkan sama sekali.” kata gadis itu sambil
mengisi tekoan dengan air dan menaruhnya pula di atas api.
Kiang Liong hanya mengangguk dan berkata lirih, “Sama sekali tidak panas, boleh kaubesarkan apinya.”
Dengan tongkat pengorek api, Song Goat membuka-buka arang dan kayu di
perapian dan makin besarlah nyala api. Tak lama kemudian tekoan yang
isinya daun obat dan sedikit air itu mendidih, maka dituangkanlah isi
tekoan ke dalam tahang air. Api makin membesar dan hawa di dapur mulai
panas, air di dalam tahang pun makin lama makin mendekati mendidih.
Makin lama sepasang mata tukang kedai makin melebar pula, kemudian ia
tak dapat menahan perasaannya lagi dan berseru, “Nona, sungguh mati!
Kalau Nona hendak merebus daging manusia, saya tidak mau ikut campur!
Saya bukan tukang masak orang, bukan pembunuh!” Ia hampir
berteriak-teriak saking tegang dan ngerinya.
Air di tahang sudah
mulai mendidih, uap mengepul dan seluruh tubuh Kiang Liong dan dengan
hati penuh ketegangan dan kegirangan Song Goat melihat betapa air di
tahang itu sudah mulai berubah warnanya, tidak sebening tadi. Maka ia
menjadi gemas sekali melihat sikap Si Gendut itu dan mendengar
teriakannya.
“Diam dan keluarlah dari dapur ini! Kalau tidak, kaupun akan kurebus hidup-hidup!”
Muka Si Gendut menjadi pucat, matanya terbelalak dan bagaikan seekor
anjing digebuk ia lalu berlari keluar dari dapur itu, kedua tangan
memegangi kepalanya! Song Goat tersenyum geli lalu berkata halus dari
belakang punggung Kiang Liong,
“Kiang-kongcu, agaknya berhasil usaha kita....”
Kian Liong mengangguk, “Syukurlah, dan makin besar terima kasihku kepadamu, Nona Song”
“Tak perlu berterima kasih kepadaku, Kongcu. Lebih tepat kau berterima
kasih kepada gurumu yang telah menurunkan ilmu yang hebat kepadamu
sehingga sinkangmu begini kuat menahan panasnya air mendidih. Apakah
tidak terlalu panas?”
“Tidak, boleh kau tambah apinya agar lebih panas. Bukankah kau bilang tadi lebih panas lebih baik?”
“Betul, makin panas makin cepat hawa beracun dibersihkan.”
“Kalau begitu, lekas besarkan apinya, Nona tidak enak terlalu lama begini dianggap babi rebus oleh tukang kedai!”
Song Goat tersenyum dan dari belakang ia memandang kagum. Bukan main!
Dia sendiri biarpun akan dapat bertahan dalam air mendidih, namun harus
ia kerahkan seluruh lwee-kangnya, menggunakan hawa sin-kang di tubuh
melawan panas dan untuk ini tentu saja ia tidak sanggup untuk bicara.
Akan tetapi pemuda ini tidak hanya menyuruh besarkan api, malah masih
dapat enak-enak bicara dan berkelakar! Pemuda hebat!
Sementara
itu, pemilik kedai yang gendut dan merasa amat gelisah itu tak dapat
menahan hatinya lagi dan bahkan tidak berani berada di dalamkedainya. Ia
keluar dan sebentar saja banyak kenalan dan langganannya datang
bertanya. Saking tak dapat menahan kegelisahannya, ia menceritakan
kejadian aneh di dalam dapur kedainya dan ramailah mereka
bercakap-cakap dan berbisik-bisik di luar kedai. Ibu-ibu yang mendengar
bahwa ada orang merebus daging manusia, menjadi pucat dan berlarilah
mereka ketakutan mencari anak-anak masing-masing, melarang mereka
bermain di luar rumah dan menyembunyikan mereka ke dalam kamar. Setan
pemakan daging manusia tentu lebih suka akan anak-anak yang dagingnya
masih lunak!
“Tentu dia perempuan siluman rase!” bisik seorang kakek sambil mengangguk-anggukkan kepala penuh keyakinan.
“Tapi.... Kongcu itu menurut saja direbus.” kata Si Gendut pemilik kedai.
“Uuuhh, kau tahu apa? Siluman rase tentu saja pandai ilmu hitam. Sekali
senyum dan sekali kerling, laki-laki akan terpikat dan disuruh apapun
juga takkan membantah.” kata pula Si Kakek yang tahu segala.
“Memang dia cantik sekali, cantik jelita dan muda dan.... galak.”
“Wah, tak salah lagi. Tentu siluman rase, pandai memikat hati pria, suka makan daging manusia. Ihhh....!” kata Si Kakek.
“Ihhh....!” kata yang lain.
“Celaka, dia harus dibinasakan. Mari kita serbu, jangan sampai dia
lolos dan merebus anak-anak kita!” seru seorang laki-laki tinggi besar
yang ingat akan dua orang anaknya yang gemuk-gemuk.
“Betul, hayo serbu!”
“Cari senjata!”
“Panggil Losuhu di kelenteng, minta jimat!”
Ramailah kini para penduduk dusun itu dan sebentar saja mereka semua,
termasuk seorang hwesio tua kurus berpakaian butut, berdiri di depan
kedai dengan segala macam senjata di tangan. Ada yang membawa golok
penyembelih babi, ada yang membawa palang pintu, cangkul, linggis dan
sebagainya. Bahkan beberapa orang wanita yang cukup pemberani, karena
mendengar bahwa setan itu setan betina, ikut pula datang membawa pisau
dapur atau besi pengorek api!
