Selasa, 14 Mei 2013

mutiara hitam [ 8 ]

nyawa pemuda ini diancam maut dan tidak ragu-ragu untuk mengorbankan dirinya? Jantungnya berdebar aneh dan teringatlah ia akan pernyataan Hauw Lam,. Siangkoan Li, dan Yu Siang Ki ter­hadap dirinya. Mereka itu menyatakan cinta kepadanya. Adakah perasaan hati­nya terhadap Pangeran Talibu ini yang dinamakan cinta? Adakah dia mencinta pemuda ini? Kakak angkatnya, putera angkat ibunya?

Kwi Lan mengguncang-guncang kepalanya, seakan hendak mengusir semua lamunan yang membuat ia bingung dan jantungnya berdebar-debar itu. Bagaimana ia harus meloloskan diri bersama Pa­ngeran Talibu? Kakinya bebas. Tangannya biarpun terbelenggu, namun kalau ia ber­usaha, kiranya akan dapat ia bebaskan pula. Ia masih mempunyai tenaga sim­panan untuk mematahkan belenggu baja ini. Akan tetapi apa gunanya? Dinding itu amat kuat. Pintu dan jendelanya pun kokoh kuat. Belum lagi para penjaga, dan di sana berkumpul orang-orang sakti seperti Bouw Lek Couwsu, Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, dan dua orang kakek lain yang ia duga tentu juga amat sakti. Ataukah mereka itu Bu-tek Ngo-sian yang pernah ia dengar? Harapan untuk dapat lolos dari tangan mereka amat tipis. Seorang di antara mereka saja sudah merupakan lawan yang amat berat. Apalagi kini pedangnya terampas oleh Siauw-bin Lo-mo. Dan ada Pangeran Talibu lagi yang masih harus ia lindungi. Kwi Lan duduk menekur dengan kening berkerut. Satu-satunya harapannya adalah Yu Siang Ki. Kalau saja pemuda itu da­tang membawa banyak tokoh kai-pang yang sakti!

Ia tidak kaget ketika mendengar pintu dibuka dan Bouw Lek Couwsu seorang diri masuk. Iasudah siap menghadapi segala macam kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Tanpa bangkit, ia meng­angkat muka memandang.

“Bouw Lek Couwsu, apakah kau akan membunuh kami? Siiakan! Memang orang macam engkau ini pengecut, mana berani menghadapi lawan secara jantan?”

Bouw Lek Couwsu tersenyum lebar dan sabar. “Bagaimana kalau menghadapi secara jantan?”

“Berikan pedangku dan mari kita ber­tanding sampai selaksa jurus, sampai seorang di antara kita menggeletak tak bernyawa lagi! Baruiah jantan namanya!”

Kembali pendeta itu memperlebar senyumnya. “Nona, kau ganas benar. Kalau kau sayang kepada Pangeran ini, kau harus bersikap sabar dan tenang. Aku berjanji sebagai pimpinan bangsa Hsi-hsia, kalau Pangeran Talibu suka me­nulis surat membujuk ibunya untuk mem­bantu pergerakan Hsi-hsia, akan kubebas­kan engkau dan dia juga! Berlakulah sabar dan tenang, dan untuk menjaga agar kau tidak menimbulkan keributan, terpaksa kau harus dibuat tidak berdaya.” Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu bergerak maju dan menotok de­ngan jari telunjuknya ke arah tengkuk­nya. Kwi Lan yang kedua tangannya terbelenggu, tidak dapat menangkis dan berusaha mengelak, akan tetapi gerakan tangan Bouw Lek Couwsu amat cepat, dan sudah meluncur turun menotok pun­daknya. Kwi Lan roboh lemas dan hanya dapat memandang dengan mata terbelalak penuh kemarahan ketika Bouw Lek Couwsu mengeluarkan sebuah bungkusan. Ia melihat betapa bungkusan itu ditabur­kan di atas mukanya, ia mencium bau wangi dan keras, kemudian tak ingat apa-apa lagi, pingsan. Baik Kwi Lan maupun Pangeran Talibu dalam keadaan pingsan dan tidak tahu betapa Bouw Lek Couwsu memberi mereka minum anggur yang dicampuri obat, memaksa mereka minum dengan menuangkan anggur ke dalam mulut yang dipaksa membuka. Setelah membuka belenggu Kwi Lan, Bouw Lek Couwsu meninggalkan kamar sambil tersenyum dan meninggalkan pe­san kepada para penjaga.

Menjelang senja, Kwi Lan siuman dari pingsannya. Tubuhnya terasa panas bukan main, rasa panas yang menyesakdada. Ia bangkit dan duduk, tubuhnya basah oleh keringat. Ia menghapus peluh dari dahi dan leher. Kemudian berseru heran ka­rena baru ia ingat bahwa kedua tangan­nya kini tidak terbelenggulagi. Ia sudah bebas dari belenggu. Aneh sekali! Siapa yang membuka belenggunya? Dan menga­pa begini panas?

Ia duduk menoleh ke arah Pangeran Talibu. Pemuda itu pun basah oleh ke­ringat. Dadanya yang bidang dan berkulit halus putih itu berkilauan. Lantai di bawahnya sampai basah oleh tetesan-tetesan keringat dari tubuh pemuda itu.

Pangeran Talibu agaknya baru sadar. Menggeliat perlahan, seperti orang me­rintih. Jantung Kwi Lan terasa tertusuk.

Rasa iba dan cinta menyesak dada. Tan­pa ia sadari, ia sudah merangkak maju, lalu bersimpuh di dekat pemuda itu, menggerakkan tangan mengusap luka-luka di dada dan dahi, luka kecil, darah­nya pun sudah mengering. Pemuda itu membuka mata, dua pasang mata ber­temu pandang, sejenak bertaut, kemudian pemuda itu bangkit duduk.

Entah mengapa, pandang mata pemu­da itu bagi Kwi Lan seperti sinar mata­hari yang menyilaukan matanya. Ia me­nunduk, tersenyum kecil, tak berani mengangkat muka, rasa panas menjalar ke mukanya, dadanya, dan pusarnya.

“Sakit sekalikah luka-luka itu....?” tanya Kwi Lan, menjadi heran sendiri mengapa suaranya begini halus dan me­sra, mengapa ia menjadi begini malu, mengapa ia gemetar dan tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.

“Ti....tidak...., Nona....,mengapa kau menyerah....?” Lebih aneh lagi bagi Kwi Lan ketika mendengar suara ini. Mengapa suara Pangeran Talibu menggetar dan setengah berbisik? Suaranya yang baginya begitu mesra sehingga getaran suara itu menggetarkan pula hatinya, membuat Kwi Lan menahan isak yang menyesak di dada. Ia mengangkat muka perlahan. Kembali dua pasang mata bertemu pan­dang dan bertaut, lekat seperti tak dapat dipisahkan lagi. Bagi Kwi Lan, mata Pangeran itu memandangnya begitu mesra, begitu penuh cinta kasih, begitu halus. Seakan-akan ada kekuatan ajaib dalam pandang mata itu yang mendorong dorongnya atau menariknya, membuat ia ingin membuang diri ke dalam pelukan Pangeran itu, membuat ia ingin merapat­kan mukanya pada dada yang bidang dan berkeringat itu, ingin merasai belaian jari-jari tangan Pangeran Talibu dan mendengar bisikan-bisikan cinta di dekat telinganya. Semua keinginan yang amat besar ini membuat ia terengah-engah, menahan-nahan sekuat tenaga sampai kepalanya menjadi pening.

“Aku....aku tak mungkin....membiar­kan kau....,kau terbunuh....” Suaranya tersendat-sendat, agak serak dan tubuh­nya terasa lemas, dan tentu ia sudah terguling kalau saja sepasang lengan yang kuat tidak merangkul dan menariknya.

“Nona....“ Suara Pangeran Talibu ter­sendat-sendat, kedua lengannya memeluk erat, sedangkan Kwi Lan seperti dalam mimpi membenamkan muka di dalam dada itu sehingga mukanya yang sudah basah menjadi makin basah oleh keringat Pangeran Talibu. Hatinya merasa bahagia sekali, kedua telinganya mendengar suara detak jantung pemuda itu, kemudian mendengar suara Talibu seperti bunyi musik yang merdu, “Nona....,siapakah engkau....? Siapakah namamu....?”

Belum pernah selama hidupnya Kwi Lan menikmati perasaan seperti saat ini. Terhadap pemuda ini, lenyap semua rasa malu dan jengah, ia tersenyum manis dan tanpa mengangkat muka ia berkata lirih, “....aku....namaku Kam Kwi Lan....”

Tubuh Pangeran Talibu serasa digetarkan sinar kilat yangmenyambarnya. Tu buh itu seperti kejang, mendadak menjadi dingin dan ia meloncat ke belakang sam­pai tubuhnya membentur dinding. Kwi Lan yang tenggelam dalam kenikmatan madu yang manis memabokkan itu sam­pai jatuh terguling, namun gerak refleks tubuhnya yang matang membuat ia ter­loncat bangun dan berdiri.

“Ada apakah....? Mengapa kau....kau....?” Ia bertanya gagap, lalu duduk pula di atas lantai.

Pangeran Talibu terengah-engah, serasa tercekik lehernya. Ah, pan­tas ia merasa kenal betul dengan gadis

ini. Persamaan dengan wajah ibunya! Inilah Kam Kwi Lan Mutiara Hitam.Inilah adik kandungnya, bahkan saudara kembarnya!

"Kau.... kau.... Mutiara Hitam....?" bisiknya dengan suara menggetar.

Kwi Lan memandang terbelalak dan lalu mengangguk. "Betul. Kau kenapakah, Pangeran? Menyesalkah kau karena.... karena.... kita saling mencinta?"

"Diam....!" Pangeran Talibu memben­tak. "Jangan bicara tentang itu....!"

Biarpun Kwi Lan merasa sudah ter­gila-gila kepada pemuda ini, namun dia seorang gadis yang keras hati. Ia menge­rutkan kening dan berkata, "Apa? Jadi.... kau tadi.... hanya pura-pura.... dan kau tidak cinta kepadaku?"

"Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mu­tiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diriku sendiri! Tapi.... kau....!"

"Kenapa....?" Tiba-tiba Kwi Lan me­naruh telunjuknya di depan bibir, tanda bahwa ia mencegah pemuda ini bicara karena pendengarannya yang tajam menangkap gerak kaki di luar jendela. Kemudian ia menuding ke jendela sambil menyentuh telinga sendiri. Pangeran Ta­libu mengangguk, maklum bahwa di luar jendela ada orang mendengar dan meng­intai. Ah, untung ia belum membuka rahasia. Kalau tadi ia katakan kepada Mutiara Hitam bahwa gadis itu adik kembarnya dan berarti puteri Ratu Khi­tan, tentu keadaan mereka menjadi ma­kin berbahaya. Ia lalu merangkul dan duduk dekat Kwi Lan.

Merasa kehangatan tubuh pemuda itu, mencium bau keringatnya, membuat tu­buh Kwi Lan menggigil. Hawa nafsu remaja menyesakkan napasnya. Ia tidak tahu bahwa inilah akibat obat yang dipaksakan masuk ke perutnya. Demikian pula dengan Pangeran Talibu. Melihat wajah adik kembarnya yang begini cantik jelita, sepasang pipi yang halus putih kemerahan, mata yang indah bersinar­sinar, hidung yang kecil mancung dan seakan-akan menghembuskan hawa panas penuh nafsu dengan cuping hidung kem­bang-kempis, bibir yang kecil mungil, penuh dan merah basah seakan menan­tang, dada yang padat dan bergelombang turun naik seperti minta dipeluk. Ah, hampir pemuda ini tidak kuat bertahan. Keadaannya bagaikan seekor harimau kelaparan yang dihadapkan seekor kelinci gemuk. Ingin sekali langsung menerkam dan memangsanya. Akan tetapi, penge­tahuan bahwa gadis jelita ini adalah adik kandungnya bahkan adik kembar yang lahir pada hari yang sama, pengetahuan ini merupakan perisai yang kokoh kuat. Ketika lengannya bersentuhan dengan lengan Kwi Lan, pemuda itu memejamkan mata. Seperti ada aliran yang meng­getar-getar melalui kulit mereka yang bersentuhan. Naik sedu-sedan di dada pemuda ini dan cepat-cepat ia menggigit bibirnya sendiri sampaiberdarah. Ia ter­pekik kesakitan, akan tetapi dorongan nafsu berahi dapat tertahan.

Juga Kwi Lan dalam keadaan seperti mabok. Memang ia mabok, mabok nafsu berahi yang timbul dari obat pemberian Bouw Lek Couwsu. Kwi Lan adalah se­orang gadis yang aneh dan sejak kecil digembleng oleh gurunya yang aneh pula. Di balik kemabokannya, masih ada ke­sadaran pikirannya yang merasa terheran-heran melihat sikapnya sendiri. Mengapa ia begini gila? Mengapa ia ingin sekali bersentuhan dengan Pangeran Talibu? Dan ingin didekap dibelai? Ingin men­dengar bisikannya? Mengapa? Andaikata ia mencinta pemuda ini, mengapa harus ­ada perasaan yang seperti memabokkan­nya ini? Di sudut hatinya yang masih perawan, gadis ini merasakan sesuatu yang tidak wajar. Akan tetapi ia tidak tahu apa ketidakwajaran itu dan menga­pa. Kini menyaksikan keadaan Pangeran Talibu ia makin terheran. Sinar mata pemuda itu jelas memancarkan kasih me­sra, memancarkan kehausan akan cinta. Akan tetapi pemuda itu seperti tersiksa bahkan menggigit bibir sendiri sampai berdarah.

"Pangeran, kau kenapa? Kita.... kena­pa?" Ketidakwajaran yang makin men­desak dalam kesadarannya membuat ia mengajukan pertanyaan terakhir itu.

Pertanyaan ini menolong banyak bagi Pangeran Talibu. "Kwi Lan.... Mutiara Hitam ah, kita mabok. Tidak wajar ini! Kita keracunan.... begini panas dan begini.... merangsang...."

Kwi Lan tersentak kaget. Benar! Ra­cun! Biarpun racun yang amat aneh dan belum pernah ia mendengar akan racun vang menimbulkan kemabokan seperti ini, yang mendatangkan daya rangsangan berahi begini hebat, namun ia dapat menduga tentu mereka telah terkena racun! Teringat akan taburan bubuk wa­ngi yang membuat ia pulas, dan tahu-tahu setelah ia sadar, belenggu tangannya telah terlepas dan ia bersama Pa­ngeran Talibu berada dalam keadaan tidak wajar! Akan tetapi teracun atau tidak, tetap saja ia yakin bahwa ia men­cinta pemuda ini! Ia rela menyerahkan jiwa raganya kepada Pangeran Talibu, kapan dan di manapun juga.

"Benar kiranya, Pangeran. Kita ter­kena racun. Akan tetapi.... apa bedanya? Aku tidak menyesal...."

"Apa? Apa maksudmu?"

"Aku tidak menyesal menjadi tawanan bersamamu, Pangeran. Aku.... aku.... ah, bukan main panas hawanya...." Kwi Lan mengeluh dan mengerang, mengerang bukan hanya karena hawa panas! Ia lalu duduk di sudut dan bersandar pada din­ding, mengebut-ngebutkan bajunya bagian atas agar agak melonggar untuk mengu­rangi hawa panas. Gerakan gadis itu begitu menarik dan manis. Kembali Ta­libu memejamkan mata dan ia pun mun­dur di sudut yang berlawanan. Mereka kini duduk berpisah dalam jarak sepuluh meter. Hanya saling pandang dari jauh, saling menahan gelora berahi yang mem­bakar. Namun siksaan batin ini bagi Pa­ngeran Talibu tidaklah seberat yang di­derita Mutiara Hitam. Pangeran itu me­maksakan kesadaran pengetahuannya bahwa gadis jelita itu adalah adik kem­barnya sendiri! Teringat akan ini, ingin ia menangis! Menangis saking girang ber­temu dengan adik kandung yang sejak terlahir dipisahkan orang. Menangis kare­na berduka karena begitu bertemu, me­reka berdua menjadi tawanan dan kese­lamatan nyawa mereka di ujung rambut. Akan tetapi, semua perasaan ini meru­pakan penguat batinnya untuk melawan arus berahi yang tidak wajar dan yang membakar tubuhnya.

Hebat memang pengaruh obat itu. Se­rangan yang datang dari dalam tubuh ini bukan main kuatnya. Kwi Lan terpaksa mempergunakan sin-kang yang dikerah­kannya untuk melawan hasrat yang di­anggapnya gila dan tidak tahumalu. Ia menjadi lemas karena pengerahan sin­-kang ini dipergunakan untuk menindas hawa yang timbul dari dalam tubuh sen­diri.

Cuaca sudah menjadi gelap. Hal ini melegakan hati Pangeran Talibu. Sung­guhpun ia mempunyai perisai berupa

pengetahuan bahwa gadis itu adik kem­barnya, namun tetap saja rangsangan di dalam tubuhnya masih amat membahayakan. Kalau keadaan dalam ruangan itu gelap dan ia tidak dapat melihat wajah cantik dan tubuh menggairahkan itu, tentu akan berkurang siksaan yang dira­sakannya. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa, suara ketawa Bouw Lek Couwsu disusul kata-kata mengejek, "Tuan dan Nyonya pengantin tentu lapar, silakan makan minum!"

Daun pintu terbuka dan seorang hwe­sio jubah merah masuk membawa seba­tang lilin merah besar yang sudah dinya­lakan, meletakkan lilin di dekat pintu, kemudian meletakkan pula beberapa mangkuk makanan dan seguci arak di atas lantai. Tanpa berkata apa-apa hwe­sio ini lalu keluar lagi dan mengunci daun pintu. Kwi Lan tadinya hendak menerjang hwesio itu, akan tetapi ia melihat pula Bouw Lek Couwsu yang memegang tongkat kuningannya berada di depan pintu, maka ia mengurungkan niat­nya. Belum saatnya untuk turun tangan, pikirnya.

Kembali ruangan itu menjadi sunyi. Api lilin berkelap-kelip menerangi kamar dengan cahayanya yang kemerahan, membuat suasana dalam kamar menjadi romantis, dan indah seperti suasana ka­mar pengantin!

"Pangeran, apakah yang kaupikirkan?" Kwi Lan akhirnya bertanya setelah se­kian lamanya ia memandang ke arah Talibu yang duduk di sudut bersandar dinding dengan mata meram, kening berkerut dan dada turun naik bergelombang.

Talibu membuka mata memandang, mata yang bersinar-sinar dan ganas pe­nuh nafsu berahi. Mata yang melotot menyusuri tubuh Kwi Lan yang tanpa sadar telah membuka kancing pakaian luar sehingga tampak pakaian dalamnya yang tipis halus berwarna merah. Gadis ini telah melepaskan kancing tanpa di­sadarinya saking hebat serangan hawa panas. Akan tetapi keadaan pakaiannya ini membuat Talibu menjadi makin ter­siksa. Pandang mata Talibu seolah-olah sudah melahap dan menelannya bulat­bulat!

"Apa yang kaupikirkan? Aku.... aku.... memikirkan.... kematian!" jawab Talibu. Bagi Pangeran ini, keadaannya merupa­kan siksaan batin hebat. Ia jatuh cinta atau berhasrat mencinta adik kembarnya sendiri! Berbeda dengan Kwi Lan yang belum tahu akan rahasia itu, baginya perasaan yang merangsang terhadap pria yang ia cinta, bukanlah merupakan hal yang terlalu menyiksa batin, sungguhpun ia tahu bahwa racun membuatnya seperti mabok.

Kwi Lan tersenyum dan kembali Ta­libu memejamkan mata. Senyum itu de­mikian manisnya, seperti ujung golok menusuk jantung! "Pangeran, mengapa engkau berputus asa benar? Jangan kha­watir, aku bersumpah akan membelamu sampai titik darah terakhir."

Kembali Talibu membukamatanya. Ia merasa terharu sekali. Ingin ia meneriak­kan bahwa mereka adalah kakak adik kembar, namun terpaksa ia menahan. Kalau Bouw Lek Couwsu mendengar dan tahu bahwa Mutiara Hitam ini pun puteri Ratu Khitan, tentu pendeta murtad itu akan mempergunakan kenyataan ini untuk makin menekan Ratu Khitan agar suka membantu Hsi-hsia. Tidak, ia harus memegang rahasia selama mereka masih menjadi tawanan Bouw Lek Couwsu. Namun rangsang berahi sukar dikendalikan lagi. Melihat mangkuk-mangkuk di lantai, Pangeran itu menjadi girang dan segera mengalihkan perhatian dengan berkata gembira.

"Apapun yang terjadi, sebelum mati kita harus dapat menikmati hidup. Ada makanan lebih baik dimakan, Nona!"

Kwi Lan tersenyum, senang hatinya melihat Pangeran itu bergembira dan baru ia merasa betapa lapar perutnya. Ia mengangguk dan mendekati mangkuk-mangkuk yang diletakkan di atas lantai. Mereka duduk menghadapi mangkuk itu yang terisi makanan harum sedap baunya. Araknya pun arak wangi. Talibu kembali tertawa dan berkata.

"Bagaimana kalau makanan ini ada racunnya?"

"Paling hebat kita mati. Tiada lebih mengerikan daripada itu.," jawab Kwi Lan yang membuat pangeran itu kaget. Gadis ini begitu pasrah, begitu rela seakan-akan tiada kekurangan sesuatu di dunia ini. Memang demikianlah orang muda kalau sudah bercinta. Lupa akan segala. Asalkan berada di samping orang yang dicintanya, lupa makan lupa tidur lupa segala, tidak peduli apakah dunia akan kiamat!

Pangeran Talibu menarik napas pan­jang. Alangkah akan bahagianya kalau Kwi Lan bukan adiknya. Mempunyai ke­kasih seperti gadis ini! Tiba-tiba ia me­ngerutkan keningnya penuh penyesalan. Mengapa hatinya begini tidak setia? Ia sudah mempunyai seorang yang amat dikasihinya, dikasihi seperti seorang pria mencinta wanita, yaitu Puteri Mimi! Teringat akan Mimi, terasalah betapa aneh dan janggal jalan hidupnya. Puteri Mimi yang semenjak kecil ia anggap adik kandung, kiranya sama sekali bukan apa-apanya. Orang lain dan cintanya sebagai kakak berubah menjadi cinta sebagai pria terhadap wanita. Sebaliknya, gadis ini yang sampai saat ini mengira bahwa mereka orang lain yang tiada hubungan sama sekali, tiada hubungan darah, bah­kan saudara kembarnya!

"Kalau memang ada racunnya, marilah kita mati bersama jawabnya kemudian dan mulai makan. Kwi Lan tersenyum bahagia dan tanpa ragu-ragu makan pula. Masakan-masakan itu ternyata amat lezat dan araknya pun amat harum. Sampai habis beberapa mangkuk masakan itu, guci araknya pun menjadi kosong. Sebaliknya, perut mereka kenyang.

"Ahh.... betapapun juga Bouw Lek Couwsu bukan orang yang terlalu pelit. Lezat makanannya...." kata Pangeran Talibu sambil bangkit berdiri, menghapus bibir dengan telapak tangannya, lalu ber­jalan menuju ke sudut kembali. Akan tetapi pandang matanya berkunang dan ia terhuyung-huyung. Rasa aneh menguasai seluruh tubuhnya, hawa panas makin menghebat sampai terasa kepalanya seperti akan meledak!

"Pangeran.... !"

Talibu sampai disudut membalikkan tubuh dan ternyata Kwi Lan sudah ber­ada di depannya. Mereka saling pandang tubuh mereka bergoyang,-goyang dan bagaikan besi dengan besi sembrani, ke­duanya saling tubruk dan saling peluk.

"Mutiaraku....!"

"Talibu, Pangeranku....”

Dekapan makin erat dan muka me­reka bertemu dalam ciuman mesra. Kwi Lan sudah pasrah bahkan membalas peluk cium pemuda itu dengan penuh nafsu. Tiba-tiba Pangeran Talibu mengeluarkan seruan seperti isak tertahan, lalu me­renggutkan diri terlepas dari pelukan dan terhuyung-huyung lari ke sudut lain.

"Pangeran....!"

"Berhenti! Jangan maju selangkah pun. Kalau kau bergerak, mendekatku, aku.... aku akan bunuh diri....!" Terengah-engah Talibu berteriak.

Kwi Lan sedang dibuai racun yang memabokkan. Di dalam makanan tadi memang diberi obat oleh Bouw Lek Couwsu, yang membuat racun di tubuh mereka bekerja makin hebat. Bouw Lek Couwsu yang mengintai di luar kamar menjadi penasaran sekali tadi melihat betapa obatnya belum juga berhasil, ma­ka ia lalu mengirim makanan yang ia campur dengan obat untuk memperhebat pengaruh racun asmara itu. Melihat ke­kasihnya melarikan diri dan mengeluarkan ucapan seperti itu, Kwi Lan menjadi he­ran, kaget, dan juga kecewa. Ia melang­kah maju sedikit dan serentak menghen­tikan langkahnya karena tiba-tiba Pange­ran Talibu membenturkan kepalanya pada dinding!

"Ahhh...., jangan.... Pangeran....! Aku aku tidak akan mendekatimu....!" jerit Kwi Lan cemas.

Pangeran Talibu yang sudah putus asa karena ngeri memikirkan kalau sampai terjadi pelanggaran susila dengan adik kembarnya sendiri, dapat mendengar jerit ini dan ia nmenghentikan perbuatannya yang nekat. Dengan terengah-engah ia duduk di sudut ruangan itu memandang. Gadis itu terlampau cantik, apalagi di­bawah penerangan lilin merah. Bentuk-bentuk yang menonjol pada tubuhnya tampak nyata antara sinar dan bayangan. Ia tahu bahwa biarpun ia merasa yakin bahwa gadis itu adiknya, namun keyakin­an ini belum tentu akan kuat menahan gelora nafsu yang menyesak di dada dan ia akan menjadi seperti seorang buta mabok kalau gadis itu mendekati dan menyentuhnya lagi.

"Mutiara Hitam.... ini tidak baik.... kita dirangsang racun.... nafsu berahi menguasai kita...." gumamnya.

Tiada jawaban dan ketika Talibu mengangkat muka, dilihatnya Kwi Lan yang duduk di sudut lain menangis ter­isak-isak. Gadis ini merasa terhina dan malu. Merasa bingung dan kecewa.

"Mutiara, Adikku sayang.... maafkan aku.... percayalah, aku tidak bermaksud menolak dan menghinamu.... akan tetapi kautunggu.... sampai racun ini bersih dari tubuh kita.... aku tetap cinta kepadamu."

Kwi Lan menarik napas panjang, me­nahan tangisnya dan pikiran bersih me­nyelinap di benaknya. Mengapa ia harus merasa nelangsa? Jelas bahwa mereka telah keracunan, bahkan perasaan tubuh­nya membuktikan bahwa makanan dan minuman tadi pun mengandung racun yang mempunyai daya rangsang hebat. Ia mencinta pemuda ini, akan tetapi tidak semestinya menurutkan rangsang nafsu berahi. Dengan pengerahan tenaga batin­nya, ia bersila dan memejamkan mata, bersamadhi. Melihat keadaan gadis itu, Pangeran Talibu bernapas lega dan ia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menindas nafsu dan ber­samadhi.

Malam itu merupakan malam siksaan bagi Kwi Lan dan Talibu. Belum pernah mereka merasa tersiksa seperti malam hari itu. Tubuh yang terasa panas dengan hawa yang menggelora tidak memungkin­kan mereka dapat bersamadhi secara layak. Mereka gelisah sekali. Terdengar. Pangeran Talibu menggereng berkali-kali seperti harimau terluka. Tubuhnya penuh peluh. Adapun Kwi Lan tidak dapat di­bayangkan sengsaranya. Gadis ini yang mencinta Talibu dan yang merasa yakin bahwa pemuda itu pun mencintanya, lebih hebat penderitaannya. Berkali-kali ia mengeluarkan suara merintih dan mengerang, tubuhnya menggeliat, peluh­nya bercucuran, namun ia berusaha se­kuat tenaga untuk bertahan agar dapat menindas keinginan hatinya yang mem­buat ia seakan-akan ingin loncat menu­bruk pemuda itu.

Menjelang pagi, mereka mendengar suara Bouw Lek Couwsu di luar kamar tahanan. Suara pendeta itu menyumpah­-nyumpah dan marah-marah agaknya ke­cewa sekali melihat dua orang muda ini tidak terpengaruh obatnya yang amat luar biasa. Diam-diam ia merasa kagum akan kekerasan hati dua orang muda itu, di samping merasa kecewa, penasaran, dan marah. Tak lama kemudian, kamar tahanan itu penuh dengan asap yang disemprotkan dari luar melalui lubang jendela dan pintu. Mula-mula Kwi Lan yang mencium bau harum tidak sewajar­nya.

"Pangeran, hati-hati, asap beracun....!" Serunya, namun sia-sia belaka. Mereka meloncat dan hendak menghindarkan diri, akan tetapi ke mana? Tak mungkin ke

luar dari ruangan tertutup itu dan asap makin menebal Tak mungkin pula me­nahan napas untuk waktu lama dan akhirnya mereka terhuyung dan roboh ping­san setelah terbatuk-batuk dan menyedot asap wangi itu.

Ketika Pangeran Talibu sadar, ia sudah terbaring di sudut ruangan. Ia mendengar suara orang dan ketika ia membuka mata, bukan main kaget dan ngeri rasa hatinya. Ia melihat Kwi Lan terbelenggu kaki tangannya dan di situ berdiri Bouw Lek Couwsu dan dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar dan amat buruk rupanya, seperti monyet-monyet besar. Mereka berdua itu hanya memakai sebuah celana kasar pendek sebatas lutut dengan badan bagian atas telanjang. Tampak kaki tangan mereka yang besar dan kekar kuat itu penuh bulu hitam. Juga dada mereka penuh bulu yang me­manjang sampai ke perut. Muka mereka menghitam dan kasar sekali karena bo­peng bekas luka penyakit cacar. Mata mereka liar dan merah, hidung besar dengan mulut besar tampak gigi mereka besar-besar menguning. Pendeknya, dua orang raksasa Hsi-hsia ini mengerikan dan buruk sekali, sedikit pun tidak mempunyai daya tarik sebagai seorang laki­-laki dan mendatangkan rasa jijik.

Bouw Lek Couwsu memperlihatkan kertas putih dan alat tulis kepada Pange­ran Talibu, lalu berkata, suaranya halus dan sopan. "Pangeran, apakah sampai sekarang juga Pangeran tidak sudi menu­lis surat untuk Ibunda Pangeran di Khi­tan?"

"Bouw Lek Couwsu! Percuma saja kau membujuk. Sampai mati pun aku tidak sudi. Kau boleh membunuhku, aku tidak peduli!" jawab Talibu sambil bangkit duduk. Rasa panas tubuhnya masih ada, akan tetapi tidak sehebat malam tadi. Ia kini dapat melihat betapa Kwi Lan juga sudah sadar, akan tetapi gadis itu tidak mampu bergerak karena belenggu pada kaki tangannya yang amat kuat. Gadis ini pun sama sekali tidak memba­yangkan takut pada pandang matanya yang melotot ke arah Bouw Lek Couwsu penuh kemarahan.

"Hemmm...." pemimpin orang-orang Hsi-hsia itu menyeringai dan tampak betapa muka pendeta itu kini memba­yangkan kekejaman hati yang dingin. "Pangeran benar-benar keras hati. Meng­ingat bahwa kita sama-sama bangsa yang besar dan dan gagah perkasa, kami tidak ingin menyusahkan Pangeran. Sekarang harap Pangeran sudi memilih, menulis surat ini ataukah terpaksa pinceng mem­bunuh gadis ini!"

Terbelalak mata Pangeran Talibu. Mutiara Hitam adalah adik kandungnya, adik kembarnya. Andaikata orang lain sekalipun, tak mungkin ia dapat mem­biarkan gadis itu tewas karena dia! Apa­lagi adik kembarnya, adiknya yang telah datang dengan niat menolongnya, tanpa mengetahui bahwa yang ditolong adalah kakak kembarnya. Bagaimana mungkin ia mengorbankan nyawa adik yang dicinta­nya ini? Ia tak mampu menjawab, hanya menatap wajah pendeta yang tersenyum-senyum dingin itu, sambil menggeleng­geleng kepalanya.

"Pinceng tahu bahwa hati Pangeran adalah baik dan tentu saja tidak tega melihat gadis jelita ini mati. Oleh ka­rena itu, harap Pangeran sudi membuat surat yang kami butuhkan itu dan inilah kertas...."

"Pangeran Talibu! Jangan pedulikan dia! Eh, Bouw Lek Couwsu pendeta pal­su. Kau mau bunuh aku lekas bunuh! Apa kaukira aku takut mati? Cih, pendeta tak tahu malu. Jahanam yang berkedok pendeta untuk melampiaskan angkaramurka!"

Bouw Lek Couwsu melihat perubahan pada muka Pangeran Talibu yang kini kembali mengeras, tanda bahwa Pangeran itu timbul semangatnya dan tidak akan suka tunduk. Ia menjadi marah sekali kepada Mutiara Hitam. "Baiklah, jangan kira bahwa kau akan begitu enak menerima kematianmu. Dan kau, Pangeran Talibu, marilah kita menyaksikan peman­dangan yang amat menyenangkan." Ia memberi perintah dalam bahasa Hsi-hsia kepada dua orang raksasa buruk itu.

Dua orang setengah telanjang itu saling pandang, tertawa ha-ha-hi-hi, me­nyeringai lebar sehingga deretan gigi besar-besar kuning dekil tampak nyata. Kemudian keduanya bermain jari menga­du untung. Si Raksasa yang hidungnya pesek sekali yang menang, maka sambil mengeluarkan suara seperti binatang buas ia berlutut, girang bukan main, Si Raksasa Hidung Besar yang kalah hanya tertawa ha-ha-he-he, lalu berlutut dekat kepala Kwi Lan dan tangannya yang besar meraih ke bawah.

"Breeetttt....!" Sekali renggut robek­lah baju Kwi Lan, tidak hanya baju luar yang robek sama sekali, bahkan sebagian baju dalamnya ikut robek dan tampaklah sebagian dada yang putih padat dan se­bagian kulit paha yang putih bersih! Si Raksasa Hidung Pesek kembali mendengus dan tangannya siap bergerak un­tuk menelanjangi calon korbannya. Jelas kelihatan betapa nafsu iblis sudah me­nguasainya, siap melakukan perkosaan tanpa mempedulikan orang-orang di sekelilingnya.

"Iblis keparat....!"

Pangeran Talibu sudah meloncat maju dan dalam kemarahan yang meluap-luap ia menerjang dengan pukulan ke arah raksasa hidung pesek yang hendak mem­perkosa Kwi Lan. Tubuhnya agak mem­bungkuk, mukanya menjadi pucat dan lengan kanannya mengeluarkan suara berkerotokan ketika pemuda bangsawan ini mengirim pukulan ke arah kepala Si Raksasa Hidung Pesek. Inilah ilmu pukul­an sakti Tok-hiat-coh-kut (Racun Darah Lepaskan Tulang) yang amat hebat dan biarpun baru dilatih setengah matang dari Ratu Yalina namun raksasa Hsi-hsia yang hanya bertenaga besar itu mana mampu menghindarkan diri. Terdengar suara "kraakkkk....!" dan raksasa itu terguling dengan kepala remuk isinya!

"Hemmm....!" Bouw Lek Couwsu mengeluarkan suara mendengus dari hi­dungnya, tangannya bergerak dan Pangeran Talibu terguling roboh dengan kaki seperti patah rasanya. Pukulan jarak jauh pendeta ini telah merobohkannya. Bouw Lek Couwsu memberi perintah lagi dalam bahasa Hsi-hsia. Raksasa hidung besar yang menjadi marah sekali karena te­mannya roboh tewas, mentaati perintah itu lalu bangkit berdiri dan mencabut sebuah cambuk kulit dari ikat celananya. Kemudian menghampiri Pangeran Talibu dan terdengarlah suara meledak-ledak ketika cambuk itu melecut dan menghan­tam tubuh Pangeran Talibu yang juga telanjang bagian atasnya, pangeran yang memang sudah luka-luka itu merasa betapa kulit dan sedikit daging di bawah kulit seperti dicacah-cacah, digigiti cam­buk, terasa panas dan perih. Saking sa­kitnya, ia sempat menggeliat-geliat dan bergulingan ke sana ke mari seperti se­ekor ayam disembelih, akan tetapi ia menggigit bibir sampai berdarah, sedikit pun tidak ada suara keluhan keluar dari mulutnya!

Biarpun Kwi Lan tidak mengeluarkan kata-kata sesuatu saking terharu dan sakit hatinya, namun air matanya ber­cucuran menyaksikan betapa pemuda yang dicintanya ini mengalami siksaan seperti itu. Kemudian ia mendapatkan kembali suaranya lalu memaki-maki nyaring.

"Bouw Lek Couwsu kau manusia iblis! Kau anjing tua berkedok pendeta! Aku bersumpah akan mencabut nyawamu ka­lau diberi kesempatan!"

Bouw Lek Couwsu hanya tertawa bergelak, kemudian berkata dalam bahasa yang dimengerti Kwi Lan, "Heeii, kauberi rasa sekali dua kali kepada bocah ber­mulut lancang ini!"

Raksasa Hsi-hsia berhidung besar yang tadinya memandang Kwi Lan dengan mata penuh nafsu berahi, kini meman­dang dengan kebencianmeluap-luap. Ia membalik dan mengangkat cambuknya, siap dijatuhkan ke atas muka yang jelita dan berkulit halus putih kemerahan itu.

Cambuk diangkat ke atas, bergerak di udara mengeluarkan bunyi "tarrr!" dan ujungnya menyambar ke arah muka Kwi Lan.

"Binatang....!"

Tubuh Pangeran Talibu yang tadinya sudah menggeletak kehabisan tenaga dan amat menderita rasa panas perih dan nyeri, kini meloncat dan ujung cambuk yang menyambar ke arah muka Kwi Lan tertangkap oleh tubuhnya.

"Tarrr....!"

Tubuh Pangeran Talibu terguling roboh lagi. Ia tadi dapat bergerak karena kemarahan yang meluap-luap ditambah rasa gelisah menyaksikan adik kembarnya akan disiksa, akan tetapi begitu ia ber­hasil menghindarkan wajah adiknya dari cambukan, kedua kakinya yang sudah setengah lumpuh oleh pukulan Bouw Lek Couwsu tadi tidak dapat berdiri tegak maka ia terguling. Orang Hsi-hsia tinggi besar menjadimarah. Ia lalu menggerak­kan cambuknya dan kembali tubuh Talibu dihajar bertubi-tubi sampai akhirnya pe­muda itu roboh pingsan! Dada dan pung­gungnya tertutup darah dan garis-garis biru merah.

"Cukup, kau anjing tolol! Jangan bu­nuh dia! Hajar perempuan ini kataku!" Bouw Lek Couwsu membentak kemudian melangkah minggir.

Orang Hsi-hsia itu terkejut, maklum akan hebatnya hukuman kalau ia membuat marah pemimpin besar ini, lalu meng­angkat cambuknya, menghantam sekeras­nya ke arah Kwi Lan yang rebah telen­tang tak mampu bergerak. Gadis ini sama sekali tidak berkedip, menanti da­tangnya cambuk ke muka dengan keta­bahan luar biasa.

"Wuuuutt...., adduuuuhhhh....!"

Cambuk yang sudah nenyambar itu berhenti di tengah jalan bahkan lalu ter­lepas dari pegangan Si Raksasa Hsi-hsia yang roboh seperti pohon ditebang. Se­batang jarum telah menembus punggung dan terus menancap di jantungnya!

"Hemmm…. Bouw Lek Couwsu! Be­ginikah engkau memperlakukan muridku?" terdengar suara halus dingin dan muncul di ambang pintu seorang wanita berpa­kaian putih berkerudung hitam, Kam Sian Eng! Tangan kanannya masih mengempit tubuh Kiang Liong dan tadi dengan tangan kiri, hanya menggunakan sebatang jarum, ia telah membunuh raksasa Hsi-hsia dalam sekejap mata. Di sebelahnya tampak Suma Kiat yang memondong tubuh Puteri Mimi, dan di belakang dua orang ini berdiri Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong. Empat orang tokoh sakti ini hanya tersenyum-senyum, agaknya me­reka ini tidak peduli, atau bahkan gem­bira menyaksikan betapa kini Bouw Lek Couwsu agaknya akan bentrok dengan Sian-toanio!

Bouw Lek Couwsu tentu saja tidak akan dapat menjadi seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia kalau ia tidak cerdik dan pikirannya dapat bekerja amat cepat dan mengambil keputusan yang amat tepat, padawaktunya. Ia sama sekali tidak kelihatan terkejut atau kehilangan akal. Bahkan lalu cepat-cepat menjura kepada Kam Sian Eng, tersenyum lebar dan ke­mudian menghela napas panjang, meng­geleng kepala dan berkata.

"Aaahhh, sayang sekali. Tanpa aku sengaja, kau telah menggagalkan siasat­ku, Sian-toanio. Pinceng belum gila untuk menyakiti murid Toanio. Dapat Toanio periksa apakah muridmu itu terluka se­dikit pun, Pinceng terpaksa melakukan ancaman ini tidak lain hanya dalam usa­ha menundukkan kekerasan hati Pangeran Khitan itu. Marilah kita ke dalam dan bicara lebih leluasa, Toanio. Dan orang yang Toanio bawa itu.... ah, bukankah dia Kiang-kongcu murid Suling Emas?"

Kam Sian Eng tadi membunuh rak­sasa Hsi-hsia, bukan semata-mata karena hendak menolong Kwi Lan, melainkan ia merasa terhina kalau muridnya diganggu orang di depanmatanya. Ia sebetulnya masih marah kepada muridnya itu, apala­gi ketika mendengar penuturan Suma Kiat tentang sepak terjang Kwi Lan di kota raja. Kini mendengar ucapan Bouw Lek Couwsu, ia mendengus dan melem­parkan tubuh Kiang Liong ke atas lantai. Kiang Liong ternyata pingsan dan tubuh­nya menggelundung dekat Kwi Lan yang hanya melotot dan memandang gurunya.

"Kakanda Pangeran....!"

Puteri Mimi meronta dari pondongan Suma Kiat. Ketika pemuda ini yang ter­tawa-tawa tidak mau melepaskannya, Mimi mencakar dan menggigit. Lucu juga pemandangan itu dan terdengar Kam Sian Eng berkata ketus, "Lepaskan dia!"

Suma Kiat masih menyeringai, akan tetapi ia tepaksa melepaskan Mimi yang segera lari dan menubruk tubuh Pangeran Talibu dan menangis tersedu-sedu, memanggil nama Talibu dan menggosok-gosok tubuh yang penuh darah dan luka-luka cambukan.

Bouw Lek Couwsu mengajak tamu­-tamunya meninggalkan ruangan tahanan. Daun pintu ditutup dan dikunci dari luar, para penjaga kini ditambah jumlahnya dan sunyilah keadaan ruangan tahanan itu, kecuali tangis Puteri Mimi. Kwi Lan yang melihat guru dan suhengnya tidak berusaha membebaskannya, mengerti di dalam hatinya bahwa ia telah dianggap musuh oleh mereka. Namun ia tidak me­rasa sedih karena kini tahulah ia bahwa gurunya dan suhengnya itu bukanlah ma­nusia-manusia baik. Ia bahkan merasa lega ditinggal di sini bersama Pangeran Talibu dan Kiang Liong, karena andaikata ia dibebaskan gurunya, ia masih belum yakin apakah ia akan mau bersekutu dengan mereka. Kini perhatiannya ter­curah kepada Puteri Mimi yang mena­ngisi Talibu. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, melihat puteri cantik yang pernah ia jumpai di taman bunga Kiang Liong itu kini menangisi Talibu, ia se­cara tiba-tiba saja membenci puteri ini! Ingin ia bangkit dan menamparnya, menyeretnya pergi menjauhi Pangeran Ta­libu.

“Kakanda Pangeran....!”

Panggilan berkali-kali ini membuat Talibu sadar. Ia mengeluh lalu membuka matanya. IA masih dikuasai racun yang memabokkan. Begitu membuka mata dan melihat Puteri Mimi duduk bersimpuh di dekatnya dan memeluki serta memanggil-manggil namanya sambil menangis, serentak ia bangkit.

“Mimi.... kau.... kau....?”

Mereka berpelukan. Puteri Mimi terkejut sekali ketika merasa betapa kakaknya ini, kakak kandungnya yang ia tahu diambil putera ratunya, kini memeluknya dengan tidak wajar. Bahkan menciumi mukanya, menciumi bibirnya penuh nafsu. Ia terlonjak kaget, matanya terbelalak, khawatir kalau-kalau kakaknya yang dicintanya ini menjadi gila!

"Kakanda....!" Ia berusaha melepas­kan pelukan. Akan tetapi Pangeran Ta­libu memeluk makin erat, bahkan men­cegahnya bersuara lagi dengan ciuman mesra.

Tiba-tiba terdengar bunyi melengking nyaring. Itulah suara Kwi Lan yang tak dapat menahan rasa amarahnya yang menggelegak di hati. Ia tidak tahu bahwa ia telah berada dalam cengkeram iblis cemburu, yang membuatnya marah dan beringas, siap membunuh Puteri Mimi. Setelah mengeluarkan suara melengking seperti suara gurunya kalau marah, tu­buhnya mencelat ke depan, memukul ke arah Mimi dengan pukulan maut. Ia sudah lemah, tenaganya sudah hampir habis karena ia pergunakan untuk mela­wan rangsangan berahi sepanjang malam, akan tetapi pukulan itu masih ganas dan dahsyat luar biasa.

"Dukkk....!" Tubuh Kwi Lan terpelan­ting dan gadis yang sudah lemah ini se­belum sempat bangkit kembali, sebuah totokan membuatnya rebah miring dalam keadaan pingsan.

Puteri Mimi terkejut dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya ia berhasil melepaskan diri dari pelukan Pangeran Talibu. Akan tetapi Pangeran itu bangkit dengan mata merah, mulut terengah-engah lalu hendak mengejar.

"Kakanda...., apakah kau gila....?" teriak Mimi dan gadis ini merasa ngeri dan khawatir. Pangeran Talibu menubruk akan tetapi sebuah totokan dari samping membuat ia roboh pula menggelundung di dekat Kwi Lan dalam keadaan pingsan.

Kiranya Kiang Liong yang tadi siuman cepat turun tangan melihat Kwi Lan menyerang Mimi tadi. Pemuda yang ba­nyak pengalaman dan berpemandangan luas ini melihat sesuatu yang tidak wajar pada sinar mata Kwi Lan dan Pangeran Talibu, maka melihat betapa Pangeran itu mengejar adiknya sendiri dengan naf­su menyala-nyala, segera ia menotoknya roboh.

Untung bahwa dua orang muda itu sudah kehabisan tenaga. Kalau tidak, belum tentu Kiang Liong dapat meroboh­kan mereka secara mudah. Apalagi me­robohkan Kwi Lan, karena tenaga Kiang Liong sendiri pun sudah lemah akibat luka yang dideritanya akibat pukulan Kam Sian Eng. Setelah melihat betapa Kiang Liong merobohkan kakaknya, Pu­teri Mimi berbalik menjadi marah kepada Kiang Liong. Ia menghadapi pemuda itu dengan mata terbelalak dan membentak. "Kauapakan Kakakku....?"

Kiang Liong mengerutkan kening. "Mereka tidak wajar, seperti beringas dan gila. Aku hanya menotok mereka agar tidak terjadi hal-hal tidak baik. Mungkin mereka berada di bawah penga­ruh racun." Ia menuding ke arah mang­kuk-mangkuk bekas makanan.

Puteri Mimi mengeluh lalu bersimpuh lagi dekat kakaknya. Kalau teringat betapa kakaknya tadi menciuminya seperti itu, mukanya menjadi merah saking jengah. Ah, selama hidupnya belum pernah ia dicium orang seperti itu! Kemudian tim­bul pula rasa kasihan dan khawatir di hati melihat tubuh kakaknya yang penuh luka bekas cambukan. Ia menoleh ke arah Kwi Lan, mengerutkan kening. Siapa wanita cantik jelita ini dan mengapa datang-datang hendak menyerangnya? Ia mengeluh dan kembali merenungi kakak­nya dengan hati penuh kegelisahan.

Kiang Liong juga maklum bahwa ke­adaan mereka amatberbahaya. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktu dengan ber­duka atau berkhawatir. Cepat ia bangkit untuk menyelidiki keadaan kamar tahan­an. Setelah mendapat kenyataan bahwa kamar itu kuat sekali, dijaga ketat di luar, ia lalu mengundurkan diri di sudut ruangan itu, duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan dan kesehatannya. Ia tahu bahwa yang terpenting adalah memulihkan kekuatan karena apa pun yang akan terjadi, yang paling ia perlukan adalah tenaga dan kesehatannya. Keadaan di dalam ruangan tahanan ini menjadi sunyi sekali. Hanya terdengar helaan napas panjang diselingi isak dari Puteri Mimi. Lilin merah makin mengecil dan akhirnya padam. Ruangan menjadi gelap. Puteri Mimi makin geli­sah. Dua orang pingsan, yang seorang duduk bersamadhi. Dia merasa seperti di kuburan.

Menjelang pagi terjadi geger di dalam hutan dekat markas Bouw Lek Couwsu. Yu Siang Ki yang membawa pasukan pengemis sebanyak lima puluh orang telah tiba dan langsung menyerbu hutan yang kini terjaga rapat oleh orang-orang Hsi-hsia dan para pendeta jubah merah. Pasukan yang dibawa Yu Siang Ki adalah orang-orang pilihan dari dunia kai-pang dan rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan. Sebagai tokoh-tokoh kai-pang yang berpengalaman, di antara mereka itu terdapat orang-orang yang ahli akan siasat pertempuran dan ahli pula akan tempat-tempat rahasia, maka mereka tidak bertindak sembrono. Yu Siang Ki di samping teman-temannya yang berpenga­laman, dapat menduga bahwa markas besar pimpinan orang Hsi-hsia ini tentu penuh dengan perangkap-perangkap ber­bahaya. Oleh karena itu mereka menanti sampai datangnya malam gelap, barulah mereka menyerbu ke dalam hutan. Yu Siang Ki dan teman-temannya tidaklah begitu sembrono seperti Kwi Lan untuk melalui jalan satu-satunya yang terdapat di hutan itu, melainkan mengambil jalan menyusup di antara semak-semak belu­kar, menyelinap di antara pohon-pohon besar.

Dengan amat hati-hati mereka me­nyusup seperti gerakan pasukan monyet yang amat lincah. Setelah melalui per­jalanan yang amat sukar dan lama, men­jelang senja barulah mereka dapat men­dekati markas. Mereka telah lolos dari­pada perangkap-perangkap rahasia yang dipasang di sepanjang jalan, akan tetapi ternyata mereka tidak dapat lolos dari­pada para penjaga yang ketat. Ketika para penjaga melihat gerakan mereka, para hwesio jubah merah beserta pasukan Hsi-hsia segera bergerak mengepung dan terjadilah pertempuran hebat sekali di dekat markas besar Bouw Lek Couwsu. Keadaan masih remang-remang gelap, dan pasukan kai-pang di bawah pimpinan Yu Siang Ki menyerbu dengan dahsyat sehingga pertempuran itu berlangsung seru sampai pagi. Akan tetapi ternyata pasukan yang dipimpin Yu Siang Ki cukup tangguh sehingga banyak perajurit Hsi-hsia roboh binasa. Para hwesio jubah merah melakukan perlawanan gigih, na­mun mereka kalah banyak sehingga mu­lailah mereka terdesak.

Tiba-tiba terdengar bentakan keras, "Jembel-jembel busuk sungguh menjemu­kan!" Bentakan ini disusul munculnya seorang kakek kurus bertopi tinggi, namun gerakannya hebat luar biasa. Begitu dengan tangan kosong ia menyerbu, empat orang pengemis roboh dengan mata mendelik dan putus napasnya!

"Hemmm, baru kalian mengenal Pak-sin-ong!" kata Si Kurus dan kembali ia melangkah maju. Para pengemis yang terkejut bukan main menyaksikan kelihai­an kakek ini, menjadi lebih kaget men­dengar namanya. Kiranya inilah Pak-sin­-ong! Namun hanya sebentar mereka ter­kejut. Seorang pengemis yang bertubuh kekar dan berkumis lebat, menubruk maju mengayun tongkatnya, menghantam ke arah kepala Pak-sin-ong. Kakek itu hanya berdiri dengan angkuh dan terse­nyum mengejek.

"Krakk!" Tongkat itu tepat mengenai kepala dekat dahi, akan tetapi kakek itu tetap tersenyum, sebaliknya tongkat itu yang terbuat daripada kayu keras, patah menjadi dua potong dan terlempar jauh entah ke mana. Si Pengemis kaget, na­mun tiba-tiba kakek itu menggerakkan tangannya dan ditusukkan ke depan.

Pengemis itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan jerit mengerikan. Juga teman-temannya terbelalak ngeri ketika melihat betapa pengemis ini pecah perut­nya, ususnya, berantakan dan ditarik-tarik keluar oleh Si Kakek Kejam! Pemandang­an yang amat mengerikan, akan tetapi juga menimbulkan kemarahan yang me­luap-luap, membuat para pengemis men­jadi nekat. Majulah mereka menerjang kakek itu yang melayani sambil terse­nyum simpul.

Yu Siang Ki yang mendengar laporan tentang munculnya kakek hebat ini, ce­pat meloncat dan menggerakkan tongkat­nya merobohkan seorang hwesio jubah merah. Akan tetapi sebelum ia tiba di tempat Pak-sin-ong mengamuk tiba-tiba ia harus melempar diri ke sarnping, ber­gulingan dan menyabetkan tongkatnya ke kiri karena dari arah kiri menyambar sebuah gunting besar yang tadi hampir saja menggunting putus lehernya! Ia me­loncat bangun dan berhadapan dengan seorang kakek yang terbahak-bahak. Bu­tek Siu-lam!

Kagetlah Yu Siang Ki, sudah lama ia mendengar akan nama besar Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong sebagai se­orang tokoh utara yang luar biasa sakti­nya, juga ia pernah mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam yang baru muncul namun memiliki nama yang tidak kalah oleh orang-orang pertama. Melihat ben­tuknya, lagaknya, dan guntingnya, tak salah lagi inilah orangnya. Ia tahu bahwa lawan ini amat berbahaya, maka cepat Siang Ki menyambar topinya dan begitu tangannya bergerak, topinya melesat seperti petir menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam.

"Klikk!" Gunting itu menyambar dan.... biarpun topi masih terbang lewat, namun kembangnya yang menghias topi sudah terguling dan kini terpegang di tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang mencium-cium kembang itu dengan lagak genit!

"Hi-hik, pemuda tampan, Engkau bo­leh juga, sayang semuda dan setampan engkau begini malas menjadi pengemis. Hi-hik!"

Pada saat itu, seorang pengemis tua mendekati Yu Siang Ki dan berkata sua­ranya gugup, "Pangcu, keadaan kita ter­desak. Minta putusan."

"Beri tanda untuk mundur, sedapat mungkin keluar dari tempat ini!" kata Yu Siang Ki yang tidak ingin mengorbankan teman-temannya dan maklum bahwa se­telah muncul dua orang sakti yang sama sekali tidak pernah disangkanya, keadaan pasukannya terancam bahaya. Kakek pengemis itu mengangguk lalu meloncat pergi sambil mengeluarkan pekik seperti orang menangis. Itulah tanda untuk mun­dur, maka paniklah pasukan pengemis. Mereka mulai mundur sambil memper­tahankan diri, didesak oleh musuh yang kini mendapat hati.

Jalan keluar kiranya malah lebih su­kar daripada jalan masuk karena selain pasukan Hsi-hsia dan pendeta-pendeta jubah merah, juga kini sudah muncul pula Thai-lek Kauw-ong dan Siauw-bin Lo­mo dari sebelah kiri dan dari sebelah kanan muncul pula Kam Sian Eng dan Suma Kiat! Percuma saja para pengemis melakukan perlawanan dan berusaha lari. Mereka disapu sampai bersih, dan tidak seorang pun dapat lolos dari tempat itu!

Ketika Bu-tek Siu-lam mendengar bahwa pengemis muda yang tampan ga­gah ini adalah seorang Kai-pangcu (Ketua Pengemis) yang memimpin pasukan pe­ngemis, ia menjadi kagum dan berkata, "Eh, kiranya engkau seorang pangcu! Hi-hik! Aku mendengar laporan para penge­mis anak buahku bahwa ada seorang ketua pengemis muda belia yang katanya adalah putera mendiang Yu Kang Tiang­lo. Engkaukah orangnya?"

"Benar, dan aku pun tahu bahwa eng­kaulah orang dari barat yang menampung kaum sesat untuk menyelewengkan dunia pengemis ke dalam kejahatan. Sudah tiba saatnya kita membuat perhitungan!" kata Yu Siang Ki, sedikit pun tidak gentar dan ia sudah menggerakkan tongkat pan­jangnya.

"Hi-hi-hik, bagus! Bouw Lek Couwsu akan suka sekali menerima bantuanmu dan anak buahmu. Eh, bocah ganteng, engkau ikut saja denganku membantu Couwsu."

"Bu-tek Siu-lam! Kaukira aku Yu Siang Ki orang macam apakah? Lihat tongkatku!" pemuda itu sudah menerjang dengan gerakan yang dahsyat. Tongkatnya mengeluarkan suara mengaung ketika menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu­lam. Namun kakek ini hanya tertawa mengejek dan berkata, "Hi-hik, percuma kau melawan!" Tongkat Siang Ki lewat di dekat kepalanya ketika tokoh banci ini mengelak. Namun sungguh tak disangka­nya ketika tongkat itu seperti seekor naga membalikkan tubuh sudah membalik dan menusuk ke arah dadanya. Ketika ia cepat miringkan tubuh, tongkat itu kem­bali tahu-tahu sudah menghantam ke arah pinggangnya.

"Hiyaa...., kau boleh juga....!" seru tokoh ini, terkejut dan juga kagum. Ki­ranya biarpun masih muda, pengemis ini memiliki kepandaian yang hebat. Pantas saja menjadi ketua kai-pang dan juga tidak mengecewakan menjadi putera mendiang Yu Kiang Tianglo yang dulu amat tersohor.

Pada saat itu, muncul dua orang pengemis tua. Tubuh mereka sudah ter­luka di lengan dan pundak, dan wajah mereka penuh keringat, pandang mata mereka penuh kegelisahan. Mereka serentak menerjang Bu-tek Siu-lam membantu Yu Siang Ki dan seorang di antara me­reka berkata, "Pangcu mari kita lari, keadaan sudah berbahaya dan mende­sak....!"

Kiranya dua orang pengemis ini yang melihat betapa pasukannya yang sedang melakukan usaha mengundurkan diri di­hajar habis-habisan oleh musuh, kini ber­usaha membujuk Siang Ki untuk menye­lamatkan diri. Mendengar ucapan mereka ini, Siang Ki mempercepat gerakan tongkatnya sehingga ujung tongkatnya ber­ubah menjadi puluhan buah banyaknya, yang kesemuanya menyerbu ke arah jalan darah dan bagian-bagian lemah dari tu­buh Bu-tek Siu-lam.

"Hi-hi-hi-hik, dasar pengemis tak tahu diri!" seru Bu-tek Siu-lam dan tubuhnya berkelebat ke arah dua orang pengemis tua itu. Guntingnya yang besar menyam­bar dan mengeluarkan bunyi nyaring "Klikk! Klakk!" Dua orang pengemis itu menjerit keras dan tubuh mereka roboh menjadi.... empat potong! Siang Ki kaget dan kemarahannya meluap. Ia segera menerjang, mainkan ilmu tongkat ajaran ayahnya sambil mengerahkan semua te­naga sin-kang di tubuhnya. Lenyaplah tubuh pemuda ini, berkelebatan dengan loncatan cepat, diselimuti gulungan sinar tongkatnya yang menyambar-nyambar. Bunyi mengaung, makin meninggi sampai melengking-lengking nyaring.

Namun, yang dihadapi pemuda lihai ini adalah Bu-tek Siu-lam, seorang tokoh besar, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sungguhpun dasar ilmu silat Bu-tek Siu-lam tidak semurni ilmu silat Yu Siang Ki, namun jauh lebih berbahaya dan ga­nas, juga kakek banci ini menang tenaga dan menang pengalaman. Semua terjang­an tongkat Yu Siang Ki yang demikian dahsyatnya dapat terbendung oleh gunting sehingga terdengarlah berkali-kali suara nyaring disusul percikan bunga api ketika kedua senjata itu bertemu. Yu Siang Ki terkejut. Setiap kali senjatanya bertemu senjata lawan, lengannya menjadi kesemutan. Inilah tandanya bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat. Dan ia pun dapat melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang, melihat pula munculnya Siauw-bin Lo-mo si kakek sakti di samping Pak-sin-ong dan Bu-tek Siu-lam ini. Habislah harapannya, bukan hanya untuk menolong Pangeran Mahkota Khitan, bahkan kini ia sendiri terancam, pasukannya hancur dan entah bagaimana dengan nasib Kwi Lan. Semua kegagalan ini membuat ia menjadi nekat dan marah. Tongkatnya diputar makin hebat dan kini ia tidak pedulikan apa-apa lagi, semua perhatiannya ia curahkan dalam penyerbuan terhadap Bu-tek Siu­lam.

"Bocah tampan yang bodoh! Engkau masih tidak mau menyerah?" Bu-tek Siu­-lam mengejek dan terpaksa ia pun mempercepat gerakan guntingnya karena biar­pun masih muda, lawannya ini benar-benar tak boleh dipandang ringan. Jarang ia menemui lawan semuda tapi setangguh ini, dan diam-diam ia makin kagum. Alangkah akan senangnya mempunyai seorang kekasih seperti pemuda ini, pi­kirnya. Tampan, kulitnya putih halus, matanya jernih tajam, lahir batinnya gagah perkasa dan jantan! Namun tidak­lah mudah menangkap pemuda tampan ini, dan mereka sudah bertanding sampai seratus jurus lebih!

Yu Siang Ki juga menjadi bingung. Ia maklum bahwa ia tidak akan menang melawan kakek yang amat sakti ini. Betapapun juga, ia harus mempertahan­kan diri dan kalau perlu mengadu nyawa dengan Bu-tek Siu-lam. Tidak terlalu penasaran kalau ia mati bersama kakek ini yang memiliki ilmu jauh lebih tinggidaripadanya. Ia harus menggunakan akal, kalau tidak, hanya mengandalkan ilmu silat saja tak mungkin ia dapat membu­nuh Bu-tek Siu-lam. Berpikir demikian, Siang Ki yang sudah menjadi nekat dan putus harapan itu lalu mencondongkan tubuh ke depan, tongkatnya menyambar ke arah kepala lawan disusul tangan kiri yang melepaskan tongkat dan memukul dengan jari-jari terbuka ke arah dada. Serangan tongkatnya tidak berbahaya, dan pukulan inilah yang berbahaya, mengandung tenaga sin-kang yang kuat. Bu-tek Siu-lam bukan anak kecil, dan ia tahu akan akal ini, yaitu yang disebut serangan membesar-besarkan yang kosong menyembunyikan yang isi. Menghadapi sambaran tongkat, ia hanya menundukkan kepala dan berbareng ia menggerakkan gunting besarnya, yang sudah dibuka dan siap menggunting lengan kiri Yu Siang Ki yang mengirim pukulan ke dada.

Tangan kiri Siang Ki sudah meluncur ke depan dengan sepenuh tenaga dan gunting itu siap menanti untuk mencaplok lengan. Terlambatlah Siang Ki untuk menarik kembali lengannya, dan memang sesungguhnya inilah akalnya, akal seorang nekat yang hendak mengadu nyawa. Ia menggunakan lengan kirinya itu untuk memancing, menjadi umpan dan kalau perlu mengorbankan lengan kirinya di­caplok gunting lawan. Begitu melihat gunting menyambar lengan kirinya, tanpa menarik kembali lengan kirinya, kaki kanannya maju melangkah dan tongkatnya menghantam ke arah pinggang lawan sekerasnya. Hebat pukulannya ini, cepat dan tak tersangka-sangka. Ia akan ke­hilangan lengan kiri, akan tetapi pukul­annya tentu akan membinasakan lawan­nya!

Bu-tek Siu-lam terkejut setengah mati melihat betapa lengan kiri itu sama se­kali tidak mengelak atau ditarik kembali, membiarkan menjadi korban gunting. Sebagai seorang ahli tingkat tinggi, ia menjadi curiga dan menarik kembali guntingnya sehingga ketika terdengar suara "klik", hanya ujung lengan baju Siang Ki saja tergunting. Dengan gerakan reflex yang mengagnmkan, kakek itu sudah miringkan tubuh dan sekaligus menggerakkan guntingnya menangkis tongkat. Ia terlambat sedikit, tongkat yang tertangkis itu menyeleweng ke ba­wah dan menghantam paha kirinya.

"Bukkk....!"

Bu-tek Siu-lam terhuyung ke bela­kang, meringis kesakitan. Biarpun tulang pahanya tidak remuk, namun celananya pecah dan tampak pahanya yang putih itu kini menggembung dengan warna biru kemerahan!

"Bocah sinting! Kau tak mengenal kasihan orang!" teriaknya marah-marah dan kini terpincang-pincang ia menerjang maju, guntingnya menyambar-nyambar ganas dan diam-diam tangan kirinya me­ngeluarkan senjatanya yang ke dua, yaitu seutas benang dengan jarumnya!

Yu Siang Ki kaget dan menyesal se­kali. Ia berhasil memukul lawannya, akan tetapi tahu pula bahwa ia hanya menda­tangkan luka di kulit saja. Maka terpaksa ia lalu membela diri dan memutar tong­katnya. Akan tetapi sebentar saja Yu Siang Ki menjadi repot terdesak secarahebat. Ia melihat jarum berkilauan yang menyambar-nyambar seperti seekor lebah hidup, dan celakanya, jarum itu menyam­bar ke arah kedua matanya! Pemuda ini terpaksa membantu tongkatnya dengan ujung lengan baju dikibaskan setiap kali ada sinar berkilau menyambar mata. Namun dengan cara begini, permainan tongkatnya menjadi kacau-balau. Ketika kembali gunting menyambar pinggang, ia menangkis dengan tongkat. Kilauan jarum menyambar mata, ia kibas dengan lengan kiri dan berusaha menangkap jarum. Akan tetapi jarum yang diikat benang itu se­perti hidup digerakkan tangan kiri Bu­tek Siu-lam, kini jarum itu terbang membalik dan tahu-tahu telah menancap d pergelangan tangan kanan Yu Siang Ki! Pemuda ini mengeluh, tongkatnya terlepas, dan ketika ia membungkuk untuk menyambar kembali senjatanya, punggung gunting lawannya menotok tengkuknya. Yu Siang mengeluh perlahan dan roboh pingsan.

***

Dalam, keadaan tidak berdaya, Kiang Liong terpaksa menonton saja ketika ia dan para tawanan lain dibelenggu, karena yang melakukan ini adalah Bouw Lek Couwsu sendiri yang masuk ke ruangan tahanan ditemani Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo. Di antara para tawanan, hanya dia dan Puteri Mimi yang kini dalam keadaan sehat. Akan tetapi apa artinya dia dan Puteri Mimi berdua saja menghadapi empat orang kakek sakti ini? Belum waktunya untuk menerjang dan mati-matian mengadu nyawa, pikirnya. Terpaksa ia berpura-pura lemah dan tidak berbuat sesuatu sehingga mereka semua ini terbelenggu dengan rantai-rantai baja, diikat pada dinding kamar tahanan Kiang Liong di­sudut kiri, dan berbaris di sebelah ka­nannya adalah Pangeran Talibu, Yu Siang Ki, Kam Kwi Lan dan Puteri Mimi. Lima orang muda belia berbaris dalam keadaan terbelenggu di dalam kamar tahanan itu, nasib mereka berada di tangan kakek-kakek yang kejar, dan ganas!

Puteri Mimi terisak-isak menangis. Melihat ini, Kiang Liong berkata perla­han dan tenang menghibur, "Harap puteri jangan gelisah dan putus harapan. Percayalah bahwa Bouw Lek Couwsu yang amat mengharapkan bantuan Khitan tidak akan begitu gila untuk membunuh puteri dan Pangeran. Ia melakukan ini sebagai gertakan saja untuk mengancam dan membujuk Pangeran Talibu yang saya lihat amat gagah dan keras hati tidak mau menyerah sehingga mengalami sik­saan. Kalau dia nanti sadar dan melihat puteri menangis, hal ini amat tidak baik bagi pertahanannya. Engkau adalah puteri Panglima Kayabu yang gagah perkasa, tidak semestinya takut menghadapi baha­ya yang baru sekian saja."

Puteri Mimi menghentikan tangisnya. Hanya air matanya yang masih mengalir turun melalui kedua pipinya, akan tetapi. makin lama air mata itu pun makin mengecil dan akhirnya berhenti. "Terima kasih, Kiang-kongcu. Sesungguhnya, aku tidak akan memalukan nama besar ayah­ku dan aku bukan menangis karena takut. Kematian di tangan musuh bukanlah apa­-apa bagiku. Yang kutangisi dan kusedih­kan adalah keadaan Pangeran Talibu. Melihat keadaan jasmaninya tersiksa seperti itu sudah cukup mengenaskan, akan tetapi melihat betapa ia tadi.... ah, Kongcu, engkau tahu bahwa dia adalah kakak kandungku, bahwa dia adalah Pa­ngeran Mahkota. Hati siapa takkan ber­duka melihat kakak sendiri dan pangerannya menjadi.... menjadi.... gila....?"

Kiang Liong menarik napas panjang. Ia tadi pun melihat betapa Pangeran ­Talibu memeluk dan menciumi adik kan­dungnya itu secara berlebihan bahkan se­cara tidak patut. Pelukan dan ciuman yang mengandung nafsu berahi sepenuh­nya! Bahkan sedemikian hebat nafsu itu menggelora dan menguasai Pangeran tadi sehingga Pangeran itu tidak mempeduli­kan kehadiran orang lain dan hendak me­maksa Sang Puteri. Hal ini memang be­nar-benar tidak wajar dan ini pula yang menyebabkan ia tadi turun tangan me­nolong Sang Pangeran.

"Puteri Mimi, harap kau suka tenang. Saya tahu bahwa sikapnya tadi tidak wajar, seperti juga sikap Mutiara Hitam ini, akan tetapi percayalah, mereka ini pasti terkena racun yang hebat. Mereka berdua bukanlah orang-orang jahat dan juga tidak gila. Tunggu saja kalau me­reka sadar, tentu kita akan. mendengar keterangan mereka...."

Terdengar keluhan Kwi Lan. Mimi menoleh ke sebelah kirinya, melihat Kwi Lan menggerakkan kaki tangan yang terbelenggu, kemudian kepalanya dan akhirnya membuka matanya. Sejenak mata itu nanar dan bingung, kemudian Kwi Lan menoleh ke kanan kiri dan matanya bersinar-sinar penuh kemarahan. Mata itu kini memandang ke arah pintu besi dan mulutnya memaki.

"Heh si bedebah Bouw Lek Couwsu, kakek tua bangka mau mampus yang tak tahu malu! Kau pengecut besar yang hanya mengandalkan jebakan-jebakan rahasia, racun-racun menjijikkan dan bantuan pengeroyokan! Kalau memang kau mengaku jantan pemimpin bangsa biadap Hsi-hsia, hayo kita bertanding sampai selaksa jurus!"

"Kwi Lan, tidak ada gunanya menan­tang-nantang kalau kita sudah tak ber­daya begini," kata Yu Siang Ki. Kwi Lan menoleh ke kiri dan nenjawab dengan mulut cemberut.

"Dasar kau yang tidak punya guna, Siang Ki. Kau datang bersama pasukan pengemis pilihan, bagaimana tahu-tahu sudah menjadi tawanan? Ke mana pergi­nya pasukanmu itu?"

Siang Ki menarik napas panjang. "Aaahhh, semoga saja di antara mereka ada yang berhasil meloloskan diri. Masih terlalu berat, apalagi kakek-kakek iblis seperti Siauw-bin Lo-mo, Bu-tek Siu­lam, Pak-kek Sin-ong dan yang lain. Sungguh mereka merupakan lawan berat."

"Aku tidak takut!" bentak Kwi Lan marah dan kembali ia berteriak-teriak "Iblis-iblis tua bangka macam Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw-bin Lo-mo atau Bouw Lek Couwsu, kalau berani bertan­ding melawan aku secara jantan, biarkan maju. Kalau aku kalah, aku rela mam­pus di tangan. seorang di antara mereka!"

Siang Ki hanya menghela napas, mak­lum akan watak gadis ini. Kiang Liong tertawa kecil dan berkata, "Heh-heh, biarkan saja dia, Yu-pangcu. Andaikata dilayani, dia takkan mampu mengalahkan seorang di antara Bu-tek Ngo-sian."

Kwi Lan kini menoleh ke kiri, se­dapat mungkin memanjangkan lehernya untuk dapat melihat Kiang Liong yang terhalang Siang Ki dan Talibu, matanya mendelik dan ia menghardik.

"Kau murid Suling Emas si sombong tekebur! Kalau kau takut mampus, boleh kau menyerah kepada mereka dan boleh wakili mereka menempur aku! Huh, som­bong, tidak menengok tengkuk sendiri. Kalau kau pandai dan murid Suling Emas kenapa kau sendiri tertawan? Tak tahu malu!"

Kiang Liong hanya tertawa, memper­lihatkan deretan gigi yang putih dan kuat, Kwi Lan makin marah, mendengus­-dengus dan meronta-ronta, akan tetapi belenggu kaki tangannya terlampau kuat. Akhirnya ia tidak meronta-ronta lagi dan hanya merenung ke depan. Dua titik air mata meloncat ke atas sepasang pipinya yang kemerahan. Melihat ini, Kiang Liong menjadi kasihan. Dengan kata-kata serius ia lalu berkata.

"Mutiara Hitam, siapakah yang me­nyangsikan kegagahan dan keberanianmu? Aku kagum sekali kepadamu. Akan teta­pi, kau tentu mengerti pula bahwa se­orang gagah akan dapat menanggung penderitaan dengan sikap tenang dan tidak putus harapan."

"Huhh....!" Kwi Lan hanya mendengus, akan tetapi tidak membantah dan kini ia mencurahkan perhatiannya ke sebelah kanan, kemudian ke kiri ke arah Pange­ran Talibu. Ia melihat betapa pangeran yang dicintanya itu telah sadar pula, dan kembali jantungnya berdebar aneh. Kini ia tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta kepada Talibu dan kalau ia teringat akan keadaan mereka pada malam hari tadi, wajahnya menjadi merah sekali. Ah, jelas bahwa malam tadi terjadi peristiwa yang amat memalukan antara mereka berdua. Sikap mereka seperti orang kemasukan setan, tidak tahu malu! Dan makin yakin

pula hati Kwi Lan bahwa tentu malam tadi ia terpengaruh oleh racun yang ter­dapat dalam masakan dan minuman, demikian pula Pangeran Talibu. Buktinya, pagi ini ia tidak mempunyai perasaan panas dan rangsangan seperti semalam, sungguh harus ia akui bahwa cinta kasih­nya terhadap pangeran itu makin mem­besar. Juga sinar mata Pangeran Talibu pagi ini halus dan tenang tidak panas dan penuh nafsu seperti malam tadi. Akan tetapi, perih hatinya kalau ter­ingat akan kelakuan Pangeran itu terha­dap Puteri Mimi. Dan saat ini, pandang mata Pangeran itu pun ditujukan kepada Puteri Mimi yang berdiri terbelenggu di sebelah kanannya. Dan di antara mereka ini terjadi percakapan dalam bahasa yang ia tidak mengerti! Bahasa Khitan!

Ia sama sekali tidak mengerti dan tiba-tiba mendengar ketawa perlahan di sebelah kirinya. Ia menoleh dan melihat Yu Siang Ki tersenyum dan mengangguk-angguk. Juga di ujung kiri tampak Kiang Liong tersenyum tenang. Jelas bahwa Siang Ki dan Kiang Liong mengerti baha­sa Khitan dan tahu apa yang dipercakapkan kedua orang itu. Membicarakan ten­tang dia? Mentertawakan dia? Hatinya panas dan betapapun ditahan-tahannya, akhirnya ia tidak kuat dan berbisik ke­pada Siang Ki.

"Mereka bicara apa? Apa yang dika­takan oleh dia?" Ia menunjuk dengan gerakan muka ke arah Pangeran Talibu.

Siang Ki menoleh kepadanya dan menjawab sambil berbisik pula. "Pange­ran Talibu bilang bahwa puteri ini bukan adik kandungnya, bahkan sama sekali tidak ada hubungan keluarga di antara mereka."

Kwi Lan tertegun, heran. Ia menoleh ke kanan dan melihat Puteri Mimi me­mandang ke kiri, ke arah Pangeran itu dengan mata terbelalak, seperti tidak percaya, akan tetapi wajah itu berseri-seri, penuh cemas, harap, dan bahagia! Kemudian ia mendengar Talibu masih berkata-kata penuh semangat dan perasa­an, dan wajah Puteri Mimi makin berse­ri, lalu kemerahan kedua pipinya.

"Apalagi yang dikatakan?" desisnya kepada Siang Ki.

"Ha, Pangeran itu bilang bahwa dia mencinta Puteri Mimi, dan telah meng­ambil keputusan untuk menikah dengan Puteri Mimi...."

Kwi Lan memejamkan mata, me­rasa seakan-akan halilintar me­nyambar kepalanya. Ia membuka mata, menoleh ke kanan melihat Puttri Mimi juga memejamkan mata sambil tersenyum penuh bahagia. Menoleh ke ujung kiri me­lihat Pangeran Talibu memandang ke arah Puteri Mimi, melalui dia, dengan penuh cinta kasih! Hatinya makin panas dan tiba-tiba air matanya bercucuran tanpa dapat dicegahnya lagi.

“Kita akan mampus semua....” desis­nya menghibur hati panas dan patah, “kita akan mampus semua di sini....!”

Yu Siang Ki tidak tahu apa yang terjadi dalam hati dan pikiran Mutiara Hitam. Mendengar ucapan ini dan meli­hat air mata bercucuran, ia terheran. Mengapa kini Kwi Lan seperti orang putus harapan? Ke mana keberaniannya tadi?

“Kwi Lan, sebelum hayat meninggal­kan badan, masih ada harapan untuk lolos....”

“Cukup! Siapa putus harapan?” bentaknya.

Sementara itu, menjelang pagi tadi terjadi hal-hal yang aneh di luar ruangan tahanan. Serombongan penjaga bangsa Hsi-hsia sebanyak lima orang yang men­jaga barisan luar markas, menantikan da­tangnya pengganti penjaga sambil ber­main kartu untuk menghilangkan rasa kantuk. Mereka sedang gembira karena ketegangan semalam telah mereda dan mereka merasa beruntung mendapat tugas menjaga sampai pagi, lebih untung daripada teman-teman yang mendapat tugas menyingkirkan sekian banyaknya mayat-mayat para pengemis yang me­nyerbu markas. Keadaan mayat-mayat itu mengerikan, ada yang terpotong-potong tubuh mereka oleh gunting besar Bu-tek Siu-lam, ada yang berceceran isi perutnya sampai berantakan ususnya oleh tangan Pak-sin-ong. Menyingkirkan ma­yat-mayat seperti itu amat menjijikkan dan jauh lebih enak melakukan penjagaan dalam gardu ini sambil mengobrol dan bermain kartu. Apalagi setelah kaum penyerbu dapat dihancurkan, keadaan menjadi aman dan siapa berani memasuki markas mereka?

Suara tapak kaki halus membuat me­reka menengok dan lima orang Hsi-hsia ini meloncat keluar dari gardu sambil menghunus golok masing-masing. Sebentar saja mereka telah mengepung wanita yang mendatangi gardu itu. Wanita yang masih muda, cantik manis dengan sikap yang genit, tersenyum-senyum malu, dengan sepasang mata bening lincah, tubuhnya melenggak-lenggok, biarpun sedang berdiri, pinggangnya tak pernah diam, bergerak-gerak seperti batang pohon liu tertutup angin. Wanita yang cantik molek menggairahkan dan genit! Namun lima orang penjaga Hsi-hsia itu tidak mau bersikap sembrono. Terlalu banyak wanita cantik yang berbahaya dan berkepandaian tinggi, seperti Puteri Mimi dan terutama sekali Mutiara Hitam. Sia­pa tahu wanita cantik ini pun sahabat Mutiara Hitam. Maka mereka mengurung dengan golok terhunus.

“Siapa kau? Dari mana dan mau apa?” bentak seorang di antara penjaga yang berkumis panjang, mengacungkan golok­nya yang tajam berkilauan.

“Iihhh...., jangan bunuh aku.... aduhhh, jangan bunuh aku.... Cu-wi-enghiong (Tuan-tuan Yang Perkasa)....!” wanita itu menjerit lirih, suaranya parau basah.

Lima orang Hsi-hsia itu tertawa. Per­tama karena serasa dielus-elus hati me­reka mendengar mereka disebut lima orang perkasa! Dan ke dua karena de­ngan sikapnya itu, wanita ini jelas bukanlah pendekar wanita yang pandai silat. Seorang wanita dusun yang cantik dan bodoh.

“Siapa kau dan mau apa datang ke sini?” bentak seorang penjaga lain yang matanya buta sebelah akibat perang.

“Aku.... aku bernama Kiok Hwa (Bunga Seruni).... dan aku.... aku datang mencari Boan-koko (Kakanda Boan)....”

Wanita itu tertawa hak-hak-hik-hik, malu-malu dan akhirnya berkata, “Boan­-koko adalah Boan-hwesio, seorang hwesio jubah merah yang.... ah.... sahabatku, eh.... dia sering datang ke rumahku di luar hutan. Sudah tiga bulan kami berhubung­an, akan tetapi lebih sepekan ini dia tidak datang....”

“Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu tertawa terbahak-bahak. Mereka tidak mengenal Boan-hwesio akan tetapi dapat menduga bahwa tentulah seorang di antara hwesio­hwesio jubah merah. Bukan rahasia lagi bahwa hwesio-hwesio itu, biarpun pakaian­nya jelas seperti hwesio dan kepalanya gundul namun dalam hal mengejar wanita cantik, tidak kalah oleh mereka! Bahkan mereka tahu betapa Bouw Lek Couwsu sendiri setiap hari berganti kekasih.

“Kenapa kalian tertawa? Tolong pang­gilkan Boan-toako, atau tunjukkan ke mana aku dapat bertemu dengan dia.... “ wanita itu kembali berkata, sikapnya makin genit, senyum manisnya murah dan kerling matanya menyambar-nyambar penuh tantangan.

“Ha-ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang ber­kata sambil tertawa. “Jadi kau sudah sepekan lebih tidak didatangi sehingga menjadi rindu dan kini menyusul ke sini?” Tangan kirinya diulur dan meraba dagu yang putih halus itu.

“Aiihh.... kenapa raba-raba.” Wanita itu menjerit genit.

Si Kumis tiba-tiba memandang tajam dan sikap gembiranya berubah dengan bentakan menghardik. “Perempuan, jangan kaucoba mengelabuhi kami! Kau seorang perempuan dusun penghuni luar hutan? Bagaimana kau dapat memasuki tempat ini?” Kiranya Si Kumis ini teringat be­tapa jalan menuju masuk ke situ penuh perangkap dan terjaga sehingga tak mungkin seorang wanita muda yang bo­doh dan lemah dapat masuk tanpa dike­tahui, sedangkan Mutiara Hitam sendiri terjebak.

Wanita itu tersenyum genit. “Aahhh. kenapa Cu-wi begini curiga? Apakah per­cuma saja aku mempunyai kekasih Boan­-koko? Sudah beberapa hari aku diselundupkan masuk oleh Boan-koko, melalui jalan yang aman menyusup-nyusup semak dan alang-alang. Apa sukarnya?”

Lima orang ini lega dan percaya kini, lalu timbul pula kegembiraan mereka untuk mempermainkan wanita cantik genit ini. “Kenapa kau menjadi kekasih seorang hwesio gundul? Apakah dia masih muda?”

“Ah, tidak muda lagi, lebih tua dari­pada kalian.”

“Hemm, apa dia tampan?”

“Tampan? Huh, mukanya bopeng dan terutama sekali hidungnya amat kubenci. Terlalu besar hidung itu, dan dia.... ra­kus.”

“Ha-ha.-ha-ha! Apanya yang rakus? Apakah hidungnya?”

“Idihh, mau tahu aja. Pendeknya dia tua dan buruk, kalian jauh lebih menarik. Apalagi.... hemm, aku paling suka pria berkumis panjang!” Ia memandang Si Kumis dengan mata dipicingkan penuh tantangan.

“Waduh! Kalau begitu, kenapa tidak menjadi kekasih kami saja?”

“Boan-koko biarpun buruk rupa tapi hatinya baik. Kalau tidak ada dia, bagai­mana aku dan Ayah Ibu serta adik-adikku dapat makan? Aku menjadi kekasihnya bukan untuk mencari kesenangan melain­kan mencari.... makan. Kalau mencari senang tentu aku memilih kalian, teruta­ma yang kumisnya panjang.”

“Ha-ha-ha!” Si Kumis Panjang meme­lintir kumisnya dengan bangga, matanya liar menjelajahi tubuh wanita itu lalu menengok ke kanan kiri, “Manis, marilah ikut kami sebentar ke dalam gardu!” bisiknya sambil merangkul.

Wanita itu terkekeh genit dan balas memeluk pinggang Si Kumis, sambil ber­kata, “Aku mau akan tetapi satu-satu. Yang lain menjaga di luar, karena aku takut ketahuan Boan-koko!”

“Baik. Kawan-kawan, kalian jaga di luar menanti giliran!” Si Kumis terkekeh dan menyeret tubuh wanita itu memasuki gardu. Empat orang kawannya tersenyum senyum dan menanti di luar dengan sikap tak sabar. Jarang sekali, bahkan belum pernah mereka mendapatkan korban yang begini lunak. Mereka menanti di luar dan tertawa-tawa ketika mendengar suara Si Kumis menggereng dan menge­luh di dalam gardu. Tak lama kemudian muncul kepala Si Wanita sambil meng­gerakkan leher ke arah Si Buta Sebe­lah. “Giliranmu. Dia tertidur!”

Si Buta Sebelah seperti ditarik tenaga tak tampak, meloncat memasuki gardu menyusul bayangan wanita itu. Kemudian ganti-berganti mereka memasuki gardu, akan tetapi tak tampak seorang pun di antara mereka keluar lagi. Tak lama kemudian, muncullah seorang Hsi-hsia yang bertubuh tegap ramping, mukanya kotor berdebu, pakaiannya longgar dan di pinggangnya tergantung sebatang golok. Orang ini melenggang keluar dari dalam gardu penjagaan, langsung masuk ke ba­gian dalam dari markas itu. Ketika di baglan dalam dari batas penjagaan ia bertemu dengan beberapa orang Hsi-hsia, ia ditegur dalam bahasa Hsi-hsia.

“Hee! Siapa kamu dan dari mana?

Mengapa baru kali ini kami melihatmu?”

Orang muda itu tersenyum dan men­jawab sambil mengangkat dada. “Aiih, kawan-kawan apakah belum mendengar? Couwsu sendiri yang dengan rahasia mengutusku dari utara langsung melaku­kan penyelidikan ke kota raja Sung dan kini aku datang untuk menyampaikan hasil kerjaku.” Ia lalu memberi salam dengan tangannya. Sikapnya yang lincah dan tidak ragu-ragu serta wajahnya yang gembira agaknya tidak menimbulkan ke­curigaan.

“Tunggulah, kawan-kawan. Setelah selesai menghadap Couwsu, akan kuceri­takan pengalamanku dengan puteri-puteri Sung!” Semua penjaga tersenyum dan pemuda itu melanjutkan perjalanannya ke sebelah dalam dan mulailah tampak bangunan-bangunan markas Bouw Lek Couwsu. Tidak lagi tampak orang-orang Hsi-hsia dan di bagian ini penjagaan dilakukan oleh hwesio-hwesio jubah me­rah murid anak buah Bouw Lek Couwsu. Pemuda Hsi-hsia ini melanjutkan perja­lanan dengan hati-hati, akan tetapi kali ini ia menyelinap di antara bangunan-bangunan,mencari-cari. Ia mulai bersikap hati-hati sekali karena ia dapat menduga bahwa lima orang Hsi-hsia yang dibunuh­nya di dalam gardu penjagaan tadi tentu kini sudah ditemukan orang-orang Hsi­-hsia lainnya. Ia tertawa sendiri kalau teringat akan perannya sebagai seorang wanita cantik tadi. Untung lima orang Hsi-hsia itu semuanya goblok-goblok dan mata keranjang sehingga mudah saja ia pancing masuk gardu seorang demi se­orang. Kalau tidak, ia harus bertempur melawan pengeroyokan mereka dan sung­guhpun ia sanggup pula membunuh me­reka dengan cara ini, namun bahayanya ketahuan lebih besar. Ia harus bekerja cepat. Ia maklum bahwa para penjaga kini adalah hwesio-hwesio jubah merah dan ia dapat menduga pula bahwa penjaga-pen­jaga ini tidaklah selemah penjaga-penjaga sebelah luar yang hanya terdiri dari orang-orang Hsi-hsia kasar. Hwesio-hwe­sio ini adalah murid Bouw Lek Couwsu!

“Heiii! Mau apa kau masuk ke sini?” Teguran ini begitu tiba-tiba sehingga dia terkejut sekali. Akan tetapi teguran yang diucapkan dalam bahasa Hsi-hsia ini me­legakan hatinya. Selama hwesio-hwesio di sini menyangka ia seorang Hsi-hsia, hal ini baik sekali. Sambil bersikap menghor­mat ia lalu berkata.

“Saya hendak menghadap Couwsu untuk menyampaikan hasil penyelidikan saya di kota raja Sung sebagaimana yang diperintahkan langsung kepada saya.”

Hwesio itu mengerutkan keningnya, memandang tajam. Ia memang tahu bah­wa gurunya banyak mengirim mata-mata ke kota raja musuh, akan tetapi mengapa mengirim seorang pemuda seperti ini” Pula, ia merasa tak pernah bertemu dengan orang ini. Kembali ia membentak.

“Hemm, kalau menghadap Couwsu, mengapa longak-longok di sini dan tidak langsung saja masuk melalui pintu ger­bang? Dan kenapa tidak melapor kepada penjaga agar menyampaikan permohon­anmu menghadap kepada Couwsu? Hayo kita pergi ke tempat jaga, dan pinceng (aku) sendiri yang akan melapor kepada Couwsu yang sekarang sedang sibuk.”

“Ah, Couwsu sedang sibuk apakah? Apakah ada tamu? Kalau sibuk, lebih baik saya tidak mengganggu, jangan-ja­ngan saya akan mendapat marah besar!” pemuda itu tampak ketakutan. Sikapnya itu agak mengurangi kecurigaan Si Hwe­sio yang mengenal watak gurunya. Memang kalau gurunya sedang sibuk, orang yang mengganggunya seringkali menerima hukuman berat.

“Karena itu harus pinceng yang menghadap. Suhu sedang menjamu Bu-­tek Ngo-sian yang sekarang sudah hadir lengkap. Malah wanita mengerikan itu, Sian-toanio, datang bersama puteranya. Dan tempat tahanan makin penuh saja!”

“Eh, apakah yang terjadi? Mengapa ada orang tahanan? Dari mana?” Pemuda itu bertanya.

“Tahanan-tahanan penting. Pangeran Mahkota Khitan, puteri Pangllma besar Khitan, Kiang-kongcu dari kota raja, Ketua Khong-sim Kai-pang, Mutiara Hi­tam....”

“Mutiara Hitam....?” Pemuda itu bertanya terbelalak lebar memandang.

“Ya, gadis cantik jelita dan galak.... auuughhh....!” Hwesio itu roboh oleh pukulan jari-jari terbuka yang tepat menghantam tenggorokannya, membuat kerongkongannya hancur dan tewas seke­tika! Sebelum tubuhnya terbanting, pe­muda itu menyambarnya dan menyeret­nya ke belakang semak-semak.

Tidak lama kemudian, dari belakang semak itu muncullah Si Pemuda yang kini sudah berubah menjadi.... hwesio muda tampan berjubah merah berwajah alim! Goloknya yang tadi tak tampak lagi, tersembunyi di balik jubah merah yang kebesaran itu. Hwesio tadi memang gemuk. Setelah berpakaian hwesio, pemu­da ini dapat memasuki markas tanpa mendapat kesukaran. Ia selalu menjaga agar wajahnya tidak tampak dari depan oleh hwesio lain, hanya jubahnya yang merah dan kepalanya yang gundul licin saja yang tampak dan dalam hal ini, biarpun ada banyak hwesio, jubah merah dan kepala gundulnya tentu saja tiada banyak bedanya.

Di dalam kamar tahanan orang-orang muda yang terbelenggu di situ, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, sudah hampir kehilangan harapan. Apalagi keadaan Pangeran Talibu, sungguh amat mengenaskan. Biarpun keselamatannya tidak terancam bahaya, namun ia sung­guh menderita. Kulitnya pecah-pecah matang biru, terasa panas perih dan nyeri bukan main. Kadang-kadang Pange­ran ini siuman, mengerang dan seringkali pingsan lagi, tubuhnya lemas menggan­tung pada kedua tangan yang terbelenggu di atas kepalanya. Melihat keadaan Pangeran ini, Puteri Mimi memandang dengan air mata bercucuran. Kasihan sekali kakaknya. Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat kakaknya berubah ingatan. Tadi kakaknya mengaku cinta kepadanya, hendak mengawininya. Mengatakan bahwa mereka bukan sanak kadang, apalagi saudara kandung! Dan pandang mata kakaknya itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat mesra. Puteri Mimi menangis.

Kwi Lan juga beberapa kali menoleh ke arah Pangeranini. Ia gemas, marah, penasaran, benci dan.... cinta! Hatinya seperti ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang dicintanya ini, akan tetapi mengingat akan kata-kata yang diterje­mahkan Siang Ki, hatinya panas bukan main. Kalau diberi kesempatan, ia akan membunuh Puteri Mimi!

Yu Siang Ki menyesal sekali kalau mengingat akan kawan-kawannya. Pasu­kan yang dibawanya itu adalah tokoh­-tokoh pengemis di kota raja dan di Lok­-yang, kini mereka telah dibasmi habis! Sungguhpun tewas sebagai patriot yang membela negara menghadapi bangsa Hsi-hsia, akan tetapi semua itu adalah ka­rena kesalahannya! Ia terlalu memandang rendah kekuatan Bou Lek Couwsu.

Hanya Kiang Liong yang tetap te­nang. Pemuda ini selain pada dasarnya memiliki watak yang tenang, juga ia lebih tahu akan duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan politik ne­gara. Ia telah yakin bahwa nyawa mere­ka belum terancam bahaya. Kalau Bouw Lek Couwsu hendak membunuh mereka, tentu sudah dibunuhnya dan tidak perlu ditahan seperti sekarang ini. Dengan cara menahan, berarti tidak menghendaki mereka mati dan selama nyawa mereka masih ada, harapan untuk lolos pun sela­lu akan tetap ada. Apalagi bagi Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bang­sa Hsi-hsia bukanlah bangsa yang besar dan kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar, hendak menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia tidak se­kali-kali berani membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan yang diharapkan oleh mereka menjadi sekutu, bukan musuh! Tentang Kwi Lan ia pun mempunyai keyakinan takkan di­bunuh karena bukankah Kwi Lan ini mu­rid wanita aneh yang disebut Sian-toanio dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian? Betapapun juga, guru itu tentu tidak membiarkan muridnya terbunuh, apalagi di sana masih ada Suma Kiat, suheng gadis itu yang menurut penglihat­annya, mencinta Mutiara Hitam. Dan dia sendiri masih ada dan masih hidup. Ia tidak akan membiarkan Mutiara Hitam terbunuh! Heeii, apa pula ini? Kiang-Liong ingin menampar kepalanya sendiri, akan tetapi kedua tangannya terbelenggu sehingga ia hanya dapat menarik napas panjang dan kembali melirik ke arah Kwi Lan.

Sejak tadi ia memperhatikan Kwi Lan dan makin dipandang, makin jatuh hatinya. Entah bagaimana, gadis itu se­akan-akan mempunyai hawa yang menye­dot dan menarik perhatiannya, kemudian menimbulkan rasa suka dan cinta yang belum pernah dirasakannya terhadap ga­dis lain. Ia memang selalu suka akan gadis cantik, akan tetapi rasa suka ini seperti rasa suka seseorang akan benda-benda indah, akan bunga-bunga harum, tidak pernah lebih mendalam daripada itu. Kini ia mempunyai rasa suka dan cinta yang lain terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada dorongan dalam hati bahwa ia harus membela gadis ini, harus meno­longnya, dan kalau perlu mengorbankan nyawa sendiri untuknya! Kalau biasanya terhadap gadis-gadis cantik yang pernah menjadi kekasihnya ia ingin mendengar pengakuan cinta gadis itu kepadanya, kini sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta kasihnya kepada gadis ini! Alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau gadis ini mau menerima cintanya!

“Kiang Liong, kau sudah gila....!” Pikiran ini tanpa ia sadar, ia ucapkan melalul mulutnya sehingga semua tahan­an, kecuali Pangeran Talibu, memandang kepadanya dengan penuh,keheranan ter­masuk Kwi Lan.

“Orang yang gila tidak akan mengaku gila!”, tiba-tiba Kwi Lan berkata, suara nya mengejek. Memang gadis ini sedikit banyak merasa gemas kepada Kiang Liong. Bukankah Puteri Mimi tertawan bersama Kiang Liong? Berarti bahwa Kiang Liong murid Suling Emas ini yang membawa datang Puteri Mimi ke tempat tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak tertawan, tentu Puteri Mimi juga tidak dan kalau begitu, tentu Mimi tidak da­tang ke sini dan Talibu tidak jatuh cinta kepada gadis itu!

Kiang Liong memandang gadis ini, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri. “Betulkah, Nona? Pendapatmu membe­sarkan hatiku, terima kasih.”

“Engkau memang tidak gila, akan tetapi engkau merasa gila karena.... ta­kut! Huh, dan beginikah murid perkasa dari Suling Emas?”

Senyum di bibir Kiang Liong lenyap, berubah menjadi masam karena hati ke­cewa. “Aku.... ? Takut....? Aku tidak ta­kut, Nona dan....”

Terpaksa Kiang Liong menghentikan ucapannya karena pada saat itu terde­ngar suara pintu dibuka. Semua mata memandang hwesio gundul jubah merah berwajah tampan yang memasuki ruangan tahanan itu.

“Eh, kau.... Berandal...!” Suara Kwi Lan ini membuat semua orang menoleh dan memandang kepadanya dengan heran. Apa pula sekarang maksud Mutiara Hi­tam yang menyebut berandal kepada seorang hwesio jubah merah, dengan suara bukan seperti orang memaki, bah­kan dengan mata bersinar-sinar dan mu­ka tersenyum geli?

“Sssttt...., matamu selalu tajam, Mu­tiara Hitam.” Hwesio muda itu berbisik dan menaruh telunjuk ke depan bibir, kemudian melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan, “Aku terpaksa menyamar. Aku datang untuk membebaskanmu. Kau ber­siaplah, aku akan mematahkan belenggu tangan dan kakimu.”

Pemuda itu bukan lain adalah Si Be­randal Tang Hauw Lam! Dia datang me­masuki markas mempergunakan akalnya, menyamar sebagai wanita cantik, kemu­dian sebagai orang Hsi-hsia dan terakhir ini sebagai seorang hwesio gundul berju­bah merah. Kini Hauw Lam mengeluar­kan goloknya dan empat kali bacokan kuat, belenggu kaki tangan yang meng­ikat Kwi Lan terlepas.

“Mari kita cepat pergi dari sini!” bisik Hauw Lam sambil menyambar le­ngan Kwi Lan yang sedang menggosok­gosok pergelangan tangannya yang terasa sakit.

“Kaubebaskan dulu yang lain-laini” bisik Kwi Lan merenggut lengannya.

“Kita harus lekas lari....“ bantah Hauw Lam.

“Berandal! Kalau mereka ini tidak dibebaskan, aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan marah.

Hauw Lam mengangkat alis dan pun­dak, lalu menghampiri Kiang Liong de­ngan golok di tangan. “Kiang-kongcu,” katanya. “Bagaimana selama kita ber­pisah, engkau baik-baik sajakah? Maaf, bukan maksudku tadi tidak mau membe­baskan kalian, hanya makin banyak orang ang lari makin sukar dan....”

“Saudara tak perlu sungkan-sungkan. Aku pun sudah bebas dari belenggu.”

“Apa?”

Kiang Liong menggerakkan kaki ta­ngannya dan.... benar saja, kedua kaki dan tangannya terlepas daripada belenggu tanpa mematahkan belenggu itu. Hauw Lam terbelalak, memandang ke arah be­lenggu dan mengangguk-angguk. “Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat (Lepaskan Tulang Lemaskan Diri) yang luar biasa!”

Melihat ini, Kwi Lan yang menghampiri Pangeran Talibu dan menggunakan kekuatan sin-kangnya mematahkan be­lenggu, berkata mengomel. “Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak dari tadi? Aksinya!”

Kiang Liong hanya tersenyum dan juga mulai membantu melepaskan beleng­gu kaki tangan Siang Ki sedangkan Hauw Lam membebaskan Puteri Mimi. “Ah, kalau terlepas dari belenggu, apa arti­nya? Pintu tertutup kuat dan penjagaan amat kuat, belum waktunya mencoba be­bas. Akan tetapi setelah Saudara Tang datang, terpaksa kita harus berusaha menerobos keluar!”

“Kita harus keluar berpencar.” kata pula Kiang Liong yang kini sikapnya sungguh-sungguh. Yang lain-lain, kecuali Kwi Lan, tunduk kepadanya karena mak­lum bahwa selain dia yang paling lihai di antara mereka, juga memiliki pengalaman yang dalam. “Kalau keluar bersama, se­kali ketahuan akan kena tawan semua. Kita masih kurang kuat untuk mengha­dapi mereka yang berjumlah besar, apa­lagi banyak orang sakti di sini. Dengan berpencar, ada harapan seorang di antara kita bebas untuk pergi mencari bantuan menyerbu ke sini.”

“Benar,” kata Hauw Lam. “Aku pun tadi mendahului pasukan Khitan yang agaknya hendak menyerbu dan menyusup dalam usaha mereka menolong Pangeran Talibu dan Puteri Mimi.”

Mendengar ini, timbul semangat Pa­ngeran Talibu. Ia diam saja karena Pu­teri Mimi menggosok-gosok tubuhnya yang telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk pemberian Hauw Lam. Obat ini manjur dan mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya memandang dengan penuh iri dan cemburu. Dalam keadaan seperti itu, ia menahan diri dan tidak mungkin mengumbar amarah urusan cinta. Apalagi ia tahu bahwa Puteri Mimi memang sahabat Pangeran, bahkan saudara.

“Pangeran biarlah bersama aku,” kata pula Kiang Liong membagi tugas. Pe­muda ini menahan pula keinginan hatinya untuk berusaha lolos di samping Kwi Lan. “Mutiara Hitam bersama Saudara Tang, dan Puteri Mimi bersama Saudara Yu-pangcu. Tiga rombongan kita mencari jalan masing-masing, sebaiknya. melalui kanan, kiri, dan belakang markas karena di depan adalah tempat yang terjaga kuat.”

“Baik, pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun tidak perlu lagi menyamar!” Sambil berkata demikian, Hauw Lam me­raba dahinya dan membuka “kulit” dahi terus ke belakang. Lenyaplah gundulnya dan kini tampak rambuthya hitam pan­jang yang segera digelung ke atas bela­kang dan dibungkus kain sutera. Jubah merahnya dibuka dan kini ia sudah ber­ganti pakaian, yaitu pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya ia gantung di pinggang.

“Berapa orang penjaga di luar?” bisik Kiang Liong kepada Hauw Lam.

“Hanya tiga. Aku tadi membohongi mereka, mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu membujuk para tahan­an.”

“Baik, mereka bagianku, Mutiara Hi­tam, dan Yu-pangcu. Kau menjadi penga­was kalau-kalau ada muncul yang lain.”

Biarpun Kiang Liong hanya berbisik dan ucapannya singkat-singkat, namun mereka sudah tahu akan kewajiban masing-masing. Pintu dibuka perlahan oleh Kiang Liong, kemudian melihat tiga orang hwesio jubah merah menjaga di depan pintu, ia membukanya serentak lebar-lebar dan empat bayangan berke­lebat keluar dengan gerakan amat cepat laksana empat ekor burung terbang. Ba­yangan pertama adalah Hauw Lam yang sudah menghunus goloknya dan meloncat jauh ke depan untuk berjaga, sedangkan tiga orang kawannya dengan kecepatan kilat sudah menerjang tiga orang hwesio itu. Tiga orang hwesio ini kaget setengah mati karena tidak menyangka akan hal ini. Mereka berusaha menangkis namun tiga orang muda itu terlampau cepat gerakannya. Hampir berbareng mereka roboh tanpa mendapat kesempatan untuk berteriak sedikit pun.

“Aman....“ bisik Hauw Lam memberi tanda dengan tangan.

“Berpisah, sampai jumpa!” kata Kiang Liong yang menujukan kata-kata ini ke­pada semua temannya akan tetapi mata­nya memandang kepada Kwi Lan yang sebaliknya memandang kepada Pangeran Talibu. Mereka segera meloncat pergi, Kiang Liong menggandeng tangan Pange­ran Talibu meloncat melalui jurusan be­lakang markas, Yu Siang Ki dan Mimi lari ke jurusan kanan, sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam yang bergerak paling akhir menuju ke kiri.

Hauw Lam dan Kwi Lan menyusup-nyusup melalui bangunan kecil, makin menjauhi bangunan besar. “Bagaimana kau tiba-tiba bisa muncul, Berandal?”

Hauw Lam terkekeh. Girang bukan main hatinya, kegirangan yang selama ia berpisah dari samping Kwi Lan tak per­nah ia rasakan lagi. “Aduh, serasa kita tidak pernah berpisah. Mutiara! Serasa kita masih seperti dulu ketika berlari­-lari bersama melawan orang-orang jahat Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis busuk berbaju bersih! Tahukah kau, Mutiara, selama ini tak pernah aku melupa­kan engkau sekejap mata sekalipun.”

“Bohong!” Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau kau tidur?”

“Tidur pun mimpi bersama engkau!”

“Ah, kau bisa saja. Aku tidak per­caya.”

“Eh, tidak percaya? Perlukah aku membuka dadaku dengan golok ini?” Hauw Lam berhenti lari, mencabut golok dan bersikap seperti hendak membuka dada. Kwi Lan tertawa.

“Ihhh, sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya bagaimana kau tiba-tiba saja muncul seperti setan?”

“Memang aku setan! Heh-heh, setan cilik seperti kata Ibu.”

“Ibu? Kau bertemu Bibi Bi Li?”

Pemuda itu mengangguk, mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang tak menyenangkan teringat olehnya. Akan tetapi ia tersenyum lagi, “Dan aku melihat istana di bawah, tanah. Wah, pan­tasnya menjadi tempat tinggal setan-setan. Ibuku bertahun-tahun tinggal di sana, bukankah patut aku menjadi setan pula? Aduhh....!” Ia menekan perutnya.

“Ada apa?” Kwi Lan kaget, khawatir.

“Perutku.... lapar amat, tak tertahan­kan!” Ia masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh telinga Kwi Lan suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.

“Dasar rakus! Kau tiada bedanya de­ngan cacing-cacing dalam perutmu!”

“Sstt....! Tuh di sana....!” Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.

“Ada apa di sana?”

Hidung Hauw Lam kembang-kempis menyedot-nyedot. “Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu? Begini sedap, begini gurih!”

Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium bau sedap masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat itu ada­lah sebuah dapur. Ia menggeleng-geleng­kan kepalanya. “Perlu apa ke sana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan sekenyangnya.”

Hauw Lam menggeleng-geleng kepala. “Makan saja tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi kerja saja tan­pa makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan te­naga, kalau perutku yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam terus di hutan ketika menyerbu ke sini, mana aku ada sisa tenaga untuk bertem­pur? Kau pun harus makan, Mutiara Hi­tam.”

“Aku sudah kenyang!” jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah karena teringat betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar biasa dan memalukan bersama Pangeran Talibu.

“Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh, tapi karena kelaparan, bukan?”

“Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan!” ajak Kwi Lan dan me­reka berindap-indap menghampiri dapur itu. Ketika mereka mengintai dari jen­dela, benar saja dugaan Hauw Lam bah­wa tempat itu memang sebuah dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu adalah bangsa Han, agak­nya anggauta kaum sesat yang menjadi kaki tangan sekutu-sekutu Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat, mengebul panas dari mangkok-mangkok besar. Hampir tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan sudah. Karena sudah tidak tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan melempar empat buah batu kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki itu berseru kaget dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh pingsan karena batu-batu kecil itu tepat mengenai belakang telinga mereka. Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah Hauw Lam dan Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka me­ngerti ilmu silat. Kalau sampai mereka berteriak, keadaan akan menjadi berba­haya, maka bagaikan dua ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela. Sebelum dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok dan “ngorok” di atas lan­tai!

Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk menghadap meja lalu “menyapu” masakan-masakan yang tersedia di atas meja. “Wah-wah,” serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu,” dalam hal makanan ternyata Bouw Lek Couwsu tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan orang-orang Thian-liong-pang!” Supitnya sibuk bekerja menjepit potong­an-potongan daging dan sayur. Hauw Lam memang mempunyai hobby (kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini makan, Kwi Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.

“Sudahlah,” akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat betapa banyaknya Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut didorong aliran arak wangi. “Kalau kau makan terus sampai keke­nyangan, kau bisa tertidur di sini.”

Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri, mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping. “Wah, kalau makan lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah terbuat dari daging apa! Perlu bawa sebanyaknya untuk be­kal!” Ia sibuk menggunakan kedua ta­ngannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar kepalan tangan itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana di mana terdapat sebuah kantung besar tepat di depan perutnya! Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian mereka keluar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus ke jurus­an kiri markas.

Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan yang berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai dan merasa bahwa kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar seruan-seruan dan derap kaki kuda dari belakang.

“Kita dikejar! Cepat!” seru Hauw Lam yang mulai “menancap gas” mem­percepat larinya. Kwi Lan yang tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang dan siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat itu berbatu-batu dan naik turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat.

Para pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima orang berpakaian pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilih­an yang cepat-cepat larinya.

“Wah-wah-wah.... celaka bakso-bakso ini!” Tiba-tiba Hauw Lam berseru.

“Kenapa?” Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam. Ketika gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan me­nutupi mulutnya yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang temannya itu. Kiranya ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan, bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang ber­ada di kantong kanan kiri baju sudah berloncatan keluar. Akan tetapi yang berada di dalam panci yang disembunyi­kan dalam kantung yang letaknya di dalam celana, berloncatan di dalam ce­lana, keluar dari panci dan karena bakso itu digoreng, keluarlah minyaknya mem­basahi semua bagian bawah tubuh Hauw Lam. Kini sambil berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana dan berlom­patanlah bakso-bakso besar bundar-bun­dar itu keluar dari dalam celana, meng­gelinding ke atas tanah seperti bola-bola karet! Bersungut-sungut Hauw Lam membuang panci kosong dan pada saat ter­akhir tangannya masih sempat menyam­bar bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia menge­luarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena mulutnya penuh bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia berhenti lari dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun sudah ditelannya.

“Percuma lari. Kita lawan!” katanya.

Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah dan hendak melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonyahilang. I a pun tidak gen­tar dan mencabut pedangnya. Ketika para pengejar melihat dua orang itu ber­henti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi bukan mereka yang menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung mener­jang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di tangan. Terjadi pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa menit saja. Dua orang muda itu seakan berlumba dan pertempuran berakhir dengan robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu hampir bersamaan!

Hauw Lam tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka lalu mengang­guk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas tanpa luka bacokan. “Kau makin hebat saja, Mutiara Hitam!”

“Dan kau makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi.

Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka. Akan tetapi belum seratus meter mereka lari, tiba-tiba mereka berhenti dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini menge­luarkan suara tertahan. Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong! Dan di belakang mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda tunggangan mereka.

Hauw Lam terkejut sekali, apalagi melihat wanita berkerudung yang sikap­nya begitu menyeramkan. Ia sudah men­dengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan Kam Sian Eng maupun dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.

“Srattt....!”

Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari tangannya. kaget sekali. Ia hanya melihat sinar menyambar dari tangan kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah ang­kuh. Kiranya sinar itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan pancingnya mengancam tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia lepaskan dan golok itu terbang, kini ter­pegang kakek yang sama sekali tidak tersenyum itu! Hebat bukan main! Biar­pun perampasan golok terjadi di kala ia lengah dan tidak menduga namun melihat ini saja sudah menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh! Ia mengharap­kan gerakan bantuan Kwi Lan, akan te­tapi gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan memandang ke arah wanita ber­kerudung dengan kening berkerut gelisah.

“Kwi Lan, apakah engkau hendak melawan aku?” Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya dingin seperti suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.

Kwi Lan menggelengkepala. Ia bukan tidak berani, sungguhpun ia tahu percuma saja melawan gurunya ini, melainkan tidak mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini lain lagi. Kini tidak ada sia­pa-siapa yang harus ia bela, maka untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau melawan gurunya yang betapapun juga sudah berlaku amat baik terhadap diri­nya, seperti seorang Ibu sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa guru ini adalah bi­binya, bagaimana ia dapat melawannya?

Pak-sin-ong berkata kepada Hauw Lam, “Orang muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani membikin huru­hara di sini. Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw Lek Couwsu da­lam keadaan hidup seperti dikehendaki­nya, kalau melawan, terpaksa kuhadapkan sebagai mayat!”

Hauw Lam juga seorang pendekar muda yang tak takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh yang nekat dan tidak melihat kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia akan mati-matian melawan. Akan tetapi kini keadaannya berbeda. Kwi Lan sendiri tidak melawan, dan melawan berarti mati. Kalau hanya ter­tawan, masih ada harapan membebaskan diri, terutama sekali membebaskan Kwi Lan. Apa artinya ia bebas kalau Kwi Lan tertawan? Ia tertawa, ketawanya begitu wajar dan gembira sehingga diam-diam Pak-sin-ong kagum dan harus mengakui bahwa pemuda ini ada “isinya”.

“Ha-ha-ha, seorang bijaksana menge­tahui akan saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti juga Mutiara!”

“Ikat dia di kuda!” perintah Pak-sin­-ong dan dua orang Hsi-hsia tinggi besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta mengikatnya tanpa perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa. Ia diikat di atas kuda, kepalanya di belakang dekat pantat kuda, tubuhnya dilibat-tibat ikatan dari kaki, tangan dan leher! Ia tak dapat berkutik akan tetapi masih menyeringai dan ter­tawa-tawa mengejek.

Kwi Lan dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang cemberut angkuh.

***

Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama se­kali Hauw Lam ketika mereka digiring masuk ke dalam kamar tahanan, mereka melihat semua teman yang tadi melari­kan diri sudah tertawan pula dan berada di situ! Bahkan Kiang Liong dan Yu Siang Ki terluka, sungguhpun tidak berat namun membutuhkan waktu untuk istira­hat karena mereka terkena pukulan orang-orang sakti.

Ketika Kiang Liong lari bersama Pa­ngeran Talibu lari melalui jurusan be­lakang markas, di tengah jalan mereka dicegat oleh.... Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong. Karena maklum akan kelihaian Kiang Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek Kauw-ong segera menerjang dar akhirnya merobohkan pemuda ini dengan pukulan jarak jauh. Sia-sia saja Kiang Llong melawan. Menghadapi seorang di antara mereka, mungkin ia masih mam­pu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan berat sebelah. Apalagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat diharapkan bantuannya kare­na keadaannya masih payah.

Adapun Yu Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, di­cegat oleh Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung bahwa Bouw Lek Couw­su sudah berpesan kepada sekutu-sekutu­nya agar para tawanan yang lari itu ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka yang ringan saja.

Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi, dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat, de­ngan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan tetapi tidak demikian dengan Tang Hauw Lam. Kare­na malah sekali oleh perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebas­kan tawanan dan sudah membunuh ba­nyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyu­ruh algojo-algojonya untuk menggantung Hauw Lam di dalam ruangan itu pada kakinya! Pemuda ini digantung dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua lengannya dibelenggu! Dia benar-benar seperti seekor kambing yang digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya. Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak berteriak-teriak, bahkan selalu tertawa-tawa!

Setelah para penjaga meninggalkan ruangan tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali terkekeh dan berkata, “Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal yang dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia belaka malah kalian menjadi lebih sengsara!”

Kiang Liong menghela napas. “Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang. Siapa kira bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak memperhitungkan ke­cerdikannya yang luar biasa.”

“Ha-ha-ha! Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi keenakan kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian, sayang­nya tanganku dibelenggu, tapi kalau ku­gerak-gerakkan karena aku digantung membalik, agaknya dapat keluar.” Mulai­lah Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk, mengge­liat-geliat sehingga pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini, akan tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.

“Hi-hi-hik....!”

“Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?”

“Berandal! Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak tentu menggelinding keluar semua! Hi-hik!”

Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, me­mang Bouw Lek Couwsu manusia sinting. Ingin aku mengadu kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan!” Akhirnya Hauw Lam berhasil. Semua isi sakunya keluar dan di antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang Ki. Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini dan sekali jari-jari itu ber­gerak, bungkusan mencelat ke atas, diterima dengan jari-jaritangan. Ia mem­buka bungkusan itu, dan kembali meng­gunakan lwee-kang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka di bahunya. Setelah selesal, ia membungkus kembali obat itu mengguna­kan tenaga lwee-kang menyentuh bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan cara yang sama.

“Eh, dia sudah tidur! Dasar manusia malas!” Kwi Lan berkata ketika men­dengar dengkur orang dan melihat bahwa yang mengorok adalah Hauw Lam. Pemu­da ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di bawah seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur!

Akan tetapi Kiang Liong mengeluar­kan suara kagum. “Dia tentu pernah mempelajari ilmu samadhi secara jungkir balik. Entah siapa gurunya yang tentu amat hebat itu.”

“Siapa lagi? Gurunya seorang badut tua, bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,” kata Kwi Lan, teringat akan cerita pe­muda lucu itu.

“Aahhh....? Betulkah itu? Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup? Suhu pernah bercerita ten­tang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah me­ninggal dunia....“

Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh, akan tetapi jelas mereka semua mendengar suara ketawa terbahak-bahak. “Huah-hah-hah­hah! Suling Emas bocah tolol itu mana tahu....?”

Para tawanan saling pandang, saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi. Suara setankah itu? Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan berheran lebih lama lagi karena pada saat itu pintu kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat! Para orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan memandang penuh perhatian dan ke­tegangan Jelas bahwa pimpinan orang Hsi-hia datang dengan maksud ter­tentu, dan agaknya saatnya telah tiba untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw Lek Couwsu ketika ia memandang para ta­wanan itu seorang demi seorang.

“Pinceng datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan, terakhir! Kali ini pinceng tidak akan bicara ke­pada seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua. Maka pilih­lah seorang saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut jawab seorang wakil itu. Satu mati se­mua mati, seorang menolak berarti se­mua harus mati. Nah, siapa wakilnya?”

Otomatis semua tawanan memandang kepada Kiang Liong. Biarpun tak seorang pun di antara mereka bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah berkata jelas. “Oho, agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju mewakilkan dia?”

“Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!” kata Talibu dengan suara gagah.

“Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli lagi mau kaubunuh atau kausiksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak kaulakukan. Bicaralah!”' kata Kiang Liong, menentang pandang mata pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan tenang.

Bouw Lek Couwsu tersenyum. “Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran Talibu harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khi­tan yang minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia dalam penyerbuan terhadap Ke­rajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya, Pang­lima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu kami dengan pasukan pengemis baju kotor membantu untuk gerakan dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali melakukan kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Adapun kau sendiri, harus berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari dalam kota raja apabila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima Sung.”

Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang masih tergantung kaki­nya.

“Kalau kami menolak?”

“Kalian berikut anjing yang tergan­tung itu akan mampus!”

Eh, tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti anjing kecil, “Nguiiikk, nguikk, nguikkk!”

Suasana tegang menjadi lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan berkata, “Mutiaraku, kau tahu aku mimpi aneh sekali!”

“Mimpi apa?” Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.

“Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali, aku digigit seekor anjing besar yang selain buruk, juga gundul dan buntung. Sialan!”

Kwi Lan tertawa, juga, Puteri Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul buntung. Sia­pa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu?

“Bagaimana jawabanmu, Kiang-kong­cu?” tanya Bouw Lek Couwsu, pura­-pura tidak mengerti dan tidak mempedulikan Hauw Lam.

“Bagaimana kalau seorang di antara kami menolak?”

“Harus , menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati!”

“Kalau begitu kami menolak!” teiak Pangeran Talibu.

“Kami menolak!” seru Puteri Mimi. “Aku pun menolak!” kata Yu Siang Ki.

“Aku suka menurut Subo, akan tetapi membantumu? Aku menolak!” kata Kwi Lan.

“Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas!” kata Kiang Liong.

Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah menduga akan kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi tidak mengharapkan ja­waban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati? Ruginya jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para pengemis baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan dipecahkan suara Hauw lam.

“Haii!, Bouw Lek Couwsu! Aku kok tidak ditanya? Apa aku bukan orang?” Hauw Lam berteriak-teriak.

Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang Liong, suaranya penuh ancaman, “Hemm, kaukira begitu enak hukumannya? Sebelum mati kalian harus menyakslkan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis jelita itu dibunuh begitu saja.” Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam dan berkata, “Kau memilih yang mana?”

“Heh-heh, biar hitam, mutiara nama­nya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia.”

“Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita harus berani melakukan di depan semua orang.”

Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-ke­keh matanya memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi tubuh gadis itu dengan pandang mata lahap dan haus.

“He, dengar kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngo-sian! Di mana kegagahan kalian? Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan! Bouw Lek Couwsu, orang seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah perkasa?”

Karena disinggung kepemimpinannya, mau tidak mau Bouw Lek Couwsu meng­angkat muka memandang Hauw Lam dengan keningnya yang tebal berkerut. “Hemm, kalian sudah memilih wakil pembicara, yaitu Kiang-kongcu, mengapa kau ini anjing kecil besar mulut?”

“Siapa memilih? Huh, Bouw Lek Couwsu, tampak sekarang kebodohanmu dan kecuranganmu. Memang yang lain di bawah ini sudah memilih Kiang-kongcu, akan tetapi, hayo telinga siapa yang tadi mendengar aku memilih! Aku belum me­milih dan aku berhak untuk bicara!”

Bouw Lek Couwsu tertegun. Betapa­pun gilanya, benar juga ucapan bocah itu dan kalau ia melanggar, maka benar-benar tida tepat dengan kedudukannya sebagai pemimpin besar bangsa Hsi-Hsia. Biarlah ia memberi kesempatan bicara bocah ini, apa bedanya?

“Hemm, kau bicaralah.”

Kiang Liong yang memandang muka Hauw Lam, melihat betapa sinar mata pemuda itu bersinar-sinar dan wajahnya berseil-seri. Ah, bocah ini cerdik, pikir­nya, agaknya hendak mengelabuhi Bouw Lek Couwsu atau setidaknya mengulur waktu.

“Bouw Lek Couwsu, aku tidak akan mendengar usul atau ancamanmu seperti yang kaukemukakan kepada teman-teman­ku yang lain. Sebaliknya, akulah yang mengajukan usul sebagai tantangan tanpa mengancam sepertimu. Aku akan meng­ajukan teka-teki hitungan dan bukan hanya engkau, bahkan Bu-tek Ngo-sian boleh membantumu! Kalau di antara kalian ada yang sanggup menjawab tepat, aku akan membenturkan kepalaku pada dinding ini sampai kepalaku pecah. Dan kalau di antara kalian tidak ada yang dapat menjawab tepat, terserah mau diapakan tubuhku ini, masa bodoh! Bagaimana, sanggupkah kalian?”

Mendengar ucapan ini, bukan pihak Bouw Lek Couwsu saja yang terheran, bahwa Kiang Liong dan teman-temannya juga menjadi heran. Gilakah pemuda itu? Agaknya karena digantung seperti itu sejak tadi, terlalu banyak darah mengalir ke kepalanya membuat ke alanya pening dan bicaranya melantur! Pertaruhan ma­cam apa itu? Kalau terjawab, ia akan membunuh diri dan kalau tidak terjawab ia boleh diperlakukan apa juga, berarti tentu saja juga dibunuh. Mengapa tidak minta bebas kalau tidak terjawab?

Bouw Lek Couwsu yang terheran-he­ran tadinya tidak mau melayaninya lagi dan menganggap pemuda ini gila, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo dan Bu-tek Siu-lam tertarik. Pemuda itu aneh sekali dan gila, teka-teki macam apa yang akan dikemukakannya? Gila atau tidak, mereka menjadi tertarik untuk mendengarnya.

“Ha-ha-ha, Couwsu, biarkan dia mengajukan teka-tekinya, kata Bu-tek Siu-lam.

“He-he, benar, Couwsu. Dia toh tak­kan dapat melarikan diri terbang ke langit,” kata Siauw-bin Lo-mo.

Bouw Lek Couwsu mengerutkan ke­ning. Ia tidak mau dipermainkan bocah ini, dan ia curiga, takut kalau-kalau ditipu. Maka ia bertanya, “Bocah gila, kauulangi syaratmu tadi agar kami de­ngar baik-baik.”

“Ha-ha, Bouw Lek Couwsu, kau takut ditipu? Boleh saja asal jangan takut ka­lah karena hanya pengecut yang takut kalah. Dengar kalian semua. Kalau teka­-tekiku nanti terjawab, aku akan membenturkan kepalaku ke dinding sampai pecah, kalau tidak, terserah kepadamu terhadap diriku.”

“Hemmm, baik. Akan tetapi untuk membenturkan kepala ke dinding tak mungkin dilakukan dalam keadaan itu. Turunlah!” Tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, serangkum tenaga dahsyat menyambar ke atas rantai yang menggantung tubuh Hauw Lam dan.... rantai ­pada kakinya itu terlepas dari langt-langit dan tubuh pemuda itu jatuh ke bawah dengan kepala lebih dulu! Akan tetapi, dengan gerakan pinggangnya, tu­buh Hauw Lam berjungkir balik dan ia jatuh ke lantai dengan kaki dulu sehingga berdiri tegak, akan tetapi kaki tangannya masih terbelenggu. Semua orang kagum, karena tanpa ilmu gin-kang yang tinggi, tak mungkin dapat berjungkir balik dalam keadaan kaki tangan terbelenggu seperti itu.

“Berandal, apa kau gila? Kalah me­nang kau tetap mati!” seru Kwi Lan yang tidak dapat menahan ketegangan hatinya.

Hauw Lam tertawa. “Ha-ha-ha, Mu­tiara, apa artinya mati? Yang penting dalam saat terakhir ini, aku menikmati kemenangan kalau teka-tekiku tak ter­tebak. Hendak kulihat, apakah Bouw Lek Couwsu yang sudah dikalahkan masih ada muka untuk mengangkat diri menjadi calon raja, dan lima Bu-tek Ngo-sian ini masih ada muka untuk menjagol dunia kang-ouw!”

Bouw Lek Couwsu mendongkol dan diam-diam di dalam hatinya ia mengum­pat. Kautunggu saja bocah, kematianmu akan menjadi kematian yang paling seng­sara!

“Tak perlu banyak cerewet, lekas majukan teka-teki gilamu!” bentaknya.

Di antara mereka semua, hanya Kiang Liong yang benar-benar menjadi tegang hatinya. Tegang sekali karena kini ia mengenal siasat yang dilakukan Hauw Lam. Bocah jenaka yang ia tahu kegilaan terhadap Mutiara Hitam dan oleh Mutia­ra Hitam disebut Berandal ini jelas menggunakan akal mengulur waktu. Tadi keadaan Mutiara Hitam terancam bahaya mengerikan di tangan Bu-tek Siu-lam tanpa mereka dapat menolong. Kini ka­rena tingkah Hauw Lam, hukuman itu otomatis menjadi mundur dan tentu da­lam siasat mengulur waktu ini, Si Beran­dal sudah mendapatkan akal lain lagi yang belum ia ketahui apa dan bagaima­na.

Dalam keadaan terbelenggu, Hauw Lam berdiri tegak, kaku dan mengangkat mukanya, membusungkan dadanya. “Guru­ku adalah seorang manusia dewa yang sakti tiada bandingan. Tidak perlu yang budiman Bu Kek Siansu datang ke sini, baru Guruku saja, kalian akan dibikin ko­car-kacir.”

“Hemm, siapa gurumu, bocah som­bong?” Thai-lek Kauw-ong, Si Tukang Cari Lawan, tertarik sekali dan hatinya agak berdebar mendengar nama Bu Kek Siansu disebut-sebut.

“Guruku bukan manusia biasa, orang-orang seperti kalian belum cukup berhar­ga untuk mendengar namanya.”

“Bocah gila! Lekas ceritakan teka-tekimu, tentang Gurumu setan atau iblis kami tidak perlu tahu!”

Kiang Liong tidak heran mendengar pemuda ini menyebut-nyebut nama Bu Kek Siansu, ini adalah siasat untuk membikin gentar lawan, pikirnya. Tapi apa gunanya siasat seperti itu? Kemudian ia teringat akan sesuatu dan bulu teng­kuk Kiang Liong meremang. Tadi....! Benar sekali, tadi sebelum muncul mu­suh, ada suara yang menertawakan Suling Emas tolol. Suara siapakah itu? Ia men­dengar dari gurunya bahwa kakek sakti yang bernama Bu-tek Lo-jin adalah se­orang kakek yang edan-edanan, seperti watak Hauw Lam ini. Mungkinkah suara tadi suara Bu-tek Lo-jin? Timbul harapan di hatinya dan ia mulai mengerti menga­pa Hauw Lam menggunakan siasat meng­ulur waktu. Agaknya dia menanti perto­longan gurunya!

“Teka-tekiku adalah teka-teki hi­tungan yang berbentuk syair. Tentu saja buatan Guruku karena siapa lagi manusia di dunia dapat membuat teka-teki seperti ini? Di dalam syair ini ter­dapat angka-angka terpendam dan kalian boleh menebak berenam! Beginilah syair­nya!" Hauw Lam lalu bernyanyi dengan suaranya yang nyaring dan cukup merdu, sambil menggoyang-goyang tubuhnya yang terikat seperti gerak tari mengikuti ira­ma lagu nyanyiannya :

"Terang bulan memancing kura,
air jernih laksana cermin.
lima ekor yang satu emas,
berapakah jumlah terbilang?"

"Nah, hayo kalian boleh tebak. Angka berapa yang tersembunyi di dalam syair?

Pergunakan otak, jangan ngawur, ini bukan sembarangan hitungan melainkan hitungan para dewa. Kuberi waktu satu tahun!"

Hampir Kiang Liong tertawa kalau tidak cepat menekan perasaannya. Ia memandang wajah tampan itu dengan kagum. Benar pemuda cerdik, akan tetapi ugal-ugalan, pantas.... disebut berandal. Masa memberi waktu setahun? Betapapun juga, siasat itu berhasil karena mereka semua, kecuali Kam Sian Eng, mulai mengerutkan kening, berpikir dengan aksi masing-masing. Kam Sian Eng hanya berdiri tak bergerak, kadang-kadang me­mandang ke arah Kwi Lan, kadang-ka­dang termenung, tarikan wajahnya ter­sembunyi di belakang kerudung hitam. Suma Kiat pasang aksi pula, berusaha ikut menebak teka-teki.

Suasana dalam kamar tahanan hening. Bouw Lek Couwsu meraba-raba hidungnya, satu kebiasaan tanpa disadari kalau ia sedang berpikir, Thai-lek Kauw-ong sudah duduk bersila, bersamadhi mengumpulkan kekuatannya, sambil kadang-kadang terkekeh-kekeh seperti orang gila. Pak-sin-ong makin angkuh mukanya, telunjuk kanan menempel antara kening.

Lucunya, melihat para kakek ini me­meras otak, Yu Siang Ki, Kwi Lan, Pu­teri Mimi, dan Pangeran Talibu ikut pula berpikir memecahkan teka-teki! Sungguh permainan yang lucu dan aneh, mudah menular! Ketika Kiang Liong bertemu pandang dengan Hauw. Lam, mereka sa­ling berkedip menahan senyum.

Sampai lama keheningan menyelubungi kamar itu. Para penjaga di luar kamar tahanan saling bertanya-tanya dan ter­heran-heran. Namun karena para datuk ini berkumpul di situ, tak seorang pun di antara mereka berani lancang mengintai. Waktu ini dipergunakan oleh Kiang Liong dan Yu Siang KI untuk bersamadhi memulihkan luka-luka mereka.

Akhirnya terdengar suara Bu-tek Siu-lam yang bernyanyi menirukan syair tadi. Suaranya merdu sekali, akan tetapi kecil seperti suara perempuan. Ia bernyanyi sambil berdiri dan tubuhnya bergoyang­goyang pula, akan tetapi ia betul-betul menari seperti seorang perempuan genit. Selesai bernyanyi, ia berkata, "Heh-heh­heh, sudah terdapat olehku jawabannya! He-he-he, amat mudahnya!"

"Jangan tertawa dulu, kakek banci!" kata Hauw Lam berani. "Dan jangan ka­takan dulu tebakanmu, menanti yang lain. Aku memberi bantuan. Jawaban angkanya tidak lebih dari dua puluh! Nah, lebih mudah bukan?"

Wajah Bu-tek Siu-lam tampak girang, agaknya jawabannya memang tidak lebih dari angka dua puluh, maka ia merasa yakin bahwa jawabannya tentu benar! Juga kini tokoh-tokoh yang lain sudah siap dengan jawabannya.

"Sudah siap? Nah, boleh katakan se­orang demi seorang tapi jangan ngawur, berikut alasan jawaban. Nanti baru kuka­takan siapa benar siapa salah," kata pula Hauw Lam yang hatinya sudah berdebar­-debar karena gurunya yang tadi suaranya ia dengar belum juga muncul. Ia harus mencari akal lain dan otaknya yang cer­dik sudah memikir-mikir mencari siasat yang lebih berhasil. Ketika melihat be­tapa tadi wanita berkerudung yang kini ia tahu adalah Sian-toanio dan guru Kwi Lan berdiri tak acuh akan tetapi sering­kali mencuri pandang ke arah muridnya, ia sudah merencanakan akalnya sebagai lanjutan daripada akal teka-tekinya.

Keadaan kembali tegang. Bahkan para tawanan juga ikut memperhatikan apa dan berapa gerangan jawaban pihak mu­suh, apakah sama dengan tebakan me­reka? Bu-tek Siu-lam yang sudah tidak sabar mulai dengan jawabannya.

"Hi-hi-hik, orang nnuda yang lucu. Kalau kau tidak menjadi musuh Couwsu, aku akan senang sekali tidur satu kamar bersamamu mendengar syair-syair dan teka-tekimu yang lain! Syairmu tadi mu­dah saja. Jawabannya adalah angka TU­JUH! Betul tidak?"

Hauw Lan tersenyum. "Betul atau tidaknya nanti kuberi tahu. Yang penting apa yang kaujadikan dasar tebakanmu, supaya diberi tahu. "

"Hi-hi-hik, heh-heh, bocah nakal. Kau ingin membikin bingung kami dengan syair itu? Hi-hik, Bu-tek Siu-lam tak mungkin bingung oleh itu. Yang pokok dan penting dalam syairmu hanyalah bulan dan kura-kura. Waktu itu terang bulan, tentu bulan purnama dan air jer­nih, berarti bulan terbayang di air, jadi ada dua buah bulan, bukankah sudah jelas bilangannya? Bulan, bayangannya, dan kura jumlahnya tujuh. Nah, angka yang tersembunyi tujuh!"

Hauw Lam hanya tersenyum lebar, lalu menoleh kepada yang lain, sikapnya menantang. "Bagus sekali uraian Bu-tek Siu-lam. Kini siapa lagi yang menebak?"

"Bocah gila, betul atau tidak tebakan kami nasibmu toh sama saja. Menurut perhitunganku, bilangan yang tersembumyi adalah DUA PULUH. Sudah jelas, bulan sedang purnama, airnya jernih, jadi jum­lah bulan ada dua. Permukaan bulan bundar berarti angka nol, jadi dua dan nol sama dengan dua puluh!" kata Bouw Lek Couwsu.

Hauw Lam berseri-seri wajahnya, se­nyumnya tetap gembira. "Siapa lagi?"

Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan sua­ranya yang parau besar, "Bulan purnama berarti tanggal lima belas. Nah, angka bilangan yang tersembunyi tentu LIMA BELAS." Hauw Lam mengangguk-angguk. "Ba­gus juga khayalmu, Locianpwe. Nah, siapa lagi?"

"Tidak ada yang penting dalam syair itu kecuali bulan dan emas. Sinar bulan pun seperti emas, bulan dan bayangannya laksana bola emas. Yang penting hanya tiga, bulan, bayangannya, dan emas, maka tentu angka TIGA yang dimaksudkan." kata Pak-sin-ong tenang.

Kembali Hauw Lam hanya tersenyum sehingga tidak ada yang dapat menduga, jawaban Siapa yang paling tepat. "Siapa lagi? Kau bagaimana, Siauw-bin Lo-mo?"

"Ha-ha-ha, kau bocah edan! Membikin orang-orang tua memeras otak dan te­man-temanku sampai harus menggunakan arti yang dalam-dalam. Akan tetapi bo­cah seperti engkau ini mana mengerti arti yang dalam? Tentu kaumaksudkan di dalam syair itu jumlah semua benda hidup atau mati dan yang disebut adalah lima ekor- kura-kura, sebuah pancing, seorang manusia yang memancing, dan sebuah bulan. Jumlahnya hanya delapan. Nah, angkanya tentu DELAPAN!"

"Boleh kauterka sesukamu. Nah, siapa lagi? Engkau bagaimana, Toanio?" Hauw Lam menghadapi Kam Sian Eng. Sepa­sang sinar mata menyorot dari balik kerudung hitam dan Hauw Lam bergidik.

"Jangan ganggu aku, tolol!" hardik Kam Sian Eng. Hauw Lam menahan na­pas. Sekali wanita itu bergerak, dia bisa celaka, maka ia lalu cepat-cepat meng­hadapi para penebaknya dan berkata,

"Sudah jelas semua tadi, Bu-tek Siu-lam menebak angka tujuh, Bouw Lek Couwsu angka dua puluh, Thai-lek Kauw-ong angka lima belas, Pak-sin-ong angka tiga, dan Siauw-bin Lo-mo angka delapan. Bukan begitu?"

Lima orang kakek mengangguk-ang­guk tertarik untuk mendengar siapa di antara mereka yang tepat tebakannya.

"Ketahuilah, biarpun kalian mengaku kakek-kakek yang pandai, akan tetapi ternyata tebakan kalian ngawur tidak karuan, tidak ada seorang pun yang be­nar! Mau tahu jawabannya yang betul? Nah, jawabannya, adalah angka EMPAT!"

Hening sejenak, Bouw Lek Couwsu cemberut, semua mengerutkan kening, menghitung-hitung kembali. "Aihhh, ke­napa empat?" Akhirnya Bu-tek Siu-lam bertanya.

"Kalian yang bodoh, kecual Sian-toa­nio yang tentu saja sudah mengerti maka tidak mau menjawab. Yang dipersoalkan dalam syair hanya baris ke tiga yang berbunyi : LIMA EKOR YANG SATU EMAS. Nah, kalau ada lima ekor kura-kura tapi yang seekor adalah emas, maka yang empat ekorlah yang benar-benar kura-kura tolol, kura-kura yang buruk dan tua seperti kakek-kakek tua buruk dan jahat. Yang satu adalah emas, cantik dan cemerlang, mana bisa direndahkan dengan empat ekor kura-kura? Maka kalau dibilang lima ekor adalah keliru, yang benar hanya ada empat ekor kura-kura tua sedangkan yang satu hanya ter­bawa-bawa akan tetapi sama sekali tidak patut disebut kura-kura melainkan emas. Maka aku mempunyai sebutan untuk em­pat ekor kura-kura itu, paling tepat ada­lah Bu-tek Su-kwi (Empat Setan Tanpa Tanding)! Ha-ha-ha-ha!"

Hebat bukan main siasat Hauw Lam ini, pikir Kiang Liong sambil memandang dengan hati berdebar. Jelas maksudnya, Hauw Lam dalam jawabannya yang ter­atur telah menyindir Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding). Ia mengum­pamakan empat kakek itu kura-kura dan Sian-toanio diumpamakan emas. Sisanya empat kakek itu ia sebut jebagai Bu-tek Su-kwi! Inilah siasat memecah be­lah, memperingatkan Sian-toanio bahwa ia sama sekali tidak pantas merendahkan diri bersekutu dengan empat orang ka­kek. Cerdik Hauw Lam, pikirnya. Ingin meminjam tangan Sian-toanio untuk menghadapi empat orang kakek.

Bu-tek Siu-lam, Pak-sin-ong, Siauw­-bin Lo-mo, dan Thai-lek Kauw-ong bu­kanlah orang bodoh. Mereka kini maklum bahwa mereka dipermainkan dan diejek, akan tetapi karena yang berkuasa di situ Bouw Lek Couwsu, mereka tidak berani turun tangan. Bouw Lek Couwsu juga mengerti bahwa tamu-tamu dan sekutu­nya dihina, maka ia berkata.

"Bocah gila, kautunggu saja giliranmu. Kematianmu akan menjadi kematian yang paling sengsara dan mengerikan. Sebelum mati terakhir, kausaksikan dulu teman-temanmu! Bu-tek Siu-lam, harap lanjut­kan rencana kita tadi."

Bu-tek Siu-lam melangkah maju meng­hampiri Kwi Lan yang memandangnya dengan sinar mata penuh kemarahan dan kebencian. Semua tawanan menjadi te­gang, akan tetapi Hauw Lam tertawa bergelak dan berkata, "Salahkah aku menyebut mereka ini kura-kura tua bangka buruk dan jahat? Lihat saja Bu-tek Siu-lam ini. Katanya mengaku jagoan utama dari dunia barat! Mengaku seorang di antara Bu-tek Ngo-sian. Sebetulnya lebih tepat disebut setan tak bermalu. Masa seorang tua bangka yang mengaku jago, kini menghadapi seorang gadis re­maja seperti Mutiara Hitam saja takut­-takut dan begini pengecut? Coba Mutiara Hitam tidak terbelenggu tentu dia sudah terkencing-kencing di celana saking ta­kutnya. Ha-ha-ha!"

Hebat memang penghinaan dan ejekan Hauw Lam ini. Kwi Lan girang men­dengar ini dan berkata, "Ah, mana dia berani. Berandal? , Dia pengecut besar, seekor kura-kura masih terlampau baik baginya. Ia mirip.... eh, kadal buduk!"

Merah sepasang mata Bu-tek Siu-lam. Senyumnya melebar dan tiba-tiba tangan­nya bergerak ke depan dua kali. Ter­dengar suara keras dan.... belenggu pada kaki tangan Kwi Lan sudah patah-patah. Gadis itu bebas!

"Hi-hik, anak manis. Sekarang kau sudah bebas. Mari kita coba-coba lihat sampai berapa jurus kau mampu melawan Bu-tek Siu-lam sebelum kutelanjangi dan kunikmati tubuhmu!"

Kwi Lan merasa lega. Biarpun ia maklum akan kelihaian Bu-tek Siu-lam, namun setelah kini ia bebas, ia akan melawan mati-matian dan tidak menye­rah begitu saja seperti kalau dia dibe­lenggu tadi. Sambil mengeluarkan jerit melengking keras ia menerjang maju, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya menye­rang Bu-tek Siu-lam. Sayang bahwa ia tidak berpedang, dan lebih sayang lagi bahwa tenaganya sudah banyak berkurang karena lelah dengan penderitaan yang bertubi-tubi, dengan penahanan dan da­lam belenggu yang membikin kaku urat tubuh.

Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh ke­tika mengelak dan balas menyerang. Per­tandingan terjadi dalam ruang tahanan. Pertandingan yang berat sebelah. Keahli­an Kwi Lan adalah bermain pedang. Kini ia bertangan kosong dan biarpun ia me­rupakan seorang gadis remaja yang ja­rang bandingnya dalam bersilat tangan kosong, namun menghadapi seorang tokoh seperti Bu-tek Siu-lam, ia masih kalah setingkat. Bahkan kini karena tenaganya sudah banyak berkurang, ia kalah tenaga sehingga tiap kali dengan mereka beradu, Kwi Lan terhuyung mundur. Bu-tek Siu-lam makin mendesak sambil terkekeh-kekeh. Kini gerakan tokoh banci ini ma­kin kurang ajar, kadang-kadang menowel pipi, meraba dada dan mencubit paha.

Kwi Lan malu dan marah sekali, berlaku nekat dan mati-matian. Lewat seratus jurus, tiba-tiba Bu-tek Siu-lam menubruk, tangan kiri mencengkeram dada dan tangan kanan mencengkeram paha. Kwi Lan kaget dan jengah. Serangan ini ku­rang ajar sekali, melanggar batas kesopanan. Mana ia mau membiarkan dirinya dipegang? Ia menjatuhkan diri dan ber­gulingan, akan tetapi tiba-tiba gadis ini menjerit ketika terdengar bunyi kain robek. Kiranya serangan Bu-tek Siu-lam tadi hanya siasat belaka dan ia kini mencengkeram baju Kwi Lan terus direnggut robek. Hebat tenaga Bu-tek Siu­-lam sehingga pakaian gadis itu, baik yang luar maupun yang dalam sebagian besar berada dalam tangannya dan hanya sedikit saja yang masih menempel ditubuh Kwi Lan. Gadis ini cepat menelungkup di lantai, tak berani bangkit lagi karena tubuhnya sudah setengah telanjang. Bah­kan ketika menelungkup pun, sebagian pinggul dan pahanya yang putih bersih tampak nyata!

"Hi-hik, begini saja kepandaianmu?"

Bu-tek Siu-lam terkekeh- kekeh dan mem­bawa robekan pakaian ke depan hidung sambil menyedot-nyedot dan berseru, "Aihh, wangi....! Mari kita main-main, Nona manis!"

Hauw Lam berseru, "Coba dengar sombongnya Si Tokoh Banci! Biarpun ada guru Mutiara Hitam hadir, dia berani memandang rendah ilmunya. Murid sama dengan anak, kalau murid dipermainkan berarti guru dihina! Kalau murid dihina berarti guru dibunuh! Di depan Sian-toa­nio Si Banci menjemukan ini berani ber­main gila. Sungguh tak tahu diri!"

Ketika itu Bu-tek Siu-lam sudah me­langkah maju hendak memaksa Kwi Lan membalikkan tubuh, hendak melakukan penghinaan seperti direncanakan Bouw Lek Couwsu untuk menundukkan Pange­ran Talibu, Kiang Liong, dan Yu Siang Ki. Tak seorang pun tahu kecuali Hauw Lam dan Kiang Liong betapa wajah di balik kerudung hitam itu mengeluarkan napas yang membuat kerudung bergerak-gerak, betapa pandang mata dari balik kerudung seperti dua titik api membakar.

Ketika Hauw Lam mengeluarkan kata-kata yang bagaikan minyak menyiram api, terdengar lengking mengerikan dan tubuh Kam Sian Eng sudah berkelebat maju, tangannya yang kanan menceng­keram pundak Bu-tek Siu-lam sedangkan tangan kiri melemparkan jubahnya yang tepat menyelimuti tubuh Kwi Lan.

Bu-tek Siu-lam mengeluh dan tubuh­nya terlempar membentur dinding. Ceng­keraman tadi bukan sembarang cengke­raman, melainkan cengkeraman dengan jari-jari beracun yang sudah menembus baju dan kulit pundak Bu-tek Siu-lam! Wajah Si Banci menjadi pucat ketika ia melompat bangun, jelas ia kesakitan ber­campur marah dan keluarlah senjata guntingnya dan jarum di ujung benang. Ia memekik dan menerjang maju. Namun tangan kiri Kam Sian Eng bergerak dan sinar hitam menyambar ke depan. Itulah jarum-jarum hitam yang sebetulnya ada­lah warna merah yang amat tua sehingga kalau disambitkan sinarnya menjadi hi­tam. Tiga belas batang jarum menyambar ke tiga belas jalan darah di tubuh Bu-tek Siu-lam! Sinar ini mendatangkan suara berciutan mengerikan. Namanya Ang-sin-ciam (Jarum Sakti Merah) dan jarang ada lawan dapat menyelamatkan diri terhadap serangan jarum-jarum ini. Dilepas dari jarak dekat, cepatnya seper­ti kilat menyambar, sasarannya tiga be­las jalan darah di sebelah depan tubuh, suaranya mengerikan dan racunnya sedemikian hebat sehingga jangankan ter­luka, baru tergores sedikit saja sudah mendatangkan maut! Jarum-jarum hijau milik Kwi Lan kalau dibandingkan dengan jarum-jarum merah milik gurunya ini masih belum apa-apa. Baru Ang-sin-ciam sudah begini hebat, belum lagi Pek-sin-ciam (Jarum Sakti Putih). Jarum-jarum ini tidak mengeluarkan suara, hampir tak tampak sinarnya akan tetapi racunnya lebih gila lagi, tersentuh kulit orang bisa menimbulkan maut! Racunnya ter­dapat dari kerangka-kerangka manusia di bawah tanah!

Bu-tek Siu-lam memang lihai sekali namun ia tetap saja kaget dan repot menyelamatkan diri dari sambaran sinar hitam jarum-jarum itu. Memang benar dengan jalan memutar gunting melempar diri ia berhasil terbebas dari terjangan jarum, namun Kam Sian Eng yang sudah menduga akan gerakan ini, sudah berke­lebat maju dan sebuah tamparan tepat mengenai punggung Bu-tek Siu-lam yang sedang repot menghindarkan diri dari jarum-jarum.

"Plakk....! Auuuukhhh!" Bu-tek Siu-lam terhuyung ke belakang dan dari mu­lutnya menyembur darah segar. Ia sudah terluka hebat! Kini ia berdiri dengan tubuh bergoyang-goyang, bibir berlepotan darah, mata beringas memandang Kam Sian Eng yang berdiri tenang dan dengan gerakan tenang pula Kam Sian Eng membuka kerudung hitamnya. Semua orang menahan napas. Betapa cantiknya wajah di balik kerudung itu! Kulitnya putih kemerahan seperti kulit muka gadis remaja, hidungnya mancung dengan cu­ping bergerak-gerak kembang-kempis dan angkuh. Matanya tajam namun sinarnya aneh bergerak-gerak ke kanan kiri dan senyumnya membuat bulu tengkuk ber­diri. Senyum wanita biasanya membuat hati makin tenang, mendatangkan ke­hangatan. Akan tetapi senyum ini dingin sekali, seperti kita melihat senyum pada bibir orang-orang mati! Dengan keru­dung hitam di tangan kiri, diputar-putar seperti seorang gadis remaja memutar saputangan sutera, tangan kanannya ber­gerak ke pinggang dan...., sebatang pe­dang tipis telah dipegangnya.

"Bu-tek Siu-lam, apakah kau masih berani memandang rendah ilmuku?" Suara ini merdu dan manis, namun didorong ancaman yang mengerikan.

Bu-tek Siu-lam yang sudah dua kali terkena pukulan yang membuatnya terluka dalam amat hebat, maklum bahwa keselamatannya sukar ditolong lagi. Hatinya gelisah dan kemarahan membuat lehernya serasa tercekik. Ia tidak dapat menjawab, hanya mengeluarkan suara seperti tertawa atau ringkik seekor kuda, kemudian tubuhnya menerjang ke depan, guntingnya bergerak menggunting ke arah, leher Kam Sian Eng, sedangkan jarumnya meluncur ke arah perut lawan. Namun gunting itu terhenti di tengah jalan, bertemu dengan kerudung hitam yang kini menjadi semacam senjata ampuh. Kerudung itu terbuat daripada bahan yang kuat sekali, dari benang baja hitam yang halus, maka biarpun Bu-tek Siu-lam menggerakkan guntingnya menggun­ting tidak ada hasilnya, malah gunting­nya terlibat-libat kerudung tak dapat bergerak lagi. Adapun jarumnya dapat dielakkan oleh Kam Sian Eng yang sam­bil tersenyum membetot kerudungnya membuat tubuh lawan doyong ke depan lalu ia papaki dengan tusukan pedang mematikan!

Bu-tek Siu-lam terkejut. Tidak me­ngira bahwa ia akan mati demikian mu­dah di tangan wanita ini, akan tetapi apa daya, racun mulai bekerja di tubuh­nya, membuat tenaganya menjadi lemas dan ia hanya dapat memejamkan mata menanti datangnya pedang dan memasuki dadanya.

"Tranggg....!" Pedang di tangan Kam Sian Eng terpental ketika tongkat ku­ningan Bouw Lek Couwsu menangkisnya.

"Toanio, tak boleh kau membunuh ta­muku!" bentak Bouw Lek Couwsu sambil menyerang dengan tongkatnya.

Kam Sian Eng mengeluarkan suara melengking marah, tubuhnya berkelebat cepat dan dalam waktu beberapa menit saja ia sudah bertanding sampai belasan jurus, balas-membalas dengan ketua orang Hsi-hsia.

"Ha, kau tangguh, Toanio. Tapi tetap saja aku yang menjadi orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian!" Inilah suara Thai­-lek Kauw-ong yang sudah berjongkok lalu memukul dengan ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar biasa lihainya. Kam Sian Eng terkejut, berusaha menahan namun ia tetap saja terhuyung ke belakang, permainan pedangnya menjadi kacau dan pada saat ia memutar pedang mengha­dapi tongkat kuningan Bouw Lek Couwsu, dari belakang ada tangan menyambar.

"Awas, Bibi....!" terdengar Kwi Lan berseru. Gadis ini sudah membungkus tubuh dengan jubah gurunya dan kini me­jihat serangan ganas Bu-tek Siu-lam dari belakang, ia memperingatkan gurunya.

Namun Sian Eng yang sudah marah itu menggerakkan tangan kiri dan sinar putih menyambar. Hanya tiga batang jarum yang ia sambitkart namun ketiga-tiganya memasuki tubuh Bu-tek Siu-lam yang roboh berkelojotan dan menjerit-jerit seperti babi disembelih karena seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, tak tertahan­kan. Rasa nyeri yang amat hebat mem­buat tokoh banci ini seperti gila, gun­tingnya bergerak menggunting bagian tubuhnya yang terasa nyeri sehingga dalam sekejap mata saja lengan kirinya buntung, lalu kedua kakinya dan terakhir sekali batang lehernya! Ia mati dalam keadaan tubuh terpotong-potong gunting seperti nasib sekian banyak korbannya.

Andaikata ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu atau bahkan Thai-lek Kauw-­ong satu lawan satu saja agaknya Kam Sian Eng tidak akan mudah dapat dika­lahkan. Akan tetapi sekarang ia harus menghadapi Bouw Lek Couwsu dan Thai-­lek Kauw-ong malah kini Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo-mo sudah maju mengero­yoknya! Dikeroyok empat orang sakti itu, tentu saja, ia menjadi repot sekali.

Kwi Lan dengan nekat membantu gurunya. Ia menyambar gunting Bu-tek Siu-lam yang berlepotan darah, lalu mengamuk, mainkan gunting itu seperti orang mainkan pedang. Namun karena senjata ini tidak cocok, ia menjadi kaku dan gerakannya canggung.

"Kwi Lan, kaubebaskan saja kami agar kami dapat membantu. Lekas!" te­riak Hauw Lam, Siang Ki, dan Kiang Liong. Akan tetapi gadis itu dalam ke­marahan meluap-luap tidak ingat akan hal ini dan akhirnya, ketika Thai-lek Kauw-ong memutar-mutar tubuh mainkan ilmu Soan-hong-sin-ciang sehingga tubuh­nya berputaran seperti gasing, Kwi Lan roboh tertotok dan tak mampu bergerak lagi!

Hauw Lam menjadi kecewa sekali dan pemuda ini hanya mampu memaki-maki dan berteriak-teriak, "Tak tahu malu! Empat ekor kura-kura busuk tua bangka hanya berani melakukan pengeroyokan! Aku berani mempertaruhkan kepala nenek moyangku kalau bertanding satu lawan satu, semua tentu dapat terbunuh mam­pus oleh Sian-toanio!"

Namun teriakan-teriakannya percuma saja dan akhirnya Kam Sian Eng harus mengakui keunggulan empat orang penge­royoknya. Ia tak dapat bertahan lama. Serangan Thai-lek Kauw-ong membuat ia terhuyung-huyung dan pening. Ia sudah menghabiskan jarum-jarumnya, sudah mainkan pedang dan kerudung, namun sia-sia dan akhirnya ia roboh terkena hantaman gergaji Pak-sin-ong yang mengenai lambungnya. Lambungnya robek. Kam Sian Eng memekik marah dan ten­dangan kakinya yang dilakukan secara tak terduga-duga membuat Pak-sin-ong terlempar akan tetapi pada saat itu, tongkat Bouw Lek Couwsu, senjata gem­breng Thai-lek Kauw-ong, dan pukulan tangan Siauw-bin Lo-mo membuat ia roboh terkapar tak bernyawa lagi! Pak-sin-ong sudah bangkit dan hanya terluka ringan.

"Wanita hebat....!" Thai-lek Kauw­-ong mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji karena biarpun ia sanggup seorang diri mengalahkan Kam Sian Eng namun tentu memakan waktu yang lama.

Kiang Liong, Pangeran Talibu, Mimi, Yu Siang Ki, dan Hauw Lam memandang ke arah empat orang kakek itu dengan jantung berdebar. Bahkan Hauw Lam sendiri kini diam saja, maklum bahwa kata-kata tidak ada artinya lagi seka­rang. Bahaya hebat mengancam mereka, akan tetapi mengapa gurunya belum juga muncul? Ataukah ia salah dengar dan bukan suara gurunya?

Bouw Lek Couwsu dengan muka ge­ram menghadapi para tawanan muda. Ia marah sekali karena sekaligus kehilangan dua orang pembantu kuat, yaitu Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suma Kiat hanya berdiri memandang mayat ibunya, tidak menangis tidak tertawa hanya me­nunduk.

"Suma-kongcu, bagaimana pendapatmu kini?" Tiba-tiba Bouw Lek Couwsu berta­nya kepada pemuda itu. Ia hendak men­jenguk isi hati pemuda yang kematian ibunya ini. Suma Kiat berkata, suaranya menggetar.

"Apa yang dapat kukatakan, Couwsu? Kami ibu dan anak telah membantumu dengan kenyataan, akan tetapi Ibu karena membela gadis sialan ini telah menjadi korban. Couwsu, berikan gadis itu kepa­daku, aku ingin membalas dendam ini kepadanya!"

Bouw Lek Couwsu mengangguk. Baik sekali kalau begitu pendapat pemuda ini. "Boleh saja, asal kemudian dibunuh. Dia telah menimbulkan banyak kerewelan." Kemudian setelah Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan yang pingsan dan dibawa keluar kamar tahanan, Bouw Lek Couwsu menghadapi Pangeran Talibu dan berkata,

"Pangeran, untuk penghabisan kali, apakah kau masih keras kepala? Kalau sekarang kalian semua kubunuh, siapa yang akan berani menolongmu?"

Sunyi tiada jawaban dari para tawan­an muda. Tiba-tiba terdengar bunyi le­dakan keras disusul sorak-sorai. Agaknya ini sebagai jawaban pertanyaan Bouw Lek Couwsu karena pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan semua ta­wanan muda itu tiba-tiba saja berkelebat bayangan orang dan bagaikan gerakan iblis, entah dari mana datangnya, tahu­-tahu di situ berdiri seorang laki-laki yang tinggi tegap tampan dan gagah berusia lima puluh lima tahun kurang lebih. Sebatang suling terselip di ping­gang, topinya lehar dan sepasang mata yang memandang dari bayangan topi itu penuh wibawa.

"Suling Emas....!" Seruan ini keluar dari mulut Thai-lek Kauw-ong, dan se­mua kakek itu terkejut seperti disambar kilat. Terutama sekali Bouw Lek Couwsu yang mendengar suara ribut-ribut di se­keliling markasnya, tanda bahwa di luar terjadi perang hebat.

Suling Emas tidak mempedulikan empat orang kakek itu yang menatapnya dengan mata terbelalak dan sikap gentar. Ia melirik dan dengan ujung matanya menyapu keadaan para tawanan. Pandang matanya mencari-cari, kemudian bertemu dengan pandang mata Kiang Liong.

"Di mana Mutiara Hitam....?" tanya­nya, suaranya tenang halus, seperti si­kapnya.

"Dia dibawa pergi Suma Kiat, putera Sian-toanio...." Kiang Liong menunjuk dengan pandang matanya ke arah mayat Kam Sian Eng.

Sejenak pandang mata Suling Emas menuju kepada muka Kam Sian Eng yang sudah mati, muka yang cantik dan ter­senyum aneh. Sedetik Suling Emas me­mejamkan mata, seperti terkejap. Yang menggeletak tak bernyawa itu adalah adik tirinya! Kemudian kaki kanannya dibanting perlahan dan.... gunting besar milik Bu-tek Siu-lam terbang dari lantai menuju tangannya. Suling Emas menyam­bar gunting dan terdengar bunyi nyaring dua kali ketika gunting menyambar be­lenggu kaki tangan Kiang Liong. Suling Emas melempar gunting ke atas lantai sambil berkata, "Pergi kaukejar dan am­bil kembali Mutiara Hitam."

"Baik, Suhu!" Kiang Liong menyambar gunting dan menggunting pula belenggu Yu Siang Ki, kemudian berkelebat pergi meninggalkan gunting kepada Siang Ki, yang kini sibuk membebaskan teman-temannya.

Suling Emas menjura kepada Thai-lek Kauw-ong, "Kauw-ong, selamat ber­jumpa kembali. Agaknya sahabat-sahabat ini adalah Pak-sin-ong dan Siauw-bin Lo­mo. Sayang bahwa Sam-wi (Tuan Bertiga) terperosok rendah mengabdi orang Hsi-hsia."

"Suling Emas, jangan sombong! Kamu kira dapat menangkan kami berempat?" Bouw Lek Couwsu berseru dan tongkat kuningan di tangannya sudah bergerak menyerang Suling Emas, disusul gergaji di tangan Pak-sin-ong yang bertemu musuh lamanya. Dahulu ia gagal menga­cau di Khitan karena Suling Emas, maka sekarang ia hendak menggunakan kesem­patan selagi ada teman-teman sakti, membalas dendam.

"Suling Emas, hadapilah kematianmu!" bentaknya.

Thai-lek Kauw-ong yang sudah meng­alami kelihaian Suling Emas, membunyi­kan gembreng dan menerjang maju se­cara dahsyat. Demikian pula Siauw-bin Lo-mo, biarpun bertangan kosong, kini menerjang maju dengan pukulan tangan kanan sedangkan tangan lainnya siap dengan bumbung berisi racun.

Suling Emas menggerakkan sulingnya. Hebat luar biasa gerakannya ini. Sinar kuning menyilaukan mata bergulung-gu­lung seperti naga bermain di angkasa, dan semua senjata lawan terpukul mun­dur. Namun ia dikurung rapat dan empat orang pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Tempat itu ku­rang luas untuk menghadapi pengeroyok­an, apalagi di situ terdapat mayat Kam Sian Eng dan Bu-tek Siu-lam. Suling Emas tidak mau menginjak mayat adik tirinya, maka terdengar suara melengking panjang dan sinar sulingnya menyambar dengan lingkaran-lingkaran besar. Ketika empat orang pengeroyoknya mundur, ia melesat keluar kamar. Tentu saja empat orang pengeroyoknya tidak membiarkan ia pergi dan cepat menyusul. Kiranya Suling Emas sudah menanti mereka di luar, di tempat yang iuas, sambil mema­langkan suling di depan dada dan tangan kiri diangkat tinggi di atas kepala. Si­kapnya gagah bukan main dan biarpun usianya sudah setengah abad lebih, ia tampak gagah dan tampan, tubuhnya masih padat dengan sikap tegak berdiri, dadanya bidang.

"Hyaaaahhh!!" Bouw Lek Couwsu me­mekik dan tongkatnya menyambar ke­pala Suling Emas yang hanya miringkan tubuh menghindarkan diri, namun suling­nya menyambar dengan totokan ke arah lambung Ketua Hsi-hsia ini. Dengan menyontekkan tongkat ke sampingf Bouw Lek Couwsu berhasil menangkisnya. Pada setengah detik berikutnya, gergaji Pak-sin-ong menyambar pinggang dan Suling Emas sudah menangkis dengan suling, berusaha menempel gergaji dengan sin­kang, akan tetapi karena pada saat itu Thai-lek Kauw-ong sudah menghimpitnya dengan sepasang gembreng yang amat berbahaya itu, terpaksa Suling Emas melepaskan sulingnya dan meloncat ke belakang membiarkan gembreng lewat, siku kirinya menotok pergelangan tangan Bouw Lek Couwsu yang hendak menye­rang sehingga kakek ini meloncat ke samping, kemudian Suling Emas sudah meloncat lagi ke depan, selagi Thai-lek Kauw-ong belum menarik kembali gembrengnya pendekar sakti ini sudah memu­kulkan suling ke arah kepala. Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak mau kepala­nya dipecahkan suling, cepat menghindar. Suling Emas sekali lagi meloncat ke be­lakang karena tangan Siauw-bin Lo-mo sudah memukulnya dengan jari tangan miring yang kalau mengenai iganya dapat mematahkan tulang iga.

Pertandingan terjadi makin seru dan cepat. Gerakan Suling Emas indah sekali, indah dan cepat namun karena empat orang pengeroyoknya juga bukan orang-orang biasa, ia kalah cepat dan terpaksa bertubi-tubi menangkis serangan yang datang bergantian bagaikan hujan lebatnya. Setelah pendekar sakti ini mainkan ilmunya, Hong-in-bun-hoat, sulingnya mencorat-coret huruf-huruf sakti di uda­ra barulah dia dapat mematahkan se­mua serangan dan dapat mengimbangi gencarnya serangan, sungguhpun ia masih belum dapat membalas serangan.

Sementara itu, di luar terjadi perang hebat antara pasukan-pasukan Khitan yang besar jumlahnya melawan orang orang Hsi-hsia dan pendeta jubah merah. Pasukan Khitan ini memang mencari Pangeran Mahkota mereka dan akhirnya dapat menyerbu ke markas Hsi-hsia. Akan tetapi agaknya mereka takkan ber­hasil kalau saja tidak bertemu dengan Suling Emas di luar hutan. Suling Emas yang memimpin mereka memasuki mar­kas tanpa diketahui sehingga mereka dapat menyerbu secara mendadak. Kare­na jumlah mereka lebih banyak dan ka­rena pasukan Khitan ini lebih berpenga­laman dalam perang, maka pihak Hsi­hsia segera terdesak hebat dan banyak jatuh korban.

Sementara itu, Siang Ki telah berhasil membebaskan Hauw Lam, Talibu, dan Mimi. Setelah mereka beristirahat seben­tar untuk memulihkan jalan darah yang membeku karena terlalu lama dibelenggu, mereka lalu keluar dari kamar tahanan yang menyeramkan dengan adanya mayat Bu-tek Siu-lam yang terpotong-potong! Mereka siap membantu Suling Emas, bahkan Pangeran Talibu sendiri cemas melihat ayah kandungnya dikeroyok tadi. Akan tetapi hatinya lega mendengar teriakan-teriakan pasukannya, teriakan-teriakan itu adalah tanda bahwa pihak pasukannya berhasil mendesak dan me­nang.

Ketika mereka tiba di luar, hati me­reka makin lega. Kiranya Suling Emas kini bukan hanya seorang diri menghadapi pengeroyokan empat musuh, melainkan dibantu seorang kakek tua renta yang cebol berkepala besar dan tertawa ceki­kikan. Yang paling girang hatinya adalah Hauw Lam karena ia mengenal kakek ini yang bukan lain adalah kakek aneh luar biasa Bu-tek Lo-jin yang men jadi gurunya hanya untuk beberapa hari lamanya.

Pak-sin-ong dan Thai-lek Kauw-ong mengeroyok Suling Emas, adapun Siauw-bin Lo-mo dan Bouw Lek Couwsu menge­royok Bu-tek Lo-jin. Baik Bu-tek Lo-jin yang hanya memegang sebatang ranting kecil maupun Suling Emas yang bersen­jatakan suling dapat mendesak kedua pengeroyok masing-masing. Akan tetapi pada saat itu, serombongan hwesio jubah merah yang mendengar tanda bahaya yang dikeluarkan Bouw Lek Couwsu, sudah datang dengan senjata di tangan untuk mengeroyok dua orang pendekar sakti itu. Mereka ini jumlahnya ada dua puluh orang, murid-murid pilihan yang terpaksa meninggalkan peperangan yang terdesak untuk membantu dan mem­bela guru mereka. Melihat munculnya hwesio-hwesio jubah merah ini, Yu Siang Ki dan Hauw Lam segera meloncat maju menerjang dengan senjata golok yang mereka temukan di luar kamar tahanan. Juga Pangeran Talibu tidak mau keting­galan. Pangeran ini sudah mengambil sebatang pedang seperti juga Puteri Mi­mi, dan kedua orang muda bangsawan yang pandai ilmu silat ini pun lalu me­nyerbu dan membantu Siang Ki dan Hauw Lam.

Sebagian dari hwesio-hwesio itu me­nyambut serbuan empat orang muda, akan tetapi sebagian besar membantu Bouw Lek Couwsu. Melihat datangnya banyak hwesio jubah merah yang otoma­tis mengeroyok kakek cebol, Suling Emas menjadi marah. Ia membuat gerakan panjang, gulungan sinar suling melibat bayangan Thai-lek Kauw-ong yang sung­guh luar biasa. Kauw-ong kaget, merasa betapa sinar itu mengandung hawa dingin yang tajam melebihi pedang. Untuk men­jaga diri, Kauw-ong lalu berputaran se­perti gasing, sepasang gembrengnya men­jadi sinar yang membungkus tubuhnya. Akan tetapi, ia kena diakali Suling Emas yang memang hanya menggertak saja. Setelah kakek raksasa yang amat lihai itu berputaran, tiba-tiba Suling Emas mengerahkan seluruh tenaga dan perha­tian kepada Pak-sin-ong. Tubuhnya ber­kelebat, sulingnya melengking bagaikan sinar kilat menyambar ke arah Pak-sin-ong. Kini Pak-sin-ong tidak ada pemban­tu karena sahabatnya sedang berputaran seperti gasing. Terpaksa ia menangkis dengan gergaji di tangan kanan sedang­kan tali pancingnya menyambar ke arah kaki Suling Emas.

"Cringg.... krekkkk!" Gergaji itu patah-patah menjadi beberapa potong. Pak­-sin-ong hendak meloncat mundur akan tetapi alangkah kagetnya ketika gerakan­nya itu terhalang oleh tali pancingnya sendiri yang kini sudah melibat-libat tangan Suling Emas. Kiranya pendekar sakti itu telah menangkap pancingnya dan karena talinya diikatkan pada ping­gang, Pak-sin-ong tak dapat melarikan diri! Ia menjadi nekat, membetot-betot tali pancing dan mengirim pukulan sambil tiba-tiba menubruk maju. Tubuh yang menubruk itu diterima dengan tusukan suling. Pak-sin-ong mengulur tangan me­nangkap suling. Gerakannya cepat dan tak terduga-duga sehingga suling itu dapat tertangkap. Mereka saling betot, adu tenaga. Namun Pak-sin-ong kalah kuat sehingga terpaksa mempergunakan kedua tangan melawan tangan kanan Suling Emas. Sambil tersenyum Suling Emas mempertahankan suling dengan tangan kanan, adapun tangan kirinya bergerak cepat, jari-jari tangan yang ampuh dan kuat itu satu kali menusuk ke arah pelipis lawan. Tanpa mengeluarkan suara Pak-sin-ong melepaskan suling dan roboh tak bergerak lagi.

Ketika Suling Emas siap menghadapi Thai-lek Kauw-ong, ternyata Si Raja Monyet itu telah melompat jauh melari­kan diri! Ia tidak mengejar, melainkan menyerbu ke depan membantu kakek cebol yang kini dikeroyok banyak sekali lawan. Para murid Bouw Lek Couwsu tentu saja semua mengeroyok Si Cebol ini untuk membantu guru mereka. Si Kakek Cebol benar-benar hebat luar biasa sehingga mengagumkan hati Suling Emas. Ia dapat menduga siapa adanya kakek ini, tentulah Bu-tek Lo-jin karena siapa lagi di dunia ini ada tokoh sakti memiliki tubuh seperti kanak-kanak dan kepala besar seperti raksasa? Memang kini sudah kelihatan tua sekali sehingga kalau melihat mukanya orang yang per­nah bertemu akan menjadi pangling, akan tetapi melihat potongan tubuh dan kepalanya, melihat sikapnya yang ugal-ugalan mudah saja menduga siapa tokoh ini.

"Locianpwe Bu-tek Lo-jin, terima kasih atas bantuan Locianpwe!" kata Suling Emas sambil menerjang maju, me­nyerang Siauw-bin Lo-mo.

"Heh-heh-heh. Suling Emas, siapa membantu siapa? Aku hanya ingin meng­hajar monyet-monyet gundul berpakaian pendeta ini!" Dan.... "brettt.... brettt....!" celana dua orang hwesio jubah merah robek dan putus tali kolornya. Tentu saja dua orang hwesio itu kededoran dan ter­sipu-sipu mundur untuk membenarkan celananya yang robek. Kakek cebol itu tertawa bergelak dan tubuhnya kembali berkelebatan di antara sinar senjata para pengeroyoknya yang amat banyak.

"Hayo Bouw Lek Couwsu, lepaskan celanamu!" kembali kakek cebol itu ter­tawa dan menerjang. Ia tidak pedulikan para hwesio yang menghalanginya. De­ngan lincahnya ia melejit dan menyeli­nap, tahu-tahu ia sudah berhadapan lagi dengan Bouw Lek Couwsu. Kalau tadi ia belum berhasil adalah karena selain Bouw Lek Couwsu sendiri amat lihai, kakek pemimpin Hsi-hsia ini dibantu pula oleh Siauw-bin Lo-mo. Kini menghadapi kakek cebol seorang diri, Bouw Lek Couwsu menjadi pucat dan marah. Tongkat ku­ningnya yang berat digerakkan menghan­tam tubuh Bu-tek Lo-jin.

"Desss....!" Dan Bouw Lek Couwsu melongo. Jelas tadi ia melihat tongkat­nya secara tepat menyambar tubuh cebol itu, akan tetapi mengapa kini hanya tanah saja yang dihantamnya dan ke mana perginya Si Cebol? Tiba-tiba ter­dengar bunyi kain robek dan Bouw Lek Couwsu cepat membalikkan tubuh karena merasa tubuh belakangnya dingin. Kira­nya Bu-tek Lo-jin sudah berdiri di belakangnya dan ketika Bouw Lek Couwsu meraba tubuh belakang, celananya di bagian belakang sudah robek lebar sekali sehingga nampak buah pantatnya yang besar menghitam!

"Ha-ha-ha-ha, persis pantat monyet, ha-ha-ha," Bu-tek Lo-jin tertawa terba­hak-bahak.

Bouw Lek Couwsu marah bukan main. Murid-muridnya sudah mengurung dan mengeroyok lagi kakek cebol itu dan se­orang murid datang membawa celana baru yang cepat dipakai oleh Bouw Lek Couwsu. Kemudian sambil menggigit bibir saking marahnya, ia memutar tongkatnya lagi menerjang Si Kakek Nakal.

Pertandingan antara empat orang muda melawan para pendeta jubah merah juga berjalan seru. Para pendeta itu adalah murid-murid pilihan Bouw Lek Couwsu yang merupakan pengawal pri­badi, maka kepandaian mereka cukup tinggi. Kini bermunculan pasukan penga­wal. Hsi-hsia yang membantu sehingga empat orang muda itu harus bekerja keras. Banyak sudah orang Hsi-hsia roboh oleh pedang mereka, akan tetapi jumlah pihak lawan makin banyak. Betapapun juga, dengan enaknya Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam mempermainkan dan membabati mereka karena tongkat ilmu kepandaian dua orang muda ini jauh lebih tinggi. Puteri Mimi di samping Talibu sudah mundur karena Sang Pangeran ter­lalu lelah oleh luka-lukanya. Dia dibim­bing Puteri Mimi yang siap melindungi­nya. Tadinya Talibu tidak mau berhenti dalam bertanding melawan musuh, akan tetapi Yu Siang Ki yang melihat betapa gerakan Pangeran ini lemah dan tidak tetap, bahkan wajahnya pucat sekali, maka ia lalu memutar senjata memberi jalan keluar kepada Pangeran ini, minta supaya Sang Pangeran mengaso dijaga Puteri Mimi.

Siauw-bin Lo-mo repot sekali meng­hadapi Suling Emas. Tiga kali ia dibikin jungkir-balik oleh suling di tangan lawan. Untung ke tiga kali itu ia cukup cepat sehingga hanya mengalami jungkir-balik dan babak belur, kalau ia kurang cepat sedikit saja, tentu nyawanya telah mela­yang. Karena maklum bahwa ia bukan tandingan Suling Emas yang luar biasa saktinya, tiba-tiba Siauw-bin Lo-mo ter­tawa bergelak, tangan kirinya memban­ting bumbung, juga tangan kanannya me­raih bola yang bergantungan pada ping­gangnya.

Terdengar bunyi ledakan-ledakan keras dan tanpak asap bermacam-macam war­nanya mengebul memenuhi tempat per­tandingan itu. Bouw Lek Couwsu berseru memberi peringatan kepada anak buahnya yang lari cerai-berai, namun terlambat sedikit. Lebih dari sepuluh orang Hsi­hsia dan pendeta jubah merah roboh ber­kelojotan, ada yang terkena besi, ada yang menghisap asap beracun.

Pangeran Talibu dan Puteri Mimi yang mengaso di emper bangunan, dari jauh melihat betapa setelah membantingi bahan-bahan peledak dan asap beracun, Siauw-bin Lo-mo roboh telentang. Akan tetapi mereka tidak melihat di mana ada­nya Suling Emas, Bu-tek Lo-jin, Yu Siang Ki, dan Tang Hauw Lam! Apakah mereka berempat juga sudah menjadi korban?

Kiranya ketika terjadi ledakan-ledakan tadi, keadaan amatlah berbahaya sehing­ga orang-orang lihai seperti Siang Ki dan Hauw Lam sekalipun belum tentu dapat menyelamatkan diri karena mereka se­dang menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka berdua berseru kaget, tubuh mereka terangkat dan terbang melayang ke atas genteng markas Bouw Lek Couwsu. Setelah memandang, kiranya Suling Emas yang menyambar tubuh Siang Ki dan Bu-tek Lo-jin yang membawa "terbang" Hauw Lam! Setelah dilepaskan di atas genteng, dua orang muda itu segera bertekuk lutut mengha­turkan terima kasih.

Bu-tek Lo-jin duduk di atas genteng, merangkul pundak Hauw Lam. "Heh-heh, kau lumayan, aku tidak kecewa. Apalagi permainanmu di depan Bouw Lek Couwsu dan sekutunya, hebat!"

"Berkat bimbingan Suhu," kata Hauw Lam merendah.

"Heh, bimbingan apa? Aku tidak per­nah mengajarmu bersyair!"

"Suhu telah datang, kenapa tidak cepat turun tangan tadi?"

"Kenapa? Aku belum ada kegembira­an."

"Bukankah tadi keadaan Mutiara Hi­tam terancam bahaya?"

"Uuuhh, berani bermain api jangan takut terbakar. Berani bermusuhan jangan takut berkelahi dan berani berkelahi jangan takut mati! Perlu apa aku mesti tolong? Eh, Hauw Lam, syairmu tadi yang memuat teka-teki, mengapa kau begitu sembrono? Hatiku sampai berdebar tidak karuan. Bagaimana kalau kebetulan di antara mereka ada yang menebak tepat angka empat? Kau tentu kalah.

Hauw Lam maklum bahwa gurunya ini memang ugal-ugalan, maka jawaban dan alasan tadi tidak ia masukkan hati. "Teecu (murid) takkan kalah, Suhu. Wa­laupun ada yang menjawab empat umpa­manya, teecu akan salahkan dia karena jawabannya bukan empat."

"Heeeii, bagaimana ini?"

"Aah, ini hanya akal anak kecil, Suhu. Di dalam syair itu terdapat angka atau jumlah bermacam-macam. Kura-kuranya empat, emasnya satu, bulannya dengan bayangannya dua, tanggal purnama lima belas. Kalau sekalian angka-angka itu dikali, ditambah, dikurangi atau dibagi, bisa saja kita mencari bilangan dari satu sampai seratus! Tentu saja semua tebak­an bisa teecu salahkan!"

Bu-tek Lo-jin mengerutkan kening berpikir-pikir, kemudian setelah mengerti duduknya persoalan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kalau begitu kautipu mereka mentah-mentah!"

"Bukan menipu, Suhu, melainkan ini akal anak kecil. Hanya orang goblok dan tolol saja yang dapat diakali permainan kanak-kanak macam ini. Dan di dunia ini terlalu banyak orang tolol dan goblok."

"Ha-ha-ha, orang-orang yang punya kedudukan tinggi bisa diakali. Kau lihat nanti, Hauw Lam. Aku tidak mau kalah denganmu. Kaulihat nanti bagaimana aku permainkan mereka dengan akal anak kecil juga. Lihat ini!" Setelah berkata demikian, Bu-tek Lo-jin menggunakan jari kelingkingnya mengorek-ngorek ke dalam lubang hidungnya, mengeluarkan upil (tahi hidung) dan mengumpulkan lalu memelin­tir-lintirnya menjadi semacam pel. "Ah, terlalu sedikit," katanya tertawa. "Hayo kaukeluarkan punyamu. Kau juga, Suling Emas, dan kau.... eh, jembel muda."

Hauw Lam mengedipkan mata kepada Siang Ki agar pemuda itu suka memenuhi permintaan kakek itu. Akan tetapi tanpa diberi tanda juga Siang Ki tentu akan mentaatinya karena pemuda ini sudah cukup berpengalaman untuk mengenal seorang sakti yang aneh seperti Bu-tek Lo-jin. Tanpa ragu-ragu ia pun lalu mengorek lubang hidungnya.

Suling Emas tersenyum kepada kakek nakal itu. Kalau dia mentaati perminta­annya, berarti dia sudah kena dipermain­kan juga, maka ia lalu mengambil kotor­an tanah yang menempel di bawah se­patunya, "Bu-tek Lo-jin, dicampur dengan kotoran ini tentu lebih lezat rasanya," Ia menyerahkan segelintir tanah kotor yang diambilnya dari bawah sepatu.

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang tahi hidung saja kurang banyak," ia lalu me­nuding dan menghitung baju-baju merah di bawah, "Wah, ada dua puluh orang bersama Bouw Lek si tolol. Biar kutam­bah lumpur!" Kakek ini lalu mengumpul­kan tanah dari bawah kakinya, dicampur dengan tahi hidung yang ia terima dari Siang Ki, Hauw Lam, dan dia sendiri, ditambah pula dengan debu-debu yang menempel pada genteng. Karena debu-debu itu kering, ia lalu meludahinya, dan mengepal-ngepal campuran ini menjadi sekepal kecil yang warnanya tidak ka­ruan, agak kehitaman, kemerahan dan abu-abu!

"Asap sudah buyar, lihat, Pangeran dan Puteri kelihatan bingung kehilangan kita. Mari turun!" kata Suling Emas yang melayang turun, diikuti dua orang pemu­da dan kakek nakal.

Suling Emas lebih dulu mengambil sulingnya yang menancap di dahi Siauw­-bin Lo-mo yang sudah tewas. Melihat empat orang ini melayang turun, Pange­ran Talibu dan Puteri Mimi bersorak dan lari menghampiri. Sorak-sorai terdengar keras sekali dan kini bermunculan perajurit-perajurit Khitan yang sudah berhasil menyapu bersih orang-orang Hsi-hsia. Bouw Lek Couwsu bersama sembilan belas orang murid pilihan kini berdiri bingung, dikurung di tengah-tengah. Pa­ngeran Talibu mengeluarkan aba-aba kepada para perajurit yang segera me­ngurung tempat itu dan tak seorang pun di antara mereka berani turun tangan. Para perajurit ini bersorak girang me­lihat bahwa pangeran mereka dan Puteri Mimi dalam keadaan selamat, sungguhpun Pangeran Mahkota itu tubuhnya luka-luka. Seorang komandan pasukan cepat­cepat maju menghampiri membawa se­buah jubah indah yang dikenakan pada tubuh Pangeran Talibu yang telanjang bagian atasnya. Kemudian komandan itu mundur lagi setelah memberi hormat.

Dengan wajah keruh Bouw Lek Couw­su melangkah maju menghadapi Suling Emas dan teman-temannya. "Suling Emas, kau menggagalkan usahaku. Aku sudah kalah, mau bunuh lekas bunuh!" Setelah berkata demikian, Bouw Lek Couwsu melempar tongkatnya ke atas tanah. Perbuatan ini diturut oleh anak muridnya yang semua melempar senjata ke atas tanah. Orang akan keliru kalau mengira bahwa perbuatan Bouw Lek Couwsu ini merupakan tanda sifat penge­cut atau penakut. Tidak, sama sekali bukan begitu. Bouw Lek Couwsu tidak akan dapat menjadi pimpinan orang Hsi-hsia kalau ia penakut atau bodoh. Per­buatan ini malah membuktikan kecerdik­annya. Ia tentu saja mengenal siapa Su­ling Emas. Seorang pendekar sakti yang bernama besar dan yang terkenal memi­liki watak satria dan gagah. Seorang satria yang gagah perkasa tak mungkin sudi membunuh musuh yang tidak mela­wan lagi! Sedangkan kalau dia dan mu­rid-muridnya melawan, tak dapat diragukan lagi dia dan murid-muridnya tentu akan binasa semua.

"Bouw Lek Couwsu, kami tidak akan membunuhmu. Ketahuilah bahwa Kaisar Sung yang bijaksana tidak menghendaki permusuhan dengan bangsa apapun juga. Juga dengan bangsa Hsi-hsia tidak meng­hendaki permusuhan. Oleh karena itu kau kini melanggar wilayah Sung, maka Pe­merintah Sung yang berhak memutuskan. Akan tetapi karena aku sudah tahu akan kehendak Kaisar, biarlah kekalahanmu ini menjadi pelajaran bagimu agar kelak kau tidak berani main-main dengan Kerajaan Sung maupun dengan Kerajaan Khitan. Kau pergilah pulang ke tempat asalmu!"

"Eh-eh-eh, nanti dulu!" tiba-tiba Bu-tek Lo-jin berkata sambil terkekeh. "Su­ling Emas, kau membebaskan mereka tanpa mengobati mereka, sama artinya dengan melepaskan kepala memegang buntutnya! Mereka kaubebaskan untuk mati, apa bedanya? Lihat, bukankah mereka semua menderita luka keracunan yang hebat dan tiada obatnya? Ini, lihat leher Bouw Lek Couwsu!" Ia mendekati dan tangannya menunjuk ke arah leher, "Tentu Bouw Lek Couwsu tidak dapat melihat lehernya sendiri, tapi coba tarik napas dalam tidakkah terasa gatal dan sakit?"

Bouw Lek Couwsu benar-benar mena­rik napas dalam dan ia kaget bukan main. Memang terasa gatal-gatal dan sakit. Sebagai seorang ahli ia berusaha menggunakan napas untuk memunahkan racun ini, namun makin dilawan makin sakit. Sementara itu, Bu-tek Lo-jin terus mendekati murid-murid Bouw Lek Couw­su, menuding sana-sini, ada yang leher­nya sakit, ada yang punggungnya, pun­daknya, pahanya pendeknya di mana ka­kek itu menuding, tentu di situ benar-benar terasa gatal dan sakit apabila dipakai menarik napas panjang. Ributlah mereka dan dua puluh orang itu menjadi cemas sekali.

"Ha-ha-ha! Bouw Lek Couwsu, tahu­kah engkau luka apa dan racun apa yang bersarang di tubuh kalian semua? Inilah racun hebat yang tak mungkin dapat disembuhkan kecuali oleh obat yang di­namakan batu hitam dari guha kembar! Atau dengan cara lain, bagian yang kena racun itu dipotong. Kalau paha yang terkena, ya. pahanya dipotong, kalau punggung atau leher... yah, pinggangnya dan lehernya dipotong!"

Sepasang mata Bouw Lek Couwsu melotot marah, akan tetapi murid-murid­nya menggigil ketakutan. Mana ada cara pengobatan macam itu? Pinggang atau leher dipotong berarti mati!

"Suling Emas, apakah benar apa yang dikatakan tua bangka gila ini?"

"Bouw Lek Couwsu, aku bukan se­orang ahli tentang racun, akan tetapi harus diakui bahwa Locianpwe Bu-tek Lo-jin adalah seorang ahli tentang pukul­an-pukulan beracun. Harap Couwsu suka bertanya kepada beliau."

Bouw Lek Couwsu dengan sikap ang­kuh kini menghadapi kakek cebol yang tertawa-tawa, "Apakah omonganmu itu betul dan tidak omong kosong belaka?"

"Heh-heh-heh, memang omong kosong? Apa sih isinya omongan? Tapi yang ko­song berisi, yang isi itu kosong, bukan begitu Bouw Lek Couwsu? Kau menyebut aku gila sebetulnya tidak gila, kau yang menganggap diri tidak gila sebetulnya gila. Anjing bukan manusia dan manusia bukan anjing tapi manusia dan anjing sama! Luka-luka kalian adalah akibat dari getaran ledakan yang disertai asap beracun. Kami yang melompat ke atas tidak terkena, akan tetapi kalian yang berada di bawah, terkena tanpa kalian rasakan. Padahal andaikata kami di ba­wah dan terkena racun juga, tidak me­ngapa karena aku mempunyai obat pemu­nahnya. Kebetulan sekali di antara perbekalanku terdapat Pel Batu Sepasang Guha."

"Omitohud....!" Bouw Lek Couwsu menyebut nama Buddha, hatinya lega karena ancaman maut yang mencengke­ram dia dan anak-anak muridnya ada obat penawarnya, "Bu-tek Lo-jin, kalau begitu pinceng mengharapkan kau suka memberikan obat itu kepada kami."

"Tadi maki-maki sekarang minta-min­ta. Inilah watak manusia kalau membu­tuhkan sesuatu! Obat ini mencarinya juga bertaruhan nyawa. Sepasang guha itu tak seorang pun dapat memasukinya. Aku berani mempertaruhkan kepalaku kalau ada orang yang mampu memasuki sepa­sang guha itu. Hanya dengan kecerdikan luar biasa barulah batu hitam dikumpul­kan sedikit demi sedikit. Dicampur de­ngan sari bumi dan debu angkasa. Ba­yangkan saja betapa sukarnya mendapat­kan obat ini," Bu-tek Lo-jin mengeluar­kan sekepal "obat" yang sudah ia bung­kus kain kuning.

Bouw Lek Couwsu mengilar sekali. Kalau ia tidak ingat betapa lihainya kakek cebol ini, tentu sekali pukul ia membikin mampus padanya dan meram­pas obatnya.

"Lo-jin, sekali lagi pinceng mohon pertolonganmu. Kalau perlu dibeli, kata­kan saja berapa, pinceng akan sanggup menggantinya."

"Heh-heh-heh, kita sudah saling ber­tanding, itu berarti kita sudah menjadi sahabat. Di antara sobat, mana ada jual beli? Akan tetapi karena kau sudah menghina sobat-sobatku yang lain, kalau sekarang kau dan semua muridmu mau berlutut dan mengangguk-angguk tujuh kali kepadaku, obat akan kuberikan de­ngan gratis!"

Tanpa dikomando lagi, sembilan belas orang, hwesio jubah merah itu serentak lalu berlutut ke arah Bu-tek Lo-jin dan mengangguk-anggukkan kepala seperti sekumpulan ayam bulu merah mematuk beras, berulang-ulang, tidak hanya tujuh kali, sampai puluhan kali! Akan tetapi Bouw Lek Couwsu tetap berdiri, mukanya pucat dan matanya menyinarkan kema­rahan. Orang telah mempermainkan dan menghinanya di luar batas. Namun ia tidak berdaya melampiaskan kemarahan­nya.

"Hemm, paling-paling pinceng akan mati kalau tidak dapat mengobati sen­diri, akan tetapi seluruh dunia akan mendengar tentang perlakuan Bu-tek Lo­jin yang tidak patut!"

"Biarlah, mengingat bahwa engkau adalah seorang pemimpin bangsa Hsi-hsia, sekali ini kubebaskan dari berlutut. Akan tetapi lain kali kalau engkau pilek atau masuk angin lalu datang minta obat kepadaku, engkau harus berlutut!" kata Bu-tek Lo-jin yang agaknya sudah puas mempermainkan mereka. Ia membuka bungkusan kain kuning, mengeluarkan se­kepal "obat" itu, mengangkatnya tinggi di atas kepala sambil berkata seperti lagak penjual obat di pasar mendemonstrasikan obatnya. "Obat ini adalah obat paling manjur di dunia dan akhirat! Jangankan manusia sakit keracunan, bengek, mulas, pening dan lain-lain, bahkan dewa sekali­pun dapat disembuhkan!" Ia lalu memba­gi-bagi menjadi dua puluh butir, dan membagi-bagikan kepada Bouw Lek Cou­su dan murid-muridnya sambil berkata, "Telan sekarang juga sebelum terlambat!"

Bouw Lek Couwsu menelan pel kemulutnya. Ia merasakan betapa "pel" itu kasar dan agak asin, terus ditelannya. Demikian pula dengan murid-muridnya, tanpa ragu-ragu lagi telah menelan obat mustajab itu. Alangkah lega rasa hati mereka ketika kini mereka menarik na­pas panjang bagian tubuh yang keracunan itu tidak begitu nyeri lagi. Demikian pula dengan Bouw Lek Couwsu. Kini ia menarik napas panjang sambil mengerahkan sin-kang dan.... rasa nyeri lenyap. Mau tak mau ia jadi berterima kasih sekali lalu menjura kepada Bu-tek Lo-jin.

"Omitohud, Lo-jin telah menyelamat­kan nyawa pinceng dan para murid, sungguh merupakan budi besar. Nah, Cu-wi sekalian, sampai jumpa," Ia menjura ke arah Suling Emas dan teman-teman, memungut tongkatnya lalu membalikkan tubuh, menyeret tongkat dengan lenggang angkuh, diikuti para muridnya. Atas isya­rat Pangeran Talibu, para pasukan Khitan membuka jalan, membiarkan rombongan pimpinan Hsi-hsia ini lewat.

Begitu mereka pergi, Bu-tek Lo-jin tertawa terpingkal-pingkal memegangi perutnya, bahkan ia sampai bergulingan di atas tanah terbahak-bahak dan di antara suara ketawanya ia berkata, ".... lucu.... ha-ha-ha.... lucu!"

Mereka yang tidak mengerti, terma­suk Pangeran Talibu dan Puteri Mimi, tentu saja menjadi heran sekali, mengira bahwa kakek ini memang betul gila. Akan tetapi Hauw Lam yang merasa bangga akan gurunya, segera bercerita dengan suara lantang, bahwa Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya tadi sama, sekali tidak terkena racun, melainkan terkena hawa pukulan tangan Bu-tek Lo­jin ketika menuding dan sama sekali tidak terancam maut, karena akibat hawa pukulan itu hanya menimbulkan rasa nyeri sebentar saja. Bahwa "obat mustajab" itu adapah upil (tahi hidung) yang dicampur dengan debu genteng dan tanah di telapak kaki. Orang-orang Khi­tan yang mengerti bahasa Han, lalu men­terjemahkannya dalam bahasa Khitan kepada teman-temannya dan meledaklah suara ketawa mereka. Bahkan Puteri Mimi sampai terpingkal-pingkal dan Pangeran Talibu tertawa geli. Yang membuat keadaan amat lucu adalah ke­tika mereka teringat betapa tahi hidung disebut batu hitam dari sepasang guha, tentu saja sepasang guha adalah sepasang lubang hidung dan tentu saja tidak ada manusia dapat memasuki lubang hidung! Dan sari bumi adalah kotoran di telapak kaki sedangkan debu angkasa adalah debu di atas genteng!

Setelah suara ketawa mereda, Suling Emas lalu menyarankan kepada Pangeran Talibu agar bersama Puteri Mimi kembali ke Khitan dikawal oleh pasukan Khitan yang sebagian ditugaskan untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan. Di depan banyak orang, Suling Emas menye­but pangeran kepada puteranya itu. Pangeran Talibu tidak membantah, lalu mengajak Mimi naik kuda yang disedia­kan oleh pasukan Khitan, minta diri dari Suling, Emas dan Bu-tek Lo-jin, berpamit secara hangat kepada Yu Siang Ki dan Tang Hauw Lam yang dipersilakan sewaktu-waktu datang ke Khitan, kemudian berangkatlah rombongan itu.

Bu-tek Lo-jin lalu menarik lengan Hauw Lam, diajak menjauhi Suling Emas di tempat tersendiri untuk diajak bicara. Dengan singkat tapi jelas Hauw Lam menceritakan pengalamannya, pertemuan­nya dengan Mutiara Hitam, pengalaman mereka berdua, kemudian betapa berkat keterangan Mutiara Hitam, ia dapat ber­temu dengan ibunya yang kini masih tinggal di istana bawah tanah karena tidak mau meninggalkan tempat itu.

Bu-tek Lo-jin mendengarkan penu­turan ini dan segera dapat meng­ambil kesimpulan bahwa muridnya “ada hati” kepada Mutiara Hitam. “Eh, kau mencinta Mutiara Hitam?”

Hauw Lam kaget, mukanya menjadi merah sekali. “Bagainiana Suhu tahu?”

“Heh-heh, kaukira aku begitu tolol? Pembelaanmu di kamar tahanan, dan ketika kau bercerita setiap menyebut namanya, sinar matamu bercahaya. Hayo katakan, kau cinta dia?”

Hauw Lam menghela napas, “Tak dapat teecu sangkal, Suhu. Teecu men­cintanya, akan tetapi.... ah, seperti hen­dak menjangkau bintang, seperti kumbang merindukan matahari. Terlalu tinggi....“

“Uaaahh! Siapa bilang? Biarpun hanya untuk beberapa hari, engkau murid Bu-tek Lo-jin! Gadis mana yang terlalu tinggi untukmu? Biar puteri Kaisar sekalipun, kalau aku yang melamar untukmu, akan diberikan! Kenapa kau tidak menga­wininya? Dia ke mana?”

Hauw Lam maklum akan sifat guru­nya yang ugal-ugalan. Kalau saat itu Mutiara Hitam berada di situ, tentu akan diseret gurunya dan dipaksa menikah dengannya! Ia tidak mau terjadi hal se­perti ini, maka ia menjawab.

“Teecu sendiri tidak tahu, Suhu. Akan tetapi menurut penuturan ibuku, Mutiara Hitam itu sesungguhnya adalah Puteri Khitan, puterinya Ratu Khitan. Ibu tidak dapat menerangkan secara jelas duduknya perkara, tapi....“

“Sudahlah. Kau pergilah ke Khitan, aku akan melamarnya dari tangan Ratu Khi­tan! Nah, sampai jumpa di Khitan!” Ka­kek itu meloncat bangun, melambai ke arah Suling Emas, berseru, “Haii, Suling Emas! Aku pergi sekarang!” Tanpa me­nanti jawaban ia sudah melesat jauh dan lenyap dari pandangan mata.

Suling Emas yang sedang bercakap-cakap dengan Yu Siang Ki, hanya me­lambaikan tangan ke arah kakek itu. Ia sedang bicara dengan sikap sungguh-sung­guh dan serius dengan pemuda itu.

“Kau sendiri sudah kalah olehnya?” Suling Emas melanjutkan percakapan yang tertunda oleh teriakan Bu-tek Lo­jin tadi.

“Betul, Locianpwe. Dia amat lihai,” jawab Siang Ki yang tadi bercerita ten­tang Suling Emas palsu yang menantang-nantang Yu Kang Tianglo!

“Dia tinggal di Lembah Ang-san-kok di Gunung Heng-tuan-san, kaubilang tadi? Dan dia pandai menggunakan hui-to (go­lok terbang)?”

“Benar, Locianpwe.”

Suling Emas mengangguk-angguk. “Hemm, urusan ini penting, harus ku­bereskan sendiri. Akan tetapi aku masih ada persoalan di kota raja. Siang Ki, sekarang kaubuatlah surat, memakai nama Yu Kang Tianglo dan mengajukan tantangan kepada Suling Emas pada bulan depan tanggal lima belas di markas Khong-sim Kai-pang di Kang-hu.”

“Tapi, Locianpwe....“ Yu Siang Ki tentu saja bingung mendengar perintah yang aneh ini.

“Lakukan sajalah. Kalau dia datang sebagai Suling Emas biarlah aku yang menjadi Yu Kang Tianglo. Kita lihat saja nanti.”

Yu Siang Ki akhirnya menyanggupi dan menjura sambil berpamit. Pada saat itu Tang Hauw Lam juga datang berpa­mit hendak. melanjutkan perjalanan. Me­reka berpisah. Suling Emas ke kota raja, Yu Siang Ki hendak mengerjakan perin­tah pendekar sakti itu, adapun Hauw Lam sebelum ke Khitan hendak menyam­paikan kepada ibunya lebih dulu tentang maksud pelamarannya kepada Kwi Lan.

***

Kwi Lan masih pingsan ketika tubuh­nya dipondong oleh Suma Kiat yang membawanya lari keluar. Pemuda ini meloncat ke atas seekor kuda dan terus mengaburkan kuda lari menuju ke sela­tan. Perang tanding telah terjadi dengan hebatnya namun Suma Kiat tidak mem­pedulikan semua itu. Ia membalapkan kudanya dan karena orang-orang Hsi-hsia sudah mengenal siapa pemuda ini maka mereka tidak mengganggunya. Pe­rajurit-perajurit Khitan juga tidak meng­halanginya karena pemuda yang membawa lari gadis pingsan itu tidak menye­rang mereka. Satu dua orang yang men­coba-coba menghalangi, roboh oleh pu­kulan tangan kiri Suma Kiat. Akhirnya ia keluar dari tempat pertempuran dan terus membalap ke selatan.

Setelah hari menjadi petang, berhenti­lah Suma Kiat di depan sebuah kuil tua. Kuil bobrok ini adalah kuil yang sudah kosong dan hanya dipergunakan mengaso dan bermalam mereka yang kemalaman di jalan. Kebetulan kuil itu kosong. Suma Kiat memondong tubuh Kwi Lan mema­suki kuil.

Baru saja ia menurunkan tubuh gadis itu di atas lantai, Kwi Lan mengeluh dan bergerak. Suma Kiat cepat menotok jalan darah gadis itu, membuat Kwi Lan yang sudah sadar tidak mampu bergerak ka­rena kaki tangannya menjadi lemas. Ga­dis itu membuka matanya dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang dialami. Teringat betapa gurunya dikeroyok dan betapa ia membantu akan tetapi roboh oleh Thai-lek Kauw-ong yang lihai. Ke­mudian ia melihat cahaya api menerangi kegelapan. Ketika ia melirik, ia melihat Suma Kiat sudah menyalakan lilin. Agak­nya para penghuni kuil yang kemalaman di jalan lupa membawa sisa lilin mereka dan kini dinyalakan oleh Suma Kiat. Kemudian pemuda ini mendekati Kwi Lan dan duduk di atas lantai, wajahnya keruh dan tampak lelah. Kwi Lan berusaha mengerahkan tenaga, namun sia-sia be­laka karena baru saja ia tertotok di luar tahunya.

Ia tahu bahwa suhengnya ini memiliki watak yang aneh, bahkan tidak normal seperti gurunya. Dan ia sama sekali ti­dak dapat menerka, apa yang hendak dilakukan pemuda ini terhadap dirinya, mengapa ia dibawa sampai ke tempat ini dan bahkan dibuat tak berdaya dengan totokan. Ia bergidik. Jatuh ke tangan suhengnya ini tidak kurang berbahayanya daripada jatuh ke tangan Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Kwi Lan membesarkan hatinya dan bertanya, suaranya biasa.

“Suheng...., bagaimana dengan Bibi Sian?”

Tiba-tiba saja Suma Kiat menangis tersedu-sedu, menyembunyikan muka dalam pelukan lengannya. Sampai lama pemuda ini menangis, pundaknya bergo­yang-goyang, sampai mengguguk. Mau tak mau Kwi Lan agak terharu juga. Betapa­pun juga, pemuda ini bersama-sama de­ngan dia sejak kecil dan kini ditinggal mati ibunya. Tanpa ia sadari, sepasang mata Kwi Lan juga mencucurkan air mata. Gurunya tentu sudah mati.

Akhirnya tangis Suma Kiat terhenti. Kemudian ia mengangkat mukanya, me­mandang Kwi Lan dengan sepasang mata merah, “Ibu sudah meninggal dunia....” katanya, suaranya parau, “Aku ditinggal seorang diri. Karena itu, engkau harus menolongku, Sumoi.”

“Tentu saja, Suheng,” jawab Kwi Lan halus. “Sebagai adik seperguruan, tentu saja aku suka menolongmu. Tapi, kau­bebaskan dulu aku dari totokan. Amat tidak enak bicara dalam keadaan begini.”

Tiba-tiba, seperti ketika menangis tadi, Suma Kiat tertawa bergelak, “Ha-­ha-ha! kaukira aku begitu bodoh? Mem­bebaskanmu kemudian engkau menyerang­ku, ya? Ha-ha, Suma Kiat tidak begitu bodoh, Sumoi. Ha-ha!” Sambil tertawa ha-ha-he-he, pemuda itu menowel paha Kwi Lan. Gadis ini bergidik. Benar gila suhengnya ini.

“Aku tidak akan menyerangmu, Su­heng. Aku berjanji takkan menyerangmu.”

“Ho-ho-ha-ha, kalau tidak menyerang tentu lari meninggalkan aku! Ha-ha, aku tidak bodoh. Tidak boleh kau meninggal­kan aku. Ibu sudah pergi, engkau tidak boleh pergi. ibu sudah mati.... huu-huuuk­huuuk....“ Ia menangis lagi, “Ibu mati dan aku tidak bisa menjadi kaisar, menjadi pangeran pun tidak. Aaahhh, aku hanya punya engkau, Hanya engkau yang dapat menjadikan aku pangeran. Ahh, Sumoi, karena itu engkau tidak boleh meninggalkan aku dan terpaksa kutotok.”

“Apa maksudmu, Suheng? Menjadikan kau pangeran?” Kwi Lan bertanya, makin heran akan tetapi juga makin gelisah.

“Tentu saja. Ibu pernah bilang bahwa kau adalah puteri Ratu Khitan. Kalau aku menjadi suamimu, berarti aku mantu Ratu Khitan, seorang pangeran. Kalau kelak aku tidak menggantikan ibumu, menjadi Raja Khitan, setidaknya aku menjadi pangeran. Maka engkau harus menjadi isteriku, Sumoi.”

Kwi Lan terkejut sekali. Celaka, pi­kirnya. Jalan pikiran orang gila ini aneh sekali. Bagaimana ia dapat lolos? Ia harus cerdik.

“Ah, mana bisa, Suheng? Kau tidak mencintaku, aku pun tidak cinta kepada­mu. Ingat, sejak kecil kita saling ber­tengkar saja mana mungkin menjadi sua­mi isteri?”

“Ha-ha-ha, siapa bilang aku tidak cin­ta padamu? Kau begini cantik manis, begini molek. Eh, Sumoi, tahukah kau bahwa setelah kita dewasa, seringkali aku rindu kepadamu? Engkau cantik je­lita,” Suma Kiat membelai dagu wanita itu kemudian menunduk dan mencium pipinya!

Kwi Lan bergidik. Celaka sekarang! “Ah, Suheng. Kau jangan bodoh. Kau tahu bahwa aku bukan seorang wanita yang mudah ditundukkan. Sekali aku bi­lang tidak mau, sampai mati pun aku tidak mau. Kalau aku tidak sudi menjadi isterimu, kau mau apa? Lebih baik kita tidak bertengkar dan bebaskan aku, dan kita bicara dengan baik, mungkin aku dapat memberi jalan baik kepadamu.”

“Ha-ha, jangan coba untuk menipuku, Sumoi. Engkau boleh tidak sudi menjadi isteriku, akan tetapi aku punya cara untuk memaksamu.”

“Suheng, jangan gila!”

“Heh-heh-heh, memang aku gila. Bu­kankah Ibu juga dianggap gila oleh orang lain? Mau tidak mau engkau akan menja­di isteriku, Kwi Lan. Heh-heh, kau bukan sumoi lagi sekarang, melainkan Lan-moi-moi yang cantik manis, kekasih hatiku, isteriku yang molek. Ini sebabnya menga­pa kau kutotok. Aku akan memaksamu malam ini juga menjadi isteriku. Kalau sudah terlanjur kau menjadi isteriku, masa kau bisa menolak lagi besok? Apa kau ingin menjadi bahan hinaan orang, bukan gadis lagi sebelum kawin? Kalau malam ini engkau menjadi isteriku, eng­kau akan terpaksa menerima aku sebagai suami. Ha-ha-ha, aku akan menjadi mantu Ratu Khitan. Hebat bukan rencanaku?”

Kerongkongan Kwi Lan serasa ter­sumbat! Ia tahu bahwa orang gila ini tidak akan segan-segan melakukan rencana gilanya dan dia akan menjadi korban. Dicobanya menggertak, “Suheng! Biarpun sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi kalau kau melakukan niat keji itu, besok kau akan kubunuh! Percayalah, kalau kau benar-benar memperkosa, besok kau akan kubunuh, kucincang han­cur tubuhmu!”

Sesaat sinar takut menyelubungi wa­jah tampan itu. Memang pemuda itu agak takut terhadap Kwi Lan yang ia tahu memiliki kepandaian lebih lihai daripadanya. Mulutnya berkemak-kemik seperti bicara kepada diri sendiri. Me­lihat ini, Kwi Lan melanjutkan.

“Tidak ada gunanya, Suheng. Kau dapat memaksaku sekarang, akan tetapi kau takkan dapat menjadi mantu Ratu, tidak menjadi pangeran, melainkan besok kau menjadi mayat yang hancur lebur dagingnya. Lebih baik kita bicara baik-baik, kaubebaskan aku.”

Akan tetapi tiba-tiba wajah itu ter­senyum-senyum lagi, seakan telah men­dapat sebuah pikiran baru, kemudian Suma Kiat tertawa, “Ha-ha-ha, tidak bisa kau membunuh aku. Kaukira aku begitu tolol memaksamu menjadi isteri malam ini dan besok kubebaskan? Ha-ha, salahmu sendiri kau membuka rahasia dan renca­namu. Kalau kau tadi tidak bicara, tentu malam ini kau kujadikan isteri dan besok kubebaskan. Tapi pikiranmu busuk sekali. Biar malam ini sudah menjadi isteri, besok hendak membunuh dan mencincang tubuhku. Iihh, isteri macam apa ini? Aku tidak akan membebaskanmu, Kwi Lan. Tiap tujuh jam kau kutotok kembali dan setiap saat kau akan kupaksa menjadi isteriku sampai.... ha-ha-ha, sampai kau mengandung! Nah, kalau kau sudah mengandung, baru kubebaskan. Setelah kau mengandung keturunanku, masa kau masih mau membandel!”

Sesak jalan pernapasan Kwi Lan. Ia merasa ngeri dan bulu tengkuknya mere­mang. Alangkah akan ngeri dan sengsara­nya kalau rencana gila ini dilaksanakan. Dan sesungguhnya, kalau dilaksanakan ia tidak akan dapat berbuat sesuatu! Ia akan hidup seperti mayat, makan dipak­sa, minum dipaksa, lalu diperkosa sesuka hati, dan baru akan dibebaskan kalau sudah mengandung. Celaka! Hampir ia menjerit saking ngeri dan cemasnya. Apa akal sekarang? Teringatlah Kwi Lan akan keadaannya ketika terancam oleh Bu­-tek Siu-lam di kamar tahanan. Teringat ia akan akal Hauw Lam yang cerdik yang berdaya upaya sedapat mungkin untuk menyelamatkannya. Hauw Lam, Si Berandal! Ah, terbayang wajah sahabat baik ini. Betapa cerdiknya, betapa setia dan betapa besar cinta kasihnya ketika pemuda itu mati-matian membelanya dengan segala macam akal. Pemuda yang cerdik, gagah dan jenaka. Dunia selalu akan berseri kalau berada di samping pemuda itu. Hauw Lam mencintanya. Akan tetapi.... di sana ada Pangeran Ta­libu. Ah, betapa besar cinta kasihnya terhadap Pangeran itu. Tak mungkin ia mencinta pemuda lain.

Aihh, mengapa ia teringat yang bu­kan-bukan? Bagaimana andaikata Hauw Lam yang menghadapi persoalan dan ancaman mengerikan seperti dia seka­rang? Ia kembali mengenangkan sikap Hauw Lam. Mengulur waktu! Ya, mengulur waktu memperpanjang ancaman dan memperlebar kesempatan.

Tiba-tiba ia menangis. Tadinya ia hanya ingin berpura-pura menangis saja, akan tetapi teringat akan kematian guru­nya, akan sikap Pangeran Talibu yang bermesraan dengan Puteri Mimi, ia jadi menangis sungguh-sungguh! Air matanya bercucuran dan ia terisak-isak. Suma Kiat kaget melihat ini. Selama hidupnya, belum pernah ia melihat sumoinya me­nangis seperti ini. Dahulu, semenjak me­reka kecil, kalau mereka bertengkar , dialah yang menangis, bukan Kwi Lan. Agaknya Kwi Lan tidak mempunyai air mata untuk menangis. Akan tetapi se­karang menangis terisak-isak begitu me­nyedihkan! Seketika air mata Suma Kiat juga bercucuran dan ia merangkul Kwi Lan, mengangkat tubuh yang lemas itu sehingga terduduk dan menyandarkannya pada dinding kuil yang kering.

“Ada apakah, Sumoi? Ada apakah, kekasihku yang manis, isteriku yang de­nok? Kenapa menangis? Aku tidak akan menyakitimu, manis. Aku akan menjadi suamimu yang penuh kasih sayang. Anak kitak kelak tentu laki-laki dan tampan. Kita didik dia menjadi seperti.... eh, Paman Suling Emas! Ya, anak kita tentu jagoan!”

Hiburan ini bukan mengurangi kese­dihan, bahkan menambah, membuat Kwi Lan menangis makin sesenggukan. Betapa tidak kalau hiburan itu mengingatkan ia akan keadaan yang mengerikan ini? Ia dihadapkan ancaman seorang gila dan ia tidak berdaya menyelamatkan diri. Ah, Hauw Lam di mana engkau? Kalau ada pemuda cerdik itu, tentu ada saja akal­nya!

“Suheng...., apa engkau tidak kasihan kepadaku? Benarkah kau tega hendak menyiksaku lahir batin? Suheng, lebih baik kaubunuh saja aku....“

Suma Kiat merangkul lebih erat, “Aihhh mana mungkin, sayang? Bagaima­na aku dapat membunuh orang yang pa­ling kucinta di dunia ini? Jangan khawa­tir, Kwi Lan, aku tidak akan menyakiti­mu. Percayalah, aku sayang kepadamu....”

Dapat dibayangkan betapa takut dan ngeri hati Kwi Lan ketika pemuda itu mulai membelainya, bahkan dengan ge­rakan halus dan hati-hati penuh kasih sayang. Suma Kiat meraba-raba jubah gurunya yang ia pakai untuk menutupi tubuhnya. Berdiri seluruh bulu di tubuh Kwi Lan dan ia cepat-cepat berkata.

“Suheng...., dengarlah kata-kataku. Eh.... aduh, tolong kausandarkan aku di dinding, jangan sentuh aku dan dengarkan dulu baik-baik.... aku.... aku menyerah, akan tetapi ada syaratnya....”

Suma Kiat menarik kembali tangannya, menyandarkan Kwi Lan di dinding dan memandang penuh perhatian, penuh kemesraan. “Apa, manisku? Kau mau bilang apa?”

Mengulur waktu, harus mengulur wak­tu, demikian jalan pikiran Kwi Lan, ter­ingat akan kecerdikan dan akal Hauw Lam. “Suheng....” suaranya ia buat manis dan halus, “setelah kupikir-pikir, memang kau benar. Kita sudah kehilangan Bibi Sian, kalau tidak saling tolong, bagai­mana lagi? Dan kupikir-pikir.... eh, eng­kau bukan seorang pemuda yang buruk. Engkau tampan, cerdik, juga gagah. Ti­dak kecewa menjadi isterimu. Baiklah, aku menyerah. Akan tetapi....”

“Heh-heh-heh, jangan kau menipuku, Kwi Lan. Kalau aku disuruh membebas­kanmu, tak mungkin. Aku tahu kelihai­anmu. Engkau akan menjadi isteriku da­lam keadaan tertotok....”

“Sesukamulah, Suheng. Aku sudah me­nyerah. Akan tetapi.... kuminta dengan sangat, jangan.... jangan malam ini! Lupa­kah engkau, Suheng, bahwa ibumu baru siang tadi meninggal dunia? Bagaimana kita dapat melakukan.... eh.... hal itu malam ini? Ini amat tidak baik dan dur­haka, Suheng. Kau boleh totok aku, aku toh tidak mampu lari. Tapi malam ini jangan...., besok saja, terserah kepadamu dan aku menyerah, bahkan kemudian aku tidak akan menolak menjadi isterimu yang sah. Engkau menjadi mantu Keraja­an Khitan, mungkin kelak menjadi Raja Khitan, dan aku permaisurimu. Wah alangkah bahagianya!”

Makin berseri wajah Suma Kiat. Akhirnya ia bersorak dan berjingkrak­-jingkrak dalam kuil itu, lalu berjongkok dan.... “ngokk!” ia mencium pipi Kwi Lan dengan hidungnya.

“Bagus! Terima kasih, Kwi Lan. Te­rima kasih, kau baik sekali. Tapi...., kalau sekarang, mengapa sih?”

Tadinya Kwi Lan sudah girang me­nyaksikan akalnya berhasil, akan tetapi kembali ia berdebar mendengar kalimat terakhir. Sungguh sukar menjenguk ke­adaan hati pemuda gila ini.

“Suheng, terus terang saja, wajah Bibi Sian masih terbayang di depan mataku.

Tidak mau aku mendurhakai guru mela­kukan.... hal itu pada hari guru meninggal dunia. Kalau kau memaksa, aku akan mencari kesempatan membunuhmu atau membunuh diri sendiri. Awas, alangkah mudahnya membunuh diri. Jika aku menggunakan kekuatan kemauan menahan napas, sekarang pun aku dapat membunuh diri!”

Suma Kiat mengangguk-angguk, “Baik­lah, Kwi Lan. Menanti sampai besok pun tidak apa. Aku pun lelah sekali, harus tidur malam ini. Selamat tidur, sayang. Sampai besok!” Pemuda itu lalu berbaring di dekat Kwi Lan dan sebentar saja su­dah mendengkur!

Kwi Lan duduk bersandar dinding, matanya kelap-kelip memandang api li­lin yang hampir padam. Suram-suram keadaan di dalam kuil, sesuram hatinya. Ia sudah berhasil mengulur waktu. Ber­hasil untuk sementara terhindar daripada malapetaka hebat. Selanjutnya bagaima­na? Ia tetap tidak melihat kesempatan. Dan tiba-tiba jantungnya serasa berhenti berdetik. Benar! Pemuda ini tidur dan kurang lebih tiga jam lagi, pengaruh totokan akan lenyap dengan sendirinya dari tubuhnya. Ia akan dapat bergerak dan alangkah mudahnya untuk membebas­kan diri kalau ia sudah dapat bergerak!

Jam-jam berikutnya merupakan waktu yang amat sengsara, tegang dan mengge­lisahkan bagi Kwi Lan. Api lilin sudah padam dan karena ia menanti waktu pulihnya tenaga tubuhnya, maka setiap menit berlalu seakan-akan setahun. Orang bisa menjadi lekas tua kalau menanti jalannya waktu dengan tak sabar. Satu jam, dua jam...., hampir tiga jam. Dan Suma Kiat masih juga belum bergerak. Jantung Kwi Lan berdebar. Berkali-kali ia berusaha mengerahkan tenaga dari pusar, namun sia-sia. Totokan belum punah.

Akhirnya, ia dapat menggerakkan pinggangnya! Ia hampir bebas! Kwi Lan memejamkan mata, mengumpulkan seluruh semangat dan tenaga untuk menggerakkan kaki tangan yang lumpuh. Dan.... pada saat itu, jari-jari yang kuat telah menotok punggungnya, membuat ia roboh miring dan lemas kembali seperti tadi. Suma Kiat tertawa dan Kwi Lan menahan isak tangisnya. Hatinya kecewa bukan main. Sudah mati-matian menanti, pada saat terakhir semua harapannya tersapu habis. Ia sudah ditotok kembali dan kini Suma Kiat sudah rebah miring lagi, malah memeluknya dan sebentar saja pemuda itu sudah mendengkur. Un­tung bahwa ketika rebah tadi, kaki ta­ngannya tertarik sehingga biarpun dipe­luk, hanya pundaknya saja yang dirangkul pemuda itu. Napas pemuda itu terasa meniup dahinya. Kwi Lan bergidik, hati­nya penuh kemarahan dan kebencian.

Matahari telah menyinarkan cahaya­nya melalui jendela kuil yang tak ber­daun lagi. Kwi Lan memicingkan mata, silau oleh sinar matahari Suma Kiat terbangun, menggeliat dan bangkit duduk lalu tersenyum dan terkekeh memandangi wajah Kwi Lan.

“Aduh, cantik nian kau Kwi Lan. Tersinar cahaya matahari pagi engkau tiada ubahnya setangkai bunga mawar. Rambutmu kusut, sebagian menutupi dahi, matamu sayu oleh kantuk, bibirmu basah kemerahan seperti kuncup bunga, mandi embun, ahhh, engkau sekarang tentu akan memegang janjimu, bukan? Kita menjadi suami isteri, disaksikan cahaya matahari pagi....“ Pemuda itu berbisik-bisik dan membungkuk hendak mencium bibir yang merah itu. Tiba-tiba ia tersentak kaget dan meloncat mundur karena bentakan di belakangnya.

“Suma Kiat! Engkau benar-benar keji dan jahat!”

Suma Kiat meloncat bangun, memba­likkan tubuh dan berhadapan dengan.... Kiang Liong! Pemuda berpakaian putih itu berdiri tegak dengan wajah penuh amarah dan wibawa, di punggungnya nampak menonjol ujung alat musik yang-khim. Seperti diketahui, pemuda ini dipe­rintah oleh Suling Emas untuk mengejar Suma Kiat. Ia bertanya-tanya kepada perajurit Khitan dan akhirnya mendapat keterangan bahwa Suma Kiat membawa Kwi Lan berkuda keselatan. Ia mengejar terus, akan tetapi terhalang malam ge­lap. Pagi-pagi sekali, setelah malam itu ia bermalam di dalam hutan, ia melan­jutkan perjalanan dan melihat kuil tua di pinggir jalan dan seekor kuda di luarnya. hatinya girang dan cepat ia meloncat masuk dan masih sempat menegur dan mencegah Suma Kiat yang hendak melakukan perbuatan keji terhadap Kwi Lan.

Suma Kiat kaget bukan main dan se­jenak ia hanya dapat memandang Kiang Liong dengan melongo dan muka pucat. Kiang Liong sebaliknya menyapu ke da­lam dan memandang ke arah Kwi Lan. Hatinya bersorak lega melihat bahwa kedatangannya belum terlambat. Biarpun gadis itu dalam keadaan tertotok, namun tidak lebih daripada itu. Diam-diam Kiang Liong merasa heran bagaimana Kwi Lan dapat terhindar daripada peng­hinaan yang hebat.

“Piauw-heng (Kakak Misan).... kau.... menyusul ke sini? Ah, Piauw-heng.... Ibuku telah.... telah meninggal dunia....” Dan Suma Kiat menangis!

“Suma Kiat!” Kiang Liong membentak marah. “Simpan air mata buaya itu! Dan katakan, apa maksudmu melarikan Mutia­ra Hitam dan apa yang hendak kaulaku­kan tadi?”

Suma Kiat berhenti menangis, lalu memandang Kiang Liong dengan mata terbelalak dan tidak mengerti agaknya mengapa kakak misannya marah-marah. “Dia ini....? Ah, dia ini sumoiku dan calon isteriku, Piauw-heng. Dia akan menjadi isteriku. Kau tanya saja kepada­nya!”

Kwi Lan cepat berkata. “Suma Kiat! Engkau memang gila dan jahat. Kau hendak memperkosaku dan sejak kemarin menotokku, siapa ingin menjadi isterimu? Tunggu saja, kalau sudah bebas aku akan membunuhmu!”

“Heh....? Tapi.... tapi.... malam tadi kau berjanji.... kau akan menyerah pagi ini.... kau....”

Kiang Liong kini mengerti duduknya perkara. Kiranya Mutiara Hitam telah berhasil meloloskan diri malam tadi dengan jalan memberi janji dan mengulur waktu. Ia menjadi marah sekali, melang­kah maju dan tangannya bergerak.

“Plak-plak-plak-plak!” Empat kali kedua pipi Suma Kiat ditampar. Biarpun Suma Kiat berusaha mengelak dan me­nangkis, namun tetap saja tamparan-tam­paran itu mengenai kedua pipinya sampai matang biru! Ia terhuyung-huyung mun­dur beberapa langkah, meraba kedua pipinya lalu mewek, menangis!

“Piauw-heng.... Piauw-heng.... kau.... kau mau bunuh aku....?” Ia mundur-mun­dur ketakutan.

Kiang Liong menggigit bibir, “Kalau engkau bukan adik misan, atau kalau engkau sudah berhasil berbuat keji, tentu kau sudah kubunuh sekarang juga. Hayo, pergilah sebelum aku bunuh engkau!”

Suma Kiat membalikkan tubuh lalu.... lari secepatnya meninggalkan kuil itu sambil berteriak-teriak menangis dan memegangi kedua pipinya!

Kiang Liong menghampiri Kwi Lan, lalu membebaskan totokan di punggung. Kwi Lan bangkit duduk perlahan. Tubuh­nya kaku dan sakit-sakit karena terlalu lama lumpuh. Setelah duduk bersila se­jenak dan tenaga serta jalan darahnya pulih, ia lalu bangun berdiri. Kiang Liong sudah berada di luar kuil, tadi membiar­kan dia beristirahat.

Kiang Liong sudah duduk bersila di luar kuil, memangku yang-khim, Kwi Lan berhenti dan mendengarkan, terpesona. Indah bukan main petikan Yang-khim itu, suaranya mengalun merdu, kemudian mendengar suara pemuda itu bernyanyi, suaranya halus dan mengandung kete­nangan, namun juga menimbulkan haru dan iba. Mutiara Hitam berdiri tertegun, tak bergerak beberapa meter di belakang pemuda itu. Bahkan kuda yang ditinggal­kan Suma Kiat dan berada di belakang pemuda itu pun diam, seakan ikut men­dengarkan.

“Matahari cerah
menerangi bumi dan angkasa
tidak menembus hatiku
tetap gelap dan gelisah
hanya sepatah kata
kuharapkan dirimu
pengusir gelap dan resah.”

Dengan iringan suara yang-khim, nya­nyian berhenti dan heninglah keadaan sekeliling tempat itu, Kiang Liong masih duduk bersila memangku yang-khim, tak bergerak seperti arca orang melamun. Kwi Lan menarik napas panjang, melang­kah maju dan memanggil.

“Kiang-kongcu....“

Kiang Liong terkejut, bangkit berdiri, mengalungkan yang-khim di punggung dan membalikkan tubuh. Mereka berdiri ber­hadapan, pandang mata mereka bertemu, masing-masing seperti hendak menjenguk isi hati. Perlahan-lahan kedua pipi Kwi Lan menjadi merah. Dalam nyanyian tadi dia merasa seakan-akan pemuda ini bi­cara kepadanya, seakan-akan dari dialah pemuda itu mengharapkan sepatah kata pengusir gelap dan resah! Dengan perasa­an wanitanya yang kini amat tajam ka­rena berkali-kali menerima pernyataan cinta, Kwi Lan merasa bahwa pemuda yang perkasa ini, pemuda yang terkenal di kota raja, pemuda idaman setiap wa­nita remaja, murid Suling Emas, agaknya juga.... jatuh cinta kepadanya! Jelas tersinar dari pandang mata itu! Kwi Lan menun­duk, lalu berkata.

“Kiang-kongcu, kau telah menolongku, membebaskan aku daripada malapetaka. Terimalah ucapan syukur dan terima kasihku, Kongcu.”

Kiang Liong menjura, “Ah. Nona mengapa banyak sungkan? Kita sudah pernah senasib sependeritaan di dalam kamar tahanan Bouw Lek Couwsu, kita bersama sudah lolos dari lubang jarum di sana. Apa artinya perbuatanku tadi? Agaknya memang nasib Nona harus mengalami banyak kaget dan ancaman bahaya, namun selalu terhindar ini mem­buktikan bahwa orang baik selalu dilin­dungi Thian.”

Kwi Lan bergidik. “Tidak sangka...., Suheng makin gila....“

“Maafkanlah dia, Nona. Suhengmu atau adik misanku itu patut dikasihani. Dia tidak normal dan.... dan baru saja kehilangan ibunya....“

Kwi Lan menggerakkan pundak. Sukar baginya untuk memaafkan Suma Kiat, biarpun ia tahu bahwa pemuda itu gila, setelah apa yang diiakukan Suma Kiat terhadap dirinya. Menggigil ia kalau ingat pipinya dicium, tubuhnya dipeluk semalaman. Hih, masih untung tidak tercapai maksudnya yang keji! Cepat-cepat ia mengusir kenangan mengerikan ini dan mengalihkan percakapan.

“Apa yang terjadi di markas Bouw Lek Couwsu, Kongcu? Bagaimana Kongcu dapat lolos dan bagaimana dengan.... Pangeran.... dan teman-teman yang lain?” Berdebar jantung Kwi Lan teringat akan Pangeran Talibu, penuh kekhawatiran.

“Suhu datang setelah gurumu tewas dan berhasil menewaskan Bu-tek Siu-lam. Sungguh harus diakui kecerdikan Hauw Lam. Karena ketajaman lidahnya dan kecerdikannya memanaskan hati gurumulah kita semua selamat! Gurumu berhasil membunuh Bu-tek Siu-lam, akan tetapi tewas pula oleh pengeroyokan yang lain. Kemudian muncul guruku bersama pasukan-pasukan Khitan yang besar jum­lahnya. Pasukan Khitan menghancurkan orang-orang Hsi-hsia, sedangkan guruku dikeroyok empat kakek-kakek sakti. Aku tidak tahu bagaimana selanjutnya karena aku dibebaskan Suhu dan disuruh, menge­jar Suma Kiat untuk menolongmu.”.

Kwi Lan mengerutkan kening. Ia per­caya akan kesaktian Suling Emas dan besar harapan Pangeran Talibu dan yang lain-lain akan selamat. Akan tetapi mengapa Kiang Liiong disuruh menolong­nya?

“Gurumu menyuruhmu mengejar Suma suheng dan menolongku?”

“Aku sendiri tidak mengerti, Nona. Begitu datang, Suhu bertanya kepadaku tentang kau. Ketika aku memberi tahu bahwa kau dibawa lari Suma Kiat, Suhu membebaskan aku dan menyuruh aku cepat mengejar. Suhu agaknya amat memperhatikammu.”

Kwi Lan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak memusingkan hal itu lebih lanjut karena ia masih mengkhawatirkan kese­lamatan yang lain-lain. “Bagaimana de­ngan mereka? Ah, jangan-jangan....“

“Tak usah khawatir, Nona. Suhu tidak akan menyuruh aku pergi kalau beliau tidak yakin akan kemenangannya. Kurasa mereka semua selamat. Sekarang aku akan kembali ke kota raja mencari berita tentang mereka. Dan engkau, hendak ke manakah, Nona? Kalau tidak berke­beratan, kita melakukan perjalanan ber­sama,” Pandang mata pemuda itu penuh harapan.

Kwi Lan tersenyum. Semua pemuda yang dijumpainya selalu ingin melakukan perjalanan bersamanya. Semua mencinta­nya. Tapi di sana ada Pangeran Talibu! Selain Pangeran ini, kalau disuruh memi­lih, sungguh amat sukar. Semua mempu­nyai kelebihan dan kebaikan masing-ma­sing!

“Aku ingin ke Khitan, akan tetapi, baiklah kita ke kota raja dulu, karena aku pun ingin sekali mendengar bagaima­na dengan akhir pertempuran di markas orang Hsi-hsia itu,” Tentu saja, bagai­mana ia dapat pergi ke Khitan menyusul Pangeran Talibu kalau ia belum mendengar tentang keadaan Pangeran itu?

Berangkatlah mereka ke kota raja. Kiang Liong mempersilakan Kwi Lan naik kuda sedang ia sendiri ber jalan di sam­ping kuda. Pemuda itu nampak gembira bukan main. Besar harapannya melihat sikap gadis itu yang selalu manis dan ramah kepadanya. Ia merasa betapa hati­nya benar-benar jatuh terhadap Kwi Lan. Belum pernah selamanya ia menaruh simpati begini besar terhadap seorang gadis, yang kehadirannya membuat matahari bersinar lebih terang, bunga-bunga mekar lebihindah. Ia tidak mau secara sembrono menyatakan cinta kasihnya, dan mengharap senyum itu dapat dimengerti gadis ini. Kelak kalau sudah tiba saat­nya, ia akan mengajukan lamaran secara resmi!

Dapat dibayangkan betapa besar rasa kegembiraan mereka, terutama hati Kwi Lan, ketika mereka tiba di luar kota raja, mereka sudah mendengar berita tentang kesudahan pertempuran di markas Bouw Lek Couwsu. Mereka mendengar berita bahwa markas orang Hsi-hsia dihancurkan oleh Suling Emas dan pasukan Khitan, bahwa Pangeran Talibu dan Pu­teri Mimi yang ditahan di sana telah dibebaskan dan kembali ke Khitan, juga tentang kematian Siauw-bin Lo-mo dan Pak-sin-ong oleh Suling Emas yang di­bantu oleh seorang kakek cebol berkepala raksasa yang amat aneh dan lihai!

Dua orang muda itu menduga-duga dan Kiang Liong berkata, “Tak salah lagi, kakek aneh itu tentulah Bu-tek Lo­-jin!”

“Guru Berandal? Betul-betul dia da­tang?” tanya Kwi Lan, tertawa geli ka­lau teringat kepada Hauw Lam. Muridnya begitu ugal-ugalan, entah bagaimana gurunya!

“Tentu dia, siapa lagi kakek begitu aneh yang dapat menandingi orang-orang seperti Siauw-bin Lo-mo? Akan tetapi, agar dapat mendengar keterangan lebih jelas, mari kita memasuki kota raja. Mungkin Suhu masih berada di kota raja.”

Mereka melanjutkan perjalanan. Di depan pintu gerbang kota raja, mereka disambut pasukan kota raja sebanyak dua losin orang yang dikepalai seorang komandan. Begitu bertemu, komandan itu lalu membentak.

“Kiang Liong, lebih baik engkau me­nyerah!”

Kiang Liong terkejut bukan main. ia mengenal komandan ini, seperti juga komandan yang lain. Dia sudah terkenal dan selalu dihormati mereka. Bagaimana sekarang komandan ini membentak suruh ia menyerah?

“Heii, apa maksudmu?” ia balas ber­tanya, terheran-heran.

Komandan ini berkata angkuh, “Lekas berlutut dan dengarkan firman Kaisar!”

Melihat betapa komandan itu menge­luarkan segulung surat perintah, Kiang Liong segera berlutut, mendengarkan bagaikan mimpi suara komandan itu yang lantang membacakan surat perintah. Hampir tidak percaya ia ketika men­dengar bahwa surat perintah itu adalah pernyataan Kaisar bahwa dia adalah se­orang pemberontak yang memancing per­musuhan dengan bangsa Hsi-hsia dan tidak mentaati perintah damai dari Kai­sar! Ia termenung tak dapat berkata­-kata. Ketika komandan menghampirinya membawa belenggu, ia menyerahkan ke­dua lengannya tanpa membantah, wajah­nya pucat.

“Heii, lepaskan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan menerjang maju dan Si Komandan terpental jauh, jatuh bergulingan dan pingsan! Dua losin tentara mengurung, namun Kwi Lan mengamuk. Begitu kaki tangannya bergerak, enam orang tentara sudah terpelanting, roboh!

“Nona, jangan....!” Kiang Liong ber­seru menahan.

“Jangan bagaimana? Kiang Liong, engkau mengapa begini lemah? Biar kai­sar biar setan kalau perintahnya tidak benar perlu apa ditaati? Kau tidak ber­salah hendak ditangkap, masa menyerah begitu saja? Kau boleh menyerah, akan tetapi aku tetap tidak membiarkan kau ditangkap!”

Kiang Liong bingung, apalagi melihat nona itu mengamuk terus dan setiap orang tentara yang mendekatinya tentu terpelanting roboh. Ia menghela napas, kemudian mengambil keputusan untuk sementara lari dan mencari suhunya min­ta pertimbangan agar mencegah Mutiara Hitam mengamuk yang dapat menimbul­kan bencana lebih besar lagi.

“Baiklah, Mutiara Hitam. Mari kita lari!” Mereka berdua lalu kabur dengan ilmu lari cepat. Pasukan yang kehilangan komandan karena komandan itu masih pingsan menjadi bingung dan hanya dapat menolong mereka yang terluka dan ping­san.

Setelah lari jauh, dengan suara penuh harapan Kiang Liong bertanya, “Mutiara Hitam, engkau.... mengapa kau menolong­ku mati-matian?”

Kwi Lan tersenyum. “Siapa bicara tentang tolong-menolong? Bagaimana aku dapat melihat kau ditangkap begitu saja? Nah, kita berpisah di sini. Aku akan terus ke Khitan.”

“Aku mendengar bahwa Nona adalah puteri Ratu Khitan. Nona hendak me­nemui ibumu?”

Di dalam hatinya, Kwi Lan sebetulnya bukan hanya ingin menemui ibunya, me­lainkan terutama sekali menyusul.... Pa­ngeran Talibu. Akan tetapi ia menjawab dengan anggukan kepala dan melanjutkan, Nah, sampai jumpa.”

“Sampai jumpa, Mutiara Hitam dan terima kasih. Kelak aku akan berkunjung ke Khitan.”

Ketika Mutiara Hitam membalapkan kudanya, Kiang Liong berdiri mengikuti­nya dengan pandang mata sampai ba­yangan manusia dan kuda lenyap ditelan debu yang mengebul tinggi. Kemudian Kiang Liong melanjutkan perjalanan, bertanya-tanya dan akhirnya mendengar bahwa Suling Emas setelah menghadap kaisar lalu meninggalkan kota raja de­ngan wajah muram. Ada tokoh pengemis yang mengetahui bahwa Suling Emas pergi menyusul Yu-pangcu ke Kang-hu. Berangkatlah Kiang Liong ke Kang-hu.

***

Pagi hari itu kota Kang-hu kebanjir­an.... pengemis! Dari segenap penjuru kota berbondong-bondong datang para pengemis, bahkan banyak pula datang dari luar kota. Berita telah tersiar luar, berita yang amat aneh, yang menarik perhatian bukan saja para pengemis baju kotor, bahkan para pengemis baju bersih, golongan kaum sesat, dan para tokoh kang-ouw juga tertarik. Maka pada hari itu, kota Kang-hu tidak hanya kebanjiran kaum pengemis, bahkan bermacam orang kang-ouw datang berkunjung. Berita apa­kah yang begitu menarik? Bukan lain adalah berita penantangan Yu Kang Tiang­lo kepada Suling Emas! Sha-gwee Cap-go. Bulan tiga tanggal lima belas, itulah harinya!

Perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang sudah mempersiapkan panggung besar di depan rumah perkumpulan. Se­buah panggung dari papan yang luas, yang biasa disebut panggung tempat pi­bu (adu silat). Yu Siang Ki atau Yu-pangcu sendiri yang mengatur segalanya, sesuai dengan pesan Suling Emas. Dan malam tadi Suling Emas sudah datang, kini berada di dalam rumah perkumpulan, mengenakan pakaian tambal-tambalan. Bagi mereka yang mengerti duduknya persoalan, menjadi tegang dan gelisah. Yu Kang Tianglo sudah meninggal dunia dan yang kini menggunakan nama Yu Kang Tianglo adalah Suling Emas yang sebenarnya, menantang Suling Emas pal­su! Yu Kang Tianglo tidak ada dan kini berarti Suling Emas tulen berhadapan dengan Suling Emas palsu, atau lebih tepat, Yu Kang Tianglo palsu berhadapan dengan Suling Emas palsu!

Yu Siang Ki sendiri yang menyampai­kan surat tantangan dari “Yu Kang Tiang-lo” kepada “Suling Emas” di Lem­bah Ang-san-tok di Gunung Heng-tuan­-san, dan mendapat jawaban siap oleh “Su­ling Emas” bahkan menentukan jamnya di waktu pagi!

Demikianlah, ketika jam penentuan sudah dekat, Suling Emas yang berpakai­an sebagai pengemis itu keluar dari da­lam rumah perkumpulan, lalu duduk di atas sebuah bangku di atas panggung. Sorak-sorai para pengemis menyambut munculnya tokoh ini, terutama dari para anggauta Khong-sim Kai-pang yang me­ngenal bahwa tokoh besar inilah sesung­guhnya Suling Emas tulen! Yang tidak tahu duduknya persoalan dan tidak me­ngenal Suling Emas, mengira bahwa to­koh ini benar-benar Yu Kang Tianglo tokoh Khong-sim Kai-pang. Suling Emas duduk di atas bangku, hatinya tegang karena ia masih belum mengerti apa maksunya orang memalsukan namanya dan menantang Yu Kang Tianglo! Tentu ada rahasia tersembunyi di balik kejadian ini. Juga ia merasa penasaran dan ingin menguji kepandaian orang yang memalsu­kan namanya.

Tepat pada jam yang ditentukan, tiba-tiba terdengar bunyi melengking tinggi dari jauh, disusul suara, orang. “Suling Emas tiba! Adakah Yu Kang Tianglo sudah tiba?”

Suling Emas terkejut. Bukan main suara itu. Jelas bahwa orang itu memi­liki ilmu kepandaian tinggi, memiliki khi­kang yang hebat, mampu mengirim suara dari jauh, bahkan mampu menirukan lengkingnya yang khas Suling Emas! Ia lalu bangkit berdiri dari bangkunya, ber­dongak dan membusungkan dada, kemudi­an menjawab dengan pengerahan khi­kang sehingga suaranya dapat mencapai tempat jauh, ke arah dari mana suara tadi terdengar.

“Yu Kang Tianglo siap menerima kunjungan Suling Emas!”

Keadaan menjadi hening. Mereka yang hadir dan memenuhi tempat di bawah panggung menjadi tegang. Tak lama ke­mudian tampak berkelebat bayangan dan bagaikan seekor burung besar, di atas panggung itu muncul seorang laki-laki tua yang meloncat turun seperti burung terbang cepatnya. Ketika semua orang memperhatikan, terdengar suara ketawa di sana-sini. Laki-laki itu sudah tua, lebih tua sedikit daripada Suling Emas, tubuhnya kurus sekali, jenggotnya pan­jang, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan keangkuhan. Akan tetapi yang lucu adalah pakaiannya. Pakaian itu terlalu besar gedobyoran akan tetapi di bagian dadanya jelas tersulam sebatang suling dengan latar belakang bulan pur­nama, persis seperti tanda gambar pada pakaian Suling Emas! Bahkan Yu Siang Ki sendiri terheran-heran dan mendong­kol menyaksikan pemalsuan yang men­tertawakan ini. Orang ini bukan muncul seperti Suling Emas yang terkenal kega­gahan dan ketampanannya, melainkan se­bagai seorang badut! Betapapun juga, harus ia akui bahwa cara laki-laki tua ini datang benar amat mengagumkan, sesuai dengan ilmunya yang tinggi.

Kalau semua orang memperhatikan dan mentertawakan, adalah Suling Emas yang memandang dengan serius dan ter­kejut. Orang ini bukan semata-mata hen­dak memalsukan namanya, pikirnya. Pe­malsuan yang dibuat untuk berolok-olok, memperolok Suling Emas karena orang ini jelas sengaja memakai pakaian yang kebesaran dan kedodoran seperti hendak memperlihatkan bahwa Suling Emas ha­nya seorang badut. Ia cepat menyambut dengan kedua tangan di depan dada, sambil memandang tajam ia bertanya.

“Benarkah yang saya hadapi ini adalah Suling Emas yang menantang Yu Kang Tianglo?” Sambil bicara, Suling Emas sengaja hendak menguji lawannya, me­ngerahkan sin-kang pada kedua tangannya yang mendorong.

Orang itu balas menjura, menangkis dengan sin-kang pula, dan biarpun tubuh orang itu agak doyong ke belakang sedi­kit, namun Suling Emas harus mengakui bahwa tenaga sin-kang orang itu tidak lemah. Orang itu pun biar tahu bahwa lawannya benar bertenaga hebat, tidak kelihatan takut, bahkan tersenyum meng­ejek dan balas bertanya.

“Sebelum saya menjawab, saya hendak bertanya apakah yang saya hadapi ini benar-benar Yu Kang Tianglo yang gagah perkasa?”

Suling Emas tercengang, menduga-duga siapa gerangan orangini. Ia merasa disindir dan menjadi tidak enak sekali. Bagaimana ia dapat menuduh orang palsu kalau ia sendiri juga palsu? Segera ia berkata lagi, suaranya tetap halus.

“Sepanjang ingatanku, di antara Yu Kang Tianglo dan Suling Emas terjalin persahabatan yang erat, bagaimana se­karang terjadi permusuhan? Apa kehen­dak yang tersembunyi di balik kelakuan­mu, sobat?”

“Tidak salah!” Orang itu menjawab, matanya menentang tajam, “Memang dahulu terjalin persahabatan yang erat, akan tetapi persahabatan erat dapat putus kalau seorang di antara mereka berkhianat!”

Suling Emas makin tidak enak. Pan­dang mata orang itu biarpun membayang­kan kekerasan hati, namun menyinarkan keberanian dan kejujuran! Maka ia me­rasa tidak perlu pura-pura dan berkata.

“Sobat, terus terang saja, aku tidak mengenalmu. Tidak perlu memalsukan nama Suling Emas, lebih baik mengguna­kan nama sendiri. Ingat, Suling Emas masih hidup!”

Orang itu tertawa bergelak, suara ketawanya nyaring sekali, tanda bahwa lwee-kangnya sudah matang, “Ha-ha-ha­ha! Alangkah lucunya! Memalsukan nama orang yang sudah mati saja ada orang berani lakukan, mengapa memalsukan nama orang yang masih hidup tidak be­rani? Sedikitnya, yang terakhir ini lebih jujur dan berani dari yang terdahulu!”

Merah Suling Emas. Ia merasa disin­dir-sindir. Apa hak orang ini menyindir­nya kalau ia mengaku bernama Yu Kang Tianglo? Sedikitnya tidak merugikan Yu Kang Tianglo yang sudah mati, dan ia pun menyamar bukan dengan maksud buruk. Maka ia lalu maju selangkah dan berkata.

“Sobat, engkau Suling Emas palsu. Akulah Suling Emas!”

Kembali orang itu tertawa, “Begitu­kah? Apakah engkau ini sebangsa bunglon bisa saja berganti-ganti nama seenaknya? Kemarin mengaku Yu Kang Tianglo kini mengaku Suling Emas? Ho-ho, tidak be­gitu mudah, sobat. Akulah Suling Emas!”

Suasana menjadi makin tegang dan di antara para pengemis Khong-sim Kai-pang sudah ada yang berteriak, “Hantam saja Suling Emas palsu ini!”

“Enyahkan si badut!”

“Buka kedoknya!”

Suling Emas makin mendongkol, “Hemm, kalau kau berkeras berarti eng­kau menghendaki kekerasan?”

“Terserah! Demi kebenaran, aku tidak takut kepadamu!”

“Baik! Majulah!” bentak Suling Emas.

Dua orang itu lalu bergerak maju. Suling Emas yang ingin mencoba kepan­daian orang itu sudah menerjang dengan pukulan-pukulan berat. Namun orang itu ternyata lincah sekali, dapat mengelak cepat dan menangkis, bahkan balas me­nyerang! Ternyata bahwa ilmu silat tangan kosong orang ini cukup lihai dan memiliki daya tahan yang kuat luar biasa sehingga kalau ia melanjutkan pertan­dingan tangan kosong itu tentu makan waktu yang lama. Apalagi kalau ia pikir bahwa tidak sekali-kali ia ingin mencela­kakan orang ini sebelum ia mengetahui apa latar belakang perbuatannya yang aneh. Maka ia lalu mengirim pukulan sambil melangkah maju, ketika melihat betapa lawannya menerima pukulannya dengan jari terbuka itu dengan dorongan yang sama agaknya untuk mengadu te­naga, ia mengerahkan tenaga. Dua tela­pak tangan bertemu keras sekali dan akibatnya...., tubuh keduanya terpental ke udara dan mencelat ke belakang! Hanya bedanya, kalau Suling Emas hanya ber­jungkir balik satu kali saja, lawannya berjungkir balik sampai tiga kali baru turun ke atas papan panggung! Sorak-sorai tepuk tangan menyambut demons­trasi ini. Dalam penglihatan mereka yang kurang tinggi ilmunya, gerakan “Suling Emas” itu lebih indah karena sampai tiga kali berjungkir balik, akan tetapi dalam pandangan yang mengerti, kakek yang memalsu nama Suling Emas itu jelas kalah kuat tenaganya.

Kini mereka sudah berhadapan lagi. Suling Emas ingin menguji apakah pemal­suannya juga mempunyai suling, maka sekali tangannya bergerak, sebatang su­ling emas berkilauan berada di tangan kanannya.

“Ha-ha-ha-ha! Lucu sekali! Yu Kang Tianglo yang sudah mati kini hidup lagi dan senjatanya berubah menjadi suling emas! Sebaliknya Suling Emas yang sudah puluhan tahun tenggelam entah ke mana kini muncul dengan tongkat di tangan!” Berkata demikian, kakek itu mengeluar­kan sebatang tongkat rotan kecil dari tangannya, dan langsung menyerang Suling Emas. Tongkat rotan kecil itu ketika digerakkan mengeluarkan bunyi meleng­king-lengking!

Melihat ini, Suling Emas dan Yu Siang Ki mengeluarkan seruan kaget. Suling Emas cepat menangkis dengan su­lingnya dan ketika lawannya menerjang terus sampai belasan jurus secara ber­tubi-tubi, ia cepat mencelat ke belakang sambil berseru,

“Tahan dulu! Sobat, pernah apakah engkau dengan Yu Kang Tianglo almar­hum?”

Orang itu memandang Suling Emas dengan mata melotot, “Kau sudah tahu almarhum, kenapa masih tega memalsu­kan namanya? Suling Emas adalah se­orang pendekar sakti yang dikagumi se­luruh dunia kang-ouw, mengapa menjadi pengecut, menyembunyikan diri seperti penjahat dikejar, kemudian menyelinap bersembunyi di bawah nama Yu Kang Tianglo? Mengapa orang yang sudah mati diganggu, biarpun oleh sahabatnya sen­diri? Seorang laki-laki sudah berani ber­buat berani bertanggung jawab, tidak nanti melarikan diri daripada tanggung jawab. Yang tidak berani mengakui se­mua perbuatannya, yang tidak berani menghadapi kenyataan pahit sebagai akibat perbuatannya, tidak patut disebut laki-laki! Hayo, kalau mau dilanjutkan aku akan melayani sampai mati!”

Suling Emas seperti ditusuk jantung­nya. Ia memejamkan mata menahan ke­perihan hati. Kata-kata tadi amat me­nusuk perasaannya karena tepat sekali menyindir keadaannya. Puluhan tahun menyembunyikan diri, melarikan diri dari Ratu Yalina, dari musuh-musuh mendiang ibunya. Kemudian ia melihat akibat perbuatannya dengan terlahirnya Kiang Liong, terlahirnya Talibu dan Kwi Lan. Akan tetapi ia tetap masih menyem­bunyikan semua itu, dengan dalih men­jaga nama baik mereka! Ah, lebih tepat menjaga nama baiknya sendiri. Ia me­mang pengecut selama ini!

“Sudahlah!!” katanya dengan keluhan berat dengan dua titik air mata memba­sahi matanya dan sekali renggut robeklah jubah pengemis dan tampak pakaian ase­linya, pakaian Suling Emas! “Akulah Su­ling Emas dan memang aku pernah mem­pergunakan nama mendiang sahabat Yu Kang Tianglo! Akan tetapi hal ini tidak menyinggung siapapun juga. Siapakah engkau ini yang mencampuri urusanku?”

“Tidak menyinggung orang lain akan tetapi menyinggung aku, Suling Emas!” kata kakek itu sambil merobek pula ju­bah “Suling Emas”nya dan ternyata ia berpakaian ringkas sederhana, “Namaku adalah Ong Toan Liong dan aku suheng dari Yu Kang Tianglo! Ketika engkau menyamar sebagai Yu Kang Tianglo, aku besusah payah membantu Kauw Bian Cinjin membalaskan kehancuran Beng-kauw! Dan engkau enak-enak saja mem­permainkan kaum pengemis dengan pe­nyamaranmu.

Suling Emas tertegun dan pada saat itu, Yu Siang Ki melompat naik ke atas papan panggung, langsung berlutut di depan kakek itu sambil berseru, “Ong­ supek (Uwa Seperguruan Ong)....! Men­diang Ayah banyak bercerita tentang Supek.... kenapa baru sekarang Supek memperkenalkan diri?”

Ong Toan Liong atau yang terkenal dengan julukan Hui-to-ong (Raja Golok Terbang) mengelus kepala dan pundak murid keponakannya, “Aku sudah tua dan tadinya ingin mengaso di pegunungan. Siapa tahu timbul urusan kehancuran Beng-kauw dan urusanmu di sini. Ayahmu dulu sering menyatakan kepadaku bahwa ia ingin sekali melihat puteranya menjadi seorang gagah, akan tetapi tidak perlu melanjutkan hidup sebagai pengemis. Siapa kira, Suling Emas yang kukagumi malah menjadi gara-gara kau diangkat menjadi pangcu.”

Suling Emas berdiri melamun dengan hati duka. Pada saat itu, di antara para penonton meloncat naik seorang pemuda yang langsung berlutut di depan Suling Emas sambil berseru, “Suhu....!”

Suling Emas memandang dan ketika mengenal bahwa pemuda ini adalah Kiang Liong hatinya seperti diremas dan kem­bali dua titik air mata meloncat keluar ke atas pipinya, “Liong-ji...., (Anak Liong....), mengapa kau menyusulku....?”

Kiang Liong melangkah heran. Baru kali ini suhunya memanggilnya Liong-ji dengan suara menggetar seperti itu. Tidak biasanya gurunya memperlihatkan kelemahan. Alangkah herannya ketika ia merasa kepalanya dielus-elus dan dibelai, dan lebih terkejut lagi melihat dua titik air mata di atas pipi gurunya.

Kiang Liong memang sedang bingung dan berduka karena ia menjadi orang buruan pemerintah. Maka kini dielus-elus dan melihat gurunya terharu, ia pun tak dapat menahan hatinya dan betapa­pun ia menggigit bibir, tetap saja air matanya jatuh berderai.

“Suhu.... Suhu.... teecu...., ahhh....“

Barulah Suling Emas terkejut dan sadar akan keadaannya. Tentu telah ter­jadi peristiwa yang amat hebat maka muridnya yang biasanya tenang ini sam­paimenangis. Ia cepat membalikkan tu­buh menjura ke arah Ong Toan Liong dan berkata.

“Cukuplah, Ong-twako. Maafkan se­mua kesalahanku dan selamat berpisah. Siang Ki, kauturutlah semua petunjuk supekmu. Hayo Liong ji, kita pergi!” Ia menarik tangan Kiang Liong dan mereka berdua meloncat jauh dan lenyap dalam sekejap mata.

Sepeninggalan Suling Emas dan murid­nya, Yu Siang Ki lalu membubarkan per­temuan, kemudian ia mempersilakan supeknya masuk ke dalam. Di situ supek dan murid keponakan itu menceritakan pengalaman masing-masing. Akhirnya atas permintaan Siang Ki, sesuai pula dengan keinginan ayahnya agar ia tidak menun­tut penghidupan pengemis. Siang Ki mo­hon kepada supeknya agar sudi membim­bing Khong-sim Kai-pang karena ia sendiri ingin merantau memperluas penge­tahuannya. Ong Toan Liong yang tahu pula bahwa kedudukan kaum kai-pang terancam oleh kaum sesat, menyanggupi, maka secara resmi Ong Toan Liong di­angkat menjadi Ketua Khong-sim Kai­-pang. Beberapa hari kemudian Yu Siang Ki lalu pergi merantau, tentu saja tujuan pertama perjalanannya adalah menyusul Song Goat, tunangannya!

Adapun Suling Emas membawa murid­nya keluar kota. Di tempat sunyi jauh di luar kota, mereka berhenti, duduk di pinggir jalan dan Kiang Liong lalu menceritakan pengalamannya, semenjak ia mengejar Suma Kiat sampai ia hampir ditangkap oleh pasukan kota raja.

“Tidak sekali-kali teecu hendak mem­berontak terhadap perintah Kaisar, Suhu. Akan tetapi Mutiara Hitam mengamuk dan merobohkan para perajurit, kemudian memaksa teecu untuk melarikan diri. Teecu bingung dan terpaksa lari, lalu teecu mencari Suhu untuk mohon pertim­bangan. Teecu dianggap pemberontak dan tidak mentaati Kaisar. Kalau memang Suhu memutuskan bahwa teecu harus menyerahkan diri, sekarang juga teecu akan berangkat ke kota raja.”

Suling Emas termenung. Kemudian dengan suara berat ia berkata, “Kiang Liong, sebelum aku bicara tentang hal itu, lebih du'lu kau bersiaplah menerima pembukaan rahasia besar hidupmu. Liong-li, ketahuilah, Nak, bahwa engkau ini sebenarnya adalah puteraku sendiri.”

“Suhu....!” Wajah Kiang Liong menjadi pucat sekali ketika ia menengadah dan menatap wajah gurunya.

Suling Emas tersenyum. Kini hatinya bebas tidak terdapat ganjalan seperti biasanya kalau ia berhadapan dengan puteranya ini. Ong Toan Liong memang betul. Orang tidak perlu bersembunyi dari kenyataan, baik manis maupun pahit. Orang tidak bisa lari daripada pertang­gungan-jawab perbuatannya. Sudah berani berbuat harus berani menanggung risiko, betapapun beratnya. Setelah dihadapi ke­nyataannya malah tidak seberat kalau dijadikan ganjalan hati.

“Bukan suhu, melainkan ayah, Anakku. Dengarlah baik-baik dan engkau tidak perlu tersinggung atau malu karena cinta kasih antara ibumu dan aku dahulu ada­lah cinta kasih yang murni, yang dipu­tuskan orang karena paksa. Dahulu sebelum menikah dengan ayahmu, ibumu dan aku saling mencinta....“ Suling Emas lalu menceritakan semua pengalamannya dengan Suma Ceng, ibu Kiang Liong (dalam cerita Cinta Bernoda Darah).

“Demikianlah, cinta kasih antara kami direnggut. Kami dipisahkan dengan paksa, sedangkan ibumu telah mengandung eng­kau, Anakku. Hanya untuk menjaga nama baik keluarga ayah bundamu, maka eng­kau diberi she Kiang seperti ayahmu. Padahal engkau adalah puteraku, dan hal ini agaknya diketahui pula oleh ayahmu maka dia membesarkan engkau menjadi muridku.”

Makin lama mendengar cerita Suling Emas, makin pucat wajah Kiang Liong, dan akhirnya ia menubruk kaki Suling Emas sambil mengeluh “Ayahhh....”

“Liong-ji, anakku. Mulai sekarang, kita tidak perlu berpura-pura, tidak perlu bersembunyi, kausebut ayah padaku, ja­ngan suhu. Aku sudah bosan untuk berpura-pura bersih. Kita tidak perlu ber­paling lagi dari kenyataan.”

“Ayah...., kiranya Ayah demikian men­derita oleh asmara. Ah, semoga saja tidak menurun kepadaku, Ayah.”

Merah wajah Suling Emas. Ah, Anak­ku engkau tidak tahu, aku belum berce­rita tentang Ratu Yalina! Akan tetapi ia menekan perasaannya dan berkata, “Ada terjadi apakah, Liong-ji?”

“Ayah, terus terang saja, setelah mengetahui bahwa engkau adalah ayahku, dan karena Kaisar menganggap aku pem­berontak, aku segan kembali ke kota raja. Aku.... aku.... mohon Ayah sudi me­lamarkan....“

“Ah, engkau mempunyai pilihan hati? Semoga engkau bahagia, tidak seperti ayahmu. Siapakah gadis itu, Liong-ji? Tentu Ayah akan melamarkan untukmu, karena engkau sudah cukup dewasa.”

“Dia bukan orang lain, masih anak keponakan Ayah sendiri, yaitu Mutiara Hitam.” kata Kiang Liong sambil menun­dukkan muka. Dan untung bagi Suling Emas bahwa pada saat itu Kiang Liong menundukkan muka, kalau tidak tentu akan melihat betapa wajahnya menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak lebar. Harus diakui bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar besar yang su­dah menguasai perasaan hatinya, tenang dalam segala hal, bahkan dalam meng­hadapi bahaya maut sekalipun. Akan tetapi, mendengar betapa puteranya jatuh cinta dan minta dilamarkan puterinya, ia hampir pingsan! Timbul penyesalan yang amat besar di hatinya, semua ini terjadi sebagai tamparan bagi mukanya, tampar­an yang keluar dari mulut Ong Toan Liong. Mengingatkan ia akan semua pe­ristiwa dahulu, semua perbuatannya, ka­rena hal-hal ini timbul sebagai akibat daripada perbuatannya dahulu. Akan te­tapi mengakui sekarang di depan Kiang Liong bahwa pemuda ini melamar adik sendiri? Ah, ia tidaktega. Ia sendiri mengakui semua perbuatannya, bersedia memetik buah tanamannya sendiri, namun mengingat puteranya, ia tidak sampai hati. Dengan suara halus ia berkata.

“Liong-ji, kau tidak usah kembali ke kota raja. Dan tentang perjodohan, mari­lah kau ikut bersamaku ke Khitan.” Ha­nya sekian Suling Emas berkata, tidak sanggup bicara panjang karena khawatir kalau-kalau lidahnya tak kuasa memben­dung pertahanan hatinya.

***

Seperti juga mendiang ibunya, betapa­pun tidak waras otak Suma Kiat namun ia mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa. Setelah maksud hatinya memperisteri Kwi Lan secara paksa di­gagalkan Kiang. Liong, Suma Kiat melari­kan diri dan pemuda ini terus menuju ke Khitan! Untuk kembali ke kota raja, ia tidak berani karena, ia tentu akan ditang­kap sehubungan dengan persekutuannya dengan Bouw Lek Couwsu. Pula, ia pergi ke Khitan bukan tanpatujuan. Ia harus mendahului Kwi Lan menemui Ratu Khi­tan yang menurut ibunya adalah adik ibunya sendiri, jadi bibinya!

Suma Kiat melakukan perjalanan tak kunjung henti dan ia tiba di kota raja Khitan dalam keadaan lelah dan lapar. Pakaiannya kotor dan robek-robek, muka­nya pucat kurus. Ketika para pengawal mendengar bahwa orang asing ini hendak menghadap Ratu, ia ditangkap dan Suma Kiat sama sekali tidak melakukan per­lawanan. Karena para pengawal menaruh curiga, ia dihadapkan kepada Panglima Kayabu.

“Saya ingin menghadap Ratu Khitan dan ingin bicara empat mata. Saya ada­lah anak keponakannya!” Berkali-kali Suma Kiat berkata dan akhirnya oleh Panglima Kayabu sendiri di bawah ke istana menghadap Ratu Khitan.

Begitu berhadapan dengan ratu yang masih cantik dan bersikap agung itu, serta merta Suma Kiat menjatuhkan diri berlutut dan menangis menggerung-gerung. “Aduh, Bibi...., keponakanmu ini mengalami penderitaan yang hebat.”

Ratu itu berkata dalam bahasa Han yang fasih, sedikit pun tidak kaku seperti kalau orang Khitan lain bicara, “Orang muda, tenanglah. Engkau siapa?”

“Ibu saya bernama Kam Sian Eng....”

“Ahhh....!” Ratu Yalina lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Panglima Kayabu agar meninggalkan mereka ber­dua. Panglima yang setia ini bangkit, mengangguk lalu pergi meninggalkan ratunya bersama orang muda itu. Biarpun ia masih menaruh curiga kepada pemuda itu, namun mendengar bahwa pemuda itu putera Kam Sian Eng, pemuda itu benar keponakan Sang Ratu. Pula, ia tidak perlu khawatir karena ilmu kepandaian ratunya amat tinggi sehingga tak mungkin diganggu lawan apalagi se­perti orang muda itu.

Ratu Yalina bergetar hatinya, akan tetapi ketika mengamat-amati wajah pemuda itu, ia teringat akan Suma Boan dan teringatlah ia betapa dahulu kakak angkatnya, Kam Sian Eng, terbujuk dan tergila-gila kepada putera pangeran yarig bernama Suma Boan yang kemudian menipunya. Karena patah hati, Kam Sian Eng menjadi gila, secara aneh mendapat­kan ilmu-ilmu yang hebat, dan bersama dia membunuh Suma Boan. Akan tetapi hubungannya dengan Suma Boan itu telah membuat Kam Sian Eng mengandung dan dalam keadaan mengandung Kam Sian Eng lari minggat entah ke mana. Kiranya inikah puteranya?

“Siapa namamu?” tanyanya kepada pemuda yang masih menangis.

“Nama saya Suma Kiat....” Ratu Ya­lina tersenyum dan yakinlah ia sekarang bahwa ini memang putera Suma Boan. Ternyata kakak angkatnya itu masih mengakui bekas kekasihnya dan memberi she Suma kepada puteranya.

“Ah, kalau begitu engkau benar ke­ponakanku. Kiat-ji (Anak Kiat), setelah bertemu bibimu, kenapa kau menangis?”

“Aduh, Bibi, yang mulia, kasihanilah hamba.... yang sudah sebatangkara ini.”

“Heh? Ke mana Ibumu?”

“Ibu.... Ibu tewas dalam membela dan menyelamatkan puteri Bibi....”

“.... puteriku? Siapa....?” Wajah Ratu Yalina berubah tegang.

“Siapa lagi kalau bukan Kwi Lan Si Mutiara Hitam?”

Berdebar jantung Ratu Yalina. jadi benarkah puterinya yang hilang itu ber­juluk Mutiara Hitam?

“Bagaimana engkau bisa tahu dia pu­teriku?” tanyanya makin tegang.

“Mendiang Ibu yang menceritakan. Ibu mengambilnya ketika masih bayi dan Kwi Lan menjadi muridnya....”

“Ceritakan semua...., lekas ceritakan semua, anakku!” Ratu Yalina berseru sam­bil menyambar tangan Suma Kiat dan menariknya masuk ke ruangandalam. Ia berseru memanggil pelayan untuk menye­diakan makan minum bagi orang, muda ini. Para pelayan terheran-heran dan diam-diam Suma Kiat terkejut karena tangan halus yang mencekal lengannya itu mengandung tenaga dalam yang hebat luar biasa!

Sambil makan minum, berceritalah Suma Kiat tentang Kwi Lan. Tentu saja ia menonjolkan kebaikan-kebaikan ibunya dan dia sendiri. Akhirnya ia mencerita­kan peristiwa di markas Bouw Lek Couwsu dan dengan akal cerdik ia ber­kata, “Saya hanya ikut dengan ibu dan agaknya ibu yang termasuk seorang di antara Bu-tek Ngo-sian kena bujuk Bouw Lek Couwsu untuk memusuhi Kerajaan Sung. Akan tetapi ketika ibu melihat bahwa di markas Bouw Lek Couwsu itu terdapat tahanan-tahanan penting, yaitu Pangeran Talibu dan Puteri Mimi....”

“Untung mereka sudah bebas dan se­dang berangkat pulang. Aku telah men­dengar laporan dari pembawa berita, akan tetapi tidak jelas. Hanya mendengar bahwa Talibu dan Mimi ditawan orang­-orang Hsi-hsia akan tetapi kini telah bebas. Bagaimana sesungguhnya yang ter­jadi?”

“Saya sendiri tidak tahu jelas, Bibi. Hanya kalau tidak salah, mereka itu ditawan karena Bouw Lek Couwsu hendak memaksa Khitan membantunya kalau dia menyerbu Kerajaan Sung.”

Ratu Yalina mengangguk-angguk, “Hemmm, begitukah? Kalau begitu Bouw Lek Couwsu belum mengenal watak bangsa Khitan yang perkasa! Nah, lanjut­kan ceritamu, anakku!”

“Ketika ibu melihat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi ditahan, apalagi ketika melihat Sumoi Kwi Lan ditahan pula dan hendak diperhina Bu-tek Ngo-sian, ibu lalu marah dan membunuh Bu-tek Siu­lam. Akan tetapi ibu dikeroyok banyak orang sakti sehingga tewas dalam usaha menolong Sumoi!”

Tak terasa lagi kedua mata Ratu Ya­lina menjadi basah air mata. Biarpun Enci Sian Eng telah menculik bayiku, akan tetapi akhirnya dia mengorbankan nyawa untuk anaknya. Kasihan Enci Sian Eng. Demikian keluh hatinya.

“Lanjutkan, anakku.” katanya meman­dang Suma Kiat dan kini wajah pemuda itu kelihatan tampan dan simpati.

“Saya lalu membawa pergi Sumoi. Sampai di tengah jalan, karena Ibu telah tidak ada, saya sampaikan pesan terakhir Ibu kepada Sumoi. Siapa kira.... Sumoi menjadi marah-marah dan hampir saja saya dibunuhnya.... uuh-huk-huk.... Bibi, lebih baik Bibi bunuh saja saya agar tidak menanggung malu dan sengsara lebih lama lagi. Kalau saya tidak dapat memenuhi pesan terakhir Ibu, apa guna­nya hidup menjadi seorang anak puthauw (durhaka)?” Pemuda ini menangis lagi.

Ratu Yalina menjadi terheran. “Ah, kau tenanglah, Kiat-ji. Apakah pesan ter­akhir Ibumu?”

“Ibu berpesan kepada saya bahwa saya dan Sumoi harus menjadi suami isteri.”

“Aahh...., begitukah?” Kembali Ratu Yalina mengangguk-angguk. “Dan Kwi Lan menolak?”

“Tidak hanya menolak, bahkan marah dan hampir membunuhku.”

Di dalam hatinya Ratu Yalina tertegun. Puterinya yang berjuluk Mutiara Hitam itu agaknya liar dan galak, seperti.... eh, dia dahulu. Selalu menurutkan kehendak hati sendiri, tidak terkekang, seperti kuda liar.

“Kau.... kalah olehnya? Bukankah kau suhengnya?”

“Sumoi lihai sekali, dan saya.... saya tidak tega untuk melawannya....”

Ratu Yalina kembali memandang wa­jah tampan itu. Ia makin kasihan dan makin suka kepada pemuda ini. Kalau Enci Sian Eng sudah berpesan demikian.... hemm, akan kulihat nanti kalau berjumpa dengan Mutiara Hitam.

“Tenangkan hatimu, Kiat-ji. Aku menghargai pesan ibumu, dan urusan ini baik ditunda lebih dulu. Kelak kalau aku bertemu dengan puteriku, akan kita bi­carakan lagi. Kau mengasolah.” Ratu Ya­lina memanggil pelayan dan pemuda itu lalu dipersilakan mengaso di sebuah kamar indah di kompleks istana, diberi pakaian serba indah dan hidangan-hidang­an lezat. Terhibur juga rasa hati Suma Kiat yang selama ini mengalami keseng­saraan.

Tentu saja Kwi Lan sama sekali tidak pemah menduga bahwa Suma Kiat telah mendahuluinya ke Khitan. Tidak seperti Suma Kiat yang melakukan perjalanan siang malam, ia menuju ke Khitan tidak tergesa-gesa, sambil melihat pemandangan indah. Maka ketika ia tiba di Khitan, Suma Kiat sudah lama berada di sana, bahkan Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sudah lama pula kembali ke kota raja Khitan. Kwi Lan yang sudah merasa rindu sekali kepada Pangeran Talibu, lalu­ bertanya-tanya di mana adanya Pangeran ini. Karena yang bertanya adalah seorang wanita yang agaknya baru saja belajar bahasa Khitan, dan melihat wajah Kwi Lan memang patut menjadi peranak­an Khitan, orang-orang yang ditanyai tidak menaruh curiga, mengira bahwa nona itu memang seorang pelancong yang ingin tahu saja. Akhirnya Kwi Lan mendapat keterangan bahwa Pangeran Talibu tinggal di sebuah gedung indah di ling­kungan Istana, di sebelah kiri dimana terdapat pertamanan luas mengelilingi gedungnya. Mendengar ini, Kwi Lan men­cari kesempatan di waktu pagi hari yang masih sunyi, dengan menggunakan kepandaiannya ia melompat masuk melalui dinding yang mengelilingi taman luas. Karena Istana selalu aman dan dinding itu tinggi, maka penjagaan tidak begitu ketat sehingga Kwi Lan dapat melompat masuk tanpa diketahui penjaga. Berdebar jantung Kwi Lan. Bagaimana nanti pene­rimaan Pangeran Talibu? Bagaimana ka­lau tidak mau menerimanya? Ah, tidak mungkin. Terbayang olehnya semua peristiwa di kamar tahanan ketika dia dan Pangeran Talibu diberi racun. Terbayang­lah kemesraan dan cinta kasih Pangeran itu kepadanya yang tidak hanya terpan­car dari sinar mata dan sentuhan tangan, dekapan dan ciuman, akan tetapi juga dari kata-katanya. Masih berkumandang di telinganya suara Pangeran itu meng­getar penuh perasaan. “Demi Tuhan! Aku mencintamu, Mutiara Hitam. Aku cinta kepadamu seperti kepada diri sendiri....!”

Ia menyusup-nyusup dan menyelinap di antara pohon-pohon dan bunga. Kemudian tampak olehnya sebuah pondok kecil di tengah taman. Pondok itu sudah tua dan tidak begitu mewah, bahkan dindingnya ada yang sudah robek-robek kulitnya. Agaknya memang dibiarkan demikian karena tampak lebih artistik (nyeni). Ia berindap-indap mendekati dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika ia men­dengar suara orang yang dirindukan sela­ma ini. Suara Talibu di sebelah belakang pondok. Ia cepat menghampiri dan me­mutari pondok, lalu mengintai. Benar saja dugaannya. Pangeran itu berada di belakang pondok, diruangan luar. Alang­kah tampannya. Alangkah gagahnya. Pa­kaiannya begitu cermerlang indah, serba mengkilap dan berkilauan. Topinya ter­hias naga emas yang aneh, bentuknya, dadanya bergambarkan Dewa Matahari. Pedangnya panjang dengan gagang terukir indah, dari emas bertabur batu permata. Sejenak Kwi Lan terpesona dan terharu. Demikian tampannya pria ini sampai menimbulkan haru di hati. Akan tetapi hatinya mulai panas terbakar ketika ia melihat siapa teman Pangeran bercakap­-cakap. Puteri Mimi lagi! Dan mereka duduk bersanding di bangku dengan sikap begitu mesra! Mereka saling berpegangan tangan saling pandang, dan dari gerak­-gerik, pandang mata, dari seluruh pribadi kedua orang itu jelas memancarkan cinta kasih menggelora!

Pening rasa kepala Kwi Lan. Ia me­mejamkan matanya dan hampir terguling roboh kalau ia tidak cepat-cepat me­nekan dinding pondok dengan tangan tanpa disadari mulutnya mengeluarkan suara keluhan perlahan. Namun suara ini cukup untuk membuat Pangeran Talibu dan Puteri Mimi bangkit dan membalik­kan tubuh.

“ eh, kau.... Mutiara Hitam....!” seru Puteri Mimi dengan suara girang.

Namun Pangeran Talibu tidak berkata apa-apa, hanya memandang dengan mata terbelalak. Ia dapat melihat kemarahan, kehancuran hati, terbayang pada wajah dan pandang mata itu dan ia tahu apa sebabnya. Maka ia lalu berkata gagap, “Mutiara Hitam, sudahkah kau bertemu ibunda Ratu....? Mari kuantar kau meng­hadap....”

“Tidak perlu! Semua orang boleh saja tidak pedulikan diriku....!” Dengan isak tertahan Kwi Lan membalikkan tubuh dan meloncat pergi. Hatinya perih dan patah. Kekasihnya direnggut orang! Ingin ia mengamuk. Memang ia akan meng­amuk, akan menemui Ratu Khitan, menuntut bahwa dia sebagai puteri disia-siakan! Dengan kemarahan meluap-luap ia keluar dari taman mencari jalan ke is­tana.

“Sumoi....!”

Kwi Lan terhenti seperti disambar kilat. Di depannya telah berdiri Suma Kiat dengan wajah berseri dan pakaian indah! Sungguh ia terheran-heran dan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang dengan mata lebar.

“Ah, Sumoi, kau baru datang? Kami sangat mengharap-harap kedatangan­mu....!”

“Kau....? Di sini....?” Kwi Lan akhir­nya dapat menegur.

Wajah Suma Kiat berseri-seri, “Sudah lama aku tinggal di sini. Bibi Ratu me­nerimaku dan.... dan pesan mendiang ibu disetujui. Ya, adikku sayang. Dengan perkenan Bibi Ratu, kita dijodohkan. Kau dan aku! Akhirnya kita berjodoh juga, Adikku dan aku akan menjadi pangeran mantu!”

Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, matanya menyorotkan kemarahan hebat. Jadi inikah sebabnya? Inikah sebabnya mengapa Pangeran Talibu menerimanya begitu dingin? Pantas saja Pangeran Ta­libu mengajak dia bertemu dengan Ratu, kiranya ada urusan ini! Tentu Suma Kiat telah membujuk bibinya tentang perjo­dohan dan Ibunya.... ah, ibunya yang sejak ia kecil menyia-nyiakan itu telah menye­tujuinya. Tentu saja Pangeran Talibu sudah tahu akan hal ini dan memutuskan pertalian cinta.

“Keparat....!” Tubuhnya menerjang ke depan menyerang Suma Kiat.

“Eh.... eh, Sumoi.... eh....!” Suma Kiat mengelak dan menangkis. Namun Kwi Lan tidak main-main dan serangannya bertubi-tubi dan hebat. Akhirnya sebuah pukulan membuat Suma Kiat roboh. Kwi Lan menubruknya dan menghujani pukul­an. Kalau tidak ingat bahwa orang ini putera gurunya, tentu ia sudah mengirim pukulan maut. Dia masih ingat ini dan pukulan-pukulannya hanya pukulan dengan tenaga luar saja yang membuat Suma Kiat mengaduh-aduh. Mulut dan hidung pemuda itu mengucurkan darah, mukanya bengkak-bengkak dan kaki tangannya lumpuh karena ditotok. Kwi Lan dengan hati sakit dan gemas bukan main terus memukul sampai Suma Kiat pingsan!

Kemudian ia menyeret leher baju pemuda itu, terus menarik dan menyeretnya me­nuju ke pondok di mana tadi ia melihat Pangeran Talibu.

Pangeran Talibu dan Puteri Mimi sedang membicarakan Mutiara Hitam. Hati Pangeran itu gelisah sekali melihat sikap Mutiara Hitam. Ia sudah menceritakan segalanya kepada Mimi dan gadis ini sampai menangis saking terharu ke­pada Kwi Lan yang nasibnya begitu bu­ruk, dipermainkan keadaan. Dia sendiri begitu bahagia, kehilangan kakak kandung mendapatkan tunangan. Cinta antara saudara berubah menjadi cinta asmara! Pangeran Talibu mengajaknya menyusul Mutiara Hitam, karena menurut Mimi, tidak mengapalah kalau Pangeran itu sendiri menjelaskan duduknya perkara, membuka rahasia saudara kembar kepada Mutiara Hitam.

Akan tetapi, pada saat mereka hen­dak keluar dari pondok, tampak Mutiara Hitam datang menyeret tubuh Suma Kiat yang pingsan! Pangeran dan puteri itu kaget sekali, memandang dengan mata terbelalak. Kwi Lan menyeret terus kemudian melempar tubuh Suma Kiat ke depan kaki Pangeran Talibu, suaranya dingin matanya berapi ketika ia berkata.

“Orang inikah yang hendak dijodohkan denganku? Aku tidak sudi! Aku bukan seorang yang begitu mudah berubah, bukan seorang yang tidak setia. Biar Ratu sendiri yang menentukan, tetap kutentang. Sekarang juga hendak kusam­paikan kepada Ratu Khitan!” Sebelum Pangeran Talibu sempat bicara, Mutiara Hitam sudah melompat pergi dan lari meninggalkan tubuh Suma Kiat yang menggeletak pingsan dengan muka beng­kak-bengkak dan hidung mulut berdarah.

Kwi Lan berlari terus memasuki Ista­na. Penjaga-penjaga tercengang dan hen­dak melarang akan tetapi gadis itu ter­lalu cepat sehingga sebentar saja ia sudah sampai di ruangan tengah. Penga­wal dalam sebanyak tiga orang cepat menghadang dan hendak menangkapnya, akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kwi Lan sudah menang­kap seorang di antara mereka, mengerah­kan lwee-kang membuat tubuh pengawal itu terangkat dan diputar ke arah dua yang lain. Mereka bertiga roboh bergu­lingan dan gadis ini menyelinap masuk terus.

“Tangkap penjahat....!” para pengawal berseru dan sebentar saja Kwi Lan ter­kurung belasan pengawal yang mencabut senjata.

“Boleh tangkap aku kalau mampu! Aku Mutiara Hitam hendak bertemu dengan Ratu Khitan, siapa pun kalau mengha­langi akan mampus di ujung pedangku!” Ia sudah mencabut pedang dan siap mengamuk.

Pada saat itu terdengar bentakan halus dan semua pengawal lalu mundur dengan wajah terheran. Kwi Lan meng­angkat muka dan memandang wanita yang berjalan dengan langkah ringan menghampirinya. Wanita setengah tua yang cantik jelita berpakaian indah. Me­reka saling pandang, seperti terkena pesona, keduanya menduga, menaksir, menyelidiki.

“Engkau Mutiara Hitam....?”

“Engkau Ratu Khitan....?”

Pertanyaan mereka hampir berbareng terucapkan. Ratu Yalina terhuyung maju, kedua dengan dikembangkan hendak me­meluk, wajahnya pucat dan matanya penuh air mata. Akan tetapi Kwi Lan dengan cemberut mengelak, pandang matanya penuh tantangan, penuh tuduhan, penuh penyesalan.

Menggigil bibir Ratu Yalina menahan tangis, menahan jerit hatinya, “Kau.... kau...., telah belasan tahun menyiksa hatiku.... kau....“ Ia tak dapat melanjut­kan, tubuhnya lemas, kakinya gemetar, air matanya bercucuran.

Kwi Lan tetap cemberut. Kekecewa­annya tentang Pangeran Talibu masih menyesak di dada. “Siapa yang menyakit­kan hati? Siapa yang menyia-nyiakan anak? Siapa yang membuang anak begitu saja seperti orang membuang sampah?”

“Haaahhh....!” Ratu Yalina menahan jerit, hampir mencekik leher sendiri de­ngan tangannya, matanya terbelalak me­mandang gadis itu. “Begitukah kiranya? Kau belum mengerti? Aduh, Kwi Lan.... Mutiara Hitam.... mari kita bicara....” Ia maju memegang tangan Kwi Lan untuk diajak masuk kamar, akan tetapi Kwi Lan merenggut lepas tangannya dan ber­jalan di belakang orang yang menjadi ibu kandungnya ini. Ia kagum dan timbul rasa sayang dan haru, akan tetapi semua perasaan ini terbendung oleh kemarahan­nya. Selain menyia-nyiakannya, kini ibu ini masih menjodohkan dia dengan se­orang gila macam Suma Kiat!

Sampai di dalam kamar Ratu Yalina yang gemetar kakinya itu duduk memper­silakan Kwi Lan duduk. Akan tetapi Kwi Lan tetap berdiri di depan Ratu, tidak mau duduk, siap mendengarkan.

“Kau anakku.... ah, betapa rinduku kepadamu. Akan tetapi baiklah kaude­ngarkan penuturanku agar kau tidak salah paham. Ketika kau terlahir dan dibawa oleh perawat, kau diculik oleh Enci Sian Eng yang membunuh perawat itu. Pada waktu itu tidak ada seorang pun tahu siapa penculiknya, tahu-tahu Si Perawat itu mati dan kau lenyap. Betapa sengsara hatiku, betapa selama belasan tahun hatiku tersiksa. Sudah kuperintahkan semua panglimaku untuk pergi mencari, menyelidiki, namun hasilnya sia-sia bela­ka, kini kau datang.... Anakku, kenapa kau bersikap begini....? Aku ibumu, ibu yang melahirkanmu, aku.... betapa rindu­ku.... ah, Anakku....“

Melihat wanita itu menangis terisak-isak, Kwi Lan menjadi terharu. Akan tetapi ia masih marah dan dua macam perasaan ini mengaduk hatinya, membuat ia lemas dan akhirnya ia menjatuhkan diri di bangku lalu menangis tersedu-sedu, menutupi muka dengan kedua tangan. Air matanya mengalir keluar mela­lui celah-celah, jarinya.

Ratu Yalina bangkit berdiri, meng­hampirianaknya. Ia tahu bahwa anak ini memiliki watak aneh dan keras sekali, tidak kalah oleh wataknya dahulu ketika muda. Betapapun inginnya ia memeluk, ia menahan hati dan ingin memecahkan persoalan yang mengganggu hati puterinya lebih dahulu.

“Ada apakah, Anakku? Engkau agak­nya bingung dan marah. Ada apakah?”

“Ibu.... Ibu terlalu! Sudah menyia-nyia­kan hidupku sehingga terpaksa aku hidup seperti setan bertahun-tahun lamanya di istana bawah tanah, kini setelah aku dewasa, tanpa bertanya-tanya Ibu.... menjodohkan aku dengan iblis jahanam ma­cam Suma Kiat! Begini bencikah Ibu kepadaku?”

Ratu Yalina mau tak mau tersenyum geli di balik keharuannya. Ia memegang pundak Kwi Lan, dengan halus berkata, “Tidak, Anakku. Aku sama sekali tidak memutuskan tentang perjodohanmu. Memang Suma Kiat bilang bahwa men­diang ibunya berpesan begitu. Akan tetapi aku tidak akan mengambil keputusan mengenai perjodohanmu dengan siapapun juga. Tentang perjodohan kuserahkan ke­padamu, kalau kau tidak cocok dengan siapa pun Ibumu takkan melarang....”

Timbul harapan di hati Kwi Lan, akan tetapi karena malu, ia masih menutupi mukanya ketika berkata, “Aku tidak mau menikah dengan siapapun juga di dunia ini kecuali dengan Pangeran Ta­libu!”

Kalau ada halilintar menyambar ke­palanya di saat itu, kiranya Ratu Yalina tidak akan sekaget ketika mendengar ucapan ini. Ia terhuyung ke belakang, tangan kanan meraba dada yang seakan-akan berhenti berdetik, kepalanya pening. Pada saat itu, dari pintu menerobos masuk Pangeran Talibu. Melihat keadaan ibunya yang pucat terbelalak seperti hampir roboh dan Kwi Lan yang duduk menangis menutupi muka, ia berseru me­manggil, “Ibu....!” Dan melompat meng­hampiri.

Kehadiran Pangeran ini mendatangkan tenaga baru bagi Ratu Yalina. Ia cepat memegang tangan Pangeran Talibu seper­ti mencari bantuan tenaga, kemudian berkata, suaranya menggigil, “Talibu.... dia.... dia cinta padamu.... dia.... ingin menikah denganmu.... oohh, Anakku....!” Kini Ratu Yalina tak dapat menahan kehancuran hatinya lagi. ia menubruk dan memeluk leher Kwi Lan, menciumi muka gadis itu sehingga muka Kwi Lan yang sudah basah oleh air matanya sendiri kini makin basah oleh air mata ibunya.

“Kwi Lan.... Anakku.... aduhhh, kasihan sekali kau.... ketahuilah, Anakku.... dahulu kau terlahir kembar.... engkau terlahir tak lama setelah kakakmu terlahir. Ke­mudian engkau diculik Enci Sian Eng.... dan.... dan kakakmu.... kakak kembarmu.... dia Pangeran Talibu....”

Terdengar suara melengking menyayat hati ketika tubuh Kwi Lan roboh tergu­ling dari atas kursinya, pingsan! Ibunya dan kakaknya menubruk, menangis dan berusaha menyadarkannya. Tapi setelah sadar, Kwi Lan meloncat ke atas men­jauhi mereka, rambutnya terlepas awut-awutan, matanya liar, hidungnya kem­bang-kempis seakan-akan sukar bernapas. Ia memandangi mereka bergantian, de­ngan mata terbelalak seperti seekor kelinci yang ketakutan.

“.... Anakku.... Kwi Lan anakku....” Ratu Yalina mengembangkan tangannya, hatinya hancur oleh keharuan dan kece­masan melihat Kwi Lan, khawatir kalau­-kalau gadis itu berubah ingatan karena duka.

“.... Adikku.... Kwi Lan....“ suara Pangeran Talibu parau, pipinya basah, akan tetapi ia memandang adiknya de­ngan senyum penuh kasih. Melihat ini, naik sedu-sedan dari dada Kwi Lan memenuhi kerongkongannya, kemudian ia meloncat ke depan Talibu, tangannya bergerak menampar.

“Plak-plak....!” Dua kali tangannya menampar pipi kanan kiri Pangeran itu, membuat Talibu terhuyung-huyung.

“Kwi Lan....!” Ratu Yalina menjerit. Kwi Lan membalik, memandang ibunya, kemudian menubruk kaki ibunya sambil menangis meraung-raung seperti anak kecil. Ibunya juga duduk di lantai, balas memeluk, maka bertangisanlah ibu dan anak ini. Ratu Yalina memegang kedua pipi puterinya, diangkatnya muka itu, dipandangnya penuh selidik, penuh kasih, penuh rindu, diciuminya di antara tangis dan tawa.

Pangeran Talibu masih berdiri, me­mandang pertemuan yang mengharukan itu dan terdengar ia berkata lirih, suara­nya menggetar, “Adikku.... sudah selayak­nya kaupukul aku.... kalau belum puas pukullah lagi.... aku seperti mempermain­kanmu.... di dalam tahanan Bouw Lek Couwsu.... aku sudah tahu engkau adikku, seharusnya kuberi tahu, akan tetapi,kalau rahasia itu ketahuan Bouw Lek Couwsu keadaanmu sebagai puteri Ratu Khitan lebih berbahaya lagi.... dan tentang.... tentang peristiwa itu.... kau tahu kita keracunan.... Adikku, maukah engkau me­maafkan kakakmu....?”

Satu-satu kata-kata itu keluar, seperti pisau tajam menusuk-nusuk hati Kwi Lan. Gadis itu melepaskan pelukan ibunya, membalik dan menubruk kaki kakaknya. “Kanda Talibu.... kaulah yang harus me­maafkan adikmu....!”

Talibu tertawa, lalu menangis dan merangkul adiknya. Dibelai-belainya ram­but yang kusut itu, dicubitnya pipi yang kemerahan, dicubitnya pula hidung Kwi Lan, lalu dicium pipinya, “Adikku sa­yang ketika aku mengaku cinta demi Tuhan, aku katakan dengan setulus ikhlas hatiku karena aku sudah tahu bahwa engkau adalah adik kembarku. Kita masih saling cinta, bukan? Bahkan cinta yang suci murni tidak terpatahkan oleh apa­pun juga. Bukankah kita sekandungan dan lahir bersama? Ah, Adikku sayang....!” Mereka berpelukan.

Ratu Yalina bangkit berdiri dan duduk di kursi. Dua orang anaknya itu menu­bruk mereka dengan penuh kasih sayang. “Anak-anakku...., anak kembarku...., ah, betapa kalian sudah menderita. Terutama Kwi Lan, sampai mencinta kakak sen­diri...., ini semua akibat dosaku....“

Pada saat itu terdengar suara yang halus tapi gemetar penuh perasaan, “Ti­dak, Lin-moi.... tidak.... bukan kau yang salah. Aku yang berdosa.... ya, aku yang berdosa....!”

Yang bicara ini adalah Suling Emas yang mendengar ucapan Ratu Yalinatadi. Ia melangkah masuk dengan gontai, tubuhnya lemas penuh kedukaan dan di­belakangnya ikut masuk pula seorang pe­muda yang bukan lain adalah Kiang Liong. Para pengawal sudah mengenal Suling Emas, maka tidak menghalangi pendekar ini bersama pemuda itu masuk istana dengan bebas, sungguhpun mereka saling pandang dengan heran namun tidak berani melarang.

Melihat Suling Emas Ratu Yalina lalu menarik bangun Kwi Lan, diajaknya menghampiri Suling Emas sambil berkata lirih, “Anakku.... Kwi Lan...., beri hormat­lah kepadanya.... ini dia.... ayah kandungmu....!”

Suling Emas menjatuhkan diri di atas bangku, dan Kwi Lan berdiri terbelalak memandang pendekar sakti ini. Matanya terbelalak, tak disangka-sangkanya se­ujung rambut pun bahwa Suling Emas adalah ayahnya! Begitu bahagia rasa hatinya begitu malu, dan juga heran sehingga sampai lama ia tidak dapat ber­gerak. Akhirnya ia menjatuhkan diri ber­lutut di depan kaki Suling Emas sambil berteriak lirih. “Ayahku....!”

Teriakan Kwi Lan ini berbareng de­ngan keluhan Kiang Liong yang pingsan di dekat kaki ayahnya. Suling Emas me­rangkul Kwi Lan, merangkul Kiang Liong, kemudian memukuli dadanya sendiri dengan air mata berlinang-linang, “Dosa­ku.... semua dosaku laki-laki pengecut, berani berbuat tak berani bertanggung jawab.... menyembunyikan dosa dan no­da.... sampai anak-anak sendiri saling cinta...., ya Tuhan, masih belum cukupkah hukuman hamba....?” Dan Suling Emas muntahkan darah segar sambil terbatuk-­batuk.

Pemandangan di dalam kamar Ratu Yalina itu amat menusuk perasaan. Se­mua menangis dan semua merangkul Suling Emas. Juga Kiang Liong yang sudah siuman kini merangkul Kwi Lan, suaranya penuh getaran hati yang patah,.... kau adikku...., adikku....“

Setelah keadaan mereda, semua ber­bahagia, kecuali Kiang Liong dan Kwi Lan karena kebahagiaan kedua orang muda ini menyembunyikan hati yang remuk-redam, patah dan luka, oleh as­mara gagal. Orang-orang yang dicinta sepenuh hati dan jiwa ternyata adalah saudara-saudara sendiri! Hari itu merupa­kan hari di mana sekeluarga menumpah­kan segala macam perasaan yang selama ini terpendam dan keputusan yang di­ambilkan merupakan obat manjur bagi sakit hati Suling Emas. Yalina dan dia siap untuk mengumumkan dan membuka rahasia mereka selama ini. Mereka akan menghadapi kenyataan dengan muka terang. Untuk ini, Pangeran Kayabu yang menjadi sahabat setia dipanggil dan di­ajak berunding.

***

Pesta-pora diadakan di seluruh Ke­rajaan Khitan. Untuk keperluan pesta itu, persiapannya dibuat sampai berbulan-bulan. Undangan dibagi-bagi sampai jauh ke selatan. Adapun yang dirayakan ada­lah bermacam-macam. Terkumpulnya kembali keluarga Ratu, dan terutama sekali perjodohan antara Pangeran Talibu dan Puteri Mimi serta diangkatnya Pa­ngeran ini menjadi Raja Khitan menggantikan ibunya yang hendak mengundurkan diri.

Ketika hari dan saat upacara tiba, alun-alun yang luas depan istana yang biasanya dipergunakan untuk berlatih baris telah penuh dengan rakyat Khitan, sebagian besar tentara. Juga para tamu juga sudah memenuhi ruangan yang di­sediakan khusus untuk mereka. Tempat dihias indah dengan bunga-bunga, daun­-daun dan kertas berwarna. Sejak pagi tadi bunyi-bunyian musik ramai meme­riahkan suasana.

Ketika keluarga Ratu Yalina muncul di panggung, sorak-sorai rakyat Khitan menyambut mereka. Ratu Yalina mema­kai pakaian kebesaran, lengkap dengan pedang tanda kekuasaan. Kepalanya me­makai mahkota yang indah gemerlapan. Wanita ini nampak lebih cantik daripada biasa karena kebahagiaan.... hatinya ber­sinar-sinar pada wajahnya, membuat pipi­nya kemerahan dan matanya bersinar-sinar seperti bintang. Di sampingnya berjalan Suling Emas, dengan pakaian yang khas, yaitu pakaian model pemberian Kaisar Sung untuk Suling Emas, de­ngan gambar suling dan bulan di dada, Suling emas terselip di pinggangnya, Sikapnya tenang, wajahnya tersenyum dan kelihatan agung dan penuh wibawa, tidak canggung berdiri di dekat Ratu yang berkekuasaan besar itu. Kemudian muncul Pangeran Talibu dengan wajahnya yang tampan berseri, pakaiannya yang indah dan gagah. Di sampingnya berjalan Mu­tiara Hitam, juga amat indah pakaiannya dan gagah sikapnya. Di belakangnya ber­jalan Kiang Liong, wajahnya masih mem­bayangkan bekas kehancuran hati, namun yang ditutup dengan senyum pula. Lalu tampak Pangeran Kayabu bersama isteri dan puterinya yang cantik jelita, Puteri Mimi yang wajahnya cerah, senyumnya mendatangkan kegembiraan di hati setiap orang Khitan.

Setelah menerima penghormatan rak­yatnya yang bersorak-sorai, keluarga ratu ini mengambil tempat duduk yang sudah disediakan sambil mengangguk sedikit sebagai jawaban penghormatan para tamu yang bangkit berdiri menyambut mereka. Kemudian Panglima Kayabu bangkit ber­diri, maju ke pinggir panggung sehingga tampak oleh semua yang hadir, dengan suara lantang mengumumkan bahwa Sri­paduka Ratu yang mulia berkenan hendak menyampaikan amanat kepada rakyatnya. Tepuk-sorak gegap-gempita menyambut pengumuman ini, terus bergemuruh ketika Ratu Yalina bangkit berdiri di pinggir panggung dengan sikap agung. Ratu ini tersenyum lebar, deretan giginya putih kemilau dan matanya bersinar-sinar, hatinya terharu menyaksikan cinta kasih dan penghormatan rakyat Khitan kepada­nya. Ia mengangkat lengan ke atas dan berhentilah sorak-sorai itu. Keadaan menjadi sunyi sekali, seolah-olah di situ tidak ada orang, seolah-olah semua orang yang hadir menahan napas untuk men­dengarkan suara ratu mereka.

“Rakyatku sekalian,” terdengar suaranya, lantang nyaring dan merdu, ter­dengar oleh semua yang hadir sampai di ujung-ujung karena Ratu ini bicara sam­bil mengerahkan khi-kang, “Kalian semua sudah tahu untuk apa pesta ini diadakan, yaitu untuk merayakan beberapa hal yang menggirangkan hati keluarga kami. Akan tetapi, tentu kalian bertanya-tanya dalam hati apa sebetulnya yang terjadi dan mengapa tiba-tiba ratu kalian dapat berkumpul dengan keluarganya. Karena itu, aku mengambll keputusan untuk bicara dengan kalian untuk menceritakan keada­an kami sesungguhnya agar jangan terjadi salah tafsir.”

Ratu Yalina berhenti sebentar untuk menarik napas panjang. Suasana tetap hening, semua telinga ditujukan kepada­nya.

“Kalian semua tentu sudah tahu bah­wa sebelum menjadi Ratu Khitan, saya tinggal di selatan. Dan supaya kalian ketahui bahwa sesungguhnya yang mem­buat sampai kini ratu kalian tidak me­nikah adalah karena di selatan saya per­nah bersuami, dan suami saya adalah dia ini....“ Ratu Yalina mempersilakan Suling Emas berdiri. Pendekar ini tersenyum, kagum menyaksikan keberanian kekasih­nya mengumumkan rahasia itu, maka ia pun dengan tenang melangkah maju di sebelah Ratu Yalina. Sejenak semua orang tercengang, agaknya heran, kaget dan bingung. Akan tetapi siapa orangnya di Khitan yang tak pernah mendengar akan Suling Emas? Pendekar besar yang berkali-kali merupakan penolong bangsa Khitan. Maka meledaklah sorak-sorai, tangan melambai-lambai, topi dan pel­bagai benda dilempar ke atas seperti ramainya orang menonton pertandingan sepak bola!

“Hidup Suling Emas, suami Ratu Khitan....!” Demikian teriakan-teriakan ter­dengar yang makin lama makin meng­gema.

Suling Emas dan Ratu Yalina saling pandang. Dua titik air mata membasahi pelupuk mata Ratu itu. Hal yang paling gawat telah diucapkan dan hasilnya jauh lebih melegakan hati daripada yang me­reka khawatirkan. Ratu Yalina mengang­kat dengan kembali dan rakyat pun diam. Keadaan kembali hening.

“Kami mengaku telah melakukan ke­salahan bahwa hal ini dahulu kami raha­siakan. Akan tetapi hari ini akan kami umumkan semua rahasia. Pernikahan kami sebetulnya telah dikurniai dua orang anak, yang pertama sejak kecil diam­-diam kami serahkan kepada Panglima Kayabu untuk dirawat, dan yang kemudian kami angkat menjadi putera, yaitu Pangeran Talibu! Dia adalah putera kandung kami!”

Talibu yang sudah diberi tahu segera bangkit berdiri, tegak dan gagah di se­belah kiri ibunya, tersenyum memandang ke bawah, ke arah rakyatnya yang akan dipimpinnya, rakyat yang dicintanya. Kembali meledak sorak-sorai, kini lebih gemuruh karena rakyat amat bersukacita mendengar bahwa ternyata Pangeran Mahkota itu bukan putera angkat ratu, melainkan putera kandung. Untuk sejenak Ratu Yalina membiarkan rakyatnya ber­sorak-sorai, kemudian ia mengisyaratkan mereka diam.

“Adapun putera kami yang ke dua adalah seorang wanita dan yang kini sudah berkumpul pula di samping kami, bernama Kam Kwi Lan dan yang terke­nal dengan julukan Mutiara Hitam....!”

Kwi Lan meloncat dan berdiri disamping ayahnya. Rakyat kembali ber­sorak-sorai, penuh kekaguman dan kebanggaan, terdengar teriakan-teriakan

“Hidup Sang Puteri Mutiara Hitam....!”

Kwi Lan mengerling ke arah kakaknya, Pangeran Talibu tersenyum kepadanya dan matanya menjadi basah. Ia merasa seperti dalam mimpi, disebut puteri!

“Selesailah tugas kami membuka ra­hasia ini. Hati kami menjadi lapang ka­rena telah membuka rahasia dengan pe­ngumuman resmi sehingga rakyat dan semua tamu dari pelbagai kerajaan men­dengar akan keadaan kami. Betapapun juga, aku merasa bersalah telah menyim­pan rahasia ini dari rakyat sampai ber­tahun-tahun. Oleh karena inilah, meng­ingat bahwa usiaku pun makin bertambah, hari ini pula aku mengundurkan diri dari singgasana dan mahkota kerajaan kuserahkan kepada Pangeran Mahkota Talibu!”

Kini sorak-sorai yang terdengar men­jadi kacau-balau. Ada yang bergembira karena mendapat raja baru yang mereka juga sayang, ada yang kecewa karena ratu yang mereka cinta mengundurkan diri. Ratu Yalina yang tidak ingin mem­perlihatkan keharuan hati dan menangis di depan rakyatnya, segera mengajak mundur suami dan dua puteranya. Ia tadi tidak menyebutkan bahwa Talibu dan Kwi Lan adalah saudara kembar, karena hal ini akan mendatangkan keributan. Me­nurut tradisi dan kepercayaan turun-te­murun, saudara kembar laki wanita harus dljodohkan. Dan ia mengerti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan, dan bahwa selain Suling Emas juga kedua orang anak itu sendiri tidak akan melakukan­nya. Mereka kembali mundur dan duduk di tempat masing-masing.

Panglima Kayabu kini maju ke muka dan dengan lantang mengumumkan per­talian jodoh antara puterinya, Puteri Mimi dengan Pangeran Talibu, yang akan dirayakan bersamaan dengan pengangkat­an Talibu menjadi Raja Khitan. Kembali rakyat bersyukur dan bersorak gembira. Puteri Mimi yang tadinya tersenyum­-senyum, mendengar pengumuman itu, menundukkan muka dengan pipi merah dan mata basah sehingga ia digoda oleh Kwi Lan yang duduk di dekatnya.

“Kakak ipar yang baik, mengapa me­nangis?” kata Kwi Lan menggoda.

Mimi melirik, menggigit bibir dan mencubit lengan Kwl Lan. Akan tetapi mereka segera berangkulan dan keduanya menangis! Pada detik itu, habislah sudah rasa tidak enak di hati masing-masing, terganti kasih sayang antara saudara yang mesra.

Dan dimulailah pesta itu. Musik di­mainkan makin gencar. Pertunjukan pun dimulai, yaitu demonstrasi pasukan Khi­tan, ketangkasan naik kuda, memanah, dan lain-lain. Pihak tamu bergiliran datang menghampiri tempat kehormatan ratu untuk memberi selamat yang dibalas oleh Ratu Yalina dan Suling Emas sebagai­mana mestinya. Setelah para tamu yang memberi selamat habis, tampak seorang pemuda yang tersenyum lebar, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan, keluar dari rombongan tamu menghampiri tem­pat kehormatan itu bersama seorang wanita setengah tua dan seorang kakek cebol berkepala besar.

“Bibi Bi Li....!” Kwi Lan bangkit dan lari menubruk wanita itu, yang ditariknya menghadap ibunya. “Ibu, inilah dia Bibi Bi Li yang merawatku sejak kecil.”

Nyonya itu memang Phang Bi Li dan kini ia menjatuhkan diri berlutut depan Ratu Yalina. Oleh Yalina ia ditarik bangkit dan dipersilakan duduk di dekat­nya. Dengan terharu dan halus Ratu Yalina berkata.

“Kakak yang baik. Karena engkau mewakili aku menjadi ibu perawat anak­ku sejak kecil, kau adalah keluarga sen­diri. Duduklah di sini.” Mereka lalu bercakap-cakap dan betapapun juga, nyonya itu kelihatan sungkan dan malu-malu karena duduk di lingkungan keluarga besar.

“Hauw Lam, kau Berandal!” Pangeran Talibu dan Kiang Liong menegur sambil tertawa dan menyambut pemuda itu. Akan tetapi Hauw Lam lebih dulu mem­beri hormat kepada Ratu Yalina dengan berlutut.

Ratu Yalina tertawa. “Baiklah, Beran­dal. Aku sudah banyak mendengar ten­tang dirimu. Engkau merupakan tuan penolong anakku. Bangkit dan duduklah, kita di antara orang sendiri!”

Hauw Lam bangun dan menjura ke­pada Talibu, “Pangeran!” lalu kepada Kiang Liong sambil berkata, “Haii, Kiang-kongcu!”

“Heiii, dia bukan Kiang-kongcu lagi, melainkan Kam-kongcu! Dia putera ayah­ku dan kakakku sendiri, kenapa kau me­nyebut Kiang-kongcu.”

“Wah, sampai terpeleset lidah ini. Maafkan, Kam-kongcu....!” Sikap Hauw Lam yang lucu membuat dua orang pe­muda bangsawan itu tertawa.

Sementara itu, kakek cebol berkepala besar sudah disambut Suling Emas yang menjura dan berkata, “Selamat datang, Locianpwe. Sungguh kehadiran Locianpwe merupakan kehormatan besar.”

Kakek itu longak-longok, bahkan menghampiri panggung dan menjenguk ke bawah, membuat banyak orang tertawa. Akan tetapi kaum tua di Khitan yang melihat kakek ini menjadi terkejut, me­reka berbisik-bisik. Dahulu pernah kakek ini, puluhan tahun yang lalu, membikin geger Khitan dengan perbuatan-perbuatan yang lucu dan mengagumkan (dalam ce­ritaSULING EMAS ). “Heh-heh-heh, tidak ada perubahan di Khitan, bahkan di ba­wah pimpinan Ratu Yalina tampak makin maju saja. Heh-heh-heh!”

Melihat kakek ini, Ratu Yalina bang­kit dan tersenyum lebar. “Wah-wah, kalau ini bukan Bu-tek Lo-jin entah siapa lagi!”

Bu-tek Lo-jin membalik ke arah ratu, membungkuk sedikit dan berkata, “Re­jekimu besar, Ratu Yalina. Suamimu pendekar sakti yang hebat, anak-anakmu pun hebat. Asal saja kau tidak meman­dang rendah muridku, aku datang untuk mengajukan lamaran atas diri puterimu Si Mutiara Hitam yang galak itu agar menjadi isteri Tang Hauw Lam.”

Kata-kata yang lantang ini membuat semua keluarga Ratu berhenti bercakap­-cakap. Suasana hening, bahkan Hauw Lam yang biasanya pandai bicara, kini hanya menundukkan muka akan tetapi lirak-lirik ke arah Kwi Lan. Suling Emas dan Yalina maklum akan watak aneh dan keras dari Kwi Lan, maka urusan ini harus diserahkan kepada Kwi Lan sendiri. Sepanjang yang mereka dengar, sepak terjang Hauw Lam me­mang tidak mengecewakan sebagai se­orang pemuda gagah perkasa, akan tetapi mereka tidak berani memutuskan, apalagi mengingat akan pengalaman-pengalaman pahit yang menimpa diri Kwi Lan, yang pernah mencinta kakak kembar dan di­cinta kakak tiri seayah! Kedua orang ini setelah saling pandang lalu menoleh ke arah Kwi Lan.

Phang Bi Li tadinya merasa berat untuk memenuhi permintaan anaknya yang minta supaya dilamarkan puteri Ratu Khitan! Akan tetapi setelah ada kesanggupan dari Bu-tek Lo-jin yang akan bicara, ia terpaksa mau diajak ser­ta. Kini melihat keadaan di situ dan mendengar ucapan pinangan kakek itu yang begitu sederhana dan jujur tanpa banyak cing-cong lagi ia menjadi keta­kutan dan kembali ia menjatuhkan diri berlutut di depan Ratu Yalina.

“Mohon Paduka sudi mengampuni ke­lancangan kami....”

Yalina cepat-cepat membangunkan Phang Bi Li. “Ah, jangan begitu. Urusan jodoh ini kami serahkan keputusannya kepada anak kami sendiri.”

Kwi Lan yang kini menjadi pusat per­hatian bangkit berdiri dari bangkunya. Wajahnya pucat, matanya terbelalak, sebentar memandang Talibu, lalu Kam Liong, kemudian ke arah Hauw Lam. Si Berandal! Si Berandalmeminangnya. Ia tahu bahwa Berandal ini mencintanya. Kalau ia membuat perbandingan, orang yang pertama-tama ia akan pilih andai­kata bukan saudara, tentu Talibu. Orang ke dua agaknya Kam Liong. Setelah ter­nyata bahwa kedua orang muda itu ada­lah saudaranya sendiri, ia tidak tahu siapa yang berkenan di hatinya. Yu Siang Ki juga mencinta, akan tetapi pemuda itu sendiri bertunangan dengan Song Goat, dan ia tidak suka mempunyai sua­mi pengemis. Siangkoan Li, entah bagai­mana jadinya pemuda itu yang dahulu terseret ke dalam dunia sesat. Ia me­mandang Hauw Lam, teringat akan se­mua pengalamannya dengan pemuda ini, teringat betapa pemuda ini menyelamat­kannya dari Bu-tek Siu-lam, dan ia teringat kepada pemuda ini ketika terancam oleh Suma Kiat. Pemuda yang lucu, yang selalu mendatangkan kegembiraan pa­danya, bahkan yang lirak-lirik kepadanya dengan sikap wajar namun lucu. Tiba-tiba Kwi Lan tertawa bebas sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi tidak mengejutkan ayah bundanya. Gadis ini persis Lin Lin dahulu, Ratu Yalina sekarang.

Hauw Lam yang menanti dengan te­gang, melihat Kwi Lan tertawa ini, lalu bangkit dan berkata kepada gadis itu, “Mutiara Hitam, dahulu engkau menyebut aku Berandal dan aku menyebut engkau Mutiara Hitam, keadaan kita dahulu se­derajat. Akan tetapi sekarang, engkau seorang puteri kerajaan dan aku.... tetap Berandal maka kalau engkau tidak setuju terus terang sajalah.”

Kwi Lan menjawab, “Sekarang pun masih sama, apa bedanya?”

“Jadi....?”

“Jadi...., apa....?”

“Jadi kau setuju....?”

Kwi Lan menggigit bibir, lalu meng­angguk! Hauw Lam saking girangnya hanya melongo! “Tapi terus terang saja, biarpun aku suka menjadi isterimu, aku tidak cinta padamu, Berandal!”

Luar biasa percakapan antara dua orang muda ini. Di depan begitu banyak orang bicara tentang cinta seperti orang bicara tentang pakaian atau topi saja! Mereka kecelik kalau mengira Hauw Lam terpukul oleh pengakuan ini. Sama sekali tidak, ia menjawab dengan suara sewa­jarnya.

“Orang macam aku mana boleh ba­nyak mengharap? Aku mencintamu bukan karena ingin kaucinta. Aku mencintamu karena ingin melihat kau bahagia, ingin membikin hidupmu cemerlang penuh ke­gembiraan. Aku ingin seperti matahari, memberi penerangan dan kehangatan kepadamu tanpa mengharap kauingat atau cinta padaku. Aku ingin menjadi suamimu agar aku dapat selalu menjagamu, melindungimu, menghiburmu, melihat engkau bahagia, karena kebahagiaanmulah yang menjadi dasar kebahagiaanku. Hebat pengakuan ini, dalam hati mereka yang jatuh cinta merupakan sindiran dan pe­tuah yang amat menusuk hati. Memang sebagian besar orang muda kalau bercin­ta terlalu egois, hanya ingin meminta, meminta dan meminta. Minta dicinta, minta diperhatikan, minta dimanja. Lupa untuk memberi! Cinta itu adalah kasih sayang. Cinta itu sifatnya memberi, bukan meminta. Cinta yang meminta itu bukan mencinta orang lain namanya, melainkan mencinta diri sendiri terdorong hasrat ingin memiliki, ingin memonopoli dia yang dicinta. Cinta macam ini seper­ti cinta akan benda yang indah.

“Kalau aku kelak meninggalkanmu?”

“Engkau takkan meninggalkan aku tanpa sebab, karena aku akan selalu berusaha menyenangkan hatimu, tak usah kautinggal, kau minta saja aku pergi sendiri.”

“Kalau aku mati?”

“Aku akan ikut! Aku takut kau di sana akan kesepian dan susah....”

Meledak suara ketawa Bu-tek Lo-jin, “Huah-ha-ha-ha-ha! Coba cari, di dunia ini mana ada pencinta seperti mu­ridku? Mutiara Hitam, kalau engkau ti­dak menerima dia, engkau akan kehilang­an! Ha-ha-ha!”

“Aku suka sekali mempunyai adik ipar Si Berandal!” Tiba-tiba Pangeran Talibu yang suka sekali kepada pemuda ini ber­kata.

“Saudara Tang Hauw Lam memang patut menjadi suami Kwi Lan,” kata Kam Hong.

Kwi Lan tidak merasa terdesak oleh ucapan-ucapan ini, memang ia sudah mengambil keputusan. Ia tidak suka ting­gal di dalam istana, terikat oleh segala macam peraturan. Tadi saja ia sudah merasa canggung dan kikuk, tidak bebas. Kalau bersama Berandal, ia akan seperti burung. Sepasang burung terbang di ang­kasa, bercumbu dengan angin.

“Aku terima pinanganmu, Berandal. Selanjutnya terserah Ayah Ibu,” kata Kwi Lan sambil dudukkembali .

“Terima kasih,” jawab Hauw Lam sambil duduk juga, wajahnya makin ber­seri-seri.

Semua orang tertawa. Belum pernah selamanya mereka mendengar, apalagi melihat, peminangan dan penerimaan seperti yang dilakukan kedua orang muda itu. Suasana makin gembira ketika kakek cebol itu dijamu oleh Suling Emas. Kini Puteri Mimi mendapat kesempatan mem­balas Kwi Lan dengan godaan-godaannya. Dua orang gadis ini berbisik-bisik dan cekikikan sendiri, entah apa yang dibica­rakan kedua calon pengantin itu.

Dalam kegembiraan ini, Kam Liong teringat akan adik misannya, Suma Kiat. Ia menarik napas panjang, diam-diam menaruh kasihan kepada putera bibinya itu. Setelah terjadi peristiwa dengan Kwi Lan dan setelah Ratu Yalina mendengar pengakuan Kwi Lan akan semua perbuatan Suma Kiat yang amat tidak patut, pemuda itu diusir. Akan tetapi Ratu Yalina masih ingat kepada keponakannya, memberi kuda yang baik dan perbekalan, yang cukup, ditambah sekantung emas. “Ah, kalau saja Suma Kiat tidak mewarisi kegilaan Ibunya, tentu kini ikut bergembira pula, sebagai anggauta keluarga. Gembirakah dia? Entah, dia sendiri tidak tahu. Kenyataan bahwa Kwi Lan adalah adik seayah, merupakan hantaman batin yang membuat hatinya kini kosong melompong. Ia tidak mungkin dapat seperti Hauw Lam, ia terlalu romantis dan sela­lu ingin dicinta wanita!

Selagi semua orang bergembira dan berpesta tiba-tiba muncul dua orang kakek tua renta yang aneh bersama se­orang pemuda yang tampan berambut panjang. Dua orang kakek itu pakaiannya tidak karuan, juga rambutnya awut-awut­an seperti dua orang gila, yang seorang bermuka putih, yang kedua bermuka merah.

Hauw Lam dan Kwi Lan segera me­ngenal pemuda itu. Siangkoan Li! Dan dua orang kakek itu adalah manusia­manusia sakti Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li! Suling Emas juga mengenal dua orang kakek ini. Hatinya tidak enak. Dua orang kakek ini terkenal tukang bikin ribut, seperti Bu-tek Lo-jin. Hanya bedanya kalau Bu-tek Lo-jin suka melucu dan tidak mau berlaku jahat, adalah dua orang kakek ini tidak peduli apakah per­buatan mereka termasuk baik ataukah jahat. Cepat ia bangkit menyambut dan menjura.

“Selamat datang di Khitan, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Silakan du­duk.”

“Ha-ha, Suling emas, kau makin gagah saja. Kabarnya kau menjadi suami Ratu Khitan. Ha-ha, kionghi-kionghi (selamat)! Tidak usah duduk. Aku dan Pek-bin-twa­ko ini datang hanya karena ditangisi murid kami, Siangkoan Li ini. Kami da­tang hendak meminang Mutiara Hitam!” kata Lam-kek Sian-ong sambil menunjuk muridnya yang sudah menjatuhkan diri berlutut ke arah keluarga tuan rumah.

Suling Emas terkejut. Benar, saja du­gaannya. Dua orang kakek ini datang untuk membikin ribut. Memang benar mereka baru datang dan tidak tahu bah­wa puterinya telah dijodohkan dengan Hauw Lam, namun cara mereka datang ini jelas menantang keributan. Biarpun maklum akan kelihaian mereka berdua, namun pendekar sakti ini tidak takut. Dengan hormat ia menjawab.

“Mutiara Hitam adalah puteriku. Ba­nyak terima kasih saya ucapkan atas kecintaan Ji-wi Sian-ong dan kehormatan yang diberikan, akan tetapi hendaknya maklum bahwa baru saja anakku ini telah dljodohkan dengan pemuda lain.”

Siangkoan Li mengangkat muka, me­mandang ke arah Kwi Lan yang juga memandang kepadanya. Wajah yang tampan itu kelihatan merah, dan matanya bergerak-gerak menyapu mereka yang hadir. Diam-diam Kwi Lan merasa heran karena sikap pemuda ini berbeda jauh sekali dengan dahulu, biarpun masih pen­diam dan serius, namun matanya liar!

“Bunuh saja si penghalang!” terdengar Pak-kek Sian-ong berkata, suaranya di­ngin sekali, mengerikan.

“Ho-ho-ha-ha-ha! Sepasang tua bangka gentayangan masih belum mampus, sudah mendekati neraka masih belum merasa panas. Ho-ho-ha-ha!” Bu-tek Lo-jin yang sedang duduk di bangku menenggak arak, tertawa dan... bangku yang ia duduki terbang dan turun ke depan dua orang kakek itu. Dia sendiri masih minum arak dari guci. Setelah arak habis ia turun dari bangkunya, menghadapi dua orang Sian-ong itu.

“Mutiara Hitam gadis galak telah men­jadi calon isteri muridku. Kalian mau apa? Ho-ho, kita tua sama tua, mau mengajak apa kalian? Bertengkar saling maki? Boleh! Gelut? Pukul-pukulan? Apa saja kulayani, minta lagu apa kuturuti. Hayoh....!” Bu-tek Lo-jin memang terke­nal mempunyai hobby (kegemaran) berke­lahi. Ia senang berkelahi baik saling maki maupun saling gasak!

“Ji-wi Sian-ong harap sudi memaafkan dan memaklumi keadaan. Ji-wi datang terlambat dan jodoh adalah di tangan Thian. Harap tidak menimbulkan keribut­an,” kata Suling Emas, sikapnya dan suaranya halus, namun di balik kata-ka­tanya mengandung peringatan.

Dua orang kakek saling pandang. Me­reka tentu saja tidak gentar biarpun berada di negara orang. Akan tetapi mereka mengenal siapa kakek cebol ini. Bu-tek Lo-jin adalah orang ke dua setelah Bu Kek Siansu yang memiliki tingkat lebih tinggi daripada mereka. Mungkin dengan maju berdua, mereka akan dapat mengimbangi Bu-tek Lo-jin, akan tetapi harus diingat bahwa di situ hadir pula Suling Emas yang lihainya luar biasa pula. Belum lagi Ratu Yalina yang ka­barnya hebat ilmunya, dan orang-orang muda murid orang-orang sakti.

“Ha-ha-ha! Bu-tek Lo-jin, kami sung­kan membikin ribut rumah orang. Urusan antara kita ini kelak kita bereskan. Su­ling Emas, memang murid kami tidak ada jodoh dengan puterimu! Hayo, Siang­koan Li, kau bocah sial dangkalan. Per­gi!” Lam kek Sian-ong menarik lengan muridnya, bersama Pak-kek Sian-ong lalu pergi dari situ tanpa pamit lagi.

Gangguan ini menimbulkan rasa tidak enak, akan tetapi hanya sebentar saja dan pesta dilanjutkan dengan meriah.

Beberapa bulan kemudian, pernikahan ganda dirayakan di Khitan. Pernikahan antara Talibu dengan Mimi dan Hauw Lam dengan Kam Kwi Lan. Setelah me­nikah, Talibu lalu diangkat menjadi raja baru di Khitan.

Tang Hauw Lam bersama Kwi Lan lalu meninggalkan Khitan untuk pergi merantau seperti yang dikehendaki Kwi Lan, seperti burung di angkasa. Adapun Suling Emas yang sudah resmi menjadi suami Ratu Yalina, mengundurkan diri menikmati hari tua di sebuah puncak yang indah dari Pegunungan Go-bi-san. Phang Bi Li tidak mungkin dapat ikut puteranya merantau, oleh Yalina diminta tinggal di istana Khitan di mana ia hidup tenteram dan melayani Mimi dengann kasih sayang.

Kam Liong meninggalkan Khitan, pergimerantau. Ia sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak kehilangan watak romantisnya dan sewaktu-waktu bersedia melayani kasih sayang seorang wanita cantik di mana saja,hanya sebagai keisengan belaka, bukan karena dorongan asmara. Namun, kese­nangan ini pun tidak membuatnya menye­leweng daripada kebenaran. Tak pernah ia mengganggu dan memaksa wanita, tak pernah membujuk. Dan di samping ini, ia tidak pernah lupa untuk berdarma bakti sebagai seorang pendekar. Dari Kaisar Sung ia sudah mendapat pengampunan berkat permohonan Suling Emas yang diperkuat oleh Ratu Yalina sehingga namanya terhapus sebagai orang buruan, dan ia dapat bebas menengok ibunya di kota raja.

Bagaimana dengan Yu Siang Ki? Pe­muda ini mencari Song Goat di dalam kuil, bertemu dan bahkan Song-yok-san­-jin berada pula di situ. Akhirnya Siang Ki bersama Song Hai berhasil membujuk dan mencairkan kemarahan hati Song Goat, dan dua orang muda ini pun meni­kah. Siang Ki yang sudah menyerahkan urusan kai-pang kepada supeknya, Ong Toan Liong, meninggalkan dunia kai-pang dan hidup sebagai pengusaha toko obat yang dipimpin oleh ayah mertuanya.

Mereka bertiga hidup penuh kebahagiaan, dan cinta kasih yang murni dari Song Goat akhirnya mendapat kemenangan dengan menghidupkan cinta kasih di hati Siang Ki. Kadang-kadang kalau teringat akan Kwi Lan, Siang Ki suka menggeleng kepala sendiri dan baru sekarang terbuka matanya bahwa andaikata ia menjadi suami Kwi Lan yang keras hati dan aneh wataknya, belum tentu ia akan sebahagia di samping Song Goat yang lemah lembut dan halus ini.

Suma Kiat tidak ada kabar ceritanya lagi, entah ke mana perginya pemuda yang bernasib malang itu. Banyak orang yang suka mengenangkan keadaannya dan menaruh kasihan, akan tetapi juga kha­watir kalau-kalau pemuda yang tidak waras otaknya dan memlliki kepandaian tinggi itu akan menimbulkan huru-hara di tempat lain.

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, dua orang puteri mendiang Kam Bu Sin, kini ikut bersama paman kakeknya, Kauw Bian Cinjin yang berdiam di puncak Tai­-liang-san. Dua orang gadis yang malang ini selalu berdua dan gelisah kalau ter­ingat akan adik mereka, Kam Han Ki. Kemanakah perginya Kam Han Ki? Se­perti kita ketahui, anak ini dibawa oleh kakek sakti setengah dewa Bu Kek Sian­su dalam keadaan terluka parah dan bagaimana nasib anak ini selanjutnya, tunggu saja dengan sabar sampai penga­rang cerita ini menyusun sebuah cerita baru yang hebat!

Sampai di sini ceritaMUTIARA HI­TAM ini berakhir, dengan harapan pe­ngarang semoga merupakan bacaan hiburan bermanfaat bagi para pembaca dan sampai jumpa di lain cerita!

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar