Pemuda itu menjura dengan hormat, wajahnya berseri karena dia senang
sekali bahwa Nona yang dikaguminya itu tidak marah. "Saya she Yu bernama
Goan, seorang perantau yang kemalaman di sini maka bermalam di atas
pohon. Dan Nona...."
"Eh, apakah engkau tadi melihat benda-benda mencorong yang aneh itu?" Siauw Bwee memotongnya.
"Aku melihatnya, dan aku kagum sekali menyaksikan gerakan Nona yang amat cepat."
"Hemm, kalau gerakanmu demikian cepat tentu akan dapat menangkap mereka. Tahukah engkau, apakah benda-benda itu tadi?"
"Aku
pun tidak tahu, Nona. Melihat jaraknya, seperti sepasang mata, akan
tetapi kalau sampai Nona yang demikian cepat gerakannya tidak dapat
menangkap mereka, aku bukan seorang yang percaya akan tahyul, hanya....
kiranya tak mungkin manusia memiliki mata seperti itu. Aihh, sampai
sekarang pun aku masih merasa ngeri dan merasa seolah-olah saat ini
banyak pasang mata yang memandang dan mengintai kita."
Siauw Bwee
bergidik, hatinya ngeri, akan tetapi juga agak lega dan girang bahwa dia
mendapatkan seorang kawan dalam hutan yang menyeramkan ini. Tanpa
disengaja, matanya melirik ke bawah dan memperhatikan kedua kaki pemuda
itu. Pemuda yang tampan sekali dan sikapnya halus seperti itu jarang ia
jumpai dan munculnya tidak wajar. Jangan-jangan penjelmaan iblis dan
siluman, siapa tahu?
Tiba-tiba pemuda itu tertawa geli. "Ampun, Nona. Harap jangan menyangka bahwa aku ini siluman! Sungguh mati, aku manusia biasa!"
Wajah Siauw Bwee menjadi merah dan ia pun tersenyum. "Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menyangka engkau siluman?"
"Nona
memandang ke arah kakiku untuk melihat apakah kedua kakiku menginjak
tanah, bukan? Menurut dongeng, bangsa siluman kalau menjelma menjadi
manusia dapat dikenal dari kakinya yang tidak menginjak tanah, melainkan
berada sejengkal di atas tanah, dan kalau ada cermin, dia tidak
mempunyai bayangan."
"Ihh, aku harus berhati-hati terhadapmu. Engkau
sopan, jujur dan cerdik sekali. Dan hatiku masih panik oleh rasa ngeri
memikirkan benda-benda mencorong itu."
Pemuda itu mengangguk. "Kalau
tidak bertemu di sini, agaknya aku pun akan takut setengah mati. Untung
kita saling bertemu dan sebaiknya malam ini kita bersikap waspada.
Engkau mengasolah, Nona. Biar aku yang menjaga. Menurut dongeng, bangsa
siluman takut akan api, maka api unggun ini harus selalu dijaga jangan
sampai padam."
Siauw Bwee menggeleng kepala. "Setelah munculnya
makhluk-makhluk aneh itu, mana aku dapat tidur? Engkau tidurlah, biar
aku yang menjaga api. Kalau mereka itu betul makhluk hidup dan muncul
lagi.... hemmm, ingin aku menggempur mereka!"
"Tidak, Nona. Engkau yang harus tidur dan aku yang menjaga."
"Tidak! Aku yang menjaga!"
Keduanya
saling pandang dan melihat pemuda itu memandangnya dengan mata
terbelalak penuh keheranan dan kegelian hati, mau tidak mau Siauw Bwee
tersenyum. Mereka baru saja bertemu, sudah berbantahan!
"Aku telah
tahu bahwa ilmu kepandaian Nona hebat bukan main, mungkin sepuluh kali
tingkat kepandaianku. Akan tetapi, betapapun juga, Nona adalah seorang
wanita dan aku seorang pria. Mana mungkin seorang pria yang tahu akan
susila dapat tidur pulas dan membiarkan seorang wanita melakukan
penjagaan? Biarpun bodoh, aku tidaklah sekasar dan kurang ajar seperti
itu, Nona."
Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk. "Baiklah, aku akan
mengaso dulu. Akan tetapi begitu muncul lagi benda-benda mencorong
seperti tadi, jangan ragu-ragu untuk membangunkan aku. Dan jangan lupa,
kita bergilir. Kalau bulan secuwil di atas itu sudah lenyap, tibalah
saatnya giliranku menjaga dan engkau mengaso."
Yu Goan mengangguk. "Baiklah."
"Akan tetapi awas, jangan kau terlalu sungkan dan membiarkan aku tidur terus sampai siang. Aku akan marah!"
Yu
Goan tersenyum. Makin tertarik hatinya. Dara itu cantik jelita melebihi
bidadari impian hatinya, berilmu tinggi sekali, pemberani dan tabah
sehingga seorang diri berani bermain di dalam hutan, dirundung
keprihatinan yang tadi memancing keluarnya mutiara air mata mendatangkan
perasaan iba di hatinya, dan sekarang ternyata selain berwatak halus
dan bersikap ramah, juga sikapnya terbuka, polos dan jujur! Seorang dara
yang menonjol di antara laksaan orang gadis lain!
Siauw Bwee rebah
miring membelakangi api unggun dan Si Pemuda. Biarpun dia merasa yakin
akan sifat-sifat baik pemuda itu, namun hatinya masih penuh kengerian
maka dia hanya akan merasa aman kalau tidur sambil menghadap ke arah
kegelapan dari mana tadi muncul benda-benda aneh.
Hati Yu Goan merasa
lega. Kalau gadis itu rebah miring menghadap ke arahnya, tentu dia
tidak akan berani menatap wajah gadis itu. Kini, gadis itu
membelakanginya sehingga dia mendapat kebebasan untuk memandangnya,
biarpun dia hanya dapat mengagumi lekuk-lengkung tubuh belakang di balik
pakaian sederhana, dan sedikit kulit tengkuk yang putih kuning yang
membayang di antara dua kepang rambut yang hitam subur, anak-anak rambut
yang melingkar indah di atas tengkuk, dan garis pipi kemerahan
dilindungi sebuah telinga yang kecil panjang dan tipis.
Semalam
suntuk tidak terjadi sesuatu, tidak ada benda-benda mencorong atau
makhluk aneh muncul. Yu Goan tenggelam dalam kekaguman sehingga dia
tidak merasa betapa malam telah lewat. Dirasakannya sebentar saja dan
tahu-tahu dia mendengar bunyi ayam hutam berkokok dan sinar keemasan
membayang di timur. Malam telah lewat dan pagi mulai menjenguk di ambang
timur!
Siauw Bwee mengulet enak sekali, membalikkan tubuh,
menegangkan otot-otot dan mengembangkan kedua lengan ke atas kepala,
menguap kecil. Pemandangan ini sedemikian indah mengharukan bagi Yu
Goan, membuatnya terpesona akan tetapi ketika hatinya mencela mata yang
menikmati pemandangan itu, dia cepat mengalihkan pandang dari tubuh dan
muka yang kini telentang itu, menunduk.
Kokok ayam hutan memasuki
pendengaran Siauw Bwee dan seketika dia meloncat bangun, membalik dan
memandang ke arah api unggun yang masih menyala dan ke arah pemuda yang
masih duduk dekat api unggun. Mata gadis itu bersinar marah dan ia
membentak,
"Terlalu sekali! Sudah pagi! Mengapa kau tidak
membangunkan aku? Mengapa membiarkan aku tidur kesiangan dan tidak
memberi kesempatan padaku untuk melakukan gilir berjaga? Apa maksudmu?"
Yu
Goan bangkit berdiri dan menjawab halus, "Maaf, Nona. Hanya ada dua
pilihan bagiku malam tadi. Pertama, aku harus melihat Nona terganggu
dari tidur nyenyak kalau aku membangunkan Nona. Ke dua, aku harus
menghadapi kemarahan Nona kalau aku tidak membangunkan Nona. Dari dua
pilihan itu, aku memilih yang ke dua. Aku menerima salah dan siap
menerima hukuman."
Bagaimana mungkin orang bisa marah menghadapi
sikap yang menyerah seperti inl? Apalagi pemuda itu jelas bermaksud
bahwa rela dimarahi daripada mengganggunya dari tidur nyenyak! Kalau dia
toh marah terus, berarti dia yang keterlaluan! Seketika kejengkelan
hati Siauw Bwee lenyap dan dara ini menurunkan kedua lengan yang tadi
menegang, membanting kaki kiri dan berkata,
"Aihhhh! Engkau membikin
aku tidak enak saja. Kalau tahu begini, aku tidak mau tidur sedikitpun
juga, apalagi tidur semalam suntuk dan membiarkan engkau melakukan
penjagaan!"
"Tapi aku senang sekali melakukan penjagaan, Nona. Dan
semalam tidak ada muncul peristiwa sesuatu. Agaknya iblis-iblis itu
telah merasa takut mendengarkan ancamanmu."
Siauw Bwee teringat dan
cepat ia menyambar pedangnya, digantungkan di punggung. "Ahh, sekarang
kita dapat mencari iblis-iblis itu! Kalau ada jejak kakinya, berarti
bukan iblis!"
"Engkau benar, Nona. Mari kita mencari!"
Dua orang
muda itu lalu mencari di antara rumput alang-alang dan tetumbuhan di
sekitar tempat itu, di tempat-tempat di mana semalam mereka melihat
benda-benda mencorong dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka
ketika melihat tapak kaki manusia!
"Bukan main! Manusia-manusia apakah mereka yang memiliki mata mencorong seperti mata harimau?" Yu Goan berseru.
"Hebatnya,
bagaimana mereka dapat bergerak demikian cepatnya?" Siauw Bwee berkata
lirih dan diam-diam ia terkejut sekali. Setelah ia memiliki ilmu sakti
gerak kaki tangan kilat dari rombongan kaki buntung dan lengan buntung,
gin-kangnya mencapai tingkat tinggi sekali. Akan tetapi mengapa semalam
dia tidak mampu menangkap orang-orang aneh ini? Mungkinkah mereka
memiliki kepandaian menghilang seperti setan?
"Jumlah mereka banyak
dan tapak kaki mereka menuju ke satu jurusan. Kita dapat mengikuti
mereka." Yu Goan berkata sambil meneliti tanah.
"Hemm, aku merasa curiga sekali. Mari kita cari mereka!" Siauw Bwee berkata.
Kedua
orang itu lalu berjalan mengikuti arah jejak tapak kaki yang menuju ke
selatan. Setelah berjalan dua jam lamanya, mereka berdua berhenti di
tepi sebuah tebing yang amat curam.
"Ah, tentu di bawah itu sarang mereka....!" kata Yu Goan menunjuk ke bawah.
Tebing
itu amat curam, kiranya tidak kurang dari dua ribu kaki. Dan jauh di
bawah sana kelihatan kecil sekali seperti mainan kanak-kanak, tampak
sebuah perkampungan kecil dengan beberapa buah rumah sederhana. Lembah
di bawah itu kelihatan sunyi, seolah-olah perkampungan itu tidak ada
penghuninya.
"Aneh sekali. Lembah di bawah itu dikelilingi tebing
yang begini curam, seolah-olah terpisah dari dunia ramai. Siapakah
gerangan yang tinggal di bawah sana?" Siauw Bwee berkata,
termangu-mangu.
"Sebaiknya kita mencari jalan turun ke sana untuk menyelidikinya, Nona."
"Memang
begitu kehendakku. Akan tetapi, aku mendapat firasat di hati bahwa
tempat itu amat berbahaya, dan agaknya orang-orang yang tinggal di
tempat seperti itu tentulah orang-orang aneh yang berilmu tinggi. Aku
tidak ingin melihat engkau menghadapi malapetaka di sana, Yu-twako."
Yu
Goan menoleh, mereka berpandangan dan pemuda itu tersenyum. "Engkau
baik sekali, Nona. Jangan khawatir, aku dapat menjaga diri dengan
pedangku."
Sejenak Siauw Bwee memandang pemuda itu. Akhirnya ia
tersenyum dan mengangguk, "Baiklah, aku pun percaya bahwa engkau
bukanlah seorang yang mudah dikalahkan, Yu-twako. Mari kita mencari
jalan turun!"
"Nanti dulu, Nona!"
Siauw Bwee membalikkan tubuh dan melihat pemuda itu memandangnya penuh perhatian, ia bertanya, "Ada apakah?"
Pemuda
itu kelihatan bingung dan ragu-ragu, agaknya sukar sekali membuka mulut
menyatakan isi hatinya. "Harap Nona sudi memaafkan kalau aku bersikap
kurang ajar, karena sungguh tidak sopan bagi seorang pemuda untuk
mengajukan pertanyaan ini kepada seorang dara terhormat...."
"Aihhh, katakanlah. Apa yang ingin kaukatakan, Twako? Engkau terlalu sungkan."
"Aku
terpaksa mengajukan pertanyaan ini, Nona, mengingat bahwa kita telah
saling berkenalan dan kita bersama menghadapi hal yang belum kita
ketahui bagaimana sifatnya, mungkin berbahaya."
Siauw Bwee mengangguk tak sabar. "Tanyalah!"
"Aku ingin mengetahui siapakah Nona? Dan siapakah nama Nona yang mulia?"
Siauw
Bwee tertawa dan menggunakan tangan kiri menutupi mulut. "Hi-hi-hik!
Engkau benar-benar lucu sekali, Twako! Engkau terlalu ditekan dan
diselubungi kesopanan sehingga kelihatan lucu! Bertanya nama saja apa
sih dosanya? Tentu saja kau boleh menanyakan namaku, bahkan aku yang
lupa belum memperkenalkan diri, padahal aku telah mengetahui namamu.
Mengapa kau ragu-ragu dan malu-malu, minta maaf segala? Dengarlah,
namaku adalah Khu Siauw Bwee."
"Khu Siauw Bwee....?" Yu Goan
mengingat-ingat, akan tetapi merasa belum pernah mendengar nama ini.
Tiba-tiba ia mengangkat muka memandang. "Khu-lihiap (Pendekar Wanita she
Khu), aku pernah mendengar nama besar murid dari pendekar sakti Kam
Liong yang menjadi menteri, murid Menteri Kam Liong itu seorang pahlawan
yang gagah perkasa, dan yang telah gugur bersama gurunya di kota raja
karena fitnah. Namanya Khu Tek San, dan mengingat she itu...." Yu Goan
berhenti bicara dan memandang terbelalak ke wajah jelita yang berubah
agak pucat. Dua butir air mata menitik turun dan bibir yang kecil merah
itu bergerak-gerak lalu digigit.
"Khu-lihiap, maafkan aku. Apakah mendiang Khu Tek San itu...."
Siauw Bwee mengangguk. "Dia adalah ayahku sendiri!"
Yu
Goan cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada, membungkuk penuh
hormat. "Ahhh, sudah kuduga bahwa Nona tentulah bukan orang sembarangan!
Kiranya puteri mendiang Khu-ciangkun, murid yang setia dan gagah
perkasa dari mendiang Menteri Kam yang terkenal di seluruh dunia!
Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat, Lihiap!"
Siauw Bwee menarik
napas panjang. "Sudahlah, Twako. Sikapmu yang terlalu sungkan dan
hormat itu bisa membuat orang salah mengerti, mengira bahwa engkau
memiliki watak penjilat. Bagimu mungkin aku puteri seorang pahlawan,
akan tetapi banyak orang menganggap aku puteri seorang pemberontak! Aku
tahu bahwa engkau seorang yang terpelajar dan berbudi halus, penuh
kesopanan, dan aku suka bersahabat denganmu, Twako. Akan tetapi kalau
engkau tidak membuang sikapmu yang sungkan dan sopan itu, aku akan benci
padamu. Aku paling tidak suka melihat pria yang menunduk-nunduk seperti
seorang penjilat!"
Wajah Yu Goan menjadi merah sekali. "Tidak ada
seujung rambut pun di dalam hatiku ingin menjilat kepadamu atau kepada
siapa pun di dunia ini, Nona. Sikapku tidak kubuat-buat dan sewajarnya,
sesuai dengan pelajaran-pelajaran yang semenjak kecil kuterima dalam
pendidikan. Karena itu maafkan aku, Lihiap."
"Twako, aku ingin sekali mengetahui bagaimana engkau bisa mengenal ayahku, dan mengenal nama Menteri Kam?"
"Ayah
bundaku mengenal baik Menteri Kam yang sakti, Nona. Terutama sekali
ayahku, dia banyak bercerita tentang pendekar-pendekar sakti keturunan
Suling Emas. Ayah amat kagum terhadap keturunan Suling Emas, kekaguman
yang tertanam pula di dalam hatiku. Ah, betapa ayah dan ibu akan merasa
bangga bahwa aku dapat bertemu dan bersahabat dengan puteri Khu-ciangkun
yang terkenal, murid Menteri Kam!"
"Sudahlah, Twako. Aku menjadi
pening mendengar pujian-pujian dan segala nama besar yang kosong itu!
Lihat, di bawah itu mulai ada gerakan!" Siauw Bwee menuding dan ketika
Yu Goan memandang ke bawah, dia melihat pula manusia manusia bergerak ke
sana ke mari akan tetapi karena jaraknya amat jauh sehingga
manusia-manusia di bawah itu hanya kelihatan sebesar jari tangan, maka
mereka tidak dapat melihat jelas.
Dengan hati-hati dari
berindap-indap, Siauw Bwee dan Yu Goan mencari jalan turun ke lembah di
bawah yang penuh rahasia itu. Akan tetapi dengan kaget mereka mendapat
kenyataan bahwa tebing yang amat curam itu tidak mungkin dapat dituruni.
Mana mungkin turun melalui dinding karang yang ratusan kaki tingginya,
licin dan tegak tidak ada tempat kaki berpijak atau tangan bergantung?
Untuk menggunakan gin-kang meloncat ke bawah? Lebih tak masuk akal lagi.
Namun
Siauw Bwee dan Yu Goan bukanlah orang-orang lemah yang muda berputus
asa. Mereka terus mencari, meneliti setiap kemungkinan menuruni tebing
dan memeriksa sekeliling tebing yang berada di situ sampai setengah hari
mereka mencari jalan turun, namun hasilnya sia-sia. Lembah di bawah
itu, perkampungan yang aneh, dikelilingi tebing terjal yang tidak
mungkin dituruni atau didaki. Seekor monyet sekalipun kiranya tak
mungkin menuruni tebing itu yang halus licin tanpa ada tempat menahan
tubuh. Perkampungan di lembah bawah itu seolah-olah terputus sama sekali
dari dunia luar daerah mereka. Mereka seperti hidup di dalam sebuah
mangkok, tidak mungkin dapat menjenguk keluar dari bibir mangkok yang
merupakan tebing yang mengelilingi tempat tinggal mereka.
Akhirnya
Siauw Bwee dan Yu Goan terpaksa mengaku kalah. Mereka telah melakukan
pemeriksaan mengitari sekeliling lembah sampai kembali ke tempat mereka
berangkat, tempat mereka mula-mula melakukan pemeriksaan. Keduanya duduk
mengaso di tepi tebing sambil memandang ke bawah dengan hati penasaran.
Dari atas tampak manusia di bawah itu menuju ke suatu tempat di tengah
perkampungan, kemudian tampak api bernyala, asap mengepul tinggi
seolah-olah mereka yang berada di bawah itu membakar sesuatu. Terlalu
tinggi tempat itu untuk dapat melihat jelas apa yang dikerjakan oleh
manusia-manusia di lembah itu.
"Tanpa sayap seperti burung, mana mungkin menuruni tempat itu?" Yu Goan berkata sambil menghapus peluh dari lehernya.
"Memang
tidak mungkin, kecuali kalau menggunakan alat." Siauw Bwee berkata
memandang ke bawah dengan alis berkerut. "Menggunakan kaitan besi atau
tali untuk merayap ke bawah."
"Akan tetapi terlalu berbahaya. Biarpun
merayap ke bawah tidak amat berbahaya, namun kalau orang-orang di bawah
itu menyambut dengan sikap bermusuh, kita sedang merayap tak berdaya
itu tentu merupakan sasaran yang lunak."
Siauw Bwee
mengangguk-angguk. "Memang aneh sekali. Makin sukar tempat itu
didatangi, makin tertarik hatiku untuk membongkar rahasia mereka itu.
Yang mengherankan hati, kalau memang benar mereka di bawah sana itu yang
malam tadi mengganggu kita, bagaimana cara mereka mendaki tebing?"
"Dan gerakan mereka begitu cepat seperti menghilang!" Yu Goan berkata.
"Yu-twako,
awasss....!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan tubuhnya yang tadinya
duduk di atas rumput dekat pemuda itu, mencelat ke belakang,
berjungkir-balik beberapa kali. Yu Goan terkejut pula, meloncat ke atas
dan ketika ia membalik, dengan kagum ia melihat dara jelita itu telah
mendorong roboh dua orang laki-laki yang bertubuh tegap kuat dan
berpakaian sederhana kasar seperti orang liar! Betapa cepatnya gadis itu
mengetahui kedatangan musuh dan betapa cepatnya bergerak merobohkan
lawan! Dari gerakan-gerakan itu mengertilah Yu Goan bahwa tingkat
kepandaian dara ini jauh lebih tinggi daripada tingkatnya, bahkan dia
dapat menduga bahwa dara itu lebih pandai daripada ibunya, atau ayahnya
sekalipun!
Akan tetapi dia terkejut sekali ketika melihat bahwa yang
datang mengurung tempat itu bukan hanya dua orang yang didorong roboh
oleh Siauw Bwee tadi, melainkan banyak sekali. Sebagian sudah
memperlihatkan diri, dan masih banyak pula yang menyelinap di balik
pohon-pohon dan tetumbuhan!
Siauw Bwee tadi sengaja mendorong dua
orang terdekat sampai terguling, akan tetapi betapa heran hatinya ketika
melihat dua orang itu sudah meloncat bangun lagi! Ketika ia tadi
berloncatan berjungkir balik lalu menyerang, dua orang itu membuat
gerakan tangan yang baginya amat canggung dan tidak ada artinya sehingga
mudah saja dia mendorong mereka dan menotok pundak mereka. Akan tetapi
sungguh luar biasa. Kedua orang kasar itu bukan roboh tertotok,
melainkan terguling karena tenaga dorongan dan begitu menyentuh tanah
mereka sudah meloncat bangun kembali. Dan kini tampak belasan orang
mengurung dia dan Yu Goan.
"Tahan!" Siauw Bwee membentak ketika
melihat orang-orang itu mulai bergerak hendak menyerang. Dia melihat
orang-orang ini bukan seperti perampok-perampok, bahkan mereka seperti
manusia-manusia liar dengan pakaian sederhana, muka yang membayangkan
kebodohan, akan tetapi sepasang mata mereka mengeluarkan sinar berkilat!
Ah, kiranya orang-orang inilah yang semalam mengintai. Mata mereka yang
aneh seperti mata harimau itu mencorong karena sinar api unggun!
Diam-diam Siauw Bwee terheran-heran karena menurut penuturan suhengnya,
hanya orang-orang yang memiliki sin-kang tingkat tinggi saja yang dapat
membuat matanya mencorong seperti mata harimau. Dia dan suci serta
suhengnya pun dapat membuat matanya mencorong kalau dia kehendaki, akan
tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan itu karena hal demikian hanya
akan membuat dia menjadi tontonan! Akan tetapi orang-orang kasar ini
semua memiliki sinar mata yang mencorong!
"Siapakah kalian dan mengapa kalian mengurung kami berdua?" Siauw Bwee membentak.
Orang-orang itu saling pandang, tidak ada yang menjawab.
"Heii! Apakah kalian tuli, atau gagu?" Siauw Bwee membentak lagi.
"Mereka
hanya melaksanakan perintah!" Tiba-tiba terdengar suara orang dan
muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dari
belakang sebatang pohon besar. Siauw Bwee dan Yu Goan menoleh dan mereka
mengerutkan kening melihat bahwa orang itu tidak segolongan para
pengepung tadi. Orang ini berpakaian biasa, bahkan pakaiannya bersih
dari sutera mahal, bentuk pakaian seorang sastrawan, tubuhnya tinggi
kurus dan wajahnya biasa saja. Akan tetapi anehnya, juga pancaran
pandang mata orang ini aneh, mencorong seperti semua orang liar itu.
"Perintah
siapa?" Siauw Bwee bertanya, maklum bahwa tentu sastrawan inilah yang
menjadi komandan pasukan orang liar yang mengepung.
"Tentu saja
perintah ketua kami. Kalian berdua memasuki daerah kami, daerah
terlarang, karenanya kalian harus menyerah sebagai tawanan kami untuk
kami bawa menghadap Ketua!"
"Hemm, kami berdua tidak salah apa-apa, mengapa akan dijadikan tawanan?" Yu Goan membantah. "Mau apa kalian menawan kami?"
Sastrawan itu memandang Yu Goan dan tersenyum mengejek. "Hanya ketua kami yang akan memutuskan."
"Aku tidak sudi menyerah!" Siauw Bwee membentak. "Pergilah kalian, jangan menggangguku. Kalian akan menyesal nanti!"
Sastrawan
itu mengerutkan kening, memberi aba-aba dan menyerbulah belasan orang
liar itu. Gerakan mereka kaku sekali, akan tetapi baik Siauw Bwee maupun
Yu Goat terkejut sekali ketika dari gerakan tangan mereka itu menyambar
hawa pukulan yang amat dahsyat!
"Hati-hati, Twako. Sin-kang mereka
amat kuat!" Siauw Bwee berseru dan dara perkasa ini sengaja berkelebatan
cepat mengirim pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, mempergunakan
ilmu mujijat gerak kaki tangan kilat sehingga dalam sekejap mata saja
dia sudah merobohkan delapan orang terrnasuk Si Sastrawan! Akan tetapi,
kembali dia terkejut karena seperti halnya dua orang yang pertama kali
dia robohkan tadi, delapan orang ini pun meloncat bangun begitu tubuh
mereka terbanting ke tanah, sedikitpun tidak tampak tanda-tanda mereka
itu menderita nyeri.
Yu Goan juga cepat mengerahkan gin-kangnya untuk
mengelak ke sana-sini, karena tanpa peringatan Siauw Bwee pun dia
maklum betapa pukulan-pukulan para pengurung liar ini mendatangkan angin
keras. Sambil mengelak, dia sudah menotok jalan darah di leher seorang
pengeroyok, dan pada detik berikutnya, kakinya sudah menendang sambungan
lutut seorang pengeroyok lain. Kedua orang itu terpelanting, akan
tetapi mereka mencelat bangun lagi. Baik totokannya maupun tendangannya
hanya membuat kedua orang itu terpelanting, akan tetapi sama sekali
tidak mengalahkan mereka.
Berkali-kali Siauw Bwee dan Yu Goan
merobohkan para pengeroyok yang ternyata tidak memiliki ilmu silat
tinggi. Bahkan Si Sastrawan itu hanya memiliki ilmu silat yang bagi
Siauw Bwee biasa saja. Akan tetapi jelas terbukti bahwa segala macam
pukulan, totokan, tendangan, tidak mampu merobohkan para pengeroyok yang
agaknya memiliki kekebalan luar biasa, atau tubuh mereka seolah-olah
dilindungi oleh semacam hawa mujijat.
Siauw Bwee merasa
terheran-heran dan diam-diam ia mencurahkan perhatian untuk menyelidiki
keadaan lawan. Ketika ia sengaja menerima pukulan dengan telapak
tangannya, ia merasa ada hawa yang panas keluar dari kepalan orang itu,
yang cepat dapat ia enyahkan dengan sin-kangnya. Akan tetapi pukulan
kedua orang dari orang yang sama, mengandung hawa yang sejuk nyaman.
Juga Im-kang yang aneh ini tentu saja dapat ia lawan dengan sin-kang
yang amat tinggi dan kuat, yang ia latih di Pulau Es. Biarpun Siauw Bwee
belum tahu dengan jelas, namun kini ia sudah dapat menduga bahwa para
pengeroyoknya itu biarpun tidak memiliki ilmu silat tinggi, namun
memiliki inti tenaga sin-kang yang amat kuat dan aneh, dan agaknya
mereka yang masih rendah ilmu silatnya ini secara luar biasa telah dapat
menggabungkan tenaga sakti Im dan Yang.
"Twako, pergunakan senjatamu!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru dan dia sendiri mencabut pedangnya.
"Sing!
Singgg!" Dia sinar berkelebat ketika dua orang muda itu mencabut pedang
mereka dan benar saja seperti yang diduga Siauw Bwee, para pengeroyok
itu, kecuali Si Sastrawan, kelihatan jerih.
"Twako, robohkan akan
tetapi jangan bunuh orang!" Kembali Siauw Bwee berseru dan diam-diam Yu
Goan menjadi makin suka dan kagum kepada dara perkasa itu yang ternyata
selain lihai, cantik jelita, juga hatinya lembut, tidak kejam.
Orang-orang
ini biarpun kelihatan jerih, namun mereka itu menyerbu dengan nekat. Yu
Goan membacokkan pedangnya, mengarah bagian yang tidak berbahaya. Dua
kali pedangnya berkelebat, menyambar pangkal lengan seorang dan paha
orang ke dua.
"Plak! Plak!" Pedangnya itu mengenai sasaran, akan
tetapi telapak tangannya terasa panas karena dua kali pedangnya membalik
seperti membacok karet yang ulet dan kuat. Dua orang itu terhuyung.
Pangkal lengan dan paha yang terbacok itu terluka, akan tetapi lukanya
hanya merupakan goresan pada kulit saja, sedangkan dagingnya tidak
terluka sama sekali. Darah yang keluar hanya merupakan goresan merah
pada kulit yang terbacok. Ternyata baju mereka lebih parah terobek
pedang daripada kulit mereka.
Demikian pula Siauw Bwee mengalami hal
yang sama. Dia kaget dan makin kagum. Kekebalan yang hebat sekali
dimiliki oleh orang kasar ini. Sungguh aneh sekali. Tentu mereka ini
orang-orang yang kasar dan bodoh, telah menerima ilmu berlatih sin-kang
yang amat mujijat! Apalagi ketika ia menyerang Si Sastrawan yang
dianggapnya pimpinan orang-orang itu, dia lebih terkejut lagi. Pedangnya
selalu mencong arahnya, menyeleweng ketika ujungnya mendekati tubuh Si
Sastrawan, seolah-olah ada tenaga tak tampak yang mendorong senjatanya
ke samping! Hal ini membuktikan sin-kang yang amat kuat, dan untung
baginya bahwa sin-kang kuat yang dimiliki orang-orang ini, terutama Si
Sastrawan, hanya mereka kuasai untuk melindungi tubuh saja. Kalau
sin-kang yang sedemikian kuatnya itu dapat mereka pergunakan untuk
menyerang, agaknya dia sendiri belum tentu akan mampu menandingi
pengeroyokan orang-orang yang sehebat itu tenaga sin-kangnya!
"Tangkap mereka dengan jala!" Tiba-tiba Si Sastrawan mengeluarkan aba-aba.
"Wuuuuttt!
Wuuuuutttt!" Para pengeroyok itu dengan cepat sekali telah mengeluarkan
jala yang istimewa. Jala ini amat lebar dan ringan, namun demikian kuat
sehingga dengan jala ini mereka biasanya menangkap binatang-binatang
buas seperti harimau, biruang dan lain-lain! Juga agaknya mereka ahli
mainkan jala-jala itu yang kedua ujungnya dipegang oleh dua orang,
kemudian mereka mengayun dan menggerakkan jala-jala itu seperti orang
bermain tari naga. Bagaikan dua ekor naga besar, kini dua buah jala yang
dimainkan empat orang itu menyerang Siauw Bwee dan Yu Goan. Sedangkan
para pengeroyok lain masih tetap mengeroyoknya, terutama Si Sastrawan
yang melancarkan pukulan-pukulan berat kepada Yu Goan, sedangkan Siauw
Bwee dikeroyok sisa-sisa orang liar itu.
Yu Goan menggerakkan
pedangnya membacok sekuat tenaga untuk memutus jala yang melayang-layang
ringan di atas kepalanya itu. Akan tetapi betapa kaget hatinya ketika
ia mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak mampu membikin putus tali
jala. Kiranya jala itu terbuat dari pada benang-benang yang amat luar
biasa, berwarna hitam mengkilap dan amat ringan, halus dan ulet sekali,
dapat mulur sehingga bacokan senjata tajam itu sama sekali tidak
berbekas. Yu Goan merasa seolah-olah senjatanya membacok asap saja!
Sementara
itu, jala yang melayang-layang itu menyambar turun. Yu Goan cepat
meloncat jauh ke kiri untuk mengelak. Dua orang pengeroyok menubruknya
dari kanan kiri dan dia berhasil membuat mereka terhuyung-huyung dengan
pukulan tangan kiri dan sabetan pedang ke arah kaki orang ke dua.
"Dukkk!"
Pukulan Si Sastrawan menyerempet punggungnya. Yu Goan terhuyung,
pandang matanya berkunang. Biarpun pukulan itu tidak tepat kenanya,
namun karena mengandung tenaga sin-kang yang hebat, dia merasa tubuhnya
tergetar dan cepat-cepat pemuda ini mengatur pernapasan. Pada saat itu,
bayangan jala sudah melayang turun lagi menimpa ke arah kepalanya!
Yu
Goan melempar tubuhnya ke bawah dan berusaha mengelak dengan cara
bergulingan ke atas tanah. Akan tetapi, ternyata dua orang yang memegang
jala itu adalah ahli-ahli yang cekatan sekali. Jala mereka sudah
melayang dan kalau tadi bergulung-gulung kini jala itu terbuka dan
terbentang selebarnya, langsung menutup tubuh Yu Goan yang tidak mungkin
mengelak lagi.
Yu Goan makin kaget dan cepat ia mengerahkan
gin-kangnya, meloncat bangun dan memutar pedangnya. Akan tetapi, jala
itu seperti hidup, bergerak menggulungnya dan makin keras ia meloncat,
makin keras pula ia terbanting karena jala itu bersifat mulur seperti
karet namun kuat melebihi baja. Tubuh Yu Goan tergulung jala dan
pedangnya terlepas, jauh di luar jala. Ketika Yu Goan hendak
mengambilnya, pedang itu sudah disambar oleh seorang pengeroyok.
Kemudian jala itu terus diguling-gulingkan sehingga tubuh Yu Goan
terbelit-belit ketat dan tak dapat berkutik pula!
Melihat ini, Siauw
Bwee kaget dan marah sekali. Dengan sin-kangnya yang istimewa kuatnya
itu pun Siauw Bwee tidak mampu membikin putus jala dengan pedangnya.
Akan tetapi dengan gin-kangnya yang membuat dia bergerak seperti kilat
itu membuat mereka yang menggunakan jala tidak mungkin dapat
menangkapnya! Dara itu mencelat ke sana sini, dikejar bayangan jala
sehingga kelihatannya seperti dia bermain-main, di antara dua orang
pemegang jala, bermain loncat-loncatan dengan gaya yang indah sekali!
Kini keadaannya berubah. Melihat Yu Goan tertawan, Siauw Bwee
mengeluarkan suara melengking nyaring, pedangnya bergerak ke depan dan
robohlah seorang pemegang jala dengan kulit dada robek dari kiri ke
kanan, lukanya cukup dalam karena dalam penyerangannya sekali ini Siauw
Bwee menambah tenaganya.
"Bebaskan dia, kalau tidak, aku akan
membunuh kalian semua!" bentaknya dan bagaikan seekor burung garuda
menyambar, tubuhnya sudah melayang ke arah Si Sastrawan, didahului sinar
pedangnya yang menyambar. Sastrawan itu cepat mengelak, akan tetapi,
"brettt!" kedua helai pita rambut sastrawan itu yang panjang terbabat
putus!
"Kalau tidak kaulepaskan dia, lehermu yang akan putus!" Siauw Bwee yang sudah marah sekali itu membentak.
Tiba-tiba
sastrawan itu menggulingkan tubuhnya, bergulingan dan tahu-tahu ia
sudah berada di dekat Yu Goan yang sudah terbelenggu seluruh tubuhnya
oleh jala dan tak dapat bergerak itu.
"Bergeraklah dan sahabatmu ini
akan kubunuh lebih dulu!" Si Sastrawan berseru sambil menodongkan pedang
Yu Goan ke punggung pemuda yang rebah miring itu.
Siauw Bwee
terkejut, terbelalak dan mukanya menjadi pucat. Tak disangkanya bahwa Si
Sastrawan itu ternyata amat cerdik dan licik. Pada saat dia terkejut
dan berdiri termangu itu, tiba-tiba sebuah jala melayang dari atas dan
tahu-tahu tubuhnya sudah tertutup jala. Siauw Bwee kaget dan cepat ia
mencelat ke atas. Jala itu terbawa melayang ke atas dan ketika kedua
orang pemegangnya menggerakkan tangan, jala itu terputar-putar dengan
tubuh Siauw Bwee di dalamnya. Akan tetapi tiba-tiba dara perkasa itu
berseru keras dan tubuhnya dalam jala meluncur dengan kekuatan yang luar
biasa sehingga dua orang pemegang jala di kanan kiri itu tidak dapat
bertahan dan mereka ikut tertarik, roboh terseret ke depan!
Para
pengeroyok, dan juga Si Sastrawan yang menlnggalkan Yu Goan untuk
membantu teman-temannya menundukkan dara yang amat lihai itu, datang
menyerbu ke arah tubuh Siauw Bwee yang sudah mulai tergulung jala. Akan
tetapi, biarpun tubuhnya sudah dibelit-belit jala, Siauw Bwee masih
memegang pedangnya dan begitu tubuhnya mencelat ke depan, robohlah tiga
orang pengeroyok termasuk Si Sastrawan yang kena ditendang dadanya,
seorang dipukul kepalanya dan seorang lagi hampir putus pahanya terkena
pedang dara perkasa itu yang meluncur keluar dari dalam jala!
"Tahan....!"
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan mendengar seruan ini, para
pengeroyok seketika menghentikan semua gerakan mereka dan menjatuhkan
diri berlutut di atas tanah, kecuali Si Sastrawan yang berdiri dengan
muka tunduk ke arah kakek yang tiba-tiba muncul di tempat itu.
"Lepaskan
mereka berdua! Buka jala-jala itu!" Kembali kakek itu berseru halus dan
para pengeroyok tadi kini sibuk membuka jala dari kanan kiri dan
melepaskan belitan-belitan yang amat kuat itu.
Yu Goan yang sudah
terbebas dari dalam jala, menyambar pedang dan sarung pedangnya yang
dilempar di atas tanah oleh Si Sastrawan, kemudian pemuda itu berdiri
dekat Siauw Bwee yang sudah bebas lebih dulu. Mereka berdiri memandang
kakek yang datang itu dan siap menghadapi segala kemungkinan tanpa
mengeluarkan suara. Ketika mereka mengerling kiranya di situ sudah
berkumpul banyak sekali orang-orang liar itu. Adapun kakek yang muncul
itu agaknya adalah ketua mereka, melihat dari sikap hormat dan takut
semua orang liar, kecuali Si Sastrawan yang kelihatannya bersikap takut
hormat buatan, sikapnya palsu dan hal ini diam-diam tidak terlepas dari
pandang mata Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek itu sudah tua sekali, jenggot
dan rambutnya yang tidak terpelihara baik-baik itu sudah putih, matanya
yang cekung dan tubuhnya yang jangkung itu amat kurus, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar yang aneh, lebih mencorong daripada
mata orang-orang liar itu! Pakaiannya juga sederhana sekali sehingga
tampak jelas betapa bedanya dengan pakaian Si Sastrawan.
"Jala-jala
itu kubikin untuk menangkap binatang buas, untuk memenuhi kebutuhan
perut kita. Mengapa sekarang kalian pergunakan untuk menangkap
manusia-manusia? Bukankah aku sudah melarang kalian bertanding dengan
orang luar?"
Para pengeroyok tadi tidak ada yang menjawab, hanya
berlutut dan menundukkan muka, akan tetapi beberapa orang di antara
mereka melirik ke arah Si Sastrawan, seolah-olah menyerahkan jawabannya
kepada sastrawan itu.
Kakek itu dapat menangkap sikap anak buahnya
ini, maka dia menoleh ke arah sastrawan itu dan berkata, "Ang-siucai,
engkau adalah tamu terhormat di sini, mengapa membawa anak buah kami
untuk mengeroyok dua orang muda ini?"
Sastrawan itu menjura dan
menjawab dengan suara tenang, "Harap Pangcu (Ketua) suka memaafkan saya.
Karena dua orang ini melanggar wilayah Pangcu dan sikap mereka
mencurigakan, maka saya mengusulkan kepada kawan-kawan untuk menangkap
mereka dan membawa mereka ke depan Pangcu untuk diadili. Akan tetapi,
mereka berdua tidak mau menyerah, bahkan melawan sehingga terjadilah
pertempuran."
Kakek itu mengerutkan keningnya. "Hemmm, tidak pernah
aku memerintahkan untuk mengganggu orang yang lewat, asal mereka tidak
mengganggu kami. Biarlah sekali ini aku tidak akan menghukum anak
buahku. Dan kuharap Ang-siucai suka ingat agar tidak melakukan hal
seperti ini pula, karena kalau demikian, terpaksa aku tidak akan dapat
menganggap engkau sebagai tamu terhormat dan sahabat baik lagi. Nah,
harap kalian semua kembali lebih dulu!"
Anak buah orang-orang liar
itu bersama Si Sastrawan lalu bangkit dan pergi dari situ dengan kepala
menunduk. Mereka itu semua kelihatan patuh dan sama sekali tidak
memperlihatkan muka penasaran, akan tetapi dengan kerling matanya Siauw
Bwee dapat menangkap ketidak-puasan membayang di wajah sastrawan itu,
bahkan mulut sastrawan itu membayangkan senyum mengejek. Hemm, orang itu
bukan seorang baik-baik, pikir Siauw Bwee, akan tetapi karena urusan
orang-orang itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dia, maka dia pun diam
saja dan hanya memandang kakek yang masih berdiri di depannya.
Kakek
itu sejenak memandang kepada Yu Goan, kemudian memandang lebih lama dan
penuh perhatian kepada Siauw Bwee, kemudian membungkuk dan berkata,
"Harap Ji-wi suka memaafkan kekerasan anak buahku yang tidak
berpendidikan. Melihat gerakan-gerakan Lihiap tadi, aku percaya bahwa
Lihiap tentulah seorang pendekar muda yang menjadi murid seorang sakti."
Siauw
Bwee tersenyum. Biarpun sederhana keadaannya, kakek ini tidaklah
sebodoh orang-orang kasar tadi, maka dia pun mengangkat kedua tangan
memberi horrnat seperti yang dilakukan Yu Goan lalu berkata, "Kami
berdua hanya kebetulan lewat saja lewat di hutan sana akan tetapi malam
tadi anak buahmu mengintai kami. Kami menjadi curiga dan mengikuti jejak
mereka sampai di sini dan tiba-tiba kami dikeroyok. Pangcu siapakah dan
perkumpulan apakah yang Pangcu pimpin, dan di bawah tebing sana itu....
apakah ada hubungannya dengan Pangcu?"
Tiba-tiba wajah kakek itu
berubah agak pucat dan ia cepat menggeleng kepala sambil berkata, "Harap
Lihiap tidak bertanya-tanya lebih banyak lagi. Aku sudah mohon maaf
atas kelancangan anak buahku. Sudahlah, aku minta dengan hormat sukalah
Ji-wi meninggalkan tempat ini dan harap jangan menceritakan orang lain
akan keadaan kami, dan jangan pula kembali ke tempat ini. Percayalah,
aku seorang tua yang bicara demi kebaikan Ji-wi sendiri." Tiba-tiba
kakek itu mengerutkan keningnya, menyentuh dahi dengan tangan kanan,
mukanya berubah pucat membiru, matanya dipejamkan, mulutnya menyeringai
dan seluruh tubuh tergetar menggigil seperti orang kedinginan hebat.
Giginya saling beradu dan akhirnya kakek itu menjatuhkan diri di atas
tanah, mengeluh dan mengerang kedinginan, mukanya makin membiru.
"Pangcu...."
"Sssttt....!"
Yu Goan mencegah Siauw Bwee dan ketika nona ini memandang temannya,
pemuda itu mendekati ketua itu dan memandang penuh perhatian dengan alis
berkerut.
Kini wajah kakek itu mulai putih kembali, dari biru
menjadi putih dan tubuhnya tidak menggigil lagi. Dia dapat duduk bersila
tenang dan wajahnya yang pucat itu mulai kemerahan. Akan tetapi betapa
terkejut hati Siauw Bwee ketika melihat bahwa muka itu makin lama makin
merah dan tubuh kakek itu seolah-olah mengeluarkan hawa panas yang
sampai terasa olehnya. Kakek itu kembali tersiksa, kini seperti seekor
cacing terkena abu panas, bergulingan di atas tanah!
"Pangcu...." Kembali Siauw Bwee melangkah maju.
"Jangan, biarkan saja. Dia sedang terancam jiwanya oleh penyakit yang amat berat, aku sedang mempelajari penyakitnya."
Seperti
tadi Yu Goan mendekat dan memandang penuh perhatian. Siauw Bwee merasa
heran dan juga kagum. Kiranya pemuda itu, yang sudah ia saksikan ilmu
silatnya yang sungguh tak boleh dikatakan masih rendah tingkatnya,
bahkan amat tinggi mutunya, memiliki pula ilmu kepandaian pengobatan!
Pemuda yang aneh dan mengagumkan!
Kurang lebih satu jam lamanya kakek
itu menderita, akhirnya keadaannya tenang kembali. Dia membuka mata,
mengeluh dan meloncat bangun, menghapus keringat dari dahi dan lehernya,
memandang kepada dua orang muda itu dan berkata perlahan.
"Maafkan.... ah, aku telah membuat Ji-wi kaget saja. Sedikit gangguan kesehatanku...."
"Gangguan
kesehatan? Aihh, Pangcu tidak tahukah pangcu bahwa yang Pangcu
ceritakan ini bukan sekedar gangguan kesehatan, melainkan ancaman jiwa
Pangcu? Pangcu telah menderita keracunan hebat sekali, racun yang
menimbulkan hawa meresap ke dalam pusar dan mempengaruhi seluruh tubuh
Pangcu!"
Kakek itu menjadi pucat wajahnya. "Bagaimana Sicu bisa tahu?"
"Sedikit-sedikit aku tahu akan ilmu pengobatan, Pangcu. Bolehkah aku memeriksanya?"
Kakek
itu mengangguk-angguk, kemudian duduk bersila dan Yu Goan mempersilakan
dia membuka bajunya. Dengan gerakan tangan tetap pemuda itu lalu
memeriksa denyut nadi, kemudian menempelkan telapak tangan ke pusar dan
ke atas kedua dada kakek itu. Keningnya berkerut tanda bahwa pemuda itu
memusatkan pikiran, kemudian berkata,
"Benar seperti dugaanku. Pangcu
terkena racun yang amat hebat. Bukankah kadang-kadang hawa sin-kang di
tubuh Pangcu tak dapat dikendalikan, di pusar terasa sakit seperti
ditusuk, dada sesak dan kadang-kadang terasa amat dingin adakalanya amat
panas hampir tak tertahankan? Pandangan mata menjadi berkunang telinga
terdengar bunyi melengking?"
Kakek itu terbelalak. "Sicu benar! Ahh, kiranya Sicu seorang ahli yang pandai. Bolehkah aku mengetahui siapa guru Sicu?"
"Aku mendapat ilmu pengobatan dari kakekku sendiri yang berjuluk Yok-sanjin."
"Ahh,
kiranya Si Raja Obat Song Hai?" kakek itu berseru girang, lalu
merangkap kedua tangannya. "Mohon pertolongan Sicu untuk mengobati dan
menalong nyawaku."
"Sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk
menolong sesamanya yang menderita, Pangcu. Akan tetapi mengobati Pangcu
tidaklah mudah, membutuhkan tenaga sin-kang yang amat besar dan pula
bukan di sini tempatnya."
"Ahh, aku berlaku kurang hormat. Marilah, silakan Ji-wi datang ke tempat kami!"
Yu
Goan mengangguk dan Siauw Bwee memandang kepadanya dengan penuh rasa
kagum. Mereka berdua mengikuti kakek itu pergi meninggalkan tebing
menuju ke dalam hutan. Di tengah jalan Siauw Bwee berkata,
"Wah, kiranya engkau seorang ahli pengobatan yang lihai, Yu-twako."
"Ahh,
pengertianku hanya dangkal saja, Lihiap. Pula, aku merasa sangsi apakah
aku akan cukup kuat untuk menyembuhkan orang tua ini."
"Harap Sicu
jangan khawatir. Berhasil atau tidak bukanlah soal bagiku. Aku tetap
berterima kasih kepada Sicu yang telah sudi melimpahkan budi dan
berusaha menolong aku, padahal tadi anak buahku telah mengganggu Ji-wi.
Bolehkah aku mengetahui Ji-wi yang gagah? Aku sendiri bernama Ouw Teng
dan sudah belasan tahun menjadi ketua di sini."
Siauw Bwee dan Yu Goan menjura dan pemuda itu berkata, "Lihiap ini adalah Khu Siauw Bwee, dan aku bernama Yu Goan."
Biarpun
kakek itu belum pernah mendengar nama dua orang muda itu, namun karena
sudah lama dia tidak muncul di dunia kang-ouw, dia percaya bahwa mereka
itu tentulah tokoh-tokoh muda murid orang pandai, maka ia bersikap
menghormat sekali. Setelah melalui jalan berliku-liku, akhirnya tibalah
mereka di perkampungan yang sederhana, di tengah hutan gelap akan tetapi
tanah di daerah ini amat subur dan sebagian dari hutan itu telah
berubah menjadi sawah dan kebun sayur.
"Daerah kami ini jarang
didatangi orang luar dan kami hidup tenang di sini, tidak pernah
kekurangan makan. Di dalam kesederhanaan kami, kami tidak membutuhkan
apa-apa, karena itu kami hidup cukup bahagia," kata Ouw-pangcu sambil
mempersilakan kedua orang muda itu memasuki pondok terbesar yang menjadi
rumahnya. Orang-orang yang berpakaian sederhana seperti yang mengeroyok
mereka tadi, nampak hilir mudik dan sibuk bekerja. Agaknya mereka semua
telah mendengar tentang kedua orang muda itu, maka mereka memandang
dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani
membuka suara karena kini dua orang muda itu datang bersama ketua
mereka.
Diam-diam Yu Goan tersentuh oleh ucapan ketua itu. Terbukti
kebenaran pelajaran yang pernah ia dengar dari kakeknya bahwa
kebahagiaan hanya dapat dirasakan oleh orang yang tidak membutuhkan
apa-apa! Bahkan tidak membutuhkan kebahagiaan itu sendiri! Keinginan
timbul karena panca indera ditempeli pikiran yang membayangkan dan
mengenang segala pengalaman kenikmatan jasmani dan kesenangan. Kalau
keinginan sudah timbul, maka memuaskan keinginan itulah yang menciptakan
kebutuhan. Ada kebutuhan disusul dengan usaha pencarian, yaitu mencari
apa yang dibutuhkan. Sungguh berlika-liku dan sulit ditempuh, padahal
setelah mencapai apa yang dicari, hahya mendatangkan kesenangan sesaat
saja, kemudian dilupakan untuk disambung kebutuhan lainnya yang tak
kunjung habis, tak kunjung henti karena kebutuhan itu diciptakannya
sendiri tanpa sadar. Betapa mungkin manusia yang selalu dikejar-kejar
kebutuhan yang diciptakan sendiri oleh kehausan dan kerakusan akan
kenikmatan duniawi, dapat merasakan kebahagiaan? Kebahagiaan bukanlah
senang bukan pula susah, bukan untung bukan pula rugi, karena itu tidak
ada kebalikannya, tidak ada perbandingannya. Jika masih dapat
dibandingkan, itu bukanlah bahagia!
Pondok tempat tinggal Ouw Pangcu
cukup besar, akan tetapi amatlah sederhana. Dindingnya terbuat daripada
bata bertumpuk-tumpuk secara kasar, daun pintunya dari kayu dengan
bentuk bersahaja. Pembaringan kakek ini pun hanya merupakan sebuah dipan
bambu! Belum pernah selama hidupnya dua orang muda itu melihat seorang
ketua semiskin ini!
Mereka duduk berhadapan di atas dipan, Yu Goan
dan Ouw-pangcu. Adapun Siauw Bwee duduk di atas bangku tak jauh dari
situ mendengarkan percakapan dua orang itu. Dia sendiri tidak mengerti
ilmu pengobatan maka dia hanya ingin menonton bagaimana sahabatnya itu
mengobati Ouw-pangcu.
"Bagaimanakah aku sampai keracunan? Aku sama
sekali tidak pernah bertanding dengan orang lihai dan tidak pernah kena
pukul," kata kakek itu, menyatakan keheranannya biarpun dia tidak
meragukan keterangan Yu Goan yang cocok dengan penderitaannya.
"Engkau
tidak terluka oleh pukulan, Pangcu. Akan tetapi karena makanan atau
minum sesuatu yang dicampuri racun. Dan racun ini mengacaukan hawa murni
di tubuhmu. Karena engkau telah melatih diri dengan sin-kang yang
tinggi dan aneh, yang agaknya telah dapat kau kuasai sedemikian rupa
sehingga engkau mampu mempergunakan Im-kang dan Yang-kang yang amat
kuat, maka kini kedua hawa yang sifatnya bertentangan itu saling
menggempur tubuhmu sendiri."
Kakek itu membelalakkan matanya. "Betapa
mungkin makanan atau minumanku diracuni orang? Akan tetapi....
keteranganmu tepat sekali, Sicu. Memang aku telah melatih diri dengan
sin-kang yang.... yang...." Kakek itu kelihatan ragu-ragu.
"Hemm,
bukankah engkau melatih Im-yang-sin-kang secara berbareng dan pandai
menggunakan kedua sin-kang itu secara berbareng?" Tiba-tiba Siauw Bwee
menyambung ketika melihat kakek itu agak ragu-ragu untuk memberi tahu.
Kakek
itu makin kaget dan memandang Siauw Bwee penuh kagum. "Engkau tahu akan
hal itu, Nona? Bukan main! Agaknya di dunia ini penuh dengan
orang-orang muda yang berilmu tinggi! Tidak salah, sesungguhnya ilmuku
ini merupakan rahasia, akan tetapi heran sekali mengapa engkau dapat
menduga begitu tepat, dan Sicu ini dapat pula memberi keterangan yang
cocok."
"Hemm, apa anehnya Pangcu?" Siauw Bwee berkata. "Anak buahmu
tidak pandai ilmu silat tinggi, namun mereka rata-rata memiliki sin-kang
yang amat kuat. Dan juga sastrawan itu...."
Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat. "Aihh! Apakah bisa jadi....?"
"Apa yang hendak kaukatakan, Pangcu?" Yu Goan berkata.
"Racun
itu....! Anak buahku tidak mungkin meracuniku, akan tetapi dia....
Ang-siucai itu.... dia banyak mengajarkan ilmu masakan kepada para koki
kami! Dan anggur yang dibuatnya itu....!" Tiba-tiba ia menarik napas
panjang, kemudian melanjutkan dengan suara lirih hampir berbisik, "Ah,
aku sudah membuka rahasia. Akan tetapi agaknya keadaan gawat, dan entah
mengapa, timbul kepercayaan besar di hatiku terhadap Ji-wi. Biarlah
kuceritakan keadaan kami sebelum engkau mencoba mengobatiku, Sicu."
Kakek
ini dengan suara perlahan lalu menceritakan keadaan orang-orang di situ
yang dipimpinnya. Dahulu di tempat itu tinggal sekelompok orang, kurang
lebih dua ratus orang jumlahnya, yang hidupnya masih terbelakang dan
jarang bertemu dengan orang luar. Mereka hidup sederhana, bahkan masih
setengah liar. Kemudian muncullah seorang kakek sakti yang aneh dan
berilmu seperti dewa. Melihat keadaan sekelompok manusia yang wajar dan
sederhana ini, kakek itu lalu memimpin mereka dan mengajarkan ilmu
kepandaian agar mereka itu dapat menjaga diri, dan dapat mengalahkan
segala tantangan hidup dalam dunia yang masih liar itu.
"Karena
pimpinan Locianpwe itulah maka kami memiliki sedikit ilmu kepandaian
sehingga kami dapat menangkap binatang buas yang bagaimana kuat pun.
Akan tetapi, sungguh celaka, nasib buruk menimpa kami. Tidak lama
setelah Locianpwe itu berada di sini dan beliau suka sekali hidup di
antara orang-orang yang masih sederhana, wajar dan liar seperti kami,
malapetaka menimpa kami, yaitu berupa penyakit yang menyeramkan."
"Penyakit
apakah, Pangcu?" Siauw Bwee bertanya, hatinya tertarik sekali mendengar
penuturan itu dan menduga-duga siapa gerangan kakek sakti itu.
"Penyakit kusta."
"Kusta....?"
Yu Goan sebagai seorang ahli pengobatan tentu saja merasa ngeri
mendengar penyakit yang belum pernah dapat diobati itu. "Lalu bagaimana,
Pangcu?"
"Inilah sebetulnya rahasia besar kami yang sekarang kubuka
kepada Ji-wi karena Ji-wi sudah kuanggap bukan orang lain. Mereka yang
terkena penyakit itu terpaksa harus menjauhkan diri agar jangan sampai
menular kepada orang lain. Hal ini diatur oleh Locianpwe itu dan mereka
itu ditempatkan di lembah."
"Di bawah sana itu? Jadi orang-orang di bawah itu adalah penderita-penderita penyakit kusta?" tanya Siauw Bwee.
"Benar,
jadi di antara mereka dan kami sebenarnya masih ada hubungan erat,
bahkan masih keluarga, dan lebih lagi, di antara mereka yang menderita
itu terdapat ketua kami yang dahulu dipilih oleh Locianpwe itu sehingga
sampai sekarang pun, tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami
orang-orang penghuni hutan di bukit ini. Karena penderitaan mereka
itulah, Locianpwe menurunkan ilmu melatih sin-kang yang disebut
Jit-goat-sin-kang (Hawa Sakti Matahari Bulan). Hanya mereka yang berada
di lembah saja yang memperoleh ilmu itu, dan di atas sini hanya
ketuanya, yaitu aku sendiri yang mendapatkan ilmu itu. Aku melatih
sin-kang itu dengan mengambil tenaga sakti matahari dan bulan, kulatih
bertahun-tahun. Siapa mengira, sekarang aku menjadi korban dari sin-kang
itu sendiri."
"Kenapa engkau keracunan, Pangcu. Dan agaknya ada orang yang sengaja meracunimu," kata Yu Goan.
"Tentu
orang yang tahu akan Jit-goat-sin-kang, dan satu-satunya.... hemmm,
hanya Ang-siucai yang kuberi tahu akan rahasia ilmu itu untuk membalas
budinya. Setelah Locianpwe itu pergi beberapa tahun yang lalu, datanglah
Ang-siucai sebagai utusan pemerintah yang bersikap baik sekali kepada
kami, mengajarkan masak dan baca tulis. Mungkinkah dia....? Aihh,
jangan-jangan sikap beberapa orang anak buahku yang berubah ini pun
hasil perbuatannya! Celaka, dan aku terluka. Ah, Sicu, tolonglah aku
agar aku dapat menyelidiki hal ini dan mencegah terjadinya hal yang
lebih hebat lagi. Aku khawatir kalau-kalau akan terjadi pemberontakan di
sini. Dalam beberapa bulan ini aku sudah melihat gejala-gejala
perlawanan dan sikap tidak mau menaati perintahku, termasuk penyerangan
mereka kepada Ji-wi tadi."
"Baik, Pangcu. Akan kucoba. Silakan Pangcu
duduk bersila dan aku akan membantumu membersihkan hawa beracun yang
mengacaukan sin-kang di tubuhmu." kata Yu Goan. Pemuda ini lalu duduk
bersila di atas dipan, di belakang kakek itu, kemudian ia menempelkan
kedua telapak tangannya di atas punggung yang telanjang itu, mengerahkan
sin-kangnya.
Tak lama kemudian, Yu Goan berteriak keras dan tubuhnya
terpelanting jatuh dari atas dipan, mukanya pucat penuh keringat dan
matanya terbelalak.
Siauw Bwee cepat menyambar lengan Yu Goan dan
membantu pemuda itu berdiri. Kakek itu menoleh dan mengerutkan alisnya
yang putih. "Bagaimana, Sicu?"
"Bagaimana, Twako? Kenapa kau jatuh?" Siauw Bwee juga bertanya.
Yu
Goan mengusap peluhnya dan menggeleng kepala. "Percuma. Agaknya
Jit-goat-sin-kang yang kaumiliki itu luar biasa kuatnya, Pangcu. Aku
tidak kuat menahan. Untuk mengobatimu membutuhkan orang yang memiliki
sin-kang jauh lebih tinggi daripada kekuatanmu sendiri. Sin-kangmu yang
dua macam saling berlawanan itu mana mungkin dilawan orang biasa seperti
aku? Yang mengobati harus membagi tenaganya, sebagian untuk menahan
penolakan Jit-goat-sin-kang yang berlawanan itu, sebagian untuk mengirim
hawa murni ke pusarmu dan membantumu menguasai kembali sin-kangmu dan
bersama-sama mengusir hawa beracun. Tak mungkin aku melakukannya, bahkan
seluruh sin-kangku masih tidak kuat menghadapl pergolakan
Jit-goat-sin-kang yang saling berlawanan itu, apalagi untuk mengusir
hawa beracun."
"Aihh, sudah nasibku. Untuk menghadapi maut, bagiku
bukan apa-apa, karena aku pun sudah cukup tua. Akan tetapi kalau yang
kukhawatirkan terjadi, kalau samnpai timbul pemberontakan, celakalah
anak buahku semua...." Kakek itu mengeluh dengan air muka berduka
sekali.
"Pangcu, jangan khawatir. Aku akan membantumu mengobati penyakitmu. Twako, jelaskan apa yang harus kulakukan?"
"Khu-lihiap....,
hal itu.... berbahaya sekali. Jit-goat-sin-kang di tubuhnya liar dan
amat kuatnya. Salah-salah engkau akan terluka parah di sebelah dalam
tubuhmu!"
"Sicu benar, Lihiap. Harap jangan main-main dan mengorbankan diri sendiri untukku," Ouw-pangcu juga berkata dengan hati tulus.
Siauw Bwee tersenyum. "Kalau belum dicoba mana kita tahu, Twako? Biarlah aku mencobanya."
"Khu-lihiap,
ini bukan main-main, mana boleh dicoba-coba? Aku tahu bahwa
kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada tingkatku. Aku tidak hendak
mengatakan bahwa sin-kangmu lebih lemah daripada sin-kangku, akan tetapi
betapapun, tak mungkin dapat melawan Jit-goat-sin-kang yang liar di
tubuh Ouw-pangcu."
Kembali Siauw Bwee tersenyum. "Ouw-pangcu,
Locianpwe yang kausebutkan tadi, apakah dia seorang kakek bertubuh kecil
seperti kanak-kanak akan tetapi kepalanya besar sekali dan namanya
Bu-tek Lo-jin?"
Ouw-pangcu begitu kaget mendengar ini sampai dia
meloncat turun dari dipan dan memandang Siauw Bwee dengan mata
terbelalak. "Ini.... ini.... rahasia besar.... bagaimana Lihiap bisa
tahu....?" tanyanya gugup dan Yu Goan juga terkejut. Dia pernah
mendengar dari ayahnya akan nama Bu-tek Lo-jin itu, seorang manusia
setengah dewa yang sakti dan aneh sekali, bahkan lebih terkenal daripada
nama Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek beradik
yang tidak lumrah manusia itu dan hanya kalah kebesaran dan keanehannya
oleh Bu Kek Siansu!
"Karena engkau telah mempercayakan rahasiamu
kepadaku, Pangcu, dan karena aku sudah percaya penuh kepada Yu-twako,
maka tidak perlu aku menyembunyikan rahasia diriku lagi. Aku mendengar
nama besar Bu-tek Lo-jin dari suhengku ketika aku digemblengnya di Pulau
Es."
"Pulau Es....?" Kini seruan itu keluar hampir berbareng dari mulut Yu Goan dan Ouw-pangcu.
"Khu-lihiap,
jadi engkau.... murid penghuni Istana Pulau Es? Engkau murid manusia
dewa Bu Kek Siansu....?" Yu Goan bertanya dengan mata terbelalak.
Siauw
Bwee tersenyum, mengangguk. "Aku murid beliau, akan tetapi beliau tidak
ikut bersama kami ke Pulau Es dan yang mengajarku adalah Suheng.
Penghuni Pulau Es hanyalah kami bertiga, aku, suciku dan suhengku."
"Ah,
aku bersikap kurang hormat....!" Ouw-pangcu cepat menjatuhkan diri
berlutut. Akan tetapi baru setengahnya, tangan Siauw Bwee telah
menangkap lengannya dan sekali tarik, tubuh kakek itu telah melayang ke
atas dipan! Kakek itu duduk bersila dan memejamkan mata sambil berkata,
"Khu-lihiap penghuni Istana Pulau Es, aku menyerahkan nyawaku ke tangan Lihiap!"
"Jangan
terlalu sungkan, Ouw-pangcu. Aku pun belum dapat menentukan apakah aku
akan dapat menyembuhkanmu. Twako, jangan banyak pujian dan
sungkan-sungkan lagi, lekas terangkan bagaimana caranya mengobati luka
Ouw-pangcu."
Dengan keheranan dan kekaguman masih menyelubungi
hatinya, Yu Goan lalu memberi petunjuk. Tiba-tiba terdengar suara gaduh
di luar, suara beradunya senjata dan teriakan anak buah Ouw-pangcu,
"Pemberontak! Pengkhianat! Manusia palsu Ang Hok Ci!"
Ouw-pangcu
menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dengan tenang Siauw Bwee berkata,
"Twako, kau menjaga di pintu, biar aku mengobatinya." Lalu dara perkasa
ini menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung kakek itu.
Ouw-pangcu hendak melawan karena ingin dia menghadapi para pemberontak,
akan tetapi sungguh aneh, tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuhnya tiba-tiba
bertemu dengan sin-kang yang amat kuat, juga sin-kang yang keluar dari
kedua tangan dara itu merupakan dua macam sin-kang, panas dan dingin.
Dia terheran-heran. Apakah dara ini pandai pula Jit-goat-sin-kang?
Sebenarnya bukanlah demikian, Siauw Bwee tidak pernah melakukan ilmu
sin-kang dari inti hawa sakti matahari dan bulan, akan tetapi dia
berlatih di Pulau Es di bawah petunjuk Han Ki dan menurut kitab-kitab
pelajaran Bu Kek Siansu tentu saja dia menguasai Yang-kang dan Im-yang
dengan baiknya.
Sementara itu, di luar pondok terjadi perang yang
amat seru. Anak buah yang masih setia kepada Ouw-pangcu diserbu anak
buah lain yang telah dipengaruhi Ang Hok Ci atau Ang-siucai. Kiranya
diam-diam Ang-siucai selama setengah tahun berada di situ, telah
menurunkan ilmu silat kepada para kawan yang dipengaruhinya sehingga
dalam pertempuran itu, anak buah Ouw-pangcu banyak yang roboh dan tewas.
"Bunuh
Ouw-pangcu!" terdengar teriakan Ang-siucai dan ternyata bahwa kini
selain Ang-siucai dan para anak buah yang dapat dipengaruhinya, muncul
pula beberapa orang kawan Ang-siucai yang datang dari luar dan pada saat
itu sudah menyerbu masuk perkampungan itu untuk membantu pemberontakan
yang dicetuskan oleh sastrawan itu! Mereka itu rata-rata memiliki ilmu
kepandaian tinggi, dan Ang-siucai sendiri sekarang pun tidak pura-pura.
Biasanya, dia menyembunyikan kepandaiannya maka ia selalu bergerak
dengan kaku seperti orang-orang di situ, akan tetapi sekarang, di
samping tenaga Jit-goat-sin-kang yang telah dimilikinya walaupun belum
mencapai tingkat tinggi, dia juga menggunakan ilmu silatnya sendiri yang
ternyata cukup hebat. Seorang demi seorang robohlah para pengikut
Ouw-pangcu dan sebagian kini menyerbu ke pondok tempat tinggal
Ouw-pangcu!
Daun pintu dibobol dari luar dan Yu Goan cepat
menggerakkan pedangnya, merobohkan orang pertama yang menyerbu masuk.
Pemuda itu maklum bahwa selagi Siauw Bwee mengobati Ouw-pangcu, kedua
orang itu tidak berdaya untuk membantunya. Bahkan kalau mereka berdua
diganggu, amat berbahaya bagi keselamatan mereka. Selain itu, cara
pengobatan menggunakan sin-kang itu tidak dapat dihentikan di tengah
jalan karena hal ini akan membahayakan yang diobati. Dia harus dapat
bertahan seorang diri sampai Siauw Bwee selesai mengobati kakek itu.
Dua
orang dengan gerakan liar menyerbu masuk dengan tangan memegang golok.
Mereka menyerang berbareng ke arah Yu Goan. Pemuda ini sudah melolos
pedang dan sarung pedangnya karena dia maklum akan menghadapi
pengeroyokan banyak lawan. Melihat datangnya dua batang golok yang
digerakkan dengan tenaga kuat itu, ia menangkis dengan pedang dan sarung
pedangnya. Untung baginya bahwa dua orang itu hanya memiliki tenaga
sin-kang yang amat kuat akan tetapi gerakan mereka sama sekali tidak
berbahaya, maka begitu menangkis, pedangnya terus berkelebat ke kanan
kiri menusuk dada dan menyabet perut. Dua orang itu berteriak keras,
akan tetapi benar-benar tubuh mereka kebal, karena tusukan ke arah dada
itu meleset dan hanya mendatangkan luka pada kulit, sedangkan sabetan
pada perut hanya merobek baju dan kulit. Dua orang itu sambil berteriak
kaget sudah menerjang lagi dengan buas, akan tetapi Yu Goan yang melihat
betapa di belakang dua orang itu menyerbu banyak sekali lawan, bergerak
cepat sekali. Serangan orang di sebelah kanannya ia elakkan sehingga
orang itu terhuyung ke belakang, cepat pedangnya dibalik dan secara
tiba-tiba pedangnya menusuk ke belakang dan tepat menancap pada punggung
lawan ini yang menjerit dan muntahkan darah segar dari mulutnya lalu
terjungkal. Adapun penyerangnya dari kiri ia sambut dengan totokan
sarung pedang pada pergelangan tangan orang itu sehingga goloknya
terlempar karena tangan itu menjadi lumpuh. Pedang Yu Goan menyambar,
kini mengarah leher dan biarpun leher itu juga kebal, namun goresan
mengenai jalan darah di leher sehingga tampak getar ketika bertemu
dengan golok yang dipegang seorang berpakaian seperti orang Han, dahinya
lebar sekali dan gerakan goloknya aneh dan tangkas. Bersama orang ini,
menyerbu pula enam orang liar dan Yu Goan segera dikeroyok di depan
pintu. Pemuda ini memutar pedang dan sarung pedangnya. Namun kepandaian
orang Han yang menjadi kawan Ang-siucai itu benar-benar tak dapat
dipandang ringan sehingga Yu Goan harus bersikap hati-hati sekali. Dia
memutar pedang dan sarung pedang, berloncatan ke sana-sini tanpa
meninggalkan posisinya melindungi Siauw Bwee yang sedang mengobati
Ouw-pangcu di sebelah belakangnya. Dia berhasil merobohkan dua orang
pengeroyok pula, akan tetapi kini Ang-siucai sendiri bersama
teman-temannya datang, dan Yu Goan terkurung oleh delapan orang termasuk
Ang-siucai, dan dua orang Han yang lihai!
Yu Goan bukanlah seorang
pendekar muda biasa. Dia adalah putera tunggal pendekar besar Yu Siang
Ki, keturunan langsung dari tokoh-tokoh besar Ketua Khong-sim Kai-pang,
perkumpulan pengemis pendekar yang amat terkenal itu. Ayahnya sendiri
yang telah menggemblengnya dalam ilmu silat, bahkan ayahnya yang menjadi
seorang ahli ilmu tongkat keluarga Yu, telah mengubah ilmu pedang dari
ilmu tongkatnya itu. Kini, Yu Goan mainkan pedang di tangan kanan dan
sarung pedang di tangan kiri yang dipergunakan sebagai tongkat, dapat
menangkis dan juga menotok jalan darah lawan!
Namun, jumlah
pengeroyok terlalu banyak. Roboh dua maju empat orang dan sebentar saja
banyak lawan menyerobot masuk sehingga Yu Goan menjadi sibuk dan bingung
juga karena dia harus melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu. Andaikata
dia tidak harus melindungi dua orang itu, tentu saja sejak tadi dia
sudah meloncat keluar mencari tempat yang lebih luas agar enak dia
mengamuk. Kini, di tempat sempit itu, dan separuh perhatiannya ia
tujukan untuk melindungi Siauw Bwee dan Ouw-pangcu, tentu saja dia
kurang menjaga diri sendiri sehingga beberapa kali dia terkena sambaran
senjata yang bagaikan hujan datangnya. Pundaknya, pangkal lengan kirinya
dan paha kanannya sudah terluka, namun Yu Goan tak pernah berhenti
bergerak menahan musuh yang seolah-olah air bah mengancam Siauw Bwee dan
Ouw-pangcu.
"Kurung dia rapat-rapat!" Ang-siucai berseru dan kini
dua belas orang mengepung Yu Goan. Pemuda ini bingung sekali karena dia
tidak dapat lagi melindungi Siauw Bwee. Baginya hanyalah Siauw Bwee yang
penting maka kembali dia terkena tusukan ujung golok pada dada kanannya
yang mengakibatkan luka lumayan dalamnya. Hal ini dapat terjadi karena
dia nekat meloncat keluar dari kepungan mendekati Siauw Bwee. Pada saat
itu, dua orang liar telah dekat di belakang Siauw Bwee, telah mengangkat
golok hendak membacok wanita muda yang duduk bersila dan memejamkan
mata, kedua telapak tangan menempel di punggung Ouw-pangcu itu.
"Trang-trang!
Cepp! Cepp!" Dalam kemarahan dan kegelisahannya, Yu Goan menangkis
golok dari belakang, kemudian dua kali pedangnya amblas memasuki lambung
dua orang itu yang tidak sempat mengerahkan sin-kang karena serangan
itu datangnya amat cepatnya.
"Bukkk!" Tubuh Yu Goan terguling ketika
pukulan tangan kiri Ang-siucai mengenai punggungnya. Belasan batang
golok dan pedang menghunjam ke bawah mengarah tubuh pemuda ini, akan
tetapi dengan sikap seperti seekor burung terbang, tubuh Yu Goan sudah
mencelat ke atas dan terdengar bunyi nyaring ketika pedang dan sarung
pedangnya menangkis sekian banyaknya senjata!
Kesempatan ini
dipergunakan oleh dua orang Han pembantu Ang-siucai untuk menerjang
Siauw Bwee dari belakang. Mereka telah melihat Siauw Bwee dan diam-diam
mereka ini tergila-gila, maka ketika mereka menerjang, mereka tidak
ingin membunuh dara jelita itu, melainkan ingin menangkapnya. Dua orang
ini menubruk dan karena tanpa berunding lebih dulu memang mereka
mempunyai nafsu hati yang sama, seorang mencengkeram pundak kiri Siauw
Bwee dan orang ke dua mencengkeram pundak kanan. Niat hati mereka, dara
itu akan ditangkap, dipeluk, dipondong dan dibawa lari!
"Auugghhh!"
"Aiiighhh!"
Dua
orang itu begitu menyentuh pundak Siauw Bwee, terpelanting dan
terbanting ke atas lantai. Yang memegang pundak kiri seketika menjadi
kejang, mula-mula menggigil lalu mati kaku dengan muka dan tubuh membiru
karena darahnya telah membeku terserang Im-kang yang dahsyat. Adapun
yang menyentuh pundak kanan tadi menjadi hitam seluruh tubuhnya dan mati
seperti orang terbakar karena darahnya telah terbakar oleh Yang-kang!
"Ihhhh....!"
Ang-siucai berteriak kaget dan memberi aba-aba kepada para kawannya
agar tidak menyerang nona itu. Namun terlambat dua orang pembantunya,
anak buah Ouw-pangcu yang memberontak telah menusukkan golok mereka ke
punggung Siauw Bwee. Begitu ujung golok menyentuh punggung, keduanya
memekik dan terjengkang ke belakang dan mati seketika! Pada saat itu
Siauw Bwee sedang mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, dan tenaga itu
bercampur dengan tenaga Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu, maka
dahsyatnya bukan kepalang. Tenaga itu seolah-olah melindungi tubuh
mereka berdua dan tentu saja penyerang yang kurang kuat sin-kangnya akan
mati seketika seperti yang dialami empat orang sembono itu.
Ang-siucai
membawa teman-temannya keluar dan kini pertandingan dilanjutkan di
luar. Pihak pengikut Ouw-pangcu terdesak hebat dan Yu Goan yang masih
mengamuk dan terkurung dan terdesak karena pemuda perkasa ini sudah
menderita banyak luka. Keadaannya berbahaya, sekali, namun Yu Goan
sedikit pun tidak menjadi gentar dan, bertekad melawan sampai detik
terakhir.
Ouw-pangcu menghela napas panjang, tubuhnya bergerak dan ia
berkata dengan suara nyaring, "Terima kasih, Lihiap. Budimu takkan
kulupakan dan ternyata Lihiap tidak kecewa menjadi murid Bu Kek Siansu!"
"Tidak perlu berterima kasih, Pangcu. Lebih baik lekas kita membantu Yu-twako."
Kedua
orang ini meloncat keluar. Ouw-pangcu masih bertelanjang baju dan
tangannya sudah menyambar goloknya yang tadi tergantung di dinding,
begitu tiba di luar, Siauw Bwee dan Ouw-pangcu mengamuk. Terutama sekali
Ouw-pangcu yang masih menyaksikan Yu Goan menderita banyak luka dan
orangnya banyak yang tewas. Ketua ini mengamuk seperti harimau terluka
dan banyak kaum pemberontak roboh dan tewas di ujung golok atau di bawah
telapak tangan kirinya. Namun, ketika para pemberontak melemparkan
senjata dan berlutut minta ampun, di antara mereka tidak terdapat
Ang-siucai dan kawan-kawannya yang telah lebih dulu melarikan diri.
Hanya dua orang Han yang menyerang Siauw Bwee tadi yang tewas,
selebihnya telah berhasil melarikan diri semua. Ouw-pangcu yang merasa
penasaran, mengerahkan orang-orangnya untuk melakukan pengejaran, namun
Ang-siucai dan teman-temannya lenyap seperti ditelan bumi. Dengan hati
penuh penasaran dan duka Ouw-pangcu memimpin anak buahnya untuk mengurus
mayat-mayat yang bergelimpangan, dan mengobati yang terluka.
Yu Goan
menderita luka, namun tidak ada yang berbahaya sehingga setelah
mengobati dirinya sendiri, pemuda perkasa ini masih sibuk mengobati anak
buah Ouw-pangcu yang terluka.
Hati Ouw-pangcu menjadi terharu
sekali. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan Siauw Bwee dan Yu Goan.
Ketika dua orang itu menolak dan membujuknya untuk berdiri, dia berkata,
"Aku tidak mau berdiri kalau Ji-wi tidak suka menjadi anak-anak angkatku!"
Yu Goan dan Siauw Bwee saling pandang akhirnya keduanya mengangguk.
"Baiklah, Gihu!"
"Bangkitlah
sekarang, Gihu!" kata pula Siauw Bwee yang mencontoh Yu Goan menyebut
gihu (ayah angkat) kepada kakek itu. Ouw-pangcu melompat bangun, tertawa
bergelak dan merangkul pundak kedua orang muda itu, memandang muka
mereka saling berganti penuh kebanggaan.
"Ha-ha-ha-ha! Mempunyai dua orang anak angkat seperti kalian, biar sekarang mati pun aku akan mati dengan senyum bahagia!"
Siauw
Bwee dan Yu Goan menjadi terharu sekali dan diam-diam mereka tidak
menyesal, bahkan bangga mempunyai seorang ayah angkat yang demikian
gagah perkasa, jujur, dan hidup dalam keadaan wajar. "Marilah,
anak-anakku. Marilah kuajarkan ilmu melatih sin-kang untuk memperoleh
tenaga inti matahari dan bulan. Kebetulan bulan sedang purnama malam
ini, kau bisa mulai."
Bagi Yu Goan tentu saja ilmu ini merupakan
keuntungan besar bukan main dan dengan tekun ia mulai melatih diri. Bagi
Siauw Bwee, sesungguhnya dia memiliki sin-kang yang lebih dahsyat
daripada yang dimlilki Ouw-pangcu, akan tetapi ketika dia mempelajari
teori pelajaran ini, dia mendapat kenyataan bahwa kalau orang dapat
mencapai tingkat tertinggi dari ilmu ini, bukan saja akan memliiki
sin-kang yang dahsyat, pun akan dapat memetik hawa mujijat dari matahari
dan bulan! Maka dia pun lalu mempelajari dengan teliti dan mulai
berlatih bersama Yu Goan.
Ouw Teng, ketua penghuni tebing dan hutan
itu, bersikap amat baik kepada Yu Goan dan Siauw Bwee. Kakek ini tidak
mempunyai isteri atau anak, dan rasa terima kasih membuat dia berusaha
sedapatnya untuk menyenangkan hati kedua orang anak angkatnya. Dia
menceritakan segala hal mengenai keadaan para penghuni di situ tanpa
menyimpan rahasia. Anak buahnya, yaitu para penghuni tebing dan hutan,
tadinya berjumlah seratus orang lebih. Mereka membentuk keluarga di situ
dan beranak bini. Akan tetapi pemberontakan itu menewaskan belasan
orang anak buahnya, sedangkan yang terbujuk oleh Ang-siucai dan tewas
serta melarikan diri, ada tiga puluh orang.
Setelah tinggal di tempat
itu selama dua bulan, Siauw Bwee dan Yu Goan mendapat kenyataan betapa
orang-orang itu sesungguhnya hidup jauh lebih bahagia daripada
orang-orang kota. Dan sesungguhnya mereka hidup dengan tenang, tenteram
dan penuh damai. Tidak pernah ada percekcokan. Tidak pernah ada
pencurian karena mereka tidak mengenal istilah mencuri. Semua benda yang
terdapat di situ adalah milik mereka bersama dan siapa yang membutuhkan
boleh mengambilnya. Tidak ada iri hati karena keadaan hidup mereka
sama, bahkan Ouw-pangcu sendiri hidupnya tidak berbeda dengan mereka.
Melihat
keadaan ini, Siauw Bwee diam-diam membenarkan Bu-tek Lo-jin yang
menaruh kasihan dan mengajarkan ilmu kepada mereka. Hidup secara liar
seperti itu tentu saja lebih membutuhkan kekuatan untuk melawan ancaman
binatang buas, penyakit yang timbul dari hawa udara dan lain ancaman
lagi. Karena melihat bahwa mereka itu hanya memiliki kekebalan, Siauw
Bwee lalu mengajarkan beberapa jurus ilmu pukulan dan ilmu meringankan
tubuh. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ketika malam-malam mereka
mengintai dia dan Yu Goan, mereka itu melenyapkan diri bukan karena
memiliki gerakan cepat, melainkan karena mempunyai tempat persembunyian
di hutan-hutan yang tentu saja sudah mereka kenal betul keadaannya.
Pula, karena mata mereka mengeluarkan cahaya mencorong berkat sin-kang
mereka, maka begitu mereka memejamkan mata dan mendekam di tempat gelap,
Siauw Bwee tidak dapat melihat mereka.
Bagi Siauw Bwee yang sudah
mengalami banyak hal aneh, bahkan pernah tinggal di tempat Pulau Es yang
sunyi, kini tinggal di dalam hutan di antara orang-orang yang demikian
sederhana hidupnya, ia merasakan ketenteraman hati yang amat
menyenangkan. Ia merasa kerasan di tempat itu, hidup di antara
pohon-pohon dan tanaman-tanaman liar, tidak pernah terlihat kemewahan
kota, tidak pernah melihat kesibukan manusia mengejar uang, tidak pernah
melihat percekcokan-percekcokan.
Juga Yu Goan, di samping tekun
melatih diri dengan Ilmu Jit-goat-sin-kang, juga merasa amat senang
tinggal di situ. Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Siauw Bwee, pemuda
ini maklum bahwa jangankan tinggal di tempat yang tenang itu, biar
tinggal di dalam neraka sekalipun dia akan merasa senang kalau di situ
terdapat Siauw Bwee di sampingnya! Pemuda ini menyadari sedalamnya bahwa
dia telah jatuh cinta kepada dara jelita yang sakti itu. Jatuh bertekuk
lutut, mencinta Khu Siauw Bwee bukan hanya dengan jiwa raganya,
melainkan seluruh hidupnya seakan-akan kini ia tujukan demi cinta
kasihnya kepada dara itu! Dia tidak berani mengeluarkan isi hatinya,
akan tetapi setiap pandang matanya, suaranya, gerak-geriknya jelas
membayangkan cintanya yang amat mendalam.
Siauw Bwee sendiri bukan
tidak tahu akan perasaan pemuda itu, dan hal ini amat mengganggu
hatinya. Dia suka kepadanya. Yu Goan yang ia tahu adalah seorang pemuda
yang amat halus budi pekertinya, seorang pemuda yang berkepandaian
tinggi, bukan hanya dalam ilmu silat, juga dalam kesusastraan dan ilmu
pengobatan, sopan-santun dan jujur, pendeknya seorang pemuda pilihan.
Akan tetapi, hatinya yang sudah jatuh cinta kepada suhengnya Kam Han Ki,
tidak mungkin mencinta pria lain. Dia merasa kasihan kepada Yu Goan,
terharu kalau melihat betapa sinar mata pemuda itu memandangnya penuh
kasih, dan ia mengambil keputusan untuk mengakhiri penderitaan pemuda
itu dengan satu-satunya jalan yang ia ketahui, yaitu memisahkan diri
dari pemuda itu.
Pagi itu mereka berdua berlatih di waktu matahari
mulai naik tinggi, duduk bersila dan melatih sin-kang menerima cahaya
matahari dan membiarkan sinar matahari yang mengandung inti hawa panas
yang menjadi sumber segala hawa panas itu meresap ke dalam tubuh mereka.
Setelah mereka menghentikan latihan mereka dan tubuh mereka basah oleh
peluh, mereka mengaso di bawah pohon yang teduh sambli menghapus peluh.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Bwee untuk mengutarakan keinginan
hatinya.
"Yu-twako, kurasa kita sudah cukup memahami cara melatih
diri dengan Jit-goat-sin-kang. Kini yang penting hanya tinggal melatih
diri yang dapat kita lakukan di manapun juga. Sudah terlalu lama kita
tinggal di tempat ini."
Yu Goan menoleh dan memandang dara itu dengan matanya yang lembut. Kemudian ia berkata, "Ucapanmu benar, Lihiap...."
"Aihh, sudah berapa kali aku minta agar engkau tidak menyebutku dengan lihiap, Twako. Bukankah sejak lama aku menyebutmu Twako?"
"Terima
kasih, ....eh, Bwee-moi. Sesungguhnya engkau baik sekali dan aku merasa
amat beruntung diperbolehkan menyebutmu adik. Akan tetapi, engkau
adalah seorang pendeker wanita yang tiada keduanya di dunia ini, den
aku.... aku merasa terlalu rendah untuk manyebutmu adik."
"Omongan apakah ini? Aku hanya seorang manusia biasa, Twako. Kalau kau tidak menyebutku adik, aku tidak mau menjawabnya."
"Baiklah,
Bwee-moi. Maafkan aku. Apa yang kaukatakan tadi benar bahwa kita sudah
memahami Jit-goat-sin-kang dan sudah terlalu lama tinggal di sini
mengganggu ayah angkat kita. Akan tetapi...., kita akan pergi ke
manakah?"
Inilah yang berat bagi Siauw Bwee dan semua tadi ia ucapkan
hanya untuk dipergunakan sebagai alasan belaka. Maksudnya hanya untuk
mencari jalan agar ia dapat memisahkan diri dari pemuda ini.
"Aku
akan melakukan perjalananku mencari suci dan suheng, Twako. Kita
berpisah di sini, aku melanjutkan perjalanan dan engkau pun melanjutkan
perjalananmu sendiri."
Dengan hati perih Siauw Bwee melihat betapa
wajah yang tampan itu menjadi pucat, mata itu memandangnya dengan sinar
mata penuh permohonan. "Bwee-moi...., mengapa.... mengapa kita harus
saling berpisah? Bukankah kita dapat melakukan perjalanan bersama? Aku
akan membantumu mencari suheng dan sucimu sampai engkau dapat bertemu
dengan mereka!"
Siauw Bwee menggeleng kepalanya. "Twako, engkau baik
sekali dan percayalah bahwa aku selamanya tidak akan melupakan engkau
sebagai seorang sahabat yang paling baik, bahkan sebagai saudara angkat
karena setelah kita berdua menjadi anak-anak angkat Ouw-pangcu, kita pun
menjadi saudara angkat. Akan tetapi, tidak baik kalau kita melakukan
perjalanan bersama, apalagi aku tidak ingin menyusahkanmu. Urusan
pribadiku masih amat banyak, dan engkau sendiri tentu mempunyai urusan
pribadi. Biarlah kita berpisah di sini dan tentu kelak kita masih akan
dapat saling berjumpa kembali."
Yu Goan menggunakan kedua tangan
menutupi mukanya untuk menyembunyikan kedukaan yang membayang di
wajahnya. "Ah, Bwee-moi.... aku mohon kepadamu, jangan aku harus
berpisah darimu.... jangan kita saling berpisah lagi...."
Siauw Bwee
tentu saja sudah menduga akan isi hati pemuda ini, akan tetapi ia
mengeraskan hati, memandang dengan alis berkerut dan bertanya dengan
suara nyaring mendesak, "Twako! Apa maksudmu dengan kata-kata itu?"
Yu
Goan menurunkan kedua tangannya dan memandang wajah dara itu dengan
muka pucat namun sinar mata membayangkan isi hatinya tanpa disembunyikan
lagi. Suaranya menggetar, namun ia memaksa diri untuk menggunakan saat
itu mengeluarkan semua isi hatinya.
"Bwee-moi, dengarlah. Semenjak
saat pertama aku melihatmu, kemudian mendengar bahwa engkau adalah
puteri dari mendiang pahlawan Khu Tek San, cucu murid Menteri Kam Liong,
kemudian dilanjutkan melihat sepak terjangmu, menyaksikan kelihaian
ilmu kepandaianmu dan watakmu yang amat mulia, aku telah jatuh cinta
kepadamu! Tidak tahukah engkau, Bwee-moi? Aku cinta kepadamu, Bwee-moi,
dan aku tidak akan dapat hidup kalau harus berpisah dari sampingmu.
Engkau telah menjadi separuh nyawaku dan aku...."
"Cukup, Twako!"
Siauw Bwee berkata keras, tidak marah, hanya sengaja memperkeras
sikapnya untuk "mengobati" penyakit yang menyerang hati pemuda itu. "Aku
bukan seorang buta yang tidak melihat tanda-tanda itu semua, dari sinar
matamu, dari suara dan gerak-gerikmu. Aku tahu bahwa engkau sudah jatuh
cinta kepadaku. Akan tetapi, karena aku tahu pula bahwa amat tidak
mungkin bagiku untuk membalas perasaan hatimu itu, aku mengambil
keputusan bahwa kita harus saling berpisah sebelum penyakitmu menjadi
makin berat."
Yu Goan memandang dengan mata terbelalak kosong,
sekosong hatinya yang mengalami pukulan hebat. Wajahnya yang pucat,
matanya yang memandang kosong, mulutnya yang agak terbuka seolah-olah
sukar mengeluarkan suara, merupakan ujung pedang yang menusuk hati Siauw
Bwee.
"Meng.... mengapa tidak mungkin...., Bwee-moi?" Suara ini
lebih mirip rintihan yang membuat Siauw Bwee memejamkan mata sejenak.
Ketika dibukanya kembali, dua titik air mata menetes turun. Sejenak dia
memandang wajah Yu Goan yang pucat, rambutnya yang mawut, matanya yang
sayu, mulutnya yang tertarik derita hatinya. Ahhh, betapa mudahnya jatuh
cinta kepada seorang pemuda seperti ini, pikiran ini seperti kilat
memasuki kepalanya. Akan tetapi di sana ada Kam Han Ki dan dia tidak mau
menukar suhengnya itu dengan pria lain yang manapun juga, betapa tampan
dan baik pun!
"Yu-twako, aku suka kepadamu, aku menganggap engkau
sebagai sahabat terbaik, bahkan sebagai saudara, akan tetapi tidak
mungkin aku membalas cintamu karena.... karena cinta kasihku telah
dimiliki pria lain, Twako."
Yu Goan terbelalak, kemudian kedua
lengannya bergerak ke atas, yang kanan menjambak rambut sendiri, yang
kiri menutupi muka, tubuhnya gemetar dan suaranya menggetar, "Ahhhh....
maafkan aku, Bwee-moi.... maafkan aku....!"
Siauw Bwee memegang kedua
tangan Yu Goan dan menariknya turun. Ia memandang air mata yang
menetes-netes turun di wajah yang pucat itu, menahan air matanya sendiri
dan mengeraskan suaranya, "Twako! Begini lemahkan engkau? Seorang
pemuda gagah perkasa, begini sajakah kekuatan batinmu?"
Yu Goan memandang dara itu, lalu memejamkan mata dan menundukkan mukanya. "Maafkan aku.... maafkan...."
Siauw
Bwee mengguncang kedua lengan pemuda itu. "Yu-twako! Engkau mengatakan
bahwa engkau cinta kepadaku, akan tetapi kalau ternyata bahwa engkau
menderita batin karena aku tidak bisa membalas cintamu, berarti bahwa
engkau bukan mencinta aku melainkan mencinta dirimu sendiri!"
Yu Goan mengangkat mukanya yang basah air mata, memandang terbelalak. "Apa maksudmu, Bwee-moi?"
"Di
balik cintamu itu tersembunyi nafsu mementingkan diri sendiri,
tersembunyi keinginan untuk menyenangkan diri sendiri, kau ingin
dicinta, ingin memiliki, itu bukanlah cinta sejati, Twako, melainkan
cinta diri yang bergelimang nafsu. Karena di balik cintamu bersembunyi
hal-hal itulah maka engkau menjadi berduka dengan merasa sengsara ketika
mendengar bahwa aku tidak dapat membalas cintamu! Renungkanlah, Twako,
siapakah yang kaucinta itu? Aku ataukah dirimu sendiri?"
Yu Goan
termenung, tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian ia
mengangguk. "Akan tetapi.... adakah cinta yang murni, tanpa keinginan
untuk tidak berpisah lagi selamanya dari orang yang dicintanya?"
"Tentu
saja ada, Twako. Cinta murni melupakan keinginan hati sendiri, hanya
ingin melihat orang yang dicintanya bahagia. Karena kita yakin bahwa aku
tidak mungkin membalas cinta kasihmu, robahlah cintamu itu, bersihkan
daripada nafsu berahi. Lihatlah, aku memegang tanganmu, tanpa getaran
nafsu, akan tetapi dengan rasa cinta sepenuhnya, cinta saudara. Dapatkah
engkau merasakan itu, Twako?"
Yu Goan memandang tajam, kemudian menghela napas panjang dan mengangguk.
Aku
mengerti, Bwee-moi." Ia lalu meraih tubuh dara itu dan mencium dahinya,
ciuman yang lembut dan bersih daripada nafsu, jauh daripada kemesraan
kasih sayang lawan kelamin. Siauw Bwee dapat melaksanakan pula hal ini,
maka dia tidak kaget, tidak membantah, dan diam-diam ia merasa bersyukur
dan kagum bahwa pemuda itu benar-benar seorang yang memiliki budi
pekerti yang bersih.
Yu Goan menekan keharuannya dan melepaskan
pelukannya. Mereka hanya duduk berhadapan, saling berpegang tangan. Kini
terbayang senyum di bibir Yu Goan biarpun pada matanya yang biasanya
tajam penuh kegembiraan itu kini berganti pandang sayu tanda bahwa
hatinya terluka oleh ujung anak panah Dewa Cinta yang beracun.
"Bwee-moi,
terima kasih. Aku memang bodoh sekali, bodoh karena mementingkan diri
sendiri saja. Bwee-moi, kalau boleh aku bertanya, apakah cinta kasihmu
terhadap pria yang berbahagia itu juga murni dan bersih daripada nafsu?"
Wajah
Siauw Bwee tiba-tiba menjadi merah sekali dan ia menggenggam tangan Yu
Goan ketika menjawab, "Aku.... aku juga bodoh seperti engkau, Twako.
Aku.... aku mencinta dia seperti engkau mencintaku tadi. Ahhh.... sudah
mengerti namun tetap tidak dapat mengalahkan perasaan sendiri, betapa
lemah dan bodohnya aku, lebih bodoh dan lebih lemah daripada engkau,
Twako." Tiba-tiba Siauw Bwee menangis, teringat akan Han Ki, teringat
akan Maya, teringat akan cintanya yang masih berbelit-belit itu karena
dia tidak tahu kepada siapakah sesungguhnya Han Ki mencinta, cinta
seorang pria terhadap wanita, cinta yang tak dapat dibagi-bagi, kepada
dia ataukah kepada Maya?
Yu Goan menjadi terharu dan merasa kasihan
sekali. Ia merangkul pundak Siauw Bwee, menepuk-nepuk punggungnya
perlahan sambil berkata, "Bwee-moi, kasihan engkau....! Engkau sedang
menderita, ditambah oleh gangguan lagi. Tenanglah, Bwee-moi, aku
berjanji takkan mengganggumu lagi dan aku akan bersembahyang setiap saat
kepada Tuhan semoga engkau akan berbahagia dalam cinta kasihmu itu."
"Terima kasih, Yu-twako, engkau baik sekali."
Tiba-tiba
kedua orang ini tersentak kaget dan meloncat berdiri ketika pada saat
itu terdengar suara hiruk-pikuk kentongan-kentongan bambu yang dipukul
bertalu-talu. Tanpa bicara keduanya melesat meninggalkan tempat itu,
kembali ke perkampungan dan mereka melihat orang-orang lari
tergopoh-gopoh berkumpul di depan pondok Ouw-pangcu.
Ketika melihat
dari jauh wajah Ouw-pangcu dan wajah anak buahnya kelihatan tegang,
Siauw Bwee dan Yu Goan tidak mau mengganggu, hanya memandang bengong
ketika melihat Ouw-pangcu memimpin anak buahnya, berbondong-bondong lari
menuruni bukit memasuki hutan. Siauw Bwee dan Yu Goan saling
berpandangan, kemudian mereka bergerak mengikuti rombongan itu dari
belakang.
Sudah lama Siauw Bwee dan Yu Goan mempunyai keinginan
bertemu dengan penghuni lembah di bawah, atau setidaknya ketuanya karena
mereka itu adalah orang-orang yang menerima pendidikan langsung dari
Bu-tek Lo-jin. Biarpun mereka mendengar dari Ouw-pangcu bahwa Bu-tek
Lo-jin sudah lama sekali meninggalkan daerah itu, namun menurut
Ouw-pangcu, ilmu kepandaian para tokoh penderita kusta itu amat tinggi
dan karena inilah maka Siauw Bwee dan Yu Goan ingin sekali bertemu dan
menyaksikan sendiri keadaan mereka. Akan tetapi menurut penuturan
Ouw-pangcu, tidak ada seorang manusia boleh turun ke lembah, pula tidak
ada jalan menuruninya, kecuali jalan rahasia yang dikuasai oleh
orang-orang lembah. Kini melihat kesibukan itu, dan ketegangan yang
tampak pada wajah Ouw-pangcu dan anak buahnya, Siauw Bwee dan Yu Goan
menduga-duga bahwa tentu ada urusan yang menyangkut orang-orang lembah
yang penuh rahasia itu.
Siauw Bwee dan Yu Goan yang mengikuti
rombongan itu memasuki hutan yang belum pernah mereka datangi. Mereka
menerobos ke sana ke mari, melalui hutan yang penuh pohon-pohon raksasa,
kemudian melintasi padang rumput yang tinggi dan tebal, melalui
tanaman-tanaman berduri yang agaknya sudah bertahun-tahun tidak dilalui
manusia. Dari jauh terdengar suara melengking tinggi dan agaknya ke arah
suara itulah mereka menuju.
Rombongan itu berhenti di dalam sebuah
hutan, tak jauh dari sebatang pohon raksasa yang amat besar dan tua. Di
bawah pohon ini tampak sebuah batu besar yang dilihat dari jauh
berbentuk sebuah kepala raksasa. Ouw-pangcu dan anak buahnya menjatuhkan
diri berlutut dalam jarak lima meter dari pohon raksasa itu, berlutut
tanpa berkutik seperti menanti sesuatu. Siauw Bwee dan Yu Goan
bersembunyi di balik pohon, mengintai dengan hati tegang karena mereka
tidak mengerti apa artinya semua itu dan apa yang akan terjadi di situ.
Suara
melengking yang terdengar dari pohon tua itu berhenti. Keadaan sunyi
senyap, sunyi yang mendebarkan jantung penuh ketegangan. Tiba-tiba Siauw
Bwee dan Yu Goan memandang terbelalak ke arah batu besar itu. Batu itu
bergerak perlahan, bergeser dari kanan ke kiri. Dan tampaklah sebuah
lobang di bawah batu itu, seperti sebuah sumur dan batu itu terus
menggeser sampai lobang itu tampak semua, berbentuk bundar dan bergaris
tengah satu meter.
Tiba-tiba terdengar suara kelentingan ramai dari
dalam lobang, seperti suara banyak kelenengan kecil dibunyikan
berbareng. Keadaan makin tegang dan kalau Ouw-pangcu dan anak buahnya
semua berlutut menundukkan muka tanpa berani memandang, Siauw Bwee dan
Yu Goan terbelalak memandang ke arah lobang sumur itu. Tiba-tiba di
depan lobang itu telah berdiri seorang manusia yang amat menyeramkan!
Demikian cepat gerakan orang itu, seolah-olah dia seorang iblis yang
muncul dari alam lain, seperti pandai melenyapkan diri dan tiba-tiba
kini menampakkan diri di depan lobang. Hanya pandang mata Siauw Bwee
saja yang lebih tajam dan kuat dari pandang mata Yu Goan dapat melihat
berkelebatnya sinar hitam dari dalam lobang, maka dara sakti ini maklum
bahwa orang itu muncul dari dalam lobang dengan gerakan yang amat ringan
dan cepat, tanda bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi
sekali. Akan tetapi ketika ia memandang orang itu, seperti juga Yu Goan,
ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Orang itu benar-benar amat
menyeramkan dan keadaan tubuhnya amat mengerikan. Tubuhnya jangkung
kurus, seperti tengkorak terbungkus kulit, badannya tertutup jubah hitam
yang sudah butut, dekil kotor dan robek-robek di pinggir dan ujungnya.
Jubah yang panjang sampai menutupi lutut, berlengan lebar panjang, namun
karena robek-robek maka jubah itu tidak dapat menyembunyikan keadaan
tubuh yang mengerikan. Tubuh yang tidak normal, penuh cacat-cacat
seperti batang pohon yang dikerokoti kutu. Tangan kiri orang itu
memegang tongkat, karena kelingking dan jari tengahnya sudah hilang,
tinggal sisanya sedikit saja. Tangan kanannya sudah hilang sama sekali,
tinggal lengan yang tulangnya menonjol halus merupakan ujungnya, keluar
dari lengan baju amat mengerikan, jari-jari kakinya pun tidak utuh. Jari
kaki kiri tinggal dua buah ibu jari dan jari tengah, sedangkan jari
kaki kanannya tinggal tiga buah saja. Kulit yang membungkus kaki pun
tidak utuh, sudah pecah-pecah di sana-sini seperti digerogoti rayap.
Ketika Siauw Bwee yang bergidik itu memandang ke arah muka orang itu, ia
merasa betapa seluruh bulu tubuhnya berdiri saking ngerinya! Kepala
orang itu ditutup kain hitam yang menyembunyikan seluruh kepalanya dan
bagian muka, yaitu di bagian atas sehingga yang tampak hanya mulai dari
alis ke bawah. Akan tetapi itu pun sudah amat menakutkan!
Kalau kulit
kaki hanya sebagian yang lenyap, maka kulit muka itu boleh dibilang
sudah hampir habis dimakan rayap! Tampak tulang-tulang pipi menonjol,
dagunya menjadi runcing karena tidak ada kulitnya, putih mengerikan.
Bibirnya habis pula sehingga tampak mulut ompong menonjol panjang.
Separuh hidungnya hilang sehingga merupakan lobang hitam. Matanya
seperti melotot terus karena pelupuknya tinggal separuh, tidak dapat
dipejamkan. Benar-benar amat mengerikan dan melihat sebuah tengkorak
tidak akan sengeri ini. Manusia yang berdiri di depan lobang itu tak
patut disebut manusia, akan tetapi juga tidak atau belum menjadi mayat!
Di
samping perasaan ngeri dan serem ini, timbul rasa iba yang besar di
hati Siauw Bwee dan Yu Goan yang sebagai seorang ahli pengobatan maklum
betul betapa menderita dan sengsaranya keadaan orang yang ia tahu
menjadi korban penyakit kusta yang dahsyat itu.
Kini muncul dua orang
lain dari dalam lobang, keadaan mereka juga mengerikan seperti orang
pertama. Akan tetapi kedua orang ini tidak meloncat seperti orang
pertama tadi, melainkan berjalan terpincang-pincang keluar dari lobang
dan berdiri di kanan kiri orang pertama yang sudah marah-marah,
mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak dimengerti oleh Siauw Bwee
dan Yu Goan. Orang itu bicara tidak karuan dan karena tidak mempunyai
bibir, giginya ompong-ompong dan lidahnya tinggal sepotong, bicaranya
sukar dimengerti. Akan tetapi agaknya Ouw-pangcu sudah biasa mendengar
suara seperti itu, buktinya ketua ini lalu menjawab dan membela diri,
menceritakan tentang peristiwa pemberontakan di perkampungan yang
dipimpinnya. Dari jawaban Ouw-pangcu ini mengertilah Siauw Bwee dan Yu
Goan bahwa agaknya Ouw-pangcu dipersalahkan oleh orang-orang lembah
tentang peristiwa pertempuran di antara orang-orang tebing.
"Harap
para Locianpwe dari lembah mengetahui bahwa saya dan anak buah saya sama
sekali tidak melakukan pelanggaran. Yang melakukan pelanggaran adalah
mereka yang memberontak dan mereka telah diberi hukuman setimpal. Tolong
disampaikan kepada Pangcu di bawah bahwa kami semua tidak pernah
melanggar perintah."
Orang penderita kusta yang pertama itu kembali
bicara ribut-ribut tidak karuan. Ouw-pangcu menjawab, mukanya
memperlihatkan kekagetan dan ketakutan.
Ia menggoyang tangan kiri
yang diangkat ke atas sambil berkata, "Tidak bisa, Locianpwe! Saya tidak
bersalah, maka tentu saja menolak untuk dibawa turun menerima hukuman.
Pula, siapa pun tidak boleh turun, kalau saya sudah turun, bukankah
berarti saya melanggar? Saya tidak merasa bersalah, maka saya pun tidak
mau ikut Locianpwe turun ke bawah!"
Orang ke dua yang berdiri di
sebelah kanan orang pertama, mengeluarkan suara gerengan seperti seekor
binatang terluka, kemudian tubuhnya meloncat maju dengan kecepatan kilat
sehingga diam-diam Siauw Bwee kagum karena orang ini pun memiliki
gin-kang yang amat luar biasa! Dengan tangan kirinya yang tinggal empat
buah jarinya itu, orang sakit kusta ini mencengkeram pundak Ouw-pangcu.
"Crottt!"
Empat buah jari tangan itu menancap di pundak seperti empat buah pisau
tajam, akan tetapi tiba-tiba orang itu terpental ke belakang karena
Ouwpangcu telah mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Ketika terpental, orang
itu memandang tangan kirinya yang ternyata tertinggal di pundak
Ouw-pangcu! Penyakit kusta membuat buku-buku dan ruas-ruas tangannya
lemah dan rapuh, maka tentu saja tidak dapat melawan aliran sin-kang
yang demikian kuatnya! Dua buah jari yang tertinggal di pundak
Ouw-pangcu juga tercabut keluar terdorong oleh daya tolak sin-kang
Ouw-pangcu. Anehnya, biarpun dua buah jari tangannya putus, orang itu
tidak kelihatan menderita nyeri dan tangannya tidak berdarah.
Seolah-olah hanya dua batang kayu saja yang potong!
"Maaf, saya tidak
sengaja menyusahkan para Locianpwe," kata Ouw-pangcu. Diam-diam dia
merasa kasihan sekali karena maklum bahwa penyakit kusta yang hebat itu
ternyata membuat orang-orang lembah ini tidak mungkin lagi dapat
menyimpan tenaga Jit-goat-sin-kang di tubuh mereka. Hal ini pun dapat
diduga oleh Siauw Bwee dan Yu Goan ketika menyaksikan serangan dan
akibatnya tadi.
Si Lengan Buntung, orang pertama tadi, kini sudah
mengeluarkan sebuah bendera kecil berwarna hitam dan menggerak-gerakkan
bendera kecil itu di atas kepalanya. Melihat bendera kecil itu,
Ouw-pangcu terkejut sekali, berlutut dan memberi hormat ke arah bendera
sambil berkata,
"Teecu Ouw Teng telah berdosa. Kalau Locianpwe tadi
mengatakan bahwa Pangcu memerintahkan saya turun ke lembah dan
mengeluarkan benda pusaka itu, tentu saya tidak berani banyak
membantah."
Si Tangan Buntung itu bicara lagi. Ouw-pangcu bangkit
berdiri, kemudian membalikkan tubuh berkata kepada anak buahnya yang
masih berlutut ketakutan.
"Kalian kembalilah dan bekerja seperti
biasa. Aku dipanggil menghadap oleh Pangcu di lembah maka jangan kalian
memikirkan aku lagi. Kalau sampai aku tidak kembali untuk selamanya,
kalian boleh mengangkat seorang ketua baru. Tunggu sampai seratus hari,
kalau aku tidak kembali berarti aku berhenti menjadi ketua. Nah, aku
pergi. Marilah Sam-wi Locianpwe." Berkata demikian, Ouw-pangcu mengikuti
tiga orang penderita kusta itu memasuki lobang sumur yang ternyata
merupakan lorong di bawah tanah yang menuju ke lembah jauh di bawah!
Setelah empat orang itu memasuki sumur, batu besar itu tergeser kembali
dan menutupi lobang. Keadaan menjadi sunyi senyap dan kini orang-orang
liar anak buah Ouw-pangcu baru berani bergerak. Mereka bicara dengan
muka penuh ketakutan dan kedukaan, akan tetapi tak seorang pun berani
mencela tiga orang lembah tadi.
Setelah anak buah Ouw-pangcu meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee dan Yu Goan muncul dari tempat sembunyi mereka.
"Setan-setan itu! Mengapa kau tadi mencegah aku turun tangan membela ayah angkat kita, Bwee-moi?"
"Gi-hu
ikut dengan mereka secara sukarela, dan menurut ceritanya sendiri,
orang-orang lembah itu memang mempunyai kekuatan lebih besar dan Gi-hu
harus tunduk kepada ketua orang lembah. Kalau kita turun tangan tadi,
berarti kita bertindak berlawanan dengan isi hati Gi-hu sendiri."
"Akan tetapi Gi-hu dibawa mereka. Apakah kita harus membiarkannya saja? Siapa tahu dia akan mengalami bencana di bawah sana?"
"Tidak, kita tidak akan membiarkan saja. Kita harus menyelidiki ke bawah dan melihat apa yang terjadi."
"Bagus!
Mari kita kejar mereka, biar kugeser batu ini!" Yu Goan meloncat akan
tetapi baru saja ia menyentuh batu besar itu Siauw Bwee sudah
melarangnya.
"Jangan, Twako. Kalau kita masuk atau turun melalui
jalan ini, tentu kita akan menghadapi perlawanan dan bahaya. Aku tidak
takut menghadapi mereka, akan tetapi membayangkan betapa aku harus
bertanding dengan orang-orang seperti itu.... hiiiihhhh, aku bisa mati
karena jijik! Pula, kalau kita turun melalui lorong ini, mungkin kita
malah menambah kesalahan Gi-hu dalam pandangan mereka. Mereka itu
menjijikkan, akan tetapi juga lihai sekali sehingga kita mungkin akan
menemui kegagalan di tengah jalan sebelum sampai di lembah. Lorong yang
merupakan jalan satu-satunya ini pasti terjaga kuat oleh mereka."
Yu Goan mengangguk-angguk dan kagum sekali. "Habis, bagaimana kita bisa turun kembali ke lembah?"
"Perkampungan
mereka di bawah itu kelihatan dari atas tebing. Biarpun curam dan
sukar, kalau kita menggunakan besi pengait, pedang dan tambang yang
kuat, masa kita tidak dapat turun ke bawah?"
Yu Goan setuju dan
mereka segera mencari alat-alat yang mereka butuhkan itu. Kemudian
mulailah kedua orang itu menuruni tebing yang amat curam. Namun dengan
kepandaian mereka yang tinggi, dibantu alat-alat itu, dapat juga mereka
merayap turun perlahan, menggunakan pedang ditancapkan pada dinding batu
karang, melorot turun dengan bergantung kepada tambang. Biarpun sukar
sekali, dan tidak dapat cepat karena mereka harus amat berhati-hati,
sekali jatuh berarti nyawa melayang, mereka dapat merayap ke bawah.
Akan
tetapi ternyata oleh mereka bahwa jalan itu benar-benar tidak mudah
sama sekali. Biarpun mereka mempergunakan alat-alat, terpaksa mereka
harus mencari jalan memutar beberapa kali kalau menghadapi jalan buntu,
di mana tebing itu berakhir dengan jurang yang tak mungkin dapat
dilalui, batunya pecah di bagian bawah. Terpaksa mereka mencari jalan
baru untuk turun dan adakalanya mereka terpaksa merayap ke atas lagi
untuk mencari jalan lain. Sampai malam tiba, mereka baru dapat mencapai
sepertiganya saja dalam jarak dari puncak tebing ke lembah dan terpaksa
mereka harus melewatkan malam di dalam guha yang terdapat di dinding
batu karang yang licin!
Pada keesokan harinya, setelah cuaca terang,
barulah kedua orang muda itu berani melanjutkan perjalanan. Ketika
mereka mengambil jalan memutar ke selatan, mereka melihat dataran di
tengah-tengah antara puncak dan lembah. Dinding di bagian ini ternyata
menembus ke sebuah dataran yang merupakan dataran ke dua di bawah puncak
tebing, sungguh merupakan keadaan yang ajaib! Dataran yang berada di
perut gunung, luasnya paling banyak seribu meter persegi, akan tetapi
tanahnya penuh dengan tetumbuhan, seperti sebuah kampung kecil di
puncak, dikelilingi tebing curam, merupakan keadaan yang amat berlawanan
dengan lembah itu yang di kelilingi tebing tinggi!
"Mari kita ke sana, siapa tahu dari dataran itu terdapat jalan yang lebih mudah," kata Siauw Bwee.
"Baik.... heiii, ada rumahnya di sana!" Yu Goan yang merayap di sebelah depan tiba-tiba menuding.
Benar
saja, dari lereng tebing itu mereka melihat dua pondok kecil sederhana
di dataran itu, tanda bahwa di sana ada manusianya! Hal ini mendorong
semangat mereka dan mereka merayap ke arah dataran itu, kemudian
meloncat turun di atas tanah yang rata. Dengan hati-hati mereka berjalan
ke tengah menghampiri dua buah pondok sederhana yang modelnya sama
dengan pondok-pondok tempat kediaman Ouw-pangcu dan anak buahnya, bahkan
dua pondok itu lebih sederhana lagi.
Setelah dekat dan menghampiri
pondok dari depan, tiba-tiba mereka berhenti dan cepat menyelinap di
balik pohon. Mereka melihat seorang laki-laki tua sedang keluar dari
pondok membawa setumpuk tampah berisi benda-benda kecil seperti
daun-daun kering, akar-akar dan buah-buahan kering. Laki-laki itu
usianya sebaya dengan Ouw-pangcu, hanya rambut dan kumis jenggotnya
masih banyak hitamnya. Bajunya ringkas dan sangat sederhana, tanpa
lengan sehingga lengan dan sebagian pundaknya tampak. Celananya hitam
dan digulung di bagian bawahnya, sampai ke lutut.
Tiba-tiba kakek itu
berhenti di depan pondoknya, kemudian dengan tangan kiri menyangga
tumpukan tampah yang jumlahnya belasan buah itu, dia mengambil tampah
teratas dengan tangan kanan dan sekaligus menggerakkan tangan, tampah
itu terlempar ke udara dan berputar-putar seperti hidup tanpa
menumpahkan isinya sedikit pun! Tampah pertama masih melayang-layang
ketika tampah ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul sehingga dalam
beberapa detik saja belasan buah tampah melayang-layang di udara seperti
sekumpulan burung-burung mencari tempat bertengger. Kemudian
tampah-tampah itu meluncur turun dan tiba di atas depan dipan yang
dipasang di depan pondok sebagai tempat penjemuran, jatuh dengan lunak
tanpa ada isinya yang terlempar keluar dan dalam keadaan berderet-deret
rapi seperti diatur dan diletakkan oleh tangan yang tidak kelihatan!
"Bukan
main....!" Yu Goan berbisik dan Siauw Bwee diam-diam kagum sekali, dan
maklum bahwa kakek itu memiliki tenaga sin-kang yang sudah dapat diatur
sedemikian rupa sehingga tenaga loncatan tampah-tampah tadi pun di
"kendalikan" oleh tenaga sin-kang! Dan dia pun menduga bahwa tentu kakek
itu sudah tahu akan kedatangan meceka, karena demonstrasi tenaga
sin-kang tadi, tentu dikeluarkan hanya dengan satu tujuan, yaitu sengaja
diperlihatkan orang untuk menggertak. Kalau kakek itu tidak tahu bahwa
mereka datang dan hendak menggertak orang asing yang datang, perlu apa
main-main dengan tenaga sin-kang seperti itu? Maka ia bersikap waspada
dan memandang kakek itu penuh perhatian. Kini di tangan kakek itu
tinggal dua tampah lagi. Tiba-tiba kakek itu mengambil sebuah tampah,
mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tampah itu "melayang" berputaran
menuju ke arah Siauw Bwee dan Yu Goan dengan kecepatan kilat seperti
seekor burung garuda menyambar dua ekor domba!
"Celaka!" Yu Goan
berseru dan pemuda itu sudah mencabut pedangnya, akan tetapi Siauw Bwee
menyentuh lengan pemuda itu, kemudian dara sakti ini menggerakkan kedua
lengan mendorongkan kedua telapak tangan ke atas, ke arah tampah yang
meluncur turun. Dia tidak berani mempergunakan Jit-goat-sin-kang yang
belum dilatih sempurna itu, maka dia mengerahkan seluruh tenaga sin-kang
yang ia latih di Pulau Es sesuai dengan ajaran Bu Kek Siansu dan
petunjuk suhengnya. Tampah yang sudah meluncur turun itu tiba-tiba
terhenti, kemudian bergerak lagi, bukan ke arah Siauw Bwee, melainkan
berputaran turun dan hinggap dengan lunaknya ke atas dipan yang masih
kosong, persis seperti lontaran kakek itu tadi, hanya kini tampah itu
agak tergetar karena ada dua tenaga sin-kang raksasa yang
mengemudikannya dari arah berlawanan!
"Tahan dulu, Locianpwe!" Siauw
Bwee sudah berseru dan melompat keluar dari tempat sembunyinya,
lompatannya seperti kilat karena dia mempergunakan gerakan kaki kilat
sehingga tahu-tahu tubuhnya sudah muncul di depan kakek itu dalam jarak
enam meter terhalang dipan penjemur obat-obatan di atas tampah-tampah.
Sejenak
kakek itu memandang dengan alis berkerut, matanya terbelalak penuh
keheranan dan agaknya dia masih tidak mau percaya bahwa yang tadi
menahan tampahnya, yang memaksa tampahnya itu melayang turun, hanyalah
seorang dara remaja.
"Bagus! Coba engkau tahan ini!" serunya dan
tampah terakhir yang berada di tangannya itu ia lemparkan ke udara, kini
bukan dengan sebelah tangan, melainkan dengan kedua tangan. Kedua
tangannya itu tetap terpentang karena dari kedua telapak tangannya
meluncur hawa sin-kang yang "mengemudikan" tampah berisi bahan obat itu.
Siauw
Bwee maklum bahwa kakek itu kini mengerahkan tenaga sin-kang yang besar
sekali karena tidak hanya tampah itu berputaran di udara, akan tetapi
juga isinya ikut berputaran di atas tampah. Dan dengan menggunakan
tampah menyerangnya, dia dapat menduga bahwa kakek itu menganggap dia
dan Yu Goan sebagai orang luar yang lancang masuk, maka kini hendak
mengujinya, bukan hendak menyerang dengan niat jahat, maka ia pun lalu
mengerahkan kedua tangan diulur dan dikembangkan ke depan. Hawa sin-kang
yang kuat meniup keluar dari kedua tangannya, membubung ke atas
menerima tampah itu.
Tampah yang berpusing di udara itu tiba-tiba
berhenti dan mengambang di udara seolah-olah terpegang tangan yang kuat
lalu perlahan-lahan tampah itu melayang kembali ke arah pelemparnya.
Kakek itu terkejut sekali, lalu membusungkan dadanya, mengerahkan
seluruh tenaga dan Siauw Bwee merasa betapa dari tubuh kakek itu keluar
hawa yang panas sekali. Ia cepat mengerahkan Im-kang yang dingin untuk
melawannya. Tiba-tiba hawa dari kakek itu berubah dingin pula, dan Siauw
Bwee yang sengaja hendak menguji pula, segera merobah sin-kangnya
menjadi Yang-kang.
Tampah itu seperti hidup. Sebentar bergerak ke
arah Siauw Bwee, akan tetapi hanya sdbentar karena kembali terdorong ke
arah Si Kakek. Dorong-mendorong ini terjadi beberapa menit lamanya dan
akhirnya tampah itu terus bergerak perlahan, sedikit demi sedikit menuju
ke arah Si Kakek yang makin terkejut dan memandang terbelalak. Akhirnya
ia berseru keras melompat ke kiri dan menurunkan kedua lengannya.
Tampah itu jatuh ke bawah, hancur dan isinya berantakan, akan tetapi
seperti tampah yang hancur bagaikan diremas-remas itu, isinya juga remuk
pecah-pecah dan ada yang gosong seperti terbakar!
"Hebat! Wanita
muda, dari mana engkau mempelajari Jit-goat-sin-kang?" Pertanyaan ini
mengandung penasaran besar, seolah-olah menuduh Siauw Bwee mencuri ilmu
itu.
Siauw Bwee yang kini sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentu
memiliki Ilmu Jit-goat-sin-kang seperti yang dimiliki Ouw-pangcu, malah
lebih kuat, segera menjura dan menjawab, "Untuk menghadapi
Jit-goat-sin-kangmu tadi, aku tidak menggunakan sin-kang yang sama,
orang tua!"
"Tidak mungkin! Sin-kang biasa mana mampu menghadapi Jit-goat-sin-kang seperti itu?"
Yu
Goan kini sudah muncul dan meloncat dekat Siauw Bwee. Dia tadi
menyaksikan adu tenaga sin-kang itu dan kekagumannya terhadap Siauw Bwee
meningkat. Dengan sabar ia menjura dan mendahului Siauw Bwee.
"Locianpwe, sesungguhnya kami pernah mempelajari Jit-goat-sin-kang dari Ouw-pangcu."
"Ahh,
tidak mungkin! Selain Ouw-pangcu tidak akan berani lancang menurunkan
ilmunya kepada orang luar, juga tidak mungkin kalau hanya murid-muridnya
mampu mengalahkan kekuatanku. Dia sendiri masih jauh di bawahku,
ataukah.... dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga
muridnya saja mampu mengalahkan aku? Betapapun juga, dia melanggar dan
harus dihukum!"
Yu Goan terkejut dan cepat membela, "Locianpwe, harap
jangan menyalahkan dia karena Ouw-pangcu adalah gi-hu kami. Tiada
salahnya menurunkan ilmu kepada anak-anak angkatnya sendiri."
Wajah
yang penasaran dan marah itu berubah. "Aihhhh! Dia menjadi ayah angkat
kalian? Betapa anehnya! Akan tetapi.... tenaga sin-kang Nona muda ini
amat luar biasa, betapa mungkin...."
"Harap Locianpwe tidak menjadi
heran karena sesungguhnya, kepandaian Nona Khu ini amat tinggi, jauh
lebih tinggi daripada kepandaian gi-hu sendiri. Dan kalau benar
Locianpwe adalah suheng dari gi-hu, harap kauketahui bahwa kami berdua
sedang berusaha menyelamatkan gi-hu yang terancam bahaya besar di lembah
di bawah sana."
"Apa? Apa yang terjadi? Orang muda, duduklah. Dan
kau juga, Nona yang amat lihai. Duduklah dan ceritakan semua. Apa yang
telah terjadi di atas tebing, dan di bawah lembah sana?"
Yu Goan dan
Siauw Bwee duduk di atas dipan bambu, berhadapan dengan kakek itu lalu
Yu Goan menceritakan semua pengalaman mereka sejak bertemu dengan
Ouw-pangcu, mengobati luka ketua itu, dan tentang pemberontakan di atas
tebing yang dipimpin oleh Ang-siucai. Setelah mendengar penuturan itu
sampai habis, kakek tadi menarik napas panjang.
"Hemm, memang banyak
resikonya menjadi ketua, tidak sebebas aku yang hidup seorang diri tanpa
dibebani peraturan. Sute telah lancang menerima seorang asing seperti
sastrawan she Ang itu, maka dia memetik buah dari tanamannya sendiri.
Akan tetapi siapakah engkau orang muda yang pandai ilmu pengobatan? Aku
sendiri senang dengan ilmu itu, maka kepandaianmu menarik hatiku, dan
siapa pula Nona yang amat lihai ini? Sukakah kalian memperkenalkan diri
setelah mengetahui bahwa aku adalah suheng dari gi-humu?"
Yu Goan
tidak berani lancang, maka dia menoleh dan mernandang Siauw Bwee. Bagi
dia sendiri, dia tidak akan ragu memperkenalkan diri kepada siapapun
juga. Akan tetapi Siauw Bwee adalah penghuni Istana Pulau Es, dan
biarpun dara itu tidak pernah memperingatkannya, dia tahu bahwa gadis
itu tentu akan merahasiakan Pulau Es dan keadaan dirinya. Akan tetapi
Siauw Bwee tersenyum dan mengangguk, maka Yu Goan lalu berkata,
"Karena
Locianpwe adalah suheng dari gi-hu, maka sepatutnya kalau kami menyebut
supek kepadamu. Harap Supek ketahui bahwa sahabatku ini bernama Khu
Siauw Bwee dan sebelum dia menjadi anak angkat gi-hu dia telah memiliki
ilmu kepandaian yang tinggi karena Bwee-moi ini adalah.... seorang di
antara penghuni-penghuni Istana Pulau Es."
Seperti telah diduganya,
kakek itu mencelat dari tempat duduknya, memandang Siauw Bwee dengan
mata terbelalak kemudian mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil
menjura,
"Aihhh.... mataku seperti buta tidak mengetahui orang pandai. Maaf....!"
Siauw Bwee cepat berdiri membalas penghormatan itu dan berkata sederhana,
"Supek,
mengapa begini sungkan? Yu-twako hanya pandai memuji setinggi langit
padahal aku hanyalah seorang muda yang masih perlu menerima bimbingan
orang pandai seperti Supek. Dalam melatih diri dengan Jit-goat-sin-kang
saja, dibandingkan dengan tingkat Supek, aku belum ada persepuluhnya!"
"Aihhh!
Sudah lihai masih pandai merendah pula. Sungguh menakjubkan! Nona Khu,
tanpa Jit-goat-sin-kang sekalipun sin-kangmu sudah amat luar biasa dan
aku tidak menjadi heran mengingat bahwa engkau adalah penghuni Istana
Pulau Es, murid langsung dari Bu Kek Siansu. Hebat.... hebat....! Dan
engkau sendiri, orang muda, siapakah engkau?"
"Aku bernama Yu Goan,
ilmu silatku yang kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian
Khu-siauwmoi kudapatkan dari ayahku sendiri yang bernama Yu Siang Ki,
sedangkan sedikit ilmu pengobatan kudapatkan dari kakekku, Yok-san-jin
Song Hai."
Kembali kakek itu mengangguk-angguk kagum. "Aku pernah
mendengar nama besar ayahmu itu, bukankah dia putera Ketua Khong-sim
Kai-pang? Dan Yok-san-jin....! Hemmm, siapa yang belum mendengar
namanya? Ahh, sungguh menggembirakan sekali bertemu dengan orang-orang
muda keturunan orang-orang pandai, lebih-lebih lagi menggembirakan
mendengar bahwa kalian adalah anak-anak angkat suteku. Aihhhh, bukan
main beruntungnya Ouw-sute!"
"Akan tetapi sekarang gi-hu terancam bahaya, Supek," kata Siauw Bwee.
Kakek
itu mengerutkan alisnya. "Aku heran sekali. Biasanya suheng kami, yaitu
ketua lembah, adalah orang yang amat sabar. Ketahuilah bahwa dahulu,
ketika Suhu Bu-tek Lo-jin datang ke tempat ini, dia mengangkat tiga
orang murid. Pertama adalah Lie Soan Hu yang kini menjadi ketua orang
lembah setelah dia terkena pula penyakit kusta yang mengerikan itu.
Murid ke dua adalah aku sendiri. Namaku adalah Coa Leng Bu, dan berbeda
dengan suheng dan sute, aku lebih senang hidup bersunyi diri di tempat
ini, mengumpulkan obat-obat untuk kuberikan kepada anak buah suheng di
lembah dan anak buah sute di atas tebing. Murid ke tiga adalah Ouw-sute
sendiri. Setelah Lie-suheng menderita penyakit kusta, dia menjadi
penyabar sekali, bahkan tidak pernah keluar dari lembah. Sungguhpun amat
mengherankan kalau sekarang dia menyuruh pembantu-pembantunya menangkap
Ouw-sute. Apalagi semua itu dilakukan tanpa memberi tahu kepadaku.
Hemm, benar-benar peristiwa itu mencurigakan sekali dan agaknya perlu
kuselidiki sendiri. Kalian jangan khawatir. Biarlah aku menyertai kalian
turun ke lembah dan dari tempat ini memang ada jalan rahasia ke lembah
yang lebih mudah dilalui. Tentu saja dengan kepandaian yang kalian
miliki, tanpa melalui jalan rahasia itu pun kalian akan dapat mencapai
lembah, akan tetapi selain hal itu akan makan waktu lama dan perjalanan
yang sukar sekali, juga berarti kalian akan menjadi seorang yang
melanggar larangan. Mari kita pergi sekarang sebelum terlambat, karena
aku menduga bahwa seperti halnya di atas tebing, di lembah sana terjadi
sesuatu yang tidak wajar. Sudah terlalu lama aku tidak pernah datang ke
lembah atau ke tebing, obat-obat itu hanya diambil saja oleh anak buah
yang disuruh Sute atau Suheng."
Girang sekali hati kedua orang muda
itu. Mereka segera mengikuti Coa Leng Bu pergi meninggalkan pondok dan
menuruni tebing melalui jalan turun yang bukan merupakan jalan,
melainkan rangkaian akar-akar dan batu-batu yang sengaja dibuat untuk
jalan naik turun. Karena "jalan" ini tertutup oleh tetumbuhan, maka
kalau tidak bersama kakek itu, tentu Siauw Bwee dan Yu Goan tak mungkin
akan dapat menemukannya. Jalan ini bukanlah jalan mudah bagi orang
biasa, akan tetapi bagi mereka bertiga merupakan jalan yang amat mudah,
bergantung sana-sini melompati sana-sini dan mereka dapat turun dengan
cepat sekali. Dua orang muda itu merasa girang karena perjalanan kali
ini jauh lebih mudah dan cepat daripada yang mereka lakukan kemarin. Tak
lama kemudian mereka sudah mencapai lembah.
Akan tetapi, begitu
ketiganya melompat turun, mereka diserbu oleh belasan orang penderita
kusta dan orang-orang penghuni tebing yang tadinya memberontak, juga
tampak beberapa orang berpakaian Han yang ikut menyerbu.
"Merekalah yang memberontak di atas tebing!" seru Yu Goan.
Coa Leng Bu menjadi marah sekali. Ia melompat maju dan membentak, "Mundur semua! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi?"
Akan
tetapi orang-orang itu tidak menjawab dan terus menyerangnya! "Keparat!
Setan busuk, mana Suheng? Suruh dia keluar sebelum aku membunuh kalian
semua, keparat!"
Akan tetapi orang-orang itu telah menyerbunya dan
Coa Leng Bu cepat menggerakkan kaki tangannya merobohkan dua orang
penderita kusta. Akan tetapi mereka tidak mundur bahkan kini menerjang
dengan senjata-senjata mereka.
"Twako, kita berpencar, mencari
Gi-hu!" Siauw Bwee berseru sambil melawan pengeroyokan orang yang
menjijikkan itu. Karena tidak tahan harus bertanding melawan orang-orang
yang begitu mengerikan, setelah mengelak ke sana-sini, Siauw Bwee
melesat jauh dan mulai mencari gi-hunya yang tertawan. Yu Goan mencabut
pedangnya dan mengamuk bersama Coa Leng Bu. Betapapun juga, melihat
bahwa tukang obat itu tidak mau menurunkan tangan membunuh orang-orang
yang masih murid keponakannya sendiri, Yu Goan juga menggerakkan pedang
secara hati-hati agar tidak sampai membunuh orang. Namun, tingkat
kepandaian orang-orang lembah itu tinggi dan dia pun seperti Siauw Bwee,
merasa jijik disamping rasa kasihan, maka kini melihat Siauw Bwee telah
pergi, dia pun memutar pedang mencari jalan keluar dari kepungan lalu
melarikan diri ke depan meninggalkan Coa Leng Bu yang masih dikeroyok
murid-murid keponakannya sendiri.
Beberapa orang penderita penyakit
kusta mengejarnya, termasuk seorang berpakaian Han yang menjadi kawan
Ang-siucai. Yu Goan marah sekali terhadap orang ini karena dia tahu
bahwa biang keladi semua keributan di tebing maupun di lembah ini
tentulah Ang-siucai dan kawan-kawannya. Dia dapat menduga bahwa setelah
gagal di atas tebing, Ang-siucai membawa kaki tangannya dan orang-orang
tebing yang dipengaruhinya melarikan diri ke lembah. Hanya dia merasa
heran mengapa sastrawan itu dapat pula menguasai lembah! Karena
marahnya, tiba-tiba dia membalik dan pedangnya menyambar ke arah orang
Han yang ikut mengejarnya. Orang itu menangkis akan tetapi tiba-tiba ia
menjerit keras ketika tangan kiri Yu Goan berhasil menotoknya, kemudian
mengempit lehernya.
"Suruh mereka mundur sebelum kupatahkan batang
lehermu!" Yu Goan mengancam dan memperkuat jepitan lengannya pada leher
orang itu.
Orang itu ternyata takut mati dan cepat membentak
orang-orang penderita kusta untuk mundur. Di samping sifat pengecutnya,
orang itu pun cerdik sekali. Agaknya semua kawan Ang-siucai
cerdik-cerdik belaka. Orang ini maklum akan kelihaian Siauw Bwee dan Si
Tukang Obat, maka dia ingin memancing agar mereka itu berpencar sehingga
lebih mudah dikuasai kawannya.
Setelah semua orang penderita kusta
mundur dan mereka membantu pengeroyokan kawan-kawan mereka terhadap Coa
Leng Bu dan sebagian mengejar dan mencari Siauw Bwee yang melarikan
diri, orang itu berkata,
"Ampunkan saya, Taihiap...."
"Hemm,
manusia busuk! Karena engkau menuruti permintaanku, aku tidak akan
membunuhmu, akan tetapi kau harus memberi tahu kepadaku di mana
Ouw-pangcu ditahan!"
Diam-diam orang itu menjadi girang. "Ahhh, kalau
begitu cepat, Taihiap. Engkau bisa terlambat. Mereka.... mereka tadi
sedang menggiring Ouw-pangcu ke tempat pembakaran mayat, hendak
membakarnya!"
"Apa?" Yu Goan terkejut sekali. "Dia.... dia.... sudah mati....?"
"Tidak, Taihiap. Belum, akan tetapi tentu akan mati kalau kau terlambat. Mereka hendak membakarnya hidup-hidup!"
"Keparat! Di mana tempat itu?"
"Mari kutunjukkan padamu."
"Awas
kalau kau menjebakku, aku akan menyayat-nyayat tubuhmu menjadi lebih
rusak daripada orang-orang yang dimakan kusta itu!" Yu Goan mengancam.
"Aku tidak menipumu, Taihiap."
Yu
Goan mengikuti tawanan itu sambil memegang lengannya. Mereka menuju ke
bagian belakang lembah dan tiba di sebuah pintu di mana tampak anak
tangga menurun ke bawah. Orang tawanan itu menuruni anak tangga, terus
diikuti oleh Yu Goan dari belakang. Ketika tiba di sebuah tikungan,
dengan kaget Yu Goan melihat pemandangan mengerikan di bawah anak
tangga, belasan meter di bawah tempat itu berdiri, Ouw-pangcu berdiri
bersandar tiang, kedua tangannya dibelenggu rantai baja yang panjang dan
yang tergantung pada tiang itu. Kayu-kayu kering ditumpuk di sekitar
tubuhnya dan beberapa orang penderita kusta telah memegang obor, agaknya
mereka sudah siap untuk membakar kayu-kayu kering itu, membakar
Ouw-pangcu hidup-hidup!
Cepat tangan Yu Goan bergerak dan tawanan itu
berteriak, roboh dengan tulang pundak putus terbabat pedang. Yu Goan
tidak mau melanggar janjinya. Dia tidak membunuh orang itu, hanya
merobohkannya saja dengan mematahkan tulang pundaknya. Andaikata orang
itu tidak menunjukkan tempat ini, dan andaikata tadi dia tidak berjanji
tentu dia dan kawan-kawannya telah mendatangkan kekacauan di tempat yang
tenteram seperti di atas tebing dan di lembah ini.
"Lepaskan Ouw-pangcu!" Dengan suara nyaring Yu Goan membentak sambil melangkah turun melalui anak tangga.
Enam
orang penderita kusta itu menengok dan menjadi kaget. Juga Ouw-pangcu
menengok dan melihat Yu Goan, dia berteriak, "Yu-sicu.... pergilah
tinggalkan tempat berbahaya ini. Jangan memikirkan diriku!"
"Tenanglah,
Gi-hu. Aku dan Bwee-moi, juga Supek Coa Leng Bu telah turun ke lembah
untuk menolongmu dan menghajar pemberontak-pemberontak laknat ini!"
Mendengar
bahwa suhengnya dan kedua orang anak angkatnya datang dan mereka telah
tahu akan pemberontakan yang terjadi pula di lembah, wajah Ouw-pangcu
menjadi girang sekali. Ia berteriak keras, kakinya bergerak dan tumpukan
kayu bakar di depannya itu terlempar ke kanan kiri. Tiga orang
penderita kusta yang memegang obor di tangan menyerang Ouw-pangcu yang
masih terbelenggu. Akan tetapi pada saat itu Yu Goan telah meloncat maju
dan pedangnya berkelebat cepat membuat tiga orang itu terpaksa meloncat
mundur dan membatalkan niatnya menyerang Ouw-pangcu dengan api obor. Yu
Goam kembali memutar pedangnya, mendesak orang-orang mengerikan itu
mundur, kemudian secepat kilat pedangnya membacok rantai panjang yang
membelenggu kedua tangan Ouw Teng. Terdengar suara nyaring dan belenggu
itu putus, rantai panjang ini tergantung dari kedua tangan kakek itu
yang segera meloncat ke depan dan membantu anak angkatnya menghadapi
pengeroyokan enam orang penderita kusta, Kakek itu mengamuk dan
memutar-mutar rantai yang tergantung dari kedua tangannya, sedangkan Yu
Goan menggerakkan pedangnya menghadap enam orang yang bersenjata golok.
Biarpun
enam orang penderita kusta itu memiliki gerakan yang luar biasa cepat
dan ringannya, namun mereka itu tidak dapat lagi mengerahkan sin-kang
terlalu kuat karena tulang-tulang mereka sudah rusak dan rapuh. Maka
amukan Ouw-pangcu dan Yu Goan membuat dua di antara mereka roboh,
sedangkan empat orang lain terdesak hebat.
"Gi-hu, kita harus cepat keluar dari sini membantu Supek dan Bwee-moi!"
"Baik,
akan tetapi kita robohkan dulu empat orang pengkhianat ini. Mereka ini
termasuk orang-orangnya Sastrawan Ang, yang berhasil mempengaruhi lembah
dan mengobarkan pemberontakan," kata Ouw-pangcu.
Akan tetapi sebelum
mereka berhasil merobohkan empat orang itu, dari atas muncul belasan
orang lain, terdiri dari penderita kusta, beberapa orang bekas anak buah
Ouw-pangcu sendiri dan tiga orang Han. Mereka itu datang dengan cepat
lalu langsung mengeroyok Yu Goan dan Ouw Teng. Kakek ketua tebing itu
menjadi marah sekali melihat bekas anak buahnya, sambil memaki-maki dia
lalu mengarahkan dua potong rantai itu ke arah bekas-bekas anak buahnya
sehingga biarpun dia dikeroyok banyak lawan, dia berhasil merobohkan dua
orang bekas anak buah dan juga muridnya itu dengan sambaran dua potong
rantai baja, membikin pecah kepala mereka!
Namun pengeroyokan itu
benar-benar membuat Yu Goan dan Ouw-pangcu terdesak hebat. Kepandaian
orang-orang penderita kusta itu tinggi, gerakan mereka cepat, dan tiga
orang Han itu pun lihai sekali ilmu pedangnya. Mereka berdua dikeroyok
di tempat yang sempit oleh belasan orang dan betapapun mereka mengamuk,
dan berhasil merobohkan tiga orang lain, namun Yu Goan terkena tusukan
pedang di paha kirinya sedangkan Ouw-pangcu juga terluka oleh bacokan
pedang yang dilawan dengan sin-kangnya, namun tetap saja membuat kulit
punggungnya terluka dan mengeluarkan darah.
"Gi-hu, kita keluar!" Yu Goan berteriak sambil merobohkan seorang pengeroyok lagi dengan sebuah tendangan yang mengenai pusar.
"Tidak sudi lari sebelum membunuh iblis-iblis ini!" Ouw-pangcu menjawab dan mengamuk lebih hebat.
"Bukan melarikan diri, melainkan mencari tempat luas!"
"Hemm,
baiklah!" Sambil berkata demikian, Ouw-pangcu mencontoh perbuatan anak
angkatnya, membuka jalan sambil memutar kedua rantai baja yang sudah
berlepotan darah lawan, kemudian bersama Yu Goan dia lari menaiki anak
tangga itu, dikejar oleh sebelas orang lawan, sisa para pengeroyok tadi.
Akan tetapi, baru tiba di tengah-tengah, dari atas muncul pula banyak
orang musuh! Kini mereka berada di tengah-tengah, dikepung dari atas dan
bawah sehingga keadaan Ouw-pangcu dan Yu Goan menjadi repot!
Sementara
itu, Siauw Bwee yang pergi lebih dulu mencari Ouw-pangcu, di mana-mana
bertemu dengan orang-orang penderita kusta yang mengeroyoknya. Diam-diam
Siauw Bwee terkejut juga karena tidak mengira bahwa hampir semua
anggauta lembah itu agaknya telah dikuasai oleh Ang-siucai dan
kawan-kawannya. Dia tidak tahu bahwa di antara mereka ada yang belum
dapat dibujuk oleh Ang-siucai, akan tetapi mereka yang masih setia
kepada ketuanya juga mengeroyoknya karena kedatangannya sebagai orang
luar ternyata merupakan pelanggaran bagi para penghuni tempat itu,
pelanggaran yang harus dihukum dengan kematian.
Akhirnya Siauw Bwee
yang selalu dapat menghindarkan para pengeroyok itu tiba di depan sebuah
pondok terbesar. Dia menduga bahwa tentu itu pondok ketua orang lembah.
Ia pikir lebih baik menemui ketuanya untuk bicara secara terbuka
mengenai hal ini dan minta kepada Si Ketua untuk membebaskan Ouw-pangcu
yang dia masih belum temukan ditawan di mana. Kalau ketua lembah
menolak, dia akan memaksanya! Ia pikir bahwa jika dia dapat menawan
ketua lembah, tentu dia akan memaksanya menghentikan perlawanan anak
buahnya, memaksanya membebaskan Ouw-pangcu.
Akan tetapi, ketika ia
tiba di depan pondok, dia segera dikepung oleh belasan orang penderita
kusta. Siauw Bwee merasa ngeri sekali dan jijik bukan main menyaksikan
keadaan para pengeroyoknya. Juga dia tidak sampai hati kalau harus
membunuh orang yang tidak karuan bentuk tubuhnya ini, maka dia hanya
mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dan hanya kalau terpaksa saja
dia menggunakan pedangnya mendesak mundur mereka. Dia takut kalau-kalau
dia akan bersentuhan dengan mereka dan takut kalau ketularan!
Karena
rasa jijik, rasa kasihan dan keraguannya ini maka Siauw Bwee tidak
dapat segera membebaskan diri dari kepungan. Kiranya yang mengepungnya
kali ini adalah pembantu-pembantu ketua yang memiliki tingkat kepandaian
lebih tinggi daripada anggauta biasa.
"Lihiap, tahan mereka!"
tiba-tiba terdengar suara bentakan dan kiranya Coa Leng Bu sudah muncul
di tempat itu. Dia pun disambut serangan oleh empat orang penderita
kusta. Seorang di antara mereka menggerakkan sebatang cambuk panjang.
Cambuk itu mengeluarkan suara meledak, bagaikan seekor ular hitam yang
panjang tahu-tahu telah melibat leher kakek itu.
"Kalian
manusia-manusia gila!" Coa Leng Bu membentak, menangkap cambuk dan
mengerahkan tenaga membetot. Orang yang memegang cambuk berteriak kaget,
tubuhnya terbawa oleh sentakan itu dan terbanting ke atas tanah. Begitu
terbanting, tulang-tulangnya yang rapuh tak dapat bertahan maka dengan
mengeluarkan suara berkeretek mengerikan, lengan kanannya putus,
sambungan pundaknya terlepas dan lengan itu terpisah dari tubuhnya,
tangan kanannya masih mencengkeram gagang cambuk! Coa Leng Bu menendang
lengan itu dan kini cambuk itu berada di tangannya. Dia memutar cambuk,
merobohkan tiga pengeroyok lain lalu ia berlari memasuki pondok.
Siauw
Bwee merasa ngeri dan jijik sekali menyaksikan peristiwa itu. Ia lalu
meloncat tinggi melampaui kepala para pengeroyoknya dan berlari cepat
memasuki pondok mengejar Coa Leng Bu. Ketika dia dapat menyusul kakek
tukang obat itu, mereka menuruni anak-anak tangga di sebelah dalam
pondok dan tampaklah oleh mereka pemandangan yang amat aneh. Ketua orang
lembah berbaring di atas dipan, memegangi sebatang bambu berbentuk
suling dengan tempat tembakau di ujungnya. Kiranya kakek ketua lembah
yang keadaannya mengerikan itu sedang menghisap madat! Bau yang tidak
enak menyambut hidung Siauw Bwee, membuat dara ini berbangkis, muak dan
hendak muntah. Ketua lembah itu sudah tua sekali, rambutnya jarang dan
kepalanya botak, matanya cacat karena pelupuk matanya habis dimakan
kusta. Hidungnya tidak berdaging lagi, hanya tampak dua lobang hitam,
bibirnya pletat-pletot. Tubuhnya yang tidak berbaju, hanya bercelana
hitam itu kelihatan kurus kering dan tangan kirinya yang membantu lengan
kanan memegangi pipa madat itu hanya tinggal dua buah jarinya! Di dekat
dipan berdiri seorang laki-laki yang bukan lain adalah Si Sastrawan Ang
Hok Ci! Ang-siucai yang menjadi biang keladi segala kekacauan di atas
tebing dan di lembah itu. Ang Hok Ci memegang sebatang golok dan dia
membalik cepat ketika mendengar suara Siauw Bwee berbangkis tadi.
"Tarr....!"
Cambuk di tangan Coa Leng Bu meledak dan cambuk itu meluncur ke depan,
ujungnya membelit tangan Ang-siucai yang berteriak kaget dan goloknya
terlepas dari pegangan.
"Keparat she Ang, mampuslah!" Coa Leng Bu membentak.
"Sute,
jangan kurang ajar!" Kakek yang mengisap madat itu berseru, mulutnya
menyemburkan asap putih ke arah muka Coa Leng Bu. Jarak antara dia
berbaring dan tempat Coa Leng Bu berdiri cukup jauh, ada lima meter,
akan tetapi asap itu bergulung-gulung cepat sekali menyambar muka Coa
Leng Bu yang menjadi gelagapan dan terbatuk. Saat itu dipergunakan oleh
Ang-siucai untuk menyambar goloknya karena tangannya yang terbelit ujung
cambuk sudah terlepas ketika Coa Leng Bu diserang asap madat yang
baunya memuakkan itu.
"Setan tua, kau melindungi pengacau?" Siauw
Bwee marah sekali dan sudah akan meloncat maju menghadapi ketua lembah
yang amat lihai itu.
"Lihiap, jangan!" Coa Leng Bu berseru sehingga
Siauw Bwee menahan gerakan kakinya. "Dia.... Suheng.... telah terbujuk
penjahat...." Ia lalu berpaling kepada suhengnya yang masih rebah di
atas dipan. "Suheng, insyaflah. Dia ini bukan manusia baik-baik. Dia
telah mengacau tebing, kini dia mengacau lembah bahkan tentu dia yang
membujukmu untuk mengisap racun itu!"
"Coa Leng Bu, pergilah sebelum
kubunuh engkau!" Kakek itu berseru. "Jangan kurang ajar terhadap tamu
dan sahabat baikku. Hayo pergi!"
"Supek, kau hadapi manusia she Ang itu, biar aku yang menundukkan ketua lembah...." bisik Siauw Bwee.
"Coa
Leng Bu, tidak pergi juga engkau?" Kakek itu kini bangkit duduk dan
tangannya memegang sebuah bendera hitam kecil, bendera yang dahulu
dilihat oleh Siauw Bwee dipegang penderita kusta untuk menundukkan
Ouw-pangcu. Melihat bendera itu, tiba-tiba Coa Leng Bu menjatuhkan diri
berlutut.
"Teecu tidak berani membantah....!"
Tiba-tiba Ang-siucai
yang melihat kakek tukang obat itu berlutut dan sama sekali lenyap
sikapnya melawan, menggerakkan goloknya membacok sambil melompat ke
depan.
"Trangggg!" Pedang Siauw Bwee menangkis dan golok itu terpental, sedangkan tubuh siucai itu terhuyung.
"Tolong,
Lie-pangcu.... perempuan siluman itu lihai sekali!" Ang-siucai berseru
minta bantuan ketua lembah. Akan tetapi Siauw Bwee sudah menyambar
lengan Coa Leng Bu dan dibawa lari keluar dari pondok itu.
"Supek, mengapa kau selemah itu melihat bendera itu?"
"Bendera
itu adalah peninggalan Suhu. Siapa yang memegangnya mempunyai kekuasaan
seperti Suhu sendiri. Bagaimana aku berani melawan?"
"Hemm, kalau
Twa-supek sudah terpengaruh racun dan bujukan manusia she Ang, sebaiknya
kita lekas menolong Gi-hu dan keluar dari neraka ini."
"Usulmu baik
sekali, Lihiap." Biarpun menjawab demikian, namun sikap kakek tukang
obat itu jelas membayangkan kedukaan hebat. Ketika mereka tiba di luar
pondok, kembali mereka dikepung oleh para penderita kusta dan
kawan-kawan Ang-siucai. Mereka berdua melawan sambil melarikan diri
untuk mencari Ouw-pangcu.
"Tentu dia ditahan dalam ruangan tahanan
atau di tempat hukuman! Mari ikut aku!" Coa Leng Bu berkata sambil
melawan para pengeroyok yang selalu menghadang, mereka mencari-cari di
seluruh perkampungan lembah itu tanpa hasil. Banyak sudah pengeroyok
mereka robohkan, namun diam-diam hati Siauw Bwee khawatir sekali karena
selain tidak dapat menemukan gi-hunya, juga tidak kelihatan bayangan Yu
Goan!
"Sute benar-benar kurang ajar. Aaahh, tidak kusangka dua orang
suteku semua menentangku!" Ketua lembah yang sudah kekenyangan menghisap
madat itu duduk sambil memijit-mijit kedua pelipisnya, tubuhnya
bergoyang-goyang seperti orang mabok.
"Pangcu, orang-orang yang
memberontak itu harus dihukum. Aku khawatir sekali kalau mereka berhasil
mengacau kemudian merampas kitab-kitab yang amat penting itu. Pangcu
berjanji untuk memperlihatkan kitab-kitab itu kepadaku. Bolehkah
sekarang aku melihatnya?" Ang-siucai melangkah menuju ke sebuah kamar
yang daun pintunya tertutup.
"Nanti dulu, Sicu. Tidak boleh orang
lain masuk ke kamar itu kecuali aku!" Ketua lembah sudah bangkit berdiri
dan berjalan terpincang-pincang ke kamar itu, diikuti oleh Ang-siucai
yang sudah memegang goloknya lagi.
"Selain kitab-kitab kuno
simpananku yang tidak begitu penting bagiku, di sini kusimpan sebuah
kitab yang amat penting dan yang kuanggap sebagai benda pusaka. Kitab
itu adalah peninggalan Suhu kepada kami...."
"Kitab pelajaran Jit-goat-sin-kang?" tanya Ang-siucai dan matanya berapi-api penuh gairah.
"Jit-goat-sin-kang
termasuk ilmu yang berada di dalam kitab itu. Masih ada ilmu-ilmu silat
lain yang tidak dapat diturunkan kepada siapapun juga. Engkau amat baik
kepadaku, Sicu. Maka aku tidak keberatan kalau engkau melihat kitab
itu, akan tetapi tidak boleh dibaca atau dibawa pergi. Karena engkau
seorang sastrawan, maka aku maklum bahwa engkau suka sekali melihat
kitab-kitab kuno, mari masuk...."
Ketika memasuki kamar, ketua lembah
itu terhuyung-huyung, kelihatannya lemas sekali. Diam-diam Ang-siucai
menjadi girang karena dia tahu bahwa kakek ini telah mabok madat dan
sebentar lagi, seperti biasanya, tentu akan tidak kuat menahan dan jatuh
tertidur nyenyak!
"Yang manakah kitab peninggalan Locianpwe Bu-tek Lo-jin itu, Pangcu?"
Kakek
itu kini sudah lenggat-lenggut dan beberapa kali menguap, kemudian ia
hanya dapat menuding ke arah sebuah kitab yang dibungkus kain kuning,
terletak di atas meja di sudut kamar, kemudian ia merebahkan tubuhnya
begitu saja di lantai terus tidur mendengkur!
Ang-siucai girang
sekali. Cepat ia menghampiri meja di sudut itu, mengambil bungkusan kain
kuning, membukanya dan setelah mendapat kenyataan bahwa kitab itulah
yang dimaksudkan Lie-pangcu, dia cepat melangkah hendak keluar dari
kamar itu. Akan tetapi ketika ia harus melangkahi tubuh Lie-pangcu yang
tidur mendengkur di atas lantai, dia berhenti dan melirik dengan sinar
mata tajam. Dia tahu bahwa kakek ini amat lihai, jauh lebih lihai
daripada Ouw-pangcu, maka kalau nanti terbangun dan melihat lenyapnya
kitab dan mengejarnya, berarti dia akan menambah seorang musuh yang amat
berat. Dia sedang tidur, mengapa tak kubunuh saja? Setelah berpikir
demikian, secepat kilat Ang Hok Ci melangkah mundur, memegang goloknya
erat-erat lalu mengayun goloknya itu ke arah leher kakek yang tidur
pulas. Saking gugupnya, bacokannya meleset dan mengenai pundak Lie Soan
Hu, ketua lembah.
"Crookk!" Pundak itu putus berikut lengan kanan Si
Kakek yang pulas. Akan tetapi, mata Ang-siucai terbelalak dan mukanya
menjadi pucat ketika ia melihat betapa luka di pundak itu tidak
mengeluarkan darah dan Si Kakek masih enak-enak tidur mendengkur! Hal
ini tentu saja membuat dia terkejut dan ketakutan, disangkanya kakek itu
mempermainkannya, maka segera ia meloncat keluar kamar dan memasuki
pintu rahasia di sebelah belakang pondok yang sudah dikenalnya, kemudian
dia lari dari tempat itu, tidak mempedulikan lagi Siauw Bwee dan kakek
obat yang masih mengamuk di luar.
Pada saat itu, keadaan Yu Goan dan
Ouw-pangcu sudah payah. Tubuh mereka sudah penuh luka dan mereka tahu
bahwa dikeroyok dari atas dan bawah anak tangga, mereka tidak dapat
melarikan diri lagi. Biarpun banyak pula pengeroyok yang mereka
robohkan, namun karena jumlah mereka amat banyak, kedua orang yang sudah
luka-luka ini mulai kehabisan tenaga.
"Jangan bunuh mereka, tangkap
hidup-hidup!" Teriakan ini keluar dari mulut Ang-siucai yang sudah tiba
di tempat itu. Dia tadi menyaksikan betapa Siauw Bwee dan Coa Leng Bu
nengamuk dengan hebat, maka ia menjadi khawatir sekali. Kalau tadinya
dia dapat mengharapkan bantuan kakek ketua lembah yang lihai, kini tidak
mungkin lagi. Pula, benda yang dicarinya, yang membuat dia mengadakan
pengacauan sampai berbulan-bulan di tebing dan lembah, kini telah
tersimpan di balik jubahnya. Tugasnya telah selesai, kini tinggal
mencari jalan untuk keluar dengan selamat. Melihat Ouw-pangcu dan Yu
Goan terkepung rapat, dia melihat jalan keluar itu, maka segera ia
berseru agar menawan dua orang itu hidup-hidup.
Betapapun juga,
seruan ini menyelamatkan nyawa Ouw-pangcu dan Yu Goan. Para pengeroyok
menubruk dengan nekat dan akhirnya mereka ditangkap dan ditotok sehingga
lumpuh. Ang Hok Ci lalu mengumpulkan kawan-kawannya, yaitu orang-orang
Han yang datang bersamanya. Dia datang ke daerah itu dan diam-diam
kemudian disusul oleh dua puluh orang temannya, akan tetapi sekarang
teman-temannya itu hanya tinggal lima orang saja. Selebihnya sudah
tewas, sebagaian besar tewas di tangan Siauw Bwee dan Coa Leng Bu.
Dengan
cepat Ang-siucai mengempit tubuh Yu Goan dan seorang temannya membawa
tubuh Ouw Teng, kemudian mereka berenam meninggalkan tempat itu
melarikan diri melalui terowongan yang menembus di puncak tebing di
daerah orang-orang liar anak buah Ouw-pangcu.
Siauw Bwee dan Coa Leng
Bu masih mengamuk, tidak tahu bahwa Ouw Teng dan Yu Goan sudah ditawan
dan dibawa lari. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring,
"Tahan semua senjata! Hentikan semua pertempuran!"
Mereka
semua menoleh dan seketika pertandingan berhenti. Tak jauh dari mereka
telah berdiri kakek Lie Soan Hu, ketua lembah yang buntung pundak
kanannya. Dengan tangan kiri mengangkat bendera hitam tinggi-tinggi,
kakek itu ternyata tidak kehilangan suaranya seperti para penderita
lain, berkata,
"Ang Hok Ci manusia jahat.... kitab peninggalan Suhu
dirampas dan dilarikan....! Sute.... lekas kejar....!" Setelah berkata
demikian, kakek itu roboh pingsan. Biarpun luka di pundaknya tidak
mengeluarkan darah, akan tetapi tentu saja dia menderita hebat sekali.
Pucat wajah Si Tukang Obat mendengar itu. Dia tahu kitab apa yang dimaksudkan, maka cepat dia berteriak,
"Hai,
kalian orang-orang yang telah berdosa! Baru sekarang kalian tahu bahwa
kalian telah ditipu oleh manusia she Ang itu! Siapa di antara kalian
yang mengetahui di mana adanya bangsat itu?"
Beberapa orang penderita
kusta menjawab sehingga terdengar suara gaduh tidak karuan yang tak
dimengerti oleh Siauw Bwee. Akan tetapi dara ini melihat wajah Si Tukang
Obat menjadi terkejut, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan
kekhawatiran hebat.
"Lekas kejar, Lihiap."
"Apa sih artinya keterangan mereka?"
"Si
keparat itu telah merampas kitab peninggalan Suhu, telah menawan
Ouw-sute dan Yu-sicu dan mereka melarikan diri melalui terowongan yang
menembus ke atas tebing."
"Celaka! Mari kita kejar!" Siauw Bwee
berseru dan dia cepat meloncat mengikuti Coa Leng Bu yang sudah lari
menuju ke terowongan rahasia yang merupakan satu-satunya jalan yang
menghubungkan daerah lembah terpencil ini ke dunia luar melalui puncak
tebing tempat tinggal Ouw-pangcu dan anak buahnya.
***
Siauw Bwee
dan Coa Leng Bu terus melakukan pengejaran. Biarpun mereka berdua sudah
tertinggal jauh, namun mereka dapat mengikuti jejak enam orang yang
melarikan diri dan menawan Yu Goan dan Ouw Teng itu. Jejak mereka menuju
ke kota Sian-yang. Ketika mereka tiba di luar tembok kota Sian-yang,
mereka melihat Yu Goan duduk termenung menghadapi sebuah kuburan baru!
"Yu-twako....!"
Yu
Goan melompat bangun dan memandang Siauw Bwee dan Coa Leng Bu dengan
girang. Akan tetapi segera wajahnya menjadi muram ketika ia berkata,
"Bwee-moi, Gi-hu telah meninggal dunia dan inilah kuburannya," ia
menunjuk ke arah kuburan baru.
"Keparat! Mereka membunuhnya?" Siauw Bwee berteriak marah.
Yu
Goan menggeleng kepala. "Tidak, Bwee-moi, Gi-hu tewas karena
luka-lukanya, terutama sekali karena penyakitnya yang lama kambuh
kembali."
"Di mana penjahat itu? Bagaimana engkau dapat lolos, Twako?"
"Bwee-moi,
Supek, mereka itu ternyata bukanlah penjahat-penjahat, melainkan
utusan-utusan rahasia dari pemerintah. Mereka membebaskan aku di sini
untuk mengurus jenazah Gi-hu, dan mereka tadinya menawan kami berdua
hanya untuk dapat mempergunakan kami sebagai perisai ketika mereka
keluar dari lembah. Mereka adalah orang-orang pemerintah dan aku sendiri
telah melihat surat kuasa dan surat perintah mereka. Bahkan Ang Hok Ci
itu adalah murid dari Bu Kok Tai, koksu negara yang sengaja mengutusnya
ke lembah untuk mengambil kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin."
"Siapa pun dia, jelas dia adalah seorang penipu, pencuri, pembunuh dan pengacau terkutuk!" kata Coa Leng Bu.
"Yu-twako, di mana mereka?"
"Mereka
memasuki kota Sian-yang untuk menghadap Bu-koksu yang kebetulan berada
di kota itu. Aku ditinggalkan di sini untuk mengurus jenazah Gi-hu.
Bwee-moi, setelah kita ketahui bahwa mereka itu adalah utusan-utusan
pemerintah, perlukah kita melibatkan diri?"
"Yu-twako! Aku tidak
peduli mereka itu utusan pemerintah atau utusan raja sorga maupun raja
neraka! Yang jelas, mereka adalah pengacau-pengacau busuk yang telah
menimbulkan malapetaka di atas tebing dan di lembah, dan mereka telah
menyebabkan kematian Gi-hu, bahkan telah mencuri kitab peninggalan
Bu-tek Lo-jin! Perbuatan mereka itu cukup bagiku untuk memusuhi mereka,
tidak peduli mereka itu orang macam apa! Bagaimana dengan pendapatmu,
Twako?"
Yu Goan mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang.
"Bwee-moi, maafkan aku. Ayah bundaku dan kakekku telah memesan dengan
sungguh-sungguh sebelum aku pergi merantau agar aku tidak melakukan
perbuatan yang melawan dan menentang pemerintah, bahkan menganjurkan
agar aku membantu pemerintah, menjadi pahlawan dan patriot demi
kepentingan tanah air dan bangsa. Karena itu, mana mungkin aku menentang
mereka yang ternyata tidak membunuhku, malah membebaskan aku dan
memberi surat perkenalan kepada komandan pasukan di Sian-yang? Bwee-moi,
harap engkau sadar bahwa mereka itu pun hanya petugas-petugas belaka,
dan kalau kita memusuhi mereka sama artinya dengan memusuhi pemerintah.
Mungkinkan kita memusuhi pemerintah yang berarti memusuhi bangsa
sendiri?"
Siauw Bwee tersenyum pahit. "Twako, banyak orang yang tidak
tahu bahwa pemerintah tidaklah sama dengan bangsa! Jalannya
pemerintahan berada di tangan raja dan semua pembantunya, dan justeru
pembantu-pembantunya yang menjadi pelaksana banyak sekali yang tidak
benar dan jahat! Demikian jahat dan liciknya mereka ini sehingga
orang-orang yang benar-benar berjiwa pahlawan dapat dianggap
pengkhianat, sedangkan pengkhianat-pengkhianat dan penjahat-penjahat
macam orang she Ang itu bisa saja dianggap pahlawan!"
"Aku akan
mengejar ke Sian-yang, harus mendapatkan kembali kitab pusaka, dan
membunuh orang she Ang. Apakah Ji-wi mau ikut?" Coa Leng Bu yang merasa
tidak sabar mendengar perdebatan itu, berkata dan meloncat ke depan
meninggalkan mereka.
"Aku ikut, Supek! Twako, apakah engkau mau pergi juga?"
Yu Goan menggeleng kepala. "Maaf, Bwee-moi, aku tidak boleh melanggar pesan orang tuaku."
"Sayang
sekali, Twako. Nah, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, sekali
berkelebat Siauw Bwee telah lenyap dari situ, pergi menyusul Coa Leng
Bu yang sudah lari menuju ke pintu gerbang kota Sian-yang. Yu Goan duduk
termenung dan berkali-kali menarik napas panjang. Ia merasa seolah-olah
semangatnya terbawa terbang melayang bersama Siauw Bwee. Akan tetapi
dia mengerahkan kekuatan batinnya dan akhirnya dia dapat melihat bahwa
memang sebaiknyalah demikian. Dengan perbedaan paham ini, yaitu tentang
pengabdian terhadap pemerintah maka tercipta jarak antara mereka yang
akan meringankan penderitaan hatinya akibat cinta gagal. Seperginya
Siauw Bwee, dia merasa hatinya kosong dan seperti dalam mimpi, Yu Goan
mengeluarkan sebuah sampul surat yang ia terima dari Ang-siucai. Surat
perkenalan untuk komandan pasukan pengawal kota Sian-yang, di mana dia
akan bekerja dan mendapat kesempatan membuktikan dirinya untuk
pemerintah seperti yang dianjurkan oleh orang tuanya. Dengan adanya
pekerjaan itu, dia akan lebih sibuk setiap harinya sehingga akan
terhibur dari luka hati karena berpisah dari Siauw Bwee.
Setelah hari
hampir gelap, barulah pemuda yang patah hati ini bangkit meninggalkan
kuburan mendiang Ouw-pangcu dan melangkah perlahan-lahan menuju ke
tembok kota Sian-yang yang sudah tampak dari situ.
Kota Sian-yang
adalah kota yang besar dan ramai, bukan saja merupakan kota dagang, akan
tetapi juga menjadi kota pertahanan yang dikelilingi sebuah benteng
yang amat kuat. Dalam keadaan negara kalut seperti pada waktu itu, musuh
mengancam dari pelbagai jurusan, setiap kota besar menjadi benteng
pasukan yang kuat dan Sian-yang tidak terkecuali. Bahkan Sian-yang
dijadikan kota benteng yang menjadi pusat dari daerah di sekitarnya,
menjadi sebuah di antara benteng pertahanan jalan yang menuju ke kota
raja.
Penduduk kota Sian-yang yang padat itu setiap hari masih
melakukan pekerjaan seperti biasa, pasar-pasar tetap ramai,
tontonan-tontonan masih terus mengadakan pertunjukan, restoran-restoran
dan penginapan-penginapan selalu penuh. Pendeknya, seperti biasa, rakyat
tidak mau memusingkan pikiran mengenai perang dan pertempuran. Kalau
mereka itu tanpa dikehendaki terlanda perang, rakyat mawut seperti
rombongan semut diusir, namun begitu mereka dapat menetap di suatu
tempat dan perang telah lewat melalui atas kepala mereka yang
terinjak-injak, rakyat kembali membiasakan diri dan hidup seperti biasa,
tenang dan tenteram
Di kota ini banyak terdapat tentara pemerintah
yang berkumpul di dalam markas dekat tembok benteng yang mengelilingi
kota. Setiap hari tampak perwira-perwira pasukan berkeliaran di kota,
namun rakyat yang sudah biasa dengan pemandangan ini menganggap biasa
saja dan bekerja terus. Karena ini, penghuni kota itu pun tidak merasa
heran ketika dalam beberapa hari ini datang kereta-kereta yang terisi
pembesar-pembesar militer dan sipil memasuki kota Sian-yang. Bahkan
dikabarkan orang bahwa Koksu sendiri berkenan datang ke Sianyang untuk
memeriksa keadaan dan memperkuat pertahanan, di samping beberapa orang
jenderal yang memegang kedudukan penting. Biarpun kedatangan orang-orang
besar itu tidak mengejutkan penduduk kota, namun seperti biasa,
orang-orang suka melebih-lebihkan cerita mengenai jagoan-jagoan yang
turut datang ke kota. Maka ramailah orang membicarakan kehebatan Koksu
Negara yang dikabarkan memiliki ilmu kepandaian seperti dewa berkepala
tiga berlengan enam! Masih ada lagi beberapa orang jagoan negara yang
kabarnya juga berkumpul di kota itu, yang memiliki ilmu kepandaian tidak
lumrah manusia.
Siauw Bwee dan Coa Leng Bu memasuki kota dan lenyap
dalam arus manusia di dalam kota. Mereka menyewa kamar di sebuah rumah
penginapan dan ketika pada sore hari itu mereka makan di restoran,
mereka mendengar percakapan antara pelayan restoran dan beberapa orang
tamu. Dari percakapan inilah Siauw Bwee dan supeknya mendengar bahwa
Koksu telah tiba di kota itu membawa jago-jagonya yang berkepandaian
tinggi, di antaranya yang dipuji-puji oleh pelayan itu adalah sepasang
setan dampit yang kabarnya belum pernah terkalahkan oleh siapapun juga!
Dan mereka mendengar bahwa pada malam hari itu di dalam gedung kepala
daerah akan diadakan pesta menyambut kedatangan Koksu dan para
pembantunya.
Setelah selesai makan dan kembali ke kamar
masing-masing, Siauw Bwee berkata kepada Coa Leng Bu, "Supek, amat
sukarlah untuk mencari orang macam Ang Hok Ci itu di dalam kota sebesar
ini di antara puluhan ribu orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa dia
adalah murid Koksu seperti yang diceritakan oleh Yu-twako, maka setelah
Koksu sendiri kini datang, tentu mereka akan menghadap Koksu dan si
manusia she Ang tentu akan menyerahkan kitab itu kepada gurunya, karena
itu, kurasa sebaiknya kalau kita pergi menyelidiki ke gedung pertemuan
itu. Kalau benar manusia she Ang itu berada di sana, aku akan
menyergapnya!"
Coa Leng Bu mengerutkan alisnya. "Lihiap, ilmu
kepandaianmu amat tinggi dan aku percaya bahwa engkau akan kuat melawan
siapapun juga. Akan tetapi, aku telah mendengar akan kelihaian Bu-koksu
dan para pembantunya. Mereka adalah orang-orang selain berkedudukan
tinggi, menguasai laksaan tentara, juga memiliki kepandaian yang luar
biasa tingginya. Karena itu, kita harus hati-hati sekali dan kuharap
engkau suka menahan sabar, tidak melakukan tindakan sembrono. Kita
mengintai dan mengikuti gerak-gerik Ang-siucai itu saja tanpa melibatkan
diri dalam pertentangan melawan para pembesar pemerintah. Karena hal
itu hanya akan mencelakakan diri saja."
"Baiklah, Supek. Memang tujuan kita ini hanya merampas kembali kitab dan membunuh manusia she Ang itu, bukan?"
Malam
hari ini dengan pakaian ringkas dan membawa pedang yang digantung di
punggung, Siauw Bwee bersama Coa Leng Bu keluar dari rumah penginapan
untuk pergi menyelidiki ke gedung kepala daerah yang menjadi temnpat
pertemuan para pembesar pada malam hari itu. Seperti biasa, Coa Leng Bu
yang berjiwa sederhana itu hanya mengenakan pakaian yang amat bersahaja,
bahkan kedua kakinya tetap telanjang tak bersepatu!
Dengan gerakan
ringan dan lincah bagaikan dua ekor burung, mereka setelah tiba di dekat
gedung itu meloncat ke atas genteng dan berindap-indap mendekati
ruangan pertemuan yang terang benderang dan sekelilingnya terjaga oleh
pasukan itu. Untung bahwa malam itu gelap sehingga Siauw Bwee dan Coa
Leng Bu dapat bergerak tanpa ada yang melihat mereka. Mereka merayap di
atas genteng dengan hati-hati tanpa meninggalkan suara dan akhirnya tiba
di atas ruangan itu, menggeser genteng dan mengintai ke bawah.
Siauw
Bwee menyentuh lengan supeknya di dalam gelap ketika ia melihat bahwa
orang yang mereka cari-cari, Si Sastrawan she Ang yang telah berhasil
menimbulkan pemberontakan dan kekacauan di atas tebing dan lembah,
kemudian berhasil merampas kitab pusaka peninggalan Bu-tek Lo-jin,
ternyata berada di dalam ruangan itu, duduk berhadapan dengan seorang
tinggi besar yang berpakaian panglima tinggi dan beberapa orang jenderal
lain. Di ruangan itu terdapat belasan orang panglima dan pembesar
setempat yang agaknya sedang merundingkan siasat-siasat pertahanan dan
perang menghadapi musuh yang banyak. Di samping itu, mereka pun saling
beramah tamah dan menyambut kedatangan Koksu dengan pesta yang meriah.
Agak
janggal memang kehadiran Ang-siucai di meja pembesar tinggi itu. Akan
tetapi Siauw Bwee mengangguk maklum ketika supeknya berbisik, "Di
depannya itulah Bu-koksu...." Ah, kiranya sastrawan licik itu telah
bertemu dengan gurunya dan tentu kitab itu telah diserahkan kepada koksu
itu! Menurut kata hatinya, ingin Siauw Bwee segera meloncat turun
membekuk siucai itu dan memaksanya menyerahkan kembali kitab yang
dicurinya. Akan tetapi dia bukanlah seorang yang begitu bodoh dan
lancang karena tanpa peringatan Coa Leng Bu yang pada saat itu menyentuh
lengannva sekalipun, dia tidak akan sembrono melakukan hal itu. Siauw
Bwee cukup maklum bahwa orang-orang di bawah itu tidak boleh dipandang
ringan, apalagi mereka yang duduk di ujung ruangan, yang tak salah lagi
tentulah rombongan jago-jago dari Koksu. Yang amat menarik hatinya
adalah sepasang laki-laki dampit yang duduk bersanding. Sepasang manusia
dampit ini benar-benar menyeramkan, dan mereka kelihatan saling
membenci, saling bersungut dan pandang mata yang saling mereka tujukan
satu kepada yang lain memandang nafsu membunuh! Kalau apa yang ia dengar
di restoran itu benar bahwa sepasang manusia dampit ini belum pernah
terkalahkan, tentulah mereka itu memiliki ilmu kepandaian yang amat luar
biasa. Karena inilah maka Siauw Bwee merasa gatal-gatal tangannya untuk
mencoba sampai di mana gerangan kehebatan sepasang orang dampit yang
tentu akan canggung gerakan mereka, saling merintangi itu.
Manusia-manusia dampit itu tidak memakai pakaian militer, juga dua orang
kakek yang duduk bersama mereka, akan tetapi dua orang laki-laki tinggi
besar dan kelihatan seperti raksasa yang duduk dalam rombongan ini,
mengenakan pakaian perang dari baja, membuat gerakan mereka tampak kaku
dan berat.
Tiba-tiba Koksu yang tadinya bercakap-cakap dengan
Ang-siucai dengan wajah membayangkan kepuasan hati menoleh ke kanan dan
berkata, "Hemm, kau baru muncul? Benar-benar manusia malas!"
Siauw
Bwee menoleh ke arah pembesar itu memandang dan hampir saja ia
mengeluarkan jerit kalau tidak cepat-cepat tangan kirinya menutup
mulutnya sendiri. Ia membelalakkan mata, napasnya terengah dan setelah
menggosok-gosok kedua mata dan berkejap-kejap beberapa kali, barulah ia
merasa yakin bahwa orang yang yang tahu-tahu telah duduk di jendela
dengan sikap sembarangan, lengan kiri menopang dagu dengan siku
ditunjang paha kiri, kaki kanan menginjak lemari, duduk melamun
seenaknya di lobang jendela, orang yang baru saja datang dan ditegur
oleh Koksu, bukan lain adalah Kam Han Ki, suhengnya yang amat
dirindukannya selama ini! Sejenak Siauw Bwee hampir tidak percaya akan
pandang matanya dan menduga bahwa tentu ada orang lain yang mirip
suhengnya, yaitu seorang di antara pengawal dan jagoan Koksu. Akan
tetapi ia melihat sesuatu yang tidak wajar. Sikap orang ini benar-benar
luar biasa. Kalau menjadi pengawal Koksu, mengapa sikapnya begitu kurang
ajar? Dan bukan hanya Koksu, bahkan semua orang yang menyaksikan
sikapnya duduk di jendela seperti itu, seenaknya seolah-olah di situ
tidak ada manusia lainnya, agaknya tidak mempedulikan orang ini!
Ketidakwajaran yang cocok dengan ketidakwajaran kalau Kam Han Ki
sekarang membantu Koksu Negara! Kam Han Ki suhengnya itu adalah seorang
pelarian, seorang buruan, mana mungkin sekarang menjadi pengawal Koksu
dan pembantu pemerintah yang telah membunuh kakaknya, Menteri Kam Liong,
dan yang telah mengejar-ngejarnya dahulu? Tidak salah lagi, orang itu
tentulah Kam Han Ki, dan sikapnya yang luar biasa itu menunjukkan bahwa
biarpun orangnya Kam Han Ki, akan tetapi pikirannya bukan! Agaknya telah
terjadi sesuatu yang menimpa diri suhengnya itu sehingga kehilangan
ingatannya!
"Kam-taihiap! Duduklah di sini!" Bu-koksu berkata dengan suara halus mempersilakan.
Akan
tetapi pemuda tampan yang duduk di jendela itu, acuh tak acuh menjawab,
"Bu-loheng, engkau dan teman-temanmu enak saja duduk di sini sedangkan
di sana itu terdapat dua orang mengintai kalian!"
Mendengar ini,
semua orang terkejut, akan tetapi Siauw Bwee dan Coa Leng Bu lebih kaget
lagi. "Lari....!" kata Coa Leng Bu yang merasa kaget bahwa pemuda aneh
itu tahu akan kehadiran mereka. Akan tetapi, ia menjadi lebih kaget lagi
ketika Siauw Bwee bukan hanya tidak menuruti kata-katanya, bahkan dara
perkasa itu kini meloncat ke depan, tepat di atas ruangan itu sambil
berseru,
"Suheng....!"
Siauw Bwee menjadi gelisah sekali. Jelas
bahwa orang itu adalah Kam Han Ki, dan Si Koksu menyebutnya juga
Kam-taihiap, dan dia tidak heran kalau suhengnya yang lihai sekali itu
dapat mengetahui kehadirannya bersama Coa Leng Bu, akan tetapi mengapa
suhengnya tidak mengenalnya?
Pemuda itu masih bertopang dagu, hanya miringkan mukanya dan mengomel, "Siapa menyebutku suheng?"
"Suheng!
Ini aku, Khu Siauw Bwee....!" Siauw Bwee berseru lagi dan semua orang
yang berada di ruangan itu terkejut sekali mendengar bahwa wanita yang
suaranya terdengar di atas itu adalah adik seperguruan pemuda aneh yang
mereka semua mengenalnya sebagai pengawal nomor satu dari Koksu!
"Tangkap
pengacau itu!" Tiba-tiba Bu-koksu berseru sambil menoleh kepada para
pengawalnya, yang duduk di sudut ruangan. Seorang di antara dua pengawal
tinggi besar seperti raksasa yang memakai pakaian perang meloncat
bangun sambil mencabut goloknya, sebatang golok besar yang tajam
mengkilap dan kelihatan berat sekali.
Siauw Bwee yang menjadi makin
gelisah melihat suhengnya masih duduk enak-enak dan sama sekali tidak
memperhatikannya itu tak dapat menahan lagi hatinya. Dia meloncat turun
dan berjungkir-balik, tubuhnya meluncur masuk ke ruangan itu melalui
pintu belakang.
Begitu kedua kakinya menyentuh lantai, pengawal
raksasa itu sudah menerjang maju dan goloknya menyambar ke arah pinggang
Siauw Bwee. Dara perkasa ini menjadi marah sekali dan dia tidak ingat
lagi akan bahaya. Dia merasa gelisah penasaran dan marah menyaksikan
keadaan suhengnya, marah melihat Ang-siucai, dan kemarahannya memuncak
ketika tiba-tiba saja ia disambut serangan. Bagaikan seekor burung
terbang, tubuhnya mencelat ke atas sedemikian cepatnya sehingga sambaran
golok itu kalah cepat dan golok menyambar di sebelah bawah kakinya.
Karena Siauw Bwee mempergunakan gerakan kilat, maka tubuhnya seolah-olah
lenyap, demikian cepat gerakannya sehingga ketika pengawal raksasa itu
luput menyerang dan cepat hendak membalikkan goloknya, tiba-tiba kaki
Siauw Bwee yang berada di udara itu bergerak ke depan.
"Crot!"
Pengawal
raksasa itu mengaduh dan terhuyung ke belakang, tangan kirinya mengusap
darah yang muncrat keluar dari hidungnya yang pecah dicium telapak
sepatu Siauw Bwee. Dia menjadi marah sekali, lalu menerjang seperti
seekor badak terluka, membabi-buta, goloknya yang besar dan berat itu
lenyap menjadi segulung sinar yang menyilaukan mata.
Biarpun hatinya
marah sekali bercampur gelisah, Siauw Bwee masih ingat bahwa dia berada
di guha macan, bahkan keadaannya berbahaya sekali kalau sampai dia
melakukan pembunuhan. Maka, mengingat bahwa seorang koksu yang suka
menggunakan tenaga orang pandai tentu akan menghargai ilmu silat tinggi,
dia mengambil keputusan untuk mengalahkan para jagoan koksu itu,
kemudian atas nama kegagahan yang dihargai oleh dunia kang-ouw, minta
kembali kitab Bu-tek Lo-jin secara baik dan selanjutnya berurusan dengan
suhengnya dan kalau mungkin, membunuh Ang-siucai. Keputusan hati ini
membuat dia tidak mau mencabut pedangnya, melainkan melawan pengawal
raksasa itu dengan kecepatan gerakan tubuhnya. Betapapun cepatnya
sambaran sinar golok yang bergulung-gulung, gerakan tubuh dan kaki
tangan Siauw Bwee lebih cepat lagi. Sambaran-sambaran golok itu seperti
menyambar asap saja, jangankan mengenai tubuh Siauw Bwee, mencium ujung
baju pun tidak pernah!
Siauw Bwee seperti menari-nari di atas lantai,
berputaran dan selalu sambaran golok mengenai tempat kosong. Indah dan
aneh sekali gerakan kakinya karena memang dia mempergunakan ilmu gerak
kaki kilat yang dimilikinya berkat ajaran Kakek Lu Gan. Dalam menghadapi
serangan-serangan golok ini, Siauw Bwee masih sempat mengerling ke arah
suhengnya yang masih duduk di jendela, dan betapa gelisah dan
mendongkol hatinya melihat suhengnya itu masih bertopang dagu dan
menundukkan muka, sama sekali tidak tertarik dan tidak menonton
seolah-olah tidak terjadi sesuatu di depan hidungnya!
Pertandingan
itu membuat mereka yang hadir di ruangan itu melongo. Pengawal raksasa
itu adalah seorang yang terkenal amat kuat dan amat lihai ilmu goloknya,
namun dalam segebrakan saja hidungnya telah pecah oleh tendangan Si
Dara Perkasa, bahkan kini serangannya yang bertubi-tubi itu dihadapi
dara itu seenaknya saja, selalu mengelak tanpa membalas namun belum
pernah golok itu menyerempet sasarannya.
Bu-koksu tentu saja dapat
mengenal orang pandai. Ia memandang dengan mata berkilat dan wajah
berseri. Dia merasa beruntung sekali bisa mendapatkan seorang pembantu
seperti Kam Han Ki, kalau kini gadis jelita yang mengaku adik
seperguruan Kam Han Ki itu suka menjadi pembantunya, ahhh, betapa akan
senang hatinya, betapa akan aman dirinya dikawal oleh kakak beradik
selihai itu. Diam-diam ia memberi tanda dan pengawal raksasa ke dua yang
juga berpakaian perang itu meloncat maju sambil menyeret tombaknya,
tombak gagang panjang yang beratnya tidak kurang dari seratus lima puluh
kati! Begitu sampai di tempat pertempuran, pengawal ini sudah
menggerakkan tombak panjangnya dengan lagak seperti Kwan Kong (tokoh
sakti dalam cerita Samkok ) membantu kawannya menusuk ke arah pusar
Siauw Bwee.
Dara itu tadi memang sengaja mempertontonkan
kelincahannya, bukan hanya untuk menarik hati koksu agar dapat
menghargai kepandaiannya, akan tetapi juga untuk menarik perhatian
suhengnya yang ternyata disambut dengan sikap tak acuh itu. Dia menjadi
marah, apalagi kini melihat pengawal ke dua sudah maju. Dengan suara
melengking panjang dia sudah mencelat tinggi dan tahu-tahu telah berada
di belakang pengawal ke dua ini. Pengawal itu cepat menyodokkan gagang
tombaknya ke belakang, menggunakan pendengarannya untuk mengikuti
gerakan lawan tadi karena matanya kalah cepat, akan tetapi kembali Siauw
Bwee sudah mencelat ke kiri dan melihat golok menyambar, secepat kilat
tangannya mengejar punggung golok lawan dan mendorong punggung golok itu
sehingga senjata ini menyeleweng ke arah pengawal ke dua yang memegang
tombak panjang.
"Tranggg! Heiii, lihat golokmu, jangan ngawur!" Si
Pengawal Bertombak mencela kawannya dan dia menggerakkan tombaknya
menyerang Siauw Bwee setelah tadi menangkis golok kawannya.
Kini
Siauw Bwee tidak mau menyia-nyiakan waktu lagi dengan main kelit dan
mempertontonkan kelincahannya. Tusukan tombak itu yang menuju ke ulu
hati, diterimanya begitu saja dan hanya setelah ujung tombak tinggal
sejengkal dari dadanya ia mendoyongkan tubuh ke kiri sehingga tombak itu
menembus melalui celah-celah di antara dada dan lengan kanannya. Ia
menurunkan lengan menjepit leher tombak, memegang gagang tombak dengan
tangan kanan dan menarik sambil mengerahkan sin-kang. Pengawal itu
terkejut sekali, khawatir kalau tombaknya terampas maka dengan kedua
tangannya ia membetot gagang tombaknya. Tenaganya memang besar sekali,
tenaga gwa-kang (luar) yang mengandalkan kekuatan otot.
"Hekkk!"
Tiba-tiba tubuhnya terjengkang karena Siauw Bwee mempergunakan
kesempatan selagi lawan membetot tombak, dia membarengi mendorong dan
gagang tombak yang tidak runcing itu tepat menotok dada pemiliknya
sehingga seketika napasnya sesak dan perutnya mulas, terjengkang ke
belakang dan bergulingan mengaduh-aduh.
Tanpa membalikkan tubuhnya, Siauw Bwee menggunakan tombak rampasan itu menangkis golok yang menerjangnya dari belakang.
"Trangggg!"
Bunga api muncrat menyilaukan mata disusul jatuhnya golok yang terlepas
dari tangan pengawal itu yang kini tubuhnya menggigil kedinginan.
Ternyata Siauw Bwee ingin menyudahi pertandingan dengan cepat maka
ketika ia menangkis tadi, ia membarengi dengan dorongan tenaga Im-kang
yang ia latih di Pulau Es, tidak terlalu kuat karena dia tidak ingin
membunuh lawan, namun cukup membuat lawan itu menggigil kedinginan dan
lumpuh kaki tangannya sehingga goloknya terlepas dan orangnya pun
terguling roboh!
Setelah melempar tombak itu ke atas lantai, Siauw
Bwee memutar tubuh menghadapi Bu-koksu lalu berkata nyaring, "Koksu, aku
mau bicara tentang suhengku Kam Han Ki!" Setelah berjumpa dengan Han
Ki, lain urusan tidak ada artinya lagi bagi Siauw Bwee sehingga ia sudah
lupa akan maksud kedatangannya semula.
"Tidak! Kami datang
pertama-tama untuk bicara tentang manusia she Ang yang curang!"
Tiba-tiba Coa Leng Bu berteriak dan tubuhnya melayang turun di samping
Siauw Bwee.
"Dia itulah Coa Leng Bu, sute ketua lembah, Suhu," bisik
Ang Hok Ci kepada Koksu yang menjadi gurunya. "Biarpun tidak sesakti
gadis ini, akan tetapi dia pun amat lihai!"
Koksu memberi isyarat
dengan gerak kepala dan pandang mata kepada dua orang jagonya yang lain
setelah melihat dua orang jagonya yang pertama keok dan kini dengan muka
merah kembali ke kursi masing-masing. Dua orang jagonya yang lebih
tinggi tingkatnya itu adalah dua orang pendeta yang aneh. Yang seorang
berpakaian jubah pendeta dengan rambut dipelihara panjang riap-riapan,
jubahnya berwarna hitam dan sikapnya angkuh sekali, seolah-olah dia
memandang semua orang dan keadaan di sekitarnya itu kecil tiada arti.
Usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih namun gerakannya ketika ia
bangkit dari kursinya membayangkan kegesitan melebihi seorang muda.
Adapun orang ke dua, berjubah kuning seperti seorang tosu, mukanya
kelihatan sabar dan sikapnya tenang, namun sinar matanya membayangkan
kecerdikan, usianya sudah mendekati lima puluh tahun.
"Khu-lihiap,
minggirlah. Mana ada aturan orang-orang gagah mengeroyok seorang wanita
muda? Biarlah aku yang menghadapi orang-orang berjubah pendeta ini, tua
sama tua!" Coa Leng Bu berseru dan melangkah maju.
"Satu lawan satu!"
terdengar Bu-koksu berteriak dan agaknya orang berpangkat tinggi itu
mulai gembira sekali akan menyaksikan jago-jagonya bertanding. Mendengar
perintah ini, tosu baju kuning berkata kepada kawannya,
"Biarlah
pinto menghadapi petani kotor itu!" Kawannya yang berambut panjang
tertawa mengejek dan melangkah mundur, berdiri di pinggiran seperti
halnya Siauw Bwee yang menuruti permintaan supeknya.
Kini dua orang
itu saling berhadapan tidak segera saling serang karena mereka saling
pandang dengan sinar mata tajam, seolah-olah hendak mengukur tingkat
lawan dengan pandang mata, dan hendak saling mengenal siapa yang menjadi
lawannya.
"Majulah, petani busuk!" Tosu itu membentak dan sudah siap
dengan pasangan kuda-kuda kakinya. Karena dia melihat lawannya yang
berpakaian sederhana itu bertangan kosong, maka tosu ini pun tidak mau
mengeluarkan senjatanya, namun diam-diam ia membuka gulungan ujung
lengan bajunya sehingga menjadi longgar dan panjang karena kedua ujung
lengan bajunya itu baginya merupakan senjata yang cukup ampuh.
"Taijin,
kami datang bukan untuk bertanding, akan tetapi kalau Taijin memaksa
dan menghendaki kami memperlihatkan kepandaian, apa boleh buat!" kata
Coa Leng Bu dengan suara tenang.
"Tak perlu mencari muka, sambut
tanganku!" Tosu itu membentak dan tubuhnya sudah menerjang maju, kepalan
tangan kirinya menampar muka lawan, disusul dengan tusukan jari tangan
kiri ke arah perut.
"Plak-plakk!" Coa Leng Bu menangkis dengan
gerakan tangkas dan kuat sehingga kedua tangan lawan itu terpental,
kemudian ia melangkahkan kaki telanjang ke depan, langsung menggunakan
tangan kirinya yang menangkis tadi untuk balas memukul dada lawan dengan
telapak tangan terbuka. Tosu itu tadi sudah terkejut sekali karena
mendapat kenyataan betapa tangkisan lawan yang dipandang rendah sebagai
petani busuk itu ternyata mengandung sin-kang yang amat hebat dan yang
membuat kedua lengannya tergetar. Maka kini dia tidak berani memandang
rendah, ketika dorongan telapak tangan lawan tiba, ia cepat mengelak dan
balas menyerang mengandalkan kecepatan ilmu silatnya. Coa Leng Bu
menghadapi lawan dengan sikap tenang karena ia maklum bahwa dia akan
mampu mengalahkan lawan ini, hanya dia harus dapat menang tanpa membunuh
lawan.
Siauw Bwee yang merasa lega karena dalam beberapa gebrakan
saja dia pun maklum bahwa supeknya itu tidak akan kalah, kini
mencurahkan perhatiannya kepada Kam Han Ki yang masih duduk termenung di
jendela. Dia terheran-heran dan hatinya gelisah bukan main. Tidak
mungkin kalau suhengnya sengaja bersikap seperti itu! Dia sudah mengenal
betul suhengnya, sudah bertahun-tahun tinggal bersama suhengnya di
Pulau Es. Suhengnya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, seorang
laki-laki sejati, seorang yang berhati mulia. Andaikata suhengnya itu
marah kepadanya sekalipun karena dia melarikan diri dari Pulau Es, tidak
mungkin sekarang suhengnya mengambil sikap seperti tidak kenal padanya.
Ah, tidak mungkin! Pasti terjadi sesuatu yang amat hebat atas diri
suhengnya dan agaknya hanya koksu itu saja yang mengetahuinya!
Dugaan
yang dikhawatirkan Siauw Bwee memang benar. Laki-laki itu bukan lain
adalah Kam Han Ki. Mengapa ia bersikap seperti itu dan seperti tidak
mempedulikan keadaan sekelilingnya dan hanya ada reaksi kalau ditegur
oleh Koksu? Hal ini sebetulnya sudah terjadi sejak beberapa bulan yang
lalu dan untuk mengetahui sebab-sebabnya marilah kita mengikuti
pengalaman Kam Han Ki semenjak dia menderita siksa batin melihat bekas
kekasihnya, Puteri Sung Hong Kwi, meninggal dunia dalam keadaan
sengsara. Seperti telah diketahui, tekanan batin membuat Han Ki menjadi
seperti gila dan dia mengamuk dan menyebar maut pada pasukan-pasukan
Mancu yang dianggap sebagai biang keladi kematian bekas kekasihnya itu.
Kemudian ia mengalami pukulan batin ke dua ketika dalam pasukan Mancu
itu dia berjumpa dengan dua orang murid Mutiara Hitam, bahkan makin
hebat lagi pukulan batin ini ketika ia bertemu dengan sumoinya, Maya
sebagai seorang Panglima Mancu! Hatinya berduka sekali karena dia tidak
berhasil membujuk Maya untuk meninggalkan kedudukannya sebagai Panglima
Mancu. Memang benar bahwa dia dapat menyelami isi hati Maya yang karena
kematian orang tuanya, Raja dan Ratu Khitan, menaruh dendam yang hebat
terhadap Kerajaan Yucen dan Kerajaan Sung, dan bahwa tindakannya menjadi
Panglima Mancu semata-mata untuk dapat membalas dendam itu. Akan
tetapi, sakit hatinya kalau dia memikirkan betapa sumoinya yang tadinya
hidup tenang dan tenteram jauh daripada segala keruwetan dunia, apalagi
perang besar, bersama dia dan Siauw Bwee di Istana Pulau Es, kini
menjadi seorang panglima perang!
Harapan satu-satunya hanyalah Siauw
Bwee. Kalau dia dapat bertemu dengan sumoinya yang ke dua itu, agaknya
mereka berdua akan mampu membujuk Maya. Dia pun masih bingung sekali
mendengar jawaban Maya yang terang-terangan menyatakan cinta kasihnya
kepadanya, tanpa mau dibagi dengan orang lain! Maya hanya suka ikut
dengan dia kembali ke Istana Pulau Es, meninggalkan semua urusan
duniawi, akan tetapi harus hanya mereka berdua, tanpa Siauw Bwee!
Betapa
mungkin dia memenuhi permintaan itu? Betapa mungkin dia mendapatkan
Maya dengan membuang Siauw Bwee? Dia mencinta kedua orang sumoinya itu,
mencinta dengan kasih sayang besar, seperti seorang saudara tua, bahkan
seperti pengganti guru dan orang tua! Memang, kadang-kadang dia merasa
bahwa ada cinta kasih yang lain dari itu, seperti cinta kasihnya
terhadap mendiang Sung Hong Kwi, cinta kasih yang membuat ia rindu akan
kemesraan dengan wanita, akan tetapi dia sendiri tidak jatuh cinta
kepada keduanya sebagai pengganti Sung Hong Kwi! Ah, dia tidak berani
membayangkan hal ini yang dianggapnya terlalu jahat!
Karena tidak
dapat memenuhi permintaan Maya, maka sumoinya itu pergi membawa
pasukannya dan dia sendiri tidak tahu harus mencari Siauw Bwee ke mana?
Kemudian timbul keinginan hatinya untuk mencari kedua orang encinya,
kedua orang kakak kandungnya yang semenjak dia dibawa pergi gurunya, Bu
Kek Siansu, belum pernah ia jumpai. Maka pergilah Han Ki ke pegunungan
Ta-liang-san, di mana ia dahulu mendengar bahwa kedua orang encinya itu
belajar ilmu di bawah pimpinan paman kakek mereka sendiri, yaitu Kauw
Bian Cinjin.
Dengan penuh harapan untuk dapat bertemu dengan kedua
orang encinya, Han Ki melakukan perjalanan cepat ke Ta-liang-san,
luka-lukanya yang ia derita ketika mengamuk barisan Mancu hanyalah luka
luar yang biarpun banyak akan tetapi ringan saja, maka sambil melakukan
perjalanan dia mengobati luka-lukanya dan ketika tiba di Ta-liang-san,
ia sudah sembuh sama sekali, akan tetapi batinnya tetap tertindih penuh
duka dan kecewa. Betapapun ia berusaha melupakannya, selalu wajah Hong
Kwi yang telah meninggal dan wajah Maya yang tidak mau ikut dengannya
menggodanya dan setiap kali teringat kepada Hong Kwi, Maya dan juga
Siauw Bwee yang belum dapat ditemukannya itu, jantungnya seperti ditusuk
karena duka dan kecewa.
Dapat dibayangkan betapa terkejut hatinya
ketika di lereng pegunungan itu, seorang petani menjawab pertanyaannya
tentang tokoh-tokoh Beng-kauw, "Di puncak sana sudah tidak ada orang
lagi, yang ada hanya kuburan-kuburan!"
Mendengar ini, Han Ki cepat
berlari mendaki puncak dan tak lama kemudian ia berdiri termangu-mangu
di depan pondok yang sudah rusak dan di depan sebaris kuburan yang tidak
terawat lagi. Dengan hati kosong ia melihat nama tokoh-tokoh Beng-kauw
di situ, dan di antaranya terdapat nama Kauw Bian Cinjin! Ia menjatuhkan
diri berlutut di depan kuburan paman kakeknya dan membayangkan wajah
paman kakek ini yang dulu pernah dilihatnya di waktu ia masih kecil.
Kemudian ia meneliti dan memeriksa dengan hati tidak karuan mencari
kuburan kedua encinya. Akan tetapi harapannya timbul kembali ketika ia
tidak melihat nama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui di antara mereka yang
terkubur di situ. Kenyataan ini membesarkan hatinya karena berarti
bahwa kedua orang encinya itu tidak ikut mati! Semua kuburan, di bawah
nama masing-masing yang terkubur terdapat tulisan "Gugur dalam
mempertahankan Beng-kauw". Dia makin bingung karena tidak tahu apakah
yang telah terjadi dengan Beng-kauw? Ia teringat akan petani tadi, maka
kini tanpa mempedulikan kelelahan tubuhnya ia lari lagi menuruni puncak
untuk mencari petani tadi.
"Paman, mohon tanya di mana adanya kedua
orang wanita yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, yang dahulu
tinggal di puncak bersama Kakek Kauw Bian Cinjin?"
Kakek petani itu
menghela napas panjang sebelum menjawab. "Kaumaksudkan Ji-wi
Kam-kouwnio? Aihhhh.... sungguh kasihan mereka. Bagaimana aku tahu di
mana mereka itu berada? Semenjak Beng-kauw jatuh ke tangan orang lain,
kedua orang kouwnio itu sajalah yang masih hidup, lalu mereka pergi
entah ke mana...." Suara orang itu penuh duka dan keharuan. "Aihh,
mereka sungguh orang-orang yang amat mulia, sungguh aku heran sekali
mengapa kadang-kadang Thian tidak memberkahi orang-orang yang baik
hati?"
"Paman, siapakah yang telah menjatuhkan Beng-kauw? Dan di mana sekarang pusat Beng-kauw?"
Kini petani memandang Han Ki penuh kecurigaan. "Engkau ini siapakah, orang muda? Aku mana tahu tentang Beng-kauw?"
Kam Han Ki yang maklum bahwa orang ini mencurigainya, cepat mengaku terus terang.
"Namaku Kam Han Ki, adapun kedua orang Kam-kouwnio itu adalah enciku."
Tiba-tiba
petani itu menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis, Han
Ki cepat membangunkan orang itu yang segera menyusut air matanya dan
bercerita,
"Saya dahulu juga seorang anggauta Beng-kauw. Ketika itu
muncul seorang bernama Hoat Bhok Lama yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Dialah orangnya yang menjatuhkan Beng-kauw, merobohkan semua
tokoh-tokohnya kecuali kedua Kam-kouwnio yang berhasil melarikan diri.
Anak buah Beng-kauw dipaksa untuk menjadi pengikutnya, dan hanya
beberapa orang saja termasuk saya sendiri yang dapat melarikan diri
karena tidak sudi menjadi anggauta Beng-kauw baru yang dipimpin oleh
pendeta Lama itu. Ji-wi Kam-kouwnio dan beberapa orang anggauta yang
setia menguburkan semua jenazah di puncak itu, kemudian berkali-kali
kami mencoba untuk membalas dendam dan merampas kembali Beng-kauw.
Namun, pendeta Lama itu terlalu lihai sehingga makin banyak korban.
Akhirnya Ji-wi Kouw-nio pergi entah ke mana, mungkin mencari bala
bantuan dan habislah riwayat Beng-kauw yang sejati. Beng-kauw yang
sekarang berpusat di pegunungan Heng-toan-san adalah Beng-kauw palsu
yang dipimpin oleh Hoat Bhok Lama."
Han Ki menjadi makin berduka,
akan tetapi juga marah sekali. "Terima kasih, Paman. Sekarang juga aku
akan mencari Hoat Bhok Lama dan menghancurkan kepala penjahat berkedok
pendeta itu!" Sekali berkelebat Han Ki lenyap dari depan petani itu yang
melongo dan mencari dengan pandang matanya. Ketika tidak dapat
menemukan bayangan Han Ki, dia lalu berlutut dan mengangkat kedua tangan
ke atas.
"Terima kasih kepada Thian yang agaknya menurunkan cahaya terang untuk mengusir kegelapan ini. Semoga dia berhasil!"
Tanpa
mempedulikan kelelahan, Han Ki terus langsung menuju ke Heng-toan-san,
melakukan perjalanan cepat siang malam dengan hati penuh kemarahan. Ia
mengambil keputusan untuk membasmi Hoat Bhok Lama dan kaki tangannya,
membebaskan para anggauta Beng-kauw dan baru kemudian mencari kedua
orang encinya yang tidak ada kabar beritanya lagi, biarpun di sepanjang
jalan ia bertanya-tanya orang. Agaknya penduduk di sepanjang jalan
sungkan untuk bicara sesuatu yang menyangkut Beng-kauw yang kini berubah
menjadi perkumpulan agama yang ditakuti orang.
Akan tetapi ketika
Han Ki akhirnya tiba di puncak Heng-toan-san, di lembah Sungai Cin-sha
yang dahulu menjadi markas besar Beng-kauw yang dipimpin oleh Hoat Bhok
Lama, kembali ia mendapatkan tempat yang amat sunyi, hanya tinggal
bekas-bekasnya saja, yaitu bangunan-bangunan yang sudah tak terawat.
Beberapa orang yang masih tinggal di situ hidup sebagai petani dan
kepada mereka inilah Han Ki bertanya.
"Saudara sekalian, harap suka memberi keterangan kepadaku, di mana aku dapat bertemu dengan Hoat Bhok Lama?"
Begitu
Han Ki mengucapkan kata-kata pertanyaan ini, enam orang petani itu
langsung menyerangnya dengan cangkul mereka. Gerakan mereka gesit dan
kuat, tanda bahwa mereka bukanlah petani-petani biasa, melainkan
orang-orang yang pandai ilmu silat.
Tentu saja Han Ki terkejut bukan
main, akan tetapi begitu tubuhnya bergerak cepat, enam orang itu semua
terlempar kembali ke tengah sawah dan terbanting ke dalam lumpur! Untung
bagi mereka bahwa Han Ki tidak menggunakan seluruh tenaga sin-kangnya
karena Han Ki masih meragukan apakah mereka ini kaki tangan Hoat Bhok
Lama yang dicarinya. Kalau dia sudah yakin bahwa mereka adalah kaki
tangan pendeta Lama itu, tentu mereka berenam itu sekarang sudah tidak
dapat bangkit lagi dan tewas seketika!
"Hemm, mengapa kalian menyerangku? Apakah kalian ini kaki tangan Hoat Bhok Lama yang jahat?"
Mendengar
ucapan itu, enam orang yang sudah bangkit kembali itu tiba-tiba merubah
sikap. Mereka keluar dari lumpur dan melempar cangkul, kemudian
menghadapi Han Ki sambil memandang penuh perhatian. Seorang di antara
mereka bertanya.
"Maaf...., apakah Taihiap yang gagah perkasa ini bukan sahabat mendiang Hoat Bhok Lama?"
"Sahabatnya? Dan apa kaubilang? Mendiang? Jadi manusia iblis itu sudah mati?"
Enam
orang itu menarik napas lega. "Uihh, kiranya Taihiap bukan sahabatnya.
Maafkanlah kami karena tadi kami menyangka bahwa Taihiap adalah seorang
sahabatnya, maka kami segera menyerang. Memang dia sudah tewas, juga
semua kaki tangannya, Taihiap. Kami bersyukur sekali, dan sebelum kami
melanjutkan cerita, bolehkah kami mengetahui siapa Taihiap ini? Apakah
masih sahabat Suma-taihiap, atau Im-yang Seng-cu, dan kenalkah Taihiap
kepada Bu-tek Lo-jin?"
Han Ki sudah mendengat nama besar Im-yang
Seng-cu tokoh Hoa-san-pai itu, dan nama besar Bu-tek Lo-jin tentu saja
sudah didengarnya. Hanya sebutan Suma-taihiap itu membuat ia terkejut
karena dia tidak tahu siapa sedangkan she-nya mengingatkan dia akan
keluarga Suma yang jahat sekali.
"Namaku Kam Han Ki, dan aku mencari kedua orang enciku, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui."
"Ahhhhh....,
mengapa Taihiap datang terlambat....?" Enam orang itu mengeluh dan
tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut di depan Han Ki dan menangis!
Persis seperti yang dilakukan petani bekas anggauta Beng-kauw di
Tai-hang-san itu.
"Bangkitlah, jangan seperti anak kecil. Kalau Hoat
Bhok Lama sudah tewas, demikian pula kaki tangannya, bukankah kalian
seharusnya bersuka, mengapa sekarang menangis?"
Orang tertua dari
mereka berkata, "Kami adalah bekas anggauta-anggauta Beng-kauw yang
dipaksa menjadi anak buah Hoat Bhok Lama. Setelah Hoat Bhok Lama dan
kaki tangannya dibasmi oleh Bu-tek Lo-jin dibantu oleh Suma-taihiap dan
Im-yang Seng-cu, kami berenam tinggal di sini, sedangkan saudara-saudara
lainnya kembali ke Nan-cao untuk membangun kembali Beng-kauw yang
berantakan oleh perbuatan Hoat Bhok Lama. Akan tetapi.... ah....
Taihiap.... kedua orang kouwnio yang kami hormati dan cinta itu,
mereka.... mereka telah menjadi korban dan tewas...."
Seketika pucat
wajah Kan Ki, napasnya terasa sesak. Pukulan terakhir ini benar-benar
amat hebat baginya, hampir saja dia roboh pingsan kalau dia tidak
mengeraskan hatinya. Dengan bibir gemetar dia berkata singkat,
"Ceritakan....!"
Orang tertua itu lalu menceritakan semua peristiwa
yang terjadi di situ hampir dua bulan yang lalu. Han Ki mendengarkan
dengan penuh perhatian dan ia berduka sekali ketika mendengar betapa
kedua orang encinya terjebak dan terpendam di bawah tumpukan batu-batu
gunung.
"Di mana mereka terpendam? Lekas tunjukkan kepadaku!"
Enam
orang itu lalu menuju ke bukit di mana dahulu kedua orang wanita itu
teruruk oleh batu-batu yang amat banyak. Ketika Han Ki tiba di depan
gundukan batu seanak gunung itu, tak tertahankan lagi air matanya
bercucuran. "Pergilah kalian, jangan ganggu aku!" bentaknya dan enam
orang itu cepat menyingkir, saling pandang dan mereka kasihan sekali,
ketika dari jauh mereka melihat Han Ki mulai membongkari batu-batu itu,
mereka menggeleng-geleng kepala dan mengira bahwa orang itu menjadi gila
saking duka. Akan tetapi maklum bahwa Han Ki amat lihai, mereka tidak
berani mendekat, lalu kembali ke sawah mereka dan melanjutkan pekerjaan
mereka.
Memang Han Ki seperti menjadi gila saking hebatnya
penderitaan batin yang menghimpitnya. Ia mengerahkan seluruh tenaganya,
membongkari batu-batu itu dan orang akan terbelalak kagum dan
terheran-heran menyaksikan betapa ia melempar-lemparkan batu-batu besar
ke dalam jurang seolah-olah batu sebesar kerbau itu hanya merupakan
sebongkah kapas yang ringan saja. Hal ini tidak mengherankan karena
dalam duka dan marahnya Han Ki telah mengerahkan seluruh tenaga
sin-kangnya.
Saking tekunnya membongkar batu dan mengerahkan seluruh
sin-kang, Han Ki tidak tahu betapa dari jauh terdapat beberapa pasang
mata memandang ke arahnya dengan terbelalak dan penuh kekaguman. Juga ia
tidak tahu betapa enam orang tadi kini telah menggeletak di tengah
sawah dalam keadaan mati semua! Dia terus membongkar batu-batu yang
merupakan tumpukan sebesar anak gunung itu dan menjelang senja, habislah
batu-batu itu dibongkarnya, tenaganya hampir habis dan dengan tubuh
lemas ia berlutut memandang dua buah kerangka manusia yang masih
berpakaian. Jelas pakaian dua orang wanita, dua orang encinya!
"Aduh,
Kui-cici...., Hui-cici....!" Ia menangis memeluk dua kerangka manusia
itu, kemudian ia mengumpulkan kerangka itu, memondongnya dan
membungkusnya dalam pakaian mereka, kemudian menggali lobang tak jauh
dari situ dan mengubur dua kerangka itu menjadi dua gundukan tanah.
Dengan pengerahan tenaga terakhir ia berhasil menggores-gores dua buah
batu sebagai batu nisan, menuliskan nama kedua orang encinya dengan
goresan jari, kemudian menancapkan batu nisan itu di depan dua kuburan
dan ia menangis tersedu-sedu sampai akhirnya ia roboh terguling dalam
keadaan pingsan!
"Cepat! Dia pingsan, kita dapat turun tangan
sekarang! Jangan sampai dia keburu siuman!" Terdengar orang berkata dan
muncullah beberapa orang yang sejak tadi mengintai setelah mereka
mendengar penuturan enam orang bekas anggauta Beng-kauw kemudian
membunuh mereka begitu saja. Orang-orang ini adalah Coa Sin Cu yaitu
Coa-bengcu yang bermarkas di Pantai Po-hai, isterinya yang cantik
bernama Liem Cun, Pat-jiu Sin-kauw, dan Thian Ek Cinjin. Kedatangan
mereka adalah atas usul Pat-jiu Sin-kauw yang masih terhitung adik
seperguruan Hoat Bhok Lama, yaitu murid Thai-lek Kauw-ong. Pat-jiu
Sin-kauw yang tahu bahwa suhengnya telah merampas Beng-kauw, mengusulkan
kepada Coa Sin Cu untuk mengadakan hubungan dengan suhengnya agar
kedudukan mereka menjadi makin kuat. Kunjungan ke situ selain disertai
ketua Pantai Po-hai itu dan isterinya, juga turut pula Thian Ek Cinjin,
tosu pembantu Coa Sin Cu.
Untung sekali bahwa mereka tadi tidak
berjumpa dengan Han Ki, melainkan dengan enam orang petani yang mengira
bahwa mereka adalah sahabat-sahabat Kam Han Ki, maka tanpa curiga mereka
menceritakan keadaan Beng-kauw yang sudah hancur, tentang kematian Hoat
Bhok Lama dan tentang kedatangan Han Ki membongkar batu segunung yang
mengubur dua orang encinya. Mendengar nama Han Ki, mereka terkejut
karena nama Han Ki sudah amat terkenal sebagai adik Menteri Kam yang
sakti. Mereka lalu membunuh enam orang bekas anggauta Beng-kauw itu,
kemudian diam-diam mereka mengintai dan menyaksikan dengan penuh takjub
betapa pendekar itu membongkar batu-batu besar.
Ucapan Pat-jiu
Sin-kauw tadi memang benar. Biarpun Han Ki hampir kehabisan tenaga
membongkar batu-batu tadi, kalau saja dia tidak pingsan, belum tentu
enam orang itu akan mampu menandinginya. Kini empat orang itu
berlompatan mendekati tubuh Han Ki yang pingsan tak bergerak, kelihatan
mereka masih takut-takut kemudian Pat-jiu Sin-kauw hendak menotok tubuh
yang pingsan itu.
"Jangan!" Tiba-tiba Liem Cun, isteri Coa Sin Cu,
mencegah. "Orang dengan kesaktian seperti dia ini, siapa tahu tidak akan
terpengaruh kalau ditotok. Aku mempunyai akal yang lebih aman bagi
kita." Nyonya yang cantik dan cerdik, bekas murid Hoa-san-pai yang
murtad itu mengeluarkan sebuah bungkusan merah, mengeluarkan seguci
arak, kemudian menuangkan arak ke dalam cawan. Setelah itu, bungkusan
dibuka dan dia menjumput sedikit bubuk merah yang ia masukkan ke dalam
cawan.
"Buka mulutnya, paksa obat ini masuk ke perutnya!" katanya.
Melihat Pat-jiu Sin-kauw dan Thian Ek Cinjin ragu-ragu, Coa Sin Cu tertawa.
"Ha-ha,
percayalah akan kemanjuran racun isteriku itu. Biar dia dewa sekalipun,
kalau minum racun ini dalam waktu sehari semalam dia akan pingsan
terus!"
Mulut Han Ki yang sedang pingsan itu dibuka dan arak itu
dituangkan ke dalam mulutnya. Karena masuknya arak ini ke perut dan
menyumbat tenggorokan, Han Ki siuman dari pingsannya. Ia meronta dan
melompat bangun sehingga empat orang itu terlempar ke kanan kiri, akan
tetapi Han Ki terhuyung-huyung dan jatuh lagi, pingsan untuk kedua
kalinya, akan tetapi kali ini karena pengaruh racun yang dipaksa
memasuki perutnya.
"Hebat, dia lihai bukan main!" Pat-jiu Sin-kauw mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor karena dia tadi terlempar jatuh.
"Mengapa
tidak dibunuh saja orang yang berbahaya ini?" Thian Ek Cinjin berkata
sambil mengerutkan alisnya, merasa ngeri menyaksikan kesaktian pendekar
itu.
"Ah, dia tepat sekali bagi kita," kata Coa Sin Cu. "Dia inilah
yang akan menjadi pembuka jalan, menjadi kunci ke dalam gedung Bu-koksu.
Kalau Pat-jiu Sin-kauw dan Totiang berdua datang menghadap Bu-koksu
seperti yang kita rencanakan, menghadap begitu saja, aku masih khawatir
kalau-kalau Koksu menjadi curiga dan tidak mau menerima bantuan kalian.
Akan tetapi kalau kalian membawa Kam Han Ki sebagai tawanan, tentu dia
percaya karena orang ini adalah seorang buruan, musuh pemerintah. Begitu
muncul kalian membawa tangkapan yang penting ini, berarti telah membuat
jasa besar. Tentu Bu-koksu akan menerima kalian sebagai pengawal dan
kalau sudah begitu akan lancarlah usaha kita. Pek-mau Seng-jin, koksu
dari Yucen tentu akan girang sekali mendengar bahwa kalian sudah
berhasil menyelundup ke sana dan menduduki jabatan penting!"
Dua
orang kakek itu mengangguk-angguk dan berangkatlah mereka berdua membawa
Han Ki yang pingsan, dan membawa pula bekal obat merah Liem Cun. Setiap
sehari semalam, mereka mencekokkan obat merah dan arak ke dalam perut
Han Ki sehingga pendekar ini berada dalam keadaan pingsan terus-menerus
selama sepuluh hari!
Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Coa Sin
Cu, Bu Kok Tai, koksu negara itu menjadi girang sekali ketika menerima
dua orang pendeta yang membawa Han Ki sebagai tangkapan itu. Otomatis
keduanya diterima dan diangkat menjadi pengawal, akan tetapi koksu yang
cerdik itu tidak membunuh Han Ki atau menyerahkan kepada pengadilan kota
raja untuk diadili. Tidak, koksu ini terlalu cerdik untuk membunuh Han
Ki begitu saja. Dia sudah mendengar akan kelihaian pendekar ini, bahkan
sudah mendengar akan sepak terjang Han Ki ketika membasmi ribuan orang
tentara Mancu, dan tahulah dia bahwa amat sukar mencari seorang yang
memiliki ilmu kepandaian seperti Kam Han Ki. Alangkah akan kuat
kedudukannya, terjamin keamanannya, kalau dia dapat memiliki seorang
pengawal seperti ini! Apalagi kalau dipikir bahwa dia dapat memetik
ilmu-ilmu kesaktian dari pendekar ini. Akan tetapi tentu saja tidak
mungkin membujuk pendekar ini untuk menjadi pengawalnya. Bu Kok Tai
tidak kekurangan akal. Dia, di samping ilmunya yang tinggi, juga sudah
lama tinggal di daerah Himalaya dan dia mempunyai bubuk racun dari
Himalaya, buatan seorang pendeta aliran hitam, yang disebut
I-hun-tok-san. Bubuk beracun ini dapat dicampurkan dengan makanan atau
minuman, dan siapa yang meminumnya akan kehilangan ingatannya dan
seperti dalam keadaan dihypnotis, menurut segala perintah orang yang
menguasainya pada pertama kali.
Demikianlah, dengan menggunakan
I-hun-tok-san ini, Bu-koksu memberi minuman racun ini kepada Han Ki,
selama tiga hari berturut-turut. Ketika sadar, Han Ki mendapatkan
dirinya di sebuah kamar yang amat bagus dan di dekat pembaringannya
duduk Bu-koksu yang dengan ramah-ramah memberitahukan bahwa koksu itu
menolongnya dari keadaan pingsan dan hampir mati.
Han Ki adalah
seorang yang memiliki dasar watak pendekar budiman. Seorang pendekar
tidak pernah melepas budi, akan tetapi selalu ingat akan budi orang
lain, maka biarpun ingatannya samar-samar dan ia sudah lupa mengapa dia
pingsan di bukit dan hampir mati, kenyataannya bahwa dia berada di situ
dan terawat baik membuat ia tidak meragukan lagi akan pertolongan orang
lain, maka dia menghaturkan terima kasih. Demikianlah, dengan amat
pandai Bu-koksu mengambil hati Han Ki yang kehilangan ingatannya, bahkan
memanggil taihiap dan menganggapnya sebagai seorang adik sendiri. Han
Ki disuruh menyebutnya Bu-loheng (Kakak Tua Bu), sebuah sebutan yang
amat langka bagi orang lain dan semenjak itu, Han Ki menjadi pengawal
Bu-koksu yang amat setia.
Namun, ada hal yang mengecewakan hati
Bu-koksu. Biarpun Han Ki tidak kehilangan ilmu kepandaiannya yang sudah
mendarah daging dan tidak membutuhkan ingatan lagi, namun pemuda itu
sama sekali tidak dapat mengajarkan ilmu silat karena pemuda itu sudah
lupa sama sekali akan teori ilmu silatnya! Sebetulnya, agak janggal
menyebut Han Ki yang sudah berusia tiga puluh lima tahun itu sebagai
pemuda, akan tetapi karena dia memang belum menikah dan wajahnya masih
kelihatan seperti seorang berusia dua puluh lima tahun, dia masih patut
disebut pemuda!
Hal lain lagi yang aneh adalah bahwa Han Ki dalam
keadaan tidak sadar itu tidak pernah mau mempedulikan urusan lain,
bahkan tidak tahu akan sopan-santun dan segala peraturan lain. Hanya
ucapan Bu-koksu seoranglah yang ditaatinya dan biarpun tanpa diminta,
kalau melihat koksu itu diganggu orang, tentu dia akan turun tangan
melindungi. Seperti keadaan seekor anjing yang terlatih dan amat setia!
Marilah
kita kembali ke dalam ruangan kepala daerah, yang tadinya menjadi
tempat pesta pertemuan dan kini menjadi medan pertandingan menguji
kepandaian itu. Han Ki melenggut di atas langkan jendela, tidak
mempedulikan keadaan sekelilingnya. Karena Koksu tidak memberi perintah
apa-apa, dan juga tidak ada bahaya mengancam Koksu, maka Han Ki
bertopang dagu lagi dengan pikiran kosong!
Seperti telah diduga Siauw
Bwee, pertandingan antara Coa Leng Bu melawan tosu yang bukan lain
adalah Thian Ek Cinjin itu tidak berjalan terlalu lama dan kini supeknya
telah dapat mendesak lawannya sehingga selalu mundur. Ketika tangan
Thian Ek Cinjin terpental bertemu dengan tangan Coa Leng Bu dan
kedudukan kakinya tergeser, Coa Leng Bu cepat menerjang dan melakukan
tiga kali pukulan tangan kosong berturut-turut. Thian Ek Cinjin berusaha
mengelak dan menangkis, namun kalah cepat dan pundak kirinya kena
terpukul telapak tangan Coa Leng Bu. Ia terjengkang dan roboh, meringis
kesakitan akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya
memegang sebatang pedang tipis. Coa Leng Bu adalah seorang tokoh yang
sudah berpengalaman. Dia tidak khawatir menghadapi lawan yang
bersenjata, akan tetapi karena dia tidak ingin kesalahan tangan
melakukan pembunuhan, maka ia mendahului, selagi lawan meloncat bangun,
cepat ia menggerakkan tangan memukul dengan sin-kang jarak jauh. Thian
Ek Cinjin tiba-tiba merasa dadanya dingin sekali, tangannya menggigil
dan ia tidak mampu mempertahankan lagi ketika pedangnya dirampas oleh
lawannya!
"Kurasa sudah cukup Totiang!" kata Coa Leng Bu sambil
melontarkan pedang itu ke arah pemiliknya. Thian Ek Cinjin marah sekali,
menyambar pedangnya dan hendak meloncat maju lagi. Betapa dia tidak
marah kalau di depan Koksu dia dikalahkan orang seperti itu?
"Mundurlah, Cinjin, biar aku yang melawannya!"
Bentakan
ini keluar dari mulut Pat-jiu Sin-kauw yang juga marah melihat kawannya
keok. Karena dia maklum bahwa petani tak bersepatu itu cukup lihai,
maka begitu menyerang ia sudah mainkan Soan-hong-sin-ciang, tubuhnya
berputar seperti gasing dan angin yang keras bertiup ke arah Coa Leng
Bu! Kakek ini terkejut sekali, terpaksa kini ia mengeluarkan ilmu
simpanannya, yaitu Jit-goat-sin-kang. Kedua lengannya melindungi tubuh
sendiri dan kadang-kadang tangannya mendorong ke depan.
"Ihhhh....!
Pat-jiu Sin-kauw berteriak kaget ketika hawa pukulan yang amat panas
menyambarnya dan membuat gerakan berputar menjadi agak kacau. Tahulah
dia bahwa lawannya itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, maka ia
menjadi marah sekali dan menghentikan gerakan tubuhnya berputaran, lalu
kedua lengannya bergerak mendorong atau memukul dari bawah ke arah
lawan. Dari perutnya terdengar bunyi berkokok. Inilah ilmu pukulan
Thai-lek-kang yang mengandung tenaga sin-kang amat dahsyat!
Menghadapi
pukulan-pukulan dahsyat ini, Coa Leng Bu terkejut dan cepat ia pun
mengerahkan Jit-goat-sin-kang, karena hanya dengan tenaga sin-kang ini
sajalah ia akan mampu menghadapi lawannya yang tangguh. Mulailah dua
orang kakek itu bertanding secara hebat sekali, gerakan mereka tidak
cepat sekali namun setiap gerakan tangan yang memukul atau menangkis
mengandung tenaga sin-kang yang kuat sehingga angin menyambar-nyambar di
sekitar ruangan itu dan terdengar suara bersuitan.
Siauw Bwee
memandang kagum. Dia dapat mengukur Jit-goat-sin-kang yang dikuasai
supeknya sekarang. Terasa betapa di ruangan itu hawanya menjadi
berubah-ubah, kadang-kadang panas sekali dan kadang-kadang sejuk dingin.
Itulah pengaruh dari kekuatan Jit-goat-sin-kang. Akan tetapi ia pun
dapat melihat bahwa supeknya bukanlah lawan Pat-jiu Sin-kauw yang lihai
sekali. Biarpun dengan Jit-goat-sin-kang supeknya masih dapat menahan
serangan-serangan Thai-lek-kang, namun ilmu silat supeknya masih kalah
jauh dan begitu pendeta rambut panjang berjubah hitam itu mainkan
Soan-hong Sin-ciang, supeknya terdesak hebat.
Si Sastrawan Ang Hok Ci
berbisik kepada gurunya, memberi tahu bahwa Coa Leng Bu mempergunakan
Jit-goat-sin-kang. Mendengar ini Koksu berkata sambil tertawa!
"Ha-ha-ha, jadi hanya begini sajakah Jit-goat-sin-kang yang terkenal
ini? Kalau hanya begini, mengapa mesti susah payah mendapatkannya?"
Mendengar
ini, tahulah Siauw Bwee bahwa sastrawan Ang itu hanya memenuhi perintah
gurunya untuk mencari kitab peninggalan Bu-tek Lo-jin untuk mempeiajari
Jit-goat-sin-kang. Kini mendengar koksu itu mengejek karena memang
kepandaian dan kekuatan Coa Leng Bu masih kalah tingkatnya oleh Pat-jiu
Sin-kauw, ia merasa mendongkol. Pula, dara perkasa ini maklum bahwa
kalau dilanjutkan, supeknya bisa terluka karena orang macam pendeta
rambut panjang itu mana mempunyai pribadi baik dan dapat dipercaya?
Salah-salah supeknya akan terbunuh!
Tiba-tiba terdengar bentakan Pat-jiu Sin-kauw, "Petani busuk, menggelindinglah engkau!"
Ternyata
setelah mendesak lawannya dengan hebat, pendeta jubah hitam itu
tiba-tiba mengirim serangan hebat dengan Thai-lek-kang yang tak dapat
dielakkan lagi oleh Coa Leng Bu sehingga terpaksa dia menangkis dengan
tangan kanannya sambil mengerahkan Jit-goat-sin-kang. Biarpun tangan
mereka tidak saling sentuh, namun terjadilah pertemuan tenaga sin-kang
yang amat dahsyat dan tubuh Coa Leng Bu menggigil, namun dia tetap
mempertahankan agar tidak sampai roboh karena dia maklum bahwa kalau dia
mengalah dan sampai roboh ia akan celaka di tangan lawannya yang
berhati kejam itu.
"Supek, mundur!" Tiba-tiba Siauw Bwee berseru
nyaring, tubuhnya sudah mencelat ke atas di antara kedua orang yang
mengadu tenaga itu dan tiba-tiba dorongan tangannya dari atas memisahkan
tenaga dua orang yang sedang saling dorong, bahkan tubuh mereka
terjengkang ke belakang. Coa Leng Bu yang maklum bahwa dara sakti itu
hendak menggantikannya, dan tahu bahwa dia bukanlah lawan pendeta jubah
hitam, segera mundur sedangkan Siauw Bwee dengan sikap tenang menghadapi
Pat-jiu Sin-kauw yang sudah meloncat lagi memperbaiki posisinya. Kakek
ini memandang Siauw Bwee dengan mata terbelalak penuh kemarahan, lalu
menegur,
"Kawanmu belum kalah, engkau sudah datang mengeroyok. Aturan mana ini?"
Siauw
Bwee tersenyum mengejek. "Biarpun belum kaurobohkan, Supek sudah
mengaku kalah. Apakah kau belum puas kalau belum melukai atau membunuh?
Anggap saja dia mengalah kepadamu dan marilah kita main-main sebentar
kalau memang kau ingin memamerkan kepandaianmu!"
Pat-jiu Sin-kauw
adalah seorang yang berilmu tinggi. Di depan orang banyak tentu saja dia
merasa direndahkan kalau harus melawan seorang dara remaja, maka ia
membentak nyaring, "Kalau supekmu saja sudah kalah olehku, apalagi
engkau keponakan muridnya. Apakah engkau gila hendak melawanku?"
Siauw
Bwee menoleh ke arah Bu-koksu dan berkata nyaring, "Koksu, begini
sajakah jago-jagomu? Kalau memang takut melawan aku, mengapa mesti
berpura-pura segala? Jagomu ini tidak berani melawanku, harap Koksu suka
mengeluarkan jago yang lebih berani!"
Ejekan ini benar-benar hebat,
membuat muka Pat-jiu Sin-kauw menjadi marah. Sebenarnya dia tidak takut,
hanya merasa segan dan direndahkan kalau harus melawan seorang gadis
remaja. Mukanya menjadi makin merah lagi dan matanya terbelalak marah
ketika terdengar suara Bu-koksu, "Pat-jiu Sin-kauw, apakah engkau takut
menghadapi anak perempuan itu?" Ucapan koksu ini disambut suara kekeh
tawa di sana-sini.
"Bocah setan, engkau sudah bosan hidup! Sambutlah ini!"
Dengan
gerakan cepat sekali Pat-jiu Sin-kauw menggerakkan tangannya menampar
ke arah kepala Siauw Bwee. Dia memandang rendah sehingga tidak
menggunakan Thai-lek-kang, hanya menampar dengan sembarangan saja, namun
sambil mengerahkan sin-kang.
"Plakkk!" Tangan yang besar itu tertangkis oleh tangan yang kecll mungil, dan akibatnya.... tubuh Pat-jiu Sin-kauw terpelanting!
Semua
orang berseru kaget, akan tetapi tidak lebih keras dari seruan Pat-jiu
Sin-kauw sendiri. Ia cepat meloncat dan mukanya menjadi pucat saking
marahnya, diam-diam ia menyalahkan diri sendiri yang memandang ringan
dara ini. Sambil berteriak keras ia kini menyerang lagi dengan Ilmu
Soan-hong-sin-ciang. Tubuhnya berputaran seperti gasing, membawa angin
yang menyambar dan dari bayangan tubuh yang berputaran itu, kedua
tangannya meluncur keluar dan memukul dengan pengerahan tenaga
Thai-lek-kang! Inilah serangan yang amat hebat dan yang tadi membuat Coa
Leng Bu kewalahan. Dengan mengeluarkan dua ilmu ini sekaligus berarti
Pat-jiu Sin-kauw sudah marah sekali dan bermaksud membunuh dara itu.
Semua
orang memandang terbelalak, demikian pula Bu-koksu karena pembesar ini
sudah mengenal kehebatan ilmu jagonya dan diam-diam ia khawatir
kalau-kalau dara yang demikian cantik jelita itu akan celaka dan tewas.
Maka ia memandang dengan mata penuh perhatian tanpa berkejap seperti
juga semua orang yang berada di situ.
Betapa heran hati mereka yang
menonton ketika melihat dara itu sama sekali tidak bergerak dari
tempatnya, hanya berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang, dan hanya
kedua lengannya saja yang bergerak amat cepat sehingga dua lengan itu
seperti berubah menjadi banyak sekali. Anehnya, semua pukulan yang
dilakukan Pat-jiu Sin-kauw itu terpental, bahkan setiap kali kakek itu
memukul dan tertangkis, tubuhnya terdesak mundur sampai dua tiga
langkah! Tidak ada orang yang dapat mengikuti gerak tangannya, bahkan
Koksu sendiri yang lihai juga tidak mengenal gerak tangan itu karena
Siauw Bwee mainkan ilmu gerak tangan kilat dari kaum kaki buntung, dan
sebagai dasar gerakan, tentu saja ia menggunakan sin-kang yang
dilatihnya di Pulau Es dahulu dan yang kini, berkat latihan-latihan dan
ilmu lain yang dipelajarinya, telah menjadi makin kuat itu. Baik gerakan
tangan ilmu silat maupun tenaga sin-kang Pat-jiu Sin-kauw tentu saja
tidak mampu menandingi tingkat Siauw Bwee, maka biarpun dara itu hanya
menangkis saja, semua serangan kakek itu membalik dan terpental ke
belakang.
Pat-jiu Sin-kauw sendiri merasa terkejut dan heran sekali.
Dia tidak tahu bagaimana caranya dara itu menghadapi
serangan-serangannya karena dia pun tidak dapat mengikuti kecepatan
gerak tangan lawan. Hanya kenyataannya, setiap kali dia memukul,
tangannya terpental kembali dan tubuhnya terdorong oleh tenaga raksasa
yang dahsyat. Ia merasa penasaran sekali dan marah, karena kalau dia
tidak dapat mengalahkan seorang dara remaja seperti itu, tentu namanya
akan jatuh dalam pandangan koksu! Maka sambil berseru keras ia menerjang
lagi dengan pengerahan tenaga, siap untuk mengadu tenaga sampai mati!
Akan
tetapi tiba-tiba dara itu lenyap dari depannya. Cepat ia membalik dan
mengayun tangan langsung menyerang setelah pendengarannya, menangkap
gerakan lawan di belakangnya, akan tetapi dia hanya melihat bayangan
berkelebat-kelebat dan selalu lenyap dari pandang matanya. Pat-jiu
Sin-kauw terkejut dan terus mengejar ke mana saja bayangan berkelebat
dengan pukulan-pukulannya, namun semua pukulannya luput dan makin lama
bayangan Siauw Bwee menjadi makin banyak dan makin cepat gerakannya,
membuat kepala Pat-jiu Sin-kauw menjadi pening. Bukan hanya Pat-jiu
Sin-kauw yang pening kepala dan kabur pandangan matanya bahkan semua
orang yang menonton pertandingan itu terbelalak memandang ke depan,
berusaha mengerahkan pandang mata untuk dapat mengikuti gerakan kaki
Siauw Bwee yang kini berkelebatan dan amat cepatnya seperti menghilang
itu. Siauw Bwee telah mainkan ilmu gerak kaki kilat dari kaum lengan
buntung, maka gerakannya benar-benar mujijat dan cepat sekali.
Setelah
menganggap cukup memberi pelajaran kepada kakek yang sombong itu,
tangan kiri Siauw Bwee bergerak menepuk pundak, kaki kanan menyentuh
lutut dan tanpa dapat dipertahankannya lagi, Pat-jiu Sin-kauw jatuh
berlutut di depan Siauw Bwee!
"Aihh, engkau orang tua terlalu
sungkan, mana mungkin aku yang muda berani menerima penghormatan ini?"
Siauw Bwee berkata sambil melangkah mundur,
bersambung 9.........
Rabu, 15 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar