kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!
“Siluman betina, berani kau memukuli temanku?” teriak si mata juling
yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang, langsung ia menusukkan
senjatanya ke arah dada si gadis. Dengan gerakan masih lemah dan
terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia didesak terus
oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih
pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari
kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum
dapat mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan
sudah bangkit duduk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan
meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang
penyakit ayan!
Sementara itu, Bu Sin yang bertangan kosong pula
menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda
ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar
mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu tongkatnya
ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat. Namun, dengan
ilmunya yang baru, ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya
sedemikian rupa sehingga sekaligus gin-kangnya juga mengalami kemajuan
pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya. Dengan gesit
bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar
tongkat. Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis
jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya,
gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini
menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di
bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan
tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan,
kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.
Melihat datangnya
pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia
menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat
itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang
betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan
diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram
tongkat lawan. Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot untuk
merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak
dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi
Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk
melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke
tangan Bu Sin!
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam
menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat
dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main,
sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar.
Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya. “Dukkk!”
pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di
tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali, sebelum ia tahu apa
yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat
berkutik lagi. Kekagetannya bertambag ketika ia mengenal wajah kakek
berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah,
bukan lain It-gan Kai-ong!
Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.
“Bocah tiada guna, minggir!” tiba-tiba terdengar seruan dan si juling
itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja, kemudian gadis itu
melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja
ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan
diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini adalah seorang
tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih
pening ini pun seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang
luar biasa.
“Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh
memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!” kata It-gan Kai-ong.
Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat
tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu
mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sekti ini
berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan
itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno. Tongkatnya menotok pinggir
batu nisan dan.... tiba-tiba batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong
memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau
murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat
menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri.
Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu
nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali
dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini
merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.
Bu Sin
dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan
di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak
terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan
bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi, Bu Sin dilempar
ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus
diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel
dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti
kering dan beberapa guci terisi arak dan air.
“Kalian jaga
baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini.
Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu?” Terdengar
It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka
meninggalkan ruangan itu.
Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin
melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan
dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia
pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan
setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh
totokan yang berdasarkan hawa panas. Perlahan-lahan jalan darahnya
mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan
usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan
melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk
bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang
memiliki ilmu yang tinggi.
Gerakannya terdengar oleh gadis itu
yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum
manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata, “Terima kasih atas
pertolonganmu....”
“Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya
aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah
bagaimana agar dapat membebaskan diri.”
“Yang kunilai bukanlah
hasilnya, melainkan sifat daripada perbuatan. Kau telah menolongku dan
karenanya, berhasil maupun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu.
Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini
seorang tamu dari golongan mana?”
Bu Sin tidak menjawab karena
dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang
bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.
“Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.”
“Ehhhhh.... ap.... apa....?” Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.
Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagaimana
butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau menyambarnya, menyilaukan
mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah
menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya
yang dirasa seperti hendak meletup.
“Kau pelamun benar. Aku
bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan
termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?”
“Oh....
aku.... namaku Kam Bu Sin, aku.... seperti yang Nona lihat sendiri, aku
bukan tamu, aku.... aku masuk ke sini bukan atas kehendakku, aku tawanan
bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan,
juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona
maksudkan....”
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa
wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan
mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu
Sin.
“Kau.... namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran. “Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang Ayah?”
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang. “Wah, kalau
begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan.... eh,
pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung....
keponakanku!” Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan
rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah
tertikam panah asmara yang berbisa!
“Ah, tidak mungkin!” Tanpa
disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa
mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana
mungkin kau menjadi.... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru
dua puluh tahun?”
“Sembilan belas!” Dara itu menjawab cepat,
seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat
membuatnya menjadi tua.
“Nah, sembilan betas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?”
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli
hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda
itu. “Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai
seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan
ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang
tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini
juga keponakanku dan aku bibimu?”
Pening kepala Bu Sin
mendengar penjelasan yang tidak jelas itu. “Mana bisa? Kalau Ayahku juga
menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau....”
Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah
keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?”
Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Siapa lagi kalau bukan dia?”
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin
mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari
kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping
menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di
tempat ini, bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan
terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah
dari kedua orang adiknya. Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya
mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam
hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu,
mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
“Di mana dia? Di mana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya
terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah
sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis
tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda.
“Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua
tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi
hormat. “Maaf.... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan
Kakak Kam Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman adalah
untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.... aku
mengharapkan dapat bertemu dengannya.”
“Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga.”
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya
menggodanya, maka ia tidak marah. “Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun
Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi
keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani
aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik
saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu
pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa
jengah di samping jantung berdebar tidak karuan, “Kalau begitu, aku
akan menyebutmu koko, Bu Sin koko.”
Bu Sin tertawa. “Adikku yang
manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama
sekali belum mengetahui namamu.”
“Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”
“Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku
kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu
yang terhormat dan....”
“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin koko, kau
tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi
nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka
bersahabat denganku?”
“Ti.... tidak begitu, tapi kau....”
“Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong
si Iblis jembel itu cukup menghormat kita sehingga di sini tersedia
makan minum dan bangku untuk duduk.” Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin
tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya
demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Bengkauw!
Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai
keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang
adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak
tirinya itu.
“Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan
perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada di
sini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada di
mana?”
“Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah namanya sikap jantan,
tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak
mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan
orang! Ketahuliah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini
adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,”
“Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong....”
“Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga.
Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya
ada komplotan gelap di antara para tamu untuk melakukan pengacauan,
mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai
tamu. Aku dan keponakanku....”
“Kaumaksudkan Kakak Bu Song....?”
Liu Hwee mengangguk. “Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka
kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh
iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”
“Wah, dia hadir juga dan dia.... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”
Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu. “Hi-hik. Pertanyaan
aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku.... aku
tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas
terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”
“Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”
“Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi
persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima
sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain.
Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas
permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari
kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku
memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di
atas saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak
berharga!”
“Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!”
“Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu
sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu
melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil
barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao
dan Kerajaan Sung.”
“Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?”
“Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu
diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan
tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara
Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni...., eh
kau kenapa?”
Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka
pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya
bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah
mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat
mengendalikan perasaannya.
“Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali....”
“Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi
adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain
tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi
juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua
hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang
pun boleh dipercaya, tapi....”
“Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”
Lim Hwee termenung sejenak. “Tentang dia.... mungkin dia hadir pula,
tapi tentu saja keadaannya tidek mengijinkan ia muncul di depan orang
banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang
dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan
perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk
Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan
It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan
Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang
melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami
dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang
membikin bingung, di sana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek,
juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah
turun gunung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan
dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlumba mencari
keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena kabarnya di
antara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek
Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan
penuturanku?”
“Ah, tidak.... tidak, aku tertarik sekali.
Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya.
Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak
kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”
“Wah,
Koko! Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan
bersungut-sungut seorang diri. “.... hemmm, dia bilang pernah mendengar
nama Suling Emas.... apakah tidak gila ini....?”
“Hwee-moi, apa
maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama
Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti
dari semua penjuru hadir dan....”
“Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada ini....”
“Maksudmu?”
“Keponakanku itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas....!”
Bu Sin melompat dari tempat duduknya, matanya terbelalak lebar,
keheranan memenuhi dada dan kepalanya. “Kau bilang Kakak Bu Song itu
Suling Emas? Jadi dia itu kakak kami sendiri....? Wah, pantas,
pantas.... dia selalu menolong kami! Ah, memang patut ditampar kepalaku,
Hwee-moi, wah, aku benar-benar goblok. Ha-ha-ha-ha!” Bu Sin
tertawa-tawa girang, bergelak sambil menampari kepalanya sendiri.
“Ha-ha-ha, benar! Dia selalu berpakaian sebagai seorang pelajar! Wah,
kakakku demikian gagah perkasa.... ah, alangkah akan girangnya hati Ayah
kalau mengetahul hal itu.... sayang, Ayah.... takkan pernah tahu....”
Dengan kepalan tangannya, pemuda yang ditusuk rasa haru ini menghapus
dua titik air mata dari pelupuk matanya.
Sadar akan keadaannya
yang tidak sewajarnya itu, Bu Sin memandang kepada Liu Hwee sambil
tersenyum malu. “Maaf Hwee-moi, aku telah memperlihatkan sikap lemah
sekali. Kau harus tahu, selama hidupku, belum pernah aku bertemu dengan
kakakku itu, dan yang lebih hebat lagi, dahulu kami bertiga kakak
beradik malah menyangka bahwa Suling Emas adalah pembunuh ayah bunda
kami. Karena hendak mencari Kakak Bu Song dan mencari musuh besar kami,
maka hari ini aku bisa berada di sini. Siapa tahu dan siapa sangka,
orang yang kami sangka membunuh orang tua kami itu malah kakak sulung
kami!”
Liu Hwee menarik napas paniang. “Kau tidak lemah,
Sin-koko. Memang kehidupan Suling Emas semenjak kecilnya telah
diselubungi banyak rahasia yang kadang-kadang membingungkan. Bahkan aku
sendiri tidak tahu sejelasnya, juga Ayahku tidak tahu. Kau tahu, ibunya,
yaitu Cici Liu Sian, sampai kini pun tidak ada orang tahu, hanya dapat
menduga-duga, namun tak pernah aku atau Ayah dapat menjumpainya. Aneh,
memang aneh sekali enci misanku itu, juga puteranya aneh.”
“Pertemuanku denganmu benar-benar mendatangkan rasa bahagia karena
rahasia kakakku telah dapat kuketahui, Adik Liu Hwee. Sayang bahwa
kebahagiaan itu kiranya takkan dapat berlangsung terus. Bagaimana aku
akan dapat bertemu dengan kakakku itu kalau sekarang kita berada dalam
tahanan di bawah tanah dan tidak ada jalan keluar? Ah, dasar aku yang
tidak becus, tidak berhasil menyelamatkanmu, malah aku sendiri
tertawan. Hwee-moi, kau yang berkepandaian tinggi, bagaimana kau sampai
dapat ditawan pengemis-pengemis itu dan dimasukkan dalam karung dalam
keadaan pingsan?”
“Belum kuceritakan hal itu kepadamu. Tadi
telah kuceritakan bahwa aku dan Suling Emas melakukan penyelidikan.
Tentu saja kami berpencar dan Suling Emas bertugas menyelidiki para tamu
yang termasuk tokoh-tokoh tinggi, sedangkan aku menyelidiki ke tempat
para tamu yang rendahan. Ketika aku tiba di ujung tempat-tempat
pemondokan para tamu rombongan dari Kerajaan Sung, aku melihat dua orang
pengemis yang mengempit tubuh dua orang pula sedang melarikan diri.
Aku tertarik sekali, mengira bahwa mereka tentu melakukan kejahatan.
Karena mereka berada di negeriku, aku harus mencegah orang berbuat
kejahatan, maka aku lalu mengejar mereka. Setelah tiba di dalam sebuah
hutan, tiba-tiba dua orang itu melepaskan orang-orang yang dikempitnya
dan.... ternyata dua orang yang dikempit tadi tidak apa-apa, malah juga
berpakaian pengemis dan tertawa-tawa, lalu empat orang itu mengeroyokku!
Mereka tidak menjawab pertanyaan-pertanyaanku, dan melihat betapa
serangan-serangan mereka tidak ditujukan untuk membunuh, aku lalu
menduga bahwa mereka bermaksud menculikku. Akan tetapi dengan cambukku
di tangan, dengan mudah aku mendesak mereka bertiga, malah berhasil
merobohkan seorang di antara mereka. Pada saat aku sudah mendesak hebat
dan takkan lama lagi mereka tentu akan roboh seorang demi seorang,
muncullah It-gan Kai-ong! Aku melawan sampai seratus jurus lebih, akan
tetapi dia bukan tandinganku. Terlampau kuat, akhirnya aku roboh
pingsan dan selanjutnya kau menolongku.”
“Agaknya mereka itu memang hendak menculikmu, Hwee-moi. Apakah kehendak mereka?”
“Mungkin karena kecurigaanku, atau mungkin juga karena It-gan Kai-ong
hendak mempergunakan aku sebagai jaminan. Akan tetapi dia tidak mungkin
berani menggangguku, karena sekali dia berani membunuhku, dia akan
berhadapan dengan Ayah dan seluruh warga Beng-kauw. Kalau terjadi
demikian, biar di dunia ini ada seratus It-gan Kai-ong, mereka akan
dibasmi semua!”
“Atau dia mempunyai rencana yang amat jahat! Ah,
Moi-moi, kalau saja kita bisa keluar dari sini dan mendapat bantuan
Kakak Bu Song....” Bu Sin lalu berjalan memeriksa ruangan itu. Akan
tetapi segera ia mendapat kenyataan bahwa tak mungkin keluar dari tempat
itu. Ruangan ini tertutup semua oleh dinding batu karang yang amat
kuat, adapun pintu satu-satunya adalah pintu terbuat daripada besi yang
agaknya dipalang dari luar sehingga tak mungkin dibuka dari sebelah
dalam.
“Sin-koko, tak usah dicari jalan keluar, tempat ini
memang dahulu dipergunakan untuk tempat tahanan tawanan penting, dan
rahasia. Hanya ada satu cara....”
“Bagaimana caranya? Adik Liu Hwee yang baik, lekas katakan dan mari kita segera keluar dari sini!”
“Kita makan dan minum dulu sampai kenyang. Perutku lapar dan kita perlu
memulihkan tenaga untuk menghadapi terjangan keluar.” Gadis itu lalu
meraih panci dan memilih roti, menawarkannya kepada Bu Sin yang
ragu-ragu untuk makan roti itu. Akan tetapi ia melihat Liu Hwee
menggigit roti dengan enaknya dan mendengar gadis itu berkata kemudian.
“Tak usah khawatir, roti dan arak serta air ini tidak beracun.”
Bu Sin tersenyum dan ia pun segera makan roti itu, karena selama ini ia
hanya makan buah-buah saja maka roti sederhana itu terasa enak sekali,
“Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa makanan dan minuman ini tidak
beracun?”
“Mudah saja. Kalau lawan hendak membunuh kita, apa
sukarnya? Masa harus bersusah payah menaruh racun pada makanan atau
minuman yang belum tentu kita sentuh?”
Bu Sin mengangguk-angguk
dan diam-diam ia memuji kecerdikan dan ketenangan dara muda itu.
Setelah mereka kenyang mengisi perut, Bu Sin yang sudah tidak sabar
bertanya.
“Bagaimana caranya supaya kita dapat keluar dari neraka ini?”
Liu Hwee tersenyum. “Neraka? Aku sama sekali tidak merasa berada di dalam neraka, Sin-ko. Senang malah di sini seperti ini.”
Tiba-tiba jantung Bu Sin berdegupan keras. Gadis jelita ini senang
berada di situ bersama dia? Tentu karena ada dia, masa kalau sendiri
merasa senang di tempat seperti itu? Tak mungkin.
“Adikku yang
baik. Aku pun merasa senang sekali karena ada engkau bersamaku di sini,
akan tetapi alangkah akan lebih menyenangkan sekali kalau kita berada
di luar tempat tahanan.”
Liu Bwee mengangkat muka memandang
tajam. Kembali mereka saling berpandangan dan biarpun mulut mereka
tidak mengeluarkan suara di saat itu, namun pancaran kasih terbawa sinar
mata tampak nyata dan terasa oleh kedua fihak sehingga kembali kulit
pipi menjadi merah sendiri dan keduanya untuk sejenak merenggut pandang
mata yang saling peluk.
“Ruangan ini tidak mempunyai jalan
keluar lain kecuali pintu itu. Pintu terkunci dan di luar pintu tentu
dijaga. Kita tidak bersenjata, akan tetapi kalau tidak ada It-gan
Kai-ong di situ, kita tidak perlu khawatir. Kalau sudah keluar dari
ruangan ini, aku mengenal jalan-jalan rahasia di dalam terowongan ini
yang belum tentu dikenal pula oleh mereka.”
“Kalau begitu, bagaimana kita bisa keluar dari ruangan ini?”
“Kauseranglah aku dan kita bertempur mati-matian, saling serang, akan
tetap jangan ragu-ragu untuk memukul dan merobohkan aku....”
“Apa kaubilang? Mana bisa.... apa artinya itu, Moi-moi?”
Melihat kebingungan pemuda itu, Liu Hwee merasa geli, juga besar hati
karena pemuda yang telah membetot rasa kasihnya ini tentu saja bingung
dan menolak untuk memukulnya roboh! “Hanya ada satu cara untuk memancing
mereka membuka pintu ini, Koko. Kau tadi dengar sendiri betapa It-gan
Kai-ong memesan supaya mereka tidak mengganggu aku, ini hanya berarti
bahwa It-gan Kai-ong tidak menghendaki aku mengalami malapetaka atau
terganggu di sini karena dia tidak berani menghadapi kemarahan Ayah dan
Beng-kauw. Maka kalau mereka tahu kita bertempur, tentu mereka merasa
khawatir kalau-kalau aku sampai celaka, apalagi kalau mereka membuka
pintu melihat kau memukul aku sampai roboh, tentu mereka menyerbu masuk
untuk menghalangi maksudmu, atau untuk menolongku. Nah, saat itulah kita
pergunakan untuk menerjang keluar. Mengertikah engkau?”
Bu Sin
mengangguk-angguk, tapi alis nya berkerut. “Tapi.... Moi-moi, aku
hanya akan memukul secara pura-pura saja dan kau lalu menggulingkan diri
roboh. Mana bisa aku memukulmu sungguh-sungguh?”
Kembali Liu
Hwee tersenyum senang. “Sin-koko, mereka itu bukanlah anak-anak atau
orang-orang bodoh yang mudah kita bohongi atau kita tipu. Mereka itu
adalah ahli-ahli sitat yang akan dapat melihat pukulan palsu atau tulen.
Kau pukullah sungguh-sungguh, biar keras asal jangan kaupergunakan
lwee-kang. Percayalah, hanya dengan cara itu usaha kita akan berhasil.
Kau boleh pukul punggung kananku, akan kuberi lowongan sambil miringkan
tubuh. Begitu pintu dibuka, kaudesak aku dan aku mengelak sambil
miringkan tubuh begini, dan.... kaupukullah punggung kanan ini sampai
aku terjungkal....”
Sambil berkata demikian Liu Hwee
memperlihatkan gerakannya. Bu Sin mengangguk-angguk tanda mengerti
biarpun hatinya merasa tidak enak sekali. Setelah mendengarkan
petunjuk-petunjuk Liu Hwee, sepasang orang muda ini mulai
berteriak-teriak, membuat gaduh dengan menyambitkan pecahan batu pada
pintu, membentak dan berseru nyaring, pendeknya mereka membuat suara
gaduh orang sedang bertempur hebat. Sampai lama mereka melakukan hal ini
dan beberapa kali mereka menendang daun pintu.
Akhirnya daun
pintu bergerak perlahan. Liu Hwee memberi isyarat kepada Bu Sin dan
sekarang keduanya bertempur sungguh-sungguh! Begitu bertanding,
kagetlah Bu Sin karena dara jelita itu benar-benar hebat
kepandaiannya. Pertemuan lengan membuat tubuhnya kesemutan, dan
gerakan-gerakan Liu Hwee selain aneh juga amat cepatnya. Maklumlah ia
bahwa dalam pertandingan sungguh-sungguh, ia bukan lawan gadis perkasa
ini.
“Jahanam, berani kau mengganggu puteri Beng-kauwcu?” Liu Hwee berseru nyaring sambil memperhebat terjangannya.
“Nona manis, kalau tidak mau menyerah kepadaku lebih baik kau mampus!” teriak Bu Sin dengan kata-kata dibuat kurang ajar.
Daun pintu terbuka makin lebar dan kini tampak muka yang bopeng
mengintai ke dalam. Kiranya itu adalah muka pengemis bopeng tadi.
Agaknya mereka yang berada di luar masih menaruh curiga, maka si bopeng
tidak segera membuka pintu melainkan mengintai ke dalam. Melihat itu,
Bu Sin berseru keras dan melancarkan pukulan dengan jurus yang
berbahaya, sambil mengerahkan sin-kang yang ia pelajari dari kakek
sakti. Ayunan tangannya mendatangkan siutan angin. Liu Hwee mengeluarkan
seruan kaget dan mengelak ke belakang sambil miringkan tubuh dan
terhuyung-huyung karena kakinya tertumbuk batu. Saat itu dipergunakan
oleh Bu Sin untuk mendesak maju dan pukulan tangan kirinya dengan tepat
menghantam punggung kanan gadis jelita itu. Ia memukul dengan keras akan
tetapi menyimpan tenaga lwee-kang, hanya mempergunakan gwa-kang atau
tenaga kasar, yaitu tenaga gerakan otot.
“Bukkkkk....!” Kepalannya mengenai sasaran yang lunak dan halus sehingga hatinya serasa ditusuk.
“Aduhhhh....!” Liu Hwee mengeluh, tubuhnya terlempar melayang ke
belakang, menumbuk dinding batu dan terjungkal roboh. Bu Sin sampai
menjadi pucat mukanya. Masa pukulannya yang hanya dilakukan dengan kasar
itu dapat membuat Liu Hwee terlempar sampai begitu hebat? Ia lupa akan
permainan sandiwaranya, dengan hati penuh kegelisahan ia meloncat ke
dekat Liu Hwee, menjatuhkan diri berlutut dan memeluk gadis itu,
merangkulnya untuk memeriksa keadaannya.
“Setan kurang ajar, kau
sudah bosan hidup!” teriak si muka bopeng yang sekarang membuka daun
pintu dan menerjang masuk, diikuti si mata juling dan si kepala besar.
Mereka bertiga menerjang Bu Sin dengan senjata mereka. Akan tetapi Bu
Sin sudah siap, cepat ia mengelak dengan gerakan gesit ke kiri dan
bagaikan kilat menyambar kakinya sudah melayang, tepat memasuki rongga
perut si juling.
“Ngekkk!” Demikian si juling mengeluarkan
suara tertahan, napasnya terengah-engah, matanya yang juling itu
berputaran sebelum ia roboh pingsan.
Akan tetapi keadaan Bu Sin
bukan tidak berbahaya karena ketika ia menendang tadi, dua orang lawan
lagi menerjangnya dari kanan kiri. Kepandaian si bopeng dan si kepala
besar itu cukup lihai. Golok si bopeng itu melayang ke arah leher kiri
sehingga Tiat-kak-coa si kepala besar menusukkan tongkatnya ke arah iga
kanan! Bu Sin terpaksa menggulingkan diri ke atas tanah, akan tetapi
kedua orang lawannya mengejar terus. Dengan gerakan lincah Bu Sin sudah
berhasil menyambar pedang yang tadi terjatuh dari tangan si juling.
Pedang ini ia ayun menangkis golok, akan tetapi dalam keadaan masih
telentang itu ia terancam tongkat Tiat-kak-coa.
“Blukkk!
Aduhhhh....!” Tiba-tiba Tiat-kak-coa terjungkal, dari kepalanya sebelah
belakang mengucur kecap dan ia berkelojotan tak dapat bangkit lagi
karena kepalanya sudah retak, disambar batu yang dilontarkan oleh Liu
Hwee!
Dalam keadaan kaget dan khawatir, si bopeng tak sanggup
menahan terjangan pedang di tangan Bu Sin dan pedang itu berhasil
menusuk tembus bahu kanannya. Si bopeng berteriak kesakitan, goloknya
terpental dan ia pun roboh mandi darah.
“Cepat, ikut aku!” Liu
Hwee berbisik. Dengan pedang rampasan di tangan, Bu Sin mengikuti gadis
itu. Girang hatinya bahwa gadis itu ternyata tidak apa-apa. Mereka
berlari-larian melalui lorong sempit dan tiba-tiba Liu Hwee berhenti.
“Ssttt, di depan pintu lorong penuh penjaga. Tak mungkin kita keluar dari situ.”
“Kita terjang saja, membuka jalan darah!” kata Bu Sin gagah.
“Sia-sia, apalagi mungkin It-gan Kai-ong berada di sana. Aku tahu jalan
rahasia. Mari....!” Gadis itu menyambar tangan kiri Bu Sin ditariknya
pemuda itu berlari memasuki cabang lorong yang sempit lagi gelap.
Berdebar jantung Bu Sin ketika tangannya merasai telapak tangan yang
berkulit halus dan lunak. Tak terasa lagi ia menggenggam tangan kecil
itu erat-erat dan serasa ada getaran di antara jari-jari mereka. Kembali
Liu Hwee berhenti tiba-tiba di bagian yang gelap, melepaskan tangannya
dan berbisik.
“Sin-ko, kaupegang batu yang kiri, aku yang
kanan. Setelah kutekan alat rahasianya yang menghilangkan ganjal di
belakangnya, kita tarik batu ke kanan kiri. Itu, batu yang menonjol,
kauraba karena agak gelap.”
“Ah, inikah? Sudah siap, Moi-moi.”
Liu Hwee memasukkan lengannya yang kecil ke sebuah lubang yang
terdapat dalam celah antara dua batu, mengerahkan tenaganya dan begitu
ia menekan, terdengar suara berkeretakan di sebelah sana di balik
dinding batu, “Nah mari mulai menarik. Geser batu itu ke kiri, Koko!”
Mereka menarik, seorang ke kiri, seorang lagi ke kanan. Setelah
mengerahkan sin-kang, barulah kedua batu itu bergerak menggelinding
perlahan, membuka sebuah pintu!
“Cukup, lekas masuk!” Liu Hwee
berbisik sambil menarik tangan Bu Sin. Pintu itu hanya dapat dimasuki
Bu Sin dengan tubuh miring. Setelah mereka masuk, Liu Hwee mendorong
alat rahasia dan kedua batu besar itu menggelinding secara otomatis
menutup pintu rahasia. Kiranya mereka berada di terowongan lain yang
tiga kali lebih lebar, juga tidak gelap seperti tadi karena ada cabaya
masuk ke dalamnya.
“Selamat!” bisik Liu Hwee sambil tersenyum. “Kau pandai sekali mainkan sandiwara kita, Sin-koko.”
Muka Bu Sin menjadi merah. “Ah, jangan mengejek, Moi-moi. Justeru aku
tadi telah membuka rahasia kita karena lupa diri melihat kau terlempar
dan menumbuk batu. Kukira kau betul-betul terluka hebat, maka aku
menjadi lupa dan hendak menolongmu....”
Wajah gadis itu
berseri-seri. “Ah, begitukah? Kukira kau bersandiwara, karena sikapmu
itu tepat sekali. Mungkin itu yang membuat mereka tadi percaya penuh
bahwa kau betul-betul hendak.... berbuat kurang ajar kepadaku. Kiranya
kau tadi tidak bersandiwara.... ah, kau baik sekali, Koko.”
“Sudahlah Moi-moi, pujian-pujianmu yang berlebihan bisa-bisa menerbangkan aku ke langit! Sekarang bagaimana kita dapat keluar?”
“Mari ikut aku. Pesanku, kalau kau melihat apa saja yang luar biasa,
harap kau jangan mengeluarkan suara, biarkan aku yang bicara. Ini
penting sekali, Koko, karena sekali kau salah bicara, nyawamu terancam
maut dan aku sendiri tidak akan mampu berbuat apa-apa untuk
menolongmu.”
Bu Sin kaget dan mengangguk-angguk. Sudah terlalu
banyak ia mengalami hal-hal aneh mengerikan, dan tempat yang serem
seperti ini tentu saja mempunyai rahasia-rahasia yang menyeramkan pula.
Akan tetapi hatinya besar, apalagi setelah ia merasakan kembali
kehangatan, kehalusan dan kelunakan telapak tangan Liu Hwee yang
menggandengnya. Lorong itu makin lama makin lebar, akan tetapi makin
gelap dan akhirnya mereka tiba di bagian yang gelap sekali. Dari tekanan
tangan Liu Hwee, Bu Sin dapat menduga bahwa mereka berada di tempat
berbahaya.
Tiba-tiba tercium bau yang amat harum dan Liu Hwee
menghentikan langkahnya, tangannya mencengkeram tangan Bu Sin erat-erat
sehingga pemuda itu hampir saja berteriak kalau ia tidak segera ingat
akan pesan gadis itu. Anehnya, Liu Hwee segera menariknya dan
mengajaknya berlutut di atas tanah yang ternyata becek dan basah!
***
“Cici yang mulia, adikmu lancang mengganggu, mohon ampun!” kata Liu Hwee dengan Suara aneh.
Hening sejenak, bau harum makin keras dan terdengarlah suara dari sudut
yang gelap. “Siauw-moi, apa Ayahmu juga melarang kau main-main dengan
pemuda tampan sehingga kau membawanya ke sini?”
Bu Sin diam-diam
bergidik. Bau harum ini mengingatkan ia akan Siang-mou Sin-ni, serupa
benar. Dan suara itu! Halus lembut dan merdu, akan tetapi mengandung
sesuatu yang mengerikan, apalagi kata-katanya begitu tak tahu malu!
“Tidak, Cici. Dia ini seorang tamu kita. Kami berdua ditawan It-gan
Kai-ong di dalam terowongan sebelah. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa
aku mempergunakan pintu rahasia dan dengan lancang lewat di sini.”
“Hemmm, kau tahu siapapun dia yang berani menggangguku di sini harus mati. Untukmu, aku masih bisa mengampuni, tapi dia ini!”
“Ampunkan dia, Cici. Bukan kehendaknya lewat di sini, melainkan aku
yang mengajaknya karena dia telah menolongku dari tangan anak buah
It-gan Kai-ong. Orang-orang seperti kita tidak bisa hidup senang sebelum
membalas budi orang, bukan? Dia menolong nyawaku satu kali, aku pun
harus menolongnya kembali dua kali. Kalau kau membunuhnya, lebih baik
bunuh aku lebih dulu, Cici.”
Terdengat suara ketawa lembut, tapi
yang membuat bulu tengkuk Bu Sin meremang. Hanya suaranya kalau
berkata-kata yang berbeda, akan tetapi harumnya dan ketawanya serupa
benar dengan Siang-mou Sin-ni!
“Aku tidak bisa melihatnya jelas,
tapi dia terang tampan dan muda. Tak bisa aku mengambil keputusan
sebelum memeriksa dia orang apa!” Tiba-tiba terdengar angin menyambar
dan bau harum menyengat hidung. Bu Sin kaget setengah mati ketika merasa
betapa pipi dan dagunya diraba tangan yang halus sekali, juga leher dan
kedua pundaknya disentuh orang yang tidak tampak! Hatinya lega bukan
main ketika tangan yang meraba-raba itu lenyap kembali dan terdengar
suara yang tadi.
“Tampan dan muda, juga gagah. Tapi sayang, dia lemah. Tak patut menjadi mantu Beng-kauwcu!”
“Cici....!” Liu Hwee memprotes.
“Cerewet! Aku tidak buta, aku tahu kau mencinta pemuda ini, Siauw-moi!
Tapi dia tidak patut menjadi mantu Beng-kauwcu, kecuali kalau dia ini
anak kaisar atau anak ketua partai persilatan yang besar. Dia orang apa,
Siauw-moi?”
Bukan main mendongkolnya hati Bu Sin. Ia merasa
bahwa siapapun juga adanya wanita iblis itu, bicaranya keterlaluan dan
amat menghina Liu Hwee. Sudah gatal-gatal mulut dan lidahnya untuk
mendamprat, dan hal ini pasti telah ia lakukan kalau saja ia tidak
merasa betapa jari-jari tangan Liu Hwee mencengkeram tangannya dengan
erat.
“Dia orang biasa saja, Cici.”
“Hemmm, adikku mencinta laki-laki biasa? Cih, mana bisa?”
“Cici yang mulia, cinta tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal
derajat maupun tingkat, tidak mengenal kaya miskin, bahkan ada kalanya
tidak mengenal usia. Cici sendiri sudah mengalaminya, mana ada aturan
melarang orang lain?”
“Sudah, sudah....! Kau cerewet seperti
Ibumu! Kau hendak menyerang dengan senjataku sendiri, ya? Cerewet!
Pergi! Bawa kekasihmu ini pergi sebelum aku membikin bolong-bolong yang
bagus di kepalanya!”
“Terima kasih, Cici, selamat tinggal,” kata
Liu Hwee yang cepat bangkit, menarik tangan Bu Sin dan setengah
menyeret pemuda itu pergi dari situ, melalui lorong gelap tanpa
mengeluarkan suara. Ada seperempat jam mereka lari dan akhirnya mereka
muncul keluar dari sebuah gua yang tertutup rapat oleh alang-alang di
sebuah hutan kecil!
Setelah melompat keluar, barulah Liu Hwee
melepaskan tangan Bu Sin dan.... ia menjatuhkan diri ke atas rumput
sambil menangis, menutupi mukanya dengan kedua tangan, terisak-isak dan
pundaknya bergoyang-goyang!
Kagetlah Bu Sin. Cepat ia berlutut di dekat Liu Hwee, “Moi-moi, ada apakah? Mengapa kau menangis?”
Dengan megap-megap gadis itu berkata di antara sedu-sedan, “Aku malu.... aku malu setengah mati....”
Perlahan Bu Sin bangkit berdiri. “Memang kurang ajar dia! Menghinamu
sesuka hatinya. Biar kuhajar dia, Moi-moi!” Cepat Bu Sin melompat
memasuki gua itu.
“Sin-koko, jangan....!” Liu Hwee kaget, berteriak dan melompat bangun.
Akan tetapi ia terlambat mencegah. Tiba-tiba terdengar suara gaduh,
tubuh Bu Sin melayang keluar dari dalam gua. Jatuh berdebuk di depan
kaki Liu Hwee bersama pedang rampasannya yang kini sudah patah menjadi
tiga potong!
“Hi-hi-hik, sedikitnya kekasihmu bernyali juga.
Selamat, Siauw-moi!” suara ini halus sekali, sekejap tecium bau harum
akan tetapi segera lenyap lagi.
“Sin-ko....” Liu Hwee berlutut
dan merangkul pundak Bu Sin yang merintih perlahan, “Cici! Kalau kau
bunuh dia, aku akan mengadu nyawa denganmu!” teriaknya nyaring, akan
tetapi tidak ada jawaban kecuali rintihan Bu Sin. Tak lama kemudian
pemuda itu membuka mata dan Liu Hwee merasa lega ketika memeriksa
ternyata pemuda itu tidak terluka berat, hanya pingsan karena terbanting
keras. Bu Sin membuka mata, melihat betapa Liu Hwee merangkulnya,
pipinya menjadi merah sekali dan cepat ia bangkit.
“Waaahhhhh.... bukan main.... aku menusuknya, pedangku malah patah-patah
dan sekali ia mendorong aku terlempar melayang keluar gua dan tidak
ingat apa-apa lagi. Sakti luar biasa dia. Siapakah dia itu Moi-moi? Kau
menyebutnya Cici....” tiba-tiba Bu Sin berhenti bicara dan mukanya
pucat. “Dia kausebut Cici.... kalau begitu.... dia itu....” Ia tidak
melanjutkan kata-katanya, akan tetapi pandang matanya bicara banyak dan
dapat dimengerti oleh Liu Hwee yang mengangguk-angguk.
“Betul. Sin-koko, dia adalah Enci Liu Sian ibu kakakmu Bu Song....”
“Dia Tok-siauw-kui (Setan Racun Cilik).... ibu tiriku....”
“Sssttttt, sudahlah. Aku pesan padamu, pertemuan ini tidak sekali-kali
boleh kauceritakan kepada siapapun juga. Ingat, sekali kau melanggar,
nyawa kita berdua sukar diselamatkan lagi. Mari kita pergi ke kota raja.
Entah apa yang terjadi di sana!”
***
Memang banyak hal
luar biasa terjadi di Kota Raja Nan-cao. Pesta yang dirayakan selama
tiga hari itu ternyata diisi dengan kejadian hebat dan seakan-akan pesta
perayaan Beng-kauw itu menjadi pusat pertentangan dan adu ilmu.
Apalagi dengan munculnya bahaya baru yang mengancam ketenangan pesta
itu, yaitu Lin Lin. Gadis ini sekarang telah berubah menjadi seorang
Puteri Kerajaan Khitan yang berpengaruh dan ditaati perintahnya oleh
orang-orang pandai. Dan menurutkan wataknya yang aneh di samping
kecerdikannya mencari alasan agar ia jangan dibawa secara paksa ke
Khitan, Lin Lin bisa menjadi seorang gadis yang akan menimbulkan geger
di Nan-cao!
Telah dituturkan di bagian depan betapa Lin Lin
dengan Pedang Besi Kuning telah berhasil menundukkan Pak-sin-tung si
kakek buntung yang lihai, sute dari Hek-giam-lo dan dara cerdik itu kini
bersama Pak-sin-tung kembali ke dalam kota raja, diiringkan dua puluh
empat orang-orang pilihan dari Khitan secara sembunyi. Hari sudah mulai
gelap ketika ia memasuki kota dan ia tidak membuang waktu lagi, terus
mengajak Pak-sin-tung mencari tempat kediaman Suma Boan. Cepat sekali
tempat ini dapat dicari atas bantuan kedua puluh empat orang yang dapat
bekerja cepat itu.
Pada saat itu, Suma Boan sedang berada di
dalam kamar pondoknya. Pondok darurat yang cukup mewah. Sebagai seorang
putera pangeran, apalagi seorang putera pangeran Kerajaan Sung, pemuda
ini mendapatkan tempat terhormat dan sebuah pondok berkamar satu untuk
dirinya sendiri. Ia masih merasa mendongkol karena siang tadi ia telah
dibikin malu oleh Gan-lopek. Awas kakek gila itu, pikirnya, berani
membikin malu kepadanya di depan tuan rumah dan para tamu. Besok
diadakan upacara sembahyang mendiang ketua Beng-kauwcu, dia akan
mencari akal untuk membalas penghinaan itu. Sampai sekarang, semua
rencananya berjalan dengan baik.
Biarpun ia seorang pemuda
bangsawan, akan tetapi tidak seperti putera-putera bangsawan lain, Suma
Boan tak pernah diikuti oleh pelayan-pelayan atau pengawal-pengawal.
Hal ini adalah karena biarpun seorang bangsawan, dia adalah seorang
pemuda ahli silat yang sering kali merantau di dunia kang-ouw, malah
boleh dibilang seorang tokoh kang-ouw yang berilmu tinggi, maka ia tidak
suka akan segala ikatan dan pelayanan orang-orang lemah. Kali ini pun
ia berada di pondok seorang diri, sama sekali tidak ada penjagaan di
sekeliling pondoknya.
Ia mempunyai banyak pembantu dan kaki
tangan, akan tetapi pada saat itu mereka semua telah pergi menjalankan
tugas masing-masing atas perintah Suma-kongcu.
“Tok-tok-tok....!”
“Siapa....?” tanya Suma Boan, terkejut dan heran karena semua anak buahnya tidak akan berani mengetuk pintu depan seperti itu.
“Suma-kongcu, aku datang mau bicara penting!” terdengar suara halus seorang wanita.
Suma-kongcu adalah seorang pemuda mata keranjang dan dalam keadaan
biasa suara panggilan seorang wanita yang demikian merdu dan halus tentu
akan mendebarkan jantungnya serta menimbulkan gairahnya. Akan tetapi di
samping kelemahannya ini, ia pun seorang yang amat cerdik. Ia maklum
bahwa pada saat itu dan di tempat itu banyak terdapat musuh berkumpul di
Nan-cao, maka ia selalu siap waspada dan curiga.
“Siapa di
luar? Aku tidak bisa menemui orang yang tidak kukenal,” jawabnya dan
diam-diam ia telah menyiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Suma-kongcu, aku.... Lin Lin, aku datang membawa pesan enciku Sian
Eng!” Dari encinya, Lin Lin mendengar bahwa Suma-kongcu dapat mencarikan
kakaknya, Kam Bu Song, maka sengaja sekarang Lin Lin menggunakan nama
encinya itu yang ia duga mempunyai hubungan yang lebih baik dengan
kongcu ini daripada dia.
Benar saja dugaan Lin Lin, mendengar
disebutnya nama Sian Eng, hilang keraguan Suma Boan, apalagi ia sekarang
mengenal suara Lin Lin gadis galak itu. Biarpun yang sudah-sudah gadis
ini memusuhinya, namun ia tidak takut kalau hanya menghadapi gadis
cantik itu. Wah, mungkin nasib baik menghampiriku, ada nona manis yang
hendak mengusir kesunyianku malam ini, pikirnya sambil tersenyunn, lalu
membuka pintu. Benar saja, gadis jelita itu berdiri di depan pondok,
biarpun keadaan remang-remang Suma Boan masih dapat mengenal Lin Lin.
Akan tetapi di belakang gadis itu tampak seorang kakek yang berdiri di
atas sepasang tongkat, seorang kakek yang buntung kedua belah kakinya!
Ia tidak mengenal kakek ini, akan tetapi kehadirannya mendatangkan rasa
kecewa.
“Silakan masuk, Nona,” katanya, menahan rasa kecewanya.
Lin Lin tersenyum dan menoleh kepada Pak-sin-tung. “Mari kita masuk, tuan rumah mengundang kita.”
“Maaf, Nona.” kata Suma Boan cepat. “Aku tidak mengenal kakek itu. Siapakah dia?”
“Dia? Dia pengawalku,” jawab Lin Lin bangga.
“Ah, aku hanya mengundang Nona, bukan dia. Eh, aku.... ngeri melihat kakinya. Silakan kau masuk, Nona.”
Lin Lin sudah timbul marahnya, akan tetapi ia menindas perasaannya dan
melangkah masuk. Setelah duduk Lin Lin melihat betapa kongcu itu
memandangnya dengan mata berminyak. Cepat-cepat ia berkata,
“Suma-kongcu, kedatanganku ini untuk bertanya kepadamu, di mana adanya
Kakak Kam Bu Song seperti yang kaujanjikan kepada Enci Sian Eng?”
Dengan pandang mata yang penuh gairah dan kagum kepada wajah jelita dan
tubuh padat ramping itu, Suma Boan tersenyum-senyum lalu bertanya,
“Siapa yang mengutusmu ke sini?”
“Enci Sian Eng.”
Suma
Boan mempermainkan matanya, melirik ke kanan kiri dengan menjual mahal!
Ia cukup maklum betapa Sian Eng jatuh hati kepadanya, biarpun gadis itu
tetap mempertahankan diri dan tidak sudi melayani kehendaknya yang tidak
patut. “Kalau dia ingin bertanya, kenapa tidak datang sendiri? Suruh ia
datahg sendiri ke sini baru aku mau bicara.”
“Dia tidak mau datang, dia menyuruh aku mewakilinya.” kata Lin Lin, menahan hatinya yang makin marah.
Senyum Suma Boan melebar, matanya berkedip-kedip penuh arti. “Betulkah
begitu? Ahai, adik manis, kau betul-betul mau mewakilinya? Kalau dia
datang, aku minta dia bermalam di sini semalam baru besok kuberi tahu
tentang Kam Bu Song, apakah kau mau mewakili encimu tidur di sini
semalam bersamaku....?”
Suma Boan cepat melompat ke belakang
ketika meja yang berdiri di antara dia dan Lin Lin tiba-tiba melayang ke
arahnya karena ditendang oleh Lin Lin. Gadis ini tidak dapat menahan
kemarahannya lagi dan pedangnya sudah berada di tangan, kedua pipinya
merah, matanya bersinar-sinar.
“Wahai, jangan marah, Nona manis.
Bukan aku yang menyuruh kau datang ke sini, melainkan atas kehendakmu
sendiri, bukan?” Akan tetapi kembali Suma Boan harus cepat mengelak
karena kini sinar emas dari pedang di tangan Lin Lin sudah menerjangnya
dengan hebat.
“Agaknya harus kurobek-robek kulit tubuhmu dengan
pedang, baru kau mau bicara baik-baik!” bentak Lin Lin dan terus
melanjutkan serangannya. Namun biarpun Lin Lin berpedang mustika dan
mainkan ilmu pedang yang didasari gerak dan tenaga sakti
Khong-in-ban-kin, namun tingkat ilmu kepandaian Suma Boan masih lebih
tinggi dari padanya, juga latihan pemuda bangsawan ini lebih masak.
Biarpun ia bertangan kosong, namun pukulan-pukulan balasan Suma Boan
mendatangkan angin pukulan yang kuat, membuat Lin Lin beberapa kali
berputar-putar untuk menghindarinya.
Pada saat itu tampak sinar
hitam yang panjang berkelebat menerjang ke arah leher Suma Boan, disusul
sinar hitam mengurung pinggangnya. Pemuda ini kaget sekali, cepat ia
menggunakan lengan baju menangkis. “Plak-plak!” Ia terhuyung dan ujung
lengan bajunya pecah-pecah! Ketika ia melompat ke belakang sambil
berjungkir balik, kiranya yang menerjangnya adalah kakek yang buntung
kedua kakinya tadi. Gentarlah hati Suma Boan. Ia tidak mengenal kakek
ini dan tadi ia memandang rendah mendengar kakek ini pengawal Lin Lin.
Kiranya kakek buntung ini memiliki ilmu yang dahsyat!
Pedang di
tangan Lin Lin tidak memberi ampun, mendesaknya hebat. Suma Boan
mencari kesempatan untuk melompat keluar dari pondok dan memanggil
teman-temannya, akan tetapi agaknya kakek buntung itu selain lihai
ilmunya, juga amat cerdik. Sepasang tongkat pengganti kaki itu kiranya
dimainkan seperti sepasang toya yang menghalangi jalan keluar. Ketika
pedang bersinar emas itu menusuk dadanya, Suma Boan cepat miringkan
tubuh dan bermaksud merampas pedang, akan tetapi tiba-tiba pundaknya
kena dihantam tongkat si buntung. Keras sekali pukulan ini sehingga
kulit daging pundaknya pecah dan mengeluarkan darah. Suma Boan
terhuyung-huyung, masih berhasil mengelak daripada sambaran pedang Lin
Lin, akan tetapi totokan ujung tongkat membuatnya roboh, tak dapat
menggerakkan kaki tangan lagi.
Lin Lin segera menodongkan
pedangnya ke depan dada Suma Boan. “Hayo lekas mengaku di mana adanya
Kakak Bu Song, kalau kau mau hidup!”
Suma Boan tersenyum
mengejek. Keringat membasahi dahinya, darah di pundaknya membasahi
bajunya, akan tetapi ia tidak kelihatan gentar. “Nona manis, mati di
tanganmu amatlah menyenangkan. Biar kau membunuhku, aku Suma Boan
bukanlah manusia yang tunduk akan ancaman maut. Aku hanya mau bicara
dalam keadaan yang lebih baik dan manis, atau kalau encimu sendiri
datang ke sini.”
Bukan main gemasnya hati Lin Lin. Ia memang
benci kepada laki-laki ini, apalagi bicaranya begitu kurang ajar. “Kalau
begitu kau mampus saja....”
“Tok-tok-tok....!” Lin Lin kaget dan cepat melangkah mundur, memberi tanda supaya Pak-sin-tung siap.
Suma Boan tersenyum lebar. Lucu benar keadaannya, siapa pula tamu yang
datang kali ini? “Siapa di luar?” tanyanya tanpa niat minta tolong,
karena maklum bahwa orang datang mengetuk pintu seperti itu pasti bukan
teman atau anak buahnya.
“Aku....! Suma-kongcu, keluarlah aku mau bicara....!”
Berubah wajah Lin Lin. Itulah suara Sian Eng, encinya! Cepat ia memberi
tanda kepada Pak-sin-tung dan kakek buntung ini segera mengikuti Lin
Lin, menyelinap ke bagian belakang rumah, bersembunyi.
“Ha, kebetulan sekali, Eng-moi. Kau masuklah, aku.... aku tak dapat bergerak....”
Hening sejenak di luar. Kemudian terdengar daun pintu dibuka dari luar.
Sian Eng muncul, kelihatan ragu-ragu, curiga, juga cemas. Ketika
pandang matanya melayang ke arah Suma Boan yang menggeletak terlentang
di atas lantai, bajunya mandi darah, ia berseru kaget. Sejenak ia
ragu-ragu, kemudian ia lari dan berlutut dekat Suma Boan.
“Suma.... Koko! Kau kenapakah? Kau terluka.... parah....?”
Suma Boan tersenyum dan napasnya makin terengah-engah disengaja,
mulutnya merintih-rintih menahan sakit. “Aku diserang penjahat, Eng-moi,
tolong kau bebaskan totokan pada jalan darah thian-hu-hiat....”
Sian Eng membungkuk, lalu membuka jalan darah itu dengan totokan dan
tekanan. Akhirnya Suma Boan dapat bergerak, bangkit duduk dan mengeluh
lagi, mengaduh-aduh sambil memegangi pundak kirinya yang terluka.
“Bagaimana? Sakit sekalikah? Biar kuperiksa, harus segera dibalut....”
kata Sian Eng yang timbul kasih dan ibanya menyaksikan orang yang
dikasihinya itu menderita luka.
Dengan bantuan Sian Eng, Suma
Boan berdiri dan jalan terhuyung-huyung ke arah bangku. Matanya
mencari-cari dan mulutnya tersenyum ketika mendapat kenyataan bahwa Lin
Lin dan kakek buntung sudah tidak berada di situ lagi. Dengan sikap
manja ia merintih-rintih, membuat hati Sian Eng makin tak tega. Gadis
ini lalu mencuci luka dan membalutnya.
“Penjahat siapakah yang melukaimu, Koko? Dan kenapa?”
“Tidak tahu, aku tidak mengenalnya. Kebetulan kau datang, Eng-moi. Kau
baik sekali, tapi.... tapi kenapa malam hari dahulu itu kau lari dariku?
Kenapa, Eng-moi? Apakah kau tidak dapat memaafkan kesalahanku? Aku
menyesal Eng-moi, dan aku siap mohon maaf kepadamu....” Setelah berkata
demikian, Suma Boan menjatuhkan diri berlutut di depan gadis itu! Sian
Fng terisak menangis, mengangkat bangun Suma Boan. “Sudahlah, aku datang
ini sebetulnya hendak bertanya kepadamu di mana aku bisa bertemu dengan
Kakak Kam Bu Song. Kau bilang dia pasti berada di sini. Ketika tadi aku
melihatmu, aku menjadi bingung dan ingin sekali aku menemuimu untuk
menanyakan hal ini....”
Suma Boan mengerutkan keningnya. “Eng-moi, apakah kau pernah menyuruh adikmu Lin Lin menanyakan hal ini kepadaku?”
Sian Eng menggeleng kepala. “Tidak pernah. Malah aku sendiri tidak tahu
ke mana perginya anak itu, sampai sekarang aku tidak melihat dia. Aku
khawatir sekali, adikku itu biarpun anak perempuan akan tetapi suka
berandalan dan terlalu berani!”
Suma Boan mengangguk-angguk.
“Aku percaya.... dia.... dia gadis yang aneh dan gagah. Eng-moi, terus
terang saja, Kam Bu Song adalah bekas sahabatku, dan kekasih adik
perempuanku seperti pernah kuceritakan kepadamu. Akan tetapi
semenjak.... semenjak ia menghilang, aku tidak pernah bertemu dengan dia
lagi. Aku hanya mempunyai dugaan keras bahwa dia tentu berada di
Nan-cao, karena aku mendengar bahwa dia masih mempunyai hubungan dengan
Beng-kauw. Kalau saja kau mau bertanya kepada orang Beng-kauw, kiraku
akan dapat membuka rahasianya.”
Sian Eng mengangguk. “Aku pun
pikir begitu. Aku pun mengerti bahwa ibu tiriku, ibu kandung Kakak Bu
Song adalah Tok-siauw-kwi Liu Sian, puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan ketua Beng-kauw yang diperingati hari kematiannya sekarang....”
“Apa....?” Suma Boan melompat kaget dari tempat duduknya. “Kalau
begitu.... dia.... dia.... Suling Emas! Sudah kuduga, ada persamaan....
tapi Suling Emas jarang memperlihatkan diri lama-lama dan.... dan Bu
Song seorang lemah sebaliknya Suling Emas demikian sakti....!”
Sian Eng menjadi pucat mukanya. Ia pun berdiri dan melongo. “Suling
Emas....? Kakakku.... Kam Bu Song.... Suling Emas....?” bibirnya
menyerukan kata-kata ini berkali-kali seakan-akan ia tidak mau percaya,
akan tetapi sekarang terbayanglah semua peristiwa ketika Suling Emas
menolongnya, terulang kembali gema kata-kata pendekar itu dan maklumlah
bahwa dia adalah adik tirinya! Pantas saja Suling Emas selalu menolong
adik-adiknya secara diam-diam. Namun ia masih belum percaya benar.
“Suma-koko, bagaimana kau menduga bahwa Kakak Bu Song adalah Suling Emas?”
Suma Boan dengan gerakan halus dan sopan memegang tangan Sian Eng,
ditariknya ke dekat meja. “Mari kita duduk, adikku dan kita bicara
baik-baik. Aku tidak ragu-ragu lagi sekarang. Pasti Suling Emas itulah
penjelmaan dari Bu Song. Hanya beberapa kali aku melihat Suling Emas,
itu pun hanya sekelebatan saja, akan tetapi bentuk tubuhnya dan
wajahnya, sudah kuduga. Akan tetapi mana aku bisa percaya? Bu Song
seorang pelajar yang lemah, sama sekali tidak tahu ilmu silat, sedangkan
Suling Emas....! Akan tetapi setelah mendengar darimu bahwa kakakmu Bu
Song itu putera dari puteri mendiang Pat-jiu Sin-ong, keraguanku lenyap
karena cucu tunggal dari mendiang Pat-jiu Sin-ong adalah.... Suling
Emas! Kalau begitu, tidak bisa lain, Bu Song adalah Suling Emas
sendiri!”
“Wah.... dan kami telah menyangka sebagai pembunuh ayah bundaku!”
“Memang dia orang aneh, bisa melakukan apa saja. Sudahlah, Eng-moi, mari kita bicara tentang diri kita....”
Sian Eng mengangkat muka, memandang tajam penuh selidik. “Bicara
tentang diri kita? Apa yang hendak kau bicarakan?” Kedua pipinya
mendadak berubah merah.
Suma Boan memegang tangannya,
karena caranya sopan dan halus, Sian Eng tidak menarik lepas, hanya
menundukkan muka dengan jantung berdebar.
“Moi-moi, kita saling
mencinta.... tapi aku.... aku yang canggung ini takut kalau-kalau kau
marah lagi. Moi-moi, apakah yang harus kulakukan untuk menyatakan cinta
kasihku, dan bagaimana kau dapat selalu berada di sampingku?”
Tubuh Sian Eng panas dingin, tangannya gemetar, lalu perlahan ia
berkata, “Aku adalah seorang gadis terhormat, tentu saja aku hanya
menghendaki penghormatan selayaknya. Aku tidak mau dipermainkan, dan....
dan kalau memang kau suka kepadaku, Koko, kuharap kau suka dengan resmi
meminangku. Karena ayah bundaku sudah meninggal, maka kau bisa utusan
meminangku kepada bibi guruku Kui Lan Nikouw di Kwan-im-bio yang berada
di lereng puncak Cin-ling-san.” Suara Sian Eng makin lirih, agaknya ia
bicara dengan malu-malu.
Di luar pondok makin gelap, dan dari
luar hanya bisik-bisik saja yang terdengar, bisik-bisik mesra sepasang
orang muda yang sedang diayun gelombang asmara.
***
“Tuanku puteri, mengapa kita harus lari? Gadis yang masuk itu seorang
biasa saja, tak usah kita takut, kalau perlu dia boleh hamba robohkan
sekali!” Pak-sin-tung memprotes ketika Lin Lin mengajaknya lari pergi
meninggalkan pondok Suma Boan setelah ia mendengar munculnya Sian Eng.
Akan tetapi ia menggelengkan kepala terus lari sehingga terpaksa kakek
buntung itu mengikutinya sambil bersungut-sungut. Akhirnya Lin Lin
berhenti di tempat sunyi dan kembali Pak-sin-tung memprotes.
“Tuanku puteri, belum pernah hamba Pak-sin-tung melarikan diri seperti
ini! Gadis itu tidak lebih pandai daripada Suma-kongcu, ia hanya seorang
di antara banyak kekasih kongcu hidung belang itu takut apa?”
“Diam kau!” Lin Lin membentak, betul-betul marah karena hatinya sudah
mengkal menyaksikan peristiwa yang tidak ia duga-duga, yaitu bahwa
cicinya itu ternyata bermain cinta dengan Suma Boan, hal yang
benar-benar tak tersangka dan mendatangkan perasaan mendongkol. Ucapan
kakek buntung itu menambah kemarahannya. “Aku bukannya takut kepada
gadis itu, aku.... aku.... hanya mengubah niatku. Sekarang kita mencari
Suling Emas!”
Pak-sin-tung kini kelihatan ragu-ragu. “Tuan Puteri.... hal ini.... hamba rasa kita membutuhkan bantuan Suheng Hek-giam-lo....”
Diam-diam Lin Lin tertawa di dalam hatinya melihat kakek buntung yang
lihai ini ketakutan. Memang ia sengaja hendak mencari Suling Emas, tentu
saja bukan untuk menawannya, melainkan untuk mencegah orang-orang
Khitan ini memaksanya ke Khitan. Kalau sudah bertemu dengan Suling
Emas, ia akan minta tolong pendekar itu membantunya melawan orang-orang
Khitan yang berani memaksanya pergi! Akan tetapi pada lahirnya ia
pura-pura marah dan membanting kaki.
“Pak-sin-tung! Belum
apa-apa kau sudah dua kali membantah kehendakku! Kelak di Khitan kalau
kulaporkan kebandelanmu ini kepada Paman Kubukan, hemmm.... ingin
kulihat ke mana kau hendak menyembunyikan kepalamu!”
Wajah kakek buntung itu menjadi pucat. “Maaf, Tuan Puteri.... bukan maksud hamba membangkang....”
“Cukup! Kau takut kepada Suling Emas, ya? Huh, jago macam apa ini! Jago
Khitan tidak takut terhadap siapa pun juga. Kalau kau takut, aku tidak
takut! Hayo, kau mau bantu atau tidak?”
“Baiklah, Tuan Puteri,
baiklah....!” Si buntung kaki ini mengeluarkan bunyi melengking di
kerongkongannya dan dari tempat gelap bermunculan dua puluh empat orang
pembantunya. Ia memberi tugas dalam bahasa Khitan yang tidak dimengerti
Lin Lin. Beberapa menit kemudian dua puluh empat orang itu lenyap lagi
seperti bayangan-bayangan setan di dalam gelap.
“Hamba telah siap,” kata Si buntung.
“Mari kita mencarinya. Kulihat tadi dia duduk dekat ketua Beng-kauw,
agaknya ada hubungan baik sekali, maka malam ini kiranya dia pun akan
ikut berjaga di ruangan sembahyang untuk persiapan upacara besok pagi.
Mari kita mencari ke sana.”
Ruangan sembahyang itu amat lebar
dan berada di ujung kiri yang sunyi dan jauh dari tempat pemondokan para
tamu. Anehnya, di tengah-tengah ruangan itu terdapat sebuah peti mati
yang besar dan panjang. Apakah jenazah Pat-jiu Sin-ong maSih berada di
dalam peti mati itu? Memang betul demikianlah. Menurut kehendak Pat-jiu
Sin-ong sendiri ketika mau mati, ia minta agar supaya jenazahnya
dimasukkan di dalam peti mati yang berlapis baja di sebelah dalam dan
yang rapat sekali, kemudian petinya supaya dimasukkan ke dalam kamar
samadhinya. Sebelum sepuluh tahun petinya tidak boleh dikubur!
Permintaan yang amat aneh, akan tetapi karena Pat-jiu Sin-ong sewaktu
hidupnya memang amat aneh lagi sakti, tidak ada yang berani membantah
permintaannya. Demikianlah, tiap setahun sekali peti mati yang besar dan
berat itu diangkat ke ruangan sembahyang untuk disembahyangi dan kali
ini, tiga tahun kemudian bertepatan dengan hari ulang tahun Beng-kauw,
peti mati itu disembahyangi secara besar-besaran.
Ketika
mengintai dari jauh dan melihat betapa di ruangan itu duduk banyak tokoh
pandai, di antaranya ketua Beng-kauw sendiri dan Suling Emas,
Pak-sin-tung menjadi pucat dan jelas sekali ia kelihatan gelisah. “Dia
di sana, akan tetapi harap Paduka sabar dan menunggu kesempatan. Terlalu
banyak orang lihai di ruangan itu.”
Lin Lin merengut. “Ah,
kalau tahu kau tidak becus seperti ini, tentu aku lebih suka mengajak
Hek-giam-lo.... eh, tongkatnya masih ada. Celaka, Hek-giam-lo
rupa-rupanya juga belum berhasil. Benar-benar memalukan sekali
jagoan-jagoan Khitan! Pak-sin-tung, kautunggu saja di sini, biar aku
menyelundup ke dalam melalui bangunan belakang. Kaulihat dan biar
mereka melihat bahwa puteri Khitan lebih berani daripada jago-jago
Khitan! Kalau kalian yang memalukan nama besar Khitan, akulah yang akan
mengangkatnya!”
“Tuan Puteri.... ini berbahaya....!”
Pak-sin-tung hendak mencegah akan tetapi Lin Lin sudah mencabut Pedang
Besi Kuning dan mengacungkannya ke atas.
Terpaksa Pak-sin-tung
melangkah mundur dengan sikap menghormat, dan ketika ia mengangkat muka
memandang, gadis itu sudah menyelinap di antara bangunan di belakang
ruangan sembahyang, lalu lenyap di sebuah bagian yang kecil.
“Celaka.... dia memasuki bagian terlarang.... kabarnya di situ tersimpan
peti-peti mati keluarga kaisar dan ketua Beng-kauw, juga pusaka-pusaka
Beng-kauw....!” Pak-sin-tung berdiri dengan muka pucat, bingung tidak
tahu apa yang harus ia lakukan. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai
ke arah ruang sembahyang, ke arah Suling Emas dengan tekad di hati kalau
muncul puteri junjungannya itu, apa pun yang terjadi, ia akan
membantunya sampai titik darah penghabisan!
Dengan hati tabah
Lin Lin menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu yang tak berdaun pintu,
lagi amat gelap. Ia tidak melihat betapa di kanan kiri pintu itu
terdapat tempat hio yang terisi hio (dupa) masih mengebulkan asap, dan
tidak melihat pula betapa di atas lantai di ambang pintu dan di atas
pintu itu terdapat tulisan-tulisan yang melarang siapa pun juga
memasuki pintu ini dengan ancaman hukuman mati! Sebetulnya, tentu saja
bukan sekali-kali maksud hati Lin Lin untuk mengacau dan menangkap
Suling Emas, walaupun di lubuk hatinya ada pula keinginan ini, yaitu
untuk melihat Suling Emas menjadi tawanannya dan dia sebagai Puteri
Khitan. Namun sekarang hal itu ia jadikan siasat untuk membebaskan diri
daripada pengawasan Pak-sin-tung dan ia tahu, menghadapi orang-orang
sakti dari Khitan, hanya Suling Emas yang akan mampu menolongnya. Maka
begitu melihat bahwa Suling Emas duduk di antara orang-orang sakti di
ruangan sembahyang ia berlaku nekat, pura-pura hendak menyerbu dan
menyelinap masuk ke pintu kecil yang gelap itu.
Kita tinggalkan
dulu Lin Lin yang memasuki tempat terlarang tanpa ia sadari dan kita
meninjau ke tempat para tamu karena di sana pun terjadi hal-hal yang
amat hebat. Peristiwa yang menggemparkan terjadi di tempat kediaman
para utusan Kerajaan Hou-han. Mereka ini adalah tokoh-tokoh Kerajaan
Hou-han, terdiri dari tiga orang panglima perang bernama Lu Bin, Giam
Siong, dan Gak Houw. Seperti kita ketahui, secara tidak resmi, Siang-mou
Sin-ni juga mengawal barang sumbangan Kerajaan Hou-han yang berupa
sebuah kendaraan emas! Resminya, ketiga panglima ini berikut belasan
orang anak buahnya yang mengawal, akan tetapi sebetulnya Siang-mou
Sin-ni yang bertanggung jawab dan yang diandalkan oleh tiga orang
panglima ini. Tentu saja tiga orang panglima ini pun bukan orang-orang
sembarangan. Ilmu kepandaian mereka tinggi dan mereka merupakan
orang-orang pilihan di Hou-han.
Malam hari itu, tiga orang
panglima yang menjadi utusan Hou-han itu sedang menghadapi meja, menjamu
makan pada orang lain yang mukanya seperti monyet, dahinya lebar dan
sikapnya gagah serta lincah. Rombongan Hou-han mendapatkan tempat
tersendiri, sebuah bangunan yang cukup besar karena mereka terdiri dari
belasan orang. Tentu saja Siang-mou Sin-ni berada di tempat terpisah,
tempat “terhormat”.
“Sam-wi (Tuan Bertiga) boleh rundingkan hal
ini dengan Sin-ni,” terdengar suara si muka monyet itu berkata sambil
minum araknya. “Jalan satu-satunya untuk menggerakkan hati para tokoh
Nan-cao hanya dengan cara itulah. Kalau diminta bersekutu secara
baik-baik, takkan mungkin berhasil. Siauwte (aku yang muda) tahu betapa
keras hati Beng-kauwcu, tidak goyah oleh sodoran emas permata maupun
kedudukan mulia. Satu-satunya jalan hanya membakar kayu basah agar
menjadi kering dan dapat termakan api.” Kalimat terakhir ini berarti
membakar hati seseorang yang sukar ditundukkan agar orang itu menjadi
marah dan mengubah pendiriannya yang kukuh.
“Akan tetapi
menurut Sin-ni, Raja Nan-cao lebih mudah dibawa berunding,” bantah Gak
Houw yang paling muda diantara tiga panglima itu. “Rasanya tidak enak
kalau kita harus mengambil jalan fitnah. Kami orang-orang dari Hou-han
tidak biasa melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya.”
“Ucapan
Gak-enghiong memang patut diperhatikan,” jawab si muka monyet, “akan
tetapi hendaknya maklum bahwa siauwte berdua dengan suheng menerima
anjuran ini sendiri dari Sri Baginda di Nan-cao. Harap Sam-wi ketahui
bahwa biarpun Sri Baginda yang menjadi raja di sini, namun kekuasaan
mutlak berada di tangan Beng-kauwcu dan ketahuilah bahwa watak
Beng-kauwcu amat keras dan percaya akan kekuatan sendiri, tidak suka
bersekutu dengan kerajaan manapun, tidak berniat memusuhi kerajaan mana
juga, akan tetapi juga tidak takut menghadapi musuh dari mana pun.”
Gak Houw mengangguk-angguk dan Lu Bin mengelus jenggotnya yang pendek
sambil berkata. “Saudara Su Ban Ki betul, biarlah hal ini akan kami
sampaikan kepada Sin-ni. Agar jelas usul saudara saya ulangi, yaitu kita
harus membakar hati Beng-kauwcu dengan melakukan pengrusakan kepada
kendaraan emas sumbangan kami, kemudian mencuri bagian penting
kendaraan itu yang harus dapat kita selundupkan ke dalam pondok
penginapan orang-orang Sung. Akan tetapi, apakah hal ini dapat
dilakukan dengan mudah?”
“Sukar bagi orang luar, akan tetapi
tidak bagi kami,” jawab si muka monyet yang bernama Su Ban Ki. “Suhengku
Ciu Kang sekarang pun sedang bertugas menjaga barang-barang sumbangan,
mudah saja baginya untuk....”
Tiba-tiba terdengar suara
“braaakkkk!” genteng di atas rumah itu pecah-pecah dan dari atas
menerobos turun sebuah benda hitam besar. Mereka berempat kaget sekali,
apalagi setelah menyaksikan betapa jebolnya genteng itu disusul
meluncurnya benda hitam yang ternyata adalah sebuah peti mati! Tepat
sekali peti mati ini jatuh ke atas meja, di bagian tengahnya terikat
tambang yang panjang, membuktikan bahwa peti mati ini diturunkan orang
dari atas genteng.
“Keparat, siapa berani main gila?” Cepat
sekali Lu Bin, Giam Siong, dan Gak Houw tiga orang jagoan Hou-han itu
mencabut pedang sambil melompat keluar, terus melayang ke atas genteng.
Akan tetapi sunyi di atas genteng, tidak tampak bayangan seorang pun
manusia. Para anak buah rombongan pengawal dari Hou-han juga sudah
berserabutan keluar dan belasan orang ini mencari-cari di sekitar tempat
penginapan mereka, namun sia-sia hasilnya, tidak ada seorang pun
manusia yang tampak kecuali kawan-kawan mereka sendiri.
Ketiga
orang jago Hou-han ini kembali ke dalam ruangan dan mereka melihat Su
Ban Ki berdiri dengan muka pucat di dekat meja sambil memandang peti
mati itu dengan mata terbelalak. Ketika tiga orang itu masuk, Su Ban Ki
memandang mereka, menudingkan telunjuknya ke arah peti mati, mulutnya
komat-kamit akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
Tiga
orang jago Hou-han itu adalah orang-orang gagah sejati. Tentu saja
mereka merasa muak juga menyaksikan sikap dan wajah ketakutan ini
sehingga pandangan mereka terhadap Su Ban Ki berubah. Heran mereka
mengapa Raja Nan-cao menaruh kepercayaan kepada orang yang jiwanya
pengecut seperti ini.
“Saudara Su Ban Ki, tenanglah dan ceritakan kepada kami, apa artinya semua ini?” tanya Lu Bin, suaranya keren.
Su Ban Ki membasahi bibir dengan lidah, mencoba menelan ludah yang
kering. “Ini.... ini.... peti mati.... istana.... entah apa artinya....”
Ia tergagap.
Gak Houw maju ke depan, membuka tambang yang
mengikat peti lalu menggunakan kedua lengannya yang kuat membuka tutup
peti. “Kerrriittt!” Tutup itu berbunyi dan tampaklah isinya. Sesosok
tubuh seorang laki-laki sudah menjadi mayat.
“Suheng....!” Su
Ban Ki berseru kaget, tubuhnya menggigil, “Celaka.... suheng dibunuh....
tentu rahasia bocor atau.... ah, ini alamat buruk. Selamat tinggal, aku
harus segera pergi, lari keluar kota....” Ia menyambar jenazah itu,
mengeluarkannya dari dalam peti lalu memanggul jenazah dan lari dengan
cepat sekali. Akan tetapi segera terdengar suara jeritannya di luar
rumah dan terdengar orang jatuh.
Tiga orang jagoan Hou-han cepat
melompat keluar dan di dalam gelap mereka masih sempat melihat Su Ban
Ki roboh terlentang tak bergerak di dekat mayat suhengnya dan yang
membuat tiga orang ini melongo adalah ketika mereka melihat sebuah peti
mati bergerak-gerak pergi, kadang-kadang bergulingan, kadang-kadang
berloncatan. Saking kaget dan ngeri hati, mereka tidak mengejar. Akan
tetapi Lu Bin cepat meloncat ke dalam rumah dan melihat bahwa peti mati
yang tadi masih menggeletak di atas meja, terbuka dan kosong. Dengan
demikian, berarti bahwa peti mati di luar yang “hidup” itu adalah peti
mati lain, walaupun bentuk dan modelnya sama, yaitu di bagian kepala
terdapat ukir-ukiran kepala siluman seperti naga atau harimau.
Ia cepat melompat keluar lagi. “Kejar....!” serunya sambil lari cepat
diikuti kedua orang sutenya. Akan tetapi dalam sekejap mata saja peti
mati “hidup” itu sudah lenyap! Dengan penuh keheranan dan penasaran,
tiga orang jago Hou-han ini kembali dan alangkah kaget dan herannya hati
mereka ketika mereka tiba di depan pondok, mereka tidak melihat lagi
mayat Su Ban Ki dan suhengnya.
Ketika mereka memasuki rumah,
anak buah mereka masih berdiri saling pandang dengan muka pucat,
memandang peti mati yang masih terbuka kosong di atas meja!
“Hemmm, apa artinya ini semua?” Gak Houw berseru marah. “Orang sakti
mempermainkan kita. Sayang tidak ada Sin-ni, kalau ada jangan harap dia
dapat bermain gila seperti ini!”
Lu Bin mengelus jenggotnya.
“BetapaPun juga, dia masih merasa sungkan dan tidak mengganggu kita.
Siapa lagi yang dapat mengirim mayat dalam peti mati istana kalau bukan
orang sini juga? Su Ban Ki dan suhengnya telah dihukum, mungkin dianggap
sebagai pengkhianat, lenyapnya mayat mereka menjadi bukti bahwa
pembunuhnya tentulah orang Beng-kauw sendiri yang tidak mau melihat anak
buah mereka menggeletak di luar. Juga agaknya mereka itu hendak
memperingatkan kita.” Memang Lu Bin seorang yang berpemandangan luas
dan sudah berpengalaman dalam dunia kang-ouw yang serba aneh.
“Habis, bagaimana baiknya?” kata Giam Song. “Apakah kita harus melaporkan hal ini kepada Sin-ni?”
“Tidak perlu,” kata Lu Bin. “Kita tidak mempunyai maksud buruk, tugas
kita hanya untuk menghubungi Nan-cao dan untuk mengadakan persekutuan
guna memperkuat pertahanan bersama. Soal-soal yang busuk tadi datangnya
dari fihak Nan-cao sendiri sebagai usul, bukan hasil pemikiran kita. Dan
inilah sebabnya kita tidak diganggu. Hebat benar orang sakti itu, dan
sudah sepatutnya kita mengucap syukur bahwa kita tidak mempunyai
maksud-maksud kotor. Peti mati itu pun harus kita kembalikan.”
“Kembalikan? Ke mana?” Gak Houw berseru kaget.
Lu Bin tertawa. “Datangnya dari atas genteng, tentu saja harus kita
kembalikan ke atas genteng pula!” Sambil berkata demikian, ia
menghampiri meja, mengempit peti mati itu dengan lengan kiri, membawanya
keluar kemudian sekali menggerakkan tangan, peti mati itu melayang naik
ke atas genteng, jatuh di atas genteng tanpa membikin pecah genteng dan
terletak di situ seperti diletakkan perlahan-lahan oleh tangan yang
amat hati-hati. Ini membuktikan betapa lwee-kang dari orang she Lu ini
sudah cukup kuat. Lu Bin lalu mengajak teman temannya masuk ke dalam
pondok dan memesan anak buahnya agar supaya iangan lengah, biarpun
berada di dalam kamar masing-masing agar supaya malam itu jangan tidur,
melainkan berjaga-jaga.
Tidak hanya di tempat penginapan
orang-orang Hou-han yang terjadi peristiwa aneh. Juga di tempat lain
terjadi keributan. Pada keesokan harinya, di ruangan tempat kediaman
para utusan Kerajaan Sung, juga terjadi hal yang bikin geger. Pada waktu
itu, rombongan utusan Kerajaan Sung Utara sedang sarapan. Di kepala
meja duduklah ketua rombongan, yaitu wakil Kerajaan Sung, seorang
panglima tua bernama Ouwyang Swan yang pada saat itu mengenakan pakaian
biasa. Ia semeja dengan tiga orang panglima lain yang lebih muda. Tentu
saja dalam percakapan mereka bicara tentang peristiwa dalam perjamuan
kemarin, dan membicarakan Gan-lopek dan Suma Boan. Mereka tertawa-tawa
geli. Sebagian besar panglima yang setia kepada Kerajaan Sung, tidak
senang belaka kepada Suma Boan, putera dari Pangeran Suma yang korup.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar dan ketika mereka menengok,
dengan heran mereka melihat seorang kakek tua yang telanjang bulat
memegangi sehelai kain berlari-lari ke arah mereka sambil
berteriak-teriak.
“Waduhhh.... walaaahhh.... ular.... hiiiii.... ular, ular....!”
Sambil berteriak-teriak dengan mata terbelalak ketakutan, kakek itu
berlari memasuki ruangan dan terus saja meloncat ke atas meja di depan
Panglima Ouwyang Swan, kakinya yang juga telanjang itu menginjak-injak
hidangan dan menendang cawan-cawan arak sehingga hidangan dan minuman
itu hancur berhamburan dan tumpah semua. Ia terus berloncat-loncatan
dari meja ke meja dan menghancurkan semua hidangan.
Tentu saja
para panglima dan rombongan Sung menjadi kaget, heran, dan juga marah
sekali. Apalagi ketika mereka melihat seorang kakek lain yang muncul
dengan seekor ular besar membelit-belit tubuhnya, kakek yang bukin lain
adalah Tok-sim Lo-tong, seorang di antara keenam Thian-te Liok-koai,
kakek yang hanya bercawat saja dan tubuhnya tinggi kurus kering seperti
tiang lampu! Melihat munculnya iblis ini, barulah panglima Ouwyang Swan
teringat dan kini ia memandang kepada kakek pendek telanjang bulat yang
masih menari-nari di atas meja-meja, menginjak-injak semua hidangan
sambil berteriak “ular-ular!”. Kini ia mengenal kakek telanjang itu,
bukan lain adalah Gan-lopek si kakek badut yang sakti dan yang sejak
pagi tadi menjadi bahan percakapan mereka.
Kagetlah hati
Ouwyang Swan. Pagi-pagi muncul dua orang sakti dalam keadaan begitu
aneh, benar-benar hal yang luar biasa sekali. Para anak buahnya banyak
yang marah sekali, akan tetepi sebagai anak buah yang taat, mereka belum
berani bergerak sebelum mendapat komando dari Ouwyang Swan sendiri.
“Tikus busuk she Gan, jangan lari, hayo ke sini lawan aku!” suara kecil
dan berbunyi ngik-ngik seperti orang sakit napas itu menantang.
“Memang aku tikus, paling takut melihat ular!” Empek Gan menggigil.
“Tapi engkau bocah cacingan kurang ajar! Engkau cacing busuk. Kalau
mengajak berkelahi, pakailah aturan. Masa orang lagi enak-enak mandi kau
ganggu dan takut-takuti dengan ular? Aku paling jijik melihat ular yang
kotor!”
Orang-orang yang tadinya sarapan kini sudah berdiri
semua, ada yang menahan ketawa, ada yang memandang tegang. Peristiwa itu
tampaknya saja lucu, melihat seorang kakek yang disohorkan sakti
terbirit-birit ketakutan melihat ular sampai lari bertelanjang, akan
tetapi sebetulnya amatlah menengangkan karena kakek sakti ini kini
berhadapan dengan seorang di antara Enam Iblis.
“Orang she Gan,
mari.... mari.... kita main-main sejenak....!” kembali Tok-sim Lo-tong
menantang sambil berdiri dengan kaki terpentang lebar di luar pondok.
Akan tetapi Empek Gan tidak mempedulikan dia lagi. Entah dari mana
dapatnya, tahu-tahu kakek ini sudah mengeluarkan puluhan butir obat
bundar sebesar kelingking. Kain yang tadi dibawanya sudah ia libatkan
menutupi tubuhnya, dan sambil tertawa lebar ia berkata.
“Kalian ini jagoan-jagoan dari Kerajaan Sung mengapa begini goblok?”
Ouwyang Swan mengerutkan alisnya. Dia seorang panglima tua yang namanya
sudah terkenal, ilmu kepandaiannya tinggi dan kedudukannya tinggi pula
di Kota Raja Sung. Biarpun ia maklum akan kesaktian Gan-lopek, namun ia
merasa bahwa orang sakti ini keterlaluan, sama sekali tidak memandang
mata kepadanya.
“Gan-locianpwe, kami mengerti bahwa kau adalah
seorang yang sakti dan kami adalah orang-orang bodoh saja, akan tetapi
tidak ada alasan bagimu untuk memaki-maki karena di antara kita tidak
ada....”
“Aduhhh....!” Dua orang anak buahnya terguling dan
merintih-rintih, mukanya pucat dan mereka memegangi perut yang terasa
amat sakit.
Ouwyang Swan kaget sekali, mengira bahwa kakek sakti
itu turun tangan jahat, akan tetapi tiba-tiba tiga orang temannya yang
menjadi pembantu-pembantunya juga mengerang kesakitan dan
menekan-nekan perut.
Empek Gan tertawa bergelak. “Salahkah
kalau aku bilang kalian goblok? Begitu gobloknya sehingga tai busuk
dimakannya! Sekarang setelah keracunan, masih berlagak lagi! Nih,
telanlah seorang satu sebelum nyawa melayang. Kalau masih ada yang
rakus, mau makan sisa makanan yang sudah kuinjak-injak, silakan dan aku
tidak bisa menolong lagi!” Setelah melempar puluhan butir obat itu ke
atas meja, ia berlari-lari keluar.
“Eh, kau masih di sini?
Tok-sim Lo-tong, bocah baik, jangan menakut-nakuti orang tua dengan
ular, ya? Lebih baik kau main tari-tarian ular biar nanti kuberi
hadiah!”
“Hadiah kepalamu!” Tok-sim Lo-tong menerjang maju, ular
itu telah ia pegang perutnya dan kini binatang ini ia pergunakan
sebagai senjata, menyambar ke arah kepala Gan-lopek.
“Hiiiii....
jijik aku....!” Dengan amat mudahnya Gan-lopek mengelak, kelihatannya
tidak mengelak hanya menggerakkan pantat megal-megol, tapi
serangan-serangan Tok-sim Lo-tong mengenai tempat kosong melulu! Ketika
iblis itu marah dan mendesak, Gan-lopek sudah lari pergi sambil
berteriak-teriak ketakutan. Tok-sim Lo-tong juga lari mengejar.
Adapun Ouwyang Swan cepat membagi-bagi obat. Dia lebih dulu menelan
obat itu karena tiba-tiba perutnya juga terasa panas dan sakit. Ajaib.
Begitu ditelan, rasa panas dan sakit lenyap seketika. Anak buahnya juga
mengalami hal serupa.
“Hemmm, ada yang menaruh racun pada
makanan kita....!” Ouwyang Swan berkata marah. “Heran sekali, apakah
pemerintah Nan-cao mau berlaku serendah ini, meracuni tamu-tamunya yang
datang memberi selamat dan mengantarkan sumbangan sebagai tanda
persahabatan?”
“Tuan rumah memperlihatkan sikap bermusuhan, tak
perlu kita tinggal lebih lama di sini, Ouwyang-twako!” kata panglima
lainnya, Tan Hun, yang menjadi pembantunya.
“Memang, hendak
kulaporkan hal ini kepada Beng-kauwcu sendiri sambil berpamit.” Cepat
Ouwyang Swan memasuki kamar hendak berganti pakaian dinas, akan tetapi
pada saat itu terdengar pekik kesakitan di sebelah belakang rumah.
Mereka cepat berlari-lari ke belakang dan melihat dua orang berpakaian
pelayan menggeletak tak bernyawa lagi dan di situ berdiri seorang
laki-laki tua yang bersikap gagah, berpakaian sederhana, kepalanya
tertutup topi lebar, tangannya memegang senjata pecut. Kauw Bian Cinjin,
sute dari Beng-kauw yang bertugas menyambut tamu!
“Maaf, Cu-wi
enghiong dari Kerajaan Sung tentu mengalami banyak kaget karena
gara-gara pengkhianat dua orang pelayan ini. Syukur ada Gan-lopek yang
datang lebih dulu menyampaikan obat penawar. Lohu (aku yang tua) atas
nama Beng-kauw menghaturkan maaf atas keteledoran ini.” Ia menjura
dengan hormat kepada Ouwyang Swan.
Panglima tua ini cepat balas
menghormat. “Kiranya ada pengkhianatan, akan tetapi sebetulnya apakah
yang terjadi? Siapakah yang menaruh racun dalam makanan untuk kami
Cinjin?”
Kakek Beng-kauw itu tersenyum sabar dan menggeleng
kepala. “Banyak terjadi hal aneh, Ciangkun (Panglima), yang agaknya
ditujukan untuk mengotori nama Beng-kauw. Kami sedang melakukan
penyelidikan, karena itu hal ini masih menjadi rahasia. Akan tetapi
percayalah, semua ketidakwajaran yang terjadi, pasti bukan dari kami
datangnya dan kalau ada anak buah kami yang terbawa-bawa, kami tidak
ragu-ragu untuk memberi hukuman seperti yang kulakukan kepada dua orang
pelayan ini. Nah, selamat pagi dan sekali lagi maaf!” Setelah berkata
demikian, Kauw Bian Cinjin membunyikan cambuknya satu kali “tar!” maka
muncullah dua orang anak buah Beng-kauw yang segera mengangkat dua
jenazah itu dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata. Kauw Bian Cinjin
menjura kepada para tamu dan berjalan pergi.
Ouwyang Seng dan
anak buahnya saling pandang, lalu kembali ke ruangan, tiada hentinya
membicarakan hal yang aneh itu. Tak lama kemudian dua orang pelayan baru
datang untuk membersihkan tempat itu dan menggantinya dengan makanan
baru. Panglima Sung itu dan teman-temannya lalu melanjutkan makan pagi
untuk kemudian bersiap-siap pergi ke tempat sembahyangan guna memberi
hormat kepada arwah mendiang ketua Beng-kauwcu yang tersohor, yaitu
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
***
Kita kembali mengikuti Lin
Lin. Malam hari itu ia dan Pak-sin-tung, dikawal pula oleh dua puluh
empat orang Khitan yang berkepandaian tinggi secara sembunyi, telah
mendatangi ruangan sembahyang. Melihat Suling Emas berada di ruangan
itu, bersama tokoh-tokoh Beng-kauw sibuk mengatur ruangan sembahyangan
di mana terdapat sebuah peti mati yang besar dan panjang, melihat pula
betapa Beng-kauwcu masih memegang tongkatnya yang berhiaskan ya-beng-cu
permata yang mengeluarkan sinar itu, Lin Lin kecewa sekali. Ia dapat
menduga bahwa Hek-giam-lo tentu belum berhasil merampas tongkat itu.
Selain kecewa juga ia melihat kesempatan terbuka baginya untuk
membebaskan diri dari Pak-sin-tung karena Suling Emas berada di situ,
maka dengan nekad ia menyelinap masuk melalui pintu belakang ruangan
sembahyang itu yang merupakan sebuah bangunan besar, megah dan serem.
Pak-sin-tung kaget sekali karena kakek ini sudah mendengar bahwa
bangunan ruangan sembahyang ini adalah bagian terlarang yang tidak boleh
sekali-kali dimasuki orang, apalagi orang luar, bahkan para anggauta
Beng-kauw sendiri ia dengar tidak berani memasukinya. Sekarang, Lin Lin
masuk melalui pintu kecil!
Tadinya ia hanya bersembunyi sambil
mengintai, menanti munculnya gadis itu dan ia siap membantu dengan
taruhan nyawa. Akan tetapi karena sampai lama gadis itu tidak muncul,
kegelisahannya memuncak. Ia lalu bergerak dengan hati-hati, meninggalkan
tempat sembunyinya dan dengan beberapa kali loncatan yang tidak
mengeluarkan suara, ia telah berada di depan pintu kecil. Alangkah
kagetnya ketika ia membaca tanda-tanda larangan bahkan ancaman hukuman
bagi orang yang berani memasuki pintu itu.
Betapapun gagahnya
Pak-sin-tung, ia cukup maklum akan keangkeran Beng-kauw, maka ia mundur
lagi, tidak berani masuk. Dengan hati gelisah, kembali ia bersembunyi
dan mengintai ke arah ruangan yang masih sibuk.
Lin Lin
memasuki lorong yang amat gelap dan hawanya dingin sekali. Ia berjalan
terus, meraba-raba dengan kedua kakinya, berlaku hati-hati. Ia mulai
merasa serem ketika lorong yang panjang itu terus berada dalam kegelapan
dan dinginnya makin menyusup tulang, seakan-akan ia berada di dalam
lorong yang ditutup es. Mulailah ia ragu-ragu dan takut, siap untuk
memutar tubuh dan kembali. Akan tetapi ia teringat bahwa di belakangnya,
Pak-sin-tung dan dua puluh empat orang Khitan siap untuk memaksanya ke
Khitan! Ingat akan ini, ia mengeraskan hati dan melangkah maju terus.
Tiba-tiba ia tersentak kaget. Ada suara bercicit aneh di dalam gelap,
suara yang mula-mula terdengar di atas, kemudian terdengar di sebelah
bawah. Ia berhenti, bulu tengkuknya meremang, mendengarkan dengan penuh
perhatian. Suara itu makin mendekat, terdengar di bawah kakinya. Dengan
mengeraskan hatinya yang kebat-kebit ia melangkah lagi, kakinya agak
menggigil. Tiba-tiba kakinya menginjak sesuatu dan terdengar suara,
“Cuittttt!” keras.
Lin Lin meloncat ke atas, semangatnya serasa
melayang meninggalkan tubuhnya ketika ia tahu bahwa suara itu suara
tikus-tikus dan bahwa ia tadi kena injak tikus. Hampir ia pingsan.
Celaka baginya karena diantara segala benda dan mahluk di dunia ini,
hanya tikuslah yang paling ia takuti. Setan ia tidak takut, iblis akan
dilawannya, harimau akan diterjangnya, akan tetapi tikus! Menggigil ia
dibuatnya. Saking jijik dan takutnya, Lin Lin memutar tubuh
dan setengah berlari kembali. Akan tetapi anehnya sampai lama ia tidak
juga sampai di pintu kecil tadi. Ia telah salah jalan, tidak tahu
bahwa lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan. Lin Lin telah
tersesat ke dalam liku-liku jalan di bawah tanah.
Kegelisahan
tercampur rasa ngeri dan takut akan tikus-tikus yang agaknya banyak
terdapat di jalan terowongan gelap itu agak berkurang ketika Lin Lin
tiba-tiba dapat melihat cahaya remang-remang di sebelah depan! Ia
berlari terus, hatinya lega. Tak salah lagi, pikirnya, tentu di depan
itu terdapat jalan keluar. Benar saja, lorong itu makin lama makin lebar
dan cahaya menjadi makin terang.
Tiba-tiba terdengar suara
mendesis dari sebelah kanan dan sebuah bayangan panjang kecil
menyambarnya. Lin Lin cepat mencabut pedangnya dan sinar kuning
berkelebat ketika pedangnya membacok ke arah bayangan ini.
“Crakkk!” Lin Lin berdiri dengan mata terbelalak ketika melihat benda
hitam itu kiranya adalah seekor ular hitam! Agaknya ular ini tadi kaget
melihat kedatangannya dan menyerang. Kini tubuh ular itu menjadi dua
potong dan bagian ekornya melilit-lilit tubuh sendiri. Lin Lin menyimpan
kembali pedangnya dan melangkah maju dengan hati-hati.
Setelah
berjalan maju sejauh tiga puluh meter, ia berhenti. Di depannya adalah
sebuah ruangan besar dan cahaya yang sebagian menerangi lorong tadi
ternyata adalah cahaya matahari yang masuk melalui sebuah jendela yang
lebar, berjeruji baja dan tingginya dari lantai kurang lebih dua meter.
Tiba-tiba mata gadis itu terbelalak dan wajahnya berubah agak pucat
ketika pandang matanya meluncur ke bawah dan bertemu dengan tumpukan
peti-peti mati yang jumlahnya ada tujuh buah, peti-peti mati itu
bentuknya biasa, akan tetapi di bagian kepalanya terukir muka binatang
yang menyeramkan, seperti muka iblis. Kemudian Lin Lin dapat menenangkan
hatinya. Mengapa harus takut, pikirnya. Peti-peti mati kosong itu
tentulah persediaan bagi keluarga kaisar atau para pimpinan Beng-kauw.
Tadi ia kaget karena melihat bentuk dan model peti-peti yang berjajar
dan bertumpuk itu sama benar dengan peti mati yang berada di ruanyan
sembahyang. “Ah, benda mati, hanya terbuat daripada kayu dan kosong,
takut apa?” dengan suara hati menenangkan ini Lin Lin melangkah maju,
sengaja tidak mau memperhatikan peti-peti mati itu, lalu sibuk mencari
jalan keluar. Ia bingung dan heran. Ruangan ini tidak berpintu! Akan
tetapi dari balik ruji jendela itu ia melihat atap sebuah rumah.
Agaknya ruangan ini merupakan tempat terakhir dari jalan terowongan, dan
melihat peti-peti mati itu, agaknya memang dijadikan semacam tempat
penyimpanan peti mati, semacam gudang. Akan tetapi, kalau memang
demikian, mengapa tidak ada pintunya yang menembus ke bangunan lain?
Apakah untuk memasuki ruangan ini orang harus melalui jalan terowongan
yang berliku-liku, banyak cabang dan rahasianya dan selain jauh, juga
demikian gelapnya? Tak masuk akal!
Ia melangkah maju dan menghampiri dinding, meraba-raba. Mungkin ada pintu rahasia.
“Kriiittttt....!”
Lin Lin menengok, bulu tengkuknya berdiri. Jelas ia mendengar suara
itu, seperti sebuah pintu karatan dibuka, atau.... sebuah tutup peti!
Akan tetapi tumpukan peti-peti mati itu tidak bergerak. Tiba-tiba Lin
Lin meloncat dan hampir ia menjerit. Seekor tikus besar lari ke luar
dari bawah peti mati sambil mencicit lari melalui bawah kakinya.
Dengan hati berdebar-debar Lin Lin menenangkan hatinya sendiri. Hanya
seekor tikus! Ia menggerakkan kedua pundak seperti orang kedinginan
karena timbul rasa jijik dan gelinya. Akan tetapi segera wajahnya
berubah. Biasanya, tikus takut melihat manusia dan tentu akan
bersembunyi. Mengapa tikus yang sudah sembunyi di bawah tumpukan peti
mati itu malah keluar dari tempat sembunyinya dan melarikan diri lewat
dekat kakinya? Hanya satu hal yang memungkinkan kejadian ini. Tikus
juga takut akan sesuatu. Takut sesuatu di dalam peti mati. Dan suara
berkerit tadi!
“Ah, tidak ada setan di siang hari!” pikir Lin
Lin menabahkan hati, kemudian dengan penuh kegemasan ia melangkah maju
mendekati tumpukan peti mati.
Ia tersenyum. “Nah, tidak ada
apa-apa, peti mati kayu yang kosong. Apa sih yang harus ditakuti?”
katanya perlahan sambil menepuk-nepuk peti mati yang paling atas.
Setelah kengeriannya lenyap dan keberaniannya timbul kembali, gadis ini
sengaja hendak memeriksa terus. Tangan kanannya memegang gelang baja
yang dipasang di atas tutup peti mati yang paling atas, lalu mengerahkan
tenaga membukanya untuk menyatakan bahwa peti mati itu memang kosong.
Peti mati itu terbuka tutupnya, mengeluarkan suara seperti tadi,
berkerit karena engselnya berkarat. Sedikit demi sedikit tutup itu
terbuka, karena amat berat sehingga Lin Lin harus mengerahkan tenaga. Ia
tersenyum sambil memandang ke dalam peti mati dan.... Lin Lin
melepaskan gelang baja dan terhuyung mundur, terus mundur sampai
punggungnya menyentuh dinding dingin, matanya terbelalak lebar, wajahnya
pucat, tubuhnya menggigil dan mulutnya bergerak-gerak tanpa dapat
mengeluarkan suara. Apa yang dilihatnya? Sesosok mayat di dalam peti,
muka mayat yang pucat kurus dan lebih hebat lagi.... tangan mayat yang
hanya tulang terbungkus kulit itu bergerak menyangga tutup peti mati!
Mayat itu bergerak dan hidup!
Dapat dibayangkan betapa kaget,
ngeri dan takutnya hati Lin Lin melihat peti mati itu bergoyang-goyang,
tutupnya setengah terbuka sehingga tampak kepala mayat, kemudian peti
mati itu meloncat turun dari tumpukan, muka mayat yang mengerikan
menjenguk keluar dan lengan kirinya keluar pula dari bawah tutup.
Lin Lin menggerakkan tangan kanan meraih gagang pedang, akan tetapi
pada saat itu terdengar lengking tinggi mengerikan, seperti suara
suling, keluar dari mulut itu. Tiba-tiba Lin Lin menggigil kaki
tangannya, tak dapat lagi mencabut pedang. Suara itu selain mengandung
pengaruh melumpuhkan, juga mengingatkan ia akan sesuatu.
“Kau.... kau....” Suaranya tenggelam dalam lengkingan yang panjang dan
nyaring, kemudian gadis ini menjadi lemas dan terguling, pingsan!
Kekagetan mengingat bahwa ia berhadapan dengan pembunuh ayah ibu
angkatnya, yaitu setan peti mati dengan suara seperti suling, ditambah
kengeriannya tak dapat tertahankan oleh Lin Lin.
***
Suara lengking itu berhenti, peti mati yang tadinya berada di tumpukan
paling atas, kini sudah berada di bawah, tidak bergerak-gerak lagi. Akan
tetapi tutup peti mati terbuka makin lebar oleh lengan yang kurus dan
dengan gerakan perlahan mengerikan, “setan” itu keluar dari dalam peti
mati. Ia seorang laki-laki tinggi, kurus sekali seperti tengkorak
terbungkus kulit, kepalanya gundul, matanya tak pernah berkedip,
hidungnya besar dan panjang melengkung ke bawah, mulutnya seperti orang
menangis, tubuh yang kurus itu terbungkus pakaian yang robek di
sana-sini, sepatunya juga sudah butut. Muka yang pucat dan tak
bergerak-gerak itu memang tak pantas menjadi muka manusia hidup, lebih
patut menjadi muka mayat. Akan tetapi kenyataan bahwa ia dapat bergerak,
menandakan bahwa ia masih hidup. Inilah kiranya yang disebut mayat
hidup!
Mayat hidup itu berjalan perlahan menghampiri Lin Lin,
terbungkuk berdiri memandang ke arah muka gadis itu, mulutnya
mengeluarkan suara “ah-ah-uh-uh” seperti orang setengah tertawa setengah
menangis, kemudian ia membungkuk dan dengan sebelah tangan saja ia
mengangkat tubuh Lin Lin dengan ringannya, menghampiri peti mati yang
bertumpuk, membuka tutup peti mati teratas lalu.... memasukkan tubuh Lin
Lin ke dalam peti mati itu dan menutupnya kembali! Setelah melakikan
hal ini, ia kembali mengeluarkan suara seperti tadi dan kini bibirnya
bergerak seperti orang tersenyum iblis, kemudian ia melompat masuk ke
dalam peti matinya yang dapat bergerak-gerak meloncat ke atas tumpukan
peti mati. Dalam sekejap mata, peti-peti mati itu sudah bertumpuk
seperti tadi dan keadaan di dalam ruangan itu sunyi tak terdengar
apa-apa lagi.
***
Di ruangan sembahyang telah mulai
ramai dengan para tamu yang berdatangan untuk memberi penghormatan.
Mereka itu, seperti juga Lin Lin, terkejut dan heran melihat adanya peti
mati besar yang berada di tengah ruangan, di belakang meja sembahyang.
Bukankah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ketua pertama dan pendiri Beng-kauw
itu telah meninggal dunia seribu hari yang lalu? Bagaimana sekarang peti
matinya masih berada di sini? Apakah selama tiga tahun ini peti matinya
tidak dikubur? Pertanyaan-pertanyaan ini terkandung di hati setiap
orang pengunjung, akan tetapi mereka tidak berani bertanya dan dengan
penuh hormat mereka memasang hio dan memberi hormat ke arah peti mati
yang membujur di tengah ruangan. Asap hio makin banyak dan tebal
mengebul memenuhi ruangan, membawa bau harum.
Di sebelah kanan
peti mati berdiri ketua Beng-kauw sendiri, yang menerima penghormatan
dan membalas dengan sikap hormat kepada setiap orang tamu yang
bersembahyang. Di sebelah kiri peti mati berdiri Liu Hwee dan di
belakangnya berjajar para pembantu pimpinan Beng-kauw. Mereka ini pun
membalas penghormatan para tamu. Yang berdatangan adalah tamu-tamu
terhormat, wakil-wakil dari kerajaan lain. Tokoh-tokoh kang-ouw belum
ada yang tampak. Hari masih terlampau pagi agaknya. Akan tetapi Suling
Emas sudah kelihatan duduk di ujung kursi kehormatan. Di sebelahnya
duduk Bu Sin yang bercakap-cakap dengannya sambil tersenyum-senyum dan
wajahnya berseri-seri.
“Sungguh, Song-koko (Kakak Song), kau
telah mempermainkan kami adik-adikmu bertiga secara hebat! Setengah mati
kami mencarimu, sampai mengalami hal-hal yang sengsara dan berbahaya.
Mengapa kau tidak mengaku terus terang bahwa pendekar besar Suling Emas
adalah kakak kami Kam Bu Song?”
Suling Emas menahan senyumnya
sehingga mukanya tampak berduka, lalu ia menggeleng-gelengkan kepala dan
berkata. “Bu Sin, aku sudah hampir lupa akan orang yang bernama seperti
itu. Bagiku, aku adalah Suling Emas....”
Bu Sin mengeluarkan
sebuah gelang emas, “Twako (Kakak Tertua), biarpun kau sudah melupakan
kami, sebaliknya kami tidak melupakanmu. Ayah kita selalu ingat
kepadamu, berusaha susah payah mencarimu, bahkan di hari terakhir beliau
meninggalkan pesan agar kami bertiga mencarimu dan memberikan benda ini
kepadamu. Twako apakah kau berani bilang bahwa kau melupakan benda
ini?” Ia menyerahkan gelang emas itu kepada Suling Emas.
Melihat
benda ini, Suling Emas berubah mukanya, menerima dan mengamat-amatinya.
Ia membaca dua buah huruf yang berbunyi BU SONG terukir pada gelang
emas kecil itu, ia meramkan matanya untuk beberapa detik lamanya,
agaknya untuk membayangkan ketika ia masih kanak-kanak, membayangkan
ayah bundanya, ketika ia membuka kembali matanya, Bu Sin melihat betapa
bola matanya itu agak membasah, dan ia menjadi terharu. Suling Emas
mempermainkan gelang itu dengan kedua tangannya, seakan-akan heran
bagaimana benda sekecil itu dahulu dapat menghias lengan tangannya.
“Bu Sin....” katanya kemudian, perlahan sekali setengah berbisik, “kau
keliru kalau kau menyangka aku melupakan semua. Tidak, aku tidak pernah
melupakan Ayah, biarpun harus kuakui bahwa aku juga tidak dapat lupa
betapa Ayah berpisah dari Ibu, dan menikah lagi. Juga.... aku girang
sekali bertemu dengan kalian bertiga, tapi.... Bu Sin, kupesan kepadamu,
jangan membuka rahasia bahwa aku adalah kakak kalian, belum lagi tiba
saatnya. Kelak mungkin....”
Pada saat itu, Stding Emas tiba-tiba
menghentikan kata-katanya dan matanya memandang keluar ruangan. Bu Sin
juga cepat memandang dan ia melihat dengan mata terbelalak ke arah
mahluk yang kini menghampiri meja sembahyang, menjura dan suaranya
terdengar parau dan bergema seakan-akan suara yang datang dari balik
kubur.
“Pat-jiu Sin-ong, tiga tahun mati, petimu masih belum
dikubur, benar-benar membikin aku merasa kagum.” Ia lalu melangkah maju
menghampiri peti mati, mengamat-amati dengan mata terbelalaknya.
Menyeramkan sekali iblis ini bagi Bu Sin yang baru kali ini
menyaksikannya, seorang manusia tapi mukanya adalah muka tengkorak,
pakaiannya serba hitam. Kalau ia bukan tengkorak hidup, tentulah seorang
manusia yang memakai kedok tengkoran yang menyeramkan.
“Hek-giam-lo, terima kasih atas penghormatan terhadap kami,” kata
Beng-kauwcu Liu Mo. “Kau datang mewakili Kerajaan Khitan ataukah atas
nama pribadimu sendiri?”
“Khitan tidak ada urusan maupun
permusuhan dengan Nan-cao, Hek-giam-lo juga tidak ada permusuhan dengan
Beng-kauw, apalagi bedanya? Sepuluh tahun yang lalu, dalam pertandingan
yang cukup adil, aku dikalahkan Pat-jiu Sin-ong, sayang dia sudah mati
tiga tahun yang lalu. Akan tetapi karena peti matinya masih berada di
sini, apa salahnya aku melihat sejenak wajah dari bekas sahabatku?”
Memang sepuluh tahun yang lalu, Hek-giam-lo pernah dikalahkan dalam adu
kesaktian oleh mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
Beng-kauwcu
Liu Mo tentu saja cukup tahu akan wataknya yang seperti iblis, dan aneh
sekali. Akan tetapi mendengar bahwa iblis ini hendak membuka peti mati
kakaknya, ia terkejut dan marah sekali. Dengan gerak-geriknya yang
tenang, ia menggerakkan kakinya mendekat, siap mencegah dengan cara
apa pun juga agar iblis hitam tidak melakukan perbuatan yang lancang
ini.
“Hek-giam-lo, mengingat akan hubungan di antara kita, harap
kau suka lepaskan tanganmu dari peti mati dan jangan mengganggunya.”
Akan tetapi secara tiba-tiba sekali Hek-giam-lo membalikkan tubuh
dan.... kedua tangannya memukul dengan gerakan hebat sekali,
mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah pusar dan dada Beng-kauwcu
Liu Mo! Pukulan ini selain dahsyat dan sakti, juga dilakukan tiba-tiba
di luar dugaan, karena seluruh perhatian ketua Beng-kauw itu tadinya
ditujukan ke arah peti mati yang hendak dijaganya daripada gangguan
Hek-giam-lo. Siapa duga, bukan peti mati yang diserang melainkan
dirinya.
Kalau saja bukan Beng-kauwcu Liu Mo yang menghadapi
serangan kilat yang mematikan ini, tentu akan kalah dia yang diserang
Hek-giam-lo. Para tamu dan para pimpinan Beng-kauw sudah mengeluarkan
seruan tertahan saking kaget dan gelisahnya. Akan tetapi, biarpun dalam
keadaan berbahaya sekali, Beng-kauwcu Liu Mo tetap tenang dan tidak
kehilangan kewaspadaannya. Ia mengangkat kedua tangan, secepatnya
digerakkan menangkis pukulan sambil membanting tubuh ke belakang.
Kiranya pukulan Hek-giam-lo itu hanya gertakan belaka karena tahu-tahu
iblis hitam ini sudah menubruk dari samping dan sekali renggut,
tongkat di tangan Beng-kauwcu itu telah dirampasnya. Ia melompat keluar
dari ruangan itu sambil tertawa bergelak.
“Manusia curang....!”
Suling Emas berseru marah, akan tetapi karena tidak ada perintah dari
tuan rumah, ia hanya bangkit berdiri dari tempat duduknya dan memandang
marah.
“Hek-giam-lo, kembalikan tongkat kami!” Dengan gerakan
ringan Beng-kauwcu Liu Mo melayang keluar mengejar, akan tetapi
tiba-tiba dari samping kiri menyambar sebatang tongkat dengan tenaga
dahsyat pula. Beng-kauwcu Liu Mo yang sudah siap segera mengelak dan ia
berhadapan dengan seorang kakek yang buntung kedua kakinya. Kakek ini
bukan lain adalah Pak-sin-tung, adik seperguruan Hek-giam-lo.
“Kauwcu, tidak perlu mengejar dia,” kata kakek buntung ini. “Ketahuliah,
tongkatmu itu hanya dipinjam, terpaksa dirampas untuk memenuhi
permintaan Tuan Puteri kerajaan kami yang ingin meminjamnya sebentar!”
Pada saat itu Suling Emas sudah berada di belakang Beng-kauwcu Liu Mo,
juga anak buah Beng-kauw sudah ikut mengejar. Para tamu yang tertarik
akan peristiwa hebat itu pun tidak mau ketinggalan, ikut pula mengejar
hendak menonton. Mereka kini seakan-akan telah pindah dari ruangan
sembahyang ke ruangan depan, lalu otomatis membentuk lingkaran lebar dan
mengurung Pak-sin-tung yang ditemani oleh enam orang anak buahnya yang
muncul dari tempat-tempat sembunyi mereka. Seperti kita ketahui,
Pak-sin-tung yang mengantar Lin Lin tidak berani mengikuti gadis itu
yang memasuki pintu kecil yang menembus terowongan, lalu menanti dan
mengintai di situ sampai keesokan harinya. Demikian pula para anak buah
yang dua puluh empat orang itu, diam-diam bersiap di tempat
persembunyian masing-masing sehingga melihat Pak-sin-tung kini mewakili
Hek-giam-lo menghadapi ketua Beng-kauw, enam orang di antara mereka
muncul mengawaninya.
“Siapa kau?” Beng-kauwcu Liu Mo menegur,
memandang tajam kepada kakek yang berdiri di atas sepasang tongkat dan
enam orang laki-laki di belakang kakek ini yang tampak gagah
bersemangat. Memang, Pak-sin-tung tidaklah sepopuler Hek-giam-lo,
karena kalau Hek-giam-lo suka merantau dan membuat geger dunia kang-ouw,
adalah Pak-sin-tung berdiam di Khitan sebagai pengawal kaisar di
Khitan, jarang sekali keluar dari Khitan. Karena inilah maka Beng-kauwcu
Liu Mo tidak mengenalnya.
Pak-sin-tung menjura. “Kauwcu, saya
yang rendah disebut orang Pak-sin-tung. Hek-giam-lo adalah suhengku,
karena itulah terpaksa saya berlaku kurang ajar mencegahmu mengejar
suheng.”
Merah muka ketua Beng-kauw itu. Ia memang tidak bisa
bicara. Terhadap Hek-gim-lo, ia masih mau turun tangan. Akan tetapi
terhadap seorang yang kurang terkenal seperti Pak-sin-tung ini,
betapapun lihai Pak-sin-tung ia merasa enggan. Ketua Beng-kauw ini
bertepuk tangan tiga kali, suara tepukan tangan ini amat nyaring seperti
diadunya dua buah piring baja sehingga diam-diam Pak-sin-tung kaget
bukan main karena tepukan tangan ini saja sudah membayangkan kehebatan
tenaga dalam ketua Beng-kauw itu. Beberapa detik kemudian, berkelebatlah
bayangan orang dan tahu-tahu Kauw Bian Cinjin sudah berada di situ,
menjura di depan Beng-kauwcu sambil berkata penuh hormat,
“Mohon maaf atas kelambatan siauwte sehingga si jahat Hek-giam-lo
mendapat kesempatan untuk berbuat kurang ajar. Harap Kauwcu sudi mundur
dan biarkan siauwte membereskan si buntung ini.”
Seperti biasa,
sikap Kauw Bian Cinjin juga tenang sekali, akan tetapi di dalam
ketenangannya, kakek berpakaian sederhana bertopi caping yang memegang
pecut ini memperlihatkan gerak-gerik yang lincah bertenaga dan sikapnya
berwibawa. Memang terkenallah di Nan-cao, apalagi di kalangan para
pimpinan Beng-kauw bahwa Kauw Bian Cinjin inilah yang menjamin lancar
dan beresnya segala sesuatu mengenai Beng-kauw. Biarpun kepandaian dan
kesaktiannya tidak melampaui suhengnya, yaitu Liu Mo sendiri, namun ia
terkenal cerdik, waspada, dan luas pandangannya. Andaikata ia tidak
sedang sibuk menyelidiki berbagai peristiwa yang mengacau di Nan-cao
pada saat itu, tentu ia berada di dekat ketuanya dan kalau tadi ia
hadir, kiranya Hek-giam-lo akan menghadapi kesukaran besar dalam
merampas tongkat. Tadi pun ia hanya dapat melakukan itu karena
melakukan penyerangan gelap lalu melarikan diri dan para pengejarnya
dihadang oleh Pak-sin-tung.
Dengan sikap angker Kauw Bian Cinjin
menghadapi Pak-sin-tung yang masih tersenyum-senyum. “Pak-sin-tung,
kami tahu bahwa kau adalah sute Hek-giam-lo dan bahwa dari Khitan kau
datang secara sembunyi. Kiranya kau dan suhengwu merencanakan perampasan
tongkat ketua kami. Pak-sin-tung, siapakah yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatan rendah ini? Pribadi kau dan
Hek-giam-lo, ataukah Kerajaan Khitan?”
Tak enak juga hati
Pak-sin-tung menghadapi sikap serius ini, apalagi nama Kerajaan Khitan
dibawa-bawa. “Terus terang saja, Kauw Bian Cinjin, kerajaan kami tidak
tahu-menahu, akan tetapi peminjaman tongkat itu adalah atas perintah
Tuan Puteri kami yang kebetulan kami jumpai di antara para tamu di sini.
Beliau yang ingin meminjam tongkat itu.”
“Wah, adikmu yang
bikin gara-gara....!” Suling Emas berbisik kepada Bu Sin yang sudah
berada di sampingnya, pemuda ini tadi pun bersama para tamu lain ikut
berlari keluar dan ia segera mengambil tempat di dekat kakaknya.
“Kautunggu di sini, biar kucari dia!” Sebelum Bu $in dapat mengerti apa
yang dimaksudken Suling Emas, pendekar aneh itu telah berkelebat dan
lenyap dari situ.
Sementara itu, Kauw Bian Cinjin menoleh dan
memandang ke arah para tamu, lalu berteriak lantang. “Kami mohon dongan
hormat kehadiran Pek-bin-ciangkun sebagai wakil dari Khitan!”
Semua orang memandang dan muncullah seorang kakek tinggi besar bermuka
putih, bersikap gagah dan berpakaian serba hijau. Ia menghadapi Kaw Bin
Cinjin, dengan sikap yang gagah seorang perwira tinggi peperangan
memberi hormat dan berkata, suaranya lantang dan agak kaku karena memang
ia seorang Khitan aseli, “Semua ucapan Pak-sin-tung benar belaka.
Urusan pagi hari ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Kerajaan
Khitan dan sepenuhnya adalah tanggung jawab Hek-giam-lo dan Pak-sin-tung
berdua.”
“Bagus, kami pun memang tidak ingin membawa-bawa fihak
yang tidak bersalah. Pek-bin-ciangkun, sebagai wakil dari Khitan kau
telah melihat sendiri bahwa sekali-kali bukan kami fihak Beng-kauw
maupun Kerajaan Nan-cao tidak menghormat tamu apalagi wakil kerajaan
lain, melainkan karena orang telah berbuat keterlaluan terpaksa kami
bertindak. Silakan Ciangkun kembali ke tempat duduk.” Setelah wakil
Khitan itu mengundurkan diri, Kauw Bian Cinjin menggerakkan pecutnya,
menghadapi Pak-sin-tung.
“Pak-sin-tung, karena jelas bahwa kau
dan orang-orangmu membantu Hek-giam-lo maka kalian bersama Hek-giam-lo
yang berani menghina ketua Beng-kauw harus dihukum. Menyerahlah, dan
kami akan mempertimbangkan dengan adil tentang hukuman. Melawan, kami
akan menggunakan kekerasaan.”
“Ha-ha-ha, Kauw Bian Cinjin,
omongan dan sikapmu benar-benar lucu sekali!” Pak-sin-tung tertawa
bergelak. “Siapa tidak tahu bahwa orang-orang seperti kita yang
menjunjung kegagahan, berbuat apa yang kita suka dan sekali berbuat
berani menanggung segala akibatnya? Suheng telah meminjam tongkat
Beng-kauwcu atas perintah Puteri junjungan kami, aku telah mencegah
kalian mengejarnya untuk membantu agar perintah itu terlaksana. Nah,
segala kejadian memang disengaja, untuk menyerah tentu saja pantang bagi
Pak-sin-tung. Terserah kau mau apa!”
Kauw Bian Cinjin agaknya
ragu-ragu karena mengingat bahwa mereka sedang melakukan sembahyang,
ragu-ragu untuk bertindak pada hari yang dianggap keramat itu. Akan
tetapi ketika menoleh ke arah ketua Beng-kauw, Beng-kauwcu Liu Mo
berkata perlahan. “Sute, kehormatan Beng-kauw dilanggar orang, di depan
peti mati mendiang twa-suheng yang mulia, kalau tidak diperlihatkan
keangkeran kita, Beng-kauw akan diperhina orang. Hukum mati dia!”
Cambuk atau pecut panjang di tangan Kau Bian Cinjin berbunyi
“tar-tar-tar” tiga kali dan kakek ini sudah melangkah maju sambil
membentak, “Pak-sin-tung, terimalah hukuman Beng-kauw!”
Pak-sin-tung tertawa bergelak dan melihat gulungan sinar hitam kecil
panjang yang mengeluarkan suara berciutan menyambar ke arahnya, cepat
ia mengangkat tongkat kirinya menangkis. Terdengar bunyi nyaring
sekali ketika dua senjata ini beradu, disusul mengebulnya asap putih.
Agaknya saking kerasnya pertemuan pecut dan tongkat, sampai
mengakibatkan panas yang hampir membakar tongkat!
Pak-sin-tung
terhuyung-huyung ke belakang, namun segera dapat membalas dengan
serangan tongkat kanan lalu disusul lagi dengan tongkat kiri. Hebat dan
aneh memang serangan Pak-sin-tung. Tongkat-tongkat itu adalah pengganti
kakinya, akan tetapi ia dapat mempergunakannya susul-menyusul sehingga
seakan-akan tubuhnya tergantung di udara tanpa kaki! Tidak saja
serangan-serangannya cepat dan aneh gerakannya, akan tetapi juga kedua
batang tongkat itu menyambar dengan hawa pukulan dahsyat sehingga terasa
oleh para penonton deretan terdepan betapa angin pukulan
menyambar-nyambar menggerakkan rambut dan baju mereka. Dari sini saja
sudah dapat dibuktikan bahwa julukan Pak-sin-tung (Tongkat Sakti dari
Utara) tidaklah kosong belaka.
Akan tetapi ternyata wakil
Beng-kauw itu pun amat hebat kepandaiannya, malah agaknya menang
setingkat dibandingkan dengan Pak-sin-tung. Kauw Bian Cinjin adalah adik
seperguruan mendiang Pat-jiu Sin-ong dan ketua Beng-kauw yang sekarang,
ilmu silatnya tinggi sekali, maka kakak seperguruannya mempercayakan
semua urusan penting kepadanya, pecut di tangan kakek ini tampaknya
memang hanya sebuah pecut biasa yang sering kali dipergunakan oleh
penggembala-penggembala kerbau menggiring ternak ke kandang. Memang di
waktu menganggur, Kauw Bian Cinjin suka menggembala kerbau-kerbaunya
yang berjumlah banyak.
Akan tetapi ia bukanlah penggembala
biasa, dan tentu saja, pecutnya juga bukan pecut biasa, melainkan sebuah
cambuk yang terbuat dari rambut monyet besar dan hanya terdapat di
Pegunungan Himalaya. Cambuknya ini tidak dapat terbabat putus oleh
senjata tajam manapun juga, dan mengandung hawa panas seperti api ketika
digerakkan untuk menyerang, sebaliknya di waktu dipergunakan untuk
menangkis, mengandung hawa lemas dingin sehingga mudah menyedot habis
tenaga serangan lawan.
Betapapun pandainya, menghadapi
Pak-sin-tung, Kauw Bian Cinjin bertemu dengan lawan tangguh yang tidak
mudah ia kalahkan begitu saja. Tongkat dan cambuk saling sambar
berganti-ganti merupakan tangan-tangan maut yang pasti akan merenggut
nyawa apabila lengah sedikit saja. Puluhan jurus telah lewat dan sedikit
demi sedikit Kauw Bian Cinjin mendesak lawannya. Gulungan sinar hitam
dari pecutnya makin melebar, membentuk lingkaran-lingkaran yang
mengurung lawan sehingga sinar tongkat dari Pak-sin-tung makin menyempit
dan kehilangan ruang gerak.
“Ciuuuuuttt!” Tiba-tiba cambuk itu
berubah menjadi sebuah lingkaran besar, memutar-mutar mengitari dua
pasang tongkat. Baiknya Pak-sin-tung segera cepat dapat merenggut lepas
tongkat kirinya karena kalau sampai kedua tongkat yang menggantikan
kedua kaki itu terlibat pecut, tentu ia akan roboh karena tidak berkaki
lagi! Akan tetapi tongkat kanannya telah terlibat pecut sedemikian
eratnya sehingga tidak akan mungkin terlepas lagi.
Pak-sin-tung
mengeluarkan bentakan keras sekali sambil menggerakkan tongkat
kanannya. Ia telah mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya untuk
merenggut lepas tongkatnya dan.... bukan tongkatnya yang terlepas
melainkan tubuh Kam Bian Cinjin yang terlempar ke atas berikut pecut dan
tongkat itu! Tongkatnya tidak terlepas dari libatan pecut, melainkan
terlepas dari pegangannya. Kiranya ketika ia mengerahkan tenaga yang
amat kuat untuk merenggut tongkat ke atas, Kauw Bin Cinjin mempergunakan
kepandaiannya melompat ke atas dan tenaga renggutan lawannya ia tambahi
dengan tenaganya sendiri untuk merampas tongkat. Kemudian, selagi
Pak-sin-tung kaget dan terkesiap, dari atas udara Kauw Sian Cinjin
menggerakkan tangan kanannya. Tongkat yang tadinya terlibat pecut, kini
meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya, tak dapat dicegah
oleh apa pun juga!
Pak-sin-tung yang hanya berdiri di atas
sebatang tongkat, tidak mampu menangkis atau mengelak lagi, tidak
keburu, maka terdengar suara mengerikan ketika tongkatnya sendiri
menerobos dadanya sehingga tembus. Tubuhnya terjengkang ke belakang,
akan tetapi tidak terus rebah melainkan tertahan oleh tongkat yang
menembus dadanya, sehingga tubuh itu seakan-akan bersandar, ia mati
seketika, tubuhnya bagian depan tiada tanda darah sama sekali, akan
tetapi dari punggungnya mengcur darah di sepanjang tongkat yang menahan
tubuhnya.
Enam orang Khitan yang melihat keadaan pemimpin mereka
seperti itu, segera maju menyerbu Kauw Bian Cinjin. Kakek ini dengan
tenangnya menggerakkan cambuknya, terdengar bunyi “tar-tar-tar....”
enam kali dan.... enam orang Khitan itu roboh tak berkutik lagi karena
nyawa mereka pun sudah menyusul Pak-sin-tung.
Hening di
sekeliling tempat itu, akan tetapi hanya untuk sesaat setelah enam orang
itu roboh. Semua mata memandang ke arah tujuh sosok mayat yang
malang-melintang di atas tanah. Kauw Bian Cinjin menghela napas panjang
sambil mengikatkan cambuknya di pinggang, membuka capingnya dan
mengebuti dada dan muka dengan caping. Rambutnya sudah dua warna,
panjang dan digelung ke atas seperti seorang tosu. Kalau tadi ia tampak
angker berwibawa dengan caping, sekarang ia tampak alim seperti seorang
pertapa.
Belasan orang telah melangkah maju. Kauw Bian Cinjin
memandang dan ternyata mereka ini adalah Pek-bin-ciangkun perwira tinggi
wakil Khitan dan para pengawalnya. Semua tamu makin tegang, mengira
bahwa wakil-wakil Khitan tentu akan menuntut balas, pertempuran akan
makin menghebat. Akan tetapi mereka keliru. Pek-bin-ciangkun menjura ke
arah Kaw Bian Cinjin dan berkata, suaranya lantang, tegas, tapi sama
sekali tidak membayangkan kemarahan.
“Cinjin, Pak-sin-tung dan
enam orang pembantunya telah melakukan kesalahan terhadap Beng-kauw dan
telah terhukum mati, akan tetapi menurut penilaian kami, mereka mati
sebagai laki-laki sejati dan karena mereka adalah orang-orang Khitan,
kami akan membawa pergi dan mengurus jenazah mereka. Ini bukan
permintaan melainkan pemberitahuan karena apa pun yang terjadi, kami
akan melakukannya juga, kalau perlu dengan taruhan nyawa. Sekarang
ijinkan kami pergi dan terima kasih atas penyambutan Kerajaan Nan-cao
dan juga Beng-kauw selama kami menjadi tamu di sini.” Ia menjura dengan
hormat.
Kauw Bian Cinjin balas menjura dan berkata, nadanya
menyesal. “Mereka memang orang-orang gagah, dan Ciangkun memang berhak
mengurus mayat mereka. Maaf akan semua peristiwa yang sesungguhnya
tidak kami kehendaki ini. Sebagai wakil Beng-kauw saya haturkan terima
kasih dan selamat jalan.”
Pek-bin-ciangkun memberi hormat ke
arah ketua Beng-kauw dan juga ke arah Kaisar Nan-cao yang semenjak tadi
duduk dan menonton penuh perhatian. Kemudian perwira Khitan ini
memimpin anak buahnya membawa pergi tujuh mayat itu pergi meninggalkan
Nan-cao.
Seperginya rombongan ini, para tamu menjadi berisik,
apalagi ketika mereka melihat munculnya pengemis mata satu It-gan
Kai-ong secara tiba-tiba. Kakek pengemis ini tahu-tahu sudah berada di
depan Kauw Bian Cinjin dan mengeluarkan suara mengejek. “Aha, Beng-kauw
telah memperlakukan para tamunya dengan baik sekali, sekalian
memperlihatkan kehebatan Beng-kauw. Agaknya Pat-jiu Sin-ong sejak
dahulu haus darah sehingga untuk menyembahyangi rohnya pun harus
mempergunakan darah tujuh orang manusia. Heh-heh-heh!”
Sirap
semua suara berisik tadi dan keadaan kembali menjadi tegang. Apalagi
ketika di belakang It-gan Kai-ong itu tampak dua orang tokoh mengerikan,
dua orang di antara Thian-te Liok-koai, yaitu Toat-beng Koai-jin si
iblis berpunuk dan Tok-sim Lo-tong yang membawa-bawa ular. Iblis kakak
beradik ini hanya berdiri sambil memandang liar dan kadang-kadang saling
pandang dan tertawa-tawa. Benar-benar mereka ini merupakan
manusia-manusia yang tidak normal dan amat menyeramkan.
Melihat
munculnya It-gan Kai-ong sudah mendatangkan rasa marah di dalam hati
Kauw Bian Cinjin, apalagi mendengar ucapannya yang mengejek dan
menghina tadi. Dengan muka merah dan suara lantang wakil ketua Beng-kauw
itu berkata, sambil memandang sekeliling.
“It-gan Kai-ong, kami
tahu bahwa kau datang ke sini dengan niat busuk yang sedianya akan kami
rahasiakan. Akan tetapi karena kau telah membuka mulut, biarlah aku
menjawabmu. Orang-orang dari Khitan, biarpun mereka melakukan kesalahan
terhadap Beng-kauw, namun harus kami akui bahwa mereka adalah
manusia-manusia jantan yang patut dihormati, kecuali Hek-giam-lo si
curang. Akan tetapi, kami sama sekali tidak dapat menghormat dan
menghargai orang macam It-gan Kai-ong dan sekutunya yang dateng dihormat
sebagai tamu akan tetapi sebaliknya melakukan usaha-usaha khianat untuk
merusak nama baik Nan-cao dan Beng-kauw. It-gan Kai-ong, apakah kau
hendak menyangkal kata-kateku?” Kauw Bian Cinjin memandang tajam,
berdiri tegak dan gagah.
It-gan Kai-ong menyeringai. Matanya
yang hanya sebuah itu melayang ke arah Kaisar Nan-cao dan ketua
Beng-kauw yang tetap duduk diam tak bergerak. Kemudian ia
menotok-notokkan tongkatnya ke atas tanah dan meludah ke kiri.
“Cuhhh, anak kecil bicara besar! Tuduhanmu membabi buta itu apa buktinya?”
Kauw Bian Cinjin memutar tubuh ke arah ketua Beng-kauw dan Kaisar
Nan-cao yang duduk bersanding. “Kauwcu, bolehkan siauwte sekalian
membuka semua rahasia agar didengar oleh para tamu yang terhormat?”
Beng-kauwcu Liu Mo bicara perlahan dengan kaisar, agaknya mereka berunding, kemudian keduanya mengangguk.
Kauw Bian Cinjin kembali menghadapi It-gan Kai-ong, lalu berkata
lantang. “Harap para tamu mendengarnya! Di antara Cu-wi (Tuan-tuan
sekalian) yang hadir sebagai tamu terhormat dan datang dengan hati
bersih, terdapat orang-orang yang datang dengan membawa niat busuk, di
antaranya It-gan Kai-ong. Ada usaha mengadu domba kita dengan Kerajaan
Sung, dengan cara mencuri sebagian barang sumbangan Kerajaan Sung dan
mengganti batu-batu pemata dengan batu-batu biasa. Ini adalah hasil
kerja orang-orang Hou-han yang dalam hal ini masih dapat kami maafkan
dan kami telah menghukum orang-orang kami sendiri yang bersekutu dengan
orang-orang Hou-han, mengingat bahwa maksud dari Hou-han hanya hendak
menarik kami menjadi sekutunya dalam memusuhi Kerajaan Sung! Akan tetapi
ada usaha yang lebih busuk lagi dalam hal memusuhi Kerajaan Sung,
yaitu ada usaha untuk meracuni semua wakil dari Kerajaan Sung!”
Semua tamu menjadi berisik. Kagetlah mereka bahwa diam-diam telah
terjadi hal yang demikian hebat, padahal suasananya tetap gembira dan
tenang saja. Hal ini membuktikan bahwa Nan-cao di bawah Beng-kauw
benar-benar pandai menyimpan rahasia dan pandai pula mengatasi keadaan.
It-gan Kai-ong hanya menyeringai dan kadang-kadang meludah ke kanan kiri
seperti sengaja hendak menghina si pembicara.
“Baiknya usaha
busuk itu dapat digagalkan oleh Empek Gan yang mulia.” Semua orang
tertawa dan mata mereka mencari-cari, namun tidak tampak mata hidung
Empek Gan.
“Siapakah yang melakukah usaha busuk ini? Tidak lain
adalah kaki tangan It-gan Kai-ong! Malah Tok-sim Lo-tong juga telah
dipergunakan untuk menghalang-halangi campur tangan Empek Gan!”
Semua orang memandang kakek tinggi kurus bersikap kanak-kanak yang
telanjang dan iblis ini tidak mempedulikan itu semua, enak-enak bermain
dengan ularnya. Adapun It-gan Kai-ong kembali menotokkan tongkatnya ke
tanah. “Kauw Bian Cinjin, jangan sembarangan membuka mulut. Apa
buktinya tuduhan-tuduhan itu?” Mata yang tinggal sebelah itu
mengeluarkan sinar kemarahan.
Kauw Bian Cinjin tersenyum.
“Buktinya memang sukar diadakan karena kami telah membunuh orang-orang
kami sendiri yang berkhianat dan dapat kaupikat untuk bersekutu. Akan
tetapi, It-gan Kai-ong, ada sebuah perbuatan lagi yang jahat dan dapat
dibuktikan. Kau telah menculik puteri Beng-kauwcu!”
Orang-orang
menjadi ribut lagi. Tentu saja mereka semua tahu siapa puteri
Beng-kauwcu, yaitu gadis cantik jelita yang menjadi penyambut tamu,
gadis yang pakaiannya hitam putih dan aneh.
Akan tetapi It-gan
Kai-ong tetap terkekeh mengejek. “Omongan bau! Semua omonganmu bau dan
bohong! Tidak ada saksi tidak ada bukti, apakah Beng-kauw bisanya hanya
menuduh dan memfitnah tanpa bukti?”
Tiba-tiba terdengar suara
merdu nyaring, “Aku di sini, kakek jahat. Apakah kau hendak menyangkal
lagi?” Dan dari sebelah dalam ruangan berlarilah Liu Hwee bersama Bu
Sin, menuju ke pekarangan itu. Kiranya tadi ketika It-gan Kai-ong
muncul, Liu Hwee cepat mencari Bu Sin dan memberi isyarat kepada pemuda
ini untuk menyembunyikan diri, menanti saat baik untuk muncul membantu
paman gurunya membuka rahasia It-gan Kai-ong. Melihat munculnya gadis
itu, bukan main kaget dan herannya It-gan Kai-ong sehingga ia berdiri
memandang dengan mulut bengong.
Tiba-tiba kakek pengemis itu
tertawa terkekeh-kekeh. “Ho-ho-ho, sama sekali tidak ada hubungannya!
Nona ini kutahan karena memang dia berani menyerang teman-temanku.
Tentang meracuni utusan Sung, ha-ha-ha, orang Beng-kauw, apakah kau
sudah mabuk? Aku orang dari Kerajaan Wu-yue yang selalu menjadi sahabat
Sung sejak dahulu, malah aku pun sudah banyak membantu Kerajaan Sung.
Mana mungkin aku berusaha mengganggu utusan Sung? Harap saudara-saudara
utusan Kerajaan Sung memberi penjelasan!” Matanya yang hanya sebuah
itu mencari-cari di antara tamu.
Dua orang panglima dari
Kerajaan Sung melompat ke depan. Mereka ini adalah perwira tinggi
Ouwyang Swan dan pembantunya, Tan Hun. Ouwyang Swan sejenak memandang ke
arah It-gan Kai-ong, kemudian menghadapi Kauw Bian Cinjin sambil
berkata.
“Cinjin, memang ada usaha untuk meracuni kami. Akan
tetapi kami dapat memastikan bahwa bukan It-gan Kai-ong yang
melakukannya, juga kami tak dapat menduga beliau mencampuri urusan busuk
ini, karena beliau adalah sahabat baik kami. Terus terang saja, secara
diam-diam It-gan Kai-ong malah ikut mengawasi dan melindungi barang
sumbangan kami, dari utara ke sini.”
It-gan Kai-ong tertawa
lagi terbahak-bahak. “Ho-ho-ho, bukankah jelas sekarang bahwa Beng-kauw
memfitnah orang? Siapa tidak mengerti akan akal busuk ini? Ho-ho, bagi
orang yang otaknya beku, tentu saja mudah dikelabui dan mengira
Beng-kauw merupakan tuan rumah yang paling bersih dan baik. Akan tetapi
sebetulnya semua telah diatur! Siapa tidak tahu bahwa kehilangan emas
permata sumbangan Kerajaan Sung itu sebetulnya dilakukan oleh
orang-orang Beng-kauw sendiri? Semua sudah mendengar tentang peti mati
yang berisi mayat orang Beng-kauw sendiri, keributan yang terjadi di
rumah pemondokan utusan Hou-han. Dua orang Beng-kauw, kabarnya bernama
Su Ban Ki dan Ciu Kang, dibunuh oleh peti mati hidup! Ho-ho-ho, siapa
lagi si peti mati hidup kalau bukan si iblis Cui-beng-kui (Iblis
Pengejar Roh)? Dan sudah lama dunia kang-ouw menduga bahwa Cui-beng-kui
adalah orang Beng-kauw! Kemudian terdengar lagi dua orang pelayan yang
melayani utusan Sung berusaha meracuni para tamu dari Sung, juga
terbunuh mati oleh Kauw Bian Cinjin sendiri. Apa artinya ini semua?
Bukan lain karena semua itu adalah akal busuk orang-orang Beng-kauw
sendiri yang diatur oleh Kauw Bian Cinjin!”
Hening di situ,
mendengar ucapan panjang lebar ini. Hebat, pikir para tamu. Keadaan
diputar balik, kalau tadi It-gan Kai-ong dituduh, sekarang si kakek mata
satu berbalik menjadi penuduh dan menimpakan semua kesalahan kepada
Beng-kauw. Suasana menjadi tegang sekali dan kini semua mata ditujukan
kepada Kauw Bian Cinjin untuk mendengar apa yang akan menjadi jawaban
wakil ketua Beng-kauw itu.
“It-gan Kai-ong, tidak percuma kau
dijuluki seorang di antara Thian-te Liok-koai!” jawab Kauw Bian Cinjin.
“Akan tetapi semua omonganmu hanya pemutar-balikan fakta belaka, tanpa
dasar dan bukti....”
“Ho-ho-ho, dengar baik-baik, Kauw Bian
Cinjin! Kau menuduh yang bukan-bukan kepada para tamu yang jauh-jauh
datang untuk menyampaikan hormat. Kalau memang semua ini bukan buatan
Beng-kauw sendiri, mengapa semua orang yang bersalah dibunuh? Coba yang
mencuri barang sumbangan, yang menaruh racun pada makanan, tidak
dibunuh, tentu mereka dapat dipaksa mengaku siapa yang berdiri di balik
ini semua! Tapi Cui-beng-kui serta-merta membunuh dua orang murid
Beng-kauw, dan kau sendiri membunuh dua orang pelayan. Terang sekali kau
memang sengaja mengatur ini untuk mengadu domba para utusan agar
negara-negara dan kerajaan-kerajaan saling bermusuhan. Kalau
kerajaan-kerajaan lain bermusuhan dan lemah, tentu Beng-kauw akan
menjagoi dunia! Siapa tidak tahu akan akal busukmu?”
Para tamu
menjadi ribut saling bicara sendiri ketika mendengar ucapan ini, ada
yang membenarkan It-gan Kai-ong ada pula yang menentangnya. Agaknya Kauw
Bian Cinjin yang pendiam dan tenang itu kalah bicara oleh si raja
pengemis.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan tahu-tahu
seorang pemuda berpakaian sastrawan, bertubuh tinggi tegap bermuka
tampan, telah berada di situ dan berkata.
“It-gan Kai-ong, di
mana-mana kau menimbulkan keributan belaka! Kepada orang lain kau boleh
memutar lidah, akan tetapi kepadaku tidak mungkin! Aku sudah mengenal
isi perutmu!”
“Suling Emas, kau mau apa? Urusan ini tidak ada
sangkut-pautnya denganmu. Ataukah sekarang pendekar gagah perkasa
Suling Emas telah menjadi kaki tangan Beng-kauw pula?” ejek It-gan
Kai-ong, dan Toat-beng Koai-jin mengeluarkan suara menggereng ketika
melihat campur tangannya Suling Emas sambil berkata, “Suling Emas masih
ada perhitungan denganku!”
Suling Emas tidak mempedulikan kakek
telanjang berpunuk, juga tidak pedulikan ejekan It-gan Kai-ong,
melainkan ia memandang ke arah para tamu yang kini sudah memenuhi tempat
itu sambil berkata.
“Cu-wi sekalian sudah mengenal akan watak
jahat iblis ini, maka harap jangan mempercaya ocehannya. Pada
hakekatnya, dia diperalat oleh muridnya yang bernama Suma Boan. Siapa
tidak mengenal putera pangeran ini di Kerajaan Sung? Suma Boan itulah,
dengan bantuan gurunya ini, berusaha menggunakan akal untuk mengadu
domba kerajaan-kerajaan dengan Kerajaan Sung agar Kerajaan Sung menjadi
lemah dan dia berkesempatan merebut tahta kerajaan. Siauwte (aku)
mempunyai hubungan baik dengan panglima-panglima Sung, tahu benar akan
keadaan di sana dan sudah lama aku mengawas-awasi jejak guru dan murid
pengkhianat ini....”
“Suling Emas, tutup mulutmu! Kalau kau
hendak mencari perkara denganku, tak perlu di sini. Kau ini seorang
jantan atau seorang perempuan bawel? Ataukah kau sudah diperalat pula
oleh Beng-kauw? Ho-ho, agaknya ada sesuatu rahasia di antara kau dan
Beng-kauw! Majulah, jangan kira aku takut terhadapmu!”
“Kau tadi bilang, bukan di sini tempat kita bertanding. Mari kita pilih tempat yang sunyi, jangen di tempat suci ini.”
“Tempat suci? Beng-kauw suci? Ho-ho-ho, siapa tidak tahu akan rahasia
Beng-kauw yang kotor?” It-gan Kai-ong yang kini merasa terdesak sengaja
hendak merendahkan Beng-kauw agar para tamu lebih percaya kepadanya.
“Siapa tidak mendengar akan keganasan mendiang Pat-jiu Sin-ong? Siapa
pula tidak mendengar sepak terjang puterinya, Tok-siauw-kui Liu Lu Sian?
Ha-ha-ha, setan cilik yang cantik itu, yang menjatuhkan hati banyak
laki-laki yang jahat seperti setan berbisa....”
Tiba-tiba semua
orang terkejut karena secara mengherankan sekali, dari dalam ruangan itu
terdengar suara melengking tinggi, disusul dengan munculnya sebuah peti
mati yang berloncat-loncatan, berguling-gulingan secara cepat dan aneh
ke tempat itu. Sambil bergerak meloncat-loncat, peti mati ini
mengeluarkan bunyi melengking tinggi menyedihkan, namun yang membuat
banyak tamu yang kurang tinggi kepandaiannya, roboh lemas di atas tanah.
Suara itu seakan-akan menusuk hati mereka dan melumpuhkan kedua kaki,
hanya mereka yang sin-kangnya sudah kuat, cepat mengerahkan tenaga
dalam untuk melindungi jantung dan menahan getaran yang melumpuhkan ini.
“Cui-beng-kui.... ho-ho-ho, akhirnya kau muncul juga!” It-gan Kai-ong
sambil tertawa-tawa girang. “Nah, sekarang yang hadir semua dapat
menyaksikan bahwa Beng-kauw adalah tempat sembunyi Cui-beng-kui. Apakah
ini bukan menjadi tanda benarnya dugaanku tadi?”
Peti mati itu
kini terletak di pekarangan, empat meter jauhnya dari It-gan Kai-ong.
Suara melengking berhenti dan diganti suara yang agaknya terdengar dari
dunia lain, bergema menyeramkan. “It-gan Kai-ong manusia sombong!
Mulut kotormu menyinggung-nyinggung nama wanita yang semulianya do dunia
ini, tak mungkin aku mendiamkannya begitu saja. It-gan Kai-ong, hari
ini adalah hari kematianmu, bersiaplah!”
It-gan Kai-ong adalah
seorang di antara Enam Iblis, tentu saja ia sama sekali tidak gentar
menghadapi ucapan ini. Malah ia tertawa terpingkal-pingkal,
menotok-notokkan tongkatnya ke taneh, lalu berkata sambil meludah.
“Cui-beng-kui, bukan aku yang akan mati, akan tetapi peti matimu kini
betul-betul akan terisi mayat. Cuh-cuh-cuh!” Tiga kali ia meludah ke
arah peti mati, akan tetapi tiga kali pula ludahnya menyeleweng, tidak
mengenai peti mati melainkan mengenai tanah yang berlubang-lubang oleh
air ludahnya.
“Krrriiiiittttt!” Tutup peti mati terbuka
perlahan dari dalam. Semua tamu, terutama yang muda-muda dan bukan jago
kawakan, menjadi pucat memandang ke arah peti mati. Juga para jagoan tua
yang sudah lama mendengar nama Cui-beng-kui, memandang penuh perhatian,
hati mereka tegang. Selamanya belum pernah iblis ini keluar dari peti
mati, selalu kalau “beraksi” tentu dari peti matinya. Sekarang peti mati
terbuka, Cui-beng-kui akan tampak ujudnya, siapa yang tidak akan tegang
hatinya. Bahkan para tokoh Beng-kauw sendiri menjadi tegang, memandang
penuh perhatian. Munculnya Cui-beng-kui ini tadi saja sudah mengherankan
hati para pimpinan Beng-kauw dan juga kaisar sendiri, karena hal ini
tidak mereka duga-duga. Selama ini sepak terjang Cui-beng-kui penuh
rahasia dan tak ada yang tahu di mana ia bersembunyi.
Tutup peti
mati terbuka makin lebar, perlahan-lahan dan mengeluarkan bunyi.
Mula-mula tampak sebuah lengan yang kurus dan berkulit putih pucat penuh
keriput, dengan kuku-kuku jari tangan yang panjang-panjang. Lengan ini
menutup peti, terus menyangga ke atas sehingga tutup itu akhirnya
terbuka semua. Semua mata memandang, leher memanjang dan.... sesosok
tubuh yang tinggi kurus bangkit dari dalam peti mati! Bagi penonton yang
kurang kuat hatinya, penglihatan ini akan cukup membuat ia roboh
pingsan saking ngeri dan takutnya.
Cui-beng-kui kiranya seorang
laki-laki yang kepalanya gundul, mukanya pucat seperti muka mayat,
pakaiannya putih hanya merupakan kain putih dibelit-belitkan di tubuh,
dari lutut sampai ke leher, kaki dan lengannya telanjang dan kurus
sekali seperti tampak tulang-tulangnya membayang di balik kulit keriput
dan tipis. Seperti juga kuku-kuku jari tangannya, kuku kakinya juga
panjang, runcing melengkung.
Yang menarik adalah sikap Kaisar
Nan-cao dan ketua Beng-kauw. Mereka tiba-tiba melompat berdiri, mata
terbelalak dan muka berubah.
“Kau.... Thai Kun....!” seru Beng-kauwcu Liu Mo, matanya memandang seperti tak percaya.
“Ma-ciangkun (Panglima) Ma....!” Kaisar Nan-cao juga berseru perlahan.
Manusia yang seperti mayat hidup itu hanya memutar tubuh menghadap ke
arah kaisar dan ketua Beng-kauw lalu mengangguk sedikit, tak acuh.
Sekarang terbukalah rahasia Iblis Pengejar Roh (Cui-beng-kui) ini, dan
mengertilah orang-orang Beng-kauw akan pembunuhan-pembunuhan yang
dilakukan oleh iblis ini secara mengerikan. Kiranya iblis ini adalah Ma
Thai Kun, seorang panglima besar puluhan tahun yang lalu dari Kerajaan
Nan-cao, seorang yang memiliki kepandaian tinggi karena masih terhitung
adik seperguruan sendiri dari Pat-jiu Sin-ong dan Beng-kauwcu Liu Mo!
Panglima she Ma ini dahulu menjadi jagoan istana Nan-cao dan ia adalah
seorang di antara banyak pria yang tergila-gila kepada Tok-siauw-kwi Liu
Lu Sian, puteri dari suhengnya sendiri. Setelah Liu Lu Sian memilih Kam
Si Ek Jenderal Kerajaan Hou-han, maka panglima ini lalu menghilang dan
tak seorang pun tahu di mana ia berada. Siapa nyana, sekarang panglima
itu muncul kembali dalam keadaan yang begitu mengerikan, dan kiranya
Cui-beng-kui, seorang di antara Enam Iblis itu adalah bekas panglima
ini. Kauw Bian Cinjin yang mengepalai penyelidikannya dan tentu saja
tahu pula akan kematian Su Ban Ki dan Ciu Kang, kematian yang aneh
karena dilakukan oleh peti mati hidup yang ia duga tentulah
Cui-beng-kui, baru sekarang mengerti mengapa Cui-beng-kui mencampuri
urusan ini. Diam-diam ia bersyukur bahwa biarpun Ma Thai Kun kini sudah
berubah menjadi iblis, namun agaknya masih memiliki kesetiaan terhadap
Nan-cao sehingga turun tangan membunuh dua orang pengkhianat itu.
“Ma-suheng, biarkan siauwte menghadapi iblis jembel ini!” seru Kauw
Bian Cinjin. Ia terhitung adik seperguruan Cui-beng-kui. Mereka adalah
empat orang saudara seperguruan. Yang pertama adalah mendiang Liu Gan,
ke dua ketua Beng-kauw sekarang, Liu Mo yang masih adik kandung Liu Gan,
ke tiga adalah Ma Thai Kun dan ke empat Kauw Bian Cinjin. Kauw Bian
Cinjin bersama Liu Mo telah memperdalam ilmunya sehingga jauh melampaui
dua tiga puluh tahun yang lalu, maka kini Kauw Bian Cinjin meragukan
apakah suhengnya yang puluhan tahun menghilang itu akan mampu
menandingi It-gan Kai-ong yang ia tahu amat sakti. Ia sendiri pun masih
ragu-ragu apakah ia akan menang, akan tetapi kalau Ma Thai Kun
kepandaiannya masih seperti dua puluh lima tahun yang lalu, tentu jauh
di bawah tingkatnya.
“Mundurlah!” Cui-beng-kui mendengus, dan
dengan langkah-langkah kaku ia menghampiri It-gan Kai-ong. “Siapa
menghina dia harus mati di tanganku!”
It-gan Kai-ong tertawa
bergelak, “Hoh-ho-heh-heh, makin terbukti sekarang betapa bobroknya
moral orang-orang Beng-kauw! Cui-beng-kui, kau disebut suheng oleh Kauw
Bian Cinjin, berarti kau juga sute dari mendiang Pat-jiu Sin-ong dan kau
terhitung paman guru Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian. Akan tetapi agaknya
kau pun tergila-gila kepada murid keponakan yang jelita itu, ha-ha-ha!”
“Majulah jembel busuk. Hendak kubuktikan apakah kau patut menerima julukan sejajar dengan aku!” kata mayat hidup itu.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring sekali,
bentakan seorang gadis yang melompat keluar dari dalam ruangan
sembahyang, sebatang pedang bersinar kuning telanjang di tangannya.
“Cui-beng-kui, kau pembunuh ayah, terimalah pembalasanku!” Dengan
gerakan bagaikan seekor burung walet yang amat lincah, Lin Lin melompati
kepala banyak tamu, langsung menyerbu ke tengah lapangan, menghadapi
Cui-beng-kui. Gadis ini kelihatan marah sekali, sepasang matanya
berkilat-kilat, kedua pipinya merah, bibirnya cemberut, pedang di tangan
kanannya menggetar.
“Kau siapa? Jangan kira setelah kau dibebaskan, kau boleh bicara sesukamu. Siapa ayahmu?”
“Iblis busuk, setahun lebih kucari-cari kau, setan peti mati bersuling!
Hayo katakan, bukankah kau pembunuh ayahku Kam Si Ek bersama isterinya
dan seorang tamunya? Setahun yang lalu di Ting-chun?”
“Ho-ho,
heh-heh, kiranya kau sudah membunuh sainganmu, Jenderal Kam Si Ek yang
berhasil merenggut Tok-siauw-kwi dari tanganmu?” It-gan Kai-ong
terkekeh-kekeh sambil mundur. “Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat
membereskan setan cilik ini, Cui-beng-kui. Aku menanti giliran!”
Muka yang pucat dan tak pernah bergerak kulitnya itu kini sepenuhnya
menghadapi Lin Lin, membuat gadis itu merasa ngeri juga. Ia teringat
akan pengalamannya di dalam ruangan peti mati yang menyeramkan. Seperti
telah kita ketahui, ketika Lin Lin memasuki ruangan peti mati melalui
terowongan rahasia, ia melihat peti mati yang mendadak dapat “hidup”
sehingga ia roboh pingsan itu ia telah dimasukkan ke dalam sebuah peti
mati kosong oleh Cui-beng-kui! Untung tidak lama Lin Lin pingsan di
dalam peti mati. Ia siuman beberapa menit kemudian dan dapat
dibayangkan betapa bingungnya ketika ia mendapatkan dirinya berada di
tempat yang gelap gulita sehingga matanya seakan-akan buta. Melihat
jari tangan sendiri pun tidak tampak! Ia meraba-raba dan teringatlah ia
akan pengalamannya tadi. Hatinya berdebar. Iblis dalam peti mati itu!
Sekarang ia pun berada di dalam peti mati. Tahulah ia bahwa ia telah
ditawan oleh iblis tadi dan dimasukkan peti mati.
Dengan
menabahkan hatinya, Lin Lin mendorong penutup peti itu terbuka. Ia
melihat sinar terang, akan tetapi hampir saja ia jatuh pingsan kembali
ketika melihat seorang laki-laki gundul, sebetulnya tak patut disebut
orang laki-laki, melainkan lebih pantas disebut mayat hidup, berdiri
terbungkuk di dekat peti di mana ia rebah. Muka itu! Pucat tak berdarah
dan seperti kedok. Muka mayat! Kedua ujung bibir tertarik ke bawah,
hidungnya panjang bengkok ke bawah.
Akan tetapi Lin Lin teringat
bahwa iblis ini adalah pembunuh ayah ibu angkatnya. Tidak salah lagi
kali ini. Mendiang ibu angkatnya sebelum menghembuskan napas terakhir
menyebut-nyebut tentang iblis dalam peti mati yang mengeluarkan suara
seperti suling. Ingatan ini sekaligus mengusir semua rasa takut dan
ngeri.
“Iblis jahat, kau pembunuh ayah ibuku....!” teriaknya dan Lin Lin bergerak hendak melompat keluar dari dalam peti.
Akan tetapi iblis itu menggerakkan kedua tangan, menekan pundak Lin Lin
dan gadis ini seketika tak dapat menggerakkan lagi kaki tangannya yang
seakan-akan menjadi lumpuh.
“Hemmm, bagus sekali. Kau puteri
mereka? Kebetulan sekali, kau cantik dan muda. Kau hanus menebus hutang
ayahmu, kau harus mengawani aku di sini, menghiburku, sampai kau atau
aku mampus....” Suara iblis itu berbisik-bisik, mendesis-desis
mengerikan dan kini mukanya makin mendekati muka Lin Lin, tangan yang
tadinya menekan pundak kini bergerak ke arah leher dan dada.
Saking ngeri dan takutnya, Lin Lin menjerit keras. Suara jeritannya
terdengar gemanya dari jauh, agaknya melalui lorong rahasia yang gelap
itu. Akan tetapi hanya satu kali Lin Lin dapat menjerit karena di lain
detik ibils itu sudah menotoknya, membuat ia selain tak mampu meronta,
juga tak dapat mengeluarkan suara lagi. Setengah pingsan Lin Lin merasa
betapa dua buah lengan yang keras karena hanya tulang terbungkus kulit,
yang dingin menjijikkan, akan tetapi amat kuat, memondongnya keluar
dari dalam peti.
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan
Lin Lin itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin yang membawa datang bau
semerbak harum mewangi, kemudian terdengar suara yang sama dinginnya.
“Ma-susiok (Paman Guru Ma), kau hendak berbuat apa?”
Iblis itu
yang tadinya sudah melangkah dua tindak, mendadak berhenti, memutar
tubuhnya, dan memandang kepada seorang wanita rambut panjang
riap-riapan yang tahu-tahu sudah berada di depannya. Wanita yang
usianya sudah lima puluh tahun lebih, akan tetapi yang wajahnya masih
cantik jelita, terutama sepasang matanya yang seperti mata burung hong,
rambutnya hitam panjang sekali tidak disanggul, pakaiannya serba hitam
sehingga tangan dan lehernya yang tak tertutup kelihatan makin putih.
Sejenak iblis itu tertegun, kemudian tubuhnya menggigil dan kedua
tangannya gemetar sehingga tubuh Lin Lin terlepas dari pondongannya,
membuat gadis ini jatuh dan bergulingan. Lin Lin terguling agak jauh,
akan tetapi mukanya menghadap ke atas sehingga ia dapat menyaksikan
pertemuan dua orang aneh itu.
“.... Lu.... Lu Sian....!” Dengan
sukar sekali akhirnya iblis itu mengeluarkan suara. Jantung Lin Lin
berdebar keras mendengar disebutnya nama ini dan ia makin memperhatikan
wanita itu. Cantik memang, biarpun sudah tua, masih cantik jelita. Lebih
cantik daripada ibu angkatnya, ibu Sian Eng dan Bu Sin. Inikah isteri
pertama ayah angkatnya? Inikah ibu sekandung dari Kam Bu Song, kakaknya
yang lenyap? Inikah, menurut penuturan bibi gurunya Kui Lan Nikouw,
wanita puteri ketua Beng-kauw yang berjuluk Tok-siauw-kwi?
“Hemmm, Ma-susiok, dengan perbuatanmu ini, apakah kau masih ada muka
untuk tetap mengaku bahwa kau mencintaku sampai kau mati? Huh, kitanya
kau pun sama saja dengan laki-laki lain, berhati palsu, pandai
pura-pura, mengobral sumpah!”
“Tidak.... tidak.... Lu Sian,
aku.... bertahun-tahun aku menyiksa diri, aku menantimu.... aku bersetia
padamu.... Lu Sian, apakah kedatanganmu ini menjadi tanda tiba saatnya
aku mengecap kebahagiaanku, melewatkan hidup yang tak berapa lama lagi
ini? Apakah timbul rasa iba di hatimu dan meyakinkan kau bahwa cintaku
padamu murni?”
“Huh, tak perlu bermanis bibir, Susiok. Mau kauapakan gadis itu tadi?”
“Eh.... aku.... terus-terang saja.... karena tak tertahankan lagi
kesunyian ini.... melihat gadis itu tadi.... hampir saja.... tapi untung
kau segera datang, Lu Sian. Terima kasih! Setelah kau di sini, apa
artinya gadis ini bagiku? Biar seribu orang bidadari turun, aku tidak
pedulikan mereka asal kau....”
“Sudahlah, tak perlu banyak
membujuk rayu. Kita bukan orang-orang muda belia. Susiok, di luar
terjadi keributan. It-gan Kai-ong mengacau, kalau kau tidak
memperlihatkan jasa terhadap Beng-kauw, mana aku percaya bahwa kau
betul mencintaiku?”
“Lu Sian, aku tahu, selama ini
kepandaianmu sudah hebat sekali, jauh melampaui kemampuanku. Mengapa
kau tidak membasmi mereka yang mengacau? Aku.... aku malu bertemu dengan
orang-orang....”
“Hemmm, tentang permintaanmu mengawani kau di
sini, baru akan kupertimbangkan kalau kau mau membuat jasa. Kalau
tidak, jangan harap malah aku akan mengusir kau dari tempat ini!”
Terdengar iblis itu mengeluh dan diam-diam Lin Lin merasa kasihan
sekali. Gadis muda ini telah menyaksikan adegan yang amat mengharukan,
adegan tentang cinta kasih yang demikian mendalam. Heran ia mengapa
iblis itu biarpun sudah tua, tetap tidak melupakan kasihnya yang
demikian mendalam. Dan ia merasa terharu dan kasihan melihat iblis yang
hampir saja mencelakakannya itu mengeluh dan melangkah perlahan-lahan
ke tempatnya, yaitu peti matinya yang terbuka lebar. Namun hanya
sebentar saja rasa kasihan ini, karena segera ia teringat bahwa iblis
itu adalah pembunuh ayah bundanya yang selama ini dicari-carinya.
Pembunuh kejam yang harus ia balas, apalagi tadi telah menghinanya dan
hampir saja mencelakainya.
Iblis yang bukan lain adalah Ma Thai
Kun bekas Panglima Nan-cao dan yang sekarang terkenal dengan julukan
Cui-beng-kui ini dengan suara keluhan yang kemudian melengking seperti
suara suling, memasuki peti matinya, kemudian peti mati itu
bergerak-gerak ke arah dinding. Tangannya terjulur keluar peti, menekan
di ujung bawah kiri dinding itu dan terdengarlah suara berkerit yang
disusul dengan terbukanya sebuah lubang pada dinding itu, lubang bundar
dengan garis tengah satu meter.
“Lu Sian, aku menaati
permintaanmu....” terdengar suara dari dalam peti yang meluncur cepat
keluar melalui lubang itu. Lubang rahasia itu segera tertutup kembali
dengan sendirinya.
Wanita berambut panjang itu menarik napas
panjang, kemudian ia memandang Lin Lin. Tiba-tiba tangannya bergerak dan
seketika Lin Lin terbebas dari totokan. Ia cepat meloncat bangun,
menyambar pedangnya yang menggeletak di dekat peti mati yang tadi
menjadi “tempat tidurnya”.
“Bibi, terima kasih atas pertolongan
Bibi....” Lin Lin berkata dengan suara perlahan, karena ia masih
ragu-ragu bagaimana ia harus menyebut wanita ini. Kam Si Ek adalah ayah
angkatnya. Kalau wanita ini isteri Kam Si Ek, berarti juga ibu
angkatnya. Akan tetapi ia tidak berani menyebut ibu, maka lalu menyebut
saja bibi.
“Kau anak Kam Si Ek? Ibumu Bwe Hwa?”
“Bukan,
Bibi. Kam Si Ek adalah ayah angkatku, bersama dua orang saudara angkat,
aku pergi mencari Kakak Kam Bu Song. Bukankah Bibi ini ibu Kakak Kam Bu
Song....?”
Akan tetapi wanita itu tidak menjawab, kelihatan
termenung. Tiba-tiba ia bertanya. “Bukankah cintanya amat besar
kepadaku? Biarpun sudah menjadi mayat hidup, ia masih mencintaku. Cinta
yang murni....” Ia menarik napas lagi.
“CINTA BERNODA DARAH!” Lin Lin berkata suaranya berubah dingin.
“Apa kau bilang....?” Wanita itu agaknya heran.
“Cintanya bernoda darah! Ia telah membunuh ayah dan ibu angkatku!”
“Hemmm, bocah, kau tahu apa? Itu karena cemburu yang ditahan-tahan di
samping cinta kasihnya yang mendalam. Mana ada cinta tanpa cemburu? Ia
tidak mengganggu selembar rambut Kam Si Ek selama masih menjadi suamiku,
selama masih mencintaku. Akan tetapi setelah mendengar Kam Si Ek
berpisah dariku, malah mengawini seorang wanita lain, nah, timbullah
dendamnya dan dibunuhnya mereka.”
“Betapapun juga, dia musuh besarku, harus kubalas dendam ini!”
Wanita itu mengeluarkan suara ketawa halus. “Kau....? Membalas padanya?
Hik-hik, lucu sekali. Sesukamulah!” Tiba-tiba saja wanita rambut
panjang itu berkelebat dan lenyap dari depan Lin Lin, meninggalkan bau
harum yang menyengat hidung.
Lin Lin tidak mempedulikan hal itu
lagi, ia cepat menghampiri dinding dan mencari alat rahasianya. Baiknya
ia tadi melihat tangan Cui-beng-kui menekan ujung kiri bawah dinding,
maka sekarang ia dapat melihat sebuah benda bundar sebesar ibu jari kaki
terpasang di sudut itu. Cepat benda ini didorongnya sambil mengerahkan
tenaga dan.... terdengarlah suara berkerit seperti tadi dan dinding itu
berlubang. Lin Lin menerobos masuk dengan pedang di depan dada, siap
menghadapi segala ancaman dari depan. Kiranya lubang itu merupakan
lorong sempit. Ia merangkak terus dan setelah lewat dua puluh meter, ia
melompat keluar dari terowongan ini ke dalam sebuah ruangan di mana
terdapat sebuah pintu besar yang menembus ke ruangan sembahyang!
Demikianlah, pada saat Cui-beng-kui sedang berbantah dengan It-gan
Kai-ong, secara tiba-tiba Lin Lin muncul dan serta merta gadis ini
menghadapi Cui-beng-kui dan memaki-makinya sebagai pembunuh ayah ibu
angkatnya. Cui-beng-kui adalah seorang iblis yang berkepandaian tinggi,
selain terkenal sebagai seorang di antara Enam Iblis juga ia bekas
panglima tertinggi Kerajaan Nan-cao.
Tentu saja ia menjadi marah
sekali ketika seorang gadis remaja berani memaki-makinya di depan
orang banyak, apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini
adalah gadis yang membuat ia tadi kesalahan terhadap kekasihnya, Liu
Lu Sian.
“Betul aku yang membunuh jahanam Kam Si Ek dan
isterinya. Kau mau apa? Bocah lancang, kau punya kepandaian apa berani
berlagak di depanku?”
“Cui-beng-kui! Biar akan melayang nyawaku,
aku pertaruhkan untuk membalas kematian ayah ibu angkatku!” bentak
Lin Lin dan pedangnya menyambar.
“Cringgg!” Lin Lin terhuyung ke
belakang dan matanya memandang terbelalak. Kalau ia tidak mengalami
sendiri, mana ia dapat percaya? Pedangnya yang menyambar leher tadi
telah ditangkis oleh kuku-kuku jari tangan mayat hidup itu! Betapa
mungkin kuku jari dapat membuat pedangnya terpental dan ia terhuyung?
“Lin-moi, jangan lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring
dan seorang gadis lain berkelebat ke dalam kalangan pertempuran dengan
pedang di tangan.
“Enci Eng, hati-hati, dia lihai sekali!” Lin
Lin girang melihat Sian Eng muncul dan membantunya, akan tetapi juga
khawatir akan keselamatan Sian Eng karena ia maklum bahwa kepandaian
encinya itu masih jauh terlalu rendah untuk ikut menghadapi iblis yang
sakti ini.
“Eng-moi! Lin-moi! Jangan takut, aku datang!” Bu Sin
melompat dengan pedang di tangan pula. Pemuda ini sejak munculnya Lin
Lin tadi, sudah ingin sekali membantu adiknya, akan tetapi Liu Hwee
memegang lengannya dan mencegahnya sambil mengatakan bahwa Cui-beng-kui
bukanlah lawannya. Akan tetapi melihat kedua orang adiknya sudah
berada di sana menghadapi pembunuh orang tuanya, tentu saja Bu Sin tak
dapat tinggal diam lagi. Ia memaksa diri dan meloncat ke kalangan
pertempuran menemani kedua orang adiknya.
“Heh, bagus sekali!
Kalian ini anak-anak Kam Si Ek si keparat? Mari kuantar kalian menyusul
orang tuamu!” Setelah berkata demikian, Cui-beng-kui mengeluarkan suara
melengking nyaring tinggi seperti suara suling, disusul tubuhnya yang
bergerak ke depan dengan kedua lengan menampar ke arah Bu Sin bertiga.
Pukulan ini mengandung hawa pukulan jarak jauh yang dahsyat sampai
terdengar angin bersiutan menyambar-nyambar, Bu Sin cepat mengerahkan
sin-kangnya namun ia tetap terhuyung-huyung sampai tiga langkah ke
belakang. Lin Lin cepat mengerahkan Khong-in-ban-kin dan berhasil
mengelak. Akan tetapi Sian Eng biarpun sudah mengerahkan sin-kang,
tetap saja ia terguling roboh!
“Keparat, rasakan pedangku!” Lin
Lin yang berhasil mengelak tadi kini cepat menggerak-gerakkan pedang
menerjang sambil mainkan ilmunya Khong-in-liu-san. Pedangnya menjadi
segulung sinar bundar yang cemerlang, bagaikan bola api melayang ke arah
Cui-beng-kui.
“Kiam-hoat (ilmu pedang) bagus!” Cui-beng-kui
memuji dan pujian ini sudah membuktikan bahwa ilmu yang ia warisi dari
Kim-lun Seng-jin itu memang bukan ilmu rendah. Sayang bagi Lin Lin
bahwa ia kurang matang dalam latihan dan tentu saja, dibandingkan dengan
Cui-beng-kui, ia kalah beberapa tingkat. Ketika pedangnya menyambar
leher, kembali kuku jari tangan iblis itu menangkis pedang dan
sekaligus tangan kanan yang berkuku runcing itu mencengkeram ke arah
perutnya!
***
Lin Lin terkejut bukan main. Pedangnya
yang tertahan kuku itu seakan-akan menempel. Ia tidak dapat menangkis,
juga tidak dapat mengelak, sedangkan jari-jari tangan kanan yang berkuku
runcing mengerikan itu mengancam perutnya yang tak terlindungi lagi!
Pada saat itu, dalam keadaan terancam bahaya maut, Lin Lin menoleh ke
arah Suling Emas, mengharapkan bantuan pendekar sakti ini. Ia melihat
Suling Emas menggerakkan tangan kanan dan.... Cui-beng-kui meloncat
mundur dua langkah, terpaksa melepaskan Lin Lin yang juga cepat
membanting diri ke belakang dan bergulingan.
“Keparat, siapa
main gila....?” Cui-beng-kui mendengus marah, memandang ke arah kiri
dari mana datangnya batu kecil yang demikian kuat melayang dan mengancam
urat nadi pergelangan tangannya tadi.
Akan tetapi pada saat itu
telah berloncatan masuk enam orang Khitan yang langsung menyerbunya
dengan senjata di tangan. Seorang di antara mereka berseru. “Keparat,
berani kau menyerang tuan puteri kami yang mulia?”
Cui-beng-kui
tercengang, akan tetapi juga timbul kemarahannya. Golok dan pedang yang
menerjangnya bagaikan hujan itu ia sambut dengan kedua tangannya.
Terdengar bunyi trang-tring-trang-tring ketika senjata-senjata tajam itu
beterbangan, kemudian disusul teriakan mengerikan ketika Cui-beng-kui
berhasil mencengkeram atubuh dua orang Khitan. Terdengar suara
mengerikan dari daging robek dan dua orang ini roboh mandi darah, dada
dan perut mereka robek, isinya berantakan keluar semua! Biarpun senjata
mereka sudah terpental, empat orang Khitan yang lain menyaksikan dua
orang kawannya tewas, dengan nekat mereka menyerbu. Orang-orang Khitan
terkenal gagah berani dan setia kawan, hal yang membuat suku bangsa ini
menjadi kuat. Enam orang yang menyerbu Cui-beng-kui ini adalah enam
orang di antara dua puluh empat orang pengikut Pak-sin-tung yang terbagi
menjadi empat kelompok dari enam orang. Sekelompok sudah tewas semua
ketika membela Pak-sin-tung, kini kelompok ke dua membela Lin Lin. Akan
tetapi mereka pun sama sekali bukan tandingan Cui-beng-kui.
Berturut-turut terdengar suara mengerikan dan empat orang Khitan yang
mengeroyok iblis itu roboh pula dengan isi perut berantakan.
Mendadak dua belas orang Khitan yang lain datang menyerbu, akan tetapi
bukan untuk menyerang Cui-beng-kui. Mereka mengeluarkan suara
teriakan-teriakan aneh, berlari ke sana ke mari seperti orang melakukan
tarian yang membingungkan. Teriakan-teriakan mereka seperti orang-orang
menangis, melolong panjang dan tubuh mereka berloncat-loncatan mengitari
sekeliling tempat itu. Biar Cui-beng-kui sendiri dan para tamu, merasa
terheran-heran karena belum pernah mereka menyaksikan “upacara” macam
ini. Tiba-tiba dua belas orang Khitan yang tadinya bersimpang-siur tanpa
pernah saling bertabrakan itu, berubah menjadi barisan memanjang dan
lari keluar dari tempat itu sambil berteriak-teriak pula. Selelah mereka
pergi, barulah semua orang terheran-heran, karena kepergian mereka
ternyata tanpa disangka-sangka, telah membawa pergi pula mayat enam
orang Khitan tadi, termasuk Lin Lin!
Mula-mula tidak ada yang
menyangka bahwa gadis itu pun ikut pergi, karena dalam keadaan
kacau-balau itu tidak terlihat Lin Lin ikut pergi. Akan tetapi ketika Bu
Sin dan Sian Eng mencari adik mereka ini, ternyata Lin Lin tidak berada
di situ dan barulah mereka menduga bahwa tentu Lin Lin ikut pergi
dengan rombongan orang Khitan itu sebagai tuan puteri mereka! Selagi
mereka kebingungan dan hendak nekat menerjang Cui-beng-kui pembunuh
orang tua mereka, tiba-tiba Suling Emas sudah berada di belakang mereka
dan berkata perlahan.
“Bu Sin, Sian Eng, mundurlah. Dia bukan lawanmu.”
“Twako, dia.... dia pembunuh ayah ibu....!” Bu Sin membantah.
Sian Eng terharu mendengar kakaknya menyebut Suling Emas “twako”. Kini
semua keraguannya lenyap. Jelas bahwa Suling Emas adalah kakaknya, Kam
Bu Song yang selama ini mereka cari-cari, dan Bu Sin sudah mengetahuinya
pula. Dengan terharu dan air mata berlinang ia memegang lengan Suling
Emas, berkata perlahan.
“Kau.... kau Kakak Bu Song?”
Suling Emas tunduk memandang wajah cantik itu, lalu merangkul pundaknya
dan mengelus rambut kepalanya. “Sian Eng, adikku, apakah baru sekarang
kau tahu? Kalian berdua jangan melawannya, dia amat lihai, bukan lawan
kalian.”
“Song-koko, kau majulah, balaskan kematian ayah kita....!” Sian Eng berkata.
Suling Emas tersenyum duka, lalu menggerakkan mukanya ke arah depan.
“Tenanglah dan lihat, dia bertemu tanding.”
Ketika mereka memandang, kiranya sambil tertawa-tawa It-gan Kai-ong
sudah maju lagi berhadapan dengan Cui-beng-kui. Di belakangnya sekarang
berdiri Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong!
“Hemmm, jembel
busuk. Apakah kau hendak mengeroyok? Aku tidak takut, biar dua orang
liar ini maju membantumu!” kata Cui-beng-kui, nadanya mengejek.
“Ho-ho-heh-heh, aku tidak marah lagi padamu, Cui-beng-kui! Cara kau
membereskan lawan-lawanmu benar-benar menyenangkan, cocok sekali kau
menjadi seorang di antara Enam Iblis! Tak boleh kita saling basmi. Enam
iblis harus tetap utuh. Tentang penentuan siapa paling unggul, nanti
bulan lima malam ke lima belas kita main-main di puncak Thai-san,
Thian-te Liok-koai (Enam Iblis Dunia) akan bertemu dan saling menguji
kepandaian di sana.”
“Hemmm, kau masih berani memaki Liu Lu Sian?”
“Ho-ho-ho, aku tidak memakinya lagi. Musuhmu bukan aku, melainkan
keluarga she Kam. Kita Thian-te Liok-koai semua memusuhi Kerajaan Sung
yang sombong. Sayang hanya Nan-cao yang tidak mau tahu, terlalu
tenggelam dalam keangkuhan sendiri. Tanpa persatuan kerajaan-kerajaan
kecil, mana dapat melawan? Mereka yang keenakan tenggelam, tentu kelak
akan tahu rasa kalau Kerajaan Sung sudah menyerbu dan merampas
kerajaan-kerajaannya. Cui-beng-kui orang Nan-cao, Siang-mou Sin-ni orang
Hou-han, Hek-giam-lo orang Khitan, aku sendiri dari Wu-yueh, sedangkan
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong dari pulau kosong di Lam-hai.
Kenapa kita saling bertentangan? Lebih baik Thian-te Liok-koai bersatu
untuk menumbangkan pemerintah Sung. Hal ini selain akan mengangkat
tinggi-tinggi nama Thian-te Liok-koai, juga akan membebaskan
kerajaan-kerajaan kecil daripada ancaman Sung Utara!”
Ucapan
It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang
mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya
utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa
mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan
Kai-ong sebagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu
belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera
Pangeran Sung. Siapa kira, di tempat ini, disaksikan oleh para utusan
dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti
itu!
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung
berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata
gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut
panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan
Siang-mou Sin-ni! Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau
harum semerbak.
“Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong!
Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek jembel
busuk ini! Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi
Sung!”
Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para
utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan
tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui
ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung
itu.
“Ho-ho-heh-heh, bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni
juga telah setuju! Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di
antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin
yang ke lima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang
Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara!”
Hati Ouwyang Swan Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin
gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan
sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib
negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil,
negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam
Iblis itu membantu fihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang
matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini
amat baik hubungannya dengan para casan Kerajaan Sung.
“It-gan
Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini!” tiba-tiba Suling Emas
berkata dengan suara nyaring. “Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan
peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak
nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang
berbisa!” Kemudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan
suara hormat ia berkata, “Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan
mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana jembel busuk itu
dengan muridnya, Suma Boan, yang mempunyai rencana memukul Kerajaan
Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja
yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya.
Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk
seperti itu.”
Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang
lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh. “Ho-ho-heh-beh,
Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang
bocah dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa
dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan
kepandaian yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su menurunkan beberapa ilmu.
Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu
Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si
Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah daripada
percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu.”
Mendadak
Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia
menubruk Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari
tangannya! Suling Emas sendiri kaget setengah mati mendengar betapa
It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu
mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat
mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh
It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya
karena Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam
Si Ek yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling
Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian.
Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh daripada itu, ia malah
seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak
yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang, cepat kakinya menendang bumi
dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.
“Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama
karena....” Terpaksa ia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu
Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan memukul ke arah dada
sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah
ubun-ubun kepala! Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi
dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu yang
kurang kuat roboh lemas!
Suling Emas terkejut. Ia sendiri
merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia
bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah
mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mujijat dalam bentakan
mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis,
tenaga sin-kangnya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking
tinggi mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan
diri sambil mencabut sulingnya. Begitu ia menggerakkan sulingnya,
terdengarlah suara melengking ke dua yang jauh bedanya. Kalau suara
melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar
seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah
lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai,
halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mujijat yang
seakan-akan mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu
terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti
ditusuk-tusuk jarum.
“.... karena kau adalah tokoh Nan-cao,”
suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking. “Ke
dua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup
menderita....”
Kembali ia menghentikan kata-katanya karena
serangan Cui-beng-kui makin dabsyat. Gerakan kedua lengan tangan
Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan
keluar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa
pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya
sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan
menyambut pukulan tangan kanan lawan.
Lengking suara
Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan
kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka
dengan kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang
disambut tangan kiri Suling Emas.
“Desssss....!” Telapak tangan
Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui. Pertemuan dua tenaga
raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya
seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan
tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling
Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan
Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah,
tubuhnya menggigil.
Bu Sin dan Sian Eng cepat menghampiri kakak
mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata sebentar,
kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya.
“Mundurlah kalian.... aku tidak apa-apa....” katanya, siap untuk
menghadapi Cui-beng-kui yang ganas. Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu
Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa
penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa
ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak. Ia berlaku sungkan karena
mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang
sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya
mengapa ia masih berlaku sabar sungguhpun ia tahu bahwa orang ini
adalah pembunuh ayahnya. Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira,
Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk
mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah
pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar
Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi
dengan hati kagum karena selama ini, belum pernah ada yang sanggup
mengatasi pukulan maut itu! Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui
mengangkat namanya menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang
iblis itu telah menggunakan pukulan ini terhadapnya!
“Iblis
tua, kau tidak tahu dihormat orang muda!” katanya perlahan dan timbul
niat untuk memberi hajaran kepada Cui-beng-kui. Akan tetapi tiba-tiba ia
berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun
heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga
mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat
ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah
tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan! Tidak hanya
yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat
menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu.
Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan.
Hal ini
mengejutkan semua orang sakti yang berada di situ. Ketua Beng-kauw
sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan
mengerahkan tenaga batin unituk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis
ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian
Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Kiranya Kauw Bian Cinjin
juga merasai hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula, ternyata dari
pandang matanya. Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw,
hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka,
mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai
dewa-dewa di langit! Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu
Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah
ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib
merampas semangat. Ilmu ini merupakan cabang daripada ilmu
Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui pandang mata
(Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khi-kang yang
disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain,
sedangkan yang ke dua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang
disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat
mempergunakan Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara
itu dapat meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat
menundukkan dan memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh
yang amat kuat, tentu saja timbul dugaan apakah ini gerangan yang
disebut Coan-im-i-hun-to. Kalau benar demikian, siapakah orangnya yang
sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut
pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja, suara
yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangannya
pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu,
sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat
belaka, roboh pingsan!
Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu
menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti
It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni,
Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan
tetapi tentu saja dengan sin-kang yang amat kuat, mereka tidak
terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu.
Tiba-tiba
terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi. “Ma-susiok
(Paman Guru Ma), berani kau mengganggu anakku?”
Suling Emas
sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan
tengkuk Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu
Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga
dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas
daripada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling
Emas menjadi pucat mukanya, cepat ia melompat berdiri dan memandang
dengan mata terbelalak dan.... kedua kaki pendekar ini menggigil!
Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena
dari dalam pintu itu keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan
ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Munculnya wanita ini
mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikapnya agung
dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua,
sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita
mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di
kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir
merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya
menyaingi mata burung hong yang sedang berahi, dihias bulu mata panjang
hitam melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke
atas di bagian ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak
tanda-tanda keriput. Hanya ada rambutnya terdapat tanda usia tua.
Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh
tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua
karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini.
Hanya tiga
orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa
wanita ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang
tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia
ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di
lorong-lorong rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu
Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal ini dan seperti pernah
diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu
Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu.
Orang ke tiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena
wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang
paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga, dengan ragu-ragu dan
dengan jantung berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling
Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia
berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan
ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya,
malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia
ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat
itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua
orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah
lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah
ia lupakan, bau ibunya dulu (baca cerita SULING EMAS).
Akan
tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak,
bibirnya yang sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan.
Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh
kehausan kasih sayang ibu.
Wanita itu memang bukan lain adalah
Tok-siauw-kui Lu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu
menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas,
dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar
biasa (baca cerita SULING EMAS). Selama berpisah atau bercerai dari Kam
Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka
yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita
hebat ini.
Kini semua orang memandangnya, yang sudah mengenalnya
terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa gerangan wanita
yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan suaranya
saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju
terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan
tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai,
di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan
tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui.
Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri
dengan kedua kaki menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat
hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar
ucapan lemah tersendat-sendat, “Tidak.... tidak.... Lu Sian.... jangan
kau benci padaku.... ah, ampunkanlah aku.... jangan benci....”
“Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?” kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melangkah mendekati.
“Ti.... tidak.... Lu Sian.... aku benci karena dia.... dia putera Si
Ek. Jangan.... jangan pandang aku seperti itu.... Lu Sian....
kauampunkan aku.... kaubunuh aku.... tapi jangan benci....!”
Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga
mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut akan keselamatannya,
melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya! Dari
adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta
kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian! Cui-beng-kui mundur-mundur, terus
diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling
menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap
darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih
utuh, akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu
yang tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan
bulu roma, seperti senyum seorang siluman!
“Tidak, Ma Thai Kun,
betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau
mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci
karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan
gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih
mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai
Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang
ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah
orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima
cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni!”
Semua
orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita
tua menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan
roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu
tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap
melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa
Cui-beng-kui menangis!
Iblis itu menangis, melangkah maju dan
merangkul Liu Lu Sian, di antara tangisnya terdengar ia berkata, “Terima
kasih.... terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu....”
Wanita
cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah
ciuman mesra, terdengar kata-katanya, “Aku menciummu sebagai tanda
penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau
telah mengganggu anakku....” Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi
ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba
tubuhnya berkelojotan kaku dan ketika wanita itu melepaskan
rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah
keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari
lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana
tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan
dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di
punggung, meninggalkan cap tangan seperti baru saja punggung itu dicap
dengan gambar tangan besi dibakar merah!
“Wah, Thian-te
Liok-koai kurang seorang!” Terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan
membanting ujung tongkatnya di atas tanah. “Tok-siauw-kui, kau boleh
menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau
cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan
Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he!”
Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak
yang aneh juga cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu
Sian memamerkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal
ini akan merendahkan nama besar Thian-te Liok-koai, apalagi setelah
seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah
maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga timbul kesan bahwa
bagi It-gan Kai-ong dan anggauta Liok-koai lainnya, kepandaian
Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka!
“Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi!” Liu Lu Sian berkata
sambil menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak
mendorong. Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah
bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah
berada di sebelah atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya
dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung!
Hebat
bukan main serangan ini. It-gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang
gelombang ombak dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh
besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah.
Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis kedua tangan lawan. Ia
berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan
yang menampar pundak, biarpun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat
mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.
“Plakkk.... brettt!!”
Keduanya melompat mundur. Dalam segebrakan saja sudah tampak
kesudahannya yang mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi,
kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu
Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek
pengemis itu lebih hebat penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong
besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh! Untung sin-kangnya
amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga
hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya
sudah terdapat “cap” lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang!
Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap
mereka jelas hendak membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek
pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu
menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
“Bagus, kau memang patut
menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian
di antara Liok-koai, bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa
lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam ke lima
belas di puncak Thai-san. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi
tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh!”
“Kai-ong, apakah tidak
diberi hajaran sedikit dia agar jangan sombong terhadap kita?” Tok-sim
Lo-tong berkata sambil “sentrap-sentrup” menyedot isi hidungnya yang mau
keluar saja.
“Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam
dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin ribut. Nah,
Beng-kauwcu, selamat tinggal! Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go
(bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi
Liok-koai yang paling bawah tingkatnya!” Setelah berkata demikian,
It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat
itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong.
Berturut-turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena
setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka
merasa kedudukan mereka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di
situ lebih lama lagi.
Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas
ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan berkata kepada
Sian Eng, “Eng-moi-moi, kautunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi
Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san.”
Betapa herannya hati Bu Sin
melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan
pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah
berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan, “Eng-moi,
apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia
mengunjungi Sukouw (Bibi Guru)?”
Merah sekali muka Sian Eng.
Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia
berkata juga, “Dia.... dia hendak melamarku....”
Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah. “Apa....?” Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.
“Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?”
“Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah.... agaknya kau telah menyetujuinya....?”
“Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja....”
“Tidak! Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu! Dia jahat, dia.... dia.... ah, Eng-moi, bagaimana kau....”
“Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan
lagi....” Sian Eng mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia
membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu.
Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh
keberangkatan beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke
arag rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal yang menarik
sekali. “Kita akan bicara tentang ini nanti....” katanya perlahan dan Bu
Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya.
Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus.
“Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?”
Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan
dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri
saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biarpun Siang-mou Sin-ni
tentu saja lebih muda daripada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut
yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut di belakang tubuh.
Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat, Siang-mou
Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
“Beruntung
sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun
saling berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja.” Tentu saja
semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan
kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah
iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian? (baca
cerita SULiNG EMAS).
“Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu?
Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau lalu boleh
menganggap aku sebagai guru? Tidak! Jangan kira kau akan dapat
membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu
cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau!”
Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus
itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu
lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke
pinggangnya, dengan tangan kanan menolak pinggang dan tangan kiri
menudingkan telunjuk, ia berkata.
“Karena menerima ilmu darimu,
aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu
sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm,
benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat!”
Liu Lu
Sian tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan
Siang-mou Sin-ni. “Bocah! Sekali menggerakkan tangan, aku mampu
melempar nyawamu ke neraka! Akan tetapi mengingat beberapa orang di
Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku
dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah!”
Tantangan yang menghina
sekali. “Wanita tak kenal budi! Di Hou-han kami memperlakukan kau
sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria yang paling tampan,
jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan!
Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh tahun yang lalu.
Terimalah ini!”
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerakkan
kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu menyambar,
merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut
yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan
darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian!
Perlu diketahui bahwa
meskipun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu
silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu
Sian. Tentu saja ilmu ini biarpun amat berbahaya bagi orang lain, namun
bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan
tubuhnya, dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua
tangannya bergerak-gerak ke depan dan.... pecut-pecut rambut itu
berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri!
“Ayaaaaa!” Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan
berjungkir balik beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan
membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian
rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah.
Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, matanya mendelik.
“Liu Lu Sian! Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andaikata
aku dapat mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si
Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di
puncak Thai-san!” Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat
cepat menghilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi
sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula tanpa sempat berpamit lagi.
“Bu Song! Ke sini kau....!” Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus lembut.
Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk
hatinya dan teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil.
Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam
ia merasa sedih sekali, karena betapapun juga, ia lebih cinta ibunya
daripada ayahnya. Oleh karena itulah, ketika ayahnya menikah lagi,
timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya
makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan
ayahnya, ayahnyalah yang salah (baca cerita SULING EMAS). Oleh karena
itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.
Pada waktu ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil
untuk dapat mengerti sebab-sebabnya. Sekarang, setelah iblis wanita yang
mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka
bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh,
mengerikan, dan tidak malu? Apalagi kalau ia teringat akan ucapan
Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di Hou-han diperlakukan
sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka
paling gagah? Memuakkan! Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan
dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw! Dan
ibunya tidak membantahnya!
“Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu!”
Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun daripada lamunannya.
Hatinya seperti diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang
terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya,
maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun ini
menjadi lamunannya, menjadi bayangan yang dirindukannya.
Liu Lu
Sian memeluk pundaknya yang lebar. “Bu Song anakku.... ah, kau sudah
begini gagah perkasa! Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao,
di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau
sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan
kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi
negara terkuat di dunia.”
“Ahhhhh....!” Suling Emas terkejut
sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan
ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian menyambar lengan
Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu
dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling
Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan
oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi
keharuan hatinya yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di
hati kecilnya ada perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang
demikian besar terhadap dirinya.
“Hi-hik, anakku yang gagah
perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar
Nan-cao.” Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar
menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah
dan kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati
tegang.
“Paman Liu Mo, kursi yang kaududuki itu adalah kursiku!
Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah
ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak
mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau! Kau telah merampas hal
lain orang!”
Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar
pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi tampak
menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia
berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia
berkata.
“Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan
Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan di antara
kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapapun kami mencarimu,
tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di
sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan
kedudukan Kauwcu, sama sekah bukan merampas. Kalau sekarang kau
menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan
itu, Lu Sian.”
Liu Lu Sian tertawa. “Hi-hi-hik, tentu saja harus
kauberikan kepadaku, suka maupun tidak. Andaikata tidak kauberikan,
apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus
menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song
menjadi kaisar di Nan-cao!”
“Enci Lu Sian, kau terlalu menghina
Ayah!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah
melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang
luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola
kecil.
“Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku
beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila dengan laki-laki,
sekarang aku tidak mau memberi ampun!” teriak Liu Lu Sian, tubuhnya
berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di
antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan!
Dengan sikap mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat
cambuk ke dua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik. Liu
Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya
terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk
itu ke sana ke mari dan ke manapun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee
terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan
cambuknya karena entah bagaimana, cambuk itu sudah melibat pergelangan
tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika cambuknya
ditarik-tarik.
“Lepaskan dia, wanita jahat!” terdengar bentakan
dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang
diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan
kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas
hatinya itu, dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya
keselamatannya terancam bahaya.
“Hi-hik, laki-laki ini sudah
tergila-gila kepadamu, Liu Hwee!” Wanita berambut panjang itu terkekeh
dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
“Ihhhh....!” Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan
terpental tak berhasil menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda
itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air
terjun.
Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat
mengagetkan Liu Lu Sian karena di lain saat, segumpal rambut menyambar
dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang
toya yang terbuat daripada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting
roboh.
“Kau kejam!” Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan
cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang namun kembali rambut kepala
wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal dekat Bu Sin.
“Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di kahyangan!”
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut
kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar
seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika
melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya
berseri-seri dan tertawa kagum. “Bagus! Kau hebat sekali, anakku!”
“Ibu,” kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan
seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini,
“Harap jangan turun tangan membunuhi orang.”
“Ha-ha-hi-hi-hik!
Paman Liu Mo, kaudengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia,
begitu tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di
Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat,
dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku!”
Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam
merasa tegang gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang
hebat. Akan tetapi para anggauta Beng-kauw memandang bingung. Mereka
merasa serba susah. Betapapun juga, wanita itu adalah puteri tunggal
mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw!
“Ibu, tidak boleh kau bilang begitu....!” Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.
“Eh, apa kau bilang?” Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan
matanya yang bening tajam. Ketika bertemu pandang dengan ibunya,
diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya itu, sinar
mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah,
bukanlah sinar mata manusla yang sehat jiwanya!
“Ibu, harap kau
jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku.... aku tidak mau
menjadi kaisar. Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup
bijaksana dan tepat....”
“Apa? Jangan kau ikut-ikut! Kau anak
kecil tahu apa? Hayo minggir!” Wanita itu membuat gerakan mengancam,
seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih
kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan
muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh
tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan
pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka,
lalu meramkan kedua matanya. Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda
ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat
mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada
punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu
datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di
tangan wanita iblis itu.
Kini semua mata memandang ke tengah
lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di
tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa,
namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan
kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata,
suaranya lantang berpengaruh.
“Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau
dan siapa kami! Urusan di antara orang sendiri apa perlunya
dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita
bereskan urusan pribadi kita!”
Liu Lu Sian memandang dengan mata
terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya
sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa
dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis
cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia
gendong!
“Hi-hik, kau Susiok (Paman Guru) Kauw Bian Cinjin. Kau
orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu, memang kau pintar dan tenagamu
amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw kalau
aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik,
jangan seperti pakaian penggembala begitu! Eh, Susiok, kalau aku sudah
menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu
utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem
seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan
menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan!”
“Lu
Sian!” Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara
“tar-tar-tar!”. Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking
marahnya, kemudian ia berkata, “Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat
itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Suheng, kepada
Beng-kauwcu kita, kalau tidak, aku sebagai paman gurumu terpaksa akan
memberi hajaran kepadamu.”
Sejenak Liu Lu Sian melebarkan
matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahhya menjadi muram
dan ia berkata, “Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi
niatku, terpaksa akan kubunuh.”
“Aaahhhhh....!” Kaow Bian Cinjin
lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan
sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia
menambah kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan
tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati. “Twa-suheng, mohon
ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu!”
Setelah
berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar
dan tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua
perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.
Suasana menjadi
tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling
tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah
pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus
menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya.
Sebaliknya, tak mungkin ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang
telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya, ia hanya
berdiri dengan muka pucat.
“Liu Lu Sian, biarpun kau merupakan
puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan tetapi
saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan
agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu
sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti
akan membenarkan sikapku ini.”
“Orang tua keras kepala! Kaukira
akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi (Setan
Cilik Beracun) tiga puluh tahun yang lalu!”
“Kalah menang bukan
soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan
taruhan nyawa!” jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan
cambuknya di depan dada.
Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan
suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya dan
kalau saja Kam Bian Cinjin yang “diserang” suara ini bukan tokoh besar
Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian
Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga berbunyi angin
bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.
“Serahkan
nyawamu!” bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi
bayangan yang cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari
rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cinjin.
Kakek ini
kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran
yang amat hebat. Lebih hebat daripada pertempuran-pertempuran tadi,
karena sekarang yang bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw.
Betapapun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga
dapat menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai
sehingga di waktu mudanya ia mendapat julukan Cambuk Halilintar.
Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang yang kurang
tingi kepandaiannya menjadi ngeri dan jerih. Cambuk itu berubah menjadi
gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan
meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyambar-nyambar.
Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut
nyawa lawan!
Betapapun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini
tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong
dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apalagi
sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu
semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab
pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah
memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib
Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan
“ilmu cambuk” yang mujijat karena rambut itu dapat dipakai menjadi
puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari
jurusan-jurusan yang berlawanan.
Kauw Bian Cinjin dapat menduga
akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam
menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak
tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri
suhengnya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun
maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi, untuk membela
Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau Liu Lu Sian, ia menjadi
nekat. Apalagi kalau diingat bahwa suhengnya, Liu Mo bersikap mengalah
terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian
merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suhengnya
memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa
masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak
waras otaknya, yang sakit jiwanya.
Setelah saling serang dengan
hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi
dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka
secara tiba-tiba tidak bergerak lagi dan ketika semua mata yang tadi
menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat memandang, ternyata
cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat sampai menjadi
seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian! Hebatnya, tidak hanya
cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher
kakek Bengkauw itu.
“Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan
perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi
pembantuku!” terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.
“Liu
Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw,
dan kau menjadi murid keponakanku yang baik dan akan menerima berkah
dan doaku....” jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.
“Tua bangka keras kepala! Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan!
Kau perlu dihajar....!” Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik
dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu
Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan,
pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan merah!
“Liu Lu Sian,
tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri!”
Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat,
karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak
seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu!”
Wajah Liu Mo tetap
terang dan bibirnya tersenyum. “Keponakanku yang baik, aku sama sekali
tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan
Kauwcu, karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku.
Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak
memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu!” Berkata demikian,
Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
“Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?”
“Tentu saja, kalau Suheng mengijinkan!”
bersambung.............6
Senin, 13 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar