nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk mengorbankan
dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan
Hauw Lam,. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki terhadap dirinya. Mereka itu
menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hatinya terhadap Pangeran
Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini? Kakak
angkatnya, putera angkat ibunya?
Kwi Lan mengguncang-guncang
kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung
dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri
bersama Pangeran Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biarpun terbelenggu,
namun kalau ia berusaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih
mempunyai tenaga simpanan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan
tetapi apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun
kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang
sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua
orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu
Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar? Harapan untuk dapat lolos dari
tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan
lawan yang amat berat. Apalagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin
Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi
Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah
Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu datang membawa banyak tokoh
kai-pang yang sakti!
Ia tidak kaget ketika mendengar pintu
dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Iasudah siap menghadapi
segala macam kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tanpa bangkit, ia
mengangkat muka memandang.
“Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan
membunuh kami? Siiakan! Memang orang macam engkau ini pengecut, mana
berani menghadapi lawan secara jantan?”
Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar. “Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”
“Berikan pedangku dan mari kita bertanding sampai selaksa jurus,
sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah
jantan namanya!”
Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya.
“Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus
bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa
Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka menulis surat membujuk ibunya
untuk membantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebaskan engkau dan dia
juga! Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak
menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya.” Setelah
berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok dengan
jari telunjuknya ke arah tengkuknya. Kwi Lan yang kedua tangannya
terbelenggu, tidak dapat menangkis dan berusaha mengelak, akan tetapi
gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun
menotok pundaknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan
mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan
sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditaburkan di atas
mukanya, ia mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa
lagi, pingsan. Baik Kwi Lan maupun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan
dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu memberi mereka minum anggur yang
dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan anggur ke dalam
mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka belenggu Kwi Lan, Bouw Lek
Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan meninggalkan pesan
kepada para penjaga.
Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari
pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang
menyesakdada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia
menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran karena baru
ia ingat bahwa kedua tangannya kini tidak terbelenggulagi. Ia sudah
bebas dari belenggu. Aneh sekali! Siapa yang membuka belenggunya? Dan
mengapa begini panas?
Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu.
Pemuda itu pun basah oleh keringat. Dadanya yang bidang dan berkulit
halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh
tetesan-tetesan keringat dari tubuh pemuda itu.
Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan, seperti orang merintih. Jantung Kwi Lan terasa tertusuk.
Rasa iba dan cinta menyesak dada. Tanpa ia sadari, ia sudah merangkak
maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu, menggerakkan tangan mengusap
luka-luka di dada dan dahi, luka kecil, darahnya pun sudah mengering.
Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata bertemu pandang, sejenak
bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk.
Entah mengapa,
pandang mata pemuda itu bagi Kwi Lan seperti sinar matahari yang
menyilaukan matanya. Ia menunduk, tersenyum kecil, tak berani
mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya, dadanya, dan pusarnya.
“Sakit sekalikah luka-luka itu....?” tanya Kwi Lan, menjadi heran
sendiri mengapa suaranya begini halus dan mesra, mengapa ia menjadi
begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang pandang mata
pemuda itu.
“Ti....tidak...., Nona....,mengapa kau
menyerah....?” Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini.
Mengapa suara Pangeran Talibu menggetar dan setengah berbisik? Suaranya
yang baginya begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula
hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang menyesak di dada. Ia
mengangkat muka perlahan. Kembali dua pasang mata bertemu pandang dan
bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi. Bagi Kwi Lan, mata
Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih, begitu
halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang
mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin membuang diri ke
dalam pelukan Pangeran itu, membuat ia ingin merapatkan mukanya pada
dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari
tangan Pangeran Talibu dan mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat
telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia
terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi
pening.
“Aku....aku tak mungkin....membiarkan kau....,kau
terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan tubuhnya terasa
lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang
kuat tidak merangkul dan menariknya.
“Nona....“ Suara Pangeran
Talibu tersendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi
Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga
mukanya yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran
Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara
detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi
musik yang merdu, “Nona....,siapakah engkau....? Siapakah namamu....?”
Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat
ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia
tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih,
“....aku....namaku Kam Kwi Lan....”
Tubuh Pangeran Talibu serasa
digetarkan sinar kilat yangmenyambarnya. Tu buh itu seperti kejang,
mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sampai tubuhnya
membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang
manis memabokkan itu sampai jatuh terguling, namun gerak refleks
tubuhnya yang matang membuat ia terloncat bangun dan berdiri.
“Ada apakah....? Mengapa kau....kau....?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.
Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pantas ia merasa kenal betul dengan gadis
ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam.Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!
"Kau.... kau.... Mutiara Hitam....?" bisiknya dengan suara menggetar.
Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk. "Betul. Kau
kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena.... karena.... kita saling
mencinta?"
"Diam....!" Pangeran Talibu membentak. "Jangan bicara tentang itu....!"
Biarpun Kwi Lan merasa sudah tergila-gila kepada pemuda ini, namun dia
seorang gadis yang keras hati. Ia mengerutkan kening dan berkata,
"Apa? Jadi.... kau tadi.... hanya pura-pura.... dan kau tidak cinta
kepadaku?"
"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi.... kau....!"
"Kenapa....?" Tiba-tiba Kwi Lan menaruh telunjuknya di depan bibir,
tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara karena pendengarannya yang
tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding ke
jendela sambil menyentuh telinga sendiri. Pangeran Talibu mengangguk,
maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan mengintai. Ah,
untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara
Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khitan,
tentu keadaan mereka menjadi makin berbahaya. Ia lalu merangkul dan
duduk dekat Kwi Lan.
Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium
bau keringatnya, membuat tubuh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja
menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang
dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu.
Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi
yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinarsinar, hidung yang
kecil mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu
dengan cuping hidung kembang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan
merah basah seakan menantang, dada yang padat dan bergelombang turun
naik seperti minta dipeluk. Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan.
Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang dihadapkan seekor
kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan
tetapi, pengetahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya
bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini
merupakan perisai yang kokoh kuat. Ketika lengannya bersentuhan dengan
lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang
menggetar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan
di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri
sampaiberdarah. Ia terpekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu
berahi dapat tertahan.
Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok.
Memang ia mabok, mabok nafsu berahi yang timbul dari obat pemberian
Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah seorang gadis yang aneh dan sejak kecil
digembleng oleh gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih
ada kesadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya
sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan
dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin mendengar
bisikannya? Mengapa? Andaikata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus
ada perasaan yang seperti memabokkannya ini? Di sudut hatinya yang
masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi
ia tidak tahu apa ketidakwajaran itu dan mengapa. Kini menyaksikan
keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas
memancarkan kasih mesra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi
pemuda itu seperti tersiksa bahkan menggigit bibir sendiri sampai
berdarah.
"Pangeran, kau kenapa? Kita.... kenapa?"
Ketidakwajaran yang makin mendesak dalam kesadarannya membuat ia
mengajukan pertanyaan terakhir itu.
Pertanyaan ini menolong
banyak bagi Pangeran Talibu. "Kwi Lan.... Mutiara Hitam ah, kita
mabok. Tidak wajar ini! Kita keracunan.... begini panas dan begini....
merangsang...."
Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Racun! Biarpun
racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun vang
menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan
berahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena
racun! Teringat akan taburan bubuk wangi yang membuat ia pulas, dan
tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia
bersama Pangeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi
teracun atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia mencinta pemuda ini!
Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di
manapun juga.
"Benar kiranya, Pangeran. Kita terkena racun. Akan tetapi.... apa bedanya? Aku tidak menyesal...."
"Apa? Apa maksudmu?"
"Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku....
aku.... ah, bukan main panas hawanya...." Kwi Lan mengeluh dan
mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu duduk di
sudut dan bersandar pada dinding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian
atas agar agak melonggar untuk mengurangi hawa panas. Gerakan gadis itu
begitu menarik dan manis. Kembali Talibu memejamkan mata dan ia pun
mundur di sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak
sepuluh meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora
berahi yang membakar. Namun siksaan batin ini bagi Pangeran Talibu
tidaklah seberat yang diderita Mutiara Hitam. Pangeran itu memaksakan
kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kembarnya
sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang
bertemu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang.
Menangis karena berduka karena begitu bertemu, mereka berdua menjadi
tawanan dan keselamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi,
semua perasaan ini merupakan penguat batinnya untuk melawan arus berahi
yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.
Hebat memang
pengaruh obat itu. Serangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main
kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sin-kang yang dikerahkannya
untuk melawan hasrat yang dianggapnya gila dan tidak tahumalu. Ia
menjadi lemas karena pengerahan sin-kang ini dipergunakan untuk
menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sendiri.
Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sungguhpun ia mempunyai perisai berupa
pengetahuan bahwa gadis itu adik kembarnya, namun tetap saja
rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan
dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan
tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang
dirasakannya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara
ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata mengejek, "Tuan dan Nyonya
pengantin tentu lapar, silakan makan minum!"
Daun pintu terbuka
dan seorang hwesio jubah merah masuk membawa sebatang lilin merah
besar yang sudah dinyalakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian
meletakkan pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai.
Tanpa berkata apa-apa hwesio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun
pintu. Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia
melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat kuningannya berada di
depan pintu, maka ia mengurungkan niatnya. Belum saatnya untuk turun
tangan, pikirnya.
Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin
berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat
suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana kamar
pengantin!
"Pangeran, apakah yang kaupikirkan?" Kwi Lan akhirnya
bertanya setelah sekian lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk
di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada
turun naik bergelombang.
Talibu membuka mata memandang, mata
yang bersinar-sinar dan ganas penuh nafsu berahi. Mata yang melotot
menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian
luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah.
Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa disadarinya saking hebat
serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu
menjadi makin tersiksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap
dan menelannya bulatbulat!
"Apa yang kaupikirkan? Aku....
aku.... memikirkan.... kematian!" jawab Talibu. Bagi Pangeran ini,
keadaannya merupakan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat
mencinta adik kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu
akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang
ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguhpun
ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok.
Kwi Lan tersenyum
dan kembali Talibu memejamkan mata. Senyum itu demikian manisnya,
seperti ujung golok menusuk jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus
asa benar? Jangan khawatir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik
darah terakhir."
Kembali Talibu membukamatanya. Ia merasa
terharu sekali. Ingin ia meneriakkan bahwa mereka adalah kakak adik
kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan
tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta
murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu
Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia
selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang
berahi sukar dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai,
Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian dengan
berkata gembira.
"Apapun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona!"
Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan
baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati
mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi
mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak
wangi. Talibu kembali tertawa dan berkata.
"Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"
"Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan daripada itu.," jawab
Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu
rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang
demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan
berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa
segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!
Pangeran Talibu
menarik napas panjang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan
adiknya. Mempunyai kekasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia mengerutkan
keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia
sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang
pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi! Teringat akan Mimi, terasalah
betapa aneh dan janggal jalan hidupnya. Puteri Mimi yang semenjak kecil
ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan apa-apanya. Orang lain
dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai pria terhadap
wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa mereka
orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah,
bahkan saudara kembarnya!
"Kalau memang ada racunnya, marilah
kita mati bersama jawabnya kemudian dan mulai makan. Kwi Lan tersenyum
bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata
amat lezat dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk
masakan itu, guci araknya pun menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka
kenyang.
"Ahh.... betapapun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang
yang terlalu pelit. Lezat makanannya...." kata Pangeran Talibu sambil
bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu
berjalan menuju ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang
dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai seluruh tubuhnya, hawa
panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan meledak!
"Pangeran.... !"
Talibu sampai disudut membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah
berada di depannya. Mereka saling pandang tubuh mereka
bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, keduanya
saling tubruk dan saling peluk.
"Mutiaraku....!"
"Talibu, Pangeranku....”
Dekapan makin erat dan muka mereka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan
sudah pasrah bahkan membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu.
Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan seperti isak tertahan,
lalu merenggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari
ke sudut lain.
"Pangeran....!"
"Berhenti! Jangan maju
selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku.... aku akan bunuh
diri....!" Terengah-engah Talibu berteriak.
Kwi Lan sedang
dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat
oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin
hebat. Bouw Lek Couwsu yang mengintai di luar kamar menjadi penasaran
sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga berhasil, maka ia lalu
mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh
racun asmara itu. Melihat kekasihnya melarikan diri dan mengeluarkan
ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi heran, kaget, dan juga kecewa. Ia
melangkah maju sedikit dan serentak menghentikan langkahnya karena
tiba-tiba Pangeran Talibu membenturkan kepalanya pada dinding!
"Ahhh...., jangan.... Pangeran....! Aku aku tidak akan mendekatimu....!" jerit Kwi Lan cemas.
Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau
sampai terjadi pelanggaran susila dengan adik kembarnya sendiri, dapat
mendengar jerit ini dan ia nmenghentikan perbuatannya yang nekat. Dengan
terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu
terlampau cantik, apalagi dibawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk
yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar dan bayangan. Ia
tahu bahwa biarpun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun
keyakinan ini belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak
di dada dan ia akan menjadi seperti seorang buta mabok kalau gadis itu
mendekati dan menyentuhnya lagi.
"Mutiara Hitam.... ini tidak baik.... kita dirangsang racun.... nafsu berahi menguasai kita...." gumamnya.
Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan
yang duduk di sudut lain menangis terisak-isak. Gadis ini merasa
terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.
"Mutiara, Adikku
sayang.... maafkan aku.... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan
menghinamu.... akan tetapi kautunggu.... sampai racun ini bersih dari
tubuh kita.... aku tetap cinta kepadamu."
Kwi Lan menarik napas
panjang, menahan tangisnya dan pikiran bersih menyelinap di benaknya.
Mengapa ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan,
bahkan perasaan tubuhnya membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun
mengandung racun yang mempunyai daya rangsang hebat. Ia mencinta pemuda
ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu berahi.
Dengan pengerahan tenaga batinnya, ia bersila dan memejamkan mata,
bersamadhi. Melihat keadaan gadis itu, Pangeran Talibu bernapas lega dan
ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menindas nafsu
dan bersamadhi.
Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan
dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa seperti malam hari itu.
Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkinkan
mereka dapat bersamadhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar.
Pangeran Talibu menggereng berkali-kali seperti harimau terluka.
Tubuhnya penuh peluh. Adapun Kwi Lan tidak dapat dibayangkan
sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan yang merasa yakin bahwa
pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya. Berkali-kali ia
mengeluarkan suara merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat,
peluhnya bercucuran, namun ia berusaha sekuat tenaga untuk bertahan
agar dapat menindas keinginan hatinya yang membuat ia seakan-akan ingin
loncat menubruk pemuda itu.
Menjelang pagi, mereka mendengar
suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu
menyumpah-nyumpah dan marah-marah agaknya kecewa sekali melihat dua
orang muda ini tidak terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam
ia merasa kagum akan kekerasan hati dua orang muda itu, di samping
merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan
itu penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela
dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang mencium bau harum tidak sewajarnya.
"Pangeran, hati-hati, asap beracun....!" Serunya, namun sia-sia belaka.
Mereka meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak
mungkin ke
luar dari ruangan tertutup itu dan asap makin
menebal Tak mungkin pula menahan napas untuk waktu lama dan akhirnya
mereka terhuyung dan roboh pingsan setelah terbatuk-batuk dan menyedot
asap wangi itu.
Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring
di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika ia membuka mata,
bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia melihat Kwi Lan terbelenggu
kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang
Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti monyet-monyet
besar. Mereka berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek
sebatas lutut dengan badan bagian atas telanjang. Tampak kaki tangan
mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh bulu hitam. Juga dada mereka
penuh bulu yang memanjang sampai ke perut. Muka mereka menghitam dan
kasar sekali karena bopeng bekas luka penyakit cacar. Mata mereka liar
dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka
besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini
mengerikan dan buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik
sebagai seorang laki-laki dan mendatangkan rasa jijik.
Bouw Lek
Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pangeran
Talibu, lalu berkata, suaranya halus dan sopan. "Pangeran, apakah sampai
sekarang juga Pangeran tidak sudi menulis surat untuk Ibunda Pangeran
di Khitan?"
"Bouw Lek Couwsu! Percuma saja kau membujuk. Sampai
mati pun aku tidak sudi. Kau boleh membunuhku, aku tidak peduli!" jawab
Talibu sambil bangkit duduk. Rasa panas tubuhnya masih ada, akan tetapi
tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi Lan juga
sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu
pada kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak
membayangkan takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek
Couwsu penuh kemarahan.
"Hemmm...." pemimpin orang-orang
Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini
membayangkan kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar keras
hati. Mengingat bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan dan gagah
perkasa, kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran
sudi memilih, menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng membunuh gadis
ini!"
Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah
adik kandungnya, adik kembarnya. Andaikata orang lain sekalipun, tak
mungkin ia dapat membiarkan gadis itu tewas karena dia! Apalagi adik
kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa
mengetahui bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin
ia mengorbankan nyawa adik yang dicintanya ini? Ia tak mampu menjawab,
hanya menatap wajah pendeta yang tersenyum-senyum dingin itu, sambil
menggelenggeleng kepalanya.
"Pinceng tahu bahwa hati Pangeran
adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati.
Oleh karena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan
itu dan inilah kertas...."
"Pangeran Talibu! Jangan pedulikan
dia! Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta palsu. Kau mau bunuh aku lekas bunuh!
Apa kaukira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang
berkedok pendeta untuk melampiaskan angkaramurka!"
Bouw Lek
Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali
mengeras, tanda bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan
suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada Mutiara Hitam. "Baiklah,
jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau,
Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan pemandangan yang amat
menyenangkan." Ia memberi perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada dua
orang raksasa buruk itu.
Dua orang setengah telanjang itu saling
pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, menyeringai lebar sehingga deretan gigi
besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari
mengadu untung. Si Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang menang,
maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia berlutut, girang
bukan main, Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa
ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar
meraih ke bawah.
"Breeetttt....!" Sekali renggut robeklah baju
Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan sebagian
baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat
dan sebagian kulit paha yang putih bersih! Si Raksasa Hidung Pesek
kembali mendengus dan tangannya siap bergerak untuk menelanjangi calon
korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah menguasainya, siap
melakukan perkosaan tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.
"Iblis keparat....!"
Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang
meluap-luap ia menerjang dengan pukulan ke arah raksasa hidung pesek
yang hendak memperkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak membungkuk, mukanya
menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika
pemuda bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala Si Raksasa Hidung
Pesek. Inilah ilmu pukulan sakti Tok-hiat-coh-kut (Racun Darah Lepaskan
Tulang) yang amat hebat dan biarpun baru dilatih setengah matang dari
Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana
mampu menghindarkan diri. Terdengar suara "kraakkkk....!" dan raksasa
itu terguling dengan kepala remuk isinya!
"Hemmm....!" Bouw Lek
Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tangannya bergerak
dan Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya.
Pukulan jarak jauh pendeta ini telah merobohkannya. Bouw Lek Couwsu
memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang
menjadi marah sekali karena temannya roboh tewas, mentaati perintah itu
lalu bangkit berdiri dan mencabut sebuah cambuk kulit dari ikat
celananya. Kemudian menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara
meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghantam tubuh Pangeran
Talibu yang juga telanjang bagian atasnya, pangeran yang memang sudah
luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit
seperti dicacah-cacah, digigiti cambuk, terasa panas dan perih. Saking
sakitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari
seperti seekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai
berdarah, sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!
Biarpun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan
sakit hatinya, namun air matanya bercucuran menyaksikan betapa pemuda
yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu. Kemudian ia
mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.
"Bouw Lek
Couwsu kau manusia iblis! Kau anjing tua berkedok pendeta! Aku
bersumpah akan mencabut nyawamu kalau diberi kesempatan!"
Bouw
Lek Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang
dimengerti Kwi Lan, "Heeii, kauberi rasa sekali dua kali kepada bocah
bermulut lancang ini!"
Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang
tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu berahi, kini
memandang dengan kebencianmeluap-luap. Ia membalik dan mengangkat
cambuknya, siap dijatuhkan ke atas muka yang jelita dan berkulit halus
putih kemerahan itu.
Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan ujungnya menyambar ke arah muka Kwi Lan.
"Binatang....!"
Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga
dan amat menderita rasa panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung
cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap oleh tubuhnya.
"Tarrr....!"
Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak
karena kemarahan yang meluap-luap ditambah rasa gelisah menyaksikan adik
kembarnya akan disiksa, akan tetapi begitu ia berhasil menghindarkan
wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah lumpuh
oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak maka ia
terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadimarah. Ia lalu
menggerakkan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi
sampai akhirnya pemuda itu roboh pingsan! Dada dan punggungnya
tertutup darah dan garis-garis biru merah.
"Cukup, kau anjing tolol! Jangan bunuh dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek Couwsu membentak kemudian melangkah minggir.
Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia
membuat marah pemimpin besar ini, lalu mengangkat cambuknya, menghantam
sekerasnya ke arah Kwi Lan yang rebah telentang tak mampu bergerak.
Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti datangnya cambuk ke muka
dengan ketabahan luar biasa.
"Wuuuutt...., adduuuuhhhh....!"
Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu
terlepas dari pegangan Si Raksasa Hsi-hsia yang roboh seperti pohon
ditebang. Sebatang jarum telah menembus punggung dan terus menancap di
jantungnya!
"Hemmm…. Bouw Lek Couwsu! Beginikah engkau
memperlakukan muridku?" terdengar suara halus dingin dan muncul di
ambang pintu seorang wanita berpakaian putih berkerudung hitam, Kam
Sian Eng! Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi
dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah membunuh
raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata. Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang
memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang dua orang ini berdiri
Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong.
Empat orang tokoh sakti ini hanya tersenyum-senyum, agaknya mereka ini
tidak peduli, atau bahkan gembira menyaksikan betapa kini Bouw Lek
Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio!
Bouw Lek Couwsu
tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia
kalau ia tidak cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan
mengambil keputusan yang amat tepat, padawaktunya. Ia sama sekali tidak
kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura
kepada Kam Sian Eng, tersenyum lebar dan kemudian menghela napas
panjang, menggeleng kepala dan berkata.
"Aaahhh, sayang sekali.
Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasatku, Sian-toanio.
Pinceng belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa
apakah muridmu itu terluka sedikit pun, Pinceng terpaksa melakukan
ancaman ini tidak lain hanya dalam usaha menundukkan kekerasan hati
Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan bicara lebih leluasa,
Toanio. Dan orang yang Toanio bawa itu.... ah, bukankah dia Kiang-kongcu
murid Suling Emas?"
Kam Sian Eng tadi membunuh raksasa
Hsi-hsia, bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan, melainkan ia
merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depanmatanya. Ia
sebetulnya masih marah kepada muridnya itu, apalagi ketika mendengar
penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi Lan di kota raja. Kini
mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melemparkan tubuh
Kiang Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuhnya
menggelundung dekat Kwi Lan yang hanya melotot dan memandang gurunya.
"Kakanda Pangeran....!"
Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang
tertawa-tawa tidak mau melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu
juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng berkata ketus,
"Lepaskan dia!"
Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia
tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk tubuh Pangeran
Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan
menggosok-gosok tubuh yang penuh darah dan luka-luka cambukan.
Bouw Lek Couwsu mengajak tamu-tamunya meninggalkan ruangan tahanan.
Daun pintu ditutup dan dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah
jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu, kecuali tangis
Puteri Mimi. Kwi Lan yang melihat guru dan suhengnya tidak berusaha
membebaskannya, mengerti di dalam hatinya bahwa ia telah
dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak merasa sedih karena kini
tahulah ia bahwa gurunya dan suhengnya itu bukanlah manusia-manusia
baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran Talibu
dan Kiang Liong, karena andaikata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum
yakin apakah ia akan mau bersekutu dengan mereka. Kini perhatiannya
tercurah kepada Puteri Mimi yang menangisi Talibu. Entah mengapa ia
sendiri tidak tahu, melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman
bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia secara tiba-tiba saja
membenci puteri ini! Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi
menjauhi Pangeran Talibu.
“Kakanda Pangeran....!”
Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu
membuka matanya. IA masih dikuasai racun yang memabokkan. Begitu membuka
mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di dekatnya dan memeluki
serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak ia bangkit.
“Mimi.... kau.... kau....?”
Mereka berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali ketika merasa betapa
kakaknya ini, kakak kandungnya yang ia tahu diambil putera ratunya, kini
memeluknya dengan tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi
bibirnya penuh nafsu. Ia terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir
kalau-kalau kakaknya yang dicintanya ini menjadi gila!
"Kakanda....!" Ia berusaha melepaskan pelukan. Akan tetapi Pangeran
Talibu memeluk makin erat, bahkan mencegahnya bersuara lagi dengan
ciuman mesra.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking nyaring.
Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan rasa amarahnya yang
menggelegak di hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada dalam cengkeram
iblis cemburu, yang membuatnya marah dan beringas, siap membunuh Puteri
Mimi. Setelah mengeluarkan suara melengking seperti suara gurunya kalau
marah, tubuhnya mencelat ke depan, memukul ke arah Mimi dengan pukulan
maut. Ia sudah lemah, tenaganya sudah hampir habis karena ia pergunakan
untuk melawan rangsangan berahi sepanjang malam, akan tetapi pukulan
itu masih ganas dan dahsyat luar biasa.
"Dukkk....!" Tubuh Kwi
Lan terpelanting dan gadis yang sudah lemah ini sebelum sempat bangkit
kembali, sebuah totokan membuatnya rebah miring dalam keadaan pingsan.
Puteri Mimi terkejut dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya ia berhasil
melepaskan diri dari pelukan Pangeran Talibu. Akan tetapi Pangeran itu
bangkit dengan mata merah, mulut terengah-engah lalu hendak mengejar.
"Kakanda...., apakah kau gila....?" teriak Mimi dan gadis ini merasa
ngeri dan khawatir. Pangeran Talibu menubruk akan tetapi sebuah totokan
dari samping membuat ia roboh pula menggelundung di dekat Kwi Lan dalam
keadaan pingsan.
Kiranya Kiang Liong yang tadi siuman cepat
turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi tadi. Pemuda yang banyak
pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu yang tidak wajar
pada sinar mata Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat betapa
Pangeran itu mengejar adiknya sendiri dengan nafsu menyala-nyala,
segera ia menotoknya roboh.
Untung bahwa dua orang muda itu
sudah kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong dapat
merobohkan mereka secara mudah. Apalagi merobohkan Kwi Lan, karena
tenaga Kiang Liong sendiri pun sudah lemah akibat luka yang dideritanya
akibat pukulan Kam Sian Eng. Setelah melihat betapa Kiang Liong
merobohkan kakaknya, Puteri Mimi berbalik menjadi marah kepada Kiang
Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan membentak.
"Kauapakan Kakakku....?"
Kiang Liong mengerutkan kening. "Mereka
tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku hanya menotok mereka agar
tidak terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka berada di bawah
pengaruh racun." Ia menuding ke arah mangkuk-mangkuk bekas makanan.
Puteri Mimi mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat kakaknya. Kalau teringat
betapa kakaknya tadi menciuminya seperti itu, mukanya menjadi merah
saking jengah. Ah, selama hidupnya belum pernah ia dicium orang seperti
itu! Kemudian timbul pula rasa kasihan dan khawatir di hati melihat
tubuh kakaknya yang penuh luka bekas cambukan. Ia menoleh ke arah Kwi
Lan, mengerutkan kening. Siapa wanita cantik jelita ini dan mengapa
datang-datang hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali merenungi
kakaknya dengan hati penuh kegelisahan.
Kiang Liong juga maklum
bahwa keadaan mereka amatberbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu
dengan berduka atau berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki
keadaan kamar tahanan. Setelah mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat
sekali, dijaga ketat di luar, ia lalu mengundurkan diri di sudut ruangan
itu, duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan
dan kesehatannya. Ia tahu bahwa yang terpenting adalah memulihkan
kekuatan karena apa pun yang akan terjadi, yang paling ia perlukan
adalah tenaga dan kesehatannya. Keadaan di dalam ruangan tahanan ini
menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas panjang diselingi
isak dari Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan akhirnya padam.
Ruangan menjadi gelap. Puteri Mimi makin gelisah. Dua orang pingsan,
yang seorang duduk bersamadhi. Dia merasa seperti di kuburan.
Menjelang pagi terjadi geger di dalam hutan dekat markas Bouw Lek
Couwsu. Yu Siang Ki yang membawa pasukan pengemis sebanyak lima puluh
orang telah tiba dan langsung menyerbu hutan yang kini terjaga rapat
oleh orang-orang Hsi-hsia dan para pendeta jubah merah. Pasukan yang
dibawa Yu Siang Ki adalah orang-orang pilihan dari dunia kai-pang dan
rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai tokoh-tokoh kai-pang
yang berpengalaman, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang ahli
akan siasat pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat rahasia, maka
mereka tidak bertindak sembrono. Yu Siang Ki di samping teman-temannya
yang berpengalaman, dapat menduga bahwa markas besar pimpinan orang
Hsi-hsia ini tentu penuh dengan perangkap-perangkap berbahaya. Oleh
karena itu mereka menanti sampai datangnya malam gelap, barulah mereka
menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan teman-temannya tidaklah begitu
sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan satu-satunya yang terdapat
di hutan itu, melainkan mengambil jalan menyusup di antara semak-semak
belukar, menyelinap di antara pohon-pohon besar.
Dengan amat
hati-hati mereka menyusup seperti gerakan pasukan monyet yang amat
lincah. Setelah melalui perjalanan yang amat sukar dan lama, menjelang
senja barulah mereka dapat mendekati markas. Mereka telah lolos
daripada perangkap-perangkap rahasia yang dipasang di sepanjang jalan,
akan tetapi ternyata mereka tidak dapat lolos daripada para penjaga
yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan mereka, para hwesio
jubah merah beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak mengepung dan
terjadilah pertempuran hebat sekali di dekat markas besar Bouw Lek
Couwsu. Keadaan masih remang-remang gelap, dan pasukan kai-pang di bawah
pimpinan Yu Siang Ki menyerbu dengan dahsyat sehingga pertempuran itu
berlangsung seru sampai pagi. Akan tetapi ternyata pasukan yang dipimpin
Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga banyak perajurit Hsi-hsia roboh
binasa. Para hwesio jubah merah melakukan perlawanan gigih, namun
mereka kalah banyak sehingga mulailah mereka terdesak.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Jembel-jembel busuk sungguh
menjemukan!" Bentakan ini disusul munculnya seorang kakek kurus bertopi
tinggi, namun gerakannya hebat luar biasa. Begitu dengan tangan kosong
ia menyerbu, empat orang pengemis roboh dengan mata mendelik dan putus
napasnya!
"Hemmm, baru kalian mengenal Pak-sin-ong!" kata Si
Kurus dan kembali ia melangkah maju. Para pengemis yang terkejut bukan
main menyaksikan kelihaian kakek ini, menjadi lebih kaget mendengar
namanya. Kiranya inilah Pak-sin-ong! Namun hanya sebentar mereka
terkejut. Seorang pengemis yang bertubuh kekar dan berkumis lebat,
menubruk maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala
Pak-sin-ong. Kakek itu hanya berdiri dengan angkuh dan tersenyum
mengejek.
"Krakk!" Tongkat itu tepat mengenai kepala dekat dahi,
akan tetapi kakek itu tetap tersenyum, sebaliknya tongkat itu yang
terbuat daripada kayu keras, patah menjadi dua potong dan terlempar jauh
entah ke mana. Si Pengemis kaget, namun tiba-tiba kakek itu
menggerakkan tangannya dan ditusukkan ke depan.
Pengemis itu
terbelalak dan mulutnya mengeluarkan jerit mengerikan. Juga
teman-temannya terbelalak ngeri ketika melihat betapa pengemis ini pecah
perutnya, ususnya, berantakan dan ditarik-tarik keluar oleh Si Kakek
Kejam! Pemandangan yang amat mengerikan, akan tetapi juga menimbulkan
kemarahan yang meluap-luap, membuat para pengemis menjadi nekat.
Majulah mereka menerjang kakek itu yang melayani sambil tersenyum
simpul.
Yu Siang Ki yang mendengar laporan tentang munculnya
kakek hebat ini, cepat meloncat dan menggerakkan tongkatnya merobohkan
seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi sebelum ia tiba di tempat
Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri ke sarnping,
bergulingan dan menyabetkan tongkatnya ke kiri karena dari arah kiri
menyambar sebuah gunting besar yang tadi hampir saja menggunting putus
lehernya! Ia meloncat bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang
terbahak-bahak. Butek Siu-lam!
Kagetlah Yu Siang Ki, sudah lama
ia mendengar akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong sebagai
seorang tokoh utara yang luar biasa saktinya, juga ia pernah mendengar
nama besar Bu-tek Siu-lam yang baru muncul namun memiliki nama yang
tidak kalah oleh orang-orang pertama. Melihat bentuknya, lagaknya, dan
guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya. Ia tahu bahwa lawan ini amat
berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya dan begitu tangannya
bergerak, topinya melesat seperti petir menyambar ke arah muka Bu-tek
Siu-lam.
"Klikk!" Gunting itu menyambar dan.... biarpun topi
masih terbang lewat, namun kembangnya yang menghias topi sudah terguling
dan kini terpegang di tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang mencium-cium
kembang itu dengan lagak genit!
"Hi-hik, pemuda tampan, Engkau boleh juga, sayang semuda dan setampan engkau begini malas menjadi pengemis. Hi-hik!"
Pada saat itu, seorang pengemis tua mendekati Yu Siang Ki dan berkata
suaranya gugup, "Pangcu, keadaan kita terdesak. Minta putusan."
"Beri tanda untuk mundur, sedapat mungkin keluar dari tempat ini!" kata
Yu Siang Ki yang tidak ingin mengorbankan teman-temannya dan maklum
bahwa setelah muncul dua orang sakti yang sama sekali tidak pernah
disangkanya, keadaan pasukannya terancam bahaya. Kakek pengemis itu
mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti orang
menangis. Itulah tanda untuk mundur, maka paniklah pasukan pengemis.
Mereka mulai mundur sambil mempertahankan diri, didesak oleh musuh yang
kini mendapat hati.
Jalan keluar kiranya malah lebih sukar
daripada jalan masuk karena selain pasukan Hsi-hsia dan pendeta-pendeta
jubah merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan Siauw-bin
Lomo dari sebelah kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian Eng
dan Suma Kiat! Percuma saja para pengemis melakukan perlawanan dan
berusaha lari. Mereka disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat
lolos dari tempat itu!
Ketika Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa
pengemis muda yang tampan gagah ini adalah seorang Kai-pangcu (Ketua
Pengemis) yang memimpin pasukan pengemis, ia menjadi kagum dan berkata,
"Eh, kiranya engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku mendengar laporan para
pengemis anak buahku bahwa ada seorang ketua pengemis muda belia yang
katanya adalah putera mendiang Yu Kang Tianglo. Engkaukah orangnya?"
"Benar, dan aku pun tahu bahwa engkaulah orang dari barat yang
menampung kaum sesat untuk menyelewengkan dunia pengemis ke dalam
kejahatan. Sudah tiba saatnya kita membuat perhitungan!" kata Yu Siang
Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia sudah menggerakkan tongkat
panjangnya.
"Hi-hi-hik, bagus! Bouw Lek Couwsu akan suka sekali
menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh, bocah ganteng, engkau ikut saja
denganku membantu Couwsu."
"Bu-tek Siu-lam! Kaukira aku Yu
Siang Ki orang macam apakah? Lihat tongkatku!" pemuda itu sudah
menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan suara
mengaung ketika menyambar ke arah kepala Bu-tek Siulam. Namun kakek ini
hanya tertawa mengejek dan berkata, "Hi-hik, percuma kau melawan!"
Tongkat Siang Ki lewat di dekat kepalanya ketika tokoh banci ini
mengelak. Namun sungguh tak disangkanya ketika tongkat itu seperti
seekor naga membalikkan tubuh sudah membalik dan menusuk ke arah
dadanya. Ketika ia cepat miringkan tubuh, tongkat itu kembali tahu-tahu
sudah menghantam ke arah pinggangnya.
"Hiyaa...., kau boleh
juga....!" seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Kiranya biarpun
masih muda, pengemis ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja
menjadi ketua kai-pang dan juga tidak mengecewakan menjadi putera
mendiang Yu Kiang Tianglo yang dulu amat tersohor.
Pada saat
itu, muncul dua orang pengemis tua. Tubuh mereka sudah terluka di
lengan dan pundak, dan wajah mereka penuh keringat, pandang mata mereka
penuh kegelisahan. Mereka serentak menerjang Bu-tek Siu-lam membantu Yu
Siang Ki dan seorang di antara mereka berkata, "Pangcu mari kita lari,
keadaan sudah berbahaya dan mendesak....!"
Kiranya dua orang
pengemis ini yang melihat betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha
mengundurkan diri dihajar habis-habisan oleh musuh, kini berusaha
membujuk Siang Ki untuk menyelamatkan diri. Mendengar ucapan mereka
ini, Siang Ki mempercepat gerakan tongkatnya sehingga ujung tongkatnya
berubah menjadi puluhan buah banyaknya, yang kesemuanya menyerbu ke
arah jalan darah dan bagian-bagian lemah dari tubuh Bu-tek Siu-lam.
"Hi-hi-hi-hik, dasar pengemis tak tahu diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan
tubuhnya berkelebat ke arah dua orang pengemis tua itu. Guntingnya yang
besar menyambar dan mengeluarkan bunyi nyaring "Klikk! Klakk!" Dua
orang pengemis itu menjerit keras dan tubuh mereka roboh menjadi....
empat potong! Siang Ki kaget dan kemarahannya meluap. Ia segera
menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran ayahnya sambil mengerahkan semua
tenaga sin-kang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh pemuda ini, berkelebatan
dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar tongkatnya yang
menyambar-nyambar. Bunyi mengaung, makin meninggi sampai
melengking-lengking nyaring.
Namun, yang dihadapi pemuda lihai
ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang di antara Bu-tek
Ngo-sian. Sungguhpun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu
silat Yu Siang Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ganas, juga kakek
banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua terjangan tongkat
Yu Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting
sehingga terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga
api ketika kedua senjata itu bertemu. Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali
senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah
tandanya bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat
betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula
munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan
Bu-tek Siu-lam ini. Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong
Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam, pasukannya
hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan. Semua kegagalan ini
membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan
kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia curahkan
dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siulam.
"Bocah tampan yang
bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu-lam mengejek dan
terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biarpun masih
muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan. Jarang ia
menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum.
Alangkah akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini,
pikirnya. Tampan, kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir
batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidaklah mudah menangkap
pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus
lebih!
Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia
tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapapun juga, ia
harus mempertahankan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek
Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang
memiliki ilmu jauh lebih tinggidaripadanya. Ia harus menggunakan akal,
kalau tidak, hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat
membunuh Bu-tek Siu-lam. Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi
nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke depan,
tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang
melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada.
Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya,
mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil,
dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan
yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia
hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya,
yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang
mengirim pukulan ke dada.
Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke
depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk
mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya,
dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak
mengadu nyawa. Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing,
menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya dicaplok
gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa
menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan
tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat
pukulannya ini, cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan kehilangan
lengan kiri, akan tetapi pukulannya tentu akan membinasakan lawannya!
Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu
sama sekali tidak mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi
korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga
dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik",
hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex
yang mengagnmkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus
menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat
yang tertangkis itu menyeleweng ke bawah dan menghantam paha kirinya.
"Bukkk....!"
Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang, meringis kesakitan. Biarpun
tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya
yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!
"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!" teriaknya marah-marah
dan kini terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya
menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya mengeluarkan
senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!
Yu
Siang Ki kaget dan menyesal sekali. Ia berhasil memukul lawannya, akan
tetapi tahu pula bahwa ia hanya mendatangkan luka di kulit saja. Maka
terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tongkatnya. Akan tetapi
sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secarahebat. Ia melihat
jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan
celakanya, jarum itu menyambar ke arah kedua matanya! Pemuda ini
terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap
kali ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini,
permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting
menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar
mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum. Akan
tetapi jarum yang diikat benang itu seperti hidup digerakkan tangan
kiri Butek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah
menancap d pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh,
tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali
senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang
mengeluh perlahan dan roboh pingsan.
***
Dalam, keadaan
tidak berdaya, Kiang Liong terpaksa menonton saja ketika ia dan para
tawanan lain dibelenggu, karena yang melakukan ini adalah Bouw Lek
Couwsu sendiri yang masuk ke ruangan tahanan ditemani Bu-tek Siu-lam,
Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo. Di antara para tawanan, hanya dia dan
Puteri Mimi yang kini dalam keadaan sehat. Akan tetapi apa artinya dia
dan Puteri Mimi berdua saja menghadapi empat orang kakek sakti ini?
Belum waktunya untuk menerjang dan mati-matian mengadu nyawa, pikirnya.
Terpaksa ia berpura-pura lemah dan tidak berbuat sesuatu sehingga mereka
semua ini terbelenggu dengan rantai-rantai baja, diikat pada dinding
kamar tahanan Kiang Liong disudut kiri, dan berbaris di sebelah
kanannya adalah Pangeran Talibu, Yu Siang Ki, Kam Kwi Lan dan Puteri
Mimi. Lima orang muda belia berbaris dalam keadaan terbelenggu di dalam
kamar tahanan itu, nasib mereka berada di tangan kakek-kakek yang kejar,
dan ganas!
Puteri Mimi terisak-isak menangis. Melihat ini,
Kiang Liong berkata perlahan dan tenang menghibur, "Harap puteri jangan
gelisah dan putus harapan. Percayalah bahwa Bouw Lek Couwsu yang amat
mengharapkan bantuan Khitan tidak akan begitu gila untuk membunuh puteri
dan Pangeran. Ia melakukan ini sebagai gertakan saja untuk mengancam
dan membujuk Pangeran Talibu yang saya lihat amat gagah dan keras hati
tidak mau menyerah sehingga mengalami siksaan. Kalau dia nanti sadar
dan melihat puteri menangis, hal ini amat tidak baik bagi pertahanannya.
Engkau adalah puteri Panglima Kayabu yang gagah perkasa, tidak
semestinya takut menghadapi bahaya yang baru sekian saja."
Puteri Mimi menghentikan tangisnya. Hanya air matanya yang masih
mengalir turun melalui kedua pipinya, akan tetapi. makin lama air mata
itu pun makin mengecil dan akhirnya berhenti. "Terima kasih,
Kiang-kongcu. Sesungguhnya, aku tidak akan memalukan nama besar ayahku
dan aku bukan menangis karena takut. Kematian di tangan musuh bukanlah
apa-apa bagiku. Yang kutangisi dan kusedihkan adalah keadaan Pangeran
Talibu. Melihat keadaan jasmaninya tersiksa seperti itu sudah cukup
mengenaskan, akan tetapi melihat betapa ia tadi.... ah, Kongcu, engkau
tahu bahwa dia adalah kakak kandungku, bahwa dia adalah Pangeran
Mahkota. Hati siapa takkan berduka melihat kakak sendiri dan
pangerannya menjadi.... menjadi.... gila....?"
Kiang Liong
menarik napas panjang. Ia tadi pun melihat betapa Pangeran Talibu
memeluk dan menciumi adik kandungnya itu secara berlebihan bahkan
secara tidak patut. Pelukan dan ciuman yang mengandung nafsu berahi
sepenuhnya! Bahkan sedemikian hebat nafsu itu menggelora dan menguasai
Pangeran tadi sehingga Pangeran itu tidak mempedulikan kehadiran orang
lain dan hendak memaksa Sang Puteri. Hal ini memang benar-benar tidak
wajar dan ini pula yang menyebabkan ia tadi turun tangan menolong Sang
Pangeran.
"Puteri Mimi, harap kau suka tenang. Saya tahu bahwa
sikapnya tadi tidak wajar, seperti juga sikap Mutiara Hitam ini, akan
tetapi percayalah, mereka ini pasti terkena racun yang hebat. Mereka
berdua bukanlah orang-orang jahat dan juga tidak gila. Tunggu saja kalau
mereka sadar, tentu kita akan. mendengar keterangan mereka...."
Terdengar keluhan Kwi Lan. Mimi menoleh ke sebelah kirinya, melihat Kwi
Lan menggerakkan kaki tangan yang terbelenggu, kemudian kepalanya dan
akhirnya membuka matanya. Sejenak mata itu nanar dan bingung, kemudian
Kwi Lan menoleh ke kanan kiri dan matanya bersinar-sinar penuh
kemarahan. Mata itu kini memandang ke arah pintu besi dan mulutnya
memaki.
"Heh si bedebah Bouw Lek Couwsu, kakek tua bangka mau
mampus yang tak tahu malu! Kau pengecut besar yang hanya mengandalkan
jebakan-jebakan rahasia, racun-racun menjijikkan dan bantuan
pengeroyokan! Kalau memang kau mengaku jantan pemimpin bangsa biadap
Hsi-hsia, hayo kita bertanding sampai selaksa jurus!"
"Kwi Lan,
tidak ada gunanya menantang-nantang kalau kita sudah tak berdaya
begini," kata Yu Siang Ki. Kwi Lan menoleh ke kiri dan nenjawab dengan
mulut cemberut.
"Dasar kau yang tidak punya guna, Siang Ki. Kau
datang bersama pasukan pengemis pilihan, bagaimana tahu-tahu sudah
menjadi tawanan? Ke mana perginya pasukanmu itu?"
Siang Ki
menarik napas panjang. "Aaahhh, semoga saja di antara mereka ada yang
berhasil meloloskan diri. Masih terlalu berat, apalagi kakek-kakek iblis
seperti Siauw-bin Lo-mo, Bu-tek Siulam, Pak-kek Sin-ong dan yang lain.
Sungguh mereka merupakan lawan berat."
"Aku tidak takut!"
bentak Kwi Lan marah dan kembali ia berteriak-teriak "Iblis-iblis tua
bangka macam Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo atau Bouw Lek
Couwsu, kalau berani bertanding melawan aku secara jantan, biarkan
maju. Kalau aku kalah, aku rela mampus di tangan. seorang di antara
mereka!"
Siang Ki hanya menghela napas, maklum akan watak gadis
ini. Kiang Liong tertawa kecil dan berkata, "Heh-heh, biarkan saja dia,
Yu-pangcu. Andaikata dilayani, dia takkan mampu mengalahkan seorang di
antara Bu-tek Ngo-sian."
Kwi Lan kini menoleh ke kiri, sedapat
mungkin memanjangkan lehernya untuk dapat melihat Kiang Liong yang
terhalang Siang Ki dan Talibu, matanya mendelik dan ia menghardik.
"Kau murid Suling Emas si sombong tekebur! Kalau kau takut mampus,
boleh kau menyerah kepada mereka dan boleh wakili mereka menempur aku!
Huh, sombong, tidak menengok tengkuk sendiri. Kalau kau pandai dan
murid Suling Emas kenapa kau sendiri tertawan? Tak tahu malu!"
Kiang Liong hanya tertawa, memperlihatkan deretan gigi yang putih dan
kuat, Kwi Lan makin marah, mendengus-dengus dan meronta-ronta, akan
tetapi belenggu kaki tangannya terlampau kuat. Akhirnya ia tidak
meronta-ronta lagi dan hanya merenung ke depan. Dua titik air mata
meloncat ke atas sepasang pipinya yang kemerahan. Melihat ini, Kiang
Liong menjadi kasihan. Dengan kata-kata serius ia lalu berkata.
"Mutiara Hitam, siapakah yang menyangsikan kegagahan dan keberanianmu?
Aku kagum sekali kepadamu. Akan tetapi, kau tentu mengerti pula bahwa
seorang gagah akan dapat menanggung penderitaan dengan sikap tenang dan
tidak putus harapan."
"Huhh....!" Kwi Lan hanya mendengus, akan
tetapi tidak membantah dan kini ia mencurahkan perhatiannya ke sebelah
kanan, kemudian ke kiri ke arah Pangeran Talibu. Ia melihat betapa
pangeran yang dicintanya itu telah sadar pula, dan kembali jantungnya
berdebar aneh. Kini ia tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada
Talibu dan kalau ia teringat akan keadaan mereka pada malam hari tadi,
wajahnya menjadi merah sekali. Ah, jelas bahwa malam tadi terjadi
peristiwa yang amat memalukan antara mereka berdua. Sikap mereka seperti
orang kemasukan setan, tidak tahu malu! Dan makin yakin
pula
hati Kwi Lan bahwa tentu malam tadi ia terpengaruh oleh racun yang
terdapat dalam masakan dan minuman, demikian pula Pangeran Talibu.
Buktinya, pagi ini ia tidak mempunyai perasaan panas dan rangsangan
seperti semalam, sungguh harus ia akui bahwa cinta kasihnya terhadap
pangeran itu makin membesar. Juga sinar mata Pangeran Talibu pagi ini
halus dan tenang tidak panas dan penuh nafsu seperti malam tadi. Akan
tetapi, perih hatinya kalau teringat akan kelakuan Pangeran itu
terhadap Puteri Mimi. Dan saat ini, pandang mata Pangeran itu pun
ditujukan kepada Puteri Mimi yang berdiri terbelenggu di sebelah
kanannya. Dan di antara mereka ini terjadi percakapan dalam bahasa yang
ia tidak mengerti! Bahasa Khitan!
Ia sama sekali tidak mengerti
dan tiba-tiba mendengar ketawa perlahan di sebelah kirinya. Ia menoleh
dan melihat Yu Siang Ki tersenyum dan mengangguk-angguk. Juga di ujung
kiri tampak Kiang Liong tersenyum tenang. Jelas bahwa Siang Ki dan Kiang
Liong mengerti bahasa Khitan dan tahu apa yang dipercakapkan kedua
orang itu. Membicarakan tentang dia? Mentertawakan dia? Hatinya panas
dan betapapun ditahan-tahannya, akhirnya ia tidak kuat dan berbisik
kepada Siang Ki.
"Mereka bicara apa? Apa yang dikatakan oleh dia?" Ia menunjuk dengan gerakan muka ke arah Pangeran Talibu.
Siang Ki menoleh kepadanya dan menjawab sambil berbisik pula.
"Pangeran Talibu bilang bahwa puteri ini bukan adik kandungnya, bahkan
sama sekali tidak ada hubungan keluarga di antara mereka."
Kwi
Lan tertegun, heran. Ia menoleh ke kanan dan melihat Puteri Mimi
memandang ke kiri, ke arah Pangeran itu dengan mata terbelalak, seperti
tidak percaya, akan tetapi wajah itu berseri-seri, penuh cemas, harap,
dan bahagia! Kemudian ia mendengar Talibu masih berkata-kata penuh
semangat dan perasaan, dan wajah Puteri Mimi makin berseri, lalu
kemerahan kedua pipinya.
"Apalagi yang dikatakan?" desisnya kepada Siang Ki.
"Ha, Pangeran itu bilang bahwa dia mencinta Puteri Mimi, dan telah mengambil keputusan untuk menikah dengan Puteri Mimi...."
Kwi Lan memejamkan mata, merasa seakan-akan halilintar menyambar
kepalanya. Ia membuka mata, menoleh ke kanan melihat Puttri Mimi juga
memejamkan mata sambil tersenyum penuh bahagia. Menoleh ke ujung kiri
melihat Pangeran Talibu memandang ke arah Puteri Mimi, melalui dia,
dengan penuh cinta kasih! Hatinya makin panas dan tiba-tiba air matanya
bercucuran tanpa dapat dicegahnya lagi.
“Kita akan mampus semua....” desisnya menghibur hati panas dan patah, “kita akan mampus semua di sini....!”
Yu Siang Ki tidak tahu apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Mutiara
Hitam. Mendengar ucapan ini dan melihat air mata bercucuran, ia
terheran. Mengapa kini Kwi Lan seperti orang putus harapan? Ke mana
keberaniannya tadi?
“Kwi Lan, sebelum hayat meninggalkan badan, masih ada harapan untuk lolos....”
“Cukup! Siapa putus harapan?” bentaknya.
Sementara itu, menjelang pagi tadi terjadi hal-hal yang aneh di luar
ruangan tahanan. Serombongan penjaga bangsa Hsi-hsia sebanyak lima orang
yang menjaga barisan luar markas, menantikan datangnya pengganti
penjaga sambil bermain kartu untuk menghilangkan rasa kantuk. Mereka
sedang gembira karena ketegangan semalam telah mereda dan mereka merasa
beruntung mendapat tugas menjaga sampai pagi, lebih untung daripada
teman-teman yang mendapat tugas menyingkirkan sekian banyaknya
mayat-mayat para pengemis yang menyerbu markas. Keadaan mayat-mayat itu
mengerikan, ada yang terpotong-potong tubuh mereka oleh gunting besar
Bu-tek Siu-lam, ada yang berceceran isi perutnya sampai berantakan
ususnya oleh tangan Pak-sin-ong. Menyingkirkan mayat-mayat seperti itu
amat menjijikkan dan jauh lebih enak melakukan penjagaan dalam gardu ini
sambil mengobrol dan bermain kartu. Apalagi setelah kaum penyerbu dapat
dihancurkan, keadaan menjadi aman dan siapa berani memasuki markas
mereka?
Suara tapak kaki halus membuat mereka menengok dan lima
orang Hsi-hsia ini meloncat keluar dari gardu sambil menghunus golok
masing-masing. Sebentar saja mereka telah mengepung wanita yang
mendatangi gardu itu. Wanita yang masih muda, cantik manis dengan sikap
yang genit, tersenyum-senyum malu, dengan sepasang mata bening lincah,
tubuhnya melenggak-lenggok, biarpun sedang berdiri, pinggangnya tak
pernah diam, bergerak-gerak seperti batang pohon liu tertutup angin.
Wanita yang cantik molek menggairahkan dan genit! Namun lima orang
penjaga Hsi-hsia itu tidak mau bersikap sembrono. Terlalu banyak wanita
cantik yang berbahaya dan berkepandaian tinggi, seperti Puteri Mimi dan
terutama sekali Mutiara Hitam. Siapa tahu wanita cantik ini pun sahabat
Mutiara Hitam. Maka mereka mengurung dengan golok terhunus.
“Siapa kau? Dari mana dan mau apa?” bentak seorang di antara penjaga
yang berkumis panjang, mengacungkan goloknya yang tajam berkilauan.
“Iihhh...., jangan bunuh aku.... aduhhh, jangan bunuh aku....
Cu-wi-enghiong (Tuan-tuan Yang Perkasa)....!” wanita itu menjerit lirih,
suaranya parau basah.
Lima orang Hsi-hsia itu tertawa. Pertama
karena serasa dielus-elus hati mereka mendengar mereka disebut lima
orang perkasa! Dan ke dua karena dengan sikapnya itu, wanita ini jelas
bukanlah pendekar wanita yang pandai silat. Seorang wanita dusun yang
cantik dan bodoh.
“Siapa kau dan mau apa datang ke sini?” bentak seorang penjaga lain yang matanya buta sebelah akibat perang.
“Aku.... aku bernama Kiok Hwa (Bunga Seruni).... dan aku.... aku datang mencari Boan-koko (Kakanda Boan)....”
Wanita itu tertawa hak-hak-hik-hik, malu-malu dan akhirnya berkata,
“Boan-koko adalah Boan-hwesio, seorang hwesio jubah merah yang....
ah.... sahabatku, eh.... dia sering datang ke rumahku di luar hutan.
Sudah tiga bulan kami berhubungan, akan tetapi lebih sepekan ini dia
tidak datang....”
“Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa
terbahak-bahak. Mereka tidak mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat
menduga bahwa tentulah seorang di antara hwesiohwesio jubah merah.
Bukan rahasia lagi bahwa hwesio-hwesio itu, biarpun pakaiannya jelas
seperti hwesio dan kepalanya gundul namun dalam hal mengejar wanita
cantik, tidak kalah oleh mereka! Bahkan mereka tahu betapa Bouw Lek
Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.
“Kenapa kalian
tertawa? Tolong panggilkan Boan-toako, atau tunjukkan ke mana aku dapat
bertemu dengan dia.... “ wanita itu kembali berkata, sikapnya makin
genit, senyum manisnya murah dan kerling matanya menyambar-nyambar penuh
tantangan.
“Ha-ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang berkata sambil
tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak didatangi sehingga menjadi
rindu dan kini menyusul ke sini?” Tangan kirinya diulur dan meraba dagu
yang putih halus itu.
“Aiihh.... kenapa raba-raba.” Wanita itu menjerit genit.
Si Kumis tiba-tiba memandang tajam dan sikap gembiranya berubah dengan
bentakan menghardik. “Perempuan, jangan kaucoba mengelabuhi kami! Kau
seorang perempuan dusun penghuni luar hutan? Bagaimana kau dapat
memasuki tempat ini?” Kiranya Si Kumis ini teringat betapa jalan menuju
masuk ke situ penuh perangkap dan terjaga sehingga tak mungkin seorang
wanita muda yang bodoh dan lemah dapat masuk tanpa diketahui,
sedangkan Mutiara Hitam sendiri terjebak.
Wanita itu tersenyum
genit. “Aahhh. kenapa Cu-wi begini curiga? Apakah percuma saja aku
mempunyai kekasih Boan-koko? Sudah beberapa hari aku diselundupkan
masuk oleh Boan-koko, melalui jalan yang aman menyusup-nyusup semak dan
alang-alang. Apa sukarnya?”
Lima orang ini lega dan percaya
kini, lalu timbul pula kegembiraan mereka untuk mempermainkan wanita
cantik genit ini. “Kenapa kau menjadi kekasih seorang hwesio gundul?
Apakah dia masih muda?”
“Ah, tidak muda lagi, lebih tua daripada kalian.”
“Hemm, apa dia tampan?”
“Tampan? Huh, mukanya bopeng dan terutama sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar hidung itu, dan dia.... rakus.”
“Ha-ha.-ha-ha! Apanya yang rakus? Apakah hidungnya?”
“Idihh, mau tahu aja. Pendeknya dia tua dan buruk, kalian jauh lebih
menarik. Apalagi.... hemm, aku paling suka pria berkumis panjang!” Ia
memandang Si Kumis dengan mata dipicingkan penuh tantangan.
“Waduh! Kalau begitu, kenapa tidak menjadi kekasih kami saja?”
“Boan-koko biarpun buruk rupa tapi hatinya baik. Kalau tidak ada dia,
bagaimana aku dan Ayah Ibu serta adik-adikku dapat makan? Aku menjadi
kekasihnya bukan untuk mencari kesenangan melainkan mencari.... makan.
Kalau mencari senang tentu aku memilih kalian, terutama yang kumisnya
panjang.”
“Ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang memelintir kumisnya
dengan bangga, matanya liar menjelajahi tubuh wanita itu lalu menengok
ke kanan kiri, “Manis, marilah ikut kami sebentar ke dalam gardu!”
bisiknya sambil merangkul.
Wanita itu terkekeh genit dan balas
memeluk pinggang Si Kumis, sambil berkata, “Aku mau akan tetapi
satu-satu. Yang lain menjaga di luar, karena aku takut ketahuan
Boan-koko!”
“Baik. Kawan-kawan, kalian jaga di luar menanti
giliran!” Si Kumis terkekeh dan menyeret tubuh wanita itu memasuki
gardu. Empat orang kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan
sikap tak sabar. Jarang sekali, bahkan belum pernah mereka mendapatkan
korban yang begini lunak. Mereka menanti di luar dan tertawa-tawa ketika
mendengar suara Si Kumis menggereng dan mengeluh di dalam gardu. Tak
lama kemudian muncul kepala Si Wanita sambil menggerakkan leher ke arah
Si Buta Sebelah. “Giliranmu. Dia tertidur!”
Si Buta Sebelah
seperti ditarik tenaga tak tampak, meloncat memasuki gardu menyusul
bayangan wanita itu. Kemudian ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan
tetapi tak tampak seorang pun di antara mereka keluar lagi. Tak lama
kemudian, muncullah seorang Hsi-hsia yang bertubuh tegap ramping,
mukanya kotor berdebu, pakaiannya longgar dan di pinggangnya tergantung
sebatang golok. Orang ini melenggang keluar dari dalam gardu penjagaan,
langsung masuk ke bagian dalam dari markas itu. Ketika di baglan dalam
dari batas penjagaan ia bertemu dengan beberapa orang Hsi-hsia, ia
ditegur dalam bahasa Hsi-hsia.
“Hee! Siapa kamu dan dari mana?
Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”
Orang muda itu tersenyum dan menjawab sambil mengangkat dada. “Aiih,
kawan-kawan apakah belum mendengar? Couwsu sendiri yang dengan rahasia
mengutusku dari utara langsung melakukan penyelidikan ke kota raja Sung
dan kini aku datang untuk menyampaikan hasil kerjaku.” Ia lalu memberi
salam dengan tangannya. Sikapnya yang lincah dan tidak ragu-ragu serta
wajahnya yang gembira agaknya tidak menimbulkan kecurigaan.
“Tunggulah, kawan-kawan. Setelah selesai menghadap Couwsu, akan
kuceritakan pengalamanku dengan puteri-puteri Sung!” Semua penjaga
tersenyum dan pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke sebelah dalam dan
mulailah tampak bangunan-bangunan markas Bouw Lek Couwsu. Tidak lagi
tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh
hwesio-hwesio jubah merah murid anak buah Bouw Lek Couwsu. Pemuda
Hsi-hsia ini melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, akan tetapi kali
ini ia menyelinap di antara bangunan-bangunan,mencari-cari. Ia mulai
bersikap hati-hati sekali karena ia dapat menduga bahwa lima orang
Hsi-hsia yang dibunuhnya di dalam gardu penjagaan tadi tentu kini sudah
ditemukan orang-orang Hsi-hsia lainnya. Ia tertawa sendiri kalau
teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik tadi. Untung lima
orang Hsi-hsia itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang sehingga
mudah saja ia pancing masuk gardu seorang demi seorang. Kalau tidak, ia
harus bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sungguhpun ia sanggup
pula membunuh mereka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih
besar. Ia harus bekerja cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah
hwesio-hwesio jubah merah dan ia dapat menduga pula bahwa
penjaga-penjaga ini tidaklah selemah penjaga-penjaga sebelah luar yang
hanya terdiri dari orang-orang Hsi-hsia kasar. Hwesio-hwesio ini adalah
murid Bouw Lek Couwsu!
“Heiii! Mau apa kau masuk ke sini?”
Teguran ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi
teguran yang diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini melegakan hatinya.
Selama hwesio-hwesio di sini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik
sekali. Sambil bersikap menghormat ia lalu berkata.
“Saya
hendak menghadap Couwsu untuk menyampaikan hasil penyelidikan saya di
kota raja Sung sebagaimana yang diperintahkan langsung kepada saya.”
Hwesio itu mengerutkan keningnya, memandang tajam. Ia memang tahu
bahwa gurunya banyak mengirim mata-mata ke kota raja musuh, akan tetapi
mengapa mengirim seorang pemuda seperti ini” Pula, ia merasa tak pernah
bertemu dengan orang ini. Kembali ia membentak.
“Hemm, kalau
menghadap Couwsu, mengapa longak-longok di sini dan tidak langsung saja
masuk melalui pintu gerbang? Dan kenapa tidak melapor kepada penjaga
agar menyampaikan permohonanmu menghadap kepada Couwsu? Hayo kita pergi
ke tempat jaga, dan pinceng (aku) sendiri yang akan melapor kepada
Couwsu yang sekarang sedang sibuk.”
“Ah, Couwsu sedang sibuk
apakah? Apakah ada tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak mengganggu,
jangan-jangan saya akan mendapat marah besar!” pemuda itu tampak
ketakutan. Sikapnya itu agak mengurangi kecurigaan Si Hwesio yang
mengenal watak gurunya. Memang kalau gurunya sedang sibuk, orang yang
mengganggunya seringkali menerima hukuman berat.
“Karena itu
harus pinceng yang menghadap. Suhu sedang menjamu Bu-tek Ngo-sian yang
sekarang sudah hadir lengkap. Malah wanita mengerikan itu, Sian-toanio,
datang bersama puteranya. Dan tempat tahanan makin penuh saja!”
“Eh, apakah yang terjadi? Mengapa ada orang tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.
“Tahanan-tahanan penting. Pangeran Mahkota Khitan, puteri Pangllma
besar Khitan, Kiang-kongcu dari kota raja, Ketua Khong-sim Kai-pang,
Mutiara Hitam....”
“Mutiara Hitam....?” Pemuda itu bertanya terbelalak lebar memandang.
“Ya, gadis cantik jelita dan galak.... auuughhh....!” Hwesio itu roboh
oleh pukulan jari-jari terbuka yang tepat menghantam tenggorokannya,
membuat kerongkongannya hancur dan tewas seketika! Sebelum tubuhnya
terbanting, pemuda itu menyambarnya dan menyeretnya ke belakang
semak-semak.
Tidak lama kemudian, dari belakang semak itu
muncullah Si Pemuda yang kini sudah berubah menjadi.... hwesio muda
tampan berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi tak tampak lagi,
tersembunyi di balik jubah merah yang kebesaran itu. Hwesio tadi memang
gemuk. Setelah berpakaian hwesio, pemuda ini dapat memasuki markas
tanpa mendapat kesukaran. Ia selalu menjaga agar wajahnya tidak tampak
dari depan oleh hwesio lain, hanya jubahnya yang merah dan kepalanya
yang gundul licin saja yang tampak dan dalam hal ini, biarpun ada banyak
hwesio, jubah merah dan kepala gundulnya tentu saja tiada banyak
bedanya.
Di dalam kamar tahanan orang-orang muda yang
terbelenggu di situ, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, sudah hampir
kehilangan harapan. Apalagi keadaan Pangeran Talibu, sungguh amat
mengenaskan. Biarpun keselamatannya tidak terancam bahaya, namun ia
sungguh menderita. Kulitnya pecah-pecah matang biru, terasa panas perih
dan nyeri bukan main. Kadang-kadang Pangeran ini siuman, mengerang dan
seringkali pingsan lagi, tubuhnya lemas menggantung pada kedua tangan
yang terbelenggu di atas kepalanya. Melihat keadaan Pangeran ini, Puteri
Mimi memandang dengan air mata bercucuran. Kasihan sekali kakaknya.
Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat kakaknya berubah ingatan.
Tadi kakaknya mengaku cinta kepadanya, hendak mengawininya. Mengatakan
bahwa mereka bukan sanak kadang, apalagi saudara kandung! Dan pandang
mata kakaknya itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat mesra. Puteri
Mimi menangis.
Kwi Lan juga beberapa kali menoleh ke arah
Pangeranini. Ia gemas, marah, penasaran, benci dan.... cinta! Hatinya
seperti ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang dicintanya ini, akan
tetapi mengingat akan kata-kata yang diterjemahkan Siang Ki, hatinya
panas bukan main. Kalau diberi kesempatan, ia akan membunuh Puteri Mimi!
Yu Siang Ki menyesal sekali kalau mengingat akan kawan-kawannya.
Pasukan yang dibawanya itu adalah tokoh-tokoh pengemis di kota raja
dan di Lok-yang, kini mereka telah dibasmi habis! Sungguhpun tewas
sebagai patriot yang membela negara menghadapi bangsa Hsi-hsia, akan
tetapi semua itu adalah karena kesalahannya! Ia terlalu memandang
rendah kekuatan Bou Lek Couwsu.
Hanya Kiang Liong yang tetap
tenang. Pemuda ini selain pada dasarnya memiliki watak yang tenang,
juga ia lebih tahu akan duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan
politik negara. Ia telah yakin bahwa nyawa mereka belum terancam
bahaya. Kalau Bouw Lek Couwsu hendak membunuh mereka, tentu sudah
dibunuhnya dan tidak perlu ditahan seperti sekarang ini. Dengan cara
menahan, berarti tidak menghendaki mereka mati dan selama nyawa mereka
masih ada, harapan untuk lolos pun selalu akan tetap ada. Apalagi bagi
Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bangsa Hsi-hsia bukanlah
bangsa yang besar dan kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar,
hendak menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia tidak
sekali-kali berani membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan
yang diharapkan oleh mereka menjadi sekutu, bukan musuh! Tentang Kwi
Lan ia pun mempunyai keyakinan takkan dibunuh karena bukankah Kwi Lan
ini murid wanita aneh yang disebut Sian-toanio dan menjadi seorang di
antara Bu-tek Ngo-sian? Betapapun juga, guru itu tentu tidak membiarkan
muridnya terbunuh, apalagi di sana masih ada Suma Kiat, suheng gadis itu
yang menurut penglihatannya, mencinta Mutiara Hitam. Dan dia sendiri
masih ada dan masih hidup. Ia tidak akan membiarkan Mutiara Hitam
terbunuh! Heeii, apa pula ini? Kiang-Liong ingin menampar kepalanya
sendiri, akan tetapi kedua tangannya terbelenggu sehingga ia hanya dapat
menarik napas panjang dan kembali melirik ke arah Kwi Lan.
Sejak tadi ia memperhatikan Kwi Lan dan makin dipandang, makin jatuh
hatinya. Entah bagaimana, gadis itu seakan-akan mempunyai hawa yang
menyedot dan menarik perhatiannya, kemudian menimbulkan rasa suka dan
cinta yang belum pernah dirasakannya terhadap gadis lain. Ia memang
selalu suka akan gadis cantik, akan tetapi rasa suka ini seperti rasa
suka seseorang akan benda-benda indah, akan bunga-bunga harum, tidak
pernah lebih mendalam daripada itu. Kini ia mempunyai rasa suka dan
cinta yang lain terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada dorongan dalam hati
bahwa ia harus membela gadis ini, harus menolongnya, dan kalau perlu
mengorbankan nyawa sendiri untuknya! Kalau biasanya terhadap gadis-gadis
cantik yang pernah menjadi kekasihnya ia ingin mendengar pengakuan
cinta gadis itu kepadanya, kini sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta
kasihnya kepada gadis ini! Alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau
gadis ini mau menerima cintanya!
“Kiang Liong, kau sudah
gila....!” Pikiran ini tanpa ia sadar, ia ucapkan melalul mulutnya
sehingga semua tahanan, kecuali Pangeran Talibu, memandang kepadanya
dengan penuh,keheranan termasuk Kwi Lan.
“Orang yang gila tidak
akan mengaku gila!”, tiba-tiba Kwi Lan berkata, suara nya mengejek.
Memang gadis ini sedikit banyak merasa gemas kepada Kiang Liong.
Bukankah Puteri Mimi tertawan bersama Kiang Liong? Berarti bahwa Kiang
Liong murid Suling Emas ini yang membawa datang Puteri Mimi ke tempat
tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak tertawan, tentu Puteri Mimi juga
tidak dan kalau begitu, tentu Mimi tidak datang ke sini dan Talibu
tidak jatuh cinta kepada gadis itu!
Kiang Liong memandang gadis
ini, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri. “Betulkah, Nona?
Pendapatmu membesarkan hatiku, terima kasih.”
“Engkau memang
tidak gila, akan tetapi engkau merasa gila karena.... takut! Huh, dan
beginikah murid perkasa dari Suling Emas?”
Senyum di bibir Kiang
Liong lenyap, berubah menjadi masam karena hati kecewa. “Aku.... ?
Takut....? Aku tidak takut, Nona dan....”
Terpaksa Kiang Liong
menghentikan ucapannya karena pada saat itu terdengar suara pintu
dibuka. Semua mata memandang hwesio gundul jubah merah berwajah tampan
yang memasuki ruangan tahanan itu.
“Eh, kau.... Berandal...!”
Suara Kwi Lan ini membuat semua orang menoleh dan memandang kepadanya
dengan heran. Apa pula sekarang maksud Mutiara Hitam yang menyebut
berandal kepada seorang hwesio jubah merah, dengan suara bukan seperti
orang memaki, bahkan dengan mata bersinar-sinar dan muka tersenyum
geli?
“Sssttt...., matamu selalu tajam, Mutiara Hitam.” Hwesio
muda itu berbisik dan menaruh telunjuk ke depan bibir, kemudian
melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan, “Aku terpaksa menyamar. Aku datang
untuk membebaskanmu. Kau bersiaplah, aku akan mematahkan belenggu
tangan dan kakimu.”
Pemuda itu bukan lain adalah Si Berandal
Tang Hauw Lam! Dia datang memasuki markas mempergunakan akalnya,
menyamar sebagai wanita cantik, kemudian sebagai orang Hsi-hsia dan
terakhir ini sebagai seorang hwesio gundul berjubah merah. Kini Hauw
Lam mengeluarkan goloknya dan empat kali bacokan kuat, belenggu kaki
tangan yang mengikat Kwi Lan terlepas.
“Mari kita cepat pergi
dari sini!” bisik Hauw Lam sambil menyambar lengan Kwi Lan yang sedang
menggosokgosok pergelangan tangannya yang terasa sakit.
“Kaubebaskan dulu yang lain-laini” bisik Kwi Lan merenggut lengannya.
“Kita harus lekas lari....“ bantah Hauw Lam.
“Berandal! Kalau mereka ini tidak dibebaskan, aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan marah.
Hauw Lam mengangkat alis dan pundak, lalu menghampiri Kiang Liong
dengan golok di tangan. “Kiang-kongcu,” katanya. “Bagaimana selama kita
berpisah, engkau baik-baik sajakah? Maaf, bukan maksudku tadi tidak
mau membebaskan kalian, hanya makin banyak orang ang lari makin sukar
dan....”
“Saudara tak perlu sungkan-sungkan. Aku pun sudah bebas dari belenggu.”
“Apa?”
Kiang Liong menggerakkan kaki tangannya dan.... benar saja, kedua kaki
dan tangannya terlepas daripada belenggu tanpa mematahkan belenggu itu.
Hauw Lam terbelalak, memandang ke arah belenggu dan mengangguk-angguk.
“Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat (Lepaskan Tulang Lemaskan Diri) yang luar
biasa!”
Melihat ini, Kwi Lan yang menghampiri Pangeran Talibu
dan menggunakan kekuatan sin-kangnya mematahkan belenggu, berkata
mengomel. “Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak dari tadi? Aksinya!”
Kiang Liong hanya tersenyum dan juga mulai membantu melepaskan
belenggu kaki tangan Siang Ki sedangkan Hauw Lam membebaskan Puteri
Mimi. “Ah, kalau terlepas dari belenggu, apa artinya? Pintu tertutup
kuat dan penjagaan amat kuat, belum waktunya mencoba bebas. Akan tetapi
setelah Saudara Tang datang, terpaksa kita harus berusaha menerobos
keluar!”
“Kita harus keluar berpencar.” kata pula Kiang Liong
yang kini sikapnya sungguh-sungguh. Yang lain-lain, kecuali Kwi Lan,
tunduk kepadanya karena maklum bahwa selain dia yang paling lihai di
antara mereka, juga memiliki pengalaman yang dalam. “Kalau keluar
bersama, sekali ketahuan akan kena tawan semua. Kita masih kurang kuat
untuk menghadapi mereka yang berjumlah besar, apalagi banyak orang
sakti di sini. Dengan berpencar, ada harapan seorang di antara kita
bebas untuk pergi mencari bantuan menyerbu ke sini.”
“Benar,”
kata Hauw Lam. “Aku pun tadi mendahului pasukan Khitan yang agaknya
hendak menyerbu dan menyusup dalam usaha mereka menolong Pangeran Talibu
dan Puteri Mimi.”
Mendengar ini, timbul semangat Pangeran
Talibu. Ia diam saja karena Puteri Mimi menggosok-gosok tubuhnya yang
telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk pemberian Hauw Lam. Obat
ini manjur dan mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya memandang dengan
penuh iri dan cemburu. Dalam keadaan seperti itu, ia menahan diri dan
tidak mungkin mengumbar amarah urusan cinta. Apalagi ia tahu bahwa
Puteri Mimi memang sahabat Pangeran, bahkan saudara.
“Pangeran
biarlah bersama aku,” kata pula Kiang Liong membagi tugas. Pemuda ini
menahan pula keinginan hatinya untuk berusaha lolos di samping Kwi Lan.
“Mutiara Hitam bersama Saudara Tang, dan Puteri Mimi bersama Saudara
Yu-pangcu. Tiga rombongan kita mencari jalan masing-masing, sebaiknya.
melalui kanan, kiri, dan belakang markas karena di depan adalah tempat
yang terjaga kuat.”
“Baik, pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun
tidak perlu lagi menyamar!” Sambil berkata demikian, Hauw Lam meraba
dahinya dan membuka “kulit” dahi terus ke belakang. Lenyaplah gundulnya
dan kini tampak rambuthya hitam panjang yang segera digelung ke atas
belakang dan dibungkus kain sutera. Jubah merahnya dibuka dan kini ia
sudah berganti pakaian, yaitu pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya
ia gantung di pinggang.
“Berapa orang penjaga di luar?” bisik Kiang Liong kepada Hauw Lam.
“Hanya tiga. Aku tadi membohongi mereka, mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu membujuk para tahanan.”
“Baik, mereka bagianku, Mutiara Hitam, dan Yu-pangcu. Kau menjadi pengawas kalau-kalau ada muncul yang lain.”
Biarpun Kiang Liong hanya berbisik dan ucapannya singkat-singkat, namun
mereka sudah tahu akan kewajiban masing-masing. Pintu dibuka perlahan
oleh Kiang Liong, kemudian melihat tiga orang hwesio jubah merah menjaga
di depan pintu, ia membukanya serentak lebar-lebar dan empat bayangan
berkelebat keluar dengan gerakan amat cepat laksana empat ekor burung
terbang. Bayangan pertama adalah Hauw Lam yang sudah menghunus goloknya
dan meloncat jauh ke depan untuk berjaga, sedangkan tiga orang kawannya
dengan kecepatan kilat sudah menerjang tiga orang hwesio itu. Tiga
orang hwesio ini kaget setengah mati karena tidak menyangka akan hal
ini. Mereka berusaha menangkis namun tiga orang muda itu terlampau cepat
gerakannya. Hampir berbareng mereka roboh tanpa mendapat kesempatan
untuk berteriak sedikit pun.
“Aman....“ bisik Hauw Lam memberi tanda dengan tangan.
“Berpisah, sampai jumpa!” kata Kiang Liong yang menujukan kata-kata ini
kepada semua temannya akan tetapi matanya memandang kepada Kwi Lan
yang sebaliknya memandang kepada Pangeran Talibu. Mereka segera meloncat
pergi, Kiang Liong menggandeng tangan Pangeran Talibu meloncat melalui
jurusan belakang markas, Yu Siang Ki dan Mimi lari ke jurusan kanan,
sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam yang bergerak paling akhir menuju ke
kiri.
Hauw Lam dan Kwi Lan menyusup-nyusup melalui bangunan
kecil, makin menjauhi bangunan besar. “Bagaimana kau tiba-tiba bisa
muncul, Berandal?”
Hauw Lam terkekeh. Girang bukan main hatinya,
kegirangan yang selama ia berpisah dari samping Kwi Lan tak pernah ia
rasakan lagi. “Aduh, serasa kita tidak pernah berpisah. Mutiara! Serasa
kita masih seperti dulu ketika berlari-lari bersama melawan orang-orang
jahat Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis busuk berbaju bersih!
Tahukah kau, Mutiara, selama ini tak pernah aku melupakan engkau
sekejap mata sekalipun.”
“Bohong!” Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau kau tidur?”
“Tidur pun mimpi bersama engkau!”
“Ah, kau bisa saja. Aku tidak percaya.”
“Eh, tidak percaya? Perlukah aku membuka dadaku dengan golok ini?” Hauw
Lam berhenti lari, mencabut golok dan bersikap seperti hendak membuka
dada. Kwi Lan tertawa.
“Ihhh, sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya bagaimana kau tiba-tiba saja muncul seperti setan?”
“Memang aku setan! Heh-heh, setan cilik seperti kata Ibu.”
“Ibu? Kau bertemu Bibi Bi Li?”
Pemuda itu mengangguk, mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang
tak menyenangkan teringat olehnya. Akan tetapi ia tersenyum lagi, “Dan
aku melihat istana di bawah, tanah. Wah, pantasnya menjadi tempat
tinggal setan-setan. Ibuku bertahun-tahun tinggal di sana, bukankah
patut aku menjadi setan pula? Aduhh....!” Ia menekan perutnya.
“Ada apa?” Kwi Lan kaget, khawatir.
“Perutku.... lapar amat, tak tertahankan!” Ia masih menekan-nekan
perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh telinga Kwi Lan suara perut
berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.
“Dasar rakus! Kau tiada bedanya dengan cacing-cacing dalam perutmu!”
“Sstt....! Tuh di sana....!” Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.
“Ada apa di sana?”
Hidung Hauw Lam kembang-kempis menyedot-nyedot. “Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu? Begini sedap, begini gurih!”
Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan
itu tercium bau sedap masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat
itu adalah sebuah dapur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Perlu apa
ke sana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan
sekenyangnya.”
Hauw Lam menggeleng-geleng kepala. “Makan saja
tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi kerja saja tanpa
makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan tenaga,
kalau perutku yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam
terus di hutan ketika menyerbu ke sini, mana aku ada sisa tenaga untuk
bertempur? Kau pun harus makan, Mutiara Hitam.”
“Aku sudah
kenyang!” jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah
karena teringat betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi
hal-hal luar biasa dan memalukan bersama Pangeran Talibu.
“Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan, bukan?”
“Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan!” ajak Kwi Lan dan
mereka berindap-indap menghampiri dapur itu. Ketika mereka mengintai
dari jendela, benar saja dugaan Hauw Lam bahwa tempat itu memang
sebuah dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang
koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu
adalah bangsa Han, agaknya anggauta kaum sesat yang menjadi kaki tangan
sekutu-sekutu Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan
masakan-masakan lezat, mengebul panas dari mangkok-mangkok besar. Hampir
tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan sudah. Karena sudah
tidak tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan melempar empat buah batu
kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki itu berseru kaget
dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh
pingsan karena batu-batu kecil itu tepat mengenai belakang telinga
mereka. Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah Hauw Lam dan
Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka mengerti ilmu silat. Kalau sampai
mereka berteriak, keadaan akan menjadi berbahaya, maka bagaikan dua
ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela. Sebelum
dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok
dan “ngorok” di atas lantai!
Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa
sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk menghadap meja
lalu “menyapu” masakan-masakan yang tersedia di atas meja. “Wah-wah,”
serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu,” dalam hal makanan
ternyata Bouw Lek Couwsu tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan
orang-orang Thian-liong-pang!” Supitnya sibuk bekerja menjepit
potongan-potongan daging dan sayur. Hauw Lam memang mempunyai hobby
(kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini makan, Kwi Lan
menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan
mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.
“Sudahlah,”
akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat
betapa banyaknya Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut
didorong aliran arak wangi. “Kalau kau makan terus sampai kekenyangan,
kau bisa tertidur di sini.”
Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri,
mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping. “Wah,
kalau makan lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah
terbuat dari daging apa! Perlu bawa sebanyaknya untuk bekal!” Ia sibuk
menggunakan kedua tangannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar
kepalan tangan itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan
mengambil semua sisa dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam
celana di mana terdapat sebuah kantung besar tepat di depan perutnya!
Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian mereka keluar dan
cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus ke jurusan kiri markas.
Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan
yang berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai dan merasa bahwa
kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar seruan-seruan
dan derap kaki kuda dari belakang.
“Kita dikejar! Cepat!” seru
Hauw Lam yang mulai “menancap gas” mempercepat larinya. Kwi Lan yang
tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang
pedang dan siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari
cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat itu berbatu-batu dan naik
turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat.
Para pengejar
itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima
orang berpakaian pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di
wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan
yang cepat-cepat larinya.
“Wah-wah-wah.... celaka bakso-bakso ini!” Tiba-tiba Hauw Lam berseru.
“Kenapa?” Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam. Ketika
gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan
menutupi mulutnya yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang
temannya itu. Kiranya ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan,
bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang berada di kantong
kanan kiri baju sudah berloncatan keluar. Akan tetapi yang berada di
dalam panci yang disembunyikan dalam kantung yang letaknya di dalam
celana, berloncatan di dalam celana, keluar dari panci dan karena bakso
itu digoreng, keluarlah minyaknya membasahi semua bagian bawah tubuh
Hauw Lam. Kini sambil berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan,
terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana dan berlompatanlah bakso-bakso
besar bundar-bundar itu keluar dari dalam celana, menggelinding ke
atas tanah seperti bola-bola karet! Bersungut-sungut Hauw Lam membuang
panci kosong dan pada saat terakhir tangannya masih sempat menyambar
bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia
mengeluarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara
karena mulutnya penuh bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana
dan tiba-tiba ia berhenti lari dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun
sudah ditelannya.
“Percuma lari. Kita lawan!” katanya.
Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini
tiba-tiba marah dan hendak melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan
marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonyahilang. I a pun
tidak gentar dan mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua
orang itu berhenti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan
tetapi bukan mereka yang menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang
langsung menerjang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di tangan.
Terjadi pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya
berlangsung beberapa menit saja. Dua orang muda itu seakan berlumba dan
pertempuran berakhir dengan robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam
dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu hampir bersamaan!
Hauw Lam
tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju
mereka lalu mengangguk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi
Lan tewas tanpa luka bacokan. “Kau makin hebat saja, Mutiara Hitam!”
“Dan kau makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi.
Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka.
Akan tetapi belum seratus meter mereka lari, tiba-tiba mereka berhenti
dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini mengeluarkan suara tertahan.
Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong!
Dan di belakang mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda
tunggangan mereka.
Hauw Lam terkejut sekali, apalagi melihat
wanita berkerudung yang sikapnya begitu menyeramkan. Ia sudah
mendengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan
Kam Sian Eng maupun dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi
Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek
itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.
“Srattt....!”
Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari
tangannya. kaget sekali. Ia hanya melihat sinar menyambar dari tangan
kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah angkuh. Kiranya sinar
itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan
pancingnya mengancam tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia
lepaskan dan golok itu terbang, kini terpegang kakek yang sama sekali
tidak tersenyum itu! Hebat bukan main! Biarpun perampasan golok terjadi
di kala ia lengah dan tidak menduga namun melihat ini saja sudah
menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang
amat tangguh! Ia mengharapkan gerakan bantuan Kwi Lan, akan tetapi
gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan memandang ke arah wanita
berkerudung dengan kening berkerut gelisah.
“Kwi Lan, apakah
engkau hendak melawan aku?” Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya
dingin seperti suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam
meremang.
Kwi Lan menggelengkepala. Ia bukan tidak berani,
sungguhpun ia tahu percuma saja melawan gurunya ini, melainkan tidak
mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki,
hal ini lain lagi. Kini tidak ada siapa-siapa yang harus ia bela, maka
untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau melawan gurunya yang
betapapun juga sudah berlaku amat baik terhadap dirinya, seperti
seorang Ibu sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa guru ini adalah
bibinya, bagaimana ia dapat melawannya?
Pak-sin-ong berkata
kepada Hauw Lam, “Orang muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani
membikin huruhara di sini. Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw
Lek Couwsu dalam keadaan hidup seperti dikehendakinya, kalau melawan,
terpaksa kuhadapkan sebagai mayat!”
Hauw Lam juga seorang
pendekar muda yang tak takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh
yang nekat dan tidak melihat kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia
akan mati-matian melawan. Akan tetapi kini keadaannya berbeda. Kwi Lan
sendiri tidak melawan, dan melawan berarti mati. Kalau hanya tertawan,
masih ada harapan membebaskan diri, terutama sekali membebaskan Kwi Lan.
Apa artinya ia bebas kalau Kwi Lan tertawan? Ia tertawa, ketawanya
begitu wajar dan gembira sehingga diam-diam Pak-sin-ong kagum dan harus
mengakui bahwa pemuda ini ada “isinya”.
“Ha-ha-ha, seorang bijaksana mengetahui akan saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti juga Mutiara!”
“Ikat dia di kuda!” perintah Pak-sin-ong dan dua orang Hsi-hsia tinggi
besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta mengikatnya tanpa
perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa. Ia diikat
di atas kuda, kepalanya di belakang dekat pantat kuda, tubuhnya
dilibat-tibat ikatan dari kaki, tangan dan leher! Ia tak dapat berkutik
akan tetapi masih menyeringai dan tertawa-tawa mengejek.
Kwi
Lan dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik
kuda. Di samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke
markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat yang
tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang cemberut angkuh.
***
Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama
sekali Hauw Lam ketika mereka digiring masuk ke dalam kamar tahanan,
mereka melihat semua teman yang tadi melarikan diri sudah tertawan pula
dan berada di situ! Bahkan Kiang Liong dan Yu Siang Ki terluka,
sungguhpun tidak berat namun membutuhkan waktu untuk istirahat karena
mereka terkena pukulan orang-orang sakti.
Ketika Kiang Liong
lari bersama Pangeran Talibu lari melalui jurusan belakang markas, di
tengah jalan mereka dicegat oleh.... Bouw Lek Couwsu sendiri bersama
Thai-lek Kauw-ong. Karena maklum akan kelihaian Kiang Liong, maka Bouw
Lek Couwsu bersama Thai-lek Kauw-ong segera menerjang dar akhirnya
merobohkan pemuda ini dengan pukulan jarak jauh. Sia-sia saja Kiang
Llong melawan. Menghadapi seorang di antara mereka, mungkin ia masih
mampu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan
berat sebelah. Apalagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat
diharapkan bantuannya karena keadaannya masih payah.
Adapun Yu
Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, dicegat oleh
Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat
pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung bahwa Bouw Lek Couwsu
sudah berpesan kepada sekutu-sekutunya agar para tawanan yang lari itu
ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka
yang ringan saja.
Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi,
dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat,
dengan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan
tetapi tidak demikian dengan Tang Hauw Lam. Karena malah sekali oleh
perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebaskan tawanan dan
sudah membunuh banyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyuruh
algojo-algojonya untuk menggantung Hauw Lam di dalam ruangan itu pada
kakinya! Pemuda ini digantung dengan kaki di atas dan kepala di bawah,
kedua lengannya dibelenggu! Dia benar-benar seperti seekor kambing yang
digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya.
Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak berteriak-teriak, bahkan selalu
tertawa-tawa!
Setelah para penjaga meninggalkan ruangan tahanan
dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali terkekeh dan berkata,
“Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal
yang dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia
belaka malah kalian menjadi lebih sengsara!”
Kiang Liong
menghela napas. “Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara
Tang. Siapa kira bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan
kita, tidak memperhitungkan kecerdikannya yang luar biasa.”
“Ha-ha-ha! Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku
seperti ini, memberi keenakan kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku
sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian, sayangnya tanganku
dibelenggu, tapi kalau kugerak-gerakkan karena aku digantung membalik,
agaknya dapat keluar.” Mulailah Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan
tubuhnya, meliuk-liuk, menggeliat-geliat sehingga pemandangan yang
menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini, akan
tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.
“Hi-hi-hik....!”
“Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?”
“Berandal! Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu
sudah habis, kalau tidak tentu menggelinding keluar semua! Hi-hik!”
Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu manusia sinting.
Ingin aku mengadu kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan!” Akhirnya
Hauw Lam berhasil. Semua isi sakunya keluar dan di antaranya terdapat
bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang
Ki. Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini
dan sekali jari-jari itu bergerak, bungkusan mencelat ke atas,
diterima dengan jari-jaritangan. Ia membuka bungkusan itu, dan kembali
menggunakan lwee-kang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan
jari-jari ke arah luka di bahunya. Setelah selesal, ia membungkus
kembali obat itu menggunakan tenaga lwee-kang menyentuh bungkusan ke
arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan cara
yang sama.
“Eh, dia sudah tidur! Dasar manusia malas!” Kwi Lan
berkata ketika mendengar dengkur orang dan melihat bahwa yang mengorok
adalah Hauw Lam. Pemuda ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di
bawah seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur!
Akan tetapi Kiang Liong mengeluarkan suara kagum. “Dia tentu pernah
mempelajari ilmu samadhi secara jungkir balik. Entah siapa gurunya yang
tentu amat hebat itu.”
“Siapa lagi? Gurunya seorang badut tua, bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,” kata Kwi Lan, teringat akan cerita pemuda lucu itu.
“Aahhh....? Betulkah itu? Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu
masih hidup? Suhu pernah bercerita tentang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi
bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah meninggal dunia....“
Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar
lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh, akan tetapi jelas mereka semua
mendengar suara ketawa terbahak-bahak. “Huah-hah-hahhah! Suling Emas
bocah tolol itu mana tahu....?”
Para tawanan saling pandang,
saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi. Suara
setankah itu? Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan berheran lebih
lama lagi karena pada saat itu pintu kamar tahanan terbuka lebar dan
masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat! Para
orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan
memandang penuh perhatian dan ketegangan Jelas bahwa pimpinan orang
Hsi-hia datang dengan maksud tertentu, dan agaknya saatnya telah tiba
untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw
Lek Couwsu ketika ia memandang para tawanan itu seorang demi seorang.
“Pinceng datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan,
terakhir! Kali ini pinceng tidak akan bicara kepada seorang demi
seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua. Maka pilihlah seorang
saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut jawab
seorang wakil itu. Satu mati semua mati, seorang menolak berarti
semua harus mati. Nah, siapa wakilnya?”
Otomatis semua tawanan
memandang kepada Kiang Liong. Biarpun tak seorang pun di antara mereka
bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah
berkata jelas. “Oho, agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah
Pangeran Talibu juga setuju mewakilkan dia?”
“Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!” kata Talibu dengan suara gagah.
“Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili
teman-teman ini demi kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan
demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli lagi mau kaubunuh
atau kausiksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak
kaulakukan. Bicaralah!”' kata Kiang Liong, menentang pandang mata
pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan tenang.
Bouw Lek Couwsu
tersenyum. “Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran
Talibu harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khitan yang
minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia dalam penyerbuan terhadap
Kerajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya,
Panglima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu
kami dengan pasukan pengemis baju kotor membantu untuk gerakan dari
dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali melakukan
kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka
membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Adapun kau sendiri,
harus berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari dalam
kota raja apabila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima
Sung.”
Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang masih tergantung kakinya.
“Kalau kami menolak?”
“Kalian berikut anjing yang tergantung itu akan mampus!”
Eh, tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang
tadinya mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti anjing
kecil, “Nguiiikk, nguikk, nguikkk!”
Suasana tegang menjadi
lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya
tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan
berkata, “Mutiaraku, kau tahu aku mimpi aneh sekali!”
“Mimpi apa?” Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.
“Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan
tetapi celaka sekali, aku digigit seekor anjing besar yang selain buruk,
juga gundul dan buntung. Sialan!”
Kwi Lan tertawa, juga, Puteri
Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul
buntung. Siapa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu?
“Bagaimana jawabanmu, Kiang-kongcu?” tanya Bouw Lek Couwsu, pura-pura tidak mengerti dan tidak mempedulikan Hauw Lam.
“Bagaimana kalau seorang di antara kami menolak?”
“Harus , menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati!”
“Kalau begitu kami menolak!” teiak Pangeran Talibu.
“Kami menolak!” seru Puteri Mimi. “Aku pun menolak!” kata Yu Siang Ki.
“Aku suka menurut Subo, akan tetapi membantumu? Aku menolak!” kata Kwi Lan.
“Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas!” kata Kiang Liong.
Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah
menduga akan kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi tidak
mengharapkan jawaban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati? Ruginya
jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para
pengemis baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan dipecahkan
suara Hauw lam.
“Haii!, Bouw Lek Couwsu! Aku kok tidak ditanya? Apa aku bukan orang?” Hauw Lam berteriak-teriak.
Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya
berkata kepada Kiang Liong, suaranya penuh ancaman, “Hemm, kaukira
begitu enak hukumannya? Sebelum mati kalian harus menyakslkan dan
menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis jelita itu
dibunuh begitu saja.” Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam
dan berkata, “Kau memilih yang mana?”
“Heh-heh, biar hitam, mutiara namanya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia.”
“Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita
sudah setujui, kita harus berani melakukan di depan semua orang.”
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh matanya memandang ke arah Kwi
Lan, menjelajahi tubuh gadis itu dengan pandang mata lahap dan haus.
“He, dengar kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek
Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngo-sian! Di mana kegagahan kalian? Huh,
menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan! Bouw Lek Couwsu, orang
seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah
perkasa?”
Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw
Lek Couwsu mengangkat muka memandang Hauw Lam dengan keningnya yang
tebal berkerut. “Hemm, kalian sudah memilih wakil pembicara, yaitu
Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?”
“Siapa
memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan
kecuranganmu. Memang yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu,
akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar aku memilih! Aku
belum memilih dan aku berhak untuk bicara!”
Bouw Lek Couwsu
tertegun. Betapapun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia
melanggar, maka benar-benar tida tepat dengan kedudukannya sebagai
pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi kesempatan bicara
bocah ini, apa bedanya?
“Hemm, kau bicaralah.”
Kiang
Liong yang memandang muka Hauw Lam, melihat betapa sinar mata pemuda itu
bersinar-sinar dan wajahnya berseil-seri. Ah, bocah ini cerdik,
pikirnya, agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu atau setidaknya
mengulur waktu.
“Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul
atau ancamanmu seperti yang kaukemukakan kepada teman-temanku yang
lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa
mengancam sepertimu. Aku akan mengajukan teka-teki hitungan dan bukan
hanya engkau, bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu! Kalau di antara
kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan kepalaku
pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian tidak
ada yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa
bodoh! Bagaimana, sanggupkah kalian?”
Mendengar ucapan ini,
bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong dan
teman-temannya juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena
digantung seperti itu sejak tadi, terlalu banyak darah mengalir ke
kepalanya membuat ke alanya pening dan bicaranya melantur! Pertaruhan
macam apa itu? Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak
terjawab ia boleh diperlakukan apa juga, berarti tentu saja juga
dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab?
Bouw
Lek Couwsu yang terheran-heran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan
menganggap pemuda ini gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek
Siu-lam tertarik. Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki macam apa
yang akan dikemukakannya? Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk
mendengarnya.
“Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya, kata Bu-tek Siu-lam.
“He-he, benar, Couwsu. Dia toh takkan dapat melarikan diri terbang ke langit,” kata Siauw-bin Lo-mo.
Bouw Lek Couwsu mengerutkan kening. Ia tidak mau dipermainkan bocah
ini, dan ia curiga, takut kalau-kalau ditipu. Maka ia bertanya, “Bocah
gila, kauulangi syaratmu tadi agar kami dengar baik-baik.”
“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu? Boleh saja asal jangan takut
kalah karena hanya pengecut yang takut kalah. Dengar kalian semua.
Kalau teka-tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan kepalaku ke
dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap diriku.”
“Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak
mungkin dilakukan dalam keadaan itu. Turunlah!” Tangan Bouw Lek Couwsu
bergerak, serangkum tenaga dahsyat menyambar ke atas rantai yang
menggantung tubuh Hauw Lam dan.... rantai pada kakinya itu terlepas
dari langt-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala
lebih dulu! Akan tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tubuh Hauw Lam
berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai dengan kaki dulu sehingga
berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih terbelenggu. Semua orang
kagum, karena tanpa ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin dapat
berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan terbelenggu seperti itu.
“Berandal, apa kau gila? Kalah menang kau tetap mati!” seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan ketegangan hatinya.
Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, Mutiara, apa artinya mati? Yang penting
dalam saat terakhir ini, aku menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak
tertebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang sudah dikalahkan
masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi calon raja, dan lima Bu-tek
Ngo-sian ini masih ada muka untuk menjagol dunia kang-ouw!”
Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengumpat.
Kautunggu saja bocah, kematianmu akan menjadi kematian yang paling
sengsara!
“Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu!” bentaknya.
Di antara mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi
tegang hatinya. Tegang sekali karena kini ia mengenal siasat yang
dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap Mutiara
Hitam dan oleh Mutiara Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan
akal mengulur waktu. Tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya
mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat menolong. Kini
karena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu
dalam siasat mengulur waktu ini, Si Berandal sudah mendapatkan akal
lain lagi yang belum ia ketahui apa dan bagaimana.
Dalam
keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat
mukanya, membusungkan dadanya. “Guruku adalah seorang manusia dewa yang
sakti tiada bandingan. Tidak perlu yang budiman Bu Kek Siansu datang ke
sini, baru Guruku saja, kalian akan dibikin kocar-kacir.”
“Hemm, siapa gurumu, bocah sombong?” Thai-lek Kauw-ong, Si Tukang Cari
Lawan, tertarik sekali dan hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek
Siansu disebut-sebut.
“Guruku bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berharga untuk mendengar namanya.”
“Bocah gila! Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang Gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu!”
Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu
Kek Siansu, ini adalah siasat untuk membikin gentar lawan, pikirnya.
Tapi apa gunanya siasat seperti itu? Kemudian ia teringat akan sesuatu
dan bulu tengkuk Kiang Liong meremang. Tadi....! Benar sekali, tadi
sebelum muncul musuh, ada suara yang menertawakan Suling Emas tolol.
Suara siapakah itu? Ia mendengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang
bernama Bu-tek Lo-jin adalah seorang kakek yang edan-edanan, seperti
watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin? Timbul
harapan di hatinya dan ia mulai mengerti mengapa Hauw Lam menggunakan
siasat mengulur waktu. Agaknya dia menanti pertolongan gurunya!
“Teka-tekiku adalah teka-teki hitungan yang berbentuk syair. Tentu
saja buatan Guruku karena siapa lagi manusia di dunia dapat membuat
teka-teki seperti ini? Di dalam syair ini terdapat angka-angka
terpendam dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah syairnya!" Hauw
Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup merdu, sambil
menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti
irama lagu nyanyiannya :
"Terang bulan memancing kura,
air jernih laksana cermin.
lima ekor yang satu emas,
berapakah jumlah terbilang?"
"Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair?
Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun!"
Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia
memandang wajah tampan itu dengan kagum. Benar pemuda cerdik, akan
tetapi ugal-ugalan, pantas.... disebut berandal. Masa memberi waktu
setahun? Betapapun juga, siasat itu berhasil karena mereka semua,
kecuali Kam Sian Eng, mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi
masing-masing. Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak, kadang-kadang
memandang ke arah Kwi Lan, kadang-kadang termenung, tarikan wajahnya
tersembunyi di belakang kerudung hitam. Suma Kiat pasang aksi pula,
berusaha ikut menebak teka-teki.
Suasana dalam kamar tahanan
hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu kebiasaan tanpa
disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk
bersila, bersamadhi mengumpulkan kekuatannya, sambil kadang-kadang
terkekeh-kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh mukanya,
telunjuk kanan menempel antara kening.
Lucunya, melihat para
kakek ini memeras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Puteri Mimi, dan
Pangeran Talibu ikut pula berpikir memecahkan teka-teki! Sungguh
permainan yang lucu dan aneh, mudah menular! Ketika Kiang Liong bertemu
pandang dengan Hauw. Lam, mereka saling berkedip menahan senyum.
Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar
kamar tahanan saling bertanya-tanya dan terheran-heran. Namun karena
para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun di antara mereka
berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu
Siang KI untuk bersamadhi memulihkan luka-luka mereka.
Akhirnya
terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi.
Suaranya merdu sekali, akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia
bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya bergoyanggoyang pula, akan tetapi
ia betul-betul menari seperti seorang perempuan genit. Selesai
bernyanyi, ia berkata, "Heh-hehheh, sudah terdapat olehku jawabannya!
He-he-he, amat mudahnya!"
"Jangan tertawa dulu, kakek banci!"
kata Hauw Lam berani. "Dan jangan katakan dulu tebakanmu, menanti yang
lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh!
Nah, lebih mudah bukan?"
Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang,
agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh, maka ia
merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh yang
lain sudah siap dengan jawabannya.
"Sudah siap? Nah, boleh
katakan seorang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan
jawaban. Nanti baru kukatakan siapa benar siapa salah," kata pula Hauw
Lam yang hatinya sudah berdebar-debar karena gurunya yang tadi suaranya
ia dengar belum juga muncul. Ia harus mencari akal lain dan otaknya
yang cerdik sudah memikir-mikir mencari siasat yang lebih berhasil.
Ketika melihat betapa tadi wanita berkerudung yang kini ia tahu adalah
Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi seringkali
mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya sebagai
lanjutan daripada akal teka-tekinya.
Keadaan kembali tegang.
Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan
jawaban pihak musuh, apakah sama dengan tebakan mereka? Bu-tek Siu-lam
yang sudah tidak sabar mulai dengan jawabannya.
"Hi-hi-hik,
orang nnuda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan
senang sekali tidur satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan
teka-tekimu yang lain! Syairmu tadi mudah saja. Jawabannya adalah angka
TUJUH! Betul tidak?"
Hauw Lan tersenyum. "Betul atau tidaknya
nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kaujadikan dasar tebakanmu,
supaya diberi tahu. "
"Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau
ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik, Bu-tek Siu-lam tak
mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah
bulan dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan
air jernih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah bulan,
bukankah sudah jelas bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya
tujuh. Nah, angka yang tersembunyi tujuh!"
Hauw Lam hanya
tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang.
"Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"
"Bocah gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja.
Menurut perhitunganku, bilangan yang tersembumyi adalah DUA PULUH. Sudah
jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi jumlah bulan ada dua.
Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan
dua puluh!" kata Bouw Lek Couwsu.
Hauw Lam berseri-seri wajahnya, senyumnya tetap gembira. "Siapa lagi?"
Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan suaranya yang parau besar, "Bulan
purnama berarti tanggal lima belas. Nah, angka bilangan yang tersembunyi
tentu LIMA BELAS." Hauw Lam mengangguk-angguk. "Bagus juga
khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"
"Tidak ada yang penting
dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas,
bulan dan bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan,
bayangannya, dan emas, maka tentu angka TIGA yang dimaksudkan." kata
Pak-sin-ong tenang.
Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga
tidak ada yang dapat menduga, jawaban Siapa yang paling tepat. "Siapa
lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"
"Ha-ha-ha, kau bocah
edan! Membikin orang-orang tua memeras otak dan teman-temanku sampai
harus menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bocah seperti
engkau ini mana mengerti arti yang dalam? Tentu kaumaksudkan di dalam
syair itu jumlah semua benda hidup atau mati dan yang disebut adalah
lima ekor- kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia yang memancing,
dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu DELAPAN!"
"Boleh kauterka sesukamu. Nah, siapa lagi? Engkau bagaimana, Toanio?"
Hauw Lam menghadapi Kam Sian Eng. Sepasang sinar mata menyorot dari
balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.
"Jangan ganggu aku,
tolol!" hardik Kam Sian Eng. Hauw Lam menahan napas. Sekali wanita itu
bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu cepat-cepat menghadapi para
penebaknya dan berkata,
"Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam
menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong
angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo angka
delapan. Bukan begitu?"
Lima orang kakek mengangguk-angguk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat tebakannya.
"Ketahuilah, biarpun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan
tetapi ternyata tebakan kalian ngawur tidak karuan, tidak ada seorang
pun yang benar! Mau tahu jawabannya yang betul? Nah, jawabannya, adalah
angka EMPAT!"
Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua
mengerutkan kening, menghitung-hitung kembali. "Aihhh, kenapa empat?"
Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.
"Kalian yang bodoh, kecual
Sian-toanio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab.
Yang dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi : LIMA
EKOR YANG SATU EMAS. Nah, kalau ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor
adalah emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kura-kura tolol,
kura-kura yang buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat.
Yang satu adalah emas, cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan
dengan empat ekor kura-kura? Maka kalau dibilang lima ekor adalah
keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan yang
satu hanya terbawa-bawa akan tetapi sama sekali tidak patut disebut
kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk empat ekor
kura-kura itu, paling tepat adalah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa
Tanding)! Ha-ha-ha-ha!"
Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini,
pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas
maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang teratur telah menyindir
Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding). Ia mengumpamakan empat kakek
itu kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu
ia sebut jebagai Bu-tek Su-kwi! Inilah siasat memecah belah,
memperingatkan Sian-toanio bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan
diri bersekutu dengan empat orang kakek. Cerdik Hauw Lam, pikirnya.
Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang kakek.
Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong
bukanlah orang bodoh. Mereka kini maklum bahwa mereka dipermainkan dan
diejek, akan tetapi karena yang berkuasa di situ Bouw Lek Couwsu, mereka
tidak berani turun tangan. Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa
tamu-tamu dan sekutunya dihina, maka ia berkata.
"Bocah gila,
kautunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian yang paling
sengsara dan mengerikan. Sebelum mati terakhir, kausaksikan dulu
teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjutkan rencana kita tadi."
Bu-tek Siu-lam melangkah maju menghampiri Kwi Lan yang memandangnya
dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi
tegang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan berkata, "Salahkah
aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat? Lihat saja
Bu-tek Siu-lam ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat!
Mengaku seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat
disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago,
kini menghadapi seorang gadis remaja seperti Mutiara Hitam saja
takut-takut dan begini pengecut? Coba Mutiara Hitam tidak terbelenggu
tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking takutnya.
Ha-ha-ha!"
Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi
Lan girang mendengar ini dan berkata, "Ah, mana dia berani. Berandal? ,
Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya. Ia
mirip.... eh, kadal buduk!"
Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam.
Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dua kali.
Terdengar suara keras dan.... belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah
patah-patah. Gadis itu bebas!
"Hi-hik, anak manis. Sekarang kau
sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu
melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu!"
Kwi Lan merasa lega. Biarpun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam,
namun setelah kini ia bebas, ia akan melawan mati-matian dan tidak
menyerah begitu saja seperti kalau dia dibelenggu tadi. Sambil
mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju, menggunakan
seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya menyerang Bu-tek
Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih sayang lagi bahwa
tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang
bertubi-tubi, dengan penahanan dan dalam belenggu yang membikin kaku
urat tubuh.
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ketika mengelak dan
balas menyerang. Pertandingan terjadi dalam ruang tahanan.
Pertandingan yang berat sebelah. Keahlian Kwi Lan adalah bermain
pedang. Kini ia bertangan kosong dan biarpun ia merupakan seorang gadis
remaja yang jarang bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun
menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah
setingkat. Bahkan kini karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah
tenaga sehingga tiap kali dengan mereka beradu, Kwi Lan terhuyung
mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini
gerakan tokoh banci ini makin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi,
meraba dada dan mencubit paha.
Kwi Lan malu dan marah sekali,
berlaku nekat dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek
Siu-lam menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan
mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan jengah. Serangan ini kurang ajar
sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan dirinya
dipegang? Ia menjatuhkan diri dan bergulingan, akan tetapi tiba-tiba
gadis ini menjerit ketika terdengar bunyi kain robek. Kiranya serangan
Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju
Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu-lam sehingga
pakaian gadis itu, baik yang luar maupun yang dalam sebagian besar
berada dalam tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel
ditubuh Kwi Lan. Gadis ini cepat menelungkup di lantai, tak berani
bangkit lagi karena tubuhnya sudah setengah telanjang. Bahkan ketika
menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya yang putih bersih tampak
nyata!
"Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"
Bu-tek
Siu-lam terkekeh- kekeh dan membawa robekan pakaian ke depan hidung
sambil menyedot-nyedot dan berseru, "Aihh, wangi....! Mari kita
main-main, Nona manis!"
Hauw Lam berseru, "Coba dengar
sombongnya Si Tokoh Banci! Biarpun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia
berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid
dipermainkan berarti guru dihina! Kalau murid dihina berarti guru
dibunuh! Di depan Sian-toanio Si Banci menjemukan ini berani bermain
gila. Sungguh tak tahu diri!"
Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah
melangkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak
melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk
menundukkan Pangeran Talibu, Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang
pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di balik kerudung
hitam itu mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak,
betapa pandang mata dari balik kerudung seperti dua titik api membakar.
Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram
api, terdengar lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah
berkelebat maju, tangannya yang kanan mencengkeram pundak Bu-tek
Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat
menyelimuti tubuh Kwi Lan.
Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuhnya
terlempar membentur dinding. Cengkeraman tadi bukan sembarang
cengkeraman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah
menembus baju dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam! Wajah Si Banci menjadi
pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia kesakitan bercampur marah dan
keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan
menerjang maju. Namun tangan kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam
menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam yang sebetulnya adalah
warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan sinarnya menjadi
hitam. Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan darah di
tubuh Bu-tek Siu-lam! Sinar ini mendatangkan suara berciutan mengerikan.
Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan jarang ada lawan dapat
menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak
dekat, cepatnya seperti kilat menyambar, sasarannya tiga belas jalan
darah di sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan dan racunnya
sedemikian hebat sehingga jangankan terluka, baru tergores sedikit saja
sudah mendatangkan maut! Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau
dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya ini masih belum
apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi Pek-sin-ciam
(Jarum Sakti Putih). Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara, hampir
tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi, tersentuh
kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya terdapat dari
kerangka-kerangka manusia di bawah tanah!
Bu-tek Siu-lam memang
lihai sekali namun ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari
sambaran sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar
gunting melempar diri ia berhasil terbebas dari terjangan jarum, namun
Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah berkelebat maju
dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang
repot menghindarkan diri dari jarum-jarum.
"Plakk....!
Auuuukhhh!" Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mulutnya
menyembur darah segar. Ia sudah terluka hebat! Kini ia berdiri dengan
tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan darah, mata beringas memandang
Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan gerakan tenang pula Kam Sian
Eng membuka kerudung hitamnya. Semua orang menahan napas. Betapa
cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih kemerahan seperti
kulit muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cuping bergerak-gerak
kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh
bergerak-gerak ke kanan kiri dan senyumnya membuat bulu tengkuk
berdiri. Senyum wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan
kehangatan. Akan tetapi senyum ini dingin sekali, seperti kita melihat
senyum pada bibir orang-orang mati! Dengan kerudung hitam di tangan
kiri, diputar-putar seperti seorang gadis remaja memutar saputangan
sutera, tangan kanannya bergerak ke pinggang dan...., sebatang pedang
tipis telah dipegangnya.
"Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih
berani memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu dan manis, namun
didorong ancaman yang mengerikan.
Bu-tek Siu-lam yang sudah dua
kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum
bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan
membuat lehernya serasa tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya
mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda, kemudian
tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah,
leher Kam Sian Eng, sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan.
Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung
hitam yang kini menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat
daripada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka
biarpun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggunting tidak ada
hasilnya, malah guntingnya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak
lagi. Adapun jarumnya dapat dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sambil
tersenyum membetot kerudungnya membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu
ia papaki dengan tusukan pedang mematikan!
Bu-tek Siu-lam
terkejut. Tidak mengira bahwa ia akan mati demikian mudah di tangan
wanita ini, akan tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuhnya,
membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat memejamkan mata
menanti datangnya pedang dan memasuki dadanya.
"Tranggg....!" Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu menangkisnya.
"Toanio, tak boleh kau membunuh tamuku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan tongkatnya.
Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat
cepat dan dalam waktu beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai
belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsi-hsia.
"Ha,
kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari
Bu-tek Ngo-sian!" Inilah suara Thai-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok
lalu memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa
lihainya. Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja
terhuyung ke belakang, permainan pedangnya menjadi kacau dan pada saat
ia memutar pedang menghadapi tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu, dari
belakang ada tangan menyambar.
"Awas, Bibi....!" terdengar Kwi
Lan berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan
kini mejihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia
memperingatkan gurunya.
Namun Sian Eng yang sudah marah itu
menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar. Hanya tiga batang
jarum yang ia sambitkart namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek
Siu-lam yang roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi
disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tak tertahankan.
Rasa nyeri yang amat hebat membuat tokoh banci ini seperti gila,
guntingnya bergerak menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri
sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya buntung, lalu kedua
kakinya dan terakhir sekali batang lehernya! Ia mati dalam keadaan tubuh
terpotong-potong gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.
Andaikata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek
Kauw-ong satu lawan satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah
dapat dikalahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek
Couwsu dan Thai-lek Kauw-ong malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo
sudah maju mengeroyoknya! Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja,
ia menjadi repot sekali.
Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya.
Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan darah, lalu
mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena
senjata ini tidak cocok, ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.
"Kwi Lan, kaubebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas!"
teriak Hauw Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong. Akan tetapi gadis itu dalam
kemarahan meluap-luap tidak ingat akan hal ini dan akhirnya, ketika
Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang
sehingga tubuhnya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan
tak mampu bergerak lagi!
Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan
pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak, "Tak tahu malu!
Empat ekor kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan
pengeroyokan! Aku berani mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau
bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh mampus oleh
Sian-toanio!"
Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan
akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat orang
pengeroyoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong
membuat ia terhuyung-huyung dan pening. Ia sudah menghabiskan
jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung, namun sia-sia dan
akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai
lambungnya. Lambungnya robek. Kam Sian Eng memekik marah dan tendangan
kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga membuat Pak-sin-ong
terlempar akan tetapi pada saat itu, tongkat Bouw Lek Couwsu, senjata
gembreng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat
ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sin-ong sudah bangkit dan hanya
terluka ringan.
"Wanita hebat....!" Thai-lek Kauw-ong
mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biarpun ia sanggup
seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang
lama.
Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw
Lam memandang ke arah empat orang kakek itu dengan jantung berdebar.
Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak ada
artinya lagi sekarang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi
mengapa gurunya belum juga muncul? Ataukah ia salah dengar dan bukan
suara gurunya?
Bouw Lek Couwsu dengan muka geram menghadapi
para tawanan muda. Ia marah sekali karena sekaligus kehilangan dua orang
pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya
berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya
menunduk.
"Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu kini?" Tiba-tiba
Bouw Lek Couwsu bertanya kepada pemuda itu. Ia hendak menjenguk isi
hati pemuda yang kematian ibunya ini. Suma Kiat berkata, suaranya
menggetar.
"Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami ibu dan anak
telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela gadis
sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepadaku,
aku ingin membalas dendam ini kepadanya!"
Bouw Lek Couwsu
mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini. "Boleh saja,
asal kemudian dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan." Kemudian
setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan yang pingsan dan dibawa
keluar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu dan
berkata,
"Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah kau masih
keras kepala? Kalau sekarang kalian semua kubunuh, siapa yang akan
berani menolongmu?"
Sunyi tiada jawaban dari para tawanan muda.
Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan keras disusul sorak-sorai. Agaknya
ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang
amat berbahaya bagi keselamatan semua tawanan muda itu tiba-tiba saja
berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana
datangnya, tahu-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tinggi
tegap tampan dan gagah berusia lima puluh lima tahun kurang lebih.
Sebatang suling terselip di pinggang, topinya lehar dan sepasang mata
yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.
"Suling
Emas....!" Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan semua
kakek itu terkejut seperti disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek
Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di sekeliling markasnya, tanda
bahwa di luar terjadi perang hebat.
Suling Emas tidak
mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata
terbelalak dan sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu
keadaan para tawanan. Pandang matanya mencari-cari, kemudian bertemu
dengan pandang mata Kiang Liong.
"Di mana Mutiara Hitam....?" tanyanya, suaranya tenang halus, seperti sikapnya.
"Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio...." Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke arah mayat Kam Sian Eng.
Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang
sudah mati, muka yang cantik dan tersenyum aneh. Sedetik Suling Emas
memejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak tak bernyawa itu
adalah adik tirinya! Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan dan....
gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju tangannya.
Suling Emas menyambar gunting dan terdengar bunyi nyaring dua kali
ketika gunting menyambar belenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas
melempar gunting ke atas lantai sambil berkata, "Pergi kaukejar dan
ambil kembali Mutiara Hitam."
"Baik, Suhu!" Kiang Liong
menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian
berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki, yang kini sibuk
membebaskan teman-temannya.
Suling Emas menjura kepada Thai-lek
Kauw-ong, "Kauw-ong, selamat berjumpa kembali. Agaknya sahabat-sahabat
ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lomo. Sayang bahwa Sam-wi (Tuan
Bertiga) terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."
"Suling
Emas, jangan sombong! Kamu kira dapat menangkan kami berempat?" Bouw Lek
Couwsu berseru dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak
menyerang Suling Emas, disusul gergaji di tangan Pak-sin-ong yang
bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal mengacau di Khitan karena Suling
Emas, maka sekarang ia hendak menggunakan kesempatan selagi ada
teman-teman sakti, membalas dendam.
"Suling Emas, hadapilah kematianmu!" bentaknya.
Thai-lek Kauw-ong yang sudah mengalami kelihaian Suling Emas,
membunyikan gembreng dan menerjang maju secara dahsyat. Demikian pula
Siauw-bin Lo-mo, biarpun bertangan kosong, kini menerjang maju dengan
pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan bumbung berisi
racun.
Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa
gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata bergulung-gulung seperti
naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mundur. Namun
ia dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan
yang berilmu tinggi. Tempat itu kurang luas untuk menghadapi
pengeroyokan, apalagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek
Siu-lam. Suling Emas tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka
terdengar suara melengking panjang dan sinar sulingnya menyambar dengan
lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang pengeroyoknya mundur, ia
melesat keluar kamar. Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak
membiarkan ia pergi dan cepat menyusul. Kiranya Suling Emas sudah
menanti mereka di luar, di tempat yang iuas, sambil memalangkan suling
di depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Sikapnya
gagah bukan main dan biarpun usianya sudah setengah abad lebih, ia
tampak gagah dan tampan, tubuhnya masih padat dengan sikap tegak
berdiri, dadanya bidang.
"Hyaaaahhh!!" Bouw Lek Couwsu memekik
dan tongkatnya menyambar kepala Suling Emas yang hanya miringkan tubuh
menghindarkan diri, namun sulingnya menyambar dengan totokan ke arah
lambung Ketua Hsi-hsia ini. Dengan menyontekkan tongkat ke sampingf Bouw
Lek Couwsu berhasil menangkisnya. Pada setengah detik berikutnya,
gergaji Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis
dengan suling, berusaha menempel gergaji dengan sinkang, akan tetapi
karena pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan
sepasang gembreng yang amat berbahaya itu, terpaksa Suling Emas
melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang membiarkan gembreng lewat,
siku kirinya menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak
menyerang sehingga kakek ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas
sudah meloncat lagi ke depan, selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik
kembali gembrengnya pendekar sakti ini sudah memukulkan suling ke arah
kepala. Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau kepalanya dipecahkan
suling, cepat menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat ke belakang
karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring
yang kalau mengenai iganya dapat mematahkan tulang iga.
Pertandingan terjadi makin seru dan cepat. Gerakan Suling Emas indah
sekali, indah dan cepat namun karena empat orang pengeroyoknya juga
bukan orang-orang biasa, ia kalah cepat dan terpaksa bertubi-tubi
menangkis serangan yang datang bergantian bagaikan hujan lebatnya.
Setelah pendekar sakti ini mainkan ilmunya, Hong-in-bun-hoat, sulingnya
mencorat-coret huruf-huruf sakti di udara barulah dia dapat mematahkan
semua serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan, sungguhpun ia
masih belum dapat membalas serangan.
Sementara itu, di luar
terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya
melawan orang orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan ini
memang mencari Pangeran Mahkota mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke
markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya mereka takkan berhasil kalau saja
tidak bertemu dengan Suling Emas di luar hutan. Suling Emas yang
memimpin mereka memasuki markas tanpa diketahui sehingga mereka dapat
menyerbu secara mendadak. Karena jumlah mereka lebih banyak dan karena
pasukan Khitan ini lebih berpengalaman dalam perang, maka pihak
Hsihsia segera terdesak hebat dan banyak jatuh korban.
Sementara itu, Siang Ki telah berhasil membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan
Mimi. Setelah mereka beristirahat sebentar untuk memulihkan jalan
darah yang membeku karena terlalu lama dibelenggu, mereka lalu keluar
dari kamar tahanan yang menyeramkan dengan adanya mayat Bu-tek Siu-lam
yang terpotong-potong! Mereka siap membantu Suling Emas, bahkan Pangeran
Talibu sendiri cemas melihat ayah kandungnya dikeroyok tadi. Akan
tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan pasukannya,
teriakan-teriakan itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil
mendesak dan menang.
Ketika mereka tiba di luar, hati mereka
makin lega. Kiranya Suling Emas kini bukan hanya seorang diri menghadapi
pengeroyokan empat musuh, melainkan dibantu seorang kakek tua renta
yang cebol berkepala besar dan tertawa cekikikan. Yang paling girang
hatinya adalah Hauw Lam karena ia mengenal kakek ini yang bukan lain
adalah kakek aneh luar biasa Bu-tek Lo-jin yang men jadi gurunya hanya
untuk beberapa hari lamanya.
Pak-sin-ong dan Thai-lek Kauw-ong
mengeroyok Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw Lek Couwsu
mengeroyok Bu-tek Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang
sebatang ranting kecil maupun Suling Emas yang bersenjatakan suling
dapat mendesak kedua pengeroyok masing-masing. Akan tetapi pada saat
itu, serombongan hwesio jubah merah yang mendengar tanda bahaya yang
dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan senjata di tangan untuk
mengeroyok dua orang pendekar sakti itu. Mereka ini jumlahnya ada dua
puluh orang, murid-murid pilihan yang terpaksa meninggalkan peperangan
yang terdesak untuk membantu dan membela guru mereka. Melihat munculnya
hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera meloncat
maju menerjang dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar
tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak mau ketinggalan. Pangeran ini sudah
mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mimi, dan kedua orang
muda bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu menyerbu dan
membantu Siang Ki dan Hauw Lam.
Sebagian dari hwesio-hwesio itu
menyambut serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian besar membantu
Bouw Lek Couwsu. Melihat datangnya banyak hwesio jubah merah yang
otomatis mengeroyok kakek cebol, Suling Emas menjadi marah. Ia membuat
gerakan panjang, gulungan sinar suling melibat bayangan Thai-lek
Kauw-ong yang sungguh luar biasa. Kauw-ong kaget, merasa betapa sinar
itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi pedang. Untuk menjaga
diri, Kauw-ong lalu berputaran seperti gasing, sepasang gembrengnya
menjadi sinar yang membungkus tubuhnya. Akan tetapi, ia kena diakali
Suling Emas yang memang hanya menggertak saja. Setelah kakek raksasa
yang amat lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan
seluruh tenaga dan perhatian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya berkelebat,
sulingnya melengking bagaikan sinar kilat menyambar ke arah Pak-sin-ong.
Kini Pak-sin-ong tidak ada pembantu karena sahabatnya sedang
berputaran seperti gasing. Terpaksa ia menangkis dengan gergaji di
tangan kanan sedangkan tali pancingnya menyambar ke arah kaki Suling
Emas.
"Cringg.... krekkkk!" Gergaji itu patah-patah menjadi
beberapa potong. Pak-sin-ong hendak meloncat mundur akan tetapi
alangkah kagetnya ketika gerakannya itu terhalang oleh tali pancingnya
sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan Suling Emas. Kiranya
pendekar sakti itu telah menangkap pancingnya dan karena talinya
diikatkan pada pinggang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri! Ia
menjadi nekat, membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil
tiba-tiba menubruk maju. Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan
suling. Pak-sin-ong mengulur tangan menangkap suling. Gerakannya cepat
dan tak terduga-duga sehingga suling itu dapat tertangkap. Mereka
saling betot, adu tenaga. Namun Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa
mempergunakan kedua tangan melawan tangan kanan Suling Emas. Sambil
tersenyum Suling Emas mempertahankan suling dengan tangan kanan, adapun
tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan yang ampuh dan kuat itu
satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa mengeluarkan suara
Pak-sin-ong melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.
Ketika Suling Emas siap menghadapi Thai-lek Kauw-ong, ternyata Si Raja
Monyet itu telah melompat jauh melarikan diri! Ia tidak mengejar,
melainkan menyerbu ke depan membantu kakek cebol yang kini dikeroyok
banyak sekali lawan. Para murid Bouw Lek Couwsu tentu saja semua
mengeroyok Si Cebol ini untuk membantu guru mereka. Si Kakek Cebol
benar-benar hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia
dapat menduga siapa adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena
siapa lagi di dunia ini ada tokoh sakti memiliki tubuh seperti
kanak-kanak dan kepala besar seperti raksasa? Memang kini sudah
kelihatan tua sekali sehingga kalau melihat mukanya orang yang pernah
bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi melihat potongan tubuh dan
kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah saja menduga siapa
tokoh ini.
"Locianpwe Bu-tek Lo-jin, terima kasih atas bantuan
Locianpwe!" kata Suling Emas sambil menerjang maju, menyerang Siauw-bin
Lo-mo.
"Heh-heh-heh. Suling Emas, siapa membantu siapa? Aku
hanya ingin menghajar monyet-monyet gundul berpakaian pendeta ini!"
Dan.... "brettt.... brettt....!" celana dua orang hwesio jubah merah
robek dan putus tali kolornya. Tentu saja dua orang hwesio itu kededoran
dan tersipu-sipu mundur untuk membenarkan celananya yang robek. Kakek
cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya kembali berkelebatan di antara
sinar senjata para pengeroyoknya yang amat banyak.
"Hayo Bouw
Lek Couwsu, lepaskan celanamu!" kembali kakek cebol itu tertawa dan
menerjang. Ia tidak pedulikan para hwesio yang menghalanginya. Dengan
lincahnya ia melejit dan menyelinap, tahu-tahu ia sudah berhadapan lagi
dengan Bouw Lek Couwsu. Kalau tadi ia belum berhasil adalah karena
selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai, kakek pemimpin Hsi-hsia ini
dibantu pula oleh Siauw-bin Lo-mo. Kini menghadapi kakek cebol seorang
diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat kuningnya yang
berat digerakkan menghantam tubuh Bu-tek Lo-jin.
"Desss....!"
Dan Bouw Lek Couwsu melongo. Jelas tadi ia melihat tongkatnya secara
tepat menyambar tubuh cebol itu, akan tetapi mengapa kini hanya tanah
saja yang dihantamnya dan ke mana perginya Si Cebol? Tiba-tiba
terdengar bunyi kain robek dan Bouw Lek Couwsu cepat membalikkan tubuh
karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kiranya Bu-tek Lo-jin sudah
berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh belakang,
celananya di bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak
buah pantatnya yang besar menghitam!
"Ha-ha-ha-ha, persis pantat monyet, ha-ha-ha," Bu-tek Lo-jin tertawa terbahak-bahak.
Bouw Lek Couwsu marah bukan main. Murid-muridnya sudah mengurung dan
mengeroyok lagi kakek cebol itu dan seorang murid datang membawa celana
baru yang cepat dipakai oleh Bouw Lek Couwsu. Kemudian sambil menggigit
bibir saking marahnya, ia memutar tongkatnya lagi menerjang Si Kakek
Nakal.
Pertandingan antara empat orang muda melawan para pendeta
jubah merah juga berjalan seru. Para pendeta itu adalah murid-murid
pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan pengawal pribadi, maka
kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan pengawal.
Hsi-hsia yang membantu sehingga empat orang muda itu harus bekerja
keras. Banyak sudah orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan tetapi
jumlah pihak lawan makin banyak. Betapapun juga, dengan enaknya Yu
Siang Ki dan Tang Hauw Lam mempermainkan dan membabati mereka karena
tongkat ilmu kepandaian dua orang muda ini jauh lebih tinggi. Puteri
Mimi di samping Talibu sudah mundur karena Sang Pangeran terlalu lelah
oleh luka-lukanya. Dia dibimbing Puteri Mimi yang siap melindunginya.
Tadinya Talibu tidak mau berhenti dalam bertanding melawan musuh, akan
tetapi Yu Siang Ki yang melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah dan
tidak tetap, bahkan wajahnya pucat sekali, maka ia lalu memutar senjata
memberi jalan keluar kepada Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran
mengaso dijaga Puteri Mimi.
Siauw-bin Lo-mo repot sekali
menghadapi Suling Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik oleh suling
di tangan lawan. Untung ke tiga kali itu ia cukup cepat sehingga hanya
mengalami jungkir-balik dan babak belur, kalau ia kurang cepat sedikit
saja, tentu nyawanya telah melayang. Karena maklum bahwa ia bukan
tandingan Suling Emas yang luar biasa saktinya, tiba-tiba Siauw-bin
Lo-mo tertawa bergelak, tangan kirinya membanting bumbung, juga tangan
kanannya meraih bola yang bergantungan pada pinggangnya.
Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan tanpak asap bermacam-macam
warnanya mengebul memenuhi tempat pertandingan itu. Bouw Lek Couwsu
berseru memberi peringatan kepada anak buahnya yang lari cerai-berai,
namun terlambat sedikit. Lebih dari sepuluh orang Hsihsia dan pendeta
jubah merah roboh berkelojotan, ada yang terkena besi, ada yang
menghisap asap beracun.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang
mengaso di emper bangunan, dari jauh melihat betapa setelah membantingi
bahan-bahan peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh telentang.
Akan tetapi mereka tidak melihat di mana adanya Suling Emas, Bu-tek
Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang Hauw Lam! Apakah mereka berempat juga
sudah menjadi korban?
Kiranya ketika terjadi ledakan-ledakan
tadi, keadaan amatlah berbahaya sehingga orang-orang lihai seperti
Siang Ki dan Hauw Lam sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri
karena mereka sedang menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, tiba-tiba
mereka berdua berseru kaget, tubuh mereka terangkat dan terbang melayang
ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu. Setelah memandang, kiranya
Suling Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek Lo-jin yang membawa
"terbang" Hauw Lam! Setelah dilepaskan di atas genteng, dua orang muda
itu segera bertekuk lutut menghaturkan terima kasih.
Bu-tek
Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul pundak Hauw Lam. "Heh-heh, kau
lumayan, aku tidak kecewa. Apalagi permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu
dan sekutunya, hebat!"
"Berkat bimbingan Suhu," kata Hauw Lam merendah.
"Heh, bimbingan apa? Aku tidak pernah mengajarmu bersyair!"
"Suhu telah datang, kenapa tidak cepat turun tangan tadi?"
"Kenapa? Aku belum ada kegembiraan."
"Bukankah tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya?"
"Uuuhh, berani bermain api jangan takut terbakar. Berani bermusuhan
jangan takut berkelahi dan berani berkelahi jangan takut mati! Perlu apa
aku mesti tolong? Eh, Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat teka-teki,
mengapa kau begitu sembrono? Hatiku sampai berdebar tidak karuan.
Bagaimana kalau kebetulan di antara mereka ada yang menebak tepat angka
empat? Kau tentu kalah.
Hauw Lam maklum bahwa gurunya ini memang
ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak ia masukkan hati.
"Teecu (murid) takkan kalah, Suhu. Walaupun ada yang menjawab empat
umpamanya, teecu akan salahkan dia karena jawabannya bukan empat."
"Heeeii, bagaimana ini?"
"Aah, ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di dalam syair itu terdapat
angka atau jumlah bermacam-macam. Kura-kuranya empat, emasnya satu,
bulannya dengan bayangannya dua, tanggal purnama lima belas. Kalau
sekalian angka-angka itu dikali, ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa
saja kita mencari bilangan dari satu sampai seratus! Tentu saja semua
tebakan bisa teecu salahkan!"
Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening
berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa
bergelak. "Ha-ha-ha, kalau begitu kautipu mereka mentah-mentah!"
"Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok
dan tolol saja yang dapat diakali permainan kanak-kanak macam ini. Dan
di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan goblok."
"Ha-ha-ha,
orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti,
Hauw Lam. Aku tidak mau kalah denganmu. Kaulihat nanti bagaimana aku
permainkan mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat ini!" Setelah
berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya
mengorek-ngorek ke dalam lubang hidungnya, mengeluarkan upil (tahi
hidung) dan mengumpulkan lalu memelintir-lintirnya menjadi semacam pel.
"Ah, terlalu sedikit," katanya tertawa. "Hayo kaukeluarkan punyamu. Kau
juga, Suling Emas, dan kau.... eh, jembel muda."
Hauw Lam
mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi
permintaan kakek itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu
akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup berpengalaman untuk
mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu
ia pun lalu mengorek lubang hidungnya.
Suling Emas tersenyum
kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati permintaannya, berarti dia
sudah kena dipermainkan juga, maka ia lalu mengambil kotoran tanah
yang menempel di bawah sepatunya, "Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan
kotoran ini tentu lebih lezat rasanya," Ia menyerahkan segelintir tanah
kotor yang diambilnya dari bawah sepatu.
"Ha-ha-ha, bagus,
bagus! Memang tahi hidung saja kurang banyak," ia lalu menuding dan
menghitung baju-baju merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama
Bouw Lek si tolol. Biar kutambah lumpur!" Kakek ini lalu mengumpulkan
tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima
dari Siang Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu
yang menempel pada genteng. Karena debu-debu itu kering, ia lalu
meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal kecil yang
warnanya tidak karuan, agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu!
"Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung
kehilangan kita. Mari turun!" kata Suling Emas yang melayang turun,
diikuti dua orang pemuda dan kakek nakal.
Suling Emas lebih
dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw-bin Lo-mo yang
sudah tewas. Melihat empat orang ini melayang turun, Pangeran Talibu
dan Puteri Mimi bersorak dan lari menghampiri. Sorak-sorai terdengar
keras sekali dan kini bermunculan perajurit-perajurit Khitan yang sudah
berhasil menyapu bersih orang-orang Hsi-hsia. Bouw Lek Couwsu bersama
sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung, dikurung di
tengah-tengah. Pangeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para
perajurit yang segera mengurung tempat itu dan tak seorang pun di
antara mereka berani turun tangan. Para perajurit ini bersorak girang
melihat bahwa pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat,
sungguhpun Pangeran Mahkota itu tubuhnya luka-luka. Seorang komandan
pasukan cepatcepat maju menghampiri membawa sebuah jubah indah yang
dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya.
Kemudian komandan itu mundur lagi setelah memberi hormat.
Dengan
wajah keruh Bouw Lek Couwsu melangkah maju menghadapi Suling Emas dan
teman-temannya. "Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah,
mau bunuh lekas bunuh!" Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu
melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak
muridnya yang semua melempar senjata ke atas tanah. Orang akan keliru
kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat
pengecut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu
tidak akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau
bodoh. Perbuatan ini malah membuktikan kecerdikannya. Ia tentu saja
mengenal siapa Suling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar
dan yang terkenal memiliki watak satria dan gagah. Seorang satria yang
gagah perkasa tak mungkin sudi membunuh musuh yang tidak melawan lagi!
Sedangkan kalau dia dan murid-muridnya melawan, tak dapat diragukan
lagi dia dan murid-muridnya tentu akan binasa semua.
"Bouw Lek
Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang
bijaksana tidak menghendaki permusuhan dengan bangsa apapun juga. Juga
dengan bangsa Hsi-hsia tidak menghendaki permusuhan. Oleh karena itu
kau kini melanggar wilayah Sung, maka Pemerintah Sung yang berhak
memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan kehendak Kaisar,
biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran bagimu agar kelak kau tidak
berani main-main dengan Kerajaan Sung maupun dengan Kerajaan Khitan. Kau
pergilah pulang ke tempat asalmu!"
"Eh-eh-eh, nanti dulu!"
tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Suling Emas, kau
membebaskan mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan
melepaskan kepala memegang buntutnya! Mereka kaubebaskan untuk mati, apa
bedanya? Lihat, bukankah mereka semua menderita luka keracunan yang
hebat dan tiada obatnya? Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati
dan tangannya menunjuk ke arah leher, "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak
dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam tidakkah
terasa gatal dan sakit?"
Bouw Lek Couwsu benar-benar menarik
napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal dan
sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk
memunahkan racun ini, namun makin dilawan makin sakit. Sementara itu,
Bu-tek Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couwsu, menuding
sana-sini, ada yang lehernya sakit, ada yang punggungnya, pundaknya,
pahanya pendeknya di mana kakek itu menuding, tentu di situ benar-benar
terasa gatal dan sakit apabila dipakai menarik napas panjang. Ributlah
mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.
"Ha-ha-ha!
Bouw Lek Couwsu, tahukah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang
di tubuh kalian semua? Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat
disembuhkan kecuali oleh obat yang dinamakan batu hitam dari guha
kembar! Atau dengan cara lain, bagian yang kena racun itu dipotong.
Kalau paha yang terkena, ya. pahanya dipotong, kalau punggung atau
leher... yah, pinggangnya dan lehernya dipotong!"
Sepasang mata
Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-muridnya menggigil
ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam itu? Pinggang atau leher
dipotong berarti mati!
"Suling Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"
"Bouw Lek Couwsu, aku bukan seorang ahli tentang racun, akan tetapi
harus diakui bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah seorang ahli tentang
pukulan-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada beliau."
Bouw Lek Couwsu dengan sikap angkuh kini menghadapi kakek cebol yang
tertawa-tawa, "Apakah omonganmu itu betul dan tidak omong kosong
belaka?"
"Heh-heh-heh, memang omong kosong? Apa sih isinya
omongan? Tapi yang kosong berisi, yang isi itu kosong, bukan begitu
Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang
menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan
manusia bukan anjing tapi manusia dan anjing sama! Luka-luka kalian
adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang
melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di
bawah, terkena tanpa kalian rasakan. Padahal andaikata kami di bawah
dan terkena racun juga, tidak mengapa karena aku mempunyai obat
pemunahnya. Kebetulan sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu
Sepasang Guha."
"Omitohud....!" Bouw Lek Couwsu menyebut nama
Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang mencengkeram dia dan
anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek Lo-jin, kalau begitu
pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."
"Tadi maki-maki sekarang minta-minta. Inilah watak manusia kalau
membutuhkan sesuatu! Obat ini mencarinya juga bertaruhan nyawa.
Sepasang guha itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku berani
mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepasang
guha itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah batu hitam
dikumpulkan sedikit demi sedikit. Dicampur dengan sari bumi dan debu
angkasa. Bayangkan saja betapa sukarnya mendapatkan obat ini," Bu-tek
Lo-jin mengeluarkan sekepal "obat" yang sudah ia bungkus kain kuning.
Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya
kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia membikin mampus padanya dan
merampas obatnya.
"Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu. Kalau perlu dibeli, katakan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."
"Heh-heh-heh, kita sudah saling bertanding, itu berarti kita sudah
menjadi sahabat. Di antara sobat, mana ada jual beli? Akan tetapi karena
kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau sekarang kau dan
semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku,
obat akan kuberikan dengan gratis!"
Tanpa dikomando lagi,
sembilan belas orang, hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut ke
arah Bu-tek Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan
ayam bulu merah mematuk beras, berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali,
sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya
pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Orang telah mempermainkan dan
menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya melampiaskan
kemarahannya.
"Hemm, paling-paling pinceng akan mati kalau
tidak dapat mengobati sendiri, akan tetapi seluruh dunia akan mendengar
tentang perlakuan Bu-tek Lojin yang tidak patut!"
"Biarlah,
mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali
ini kubebaskan dari berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek
atau masuk angin lalu datang minta obat kepadaku, engkau harus
berlutut!" kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan
mereka. Ia membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan sekepal "obat"
itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata seperti lagak
penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya. "Obat ini adalah obat
paling manjur di dunia dan akhirat! Jangankan manusia sakit keracunan,
bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa sekalipun dapat
disembuhkan!" Ia lalu membagi-bagi menjadi dua puluh butir, dan
membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cousu dan murid-muridnya sambil
berkata, "Telan sekarang juga sebelum terlambat!"
Bouw Lek
Couwsu menelan pel kemulutnya. Ia merasakan betapa "pel" itu kasar dan
agak asin, terus ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa
ragu-ragu lagi telah menelan obat mustajab itu. Alangkah lega rasa hati
mereka ketika kini mereka menarik napas panjang bagian tubuh yang
keracunan itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek
Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil mengerahkan sin-kang
dan.... rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali
lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.
"Omitohud, Lo-jin telah
menyelamatkan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi
besar. Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa," Ia menjura ke arah Suling
Emas dan teman-teman, memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh,
menyeret tongkat dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya. Atas
isyarat Pangeran Talibu, para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan
rombongan pimpinan Hsi-hsia ini lewat.
Begitu mereka pergi,
Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia
sampai bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan di antara suara
ketawanya ia berkata, ".... lucu.... ha-ha-ha.... lucu!"
Mereka
yang tidak mengerti, termasuk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu
saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek ini memang betul gila.
Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya, segera bercerita
dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi
sama, sekali tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan
Bu-tek Lojin ketika menuding dan sama sekali tidak terancam maut,
karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar
saja. Bahwa "obat mustajab" itu adapah upil (tahi hidung) yang dicampur
dengan debu genteng dan tanah di telapak kaki. Orang-orang Khitan yang
mengerti bahasa Han, lalu menterjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada
teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi
sampai terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat
keadaan amat lucu adalah ketika mereka teringat betapa tahi hidung
disebut batu hitam dari sepasang guha, tentu saja sepasang guha adalah
sepasang lubang hidung dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki
lubang hidung! Dan sari bumi adalah kotoran di telapak kaki sedangkan
debu angkasa adalah debu di atas genteng!
Setelah suara ketawa
mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama
Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian
ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan
banyak orang, Suling Emas menyebut pangeran kepada puteranya itu.
Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang
disediakan oleh pasukan Khitan, minta diri dari Suling, Emas dan Bu-tek
Lo-jin, berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam
yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah
rombongan itu.
Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam,
diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak bicara.
Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan pengalamannya,
pertemuannya dengan Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua, kemudian
betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat bertemu dengan ibunya
yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau
meninggalkan tempat itu.
Bu-tek Lo-jin mendengarkan penuturan
ini dan segera dapat mengambil kesimpulan bahwa muridnya “ada hati”
kepada Mutiara Hitam. “Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?”
Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali. “Bagainiana Suhu tahu?”
“Heh-heh, kaukira aku begitu tolol? Pembelaanmu di kamar tahanan, dan
ketika kau bercerita setiap menyebut namanya, sinar matamu bercahaya.
Hayo katakan, kau cinta dia?”
Hauw Lam menghela napas, “Tak
dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu mencintanya, akan tetapi.... ah,
seperti hendak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari.
Terlalu tinggi....“
“Uaaahh! Siapa bilang? Biarpun hanya untuk
beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin! Gadis mana yang terlalu
tinggi untukmu? Biar puteri Kaisar sekalipun, kalau aku yang melamar
untukmu, akan diberikan! Kenapa kau tidak mengawininya? Dia ke mana?”
Hauw Lam maklum akan sifat gurunya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu
Mutiara Hitam berada di situ, tentu akan diseret gurunya dan dipaksa
menikah dengannya! Ia tidak mau terjadi hal seperti ini, maka ia
menjawab.
“Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi menurut
penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah Puteri Khitan,
puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas duduknya
perkara, tapi....“
“Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan
melamarnya dari tangan Ratu Khitan! Nah, sampai jumpa di Khitan!”
Kakek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru,
“Haii, Suling Emas! Aku pergi sekarang!” Tanpa menanti jawaban ia sudah
melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata.
Suling Emas yang
sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki, hanya melambaikan tangan ke
arah kakek itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sungguh dan
serius dengan pemuda itu.
“Kau sendiri sudah kalah olehnya?” Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Bu-tek Lojin tadi.
“Betul, Locianpwe. Dia amat lihai,” jawab Siang Ki yang tadi bercerita
tentang Suling Emas palsu yang menantang-nantang Yu Kang Tianglo!
“Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kaubilang
tadi? Dan dia pandai menggunakan hui-to (golok terbang)?”
“Benar, Locianpwe.”
Suling Emas mengangguk-angguk. “Hemm, urusan ini penting, harus
kubereskan sendiri. Akan tetapi aku masih ada persoalan di kota raja.
Siang Ki, sekarang kaubuatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo dan
mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima
belas di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu.”
“Tapi, Locianpwe....“ Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.
“Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita lihat saja nanti.”
Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat
itu Tang Hauw Lam juga datang berpamit hendak. melanjutkan perjalanan.
Mereka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki hendak
mengerjakan perintah pendekar sakti itu, adapun Hauw Lam sebelum ke
Khitan hendak menyampaikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud
pelamarannya kepada Kwi Lan.
***
Kwi Lan masih pingsan
ketika tubuhnya dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari keluar.
Pemuda ini meloncat ke atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari
menuju ke selatan. Perang tanding telah terjadi dengan hebatnya namun
Suma Kiat tidak mempedulikan semua itu. Ia membalapkan kudanya dan
karena orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal siapa pemuda ini maka mereka
tidak mengganggunya. Perajurit-perajurit Khitan juga tidak
menghalanginya karena pemuda yang membawa lari gadis pingsan itu tidak
menyerang mereka. Satu dua orang yang mencoba-coba menghalangi, roboh
oleh pukulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia keluar dari tempat
pertempuran dan terus membalap ke selatan.
Setelah hari menjadi
petang, berhentilah Suma Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini
adalah kuil yang sudah kosong dan hanya dipergunakan mengaso dan
bermalam mereka yang kemalaman di jalan. Kebetulan kuil itu kosong. Suma
Kiat memondong tubuh Kwi Lan memasuki kuil.
Baru saja ia
menurunkan tubuh gadis itu di atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan
bergerak. Suma Kiat cepat menotok jalan darah gadis itu, membuat Kwi Lan
yang sudah sadar tidak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi
lemas. Gadis itu membuka matanya dan teringatlah ia akan semua
peristiwa yang dialami. Teringat betapa gurunya dikeroyok dan betapa ia
membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek Kauw-ong yang lihai. Kemudian
ia melihat cahaya api menerangi kegelapan. Ketika ia melirik, ia melihat
Suma Kiat sudah menyalakan lilin. Agaknya para penghuni kuil yang
kemalaman di jalan lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan
oleh Suma Kiat. Kemudian pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas
lantai, wajahnya keruh dan tampak lelah. Kwi Lan berusaha mengerahkan
tenaga, namun sia-sia belaka karena baru saja ia tertotok di luar
tahunya.
Ia tahu bahwa suhengnya ini memiliki watak yang aneh,
bahkan tidak normal seperti gurunya. Dan ia sama sekali tidak dapat
menerka, apa yang hendak dilakukan pemuda ini terhadap dirinya, mengapa
ia dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan dibuat tak berdaya dengan
totokan. Ia bergidik. Jatuh ke tangan suhengnya ini tidak kurang
berbahayanya daripada jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Kwi
Lan membesarkan hatinya dan bertanya, suaranya biasa.
“Suheng...., bagaimana dengan Bibi Sian?”
Tiba-tiba saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka
dalam pelukan lengannya. Sampai lama pemuda ini menangis, pundaknya
bergoyang-goyang, sampai mengguguk. Mau tak mau Kwi Lan agak terharu
juga. Betapapun juga, pemuda ini bersama-sama dengan dia sejak kecil
dan kini ditinggal mati ibunya. Tanpa ia sadari, sepasang mata Kwi Lan
juga mencucurkan air mata. Gurunya tentu sudah mati.
Akhirnya
tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian ia mengangkat mukanya, memandang
Kwi Lan dengan sepasang mata merah, “Ibu sudah meninggal dunia....”
katanya, suaranya parau, “Aku ditinggal seorang diri. Karena itu, engkau
harus menolongku, Sumoi.”
“Tentu saja, Suheng,” jawab Kwi Lan
halus. “Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka menolongmu. Tapi,
kaubebaskan dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara dalam keadaan
begini.”
Tiba-tiba, seperti ketika menangis tadi, Suma Kiat
tertawa bergelak, “Ha-ha-ha! kaukira aku begitu bodoh? Membebaskanmu
kemudian engkau menyerangku, ya? Ha-ha, Suma Kiat tidak begitu bodoh,
Sumoi. Ha-ha!” Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu menowel paha Kwi
Lan. Gadis ini bergidik. Benar gila suhengnya ini.
“Aku tidak akan menyerangmu, Suheng. Aku berjanji takkan menyerangmu.”
“Ho-ho-ha-ha, kalau tidak menyerang tentu lari meninggalkan aku! Ha-ha,
aku tidak bodoh. Tidak boleh kau meninggalkan aku. Ibu sudah pergi,
engkau tidak boleh pergi. ibu sudah mati.... huu-huuukhuuuk....“ Ia
menangis lagi, “Ibu mati dan aku tidak bisa menjadi kaisar, menjadi
pangeran pun tidak. Aaahhh, aku hanya punya engkau, Hanya engkau yang
dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu engkau tidak boleh
meninggalkan aku dan terpaksa kutotok.”
“Apa maksudmu, Suheng? Menjadikan kau pangeran?” Kwi Lan bertanya, makin heran akan tetapi juga makin gelisah.
“Tentu saja. Ibu pernah bilang bahwa kau adalah puteri Ratu Khitan.
Kalau aku menjadi suamimu, berarti aku mantu Ratu Khitan, seorang
pangeran. Kalau kelak aku tidak menggantikan ibumu, menjadi Raja Khitan,
setidaknya aku menjadi pangeran. Maka engkau harus menjadi isteriku,
Sumoi.”
Kwi Lan terkejut sekali. Celaka, pikirnya. Jalan
pikiran orang gila ini aneh sekali. Bagaimana ia dapat lolos? Ia harus
cerdik.
“Ah, mana bisa, Suheng? Kau tidak mencintaku, aku pun
tidak cinta kepadamu. Ingat, sejak kecil kita saling bertengkar saja
mana mungkin menjadi suami isteri?”
“Ha-ha-ha, siapa bilang aku
tidak cinta padamu? Kau begini cantik manis, begini molek. Eh, Sumoi,
tahukah kau bahwa setelah kita dewasa, seringkali aku rindu kepadamu?
Engkau cantik jelita,” Suma Kiat membelai dagu wanita itu kemudian
menunduk dan mencium pipinya!
Kwi Lan bergidik. Celaka sekarang!
“Ah, Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku bukan seorang wanita
yang mudah ditundukkan. Sekali aku bilang tidak mau, sampai mati pun
aku tidak mau. Kalau aku tidak sudi menjadi isterimu, kau mau apa? Lebih
baik kita tidak bertengkar dan bebaskan aku, dan kita bicara dengan
baik, mungkin aku dapat memberi jalan baik kepadamu.”
“Ha-ha,
jangan coba untuk menipuku, Sumoi. Engkau boleh tidak sudi menjadi
isteriku, akan tetapi aku punya cara untuk memaksamu.”
“Suheng, jangan gila!”
“Heh-heh-heh, memang aku gila. Bukankah Ibu juga dianggap gila oleh
orang lain? Mau tidak mau engkau akan menjadi isteriku, Kwi Lan.
Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang, melainkan Lan-moi-moi yang
cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek. Ini sebabnya mengapa
kau kutotok. Aku akan memaksamu malam ini juga menjadi isteriku. Kalau
sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa menolak lagi besok?
Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum
kawin? Kalau malam ini engkau menjadi isteriku, engkau akan terpaksa
menerima aku sebagai suami. Ha-ha-ha, aku akan menjadi mantu Ratu
Khitan. Hebat bukan rencanaku?”
Kerongkongan Kwi Lan serasa
tersumbat! Ia tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan
melakukan rencana gilanya dan dia akan menjadi korban. Dicobanya
menggertak, “Suheng! Biarpun sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi
kalau kau melakukan niat keji itu, besok kau akan kubunuh! Percayalah,
kalau kau benar-benar memperkosa, besok kau akan kubunuh, kucincang
hancur tubuhmu!”
Sesaat sinar takut menyelubungi wajah tampan
itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi Lan yang ia tahu memiliki
kepandaian lebih lihai daripadanya. Mulutnya berkemak-kemik seperti
bicara kepada diri sendiri. Melihat ini, Kwi Lan melanjutkan.
“Tidak ada gunanya, Suheng. Kau dapat memaksaku sekarang, akan tetapi
kau takkan dapat menjadi mantu Ratu, tidak menjadi pangeran, melainkan
besok kau menjadi mayat yang hancur lebur dagingnya. Lebih baik kita
bicara baik-baik, kaubebaskan aku.”
Akan tetapi tiba-tiba wajah
itu tersenyum-senyum lagi, seakan telah mendapat sebuah pikiran baru,
kemudian Suma Kiat tertawa, “Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku.
Kaukira aku begitu tolol memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok
kubebaskan? Ha-ha, salahmu sendiri kau membuka rahasia dan rencanamu.
Kalau kau tadi tidak bicara, tentu malam ini kau kujadikan isteri dan
besok kubebaskan. Tapi pikiranmu busuk sekali. Biar malam ini sudah
menjadi isteri, besok hendak membunuh dan mencincang tubuhku. Iihh,
isteri macam apa ini? Aku tidak akan membebaskanmu, Kwi Lan. Tiap tujuh
jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau akan kupaksa menjadi
isteriku sampai.... ha-ha-ha, sampai kau mengandung! Nah, kalau kau
sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung keturunanku,
masa kau masih mau membandel!”
Sesak jalan pernapasan Kwi Lan.
Ia merasa ngeri dan bulu tengkuknya meremang. Alangkah akan ngeri dan
sengsaranya kalau rencana gila ini dilaksanakan. Dan sesungguhnya,
kalau dilaksanakan ia tidak akan dapat berbuat sesuatu! Ia akan hidup
seperti mayat, makan dipaksa, minum dipaksa, lalu diperkosa sesuka
hati, dan baru akan dibebaskan kalau sudah mengandung. Celaka! Hampir ia
menjerit saking ngeri dan cemasnya. Apa akal sekarang? Teringatlah Kwi
Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu-tek Siu-lam di kamar
tahanan. Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya
sedapat mungkin untuk menyelamatkannya. Hauw Lam, Si Berandal! Ah,
terbayang wajah sahabat baik ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan
betapa besar cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya
dengan segala macam akal. Pemuda yang cerdik, gagah dan jenaka. Dunia
selalu akan berseri kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam
mencintanya. Akan tetapi.... di sana ada Pangeran Talibu. Ah, betapa
besar cinta kasihnya terhadap Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta
pemuda lain.
Aihh, mengapa ia teringat yang bukan-bukan?
Bagaimana andaikata Hauw Lam yang menghadapi persoalan dan ancaman
mengerikan seperti dia sekarang? Ia kembali mengenangkan sikap Hauw
Lam. Mengulur waktu! Ya, mengulur waktu memperpanjang ancaman dan
memperlebar kesempatan.
Tiba-tiba ia menangis. Tadinya ia hanya
ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan kematian
gurunya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi,
ia jadi menangis sungguh-sungguh! Air matanya bercucuran dan ia
terisak-isak. Suma Kiat kaget melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah
ia melihat sumoinya menangis seperti ini. Dahulu, semenjak mereka
kecil, kalau mereka bertengkar , dialah yang menangis, bukan Kwi Lan.
Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis. Akan tetapi
sekarang menangis terisak-isak begitu menyedihkan! Seketika air mata
Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh
yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil
yang kering.
“Ada apakah, Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang
manis, isteriku yang denok? Kenapa menangis? Aku tidak akan
menyakitimu, manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang.
Anak kitak kelak tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi
seperti.... eh, Paman Suling Emas! Ya, anak kita tentu jagoan!”
Hiburan ini bukan mengurangi kesedihan, bahkan menambah, membuat Kwi
Lan menangis makin sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu
mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini? Ia dihadapkan ancaman
seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di
mana engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akalnya!
“Suheng...., apa engkau tidak kasihan kepadaku? Benarkah kau tega
hendak menyiksaku lahir batin? Suheng, lebih baik kaubunuh saja aku....“
Suma Kiat merangkul lebih erat, “Aihhh mana mungkin, sayang? Bagaimana
aku dapat membunuh orang yang paling kucinta di dunia ini? Jangan
khawatir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakitimu. Percayalah, aku sayang
kepadamu....”
Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi
Lan ketika pemuda itu mulai membelainya, bahkan dengan gerakan halus
dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya
yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Berdiri seluruh bulu di tubuh Kwi
Lan dan ia cepat-cepat berkata.
“Suheng...., dengarlah
kata-kataku. Eh.... aduh, tolong kausandarkan aku di dinding, jangan
sentuh aku dan dengarkan dulu baik-baik.... aku.... aku menyerah, akan
tetapi ada syaratnya....”
Suma Kiat menarik kembali tangannya,
menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh perhatian, penuh
kemesraan. “Apa, manisku? Kau mau bilang apa?”
Mengulur waktu,
harus mengulur waktu, demikian jalan pikiran Kwi Lan, teringat akan
kecerdikan dan akal Hauw Lam. “Suheng....” suaranya ia buat manis dan
halus, “setelah kupikir-pikir, memang kau benar. Kita sudah kehilangan
Bibi Sian, kalau tidak saling tolong, bagaimana lagi? Dan
kupikir-pikir.... eh, engkau bukan seorang pemuda yang buruk. Engkau
tampan, cerdik, juga gagah. Tidak kecewa menjadi isterimu. Baiklah, aku
menyerah. Akan tetapi....”
“Heh-heh-heh, jangan kau menipuku,
Kwi Lan. Kalau aku disuruh membebaskanmu, tak mungkin. Aku tahu
kelihaianmu. Engkau akan menjadi isteriku dalam keadaan tertotok....”
“Sesukamulah, Suheng. Aku sudah menyerah. Akan tetapi.... kuminta
dengan sangat, jangan.... jangan malam ini! Lupakah engkau, Suheng,
bahwa ibumu baru siang tadi meninggal dunia? Bagaimana kita dapat
melakukan.... eh.... hal itu malam ini? Ini amat tidak baik dan
durhaka, Suheng. Kau boleh totok aku, aku toh tidak mampu lari. Tapi
malam ini jangan...., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah,
bahkan kemudian aku tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau
menjadi mantu Kerajaan Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan
aku permaisurimu. Wah alangkah bahagianya!”
Makin berseri wajah
Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak-jingkrak dalam kuil
itu, lalu berjongkok dan.... “ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan
hidungnya.
“Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Terima kasih, kau baik sekali. Tapi...., kalau sekarang, mengapa sih?”
Tadinya Kwi Lan sudah girang menyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi
kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk
keadaan hati pemuda gila ini.
“Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku.
Tidak mau aku mendurhakai guru melakukan.... hal itu pada hari guru
meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan mencari kesempatan
membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh
diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun
aku dapat membunuh diri!”
Suma Kiat mengangguk-angguk,
“Baiklah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah
sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!”
Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja sudah
mendengkur!
Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kelap-kelip
memandang api lilin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di dalam
kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Berhasil untuk
sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaimana?
Ia tetap tidak melihat kesempatan. Dan tiba-tiba jantungnya serasa
berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam
lagi, pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia
akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebaskan diri kalau
ia sudah dapat bergerak!
Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang
amat sengsara, tegang dan menggelisahkan bagi Kwi Lan. Api lilin sudah
padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap
menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau
menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...., hampir
tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan
berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun
sia-sia. Totokan belum punah.
Akhirnya, ia dapat menggerakkan
pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan
seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh.
Dan.... pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya,
membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi. Suma Kiat
tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya. Hatinya kecewa bukan main.
Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu
habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring
lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur.
Untung bahwa ketika rebah tadi, kaki tangannya tertarik sehingga
biarpun dipeluk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas
pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hatinya penuh
kemarahan dan kebencian.
Matahari telah menyinarkan cahayanya
melalui jendela kuil yang tak berdaun lagi. Kwi Lan memicingkan mata,
silau oleh sinar matahari Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit
duduk lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.
“Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau
tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi
dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan seperti kuncup
bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu,
bukan? Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi....“
Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah
itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan
di belakangnya.
“Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan jahat!”
Suma Kiat meloncat bangun, membalikkan tubuh dan berhadapan dengan....
Kiang Liong! Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah
penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol ujung alat musik
yang-khim. Seperti diketahui, pemuda ini diperintah oleh Suling Emas
untuk mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan dan
akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda
keselatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam gelap.
Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia
melanjutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor
kuda di luarnya. hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih
sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan
keji terhadap Kwi Lan.
Suma Kiat kaget bukan main dan sejenak
ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat.
Kiang Liong sebaliknya menyapu ke dalam dan memandang ke arah Kwi Lan.
Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat.
Biarpun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih daripada
itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat
terhindar daripada penghinaan yang hebat.
“Piauw-heng (Kakak
Misan).... kau.... menyusul ke sini? Ah, Piauw-heng.... Ibuku telah....
telah meninggal dunia....” Dan Suma Kiat menangis!
“Suma Kiat!”
Kiang Liong membentak marah. “Simpan air mata buaya itu! Dan katakan,
apa maksudmu melarikan Mutiara Hitam dan apa yang hendak kaulakukan
tadi?”
Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong
dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak misannya
marah-marah. “Dia ini....? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku,
Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepadanya!”
Kwi Lan cepat berkata. “Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau
hendak memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi
isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!”
“Heh....? Tapi.... tapi.... malam tadi kau berjanji.... kau akan menyerah pagi ini.... kau....”
Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah
berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan
mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melangkah maju dan tangannya
bergerak.
“Plak-plak-plak-plak!” Empat kali kedua pipi Suma Kiat
ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan menangkis, namun
tetap saja tamparan-tamparan itu mengenai kedua pipinya sampai matang
biru! Ia terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, meraba kedua pipinya
lalu mewek, menangis!
“Piauw-heng.... Piauw-heng.... kau.... kau mau bunuh aku....?” Ia mundur-mundur ketakutan.
Kiang Liong menggigit bibir, “Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau
engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang
juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!”
Suma Kiat
membalikkan tubuh lalu.... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil
berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya!
Kiang
Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan
bangkit duduk perlahan. Tubuhnya kaku dan sakit-sakit karena terlalu
lama lumpuh. Setelah duduk bersila sejenak dan tenaga serta jalan
darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar
kuil, tadi membiarkan dia beristirahat.
Kiang Liong sudah
duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan
mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan Yang-khim itu,
suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara pemuda itu bernyanyi,
suaranya halus dan mengandung ketenangan, namun juga menimbulkan haru
dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di
belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggalkan Suma Kiat dan berada
di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut mendengarkan.
“Matahari cerah
menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku
tetap gelap dan gelisah
hanya sepatah kata
kuharapkan dirimu
pengusir gelap dan resah.”
Dengan iringan suara yang-khim, nyanyian berhenti dan heninglah
keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila memangku
yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik
napas panjang, melangkah maju dan memanggil.
“Kiang-kongcu....“
Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di
punggung dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri berhadapan, pandang mata
mereka bertemu, masing-masing seperti hendak menjenguk isi hati.
Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah. Dalam nyanyian tadi dia
merasa seakan-akan pemuda ini bicara kepadanya, seakan-akan dari
dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan resah!
Dengan perasaan wanitanya yang kini amat tajam karena berkali-kali
menerima pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini,
pemuda yang terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wanita remaja,
murid Suling Emas, agaknya juga.... jatuh cinta kepadanya! Jelas
tersinar dari pandang mata itu! Kwi Lan menunduk, lalu berkata.
“Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku daripada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu.”
Kiang Liong menjura, “Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah
pernah senasib sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu,
kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya
perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget
dan ancaman bahaya, namun selalu terhindar ini membuktikan bahwa orang
baik selalu dilindungi Thian.”
Kwi Lan bergidik. “Tidak sangka...., Suheng makin gila....“
“Maafkanlah dia, Nona. Suhengmu atau adik misanku itu patut dikasihani.
Dia tidak normal dan.... dan baru saja kehilangan ibunya....“
Kwi Lan menggerakkan pundak. Sukar baginya untuk memaafkan Suma Kiat,
biarpun ia tahu bahwa pemuda itu gila, setelah apa yang diiakukan Suma
Kiat terhadap dirinya. Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium, tubuhnya
dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya yang
keji! Cepat-cepat ia mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan
percakapan.
“Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu?
Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana dengan.... Pangeran.... dan
teman-teman yang lain?” Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran
Talibu, penuh kekhawatiran.
“Suhu datang setelah gurumu tewas
dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui kecerdikan
Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati
gurumulah kita semua selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam,
akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul
guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya. Pasukan
Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok
empat kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku
dibebaskan Suhu dan disuruh, mengejar Suma Kiat untuk menolongmu.”.
Kwi Lan mengerutkan kening. Ia percaya akan kesaktian Suling Emas dan
besar harapan Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan selamat. Akan
tetapi mengapa Kiang Liiong disuruh menolongnya?
“Gurumu menyuruhmu mengejar Suma suheng dan menolongku?”
“Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya
kepadaku tentang kau. Ketika aku memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma
Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat mengejar. Suhu
agaknya amat memperhatikammu.”
Kwi Lan tidak mengerti, akan
tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih
mengkhawatirkan keselamatan yang lain-lain. “Bagaimana dengan mereka?
Ah, jangan-jangan....“
“Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan
menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan kemenangannya. Kurasa
mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari
berita tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak
berkeberatan, kita melakukan perjalanan bersama,” Pandang mata pemuda
itu penuh harapan.
Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang
dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya. Semua
mencintanya. Tapi di sana ada Pangeran Talibu! Selain Pangeran ini,
kalau disuruh memilih, sungguh amat sukar. Semua mempunyai kelebihan
dan kebaikan masing-masing!
“Aku ingin ke Khitan, akan tetapi,
baiklah kita ke kota raja dulu, karena aku pun ingin sekali mendengar
bagaimana dengan akhir pertempuran di markas orang Hsi-hsia itu,” Tentu
saja, bagaimana ia dapat pergi ke Khitan menyusul Pangeran Talibu
kalau ia belum mendengar tentang keadaan Pangeran itu?
Berangkatlah mereka ke kota raja. Kiang Liong mempersilakan Kwi Lan naik
kuda sedang ia sendiri ber jalan di samping kuda. Pemuda itu nampak
gembira bukan main. Besar harapannya melihat sikap gadis itu yang selalu
manis dan ramah kepadanya. Ia merasa betapa hatinya benar-benar jatuh
terhadap Kwi Lan. Belum pernah selamanya ia menaruh simpati begini besar
terhadap seorang gadis, yang kehadirannya membuat matahari bersinar
lebih terang, bunga-bunga mekar lebihindah. Ia tidak mau secara sembrono
menyatakan cinta kasihnya, dan mengharap senyum itu dapat dimengerti
gadis ini. Kelak kalau sudah tiba saatnya, ia akan mengajukan lamaran
secara resmi!
Dapat dibayangkan betapa besar rasa kegembiraan
mereka, terutama hati Kwi Lan, ketika mereka tiba di luar kota raja,
mereka sudah mendengar berita tentang kesudahan pertempuran di markas
Bouw Lek Couwsu. Mereka mendengar berita bahwa markas orang Hsi-hsia
dihancurkan oleh Suling Emas dan pasukan Khitan, bahwa Pangeran Talibu
dan Puteri Mimi yang ditahan di sana telah dibebaskan dan kembali ke
Khitan, juga tentang kematian Siauw-bin Lo-mo dan Pak-sin-ong oleh
Suling Emas yang dibantu oleh seorang kakek cebol berkepala raksasa
yang amat aneh dan lihai!
Dua orang muda itu menduga-duga dan Kiang Liong berkata, “Tak salah lagi, kakek aneh itu tentulah Bu-tek Lo-jin!”
“Guru Berandal? Betul-betul dia datang?” tanya Kwi Lan, tertawa geli
kalau teringat kepada Hauw Lam. Muridnya begitu ugal-ugalan, entah
bagaimana gurunya!
“Tentu dia, siapa lagi kakek begitu aneh yang
dapat menandingi orang-orang seperti Siauw-bin Lo-mo? Akan tetapi, agar
dapat mendengar keterangan lebih jelas, mari kita memasuki kota raja.
Mungkin Suhu masih berada di kota raja.”
Mereka melanjutkan
perjalanan. Di depan pintu gerbang kota raja, mereka disambut pasukan
kota raja sebanyak dua losin orang yang dikepalai seorang komandan.
Begitu bertemu, komandan itu lalu membentak.
“Kiang Liong, lebih baik engkau menyerah!”
Kiang Liong terkejut bukan main. ia mengenal komandan ini, seperti juga
komandan yang lain. Dia sudah terkenal dan selalu dihormati mereka.
Bagaimana sekarang komandan ini membentak suruh ia menyerah?
“Heii, apa maksudmu?” ia balas bertanya, terheran-heran.
Komandan ini berkata angkuh, “Lekas berlutut dan dengarkan firman Kaisar!”
Melihat betapa komandan itu mengeluarkan segulung surat perintah,
Kiang Liong segera berlutut, mendengarkan bagaikan mimpi suara komandan
itu yang lantang membacakan surat perintah. Hampir tidak percaya ia
ketika mendengar bahwa surat perintah itu adalah pernyataan Kaisar
bahwa dia adalah seorang pemberontak yang memancing permusuhan dengan
bangsa Hsi-hsia dan tidak mentaati perintah damai dari Kaisar! Ia
termenung tak dapat berkata-kata. Ketika komandan menghampirinya
membawa belenggu, ia menyerahkan kedua lengannya tanpa membantah,
wajahnya pucat.
“Heii, lepaskan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan
menerjang maju dan Si Komandan terpental jauh, jatuh bergulingan dan
pingsan! Dua losin tentara mengurung, namun Kwi Lan mengamuk. Begitu
kaki tangannya bergerak, enam orang tentara sudah terpelanting, roboh!
“Nona, jangan....!” Kiang Liong berseru menahan.
“Jangan bagaimana? Kiang Liong, engkau mengapa begini lemah? Biar
kaisar biar setan kalau perintahnya tidak benar perlu apa ditaati? Kau
tidak bersalah hendak ditangkap, masa menyerah begitu saja? Kau boleh
menyerah, akan tetapi aku tetap tidak membiarkan kau ditangkap!”
Kiang Liong bingung, apalagi melihat nona itu mengamuk terus dan setiap
orang tentara yang mendekatinya tentu terpelanting roboh. Ia menghela
napas, kemudian mengambil keputusan untuk sementara lari dan mencari
suhunya minta pertimbangan agar mencegah Mutiara Hitam mengamuk yang
dapat menimbulkan bencana lebih besar lagi.
“Baiklah, Mutiara
Hitam. Mari kita lari!” Mereka berdua lalu kabur dengan ilmu lari cepat.
Pasukan yang kehilangan komandan karena komandan itu masih pingsan
menjadi bingung dan hanya dapat menolong mereka yang terluka dan
pingsan.
Setelah lari jauh, dengan suara penuh harapan Kiang
Liong bertanya, “Mutiara Hitam, engkau.... mengapa kau menolongku
mati-matian?”
Kwi Lan tersenyum. “Siapa bicara tentang
tolong-menolong? Bagaimana aku dapat melihat kau ditangkap begitu saja?
Nah, kita berpisah di sini. Aku akan terus ke Khitan.”
“Aku mendengar bahwa Nona adalah puteri Ratu Khitan. Nona hendak menemui ibumu?”
Di dalam hatinya, Kwi Lan sebetulnya bukan hanya ingin menemui ibunya,
melainkan terutama sekali menyusul.... Pangeran Talibu. Akan tetapi ia
menjawab dengan anggukan kepala dan melanjutkan, Nah, sampai jumpa.”
“Sampai jumpa, Mutiara Hitam dan terima kasih. Kelak aku akan berkunjung ke Khitan.”
Ketika Mutiara Hitam membalapkan kudanya, Kiang Liong berdiri
mengikutinya dengan pandang mata sampai bayangan manusia dan kuda
lenyap ditelan debu yang mengebul tinggi. Kemudian Kiang Liong
melanjutkan perjalanan, bertanya-tanya dan akhirnya mendengar bahwa
Suling Emas setelah menghadap kaisar lalu meninggalkan kota raja dengan
wajah muram. Ada tokoh pengemis yang mengetahui bahwa Suling Emas pergi
menyusul Yu-pangcu ke Kang-hu. Berangkatlah Kiang Liong ke Kang-hu.
***
Pagi hari itu kota Kang-hu kebanjiran.... pengemis! Dari segenap
penjuru kota berbondong-bondong datang para pengemis, bahkan banyak pula
datang dari luar kota. Berita telah tersiar luar, berita yang amat
aneh, yang menarik perhatian bukan saja para pengemis baju kotor, bahkan
para pengemis baju bersih, golongan kaum sesat, dan para tokoh kang-ouw
juga tertarik. Maka pada hari itu, kota Kang-hu tidak hanya kebanjiran
kaum pengemis, bahkan bermacam orang kang-ouw datang berkunjung. Berita
apakah yang begitu menarik? Bukan lain adalah berita penantangan Yu
Kang Tianglo kepada Suling Emas! Sha-gwee Cap-go. Bulan tiga tanggal
lima belas, itulah harinya!
Perkumpulan pengemis Khong-sim
Kai-pang sudah mempersiapkan panggung besar di depan rumah perkumpulan.
Sebuah panggung dari papan yang luas, yang biasa disebut panggung
tempat pibu (adu silat). Yu Siang Ki atau Yu-pangcu sendiri yang
mengatur segalanya, sesuai dengan pesan Suling Emas. Dan malam tadi
Suling Emas sudah datang, kini berada di dalam rumah perkumpulan,
mengenakan pakaian tambal-tambalan. Bagi mereka yang mengerti duduknya
persoalan, menjadi tegang dan gelisah. Yu Kang Tianglo sudah meninggal
dunia dan yang kini menggunakan nama Yu Kang Tianglo adalah Suling Emas
yang sebenarnya, menantang Suling Emas palsu! Yu Kang Tianglo tidak ada
dan kini berarti Suling Emas tulen berhadapan dengan Suling Emas palsu,
atau lebih tepat, Yu Kang Tianglo palsu berhadapan dengan Suling Emas
palsu!
Yu Siang Ki sendiri yang menyampaikan surat tantangan
dari “Yu Kang Tiang-lo” kepada “Suling Emas” di Lembah Ang-san-tok di
Gunung Heng-tuan-san, dan mendapat jawaban siap oleh “Suling Emas”
bahkan menentukan jamnya di waktu pagi!
Demikianlah, ketika jam
penentuan sudah dekat, Suling Emas yang berpakaian sebagai pengemis itu
keluar dari dalam rumah perkumpulan, lalu duduk di atas sebuah bangku
di atas panggung. Sorak-sorai para pengemis menyambut munculnya tokoh
ini, terutama dari para anggauta Khong-sim Kai-pang yang mengenal bahwa
tokoh besar inilah sesungguhnya Suling Emas tulen! Yang tidak tahu
duduknya persoalan dan tidak mengenal Suling Emas, mengira bahwa tokoh
ini benar-benar Yu Kang Tianglo tokoh Khong-sim Kai-pang. Suling Emas
duduk di atas bangku, hatinya tegang karena ia masih belum mengerti apa
maksunya orang memalsukan namanya dan menantang Yu Kang Tianglo! Tentu
ada rahasia tersembunyi di balik kejadian ini. Juga ia merasa penasaran
dan ingin menguji kepandaian orang yang memalsukan namanya.
Tepat pada jam yang ditentukan, tiba-tiba terdengar bunyi melengking
tinggi dari jauh, disusul suara, orang. “Suling Emas tiba! Adakah Yu
Kang Tianglo sudah tiba?”
Suling Emas terkejut. Bukan main suara
itu. Jelas bahwa orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki
khikang yang hebat, mampu mengirim suara dari jauh, bahkan mampu
menirukan lengkingnya yang khas Suling Emas! Ia lalu bangkit berdiri
dari bangkunya, berdongak dan membusungkan dada, kemudian menjawab
dengan pengerahan khikang sehingga suaranya dapat mencapai tempat jauh,
ke arah dari mana suara tadi terdengar.
“Yu Kang Tianglo siap menerima kunjungan Suling Emas!”
Keadaan menjadi hening. Mereka yang hadir dan memenuhi tempat di bawah
panggung menjadi tegang. Tak lama kemudian tampak berkelebat bayangan
dan bagaikan seekor burung besar, di atas panggung itu muncul seorang
laki-laki tua yang meloncat turun seperti burung terbang cepatnya.
Ketika semua orang memperhatikan, terdengar suara ketawa di sana-sini.
Laki-laki itu sudah tua, lebih tua sedikit daripada Suling Emas,
tubuhnya kurus sekali, jenggotnya panjang, hidungnya mancung dan
mulutnya membayangkan keangkuhan. Akan tetapi yang lucu adalah
pakaiannya. Pakaian itu terlalu besar gedobyoran akan tetapi di bagian
dadanya jelas tersulam sebatang suling dengan latar belakang bulan
purnama, persis seperti tanda gambar pada pakaian Suling Emas! Bahkan
Yu Siang Ki sendiri terheran-heran dan mendongkol menyaksikan pemalsuan
yang mentertawakan ini. Orang ini bukan muncul seperti Suling Emas
yang terkenal kegagahan dan ketampanannya, melainkan sebagai seorang
badut! Betapapun juga, harus ia akui bahwa cara laki-laki tua ini datang
benar amat mengagumkan, sesuai dengan ilmunya yang tinggi.
Kalau semua orang memperhatikan dan mentertawakan, adalah Suling Emas
yang memandang dengan serius dan terkejut. Orang ini bukan semata-mata
hendak memalsukan namanya, pikirnya. Pemalsuan yang dibuat untuk
berolok-olok, memperolok Suling Emas karena orang ini jelas sengaja
memakai pakaian yang kebesaran dan kedodoran seperti hendak
memperlihatkan bahwa Suling Emas hanya seorang badut. Ia cepat
menyambut dengan kedua tangan di depan dada, sambil memandang tajam ia
bertanya.
“Benarkah yang saya hadapi ini adalah Suling Emas yang
menantang Yu Kang Tianglo?” Sambil bicara, Suling Emas sengaja hendak
menguji lawannya, mengerahkan sin-kang pada kedua tangannya yang
mendorong.
Orang itu balas menjura, menangkis dengan sin-kang
pula, dan biarpun tubuh orang itu agak doyong ke belakang sedikit,
namun Suling Emas harus mengakui bahwa tenaga sin-kang orang itu tidak
lemah. Orang itu pun biar tahu bahwa lawannya benar bertenaga hebat,
tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum mengejek dan balas bertanya.
“Sebelum saya menjawab, saya hendak bertanya apakah yang saya hadapi ini benar-benar Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa?”
Suling Emas tercengang, menduga-duga siapa gerangan orangini. Ia merasa
disindir dan menjadi tidak enak sekali. Bagaimana ia dapat menuduh
orang palsu kalau ia sendiri juga palsu? Segera ia berkata lagi,
suaranya tetap halus.
“Sepanjang ingatanku, di antara Yu Kang
Tianglo dan Suling Emas terjalin persahabatan yang erat, bagaimana
sekarang terjadi permusuhan? Apa kehendak yang tersembunyi di balik
kelakuanmu, sobat?”
“Tidak salah!” Orang itu menjawab, matanya
menentang tajam, “Memang dahulu terjalin persahabatan yang erat, akan
tetapi persahabatan erat dapat putus kalau seorang di antara mereka
berkhianat!”
Suling Emas makin tidak enak. Pandang mata orang
itu biarpun membayangkan kekerasan hati, namun menyinarkan keberanian
dan kejujuran! Maka ia merasa tidak perlu pura-pura dan berkata.
“Sobat, terus terang saja, aku tidak mengenalmu. Tidak perlu memalsukan
nama Suling Emas, lebih baik menggunakan nama sendiri. Ingat, Suling
Emas masih hidup!”
Orang itu tertawa bergelak, suara ketawanya
nyaring sekali, tanda bahwa lwee-kangnya sudah matang, “Ha-ha-haha!
Alangkah lucunya! Memalsukan nama orang yang sudah mati saja ada orang
berani lakukan, mengapa memalsukan nama orang yang masih hidup tidak
berani? Sedikitnya, yang terakhir ini lebih jujur dan berani dari yang
terdahulu!”
Merah Suling Emas. Ia merasa disindir-sindir. Apa
hak orang ini menyindirnya kalau ia mengaku bernama Yu Kang Tianglo?
Sedikitnya tidak merugikan Yu Kang Tianglo yang sudah mati, dan ia pun
menyamar bukan dengan maksud buruk. Maka ia lalu maju selangkah dan
berkata.
“Sobat, engkau Suling Emas palsu. Akulah Suling Emas!”
Kembali orang itu tertawa, “Begitukah? Apakah engkau ini sebangsa
bunglon bisa saja berganti-ganti nama seenaknya? Kemarin mengaku Yu Kang
Tianglo kini mengaku Suling Emas? Ho-ho, tidak begitu mudah, sobat.
Akulah Suling Emas!”
Suasana menjadi makin tegang dan di antara
para pengemis Khong-sim Kai-pang sudah ada yang berteriak, “Hantam saja
Suling Emas palsu ini!”
“Enyahkan si badut!”
“Buka kedoknya!”
Suling Emas makin mendongkol, “Hemm, kalau kau berkeras berarti engkau menghendaki kekerasan?”
“Terserah! Demi kebenaran, aku tidak takut kepadamu!”
“Baik! Majulah!” bentak Suling Emas.
Dua orang itu lalu bergerak maju. Suling Emas yang ingin mencoba
kepandaian orang itu sudah menerjang dengan pukulan-pukulan berat.
Namun orang itu ternyata lincah sekali, dapat mengelak cepat dan
menangkis, bahkan balas menyerang! Ternyata bahwa ilmu silat tangan
kosong orang ini cukup lihai dan memiliki daya tahan yang kuat luar
biasa sehingga kalau ia melanjutkan pertandingan tangan kosong itu
tentu makan waktu yang lama. Apalagi kalau ia pikir bahwa tidak
sekali-kali ia ingin mencelakakan orang ini sebelum ia mengetahui apa
latar belakang perbuatannya yang aneh. Maka ia lalu mengirim pukulan
sambil melangkah maju, ketika melihat betapa lawannya menerima
pukulannya dengan jari terbuka itu dengan dorongan yang sama agaknya
untuk mengadu tenaga, ia mengerahkan tenaga. Dua telapak tangan
bertemu keras sekali dan akibatnya...., tubuh keduanya terpental ke
udara dan mencelat ke belakang! Hanya bedanya, kalau Suling Emas hanya
berjungkir balik satu kali saja, lawannya berjungkir balik sampai tiga
kali baru turun ke atas papan panggung! Sorak-sorai tepuk tangan
menyambut demonstrasi ini. Dalam penglihatan mereka yang kurang tinggi
ilmunya, gerakan “Suling Emas” itu lebih indah karena sampai tiga kali
berjungkir balik, akan tetapi dalam pandangan yang mengerti, kakek yang
memalsu nama Suling Emas itu jelas kalah kuat tenaganya.
Kini
mereka sudah berhadapan lagi. Suling Emas ingin menguji apakah
pemalsuannya juga mempunyai suling, maka sekali tangannya bergerak,
sebatang suling emas berkilauan berada di tangan kanannya.
“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Yu Kang Tianglo yang sudah mati kini hidup
lagi dan senjatanya berubah menjadi suling emas! Sebaliknya Suling Emas
yang sudah puluhan tahun tenggelam entah ke mana kini muncul dengan
tongkat di tangan!” Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebatang
tongkat rotan kecil dari tangannya, dan langsung menyerang Suling Emas.
Tongkat rotan kecil itu ketika digerakkan mengeluarkan bunyi
melengking-lengking!
Melihat ini, Suling Emas dan Yu Siang Ki
mengeluarkan seruan kaget. Suling Emas cepat menangkis dengan sulingnya
dan ketika lawannya menerjang terus sampai belasan jurus secara
bertubi-tubi, ia cepat mencelat ke belakang sambil berseru,
“Tahan dulu! Sobat, pernah apakah engkau dengan Yu Kang Tianglo almarhum?”
Orang itu memandang Suling Emas dengan mata melotot, “Kau sudah tahu
almarhum, kenapa masih tega memalsukan namanya? Suling Emas adalah
seorang pendekar sakti yang dikagumi seluruh dunia kang-ouw, mengapa
menjadi pengecut, menyembunyikan diri seperti penjahat dikejar, kemudian
menyelinap bersembunyi di bawah nama Yu Kang Tianglo? Mengapa orang
yang sudah mati diganggu, biarpun oleh sahabatnya sendiri? Seorang
laki-laki sudah berani berbuat berani bertanggung jawab, tidak nanti
melarikan diri daripada tanggung jawab. Yang tidak berani mengakui
semua perbuatannya, yang tidak berani menghadapi kenyataan pahit
sebagai akibat perbuatannya, tidak patut disebut laki-laki! Hayo, kalau
mau dilanjutkan aku akan melayani sampai mati!”
Suling Emas
seperti ditusuk jantungnya. Ia memejamkan mata menahan keperihan hati.
Kata-kata tadi amat menusuk perasaannya karena tepat sekali menyindir
keadaannya. Puluhan tahun menyembunyikan diri, melarikan diri dari Ratu
Yalina, dari musuh-musuh mendiang ibunya. Kemudian ia melihat akibat
perbuatannya dengan terlahirnya Kiang Liong, terlahirnya Talibu dan Kwi
Lan. Akan tetapi ia tetap masih menyembunyikan semua itu, dengan dalih
menjaga nama baik mereka! Ah, lebih tepat menjaga nama baiknya sendiri.
Ia memang pengecut selama ini!
“Sudahlah!!” katanya dengan
keluhan berat dengan dua titik air mata membasahi matanya dan sekali
renggut robeklah jubah pengemis dan tampak pakaian aselinya, pakaian
Suling Emas! “Akulah Suling Emas dan memang aku pernah mempergunakan
nama mendiang sahabat Yu Kang Tianglo! Akan tetapi hal ini tidak
menyinggung siapapun juga. Siapakah engkau ini yang mencampuri
urusanku?”
“Tidak menyinggung orang lain akan tetapi menyinggung
aku, Suling Emas!” kata kakek itu sambil merobek pula jubah “Suling
Emas”nya dan ternyata ia berpakaian ringkas sederhana, “Namaku adalah
Ong Toan Liong dan aku suheng dari Yu Kang Tianglo! Ketika engkau
menyamar sebagai Yu Kang Tianglo, aku besusah payah membantu Kauw Bian
Cinjin membalaskan kehancuran Beng-kauw! Dan engkau enak-enak saja
mempermainkan kaum pengemis dengan penyamaranmu.
Suling Emas
tertegun dan pada saat itu, Yu Siang Ki melompat naik ke atas papan
panggung, langsung berlutut di depan kakek itu sambil berseru, “Ong
supek (Uwa Seperguruan Ong)....! Mendiang Ayah banyak bercerita tentang
Supek.... kenapa baru sekarang Supek memperkenalkan diri?”
Ong
Toan Liong atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok
Terbang) mengelus kepala dan pundak murid keponakannya, “Aku sudah tua
dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul urusan
kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan
kepadaku bahwa ia ingin sekali melihat puteranya menjadi seorang gagah,
akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai pengemis. Siapa kira,
Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat menjadi
pangcu.”
Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat
itu, di antara para penonton meloncat naik seorang pemuda yang langsung
berlutut di depan Suling Emas sambil berseru, “Suhu....!”
Suling Emas memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang
Liong hatinya seperti diremas dan kembali dua titik air mata meloncat
keluar ke atas pipinya, “Liong-ji...., (Anak Liong....), mengapa kau
menyusulku....?”
Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini
suhunya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar seperti itu. Tidak
biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia
merasa kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi
melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya.
Kiang Liong
memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan
pemerintah. Maka kini dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun
tak dapat menahan hatinya dan betapapun ia menggigit bibir, tetap saja
air matanya jatuh berderai.
“Suhu.... Suhu.... teecu...., ahhh....“
Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah
terjadi peristiwa yang amat hebat maka muridnya yang biasanya tenang
ini sampaimenangis. Ia cepat membalikkan tubuh menjura ke arah Ong
Toan Liong dan berkata.
“Cukuplah, Ong-twako. Maafkan semua
kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kauturutlah semua petunjuk
supekmu. Hayo Liong ji, kita pergi!” Ia menarik tangan Kiang Liong dan
mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.
Sepeninggalan Suling Emas dan muridnya, Yu Siang Ki lalu membubarkan
pertemuan, kemudian ia mempersilakan supeknya masuk ke dalam. Di situ
supek dan murid keponakan itu menceritakan pengalaman masing-masing.
Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan ayahnya
agar ia tidak menuntut penghidupan pengemis. Siang Ki mohon kepada
supeknya agar sudi membimbing Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri
ingin merantau memperluas pengetahuannya. Ong Toan Liong yang tahu pula
bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat, menyanggupi,
maka secara resmi Ong Toan Liong diangkat menjadi Ketua Khong-sim
Kai-pang. Beberapa hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu
saja tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul Song Goat,
tunangannya!
Adapun Suling Emas membawa muridnya keluar kota.
Di tempat sunyi jauh di luar kota, mereka berhenti, duduk di pinggir
jalan dan Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia
mengejar Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.
“Tidak sekali-kali teecu hendak memberontak terhadap perintah Kaisar,
Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan merobohkan para perajurit,
kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung dan terpaksa
lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertimbangan. Teecu dianggap
pemberontak dan tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan
bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang juga teecu akan berangkat
ke kota raja.”
Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara
berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku bicara tentang hal itu,
lebih du'lu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu.
Liong-li, ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku
sendiri.”
“Suhu....!” Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.
Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan
seperti biasanya kalau ia berhadapan dengan puteranya ini. Ong Toan
Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan, baik
manis maupun pahit. Orang tidak bisa lari daripada pertanggungan-jawab
perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani menanggung risiko,
betapapun beratnya. Setelah dihadapi kenyataannya malah tidak seberat
kalau dijadikan ganjalan hati.
“Bukan suhu, melainkan ayah,
Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu
karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu adalah cinta kasih yang
murni, yang diputuskan orang karena paksa. Dahulu sebelum menikah
dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta....“ Suling Emas lalu
menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong
(dalam cerita Cinta Bernoda Darah).
“Demikianlah, cinta kasih
antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu
telah mengandung engkau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga
ayah bundamu, maka engkau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal
engkau adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu
maka dia membesarkan engkau menjadi muridku.”
Makin lama
mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan
akhirnya ia menubruk kaki Suling Emas sambil mengeluh “Ayahhh....”
“Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak
perlu bersembunyi, kausebut ayah padaku, jangan suhu. Aku sudah bosan
untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu berpaling lagi dari
kenyataan.”
“Ayah...., kiranya Ayah demikian menderita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah.”
Merah wajah Suling Emas. Ah, Anakku engkau tidak tahu, aku belum
bercerita tentang Ratu Yalina! Akan tetapi ia menekan perasaannya dan
berkata, “Ada terjadi apakah, Liong-ji?”
“Ayah, terus terang
saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar
menganggap aku pemberontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku....
aku.... mohon Ayah sudi melamarkan....“
“Ah, engkau mempunyai
pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah
gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau
sudah cukup dewasa.”
“Dia bukan orang lain, masih anak keponakan
Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam.” kata Kiang Liong sambil
menundukkan muka. Dan untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang
Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu akan melihat betapa wajahnya
menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar. Harus diakui bahwa
Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang sudah menguasai perasaan
hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam menghadapi bahaya maut
sekalipun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta dan minta
dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan! Timbul penyesalan yang amat
besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi mukanya,
tamparan yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan
semua peristiwa dahulu, semua perbuatannya, karena hal-hal ini timbul
sebagai akibat daripada perbuatannya dahulu. Akan tetapi mengakui
sekarang di depan Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah,
ia tidaktega. Ia sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik
buah tanamannya sendiri, namun mengingat puteranya, ia tidak sampai
hati. Dengan suara halus ia berkata.
“Liong-ji, kau tidak usah
kembali ke kota raja. Dan tentang perjodohan, marilah kau ikut
bersamaku ke Khitan.” Hanya sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup
bicara panjang karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak kuasa
membendung pertahanan hatinya.
***
Seperti juga
mendiang ibunya, betapapun tidak waras otak Suma Kiat namun ia
mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud
hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa digagalkan Kiang. Liong, Suma
Kiat melarikan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan! Untuk
kembali ke kota raja, ia tidak berani karena, ia tentu akan ditangkap
sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi
ke Khitan bukan tanpatujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu
Khitan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!
Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota
raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan
robek-robek, mukanya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa
orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama
sekali tidak melakukan perlawanan. Karena para pengawal menaruh curiga,
ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.
“Saya ingin menghadap
Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya adalah anak
keponakannya!” Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima
Kayabu sendiri di bawah ke istana menghadap Ratu Khitan.
Begitu
berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta
merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis
menggerung-gerung. “Aduh, Bibi...., keponakanmu ini mengalami
penderitaan yang hebat.”
Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang
fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara,
“Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”
“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”
“Ahhh....!” Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada
Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka berdua. Panglima yang setia
ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang
muda itu. Biarpun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun
mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar
keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu
kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan
apalagi seperti orang muda itu.
Ratu Yalina bergetar hatinya,
akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan
Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian
Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma
Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi
gila, secara aneh mendapatkan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia
membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah
membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian
Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya inikah puteranya?
“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.
“Nama saya Suma Kiat....” Ratu Yalina tersenyum dan yakinlah ia
sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu
masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.
“Ah, kalau begitu engkau benar keponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”
“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba.... yang sudah sebatangkara ini.”
“Heh? Ke mana Ibumu?”
“Ibu.... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”
“.... puteriku? Siapa....?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.
“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan Si Mutiara Hitam?”
Berdebar jantung Ratu Yalina. jadi benarkah puterinya yang hilang itu berjuluk Mutiara Hitam?
“Bagaimana engkau bisa tahu dia puteriku?” tanyanya makin tegang.
“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”
“Ceritakan semua...., lekas ceritakan semua, anakku!” Ratu Yalina
berseru sambil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke
ruangandalam. Ia berseru memanggil pelayan untuk menyediakan makan
minum bagi orang, muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam
Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu
mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!
Sambil makan
minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan
kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia menceritakan
peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia berkata,
“Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di
antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi
Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek
Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan
Puteri Mimi....”
“Untung mereka sudah bebas dan sedang
berangkat pulang. Aku telah mendengar laporan dari pembawa berita, akan
tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan
orang-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana
sesungguhnya yang terjadi?”
“Saya sendiri tidak tahu jelas,
Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu
hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”
Ratu Yalina mengangguk-angguk, “Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek
Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjutkan
ceritamu, anakku!”
“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan
Puteri Mimi ditahan, apalagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula
dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek
Siulam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas
dalam usaha menolong Sumoi!”
Tak terasa lagi kedua mata Ratu
Yalina menjadi basah air mata. Biarpun Enci Sian Eng telah menculik
bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya.
Kasihan Enci Sian Eng. Demikian keluh hatinya.
“Lanjutkan, anakku.” katanya memandang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.
“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu
telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa
kira.... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya....
uuh-huk-huk.... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak
menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat
memenuhi pesan terakhir Ibu, apa gunanya hidup menjadi seorang anak
puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.
Ratu Yalina menjadi terheran. “Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan terakhir Ibumu?”
“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”
“Aahh...., begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”
“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”
Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara
Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti.... eh, dia dahulu. Selalu
menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.
“Kau.... kalah olehnya? Bukankah kau suhengnya?”
“Sumoi lihai sekali, dan saya.... saya tidak tega untuk melawannya....”
Ratu Yalina kembali memandang wajah tampan itu. Ia makin kasihan dan
makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan
demikian.... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara
Hitam.
“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu,
dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan
puteriku, akan kita bicarakan lagi. Kau mengasolah.” Ratu Yalina
memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah
kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan
hidangan-hidangan lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama
ini mengalami kesengsaraan.
Tentu saja Kwi Lan sama sekali
tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak
seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke
Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika
ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran
Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan. Kwi
Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu
bertanya-tanya di mana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah
seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan, dan melihat
wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranakan Khitan, orang-orang yang
ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang
pelancong yang ingin tahu saja. Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan
bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di lingkungan
Istana, di sebelah kiri dimana terdapat pertamanan luas mengelilingi
gedungnya. Mendengar ini, Kwi Lan mencari kesempatan di waktu pagi hari
yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk
melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena Istana selalu aman
dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi
Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga. Berdebar jantung Kwi
Lan. Bagaimana nanti penerimaan Pangeran Talibu? Bagaimana kalau tidak
mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa
di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun.
Terbayanglah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang
tidak hanya terpancar dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan
ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di
telinganya suara Pangeran itu menggetar penuh perasaan. “Demi Tuhan!
Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri
sendiri....!”
Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara
pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di
tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan
dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan
demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap
mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia mendengar
suara orang yang dirindukan selama ini. Suara Talibu di sebelah
belakang pondok. Ia cepat menghampiri dan memutari pondok, lalu
mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok,
diruangan luar. Alangkah tampannya. Alangkah gagahnya. Pakaiannya
begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya
terhias naga emas yang aneh, bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa
Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas
bertabur batu permata. Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian
tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya
mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran
bercakap-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku
dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling
pandang, dan dari gerak-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua
orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!
Pening rasa
kepala Kwi Lan. Ia memejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau
ia tidak cepat-cepat menekan dinding pondok dengan tangan tanpa
disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini
cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan
membalikkan tubuh.
“ eh, kau.... Mutiara Hitam....!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.
Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan
mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang
pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu
berkata gagap, “Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu....?
Mari kuantar kau menghadap....”
“Tidak perlu! Semua orang boleh
saja tidak pedulikan diriku....!” Dengan isak tertahan Kwi Lan
membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah.
Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk. Memang ia akan mengamuk,
akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri
disia-siakan! Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari
jalan ke istana.
“Sumoi....!”
Kwi Lan terhenti seperti
disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri
dan pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat
mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.
“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatanganmu....!”
“Kau....? Di sini....?” Kwi Lan akhirnya dapat menegur.
Wajah Suma Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi
Ratu menerimaku dan.... dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku
sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku!
Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku dan aku akan menjadi pangeran
mantu!”
Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan
kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran
Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Talibu mengajak
dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah
membujuk bibinya tentang perjodohan dan Ibunya.... ah, ibunya yang
sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menyetujuinya. Tentu saja
Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.
“Keparat....!” Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.
“Eh.... eh, Sumoi.... eh....!” Suma Kiat mengelak dan menangkis. Namun
Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya
sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan
menghujani pukulan. Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya,
tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan
pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat
Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah,
mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi
Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma
Kiat pingsan!
Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus
menarik dan menyeretnya menuju ke pondok di mana tadi ia melihat
Pangeran Talibu.
Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang
membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat
sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan
gadis ini sampai menangis saking terharu kepada Kwi Lan yang nasibnya
begitu buruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia,
kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara
berubah menjadi cinta asmara! Pangeran Talibu mengajaknya menyusul
Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu
sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar
kepada Mutiara Hitam.
Akan tetapi, pada saat mereka hendak
keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat
yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan
mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma
Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi
ketika ia berkata.
“Orang inikah yang hendak dijodohkan
denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah,
bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap
kutentang. Sekarang juga hendak kusampaikan kepada Ratu Khitan!”
Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat
pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan
dengan muka bengkak-bengkak dan hidung mulut berdarah.
Kwi Lan
berlari terus memasuki Istana. Penjaga-penjaga tercengang dan hendak
melarang akan tetapi gadis itu terlalu cepat sehingga sebentar saja ia
sudah sampai di ruangan tengah. Pengawal dalam sebanyak tiga orang
cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan
yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menangkap seorang di antara
mereka, mengerahkan lwee-kang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan
diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergulingan dan
gadis ini menyelinap masuk terus.
“Tangkap penjahat....!” para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan terkurung belasan pengawal yang mencabut senjata.
“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan
Ratu Khitan, siapa pun kalau menghalangi akan mampus di ujung
pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.
Pada saat
itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan
wajah terheran. Kwi Lan mengangkat muka dan memandang wanita yang
berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang
cantik jelita berpakaian indah. Mereka saling pandang, seperti terkena
pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.
“Engkau Mutiara Hitam....?”
“Engkau Ratu Khitan....?”
Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung
maju, kedua dengan dikembangkan hendak memeluk, wajahnya pucat dan
matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak,
pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.
Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya,
“Kau.... kau...., telah belasan tahun menyiksa hatiku.... kau....“ Ia
tak dapat melanjutkan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya
bercucuran.
Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewaannya tentang
Pangeran Talibu masih menyesak di dada. “Siapa yang menyakitkan hati?
Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja
seperti orang membuang sampah?”
“Haaahhh....!” Ratu Yalina
menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri dengan tangannya, matanya
terbelalak memandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti?
Aduh, Kwi Lan.... Mutiara Hitam.... mari kita bicara....” Ia maju
memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar, akan tetapi Kwi Lan
merenggut lepas tangannya dan berjalan di belakang orang yang menjadi
ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan
tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahannya. Selain
menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan seorang
gila macam Suma Kiat!
Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang
gemetar kakinya itu duduk mempersilakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi
Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.
“Kau anakku.... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah
kaudengarkan penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau
terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang
membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa
penculiknya, tahu-tahu Si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa
sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah
kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun
hasilnya sia-sia belaka, kini kau datang.... Anakku, kenapa kau
bersikap begini....? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku.... betapa
rinduku.... ah, Anakku....“
Melihat wanita itu menangis
terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan
dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya
ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka
dengan kedua tangan. Air matanya mengalir keluar melalui celah-celah,
jarinya.
Ratu Yalina bangkit berdiri, menghampirianaknya. Ia
tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras sekali, tidak kalah
oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapapun inginnya ia memeluk, ia
menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati
puterinya lebih dahulu.
“Ada apakah, Anakku? Engkau agaknya bingung dan marah. Ada apakah?”
“Ibu.... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyiakan hidupku sehingga terpaksa
aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah,
kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu.... menjodohkan aku
dengan iblis jahanam macam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu kepadaku?”
Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia
memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata, “Tidak, Anakku. Aku sama
sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang
bahwa mendiang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan
mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapapun juga. Tentang
perjodohan kuserahkan kepadamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun
Ibumu takkan melarang....”
Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan
tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata, “Aku tidak
mau menikah dengan siapapun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran
Talibu!”
Kalau ada halilintar menyambar kepalanya di saat itu,
kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia
terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan
berhenti berdetik, kepalanya pening. Pada saat itu, dari pintu menerobos
masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak
seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia
berseru memanggil, “Ibu....!” Dan melompat menghampiri.
Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia
cepat memegang tangan Pangeran Talibu seperti mencari bantuan tenaga,
kemudian berkata, suaranya menggigil, “Talibu.... dia.... dia cinta
padamu.... dia.... ingin menikah denganmu.... oohh, Anakku....!” Kini
Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. ia menubruk dan
memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan
yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata
ibunya.
“Kwi Lan.... Anakku.... aduhhh, kasihan sekali kau....
ketahuilah, Anakku.... dahulu kau terlahir kembar.... engkau terlahir
tak lama setelah kakakmu terlahir. Kemudian engkau diculik Enci Sian
Eng.... dan.... dan kakakmu.... kakak kembarmu.... dia Pangeran
Talibu....”
Terdengar suara melengking menyayat hati ketika
tubuh Kwi Lan roboh terguling dari atas kursinya, pingsan! Ibunya dan
kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah
sadar, Kwi Lan meloncat ke atas menjauhi mereka, rambutnya terlepas
awut-awutan, matanya liar, hidungnya kembang-kempis seakan-akan sukar
bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, dengan mata terbelalak
seperti seekor kelinci yang ketakutan.
“.... Anakku.... Kwi Lan
anakku....” Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh
keharuan dan kecemasan melihat Kwi Lan, khawatir kalau-kalau gadis itu
berubah ingatan karena duka.
“.... Adikku.... Kwi Lan....“
suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang
adiknya dengan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari
dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan
Talibu, tangannya bergerak menampar.
“Plak-plak....!” Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyung-huyung.
“Kwi Lan....!” Ratu Yalina menjerit. Kwi Lan membalik, memandang
ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis meraung-raung
seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk, maka
bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi
puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh
kasih, penuh rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.
Pangeran Talibu masih berdiri, memandang pertemuan yang mengharukan itu
dan terdengar ia berkata lirih, suaranya menggetar, “Adikku.... sudah
selayaknya kaupukul aku.... kalau belum puas pukullah lagi.... aku
seperti mempermainkanmu.... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu.... aku
sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu, akan tetapi,kalau
rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu
Khitan lebih berbahaya lagi.... dan tentang.... tentang peristiwa
itu.... kau tahu kita keracunan.... Adikku, maukah engkau memaafkan
kakakmu....?”
Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau
tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu melepaskan pelukan ibunya,
membalik dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda Talibu.... kaulah yang harus
memaafkan adikmu....!”
Talibu tertawa, lalu menangis dan
merangkul adiknya. Dibelai-belainya rambut yang kusut itu, dicubitnya
pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium
pipinya, “Adikku sayang ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku
katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau
adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang
suci murni tidak terpatahkan oleh apapun juga. Bukankah kita
sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang....!” Mereka
berpelukan.
Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua
orang anaknya itu menubruk mereka dengan penuh kasih sayang.
“Anak-anakku...., anak kembarku...., ah, betapa kalian sudah menderita.
Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sendiri...., ini semua akibat
dosaku....“
Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi
gemetar penuh perasaan, “Tidak, Lin-moi.... tidak.... bukan kau yang
salah. Aku yang berdosa.... ya, aku yang berdosa....!”
Yang
bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalinatadi. Ia
melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan
dibelakangnya ikut masuk pula seorang pemuda yang bukan lain adalah
Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak
menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas,
sungguhpun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani
melarang.
Melihat Suling Emas Ratu Yalina lalu menarik bangun
Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih,
“Anakku.... Kwi Lan...., beri hormatlah kepadanya.... ini dia.... ayah
kandungmu....!”
Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan
Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya
terbelalak, tak disangka-sangkanya seujung rambut pun bahwa Suling Emas
adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya begitu malu, dan juga heran
sehingga sampai lama ia tidak dapat bergerak. Akhirnya ia menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih.
“Ayahku....!”
Teriakan Kwi Lan ini berbareng dengan keluhan
Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas merangkul
Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan
air mata berlinang-linang, “Dosaku.... semua dosaku laki-laki
pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab.... menyembunyikan
dosa dan noda.... sampai anak-anak sendiri saling cinta...., ya Tuhan,
masih belum cukupkah hukuman hamba....?” Dan Suling Emas muntahkan
darah segar sambil terbatuk-batuk.
Pemandangan di dalam kamar
Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Semua menangis dan semua
merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul
Kwi Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah,.... kau adikku....,
adikku....“
Setelah keadaan mereda, semua berbahagia, kecuali
Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini
menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka, oleh asmara
gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah
saudara-saudara sendiri! Hari itu merupakan hari di mana sekeluarga
menumpahkan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan
keputusan yang diambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling
Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka
selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk
ini, Pangeran Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan diajak
berunding.
***
Pesta-pora diadakan di seluruh Kerajaan
Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai
berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Adapun yang
dirayakan adalah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu,
dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi
serta diangkatnya Pangeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya
yang hendak mengundurkan diri.
Ketika hari dan saat upacara
tiba, alun-alun yang luas depan istana yang biasanya dipergunakan untuk
berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara.
Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang disediakan khusus
untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun-daun dan
kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai memeriahkan
suasana.
Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung,
sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina memakai pakaian
kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya memakai
mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik daripada
biasa karena kebahagiaan.... hatinya bersinar-sinar pada wajahnya,
membuat pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang.
Di sampingnya berjalan Suling Emas, dengan pakaian yang khas, yaitu
pakaian model pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, dengan gambar
suling dan bulan di dada, Suling emas terselip di pinggangnya, Sikapnya
tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak
canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu. Kemudian
muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya
yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mutiara Hitam, juga amat
indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya berjalan Kiang
Liong, wajahnya masih membayangkan bekas kehancuran hati, namun yang
ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Pangeran Kayabu bersama isteri
dan puterinya yang cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah,
senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang Khitan.
Setelah menerima penghormatan rakyatnya yang bersorak-sorai, keluarga
ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk
sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri
menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit berdiri, maju ke
pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara
lantang mengumumkan bahwa Sripaduka Ratu yang mulia berkenan hendak
menyampaikan amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak gegap-gempita
menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit
berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung. Ratu ini tersenyum
lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya
terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan
kepadanya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai
itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ tidak ada orang,
seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk mendengarkan
suara ratu mereka.
“Rakyatku sekalian,” terdengar suaranya,
lantang nyaring dan merdu, terdengar oleh semua yang hadir sampai di
ujung-ujung karena Ratu ini bicara sambil mengerahkan khi-kang, “Kalian
semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan
beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu
kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa
tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu,
aku mengambll keputusan untuk bicara dengan kalian untuk menceritakan
keadaan kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”
Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepadanya.
“Kalian semua tentu sudah tahu bahwa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya
tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang
membuat sampai kini ratu kalian tidak menikah adalah karena di selatan
saya pernah bersuami, dan suami saya adalah dia ini....“ Ratu Yalina
mempersilakan Suling Emas berdiri. Pendekar ini tersenyum, kagum
menyaksikan keberanian kekasihnya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun
dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua orang
tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa
orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar
besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka
meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai, topi dan pelbagai benda
dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton pertandingan sepak
bola!
“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan....!” Demikian teriakan-teriakan terdengar yang makin lama makin menggema.
Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata
membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan
dan hasilnya jauh lebih melegakan hati daripada yang mereka
khawatirkan. Ratu Yalina mengangkat dengan kembali dan rakyat pun diam.
Keadaan kembali hening.
“Kami mengaku telah melakukan
kesalahan bahwa hal ini dahulu kami rahasiakan. Akan tetapi hari ini
akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah
dikurniai dua orang anak, yang pertama sejak kecil diam-diam kami
serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat, dan yang kemudian kami
angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung
kami!”
Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri,
tegak dan gagah di sebelah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah,
ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali
meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersukacita
mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu,
melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya
bersorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.
“Adapun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini
sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang
terkenal dengan julukan Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan meloncat
dan berdiri disamping ayahnya. Rakyat kembali bersorak-sorai, penuh
kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan
“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam....!”
Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya, Pangeran Talibu tersenyum
kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi,
disebut puteri!
“Selesailah tugas kami membuka rahasia ini.
Hati kami menjadi lapang karena telah membuka rahasia dengan
pengumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan
mendengar akan keadaan kami. Betapapun juga, aku merasa bersalah telah
menyimpan rahasia ini dari rakyat sampai bertahun-tahun. Oleh karena
inilah, mengingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku
mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada
Pangeran Mahkota Talibu!”
Kini sorak-sorai yang terdengar
menjadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang
mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta
mengundurkan diri. Ratu Yalina yang tidak ingin memperlihatkan keharuan
hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan
dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah
saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan. Menurut
tradisi dan kepercayaan turun-temurun, saudara kembar laki wanita harus
dljodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan
bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan
melakukannya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat masing-masing.
Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan
pertalian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu,
yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkatan Talibu menjadi Raja
Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang
tadinya tersenyum-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka
dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang
duduk di dekatnya.
“Kakak ipar yang baik, mengapa menangis?” kata Kwi Lan menggoda.
Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwl Lan. Akan tetapi
mereka segera berangkulan dan keduanya menangis! Pada detik itu,
habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti kasih
sayang antara saudara yang mesra.
Dan dimulailah pesta itu.
Musik dimainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu
demonstrasi pasukan Khitan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan
lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang menghampiri tempat kehormatan
ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling Emas
sebagaimana mestinya. Setelah para tamu yang memberi selamat habis,
tampak seorang pemuda yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh
kegembiraan, keluar dari rombongan tamu menghampiri tempat kehormatan
itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek cebol
berkepala besar.
“Bibi Bi Li....!” Kwi Lan bangkit dan lari
menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah dia
Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”
Nyonya itu memang Phang
Bi Li dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh
Yalina ia ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekatnya. Dengan
terharu dan halus Ratu Yalina berkata.
“Kakak yang baik. Karena
engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anakku sejak kecil, kau adalah
keluarga sendiri. Duduklah di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan
betapapun juga, nyonya itu kelihatan sungkan dan malu-malu karena duduk
di lingkungan keluarga besar.
“Hauw Lam, kau Berandal!” Pangeran
Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut pemuda itu.
Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu memberi hormat kepada Ratu Yalina
dengan berlutut.
Ratu Yalina tertawa. “Baiklah, Berandal. Aku
sudah banyak mendengar tentang dirimu. Engkau merupakan tuan penolong
anakku. Bangkit dan duduklah, kita di antara orang sendiri!”
Hauw Lam bangun dan menjura kepada Talibu, “Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”
“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera
ayahku dan kakakku sendiri, kenapa kau menyebut Kiang-kongcu.”
“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu....!” Sikap Hauw
Lam yang lucu membuat dua orang pemuda bangsawan itu tertawa.
Sementara itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas
yang menjura dan berkata, “Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran
Locianpwe merupakan kehormatan besar.”
Kakek itu longak-longok,
bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak orang
tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi
terkejut, mereka berbisik-bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun
yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatan-perbuatan yang lucu
dan mengagumkan (dalam ceritaSULING EMAS ). “Heh-heh-heh, tidak ada
perubahan di Khitan, bahkan di bawah pimpinan Ratu Yalina tampak makin
maju saja. Heh-heh-heh!”
Melihat kakek ini, Ratu Yalina bangkit dan tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”
Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata,
“Rejekimu besar, Ratu Yalina. Suamimu pendekar sakti yang hebat,
anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak memandang rendah muridku,
aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu Si Mutiara Hitam
yang galak itu agar menjadi isteri Tang Hauw Lam.”
Kata-kata
yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap-cakap.
Suasana hening, bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya
menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke arah Kwi Lan. Suling Emas
dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan
ini harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka
dengar, sepak terjang Hauw Lam memang tidak mengecewakan sebagai
seorang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani
memutuskan, apalagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang
menimpa diri Kwi Lan, yang pernah mencinta kakak kembar dan dicinta
kakak tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu menoleh
ke arah Kwi Lan.
Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk memenuhi
permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan puteri Ratu Khitan!
Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara,
ia terpaksa mau diajak serta. Kini melihat keadaan di situ dan
mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur
tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi ketakutan dan kembali ia
menjatuhkan diri berlutut di depan Ratu Yalina.
“Mohon Paduka sudi mengampuni kelancangan kami....”
Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li. “Ah, jangan begitu. Urusan
jodoh ini kami serahkan keputusannya kepada anak kami sendiri.”
Kwi Lan yang kini menjadi pusat perhatian bangkit berdiri dari
bangkunya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak, sebentar memandang
Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si
Berandalmeminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia
membuat perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan pilih andaikata
bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong. Setelah
ternyata bahwa kedua orang muda itu adalah saudaranya sendiri, ia
tidak tahu siapa yang berkenan di hatinya. Yu Siang Ki juga mencinta,
akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat, dan ia
tidak suka mempunyai suami pengemis. Siangkoan Li, entah bagaimana
jadinya pemuda itu yang dahulu terseret ke dalam dunia sesat. Ia
memandang Hauw Lam, teringat akan semua pengalamannya dengan pemuda
ini, teringat betapa pemuda ini menyelamatkannya dari Bu-tek Siu-lam,
dan ia teringat kepada pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat. Pemuda
yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan padanya, bahkan yang
lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan
tertawa bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak
mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina
sekarang.
Hauw Lam yang menanti dengan tegang, melihat Kwi Lan
tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada gadis itu, “Mutiara Hitam,
dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara
Hitam, keadaan kita dahulu sederajat. Akan tetapi sekarang, engkau
seorang puteri kerajaan dan aku.... tetap Berandal maka kalau engkau
tidak setuju terus terang sajalah.”
Kwi Lan menjawab, “Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”
“Jadi....?”
“Jadi...., apa....?”
“Jadi kau setuju....?”
Kwi Lan menggigit bibir, lalu mengangguk! Hauw Lam saking girangnya
hanya melongo! “Tapi terus terang saja, biarpun aku suka menjadi
isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”
Luar biasa
percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang
bicara tentang cinta seperti orang bicara tentang pakaian atau topi
saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh pengakuan ini.
Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewajarnya.
“Orang
macam aku mana boleh banyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena
ingin kaucinta. Aku mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin
membikin hidupmu cemerlang penuh kegembiraan. Aku ingin seperti
matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap
kauingat atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat
selalu menjagamu, melindungimu, menghiburmu, melihat engkau bahagia,
karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar kebahagiaanku. Hebat
pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan
petuah yang amat menusuk hati. Memang sebagian besar orang muda kalau
bercinta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta dan meminta. Minta
dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk memberi! Cinta
itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan meminta.
Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan
mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli
dia yang dicinta. Cinta macam ini seperti cinta akan benda yang indah.
“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”
“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu
berusaha menyenangkan hatimu, tak usah kautinggal, kau minta saja aku
pergi sendiri.”
“Kalau aku mati?”
“Aku akan ikut! Aku takut kau di sana akan kesepian dan susah....”
Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin, “Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di
dunia ini mana ada pencinta seperti muridku? Mutiara Hitam, kalau
engkau tidak menerima dia, engkau akan kehilangan! Ha-ha-ha!”
“Aku suka sekali mempunyai adik ipar Si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada pemuda ini berkata.
“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.
Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah
mengambil keputusan. Ia tidak suka tinggal di dalam istana, terikat
oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung dan
kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti burung.
Sepasang burung terbang di angkasa, bercumbu dengan angin.
“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil dudukkembali .
“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin berseri-seri.
Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apalagi
melihat, peminangan dan penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang
muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu dijamu oleh
Suling Emas. Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan membalas Kwi Lan
dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan
cekikikan sendiri, entah apa yang dibicarakan kedua calon pengantin
itu.
Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik
misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang, diam-diam menaruh kasihan
kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan
setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan
Suma Kiat yang amat tidak patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu
Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda yang baik dan
perbekalan, yang cukup, ditambah sekantung emas. “Ah, kalau saja Suma
Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula,
sebagai anggauta keluarga. Gembirakah dia? Entah, dia sendiri tidak
tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah, merupakan hantaman
batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin dapat
seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan selalu ingin dicinta wanita!
Selagi semua orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang
kakek tua renta yang aneh bersama seorang pemuda yang tampan berambut
panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan, juga rambutnya
awut-awutan seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang
kedua bermuka merah.
Hauw Lam dan Kwi Lan segera mengenal
pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah manusiamanusia
sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li! Suling
Emas juga mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang
kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti Bu-tek Lo-jin. Hanya
bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat,
adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah perbuatan mereka
termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan menjura.
“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan duduk.”
“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami
Ratu Khitan. Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan
Pek-bin-twako ini datang hanya karena ditangisi murid kami, Siangkoan
Li ini. Kami datang hendak meminang Mutiara Hitam!” kata Lam-kek
Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut
ke arah keluarga tuan rumah.
Suling Emas terkejut. Benar, saja
dugaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang
benar mereka baru datang dan tidak tahu bahwa puterinya telah
dijodohkan dengan Hauw Lam, namun cara mereka datang ini jelas menantang
keributan. Biarpun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun pendekar
sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.
“Mutiara Hitam
adalah puteriku. Banyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi
Sian-ong dan kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum
bahwa baru saja anakku ini telah dljodohkan dengan pemuda lain.”
Siangkoan Li mengangkat muka, memandang ke arah Kwi Lan yang juga
memandang kepadanya. Wajah yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya
bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam Kwi Lan merasa heran
karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biarpun
masih pendiam dan serius, namun matanya liar!
“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya dingin sekali, mengerikan.
“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus,
sudah mendekati neraka masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek
Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak, tertawa dan... bangku
yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek itu. Dia
sendiri masih minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari
bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.
“Mutiara Hitam
gadis galak telah menjadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho,
kita tua sama tua, mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki?
Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta lagu apa kuturuti.
Hayoh....!” Bu-tek Lo-jin memang terkenal mempunyai hobby (kegemaran)
berkelahi. Ia senang berkelahi baik saling maki maupun saling gasak!
“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi
datang terlambat dan jodoh adalah di tangan Thian. Harap tidak
menimbulkan keributan,” kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya halus,
namun di balik kata-katanya mengandung peringatan.
Dua orang
kakek saling pandang. Mereka tentu saja tidak gentar biarpun berada di
negara orang. Akan tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek
Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu yang memiliki tingkat
lebih tinggi daripada mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan
dapat mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ
hadir pula Suling Emas yang lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu
Yalina yang kabarnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid
orang-orang sakti.
“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sungkan
membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita bereskan.
Suling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo,
Siangkoan Li, kau bocah sial dangkalan. Pergi!” Lam kek Sian-ong
menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ
tanpa pamit lagi.
Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan meriah.
Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan.
Pernikahan antara Talibu dengan Mimi dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan.
Setelah menikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di Khitan.
Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu meninggalkan Khitan untuk pergi
merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan, seperti burung di angkasa.
Adapun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami Ratu Yalina,
mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari
Pegunungan Go-bi-san. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya
merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan di mana ia hidup
tenteram dan melayani Mimi dengann kasih sayang.
Kam Liong
meninggalkan Khitan, pergimerantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk
tidak menikah selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan
watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia melayani kasih sayang
seorang wanita cantik di mana saja,hanya sebagai keisengan belaka, bukan
karena dorongan asmara. Namun, kesenangan ini pun tidak membuatnya
menyeleweng daripada kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa
wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia tidak pernah lupa
untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah
mendapat pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh
Ratu Yalina sehingga namanya terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat
bebas menengok ibunya di kota raja.
Bagaimana dengan Yu Siang
Ki? Pemuda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan
Song-yok-san-jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song
Hai berhasil membujuk dan mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua
orang muda ini pun menikah. Siang Ki yang sudah menyerahkan urusan
kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang
dan hidup sebagai pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.
Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari
Song Goat akhirnya mendapat kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih
di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi Lan, Siang Ki
suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa
andaikata ia menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh wataknya,
belum tentu ia akan sebahagia di samping Song Goat yang lemah lembut dan
halus ini.
Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi, entah ke
mana perginya pemuda yang bernasib malang itu. Banyak orang yang suka
mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga khawatir
kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memlliki kepandaian
tinggi itu akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.
Kam Siang
Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut
bersama paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak
Tai-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu berdua dan
gelisah kalau teringat akan adik mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya
Kam Han Ki? Seperti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti
setengah dewa Bu Kek Siansu dalam keadaan terluka parah dan bagaimana
nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai pengarang
cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!
Sampai di
sini ceritaMUTIARA HITAM ini berakhir, dengan harapan pengarang semoga
merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa
di lain cerita!
TAMAT
Selasa, 14 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar