Senin, 13 Mei 2013

cinta bernoda darah [ 5 ]

kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!

“Siluman betina, berani kau memukuli temanku?” teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang, langsung ia menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis. Dengan gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit du­duk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!

Sementara itu, Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun, dengan ilmunya yang baru, ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus gin-kangnya juga meng­alami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya. Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama se­kali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan de­ngan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil me­langkah lebar ke depan, kepalanya me­luncur ke arah pusar lawan.

Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan ce­pat ia menggeser kaki ke kanan bela­kang. Akan tetapi kiranya pukulan dah­syat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukul­an tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan. Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga mem­betot untuk merampas kembali tongkat­nya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk me­lakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin!

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya. “Dukkk!” pemuda ini me­lompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali, se­belum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekaget­annya bertambag ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!

Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.

“Bocah tiada guna, minggir!” tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing diten­dang saja, kemudian gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.

“Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!” kata It-gan Kai-ong. Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sekti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno. Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan.... tiba-tiba batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri. Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.

Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.

“Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak bol­eh diganggu. Tahu?” Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.

Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka ber­pandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, “Terima kasih atas pertolongan­mu....”

“Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri.”

“Yang kunilai bukanlah hasilnya, me­lainkan sifat daripada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil maupun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan sau­dara ini seorang tamu dari golongan mana?”

Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung ke­pada bibir itu.

“Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.”

“Ehhhhh.... ap.... apa....?” Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.

Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau menyam­barnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak me­letup.

“Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?”

“Oh.... aku.... namaku Kam Bu Sin, aku.... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku.... aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan....”

Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini me­natapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.

“Kau.... namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”

Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran. “Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan men­diang Ayah?”

Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang. “Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan.... eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung.... keponakanku!” Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, men­datangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!

“Ah, tidak mungkin!” Tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi.... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?”

“Sembilan belas!” Dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau duga­an tentang usia itu akan cepat membuat­nya menjadi tua.

“Nah, sembilan betas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, ma­na bisa menjadi keponakanmu?”

Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu. “Keponakanku yang baik, dengarlah penjelas­an bibimu. Aku mempunyai seorang ke­ponakan, dan Ayahmu adalah ayah kepo­nakanku itu, sedangkan ibu dari keponak­anku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarga­nya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibi­mu?”

Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu. “Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau....” Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?”

Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan dia?”

Dapat dibayangkan betapa kaget, he­ran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adik­nya, mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.

“Di mana dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”

Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata mak­lum dan bibir manis tersenyum ia ber­kata, malah setengah menggoda.

“Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”

Mendengar ini Bu Sin sadar dan ce­pat-cepat ia melepaskan kedua tangan­nya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat. “Maaf.... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung hala­man adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya.”

“Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya ber­arti keponakanku juga.”

Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya meng­godanya, maka ia tidak marah. “Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan te­tapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.

Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung ber­debar tidak karuan, “Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko.”

Bu Sin tertawa. “Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut na­maku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.”

“Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”

“Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan....”

“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat de­nganku?”

“Ti.... tidak begitu, tapi kau....”

“Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel itu cukup menghormat kita sehingga di sini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.” Keduanya du­duk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Beng­kauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai kepona­kan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.

“Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagai­manakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada di sini dan menjadi tawan­an It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di mana?”

“Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang! Ketahuliah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,”

“Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong....”

“Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Me­mang terjadi hal-hal aneh dalam peraya­an di kota raja dan agaknya ada kom­plotan gelap di antara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku....”

“Kaumaksudkan Kakak Bu Song....?”

Liu Hwee mengangguk. “Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”

“Wah, dia hadir juga dan dia.... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”

Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu. “Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku.... aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”

“Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”

“Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi per­satuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-keraja­an lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas per­mata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya ha­nya batu-batu sungai yang tidak berharga!”

“Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!”

“Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sen­diri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”

“Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?”

“Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan un­tuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni...., eh kau kenapa?”

Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, ma­tanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah men­dengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.

“Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali....”

“Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi....”

“Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”

Lim Hwee termenung sejenak. “Tentang dia.... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidek mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, di sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gu­nung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlumba mencari keunggulan dalam ke­dudukan di dunia persilatan, karena ka­barnya di antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”

“Ah, tidak.... tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”

“Wah, Koko! Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri. “.... hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas.... apakah tidak gila ini....?”

“Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan....”

“Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada ini....”

“Maksudmu?”

“Keponakanku itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas....!”

Bu Sin melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak lebar, keheranan memenuhi dada dan kepalanya. “Kau bilang Kakak Bu Song itu Suling Emas? Jadi dia itu kakak kami sendiri....? Wah, pantas, pantas.... dia selalu menolong kami! Ah, memang patut ditampar kepalaku, Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok. Ha-ha-ha-ha!” Bu Sin tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya sendiri. “Ha-ha-ha, benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar! Wah, kakakku demikian gagah perkasa.... ah, alangkah akan girangnya hati Ayah kalau mengetahul hal itu.... sayang, Ayah.... takkan pernah tahu....” Dengan kepalan tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus dua titik air mata dari pelupuk matanya.

Sadar akan keadaannya yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil tersenyum malu. “Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah sekali. Kau harus tahu, selama hidupku, belum pernah aku bertemu dengan kakakku itu, dan yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak beradik malah menyangka bahwa Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda kami. Karena hendak mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kami, maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa tahu dan siapa sangka, orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah kakak sulung kami!”

Liu Hwee menarik napas paniang. “Kau tidak lemah, Sin-koko. Memang ke­hidupan Suling Emas semenjak kecilnya telah diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang membingungkan. Bahkan aku sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak tahu. Kau tahu, ibunya, yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang tahu, hanya dapat men­duga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat menjumpainya. Aneh, memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh.”

“Pertemuanku denganmu benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena raha­sia kakakku telah dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa kebahagiaan itu kiranya takkan dapat berlangsung terus. Bagaimana aku akan dapat bertemu de­ngan kakakku itu kalau sekarang kita ber­ada dalam tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan keluar? Ah, dasar aku yang tidak becus, tidak berhasil menye­lamatkanmu, malah aku sendiri tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam keadaan pingsan?”

“Belum kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan penyelidikan. Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki para tamu yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedang­kan aku menyelidiki ke tempat para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang pengemis yang me­ngempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri. Aku tertarik sekali, me­ngira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan. Karena mereka berada di negeriku, aku harus mencegah orang ber­buat kejahatan, maka aku lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah hutan, tiba-tiba dua orang itu melepas­kan orang-orang yang dikempitnya dan.... ternyata dua orang yang dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga berpakaian pengemis dan tertawa-tawa, lalu empat orang itu mengeroyokku! Mereka tidak menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa serangan-serangan mereka tidak ditujukan untuk membunuh, aku lalu menduga bahwa mereka bermaksud menculikku. Akan tetapi dengan cambukku di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka bertiga, malah berhasil merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku sudah mendesak hebat dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi seorang, muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan tetapi dia bukan tan­dinganku. Terlampau kuat, akhirnya aku roboh pingsan dan selanjutnya kau me­nolongku.”

“Agaknya mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?”

“Mungkin karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong hendak mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin berani menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan berhadapan de­ngan Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi demikian, biar di dunia ini ada seratus It-gan Kai-ong, mereka akan dibasmi semua!”

“Atau dia mempunyai rencana yang amat jahat! Ah, Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat bantuan Kakak Bu Song....” Bu Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat itu. Ruangan ini tertutup semua oleh dinding batu karang yang amat kuat, adapun pintu satu-satunya adalah pintu terbuat daripada besi yang agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin dibuka dari sebelah dalam.

“Sin-koko, tak usah dicari jalan ke­luar, tempat ini memang dahulu diper­gunakan untuk tempat tahanan tawanan penting, dan rahasia. Hanya ada satu cara....”

“Bagaimana caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar dari sini!”

“Kita makan dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu memulihkan tenaga untuk menghadapi terjangan keluar.” Gadis itu lalu meraih panci dan memilih roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu Hwee menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis itu berkata kemudi­an.

“Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak beracun.”

Bu Sin tersenyum dan ia pun segera makan roti itu, karena selama ini ia hanya makan buah-buah saja maka roti sederhana itu terasa enak sekali, “Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa makanan dan minuman ini tidak beracun?”

“Mudah saja. Kalau lawan hendak membunuh kita, apa sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada makanan atau minuman yang belum tentu kita sentuh?”

Bu Sin mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kecerdikan dan kete­nangan dara muda itu. Setelah mereka kenyang mengisi perut, Bu Sin yang su­dah tidak sabar bertanya.

“Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka ini?”

Liu Hwee tersenyum. “Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di da­lam neraka, Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini.”

Tiba-tiba jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita ini senang berada di situ bersama dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri merasa senang di tempat seperti itu? Tak mungkin.

“Adikku yang baik. Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau ber­samaku di sini, akan tetapi alangkah akan lebih menyenangkan sekali kalau kita berada di luar tempat tahanan.”

Liu Bwee mengangkat muka meman­dang tajam. Kembali mereka saling ber­pandangan dan biarpun mulut mereka tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa sinar mata tampak nyata dan terasa oleh kedua fihak sehingga kembali kulit pipi menjadi merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang mata yang saling peluk.

“Ruangan ini tidak mempunyai jalan keluar lain kecuali pintu itu. Pintu ter­kunci dan di luar pintu tentu dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan Kai-ong di situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini yang belum tentu dikenal pula oleh me­reka.”

“Kalau begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan ini?”

“Kauseranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling serang, akan tetap jangan ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku....”

“Apa kaubilang? Mana bisa.... apa artinya itu, Moi-moi?”

Melihat kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli, juga besar hati karena pemuda yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja bingung dan menolak untuk memukulnya roboh! “Hanya ada satu cara untuk memancing mereka membuka pintu ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan Kai-ong memesan supaya mereka tidak mengganggu aku, ini hanya berarti bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki aku mengalami malapetaka atau terganggu di sini karena dia tidak berani menghadapi kemarahan Ayah dan Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur, tentu mereka merasa khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apalagi kalau mereka membuka pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka menyerbu masuk untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat itulah kita pergunakan untuk menerjang keluar. Mengertikah engkau?”

Bu Sin mengangguk-angguk, tapi alis nya berkerut. “Tapi.... Moi-moi, aku hanya akan memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri roboh. Mana bisa aku memukulmu sungguh-sungguh?”

Kembali Liu Hwee tersenyum senang. “Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau orang-orang bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu adalah ahli-ahli sitat yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen. Kau pukullah sungguh-sungguh, biar keras asal jangan kaupergunakan lwee-kang. Percayalah, hanya dengan cara itu usaha kita akan berhasil. Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi lowongan sambil miringkan tubuh. Begitu pintu dibuka, kaudesak aku dan aku mengelak sambil miringkan tubuh begini, dan.... kaupukullah punggung kanan ini sampai aku terjungkal....”

Sambil berkata demikian Liu Hwee memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti biarpun hatinya merasa tidak enak sekali. Setelah mendengarkan petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang orang muda ini mulai berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan pecahan batu pada pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka membuat suara gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan hal ini dan beberapa kali mereka menendang daun pintu.

Akhirnya daun pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh! Begitu bertanding, ka­getlah Bu Sin karena dara jelita itu be­nar-benar hebat kepandaiannya. Pertemu­an lengan membuat tubuhnya kesemutan, dan gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya. Maklumlah ia bahwa dalam pertandingan sungguh-sung­guh, ia bukan lawan gadis perkasa ini.

“Jahanam, berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?” Liu Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangan­nya.

“Nona manis, kalau tidak mau me­nyerah kepadaku lebih baik kau mampus!” teriak Bu Sin dengan kata-kata dibuat kurang ajar.

Daun pintu terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang bopeng mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka pe­ngemis bopeng tadi. Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga, maka si bopeng tidak segera mem­buka pintu melainkan mengintai ke da­lam. Melihat itu, Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang berbahaya, sambil mengerahkan sin-kang yang ia pelajari dari kakek sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin. Liu Hwee mengeluarkan seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan tubuh dan terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan tetapi menyimpan tenaga lwee-kang, ha­nya mempergunakan gwa-kang atau tenaga kasar, yaitu tenaga gerakan otot.

“Bukkkkk....!” Kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa ditusuk.

“Aduhhhh....!” Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke belakang, menumbuk dinding batu dan terjungkal roboh. Bu Sin sampai menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegeli­sahan ia meloncat ke dekat Liu Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu, merangkulnya untuk memeriksa keadaannya.

“Setan kurang ajar, kau sudah bosan hidup!” teriak si muka bopeng yang se­karang membuka daun pintu dan mener­jang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala besar. Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata mereka. Akan tetapi Bu Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan bagaikan kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki rongga perut si juling.

“Ngekkk!” Demikian si juling menge­luarkan suara tertahan, napasnya ter­engah-engah, matanya yang juling itu berputaran sebelum ia roboh pingsan.

Akan tetapi keadaan Bu Sin bukan tidak berbahaya karena ketika ia menen­dang tadi, dua orang lawan lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga kanan! Bu Sin terpaksa meng­gulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling. Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.

“Blukkk! Aduhhhh....!” Tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah belakang mengucur kecap dan ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu Hwee!

Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya terpental dan ia pun roboh mandi darah.

“Cepat, ikut aku!” Liu Hwee berbisik. Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka berlari-larian melalui lorong sem­pit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.

“Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”

“Kita terjang saja, membuka jalan darah!” kata Bu Sin gagah.

“Sia-sia, apalagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan rahasia. Mari....!” Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin ditariknya pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap. Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka. Kembali Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, melepaskan tangannya dan berbisik­.

“Sin-ko, kaupegang batu yang kiri, aku yang kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol, kauraba karena agak gelap.”

“Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi.”

Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang ter­dapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu ia me­nekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik dinding batu, “Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko!”

Mereka menarik, seorang ke kiri, se­orang lagi ke kanan. Setelah mengerah­kan sin-kang, barulah kedua batu itu ber­gerak menggelinding perlahan, membuka sebuah pintu!

“Cukup, lekas masuk!” Liu Hwee ber­bisik sambil menarik tangan Bu Sin. Pin­tu itu hanya dapat dimasuki Bu Sin de­ngan tubuh miring. Setelah mereka ma­suk, Liu Hwee mendorong alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cabaya masuk ke dalamnya.

“Selamat!” bisik Liu Hwee sambil tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.”

Muka Bu Sin menjadi merah. “Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justeru aku tadi telah membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku menjadi lupa dan hendak menolongmu....”

Wajah gadis itu berseri-seri. “Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh bahwa kau betul-betul hendak.... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya kau tadi tidak bersandiwara.... ah, kau baik sekali, Koko.”

“Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang bagaimana kita dapat keluar?”

“Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa, harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk me­nolongmu.”

Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang serem seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula. Akan tetapi hatinya besar, apalagi se­telah ia merasakan kembali kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat berbahaya.

Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee menghentikan lang­kahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat akan pesan gadis itu. Aneh­nya, Liu Hwee segera menariknya dan mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah!

***

“Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan Suara aneh.

Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut yang gelap. “Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?”

Bu Sin diam-diam bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung sesuatu yang mengerikan, apalagi kata-katanya begitu tak tahu malu!

“Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat di sini.”

“Hemmm, kau tahu siapapun dia yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini!”

“Ampunkan dia, Cici. Bukan kehen­daknya lewat di sini, melainkan aku yang mengajaknya karena dia telah menolong­ku dari tangan anak buah It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuh­nya, lebih baik bunuh aku lebih dulu, Cici.”

Terdengat suara ketawa lembut, tapi yang membuat bulu tengkuk Bu Sin me­remang. Hanya suaranya kalau berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa benar dengan Siang-mou Sin-ni!

“Aku tidak bisa melihatnya jelas, tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan sebelum me­meriksa dia orang apa!” Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bau harum menyengat hidung. Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak! Hatinya lega bukan main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar suara yang tadi.

“Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”

“Cici....!” Liu Hwee memprotes.

“Cerewet! Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi! Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa, Siauw-moi?”

Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa bahwa siapapun juga ada­nya wanita iblis itu, bicaranya keterlalu­an dan amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee menceng­keram tangannya dengan erat.

“Dia orang biasa saja, Cici.”

“Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”

“Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal derajat maupun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya tidak menge­nal usia. Cici sendiri sudah mengalami­nya, mana ada aturan melarang orang lain?”

“Sudah, sudah....! Kau cerewet seperti Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet! Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang bagus di kepalanya!”

“Terima kasih, Cici, selamat tinggal,” kata Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah menyeret pemuda itu pergi dari situ, melalui lorong gelap tanpa mengeluarkan suara. Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka muncul keluar dari sebuah gua yang tertutup rapat oleh alang-alang di sebuah hutan kecil!

Setelah melompat keluar, barulah Liu Hwee melepaskan tangan Bu Sin dan.... ia menjatuhkan diri ke atas rumput sam­bil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan pundaknya bergoyang-goyang!

Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee, “Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?”

Dengan megap-megap gadis itu ber­kata di antara sedu-sedan, “Aku malu.... aku malu setengah mati....”

Perlahan Bu Sin bangkit berdiri. “Me­mang kurang ajar dia! Menghinamu se­suka hatinya. Biar kuhajar dia, Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat memasuki gua itu.

“Sin-koko, jangan....!” Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun.

Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh, tubuh Bu Sin melayang keluar dari dalam gua. Jatuh berdebuk di depan kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi tiga potong!

“Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga. Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum akan tetapi segera lenyap lagi.

“Sin-ko....” Liu Hwee berlutut dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan, “Cici! Kalau kau bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin. Tak lama kemudian pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya, pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.

“Waaahhhhh.... bukan main.... aku menusuknya, pedangku malah patah-patah dan sekali ia mendorong aku terlempar melayang keluar gua dan tidak ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau menyebutnya Cici....” tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya pucat. “Dia kausebut Cici.... kalau begitu.... dia itu....” Ia tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara banyak dan dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.

“Betul. Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”

“Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik).... ibu tiriku....”

“Sssttttt, sudahlah. Aku pesan pada­mu, pertemuan ini tidak sekali-kali boleh kauceritakan kepada siapapun juga. Ingat, sekali kau melanggar, nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja. Entah apa yang terjadi di sana!”

***

Memang banyak hal luar biasa terjadi di Kota Raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.

Apalagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger di Nan-cao!

Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo dan dara cerdik itu kini bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi. Hari sudah mulai gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat bekerja cepat itu.

Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di dalam kamar pondoknya. Pon­dok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang putera pangeran, apalagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk diri­nya sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani membikin malu kepada­nya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan men­cari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua rencananya ber­jalan dengan baik.

Biarpun ia seorang pemuda bangsa­wan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal. Hal ini adalah karena biarpun seorang bangsawan, dia adalah seorang pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di sekeliling pondoknya.

Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.

“Tok-tok-tok....!”

“Siapa....?” tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.

“Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.

Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di samping ke­lemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.

“Siapa di luar? Aku tidak bisa me­nemui orang yang tidak kukenal,” jawab­nya dan diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkin­an.

“Suma-kongcu, aku.... Lin Lin, aku datang membawa pesan enciku Sian Eng!” Dari encinya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama encinya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan kongcu ini daripada dia.

Benar saja dugaan Lin Lin, mende­ngar disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apalagi ia sekarang mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biarpun yang sudah-sudah gadis ini me­musuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis cantik itu. Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang hendak mengusir kesunyianku malam ini, pikirnya sambil tersenyunn, lalu membuka pintu. Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok, biarpun keadaan remang-remang Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin. Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya! Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa kecewa.

“Silakan masuk, Nona,” katanya, menahan rasa kecewanya.

Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung. “Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”

“Maaf, Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”

“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.

“Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku.... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”

Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan me­langkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata, “Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, di mana adanya Kakak Kam Bu Song seperti yang kaujanjikan kepada Enci Sian Eng?”

Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya, “Siapa yang mengutusmu ke sini?”

“Enci Sian Eng.”

Suma Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal! Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biarpun gadis itu tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak patut. “Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia datahg sendiri ke sini baru aku mau bicara.”

“Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya.” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.

Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti. “Betulkah begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia datang, aku minta dia bermalam di sini semalam baru besok kuberi tahu tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili encimu tidur di sini semalam bersamaku....?”

Suma Boan cepat melompat ke belakang ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan kemarah­annya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya merah, matanya bersinar-sinar.

“Wahai, jangan marah, Nona manis. Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu sendiri, bukan?” Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin su­dah menerjangnya dengan hebat.

“Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus melanjutkan serangannya. Namun biarpun Lin Lin berpedang mustika dan mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti Khong-in-ban-kin, na­mun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih tinggi dari padanya, juga ­latihan pemuda bangsawan ini lebih masak. Biarpun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan men­datangkan angin pukulan yang kuat, mem­buat Lin Lin beberapa kali berputar-putar untuk menghindarinya.

Pada saat itu tampak sinar hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia menggunakan le­ngan baju menangkis. “Plak-plak!” Ia terhuyung dan ujung lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke bela­kang sambil berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek ini dan tadi ia memandang rendah men­dengar kakek ini pengawal Lin Lin. Kira­nya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!

Pedang di tangan Lin Lin tidak mem­beri ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan mencari kesempatan untuk me­lompat keluar dari pondok dan memang­gil teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan keluar. Ketika pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan da­rah. Suma Boan terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak daripada sambaran pedang Lin Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat menggerakkan kaki tangan lagi.

Lin Lin segera menodongkan pedangnya ke depan dada Suma Boan. “Hayo lekas mengaku di mana adanya Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”

Suma Boan tersenyum mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah di pun­daknya membasahi bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar. “Nona manis, mati di tanganmu amatlah menyenang­kan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara dalam keadaan yang lebih baik dan ma­nis, atau kalau encimu sendiri datang ke sini.”

Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang benci kepada laki-laki ini, apalagi bicaranya begitu kurang ajar. “Kalau begitu kau mampus saja....”

“Tok-tok-tok....!” Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap.

Suma Boan tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang datang kali ini? “Siapa di luar?” tanyanya tanpa niat minta tolong, karena maklum bahwa orang datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan teman atau anak buahnya.

“Aku....! Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara....!”

Berubah wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, encinya! Cepat ia memberi tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah, bersembunyi.

“Ha, kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku.... aku tak dapat bergerak....”

Hening sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar. Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika pandang ma­tanya melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.

“Suma.... Koko! Kau kenapakah? Kau terluka.... parah....?”

Suma Boan tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja, mulutnya merintih-rintih menahan sakit. “Aku diserang penjahat, Eng-moi, tolong kau­ bebaskan totokan pada jalan darah thian-hu-hiat....”

Sian Eng membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan te­kanan. Akhirnya Suma Boan dapat ber­gerak, bangkit duduk dan mengeluh lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi pundak kirinya yang terluka.

“Bagaimana? Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut....” kata Sian Eng yang timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang dikasihinya itu menderita luka.

Dengan bantuan Sian Eng, Suma Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin Lin dan kakek bun­tung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap manja ia merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis ini lalu mencuci luka dan mem­balutnya.

“Penjahat siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?”

“Tidak tahu, aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau baik sekali, tapi.... tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku? Kenapa, Eng­-moi? Apakah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon maaf kepadamu....” Setelah berkata demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu! Sian Fng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan. “Sudahlah, aku datang ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk menanyakan hal ini....”

Suma Boan mengerutkan keningnya. “Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini ke­padaku?”

Sian Eng menggeleng kepala. “Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu ke mana perginya anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku khawatir sekali, adikku itu biarpun anak perempuan akan tetapi suka berandalan dan terlalu berani!”

Suma Boan mengangguk-angguk. “Aku percaya.... dia.... dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi semenjak.... semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku akan dapat membuka rahasianya.”

Sian Eng mengangguk. “Aku pun pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”

“Apa....?” Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya. “Kalau begitu.... dia.... dia.... Suling Emas! Sudah kuduga, ada persamaan.... tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri lama-lama dan.... dan Bu Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian sakti....!”

Sian Eng menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo. “Suling Emas....? Kakakku.... Kam Bu Song.... Suling Emas....?” bibirnya menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia tidak mau percaya, akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika Suling Emas menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan maklumlah bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling Emas selalu menolong adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.

“Suma-koko, bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”

Suma Boan dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng, di­tariknya ke dekat meja. “Mari kita duduk, adikku dan kita bicara baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang. Pasti Suling Emas itulah penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku melihat Suling Emas, itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk tubuhnya dan wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan Suling Emas....! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu Song itu putera dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap karena cucu tunggal dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah.... Suling Emas! Kalau begitu, tidak bisa lain, Bu Song adalah Suling Emas sendiri!”

“Wah.... dan kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”

“Memang dia orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita....”

Sian Eng mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik. “Bicara tentang diri kita? Apa yang hendak kau bicarakan?” Kedua pipinya mendadak berubah merah.

Suma Boan memegang tangannya, karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik lepas, hanya menundukkan muka dengan jantung berdebar.

“Moi-moi, kita saling mencinta.... tapi aku.... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”

Tubuh Sian Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia berkata, “Aku adalah seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan.... dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau bisa utusan meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada di lereng puncak Cin-ling-san.” Suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia bicara dengan malu-malu.

Di luar pondok makin gelap, dan dari luar hanya bisik-bisik saja yang terde­ngar, bisik-bisik mesra sepasang orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.

***

“Tuanku puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang biasa saja, tak usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan sekali!” Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin meng­ajaknya lari pergi meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar muncul­nya Sian Eng. Akan tetapi ia menggeleng­kan kepala terus lari sehingga terpaksa kakek buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin ber­henti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.

“Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti ini! Gadis itu tidak lebih pandai daripada Suma-kongcu, ia hanya seorang di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”

“Diam kau!” Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada gadis itu, aku.... aku.... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari Suling Emas!”

Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu. “Tuan Puteri.... hal ini.... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”

Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang Khitan ini memak­sanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia pura-pura marah dan membanting kaki.

“Pak-sin-tung! Belum apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau kulaporkan keban­delanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm.... ingin kulihat ke mana kau hendak menyembunyikan kepalamu!”

Wajah kakek buntung itu menjadi pucat. “Maaf, Tuan Puteri.... bukan maksud hamba membangkang....”

“Cukup! Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”

“Baiklah, Tuan Puteri, baiklah....!” Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.

“Hamba telah siap,” kata Si buntung.

“Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw, agak­nya ada hubungan baik sekali, maka ma­lam ini kiranya dia pun akan ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk per­siapan upacara besok pagi. Mari kita mencari ke sana.”

Ruangan sembahyang itu amat lebar dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong maSih berada di dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazah­nya dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar samadhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur! Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali ini, tiga tahun kemudian bertepatan de­ngan hari ulang tahun Beng-kauw, peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran.

Ketika mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas, Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah. “Dia di sana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu banyak orang lihai di ruangan itu.”

Lin Lin merengut. “Ah, kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak Hek-giam-lo.... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kautunggu saja di sini, biar aku menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kau­lihat dan biar mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani daripada jago-jago Khitan! Kalau kalian yang memalu­kan nama besar Khitan, akulah yang akan mengangkatnya!”

“Tuan Puteri.... ini berbahaya....!” Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.

Terpaksa Pak-sin-tung melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.

“Celaka.... dia memasuki bagian terlarang.... kabarnya di situ tersimpan peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka Beng-kauw....!” Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau muncul puteri jun­jungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan membantunya sampai titik darah penghabisan!

Dengan hati tabah Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu, lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu terdapat tempat hio yang terisi hio (du­pa) masih mengebulkan asap, dan tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas pintu itu ter­dapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga memasuki pintu ini dengan an­caman hukuman mati! Sebetulnya, tentu saja bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap Su­ling Emas, walaupun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri Khitan. Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membe­baskan diri daripada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di ru­angan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan menye­linap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.

Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat ke­diaman para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw. Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou Sin-ni juga me­ngawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan orang anak buahnya yang me­ngawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mere­ka merupakan orang-orang pilihan di Hou-han.

Malam hari itu, tiga orang panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah, tempat “terhormat”.

“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata maupun kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu ba­sah agar menjadi kering dan dapat ter­makan api.” Kalimat terakhir ini berarti membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi ma­rah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.

“Akan tetapi menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak Houw yang paling muda di­antara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya.”

“Ucapan Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui bahwa biarpun Sri Baginda yang menjadi raja di sini, namun kekuasaan mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bah­wa watak Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka bersekutu dengan kerajaan manapun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana juga, akan tetapi juga tidak takut meng­hadapi musuh dari mana pun.”

Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek sambil berkata. “Saudara Su Ban Ki be­tul, biarlah hal ini akan kami sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagi­an penting kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok penginapan orang-orang Sung. Akan te­tapi, apakah hal ini dapat dilakukan de­ngan mudah?”

“Sukar bagi orang luar, akan tetapi tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan, mudah saja baginya untuk....”

Tiba-tiba terdengar suara “braaakkkk!” genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas menerobos turun sebuah benda hitam besar. Mereka berempat kaget sekali, apalagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul me­luncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang dari atas genteng.

“Keparat, siapa berani main gila?” Cepat sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu mencabut pedang sambil melompat ke­luar, terus melayang ke atas genteng. Akan tetapi sunyi di atas genteng, tidak tampak bayangan seorang pun manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat penginapan mereka, na­mun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.

Ketiga orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka me­lihat Su Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki memandang mereka, menudingkan telun­juknya ke arah peti mati, mulutnya ko­mat-kamit akan tetapi tidak dapat me­ngeluarkan suara.

Tiga orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya pengecut seperti ini.

“Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya keren.

Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang kering. “Ini.... ini.... peti mati.... istana.... entah apa artinya....” Ia tergagap.

Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat mem­buka tutup peti. “Kerrriittt!” Tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.

“Suheng....!” Su Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka.... suheng dibunuh.... tentu rahasia bocor atau.... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku harus segera pergi, lari keluar kota....” Ia menyambar jenazah itu, mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar rumah dan terdengar orang jatuh.

Tiga orang jagoan Hou-han cepat melompat keluar dan di dalam gelap mereka masih sempat melihat Su Ban Ki roboh terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan yang membuat tiga orang ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti mati bergerak-gerak pergi, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang berloncatan. Saking kaget dan ngeri hati, mereka tidak mengejar. Akan tetapi Lu Bin cepat meloncat ke dalam rumah dan melihat bahwa peti mati yang tadi masih menggeletak di atas meja, terbuka dan kosong. Dengan demikian, berarti bahwa peti mati di luar yang “hidup” itu adalah peti mati lain, walau­pun bentuk dan modelnya sama, yaitu di bagian kepala terdapat ukir-ukiran kepala siluman seperti naga atau harimau.

Ia cepat melompat keluar lagi. “Kejar....!” serunya sambil lari cepat diikuti kedua orang sutenya. Akan tetapi dalam sekejap mata saja peti mati “hidup” itu sudah lenyap! Dengan penuh keheranan dan penasaran, tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget dan herannya hati mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak melihat lagi mayat Su Ban Ki dan suhengnya.

Ketika mereka memasuki rumah, anak buah mereka masih berdiri saling pan­dang dengan muka pucat, memandang peti mati yang masih terbuka kosong di atas meja!

“Hemmm, apa artinya ini semua?” Gak Houw berseru marah. “Orang sakti mempermainkan kita. Sayang tidak ada Sin-ni, kalau ada jangan harap dia dapat bermain gila seperti ini!”

Lu Bin mengelus jenggotnya. “Betapa­Pun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak mengganggu kita. Siapa lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana kalau bukan orang sini juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin dianggap sebagai pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa pembunuhnya tentulah orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak buah mereka menggeletak di luar. Juga agaknya mereka itu hendak mem­peringatkan kita.” Memang Lu Bin se­orang yang berpemandangan luas dan sudah berpengalaman dalam dunia kang-ouw yang serba aneh.

“Habis, bagaimana baiknya?” kata Giam Song. “Apakah kita harus melapor­kan hal ini kepada Sin-ni?”

“Tidak perlu,” kata Lu Bin. “Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas kita hanya untuk menghubungi Nan-cao dan untuk mengadakan persekutuan guna memperkuat pertahanan bersama. Soal-soal yang busuk tadi datangnya dari fihak Nan-cao sendiri sebagai usul, bukan hasil pemikiran kita. Dan inilah sebabnya kita tidak diganggu. Hebat benar orang sakti itu, dan sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa kita tidak mempunyai maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita kembalikan.”

“Kembalikan? Ke mana?” Gak Houw berseru kaget.

Lu Bin tertawa. “Datangnya dari atas genteng, tentu saja harus kita kembalikan ke atas genteng pula!” Sambil berkata demikian, ia menghampiri meja, mengempit peti mati itu dengan lengan kiri, membawanya keluar kemudian sekali menggerakkan tangan, peti mati itu melayang naik ke atas genteng, jatuh di atas genteng tanpa membikin pecah genteng dan terletak di situ seperti diletakkan perlahan-lahan oleh tangan yang amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lwee-kang dari orang she Lu ini sudah cukup kuat. Lu Bin lalu mengajak teman­ temannya masuk ke dalam pondok dan memesan anak buahnya agar supaya ia­ngan lengah, biarpun berada di dalam kamar masing-masing agar supaya malam itu jangan tidur, melainkan berjaga-jaga.

Tidak hanya di tempat penginapan orang-orang Hou-han yang terjadi peris­tiwa aneh. Juga di tempat lain terjadi keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat kediaman para utusan Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada waktu itu, rombongan utusan Kerajaan Sung Utara sedang sa­rapan. Di kepala meja duduklah ketua rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang panglima tua bernama Ouwyang Swan yang pada saat itu mengenakan pakaian biasa. Ia semeja dengan tiga orang panglima lain yang lebih muda. Tentu saja dalam percakapan mereka bicara tentang peristiwa dalam perjamuan kemarin, dan membicarakan Gan-lopek dan Suma Boan. Mereka tertawa-tawa geli. Sebagian besar panglima yang setia kepada Kerajaan Sung, tidak senang belaka kepada Suma Boan, putera dari Pangeran Suma yang korup.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan ketika mereka menengok, de­ngan heran mereka melihat seorang ka­kek tua yang telanjang bulat memegangi sehelai kain berlari-lari ke arah mereka sambil berteriak-teriak.

“Waduhhh.... walaaahhh.... ular.... hiiiii.... ular, ular....!”

Sambil berteriak-teriak dengan mata terbelalak ketakutan, kakek itu berlari memasuki ruangan dan terus saja meloncat ke atas meja di depan Panglima Ouwyang Swan, kakinya yang juga telanjang itu menginjak-injak hidangan dan menendang cawan-cawan arak sehingga hidangan dan minuman itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia terus berloncat-loncatan dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan.

Tentu saja para panglima dan rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah sekali. Apalagi ketika mereka melihat seorang kakek lain yang muncul dengan seekor ular besar membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukin lain adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara keenam Thian-te Liok-koai, kakek yang hanya bercawat saja dan tubuhnya tinggi kurus kering seperti tiang lampu! Melihat munculnya iblis ini, barulah panglima Ouwyang Swan teringat dan kini ia memandang kepada kakek pendek telanjang bulat yang masih menari-nari di atas meja-meja, menginjak-injak semua hidangan sambil berteriak “ular-ular!”. Kini ia mengenal kakek telanjang itu, bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang sakti dan yang sejak pagi tadi men­jadi bahan percakapan mereka.

Kagetlah hati Ouwyang Swan. Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam ke­adaan begitu aneh, benar-benar hal yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak yang marah sekali, akan tetepi sebagai anak buah yang taat, mereka belum berani bergerak sebelum mendapat komando dari Ouwyang Swan sendiri.

“Tikus busuk she Gan, jangan lari, hayo ke sini lawan aku!” suara kecil dan berbunyi ngik-ngik seperti orang sakit napas itu menantang.

“Memang aku tikus, paling takut melihat ular!” Empek Gan menggigil. “Tapi engkau bocah cacingan kurang ajar! Engkau cacing busuk. Kalau mengajak berkelahi, pakailah aturan. Masa orang lagi enak-enak mandi kau ganggu dan takut-takuti dengan ular? Aku paling jijik melihat ular yang kotor!”

Orang-orang yang tadinya sarapan kini sudah berdiri semua, ada yang menahan ketawa, ada yang memandang tegang. Peristiwa itu tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek yang disohorkan sakti terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari bertelanjang, akan tetapi sebetulnya amatlah menengangkan karena kakek sakti ini kini berhadapan dengan seorang di antara Enam Iblis.

“Orang she Gan, mari.... mari.... kita main-main sejenak....!” kembali Tok-sim Lo-tong menantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok.

Akan tetapi Empek Gan tidak mempedulikan dia lagi. Entah dari mana dapatnya, tahu-tahu kakek ini sudah mengeluarkan puluhan butir obat bundar sebesar kelingking. Kain yang tadi dibawa­nya sudah ia libatkan menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa lebar ia berkata.

“Kalian ini jagoan-jagoan dari Keraja­an Sung mengapa begini goblok?”

Ouwyang Swan mengerutkan alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya sudah terkenal, ilmu kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula di Kota Raja Sung. Biarpun ia maklum akan ke­saktian Gan-lopek, namun ia merasa bahwa orang sakti ini keterlaluan, sama sekali tidak memandang mata kepadanya.

“Gan-locianpwe, kami mengerti bahwa kau adalah seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang bodoh saja, akan tetapi tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di antara kita tidak ada....”

“Aduhhh....!” Dua orang anak buahnya terguling dan merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka memegangi perut yang terasa amat sakit.

Ouwyang Swan kaget sekali, mengira bahwa kakek sakti itu turun tangan ja­hat, akan tetapi tiba-tiba tiga orang temannya yang menjadi pembantu-pembantu­nya juga mengerang kesakitan dan me­nekan-nekan perut.

Empek Gan tertawa bergelak. “Salahkah kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya sehingga tai busuk dimakannya! Sekarang setelah keracunan, masih berlagak lagi! Nih, telanlah se­orang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang rakus, mau makan sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku tidak bisa menolong lagi!” Setelah melempar puluhan butir obat itu ke atas meja, ia berlari-lari keluar.

“Eh, kau masih di sini? Tok-sim Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan ular, ya? Lebih baik kau main tari-tarian ular biar nanti ku­beri hadiah!”

“Hadiah kepalamu!” Tok-sim Lo-tong menerjang maju, ular itu telah ia pegang perutnya dan kini binatang ini ia per­gunakan sebagai senjata, menyambar ke arah kepala Gan-lopek.

“Hiiiii.... jijik aku....!” Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatan­nya tidak mengelak hanya menggerakkan pantat megal-megol, tapi serangan-serang­an Tok-sim Lo-tong mengenai tempat kosong melulu! Ketika iblis itu marah dan mendesak, Gan-lopek sudah lari pergi sambil berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong juga lari mengejar.

Adapun Ouwyang Swan cepat mem­bagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan obat itu karena tiba-tiba perutnya juga terasa panas dan sakit. Ajaib. Begitu ditelan, rasa panas dan sakit lenyap se­ketika. Anak buahnya juga mengalami hal serupa.

“Hemmm, ada yang menaruh racun pada makanan kita....!” Ouwyang Swan berkata marah. “Heran sekali, apakah pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni tamu-tamunya yang datang memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai tanda persahabatan?”

“Tuan rumah memperlihatkan sikap bermusuhan, tak perlu kita tinggal lebih lama di sini, Ouwyang-twako!” kata panglima lainnya, Tan Hun, yang menjadi pembantunya.

“Memang, hendak kulaporkan hal ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil ber­pamit.” Cepat Ouwyang Swan memasuki kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi pada saat itu terdengar pe­kik kesakitan di sebelah belakang rumah. Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian pela­yan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Kauw Bian Cinjin, sute dari Beng-kauw yang ber­tugas menyambut tamu!

“Maaf, Cu-wi enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget ka­rena gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura dengan hormat kepada Ouwyang Swan.

Panglima tua ini cepat balas meng­hormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah yang ter­jadi? Siapakah yang menaruh racun da­lam makanan untuk kami Cinjin?”

Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan pe­nyelidikan, karena itu hal ini masih men­jadi rahasia. Akan tetapi percayalah, semua ketidakwajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata demikian, Kauw Bian Cinjin membunyi­kan cambuknya satu kali “tar!” maka muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua jena­zah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.

Ouwyang Seng dan anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

***

Kita kembali mengikuti Lin Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan itu, bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan di mana terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula betapa Beng-kauwcu masih meme­gang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu. Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka bagi­nya untuk membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ, maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan serem.

Pak-sin-tung kaget sekali karena ka­kek ini sudah mendengar bahwa bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh sekali-kali dimasuki orang, apalagi orang luar, bah­kan para anggauta Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya. Sekarang, Lin Lin masuk melalui pintu kecil!

Tadinya ia hanya bersembunyi sambil mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul, kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak mengeluarkan suara, ia telah ber­ada di depan pintu kecil. Alangkah ka­getnya ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman bagi orang yang berani memasuki pintu itu.

Betapapun gagahnya Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi dan mengintai ke arah ru­angan yang masih sibuk.

Lin Lin memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan terus, meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai merasa serem ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan dan dinginnya makin menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa di belakangnya, Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap un­tuk memaksanya ke Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju terus.

Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap, sua­ra yang mula-mula terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya meremang, mendengarkan dengan penuh perhatian. Suara itu makin mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan terdengar suara, “Cuittttt!” keras.

Lin Lin meloncat ke atas, semangat­nya serasa melayang meninggalkan tubuh­nya ketika ia tahu bahwa suara itu suara tikus-tikus dan bahwa ia tadi kena injak tikus. Hampir ia pingsan. Celaka baginya karena diantara segala benda dan mah­luk di dunia ini, hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus! Menggigil ia dibuatnya. Saking jijik dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh dan setengah berlari kembali. Akan tetapi anehnya sampai lama ia tidak juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah jalan, tidak tahu bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.

Kegelisahan tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak terdapat di jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin tiba-tiba dapat melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan itu terdapat jalan keluar. Benar saja, lorong itu makin lama makin lebar dan cahaya menjadi makin terang.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning berkelebat ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.

“Crakkk!” Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda hitam itu kiranya adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget melihat kedatangannya dan menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan kembali pedangnya dan melangkah maju dengan hati-hati.

Setelah berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah sebuah ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi ternyata adalah cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter. Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan tumpukan peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah, peti-peti mati itu bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu tentulah persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw. Tadi ia kaget karena melihat ben­tuk dan model peti-peti yang berjajar dan bertumpuk itu sama benar dengan peti mati yang berada di ruanyan sembahyang. “Ah, benda mati, hanya terbuat dari­pada kayu dan kosong, takut apa?” dengan suara hati menenangkan ini Lin Lin melangkah maju, sengaja tidak mau mem­perhatikan peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari jalan keluar. Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan tetapi dari balik ruji jendela itu ia me­lihat atap sebuah rumah. Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang de­mikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain? Apakah untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan yang berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga demikian gelapnya? Tak masuk akal!

Ia melangkah maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.

“Kriiittttt....!”

Lin Lin menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara itu, seperti sebuah pintu karatan dibuka, atau.... sebuah tutup peti! Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus besar lari ke luar dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah kakinya.

Dengan hati berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya se­ekor tikus! Ia menggerakkan kedua pun­dak seperti orang kedinginan karena tim­bul rasa jijik dan gelinya. Akan tetapi segera wajahnya berubah. Biasanya, tikus takut melihat manusia dan tentu akan bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti mati itu malah keluar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat dekat kaki­nya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus juga takut akan se­suatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara berkerit tadi!

“Ah, tidak ada setan di siang hari!” pikir Lin Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia melangkah maju mendekati tumpukan peti mati.

Ia tersenyum. “Nah, tidak ada apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?” katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas. Setelah kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini sengaja hendak memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja yang dipasang di atas tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan tenaga membukanya untuk menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.

Peti mati itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi, berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan.... Lin Lin melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai punggungnya menyentuh dinding dingin, matanya terbelalak lebar, wajahnya pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti, muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi.... tangan mayat yang hanya tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati! Mayat itu bergerak dan hidup!

Dapat dibayangkan betapa kaget, ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang, tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan menjenguk keluar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.

Lin Lin menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi pada saat itu terdengar lengking tinggi me­ngerikan, seperti suara suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain mengandung pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.

“Kau.... kau....” Suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan nyaring, kemudian gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan! Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan pembunuh ayah ibu angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling, ditambah kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.

***

Suara lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan paling atas, kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan tetapi tutup peti mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus dan dengan gerakan perlahan mengerikan, “setan” itu keluar dari dalam peti mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali seperti tengkorak terbungkus kulit, kepalanya gundul, matanya tak pernah berkedip, hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti orang menangis, tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih patut menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak, menandakan bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat hidup!

Mayat hidup itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin, terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis itu, mulutnya mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang setengah tertawa setengah menangis, kemudian ia mem­bungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu.... memasukkan tubuh Lin Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali! Setelah melakikan hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke dalam peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan peti mati. Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar apa-apa lagi.

***

Di ruangan sembahyang telah mulai ramai dengan para tamu yang berdatang­an untuk memberi penghormatan. Mereka itu, seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti mati besar yang berada di tengah ruangan, di be­lakang meja sembahyang. Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya tidak dikubur? Pertanyaan-perta­nyaan ini terkandung di hati setiap orang pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan penuh hor­mat mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati yang membujur di tengah ruangan. Asap hio makin ba­nyak dan tebal mengebul memenuhi ru­angan, membawa bau harum.

Di sebelah kanan peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan dan membalas dengan si­kap hormat kepada setiap orang tamu yang bersembahyang. Di sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di belakangnya berjajar para pembantu pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan adalah tamu-tamu terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh kang-ouw belum ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi Suling Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan wajahnya berseri-seri.

“Sungguh, Song-koko (Kakak Song), kau telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat! Setengah mati kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya. Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas adalah kakak kami Kam Bu Song?”

Suling Emas menahan senyumnya sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”

Bu Sin mengeluarkan sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biarpun kau sudah melupakan kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda ini?” Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.

Melihat benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya. Ia membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang emas kecil itu, ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya, agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.

“Bu Sin....” katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau keliru kalau kau menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah melupakan Ayah, biarpun harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah lagi. Juga.... aku girang sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi.... Bu Sin, kupesan kepadamu, jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian, belum lagi tiba saatnya. Kelak mungkin....”

Pada saat itu, Stding Emas tiba-tiba menghentikan kata-katanya dan matanya memandang keluar ruangan. Bu Sin juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah mahluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik kubur.

“Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata terbelalaknya.­

Menyeramkan sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya adalah muka tengkorak, pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup, tentulah seorang manusia yang memakai kedok tengkoran yang menyeramkan.

“Hek-giam-lo, terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas nama pribadimu sendiri?”

“Khitan tidak ada urusan maupun permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan Beng-kauw, apalagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?” Memang sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan da­lam adu kesaktian oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

Beng-kauwcu Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis, dan aneh sekali. Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati kakaknya, ia terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang te­nang, ia menggerakkan kakinya men­dekat, siap mencegah dengan cara apa pun juga agar iblis hitam tidak melaku­kan perbuatan yang lancang ini.

“Hek-giam-lo, mengingat akan hubungan di antara kita, harap kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan jangan mengganggunya.”

Akan tetapi secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh dan.... kedua tangannya memukul dengan gerakan hebat sekali, mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada Beng-kauwcu Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan tiba-tiba di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya daripada gangguan Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang di­serang melainkan dirinya.

Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi serangan kilat yang mematikan ini, tentu akan kalah dia yang diserang Hek-giam-lo. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biarpun dalam keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Ia mengang­kat kedua tangan, secepatnya digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.

Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu ha­nya gertakan belaka karena tahu-tahu iblis hitam ini sudah menubruk dari sam­ping dan sekali renggut, tongkat di ta­ngan Beng-kauwcu itu telah dirampasnya. Ia melompat keluar dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.

“Manusia curang....!” Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang marah.

“Hek-giam-lo, kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang keluar menge­jar, akan tetapi tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat dengan tenaga dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak dan ia berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguru­an Hek-giam-lo.

“Kauwcu, tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuliah, tongkatmu itu hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”

Pada saat itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo, juga anak buah Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik akan peristiwa hebat itu pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah pindah dari ruangan sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk lingkaran lebar dan mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak buahnya yang muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka. Seperti kita ketahui, Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan mengintai di situ sampai keesokan harinya. Demi­kian pula para anak buah yang dua puluh empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat persembunyian masing-masing sehingga melihat Pak-sin-tung kini me­wakili Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam orang di antara mereka muncul mengawaninya.

“Siapa kau?” Beng-kauwcu Liu Mo menegur, memandang tajam kepada ka­kek yang berdiri di atas sepasang tongkat dan enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak gagah bersema­ngat. Memang, Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo, karena kalau Hek-giam-lo suka merantau dan membuat geger dunia kang-ouw, adalah Pak-sin-tung berdiam di Khitan sebagai pengawal kaisar di Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan. Karena inilah maka Beng-kauwcu Liu Mo tidak mengenalnya.

Pak-sin-tung menjura. “Kauwcu, saya yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo adalah suhengku, karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu mengejar suheng.”

Merah muka ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih mau turun tangan. Akan tetapi terhadap seorang yang kurang terkenal seperti Pak-sin-tung ini, betapapun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua Beng-kauw ini bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring seperti diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan tenaga dalam ketua Beng-kauw itu. Beberapa detik kemudian, berkelebatlah bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah berada di situ, menjura di depan Beng-kauwcu sam­bil berkata penuh hormat,

“Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo mendapat kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur dan biarkan siauwte membereskan si buntung ini.”

Seperti biasa, sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam ketenangannya, kakek berpakaian seder­hana bertopi caping yang memegang pecut ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikapnya berwibawa. Memang terkenallah di Nan-cao, apalagi di kalangan para pimpinan Beng-kauw bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar dan beresnya segala sesuatu mengenai Beng-kauw. Biarpun kepandaian dan kesaktiannya tidak melampaui suhengnya, yaitu Liu Mo sendiri, namun ia terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andaikata ia tidak sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao pada saat itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia hadir, kiranya Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam merampas tong­kat. Tadi pun ia hanya dapat melakukan itu karena melakukan penyerangan gelap lalu melarikan diri dan para pengejarnya dihadang oleh Pak-sin-tung.

Dengan sikap angker Kauw Bian Cinjin menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum. “Pak-sin-tung, kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari Khitan kau datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suhengwu merencanakan perampasan tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus mempertanggungjawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan Hek-giam-lo, ataukah Kerajaan Khitan?”

Tak enak juga hati Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apalagi nama Kerajaan Khitan dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah Tuan Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini. Beliau yang ingin meminjam tongkat itu.”

“Wah, adikmu yang bikin gara-gara....!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah berada di sampingnya, pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut berlari keluar dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya. “Kautunggu di sini, biar kucari dia!” Sebelum Bu $in dapat mengerti apa yang dimaksudken Suling Emas, pendekar aneh itu telah berkelebat dan lenyap dari situ.

Sementara itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan memandang ke arah para tamu, lalu berteriak lantang. “Kami mo­hon dongan hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil dari Khitan!”

Semua orang memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka putih, bersikap gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kaw Bin Cinjin, dengan sikap yang gagah seorang perwira tinggi peperangan memberi hormat dan berkata, suaranya lantang dan agak kaku karena memang ia seorang Khitan aseli, “Semua ucapan Pak-sin-tung benar belaka. Urusan pagi hari ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kerajaan Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung berdua.”

“Bagus, kami pun memang tidak ingin membawa-bawa fihak yang tidak ber­salah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami fihak Beng-kauw maupun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apalagi wakil kerajaan lain, melainkan karena orang telah ber­buat keterlaluan terpaksa kami bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil Khitan itu meng­undurkan diri, Kauw Bian Cinjin meng­gerakkan pecutnya, menghadapi Pak-sin-tung.

“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Melawan, kami akan menggunakan kekerasaan.”

“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin, omong­an dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat berani menanggung segala akibatnya? Su­heng telah meminjam tongkat Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah kalian menge­jarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah, segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”

Kauw Bian Cinjin agaknya ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang, ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo berkata perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan peti mati mendiang twa-suheng yang mulia, kalau tidak diperlihatkan keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”

Cambuk atau pecut panjang di tangan Kau Bian Cinjin berbunyi “tar-tar-tar” tiga kali dan kakek ini sudah melangkah maju sambil membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”

Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil pan­jang yang mengeluarkan suara berciutan menyambar ke arahnya, cepat ia meng­angkat tongkat kirinya menangkis. Ter­dengar bunyi nyaring sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih. Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai mengakibatkan panas yang hampir mem­bakar tongkat!

Pak-sin-tung terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja serangan-serangan­nya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga terasa oleh para penonton de­retan terdepan betapa angin pukulan menyambar-nyambar menggerakkan ram­but dan baju mereka. Dari sini saja sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak-­sin-tung (Tongkat Sakti dari Utara) ti­daklah kosong belaka.

Akan tetapi ternyata wakil Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang, ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan semua urusan penting kepadanya, pecut di tangan kakek ini tampaknya memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh penggemba­la-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya yang berjumlah banyak.

Akan tetapi ia bukanlah penggembala biasa, dan tentu saja, pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar dan hanya terdapat di Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh senjata tajam manapun juga, dan mengandung hawa panas seperti api ketika digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis tenaga serangan lawan.

Betapapun pandainya, menghadapi Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut nyawa apabila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit dan kehilangan ruang gerak.

“Ciuuuuuttt!” Tiba-tiba cambuk itu berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua pasang tongkat. Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tong­kat yang menggantikan kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh kare­na tidak berkaki lagi! Akan tetapi tong­kat kanannya telah terlibat pecut sedemikian eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.

Pak-sin-tung mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tong­kat kanannya. Ia telah mengerahkan se­luruh tenaga yang ada padanya untuk merenggut lepas tongkatnya dan.... bukan tongkatnya yang terlepas melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan tongkat itu! Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan terlepas dari pegangannya. Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian Cinjin menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah oleh apa pun juga!

Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi, tidak keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang, akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar, ia mati seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan tetapi dari punggungnya mengcur darah di sepanjang tongkat yang menahan tubuhnya.

Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan tenangnya menggerak­kan cambuknya, terdengar bunyi “tar-tar-tar....” enam kali dan.... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.

Hening di sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cin­jin menghela napas panjang sambil meng­ikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna, panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tam­pak angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang pertapa.

Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama sekali tidak membayangkan kemarahan.

“Cinjin, Pak-sin-tung dan enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian ka­mi, mereka mati sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan, kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan hormat.

Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya menyesal. “Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peris­tiwa yang sesungguhnya tidak kami ke­hendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima kasih dan selamat jalan.”

Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi du­duk dan menonton penuh perhatian. Ke­mudian perwira Khitan ini memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh ma­yat itu pergi meninggalkan Nan-cao.

Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik, apalagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluar­kan suara mengejek. “Aha, Beng-kauw telah memperlakukan para tamunya de­ngan baik sekali, sekalian memperlihat­kan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak dahulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”

Sirap semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apalagi ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan, dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.

Melihat munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati Kauw Bian Cinjin, apalagi men­dengar ucapannya yang mengejek dan menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw itu berkata, sambil memandang sekeliling.

“It-gan Kai-ong, kami tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami rahasiakan. Akan ­tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biarpun mereka melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah manusia-manusia jantan yang patut di­hormati, kecuali Hek-giam-lo si curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang dateng dihormat sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apa­kah kau hendak menyangkal kata-kate­ku?” Kauw Bian Cinjin memandang ta­jam, berdiri tegak dan gagah.

It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia menotok-notokkan tongkat­nya ke atas tanah dan meludah ke kiri.

“Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tu­duhanmu membabi buta itu apa buktinya?”

Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar Nan-cao yang duduk bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte sekalian membuka se­mua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”

Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.

Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata lantang. “Harap para tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal me­musuhi Kerajaan Sung, yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”

Semua tamu menjadi berisik. Kaget­lah mereka bahwa diam-diam telah ter­jadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan. It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri seperti sengaja hendak menghina si pembicara.

“Baiknya usaha busuk itu dapat di­gagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung Empek Gan.

“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”

Semua orang memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang telan­jang dan iblis ini tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain dengan ularnya. Adapun It-gan Kai-ong kembali me­notokkan tongkatnya ke tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan sembarangan mem­buka mulut. Apa buktinya tuduhan-tuduh­an itu?” Mata yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar kemarahan.

Kauw Bian Cinjin tersenyum. “Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh orang-orang kami sendiri yang berkhianat dan dapat kaupikat un­tuk bersekutu. Akan tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”

Orang-orang menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri Beng-kauwcu, yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu, gadis yang pakaiannya hitam putih dan aneh.

Akan tetapi It-gan Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya menuduh dan mem­fitnah tanpa bukti?”

Tiba-tiba terdengar suara merdu nya­ring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak menyangkal lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu Sin, menuju ke peka­rangan itu. Kiranya tadi ketika It-gan Kai-ong muncul, Liu Hwee cepat men­cari Bu Sin dan memberi isyarat kepada pemuda ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul mem­bantu paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri meman­dang dengan mulut bengong.

Tiba-tiba kakek pengemis itu tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada hubungannya! Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku. Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau sudah mabuk? Aku orang dari Kera­jaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat Sung sejak dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung. Mana mungkin aku berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara utusan Ke­rajaan Sung memberi penjelasan!” Mata­nya yang hanya sebuah itu mencari-cari di antara tamu.

Dua orang panglima dari Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke arah It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil berkata.

“Cinjin, memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan tetapi kami dapat memastikan bahwa bukan It-gan Kai-ong yang melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau mencampuri urusan busuk ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus terang saja, secara diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan melindungi barang sum­bangan kami, dari utara ke sini.”

It-gan Kai-ong tertawa lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas seka­rang bahwa Beng-kauw memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho, bagi orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira Beng-kauw merupakan tuan ru­mah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi sebetulnya semua telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas permata sumbangan Kerajaan Sung itu sebetulnya dilakukan oleh orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah men­dengar tentang peti mati yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri, keribut­an yang terjadi di rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw, kabarnya bernama Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup! Ho-ho-ho, siapa lagi si peti mati hidup ka­lau bukan si iblis Cui-beng-kui (Iblis Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui adalah orang Beng-kauw! Kemudian ter­dengar lagi dua orang pelayan yang me­layani utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga terbunuh mati oleh Kauw Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua? Bukan lain karena semua itu adalah akal busuk orang-orang Beng-kauw sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”

Hening di situ, mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para ta­mu. Keadaan diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek mata satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan ke­pada Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban wakil ketua Beng-kauw itu.

“It-gan Kai-ong, tidak percuma kau dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!” jawab Kauw Bian Cinjin. “Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan fakta belaka, tanpa dasar dan bukti....”

“Ho-ho-ho, dengar baik-baik, Kauw Bian Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para tamu yang jauh-jauh datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini bukan buatan Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba yang men­curi barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak dibunuh, ten­tu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik ini semua! Tapi Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid Beng-kauw, dan kau sendiri membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau memang sengaja mengatur ini untuk mengadu domba para utusan agar negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling bermusuhan. Kalau kerajaan-kera­jaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw akan menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”

Para tamu menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada yang membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw Bian Cinjin yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja pengemis.

Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu seorang pemuda ber­pakaian sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka tampan, telah berada di situ dan berkata.

“It-gan Kai-ong, di mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada orang lain kau boleh memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku sudah mengenal isi perutmu!”

“Suling Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Ataukah sekarang pendekar gagah per­kasa Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw pula?” ejek It-gan Kai-ong, dan Toat-beng Koai-jin menge­luarkan suara menggereng ketika melihat campur tangannya Suling Emas sambil berkata, “Suling Emas masih ada per­hitungan denganku!”

Suling Emas tidak mempedulikan kakek telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan Kai-ong, melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi tempat itu sambil berkata.

“Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak jahat iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada hakekat­nya, dia diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa tidak menge­nal putera pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah, dengan bantuan gurunya ini, berusaha menggunakan akal untuk mengadu domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan Sung agar Kerajaan Sung menjadi lemah dan dia berkesem­patan merebut tahta kerajaan. Siauwte (aku) mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung, tahu benar akan keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru dan murid pengkhianat ini....”

“Suling Emas, tutup mulutmu! Kalau kau hendak mencari perkara denganku, tak perlu di sini. Kau ini seorang jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah diperalat pula oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu raha­sia di antara kau dan Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”

“Kau tadi bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang sunyi, jangen di tempat suci ini.”

“Tempat suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia Beng-kauw yang kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja hendak merendahkan Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya. “Siapa tidak mendengar akan keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa pula tidak mendengar sepak terjang puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian? Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu, yang menjatuhkan hati banyak laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”

Tiba-tiba semua orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti mati yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh ke tempat itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini mengeluarkan bunyi melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat banyak tamu yang kurang tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah. Suara itu seakan-akan me­nusuk hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki, hanya mereka yang sin-kang­nya sudah kuat, cepat mengerahkan te­naga dalam untuk melindungi jantung dan menahan getaran yang melumpuhkan ini.

“Cui-beng-kui.... ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong sambil tertawa-tawa girang. “Nah, sekarang yang hadir semua dapat menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat sembunyi Cui-beng-kui. Apakah ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”

Peti mati itu kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong. Suara melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya ter­dengar dari dunia lain, bergema menye­ramkan. “It-gan Kai-ong manusia som­bong! Mulut kotormu menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya do dunia ini, tak mungkin aku mendiamkan­nya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari ini adalah hari kematianmu, bersiaplah!”

It-gan Kai-ong adalah seorang di an­tara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal, menotok-notokkan tongkatnya ke taneh, lalu berkata sambil meludah.

“Cui-beng-kui, bukan aku yang akan mati, akan tetapi peti matimu kini betul-betul akan terisi mayat. Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke arah peti mati, akan tetapi tiga kali pula ludahnya me­nyeleweng, tidak mengenai peti mati melainkan mengenai tanah yang berlubang-lubang oleh air ludahnya.

“Krrriiiiittttt!” Tutup peti mati ter­buka perlahan dari dalam. Semua tamu, terutama yang muda-muda dan bukan jago kawakan, menjadi pucat memandang ke arah peti mati. Juga para jagoan tua yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui, memandang penuh perhatian, hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini keluar dari peti mati, selalu kalau “beraksi” tentu dari peti matinya. Sekarang peti mati terbuka, Cui-beng-kui akan tampak ujudnya, siapa yang tidak akan tegang hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan hati para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, ka­rena hal ini tidak mereka duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh rahasia dan tak ada yang tahu di mana ia bersembunyi.

Tutup peti mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi. Mula-mula tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh keriput, dengan kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini me­nutup peti, terus menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya terbuka se­mua. Semua mata memandang, leher memanjang dan.... sesosok tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti mati! Bagi penonton yang kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia roboh pingsan saking ngeri dan takutnya.

Cui-beng-kui kiranya seorang laki-­laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat, pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh, dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus sekali seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit ke­riput dan tipis. Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga pan­jang, runcing melengkung.

Yang menarik adalah sikap Kaisar Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata terbelalak dan muka berubah.

“Kau.... Thai Kun....!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.

“Ma-ciangkun (Panglima) Ma....!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.

Manusia yang seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke arah kaisar dan ketua Beng-kauw lalu meng­angguk sedikit, tak acuh. Sekarang ter­bukalah rahasia Iblis Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan mengertilah orang-orang Beng-kauw akan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya iblis ini ada­lah Ma Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu dari Kerajaan Nan-cao, seorang yang memiliki kepan­daian tinggi karena masih terhitung adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo! Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah seorang di antara banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, puteri dari suhengnya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam Si Ek Jenderal Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu meng­hilang dan tak seorang pun tahu di mana ia berada. Siapa nyana, sekarang pang­lima itu muncul kembali dalam keadaan yang begitu mengerikan, dan kiranya Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu adalah bekas panglima ini. Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidik­annya dan tentu saja tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang, ke­matian yang aneh karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biarpun Ma Thai Kun kini sudah berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.

“Ma-suheng, biarkan siauwte meng­hadapi iblis jembel ini!” seru Kauw Bian Cinjin. Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah empat orang saudara seperguruan. Yang pertama ada­lah mendiang Liu Gan, ke dua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung Liu Gan, ke tiga adalah Ma Thai Kun dan ke empat Kauw Bian Cin­jin. Kauw Bian Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cin­jin meragukan apakah suhengnya yang puluhan tahun menghilang itu akan mam­pu menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh di bawah tingkatnya.

“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong. “Siapa menghina dia harus mati di tanganku!”

It-gan Kai-ong tertawa bergelak, “Ho­h-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agak­nya kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”

“Majulah jembel busuk. Hendak ku­buktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat hidup itu.

Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali, bentakan seorang gadis yang melompat keluar dari dalam ruangan sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di ta­ngannya. “Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!” Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan, menghadapi Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah se­kali, sepasang matanya berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan kanannya menggetar.

“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”

“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling! Hayo katakan, bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya dan se­orang tamunya? Setahun yang lalu di Ting-chun?”

“Ho-ho, heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang berhasil merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat mem­bereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”

Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat akan pe­ngalamannya di dalam ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruang­an peti mati melalui terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat “hidup” sehingga ia roboh pingsan itu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti mati kosong oleh Cui-beng-kui! Un­tung tidak lama Lin Lin pingsan di da­lam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di tempat yang gelap gulita se­hingga matanya seakan-akan buta. Melihat jari tangan sendiri pun tidak tam­pak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia akan pengalamannya tadi. Hatinya ber­debar. Iblis dalam peti mati itu! Seka­rang ia pun berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.

Dengan menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia melihat sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetul­nya tak patut disebut orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu! Pucat tak ber­darah dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke bawah, hidungnya panjang bengkok ke bawah.

Akan tetapi Lin Lin teringat bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu ang­katnya. Tidak salah lagi kali ini. Men­diang ibu angkatnya sebelum menghem­buskan napas terakhir menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang me­ngeluarkan suara seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan ngeri.

“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku....!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat keluar dari dalam peti.

Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin dan gadis ini seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang seakan-akan menjadi lumpuh.

“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau hanus menebus hutang ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau aku mampus....” Suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.

Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya terde­ngar gemanya dari jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap itu. Akan te­tapi hanya satu kali Lin Lin dapat men­jerit karena di lain detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta, juga tak dapat mengeluarkan suara lagi. Setengah pingsan Lin Lin merasa betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang terbungkus kulit, yang dingin menjijikkan, akan te­tapi amat kuat, memondongnya keluar dari dalam peti.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Lin Lin itu, tiba-tiba me­nyambar hawa dingin yang membawa datang bau semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama di­nginnya. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”

Iblis itu yang tadinya sudah melang­kah dua tindak, mendadak berhenti, me­mutar tubuhnya, dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang riap-riap­an yang tahu-tahu sudah berada di de­pannya. Wanita yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wa­jahnya masih cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong, rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba hitam sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.

Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya, membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh, akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat me­nyaksikan pertemuan dua orang aneh itu.

“.... Lu.... Lu Sian....!” Dengan sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara. Jantung Lin Lin berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan wanita itu. Cantik memang, biarpun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih cantik daripada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw, wanita puteri ketua Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?

“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuat­anmu ini, apakah kau masih ada muka untuk tetap mengaku bahwa kau mencintaku sampai kau mati? Huh, kitanya kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai pura-pura, mengobral sumpah!”

“Tidak.... tidak.... Lu Sian, aku.... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu.... aku bersetia padamu.... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini men­jadi tanda tiba saatnya aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku padamu murni?”

“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kauapakan gadis itu tadi?”

“Eh.... aku.... terus-terang saja.... karena tak tertahankan lagi kesunyian ini.... melihat gadis itu tadi.... hampir saja.... tapi untung kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak pedulikan mereka asal kau....”

“Sudahlah, tak perlu banyak mem­bujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau ti­dak memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau be­tul mencintaiku?”

“Lu Sian, aku tahu, selama ini kepan­daianmu sudah hebat sekali, jauh melam­paui kemampuanku. Mengapa kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku.... aku malu bertemu dengan orang-orang....”

“Hemmm, tentang permintaanmu me­ngawani kau di sini, baru akan kupertim­bangkan kalau kau mau membuat jasa. Kalau tidak, jangan harap malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”

Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan, adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam. Heran ia mengapa iblis itu biarpun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang demikian mendalam. Dan ia merasa ter­haru dan kasihan melihat iblis yang ham­pir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah perlahan-lahan ke tempat­nya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar. Namun hanya sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis itu adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya. Pembunuh kejam yang harus ia balas, apalagi tadi telah menghinanya dan hampir saja mencelakainya.

Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai Kun bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan Cui-beng-kui ini dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti suara su­ling, memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang di­susul dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar dengan garis tengah satu meter.

“Lu Sian, aku menaati permintaanmu....” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali dengan sendirinya.

Wanita berambut panjang itu menarik napas panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya bergerak dan seketika Lin Lin terbebas dari totok­an. Ia cepat meloncat bangun, menyam­bar pedangnya yang menggeletak di de­kat peti mati yang tadi menjadi “tempat tidurnya”.

“Bibi, terima kasih atas pertolongan Bibi....” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut saja bibi.

“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”

“Bukan, Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku, bersama dua orang saudara angkat, aku pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu Song....?”

Akan tetapi wanita itu tidak men­jawab, kelihatan termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya amat be­sar kepadaku? Biarpun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta yang murni....” Ia menarik napas lagi.

“CINTA BERNODA DARAH!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.

“Apa kau bilang....?” Wanita itu agaknya heran.

“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”

“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku, selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah dendamnya dan dibunuhnya mereka.”

“Betapapun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau....? Membalas padanya? Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau harum yang menyengat hidung.

Lin Lin tidak mempedulikan hal itu lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding, maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan tenaga dan.... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu berlubang. Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap menghadapi segala ancaman dari depan. Kiranya lubang itu merupakan lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia melompat keluar dari terowongan ini ke dalam sebuah ruangan di mana terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan sembahyang!

Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepan­daian tinggi, selain terkenal sebagai se­orang di antara Enam Iblis juga ia bekas panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.

Tentu saja ia menjadi marah sekali ke­tika seorang gadis remaja berani me­maki-makinya di depan orang banyak, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah gadis yang mem­buat ia tadi kesalahan terhadap kekasih­nya, Liu Lu Sian.

“Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani berlagak di depanku?”

“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku, aku pertaruhkan untuk mem­balas kematian ayah ibu angkatku!” ben­tak Lin Lin dan pedangnya menyambar.

“Cringgg!” Lin Lin terhuyung ke belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?

“Lin-moi, jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan pedang di tangan.

“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!” Lin Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi juga kha­watir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian encinya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang sakti ini.

“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin melompat dengan pe­dang di tangan pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin Lin tadi, sudah ingin se­kali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee memegang lengannya dan men­cegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah ber­ada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak dapat ting­gal diam lagi. Ia memaksa diri dan me­loncat ke kalangan pertempuran menema­ni kedua orang adiknya.

“Heh, bagus sekali! Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuan­tar kalian menyusul orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuh­nya yang bergerak ke depan dengan ke­dua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.

Pukulan ini mengandung hawa pukul­an jarak jauh yang dahsyat sampai ter­dengar angin bersiutan menyambar-nyambar, Bu Sin cepat mengerahkan sin-kangnya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil mengelak. Akan tetapi Sian Eng biarpun sudah mengerahkan sin-kang, te­tap saja ia terguling roboh!

“Keparat, rasakan pedangku!” Lin Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah Cui-beng-kui.

“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui memuji dan pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari Kim-lun Seng-jin itu memang bu­kan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ke­tika pedangnya menyambar leher, kem­bali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah perutnya!

***

Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat menangkis, juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi! Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan.... Cui-beng-kui meloncat mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat membanting diri ke belakang dan bergulingan.

“Keparat, siapa main gila....?” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri dari mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam urat nadi pergelangan tangannya tadi.

Akan tetapi pada saat itu telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat, berani kau menyerang tuan puteri kami yang mulia?”

Cui-beng-kui tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya. Terdengar bunyi trang-tring-trang-tring ketika senjata-senjata tajam itu beterbangan, kemudian disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui berhasil mencengkeram atubuh dua orang Khitan. Terdengar suara mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biarpun senjata mereka sudah terpental, empat orang Khitan yang lain menyaksikan dua orang kawannya tewas, dengan nekat mereka menyerbu. Orang-orang Khitan terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini menjadi kuat. Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam orang di antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi menjadi empat kelompok dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok ke dua membela Lin Lin. Akan tetapi mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui. Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan empat orang Khitan yang mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.

Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang melakukan tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari sekeliling tempat itu. Biar Cui-beng-kui sendiri dan para tamu, merasa terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan “upacara” macam ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan lari keluar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula. Selelah mereka pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!

Mula-mula tidak ada yang menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi dengan rombongan orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka dan berkata perlahan.

“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”

“Twako, dia.... dia pembunuh ayah ibu....!” Bu Sin membantah.

Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut Suling Emas “twako”. Kini semua keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling Emas, berkata perlahan.

“Kau.... kau Kakak Bu Song?”

Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya dan mengelus rambut kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan kalian.”

“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita....!” Sian Eng berkata.

Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya ke arah depan.

“Tenanglah dan lihat, dia bertemu tanding.”

Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong su­dah maju lagi berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!

“Hemmm, jembel busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang liar ini maju membantu­mu!” kata Cui-beng-kui, nadanya meng­ejek.

“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau mem­bereskan lawan-lawanmu benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam iblis harus te­tap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti bulan lima malam ke lima belas kita main-main di puncak Thai-san, Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Du­nia) akan bertemu dan saling menguji kepandaian di sana.”

“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”

“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu tenggelam dalam keangkuh­an sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai. Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu untuk menumbangkan peme­rintah Sung. Hal ini selain akan meng­angkat tinggi-tinggi nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan kerajaan-kerajaan kecil daripada ancaman Sung Utara!”

Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa me­reka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong se­bagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira, di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek penge­mis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.

“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong! Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung!”

Makin tegang keadaan di situ, ter­utama di antara para utusan Sung. Mere­ka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka meng­harapkan agar tidak banyak yang me­nyetujui ucapan permusuhan yang dicetus­kan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.

“Ho-ho-heh-heh, bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah se­tuju! Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang ke lima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang Khi­tan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara!”

Hati Ouwyang Swan Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau ce­tusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari se­genap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu fihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang ma­tanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik hu­bungannya dengan para casan Kerajaan Sung.

“It-gan Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa!” Ke­mudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana jem­bel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan, yang mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat me­maklumi rencana busuk seperti itu.”

Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-beh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak ber­tulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan kepandaian yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su menurunkan beberapa ilmu. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah daripada percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu.”

Mendadak Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas dengan serang­an maut dari kuku-kuku jari tangannya! Suling Emas sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong mem­buka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya karena Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.

Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh daripada itu, ia malah se­orang sakti yang memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang, ce­pat kakinya menendang bumi dan tubuh­nya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.

“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena....” Terpaksa ia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengke­ram ke arah ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nya­ringnya sehingga banyak tamu yang ku­rang kuat roboh lemas!

Suling Emas terkejut. Ia sendiri me­rasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersem­bunyi di dalam peti mati telah men­datangkan semacam tenaga gaib yang amat mujijat dalam bentakan mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sin-kangnya akan berkurang oleh suara ben­takan yang melengking tinggi mengeri­kan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya. Begitu ia menggerakkan suling­nya, terdengarlah suara melengking ke dua yang jauh bedanya. Kalau suara me­lengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecah­kan anak telinga, adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mujijat yang seakan-akan mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.

“.... karena kau adalah tokoh Nan-cao,” suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking. “Ke dua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita....”

Kembali ia menghentikan kata-kata­nya karena serangan Cui-beng-kui makin dabsyat. Gerakan kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan keluar, tak mungkin kali ini Suling Emas meng­elak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan lawan.

Lengking suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang di­sambut tangan kiri Suling Emas.

“Desssss....!” Telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui. Pertemuan dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil.

Bu Sin dan Sian Eng cepat meng­hampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya. “Mundurlah kalian.... aku tidak apa-apa....” katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas. Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia masih berlaku sabar sungguhpun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh ayahnya. Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum karena selama ini, belum pernah ada yang sanggup mengatasi pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan se­karang iblis itu telah menggunakan pu­kulan ini terhadapnya!

“Iblis tua, kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan tim­bul niat untuk memberi hajaran kepada Cui-beng-kui. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak banyak orang di ka­langan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat me­nahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan.

Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di situ. Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan tenaga batin unituk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasai hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula, ternyata dari pandang matanya. Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw, hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas semangat. Ilmu ini merupakan cabang daripada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khi-kang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan yang ke dua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat merun­tuhkan burung-burung yang sedang ter­bang dan dapat menundukkan dan me­manggil datang semua binatang buas di dalam hutan.

Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja timbul dugaan apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to. Kalau benar demikian, siapa­kah orangnya yang sanggup mengguna­kannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat meng­gunakan sepersepuluh bagian saja, suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangannya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang se­karang menggunakan ilmu itu, sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan!

Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sin-kang yang amat kuat, mereka tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.

Tiba-tiba terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok (Paman Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”

Suling Emas sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas daripada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya, cepat ia melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan.... kedua kaki pendekar ini menggigil!

Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Mun­culnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikap­nya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang sedang berahi, dihias bulu mata panjang hitam melentik, dilindungi se­pasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya me­runcing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya ada rambut­nya terdapat tanda usia tua. Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.

Hanya tiga orang saja di seluruh ru­angan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini me­mang tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian de­pan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu. Orang ke tiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.

Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga, dengan ragu-ragu dan de­ngan jantung berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sen­diri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan, bau ibunya dulu (baca cerita SULING EMAS).

Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu.

Wanita itu memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu menggem­parkan dunia kang-ouw dengan sepak ter­jangnya yang ganas, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa (baca cerita SULING EMAS). Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.

Kini semua orang memandangnya, yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah meng­hampiri Cui-beng-kui.

Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan ke­dua kaki menggigil, sinar matanya me­ngandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak.... tidak.... Lu Sian.... jangan kau benci padaku.... ah, ampunkanlah aku.... jangan benci....”

“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melang­kah mendekati.

“Ti.... tidak.... Lu Sian.... aku benci karena dia.... dia putera Si Ek. Jangan.... jangan pandang aku seperti itu.... Lu Sian.... kauampunkan aku.... kaubunuh aku.... tapi jangan benci....!”

Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya! Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta kasih iblis itu ter­hadap Liu Lu Sian! Cui-beng-kui mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih utuh, akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang tidak semestinya, yang membikin orang ber­gidik, yang meremangkan bulu roma, se­perti senyum seorang siluman!

“Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni!”

Semua orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis!

Iblis itu menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian, di antara tangisnya terdengar ia berkata, “Terima kasih.... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”

Wanita cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku dan ketika wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan se­perti baru saja punggung itu dicap de­ngan gambar tangan besi dibakar merah!

“Wah, Thian-te Liok-koai kurang se­orang!” Terdengar It-gan Kai-ong me­ngeluh dan membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan ke­hadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”

Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian mema­merkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan me­rendahkan nama besar Thian-te Liok-­koai, apalagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluar­kan ucapan itu sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggauta Liok-koai lainnya, kepandaian Tok-siau-­kui itu hanya setingkat dengan kepandai­an mereka!

“Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak ka­nan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung!

Hebat bukan main serangan ini. It­-gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari belakang dan de­pan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis ke­dua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biarpun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.

“Plakkk.... brettt!!”

Keduanya melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahan­nya yang mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderita­annya. Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung sin-kangnya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukul­an maut tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah terdapat “cap” lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!

Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap me­reka jelas hendak membantu It-gan Kai-­ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.

“Bagus, kau memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di antara Liok-koai, bukan di sini tempatnya. Un­tuk menentukan siapa lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam ke lima belas di puncak Thai­-san. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh!”

“Kai-ong, apakah tidak diberi hajaran sedikit dia agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim Lo-tong berkata sambil “sentrap-sentrup” menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.

“Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata demikian, It-gan Kai-ong meng­gapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-­turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan me­reka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi.

Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan men­dekati tempat mereka dan berkata ke­pada Sian Eng, “Eng-moi-moi, kautunggu­lah, aku pasti akan pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”

Betapa herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi, apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”

Merah sekali muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia berkata juga, “Dia.... dia hendak melamarku....”

Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa....?” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.

“Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”

“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah.... agaknya kau telah menyetujuinya....?”

“Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”

“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia.... dia.... ah, Eng-moi, bagaimana kau....”

“Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi....” Sian Eng mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.

Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arag rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali. “Kita akan bicara tentang ini nanti....” katanya perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.

Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus.

“Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”

Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biarpun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda daripada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan kedua­nya mengurai rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan si­kap amat menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan ber­kata.

“Beruntung sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian? (baca cerita SULiNG EMAS).

“Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat mem­bujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”

Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba sikap­nya yang menghormat itu lenyap, ter­ganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan menolak pinggang dan ta­ngan kiri menudingkan telunjuk, ia ber­kata.

“Karena menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan ber­terima kasih, menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”

Liu Lu Sian tersenyum, lalu melang­kah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali meng­gerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi meng­ingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!”

Tantangan yang menghina sekali. “Wa­nita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria yang paling tam­pan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan! Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih se­perti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini!”

Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerak­kan kepalanya dan rambutnya yang ge­muk hitam dan panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan darah me­matikan di tubuh Liu Lu Sian!

Perlu diketahui bahwa meskipun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biarpun amat berbahaya bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya, dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan.... pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri!

“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan ber­jungkir balik beberapa kali untuk me­lenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya ber­kerut, matanya mendelik.

“Liu Lu Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andaikata aku dapat mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat meng­hilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggal­kan tempat itu pula tanpa sempat ber­pamit lagi.

“Bu Song! Ke sini kau....!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus lem­but.

Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya per­gi, diam-diam ia merasa sedih sekali, karena betapapun juga, ia lebih cinta ibunya daripada ayahnya. Oleh karena itulah, ketika ayahnya menikah lagi, tim­bul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah (baca cerita SU­LING EMAS). Oleh karena itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah me­nikah lagi.

Pada waktu ibunya pergi meninggal­kan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebab-sebabnya. Sekarang, setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak ma­lu? Apalagi kalau ia teringat akan ucap­an Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibu­nya. Ibunya di Hou-han diperlakukan se­bagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka paling ga­gah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan dengan lan­tang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan ibunya tidak mem­bantahnya!

“Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”

Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun daripada lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun ini menjadi lamunannya, menjadi bayangan yang dirindukannya.

Liu Lu Sian memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku.... ah, kau sudah begini gagah perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia.”

“Ahhhhh....!” Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.

Liu Lu Sian menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia men­ciumi pipi pemuda itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya yang amat besar mem­buat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.

“Hi-hik, anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan me­megangi lengan kursi masing-masing de­ngan hati tegang.

“Paman Liu Mo, kursi yang kaududuki itu adalah kursiku! Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan ke­dudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal lain orang!”

Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi tam­pak menggetar. Akan tetapi setelah me­narik napas panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.

“Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapapun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih meng­gantikan kedudukan Kauwcu, sama sekah bukan merampas. Kalau sekarang kau menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian.”

Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus kauberikan kepadaku, suka maupun tidak. Andaikata tidak kauberi­kan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song men­jadi kaisar di Nan-cao!”

“Enci Lu Sian, kau terlalu menghina Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nya­ring dan Liu Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.

“Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di tero­wongan ketika kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau mem­beri ampun!” teriak Liu Lu Sian, tubuh­nya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan! De­ngan sikap mengejek ia melempar cam­buk ke samping, kemudian melihat cam­buk ke dua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik. Liu Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa Liu Lu Sian me­narik-narik cambuk itu ke sana ke mari dan ke manapun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana, cambuk itu sudah melibat per­gelangan tangannya dan ia terpaksa ter­seret ke sana ke mari ketika cambuknya ditarik-tarik.

“Lepaskan dia, wanita jahat!” ter­dengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan ke­marahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas hati­nya itu, dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya terancam bahaya.

“Hi-hik, laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita be­rambut panjang itu terkekeh dan tangan­nya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.

“Ihhhh....!” Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air terjun.

Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian karena di lain saat, segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang toya yang terbuat daripada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting roboh.

“Kau kejam!” Liu Hwee berseru, me­nyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal dekat Bu Sin.

“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di kah­yangan!”

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anak­ku!”

“Ibu,” kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini, “Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”

“Ha-ha-hi-hi-hik! Paman Liu Mo, kau­dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku!”

Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggauta Beng-kauw memandang bingung. Mereka me­rasa serba susah. Betapapun juga, wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw!

“Ibu, tidak boleh kau bilang begitu....!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.

“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam. Ketika bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah, bukanlah sinar mata manusla yang sehat jiwanya!

“Ibu, harap kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku.... aku tidak mau menjadi kaisar. Sri Bagin­da yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat....”

“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan mengancam, se­akan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih ke­cil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan kedua matanya. Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di ta­ngan wanita iblis itu.

Kini semua mata memandang ke te­ngah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di tangan­nya. Langkahnya lebar dan lambat, sikap­nya tenang berwibawa, namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata, suaranya lantang ber­pengaruh.

“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami! Urusan di antara orang sen­diri apa perlunya dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi kita!”

Liu Lu Sian memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong!

“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu, memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”

“Lu Sian!” Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara “tar-tar-tar!”. Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Su­heng, kepada Beng-kauwcu kita, kalau tidak, aku sebagai paman gurumu ter­paksa akan memberi hajaran kepadamu.”

Sejenak Liu Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahhya menjadi muram dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa akan kubunuh.”

“Aaahhhhh....!” Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu!”

Setelah berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.

Suasana menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan ta­hun dirindukannya. Sebaliknya, tak mung­kin ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya, ia hanya ber­diri dengan muka pucat.

“Liu Lu Sian, biarpun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan sikapku ini.”

“Orang tua keras kepala! Kaukira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi (Setan Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”

“Kalah menang bukan soal, yang pen­ting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melin­tangkan cambuknya di depan dada.

Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya dan kalau saja Kam Bian Cinjin yang “diserang” suara ini bukan tokoh besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin berseru keras dan me­mutar cambuknya sehingga berbunyi angin bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.

“Serahkan nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah men­jadi bayangan yang cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cin­jin.

Kakek ini kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah per­tempuran yang amat hebat. Lebih hebat daripada pertempuran-pertempuran tadi, karena sekarang yang bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw. Betapapun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat menandingi­nya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mu­danya ia mendapat julukan Cambuk Hali­lintar. Memang, melihat kakek ini me­mainkan cambuk, membuat orang yang kurang tingi kepandaiannya menjadi ngeri dan jerih. Cambuk itu berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyam­bar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan!

Betapapun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apalagi sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan “ilmu cam­buk” yang mujijat karena rambut itu dapat dipakai menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.

Kauw Bian Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri suhengnya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi, untuk membela Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau Liu Lu Sian, ia menjadi nekat. Apalagi kalau diingat bahwa suhengnya, Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suhengnya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.

Setelah saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi dan ketika semua mata yang tadi menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher kakek Beng­kauw itu.

“Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.

“Liu Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid keponakan­ku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku....” jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.

“Tua bangka keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan! Kau perlu dihajar....!” Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan merah!

“Liu Lu Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sen­diri!” Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.

“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin ke­padamu!”

Wajah Liu Mo tetap terang dan bi­birnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang mem­berikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu!” Berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.

“Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”

“Tentu saja, kalau Suheng mengijin­kan!”

bersambung.............6

0 komentar:

Posting Komentar