Cinta Bernoda Darah
Puncak Gunung Thai-san yang menjulang tinggi
di angkasa tertutup awan putih tebal yang bergumpal-gumpal mengelilingi
puncak. Hampir selalu puncak Thai-san tertutup awan, kecuali pada musim
panas, sekali waktu ada kalanya puncak Thai-san yang meruncing itu
tampak dari bawah. Keadaan inilah yang menimbulkan dongeng di kalangan
penduduk di sekitar kaki dan lereng gunung, bahwa puncak Thai-san
merupakan anak tangga menuju ke sorga! Dan bahwa hanya para dewa dan
manusia setengah dewa saja yang dapat mendatangi puncak Thai-san.
Dongeng atau kepercayaan tentang hal ke dua ini tidaklah terlalu
berlebihan kalau diingat bahwa penduduk pegunungan amatlah tebal
kepercayaannya akan para dewa yang menguasai seluruh permukaan bumi dan
diingat pula akan keadaan puncak itu sendiri. Terlalu tinggi, terlalu
sukar jalan mendaki puncak, terlalu dingin sehingga manusia biasa tak
mungkin akan dapat mendaki puncak. Terlalu banyak bahayanya. Binatang
buas, jalan yang amat licin, jurang-jurang yang curam, daerah-daerah
yang mengeluarkan gas, dan hawa dingin yang membekukan darah dalam
badan.
Memang tak mungkin bagi manusia-manusia biasa, namun
mungkin saja bagi manusia-manusia luar biasa, yaitu manusia-manusia yang
memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tubuh terlatih, yang kuat
menghadapi semua tekanan, kuat pula mengatasi semua rintangan.
Betapapun juga, jarang sekali terjadi puncak Thai-san dikunjungi orang
pandai, karena selain perjalanan itu amat berbahaya, juga tanpa
keperluan yang amat penting, apakah yang dicari di tempat sunyi itu?
Pagi hari itu amat cerah. Awan putih yang berkelompok di sekitar puncak
tampak berkilauan seperti perak digosok, matahari membobol benteng
halimun lembab, mencairkan segala kebekuan dan menghias ujung-ujung daun
dengan mutiara-mutiara air embun berkilauan seperti hiasan
anting-anting pada telinga dara jelita. Burung-burung berkicau
menyambut hari yang amat indah itu, dan segala yang berada di permukaan
bumi seakan bergembira ria. Apakah gerangan yang menyebabkan suasana
gembira dan indah ini?
Tidak mengherankan. Musim semi tiba, pagi
hari itu adalah permulaan dari tahun yang baru. Musim yang tepat sekali
untuk memulai segala sesuatu dengan awalan-awalan yang sama sekali
baru! Buang yang lama-lama dan yang buruk-buruk, mulai dengan yang
baru-baru dan yang indah-indah. Setidaknya, demikianlah harapan dan
renungan setiap insan pada setiap tahun baru.
Pada penduduk di
sekitar kaki dan lereng gunung, semenjak pagi hari sudah sibuk berpesta,
bergembira ria merayakan hari tahun baru. Pakaian-pakaian simpanan
dikeluarkan dari peti pakaian “setahun sekali” menghias tubuh, yang
muda menghormat yang tua, yang muda minta maaf, yang tua memaafkan.
Saling memaafkan, gembira tertawa, hilang dengki, lenyap benci. Alangkah
indahnya dunia, alangkah nikmatnya hidup.
Serombongan orang
amat cepat gerak-geriknya amat ringan langkah kakinya, bergerak cepat
mendaki puncak Thai-san. Kalau saja para penduduk tidak sedang bersuka
ria dan sempat menyaksikan gerak-gerik lima orang yang bagaikan
serombongan kera besar melompat ke sana ke mari, menyelinap di antara
batu-batu besar dan pohon-pohon mendaki puncak, tentu akan makin tebal
kepercayaan mereka bahwa serombongan dewa atau manusia setengah dewa
yang mendaki puncak itu, untuk bertahun baru di sana!
Rombongan
itu adalah para tosu dari Kun-lun-pai, termasuk tokoh-tokoh tingkat
dua dan tiga di Kun-lun-pai, maka tidaklah mengherankan apabila mereka
berlima sepandai itu mendaki puncak Thai-san. Tiba-tiba pemimpin
rombongan, Ang Kun Tojin mengangkat tangan memberi isyarat dan seketika
lima orang itu berhenti, diam tak bergerak seperti patung-patung dewa
penghias gunung. Mereka semua telah mendengar suara yang halus itu.
Suara nyanyian yang halus seperti bisikan angin lalu, bercampur dan
menyelinap di antara desir angin mempermainkan daun dan dendang anak
sungai di dasar jurang. Namun kata-katanya jelas dapat tertangkap
pendengaran telinga-telinga yang terlatih itu.
“Segala sesuatu yang menimpa diri pribadi adalah akibat daripada pikiran sendiri.
Pikiran kotor yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu dlikuti sakit dan penderitaan
seperti roda kereta mengikuti jejak sapi penariknya.
Pikiran bersih yang mendorong ucapan dan perbuatan selalu diikuti kepuasan dan kebahagiaan
seperti bayangan yang tak pernah berpisah dari padanya.”
Ang Tojin melambaikan tangan dan lima orang tosu itu melanjutkan
perjalanan mereka. Di wajah-wajah tua itu timbul semangat baru, timbul
harapan dan kegembiraan.
“Twa-suheng (Kakak Seperguruan
Pertama), apakah itu suara beliau....?” tosu termuda, belum lima puluh
tahun, bertahi lalat di ujung hidung, bertanya.
“....ssssttttt....!” Ang Kun Tojin menyuruh adik seperguruan termuda itu
diam. Mereka melanjutkan pendakian dan tak seorang pun berani bertanya
lagi. Sambil mempergunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang khas
Kun-lun-pai, yaitu ilmu lari cepat Teng-peng-touw-sui (Injak Rumput
Seperti Air). Langkah kaki mereka dalam berlarian itu pendek-pendek
namun cepat dan gin-kang mereka begitu hebat sehingga seakan-akan rumput
yang terinjak kaki mereka tak sempat rebah saking cepatnya kaki yang
bergerak! Sementara itu, suara nyanyian terdengar terus, halus lembut
menusuk anak telinga.
“Dia menyiksaku, dia memukulku dia mengalahkan aku, dia merampokku! Pikiran seperti ini menimbulkan benci tiada habisnya.
Memang pikiran ini berarti melenyapkan kebencian, karena benci takkan hapus oleh benci pula,
melainkan musnah oleh kasih!”
Ang Kun Tojin mengerutkan keningnya. Dia adalah seorang tosu (Pendeta
Agama To) yang dalam pengetahuannya tentang Agama To, juga sebagai orang
ke dua dari Kun-lun-pai dan seorang yang tekun mempelajari filsafat
agama, ia mengenal kata-kata dalam nyanyian itu. Itulah pelajaran dari
Agama Buddha merupakan bait-bait pertama daripada pelajaran dalam
kitab Dhammapada. Ia pernah mendengar bahwa “beliau” adalah seorang yang
menganut Agama To, megapa sekarang menyanyikan pelajaran berupa syair
Agama Buddha? Apakah bukan beliau yang bernyanyi itu! Seorang hwesio
(pendeta Buddha) yang berada di puncak? Mudah-mudahan begitu karena bagi
Ang Kun Tojin, jauh lebih baik dan menimbulkan harapan apabila beliau
itu seorang yang beragama To.
Di pertengahan puncak mereka
berhenti lagi. Dengan penuh kekaguman mereka memandang ke bawah. Awan
putih berombak-ombak seperti lautan susu di bawah kaki mereka.
Puncak-puncak gunung lain tersembul keluar seperti pulau-pulau runcing
atau seperti gunung-gunung kecil. Indah bukan main, mendatangkan rasa
seakan-akan mereka telah berada di kahyangan, tempat tinggal para dewa
dan mahluk halus, bukan tempat manusia, menimbulkan kepercayaan bahwa
mereka makin dekat dengan Tuhan. Memang, siapa dapat merasai ketenangan
dan ketenteraman, selalu akan merasa dekat dengan Tuhan!
Perjalanan dilanjutkan mendaki puncak. Tidak sesukar tadi, bahkan bumi
yang mereka injak ditilami rumput-rumput hijau segar sehalus beludru.
Akan tetapi setiba mereka di puncak yang dikelilingi batu-batu putih
berjajar seperti menara, di tanah datar yang halus itu mereka mendapat
kenyataan bahwa dua rombongan orang telah berada di situ, mendahului
mereka!
“Ha-ha-ha, kalian terlambat, sehabat-sahabat
Kun-lun-pai! Siapa terlambat takkan dapat, bukankah begitu kata
peribahasa, Ang Kun Toyu?” tegur seorang laki-laki pendek gendut
berusia enam puluhan, berpakaian sebagai petani sederhana dengan kepala
dilindungi caping lebar. Di belakang si gendut ini berdiri enam orang
petani lain, kesemuanya sudah lima puluh lewat usianya, sikap mereka
sederhana seperti pakaian mereka, namun jelas tampak kegagahan pada
pandang mata mereka.
“Siancai.... siancai....” Ang Kun Tojin
mengucapkan puja-puja sambil merangkapkan kedua tangan ke depan dada
memberi hormat, diikuti oleh empat orang adik seperguruannya. “Tidak
dinyana sahabat Kok Bin Cu dari Hoa-san-pai sudah hadir. Selamat Musim
Semi, Sicu (Orang Gagah).”
“Ha-ha-ha, selamat.... selaimat,
Toyu. Semoga kalian panjang usia, penuh bahagia dan makin subur makmur
dan kokoh kuat.” Si Gendut yang bernama Kok Bin Cu dan menjadi murid
kepala Hoa-san-pai itu balas memberi hormat, diturutoleh enam orang adik
seperguruannya.
“Juga pinto (saya) sesaudera menghaturkan
selamat kepada Leng Lo Suhu dan para Suhu dari Bu-tong-pai.” kata pula
Ang Kun Tojin sambil memberi hormat kepada rombongan ke dua yang di
sebelah kiri. Rombongan ini terdiri dari empat orang hwesio berkepala
gundul yang bersikap pendiam dan dingin. Mereka dipimpin oleh seorang
hwesio tua, usianya sekitar tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi tegap dan
kelihatan masih kuat, jubahnya berwarna kuning, tanda bahwa dia adalah
seorang hwesio yang sudah mencapai tingkat tinggi. Memang sesungguhnya,
Leng Lo Hwesio adalah murid kepala dan menjadi orang ke dua dari
Bu-tong-pai, selain ilmu silatnya amat tinggi, juga pengetahuannya
tentang Agama Buddha amat mendalam.
“Omitobud....” Leng Lo
Hwesio cepat membalas penghormatan rombongan Kun-lun-pai ini, diturut
oleh tiga orang adik seperguruannya. “Para saudara Toyu dari Kun-lun-pai
amat ramah, semoga dilimpahi berkah oleh Sang Buddha....”
Murid
kepala Hoa-san-pai yang bertubuh pendek gendut itu adalah seorang tua
yang gembira sikapnya, suka berkelakar dan ia memandang dunia ini dari
sudut yang menggembirakan. Berbeda dengan rombongan-rombongan Kun-lun
dan Bu-tong, yang bersikap serius dan pendiam sehingga keadaan di situ
menjadi kaku dan dingin. Mungkin hal ini adalah karena kedua golongan
ini telah menjadi pendeta sehingga mereka pun harus menyesuaikan sikap
sebagaimana layaknya para pendeta, yaitu alim dan suci! Murid-murid
Hoa-san-pai adalah penganut Agama To pula, akan tetapi mereka bukanlah
tosu, bukan pendeta agama ini, melainkan penganut biasa dan hidup
mereka sehari-hari adalah sebagai petani.
Melihat keadaan yang
kaku dan dingin, Kok Bin Cu tertawa keras dan berkata. “Wah, tiga
rombongan wakil partai persilatan terbesar di dunia tanpa sengaja telah
berkumpul di sini. Kiranya dengan maksud yang sama pula, hendak bertemu
dan mohon petunjuk dari Siansu (Guru Sakti), bukankah begitu Ang Kun
Toyu dan Leng Lo Suhu?”
“Pinceng (saya) sesaudara memang hendak
menghadap Bu Kek Siansu yang mulia dan mohon belas kasihannya.” jawab
murid kepala Bu-tong-pai dengan suara merendah, sebagai seorang hwesio
tidak malu-malu untuk minta-minta.
“Karena beliau seorang
pendeta To, sudah selayaknya kalau kami datang mohon diberi
penerangan,” jawab Ang Kun Tojin dengan angkuh.
“Belum tentu
beliau seorang tosu, tadi pinceng mendengar beliau menyanyikan syair
kitab Dammapada, bukankah itu membuktikan bahwa Bu Kek Siansu adalah
seorang pendeta Buddha golongan kami?” bantah Leng Lo Hwesio dengan
suaranya yang dan lambat.
Mendengar ini, diam-diam para anak
murid Kun-lun-pai menjadi kaget, kagum dan juga khawatir. Nyanyian itu
terdengar oleh mereka di lereng, masih amat jauh dari tempat ini, akan
tetapi ternyata mereka yang berada di puncak ini juga mendengarnya.
Bukan main! Penggunaan tenaga mujijat khi-kang yang disalurkan pada
suara nyanyian itu benar-benar sudah mencapai tingkat sempurna. Mereka
khawatir karena kalau betul-betul Bu Kek Siansu seorang penganut Agama
Buddha, tentu saja tipis harapan bagi mereka untuk bersaing dengan para
hwesio itu.
“Ha-ha-ha, ji-wi Lihiap (Dua Pendekar Tua) harap
jangan salah duga dan menarik Siansu pada golongan masing-masing.
Biarpun saya sendiri, seperti juga sahabat semua : selama hidup belum
pernah bertemu muka dengan Bu Kek Siansu, namun sudah banyak saya
mendengar tentang orang tua sakti itu. Beliau mengakui semua agama,
seperti sifat para dewa yang melindungi semua manusia tanpa pilih bulu.
Tentu beliau seorang yang amat adil. Dan mengingat bahwa kami datang
lebih dulu, yang pertama di tempat ini, sepatutnya kami yang mendapat
perhatian lebih dulu. Siapa cepat dia dapat, bukan?”
Ang Kun
Tojin melangkah maju dan membantah, “Sicu dan saudara-saudara dari
Hoa-san bukanlah orang-orang yang mencari kesempurnaan batin, melainkan
jasmaniah, hidup sebagai petani-petani yang bahagia. Ilmu Silat
Hoa-san-pai juga sudah tersohor di kolong langit. Untuk apa pula mohon
petunjuk Siansu? Tentu bukan untuk urusan kebatinan, akan tetapi kalau
hendak mohon petunjuk tentang ilmu silat : untuk apakah pula? Pekerjaan
petani tidak membutuhkan ilmu silat terlalu tinggi.”
“Ucapan
Toyu benar,” sambung Leng Lo Hwesio, “bagi pendeta-pendeta seperti kami
dan para tosu Kun-lun, tentu saja amat membutuhkan petunjuk tentang
kebatinan dari Siansu. Akan tetapi para Sicu (Orang Gagah) dari
Hoa-san, tak mungkin hendak minta petunjuk tentang kerohanian. Kalau
mereka hendak minta petunjuk tentang ilmu silat, pinceng (saya) kira
Siansu juga akan memberi petunjuk, jika melihat bahwa Ilmu Silat
Hoa-san-pai masih amat rendah.”
Ucapan ini biarpun terdengar
membela namun mengandung sindiran yang memandang rendah tingkat Ilmu
Silat Hoa-san-pai. Memang hwesio murid kepala Bu-tong-pai ini berwatak
keras dan kaku, juga tidak biasa menyembunyikan apa yang dipikirnya.
“Leng Lo Suhu benar-benar memandang rendah kami dari Hoa-san-pai!”
tiba-tiba orang ke lima dari Hoa-san-pai membentak sambil melompat maju.
Dia adalah Kok Ceng Cu, seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah
tampan dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar, usianya sekitar tiga
puluh tahun.
“Sama sekali tidak memandang rendah,” bantah Leng
Lo Hwesio, “hanya pinceng sering kali mendengar bahwa Hoa-san-pai
mengutamakan tenaga luar dan penggunaan kaki tangan dalam ilmu silat
tidak begitu mementingkan kekuatan dalam. Padahal, Bu Kek Siansu adalah
seorang ahli kebatinan dan tentu saja petunjuknya akan berhubungan erat
dengan kebatinan, maka tidak akan cocok dengan Sicu sekalian.”
“Tidak memandang rendah akan tetapi sama sekali tidak menghargai
kepandaian lain orang. Sama saja! Leng Lo Suhu, kami dari Hoa-san-pai
memang masih rendah pengetahuan, tidak ada sesuatu yang patut
dibanggakan apalagi disombongkan. Akan tetapi, saya akan merasa takluk
kalau seorang di antara para Losuhu dari Bu-tong-pai dapat melebihi apa
yang akan saya perlihatkan!” Kok Ceng Cu yang masih berdarah panas dan
tidak tahan mendengar partainya dipandang ringan, segera melangkah lebar
mendekati sebuah batu gunung yang berwarna putih. Batu ini sebesar
perut kerbau, beratnya tidak kurang dari lima ratus kati. Seperempat
bagian dari batu ini terpendam dalam tanah, kokoh kuat dan untuk
mencabutnya keluar kiranya dibutuhkan sedikitnya tenaga seribu kati.
Kok Ceng Cu memasang kuda-kuda di dekat batu, kedua tangannya merangkul
dari kanan kiri, lalu dengan sebuah teriakan keras ia mengerahkan
tenaga menjebol dan.... batu itu terangkat ke atas terus diangkat ke
atas kepalanya. Otot-otot kedua lengannya tersembul keluar, lehernya
mendadak menjadi besar, namun wajahnya yang tampan itu tidak berubah,
tetap tenang dan tersenyum. Fihak Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai memandang
kagum. Sebagai ahli-ahli silat tingkat tinggi, mereka maklum bahwa untuk
mengangkat batu seberat itu mengandalkan tenaga luar, bukanlah hal yang
mudah dilakukan. Selain membutuhkan latihan tekun dan lama, juga harus
memiliki bakat alam, yaitu tenaga yang besar dan hal ini hanya dapat
dimiliki oleh seorang laki-laki yang selama hidup tetap membujang.
Melihat keadaan wajah Kok Ceng Cu, terang bahwa jago Hoa-san-pai ini
biarpun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, ternyata dia masih bujang,
jejaka tulen!
“Tenaga gwa-kang (tenaga luar) Sicu hebat sekali,
pinceng kagum!” kata Leng Lo Suhu dengan sejujurnya. Akan tetapi hal
ini memanaskan perut Leng Hi Hwesio, murid ke empat dari Bu-tong-pai.
Biarpun usianya sudah enam puluh tahun, hwesio keempat dari Bu-tong-pai
ini wataknya keras dan tidak mau kalah. Ia segera melompat maju
mendekati Kok Ceng Cu dan berkata nyaring.
“Main-main dengan batu mati ini apa sih anehnya? Sicu, kalau kau sudah lelah dan bosan, boleh operkan batu itu pada pinceng!”
Tadinya Kok Ceng Cu merasa bangga akan pujian murid tertua Bu-tong-pai,
akan tetapi melihat dan mendengar sikap dan kata-kata hwesio ke empat
ini, diam-diam ia merasa penasaran juga kaget. Apakah hwesio yang kurus
kering ini dapat mempergunakan tenaga seperti dia? Ia berseru keras dan
kedua lengannya bergerak ke bawah lalu ke atas, melontarkan batu besar
itu kepada Leng Hi Hwesio sambil berseru.
“Losuhu terimalah!”
Batu berat itu meluncur ke arah hwesio Bu-tong-pai, kalau menimpa
kepala tentu akan remuk. Namun, dengan tenang hwesio ini menggerakkan
kedua tangannya, menerima batu itu dengan gerakan indah. Kiranya ia
telah menggunakan gerakan Dewa Menyambut Mustika, begitu kedua telapak
tangannya menempel pada batu, ia meminjam tenaga lontaran tadi, dan
terus mengayun batu ke bawah, ke atas lagi, dan melontarkannya ke atas,
diterima lagi, diayun dan dilontarkan lagi ke atas sampai lima kali.
Ketika untuk ke lima kalinya batu itu menimpa turun, ia menggunakan
gerakan menyabet dengan kedua tangan miring. Batu itu melenceng ke
samping, terbanting ke atas tanah sampai amblas hampir setengahnya.
Inilah gerak pukulan Pukul Roboh Gunung Hitam, sebuah jurus ilmu Silat
Bu-tong-pai yang lihai.
Terdengar tepuk tangan memuji dari para
tosu Kun-lun-pai. “Siancai, siancai, ilmu pukulan Bu-tong-pai
benar-benar hebat!” seru Ang Kun Tojin. Akan tetapi Pek Sin Tojin, murid
ke lima Kun-lun-pai yang bertahi lalat pada ujung hidungnya, menjadi
penasaran melihat betapa dua orang dari rombongan Hoa-san-pai dan
Bu-tong-pai seakan-akan mendemonstrasikan kepandaian. Kalau dari fihak
Kun-lun-pai tidak ada yang bergerak, jangan-jangan fihaknya akan
dipandang rendah. Ia melangkah maju mendekati batu itu, berkata,
“Siancai, batu terbanting keras jangan-jangan banyak cacing yang akan
tertimpa remuk.” Kaki kanannya bergerak mencongkel dan.... batu itu
menggelinding keluar dari dalam tanah, sampai lima kaki lebih jauhnya.
Gerakan ini saja membuktikan betapa lihainya para tosu Kun-lun-pai.
Yang paling berangasan di antara semua orang adalah Kok Ceng Cu. Ia
mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya, “Hemmm, semua memamerkan
tenaga dalam yang mengandalkan tenaga pinjaman, bukan tenaga aseli dari
otot dan urat. Biarpun kami dari Hoa-san-pai hanya melatih otot untuk
memperkuat tubuh, namun permainan lwee-kang (tenaga dalam) seperti itu
juga bukan hal aneh.” Ia tidak melakukan tantangan, namun kata-katanya
ini jelas mengangkat golongan sendiri dan tidak memandang tinggi dua
rombongan lain. Juga ia berdiri dengan dada terangkat, kedua kakinya
memasang kuda-kuda dengan sikap seolah-olah ia siap menghadapi siapa
saja yang berani melawannya!
Tentu saja sikap ini memanaskan
hati fihak Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai, apalagi fihak Bu-tong-pai. Kalau
saja Ang Kun Tojin dan Leng Lo Hwesio tidak memberi isyarat dengan
pandang mata, tentu ada tosu Kun-lun dan hwesio Bu-tong yang melompat
maju untuk menghadapi Kok Ceng Cu. Pada saat itu terdengar suara
tertawa nyaring dan merdu. Semua orang menjadi kaget, memandang ke kanan
kiri, namun tidak tampak seorang pun manusia. Padahal jelas sekali
tadi terdengar suara ketawa seorang wanita, terdengar dekat sekali,
bahkan suara pernapasan di antara kekeh tawa itu dapat mereka dengar.
“Omitohud!” Leng Lo Hwesio mengeluarkan suara sambil merangkapkan
kedua telapak tangan di depan dada. “Sicu mengeluarkan sikap menantang,
membikin marah dewi penjaga gunung!”
“Kita datang untuk mohon
pelajaran kebatinan kepada Bu Kek Siansu, saudara-saudara dari
Hoa-san-pai memperlihatkan kekerasan, sungguh lucu sehingga ditertawakan
oleh segala mahluk halus,” kata pula Ang Kun Tojin, namun diam-diam ia
merasa gelisah karena ia dapat menduga bahwa yang mengeluarkan suara
ketawa itu sudah pasti seorang yang memiliki kesaktian luar biasa.
Terang bukan Bu Kek Siansu, juga bukan yang bernyanyi tadi, karena suara
ketawa ini adalah suara wanita.
“Kami orang-orang Hoa-san-pai tidak takut terhadap segala siluman!” Kok Ceng Cu berkata keras sambil melirik ke kanan kiri.
“Sute, jangan bicara begitu....” Kok Bin Cu mencela adik seperguruan yang berangasan itu.
Akan tetapi suaranya terhenti ketika tiba-tiba pada saat itu terdengar
lagi suara ketawa dan kini tahu-tahu di depan mereka telah berdiri
seorang wanita yang amat cantik. Dia datang begitu saja seperti muncul
dari dalam bumi, tidak tampak datangnya, tahu-tahu sudah berdiri di
depan Kok Ceng Cu sambil tertawa terkekeh-kekeh, bibirnya yang merah
dan lembut itu terbuka, tampak dua deretan gigi yang putih seperti
mutiara berbaris.
Empat belas orang itu memandang dengan mata
terbelalak. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, dilihat dari
wajahnya yang segar berseri itu agaknya belum dua puluh lima tahun
usianya, namun sikap dan gerak-geriknya membayangkan kepribadian yang
kuat dan berwibawa, tenang dan tabah, sikap masak seorang tokoh besar.
Pakaiannya dari sutera tipis berwarna putih sehingga terbayang baju
dalam yang berwarna merah muda. Sepasang kakinya tertutup sepatu kulit
mengkilap, berwarna hitam. Yang menarik hati dan mengerikan adalah
rambutnya. Rambut hitam gemuk, panjang sampai hampir menyentuh tanah di
belakangnya, sebagian lagi terurai ke depan dari kanan kiri lehernya.
Tubuhnya padat berisi, kulit leher, tangan dan mukanya halus den putih
seperti salju. Wanita yang cantik jelita, bersinar matar bengis, dengan
mulut yang selalu mengejek tampaknya dan diselubungi sesuatu yang aneh
mengerikan. Begitu ia muncul, tercium bau harum seperti taman bunga.
“Hi-hi-hik, kiranya jejaka tampan yang mengeluarkan tantangan. Wah,
untungku hari ini! Orang muda yang penuh tenaga dan hawa murni, kau
dari golongan mana?”
Kok Ceng Cu biarpun sudah berusia tiga
puluh tahun lebih, namun tak pernah berdekatan dengan wanita. Memang ia
tidak suka akan wanita dan sudah bersumpah akan tetap membujang seumur
hidup. Kini menghadapi wanita cantik aneh yang sikapnya sombong,
ketawanya terbuka tanpa mengenal sopan dan susila ini, ia menjadi marah
sekali.
“Wanita tak bersopan! Aku tidak suka bicara denganmu,
akan tetapi kalau kau ingin tahu, aku Kok Ceng Cu murid ke lima dari
Hoa-san-pai. Sudahlah, pergi jangan menambah muak dengan ketawa-ketawa
seperti siluman!”
“Hi-hi-hik, jejaka murni, nyalinya kuat.
Bagus, bagus, kebetulan sekali. Eh, Kok Ceng Cu, kulihat tadi kau
mengangkat batu kecil ini, entah apa kau kuat menerima lemparan
dariku?” Tanpa menanti jawaban, wanita ini menggerakkan kepalanya
dan.... rambutnya yang indah dan panjang itu bergerak seperti hidup ke
arah batu gunung putih di dekatnya yang tadi dipakai main-main oleh
orang-orang sakti itu. Begitu cepat gerakkannya dan tahu-tahu batu itu
telah terlempar ke arah Kok Ceng Cu. Benar-benar membuat semua orang
bengong terlongong. Bagaimana rambut indah panjang itu dapat
dipergunakan untuk mengangkat dan melempar batu yang beratnya lima ratus
kati lebih?
Akan tetapi Kok Ceng Cu tidak sempat berheran.
Melihat datangnya batu ke arah kepalanya, ia cepat menggerakkan kedua
lengan, menangkap batu itu dan mengerahkan tenaganya, melemparkan batu
itu kembali kepada wanita tadi sambil berseru membentak, “Siluman jahat,
terimalah kembali!”
Lemparan Kok Ceng Cu dilakukan dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya, akan hehat sekali akibatnya kalau wanita
itu tertimpa. Agaknya wanita aneh ini tidak mempedulikan datangnya batu,
hanya mengangkat lengan kiri menangkis. Terdengar suara keras dan batu
itu terlempar ke kiri, pecah menjadi dua!
Kejadian ini
benar-benar membuat semua orang terkejut, dan sekaligus maklumlah
mereka bahwa wanita ini ternyata memiliki kepandaian yang amat luar
biasa. Juga Kok Ceng Cu sadar akan hal ini, namun penyesalannya
terlambat. Sambil terkikik-kikik ketawa wanita itu kembali menggerakkan
kepalanya dan kini rambutnya terurai meluncur ke depan dan di lain saat
kedua pergelangan lengan dan leher Kok Ceng Cu sudah terlibat rambut.
Betapapun murid ke lima dari Hoa-san-pai ini mengerahkan seluruh
tenaganya untuk melepaskan diri, usahanya sia-sia seakan-akan seekor
latat yang berusaha melepaskan diri daripada sarang laba-laba,
meronta-ronta tanpa hasil, malah rambut-rambut itu makin erat mengikat
tangan dan mencekik leher.
“Hi-hi-hik, berontaklah, makin keras
makin baik agar darahmu berjalan lebih kencang!” Sambil terkekeh wanita
itu kembali menggerakkan kepalanya. Tubuh Kok Ceng Cu tersentak ke
depan, berputar dan tak dapat dicegah lagi mendekati wanita itu.
Tiba-tiba wajah wanita cantik itu menjadi beringas, matanya
bersinar-sinar, mulutnya terbuka dan.... cepat sekali mulutnya mendekati
tengkuk leher Kok Ceng Cu dan menggigitnya, terus mengisap! Kok Ceng Cu
mengeluarkan jerit mengerikan, mukanya menjadi pucat kehijauan dan
beberapa detik kemudian nyawanya telah melayang meninggalkan badannya!
“Siluman keji....!” Kok Bin Cu dan tiga orang adik seperguruannya
bergerak maju, menerjang wanita itu. Akan tetapi mereka terhuyung mundur
dan tubuh Kok Ceng Cu yang sudah dingin terlempar ke arah mereka,
diiringi suara ketawa wanita itu. Melihat keadaan Kok Ceng Cu yang
sudah menjadi mayat, Kok Bin Cu cepat menyambar dan memeluk adik termuda
ini dengan penuh kesedihan.
Adapun tiga orang adik
seperguruannya yang lain berdiri dengan sikap siap, namun ragu-ragu
untuk menerjang tanpa perintah Kok Bin Cu. Mereka maklum akan kelihaian
wanita siluman ini dan menjadi gentar juga.
“Cuh! Cuhhhhh!”
suara orang meludah dan Leng Hi murid ke empat Bu-tong-pai
menyumpah-nyumpah karena mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui
dari mana datangnya.
“Ho-ho-hah, Siang-mou Sin-ni jangan
berpesta seorang diri!” Suara laki-laki seperti tambur bobrok ini
terdengar dan orangnya sekaligus tampak seorang berpakaian pengemis,
sudah tua dan bongkok, mukanya pucat seperti mayat, rambutnya panjang
sampai ke pundak, awut-awutan dan riap-riapan kotor, mata kirinya buta,
mata kanannya lebar membelalak. Pakaiannya kotor dan penuh tambalan,
hanya sepasang sepatunya masih baru. Ia memegang sebatang tongkat
butut, berdiri di situ dengan punggung agak bongkok.
Dilihat
sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja, malah
seorang pengemis yang tidak normal, setengah gila. Hal itu tampak pada
mukanya yang mengerikan, apalagi mulutnya yang lebar dan selalu
sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang hanya
satu-satunya dalam mulut tua.
Kembali ia meludah, “Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.
Melihat ini, Leng Li Hwesio marah, “Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng tadi?”
“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing korengan
dan kucing kudisan. Lebih suka lagi meludahi keledai gundul, cuh-cuh!”
Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah ke bawah, akan tetapi
anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio yang berada di
sebelah kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran ludah
kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya. Entah bagaimana ludah
itu bisa terbang menyeleweng dan miring.
Kakek pengemis itu
berjingkrak kegirangan bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa.
“Ha-ho-hoh! Bagus sekali. Keledai Bu-tong memang baik menjadi
tempolong ludah!”
“Jahanam hina!” Leng Hi Hwesio mana dapat
menahan kesabarannya? Dengan kemarahan meluap-luap ia sudah mencabut
pedangnya dan menerjang pengemis itu.
“Ho-ho-ha-hah, untung
besar hari ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!” Tiba-tiba
terdengar suara keras dan pedang di tangan Leng Hi Hwesio sudah
terlempar jauh, menimpa batu gunung dan patah menjadi dua. Kemudian
kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali meludah, Leng Hi Hwesio
berseru kesakitan. Hujan ludah itu mengenai tubuhnya, akan tetapi
tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini terasa seperti
pukulan-pukulan keras yang tepat mengenai jalan darah di tubuhnya. Tiap
kali kakek itu meludah dan mengenai tubuhnya, ia berteriak mengaduh,
kemudian ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan diri. Namun kakek
itu terus meludah, makin keras agaknya karena kini tubuh Leng Hi Hwesio
bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga
dan hidungnya keluar darah segar!
“Pengemis keji, lepaskan Sute
kami!” Leng Lo Hwesio dan dua orang adik seperguruannya cepat mencabut
pedang dan menerjang pengemis itu. Akan tetapi pengemis itu mengangkat
tongkatnya, sekaligus tiga batang pedang itu tertangkis dan terpental.
Sungguhpun tiga orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang
masing-masing, namun mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan
panas. Terkejutlah mereka. Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang
digerakkan dengan tenaga lwee-kang, kuat bukan main. Akan tetapi
sekarang sekali tangkis saja kakek ini dapat membuat pedang mereka
terpental. Padahal mereka adalah orang-orang yang menduduki tingkat
dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di bawah suhu
(guru) mereka!
Sementara itu, kakek itu terus meludahi tubuh
Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat bersambat atau bergerak lagi.
Hebatnya, kepala yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari situ keluar
darah bercampur otak. Hwesio ke empat ini sudah tewas!
“Mana
orang Kun-lun! Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar
suara dan kali ini suara itu terdengar dari.... bawah! Terlalu hebat
peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai
masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian seorang anggauta
rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang mendengar
bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan cepat
memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke
bawah, karena dari situlah munculnya suara.
“Hi-hi-hik, It-gan
Kai-ong! Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal
ramai sekarang!” Wanita rambut panjang tadi kini tertawa dan Si Pengemis
Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan kiri.
“Bagus, dan
kebetulan orang-orang Kun-lun berada di sini. Baik sekali. Hayo,
Hek-giam-lo tengkorak busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat
banyak orang Kun-lun-pai?”
Mendengar disebutnya Hek-giam-lo,
muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu dengan
Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut
sebagai seorang tokoh hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit
permusuhan dengan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari mendiang kakek guru
Ang Kun Tojin.
Terdengar suara menggereng seperti harimau dari
dalam tanah dan tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan terbang dan
tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang meluncur
cahaya seperti kilat yang terbang ke arah lima orang tosu Kun-lun-pai.
Para tosu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat
mereka seperti juga orang-orang Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah
mencapai taraf tinggi sekali. Sekali pandang saja mereka maklum bahwa
yang menyambar ini adalah sebuah senjata yang amat tajam dan runcing,
yang disusul melesatnya bayangan hitam. Cepat mereka berlima melompat ke
belakang, mencabut pedang dan menangkis.
“Trang-trang-trang....!” terdengar bunyi nyaring. Bunga api berhamburan
disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang di antara lima
pedang yang bertemu dengan senjata berkilauan itu. Kemudian terdengar
jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu yang bertahi lalat pada
hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher sampai ke perutnya
terdapat luka goresan yang panjang, luka kulit saja akan tetapi amat
mengerikan. Apalagi kalau mereka melihat lawan mereka yang kini sudah
berdiri di depan mereka, benar-benar mendirikan bulu roma.
Dia
seorang yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh badan,
kecuali sepasang tangan yang kecil kurus, terbungkus pakaian serba
hitam. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang putih mengerikan dengan dua
lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi runcing hitam, kedua
kakinya memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak sebuah senjata
sabit yang amat tajam dan runcing, agak melengkung.
Senjata
sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali
berkelebat tentu kulit tubuh tosu itu teriris robek. Pek Sin Tojin
menggeliat-geliat, bergulingan, darah memenuhi tubuh dan mukanya, namun
sabit itu terus bergerak, makin lama makin cepat. Empat orang tosu
Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua orang termasuk Ang Kun Tojin
menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya terlempar,
menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si tengkorak ini hanya
menggerak-gerakkan tangan kirinya dan semua serangan itu tertangkis
oleh ujung lengan bajunya. Adapun sabit di tangan kanannya terus
bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.
Kekejaman yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang
lagi, tubuhnya berkelojotan, lalu diam. Gerakan sabit juga berhenti dan
kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat orang Kun-lun-pai yang
mengeroyoknya.
Sementara itu, orang-orang Bu-tong-pai sudah
bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang melayani tiga orang kosen
Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki.
Di lain
fihak, empat orang Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita rambut panjang
yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit. Sungguh pertempuran
yang amat seru namun tidak seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor
harimau buas dikeroyok serombongan kelinci saja. Sabit di tengan
tengkorak hidup itu menyambar seperti halilintar dan sebentar saja, dua
orang tosu Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh terbacok hampir
putus menjadi dua potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya
sudah luka-luka pula.
Juga wanita mengerikan yang bernama
Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan dua orang
Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri
tegak, kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di
sekitar tubuhnya, menangkis senjata dan menghantam lawan. Jangan
dipandang rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut
halus dan berbau harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja
yang amat kuat.
It-gan Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu),
meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya membikin buta seorang lawan yang
terus ditusuk tongkat kepalanya sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio
mengerahkan seluruh Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama sekali tak
berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.
Mereka semua maklum
bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada
yang memberi komando, Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio
melompat pergi meninggalkan para sutenya yang sudah tewas.
Mereka pun menderita luka-luka berat. “Ha-ha-ho-ho! Siang-mou Sin-ni,
Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk memberi tahu kepada partai
masing-masing!”
“Tak usah kau ngoceh, pengemis picak!” Siang-mou
Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah sambil mengebut-ngebutkan
rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau, apa kaukira tua
bangka Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”
“Ho-ho-hah!
Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang
tokoh Kun-lun?” Pengemis itu berpaling kepada si tengkorak.
“Aku datang ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo Si Tengkorak Hidup menjawab pendek.
“Hi-hik, untuk apalagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek
Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis
seperti pengemis picak ini?” Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi
Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.
“Ho-hah,
setan cilik, lidahmu benar-benar lemas, bibirmu halus mengandung madu,
tapi ludahmu seperti butrawali dan mrica! Kau sendiri datang pada
permulaan musim semi, apakah akan memberi selamat panjang umur kepada
setan gunung? Ho-ho, kau sendiri juga akan mengemis ilmu, bukan?”
“Cih, mulutmu bau busuk, pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek
Siansu akan muncul di dunia. Aku hendak melihat apakah dia dapat
menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau mengangkatnya sebagai
guru, bukan mengemis seperti kau!”
“Ha-ha, silat lidah! Menjadi
murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing segala, cuh!”
It-gan Kai-ong meludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya berlubang
oleh ludah itu! “Bukankah begitu, Hek-giam-lo?”
Si tengkorak hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng hanya mengeluarkan suara, “Huhhh!”
“Ihhh, menyebalkan si tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu?
Apakah ingin menyembunyikan suara seperti bertahun-tahun ia
menyembunyikann mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut lepas kedok
tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau
laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua!”
“Hemmm....”
Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni
dan senjata sabitnya yang mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap
bertempur.
It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan
bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus....! Aku pun mempunyai keinginan
yang amat sangat, yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu. Alangkah
akan ramainya, entah siapa yang hanya bernama kosong belaka. Siang-mou
Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah!”
Sejenak Siang-mou
Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hendak
menggerakkan rambutnya menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah
pengemis tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh. “Hi-hi-hik,
pengemis tua busuk, kau hendak akali kami berdua, ya? Kau mengadu kami,
biar keduanya mampus atau payah, baru kau turun tangan dan dapat
memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu Kek Siansu. Begitukah? Akal bulus!”
“Kalian mau saling gempur atau saling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu merengut, kesal.
“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dia berhak menemui
Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”
“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong. “Kau bagaimana?” tanyanya kepada
Hek-giam-lo. Yang ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang
kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua orang di
depannya itu.
Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda,
saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka seakan-akan
tiga ekor harimau yang siap menanti datangnya terjangan lawan, tegang
sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak
lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia
akan sirna.
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan
rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke arah Hek-giam-lo.
Hanya satu atau dua detik selisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang
menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang
menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong. Sekaligus tiga orang itu
telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus nyaring
dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi
membentuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara
desingan senjata mereka yang menyambar tadi masih terdengar gemanya,
mengaung dari dalam jurang di dekat situ.
Amat tegang seluruh
urat syaraf, ketiga orang itu sodah siap untuk melakukan terjangan
atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka
bergerak dan perhatian mereka tertarik oleh bunyi suling yang amat luar
biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari
menyongsong munculnya sang matahari, akan tetapi pada saat lain
terdengar seakan-akan halilintar menyambar-nyambar membelah gunung, pada
detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari tertawa merdu, pada
lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati suaminya.
“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.
“Kita lihat siapa yang datang,” sambung Siang-mou Sin-ni mengangguk.
Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara
suling terdengar makin nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan
perlahan mendekati tempat itu. Tiga orang sakti ini menjadi tegang
hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang dipuja-puja
seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka dengar, namun selama
hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek sakti itu yang
muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama kemudian
muncullah si peniup suling dari balik batu besar, berjalan dengan
tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup suling yang dipegang
dengan kedua tangannya. Suling itu berkilauan tertimpa matahari dan
mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada emas murni. Peniupnya
seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga
puluh tahun. Pakaiannya seperti pakaian seorang pelajar, dengan ikat
pinggang sutera dan tali penutup kepala melambai panjang. Pakaian orang
ini hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan
tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya hitam, kecuali ikat pinggang
dan pinggiran jubah, berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam
itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda
seperti bulan purnama.
“Iihhh.... gantengnya....!” Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandeng penuh gairah kepada wajah yang tampan itu.
“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas....?” It-gan Kai-ong
berkata perlahan seperti pada diri sendiri. Adapun Hek-giam-lo hanya
mengeluarkan suara mendengus marah.
Sementara itu, laki-laki
muda bersuling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga
adanya mayat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya
berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya
melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang
alis yang tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Keji sekali....!” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.
“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong menantang.
Dia tersenyum, menoleh kepada pengemis mata satu dan berkata dengan
suara tenang berwibawa, “Kalian membunuh orang, tidak ada
sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan urusanku. Akan
tetapi andaikata tadi aku berada di sini, jangan harap kalian mengumbar
kekejaman sesuka hati.”
Setelah berkata demikian, orang ini
lalu menghampiri Hek-giam-lo, memandang sejenak dan berkata. “Kau
Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur
mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda itu tertawa mengejek.
“Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali
mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat
tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit,
maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari emas,
jauh lebih berharga daripada sabitmu, baik harganya maupun kegunaannya.
Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku
ini.”
Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana
Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya? Senjata yang diandalkan sama
harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka
tengkoraknya.
Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam. “Terimalah ini!” serunya dan
suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar
menyambar, ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Serangan ini cepat bukan
main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan
seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka
ke mana akan mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung
suling sudah hampir menempel ulu hatinya.
Namun ia memang lihai
sekali. Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan
kirinya menyambar dari samping menangkap suling itu dan mendorong ke
kanan agar meleset daripada ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu.
Alangkah herannya ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat
ia renggut, malah agaknya dilepaskan oleh pemiliknya. Ia menduga akan
adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, tenaga yang
amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan
tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak
hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan
tenaganya ke tangan kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas
suling untuk menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri
daripada ancaman suling, baru kemudian berusaha merampas kembali
senjatanya.
Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit
panjang sudah berada di tangannya. “Hek-giam-lo, terima kasih atas
kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan
kukembalikan.” Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke
kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri,
sekali loncatan tubuhnya melayang lebih sepuluh meter jauhnya. Kiranya
ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di
tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan cepatnya ia
menggali tanah dengan sabit itu.
“Heh, kau tentu si muda
sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!”
terdengar suara serak Si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”
Suling Emas tidak menjawab, melainkan menggali terus dengan cepat
sekali sehingga sebentar saja di depannya telah tergali sebuah lubang
besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.
Sinar hitam
yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini
datang dari Hek-giam-lo yang melepas senjata rahasianya yang disebut
Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam). Begitu hebat racun
jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini sehingga mengeluarkan uap
hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika benda-benda kecil ini
meluncur mencari korban.
Melihat Hek-giam-lo mempergunakan
ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong terkejut.
Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang
Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari
belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia
menyelamatkan diri?
Suling Emas menggali dengan gerakan cepat
dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit saja yang
bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan
mentertawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit
amatlah lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan
terhuyung-huyung. Akan tetapi kalau melihat hasil galian di depannya,
orang akan bengong terlongong. Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama
dengan cangkul yang baik sekalipun belum tentu akan dapat menggali
lubang sedemikian besar dalam waktu demikian cepatnya.
Sekarang,
tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh, Suling Emas
masih tetap bekerja dan ketika gulungan awan hitam yang membungkus
jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan berpencar mengarah tujuh
bagian jalan darah terpenting, ia masih saja bergerak-gerak menggali
lobang. Namun kini di antara berkelebatnya sinar sabit yang putih,
tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang mengeluarkan angin keras.
Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo
mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi,
Si Muka Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua tangannya
dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk memberi
dorongan kepada senjata rahasianya.
Suling Emas menunda
gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya
terdapat sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia mengipaskan
benda itu ke depan sambil berseru.
“Hek-giam-lo, aku terima
tantanganmu, akan tetapi tunggulah sebentar sampai selesai
pekerjaanku.” Ia mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hitam
yang sudah mendesak maju itu terpental mundur sampai lima kaki jauhnya.
Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali
jarum-jarumnya itu, Suling Emas berloncatan ke sana ke mari dan
tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang masuk
ke dalam lobang besar yang digalinya tadi. Pemandangan yang amat
mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan hidup kembali dan terbang
seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya menggunakan
ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja
sebelas buah mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas
lalu menguruk lubang dengan tanah galian. Begitu cepat ia melakukan
pekerjaan ini sehingga waktu untuk menggali dan “mengubur” ini tidak
lebih daripada sepuluh menit saja!
“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas
namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak
tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa
mengejek.
“It-gan Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di
puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang raja, sungguh
menyenangkan,” jawab Suling Emas.
“Tampan sekali! Ganteng....
dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya....” Suara
Siang-mou Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling
matanya menyambar. Pemuda biasa saja kiranya akan runtuh kalbunya dan
bobol pertahanannya kalau menghadapi senyum dan kerling yang memabukkan
ini. Memang Siang-mou Sin-ni memiliki kecantikan yang luar biasa,
keharuman rambut yang memabukkan, dan ada sesuatu yang mujijat, hawa
kekuatan yang tidak sewajarnya, keluar dari tubuhnya.
Suling
Emas menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai
tanda hormat. “Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat di antara
mayat-mayat itu terdapat seorang muda yang sudah kausedot habis isi
tulang belakangnya, apakah kau masih juga belum kenyang?”
Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Adapun
It-gan Kai-ong lalu menegur, “Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih
begini muda, bagaimana berani lancang menyebut nama kami? Bagaimana kau
bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”
Suling Emas tertawa.
“Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka memakai pakaian
tambalan, hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja pengemis yang
terkenal, memang ada beberapa orang di antaranya yang buta kedua
matanya, akan tetapi yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”
Siang-mou Sin-ni makin keras kekeh tawanya. bahkan Si Muka Tengkorak
yang pendiam juga terbatuk-batuk menahan tawa. It-gan Kai-ong
mencak-mencak saking marahnya. “Bocah sombong, berani kau mempermainkan
aku? Hayo ke sinilah, boleh kita adu kepandaian.”
“Nanti dulu,
Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa
mengatasi rambutku, tak perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!”
Siang-mou Sin-ni melangkah maju.
Akan tetapi Suling Emas tidak
mempedulikan mereka berdua, langsung ia menghampiri Hek-giam-lo,
menyerahkan senjata sabit. “Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima
kasih.”
Hek-giam-lo mengulur tangan kiri menangkap gagang
sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak melepaskannya, dan sambil
tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang
masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemudian menyambar suling itu.
Keduanya kini berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua
macam senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan,
ragu-ragu berada di fihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia
mengendorkan pegangannya pada suling. Suling Emas juga melepaskan sabit
dan menarik suling sehingga di lain saat kedua orang itu sudah saling
bertukar senjata.
Hek-giam-lo yang masih marah dan penasaran
sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia kalah dulu oleh
Siang-mou Sin-ni yang sudah melompat ke depan Suling Emas dan sambil
terkekeh wanita ini menggerakkan rambutnya yang mengeluarkan bunyi
bercuitan seperti seratus cambuk menerjang Suling Emas.
Bau
yang harum semerbak memabukkan menusuk hidung. Suling Emas cepat
mengerahkan sin-kang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke
depan dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika
suling emas itu bertemu dengan gumpalan rambut yang paiing tebal,
sedangkan kipas yang bergerak kuat itu meniup balik rambut panjang
yang tadi menerjang maju seperti hidup. Baik Suling Emas maupun
Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling
pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak
disangkanya bahwa pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit
kepalanya sampai terasa pedas dan panas karena akar rambutnya terguncang
keras. Di lain fihak, Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini
benar-benar luar biasa seperti yang sudah lama ia dengar. Kipas dan
sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada dua senjatanya itu
untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.
“Siang-mou Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku,
akulah yang berhak menantangnya. Eh, Suling Emas bocah sombong,
beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah melangkah maju lagi,
tangan kirinya merogoh saku.
Suling Emas melintangkan suling di
depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala, tersenyum tenang. “Aku
mendaki puncak Thai-san dengan perasaan aman dan damai, dengan pikiran
gembira dan bersih daripada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak
menghendaki permusuhan di tempat yang indah dan sejuk ini, akan
tetapi kalau ada yang menantangku, biarpun aku ogah melayani, namun
suling dan kipasku harus menjaga nama dan kehormatan.”
“Jadi!”
Hek-giam-lo berseru keras, tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri
itu bergerak-gerak, tiga belas batang pedang pendek yang seperti disulap
keluar dari jubah hitamnya itu telah menancap di atas tanah,
membentuk lingkaran. Lingkaran itu terdiri dari sepuluh batang pedang
yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap tiga batang
pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh
Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri
dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang. Pedang itu kecil saja,
dapat dibayangkan betapa tinggi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) harus
dibutuhkan untuk dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang
bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo tetap tegak tak bergerak,
sabitnya diangkat di atas kepala.
“Bagus, boleh kulayani kau
main-main sebentar Hek-giam-lo!” seru Suling Emas dan seperti seekor
burung garuda melayang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke
tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh
menyeramkan, sabitnya bergerak dan menyambar seperti kilat putih,
memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, lawannya bukanlah orang
sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah lewat di atas
kepala dan sekali menggerakkan kedua tangan, kipas di tangan kiri yang
terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling disodokkan
ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan
gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar
diduga ke mana arah dan sasarannya.
“Huhhhhh....!” Hek-giam-lo
mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung
menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang
lain yang merupakan pagar.
“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu
hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk
saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”
“Cerewet!” Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini
berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan,
diputar-putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi segulung sinar
putih menyilaukan mata.
Suling Emas terpaksa melayani desakan
yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah
tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam,
sulingnya membalas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam
kepala dan menyampok sabit. Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus
berloncatan mengelilingi patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling
Emas berusaha keras untuk memaksa ia turun dari patok dengan
penyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya yang menginjak gagang
pedang.
“Tengkorak busuk, serahkan Si Ganteng kepadaku!”
Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke atas gagang
pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling
Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau
jejaka tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh
Hek-giam-lo yang amat lihai.
***
Namun Suling Emas
biarpun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu
rambut Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri,
kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada
Siang-mou Sin-ni.
“Ihhhh.... kau mau membunuhku?” Wanita itu
memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada wanita
yang lebih cantik dari padaku?”
“Kalau perlu, apa salahnya
membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,” jawab Suling Emas sambil
menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah, sungguh memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan
Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa
dua di antaranya sekarang tak dapat mengalahkan seorang bocah hijau?
Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa tercemar nama besar
Thian-te Liok-koai!” It-gan Kai-ong Si Raja Pengemis Mata Satu melompat
dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya
sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya
amat tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam hatinya.
Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani
ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik
daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini.
Ia berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri
dengan pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari kesempatan
merobohkan lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan
tiga orang tokoh yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan
belum dua puluh jurus ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar
suara keras dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan
keluar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang
diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang melintang! Tiga orang sakti
itu tadi hanya merasa betapa angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah,
merobohkan patok-patok pedang tanpa dapat mereka cegah lagi, terpaksa
mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan seperti mendengar komando,
ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tempat itu.
Suling
Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup
tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya
Hek-giam-lo sambil berseru.
“Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung
dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat
sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi
lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar
suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan
tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua
sudah berdiri di depannya. Ia merasa serem karena tak mungkin ada
orang, betapapun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama
sekali. Helaan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya,
bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan
tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini pandai
menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini
mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya berwarna
dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di
atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan
jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal,
dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu
termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum
ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain
tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan bajunya lebar
sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim. Agaknya
saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek.
Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua,
hanya daun telinganya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang
biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan
para dewa.
Suling Emas cepat menjura dengan sikap hormat,
mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata, “Maaf, Locianpwe
(Kakek Sakti), benarkah dugaan saya bahwa Locianpwe adalah Bu Kek
Siansu?”
Kakek itu tertawa dan tampaklah keganjilan pada mukanya
karena di balik bibirnya itu tampak berderet dua baris gigi yang masih
utuh dan rapi.
“Tidak salah, anak muda. Semoga dengan tibanya musim semi, Yang Maha Murah akan melimpahkan berkah kepadamu....”
Suling Emas terkejut dan cepat ia menjatuhkan diri berlutut. Ia merasa
malu karena ucapan selamat pada Hari Musim Semi itu didahului oleh kakek
ini.
“Locianpwe, maafkan kelancangan teecu (murid) tadi. Teecu
menghaturkan Selamat Musim Semi, semoga Locianpwe selalu sehat, bahagia
dan dikurniai usia panjang.”
“Ha-ha-ha-ha, anak muda lucu,
kaurangkaikan sehat dan usia panjang dengan bahagia. Apa kaukira kalau
sudah sehat itu pasti berusia panjang, dan kalau berusia panjang itu
pasti bahagia? Ha-ha-ha!”
“Teecu mohon petunjuk, Locianpwe.”
“Sulingmu tadi mainkan Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Delapan Dewa) dan kipasmu mainkan Ilmu Kipas Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Kacau Lautan), apamukah Kim-mo Taisu?”
Suling Emas terkejut
sekali dan cepat ia mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya
menyentuh bumi. “Kiranya Locianpwe yang tadi menolong teecu dari
pengeroyokan tiga manusia iblis, teecu menghaturkan terima kasih. Kim-mo
Taisu yang Locianpwe tanyakan adalah mendiang Suhu (Guru), dan
beliaulah yang dahulu berpesan kepada teecu agar teecu mencari
kesempatan pada tiap hari pertama musim semi untuk menjumpai Locianpwe
don mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, Thian (Tuhan) sungguh adil dan
bijak, hari ini memberi hadiah dengan jodoh yang amat baik. Jadi Kim-mo
Taisu itu gurumu? Dia sudah mati lebih dulu daripada aku? Ha-ha, aku
berani mengatakan bahwa dia tentu mati dalam tugas sebagai pahlawan.
Memang sejak dulu dia mempunyai jiwa patriot.”
“Tidak salah
dugaan Locianpwe. Suhu tewas ketika terjadi perang terhadap bangsa
Khitan di daerah Ho-peh, Suhu roboh oleh pengeroyokan jago-jago Khitan.
Teecu hanya terluka, tapi tidak dapat mencegah terjadinya hal itu.”
Suara Suling Emas melirih, akan tetapi sama sekali tidak terdengar
kesedihan. Hatinya sudah terlalu masak dan mengeras untuk dapat
dikuasai kesedihan.
“Hemmm, belasan tahun ia bersusah payah
membantu Cao Kwang Yin dalam usahanya mendirikan Wangsa Sung. Sampai
Cao Kwang Yin menjadi Kaisar Sung Tai Cu, gurumu masih terus
membantunya dan akhirnya mengorbankan nyawa. Dia seorang patriot tulen,
tanpa pamrih, tidak mengejar pangkat, hanya ingin melihat negara kuat
dan rakyatnya hidup makmur. Betapapun juga, segala sesuatu sudah
direncanakan dan akan diatur pelaksanaannya oleh Tuhan. Orang muda,
siapa namamu?”
“Teecu dikenal sebagai Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas), dan teecu tidak menggunakan nama lain lagi.”
“Ha-ha, begini muda, sudah menelan kepahitan hidup. Hati-hati, orang
muda, kepatahan hatimu dapat mendorongmu menjadi tidak peduli seperti
sekarang ini, melupakan yang lewat, dan akhirnya kalau tidak kuat-kuat
batinmu, dapat membuat kau menjadi seorang yang kejam. Baiknya belum
sejauh itu kau tersesat, buktinya kau masih mau mengubur
jenazah-jenazah itu.”
“Maaf, Locianpwe. Teecu cukup dapat
membedakan mana jahat mana baik, biarpun teecu sengaja meninggalkan
hidup yang lewat untuk.... untuk....”
“Melupakan kepahitan yang mematahkan hatimu?”
Suling Emas hanya mengangguk lalu menundukkan muka. “Teecu mohon petunjuk.”
“Kau berjuluk Suling Emas, tentu pandai bermain suling. Hayo
perdengarkan suara sulingmu, dan kita coba-coba main bersama sulingmu
dengan khim yang kumainkan, mencari keserasian.” Kakek itu lalu duduk di
atas rumput, menurunkan alat musiknya yang mempunyai tujuh buah kawat
itu.
Suling Emas girang sekali. Sebagai seorang murid gemblengan
dari orang sakti Kim-mo Taisu, tentu saja ia maklum bahwa bermain
musik bagi seorang seperti Bu Kek Siansu, berarti berlatih atau menguji
kepandaian lwee-kang dan ilmu silat tinggi. Ia segera duduk bersila,
mengatur pernapasan, lalu meniup sulingnya.
Bu Kek Siansu
tersenyum mendengar lengking suling yang tinggi mengalun dan merdu,
bersih dan nyaring itu. Jari-jari tangannya lalu mulai menyentuh kawat
pada khimnya, terdengar suara cring-cring-cring tinggi rendah.
Suling Emas kaget bukan main. Begitu suara kawat khim itu berbunyi,
napasnya jadi sesak dan suara sulingnya terdesak hebat sampai menurun
rendah sekali. Ia segera meramkan kedua matanya, memusatkan panca
indra, mengerahkan seluruh tenaga sin-kang di dalam tubuhnya, mengatur
pernapasan sepanjang dan mungkin sampai memenuhi pusarnya, dan semua
tenaga yang dikumpulkan ini ia salurkan melalui suara sulingnya yang
kini menjadi bening dan tinggi kembali.
Akan tetapi permainan
khim dari Bu Kek Siansu juga makin hebet. Suara nyaring tinggi rendah
dari kawat-kawat itu merupakan jurus-jurus penyerangan yang lebih hebat
daripada tusukan-tusukan pedang pusaka. Lebih hebat daripada gempuran
tangan sakti, kadang-kadang bergelombang datangnya, bertubi-tubi dan
makin lama makin kuat seperti ombak samudera.
Keadaan Suling
Emas amat terdesak. Orang muda ini meniup suling sambil meramkan mata,
keningnya berkerut dan uap putih menyelubungi kepalanya, saking hebatnya
tenaga sin-kang bekerja di tubuhnya. Ia berusaha sedapat mungkin untuk
menangkis dan melindungi dirinya dari gelombang yang menghanyutkan, akan
tetapi usahanya itu seperti seorang pelajar renang mencoba untuk
berenang melawan badai dan taufan mengamuk di lautan. Ia sebentar
tenggelam sebentar timbul, sebentar terseret dam terhanyut kemudian
dibantingkan ke atas setinggi gunung lalu dihempaskan ke bawah seperti
dilempar ke neraka. Beberapa kali hampir ia pingsan namun semangatnya
yang pantang mundur membuat kenekatannya bulat dan ia tetap sadar.
Dengan tekun ia memperhatikan gaya penyerangan dari suara khim itu, dan
terciptalah dalam otaknya inti sari jurus-jurus penyerangan ilmu silat
yang amat tinggi dan ajaib.
Bu Kek Siansu di samping menuntun
dan memberi petunjuk, agaknya juga hendak menguji kekuatannya. Suara
khim itu makin mendesak, menekan dan pada saat terakhir Suling Emas
hampir tak kuat lagi, kepalanya pening, matanya melihat seribu bintang,
tubuhnya menggigil dan peluhnya sebesar kacang kedelai memenuhi
jidatnya. Tiba-tiba, berbareng dengan berhentinya sama sekali suara
suling yang makin melemah dan makin habis itu, berhenti pula suara khim.
Suasana hening bening, sunyi senyap.
Suling Emas dengan wajah
pucat dan napas terengah merasa seakan-akan batu seberat gunung yang
menindih kepalanya, diangkat orang. Ia menyalurkan hawa secara normal
dan pernapasannya kembali dalam keadaan normal.
“Ha-ha-ha, tidak kecewa kau menjadi murid Kim-mo Taisu.”
Suling Emas membuka kedua matanya, lalu berlutut. “Banyak terima kasih atas petunjuk Locianpwe yang amat berharga.”
“Orang muda, bakatmu memang luar biasa. Pantas saja Kim-mo Taisu
mengangkatmu sebagai murid. Manusia hidup mengejar ilmu. Ilmu harus
dipergunakan di dunia ini untuk kemajuan hidup, untuk mengabdi
kebajikan, dan memberantas kejahatan. Apa artinya mempelajari ilmu kalau
tak mampu mempergunakan sebagaimana mestinya? Apa pula artinya puluhan
tahun mempelajari ilmu kalau kesemuanya itu kelak dibawa mati? Karena
inilah maka setiap tahun, hari pertama musim semi, aku selalu mencari
jodoh untuk menurunkan beberapa ilmu yang berhasil kuciptakan. Siapa
dapat bertemu denganku pada hari pertama musim semi, dia pasti akan
menerima sesuatu dari ilmu-ilmuku sesuai dengan bakat dan kemampuan
masing-masing.”
Melihat kakek itu berhenti sebentar, Suling Emas
yang selalu berwatak jujur tanpa mau menyembunyikan dan dipermainkan
perasaan, berkata,
“Teecu sudah mendengar akan hal itu, sudah
pula teecu dengar betapa banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal keji
dan jahat menerima pula warisan ilmu dari Locianpwe. Harap Locianpwe
terangkan mengapa Locianpwe menurunkan ilmu kepada mereka itu.”
Kakek itu tertawa lebar, berkilauan giginya tertimpa sinar matahari.
“Aku sudah melepaskan diri daripada ikatan perasaan, tidak mencinta
tidak pula membenci, tiada yang baik dan tiada yang buruk bagiku.
Betapapun juga, aku seorang manusia yang masih dikuasai pikiran dan
pertimbangan. Mereka yang berjodoh dan bertemu dengan aku, siapa pun
dia, akan menerima warisan ilmu, sesuai dengan watak dan bakatnya.”
Suling Emas biarpun baru berusia tiga puluh tahun, namun ia seorang
kutu buku yang sudah banyak melalap kitab-kitab kuno, maka ia dapat
menerima pendirian seorang sakti seperti ini. Ia tidak mau berdebat, dan
tidak berani mencela, maka ia lalu bertanya, “Teccu sudah menerima
petunjuk dengan suara tadi, bolehkah teecu bertanya, apa nama ilmu itu
dan apakah ilmu ini cocok dengan teecu maka Locianpwe mengajarkannya?”
“Orang muda, selama aku merantau dan setiap tahun menurunkan ilmu,
hanya ada dua ilmu yang tak pernah dapat diterima orang, biarpun setiap
kali sudah kucoba untuk menurunkannya. Yang pertama adalah ilmu yang
terkandung dalam suara khim tadi, yang kuberi nama Kim-kong Sin-im
(Tenaga Emas dari Suara Sakti). Kau tadi dapat melayani aku, sampai lima
puluh delapan jurus, itu sudah bagus sekali, berarti kau sudah dapat
menangkap inti sarinya, tinggal kaukembangkan saja, tergantung kepada
ketekunan dan bakatmu. Yang ke dua adalah ilmu yang juga tak pernah
dapat dimengerti orang, yaitu Hong-in-bun-hoat (Ilmu Sastra Angin dan
Mega)! Kulihat kau cerdik, bakatmu luar biasa dan menilik pakaianmu,
kiranya kau tidak asing akan sastra, bukan?”
“Teecu masih bodoh, akan tetapi teecu memberanikan diri untuk mencoba menyelami Ilmu Hong-in-bun-hoat itu, Locianpwe.”
Bu Kek Siansu terkekeh girang, lalu ia berdiri. Suling Emas tetap duduk
bersila dan mencurahkan seluruh perhatiannya. Dengan tenaga
sin-kangnya ia dapat membuka mata tanpa berkedip berjam-jam lamanya.
“Lihat dan ingat baik-baik semua huruf ini, orang muda,” terdengar Bu
Kek Siansu berkata dan mulailah kakek lambat-lambat, kedua lengannya
bergerak-gerak ke depan, mencorat-coret ke atas dan ke bawah, kedua
kakinya bergerak selalu, juga geserannya berupa corat-coret membentuk
huruf yang disesuaikan dengan coretan bagian atas dengan kedua
tangannya.
Suling Emas girang sekali bahwa dia dahulu adalah
seorang yang amat tekun mempelajari ilmu sastra, sehingga ia hafal akan
sepuluh ribu macam huruf. Ia melihat betapa gerakan yang dilakukan oleh
kakek itu merupakan coretan-coretan huruf-huruf yang amat indah dan
kuat. Lebih mudah baginya untuk mengingat karena ternyata setelah kakek
itu melakukan belasan jurus, huruf-huruf itu membentuk sajak-sajak dalam
pelajaran Nabi Khong Hu Cu yang ayat pertamanya berbunyi:
THIAN BENG CI WI SENG (Anugerah Tuhan Adalah Watak Aseli).
Tentu saja ia sudah hafal akan ayat-ayat kitab TIONG YONG ini, maka ia
tidak perlu lagi untuk mengingat-ingat susunan kalimatnya, hanya perlu
mengingat jurus gerakan setiap huruf. Hal ini menguntungkan Suling Emas,
karena perhatiannya tidak terpecah dan setelah menyaksikan beberapa
belas huruf ia sudah dapat menyelami inti sarinya sehingga selanjutnya
ia dapat menduga bagaimana huruf-huruf lain dibentuk dalam gerakan
silat itu. Setelah lewat seratus huruf, biarpun kini Bu Kek Siansu
bersilat dengan luar biasa cepatnya, ia sudah dapat mengerti dengan baik
bagaimana harus bersilat menurut goresan dalam pembentukan huruf-huruf
suci itu.
Saking tertarik dan tekunnya, tanpa ia sadari dan
sengaja, Suling Emas sudah bangkit dari atas tanah, dan otomatis ia
juga bersilat, bukan meniru gerakan Bu Kek Siansu lagi, melainkan ia
melanjutkan huruf-huruf yang belum dimainkan, sesuai dengan bunyi sajak
dalam ayat-ayat kitab TIONG YONG.
“Cukup, tidak sia-sia kali
ini aku berlelah-lelah.” Bu Kek Siansu tertawa gembira. “Dan saat
pertemuan inipun sudah cukup, kau boleh turun dari puncak sekarang
juga.”
Suling Emas menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima
kasih lalu berkata, “Budi Locianpwe terlalu besar terhadap teecu,
bagaimana teecu berani memutuskan pertemuan penting ini sedemikian
singkat? Teecu mohon petunjuk.”
“Ha-ha-ha, tidak ada manusia di
dunia ini yang merasa puas dengan keadaannya sendiri. Siapa mengenal
kepuasan dalam setiap keadaan, dialah manusia bahagia yang dapat
menikmati berkah Tuhan. Orang muda, kiranya dengan kepandaian yang
kaumiliki ini, kau berada di persimpangan jalan yang dapat membawa kau
ke jurang kejahatan, juga dapat membawamu ke alam murni. Hanya
tokoh-tokoh terbesar dari golongan hitam dan putih saja yang sejajar
dengan tingkat kepandaianmu.”
“Maaf akan kebodohan dan
kecupatan pengetahuan teecu, Locianpwe. Bolehkah teecu menambah
pengetahuan dengan mengenal nama-nama tokoh-tokoh itu?”
“Ha-ha,
mereka yang selama ini menyembunyikan diri, setelah sekarang Kerajaan
Sung berdiri, mereka mulai menampakkan diri, agaknya terpikat akan
keadaan baru di dunia ini. Golongan hitam amat banyak tokohnya, akan
tetapi kiranya hanya ada enam orang yang terkenal dengan sebutan
Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia). Kau tentu sudah mengenal siapa
mereka, bukan?”
“Teecu pernah mendengar, akan tetapi belum pernah bertemu muka dengan mereka.”
“Ha-ha-ha, yang tiga orang tadi siapakah? Mereka adalah tiga di antara
Liok-koai itu. Yang tiga orang lagi adalah Toat-beng Koai-jin (Setan
Pencabut Nyawa), Tok-sim Lo-tong (Anak Tua Berhati Racun), dan
Cui-beng-kwi (Setan Pengejar Roh). Kau berhati-hatilah terhadap enam
orang ini. Mereka amat lihai dan memiliki kepandaian tinggi sekali.”
“Terima kasih, Locianpwe, akan teecu ingat benar pesan Locianpwe.”
“Adapun tokoh-tokoh golongan putih, juga banyak akan tetapi mereka itu
tidak suka menonjolkan diri, suka bersembunyi, di antaranya mendiang
gurumu. Orang-orang seperti Kim-lun Seng-jin (Manusia Suci Roda Emas),
dan Gan-lopek (Empek Gan) termasuk orang-orang luar biasa yang sukar
dipegang ekornya ditentukan bulunya. Sudahlah, kelak kalau kau
mempunyai nasib bertemu dengan mereka, kau akan dapat menilai sendiri.
Sekarang pergilah, doaku selalu bersamamu selama kau tidak menyeleweng
daripada kebenaran.”
Suling Emas memberi hormat, kemudian
pergi dari tempat itu tanpa menoleh lagi. Memang kepandaiannya sudah
tinggi tingkatnya, sebentar saja seperti seekor garuda terbang, ia sudah
menuruni Thai-san dan setelah tiba di kaki gunung, barulah ia menengok,
bukan terkenang kepada siapa-siapa melainkan untuk mengagumi puncak
Thai-san yang kini tertutup awan putih itu.
“Awan putih sudah
tinggi, masih ada puncak Thai-san yang melewatinya. Namun dibanding
dengan langit, puncak Thai-san masih terlalu rendah.” Bibirnya
membisikkan sebagian daripada sajak kuno yang pada saat itu terlintas
dalam ingatannya. Kemudian ia melanjutkan perjalanan dengan langkah
lebar sambil termenung mengingat kembali Kim-kong Sin-im dan Hong-in
Bun-hoat yang baru saja ia terima dari Bu Kek Siansu.
***
Bu Kek Siansu masih berdiri seperti patung memandang ke arah perginya
Suling Emas, kemudian ia berbisik kepada diri sendiri, “Manusia bertemu
dengan penderitaan hidup kalau ia mengharapkan kesenangan hidup. Dia
dapat menahan derita hidup dengan tenang tanpa penyesalan, benar-benar
seorang muda yang kuat. Kesenangan dikejar, penderitaan didapat, baru
mendapatkan kekuatan batin. Mengapa manusia harus mengalami semua ini?
Mengapa?”
Bu Kek Siansu mengeluarkan sebuah kitab kecil dari
saku jubahnya dan membacanya sambil berdiri. Pada saat itu tiga
bayangan orang muncul secepat terbang mendaki puncak.
Bu Kek
Siansu menyimpan kembali kitabnya di saku, mengambil alat musik khim dan
menggantungkannya di punggung. Kemudian dipandangnya tiga orang di
depannya itu sambil tersenyum ramah.
“Bukankah kau Bu Kek Siansu?” tanya It-gan Kai-ong. Kakek tua renta itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Kebetulan sekali. Dunia kang-ouw mengabarkan bahwa setiap tahun, pada
hari pertama musim semi, kau akan muncul di dunia dan membagi-bagi
ilmu. Hari ini adalah hari pertama musim semi, ilmu apakah yang dapat
kauberikan kepadaku?”
Bu Kek Siansu tidak marah mendengar ucapan yang tidak sopan itu, ia hanya tersenyum.
“Aku pun menghadap padamu pada permulaan musim semi untuk minta
diwarisi ilmu silat yang sakti, Bu Kek Siansu,” kata Siang-mou Sin-ni
sambil melangkah maju.
“Yang datang menghadap adalah kami bertiga bukan hanya kau berdua,” Hek-giam-lo menyusul dengan suaranya yang dalam.
Bu Kek Siansu mengangkat kedua lengannya ke atas sambil tertawa.
“Jangan khawatir, aku si tua tidaklah kikir dengan ilmu, hanya aku
khawatir ilmu-ilmu yang kukenal tidak akan berjodoh dan cocok dengan
pribadi kalian bertiga. Ketahuilah, bahwa ilmu-ilmuku hanya dapat
diterima oleh orang yang menjauhkan diri daripada rasa dengki, iri,
murka, benci dan kejam. Tanpa dapat menjauhkan sifat-sifat ini, ilmu
yang kuturunkan bukan hanya tak ada gunanya, malah mungkin akan
merugikan tubuh sendiri. Nah, ilmu apakah yang hendak kalian minta?”
Tiga orang sakti itu saling pandang. Sifat-sifat yang disebut kakek itu
tadi bukanlah sifat yang aneh apalagi pantang bagi golongan hitam
mereka. Malah sifat kejam merupakan ukuran untuk kelihaian seseorang.
Makin tinggi tingkatnya, harus makin kejam, karena siapa yang kurang
kejam, berarti mempunyai kelemahan dan hal ini amat memalukan! Tentu
saja mereka tidak sudi menerima ilmu dengan ikatan seperti itu.
“Bu Kek Siansu, tadi kami mendengar nyanyianmu yang mengharuskan orang
membalas benci dengan kasih. Apakah kau termasuk orang yang tidak
mempunyai rasa benci?”
“Mudah-mudahan Tuhan menguatkan batinku dan membungkus seluruh pikiran dan hatiku dengan sinar kasih-Nya.”
“Jadi kau tidak membenci golongan kami? Tidak akan membeda-bedakan dengan golongan lain?”
Bu Kek Siansu menggeleng kepala. Tentu saja ia dapat melakukan hal ini dengan mudah.
“Kalau begitu,” kata pula It-gan Kai-ong, “kau jangan pilih kasih. Tadi
kauturunkan dua macam ilmu kepada Suling Emas. Nah, kami pun minta
kauturunkan ilmu-ilmu itu kepada kami.”
“Betul, aku menghendaki dua ilmu itu,” kata Siang-mou Sin-ni.
“Ilmu-ilmu apa tadi itu dan apa namanya?” Hek-giam-lo menyambung.
“Ha-ha-ha, kalian bertiga memang bermata tajam, tidak pereuma menjadi
tiga di antara Thian-te Liok-koai! Memang tadi aku menurunkan dua macam
ilmu kepada Suling Emas yang disebut Kim-kong Sin-im dan Hong-in
Bun-hoat. Akan tetapi entah kalian dapat mengerti kedua ilmu itu dan
menyukainya, tergantung kepada kalian sendiri. Bagaimana?”
Karena mereka bertiga tadi sudah merasakan sendiri bagaimana hebatnya
kepandaian Suling Emas tanpa mereka ketahui bahwa sebetulnya yang
meruntuhkan pedang-pedang itu adalah Bu Kek Siansu yang ingin mencegah
terjadinya pertempuran selanjutnya antara orang-orang sakti itu, maka
tentu saja mereka merasa iri hati dan ingin mendapatkan ilmu yang tadi
diwarisi oleh Suling Emas.
“Tidak perlu banyak cerewet, lekas
perlihatkan Kim-kong Sin-im!” kata pula It-gan Kai-ong yang memang
selalu bersikap kasar terhadap siapa pun juga. Baginya makin kasar
sikapnya, makin baik dan berwibawa dan gagah!
“Kalian juga
setuju?” Bu Kek Siansu yang masih tetap tersenyum itu bertanya kepada
Siang-mou Sin-ni den Hek-giam-lo. Keduanya meragu sejenak, akan tetapi
terpaksa mengangguk karena tidak ade pilihan lain. Seperti juga It-gan
Kai-ong, kedua orang sakti ini masih memandang rendah kepada Bu Kek
Siansu dan mereka menaruh curiga kalau-kalau kakek tua renta ini akan
menipu dan mempermainkan mereka.
“Baik-baik, kalian perhatikan
dan dengarkan baik-baik. Sesuai dengan namanya, Ilmu Sin-im (Suara
Sakti) dipelajari dengan pendengaran.” Kakek itu menurunkan alat musik
khim dari punggungnya, duduk bersila di atas tanah, lalu terdengarlah
suara khim, dimulai dengan “cring-cring” yang nyaring bening. Mula-mula
tiga orang sakti itu memandang penuh perhatian sambil mendengarkan dan
mengikuti bunyi khim, akan tetapi tak lama kemudian mereka nampak
gelisah sekali. Terutama Siang-mou Sin-ni, sebagai seorang wanita tentu
saja paling mudah terpengaruh oleh suara khim itu. Wanita sakti ini
mula-mula merasa jantungnya berdebar, kemudian setiap kali suara itu
melengking tinggi, ia merasa seakan-akan jantungnya ditarik dan kalau
suara itu merendah jantungnya seperti ditindih. Cepat ia mengerahkan
sin-kang di dalam tubuhnya dan di lain saat wanita ini sudah duduk
bersila dengan mata meram dan muka pucat. Ia masih berusaha untuk
menyelami bunyi yang makin aneh dan merupakan penyerangan langsung
kepada isi dadanya.
Berturut-turut It-gan Kai-ong dan
Hek-giam-lo juga terpaksa duduk bersila untuk mengumpulkan tenaga dalam
tubuh dan melawan serangan-serangan hebat dari suara khim itu. Sebagai
dua orang sakti, mereka pun maklum bahwa suara dari alat musik khim itu
mengandung hawa penyerangan yang luar biasa dahsyatnya, oleh karena itu
sambil menutup kelemahan diri dengan sin-kang mereka pun memperhatikan
dan berusaha menangkap inti sari daripada Kim-kong Sin-im.
Baru
seperempat jam saja orang itu sudah menderita hebat sekali, wajah
mereka pucat dan saking kerasnya mereka mengerahkan sin-kang, kepala
mereka sampai mengepulkan uap putih. Namun pelajaran itu masih juga
belum dapat mereka tangkap inti sarinya, atau ada juga mereka
menangkap, namun hanya menurut perkiraan mereka masing-masing dan
ketiganya menyelami isi Kim-kong Sin-im secara berbeda, sesuai dengan
watak masing-masing dan kesemuanya itu tentu saja menyeleweng daripada
inti sari yang sebenarnya. Hal ini bukan sekali-kali karena ketiga orang
ini masih rendah kepandaiannya. Sama sekali tidak. Dalam tingkat
kepandaian ilmu silat, kiranya mereka tidak berselisih jauh dengan
Suling Emas. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi,
watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, pula ilmu ini
tersembunyi di dalam lagu dan seni suara. Suling Emas dapat mewarisi
inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan
suara sulingnya sehingga seakan-akan ia “bertempur” dengan ilmu ini dan
karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifatnya menyerang dan
bertahan dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih
mengenal keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh
bedanya dengan kalau hanya mendengar saja.
Bu Kek Siansu memang
tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain
di depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih
duduk bersila dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan
dengan tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di atas
punggungnya, kemudian ia bangkit berdiri, menanti sambil membaca kitab
kecil.
Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena
suara khim tadi masih terus terngiang di dalam telinga, malah
seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih
sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas
mereka itu kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka
dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya
memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.
Bu Kek Siansu
menyimpan kitab kecilnya lalu berkata, “Kim-kong Sin-im sudah kalian
dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in
Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?”
“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah
yang harus kauturunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.
“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian
menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan
Sin-ni?”
Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua
orang ini hanya mengangguk. Betapapun juga, mereka masih ragu-ragu dan
memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im tadi?
Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila! Maka, mendengar bahwa
Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah gerakan-gerakan
silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian mereka tadi
ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju
dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang
tinggi dan sakti.
Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas,
Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengan
dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain
yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak
dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung
tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan
luhur. Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama
ayat pertama yang lengkapnya berbunyi demikian : THIAN BENG CI WI
SENG-SUT SENG CI WI TO-SIU TO CE WI KAUW. Tiga baris huruf yang
merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama, mempunyai arti yang amat
dalam, kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini : Anugerah
Tuhan adalah watak aseli-Selaras dengan watak aseli adalah
To-Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).
Jelas
bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong,
yang mengajar manusia menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan,
berarti menuntun manusia kembali mendekati dan mentaati kehendak Tuhan.
Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan
Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan
mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang mengemukakan
pelajaran tentang kebajikan? Sebagai orang-orang yang berpengetahuan
luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti
gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap
kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus
diketahui bahwa ilmu Silat Sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak
terletak pada macam huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan
lebih mendalam, yaitu lebih mendekati arti daripada ayat-ayatnya. Karena
itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini disebut Hong-in (Angin dan Awan),
karena sifatnya seperti ilmu sastra dan begitu dalam rahasianya seperti
juga angin yang dapat terasa tak dapat terpegang dan awan yang dapat
terlihat tak dapat terpegang pula!
Tidak mengherankan apabila
tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus
menggerakkan kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf
itu. Apa artinya itu semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu
main-main dan menipu mereka.
Agar jangan dianggap berat sebelah
Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama
ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang
ketiga orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.
“Nah, puaskah kalian?”
“Puas apa? Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada
kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong
dengan suara marah.
“Jangan-jangan kakek ini hanya menyombong
saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan
kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata
Siang-mou Sin-ni, tersenyum masam. Adapun Hek-giam-lo hanya mendengus
saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling
pandang. Dalam pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat.
Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti
itu menerjang maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum
sambil menundukkan mukanya. Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu
saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar,
rambut Siang-mou Sin-ni menghantam sembilan jalan darah di leher,
dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hek-giam-lo membacok kepala!
Semua merupakan serangan-serangan maut, dan semua penyerangen itu
dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu
roboh!
Serentak tiga orang itu menubruk, Siang-mou Sin-ni
berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan Kai-ong dan
Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu
tadi, mendapat bagian masing-masing separuh karena kitab kecil itu telah
terobek menjadi dua bagian ketika mereka berebut.
Sambil
tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata mereka
terbelalak, bulu tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak
kelihatan luka, bahkan kepala yang dihantam sabit tajam itupun sama
sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka. Namun, jelas
bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kai-ong
memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya tidak
berdenyut lagi.
“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan Kai-ong.
“Seorang penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.
Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu
dan ke arah sabitnya. “Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke
jurang saja,” ia menggumam, lalu menggunakan kakinya menendang. Tubuh
kakek itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti
suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni.
Akan tetapi
tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka
bertiga terhuyung-huyung dan hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar
biasa dahsyatnya datang menyerang mereka dari arah jurang tadi.
“Celaka...., rohnya mengamuk....!” It-gan Kai-ong berseru dengan muka
pucat dan ia segera melompat jauh dan melarikan diri. Dua orang temannya
juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak Thai-san.
Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang keluar dari dalam
jurang, berdiri di tempat yang tadi sambil termenung dan menarik napas
panjang berkali-kali. “Tuhan menghendaki demikian. Akan geger di dunia
persilatan.... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan
perlahan meninggalkan puncak.
***
Pada
masa itu, keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa
terjadi setiap kali ada peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun
berdiri, didirikan oleh Cao Kwan Yin yang tadinya merupakan panglima
tertinggi daripada wangsa ke lima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh
Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun
907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa Cao Kwan Yin yang kemudian
menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.
Daerah-daerah
yang tadinya semasa Kerajaan Tangtelah melepaskan diri dan berdiri
sendiri, dapat ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah
Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di
masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kembali, sama sekali bukan.
Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu menundukkan kerajaan-kerajaan
kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai daerah. Yang besar-besar di
antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria Selatan berada di
dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai
terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao.
Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak
mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.
Tentu saja seringkali
terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan
Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu
membangun negara setelah persatuan dapat dibina. Sebaliknya,
kerajaan-kerajaan kecil itupun tidak ingin mencari gara-gara dengan
kerajaan baru yang cukup kuat itu.
Pada suatu pagi yang cerah,
sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang, mengikuti aliran Sungai Han
yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba
di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi,
tidak seperti manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang
dikuasai oleh tiga kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa
perbedaan!
Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak
empat orang penumpang. Seorang di antara mereka jelas adalah tukang
perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang
berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang
memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya
sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman, terbakar matahari.
Tiga
orang yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah
seorang pemuda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan
keren wajahnya, matanya tajam bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan
kekerasan hati, dahinya lebar, pakaiannya sederhana tapi bersih, di
punggungnya tergantung sebatang pedang.
Orang ke dua adalah
seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana
ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup
cantik, sepasang matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih
itu membayangkan kehalusan budi, bibirnya tersenyum selalu membayangkan
keramahan. Juga gadis ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.
Orang ke tiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh
belas tahun usianya. Kalau gadis pertama sama betul waiahnya dengan si
pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya cantik jelita, rambutnya
hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpedang,
tergantung di pinggang kanan.
Siapakah mereka ini? Mereka adalah
kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan putera-puteri
diri seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa.
Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal
karena berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si
yang dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang. Kam-goanswe yang
namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki
kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung
yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa
Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini diserang oleh suku
bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan
daerah Shan-si.
Semenjak bentrokan itu, Kam-goanswe melepaskan
jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki
Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung
itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.
Tiga orang muda
itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan
itu yang bernama Kam Bun Sin. Anak ke dua adalah Kam Sian Eng, gadis
cantik jelita dan gagah. Adapun gadis yang termuda, gadis lincah jenaka,
bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya
bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut. Belasan tahun yang
lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam
menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan
seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati
dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat
kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu,
mengambilnya sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini
adalah nama anak itu sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa
menunjuk dada sendiri sambil menyebut “Lin Lin”.
Lin Lin tahu
bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai
anak angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung
keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anak-anak lain, ayah ibu
angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng.
Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia memang seratus prosen
anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi akan asal-usulnya yang oleh
ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas menjadi
korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bundanya, juga
tidak dapat memberi tahu di mana tempat tinggal mereka, karena menurut
jenderal itu, ia ditemukan di antara para pengungsi!
Sebagai
seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi,
tentu saja Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu
silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu mempunyai bakat yang
baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam
penggunaan ilmu lwee-kang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain pedang,
sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali keringanan tubuhnya dan karenanya
ia amat maju dalam ilmu gin-kang.
Keluarga Kam hidup tenteram
dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya.
Mereka hidup sederhana sebagai petani dan kesederhanaan dusun dan
pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.
Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada
sesuatu yang langgeng, alam dan isinya selalu berubah. Demikian pula
kehidupan manusia, selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia akan
selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu
mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada
kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan. Hanya
manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi
mabuk dan sombong di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di
waktu sengsara. Kalau orang selalu ingat bahwa kalah dan menang,
sengsara dan jaya, susah dan senang, semua itu adalah saudara-saudara
sepupu yang silih berganti menguasai kehidupan, ia akan selalu
bersikap waspada, tidak mabuk oleh kemenangan, tidak putus asa oleh
kekalahan, waspada akan tindakan pribadi agar tidak menyeleweng
daripada kebenaran. Ingat selalu bahwasanya TUHAN yang berkuasa mengatur
kesemuanya itu, bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di
samudera, tak kuasa melepaskan diri daripada gelombang kalau belum
KELUAR dari dalam samudera.
Hari itu menjelang senja, Kam Si Ek
bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan belakang
rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng,
dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir
setingkat dengan ayah mereka sendiri. Mereka bertiga kini sedang
mainkan pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang
berdiri sambil bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia
melihat betapa tubuh Lin Lin yang berpakaian merah itu berubah menjadi
bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya,
diam-diam Kam Si Ek kagum.
“Hebat bocah ini.... kiranya kelak ia
yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu keturunan
orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek
dan tiga orang anaknya yang mendengar suara ini segera menghentikan
permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di atas tembok
sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka
hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan wajahnya
berubah.
“Giam Sui Lok, mau apa kau datang ke sini?”
Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih beriongkok
di atas tembok, matanya yang besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin
Lin dengan pandang mata kurang ajar. “Kam-goanswe....”
“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”
“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”
Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah.
“Orang she Giam, aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”
“Kapan?”
“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak. “Boleh,
boleh...., aku tidak khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!” Tubuhnya
berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.
“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.
“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.
Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang
tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas pagar tembok dengan pedang
terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini
tampak marah.
“Lin Lin, kembali kau....!” Kam Si Ek berseru cemas.
Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu
meloncat turun kembali, berlari mendekati ayahnya. “Heran, ke mana ia
sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang macam itu mengapa tidak
dihajar saja, Ayah?”
Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa
anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat khawatir
karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau
dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw.
Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan
berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum
bahwa antara dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran
mati-matian dan ia tidak ingin kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan
permusuhan lama ini.
“Dia itu bekas teman lama, ada urusan
penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kauajak
kedua orang adikmu pergi ke Kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san
sekarang juga. Kausampaikan hormatku kepada Kui Lan suci (kakak
seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga
kuharapkan sudi turun puncak datang ke sini membawa peti hitam yang
kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”
“Tapi, Ayah,
orang tadi....” Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang
tadi akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya
untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.
Kam
Si Ek tertawa. “Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan
orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap,
dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”
Biarpun
hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak berani
membantah kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga bahwa memang
ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari rumah. Setelah
berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki
puncak Gunung Cin-ling-san yang tinggi itu, sambil membawa obor yang
akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di puncak.
Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah
kelenteng pendeta-pendeta wanita yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin
atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah Kui Lan
Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak
beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak, malah pendeta
wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula memberi
petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.
Perjalanan mendaki
puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah
mempergunakan ilmu lari cepat. Biarpun cekatan gerakan mereka, karena
hanya diterangi oleh obor di tangan, perjalanan itu agak lambat juga.
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih masih segar
mukanya dan masih gesit gerakan-gerakannya itu menjadi kaget melihat
kedatangan tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?” tegurnya, namun
hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak
membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut
memberi hormat, Bu Sin berkata, “Ayah yang menyuruh teecu (murid)
bertiga, Sukouw, pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat.
Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun
gunung menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh
tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm....
Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam
bersusah payah ke sini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja
kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan?
Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin
Lin, kalian bantu Sukouwmu, hayo ke dapur!” Memang nenek pendeta itu
orangnya ramah sekali amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal
diam saja, dan jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa
tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya.... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena
dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi ke sini, maka teecu bertiga mohon
petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan
laki-laki tinggi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan
pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya, Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin.
“Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan
pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin
menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak
termenung. “Giam Sui Lok....? Ah, akhirnya dia datang juga....?”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah.... wah, anak-anak, hayo
kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam
Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor
empat buah banyaknya dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti
hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka
segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan
mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi
cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar
jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan
memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan
itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan
antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan.... eh, urusan.... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan
Ayahmu, orang she Giam itu adalah.... eh, ia dan Ibumu agaknya saling
mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi persaingan, Ayahmu menang dan orang
she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan
tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan
tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu akan
terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh
dan tolol.... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini
benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka
menjadi malu dan tidak enak, maka mereka membungkam tidak berani
bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she Giam itu agak
berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling
mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa
kasihan. Perasean aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap seorang
laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar
keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya
memakan waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam hampir tiba ketika
mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam.
Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika
melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka berlari
ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah....!” Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar
aku yang masuk lebih dulu,” kala Kui Lan Nikouw yang selalu
berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu
sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di
depan dada, diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya,
berjalan masuk ke dalam rumah. Ruangan depan sunyi dan kosong, dan pada
saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu
menjerit dan lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi
darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula ibu mereka, juga
bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar
muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar
menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin
Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api. “Sratt!” Pedang sudah ia
cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” Pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan
yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri
di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia
menahgis dan memprotes, “Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus
kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati di sini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi
tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin
membantah lagi, penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian
Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke sini.
Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada,
luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu
pedang Ayahmu, terpental di sana dan sedikit pun tidak ada tanda darah.
Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, di mana goloknya,
juga terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak
dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu maupun golok dia itu tidak
menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh.... nanti dulu! Ibumu belum
mati.... biar kutolong dia....” Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di
atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja
dugaannya, nyonya ini biarpun terluka hebat, masih belum tewas, setelah
ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw
yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan,
pinni Kui Lan Nikouw di sini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan
semua ini?” kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung
desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas.
Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak
dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang
pembunuhan itu.
“Iihhh.... takut.... takut.... setan....!”
Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan. Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin
yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau
tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit
ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada di sini. Setan apa yang kautakuti?” kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih
ketakutan, “Setan.... dalam peti mati.... suaranya.... suling.... suling
maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah
tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya.
Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan
roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan
tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang
penjahat yang luar biasa sekali. Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu
Sin dan Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan
tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena
tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu
juga menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.
***
Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw
membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya.
Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu,
menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin
berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras.
Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam
menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun
boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang di antara kami harus mati
untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh
anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee
Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam
hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua
tewas, harap Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi
harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas
dengan huruf BU SONG. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik BU SONG.
Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan
bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang.
Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai
dapat. Aku tidak tahu di mana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama
dengan pengetahuanmu, Suci, maka kauceritakan kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan
mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she
Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sutemu,
KAM SI EK
Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah
mereka itu, tiga orang anak inipun terheran-heran dan banyak hal yang
mereka tidak mengerti.
“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu
Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu
menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok,
Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal
diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia
sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian
isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat
yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya.... hemmm, hal ini
terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari
golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin karena inilah ia berpisah
dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan ke mana
perginya.... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung
kakakku, karena dia pun putera Ayah?” tanya Bu Sin, berdebar hatinya
mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang ke dua dan di
sana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari
padanya.
“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu.
Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak
yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam minggat pada malam hari
dan sampai saat ini tidak diketahui di mana tempat tinggalnya.”
Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu. “Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.
“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa
puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang menempuh
ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu,
agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu Song....” kata Lin
Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa,
ia merasa tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu
Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai
seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
“Akan
tetapi ketika Ayahmu mencarinya ke sana, Bu Song sudah menghilang lagi
dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu di mana dia berada. Sekarang, Ayah
kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian
kalian akan hal ini?”
“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk
pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu
takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan
Ibu!”
“Teecu juga!” kata Sian Eng.
“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi juga akan teecu cari sampai dapat dia itu.... eh, Kakak Bu Song.”
Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk. “Pinni tidak dapat menyalahkan kalian
untuk dendam ini, apalagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah
panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan
mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti
yang membawa suling. Hemmm, apalagi melihat kepandaian orang itu,
andaikata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan
dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau
mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan
tetapi, apabila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian
tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada
pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andaikata
tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang
pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono,
baru pinni memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang muda itu
berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga
orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan,
mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke
timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
***
Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan
perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai.
Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar dan
perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
“Kita
sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya
sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika
Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar
sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi
dapat melakukan perjalanan melalui darat.”
Mendengar ini, Lin
Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang. “Bagus sekali! Aku sudah
bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal
karena tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama
lagikah kita sampai di Wu-han?”
“Tidak lama lagi, Nona, sore
nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat
mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji
akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu di sana?”
“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar
Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”
“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.
“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari
Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang
akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar
membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”
“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak, penasaran.
“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu.
Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang
amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar,
pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan
praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa
Wu-han merupakan pusat, maka di sana berkeliaran banyak sekali pengemis
dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus
membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil
penangkapan ikan maupun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu
kelihatan berduka dan penasaran.
“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.
“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.
Tukang perahu menggelengkan kepaianya. “Mereka tidak berdaya.
Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka
itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian
Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada
saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan
sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta sebagian
atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”
Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya. “Tidak, Lopek! Kita terus ke
Wu-han dan kami yang tanggung bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu
tidak akan mengganggumu!”
“Tapi....”
“Kalau perlu pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani membantah lagi dan dengan muka
berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang perahu melanjutkan perahunya.
Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, perahu sudah
tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han
memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di tempat ini merupakan
pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat
mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka, Tuan Muda, lihat di sana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya....” bisik tukang perahu.
Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang
aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak
sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada yang menambal
perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis
duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah pengemis-pengemis kurus
kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja Lin Lin terkekeh
memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.
“Lopek, kaumaksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”
“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras....” tukang perahu makin pucat.
“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”
“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan
terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka berani merampokmu, kami akan
memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.
Dengan terpaksa
tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke
arah perahu. Seorang di antara mereka yang hidungnya bengkok, menguap
lalu berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.
“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”
Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan
si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat, “Kami datang dari daerah
Propinsi Shen-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”
Empat
orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung
bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua
orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan berdiri memandang
dengan mata tajam. “Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu
biayanya banyak. Berapa kauterima?”
“....hanya.... hanya dua puluh tail.... itupun belum saya terima....” jawab si tukang perahu ketakutan.
“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong. Setidaknya harus lima puluh tail!”
Si tukang perahu makin takut. “Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail,
akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya
dan....”
Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan
ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka
pengemis itu.
“Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah
perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan
tukang perahu?”
Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak.
“Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kaulihat anak ayam ini. Nona cantik, kau
belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari
terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan
terakhir ini.
“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku
hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung bengkok.
Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu
yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju.
Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin, tidak mau
mencegah, apalagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para
pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah
ia mendekati Lin Lin. “Bocah liar, kau perlu dihajar!” Lengannya yang
panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak
menangkap Lin Lin. Gadis ini tentu saja tidak sudi membiarkan pengemis
itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kaki kirinya
melayang ke atas dan “prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka
pengemis itu dengan keras.
Si pengemis terhuyung ke belakang,
mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar dari
hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya
yang kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.
“Setan
cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari
Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?” Tiga orang
pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin. Gadis ini tertawa
mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikitpun juga. Bu Sin dan
Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak
dikeroyok.
“Jembel-jembel jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi seorang pengemis.
Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis
ke dua. Adapun pengemis yang memaki tadi, sudah bertanding melawan Lin
Lin. Tiga orang muda ini tidak mau mempergunakan pedang ketika melihat
bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa saja yang mengandalkan ilmu
silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi
lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan kelincahan
tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin kosong
belaka.
Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena
mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian yang amat mengherankan
mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatan tiga
orang muda itu. Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu
merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka. Sekarang ada tiga
orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan pengemis-pengemis
itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong datang
menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita
ini, bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak di antara mereka
terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran
itu sudah selesai.
Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau
main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan
kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi
tubuhnya menggelinding ke dalam sungai! Sian Eng juga merobohkan
lawannya semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang
“memasuki” lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh
menekan-nekan perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu
geraknya, tapi tidak mampu bangun kembali.
“Stoppp!” Lin Lin
membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang
menjadi lawannya. Pengemis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar
hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan memasang kuda-kuda dan
memandang heran.
“Stop dulu sebentar, ya?” Lin Lin melangkah
mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas tanah
itu. kakinya bergerak dan.... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam
sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin
menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu
berkata manis.
“Nah, sekarang boleh teruskan!”
Sikap
gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa daripada para
penonton. Memang sudah terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis,
merasa penasaran dan marah yang ditahan-tahun. Sekarang ada tiga orang
muda memberi hajaran, hati mereka lega dan pues. Biarpun biasanya mereka
takut terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan
sikap gadis remaja yang cantik jelita dan jenaka itu, mereka tak dapat
menahan kegembiraan mereka.
Lawan Lin Lin marah bukan main,
sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan
hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap
hidungnya yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin
gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang
tongkat dan menyerang dengan tongkat di tangan.
“Wah, baunya
yang tidak tahan!” Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan
kini hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja.
Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biarpun diputar dan
dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya.
Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil
memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya
sampai mengeluarkan suara “plokkk!” dan debu mengebul dari celana yang
kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi
perut saking menahan tawa.
“Lin-moi, lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.
“Sudah beres, Sin-ko!” jawab Lin Lin dan entah bagaimana lawannya tidak
mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan kanan gadis
itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke kanan
kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus menggebuk
pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur itu
terjengkang masuk ke dalam sungai!
Karena takut dipermainkan
terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka
hanyut oleh air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh
dari tempat. Adapun Bu Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan
dan menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali,
si tukang perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai
melawan arus yang tidak begitu kuat.
Bu Sin maklum bahwa mereka
telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang
adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang
tadinya menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan
kekhawatiran sambil membicarakan peristiwa tadi.
Karena malam
telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan
perjalanan di waktu malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya bermalam
pada sebuah rumah penginapan yang berada di sebelah timur pusat kota.
Sebuah rumah penginapan yang sederhana, namun cukup bersih.
Di
sepanjang perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah
melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin, karena ia sudah merasa
khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka akan menemui
kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.
“Wah,
cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan.” kata Lin Lin.
“Katanya di sini berkeliaran banyak pengemis jahat, mana buktinya?
Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”
“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.
“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.
“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kaukira setelah melihat empat
orang pengemis jahat tadi kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat
belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah
patut dikasihani?” Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang
duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di depan rumah penginapan.
Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua
ini. Ia duduk bersila melenggut bersandarkan tongkat bututnya,
pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya
riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekeli, kedua
matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertumpuk,
bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan,
namun juga menimbulkan kasihan.
Dasar Lin Lin berwatak aneh dan
mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh.
Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar,
kalau menangis pun hanya sebentar, dan sebagian besar waktunya tentu
diisi dengan tawa dan berjenaka. Kini melihat keadaan kakek ini,
tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia
merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan
melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu
masih saja tidur.
Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi
karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh, mereka
tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin
bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan
kehabisan bekal di jalan! Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis
sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka
tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta
sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi
untuk Bu Sin.
Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak
pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang pelayan rumah
penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut
di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata
pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.
Tadinya
orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu
yang kebetulan duduk di ruangan depan, mendengar suara orang
berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa lampu keluar dari
ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua
itulah yang berteriak-teriak, “Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”
Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang
masih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila.
Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting,
tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi
tongkat. Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan menjadi
kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti
itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan sebentar saja banyak orang
melihat kakek itu.
Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas
keluar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah
pertunjukan gin-kang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat
makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila.
Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan
kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan
di bawah pantat si kakek jembel!
“Nyamuk keparat!” Kakek itu
masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak
dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya, “Keparat,
uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!” Setelah
berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya.
Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek
itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi,
terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.
Orang-orang tertawa. “Kakek itu gila, rupanya....”
Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan
kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apalagi ketika
mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih
ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek.
Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata
telah melesak dan melengkung oleh ludah.
Pucat wajah Bu Sin.
“Celaka....!” pikirnya, “tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk
tadi adalah kita bertiga!” Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua
orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan
malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!
“Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.
“Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai
detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya
berjalan cepat.
“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.
“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa
kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu gin-kang yang amat luar biasa?
Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak salah
lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia
seorang di antara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan
kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh tiga
ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita
bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan
tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan
niatnya. Sungguh berbahaya!”
Lin Lin membanting kaki. “Kakek
keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina,
menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau
tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya,
sampai di mana sih tingginya maka dia begitu sombong!”
“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.
“Aku tidak takut!” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.
Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaanya. Ia tidak
bisa marah kepada Lin Lin, pertama karena memang ia amat sayang kepada
adik angkatnya ini, ke dua, karena ia merasa tidak enak kalau harus
marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan.
Memang, biarpun masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang baik sekali.
“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak
membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja!” Sian
Eng menegur Lin Lin.
Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf.
Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin. “Sin-ko, apakah kau marah
kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang
baik?”
Mau tak mau Bu Sin tertawa juga. “Kau memang nakal.”
“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin
mengerling ke arah cicinya. Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya
menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari
memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit, “Sin-ko, tolong.... Enci galak
mau bunuh aku....!”
“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa bunuh,
siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.”
Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik
yang nakal ini.
Tanpa terasa karena di sepanjang jalan mereka
bersendau-gurau, tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han,
melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat
gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar
melakukan perjalanan di malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal
jalan. Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.
“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat
lelah,” Sian Eng mengomel. “Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini
dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”
“Kita sudah keluar dari
Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi di mana harus
beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api
rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh daripada dusun.” kata Bu Sin.
“He, kalian lihat. Bukankah di sana itu rumah? Tapi gelap amat....!”
Lin Lin tiba-tiba berkata. Mereka melihat dan benar saja. Di antara
kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak
bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando
ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan
depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak
terpakai lagi.
“Kita istirahat di sini melewatkan malam,” kata
Bu Sin dengan hati lega. Biarpun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak,
namun cukup lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di tengah
jalan, di udara terbuka.
Baru saja mereka membersihkan lantai
yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan
kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga
orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa
empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis!
“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.
Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin
rombongan itu karena dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum
lebar dan berkata.
“Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah merobohkan
empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil
Sam-wi menghadap.”
Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini
karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat daripada sepak terjang
mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan
hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu,
ia menjadi mendongkol juga. Biarpun pemimpin mereka seorang pangcu,
akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil
mereka menghadap seperti sikap pembesar saja?
“Lopek (Paman
Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri
yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda
turun tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian,
juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan dengan
kami, persilakan dia datang ke sini bicara,” jawabnya dengan suara
angkuh dan sikap tenang.
Kakek pengemis gemuk pendek itu
tiba-tiba tertawa. “Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak
buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian
seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya
langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian
menghadap dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai
kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap
bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”
Seakan
meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah
ini. Ia meloncat maju dan membentak, “Pengemis tua bangka sombong,
kaukira kami takut kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak
akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?”
“Ho-ho,
benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah
kalian datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”
“Memang
kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han
(orang-orang gagah), apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang
pandai bicara itu menjawab, mendahului kakaknya yang masih diam saja.
Pemuda ini maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke
depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih baik, malah akan
menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek pendek
itu.
“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan
perjalanan hanya lewat saja di sini, sama sekali tidak mencari perkara
dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan
orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya
berhenti di sini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi
meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”
“Kalian hendak kemana?”
“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”
“Bagus! Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan
Sung? Orang muda, mari ikut dengan kami menghadapi pangcu kami.”
Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biarpun
di situ ada belasan orang pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?
“Kami tidak akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang,
diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin. Tiga orang muda ini seperti tiga
ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka siap
menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa takut!
“Wah-wah, benar gagah!” Kakek itu berkata lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap mereka!”
Bu Sin memutar pedangnya, mengancam, “Mundur kalian! Lihat pedang!”
Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang
pengemis dengan tongkat mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah
menyambut mereka dengan pedang. Pertempuran hebat terjadi di bawah
sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang muda she Kam itu berkelebatan
cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa
jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sambil memekik kesakitan.
Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat
betapa para pengemis itu mengeluarkan gendewa dan anak panah!
Berbahaya, pikirnya.
“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan
am-gi (senjata gelap)!” teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku,
mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang). Tangan
kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik
dua orang pemegang obor, tangan mereka terhujam piauw dan obor yang
mereka pegang jatuh, padam. Lin Lin dan Sian Eng juga sudah
mempergunakan kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu
jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam.
Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi
isyarat kepada kedua orang adiknya. Mereka maklum bahwa kalau
pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu
mereka akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan gin-kang
mereka, memutar pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa
menit kemudian mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap
tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah
hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun
menutupi langit di atas mereka.
“Wah, memalukan benar!” Lin Lin
terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar
harimau!” Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri
ini, merasa sebal dan penasaran.
Bu Sin dan Sian Eng juga
berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju. “Wah, berbahaya
benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan
oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu
tingginya langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan
mereka menghujankan anak panah, apa kaukira masih akan dapat bernapas
saat ini?”
“Belum tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih
belum kalah, dan andaikata akhirnya kita mati dikeroyok, sedikitnya
pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada
beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun
tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut
penasaran besar!”
Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin
Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia merasa khawatir
kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak. Karena
keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang
muda itu lalu naik ke atas pohon yang terpaksa bermalam di situ seperti
tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi
karena mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan
baru mereka bangun setelah di situ ramai oleh suara burung berkicau
menyambut datangnya pagi.
Ketika Lin Lin dan Sian Eng membuka
mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan
telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara lalu
menuding ke bawah. Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di
bawah, kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi,
tampak seorang kakek jembel berdiri bersandar tongkatnya. Kakek yang
bongkok, rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis
yang peman mereka lihat di depan rumah penginapan, yang diberi uang
perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu sampai penyok!
Dan di depan kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para
pengemis yang mengeroyok mereka semalam, mereka berlutut tanpa berani
berkutik sedikit pun juga! Kakek pengemis bongkok itu terdengar
marah-marah.
“Kalian anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia
memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik
kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa
artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”
Semua
pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta
ampun dan menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan
kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek
pengemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis yang amat
berpengaruh!
“Mana anggauta Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”
Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju
dan berlutut di depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat
bahwa orang-orang itu adalah empat orang pengemis yang mereka hajar di
tepi sungai kota Wu-han!
“Cih, yang begini mengaku anggauta
pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!”
Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang
roboh, tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak.
Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!
“Biar ini sebagai
pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh
semua anggauta Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga
Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”
Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan
kakek bongkok itu. “Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat
memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku membutuhkan
tempat sembunyi Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku.
Kalau mungkin, selidiki di mana ia menyimpan robekan setengah bagian
kitab kecil.”
“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh
kawan di kai-pang (perkumpulan pengemis),” jawab mereka berbareng
dengan suara amat merendah.
“Sudah, pergi sekarang. Muak
perutku melihat kalian!” Kakek bongkok itu mengomel dan bagaikan
anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret
mayat empat orang pengemis anggauta Pek-ho-kai-pang itu.
Bu Sin
dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah,
kini tampak pucat. Namun, di samping kengerian ini, Lin Lin merasa
marah sekali kepada kakek itu yang dianggapnya sombong dan kejam
sekali.
“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.
“Ssttt....!” Bu Sin mencegah, namun terlambat. Kakek itu tiba-tiba
membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar di mana mereka
bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi
sambil terkekeh ia berkata, “Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai
seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba
kedua tangannya mendorong dan.... “kraaakkk!” batang pohon itu remuk dan
tumbanglah pohon yang besar tadi.
Bu Sin dan dua orang adiknya
bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut
bukan main. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan melompat turun sebelum
mereka ikut roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting.
Begitu kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan
siap menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan
diberi ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.
“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri.... tak tahu diri....!” Tiba-tiba tongkat
di tangan kakek itu melayang, bagaikan seekor ular bergerak-gerak di
udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat
mengangkat pedang membacok.
“Tranggggg!” Tiga batang pedang di
tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka,
sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek
bongkok yang tertawa berkakakan. “Ha-ha-ha-ha-hah!”
Bu Sin dan
dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan,
sehingga mereka diam tak bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya
hanya menanti datangnya pukulan maut. Pada saat itu, terdengar suara
suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin
dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa mendengar lebih lama
lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka menggigil, terpaksa
mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga. Biarpun
demikian, masih saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat
telinga terasa sakit sekali.
Kakek itu kelihatan terkejut pula,
lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak
menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya
tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu
melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.
“It-gan Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara
pengecut menyerang Bu Kek Siansu dah merampas kitab dan alat khim.
Biarpun Bu Kek Siansu tidak peduli dan mengampuni kalian, namun aku
tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan nyawamu!”
Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini,
akan tetapi hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang
tinggi besar, membawa suling, berjalan perlahan.
“Dia
bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya. Di
lain saat Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw
dan jaarum. Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa
dari belakangnya menyambar senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda
itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw dan tujuh batang
jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang itu tetap
saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua
senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar kemudian ia
lenyap di balik pepohonan.
“Mari kejar....!” Bu Sin berkata.
“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.
Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia
mengerutkan kening. “Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya?
Dia pembunuh Ayah!”
“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi
pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa memberi
peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”
Merah wajah
Bu Sin dan Sian Eng membentak, “Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak
membantu, malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita
mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih
tinggi daripada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan
segala? Yang perlu, kita harus dapat membalas dendam!”
Lin Lin
menarik napas panjang. “Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu
mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku
tidak percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya
terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi
kakek pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita
bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang
baik-baik, bukanlah lebih celaka lagi?”
“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.
“Kalau memang dia musuh kita kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang
lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini!” kata Bu Sin yang masih
ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi. Dengan
cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah jurusan
munculnya matahari pagi.
***
Enam orang laki-laki
sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah
pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan
melewatkan malam gelap di dalam hutan besar membuat api unggun, duduk
mengelilinginya sambil bercakap-cakap.
Tiba-tiba mereka berhenti
bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak
panjang, dan mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi
mendengar suara mencurigakan. Dua orang segera memadamkan api unggun.
Kemudian mereka merunduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri
tempat itu dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka beruntung
mendapatkan binatang buruan yang kemalaman di situ.
Akan tetapi
mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan,
kiranya dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan
sedang berusaha membuat api unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis
cantik. Seorang di antara para pemburu, yang berjenggot pendek, pemimpin
rombongan pemburu enam orang ini, tertawa dan disusul oleh
teman-temannya.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin terkejut, cepat
menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan itu, tangan
meraba gagang pedang.
“Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda
jangan khawatir. Kami hanya pemburu-pemburu binatang biasa, bukan
perampok,” katanya.
“Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap,” kata Bu Sin setengah menengur.
“Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana,
mendengar suara Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami kira binatang hutan.
Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di
hutan liar?”
“Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman
di jalan,” jawab Bu Sin singkat. “Maafkan kami kalau kami mengganggu
Cu-wi sekalian.”
“Ha-ha, tidak mengapa.... tidak mengapa....
hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi yang
begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan
tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan,
kita membuat api unggun di sini saja.”
Mereka membuat api unggun
besar dan duduk mengelilinginya. “Tan-twako, kaulanjutkan dongengnnu
tentang Suling Emas,” kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang
lain.
Laki-laki berjenggot pendek itu berkata sungguh-sungguh,
“Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya.
Sungguhpun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau
dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya.”
“Ceritakan.... ceritakan....!” teman-temannya mendesak.
Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya
menaruh curiga terhadap enam orang yang mengaku pemburu-pemburu ini,
akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas, mereka tertarik
sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhatian.
Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena
itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguhpun mereka memilih
tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap
waspada menjaga segala kemungkinan.
“Terjadinya di hutan
Hek-yang-liu (Cemara Hitam),” pemburu she Tan itu mulai bercerita,
“kurang lebih tiga bulan yang lalu. Kalian tahu hutan itu penuh dengan
ular besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular
dari saudagar kulit, dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko
obat di kota Wu-han.”
“Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja,” komentar seorang temannya.
“Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta
gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku sudah dapat memanah mati dua
ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ke tiga, ketika aku sedang
menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau
yang langsung menyerangku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan dua
ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan tetapi
bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus?
Agaknya mereka berlumba untuk menerkam aku lebih dulu. Aku dapat
menusuk paha seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih
menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam
pundak kiriku. Aku melepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi
sebelum aku dapat menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu,
harimau ke dua sudah menggigit pangkal lengan kananku sehingga pisau
itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi....”
Lima orang pendengarnya menahan napas. “Twako, kukira apa yang dapat
kaulakukan hanya berteriak mint atolong,” kata seorang. Kata-kata ini
kalau diucapkan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar
lucu.
“Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku
sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai seorang pemburu!”
bantah pemburu she Tan dengan suara gagah. “Akan tetapi agaknya belum
tiba saatnya aku mati. Pada waktu itu aku sudah hampir pingsan,
pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang
melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri
merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah
pingsan. Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku melihat bayangan
orang memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas
bahwa suling itu terbuat daripada benda kuning berkilauan, tentu suling
emas. Terdengar suara gaduh ketika empat ekor harimau itu meraung-raung
dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu bergerak cepat, menerkam
ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti pandangan
mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi....”
“Lalu bagaimana, Twako?” Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh perhatian.
“Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka
mata, kulihat bangkai empat ekor harimau menggeletak di sana-sini.
Anehnya, pundak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku
sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri lagi.
Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau itu
pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging
harimau yang menguatkan tubuh, juga mendapatkan empat lembar kulit
harimau yang utuh dan indah. Mau aku mengalami hal itu sekali lagi
kalau hadiahnya demikian besar.”
“Jadi yang menolong itu adalah
Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun
belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?”
“Agaknya
begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor
harimau tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling
emas kalau bukan Si Suling Emas?”
Tanpa mereka sadari, Bu Sin
dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. “Twako,
siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar
yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka
membunuh orang?” tiba-tiba Bu Sin bertanya.
Pemburu she Tan itu
tersenyum. “Siapa yang tahu, anak muda? Sepak terjang seorang ajaib
seperti dia itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia
memang suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombolan perampok
di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh
olehnya.”
“Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw
dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh
perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua orang
hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?” kata seorang pemburu
yang berhidung besar.
“Juga ketika terjadi geger di kota raja
karena hilangnya burung hong mutiara milik permaisuri, orang-orang
mengabarkan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu
sudah tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar
kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa
yang kaulihat?”
“Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat
kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang mengabarkan
bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti
pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya.
Tentu dia seorang pelajar.”
“Dan pandai bersuling.”
“Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri....”
Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing,
akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara mereka
tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir. Betulkah
pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang muncul
dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu
Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi berwarna
hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu
membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya
tinggi besar.
“Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah
seorang sakti yang berkepandaian tinggi. Tidak baik kita
membicarakannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh,
meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh
dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi
kalau marah....” Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan,
menyorongkan kedua lengannya dekat api. “Betapapun juga, kalau dia
marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran karena memang aku
berhutang budi dan nyawa kepadanya.”
Sebentar kemudian, keenam
pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar
sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di dalam hutan besar
kesemuanya tidur? Tidak menjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api
unggun menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga
orang muda yang agaknya tidak nampak lelah. Mendongkol hati Bu Sin.
Kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan
mereka, ia tidak sudi. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat
itu dan membuat api unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya
dari tempat para pemburu.
Menjelang tengah malam, keadaan amat
sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun.
Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun, amatlah hebat.
Mulailah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan
orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak seng4ja telah terjun
ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai
atau dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan
Kai-ong. Nama ini takkan mudah terlupa dari ingatannya dan ia tahu
bahwa ia harus berhati-hati dan menjauhkan diri dari kakek iblis itu.
Lin Lin dan Sian Eng tidur pulas meringkuk di dekat api unggun,
berbantal akar pohon yang menonjol kduar dari tanah.
Tak baik
melakukan perjalanan dengan gadis-gadis ini, pikirnya. Biarpun mereka
berdua memiliki kepandaian tidak kalah olehnya, namun mereka tetap
perempuan, banyak mendatangkan dan memancing keributan. Ia harapkan
dapat bertemu dengan kakaknya, Kam Bu Song di kota raja dan besar
harapannya pula bahwa keadaan kakaknya yang sepuluh tahun lebih tua
daripadanya itu telah mendapatkan kedudukan yang cukup baik. Ia harus
menitipkan kedua orang adiknya kepada kakaknya itu, kemudian ia akan
melanjutkan usahanya mencari musuh besarnya itu, seorang diri.
Lewat sedikit tengah malam, Lin Lin bangun. “Sin-ko, sekarang kau
tidurlah, biar aku yang berjaga.” Mendengar suara adiknya, Sian Eng juga
bangun mengulet dan menguap.
***
“Biarlah aku yang
berjaga,” katanya. “Kalian tidurlah, aku tidak mengantuk,” kata Bu Sin,
kasihan melihat dua orang adiknya. Ia mengalah dan ingin berjaga semalam
suntuk, membiarkan kedua adik perempuannya itu tidur melepaskan lelah.
“Ah, mana bisa, Sin-ko? Kau pun manusia dari darah daging saja, mana
tidak lelah dan ngantuk? Biarlah aku dan Cici Sian Eng berjaga,” kata
Lin Lin sambil menambah ranting kering pada api unggun sehingga keadaan
menjadi hangat.
“Biarlah kita bercakap-cakap dulu, aku tadi
merenungkan hasil kepergian kita ke kota raja. Bagaimana kalau kita
tidak dapat menemukan saudara tua kita di sana?”
“Sin-ko, jangan
khawatirkan hal yang belum kita hadapi. Tentu dia berada di sana.
Andaikata tidak ada di sana pun, kurasa mencari seorang bernama Kam Bu
Song, putera dari mendiang ayah Kam-goanswe, seorang pelajar yang datang
dari Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san, tidak akan sukar. Tentu ada
yang mengenalnya di kota raja. Nah, tenang dan tidurlah Sin-ko.”
Bu Sin tersenyum. Adiknya yang sulung ini memang besar hati dan kalau
mendengarkan bicaranya memang ia tidak perlu gelisah. Seorang gagah
tidak menakuti hal yang belum dihadapi, bahkan hal yang sudah dihadapi
sckalipun tidak boleh mendatangkan rasa takut, harus dihadapi dengan
tenang dan waspada, demikian pesan ayahnya dahulu.
“Lin Lin, kau
benar. Biar kucoba tidur agar besok kuat kupakai jalan jauh.” Bu Sin
lalu merebahkan tubuhnya, miring menghadapi api unggun.
Akan
tetapi tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas, juga dua orang gadis itu
meloncat berdiri. Mereka berdiri dan saling pandang, penuh rasa kejut
dan seram. Suara melengking tinggi itu masih terdengar mengiang-ngiang
ke telinga mereka. Lengking tinggi menusuk telinga, suara suling. Lalu
disusul suara pekik ketakutan, atau mungkin pekik kesakitan, betapapun
juga, pekik ini susul-menyusul dan amat mengerikan. Akhirnya, tiga orang
itu tidak dapat menahan lagi, telinga serasa pecah oleh lengking itu.
Dengan kedua tangan menutupi telinga, Bu Sin memberi isyarat kepada
adik-adiknya. Mereka lalu duduk bersila, menutupkan kedua telapak
tangan ke telinga, meramkan mata dan bersamadhi, mengerahkan lwee-kang
untuk menjaga isi dada yang terguncang hebat oleh suara itu.
Dapat dibayangkan hebatnya suara itu karena biarpun mereka sudah
menutupi telinga dan mengerahkan lwee-kang masih saja suara itu menyerbu
masuk ke dalam telinga dan tubuh mereka gemetaran. Akan tetapi berkat
lwee-kang mereka, tiga orang muda itu dapat mempertahankan diri dan
tidak terluka dalam.
Hanya sepuluh menit kurang lebih suara itu
melengking-lengking, lalu sunyi, sunyi seperti kuburan. Mereka
menurunkan kedua tangan. Bergidik ketika saling pandang. Sinar mata
mereka saling mufakat bahwa yang bersuara tadi tentulah Suling Emas,
karena mereka masih ingat akan suara suling yang pernah menusuk telinga
mereka ketika mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Akan tetapi suara
suling kali ini amatlah mengerikan.
Sampai pagi tiga orang muda
itu tak dapat tidur lagi. Malah mereka duduk bersila mengumpulkan
tenaga, siap sedia menanti datangnya bahaya dan mengambil keputusan
untuk mempertahankan diri mati-matian biarpun akan datang serangan orang
sakti sekali pun. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu dan kesunyian yang
mencekam itu segera dipecahkan oleh kicau burung dan kokok ayam hutan.
“Mari kita segera pergi dari sini,” kata Bu Sin. Kedua orang adiknya
dapat menangkap pandang mata dan suara hati yang tersembunyi dalam
ucapan ini, seakan-akan berkata, “Untung tidak terjadi apa-apa pada
kita, lebih cepat pergi dari sini lebih baik.”
Biasanya dalam
perjalanan yang lalu, sebelum pergi tentu mereka bertiga akan mencari
mata air atau sungai untuk mencuci muka atau mandi, terutama Lin Lin
yang suka sekali bermain di air. Akan tetapi kali ini ketiganya agaknya
lupa untuk cuci muka dan tergesa-gesa pergi dari situ.
“Ha, Sin-ko, lihat mereka itu!”
Ketiganya memandang. Dari jauh tampak enam orang pemburu itu masih
rebah, ada yang meringkuk, ada yang telentang atau telungkup, sedangkan
api unggun sudah lama padam. “Malas amat pemburu-pemburu itu, mengapa
belum juga bangun?” kata Sian Eng.
“Mari kita lihat, agak aneh
sikap mereka.” kata Bu Sin. Ketiganya berlari mendekat dan tak lama
kemudian mereka bertiga berdiri dengan muka pucat dan bengong. Kiranya
enam orang itu sudah tak bernyawa lagi dan kepala mereka, tepat di
ubun-ubun, semua telah bolong sehingga tampak otaknya!
Tahulah mereka bertiga sekarang bahwa yang menjerit-jerit malam tadi adalah mereka inilah, jerit ketakutan dan kengerian.
“Ahhhhh....!” Sian Eng menutupi mukanya, perutnya tiba-tiba terasa mual dan ingin muntah. Lin Lin cepat merangkulnya.
“Tenang, Cici.” Akan tetapi dia sendiri gemetar dan kaki tangannya menjadi dingin.
“Mari kita pergi,” ajak Bu Sin, juga pemuda ini suaranya gemetar.
“Nanti dulu Sin-ko. Tak mungkin kita meninggalkan begitu saja enam mayat ini. Mereka tentu akan dirobek-robek binatang buas.”
“Habis kau mau apa?”
“Kita kubur dulu mereka. Lupakah kepada pesan Ayah bahwa melihat orang
kesusahan harus menolong, terhadap orang tua harus menghormat, terhadap
anak-anak harus melindungi, dan melihat mayat tak terurus harus
menguburnya?”
Seketika wajah Bu Sin menjadi merah. “Terima
kasih, Lin-moi. Hampir saja aku lupa akan pesan Ayah karena ngeri dan
seram. Mari!”
Sekarang Sian Eng telah dapat menguatkan hatinya
dan tiga orang muda ini lalu menggunakan pedang mereka untuk menggali
lubang yang cukup besar untuk mengubur enam orang itu. Karena Lin Lin
dan Sian Eng merasa enggan mengangkat mayat-mayat lelaki itu, Bu Sin
yang turun tangan dan mengangkat mayat-mayat itu seorang demi seorang,
dimasukkan ke dalam kuburan bertumpuk, lalu mereka bertiga menguruk
lubang itu dengan tanah.
Hari telah siang ketika mereka selesai
melakukan tugas ini dan cepat-cepat mereka meninggalkan tempat hutan
besar itu, menuju ke arah munculnya matahari. Lega hati mereka bahwa
mereka tidak menemui gangguan di jalan sampai mereka keluar dari hutan
dan melalui dusun-dusun.
***
Rumah makan itu masih
sunyi. Agaknya hari masih terlampau pagi untuk makan. Bu Sin dan dua
orang adiknya sudah amat lapar. Maklum semalam berjalan terus di bawah
sinar bulan. Asap berbau sedap yang melayang keluar dari dalam dapur
rumah makan menyerang hidung, membuat mereka tak dapat menahan lapar
lagi.
Hanya ada dua meja yang dihadapi tamu. Kebetulan agaknya,
dua meja itu adalah meja di ujung kiri dan meja di ujung kanan. Yang
sebuah dihadapi seorang laki-laki berjenggot panjang, empat puluhan
tahun usianya, duduk bersunyi sendiri. Meja ke dua dihadapi dua orang,
agaknya suami isteri, kurang lebih tiga puluhan tahun. Sikap kedua orang
ini gagah, baik si suami maupun si isteri. Mereka duduk berhadapan,
makan bubur panas-panas dengan sumpit, cepat sekali seakan-akan mereka
tergesa-gesa. Di punggung mereka tergantung gagang dua buah senjata.
Tadinya Bu Sin dan adik-adiknya mengira bahwa mereka itu masing-masing
membawa siang-kiam (pedang pasangan), akan tetapi mereka terheran
melihat bahwa dua buah senjata itu tidaklah sama. Sebuah pedang dan
sebilah golok!
Bu Sin dan dua orang adiknya belum sempat memilih
tempat, karena pada saat mereka memasuki ruangan depan rumah makan itu,
tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Pencuri-pencuri bangsa
Hou-han hendak sembunyi ke mana kalian?” Muncullah empat orang
laki-laki yang nampak gesit-gesit dan kuat, berlompatan ke dalam dan
mereka segera mengurung suami isteri itu. Seorang mencabut pedang,
seorang lain mengeluarkan sepasang siang-kek (tombak pendek sepasang),
orang ke tiga mengeluarkan sebuah cambuk baja yang ujungnya seperti
jangkar kecil, sedangkan orang ke empat yang agaknya pemimpin rombongan
ini, juga yang tadi membentak, memasang kuda-kuda dengan tangan kosong.
“Lebih baik kalian menyerahkan kembali benda itu kepada kami, mungkin
kami akan dapat mengampuni nyawa kalian,” kata pula yang bertangan
kosong.
Suami isteri itu saling lirik. Ketika si suami
menurunkan mangkoknya, isterinya mencela, “Makan dulu sampai habis, baru
layani anjing-anjing ini. Mengapa tergesa-gesa?”
Keduanya lalu
makan terus dengan tenangnya, menghabiskan bubur di dalam mangkok. Bu
Sin dan adik-adiknya amat kagum menyaksikan sikap dua orang ini. Amat
tenang dan amat gagah. Namun mereka bertiga tak dapat bersimpati kepada
sepasang suami isteri ini karena bukankah tadi rombongan itu mengatakan
bahwa mereka berdua adalah orang-orang Hou-han? Berarti orang yang
sekampung dengan Bu Sin bertiga, akan tetapi siapa tahu mereka itu
adalah pembantu-pembantu dari Kerajaan Hou-han, yang memusuhi mendiang
ayah mereka? Keluarga Kam terkenal sebagai keluarga yang tidak mau
tunduk kepada Kerajaan Hou-han, bahkan dianggap setengah pelarian.
Suami isteri itu sudah selesai makan. Tiba-tiba mereka bergerak dan dua
pasang sumpit di tangan meluncur bagaikan anak panah. Empat batang
sumpit itu menyerang empat orang yang mengurung mereka. Namun para
pengurungnya juga bukan orang sembarangan. Dengan mudah mereka mengelak
dan sumpit-sumpit itu menancap sampai separohnya lebih pada dinding.
“Bagus!” Pujian ini keluar dari mulut laki-laki jenggot panjang yang
sejak tadi masih duduk di sudut, menghadapi meja dan tenang-tenang saja
sambil makan daging goreng dan nonton adegan di depannya itu. Matanya
bersinar-sinar wajahnya berseri-seri, agaknya ia gembira sekali dapat
makan sambil menikmati tontonan gratis ini.
Melihat betapa
sambitan mereka dengan sumpit-sumpit itu tidak mengenai sasaran, suami
isteri itu melempar mangkok kosong ke lantai sambil meloncat dan begitu
kedua tangan mereka bergerak, kedua tangan mereka sudah mencabut
senjata dan kini tangan kiri memegang pedang sedangkan tangan kanan
memegang golok. Mereka membuat gerakan memutar dan sudah berdiri saling
membelakangi siap dengan senjata di tangan. Cerdik mereka, pikir Bu Sin
yang menonton di dekat pintu. Suami isteri itu berdiri berhadapan
punggung, dengan kedudukan demikian mereka dapat mencegah serangan
gelap dari belakang.
Pertandingan dimulai tanpa kata-kata. Empat
orang itu segera menyerbu, yang bersenjata pedang dan si pemegang
siang-kek mengeroyok si suami, sedangkan wanita itu dikeroyok oleh si
pemegang cambuk dan yang bertangan kosong. Para pelayan rumah makan itu
lari berserabutan keluar sambil berteriak-teriak ketakutan.
Bu
Sin dan adik-adiknya menjadi kagum setelah pertempuran itu berlangsung
seru. Kepandaian empat orang itu cukup tinggi, apalagi yang bertangan
kosong, akan tetapi gerakan mereka biasa. Sebaliknya, suami isteri
itulah yang mendatangkan kagum. Si suami bergerak dengan tenang, namun
kedudukannya kokoh kuat seperti batu karang. Sebaliknya, isterinya
lincah bukan main, berloncatan ke sana ke mari seakan-akan seekor burung
walet yang gesit, mendesak kedua orang lawannya. Pertempuran itu makin
lama makin hebat dan tahulah Bu Sin bertiga bahwa kepandaian mereka
itu rata-rata lebih tinggi daripada tingkat kepandaian sendiri.
Diam-diam ia merasa khawatir sekali dengan warisan ayahnya yang ia
miliki, juga kedua orang adiknya, bagaimana mereka bertiga akan dapat
merantau di dunia kang-ouw dan lebih-lebih lagi, bagaimana mereka akan
mampu mencari dan membalas sakit hati orang tua mereka? Makin dekat
dengan kota raja, agaknya makin banyak terdapat orang-orang yang
kepandaian silatnya amat tinggi.
Tiba-tiba nyonya muda itu
mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya melayang ke atas dan goloknya
menyambar lawannya yang paling tangguh, yaitu laki-laki yang bertangan
kosong. Pada saat itu cambuk dari lawannya ke dua telah melayang dan
melecut, dengan gerakan cepat sekali meluncurlah jangkar kecil runcing
itu ke arah lehernya!
“Roboh dia....!” Lin Lin berseru perlahan.
Sejak tadi perhatian Lin Lin terpusat pada wanita ini. Ia amat kagum
karena maklum bahwa dalam ilmu silat, wanita itu jauh melampauinya, baik
dalam permainan senjata maupun ilmu meringankan tubuh. Akan tetapi
karena ia tidak tahu apa persoalannya maka terjadi pertempuran itu,
hatinya tidak berfihak mana-mana. Betapapun juga, melihat ujung cambuk
yang seperti jangkar kecil itu menyambar leher, ia berseru dengan hati
tegang.
Namun wanita yang masih meloncat di udara itu tiba-tiba
menggerakkan pinggulnya dan.... seperti seekor ular hidup, sabuknya yang
panjang itu melayang ke belakang dan ujungnya tepat sekali melibat
ujung cambuk. Terjadi saling libat dari tarik-menarik sehingga jalannya
pertempuran di fihak wanita itu agak kaku.
Mendadak laki-laki
berjenggot pendek yang duduk di sudut itu tertawa dan tahu-tahu tubuhnya
sudah mencelat ke dalam gelanggang pertempuran. Bu Sin dan dua orang
adiknya kaget sekali, tidak mengira bahwa laki-laki penonton yang aneh
itu dapat bergerak secepat itu. Tahu-tahu laki-laki ini sudah mengulur
tangannya membetot ujung sabuk dan cambuk yang saling libat sambil
berkata.
“Tidak ramai kalau begini!”
Hebat orang ini.
Sekali renggut saja, libatan dua macam senjata itu terlepas dan
kelihatan tangan kirinya tadi bergerak cepat ke arah tubuh laki-laki
yang dikeroyok dari belakang. Kemudian setelah cambuk dan sabuk
terlepas, sambil tertawa terkekeh-kekeh laki-laki berjenggot ini sudah
meloncat keluar dari tempat itu.
Suami isteri yang menghadapi
pengeroyokan berat itu agaknya tidak begitu memperhatikan ikut
campurnya laki-laki berjenggot, akan tetapi Bu Sin yang sejak tadi
memandang tajam, dapat melihat betapa tangan laki-laki berjenggot itu
memegang sesuatu ketika tadi bergerak di belakang laki-laki yang
dikeroyok.
“Mari, ikuti dia....!” katanya perlahan memberi
isyarat kepada Sian Eng dan Lin Lin. Ketiganya cepat meloncat keluar
pula dan menyusup di antara banyak orang yang berkumpul dan menonton di
luar rumah makan.
“Sin-ko, buat apa kita campuri urusan mereka?”
Lin Lin mencela, akan tetapi melihat Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat
keluar, terpaksa ia pun mengikuti mereka. Mereka membayangi si jenggot
panjang itu dari jauh dan karena yang dibayangi hanya berjalan
seenaknya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengikuti terus. Akan tetapi
setelah keluar dari desa itu, si jenggot panjang lalu lari dengan
gerakan cepat. Bu Sin yang ingin sekali tahu siapa orang itu dan apa
yang dicurinya tadi dari sepasang suami isteri dari Hou-han, mengajak
adik-adiknya mengikuti terus.
Menjelang sore mereka memasuki
kota An-sui dan laki-laki itu setelah masuk kota kembali berjalan biasa.
Kota An-sui cukup besar dan karena kota ini sudah termasuk wilayah
Kerajaw Sung, apalagi letaknya tidak jauh dari kota raja, maka
keadaannya ramai dan di situ banyak terdapat rumah-rumah kuno dan besar
milik orang-orang bangsawan. Orang berjenggot panjang itu akhirnya
memasuki sebuah rumah besar yang di bagian depannya ditulis dengan huruf
besar: GEDUNG PANGERAN SUMA.
Tentu saja kakak beradik itu tidak
berani masuk terus. “Kita bermalam di kota ini,” kata Bu Sin dan
pergilah mereka mencari rumah penginapan. “Malam nanti kita
menyelidik.”
Setelah berada di kamar penginapan, Lin Lin kembali
mencela, “Sin-ko, kepergian kita bukankah untuk mencari Kakak Bu Song
dan mencari musuh besar kita? Apa perlunya kita mencampuri urusan si
jenggot tadi?”
“Kaulihat sendiri, tadi dia mencuri sesuatu dari suami isteri dari Hou-han itu,” jawab kakaknya.
“Peduli apa kalau dia mau mencuri apa pun juga? Apa sangkut pautnya
dengan kita, Koko? Biarpun aku kagum kepada suami isteri yang gagah
itu, akan tetapi kita tidak mengenalnya dan tidak tahu apa yang
menyebabkan mereka tadi bertempur, tidak mengenal pula siapa
lawan-lawannya.”
Bu Sin menghela napas. “Kau benar, Lin-moi.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat aku tertarik dan terpaksa
berfihak kepada mereka. Mereka itu adalah orang-orang dari wilayah
Hou-han, seperti juga kita. Siapa tahu kalau-kalau benda yang dicuri si
jenggot tadi amat penting bagi Kerajaan Hou-han?”
Berkerut
kening Lin Lin. “Sin-ko, kau berfihak kepada Kerajaan Hou-han? Tak ingat
bahwa Ayah telah melarikan diri dari kerajaan itu karena kelaliman
rajanya?”
Bu Sin tersenyum. “Waktu itu belum menjadi kerajaan,
adikku. Ayah seorang setia dan tidak suka akan pemberontakan. Akan
tetapi sekarang telah menjadi wilayah Hou-han, aku tidak membela
apa-apa, akan tetapi sedikitnya tentu berfihak kepada wilayah sendiri,
bukan?
“Adik Lin, kalau takut, malam ini tidak usah ikut,
tinggal saja di kamar, biar aku dan Sin-ko sendiri yang pergi
menyelidik,” kata Sian Eng yang tidak senang melihat kerewelan Lin Lin.
Lin Lin tidak marah, malah tertawa,
“Cici, kalau ada apa-apa terjadi kapadamu, siapa yang akan menolong kalau aku tidak ikut? Tentu saja aku ikut.”
“Kalau begitu tak perlu banyak rewel.”
“Kita mengaso dulu sore ini, siapa tahu malam nanti kita harus
menggunakan banyak tenaga,” kata Bu Sin. “Aku akan pesan makanan di
luar rumah penginapan.”
Tak lama Bu Sin keluar, ketika masuk lagi wajahnya berubah. “Mereka juga sudah berada di kota ini.”
“Siapa?” tanya Lin Lin.
“Siapa lagi, suami isteri itu.”
Mendengar ini, Lin Lin tertarik dan mereka menjadi tegang. Apakah
sepasang suami isteri itu sudah tahu ke mana perginya orang berjenggot
tadi? Apakah mereka sudah tahu bahwa orang itu mengambil sesuatu dari
mereka?
“Hebat, cepat benar mereka dapat mengejar ke sini.
Agaknya mereka menang dalam pertempuran tadi,” kata Lin Lin. “Apakah
mereka sudah tahu tempat si jenggot itu?”
“Kurasa mereka tentu
tahu. Mereka itu bukan orang biasa, melainkan orang-orang kang-ouw yang
ulung. Akan ramai malam nanti, kita menjadi penonton saja sambil
menambah pengalaman,” kata Bu Sin, dan mereka bertiga pergi ke dalam
kamar mengaso.
Penghuni rumah gedung itu adalah keluarga
Pangeran Suma Kong. Pangeran Suma Kong ini adalah pangeran Kerajaan Sung
yang masih merupakan keluarga dekat dengan kaisar. Akan tetapi karena
ia pernah melakukan korup besar-besaran dan ketahuan kaisar, ia lalu
diberhentikan daripada jabatan, akan tetapi mengingat bahwa ia masih
keluarga, kaisar tidak menjatuhkan hukuman, hanya membebaskan daripada
tugas. Pangeran Suma Kong lalu mengundurkan diri dari kota raja, tinggal
di kota An-sui, hidup sebagai bangsawan “pensiunan” yang kaya,
memiliki gedung besar dan sawahnya di luar kota An-sui amat luas. Tentu
saja diam-diam Pangeran Suma Kong menaruh dendam kepada Kerajaan Sung,
akan tetapi karena ia sudah tua dan merasa tidak berdaya, ia menghibur
diri dengan pelbagai kesenangan, tidak mau mempedulikan lagi tentang
urusan kerajaan.
Namun tidak demikian dengan puteranya yang
bernama Suma Boan. Puteranya ini bukanlah seorang lemah. Diam-diam dia
mempelajari ilmu silat dari orang sakti yaitu bukan lain adalah Si Raja
Pengemis It-gan Kai-ong. Malah diam-diam Suma Boan menghimpun kekuatan,
bersekutu dengan Kerajaan Wu-yue di selatan. Karena It-gan Kai-ong
sendiri adalah seorang tokoh selatan yang membantu Kerajaan Wu-yue, maka
dengan mudah Suma Boan mendapatkan pengaruh di kerajaan itu dan
diam-diam mengadakan persekutuan untuk bersama-sama cari kesempatan baik
dan kalau tiba waktunya menggulingkan pemerintahan Kerajaan Sung.
Suma Boan sudah berusia tiga puluhan tahun lebih, belum menikah, namun
terhadap wanita ia terkenal jahat dan mata keranjang. Selirnya banyak,
di dalam gedung itu saja ada tujuh orang, belum terhitung selir yang di
luar gedung. Banyaknya selir itu masih tidak mengurangi kenakalannya
untuk mengganggu setiap orang wanita cantik yang menarik hatinya, tidak
peduli wanita itu masih gadis, janda maupun masih menjadi isteri orang
lain! Dia beruang, ilmu silatnya tinggi, maka tiada orang berani
menentangnya. Di An-sui ia terkenal sebagai jagoan, bahkan namanya
terkenal sampai di kota raja. Di dunia kang-ouw, ia bukan seorang yang
tidak dikenal pula, dengan julukannya yang amat tekebur, Lui-kong-sian
(Dewa Geledek)!
Suma Boan hanya mempunyai seorang saudara
kandung, yaitu adik perempuannya yang bernama Suma Ceng, berusia dua
puluh tujuh tahun. Suma Ceng sudah lama menikah dengan seorang pangeran
dan kini tinggal di kota raja. Para pelayan di dalam gedung itu maklum
betapa jauh bedanya watak Suma Ceng yang sudah pindah ikut suaminya di
kota raja itu dengan Suma Boan. Suma Ceng seorang wanita yang halus
tutur sapanya, lemah lembut dan baik budi pekertinya, ramah dan suka
menolong terhadap para pelayan. Sebaliknya, semua pelayan kuncup
hatinya dan tunduk ketakutan bila berhadapan dengan Suma Boan.
Malam hari itu, di ruangan sebelah dalam dari gedung keluarga Suma,
terdengar suara ketawa gembira. Beberapa orang pelayan wanita yang muda
dan cantik sibuk melayani tiga orang yang sedang makan minum menghadapi
meja besar. Mereka ini bukan lain adalah Suma Boan sendiri, It-gan
Kai-ong yang menjadi gurunya, dan seorang laki-laki berjenggot panjang
yang pagi tadi dibayangi oleh Bu Sin bertiga.
“Ciok-twako, kali
ini benar-benar kau telah berjasa besar. Biarlah kuberi selamat dengan
secawan arak!” terdengar Suma Boan berkata sambil tertawa dan
mengangkat cawan araknya.
Si jenggot panjang yang bernama Ciok
Kam itu tertawa merendah, mengangkat cawan araknya sambil berkata,
“Kongcu (Tuan Muda) terlalu memuji. Hanya secara kebetulan saja saya
mendapatkan surat itu, bukan sekali-kali karena jasa saya, melainkan
mengandalkan rejeki semata-mata dan kemurahan hati Ongya yang telah
menurunkan beberapa ilmu pukulan kepada saya. Karena itu, penghormatan
saya kembalikan kepada Kongcu den terutama kepada Ong-ya!” Si jenggot
panjang menggerakkan cawan ke arah It-gan Kai-ong sambil membungkuk.
“Ha-ha-ho-hoh, Ciok Kam patut menjadi pembantu kita. Surat yang
dirampasnya amat penting dan agaknya kau akan dapat mempergunakannya
dengan baik muridku. Untuk keuntungan ini mari kita minum sepuasnya!”
Mereka menenggak habis isi cawan dan cepat-cepat seorang pelayan wanita
yang cantik, yaitu seorang di antara para selir Suma Boan yang amat
dipercayanya sehingga diperkenankan menghadiri pertemuan ini,
mengangkat guci dan mengisi cawan-cawan kosong itu.
“Jangan
khawatir, Suhu. Surat yang menyatakan hubungan persekutuan antara
Kerajaan Hou-han dan Nan-cao ini tentu akan teecu (murid) bawa ke kota
raja. Tentu Kaisar akan girang dan berterima kasih sekali kepada teecu
dan saat yang baik itu akan teecu pergunakan untuk mencari kedudukan.
Biarkan Hou-han dan Nan-cao ribut dengan Sung, biarkan anjing-anjing
berebut tulang, kelak kita tinggal memukul mereka. Bukankah begitu,
Suhu?”
“Ha-ha, kau lebih tahu akan hal itu. Aku orang tua mana
becus memikirkan tentang negara? Kalau ada lawan yang tak sanggup
kauhadapi, nah, serahkan kepadaku. Itulah bagianku. Ha-ha-ha!”
“Siapakah orangnya di dunia ini yang dapat melawan Suhu? Agaknya orang
itu harus dilahirkan lebih dulu. Bukankah begitu, Ciok-twako?”
“Betul-betul, kepandaian Ong-ya seperti malaikat langit, mengandalkan
bantuan Ong-ya, tidak ada cita-cita yang takkan dapat tercapai,” jawab
si jenggot panjang bernama Ciok Kam.
Sementara itu, tiga
bayangan berkelebat cepat sekali di atas genteng rumah besar itu.
Mereka ini bukan lain adalah Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin. Sambil
mengerahkan gin-kang, mereka dengan hati-hati sekali berloncatan di atas
genteng. Di ruangan tengah mereka mendengar suara orang bercakap-cakap
sambil tertawa.
“Lin-moi, kau menjaga di sini, aku dan Cicimu mengintai,” kata Bu Sin.
Kakak beradik itu lalu menggunakan gerak tipu In-liong-hoan-sin (Naga
Awan Membalikkan Tubuh), tanpa mengeluarkan suara keduanya sudah
berjungkir balik dengan kedua kaki tergantung pada ujung tembok genteng,
tubuh bergantung kepala di bawah seperti dua ekor kelelawar. Lin Lin
berjongkok di atas genteng, memandang kagum kepada dua orang kakaknya
itu.
Adapun Bu Sin dan Sian Eng dalam keadaan bergantung
membalik itu melihat bayangan orang dari jendela, bayangan tiga orang
laki-laki yang duduk sambil minum arak dan tertawa-tawa.
“Ha-ha-ha, tikus-tikus kecil macam itu perlu apa diributkan? Kalau tidak
ingat akan sepotong uang perak, sudah lama mereka menjadi bangkai.”
Suara ini membuat Bu Sin dan Sian Eng kaget setengah mati. Kiranya itu
adalah suara It-gan Kai-ong! Dan mereka malah datang ke tempat itu,
benar-benar seperti ular mendekati penggebuk!
“Suhu dan
Ciok-twako duduklah dan lanjutkan minum arak. Hidungku mencium bau harum
wanita, tak boleh dilewatkan begitu saja. Suhu, bolehkah?”
“Ho-ho-hah, kalau kau melihat dua orang gadis itu tentu kau akan
membanjir air liurmu. Aku sudah tua, tidak butuh hal itu lagi.
Pergilah!”
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang jangkung
melompat keluar dari ruangan itu, melesat ke arah pintu. Akan tetapi
sia-sia Bu Sin dan Sian Eng sudah melompat sambil memutar tubuh ke atas
genteng lagi. Bukan main heran dan khawatimya ketika mereka tidak
melihat adanya Lin Lin yang tadi berjongkok di atas genteng. Ke mana
adik mereka itu? Namun mereka tidak sempat membingungkan ke mana
perginya Lin Lin karena pada saat itu, bayangan laki-laki jangkung yang
keluar dari ruangan tadi sudah melesat naik ke atas genteng dan
tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang laki-laki muda yang
berpakaian pesolek, bertubuh jangkung dan berhidung panjang. Muka yang
tampan, namun membayangkan kekejaman. Laki-laki ini tersenyum mengejek
melihat Bu Sin dan Sian Eng mencabut pedang. Akan tetapi sepasang
matanya bersinar-sinar ketika ia memandang wajah Sian Eng dan
senyumannya melebar.
“Melihat wajah temanmu, nyawamu kuampuni.
Lekas pergi dari sini dan tinggalkan temanmu ini untuk menemaniku
semalam ini,” kata laki-laki jangkung yang bukan lain adalah Suma Boan
itu kepada Bu Sin. Dapat dibayangkan betapa marahnya Bu Sin dan Sia Eng
mendengar kata-kata yang amat menghina ini. Akan tetapi karena berada di
atas rumah orang dan mereka merasa telah melanggar aturan, maka ia
mempertahankan kesabarannya dan berkata.
“Harap kau suka menahan
mulutmu yang lancang. Lebih baik lepaskan adik perempuanku dan kami
akan pergi dari tempat ini. Kami bukan maling, hanya tadi kami mengikuti
seorang laki-laki berjenggot panjang yang telah merampas barang orang.
Nah, kalau kau tuan rumah maafkan kami dan kembalikan adikku.”
Mendengar disebutnya laki-laki berjenggot merampas barang, seketika
lenyaplah sikap main-main Suma Boan. Ia tidak peduli lagi akan ucapan
tentang adik kedua orang ini. “Bagus, kalian mata-mata!” Sekaligus ia
menerjang maju dengan serangan yang dahsyat sekali. Bu Sin dan Sian Eng
cepat mengelak sambil melompat mundur dan memutar pedang, akan tetapi
pada saat itu dari jendela yang terbuka menyambar angin pukulan yang
hebat, yang sekaligus mendorong mereka roboh di atas genteng! Terdengar
suara It-gan Kai-ong tertawa bergelak. Kiranya kakek inilah yang
mendorongkan tangannya mengirim pukulan jarak jauh dari jendela ke atas
genteng! Melihat betapa dua orang muda gemblengan seperti Bu Sin dan
Sian Eng dapat roboh dengan sekali terkena dorongan angin pukulan, dapat
dibayangkan betapa saktinya raja pengemis itu.
Bu Sin dan Sian
Eng kaget bukan main. Tubuh mereka tak dapat dicegah lagi terlempar ke
bawah genteng dan biarpun mereka dapat mempergunakan gin-kang untuk
mengatur keseimbangan badan dan mencegah terbanting, namun sedikitnya
mereka tentu akan luka-luka kalau saja tidak ada dua orang yang
menyambar tubuh mereka. Ketika mereka memandang, kiranya yang menolong
mereka itu adalah suami isteri yang dikeroyok di rumah makan pagi
tadi!
“Adikku masih di atas....” Sian Eng berkata.
“Sssttt....!” wanita yang tadi menyambar tubuhnya menarik tangan Bu Sin
dan Sian Eng berlindung dalam gelap. Mereka memandang ke atas dan apa
yang tampak di atas membuat Bu Sin dan Sian Eng seketika pucat, hati
mereka berdebar penuh kengerian. Apa yang tampak oleh mereka?
Bukan hanya Suma Boan yang kini berdiri di atas genteng, melainkan ada
bayangan ke dua, bayangan mahluk yang mengerikan sekali, bukan manusia
bukan binatang melainkan tengkorak memakai pakaian hitam! Muka tengkorak
putih dengan sepasang lubang mata hitam besar dan gigi berjajar kacau
itu benar-benar amat menyeramkan tertimpa sinar lampu yang menyinar dari
pinggir gedung, dari atas diterangi bintang-bintang di langit.
Agaknya suma Boan juga kaget melihat mahluk ini, terdengar ia berseru keras, “Suhu.... Hek-giam-lo di sini!”
Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka
tengkorak itu berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain yang
gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan
Kai-ong.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”
Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di
atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru.
“Celaka....! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya....!”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi....?” Bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu
menuduh kita menangkap adiknya, ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh,
tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa aku didorong
roboh dan ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan
tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku
robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan
Hek-giam-lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir,
Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat
merampasnya kembali?”
bersambung............... 2
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar