Tentu saja Hauw Lam menjadi marah dan mendongkol sekali. Akan tetapi Kwi
Lan lebih marah lagi. Tadinya ia tidak mengerti apa artinya ucapan
mereka, akan tetapi karena mereka bertujuh semua memandang kepadanya
dan menuding-nudingkan telunjuk ke arahnya, tahulah ia bahwa dia
sesungguhnya yang disebut kuda betina putih kuning! Ia disamakan dengan
kuda! Keparat! Bagaikan seekor harimau ia meloncat bangun, kedua
tangannya bergerak dan melesatlah sinar hijau dari kedua tangannya
menyambar ke arah muka tujuh orang itu.
Seketika lenyap suara
ketawa mereka, terganti suara jeritan dan mereka bertujuh terguling
roboh dari atas kuda! Namun dengan gerakan yang amat cekatan mereka
bertujuh sudah meloncat bangun lagi dan ramailah mereka berkata-kata
dalam bahasa yang tidak dimengerti Hauw Lam maupun Kwi Lan. Kini Hauw
Lam yang melongo dan memandang mereka dengan muka terheran-heran.
Kiranya sinar kehijauan yang melesat dari kedua tangan Mutiara Hitam
tadi adalah rumput-rumput yang tadi dicabutinya sambil duduk di atas
akar pohon. Dalam kemarahannya gadis itu telah menyerang tujuh orang
Khitan dengan rumput-rumput itu. Biarpun hanya rumput hijau, namun di
tangan dara perkasa ini berubah menjadi senjata rahasia yang amat ampuh
dan menggiriskan hati. Batang-batang rumput itu meluncur melebihi anak
panah cepatnya dan tak terhindarkan lagi oleh tujuh orang Khitan itu.
Tahu-tahu muka mereka telah terkena rumput yang menempel pada kulit muka
mereka, menimbulkan rasa perih dan pedas, sedangkan tadi ketika
rumput-rumput itu menyerang, mereka terdorong oleh angin pukulan yang
membuat mereka terjungkal dari atas kuda. Kini mereka berdiri dan
berusaha melepaskan rumput-rumput yang menempel muka mereka.
Aneh bin ajaib! Sampai meringis-ringis mereka berusaha mengambil rumput
yang menempel di kulit muka. Sia-sia belaka! Rumput-rumput itu menempel
seakan-akan diberi lem perekat ajaib, seakan-akan telah tumbuh menjadi
satu dengan kulit. Seorang di antara mereka agak menggunakan kekerasan
untuk mengupas rumput, akan tetapi kulit pipinya ikut terkelupas, nyeri
dan perih bukan main dan darah menetes-netes! Mereka terheran-heran dan
juga kesakitan, terutama sekali rasa jerih membuat wajah mereka pucat.
Bagi Hauw Lam, penglihatan itu amatlah lucu. Melihat mereka berusaha
mengupas rumput dari muka meringis-ringis kesakitan, melihat betapa
rumput itu merupakan pleister-pleister hijau “menghias” muka, apalagi
orang yang tadi menghina Mutiara Hitam, rumput melintang di atas kulit
hidungnya sehingga wajahnya tampak lucu sekali, membuat Hauw Lam tak
dapat menahan ketawanya.
“Hua-ha-ha-ha! Lucu sekali....! Lucu
sekali....! Muka kalian bertujuh ditambal-tambal seperti badut dan
delapan ekor kuda ini begini bagus. Tentu kalian hendak main komidi
kuda, ya? Bagus...., bagus....!” Hauw Lam bertepuk-tepuk tangan dan
berjingkrak-jingkrak, membuat tujuh orang itu mendongkol bukan main.
Akan tetapi karena mereka dapat menduga bahwa dua orang muda-mudi itu
tentu bukan orang sembarangan, mereka tidak mau lagi meladeni dengan
kata-kata. Serentak tangan mereka bergerak dan tujuh orang itu sudah
mencabut golok masing-masing lalu mengurung dengan sikap mengancam.
“Aih.... aih.... kalian masih belum kapok? Kalau tadi Nona muda kalian
ini menghendaki nyawa kalian, apakah kalian tidak menjadi bangkai?” Hauw
Lam berseru sambil melangkah maju, kemudian menoleh kepada Kwi Lan.
“Biarlah aku yang kini menikmati permainan dengan mereka!”
Kwi
Lan diam saja, sikapnya tidakacuh. Ia tidak memandang mata kepada tujuh
orang itu, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah orang-orang Khitan,
rakyat dari ibu kandungnya, ia tadi tidak mau membunuh mereka. Kini ia
hendak menyaksikan sampai di mana kepandaian Berandal, karena dari
gerak-gerik tujuh orang itu ia dapat menduga bahwa mereka memiliki ilmu
silat yang tinggi juga.
“Mengalahkan mereka tanpa membunuh
barulah hebat,” Kwi Lan sengaja berkata, nada suaranya mengejek,
padahal di dalam hati ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda berandalan
itu membunuh rakyat ibu kandungnya.
“Oho, mudah saja, kaulihat!” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian membusungkan perutnya ke depan, menantang.
“Hayo kalian maju, tunggu apalagi? Bukankah golok kalian sudah
terhunus? Di sini tidak ada babi untuk ditusuk perutnya, tidak ada
kambing untuk disembelih lehernya. Nih perutku, boleh kalian tusuk,
atau leher nih, boleh pilih!” Ia menantang dengan cara mengejek sekali,
meramkan kedua mata, mengulur leher membusungkan perut dan menaruh kedua
tangan di punggung! Diam-diam Kwi Lan geli menyaksikan sikap ini, juga
merasa betapa sikap ini keterlaluan dan berbahaya. Coba dia yang
ditantang secara itu, tentu sekali bergerak akan dapat merobohkan
pemuda ugal-ugalan itu.
Agaknya tujuh orang yang sudah amat
marah itupun berpikir demikian. Mereka tadi sudah marah dan penasaran
sekali, merasa mengalami penghinaan yang luar biasa maka kini
menyaksikan sikap dan tantangan Hauw Lam, mereka sampai tak dapat
mengeluarkan kata-kata saking marahnya. Tujuh orang Ini bukan orang
sembarangan, merupakan jagoan-jagoan yang berkepandaian tinggi,
bagaimana sekarang menghadapi dua orang bocah saja mereka tidak berdaya
dan sampai mengalami hinaan? Kini melihat sikap Hauw Lam, mereka
serentak menerjang untuk membalas penghinaan yang mereka alami.
“Cring-cring-trang-traaanggg....!” Tujuh batang golok yang menerjang
dalam detik bersamaan dengan sebuah saja sasaran, tentu saja tak dapat
terhindar lagi saling beradu ketika sasarannya tiba-tiba lenyap dari
tempatnya. Cepat mereka meloncat dan membalikkan tubuh. Kiranya pemuda
ugal-ugalan itu sudah berada di belakang mereka dan kembali pemuda itu
mengulur leher membusungkan perut, akan tetapi sekarang tangannya
memegang sebatang golok pula, golok yang pendek dan lebar seperti golok
tukang babi! Akan tetapi melihat sinar putih bersinar dari mata golok,
dapat diduga bahwa golok buruk bentuknya itu ternyata terbuat daripada
logam yang ampuh dan terpilih.
“Hayo tusuk lagi, bacok lagi,
kenapa ragu-ragu? Perut dan leherku sudah gatal-gatal nih!” Hauw Lam
mengejek, menggoyang-goyangkan perutnya yang sengaja ia busungkan ke
depan.
Kemarahan tujuh orang Khitan itu memuncak. Sambil
memaki-maki dalam bahasa sendiri kembali mereka menerjang maju,
melakukan serangan dahsyat penuh kemarahan. Kali ini tampak sinar putih
yang amat lebar menyilaukan mata bergulung-gulung menyambut mereka.
Terdengar suara nyaring beradunya senjata diikuti tujuh batang golok
terlempar dalam keadaan patah menjadi dua, disusul pekik tujuh orang
itu dan memberebetnya kain robek. Dalam sekejap mata saja tujuh orang
itu tida hanya kehilangan golok, akan tetapi juga baju mereka robek dari
leher sampai ke perut! Wajah mereka kini menjadi pucat sekali karena
mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam segebrakan saja
tadi tentu mereka akan terobek perut mereka!
Si Gigi Ompong lalu
menjura dan berkata, “Kami telah kesalahan terhadap Taihiap, mohon
maaf, mengingat bahwa kami jauh dari utara hendak mengunjungi
Thian-liong-pang.”
Hauw Lam tertawa akan tetapi sebelum ia
menjawab, Kwi Lan melompat maju dan menghardik, “Masih banyak cakap
lagi? Kalian ini orang-orang Khitan yang tidak baik! Lekas pergi dan
tinggalkan kuda hitam!”
Si Gigi Ompong kaget bukan main dan
dengan suara gemetar ia menterjemahkan ucapan ini. Kawan-kawannya juga
nampak kaget dan memprotes. Si Gigi Ompong kini menghadapi Kwi Lan dan
berkata,
“Tidak mungkin, Nona! Kuda hitam ini adalah persembahan
kepada kami untuk dihadiahkan kepada ketua Thian-liong-pang sebagai
tanda persahabatan. Bagaimana kami berani meninggalkannya di sini? Hal
ini berarti akan hilangnya nyawa kami sebagai penggantinya!”
“Huh! Siapa peduli nyawa anjing kalian? Katakan saja kepada Ratumu
bahwa yang mengambil kuda hitam adalah Mutiara Hitam. Habis perkara!”
Kini Hauw Lam mendengarkan dengan mulut ternganga. Dara itu terlalu
lancang, terlalu berani. Tadi berani menghina dan memandang rendah
Bu-tek Siu-lam, kini malah berani menantang Ratu Khitan yang selain
terkenal sebagai ratu, juga terkenal memiliki ilmu kesaktian hebat dan
mempunyai banyak anak buah yang berilmu tinggi! Apakah yang diandalkan
dara ini maka bersikap sedemikian angkuh dan berani menghina
orang-orang golongan atas? Kepandaiannya memang hebat dan melihat cara
melempar rumput yang sampai kini menempel di muka ketujuh orang Khitan
itu, terbukti akan kelihaiannya. Akan tetapi belum tampak ilmu silatnya
dan ia merasa ragu-ragu apakah dara semuda ini akan mampu menandingi
tokoh-tokoh besar itu?
Akan tetapi mendengar ucapan gadis yang
memandang rendah Ratu Khitan, tujuh orang itu tidak menjadi marah
setelah Si Ompbng menterjemahkannya, bahkan nampak heran dan girang. Si
Ompong lalu berkata sambil menjura, “Aha, kiranya masih sepaham! Nona
yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah
Pak-sin-ong....”
“Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong!” bentak
Kwi Lan tidak sabar lagi. Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget
sekali dan bertanya,
“Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?”
Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena
wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput. “Betul...., betul....!
Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga
memusuhi Ratu Khitan dan....”
“Bedebah....!” Bentakan ini keluar
dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan
terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit,
darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali,
sikapnya keren dan mulutnya membentak,
“Lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi,
tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasacepatnya.
Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya
kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa
dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di
tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan
ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan!
Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu
telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari
pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar
biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam!
Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka
itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja
menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah
tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata
terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.
“Kami telah menerima pengajaran,” kata Si Ompong sambil meringis,
“harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami
melupakannya....“
“Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?” Hauw Lam
yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka,
memotong. “Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku
adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi!”
Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda, sekali lagi mereka
menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian
membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan
begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya
terlepas dan terseret di atas tanah.
Hauw Lam cepat mengambil
kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya.
Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah
majikannya. “Kuda bagus, kuda hebat....!” Hauw Lam menepuk-nepuknya dan
membawanya dekat kepada Kwi Lan.
“Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini.”
“Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.
“Apa? Bagaimana maksudmu?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. “Bodoh! Kalau kita datang ke sana dan
membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk
mendapatkan dua ekor lalat? Maksud Si Raja Algojo yang kau sebut-sebut
itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti
dia sudah kalah satu nol melawan kita. Ke dua, dengan hadiah ini, masa
kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?”
Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk
tangan, “Wah, bagus! Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya
sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain.”
“Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak
berharga memiliki kuda in!, bisa saja kita ambil kembali.”
Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui
memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu
sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.
“Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang! Engkau tidak tahu siapa dia.Jin-cam Khoa-ong.”
“Siapa sih Algojo itu?”
“Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan
tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya daripada,
Bu-tek Siu-lam sendiri! Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling
suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak
akan dapat keluar hidup-hidup, semua itu, betapapun gagahnya, tewas di
bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia
mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya
dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di
dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo
Manusia!”
“Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong! Aku tidak takut!”
“Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan! Bahkan kini
merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling
banyak anggautanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh
golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar, masih memandang
kepada Thian-liongpang....“
"Sudahlah! Kalau engkau takut,
tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau.
Kaukira aku takut untuk pergi sendiri? Sambil berkata demikian, Kwi Lan
menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda
hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo. Akan tetapi
karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apalagi
menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga
dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan. Kwi Lan
menarik-narik kendali kuda sambil membentak,
"Kau juga hendak
mogok? Kuda sialan! Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke
Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi!"
"Wah-wah-wah...., kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah
kepadaku? Aku sama sekali tidak takut, hanya aku heran menyaksikan
keberanianmu menentang semua tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita
pergi bersama. Dan kuda itu.... kenapa repot-repot amat? Lebih baik
kautunggangi dia, kan enak?"
Watak Kwi Lan memang aneh, agaknya
ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa
juga menjadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah
mengenal duka maupun takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan
wajahnya sungguh-sungguh, ia tersenyum. "Aku belum pernah menunggang
kuda!" katanya.
Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang
begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda? Benar-benar luar
biasa sekali ini. "Belum pernah? Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus
belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau
ditunggangi orang yang takut-takut menunggang kuda."
"Aku
memang belum pernah menunggang kuda, akan tetapi siapa bilang aku
takut? Kaulihat saja!" Sekali menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah
meloncat dan duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping
kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam
itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak apabila yang
menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.
"Ah, keliru kalau begitu menunggangnya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"
"Siapa bilang tidak bisa? Kaulihat!" Kwi Lan menarik kendali kuda dan
kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari cepat. Kwi Lan
terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya miring,
maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah
meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan
berdiri!
Hauw Lam sudah mengejar dan memegang kendali kuda,
mengeluarkan suara menyuruh berhenti. Setelah kuda berhenti, ia
menggeleng-geleng kepala. "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara
Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri
di atas punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang
jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara menunggang
kuda. Lihat, kuberi contohnya!"
Karena memang Kwi Lan seorang
yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka pelajaran menunggang
kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua orang muda
itu melakukan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda
sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang
Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pemuda itu
berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah.
Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw
Lam duduk di belakangnya di atas punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti
kehendaknya sehingga dalam waktu beberapa hari saja melakukan
perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam_
diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya
ini.
***
Kota Yen-an terletak di kaki Pegunungan
Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shen-si. Kota ini cukup besar
dan ramai dan dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han yang kini sudah
ditaklukkan oleh Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan Sung.
Kerajaan Hou-han dahulu terkenal sebagai kerajaan yang kecil tapi amat
kuat. Terutama sekali ketika seorang di antara panglima perangnya adalah
mendiang Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai mengatur siasat perang.
Setelah jenderal ini mengundurkan diri keadaan kerajaan mengalami
kemunduran pula. Akan tetapi keadaannya masih amat kuat karena beberapa
tahun kemudian di dalam istana kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu
Sian, seorang wanita sakti yang menjadi "tante girang" di dalam istana
mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para panglima muda yang tampan,
Di samping Tok-siauw-kwi (ibu kandung Suling Emas) ini terdapat pula
selir raja yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk, Siang-mou
Sin-ni Coa Kim Bwee. Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti ini
tidak ada kerajaan makin mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara
Kerajaan Sung menjatuhkan kerajaan kecil ini.
Tokoh-tokoh yang
dikalahkan biasanya kalau tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul
dan merupakan kelompok yang menentang si Pemenang secara diam-diam.
Demiklan pula keadaan di bekas Kerajaan Hou-han ini. Orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian lalu mengadakan persatuan dan bersembunyi di
balik papan nama perkumpulan menjadi golongan dunia hitam yang diam-diam
mencari kesempatan untuk melawan atau setidaknya merongrong
pemerintahan yang tak disukainya. Di antara perkumpulan-perkumpulan
semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan terbesar, bahkan
boleh dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini adalah karena
bekas para panglima dan tokoh Kerajaan Hou-han banyak yang
menggabungkan diri dalam perkumpulan ini. Namun karena kesempatan untuk
melawan pemerintahan Sung tidak ada, apalagi setelah para panglima yang
benar-benar berjiwa patriotik meninggal dunia, jiwa perkumpulan
Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat. Dasar yang semula patriotik
tadinya terdorong setia kepada kerajaan berubah, berubah menjadi dasar
dunia hitam, dan tujuan yang menyeleweng jauh terdorong oleh nafsu
angkara murka untuk menguasai dunia, harta benda, nama besar dan
kemenangan mengandalkan kekuatan.
Sisa para panglima Hou-han
melihat ini sebanyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di
dusun-dusun dan pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak
Thian-liong-pang seluruhnya dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang
menjadi Ketua Thian-liong-pang adalah seorang bekas pendeta yang
berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti). Pendeta yang berasal dari
barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia hitam dan biarpun
jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah asuhannya,
Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang amat kuat. Semua anggauta
Thian-liong-pang rata-rata di gembleng ilmu silat tinggi. Apalagi murid
kakek itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah
perkasa. Murid-murid kepala sebanyak dua belas orang sedemikian
terkenalnya di dunia kang-ouw sehingga tokoh-tokoh yang besar sekalipun
tidak akan berani memandang rendah Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga)
dari Thian-liong-pang! Dua belas orang murid kepala yang menjadi murid
kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah mewarisi kepandaian kakek itu
menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah ketenaran mereka adalah
senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti).
Oleh karena
Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu tua dan pikun, juga sudah mulai lemah
karena tuanya, maka sebagai penggantinya ditunjuk muridnya yang paling
tua, seorang laki-laki tinggi besar bercambang bauk yang bertenaga besar
seperti gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia berjuluk Thai-lek-kwi
(Setan Tenaga Besar) bernama Ma Kiu. Ma Kiu ini dulunya seorang jagal
babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi anggauta Beng-kauw.
Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi anggauta
Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena
penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takutpula
akan hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia
melarikan diri ke utara. Di Yen-an ia memasuki Thian-liong-pang,
berhasil menarik hati ketuanyadan menjadi muridnya. Karena memang
tingkatnya sudah tinggi, maka ia segera menduduki seorang diantara murid
kepala yang lihai, bahkan kemudian terpilih menjadi murid nomor satu
dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti gurunya yang sudah tua,
yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang!
Gedung besar yang
menjadi markas Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an.
Agak janggal nampaknya bahwa jalan besar dimana gedung ini berdiri
kelihatan sunyi, bahkan gedung itu jauh dari tetangga. Namun orang tidak
akan merasa heran kalau mendengar bahwa para tetangga yang tadinya
tinggal dekat gedung itu berangsur-angsur diri sehingga rumah-rumah
kosong di sekitar jalan itu merupakan daerah yang dianggap tidak aman
bagi penduduk Yen-an. Hal ini dipergunakan oleh Thian-liong-pang untuk
memperluas markas mereka dengan membeli murah secara paksa rumah-rumah
dan pekarangan yang ditinggalkan.
Pada hari pengangkatan ketua
baru Thian-liong-pang, keadaan di situ lebih ramai diripada biasanya.
Banyak tamu hilir mudik mengunjungi Thian-liong-pang dan para penduduk
Yen-an hari itu merasa ketakutan selalu karena di kota Yen-an
berkeliaran banyak orang-orang aneh dan sikapnya menyeramkan. Karena itu
biarpun tidak tahu pasti, namun sudah dapat menduga bahwa para tamu
luar kota yang hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah tamu dari
Thian-liong-pang dan tentulah terdiri dari bukan orang baik-baik.
Memang dugaan ini tepat. Sebagian besar yang datang mengunjungi
Thian-liong-pang adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lin
dan kang-ouw (hutan lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok,
bajak, gerombolan-gerombolan yang mengabdi kepada hukum rimba
mengandalkan kekuatan untuk melakukan perbuatan apa saja yang mereka
kehendaki.
Hari itu semenjak pagi sekali telah banyak
orang-orang yang dandanannya aneh-aneh memasuki kota Yen-an. Menjelang
siang hari, orang-orang yang dengan hati berdebar tidak enak menonton
keramaian dan iring-iringan tamu ini, tertarik sekali melihat dua orang
muda yang keadaannya tidak kalah anehnya daripada orang-orang yang
menyeramkan lainnya, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak
kelihatan menyeramkan. Bahkan sebaliknya, dara remaja yang menunggang
kuda hitam itu, biarpun pinggangnya digantungi pedang dan gagang pedang
indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati dan sama sekali
tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang pria
yang memandangnya. Adapun temannya, seorang pemuda remaja pula, juga
berwajah tampan dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri,
mulutnya tersenyum-senyum. Bahkan ketika memasuki kota Yen-an, pemuda
ini dengan wajah berseri lalu meniup suling sambil berjalan di samping
kuda hitam! Sebatang golok besar dengan sarung pedang aneh, tidak
kelihatan menyeramkan sebaliknya malah tampak lucu, seakan-akan, pemuda
itu sengaja membadut dan menggantungkan golok untuk main-main saja.
Wajah Kwi Lan, dara yang menunggang kuda hitam, kelihatan gembira
pula. Setelah beberapa pekan lamanya melakukan perjalanan bersama Hauw
Lam, ia benar-benar mengenal watak pemuda ini sebagai seorang pemuda
yang selalu gembira, jenaka, ugal-ugalan namun pada dasarnya gagah
perkasa, tak kenal takut, berbudi dan.... selalu mengalah kepadanya.
Harus dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang
lain, apalagi dengan orang mudanya. Teman satu-satunya hanyalah Suma
Kiat, dan ia tidak suka kepada suheng ini, yang kadang-kadang
memperlihatkan sikap terlalu manis berlebih-lebihan kepadanya akan
tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh. Tidak mengherankan
apabila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan dalam waktu yang
tidak lama itu mereka telah menjadi sahabat yang akrab. Sukar bagi
seseorang untuk tidak ikut bergembira apabila melakukan perjalanan
dengan Hauw Lam. Apalagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya
memang lincah, jenaka dan suka bergembira.
Melihat betapa
temannya memasuki kota Yen-an sambil meniup suling dan dengan lenggang
dibuat-buat seperti seorang penari atau seperti orang berbaris, Kwi Lan
tersenyum geli. Ia maklum bahwa kedatangan mereka ke Yen-an bukanlah
sekedar pelesir, melainkan untuk mencari pengalaman dan lebih mendekati
petualangan karena yang akan mereka masuki adalah sarang penjahat atau
dunia hitam yang amat berbahaya! Akan tetapi melihat pemuda itu sedikit
pun tidak memperlihatkan rasa takut, ia menjadi kagum dan juga menjadi
gembira. Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang mudanya yang
tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari
belakang sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi
melihat bahwa dua orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir
kota, sebelum dekat mereka yang mengikuti sudah berhenti dan
membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.
Setelah tiba di
depan rumah gedung besar yang dihias arca singa batu dan papan nama
perkumpulan itu, Kwi Lan menghentikan kudanya dan Hauw Lam menghentikan
tiupan sulingnya. Dari luar gedung saja sudah terdengar suara banyak
orang di sebelah dalam. Beberapa orang penjaga menyambut mereka dengan
menjura dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang mukanya
penuh cambang bauk dan yang kelihatan terkejut sekali melihat dua orang
muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya terkejut itu berubah merah
dan ia segera menjura dan berkata.
“Ah, kiranya Nona Mutiara
Hitam dan Tuan.... Berandal yang datang berkunjung! Silakan masuk....!”
Melihat sikap Si Brewok ini, teman-temannya juga cepat memberi hormat
kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan mendengar nama julukan pemuda tampan
itu, diam-diam mereka merasa geli.
“Ha-ha-ha!” Kiranya Si Ouw
Kiu! Engkau masih hidup? Syukurlah kalau panjang umur. Kami datang
memenuhi janji hendak menonton keramaian sekalian menyampaikan sumbangan
kepada ketua baru Thian-liong-pang!” Teman-teman Ouw Kiu tercengang
mendengar ucapan dan menyaksikan sikap pemuda ini. Bicaranya begitu
seenaknya seperti kepada seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran
melihat betapa Ouw Kiu yang terkenal jagoan di antara mereka, begitu
menaruh hormat yang berlebihan terhadap seorang pemuda dan seorang
gadis cantik yang masih amat muda. Kalau semua temannya terheran, adalah
Ouw Kiu yang menjadi merah mukanya. Peristiwa di dalam hutan dua pekan
yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan Thian-liong-pang dan
para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal itu merendahkan
nama besar perkumpulan. Oleh karena itulah maka ketika tadi ia
menyebut nama Mutiara Hitam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu
bahwa dua orang inilah yang membunuh seorang anak murid
Thian-liong-pang. Dengan menahan kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.
“Ah, Ji-wi ternyata memegang janji. Silakan masuk! Nona, biarlah
orang-orang kami merawat kuda Nona itu. Silakan turun dan masuk ke
dalam!”
“Mana bisa barang sumbangan ditinggalkan di luar?” Kwi Lan berkata.
“Barang sumbangan....? Apakah maksud Nona....?”
Kwi Lan tersenyum. “Justeru kuda inilah barang sumbangannya untuk disampaikan kepada Ketua Thian-liong-pang!”
“Ah.... kuda bagus.... kuda hebat....!”
Ouw Kiu tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa kuda yang besar dan memang
hebat ini akan dipersembahkan kepada ketuanya. Kiranya dua orang muda
yang lihai ini telah merendahkan diri dan hendak menyenangkan hati
ketuanya dengan hadiah seekor kuda pilihan, pikirnya. Akan tetapi jangan
kira bahwa kalian akan dapat lolos dari sini, biarpun telah menyogok
dengan seekor kuda.
Melihat Ouw Kiu memuji-muji sambil
menjura.... seorang lain memberi isyarat dengan kedua tangan
mempersilakan mereka dan yang lain-lain juga menjura. Kwi Lan lalu
berkata, “Hayo, Berandal kita masuk saja. Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun
tentu suka mencicip arak wangi Thian-liong-pang!”
“Hayo, tunggu
apa lagi?” Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian ia menempelkan
suling pada mulutnya dan melangkah maju sambil meniup suling. Adapun
Kwi Lan tanpa mempedulikan gerak protes mulut, mata, dan tangan para
penjaga sudah menarik kendali dan memaksa kuda hitamnya untuk menaiki
anak tangga, terus menjalankan kudanya memasuki ruangan depan menuju ke
dalam!
Tentu saja para penjaga kaget dan bergerak hendak
mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik kepada teman-temannya dan
kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat karena gentar dan
sebentar merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa dua orang
itulah yang membunuh seorang kawan mereka.
“Jangan sembarangan
bergerak, mereka lihai sekali!” bisik Ouw Kiu. “Biarkan Pangcu yang
membereskan mereka!” Setelah berkata demikian, melalui pintu samping Ouw
Kiu mendahului masuk dan diam-diam melaporkan kepada pimpinan
Thian-liong-pang.
Pada waktu itu, Kakek Sin-seng Losu masih
duduk di kursi ketua sambil melenggut mengantuk. Akhir-akhir ini,
kakek yang sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut dan
banyak mengantuk. Kini ia telah mengenakan pakaian khusus untuk
upacara. Jubahnya baru dan indah di bagian dadanya terdapat gambar
sebuah timbangan. Inilah tanda bahwa dia sudah meninggalkan kedudukan
ketua dan kini menjadi penasihat yang mempertimbangkan dan memutuskan
segala macam perkara yang tak dapat diputuskan oleh ketua baru. Di
sebelah kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang
jagal babi itu. Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun
ini keren, apalagi jenggot dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya
melotot lebar seakan-akan selalu mengeluarkan sinar mengancam. Di
sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu calon ketua baru ini duduk atau
berdiri sebelas orang adik-adik seperguruannya yang terdiri dari
bermacam-macam orang. Ada Hwesio gundul, ada tosu, ada yang seperti
petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek Sin-seng
Losu berdiri seorang petugas yang membawa bendera Thian-liong-pang,
bergambar naga terbang.
Para tamu yang lebih lima puluh itu
semuanya sudah memenuhi ruangan, duduk di bangku-bangku memutari meja
bundar yang sudah disediakan. Pelayan-pelayan sibuk melayani mereka
dengan minuman dan makanan. Saat itu, upacara sudah hendak dilakukan,
akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu mencari-cari dengan pandang matanya,
kelihatan tak senang hatinya. Kemudian ia berbisik kepada suhunya yang
masih melenggut, setengah tidur setengah bersamadhi.
“Suhu, tamu sudah lengkap, Apakah tidak lebih baik dilakukan sekarang upacaranya?”
“Hemmm....?” kakek itu membuka mata malas-malasan, kemudian menoleh ke
arah kirinya, di mana terdapat sebuah bangku yang kosong. “Dia belum
datang?” Ma Kiu mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya. “Suhu,
sudah sejam lebih kita menanti, akan tetapi Siauw-te (Adik Seperguruan
Kecil) masih juga belum muncul. Dia, suka pergi berburu binatang, suka
pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak akan datang karena lupa akan
urusan hari ini.”
“Kita tunggu sebentar lagi.” bantah Si Kakek.
“Betapapun juga, Siangkoan Li adalah anak tunggal mendiang puteraku, dia
cucuku satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang sudah tidak ada,
sepatutnya dia menyaksikan upacara penting hari ini.”
Biarpun
di dalam hatinya merasa mendongkol sekali terhadap Siangkoan Li yang
memperlambat upacara pengangkatannya menjadi Ketua Thian-liong-pang
namun Ma Kiu tidak berani membantah kehendak gurunya. Siangkoan Li
adalah cucu Sin-seng Losu, semenjak kecil anak ini sudah ditinggal mati
ayah bundanya yang tewas dalam pertandingan. Kemudian ia dididik oleh
kakeknya dan biarpun ia cucu kakek ini, namun ia juga murid, maka dua
belas orang murid kepala atau lebih terkenal Dua Belas Naga
Thian-liong-pang itu memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal
Siangkoan Li masih amat muda, baru dua puluh tahun usianya.
Pada
saat itulah Ouw Kiu si Brewok datang melapor. Karena Sin-seng Losu
sudah melenggut lagi di atas kursinya, Ouw Kiu lalu melapor kepada
Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang kedatangan dua orang muda tadi. Tentu saja
Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali, mendengar bahwa dua orang muda yang
mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal dan telah membunuh seorang
anggauta Thian-liong-pang berani muncul. Akan tetapi oleh karena saat
pengangkatannya sebagai ketua sudah tiba, ia tidak ingin urusan yang
amat penting artinya bagi dirinya itu terganggu atau terkacau
keributan, maka ia menyabarkan hatinya yang panas. Apalagi ketika
mendengar laporan Ouw Kiu bahwa dua orang itu datang untuk menonton
upacara dan membawa hadiah seekor kuda yang bagus. Maka dia segera
berdiri dan menyambut. Melihat kakak tertua ini bangkit, otomatis
sebelas orang adik seperguruan itu bergerak pula dan mengikutinya
menyambut.
Terdengar suara nyaring kaki kuda menginjak-injak
lantai dan para tamu serentak menengok, disusul suara mereka riuh
membicarakan tamu yang baru muncul. Tentu saja cara Kwi Lan memasuki
ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar berbulu hitam,
amat menarik perhatian dan selain mendatangkan kaget, juga heran. Akan
tetapi disamping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum
karena tidak saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya
lebih menarik lagi, cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi
kemerahan, bibir manis tersenyum simpul. Hauw Lam menghentikan tiupan
sulingnya, lalu menjura ke arah tuan rumah, diam-diam ia memperhatikan
Ma Kiu dan sebelas orang adik seperguruannya. Biarpun belum pernah
bertemu dengan mereka, namun jumlah ini menimbulkan dugaan di hati
bahwa tentu inilah yang disebut Cap-ji-liong yang ditakuti orang itu. Ia
tersenyum dan berseru dengan suara nyaring.
“Kami, Dewi
Mutiara Hitam dan Dewa Berandal....” Sampai di sini Hauw Lam menoleh
kepada Kwi Lan yang tersenyum pula lalu melirik kepada semua tamu yang
mengeluarkan seruan heran mendengar sebutan dewa dan dewi tadi,
kemudian melanjutkan setelah keadaan menjadi sunyi senyap karena semua
orang memasang telinga penuh perhatian untuk mendengarkan apa yang ia
katakan selanjutnya, “..... secara kebetulan lewat
di Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya
hendak mengadakan upacara pengangkatan ketua baru. Maka kami ingin
sekali menonton keramaian dan Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan
memberi hadiah kuda hitamnya untuk Thian-liong-pang!”
Mendengar
dirinya disebut-sebut sebagai Sang Dewi Kwi Lan mengerutkan alisnya
dan cemberut, melompat turun dari kuda dan berkata, “Harap jangan
dengarkan obrolan Berandal ini! Kuda ini memang hendak kusampaikan
kepada Thian-liong-pang, akan tetapi bukan hadiah dariku, melainkan
hadiah dari Khitan untuk Thian-liong-pang!”
Mendengar ucapan
Kwi Lan berubah air muka dua belas orang “naga” dari Thian-liong-pang
itu. Ma Kiu segera berkata, suaranya berubah ramah, “Ah, kiranya Ji-wi
adalah utusan dari Pak-sin-ong? Sungguh merupakan penghormatan besar
sekali terhadap Thian-liong-pang dan salah paham yang terjadi beberapa
pekan yang lalu adalah kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi sudi
memaafkan.”
“Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan.” kata Kwi
Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw Lam. “Akan tetapi yang jelas,
kuda ini bukan sembarangan kuda, melainkan kuda keturunan kuda pribadi
Ratu Khitan. Harap Thian-liong-pang suka menerima. anugerah dari Ratu
Khitan ini.”
Kwi Lan bicara sejujurnya, karena di dalam hati ia
tetap condong untuk membela Ratu Khitan yang menurut penuturan guru
dan bibinya adalah ibu kandungnya sendiri. Akan tetapi Ma Kiu
mendengar ini, mengangguk-angguk dan bertukar pandang dengan sebelas
orang saudaranya.
“Kami mengerti.... kami mengerti dan terima
kasih banyak.... katanya. Tentu saja Kwi Lan tidak mengerti apa yang ia
maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip kepadanya, ia pun diam
saja. Ia lalu melompat turun dari kudanya dan memberikan kendali kuda
kepada Ma Kiu. Calon ketua itu menggapai seorang anggauta
Thian-liong-pang yang tinggi besar.
“Bawa kuda ini ke kandang dan pelihara baik-baik beri makan minum secukupnya!”
Orang tinggi besar itu memberi hormat dan menerima kendali. Akan
tetapi begitu ia menarik kendali, kuda hitam itu yang mencium bau orang
baru dan merasai tarikan keras, segera meringkik, membuka mulut dan
menerjang orang tinggi besar itu! Si Tinggi Besar terkejut dan berusaha
mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit sehingga ia
berkaok-kaok kesakitan dan ketika kuda itu melepaskan gigitannya, daging
pundak berikut baju sudah robek dan darah membasahi semua bajunya!
Tentu saja anggauta ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya.
Hauw Lam tertawa bergelak. “Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda
sembarangan!”
“Hemm, memang kuda pilihan. Twa-suheng, biarlah
aku yang membawanya ke kandang.” Seorang laki-laki berusia hampir empat
puluh tahun, bertubuh kecil kurus, melangkah maju, Dia ini adalah
seorang di antara Cap-ji-liong dan begitu Ma Kiu menganggukkan
kepala, Si Kurus sudah menyambar kendali kuda, lalu tubuhnya melayang
naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik dan
meronta-ronta, namun dengan menjepitkan kedua kaki ke perut kuda, Si
Kecil Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot
kendali kuda. Kuda hitam makin marah, melonjak-lonjak dan
meloncat-loncat tinggi menggerak-gerakkan punggungnya. Kalau orang
biasa tentu akan terlempar dari punggung kuda, akan tetapi ternyata Si
Kecil Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya mendoyong ke sana ke mari, namun
ia dapat duduk tegak dan tetap. Akhirnya, setelah hidung dan bibir kuda
mengeluarkan darah karena tertarik kendali, baru kuda hitam itu
kelelahan dan menurut saja disuruh berjalan keluar dari dalam ruangan
tamu!
Ma Kiu lalu mempersilakan dua orang tamu mudanya untuk
duduk di bagian depan. Hauw Lam berbisik. “Mereka mengira bahwa kita ini
tokoh-tokoh kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan memang biasanya
orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan sambil menyamar dan
merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang pemerintahan
Khitan. Tentu Si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi banyak
tamu, maka ia bilang mengerti!” Pemuda itu tertawa dan Kwi Lan juga
tertawa geli. Pelayan datang dengan cepat membawa minuman arak wangi
dan masakan-masakan lezat dan mahal. Karena memang sudah lapar dan
sudah lama tidak bertemu makanan lezat, Hauw Lam dan Kwi Lan tidak
sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu adalah seorang ahli
makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam masakan yang datang
membanjir! meja mereka Hauw Lam tiada hentinya mengoceh untuk
memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.
“Ini kodok goreng
istimewa. Kodok macam ini hanya terdapat dalam rawa-rawa dan daerah
selatan saja, dagingnya empuk, gurih dan harum sedap. Maka harganya pun
amat mahal. Sayang ini yang jantan, kalau yang betina lebih lezat. Akan
tetapi kodok betina jarang disembelih orang karena dibutuhkan telurnya.
Hanya Kaisar yang suka menyuruh buatkan kodok betina goreng!” Memang
luar biasa masakan kodok goreng itu. Berbeda dengan swike biasa, kodok
ini digoreng berikut kulitnya yang loreng-loreng, akan tetapi justeru
kulitnya itu yang enak, kemripik seperti krupuk udang. Juga berbeda
dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan, tidak keras.
“Wah, ini sop buntut menjangan namanya! Dimasak sop dengan campuran
kacang polong dan jamur kuning. Hebat! Tapi kalau terlalu banyak membuat
badan panas dan darah mengalir cepat. Sedikit cukup untuk menghangatkan
tubuh. Dan ini masak tim kaki burung raja air! Kau tahu apa itu burung
raja air? Bebek! Ini tim kaki bebek. Enak kenyilkenyil dan gurih. Wah,
yang di sana itu panggang ayam angkasa. Sedap!”
“Apa itu ayam angkasa?” Kwi Lan bertanya, gembira oleh penjelasan yang lucu ini.
“Ayam angkasa? Masa tidak tahu? Burung dara! Enak juga, cobalah.”
Sampai kenyang sekali perut Kwi Lan karena pandainya Hauw Lam
memperkenalkan setiap masakan sehingga tak dapat ia bertahan untuk
tidak mencicipinya.
“Eh, ini masakan apa? Mengapa dagingnya bundar-bundar tapi bukan bakso? Licin....!”
Hauw Lam mengulur leher menjenguk, lalu mengorek dengan sumpit untuk
memeriksa. “Ini....? Waaahh.... gila amat! Ini.... ini bukan makanan
wanita! Celaka! yang begini dikeluarkan. Sialan benar!” Ia mengomel
panjang pendek tanpa menjawab pertanyaan Kwi Lan.
Gadis itu tentu saja menjadi tertarik sekali, “Masakan apa sih? Kenapa bukan makanan wanita?”
Heran sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi merah dan ia tampak
gagap-gugup dalam menjawab. Padahal biasanya pemuda ini paling pandai
bicara. “Masakan.... waaahhh, bagaimana ini....? Ini masakan....
masakan....hemmmm....!” Karena mereka berdua tadi bicara keras tanpa
mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan terakhir ini pun
terdengar pula oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka mulai
tertawa-tawa geli menyaksikan sikap Hauw Lam ini.
“Ih, kenapa
kau? Sudah mabokkah? Masa menjawab masakan saja begitu sukar? Kalau
tidak mengenal, bilang saja terus terang, mengapa susah-susah amat?” Kwi
Lan menegur.
“Siapa bilang aku tidak mengenal masakan ini?
Semua masakan di dunia pernah kumakan. Aku pernah memasuki dapur
kaisar, pernah ikut dalam perjamuan Beng-kauw di selatan! Ini
masakan.... daging kambing saus tomat!”
“Uhh, hanya daging
kambing saja kenapa tidak dari tadi menyebutnya? Kau bohong agaknya!
Kalau benar hanya daging kambing, mengapa bentuknya bulat seperti ini?
Dan mengapa pula tadi kau hilang ini bukan makanan wanita?”
“Ha-ha-ha-ha! Itu bukan daging kambing, melainkan.... peluru kambing. Ha-ha-ha!” Riuh rendah suara ketawa itu.
Hauw Lam dan Kwi Lan menengok. Sejak tadi mereka sudah tahu bahwa tidak
jauh dari meja mereka, dalam jarak lima meter, terdapat enam orang
anggauta pengemis baju bersih yang duduk mengelilingi meja dan sejak
tadi memperhatikan mereka berdua. Enam orang pengemis itu rata-rata
sudah berusia enam puluh tahun lebih, hanya yang dua inilah mereka
masih muda dan kini dua orang inilah yang tertawa-tawa oleh ucapan
seorang di antara mereka tadi. Pada saat itu, Kwi Lan dengan sumpitnya
telah menusuk dua potong daging kambing itu yang memang berbentuk bundar
telur sebesar telur ayam.
“Hanya kambing jantan yang memiliki
peluru itu, kambing betina tentu saja tidak punya. Akan tetapi keliru
kalau orang bilang wanita tidak boleh memakannya, malah sebetulnya itu
makanan wanita, apalagi wanita cantik....! Ha-ha-ha-ha!” komentar
pengemis muda yang ke dua dan kembali dua orang yang duduknya menghadap
kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa sambil terang-terangan memandang kepada
gadis itu.
Akan tetapi, mendadak dua orang pengemis muda yang
sedang tertawa berkakakan itu terhenti ketawanya setelah mengeluarkan
suara “ha-haaauupp!” dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik
leher dan tangan kanan menunjuk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka
yang ternganga. Tanpa diketahui orang lain saking cepatnya gerakan
tangan Kwi Lan, dua buah daging bulat yang tadi berada di ujung sepasang
sumpitnya kini telah menyusup masuk ke tenggorokan dua orang itu
melalui mulut yang tadi terbuka lebar-lebar.
Empat orang
pengemis lain yang mengira bahwa dua orang temannya ini, tersedak
makanan sibuk menolong, menepuk-nepuk punggung mereka dengan keras
sambil bertanya-tanya. Akan tetapi dua orang itu hanya dapat
mengeluarkan suara seperti orang gagu karena kerongkongannya tersumbat.
Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk dan meloncat keluarlah
daging bulat seperti telur ayam itu, sedangkan seorang lagi, karena
daging itu belum keluar dan ia merasa napasnya hampir putus, dengan
nekat lalu memasukkan sumpit ke mulutnya dan mendorong daging di
kerongkongannya itu terus masuk! Akal ini menolong juga dan
terhindarlah ia daripada bahaya maut tercekik.
Kwi Lan yang
telah memberi hukuman kepada dua orang pengemis muda yang berani
mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi merah. Tidak hanya karena
marah, juga karena jengah setelah ia mendengar apa sebetulnya daging
bulat-bulat itu. Diam-diam ia memaki tuan rumah yang mengeluarkan
hidangan macam itu. Gadis ini memang masih asing dengan segala
masakan-masakan kota, apalagi masakan-masakan yang begitu mewah.
Semenjak kecil ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat Bibi Bi Li.
Kini untuk mengalihkan perhatian dari masakan yang dianggapnya tidak
pantas itu, lalu bertanya kepada Hauw Lam yang masih tertawa-tawa,
mentertawakan keadaan dua orang pengemis tadi.
“Dan ini, apakah ini? Untuk apa? Kelihatannya seperti darah.”
“Bukan darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu menambah asin atau manis masakan.”
Sementara itu, dua orang pengemis muda yang sudah bebas daripada
daging-daging bulat, kelihatan marah-marah, berdiri dan memandang ke
arah meja Kwi Lan sambil melotot. Empat orang kawannya yang lebih tua
juga sudah menengok semua dan mereka bicara berbisik-bisik satu kepada
yang lain, wajah mereka mengancam. Agaknya mereka sedang
mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan terhadap dua orang muda
itu tanpa mengganggu jalannya pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh
biasa saja yang datang mewakili pengemis golongan hitam, maka tentu
saja mereka segan untuk membuat gaduh dan kacau dalam pesta perayaan
pengangkatan Ketua Thian-liong-pang. Akhirnya mereka mengambil
keputusan untuk menanti sampai upacara berakhir, barulah akan memberi
hajaran kepada dua orang muda kurang ajar itu.
Pada saat itu
terdengar ribut-ribut di luar, bentakan suara laki-laki mengiringi
tangis wanita. Semua tamu menengok dan muncullah seorang laki-laki
tinggi besar berjubah seperti pendeta, akan tetapi rambutnya panjang
riap-riapan dan mukanya seperti seekor singa, matanya lebar dan bersinar
liar. Laki-laki berusia lima puluhan tahun ini memegang sebatang
cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia menggiring dua belas orang
wanita muda-muda dan cantik-cantik seperti seorang penggembala
menggiring ternak saja.Beberapa orang di antara wanita inilah yang
mengeluarkan suara tangisan, dan yang lain berjalan dengan muka pucat
dan mata penuh kecemasan.
Begitu memasuki ruangan itu, kakek ini
tertawa dan wajahnya menjadi makin menyeramkan. Rambutnya yang
riap-riapan dan terhias bunga-bunga cilan, semacam bunga yang wangi,
bergerak-gerak ketika ia tertawa. Melihat tamu ini,Thai-lek-kwi Ma Kiu
berubah air mukanya, menjadi girang dan segera turun sendiri menyambut
dan menjura.
“Wah, kiranya sahabat Ci-lan Saikong yang datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami.”
“Huah-ha-ha-ha! Thian-liong-pang terkenal dengan Cap-ji-liong (Dua
Belas Ekor Naga) yang sungguh gagah perkasa. Kini yang tertua di
antaranya akan menjadi ketua, benar-benar menambah keangkeran
Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk memberi hormat kepada
Sin-seng Losuhu, dan memberi selamat kepada Thian-liong-pang dengan
ketua barunya, dan karena pinceng seorang miskin yang hanya suka
mengumpulkan bunga-bunga harum maka pinceng hanya dapat memberi
sumbangan dua belas tangkai bunga harum ini untuk hiasan kamar Dua Belas
Naga dari Thian-liong-pang sehingga kamar mereka menjadi harum dan
membuat mereka enak tidur. Ha-ha-ha!” Kemudian kakek itu membunyikan
cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawanannya sambil
membentak, “Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru
kalian!” Karena agaknya sudah tahu akan kekejaman kakek itu, dua belas
orang gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka.
Para tamu yang hadir terdiri dari orang-orang golongan hitam, maka
peristiwa ini tidaklah mengherankan hati mereka, malah banyak di
antara mereka. tertawa-tawa dan terdengar komentar di sana-sini memuji
dua belas orang gadis itu dan menyatakan betapa senangnya menerima
sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi Ma Kiu dan
adik-adik seperguruannya serta para anggauta Thian-liong-pang menganggap
hal ini biasa dan sewajarnya saja. Akan tetapi karena saat itu adalah
saat yang penting dan di situ terdapat banyak tamu, Ma Kiu merasa malu
dan jengah juga. Ia kembali menjura dan berkata.
“Ah, Saudara
Ci-lan Sai-kong mengapa begitu sungkan? Kami tidak mengharapkan
sumbangan. Kedatanganmu saja sudah cukup menggirangkan hati kami!”
Sungguhpun tidak menolak secara berterang, namun kata-kata ini
menyatakan ketidaksenangan hati dengan sumbangan itu, karena diberikan
bukan pada saatnya yang tepat.
“Ha-ha-ha-ha!” Kakek itu tertawa
sambil mengelus jenggotnya yang kaku. “Sudah kukatakan tadi, pinceng
orang miskin dan hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa
para pimpinan Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan
pinceng maka pinceng membawa dua belas tangkai kembang ini. Jangan Sicu
(Tuan yang Gagah) khawatir, bunga-bunga ini masih murni, datang dari
keluarga baik-baik dan sengaja kupilih untuk Sicu sekalian!”
Pada saat itu, Si Tua Renta Sin-seng Losu yang tadinya duduk melenggut
mengantuk di atas kursi, kini tiba-tiba nampak segar, dan tidak
mengantuk lagi. Ia duduk tegak di kursinya, matanya yang setengah lamur
itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua belas orang gadis yang
berlutut di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi ia berkata,
“Sumbangan paling berharga diberikan orang, kenapa banyak rewel? Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku!”
“Huah-ha-ha-ha!” Ci-lan Sai-kong tertawa bergelak sambil berdongak
sehingga perutnya yang besar bergerak-gerak turun naik, “Sin-seng Losu
benar-benar mengagumkan sekali. Orang boleh tua tapi hati harus tetap
muda! Kalau Losuhu menghendaki, lain kali boleh pinceng kirim beberapa
tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan lebih harum!”
“Heh-heh, terima kasih.... ini sudah cukup.... banyak ....”
Biarpun dia sendiri seorang yang tidak pantang melakukan segala macam
maksiat, namun sebagai calon ketua perkumpulan besar, Ma Kiu merasa
malu juga mendengar percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah agar
suhunya yang sudah pikun dan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan
Sai-kong itu tidak mengeluarkan omongan-omongan yang tidak patut lagi,
ia segera menjura.
“Banyak terima kasih atas sumbanganmu, kami
persilakan duduk dan menikmati hidangan sekadarnya!” sambil menyuruh
adik-adik seperguruannya membawa para gadis itu ke belakang, ia sendiri
lalu mengantar tamu ini ke tempat duduknya.
Hauw Lam
mengerutkan alisnya, mukanya yang tampan dan biasa bergembira itu
berubah sama sekali, sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan Kwi
Lan melihat hal ini dan merasa heran. Mengapa pemuda, ini marah-marah?
“Kau kenapa?” Ia bertanya lirih.
“Kenapa? Hemm, tidakkah kaulihat mereka tadi....?” Hauw Lam menjawab
dengan pertanyaan pula. “Ci-lan Sai-kong itu, jai-hwa-cat terkutuk....”
“Apa itu jai-hwa-cat?”
Dalam kemarahannya, Hauw Lam berubah gemas dan mengomel. “Kau ini
benar-benar tidak tahu apa-apa! Tidak mengenal masakan masih tidak aneh,
akan tetapi seorang dara dengan kepandaian seperti kau ini yang patut
menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa itu jai-hwa-cat benar-benar
bikin hati mendongkol. Sekan-akan kau mempermainkan aku dan pura-pura
tidak tahu!”
Kwi Lan makin heran melihat pemuda ini bertambah
kemarahannya. “Eh, kau kenapa sih? Mabok agaknya, ya? Aku benar-benar
tidak tahu, kau marah-marah. Hayo jelaskan, apa sih yang dinamakan
jai-hwa-cat itu? Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan menjijikkan, tapi
ia seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang pendeta?
Setahuku, pendeta suka memetik daun-daun dan menggali, akar-akar untuk
obat. Memetik bunga (jai-hwa) untuk apa?”
“Kau benar bodoh, Mutiara Hitam !
Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan tetapi di balik kedoknya, ia
penjahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan bunga adalah seorang
gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan memetik bunga biasa,
melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kaulihat dua belas
gadis itu....”
“Hemm, mereka itu orang-orang tidak punya guna.
Mereka mau saja dijadikan barang sumbangan. Perlu apa dipikirkan
boneka-boneka hidup itu?”
“Mereka dipaksa!”
“Ih, aku tidak melihat mereka dipaksa. Mereka berjalan dengan sukarela sama sekali tidak melawan.”
“Mereka orang-orang lemah, bagaimana berani melawan?”
Kwi Lan mengangkat kedua pundak. Ia tetap tidak mengerti dan tidak
mempedulikan nasib dua belas orang wanita tadi. Hauw Lam makin
mendongkol. Gadis aneh yang telah merampas hatinya ini agaknya selain
berwatak luar biasa, juga, hatinya keras dan tidak mempedulikan nasib
orang lain.
Tiba-tiba terjadi keributan kembali dan masuklah
dari ruangan depan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih
tinggi kurus dan wajahnya tampang sikapnya agung dan pakaiannya biarpun
tidak baru, namun bersih dengan potongan pakaian pelajar. Di pinggang
orang ini tergantung sebatang pedang. Begitu masuk, semua orang tahu
bahwa pelajar tua ini sedang marah, sepasang matanya yang tajam
mengeluarkan sinar. Ia langsung melangkah lebar ke dalam ruangan tamu,
berhenti di depan Sin-seng Losu lalu menudingkan telunjuknya dan
berteriak.
“Sin-eng Losu! Bagaimana pertanggunganjawabmu
terhadap Thian-liong-pang? Kulihat betapa Thlan-liong-pang berubah
menjadi perkumpulan iblis yang jahat dan yang mengotorkan nama kami para
patriot Hou-han! Tadinya melihat muka mantumu, Siangkoan Bu yang gagah
perkasa dan dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan benar, aku masih
bersabar menyaksikan sepak terjangmu. Akan tetapi setelah Siangkoan Bu
meninggal, kau dan murid-muridmu makin merajalela melakukan
kejahatan-kejahatan yang keji, menyeret nama bersih Thian-liong-pang
sebagai tempat perkumpulan para patriot Hou-han menjadi perkumpulan
bangsat-bangsat dan penjahat-penjahat!”
Mendengar ucapan ini Ma
Kiu melompat bangun diturut sebelas orang adik seperguruannya. “Heh,
orang she Ciam! Engkau dahulu memang tokoh Thian-liong-pang, akan
tetapi dengan kehendakmu sendiri kau pergi mengundurkan diri sehingga
kalau tidak ada Suhu kami, tentu Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur
diperhina orang lain. Kini Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang
besar, dihormati orang di dunia kangouw, dan kau berani datang bersikap
kurang ajar terhadap Suhu? Apakah kau sudah bosan hidup?”
“Ciam-sicu, mengingat engkau masih bekas pemimpin Thian-liong-pang dan
mengingat akan hubungan kita yang lalu, biarlah kumaafkan kata-katamu
yang kasar tadi.” Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang. “Akan tetapi
katakanlah mengapa datang-datang kau memaki dan marah-marah? Bukankah
anak buahku sudah pula memberi kabar kepadamu dan memberi undangan?”
“Aku tidak peduli akan upacara pengangkatan ketua baru, asal saja
Thian-liong-pang dibawa ke jalan benar. Akan tetapi, aku sedang mengejar
Ci-lan Sai-kong Si Penjahat Pemetik Bunga yang terkutuk, yang telah
menculik belasan orang gadis. Siapa kira, dua belas orang gadis itu
diculiknya untuk diantarkan ke sini! Hayo menyangkallah kalau bisa!
Bukankah Sai-kong keparat itu mengantarkan mereka ke sini sebagai
sumbangan? Beginikah wataknya para pimpinan Thian-liong-pang sekarang?
Begini rendah dan bejat?”
“He-heh, Ciam-sicu. Apa pun yang
dipersembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik untuk
ditolak. Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik
orang lain. Memang kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan
tetapi kalau kau menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu,”
Kembali Ketua Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran. Ia
sebetulnya tidak takut terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah
karena mengingat akan perhubungan mereka yang lalu. Ciam Goan ini
dahulu adalah seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang dan terkenal
aktif serta setia terhadap perkumpulan. Baru sepuluh tahun yang lalu,
karena makin tidak suka akan sepak terjang pimpinan baru ia mengundurkan
diri dan tidak pernah mencampuri Thian-liong-pang. Baru sekarang ia
tiba-tiba muncul dan marah-marah karena melihat betapa penjahat pemetik
bunga yang dikejar-kejarnya itu memberikan gadis-gadis culikannya
sebagai sumbangan kepada pimpinan Thian-liong-pang!
“Sin-seng
Losu! Kau masih mempunyai rasa malu, itu bagus. Lekas bebaskan dua belas
orang gadis itu dan selanjutnya aku tidak akan mencampuri urusan
Thian-liong-pang lagi karena semenjak saat ini, aku bersumpah takkan
sudi lagi menginjak lantai ini!”
Mendengar kata-kata ini,
Sin-seng Losu menoleh ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya jelas
hendak mengalah dan gerakan mukanya merupakan perintah agar
murid-muridnya membebaskan dua belas orang gadis sumbangan Ci-lan
Sai-kong. Di dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya merasa mendongkol dan
marah sekali. Mereka memang suka dengan wanita-wanita cantik, akan
tetapi bagi mereka amat mudah mendapatkan wanita cantik, baik dengan
mengandalkan uang, kedudukan, maupun kepandaian dan tentu saja mereka
tidak begitu kukuh,untuk menahan dua belas orang gadis tadi. Akan
tetapi, sikap Ciam Goan amat merendahkan mereka dan kalau mereka
mengalah, mereka merasa malu kepada para tamu. Selain itu, mereka pun
tahu bahwa gurunya mengalah hanya karena mengingat bahwa Ciam Goan ini
dahulu bekas pemimpin Thian-liong-pang. Soal kepandaian, sungguhpun Ciam
Goan cukup lihai, namun mereka tidak gentar menghadapinya. Karena
inilah, Ma Kiu menjadi ragu-ragu untuk menyetujui sikap gurunya yang
mengalah.
Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras dan Ci-lan
Sai-kong sudah melompat bangun menghadapi Ciam Goan. Sambil bertolak
pinggang orang tinggi besar itu tertawa dan berkata. “Huah-ha-ha-ha!
Cacing kurus yang bicara besar dan sombong! Engkau bilang mengejar dan
mencari pinceng? Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng yang
menyumbangkan kepada dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena
pinceng masih berada di tempat ini, masih menjadi tanggung jawab
pinceng!”
“Bagus! Memang aku akan membunuhmu, jai-hwa-cat!”
bentak Ciam Goan dengan marah. Bekas tokoh Hou-han ini tidak peduli
akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah meluap-luap. Yang membuat
marah sekali bukan hanya melihat penjahat cabul penculik gadis-gadis
remaja itu, melainkan terutama sekali karena melihat betapa
Thian-liong-pang yang tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk
membangun kembali kerajaan yang sudah runtuh, kini ternyata
menyeleweng menjadi sarang penjahat kejam terkutuk. Maka kini dengan
kemarahan meluap ia mencabut pedangnya dan langsung menerjang Sai-kong
itu dengan tusukan kilat ke arah dada, Harus diketahui bahwa Ciam Goan
ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun seorang panglima
Kerajaan Hou-han dan dalam hal ilmu pedang, ia telah digembleng oleh
seorang pamannya, adik ibunya, juga seorang panglima, yaitu Panglima
Giam Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu
pedang Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan.
Mendengar suara angin pedang berdesing dan melihat serangan yang cepat
ini, Ci-lan Sai-kong tidak berani memandang rendah. Sambil berseru
keras ia sudah meloncat mundur sambil mengibaskan lengan bajunya yang
lebar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah menghunus
keluar sebatang golok tipis yang mengkilap saking tajamnya.
Ujung pedang di tangan Ciam Goan sudah datang lagi dengan tusukan kearah
leher. Kini Ci-lan Sai-kong menggerakkan goloknya menangkis sambil
mengerahkan tenaganya. Sai-kong ini adalah seorang ahli gwa-kang
(tenaga luar) sehingga tenaganya amat besar. Terdengar bunyi nyaring
ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali. Untung
tadi sudah menduga akan besarnya tenaga lawan, sehingga ia telah
mengerahkan Iwee-kang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat
menghadapi tenaga keras dengan tenaga lemas. Dengan cara ini, walaupun
tertangkis keras,pedangnya tidak terpental melainkan menempel pada golok
sehingga tidak ada bahaya terlepas atau rusak.
Selagi Sai-kong
itu terkejut karena tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat
pedang lawan terpukul jatuh, Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset
dan langsung dengan gerakan nyerong pedangnya itu menyambar ke arah
lengan kanan lawan. Inilah jurus ilmu pedang Kun-lun yang bernama
Hunin-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), amat berbahaya karena
yang diserang bukan bagian tubuh lain melainkan lengan kanan yang
memegang golok! Hebatnya jurus ini adalah karena pedang itu akan terus
mengulang gerakannya membabat dari kanan ke kiri dan sebaliknya tanpa
memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang. Kecepatannya
mengandalkan kepada gerak pergelangan tangan, maka cepatnya bukan main
dan lawan yang diserang tentu akan menjadi bingung.
Demikian
pula dengan Ci-lan Sai-kong. Melihat pedang lawannya membabat ke arah
lengan kanannya, ia kaget sekali dan cepat ia menarik lengan kanannya
sambil memutar golok, siap membalas. Akan tetapi alangkah kagetnya
ketika pedang yang lewat ke sebelah kirinya itu kini membalik dengan
kecepatan kilat dan telah membabat lagi ke arah pinggangnya! Tak
disangkanya lawan akan dapat mengulangi serangan sedemikian cepatnya,
maka ia pun menggerakkan golok menangkis. Namun tetap saja Ciam Goan
dapat terus menyambung serangannya, begitu tertangkis, pedangnya
membalik dan meluncur dengan babatan dari samping, demikian pula kalau
dielakkan sehingga Sai-kong itu mengalami penyerangan berantai yang
membuat dia repot menyelamatkan diri.
Akan tetapi, Ci-lan
Sai-kong juga bukan seorang lemah. Selain memiliki dasar ilmu silat
tinggi, juga ia sudah kenyang akan pengalaman bertanding. Inilah
sebabnya maka menghadapi serangan Hun-in-toan-san yang amat lihai ini ia
pun tidak kekurangan akal. Melihat betapa pedang lawan selalu membabat
dari kanan ke kiri dan sebaliknya, sedangkan yang diserang adalah
pinggang ke atas, tiba-tiba ia mengeluarkan bentakan keras dan tubuhnya
lalu rebah dan menggelinding ke atas tanah. Ia tidak hanya
menggelinding untuk menyelamatkan diri, melainkan juga berguling untuk
mendekati lawan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah, membabat
kaki lawan dan juga ada kalanya menusuk ke arah perut. Inilah
Tee-tong-to (Ilmu Golok Bergulingan) yang amat berbahaya. Segera
keadaan menjadi berubah. Kalau tadi Ciam Goan berada di pihak penyerang
dan pendesak dengan jurus Hun-in-toan-san, kini Si Penjahat Pemetik
Bunga itu yang mendesak dengan Tee-tong-to. Ciam Goan menjadi repot
sekali, harus meloncat ke sana ke mari dan pedangnya melindungi tubuh
bagian bawah, bagian yang amat sulit dilindungi dengan pedang.
“Wah, ramai betul!” Hauw Lam berkata dengan wajah gembira. “Kalau tidak hati-hati orang she Ciam itu tentu akan celaka.”
“Tidak mungkin!” bantah Kwi Lan.
“Biarpun ilmu pedangnya hanya permainan kanak-kanak, sedikitnya ia lebih baik daripada brewok itu.”
“Hauw Lam melirik ke arah gadis ini. Terlalu sombongkah gadis ini, atau
memang betul-betul berkepandaian begitu tinggi sehingga menganggap
ilmu pedang Ciam Goan yang jelas bersumber ilmu pedang Kun-lun itu
dianggap permainan kanak-kanak.
“Kumaksudkan bukan dalam
pertandingan melawan Sai-kong itu. Melawan dia, kiranya takkan kalah
karena kulihat Sai-kong itu hanya luarnya saja kelihatan kuat, akan
tetapi dalamnya sudah lapok seperti pohon tua, napasnya sudah hampir
putus. Yang kukhawatirkan adalah orang-orang Thian-liong-pang. Lihat
saja sikap Dua Belas Naga itu dan kurasa Ciam Goan belum tentu akan
dapat meninggalkan tempat ini dengan selamat.”
Kini Kwi Lan
yang merasa heran. Ia tidak berkata apa-apa, akan tetapi hatinya
penasaran. Ia belum berpengalaman seperti Hauw Lam, tidak mengenal watak
orang-orang kang-ouw.
Sementara itu, pertandingan antara dua
orang itu makin seru. Kini Ci-lan Sai-kong tidak lagi menggunakan
Tee-tong-to karena setelah puluhan jurus ia lakukan tanpa hasil, ia
menjadi kelelahan sendiri. Memang Tee-tong-to sungguhpun lihai dan
berbahaya bagi lawan, namun untuk memainkannya membutuhkan tenaga dan
napas panjang. Adapun Ci-lan Sai-kong, sungguhpun terlatih baik dan
banyak pengalaman, namun tepat seperti dikatakan Hauw Lam tadi di
sebelah dalam tubuhnya ia sudah lemah. Sai-kong ini adalah seorang abdi
nafsu, seorang yang selalu mengumbar nafsu sehingga tentu saja
kekuatan-kekuatan sebelah dalam tubuhnya menjadi lemah dan mana ia mampu
bertahan melawan seorang yang ulet dan kuat seperti Ciam Goan? Kini
keringatnya sudah membasahi muka dan leher, napasnya mulai
terengah-engah seperti orang dikejar setan.
Melihat keadaan
lawan ini, Ciam Goan lalu mendesak dan menerjang dengan jurus
Seng-siok-hut-si (Musim Panas Kebut Kipas). Jurus ini amat gencar
seperti gerakan kipas di tangan, bahkan lebih gencar serangannya
daripada jurus Hun-in-toan-san tadi. Tiga kali Sai-kong itu mengelak dan
menangkis, keempat kalinya ketika ujung pedang menotok iga kiri, ia
cepat melakukan jurus Hwai-tiong-po-gwat (Peluk Bulan Depan Dada) untuk
melindungi iganya dengan golok sambil tangan kirinya bergerak memukul
dada lawan. Namun siapa kira, Ciam Goan sudah merobah gerakan pedangnya,
ia tidak jadi menotok iga, melainkan memutar pedangnya ke kanan dan....
“crakkkk!” lengan kiri Sai-kong itu terbabat putus sebatas siku!
“Aduhh....!” Sai-kong itu terhuyung dan Ciam Goan sudah menerjang maju
untuk mengirim tusukan terakhir. Akan tetapi pada saat itu tampak sinar
putih meluncur cepat dan “traanggg....!” pedang di tangan Ciam Goan
terpental dan lepas dari pegangannya. Sebatang sumpit gading yang tadi
menghantam pedang itu jatuh ke atas lantai di depannya.
Pucat
wajah Ciam Goan. Kiranya Ma Kiu yang menyambitkan sumpit itu untuk
menangkis pedangnya dan menyelamatkan nyawa Ci-lan Sai-kong. Lemparan
sumpit saja sudah dapat meruntuhkan pedangnya. Baru lemparan sumpit
begitu hebat, apalagi kalau orangnya maju! Ciam Goan menghela napas dan
berkata,
“Kepandaian Thai-lek-kwi memang hebat. Seorang saja
sudah sehebat itu, apalagi kalau Cap-ji-liong dari Thian-liong-pang maju
bersama. Akan tetapi aku Ciam Goan seorang laki-laki yang tidak takut
mati. Majulah kalian semua dan mari kita mengadu nyawa di sini!” Sikap
Ciam Goan benar-benar amat gagah sehingga diam-diam Kwi Lan menjadi
kagum sekali. Diam-diam gadis ini sudah siap-siap untuk membela orang
gagah itu. Ia mendengar kawannya berbisik, “Kalau dia. dikeroyok,
hemmm.... akan kucabuti semua rambut dari muka Ma Kiu berikut bulu-bulu
hidungnya!” Mau tidak mau Kwi Lan tertawa geli mendengar ucapan ini.
Karena gadis wajar dan polos, maka suara ketawanya tidak ia tahan-tahan.
Padahal waktu itu, keadaan sudah amat tegang dan amat sunyi. Tidak ada
suara keluar dari para tamu yang menanti perkembangan selanjutnya yang
menegangkan. Tentu saja suara ketawa gadis ini terdengar jelas.
Sin-seng Losu lalu bangkit berdiri. Suara ketawa Kwi Lan tadi
seakan-akan menampar mukanya dan ia berkata, “Sudahlah kami sedang
hendak melakukan upacara penting tidak perlu pertandingan dilanjutkan
berlarut-larut. Apalagi, kami tidaklah serendah itu untuk melakukan
pengeroyokan terhadap seorang yang tidak berapa pandai seperti
Ciam-sicu, kau sudah berhasil mengalahkan Ci-lan Sai-kong, nah, tidak
lekas pergi dari sini mau tunggu apa lagi?”
Ciam Goan menghela
napas dan berkata, “Aku harus tahu diri, tak mungkin dapat melawan
kalian. Biarlah dua belas orang gadis ini tersiksa di sini, aku tidak
berdaya menolong. Akan tetapi ingat, Ciam Goan bukan seorang yang mudah
melupakan kejahatan macam ini. Lain kali kita bertemu pula!” Setelah
berkata demikian, Ciam Goan memungut pedangnya lalu pergi meninggalkan
tempat itu. Ci-lan Sai-kong sudah ditolong dan diobati lengannya yang
buntung, tempat itu sudah dibersihkan oleh pelayan dan Ci-lan Sai-kong
sudah disuruh mengaso di kamar belakang.
“Cu-wi sekalian
dipersilakan berdiri, upacara akan dilakukan sekarang juga!” Sin-seng
Losu berseru keras dan semua tamu bangkit berdiri dari tempat duduk
masing-masing. Biarpun merasa tak senang, Kwi Lan yang melihat Hauw Lam
berdiri dengan muka melucu, terpaksa bangkit juga. Suasana kembali
menjadi sunyi sehingga langkah seorang murid kepala Thian-liong-pang
yang membawa panci, diikuti saudara-saudaranya, terdengar nyata. Sambil
berlutut murid itu memberikan panci kepada Sin-seng Losu yang sudah
bangkit berdiri dari kursinya. Dengan kedua tangan ia memegang panci itu
dan pada saat itu Thai-lek-kwi Ma Kiu maju dan berlutut menghadap para
tamu. Seorang murid lain datang pula dari belakang dan terdengarlah
hiruk-pikuk suara anjing menggonggong. Kiranya murid ini datang menyeret
seekor anjing hitam ke depan gurunya. Tanpa berkata sesuatu Sin-seng
Losu menggerakkan tangan kiri dengan dua jari terbuka, menusuk leher
anjing hitam itu. Terdengar anjing itu menguik keras akan tetapi oleh
murid tadi ekornya dipegang dan tubuhnya diangkat ke atas. Dari
lehernya yang berlubang bercucuran darah yang ditampung oleh Sin-seng
Losu ke dalam panci tadi. Anjing tadi meronta-ronta dan menguiknguik,
akhirnya darahnya habis dan ia berhenti berkelojotan. Bangkainya lalu
dilemparkan ke sudut oleh Si Murid yang lalu mengundurkan diri. Beberapa
orang pelayan lalu mengangkat bangkai itu ke belakang dan Kwi Lan
mendengar suara Hauw Lam berbisik di belakangnya, “Hemm, tentu dimasak
daging anjing itu.”
“Ihhh....!” Kwi Lan berseru kaget, akan
tetapi mereka lalu mengalihkan perhatian lagi ke tengah ruangan di mana
Sin-seng Losu memegang panci berisi darah anjing hitam. Kakek ini lalu
mengangkat panci tinggi-tinggi dan berkata.
“Dengan disaksikan
oleh Cu-wi sekalian, dan dengan syarat sudah ditentukan dalam
perkumpulan Thian-liong-pang kami, saat ini aku menyerahkan kedudukan
Pangcu (Ketua) kepada muridku yang pertama, Ma Kiu. Nyawa anjing hitam
itu menjadi saksi dan darahnya menghalau semua iblis yang hendak
mengganggu tugasnya!” Setelah berkata demikian, Sinseng Losu
menyiramkan darah anjing hitam itu ke atas kepala Ma Kiu yang botak!
“Ihhh....!” kembali Kwi Lan berseru dan seperti terpesona ia pun
menuangkan kecap dari botol ke dalam cangkirnya sampai penuh! Kecap itu
kental dan merah seperti darah.
“Hemmm, benar-benar keji dan
kotor.” bisik Hauw Lam di belakangnya. “Mutiara Hitam, aku sudah muak
dan gatal-gatal tanganku diam saja sejak tadi di sini. Apakah
menyaksikan lagak badut-badut ini kita harus diam saja? Hayo kau
ramaikan tontonan di sini, kautarik perhatian mereka dan aku akan masuk
menolong gadis-gadis tadi. Atau aku yang memancing keributan sedangkan
kau yang menolong ....?”
“Ah, peduli amat dengan mereka. Kalau
kau mau menolong, pergilah. Aku.... aku ingin mencoba sampai di mana
kelihaian mereka ini!”
Hauw Lam mengangguk lalu diam-diam ia
menyelinap pergi menggunakan kesempatan selagi semua orang mencurahkan
perhatian kepada upacara pengangkatan ketua baru. Kwi Lan yang memang
sejak tadi mendongkol dan tidak senang, mendengar niat Hauw Lam hendak
menolong dua belas orang gadis-gadis itu, entah mengapa hatinya makin
tidak senang lagi. Dan kini ia ingin menumpahkan kemarahan hatinya
kepada orang-orang Thian-liong-pang. Ia membawa cangkir kecap itu menuju
ke depan, lalu berkata.
“Pangcu yang baru diangkat dengan
siraman darah anjing. Kalau dia suka darah biarlah aku mengucapkan
selamat dengan darah naga ini!” Kwi Lan tersenyum manis dan begitu ia
menggerakkan tangan kanan, “darah” dalam cangkirnya menyiram keluar
dan dengan kecepatan luar biasa menyambar kepala dan muka Ma Kiu yang
masih berlepotan darah akan tetapi sudah duduk di kursi ketua yang tadi
diduduki suhunya!
Namun Ma Kiu memang lihai. Tanpa turun dari
kursinya, ia mengerahkan tenaga dan.... berikut kursi yang didudukinya
ia telah meloncat kursinya itu telah pindah ke kiri sejauh satu meter!
Akan tetapi karena sambaran kecap itu luar biasa cepatnya, ia tidak
dapat menghindarkan lagi sebagian kecap menyiram pipinya dan memasuki
mulutnya. Ketika ia tahu bahwa yang menyiram mukanya adalah kecap,
mengertilah Ma Kiu bahwa gadis itu sengaja mencari gara-gara. Akan
tetapi karena tadi mengira bahwa gadis itu adalah utusan Jin-cam
Khoa-ong, Ma Kiu masih menahan kemarahannya, lalu berseru dengan nada
marah.
“Nona sebagai tamu yang kami hormati, sebagai utusan Pak-sin-ong yang kami muliakan, apakah arti perbuatanmu ini?”
Kwi Lan tersenyum mengejek. Sejak tadi ia sudah tidak senang kepada
mereka, terutama Ma Kiu. Ia memang tidak peduli akan nasib dua belas
orang wanita muda tadi, akan tetapi mereka itu ia anggap terlalu
sombong, tidak memandang mata kepadanya sehingga melakukan apa saja di
depannya seakan-akan ia tidak akan bisa berbuat sesuatu! Memang watak
Kwi Lan aneh sekali dan ia hanya selalu menurutkan perasaan hatinya.
Kalau perasaan hatinya suka, seperti terhadap Hauw Lam, ia pun akan
bersikap baik.
“Artinya, Brewok, bahwa aku setuju dengan ucapan
orang she Ciam tadi, bahwa Thian-liong-pang dipimpin oleh orang-orang
yang busuk! Bahwa kuanggap engkau seorang yang suka mandi darah anjing
hitam, tak patut menjadi Ketua Thian-liong-pang, patutnya menjadi tukang
jagal anjing!”
Semua orang terbelalak kaget mendengar ini dan
semua tamu menahan napas. Omongan itu merupakan penghinaan yang tiada
taranya! Apalagi bagi mereka yang mengenal bahwa dahulunya Ma Kiu
adalah seorang tukang jagal, maka omongan gadis itu yang entah disengaja
atau tidak mereka tidak tahu tentu amat menyakitkan hati ketua baru
Thian-liong-pang ini. Dan memang sesungguhnyalah, setelah sesaat
terbelalak seperti arca saking kaget dan herannya, wajah Ma Kiu
perlahan-lahan menjadi merah sekali sampai ke telinganya. Kedua
tangannya mencengkeram lengan kursinya dan kalau ia tidak ingat bahwa
kursi itu adalah kursi ketua tentu telah diterkamnya hancur lengan kursi
itu untuk melampiaskan kemarahannya.
“Bocah kurang ajar!”
bentaknya, Suaranya menggetar saking marahnya. “Biarpun engkau utusan
dari utara, apa kaukira kau boleh bersembunyi di balik nama Jin-Cam
Khoa-ong untuk menghinaku?”
Kwi Lan tertawa, menggunakan tangan
kanannya secara main-main meremas cangkir bekas kecap tadi sehingga
cangkir itu hancur lebur menjadi tepung dalam genggaman tangannya yang
berkulit halus lalu berkata.
“Siapa bilang aku kaki tangan
Jin-cam Khoa-ong? Biar dia algojo manusia maupun algojo anjing seperti
engkau, aku sama sekali tidak mengenalnya. Siapa kesudian bersembunyi
di belakang namanya?”
Mendengar ini, kembali semua orang
melengak kaget. Kalau dara remaja itu tadi bersikap ugal-ugalan dan
kurang ajar, mereka semua mengira bahwa gadis itu adalah kepercayaan
Jin-cam Khoa-ong dan hal itu tidaklah begitu aneh. Akah tetapi setelah
kini gadis itu sendiri menyangkal menjadi orang Pak-sin-ong dan berani
menghina tokoh besar itu pula di depan orang banyak, benar-benar mereka
menjadi kaget dan heran sekali. Gilakah dara remaja ini? Kalau gila,
alangkah sayangnya, dara remaja begitu cantik jelita!
Lebih-lebih lagi Ma Kiu sendiri. Kemarahannya meluap-luap dan diam-diam
ia pun lega bahwa dara ini bukan utusan Jin-cam Khoa-ong, karena dengan
kenyataan ini ia boleh berbuat sesuka hatinya, terhadap gadis ini.
“Bagus!” teriaknya sambil bangkit berdiri. “Kalau begitu, biarlah kau
menjadi tawanan kami dan akan kaurasakan penderitaan yang akan membuat
kau merindukan kematian!” Dalam suara ini terkandung ancaman yang hebat
dan mengerikan. Akan tetapi Kwi Lan tidak mengenal apa itu artinya
takut danngeri. Ia malah tertawa.
“Sudah, jangan membadut lagi.
Sudah sejak tadi aku muak mendengar dan melihat segala yang terjadi di
sini. Lekas keluarkan kuda hitamku, Nonamu hendak pergi!” Sambil berkata
demikian Kwi Lan menggunakan tangan kiri untuk mengebut-ngebutkan
bajunya. Karena ia baru saja melakukan perjalanan jauh bersama Hauw Lam
dengan naik kuda, tentu saja pakaiannya banyak debunya dan begitu ia
kebut-kebutkan, debu mengepul ke sekelilingnya dan mengotori meja-meja
tamu lainnya.
“Wanita keparat! Kau belum tahu lihainya tuan
besarmu!” Thai-lek-kwi Ma Kiu sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi
dan kini hendak melangkah maju. Akan tetapi terdengar suara Sin-seng
Losu di belakangnya.
“Seorang ketua tidak sepatutnya melayani
segala anak kecil. Apakah Thian-liong-pang sudah tidak ada orang lain
untuk membereskan kuda betina liar ini? Hayo, siapa berani maju
menangkapnya? Tangkap dan bawa ke kamarku, aku butuh yang liar macam ini
untuk menambah semangatku!”
Untung bahwa Kwi Lan masih hijau
dan tidak tahu apa yang dimaksudkan kakek ini. Kalau ia tahu tentu ia
takkan dapat menahan kemarahannya lagi. Tiba-tiba dari golongan tamu
melompat keluar seorang laki-laki muda yang berpakaian tambal-tambalan
namun bersih. Pengemis muda ini menjura ke arah kursi ketua dan berkata.
“Betul apa yang dikatakan Losuhu tadi. Thian-liong-pang tidak perlu
repot-repot, di antara tamu-tamu yang hadir masih banyak yang sanggup
menangkap bocah ini. Biarlah saya menangkap siluman cantik ini untuk
Thian-liong-pang!”
“Ha-ha-ha, sahabat-sahabat dari Hek-coa
Kai-pang memang selalu merupakan sahabat-sahabat baik kami. Tidak
percuma bersahabat dengan Hek-coa Kai-pang. Silakan Siauw-sicu” kata
Sin-seng Losu.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong,
mengangkat muka dan membusungkan dadanya, melangkah maju menghampiri Kwi
Lan. Dia adalah seorang di antara dua pengemis muda yang tadi dipaksa
menelan daging kambing oleh Kwi Lan, maka tentu saja ia tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membalas penghinaan tadi. Akan
tetapi karena wataknya memang mata keranjang, begitu melihat wajah
jelita, hatinya sudah berdebar-debar dan timbul niat hatinya untuk
mempermainkan Kwi Lan. Ia tersenyum dibuat-buat, matanya memandang
kurang ajar, dan berkata,
“Nona kecil bermulut besar! Kau tidak
tahu tingginya langit lebarnya bumi! Berani mengacau Thian-liong-pang
dan tidak memandang sebelah mata kepada para tamunya. Dosamu besar
sekali dan sudah sepatutnya kau dihukum mati. Akan tetapi tuan mudamu
yang melihat bahwa kau masih muda remaja dan cantik jelita, bersedia
memberi ampun asal saja kau suka berlutut dan menganggukkan kepala
delapan kali lalu berjanji akan melayani dengan manis segala kehendak
Sin-seng Losuhu dan.... aduuuhhh....” Pengemis muda itu tidak
melanjutkan kata-katanya karena ia keburu mati dengan gosong dan
tulang-tulangnya remuk.
Pukulan Kwi Lan yang disertai kemarahan hebat itu membuat ia terlempar sampai menimpa meja di depan Ma Kiu si ketua baru!
Kagetlah semua yang hadir di situ. Terutama sekali lima orang pengemis
anggauta Hek-coa Kai-pang yang melihat seorang saudaranya dalam
segebrakan saja terpukul tewas, segera melompat bangun dari tempat
duduk masing-masing. Saudara muda mereka tadi, biarpun bukan anggauta
pimpinan teratas dari Hek-coa Kai-pang, namun merupakan seorang tokoh
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga. Bagaimanakah dapat roboh
binasa hanya sekali pukul oleh gadis remaja itu? Sekali melompat mereka
tiba di dekat meja Ketua Thian-liong-pang yang tertimpa tubuh saudara
muda mereka dan begitu melihat dada dan muka pengemis muda itu biru
menghitam, mereka mengeluarkan seruan kaget dan marah. Hek-coa Kai-pang
adalah perkumpulan pengemis dunia hitam yang terkenal akan kelihaian
mereka bermain racun. Kini seorang anggauta mereka tewas oleh pukulan
yang mengandung racun hebat!
“Thian-liong-pangcu, maafkan kami
yang terpaksa harus turun tangan terhadap siluman betina ini!” berkata
seorang di antara lima orang pengemis itu kepada Ma Kiu. Setelah berkata
demikian lima orang pengemis ini sudah meloncat dan mengurung Kwi Lan
yang berdiri dengan sikap tenang. Di tangan mereka tampak pedang yang
sudah siap untuk menerjang dan mengeroyok. Akan tetapi melihat pukulan
beracun yang hebat itu, pula mendengar bahwa gadis itu tadi menyangkal
sebagai utusan Pak-sin-ong, pengemis tertua berlaku hati-hati dan
berkata.
“Nona muda, engkau sudah berani lancang tangan membunuh
seorang di antara saudara kami. Hayo mengaku, siapakah engkau dan dari
partai mana agar kami dapat mempertimbangkan tindakan kami selanjutnya
terhadap dirimu.” Kata-kata ini mengangkat kedudukan para pengemis itu
ke tempat atas dan memang inilah yang dimaksudkan oleh pengemis itu
untuk menutup rasa malu karena mereka berlima mengurung seorang nona
muda.
“Apakah kau tuli? Tadi sudah diperkenalkan namaku Mutiara
Hitam, bukan dari partai manapun juga. Saudaramu mampus oleh tingkahnya
sendiri. Apakah masih ada lagi yang sudah ingin mampus? Kalau ada,
boleh maju biar aku membantunya pergi ke neraka agar dunia ini tidak
terlalu kotor. Kalau tidak ada, hayo keluarkan kuda hitam, Nonamu sudah
jemu dan ingin pergi dari sini.”
Pengemis tua itu tak dapat
menahan kemarahannya dan berseru. “Saudara-saudara, kalau kita tidak
dapat membalas kematian saudara muda kita, percuma saja menjadi
anggauta Hek-coa Kai-pang!” Seruan ini merupakan komando bagi
teman-temannya dan serentak mereka menggerakkan pedang mengirim
serangan. Akan tetapi lima orang pengemis ini hanya melihat Si Nona
tidak berpindah tempat melainkan menggerakkan kedua tangannya dan....
pedang mereka membalik dan menghantam diri mereka sendiri. Benar-benar
amat luar biasa gerakan kedua tangan Kwi Lan ini. Setiap sambaran
pedang ia sambut dengan tangan terbuka dan dengan gerakan aneh yang
mengeluarkan hawa pukulan amat kuatnya, pedang yang menyambar dadanya
membalik ke dada Si Pemegang Pedang, yang menyambar pundak membalik ke
pundak Si Penyerang dan demikian seterusnya sehingga terdengar
teriakan-teriakan kesakitan ketika lima orang pengemis ini roboh
berturut-turut oleh bacokan-bacokan dan tusukan-tusukan mereka sendiri!
Melihat gerakan luar biasa yang mendatangkan akibat aneh itu, Ma Kiu
yang berkepandaian tinggi maklum bahwa biarpun masih amat muda, gadis
itu benarbenar lihai sekali. Kalau tidak lekas turun tangan membekuk
atau membinasakan gadis yang mengacau perkumpulannya ini tentu
setidaknya akan mengurangi keangkeran Thian-liong-pang, demikian
pikirnya. Maka ia lalu berseru. “Tangkap siluman ini!” Ia memberi
isyarat dan sebelas orang adik seperguruannya mengikuti gerakannya
menghampiri Kwi Lan. Gadis ini teringat akan cerita Hauw Lam akan
kehebatan Cap-ji-liong yang katanya disegani oleh tokoh-tokoh kang-ouw,
maka ia bersikap hati-hati namun wajahnya tetap berseri dan bibirnya
tersenyum mengejek.
“Inikah yang disebut Dua Belas Ekor Naga dari Thian-liong-pang? Hemm, Sungguh gagah!” kata Kwi Lan sambil tersenyum.
Merah muka Ma Kiu. Sebagai ketua baru Thian-liong-pang, sungguh amat
memalukan kalau ia harus maju bersama sebelas orang sutenya untuk
mengeroyok seorang gadis remaja. Nama Cap-ji-liong sudah tersohor. Masa
kini menghadapi seorang gadis remaja mereka harus maju bersama? Akan
tetapi gadis ini aneh ilmu silatnya, dan kalau sekali turun tangan
Cap-ji-liong tidak mampu merobohkannya, hal itu akan lebih memalukan
lagi.
“Bocah, kalau kau sudah mendengar tentang Cap-ji-liong,
mengapa banyak tingkah? Cap-ji-liong selamanya maju bersama. Karena kau
menjadi tamu, berarti kami kurang sopan kalau turun tangan di sini.
Jika engkau benar-benar berani kami menantangmu untuk mengadu kepandaian
di ruangan silat!”
Ucapan ini sedikit banyak menghapus rasa
malu pihak Thian-liong-pang karena berarti bahwa dua belas orang
tokohnya bukan sekali-kali hendak mengeroyok begitu saja, melainkan
telah melakukan tantangan secara berterang. Kalau gadis ini tahu diri
dan menolak tantangan lalu pergi meninggalkan tempat itu tentu
Cap-ji-liong tidak akan menghalanginya. Semua tamu menduga bahwa, tentu
gadis itu akan mempergunakan kesempatan ini untuk pergi menyelamatkan
diri, karena melawan Cap-ji-liong berarti mencari mati. Akan tetapi
alangkah kaget hati mereka ketika melihat gadis itu tersenyum lebar dan
menjawab,
“Kalian menantangku? Boleh, siapa takut akan
pengeroyokan kalian? Hayo, hendak kulihat seperti apa kepandaian
Cap-ji-liong!” Kwi Lan yang tidak mengenal apa artinya takut, tentu
saja tidak dapat menolak tantangan ini, yang diucapkan dengan kata-kata
“kalau ia berani!” Ia seorang gadis remaja yang baru saja turun ke dunia
ramai sama sekali belum berpengalaman hanya mengandalkan kepandaian
luar biasa dan keberanian saja. Kalau ia berpengalaman, tentu ia akan
menaruh curiga mengapa Cap-ji-liong menantangnya dengan memilih tempat.
“Bagus!” seru Ma Kiu. “Mari ke lian-bu-thia (ruangan silat), biarlah
para tamu yang terhormat menjadi saksi bahwa kau menerima tantangan
Cap-ji-liong untuk bertanding di lian-bu-thia!”
Sambil
membusungkan dada, sedikit pun tidak gentar, Kwi Lan berjalan mengikuti
Ma Kiu ke ruangan belakang di mana terdapat ruangan silat yang luas dan
berbentuk bundar. Sebelas orang adik seperguruan Ma Kiu berjalan di
belakangnya, kemudian berbondong-bondong para tamu yang ingin
menyaksikan pertandingan itu membanjiri ruangan silat pula.
Kini mereka telah berhadapan. Kwi Lan memperhatikan mereka. Ma Kiu yang
menjadi pimpinan berdiri di tengah sedangkan sebelas orang lain berdiri
di kanan kirinya. Mereka tampak gagah dan keren dan melihat gerak-gerik
mereka, memang dapat dibayangkan bahwa Cap-ji-liong rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Juga usia dan pakaian mereka bermacam-macam. Ada yang
sudah tua, ada yang masih amat muda. Ada yang berpakaian seperti tosu,
ada yang gundul seperti hwesio, dan ada yang berpakaian seperti pelajar.
Anehnya, kini mereka telah memakai sebuah tali yang mengikat kepala
mereka, tali yang dipasangi sebuah batu permata kuning dan terpasang di
atas dahi mereka. Juga Ma Kiu kini memakai tali semacamitu. Ia tidak
tahu bahwa itulah tanda khas tokoh Thian-liong-pang dan batu kuning itu
diberi nama mustika naga.
“Majulah!” Kwi Lan menantang, sikapnya acuh tak acuh.
Terdengar suara “set-set-set!” teratur ketika kaki dua belas orang itu
mulai bergeser dengan cepat mengatur barisan mengurung. Mereka tidak
melangkah, tidak mengangkat kaki melainkan bergeser sehingga sepatu
mereka menimbulkan suara di atas lantai. Keadaan menjadi hening dan
tegang semua tamu memandang ke arah Kwi Lan yang menjadi pusat
perhatian karena nona ini sudah terkurung di tengah-tengah!
Dua
belas orang itu masih terus bergerak menggeser kaki sehingga tubuh
mereka bergerak mengitari Kwi Lan, suara geseran kaki mereka kini
berbunyi susul-menyusul seperti desis ular, Kwi Lan masih berdiri diam
tak bergerak, hanya biji matanya yang bergerak-gerak, mengerling dan
mengikuti gerakan mereka di sebelah depan. Kedua telinganya
memperhatikan gerakan di belakangnya dengan seksama, setiap urat syaraf
di tubuhnya menegang, siap sedia, akan tetapi wajahnya masih tenang
dengan senyumnya mengejek
Tiba-tiba saat yang dinanti-nantikan
oleh semua orang tiba. Dengan teriakan nyaring seorang anggauta
Cap-ji-liong yang muda, bertubuh tinggi kurus bermuka seperti tikus,
menerjang Kwi Lan dari sebelah belakang. Agaknya laki-laki muda ini
tertarik oleh kecantikan wajah dan keindahan bentuk tubuh Kwi Lan
sehingga ia menyerang bukan memukul, melainkan memeluk ke arah pinggang
dengan kedua lengannya. Namun gerakannya ini mendatangkan angin hebat
dan tak boleh dipandang ringan. Pada detik berikutnya, anggauta lain,
seorang tosu, mengulur tangan dari sebelah kiri untuk mencengkeram
pundak, disusul serangan saudaranya dari depan, kanan, dan kemudian dua
belas orang itu sudah bergerak serentak susul-menyusul dengan teratur
baik sekali. Gerakan mereka yang teratur itu lebih merupakan gerakan
dalam sebuah barisan dan sekaligus mereka telah menutup semua jalan
keluar bagi Kwi Lan! Kiranya Ma Kiu dan adik-adiknya tidak mau
menyia-nyiakan waktu dan sekali turun tangan mereka tidak main-main
lagi.
Pendengaran Kwi Lan yang tajam mewakili matanya. Ia tahu
bahwa penyerang pertama datang dari belakang. Dengan mudah ia
mendoyongkan tubuh mengelak, kemudian secara tiba-tiba kaki kanannya
menendang ke arah tangan tosu yang mencengkeram pundak kirinya,
disambut dengan gerakan meloncat ke atas dan melihat betapa para
pengeroyoknya turun tangan secara bergiliran, tubuhnya yang meloncat ke
atas itu tiba-tiba melakukan gerak berputaran secara cepat sekali.
Hebat bukan main gerakan gadis ini, cepat dan aneh. Karena gerakan
memutar di udara ini sukar diikuti gerakan tangan dan kakinya, akan
tetapi tahu-tahu ia telah menangkis semua serangan lawan dengan tangan
atau dengan kaki, bahkan masih berkesempatan membagi pukulan dan
tendangan yang mengenai empat orang lawannya. Mereka mengaduh dan
berseru kaget, tak menyangka bahwa selain dapat bergerak cepat itu,
bekas tangan atau kaki gadis itu amat berat menimpa pundak dan dada.
Sesaat barisan itu kacau, akan tetapi Ma Kiu berseru keras dan barisan
menjadi rapi kembali pada saat gadis itu sudah menurunkan tubuhnya dan
berdiri di tengahkurungan. Ia tersenyum-senyum karena dalam gebrakan
pertama ini ia berhasil memperlihatkan kelihaiannya!
Kini para
tamu menjadi berisik sekali. Mereka kagum dan kaget bukan main. Ketika
tadi dua belas orang itu menyerang secara bertubi-tubi dan setiap
serangan merupakan pukulan dan cengkeraman yang lihai, diam-diam
mereka menduga bahwa gadis ini mencari mati. Akan tetapi siapa kira,
gadis itu dapat bergerak seperti kilat cepatnya dan hampir sukar
dipercaya betapa gadis itu bukan hanya dapat menangkis semua serangan,
juga dapat memukul dan menendang empat orang pengeroyoknya, biarpun hal
itu dilakukan cepat-cepat dan tergesa-gesa sehingga tidak tepat
kenanya.
Gerakan pertama ini membuka mata Ma Kiu. Ia maklum
bahwa biarpun dalam hal tenaga, mereka semua tidak akan kalah oleh
lawan. Akan tetapi dalam hal kecepatan gerak maupun dalam hal ilmu silat
yang luar biasa, gadis itu benar-benar merupakan lawan tangguh. Dia
tadi berlaku sungkan sehingga mengeluarkan komando untuk bergerak
satu-satu secara bergiliran, siapa tahu, karena ia sungkan empat orang
adiknya mengalami pukulan dan tendangan. Sekali lagi ia berseru keras
dan kali ini dua belas orang itu menerjang maju secara berbareng! Hanya
lima orang yang menyerang langsung ke arah tubuh Kwi Lan. Sedangkan
yang tujuh orang menghantam ke tengah, ke atas, ke bawah dan sekitar
tempat Kwi Lan berdiri sehingga mereka telah menutup semua jalan
keluar. Kemana pun gadis ini hendak bergerak, ia akan disambut hantaman
yang dilakukan dengan pengerahan Iwee-kang!
Hal ini sama sekali
tak diduga oleh Kwi Lan. Gadis ini terkejut juga, maklum bahwa
keadaannya berbahaya. Baru ia tahu bahwa Cap-ji-liong
benar-benar hebat dan tangguh. Biarpun kalau melawan mereka satu-satu,
ia sanggup merobohkan mereka itu dalam waktu singkat, akan tetapi kalau
mereka maju berbareng amatlah sukardilawan. Ia berseru keras,
tidak bergerak dari tempatnya, melainkan menggunakan kaki tangan
menangkis dan jari tangannya menotok ke arah pergelangan tangan lima
orang yang menyerangnya secara berturut-turut. Akan tetapi tiba-tiba
lima orang penyerang itu menarik kembali penyerangan mereka dan barisan
bergeser terus, disusul lima orang lain yang menyerang secara tiba-tiba,
dibantu tujuh orang yang mencegat jalan keluar! Setiap menyerang, lima
orang itu mengambil kedudukan ngo-heng, dan setiap kali melihat bahwa
serangan itu akan gagal, barisan yang terus bergeser itu menarik kembali
serangan untuk di ulang dengan perubahan-perubahan mendadak yang sukar
untuk diduga sebelumnya.
Kwi Lan merasa kewalahan. Dahinya yang
putih halus itu mulai berkeringat. Ia takut, akan tetapi jengkel dan
penasaran sekali! Ketika untuk kesekian kalinya lima orang lawan
menyerangnya dan kepalanya sudah mulai pening karena mencurahkan
perhatian dan menduga-duga perubahan, ia berseru keras, mencabut
pedangnya dan memutar pedang itu ke sekelilingnya.
Tidak tampak
gerakannya ini saking cepatnya. Tahu-tahu dua belas orang itu mencium
bau yang wangi dan tampak oleh mereka sinar hijau bergulung-gulung
seperti naga sakti bermain di angkasa, seperti hawa yang dingin sekali.
“Awas.... mundur dan siapkan senjata....!” Ma Kiu berseru keras.
Barisannya melebar dengan cepat, namun masih saja ada dua orang yang
terkena serempetan ujung pedang Siang-bhok-kiam sehingga pangkal lengan
mereka terluka mengeluarkan darah. Lagi-lagi kurang tepat kenanya karena
Kwi Lan tidak menggunakan pencurahan perhatian sepenuhnya dan tadi
hasilnya inipun hanya kebetulan saja. Bagaimana ia dapat mencurahkan
perhatiannya dalam sebuah serangan kalau lawannya yang dua belas orang
banyaknya itu selalu bergerak secara membingungkan? Kini terdengar
suara nyaring dan semua anggauta Cap-ji-liong sudah memegang senjata
masing-masing. Ada yang memegang toya, ada yang membawa pedang, golok,
thi-pian (pecut besi), siang-kek (sepasang tombak cagak), poan-koan-pit
(senjata penotok jalan darah seperti pena bulu), tombak tiat-kauw
(gaetan besi) dan lain-lain. Ma Kiu sendiri bersenjatakan sepasang
pedang panjang yang kelihatan berat.
Para tamu makin tegang.
Setelah kini kedua pihak menggunakan senjata, tak dapat disangsikan lagi
gadis itu tentu akan mati dalam keadaan tubuh tidak utuh. Setiap
anggauta Cap-ji-liong memiliki ilmu kepandaian khusus, bahkan sebelum
menjadi murid Sin-seng Losu mereka itu adalah ahli-ahli silat kelas
satu. Kini mereka maju bersama, dapat dibayangkan betapa hebatnya.
“Ha-ha-ha-ha! Sayang sekali kau akan tercincang mati.... bunga liar
seperti engkau sukar dicari....!” Tiba-tiba terdengar suara Sin-seng
Losu yang tadi kelihatan bersungut-sungut ketika beberapa orang di
antara murid-muridnya ada yang terluka. Kakek ini sejak tadi melenggut
di atas kursi, menonton pertandingan sambil merem-melek. Kelihatannya
saja ia melenggut dan mengantuk tak acuh, padahal sebenarnya ia
menonton dengan hati penuh penasaran karena semenjak tadi, belum juga
ia dapat mengetahui dari aliran mana ilmu silat gadis ini! Hal ini
benar-benar membuat ia kaget dan heran. Biarpun ia sudah terlalu tua
sehingga tenaga dan napasnya sudah berkurang banyak dan kalau
bertanding, dia sendiri tidak akan dapat mengatasi keampuhan
Cap-ji-liong, akan tetapi pengetahuannya dalam ilmu silat sudah amat
dalam. Hampir semua aliran ilmu silat di dunia ini! Ia kenal baik akan
tetapi mengapa sekali ini, setelah melihat gadis itu bersilat sampai
puluhan jurus, ia sama sekali tidak mengenal aliran ilmu silat yang
dimainkan? Ia anggap luar biasa sekali ilmu silat gadis itu. Mirip-mirip
ilmu silat Kun-lun-pai, gerakan pedang seperti Kong-thong-pai, akan
tetapi ketika menotok hampir sama dengan ilmu totok Im-yang-tiam-hoat
yang lihai dari Siauw-lim-pai. Akan tetapi semua itu hanya mirip saja,
dan sama sekali bukan aselinya, bahkan kadang-kadang berlawanan dengan
aselinya!
Hal ini memang tidak mengherankan kalau orang mengenal
dari mana Kwi Lan mendapatkan semua ilmu yang aneh itu. Gurunya adalah
seorang wanita yang luar biasa, yang puluhan tahun menyembunyikan diri
dan menelan segala macam ilmu tanpa ada yang menuntun. Dalam istana
bawah tanah terdapat banyak sekali kitab pelajaran ilmu silat
peninggalan mendiang Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian yang mencuri kitab-kitab
itu dari partai-partai besar. Karena jiwa Kam Sian Eng, guru Kwi Lan,
memang tidak sehat alias tidak normal, maka ketika mempelajari semua
ilmu itu ia telah menyeleweng dan ilmu yang aseli berubah, menjadi
ilmu aneh dan ganas. Kwi Lan juga mempelajari kitab-kitab itu sendirian
saja, hanya menerima petunjuk-petunjuk dari gurunya, justeru sedikit
petunjuk itu menyeleweng daripada aselinya, maka dapat dibayangkan
betapa hasil ilmu yang ia kuasai tentu saja lebih aneh dan lebih
menyimpang dari aselinya! Jangankan Sinseng Losu, biar tokoh-tokoh dari
partai yang memiliki kitab yang tercuri itu sendiri melihat cara Kwi
Lan bersilat tentu takkan mampu mengenal ilmunya sendiri.
Ucapan
mengejek dari Sin-seng Losu tidaklah berlebihan. Memang ilmu pedang Kwi
Lan hebat dan luar biasa. Baru pedangnya, sebatang pedang kayu wangi,
sudah membuktikan bahwa gadis ini biarpun masih remaja, namun sudah
mencapai tingkat yang dinamakan tingkat “yang lunak mengalahkan yang
keras” yaitu tingkat ahli pedang yang sudah pandai mengatur, tenaga yang
dikendalikan hawa sakti sehingga setiap benda lemas dapat dipergunakan
untuk melawan senjata keras. Akan tetapi, menghadapi pengurungan dua
belas Cap-Ji-liong yang mempergunakan dua belas macam senjata ini, Kwi
Lan benar-benar terdesak hebat. Senjata lawan menyambarnya seperti hujan
dan hanya dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ilmu pedangnya
yang aneh maka sementara itu ia masih mampu bertahan. Seperti juga tadi,
dua belas orang pengeroyoknya itu tidak mengeroyok, secara serampangan
saja, melainkan mengurungnya dengan membentuk barisan yang kokoh kuat.
Perlahan akan tetapi tentu mereka mulai menekan dan mendesak.
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari sebelah dalam. Teriak-teriakan orang terdengar.
“Kebakaran....! Kebakaran....!”
“Tangkap bocah setan....!”
“Celaka, tawanan gadis-gadis itu dilarikan....!”
Semua tamu terkejut dan dua belas orang Cap-ji-liong yang sudah mulai
mengurung dan mendesak Kwi Lan, terpengaruh oleh teriakan-teriakan ini
sehingga tekanan kepada gadis itu agak mengendur. Pada saat itu,
berkelebat bayangan yang tertawa-tawa, “Ha-ha-ha, sungguh memalukan.
Dua belas ekor monyet tua mengeroyok seorang gadis jelita! Dua belas
ekor naga kini menjadi dua belas ekor monyet buntung!”
Kiranya
bayangan ini bukan lain adalah Hauw Lam yang dengan gerakan cepat sudah
meloncat dan memutar goloknya menerjang barisan pengepung sehingga
terbukalah barisan itu. Melihat ini, Ma Kiu mengeluarkan aba-aba.
Barisan yang diterjang Hauw Lam sengaja membuka “pintu” dan pemuda ini
pun sekarang masuk ke dalam pengurungan dua belas orang tangguh itu.
“Eh, Mutiara Hitam. Kita datang bersama, mana bisa sekarang engkau
berpesta-pora sendiri saja melabrak dua belas ekor monyet tua ini? Aku
ikut. Hayo kita sekarang berlumba. Kita beradu punggung dan lihat
pedangmu, atau golokku yang lebih dulu membabat mampus mereka ini!”
Kwi Lantersenyum. Ia tadi sudah tertekan dan terdesak hebat. Namun
seujung rambut ia tidak merasagentar. Ia tadi sudah siap-siap, kalau
sampai ia kalah dan harus roboh di tangan dua belas orang pengeroyoknya,
ia tentu akan menyeret beberapa orang di antaranya terutama sekali Ma
Kiu, untuk tewas bersamanya! Untuk niat ini ia sudah menggenggam tujuh
jarum hijau di tangan kirinya! Sekarang melihat munculnya Hauw Lam yang
mengajak ia berlumba, timbul kegembiraannya dan ia berseru.
“Berandal cilik! Kaulihat betapa aku merobohkan mereka!” Setelah berkata
demikian, Kwi Lan mainkan pedangnya menerjang maju. Empat orang di
depannya cepat mengangkat senjata untuk menangkis dan balas menyerang,
akan tetapi pada saat itu tangan kiri Kwi Lan bergerak dan sinar hijau
menyambar ke depan.
“Awas....!” Ma Kiu berseru memperingatkan
adik-adiknya. Namun, jarum-jarum hijau yang halus itu disambitkan dari
jarak dekat sehingga biarpun empat orang itu berusaha mengelak, dua
orang di antara mereka kurang cepat dan robohlah mereka sambil
mengeluarkan jeritan kesakitan. Murid-murid Thian-liong-pang segera
menolong mereka ini dan kini sepuluh orang pengeroyok menerjang dengan
marah sekali. Hauw Lam tertawa-tawa dan sambil berdiri saling
membelakangi, dia dan Kwi Lan memutar senjata menghadapi para
pengeroyok. Lega hati Kwi Lan setelah kini ia dibantu Hauw Lam. Tadi
yang membuat ia amat repot adalah penyerangan lawan yang berada di
belakangnya. Akan tetapi kini ia tidak usah lagi memperhatikan bagian
belakang, maka ia kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Setiap ada serangan datang ia tidak mengelak, akan tetapi langsung
menyambut serangan ini dengan tusukan atau totokan yang mendahului
sehingga Si Penyerang terpaksa menarik kembali serangannya.
“Semua mundur....!” tiba-tiba Ma Kiu berteriak keras memberi perintah kepada adik-adiknya
Sepuluh orang itu serentak melompat mundur sambil menggerakkan tangan
kiri. Maka berhamburanlah senjata-senjata rahasia yang berbentuk peluru
bintang, bagaikan hujan menyerang Hauw Lam dan Kwi Lan. Dua orang muda
itu cepat memutar golok dan pedang, memukul runtuh semua senjata
rahasia.
“Wah, kau yang mengajar monyet-monyet itu. Sekarang mereka membalas. Lebih baik kita lekas pergi dari sini!”
Hauw Lam mengomel. Kwi Lan yang maklum betapa besar bahayanya kalau
pihak lawan mulai menyerang dari jauh dengan senjata rahasia, setuju
akan usul ini. Akan tetapi sebelum mereka sempat mendapatkan jalan
keluar untuk melarikan diri, tiba-tiba lantai yang mereka injak tergetar
dan dengan suara keras lantai itu terbuka, nyeplos ke bawah.
“Celaka....!” Hauw Lam berseru dan bersama Kwi Lan tubuhnya terjeblos ke bawah tanpa dapat dicegah lagi!
“Cari pegangan....!” Hauw Lam berseru pula dan merentangkan kedua
tangannya. Goloknya ia tusuk-tusukkan ke samping dan akhirnya tangan
kirinya berhasil merabadinding. Ia menggerakkan tubuh sehingga tubuhnya
yang meluncur itu terbanting ke kiri, menubruk dinding dan di lain saat
tubuhnya tergantung pada gagang golok yang dipegangnya erat-erat.
Akan tetapi Kwi Lan yang memiliki gin-kang luar biasa itu, dengan
menggerak-gerakkan kaki tangannya dapat memperlambat luncuran tubuhnya,
bahkan ketika kedua kakinya menyentuh dasar sumur, tubuhnya membalik
lagi ke atas sampai dua meter lebih, seakan-akan di kedua kakinya
dipasangi per yang lemas sekali.
“Mutiara Hitam.... kau di mana....?” Terdengar suara Hauw Lam di atas.
Kwi Lan sudah duduk di atas tanah berbatu dan menjawab, “Di bawah sini. Turunlah. Mau apa kau bergantungan disitu?”
Hauw Lam menengok ke bawah. Sinar yang masuk dari atas memberi
penerangan suram, akan tetapi ia dapat melihat betapa gadis itu sudah
duduk enak-enakan di sebelah bawah, kira-kira tiga meter dari tempat
ia bergantung. Ia mengerahkan tenaga, mencabut goloknya dan meloncat
turun di dekat gadis itu. Pada saat itu, terdengar suara berderit keras
dan lobang di sebelah atas itu tertutup rapat kembali. Keadaan menjadi
gelap gulita, melihat tangan sendiri pun tak tampak!
“Wah, kita
seperti dua ekor tikus masuk perangkap!” Hauw Lam berkata berusaha untuk
tertawa, akan tetapi menahannya karena khawatir kalau-kalau membuat
gadis itu tak senang.
“Kau kenapa? Mau tertawa, tertawalah.
Mengapa memandang kepadaku seperti orang ragu-ragu? Kaukira aku takut?
Huh, enak di sini!” kata Kwi Lan yang segera duduk melonjorkan kedua
kakinya.
Hauw Lam terkejut. “Apa kaubilang....? Bagaimana kau
bisa tahu bahwa aku.... eh, Mutiara Hitam, apakah engkau mempunyai nama
seperti kucing?”
“Hemm, kalau aku kucing, engkau tikus! Sudahlah, jangan rewel dan lebih balk kau ceritakan apa yang kaulakukan tadi.”
Tentu saja Hauw Lam tidak tahu bahwa gadis ini semenjak kecil tinggal
di bawah tanah, di dalam istana bawah tanah sehingga ia merasa enak
berada di bawah tanah! Karena semenjak kecil biasa hidup di tempat gelap
Kwi Lan memiliki mata yang sudah biasa dengan kegelapan dan dapat
melihat benda di dalam gelap, setidaknya lebih awas daripada orang
biasa. Mendengar suara gadis itu tidak dibuat-buat, diam-diam ia merasa
semakin kagum dan suka. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya. Selain
cantik jelita seperti dewi, juga wajar dan polos, ditambah kepandaian
yang amat tinggi. Tadi ketika dikeroyok Cap-ji-liong, gadis ini sudah
memperlihatkan bahwa ia memiliki kepandaian yang benar luar biasa.
Jarang ada tokoh yang mampu mempertahankan diri dari pengeroyokan
Cap-ji-liong, apalagi melukai dua orang di antara mereka dalam
pengeroyokan. Dan sekarang, biarpun telah terjebak masuk ke dalam sumur,
gadis ini masih bersikap tenang dan enak saja, sama sekali tidak
membayangkan sikap takut-takut.
“Nanti dulu, paling penting aku
harus menyelidiki keadaan tempat ini, mencari jalan keluar.” kata Hauw
Lam sambil mengulur kedua lengan ke depan, meraba-raba.
“Tak
usah kauselidiki lagi. Percuma, sumur ini sengaja dibuat untuk menjebak
musuh. Dindingnya terbuat dari batu tebal, tingginya lima tombak lebih
dan di atas ditutup lembaran besi yang atasnya dipasangi tegel, dan
dapat terbuka atau tertutup sendiri dengan alat rahasia.”
Kembali Hauw Lam menjadi heran. Gadis ini bicara seakan-akan tidak
berada di dalam gelap, seperti menceritakan keadaan yang dilihatnya
dengan nyata. Ia tidak percaya lalu kedua tangannya meraba-raba
dinding. Dan memang betul apa yang dikatakan gadis itu. Dinding sumur
itu segi empat, lebarnya tiga meter tiap segi, dan terbuat daripada batu
tebal. Karena bagi Hauw Lam tempat itu amat gelap, ia tidak dapat
melihat apa-apa ketika meraba-raba sehingga tiba-tiba ia meraba kepala
gadis itu!
“Eh-eh, mau apa kau? Seperti orang buta saja!” Gadis itu membentak.
“Wah, maaf.... aku.... aku memang seperti buta di sini....”
“Duduklah dan jangan berkeliaran.”
Hauw Lam lalu duduk di atas lantai sumur. Tanah padas berbatu itu agak
basah. Betapapun juga, ia tidak dapat bersikap masa bodoh seperti gadis
ini. Masa mereka harus menerima kematian seperti dua ekor tikus dalam
sumur? Ia harus berdaya untuk keluar dari dalam sumur ini. “Mutiara, aku
tidak mengerti bagaimana kau dapat mengetahui keadaan sumur ini. Akan
tetapi kalau dalamnya benar lima tombak, tak mungkin kita meloncat
keluar dari sini. Biarpun begitu, dengan bantuan golok dan pedangmu, aku
dapat meloncat-loncat sambil menancapkan golok dan pedang bergantian
pada dinding, terus sampai keluar. Setelah itu, aku akan mencari tambang
untuk menarikmu keluar pula.”
“Eh, takutkah engkau di sini?”
“Bukan takut! Akan tetapi kita harus mencari jalan keluar.”
“Hemm, bagaimana kau akan membuka penutup besi di atas itu? Pula,
siapa tahu begitu kau keluar, hujan senjata akan menyambutmu?”
Hauw Lam terkejut. Beralasan juga kata-kata gadis ini. “Habis.... bagaimana.”
“Kita menanti kesempatan dan sementara itu, duduk mengaso di sini dan kauceritakan apa yang terjadi tadi.”
Malu juga rasa hati Hauw Lam mendengar suara gadis itu yang
amattenang. Ia lalu bercerita. Ketika tadi melihat datangnya Ci-lan
Sai-kong yang menggiring dua belas orang gadis-gadis muda yang diculik,
Hauw Lam marah bukan main. Akan tetapi ia menahan-nahan perasaan
hatinya dan setelah mendapat kesempatan ia lalu menyelinap ke dalam pada
saat perhatian semua orang tertarik oleh perbuatan Kwi Lan yang amat
berani. Setelah tiba di ruangan belakang, ia menyergap dan menotok
seorang anggauta Thian-liong-pang. Dari orang inilah ia mendapat
keterangan tentang dua belas orang gadis itu yang ditahan di kamar
belakang, dijaga oleh empat orang anggauta Thian-liong-pang. Ia menotok
lumpuh orang itu kemudian melanjutkan penyelidikannya. Tekad hatinya
akan menolong dan membebaskan dua belas orang gadis itu. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, secara mudah ia merobohkan empat orang
penjaga dan pada saat itulah dari atas genteng melayang turun seorang
laki-laki yang ternyata adalah Ciam Goan, bekas tokoh Thian-liong-pang
yang tadi diusir oleh Ma Kiu.
Girang hati Hauw Lam dan diam-diam
ia kagum menyaksikan keberanian Ciam Goan. Biarpun sudah jelas bahwa
orang gagah itu tak mungkin dapat melawan para pimpinan Thian-liong-pang
dan tadi pun sudah dikalahkan, namun orang she Ciam itu masih berani
dan berusaha menolong dua belas orang gadis tawanan. Tanpa banyak cakap
mereka lalu memasuki kamar, membebaskan dua belas orang gadis itu. Hauw
Lam menyerahkan dua belas orang gadis itu kepada Ciam Goan untuk diajak
melarikan diri, sedangkan dia sendiri memancing perhatian orang dengan
jalan membakar bangunan samping bagian belakang. Akalnya berhasil
baik. Semua orang lari ke tempat kebakaran dan mengeroyoknya, sehingga
Ciam Goam dan dua belas orang gadis tawanan itu dapat pergi dengan aman.
Hauw Lam sendiri lalu memancing mereka yang mengeroyoknya ke sebelah
dalam gedung, bahkan ia lalu menggabung dengan Kwi Lan yang sudah
terdesak oleh Cap-ji-liong sehingga akhirnya mereka berdua terjeblos ke
dalam sumur perangkap.
“Begitulah.” Hauw Lam mengakhiri
ceritanya. “Kuharap saja orang she Ciam itu berhasil melarikan dan
menyelamatkan dua belas orang gadis itu. Dan kau sendiri, apa yang
kaulakukan tadi? Wah, kepandaianmu hebat bukan main, Mutiara Hitam. Aku
takluk setelah menyaksikan betapa kau melawan pengeroyokan
Cap-ji-liong!”
“Hemm, mereka memang kuat sekali kalau maju
bersama. Sebelum kau datang membantu, hampir aku roboh.” Mutiara Hitam
atau Kwi Lan lalu menceritakan pengalamannya. Hauw Lam kagum sekali dan
diam-diam di lubuk hatinya ia merasa puas dan tidak akan penasaran
kalau mengalami kematian bersama nona ini di dalam sumur!
“Sekarang bagaimana? Aku bukannya takut terkurung seperti ini, akan
tetapi kita tidak boleh tinggal diam saja. Kita harus keluar dari sini,
terutama sekali engkau....” katanya.
“Mengapa aku? Kalau kau bagaimana?”
“Aku juga harus dapat keluar, akan tetapi yang paling penting engkau,
Nona. Kau seorang wanita, karena itu harus didahulukan
keselamatanmu....”
“Huh, laki-laki dan wanita apa bedanya?”
Hauw Lam tidak mau membantah tentang itu. “Biar kucoba untuk merayap atau meloncat naik.”
“Percuma, kita tunggu kesempatan. Kalau ada yang membuka penutup besi
di atas itu, sudah kupersiapkan jarum-jarumku. Begitu ada orang di
atas, kuserang dengan jarum dan kau boleh melompat dengan bantuan
golokmu ditancapkan pada dinding.”
“Bagaimana kalau tidak ada yang membuka penutup besi di atas?”
“Kalau begitu, hemm.... kita tinggal di sini selamanya sampai mati”
Mendengar kata-kata yang dikeluarkan seenaknya dan tenang-tenang saja
itu, Hauw Lam bergidik. Akan tetapi hatinya menjadi hangat ketika ia
ingat betapa gadis itu agaknya senang saja tinggal berdua dengan dia di
situ selamanya sampal mati! Ia menjadi terharu dan baru sekali ini
selama hidupnya Hauw Lam merasa hatinya terharu sekali dan juga bahagia!
Suaranya menjadi gemetar ketika ia berkata, lenyap nadanya yang suka
bergurau, suaranya kini bersungguh-sungguh.
“Nona.... aku....,
aku pun rela mati di sini, rela tinggal di sini selama hidupku, bahkan
aku akan berbahagia sekali.... berdua di sampingmu selamanya....”
“Ihhh! apa maksud kata-katamu yang aneh ini?” Kwi Lan yang tentu saja
masih bodoh dalam hal asmara, bertanya heran. Nada suara gadis ini
menyadarkan Hauw Lam, membuat mukanya merah sekali, membuat ia merasa
malu sekali. Untung bahwa tempat itu gelap sehingga ia tidak usah
menentang pandang mata Kwi Lan, dan kegelapan ini sesungguhnya yang
membuat ia berani melanjutkan kata-katanya yang membisikkan suara
hatinya.
“Mutiara.... biarpun belum lama aku mengenalmu, bahkan
namamu yang sesungguhnya pun aku belum tahu.... akan tetapi.... aku
tidak merasa begitu. Bagiku engkau sudah kukenal selama hidupku. Tadinya
aku sebatang kara di dunia ini... setelah bertemu denganmu, aku merasa
tidak sebatang kara lagi. Mutiara.... ah, aku harus berterus terang....
aku.... aku cinta padamu....”
Saking kaget dan herannya
mendengar ucapan yang lama sekali belum pernah didengarnya dan yang baru
ia raba-raba maksud sebenarnya ini, Kwi Lan duduk termenung dan
menggigit jarum yang dipegangnya. Ia seperti orang terpesona, tidak
peduli bahwa pada saat itu, sinar terang menerobos masuk dari atas dan
penutup lubang sumur itu dibuka orang! Hauw Lam melihat ini dan cepat
melompat, siap untuk menerjang ke atas dan berseru.
“Mutiara.... lekas serang dia....”
Akan tetapi Kwi Lan hanya memandangnya dan berkata bingung, “Ada apa....?”
“Ssstt.... naiklah....!” Tiba-tiba orang yang membuka penutup sumur itu
berkata, kemudian seutas tambang meluncur turun dari atas.
Hauw Lam dan Kwi Lan melihat bahwa yang muncul dan melemparkan tambang
itu adalah seorang yang berkerudung kain hitam, akan tetapi dari
suaranya dapat diketahui bahwa dia seorang laki-laki. Begitu melempar
tambang, bayangan itu lenyap kembali.
“Mari kita naik!” Hauw Lam
berkata dan cepat-cepat pemuda ini merayap naik melalui tambang seperti
seekor kera cepatnya, Kwi Lan juga sudah merayap baik dan sebentar saja
keduanya sudah melompat keluar dari sumur. Sejenak mata Hauw Lam
menjadi silau karena tiba-tiba dari tempat gelap berada diterang. Ia
mengejap-ngejapkan matanya, kemudian ketika matanya bertemu dengan Kwi
Lan, tiba-tiba pemuda ini menjadi merah seluruh mukanya!
“Pergi
dari sini cepat!” Hauw Lam berkata dan mereka lalu melompat keluar
dari ruangan silat yang kini sudah sunyi. Akan tetapi begitu mereka
keluar dari ruangan silat dan berada di ruangan tengah, dari kanan kiri
berlompatan keluar beberapa orang anggauta Cap-jiliong!
“Celaka! Mereka lolos! Kepung.... tangkap....!” Mereka berteriak-teriak dan empat orang sudah menerjang Hauw Lam dan Kwi Lan.
Akan tetapi, keampuhan Cap-ji-liong adalah kalau mereka maju bersama.
Kini hanya ada empat orang di antara mereka, tentu saja bukan tandingan
Hauw Lam dan Kwi Lan. Begitu sepasang orang muda ini menggerakkan
senjata empat orang itu sudah melompat mundur untuk menghindarkan bahaya
maut. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hauw Lam dan Kwi Lan untuk
berlari terus. Karena dari depan berbondong datang para anggauta
Thian-liong-pang, Hauw Lam lalu menarik tangan Kwi Lan, diajak lari
melalui ruangan belakang. Mereka lari masuk ke ruangan dalam, terus ke
belakang. Beberapa orang anggauta Thian-liong-pang yang bertemu dengan
mereka dan berusaha menghalangi, mereka robohkan dengan tendangan atau
pukulan tangan kiri.
Untung bagi mereka bahwa para pimpinan
Thian-liong-pang pada saat itu sedang sibuk membuat persiapan untuk
mengunjungi pertemuan antara tokoh-tokoh dunia hitam yang akan diadakan
di Puncak Cheng-liong-san untuk memilih jagoan nomor satu di dunia. Ma
Kiu ketua baru, juga Sin-seng Losu sendiri bersama murid-muridnya
bersama beberapa orang tamu penting sudah meninggalkan gedung untuk
mengunjungi kota Tai-goan untuk ikut menyambut datangnya seorang tokoh
besar yang terkenal dengan julukan Siauw-bin Lo-mo (Iblis Tua Tertawa).
Karena tokoh besar ini masih terhitung paman guru Sin-song Losu, tentu
saja oleh Thian-liong-pang dianggap sebagai kakek guru dan mereka
mengharapkan kakek guru ini akan menjadi jagoan nomor satu sehingga
nama Thian-liong-pang akan ikut terangkat tinggi. Karena kesibukan ini
mereka hanya meninggalkan empat orang murid kepala bersama murid-murid
bawahan untuk menjaga gedung. Sama sekali mereka tidak menduga bahwa
dua orang muda tawanan mereka akan dapat meloloskan diri dan menganggap
mereka itu tentu akan tewas kelaparan di dalam sumur.
How Lam
dan Kwi Lan maklum bahwa kalau para pimpinan Thian-liong-pang keburu
datang mengeroyok, keadaan mereka akan berbahaya. Karena mereka datang
ke tempat itu hanya untuk “main-main” dan tidak mempunyai urusan
tertentu dengan perkumpulan ini, mereka pun tidak ada niat untuk
melanjutkan pengacauan. Dihadang oleh murid-murid bawahan
Thian-liong-pang tentu saja mereka dengan enak merobohkan semua
penghadang, terus lari ke belakang, mencari kandang kuda dan setelah
dapat menemukan kuda hitam yang mereka “sumbangkan” tadi, mereka lalu
menunggang kuda berdua dan membalapkan kuda itu keluar dari Yen-an.
Terdengar derap kaki kuda yang ditungganggi para anak buah
Thian-liong-pang mengejar, namun tak seekor pun kuda mampu menandingi
larinya kuda hitam dari Khitan itu.
Setelah kota Yen-an jauh
ditinggalkan dan tak tampak adanya pengejar lagi, Kwi Lan yang duduk di
depan tiba-tiba menahan kudanya. Mereka berhenti di jalan simpang empat.
“Di sini kita berpisah. Kau turunlah.”
Hauw Lam meloncat turun dan memandang gadis itu dengan muka terkejut.
Tak disangkanya bahwa secara tiba-tiba gadis itu mengajak mereka saling
berpisah. Namun nona itu menundukkan muka, tidak membalas pandang
matanya.
“Mutiara Hitam.... Nona...., mengapa kita harus
berpisah?” Suara Hauw Lam gemetar, tidak seperti biasa. Jantung Kwi Lan
berdebaraneh. Ia marah dan juga bingung.
“Nona, apakah engkau
marah karena pengakuanku di dalam sumur tadi? Maafkanlah, aku bukan
bermaksud menyinggung perasaanmu atau menghinamu, aku hanya
mengeluarkan isi hatiku sejujurnya. Biarpun kau akan menjadi marah dan
membunuhku, aku tak dapat menyangkal bahwa aku.... cinta padamu, Mutiara
Hitam.”
Kwi Lan menarik napaspanjang. Ia tidak bisa marah
kepada pemuda ini, dan sebetulnya ia senang mendengar pengakuan itu.
Akan tetapi ia tidak ingin selamanya berada di samping Hauw Lam. Ia
ingin menyendiri.
“Hauw Lam, ada hal yang lebih penting bagimu. Engkau harus pergi kepada Ibu kandungmu.”
Terbelalak mata Hauw Lam memandang. “Apa....? Apa yang kaumaksudkan....?”
“Bukankah Ayahmu bernama Tang Sun dan Ibumu bernama Phang Bi Li?”
Hauw Lam melangkah maju dan memegang tangan Kwi Lan. “Mutiara!
Bicaralah yang jujur! Bagaimana kau tahu akan nama Ayahku? Memang
Ayahku bernama Tang Sun. Nama Ibu aku tidak pernah dengar, akan tetapi
engkau.... bagaimana bisa tahu?”
Kwi Lan yang kini melihat
betapa wajah Hauw Lam menjadi pucat dan agaknya amat tertarik tersenyum.
“Kau pantas menjadi kakakku. Ibumu adalah Bibi Bi Li yang menganggap
aku anak sendiri. Ayahmu.... Ayahmu telah tewas, aku melihat sendiri.
Ibumu masih hidup, namanya Phang Bi Li dan kini tinggal di Hutan Iblis.”
Makin pucat wajah Hauw Lam. “Di Hutan Iblis....? Ayahku mati....?” Ia
merasa mimpi mendengar keterangan ini dan tentu ia tidak akan percaya
kalau saja ia tidak yakin bahwa gadis yang baru dikenalnya beberapa hari
ini tak pernah membohong seperti juga tak pernah merasa takut.
“Pergilah, carilah Ibumu dan kau akan mendengar semua. Ibumu hanya tahu
bahwa puteranya bernama Tang Hauw Lam. Kau pergilah ke Lembah Air
Hijau, di kaki Pegunungan Pek-liu-san sebelah utara, di sana terdapat
hutan yang oleh orang-orang disebut Hutan Iblis. Nah, Ibumu tinggal
seorang diri di dalam pondok di hutan itu, menanti-nanti kedatanganmu.
Selamat tinggal, kelak kita berjumpa pula.” Setelah berkata demikian,
Kwi Lan membalapkan kudanya pergi dari tempat itu, meninggalkan Hauw Lam
yang masih berdiri seperti arca dengan muka pucat.
“Ibuku....
Ibu kandungku.... Ibuku....” Pemuda yang biasanya periang itu kini hanya
berbisik-bisik dengan sepasang mata basah. Pandang matanya mengikuti
bayangan Kwi Lan di atas kudanya. dan semangatnya serasa terbawa terbang
pergi.
***
Kwi Lan menjalankan kudanya sambil melamun.
Begitu berpisah dari Hauw Lam ia merasa betapa ia kehilangan seorang
teman seperjalanan yang selalu mendatangkan suasana gembira. Akan
tetapi kalau ia teringat akan pernyataan cinta kasih Hauw Lam, ia
menjadi kecewa. Hal ini melenyapkan rasa gembiranya dan membuatnya
menjadi tak enak, hatinya berdebaran dan ia menjadi malu, tak ingin
bertemu kembali dengan pemuda itu. Ada hal lain yang sejak tadi ia
pikirkan. Siapakah orang yang menolongnya ketika ia bersama Hauw Lam
berada dalam sumur jebakan? Apakah orang gagah she Ciam yang telah
menolong dua belas orang gadis tawanan? Rasanya tidak mungkin karena
biarpun gagah beran, orang she Ciam itu tidak begitu tinggi
kepandaiannya. Penolong tadi tentu orang yang sudah kenal akan keadaan
dan rahasia Thian-liong-pang.
Kwi Lan yang tidak mengenal jalan,
tidak tahu bahwa kudanya itu berlari menuju ke arah Sungai Kuning yang
mengalir di sebelah timur Yen-an. Ia juga tidak tahu bahwa jalan ini
pula yang diambil oleh rombongan Sin-seng Losu pagi tadi, menuju ke
Tai-goan!
Hari telah menjelangsenja. Ia segera membalapkan
kudanya ketika melihat sebuah dusun jauh di depan. Perkampungan ini
cukup besar dan Kwi Lan bermalam di rumah penginapan dusun itu. Semua
orang kagum melihat gadis yang cantik jelita dan yang menunggang seekor
kuda hitam yang indah ini, namun Kwi Lan tidak ambil peduli. Setelah
pengalamannya di Thian-liong-pang, Kwi Lan bersikap hati-hati dan
tidak mau mencari perkara. Mulailah ia tahu bahwa di dunia kang-ouw
banyak terdapat orang-orang yang berilmutinggi. Ia ingin bertemu dengan
ibu kandungnya dan menurut penuturan Hauw Lam, di Khitan banyak
terdapat orang-orang pandai sehingga seorang tokoh hitam seperti Jin-cam
Khoa-ong itu pun menjadi buronan Khitan. Ia akan menemui Ibu
kandungnya dan kalau mungkin, memperdalam kepandaiannya.
Pada
keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan dan hari telah lewat senja
ketika ia menghentikan kudanya di tepi Sungai Kuning yang airnya
melimpah-limpah dan amatlebar. Ia duduk di atas kudanya sambil
termenung. Bagaimana ia dapat melanjutkan perjalanan? Tidak ada
jembatan, tidak ada perahu, dan tempat itu amat sunyi, tak tampak
seorang pun manusia. Hanya dapat dilihat dari situ perahu-perahu nelayan
jauh sekali dan ada di antara mereka yang sudah menyalakan
lampupenerangan. Ia lalu menjalankan kudanya menyusuri sungai menuju ke
kiri untuk mencari perahu yang kiranya akan dapat menyeberangkannya
atau kalau tidak, ia akan mencari tempat yang baik untuk melewatkan
malam dan besok baru berusaha menyeberang.
Tiba-tiba dari jauh
ia melihat sebuah perahu kecil meluncur cepat ke pantai. Itu tentu
seorang nelayan, pikirnya. Mungkin dia bisa menolongku mencarikan sebuah
perahu besar untuk menyeberang. Perahu kecil macam itu mana dapat
menyeberangkan kudanya? Kwi Lan mempercepat larinya kuda ke arah
pantai. Akan tetapi ia terlambat karena dari dalam perahu itu meloncat
keluar bayangan hitam yang kemudian berlari amat cepatnya ke darat.
Kwi Lan terkejut. Terang itu bukan nelayan biasa, pikirnya. Nelayan
biasa mana bisa memiliki gin-kang yang sedemikianbaiknya. Ia pun cepat
membelokkan kudanya, mengikuti arah larinya orang itu. Cuaca sudah
mulai gelap dan Kwi Lan yang merasa tertarik, melanjutkan kudanya ke
depan sambil mencari-cari dengan pandang matanya.
Bayangan itu
lenyap sudah. Gerakannya terlalu cepat dan melakukan pengejaran sambil
menunggang kuda amat sukar. Selain itu, juga Kwi Lan meragu untuk
mengejar secarasungguh-sungguh. Ia tidak tahu siapa orang itu dan
mengapa berlari-lari dengan cepatnya. Terang bukan nelayan dan ia tidak
mempunyai keperluan sesuatu dengan orang itu. Hanya ia tadi ingin
bertanya kalau-kalau orang itu dapat menunjukkan di mana ia dapat
menyewa perahu untuk menyeberang bersama kudanya.
Sinar terang
yang keluar dari kumpulan batu-batu gunung di pantai sebelah depan
menarik perhatiannya. Sinar yang bergerak-gerak besar kecil itu
tentulah sinar api unggun yang dinyalakan orang. Ada api unggun tentu
ada orang dan kalau ada orang berarti ia akan bisa mendapatkan
keterangan dan petunjuk yang diharapkan. Kini kuda hitam yang
ditungganginya sudah mendekati deretan batu-batu padas yang tinggi dan
dijalankan perlahan.
Ternyata api unggun itu dinyalakan orang di
dalam sebuah guha batu yang amat lebar. Ketika Kwi Lan yang masih duduk
di atas kudanya tiba di depan mulut guha, ia melihat lima orang
laki-laki di dalam guha. Kedatangannya agaknya sudah dinanti mereka
karena mereka sudah berdiri dan tangan kanan mereka sudah meraba gagang
senjata masing-masing. Yang paling depan adalah seorang pemuda yang
berambut panjang, berpakaian hitam dan berwajah tampan sekali. Kepalanya
diikat tali dan di dahinya besinar sebuah batu permata kuning, Tiga
orang yang lain juga sudah siap dan memandang kepadanya dengan mata
terbelalak kaget dan marah. Adapun orang ke lima adalah seorang pendeta
yang jenggotnya kasar dan jarang seperti kawat, tubuhnya tinggi besar
dan di belakang punggungnya tampak gagang sebatang pedang.
“Siauw-ya (Tuan Muda), dia adalah Mutiara Hitam yang mengacau di
Thian-liong-pang....!” Seorang di antara tiga orang di belakang pemuda
tampan itu berseru.
Pemuda itu memandang dengan mata bersinar
tajam, lalu membentak ke arah Kwi Lan, suaranya nyaring. “Mau apa engkau
datang ke sini?”
Kwi Lantersenyum. Ia tidak memandang mata
kepada orang-orang Thian-liong-pang ini dan melihat batu permata di
dahi Si Pemuda Tampan, Ia dapat menduga bahwa pemuda itu tentu seorang
tokoh pula. Akan tetapi ia sedikit pun tidak takut dan karena ia kemarin
tidak melihat pemuda ini di antara yang mengeroyoknya, ia pun tiada
nafsu untuk melayani mereka.
“Aku tidak butuh kalian, aku hanya
perlu seorang nelayan yang dapat menyeberangkan aku dan kudaku.”
jawabnya, suaranya dingin. Biarpun ia tidak mengharapkan bantuan mereka
ini, namun siapa tahu mereka dapat memberi keterangan tentang nelayan
yang ia butuhkan.
Sebelum pemuda dan tiga orang anggauta
Thian-liong-pang itu menjawab, pendeta sai-kong yang berdiri paling
belakang itu mengangkat tangan kiri ke atas, dan berkata.
“Siangkoan-kongcu, biarkan lohu menghadapinya!” Dengan langkah lebar
pendeta ini maju. Setelah berhadapan dengan Kwi Lan, ia menjura dengan
hormat, tersenyum-senyum dan jenggotnya yang kaku bergerak-gerak,
matanya berkejap-kejap.
“Nona, sungguh Nona yang masih begini
muda amat mengagumkan. Tadi lohu sudah mendengar penuturan
saudara-saudara Thian-liong-pang akan sepak terjang Nona yang berani
menghadapi Cap-ji-liong. Ha-ha-ha, sungguh gagah! Seorang muda segagah
Nona ini patut dikagumi dan sama sekali tidak pantas dimusuhi. Orang
gagah mengutamakan persahabatan sesama orang gagah, maka terimalah rasa
kagum lohu!”
Kwi Lan yang melihat kakek ini merangkapkan kedua
tangan, membawa kedua tangan ke depan dada sambil bergerak memberi
hormat, tersenyum mengejek. Dengan gerakan ringan sekali tubuhnya
sudah meloncat turun dari atas punggung kudanya, menghadapi kakek itu
dan menjura sambil berkata.
“Kau orang tua terlalu merendah!”
Biarpun kelihatannya seperti orang menjura dan memberi hormat, namun
kedua tangan sai-kong itu bergerak ke depan dan menyambarlah angin
pukulan dahsyat ke arah dada Kwi Lan. Gadis itu hanya menjura dengan
bibir tersenyum, agaknya seperti tidak tahu akan penyerangan orang,
akan tetapi kakek itu merasa betapa tenaga dorongan kedua tangannya
tadi seakan-akan membentur api dan membalik, menimbulkan rasa panas
padadadanya. Ia kaget sekali, akan tetapi masih merasa penasaran dan
sambil tertawa dan berkata, “Nona benar-benar hebat....!” Kedua
tangannya membuka jari-jari tangan dan bergerak ke depan, yang kiri
menotok ke arah pundak dan yang kanan menotok ke arah pergelangan
tangan! Hebat serangan ini, namun masih saja tampak seakan-akan orang
yang memuji dan menyentuh karena sayang dan kagum, sama sekali tidak
kelihatan seperti orang menyerang. Padahal serangan itu kalau tepat
mengenai sasaran, akan membuat tubuh Kwi Lan seketika lumpuh dan lemas.
“Totiang (panggilan pendeta) mengapa sungkan-sungkan!” kata Kwi Lan dan
kedua tangannya bergerak ke depan pula seperti orang mencegah. Hanya
tampaknya saja seperti mencegah, akan tetapi sebenarnya dengan cepat
seperti kilat menyambar, jari tangan Kwi Lan sudah siap menerima kedua
tangan kakek itu. Kalau kakek itu melanjutkan serangannya, maka kedua
telapak tangannya tentu akan bertemu dengan jari tangan Kwi Lan sehingga
sebelum dapat menotok orang, Ia sendiri sudah akan terkena totokan
lawan!
“Ahhh....!“ Sai-kong itu menarik kembali kedua tangannya dan melangkah mundur kemudian ia tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, semuda ini sudah memiliki kepandaian hebat, benar-benar
membuat lohu kagum dan takluk, Nona ingin menyeberang? Biarlah lohu
antarkan!”
Girang hati Kwi Lan mendengar ini. “Kau mempunyai perahu, Totiang?”
“Ha-ha, tentu saja ada, harap Nona jangan khawatir. Marilah!” Kakek itu
dengan langkah lebar keluar dari dalam guha, diikuti oleh Kwi Lan.
“Tahan! Mutiara Hitam, engkau sudah mengacau Thian-liong-pang,
bagaimana kami dapat membiarkan kau pergi begitu saja?” teriak seorang
di antara anggautaanggauta Thian-liong-pang sambil melompat maju dan
mencabut pedang. Akan tetapi pemuda tampan tadi mencegah dan menghardik.
“Nona sudah ikut bersama Huang-ho Tai-ong (Raja Sungai Huang-ho), mau apa kau ribut-ribut?”
Kalau saja Kwi Lan sudah banyak pengalaman merantau, tentu ia akan
terkejut sekali mendengar nama ini. Huang-ho Tai-ong adalah nama
julukan kepala bajak Sungai Huang-ho yang terkenal sekali. Akan tetapi
gadis ini selain kurang pengalaman, juga tidak mengenal takut, maka
ucapan Si Pemuda ini sama sekali tidak adaartinya. Ia mengikuti sai-kong
itu yang terus berjalan mendekati pantai, kemudian kakek itu
mengeluarkan teriakan melengking nyaring tinggi sambil menengadahkan
kepalanya. Terdengar suitan balasan dari arah kiri dan tidak lama
kemudian, muncullah sebuah perahu dalam sinar bintang-bintang di langit
yang suram muram. Kiranya perahu itu bercat hitam, cukup besar dan
didayung oleh empat orang tinggi besar.
“Silakan, Nona. Lohu sendiri akan menemanimu menyeberang.” kata saikong tadi sambil tersenyum.
“Terima kasih. Kau baik sekali, Totiang.” jawab Kwi Lan yang menuntun
kuda hitamnya ke atas papan perahu, Kakek itu pun melompat naik, memberi
aba-aba dan empat orang anak buahnya kembali mendayung perahu ke
tengah. Ketika Kwi Lan menengok, ia melihat pemuda tampan tadi bersama
teman-temannya berdiri di pinggir sungai dan memandang.
Karena
tidak mengerti, Kwi Lan sama sekali tidak merasa heran mengapa layar
perahu itu tidak dipasang. Untuk menyeberangi sungai sebesar Sungai
Kuning ini, tentu dibutuhkan layar agar penyeberangan dapat berjalan
cepat. Akan tetapi empat orang itu hanya mendayung saja sehingga perahu
bergerak lambat, malah hanyut oleh air. Kuda hitam yang tinggi besar dan
gagah itu pun mendengus-dengus dan meringkik, keempat kakinya menggigil
ketika melihat air yang hitam berombak. Akan tetapi, Kwi Lan berdiri
tegak memegangi kendali, sedikit pun tidak merasa takut!
“Nona,
orang-orang Thian-liong-pang tadi menceritakan tentang sepak terjang
Nona di Thian-liong-pang dan menyebut Nona Mutiara Hitam. Bolehkah lohu
tahu, siapa sesungguhnya namamu dan dari perguruan manakah? Lohu sendiri
disebut orang Huang-ho Tai-ong, bernama Ma Hoan.”
Kwi Lan tidak
menaruh curiga kepada kakek ini, juga tidak memperhatikan nama maupun
julukannya, akan tetapi karena kakek ini menolongnya menyeberang, ia
menganggapnya orang baik. Dengan acuh ia menjawab, “Si Berandal sudah
menjuluki aku Mutiara Hitam, biarlah selanjutnya orang mengenalku
dengan nama itu juga. Aku tidak terikat dengan perguruan mana pun.”
Kakek ini mengerutkan alisnya. Gadis yang cantik jelita, akan tetapi
sombong sekali, pikirnya. “Mutiara Hitam, julukan yang bagus. Nona,
kenapa engkau mengacau Thian-liong-pang? Mengapa memusuhinya?”
“Aku tidak memusuhi Thian-liong-pang dan tidak ada urusan apa-apa
antara mereka dan aku. Hanya aku tahu bahwa orang-orang
Thian-liong-pang bukan manusia baik-baik, pula pengecut. Beraninya
hanya melakukan pengeroyokan dan menggunakan perangkap!”
Pada
saat itu, Ma Hoan tertawa bergelak dan terdengarlah bunyi banyak dayung
memukul air. Ketika Kwi Lan melihat ke kanan kiri, ia mengerutkan
alisnya. Kiranya tanpa ia ketahui, telah muncul empat buah perahu kecil
yang mengurung perahu yang ditumpanginya. Perahu-perahu kecil itu juga
bercat hitam dan setiap buah perahu ditumpangi enam orang bersenjata
golok.
“Ha-ha-ha, Mutiara Hitam, engkau terlalu cantik jelita,
akan tetapi terlalu sombong! Engkau sudah berada dalam cengkeramanku,
masih bermulut besar mencaci maki Thian-liong-pang? Ketua
Thian-liong-pang adalah Kakakku, tahukah kau?”
Kwi Lan memandang
tajam dan teringatlah ia sekarang. Orang ini bernama Ma Hoan, kiranya
adik Ma Kiu Ketua Thian-liong-pang. Julukannya Tai-ong dan kini tampak
banyak anak buahnya, tentu kepala bajak sungai dan dia berada dalam
bahaya!
“Bagus, kalau begitu kau sudah bosan hidup!” kata Kwi
Lan dan sekali tangan kanannya bergerak, Siang-bhok-kiam telah tercabut
dan menerjang, merupakan sinar kehijauan menyambar ke arah Huang-ho
Tai-ong Ma Hoan dan empat orang pendayung perahu. Kuda hitam meringkik
ketakutan, empat orang itu berteriak keras dan terjungkal keluar dari
perahu, akan tetapi dengan gerakan cepat sekali Ma Hoan sudah meloncat
dan tubuhnya melayang ke atas sebuah diantara perahu-perahu kecil yang
mengurung perahu besar.
“Tangkap dia, gulingkan perahu!” Ma Hoan
berseru, memberi komando kepada anak buahnya. Kwi Lan mendengar ini
menjadi kaget juga. Kalau lawan menggunakan akal menggullngkan perahu,
dia dan kudanya celaka! Karena itu, sebelum mereka turun tangan,
tubuhnya sudah lebih dulu mencelat ke atas sebuah perahu kecil
terdekat. Sambil meloncat, ia memutar pedangnya. Enam orang dengan golok
di tangan menyambutnya. Terdengar suara keras dan enam buah golok itu
terlempar ke dalam air dan seorang di antara mereka malah roboh dengan
lengan kanan terbabat putus! Lima orang lainnya cepat-cepat meloncat ke
dalam air dengan panik.
Begitu perahu kecil yang diinjaknya itu
terus bergoyang-goyang dan miring Kwi Lan sudah mengenjot tubuhnya
lagi, kini meloncat ke arah perahu yang ditumpangi Ma Hoan. Ia maklum
bahwa kalau ia tidak cepat menawan Ma Hoan. Ia tentu akan celaka. Di
darat, ia tidak akan peduli akan pengeroyokan tiga puluh orang itu, akan
tetapi di air! Melawan seorang di antara mereka saja belum tentu ia
menang.
Ma Hoan tidak akan berjuluk Raja Sungai Kuning dan tidak
akan menjadi kepala bajak kalau ia tidak lihai ilmu silatnya dan pandai
bermain di air. Melihat tubuh gadis, perkasa itu berkelebat meloncat
ke arah perahunya, ia mengenal bahaya dan.... cepat-cepat ia melempar
diri ke dalam air! Dua orang anak buahnya di perahu itu yang tidak
keburu terjun, menjadi korban babatan pedang Kwi Lan dan terjungkal di
air.
Keadaan menjadi kacau-balau. Dalam cuaca suram gelap Kwi
Lan mengamuk, meloncat dari perahu ke perahu. Namun para bajak itu sudah
lebih dahulu terjun ke air dan mulailah mereka berusaha menggulingkan
perahu di mana Kwi Lan berdiri. Gadis ini tentu saja tidak, mau
digulingkan ke dalamair. Ia bermain loncat-loncatan dari perahu ke
perahu. Akan tetapi karena perahu-perahu yang tidak dikemudikan itu
berputaran dan hanyut, apalagi karena bajak-bajak menggulingkan semua
perahu, akhirnya Kwi Lan yang sudah berdiri di atas perahu yang
terbalik, tidak mempunyai tempat lagi untuk meloncat. Kuda hitam besar
sudah terjungkal ke dalam air ketika perahu besar digulingkan. Ketika
perahu terbalik yang ia injak itu tiba-tiba menyelam, ia masih dapat
meloncat ke atas dan.... tak dapat dicegahnya lagi tubuhnya jatuh
terbanting ke dalam air yang bergelombang!
Kwi Lan pingsan dan
tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya setelah setelah ia terbanting
ke air. Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya lemas dan
lumpuh kaki tangannya! Tahulah Kwi Lan bahwa ia telah tertotok lumpuh.
Tubuhnya terasa dingin dan basah. Ketika ia membuka mata, ia melihat
api unggun dan ternyata ia telah berada di dalam guha besar tadi,
menggeletak di atas rumput kering dan tubuhnya tidak tertutup pakaian
sama sekali! Kenyataan ini membuat Kwi Lan merasa kaget setengah mati
dan cepat-cepat ia menutupkan kedua matanya lagi, pura-pura pingsan atau
hampir pingsan lagi sakingkagetnya. Ia tahu bahwa ia telah tertawan,
dan bahwa orang telah menanggalkan semua pakaian dari tubuhnya. Kemudian
ia mendengar betapa di situ terdapat banyak orang, bahkan ada suara
orang berbantahan. Dengan jantung berdebar ketakutan, baru sekali ini
Kwi Lan mengenal rasa takut, ia mendengarkan, tanpa membuka matanya.
“Ma-totiang, aku tahu bahwa urusan ini adalah urusan pribadimu dan
sekali lagi kunyatakan bahwa antara Nona itu dan aku tidak ada
sangkut-paut apa-apa! Akan tetapi kedua hal itu bukan menjadi halangan
bagiku untuk mencegah terjadinya hal yang memalukan ini. Betapapun
juga, Kakakmu, Ma Kiu Suheng adalah ketua kami, kalau sekarang engkau
melakukdn perbuatan hina dan rendah, bukankah hal itu berarti akan
menodai nama besar Thian-liong-pang?”
“Eh, Siangkoan-kongcu!
Sejak kapan Thian-liong-pang melarang seorang laki-laki mengambil
seorang wanita yang disukanya? Engkau hendak menghalangiku, berarti
engkau iri hati dan engkau sendiri suka kepada wanita pengacau itu.
Betulkah?”
“Tidak, Ma-totiang. Laki-laki boleh mengambil wanita
mana saja yang disukainya, akan tetapi kalau wanita itu mau. Engkau
merobohkannya dengan akal curang, dan hendak memaksanya secara keji.
Mendiang Ayahku, seorang Ketua Thian-liong-pang tidak pantang melakukan
apa saja kecuali sikap curang dan pengecut. Kalau kau mengalahkan dia
dengan kepandaianmu, maka menjadi hakmulah untuk memperlakukan orang
yang kaukalahkan sesuka hatimu. Akan tetapi melihat betapa tadi dia
dilawan secara licik dan sekarang hendak diperlakukan keji, sungguh
sebagai seorang gagah aku tidak akan mendiamkan saja. Ma-totiang, agar
jangan kita menjadi bahan ejekan di dunia kang-ouw, kaubebaskan dia!”
“Bocah, berani engkau membuka mulut besar? Siangkoan Li! Kau menganggap
kau ini siapa dan aku ini orang macam apa, bisa kauperintah sesukamu?
Biarpun mendiang Ayahmu pernah menjadi ketua Thian-liong-pang, akan
tetapi Ayahmu bukanlah sahabatku! Hanya mengingat engkau masih cucu luar
Sin-seng Losu dan masih adik seperguruan Twako (Kakak) Ma Kiu, aku
masih menganggapmu orang sendiri! Akan tetapi jangan kau keterlaluan
karena menjadi cucu Sin-seng Losu, karena semua saudara Cap-ji-liong
juga tidak suka akan sepak terjangmu yang menyimpang dengan jalan
mereka!”
Hening sejenak. Kwi Lan memandang dari balik bulu
matanya dan melihat bahwa yang bertengkar adalah pemuda tampan berambut
panjang dan sai-kong yang menawan dirinya. Tiga orang anggauta
Thian-liong-pang berdiri di sudut, memandang dan melihat pandang mata
mereka terhadap pemuda itu, agaknya mereka ini tidak berpihak kepada Si
Pemuda. Kwi Lan lalu menutupkan matanya kembali, menekan perasaannya
yang seperti akan melesak itu, kemudian ia diam-diam mengerahkan
tenaganya untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi kaki
tangannya tetap lumpuh dan karena dadanya penuh hawa amarah yang hebat,
sukar baginya untuk mengumpulkan hawa murni.
“Ma-totiang,
bicara tentang sepak terjang, bukan aku yang menyimpang, melainkan orang
lain yang menyeleweng! Akan tetapi cukuplah tentang Thian-liong-pang.
Kita bicara tentang perbuatanmu sekarang. Ma-totiang, engkau adalah
seorang bekas pendeta, sedikit banyak pernah belajar tentang kebajikan.
Engkau adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedikit
banyak mengerti tentang kegagahan. Engkau adalah seorang yang sudah
tua, mengapa masih menuruti nafsu binatang hendak memperkosa seorang
gadis....?”
“Huh, bocah bermulut lancang! Siapa hendak memperkosa? Lancang kau menuduh orang....”
“Engkau masih berani menyangkal? Melihat keadaan Nona ini....“
“Ha-ha-ha! Memang, dia kutelanjangi, akan tetapi aku tidak berniat
memperkosanya. Mungkin anak buah Thian-liong-pang itu mempunyai niat
demikian, melihat pandang mata mereka! Ha-ha, aku sama sekali bukan
hendak memperkosa, melainkan ingin menggunakan dia membantu
menyempurnakan ilmu silat yang sedang kucipta! Dia seorang gadis yang
memiliki Iwee-kang tinggi, memiliki hawa sakti yang kuat dan darah yang
sehat. Dia juga telah mengacau Thian-liong-pang, maka baik sekali
kuambil semua kekuatan Im-kang dari tubuhnya....”
“Keji! Aku
tahu, Ma-totiang, orang mengabarkan bahwa engkau sedang mencipta dan
melatih Ilmu Bi-ciong-kun (Ilmu Silat Menyesatkan) yang kaulengkapi
dengan pukulan Tok-hiat-ciang (Pukulan Darah Beracun)...., akan tetapi
mengapa menggunakan Im-kang seorang gadis....?”
“Ha-ha-ha,
Siangkoan Li! Kaukira akan mudah saja mencari rahasia ilmuku itu? Tidak
perlu, hanya perlu kauketahui bahwa aku perlu hawa murni dan darah gadis
ini untuk I-kin Swe-jwe (Ganti Obat Cuci Sumsum). Sudahlah, kau pergi
dan jangan menggangguku lagi.”
“Tidak! Kalau engkau lebih dulu
membebaskan Nona ini, kemudian bertanding dengannya secara jantan, biar
dia kalah dan mati di tanganmu, aku Siangkoan Li bersumpah tidak akan
turut campur. Akan tetapi melihat dia ditawan dengan akal keji dan kini
akan menjadi korban ilmu iblismu, aku tidak akan tinggal diam saja!”
“Bagus! Memang anak tidak akan berbeda dengan ayahnya! Ayahmu penyeleweng dari Thian-liong-pang, engkaupun....”
“Tutup mulut, jangan membawa-bawa nama Ayah!” bentak Siangkoan Li yang sudah mencabut pedangnya.
Huang-to Tai-ong Ma Hoan berteriak keras seperti seekor harimau
terluka, mencabut pedangnya dan menyerang pemuda itu. Karena guha itu
kurang luas untuk bertanding, sedangkan ia maklum akan kelihaian
lawannya, pemuda yang bernama Siangkoan Li itu lalu meloncat keluar guha
dikejar oleh Ma Hoan. Segera terjadi pertandingan hebat di luar guha,
di bawah sinar bintang-bintang di langit. Suara senjata mereka saling
beradu, terdengar nyaring oleh Kwi Lan yang masih berusaha menekan
kemarahannya dan membebaskan diri daripada totokan.
“Sam-sute,
bagaimana baiknya sekarang?” Terdengar seorang di antara tiga anggauta
Thian-liong-pang berkata. Mereka bertiga masih berada di dalam guha
itu, kini memandang ke arah Kwi Lan dengan mata terbelalak penuh kagum
dan gairah.
“Biarkan saja mereka bertempur.” kata suara lain
yang parau. “Ma-totiang adalah adik kandung Pangcu (Ketua), dan
Siangkoan-kongcu adalah cucu luar Lo-pangcu, bagaimana kita boleh
campur tangan? Lihat alangkah hebatnya Nona ini, hemm.... selagi mereka
bertanding, mengapa kita sia-siakan kesempatan bagus ini?”
“Sam-suheng benar!” kata suara ke tiga. Aku pun selama hidupku belum
pernah melihat yang seindah ini. Aku rela nanti dimarahi Ma-totiang
atau Siangkoan-kongcu....”
Tiga orang anggauta Thian-liong-pang
itu menghampiri Kwi Lan dengan wajah menyeringai penuh nafsu.
Sebetulnya mereka itu bukanlah kaum jai-hwa-cat macam Ci-lan Sai-kong,
bukan pula orang-orang mata keranjang, sungguhpun mereka juga tak
dapat disebut orang baik-baik. Akan tetapi melihat keadaan Kwi Lan,
menyaksikan kecantikan wajah yang memang jarang bandingannya, melihat
bentuk tubuh yang demikian menggairahkan, mereka tak dapat lagi
menguasai hati dan menyerah kepada bujukan iblis nafsunya.
Dapat
dibayangkan betapa ngeri rasa hati Kwi Lan ketika melihat tiga wajah
yang berkeringat dengan mata berkilat-kilat seperti mata binatang
kelaparan itu makinmendekatinya. Ia tidak pernah mengenal takut
menghadapi ancaman maut sekalipun, akan tetapi hati kecilnya membisikkan
bahwa kini ia terancam malapetaka yang jauh lebih mengerikan daripada
maut sendiri! Ia sudah mengerahkan tenaga, namun perhatiannya tak dapat
terkumpul bulat-bulat sehingga belum juga ia berhasil. Kedua tangan dan
kakinya masih lemas, lumpuh tak bertenaga.
“Sam-sute, Hok-sute, kalian mundurlah. Aku sebagai Suheng kalian, paling tua dan biarkan aku mendekati dia lebih dulu.”
“Ah, tidak, Suheng! Aku yang mengusulkan lebih dulu!”
“Sam-suheng, aku yang paling muda lebih cocok dengan dia!”
Tiga orang murid Thian-liong-pang yang hati serta pikirannya sudah
hitam dan gelap kotor oleh nafsu iblis itu kini saling berebut! Dari
pertengkaran mulut, mereka kini saling betot dan agaknya mereka akan
saling jotos karena sudah mulai memaki. Melihat ini, Kwi Lan maklum
betapa dirinya diperebutkan oleh tiga orang manusia yang seperti
anjing-anjing kelaparan itu, maka ia merasa hatinya makin berdebar
gelisah, perasaannya seperti ditusuk-tusuk. Makin rusaklah pengerahan
tenaga dan hawa murni di tubuhnya sehingga akhirnya ia menghela napas
dan mengeluarkan suara rintihan karena putus harapan.
Tiba-tiba
dari luar guha menyambar dua sinar hitam yang tepat sekali mengenai
jalan darah di leher dan pinggang Kwi Lan. Kiranya dua sinar itu adalah
dua buah batu kecil yang tepat telah menotok jalan darahnya dan....
seketika Kwi Lan merasa betapa jalan darahnya pulih kembali! Kaki
tangannya dapat ia gerakkan dan biarpun masih kesemutan, namun ia
segera melompat bangun, bagaikan kilat cepatnya ia sudah menyambar
pakaiannya yang tadi ia lihat bertumpuk di sudut guha. Dengan jarijari
tangan gemetar saking lega dan girang hatinya tertolong pada detik-detik
berbahaya itu, namun dengan amat cepat Kwi Lan mengenakan pakaiannya
dan tubuhnya yang kini sudah berpakaian itu berkelebat cepat ke arah
pintu guha ketika ia melihat tiga orang Thian-liong-pang berusaha lari
keluar. Kejadian ini amat cepatnya. Ketika tiga orang Thian-liong-pang
tadi bertengkar untuk memperebutkan Kwi Lan, mereka tidak tahu bahwa
calon korban mereka itu sudah melompat bangun dan berpakaian. Setelah
akhirnya seorang di antara mereka melihat Kwi Lan dan berteriak kaget,
mereka semua menoleh dan serentak mereka kini berlumba lari ke arah
pintu guha untuk menjauhkan diri dari gadis yang mereka tahu amat lihai
itu. Namun tiba-tiba di depan mata mereka berkelebat bayangan orang dan
tercium bau harum, tahu-tahu mereka sudah melihat Kwi Lan menghadang di
depan pintu guha dengan pedang Siang-bhok-kiam yang harum di tangan!
Wajah yang cantik jelita itu tersenyum, senyum manis sekali, akan tetapi
sinar matanya tajam bagaikan pedang dan dingin seperti salju! Tiga
orang anggauta Thian-liong-pang itu melangkah mundur dengan muka pucat
dan bergidik ngeri. Jalan mundur tidak ada lagi. Satu-satunya jalan
keluar untuk lari telah dihadang oleh Mutiara Hitam.
Gadis itu
melihat tiga orang lawannya mundur-mundur ketakutan, kini melangkah
maju pulaperlahan-lahan. Ia sama sekali tidak mengeluarkan kata-kata,
namun pandang matanya dan senyumnya telah membayangkan ancaman yang
menyeramkan, dan tiada caci maki dari mulut lebih jelas membayangkan
kemarahan yang meluap-luap itu. Tiga orang yang mundur terus akhirnya
sampai mepet di dinding batu guha. Terpaksa mereka berhenti, saling
pandang dengan muka pucat, mata terbelalak dan tubuh menggigil. Mereka
tersudut seperti tiga ekor tikus menghadapi seekor kucing yang hendak
mempermainkan mereka lebih dahulu sebelum menjatuhkan terkaman maut.
Tiga orang itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka merogoh saku dan
mengeluarkan senjata rahasia mereka, yaitu perluru-peluru bintang
Sin-seng-piauw yang menjadi senjata utama para anak buah
Thian-liong-pang. Tidak semua anggauta Thian-liong-pang mewarisi ilmu
silat Sin-seng Losu, akan tetapi mereka semua diharuskan melatih
penggunaan senjata rahasia Sin-seng-piauw ini. Senjata rahasia ini
bentuknya seperti bintang, kecil namun berat dan pada ujungnya yang
runcing diberi racun.
Seperti mendapat aba-aba saja, tiga orang
itu menggerakkan tangan menyambit dengan Sin-seng-piauw. Belasan buah
peluru bintang ini menyambar ke arah Kwi Lan. Namun sekali memutar
Siang-bhok-kiam, semua senjata itu runtuh, menancap di atas lantai atau
dinding kanan kiri gadis itu. Tiga orang anak buah Thian-liong-pang
itu adalah anggauta-anggauta tingkat rendah kepandaian mereka masih
terlalu rendah bagi Kwi Lan. Mereka menjadi makin ketakutan dan
menghamburkan senjata-senjata rahasia mereka sampai habis. Sebuah pun
tidak ada yang menyentuh pakaian Kwi Lan. Gadis ini memperlebar
senyumnya
Sambil berteriak-teriak seperti orang gila saking
takut dan nekat, tiga orang itu lalu menerjang maju, memutar golok dan
membacok sejadinya asal cepat dan kuat. Kwi Lan menggerakkan pedangnya
yang berkelebatan seperti kilat menyambar. “Trangg.... tranggg....
tranggg....!”
Tiga batang golok itu patah-patah dan yang berada
di tangan mereka hanya tinggal gagangnya saja! Kembali mereka
mundur-mundur sampai mepet dinding dan rasa takut mereka ini memuncak.
Melihat betapa gadis itu sambil tersenyum-senyum melangkah maju dengan
pedang di tangan, mereka bertiga hampir menjadi gila. Lutut mereka
menggigil dan akhirnya mereka tak dapat menahan diri lagi, jatuh
berlutut sambil memohon-mohon ampun dan menangis!
“Menjijikkan!”
Kwi Lan berkata perlahan akan tetapi pedangnya bergerak cepat sekali
sampai lenyap berubah gulungan sinar hijau menyambar-nyambar. Terdengar
jeritan-jeritan menyayat hati dan ketika gadis itu melangkah keluar dari
dalam guha, di bawah penerangan api unggun tampak tiga tubuh manusia
bergelimpangan di atas lantai guha itu, tanpa tangan dan kaki lagi!
Darah membanjir merah. Mengerikan sekali tubuh yang hanya tinggal kepala
dan badan itu, kaki tangan mereka buntung dari pangkalnya! Kini tiga
orang itu hanya bisa menggerak-gerakkan kepala dengan mulut mengerang
kesakitan dan mata terbelalak, masih ketakutan. Namun satu-satunya
bagian tubuh yang masih dapat bergerak, kepala itu, tentu takkan lama
bergerak karena mereka tak mungkin dapat hidup lagi dengan darah
mengalir keluar seperti pancuran itu.
Kwi Lan mendengar betapa
di luar masih terjadi pertarungan hebat. Kini terdengar suara bersuitan
keras dan ketika ia meloncat keluar dari dalam guha, ia melihat betapa
pemuda tampan yang menolongnya tadi dikeroyok oleh banyak orang yang
membantu Huang-ho Tai-ong Ma Hoan! Pemuda itu hebat sekali permainan
pedangnya dan biarpun Ma Hoan mengeroyoknya dengan bantuan tujuh orang
anak buahnya, namun pemuda itu masih saja menekan mereka dengan
gerakan-gerakan pedang yang amat kuat. Belasan orang anak buah bajak
bersuwitan dan mengurung. Biarpun ilmu pedangnya hebat, pemuda itu
terkurung oleh banyak sekali bajak yang rata-rata memiliki kepandaian
lumayan.
Kwi Lan melompat, pedang Siang-bhok-kiam berkelebat dan
terdengarlah jerit susul menyusul di antara anak buah bajak yang
mengurung. Keadaan menjadi kacau-balau dan Kwi Lan yang merasa benci
sekali kepada Ma Hoa, berhasil membuka jalan darah mendekati Ma Hoan dan
langsung mengirim tikaman berantai ke arah dua puluh tujuh jalan darah
lawan.
“Hayaaaa....!” Ma Hoan terkejut sekali seperti disambar
petir. Repot ia menggerakkan pedang untuk menangkis dan mengelak. Setiap
tangkisan membuat pundak kanannya tergetar dan dadanya panas, sedangkan
setiap elakannya hanya berselisih sedikit sekali dari sambaran pedang
lawan sehingga berkali-kali ia berteriak kaget dan mencium bau harum
pedang lawan yang menyeramkan hatinya. Betapa pun lihainya Ma Hoan,
namun menghadapi ilmu pedang Kwi Lan yang amat aneh, ia hanya mampu
mempertahankan diri dan terhuyung-huyung mundur sambil berteriak-teriak
memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk maju mengeroyok. Adapun
pemuda itu sekarang juga sudah dikeroyok banyak bajak sungai, namun
mereka ini bukanlah lawan Si Pemuda yang gagah perkasa. Sebentar saja
mereka berseru kesakitan dan banyak di antara mereka yang mundur. Namun
tak seorang pun terluka berat karena pemuda ini sengaja tidak mau
menurunkan tangan maut.
Biarpun dikeroyok banyak orang, Kwi Lan
menggmuk dan sudah lima orang anak buah bajak roboh tewas oleh
pedangnya. Ketika ada empat orang bajak menubruknya dengan golok dari
depan sedangkan Ma Hoan meloncat mundur bersembunyi di belakang empat
orang ini, agaknya hendak lari, Kwi Lan mengeluarkan suara melengking
nyaring . Seketika empat orang di depannya itu menjadi lemas dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Kwi Lan untuk meloncati kepala mereka
mengejar Ma Hoan! Sebelum tubuhnya turun, pedangnya sudah menyambar ke
arah leher lawan yang amat dibencinya ini.
Ma Hoan terkejut sekali dan mengerahkan tenaga menangkis dengan pedangnya.
“Tranggg....!”
“Celaka....!” seru Ma Hoan ketika pedangnya menjadi patah oleh pedang
gadis itu dan pundaknya terasa sakit karena tertusukpedang. Ia cepat
menggulingkan tubuhnya ke bawah dan terus bergulingan, sedangkan para
anak buahnya kembali maju menyerbu Kwi Lan. Dengan demikian, kepala
bajak itu tertolong dan sekali tubuhnya meloncat, is lenyap dalam
gelap. Dengan pundak berdarah, Ma Hoan berlari cepat menuju kesungai. Ia
pikir kalau ia bisa sampai ke sungai, berarti nyawanya selamat karena
sekali terjun ke air, gadis itu tentu takkan dapat mengejarnya lagi. Ia
bergidik kalau mengingat betapa hebat ilmu kepandaian gadis itu dan juga
menyesal mengapa ia gagal mendapatkan hawa murni Im-kang dari gadis
yang sehebat itu. Diam-diam ia marah dan gemas kepada Siangkoan Li.
Hatinya girang setelah ia mendengar suara air. Sungai Kuning terbentang
di depan dan ia mempercepat larinya menghampiripantai. Ia melihat di
dalam gelap sesosok bayangan hitam di pantai dan dikiranya bayangan itu
seorang di antara anak buahnya, maka ia menghampiri sambil berteriak,
“Lekas sediakan perahu....!”
Akan tetapi kata-katanya terhenti
dan ia berdiri melongo, tengkuknya terasa dingin dan rambutnya berdiri
satu-satu. Bayangan itu kini melangkah maju dan bukan lain adalah Kwi
Lan, Si Mutiara Hitam! Gadis ini tersenyum manis dan pedang di tangannya
tergetar.
Huang-ho Tai-ong Ma Hoan bukanlah seorang penakut.
Sebagai kepala bajak yang sudah belasan tahun merajalela disepanjang
Sungai Kuning, entah sudah berapa banyaknya manusia tewas di tangannya
dan ia dapat membunuh orang tanpa berkedip mata. Akan tetapi sekarang
menghadapi seorang gadis yang tersenyum-senyum manis di depannya, ia
memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali! Baru sekarang ia
merasa apa yang dirasakan oleh para korbannya, rasa takut dan ngeri
menghadapi bahaya maut. Akan tetapi sebagai seorang jagoan, ia segera
dapat mengubah rasa takut ini menjadi kemarahan dan kenekatan. Sambil
mengeluarkan suara menggereng seperti suara srigala marah, ia menerjang
maju dan kedua telapak tangannya memukul berbareng dari kanan kiri
lambung. Inilah sebuah jurus Bi-ciong-kun dan dari kedua telapak
tangannya keluar tenaga Tok-hiat-ciang. Biarpun ilmu yang ganas ini
belum terlatih sempurna, apalagi tenaga beracun Tok-hiat-ciang belum
jadi sepenuhnya, namun sudah hebat bukan main. Seorang lawan yang
tanggung-tanggung saja kepandaiannya, mungkin masih dapat menangkis
atau mengelak dari pukulan, namun sukar untuk menyelamatkan diri
daripada hawa pukulan yang beracun itu.
Kwi Lan menghadapi
pukulan ini dengan tenang. Melihat lawannya tidak bersenjata lagi, ia
pun tidak menggunakan Siang-bhok-kiam di tangannya. Dengan pengerahan
tenaga dalam, tangan kirinya menyampok dan hawa pukulannya menyambut
serangan lawan, kemudian kakinya menendang. Tubuh Huang-ho Tai-ong
terlempar ke belakang! Kaget bukan main kepala bajak ini. Bukan hanya
gadis itu dapat menahan pukulannya, bahkan secara aneh sekali kakinya
sudah menendangnya sampai terjengkang beberapa meterjauhnya. Ia makin
panik dan takut, lalu melompat bangun dan.... membalikkan tubuhnya lari
kembali ke tempat tadi. Setidaknya di tempat pertempuran tadi, ia masih
dapat mengharapkan anak buahnya untuk membantunya, daripada menghadapi
gadis setan ini sendirian saja di pinggir sungai dan jalan untuk
menyelamatkan diri terjun ke air sudah ditutup oleh Mutiara Hitam!
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan bingung hati kepala
bajak ini ketika ia tiba di depan guha tadi, di situ telah sunyi, tidak
ada lagi pertempuran dan tidak tampak seorang pun anggauta bajak sungai!
Selagi ia hendak lari lagi ke kiri, tahu-tahu ada bayangan berkelebat
dan.... lagi-lagi Si Gadis jelita telah berada di depannya.
“Perempuan siluman!” Ia membentak dan dengan nekat menubruk maju dengan
kedua lengan terpentang, untuk memeluk dan kalau perlu mengajak mati
bersama. Tampak sinar hijau berkelebat, disusul pekik mengerikan dari
kepala bajak itu dan darah menyambur keluar dari dadanya ketika
Huang-ho Tai-ong Ma Hoan roboh tersungkur, mendekap dada dengan kedua
tangan, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian.
Kwi Lan
berdiri memandang korbannya. Baru lenyap sekarang sinar matanya yang
berkilat-kilat dan senyumnya yang dingin. Sambil menarik napas panjang,
ia memasukkan Siang-bhok-kiam ke dalam sarungnya.
“Mereka memang jahat, Huang-ho Tai-ong memang layak mati, akan tetapi kau terlalu ganas, Nona.”
Kwi Lan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat pemuda tampan yang
rambutnya dibiarkan terurai di atas punggung itu, pemuda yang bernama
Siangkoan Li, yang tadi telah menolongnya dari bahaya yang lebih hebat
daripada maut. Pemuda itu berdiri di mulut guha dan tampak gagah
membelakangi sinar api unggun yang agaknya masih menyala di dalam guha
itu. Teguran ini seketika mendatangkan rasa marah di hati Kwi Lan, akan
tetapi mengingat bahwa pemuda ini sudah menolongnya, ia menekan perasaan
marahnya dan bertanya, suaranya ketus.
“Aku membunuh dia dengan sebuah tusukan, mengapa kaubilang ganas? Apa yang kaumaksudkan?”
Pemuda itu mengerutkan keningnya dan wajahnya yang tampan itu tampak
makin sungguh-sungguh. “Huang-ho Tai-ong sudah layak mati dan tusukan
pada jantungnya sudah tepat. Yang kumaksudkan adalah pembunuhan yang
kaulakukan kepada tiga orang anggauta Thian-liong-pang. Mengapa kau
begitu ganas membuntungkan kaki tangan mereka, membiarkan mereka
menderita hebat sebelum mati?”
Pertanyaan yang penuh teguran ini
bagi Kwi Lan dirasakan sepertitantangan. Ia segera membusungkan dada,
menegangkan leher dan memandang tajam.
“Hemm, kulihat engkau
memakai pengikat kepala dan permata kuning seperti yang dipakai
Cap-ji-liong. Engkau seorang tokoh Thian-liong-pang. Apakah engkau kini
hendak membalas atas kematian tiga ekor anjing di dalam guha itu?”
Pemuda itu memandang marah. Dua pasang mata saling pandang dan saling
tentang, akan tetapi pemuda itu lebih dahulu menurunkan pandang matanya,
menghela napas dan berkata, nada suaranya penuh penyesalan.
“Engkau membunuh Huang-ho Tai-ong memang sudah sepatutnya karena dia
mempunyai niat buruk terhadap dirimu. Akan tetapi tiga orang
Thian-liong-pang di dalam guha itu, mengapa kau menyiksa mereka? Dan
mengapa pula engkau dan temanmu membikin kacau di Thian-liong-pang
ketika diadakan upacara pengangkatan ketua baru?”
“Huh! Orang
sendiri biar kotor dianggap bersih selalu! Tiga orang itu bukan
manusia, mereka hanya tiga ekor anjing busuk yang patut dibunuh seratus
kali! Mereka itu hendak.... hendak.... berbuat kurang ajar, mereka
seperti anjing-anjing yang kotor....!”
Pemuda itu menghela
napas. “Ah, sudah kusangka demikian....! Makin lama makin rusaklah nama
Thian-liong-pang bersama rusaknya watak mereka....! Ah, Nona, sekarang
aku tahu mengapa kau membunuh mereka, akan tetapi tetap saja kau terlalu
ganas. Membunuh dengan dorongan kebencian dan kemarahan bukanlah sikap
seorang gagah.”
Kwi Lan makin marah dan penasaran. Ia membanting kaki kanannya dan menghardik.
“Kau ini seorang tokoh Thian-liong-pang, apa kaukira seorang gagah?
Apakah Thian-liong-pang perkumpulan orang gagah? Huh! Kulihat dengan
mata sendiri bahwa Thian-liong-pang hanyalah perkumpulan orang-orang
jahat. Dalam pesta perayaan untuk mengangkat ketua baru, yang datang
adalah orang-orang dari golongan hitam. Bahkan ada yang menyumbangkan
dua belas orang gadis culikan! Dan ketuanya diangkat dengan upacara
penyembelihan dan penyiraman darah anjing. Perkumpulan apa ini? Dan kau
yang menjadi tokohnya masih berani bicara tentang sikap seorang gagah?”
Aneh sekali. Pemuda yang tadinya bersikap marah dan penuh teguran
kepada Kwi Lan, setelah menghadapi kata-kata yang pedas ini tiba-tiba
saja berubah airmukanya. Ia mengerutkan keningnya, wajahnya yang
tampan menjadi gelap, kemudian ia menjatuhkan diri duduk di atas tanah,
menarik napas panjang berkali-kali dan mengeluh. “Disalahgunakan....
disalahgunakan....!” Dan ia pun menangis!
Kwi Lan tercengang
menyaksikan perubahan ini. Dia sendiri memang keras hati, mau membawa
kehendak sendiri dan berwatak aneh, namun dia bukan seorang yang tidak
mengenal budi. Melihat keadaan pemuda ini, hatinya pun menjadi lunak,
dan tanpa disadarinya, ia sudah duduk pula di atas sebuah batu, di depan
pemuda itu lalu berkata.
“Aku tidak bermaksud memaki dan
menyinggungmu. Aku hanya memaki Thian-liong-pang. Biarpun kau seorang
tokoh Thian-liong-pang, kulihat engkau lain daripada mereka. Engkau
sudah menolongku tadi dan budimu itu sungguh amat besar, membuat aku
bersyukur dan berterima kasih sekali. Engkau sudah menentang Huang-ho
Tai-ong, dan dalam keadaan terancam bahaya hebat, engkau sudah
memulihkan totokan pada tubuhku dengan sambitan batu kerikil.”
Pemuda itu menyusut air matanya dan mengangkat muka memandang Kwi Lan.
Kemudian berkata dengan suara berduka. “Aku tidak peduli andaikata kau
mencaci maki diriku. Dan aku tentu akan menyerangmu andaikata makianmu
terhadap Thian-liong-pang tidak benar. Akan tetapi apa yang kaukatakan
adalah benar dan keadaan Thian-liong-pang seperti itulah yang
menghancurkan hatiku. Aku rela mati untuk Thian-liong-pang, akan tetapi
dengan keadaan Thian-liong-pang seperti sekarang ini.... bagaimana
mungkin aku membelanya? Aku malu sekali, sedih, tapi.... tidak
berdaya....!”
Timbul rasa suka di hati Kwi Lan terhadap pemuda
ini. Ternyata pemuda ini selain memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti
telah dibuktikannya tadi dengan sambitan kerikil dan dengan sepak
terjangnya dikeroyok oleh Huang-ho Tai-ong dan anak buahnya, juga
memiliki kesetiaan namun tidak ikut menyeleweng seperti tokoh-tokoh lain
dari perkumpulannya itu. Dengan suara halus ia berkata.
“Dari
percakapan tiga ekor anjing tadi aku mendengar bahwa kau bernama
Siangkoan Li dan menjadi cucu luar Si Kakek Sin-seng Losu. Seorang
seperti kau ini bagaimanakah bisa berada di tengah-tengah mereka yang
kotor seperti mereka itu?”
Siangkoan Li menundukkan mukanya.
“Nona, bagaimana aku dapat bercerita tentang keadaanku sebagai seorang
di antara tokoh-tokoh dunia hitam kepada seorang gadis gagah perkasa,
seorang pendekar seperti engkau ini?”
“Pendekar? Siapa bilang aku pendekar?”
“Ah, tidak perlu kau merendahkan diri. Kau tentulah seorang Lihiap
(Pendekar Wanita) dari perguruan tinggi yang terkenal maka kau berani
menentang Thian-liong-pang. Kau hidup di dunia yang bersih, yang
menjujung tinggi kegagahan, yang selalu bertindak membela kebenaran dan
keadilan, menentang kejahatan. Sebaliknya aku, aku hidup bergelimang
dosa dan kejahatan, hidup di dunia kotor dan hitam....”
“Ihhh,
kau ngaco tidak karuan. Siapa bilang aku pendekar? Aku sama sekali bukan
seorang lihiap. Aku seorang perantau, tidak datang dari perguruan
manapun juga. Guruku bukan orang terkenal, dan andaikata kuberitahukan
juga engkau pasti tak pernah mendengar namanya.
Aku lama sekali
bukan penegak kebenaran dan keadilan, bukan pendekar dan aku hanya
bertindak menurut suara hatiku saja. Yang memusuhi aku, tentu akan
kumusuhi kembali, yang baik kepadaku, tentu akan kubaiki kembali. Engkau
baik kepadaku, telah menolongku, tentu saja tidak mungkin kau kuanggap
musuh. Siangkoan Li, aku ingin sekali mendengar bagaimana kau bisa
terlibat dalam Thianliong-pang.”
Mula-mula pemuda itu memandang Kwi Lan dengan sinar mata heran dan tidak percaya, kemudian berkata perlahan.
“Ah, kalau begitu ada persamaan antara kita. Hanya bedanya, engkau
bebas dan aku terikat....” Ia meraba permata kuning yang menghias
dahinya. Kemudian ia melonjorkan kakinya, duduk dengan enak dan mulai
bercerita.
Thian-liong-pang tadinya merupakan perkumpulan
orang-orang gagah, sisa dari Kerajaan Hou-han yang telah ditaklukkan
oleh Kerajaan Sung. Orang-orang gagah yang berjiwa patriot membentuk
perkumpulan Thian-liong-pang dengan cita-cita merebut kembali wilayah
Hou-han yang sudah tertumpas musuh. Perkumpulan ini dipimpin oleh
seorang muda yang gagah perkasa, yang bernama Siangkoan Bu, putera
seorang bekas panglima Kerajaan Hou-han. Di bawah pimpinan Siangkoan Bu
inilah para orang gagah di Hou-han mengadakan pertempuran gerilya dan
sering kali melakukan pengrongrongan terhadap Kerajaan Sung. Karena
perkumpullan ini membutuhkan banyak tenaga orang-orang gagah, tentu
saja sukar untuk mengadakan penyaringan sehingga banyak pula
orang-orang dari dunia hitam yang memiliki kepandaian, masuk pula
menjadi anggauta. Di antara mereka ini terdapat seorang pelarian dari
barat, bekas seorang pendeta yang bukan lain adalah Sin-seng Losu
bersama puterinya yang cantik dan berkepandaian tinggi pula. Hal yang
lumrah terjadilah, Siangkoan Bu jatuh cinta kepada puteri Sinseng Losu
dan kemudian mereka menikah. Dari pernikahan ini lahirlah Siangkoan
Li.
Sin-seng Losu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi
sehingga Ketua Thian-liong-pang yaitu mantunya sendiri, mengangkatnya
sebagai guru untuk para anggauta Thian-liong-pang. Dengan kedudukan ini,
ditambah kenyataan bahwa dia adalah ayah mertua Siangkoan Bu, maka
Sin-seng Losu merupakan orang ke dua setelah mantunya di dalam
perkumpulan. Kekuasaannya tinggi dan mulailah timbul penjilat-penjilat,
yaitu orang-orang dari dunia hitam yang menyelundup masuk ke dalam
Thian-liong-pang. Mulailah Sin-seng Losu menyimpang daripada jalan
bersih menjadi hamba nafsu dan makin tua menjadi makin gila.
Orang-orang gagah yang melihat gejala-gejala busuk mulai tumbuh dalam
Thian-liong-pang, menjadi marah dan tidak senang sekali. Akan tetapi
oleh karena segan terhadap Siangkoan Bu, seorang patriot sejati yang
dihormat dan disegani, mereka masih dapat menahan sabar. Tentu saja,
sebagai seorang yang bijaksana, Siangkoan Bu maklum pula akan keadaan
ayah mertuanya yang menyeleweng dan didukung oleh banyak anggauta yang
berasal dari dunia hitam. Orang gagah ini menjadi serba susah. Mau
ditindak, kakek itu adalah ayah mertuanya. Tidak ditindak, dapat
merusak nama baik perkumpulan. Akhirnya, Siangkoan Bu yang pada suatu
hari berhasil merampas tiga belas butir permata kuning milik pembesar
tinggi yang berkuasa di Hou-han dan yang menjadi boneka Kerajaan Sung,
lalu menggunakan permata-permata kuning itu sebagai tandakekuasan. Ia
memilih tiga belas orang tokoh pimpinan Thian-liong-pang, di antaranya
dia sendiri dan ayah mertuanya di tambah sebelas orang tokoh lain yang
ia tahu adalah orang-orang gagah dan patriot-patriot sejati, sebagai
dewan pimpimpinan yang memakai hiasan dari permata kuning dan mereka
yang memakai tanda ini berhak untuk mengambil keputusan demi kebaikan
Thian-liong-pang, di antaranya berhak menghukum para anggauta yang
menyeleweng!
Dengan adanya peraturan ini, Sin-seng Losu merasa
tersudut dan tidak berani lagi melakukan penyelewenganpenyelewengan
secara berterang. Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga Siangkoan Bu
dan Thian-liong-pang pada umumnya. Ketika terjadi bentrokan dengan
jagoan-jagoan Kerajaan Sung, Siangkoan Bu dan isterinya tewas dalam
pertempuran hebat.
Semenjak itulah, kekuasaan tertinggi jatuh
ke tangan Sin-seng Losu. Dan karena ilmu kepandaiannya paling tinggi
ditambah dua belas orang muridnya yang paling ia sayang, yaitu para
penjilat terdiri dari Thai-lek-kwi Ma Kiu dan yang lain-lain, tidak ada
tokoh lain yang berani menentangnya. Bahkan satu demi satu para
patriot mengundurkan diri sehingga tiga belas buah permata kuning
terjatuh ke tangan Sin-seng Losu yang mengangkat diri menjadi Ketua
Thian-liong-pang.
“Demikianlah, Nona. Sebuah permata, yaitu
bekas milik Ayah, oleh Gwa-kong (Kakek Luar) diberikan kepadaku untuk
kupakai, sedangkan yang dua belas diberikan kepada para suheng, murid
Gwakong.”
“Cap-ji-liong itu?”
“Benar, kami diharuskan sumpah setia sebelum menerima permata ini, dan hal itu memang menjadi peraturan perkumpulan kami.”
Hening sejenak setelah pemuda itu selesai bercerita. Diam-diam Kwi Lan
merasa kasihan kepada Siangkoan Li. Pemuda ini yatim piatu dan terpaksa
hidup di antara orang-orang jahat dan merasa tidak berdaya karena yang
mengepalai orang-orang jahat itu adalah kakek luarnya sendiri! Di
samping kenyataan ini, juga ia telah bersumpah setia sebagai pemakai
permata kuning, setia terhadap Thian-liong-pang yang kini berubah
menjadi dunia hitam! Pantas saja pemuda ini selalu bersedih, wajahnya
tak pernah berseri karena batinnya tertekan selalu.
“Aku seorang
anggauta dunia hitam, Nona. Bahkan seorang tokohnya karena aku masih
cucu luar orang pertama Thian-liong-pang. Sebetulnya tidak patut bagi
seorang macam aku untuk menceritakan semua ini kepada seorang seperti
Nona.
Akan tetapi.... aku tidak bisa diam saja melihat kau
dirobohkan orang dengan cara pengecut, karena itu.... biarpun merupakan
penghinaan terhadap perkumpulan, aku.... aku nekat turun tangan....”
Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu. “Siangkoan Li, kalau
begitu.... yang menolong aku dan Berandal keluar dari sumur itu....
engkaulah orangnya?”
Siangkoan Li menundukkan mukanya yang
menjadi merah. “Aku seorang pengkhianat kotor.... aku.... aku akan
menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali....! Hidup bagiku
sudah memuakkan, lebih baik menyusul Ayah Ibu....”
“Siangkoan
Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata-kata
pengecut seperti itu? Orang yang bosan hidup, yang mengharapkan
kematian, adalah seorang pengecut yang tidak berani menentang kesulitan
hidup, demikian kata Guruku. Biarpun semua orang menganggapmu sebagai
seorang tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan, menganggapmu
seorang sahabat yang baik dan gagah!”
“Kam Kwi Lan? Itukah namamu, Nona....?”
Kwi Lan terkejut. Karena merasa kasihan, ia sampai memperkenalkan
namanya secara tak sadar. Karena sudah terlanjur, ia lalu berkata,
“Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si
Berandal.”
“Si Berandal? Pemuda tampan yang datang bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Di mana dia sekarang?”
“Dia pergi mencari Ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan
bahwa kau akan menebus dosa menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang
hendak kaulakukan?”
Dalam percakapan tadi ketika Si Nona
memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit cahaya
gembira, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali wajahnya menjadi
muram. Sejenak ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah
pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka sadari, sang malam
telah mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut
datangnya fajar.
“Aku harus mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima hukuman.”
“Ah, mengapa begitu? Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan!” teriak Kwi Lan penasaran.
Tiba-tiba Siangkoan Li melompat bangun. “Tidak! Tak mungkini
Thian-liong-pang adalah perkumpulan yang didirikan oleh mendiang Ayahku.
Ayah Ibuku telah menyerahkan nyawa mereka untuk Thian-liong-pang. Masa
aku harus melarikan diri? Meninggalkan Thian-liong-pang? Tidak, Kwi Lan.
Aku takkan mundur biarpun harus menghadapi kematian.”
“Tapi,
orang tuamu mati untuk Thian-liong-pang dalam membela Hou-han, mereka
mati sebagai pahlawan-pahlawan utama. Akan tetapi kau...., kau hendak
menyerahkan nyawa sebagai seorang pengkhianat Thian-liong-pang? Selagi
Thian-liong-pang dikuasai orang-orang jahat?”
Siangkoan Li
menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Betapapun juga, masih ada
Sin-seng Losu di situ dan kau harus ingat, dia adalah Gwakong (Kakek
Luar) bagiku. Andaikata tidak ada dia, tentu aku sudah akan mengadu
nyawa dengan Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari Thian-liong-pang!”
“Marilah kita berdua sekarang juga menghadapi mereka. Siangkoan Li, kau
percayalah, kita berdua akan dapat menghancurkan mereka! Kulihat
kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada Cap-ji-liong....”
Siangkoan Li mengangguk. “Memang, terhadap Cap-ji-liong aku tidak takut.
Biarpun mereka itu terhitung Suheng-suhengku sendiri karena aku pun
mendapat pelajaran ilmu silat dari Gwakong, akan tetapi aku masih
mempunyai dua orang Guru yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi
daripada kepandaian Gwakong.”
“Siapakah mereka itu?” Kwi Lan bertanya kagum.
Siangkoan Li menggeleng kepala. “Tidak boleh kusebut, sungguhpun
andaikata kukatakan juga, kau takkan mengenalnya. Agaknya antara gurumu
dan guruku ada persamaan keanehan dalam hal nama ini. Kau bilang gurumu
tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi kurasa gurumu masih jauh lebih
terkenal daripada guruku yang benar-benar tak ada seorang pun
mengenalnya.” Tiba-tiba Siangkoan Li memandang ke depan dan wajahnya
menegang. Kemudian ia memegang tangan Kwi Lan, menggenggam tangan yang
kecil halus itu sejenak sambil berkata,
“Sudahlah, Kwi Lan.
Mereka sudah datang. Selamat berpisah. Kau percayalah, pertemuan ini
merupakan satu-satunya hal yang paling menyenangkan hatiku selama
hidupku dan sampai mati pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu.”
Setelah berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan pegangan tangannya
dan dengan langkah lebar ia pergi meninggalkan Kwi Lan.
Kwi Lan
berdiri di depan guha dengan hati bimbang. Biarpun pemuda itu sudah dua
kali menolongnya, akan tetapi pemuda itu bukan apa-apanya. Orang lain
yang kebetulan bertemu di situ. Urusan pribadi pemuda itu tiada
sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia kepada
Thian-liong-pang dan begitu bodoh untuk menyerahkan diri minta dihukum,
peduli apakah dengan dia? Berpikir demikian, Kwi Lan juga mulai
berjalan meninggalkan tempatitu. Ia masih gemas kala mengingat kuda
hitamnya yang hilang. Matikah kuda itu? Hanyut dan tenggelam? Ataukah
terampas para bajak?
Pemuda yang aneh, kembali ia berpikir
tentang diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk melupakan pemuda
itu begitu saja. Masih terngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika
hendak berpisah, ucapan yang agak gemetar. Pertemuan yang paling
menyenangkan hatinya selama hidupnya! Sampai mati pun pemuda itu takkan
melupakannya! Hemmm, Kwi Lan merasa betapa mukanya menjadi padas.
Jantungnya berdebar aneh, seperti ketika Hauw Lam si Berandal
menyatakan cinta kasihnya kepadanya di dalam sumur.
Siangkoan Li
merupakan pemuda yang aneh. Akan tetapi ada perbedaan mencolok dalam
sikap mereka. Hauw Lam selalu gembira dan jenaka, nakal dan lucu.
Sebaliknya, Siangkoan Li selalu muram dan sedih. Mengenangkan Hauw Lam
menimbulkan kegembiraan. Mengenangkan Siangkoan Li menimbulkan
keharuan. Akan tetapi keduanya sama baiknya. Sama tampan, sama lihai
dan keduanya sama amat baik kepadanya! Hauw Lam sedang pergi mencari
ibu kandungnya, dan Siangkoan Li.... pergi mencari maut! Ah, tidak
boleh begini! Ia harus melarangnya, harus mencegahnya!
Kwi Lan
lalu pergi mengejar. Siangkoan Li sudah tak tampak lagi bayangannya
akan tetapi karena waktu itu matahari telah mulai muncul mengusir
kegelapan, ia dapat lebih mudah mencari pemudaitu. Ia mendapatkan
pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho dalam keadaan.... terbelenggu kedua
tangannya dan sedang dimaki-maki oleh Sin-seng Losu, disaksikan oleh
seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek kurus berjenggot lebat.
Siangkoan Li hanya menundukkan mukanya dengan kening berkerut,
kelihatan berduka sekali. Melihat keadaan pemuda ini, darah Kwi Lan
sudah bergolak saking marahnya. Di situ hanya terdapat tiga orang
Thian-liong-pang, biarpun yang seorang adalah tokoh terbesar, Sin-seng
Losu. Andaikata Cap-ji-liong lengkap berada di situ sekalipun, ia tidak
akan gentar menghadapi mereka untuk menolong Siangkoan Li. Pemuda itu
telah dua tiga kali menolongnya, tidak hanya menolongnya daripada bahaya
maut, bahkan dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut!
“Sin-seng Losu tua bangka jahat! Hayo bebaskan Siangkoan Li!” bentaknya
sambil muncul dari belakang batang pohon dengan pedang di tangan.
Seorang di antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara kuning di dahi
seperti Siangkoan Li, menoleh dan mukanya menjadi marah sekali ketika ia
mengenal Kwi Lan. Bagaikan kilat cepatnya, tangan kirinya bergerak dan
pada saat itu Siangkoan Li berseru,
“Thio-suheng.... jangan....! Nona Kam, jangan turut campur....!”
Namun terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw sudah menyambar ke arah tubuh
Kwi Lan, akan tetapi gadis ini menggerakkan pedang menyampok runtuh
tiga batang Sin-seng-piauw sedangkan tangan kirinya sudah menyebar
jarumnya ke arah anggauta Cap-ji-liong itu. Orang she Thio ini cepat
meloncat untuk mengelak, namun kurang cepat karena Kwi Lan melepas
jarum secara luar biasa sekali. Ia melepas dengan gerakan sekaligus,
namun ternyata jarum-jarum di tangannya telah terpecah menjadi dua
rombongan. Rombongan pertama menyerang cepat sekali sedangkan rombongan
kedua, biarpun disambitkan dalam waktu yang sama, lebih lambat dan
merupakan jarum penutup jalan keluar sehingga ke mana pun juga lawan
mengelak, tentu akan disambut oleh jarum-jarum rombongan ke dua ini.
Anggauta Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya tertusuk
sebatang jarum yang amblas sampai tidak tampak menembus celana, kulit
dan dagingnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh pingsan!
“Wuuuttt.... singgg....!”
Masih untung bahwa Kwi Lan mempunyai kegesitan yang mengagumkan dan
gerakan yang aneh. Otomatis tubuhnya mencelat ke kiri sampai hampir
menyentuh tanah untuk mengelak sambaran pedang yang amat luar biasa
itu. Ketika ia berjungkir balik memandang, kiranya yang menyerangnya
adalah orang kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi Lan terkejut juga.
Gerakan pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih hebat daripada
orang-orang Cap-ji-liong! Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang
Thian-liong-pang yang menduduki tingkat satu. Kalau begitu orang itu
tentu bukan orang Thian-liong-pang.
Ia memandang penuh
perhatian. Orang itu tinggi kurus mukanya pucat kehijauan, tanda bahwa
dia telah melatih semacam ilmu Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan
jenggotnya awut-awutan tak terpelihara, juga kotor seperti seorang
pengemis terlantar. Namun pakaiannya bukan seperti pakaian pengemis.
Agaknya seorang pertapa yang sudah tidak peduli akan kebersihan dirinya
lagi. Mukanya kurus tak berdaging, hanya kulit pembungkus tengkorak.
Tentu usianya sudah tua sekali. Orang ini berdiri memandangnya dengan
muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan perasaan sesuatu,
juga mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata.
“Susiok, harap
jangan layani dia! Nona Kam, kau pergilah....!” Kalimat terakhir itu
ditujukan kepada Kwi Lan dengan pandang mata penuh kedukaan. Makin tidak
tega hati Kwi Lan, maka ia menghadapi kakek berpedang itu sambil
mengejek,
“Kalian bebaskan dia atau.... pedangku harus bicara?”
“Sute (Adik Seperguruan), kau wakili aku hajar siluman ini!” Sin-seng Losu berkata.
Kini tahulah Kwi Lan bahwa kakek kotor ini adalah adik seperguruan
Sinseng Losu, pantas saja Siangkoan Li menyebutnya pamanguru. Ia
melihat betapa orang itu menggetarkan pedangnya di tangan kanan
sedangkan tangan kirinya tergetar hebat lalu menjadi kaku dengan
jari-jari membentuk cakar garuda. Kemudian tubuh orang itu menubruk ke
depan, pedangnya membabat ke arah pinggang sedangkan tangan kirinya
mencakar ke arah mukanya. Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya,
pedang itu ataukah jari-jari tangan kiri itu. Keduanya mengeluarkan
angin pukulan yang bersuitan dan amat kuatnya.
Sambutan Kwi Lan
atas serangan dahsyat dan aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan
Kwi Lan memang aneh dan tidak terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti
daripada ilmu silat Kam Sian Eng bahwa setiap serangan lawan merupakan
pintu yang terbuka dan merupakan kesempatan untuk dibalas serangan
yang mematikan! Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Kwi Lan sudah
meloncat tinggi ke atas sehingga pedang lawan lewat di bawah kedua
kakinya dan berbareng pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak
menyambar ke bawah membabat tangan kiri lawan yang mencakarnya tadi.
Kakek itu membelalakkan mata dan agaknya hanya gerakan mata ini sajalah
yang menyatakan bahwa ia merasa kaget sekali karena bagian muka yang
lain tetap seperti kedok. Namun ternyata ia lihai sekali. Karena tidak
keburu menarik kembali lengan kirinya yang kini menjadi sasaran pedang
lawan, ia segera membuang diri ke belakang sehingga roboh terlentang
sambil memutar pedang di depan dada dan bergulingan. Secepat kilat ia
sudah bangun kembali dan kini mereka sudah berhadapan lagi. Keduanya
sama maklum bahwa lawan adalah seorang yang lihai. Namun Kwi Lan tetap
tersenyum mengejek, menanti serangan lawan.
Kakek itu kini
menerjang kembali sambil memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali.
Pedangnya membacokbacok secara bertubi, kiri kanan atas bawah,
diselang-seling namun tak pernah berhenti, mengikuti bayangan dan
gerakan lawan. Kwi Lan memperlihatkan kegesitannya, terus mengelak
dengan sedikit miringkan tubuh sehingga pedang lawan menyambar-nyambar
di samping tubuhnya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti sudah
menyerempetnya! Makin lama makin gencar serangan aneh dan hebat ini.
Pedang itu seakan-akan digerakkan oleh mesin, tak pernah berhenti
menyerang dan setiap bacokan disertai tenaga dahsyat.
Setelah
dua puluh jurus lewat Kwi Lan hanya menghadapinya dengan elakan-elakan
segesit burung walet, gadis ini lalu berseru nyaring dan pedang
Siang-bhok-kiam berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung yang makin
lama makin luas lingkarannya dan betapa pun lawannya memutar pedang
setelah lewat lima puluh jurus, sinar hijau mulai menggulung dan melibat
sinar pedang kakek itu.
Kakek ini sebenarnya bukan orang
sembarangan. Dia bernama Yo Cat, murid dari tokoh besar Siauw-bin Lo-mo
paman guru Sin-seng Losu. Di dalam dunia hitam, ia sudah menduduki
tingkat tinggi, sejajar dengan Sin-seng Losu.
Karenanya jarang
ia bertemu tanding. Siapa kira, hari ini, selagi ia ikut dengan
suhengnya itu untuk mempersiapkan tempat istirahat bagi gurunya yang
akan datang berkunjung ke Yen-an, ia bertemu seorang gadis muda belia
yang tidak hanya mampu menandinginya, bahkan kini mendesaknya dengan
ilmu pedang yang hebat dan luar biasa, dimainkan dengan sebatang pedang
kayu pula!
“Auuuggghhhh....!” Hebat sekali pekik yang keluar
dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat ini, bukan seperti suara
manusia lagi, dahsyat dan liar,lebih mirip suara binatang buas atau
suara iblis. Kwi Lan adalah seorang gadis gemblengan yang telah
mempelajari pelbagai ilmu yang aneh-aneh dengan cara yang aneh pula.
Namun menghadapi Yo Cat yang terlatih puluhan tahun lamanya dan sudah
menjadi ahli sebelum gadis ini terlahir, apalagi menghadapi ilmu hitam
Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis) ini, jantungnya tergetar dan
tubuhnya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia terhuyung-huyung ke
belakang.
Lebih hebat lagi, setelah mengeluarkan ilmu menggereng
yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan melakukan
tekanan-tekanan berat!
Ada satu hal yang menguntungkan Kwi Lan,
yaitu wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak pernah mau kenal apa
artinya takut. Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena kelemahan
orang menghadapi ilmu semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan
takut. Kalau hati merasa gentar, makin hebat pengaruh ilmu itu sehingga
mungkin tanpa bertanding lagi orang sudah bertekuk lutut. Karena
hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan dahsyat itu sebentar
saja dan Kwi Lan sudah dapat menetapkan perasaannya lagi. Pedangnya
mulai memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu singkat saja kembali
ia telah mengurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak
pengalamannya, namun menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi yang dilatih
di bawah bimbingan seorang jago wanita gila, tentu saja ia menjadi
bingung sekali, tak dapat menduga-duga bagaimana perubahan pedang itu
sehingga menjadi mati kutu!
“Eh, budak cilik, kau kurang ajar sekali!”
Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan
dan sekali tangan kirinya bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar
ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia Sin-seng-piauw, namun
jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak murid
Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya seperti bintang, akan
tetapi terbuat daripada perak berkilauan dan karena kakek ini yang
menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun
hebat luar biasa!
“Gwakong (Kakek Luar), jangan....!” Terdengar Siangkoan Li berseru kaget.
Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia
masih menghadapi pedang Yo Cat yang tak boleh dipandang ringan, maka
perhatiannya kurang sepenuhnya terhadap datangnya serangan
Sin-eng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar
berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar
yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang kecepatannya
menyilaukan mata.
Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia
cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, namun bagaikan ada
matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila.
Ketika ia berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah
kakinya kecuali sebuah yang secara aneh telah menancap betis kaki
kirinya. Untung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan
begitu merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan
mengerahkan Iwee-kang sehingga senjata rahasia itu hanya separuhnya saja
menancap di daging betisnya. Pada saat tubuhnya masih di udara, Yo Cat
menerjang maju dengan tusukan pedangnya, dan lebih hebat lagi, Sin-seng
Losu sudah mengerahkan sin-kang di lengan kanannya dan mengirim pukulan
jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis!
“Auhhhh....
hehhh.... kau berani.... berani....?” Terdengar Sin-seng Losu
terengah-engah dan tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung.
Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua tangan Siangkoan Li yang
terbelenggu! Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya masih di udara dan
menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan lengking tinggi dan tiba-tiba
tubuhnya bagaikan seekor ular raja menggeliat aneh di udara namun
pedang lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan
pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan.
“Iihhh....!”
Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan
menarik lengannya, namun kurang cepat sehingga lengannya dekat siku
terkena serempetan pedang, terluka dan darahnya bercucuran Si Muka Mayat
ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya khawatir
kalau-kalau gadis yang perkasa itu mendesaknya dengan serangan maut.
Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah
menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! “Gwakong.... kau tak boleh
membunuhnya.... tak boleh....!” Pemuda itu mengeluh berkali-kali.
“Anak keparat, cucu durhaka.... hehhehhh.... berani kau.... huh-huhh.... kubunuh kau....!”
Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan ia sudah berdiri
menghadang di depan Siangkoan Li, mulutnya tersenyum dan matanya
memandang kakek itu dengan penuh ancaman. Akan tetapi kekhawatirannya
hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat,
dengan napas senin kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah
segar! Diam-diam Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa
Sin-seng Losu bukan seorang lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi
sudah amat berbahaya, kemudian pukulannya jarak jauh juga hebat.
Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li, kakek itu menderita luka
dalam yang tidak ringan? Sampai di manakah tingkat kepandaian pemuda
yang berkali-kali menolongnya ini?
“Kalian ini dua orang tua
bangka yang bosan hidup! Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke
neraka!” Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan
kirinya dipegang orang dari belakang. Ternyata Siangkoan Li yang
memegangnya dan pemuda itu berkata dengan nada sedih.
“Jangan,
Kwi Lan. Dan lekas kaukeluarkan obat pemunah jarummu untuk Suhengku.
Lekaslah, harap, kau sudi melihat mukaku dan menolongnya.”
Kwi
Lan melongo. Pemuda aneh sekali! Jelas bahwa ia diperlakukan tidak
baik, mengapa masih nekad hendak menolong mereka? Akan tetapi mengingat
bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya untuk
menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan
sebungkus kecil obat bubuk dan berkata,
“Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya.”
Siangkoan Li menerima bungkusan itu, memberikan kepada suhengnya.
“Thio-suheng, kaupakailah ini!” Akan tetapi suhengnya membuang muka dan
menghardik.
“Tutup mulutmu, pengkhianat!”
Siangkoan Li
mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suhengnya
yang masih rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan
berkata.
“Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi dari
sini. Kalau sampai para suhengku datang, engkau tentu akan celaka dan
aku tidak akan mampu menolongmu lagi.”
Kwi Lan mengeluarkan
suara mendengus di hidungnya. “Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira
aku pun takut mati? Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu.”
“Nona...., Kwi Lan...., aku tidak ingin melihat kau mati karena aku!”
“Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan tempat ini!”
“Jahanam besar kau, Siangkoan Li! Kau membikin mayat Ayahmu membalik di
dalam kuburnya! Berani main cinta-cintaan dengan seorang musuh
perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini!” Sin-seng Losu sudah memaki-maki
lagi.
“Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk
dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku menerima hukuman. Akan tetapi
kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran
karena kau menderita celaka.”
Kini Kwi Lan menjadi marah.
Dengan pedang di tangan ia membentak, “Siangkoan Li! Engkau ini pemuda
macam apa begini lemah dan buta? Memang benar kau adalah orang
Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu dahulu adalah seorang patriot
sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan
golongan orang jahat. Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin
Ayahmu itu, aku tidak akan merasa heran apabila engkau mengambil sikap
seperti ini, bersetia sampai mati. Siangkoan Li, engkau melihat sikap
Ciam Goan? Nah, dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa
Thian-liong-pang menjadi busuk di bawah pimpinan Gwakongmu yang berjiwa
kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu
memusuhinya. Bukan memusuhi perkumpulannya, melainkan orang orangnya
yang menyeleweng daripada kegagahan. Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara
banyak dan pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau seorang
yang sudah melepas budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu
dengan taruhan nyawaku. Pernah Guruku bilang bahwa orang hidup tentu
akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang paling memalukan adalah
kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang kelaliman! Demi
untuk kebenaran, jangankan hanya perkumpulan atau teman-teman, biar
orang tua sendiri kalau perlu boleh saja dilawan!”
Hebat
kata-kata ini, apalagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian
merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang
buruk daripada kemurtadan anak terhadap orang tua demi membela
kebenaran! Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak
waras!
“Dengar....! Dengar itu omongan iblis betina! Omongan perempuan gila! Siang koan Li, kau berani murtad terhadap Kakekmu?”
Sambil berlutut Siangkoan Li berkata, “Tidak, Gwakong, aku tidak
berani....! Kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan. “Kwi Lan, kau pergilah.
Lekas mereka telah datang....!”
“Biarkan mereka
datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau
sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali!”
kata Kwi Lan dengan suara tetap.
“Celaka....! Kwi Lan, kau tahu,
siapa kakek itu?” Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan
kanannya. “Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang
pula bersama Cap-ji-liong! Biar ada lima orang engkau dan aku belum
tentu akan dapat melawannya.”
Akan tetapi Kwi Lan hanya
tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari
jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun,
menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru. “Kalau begitu, demi
keselamatanmu, kita pergi....!”
Kwi Lan ikut berlari,
membiarkan dirinya ditarik. Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru,
“Eh, eh, kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama.”
“Hushhh.... diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari....!”
Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu
tidak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan
jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal jalan
tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini.
Akhirnya
setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan
mengajak gadis itu duduk di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan.
Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat terik
ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.
“Mari kuputuskan belenggu.” kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li.
Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali tangannya.
“Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku akan kembali menyerahkan diri.”
Kwi Lan marahsekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan
menudingkan telunjuknya kepada Siangkoan Li. “Engkau boleh berkepala
batu, aku pun berhati baja! Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur.
Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi,
mengapa begini lemah? Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang,
mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti Ciam Goan untuk
membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan
lain-lain? Kalau kaulakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan
orang gagah kembali, barulah kau seorang yang berbakti kepada mendiang
Ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang
kaulakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik.
Baiklah, kalau kau berkukuh hendak mengerahkan diri, aku pun berkukuh
hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama
mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga daripada matimu
yang seperti kematian seekor kacoa!”
Pucat wajah Siangkoan Li
mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata
melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama.
Kemudian Siangkoan Li menarik napas panjang. “Aku bingung dan
ragu-ragu.... agaknya engkau benar.... biarlah akan kutemui kedua orang
Suhuku dan minta nasihat mereka....! Thian-liong-pang, untuk sementara
ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat!” Setelah berkata demikian,
tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya. Terdengar
suara keras dan.... belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus!
Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini
memiliki kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa.
Pantas saja kekeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.
“Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati! Akan tetapi
aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau kaulakukan ini hanya
untuk mengelabuhi aku? Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku
hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau hendak
ke mana?”
“Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi Lan.
Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu, jalan satu-satunya
adalah bertanya kepada kedua orang Guruku. Aku hendak mengunjungi
mereka.”
“Kedua orang Gurumu tentu orang-orang luar biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka. Aku ikut!”
“Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan
tidak suka bertemu dengan orang lain. Kecuali itu, juga tempatnya amat
sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?”
Kwi Lan tersenyum. “Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li,
sudah kukatakan tadi. Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku
sudah mengambil keputusan, sebelum kau yakin akan kekeliruanmu mengenai
sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau
kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak? Marilah kita berangkat!”
Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia
tahu bahwa Kwi Lan tentu akan melakukan apa yang diucapkannya.
“Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan
persalahkan padaku kalau kau terbawa-bawa ke dalam lembah hitam karena
kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia yang
kotor.”
Berangkatlah dua orang itu melanjutkan perjalanan.
Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya sejauh bumi dengan
langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama Hauw Lam.
Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan
gurau, gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang
dan lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang pemuda
yang pendiam dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti
awan kedukaan. Di sepanjang jalan, dua orang yang melakukan perjalanan
cepat ini jarang sekali bicara. Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li
tak pernah membuka mulut! Akan tetapi Kwi Lan tidak merasakecewa. Ia
maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata pemuda itu di waktu
memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar mata pemuda ini
tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya. Ada
sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan
di hatinya.
***
Sebelas hari lamanya mereka berdua
melakukan perjalanan yang sukar, naik turun Pegunungan Lu-liang-san,
masuk keluar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama
itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang
memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka
di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali
beberapa puluh keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri
sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana sekali.
“Kita sudah sampai.” Kata Siangkoan Li.
“Apa? Di dusun ini?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. “Di puncak sana itu.”
Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang
tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang
melingkari bangunan-bangunan kuno.
“Bangunan apakah itu?” tanya Kwi Lan.
“Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio
Lu-liang-pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini.”
“Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?”
Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya.
“Apakah dugaanku keliru?”
Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang. “Kedua orang Guruku adalah.... orang-orang hukuman di kuil itu....!”
“Apa....?” Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak
pernah diduganya. “Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu
anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang menyeleweng?”
“Bukan. Mereka
bukan hwesio, tapi.... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman
di sana, tak pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan.
Tidak mudah menemui mereka di sana, kalau, ketahuan para hwesio, tentu
aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau suka menanti di dusun ini
dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua orang Guruku.”
Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon
yang menonjol keluar, “Siangkoan Li, keadaan Gurumu itu aneh sekali.
Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang
hukuman di Kuil Lu-liang-pai?”
Setelah berulang-ulang menghela
napas, pemuda berwajah muram ini lalubercerita. Ia tidak pandai bicara,
ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu
amat aneh.
“Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah
Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai
perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para
pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke
Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan
diajak oleh Ayah.” Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh
Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan.
Sebagai
seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan
mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai,
maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang.
Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang
memang terdapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk
memungkinkan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi
Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga,
melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan
Kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman,
kali yang lebarnya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman
liar dan kali itu tidak dipasangi jembatan.
Dasar Siangkoan Li
seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa
penasaran kalau belum terpenuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu
terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkanakal. Ia tak pandai
renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang.
Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia
pakai sebagai gala loncatan, sampai jugalah ia ,di seberang dengan kaki
dan pakaian berlepotan lumpur.
Ia berjalan terus ke atas
pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya
menginjak lubang yang tertutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos
dan melayang ke bawah! Dia seorang anak pemberani dan karena ketika
terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu
nyeri karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta
tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan maju
ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan. Akhirnya
setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan
bawah tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi. Dua
orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan
pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah
seperti seekor harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula
cambang dan kumisnya. Orang ke dua kurus sekali sehingga kaki dan
tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan tulangtulang
terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan
atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan tetapi jenggotnya,
lebat dan panjang. Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang
mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si
Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya
pucat seputih tembok!
“Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka
Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan berada di
neraka berjumpa seorang iblis cilik?” Si Muka Merah berkata sambil
terkekeh-kekeh.
“Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?” kata Si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek.
Melihat keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biarpun Siangkoan
Li seorang anak yang pemberani, ia merasa serem juga. Akan tetapi di
balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat dua orang kakek
dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia memberanikan hati
dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas
bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu
bertanya.
“Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?”
Dua orang- kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa
ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut. “Kau bocah
dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung
Lu-liang-pai?” tanya yang muka putih.
Siangkoan Li terkejut.
Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya
berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia menggigil
dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.
“Bukan. Aku
bernama Siangkoan Li dan bersama Ayahku berkunjung kepada para Losuhu di
Lu-Lang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke
lubang.” Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai
ke tempat itu.
“Ayahmu Siangkoan Bu Ketua Thian-liong-pang?
Ha-ha-ha!” Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju dan....
menyusup keluar dari kerangkeng! Juga kakek muka putih berjalan maju dan
tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya,
seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi
kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak
mungkin dapat lolos keluar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat
meloloskan diri tanpa banyak susah?
Siangkoan Li adalah putera
seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih
silat. Melihat keadaan ini, sungguhpun ia tidak mengerti dan
terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini
memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Maka serta-merta ia lalu
menjatuhkan diri berlutut.
“Harap suka memaafkan teecu yang
berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orang-orang
sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf!”
Si Muka Merah
tertawa tergelak. “Ha-ha-ha! Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas
Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus! Eh,
bocah, maukah engkau menjadi murid kami?”
Siangkoan Li kaget,
dan juga girang sekali. Sudah seringkali ia mendengar dari ayahnya
tentang orang-orang sakti di dunia persilatan dan seringkali mimpi
betapa akan senangnya kalau dapat menjadi murid orang-orang sakti. Kini
tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin
mengangkatnya menjadi murid! Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya
juga akan girang kalau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia
lalu mengangguk-anggukkan kepala, “Teecu akan merasa girang dan bahagia
sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)!”
“Ang-bin Siauwte ( Adik Muka
Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana
kalau kelak ternyata salah pilih?” tegur Si Muka Putih.
“Heh-heh-heh! Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan
besar. Mana bisa salah pilih? Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa
susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah
menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh membantah
perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil
belajar!”
Siangkoan Li terkejut sekali. “Tapi.... tapi....
teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah....!” bantahnya dengan
muka pucat.
Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di
hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar. “Hah, boleh kaucoba pergi dari
sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang!”
Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan
untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia
digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang
itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio
Lu-liang-pai.
“Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku
dilatih ilmu oleh kedua orang Guruku itu.” Siangkoan Li melanjutkan
penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat
tertarik. “Selama itu belum pernah kedua orang, suhu itu memberitahukan
nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang
lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah
meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena
aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang
tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada
Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku
dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan
Gwakong?”
Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati
Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata, “Memang sudah paling tepat
kalau engkau menemui kedua orang Gurumu itu untuk minta pertimbangan
dan nasihat mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok
dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang gagah
yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan
pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang
yang sudah runtuh nama baiknya itu, Cap-ji-liong harus dibasmi. Kakekmu
harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali bertemu dengan kedua
orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siankoan
Li.”
“Eh, jangan....! Berbahaya sekali....!”
Kwi Lan mencibirkan bibirnya. “Berbahaya? Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita boleh lihat saja!”
“Bukan, bukan itu maksudku. Kepandaianmu hebat, tentu saja kau dapat
sampai ke tempat itu tanpa diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan
tetapi.... kedua orang Guruku itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu
mereka akan marah kalau melihatmu.”
“Betapa pun anehnya mereka,
belum tentu seaneh Guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu
gila untuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku
tidak
bersambung 3...................
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar