Selasa, 04 Juni 2013

raja pedang [2]

memang nyawanya sudah di bibir kematian. Kemudian secara kebetulan sekali Koai Atong yang berotak tidak beres itu memukulnya dengan tenaga Jing tok ciang, malah melukainya dengan anak panah yang ujungnya sudah dilumuri racun hijau. Hawa pukulan dan racun ini cepat sekali menjalar diseluruh tubuh melalui jalan darahnya dan terjadilah perang tanding yang hebat antara hawa thai yang dari tiga butir oil itu dengan tenaga Im kang dari pukulan Jing tok ciang dan racun hijau. Dalam keadaan kedua hawa yang bertentangan dan bergulat itulah Siok Tin Cu melihat Beng San seperti sudah mati.

Memang agaknya sudah dikehendaki oleh Tuhan bahwa nyawa anak itu belum tiba saatnya kembali ke alam baka. Semalam suntuk kedua hawa mujijat itu bertempur di dalam tubuhnya dan seperti biasanya kalau racun bertemu dengan racun yang berlawanan, menjadi punah. Bahkan sebaliknya, bukannya terancam nyawanya, tanpa disadarinya tubuh Beng San di bagian dalam mengandung kedua hawa ini yang sudah dibikin normal oleh percampuran itu, mendatangkan kekuatan yang luar biasa.

Demikianlah, pada keesokan hrinya Beng San sadar, seakan-akan baru bangun dari kematian. Ia merasa tubuhnya dingin bukan main sampai giginya berketrukan. Ia teringat akan pengalamannya, ketika ia dijejali pil oleh tosu yang mengaku bernama Siok Tin Cu. Teringat akan ini ia menjadi marah dan meloncat bangun. Alangkah kagetnya dia, ketika tubuhnya mumbul sampai satu meter lebih. Rasanya tubuhnya begitu ringan seperti bulu ayam Akan tetapi hal ini tidak diperhatikannya lagi karena segera ia terserang rasa dingin yang bukan main hebatnya. Ia teringat bahwa ketika habis dijejali pil oleh tosu itu ia merasa tubuhnya seperti dibakar, kenapa sekarang sebaliknya begini dingin? Beng San menggigil dan lari ke sana kemari mencari tempat berlindung. Disangkanya bahwa hawa udara di hutan itu yang luar biasa dinginnya.

Kebetulan sekali ia melihat kulit ular atau selongsong kulit ular bergantungan di sebuah pohon besar. Tadinya ia kaget, mengira bahwa itu adalah binatang ular. Akan tetapi setelah dilihat bahwa itu hanyalah selongsong daja, ia segera memanjat pohon dan mengambil selongsong itu. Kiranya seekor ular besar sekali telah berganti kulit disitu dan selongsongnya yang kering tergantung disitu. Beng San seorang anak cerdik. Ia membutuhkan selimut dan selongsong kulit ular ini kiranya boleh dipergunakan sebagai selimut darurat. Segera ia membungkus dirinya dengan selongsong kulit ular yang panjang dan lebar itu. Benar saja, ia merasa agak hangat badannya dan perasaan ini demikian nyamannya membuat ia melupakan perut laparnya dan tertidur lagi terbungkus kulit ular. Tentu saja ia tidak tahu bahwa kehangatan yang datang kepadanya itu adalah wajar. Pertama, karena hawa pukulan Jing tok ciang itu mulai menghilang, bercampur dengan hawa thai yang, kedua kalinya secara kebetulan sekali pada kulit ular itu terdapat hawa beracun dari ular yang berganti kulit, dan hawa beracun ini mengandung hawa panas pula.

Itulah sebabnya mengapa Beng San bukan saja terhindar dari bahaya maut, malah sebaliknya ia mendpatkan keuntungan yang luar biasa, yaitu tubuhnya terkandung hawa mujijat akibat percampuran hawa Yang dan Im yang kuat sekali. Satu-satunya hal yang sampai pada saat itu masih sering kali ganti berganti menyerangnya, namun hal itu sudah tidak begitu mengganggunya lagi karena tubuhnya menjadi biasa dan seperti kebal. Hanya kulitnya yang masih belum dapat menahan sehingga tiap kali hawa panas menyerang, kulit tubuh, terutama kulit mukanya menjadi merah seperti udaang direbus, akan tetapi tiap kali hawa dingin yang menyerang, mukanya berubah menjadi hijau.

Kit kembali kepada pertemuan Beng San dan Kwa Hong. Lenyap kengerian dan ketakutan hati Kwa Hong setelah mendapat kenataan bahwa apa yang disangkanya siluman ular itu ternyata adalah seorang anak laki-laki yang hanya lebih besar sedikit daripada dirinya sendiri. Tadinya ia hendak tertawa saking geli hatinya, akan tetapi mana bisa dia tertawa kalau begitu bicara anak laki-laki itu menghinanya ? ia dikatakan menggigil kakinya seperti orang sakit, tapi masih berlagak gagah. Yang menggemaskan kata-kata itu memang .. betul. Memang tadi kedua kakinya menggigil dan tubuhnya gemetaran. Siapa orangnya tidak akan takut kalau mengira bertemu dengan siluman?

“Setan cilik, kenapa kau main-main dan menakut-nakuti orang? Kalau tidak mengira kau siluman, mana aku takut kepada orang semacam engkau?” Kwa Hong membentak, cemberut. Dengan sikap menunjukkan bahwa kini ia sama sekali tidak takut lagi Kwa Hong menyimpan kembali pedangnya di belakang punggung lalu menggerakkan kepala sehingga rambutnya yang panjang itu berjuntai ke belakang.

Melihat sikap gagah-gagahan dan galak dari nona cilik ini, Ben San tertawa cekikikan dan tampaklah deretan giginya yang kuat dan putih.

“Eh, kenapa kau tertawa-tawa?” Kwa Hong penasaran dan marah, kedua tangan dikepal, matanya bersinar-sinar karena mengira bahwa dia telah ditertawakan.

Beng San tidak menjawab, malah hatinya makin geli dan tertawanya makin keras.

Biasanya ia melihat anak perempuan sebagai makhluk-makhluk yang lemah-lembut, sekarang melihat lagak Kwa Hong yang membawa-bawa pedang ia merasa lucu sekali.

“Hei, kepala keledai, kenapa kau cekikikan?” Kwa Hong membentak lagi, kini melangkah maju.

Dengan mulut masih terenyum lebar Beng San balas bertanya, “Aku tertawa atau menangis menggunakan mulut sendiri, kenapa kau rebut-ribut?” dan ia tertawa lagi, malah sengaja ketawa keras-keras.

Kwa Hong terpukul dan makin mendongkol. “Kau kira mukamu kebagusan, ya?

Tertawa-tawa seperti monyet. Mukamu jelek sekali, tahu?”

Beng San makin geli, matanya bersinar-sinar biarpun masih nampak sipit karena kedua pipinya memnag masih bengkak-bengkak membuat mukanya mirip muka kodok. Pada saat itu, hawa dingin sudah mulai meninggalkannya, terganti hawa panas membuat mukanya yang tadi kehijauan sekarang berubah menjadi merah.

Melihat perubahan ini Kwa Hong tertawa geli, ketawanya bebas lepas dan ia nampak makin cantik kalau tertawa karena dari kedua pipinya tiba-tiba muncul lesung pipit yang manis. “Hi hi hi, kau buruk sekali, mukamu berubag-ubah warnanya, hihi hi seperti bunglon ..”

Panas juga perut Beng San ditertawai seperti ini, ia membalas dengan suara ketawa yang keras, mengalahkan suara ketawa Kwa Hong. “Ha..ha..ha, mukamu pun buruk bukan main seperti … seperti kuntilanak.”

Kwa Hong berhenti tertawa. “Kuntilanak? Apa itu?”

Seketika Beng San juga berhenti tertawa karena dia sendiri juga tidak pernah tahu apa macamnya kuntilanak “Kuntilanak ya kuntilanak … “

“Seperti apa?”

“Seperti .. ah, sudahlah, buruk sekali, seperti engkau inilah”

“Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya.

“Bohong” Kwa Hong membentak. “Aku cantik manis, semua orang bilang begitu, ayah bilang begitu.”

Beng San tersenyum mengejek, “Cantik manis? Puuhhhh Mungkin sekarang, akan tetapi dulu ketika baru lahir kau ompong dan kisut, buruk sekali dah”

Kwa Hong membanting-banting kakinya, ia memang manja dan setiap orang yang melihatnya tentu memuji kecantikan dan kemanisannya, masa sekarang ada orang yang memburuk-burukkannya seperti ini. mana dia mau menerimanya?

“Mulutmu berbau busuk Aku cantik manis sekarang, dulu maupun kelak, tatap cantik.”

“Cantik manis juga kalau galak dan berlagak sombongm, siapa suka? Galak dan sombong seperti … seperti ….”

“Seperti apa?” Kwa Hong menantang.

“Seperti .. Jui bo (untilanak) …”

“Kuntilanak lagi. Seperti apa sih kuntilanak itu ?”

“Seperti kau inilah” Beng San menjawab mengkal karena dia sendiri pun belum pernah melihat seperti apa adanya setan betina yang sering kali orang sebut-sebut.

Kwa Hong marah. “Kau seperti bunglon”

“Kau seperti Kui bo” Beng San membalas.

“Bunglon”.

“Kui Bo”

“Bunglon, bunglon, “Bunglon”.

“Kui Bo, Kui Bo, Kui Bo”

dua orang anak-anak itu, seperti lazimnya semua anak-anak di dunia ini kalau cekcok, balas membalas dengan poyokan. Kwa Hong kalah keras suaranya dan melihat Beng San memoyokinya sambil tertawa-tawa, menjadi makin marah.

“Bunglon, katak, monyet Kau bilang aku seperti kuntilanak, apa sih sebabnya?”

“Kau berlagak dan sombong sekali. Anak perempuan bernyali kecil masih pura-pura membawa pedang ke mana-mana. Kurasa dengan pedang itu kau tidak mampu menyembelih seekor katak sekalipun Huh, sombong.”

“Sraatt” tahu-tahu pedang sudah berada di tangan Kwa Hong yang memuncak kemarahannya. “Menyembelih katak? Menyembelih bunglon macammu pun aku sanggup”

pedang digerakkan. “Syeettt … syeeettt” dua kali pedang berkelebat dan …

selongsong kulit ular yang membungkus tubuh Beng San terbelah dari atas kebawah dan jatuh ke bawah, dalam sekejap mata saja Beng San berdiri .. telanjang bulat di depan Kwa Hong Memang ketika mempergunakan selimut istimewa itu, Beng San menanggalkan pakaiannya yang basah oleh peluh dan sekarang pakaian itu digantungkannya pada batang pohon. Pada masa itu, usia sembilan tahun bagi seorang anak perempuan sudah cukup besar untuk membuat Kwa Hong menjerit dan membalikkan tubuh dan membelakangi Beng San, mulutnya memaki-maki.

“Kadal Bunglon Monyet .. tak tahu malu kau …”

Beng San juga kaget dan malu sekali. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dengan pedangnya bocah itu mampu membelah selongsong ular sedemikian rupa sehingga ujung pedang taf\di hampir saja menggurat kulit perutnya. Cepat dia lari menyambar pakaiannya dan segera memakainya.

“Kau yang tak tahu malu, kau yang kurang ajar” Beng San marah marah. “Main-main dengan pedang,. Kalau kena perutku tadi, apa aku tidak mati?”

“Mampus juga slahmu sendiri,” Kwa Hong menjawab sambil memutar tubuh.

Sekarang ia melihat Beng San dalam pakaina yang kotor butut dan tambal-tambalan.

“Huh,” ia menjebi, “kiranya hanya pengemis.”

“Kuntilanak Aku tak pernah mengemis apa-apa padamu.”

Pada saat itu, Kwa Tin Siong sudah berlari-lari sampai di tempat itu. Dia mendengar percekcokan terakhir ini dan datang-datang ia menegur puterinya.

“Hong ji, tak boleh kau menghina orang, tak boleh bercekcok. Pengemis adalah saudara kita.” Datang-datang jago Hoa san pai yang pikirannya selalu penuh dengan ujar-ujar pelajaran Khong Cu telah menasehati puterinya dengan sebuah ujar-ujar yang lengkap berbunyi : “Di seluruh penjuru lautan, semua manusia adalah saudara.”

Beng San yang memang berwatak nakal dan berani, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan. “Bagus, bagus Puas, puas Maka harus ingat selalu bahwa kalau tidak mau dihina orang lain janganlah menghina orang lain.”

Seperti sudah diceritakan dibagian depan, semenjak kecilnya Beng San dijejali kitab-kitab kuno oleh para hwesio di Kelenteng Hok thian tong, di antaranya juga kitab-kitab Su si Ngo keng yang sudah dihafalkannya, maka dia pun masih banyak hafal akan ujar-ujar nabi Khong Cu. Yang dia ucapkan tadi pun merupakan sebuah ujar-ujar yang lengkapnya berbunyi : “Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kau tidak suka orang lain melakukannya kepadamu.”

Melihat sikap Beng San, Kwa Tin Siong mengerutkan kening, kemudian terheran-heran. Apalagi melihat pakaina Beng San yang buruk dan melihat pula selongsong kulit ular disitu, ia mengira bahwa beng San tentulah murid seorang pandai. Ia sedang terburu-buru dan ada urusan besar, tidak baik kalau sampai terjadi hal-hal tidak enak dengan tokoh lain. Maka ia lalu menarik tangan Kwa Hong dan berkata.

“Mari, Hong ji. Mari kita pergi. Aku tadi membunuh seekor ular besar, kita boleh makan dagingnya sebelum melanjutkan perjalanan.”

Kwa Hong tak berani membantah, hanya memandang kepada Beng San dengan mata berapi dn mulut cemberut. Kwa Tin Siong tersenyum, sebelum pergi menoleh kearah Beng San yang berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar. Kembali Kwa Tin Siong terheran-heran melihat betapa kulit muka yang bengkak-bengkak itu menjadi agak kehijauan, padahal tadinya merah sekali. Ia merasa heran dank arena tidak melihat hawa beracun keluar dari tubuh pemuda cilik itu, maka ia tidak menduga bahwa anak ini telah mempelajari semacam ilmu mujijat yagn memang pada waktu itu banyak dimiliki tokoh-tokoh kang ouw.

Mendengar orang bicara tentang “daging” dan tentang “makan”, seketika perut Beng San memberontak lagi. Perutnya melilit-lilit dan ia tak dapat menahan lagi kedua kakinya yang berjalan mengikuti ayah dan anak itu dari jauh. Berindap-indap ia menghampiri ketika mencium bau asap yang amat wangi dan gurih. Setelah dekat dia melihat betapa Kwa Tin Siong dibantu oleh anak perempuan yang galak tadi sedang membakari potongan-potongan dagingular. Ularnya kelihatan menggeletak tak jauh dari situ, ular besar sekali yang tentu banyak dagingnya. Beng San beberapa kali menelan ludahnya. Ketika ayah dan anak itu ramai-ramai makan panggang daging ular, Beng San membalikkan tubuhnya, tak mau melihat.

“Ayah, lihat itu pengemis yang tadi datang lagi.” Tiba-tiba terdengar Kwa Hong berkata nyaring.

Dengan perut panaas Beng San menoleh dan memandang dengan mata mendelik.

Kwa Tin Siong tersenyum dan berkata kepada Beng San, “Anak baik, apakah kau lapar?”

Beng San berwatak angkuh tapi jujur. Ia mengangguk mendengar pertanyaan yang dikeluarkan dengan sikap ramah dan halus itu.

“Kau mau mengemis daging ular?” Kwa Hong mengejek.

“Tidak” Beng San membentak dan membalikkan mukanya lagi.

Kwa Tin Siong diam-diam kagum juga melihat anak jembel yang berwatak angkuh itu. Ituah sikap jantan yang jarang terdapat pada diri anak-anak, apalagi anak jembel.

Dengan halus ia bertanya.

“Anak baik, apakah kau mau minta daging ular?”

Beng San menoleh sebentar dan dengan mengeraskan hatinya ia menjawab, halus tidak membentak seperti ketika menjawab Kwa Hong tadi.

“Tidak, lopek (paman tua), aku tidak minta.”

Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Jawaban kali ini adalah jawaban seorang anak baik-baik yang mengerti akan tata susila dan kesopanan. Ia dapat menjenguk isi hati anak itu yang agaknya memiliki keangkuhan besar, biarpun hampir kelaparan tidak mau minta-minta. Anak luar biasa, pikirnya.

“Anak baik, boleh aku mengetahui namamu?”

“Namaku Beng San, anak korban banjir, tiada orang tua, tidak tahu lagi she apa.”

Sekaligus ia menjawab kaarena tidak suka kalau dihujani pertanyaan selanjutnya.

Kembali Kwa Tin Siong tertegun. Kasihan sekali anak ini, agaknya semenjak kecil terpaksa harus hidup terlunta-lunta seorang diri.

“Beng San, aku Kwa Tin Siong dan ini anakku Kwa Hpng. Kau tidak minta makanan, akan tetapi aku memberi kepadamu, kau mau, bukan ?” orang tua itu mengambil dua potong panggang daging ular dan memberikannya kepada Beng San.

Anak itu menerima tanpa menyatakan terima kasihnya karena ia melihat Kwa Hong memandang dengan senyum mengejek. Begitu menerimanya ia mengembalikannya kepada Kwa Hong.

“Tak pernah aku menerima pemberian yang tak rela,” katanya singkat.

“Hong ji” Kwa Tin Siong membentak anaknya. “Jangan kau kurang ajar. Daging ini ayah yang dapat, bukan kau” ia membujuk supaya Beng San suka menerimanya dan Kwa Hong tidak berani lagi senyum-senyum mengejek seperti tadi.

Setelah yakin bahwa pemberian itu rela, Beng San segera makan daging ular itu.

Aduh lezatnya, sedapnya, gurihnya. Dengan lahap Beng San makan dan sekejap mata saja habislah dua potong daging itu. Kwa Tin Siong yang diam-diam melirik menjadi terharu. Ia tahu bahwa kalau ia memberi terus menerus, anak itu akan tersinggung kehormatannya, maka karena ia dan Kwa Hong sudah merasa kenyang, ia lalu berdiri dan berkata kepada Kwa Hong.

“Hong ji, mari kita lanjutkan perjalanan. Kita harus mencari kudaku yang tadi melarikan diri.” Kemudian kepada Beng San ia berkata.

“Beng San, karena kami sudah tidak memerlukan lagi daging ular, maka kuberikan sisa daging ular ini kepadamu, juga sisa garam dan bumbu ini. kau pangganglah sendiri. Nah, selamat tinggal anak baik.”

Melihat sikap ini Beng San segera menjatuhkan diri berlutut. “Kwa Tin Siong lopek, kau benar-benar seorang mulia. Aku Beng San tak kan mudah melupakan kau dan mudah-mudahan saja kelak aku mendpatkan kesempatan untuk membalas kebaikanmu ini.”

Sekali lagi Kwa Tin Siong terkesiap. Bukan main anak ini, memiliki pribudi pula. Ia mengangguk angguk dan diam-diam ia mencatat nama Beng San di dalam hatinya.

Dan sebelum mereka berpisah antara Beng San dan Kwa Hong kembali terjadi “adu sinar mata” keduanya berapi dan gemas.

Setelah ayah dan anak itu pergi, Beng San berpesta pora. Ia memegang daging ular sebanyaknya dan masih panas-panas dia sudah tak sabar menanti, terus saja dimakannya. Sambil makan ia tersenyum-senyum kalau teringat akan kebaikan sikap Kwa Tin Siong, akan tetapi ia menggerutu kalau teringat akan Kwa Hong.

“Kui bo … “ makinya keras-keras. “Kuntilanak …. Cantik manis, genit dan galak.

Kui bo, Kui Bo, Kui boo Nah, kumaki kau sampai puas, mau apa sekarang Kui bo”

tiba-tiba dari atas puncak pohon besar terdengar suara orang perempuan tertawa mengikik, “Hi hi hi hi”

Beng San meloncat berdiri, menoleh ke kanan kiri. Disangkanya Kwa Hong datang kembali. Akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang. Ia menjadi gemas, dikiranya Kwa Hong datang lagi dan mengganggunya atau bersembunyi.

“Kuntilanak kau Kui bo, perlu apa datang menggangguku?”

kembali terdengar suara ketawa seperti tadi, kini tepat di atas kepala BengSan. Anak itu cepat mendongak, memandang ke pohon di atasnya, diantara daun-daun dan cabang-cabang pohon. Namun, seekor burungpun tak tampak dan suara ketawa itu masih terdengar disitu. Tiba-tiba suara itu pindah ke lain pohon, juga terdengar di puncak sambung menyambung, “Hi hi hi hi”

beng San adalah seorang anak pemberani. Akan tetapi setidaknya ia pernah tinggal di kelenteng dan pernah mendengar cerita-cerita tahyul dari beberapa orang hwesio, maka sekarang ia mulai merasa bulu tengkuknya meremeng. Betapapun juga, ia mengeraskan hatinya. Masa di siang hari terang benderang ada setan? Kata seorang hwesio, kuntilanak hanya muncul di waktu malam.

“Hi hi hi hi hi” dan kini Beng San betul-betul tersentak kaget karena tiba-tiba saja di depannya berdiri seorang perempuan yang cantik. Wanita ini tertwa-tawa, kelihatan giginya yang putih rapi. Pakaiannya seperti pakaian gambar dewi di tembok kelenteng, serba sutera dan indah. Ia memegang sebuah sapu tangan sutera yang panjang, mukanya manis dan matanya liar galak serta mengandung sinar yang aneh menyeramkan, seperti bukan mata orang yang sehat otaknya. Inikah kuntilanak?

Wanita itu tertawa-tawa lagi lalu bertanya. “Anak bagus, kau suka kepada Kui bo (kuntilanak)? Betulkah katamu tadi bahwa Kui bo cantik manis, genit dan galak?

Suara wanita itu halus tapi matanya betul-betul menyeramkan, membuat Beng San makin ketakutan . anak ini memberanikan hatinya dan bertanya.

“Kau … kau sipakah ..?”

“He he he, anak bagus, dari tadi kau menyebut-nyebut Kui bo. Akulah Kui bo dan namaku ini” wanita itu seperti seorang tukang sulap tahu-tahu sudah memegang setangkai bunga hitam di tangannya.

“Namamu … kembang hitam itu …?”

Beng San melongo melihat wanita itu menancapkan tangkai bunga itu pada rambutnya. Kaerna bunga itu hitam dan rambutnya juga hitam, maka hiasan rambut ini tidak begitu kentara.

“Ya, akulah Hek hwa Kui bo (Kuntilanak Bunga Hitam). Kau bilang dia si gadis cailik yang mungil itu seperti aku ? Hi hi hi hi, kau baik sekali, anak bagus …”

wanita itu tertawa-tawa lagi, nampaknya girang. Sebaliknya Beng San terkejut.

Bagaimana wanita ini bisa mengetahui semua ucapannya kepada Kwa Hong?

“Aku tidak percaya,” katanya. “Menurut kata orang, kuntilanak itu biarpun cantik suka makan ..” sampai di sini Beng San menjadi pucat. Mengapa ia mengini goblok menyebut-nyebut tentang itu? Bagaimana kalau ini kuntilanak tulen dan dagingnya akan dimakan?

“Tepat sekali, memang aku suka makan dagingmentah, erutama daging ular …”

saputangan sutera yang panjang itu dikebutkan dan … ujung saputangan itu telah menarik keluar sepotong daging dari tubuh ular, dan langsung potongan daging ini ditarik dan diterima oleh mulutnya yang berbibir merah, lalu dikunyahnya dengan enak dan dimakan Beng San sampai melotot ngeri menyaksikan wanita itu makan daging ular yang masih mentah, masih ada darahnya.

“Kau percaya sekarang? Aku Hek hwa Kui bo, sama cantik dengan anak perempuan tadi, bukan ? sama baiknya …”

Beng San teringat akan Kwa Hong dan cemberut. Anak perempuan itu telah menghinanya. “Kalau sama dengan dia aku tak suka,” katanya setengah melamun,

“Anak itu galak dan menghinaku. Kalau kau sama dengan dia, pergilah saja jangan dekat denganku.”

Sejenak wanita itu tertegun. Apa yang keluar dari mulut anak ini adalah kata-kata baru baginya, kata-kata yang tidak biasa ia dengar. Biasanya setiap orang tidak ada yang bersikap kasar, apalagi berkata kasar kepadanya, selalu bermuka-nuka, selalu bermanis-manis. Dan anak ini berani mengusirnya Hal ini menggirangkan hatinya, dan ia tertawa-tawa lagi.

“Kau dihina oleh anak itu? Biar kubawa dia ke sini agar kau boleh membalasnya”

tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap dari situ. Entah bagaimana caranya, tidak terlihat oleh Beng San . ia makin ketakutan, bulu tengkuknya berdiri semua. Sekarang ia baru mau percaya yang dihadapinya tadi betul-betul seekor siluman kuntilanak.

“Aduh, celaka … jangan-jangan dia kembali .. “ demkian ia berkata seorang diri dan rasa ketakutan ini membuat pengaruh racun hijau dan hawa Im di tubuhnya meningkat, membuat dia menjadi kedinginan dan kehijauan mukanya. Rasa takut membuat Beng San segera lari tunggang langgang meninggalkan tempat itu. Akan tetapi kemana ia harus pergi menyembunyikan diri? Hutan itu besar sekali, di mana-mana pohon belaka. Ia tidak tahu kemana jalan keluar

Tak lama kemudian selagi berlari-lari, ia mendengar suara ketawa yang tadi, “Hi hi hi hi hi”.

Beng San menelusup ke dalam semak-semak, bersembunyi. Akan tetapi percuma saja, tahu-tahu wanita yang tadi sudah berada di depan semak-semak berkata,

“Anak bagus, hayo keluar. Ini orang yang menghinamu sudah kubawa ke sini.”

Beng San merangkak keluar dan ….ia melihat Kwa Hong sudah berada disitu. Anak perempuan itu kebingungan, kini memandang wanita tadi dan berkata gugup, “Ba

…bagaimana kau bisa membawaku ke sini?”

Wanita itu hanya tertawa, mengelus pipi Kwa Hong yang halus kemerahan. “Kau cantik, aku juga sama dengan kau, kata anak bagus itu …”

Kh marah. Tadi ia sedang naik kuda bersama ayahnya dengan cepat. Tahu-tahu ada bayangan berkelebat, terdengar ayahnya berteriak dan ia merasa matanya pedas dan tahu-tahu sekarang ia sudah berada di dalam hutan berhadapan dengan seorang wanita cantik dengan Beng San. Mengira bahwa tentu wanita ini guru Beng San yang hendak menuntut balas, Kwa Hong memperlihatkan keberaniannya. Cepat bagaikan kilat tangannya yang kecil sudah mencabut pedangnya dan menusuk kearah dada wanita itu Anehnya yang ditusuk tidak bergerak sedikitpun juga hanya memandang sambil tersenyum-senyum.

Krakkk” tiba-tiba pedang di tangan Kwa Hong itu patah menjadi dua dan gadis kecil itu sendiri melepaskan gagang pedang karena merasa telapak tangannya serasa hendak pecah. Ia meloncat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. Ia melihat betul bahwa pedangnya tadi belum juga menyentuh tubuh perempuan itu, karena tiba-tiba bisa patah sendiri?

“Kuntilanak dia, jangan lawan, kau takkan menang melawan Kui bo” kata Beng San.

Kh marah sekali. Ia mengira bahwa Beng San bicara kepada wanita itu dan memaki dia sebagai kuntilanak lagi.

“Anak jembel Kau mendatangkan siluman untuk membalas” bentaknya.

Pada saat itu terdengar angina bertiup dan tubuh Kwa Tin Siong berkelebat. Orang gagah ini memegang pedang telanjang di tangannya, wajahnya yang muram nampak makin muram dan penuh kekhawatiran. Ia bernapas lega melihat anaknya masih selamat disitu, lalu ia memandang sekilas kearah Beng San, baru kemudian ia memperhatikan wanita itu. Ia melihat seorang wanita cantik, sepasang matanya liar dan aneh, tangan kiri bermain-main dengan sehelai saputangan sutera beraneka warna, indah dan panjang. Melihat sinar mata wanita ini, diam-diam Kwa Tin Siong terkejut sekali. Bukan mata orang biasa. Ia berlaku hati-hati, sekali lagi melirik kearah Kwa Hong untuk melihat keadaan anaknya. Setelah mendapat keyakinan bahwa anaknya tidak terluka hanya agak takut-takut, ia lalu menjuru kepada perempuan itu.

“Toanio (nyonya) dengan aku Kwa Tin Siong tidak pernah saling mengenal dan karenanya tidak ada permusuhan sesuatu, maka mohon Tanya ada maksud Toanio membawa anakku sampai ke sini?” Kwa Tin Siong bersikap hormat sekali karena dari cara nyonya ini tadi merampas anaknya tanpa ia dapat berdaya sama sekali sudah menunjukkan bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali.

Wanita itu tersenyum mengejek, memandang tak acuh, menjawab lalu berkata kepada Beng San. “Kau tadi dihina hayo balas”

Akan tetapi mana Beng San mau membalas? Ia memang tidak merasa sakit hati kepada ayah dan anak itu. Apalagi Kwa Tin Siong amat baik kepadanya sedangkan Kwa Hong dia hanya mendongkol saja. Maka dia menggeleng kepalanya tanpa berkata sesuatu.

Kwa Tin Siong mendongkol, juga melihat lagak wanita ini yang sama sekali tidak memperdulikannya, jelas amat memandang rendah, maka ia lalu berkata lagi dengan hormat, “Toanio, aku Kwa Tin Siong tidak mempunyai permusuhan, juga Hoa san pai tidak mempunyai permusuhan.” Ia sengaja menyebut nama Hoa san pai agar perempuan ini tidak lagi memandang rendah kepadanya dan bersikap selayaknya orang kang ouw berurusan dengan sesame orang kang ouw.

“Tosu bau Lian Bu tak kenal mampus, tidak mampu mengajar anak muridnya.”

Wanita itu bicara seperti pada diri sendiri. Akan tetapi cukup membuat Kwa Tin Siong bangkit kemarahannya. Lian Bu Tojin adalah gurunya, juga adalah ketua Hoa san pai, seorang ciangbunjin (ketua partai) yang amat dihormati orang seluruh kang ouw. Maka perempuan ini menyebut namanya begitu saja ditambah sebutan tosu bau segala? Pedang di tangannya gemetar. Tiba-tiba Kwa Hong yang mengenal sikap ayahnya yang marah ini memperingatkan.

“Ayah, tadi aku tusuk dia tapi pedangku patah sebelum menyentuhnya”

Kwa Tin Siong kaget. Tidak kaget karena pedang anaknya patah. Ia tahu bahwa kepandaian anaknya belum seberapa, tentu saja kalau melawan seorang tokoh pandai takkan ada artinya. Ia kaget karena mendengar pengakuan anaknya yang sudah menyerang wanita ini.

“Hong ji, jangan kurang ajar kau. Mari sini” ia menyuruh anaknya mendekatinya agar lebih mudah melindungi kalau sampai terjadi pertempuran. Akan tetapi selagi Kwa Hong hendak bergerak mendekati ayahnya, tampak wanita itu menggerakkan saputangan suteranya kearah Kwa Hong yang segera berdiri diam seperti patung.

Hampir Kwa Tin Siong tak dapat mempercayai matanya sendiri. Ujung saputangan yang halus itu tampaknya tidak mengenai tubuh anaknya, namun …nyatanya anaknya telah kena ditotok jalan darahnya

“Hi hi hi hi hi ….. Hoa san pai ….” Wanita itu tertawa mengejek.

Sesabar-sabarnya manusia, kalau anaknya diganggu dan nama partainya diejek seperti itu, takkan dapat menahan juga, Kwa Tin Siong berseru.

“Manusia sombong, bersiaplah kau menghadapi pedangku” sebagai seorang laki-laki gagah tentu saja ia masih menahan diri, tidak mau menyerang seorang wanita yang hanya memegang sehelai saputangan. Akan tetapi wanita itu menjawab halus.

“Pedangmu yang buruk dan ilmu silat Hoa san pai yang rendah mau bisa apakah terhadapku?”

“Hemmmm, sombong amat. Kalau begitu lihat pedangku” Kwa Tin Siong memutar pedangnya dan langsung menyerang dengan gerak tipu yang lihai dari Hoa san Kiam hoat, yaitu gerakan Tian mo po in (payung kilat sapu awan). Pedangnya berputar sampai merupakan payung yang berkilauan dan berkelebatan menyambar kearah wanita itu.

“Hi hi hi hi hi, kiam hoat (imlu pedang) buruk” wanita itu dengan mudahnya miringkan tubuh menundukkan kepala untuk menghindari sabetan pedang. Akan tetapi Kwa Tin Siong adalah seorang jago tangguh dari Hoa san pai. Gerakan-gerakannya amat mahir, sudah masak dan cepat sekali. Melihat bahwa serangan pertamanya takkan berhasil ia cepat sekali merubah gerakannya tanpa menarik kembali pedangnya. Kini pedangnya itu meluncur dengan gerakan yang disebut Kwan kong sia ciok (Kwan kong memanah batu). Cepat sekali pedangnya sudah meluncur menusuk kearah ulu hati lawan.

Kwa Tin Siong sudah mulai merasa kaget dan menyesal melihat agaknya lawannya tak mampu mengelak. Bukan maksudnya untuk membunuh orang maka gerakannya ia tahan dan perlambat sedapatnya. Akan tetapi sebelum ujung pedangnya menyentuh lawan, tepat seperti dikatakan Kwa Hong tadi, tiba-tiba menyambar sinar terang dari saputangan itu menyambar kearah pedang dan tangan. “Krakkk”

Semacam tenaga mujijat menghantam patah pedang di tangan Kwa Tin Siong. Orang she Kwa ini mempertahankan getaran hebat, tidak mau melepaskan pedangnya yang bunting. Akibatnya ia terpental mundur lima langkah dan muntahkan darah segar.

“Hi hi hi hi hi …, Hoa san pai …… belum kubalas menyerang kau sudah mundur, orang she Kwa. Sekarang terimalah seranganku” wanita itu melangkah maju dan menggerakkan saputangannya Kwa Tin Siong merasa bahwa ia berhadapan dengan orang sakti luar biasa atau sebangsa siluman maka dia menerima nasib, tak kuat melawan.

“Hek hwa Kui bo, jangan ganggu mereka” tiba-tiba Beng San melompat dan menarik pakaian belakang wanita itu.

Hek hwa Kui bo menoleh, tersenyum dan mengejek, “mereka itu apamu sih, kau bela mati-matian.”

“Jangan bunuh, jangan ganggu … kalau tidak aku takkan suka lagi kepadamu”

ancaman ini agaknya berpengaruh juga, buktinya wanita itu menurunkan saputangannya. Yang kaget setengah mati adalah Kwa Tin Siong ketika dia mendengar disebutnya nama Hek hwa Kui bo oleh Beng San tadi. Hek hwa Kui bo adalah nama seorang diantara empat orang tokoh terbesar di dunia persilatan

Menurut cerita gurunya, yang bernama Hek hwa Kui bo ini adalah serang wanita yang cantik luar biasa dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Akan tetapi wanita ini

…melihat bentuk tubuh dan wajahnya, kiranya takkan lebih dari tiga puluh tahun Ia memandang lebih tegas dan melihat setangkai bunga hitam yang tadi tidak dia lihat tertancap di rambut kepala wanita itu

“Jangan bunuh, jangan bunuh …..” Hek hwa Kui bo mengulang. “Ah, anak bagus, lain kali mereka mungkin yang akan memnggangu dan membunuhmu. Hayo ikut”

tiba-tiba wanita itu menggerakkan saputangannya yang meluncur kearah Beng San.

Tahu-tahu ujung saputangan telah melibat pergelangan tangan anak itu dan Beng San merasa tubuhnya melayang di udara. Ia meramkan mata dan mendengar angin mendesir-desir di pinggir kedua telinganya.

Kwa Tin Siong menarik napas panjang ketika melihat perempuan itu berkelebat pergi membawa Beng San, lalu ia menyalurkan pernapasannya untuk memulihkan kekuatannya. Baiknya tadi ia mengurangi tenaga tusukannya, kalau dilakukan dengan sekuat tenaga, tentu sekarang dia telah menggeletak dengan jantung putus Setelah lukanya yang tidak parah di dalam dada itu mendingan, baru dia berdiri dan membuka totokan pada diri anaknya.

“Ayah, siapkah perempuan siluman itu?”

“Hushhh, jangan kau sombong, Hong ji. Dia adalah seorang tokoh kang ouw yang malah lebih tinggi kedudukannya daripada sukongmu (kakek gurumu). Hayo kita melanjutkan perjalanan dan jangan banyak bertanya lagi.” Pendekar yang amat gagah dan jarang menemui tandingannya ini segera mengajak anaknya pergi nampaknya gelisah sekali. Memang dia merasa gelisah dan juga aneh. Kenapa seorang tokoh seperti Hek hwa Kui bo yang sudah bertahun-tahun tidak pernah muncul di dunia kang ouw itu sekarang tiba-tiba turun gunung dan mengganggunya? Ia harus cepat-cepat kembali ke Hoa san pai dan menceritakan hal ini kepada suhunya.

Pada masa itu, keadaan pemerintahan yan dipegang oleh kerajaan Goan (Mongol) sedang dikacau oleh pelbagai pemberontakan rakyat yang sudah tak kuat lagi atas penindasan penjajah Mongol. Di mana-mana muncul perkumpulan rahasia yang menghimpun tenaga-tenaga untuk melakukan pemberontakan dan rongrongan terhadap pemerinah penjajah. Diantara puluhan macam perkumpulan rahasia ini, murid-murid Hoa sanpai juga termasuk anggota sebuah perkumpulan yang terbesar, yaitu Pek lian pai (perkumpulan Teratai Putih) yang tujuannya merobohkan pemerintah Mongol. Kwa Tin Siong yang mempelopori kegiatan adik-adik seperguruannya, pada waktu itu sedang pergi mencari sute-sute dan sumoi-sumoinya yang berpencaran di mana-mana, malah ia sedang mencari untuk mengumpulkan tiga orang adik seperguruannya karena Hoa san Sie eng (Empat Pendekar Hoa san) harus mengadakan pertemuan di Hoa san untuk membicarakan soal pemasukan menjadi anggota perkumpulan anti penjajah ini. ketika tiba di hutan dan mengalami peristiwa hebat ini, Kwa Tin Siong baru saja pulang dari Kwi nam hu bertemu dengan sutenya, Thio Wan t, yang sudah berjanji akan menghadap ke Hoa san bulan dpan tanggal lima. Juga dia sudah bertemu dengan Toat beng kiam Kui Teng sutenya yang ketiga dan sudah mendapat janji pula. Sekarang ia sedang menuju kearah dusun Lam bi chung tempat tinggal orang tua sumoinya (adik seperguruan) yaitu Kiam eng cu Liem Sian Hwa. Setelah

raja pedang [42]

mbil kembali sepasang Liong-cu Siang-kiam, aku sudah bersumpah di depan suhu."

"Keparat Sumoi, tolong pinjam pedangmu" Li Cu menyerahkan pedang pendek di tangannya. Begitu memegang Liong-cu-kiam yang pendek, Beng Kui segera menerjang maju menyerang dengan dahsyat.

Beng San kagum melihat gerakan kakak kandungnya yang ternyata jauh lebih hebat dan kuat daripada gerakan Li Cu. Akan tetapi karena dia tidak suka melawan, dia cepat mengelak dan terus mengelak atau menangkis dengan Liong-cu Siang-kiam yang panjang. Sementara itu, Li Cu mendekati ayahnya dan tangan gadis ini dingin sekali ketika menyentuh tangan ayahnya. Cia Hui Gan berbisik.

"Li Cu, aku malu sekali menjadi Raja Pedang. Sekali ini, kalau orang muda adik Beng Kui itu mau kita semua akan dapat dia kalahkan dengan ilmu pedangnya Im-yang Sin-kiam sut yang tulen. Kalau dia mau, mudah saja dia mengalahkan suhengmu. Aaahhh, sayang sekali....."

"Apanya yang sayang, Ayah? Kenapa kau tidak turun tangan membantu Suheng?"

"Hush, masa aku harus berlaku begitu rendah? Lihat, adiknya itu benar-benar aneh tidak melawan sama sekali, entah apa maksudnya." Tiba-tiba dia menjadi pucat karena benar-benar terjadi hal yang luar biasa. Ketika pedang Beng Kui menyambar dalam sebuah serangan kilat, Beng San sengaja memasang pundaknya dan hanya menangkis sedikit. Beng Kui sendiri sampai kaget mengapa Beng San sengaja menerima sambaran pedangnya? Pundak pemuda itu terbabat dan terkupas kulit berikut sedikit dagingnya. Darah mengalir deras membasahi baju.

"Koko, dalam hal ilmu pedang aku mengaku kalah. Kau dan suhumu patut disebut Raja Pedang. Buktinya pundakku sudah terluka" seru Beng San, akan tetapi tiba-tiba dia melakukan gerakan yang amat aneh yang sekaligus mematikan daya tahan Beng Kui. Pedang di tangan Beng Kui tertempel pedangnya, tak dapat digerakan atau ditarik kembali, kemudian tangan kiri Beng San cepat melakukan dua kali totokan ke arah tangan kanan kakaknya. Beng Kui merasa tangannya lumpuh dan sebelum dia sempat mencegah, pedang Liong-cu-kiam yang pendek sudah berpindah ke tangan Beng San

Beng San lalu melangkah mundur dan dengan dua batang pedang di tangan, dia memandang kakaknya dengan air mata bercucuran, kemudian dia berlari pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Terdengar seruan Song-bun-kwi, "Eh, Bi Goat, kau mau pergi ke mana??"

Baru sampai di lereng gunung di mana tidak ada perang yang terjadi di lereng sebelah sananya, Beng San merasa ada angin menyambar lewat dan tahu-tahu Bi Goat sudah berdiri di depannya. Gadis ini terus memeluknya dan menangis, berkata, "ah-ah-uh-uh" tidak karuan. Lemas seketika hati Beng San menghadapi kekasihnya ini.

"Bi Goat..... kekasihku..... pujaan hatiku, jangan..... jangan kau mengejarku. Jangan kau mencegah kepergianku..... aku terlampau hina dan terlampau rendah untukmu, Bi Goat....."

Mendengar ini, makin menjadi tangis Bi Goat dan makin erat dia mendekap Beng San.

"Aduh, Bi Goat..... kau menghancurkan hatiku. Relakan aku, Bi Goat, aku..... aku.....

ah, aku malah tidak pantas lagi hidup di dunia ini....."

Bi Goat seperti hendak menjerit-jerit tapi yang keluar dari mulutnya hanya ha..ha-uh-uh saja, akhirnya gadis itu menjadi lemas dan ..... roboh pingsan dalam pelukan Beng San. Tentu saja pemuda ini menjadi kaget sekali. la cepat duduk di atas tanah sambil memangku kepala Bi Goat, digoyang-goyangnya tubuh nona itu sanribil dipanggil-panggilnya penuh kekhawatiran, "Bi Goat..... Bi Goat..... jangan mati....." la seperti orang gila dan menangis seperti anak kecil.

Tiba-tiba gadis itu bergerak dan terdengar suara yang merdu, "Beng San..... kalau kau pergi..... lebih baik aku mati saja .....”.

Beng San terkejut seperti disengat ular berbisa. la menoleh ke kanan kiri dan melihat di sebelah kirinya Song-bun-kwi berdiri dengan muka pucat sekali. Sekilas pertemuan pandang mata antara dia dan Song-bun-kwi terjadi persamaan pengertian akan apa yang mereka berdua dengar tadi.

"Beng San..... Beng San, Jangan tinggalkan aku ....."

"Bi Goat, kau bicara" Beng San melompat bangun dan memeluk gadis itu, lupa semua kedukaan hatinya.

"Bi Goat, anakku Akhirnya kau dapat bicara lagi Ha..ha..ha..ha..ha Song-bun-kwi tertawa terbahak-bahak, kemudian..... menangis. Ha..ha..ha, benar juga si setan Yok-mo, setelah mengalami kekagetan, kau bisa bicara lagi....."

"Ayah..... kalau kau tidak menahan Beng San supaya selalu di sampingku, aku tidak saja akan gagu lagi, malah aku akan mati di bawah kakimu"

"Ya, ya, baik begitu. Heh, Beng San Apakah kau mencinta Bi Goat?"

"Betul, Locianpwe, akan tetapi aku terlampau hina..... aku..... aku berdosa dan telah....."

"Stop Mana ada manusia tak berdosa di dunia ini? Dosaku seribu kali lebih besar daripada dosamu Jangan pedulikan manusia-manusia sombong itu. Hayo ikut kami ke Gunung Min-san dan hidup bahagia di sana. Ha..ha…ha, anakku bisa bicara, anakku mendapat suami yang hebat. Sebentar lagi aku akan menimang cucuku yang mungil. Ha..ha..ha, orang she Kwee, pantaskah kau menerima kurnia sebesar ini?”.

Bi Goat menggandeng tangan Beng San yang menurut saja diajak ayah dan anak itu.

Akan tetapi baru saja tiba di kaki gunung, di depan mereka berdiri tiga orang menghadang. Mereka ini adalah Cia Hui Gan, Tan Beng Kui, dan Cia Li Cu.

"Cia Hui Gan, mau apa kau menghadang kami?" Song-bun-kwi yang sedang gembira hatinya itu bertanya sambil tertawa-tawa. "Apa kau mau bicara lagi urusan gelar Raja Pedang?"

Merah muka jago pedang Thai-san itu. "Song-bun-kwi, aku orang tua hanya mengantar anak-anak, merekalah yang mempunyai urusan."

Sementara itu, Beng Kui sudah melangkah maju mendekati Beng San, lalu terdengar dia berkata, "Beng San, kau tidak boleh bawa lari sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam itu. Pedang-pedang itu adalah milik kami, harus kaukembalikan kepada aku dan Li Cu"

Beng San melihat betapa sikap kakak kandungnya ini masih tinggi hati dan agaknya masih memandang rendah kepadanya, sikap seorang pejuang gagah perkasa, seorang jantan dan ksatria yang sudah membuktikan darma baktinya kepada tanah air, pendeknya sikap seorang mulia terhadap seorang yang dianggap rendah.

Tadi dia berkukuh merampas pedang karena dianggapnya bahwa di dunia ini bagi hidupnya hanya satu itulah yang penting. Akan tetapi sekarang setelah dia bertemu Bi Goat, melihat Bi Goat sembuh dari penyakit gagu, melihat Bi Goat dan ayahnya sudi menerimanya dan dia menghadapi kehidupan baru yang penuh kebahagiaan bersama Bi Goat, dia tidak hendak mengukuhi pedang-pedang itu lagi. Setelah ada Bi Goat, dia tidak membutuhkan apa-apa lagi di dunia ini. Dengan tenang tanpa bicara apa-apa Beng San menurunkan sepasang pedang dari punggungnya.

"Ha..ha..ha, mudah amat"Song-bun-kwi tertawa mengejek. "Orang mengambilnya mengandalkan kepandaian, sekarang hendak merampas kembali juga harus mengandalkan kepandaian"

Beng Kui dan Li Cu saling pandang. Di dalam hati dua orang muda ini sudah mengakui bahwa mereka takkan menang bertanding melawan Beng San. Setelah diam sejenak, Beng Kui berkata, "Beng San, kau dengarlah. Sepasang pedang itu adalah syarat dan tanda perjodohanku dengan Li Cu sumoi. Kau kembalikan kepada kami dan sebagai gantinya, aku akan menutup mulut dan tidak mengenalmu lagi."

Mendengar ucapan ini, Bi Goat dan ayahnya menjadi marah. Mana ada aturan seperti ini? Orang diharuskan berlaku baik, tapi balasannya malah tidak akan dikenal lagi.

Tapi Beng San segera menurunkan Liong-cu Siang-kiam dan berkata dengan suara gemetar.

"Beng Kui koko, terimalah Liong-cu Siang-kiam ini sebagai sumbangan untuk perjodohanmu dari adikmu yang hina ini. Akan tetapi hanya sebagai titipan, tiga tahun kemudian harus kau kembalikan kepadaku."

Beng Kui merasa mendongkol sekali akan tetapi tanpa menjawab sesuatu dia menerima sepasang pedang itu dan memberikan yang pendek kepada Li Cu. Dua pedang itu serupa benar, hanya yang sebuah panjang dan terukir huruf "jantan"

sedangkan yang ke dua pendek dan terukir huruf "betina". Setelah menerima sepasang pedang ini tanpa mengucapkan terima kasih, Beng Kui segera mengajak Li Cu pergi dari situ. Melihat ini, Song-bun-kwi dan Bi Goat menjadi makin gemas. Alangkah sombongnya orang yang dipuji-puji sebagai Ji-enghiong pemimpin pejuang itu.

Sombong, tinggi hati dan merasa diri sendiri paling jempol.

Cia Hui Gan agaknya juga merasa tak enak hati melihat sikap murid atau calon mantunya itu. "Song-bun-kwi, kau menjadi saksinya. Mulai sekarang aku Cia Hui Gan tidak berani menggunakan gelar Raja Pedang lagi, kalau ada orang masih mempersoalkan gelar Raja Pedang, maka biarlah aku mengakui bahwa orang muda adik kandung muridku inilah yang patut diberi gelar Raja Pedang. Selamat berpisah sampai jumpa pula" Kaki jago pedang ini mengenjot tanah dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ.

”Ha..ha..ha Mantuku Raja Pedang" Benar mantuku Raja Pedang dan aku akan siarkan hal ini ke seluruh dunia kang-ouw. Siapa tidak mau menerimanya akan kuhancurkan kepalanya" Sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak, kakek ini mengajak Beng San dan Bia Goat melanjutkan perjalanan ke Min-san.

Sambil berjalan di samping Bi Goat yang menggandeng tangannya, terjadi perubahan pada diri Beng San. Wajahnya tidak serem seperti tadi lagi, warna mukanya sudah berubah biasa, bahkan sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Kakak kandungnya ternyata seorang patriot, seorang pemuda yang harum namanya, yang dikagumi dan dipuji orang gagah seluruh negeri. Dan kakaknya telah mempunyai calon jodoh yang sedemikian cantik dan gagahnya seperti Cia Li Cu. Ia girang melihat kakaknya akan hidup bahagia. Dia sendiri melihat titik terang dalam hidupnya mendatang.

Kebahagiaan baginya menjelang datang bagaikan sang surya yang mengintai dari balik awan gelap yang mulai tertiup pergi oleh angin. Dengan Bi Goat di sampingnya dia sanggup untuk melanjutkan hidup, sanggup untuk menempuh kesulitan dan sanggup untuk terus tersenyum dan memandang dunia yang penuh duri, penuh derita hidup ini dari segi-segi keindahannya. Tanpa disadarinya dia mempererat gandengannya. Bi Goat merasakan dan gadis ini pun makin erat memeluk lengan Beng San sambil melirik dan tersenyum manis. ketika Beng San memandang, dia melihat kedua pipi gadis itu terhias dua butir air mata yang turun perlahan-lahan. Air mata bening, air mata kebahagiaan.

Sampai di sini tamatlah cerita RAJA PEDANG ini. Akan tetapi cerita tentang para tokoh dalam RAJA PEDANG ini masih jauh dari berakhir. Kejadian-kejadian yang lebih hebat, lebih mengerikan, lebih mengharukan akan bermunculan seperti juga dalam kehidupan setiap orang manusia selalu akan bermunculan hal-hal yang menimbulkan cerita. Dunia penuh dengan peristiwa, kehidupan manusia tak pernah diam tenang seperti air samudera yang sebentar saja tenang kemudian bergelora pula.

Kita akan menjumpai semua tokoh cerita ini dalam cerita baru RAJAWALI EMAS, cerita indah yang sengaja diciptakan pengarang sebagai sambungan RAJA PEDANG.

Akan tetapi juga merupakan kisah tersendiri di mana kita akan mengikuti perjalanan hidup dari Kwa Hong, nona yang patah hatinya dan remuk-redam perasaannya itu, akan bertemu lagi dengan Beng San dan Bi Goat, dengan Tan Beng Kui dan Li Cu, dengan Thio Eng, Bun Lim Kwi dan tidak ketinggalan pula Kim-thouw Thian-li dan lain-lain. Sampai jumpa kembali dalam RAJAWALI EMAS

raja pedang [1]

by Kho Ping Hoo

“Lima warna membutakan mata…." Terdengar suara

berat dan parau membaca doa.

“Lima warna membutakan mata……." Menyusul suara

nyaring tinggi, suara kanak-kanak yang berusaha keras

menirukan nada suara pertama.

“Lima bunyi menulikan telinga………" Kembali suara

anak kecil tadi mengulang kata-kata itu.

Suara ini saling susul dan selengkapnya diucapkan oleh

suara parau ditiru suara anak kecil itu ujar-ujar lengkap dari kitab To-tek-keng seperti berikut :

Lima warna membutakan mata,

Lima bunyi menulikan telinga

Lima rasa merusak mulut

Mengejar kesenangan merusak pikiran,

Barang berharga membuat kelakuan menjadi curang

Inilah sebabnya orang budiman,

Mengutamakan urusan perut,

Tidak mempedulikan urusan mata,

Ia pandai memilih ini membuang itu.

Kalau suara-suara ini terdengar dari sebuah klenteng Agama To, hal itu tak perlu diperhatikan lagi karena memang lumrah kalau seorang tosu memberi pelajaran-pelajaran dari kitab To-tek-keng kepada anak muridnya. Atau seorang kepadaguru sastra mengajarkan ayat-ayat kitab itu kepada muridnya. Akan tetapi anehnya, dua suara yang saling susul itu terdengar dari dalam sebuah hutan yang lebat, hutan yang jarang didatangi manisia dan menjadi sarang dari harimau-harimau, ular-ular besar dan lain binatang buas. Kalau pun ada manusianya tentulah sebangsa manusia perampok.

Apabila kita melihat ke dalam hutan itu untuk mengetahui siapa orangnya yang mengajarkan ayat-ayat kitab To-tek-keng kepada anak kecil tadi, kita akan merasa heran sekali. Ternyata bahwa yang membaca ayat-ayat kitab itu adalah seorang tosu berbaju kuning, di pungungnya tergantung sebatang pedang. Tosu ini tinggi kurus berkumis tipis, berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya digelung ke atas dan ia menunggang seekor kuda kurus yang berjalan seenaknya dan nampaknya sudah amat lelah. Di belakang kuda ini berjalan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, rambutnya diikat ke belakang, mukanya putih agak pucat dan matanya besar. Anak ini amat miskin pakaiannya sampai-sampai bersepatu pun tidak. Di dekat mata kaki kiri ada boroknya sebesar ibu jari kakinya sehingga agak terpincang pincang jalannya. Akan tetapi, biarpun keadaannya begini, miskin, anak itu tampaknya gembira terus. Mulutnya menyinarkan cahaya gembira dan nakal.

Ayat-ayat yang dibacakan oleh Tosu di atas tai adalah ayat ke dua belas. Kalau dihitung tosu itu membaca dari ayat pertama dengan suara keras, tetapi lambat-lambat, sudah lama jugalah anak itu menirunya.

Pada ayat keduabelas di mana terdapat kata-kata tentang orang budiman mengutamakan urusan perut, anak laki-laki itu setelah selesai meniru ayat ini sampai habis, segera berkata. Suaranya lantang, nyaring dan tinggi.

“Totiang, benar sekali orang budiman itu. Aku pun mau menjadi orang budiman, mengutamakan urusan perutku yang sudah amat lapar ini. Maka harap Totiang lekas-lekas memberi roti kering atau uang, aku tidak mau pedulikan urusan lain lagi”

Sambil berkata demikian, anak itu tidak lagi berjalan di belakang kuda, melainkan berlari mendampingi dan menarik-narik kaki kanan tosu itu.

Akan tetapi tosu itu seperti tidak melihat bocah tadi, juga seperti tidak merasa kakinya dibetot-betot. Ia membuka mulutnya lagi dan berteriak dengan suara keras.

“Ayat ke tiga belas berbunyi……………”

“Aku tidak peduli apa bunyi ayat ketiga belas atau ke tiga ribu” Anak itu berteriak.

“Perutku lapar dan Totiang sudah berjanji akan memberi roti kering dan uang kepadaku”

Tosu itu nampak tertegun, seakan–akan baru sekarang ia tahu bahwa suara yang tadinya menirunya telah meneluarkan suara lain. Ia menunda menbaca kitabnya dan memandang kepada anak itu dengan mata bersinar-sinar. Tadi ia bertemu dengan anak itu di luar sebuah kampung dekat hutan ini. Pada waktu itu ia sedang beristirahat dan makan roti kering. Lalu datang anak yang dikenalnya ini mendekat, nampaknya ingin sekali akan tetapi tidak mengeluarkan suara.

“Kau mau roti kering?” Anak itu hanya mengangguk.

“Heh..heh..heh, roti keringku sudah habis di warung sana?”Ia bertanya lagi, Kembali anak itu mengganguk,Tosu itu menjadi gemas juga.

“Gagukah engkau?”

“Tidak, Totiang, hanya sedang malas bicara,”

Jawaban ini membuat si tosu menjadi terheran-heran. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak kecil yang bicara seenaknya sendiri saja seperti ini.

“Engkau mau roti kering dan uang?” Kembali ia bertanya sambil menunggangi lagi kudanya yang kurus. Anak laki-laki itu kembali mengangguk.

“Baik, akan tetapi kau harus menirukan membaca isi kitab To-tek-keng sambil berjalan di belakang kudaku.”

Demikianlah, tosu itu mulai membaca kitab itu dari ayat pertama sampai ayat ke dua belas. Tadinya anak ini tertarik sekali karena anak ini sebetulnya adalah seorang anak luar biasa yang pernah membaca kitab-kitab kuno bahkan hampir hafal banyak kitab dari agama budha, yaitu ketika ia bekerja sebagai pelayan dari kelenteng Hok-thian-tong, Akan tetapi setelah mendengar tentang “mengutamakan perut”, sehingga anak itu teringat akan perutnya yang lapar dan menagih janji.

Siapakah anak yang bersikap aneh dan terlantar itu? Namanya Beng San, Demikian menurut pengakuannya snediri, tentang siapa nama keturunannya, ia sendiri tidak tahu, Anak ini adalah korban bencana alam, yaitu benjir besar sungai Huang–ho yang menghabiskan seluruh isi kampungnya. Hampir seluruh kampung habis oleh banjir itu, rumah-rumah lenyap, sawah-sawah rusak, manusia dan binatang hampir tewas dan hanyutsemua. Anak ini pun hanyut akan tetapi agaknya tuhan masih melindunginya maka ia dapat tersangkut pada reruntuhan rumah dan terbawa ke pinggir dalam kedaan pingsan. Hal ini terjadi ketika ia berusia lima enam tahun.

Ketika siuman kembali, anak ini telah berada di pinggir sebuah hutan di tepi sungai Huang-ho, ia hanya ingat bahwa namanya Beng San, bahwa ayah bundanya hanyut terbawa air bah, tetapi tidak ingat lagi apa nama dusun tempat tinggalnya dan di mana letaknya.

Beng San terlunta-lunta dan nasib membawanya sampai ke depan kelenteng Hok-thian-tong di kota shan-si, ia amat tertarik melihat kelenteng itu, amat suka melihat-lihat lukisan dan patung-patung yang dipahat indah, kemudian ketua kelenteng, seorang hwesio yang beribadah, merasa kasihan dan suka kepadanya dan mulai saat itulah Beng San diterima sebagai seorang kacung atau pelayan. Para hwesio di kelenteng itu rata-rata memiliki pribudi yang tinggi dan hampir semua tekun mempelajari ayat-ayat suci hwesio mendapat kenyataan bahwa anak yang menjadi pelayan di kelenteng itu selain rajin juga amat cerdas, mereka memberi pelajaran menabaca menulis dan demikianlah selama tiga tahun lebih Beng San di “jejali”

filsafat-filsafat dan ayat-ayat suci yang amat tinggi.Tentu saja ia hanya menghafal semua inti sarinya. Jangankan seorang anak kecil seprti dia, menusia dewasa sekalipun kalau mempelajari agama, jarang yang betul-betul dapat menangkap inti sarinya sehingga mampu mengamalkan perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat suci itu.

Setelah berusia sembilan tahun lebih, Beng San mulai tidak betah tinggal di kelenteng. Beberapa kali ia minta berhenti akan tetapi semua hwesio melarang nya dan mereka ini hendak menarik Beng San menjdi seorang calon hwesio. Beng San tidak suka dan pada suatu malam anak ini lari minggat dan kelenteng itu. Ia hidup terlunta-lunta, terlantar. Hanya bisa makan kalau ada yang menaruh kasihan dan memberi makanan atau memberi sekedar pekerjaan kemudian diberi upah uang atau makan. Yang amat aneh pada anak ini, ia tidak pernah mau mengeluarkan perkataan minta-minta Mungkin ia terpengaruh oleh pelajaran para hwesio yang mengharapkan sedekah dari para dermawan, akan tetapi sekali-kali bukan mengemis. Demikian mengapa Beng San juga sama sekali tidak mau minta ketika melihat tosu itu makan roti kering, padahal perutnya lapar bukan main.

Dan siapa adanya tosu itu? Bukan sembarang orang, melainkan seorang bernama Siok Tin Cu. Dia adalah tokohdari perkumpulan Agama Ngo-lian To kauw (Agama To Lima Teratai ) yang berpusat di Ki-lok. Sebagai tosu tingkat tiga tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Dan sebagai seorang tokoh Ngo-lian To-kuaw tyang mementingkan pelajaran mistik (hoatsut), tentu saja ia terkenal seorang yang amat berbahaya.

Siok Tin Cu bukan mengajak atau memancing Beng San ke dalam hutan itu tanpa maksud tertentu. Begitu melihat anak tadi, ia dapat menduga bahwa anak ini adalah seorang anak yatim piatu, lagi bertulang baik maka tepat sekali kalau hendak dijadikan bahan percobaaan ilmunya. Kalau sampai anak ini tewas sekalipun, tidak ada orang tua kehilangan anaknya, tidak ada orang yang dirugikan maka ia takkan menanggung dosa, demikian jalan pikiran pedeta sesat ini, mari kita kembali ke dalam hutan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

Di depan telah diceritakan betapa Beng San tidak lagi meniru teriakan Siok Tin Cu yang membaca ayat-ayat To-Tek-keng, malah berteriak-teriak menagih janji tosu itu untuk memberi roti kering atau uang pembeli roti kepadanya. Mereka sudah tiba di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Siok Tin Cu tersenyum dan melompat turun dari atas kudanya. Gerakannya demikian ringan seakan-akan tubuhnya seringan bulu saja .

“bocah, sejak kapan kau belum makan?” Pertanyaan ini diucapkan dengan halus seakan-akan orang tua ini merasa kasihan dan hendak menolong.

“Sejak dua hari yang lalu,”jawab Beng San singkat, tanpa mengundang suara minta dikasihani.

Tosu itu mengangkat alisnya, lalu tertawa bergelak nampak girang sekali”Bagus,bagus,kalau begitu perutmu kosong sama sekali. Hal ini berarti membersihkan hawa didalam tubuhmu dan memperkuat daya tahanmu seperti seorang yang memiliki latihan siaulian. Bagus, anak yang baik, nah, kaumakanlah ini, hendaklah kulihat sampai di mana kemanjurannya” Tosu itu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning dan berbau busuk, “Bukalah mulutmu.”

Tentu saja Beng San tidak sudi mentaati perintah ini. Ia mundur selangkah memandang marah dan berkata. “Totiang, kau berjanji hendak memberi roti kering atau uang, kenapa sekarang menyuruh aku makan obat? Aku tidak sakit dan tidak butuh obat”

“Heh..heh..heh, kalau sudah makan tidak ada artinya lagi, Eh, bocah, aku Siok Tin Cu bukan seorang bodoh. Ketahuilah, pil ini adalah buatanku atau petunjuk kauwcu (ketua agama). Belasan tahun kubuat dari sari segala kebusukan yang mengundang hawa thai-yang dan khasiatnya hebat bukan main. Aku telah membuatnya tiga buah akan tetapi sampai sekarang tidak berani menelannya, Harus lebih dalu kucobakan orang, kau dengan perutmu kosong baik sekali untuk dijadikan kelinci percobaan

Kalau kau mati, tidak ada orang yang kehilangan, kalau kau hidup…… nah, akan kuberi hadiah roti kering atau uang, Heh..heh..heh

Sepasang mata anak itu yang lebar menjadi makin lebar, bukan karena takut melainkan karena marahnya. “Tosu bau apa kau lupa akan ujar-ujar suci bahwa, siapa yang belum membersihkan diri dari perbuatan jahat, dan siapa tidak mempedulikan kebajikan dan kebenaran, dia itu tidak patut memakai pakaian kuning?”

Siok Tin Cu mula-mula terkejut dan heran karena ujar-ujar ini adalah kata-kata suci dalam agama budha (dalam kitab Dhammapada), akan tetapi ia segera tertawa. “Mau tidak mau kau harus menelan obat ini”

“Tidak sudi…….. Kau tosu bau” Beng San mengambil dua buah batu kecil dari atas tanah dan menimpukkan dua buah batu itu kepada Siok Tin Cu. Akan tetapi Siok Tin Cu hanya tertawa dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, ujung lengan bajunya

“meniup” pergi dua buah batu itu, membuat Beng San tak dapat bergerak lagi. Yang

“mati” ini adalah kedua pasang kakitangan anak itu, akan tetapi dari leher ke atas masih “hidup” anak itu masih dapat menggerakkan leher dan semua anggota muka.

“Tosu jahat,tosu bau, kau mau apakan aku?” teriakannya berkali-kali.

“Tidak apa-apa, hanya ingin kau menelan obat ini” Pil kuning yang baunya busuk itu didekatkan pada hidung Beng San, membuat anak ini ingin muntah.

“Baunya busuk seperti engkau, aku tak sudi” ia menggeleng kepala ke kanan kiri menjauhi obat itu.

“Heh..heh..heh, anak bandel. Terpaksa harus kubuka mulutmu,” Tangan kiri tosu itu memegang dagu Beng San dan anak ini merasa betapa tenaga yang amat kuat memaksa mulutnya terbuka. Ia pura-pura menurut, tetapi ketika tosu ini lengah hendak memasukkan obat ke dalam mulut yang terbuka, Beng San menggerakkan kepala ke bawah dan menggigit tangan kiri tosu itu.

“Aduh……..” karena tidak menyangka sama sekali, jari kelingking tosu itu kena tergigit keras sampai mengeluarkan darah.

“Plakkk” ia menampar pipi Beng San. Demikian keras tamparan ini, demikian nyerinya sampai Beng San tanpa sengaja membuka mulutnya melepaskan gigitnanya.

“ Plak Plak Plak Plak Plak” berkali-kali tosu itu menampar muka Beng San dari kanan kiri, dan sungguh-sungguh Beng San tidak mengeluh. Akan tetapi rasa sakit membuat matanya berair. Setelah anak itu hampir pingsan karena sakit dan pening, barulah tosu itu menghentikan tamparannya. Muka Beng San menjadi bengkak-bengkak dan kedua pipinya menjadi biru, anehnya, dari hal ini tidak terasa oleh tosu yang sedang marah itu, tak sepatah kata pun anak itu mengaduh atau mengeluh, benar-benar menunjukkan watak bandel yang luar biasa, membayangkan nyali dan ketabahan yang mengagumkan.

“Hayo telan ini” Siok Tin Cu memaksakan Beng San yang setengah pingsan itu membuka mulut lalu menjejalkan pil berbau busuk itu ke dalam mulut Beng San.

Anak ini dalam kenekatannya, biarpun sudah pening dan setengah pingsan, hendak meludahkan keluar pil itu akan tetapi Siok Tin Cu menutup mulutnya dan mendorong pil itu dengan telunjuknya sampai ke tenggorokan Beng San. Akhirnya obat itu masuk ke dalam perut Beng San tanpa dapat dicegah lagi.

“Heh..heh..heh, hendak kulihat akibatnya…….” Siok Tin Cu menggerakkan tangan membebaskan totokannya dan Beng San roboh terduduk di atas tanah, menundukkan muka terduduk di atas tanah, menundukkan muka karena merasa masih pening dan nanar kepalanya. Ia meramkan matanya yang menjadi sempit karena pipinya membengkak besar di kanan kiri. Kasihan sekali anak ini, mukanya sampai menjadi seperti buah labu matang.

Tiba-tiba Beng San menggerak-gerakkan kaki tangannya, kulit badannya mungkin lama makin merah sampai seperti udang rebus. Makin merah kulitnya makin tidak karuan tingkahnya, berkelojotan seperti ular disiram air panas.

“Panas……… panas………..” akhirnya tak tertahankan juga. Namun mulutnya yang tak pernah mengaduh itu hanya bilang “panas…… panas…. berkali-kali. Kulit badannya menjadi merah tua hampir hitam dan dari tubuhnya tampak uap tipis seakan-akan seluruh air di tubuhnya sudah mendidih. Tubuh Beng San melompat ke sana ke mari seperti orang gila, menabrak pohon terjungkal, berdiri lagi, terhuyung-huyung, dan merangkak-rangkak sampai menabrak pohon lagi. Kemudian dia melompat berdiri dan lari.

“Heh..heh..heh, hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan.” Siok Tin Cu juga berlari mengikuti anak yang sedang gila kepanasan itu, meninggalkan kudanya yang diikat pada sebatang pohon. Tidak jauh Beng San berlari karena belum juga dua li, ia menabrak pohon lagi dan terguling, tak dapat bangun lagi hanya berkelojotan dan bergulingan.

Siok Tin Cu berlutut dan memeriksa dengan teliti. Diurut dan diperiksanya seluruh bagian tubuh Beng San yang sudah tak berdaya lagi itu, mulutnya tiada hentinya memuji.

“Hemmm, tubuhnya berisi penuh hawa panas mujijat. Inilah inti sari hawa yang kalau dapat dipelihara dan disalurkandengan kekuatan Iweekang akan menjadi semacam yang-kang istimewa, kuat dan panas, Bagus sekali Hendak kulihat apa yang dirusaknya.” Ia memeriksa perut dan dada Beng San.

“Hemmm, hemmmmm …… berbahaya sekali, isi perut melepuh semua, paru-paru penuh hawa panas menguap, jantung mengeriput…… kalau anak ini tidak kosong perutnya, tidak penuh hawa murni tubuhnya dan tidak bersih tulang-tulangnya, ia sudah akan mampus dari tadi. Dengan Iweekang di tubuhku, apakah aku akan dapat menahan hawa panas seperti ini……? Hemmm, berbahaya sekali……” Tosu ini saking asyiknya memeriksa sampai tidak tahu dan tidak terasa bahwa kantong terlepas dan terjatuh. Ketika tubuh Beng San bergerak-gerak, tanpa disengaja kantong obat itu tertindih oleh tubuh anak itu dan tidak kelihatan dari atas.

“Hemmm…….., berbahaya sekali akibatnya, Apa kiranya aku akan kuat?” Tosu itu berdiri dan termenung. Ia ngeriakan akibatnya kalau sampai dirinya kemasukan obat kuat itu dan akhirnya ia tidak dapat menahan. Tanpa terasa digerayangnya pinggangnya dan ia kaget karena tidak mendapatkan kantongobat disitu. Bingung ia mencari, tetapi sia – sia saja. Ia mengingat-ngingat, tak salah lagi, tadi ia mengambil sebuah pil dari kantong obat yang segera dikantongkan kembali ke pinggangnya.

Jangan- janganketinggalan di atas pelana kuda, pikirnya. Cepat ia berlari meninggalkan Beng San dan berlari ke tempat di mana dia tadi meninggalkan kudanya. Di sini mencari-cari ke sana kemari, membuka-buka rumput dan alang-alang disekitarnya, membongkar semua bekal dari atas sela kuda.

Sementara itu, Beng San masih juga berkelojotan. “Panas … …., lapar …, panas….., lapar…….,”katanya. Tangannya menggerayang-gerayang, ia mencoba membuka matanya, tetapi begitu dibuka air matanya bercucuran saking panas dan perihnya.

Tiba-tiba tangannya yang menggerayang itu dapat menangkap sebuah kantong kecil.

Kedua tangan itu menarik dan sekali tarik saja kantong itu hancur dan dua butir pil dipegangnya. Karena pikiran Beng San sudah hampir tak dapat dipergunakan lagi saking hebatnya penderitaannya, dua butir pil itu segera dimasukkan ke mulutnya terus ditelan habis

Pada saat itu, terdengar orang bernyanyi-nyanyi kecil, nyanyian kanak-kanak. Ketika tiba di tempat itu, ternyata bahwa yang bernyanyi adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, tetapi mukanya yang hitam itu sama sekali tidak berkumis atau berjenggot, licin seperti muka kanak-kanak. Matanya juga bersinar bodoh dan jujur seperti mata kanak-kanak pula biarpun usianya sudah empatpuluh tahun. Yang lucu adalah pakaiannya, berkembang-kembang dan malahan sepatunya juga sepatu berkembang seperti yang biasa dipakai wanita. Pendeknya, seorang aneh yang mempunyai sifat kanak-kanak berpakaian seperti perempuan dan pantasnya hanya orang edan saja yang berkeadaan seperti dia ini. Ia berhenti menyanyi dan berdiri memandang Beng San yang masih bergulingan.

Setelah Beng San menelan pil yang dua butir itu ia seperti cacing terkena abu panas.

Berguling ke sana, menggelundung ke sini, berkelojotan dan mulutnya berbusa.

“Ha..ha..ho..ho..hoh, kau main menjadi trenggiling?” Orang yang baru datang itu dengan muka girang lalu rebah pula dan bergulingan, berkelojotan seperti Beng San sambil tertawa-tawa senang sekali.

“Hayo kita balapan, siapa lebih cepat menggelinding” katanya mengajak Beng San main balapan. Tentu saja Beng San yang tidak sadar itu semua sekali tidak memperdulikan.

“Eh, kau tidak mau balapan? Kurang ajar kau, diajak bicara diam saja” Orang itu melompat bangun dan mendekati Beng San. Ia melihat kedua mata Beng San yang sipit karena mukanya berbusa.

“Eh..eh..eh, setan, kau malah mengejek?” orang itu marah-marah, mengira bahwa Beng San yang tengah sekarat itu mengejeknya. “ Kutendang kau” orang tua itu menendang perlahan. Tanpa disengaja ia menendang jalan darah thi-thait-to dipunggung Beng San. Bocah yang sedang menderita ini, yang tubuhnya seakan-akan hendak meletus karena penuh hawa Yang, seakan-akan terbuka jalan darahnya akibat terkena tendangan itu. Tiba-tiba ia melompat ke atas, tinggi sekali dan tanpa disadarinya pula tangan kanannya menampar kepala orang itu.

“Plak” sehabis menampar ia bergulingan pula. Yang hebat adalah orang aneh itu yang kena tampar. Tubuhnya terlempar dan roboh berguling-guling sambil mengaduh-ngaduh. Ternyata orang itu lihai bukan main. Tamparan yang dilakukan oleh anak tadi, biarpun tidak disengaja namun penuh dengan dengan tenaga Yang dan kiranya akan menghancurkan kepala seorang biasa. Namun orang aneh itu hanya terguling-guling dan cepat bangun lagi. Ia marah sekali.

“Eh, Setan, Eh Iblis, kau mengajak berkelahi? Datang-datang mengirim pukulan maut, ya? Berani kau main-main dengan Koai Atong” Cepat seperti orang main sulap, tahu-tahu di tangan kanan ini sudah terdapat sebuah panah berwarna hijau. Ia maju menubruk Beng San yang sedang bergulingan, tangan kirinya memukul dengan telapak tangan terbuka, sedangkan tangan kanan menggunakan anak panah tadi untuk menusuk.

Dengan tepat tangan kiri Koai Atong memukul dada Beng San sedangkan ujung anak panah itu menancap di pundaknya. Melihat lawannya sama sekali tidak mengelak lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis, Koai Atong kaget sekali dan cepat sekali kembali anak panahnya. Hebat Beng San yang terkena pukulan dan terluka anak panah, seketika berhenti bergerak hanya dari mulutnya terdengar bunyi mendesis seperti seekor ular mengamuk, mukanya yang tadi merah menghitam berlahan-lahan berubah menjadi hijau, juga seluruh tubuhnya berubah menjdi kehijauan Desis pada mulutnya tidak lama, segera terhenti seperti bola kempis kehabisan angin.

“Mati….., celaka…….. aku bunuh orang yang tak melawan dengan pukulan Jing-tok-ciang (tangan racun hijau)” setelah berkata demikian, orang aneh itu cepat berlari meninggalkan tempat itu, larinya bukan main cepatnya seperti terbang saja.

Orang aneh yang bernama Koai Atong ini sesungguhnya bukan orang biasa. Biarpun seperti kanak-kanak dan pakaiannya seperti orang gila, namun justru keanehannya itu maka ia disebut Koai Atong (anak setan). Dia ini adalah murid tunggal dari Ban-tok-sim Giam Kong (hati selaksa Racun), seorang hwesio dari barat yang berasal dari Tibet. Nama besar Giam Kong ini terkenal diseluruh dunia kang-ouw sebagai seorang tokoh yang amat ditakuti orang. Juga nama murid tunggalnya ini cukup membikin mengkeret nyali banyak ahli silat karena kehebatannya. Yang paling ditakuti dari dua orang tokoh guru dan murid ini adalah ilmu pukulan mereka yang berdasarkan tenaga Im yang disebut Jing-tok-ciang. Ilmu pukulan racun hijau ini amat dasyat, mengandung sari tenaga Im yang paling dalam sehingga jangankan pukulannya, baru hawa pukulannya saja sudah cukup mendatangkan racun yang akan mematikan orang yang tersambar.

Sebagai seorang tokoh besar yang tinggi ilmu silatnya. Giam kong berpesan kepada muridnya yang ketolol-tololan itu agar tidak sembarangan mempergunakan Jing-Tok-ciang, apalagi mempergunakan senjata anak panah yang ujungnya sudah dimasak dalam racun hijau, kalau tidak amat terpaksa atau menghadapi musuh berat. Oleh karena itulah maka Koai Atong tadi ketakutan melihat akibat pukulannya. Tusukan anak panah terhadap diri Beng San dan serangannya tadi hanya terdorong oleh kemarahan karena ia dipukul secara hebat. Disangkanya bahwa Beng San anak kecil itu memiliki kepandaian tinggi, maka begitu menyerang ia mempergunakan pukulan maut dan anak panahnya. Maklum, jalan pikiran Koai Atong memang masih seperti kanak-kanak maka ia tidak berpikir panjang.

Siok Tin Cu bingung sekali ketika dia mencari-cari di tempat dia meninggalkan kudanya tetap tak dapat menemukan kantong obatnya. Dia menuntun kudanya kembali ke tempat Beng San. Alangkah kagetnya ketika dia melihat anak itu sudah tidak bergerak-gerak, terlentang di atas tanah dengan muka dan tubuhnya berwarna hijau Dia terheran-heran, melepaskan kudanya dan didekatinya anak itu, setelahmemeriksa sejenak ia mengeluarkan seruan keget

“Ayaaaaa….. kenapa anak ini bisa mati seperti itu??” ia benar-benar kaget sekali dan berkali-kali menggeleng-gelengkan kepalanya. Pengaruh obatnya adalah tenaga Yang (panas), andaikata anak ini mati karena obat itu tentu tubuhnya hangus, kenapa sekarang tubuh anak ini seperti orang mati kedinginan?

Siok Tin Cu berbidik ngeri. Untung ia mencobakan obatnya itu kepada anak tak terkenal ini. Kalau ia sendiri yang menelannya, alangkah ngerinya.

“Aku telah keliru membuatnya……… pikirnya,” harus segera kulaporkan kepada kauwcu……” Karena melihat akibat obatnya begini mengerikan ia tidak begitu kecewa lagi kehilangan dua butir pilnya. Kalau yang sebuah begini berbahaya, dua yang lain juga tidak akan ada gunanya dipusingkan. Biarlah kalau ditemukan orang lain dan ditelan, paling-paling orang yang menelannya akan mati seperti bocah ini.

Agak ngeri oleh akibat perbuatannya sendiri, tergesa-gesa tosu itu menaiki kudanya dan membalapkan kuda kurus itu pergi dari situ, meninggalkan tubuh Beng San yang menggeletak di tengah hutan.

“Hong-Ji, kau hati-hatilah. Hutan itu lebat, mungkin banyak harimaunya.

Jawabannya hanya suara ketawa nyaring seorang anak perempuan berusia delapan sembilan tahun yang amat lincah berlari-lari cepat memasuki hutan lebat. Yang menegur juga tersenyum, senyum kecil yang untuk sejenak menerangi wajahnya yang muram. Dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, tetapi wajahnya suram, tidak ada cahaya kegembiraan hidup.

Wajah tampan ini menjadi gelap dan muram semenjak ia ditinggal mati isterinya yang tercinta tiga tahun yang lalu, meninggalkan dia hidup berdua saja dengan anak tunggalnya yang bernama Hong.

Kwa Tin Siong adalah seorang jago pedang murid tertua dari Hoa-san-ciang-bunjin (ketua Hoa-san-pai) Lian Bu Tojin. Namanya di dunia kang ouw cukup terkenal sebagai seorang paling tua dari Hoa-san Sie-eng (empat pendekar Hoa-san). Tidak hanya terkenal karena memang empat orang pendekar Hoa-san ini berkepandaian tinggi, namun lebih terkenal karena perbuatan mereka yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan kegagahan. Terkenal sebagai pelindung rakyat dari penjahat-penjahat keji.

Lian Bu Tojin, tosu ketua Hoa-san pai sudah berusia enam puluh tahun lebih. Tosu ini biarpun memiliki banyak anak murid, namun kepandaian istimewanya, yakin pedang Hoa-san Kiam-hoat, hanya diturunkan seluruhnya kepada empat orang muridnya yang terkenal sebagai Hoa-san ini. Yang tertua adalah Kwa Tin Siong bergelar Hoa-san-it-kian (pedang tunggal Hoa-san). Orang ke dua adalah Thio Wan It berjuluk Bu-eng-kiam (pedang tanpa bayangan), orang ketiga bernama Kui Keng berjuluk Toat-beng kiam (pedang pencabut nyawa), sedangkan orang keempat adalah seorang gadis berusia duapuluh tahun bernama Liam sian Hwa dengan julukan Kiam-eng-cu (bayangan pedang).

Kwa Tin Siong sudah berusia empat puluh tahun dan sudah menjadi duda, dua orang sutenya, yaitu Thio Wan it berusia tiga puluh lima, sedangkan Kui Keng berusia tiga puluh tahun, keduanya sudah berkeluarga pula. Hanya orang keempat dari Hoa-san Sie-eng, yaitu Liem Sian Hwa yang belum berkeluarga. Ia masih gadis berusia dua puluh tahun akan tetapi telah menjadi tunangan Kwee Sin, orang termuda dari tiga pendekar Kun-lun.

Kwa Tin Siong amat dihormati dan disegani adik-adik seperguruannya karena pandangannya yang luas serta sikapnya yang serius. Ia gagah, jujur, dan menjadi pengikut ajaran filsafat Khong-cu yang setia. Anak perempuannya, Kwa Hong, merupakan matahari hidupnya dan hanya anak inilah yang kadang-kadang dapat memancing senyum di wajahnya yang selalu muram dan sungguh-sungguh.

Kwa Tin Siong terpaksa mengeprak kudanya untuk berjalan lebih cepat memasuki hutan lebat itu. Tadinya Kwa Hong membonceng di depannya, tetapi anak itu tiap kali merasa bosan naik kuda, pasti meloncat turun dan berlari-larian cepat. Kwa Tin Siong tidak merasa khawatir akan diri anaknya karena sungguhpun baru berusia delapan-sembilan tahun, Kwa Hong telah memiliki kepandaian silat yang lumayan. Semenjak anak itu bisa berjalan, ia sudah mendidiknya sehingga sekarang Kwa Hong memiliki gerakan yang cepat dan lincah, juga mempunyai ilmu bela diri yang cukup kuat.

“Hong-ji (anak Hong), jangan terlalu cepat, kau nanti sesat jalan” Kembali anaknya berkelebat memasuki bagian yang gelap dari hutan besar itu. Ia memajukan kudanya dan tiba-tiba kudanya mengeluarkan bunyi ringkik keras lalu berdiri di atas kedua kaki belakangnya, hidungnya mendesis-desis nampak ketakutan sekali.

Kwa Tin Siong berlaku waspada, maklum bahwa ada binatang buas di tempat itu.

Karena sukar untuk menenangkan kudanya, ia cepat meloncat turun dan mengikatkan kendali kuda pada sebatang pohon. Tiba-tiba kudanya meronta keras, kendalinya putus dan kudanya lari tunggang langgang. Hampir bersamaan pada saat itu terdengar bunyi berkeresekan dari atas dan seekor ular besar yang melilitkan ekornya pada batang pohon di atas, menyambarkan kepalanya ke arah Tin Siong.

Tidak percuma Kwa Tin Siong menjadi orang tertua dari hoa-san sie-eng. Biarpun matanya belum melihat, telinganya telah menangkap sambaran angin dari atas. Cepat sekali kakinya bergerak dan ia sudah menggelak sambil mencabut pedangnya. Di lain saat pedangnya sudah berkelebat membacok ke atas.

Tin Siong ular itu terluka pedang, darah menetes.ular itu kesakitan dan marah, cepat ia menyambar lagi bagaikan menubruk ke arah calon mangsanya.

Tin Siong terkesiap kagum menyaksikan ular yang besar sekali dengan sisiknya yang nampak kuning kehijauan berkembang indah. Hampir ia merasa sayang untuk membunuh ular ini, tetapi karena ia berada dalam bahaya, terpaksa ia memapaki datangnya ular dengan sebuah tusukan ke arah leher sambil miringkan tubuh.

“Cesss” Pedang yang ditusukkan dengan tenaga lweekang itu dapat menembus leher ular yang dilindungi kulit keras. Sebelum ular itu sempat menyerang, pedang sudah dicabut kembali dan sebuah tebasan yang dilakukan dengan tenaga sepenuhnya membuat leher itu putus Kepalanya terlempar ke bawah sedangkan ekor yang melilit dahan pohon perlahan-lahan terlepas sehingga akhirnya tubuh ular yang panjang dan besar itu jatuh berdebuk di atas tanah pula.

Tin Siong menarik napas panjang merasa sayang bahwa ualar yang seindah itu kulitnya terpaksa harus ia bunuh, Ular kembang macam ini enak dagingnya dan kulitnya akan laku mahal kalau dijual di kota, pikirnya. Ia ingat akan anaknya, dan teringat akan kudanya yang sudah melarikan diri. Anaknya harus dicari lebih dahulu dan dengan pikiran ini pendekar itu lalu lari mengejar ke arah bayangan Kwa Hong tadi berkelebat.

Sementara itu, Kwa Hong yang berlari-larian gembira telah berada dibagian yang paling gelap di hutan itu.memang anak ini semenjak kecil paling senang kalau bermain-main didalam hutan.Semenjak kecil berdiam bersama ayahnya di hoa-san dan hutan besar boleh dibilang adalah tempat ia bermain-main. Akhir-akhir ini ketika ayahnya mengajak ia turun gunung,ia seringkali rindu kepada hutan-hutan besar,rindu kepada binatang-binatang hutan yang amat disanyanginya,maka sekarang melihat hutan, tentusaja ia seperti seekor burung,tentu saja ia pohon besar,gembira sekali hatinya.

Saking gembiranya ia sampai lupa diri dan lupa bahwa jauh meninggalkan ayahnya dan baru terasa lelah kedua kakinya ketika dia duduk di bawah sebatang pohon besar.sepanjang matanya bersei-seri dan bersinar-sinar,mulutnya yang kecil tertawa-tawa ketika Kwa hong memtik dua tangkaibunga merah dipasangnya di atas kepala di kanan kiri,menhias rambutnya yang hitam panjang.

Tiba-tiba ia berseru kaget dan cepat meloncat kesamping dan dilain saat tangan kanannya sudah menghunus pedang pendek, inilah gerakan sin-coa-hiat-bwe (ular sakti mengulur ekornya) sebuah gerakan ilmu pedang sebagai [pembukanankalau menghadapi lawan berat. Gerakannya cepat sekali dan tanganya yang mencabut pedang hampir tidakterlihat, tahu-tahu pedang pendek yang tadinya tergantung dipunggungnya telah berada ditangan kanan,dipegang erat-erat gagangnya,sedangkan pedangnya melintang di depan dada. Apa yang menyebabkan gadis cilik ini kaget?

Mukanya pucat dan ia berdiri seperti patung,lenyap semua seri gembira diwajahnya.

Bukan hanya dia,andaikan disitu ada orang lain orang sgagah ayahnya sekalipun,tentu akan kaget setengah mati melihat apa yang dilihat oleh Kwa hong ini.Mana didunia bukan mimpi,memang nyata-nyata terlihat olehnya hal ituterjadi.mula-mula ia tadi berseru kaget karena melihat ada seekor ular besar di bawah pohon,kurang lebih dua puluh meter jauhnya disebelah sana.dan sekarang….tahu-tahu ular itu ”bangun” berdiri dan berlomcat-loncatan menghampirinya.

Hampir saja Kwa Hong lari tunggang langgang saking takut dan ngerinya kalau saja ia tidak mendengar suara orang tertawa, akan tetapi ketika ia mendengar bahwa yang tertawa adalah “ular berdiri” itu. Kemudian timbul jiwa ksatria yang diturunkan ayahnya kepadanya dengan pedang dipegang erat-erat di tangan ia membentak.

“Siluman dari mana berani menggangguku”.

“Ha..ha..ha, lagaknya. Kakimu menggigil seperti orang sakit demam kok masih berlagak gagah. Ha..ha..ha” ternyata ular itu setelah dekat tidak berkepala lagi dan ..

dari leher ular itu tersemburlah kepala seorang anak laki-laki, anak yang bermata lebar dan bermuka putih kehijauan. Anak ini bukan lain adalah Beng San.

Seperti talah kita ketahui Beng San menggeletak di bawah pohon dalam keadaan yang dianggap sudah tak bernyawa lagi oleh Siok Tin Cu. Memang waktu itu anak ini sudah seperti mati, mukanya hijau kebiruan, tidak ada napasnya lagi dan tidak ada detak jantungnya lagi. Akan tetapi, ternyata Siok Tin Cu salah kira. Terjadi hal-hal yang mujijat dalam diri anak yang bernasib malang ini. atau lebih tepat kita katakana bukan bernasib malang karena secara kebetulan sekali ia terhindar dari malapetaka yang akan mencabut nyawanya akibat dari ditelannya tiga butir pil obat beracun dari Siok Tin CU, tiga butir pil beracun yang mengandung hawa panas yang mujijat, sari dari pada hawa thai yang. Pada saat Beng San ditemukan oleh Koai Atong, memang nyawanya
«prev | next»
Go to[1-42]
Home

Создай сайт! Create site!

Jumat, 31 Mei 2013

pedang kayu harum [ 34 ]

yang kasar, dibuat pakaian secara kasar pula. Warna kuning adalah warna kesukaannya.
Akan tetapi, selama lima tahun itu, kalau muridnya menjadi makin sehat dan kuat, adalah si
guru makin lemah dan tua. Kalau orang yang lima tahun lalu bertemu dengan Sin-jiu Kiam-
ong kini melihatnya tentu akan menjadi kaget. Kakek ini sudah kelihatan tua sekali, tubuhnya
kurus kering dan hanya sepasang matanya saja yang kadang-kadang tampak berseri penuh
semangat, itupun hanya kalau dia sedang melatih muridnya.

Pada hari itu, sinar matahari telah menembus awan tipis menerangi permukaan puncak batu
pedang. Seperti biasa, Keng Hong bersila dan berlatih, memusatkan panca indera menerima
sinar matahari pagi yang mengandung daya kekuatan muzijat untuk meningkatkan tenaga
sinkang di tubuhnya. Seperti biasa pula, gurunya duduk bersila tak jauh dari tempat dia
duduk.

"Keng Hong.....!"
Suara gurunya merupakan satu-satunya suara yang akan menyadarkan Keng Hong setiap saat,
karena selama lima tahun ini hanya suara gurunya inilah yang menjadi pusat perhatiannya. Ia
cepat sadar dari latihannya dan membuka mata, memandang gurunya.

Hati pemuda remaja ini berdebar. Wajah gurunya tampak berbeda dari biasanya, sungguhpun
wajah itu masih membayangkan seri dan gembira, namun ada sesuatu yang menonjol, sesuatu
pada wajah pucat dan kurus itu yang membuat jantungnya berdebar, wajah gurunya hari ini
seperti matahari tertutup awan tebal, suram-muram kehilangan cahayanya.
"Suhu memanggil teecu? Ada perintah apakah, Suhu?"

Sin-jiu Kiam-ong tersenyum dan mengangkat lengannya yang kiri, gerakannya lemah ketika
dia menggapai, "Mendekatlah, Keng Hong dan bersilalah di depanku sini, aku ingin bicara
denganmu.”

Keng Hong menjadi makin heran. Sikap gurunya inipun tidak seperti biasanya. Tentu ada
sesuatu yang amat penting. Ia cepat bangkit dan menghampiri suhunya, lalu duduk bersila di
depan suhunya. Karena baru sekali ini selama lima tahun dia berdekatan dengan gurunya
dalam keadaan tidak sedang berlatih, maka dia mendapat kesempatan untuk memandang
penuh perhatian dan kini ternyatalah olehnya betapa suhunya amat kurus, tinggal kulit
membungkus tulang dan bahwa hanya oleh daya tahan yang luar biasa saja suhunya dapat
bertahan selama ini. Ia kini sudah mengerti bahwa suhunya menderita luka-luka parah di
sebelah dalam tubuh yang akan merenggut nyawa setiap orang dalam waktu beberapa bulan
saja. Namun suhunya dapat bertahan sampai lima tahun!

"Keng Hong, tahukah engkau sudah berapa lama kau berada di tempat ini?"
"Teecu tidak terlalu memperhatikan, akan tetapi melihat banyaknya perubahan musim, tentu
kurang lebih lima tahun.”

"Benar, memang sudah lima tahun, muridku. Dan sudah banyak kau belajar dariku. Sayang
waktunya amat tergesa-gesa sehingga terpaksa aku hanya memperbanyak latihan ginkang dan
Iweekang kepadamu. Mengenai gerak cepatmu dan tenaga dalam, kurasa sudah cukup sebagai
landasan dan aku tidak khawatir kau akan mudah terkalahkan orang lain. Akan tetapi ilmu
silatmu..... ah, tidak ada waktu bagi kita sehingga hanya dasar-dasarnya saja kaukuasai.
Padahal ilmu silat di dunia ini amatlah banyaknya Keng Hong. Dan selain dasar-dasar ilmu
silat tinggi, engkau baru menguasai ilmu silat dengan tangan kosong yang sederhana dan juga
ilmu pedang Siang-bhok Kiam-sut belum kau kuasai seluruhnya. Hal inilah yang
memberatkan hatiku, karena kalau engkau bertemu dengan orang-orang sakti seperti sembilan
orang tokoh yang pada lima tahun yang lalu menyerbu ke sini, apalagi bertemu dengan Bu-tek
su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tanding), kepandaianmu masih belum dapat diandalkan.”
Keng Hong mengerutkan alisnya yang hitam panjang dan tebal. "Akan tetapi, Suhu, apa
hubungannya kesaktian mereka dengan teecu? Suhu sudah tahu pendirian teecu, yaitu belajar
ilmu kepada suhu untuk memperkuat diri lahir bathin, ilmu dipelajari untuk menjaga diri

pedang kayu harum [ 33 ]

punggungnya, telapak tangannya yang seolah-olah memasukkan hawa panas yang menjalar ke
seluruh tubuhnya, tentu dia takkan kuat menahan. Akan tetapi dia mematuhi perintah
suhunya, duduk bersila dan bernapas dalam-dalam, panjang-panjang, sambil menekankan
keyakinan bahwa hawa sesungguhnya tidaklah sedingin yang dianggapnya semula. Memang
tadinya agak sukar, akan tetapi makin hening dia memusatkan perhatian, makin terasa bahwa
memang dia keliru menduga. Memang hawa tidaklah amat dingin. Makin lama makin panas
sampai mulailah keluar peluh di lehernya!

"Tubuh kita hanya merupakan alat, muridku. Kalau kuat batin kita, kita akan dapat menguasai
alat yang akan melakukan segala perintah otak dan kemauan kita. Engkau harus berlatih
seperti ini, memperkuat kemauan sehingga seluruh anggota tubuhmu tunduk dan taat
kepadamu. Kalau hatimu bilang panas, kalau menyatakan dingin, tubuhmu harus merasa
dingin pula.” Demikian kakek itu memberi pelajaran pertama.

Guru dan murid itu amat tekunnya. Sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih tekun,
si guru yang mengajar ataukah si murid yang belajar. Keng Hong belajar ilmu dan berlatih
tanpa mengenal waktu. Tidak ada perbedaan antara siang atau malam baginya, baik puncak
batu pedang itu sedang terang ataukah sedang gelap. Baginya kini tidak ada bedanya karena
dia dapat melihat di dalam gelap saking hebatnya gemblengan yang diberikan gurunya. Ia
mengaso kalau tubuhnya sudah tidak kuat lagi, hanya tidur kalau matanya sudah tidak kuat
menahan kantuk, hanya makan kalau perutnya sudah tidak dapat menahan lapar dan minum
kalau kerongkongannya sudah tidak dapat menahan haus. Dalam beberapa bulan saja dia
sudah dapat turun dari batu pedang untuk mencari bahan makanan menggantikan pekerjaan
gurunya.

Sin-jiu Kiam-ong menggembleng muridnya dengan cara yang luar biasa, segala pengertian
dasar ilmu silat dia berikan dengan cara kilat. Latihan lweekang dan ginkang dia berikan dan
tekankan agar dilatih terus-menerus oleh muridnya. Latihan samadhi dan mengatur
pernapasan untuk mengumpulkan sinkang (hawa sakti) di dalam tubuh, sambil sedikit demi
sedikit "memindahkan" sinkangnya sendiri melalui telapak tangan yang dia tempelkan di
punggung muridnya.

Luar biasa sekali kemajuan yang diperoleh Keng Hong. Cepat dan memang anak ini amat
cerdik, setiap pelajaran yang diberikan selalu menempel di dalam ingatannya. Akan tetapi
sebaliknya, kalau Keng Hong memperoleh kemajuan yang hebat dan cepat, adalah Sin-jiu
Kiam-ong makin lama makin lemah dan pucat. Makin sering kakek ini terbatuk-batuk,
kadang-kadang batuknya mengeluarkan darah. Kakek ini menderita luka di sebelah dalam
tubuhnya akibat pertandingan melawan Bu-tek Sam-kwi dahulu dan kini karena terlampau
rajin dan memaksa tenaga, dia menjadi berpenyakitan dan lemah. Namun hal ini tidak
mengurangi semangatnya dan terus melatih muridnya secara teliti dan tekun karena dia
merasa yakin bahwa hal ini merupakan kewajiban terakhir dalam hidupnya yang tidak berapa
lama lagi itu.

Sang waktu lewat dengan amat cepatnya. Memang tidak keliru kalau dikatakan oleh penyair
kuno bahwa kecepatan waktu melebihi kilat, namun lambatnya mengalahkan kelambatan
seekor keong. Setahun terasa seperti sehari kalau diperhatikan, sebaliknya kalau diperhatikan
dan ditunggu, sehari terasa setahun! Demikian cepatnya sang waktu berputar sehingga tak
tampak dan tak terasa lagi, seolah-olah berhenti, padahal segala sesuatu terseret dan hanyut
dalam perputarannya, dilahap dan ditelan habis, untuk kemudian dilahirkan dan dilenyapkan
lagi.

Tanpa terasa, apalagi bagi yang mengalaminya sendiri, telah lima tahun lamanya Keng hong
hidup berdua dengan gurunya di puncak batu pedang. Dari seorang bocah berusia dua belas
tahun, kini berusia tujuh belas tahun! Tubuhnya tinggi tegap, wajahnya tampan dengan kulit
yang segar dan putih kemerahan membayangkan kesehatan sempurna dan kekuatan muzijat
tersembunyi di dalam tubuhnya. Pakaiannya sederhana, hanya kain polos berwarna kuning

pedang kayu harum [ 32 ]

oleh Keng Hong sendiri. Karena dia bukan anak murid Kun-lun-pai, dan tidak ada sangkut
pautnya dengan Kun-lun-pai, maka di kelak kemudian hari segala sepak terjangnya tidak ada
hubungannya dengan Kun-lun-pai. Taihiap dipersilahkan menempati Kiam-kok-san karena
Taihiap merupakan seorang penolong Kun-lun-pai, akan tetapi kelak, kalau Taihiap tidak lagi
berada di Kiam-kok-san, tentu saja kami akan melarang Keng Hong berada di wilayah kami.
Nah, selamat berpisah, Taihiap, semoga Thian selalu melindungi dan melimpahkan
berkahNya.” Tosu itu memberi isyarat kepada saudara-saudaranya dan setelah menjura ke
arah Sin-jiu Kiam-ong lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke puncak dan memberi
laporan kepada Thian seng Cinjin.

Sin-jiu Kiam-ong tertawa dan memegang tangan Keng Hong diajak mendaki puncak Kiam-
kok-san sambil berkata, "Jangan menganggap semua omongan tosu itu, Hong-ji. Mereka itu
adalah orang-orang yang terikat, terbelenggu kaki tangannya oleh agamanya, kasihan....!
Segala peraturan yang dibuat manusia merupakan belenggu-belenggu yang akan mengikat
kaki tangannya sendiri. Eh, namamu memakai huruf Hong, sama dengan namaku. Memang
kita berjodoh....auggghhh....!" Kakek itu memegangi dadanya dan kakinya terhuyung.
"Eh...kenapa? Suhu..... Suhu terluka...?"
Wajah yang menyeringai menahan nyeri itu berseri kembali. "Ah, tidak seberapa hebat.
Tahukah engkau bahwa ketika engkau menyebut Kong-kong kepadaku, aku merasa seolah-
olah engkau ini cucuku sendiri? Ha-ha-ha! Alangkah lucunya, kawin pun belum pernah,
bagaimana bisa punya cucu? Kau lebih tepat menjadi muridku. Hemmm...., akan kuberikan
seluruh milikku kepadamu, muridku. Mudah-mudahan saja tidak terlambat. Mari kita naik ke
Kiam-kok-san dan engkau harus rajin belajar karena waktunya tidak banyak. Aku...setan
laknat tiga iblis itu.... aku terluka, kalau hanya racun saja sudah di punahkan Siang-bhok-
kiam, akan tetapi...ah, pukulan mereka merusak isi dadaku yang sudah kurang kuat...! Mudah-
mudahan tidak terlambat...."

Keng Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan suhunya, namun dengan patuh dia lalu
mengikuti suhunya mendaki puncak. Ketika mereka tiba di bawah batu pedang, Sin-jiu Kiam-
ong mengempitnya dan merayap ke atas. Keng Hong merasa ngeri, akan tetapi dia
menguatkan hatinya dan sedikit pun tidak menyatakan rasa ngerinya! Ketika mereka
memasuki halimun tebal yang menutup bagian puncak batu pedang, Keng Hong hampir
menjadi kaku oleh rasa dingin. Seluruh tubuhnya menggigil, sampai gigi atas beradu dengan
gigi bawah namun dia tetap bertahan, tidak mau mengeluh sama sekali. Ketika suhunya
melepaskannya dan Keng Hong memandang sekelilingnya, dia melihat bahwa kini dia berada
di puncak batu pedang, dan bahwa puncaknya tidak meruncing seperti tampaknya dari bawah
dan halimun tebal itu pun tidak mencapai puncak, melainkan mengambang di bawah. Puncak
itu sendiri tersinar cahaya matahari yang amat indah dan puncak itu lebar berbentuk segi
empat seolah-olah tadinya puncak itu meruncing kemudian patah. Lebarnya lebih dari lima
puluh meter dan di situ terdapat sebuah pondok kecil, dan tanah atau batu di situ ditumbuhi
rumput dan lumut hijau muda.

Sekeliling puncak itu hanya tampak halimun belaka, seolah-olah tempat itu bukan bagian
dunia lagi, melainkan di dunia lain, di tengah-tengah langit antara awan-awan putih! Akan
tetapi Keng Hong tidak kuat lagi karena tiba-tiba perutnya menjadi kejang-kejang saking
dinginnya dan dia roboh pingsan di dekat kaki gurunnya!

Keng Hong sadar di dekat api unggun, ketika dia bangkit dan duduk, dia melihat gurunya
bersila di dekatnya dan guru ini menempelkan telapak tangan pada punggungnya.
"Duduklah bersila, Keng Hong, dan atur napas perlahan-lahan. Dengan bantuan api yang
panas, tekankan dalam hati dan pikiranmu bahwa hawa sama sekali tidak dingin, bahkan agak
panas. Jangan ragu-ragu, kubantu engkau.”

Betapa mungkin, bantah hati anak itu. Hawa amat dinginnya, bahkan panasnya api tidak
terasa sama sekali olehnya. Kalau tidak ada telapak tangan gurunya menempel di

pedang kayu harum [ 31 ]

"Bukan! aku bukan murid Kun-lun-pai! memang aku bekerja menjadi kacung di Kun-lun-pai,
akan tetapi aku sama sekali bukan anak muridnya dan sama sekali tidak pernah mempelajari
ilmu silat di Kun-lun-pai!”

"Kiang Tojin! apa artinya keterangan yang bertentangan ini?" Sin-jiu Kiam-ong menoleh
kepada tosu itu dengan pandang mata penuh teguran.
"Maaf, harap Taihiap suka mendengarkan penjelasan pinto. Tadi pinto sama sekali tidak
mengatakan bahwa Keng Hong adalah anak murid Kun-lun-pai hanya mengatakan bahwa dia
adalah orang Kun-lun-pai. Hendaknya Taihiap ketahui bahwa anak ini berasal dari sebuah
dusun yang dilanda bencana perampokan, seluruh keluarganya musnah dan secara kebetulan
pinto dapat menyelamatkannya dan membawanya ke Kun-lun-pai. Semula kami hendak
menjadikannya murid Kun-lun-pai, akan tetapi kami terbentur oleh peraturan baru. Belum
lama ini suhu membuat peraturan baru bahwa setiap orang anak murid dari Kun-lun-pai
haruslah seorang penganut agama To. Karena Keng Hong tidak mau menjadi calon tosu,
maka sampai kini dia berada di Kun-lun-pai selama dua tahun dan bekerja sebagai pembantu.
Namun, kami telah menganggapnya sebagai orang sendiri.”

"Hemmm, begitukah? kalau begitu, dia bukan anak murid Kun-lun-pai, hanya kacung! tiada
halangan bagiku untuk mengambilnya sebagai murid. Eh, Kiang-toyu, apakah engkau
berkeberatan kalau dia kuambil murid?”

"Mana pinto berani, Taihiap? Hanya saja, hal ini tergantung kepada si bocah sendiri. Keng
Hong, pinto telah menyelamatkanmu daripada bencana. Apakah sekarang kau begitu tak ingat
budi dan hendak meninggalkan pinto? Apakah benar-benar engkau suka menjadi murid Sin-
jiu Kiam-ong?”

Keng Hong bangkit berdiri, setelah dia menyaksikan sepak terjang tiga orang manusia iblis
dan sembilan orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, hatinya menjadi dingin
terhadap Kun-lun-pai yang tadinya dia junjung tinggi sebagai pusat orang-orang sakti yang
budiman. Ia memandang tajam kepada Kiang Tojin lalu berkata.
"Totiang, sampai matipun saya tidak akan menyangkal bahwa Totiang telah menolong nyawa
saya dan sampai matipun saya akan selalu ingat dan akan berusaha membalas budi Totiang
itu. Akan tetapi, apakah budi yang totiang lepas itu mengandung pamrih agar selama hidup
saya harus ikut dan menurut segala kehendak Totiang? Apakah totiang hendak merampas
kebebasan saya? Totiang, pernah saya membaca ujar-ujar dalam kitab kuno bahwa budi
disertai pamrih bukanlah pelepasan budi namanya, melainkan pemberian hutang yang harus di
bayar kembali beserta bunga-bunganya! Apakah Totiang menghutangkan budi kepada saya!?”
"Ha-ha-ha-ha-ha....!" Sin-jiu Kiam-ong tertawa terpingkal-pingkal dan dia mengelus-elus
kepala anak itu. "Bocah, engkau penuh dengan semangat menggelora! Eh, Kiang-toyu,
maafkan saya, ya. Agaknya bocah ini sudah ketularan watakku! Sekarang engkau hendak
bilang apa lagi, Toyu?”

Wajah Kiang Tojin menjadi merah, ia menjadi gemas kepada anak itu karena sesungguhnya
tidak ada sedikit pun pamrih di hatinya minta dibalas budi oleh anak itu. Dia tadi berusaha
memisahkan Keng Hong dari Sin-jiu Kiam-ong karena sesungguhnya di dalam hatinya dia
tidak rela dan tidak suka melihat Keng Hong menjadi murid kakek luar biasa ini. Perasaan ini
semata-mata tinmbul karena rasa sayang kepada Keng Hong. Dia mengenal orang macam apa
adanya Sin-jiu Kiam-ong, seorang yang semenjak mudanya hanya mengandalkan kepandaian
malang melintang, seorang petualang yang tidak segan-segan melakukan segala macam
kemaksiatan, pengejar kesenangan pemuas nafsu. Ia ingin melihat Keng Hong menjadi
seorang yang baik dan dia mengerti bahwa kalau anak ini menjadi murid si raja pedang, tentu
akan mewarisi pula wataknya yang liar dan jiwa petualangnya. Ia menghela nafas dan berkata,
"Siancai....hanya Tuhan yang mengetahui isi hati manusia! Taihiap, tidak sekali-kali saya
ingin mempengaruhi Keng Hong dan terserahlah kalau memang dia sendiri suka menjadi
murid Taihiap. Hanya ada satu hal yang hendaknya diketahui baik oleh Taihiap dan terutama

Kamis, 30 Mei 2013

pedang kayu harum [ 30 ]

akan menganggap kalian bagaimana."

Kiang Tojin memutar tubuhnya memandang sembilan orang itu, keningnya dikerutkan dan
dia berkata, suaranya penuh wibawa dan keren. "Di antara cu-wi (tuan sekalian) terdapat
tokoh-tokoh partai persilatan besar, tentu cukup tahu akan kedaulatan tuan rumah. Cu-wi
datang tanpa memberi tahu Kun-lun-pai, hal ini berarti pelanggaran kedaulatan dan tidak
memandang mata kepada kami. Sungguh kami tidak dapat dikatakan keterlaluan kalau
terpaksa mengusir cu-wi.”

Sikap Kiang Tojin amat keren dan sembilan orang itu cukup mengenal siapa tosu ini, maklum
bahwa selain tingkat ilmu kepandaiannya amat tinggi, juga saudara-saudara Kiang Tojin yang
berjumlah tiga puluh orang dan mengurung tempat itu merupakan kekuatan yang tak mungkin
dilawan mereka yang sudah terluka. Belum lagi diperhitungkan kalau Thian Seng Cinjin ketua
Kun-lun-pai sendiri yang datang! maka dengan menjura dan menggumamkan kata-kata maaf,
lalu membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan tempat itu. Karena mereka adalah orang-
orang pandai, gerakan-gerakan mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja tempat
itu menjadi sunyi dan bayangan mereka tak tampak lagi.

Sin-jiu Kiam-ong lalu berkata kepada Kiang Tojin yang sudah menyimpan kembali
pedangnya ditiru oleh saudara-saudaranya yang tetap berdiri menjauh karena mereka itu
kesemuanya merupakan tokoh-tokoh yang menghormati si raja pedang yang pernah melepas
budi kepada Kun-lun-pai. Hal itu terjadi belasan tahun yang lalu ketika Kun-lun-pai diserbu
oleh kaum sesat yang dipimpin oleh seorang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, sehingga
Kun-lun-pai mengalami bencana hebat dan terancam kedudukannya.
Semua tokoh Kun-lun-pai, termasuk Thian Seng Cinjin, terdesak dan hanya setelah Sin-jiu
Kiam-ong yang secara kebetulan mendengar akan serbuan ini lalu datang membantu, maka
pihak musuh dapat dihalau dan si datuk sesat tewas di tangan Sin-jiu Kiam-ong dan Thian
Seng Cinjin. Sin-jiu Kiam-ong lalu dianggap sebagai penolong dan diperbolehkan
menggunakan Kiam-kok-san, tempat yang tadinya dianggap keramat oleh golongan Kun-lun-
pai karena dahulu menjadi tempat bertapa sucouw mereka.

"Kiang-toyu, harap sampaikan kepada Thian seng Cinjin guru kalian bahwa aku minta
perkenannya untuk memperpanjang penggunaan Kiam-kok-san sampai beberapa tahun lagi,
atau lebih jelas sampai matiku karena aku ingin menggunakan sisa usiaku untuk
menggembleng muridku ini." Sin-jiu Kiam-ong meraba kepala Keng Hong yang sudah
berlutut ketika melihat Kiang Tojin dan saudara-saudaranya muncul tadi.

Kiang Tojin dan saudara-saudaranya tercengang dan terdengar seruan-seruan kaget dan heran.
"Siancai....sungguh luar biasa sekali nasib anak ini.....! Akan tetapi, Taihiap, menyesal bahwa
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan karena..... karena anak ini adalah orang Kun-lun-
pai....!”

Sin-jiu Kiam-ong mengerutkan alisnya dan pandang matanya berubah kecewa. Selama
hidupnya dia selalu membawa kehendak sendiri dan tidak mempedulikan peraturan orang
lain, akan tetapi terhadap Kun-lun-pai dia merasa sungkan dan dia tahu benar bahwa kalau
memang anak ini seorang murid Kun-lun-pai, amat tidak baik kalau dia memaksa dan
mengambilnya sebagai murid, betapapun sukanya dia terhadap anak ini. Ia lalu menunduk dan
bertanya kepada Keng Hong.

"Hong-ji (anak Hong), benarkah engkau seorang anak murid Kun-lun-pai?” Keng Hong
tadinya terheran, bingung dan juga diam-diam merasa tegang ketika secara tiba-tiba dia
diangkat murid Sin-jiu Kiam-ong, dijadikan ahli waris kakek yang luar biasa itu. Namun,
perasaan yang aneh sekali membuat hatinya menjadi besar dan bahagia dan timbul tekad di
hatinya bahwa dia harus menjadi murid kakek ini, harus menjadi seorang pandai untuk
menghadapi manusia-manusia jahat, terutama sekali manusia-manusia munafik yang banyak
terdapat memenuhi jagat ini. Kini mendengar prcakapan antara tosu penolongnya dan Sin-jiu
Kiam-ong, dia cepat berkata.