Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [ 1 ]

Cinta Bernoda Darah

Puncak Gunung Thai-san yang menjulang tinggi di angkasa tertutup awan putih tebal yang bergumpal-gumpal mengelilingi puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada musim panas, sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu tampak dari bawah. Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan manusia setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thai-san.

Dongeng atau kepercayaan tentang hal ke dua ini tidaklah terlalu berlebihan kalau diingat bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan bumi dan diingat pula akan keadaan pun­cak itu sendiri. Terlalu tinggi, terlalu sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia biasa tak mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak bahayanya. Binatang buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam badan.

Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa, yaitu manusia-manusia yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan. Betapa­pun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi orang pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa keperluan yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?

Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak tam­pak berkilauan seperti perak digosok, matahari membobol benteng halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias ujung-ujung daun dengan mutia­ra-mutiara air embun berkilauan seperti hiasan anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau menyam­but hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana gembira dan indah ini?

Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat sekali untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali baru! Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan renungan setiap insan pada setiap tahun baru.

Pada penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, semenjak pagi hari sudah sibuk berpesta, bergembira ria merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpan­an dikeluarkan dari peti pakaian “se­tahun sekali” menghias tubuh, yang muda menghormat yang tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan. Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah indahnya dunia, alangkah nikmatnya hidup.

Serombongan orang amat cepat gerak-geriknya amat ringan langkah kakinya, bergerak cepat mendaki puncak Thai-san. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka ria dan sempat menyak­sikan gerak-gerik lima orang yang bagai­kan serombongan kera besar melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara batu-batu besar dan pohon-pohon mendaki puncak, tentu akan makin tebal kepercayaan mereka bahwa serombongan dewa atau manusia setengah dewa yang men­daki puncak itu, untuk bertahun baru di sana!

Rombongan itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh ting­kat dua dan tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan apabila mereka berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san. Tiba-tiba pemimpin rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti pa­tung-patung dewa penghias gunung. Me­reka semua telah mendengar suara yang halus itu. Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan menyelinap di antara desir angin mem­permainkan daun dan dendang anak su­ngai di dasar jurang. Namun kata-kata­nya jelas dapat tertangkap pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.

“Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat daripada pikiran sendiri.

Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaan
seperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya.

Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan
seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.”

Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan per­jalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul harapan dan kegembiraan.

“Twa-suheng (Kakak Seperguruan Pertama), apakah itu suara beliau....?” tosu termuda, belum lima puluh tahun, bertahi lalat di ujung hidung, bertanya.

“....ssssttttt....!” Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu diam. Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya lagi. Sambil mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang khas Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek namun cepat dan gin-kang mereka begitu hebat sehingga seakan-akan rumput yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya kaki yang bergerak! Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus, halus lembut menusuk anak telinga.

“Dia menyiksaku, dia memukulku dia mengalahkan aku, dia merampokku! Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.

Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian, karena benci takkan hapus oleh benci pula,
melainkan musnah oleh kasih!”

Ang Kun Tojin mengerutkan kening­nya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta Agama To) yang dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang ke dua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari Agama Buddha me­rupakan bait-bait pertama daripada pe­lajaran dalam kitab Dhammapada. Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang yang menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran be­rupa syair Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu! Seorang hwesio (pendeta Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila beliau itu seorang yang beragama To.

Di pertengahan puncak mereka berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka. Puncak-pun­cak gunung lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main, men­datangkan rasa seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa dan mahluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bah­wa mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasai ketenangan dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!

Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi yang mereka injak ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus beludru. Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu putih berjajar seper­ti menara, di tanah datar yang halus itu mereka mendapat kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di situ, mendahului mereka!

“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata peri­bahasa, Ang Kun Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek gendut berusia enam puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala dilindungi ca­ping lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang petani lain, kesemua­nya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka sederhana seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada pandang mata mereka.

“Siancai.... siancai....” Ang Kun Tojin mengucapkan puja-puja sambil merangkap­kan kedua tangan ke depan dada mem­beri hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya. “Tidak dinyana sa­habat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim Semi, Sicu (Orang Gagah).”

“Ha-ha-ha, selamat.... selaimat, Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur makmur dan kokoh kuat.” Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid kepala Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturutoleh enam orang adik seperguruannya.

“Juga pinto (saya) sesaudera meng­haturkan selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tong-pai.” kata pula Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan ke dua yang di sebelah kiri. Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala gundul yang bersikap pendiam dan dingin. Mereka dipimpin oleh seorang hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna ku­ning, tanda bahwa dia adalah seorang hwesio yang sudah mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya, Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi orang ke dua dari Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat tinggi, juga pengetahuannya tentang Agama Buddha amat mendalam.

“Omitobud....” Leng Lo Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut oleh tiga orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai amat ramah, semoga dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”

Murid kepala Hoa-san-pai yang bertu­buh pendek gendut itu adalah seorang tua yang gembira sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari sudut yang menggembirakan. Berbeda dengan rom­bongan-rombongan Kun-lun dan Bu-tong, yang bersikap serius dan pendiam sehing­ga keadaan di situ menjadi kaku dan di­ngin. Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan ini telah menjadi pendeta se­hingga mereka pun harus menyesuaikan sikap sebagaimana layaknya para pen­deta, yaitu alim dan suci! Murid-murid Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan pe­nganut biasa dan hidup mereka sehari-hari adalah sebagai petani.

Melihat keadaan yang kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata. “Wah, tiga rombongan wakil partai per­silatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah berkumpul di sini. Kiranya dengan maksud yang sama pula, hendak bertemu dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun Toyu dan Leng Lo Suhu?”

“Pinceng (saya) sesaudara memang hendak menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas kasihannya.” ja­wab murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio tidak malu-malu untuk minta-minta.

“Karena beliau seorang pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mo­hon diberi penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.

“Belum tentu beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair kitab Dammapada, bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang pendeta Buddha golongan kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan suaranya yang dan lambat.

Mendengar ini, diam-diam para anak murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu terde­ngar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya. Bukan main! Peng­gunaan tenaga mujijat khi-kang yang di­salurkan pada suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama Buddha, tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing dengan para hwe­sio itu.

“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua Pende­kar Tua) harap jangan salah duga dan menarik Siansu pada golongan masing-masing. Biarpun saya sendiri, seperti juga sahabat semua : selama hidup belum pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau meng­akui semua agama, seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu. Tentu beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang lebih dulu, yang pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat perhatian lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”

Ang Kun Tojin melangkah maju dan membantah, “Sicu dan saudara-saudara dari Hoa-san bukanlah orang-orang yang mencari kesempurnaan batin, melainkan jasmaniah, hidup sebagai petani-petani yang bahagia. Ilmu Silat Hoa-san-pai juga sudah tersohor di ko­long langit. Untuk apa pula mohon petun­juk Siansu? Tentu bukan untuk urusan kebatinan, akan tetapi kalau hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat : untuk apakah pula? Pekerjaan petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”

“Ucapan Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio, “bagi pendeta-pendeta seperti kami dan para tosu Kun-lun, tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang ke­batinan dari Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang Gagah) dari Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat, pinceng (saya) kira Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa Ilmu Silat Hoa-san-pai masih amat rendah.”

Ucapan ini biarpun terdengar mem­bela namun mengandung sindiran yang memandang rendah tingkat Ilmu Silat Hoa-san-pai. Memang hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini berwatak keras dan kaku, juga tidak biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.

“Leng Lo Suhu benar-benar meman­dang rendah kami dari Hoa-san-pai!” tiba-tiba orang ke lima dari Hoa-san-pai membentak sambil melompat maju. Dia adalah Kok Ceng Cu, seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar, usianya sekitar tiga puluh tahun.

“Sama sekali tidak memandang ren­dah,” bantah Leng Lo Hwesio, “hanya pin­ceng sering kali mendengar bahwa Hoa-san-pai mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan dalam ilmu silat tidak begitu mementingkan kekuatan dalam. Padahal, Bu Kek Siansu adalah seorang ahli kebatinan dan tentu saja petunjuknya akan berhubungan erat de­ngan kebatinan, maka tidak akan cocok dengan Sicu sekalian.”

“Tidak memandang rendah akan tetapi sama sekali tidak menghargai kepandaian lain orang. Sama saja! Leng Lo Suhu, kami dari Hoa-san-pai memang masih rendah pengetahuan, tidak ada sesuatu yang patut dibanggakan apalagi disom­bongkan. Akan tetapi, saya akan merasa takluk kalau seorang di antara para Lo­suhu dari Bu-tong-pai dapat melebihi apa yang akan saya perlihatkan!” Kok Ceng Cu yang masih berdarah panas dan tidak tahan mendengar partainya dipandang ringan, segera melangkah lebar mendekati sebuah batu gunung yang berwarna putih. Batu ini sebesar perut kerbau, beratnya tidak kurang dari lima ratus kati. Se­perempat bagian dari batu ini terpendam dalam tanah, kokoh kuat dan untuk men­cabutnya keluar kiranya dibutuhkan sedikitnya tenaga seribu kati.

Kok Ceng Cu memasang kuda-kuda di dekat batu, kedua tangannya merangkul dari kanan kiri, lalu dengan sebuah teriakan keras ia mengerahkan tenaga menjebol dan.... batu itu terangkat ke atas terus diangkat ke atas kepalanya. Otot-otot kedua lengannya tersembul keluar, lehernya mendadak menjadi besar, namun wajahnya yang tampan itu tidak berubah, tetap tenang dan tersenyum. Fihak Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai memandang kagum. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka maklum bahwa untuk mengangkat batu seberat itu mengandalkan tenaga luar, bukanlah hal yang mudah dilakukan. Selain membutuhkan latihan tekun dan lama, juga harus me­miliki bakat alam, yaitu tenaga yang besar dan hal ini hanya dapat dimiliki oleh seorang laki-laki yang selama hidup tetap membujang. Melihat keadaan wajah Kok Ceng Cu, terang bahwa jago Hoa-san-pai ini biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, ternyata dia masih bujang, jejaka tulen!

“Tenaga gwa-kang (tenaga luar) Sicu hebat sekali, pinceng kagum!” kata Leng Lo Suhu dengan sejujurnya. Akan tetapi hal ini memanaskan perut Leng Hi Hwesio, murid ke empat dari Bu-tong-pai. Biarpun usianya sudah enam puluh tahun, hwesio keempat dari Bu-tong-pai ini wataknya keras dan tidak mau kalah. Ia segera melompat maju mendekati Kok Ceng Cu dan berkata nyaring.

“Main-main dengan batu mati ini apa sih anehnya? Sicu, kalau kau sudah le­lah dan bosan, boleh operkan batu itu pada pinceng!”

Tadinya Kok Ceng Cu merasa bangga akan pujian murid tertua Bu-tong-pai, akan tetapi melihat dan mendengar sikap dan kata-kata hwesio ke empat ini, diam-diam ia merasa penasaran juga kaget. Apakah hwesio yang kurus kering ini dapat mempergunakan tenaga seperti dia? Ia berseru keras dan kedua lengan­nya bergerak ke bawah lalu ke atas, me­lontarkan batu besar itu kepada Leng Hi Hwesio sambil berseru.

“Losuhu terimalah!”

Batu berat itu meluncur ke arah hwesio Bu-tong-pai, kalau menimpa kepala tentu akan remuk. Namun, dengan tenang hwesio ini menggerakkan kedua tangannya, menerima batu itu dengan gerakan indah. Kiranya ia telah menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika, begitu kedua telapak tangannya menempel pada batu, ia meminjam tenaga lontaran tadi, dan terus mengayun batu ke bawah, ke atas lagi, dan melontarkannya ke atas, diterima lagi, diayun dan dilontar­kan lagi ke atas sampai lima kali. Keti­ka untuk ke lima kalinya batu itu me­nimpa turun, ia menggunakan gerakan menyabet dengan kedua tangan miring. Batu itu melenceng ke samping, terban­ting ke atas tanah sampai amblas hampir setengahnya. Inilah gerak pukulan Pukul Roboh Gunung Hitam, sebuah jurus ilmu Silat Bu-tong-pai yang lihai.

Terdengar tepuk tangan memuji dari para tosu Kun-lun-pai. “Siancai, siancai, ilmu pukulan Bu-tong-pai benar-benar hebat!” seru Ang Kun Tojin. Akan tetapi Pek Sin Tojin, murid ke lima Kun-lun-pai yang bertahi lalat pada ujung hidung­nya, menjadi penasaran melihat betapa dua orang dari rombongan Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian. Kalau dari fihak Kun-lun-pai tidak ada yang bergerak, jangan-jangan fihaknya akan dipandang rendah. Ia melangkah maju mendekati batu itu, berkata,

“Siancai, batu terbanting keras jangan-jangan banyak cacing yang akan tertimpa remuk.” Kaki kanannya bergerak mencongkel dan.... batu itu menggelinding keluar dari dalam tanah, sampai lima kaki lebih jauhnya. Gerakan ini saja membuktikan betapa lihainya para tosu Kun-lun-pai.

Yang paling berangasan di antara semua orang adalah Kok Ceng Cu. Ia mengeluarkan suara ejekan dari hidung­nya, “Hemmm, semua memamerkan te­naga dalam yang mengandalkan tenaga pinjaman, bukan tenaga aseli dari otot dan urat. Biarpun kami dari Hoa-san-pai hanya melatih otot untuk memper­kuat tubuh, namun permainan lwee-kang (tenaga dalam) seperti itu juga bukan hal aneh.” Ia tidak melakukan tantangan, namun kata-katanya ini jelas mengangkat golongan sendiri dan tidak memandang tinggi dua rombongan lain. Juga ia ber­diri dengan dada terangkat, kedua kaki­nya memasang kuda-kuda dengan sikap seolah-olah ia siap menghadapi siapa saja yang berani melawannya!

Tentu saja sikap ini memanaskan hati fihak Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai, apalagi fihak Bu-tong-pai. Kalau saja Ang Kun Tojin dan Leng Lo Hwesio tidak memberi isyarat dengan pandang mata, tentu ada tosu Kun-lun dan hwesio Bu-tong yang melompat maju untuk meng­hadapi Kok Ceng Cu. Pada saat itu ter­dengar suara tertawa nyaring dan merdu. Semua orang menjadi kaget, memandang ke kanan kiri, namun tidak tampak se­orang pun manusia. Padahal jelas sekali tadi terdengar suara ketawa seorang wanita, terdengar dekat sekali, bahkan suara pernapasan di antara kekeh tawa itu dapat mereka dengar.

“Omitohud!” Leng Lo Hwesio menge­luarkan suara sambil merangkapkan ke­dua telapak tangan di depan dada. “Sicu mengeluarkan sikap menantang, membikin marah dewi penjaga gunung!”

“Kita datang untuk mohon pelajaran kebatinan kepada Bu Kek Siansu, saudara-saudara dari Hoa-san-pai memperlihatkan kekerasan, sungguh lucu sehingga ditertawakan oleh segala mahluk halus,” kata pula Ang Kun Tojin, namun diam-diam ia merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa yang mengeluarkan suara ketawa itu sudah pasti seorang yang memiliki kesaktian luar biasa. Terang bukan Bu Kek Siansu, juga bukan yang bernyanyi tadi, karena suara ketawa ini adalah suara wanita.

“Kami orang-orang Hoa-san-pai tidak takut terhadap segala siluman!” Kok Ceng Cu berkata keras sambil melirik ke kanan kiri.

“Sute, jangan bicara begitu....” Kok Bin Cu mencela adik seperguruan yang berangasan itu.

Akan tetapi suaranya terhenti ketika tiba-tiba pada saat itu terdengar lagi suara ketawa dan kini tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang amat cantik. Dia datang begitu saja seperti muncul dari dalam bumi, tidak tampak datangnya, tahu-tahu sudah ber­diri di depan Kok Ceng Cu sambil ter­tawa terkekeh-kekeh, bibirnya yang me­rah dan lembut itu terbuka, tampak dua deretan gigi yang putih seperti mutiara berbaris.

Empat belas orang itu memandang dengan mata terbelalak. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, dilihat dari wajahnya yang segar berseri itu agaknya belum dua puluh lima tahun usianya, na­mun sikap dan gerak-geriknya memba­yangkan kepribadian yang kuat dan ber­wibawa, tenang dan tabah, sikap masak seorang tokoh besar. Pakaiannya dari sutera tipis berwarna putih sehingga terbayang baju dalam yang berwarna merah muda. Sepasang kakinya tertutup sepatu kulit mengkilap, berwarna hitam. Yang menarik hati dan mengerikan ada­lah rambutnya. Rambut hitam gemuk, panjang sampai hampir menyentuh tanah di belakangnya, sebagian lagi terurai ke depan dari kanan kiri lehernya. Tubuhnya padat berisi, kulit leher, tangan dan mukanya halus den putih seperti salju. Wanita yang cantik jelita, bersinar matar bengis, dengan mulut yang selalu meng­ejek tampaknya dan diselubungi sesuatu yang aneh mengerikan. Begitu ia muncul, tercium bau harum seperti taman bunga.

“Hi-hi-hik, kiranya jejaka tampan yang mengeluarkan tantangan. Wah, un­tungku hari ini! Orang muda yang penuh tenaga dan hawa murni, kau dari golongan mana?”

Kok Ceng Cu biarpun sudah berusia tiga puluh tahun lebih, namun tak pernah berdekatan dengan wanita. Memang ia tidak suka akan wanita dan sudah ber­sumpah akan tetap membujang seumur hidup. Kini menghadapi wanita cantik aneh yang sikapnya sombong, ketawanya terbuka tanpa mengenal sopan dan susila ini, ia menjadi marah sekali.

“Wanita tak bersopan! Aku tidak suka bicara denganmu, akan tetapi kalau kau ingin tahu, aku Kok Ceng Cu murid ke lima dari Hoa-san-pai. Sudahlah, pergi jangan menambah muak dengan ketawa-ketawa seperti siluman!”

“Hi-hi-hik, jejaka murni, nyalinya kuat. Bagus, bagus, kebetulan sekali. Eh, Kok Ceng Cu, kulihat tadi kau meng­angkat batu kecil ini, entah apa kau kuat menerima lemparan dariku?” Tanpa menanti jawaban, wanita ini menggerakkan kepalanya dan.... rambutnya yang indah dan panjang itu bergerak seperti hidup ke arah batu gunung putih di de­katnya yang tadi dipakai main-main oleh orang-orang sakti itu. Begitu cepat gerakkannya dan tahu-tahu batu itu telah terlempar ke arah Kok Ceng Cu. Benar-benar membuat semua orang bengong terlongong. Bagaimana rambut indah panjang itu dapat dipergunakan untuk mengangkat dan melempar batu yang beratnya lima ratus kati lebih?

Akan tetapi Kok Ceng Cu tidak sem­pat berheran. Melihat datangnya batu ke arah kepalanya, ia cepat menggerakkan kedua lengan, menangkap batu itu dan mengerahkan tenaganya, melemparkan batu itu kembali kepada wanita tadi sambil berseru membentak, “Siluman jahat, terimalah kembali!”

Lemparan Kok Ceng Cu dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, akan hehat sekali akibatnya kalau wanita itu tertimpa. Agaknya wanita aneh ini tidak mempedulikan datangnya batu, ha­nya mengangkat lengan kiri menangkis. Terdengar suara keras dan batu itu terlempar ke kiri, pecah menjadi dua!

Kejadian ini benar-benar membuat semua orang terkejut, dan sekaligus mak­lumlah mereka bahwa wanita ini ternyata memiliki kepandaian yang amat luar biasa. Juga Kok Ceng Cu sadar akan hal ini, namun penyesalannya terlambat. Sambil terkikik-kikik ketawa wanita itu kembali menggerakkan kepalanya dan kini rambutnya terurai meluncur ke depan dan di lain saat kedua pergelangan le­ngan dan leher Kok Ceng Cu sudah terlibat rambut. Betapapun murid ke lima dari Hoa-san-pai ini mengerahkan seluruh tenaganya untuk melepaskan diri, usaha­nya sia-sia seakan-akan seekor latat yang berusaha melepaskan diri daripada sarang laba-laba, meronta-ronta tanpa hasil, malah rambut-rambut itu makin erat mengikat tangan dan mencekik leher.

“Hi-hi-hik, berontaklah, makin keras makin baik agar darahmu berjalan lebih kencang!” Sambil terkekeh wanita itu kembali menggerakkan kepalanya. Tubuh Kok Ceng Cu tersentak ke depan, ber­putar dan tak dapat dicegah lagi men­dekati wanita itu. Tiba-tiba wajah wanita cantik itu menjadi beringas, matanya bersinar-sinar, mulutnya terbuka dan.... cepat sekali mulutnya mendekati tengkuk leher Kok Ceng Cu dan menggigitnya, terus mengisap! Kok Ceng Cu mengeluar­kan jerit mengerikan, mukanya menjadi pucat kehijauan dan beberapa detik ke­mudian nyawanya telah melayang meninggalkan badannya!

“Siluman keji....!” Kok Bin Cu dan tiga orang adik seperguruannya bergerak maju, menerjang wanita itu. Akan tetapi mereka terhuyung mundur dan tubuh Kok Ceng Cu yang sudah dingin terlempar ke arah mereka, diiringi suara ketawa wa­nita itu. Melihat keadaan Kok Ceng Cu yang sudah menjadi mayat, Kok Bin Cu cepat menyambar dan memeluk adik termuda ini dengan penuh kesedihan.

Adapun tiga orang adik seperguruannya yang lain berdiri dengan sikap siap, na­mun ragu-ragu untuk menerjang tanpa perintah Kok Bin Cu. Mereka maklum akan kelihaian wanita siluman ini dan menjadi gentar juga.

“Cuh! Cuhhhhh!” suara orang meludah dan Leng Hi murid ke empat Bu-tong-pai menyumpah-nyumpah karena mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui dari mana datangnya.

“Ho-ho-hah, Siang-mou Sin-ni jangan berpesta seorang diri!” Suara laki-laki seperti tambur bobrok ini terdengar dan orangnya sekaligus tampak seorang berpakaian pengemis, sudah tua dan bong­kok, mukanya pucat seperti mayat, ram­butnya panjang sampai ke pundak, awut-awutan dan riap-riapan kotor, mata kiri­nya buta, mata kanannya lebar mem­belalak. Pakaiannya kotor dan penuh tambalan, hanya sepasang sepatunya ma­sih baru. Ia memegang sebatang tongkat butut, berdiri di situ dengan punggung agak bongkok.

Dilihat sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja, malah se­orang pengemis yang tidak normal, se­tengah gila. Hal itu tampak pada muka­nya yang mengerikan, apalagi mulutnya yang lebar dan selalu sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang hanya satu-satunya dalam mulut tua.

Kembali ia meludah, “Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.

Melihat ini, Leng Li Hwesio marah, “Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng tadi?”

“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing korengan dan kucing kudisan. Lebih suka lagi me­ludahi keledai gundul, cuh-cuh!” Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah ke bawah, akan tetapi anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio yang berada di sebelah kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran ludah kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya. Entah bagaimana ludah itu bisa terbang menyeleweng dan miring.

Kakek pengemis itu berjingkrak ke­girangan bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa. “Ha-ho-hoh! Bagus sekali. Ke­ledai Bu-tong memang baik menjadi tem­polong ludah!”

“Jahanam hina!” Leng Hi Hwesio mana dapat menahan kesabarannya? Dengan kemarahan meluap-luap ia sudah men­cabut pedangnya dan menerjang pengemis itu.

“Ho-ho-ha-hah, untung besar hari ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!” Tiba-tiba terdengar suara keras dan pe­dang di tangan Leng Hi Hwesio sudah terlempar jauh, menimpa batu gunung dan patah menjadi dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali meludah, Leng Hi Hwesio berseru ke­sakitan. Hujan ludah itu mengenai tubuh­nya, akan tetapi tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini terasa seperti pukulan-pukulan keras yang tepat me­ngenai jalan darah di tubuhnya. Tiap kali kakek itu meludah dan mengenai tubuh­nya, ia berteriak mengaduh, kemudian ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan diri. Namun kakek itu terus me­ludah, makin keras agaknya karena kini tubuh Leng Hi Hwesio bergulingan seper­ti seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga dan hidungnya keluar darah segar!

“Pengemis keji, lepaskan Sute kami!” Leng Lo Hwesio dan dua orang adik se­perguruannya cepat mencabut pedang dan menerjang pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu mengangkat tongkatnya, sekaligus tiga batang pedang itu ter­tangkis dan terpental. Sungguhpun tiga orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang masing-masing, namun mereka merasakan telapak tangan mere­ka sakit dan panas. Terkejutlah mereka. Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang, kuat bukan main. Akan tetapi sekarang sekali tangkis saja kakek ini dapat mem­buat pedang mereka terpental. Padahal mereka adalah orang-orang yang men­duduki tingkat dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di bawah suhu (guru) mereka!

Sementara itu, kakek itu terus me­ludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat bersambat atau bergerak lagi. Hebatnya, kepala yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari situ keluar darah bercampur otak. Hwesio ke empat ini sudah tewas!

“Mana orang Kun-lun! Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar suara dan kali ini suara itu terdengar dari.... bawah! Terlalu hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian seorang anggauta rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang mendengar bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan cepat memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke bawah, karena dari situlah munculnya suara.

“Hi-hi-hik, It-gan Kai-ong! Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal ramai sekarang!” Wanita rambut panjang tadi kini tertawa dan Si Pengemis Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan kiri.

“Bagus, dan kebetulan orang-orang Kun-lun berada di sini. Baik sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat banyak orang Kun-lun-pai?”

Mendengar disebutnya Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu dengan Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut sebagai se­orang tokoh hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit permusuhan de­ngan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari men­diang kakek guru Ang Kun Tojin.

Terdengar suara menggereng seperti harimau dari dalam tanah dan tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan terbang dan tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang meluncur caha­ya seperti kilat yang terbang ke arah lima orang tosu Kun-lun-pai.

Para tosu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat mereka seperti juga orang-orang Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah mencapai taraf tinggi sekali. Sekali pandang saja mereka maklum bahwa yang menyambar ini ada­lah sebuah senjata yang amat tajam dan runcing, yang disusul melesatnya bayangan hitam. Cepat mereka berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan menangkis.

“Trang-trang-trang....!” terdengar bunyi nyaring. Bunga api berhamburan disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang di antara lima pedang yang bertemu dengan senjata berkilauan itu. Kemudian terdengar jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu yang bertahi lalat pada hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher sampai ke perutnya terdapat luka goresan yang panjang, luka kulit saja akan tetapi amat mengerikan. Apalagi kalau mereka melihat lawan mereka yang kini sudah berdiri di depan mereka, benar-benar mendirikan bulu roma.

Dia seorang yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh badan, kecuali sepasang tangan yang kecil kurus, terbungkus pakaian serba hitam. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang putih mengerikan dengan dua lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi runcing hitam, kedua kakinya memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak melengkung.

Senjata sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali ber­kelebat tentu kulit tubuh tosu itu ter­iris robek. Pek Sin Tojin menggeliat-geliat, bergulingan, darah memenuhi tu­buh dan mukanya, namun sabit itu terus bergerak, makin lama makin cepat. Em­pat orang tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua orang termasuk Ang Kun Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya terlempar, menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si tengkorak ini hanya meng­gerak-gerakkan tangan kirinya dan semua serangan itu tertangkis oleh ujung lengan bajunya. Adapun sabit di tangan kanan­nya terus bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.

Kekejaman yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang lagi, tubuhnya berkelojotan, lalu diam. Gerakan sabit juga berhenti dan kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat orang Kun-lun-pai yang mengeroyoknya.

Sementara itu, orang-orang Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang melayani tiga orang kosen Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki.

Di lain fihak, empat orang Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita rambut panjang yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit. Sungguh pertempur­an yang amat seru namun tidak seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor harimau buas dikeroyok serombongan kelinci saja. Sabit di tengan tengkorak hidup itu menyambar seperti halilintar dan sebentar saja, dua orang tosu Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh terbacok ham­pir putus menjadi dua potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya sudah luka-luka pula.

Juga wanita mengerikan yang bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan dua orang Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri te­gak, kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di sekitar tubuhnya, menangkis senjata dan meng­hantam lawan. Jangan dipandang rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut halus dan berbau harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja yang amat kuat.

It-gan Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu), meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya membikin buta seorang lawan yang terus ditusuk tongkat kepalanya sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio mengerahkan seluruh Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama sekali tak berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.

Mereka semua maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada yang memberi koman­do, Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi mening­galkan para sutenya yang sudah tewas.

Mereka pun menderita luka-luka berat. “Ha-ha-ho-ho! Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk memberi tahu kepada partai masing-masing!”

“Tak usah kau ngoceh, pengemis picak!” Siang-mou Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah sambil mengebut-ngebutkan rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau, apa kau­kira tua bangka Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”

“Ho-ho-hah! Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang tokoh Kun-lun?” Pengemis itu berpaling kepada si tengkorak.

“Aku datang ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo Si Tengkorak Hidup menjawab pendek.

“Hi-hik, untuk apalagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis seperti pengemis picak ini?” Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.

“Ho-hah, setan cilik, lidahmu benar-benar lemas, bibirmu halus mengandung madu, tapi ludahmu seperti butrawali dan mrica! Kau sendiri datang pada permula­an musim semi, apakah akan memberi selamat panjang umur kepada setan gu­nung? Ho-ho, kau sendiri juga akan mengemis ilmu, bukan?”

“Cih, mulutmu bau busuk, pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek Siansu akan muncul di dunia. Aku hendak melihat apakah dia dapat menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau mengangkatnya sebagai guru, bukan me­ngemis seperti kau!”

“Ha-ha, silat lidah! Menjadi murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing segala, cuh!” It-gan Kai-ong me­ludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya berlubang oleh ludah itu! “Bukan­kah begitu, Hek-giam-lo?”

Si tengkorak hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng ha­nya mengeluarkan suara, “Huhhh!”

“Ihhh, menyebalkan si tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu? Apakah ingin menyembunyikan suara seperti ber­tahun-tahun ia menyembunyikann mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut lepas kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua!”

“Hemmm....” Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni dan senjata sabitnya yang mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.

It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus....! Aku pun mempunyai keinginan yang amat sangat, yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu. Alang­kah akan ramainya, entah siapa yang hanya bernama kosong belaka. Siang-mou Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah!”

Sejenak Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hen­dak menggerakkan rambutnya menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah pengemis tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik, penge­mis tua busuk, kau hendak akali kami berdua, ya? Kau mengadu kami, biar keduanya mampus atau payah, baru kau turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu Kek Siansu. Begitukah? Akal bulus!”

“Kalian mau saling gempur atau sa­ling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu merengut, kesal.

“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dia berhak menemui Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”

“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong. “Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo. Yang ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua orang di depannya itu.

Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka seakan-akan tiga ekor harimau yang siap me­nanti datangnya terjangan lawan, tegang sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia akan sirna.

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik se­lisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus tiga orang itu telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi memben­tuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan senjata mereka yang menyambar tadi masih ter­dengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat situ.

Amat tegang seluruh urat syaraf, ke­tiga orang itu sodah siap untuk melaku­kan terjangan atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka bergerak dan perhatian mereka tertarik­ oleh bunyi suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya sang matahari, akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar menyambar-nyambar membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati suaminya.

“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.

“Kita lihat siapa yang datang,” sam­bung Siang-mou Sin-ni mengangguk.

Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar makin nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan men­dekati tempat itu. Tiga orang sakti ini menjadi tegang hatinya, mereka men­duga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?

Tak lama kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar, ber­jalan dengan tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup suling yang di­pegang dengan kedua tangannya. Suling itu berkilauan tertimpa matahari dan mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaian­nya seperti pakaian seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali pe­nutup kepala melambai panjang. Pakaian orang ini hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya hi­tam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah, berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.

“Iihhh.... gantengnya....!” Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandeng pe­nuh gairah kepada wajah yang tampan itu.

“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas....?” It-gan Kai-ong berkata perlahan seperti pada diri sendiri. Ada­pun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus marah.

Sementara itu, laki-laki muda ber­suling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga adanya ma­yat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis yang tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.

“Keji sekali....!” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.

“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong me­nantang.

Dia tersenyum, menoleh kepada pe­ngemis mata satu dan berkata dengan suara tenang berwibawa, “Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan urusanku. Akan tetapi andaikata tadi aku berada di sini, jangan harap kalian me­ngumbar kekejaman sesuka hati.”

Setelah berkata demikian, orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, meman­dang sejenak dan berkata. “Kau Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur mayat-mayat itu.”

Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda itu tertawa mengejek.

“Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari emas, jauh lebih berharga daripada sabit­mu, baik harganya maupun kegunaannya. Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku ini.”

Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya? Senjata yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka tengkoraknya.

Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluar­kan sinar tajam. “Terimalah ini!” serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar menyam­bar, ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Se­rangan ini cepat bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka ke mana akan mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir menempel ulu hati­nya.

Namun ia memang lihai sekali. Sam­bil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan kirinya menyambar dari samping menangkap suling itu dan men­dorong ke kanan agar meleset daripada ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu. Alangkah herannya ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya dilepaskan oleh pemiliknya. Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, tenaga yang amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya ke tangan kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas suling untuk menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri daripada ancaman suling, baru kemudian berusaha merampas kembali senjatanya.

Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya. “Hek-giam-lo, terima kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan kukembalikan.” Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri, sekali loncatan tubuh­nya melayang lebih sepuluh meter jauh­nya. Kiranya ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.

“Heh, kau tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!” terdengar suara serak Si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”

Suling Emas tidak menjawab, melain­kan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar saja di depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.

Sinar hitam yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari Hek-giam-lo yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam). Begitu hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.

Melihat Hek-giam-lo mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia menyelamatkan diri?

Suling Emas menggali dengan gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit saja yang bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan menter­tawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan terhuyung-huyung. Akan te­tapi kalau melihat hasil galian di depan­nya, orang akan bengong terlongong. Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekalipun belum tentu akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian cepatnya.

Sekarang, tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh, Suling Emas masih tetap bekerja dan ketika gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan berpencar mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia masih saja bergerak-gerak menggali lobang. Namun kini di antara berkelebatnya sinar sabit yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang mengeluarkan angin keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi, Si Muka Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua tangannya dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk memberi dorong­an kepada senjata rahasianya.

Suling Emas menunda gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya terdapat sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia me­ngipaskan benda itu ke depan sambil berseru.

“Hek-giam-lo, aku terima tantangan­mu, akan tetapi tunggulah sebentar sam­pai selesai pekerjaanku.” Ia mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hi­tam yang sudah mendesak maju itu terpental mundur sampai lima kaki jauhnya.

Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu, Suling Emas berloncatan ke sana ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang masuk ke dalam lobang besar yang digalinya tadi. Pemandangan yang amat mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan hidup kembali dan terbang seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya menggunakan ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja sebelas buah mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas lalu menguruk lu­bang dengan tanah galian. Begitu cepat ia melakukan pekerjaan ini sehingga wak­tu untuk menggali dan “mengubur” ini tidak lebih daripada sepuluh menit saja!

“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa mengejek.

“It-gan Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang raja, sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.

“Tampan sekali! Ganteng.... dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya....” Suara Siang-mou Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling matanya menyambar. Pemuda biasa saja kiranya akan runtuh kalbunya dan bobol pertahanannya kalau menghadapi senyum dan kerling yang memabukkan ini. Memang Siang-mou Sin-ni memiliki kecantikan yang luar biasa, keharuman rambut yang memabuk­kan, dan ada sesuatu yang mujijat, hawa kekuatan yang tidak sewajarnya, keluar dari tubuhnya.

Suling Emas menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat. “Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat di antara mayat-mayat itu terdapat seorang muda yang sudah kausedot habis isi tulang belakang­nya, apakah kau masih juga belum kenyang?”

Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Adapun It-gan Kai-ong lalu menegur, “Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani lancang me­nyebut nama kami? Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”

Suling Emas tertawa. “Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka me­makai pakaian tambalan, hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja penge­mis yang terkenal, memang ada beberapa orang di antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”

Siang-mou Sin-ni makin keras kekeh tawanya. bahkan Si Muka Tengkorak yang pendiam juga terbatuk-batuk menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya. “Bocah sombong, berani kau mempermainkan aku? Hayo ke sini­lah, boleh kita adu kepandaian.”

“Nanti dulu, Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi rambutku, tak perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni melangkah maju.

Akan tetapi Suling Emas tidak mem­pedulikan mereka berdua, langsung ia menghampiri Hek-giam-lo, menyerahkan senjata sabit. “Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima kasih.”

Hek-giam-lo mengulur tangan kiri menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak melepaskannya, dan sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemu­dian menyambar suling itu. Keduanya kini berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua macam senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan, ragu-ragu berada di fihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada suling. Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain saat ke­dua orang itu sudah saling bertukar senjata.

Hek-giam-lo yang masih marah dan penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia kalah dulu oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah me­lompat ke depan Suling Emas dan sambil terkekeh wanita ini menggerakkan ram­butnya yang mengeluarkan bunyi bercuitan seperti seratus cambuk menerjang Su­ling Emas.

Bau yang harum semerbak memabuk­kan menusuk hidung. Suling Emas cepat mengerahkan sin-kang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke depan dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika suling emas itu bertemu dengan gumpalan rambut yang paiing tebal, sedangkan kipas yang ber­gerak kuat itu meniup balik rambut pan­jang yang tadi menerjang maju seperti hidup. Baik Suling Emas maupun Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya sampai terasa pedas dan panas karena akar rambutnya terguncang keras. Di lain fihak, Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar biasa seperti yang sudah lama ia dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada dua senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.

“Siang-mou Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku, aku­lah yang berhak menantangnya. Eh, Su­ling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah melangkah maju lagi, tangan kirinya merogoh saku.

Suling Emas melintangkan suling di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala, tersenyum tenang. “Aku mendaki puncak Thai-san dengan perasa­an aman dan damai, dengan pikiran gem­bira dan bersih daripada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak meng­hendaki permusuhan di tempat yang in­dah dan sejuk ini, akan tetapi kalau ada yang menantangku, biarpun aku ogah melayani, namun suling dan kipasku ha­rus menjaga nama dan kehormatan.”

“Jadi!” Hek-giam-lo berseru keras, tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga belas batang pedang pendek yang seperti disulap ke­luar dari jubah hitamnya itu telah me­nancap di atas tanah, membentuk ling­karan. Lingkaran itu terdiri dari sepuluh batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap tiga batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang. Pedang itu kecil saja, dapat dibayangkan betapa tinggi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo tetap tegak tak bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.

“Bagus, boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo!” seru Suling Emas dan seperti seekor burung garuda me­layang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.

Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh me­nyeramkan, sabitnya bergerak dan me­nyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, la­wannya bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah lewat di atas kepala dan sekali meng­gerakkan kedua tangan, kipas di tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling disodok­kan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar di­duga ke mana arah dan sasarannya.

“Huhhhhh....!” Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain yang me­rupakan pagar.

“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”

“Cerewet!” Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi segulung sinar putih menyilaukan mata.

Suling Emas terpaksa melayani desak­an yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya mem­balas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan me­nyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk me­maksa ia turun dari patok dengan pe­nyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya yang menginjak gagang pedang.

“Tengkorak busuk, serahkan Si Ganteng kepadaku!” Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke atas gagang pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka tampan yang hendak dijadikan kor­bannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang amat lihai.

***

Namun Suling Emas biarpun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.

“Ihhhh.... kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?”

“Kalau perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,” jawab Suling Emas sambil menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.

“Wah-wah, sungguh memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antara­nya sekarang tak dapat mengalahkan seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa ter­cemar nama besar Thian-te Liok-koai!” It-gan Kai-ong Si Raja Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat tinggi tingkatnya.

Suling Emas mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani ia meng­harapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia berusaha ma­inkan suling dan kipasnya sebaik mung­kin, menutup diri dengan pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari ke­sempatan merobohkan lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui ke­hebatan tiga orang tokoh yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan be­lum dua puluh jurus ia terdesak hebat.

Tiba-tiba terdengar suara keras dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan keluar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang melintang! Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pu­kulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa da­pat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tem­pat itu.

Suling Emas terheran-heran. Ia me­lompat turun, dengan tangannya ia me­raup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru.

“Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”

Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.

Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa serem karena tak mungkin ada orang, betapapun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali. He­laan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakang­nya? Apakah kakek ini pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.

Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingat­kan orang akan gambar-gambar para de­wa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinga­nya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.

Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat, mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Maaf, Locianpwe (Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek Siansu?”

Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua baris gigi yang masih utuh dan rapi.

“Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah kepada­mu....”

Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa malu karena ucapan selamat pada Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek ini.

“Locianpwe, maafkan kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia dan dikurniai usia panjang.”

“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu, kau­rangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kaukira kalau sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu pasti bahagia? Ha-ha-ha!”

“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”

“Sulingmu tadi mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Kacau Laut­an), apamukah Kim-mo Taisu?”

Suling Emas terkejut sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh bumi. “Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe don mohon petunjuk.”

“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh adil dan bijak, hari ini memberi hadiah de­ngan jodoh yang amat baik. Jadi Kim-mo Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu daripada aku? Ha-ha, aku berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan. Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”

“Tidak salah dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa Khitan di daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan. Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu.” Suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar kesedihan. Hati­nya sudah terlalu masak dan mengeras untuk dapat dikuasai kesedihan.

“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah membantu Cao Kwang Yin dalam usahanya mendirikan Wangsa Sung. Sam­pai Cao Kwang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus membantu­nya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen, tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat dan rakyatnya hidup makmur. Betapapun juga, segala sesuatu sudah direncanakan dan akan diatur pe­laksanaannya oleh Tuhan. Orang muda, siapa namamu?”

“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain lagi.”

“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang muda, kepatahan hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak peduli seperti sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum sejauh itu kau ter­sesat, buktinya kau masih mau mengubur jenazah-jenazah itu.”

“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat membedakan mana jahat mana baik, biarpun teecu sengaja meninggalkan hidup yang lewat untuk.... untuk....”

“Melupakan kepahitan yang mematah­kan hatimu?”

Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon pe­tunjuk.”

“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo perdengar­kan suara sulingmu, dan kita coba-coba main bersama sulingmu dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu lalu duduk di atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mem­punyai tujuh buah kawat itu.

Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia mak­lum bahwa bermain musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu, berarti berlatih atau menguji kepandaian lwee-kang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila, mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.

Bu Kek Siansu tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu, bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi rendah.

Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi, napasnya jadi sesak dan suara sulingnya terdesak hebat sampai menurun rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya, me­musatkan panca indra, mengerahkan se­luruh tenaga sin-kang di dalam tubuhnya, mengatur pernapasan sepanjang dan mungkin sampai memenuhi pusarnya, dan semua tenaga yang dikumpul­kan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang kini menjadi bening dan ting­gi kembali.

Akan tetapi permainan khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebet. Suara nya­ring tinggi rendah dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat daripada tusukan-tusukan pedang pusaka. Lebih hebat daripada gempuran tangan sakti, kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan makin lama makin kuat seperti ombak samudera.

Keadaan Suling Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata, keningnya berkerut dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya tenaga sin-kang bekerja di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk menangkis dan melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan, akan tetapi usahanya itu seperti seorang pelajar renang mencoba untuk berenang melawan badai dan taufan mengamuk di lautan. Ia sebentar tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dam terhanyut kemudian dibantingkan ke atas setinggi gunung lalu dihempaskan ke bawah seperti dilempar ke neraka. Beberapa kali hampir ia pingsan namun semangatnya yang pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar. Dengan tekun ia memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan terciptalah dalam otaknya inti sari jurus-jurus penyerangan ilmu silat yang amat tinggi dan ajaib.

Bu Kek Siansu di samping menuntun dan memberi petunjuk, agaknya juga hendak menguji kekuatannya. Suara khim itu makin mendesak, menekan dan pada saat terakhir Suling Emas hampir tak kuat lagi, kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang, tubuhnya menggigil dan peluhnya sebesar kacang ke­delai memenuhi jidatnya. Tiba-tiba, ber­bareng dengan berhentinya sama sekali suara suling yang makin melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim. Suasana hening bening, sunyi se­nyap.

Suling Emas dengan wajah pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang menindih kepalanya, diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal dan pernapasannya kembali dalam keadaan normal.

“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”

Suling Emas membuka kedua matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang amat berharga.”

“Orang muda, bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu meng­angkatmu sebagai murid. Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu harus dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk mengabdi kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu kalau tak mampu mempergunakan se­bagaimana mestinya? Apa pula artinya puluhan tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak dibawa mati? Ka­rena inilah maka setiap tahun, hari per­tama musim semi, aku selalu mencari jodoh untuk menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa dapat bertemu denganku pada hari pertama musim semi, dia pasti akan menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing.”

Melihat kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan diper­mainkan perasaan, berkata,

“Teecu sudah mendengar akan hal itu, sudah pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal keji dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap Locianpwe terangkan mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu.”

Kakek itu tertawa lebar, berkilauan giginya tertimpa sinar matahari.

“Aku sudah melepaskan diri daripada ikatan perasaan, tidak mencinta tidak pula membenci, tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku. Betapapun juga, aku seorang manusia yang masih dikuasai pikiran dan pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu dengan aku, siapa pun dia, akan menerima warisan ilmu, sesuai dengan watak dan bakatnya.”

Suling Emas biarpun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang kutu buku yang sudah banyak melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat menerima pendirian seorang sakti seperti ini. Ia tidak mau berdebat, dan tidak berani mencela, ma­ka ia lalu bertanya, “Teccu sudah me­nerima petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama ilmu itu dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe mengajarkannya?”

“Orang muda, selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu, hanya ada dua ilmu yang tak pernah dapat diterima orang, biarpun setiap kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang per­tama adalah ilmu yang terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama Kim-kong Sin-im (Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani aku, sampai lima puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali, berarti kau sudah dapat menangkap inti sarinya, tinggal kaukembangkan saja, tergantung kepada ketekunan dan bakatmu. Yang ke dua adalah ilmu yang juga tak pernah dapat dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan Mega)! Kulihat kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu, kiranya kau tidak asing akan sastra, bukan?”

“Teecu masih bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba me­nyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat itu, Locianpwe.”

Bu Kek Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk bersila dan mencurahkan seluruh perhatian­nya. Dengan tenaga sin-kangnya ia dapat membuka mata tanpa berkedip berjam-jam lamanya.

“Lihat dan ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar Bu Kek Siansu berkata dan mulailah kakek lambat-lambat, kedua lengannya bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke atas dan ke bawah, kedua kakinya bergerak selalu, juga geserannya berupa corat-coret membentuk huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan kedua tangannya.

Suling Emas girang sekali bahwa dia dahulu adalah seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra, sehingga ia hafal akan sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan oleh kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek itu melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertama­nya berbunyi:

THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah Tuhan Adalah Watak Aseli).

Tentu saja ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab TIONG YONG ini, maka ia tidak perlu lagi untuk mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya perlu mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini menguntungkan Suling Emas, karena per­hatiannya tidak terpecah dan setelah menyaksikan beberapa belas huruf ia sudah dapat menyelami inti sarinya se­hingga selanjutnya ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain dibentuk da­lam gerakan silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biarpun kini Bu Kek Siansu bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan baik bagai­mana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf suci itu.

Saking tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan otomatis ia ­juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan ia melanjut­kan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak dalam ayat-ayat kitab TIONG YONG.

“Cukup, tidak sia-sia kali ini aku berlelah-lelah.” Bu Kek Siansu tertawa gem­bira. “Dan saat pertemuan inipun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak se­karang juga.”

Suling Emas menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih lalu berkata, “Budi Locianpwe terlalu besar terhadap teecu, bagaimana teecu berani memutus­kan pertemuan penting ini sedemikian singkat? Teecu mohon petunjuk.”

“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat menikmati berkah Tuhan. Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang kaumiliki ini, kau berada di persimpangan jalan yang dapat membawa kau ke jurang kejahatan, juga dapat membawamu ke alam murni. Hanya tokoh-tokoh terbesar dari golongan hitam dan putih saja yang sejajar dengan ting­kat kepandaianmu.”

“Maaf akan kebodohan dan kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah pengetahuan dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”

“Ha-ha, mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan Sung berdiri, mereka mulai menampakkan diri, agaknya terpikat akan keadaan baru di dunia ini. Golongan hitam amat banyak tokohnya, akan tetapi kiranya hanya ada enam orang yang terkenal dengan sebutan Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah mengenal siapa mereka, bukan?”

“Teecu pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”

“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi ada­lah Toat-beng Koai-jin (Setan Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun), dan Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah ter­hadap enam orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi sekali.”

“Terima kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”

“Adapun tokoh-tokoh golongan putih, juga banyak akan tetapi mereka itu tidak suka menonjolkan diri, suka bersembunyi, di antaranya mendiang gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci Roda Emas), dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar biasa yang sukar dipegang ekornya ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak kalau kau mem­punyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat menilai sendiri. Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak menyeleweng daripada kebenar­an.”

Suling Emas memberi hormat, kemu­dian pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang kepandaiannya sudah tinggi tingkatnya, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah menuruni Thai-san dan setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok, bukan terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk me­ngagumi puncak Thai-san yang kini ter­tutup awan putih itu.

“Awan putih sudah tinggi, masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Na­mun dibanding dengan langit, puncak Thai-san masih terlalu rendah.” Bibirnya membisikkan sebagian daripada sajak kuno yang pada saat itu terlintas dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar sambil termenung mengingat kembali Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek Siansu.

***

Bu Kek Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah perginya Su­ling Emas, kemudian ia berbisik kepada diri sendiri, “Manusia bertemu dengan penderitaan hidup kalau ia mengharapkan kesenangan hidup. Dia dapat menahan derita hidup dengan tenang tanpa penye­salan, benar-benar seorang muda yang kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru mendapatkan kekuatan batin. Mengapa manusia harus mengalami semua ini? Mengapa?”

Bu Kek Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari saku jubahnya dan mem­bacanya sambil berdiri. Pada saat itu tiga bayangan orang muncul secepat ter­bang mendaki puncak.

Bu Kek Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan menggantungkannya di pung­gung. Kemudian dipandangnya tiga orang di depannya itu sambil tersenyum ramah.

“Bukankah kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum lebar.

“Kebetulan sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada hari pertama musim semi, kau akan mun­cul di dunia dan membagi-bagi ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi, ilmu apakah yang dapat kauberikan ke­padaku?”

Bu Kek Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.

“Aku pun menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk minta di­warisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni sambil melangkah maju.

“Yang datang menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan suaranya yang dalam.

Bu Kek Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa. “Jangan khawatir, aku si tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan cocok dengan pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat diterima oleh orang yang menjauhkan diri daripada rasa dengki, iri, murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan merugikan tubuh sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?”

Tiga orang sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu tadi bukanlah sifat yang aneh apalagi pantang bagi golongan hitam mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang. Makin tinggi tingkat­nya, harus makin kejam, karena siapa yang kurang kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat memalukan! Tentu saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti itu.

“Bu Kek Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang membalas benci dengan kasih. Apakah kau termasuk orang yang tidak mem­punyai rasa benci?”

“Mudah-mudahan Tuhan menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar kasih-Nya.”

“Jadi kau tidak membenci golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”

Bu Kek Siansu menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini de­ngan mudah.

“Kalau begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi kau­turunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas. Nah, kami pun minta kauturunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”

“Betul, aku menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.

“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo menyambung.

“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang bermata tajam, tidak pereuma menjadi tiga di antara Thian-te Liok-koai! Me­mang tadi aku menurunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan Hong-in Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu itu dan menyukainya, tergan­tung kepada kalian sendiri. Bagaimana?”

Karena mereka bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya kepandaian Suling Emas tanpa mereka ketahui bahwa sebetulnya yang meruntuh­kan pedang-pedang itu adalah Bu Kek Siansu yang ingin mencegah terjadinya pertempuran selanjutnya antara orang-orang sakti itu, maka tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin mendapatkan ilmu yang tadi diwarisi oleh Suling Emas.

“Tidak perlu banyak cerewet, lekas perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong yang memang selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar sikapnya, makin baik dan berwibawa dan gagah!

“Kalian juga setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada Siang-mou Sin-ni den Hek-giam-lo. Keduanya meragu sejenak, akan tetapi terpaksa mengangguk karena tidak ade pilihan lain. Seperti juga It-gan Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang rendah kepada Bu Kek Siansu dan me­reka menaruh curiga kalau-kalau kakek tua renta ini akan menipu dan mem­permainkan mereka.

“Baik-baik, kalian perhatikan dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara Sakti) dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat musik khim dari punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah suara khim, dimulai dengan “cring-cring” yang nyaring bening. Mula-mula tiga orang sakti itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan mengikuti bunyi khim, akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak geli­sah sekali. Terutama Siang-mou Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu saja paling mudah terpengaruh oleh suara khim itu. Wanita sakti ini mula-mula merasa jan­tungnya berdebar, kemudian setiap kali suara itu melengking tinggi, ia merasa seakan-akan jantungnya ditarik dan kalau suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan sin-kang di dalam tubuhnya dan di lain saat wa­nita ini sudah duduk bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih ber­usaha untuk menyelami bunyi yang ma­kin aneh dan merupakan penyerangan langsung kepada isi dadanya.

Berturut-turut It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga dalam tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai dua orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu mengandung hawa penyerangan yang luar biasa dah­syatnya, oleh karena itu sambil menutup kelemahan diri dengan sin-kang mereka pun memperhatikan dan berusaha me­nangkap inti sari daripada Kim-kong Sin-im.

Baru seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali, wajah mereka pucat dan saking kerasnya me­reka mengerahkan sin-kang, kepala mere­ka sampai mengepulkan uap putih. Na­mun pelajaran itu masih juga belum da­pat mereka tangkap inti sarinya, atau ada juga mereka menangkap, namun ha­nya menurut perkiraan mereka masing-masing dan ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda, sesuai de­ngan watak masing-masing dan kesemua­nya itu tentu saja menyeleweng daripada inti sari yang sebenarnya. Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang ini masih rendah kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam tingkat kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak berselisih jauh dengan Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi, wa­tak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, pula ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara. Suling Emas dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan suara sulingnya sehingga seakan-akan ia “bertempur” dengan ilmu ini dan karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifatnya menyerang dan bertahan dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal keindahannya kalau ia turut menyanyikan­nya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau hanya mendengar saja.

Bu Kek Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim se­perti ketika ia bermain di depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit ber­diri, menanti sambil membaca kitab kecil.

Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih se­puluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.

Bu Kek Siansu menyimpan kitab ke­cilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?”

“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kauturunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.

“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian meng­hendaki, akan kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”

Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya meng­angguk. Betapapun juga, mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka, mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan di­turunkan kali ini adalah gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tem­pat persembunyian mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.

Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur. Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya berbunyi demikian : THIAN BENG CI WI SENG-SUT SENG CI WI TO-SIU TO CE WI KAUW. Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama, mempunyai arti yang amat dalam, kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini : Anugerah Tuhan adalah watak aseli-Selaras dengan watak aseli adalah To-Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).

Jelas bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan? Sebagai orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa ilmu Silat Sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih mendekati arti daripada ayat-ayatnya. Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini disebut Hong-in (Angin dan Awan), ka­rena sifatnya seperti ilmu sastra dan begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat ter­pegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!

Tidak mengherankan apabila tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus menggerakkan kaki ta­ngan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.

Agar jangan dianggap berat sebelah Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.

“Nah, puaskah kalian?”

“Puas apa? Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.

“Jangan-jangan kakek ini hanya me­nyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou Sin-ni, tersenyum masam. Adapun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam per­temuan pandang ini ketiganya sudah ber­mufakat.

Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tong­kat It-gan Kai-ong menotok pusar, ram­but Siang-mou Sin-ni menghantam sem­bilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hek-giam-lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua pe­nyerangen itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh!

Serentak tiga orang itu menubruk, Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu tadi, mendapat bagian masing-masing separuh karena kitab kecil itu telah terobek men­jadi dua bagian ketika mereka berebut.

Sambil tertawa-tawa mereka meman­dang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang di­hantam sabit tajam itupun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka. Namun, jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya tidak berdenyut lagi.

“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang di­sohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan Kai-ong.

“Seorang penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.

Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya. “Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam, lalu menggunakan kaki­nya menendang. Tubuh kakek itu terlem­par ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, me­reka bertiga terhuyung-huyung dan ham­pir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang me­reka dari arah jurang tadi.

“Celaka...., rohnya mengamuk....!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak Thai-san.

Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang keluar dari dalam ju­rang, berdiri di tempat yang tadi sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali. “Tuhan menghendaki demiki­an. Akan geger di dunia persilatan.... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.

***




Pada masa itu, keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada peralihan kekuasa­an. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kwan Yin yang tadi­nya merupakan panglima tertinggi dari­pada wangsa ke lima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa Cao Kwan Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.

Daerah-daerah yang tadinya semasa Kerajaan Tangtelah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat ditundukkan kem­bali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kem­bali, sama sekali bukan. Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak mengakui ke­daulatan Kerajaan Sung.

Tentu saja seringkali terjadi bentrok­an-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayah­nya, dan perlu membangun negara se­telah persatuan dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itupun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.

Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang, mengikuti aliran Sungai Han yang meng­alir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti manusia. Buk­tinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga kerajaan, meng­alir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!

Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya sehari-hari. Kulit­nya coklat kehitaman, terbakar matahari.

Tiga orang yang menumpang perahu­nya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam bersung­guh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar, pakaian­nya sederhana tapi bersih, di punggung­nya tergantung sebatang pedang.

Orang ke dua adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi, bibirnya tersenyum selalu membayangkan keramah­an. Juga gadis ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.

Orang ke tiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis pertama sama betul waiahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya can­tik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpe­dang, tergantung di pinggang kanan.

Siapakah mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sem­barangan, melainkan putera-puteri diri seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani me­nentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang dahulu memberon­tak terhadap Kaisar Wangsa Tang. Kam-goanswe yang namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini di­serang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyela­matkan daerah Shan-si.

Semenjak bentrokan itu, Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isteri­nya.

Tiga orang muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam Bun Sin. Anak ke dua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Adapun gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut. Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil menyebut “Lin Lin”.

Lin Lin tahu bahwa dia adalah se­orang anak angkat, namun ia tidak me­rasa sebagai anak angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anak-anak lain, ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demi­kian pula Bun Sin dan Sian Eng. Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bah­wa dia memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bunda­nya, juga tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka, karena menurut jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!

Sebagai seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu mempunyai bakat yang baik dan me­miliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lwee-kang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin me­ngagumkan sekali keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu gin-kang.

Keluarga Kam hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Mereka hi­dup sederhana sebagai petani dan kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.

Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada se­suatu yang langgeng, alam dan isinya selalu berubah. Demikian pula kehidupan manusia, selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan. Hanya manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi mabuk dan sombong di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di waktu sengsara. Kalau orang selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang, semua itu adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti me­nguasai kehidupan, ia akan selalu ber­sikap waspada, tidak mabuk oleh ke­menangan, tidak putus asa oleh kekalah­an, waspada akan tindakan pribadi agar tidak menyeleweng daripada kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa mengatur kesemuanya itu, bah­wa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di samudera, tak kuasa melepas­kan diri daripada gelombang kalau belum KELUAR dari dalam samudera.

Hari itu menjelang senja, Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah me­reka sendiri. Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang ber­pakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.

“Hebat bocah ini.... kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jong­kok seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan wajahnya ber­ubah.

“Giam Sui Lok, mau apa kau datang ke sini?”

Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih beriongkok di atas tembok, matanya yang besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar. “Kam-goanswe....”

“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”

“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”

Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin geli­sah.

“Orang she Giam, aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”

“Kapan?”

“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”

Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak. “Boleh, boleh...., aku tidak khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!” Tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.

“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.

“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.

Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas pagar tembok dengan pedang terhunus di ta­ngan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini tampak marah.

“Lin Lin, kembali kau....!” Kam Si Ek berseru cemas.

Lin Lin berdiri di atas tembok, me­mandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali, berlari mendekati ayah­nya. “Heran, ke mana ia sembunyi? Mu­lutnya kotor sikapnya kasar, orang ma­cam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”

Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepan­daian mereka masih jauh kalau dibanding­kan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.

“Dia itu bekas teman lama, ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kauajak kedua orang adikmu pergi ke Kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kausampaikan hormatku kepada Kui Lan suci (kakak seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”

“Tapi, Ayah, orang tadi....” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.

Kam Si Ek tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan be­sok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”

Biarpun hati mereka tidak rela, na­mun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki puncak Gunung Cin-ling-san yang tinggi itu, sambil mem­bawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di puncak.

Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelen­teng pendeta-pendeta wanita yang me­muja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak, malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula mem­beri petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.

Perjalanan mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan ilmu lari cepat. Biarpun cekatan gerakan mereka, karena hanya diterangi oleh obor di tangan, perjalanan itu agak lambat juga.

Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih masih segar mu­kanya dan masih gesit gerakan-gerakan­nya itu menjadi kaget melihat kedatang­an tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.

“Eh, apa yang terjadi? Mengapa ma­lam-malam datangnya?” tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak mem­bayangkan sesuatu yang hebat.

Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang me­nyuruh teecu (murid) bertiga, Sukouw, pertama-tama Ayah menyuruh kami me­nyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi ber­sama kami turun gunung menuju ke pon­dok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”

“Hemmm, hemmm.... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah ke sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouwmu, hayo ke dapur!” Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.

Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin me­nyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.

“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urus­an apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang jangan ragu-ragu!”

“Sukouw, sebetulnya.... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi ke sini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”

“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.

Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki ting­gi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan an­tara tamu itu dan ayahnya.

“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”

“Ayah menyebut namanya, Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pe­dangku!”

Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak termenung. “Giam Sui Lok....? Ah, akhirnya dia datang juga....?”

“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah de­ngan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.

“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah.... wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”

Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor em­pat buah banyaknya dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan mereka.

“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”

Di tengah perjalanan, nikouw itu ti­dak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.

“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu ada­lah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”

“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.

“Urusan.... eh, urusan.... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah.... eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi persaingan, Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh dan tolol.... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”

Sudah cukup jelas bagi mereka ber­tiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak, maka me­reka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasean aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap se­orang laki-laki.

Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat se­kali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam.

Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.

“Ayah....!” Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.

“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,” kala Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.

Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanan­nya siap di depan dada, diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya, berjalan masuk ke dalam rumah. Ruangan depan sunyi dan kosong, dan pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu men­jerit dan lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!

Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api. “Sratt!” Pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.

“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” Pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.

Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menahgis dan memprotes, “Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”

“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?”

“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu ber­hasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi, penasaran.

“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kum­pulkan obor-obor itu ke sini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh sen­jata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya, juga terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu maupun go­lok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh.... nanti dulu! Ibumu belum mati.... biar kutolong dia....” Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini biarpun terluka hebat, masih belum tewas, setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.

“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharap­kan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.

“Iihhh.... takut.... takut.... setan....!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan. Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.

“Tenang, adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kautakuti?” kembali ni­kouw itu membujuk dan mendesak.

Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan, “Setan.... dalam peti mati.... suaranya.... suling.... suling maut....”

Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ke­takutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoa­kan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan ter­akhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara mengeri­kan.

***

Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:

Kui Lan suci yang mulia.

Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.

Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.

Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga ter­dapat sebuah gelang emas dengan huruf BU SONG. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik BU SONG. Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang. Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kauceritakan kepada mereka.

Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan men­cari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.

Hormat Sutemu,

KAM SI EK

Sambil terisak-isak mendengarkan bu­nyi surat pesan terakhir dari ayah mere­ka itu, tiga orang anak inipun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.

“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada wak­tu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaian­nya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya.... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”

“Dan ke mana perginya.... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang ke dua dan di sana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.

“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibu­mu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”

Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.

“Tentu saja. Malah tujuh tahun ke­mudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai se­orang pelajar yang menempuh ujian. Na­ma yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”

“Liu Bu Song....” kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa ter­tarik dan ada perasaan simpati di hati­nya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.

“Akan tetapi ketika Ayahmu mencari­nya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”

“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat mem­balas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”

“Teecu juga!” kata Sian Eng.

“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi juga akan teecu cari sampai dapat dia itu.... eh, Kakak Bu Song.”

Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apalagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sem­brono dan mengira akan mudah saja men­cari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apalagi melihat kepandaian orang itu, andaikata kalian dapat me­nemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apabila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh ber­tindak sembrono, lebih baik kalian mem­beri tahu kepada pinni. Kalau pinni mam­pu, tentu pinni akan membantu kalian. Andaikata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kali­an tidak akan bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”

Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagi­an depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang meng­alir ke timur mendengarkan cerita tu­kang perahu yang gemar berceloteh.

***

Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar dan perubahan-perubahan­nya semenjak Wangsa Sung berdiri.

“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk me­nuju ke kota raja, Sam-wi dapat melaku­kan perjalanan melalui darat.”

Mendengar ini, Lin Lin bertepuk ta­ngan dan berjingkrak girang. “Bagus se­kali! Aku sudah bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Em­pek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”

“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal se­kali, saya tidak akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”

“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu di sana?”

“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”

“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.

“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”

“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak, penasaran.

“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semen­jak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, pengemis-pengemis itu ber­kelompok dan bergabung. Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan maupun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.

“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.

“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya pe­nasaran.

Tukang perahu menggelengkan kepaia­nya. “Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang mem­bantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta se­bagian atau kalau saya sedang sial, mung­kin mereka akan merampasnya semua.”

Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa jem­bel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”

“Tapi....”

“Kalau perlu pedang kami ikut bi­cara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.

Tukang perahu tidak berani memban­tah lagi dan dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang perahu me­lanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, pe­rahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat muka­nya dan tubuhnya gemetar ketakutan.

“Celaka, Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya....” bisik tukang perahu.

Bu Sin dan dua orang adiknya me­mandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, ­hanya beberapa orang nelayan yang si­buk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah penge­mis-pengemis kurus kering itu yang di­takuti tukang perahu? Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.

“Lopek, kaumaksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggu­mu?”

“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras....” tukang perahu makin pucat.

“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”

“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau me­reka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.

Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.

“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”

Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat, “Kami datang dari daerah Pro­pinsi Shen-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”

Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Be­rapa kauterima?”

“....hanya.... hanya dua puluh tail.... itupun belum saya terima....” jawab si tukang perahu ketakutan.

“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong. Setidaknya harus lima puluh tail!”

Si tukang perahu makin takut. “Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan te­tapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan....”

Lin Lin sudah tidak sabar lagi men­dengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka pengemis itu.

“Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang perahu?”

Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak. “Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kaulihat anak ayam ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencing-kencing!” Empat orang pe­ngemis itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.

“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidung­mu yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju. Bu Sin dan Sian Eng yang sudah menge­nal watak Lin Lin, tidak mau mencegah, apalagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.

Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin. “Bocah liar, kau perlu dihajar!” Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin. Gadis ini tentu saja tidak sudi mem­biarkan pengemis itu menyentuhnya. Tu­buhnya berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan “prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.

Si pengemis terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar dari hidungnya yang kini menjadi makin mi­ring dan bengkok ke kiri! Matanya yang kanan menjadi hitam dan tak dapat di­buka lagi.

“Setan cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin. Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikitpun juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak dikeroyok.

“Jembel-jembel jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi seorang pengemis.

Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis ke dua. Adapun pengemis yang memaki tadi, sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau memperguna­kan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan kelincahan tubuhnya sehingga semua se­rangan lawan itu hanya mengenal angin kosong belaka.

Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin menon­ton pertempuran itu. Kejadian yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamat­an tiga orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka. Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita ini, bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka terlambat kare­na ketika mereka datang ke pinggir su­ngai, pertempuran itu sudah selesai.

Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat me­robohkan lawannya dengan sebuah ten­dangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan lawannya se­menit kemudian. Pukulannya dengan ta­ngan miring yang “memasuki” lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun kem­bali.

“Stoppp!” Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi lawannya. Penge­mis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.

“Stop dulu sebentar, ya?” Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas tanah itu. kakinya bergerak dan.... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam sungai menyusul kawannya! Setelah me­lakukan hal ini, Lin Lin menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu berkata manis.

“Nah, sekarang boleh teruskan!”

Sikap gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa daripada para penonton. Memang sudah terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang di­tahan-tahun. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega dan pues. Biarpun biasanya mereka takut terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.

Lawan Lin Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan me­nyerang dengan tongkat di tangan.

“Wah, baunya yang tidak tahan!” Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja. Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biarpun diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil memutar ke be­lakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai mengeluarkan suara “plokkk!” dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang me­megangi perut saking menahan tawa.

“Lin-moi, lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.

“Sudah beres, Sin-ko!” jawab Lin Lin dan entah bagaimana lawannya tidak me­ngerti, tahu-tahu tongkatnya sudah te­rampas di tangan kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mun­dur dan miring ke kanan kiri karena di­gebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai!

Karena takut dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu mem­biarkan tubuh mereka hanyut oleh air sungai dan baru berenang mendarat se­telah agak jauh dari tempat. Adapun Bu Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak begitu kuat.

Bu Sin maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatir­an sambil membicarakan peristiwa tadi.

Karena malam telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin me­lanjutkan perjalanan di waktu malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya ber­malam pada sebuah rumah penginapan yang berada di sebelah timur pusat kota. Sebuah rumah penginapan yang sederhana, namun cukup bersih.

Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka akan menemui kesulitan dari ka­wan-kawan empat orang pengemis tadi.

“Wah, cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan.” kata Lin Lin. “Katanya di sini berkeliaran banyak pengemis ja­hat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”

“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.

“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.

“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apa­kah kaukira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di depan rumah peng­inapan.

Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melenggut bersan­darkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil ke­dinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekeli, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertum­puk, bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan, na­mun juga menimbulkan kasihan.

Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semen­jak kecilnya memang sudah aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau me­nangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi ka­kek pengemis itu masih saja tidur.

Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh, me­reka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.

Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, me­lainkan menyuruh seorang pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua itu­lah yang menimbulkan keributan.

Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk di ruangan depan, mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa lampu keluar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang ber­teriak-teriak, “Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”

Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang ma­sih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila. Debu me­ngebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting, tangan kanannya me­ngusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan men­jadi kaget dan heran melihat orang du­duk bersila dapat berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan sebentar saja banyak orang melihat kakek itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas keluar, meninggalkan meja ma­kan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan gin-kang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keada­annya masih duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya ber­ada di pangkuan kakek itu sekarang ber­ada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si kakek jem­bel!

“Nyamuk keparat!” Kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sam­bungannya yang tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat, uang perak membatal­kan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!” Setelah berkata demikian, kakek itu me­lirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi, terbongkok-bongkok di­bantu tongkatnya.

Orang-orang tertawa. “Kakek itu gila, rupanya....”

Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apalagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itu­lah yang tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.

Pucat wajah Bu Sin. “Celaka....!” pikirnya, “tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah kita ber­tiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakai­an dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!

“Eh, kenapa kau seperti orang ke­takutan?” tanya Lin Lin.

“Lin-moi, karena perbuatanmu mem­beri sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya ber­jalan cepat.

“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.

“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu gin-kang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya!”

Lin Lin membanting kaki. “Kakek keparat! Kita menaruh kasihan dan mem­beri sedekah, dia malah menghina, me­nyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai di mana sih tingginya maka dia begitu som­bong!”

“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.

“Aku tidak takut!” Lin Lin mengedik­kan kepala membusungkan dada.

Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaanya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin, pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, ke dua, karena ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biar­pun masih muda, Bu Sin mempunyai wa­tak yang baik sekali.

“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak memban­tah. Kau membikin Sin-ko menjadi bi­ngung dan marah saja!” Sian Eng me­negur Lin Lin.

Setelah ditegur, barulah Lin Lin in­syaf. Sambil tertawa ia menyambar ta­ngan Bu Sin. “Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”

Mau tak mau Bu Sin tertawa juga. “Kau memang nakal.”

“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong.... Enci galak mau bunuh aku....!”

“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.” Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang nakal ini.

Tanpa terasa karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han, melalui pintu kota sebelah timur. Malam te­lah larut dan keadaan amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang muda itu se­lamanya belum pernah melewati jalan itu.

“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”

“Kita sudah keluar dari Wu-han se­karang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya dae­rah ini jauh daripada dusun.” kata Bu Sin.

“He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat....!” Lin Lin tiba-tiba berkata. Mereka melihat dan benar saja. Di antara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan de­pan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak terpakai lagi.

“Kita istirahat di sini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega. Biarpun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di tengah jalan, di udara terbuka.

Baru saja mereka membersihkan lan­tai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ke­tika melihat bahwa empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis!

“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.

Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rom­bongan itu karena dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata.

“Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah me­robohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil Sam-wi menghadap.”

Bu Sin tidak heran menghadapi rom­bongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat daripada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi mendongkol juga. Biarpun pe­mimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagai­mana berani memanggil mereka meng­hadap seperti sikap pembesar saja?

“Lopek (Paman Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan perkum­pulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan de­ngan kami, persilakan dia datang ke sini bicara,” jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.

Kakek pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap dengan baik-baik, ha­rap kalian mengerti dan dapat meng­hargai kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”

Seakan meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan mem­bentak, “Pengemis tua bangka sombong, kaukira kami takut kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?”

“Ho-ho, benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”

“Memang kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pan­dai bicara itu menjawab, mendahului kakaknya yang masih diam saja. Pemuda ini maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek pendek itu.

“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja di sini, sama sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”

“Kalian hendak kemana?”

“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”

“Bagus! Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan kami menghadapi pangcu kami.”

Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biarpun di situ ada belasan orang pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?

“Kami tidak akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang, di­turut oleh Sian Eng dan Lin Lin. Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka siap menghadapi penge­royokan. Sedikit pun mereka tidak me­rasa takut!

“Wah-wah, benar gagah!” Kakek itu berkata lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap mereka!”

Bu Sin memutar pedangnya, meng­ancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”

Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang. Per­tempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sam­bil memekik kesakitan.

Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berba­haya, pikirnya.

“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang). Tangan kirinya bergerak cepat, dua batang piauw me­nyambar dan terdengar pekik dua orang pemegang obor, tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang jatuh, padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam. Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi ke­adaan gelap ini, memberi isyarat kepada kedua orang adiknya. Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka akan celaka. Maka ­dengan cepat mereka mempergunakan gin-kang mereka, memutar pedang untuk menghalau setiap penghalang dan bebe­rapa menit kemudian mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun me­nutupi langit di atas mereka.

“Wah, memalukan benar!” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini, merasa sebal dan penasaran.

Bu Sin dan Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah, berbahaya benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah, apa kau­kira masih akan dapat bernapas saat ini?”

“Belum tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andai­kata akhirnya kita mati dikeroyok, se­dikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa musuh yang akan men­jadi pengantar nyawaku, mati pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut penasaran be­sar!”

Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat be­rani itu dan diam-diam ia merasa kha­watir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu naik ke atas pohon yang ter­paksa bermalam di situ seperti tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah di situ ramai oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.

Ketika Lin Lin dan Sian Eng mem­buka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan telun­juk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara lalu menuding ke bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang kakek jembel berdiri bersandar tongkat­nya. Kakek yang bongkok, rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang peman mereka lihat di depan rumah penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan ke­mudian meludahi uang itu sampai penyok!

Dan di depan kakek itu berlutut pu­luhan orang pengemis, termasuk para pe­ngemis yang mengeroyok mereka se­malam, mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek penge­mis bongkok itu terdengar marah-marah.

“Kalian anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”

Semua pengemis itu menggigil ke­takutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek pe­ngemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis yang amat berpengaruh!

“Mana anggauta Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”

Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang pe­ngemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!

“Cih, yang begini mengaku anggauta pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!” Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh, tak ber­gerak lagi setelah tubuh mereka ber­kelojotan sejenak. Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!

“Biar ini sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua anggauta Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hi­tam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”

Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu. “Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku membutuhkan tempat sembunyi Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan pada­ku. Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian ki­tab kecil.”

“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerah­kan seluruh kawan di kai-pang (perkum­pulan pengemis),” jawab mereka ber­bareng dengan suara amat merendah.

“Sudah, pergi sekarang. Muak perut­ku melihat kalian!” Kakek bongkok itu mengomel dan bagaikan anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang pengemis anggauta Pek-ho-kai-pang itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah, kini tampak pucat. Namun, di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu yang di­anggapnya sombong dan kejam sekali.

“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.

“Ssttt....!” Bu Sin mencegah, namun terlambat. Kakek itu tiba-tiba membalik­kan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai seperak akan tetapi se­karang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan.... “kraaakkk!” batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.

Bu Sin dan dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut bukan main. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan melompat turun sebelum mereka ikut roboh bersama pohon dan tertimpa ca­bang dan ranting. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah men­cabut pedang dan siap menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.

“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri.... tak tahu diri....!” Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang, bagaikan se­ekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.

“Tranggggg!” Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka, se­dangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok yang tertawa berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”

Bu Sin dan dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan, sehingga mereka diam tak ber­gerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan maut. Pada saat itu, terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa men­dengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga. Biarpun demikian, masih saja suara lengking ting­gi itu menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.

Kakek itu kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.

“It-gan Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek Siansu dah merampas kitab dan alat khim. Biarpun Bu Kek Siansu tidak peduli dan meng­ampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan nyawamu!”

Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling, berjalan perlahan.

“Dia bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jaarum. Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari be­lakangnya menyambar senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.

“Mari kejar....!” Bu Sin berkata.

“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.

Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerut­kan kening. “Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”

“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”

Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, ke­napa kita mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus dapat membalas dendam!”

Lin Lin menarik napas panjang. “Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu pem­bunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek pe­ngemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang baik-baik, bukanlah lebih celaka lagi?”

“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.

“Kalau memang dia musuh kita kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini!” kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah ju­rusan munculnya matahari pagi.

***

Enam orang laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di dalam hutan besar membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak panjang, dan mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara men­curigakan. Dua orang segera memadam­kan api unggun. Kemudian mereka me­runduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka ber­untung mendapatkan binatang buruan yang kemalaman di situ.

Akan tetapi mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para pemburu, yang berjenggot pendek, pemimpin rombongan pemburu enam orang ini, tertawa dan disusul oleh te­man-temannya.

Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin ter­kejut, cepat menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan itu, tangan meraba gagang pedang.

“Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pem­buru-pemburu binatang biasa, bukan pe­rampok,” katanya.

“Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin setengah menengur.

“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana, men­dengar suara Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di hutan liar?”

“Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan kami kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian.”

“Ha-ha, tidak mengapa.... tidak mengapa.... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita membuat api unggun di sini saja.”

Mereka membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kaulanjutkan dongengnnu tentang Suling Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain.

Laki-laki berjenggot pendek itu ber­kata sungguh-sungguh, “Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya. Sungguhpun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu manu­sia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya.”

“Ceritakan.... ceritakan....!” teman-temannya mendesak.

Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam orang yang meng­aku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhati­an. Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguhpun mereka memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap waspada menjaga segala kemungkinan.

“Terjadinya di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam),” pemburu she Tan itu mulai bercerita, “kurang lebih tiga bulan yang lalu. Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit, dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di kota Wu-han.”

“Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang temannya.

“Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ke tiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau yang langsung menyerang­ku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan te­tapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus? Agaknya mereka berlumba untuk mener­kam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak kiriku. Aku me­lepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, hari­mau ke dua sudah menggigit pangkal lengan kananku sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi....”

Lima orang pendengarnya menahan napas. “Twako, kukira apa yang dapat kaulakukan hanya berteriak mint atolong,” kata seorang. Kata-kata ini kalau diucap­kan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.

“Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai seorang pemburu!” bantah pemburu she Tan de­ngan suara gagah. “Akan tetapi agaknya belum tiba saatnya aku mati. Pada wak­tu itu aku sudah hampir pingsan, pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku me­lihat bayangan orang memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat daripada benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh ketika em­pat ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi....”

“Lalu bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh perhatian.

“Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pun­dak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging hari­mau yang menguatkan tubuh, juga men­dapatkan empat lembar kulit harimau yang utuh dan indah. Mau aku meng­alami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian besar.”

“Jadi yang menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”

“Agaknya begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan Si Suling Emas?”

Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. “Twako, siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin ber­tanya.

Pemburu she Tan itu tersenyum. “Siapa yang tahu, anak muda? Sepak ter­jang seorang ajaib seperti dia itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombol­an perampok di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh olehnya.”

“Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata seorang pemburu yang berhidung besar.

“Juga ketika terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong mutia­ra milik permaisuri, orang-orang mengabar­kan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang kaulihat?”

“Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya. Tentu dia seorang pelajar.”

“Dan pandai bersuling.”

“Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri....”

Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.

“Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepan­daian tinggi. Tidak baik kita membicara­kannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah....” Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua lengannya dekat api. “Betapapun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.”

Sebentar kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di da­lam hutan besar kesemuanya tidur? Tidak menjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang agaknya tidak nampak lelah. Mendongkol hati Bu Sin. Kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan me­reka, ia tidak sudi. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.

Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun, amatlah hebat. Mulai­lah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak seng4ja telah terjun ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. Nama ini takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu bah­wa ia harus berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu. Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat api unggun, berbantal akar pohon yang menonjol kduar dari tanah.

Tak baik melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biarpun mereka berdua memiliki kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap perempuan, banyak mendatangkan dan memancing keributan. Ia harapkan dapat bertemu dengan kakaknya, Kam Bu Song di kota raja dan besar harapannya pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua daripadanya itu telah men­dapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia harus menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.

Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga bangun mengulet dan menguap.

***

“Biarlah aku yang berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin, kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.

“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga keadaan menjadi hangat.

“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau kita tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”

“Sin-ko, jangan khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana. Andaikata tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu Song, putera dari mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang dari Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada yang mengenalnya di kota raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”

Bu Sin tersenyum. Adiknya yang su­lung ini memang besar hati dan kalau mendengarkan bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah tidak me­nakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang sudah dihadapi sckalipun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.

“Lin Lin, kau benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin lalu merebahkan tubuhnya, mi­ring menghadapi api unggun.

Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya men­celat ke atas, juga dua orang gadis itu meloncat berdiri. Mereka berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar mengiang-ngiang ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga, suara suling. Lalu disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik kesakitan, betapapun juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan. Akhirnya, tiga orang itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking itu. Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, me­nutupkan kedua telapak tangan ke telinga, meramkan mata dan bersamadhi, menge­rahkan lwee-kang untuk menjaga isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu.

Dapat dibayangkan hebatnya suara itu karena biarpun mereka sudah menutupi telinga dan mengerahkan lwee-kang masih saja suara itu menyerbu masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan tetapi berkat lwee-kang mereka, tiga orang muda itu dapat mempertahan­kan diri dan tidak terluka dalam.

Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata mereka saling mu­fakat bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas, karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara suling kali ini amatlah mengerikan.

Sampai pagi tiga orang muda itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan tenaga, siap sedia menanti datangnya bahaya dan meng­ambil keputusan untuk mempertahankan diri mati-matian biarpun akan datang serangan orang sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyi­an yang mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.

“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya dapat menangkap pandang mata dan suara hati yang tersembunyi dalam ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”

Biasanya dalam perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari mata air atau sungai untuk men­cuci muka atau mandi, terutama Lin Lin yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.

“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”

Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih rebah, ada yang meringkuk, ada yang telentang atau telungkup, sedangkan api unggun sudah lama padam. “Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa belum juga bangun?” kata Sian Eng.

“Mari kita lihat, agak aneh sikap mereka.” kata Bu Sin. Ketiganya berlari mendekat dan tak lama kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di ubun-ubun, semua telah bolong sehingga tampak otaknya!

Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka inilah, jerit ketakutan dan kengerian.

“Ahhhhh....!” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat merangkul­nya.

“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sen­diri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.

“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.

“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek binatang buas.”

“Habis kau mau apa?”

“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang kesusahan harus menolong, terhadap orang tua harus menghormat, terhadap anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat tak terurus harus menguburnya?”

Seketika wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena ngeri dan seram. Mari!”

Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk menggali lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang, dimasukkan ke dalam kuburan bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk lubang itu dengan tanah.

Hari telah siang ketika mereka selesai melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat hutan besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mere­ka keluar dari hutan dan melalui dusun-dusun.

***

Rumah makan itu masih sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua orang adiknya sudah amat lapar. Maklum semalam ber­jalan terus di bawah sinar bulan. Asap berbau sedap yang melayang keluar dari dalam dapur rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat me­nahan lapar lagi.

Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya, dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang sebuah dihadapi se­orang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua orang, agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang ini gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk berhadapan, makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata. Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu ma­sing-masing membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan sebilah golok!

Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu, tiba-tiba terdengar bentakan keras.

“Pencuri-pencuri bangsa Hou-han hen­dak sembunyi ke mana kalian?” Mun­cullah empat orang laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pe­dang, seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang), orang ke tiga mengeluarkan sebuah cam­buk baja yang ujungnya seperti jangkar kecil, sedangkan orang ke empat yang agaknya pemimpin rombongan ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.

“Lebih baik kalian menyerahkan kem­bali benda itu kepada kami, mungkin kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan kosong.

Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu sampai habis, baru layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?”

Keduanya lalu makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok. Bu Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi mendiang ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.

Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para pengu­rungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak dan sumpit-sumpit itu menancap sampai se­parohnya lebih pada dinding.

“Bagus!” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja sambil makan daging goreng dan nonton adegan di de­pannya itu. Matanya bersinar-sinar wa­jahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat makan sambil menikmati tontonan gratis ini.

Melihat betapa sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami isteri itu melempar mang­kok kosong ke lantai sambil meloncat dan begitu kedua tangan mereka ber­gerak, kedua tangan mereka sudah men­cabut senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan memegang golok. Mereka membuat ge­rakan memutar dan sudah berdiri saling membelakangi siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat men­cegah serangan gelap dari belakang.

Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu lari berserabut­an keluar sambil berteriak-teriak ke­takutan.

Bu Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apalagi yang bertangan kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya. Pertempur­an itu makin lama makin hebat dan ta­hulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka itu rata-rata lebih tinggi dari­pada tingkat kepandaian sendiri. Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan mampu mencari dan mem­balas sakit hati orang tua mereka? Ma­kin dekat dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang kepandaian silatnya amat tinggi.

Tiba-tiba nyonya muda itu mengeluar­kan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya ke dua telah me­layang dan melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing itu ke arah lehernya!

“Roboh dia....!” Lin Lin berseru perlahan. Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik da­lam permainan senjata maupun ilmu me­ringankan tubuh. Akan tetapi karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu, hatinya tidak berfihak mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati tegang.

Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba menggerakkan pinggulnya dan.... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali me­libat ujung cambuk. Terjadi saling libat dari tarik-menarik sehingga jalannya per­tempuran di fihak wanita itu agak kaku.

Mendadak laki-laki berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang adiknya kaget sekali, ti­dak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah meng­ulur tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil berkata.

“Tidak ramai kalau begini!”

Hebat orang ini. Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas dan kelihatan tangan kirinya tadi ber­gerak cepat ke arah tubuh laki-laki yang dikeroyok dari belakang. Kemudian se­telah cambuk dan sabuk terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjeng­got ini sudah meloncat keluar dari tem­pat itu.

Suami isteri yang menghadapi penge­royokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang se­jak tadi memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang dikeroyok.

“Mari, ikuti dia....!” katanya perlahan memberi isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat keluar pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di luar rumah makan.

“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?” Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat keluar, terpaksa ia pun mengikuti mereka. Mereka membayangi si jenggot panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk meng­ikuti terus. Akan tetapi setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak adik-adik­nya mengikuti terus.

Menjelang sore mereka memasuki kota An-sui dan laki-laki itu setelah masuk kota kembali berjalan biasa. Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah Kerajaw Sung, apalagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.

Tentu saja kakak beradik itu tidak berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan pergilah me­reka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita menyelidik.”

Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si jenggot tadi?”

“Kaulihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.

“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya de­ngan kita, Koko? Biarpun aku kagum kepada suami isteri yang gagah itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa lawan-lawannya.”

Bu Sin menghela napas. “Kau benar, Lin-moi. Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa ber­fihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah Hou-han, se­perti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”

Berkerut kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berfihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman rajanya?”

Bu Sin tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan, adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontak­an. Akan tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berfihak kepada wilayah sendiri, bukan?

“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut, tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin. Lin Lin tidak marah, malah tertawa,

“Cici, kalau ada apa-apa terjadi ka­padamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”

“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”

“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus mengguna­kan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di luar rumah penginapan.”

Tak lama Bu Sin keluar, ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”

“Siapa?” tanya Lin Lin.

“Siapa lagi, suami isteri itu.”

Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari mereka?

“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini. Agaknya mereka me­nang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”

“Kurasa mereka tentu tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga pergi ke dalam kamar mengaso.

Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu diberhenti­kan daripada jabatan, akan tetapi meng­ingat bahwa ia masih keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya mem­bebaskan daripada tugas. Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal di kota An-sui, hidup se­bagai bangsawan “pensiunan” yang kaya, memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung, akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mem­pedulikan lagi tentang urusan kerajaan.

Namun tidak demikian dengan putera­nya yang bernama Suma Boan. Putera­nya ini bukanlah seorang lemah. Diam-diam dia mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah Si Raja Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun ke­kuatan, bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka de­ngan mudah Suma Boan mendapatkan pe­ngaruh di kerajaan itu dan diam-diam mengadakan persekutuan untuk bersama-sama cari kesempatan baik dan kalau tiba waktunya menggulingkan pemerintah­an Kerajaan Sung.

Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun ter­hadap wanita ia terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak, di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir yang di luar gedung. Ba­nyaknya selir itu masih tidak mengurangi kenakalannya untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang menarik hatinya, tidak peduli wanita itu masih gadis, janda maupun masih menjadi isteri orang lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang berani menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw, ia bukan se­orang yang tidak dikenal pula, dengan julukannya yang amat tekebur, Lui-kong-sian (Dewa Geledek)!

Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara kandung, yaitu adik perempuan­nya yang bernama Suma Ceng, berusia dua puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran dan kini tinggal di kota raja. Para pela­yan di dalam gedung itu maklum betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng se­orang wanita yang halus tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka menolong terhadap para pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kun­cup hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan dengan Suma Boan.

Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma, ter­dengar suara ketawa gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang muda dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan minum menghadapi meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan sendiri, It-gan Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot panjang yang pagi tadi di­bayangi oleh Bu Sin bertiga.

“Ciok-twako, kali ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi sela­mat dengan secawan arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan mengangkat cawan araknya.

Si jenggot panjang yang bernama Ciok Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata, “Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ong­ya yang telah menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, peng­hormatan saya kembalikan kepada Kong­cu den terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.

“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang dirampas­nya amat penting dan agaknya kau akan dapat mempergunakannya dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita minum sepuasnya!” Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita yang cantik, yaitu se­orang di antara para selir Suma Boan yang amat dipercayanya sehingga diper­kenankan menghadiri pertemuan ini, mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.

“Jangan khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali kepada teecu dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan. Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan an­jing-anjing berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka. Bukankah be­gitu, Suhu?”

“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana becus memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang tak sanggup kauhadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”

“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang itu harus dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”

“Betul-betul, kepandaian Ong-ya se­perti malaikat langit, mengandalkan ban­tuan Ong-ya, tidak ada cita-cita yang takkan dapat tercapai,” jawab si jenggot panjang bernama Ciok Kam.

Sementara itu, tiga bayangan ber­kelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu. Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil mengerahkan gin-kang, mereka dengan hati-hati sekali berloncatan di atas genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap sambil tertawa.

“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cicimu mengintai,” kata Bu Sin.

Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga Awan Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya sudah berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok genteng, tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang kakaknya itu.

Adapun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan bergantung membalik itu me­lihat bayangan orang dari jendela, ba­yangan tiga orang laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.

“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak ingat akan sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.”

Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu adalah suara It-gan Kai-ong! Dan mereka malah datang ke tempat itu, benar-benar seperti ular mendekati penggebuk!

“Suhu dan Ciok-twako duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”

“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu kau akan membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak bu­tuh hal itu lagi. Pergilah!”

Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung melompat keluar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan tetapi sia-sia Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas genteng lagi. Bukan main heran dan kha­watimya ketika mereka tidak melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana adik mereka itu? Namun mereka tidak sempat membingung­kan ke mana perginya Lin Lin karena pada saat itu, bayangan laki-laki jang­kung yang keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri se­orang laki-laki muda yang berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang tampan, namun mem­bayangkan kekejaman. Laki-laki ini ter­senyum mengejek melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan senyum­annya melebar.

“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni. Lekas pergi dari sini dan ting­galkan temanmu ini untuk menemaniku semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan itu kepada Bu Sin. Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di atas rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia mempertahankan kesabarannya dan berkata.

“Harap kau suka menahan mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang. Nah, kalau kau tuan rumah maafkan kami dan kembalikan adikku.”

Mendengar disebutnya laki-laki ber­jenggot merampas barang, seketika le­nyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus ia menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali. Bu Sin dan Sian Eng cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang hebat, yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar suara It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang mendorongkan tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas genteng! Melihat betapa dua orang muda gemblengan se­perti Bu Sin dan Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat dibayangkan betapa sakti­nya raja pengemis itu.

Bu Sin dan Sian Eng kaget bukan main. Tubuh mereka tak dapat dicegah lagi terlempar ke bawah genteng dan biarpun mereka dapat mempergunakan gin-kang untuk mengatur keseimbangan badan dan mencegah terbanting, namun sedikitnya mereka tentu akan luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang, kiranya yang menolong me­reka itu adalah suami isteri yang di­keroyok di rumah makan pagi tadi!

“Adikku masih di atas....” Sian Eng berkata.

“Sssttt....!” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin dan Sian Eng berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas dan apa yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika pucat, hati mere­ka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?

Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada bayangan ke dua, bayangan mahluk yang mengerikan sekali, bukan manusia bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam! Muka tengkorak putih de­ngan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar kacau itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di langit.

Agaknya suma Boan juga kaget melihat mahluk ini, terdengar ia berseru keras, “Suhu.... Hek-giam-lo di sini!”

Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengko­rak itu berkelebat lenyap dari situ. Se­buah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.

“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”

Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan de­ngan suara marah ia berseru.

“Celaka....! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya....!”

“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi....?” Bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.

“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya, ketika mereka dijatuh­kan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa aku didorong roboh dan ketika Suhu muncul ia melari­kan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”

“Wah, sial betul. Tapi, tak usah kha­watir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah me­ngejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”

bersambung............... 2

0 komentar:

Posting Komentar