Selasa, 14 Mei 2013

suling emas [13]

kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana ini? Ia tidak
menginginkan apa-apa. Tiba-tiba ia teringat kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran
dan tinggal di lingkungan istana pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah
dapat ia pastikan ia akan "berani mati" minta dijodohkan dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa
berpikir seperti itu? Melihat wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi, "Jangan
ragu-ragu dan takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih. Kami akan
mengabulkannya!"

Dalam gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng, Suling Emas
menjawab sedapatnya, "Hamba... hamba mohon supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan
apa saja dari petugas dapur!"



Kini para hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara ketawa
baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.



"Ha-ha-ha, jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan terharu akan
kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau
memerlukan pakaian atau apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan kami
beri. Selain dua hadiah itu, kamipun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang sekiranya pantas dan cocok
dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!" Suling Emas
tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia suka, menikmati isi
perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang
amat halus dan indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan pada setiap baju,
di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan sebatang suling menyilang. Kaisar memegang teguh
janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar malam sekalipun, ia berani
masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam dan penjaganya duduk mengantuk
di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas genteng. Semua petugas istana tidak pernah
mengganggunya dan semenjak itu, nama Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian
anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang
juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita hukum siksa oleh Suma-Kongcu karena berani bermain cinta dengan
puteri Pangeran Suma Kong yang kini menjadi isteri Pangeran Kiang. Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas
menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari, orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah
pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ hanya terdapat tulisan huruf indah di atas
tembok kamar:Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana rakyat makmur negara aman sentausa Kaisar diberi
laporan akan kepergian Suling Emas, hanya mengangguk dan selanjutnya memberi perintah agar kamar itu selalu
dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam merasa
kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.



Sesungguhnya bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam Hwa
tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik pangeran kecil seperti yang ditugaskan
kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah yang
membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka. Mereka tahu benar bahwa suling emas pusaka keramat
itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi
orang, dan pula, selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga disana terdapat dua
orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana
sekarang tahu-tahu suling emas itu terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?



Ketika tiga orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong Lo
Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk
menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam
keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya. Berhadapan dengan Kong
Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun! Sam Hwa,
A-liong dan A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka. Agaknya mereka mati
wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan kitab kecil yang berada di kedua tangan
Kong Lo Sengjin.



Dengan hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan kedua orang
itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu memang tidak
ada apa-apa. Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. mereka mancari-cari
di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban. Ketika mereka tiba di tepi laut, di pantai
sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di
sekitar pantai dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat. Kuda Liong-ma milik
Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran, seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai,
tubuhnya penuh luka bacokan senjata tajam. Tiga orang tua otu saling memandang, terheran-heran menyaksikan
keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat yang sudah
hampir busuk itu. Apakah yang sesunggunya terjadi dan ke mana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia
aneh murid dan pelayan Kong Lo Sengjin? Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau
Pek-coa-to dalam keadaan terluka hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo
Taisu. Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin
lagi dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam
perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat menemui maut. Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun,
bekas sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga suling
emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah
duduk bersila bersandar batu dan membaca kitab kuno dengan asyiknya. Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin
berteriak girang. "Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera duduk pula di depan Ciu Bun.



Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan. "Ya,
kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab
ini, Sengjin."



"Bacakanlah."



Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan di antara angin yang bertiup dari laut menyapu
permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu. Kong Lo Sengjin duduk
bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak
terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin
menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.



"....akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"



Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti
kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada di situ. Melihat betapa majikan dan guru
mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling seperti yang mereka sebut kepada Ciu Bun, sudah mati,
mereka berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu
menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki
kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.



Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa sahabatnya
itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh
kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu. Sudah
berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena ia merasa bahwa tubuhnya
sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.



Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati bisa
menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut
menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua mayat
manusia itu. Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali, setelah
lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan
kembali membalapkan kuda. Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari
selatan, terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi permainan badai dan ombak.
Tigapuluh dua orang penumpang lalu melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum
habis disapu air laut.



Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dan....dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka
ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek
Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus menggantung
pada ekor kuda di sebelah belakang! Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera berubah menjadi kacau
ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan. Mereka cepat
mencabut senjata masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena Bhe
Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat. Dari atas kuda, kedua orang manusia iblis ini melayangkan pukulan,
tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau
dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja! Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau
pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika! Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh
dan tidak normal. Pernah ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan
membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil maupun besar, ataupun binatang merayap yang
mirip kelabang! Sekali membunuh, mereka seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada
saat itu, mereka pun seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk
tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda.
Mereka menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu sudah
menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi! Bhe Kiu si kakek yang berpunuk gendut, sudah
merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak
normal ini, daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau kelinci! Akan tetapi ia
melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu
sedang mendorong-dorong perahu besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak
kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin
meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke tengah. Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja.
Karena perahu itu tidak dikemudikan, maka menjadi berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi
mabok laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang
layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang
di atas dek perahu dalam keadaan pingsan! Namun agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk
mengacau dunia. Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh dari
keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu
dan kembali belasan orang menjadi korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. Demikianlah, mulai saat itu, di dunia
kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan. Lambat-laun mereka dapat
menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih saja menempel sehingga mereka
kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di duni akang-ouw. Bhe Kiu yang gemuk pendek
berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus
dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)! Agaknya pengalaman
mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu
suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan
dagingnya dan diminum darahnya. Kebiasaan ini membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang
telah dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas
dan makin lihai. Adapun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ow,
agaknya tidak melupakan kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to
sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata. Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa
Ong tahu betapa ia telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa
malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan
licik, namun semua itu ia lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali
Kerajaan Tang yang sudah runtuh. Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan
mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo Seng-jin. Sam Wha, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa,
melainkan bekas orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat
keadaan di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya
majikan mereka. Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan
mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau
Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.



Suling Emas meninggalkan istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian yang
berlukiskan suling, pemberian Kaisar, ditambah perbuatannya yang gagah berani, selalu mengulurkan tangan
menolong mereka yang patut ditolong, memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan kebenaran dan
keadilan, sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan munculnya pendekar muda yang
sakti ini. Namun karena Suling Emas membatasi diri, hanya muncul untuk mencegah penindasan dan kejahatan, sama
sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim, tidak memusuhi dunia hitam, maka ia pun tidak
dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.



Bertahun-tahun ia berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati hendak
melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong dan
perih, wajahnya tetap suram dan pandang matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian sudah tak
terkendali lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling melagukan nyanyian
sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya yang merana agak terhibur.



Lima tahun berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya sudah cukup
banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan dan ia insyafkan. Suling Emas tidak Suka membunuh orang,
selalu berusaha menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula orang-orang yang telah
ditolongnya dari pada marabahaya, ingin menariknya sebagai mantu. Banyak pula gadis-gadis jelita yang telah
ditolongnya, ingin membalas budi dengan penyerahan jiwa raganya. Namun semua itu ditolak Suling Emas dengan
sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah dua kali hancur hatinya oleh kegagalan
asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia telah menjadi penakut, seakan-akan bertobat
untuk melibatkan diri dalam asmara, setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena kegagalan
asmara.



Perjalananya menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Beng-kauw, dilakukan
dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah seluruh propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di
tempat-tempat indah, seperti telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan. Oleh karena
inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao. Kerajaan Nan-cao, adalah kerajaan
yang kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun dan kotanya yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur,
tidak tampaknya orang-orang berpakaian jembel dan pengemis, menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao adalah
orang-orang pandai. Apalagi setelah Suling Emas bermalam di sebuah dusun, ia mendapat kenyataan bahwa
rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu malam atau kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan
jendelanya tak pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup dalam suasana aman tenteram,
tidak takut barang-barangnya dicuri karena mememang tidak pernah ada pencuri!



Penuh kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah, namun cukup dan pada wajah
mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang karena bukankah kakeknya yang menjadi guru negara dan orang
terpenting di situ? Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan negara kecil yang makmur, juga
Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai. Begitu ia menginjakkan kaki di perbatasan
Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam gerak-geriknya selalu ada yang mengawasi! Bahkan
kedatangan Suling Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh pusat Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang
berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu. Nama Suling Emas sudah terdengar sampai di
negara kecil ini, dan sekali melihat baju bersulamkan suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.



Pagi hari itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia
berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga ini
tidak menghiraukannya. Dari kedaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan. Di
kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota raja selalu melewatkan waktu dengan
main kartu, main catur, bergurau atau menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga disini
berdiri tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin. Di tengah pintu gerbang
terdapat tulisan digantung, berbunyi: Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota raja.



Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di negaranya.
Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri dari dua
belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali! Seorang gadis yang selain
cantik jelita, juga berpakaian aneh. Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan
kanan dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan
kanan putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian
begini aneh, maka ia memandang dengan mata terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat
di depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian pula
pandangan mata dua belas orang anak buahnya! Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas
membayangkan kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian. Setelah beradu pandang
sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang
biasa memerintah, "Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?" Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya,
lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini
tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia
menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada.



"Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)." "Dari kerajaan Sung?"
potong nona itu dengan suara galak.



"Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya. Para anak buah gadis itu
mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka semua penuh curiga.



"Mau apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis itu kini melangkah
maju, sikapnya mengancam. Suling Emas melihat betapa tangan gadis itu meraba ke pinggang dan ia tahu bahwa ikat
pinggang gadis itu kiranya adalah senjata yang aneh dan bagus. Yaitu sepasang tali yang ujungnya terdapat bola
yang mengkilap sebesar kepalan tangan, seperti cambuk namun ujungnya pakai bandulan. Ia tahu bahwa senjata
macam ini amatlah sukar dimainkan, maka jarang dipergunakan ahli silat di dunia kang-ouw. Kalau gadis ini mampu
memainkannya, hal ini sudah membayangkan betapa lihainya gadis muda ini. Kalau saja Suling Emas terus terang
mengaku bahwa dia adalah cucu Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw), tentu semuanya akan beres. Namun Suling Emas
terlalu gembira dan tegang hatinya untuk muncul begitu mudah, apalagi melihat gadis muda ini, ia merasa kagum
dan ingin sekali mencoba sampai di mana kelihaiannya. Karena itulah, ia tidak segera memperkenalkan dirinya
sebagai cucu Beng-kauwcu, melainkan menjawab sembarangan. "Apakah ada larangan untuk memasuki Negara Nan-cao?
Aku hanya ingin melihat-lihat, tidak memata-matai siapa-siapa. Harap Nona dan anak buah Nona tidak menggangguku
sehingga setelah keluar dari Nan-cao akan kukabarkan betapa baiknya orang-orang Nan-cao terhadap orang asing."



"Terhadap tamu biasa, kami tidak akan peduli. Akan tetapi Suling EMas adalah nama yang cukup terkenal, tokoh
dari Kerajaan Sung. Oleh karena itu, kau harus ikut kami menghadap wakil ketua Beng-kauw, karena hanya beliau
yang akan memutuskan apakah kau boleh memasuki kota raja kami apakah tidak." Suling Emas pura-pura marah dan
mengerutkan alisnya. "Mana ada aturan begitu? Aku memang benar Suling Emas, akan tetapi bukan penjahat!"



"Jahat atau baik sama sekali tidak dapat diukur dari nama julukan!" Bantah gadis itu. "Karena kau memasuki
wilayah kekuasaan kami, sudah sepatutnya kau tunduk kepada peraturan kami. Sekarang berikan senjatamu dan kau
ikut menghadap wakil ketua Beng-kauw!"



Ucapan gadis itu tegas dan ketus. Suling Emas pura-pura tidak mengerti dan mengangkat kedua pundaknya uang
bidanh sambil berkata,



"Selama hidupku tak pernah aku membawa senjata."



Gadis muda itu tertawa mengejek. Maksudnya hendak mengejek, akan tetapi ketawanya sungguh manis dan orang tak
kan bisa sakit hati karena ketawa ini.



"Siapa tidak tahu bahwa suling di pinggangmu itu merupakan senjatamu yang ampuh?"



"Suling bukanlah senjata, melainkan alat musik yang menciptakan suara merdu menggibur hati duka lara. Kalau
hatimu risau, Nona cilik, biarlah aku meniupnya untuk menghiburmu."



Sepasang alis yang hitam melengkung itu bergerak ke atas, sepasang mata bening itu mengeluarkan cahaya. "Jangan
banyak cerewet. Pendeknya, kau mau menyerah secara baik-baik ataukah menghendaki digunakan kekerasan?"



"Hem, hem, tak kusangka Nan-cao suka menggunakan kekerasan. Ingin kutahu kekerasan macam apakah itu?" Suling
Emas sengaja mempermainkan.



Gadis itu marah sekali. Dengan isyarat tangan ia memerintahkan anak buahnya sambil berteriak, "Tangkap dia!
Rampas sulingnya!"



Dua belas orang berpakaian seragam itu begitu menerima perintah cepat serentak bergerak dan menubruk suling
emas. Gerakan mereka gesit dan kuat karena mereka ini adalah orang-orang yang terlatih baik, dan merupakan
murud-murid tingkat terendah dari Beng-kauw. Sesuai dengan perintah gadis itu, mereka tidak mempergunakan
senjata, melainkan menubruk dan berusaha menangkap Suling Emas serta merampas suling yang terselip di ikat
pinggangnya.



Gadis itu melihat betapa Suling Emas sama sekali tidak bergerak atau pindah dari tempatnya, juga tidak
mengelak, hanya menggerakkan kedua lengannya, akan tetapi akibatnya.anak buahnya terpelanting dan terlempar ke
kanan kiri! Setiap kali ada seorang anak buahnya yang menubruk, tentu orang ini terlempar dan jatuh terbanting
keras sehingga sejenak tak dapat bangun. Dalam waktu beberapa menit saja, dua belas orang orang anakbuahnya
sudah roboh semua, mengaduh-aduh dan menggosok-gosok kepala benjol dan kaki tangan mereka lecet kulitnya.



Bukan main marahnya gadis itu. "Mundur kalian semua!" Bentaknya dan di lain saat ia sudah meloloskan sepasang
cambuknya. "Wuuut..tar-tar..!" Sepasang cambuk itu diayun dan berputaran di atas kepala membentuk
lingkaran-lingkaran aneh dan mengeluarkan bunyi angin menyambar-nyambar diseling ledakan-ledakan ketika gerakan
tali itu direnggut dan disentakkan. Bagaikan dua ekor naga mengamuk, sepasang cambuk itu sudah melayang dan
menyerang Suling Emas, sekaligus bola-bola di ujungnya menyambar ke arah jalan darah di leher dan lutut!



"Bagus.!" Suling Emas berseru kagum dan dengan gembira ia lalu menggerakkan tubunya, melayani amukan sepasang
cambuk ini dengan tangan kosong. Karena maklum bahwa sepasang bola diujung cambuk itu tak boleh dipandang
ringan, maka suling emas lalu bersilat dengan pukulan Bian-sin-kun (tangan Kapas Sakti) sambil mengerahlan ilmu
meringankan tubuh sehingga ia dapat mengelak ke sana ke mari dengan cepat dan ringan, serta kadang-kadang ia
menangkis dan mendorong bola-bola itu dengan telapak tangannya yang berubah lunak seperti kapas.



Diam-diam suling emas mengagumi gerakan gadis muda itu. Ilmu silat yang dimainkan gadis muda itu benar-benar
adalah ilmu silat tingkat tinggi. Hanya harus diakui bahwa tenaga dalam gadis itu belumlah begitu sempurna
sehingga baginya, gadis muda itu merupakan lawan yang tidak berat. Sementara itu , melihat kelihaian suling
emas, seorang diantara dua belas anak buah itu sudah lari melaporkan ke atasannya.



Suling Emas yang hanya ingin main-main dan mencoba kelihaian lawan, tentu saja tidak mau merobohkan Si Nona
Muda. Kalau dia mau, dengan mudah ia bisa mengalahkan gadis itu, akan tetapi ia merasa enggan menyakiti hati
orang yang sama sekali tidak ia anggap sebagai musuh. Beberapa kali ia melompat ke belakang sambil berkata,
"Cukuplah, Nona. Mari kita menghadap Beng-kauwcu!"



Akan tetapi nona muda itu sudah menjadi marah dan penasaran sekali. Ia terkenal sebagai orang muda terpandai di
Nan-cao dan sepasang cambuknya jarang ada yang sanggup melawannya. Mengapa hari ini ia bertemu dengan lawan
yang menghadapinya dengan tangan kosong namun begitu jauh ia sama sekali belum mampu menyentuh tubuh lawan
dengan sepasang bola di ujung cambuknya? Rasa penasaran dan malu membuat ia marah tanpa pedulikan ajakan Suling
Emas yang penuh damai itu, ia menerjang terus!



Akan tetapi dengan gerakan aneh. Suling Emas menyambut terjangannya dan tahu-tahu sepasang bola di ujung cambuk
itu telah tertangkap oleh sepasang tangan Suling Emas. Gadis itu berseru keras, menarik-narik cambuknya, namun
sia-sia, sepasang bola itu tetap berada di tangan Suling Emas sehingga kedua cambuknya tak dapat digerakkan
lagi! Gadis itu membanting-banting kakinya, memekik-mekik, mengerahkan tenaga tanpa hasil.



"Tar-tar-tar!!" Hebat sekali suara ledakan ini, disusul berkelebatnya gulungan sinar hitam yang menyilaukan
mata, berkelebatan di atas kepala Suling Emas. Terkejut sekali suling emas, cepat ia melepaskan sepasang bola
lalu meloncat ke belakang.



"Susiok (Paman Guru), harap Susiok suka beri hajaran kepada manusia sombong ini!" gadis itu berseru sambil
meloncat mundur dan menyimpang sepasang cambuknya yang tadi dibuat tidak berdaya oleh Suling Emas.



Ketika Suling Emas memandang, ternyata yang membunyikan cambuk hitam dengan suara sedemikian hebatnya itu
adalah seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, pakaiannya sederhana seperti pakaian petani, kepalanya
tertutup caping lebar, wajahnya angker dan sepasang matanya tajam. Tangan kanannya memegang gagang sebatang
pecut yang bentuknya sederhana seperti pecut seorang penggembala, namun pecut itu warnanya hitam berkilauan.



"Susiok, dia ini Suling Emas dari Kerajaan Sung. Orangnya sombong sekali, kuajak baik-baik menghadap Susiok dia
tidak mau dan melawan dengan kekerasan!" kata pula gadis itu, mengadu dan bibirnya setengah mewek hampir
menangis karena hatinya benar-benar gemas, marah dan penasaran mengapa hari ini semua kepandaiannya sama sekali
tidak dihargai orang dan tidak ada gunanya!



"hemm.hemm.!" Kakek itu menggumam sambil memandang tajam kepada Suling Emas. Di lain pihak, Suling Emas juga
memandang penuh perhatian. Diam-diam ia menduga-duga, siapa gerangan kakek ini. Sudah terang bukan Pat-jiu
Sin-ong, kakeknya. Biarpun belasan tahun tak pernah jumpa lagi, namun ia takkan melupakan Pat-jiu Sin-ong yang
pernah dilihatnya dahulu. Kakek ini susiok dari gadis itu, sudah tentu memiliki kepandaian yang luar biasa.



"Harap Lo-enghiong sudi memafkan. Sesungguhnya bukan sekali-kali maksud kedatangan saya untuk memancing
perkelahian. Hanya Nona itu terlalu..terlalu galak."



"Nama Suling Emas sudah terkenal sampai disini. Kini orangnya datang dan tidak mengindahkan peraturan, bahkan
merobohkan pasukan peronda keamanan dan mempermainkan puteri Ji-kauwcu (ketua Kedua)! Akan tetapi jangan
berbangga dahulu dengan kemenanganmu, Suling Emas, karena di atasnya masih ada aku , wakil ketua dan di atasku
masih ada Ji-kauwcu dan Twa-kauwcu (Ketua Pertama)! Kausambutlah pecutku ini!"



Ucapan itu ditutup dengan berkelebatnya sinar hitam yang diikuti suara ledakan seperti guntur di atas kepala
Suling Emas. Suling Emas terkejut dan cepat mencabut sulingnya dan menangkis. Ia maklum bahwa menghadapi kakek
ini jauh bedanya dengan menghadapi gadis tadi, maka terpaksa ia menggunakan sulingnya. Ketika sinar hitam itu
menyambar turun, ia pun menggerakkan sulingnya menangkis.



"Plak.!!!" ujung pecut itu mental kembali ketika bertemu suling dan kakek bercaping mengeluarkan seruan kaget.
Telapak tangannya yang memegang pecut terasa panas dan pecutnya membalik keras, tanda bahwa lawan muda ini
benar-benar hebat tenaga dalamnya.



"Bagus! Kiranya kau benar-benar lihai!" Serunya dan kini pecutnya menyambar-nyambar dengan kecepatan kilat
sehingga lenyaplah tubuhnya, terbungkus sinar cambuk yang hitam bergulung-gulung.



Dua macam perasaan teraduk di hati Suling Emas. Ia merasa menyesal dan khawatir mengapa kedatangannya malah
menimbulkan perkelahian dengan orang-orang Beng-kauw yang dipimpin kakeknya, akan tetapi di samping ini ia pun
merasa girang dan kagum bahwa orang-orang Beng-kauw ternyata memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Ia ikut
merasa girang dan bangga. Maka timbullah niat di hatinya untuk mencoba terus tanpa niat mencelakai lawan.
Dengan pikiran ini, ia lalu mainkan ilmu Pat-sian Kiam-hoat yang ampuh.



Begitu Suling Emas mainkan ilmu yang sakti ini, lawannya segera terdesak hebat. Lingkaran-lingkaran yang
dibentuk oleh sinar hitam itu makin mengecil dan menyempit, terkurung oleh sinar kuning emas yang makin
membesar. Suling Emas hanya membuat lawannya tidak berdaya menyerangnya lagi, kemudian dengan sendirinya ia pun
akan mundur, maka sinar sulingnya tidak menyerang melainkan menekan.



Tiba-tiba gerakan kakek itu berubah dan kini dari lingkaran-lingkaran sinar hitam itu keluar suara
meledak-ledak memekakkan telinga, Suling Emas kaget dan dia menjadi makin kagum, tak disangkanya bahwa dalam
kedaan terdesak itu, Si Kakek ini masih mampu mengeluarkan ilmu yang disertai khi-kang sedemikian hebatnya
sehingga kalau lawan kurang kuat sin-kangnya, tentu akan terpengaruh suara ledakan ini dan akan menjadi kacau
permainan silatnya. Maka Suling Emas segera menggerakkan sulingnya sedemikian rupa sehingga di antara suara
ledakan itu terdengarlah lengking tinggi menusuk telinga, suara dari suling itu sendiri yang berbunyi seperti
ditiup mulut.



Tiba-tiba suara ledakan dan suara lengking suling terhenti. Kedua senjata itu telah bertemu di udara dan ujung
pecut melibat suling, tidak dapat dilepaskan lagi! Kakek itu berusaha sekuat tenaga melepas pecutnya, namun
sia-sia dan ketika Suling Emas menggerakkan tangannya, pecut itu terlepas dari pegangan Si Kakek! Di lain saat,
Suling Emas sudah mengambil pecut dan menyerahkan senjata itu kepada pemiliknya sambil menjura.



Wajah kakek itu sebentar pucat sebentar merah dan tiba-tiba ia mengeluarkan suara menggereng keras, tubuhnya
menerjang maju mengirim pukulan maut ke arah dada Suling Emas.



"Sute (Adik Seperguruan)! Mundur dan tahan amarahmu!" Suara ini terdengar berpengaruh sekali sehingga tubuh
kakek itu seakan-akan tertahan dan otomatis ia membatalkan niatnya menyerang, melainkan balas menjura dan
menerima pecutnya dari tangan Suling Emas. Ia lalu melangkah mundur dengan muka tunduk, namun sepasang mata
yang memandang dari bawah caping itu berapi-api.



Suling Emas menengok ke kanan dan terkejutlah ia melihat seorang kakek lain yang sikapnya amat berwibawa. Kakek
inipun bukan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, akan tetapi mempunyai wajah yang ada persamaan dengan ketua Beng-kauw
itu. Seorang kakek tua yang mukanya keren, sinar mata tajam, tubuhnya tegap dan tegak berdirinya, memegang
sebatang tongkat. Sekali pandang saja timbullah segan dan hormat dalam hati Suling Emas. Cepat ia melangkah
maju dan menjura dengan hormat sambil berkata,



"Saya yang muda mohon maaf sebesar-besarnya telah menimbulkan keributan yang sesungguhnya tidak saya kehendaki
di sini. Mohon Locianpwe suka memberi maaf."



Kakek itu mengangguk, lalu menggerak-gerakkan tongkatnya. "Orang muda, kau tentu yang bernama Suling Emas. Apa
hubunganmu dengan Kim-mo Taisu?"



Suling Emas kaget dan ia merasa lega bahwa ia tadi tidak bersikap sembrono. Ternyata kakek ini benar-benar
hebat, sekali pandang dapat mengenal gerakannya yang ia warisi dari gurunya. Sambil bersikap hormat ia
menjawab,



"Mendiang Kim-mo Taisu adalah guru saya, Locianpwe."



"Aaahh.? Mendiang, katamu..?"



"Suhu telah meninggal dunia beberapa Tahun lalu, kurang lebih lima tahun."



"Pantas kau lihai, kiranya murid Kim-mo Taisu. Orang muda, Kim-mo Taisu adalah sahabat Beng-kauw. Engkau
sebagai muridnya, mengapa datang hendak menimbulkan keributan dengan Beng-kauw? Apa kehendakmu?"



Merah wajah Suling Emas dan cepat ia menjawab, "Tidak sekali-kali, Locianpwe. Tidak sekali-kali saya berani
mencari keributan dengan Beng-kauw. Sesungguhnya, baru saja saya memasuki kota raja ini, kemudian dihadang dan
hendak ditangkap. Saya tidak mempunyai niat buruk.."



"Kalau begitu, apa yang kau kehendaki dengan kedatanganmu di sini?"



"Saya..saya mohon berjumpa dengan .Pat-jiu Sin-ong, ketua Beng-kauw yang terhormat."



Kakek itu megelus-elus jenggotnya dan tersenyum. "Orang muda, tidak mudah orang luar hendak menghadap
Beng-kauwcu. Semua urusan dapat kau sampaikan kepada aku. Aku adalah Ji-kauwcu Liu Mo."



"Aaahh, jadi Locianpwe ini masih saudara kandung Beng-kauwcu.?"



"Aku adik kandungnya," jawab kakek itu tersenyum. "Atau dapat kausampaikan kepada puteriku Liu Hwee yang
bertugas sebagai pimpinan penjaga keamanan." Ia menuding ke arah gadis muda tadi sehingga kembali Suling Emas
kaget. Dengan mata terbelalak ia memandang gadis muda yang cantik tadi, yang ternyata adalah.bibinya! Kalau
Ji-kauwcu Liu Mo ini adik Beng-kauwcu kakeknya, berarti anak kakek bertongkat ini, yaitu si gadis muda yang
menyerangnya tadi adalah bibinya.



"Juga dapat kau sampaikan urusanmu kepada suteku itu, yang bernama Kauw Bian Cinjin. Nah, sekarang telah
kuperkenalkan semua pihak yang tadi saling bentrok, yang mudah-mudahan tidak dilanjutkan lagi. Suling Emas,
katakanlah apa yang hendak kausampaikan kepada Twa-kauwcu."



Tiba-tiba Suling Emas menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek yang bernama Liu Mo itu. Tanpa ragu-ragu ia
berlutut. Bukankah kakek ini juga kakek mudanya, paman dari ibunya?



"Mohon beribu ampun, Locianpwe, akan tetapi.saya hanya dapat bicara di depan.Beng-kauwcu sendiri."



Diam-diam Liu Mo terheran, dan memandang dengan mata penuh selidik. Ia tahu bahwa orang muda ini amat sakti.
Dari pertempuran melawan sutenya tadi ia mengerti bahwa ia sendiri pun belum tentu akan dapat mengalahkan
Suling Emas. Akan tetapi mengapa pendekar muda ini begitu merendahkan diri, berlutut di depannya? Dan semua itu
dilakukan dengan sungguh-sungguh, sedikitpun tidak membayangkan kepura-puraan atau kepalsuan. Setelah saling
bertukar pandang dengan Kauw Bian Cinjin, ia menjawab singkat,



"Suling Emas, tentu ada sebab yang amat penting maka kau memaksa hendak menghadap Beng-kauwcu. Marilah, kau
ikut dengan kami."



Dengan hati berdebar Suling Emas mengikuti kakek itu. Di belakangnya berjalan Kauw Bian Cinjin bersama Liu
Hwee, kemudian diikuti pula oleh para anak buah. Akan tetapi setelah tiba di depan sebuah gedung besar yang
angker dan megah, pasukan itu berhenti dan bersatu dengan para penjaga yang berdiri berbaris di kanan kiri
pintu gerbang terus sampai ke pendopo dengan sikap angker dan dalam barisan yang rapi. Barisan yang terdepan
segera berlutut dengan sebelah kaki. Namun sikap mereka masih tegak dan dalam keadaan siap.



Barisan penjaga berganti-ganti dan bertingkat-tingkat dari depan sampai ke dalam, kemudian paling dalam
terdapat barisan pasukan wanita yang berpedang dan sikap mereka keren dan gagah. Di sepanjang dinding ruangan
yang mereka lalui terdapat lukisan-lukisan dan huruf-huruf hias yang amat indah, tidak kalah indah oleh
ruangan-ruangan di dalam istana Raja Sung! Dan akhirnya mereka memasuki sebuah kamar besar yang daun pintunya
bercat merah.



Ketika memasuki kamar ini, Liu Mo dan Kauw Bian Cinjin segera berdiri di pinggir dengan sikap menghormat
setelah membongkokkkan tubuh. Adapun Liu Hwee segera menjatuhkan diri berlutut. Suling Emas memandang ke depan,
ke arah seorang kakek tua yang duduk sendirian di atas kursi besar, kakek yang dikenalnya sebagai Pat-jiu
Sin-ong yang bertemu dengan suhunya belasan tahun lalu.



Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Sudah tua sekali, mukanya penuh keriput dan sinar matanya yang acuh tak acuh itu tampak
diliputi awan dan murung. Ia menyapu yang datang dengan sinar matanya, kemudian dengan kening berkerut ia
mendengarkan laporan Liu Mo tentang Suling Emas yang dengan sikap penuh hormat minta menghadap Beng-kauwcu.



"Kau Suling Emas?" Suara ketua ini mengguntur dan menggema dalam ruangan besar itu. Suling Emas merasa amat
terharu setelah bertemu muka dengan ayah dari ibunya. Keharuan ini mencekik lehernya dan atas pertanyaan itu ia
hanya mampu mengangguk tanpa mengeluarkan suara.



"Kamu murid Kim-mo Taisu?"



Kembali Suling Emas hanya mengangguk.



"Suheng, Kim-mo Taisu telah tewas lima tahun lalu menurut penuturan orang muda ini," kata Liu Mo.



Pat-jiu Sin-ong mengerutkan alisnya yang tebal dan sudah bercampur warna putih. "Hemm, selama hidup Kwee Seng
tak pernah mau kalah terhadap aku. Apakah setelah ia mati ia menyuruh muridnya melanjutkan wataknya yang keras
kepala itu? Heh, orang muda, kau terima ini!" Tangan kanan Pat-jiu Sin-ong meraih cangkir arak di atas meja
lalu ia melontarkan cawan itu ke atas. Cawan arak itu berputaran di atas, lalu meluncur turun ke arah Suling
Emas!



Suling Emas cukup waspada dan ia maklum bahwa penyerang yang seluruhnya mengandalkan sin-kang ini amatlah
hebat. Biarpun kakek ini adalah ayah dari ibunya, namun ia pun harus menjaga nama besar gurunya. Dibandingkan
dengan kakeknya ini, agaknya gurunya jauh lebih berjasa dan lebih baik terhadapnya. Ia pun cepat memasang
kuda-kuda, mengerahkan sin-kang dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut cawan itu. Cawan yang
meluncur dan berada dalam jarak tengah-tengah antara kedua orang itu, kini terhenti di udara, tertahan oleh
hawa pukulan tangan Suling Emas. Mereka masing-masing mengerahkan tenaga, Pat-jiu Sin-ong dengan lengan kanan
lurus ke depan, sedangkan Suling Emas dengan kedua tangan lurus ke depan pula, mempertahankan diri.



Liu Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee memandang penuh perhatian dan kekhawatiran. Mereka sudah maklum akan
kehebatan tenaga Ketua Beng-kauw itu, dan setelah tahu bahwa orang muda ini bukan musuh, mengapa harus
dicelakakan? Akan tetapi alangkah heran dan kagum hati mereka ketika cawan itu sama sekali tidak dapat maju
lagi sejengkalpun juga, tetap tergantung di udara, tidak maju tidak mundur.



"Prakkk!" Tiba-tiba cawan itu hancur berkeping-keping dan Suling Emas melangkah mundur tiga langkah dengan
napas agak terengah. Adapun Pat-jiu Sin-ong dengan muka penuh keringat tertawa bergelak, lalu menampar meja
sehingga terdengar suara keras.



"Kwee Seng! Sungguh engkau keras kepala! Engkau telah menurunkan semua ilmumu kepada bocah ini, agaknya untuk
membuktikan bahwa kau masih belum juga mau kalah terhadap aku! Ah, setan keras kepala. Kalau saja kau dahulu
mau menjadi mantuku, tentu kau belum mampus sekarang dan aku tidak akan begini kesepian! Kwee Seng..Lu
Sian.kalian mengecewakan hatiku!" Kakek itu menutup muka dengan kedua tangannya dan dengan muka pucat Suling
Emas melihat betapa dari celah-celah jari tangan itu mengalir air mata! Pat-jiu Sin-ong menangis! Pat-jiu
Sin-ong menyesal mengapa ibunya, Liu Lu Sian dahulu tidak menjadi istreri suhunya! Suling Emas tak dapat
menahan keharuan hatinya dan ia maju berlutut di depan kedua kaki Pat-Jiu Sin-ong lalu berkata,



"Kong-kong, aku adalah cucumu., aku adalah Kam Bu Song.putera tunggal ibu Liu Lu Sian."



Pat-jiu Sin-ong perlahan-lahan menurunkan kedua tangannya. Matanya terbelalak memandang wajah Suling Emas yang
menengadah, lalu perlahan-lahan kedua tangannya bergerak ke depan, menangkap wajah itu di antara kedua
tangannya, bibirnya bergerak-gerak dan berbisik, "Kau .kau puteranya..? Benar! Ini.ini matanya, mulutnya.!
Kau.cucuku..!"



"Kong-kong.!" Bu Song menahan air matanya dan dengan singkat ia menceritakan kedaan orang tuanya dan betapa
semnejak kecil ia telah hidup seorang diri sehingga akhirnya menjadi murid Kim-mo Taisu. Mendengar penuturan
itu, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan lalu merangkulnya, kemudian menarik bangun Suling Emas, menepuk-nepuk pundaknya
dengan penuh kebanggaan.



"Wah, kau benar hebat! Kau cucuku! Ha-ha-ha, tidak kecewa aku mempunyai cucu seperti ini! Terima kasih, Kwee
Seng! Ha-ha-ha!"



Suling Emas sebagai orang muda yang tahu sopan santun dan aturan, segera menghadap Liu Mo dan berlutut pula.
"Mohon semua kelakuan saya yang lancang tadi diampuni."



Liu Mo mengangkatnya, juga Kauw Bian Cinjin. Kedua orang tua ini tertawa pula bergelak saking gembira hati
mereka. Kemudian kwee seng menjura ke arah Liu Hwee dan berkata,



"Mohon Bibi juga sudi memberi ampun kepadaku."



Muka yang cantik itu seketika menjadi merah sekali. Akan tetapi dasar Liu Hwee berwatak riang, ia tertawa dan
pura-pura marah, "Wah, mana bisa aku mendadak mempunyai seorang keponakan yang begini besar? Hayo, kau
keponakan yang nakal, kau harus berlutut tujuh kalu di depan bibimu, baru aku suka memberi ampun!"



Suling Emas bingung, akhirnya ia benar-benar hendak berlutut tujuh kali di depan bibinya yang galak, akan
tetapi Liu Mo mencegah dan kakek ini membentak anaknya, "Hwee-ji (anah Hwee), jangan main gila!" Semua orang
lalu tertawa.



"Satu hal saya mohon kepada Kong-kong, kedua Paman Kakek dan Bibi, yaitu saya ingin tinggal menjadi Suling
Emas. Saya sudah menghapus nama Bu Song dari dalam hati dan ingatan. Biarlah saya tinggal disebut Suling Emas
dan jangan ada yang mengetahui asal-usul saya."



Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mengerutkan kening dan menatap tajam wajah cucunya, kemudian ia menarik napas panjang.
"Semuda ini sudah sepahit itu. Agaknya dosa-dosa orang tua menimpa kepadamu. Baiklah, Suling Emas."



Semenjak hari itu, Suling Emas hidup berkumpul dengan keluarga ibunya. Kakeknya amat sayang kepadanya, juga Liu
Mo, Kauw Bian Cinjin, dan Liu Hwee. Kakeknya yang amat sayang kepadanya, menurunkan pula ilmu-ilmu kesaktian
yang tinggi kepadanya sehingga selama tinggal di Nan-cao, Suling Emas menjadi makin matang dan makin sakti.



Akan tetapi ia tidak pula melupakan Kerajaan Sung. Seringkali dalam perantauannya, ia singgah di kerajaan ini,
memasuki istana dan langsung memasuki perpustakaan untuk memuaskan nafsunya membaca kitab-kitab kuno. Ia
menjaga sedemikian rupa agar ia jangan sampai bertemu dengan bekas kekasihnya, yaitu Suma Ceng. Kalau tidak
tekun membaca kitab sampai berbulan-bulan di dalam gedung perpustakaan Kerajaan Sung, tentu Suling Emas
mengembara dan selalu menurunkan perbuatan gagah perkasa, membela mereka yang tertindas, menghajar mereka yang
sewenang-wenang, berdasarkan kebenaran dan keadilan. Nama Suling Emas menjadi makin terkenal di segenap
penjuru. Hanya satu hal yang masih mengecewakan hati yang mulai terhibur oleh pelaksanaan tugas sebagai
pendekar budiman itu, yakni bahwa selama itu belum juga ia tahu akan keadaan ibu kandungnya!



Bersama berkembangnya nama Suling Emas sebagai pendekar budiman yang sakti, di dunia kang-ouw muncul nama enam
orang manusia iblis yang sakti dan buas, sehingga mereka itu diberi julukan Thian-te Liok-koai (Enam Iblis
Dunia). Mereka itu adalah It-gan Kai-ong seorang jembel tua bermata satu yang bukan lain adalah Pouw Kee Lui
atau Pouw-kai-ong, ke dua adalah Siang-mou Sin-ni, seorang wanita cantik jelita berambut panjang yang bukan
lain adalah Coa Kim Bwee selir Kaisar Hou-han, ke tiga adalah Hek-giam-lo si tokoh Khitan yang bukan lain
adalah Bayisan. Ke empat adalah Cui-beng-kui Si Setan Pengejar Roh yang dahulunya adalah Ma Thai Kun, sute dari
Pat-jiu Sin-ong. Ke lima dan ke enam adalah Toat-beng Koai-jin yang dahulunya bernama Bhe Kiu dan Tok-sim

Lo-tong yang dahulunya bernama Bhe Ciu, dua orang murid Kong Lo Sengjin.



Sampai di sini selesailah cerita Suling Emas ini dan bagi pembaca yang sudah membaca cerita Cinta
Bernoda Darah
tentu telah berjumpa pula dengan Suling Emas yang menjadi lawan ke enam manusia iblis itu.
Pengarang menutup cerita ini dengan harapan semoga pembaca puas dengan cerita Suling Emas. Apabila masih belum
cukup puas, dipersilakan untuk menanti cerita silat yang berjudul "Mutiara Hitam" di mana pembaca akan
dibawa terbang melayang ke alam khayal dan mengikuti perjalanan Suling Emas dan murid-murid serta keturunanya,
karena cerita Mutiara Hitam merupakan lanjutan cerita Cinta Bernoda Darah . Sampai jumpa dalam
Mutiara Hitam


0 komentar:

Posting Komentar