Mereka bersemangat untuk menangkap
siluman, akan tetapi juga ngeri dan takut karena mendengar penuturan
tukang kedai betapa siluman rase itu pandai terbang menghilang!
Dipimpin oleh tukang kedai yang diikuti kakek yang mengenal siluman dan
hwesio yang dianggap suci serta ditakuti siluman, rombongan penduduk
dusun ini memasuki kedai berindap-indap dan tak berani mengeluarkan
suara. Bahkan yang nyalinya kecil dan memilih tempat di ujung belakang
hampir tak berani bernapas.
Di luar pintu dapur, hwesio tua
sudah mulai kemak-kemik membaca mantera dan doa pengusir setan.
Mendengar suara ini semua orang meremang bulu tengkuknya, termasuk Si
Kakek yang mengenal siluman. Kakek ini melirik ke belakang dan melihat
betapa semua mata ditujukan kepadanya, ia menahan napas dan menerobos
maju ke pintu sambil membentak.
“Siluman jahat! Kami sudah
mengenalmu, kau siluman rase, hayo menyerah kalau tak ingin kami
bunuh!” Akan tetapi sambil maju ia menarik lengan Si Hwesio karena kakek
ini mempunyai keyakinan bahwa selama ia berdampingan dengan pendeta
suci, siluman itu tidak akan mampu mengganggunya. Mereka kini masuk ke
dalam dapur dan.... semua mata melongo karena di dalam dapur itu tidak
tampak seorang pun manusia!
“Eh, mana dia....?” tanya suara
meragu. Si Tukang Kedai melihat bahaya dalam suara ini, bahaya bahwa
semua orang nanti akan mengira dia membohong. Maka ia lalu lari ke
jendela, memandang keluar, kemudian kembali menghampiri tahang isi air
yang masih mendidih!
“Lihat....!” Suaranya gemetar, telunjuknya menggigil menuding ke arah air di dalam tahang. “Lihat air ini....!”
Semua orang memandang. Air itu kehitaman dan mendidih, akan tetapi
tidak ada daging manusia seperti yang tadi diceritakan Si Gendut tukang
kedai. Betapapun juga, bukti bahwa benar ada tahang air direbus dengan
airnya menghitam, membuat mereka masih percaya bahwa di dalam dapur ini
tadi ada siluman rase.
“Tentu ia menghilang, membawa korbannya yang sudah matang untuk dimakan dalam gulai” kata Si Tukang Kedai.
“Omitohud....! Memang ada hawa busuk ditinggalkan di kamar ini....,
pinceng harus membuat sembahyangan malam ini, harap saudara sekalian
sudi mengumpulkan perbekalan dan keperluan sembahyang....“ kata Si
Hwesio. Terdengar semua orang mengeluarkan keluhan perlahan karena
ucapan hwesio ini berarti bahwa mereka harus mengeluarkan sebagian
milik mereka yang tidak banyak, menambah beban hidup mereka yang sudah
berat. Akan tetapi mereka tidak berani membantah pada saat itu karena
ketika mereka mencium-cium dengan hidung, memang tercium bau yang tidak
enak, tanda bahwa ucapan hwesio itu benar. Dan keluarlah mereka
perlahan-lahan, termasuk dia yang cepat-cepat menyelinap pergi agar
tidak ketahuan rahasianya bahwa saking takutnya, ia sampai menjadi mulas
secara mendadak dan tak tertahankan lagi mencret di dalam celana.
Dialah pencipta bau siluman!
***
Siang-mou Sin-ni
berhasil melarikan diri ketika orang-orang Beng-kauw menyerbu markas
Bouw Lek Couwsu di Kao-likung-san. Wanita ini memang licik dan cerdik.
Dengan meminjam tangan Bouw Lek Couwsu dan orang Hsi-hsia, ia berhasil
membinasakan Ketua Beng-kauw dan juga Kam Bu Sin bersama isterinya dan
banyak tokoh Beng-kauw lainnya. Kemudian, melihat keadaan bahaya, mana
ia mau bersetia kawan kepada Bouw Lek Couwsu si hwesio tua itu? Apalagi
ia ingin sekali membawa lari Han Ki untuk menyempurnakan ilmunya yang
baru, menyedot hawa murni dan darah boca ini. Maka tanpa mempedulikan
nasib sahabatnya itu, ia mendahului lari sambil memondong tubuh Han Ki,
melarikan diri melalui belakang gunung.
Sebagai seorang yang
berpengalaman,ia maklum bahwa Kauw Bian Cinjin dan orang-orang Beng-kauw
lainnya tentu akan mencarinya dalam usaha mereka merampas kembali Han
Ki cucu Ketua Beng-kauw, maka ia tidak mau terhenti dan terus melakukan
perjalanan melalui Sungai Yang-ce-kiang dan sampai di kaki Gunung
Ta-liang-san ia mendarat lalu membawa anak itu ke Puncak Ta-liang-san di
mana ia membuat pondok bambu dalam sebuah hutan penuh bunga. Tempat ini
sunyi dan indah, membuat ia merasa aman. Tak mungkin ada orang
Beng-kauw yang akan menduga bahwa dia bersembunyi di Puncak
Ta-liang-san. Kalau ia sudah menyempurnakan Ilmu Hun-beng-to-hoat dengan
mengorbankan nyawa Han Ki baru ia akan turun gunung dan hendak ia lihat
siapa orangnya yang akan mampu melawannya lagi!
Han Ki biarpun
masih kecil maklum akan bahaya maut yang mengancam dirinya. Akan tetapi
anak ini tidak pernah menangis dan selalu membangkang tidak sudi
menurut perintah Siang-mou Sin-ni. Disuruh makan ia tidak mau, diajak
bicara ia memaki-maki dan setiap kali ia dibebaskan dari totokan, ia
lalu mengamuk dan berusaha melawan mati-matian!
Siang-mou Sin-ni adalah seorang yang
semenjak
muda berkecimpung dalam dunia persilatan. Menyaksikan sikap anak kecil
ini, ia merasa amat kagum di dalam hatinya. Kagum akan ketabahan yang
luar biasa, akan kekerasan hati dan akan daya tahan anak ini. Akan
tetapi di samping rasa kagumnya, ia pun merasa jengkel.
“Kau
makanlah, apa kau ingin mati kelaparan?” bentaknya sambil menyodorkan
makanan yang sudah ia campur obat karena selama beberapa pekan dalam
perjalanan, tubuh anak ini menjadi agak kurus.
“Tidak sudi! Kaumakanlah sendiri, iblis betina tak tahu malu!” Han Ki menjawab sambil memandang dengan mata melotot.
Sesudah begitu, mau tak mau, terpaksa Siang-mou Sin-ni memaksa anak
itu menelan makanan dengan menotok leher membuat Han Ki kehilangan
tenaga sehingga mudah saja mulutnya dibuka dan makanan dijejalkan masuk
melalui kerongkongannya. Anak ini hanya bisa memandang penuh
kemarahan.
Pagi hari itu Siang-mou Sin-ni tampak gembira di
dalam pondok. Han Ki rebah miring di atas dipan. Sinar matahari pagi
menyorot masuk melalui jendela pondok yang terbuka lebar. Pagi yang
cerah, akan tetapi bukan ini yang membuat wajah Siang-mou Sin-ni
berseri. Ia gembira melihat Han Ki sekarang tampak sehat dan segar dan
pagi ini ia mengambil keputusan untuk memulai dengan I-kin-hoan-jwe,
menyedot darah dan sumsum Han Ki untuk penyempurnaan ilmunya yang
mujijat, yaitu Ilmu Hun-beng-to-hoat!
Sambil bersenandung kecil
seperti seorang dara remaja yang bahagia, iblis betina ini
mempersiapkan jarumnya yang panjang, kemudian dengan sinar mata penuh
nafsu binatang, ia mulai menanggalkan pakaian Han Ki. Tubuh anak ini
sungguh mengagumkan, kulitnya putih bersih dan di bawah kulit, penuh
daging yang gempal dan padat. Warna kemerahan membuktikan akan
kesehatan yang amat baik sehingga Siang-mou Sin-ni menjadi ngilar
dibuatnya. Biarpun matanya melotot penuh perlawanan, namun Han Ki yang
ditotok itu tidak mampu bergerak, bahkan tidak mampu mengeluarkan
suara. Ada juga rasa takut dan ngeri menyerang hati anak ini, namun
sungguh luar biasa, anak ini dapat mengatasinya dan sama sekali tidak
tampak sinar takut di wajahnya!
Han Ki rebah telentang. Matanya
bersinar-sinar penuh api menatap wajah wanita itu. Kembali Siang-mou
Sin-ni menjadi amat kagum. Anak ini memang hebat bukan main, memiliki
ketabahan yang luar biasa. Teringatlah ia akan ayah anak ini, Kam Bu
Sin, yang juga amat tabah dan betapapun dahulu ia pernah menyiksanya,
Kam Bu Sin sama sekali tidak pernah mau menyerah tidak mau menurutkan
keinginannya. Bahkan ia dahulu menggantungkan tubuh Kam Bu Sin di dahan
pohon, membiarkan tubuhnya dikeroyok dan digigiti semut, namun tetap
saja laki-laki gagah ini tidak mau menyerah (baca ceritaCINTA BERNODA
DARAH) sehingga akhirnya ia terpaksa menggunakan obat bius dan
perangsang yang merampas ingatan Kam Bu Sin. Dan sekarang, anak ini
memperlihatkan ketabahan dan sikap pantang menyerah yang hebatnya
melebihi ayahnya!”
Teringat akan ayah anak ini, makin menggelora
nafsu iblis di tubuh Siang-mou Sin-ni. Pandang matanya yang penuh
nafsu itu menjadi haus dan perlahan ia membalikkan tubuh Han Ki
menelungkup di atas dipan. Jari-jari tangan kirinya yang panjang-panjang
meraba punggung di bawah tengkuk, kemudian tangan kanannya menusukkan
jarum panjang ke dalam punggung Han Ki.
Han Ki yang tak dapat
bergerak itu dapat merasa nyeri dan perih di punggungnya, namun ketika
ia mengerahkan tenaga untuk melawan, tenaganya tak dapat disalurkan.
Anak ini lalu meramkan mata dan mengumpulkan semua semangat, berusaha
mengerahkan tenaga yang berkumpul di dalam pusarnya. Ia meraba betapa di
dalam pusarnya terjadi pertentangan antara panas dan dingin yang amat
hebat, demikian hebatnya rasa nyeri dalam pusar, kadang-kadang seperti
terbakar dan kadang-kadang seperti membeku sehingga ia tidak merasakan
lagi tusukan pada punggungnya.
Siang-mou Sin-ni sudah duduk
bersila di dekat Han Ki. Jarum sudah ia tusukkan sampai menembus tulang
punggung. Wajahnya berkilat saking girang dan dikuasai nafsu. Ia lalu
menahan napas dan menekan gelora nafsunya, menenteramkan hati dan
mengendorkan semua tenaga. Dalam melakukan I-kin-hoan-jwe ini ia harus
“mengosongkan” diri dan karena inilah maka ia sengaja menjejalkan obat
yang sifatnya panas yang sesuai dengan keadaan dirinya sewaktu kosong
sehingga tidak ada bahaya terhadap tubuhnya bagian dalam yang kosong dan
tidak terlindung hawa sakti. Darah dan sum-sum yang akan disedotnya
itulah yang akan menjadi “bahan bakar” bagi penyempurnaan ilmunya
Hun-beng-to-hoat yang sedang dilatihnya, dan kalau ia berhasil, ia akan
mampu melawan orang sakti manapun juga di dunia ini!
Setelah
keadaan dirinya sudah kosong benar, Siang-mou Sin-ni lalu menundukkan
tubuhnya ke depan, mulutnya menggigit ujung jarum yang menancap di
punggung Han Ki lalu menghisap!
Hawa di dalam pusar Han Ki
bergulung-gulung antara hawa panas dan dingin. Hawa panas luar biasa
adalah akibat obat-obat Siang-mou Sin-ni yang di jejalkan kepadanya,
sedangkan hawa dingin adalah akibat obat minuman Bouw Lek Couwsu yang
diminumnya di dalam kamar Bouw Lek Couwsu. Sejak kecil anak ini memang
sudah digembleng ayah bundanya dan telah memiliki dasar penggunaan hawa
sakti di dalam tubuh. Biarpun ia belum dapat memelihara dan menghimpun
hawa sakti, namun ia tahu bagaimana cara menghimpunnya. Kini merasa
betapa pusarnya bergerak-gerak dan di dalamnya bergulung-gulung hawa
yang amat kuat, anak ini tidak mempedulikan lagi punggungnya dan tidak
mempedulikan apa yang akan terjadi kepadanya, melainkan mencurahkan
seluruh perhatiannya ke pusar dan berusaha mengerahkan tenaga untuk
menguasai hawa yang bergulung-gulung itu.
Bagaikan seorang
penghisap madat, Siang-mou Sin-ni menghisap jarum panjang itu. Terasa
segar dan manis darah yang memasuki mulutnya. Ia menyedot makin kuat
dan.... jeritan ngeri keluar dari dadanya, wajahnya menjadi pucat dan
matanya terbelalak. Ia begitu kaget tanpa disadari lagi ia sudah menarik
mukanya ke belakang sehingga jarum yang digigit pada ujungnya itu ikut
terarik, keluar dari punggung Han Ki.
Anak itu sendiri
tiba-tiba dapat bergerak meloncat bangun, mukanya merah seperti
dibakar, akan tetapi tubuh bagian bawah menggigil kedinginan. Seperti
seorang yang mabok Han Ki memandang ke depan, melihat betapa Siang-mou
Sin-ni duduk bersila dengan mata meram, muka pucat, tubuh
bergoyang-goyang dan napas terengah-engah. Ketika melihat jarum panjang
menggeletak di atas dipan, depan kaki Siang-mou Sin-ni yang bersila. Han
Ki menjadi kalap. Ia menyambar jarum panjang itu lalu dengan gerakan
penuh kebencian ia menusukkan jarum itu ke dada Siang-mou Sin-ni.
“Blessss....!” Jarum panjang itu amblas menembus dada langsung menusuk dan menembus jantung!
Siang-mou Sin-ni terbelalak kaget mengeluarkan jerit melengking tinggi, tangan kirinya bergerak menghantam ke arah dada Han Ki.
“Krakk....!” Tubuh anak itu terpental jauh, terbanting dalam keadaan pingsan dan beberapa tulang iganya patah-patah!
Namun Siang-mou Sin-ni sekarang sudah berkelojotan. Betapapun sakti dan
kuatnya, namun jarum panjang yang menembus jantungnya itu membuat ia
tidak dapat menahan lagi. Dari lehernya keluar jeritan-jeritan
melengking mengerikan, ia terguling dari atas dipan, berkelejotan,
menjambak-jambak rambutnya, kemudian menggeliat-geliat dan akhirnya dia
tek bergerak lagi. Siang-mou Sin-ni yang dahulu terkenal sebagai seorang
di entara Enam Iblis, tewas di tangan seorang anak kecil berusia
sebelas tahun!
Apakah yang telah terjadi? Ternyata ketika
Siang-mou Sin-ni melakukan penyedotan, bukan hanya darah dan sum-sum
yang disedotnya, melainkan juga hawa yang bergelombang di tubuh anak
itu. Dan hawa itu bukan hanya hawa panas yang amat dibutuhkan Siang-mou
Sin-ni, melainkan bercampur dengan hawa dingin yang amat kuat. Hal ini
sama sekali tidak diduga oleh Siang-mou Sin-ni yang sedang dimabok nafsu
sehingga ia yang sedang dalam keadaan kosong, itu sekaligus terpukul
hebat oleh hawa dingin yang menyerang dalam tubuhnya. Sebagai seorang
ahli silat kelas tinggi, reaksi pertama dari tubuhnya tentu saja
serentak bangkit dengan pengerahan sin-kang dan menolak atau melawan
hawa dingin ini. Dan inilah kekeliruannya yang dilakukan dalam keadaan
tak sadar. Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa
dingin ini yang biarpun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat
Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok
pula. Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong
terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir
pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu
melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan
bantuan yang tak disangka-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha
mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini,
tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat
sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan
dan membuatnya dapat bergerak lagi.
Akan tetapi, pengaruh dua
hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok.
Betapapun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia
lebih dulu sadar daripada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil
membunuh musuh besarnya dengan jarum Si Iblis Betina itu sendiri! Namun
karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biarpun sudah tertembus jarum
jantungnya, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa
tulang iga anak itu.
Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang
sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di
atas jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan
pohon yang tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka,
agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling
membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi yang tadinya
menerobos masuk, melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri
wajah bumi yang tadinya cerah.
Akan tetapi, lengking maut yang
tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin-ni dalam kemarahan,
kesakitan dan pergulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang
mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-binatang
hutan yang mendengarnya, juga terdengar oleh seorang kakek tua renta
yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang
berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut
panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih kelihatan
berjalan, melangkah seenaknya. Akan tetapi yang hebat, biarpun ia
kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang
saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu.
Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han
Ki yang keduanya menggeletak tak bergerak. Kemudian kakek ini menarik
napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik
halus.
“Aahhhhh.... yang pintar maupun yang bodoh, yang kaya
atau yang miskin, yang menang maupun yang kalah, akan berakhir dalam
keadaan yang sama. Mati! Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian?
Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang
menjemputnya, akan tetapi.... mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak
mengisi dengan hal yang berguna, baik, bagi orang lain maupun bagi
diri sendiri? Manusia....!” Kakek tua renta itu maju, membungkuk dan
mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondongnya keluar
dari pondok. Ia masih melangkah biasa, namun kini lebih cepat lagi
daripada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari belakang,
tampak sebuah alat musik yang-kim butut tergantung di punggungnya.
Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat
bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu! Kakek
sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang saking
tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya. Kalau Tuhan
menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti
ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek
Siansu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya bedanya, kalau mendiang
Kam Bu Sin hanya menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat
dia menjadi seorahg pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek
Siansu dan sampai belasan tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana
anak ini dibawa pergi. Maka dalam cerita ini, kita tidak akan berjumpa
kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan muncul di dalam cerita lain.
Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa
orang tukang kayu yang kebetulan sampal di puncak Tai-liang-san, dan
mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang itu.
Siang-mou Sin-ni lenyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui
ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya!
***
Kota
Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai, terletak di sebelah
barat kota raja Kerajaan Sung. Selain menjadi kota indah yang banyak
dikunjungi pelancong dan pelajar dari daerah-daerah yang ingin
memperdalam ilmu kesusasteraan di kota ini, juga Lokyang ramai
dikunjungi pedagang. Bahkan di kota ini banyak terdapat pengunjung dari
utara, yaitu bangsa-bangsa Khitan, Mongol, dan lain-lain yang datang
untuk berdagang kulit dan bulu dan berbelanja kebutuhan-kebutuhan hidup
yang tak dapat mereka temukan di utara. Ada pula yang datang untuk
mengunjungi kota basar ini yang namanya sudah terkenal sampai ke
pedalaman di utara. Tentu saja bangsa Khitan yang paling banyak datang
bsrkunjung, karena memang pada waktu itu, Kerajaan Sung bersahabat
dengan Kerajaan Khltan
Akan tetapi pada pagi hari itu, penduduk
kota Lok-yang dibikin kagum oleh sepasang orang muda yang berpakaian
serba indah gemerlapan, menunggang dua ekor kuda yang besar dan diberi
pakaian indah pula, dikawal oleh dua losin tentara Khitan, Si Pemuda
berusia sembilan belas tahun, amat tampan dan gagah, alisnya tebal
hitam, pandang matanya tajam berkilat, senyumnya manis akan tetapi penuh
wibawa, pakaiannya seperti seorang panglima muda dengan pedang panjang
berukir indah tergantung di pinggang. Topinya dihias naga emas
berkliauan dan anehnya, di pinggang pemuda ini terselip sebatang
suling! Adapun dara remaja yang menunggang kuda di sebelahnya amatlah
menarik perhatian orang saking cantik jelitanya. Wajahnya khas orang
Khitan, dengan sepasang mata lebar, senyum terbuka dan anting-antingnya
besar, manis bukan main. Pinggangnya ramping, tubuhnya padat berisi
dan dari cara ia menunggang kuda, jelas tampak bahwa gadis ini pun bukan
orang sembarangan serta memiliki ketangkasan yang mengagumkan.
Semua orang yang melihat sepasang orang muda ini bertanya-tanya dan
menduga bahwa dua orang muda itu tentulah bangsawan-bangsawan tinggi di
Kerajaan Khitan. Dugaan mereka itu memang tidak keliru, akan tetapi
jarang di antara mereka dapat mengenal bahwa Si Pemuda itu bukan lain
adalah Putera Mahkota Kerajaan Khitan, yaitu Pangeran Talibu. Adapun
dara remaja berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita itu adalah
Puteri Mimi. Puteri dari Panglima Kayabu yang sudah dikenal sebagai
adik kandung Sang Pangeran oleh seluruh rakyat Khitan. Semua orang
Khitan tahu bahwa Putera Mahkota itu sesungguhnya adalah putera kandung
Panglima Kayabu, atau kakak kandung Sang Puteri itu, yang semenjak
berusia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu. Akan tetapi semenjak
beberapa pekan yang lalu Pangeran Talibu sendiri tidak mempunyai
anggapan demikian. Ia telah mengetahui rahasia dirinya dan dengan hati
girang kini ia memandang wajah Puteri Mimi yang cantik jelita, dengan
pandang mata yang lain daripada biasanya. Sikapnya lebih mesra dan
sungguhpun hal ini amat mengherankan hati Mimi, namun puteri itu pun
menjadi gembira karena sesungguhnya ia amat mencinta kakak kandungnya
yang menjadi pangeran mahkota ini.
Talibu meninggalkan Khitan
beberapa, hari setelah Suling Emas pergi. Keinginannya untuk pergi ke
selatan dan mencari adik kembarnya tak dapat ditahan lagi oleh Ratu
Yalina dan akhirnya berangkatlah pangeran ini bersama Mimi yang
berkeras hendak ikut, dikawal oleh dua losin tentara pengawal pilihan.
Ratu Yalina membolehkan puteranya pergi karena selain ia tahu akan
kelihaian puteranya yang tentu dapat menjaga diri,juga karena
kerajaannya bersahabat dengan Kerajaan Sung sehingga kiranya tidak ada
bahaya mengancam keselamatan puteranya. Selain itu, Mimi sendiri juga
seorang puteri yang memiliki kepandaian tinggi, ditambah dengan dua
losin pengawal pilihan. Biarpun perjalanan Pangeran itu tidak resmi,
akan tetapi di sepanjang jalan, mereka dielu-elukan oleh penduduk dan
pembesar setempat yang mengenal mereka.
Pagi hari itu, rombongan
Pangeran Talibu tiba di kota Lok-yang. Pangeran itu bersama Puteri Mimi
menahan kuda di depan sebuah losmen yang sudah dipesan lebih dulu oleh
kusir pasukan pengawal. Beberapa orang pengawal membantu dua orang
muda bangsawan itu menahan kuda mereka yang besar-besar. Dengan wajah
gembira Talibu melompat turun. Matanya yang berpemandangan tajam itu
melihat empat orang laki-laki berpakaian pengemis yang berteduh di
bawah sebuah rumah butut di pinggir losmen. Seperti juga terdapat di
lain-lain kota, di Lok-yang terdapat banyak rumah-rumah kecil butut di
samping rumah-rumah besar dan megah, seperti rumah kecil dan busuk ini
di sebelah kanan losmen yang besar. Talibu maklum bahwa empat orang
pengemis itu bicara tentang dia. Mata mereka semua ditujukan kepadanya,
bahkan seorang di antara mereka yang berjenggot menudingkan
telunjuknya secara terang-terangan kepadanya. Talibu tersenyum ramah
kepada mereka. Biarpun ia seorang Pangeran Khitan, namun ia banyak tahu
akan kehidupan kang-ouw di selatan ini. Ibunya banyak bercerita
tentang orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh di selatan yang akan ia
temui di antara rombongan pengemis kotor, pendeta dan pelajar. Melihat
gerak-gerik empat orang pengemis itu, Talibu dapat menduga bahwa mereka
bukanlah pengemis-pengemis biasa. Akan tetapi ia heran melihat betapa
pandang mata mereka itu mengeluarkan sinar kebencian atau kemarahan.
Ketika senyumnya tidak dibalas, ia lalu tak mengacuhkan mereka,
apalagi pada saat itu, Mimi sudah melompat turun pula dari atas kuda.
Sambil bercakap-cakap dan tersenyum-senyum kedua orang muda bangsawan
ini memasuki losmen, disambut oleh pemilik losmen dan anak buahnya.
Pembesar di Lok-yang ketika mendengar akan kunjungan Putera Mahkota
Khitan, menjadi kaget dan sibuk sekali, serta-merta mengirim undangan
makan malam. Akan tetapi Talibu menolak dengan halus, mengirim pesan
bahwa dia dan Puterl Mimi melakukan kunjungan tidak resmi, hanya ingin
melancong dan karenanya minta supaya diperlakukan sebagai pelancong
biasa, bukan sebagai tamu. Biarpun merasa tidak enak hati dan takut
kalau-kalau terdengar oleh Kaisar dan mendapat teguran, namun para
pembesar itu tidak dapat berbuat apa-apa, hanya diam-diam
memperingatkan semua penduduk dan pedagang agar bersikap ramah dan
hormat kepada tamu agung ini.
Penyambutan penduduk dan pembesar
Lok-yang ini membuat Talibu menjadi jengkelsekali. Ia ingin bebas, ignin
merantau seperti burung di udara dalam usahanya mencari adik kembarnya.
Ia ingin mencari adiknya dan menghadapi pengalaman-pengalaman tegang
seperti yang sering ia dengar dari penuturan ibunya. Akan tetapi
penyambutan dan sikap penduduk yang selalu membungkukbungkuk dan
menghormatinya secara berlebih-lebihan itu membuat ia merasa tidak
leluasa dan tidak enak. Malam itu juga ia memanggil komandan
pengawalnya dan memberi perintah.
“Mulai saat ini, aku tidak
mau dikawal lagi. Aku akan melakukan perjalanan seorang diri dan besok
pagi kalian harus mengawal Sang Puteri kembali ke Khitan.”
Tentu saja komandan. pengawal itu kaget sekali. “Akan tetapi Pangeran....“
“Tidak ada tapi! Ini perintahku, mengerti? Mau membantah?”
Komandan itu tentu saja tidak berani membantah, mengangguk-angguk lalu
diperkenankan keluar untuk membubarkan pengawalan mulai saat itu juga.
Talibu sama sekali tidak tahu bahwa perintahnya ini diam-diam terdengar
oleh Puteri Mimi dari balik jendela ketika puteri ini hendak
mengunjungi kamarnya. Puteri Mimi yang mendengar perintah ini terkejut,
cepat kembali ke kamarnya dan termenung. Akan tetapi puteri yang
remaja dan lincah ini lalu tersenyum dan mengangguk-angguk seorang
diri, sudah mengambil keputusan sendiri.
Malam hari itu juga
Talibu sudah melepaskan pakaian pangerannya, mengenakan pakaian biasa,
menyamar sebagai seorang pelajar dan lolos dari dalam losmen,
menggunakan Ilmu kepandaiannya melompat keluar dari jendela dan pergl
melalui genteng rumah. Pada keesokan harinya, para pengawal tidak saja
kehilangan Sang Pangeran, bahkan dengan kaget mereka tidak lagi melihat
adanya Puteri Mimi yang sudah lenyap pula dari dalam kamarnya. Ketika
memeriksa ke seluruh kota, sama sekali tidak ada jejak Sang Puteri.
Tentu saja para pengawal menjadi bingung dan gelisah, akan tetapi mereka
tak dapat berbuat lain kecuali berusaha mencari. Komandan pengawal
sudah cepat menyuruh dua orang anak buahnya kembali ke Khitan
menyampaikan laporan tentang hilangnya Puteri Mimi dan tentang perintah
Sang Pangeran yang melarang mereka mengawal karena Sang Pangeran
berkenan melakukan perjalanan seorang diri
Talibu adalah
seorang pemuda yang amat berani dan ilmu kepandaiannya bukanlemah. Ia
menerima gemblengan langsung dari ibunya sendiri, yaitu Ratu Yalina
yang di waktu mudanya mewarisi ilmu kesaktian yang amat rahasia,
simpanan tokoh pendiri Beng-kauw yaitu ilmu silat yang hanya terdiri
dari tiga belas jurus, bernama Cap-sha Sin-kun (Kepalan Sakti Tiga Belas
Jurus). Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi kalau Ratu Yalina
yang mainkan, kiranya tokoh-tokoh kang-ouw jarang yang akan dapat
menandinginya. Talibu tentu saja tidak sematang dan sekuat ibunya, namun
dengan ilmu ini ia pun menjadi orang muda paling lihai di seluruh
kerajaan ibunya. Dengan bekal ilmu kepandaiannya, kini pemuda bangsawan
yang merupakan orang paling penting sesudah ratu ini sekarang
melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam meninggalkan losmen,
lolos dengan pakaian seorang pelajar.
Ketika tubuhnya
berkelebat keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, karena ia
bermaksud pergi ke kota raja yang berada di sebelah timur Lok-yang, ia
melihat berkelebatnya bayangan beberapa sosok tubuh di sebelah
belakangnya. Talibu boleh jadi gagah perkasa, namun ia kurang
pengalaman dan tidak mengenal keadaan dunia kang-ouw. Maka ia tidak
menaruh curiga dan dengan lapang ia melanjutkan perjalanan keluar dari
kota Lok-yang. Malam itu amat indah dengan bulan bersinar penuh tanpa
gangguan awan. Ia kini tidak lari lagi melainkan berlenggang seenaknya
melalui jalan yang sunyi di tepi sawah ladang. Suara banyak katak
membentuk perpaduan musik yang indah dan amat menarik hatinya. Sambil
tersenyum-senyum Pangeran ini berjalan, pertama kali selama hidupnya
merasa sebagai seorang yang benar-benar bebas, tidak terikat oleh segala
macam peraturan, tidak terganggu oleh hadirnya para pengawal. Ia pada
saat itu merasa benar-benar sebagai seorang pendekar muda perantau
seperti yang sering ia dengar didongengkan ibunya. Sambil tersenyum ia
meraba gagang pedangnya.
“Berhenti....!“ Bentakan ini membuat
Talibu menahan kaki dan memasang kuda-kuda. Ia dapat mencium bahaya,
apalagi ketika ia mengenal empat orang berpakaian pengemis yang pagi
hari tadi memandangnya dengan pandang mata penuh kemarahan ketika ia
turun dari atas kudanya, di depan losmen. Kini empat orang pengemis yang
berpakaian tambal-tambalan namun bersih ini berdiri menghadapinya
dengan sikap mengancam!
Namun Talibu memiliki keberanian yang
luar biasa. Tidak percuma ia menjadi putera Ratu Yalina yang di waktu
mudanya merupakan seorang wanita seperti naga betina yang tak pernah
mengenal takut! Ia bersikap tenang, namun sedikit pun tidak merasa
takut. Bahkan bibirnya yang merah itu tersenyum ketika ia bertanya.
“Kalian ini siapakah? Apakah golongan orang gagah dari kai-pang? Dan
apa kehendak kalian malam-malam mengganggu perjalanan orang?”
“Menyerahlah menjadi tawanan kami dan kami takkan menggunakan
kekerasan.” kata seorang di antara empat pengemis ini, yang berjenggot
panjang.
“Eh-eh, apakah kalian tidak salah mengenal orang? Aku
adalah seorang pelajar yang melakukan perantauan, sama sekali tidak
pernah mempunyai permusuhan dengan orang lain, apalagi dengan golongan
kai-pang. Mengapa tanpa sebab kalian hendak menawan aku?”
“Harap kau tidak banyak membantah. Kami tahu bahwa kau adalah Pangeran Mahkota dari Khitan.” kata Si Jenggot Panjang.
Talibu membusungkan dadanya. “Kalau sudah tahu aku Pangeran Mahkota
Khitan, mengapa menggangguku? Kerajaan Khitan bersahabat dengan negara
ini dan tak tahukah kalian bahwa jika kalian menggangguku maka hal ini
bukan hanya membikin marah Negara Khitan, bahkan juga negara kalian
sendiri? Apakah kalian ini pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang
memusuhi kerajaan?” Sebagai Putera Mahkota Khitan, tentu saja Talibu
maklum akan keadaan kedua kerajaan itu. Ucapannya yang tepat dan bengis
membuat empat orang pengemis itu berubah. Akan tetapi kelirulah kalau
Talibu mengira bahwa ucapannya akan mengundurkan mereka. Tidak sama
sekali, mereka itu malah maju mengurung dan Si Jenggot berkata.
“Kami hanya menjalankan perintah. Harap Sang Pangeran suka menyerah saja!”
“Hemm, penjahat-penjahat rendah. Kalian kira aku Talibu takut menghadapi empat ekor tikus seperti kalian?”
Empat orang pengemis ini menubruk maju, akan tetapi mereka disambut
tendangan dan pukulan tangan yang membuat mereka roboh
terguling-guling. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian akan
tetapi begitu Talibu menggerakkan kaki tangannya, mereka sudah roboh
jatuh bangun. Hal ini adalah karena empat orang pengemis baju bersih
ini sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran bangsa Khitan yang
mereka anggap sebagai bangsa kasar, akan dapat bergerak sebagai seorang
ahli silat pilihan! Mereka menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut
keluar senjata mereka, yaitu tongkat berbentuk ular yang berwarna
hitam. Senjata ini menandakan bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh
perkumpulan pengemis Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam).
“Bagus, kalian hendak mencoba kelihaianku. Majulah!” Pangeran Talibu
mencabut pedangnya dan tampak sinar gemerlapan ketika pedang pusaka yang
panjang itu tertimpa sinar bulan purnama. Pedang itu mengeluarkan
cahaya kemerahan. Itu bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang
pusaka dari Kerajaan Khitan!
Begitu empat orang pengeroyoknya
menyerbu, Talibu menggerakkan pedangnya membabat. Sinar merah
menyilaukan mata dan angin sambaran pedang membuat dua orang pengemis
cepat menarik kembali tongkatnya. Akan tetapi dua pengemis yang sudah
terlanjur menyerang tak dapat menghindarkan bentrokan senjata.
“Trang.... trang....!”
Dua orang pengemis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur,
tongkat mereka tinggal sepotong karena tengahnya terbabat buntung oleh
pedang bersinar merah! Marahlah mereka dan segera mereka mengurung dari
empat penjuru, kini menjaga agar tongkat mereka tidak bentrok lagi
dengan pedang Si Pangeran. Biarpun tongkat mereka tinggal sepotong,
namun dua orang pengemis itu masih lihai gerakannya.
Talibu
mewarisi ilmu dari ibunya sendiri, karena ilmunya hebat. Sayang sekali
bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Kalau ia sudah matang ilmunya,
agaknya dalam sepuluh gebrakan saja ia akan mampu merobohkan empat orang
lawannya tanpa pedang. Sesungguhnya, ilmunya tangan kosong Cap-sha
Sin-kun merupakan ilmu yang jarang bandingnya, akan tetapi pemuda yang
belum berpengalaman ini merasa ngeri untuk menghadapi pengeroyokan empat
lawan bersenjata dengan tangan kosong. Justeru karena ia berpedang,
maka ia malah tidak dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat.
Betapapun juga, karena dasar ilmu silatnya memang lebih tinggi, tenaga
sinkangnya lebih kuat dan ditambah pedangnya adalah benda pusaka yang
ampuh, tidak sampai empat puluh jurus kemudian, empat orang pengemis
itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi Pangeran itu bukanlah
seorang kejam. Hal ini terbukti bahwa empat orang pengemis itu hanya
terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja. Tentu saja
kalau ia mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di
lengan bisa menjadi tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi
babatan di pinggang.
Sambil melintangkan pedang di depan
dadanya, Pangeran yang perkasa itu membentak. “Sekarang mengakulah,
siapa pimpinan kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk menangkap aku?”
“Kami tidak berani mengaku!” kata seorang di antara mereka dan
seterusnya mereka membungkam tidak berani bicara lagi hanya mengeluh
karena kesakitan.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan
tahu-tahu dari tempat gelap muncullah sesosok bayangan. Ketika Talibu
memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi
besar bertubuh ramping padat, rambutnya panjang dan ketawanya seperti
wanita bahkan kemudian orang itu lalu menyanyi-nyanyi dengan suara
kecil merdu! Orang ini bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam! Akan tetapi
Talibu tidak mengenal orang aneh ini maka ia lalu bertanya dengan hormat
karena munculnya orang aneh ini menimbulkan dugaan bahwa dia tentu
bukan orang sembarangan.
“Maaf, siapakah Tuan dan mengapa datang ke tempat ini menjumpai saya?”
“Ha-ha-hi-hi-hik! Pemuda tampan, Pangeran Mahkota Khitan. Aku disebut
Bu-tek Siu-lam dan Pangeran menjadi tamu agung. Harap saja kau suka ikut
bersamaku. Maafkan sikap jembel-jembel yang tidak sopan ini, dan saya
persilakan Pangeran menjadi tamu kami secara terhormat.”
Talibu
biarpun belum banyak pengalaman, namun dapat mengenal orang pandai.
Menurut ibunya, orang-orang sakti amat banyak di dunia kang-ouw dan
sikap mereka memang aneh-aneh. Orang ini sukar ditaksir, laki-laki atau
wanita. Pakaiannya aneh dan jelas adalah pakaian pria, namun lagaknya
amat genit, bicaranya seperti wanita dan suara serta ketawanya jelas
suara wanita! Maka ia lalu menjura dengan hormat dan menjawab.
“Saya memang Pangeran Mahkota Khitan, akan tetapi pada saat ini saya
sedang merantau sebagai orang biasa. Saya tidak mempunyai hubungan
dengan Tuan, maka harap Tuan jangan mengganggu dan maafkan
penolakanku.”
“Hi-hik! Kalau para pembesar yang mengundang boleh
saja Paduka menolak, akan tetapi Bu-tek Siu-Lam adalah seorang di
antara Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini undangan bukan hanya datang
dari saya pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa
Hsi-hsia. Kami perlu memperundingkan sesuatu yang amat penting dengan
Paduka. Apakah Paduka tidak memandang mata kepada kami?”
Talibu
seorang pemuda cerdik. Mendengar bahwa orang aneh ini sekutu pimpinan
bangsa Hsi-hsia, ia terkejut sekali. Dan pada saat itu ia pun sudah
melihat munculnya puluhan orang di sekitar tempat itu, sebagian besar
hwesio-hwesio berjubah merah. Teringatlah ia akan cerita tentang
penumpasan Beng-kauw dan ia maklum bahwa melawan pun akan sia-sia
belaka. Maka
bersambung 7....................
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar